Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 8(Tamat)
"Aku jadi ingin mengadu
kepandaian dengan perempuan siluman itu," ujar Lau Thi-cu, kalian tidak
usah kuatir, soal perahu mudah nanti kucarikan."
Setiba di tempat tujuan, tiada
bayangan manusia, perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya:
"Siau-cu-cu, kau bilang punya akal."
"Jangan kuatir,"
ucap Lau Thi-cu, "didalam gua tak jauh dari sini belakangan ini ada dibuat
perahu yang belum sempat digunakan."
Dalam gua yang dituju memang
terdapat beberapa perahu, masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata:
"Siau-cu-cu, ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"
"Siau-ciok-cu, kenapa kau
bilang begitu, memangnya aku ini bukan temanmu sejak kecil? Kitakan pernah
sehidup semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya menolong aku, bukan
untuk kali ini pula aku pernah membantu kau."
Kek Lam-wi dan Toh So-so
kelahiran dan dibesarkan di Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang
tapi dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan. Setelah menurunkan
perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di depan menunjukkan jalan, galah
diangkat terus menutul ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur
mengikuti arus. Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San berada di
belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa scgulung arus kencang menggulung
tiba, perahu kecil Tan Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus
berpusar.
Mendengar suara gelombang Lau
Thi-cu lantas tahu bahwa mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak:
"Mundur ke samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."
Tan Ciok-sing kerahkan
Jian-kin-tui sehingga perahunya tidak terbalik, setelah perahunya terkendali
segera dia praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah perahunya
segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain perahunya sudah meluncur
keluar dari dalam gua dan melihat langit terang.
Diluar gua air seperti dituang
menggerojok turun dengan deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih
kencang dan berbahaya. Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu layaknya.
In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini hatinya kebat-kebit, katanya:
"Sungguh berbahaya, mengecilkan nyali saja."
Belum habis dia bicara,
tiba-tiba gelombang besar mendampar. Lau Thi-cu berteriak: "Awas menubruk
karang," batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak
tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya sedikit saja apalagi
arus air teramat deras dengan gelombang besar pula, dalam gugupnya Tan
Ciok-sing tak kuasa dia mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi
peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke samping. Pada detik-detik
gawat di kala perahunya hampir membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang
ajaran Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh tenaga ujung
galahnya tepat menyodok pucuk karang serta mendorongnya sehingga perahu yang
terdorong ombak itu berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping
melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke atas, seketika In
San merasa dirinya seperti naik mega seolah-olah dirinya terbawa arus dilempar
ke tengah angkasa namun cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah.
Waktu dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan batu-batu karang dan
terus laju ke depan.
Lau Thi-cu berpaling ke
belakang, legalah hatinya, serunya memuji: "Hebat kau Siau-ciok-cu."
Tan Ciok-sing seka
keringatnya, katanya tertawa: "Terima kasih akan petunjukmu, kepandaianmu
jauh lebih mahir lagi."
Maklum naik perahu didalam air
yang arusnya sederas itu, bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus
memiliki tenaga raksasa. Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan perahunya seperti
laju di perairan yang arusnya tenang, jelas Kungfunya sekarang sudah mencapai
taraf tertentu, dasarnya cukup kuat.
Cepat sekali mereka sudah
mencapai setengah dari selat sempit berarus kencang itu. Setelah lega hatinya,
In San berkata: "Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari
Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."
Lau Thi-cu berseru di depan:
"Syukurlah di depan tiada daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan
berada di perairan Thay-ouw."
Baru saja mereka merasa lega,
tiba-tiba Toh So-so berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping
dengan melongo. Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah pandangannya, tak usah tanya
segera dia tahu kenapa kekasihnya kaget dan melongo.
Tampak di antara dua batu
besar yang menonjol di permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu
yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu itu sudab pecah
berantakan, jauh di depan sana masih kelihatan pecahan perahu yang terapung.
Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya: "Lau-toako, perahu itu apakah
milik kalian..." Lam-wi tidak tega meneruskan perkataannya, dia pikir
jarang ada perahu lewat disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang
dinaiki Bu-sam Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"
"Betul," sahut Lau
Thi-cu, "itulah perahu khusus yang kami sediakan di pinggir sungai."
Kek Lam-wi menghela napas,
katanya: ."Kalau begitu tak usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."
Pada hal perahu mereka kini
sudah berada di perairan Thay-ouw. Hujan rintik-rintik kabut mulai datang,
Thay-ouw seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut kabut,
kemana mereka harus mencari?
Makin ke tengah kabut makin
tebal, tak lama kemudian di tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang
bergerak terombang-ambing maju ke depan.
Dengan suara lirih Lau Thi-cu
berkata: "Di depan ada sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang
digantung di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."
Pada hal saat mana sudah
menjelang tengah malam, dalam kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di
tengah perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan.
Tergerak hati Kek Lam-wi
katanya: "Lau-toako, perlahan saja mendekatinya kapal di depan itu."
"Aku tahu," ujar Lau
Thi-cu tertawa, "jangan kuatir, mereka tidak akan tahu jejak kita. Dengan
kemahirannya mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan tanpa
banyak mengeluarkan suara.
Setelah agak dekat sayup-sayup
terdengar suara percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit
seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu yang jalang itu.
Karuan Tan Ciok-sing berlima
amat girang. Segera mereka pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu
makin jelas. "Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku ada
di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak," agaknya Bu-sam
Niocu sedang main cinta dengan seorang lelaki.
Berkerut alis Kek Lam-wi dan
Toh So-so namun lega pula hati mereka. Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami
kesulitan, agaknya dia disekap di atas perahu itu. Yang menjadi tanda tanya
dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu?
"He, he, putri mustikamu,
merdu sekali kedengarannya, mesra dan sayang sekali. Bagi mereka yang tidak
tahu seluk beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak kandungmu
sendiri," terdengar laki-laki itu mencemooh dengan nada menggoda.
Tan Ciok-sing melengak, semula
dia sangka lelaki yang sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah
suaminya kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong. Tapi setelah didengarnya
dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong. "Lalu siapa laki-laki
ini?" demikian Ciok-sing bertanya-tanya.
Terdengar Bu-sam Niocu
berkata: "Haya kenapa kau bilang demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak
yang kulahirkan dari rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti
mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan menyerempet bahaya
untuk menculiknya dari markas Ong Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari
dari selat geledek yang berbahaya itu?"
"Sam-nio," ujar
laki-laki itu bergelak tawa, "urusan sudah sejauh ini, kau masih belum mau
bicara sejujurnya kepadaku, apa tidak terlalu?"
"Bicara jujur soal
apa?" tanya Bu-sam Niocu.
"Kau kan hanya memperalat
dia untuk membeli hati orang Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar
perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit budak ayu itu di
bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut pendapatku sudah sejak lama kau telah
membunuhnya."
"Perbuatan keji masa lalu
apa? Sebetulnya berapa banyak kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan
nama baikku?" suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar dan panik.
Laki-laki itu tertawa,
katanya: "Alah aksinya, dulu kau sekongkol dengan Thi Khong membunuh
suamimu yang pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang. Kalian
memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang lain tidak tahu,
hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang orang-orang Bu-san-pang belum
memperoleh bukti, tapi tidak sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara
sejujurnya kau tidak berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh dia
kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah besar dan yakin akan
perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka terpaksa kau besikap baik dan sayang
terhadapnya supaya orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang
membunuh ayahnya."
"Kau memang setan cerdik,
apapun kau ketahui maka kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita
itu."
Laki-laki itu tertawa pula,
katanya: "Aku tahu kau telah membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius
juga tidak jadi soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan
kita."
"O, jadi kaupun telah
melakukaa sesuatu pada dirinya?"
"Ya, aku telah menutuk
Hiat-to penidurnya, paling sedikit dua belas jam kemudian baru dia akan
bangun."
"Kau memang setan
kelaparan, kiranya kau memang bermaksud jelek terhadapku."
"Salah, bukan bermaksud
jelek, aku justru ingin berbuat baik terhadapmu."
"Apa kehendakmu?"
"Kuingin kau menjadi
biniku."
"Tidak, tidak muugkin,
aku tidak bisa kawin dengan kau."
"Kenapa tidak bisa, Bu
San-hun telah mati. Kau boleh menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus,
kenapa sekarang tidak boleh menikah dengan aku? Memangnya kau ingin menjadi
janda sampai tua?"
"Justru karena Thi Khong
mati belum ada satu bulan, pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau
kau tidak takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh orang
banyak."
"O, jadi kau hanya kuatir
dicemooh orang, jadi bukan tidak sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan
kepada kau, aku tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi
suamimu, siapa berani mentertawakan kau."
Terdengar Bu-sam Niocu
cekikikan geli dan genit, katanya: "Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang
terkenal dan disegani kaum persilatan siapa berani bertingkah di
hadapanmu?"
Perahu yang ditumpangi Tan
Ciok-sing berlaju ke depan makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah
kenal suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka sampai disini, kini
dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu. Orang itu bukan lain adalah
Toa-thauling Giam-ong-pang Giam Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.
Tawa genit dan percakapan
kedua orang di atas perahu tiba-tiba terhenti. Ternyata sebagai orang yang
banyak pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa sebuah perahu
kecil tengah menguntit kapal mereka di sebelah belakang.
Pelan-pelan dia mendorong Giam
Cong-po yang menindih tubuhnya ke samping. Giam Cong-po keheranan sebelum dia
sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir telinganya: "Ada
dua perahu menguntit di belakang, biar aku memeriksanya."
"Umpama Ong Goan-tin
sendiri yang mengudak kemari aku juga tidak gentar, biarkan saja peduli
amat?" jengek Giam Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar,
mana dia mau diganggu.
Bu-sam Niocu mencubit
lengannya, katanya perlahan dengan tertawa: "Waktu masih panjang untuk
kita, sekarang kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang
menguntit betapapun harus hati-hati."
Giam Cong-po berkata
uring-uringan: "Kurcaci mana yang berani menguntit kita, biar nanti
kupukul perahunya sampai pecah berantakan."
Bu-sam Niocu lari keluar
pegang kemudi sehingga kapalnya membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po
beranjak ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan
Ciok-sing dan Kek Lam-wi. Jarak kedua pihak tinggal enam tujuh tombak, tapi di
tengah kabut Giam Cong-po tidak melihat jelas siapa penumpang kedua perahu
kecil itu.
Dengan kalem dia angkat sebuah
jangkar besi di pojok kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke
perahu Tan Ciok-sing. Jangkar besi itu besar dan berat, dia lempar dengan
tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran ditambah beratnya kira-kira ada ribuan
kati. Jangan kata perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama
perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar segede itu, jelas
perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa pecah berantakan.
Untung dia melempar jangkar
itu ke perahu Tan Ciok-sing. Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio
Tan-hong, galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis mengikuti arah
luncur jangkar gede itu. "Byuuurrr" jangkar gede itu berhasil
disampuknya miring dan jatuh kedalam danau, air muncrat menimbulkan ombak
besar.
Karuan Giam Cong-po kaget
bukan main, baru sekarang dia insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh.
Sembari meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus menubruk kearah
perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing. Kejadian cepat sekali, di tengah udara
tubuhnya jumpalitan dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik
turun meluncur ke arah perahu kecil itu.
"Pletak", galah
panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil dipukulnya patah menjadi dua. Tapi
sebelum kaki Giam Cong-po menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan
dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah
dipersiapkan, mendadak
dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana kilat menyambar,
sinarnya terang menyilaukan mata. Maka terdengarlah dering keras beradunya
senjata, kali ini gayung besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas
kutung. Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan sepasang pedang.
Pedang mereka gaman mustika yang dapat mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada
bandingan pula di kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu
Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka?
Belum lagi ujung kakinya
menyentuh perahu, ujung pedang Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas
Giam Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih dipegang, gagang dayung
itu kembali terpapas kutung pula, sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan
lagi sebagai senjata.
Sementara itu Bu-sam Niocu
baru selesai berpakaian, didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan
bersuara heran dia menegur: "Lho, kok cepat benar kau sudah kembali?"
Kek Lam-wi tendang pintu kabin
sambil membentak: "Coba kau lihat siapa aku."
Kaget Bu-sam Niocu bukan main,
kontan dia ayun tangan menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Toh So-so putar
kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka terdengar suara
gemerisik. Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu rontok dan hancur berhamburan.
Karena sedikit hambatan ini,
Bu-sam Niocu sudah membobol dinding papan terus lari ke geladak.
Kek Lam-wi membentak:
"Lari kemana," secepat angin dia mengudak keluar. Kembali Bu-sam
Niocu mengayun balik tangannya menghamburkan senjata rahasia. Serangan senjata
rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam, begitu
ditimpukkan senjata rahasia itu lantas meledak, segumpal asap berapi
menimbulkan kabut tebal diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak
terhitung banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang beracun.
Untung sebelumnya Kek Lam-wi
sudah siaga, di waktu dia melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah
dibikin basah, sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan
asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika dikebutnya padam.
Jarum-jarum lembut beracun itupun tergulung dalam jubahnya. Sebat sekali Toh
So-so sudah ikut menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut menyapu habis
hamburan jarum-jarum lembut itu.
Kek Lam-wi tidak berhenti,
seruling pualamnya segera dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam
Niocu, jurus Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok dari
King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi yang liehay. Walau
kesehatan Kek Lam-wi belum pulih seluruhnya, mungkin karena terlalu panik,
Bu-sam Niocu kena ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.
Lekas Kek Lam-wi berdua putar
masuk ke kabin serta mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus
membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah. Kek Lam-wi sudah
berjongkok memeriksa Hiat-to mana di tubuhnya yang tertutuk dan hendak
membebaskan tutukan Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka
mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Cam-wi dan Toh So-so, dia sangka
dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak tertahan: "Kek-toako, Toh-cici,
betul, betulkah kalian?"
Toh So-so girang, serunya:
"Bu-cici, ternyata kau sudah siuman." Segera dia turun tangan
membebaskan Hiat-tonya yang tertutuk.
Saking girang Bu Siu-hoa
berlinang air matanya, katanya terisak: "Sungguh tak nyana aku masih bisa
hidup bertemu dengan kalian."
"Ibu tirimu yang jahat
itu sudah kami bekuk hidup-hidup, sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang
kau tangisi?" Toh So-so menghibur.
"Ayah kandungmu dicelakai
sampai mati oleh ibu tirimu ini, apa kau sudah tahu," ujar Kek Lam-wi
sengit.
"Percakapannya dengan
pentolan Gam-ong-pang di kamar sebelah sudah kudengar seluruhnya," sahut Bu
Siu-hoa.
"Bu-cici, sepantasnva aku
memberi selamat kepadamu," kata Toh So-so.
Bu Siu-hoa melenggong,
katanya: "Kenapa memberi selamat kepadaku."
"Selamat atas kemajuan
Kungfumu," ujar Toh So-so tertawa, "kau terkena obat bius perempuan
laknat itu, ditutuk pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi
sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut dipuji."
Bu Siu-hoa berkata:
"Waktu aku digusur perempuan jahat itu, diam-diam aku sudah menelan obat
penawarnya. Tentang ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako,
dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna." Ternyata dua hari
dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam gua batu, mengingat orang telah menolong
jiwanya, untuk membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan cara
mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal
untuk menyelamatkan diri.
"Mana keparat she Giam
itu?" tanya Bu Siu-hoa.
"Masih ada di geladak
sedang bertarung dengan Tan-toako," sahut Kek Lam-wi.
Waktu mereka tiba di atas
geladak, tampak air bergolak dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang
bertarung didalam air. Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil ternyata juga
tidak kelihatan.
Perahu kecil yang ditumpangi
Tan Ciok-sing berputar-putar di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah,
turun naik terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak dikendalikan
mungkin bisa tenggelam.
"Celaka," seru Toh
So-so, "In-cici masih di atas perahu itu, dia tidak pandai berenang, lekas
kita menolongnya."
Beramai-ramai mereka kayuh
kapal besar ini mendekati perahu yang sudah miring itu. In San sudah lompat ke
atas atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua tombak In San
segera melompat naik ke atas kapal besar.
Ternyata menghadapi
Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In
San, Giam Cong-po tepaksa
didesak jatuh kedalam air, dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat
menghadapi mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot perahu orang.
Kuatir Tan Ciok-sing bukan
tandingan Giam Cong-po, Kek Lam-wi berkata: "Biar aku turun ke air
membantunya."
Lekas In San mencegah,
katanya: "Kesehatanmu sendiri belum sembuh, jangan kau mencari susah
sendiri."
"Biar aku saja turun
membantunya," kata Toh So-so.
"Siau-cu-cu sudah terjun
ke air membantu Tan-toako," demikian tutur In San, "bila mereka
berdua juga tidak kuat menghadapi musuh didalam air..."
Belum habis dia bicara,
"Byuur" tahu-tahu Bu Siu-hoa sudah terjun kedalam air. Hanya sekejap
saja tiba-tiba dua kepala orang menongol ke permukaan air. Tan Ciok-sing
mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu. Waktu itu fajar telah
menyingsing tampak pakaian mereka berlumuran darah.
In San kaget, serunya:
"Lau-toako kau terluka. Mana adik Siu-hoa?"
"Jangan gugup," ujar
Lau Thi-cu tertawa lebar, "ini darah orang lain. Nona Bu berhasil membunuh
brandal she Giam itu."
Di tengah tawanya itu tampak
Bu Siu-hoa sudah muncul ke permukaan air, katanya: "Lau-toako terima kasih
akan bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."
Perlu diketahui kepandaian
renang Giam Cong-po ternyata amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu,
Tan Ciok-sing meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan pasti
berhasil melarikan diri. Setelah terbukti Giam Cong-po sudah mati, baru Bu Siu-hoa
naik ke atas, maka dia agak terlambat muncul di permukaan air.
Bu Siu-hoa sedang berpikir
cara bagaimana dia harus menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di
atas kapal dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu,
ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan, dari pada mati di
tangan orang lain dia rela bunuh diri menelan racun.
000ooo000
Memperoleh laporan yang
menggembirakan ini, lekas Ong Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka. Yang
ikut menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thi-ciang Tam
Pa-kun. Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi sembah hormat kepada gurunya.
Melihat Bu Siu-hoa pulang
dengan selamat legalah hati Ong Goan-tin. Mendengar muridnya berjasa besar Lui
Tin-gak juga amat senang. Di samping menghibur dan melegakan hati Bu Siu-hoa
orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang jujur dan polos ini sampai
canggung dan malu mukanya jengah.
Dalam perjamuan, hati hadirin
sama riang gembira, setelah tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat
bicara: "Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan
syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu sehingga keributan
ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku karena Lui-toako dan Tam-toako sudi
datang bersama kaum pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal
beberapa hari di markasku ini."
Tan Ciok-sing mendahului buka
suara: "Terima kasih akan maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak
bisa tinggal lama disini."
"Kalian ada keperluan penting
apa, kenapa buru-buru," tanya Ong Goan-tin.
Sebelum Tan Ciok-sing
menjawab, Tam Pa-kun sudah tertawa, katanya: "Ong-toako kenapa kau menjadi
pelupa?"
Ong Goan-tin melengak,
tanyanya: "Aku lupa apa?"
"Tentang mereka membuat
geger istana raja, waktu menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah
meninggalkan empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal itu
pernah kuceritakan kepada kau?"
Ong Goan-tin sadar, katanya:
"Betul kenapa aku jadi lupa. Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke
kota raja, menagih janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia
untuk menepati janji."
"Benar Baginda pernah
berjanji, dalam jangka tiga bulan dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri
dorna Liong Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama nona In
kami ingin tiba di kota raja lebih dini."
"Kalian bagaimana?"
tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lam-wi dan Toh So-so.
"Janji Tan-toako dengan
Baginda Raja adalah janji pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako
pasti sudah menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat bersama
Tan-toako."
"Apakah luka-lukamu tidak
mengganggu?" tanya Ong Goan-tin.
"Sudah lama sembuh,"
sahut Kek Lam-wi
"Bahwa kalian sedang
mengemban tugas, sudah tentu aku tidak enak menahan kalian disini.
Nona Bu kuharap sementara kau
tinggal disini saja."
Memangnya Bu Siu-hoa sekarang
sudah sebatang kara, mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka
permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan lega.
000ooo000
Pendek kata. Sepanjang jalan
mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa. Hari itu mereka tiba di Pakkhia.
Untuk menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota In San gunakan
kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing
dan Kek Lam-wi menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja,
sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian laki-laki, menyamar
jadi kacung mereka.
Jalan raya lalu lintas padat,
kereta gerobak berlalu lalang, kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya
tiada perbedaan dengan tiga bulan yang lalu. Tapi perasaan hati mereka yang
jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.
Tiga bulan yang lalu mereka
bertekad meski gugur di medan laga juga rela asal berhasil menemui raja, sudah
tentu yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh Liong Bun-kong
sekalian. Meski tujuan mulia, namun mereka harus bertindak secara menggelap,
harapan cerah tidak pernah nampak di depan mata.
Kini mereka sudah sadar,
umpama Baginda Raja tidak mau tunduk akan kehendak rakyat banyak namun
keyakinan mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput gelap yang
selama ini menyelubungi harapan masa depan sudah sirna tak berbekas lagi. Waktu
mereka tiba di kota raja kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga
bulan.
Malam itu mereka menginap di
hotel, besok pagi mereka langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang
Kaypang.
Baru saja mereka keluar kota,
terasa dua orang telah menguntit mereka. Kedua orang ini berkepala kecil dengan
muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan tingkah laku mereka,
siapapun akan tahu bahwa kedua orang ini jahat dan menjijikan. Lekas sekali
kedua orang ini sudah memburu dekat.
Sekejap Tan Ciok-sing
celingukan, dilihatnya kanan-kiri tiada orang, segera dia menyongsong
kedatangan mereka. "Saudara ini tentu sudah lelah."
Kedua orang itu berhenti,
sekejap saling pandang lalu satu persatu mengawasi mereka, mimik mukanya
kelihatan aneh. Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata: "Lelah sih
tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang lelah, tentunya
kalian juga lelah." Sengaja dia meninggikan suara, jelas berusaha menutupi
suara aslinya supaya orang tidak kenal logat suaranya.
Tan Ciok-sing berkata sinis:
"Jangan pura-pura, kalian ini kawan dari garis mana, lekas terus
terang."
Yang perawakan besar berkata:
"Apa maksudnya kawan dari garis mana? Coba kau katakan dulu kau dari garis
mana, supaya kami maklum apa yang kau maksud."
"Baik terus terang
kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan dari garis yang sedang dicari oleh
majikanmu," di kala mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap
tiba-tiba menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan mengancam jiwa
orang, maka gerakannya cukup gesit, orang biasa terang tak mungkin bisa
meloloskan diri. Tak nyana dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar,
mulutnya malah berkaok: "Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu tidak
layak sebagai kawan."
Di kala Tan Ciok-sing turun
tangan itu, laki-laki pendek di sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil
menutup mulut. Katanya: "Adik In masa kau tidak mengenalku lagi,"
ujarnya.
"Toako jangan
gegabah," seru In San, "diakan Han-cici..."
Hampir bersamaan In San
berteriak dengan laki-laki pendek itu.
Sekilas Tan Ciok-sing melenggong,
hampir bersamaan pula diapun berteriak dengan lawannya. "Toan-toako
kiranya kau." "Tan-hengte ternyata kau."
Ternyata dua orang yang
menguntit mereka ini bukan lain adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping
dan Han Cin.
In San tertawa, katanya: "Ooo,
ternyata guruku telah datang, tak heran samaranku konangan," maklum
kepandaian riasnya dia pelajari dari Han Cin.
"Toan-toako," kata
Tan Ciok-sing bukankah kau sudah pulang ke Tayli? Kenapa secepat ini sudah
berada di kota raja pula?"
"Janjimu tiga bulan
dengan baginda, tidak pernah kulupakan," ujar Toan Kiam-ping.
"Bukankah waktu itu orang
banyak mengharap supaya kau melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu,
kurasa tidak perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."
"Aku maklu^ maksudmu tapi
jangan kau lupa, ayahku mati karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku
membiarkan kalian saja yang menuntut balas?"
Han Cin tertawa katanya:
"Untung kalian bertemu aku, markas Kaypang sudah pindah."
"Pindah kemana?"
tanya Ciok-sing.
"Pindah ke Jui-hwi-hong.
Mari kuajak kalian kesana," ujar Toan Kiam-ping.
Setiba di markas Kaypang baru
mereka tahu apa sebabnya mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka
terbongkar adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to yang
pernah ditolong itu.
Waktu Kwe Su-to membawa
pasukan besar pemerintah menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang
sudah mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka sudah pindah ke
lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun
memberi tahu dua hal tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti
dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum pernah masuk istana
menghadap raja. Kedua, keponakannya yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam
mengawal separtai harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya,
seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah dibegal orang.
"Yang berani membegal
harta mereka tentu bukan kaum begal biasa," kata Ciok-sing.
"Memang bukan begal
biasa, menurut laporan mereka adalah Wi-cui-hi-kiau," ujar Liok Kun-lun.
Kek Lam-wi senang, katanya:
"O, jadi Toako juga sudah tiba, dimana mereka?"
"Dua hari lagi baru akan
tiba. Mereka sudah mengirim kabar kepadaku," sahut Liok Kun-lun pula.
"Pertemuanku dengan
Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku tidak akan menunggu mereka," kata Tan
Ciok-sing.
Toan Kiam-ping berkata:
"Kali ini aku bersama adik Cin minta persetujuan kalian untuk ikut masuk
ke istana."
Kek Lam-wi dan Toh So-so
sebetulnya juga ingin ikut, tapi Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu
kurang leluasa, apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Pat-sian yang
lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun, urung ikut ke istana.
Malam kedua kira-kira
kentongan ketiga Tan Ciok-sing berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja
sesuai janji tiga bulan yang lalu.
Tan dan In sebelumnya pernah
kemari maka kali ini dengan mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan
barisan ronda. Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan, sementara
In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan di belakang, sementara Toan
Kiam-ping menguntit dalam jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang.
Ginkang Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah termasuk kelas
tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin mereka mengembangkan Ginkang
laksana kecapung yang menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain
tanpa mengeluarkan suara. Tan dan In sudah punya pengalaman maka mereka
berhasil mengelabui jago-jago silat pelindung istana, lekas sekali mereka sudah
menyelundup ke Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti
dulu dapat maju dengan leluasa. Kini kemana mereka harus menemui Baginda?
Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung bangunannya entah- ada ratusan
jumlahnya, hanya tempat tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira
ada puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja menginap di
istana mana? Kalau tempo hari mereka dibantu seorang thaykam yang selalu dekat
di samping raja sehingga tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi
Thaykam kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada Thaykam yang
akan menunjukkan jalan lagi.
Sebelum mereka mendapat akal
dan perundingan diantara mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara
desiran aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup angin, tapi
jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin. Mereka adalah ahli silat,
mendengar suaranya seketika melenggong. Tan Ciok-sing berkata: "Itulah
suara senjata rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."
In San berkata: "Kalau
suara krikil rasanya jauh lebih keras dan kasar."
Ciok-sing berkata: "Kalau
tidak salah dugaanku itulah sebutir lempung kecil." Sampai disini
tiba-tiba tergerak pikiran Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir: "Jikalau
Wisu istana memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan senjata
rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke samping kita bukankah
membuat kita terkejut dan sadar? Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang
kawan-kawannya?" Karena itu segera dia hendak menyerempet bahaya,
coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia tadi meluncur.
Di depan sebuah
gunung-gunungan mengadang jalan di waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka
harus melanjutkan arahnya, tiba-tiba terdengar pula suara desiran ringan halus
tadi, kali ini Tan Ciok-sing sengaja tidak mau menuruti petunjuk senjata
rahasia itu, tapi menuju ke arah lain.
Terdengar suara ledakan lirih
seperti kacang yang dipecah kulitnya, disusul bubuk tanah yang berhamburan
berjatuhan di atas kepalanya. Senjata rahasia yang pecah di atas kepalanya
memang adalah sebutir lempung. Sebagai ahli silat sudah tentu Tan Ciok-sing
maklum bahwa orang menggunakan Tam-ci-sin-thong.
Sebutir lempung dijentik pecah
pada jarak tertentu yang telah diperhitungkan dengan tepat bukan saja ini
memerlukan latihan juga harus tepat waktu yang ditentukan untuk menggunakan
tenaga yang pas-pasan pula.
Mau tidak mau Tan Ciok-sing
terkejut. Tapi kejap lain diam-diam hatinya amat senang dan lega karena dia
sudah paham, apa maksud timpukan lempung itu.
Tengah berpikir didengarnya
pula suara desiran perlahan tadi, sebutir lempung meluncur di atas kepalanya
tahu-tahu lempung itu berputar satu lingkaran terus meluncur ke sebelah kiri.
Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak keliru, orang yang menimpukkan lempung secara
diam-diam ini memang sedang menunjukkan arah jalan yang selamat bagi mereka.
Tanpa terasa mereka dituntun
tiba di depan sebuah gedung. Di depan gedung terdapat sebuah gunung-gunungan
sekelilingnya dipagari pepohonan. Sebutir lempung melayang lewat di atas kepala
mereka, cepat sekali berputar arah lalu jatuh di atas kepala Ciok-sing. Tan
Ciok-sing tahu, maksudnya supaya mereka berhenti sampai disitu saja.
In San berbisik mepet telinga
Ciok-sing: "Tempat ini dinamakan Yang-sim-tiam, di tempat inilah Baginda
Raja menerima para pembantunya, ada kalanya diapun sibuk memeriksa
dokumen-dokumen penting disini. Mungkinkah Baginda Raja ada disini?"
Tan Ciok-sing sembunyi di
belakang gunung-gunungan dengan seksama dia periksa keadaan sekitarnya.
Yang-sim-tiam adalah gedung bersusun dua, di sebelah atasnya terdapat sebuah
baicon, sinar lampu tampak menyorot disana. Bayangan orang tampak berpeta di
jendela. Sementara bayangan orang tampak mondar mandir diluar, jelas mereka
adalah jago-jago kosen pengawal raja.
Ciok-sing kembangkan Ginkang
tinggi secara diam-diam dia melompat ke atas pohon. Dia melompat ke atas sesaat
angin menghembus agak kencang sehingga daun pohon bergoyang gemerisik, tapi
dahan dimana dia hinggap sedikitpun tidak bergeming, para Wisu yang berjaga
diluar Yang-sim-tiam tiada satupun yang tahu.
Malam itu tiada rembulan,
bintang yang kelihatan juga jarang-jarang, pohon dimana dia sembunyi daunnya
rimbun, tepat untuk sembunyi. Dari atas pohon yang tinggi dia dapat melihat
keadaaan di atas loteng.
Yang berada didalam sebuah
kamar di atas loteng adalah seorang pemuda berpakaian perlente dan seorang
laki-laki setengah umur. Pemuda perlente itu bukan lain adalah Baginda Raja
yang berkuasa sekarang dan pernah bertemu dengan Ciok-sing, yaitu Cu Kian-sin.
Laki-laki setengah umur adalah komandan pasukan bayangkari Hu Kian-seng. Kungfu
Hu Kian-seng setaraf dengan kepandaian komandan pasukan Gi-lim-kun Bok Su-kiat,
dalam kalangan Bulim terhitung jago kosen juga.
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Ada orang ini di sampingnya, supaya tidak mengejutkan orang
banyak jelas tidak mungkin." Meski dirinya di tempat gelap, lawan di
tempat terang tapi dia tidak yakin dalam sekali gebrak pasti dapat membekuk Hu
Kian-seng, sesaat lamanya dia bimbang tidak berani bertindak gegabah. Di kala
dia mencari akal didengarnya sang raja telah membuka suara: "Apakah kedua
orang itu sudah masuk istana?"
Hu Kian-seng menjawab:
"Baginda ada janji, mana mereka berani datang terlambat, sudah lama mereka
masuk. Apakah perlu mengundang mereka sekarang juga?"
Istilahnya mengundang, dari
sini dapat diperkirakan bahwa kedudukan kedua orang itu tentu luar biasa.
Tergerak hati Tan Ciok-sing: "Kedua orang itu jelas bukan aku dan San,
lalu siapa?"
Terdengar sang raja berkata:
"Nanti saja biar mereka terlambat setengah jam lagi. Aku ingin membaca
laporan situasi dari laporan komandan kota Tay-tong. Entah bagaimana peperangan
yang tengah berlangsung di Gan-bun-koan?" agaknya dia ingin tahu dulu
situasi dan kondisi, baru nanti berkeputusan bagaimana bersikap terhadap utusan
rahasia negeri Watsu.
Hu Kian-seng berkata:
"Gelagatnya tidak menguntungkan. Laporan Lau-congping dari Tay-tong
dikirim dengan kuda kilat, menjelang kentongan kedua tadi baru masuk istana.
Aku sudah memeriksa dan kuletakkan di arsip¬arsip surat. Silahkan Baginda
memeriksanya."
Laporan itu khusus diselipkan
di sebuah map yang ditindih singa-singaan terbuat dari tembaga setelah Cu
Kian-sin membacanya tiba-tiba dia berseru heran. Lekas Hu Kian-seng memburu
maju ikut membaca, seketika rona mukanyapun berobah hebat.
Ternyata sepasang mata
singa-singaan tembaga itu dibuat dari dua butir mutiara, kini kedua matanya
ternyata bolong mutiaranya telah lenyap. Orang yang sengaja mengorek buta singa-singaan
tembaga ini secara langsung seperti mengolok Baginda Raja punya mata tapi buta,
atau mungkin juga menghina laporan Lau-congping dari Thay-tong akan laporannya
yang palsu.
Sebagai komandan bayangkari,
Hu Kian-seng bertanggung jawab menjaga keselamatan raja, karuan keringat dingin
berketes di atas jidatnya sesaat dia berdiri melongo. Dan yang lebih
mengejutkan lagi adalah setelah membaca surat laporan itu wajah Cu Kian-sin
tampak berubah pula, bentaknya: "Hu Kian-seng dari mana datangnya surat
laporan ini?"
Sang raja tidak mengusut
kemana hilangnya sepasang mutiara yang menjadi mata singa-singaan tembaga, tapi
tanya -asal-usul surat laporan yang sedang dibacanya sudah tentu hal ini jauh
diluar dugaan Hu Kian-seng. Sebetulnya bukan Cu Kian-sin tidak melihat atau
tidak tahu maksud orang mencukil mutiara mata singa-singaan tembaganya, tapi
surat laporan yang bermimpipun tidak pernah dia bayangkan ini, justru amat
mengejutkan hatinya.
Hu Kian-seng keheranan
katanya: "Ini., apakah bukan surat laporan Lau-congping?"
"Coba kau periksa
sendiri," sentak Cu Kian-sin.
Surat laporan dari komandan
militer kota Tay-tong itu dibungkus kain sutra kuning, bagian luarnya ditulis
dengan tinta yang bermutu paling baik, di sebelah atas kiri diberi tanda nomor
arsip dan di bawahnya terdapat tanda tangan Taykam penerima surat laporan itu
yang tembusannya dikirim balik kepada si pengirim.
Tapi kertas lempitan yang
sekarang dipegang dan dibaca Baginda ternyata dari kertas yang berkwalitet
rendah, jadi tidak memenuhi syarat sebagai surat laporan lazimnya. Sementara
itu Cu Kian-sin sudah membuka lempitan surat dengan kertas kasar itu, lekas Hu
Kian-seng menghampiri ke belakang, dari jarak yang agak jauh dia ikut membaca,
tampak kertas kasar itu ditulisi huruf-huruf besar yang bergaya kuat dan indah,
jadi tidak sesuai lagi sebagai laporan yang sudah ditentukan harus ditulis
dengan huruf-huruf kecil yang rapi dan rajin.
Hu Kian-seng kaget, serunya:
"Ini. siapakah yang menukar surat laporan ini."
Cu Kian-sin gusar, bentaknya:
"Kau tanya aku malah? Coba baca inilah surat tulisan Kim-to Cecu yang
ditujukan kepadaku."
Hu Kian-seng mendekat maju
serta membaca lebih cermat, baru sekarang dia melihat jelas baris pertama
tulisan di atas kertas kasar itu berbunyi:
"Ciu San-bin rakyat
jelata dari kaum liar berani mati menyampaikan sepatah dua kata. "
Saking kagetnya Hu Kian-seng
sampai gemetar, tiba-tiba dilihatnya di pojok sampul surat terdapat lempitan
kertas lain yang terselip di dalamnya, lekas dia melolosnya keluar begitu melihat
tulisan di atas kertas halus ini, tanpa terasa tangannya gemetar matanya
melirik, agaknya dia tidak berani dan tidak ingin kertas tulisan ini dilihat
atau diketahui oleh Sri Baginda.
Tapi Cu Kian-sin cukup tajam.
"Siapa punya? Serahkan kepadaku."
"Inilah surat laporan
Lau¬ congping yang asli, tapi..."
Belum habis dia bicara Cu
Kian-sin sudah merebut surat laporan itu dari tangannya, setelah dibeber tampak
di balik surat laporan ada huruf-huruf besar yang berbunyi demikian:
"Jerih melihat musuh
seperti berhadapan dengan harimau, pandai membual lagi. "
Cu Kian-sin membeber surat
laporan komandan militer kota Tay-tong dan surat lempit Kim-to Cecu di atas
meja lalu dicocokkan satu dengan yang lain. Hu Kian-scng melayani dari samping,
tampak junjungannya kadang mengerutkan alis, kejap lain berseri tawa lalu
manggut-manggut, adakalanya mcnepekur sekian lamanya seperti sedang memikirkan
sesuatu, tiba-tiba mengetuk meja serta bernyanyi-nyanyi kecil entah apa yang
sedang dipikir dalam benaknya. Yang terang sikapnya kelihatan kaget, senang dan
lega, namun dalam rasa senangnya terselip juga rasa risau dan masgul.
Walau Tan Ciok-sing tidak tahu
apa isi surat itu, tapi dia mcmbadek Kim-to Cecu pasti memberi nasehat dan
memberi pengarahan situasi dan kondisi dalam negeri, membeber seluk beluknya
serta menggambarkan bagaimana Sri Baginda harus bertindak.
dinasehatinya pula supaya dia
tidak menyerah atau minta damai terhadap pihak Watsu. Dalam hati Ciok-sing
membatin: "Bila dia mau mendengar nasehat Kim-to Cecu kali ini kurasa
tidak perlu aku menemuinya secara langsung."
Tengah berpikir, dilihatnya Cu
Kian-sin sudah angkat kepala, wajahnya masih mengulum senyum katanya kepada Hu
Kian-seng: "Beritanya sih lumayan."
"Berita tentang
apa?" tanya Hu Kian-scng.
"Pihak Kim-to Cecu
mendapat kemenangan gilang gemilang dalam pertempuran di luar
Gan-bun-koan."
Hu Kian-seng heran, katanya:
"Tapi dalam laporan Lau-congping..."
"Kemenangan dicapai oleh
pihak Kim-to Cecu jadi tiada sangkut pautnya dengan Lau-congping. Sudah jelas
bahwa laporan Lau-congping ini, hm, huh, memang betul membual dan menjilat
belaka, situasi digambarkan sedemikian jelek dan buruk."
Hu Kieng-seng berkomentar:
"Dari tanggalnya kedua surat ini dikirim dalam waktu yang sama, jadi tidak
mungkin dalam satu tempat dan waktu yang sama, pihak Watsu sama-sama menghadapi
dua peperangan besar. Dan lagi dinilai keseluruhan dari peperangan itu, yang
satu bilang menang gilang gemilang, yang lain justru bijang kalah total, ini,
ini..."
"Lau-congping berhadapan
dengan musuh seperti melihat harimau, ini memang benar, jadi laporannya ini
terang palsu dan membual, dia mengharap Tim selekasnya mengirim bantuan tentara
dan rangsum." Diluar kesadarannya dia gunakan istilah Kim-to Cecu dalam
mencemooh perbuatan Lau-congping. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Cu
Kian-sin lebih percaya kepada laporan Kim-to Cecu dari laporan dinas Komando
militer kota Tay-tong.
Sampai disini, mau tidak mau
hati Tan Ciok-sing amat girang, pikirnya: "Gelagatnya raja muda ini masih
tidak terlampau bejat."
Tak nyana tiba-tiba,
didengarnya Cu Kian-sin menggumam dengan melamun: "Yang Tim kuatirkan
justru kelanjutan dari peperangan ini." Kiriman surat Kim-to Cecu dia
simpan, sementara surat laporan Komandan militer kota Tay-tong dia remas-remas
lalu dilempar ke tempat sampah akhirnya dia menghela napas panjang. Walau dia
tidak melanjutkan perkataannya tapi Hu Kian-seng pandai melihat sikap dan rona
muka orang menebak isi hatinya, diam-diam dia sudah tahu kemana kiblat pikiran
junjungannya.
Hu Kian-seng yang sudah
kelihatan tak berani banyak bersuara ini diam-diam bersorak dalam hati,
katanya: "Baginda cekatan bertindak dan bijaksana dalam menentukan sikap,
Hamba ada pendapat yang mungkin kurang enak didengar kuping, sebelumnya mohon
Baginda memberi ampun."
"Bukankah Tim sudah lama
bilang kepadamu," demikian ujar Cu Kian-sin. "Tim memang memerlukan
usul dan pendapat para pembesar jujur dan baik hati. boleh kau katakan
saja."
"Harap Baginda periksa
dan pikirkan, pasukan negeri kalah perang sebaliknya kaum berandal mencapai
kemenangan di medan laga kukira hasilnya tidak akan membawa untung bagi
Baginda."
"Pcndapatmu memang tepat.
Memang itulah yang Tim kuatirkan," ujar Cu Kian-sin. "Memang Kim-to
Cecu akan membantuku dengan setia bila Tim mau kerahkan pasukan besar negeri
mengusir penjajah. Namun Tim masih sangsi akan kesetiaan dan kejujurannya. Dan
masih ada lagi. Walau kali ini dia mendapat kemenangan besar siapa tahu lain
kali..." •
"Betul." timbrung Hu
Kian-seng, "kalah menang di medan laga adalah kejadian logis, umpama benar
Kim-to Cecu dapat menang perang betapapun dia adalah brandal yang menduduki
satu pegunungan sebagai daerah kekuasaannya melulu, anak buahnya tidak lebih
adalah kelompok campur aduk yang tidak karuan kalau bertempur sungguhan, mana
mereka mampu menghadapi pasukan Watsu yang bersenjata lengkap? Kalau kita
mengandal kekuatan kaum berandal ini, bila pihak Watsu mengerahkan seluruh
kekuatan perangnya dan berhasil menumpas mereka, bukankah posisi kita serba
repot dan runyam? Dalam keadaan kepepet seperti itu, mana mungkin mereka mau
menerima permintaan damai kita." Maklum Hu Kian-seng sudah disogok dan
memperoleh banyak keuntungan dari duta Watsu, begitu ada kesempatan maka dia
membesarkan kekuatan musuh dan meruntuhkan semangat juang pihak sendiri.
"Lalu bagaimana menurut
pendapatmu?" Tanya Cu Kian-sin.
"Menurut pendapat hamba
yang bodoh, mumpung memperoleh sedikit kemenangan ini kita adakan kontak dengan
Watsu mengajaknya berunding, syarat yang kita ajukan mungkin bisa lebih
menguntungkan bagi kepentingan
kita."
Cu Kian-sin menepekur sejenak,
katanya kemudian: "Setelah menemui, utusan rahasia pihak Watsu, sebetulnya
Tim akan merundingkan persoalan ini kepada pembesar lainnya dalam sidang
balairung besok pagi. Kalau begitu baiklah kita laksanakan sesuai rencana
semula."
"Betul. Mari kita lihat
sikap dan pendapat utusan rahasia Watsu ini bagaimana kenyataan dari hasil
peperangan di luar Yan-bu-koan. Baginda akan dapat mengambil kesimpulan lebih
jelas dari mulut mereka. Apakah sekarang juga kita undang mereka kemari?"
"Baiklah, lekas kau suruh
orang mengundang Tiangsun Co kemari."
Baru sekarang Tan Ciok-sing
tahu, "kiranya Tiangsun Co datang pula sebagai utusan rahasia. Maka
seorang lagi yang akan diundang Baginda pasti adalah Milo Hoatsu."
Pada hal Hu Kian-seng masih
berada di atas loteng, bila kedua jago kosen dari Watsu itu sudah tiba,
bagaimana mungkin dia bisa berhadapan langsung dengan Sri Baginda. Tengah dia
bimbang, dilihatnya Hu Kian-seng melongokkan kepalanya
memandang keluar jendela.
Ternyata Hu Kian-seng
mendengar seseorang memanggil namanya, suaranya seperti mengambang dan tidak
diketahui arah datangnya, sayup-sayup lagi seperti ada tapi juga tiada, entah
itu suara manusia atau teriakan setan, tanpa sadar berdiri bulu kuduknya.
Melihat sikap dan rona muka
orang agak ganjil Cu Kian-sin bertanya: "Hu Kian-seng, apa yang kau lihat
diluar?"
Setelah tersirap lekas Hu
Kian-seng tenangkan hati, katanya: "Tidak apa-apa. Hamba ingin memeriksa
keadaan diluar, akan kukerahkan tenaga untuk memperkuat penjagaan diluar."
Diam-diam dia curiga
kemungkinan Tan Ciok-sing secara sembunyi-sembunyi telah
menyelundup masuk ke istana
pula. Di samping kuatir sang raja tidak berani menanda tangani surat perjanjian
damai itu, tadi dia sudah kebacut omong besar, bila Tan Ciok-sing betul-betul
menyelundup ke Yang-sim-tiam ini, pamor dan kedudukannya sebagai komandan
pasukan Bayangkari ini sih boleh tidak usah dipikirkan, celaka bila Sri Baginda
menjatuhkan vonis berat akan kesalahannya.
Karena itu bila betul Tan
Ciok-sing menyelundup masuk, sebelum dia menerjang kedalam Yan-sim-tiam dia
sudah harus membekuknya. Sudah tentu dia juga tahu bahwa In San pasti datang
bersama Tan Ciok-sing, tapi dia yakin tenaga yang dia sebar di sekitar
Yang-sim-tiam cukup kuat untuk menghadapi In San maka dia tidak perlu takut
bila Tan Ciok-sing memancingnya keluar meninggalkan tempat tugasnya.
Cu Kiam-sin berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Bolehlah kau memeriksa keadaan diluar. Sudah saatnya
Koksu dari Watsu dan Tiangcun Pwecu tiba disini, boleh kau wakili Tim menyambut
kedatangan mereka."
Hu Kian-seng memanggil dua
Wisu pembantunya masuk serta berpesan kepada mereka, "Aku akan keluar
menyambut kedatangan utusan Watsu, kalian disini hati-hati menjaga keselamatan
Baginda. Kedua Wisu ini yang satu bernama Pek Ting, Ciangbunjin dari
Eng-jiau-bun sekte utara. Seorang lagi bernama Kiang Swan, jago kosen yang
liehay dalam permainan Pat-kwa-ciang. Kedua orang ini merupakan jago-jago top
di kalangan Wisu di istana raja, taraf Kungfu mereka hanya setengah urat di
bawah Hu Kian-seng, boleh dikata termasuk jago di antara jago. Dengan adanya
mereka berada di samping sang raja, betapapun cukup kuat hanya untuk menghadapi
In San seorang, maka dengan lega hati Hu Kian-seng berlalu.
Baru saja dia keluar dan belum
jauh meninggalkan Yang-sim-tiam, tiba-tiba didengarnya suara "Seeer"
yang lirih, mata kuping Hu Kian-seng setajam radar, kontan dia mengayun tangan
memukul dengan Bik-khong-ciang, sebutir lempung kena dipukulnya hancur tapi
mukanya kecipratan beberapa lempung lembut. Sebagai seorang ahli silat, sudah
tentu dia tahu kalau lempung tadi ditimpukkan oleh seorang ahli senjata
rahasia.
Dia kira pembokong itu adalah
Tan Ciok-sing, karuan hatinya gusar, pikirnya: "Kau keparat ini berani
mempermainkan aku." Dia tidak ingin membuat ribut-ribut membuat kaget sang
junjungan maka tanpa bersuara segera dia menubruk ke arah datangnya lempung.
Beruntun orang itu menimpuk tiga kali Hu Kian-seng selalu gagal menemukan
jejaknya. Tanpa terasa dia dipancing semakin jauh meninggalkan Yang-sim-tiam.
Karena tidak mendapat petunjuk
selanjutnya dari orang itu, Tan Ciok-sing sedang berpikir apakah perlu sekarang
dia menerjang kedalam Yang-sim-tiam, tiba-tiba dilihatnya dua orang telah
muncul diluar Yang-sim-tiam. Sinar lampu yang menyorot keluar dari
Yang-sim-tiam cukup benderang, maka Tan Ciok-sing yang sembunyi di atas pohon
dapat melihat jelas. Yang jalan di depan adalah seorang Taykam, dia bukan lain
adalah samaran In San. Tapi yang berjalan di belakang ternyata mengenakan
pakaian seragam bangsa Watsu, dia bukan lain adalah utusan rahasia pihak Watsu,
yaitu Tiangsun Co. Tiga bulan yang lalu Ciok-sing pernah bertemu dengan dia,
maka dia masih kenal tampangnya.
Mau tidak mau Ciok-sing heran.
Bagaimana bisa In San berada di samping Tiangsun Co? Sudah tentu cepat sekali
dia sudah menduga mungkin Tiangsun Co yang ini adalah samaran Han Cin? Tapi Han
Cin bersama ln San waktu menyelundup ke istana tadi sama-sama menyamar jadi
Taykam. Dalam waktu sesingkat ini dari mana dia bisa memperoleh seragam pakaian
orang Watsu? Apalagi pakaian kebesaran seorang Pwecu? Di saat hatinya bimbang
dan bertanya-tanya sementara In San bersama Tiangsun Co sudah tiba di depan
Yang-sim-tiam.
Dugaan Tan Ciok-sing memang
tidak meleset, yang menyamar Tiangsun Co bukan lain adalah Han Cin.
Ternyata diluar tahu Tan
Ciok-sing, In San dan Han Cin yang sembunyi di belakang gunung-gunungan telah
disambit sebutir malam bundar, setelah malam bundar itu dipecah, di dalamnya
ada segulung lempitan kertas, setelah dibeber tampak kertas kecil itu
bertuliskan empat patah kata:
"Masuk gua ganti pakaian.
"
Itulah pesan orang yang
memberi petunjuk jalan.
Tanpa ragu In San dan Han Cin
menyelinap kesana memasuki gua, didalam gua memang ada seperangkat pakaian.
Setelah diambil dan diperiksa, In San berkata: "Han-cici bukankah ini
seragam pakaian orang Watsu?"
Han Cin cukup cerdik, segera
dia paham, katanya: "Orang itu suruh aku menyaru Tiangsun Co."
000ooo000
Perawakan Tiangsun Co termasuk
pendek di kalangan Bangsa Watsu yang kekar besar. Tapi badannya masih lebih
tinggi dari Han Cin. Tapi ditumpukan pakaian ini terdapat sepasang sepatu slop
yang berukuran tinggi, di dalamnya disumbat kapas. Bila Han Cin memakai sepatu
ini, maka tinggi badannya kira-kira sebanding dengan Tiangsun Co.
Kepandaian merias Han Cin
sekarang mungkin susah dicari bandingannya di dunia, dibalik pakaiannya dia
sumbat lagi dengan gumpalan kapas sehingga tubuhnya kelihatan lebih besar,
sehingga samarannya lebih mirip lagi. Selalu dibawanya bahan-bahan keperluan
rias lagi, segera dia ganti pakaian serta merias diri sendiri dibantu In San
pula, maka sekejap saja dia sudah ganti rupa menjadi Tiangsun Co sungguhan,
katanya tertawa: "Adik In, mirip tidak samaranku?"
"Jikalau tidak diamati
dengan teliti siapapun takkan bisa membedakan, sekarang malam gelap lagi, yakin
kawanan Wisu itu akan bisa dikelabui."
Dugaan memang tidak meleset,
ada empat Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam, satu di antaranya pernah
melihat Tiangsun Co, namun juga hanya melihat sekali saja, ternyata dia memang
tidak curiga. Diluar dugaannya kawanan Wisu itu memang tidak curiga kepada
Tiangsun Co palsu, tapi justru curiga terhadap dirinya. Siapa-siapa Thaykam
kecil yang selalu berada di samping raja mereka tahu jelas dan kenal baik,
sebaliknya Thaykam yang disamai" oleh In San, selama ini mereka tidak
kenal dan belum pernah lihat. Pada hal urusan hari ini betapa penting artinya,
Bong Tit kepala dari para Thaykam kenapa justru mengutus Thaykam kecil yang
masih asing?
Tapi mereka hanya curiga saja,
tidak berani menegur apa lagi memastikan bahwa Thaykam kecil ini adalah
mata-mata yang menyelundup dari luar. Maka Wisu yang pernah melihat Tiangsun Co
itu maju menyapa: "Harap Pwelek tunggu sebentar." Lalu dia menoleh
dengan dingin dia tanya kepada I n San: "Agaknya kami belum pernah
melihatmu, apakah Bong-kokong ada memberi tanda bukti melaksanakan tugas kepada
kau?
Kau harus tahu siapapun malam
ini yang mau memasuki Yang-sim-tiam harus memiliki medali tembaga."
Untung In San sudah siap,
segera dia keluarkan kipas lempit bergagang emas itu serta digoyang-goyang,
katanya: "Coba kalian periksa dengan teliti apakah kipas ini tidak lebih
berharga dari lencana tembaga Bong-kokong?"
Kipas gagang emas ini adalah
kipas yang diberikan oleh sang raja kepada Siau-ong-ya dari Watsu tiga bulan
yang lalu. Di atas kipas ada lukisan kembang Cu Kian-sin serta sajak ciptaannya
pula. Waktu dihadiahkan kepada pangeran kecil Watsu itu, Cu Kian-sin ada
membubuhi cap dan tanda tangannya. Sudah tentu kawanan Wisu itu tiada yang tahu
akan pemberian kipas ini, tapi mereka kenal cap dan tanda tangan junjungan
mereka. Kipas pribadi yang dibubuhi cap tanda tangan sang raja di tangan In
San, sudah tentu jauh lebih kuat dan terpercaya dari pada lencana tembaga
Bong-kokong, kawanan Wisu tidak berani mempersulit dirinya.
Maklum jumlah Thaykam di
istana ada ribuan, sudah tentu kawanan Wisu itu tidak mungkin kenal seluruhnya.
Wisu itu kira In San adalah Thaykam kecil yang belakangan ini mendapat
kepercayaan sang raja, mana berani dia merintangi?
Mendengar utusan Watsu telah
tiba agaknya Cu Kian-sin melengak, katanya: "Lho cepat sekali kalian
datang, kenapa Hu-congkoan tidak kelihatan."
Dua Wisu yang melindungi sang
raja yaitu Pek Ting dan Kiang Swan jadi curiga, Pek Ting berkata:
"Bukankah Baginda menyuruh dia menyambut mereka, mungkin mereka tidak
bertemu di tengah jalan?"
Cu Kian-sin berkata:
"Tiangsun Pwelek Tim pernah melihatnya kurasa siapa punya nyali sebesar
itu berani menyaru dirinya."
ln San serahkan kipas itu
kepada Han Cin, sambil menggoyang kipas Han Cin segera berlenggang naik ke
loteng serunya: "Tiangsun Co, mohon bertemu dengan raja junjungan dynasti
Bing." Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, di markas itu ada
tawanan orang Watsu maka dia meniru logat orang Watsu bicara dalam bahasa Han,
tiruannya ternyata mirip delapan puluh persen. Sudah tentu logat suara Tiangsun
Co tidak pernah diperhatikan oleh Cu Kian-sin, cuma lapat-lapat dia masih kenal
bentuk wajahnya, namun dalam waktu sesingkat ini mana bisa dia membedakan
apakah ini barang tulen atau palsu? Tapi melihat kipas emas itu, segera dia
teringat akan kejadian yang menyenangkan dulu sehingga dia hadiahkan kipasnya
itu kepada pangeran kecil bangsa Watsu.
Melihat kipas itu hatinya
terasa riang dan bangga, pikirnya: "Agaknya kipasku itu sengaja diserahkan
kepada Tiangsun Co untuk diperlihatkan di hadapanku bahwa mereka menghargai
karyaku, sungguh harus dipuji." Dia kira orang sengaja menaruh hormat dan
menghargainya maka cara ini memang amat berhasil dari pada menjilat dengan
kata-kata.
Pepatah ada bilang kau
menghargai aku satu kaki, aku menghormatimu satu tombak, apalagi Cu Kian-sin
memang sudah sejak mula merasa jeri terhadap orang Watsu, sekarang dia anggap
dirinya sebagai raja dari negeri yang lemah menyambut kedatangan utusan besar
negeri kuat, maka bergegas dia berdiri, katanya: "Dalam jangka tiga bulan
Pwelek harus pulang pergi menempuh perjalanan jauh, sungguh melelahkan. Tidak
usah sungkan silahkan duduk, silahkan duduk."
Melihat sang raja menyambut
dengan riang dan mengucapkan kata-kata yang meyakinkan sudah tentu Pek Ting dan
Kiang Swan tidak berani curiga lagi bahwa Pwelek yang satu ini tiruan?
Tersipu-sipu mereka menarik kursi membersihkan meja lalu memberi hormat
menyilahkan tamunya duduk.
Dalam pada itu pintu kamar
telah tertutup. Baru sekarang Cu Kian-sin sempat melihat In San adalah Thaykam
yang asing dan belum pernah dilihatnya, namun dia tidak ambil di hati, dia kira
Thaykam ini adalah pembantu setia dan terpercaya dari Bong Tit, melihat
bibirnya merah giginya putih rapi, hatinya agak senang dan ketarik katanya:
"Baiklah disini tiada urusanmu, kau boleh keluar."
In San mengiakan maju dua
langkah memberi hormat, tiba-tiba tangannya bergerak membalik menutuk Hiat-to
Pek Ting. Dalam waktu yang sama Han Cin juga telah menutuk Hiat-to Kiang Swan
dengan kipas lempitnya itu.
Kungfu kedua orang ini
sebetulnya tidak lebih asor dari mereka, soalnya mereka sedang membungkuk,
mimpipun tidak pernah menyangka, bahwa utusan Watsu ini bakal turun tangan
membokongnya, mana mereka bisa menghindar, tanpa mengeluarkan suara keduanya
roboh terkulai.
Sudah tentu kejadian membuat
Cu Kian-sin kaget setengah mati, mukanya pucat, "Ka... kalian si..."
Demikian katanya tergagap.
Sebelum 'siapa' sempat
diucapkan, In San sudah terima kipas lempit itu dari tangan Han Cin terlis
dibeber di depan mata Cu Kian-sin, katanya dengan tersenyum: "Apakah
Baginda masih ingat janji pertemuan denganku dulu? Mohon maaf Bin-li (perempuan
jelata) datang terlambat beberapa hari. Kuharap Baginda tidak bicara
keras-keras."
Kipas itu ada lukisan dan
sajak tulisan Cu Kian-sin tapi di sebetahnya ada tulisan tangan Tan Ciok-sing
pula yang berbunyi:
"Janji liga bulan, harap
Baginda selalu ingat. Mengingkari janji dan kebenaran, tidak terampunkan oleh
yang Kuasa. "
Sebelum meninggalkan istana
tempo hari Tan Ciok-sing pernah meninggalkan pesannya ini di hadapan Cu
Kian-sin sebagai peringatan tegas. Mana Cu Kian-sin berani melupakan melihat
huruf-huruf besar di balik kipas itu hatinya gugup seketika.
"Lalu dia ini..."
Matanya melirik ke arah Han Cin, baru sekarang dia sadar, makin diamati
Tiangsun Co yang satu ini agak berbeda dengan Pwelek yang pernah dilihatnya
tiga bulan yang lalu, tapi juga tidak mirip Tan Ciok-sing.
In San berterus-terang,
katanya: "Dia ini bukan Tiangsun Pwelek, dia adalah teman baikku nona
Han."
Lega sedikit hati Cu Kian-sin,
pikirnya: "Pemuda itu tidak datang syukurlah."
"Nona In, kakekmu pernah
membuat pahala besar bagi negara, ayahmupun menjadi pembesar teladan,
keluargamu adalah keluarga pembesar setia bagi kerajaan, Tim tidak pernah
melupakan jasa-jasa baik keluargamu. Ada persoalan apa boleh kau bicarakan di
depanku, silahkan duduk."
"Memang ada persoalan
yang ingin kubicarakan dengan kau maka aku datang pula kemari." Tawar
suara In San. "Umpama aku mau membunuhmu sekarang, semudah aku membalikkan
telapak tanganku saja?"
Setelah lenyap rasa kagetnya
hati Cu Kian-sin menjadi tenang dan mantap, pikirnya: "Bila kau tidak
menbunuhku urusan sih gampang diselesaikan, maka dengan suara lembut dia
berkata: "Baik apa yang ingin kau utarakan, boleh kau kemukakan di hadapan
Tim, Tim pasti menuruti kehendakmu."
"Apa yang perlu kukatakan
didalam surat Kim-to Cecu sudah dijelaskan, sekarang tergantung sikap Baginda
apakah kau mau menerima nasehat baiknya."
"Peperangan adalah urusan
negara, menyangkut kehidupan urat nadi bangsa dan tanah air, soal ini kukira
Tim masih harus berpikir secara cermat."
"Kami sudah memberi waktu
tiga bulan untuk kau berpikir panjang, seorang laki-laki harus berani
berkeputusan dalam sepatah kata, apalagi kau adalah raja yang berkuasa, apa
pula yang membuatmu bimbang..." Belum habis dia bicara tiba-tiba
dilihatnya mimik Cu Kian-sin agak ganjil seperti hendak menekan atau
menyembunyikan perasaan, tapi perasaan kaget dan senang itu tak kuasa dia
tutupi. Tergerak hati ln San, mendadak dirasakan angin berkesiur ada orang
membokong di belakangnya.
Pembokong ini adalah Pek Ting
yang tadi telah ditutuk Hiat-tonya, ternyata Lwekang Pek Ting memang tangguh,
tadi In San kurang teliti menutuk tidak dengan Jong-jiu-hoat, setelah mengatur
napas dan mengerahkan Lwekang ternyata Pek Ting berhasil membebaskan tutukan
jalan darahnya.
Sedikitpun In San tidak siaga,
sergapan ini sebetulnya takkan bisa dia hindarkan, untung dia melihat mimik
muka Cu Kian-sin aneh otaknya cukup cerdik lagi, meski belum tahu apa yang
bakal terjadi secara reflek dia menggeser ke samping.
Dia berhadapan dengan raja
berarti membelakangi Pek Ting. Cengkraman Pek Ting memang mengincar tulang
pundaknya.
kalau Bi-ba-kut kena
dicengkram ilmu silatnya yang pernah diyakinkan In San akan punah seketika.
Gerakan menghindar ke samping tanpa sengaja justru tepat dan berhasil
menyelamatkan dirinya. "Krak" jari-jari Pek Ting mencengkram bolong
meja. Karena serangan luput, sigap sekali dia sudah membalik seraya mencengkram
ke arah Han Cin. Pek Ting adalah Ciangbunjin Eng-jiau-bun sekte utara,
Kim-na-jiu-hoat yang diyakinkan jarang ketemu tandingan di Bulim. Melihat jari
lawan sekuat baja, mau tidak mau Han Cin tersirap kaget.
Cepat sekali In San sudah
memutar tubuh, pedang sudah terlolos terus menusuk. "Wut, wut" dua
kali gerakan tangan Pek Ting menderu menyerang untuk membela diri Han dan In
kena didesak mundur beberapa langkah. Setelah mendengus baru saja dia hendak
berteriak, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaku seperti kena sihir saja berdiri
mematung, kedua tangannya bergaya seperti hendak mencengkram, wajahnya beringas
dengan mulut menyeringai, keadaannya kelihatan lucu menggelikan.
Tiada angin, tiba-tiba daun
jendela terbuka sendiri, sesosok bayangan laksana panah tiba-tiba menyeplos
masuk. Pendatang ini adalah Tan Ciok-sing. Sembunyi di atas pohon dari
ketinggian dia dapat melihat jelas keadaan didalam rumah. Melihat Pek Ting
menyergap dari belakang In San segera dia bertindak, sebelum tubuhnya menerjang
masuk senjata rahasianya telah bekerja, senjata rahasia yang digunakan adalah
biji buah yang baru dipetiknya di atas pohon.
Gerakan Ciok-sing cepat dan seenteng
daun melayang, dari pohon dia meluncur kedalam rumah tanpa mengeluarkan suara.
Sehingga kawanan Wisu yang jaga di bawah tiada satupun yang memergoki
perbuatannya. Tapi suara ramai di atas loteng, mereka sih sudah mendengarnya.
Mereka tidak tahu apa yang
terjadi di atas loteng, namun mereka tahu bahwa Baginda sedang berunding dengan
utusan rahasia negeri Watsu, jikalau mereka tidak diminta naik ke loteng,
betapapun mereka tidak berani gegabah bertindak. Seorang Wisu berkata
bisik-bisik: "Agaknya orang Watsu berangasan dan kasar, karena gusar
Baginda mendebatnya sehingga terjadi perang mulut. Suara tadi mirip orang yang
menggebrak meja. Entah Baginda atau orang Watsu tadi yang menggebrak
meja?"
Wisu lain berkata: "Kalau
demikian kurasa tidak perlu kita risaukan."
Wan Giap adalah Wisu tertua
didalam pasukan bayangkari yang bertugas di istana, sudah puluhan tahun dia
setia kepada kerajaan, sejenak dia berpikir, lalu katanya: "Jikalau
Baginda yang dihina orang Watsu, kurasa kita tidak boleh berpeluk tangan.
Hu-congkoan tidak berada disini, umpama terjadi sesuatu diluar dugaan siapa di
antara kita yang harus bertanggung jawab. Menurut hematku, satu di antara kita
perlu naik melihat keadaan."
Tiga Wisu temannya cuma
menggeleng, katanya: "Mencuri dengar perundingan" Baginda dengan
utusan Watsu bisa dihukum mati, jikalau kau berani menanggung akibatnya boleh
kau saja yang naik." Seorang lagi bicara: "Justru karena Hu-congkoan
tidak disini, kami tidak berani sembarangan bertindak tanpa mendapat
perintahnya. Wan toako, kau berani, boleh kau mewakili kami naik ke atas. Ai,
kami memang bernyali kecil yang kami harapkan hanya selamat, aku tidak ingin
mengejar jasa."
Wan Giap yakin dirinya adalah
Wisu tertua yang biasa mendapat kepercayaan dan disayang raja, terhadap sang
junjungan dia memang amat setia, makin dia pikir hatinya makin kuatir, akhirnya
dia menepuk dada, katanya: "Baiklah biar aku naik ke atas."
Setelah menutuk Hiat-to kedua
Wisu pula, lekas Tan Ciok-sing membalik tubuh merenggut Cu Kian-sin serta mengancam:
"Aku tidak bermaksud jahat kepada Baginda, tapi Baginda harus bertindak
menurut petunjukku. Jikalau satu di antara kami ada yang cidera akupun tidak
akan menjamin keselamatan Baginda.
Saking ketakutan dan kaget
muka Cu Kian-sin pucat pasi, katanya gemetar: "Baiklah aku mendengar
petunjuk Hiapsu." Biasanya dia yang memberi perintah, kapan dia pernah
tunduk kepada orang lain, selama hidup mungkin baru sekali ini dia bilang mau
menerima petunjuk orang lain.
Tanpa sungkan Tan Ciok-sing
segera berbisik di pinggir telinganya memberi petunjuk apa-apa. Pada saat
itulah terdengar derap langkah naik ke atas, Wan Giap si Wisu tua telah naik ke
atas loteng. Meski bernyali besar, namun Wan Giap tidak berani gegabah.
Didengarnya Cu Kian-sin membentak: "Siapa diluar?" Mana dia berani
mendorong pintu, tersipu-sipu dia berlutut diluar pintu serta berseru:
"Hamba Wan Giap sengaja naik kemari untuk melayani Baginda."
Cu Kian-sin membentak:
"Kau adalah Wisu tertua, kenapa masih tidak tahu aturan. Tanpa Tim yang
mengundang untuk apa kau kemari. Mengingat jasamu selama ini setia dan berbakti
kepada kerajaan, kali ini tidak kutimpakan hukuman kepadamu lekas menggelinding
ke bawah."
Wan Giap berkeringat dingin,
tersipu dia mengiakan terus merangkak turun ke bawah loteng. Meski kaget den
ketakutan namun hatinya lega. Karena dia sudah mendengar suara junjungannya
jelas bahwa sang raja tidak kurang suatu apa. Pada hal suara makian Cu Kian-sin
juga gemetar. Tapi karena Wan Giap sendiri juga gemetar mana dia memperhatikan
secermat itu.
Kalau hati Wan Giap sudah
lega, adalah perasaan Cu Kian-sin makin tertekan. Pada hal Tan Ciok-sing paling
dia takuti, lalu apa yang akan dilakukan Tan Ciok-sing pada dirinya?
Tan Ciok-sing membimbingnya
duduk, lalu memberi hormat, katanya: "Aku terlambat beberapa hari, mohon
Baginda memaafkan."
Walau hanya penghormatan biasa
sebagaimana lazimnya yang terjadi di kalangan rakyat jelata, Cu Kian-sin merasa
lega juga, pikirnya: "Gelagatnya mereka tidak bermaksud jahat terhadap
Tim." Katanya: "Hiapsu tidak usah banyak adat, Tim tidak akan
menyalahkan kau. Entah kedatangan Hiapsu kali ini..." Kalem suara Tan
Ciok-sing:
"Percakapanmu dengan nona
In tadi sudah kudengar jelas, kedatanganku kali ini hanya mengulang pertanyaan
lama. Apakah harus angkat senjata melawan serbuan Watsu atau akan minta damai
kepada mereka, apakah kau masih belum memutuskannya?"
Cu Kian-sin tertunduk diam,
hatinya berpikir: "Kenapa utusan Watsu belum juga tiba, Hu Kian-seng
kenapa pergi begini lama?" Pada hal setengah jam lebih lewat.
Tan Ciok-sing berkata lebih
lanjut: "Kuharap Baginda tidak banyak curiga. Jikalau Kim-to Cecu ingin
jadi raja, kenapa di saat pasukan Watsu menyerbu ke Tay-tong dia angkat senjata
melawannya, tidak mengalihkan sasarannya merebut tahta kerajaan, pada hal
kekuatannya ibarat telur menumbuk batu, betapa besar korban yang telah
dideritanya? Kini mereka terpencil diluar Gan-bun-koan tapi masih gigih melawan
musuh demi kemerdekaan nusa dan bangsa."
"Harap Baginda berpikir
lebih cermat, mungkin Baginda berpendapat, minta damai dan terima dihina dapat
bertahan hidup sementara sebaliknya menurut pendapatku, bangsa Watsu liar dan
punya ambisi besar mereka tidak akan memberikan kehidupan tentram dan sejahtera
kepadamu.
kepada rakyat jelata yang
hidup tertindas 'dalam kemiskinan. Bila tiba saatnya mereka menyusun kekuatan
besar menyerbu datang mungkin singgasana Bagindapun takkan bisa dipertahankan
lagi. Dari pada Baginda dihina dan ditipu oleh bangsa Watsu, mumpung sekarang
ada kesempatan untuk mencapai kemenangan kenapa tidak kau bangkit
melawannya."
Pidato Tan Ciok-sing memang
tidak enak bagi pendengaran sang Raja, tapi tepat mengorek penyakit hati Cu
Kian-sin, rasa curiganya terhadap Kim-to Cecu rada berkurang. Di samping itu
dia memang merasa keki dan penasaran melihat sikap pongah orang-orang Watsu
meski dia bukan seorang raja besar yang memiliki kemampuan besar pula, tapi
juga bukan raja lalim yang terlalu ceroboh, mendengar anjuran Tan Ciok-sing
semangat terbakar jiwa patriotnya bangkit. Akhirnya Cu Kian-sin
manggut-manggut, katanya: "Utusan Watsu sebentar lagi akan tiba, baiklah
Tim akan menerima petunjuk."
"Bagaimana pula persoalan
Liong Bun-kong?" Tanya In San.
"Tim tahu dia adalah
musuhmu, besok juga Tim akan pecat dia dari semua jabatan."
"Bangsat tua itu
merugikan rakyat dan negara, tujuanku bukan melulu untuk menuntut balas sakit
hati pribadi. Hukuman yang Baginda jatuhkan kepadanya kurasa terlalu
ringan."
"Lalu bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Tolong Baginda memberi
surat kuasa kepadaku, biar aku yang membekuk bangsat tua itu." Ujar In
San.
Cu Kian-sin masih ragu-ragu
tapi akhirnya dia terima permintaan In San.
Semula dia masih ingin
melindungi dan mempertahankan Liong Bun-kong tapi setelah dipikir lebih
mendalam, bila kepala Liong Bun-kong terpenggal tapi dapat meredakan kemarahan
masai bukankah ada manfaatnya juga bagi dirinya. Maka dia berkata: "Baik,
boleh kau susun redaksinya nanti Tim yang tanda tangan dan dibubuhi cap
pula." Dalam kamar itu tersedia lengkap peralatan tulis, hanya beberapa
kejap In San sudah rampung menulis surat kuasa itu.
Pada saat itulah diluar
tiba-tiba terjadi keributan.
Seorang membentak:
"Kurang ajar, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek, lalu siapa Tiangsun
Pwelek?" Ucapan bahasa Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang
dan nyata bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang tulen.
Suara seorang yang lain
kedengaran amat jelek, seperti gesekan benda logam: "Kalian sedang apa
disini? Hayo tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm siapa berani
menghadangku?" Yang bicara bukan lain adalah Koksu negeri Watsu, Milo
Hoatsu adanya. Sengaja dia mau pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya
mendengung keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak telinganya.
Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing
sudah termakan oleh Cu Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya
menjadi gugup dan gelisah. Tapi diapun merasa heran: "Kemana sih Hu
Kian-seng yang membawa mereka kemari?"
In San berkata: "Baginda
tidak usah gugup biar kami yang menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak
berani bertingkah di hadapan Baginda."
000ooo000
Bagaimana In San akan melayani
utusan Watsu, baiklah kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu
Kian-seng.
Mengudak jago kosen yang
mempermainkan dirinya, tanpa terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok
Sia-hoa wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu Kian-seng
adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia sadar, pikirnya: "Kungfu Tan
Ciok-sing pernah kusaksikan. Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak
lemah. Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba orang yang
mempermainkan aku bukan dia."
Mau tidak mau hatinya jadi
tidak tentram. "Walau aku sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut
dipancing dari tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung dengan
ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-sim-tiam, Pek Ting dan Kiang Swan
jelas bukan tandingan mereka. Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah
tiba di Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo Hoatsu pasti
dapat menghadapi mereka."
Tengah dia kebingungan
sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.
Milo Hoatsu berkaok-kaok
sambil berlari, pada hal mereka belum tiba di Yang-sim-tiam. Tapi Hu Kian-seng
dapat membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo Hoatsu sedang
menuju ke Yang-sim-tiam.
Milo Hoatsu memaki dengan
bahasa Mongol sayup-sayup Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata,
karena pulang pergi dia memaki: "Kurang ajar." Karuan
Hu Kian-seng melengak heran,
pikirnya: "Siapa yang berani berbuat kurang ajar kepada mereka?"
Karena tidak tentram, Hu
Kian-seng tidak berani mengudak jago kosen yang misterius tadi. Tapi baru saja
dia putar badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin menyamber
tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya. Reaksinya Hu Kian-seng cukup
cekatan, secara reflek dia membalik tangan mencengkram ke belakang.
Suaranya masih dekat di
kupingnya, tak nyana cengkramannya mengenai tempat kosong. Begitu Hu Kian-seng
menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap ke semak-semak kembang.
Orang itu sudah menampakkan diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk
wajahnya tapi akhirnya dia melihat juga bayangannya.
Dia seorang gembong silat,
cengkramannya tidak berhasil namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini
sedikit di bawahnya. Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri jauh
ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin pihak sendiri yang
bakal runyam. Akhirnya dia sadar: "Orang ini melibatku disini, jelas
tujuannya menahanku selama mungkin, kenapa aku harus ditipunya."
"Setan alas, kau tidak
berani keluar, memangnya aku harus melayanimu disini, biar malam ini kuampuni
jiwamu." Demikian bentak Hu Kian-seng.
Orang itu tertawa, katanya:
"Setan alas, kau tidak berani mengejar, aku justru ingin bermain petak
dengan kau."
Kali ini Hu Kian-seng sudah
siaga, begitu merasa angin menyamber kedua tangannya segera bergerak,
Pun-lui-ciang dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.
"Aduh." Orang itu
menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu terluka, hatinya girang. Tak nyana belum
lenyap suara jeritannya, orang itu telah berkata pula: "Syukur aku
selamat. Tidak kena." Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat bayangan
orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun kembang.
Meski berkepandaian tinggi
bernyali besar, mau tidak mau Hu Kian-seng tersirap hatinya: "Gerak gerik
orang ini laksana setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong
olehnya." Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi, segera dia
angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-sim-tiam.
Baru setengah jalan dia ketemu
seorang Thaykam yang sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal. Hu
Kian-seng kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit mengutus
Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu menghadap kepada Baginda.
Hampir saja mereka
bertumbukan, keduanya sama-sama kaget. "Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak
berada di samping Baginda, koh berada disini malah?"
"Bukankah Bong-kokong
mengutusmu menemani utusan Watsu menghadap Baginda? Kenapa seorang diri kau
berlari-lari sipat kuping."
Tanpa berjanji kedua orang
sama mengajukan pertanyaan.
Hu Kian-seng berkata:
"Semula tujuanku memang hendak ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi
kudengar suara Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah menuju ke
Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka. Apakah yang telah terjadi?"
"Aku juga tidak tahu apa
yang terjadi," tutur Thaykam itu, "kejadian memang aneh dan
ganjil."
"Baiklah, coba kau
jelaskan kejadian yang menimpa dirimu, nanti kita menganalisa bersama."
"Bukankah Baginda
berjanji akan menerima utusan Watsu pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda
setengah jam lagi. Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."
"Ada kejadian apa?"
"Tak nyana, tiba saat
yang ditentukan Tiangsun Pwelek tidur di ranjang tidak bisa bangun."
"O, dia, dia dibokong
orang?"
"Bukan begitu saja,
pakaiannya malah dibelejeti orang."
Hu Kian-seng kaget, teriaknya:
"Wah celaka, pasti seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda."
Tanpa banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang meninggalkan si Thaykam
berdiri terlongong.
000ooo000
Dengan marah-marah akhirnya
Milo Hoatsu dan Tiangsun Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada
Tiangsun Co berseru: "Apakah raja kalian ada disini? Lekas beritahu
padanya, aku sudah datang."
Kawanan Wisu yang dinas saling
pandang, katanya seseorang: "Tuan ini..."
Tiangsun Co naik pitam,
sentaknya: "Kau ini anggota bayangkari yang bertugas jaga disini malam
ini?"
Wisu itu mengiakan sambil
manggut.
Tiangsun Co mendengus, rasa
gusarnya makin bertambah. "Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa
tidak tahu siapa yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini? Aku inilah
Tiangsun Pwelek dari Watsu."
Wan Giap, Wisu tertua tampil
ke depan, katanya: "Apa betul kau ini Tiangsun Pwelek? Lalu
kenapa..." Maksudnya mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi
mereka, karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati, kedatangan
mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam yang dapat dipercaya dengan membawa
lencana tembaga sebagai tanda dinas.
Memangnya Tiangsun Co sudah
marah dan penasaran, karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi,
semprotnya: "Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu siapa Tiangsun
Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak genah, malah memeriksa diriku.
Minggir, biar aku masuk sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi
laporan."
Wan Giap adalah Wisu tua yang
paling setia kepada raja, mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut
nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya: "Umpama benar kau ini
utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini, betapapun aku tidak akan biarkan
kau kurang ajar terhadap junjungan kita. Maka dia coba bicara halus:
"Maaf, dalam istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar."
Dengan menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya.
Tiangsun Co berjingkrak gusar.
"Tata tertib kentut anjing. Minggir."
Wan Giap memang sudah siap
waktu mengadang di depan orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat
di tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara sisa tiga jarinya
yang lain agak ditekuk, itulah salah satu gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu.
Sebagai ahli silat, sekali turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi.
Mau tidak mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan Wan Giap
lekas dia menarik tangan.
"Kalau benar tuan adalah
utusan Watsu kuharap kau menjaga harga diri." Demikian kata Wan Giap tawar
sambil menarik gerakan Liong-jiau-jiu.
Tiba-tiba Milo Hoatsu
melangkah lebar dalam matanya seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di
depannya.
Jari Wan Giap segera
mencengkram, Milo mengebas lengan baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh
tindak, setelah berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya.
Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah kerahkan tujuh lapis
Liong-siang-kang. Untung yang melawan adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung
sudah jatuh terjengkang sungsang sumbel.
"Mutiara sebesar beras
juga coba memancarkan cahaya." Demikian jengek Milo Hoatsu, "sudah
tahu keliehayanku? Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"
Pada saat itulah seorang
Thaykam beranjak keluar sambil memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah
samaran In San. Menuding dengan kipasnya In San membentak: "Ada apa
ribut-ribut disini?"
Wan Giap segera menyahut:
"Ada orang yang mengaku sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan
Baginda."
"Baginda sudah tahu.
Baginda ada perintah suruh orang yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk
menghadap kepadanya."
"Kurcaci," maki
Tiangsun Co penasaran, "aku ini jelas adalah utusan Watsu, kenapa
dikatakan mengakui?"
Milo tahu di belakang kejadian
ini pasti ada sebabnya maka dia berkata: "Pwelek tak usah marah, setelah
kita berhadapan dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."
In San menuding pula dengan
kipasnya. "Yang diundang hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu,
Hwesio ini dilarang masuk."
Milo Hoatsu adalah Koksu negeri
Watsu kedudukannya lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya
mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.
Sementara itu banyak Wisu
telah lari mendatangi, Wan Giap segera memberi tanda. Milo Hoatsu segera
dikurung rapat.
Melihat dirinya dikurung, otak
Milo Hoatsu malah menjadi jernih, pikirnya: "Tidak sukar aku membunuh
habis kawanan Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam? Baiklah hari
ini aku telan penghinaan demi tercapainya rencana besar, biar hari ini aku
mengalah, biar Tiangsun Co seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian
damai sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus tunduk dan
melaksanakannya, coba saja apa dia berani menentang kehendakku untuk menghukum
mati kawanan Wisu ini."
Bahwa Milo Hoatsu tidak berani
mengumbar amarah, sudab tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang
diri dia ikut In San naik ke loteng.
Han Cin yang menyaru Tiangsun
Co sementara itu sudah berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara
Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih berdiri kaku dengan gaya
masing-masing yang lucu.
Tan Ciok-sing memang
berpakaian sekolah, kini dia mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di
belakang Cu Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.
Begitu In San membawa Tiangsun
Co masuk ke kamar dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan
besar itu segera dia tutup dan kunci.
Tiangsun Co tidak tahu kalau
Pek Ting dan Kiang Swan tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin
berkobar, pikirnya: "Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua Wisu ini
petingkah untuk menghinaku, memangnya aku gampang digertak?" Dengan
membusung dada segera dia berkata lantang: "Khan Agung dari Watsu ada
perintah untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."
"O," Cu Kian-sin
mengangguk, "silahkan duduk."
Tak tahan Tiangsun Co menahan
emosi serunya keras: "Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian
damai, tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa,
bertindak..."
"Kurang ajar." Belum
sempat dia mengucapkan kata-katanya, Tan Ciok-sing telah
menghardiknya: "Tiangsun
Co, di hadapan Baginda Raja kau petingkah."
Tiangsun Co kira dia hanya
sebagai pembantu sekretaris yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini,
hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya: "Aku belum menuding
kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini barang apa, berani kau membacot
disini."
Sikap kasar Tiangsun Co sudah
diduga oleh Tan Ciok-sing, bagaimana dia akan
menghadapinya juga telah dia
rancang bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada Cu
Kian-sin.
Pertama Cu Kian-sin memikirkan
keselamatan jiwa sendiri, kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya
keki maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi, bentaknya
sambil menggebrak meja: "Kau ini utusan Watsu yang mau minta damai
terhadap Tim bukan?"
Begitu dia gebrak meja meski
tidak keras tapi Tiangsun Co sudah dibuat kaget setengah mati, matanya
mendelik, katanya: "Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil Khan
Agung, memangnya Baginda belum tahu?"
"Tim tahu. Tapi apa kau
tahu siapakah Tan-haksu ini?"
Tiangsun Co kira, pemuda ini
paling adalah pembesar kesayangannya, tetap angkuh dia berkata: "Dia
siapa? Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"
"Dia inipun sebagai wakil
Tim sepenuhnya. Kau ingin damai boleh kau bicara dengan dia."
Kaget dan gusar pula hati
Tiangsun Co, katanya: "Soal ini menyangkut urusan besar nasib negara,
kenapa Baginda mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda mengganti
seorang lain..."
"Siapa utusan Khan Agung
kalian, Tim tidak peduli. Siapa wakilku yang akan berunding dengan kau
kalianpun tidak perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau berbicara,
disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang berkuasa." Di bawah pengawasan
Tan Ciok-sing dengan membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing
berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang lagi menghapal
pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga suaranya sudah agak gemetar. Tapi
karena suaranya yang bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan
emosi saking marahnya.
Mimpipun Tiangsun Co tidak
menyangka bahwa Cu Kian-sin bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan
seberani itu, mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak bicara
lagi.
Maka Tan Ciok-sing menimbrung
dengan suara dingin: "Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat
perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu tidak akan
dosa-dosamu?"
Mendelik Tiangsun Co,
tanyanya: "Aku punya dosa apa?"
"Sebagai utusan sebuah
negara, sepantasnya kau tahu tata tertib seorang diplomat. Kenapa setelah
berhadapan dengan raja kita, kau tidak segera berlutut?" lalu dia
menghardik dengan suara kereng: "Hayo berlutut." Tangan diulur
menekan tubuh orang.
Umpama Tiangsun Co mau
berlutut, dalam keadaan seperti ini juga pasti melawan karena dipaksa secara
kasar, saking gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk
Ji-ti-hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan Ciok-sing dengan tubuh
terguling jatuh, supaya tak mampu merangkak berdiri lagi.
Tak nyana ujung jarinya
seperti menumbuk dinding batu waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing,
jelas jarinya telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan
Ciok-sing tetap wajar tidak
berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit kesakitan.
Cepat sekali tangan Tan
Ciok-sing sudah pegang pundaknya. Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi,
pundaknya seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya
tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.
"Bagus, sekarang boleh
kau bicara. Bagaimana maksud damai negerimu?" Pelan-pelan dia melepas
pegangan dan tekanan tangannya di pundak orang.
Kejut Tiangsun Co lebih besar
lagi, pikirnya: "Cu Kian-sin sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang
ini, jelas dia seorang jago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja.
Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah kubicarakan dulu soal
perjanjian damai itu baru nanti berusaha membuat perhitungan." Dia insaf
gelagat tidak menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu dicapai
namun betapapun harus dicoba.
Maka dia angkat kepala,
serunya membantah: "Tiga bulan yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah
dibuat. Kedatangan kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini
perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."
"Tan-haksu," kata Cu
Kian-sin, "lemparkan kembali konsep perjanjian damai itu kepadanya."
Tan Ciok-sing mengiakan, lalu
dia robek konsep perjanjian damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga
bulan yang lalu serta dibuang di atas lantai.
Saking marah mata Tiangsun Co
mendelik merah padam, katanya: "Apa maksudmu Baginda?"
"Dari pada perang aku
memang lebih cinta damai, tapi bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani,
kalian harus tunduk akan kehendakku."
"Konsep perjanjian damai
itukan sudah dirancang bersama oleh dua pihak setelah redaksinya diganti
berulang kali, bila mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang dirasa
perlu saja," demikian bantah Tiangsun Co.
"Tutup mulutmu!"
bentak Tan Ciok-sing, "kau sedang bicara dengan raja kami, mana boleh
bersikap kasar, main bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum
positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami sendiri, mana boleh kau
mencampuri kehendak kami."
Baru saja Tiangsun Co sudah
merasakan keliehayannya, melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan
bersikap gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian baru dia
menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan emosi, katanya dingin:
"Baiklah lalu menurut pendapat kalian, bagaimana perjanjian damai ini
harus ditanda tangani?"
Cu Kian-sin berkata:
"Tan-haksu silahkan kau bicarakan dengan dia."
Tan Ciok-sing berkata:
"Tiongkok adalah negara berbudaya tinggi, kalian kalah perang dan minta
damai, kami mau tidak menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif
bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh karena itu cukuplah asal
sebetulnya kalian mengirim pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah
dilakukan."
"Apa-apaan, kenapa kami
harus menyesal dan minta maaf?"
"Kalian mengerahkan
pasukan menyerbu dan menduduki wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta
maaf dan mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf malah?"
Tiangsun Co berkata:
"Memberi sedikit kelonggaran kepada kalian memang bukan mustahil, tapi
kami mengajukan beberapa syarat yang harus dipatuhi: 1. Dua negeri kita harus
bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2. Dynasti Bing harus
menarik mundur pasukannya dari Tay-tong. 3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok
dan beberapa daerah. 4...."
Belum habis dia bicara, Tan
Ciok-sing sudah menggebrak meja serta menudingnya. "Besar mulutmu, kalian
kalah perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah, menarik mundur
tentara, minta damai segala? Syarat-syarat itu sepantasnya kalian sendiri yang
harus memikulnya. Tapi sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut
kalian mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh dianggap rampung,
lalu apa pula kehendak kalian?"
"Baginda harus berpikir
cermat," Tiangsun Co masih berusaha putar lidah, "pemerintahmu
terlalu mengandal kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat
gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami kegagalan tapi bila kami mau
mengerahkan pasukan besar."
Tan Ciok-sing menjengek dingin:
"Bila Khan Agungmu masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan,
terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila kalian berani
mengerahkan pasukan besar boleh silahkan kapan saja akan kami sambut."
Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun
Co, pikirnya: "Haksu yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di
depan junjungannya? Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti Cu
Kian-sin..." Segera dia menarik muka, katanya membusung dada dengan sikap
temaha: "Baginda, kau harus berani berkeputusan mencari jalan yang benar,
jangan mudah kau dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."
Sikapnya yang sombong dan
tengik justru menimbulkan reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis:
"Kalau tidak kenapa?"
"Jikalau pasukan besar
kita sudah kerahkan batu jadepun bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja
tidak akan berlangsung lama lagi."
Walau Cu Kian-sin takut
terhadap Watsu kini dia tidak tahan lagi, serunya gusar: "Kurang ajar! Kau
sedang bicara dengan Tim tahu!"
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
mencengkram kuduk Tiangsun Co serta menjinjingnya ke atas, katanya:
"Utusan Watsu berani menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi
hukuman, akan menghilangkan pamor negeri besar kita."
Setelah amarahnya berkobar,
diam-diam Cu Kian-sin kuatir bila bertindak terlampau jauh. Tapi Tan Ciok-sing
bertindak demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada Tan Ciok¬
sing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu jauh ribuan li diluar
perbatasan maka rasa takut terhadap Tan Ciok-sing sekarang jauh lebih besar
bila pasukan besar negeri Watsu kenyataan menyerbu negerinya. Maka samar-samar
dia berkata: "Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus dia terima,
boleh terserah kepadamu saja."
Tan Ciok-sing mengiakan,
pelan-pelan dia gunakan Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya
dia lempar ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum,
sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya serak: "Boleh
buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..." Mulutnya masih ingin
memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang digunakan Tan liehay, tenaga yang
disalurkan kedalam tulang sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan
tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski sudah kertak gigi
menahan napas, akhirnya tak tertahan dia merintih juga, rangkaian kata-kata
yang siap dilontarkan tak kuasa diucapkan lagi.
Tan Ciok-sing berkata:
"Kau menghina Raja, semestinya hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini
seorang utusan negara asing hari ini kuampuni jiwamu." Sampai disini
sengaja dia merandek.
Meski kesakitan namun dalam
hati Tiangsun Co amat senang, pikirnya: "Memangnya kau berani membunuh
aku? Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas." Saking
kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani bicara. Tapi rasa bangga
dan puas tak urung tampil di wajahnya.
Tan Ciok-sing berkata lebih
lanjut: "Hukuman mati boleh diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah,
laksanakan pukulan empat puluh kali."
In San dan Han Cin mengiakan
bersama. Mereka tarik Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur
tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang tersedia di kamar buku
itu, dengan palang pintu itulah pantat Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.
Waktu Hu Kian-seng buru-buru
kembali ke Yang-sim-tiam, anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu. Melihat
gelagat jelek ini, sungguh terkejut Hu Kian-seng bukan main. Lekas dia tarik
Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan: "Kenapa hanya Milo Hoatsu yang
ada disini? Mana Tiangsun Co?"
"Baginda hanya
mengizinkan Tiangsun Co saja yang menghadap." Sahut Wan Giap.
Hu Kian-seng tahu kedudukan
Milo Hoatsu lebih tinggi, katanya: "Bagaimana mungkin Baginda memberi
perintah begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan kepadamu?"
"Bukan, seorang Thaykam
keluar menyampaikan
perintahnya." Demikian
tutur Wan Giap. "Thaykam itu memegang kipas pribadi Baginda."
"Sebelum ini kalian belum
pernah melihat Thaykam itu?" Tanya Hu Kian-seng.
"Belum pernah
melihatnya."
"Bagaimana dia bisa
masuk?"
"Bukankah Bong-kokong
yang mengutusnya mengantar utusan Watsu? Oh ya, hampir lupa aku memberitahu
kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan memang tidak mirip
Tiangsun Co yang belakangan."
Hu Kian-seng kaget, pikirnya:
"Ternyata ada orang yang menyaru." Katanya gugup: "Jangan kalian
berbuat salah kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu yang
tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."
Baru saja Hu Kian-seng
beranjak di undakan loteng, dia sudah mendengar suara palang pintu menghajar
pantat, rasa kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan bahwa
Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia memburu ke atas serta berteriak:
"Baginda, Baginda..."
Ternyata kejadian selanjutnya
menambah rasa kejutnya pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia
mohon supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara junjungannya sudah
membentak: "Siapa berani naik ke atas tanpa kuperintah?"
Terpaksa Hu Kian-seng
menghentikan langkah, serunya lantas: "Hamba Hu Kian-seng sudah
kembali."
Sebagai Komandan pasukan
Bayangkari, biasanya selalu mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia
keluar untuk menyambut kedatangan utusan Watsu. Sekarang sudah kembali
sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya tidak perlu harus dipanggil.
Maka setelah dia berteriak, dia harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan
segera memanggilnya.
Tak nyana didengarnya suara Cu
Kian-sin lebih beringas, bentaknya: "Disini tak perlu tenagamu. Disana
tenagamu diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu terhadap
Tim?"
Saking kaget dan takut lekas
Hu Kian-seng berlutut diluar pintu, serunya: "Mohon Baginda memberi
petunjuk."
"Ada apa di bawah loteng,
kenapa ribut?" Sentak Cu Kian-sin. "Ada, ada..."
"Jangan membela orang
luar, apakah Koksu dari Watsu yang membuat onar?"
Terpaksa Hu Kian-seng memberi
laporan: "Ya, ya, Milo Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui
Baginda."
Kereng suara Cu Kian-sin:
"Tim larang dia naik kemari, dia berani membuat keributan, memangnya dia
masih memberi muka kepada Tim? Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan disini,
tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat onar!"
Sudah tentu apa yang diucapkan
Cu Kian-sin telah didikte oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di
belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan. Namun demikian,
rasa curiganya bertambah besar. Sikap keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali
ini, tidak mirip keadaan biasanya yang dia ketahui benar.
Setelah pantatnya dihajar
keras, meski tidak mampu bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih.
Begitu mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia berkaok-kaok
kesakitan. In San tidak berani menutuk Hiat-tonya.
Hu Kian-seng mendengar
rintihan, namun dia tidak berani menerjang masuk. Maklum setiap patah kata yang
keluar dari mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah. Dengan
kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marah-marah memaki Koksu negri Watsu
kalau Koksunya juga dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa. Dia
pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat utusan Watsu memang
kehendak Baginda sendiri, kalau dirinya menerjang masuk berarti melanggar
aturan, mana berani dia memikul dosa yang tidak terampun? Karena itu dia tidak
pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri tidak berbuat salah.
Dan lagi Hu Kian-seng memang
seorang yang pandai menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir
bila Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah keadaan Cu Kian-sin
akan lebih berbahaya? Kalau Baginda sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah
lagi, akibatnya tentu fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara
konyol.
Apa boleh buat terpaksa Hu
Kian-seng mengiakan, buru-buru dia lari turun ke bawah. Ternyata keributan
semakin besar di bawah. Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar rintihan Tiangsun
Co yang sedang disiksa di atas.
Melihat Hu Kian-seng keluar,
Milo Hoatsu lantas membentak:
"Apa yang dilakukan raja
kalian? Kenapa Tiangsun Pwelek merintih-rintih?"
Hu Kian-seng jeri bila padri
asing ini benar-benar mengamuk, terpaksa dia membual: "Koksu, mungkin kau
salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi sebentar."
"Apa, jadi kau tidak
disuruh mengundangku naik ke atas?" Semprot Milo Hoatsu, "aku harus
menunggu disini pula, kalian, hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah
tidak ingin hidup?"
Wan Giap paling setia kepada
sang junjungan, tak tahan berkobar amarahnya, bentaknya: "Kami menyambutmu
dengan
kehormatan, kalianpun harus
tahu diri, mana boleh kau lancang dan petingkah disini," kata-katanya
mengobarkan pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka bersorak terus
merubung maju.
Milo Hoatsu membentak:
"Aku, jijik melayani kalian, Hu Kian-seng, hayo temani aku naik ke
atas."
Hu Kian-seng berkata perlahan:
"Maaf, atas perintah Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."
"Apa?" Milo Hoatsu
berjingkrak, "kau juga melarang aku ke atas?"
"Bukan aku yang melarang,
Baginda ingin supaya kau
menunggu di bawah saja."
"Bedebah, aku justru
ingin berhadapan dengan raja dan akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu
menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya menggentak, dua Wisu
terpental setombak lebih.
“Apa boleh buat, urusan sudah
terlanjur sejauh ini, terpaksa Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu
mendorongkan telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu, pukulan
lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang Lwekangnya, memang setingkat
lebih asor dibanding Milo Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh
tenaganya, akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan sebagian
besar tak urung dia sendiri tergentak mundur beberapa langkah, setelah berputar
satu lingkaran baru berdiri tegak.
Wan Giap membentak:
"Berani kau betingkah lagi, biar aku adu jiwa dengan kau."
Kedua wisu tadi dilempar jatuh
hingga kepalanya bocor tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan
orang segera merangsak maju.
Milo Hoatsu juga seorang ahli,
gebrak percobaan dengan Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum
menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi pertempuran sengit, Hu
Kian-seng dibantu belasan anak buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.
Terpaksa dia berdiri tegak di
tempatnya, bentaknya beringas: "Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi
muka kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa yang terjadi di
atas?"
"Aku tidak tahu."
"Kau melihat Tiangsun
Pwelek tidak?"
"Tidak."
Karuan Milo kaget dan gusar,
makinya sambil menuding Hu Kian-seng: "Hu Kian-seng, lalu apa
kerjamu?"
"Apa kerjaku memangnya
kau tidak tahu, aku komandan bayangkari yang berkuasa disini, tahu!"
Akhirnya Hu Kian-seng naik pitam setelah dibentak dan dituding.
"Sebagai Komandan
bayangkari yang berkuasa, ada musuh menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau
usut dan periksa." Hardik Milo Hoatsu.
Bercekat hati Hu Kian-seng,
tapi dia mengeraskan kepala, katanya: "Darimana kau tahu ada mata-mata
musuh menyelundup ke istana?"
"Tiangsun Pwelek telah
dikerjai orang di penginapannya, pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba
kami disini, anak buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang
bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah datang lebih dulu?"
Milo Hoatsu ternyata cukup
teliti, walau dia tidak mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan
Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi Tiangsun Pwelek sudah
dalam dugaannya. Maka dia duga Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu
Kian-seng.
Hu Kian-Seng pentang kedua
tangannya, katanya: "Hoatsu, sabarlah, jangan marah-marah dengarkan
penjelasanku."
"Tulen atau palsu sudah
jelas, apa pula yang perlu dibicarakan?" Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya
dia bersikap kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu Kian-Seng,
setelah maju dua langkah dia berhenti pula.
"Seperti apa yang kau
bilang," demikian ujar Hu Kian-Seng, "urusan pasti bisa diusut sampai
terang, harap kau tunggu sebentar? Tiangsun Pwelek segera akan keluar."
Milo Hoatsu mendengus,
"Siapa tahu apa yang rajamu yang bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun
Pwelek. Bila kalian menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya seumur
hidup?"
Wan Giap menyemprot gusar:
"Kata-katamu terlalu
kurang ajar terhadap Baginda, jangan kau menyesal bila kami bertindak kasar
terhadapmu."
Diam-diam Hu Kian-seng panggil
seorang Wisu serta memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah mengundang
bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan pula bahwa ada mata-mata musuh
berada di Sia-hoa-wan.
Sebelum kawanan Wisu tiba,
Tiangsun Pwelek telah keluar. Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan
merintih-rintih dia terguling jatuh dari atas tangga.
Maklum empat puluh kali
pukulan palang pintu cukup membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah
punya dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih cukup kuat.
Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas loteng, tujuannya, adalah mau
memancing kemarahan Milo Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.
Melihat keadaannya Milo Hoatsu
memang naik pitam, amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya:
"Tiangsun Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"
Tiangsun Pwelek merangkak,
serunya serak: "Siapa lagi kecuali raja anjing mereka!"
Sambil menggerung Milo Hoatsu
lantas menerjang, bentaknya: "Kalian berani menghina utusan negeri kita,
biar aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."
Mendengar Baginda dimaki
"Raja anjing" amarah Wan Giap lebih berkobar, bentaknya: "Peduli
siapa dia, gampar mulutnya." Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan
amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana terus meringkusnya.
Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya
jungkir balik, demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya mencelat.
Urusan amat mendesak Hu
Kian-seng tidak banyak pikir lagi, terpaksa dia maju merintangi.
"Biang", mereka adu pukulan. "Huuuaaaah", kontan Hu
Kian-seng muntah darah. Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh,
sayang Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka dia yang kena
rugi.
Melihat pemimpin mereka muntah
darah entah bagaimana luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak
hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya, ganyang musuh
lebih dulu, maka beramai-ramai mereka merangsak.
Milo Hoatsu menanggalkan
jubahnya, bentaknya: "Siapa merintangi aku dia mati. Aku akan membuat
perhitungan dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."
Wan Giap yang terpukul jungkir
balik itu, luka-lukanya lebih parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo
Hoatsu langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula, amarahnya tak
terbendung lagi, entah dari mana datangnya kekuatan, segera dia meletik bangun,
bentaknya: "Hayo kawan-kawan, kita adu jiwa."
Milo Hoatsu sudah menyendal
jubahnya laksana segumpal mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu
yang menyerbu dirinya.
Kawanan Wisu ini terhitung
jago-jago kosen dalam istana, tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan
jauh, pula dibanding Milo Hoatsu. Maka terdengarlah suara gemerantang yang
ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas dan jatuh.
Di kala jubah Milo menggulung
ke depan tiba-tiba terasa angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata,
dari samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.
Bercekat hati Milo Hoatsu:
"Siapa kira anak buah Hu Kian-seng ada juga yang berkepandaian setinggi
ini."
T6rsipu-sipu dia memutar tubuh
menghadapi serangan orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan
disendai miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut serangan Hu
Kian-seng dan dua orang pembantunya.
Karena itu perhatian terpencar
tenagapun tidak seimbang karena harus melayani dua pihak, "cret"
jubah kasanya yang tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.
Kasanya itu digunakan sebagai
senjata setelah dilandasi kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar.
Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai lemas seperti ban
kempes, sudah tentu kekuatannya seketika sirna.
Tadi Hu Kian-seng tidak
gunakan tenaga sepenuhnya hingga mengalami rugi besar. Kini menghadapi
detik-detik mati hidup, mana berani dia berlaku ayal? Biang, telapak tangan
beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga langkah. Terasa
kerongkongannya anyir, darah
yang sudah menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat. Maklum
sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati, betapapun dia malu dikalahkan.
Hu Kian-seng berterima kasih
kepada Wisu yang telah menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak
sempat dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki kepandaian
pedang seliehay itu? Kini baru dia ada kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di
sebelahnya. Hatinya lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak
buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.
Saat mana Wan Giap baru saja
melompat berdiri melihat Wisu ini diapun melengak, tanyanya: "Siapa
kau?" Sikap setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir mampus,
maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak lupa memperhatikan lawan dan
kawan.
Wisu ini bukan lain adalah
samaran Toan Kiam-ping. Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang
gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Ciok-sing. Mendengar Milo
Hoatsu membuat keributan di depan Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari
tempat sembunyinya. Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kian-seng
berhasil ditolong.
Satu hal yang tidak dia kira,
dalam keadaan seribut ini, Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih
sempat memperhatikan dirinya. Seluruh Wisu yang ada di istana semua kenal baik
dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini yang tidak dikenalnya.
Toan Kiam-ping sudah tahu,
masih mungkin dia mengelabui Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap. Dasar
cerdik, hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana terus
diacungkan, katanya: "Aku disuruh Bok-jongling kemari untuk membantu
melindungi Baginda, inilah lencana pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan
Bong-kokong sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di
istana, kita harus mengusirnya."
Bok Su-kiat adalah komandan
Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi
keselamatan istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke
daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan melindunginya. Jadi jelas
tugas Gi-lim-kun berbeda dengan pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu
bertugas didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lirrl-kun dilarang sembarang
masuk ke istana.
Satu hal lagi, bahwa seragam
pasukan Gi-lim-kun berbeda dengan seragam pasukan bayangkari. Toan Kiam-ping
mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan seragam pasukan Bayangkari.
Sudah tentu Toan Kiam-ping tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan
komandan pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia mengaku sebagai
anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia menyaru jadi anggota Gi-lim-kun.
Bualannya memang menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya, dan tidak
sempat perhatikan dirinya lagi. Ternyata dia berhasil.
Bukan Wan Giap tidak melihat
kelemahan alasannya, tapi keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok
dengan kenyataan.
Janji pertemuan Cu Kian-sin
dengan Tan Ciok-sing sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga
pasukan bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak meminta
kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago kosennya bantu -bertugas
didalam istana. Persoalan ini dia serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu
Kian-seng kurang senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah
kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang raja dan tidak memberi
tahu kepada Bok Su-kiat. Yang terang sang raja hanya berpesan secara lisan,
tiada bukti hitam di atas putih.
Beberapa hari kemudian,
suasana tentram tidak terjadi apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.
Tapi Wan Giap tahu akan pesan
raja, cuma dia tidak tahu bila Hu
Kian-seng menahan pesan secara
lisan ini. Karena terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata hampir
cocok -dengan kenyataan. Lenyap rasa curiga Wan Giap, serta merta matanya
melirik ke arah Hu Kian-seng.
Sudah tentu Hu Kian-seng tahu
bahwa Toan Kiam-ping membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya,
sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk bertindak membalas
kebaikan orang dengan membongkar asal-usulnya. Apalagi dia harus menyimpan
rahasia, jikalau perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar
kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah salah lebih
lanjut. Apalagi dia belum mendapat laporan tentang asal-usul Toan Kiam-ping,
kepandaian silatnya tinggi lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat
memang mengutus dia masuk ke istana.
Hatinya maklum lirikan mata
Wan Giap kepada dirinya adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya. Tapi
dalam keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak tahu
sementara diam sebagai jawaban.
Melihat Hu Kian-seng diam
saja, Wan Giap kira dia membenarkan. Maka sisa curiganya telah sirna.
Apalagi keadaan segawat ini,
mana sempat dia tanya kepada Hu Kian-seng. .
Pembicaraan beberapa patah
kata itu berlangsung amat singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh
Milo Hoatsu untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.
Pelan-pelan dia mengembangkan
kedua lengannya, terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar
matanya tambah menyala, bentaknya: "Kurang ajar, berani kau memaki aku
gegabah? Hm, baiklah, coba buktikan, siapa yang akan terlempar keluar dari
sini." Belum lenyap suara bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali
ini membelah ke arah Wan Giap. Jarak mereka ada satu tombak, telapak tangannya
tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata
sedahsyat gugur gunung. Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan, dadanya
sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.
Toan Kiam-ping bertindak
cekatan, "Sret" pedangnya telah menusuk Lau-kiong-hiat di telapak
tangan lawan. Bila Lau-kiong-hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila
hawa murni bocor Kungfunya akan punah.
Sudah tentu Milo Hoatsu tidak
membiarkan telapak tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas
menjentik. Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya tepat dan
telak. "Creng" pedang lawan kena diselentiknya pergi.
Telapak tangan Toan Kiam-ping
pecah berdarah, getaran selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat
memegang pedang. Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya jumpalitan mundur
beberapa tombak.
Hu Kian-seng sudah berada di
damping Wan Giap, berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran Milo
Hoatsu berhasil dibendung. Kekuatan tiga jago top menimbulkan getaran hawa yang
cukup dahsyat, jendela tak jauh di samping mereka tergetar jebol. Beberapa Wisu
lain yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat tenaga
mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak menerjang ke atas loteng.
Dalam pada itu Toan Kiam-ping
sudah berdiri pula, dari jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat
sembunyi Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang. Tapi jelas bukan
Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin. Han Cin melambaikan tangan ke arahnya.
Walau dihajar empat puluh kali
gebukan di pantatnya, luka-luka Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja,
diam-diam dia sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu. Wisu itu
tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia menjerit sekali terus jatuh
semaput. Tapi di kala meronta seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada
Tiangsun Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa dia menyurut
mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.
Toan Kiam-ping mencelat maju,
pedang dipindah ke tangan kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia
menusuk ke arah Tiangsun Co. Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan tandingannya,
apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia mampu melawan tusukan pedang
secepat kilat ini?
Tahu dirinya tidak mampu
berkelit, amarahnya malah berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju,
bentaknya: "Berani kau membunuhku." Dia pikir sebagai utusan
negrinya, dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.
Tapi belum habis dia bicara,
dadanya sudah terasa dingin, serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata
tidak merasa sakit sama sekali. Ternyata ilmu pedang Toan Kiam-ping sekarang
telah mencapai taraf sempurna, gerakannya dapat dikendalikan menurut perintah
otaknya, begitu ujung pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah
serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar adalah Hiat-to
pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co lunglai, seperti menjinjing kucing
layaknya, Toan Kiam-ping merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap,
serunya: "Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah ini empat
puluh kali."
Bukan kawanan wisu itu tidak
mikir untuk menyandera Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka
mereka tidak berani bertindak secara gegabah. Bahwa Toan Kiam-ping melempar
Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa Wan Giap menerimanya. Begitu Tiangsun Co
jatuh ke tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau, langkah yang
tidak dia lakukan terpaksa juga harus dihadapinya.
Sudah tentu amarah Milo Hoatsu
tak tertahankan lagi, langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak:
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo turunkan, kupuntir
kepalamu."
Berulang kali dirinya dimaki
dan terluka pula, akhirnya Wan Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat
terus diputar sebagai tameng, bentaknya balik:
"Baik, mari, kau puntir,
coba buktikan kepala siapa yang kepuntir patah."
Lekas Hu Kian-seng menerobos
ke tengah mereka, teriaknya: "Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa
dibicarakan. Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek, lekas
turunkan dia." Betapapun Hu Kian-seng adalah atasannya, karena dibentak
terpaksa Wan Giap turunkan Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya menccngkram
punggungnya. Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri disandera lawan, Milo
Hoatsu tidak berani sembarang bertindak lagi.
"Kalian berani menghina
utusan kita, persoalan apa pula yang perlu dibicarakan?"
"Kalau kau tidak ribut,
sudah tentu kami tidak akan bertindak kasar." Wan Giap balas membentak.
"Sebetulnya apa kehendak
kalian?" Bentak Milo Hoatsu. "Kami justru ingin tahu apa
kehendakmu?" Bantah Wan Giap pula.
"Wan Giap," sentak
Hu Kian-seng, "jangan kurang ajar lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."
"Paling tidak dia harus
berjanji dulu tidak akan membuat keributan, baru aku akan membebaskan orangnya.
Tiangsun Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita berada disini,
mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama berlaku hormat kan juga harus
dipatuhi kedua pihak." Tekad setianya kepada raja memang harus dipuji,
bila dia mengumbar adat, meski H u Kian-seng adalah atasannya juga berani
dibantah.
Sudah tentu makin murka Milo
Hoatsu mendengar ocehan Wan Giap. Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang
diri jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thian-mo-ciang-lat
yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah banyak dikorting, jikalau urusan
belum beres dan harus bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang
kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah. Apalagi umpama dia berhasil
lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan lawan.
Begitu menerima Tiangsun Co
segera dia membebaskan tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus
beranjak keluar.
"Hoatsu, Pwelek,"
teriak Hu Kian-seng, "tunggu sejenak, biar aku menghadap Baginda, nanti
kita bicara lagi. Kuyakin dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."
Hu Kian-seng menduga pasti ada
mata-mata musuh yang sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang
tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu. Tapi urusan
menjadi ribut sebesar ini memang diluar dugaannya.
Segera dia celingukan, Wisu
yang tadi menolong dirinya sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham
duduknya perkara. Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini, Wan Giap tentu
menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi membeber soal ini. Oleh karena itu,
dia bertindak menurut perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan
jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi penjelasan kepada Milo
Hoatsu.
Tapi tak pernah terpikir
olehnya, setelah Tiangsun Co dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah
perhitungannya dapat dapat terlaksana?
Dengan muka merah padam, Milo
Hotsu membentak: "Hu Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau
berani hayo bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini mendengar
penghinaan kalian." Sembari bicara kedua lengannya bekerja terus menerjang
ke depan. Para Wisu yang dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi.
Setelah Hiat-to dibebaskan,
rasa sakit Tiangsun Co bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak:
"Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar Watsu kita
menyerbu tiba."
"Tiangsun Co,"
bentak Wan Giap, "mulut anjingmu tidak tumbuh gading, berani-berani kau
bermulut kotor, aku, aku..." belum habis dia bicara, mulutnya sudah
didekap Hu Kian-seng.
Sebetulnya Tiangsun Co juga
sudah kapok, namun dia pura-pura temberang: "Kau berani apa?"
Tersipu-sipu bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam.
Kawanan Wisu tiada yang berani
mengadang, terpaksa mereka dibiarkan pergi.
Lega hati Wan Giap, katanya:
"Hu-congkoan, mari kutemani kau menghadap Baginda."
Terbeliak mata Hu Kian-seng,
katanya: "Kau kira urusan sudah beres? Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau
kuatir akan keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku, kerahkan
seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."
"Mata-mata dari . mana
datangnya? Macam apa mata-mata itu?" Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun
Co yang datang duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu sejauh
ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat apa mengejar jejaknya ke
tempat lain?
Saking jengkel Hu Kian-seng
membanting kaki, katanya: "Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga
belum berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana tampangnya?
Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal ringkus dia."
"Tapi Baginda
sendiri..."
"Aku yang akan melindungi
Baginda, kau tidak usah kuatir, lekas, lekas laksanakan."
Setelah komandannya sendiri
yang berjanji akan menjaga keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini
baru merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.
Hu Kian-seng sendiri belum
tahu apakah Tiangsun Co tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan
perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia naik tangga mendekati
kamar buku, di depan pintu dia batuk-batuk beberapa kali.
"Siapa diluar." Cu
Kiam-sin membentak dari dalam.
"Hamba Hu
Kian-seng."
"Kenapa baru sekarang kau
datang?"
Hu Kian-seng melenggong,
katanya: "Tadi hamba sudah kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani
Koksu dari Watsu."
Cu Kian-sin mendengus hidung,
katanya lagi: "Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang Tim
ingin temui telah kemari."
Setelah melihat Baginda, duduk
persoalannya sudah terang bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih
kebat-kebit, perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi juga
seperti memperoleh sesuatu.
Menurut rencananya semula dia
hendak minta damai dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan
Ciok-sing, malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi setelah kejadian
ini, rencananya semula mau tidak mau harus direnungkan kembali.
Dia sudah tahu bahwa Kim-to
Cecu telah memperoleh kemenangan besar diluar Gan-bun-koan. dia sudah menerima
janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah bila dia angkat
senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak akan memberontak.
Dengan tangannya sendiri dia
membuang konsep perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co,
malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan mengancam dirinya.
Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun Co itupun atas persetujuannya. Walau dia
setuju karena terpaksa karena dia disandera. Tapi betapapun dia masih memiliki
wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk membeber kenyataan yang dihadapi
di hadapan orang Watsu, apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.
Apalagi seperti yang dikatakan
Tan Ciok-sing, bila Kim-to Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak
kuat melawan Watsu. Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak, rakyat banyak
pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama angkat senjata melawan penjajah. Bila
hal itu terjadi, maka singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan
goyah dan bukan mustahil akan terguling.
Satu hal lagi, kepandaian Tan
Ciok-sing betul-betul amat menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In
boleh pergi datang seenak udelnya. Bila gagal menangkap mereka, pasti akan
melunak datang pula. Bila teringat peringatan:
"ingkar janji menghianati
bangsa, Yang Kuasa tidak akan memberi ampun "
hatinya goncang tubuh gemetar.
Apa boleh buat, terpaksa dia
harus berani mengorbankan Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut
campur.
Walau Hu Kian-seng tidak turut
campur tapi Tan In berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk meninggalkan
istana.
Waktu itu sudah menjelang
pagi, cuaca sudah remang-remang tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur
telah bejjaga dan menanti di punggung kuda.
Ternyata pasukan jaga
Gi-lim-kun yang berada diluar istana telah mendengar juga gema lonceng
peringatan dari istana, tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam,
tanpa diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa mempersiapkan diri, seluruh
pasukan yang ada dikerahkan dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan
dijaga ketat. Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada di
Tang-hoa-bun.
Toan Kiam-ping berkaok-kaok:
"Minggir. Atas perintah Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi
jalan." Sembari berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi.
Tiba-tiba seorang membentak:
"Peduli siapa, harus berhenti." Seorang penunggang kuda tampil dari
barisan berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping mendengung pekak.
Pembentak ini bukan lain
adalah Komandan Gi-lim-kun sendiri Bok Su-kiat adanya.
Melihat gelagat jelek, lekas
Han Cin berteriak: "Sedang menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh
menunda waktu." Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda
tetap dikeprak menuju ke arah yang berlawanan.
Diluar tahunya, Bok Su-kiat
tidak pandang lencana Bong Tit, mengambil panah memasang busur, "ser, ser,
ser". Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang anak panah
ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua mengincar In San, dua lagi
membidik Han Cin.
Tidak sukar untuk memukul
jatuh kedua anak panah itu, tapi In San dan Han Cin, sekarang masih menyaru
sebagai Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa main
silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya luncuran panah berantai
bidikan Bok Su-kiat amat kencang bidikkannyapun tepat, bila mereka
memperlihatkan dirinya pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar.
In dan Han memang cerdik dan
tangkas tanpa berjanji mereka berpikir: "Betapapun besar nyali Bok
Su-kiat, dia tidak akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya." Maka
mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak mengembangkan kepandaian
menyambuti anak panah.
Gerakan mereka ternyata tepat.
Dua batang panah melesat terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan
batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun tidak terluka.
Betapa liehay dan menakjubkan
kepandaian memanah Bok Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan
merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari rongga dada. Tapi
untung juga mereka
memperlihatkan sikap gugup dan
kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak berkurang.
Toan Kian-ping mengacungkan
medali tembaga seraya berseru: "Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa
kami utusan Bong-kokong?"
"Untuk apa Bong-kokong
mengutus kalian keluar?"
"Untuk itu, maaf kami
tidak berani menjawab." Sahut Han Cin.
Bok Su-kiat mendengus,
katanya: "Kalian tidak mau menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian
keluar."
Tan Ciok-sing menimbrung:
"Urusan memang tidak boleh ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh
suruh orang tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih dulu."
"Tidak boleh. Aku pasti
akan suruh orang tanya kepada Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya
disini. Bila asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian
pergi."
"Bok-jongling,"
,ujar In San dingin, "kau boleh tidak usah peduli apakah benar medali ini
dikeluarkan oleh Bong-kokong, memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak
pandang sebelah mata." Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit emas
yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi baginda.
Bok Su-kiat kenal tulisan
baginda, semula dia memang kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap
bandel tidak mau memberi jalan. Dalam hati dia berpikir: "Para Thaykam dan
wisu di istana memang tidak-seluruhnya kukenal, tapi urusan sebesar dalam
suasana segenting ini, bila benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus
pasti juga Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula Wisu yang
dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan cekatan, kalau benar
mereka, mana mungkin aku tiada satupun tidak kenal."
Tapi karena In San
memperlihatkan kipas berkerangka emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga
bahwa mereka tiruan? "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan
tanda kuasa," kata Bok Su-kiat.
"O, jadi kau ingin
melihat surat kuasa dari Baginda?" jengek Han Cin.
"Betul," ujar Bok
Su-kiat,
"dalam istana sedang
terjadi keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku disalahkan
baginda surat kuasa itu aku tetap ingin melihatnya."
Han Cin tertawa dingin,
katanya: "kau ingin lihat, boleh kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan
kepadamu. Ini menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami tidak
membocorkan kepada siapapun." Sembari bicara dia membeber gulungan kertas
yang berisi surat kuasa untuk Tan Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir
jahat kerajaan termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya. Hanya sedikit
yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan dan cap baginda. Surat
kuasa ini ditulis di atas kertas tebal yang mempunyai dasar warna biru dengan
corak khusus yang diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan
kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya Bok Su-kiat sudah
percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat cap dan tanda tangannya, maka dia
yakin tidak salah lagi.
Sayang waktu Han Cin sedikit
membuka gulungan kertas itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat,
namun mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di baris terakhir
dari surat kuasa itu ada tercantum nama
Liong Bun-kong.
Hubungan pribadi Bok Su-kiat
dengan Liong Bun-kong amat intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan
namanya, diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang: "Surat kuasa ini
bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"
Pada saat itulah, tiba-tiba
didengarnya derap lari kuda, waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang
menunggang kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini bukan
lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.
Dalam kalangan Gi-lim-kun
terbatas pada beberapa perwira saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri
Watsu yang masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu asal-usul
mereka.
Pasukan Gi-lim-kun sekarang
dikerahkan atas perintah komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa
identitasnya, dilarang keluar. Oleh karena itu, meski mereka merasa heran
melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka maju menghadang,
bagaimana juga mereka tidak diijinkan keluar.
Memangnya hati sedang keki,
Milo Hoatsu keprak kudanya terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di
depan barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya: "Siapa berani
merintangi aku? Yang ingin hidup lekas menyingkir."
Seorang perwira yang jujur
berangasan segera membentak gusar: "Hayo turun, peduli kau ini anak
kura-kura, siapapun tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah
terlarang ini." Sembari membentak tombak panjang terangkat terus menusuk
kuda Milo Hoatsu.
Perwira ini hanya memiliki
Kungfu biasa mana kuat dia melawan Milo Hoatsu? Sambil tertawa dingin, sekali
raih Milo Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu sendiri yang
terjungkal roboh dari punggung kudanya termakan oleh tombaknya sendiri.
Sudah tentu kekasarannya
menimbulkan amarah masai, umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci
orang-orang Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu ditekan oleh
atasan, maka rasa dendam mereka sukar terlampias. Kini mumpung komandan mereka
ada perintah, cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah,
kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai mereka maju hendak
menggasaknya.
Entah siapa yang memberi
aba-aba, tiba-tiba anak panah berhamburan sederas hujan lebat. Hujan anak panah
seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat itu. Sayang Tiangsun
Co tidak memiliki kepandaian setinggi Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo
Hoatsu sedikit lena, paha Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia
tersungkur ke bawah kuda.
Mau tidak mau Milo kaget dan
kebingungan, terpaksa dia berteriak: "Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal
kami. Bok Su-kiat kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian keluar
minta maaf kepadaku."
Sebetulnya Bok Su-kiat masih
ingin tanya kepada Tan Ciok-sing, tapi kejadian mendadak ini lebih menarik
perhatiannya, mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta
dikeprak kesana, serunya: "Berhenti, berhenti. Lekas hentikan."
Mendengar suaranya baru
pasukan Gi-lim-kun menghentikan aksinya. Karena paha terpanah, ditambah luka
Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi. Untung meski luka luar cukup berat,
tenaganya tidak lenyap seluruhnya.
Mumpung ada keributan, lekas
Han Cin gulung pula surat kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal
kuda keluar dari kota terlarang.
Dalam keadaan seperti itu. Bok
Su-kiat tidak sempat banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat
kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani perintahkan anak
buahnya mencegat mereka pula.
Tapi setelah anak buahnya
menghentikan serangannya, sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa
dia panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat menyuruhnya lekas
pergi ke sekretariat negara menemui Liong Bun-kong. Bukan dia curiga akan surat
kuasa tadi, tapi karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini
disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh bekerja mendahului
surat perintah itu memberi kisikan kepada Liong Bun-kong. Ketiga perwira itu
cukup cerdik dan tangkas bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci,
mereka juga sudah maklum.
Melihat Bok Su-kiat muncul, baru
Milo Hoatsu lega hati, katanya setelah mendengus: "Kalian memanah Tiangsun
Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan kuperhitungkan. Sekarang
lekas kalian ganti dua ekor kuda, kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh
li."
Sekretariat negara dimana
Liong Bun-kong menempati kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat,
itulah daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya. Setelah mereka
keluar dari pintu barat, tak lama kemudian, mereka mendengar derap lari kuda
yang dibedal, tahulah mereka bahwa di belakang ada pengejar. Begitu mereka
menoleh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah mengaburkan kudanya.
Sudah tentu ketiga perwira ini
tidak berani menyusul mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu. Kalau
ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah atasan, secara
diam-diam melindungi utusan raja ke tempat tujuan, cara itu memang tidak
melanggar kedisiplinan.
Tapi walau Tan Ciok-sing dan
kawan-kawannya tidak tahu tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka.
Kalau putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar yang lebih
besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.
Sebetulnya ketiga perwira itu
terus menguntit, entah kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin
jauh. Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula ketiga perwira
itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.
Tan Ciok-sing berkata:
"Aneh, kuda tunggangan mereka tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki,
kenapa mereka tidak menyusul pula?"
In San tertawa, ujarnya:
"Mungkin mereka insyaf bila bertindak diluar perintah mereka bisa celaka
sendiri, apalagi kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur
teratur."
Yang benar, bukan mereka jeri
mengingat surat perintah Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka
yang roboh tak bangkit lagi.
Setelah mengudak beberapa jauh
kemudian, entah kenapa kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya
mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal roboh tak berkutik.
Tiga orang sama keheranan, tengah mereka memeriksa kuda masing-masing,
tiba-tiba terdengar suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul
seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga seorang perwira Gi-lim-kun.
Lekas sekali perwira
penunggang kuda ini telah dekat, ketiga perwira yang duluan ini sama kaget,
serempak mereka berdiri siap memberi hormat. Ternyata Perwira yang duluan ini
pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya, karena dia adalah
wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di bawah Bok Su-kiat, namanya Ing
Siu-goan.
"Apa yang kalian alami
disini?" tanya Ing Siu-goan.
Salah seorang menjawab:
"Lapor Tayjin, entah kenapa, kuda kami mendadak terserang penyakit,
mulutnya berbuih tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."
Seorang lagi berkata: "Atas
perintah Bok-tayin, kami disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak
terduga mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin memberi petunjuk,
bagaimana sebaliknya?"
Seorang lain bertanya:
"Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?" Orang ini lebih teliti dari dua
temannya, agaknya dia menaruh curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan
tutur katanya menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam mengawasi mimik
muka Ing Siu-goan.
Ing Siu-goan mendengus sekali,
katanya: "Untung aku keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai.
Bok-jongling memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku disuruh menyusul
kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh pulang saja, ada tugas lain untuk
kalian, temui langsung kepada Bok-jongling."
Dua perwira di antaranya
memang ogah pergi ke tempat kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing
Siu-goan, kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka berpikir: "Seluk
beluk dan lika-liku pemerintahan para pembesar memang serbu membingungkan. Bok-jongling
suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat kepada Liong
Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok-jongling punya jabatan tinggi, dia
tidak perlu kuatir kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan
konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong, malapetaka bakal
menimpa kami bertiga."
Karena itu dengan senang kedua
orang ini berkata: "Terima kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan
kau saja sampai harus menunaikan tugas sendiri." Meski orang ketiga agak
curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan petunjuk orang terpaksa dia
tidak berani banyak bicara lagi. Seperti pelari marathon yang lagi berlomba
saja, ketiga perwira ini terpaksa pulang dengan lari. Setelah mereka pergi jauh
Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar kudanya mengejar
rombongan Tan Ciok-sing.
Baru saja Tan Ciok-sing
melewati suatu tegalan dan membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba
terdengar lari kuda yang menyusul datang sekencang angin badai. Waktu mereka
menoleh, tampak yang mengejar tiba hanya seorang perwira.
Tan Ciok-sing heran, katanya
perlahan: "Cakar alap-alap yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang
tadi."
Setelah agak dekat In San
melihat jelas wajah orang seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada
Tan Ciok-sing: "Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun,
namanya Ing Siu-goan."
Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa
Gi-lim-kun mengutus Ing Siu-goan wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka,
gelagatnya mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya tidak bisa
dihindari lagi, maka dia berkata: "Biarlah nanti aku melihat dia, kalian
boleh langsung pergi ke rumah keluarga Liong."
Lekas sekali kuda Ing Siu-goan
sudah dibedal tiba, jaraknya tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera
menarik kendali serta memutar balik, bentaknya: "Kami adalah petugas yang
sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani main terjang?"
Ing Siu-goan tidak menjawab,
dia malah tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan. Tan
Ciok-sing kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos pedang,
dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang berkelebat, dia lindungi
tubuhnya. Tak nyana sebelum senjata rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata
rahasia itu sudah meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju dan
kepala Tan Ciok-sing. Kiranya senjata rahasia adalah sebutir lempung.
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
di saat dia melenggong, In Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya:
"Tan Siau-hiap, selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya kau
tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk jalan bukan?"
Kaget dan terbeliak senang Tan
Ciok-sing dibuatnya, tapi hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan
Gi-lim-kun mau membantu mereka?
Tiba-tiba Han Cin tertawa,
katanya: "Ah, aku sudah mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan
Gi-lim-kun tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir saja akupun
kena kau kelabui."
Ing Siu-goan tiruan tertawa
lebar, katanya: "Han Lihiap memang seorang ahli, sekali pandang lantas
tahu kalau aku ini tiruan."
"Sebetulnya akupun tidak
bisa membedakan, cuma kulihat seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak
cocok dengan perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau kau
tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun tidak yakin bahwa kau ini
adalah Ing Siu-goan tiruan."
Orang itu tertawa, katanya:
"Semoga tiruanku ini tidak konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."
Tan Ciok-sing senang, katanya:
"Jadi Locianpwe sengaja menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat
tua she Liong itu."
Mereka bicara sambil jalan,
orang itu mendekatkan kuda tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan
berjajar, katanya tertawa: "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau
dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan perguruanmu. Mungkin
aku lebih tua beberapa tahun, biarlah aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap
saudara Toan Kiam-ping sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona Han
Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia hadis memanggil suheng kepadaku."
"Aku sudah tahu usiamu
belum tua," ujar HanCin, "maka tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku
tidak menyangka bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu
sejelasnya siapakah kau sebenarnya."
Orang itu tertawa, katanya:
"Namaku, kusebutkan kalian juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku,
mungkin kalian pernah mendengarnya."
"Kepandaian saudara
setinggi itu, gurumu tentu seorang cianpwe kosen yang pernah menggetarkan
Kangouw." Demikian ujar Tan Ciok-sing, "Tolong saudara sebutkan siapa
nama besar gurumu."
"Bicara tentang
pengalaman berkecimpung di Kangouw, guruku masih jauh lebih lama dibanding jago
pedang nomor satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau
disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat puluh tahun beliau
memang pernah terkenal di kalangan Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak
mendapat nama baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku
menampiknya."
Seorang murid memberi komentar
sedemikian rupa tentang gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan
Ciok-sing melongo.
Orang itu seperti tahu
perasaan mereka katanya lebih lanjut: "Bukan aku sebagai murid berani
bersikap kurang ajar terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak
suka diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi orang-orang
yang seangkatan dengan beliau sama beranggapan beliau adalah orang yang tidak
lurus, tapi juga tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung
nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan kening, karena itu
Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum persilatan mengecapnya jelek lantas
dia malu diri."
"Sebanyak itu
komentarmu," ujar Han Cin, "kukira sudah saatnya kau menyebut she dan
nama gelaran gurumu."
Maka orang itu berkata:
"Guruku she rangkap Siangkoan bernama Ling-hong."
Tengah Tan Ciok-sing berpikir,
Toan Kiam-ping sudah berkata: "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok
Tayhiap yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"
"Betul." Ujar orang
itu, "beliau memang maling sakti nomor satu di masa itu, tapi tiada orang
yang pernah memanggilnya Tayhiap."
"Tak heran kau bilang
perguruanmu ada sedikit hubungan dengan perguruan kami." Demikian ucap
Toan-Kiam-ping, "Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin belum
pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini adalah teman karib gurumu
semasa masih hidupnya dulu, beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang
terkenal, yaitu pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."
"Aku adalah murid penutup
guruku, di kala aku masuk perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah
kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar cerita orang lain."
"Asal-usulmu aku sudah
tahu." Ucap orang itu, "kedatanganku ini justru karena mengingat
hubungan perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau. Aku bernama
Cin Tay-hun."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Cin-heng, mata singa baja penindih kertas di meja baginda itu
dikorek orang, demikian pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah
diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini adalah
perbuatanmu?"
"Betul, memang aku yang
melakukan. Kepandaian tak berarti, harap tidak ditertawakan," demikian
ucap Cin Tay-bun kikuk.
Tan Ciok-sing berkata:
"Kali ini kau tidak mencuri pusaka raja, tapi teiah memberikan hadiah
berharga dari Kim-to Cecu kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk
di Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari perguruanmu, memang patut
dipuji."
In San ikut menimbrung,
katanya: "Cin-toako, jadi atas perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini?
Sejak kapan kau datang ke markas? Kenapa aku tidak tahu?"
Maka Cin Tay-hun lantas
bercerita. Ternyata selama hidup gurunya Biau-jiu-sin-tho
Siangkoan Ling-hong hanya suka
mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda pusaka tak ternilai
harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia pelajaran silat tingkat tinggi.
Sampaipun buku-buku pusaka pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran
Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya. Oleh karena itu
peduli golongan hitam atau aliran putih, pembesar, bangsawan atau orang kaya
dalam kalangan Bulim, setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.
Sejak dia mengasingkan diri,
hidup di pengasingan menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari
kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada muridnya: "Selama
hidup terlalu banyak perbuatan jahatku, jarang berbuat baik dan bajik. Walau
perbuatan jahatku tidak sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi
perbuatan baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."
"Walau kejahatan besar
tidak pernah dilakukan, perbuatan baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau
dipertimbangkan antara yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih
besar. Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap jelek, oleh
karena itu hanya satu permintaan kepada kau, lakukanlah suatu kerja besar yang
mengundang pujian orang banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus,
supaya aku bisa tentram di alam baka."
Setelah menceritakan pesan gurunya,
sengaja Cin Tay-hun berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam
hati.
Toan Kiam-ping berkata:
"Gurumu adalah seorang kosen aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik
yang dia inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia yang luar
biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan Kim-to Cecu?"
"Betul," ujar Cin
Tay-hun, "walau guruku mengasingkan diri, selama empat puluh tahun lepas
dari urusan Kangouw. Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya
dengan baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan pasukan kecilnya
berulang kali berhasil memukul mundur serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan
juga diketahui dengan baik.
Maka beliau berpesan kepadaku:
"Selama hidupku teramat banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan,
aku ini bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka mengoleksi. Aku
tahu hobbymu. tidak selaras dengan kesenanganku, maka benda-benda mustika itu
tidak kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan seluruhnya
kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli rangsum dan senjata. Sementara
buku-buku pelajaran silat hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang
bakatku terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai tiada
satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah kau mempelajari buku-buku
silat itu dapat tekun belajar dan hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang
pernah kucapai. Cuma aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu
mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat untuk mendarma
baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing memuji:
"Tindakan gurumu memang patut dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri
untuk membantu yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah
melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah melakukan perbuatan buruk,
pesannya kepadamu bila sudah dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala
dosa-dosanya itu."
Tanpa terasa tahu-tahu mereka
sudah tiba diluar gedung pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong. Melihat wakil komandan
Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam datang, sudah tentu orang-orang
Liong Bun-kong amat kaget, lekas mereka berlari masuk memberi laporan.
Tak lama kemudian, pengurus
rumah tangga keluarga Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut. Sa
Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong Bun-kong, setelah Liong
Bun-kong minta cuti, dia melihat gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon
meletakkan jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bun-kong. Umpama
Liong Bun-kong berhasil
mempertahankan jabatan
tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk merehabilitir kedudukannya. Menjadi
pengurus rumah tangga keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman,
sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan pemerintahan, celaka
bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di copot kedudukannya serta dijebloskan
kedalam penjara.
Dengan mimik heran dan kurang
percaya dia mengawasi Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun,
katanya: "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit perintah raja
kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan kepada Liong-tayjin?"
Ternyata hubungannya dengan Ing Siu-goan biasanya amat baik, seperti saudara
kakak beradik.
Melihat orang tidak bisa
membedakan tiruannya, diam-diam Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana
lazimnya orang berpangkat, dia berkata: "Surat perintah ini langsung
diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat. Jangan kata aku
tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua petugas inipun mereka tidak tahu.
Lekas kau suruh tuanmu keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar
baik yang menguntungkan dia."
Sa Thong-hay bersikap serba
salah, katanya cemberut: "Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya.
Harap para Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang Liong-tayjin
keluar."
Dia bilang sebentar, tapi Tan
Ciok-sing harus menunggu hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga
kunjung keluar. Mereka tahu untuk menerima perintah raja siapapun diharuskan
berdandan mengenakan pakaian kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap
semestinya juga tidak akan selama ini.
Han Cin yang menyaru jadi
petugas utama sudah akan marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.
Han Cin lantas membentak:
"Liong Bun-kong, berlutut, terima firman baginda."
Liong Bun-kong berlutut
seluruh tubuhnya mendekam, mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin:
"Aku ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan? Kalian suruh
aku berlutut malah kebetulan bagi aku."
Waktu kecil In San sering dolan
ke rumah Liong Bun-kong, kini terasa wajah orang jauh lebih kurus . dan tua,
namun bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut maka In San
tidak menaruh perhatian lebih seksama.
Dengan suara lantang Han Cin
membacakan firman raja. Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang
dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.
"Sekretaris negara
merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong ada indikasi sekongkol dengan musuh
menjual negara, membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama pejabat,
korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata, bersama ini dinyatakan jabatannya
dicopot dan harta bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima
diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri yang akan memeriksa perkara
ini. Selesai."
Habis mendengar firman raja,
perlahan-lahan Liong Bun-kong berdiri, katanya gemetar: "Tayjin, bolehkah
aku memeriksa firman raja di tanganmu itu."
Han Cin gusar: "Liong
Bun-kong besar nyalimu, berani kau mencurigai firman Baginda."
"Tidak berani,"
sahut Liong Bun-kong menjura, "menurut peraturan istana, sebagai pejabat
tinggi aku berhak memohon grasi kepada junjungan."
Di antara lima orang, hanya In
San kira-kira memahami tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak
tahu apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong Bun-kong. Dalam
hati dia membatin: "Firman raja itu memang bukan palsu, apa salahnya biar
diperiksa olehnya?" Maka dia berkata: "Baiklah, biar dia memeriksa,
Tay-wi, boleh kau serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh
kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."
In San tahu akan undang-undang
ini, tapi kalau Liong Bun-kong tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana
ini In San juga tidak akan ingat lagi. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing
menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang sudah dalam
perhitungannya yang cermat. Andaikata Liong Bun-kong curiga dan menolak
mengembalikan firman, Tan
Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.
Kungfu Tan Ciok-sing sekarang
sudah setaraf jago kosen kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa
dihitung dengan jari. Liong Bun-kong hanya pembesar sipil yang lemah
berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal runyam.
Tak nyana perobahan kejadian
selanjutnya justru jauh diluar dugaannya.
Di waktu serah terima firman
dari tangan Tan Ciok-sing kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing
merasa telapak tangannya kesemutan. Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan
Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh sekaligus
terasa panas. Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat Lwekang yang paling sukar
diyakinkan.
Bahwa Liong Bun-kong mampu
menyalurkan Lwekang melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting
di tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh luar biasa dan susah
dibayangkan.
Mimpipun Tan Ciok-sing tidak
pernah menduga bahwa pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan
seperti Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini, jangan kata
sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga melawan, umpama dia sudah
mempersiapkan diri, juga mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang
hebat ini.
Kejadian cepat sekali,
tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik keras. Tan Ciok-sing telah diringkusnya
terus ditutuk Hiat-to pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas
kepala.
Kejadian diluar perhitungan,
karuan In San, Han Cin, Cin Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.
"Sret" kontan In San
mencabut pedang seraya membentak: "Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar
dorna yang akan dibekuk atas perintah firman raja." Tan Ciok-sing
disandera, In San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah dicabut,
tapi dia tidak berani menusuk.
Baru'saja Cin Tay-hun hendak
melabrak maju melancarkan kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja
itu, tiba-tiba ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok ke atas
kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki Ginkang tinggi telah
dipendam di atas atap, setiap orang membawa segantang air penuh, di saat-saat
menentukan itulah mereka menyiram air itu ke bawah.
Cin Tay-hun beramai sedang
dalam pikiran kalut, betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa
gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga tak mungkin
dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup. Demikian pula In San dan
lain-lain juga kecipratan muka dan tubuhnya, sehingga penyamaran mereka
terbongkar.
Liong Bun-kong tertawa
tergelak-gelak katanya: "Betul, aku ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi
kalian juga Thaykam dan Wisu palsu."'
Baru sekarang In San mengenali
orang yang menyamar jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go,
Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh In San bersama Tan Ciok-sing di
pesta ulang tahun Ong Goan-tin di Thay-ouw tempo hari.
Cin Tay-hun membentak:
"Sugong Go, kau kira kami menyamar petugas penyampai firman raja, kau
salah. Firman itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong
Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina firman raja, meski kelak
kalian bisa merat, bukan mustahil Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh
kekayaan dan keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku tahu kau
sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum kasep."
Hanya sekejap dari dalam
memang keluar satu orang, tapi bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup
besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan besarmu, bukan
mustahil kaupun memalsu firman raja?" Orang ini bukan lain adalah wakil
komandan Gi-lim-kun Ing Siu-goan tulen.
Ternyata pengurus rumah tangga
Liong Bun-kong yaitu Sa Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil
komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong Bun-kong, bersama
Tang-hay-liong-ong mereka berunding mencari jalan keluar untuk menghadapi
persoalan ini, maka akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong
Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda kilat mengundang Ing
Siu-goan.
Cin Tay-hun tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Kenyataan memang sukar dibedakan yang palsu dan
yang tulen, ada baiknya juga kita berkenalan."
Sembari bicara dia melompat
maju, secepat kilat tangannya melancarkan serangan.
Pukulan Cin Tay-hun telak
mengenai pundak orang, terasa pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas,
mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga perlawanan lawan sontak timbul
dengan hebat, sehingga telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan
Sip-hiong-kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas menyerang, dia sudah
bersalto beberapa tombak jauhnya.
Sebelum kakinya berdiri tegak,
tangannya telah terayun, katanya tawar: "Firman raja itu dijatuhkan untuk
Liong Bun-kong, kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong Bun-kong
saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani menentang firman raja, atau
merasa curiga akan firman itu, biar dia sendiri yang langsung menghadap
baginda, tanyakan persoalannya supaya jelas."
Benda yang terayun di
tangannya itu bukan lain adalah gulungan kertas yang berisi firman raja yang
akan diberikan Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-hay-liong-ong,
setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong menyerahkan kepada Ing
Siu-goan.
Dalam gerakan secepat kilat
menyerang Ing Siu-goan serta memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin
Tay-hun masih mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik firman raja
itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri menjublek. Sementara Ing Siu-goan
sendiri kaget dan ciut nyalinya diam-diam dia berpikir: "Bila bocah
keparat ini menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun, bukankah jiwaku
sudah mampus sekarang."
Di kala hadirin menjublek itu,
kembali Cin Tay-hun bergerak tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa
Thong-hay, bentaknya: "Terimalah firman raja."
Saking kagetnya, secara reflek
Sa Thonghay angkat kedua tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya
seperti menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahu-tahu gulungan
firman raja itu sudah disesepkan ke telapak tangannya. Karuan Sa Thong-hay
gusar: "Anak keparat, berani kau
mempermainkan aku."
Dia tidak berani merusak
firman raja, tangannya tak mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua
kakinya menendang dengan serangan berantai. Sa Thong-hay adalah murid aliran
Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian tendangan kakinya jauh lebih liehay
dari ilmu pukulan.
Meski tendangannya secepat
kilat, mana dia mampu menendang Cin Tay-hun? Hanya membalik setengah lingkar,
kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping mata uang tembaga
ke arah Tang-hay-liong-ong.
Senjata rahasia lempung
menutuk Hiat-to yang diyakinkan merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya,
kini dia ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan tepat.
Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan gerak-geriknya, kuatir orang
tahu-tahu menyerbu dan menggerayangi dirinya. Kini melihat mata uang menyerang
dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng, namun harapannya
ternyata gagal, ketiga mata uang itu seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan
telak.
Cin Tay-hun sudah kegirangan,
tak nyana tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak
katanya: "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan cahayanya."
Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu tiba-tiba secepat meteor melesat
balik ke arah pemiliknya. Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan,
ketiga mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik dengan daya
luncur dan tidak kalah kencangnya. Kiranya Tang-hay-liong-ong meyakinkan
Can-ih-cap-pwe-tiat, Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing
Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna. Bukan saja dia sudah
melatihnya sampai menyentuh pakaian kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai
Hiat-tonya ternyata mampu diritul kembali untuk menyerang pemiliknya.
Kejadian diluar tahu Cin
Tay-hun, meski dia memiliki Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup
runyam. Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya menggelundung di
tanah, ternyata pantatnya tetap terkena juga oleh mata uangnya sendiri. Untung
dia sudah menutup Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka
apa-apa.
Sebetulnya Tang-hay-liong-ong
tengah bergelak tawa, entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti
tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung sekeras-kerasnya, Tan
Ciok-sing yang sudah menjadi tawanannya tiba-tiba dilempar.
Lwekang Tan Ciok-sing memang
tidak setangguh Tang-hay-liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni
langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki segi¬segi lain yang
menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya, yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to
maksudnya tenaga tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah ke
tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to yang tertutuk itu
pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu singkat. Ilmu ini tiada bedanya
dengan cara mengerahkan hawa murni menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan
Hiat-to.
Di waktu mata uang Cin Tay-hun
mengenai tubuh Tang-hay-liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun
sudah bebas. Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh Tang-hay-liong-ong.
tubuh bagian atas tak mampu mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan,
tapi kedua kakinya masih bebas bergerak. Sekali ujung kakinya menendang, dengan
telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut Tang-hay-liong-ong.
Lwekang Tan Ciok-sing sudah
tentu jauh lebih tinggi dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong
memiliki ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak urung merasa
kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan
menabok batok kepalanya.
Kejadian diluar dugaan,
sergapan mendadak lagi, demi menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa
pikir, terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.
Lwekangnya memang teramat tangguh,
dalam sekejap, hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiau-hiat
yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di bagian tubuhnyapun sirna
seketika.
Sambil menggerung gusar segera
dia menubruk maju, maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing. Sudah tentu In San
tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong, Ceng-bing-kiam sudah
bergerak menghadang di depan Tan Ciok-sing.
Begitu Tang-hay-liong-ong ulur
tangan mencengkram. "Cret" tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas
sobek, di tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju itu hancur
beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak lekas menarik tangannya,
jari-jarinya pasti sudah terpapas putus oleh pedang mustika itu.
Kungfu Tang-hay-liong-ong
sebetulnya jauh lebih tinggi dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa,
dengan tangan kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia pasti tidak
akan dirugikan. Tapi baru saja Hiat-' tonya bebas, geraknya kurang leluasa,
maka hampir saja dia terluka oleh In San.
Baru saja Cin Tay-hun gunakan
keledai malas menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan berantai
Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke tubuhnya.
Secara kebetulan, Tan
Ciok-sing yang dilempar Tang-hay-liong-ong dengan daya lempar keras itu tepat
meluncur ke arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi.
"Biang" sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran, mendadak
tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan Ciok-sing, tubuhnya terbanting
keras, kepala bocor membentur lantai.
Tang-hay-liong-ong meraung
gusar: "Bawa kemari senjataku." Dari dalam berlari keluar empat busu
keluarga Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus
Tang-hay-liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak melempar
sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong. Sementara itu Tan Ciok-sing
sudah keluarkan senjatanya berdiri jajar bersama In San.
Setelah menyekal sepasang
senjatanya, Tang-hay-liong-ong membentak: "Baiklah, dengan sepasang
gamanku ini kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai keinginan
kalian, bertanding secara adil satu babak."
"Kau seumpama seorang
jendral yang telah kalah perang di medan laga, kalau tidak terima, apa
halangannya bertempur sekali lagi?" demikian ejek Tan Ciok-sing.
Tang-hay-liong-ong gusar,
dampratnya: "Tempo hari kalian menang dengan akal licik, masih berani juga
bermulut besar? Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."
Maka terdengarlah dering ramai
dari benturan keras antara sepasang pedang dengan Ban-ci-toh
Tang-hay-liong-ong, benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api
berpijar benderang.
Dengan kertak gigi
Tang-hay-liong-ong bertekad merebut kemenangan untuk membalas kekalahannya di
Tong-thing-san tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul
sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang pernah dia yakinkan
pada sepasang senjatanya dia boyong seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh
lebih hebat dari dulu.
Makin lama pertempuran tiga
orang ini makin sengit, serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka
sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata. Tanpa terasa dalam
arena setombak lebih di sekitar gelanggang terjalin pusaran angin kencang
sehingga orang lain tidak berani maju mendekat.
Di saat pertempuran kacau
balau berlangsung, tiba-tiba dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan
Ciok-sing kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak buah
Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok Khong-goan, Ciok Khong-goan
dan Sa Thong-hay adalah dua perwira tinggi yang paling setia kepada Liong
Bun-kong.
Sikap Ciok Khong-goan
kelihatan tegang dan gugup, katanya: "Sugong-thocu,
mengingat nona In ini pernah
ada hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau supaya hubungan
tidak retak, maka diberikan kelonggaran supaya kau memberi kesempatan untuk
mereka pergi. Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau dipanggil
untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu dihiraukan lagi."
Sudah tentu Tan Ciok-sing
heran mendengar perkataan Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia
teringat akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun bubarlah.
Setelah bertempur sekian
lamanya, tetap tak berhasil mengalahkan kedua lawannya, diam-diam
Tang-hay-liong-ong juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan mengundurkan
diri, mendadak dia menggertak sekali terus putar tubuh.
Hawa amarah membakar dada In
San, teriaknya: "Bangsat tua she Liong, kalau berani kau keluar.
Keluargaku telah kau bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias
dendamku."
Tang-hay-liong-ong tertawa,
katanya: "Nona In, lekas kau pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin
adalah..."
Belum habis dia bicara In San
sudah melabraknya dengan menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya
selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.
Lekas gaman 'di tangan kanan
Tang-hay-liong-ong diangkat dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya:
"Budak tidak tahu di untung, kau..." "Trang" api berpijar,
dengan gerak burung dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke belakang.
Tan Ciok-sing kaget, lekas
dengan jurus Tiang-hong-king-thian, sinar pedangnya tampak berkembang memanjang
tak ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara
Tang-hay-Liong-ong dengan In San.
Dalam sekejap itu
Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya silir semilir, ternyata di waktu In San
jumpalitan mundur, dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah dipapasnya
secomot. Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri menghadapi Tan Ciok-sing, In
San bahwasanya tidak dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap
enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut di atas kepalanya
karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa banyak bersuara lagi, lekas dia merat
kedalam serta menutup pintu.
Waktu Tan Ciok-sing menoleh,
dilihatnya ujung kaki In San baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali,
tak usah Tan Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula. Melihat
kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.
"Adik San, seorang Kuncu
membalas dendam sepuluh tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua
itu sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun lagi, biarlah
kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar bangsat tua itu hidup lebih
lama."
Setelah tenang gejolak
perasaannya. In San juga maklum, untuk menuntut balas seketika terang tidak
mungkin. Pikirnya: "Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua
itu, tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi, masih
menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang untuk menuntut balas sepuluh
tahun belum terlambat. Sekarang lebih penting kami meloloskan diri." Maka
dia manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka membuka jalan, setelah
bergabung dengan Toan Kiam-ping, Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang
keluar dari rumah keluarga Liong.
Tengah mereka melarikan diri,
tiba-tiba tampak dari depan datang serombongan barisan kuda membawa panji
Gi-lim-kun, dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda tinggi
gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng. Jabatan kedua orang ini
sejajar dan setingkat, tapi lantaran tugas masing-masing berbeda,
sepantasnya Hu Kian-seng
menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia pernah keluar istana
meninggalkan tugasnya. Kini justru bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan
menuju ke rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.
Ada pula kejadian yang lebih
mengejutkan hati Tan Ciok-sing, tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar
mengudak kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di sawah ladang
yang baru saja panen.
Cin Tay-hun membentak:
"Apakah Gi-lim-kun memang digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum
jembel)? Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."
Dandanannya sekarang masih
menyamar Ing Siu-goan sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di
mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga tampangnya kelihatan lucu dan
menggelikan, tapi perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi
seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun. Demikian pula Tan
Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih berpakaian wisu, sementara In San dan Han
Cin berpakaian Thaykam.
Melihat rombongan mereka,
sudah tentu anggota Gi-lim-kun merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah
ada yang berteriak: "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."
Tapi lain pandangan Hu
Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas Bok Su-kiat membentak: "Kurcaci bernyali
besar, di hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu tiruan
semuanya, hayo tangkap."
Maksud Cin Tay-hun dan Tan
Ciok-sing memang hendak memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Semalam kami sudah bertemu, seharusnya kau maklum bahwa petugas
seperti diriku ini bukan tiruan."
Hu Kian-seng melengak,
bentaknya: "Omong kosong, hari ini kau harus diringkus." Di mulut dia
bersikap garang, namun dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak
membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya?
Kali ini Hu Kian-seng dan Bok
Su-kiat memang menerima perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita
harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen yang harus
menjalankan firman raja.
Dalam keadaan kebat kebit Cu
Kian-sin semula masih bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal
juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co dan Milo Hotasu
sudah lari meninggalkan istana. Setelah Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan
di pantatnya, umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar kota minta
maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi, hubungan buruk sudah terjalin, apalagi
sebagai raja sudah tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.
Tan dan In juga sudah tidak
kelihatan, Kim-to Cecu menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to
Cecu baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan. Bila Kim-to Cecu sampai
menyebar luaskan konsep perjanjian damai itu, lalu angkat senjata menghasut
rakyat dengan semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar, betapapun Cu
Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.
Ditimbang-timbang dan dipilih
berat dan ringannya, apa boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet
bahaya meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka siap dia
menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu. Pertama yang harus dia
korbankan sudah tentu adalah Liong Bun-kong.
Hu dan Bok punya hubungan baik
dengan Liong Bun-kong, bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur memimpin
tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondong-bondong menuju ke rumah
Liong-Bun-kong, sebelum berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi
kabar kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bun-kong secara mudah
mau memberi kelonggaran kepada Tan Ciok-sing serta menarik mundur
Tang-hay-liong-ong. Sa Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik
untuk melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan Ciok-sing
pula. Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka, sebelum tiba di tempat tujuan, di
tengah jalan mereka sudah kepergok dengan Tan Ciok-sing.
Melihat Cin Tay-hun semirip
itu menyaru wakil komandan mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah
mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaok-kaok - terus menyerbu.
Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.
Cin Tay-hun malah bikin
barisan kuda Gi-lim-kun kocar-kacir, dengan Ginkangnya yang tinggi dia
terobosan di antara kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya. Sudah
tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan setangkas
gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak sempat menarik kendali malah
saling tumbuk dan injak.
Bok Su-kiat gusar, bentaknya:
"Kalian minggir, biar aku ringkus dia."
Cin Tay-hun tahu
keliehayannya, lekas dia merebut seekor kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur.
Dari seorang anak buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun
tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.
Tombak besar, panjang dan
berat, tenaga lemparan besar lagi, maka tombak itu mendesing kencang. Cin
Tay-hun sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak mata dan
menyengir hidung, teriaknya: "Haya celaka, kau tidak hiraukan sesama
kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke istana raja akhirat melaporkan
kejahatanmu," tiba-tiba tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut
kuda, tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda. Celaka adalah
seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan berada di sebelah depan, dia keprak
kuda pikirnya mau mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu
meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak amblas menembus
dadanya, dia terguling mati diinjak-injak kuda lagi.
Bok Su-kiat tambah murka,
hardiknya: "Bangsat cilik, lari kemana kau," mengeprak kuda segera
dia mengudak.
Sementara itu Toan Kiam-ping
juga sudah merebut seekor kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin
Tay-hun. Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiong-liong-jut-hay.
Sekuat tenaga dia menusuk. Lwekang Toan Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu
dia menangkis dengan pedang, "Trang" lelatu api berpijar.
Ceng-kong-kiam di tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung. Melihat gelagat
tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.
Pertempuran berjalan seru
alias setanding.
Siang-kiam-hap-pik Tan dan In
sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kian-seng lekas sekali mereka sudah
bergabung dengan Toan dan Han terus menerjang keluar dari kepungan.
Bok Su-kiat masih ingin
mengudak, lekas Hu Kian-seng membisikinya: "Biarkan mereka pergi."
Bok Su-kiat melengak, katanya:
"Kukira bocah itu sudah kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada
kesempatan meringkusnya?"
Hu Kian Seng tertawa, katanya
tersenyum: "Keluar rumah harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak
menguntungkan kita, biarlah, mereka pergi saja."
Bok Su-kiat juga seorang
licik, cepat sekali dia sudah paham maksud Hu Kian-seng, katanya: "Betul
juga, kita mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bun-kong, biarlah
bocah-bocah itu pergi saja." Segera dia memberi aba-aba menarik
pasukannya.
Setiba Tan dan ln di atas
gunung, sementara murid-murid Kaypang yang lari berpencar itupun sudah
berdatangan. Murid Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk
memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan mereka kepergok pasukan
Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.
Cin Tay-hun tiba-tiba berkata:
"Aku ingin pulang ke rumah keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku
tidak menyamar Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."
"Seorang diri terlalu
Bahaya bagi dirimu," ujar Tan Ciok-sing.
Cin Tay-hun tertawa, katanya:
"Berkelahi dengan orang, aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari
aku berani bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk diajak
berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik mundur, baru aku akan
menyelundup ke rumah Liong Bun-kong. Bila jejakku konangan, aku akan segera
lari."
Tan Ciok-sing tahu
kepandaiannya, katanya: "Baiklah, kau harus bertindak melihat gelagat,
nanti malam kita jumpa di markas lagi."
Setiba di markas Kaypang sudah
menjelang kentong kedua. Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu
Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tay-hun, tiba-tiba Liok
Kun-lun membentak: "Kalau kawan boleh silakan masuk," belum lenyap
suaranya terasa angin berkesiur, api lilin bergoyang-goyang.
Waktu In San membelalakan
mata, di depannya telah berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun?
"Cin-lote, hebat
Ginkangmu," puji Liok Kun-lun tertawa.
"Banyak terima kasih,
Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan hormat kepada Cianpwe."
Liok Kun-lun tertawa, katanya:
"Gurumu Siangkoan Ling-hong setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku
keluar kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun. Kau menyebut aku
Cianpwe, akulah yang tidak'berani terima."
Wi-cui-hi-kiau juga hadir,
setelah saling sapa dan basa-basi ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka
satu sama lain memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira.
Cin Tay-hun mulai berceritera:
"Pasukan Gi-lim-kun itu ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."
"Apa benar?" Liok
Kun-lun kaget, "jadi Liong Bun-kong telah ditangkap mereka?"
"Tidak. Sebelumnya Hu
Kian-seng sudah suruh orang memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek
panji menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya yang sedikit
punya kedudukan dan simpananpun telah hengkang tak karuan parannya. Jadi yang
ditangkap? pasukan Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung atau
tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah membekuk orangnya, harta
disita, rumah disegel."
Lim Ih-su berkata: "Kalau
demikian mana boleh dikata mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."
Liok Kun-lun berpikir sejenak,
katanya tertawa: "Agaknya mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka
kepalang tanggung."
"Kepalang tanggung
bagaimana?" tanya Lim Ih-su.
Liok Kun-lun menjelaskan:
"Karena terdesak oleh situasi, terpaksa raja harus mengorbankan Liong
Bun-kong untuk menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung
jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan firman dan rakyat banyak
mengetahui, ini tidak boleh dibilang pura-pura, tapi dia membiarkan Hu
Kian-seng dan kamprat-kampratnya bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam
prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian kepalang tanggung,
kurasa masih lebih baik dari pada tidak terjadi apa-apa."
Rasa dongkol Lim Ih-su masih
belum terlampias, katanya: "Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara
diam-diam membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu harus kita
bekuk."
In San berkata: "Bangsat
tua itu adalah musuh besarku, hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja
kepada aku dan Ciok-sing."
"Kalian jangan rebutan
tugas, yang terpenting sekarang adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua
itu melarikan diri?"
In San berkata: "Kukira
dia tidak akan berani lari ke kampung halamannya."
Cin Tay-hun berkata: "Aku
sembunyi di hutan di belakang gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak
sempat lari semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari paling
akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun ternyata diam saja berpeluk
tangan. Coba kalian terka siapa kedua orang ini?"
"Kurasa dia bukan orang
sembarangan." ujar Tan Ciok-sing.
"Mereka adalah Liong
Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."
"O, jadi Poyang Gun-ngo
selama ini sembunyi di rumah keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu
berada di kota raja, dia tetap menyembunyikan diri."
In San seperti memikirkan
sesuatu, katanya kemudian: "Dia sembunyi di rumah bangsat she Liong,
kukira untuk berjaga-jaga menghadapi bencana hari ini."
"Pendapatmu betul,"
ujar Cin Tay-hun, "Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan
Liong Seng-bu, tapi begitu melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka
lantas pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-lim-kun yang
berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah dipindah ke lain tempat oleh
Bok Su-kiat."
Lok In-hu berkata:
"Sebulan yang lalu keparat Liong Seng-bu kena kupukul luka parah, ternyata
masih kuat bertahan hidup, boleh juga dia."
"Aku justru tidak habis
mengerti, setelah dia terluka parah, kenapa pamannya tidak segera
memindahkannya ke tempat lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru
lari."
"Kurasa tidak sukar
kutebak," ujar Lok In-hu, "justru karena dia terluka, kuatir menambah
beban, maka pamannya meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu
Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang Gun-ngo?"
"Bahwa Poyang Gun-ngo
selama ini tinggal di rumah bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas
melindungi Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir kurasa
bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri sendiri, maka dia yang sudah
luka-luka tidak dihiraukan lagi."
Lok In-hu bertanya: "Lalu
bagaimana pendapatmu?"
"Menurut yang
kutahu," ujar In San, "biasanya Liong Seng-bu menyimpan dan mengurus
surat penting pamannya."
Liok Kun-lun menimbrung:
"Maksudmu Liong Seng-bu punya tugas untuk membakar surat-surat penting
yang tidak sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi yang
tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia harus memilih mana yang
harus dibawa dan mana yang harus dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan
diri."
"Betul, begitulah
dugaanku," sahut In San.
"Aku bisa membuktikan
bahwa dugaanmu tepat," ujar Cin Tay-hun, "dari tubuh keparat itu aku
berhasil mencuri selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu,
kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia," lalu dia keluarkan
peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang banyak, gambar peta ini amat
bagus dan teliti, lengkap dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada
berapa pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan dengan terperinci.
Liok Kun-lun keki setelah
melihat peta itu, katanya: "Kecuali sekongkol dengan bangsa asing,
Liong Bun-kong ternyata sudah
ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris negara dia memanfaatkan
fasilitas maka kekuatan tentara pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan
jelas. Peta militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin dia
hendak menjualnya kepada pihak Watsu."
"Memang dalam kantong
bajunya menyimpan setumpukan surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di
sampingnya, aku hanya berhasil mencuri selembar saja," demikian tutur Cin
Tay-hun. •
"Poyang Gun-ngo
memapahnya jalan," demikian ujar Lok In-hu, "bagaimana kau bisa turun
tangan?"
Setelah Cin Tay-hun
menceritakan pengalamannya, orang banyak tertawa terpingkel-pingkel.
Wajah Cin Tay-hun sudah tidak
menyamar Ing Siu-goan, tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun,
secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo dan Liong Seng-bu,
setiba di tempat sepi baru dia unjukkan diri, dengan sikap angkuh dia maju
memeriksa.
Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan
Bok Su-kiat sudah ada intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang
perwira, sudah tentu dia menjadi blingsatan.
"Apakah Bok Su-kiat
hendak melaporkan sesuatu kepadaku, maka mengutus kemari menemui aku?"
Demikian bentak Poyang Gun-ngo.
Cin Tay-hun pura-pura bingung
seperti orang linglung, katanya: "Siapa kau, berani menyebut langsung nama
besar pemimpin kita? Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."
Poyang Gun-ngo berpikir:
"Kiranya orang linglung, tak heran tidak menghiraukan perintah atasannya,
diam-diam mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi." Sekali pukul dia
menghancurkan sebuah batu, bentaknya: "Aku ini Busu kelas satu Poyang
Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bok-jongling kalian." Cin Tay-hun pura-pura
kaget, katanya: "Oh. ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya,
aku salah mengenalmu," sengaja dia pura-pura mau menjilat kepada Liong
Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia telah kembangkan kepandaian
copetnya.
Setelah reda gelak tawa orang
banyak, Liok Kun-lun berkata: "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana
kira-kira Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini tidak
kita pikirkan sebelumnya."
Lim Ih-su berkata: "Betul,
melihat gelagatnya, kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."
Hasil dari perundingan,
hadirin setuju mengutus Tan dan In pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus
membunuh Liong Bun-kong.
Sebelum berpisah sudah tentu
perasaan amat tertekan, terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han
Cin berat untuk berpisah. Toan dan Han akan kembali ke Tayli, sementara Kek
Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.
Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata:
"Kek-jithiap, Toh Lihiap, apakah kalian bermusuhan dengan
Thian-liong-kiam-kek Liu Jiu-ceng?"
"Betul," Toh So-so
menjawab, "putranya Kangouw Longcu Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya,
kenapa?"
"Kabarnya mereka akan
menuntut balas kepadamu, ibu Liu Yau-hong bergelar Yan-Io-sai bernama Bing
Lan-kun, adalah gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu memanjakan
putranya, mungkin dia yang paksa suaminya turun gunung untuk membuat
perhitungan dengan kalian, kalian harus hati-hati."
"Terima kasih atas
perhatianmu, kami akan berlaku hati-hati," kata Kek-lam-wi, seperti ingat
sesuatu tiba-tiba dia tertawa, katanya pula: "Tan-toako, semoga kita lekas
bertemu lagi."
Tan Ciok-sing kira orang hanya
mengucap hiburan sebelum berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian
hari pun telah terang tanah.
Setelah pamitan pada orang
banyak Tan dan In berangkat naik kuda ke utara.
Diluar dugaan, sepanjang jalan
mereka tidak pernah mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong
Bun-kong atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tiba di
kampung kelahiran In San, yaitu kota Tay-tong.
Setelah ditimpa perang, kota
Tay-tong jauh lebih parah lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang
telah menghentikan usahanya. Setelah malam tiba tentara negeri yang mondar
mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk yang melancong di jalanan.
Rumah In San ada di Tay-tong,
setiba di Tay-tong sudah tentu In San amat rindu dan haru. Rumahnya sudah
disegel, harta peninggalan ayahnya juga disita habis.
Waktu memasuki kota hari mulai
petang. Tan Ciok-sing mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata:
"Tak usah cari penginapan."
Tan Ciok-sing maklum, katanya:
"Betul, nginap di hotel
mungkin menarik perhatian orang. Tapi kemana kita harus berteduh?"
In San tertawa, katanya:
"Kau lupa rumahku ada disini?"
"Sudah dua tahun rumahmu
disegel, mungkin sekarang sudah dilelang."
"Apa salahnya kita
kesana. Kalau sudah menjadi milik orang lain, nanti kita cari tempat
lain."
Diluar dugaan, meski segel di
atas pintu sudah luntur, tapi kertas segel itu masih menempel kencang, berarti
rumah itu masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak dijaga.
Mereka masuk melewati tembok,
ternyata pekarangan juga terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh
rumput dan alang-alang liar. Waktu In San masuk ke kamar tidurnya, pajangan dan
keadaan sesuatunya ternyata tidak ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan
kamar-kamar lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.
Kaget dan riang hati In San,
katanya: "Agaknya ada orang sering membersihkan rumah ini."
Tan Ciok-sing berkata:
"Rumah yang telah disegel masakah mereka mau merawatnya begini baik,
kejadian cukup mencurigakan."
In San tertawa, katanya:
"Kita toh hanya menginap semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan
lebih mending dari pada menginap di hotel."
Tengah malam, tiba-tiba
terdengar kuda dan kereta mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah ln San.
"Eeh, mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang bernyali sebesar
ini?"
Tengah mereka bertanya-tanya,
terdengar sebuah suara yang sudah dikenal berkata: "Rumah keluarga In ini
kusuruh walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku ternyata dipatuhi
dengan baik. Ai, tapi sekarang aku..." yang bicara ini bukan lain adalah
keponakan Liong Bun-kong, yaitu Liong Seng-bu.
Maklum sejak bertemu pertama
kali Liong Seng-bu sudah kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai
muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu, meski rumah
keluarga In disegel dan hartanya disita, namun secara diam-diam dia masih suruh
orang merawat rumah ini baik-baik. Masih terbetik harapan dalam benaknya bila
kelak dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri akan diajak
pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan senang.
Sekarang ln San memang kaget
dan senang, rasa senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang
yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang yang diharapkan oleh
Liong Seng-bu.
Senang karena dicari
susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu ketemu tanpa membuang tenaga. Bangsat kecil
yang dicari jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya sendiri.
Maka seseorang berkata:
"Buat apa Kongcu susah, musibah yang menimpa pamanmu ini hanya sementara
saja, setiba di Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan pikirannya.
Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup senang dan foya-foya? Kelak bila
Pak-khia berhasil kita rebut, pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris
belaka," logat bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong.
Suara lain yang sudah dikenal
bersuara: "Ting-congping yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu
yang mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke markas militernya sana.
diapun akan menyambutmu dengan tangan terbuka," orang ini adalah Huwan
Liong, tertua dari Huwan bersaudara.
Liong Seng-bu tertawa getir,
katanya: "Situasi sekarang beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang
berkuasa di perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat, kau
kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah yang menimpa keluargaku
masih mau mengingat hubungan baik masa lalu?"
Huwan Liong berkata:
"Justru karena berita yang dia peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling
sudah mengirim orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli hubungan
masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan nasibnya kelak bila Lo-tayjin
suatu ketika memperoleh kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih
segar bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa baiknya.
Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar dengan selamat,
memangnya dia bakal mencelakai kau Kongcu?"
"Bukan kuatir diketahui
orang, tapi takut dilihat orang, kalau secara terang-terangan kita mampir ke
markas besarnya sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir
saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski melanggar hukum,
biarlah aku menginap di rumah keluarga In semalam saja."
Huwan Liong tertawa, katanya:
"Kongcu memang berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang
mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada menginap di hotel,"
sembari bicara mereka sudah memasuki ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera
terus memimpin jalan di sebelah depan.
Tiba-tiba terdengar jengek
tawa dingin sinar pedang menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih
dulu, bentaknya: "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, alehirat tiada
pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu pentang mata anjingmu, lihat
siapa aku?" tampak In San berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil
menyoreng pedang. Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.
"Kongcu lekas lari,"
teriak Huwan Liong gugup.
Huwan Kiau melempar lentera
yang dipegangnya, "ting, ting, ting" secepat kilat empat bersaudara ini
melolos pedang membentuk barisan.
Poyang Gun-ngo berteriak:
"Kongcu, kalau kau tidak bisa lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar
aku pergi mengundang bantuan," dia kuatir Tan dan In tidak akan membiarkan
dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa dokumen-dokumen penting berada di
badan Liong Seng-bu, pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di
sakunya.
Sudah tentu Liong Seng-bu
gugup dan gusar pula, tapi sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar
pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang panjang Huwan bersaudara
telah terpapas kutung oleh sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.
Liong Seng-bu terluka delapan
goresan dan tusukan, lima luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk
kutungan pedang Huwan bersaudara yang terpental balik. Dengan jeritan menyayat
hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah membanjir dari luka-lukanya,
jiwanya jelas takkan tertolong lagi.
Setelah menyeka noda darah di
pucuk pedangnya, ln San sarungkan kembali pedangnya, katanya: "Inilah
ganjaran setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana ini patut
kalian jadikan contoh."
Tan Ciok-sing menambahkan:
"Mengingat kalian hanya diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar,
maka hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian tahu diri,
membina diri kembali ke jalan yang benar, nah silakan kalian pergi."
Huwan bersaudara tidak sangka
bahwa Tan Ciok-sing mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura, katanya:
"Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap mengampuni jiwa kami, kami
akan patuh petuah dan nasehat siauhiap,
selanjutnya tidak akan
berkecimpung di kalangan Kangouw lagi."
Hari hampir terang tanah, In
San menghela napas, katanya: "Marilah kita melanjutkan perjalanan
saja," dengan perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan kampung
halaman tempat kelahirannya.
"Dari pembicaraan mereka
dapat kita simpulkan, bahwa bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan
keluar perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita mampir ke
markasnya memberi laporan."
Sekeluar dari Tay-tong,
sepanjang jalan tiada kejadian apa-apa, bagi In San merupakan kembali ke tempat
yang pernah dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan,
bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya: "Tan-siauhiap,
bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku menunggumu, hari ini baru bisa
bertemu dengan kau. Kau membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu,
tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak terima kasih kepadamu."
"Semua itu juga berkat
rencana Cecu yang baik, aku hanya melaksanakan tugas saja, mana berani menerima
jasa segala? Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang kita
ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya dengan sepenuh hati.
Ada beberapa persoalan ingin kulaporkan kepada Cecu."
Kim-io Cecu tertawa, katanya:
"Sudah logis kalau urusan tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak
akan sepenuh hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah kita
bicara didalam saja."
Dalam perjamuan yang diadakan
khusus untuk menyambut kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan
pengalamannya bertemu dan
berunding dengan Baginda, serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang
dilihatnya sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.
Kim-to Cecu berkata:
"Bukankah kalian hendak meluruk ke Watsu membalas dendam kepada Liong
Bun-kong disana? Aku tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku
berpendapat kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira belum tiba
saatnya."
In San berkata: "Kami
akan pergi ke Thian-san, sekalian lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami
akan turun tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung menuju
ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah belajar rias dari Han-cici, di
Watsu belum tentu kami bisa bertemu orang yang kenal kami."
Tan Ciok-sing bertanya:
"Situasi terakhir bagaimana? Mungkin terjadi peperangan pula."
Kim-to Cecu berkata:
"Watsu baru saja mefngalami kekalahan total di medan laga, rencana
permohonan damai raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan
menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula pasukannya dan
mempersenjatainya lebih lengkap, itu memerlukan waktu hampir setahun, yakin
dalam jangka selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi
lagi."
"Kalau begitu, jangka
setahun ini sudah cukup untuk kami pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah
murid penutup Thio Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."
"Apakah sebelum gurumu
meninggal ada meninggalkan pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara
seperguruanmu?" tanya Kim-to Cecu.
"Menemui sesama
seperguruan adalah tugas sampingan. Di masa tuanya guruku berhasil menciptakan
ilmu pedang baru, kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."
Kim-to Cecu manggut-manggut,
katanya: "Ya, memang sepantasnya." Lalu menambahkan,
"Toa-suhengmu Toh Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang
menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago pedang nomor satu
di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu' meninggal di kala kau masuk perguruan,
bila ada kesempatan kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang
baik."
Setelah urusan dinas
dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu teringat seseorang, katanya:
"Kebanyakan rakyat Watsu dan bala tentaranya tidak ingin berperang,
menurut apa yang kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing
menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya bernama Abu.
Jendral Abu paling getol menentang politik perang junjungannya, dia lebih
cenderung hidup berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa tetangga. Bila
dipandang perlu, setiba disana boleh kalian berusaha menemuinya."
Hari kedua Tan Ciok-sing ikut
In San sembahyang di depan makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik
kuda.
Setelah tiba di gurun sahara,
alam semesta beda pula bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir, kini mereka
berada di dunia salju.
Hari itu mereka lewat di bawah
sebuah gunung bersalju, bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya
menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke langit itu mirip
sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit, di lereng gunung tampak sejalur
garis kemilau yang memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya
mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak airnya mengalir.
Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau sungai es.
Mereka terpesona menyaksikan
keindahan panorama yang belum pernah mereka lihat. Di saat mereka menjublek
itulah, tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang ketakutan, di belakangnya
mengudak seekor badak bercula tunggal berkulit putih. Perawakan badak putih ini
jauh lebih besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Ciok-sing
lihat.
Lari badak secepat terbang,
dalam sekejap lagi kuda itu jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah
pemuda berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak kudanya,
mulutnya berkaok-kaok minta tolong.
Tan Ciok-sing tidak banyak
pikir lagi, "Tar, tar". Dua kali cambuknya melecut kuda, serta
dibedalnya mengejar kesana. Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil
menyusul kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda itu menjadi
binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak sehingga si pemuda dilempar, jatuh
dari punggungnya.
Lekas Tan Ciok-sing juga
menyendal kaki, tubuhnya melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar
biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di tengah udara
tubuhnya bersalto berulang kali pedang mustikanya telah terlolos di tangan,
dari atas dia menukik dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si
badak.
Keadaan sedemikian gawat, jiwa
si pemuda sudah di ujung tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan
pedang Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak, berbareng tangan kiri
bekerja mendorong si pemuda. Tenaga yang dipergunakan sudah diperhitungkan
sehingga pemuda itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos
dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk.
Karena matanya buta badak itu
jadi meraung gusar dan main terjang membabi buta. "Biang" akhirnya
menumbuk batu besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika
mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling akhirnya jatuh kedalam
selokan gunung dan terbanting hancur.
Rasa kejut si pemuda belum
lenyap, meski tidak terluka sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya
terasa lemas dan tidak mampu merangkak bangun. Lekas Tan Ciok-sing memapahnya
berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang baru saja dipelajari: "Badak
liar itu sudah mati, sudah aman, kau..." tiba-tiba dia merasa wajah pemuda
ini seperti sudah amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang dengan
melongo, lalu berteriak senang bersama.
Bertemu dengan kawan lama,
senang si pemuda bukan main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing,
"katanya dengan bahasa Han yang fasih: "Tan-toako kau masih ingat
padaku? Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara, sekarang ocehannya lebih
baik lebih merdu lagi."
Pemuda ini bukan lain adalah
Siau-ongya dari Watsu yang dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya
bertugas sebagai duta rahasia. Hari itu bersama anak buahnya dia bertamasya di
tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan Tan Ciok-sing kebetulan Tan Ciok¬
sing menangkap seekor burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung
Soat-li-ang (merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi burung itu, maka
Tan Ciok-sing berikan burung itu.
"Siau-ongya, kau
baik." Sapa In San dengan tertawa.
Sesaat lamanya Siau-ongya
pandang In San, akhirnya berkata dengan tertawa: "Tan-toako, temanmu ini
ternyata seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya lagi,"
seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu In San menyamar
laki-laki.
In San keluarkan kipas lempit
gagang emas itu, katanya sambil diacungkan: "Kado yang kau berikan kepada
Tan-toako, dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit membantu kami,
aku harus berterima kasih kepadamu."
"Ah, terhitung apa,"
ujar Siau-ongya, "kipas itu pemberian raja kalian, lalu kuberikan lagi
kepada Tan-toako." Sejak kecil dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka
bicaranya juga amat lancar.
"Siau-ongya,-kenapa
seorang diri kau berada di atas pegunungan liar ini, tidak membawa
pengikut?" tanya In San.
Siau-ongya bertanya:
"Apakah kalian perriah dengar suatu dongeng bahwa di puncak gunung salju
ini ada istana es?"
"Dari kaum gembala aku
pernah mendengarnya, tapi itu hanya dongeng saja," ujar Tan Ciok-sing.
"Tidak, aku justru
percaya bahwa istana es kenyataan memang ada."
Melihat orang bicara tegas dan
penuh keyakinan, Ciok-sing jadi heran, tanyanya: "Dari mana kau
tahu?"
"Ayahku yang bilang. Tapi
aku mencuri dengar pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar
tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."
Maka dia menceritakan
kejadiannya: "Sudah lama aku mendengar dongeng itu maka ingin aku
membuktikan sendiri, tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah
aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya jangan kata berita
tentang istana es itu hanya obrolan orang belaka, umpama benar ada istana es
seperti yang disebar luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak
itu aku tak berani menyinggung soal itu.
Tapi semakin dilarang semakin
benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri dengar pembicaraan ayah dengan
seorang Wisu yang baru datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari
seseorang, orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diam-diam
aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi ini aku kesasar, badak
liar itupun hampir saja menyerudukku mampus. Tan-toako, syukur kau
menolongku."
Tan Ciok-sing berkata:
"Sekarang kau telah melihat puncak salju yang menembus mega itu, apa yang
dikatakan ayahmu memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada istana es,
jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau pulang saja."
Setelah mengalami berbagai
penderitaan pangeran kecil ini memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya
menghela napas: "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung salju
itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun sudah cukup membuatku
kepayahan, bila kepergok lagi binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus
mencari penolong? Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku harus
pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap suatu ketika aku bisa
menyambut kedatangan kalian."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Umpama kami pergi ke Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di
istana ayahmu."
Siau-ongya menepuk kepalanya
sendiri, katanya: "Iya, kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian
adalah teman baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo Hoatsu
dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo, ayahku adalah teman mereka,
sudah tentu kalian tidak bisa tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di
Holin. aku bisa mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."
"Terima kasih akan maksud
baik Siauongya, ada satu hal ingin mohon bantuanmu."
"Tan-toako, tadi kau
menolong jiwaku, mumpung aku sedang bingung bagaimana harus membalas budi
pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan, apapun yang kau suruh
pasti kulaksanakan sekuat kemampuanku."
"Jangan kau ceritakan
kepada siapapun akan pertemuan dengan aku disini."
"Jangan kuatir Tan-toako,
aku tahu maksudmu."
Kuda yang ditunggangi
siau¬ongya adalah kuda perang yang sudah dilatih baik, setelah bebas dari
pengejaran badak, tampak dia sudah lari keluar dari hutan. Siau¬ongya segera
cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima kasih pula atas
pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.
Tan dan In melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba tampak dua orang sedang lari dikejar empat orang berkedok
muka. Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh seorang berkedok,
lekas sekali, teman pemuda itu sudah dikepung tiga orang berkedok yang lain.
Orang yang dikoroyok tiga itu
agaknya memiliki kepandaian tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas
menyerang. Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak: "Aku tidak salah
dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian mengudak dan hendak
membunuhku?"
Orang berkedok yang mengudak itu
tertawa tergelak-gelak, katanya: "Memang kau tidak punya permusuhan
pribadi dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"
Mendengar 'Jendral Abu', lekas
Tan Ciok-sing keprak kudanya memburu kesana.
Orang berkedok sudah menyusul
si pemuda, tiba-tiba dia menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti
elang menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si pemuda. Kuda Tan
Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya tepat waktunya. Tan Ciok-sing sudah
melompat ke depan mengadang di depan orang berkedok. Melihat Ginkang orang ini
cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang seraya membentak: "Biar
kutabas cakar anjingmu."
Orang itu menukik dengan
tubrukan kencang, sebenarnya sukar menghindar. Tak nyana lengannya tahu-tahu
bisa melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing mengincar pergelangan
tangannya, dia yakin sasarannya pasti kena telak, diluar dugaan tusukannya
meleset.
Gerakan kedua pihak secepat
kilat, sebelum kaki menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram
tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya
menggunakan
Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh dan lucu, gaya dan
gerakannya itu jelas amat berbeda dengan ilmu sejenis yang dipelajari oleh
cabang persilatan df Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh
itu. Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram, sedikit berputar,
selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe, sambil berkelit sekaligus dia
menusuk tujuh Hiat-to di tubuh lawan.
Orang itu kena sekali tusukan
pedangnya, tahu keliehayan Tan Ciok-sing, segera dia kabur. Sayang tusukan
Tan-ciok-sing tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat
keliehayan Kungfunya.
Tujuan Tan Ciok-sing hanya
menolong orang, tak sempat dia mengudak, teriaknya: "Adik San..." dia
ingin supaya In San mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan
orang itu sudah mati. Mati dibunuh oleh teman si pemuda.
Orang itu terdesak kewalahan
dikeroyok tiga lawannya, entah bagaimana, mendadak dia meraung serta memperlihatkan
kemahirannya, sekaligus tiga
pengoroyoknya kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka. Orang ke empat
yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga dikejarnya, saking kaget
orang berkedok itu berteriak: "Buyung Ka, kau..." "Bles"
tahu-tahu pedang sudah menusuk jantung, jiwanya melayang seketika di bawah
pedang orang itu.
Tan Ciok-sing membimbing si
pemuda, pemuda itu memperkenalkan diri: "Aku bernama A Kian, terima kasih
akan pertolongan Congsu..." belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya
orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh terguling dari atas lereng,
kedok mukanya kecantol duri sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya,
tak sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget: "Hah, kiranya
kau..."
"Siau-ya," sentak
temannya itu, agaknya dia berusaha mencegah si pemuda mengatakan nama orang
itu.
A Kian tertawa, katanya:
"Dia tuan penolong jiwaku, kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah
Busu kelas satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."
"Tak heran dia memiliki
Kungfu seliehay itu," ujar Tan Ciok-sing.
"Kau orang Han
bukan?" tanya A Kian, "kau juga tahu Yu-hian-ong?"
"Nama besar Yu-hian-ong
siapa tidak kenal, dalam negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku
berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu." Dalam hati diam-diam dia tertawa,
"bukan hanya kenal saja, aku malah musuh besarnya."
A Kian segera memperkenalkan
orang itu: "Dia ini Wisu ayahku, bernama Buyung Ka."
Buyung Ka berkata:
"Terima kasih akan pertolonganmu kepada Siauya," sembari bicara dia
ulur tangan berjabatan tangan.
Tan Ciok-sing tahu orang
sengaja hendak menjajal Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang.
Buyung Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen, tenaganya seperti
kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga tidak kerahkan tenaga balas
menyerang. Sebagai ahli silat, dia insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih
lebih tinggi, lekas dia lepas tangan dan berkata: "Kagum, kagum."
A Kian kegirangan, katanya:
"Apa kalian mau ke Holin?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Ada urusan apa?"
"Kami mengungsi, ingin
mencari pekerjaan."
A Kian kegirangan, katanya:
"Ayah memang sedang mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."
Lekas Tan Ciok-sing berkata:
"Kebetulan malah bagi aku yang sedang nganggur ini," dalam hati dia
membatin: "Tanpa membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral
Abu."
"Kau sudah tahu siapa
ayahku bukan?" tanya A Kian.
"Tadi kudengar dari mulut
kawanan jahat tadi, ayahmu ternyata Jendral Abu."
"Betul," ujar A
Kian.
"Setelah memasuki wilayah
negerimu, sepanjang jalan aku mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak
nyana disini aku bertemu dengan Kongcu."
"Kau adalah penolongku,
jangan sungkan. Nona ini..."
"Dia adikku," Tan
Ciok-sing memperkenalkan.
"Baiklah, kuundang kalian
kakak beradik mampir ke rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain,
terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."
Melihat A Kian bersikap sebaik
itu, terpaksa Buyung Ka ikut bersikap baik pula.
"Siauya," ujar
Buyung Ka, "kejadian hari ini, sepulangmu nanti hanya boleh kau beritahu
kepada ayahmu saja. Kepada orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."
"Aku tahu," sahut A
Kian, "Tan-heng, tolong kalianpun ikut merahasiakan kejadian ini."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak
paham, tanyanya: "Entah boleh tidak aku bertanya?"
"Aku tahu apa yang ingin
kau tanyakan," kata A Kian "Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku,
maka kau merasa heran bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut.
"Yu-hian-ong amat iri
terhadap ayahku, bahwa hari ini dia berani suruh anak buahnya hendak
membunuhku, akupun merasa diluar dugaan."
Kuda Tan Ciok-sing dan In San
adalah pemberian Kim-to Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung
Ka adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka sudah tiba di Holin.
Setiba di rumah A Kian,
melihat dia mengajak dua orang Han pembantu tuanya keheranan, katanya:
"Lo-ciangkun sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini.
Siauya, mari kau kutemani mengundang beliau."
"Kenapa
susah-susah." Ujar A Kian, "kedua orang Han ini adalah temanku,
mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay pula, biar aku ajak mereka ke
belakang melihat ayah latihan, ayah tidak akan menyalahkan aku." Lalu A
Kian menoleh kepada Tan Ciok-sing, "sepuluh tahun bagai satu hari, bila
ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali," lalu dia bawa
Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.
Tampak seorang Jenderal usia
lima puluhan lebih sedang memutar sebatang golok baja berpunggung tebal
sekencang kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun pohon dan
kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti disambar lesus.
Dengan seksama Tan Ciok-sing
memperhatikan, permainan golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun
banyak
ragamnya, diam-diam dia berpikir:
"Jikalau dia bukan seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya
boleh terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran, "walau belum pernah
menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan sepuluh jurus, ada tiga
sampai lima jurus seperti sudah amat kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu
dari aliran Se-ek, lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski
perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat dijajaki.
Saking bernafsu permainan ilmu
golok Jendral Abu, "Cras" tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi
kena ditabas oleh Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu batang
pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong.
Tanpa kuasa Tan Ciok-sing
berseru memuji: "Ilmu golok bagus."
Jendral Abu memeluk golok
berdiri tegak, katanya: "A Kian, kau sudah kembali. Saudara ini..."
"Sahabat orang Han ini
adalah tuan penolong jiwa anak." Kata A Kian.
Setelah mendengar putranya,
dengan sinar tajam Abu pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba: "Anak
Kian, keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang masuk. Waktu
kembali, tutup sekalian pintu taman."
"Tan-heng, apa betul
lantaran mau cari kerja kau bersama adikmu ini datang ke Holin?" tanya
Abu.
"Bicara terus
terang," kata Tan Ciok-sing, "kami adalah teman baik Kim-to
Cecu."
Terbelalak kaget dan girang
Abu, katanya: "Sudah lama aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada
kesempatan bertemu."
"Kim-to Cecu juga amat
mengagumi Ciangkun, sering dia membicarakan Ciangkun dengan kami."
"Apa yang dia
katakan?"
"Beliau bilang Ciangkun
adalah teman bangsa Han kita sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya
pandangan dan pengetahuan paling luas."
Abu geleng-geleng, katanya
ramah: "Kim-to Cecu terlalu memuji aku."
"Bukan pujian kosong
belaka, dengan kedudukan Ciangkun, apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin
persahabatan antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus
dipuji."
"Harus bersahabat dengan
bangsa Han adalah petuah para leluhur kita." Demikian kata Abu,
"walau kami belum pernah datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi
keluarga kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa Han
kalian."
Sementara itu A Kian sudah
kembali berdiri di samping ayahnya, katanya: "Apa betul, kenapa ayah tidak
pernah ceritakan hal ini kepadaku."
Tiba-tiba Abu menoleh ke arah
Tan Ciok-sing, tanyanya: "Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah
sekarang masih ada keturunannya?" . .
Tan Ciok-sing melengong,
katanya: "Pengetahuan wan-pwe masih cetek, banyak aliran golok cepat di
Tiong-toh yang ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan golok
kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum pernah kudengar."
Jendral Abu menghela napas,
katanya: "Kalau begitu tentu sudah putus turunan." Lalu bertanya
pula: "Dalam kalangan Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang
kisah Hong-in-lui-tian?"
Tan Ciok-sing adalah murid
penutup Thio Tan-hong, Thio Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman
ini, pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Ciok-sing tidak lama
masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka tentang sejarah perkembangan kaum
persilatan jarang yang diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian,
sudah tentu belum pernah dengar.
Malah In San yang teringat,
katanya: "Kisah Hong-in-lui-tian aku pernah dengar dari ayah. Mereka
adalah empat jago kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul
tidak?"
"Betul," sahut Abu.
"O, jadi Hong-in-lui-tian
terdiri empat orang."
"Hong adalah Hong Thian¬
yang, pernah menciptakan Cui-hong-to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang
perempuan, terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah seorang laki
laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui, Lwekangnya paling ampuh.
Tian sudah tentu juga nama julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang
ini adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon Hong dan In adalah
sepasang suami istri, sayang setelah beberapa ratus tahun berselang, ilmu
ciptaan mereka mungkin sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini
baca Si Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian)
"Masih jelas nona In
mengenang sejarah masa lalu, tapi tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan
itu?"
"Apa dia bukan orang Han?
Ayah tidak menjelaskan, mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."
"In Tiong-yan adalah tuan
putri bangsa Mongol kita," demikian tutur Abu.
"In Tiong-yan adalah nama
yang dia pakai dari bahasa Han, dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta,
tantangan keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia minggat
dan hidup sampai tua dengan kekasih yang dicintainya."
Tergerak hati In San dia
mengerti, katanya: "Ciangkun, ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah
hasil dari warisan Hong Tayhiap?"
"Betul. Tiga ratus tahun
lalu, kakek moyangku adalah sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang
pribadi tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan. Suami isteri
leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke Tiongkok, demikian pula Hong
Tayhiap pernah berkunjung ke rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga
Hong, selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada kontak dan
saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus tahun lebih yang lampau, karena
peperangan kedua keluarga kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga
hubungan putus demikian saja."
In San berkata: "Pesan
leluhur Ciangkun ternyata punya kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke
Tionggoan akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai sekarang masih
ada keturunannya."
Abu tertawa, katanya:
"Persahabatan antar bangsa yang kekal abadi dalam kisah itu memang
mengharukan, tapi sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita
hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus Kim-to Cecu?"
"Bukan," ujar In
San, "tapi tujuan kami kali ini pernah kami utarakan kepada Kim-to Cecu,
beliaupun menyetujui rencana kami."
"Maaf aku lancang tanya,
bolehkah aku tahu rencana kedatangan kalian?"
"Hal ini memang ingin
kami laporkan kepada Ciangkun," sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan
pengejarannya kepada LiongBun-kong sehingga tiba di Holin.
Abu berkata: "mereka
memang sudah sampai di Holin, kini tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang
kuketahui, bangsat tua she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang
menunggu undangan Khan Agung untuk menghadapinya."
"Dia pasti akan menghasut
khan kalian untuk mengerahkan pasukan menyerbu ke Tiongkok."
"Itu sudah jelas.
Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hian-ong adalah orang yang paling getol
menyuarakan perang, kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."
Kata A Kian menggertak gigi:
"Manusia rendah yang menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu
membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di Holin bangsa Mongol
kitapun bakal ketimpa malang dan bencana oleh peperangan itu."
In San bertanya: "Ikut
dengan bangsat tua she Liong itu ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong
Go, apa Ciangkun sudah tahu?"
"Tahu, konon ilmu
silatnya tidak kalah dibanding Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu.
Ketenarannya di Holin sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."
"O, lantaran apa namanya
begitu tenar?" tanya In San.
"Belum lagi majikannya
Liong Bun-kong diundang oleh Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di
hadapan Khan Agung."
Ternyata Khan besar Watsu
sedang membangun angkatan perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai
pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang berdarah, jiwa manusia
dianggap permainan, dalam istananya tidak sedikit memelihara binatang-binatang
buas, seperti singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan
timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan binatang-binatang
buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya itu juga hasil pilihannya setelah
diadu dengan binatang buas.
"Tang-hay-Iiong-ong telah
pamer kepandaiannya yang hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga
ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil yang gemilang itu
sudah tentu memecahkan rekor selama pertandingan manusia dan binatang itu
diadakan." Demikian tutur Abu.
"Membunuh binatang buas
bagi Tang-hay-liong-ong memang tidak perlu membuang banyak tenaga."
"Itu belum hebat.
Belakangan Khan besar suruh dia bertanding satu persatu dengan delapan belas
jago pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang menang.
"Dia terlalu egois untuk
menuntut kemenangan, umpama mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang
terang para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam kepadanya."
"Memang, hari kedua
kawanan Busu itu mengundang Milo Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan
mengalahkan Tang-hay-liong-ong."
"Bagaimana akhir dari
pertandingan itu?" tanya In San ketarik.
"Konon Lwekang mereka
sama kuat alias seri, susah dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran
terdengar dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu
Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu sebagai Koksu, maka dia
sengaja mengalah, sebaliknya ada pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin
menariknya sebagai pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.
"Tapi tak peduli siapa
mengalah, yang terang tanpa bertanding mereka tidak akan kenal, sejak
pertandingan itu, Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke Putala
sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk memperdalam ilmu
silat."
In San bertanya: "Kalau
demikian, sekarang dia tidak serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman
Yu-hian-ong?"
"Kabarnya Milo Hoatsu
hendak mengajaknya mempelajari sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu
singkat jelas dia tidak akan kembali."
"Itu lebih baik,"
ujar In San tersenyum.
Abu melengak, tanyanya:
"Maksudmu akan, akan..."
"Betul, mumpung ada
kesempatan aku akan meluruk kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat
tua ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara, bangsa kita
siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus berkorban, aku bertekad akan
membunuhnya. Kini Tang-hay-liong-ong yang
berkepandaian tinggi tidak
berada di sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."
Abu diam menepekur, A Kian
berkata: "Ayah, tadi kau bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga
membawa bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka, sekalian kita
boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah menguntungkan kita semua."
"Kedua persoalan ini
harus dipencar penyelesaiannya, kularang kau punya pikiran hendak membunuh
Yu-hian-ong."
"Kenapa," teriak A
Kian, "Ayah, berulang kali dia memfitnah hendak mecelakai kau, apa kau
lupa? Tadi diapun suruh anak buahnya membunuh aku."
"Kalau orang lain berbuat
jahat, jangan kita meniru perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan
sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat hendak menjatuhkan
aku, aku justru hendak menghadapinya secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan
Agung untuk membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi, mati
seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang akan melakukan kejahatan
pula. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau
Yu-hian-ong mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku? Aku tidak takut
dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah kita bertindak demikian?"
"Analisa Ciangkun memang
benar," ujar In San, "kami tidak akan merembet Ciangkun."
"Jangan kalian
berprasangka," ujar Abu, "bukan aku mau mengatakan kalian salah.
Walau aku tidak setuju cara pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada
terkecuali, dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau Liong
Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi hukuman oleh Sribaginda,
demikian pula dendam tak terbalas, maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku
tidak akan bisa menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa memberi
bantuan apa-apa."
"Ciangkun, kami juga
maklum akan posisimu, maka tidak akan bertindak keliwat batas sehingga kau
terjepit. Untuk membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah berabe,
maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."
"Tang-hay-Liong-ong
sekarang memang tidak berada di kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian
tinggi di rumahnya tidak sedikit jumlahnya."
"Mati hidup kita sudah
tidak terpikir lagi," kata Tan dan In bersama.
"Aku harap sekali gebrak
kalian bisa berhasil, tapi ini bukan tugas kecil, apapun segalanya harus
dipersiapkan lebih dulu, umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum
tahu. Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak tahu,
maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari disini, pelajarilah dengan
seksama situasinya, baru boleh bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini
Tang-hay-liong-ong belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."
Hari kedua Abu panggil seorang
pembantunya yang dulu pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar
peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara terperinci menurut apa
yang dia masih ingat tentang seluk-beluk gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing
dan In San.
Hari ketiga, Tan dan In
menyamar jadi orang Mongol dan ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah
gedung Yu-hian-ong. Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan, syukur In
San semakin matang di bidang tata rias sehingga penyamaran mereka tidak
konangan orang.
Segala persiapan yang harus
disiapkan sudah lengkap, malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai
rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.
Malam itu cuaca buruk, tiada
bulan tiada bintang, mega mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam
untuk melaksanakan keinginannya.
Di belakang kebun bunga di
bilangan akhir dari gedung Yu-hian-ong dipagari oleh dinding gunung yang curam
setinggi dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung tidak akan
pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari dinding curam setinggi itu,
tapi Tan dan In berdua justru masuk dari titik kelemahan mereka itu.
Dengan Ginkang mereka yang
tinggi, menggunakan tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka
meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup kedalam kebon.
Sunyi dan sepi keadaan kebon
bunga ini, keheningan sungguh diluar dugaan Tan dan In. Menurut penjelasan
pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong bermalam di tiga tempat,
tempat pertama adalah kamar tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat
salah satu selir kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia
menyimpan surat-surat penting.
Bangunan gedung istana boleh
dikata ada ratusan banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun susah
dibedakan, kemana mereka harus mencari. Apalagi tujuan utama mereka bukan mau
membunuh Yu-hian-ong, juga tidak perlu mencarinya.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Terpaksa kita mengadu nasib, marilah maju sambil memeriksa ala
kadarnya." Dengan munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke
belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu tempat, tiba-tiba di
ujung loteng sebelah sana tampak sinar api menyorot keluar.
Tempat dimana sekarang mereka
berada didalam sebuah lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini
dibatasi dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.
Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela, dengan seksama mereka
mengawasi bayangan itu, akhirnya mereka bersorak girang dalam hati, karena
bayangan orang itu adalah Siau-ongya.
Didengarnya Siau-ongya sedang
menggumam seorang diri: "Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar
mereka dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini kepada
ayah?" Seorang diri dia menggumam di atas loteng, suaranya lirih tapi Tan
Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya tajam, maka dia mendengar
jelas.
Timbul rasa curiga Ciok-sing,
katanya berbisik di telinga In San: "Mari kita menyerempet bahaya."
Dengan gerakan burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan
hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa ada angin tiba-tiba
dilihatnya jendela terbuka, seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget
dan menjublek. "Kau, kau adalah..." sebelum dia sempat mengucap
'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya, bisiknya: "Jangan teriak,
inilah aku."
Siau-ongya kenal suara Tan
Ciok-sing, jangan kata dia punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama
tiada hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing, mana dia
berani berteriak. Cepat sekali In San sudah menyusul naik ke atas loteng.
"Terima kasih bahwa
Siau-ongya sudi pandang kami sebagai sahabat," demikian ucap Tan
Ciok-sing, "bicara terus terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada
juga keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi membantu kami."
Siau-ongya kaget, katanya:
"Ada urusan apa? Apakah, apakah..."
"Apakah, kenapa?"
Mata Siau-ongya menatap Tan
Ciok-sing seperti ingin ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.
"Siau-ongya, seorang diri
kau ngomong sendiri, aku mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak
melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan kami. Kalau tidak salah,
agaknya ada seseorang yang pernah membicarakan kami di hadapan ayahmu,
benar?"
"Benar, Tan-toako. Maaf
bila pertanyaanku blak-blakan, apakah kalian kemari hendak membunuh
ayahku?"
"Sudah tentu bukan. Coba
pikir, jikalau kami hendak membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu
malah?"
Legalah hati Siau-ongya,
katanya: "Tan-toako, kau adalah tuan penolongku, asal kau tidak berniat
membunuh ayahku, urusan apapun aku akan senang membantumu."
"Aku ingin tahu,
bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah berada di Holin, kenapa pula dia
berprasangka bahwa kami akan membunuhnya?"
"Ada orang yang memberi
laporan dan ngadu biru di hadapan ayah."
"Siapa orang yang mengadu
biru itu?"
Aku tidak tahu, aku hanya
mendengar tanpa sengaja, aku sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya
mendengar suaranya."
"Apa yang dikatakan orang
itu?"
"Orang itu bilang, Abu
Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian
tinggi, katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa pembunuhnya adalah
laki-laki dan perempuan, usianya masih muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah
sudah menduga pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu
jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako, mungkin kau bisa
menduga siapa orang ini?"
Dalam hati Tan Ciok-sing
memang sudah menduga, katanya: "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting
yang harus segera kita laksanakan."
"Apakah tugasmu itu akan
dilaksanakan di gedung kediaman kami?"
"Betul."
"Perlu aku beritahu
kepada kalian, untuk berjaga pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa
ayah menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan, bukan saja ada
tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian sembarang bertindak akan menghadapi
bahaya, ketiga tempat itu adalah..."
"Ketiga tempat itu kami
sudah tahu." Tukas Tan Ciok-sing, "kami bukan ingin membunuh ayahmu,
sudah tentu kami juga harus menghindari bahaya."
Siau-ongya betul-betul lega,
katanya "Baiklah, lekas katakan, bagaimana aku harus membantu
kalian?"
"Gampang saja, cukup asal
kau memberi tahu dimana tempat tinggal Liong Bun-kong?"
"Ayah meluangkan sebuah
gedung untuk tempat tinggal rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini,
di depannya terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou, nama
Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila ada sinar bulan lapat-lapat
kelihatan dari kejauhan,"
"Baiklah, kami akan
mencarinya kesana." Tiba-tiba Siau-ongya teringat sesuatu, katanya:
"Bila lewat kentongan ketiga, kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan
kalian lekas kembali saja."
"Kenapa?"
"Setelah orang itu pergi,
ayah berunding pula dengan Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga
keluargaku."
"Apa yang mereka
rundingkan?"
"Ayah akan masuk istana
menghadap Khan Agung, Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah
mendekati magrib..."
In San bertanya: "Ayahmu
menghadap Khan Agung, apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"
"Walau ayah boleh
menemani Khan makan minum mencari kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling
lambat sebelum kentongan ketiga pasti pulang." "Lalu kenapa?"
"Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang, kuatir tenaga
dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan, terutama setelah Koksu mengajak
Tang-hay-liong-ong bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung
kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar pasti akan
menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia suruh Kampula berusaha mencari
jago-jago silat sebagai Wisu, tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat
mencari jago-jago silat tinggi? Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke istana
kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh
bayaran bangsa Han, di samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau
membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga belum berhasil, maka
bahayanya akan lebih besar."
"Terima kasih akan
pemberitahuanmu ini." Kata In San tertawa, "kalau kami takut
menghadapi bahaya, kami tidak akan datang kemari."
Setelah meninggalkan
Siau-ongya. Tan .Ciok-sing melihat cuaca, mega masih mendung, tapi bintang
utara tampak kelap kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka
datang tadi.
Setelah menentukan arah, Tan
Ciok-sing langsung menuju ke Hi-hi lou. Di tengah jalan In San berbisik:
"Menurut dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"
"Baiklah, kita sama-sama
sebut nama orang yang kita curigai itu."
"Mulai, satu, dua,
tiga..." berbareng dengan suara lirih mereka menyebut 'Buyung Ka’.
"Lalu bagaimana baiknya?
Di samping Jendral Abu ada sembunyi seorang musuh yang berbahaya."
"Yang penting sekarang
kita harus dapat membunuh bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga,
urusan lain boleh dikesampingkan dulu."
In San menarik lengan bajunya,
bisiknya: "Sssst lihat sana."
"Di tempat yang dituding
tampak kemilau sinar emas, Tan Ciok-sing senang, katanya: "Betul,
Hi-hi-lou ada disana." Kata-katanya dia kirim menggunakan ilmu mengirim
suara gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping mereka juga tidak
akan mendengar.
In San berkata: "Kalau
Yu-hian¬ong sudah mengatur perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan
pasang perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan mustahil
juga ada perangkap."
"Biar aku coba tanya
jalan dengan melempar batu. Tang-hay-liong-ong tidak berada di samping bangsat
tua itu, umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat menandingi kita,
takut apa." Sekenanya Tan Ciok-sing menjemput sebutir batu, dengan
kekuatan jarinya dia menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.
"Daaar!" mendadak
terjadi ledakan keras, begitu batu itu menyentuh lankan, loteng ambrol api
menyembur, ujung loteng sebelah sana ternyata runtuh. Mungkinkah sebutir batu
kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu? Ternyata di atas loteng telah
dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari tangga yang membujur dari pekarangan
dalam, baru orang akan selamat tiba di atas loteng. Belum lenyap gema ledakan
keras itu, panahpun melesat selebat hujan. Bila seseorang betul-betul lompat
naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya tinggi dan selekasnya dapat menyingkir
dari tempat ledakan, juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.
Belum reda suara ledakan dan
hujan panah, dari berbagai penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya
berteriak-teriak: "Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari
berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur cahaya dari
Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan.
Cuaca memang sukar diramalkan,
mega mendung yang semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah
tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik pun mulai
turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu masih terus berkeliaran ke
segala penjuru, sehingga taman kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang
seperti di kala senja.
Tiba-tiba timbul akal Tan
Ciok-sing, kembali dia meraih sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi
krikil, dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik, dalam
sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak yang telah padam, bila
kawanan Wisu datang lebih banyak lagi lampu-lampu itupun sudah padam
seluruhnya.
Cuaca gelap pekat, ini
menguntungkan mereka. Sebelum lampu suar padam mereka sudah menentukan arah,
dengan mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gunung-gunungan menyusup
kembang menghindari bentrokan dengan kawanan Wisu terus melarikan diri.
Kawanan Wisu masih terus
berdatangan dari berbagai arah ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di
daerah yang tiada penjagaan.
Legalah hati In San, tanyanya:
"Sing-ko menurut pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat
dipercaya?"
"Kukira dia tidak akan ngapusi
kita. Dalam hal apa kau curiga?"
"Yu-hian-ong sudah masuk
istana menghadap Khan Agung?"
"Kuatir malam ini ada
pembunuh meluruk datang, dia sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang
dipersiapkan tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka dia merasa
perlu mengungsi ke lain tempat."
"Apa dia tidak takut
Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"
"Iya, maksudmu Liong
Bun-kong mungkin ikut dia masuk ke istana menghadap Khan Besar?"
"Hanya dugaan saja. Bila
ucapan Siau-ongya dapat dipercaya."
Tiba-tiba mereka mendengar
ringkik kuda ternyata sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda
dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada beberapa ekor kuda
malah terlepas dari kandangnya.
Sudah tentu para petugas istal
kuda menjadi sibuk menentramkan
Jilid 16
dan menangkap kembali kuda
yang terlepas, Tan Ciok-sing mendengar salah seorang petugas menggerutu:
"Malam ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar, baru saja
mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang telah terjadi, celakanya aku
telah tidur nyenyak."
Belum habis dia menggerutu
tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk
Hiat-tonya oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan: "Kau,
kau siapa?" Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol, petugas itu kira orang
sedang berkelakar dengan dirinya.
Dengan bahasa Mongol Tan
Ciok-sing menjawab: "Aku adalah pembunuh."
Karuan petugas itu ketakutan,
ratapnya: "Aku hanya bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."
"Kalau kau bicara jujur,
aku boleh mengampuni kau, kalau tidak... coba lihat." Begitu dia layangkan
kakinya, enam batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal kena
disapunya runtuh patah enam batang.
"Hohan, kau, kau ingin
tahu apa? Hamba akan menerangkan setahuku."
"Adik San, kau saja yang
tanya." Ujar Tan Ciok-sing, bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka
dia minta In San yang mengompres keterangan.
"Dengan siapa Ongya
keluar?"
"Orang itu aku tidak
kenal."
"Orang Mongol atau orang
Han?"
"Agaknya orang Han."
"Satu di antaranya apakah
usianya sudah lanjut?"
"Ada seorang yang sudah
beruban rambut dan jenggotnya, pada hal usianya kira-kira baru enam
puluhan."
"Kapan mereka
meninggalkan istana?"
"Kentongan pertama."
"Kapan kembali?"
"Entahlah hamba tidak
tahu, Ongya tidak memberitahu."
"Cukuplah, orang itu
jelas adalah bangsat tua she Liong."
"Baiklah, kau boleh tidur
nyenyak." In San tutuk Hiat-to penidur petugas istal, katanya: "Toako
lekas kau pilih dua ekor kuda."
Mcncemplak kuda mereka lolos
dari pintu belakang, meski disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu
merintangi Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat gelagat,
siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu yang lain semua ketimpuk batu
sambitan Tan Ciok-sing dan tertutuk Hiat-tonya.
Di tengah kegelapan mereka
menempuh perjalanan, kini cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap
kelip, berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke depan. In San
berkata: "Entah sudah kentongan ketiga belum?"
Dalam hal melihat cuaca Tan
Ciok-sing lebih berpengalaman, katanya: "Bintang utara sudah berputar
doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."
Tengah mereka mencongklang
kuda, tiba-tiba terdengar derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah
kereta ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana. Di depan kereta
digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu cukup mewah dan besar,
jelas bukan kereta milik keluarga biasa.
In San kegirangan, katanya
pelan-pelan: "Pasti itulah kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu
ada tidak dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."
"Jangan gegabah, kita
tetap menyaru pesuruh keluarga raja, bertindak menurut gelagat." Demikian
Tan Ciok-sing menganjurkan.
Kuda mereka berhenti di tengah
jalan, kereta besar itupun dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata:
"Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."
Kerai kereta tersingkap,
kepala Yu-hian-ong muncul, katanya: "Siapa namamu, terjadi apa di
istana?" Dirasakan suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah
kepercayaannya. Tapi dalam istananya terlalu banyak orang, tidak mungkin setiap
orang dia kenal, maka dia tanya dulu nama In San.
Ciok-Sing dan In San turun
dari kuda serta menghampiri ke depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah
berhenti serta membungkuk memberi hormat kepada Yu-hian-ong, sengaja In San
pura-pura sengal-sengal, katanya tergagap: "Ada pembunuh membuat onar
harap Ongya jangan pulang dulu, aku, aku adalah... " suaranya makin serak
dan lirih sehingga Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi.
Yu-hian-ong tertawa tergelak
gelak, katanya: "Sudah kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku,
memangnya mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang mengompres
mereka. Ha, siapa namamu, katakan yang jelas..."
Belum habis dia bicara,
mendadak Tan Ciok-sing dengftn gerakan kilat telah menubruk rmyu mencengkram ke
arah Yu-hiau ong.
Mimpipun Yu-hian-ong tidak
menduga bahwa budak keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit
sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing. Yang duduk di sebelah
Yu-hian-ong adalah seorang padri asing yang berperawakan kekar besar berkasa
merah, gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan, "wut"
tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing.
Merasakan samberan angin
kencang, Ciok-sing tahu penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan
Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke atas, bentaknya:
"Kalau berani, boleh pukul,"
Ciok-sing kira Yu-hian-ong
berada di tangannya, betapapun padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya.
Tak nyana tanpa ayal sambil mendengus dia membentak: "Kenapa tidak
berani." "Biang" telapak tangannya dengan telak menggaplok
punggung Yu-hian-ong.
Begitu padri asing ini bersuara
Ciok-sing lantas kenal, dia bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu,
Milo Hoatsu adanya.
Kejadian aneh sekali, pukulan
Milo Hoatsu mengenai punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti
tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti diterjang arus
badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul godam raksasa.
Milo Hoatsu menggunakan
Kek-but-thoan-kang, bila jenis ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya,
sekeping tahu yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh tapi
batu di bawahnya hancur luluh. Meski Kek-but-thoan-kang Milo Hoatsu belum
setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.
Begitu dada seperti digodam,
reaksi Tan Ciok-sing ternyata cukup 'tangkas juga kontan dia bersalto ke
belakang, jarinya masih mencengkram Yu-hian-ong.
Milo Hoatsu kira sekali
pukulan tadi pasti membuat lawan tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka
parah oleh tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya
Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah. Tak nyana Tan Ciok-sing masih
kuat memegang tawanannya serta menyeretnya turun dari kereta, hal ini
betul-betul diluar dugaannya.
In San juga lompat turun,
pedang di tangannya lantas terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu
dia babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya roboh terjungkir,
lentera angin itupun padam, keadaan menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan
In masih perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak kelihatan.
Begitu menginjak bumi
Ciok-sing kerahkan hawa murninya, sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika.
Bentaknya: "Yu-hian-ong, kau ingin hidup tidak?"
Saking ketakutan Yu-hian-ong
menjublek tak mampu bicara.
Begitu melompat turun Milo
Hoatsu menjemput batu menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing. Bentaknya:
"Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah kalian mampu meloloskan
diri."
"Siapa bilang kami mau
lari?" jengek Tan Ciok-sing.
Dari sebuah kereta lain yang
baru tiba turun orang mendekati mereka, katanya tergelak-gelak: "Tidak lepas
dari dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang membuat keributan.
Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita tentukan siapa jantan siapa
betina."
Orang ini bukan lain adalah
Tang-hay-liong-ong Sugong Go, Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti
dikawal, tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo Hoatsu dan
Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing membatin: "Syukur Yu-hian-ong
sudah kuringkus lebih dulu, kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan
ini." Dengan tertawa dia berkata:
"Sekarang kami tiada
tempo melayani kau berkelahi, kalau mau bertanding boleh setelah urusanku
beres, boleh kau tentukan waktu dan tempatnya."
Jantung Yu-hian-ong masih
berdebar, katanya: "Apa kehendak kalian?"
"Serahkan jiwa Liong
Bun-kong, kalau kau masih ingin hidup, barter dengan jiwa bangsat tua
itu."
Selama ini Yu-hian-ong tidak
mendengar suara atau melihat bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat:
"Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."
"Betul, dia memang masuk
istana bersama aku, melihat kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya
di istana," Demikian Yu-hian-ong berbohong. Pada hal dia tahu bualannya
ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya memang hendak mengulur waktu,
dengan kepandaian Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil
mereka dapat membantunya meloloskan diri.
Tan Ciok-sing setengah percaya
setengah curiga, pikirnya: "Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa,
memang bukan mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja menahannya di
istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya untuk tidak melukai ayahnya,
bagaimana baiknya?" Tengah hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba
menangkap gerakan Tang-hay-liong-ong yang diam-diam mendekati In San.
"Awas adik San."
Teriaknya memperingati.
Sebat sekali In San menyelinap
ke belakang Yu-hian-ong, pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong.
bentaknya: "Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera kuhabisi lebih
dulu."
Maksud Tang-hay-liong-ong,
hendak membekuk In San sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan,
terpaksa Tang-hay-liong-ong mundur kembali ke tempat semula.
Pedang In San kini mengancam
tenggorokan Yu-hian-ong, jengeknya dingin: "Jangan kira obrolanmu dapat
menipu kami. Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan menyesal
bila kepalamu kupenggal lebih dulu."
Kulit leher Yu-hian-ong sudah
terasa perih dingin, nyalinya serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi
ancaman In San dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak: "Baik, baiklah
akan kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."
Belum habis dia bicara, Liong
Bun-kong yang sembunyi di belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor
kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap: "Liong Bun-kong,
kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau, hayo kembali, kembali."
Sudah tentu Liong Bun-kong
tidak mau kembali, teriaknya dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut
kudanya supaya berlari lebih kencang lagi.
In San segera berkeputusan,
katanya: "Toako, biar aku mengejarnya, kau tahan tawanan kita."
Tan Ciok-sing cengkeram tulang
pundak Yu-hian-ong, sementara telapak tangan menempel punggung, serunya
lantang: "Sebelum nona In kembali, siapapun kularang bergerak, kalau tidak
terpaksa aku tidak sungkan lagi menamatkan jiwa Ongya."
"Kalau nona In tidak
kembali bagaimana? Memangnya kau akan menyandera Ongya selamanya?" Jengek
Milo Hoatsu
"Paling lama satu jam,
peduli dia pulang atau tidak, asal kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan
dia."
Bayangan In San sudah tidak
kelihatan, derap lari kuda juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti
diganduli barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar cepatnya
lari kuda.
Di kala jantungnya
berdebar-debar itu, angin lalu menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing
amat tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia seperti mendengar
jeritan menyayat hati yang terbawa angin. Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas
dia berteriak: "Adik San, bagaimana kau?" Dia menggunakan ilmu
mengirim suara gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada dalam
tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya. In San mengudak ke atas gunung,
jikalau dihitung jarak dalam tanah datar, dia pergi kira-kira setengah jam
lamanya, jarak yang ditempuhnya kira-kira sejauh itu.
Dengan seksama dia pasang
kuping menunggu jawaban In San. Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya,
sungguh umpama menunggu sedetik seperti setahun. Alam semesta hening lelap,
tidak terdengar reaksi In San.
Bagaimanakah pengalaman In
San? Apa yang dialaminya?"
Kuda-kuda penarik kereta
Yu-hian-ong rata-rata adalah kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau
di siang hari, betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar.
Untung sekarang malam, baru saja turun hujan. Jalanan gunung licin dan becek,
tidak rata lagi. Walau kuda ini kuda perang yang sudah dilatih sedemikian rupa,
namun lari di malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya pun
teramat hati-hati. Karena itu daya kecepatannya menjadi agak berkurang bila
dibandingkan berlari di tanah datar.
In San mengembangkan
Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak
kedua pihak makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos golok
peninggalan ayahnya, katanya: "Mohon ayah melindungi di alam baka, semoga
anak dapat menuntut balas dengan golok pusakamu ini."
Serasa terbang arwah Liong
Bun-kong saking ketakutan, serunya gemetar: "Nona In, mohon kau suka
pandang muka ibumu."
In San lebih gusar,
semprotnya: "Berani kau mengungkat ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di
atas badanmu."
Karuan nyali Liong Bun-kong
serasa pecah, kuda dilecut berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk,
tapi jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani menancap gas lari
sekencang biasanya di siang hari.
Dalam pada itu dari arah
berlawanan yang jauh sama terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang
dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah mendengar derap
gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu. In San juga sudah mendengar, lekas dia
meraih sebutir batu terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi
timpukan batunya tidak mencapai sasaran.
Tiba-tiba Liong Bun-kong
berteriak sekeras-kerasnya: "Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas
tolong aku." Tiba-tiba teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan,
ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting ke atas terus
ambruk dengan keras, menggelundung turun ke bawah lereng. Ternyata karena
dihujani cambuk kuda itupun menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda
yang sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak diperintah,
padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang kuda lagi, mana dia bisa pegang
kendali. Waktu kuda melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong
lantas dilempar dari punggungnya.
In San membentak: "Lari
kemana." Beberapa kali lompatan jarak jauh dia mengudak ke arah suara
berisik, dimana Liong Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah.
Kala itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri malam menongol
pula memancarkan sinar peraknya, meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong
Bun-kong rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas sebuah batu
sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke bawah lagi.
"Bangun." Bentak In
San sambil menendang, ternyata Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San
menyulut api, tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh luka-luka,
darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia meraba pernapasannya, ternyata
jiwanya sudah melayang. Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng
gunung, jiwanya masih belum mati. Tapi lantaran dia ketakutan, gugup lagi,
setelah jatuh jantungnya pecah dan jiwanya melayang.
Melihat kematian orang yang
mengenaskan, In San jadi tidak tega menambahi sekali bacokan. Golok dia
sarungkan kembali, katanya: "Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak usah
aku membunuhmu pula."
Akhirnya Tan Ciok-sing
memperoleh jawaban In San: "Sakit hati sudah terbalas, lekas kau
kemari."
Dengan mengangkat tinggi
Yu-hian-ong di atas kepalanya, Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya:
"Biarlah Ongya kalian mengantarku dalam jarak tertentu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya:
"Ucapan seorang kuncu laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa,
kenapa ingkar..."
Tang-hay-liong-ong juga gusar,
dampratnya: "Jangan banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo
kita labrak dia bersama."
Tan Ciok-sing sudah mendahului
lari puluhan langkah, di belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak
kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia tertawa
tergelak-gelak katanya lantang: "Janji yang sudah kuucapkan pasti
kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada kalian, nah terimalah." Di
tengah gelak tawanya dia menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh
ke samping sana.
Tersipu-sipu Milo memburu
kesana menangkap tubuh Yu-hian-ong. Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai,
tidak bisa bersuara, tapi napasnya masih ada. Karuan Milo Hoatsu kaget, saking
gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai, bentaknya: "Kau, kau
apakan Ongya?"
"Jangan kuatir,"
kata Ciok-sing, "aku hanya menutuk Hiat-tonya dengan Jong-jiu-hoat, bukan
Hiat-tonya yang mematikan."
Milo Hoatsu seorang ahli silat
juga, kini dia sudah tahu Yu-hian-ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum
tahu Hiat-to mana yang tertutuk.
Tan Ciok-sing berkata:
"Aku menutuk Hiat-to yang tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan
Lwekang kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai. Tapi perlu
aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya harus segera, walau dia tidak akan
mati, kalau terlambat mungkin bisa cacat."
Tan Ciok-sing sengaja bermain
muslihat pula, maklum kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu
dan Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi begitu saja.
Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang tertutuk, kedua orang ini harus kerja
sama membebaskan Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus
Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan Hiat-to yang
tertutuk.
Yang benar, walau Ciok-sing
menutuk dengan Jong-jiu-hoat, tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu
sendiri tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong, umpama
Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas jam juga akan bebas
sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat seperti yang dikatakan Ciok-sing,
perkataan Ciok-sing tadi hanya untuk menggertak musuh belaka.
Bagi Milo Hoatsu dia harus
percaya daripada mengabaikan keselamatan jiwa Yu-hian-ong. Kuatir
Tang-hay-liong-ong terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya
katanya: "Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."
Sembari bekerja menembus
Ki-keng-pat-meh, Tang-hay-liong-ong menyatakan isi hatinya: "Setiba di
negerimu ini, sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan kuatir
bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa membuat perhitungan
lagi."
Setelah menyarungkan goloknya,
In San tendang jenazah Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah,
serunya berdoa: "Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini, semoga di
alam baka kau bisa tentram."
Baru dia putar badan hendak
bertemu dengan Ciok-sing, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Budak
bangsat, mau lari kemana kau?"
Lenyap suaranya orangnyapun
menubruk tiba, "sret" senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In
San. Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang ini seorang
tangguh. Lawannya ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo. Mendengar jeritan Liong
Bun-kong lekas dia mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh
ketinggalan di belakang.
Dengan gerakan
Hong-biau¬loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit In San balas menyerang tanpa
menoleh, "sret" pedangnyapun menusuk. Tusukan pedang Poyang Gun-ngo
mengenai tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam
Hian-ki-hiat di dadanya.
Lekas Poyang Gun-ngo menahan
napas menarik dada, gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah
menyerampang kedua kaki In San. Dalam gebrak pertemuan ini, kedua pihak sudah
serang menyerang, sama-sama menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.
In San cabut golok peninggalan
ayahnya, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, bentaknya: "Biar aku
adu jiwa dengan kau." Permainan goloknya diselingi gerakan pedang,
demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi rangsakan golok, gerakannya
aneh liehay dan mendadak pula sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur.
Lekas Poyang Gun-ngo
berteriak: "Hayo kalian lekas kemari."
Pada saat itulah, suitan
nyaring Tan Ciok-sing di puncak gunung sudah terdengar mereka disini. Tan
Ciok-sing menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu, Poyang
Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti tergetar pecah, dia kira Tan
Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.
Pertarungan jago kosen mana
boleh perhatian terpencar, apalagi gugup dan gelisah? Sekuat tenaga Poyang
Gun-ngo merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan mundur supaya awak
ada kesempatan melarikan diri. Tak nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan
karena serangan sudah kebacut, "sret" pedang ln San tiba-tiba
menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada Poyang Gun-ngo
tertusuk telak, kembali In San mengetuk dengan punggung goloknya, kontan Poyang
Gun-ngo kena dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah Liong
Bun-kong.
Terdengar kawanan Wisu di
bawah lereng berteriak kaget dan takut: "Haya, itulah Poyang Ciangkun yang
menggelinding jatuh." "Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas,
lekas keluarkan obat." "Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang
Tayjin sudah mati." Kawanan Wisu menjadi geger.
Tan Ciok-sing tengah gelisah,
tiba-tiba didengarnya In San berteriak: "Toako, maaf bikin kau
menunggu."
Dari suaranya Tan Ciok-sing
merasakan hawa murninya kurang kuat, tanyanya kaget: "Adik San, kenapa
kau?"
"Tidak apa-apa aku sudah
menuntut balas sakit orang tua, Poyang Gun-ngo juga kubunuh." Secepat
angin lesus dia lari ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau
karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan jatuh kedalam pelukan
Tan Ciok-sing.
Pada saat itulah seorang
mendadak membentak beringas: "Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau
lari?"
Seorang membentak dengan
bahasa Mongol: "Kalian berani mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi
ampun kepada kalian."
Suaranya keras berisi dan
memekak telinga, jelas kedua orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan
Milo Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yu-hian-ong.
"Jangan gugup adik San,'
biar kita adu jiwa dengan mereka." Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan
perasaan In San.
In San genggam tangannya,
katanya tandas: "Aku sudah menuntut balas, asal bcrad.i bersama kau, mati
atau hidup sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."
Lahirnya saja Tan Ciok-ilnj
menghibur In San, pada hal hatinya sudah putus asa. Maklum meski Lwekangnya
belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tang-hay-liong-ong, apalagi
lawan ditambah Milo Hoatsu yang setaraf dengan Tang-hay-liong-ong.
Di kala menghadapi mati atau
hidup, timbullah cinta sejati. In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah
besar untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi sudah merupakan
pernyataan tegas melebihi rangkaian kata-kata mutiara yang tiada artinya.
Memperoleh dukungan batin, meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing
berani menantangnya. Diapun genggam tangan In San, katanya perlahan: "Adik
San, kau benar, bila kita bersama, entah mati atau hidup, hatikupun amat
senang." Tang-hay-liong-ong sudah muncul di hadapan mereka sambil
menenteng sepasang senjatanya yang berat. Sementara Milo Hoatsu memilih
kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari samping, sikapnya
santai, yang terang dia sudah mencegat jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.
Setahun ini Tang-hay-liong-ong
sudah memikirkan cara untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini
dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan, pikirnya: "Sejak mereka
menerjang keluar dari
Onghu, In San budak ini baru
saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas banyak terkuras. Titik kelemahan
inilah yang akan kucecar, memangnya tak mampu mengalahkan mereka?" Memang
muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia berhasil menangkap kedua
pembunuh ini dan diserahkan kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih
disegani.
Ternyata Milo Hoatsu juga
punya perhitungannya sendiri, di Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan
Tan dan In, dia tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang mereka, kali
ini dia terima berdiri di samping menjadi penonton saja, biar
Tang-hay-liong-ong terjun pada babak pertama, bila tenaga kedua pihak sudah
terkuras, dengan mudah dirinya akan menyerap keuntungan.
Diluar tahu
Tang-hay-liong-ong, ternyata perhitungannya meleset, benar setahun ini ilmu
silatnya maju pesat, tapi Tan dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan
Ciok-sing malah jauh lebih hebat. Permainan sepasang pedang mereka kini semakin
serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing bersilat sendiri-sendiri, namun
permainan mereka menuruti rel sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan
tiada titik kelemahannya.
Sepasang gaman berat
Tang-hay-liong-ong memang mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur,
sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala benderang,
bianglala laksana kilat menyamber. Terdengar "Tring" sekali, kembang
apipun berpijar, pedang mustika Tan Ciok-sing telah membentur gaman di tangan
kiri Tang-hay-liong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung dengan
gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar sehingga Tang-hay-liong-ong
seperti terbungkus didalam sinar pedang.
Begitu senjata beradu,
sebetulnya Tang-hay-liong-ong hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana
daya membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman kanannya ke arah
In San mengenai tempat kosong, karuan kejutnya bukan main, pikirnya:
"Bukan saja Kiam-hoat bocah ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga
maju pesat."
Mendadak Tang-hay-liong-ong
menghardik, sepasang senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San,
denggn enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan
Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar pada posisi
lain. Dalam waktu yang sama, pedang Tan Ciok-sing laksana pelangi tahu-tahu
dari sela-sela sepasang gaman lawan menusuk dada.
"Serangan bagus."
Hardik Tang-hay-liong-ong, tusukan dia robah menjadi menangkis. Sepasang
gamannya melintang dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia
hendak menggempur hancur pedang lawan. Tapi pada detik itu, In San telah
menerjang maju pula, ujung pedangnya memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk
Hong-hu-hiat di punggung Tang-hay-liong-ong.
Mata dan kuping Tang-hay-liong-ong
dipasang sejeli radar, sudah tentu dia tidak gampang dilukai. Kungfunya memang
sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik kembali, begitu
merasa punggungnya diserang, secara reflek gaman di tangan kiri berputar balik
dengan jurus Wi-seng-jian-jin, tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa
dipencar, tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan sendirinya
berkurang, pedang mustika itu mengikis naik tenis menusuk, sementara In San
melayang lewat, kembali berkis.n ke arah lain menyergap pula dan posisi yang
berbeda. Kalau Tang-hay-liong-ong tidak gesit dan tangkas melayani perubahan,
jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh pedang Tan Ciok-sing.
Setelah berlangsung sepuluh
jurus Tan Ciok-sing insyaf Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang
senjata lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus kembangkan
ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat tinggi yang akhir-akhir ini
berhasil dipahami, gerak gerik pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih
mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan. In San bisa mengikuti permainannya
dengan cukup baik, berputar menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di
kala Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan mereka, jurus-jurus
pedang permainan mereka sering menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar
posisi yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.
Tan dan In merubah permainan
pedangnya pula, pedang dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya
pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin lincah, wajar dan mantap.
Dalam beberapa gebrak sekejap itu, beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami
bahaya, kalau lawan tidak kuat i r akan sepasang gamannya yang berat, mungkin
dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan. Mau tidak mau terkejut hati
Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia sadar, dalam setahun ini, usahanya
mencipta suatu cara untuk memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum
mampu menandingi kemajuan lawan pula.
Semula Milo Hoatsu berpeluk
tangan, pikirnya setelah kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke
arena, kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir: "Jikalau
aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak akan kuat bertahan seratus
jurus, akhirnya pasti Tang-hay-liong-ong saja yang terluka parah, jadi bukan
gugur bersama."
Betapapun dia adalah seorang
guru silat kenamaan, malu kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata:
"Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu menandingi sepasang
pedangnya, jadi aku tidak usah membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut,
menangkap pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada Khan besar.
Mereka berani membuat keributan di negeriku, jadi aku menjalankan tugas bukan
karena dendam pribadi, maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala
bukan?"
Dia mencari alasan supaya
tidak malu terjun ke arena, sekaligus memberi muka kepada Tang-hay¬ liong-ong
pula. Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang pedang lawan,
pertempuran sedang mencapai puncaknya, hakikatnya tidak mampu menyambut
pernyataannya.
Tan Ciok-sing malah yang
menjengek dingin: "Tadi sudah kutantang kalian maju bersama, berani maju
silakan, buat apa cari alasan. Omong kosong melulu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya:
"Bocah sombong, biar kau tahu keliehayanku." Dari nadanya orang pasti
menyangka dia akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara di
timur menggempur ke barat, mendadak jarinya mencengkram ke arah In San. Dengan
harapan sekali labrak tujuan berhasil.
Tak nyana perhitungan yang
muluk-muluk ternyata gagal. Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin,
gerak pedang merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik bahaya,
semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan gabungan pedang.
Begitu jarinya luput mencengkram,
kesiur angin dingin disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya
malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar Ih-khi-hiat di
ketiak kanan kirinya. Agak gugup Milo Hoatsu menjentik jari tapi pedang In San
tidak berhasil diselentik, namun In San merasa pergelangan tangannya seperti
digigit semut, di samping panas ternyata agak linu. Hanya sedikit pengaruh
saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat dan setangguh semula. Milo
Hoatsu dapat memanfaatkan kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus
menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang lawan.
Cepat sekali gaya pedang Tan
dan In berputar arah, dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata
dirangsak lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan gaman
Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka susah dilukiskan dengan
kata-kata. Rangsakan Tang-hay-liong-ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah
jalan.
"Sret, sret" dua
kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu In San memunahkan sejurus serangan
Tang-hay-liong-ong, dengan perlahan dia berkata: "Di mata ada musuh di
hati tiada lawan." Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tan-hong,
maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat tangguh, jangan ambil dalam
hati, lahir batin harus dipusatkan dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf
lupa akan antara musuh dan diri sendiri. Tapi setiap gerak serangan lawan harus
diperhatikan dengan seksama. Kalau diartikan secara modern pada jaman ini,
yaitu di medan laga musuh dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh
harus dihargai.
Lekas sekali In San sudah
memadukan lahir dan batin, dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya
semula, bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik dikembangkan
mencapai
puncaknya. Tidak memburu
menang atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama dan gengsi,
segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap dari benaknya. Karena itu gerak
pedang mereka semakin santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus.
Keadaan yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih mantap.
Pertandingan semakin seru dan seimbang.
Di tengah pertempuran sengit
itu mendadak Tang-hay-liong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit
seperti ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum. Kiranya Tan Ciok-sing
menggunakan cara mengumpul tenaga pada satu titian, menyerang satu titik
kelemahan lawan dari ajaran Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu
ujung pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-but-thoan-kang. Walau
Tang-hay-liong-ong tidak mengalami luka-luka, tapi di saat mengalami sergapan
tidak terduga ini, di kala dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga
kekuatannya banyak terpengaruh. Jurus yang seharusnya menyerang In San itu
menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya berhasil ditangkis pergi oleh In
San.
Tapi cara Ciok-sing ini hanya
khusus menghadapi Tang-hay-liong-ong, maklum gaman Tang-hay-liong-ong yang
terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan tenaga. Sebaliknya
Milo Hoatsu menggunakan kasa yang lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan
menandingi tenaga kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari
Tang-hay-liong-ong. Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah mengukur
kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu punahkan serangan lawan, maka dia tidak
perlu menggunakan caranya itu.
Diam-diam Tang-hay-liong-ong
mengeluh, batinnya: "Kalau begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan
tenaga dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama Tan
Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut keuntungannya." Meski
akibat dari pertempuran ini pihak mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi
mana mau dia sendiri yang dirugikan?
Pedang Tan Ciok-sing teramat
cepat, dengan gerakan kilat dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung
pula dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal, dengan mudah
rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.
Dalam pertempuran sengit itu,
hakikatnya Tang-hay-liong-ong tidak berani pecah perhatian untuk bicara,
terpaksa hanya mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat kepada Milo
Hoatsu. Mendadak Milo Hoatsu membentak dengan bahasa Mongol: "Kerahkan
setaker tenagamu menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."
Tang-hay-liong-ong bimbang, ya
berani ya takut, semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi
kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi serangan Tan Ciok-sing yang
selalu menguras tenaganya, dari pada akhirnya gugur bersama, lebih baik
menerima anjuran Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak dirinya
sehingga mengalami kerugian yang fatal. Mungkin dia sudah mempunyai akal yang
meyakinkan untuk merobohkan kedua musuh ini." Demikian batinnya. Segera
Tang-hay-liong-ong bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan pedang lawan
yang sudah manunggal hakikatnya tidak dihiraukan lagi.
Tan Ciok-sing boleh tidak
pikirkan keselamatan jiwa raga sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi
perhatiannya juga. Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia
kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu sasaran di tubuh lawan
pula.
Cepat sekali, dalam waktu yang
sama Milo Hoatsu pun sudah melontarkan Toa-jiu-in
menggablok punggung Tan
Ciok-sing.
Kalau Tan Ciok-sing mau
menghindar, sebenarnya dia masih sempat meluputkan diri. Tapi dia lebih
mementingkan keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri?
"Ting" ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu, Tan
Ciok-sing kontan melancarkan serangan mematikan dengan jurus Lain-io-jit-sing,
secepat kilat pedangnya menciptakan tujuh kuntum sinai kembang, kebetulan
bergabung dengan gaya pedang In San pula puncaknya.
Lwekang Tang-hay-liong ong
sudah terkuras sedikit demi sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya
dia pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu melawan dan menghindar
dari tujuh serangan pedang yang mematikan ini. Terdengar mulutnya menjerit
ngeri, didalam sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liong-ong
dihiasi tujuh luka-luka pedang. Dua tempat telak mengenai Hiat-tonya yang
mematikan, meski dia memiliki Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan
lagi. Di tengah jeritan itu badan Tang-hay-liong-ong tumbang sekaku balok terus
menggelinding ke bawah lembah.
Tapi di waktu Ciok-sing
berhasil melukai Tang-hay-liong-ong, punggungnyapun menerima gablokan keras
Milo Hoatsu. Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan
memutus Ki-keng-pat-meh. Ternyata Milo Hoatsu sengaja mengorbankan
Tang-hay-liong-ong untuk menyergap lawan merebut kemenangan.
"Huuuaaah". Tan Ciok-sing
tumpah darah sebanyak-banyaknya. Bentaknya: "Biar aku adu jiwa dengan
kau." Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar.
Kaget ln San bukan kepalang,
teriaknya: "Toako, kenapa kau?"
Tan Ciok-sing menarik napas
panjang, sekuatnya dia bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka
dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak gigi: "Tidak
apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata ada musuh, dalam hati tiada
lawan."
Kejut Milo Hoatsu lebih besar
dari In San, baru sekarang dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja
tangguh juga murni, jauh melebihi dugaannya.
In San singkirkan segala
pikiran, menghimpun semangat mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan
pedang mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah. Kalau dulu setiap
melancarkan gabungan pedang, Tan Ciok-sing selalu menjadi poros utama sebagai
soko kekuatan manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In San.
Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk gunung, apa daya tenaga
tidak sampai, hakikatnya sudah tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi
disini dan kali ini dalam menghadapi ujian berat, ln San membuktikan
kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya sebenarnyapun mampu
berdikari di samping membantu rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang
Tan Ciok-sing berhasil ditambalnya. Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut:
"Makin tempur kenapa budak ini makin gagah malah."
Sayang bekal Lwekang In San
betapapun terpaut jauh dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus
berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha mengembangkan kekuatan
ilmu pedangnya, sukar untuk memukul mundur musuh. Tapi karena dia nekat dan
merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hidup-hidup Milo Hoatsu
memerlukan waktu dan kesabaran, dalam waktu singkat jelas tidak mungkin.
Tan Ciok-sing masih payah,
deru napasnya makin berat dan tersengal. Di saat genting dan tegang itu,
terdengar suara ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong
memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.
Di bawah lembah Yu-hian-ong
menemukan jenazah Tang-hay-liong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya: "Tan
Ciok-sing anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak mencacah tubuhnya
menaburkan abunya, sungguh tidak terlampias penasaranku. Koksu silahkan
mundur." Dia kuatir Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka
dia berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk membunuh Tan
Ciok-sing berdua.
Harapan In San ialah dapat
gugur bersama di pelukan Tan Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia
tidak takut. Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya terjatuh di
tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat tangguh, kuatirnya dengan sisa
tenaganya bila dia membunuh diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya,
maka dia nekat, pikirnya: "Untuk menyelamatkan diri jelas tidak mungkin.
Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan kutunggu Sing-ko dalam
perjalanan ke sorga."
Karena putus asa diam-diam dia
sudah kerahkan Lwekang hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah
di saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang membentak
dari atas puncak: "Yu-hian-ong, kau menginginkan putramu tidak? Berani kau
mengusik seujung rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini ke
bawah jurang." Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hian-oni', kaget dan
ketakutan, teriaknya. "Koksu harap berhenti sebentar "
Waktu orang banyak menengadah,
tampak di puncak atas berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas
kepalanya seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra tunggal
Yu-hian-ong.
Siau-ongya berkaok-kaok:
"Ayah, bebaskan mereka. Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh
membalas budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak mau mati bersama
tuan penolongku."
Perobahan yang tidak terduga
ini, bukan saja Milo Hoatsu amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai
tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang menyandera
Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.
"Apakah orang yang
memberi laporan rahasia kepada Yu-hian-ong bukan dia?" Demikian batin Tan
Ciok-sing. Semula mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari
kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus tumbang.
Yu-hian-ong seperti tidak kenal
Buyung Ka, bentaknya: "Siapa kau? Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau
mencelakai putraku?"
Mendengar seruan Yu-hian-ong,
In San pun ikut bimbang, bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya:
"Mungkin kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"
"Ongya," seru Buyung
Ka tertawa tergelak-gelak, "kau suruh orang membunuh putra Jendral Abu,
aku hanya membekuk putramu sebagai sandera saja."
Yu-hian-ong gusar, bentaknya:
"Omong kosong, mana ada kejadian itu."
Siau-ongya tiba-tiba
berteriak: "Ayah, urusan sudah sejauh ini, terpaksa aku bicara sejujurnya.
Kau suruh Jik Thian-tek menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri
mendengarnya.
"Hari itu secara
diam-diam aku menguntit Jik Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap
A Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku menguntit mereka di
tengah jalan aku kepergok seekor badak bercula, untung kedua orang Han itu yang
telah menolongku serta membunuh badak itu."
Buyung Ka tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Ongya, puteramu sendiri yang membeber rahasia
ini, masih berani kau mungkir?"
Sudah tentu pasukan yang hadir
di sekitarnya amat kaget mendengar 'pengakuan' Siau-ongya. Mereka adalah anak
buah kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin mereka berusaha
membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi mereka menguatirkan keselamatan
Yu-hian-ong karena kejahatannya terbongkar. Serta merta dalam hati mereka
membatin: "Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau dia berhasil
meringkus salah satu pembunuh itu dan menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi
akan kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan menggemparkan."
Apa yang dipikirkan orang
banyak sudah tentu juga terpikir oleh Yu-hian-ong, katanya: "Baiklah,
anggaplah aku mengaku kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"
"Soal apa yang perlu
dirundingkan? Taripku tidak boleh ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa
mereka berdua, jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu, cuma
asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia menghadap dan
mengadukan persoalan ini kepada Khan Agung."
"Baik, aku setuju untuk
menukar mereka dengan puteraku, kau bebaskan dulu puteraku."
"Kita bebaskan bersama,
aku tak takut kau main licik, kau tak usah kuatir aku bakal mencelakai
puteramu. Orangmu sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati
terhadap kalian."
"Baik, satu, dua, tiga.
Kita bebaskan bersama."
Tan Ciok-sing menarik napas
menahan sakit terus lari ke atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya
masih lebih cepat dari Siau-ongya. Yu-hian-ong memang tidak suruh anak buahnya
membidik dengan anak panah.
Di tengah jalan Ciok-sing
bertemu dengan Siau-ongya, katanya lirih: "Siau-ongya kau memang setia
kawan, terima kasih." Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.
"Apa yang kau
lakukan?" bentak Yu-hian-ong.
Tan Ciok-sing sudah lepaskan
tangan Siau-ongya, dengan cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya:
"Dia adalah tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah jangan
kau terlalu curiga."
Siau-ongya kembali di samping
ayahnya, sementara Tan Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di
atas puncak.
"Tan-toako, beratkah
lukamu," tanya Buyung Ka.
"Tidak apa-apa, aku bisa
lari." Ujar Tan Ciok-sing
"Baiklah, jangan banyak
bicara, kalian ikut aku saja." Ujar Buyung Ka.
Tan dan In ikut masuk kedalam
hutan, pengurus rumah tangga Abu ternyata sudah menunggu. Baru sekarang Buyung
Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong mereka. Ternyata atas
perintah Jendral Abu mereka datang kemari untuk membantu. Melihat mereka
terkepung, timbullah akalnya, segera dia lari ke Onghu.
"Aku membekuk Siau-ongya,
ternyata Siau-ongya mau kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri
supaya aku membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang panah perintah
ayahnya."
Tan Ciok-sing berkata:
"Di Onghu kami pun pernah mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia
kawan."
"Hutang budi tahu
membalas. Adalah pantas kalau dia balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau
selamatkan."
Haru hati Tan Ciok-sing, katanya
setelah menghela napas: "Buyung-heng, budi
pertolonganmu, entah kapan aku
bisa membalasnya."
"Sekarang bukan saatnya
basa-basi ambillah panah perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah
hadiah lagi, Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau." Dia keluarkan
sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti manusia, mirip orok yang baru
lahir, Ho-siu-oh adalah obat mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat
sebesar ini, jelas sudah ribuan tahun lamanya.
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Obat mujarab yang jarang ada, mana berani aku menerimanya."
Timanor pembantu Jendral Abu
berkata: "Tan-toako, bicara terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah
menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku mengantar Ho-siu-oh
ini. Aku tahu kau terluka cukup parah, Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan
luka-luka itu, kau pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima
obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"
"Toako," ujar In
San, "setulus hati Ciangkun memberi obat ini kepadamu, boleh kau terima
saja."
Apa boleh buat, setelah
dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing terima Ho-siu-oh itu. Waktu itu fajar hampir
menyingsing, terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.
Panah perintah Yu-hian-ong
ternyata besar manfaatnya, tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka
tembus setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal mereka orang
Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.
Tiga puluh li setelah
meninggalkan Holin, sepanjang jalan ini sudah tiada pos penjagaan lagi. Lega hati
In San, katanya: "Toako, bagaimana luka-lukamu? Mumpung tidak ada orang,
lekas kau makan Ho-siu-oh ini."
"Kita capai dulu gunung
itu baru istirahat, aku masih kuat bertahan, tak usah segera makan obat."
In San seperti juga Timanor,
walau tahu Ciok-siong terluka parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah
teramat kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah perasaan
lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata. "Baiklah," katanya
kemudian.
Tak jauh mereka berjalan, dari
depan mendatangi serombongan orang berkendaraan unta. Melihat mereka
orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan pandangan heran dan penuh
tanda tanya, tapi tiada yang mencegat atau menegur. Agaknya mereka juga
dirundung banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang lain.
In San lewat dari samping
mereka, didengarnya seorang berkata: "Kupernah dengar, di atas gunung di
depan itu ada seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya bukan
dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar menemukan dia."
Seorang lagi berkata:
"Kabar angin belum bisa dipercaya, aku lebih percaya tabib kenamaan di
Holin. Kalau betul belum bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."
Jarak makin jauh maka
pembicaran selanjutnya tidak terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib,
maka In San pasang kuping, pikirnya: "Untung kami sudah punya Ho-siu-oh,
jadi tidak perlu cari tabib segala."
Tak lama kemudian mereka sudah
tiba di bawah gunung. Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal
luka-lukanya yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Ciok-sing agak payah
juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah istirahat lalu makan rangsum. Bekal
itupun pemberian Buyung Ka. Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing,
katanya: "Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."
"Toako, meski Lwekangmu
tangguh, tapi keadaanmu tak bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan
lupa kita masih harus pergi ke Thian-san."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Aku tidak mengatakan tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik,
kalau tidak kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya merasa sayang
bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan." Sambil berkata dengan pedang
dia mengiris kecil-kecil beberapa keping terus ditelannya
"Hanya sedikit saja, mana
bisa membawa kasiat nyata?"
"Kau tidak tahu,
Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya dapal menghidupkan orang yang hampir
mati, aku punya dasar lweekang, sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang
lebih besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."
"Coba kau makan lagi
seiris saja." Pinta In San.
Segan menolak maksud baik In
San, terpaksa Ciok-sing makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In
San untuk disimpan.
In San menghela napas,
katanya: "Sungguh tak nyana di Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak
teman, Buyung Ka betul-betul orang baik diluar dugaanku."
Tiba-tiba dilihatnya alis Tan
Ciok-sing berkerut, seperti menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya:
"Toako, kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan hawa murni lalu menarik napas panjang,
katanya: "Kurasa agak aneh."
"Apanya yang aneh?"
tanya In San gelisah.
"Ho-siu-oh biasanya
pahit, tapi yang satu ini kenapa rasanya manis?"
"Mungkin Ho-siu-oh yang
sudah jadi rasanya beda dengan yang setengah matang."
Obat mujarab pahit
menguntungkan si penderita. Terasa oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil,
semula dia sudah curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San, supaya
orang tidak kuatir. Tapi sekarang dia sudah tidak tahan lagi, terpaksa bicara
sejujurnya. "Rasanya seperti habis minum arak saja, aku mabuk."
In San tidak tahu mungkinkah
obatnya sudah mulai bekerja, katanya: "Bagaimana bisa demikian? Coba kau
pusatkan hawa murni kedalam pusar."
Belum habis dia bicara,
tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing berobah hebat, ternyata isi perutnya
mendadak sakit bukan kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi,
yang terang dia menjungkir sambil menahan sakit.
Sudah tentu kejut In San bukan
main, lekas dia pegang kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke
tubuhnya. Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong,
sesaat kemudian rasa sakitnya mulai mereda.
"Kurasa Ho-siu-oh itu
bukan barang tulen, kau buang saja." Desis Tan Ciok-sing dengan keringat
dingin membasahi jidat.
"Maksudmu Ho-siu-oh ini
beracun?" Teriak ln San tersirap. * "Obat ini pemberian Jenderal Abu,
semestinya tidak beracun. Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah,
aku tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati, buang saja
dari pada mencelakai orang lain."
"Sementara akan kusimpan,
bila betul ada racunnya, bisa kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun
tidak akan mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu diperhatikan, kita
pasti dapat membongkar kejadian ini. Toako, bagaimana perasaanmu
sekarang?"
"Sementara mungkin aku
tidak bisa berangkat, entah tiga hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan
perjalanan yang tertunda ini."
In San memapahnya masuk
kedalam hutan, terasa langkah Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah
bergerak, meski dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun
yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah. Seorang jago kosen yang memiliki
Lwekang tinggi sudah sempurna lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski
dalam keadaan luka parah atau terkena racun. Sambil memapahnya, setiap langkah
perasaan In San semakin berat.
Akhirnya Tan Ciok-sing duduk
bersimpuh, tak lama kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia
masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San. Selesai samadi,
pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah kuyup. Teramat besar perhatian In San,
sehingga dia selalu mencucurkan keringat dingin.
"Aku agak dahaga, carikan
minum," Kata Tan Ciok-sing.
"Baiklah, akan kucarikan
air. Bila menghadapi bahaya, kau lepas panah berasap." Panah itu bisa
memancarkan sinar biru berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api
yang indah warnanya.
"Jangan kuatir, musim
dingin, binatang liar jarang keluar, ada Pek-hong-kiam untuk membela diri,
binatang kecil masih bisa aku melayani."
Setelah In San pergi,
Ciok-sing mulai bersamadi pula. Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala
yang tidak beres. Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya, tapi
setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih
hebat dan keadaannya lebih parah dari dugaannya semula.
Sesuai ajaran Lwekang Thio
Tan-hong dia menghimpun hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak
keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam, sehingga hawa
murni yang dihimpunnya susah payah buyar seperti tanggul yang jebol sehingga
air bah melanda keluar. Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat
dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada jantungnya terulang
lagi. Demikian berulang kali, belum penuh sudah bobol, hawa murni yang
dikumpulkan selalu tidak berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan
luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya. Dengan tangan kiri dia
periksa denyut nadi tangan kanan sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan
biasanya, kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat dan
lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau, tidak karuan. Dari sini
dapatlah dia menyimpulkan bahwa kadar racun telah meresap ke jantung dan
paru-paru, bukan saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.
Mengkirik sendiri Tan
Ciok-sing membayangkan keadaan dirinya, pikirnya: "Aku mati tidak jadi
soal, pesan guru harus kulaksanakan." Seperti diketahui sebelum ajal Thio
Tan-hong ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari tua
diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh Thian-tok Ciangbunjin
Thian-san-pay yang sekarang. Keadaan Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan
saja tidak bisa, bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san?
Satu hal lagi yang
menguatirkan, In San sudah berjanji sehidup semati dengan dirinya bila dirinya
akhirnya meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan, melarang In San
memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In San tidak mau menurut.
Tiba-tiba dia teringat didalam
ajaran Hian-kang-yau-kek ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan
Tay-ciu-thian-to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan mengumpulkan
kadar racun di tubuh manusia di satu tempat yang terisolir, untuk sementara
racun tidak akan bekerja, kelak masih ada kesempatan untuk berusaha
menawarkannya. Tapi menempuh cara ini harus menyerempet bahaya. Karena kadar
racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan bertambah besar dan ganas,
bukan saja waktu bekerjanya bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah
begitu kumat jiwa pasti melayang seketika.
Diam-diam Tan Ciok-sing
menepekur, apakah perlu dia menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal
Lwekang yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan setahun
lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran Lwekang itu, dia belum mampu
menyalurkan kadar racun pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu
kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera melayang. Tapi ada
baiknya, karena untuk sementara kekuatannya akan pulih sebagian, "asal aku
bisa hidup sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san." Demikian
pikir Tan Ciok-sing.
"Terpaksa aku harus
mengelabui adik San, supaya dia tidak ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat
atau lambat juga pasti mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil
menunaikan tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram." Akhirnya Tan
Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun racun pada tempat yang
terisolir dengan menentang bahaya.
Diluar tahu Tan Ciok-sing,
saat mana In San pun punya pendirian dan pikiran yang serupa. Nasib ln San yang
mencari air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara, tiba-tiba
didengarnya gemericik air. Lekas dia berlari ke arah selokan gunung.
Tiba-tiba didengarnya teriakan
bocah kecil: "Kakek, lekas kemari, aku berhasil mengeduk mustika."
Bahasa Mongol yang dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing,
maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol.
Tampak seorang berperawakan
besar berlari-lari mendatangi, tanyanya dengan tertawa: "Gembar gembor,
kau menemukan mustika apa?"
Anak itu berkata: "Kek,
coba lihat. Akar ini mirip orok kecil. Kek, aku masih ingat kau pernah bilang
Jin-som dan Ho-siu-oh bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som
atau Ho-siu-oh?" Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?" Agaknya
bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari obat, sekarang mereka sedang
cari obat dalam hutan ini.
Kaget dan senang hati In San,
katanya: "Mungkin orang inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di
gunung ini? Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak dengan
Ho-siu-oh dalam kantongku?"
Baru saja In San hendak
mengunjuk diri, tiba-tiba didengarnya orang tua itu berteriak gugup: "He,
lekas buang, ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun jahat
yang bisa mencelakai jiwa orang."
Kaget In San bukan main, lekas
dia memburu ke arah mereka.
Sementara itu si bocah sedang
mencuci Ho-siu-oh itu didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun,
tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya.
Orang itu kaget, tanyanya:
"Nona muda, dari mana kau datang?" Maklum sudah lama dia semayam di
atas pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In San adalah gadis
belia bangsa Han? Agaknya dia melihat In San adalah orang Han, maka hatinya
makin heran.
Tak nyana In San jauh lebih
kaget dari dia, tanpa hiraukan pertanyaan, langsung dia berkata kepada si
bocah: "Engkoh kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."
Mendengar In San menyebut
Ho-siu-oh, si bocah jadi bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau
perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siu-oh itu di belakang
tubuhnya, serunya: "Kau mau menipu, memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang
menemukan mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu." Demikian kata si
bocah dengan mendelik.
"Aku tidak akan merebut
mustikamu, coba lihat aku juga punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip
mustikamu itu." Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku keluarkan
Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat Ho-siu-oh di tangan In San
lebih gede, baru si bocah mau menyerahkan, katanya: "Aneh, ternyata mirip.
Mungkin milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda." Ternyata Ho-siu-oh di
tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang dipegang si bocah kira-kira
delapan dim.
Baru saja si bocah ulur tangan
mau terima Ho-siu-oh dari tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela:
"Berikan kepadaku," hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima
dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In San.
In San kaget, teriaknya:
"Kau mau apa?" Tapi dia lantas tahu bahwa orang ini tidak bisa silat,
dilihatnya pula maksud orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga
meronta.
Orang tua itu menghela napas
lega, katanya melepas tangan In San: "Tok-ing-ji milikmu ini pernah
digigit siapa?" In San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena
menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San normal saja, maka dia tanya
demikian.
In San tersirap, teriaknya
melengking: "Apa, apa katamu? Ini bukan Ho-siu-oh? Jadi, jadi..."
"Inilah Tok-ing-ji (orok
beracun)." Kata orang itu, "bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh,
tapi kadar obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat menyembuhkan orang
yang sudah hampir mati, sebaliknya Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling
jahat di dunia ini."
Ternyata Buyung Ka memang
sudah berintrik dengan Yu-hian-ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing. Ho-siu-oh
yang asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga Tan Ciok-sing
benar-benar keracunan.
Orang yang memberi laporan
gelap di tempat kediaman Yu-hian-ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang
bukan lain adalah Buyung Ka.
Dalam rencana, Yu-hian-ong
menganjurkan Buyung Ka menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan
Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri memang punya
perhitungan jangka panjang. Waktu mengatur tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong
dan Buyung Ka tidak yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing.
Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing jelas takkan bisa
diselamatkan lagi. Dia mati di tengah jalan, Jendral Abu dan anaknya tidak akan
tahu, malah harus berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong sahabat
mereka.
Rencana mereka memang
sempurna, jangan kata Tan Ciok-sing, In San yang semula mencurigai Buyung Ka
pun akhirnya kena dikelabui.
Sayang In San tahu setelah
terlambat. Tak tertahan air matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu:
"Apakah Tok-ing-ji ada penawarnya?"
Orang itu geleng-geleng
kepala, sahutnya: "Tiada obat penawarnya."
Gelap pandangan In San,
tubuhnya sempoyongan. Lekas orang itu memapahnya, tanyanya: "Siapa yang
makan racun ini? Lekas kau pulang..." Melihat keadaan In San, dia duga
yang minum racun tentu sanak familinya. Maksudnya suruh dia lekas pulang
mengurus penguburannya, cuma tidak tega dia mengucapkannya!
Dengan air mata berlinang
tiba-tiba In San menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Lekas orang itu memapahnya,
katanya: "Nona, apa yang kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."
Sudah tentu orang itu tidak
mampu menarik bangun ln San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya:
"Mohon kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka parah,
karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."
Karena tidak mampu menarik In
San, orang itu kaget, tiba tiba timbul rasa curiganya, katanya: "Darimana
kau tahu kalau aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar ringkik kuda dan derap kuda yang ramai mendatangi.
Orang itu beringas, bentaknya:
"Siapa yang kau bawa kemari, apakah mau menangkap aku?"
"Tidak, tidak, bukan aku
yang membawa mereka. Aku tidak tahu..."
Terdengar langkah orang
berlari-lari menuju kesini, seorang terdengar berkata: "Disana seperti ada
orang bicara, kita periksa kesana."
In San merendahkan suara:
"Kedua orang ini mungkin yang mencari jejak kami kakak beradik." Dari
langkah mereka dia tahu bahwa kedua orang ini pandai silat.
Orang itu mendengus,
jengeknya: "Kau mau menipu aku."
Waktu mendesak In San tidak
sempat menjelaskan, terpaksa dia berbisik: "Kalau kau takut mereka akan
berbuat jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."
"Aku tidak akan
sembunyi." Ucap orang itu, "kalau kau tidak sekomplotan dengan
mereka, baiklah kau saja yang sembunyi." Maklum dia tinggal di gunung ini,
bila jejaknya sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa
menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya sepenuhnya, maka dia
berani nekat.
Apa boleh buat, terpaksa In
San menerima anjuran orang, dia sembunyi ke belakang pohon. Lekas sekali kedua
orang itu sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur. Seorang
Busu bertanya: "Kalian
melihat dua orang Han tidak, seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira
likuran tahun."
Orang tua itu geleng-geleng,
katanya: "Tidak pernah lihat, kalian ini..."
"Kami adalah Busu kelas
satu Yu-hian-ong, atas perintah Ongya hendak menangkap pembunuh gelap.
Pembunuhnya adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal mereka lari
ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di hadapanku..." •
"Dua orang Han yang
kalian katakan betul-betul tidak pernah kulihat, mana berani aku bohong
terhadap kalian."
"Kau penduduk setempat
tentu hapal seluk beluk pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."
"Bukan aku tidak mau
membantu, tapi, tapi..."
"Tapi apa?"
"Gunung sebesar dan
seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku tidak leluasa berjalan. Kalau aku
temani kalian mencari mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik
kalian cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri.
Alasannya memang masuk akal,
maka kedua Busu itu mau pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah,
teriaknya: "He coba lihat, apa, apa ini?"
Ternyata si orang tua membuang
Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semak-semak itu teraling oleh
tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh
salah satu Busu.
Bergegas si Busu memburu serta
menjemput kedua Tok-ing-ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan.
"Kita mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Ho-siu-oh yang
telah mencapai usia ribuan tahun?" demikian teriak Busu itu.
Orang tua itu gugup, serunya:
"Jangan kalian ambil barang-barang itu."
Busu itu mendelik, bentaknya:
"Kau tidak mau bantu mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang
kami mengambilnya?"
"Ini, ini bukan
Ho-siu-oh..." Seru si orang tua.
Busu itu mencabut golok dan
membentak: "Berani kau menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh
kau."
Setelah membawa Ho-siu-oh
kedua Busu itu tidak banyak bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian,
mendadak terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di tengah
perjalanan telah mengigit masing-masing secuil, ternyata racun bekerja jiwapun
melayang.
In San segera melompat keluar,
katanya: "Lo-siansing, siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah
tahu?"
Akhirnya mereka saling
berkenalan, orang tua ini memang benar tabib liehay yang mengasingkan diri di
atas gunung, namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.
Sambil jalan Kokulon tanya
pengalamannya. In San ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka
kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan akhirnya Tan Ciok-sing
keracunan karena salah makan Tok-ing-ji.
"Terus terang,
Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci," demikian kata Kokulon.
"Jendral Abu adalah orang yang paling kuhormati dan kusegani. Ternyata
kalian adalah teman baik Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku
tidak akan curiga kepadamu."
"Jadi kau mau menolong
jiwa engkohku?"
"Bukan aku tidak mau,
sayang tenagaku tidak mampu menolongnya."
Tiba-tiba Komido berjingkrak,
serunya: "Kakek, kau dengar tidak?"
"Mendengar apa?"
"Aku seperti mendengar
seseorang menghela napas perlahan."
Kokulon celingukan, katanya:
"Disini mana ada orang
lain, pasti kau salah dengar."
Komido bergidik ngeri, katanya
memeluk sang kakek: "Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."
Pikiran butek, perasaan gundah
sehingga In San tidak mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu,
demikian pikirnya.
Diluar tahunya Tan Ciok-sing
telah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada
suara orang, diam-diam dia datang memeriksa. Maka percakapan Kokulon dengan In
San diapun mendengar jelas.
Waktu In San bawa Kokulon tiba
di tempat semula, tampak Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih
mengepul dari kepalanya.
Kokulon heran, katanya:
"Jangan ganggu dia, nanti sebentar baru akan kuperiksa." Lalu dia
berkata kepada In San: "Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku
akan berusaha sekuat tenaga."
Timbul setitik harapan dalam
benak In San, katanya: "Terima kasih paman."
Tiba-tiba Komido berkata:
"Ayam salju di rumah sudah kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para
tamu?"
In San tertawa; katanya:
"Menangkap ayam salju adalah keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap
ayam salju."
Setelah In San pergi,
tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka mata, katanya: "Paman Kokulon, aku mohon
sesuatu kepadamu."
"Nanti dulu, biar
kuperiksa nadimu dulu." Dia kira Tan Ciok-sing akan minta dia menolong
jiwanya, maka setelah memeriksa dia berkata: "Jangan kau banyak tanya, aku
akan berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan
penyakitmu. Kau adalah
pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan luar biasa di antara
pasien-pasienku selama aku jadi tabib."
Tan Ciok-sing berkata:
"Aku tidak minta kau berusaha menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini
tidak mungkin disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya hanya
waktu saja, aku sih tidak perduli."
Kokulon kaget, tanyanya:
"Darimana kau tahu?"
"Paman Kokulon,
pembicaraanmu dengan adikku,
aku mendengarnya semua."
Kokulon terbeliak, dia insyaf
bahwa persoalan tidak bisa mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia
melenggong tak mampu bicara.
Diam sebentar, akhirnya Tan
Ciok-sing berkata: "Aku hanya mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau
tidak tahu bahwa kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."
"Aku tahu."
Tiba-tiba Kokulon menukas. "Tunggu sebentar, biar aku berpikir
sejenak."
Setelah berpikir beberapa
kejap lamanya, Kokulon berkata: "Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan
bisa sembuh, maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku harus tanya
kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun kadar racun didalam pusarmu?"
"Inilah sejenis Lwekang
ciptaan guruku, namanya Tay-ciu-thian-to-nah. Sayang latihnya belum
sempurna."
"Bisakah kau mengerahkan
Lwekang sehingga kadar racun sedikit demi sedikit dibikin buyar?"
"Aku tidak mampu.
Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum bisa mencapai taraf setinggi itu."
"Baiklah aku bicara
jujur, dengan bekal Lwekangmu sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun
itu, paling lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau tidak akan
mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu, meski Kungfu sementara masih utuh,
tapi bila racunnya kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang
seketika."
"Ya, aku tahu. Bila racun
kumat, jiwaku pasti melayang. Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan
pesan guruku, terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku bisa
bertahan hidup? Paman, harap kau bicara sejujurnya."
"Kurang lebih tiga bulan,
tapi juga bisa lebih cepat atau mundur beberapa hari, itu tergantung kau
sendiri..."
"Mohon paman memberi
petunjuk."
"Menuju jalan kehidupan,
terutama mementingkan ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat
mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau harus berusaha tidak
berkelahi dengan orang, tidak boleh terlalu menguras tenaga."
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Tubuh sekokoh pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca.
Untuk mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa dilakoni oleh
manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari rasa senang, duka dan segala
keinginan sih kurasa mampu kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan
jauh, kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah diramalkan
sebelumnya, maka untuk menghindari pertempuran jelas tidak mungkin."
Kokulon seperti dapat meraba
jalan pikirannya, katanya: "Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat
jurus telah beres, akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila
berhadapan dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni terkuras, luka
dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali terpaksa, kuanjurkan kau harus
berani dihina dan dicemooh orang."
"Terima kasih akan
petunjuk paman, Wanpwe akan patuh pada petunjukmu."
"Kalau kau bisa mematuhi
kedua petunjuk tadi, mungkin jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau
tidak mampu kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu bisa
merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk pergi ke Thian-san?"
"Aku sudah menerima pesan
guru, semoga sebelum aku ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."
Kokulon berkata: "Tekadmu
besar, aku tidak akan mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah,
sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara yang kau tempuh ini jauh
lebih berguna dari ramuan obatku, maaf bila aku tak bisa membantumu lebih
jauh."
"Tapi aku kuatir akan
keselamatan adikku, dia ingin sehidup semati denganku..."
"Maksudmu bagaimana aku
harus membantumu?"
"Dapatkah kau berusaha
menahannya disini?"
"Aku pernah bicarakan
soal itu kepadanya, tapi dia bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan
kau sampai mati."
"Gunakan sejenis obat,
umpamanya obat bius sehingga dia kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek
buruk bagi kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh perjalanan yang
kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya, tahun depan boleh kau berikan obat
penawarnya. Dalam jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila
dia tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan mencariku dan tak sempat
mencari jalan pendek lagi."
Kokulon geleng-geleng,
katanya: "Itu hanya dapat mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan
juga. Dan lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam itu."
"Paman bagaimana juga
harap kau suka berusaha, aku harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku
dia ikut menjadi korban."
Kokulon berpikir sejenak,
tiba-tiba bertanya: "Kau she Tan dia she In, wajah kalian juga tidak sama.
Walau aku tidak paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah sesama
saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan? Lalu kalian ini saudara
angkat?"
"Ya, kami saudara angkat
lain marga. Tapi hubungan kami amat mendalam melebihi saudara sepupu
sendiri."
"Bagus, kau harus bicara
jujur kepadaku, bukankah kalian sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup
semati?"
"Betul, kami sudah janji
setia akan hidup sampai tua, meski dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari
yang sama, diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama. Hidup rukun
sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka kudoakan supaya dia tidak ikut mati
di saat ajalku sudah tiba."
Sebelum Kokulon bicara
Ciok-sing memohon pula: "Paman, pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari
aku, bagaimana juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."
Tiba-tiba Kokulon berkata:
"Ada satu cara boleh dicoba, tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi
satu bulan. Itu berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua
bulan lagi, kau mau tidak?"
"Sudah tentu mau, asal
dapat menyelamatkan jiwanya, sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku
suka rela."
"Tapi waktu dua bulan
mungkin tidak cukup untuk perjalananmu ke Thian-san."
"Menunaikan pesan guru
sudah tentu merupakan tugas utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau
dibanding, usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi. Tolong
tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"
"Sekarang belum boleh
menjelaskan, bila cara ini kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur,
cukup asal kau percaya kepadaku saja."
Walau agak bimbang, tapi
Ciok-sing sudah percaya kepada tabib pengasingan ini. Katanya: "Kalau
demikian, baiklah aku tidak akan banyak tanya lagi."
"Bagus, sekarang kau
membantu aku melakukan sesuatu."
"Silahkan memberi
petunjuk."
"Ikutlah aku membersihkan
kamar obatku. Tak takut kau tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan
jorok lagi, kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa dibersihkan
untuk tempat tidurmu."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Paman kenapa sungkan, asal ada tempat berteduh sudah lebih dari
cukup untukku."
Bilik itu memang banyak
menyimpan berbagai jenis obat-obat mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali
bilik itu sudah dibersihkan dan ditata rapi. Tak lama kemudian In San dan anak
itu sudah masuk kembali.
Begitu masuk rumah Komido
berjingkrak dan mengoceh dengan - riang: "Kepandaian cici In memang hebat,
coba lihat tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."
In San tertawa, katanya:
"Kepandaianmu juga patut dipuji, tidak sedikit telur akar yang berhasil
kau keduk."'
Kokulon tertawa
tergclak-gelak, katanya: "Bagus, nanti kita bisa bersantap malam dengan
hidangan sedap, ubi bakar dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."
Dua ekor ayam panggang, seekor
dimasak kuah, sementara ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam,
sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela. Angin menghembus kencang
diluar, kabut tebal menyelimuti alam semesta, hawa mulai dingin. Tapi suasana
hangat meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat nyala api yang
masih membara, dimana ayam yang sudah diberi bumbu sedang dipanggang, baunya
aduhai, lezat sekali.
Dari kamarnya Kokulon
mengeluarkan sebuah buli-buli besar warna merah, katanya: "Inilah arak
obat buatanku sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan aliran
darah, kalian bersaudara patut minum beberapa cangkir."
In San berkata: "Aku
tidak biasa minum arak, biarlah Koko wakili aku minum bagianku."
"Arak obat ini jelas
berguna bagi kesehatan engkohmu, bagi kau sendiri juga tidak sedikit
manfaatnya. Bila kalian sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."
"Ah, aku tidak percaya,
kenapa kalau sama-sama minum, khasiatnya bisa lebih kentara?"
"Kau tidak tahu, arak
obatku ini memang punya kadar yang luar biasa."
"Apanya yang
istimewa?"
"Bila tutup dibuka dan
arak tercium angin, bila didalam jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat
obatnya akan pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh,
maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau harus bantu dia minum satu
pertiga."
"Kalau demikian, kau saja
yang bantu dia minum bagian satu pertiga ini."
Kokulon tertawa, katanya:
"Arak obat ini dapat menambah semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk
kalian bila naik gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini
tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa harus minum obat.
Apalagi aku tidak akan menempuh perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang
menghabiskan arak sebagus ini? Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh dari
keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut kusuguhkan untuk para
tamuku, jikalau kau masih sungkan, berarti anggap aku ini orang luar. Maka
akupun tidak akan berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."
Melihat sikap bicara Kokulon
amat serius, In San berkata: "Paman, kau harus mengobati penyakit
engkohku, jangan kau menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan
jatahku."
Tan Ciok-sing juga tertawa,
katanya: "Maksud baik tuan rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya.
Adik San, terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum sampai
habis."
Karena didesak dan dibujuk
terpaksa In San menemani Tan Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya,
terasa bau harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya:
"Ternyata arak ini enak rasanya."
Belum ada satu jam, seekor
ayam telah habis diganyang masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat
mereka berdua.
"Nona In, tubuh engkohmu
kelihatan memang masih segar, betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu
selalu dijaga dan dirawat. Kau tahu maksudku?" tanya Kokulon.
In San tertawa, ujarnya:
"Kenapa aku tidak maklum, setiap saat aku akan mendampinginya."
"Gubukku reyot dan jorok,
hanya ada bilik obat itu yang bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung
kaliankan saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut, kalian
habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat lebih dini."
In San rasa hal itu sudah
logis. Sebelum ini sepanjang perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan
kota atau rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur sekamar
selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San agak malu-malu kucing.
Setelah ln San papah Tan
Ciok-sing masuk kamar, Kokulon segera menutup pintu kamar, katanya: "Bila
kalian merasa panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum
arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang kalian keluar,
nanti masuk angin."
"Aku sudah tahu,"
ucap In San, "paman tidak usah kuatir."
In San tidak berani membuka
jendela, tapi angin menghembus dari celah-celah papan yang bolong, hawa menjadi
agak sejuk dan segar.
In San berkata: "Setelah
minum arak tadi, rasanya segar dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan
kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako, apa kaupun merasa
sejuk?"
"Memangnya, segar dan
sejuk sekali, sejuk sekali. Eh, kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah
mega."
"Ah, apa benar? Hahaha,
aku juga merasa mengambang, terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku
ini."
Tak lama kemudian mereka
sama-sama seperti mabuk tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian,
angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu membikin nyala api
bergoyang-goyang, demikian pula perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan
nikmat.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
seperti berada di Kanglam di musim semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai
jenis seperti menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata: "Adik
San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-sing-giam dulu?"
"Kenapa tidak ingat,
panorama dalam goa itu sungguh indah mempesona. Eh..."
"Kau kenapa?"
"Membicarakan
Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali disana. Ah, tidak panorama di depan
mataku jauh lebih indah dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna
warni, berobah dan berganti..."
"Akupun punya perasaan
yang sama."
"He, kurang ajar, kenapa
segulung hawa panas timbul dari pusarku."
In San tertawa, katanya:
"Kau melupakan penjelasan paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita
minum arak obatnya tadi."
"Bukan hangat yang
menjadikan badan gerah, tapi kehangatan jenis lain..." Rasa hangat yang
menghinggapi perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata tapi tak
usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan kehangatan yang sama. Badannya
menjadi lemas lunglai, setelah menggeliat, dia berkata: "Toako, peluklah
aku."
Tan Ciok-sing masih sedikit
sadar, katanya tertawa: "Ah, anak segede ini masih minta dipeluk
segala?"
"Aku tidak ingin dipeluk
orang lain, tapi kaulah yang harus memelukku. Nah kau berpikir yang
tidak-tidak, aku hanya ingin tidur pulas dalam pelukanmu."
Mulutnya bilang jangan
berpikiran yang tidak-tidak, padahal dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan
diri sendiri. Tiba-tiba dia cekikikan, katanya: "Malam pertama di kamar
pengantin! Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam pertama di
kamar pengantin?"
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Dalam kamar hanya diterangi sebuah dian, mana mirip kamar
pengantin yang dipasangi sepasang lilin merah? Kini sedang musim dingin, dari
mana datangnya kembang segar?"
"Siapa bilang tidak ada?
Di depanku sekarang tersebar bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh
kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap malam, eh sekali, aku jadi
bingung untuk menyebut satu persatu, apa kau tidak melihatnya? Dian itu berubah
menjadi lilin, berubah sepasang lilin?"
"Jangan mengigau aku,
aku..."
In San sudah jatuh dalam
pelukannya. Perasaan Ciok-sing seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong
perlahan: "Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau lebih
merasa segar." Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah tiada karena
badan sudah ogah bergerak.
"Eeh, kenapa lupa, paman
tadi berpesan tidak boleh membuka jendela."
Kedua tangan Ciok-sing
kebetulan memegang tubuh In San yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang.
Bukan lagi mendorong, sekarang Ciok-sing malah memauk kencang dan jari
jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.
Di kala Ciok-sing membalik tubuh
balas menindih In San, tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong
baju Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah, In San
menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir kacang merah di telapak
tangannya. Kacang merah ini mereka petik bersama di pinggir sungai dalam kota
Kwi-lin, salah satu hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah
ini, dinamakan juga kacang rindu.
In San juga keluarkan kacang
merah punyanya sendiri, sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya,
dengan berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Toako kau
masih ingat sumpah setia kita dulu? Kacang rindu ini sebagai bukti, bumi dan
langit sebagai saksi, selama hidup cinta kita takkan luntur."
Keluhan halus disusul deru
napas yang memburu sebagai jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai.
Sinar dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan terhembus padam oleh
angin yang meniup masuk lewat celah-celah pintu. Didalam kegelapan, di alam
sorga mereka nan indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh
sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.
Rasa resah telah lenyap,
pikiran pun telah jernih kembali. Sinar pagi pun telah menerobos jendela.
Begitu siuman Tan Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia
melirik In San. Katanya perlahan: "Adik San, aku telah membuatmu
celaka."
In San mengenakan pakaian,
lalu duduk menggelendot dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap
wajah sang kekasih: "Toako, jangan kau bilang demikian, sedikitpun aku tidak
menyesal, kita sudah sumpah setia, apa pula salahnya kita lebih mempererat
ikatan. Kenapa kau sesalkan dirimu malah?"
Seperti diiris perasaan
Ciok-sing, pikirnya: "Kau tidak tahu, sayang aku tidak akan hidup
berdampingan dengan kau sampai hari tua." Karena tidak ingin membuat In
San sedih, maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.
Tanpa terasa, setelah asyik
masyuk di atas ranjang, tahu-tahu hari sudah terang tanah, waktu mereka buka
pintu keluar kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti tertawa
tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya: "Semalam kalian bisa tidur
nyenyak?!"
Merah jengah muka In San,
plegak-pleguk tak bisa bicara. Tan Ciok-sing berkata: "Aku sudah lebih
sehat, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan."
In San masih membujuk supaya
dia istirahat beberapa hari, tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak
tangannya terus menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar
digabloknya pecah berantakan katanya tertawa: "Coba periksa, tenagaku
sudah pulih setengah lebih bukan?"
In San kira ini berkat arak
obat semalam katanya: "Baiklah, terserah kehendakmu."
Setiba di bawah gunung,
terbayang akan kejadian semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah
sampai ke telinga, katanya: "Adik San, memang akulah yang salah. Jangan
kau menyalahkan paman Kokulon."
In San tertawa cekikikan,
katanya: "Sedikitpun aku tidak menyesal, jangan kau salahkan dirimu
sendiri, akupun tidak menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara
pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu sikapku terhadapmu dan
membawa manfaat pula bagi kau. Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih
nyata, maksudnya juga baik."
Lekas Tan Ciok-sing bicarakan
persoalan lain: "Marilah lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan
perjalanan yang gampang."
"Sepanjang jalan ini ada
banyak peternakan, nanti kita bisa beli kuda yang baik."
Tak nyana setiba di bawah
gunung setelah beberapa hari perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan
manusia. Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga menempuh perjalanan
dengan jalan kaki, jarang yang naik kuda. Yang naik kuda juga untuk kebutuhan
sendiri, mana mau mereka menjualnya.
Negeri Watsu banyak terdapat
padang rumput, rakyatnya banyak yang hidup dari hasil peternakan. Jadi
peternakan tersebar dimana-mana. Tapi karena mereka harus menghindari
pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus jalan-jalan pegunungan yang sepi,
apalagi tujuan mereka ke arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh
meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang. Selama tiga hari itu
mereka sibuk menempuh perjalanan sehingga tidak memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
Tanpa terasa mereka sudah
sepuluh hari menempuh perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan,
adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas mereka sudah keluar
dari wilayah Watsu dan memasuki propinsi Sinkiang.
Hari itu mereka sedang
melanglang di padang rumput, tiba-tiba tampak seekor kuda dilarikan kencang
bagai terbang, penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan tahun.
Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak: "Siauwya tarik
kendalinya, jangan lari sekencang ini." Penduduk Sinkiang yang dekat
perbatasan masih menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud
perkataannya.
Dari cara lari kuda itu Tan
Ciok-sing tahu kuda yang ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput
adalah tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan yang bisa
membuat kuda tersandung, bila kuda liar mengumbar adatnya, seorang pawang
liehay pun jangan harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil
itu. Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik peternakan di daerah ini,
sejak kecil dibesarkan di punggung kuda, sifatnya suka menang dan sombong,
meski tahu kuda ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin
mencobanya. Orang yang mengejar di belakang itu adalah salah satu pawang kuda
yang bekerja di peternakan ayahnya.
Di punggung kuda si bocah
seperti terapung di atas mega saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena
takut dia jadi gugup, teriaknya: "Aku tak berhasil menguasainya, lekas kau
bantu aku." Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa mengejarnya, buat apa
suruh dia menarik kendali dan berhati-hati.
Begitu kencang dan liar cara
lari kuda itu sehingga kakinya menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu
melonjak ke atas, empat kaki meninggalkan bumi. Jelas si bocah pasti terlempar
jatuh dari punggung kuda.
Untung Tan Ciok-cing datang
tepat pada waktunya, begitu kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah
terpegang oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan kepalanya. Secara
kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga tidak bisa berkutik, kepala tak kuat
diangkat semula kakinya masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya
meringkik-ringkik saja. Dalam pada itu In San telah membopong bocah itu turun.
Saking takut dan kaget pawang
kuda itu sudah pucat dan sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak
kurang suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta menghaturkan
terima kasih.
Tiba-tiba tampak seorang
laki-laki suku Uighor menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh
bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak: "Liang-ji,
besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda galak dan masih liar itu, kau
tidak jatuh?"
Orang ini adalah pemilik peternakan
di daerah ini, bernama Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah
putra tunggalnya bernama Tuli-liang.
Menghampiri ayahnya Tuli-liang
berseru: "Ayah, kuda liar ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku." Lalu
mulutnya nyerocos kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan
perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa menangkap artinya,
tapi mereka menduga si bocah sedang menceritakan kejadian yang dialaminya
kepada sang ayah. Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar, dengan
kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing tahu inilah
salah satu adat orang-orang Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan
kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali persahabatan pula.
Tuli-bun bukan bangsa Mongol,
tapi karena dia hidup di perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka
adat istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing menerima hata itu
dengan kedua tangan lalu membalas hormat dengan membungkuk tubuh, katanya:
"Jongcu (pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."
"Kapan aku bisa
kedatangan tamu dari jauh, berkat pertolonganmu pula hingga jiwa putraku
selamat, tiada yang kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih,
bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap beberapa hari."
"Terima kasih Jongcu,
kami tidak tahu sungkan, tawaranmu kami terima dengan senang hati, biarlah
malam ini bikin repot kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap
semalam saja, besok juga harus terus berangkat."
"Lho, kenapa hanya
semalam, menurut kebiasaan kami disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh,
apapun tidak bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah penolong
jiwa putraku?"
"Sebetulnya ada urusan
penting yang harus kami selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu
tidak boleh ditunda-tunda."
Ternyata Tuli-bun seorang yang
lapang dada, dengan tertawa dia berkata: "Baiklah, urusan besok biar
dibicarakan besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu kalian sebagai
tuan rumah menyambut tamu-tamunya."
Setiba di peternakan,
perjamuan ternyata sudah mulai dipersiapkan. Setelah membersihkan badan Tan
Ciok-sing berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang mewah dengan alas
kulit bulu. Hidangannya adalah kambing utuh yang sedang dipanggang di atas api
unggun, ada arak susu kuda. Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya
makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan rumah begitu ramah lagi,
maka merekapun tidak sungkan lagi, hidangan yang tersedia dimakannya dengan
lahap.
Setelah menghabiskan tiga
cangkir arak, Tuli-bun berkata: "Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana
mau kemana?"
"Ya, kami orang Han
datang dari kota raja Pakkhia," sahut Tan Ciok-sing.
Tuli-bun tertawa, katanya:
"Apa benar? Wah betul-betul tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun
di tempat kita ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana dalam
beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat tamu bangsa Han."
In San melengak, katanya:
"Beberapa hari yang lalu, tempat kalian juga kedatangan tamu orang
Han?"
"Iya. Kedua tamuku itu
seperti juga kalian, muda-mudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku
ingin tanya kalian..."
Untuk mendengar dan bicara
bahasa Morgol, Tan Ciok-sing tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan
dengan seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tuli-bun habis
bertanya, putranya Tuli-Iiang telah merebut tanya: "Toako orang Han, apa
kau pandai meniup seruling?"
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Aku hanya mahir memetik harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa
kau tanya aku pandai tidak meniup seruling?"
Tuli-liang berkata:
"Orang Han yang datang dua hari yang lalu pernah membawakan sebuah lagu
dengan alat musik sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu kutanya,
dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu bernama 'seruling'. Aku senang
memainkan alat musik seperti itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup
seruling. Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek kepala
kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"
Mendengar orang Han yang
bertamu dua hari yang lalu pandai meniup seruling, saking senang Tan
Ciok-sing sampai menjublek.
Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak diperhatikan.
Tuli-bun mengomel: "Orang
tua sedang bicara, anak-anak tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi
bicara?"
In San berkata: "Kau ada
sesuatu yang ingin tanya kepada kami?"
"Betul. Memang aku ingin
tanya, bukankah kalian ingin pergi ke Thian-san?"
"Jongcu," ucap In
San heran, "darimana kau tahu?"
"Kedua tamu Han yang
datang duluan itupun hendak pergi ke Thian-san."
"Pernahkah mereka
bercerita apa-apa?" tanya Ciok-sing.
"Agaknya kalian kenal
baik dengan mereka? Jadi orang yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya
apakah aku pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya
mereka."
"Betul. Mereka memang
sahabatku. Tapi aku tidak nyana mereka bisa berada disini."
Maklum orang Han yang pandai
meniup seruling dan mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi
kalau bukan Kek Lam-wi.
In San berkata: "Gadis
yang mendampingi Kek-toako jelas adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka
menyebutkan namanya tidak?"
"Nama bangsa Han kalian
aku susah mengingatnya, bahasa Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku
tidak jelas tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang pandai
bicara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian besar pembicaraan mereka
orangku itu yang menterjemahkan. Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh
kusuruh memanggil orangku itu."
Tan Ciok-sing sudah yakin
bahwa mereka adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar
kabar tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin tahu lebih
banyak tentang mereka. Katanya: "Kalau tidak menyulitkan Jongcu, tolong
panggilkan orangmu itu supaya aku bicara langsung dengan dia."
Tuli-bun segera suruh orang
memanggil orangnya yang pandai bahasa Han, katanya: "Jarang ada orang Han
yang datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa mencari tahu
jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan kupilihkan dua ekor kuda paling
bagus untuk kendaraan perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin
kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan selamat kepada kalian,
mari silahkan habiskan secangkir ini."
In San menenggak habis
secangkir penuh, katanya: "Kami ingin secepatnya dapat menyusul mereka,
banyak terima kasih akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian
dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai rencana."
"Baiklah," ujar
Tuli-bun, "aku tidak akan menggondeli kalian. Nona In, agaknya kau senang
minum arak susu kuda buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."
Tan Ciok-sing heran, pikirnya:
"Biasanya adik San tidak suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum
arak. Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi aku tak kuat
minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan karena desakan tuan rumah, rasanya
aku sudah ingin muntah saja. Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda
ini?"
Tuli-bun amat senang, katanya
tertawa: "Kapan kau bisa minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari
minum lagi secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."
Tak lama belum dia bicara
habis, mendadak In San berdiri meninggalkan tempat duduknya terus berlari
keluar kemah. Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar. Tuli-bun jadi
gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.
Begitu keluar kemah, In San
sudah tidak tahan lagi, dengan membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya,
makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang kembali, cukup lama In San
muntah-muntah sampai air matanya bercucuran.
Setelah reda dengan muka merah
In San berkata: "Bikin kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."
Tuli-bun juga kikuk, katanya:
"Memang aku yang salah, kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak
suka makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku menyuguh secangkir teh
lebih dulu."
Tan Ciok-sing sedikit tahu
tentang ilmu pengobatan, segera dia pegang urat nadi In San, terasa denyut
nadinya agak berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada penyakit.
Tanyanya: "Adik San, kau merasa badan kurang enak?"
"Sukar kukatakan, mungkin
minum arak terlalu banyak, kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu
ingin muntah."
Tuli-bun risih, katanya kikuk:
"Karena badan adikmu kurang enak, lebih baik lekas istirahat saja"
Lalu dia tepuk-tepuk tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San
masuk ke kemah yang telah disediakan.
Sudah tentu tuan rumah dan
pihak tamu tiada selera lagi minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada
pawang kudanya: "Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."
Tuli-liang heran, tanyanya:
"Ayah, hari sudah malam, kau mau kemana?"
"Kau temani tamu kita,
aku akan mengundang Jalakun." Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan
Ciok-sing: "Jalakun adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia
pernah ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun pandai
mengobati."
Tan Ciok-sing menjadi rikuh,
katanya: "Biasanya badan adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin,
kukira kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repot-repot."
"Tidak apa-apa, kaukan
ingin bertemu dengan dia, akan kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga
tidak jadi soal, apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku
kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."
Tan Ciok-sing menunggu dengan
perasaan tidak tenteram, karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan
Siau-jongcu memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang memuji: "Bagus
sekali petikannya. Belum pernah aku mendengar petikan lagu harpa semerdu
ini." Logat orang ini agak mendekati penduduk perbatasan diluar
Gan-bun-koan, meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat didengar
oleh Tan Ciok-sing,
Waktu Tan Ciok-sing menoleh.
Tampak yang masuk kemah adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur
jenggot kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang seperti
pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari tampangnya jelas bahwa dia orang
Uighor.
Tan Ciok-sing berkata:
"Terima kasih akan pujian tuan. Mohon petunjuk..."
"Jalakun, kau sudah
datang," teriak Tuli-liang, "mana ayah? Engkoh orang Han, inilah
orangnya yang bisa berbahasa Han."
Jalakun berkata: "Ayahmu
serahkan kuda api sembraninya kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia
kutinggal di belakang." Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini
adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu. Jalakun memberinya
nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api.
Lekas Tuli-liang lari keluar
menyambut kedatangan sang ayah.
Jalakun berkata:
"Kabarnya adikmu setelah minum arak susu kuda badannya kurang enak
bagaimana keadaannya sekarang? Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau bukan
penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah aku memeriksa
adikmu?"
"Dia sudah pergi tidur,
sampai sekarang belum ada orang keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya
baik-baik saja." Sahut Tan Ciok-sing.
Setelah mendengar sekedar
penjelasan Tan Ciok-sing, Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian:
"Kukira adikmu tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."
Mendengar perkataan orang
gerambyang, sukar dipastikan, Ciok-sing agak bimbang, katanya: "Lalu dia
terserang penyakit, penyakit..."
"Sekarang belum positip.
Biarlah tunggu dia siuman, akan kuperiksa urat nadinya."
Rikuh Tan Ciok-sing bertanya
pula. Terpaksa dia alihkan persoalan: "Kabarnya dua hari yang lalu ada dua
orang Han lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"
"Ya, mereka
memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek Lam-wi, yang perempuan bernama Toh
So-so. Sekarang aku tahu orang yang mereka cari adalah engkau."
Sesuai dugaan Tan Ciok-sing,
tapi dia pun merasa diluar dugaan: "Kenapa Kek-toako mau menyebut nama
sendiri dan arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"
Jalakun seperti dapat meraba
isi hatinya, katanya: "Walau aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau
dikatakan sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa mereka adalah
Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."
Tan Ciok-sing heran, katanya:
"Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihat
Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian," demikian tutur Jalakun, "syukur mereka
sudi memandangku sebagai teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu
terjadi beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum keluar
kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap
pernah bilang bahwa dia punya dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena
gemar musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu hobbynya meniup
seruling.
Tan Ciok-sing baru jelas
persoalannya, katanya: "Agaknya kau telah mendengar tiupan seruling Kek
Lam-wi, irama serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka sekali
dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"
"Betul." Ucap
Jalakun, "maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau sama dia, sekali bicara lantas
seperti teman lama. Ternyata dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan
Jikonya dengan aku belasan tahun yang lalu."
"Kenapa mereka mau pergi
ke Thian-san, apa kau tahu?"
"Katanya menghindar diri
dari musuh besar yang menguber jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa,
apakah liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu menghadapinya? Kek Lam-wi
bilang, bukan mereka takut menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang
urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau Wi-cui-hi-kiau
diundang untuk menghadapi mereka, rasanya terlalu membesar-besarkan urusan.
Sudah lama mereka dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau
adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi, maka mereka lantas
menyusulnya kemari. Sekedar bertamasya."
Sampai disini Tan Ciok-sing
lantas maklum, pikirnya: "Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu
Yau-hong yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di hadapan
ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek kepada ibunya supaya menuntutkan
balas sakit hatinya bersama sang ayah."
Jalakun berkata: "Menurut
cerita Kek Lam-wi, kedua musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan,
maka disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru
berangkat."
Sampai disini pembicaraan
mereka, tampak seorang pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi
memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan untuknya. Langsung pelayan
itu berkata kepada Jalakun: "Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han
itu." Jalakun adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang
Tuli-bun semua mengenalnya baik.
"Kenapa si nona Han
itu?" tanya Jalakun.
"Baru saja dia siuman,
mendadak mengeluh perut sakit dan napas sesak, kami memberinya minum kuah
Jin-som, tapi semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."
"Baiklah, sekarang juga
akan kuperiksa." Ucap Jalakun sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk.
Melihat Tan Ciok-sing masuk,
In San lantas berkata: "Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna
begini, kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda sementara."
"Jangan kuatir, Jongcu
telah mengundang tabib pandai untuk memeriksa keadaanmu,
penyakitmu pasti lekas sembuh
dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
Setelah memeriksa urat nadi In
San, wajah Jalakun -menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa.
In San bertanya: "Tay-hu,
aku kena penyakit apa?"
Jalakun berpikir sebentar,
katanya tertawa: "Tidak apa-apa, mungkin kau tidak cocok dengan iklim
disini. Cukup makan dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."
In San girang, katanya:
"Jadi lusa kami sudah bisa melanjutkan perjalanan?"
"Betul, kalian cukup
menunda perjalanan sehari saja." Ujar Jalakun. Lalu dia membuat resep dan
langsung pergi ke gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan memasaknya
langsung diminumkan kepada In San dua kali.
Jalakun tertawa, katanya:
"Untung kalian berada di rumah Tuli-bun, dengan biaya besar tak
segan-segan dia membeli bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari
orang-orang Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa begini;
setahunpun cukup kau pakai."
Setelah berada diluar
perkemahan, secara berbisik Tan Ciok-sing tanya kepada Jalakun: "Apa betul
adikku itu karena tidak cocok dengan iklim disini?"
"Aku ingin tanya
kepadamu. Kalian bukan kakak beradik sepupu bukan?"
Tan Ciok-sing menduga Kek
Lam-wi sudah menjelaskan asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka
diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia berkata perlahan:
"Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah mengikat jodoh."
Jalakun tertawa lebar,
katanya: "Kalau begitu patut kuberi selamat kepadamu, nona In tidak sakit,
tapi dia sudah mengandung."
Tan Ciok-sing terbeliak,
matanya memancarkan sinar kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya
tertunduk tak berani bersuara.
Setelah In San minum obat
pertama, baru Tuli-bun pemilik peternakan tiba di rumah.
"Bagaimana keadaan
adikmu?" Begitu masuk langsung dia tanya.
"Tidak apa-apa."
Sahut Tan Ciok-sing, "tabib bilang lantaran tidak cocok dengan iklim di
daerah sini, setelah minum obat, besok juga pasti baik."
Hari kedua In San makan dua
obat lagi, semangatnya ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia
kala, juga tidak muntah-muntah lagi. Tapi dia lebih senang makan barang-barang
asam.
Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan
In San berpamitan kepada
Tuli-bun. Tuli-bun berkata: "Harap tunggu sebentar." Tak lama
kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masing-masing menunggang seekor
kuda mendatangi.
Tuli-liang berkata: "Kuda
ini milik ayah, namanya Hwe-liong-ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang
hari itu berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku untuk
kalian."
Tan Ciok-sing berkata:
"Kuda milik Jongcu mana berani kami terima? Kuda yang satu ini juga
kesukaan Siau-jongcu, aku, kami..."
Tuli-liang berjingkrak,
serunya: "Tidak, kalian harus terima pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah
bilang mau menerima, kenapa sekarang mungkir? Barang yang diberikan kepada tamu
memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar artinya, mana ada orang
memberikan barang yang dibencinya kepada orang lain?"
Tuli-bun tertawa, katanya:
"Orang Han kalian biasanya ada pepatah yang bilang, perkataan seorang
Kuncu laksana kuda dipecut sekali, betul tidak? Kedua ekor kuda ini sudah
menjadi milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai sahabat, maka
jangan kau tolak pemberian kami ini."
Melihat orang tulus dan iklas,
Tan Ciok-sing jadi sungkan, terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta
mengucapkan terima kasih.
Tuli-bun berkata lebih lanjut:
"Sekantong arak susu kuda ini dan sekantong ransum kering ini untuk bekal
kalian di tengah jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."
Baru saja mereka hendak naik
ke punggung kuda, tiba-tiba Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir,
diam-diam dia memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apa-apa.
Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In San, diam-diam dia merasa
heran.
Setelah jauh meninggalkan
peternakan, In San bertanya: "Sebetulnya aku terkena penyakit apa? Tabib
itu sudah menjelaskan kepadamu?"
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Adik San, biar kujelaskan sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau
sudah mengandung. Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat
kandungan."
In San melenggong, katanya:
"Apa betul aku, aku sudah hamil? Kau tidak ngapusi aku?"
"Kau belum pernah hamil,
tapi perempuan hamil tentunya kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang
makan yang kecut-kecut?"
Merah selebar muka In S.ui
dengan malu-malu dia menunduk, tapi hatinya senang bukan main. "Adik
San," kata Tan Ciok-sing, "aku yang bikin kau sengsara, kau, kau
tidak marah kepadaku bukan?"
In San angkat kepala, katanya
tertawa: "Siapa bilang aku tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak
senang."
Tan Ciok-sing melongo,
tanyanya: "Kenapa aku tidak senang?"
In San tertawa: "Kelak
aku jauh menyayangi anak kita dari pada menyayangi kau, apa kau tidak
iri?"
"Memang begitulah yang
kuharapkan."
"Aku, aku sedang
pikir..."
"Apa yang kau
pikir?"
Semekar kembang senyuman In
San, katanya perlahan: "Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan
yang baru hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan menunggang
kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam jangka dua bulan pasti kita bisa
mencapai Thian-san, kurasa aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok
Ciangbunjin Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh kau mohon
kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita. Sayang mungkin aku tidak bisa
menemani pulang ke markas Kim-to Cecu."
"Kau menunggu kelahiran
di Thian-san, disana ada orang yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa
lega meninggalkan kau disana."
"Aku pun berpikir
demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia angkat guru kepada Suhengmu.
Setelah dia berusia dua belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan.
Tapi jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun depan atau
paling lama dua tahun sudah harus menengokku ke Thian-san.
"Kitakan belum sampai di
Thian-san, kenapa kau bicarakan soal kedatangan kedua kalinya?"
"Tidak, toako, aku minta
sekarang juga kau berjanji akan menepati permintaanku."
"Kau kira aku tega
meninggalkan kalian ibu dan anak, sudah tentu selekasnya aku akan menengok
kalian."
Manis mesra hati In San,
katanya: "Baiklah, ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap
kau tidak lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku."
'Ucapan seorang kuncu laksana
kuda sekali cambuk' adalah kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In
San meniru logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga dada Tan
Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak mampu bersuara.
In San teringat sesuatu,
tanyanya: "Oh, ya, hampir lupa aku tanya kau, bukankah Jalakun
membicarakan perihal Kek-toako dan Toh-cici?"
"Jalakun ternyata adalah
sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama
dengan dia. Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari tuntutan
balas orang terhadap mereka."
"Kuda kita lari cepat,
yakin suatu ketika pasti dapat menyusul mereka."
"Benar, bila ada Toh So-so
di dampingmu, banyak pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia
membantu kau."
Sudah tentu In San tahu apa
yang dimaksud Tan Ciok-sing, seketika merah mukanya, katanya: "Aku sudah
cukup istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kek-toako dan
Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."
Tapi sehari sudah lewat, dua
hari sudah berselang, ...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil
menyusul Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tengah
mencongklang kuda, tiba-tiba didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu
dari belakang begitu kencang laksana angin lesus yang mengamuk.
Suara seorang yang sudah
dikenal berkata: "Tan-siauhiap, kau takkan menduga aku bakal menyusulmu
bukan? Teman lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari kuda,
memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"
Tan Ciok-sing menoleh,
dilihatnya yang menyusul adalah Buyung Ka.
"Buyung Ka," damprat
Tan Ciok-sing gusar, "tidak malu kau berani menemui aku?"
Buyung Ka tertawa, katanya:
"Tan-siauhiap, kenapa kau bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan
tahun yang diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."
Menggelora amarah Tan
Ciok-sing, bentaknya: "Ho-siu-oh apa, beruntung aku tidak mati, karena
Tok-ing-ji milikmu itu."
"Betul, memang
Tok-ing-ji," ujar Buyung Ka tertawa, "aku kuatir, kau takkan menempuh
perjalanan sampai di Thian-san, bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan
mengubur mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang merawatnya..."
Saking murka Tan Ciok-sing
meraung sambil menubruk. Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya,
katanya: "Membunuh manusia durjana macam begini buat apa mematuhi aturan
Kangouw."
Buyung Ka tertawa
tergelak-gelak katanya: "Kalian tidak akan mematuhi aturan Kangouw jadi
mau mengeroyok aku. Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi
aturan Kangouw."
Tampak dari dalam hutan
menerjang keluar tiga orang penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di
kanan kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama: "Tan Ciok-sing. Kau
melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati guru, maaf sesuai perkataanmu
kami tidak akan mematuhi aturan Kangouw."
Tiga orang ini adalah murid
Milo Hoatsu, dua padri Lama, seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah
Toa-kiat, murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu. Seorang lagi bersenjata
kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling dibanggakan, yaitu Tiangsun
Pwelek, Tiangsun Co. Kuatir Tan Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka
menyusul datang dan mencegat serta akan membunuhnya.
Ketiga orang ini turun bersama
dari punggung kuda. Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka.
Bahwasanya Buyung, Ka memang tangan Yu-hian-onij yang sengaja ditanam di dekat
Jenderal Abu sebagai agen rahasia untuk membunuhnya kuatir rahasianya
terbongkar, sehari Tan Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup
tentram. Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup mulutnya.
Keduanya sama-sama sengit dan
bertekad merobohkan lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas
dan mematikan. Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu, Tan Ciok-sing malah
mendesak maju balas menyerang dengan jurus Li Khong memanah batu, pedangnya
menusuk leher.
Di tengah berkelebatnya sinar
pedang, terdengar "Cret" tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka
terbang berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak sempoyongan
seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir padam tertiup angin, setelah
mundur beberapa langkah, baru berdiri tegak pula.
Untung Buyumg Ka berkelit
cepat, dia gunakan Hong-tiam-thau menghindar, walau lehernya tidak tertusuk
pedang, namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak. Ujung pedang Tan
Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya silir dingin.
Hanya segebrak, Buyung Ka hampir
saja terenggut nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun setelah
lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang: "Memang tidak lepas
dugaanku, Lwekang bocah ini tidak setangguh dulu, lekas kalian kemari."
Tiangsun Co mendahului melompat
maju, dendamnya terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia melabrak
maju.
Sebelum Tan Ciok-sing berdiri
tegak. Tiangsun Co telah menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai:
"Anak keparat rasakan pembalasanku." Sembari bicara tangannya bergerak,
kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba terkembang, dengan gerakan
Ngo-hing-kiam dia menyerang gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak
Ciok-sing. Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan Tiangsun Co,
dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.
"Tiangsun Co, luka-luka
di bokongmu, karena pukulan empat puluh kali itu sudah sembuh belum? Jangan
karena sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami mengampuni jiwamu,
pernah kuperingatkan kepadamu, masa begini cepat sudah lupa," demikian
ejek In San dengan tawa dingin, di tengah ejekannya itu, "Sret",
beruntun tiga kali pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas.
Bahwa In San mengorek
boroknya, karuan Tiangsun Co mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid
tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu, kalau dinilai
kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding In San, tapi karena diburu hawa
amarah, permainannya menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin
oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali serangan pedang kilat,
kipas lempit di tangan Tiangsun Co berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia
berusaha memutar balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya
yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya dapat memunahkan dua
jurus terdahulu serangan In San, jurus terakhir "Ting" kembang api
berpijar, ternyata kipas lempitnya tertusuk bolong. Ceng-bing-kiam yang
dipegang In San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa
hidupnya.
Dalam pada itu Toa-kiat dan
Toa-siu juga telah menubruk tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka
kembali menerjang maju.
Toa-siu menggerung keras toya
besinya diayun dengan jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk. Bertepatan saat
itu In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak serasi,
"Tang" toya kena ditangkis pergi. Kungfu Tan Ciok-sing memang belum
pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar biasa kekuatannya.
Tan Ciok-sing gentayangan dua
kali baru berdiri tegak pula, sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah
mendesak maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.
Tan Ciok-sing berkata:
"Adik San, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu
bakar. Ada seorang yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya
memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."
Teringat orok yang masih dalam
kandungannya, serasa diiris-iris perasaan In San, "tapi tegakah dia
tinggal pergi, membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu menghadapi ke
empat musuhnya?
Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu
In San telah mati, maka dia kira "orang yang perlu dijaga dan
dirawat" oleh In San seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak
tawa dia berkata: "Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In
aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku, sudah tentu ibunya
adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap keluarganya adalah jamak kalau aku ikut
merawatnya." Di tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan
muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak mencengkram.
"Kunyuk kurang
ajar." Mendadak Tan Ciok-sing menghardik, selicin belut tiba-tiba dia
mengegos maju, menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toa-kiat
yang merangsak tiba, "Sret" tahu-tahu pedangnya telah mengancam muka
Tiangsun Co.
Lekas Tiangsun Co menekan dan
mengebas kipasnya, "Cret" kembali kipasnya bolong tertusuk pedang,
kalau Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu sudah terpapas
kutung. Untung dari samping lekas Buyung Ka memukul sehingga Tiangsun Co
didorong mencelat ke samping.
Serangan Tan Ciok-sing masih
belum habis tenaganya, maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus
menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka. Padahal Buyung Ka sudah kerahkan
sembilan bagian tenaganya, tapi tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya,
mau tidak mau kaget juga hatinya: "Kenapa bocah, ini kelihatan menjadi
makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura untuk menipu aku?"
Melihat In San terancam
bahaya, saking gugupnya, tenaga simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek.
Demikian pula orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa melakukan
sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa mustahil bisa dilakukan, apalagi
sekarang Ciok-sing sudah pulih tujuh bagian Lwekangnya.
Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih
kuat inipun dirasakan oleh In San, segera dia berteriak: "Betul. Di mata
ada musuh, dalam hati tiada musuh."
Tan Ciok-sing seketika sadar,
segala keruwetan dan kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas
sekali ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin kemantapan batinnya.
Apakah jiwanya bakal segera tamat? Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu
kesulitan teman baik (Kek dan Toh)? Demikian pula apakah In San dan bayi dalam
kandungannya bisakah selamat? Semua persoalan yang tadi berkecamuk dalam benaknya,
sekarang telah disapunya bersih sementara.
Bila hati tenang, pikiran
jernih dan batinpun bening, tanpa terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas
sekali pulih delapan bagian. Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin
manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat pengeroyoknya dalam beberapa
lama. Tapi keadaan juga hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak
mungkin bisa mencapai kemenangan.
Sebaliknya melihat kekuatan
kedua muda mudi ini makin kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar
serangan mereka, tapi hati sudah mulai was-was.
Pertempuran telah berjalan
setengah jam tenaga kedua pihak sudah terkuras, kekuatan meicka sudah lemah.
Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat, keringat gemerobyos, napas
tersengal-sengal.
Suatu ketika Tan Ciok-sing
melihat titik kelemahan lawan, sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci,
gaya pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia menutulkan pedang di ujung
gada Toa-kiat. Dalam gebrak permulaan tadi. Ciok-sing pernah gunakan jurus ini
untuk menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini terlaksana
keinginannya.
"Trang" keras
sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya besi Toa-siu. Tenaga kedua orang
kira-kira sebanding, bobot senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga
benturan keras yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi,
gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara toya Toa-siu
mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat. Sepasang saudara seperguruan ini
menjerit keras terus roboh binasa.
Sudah tentu kejut Buyung Ka
bukan kepalang, serasa arwahnya lolos dari raganya,- tanpa banyak bicara segera
dia putar tubuh terus ngacir. Tan Ciok-sing gerakan pedang dan pukulan telapak
tangan, pedangnya menabas kulit daging di pundak orang, sementara telapak
tangannya telak menggaplok punggungnya. Luka pedang agak ringan, celaka adalah
pukulan telapak tangan yang telak mengenai punggung, "Huuuaah". Darah
segar tumpah dari mulutnya.
Tapi Kungfu Buyung Ka memang
hebat, meski sudah terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini,
ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang tenaga Tan Ciok-sing
sudah bertolak kembali, tusukan pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran,
sebelum sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung kuda. Kuda itu
pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari negeri Turfan yang mahal harganya,
kecepatan larinya tidak kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing,
padahal kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas tidak sempat
lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari.
Taraf kepandaian Tiangsun Co
tidak setinggi Buyung Ka, larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan
dari Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah lari
mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana kakinya sudah masuk pedal
dan hendak naik ke punggung kudanya.
In San amat benci akan
ocehannya yang tidak genah tadi, alisnya tegak, bentaknya: "Bangsat,
terlalu menghina kau, masih mau lari?" Menggunakan sisa tenaganya dia ayun
lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur samberan kilat
meluncur ke depan. Baru saja Tiangsun Co duduk di punggung kuda, seketika dia
melolong panjang mengerikan. Pedang mustika tembus dari punggung ke depan
dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas tanah. Kuda itu
tergores luka oleh ujung pedang waktu Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan
lari sipat kuping dan tak kelihatan lagi.
"Sayang Buyung Ka keparat
itu bisa lolos," demikian ujar In San, "Sing-ko, tolong kau cabut
pedangku itu." Waktu bicara tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh,
ternyata waktu menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya, untuk
jalan sudah tidak mampu lagi.
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Adik San, kenapa kau?" Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir
pedang tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya kalau In San
terluka perlu segera ditolong dan diobati.
"Tidak apa-apa,"
kata In San, "hanya kehabisan tenaga saja, istirahat sebentar juga sudah
baik."
Lega hati Tan Ciok-sing, dia
genggam tangannya, katanya: "Coba kuperiksa urat nadimu."
In San kaget, serunya:
"He, kenapa telapak tanganmu sedingin ini? Aku tidak apa-apa, sebaliknya
kau..."
Belum habis dia bicara Tan
Ciok-sing sudah lepas pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di
tanah. Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan terbukti kesehatannya
tidak kurang suatu apa, legalah hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak
kuat berdiri lagi. In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga
lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling berpelukan.
Lekas Tan Ciok-sing duduk dan
berkata: "Jangan kuatir, duduk istirahat sebentar nanti juga baik."
Perasaan In San tidak karuan,
pikirnya: "Mungkin sisa racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam
mengelabui aku."
Tak lama kemudian tampak uap
putih mulai mengepul di atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah,
pelan-pelan terbuka matanya dan berkata perlahan: "Tenagamu sudah agak
pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita harus lekas menempuh
perjalanan."
In San juga cukup ahli dalam
ilmu silat, dia tahu Ciok-sing sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri
luka-luka dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata:
"Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu sendiri menjadi
tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."
Alasan yang dikemukakan ln San
memang beralasan, terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia
meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia melompat bangun,
katanya: "Sudah selesai."
In San ragu-ragu, katanya:
"Apa betul kau sudah baik?"
Tan Ciok-sing membalikkan
tangan, sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya:
"Kapan aku pernah bohong kepada kau?"
Ternyata Kek Lam-wi dan Toh
So-so juga sedang ngacir, keadaan mereka lebih runyam lagi. Baru mereka
memasuki wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang mengejar.
Hari itu mereka sudah memasuki
daerah bersalju, hari ke sembilan sejak mereka mulai pelarian.
Mendongak mengawasi puncak
gunung besar di depan, lega hati Kek Lam-wi, katanya senang: "Tak terasa
kita sudah sampai di Thian-san."
Toh So-so juga kegirangan,
serunya: "Apa betul? Waktu kita menginap di perkemahan suku Wana, bila
membicarakan Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak nyana
tahu-tahu sudah di depan mata?"
"Ini hanya cabang gunung
Thian-san, namanya Liam-ceng-tang-ku-la-san." Ujar Lam-wi.
"O, jadi kau menggodaku
supaya senang." Omel Toh So-so.
"Meski bukan puncak
Thian-san, tapi terhitung kita sudah berada di kaki Thian-san. Entah berapa
hari lagi kita harus menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini,
Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah didalam
haribaannya."
"Betul, makin dekat
Thian-san. semakin jauh kita meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu
punya nyali setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap
kita di Thian-san."
"Bisa bebas dari kejaran
mereka memang syukur, tapi yang lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita
makin mendekati Thiansan..."
"Sehari kau bisa lebih
cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan
mereka, untung Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah
jelus." Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah setelah menempuh
perjalanan jauh dan susah, "Lam-ko, aku kepingin mendengar tiupan lagu
serulingmu. Sudah sekian hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan,
sekarang tiba saatnya menghibur diri."
Tak nyana belum habis dia
bicara, tiba-tiba terdengar sebuah lengking suara yang menusuk telinga:
"Budak busuk, coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."
Orangnya belum kelihatan, tapi
suaranya sudah bikin pekak telinga Toh So-so.
Toh So-so tahu siapa yang
memekik keras itu, saking kaget dia menjerit ketakutan.
Kek Lam-wi kembangkan Ginkang
berlari ke atas seperti terbang. Tampak dari depan "mendatangi dua orang,
seorang kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah bunda Kangouw
Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiam-khek Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat
Bing Lan-kun.
"Liu-locianpwe,"
teriak Kek Lam-wi, "kau adalah seorang Cianpwe yang punya nama dan
kedudukan tinggi di kalangan Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran,
putramu itu..." yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi 'kedudukan'
tinggi hakikatnya tiada.
Sebelum Kek Lam-wi bicara
habis, Bing Lan-kun sudah membentak: "Orang she Kek urusan tidak
menyangkut dirimu. Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada dua
jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi menantuku, kalau
tidak biar kugores mukamu beberapa jalur, seperti kau melukai putraku
itu."
Meski jeri tak urung membara
amarah Toh So-so, serunya: "Nenek peyot galak, tahukah kau putra
kesayanganmu itu..."
"Budak busuk,"
sentak Bing Lan-kun, "kau sudah melukai putraku, berani memakiku."
Tar, pecutnya kontan terayun.
Lekas Kek Lam-wi mencegat ke
depan, teriaknya: "Liu-locianpwe, kau orang ternama, urusan harus
dibicarakan dulu supaya gamblang bukan?"
Membesi muka Liu Jiu-ceng,
katanya: "Aku tidak memukul kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi
menantu, memangnya merendahkan derajatnya?"
Toh So-so jelas bukan
tandingan Bing Lan-kun, beberapa kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi
mendampinginya melawan musuh.
Bing Lan-kun mengembangkan
Wi-hong-sau-yap, ilmu cambuknya yang paling dibanggakan, "Sret, sret"
angin menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolah-olah 'mendadak
timbul pusaran angin lesus menggulung ke arah Kek dan Toh berdua.
Cambuk lemas panjang itu
berputar menjadi beberapa lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan
kecil, didalam lingkaran ada lingkaran. Begitu hebat dan menakjubkan juga
permainan cambuk Bing Lan-kun. Kek Lam-wi dipaksa untuk mendemontrasikan
King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya atas petunjuk Ti Nio, namun
demikian, tak berhasil dia memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu. Tak
lama kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam lingkaran cambuk
lawan.
Di tengah kesibukannya itu
mendadak Kek Lam-wi bersiul sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.
Bing Lan-kun menjengek dingin:
"Kematian di depan mata masih bersenandung segala." Padahal dalam
hati merasa heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan masih
sesantai itu berdeklamasi segala.
Tampak permainan seruling Kek
Lam-wi, tiba-tiba berobah. Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar
laksana angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin. Perbawanya sungguh
mirip gunung bersusun dan berlapis sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi.
Herannya rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.
Ternyata King-sin-siau-hoat
merupakan cangkokan dari King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya
pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan deklamasinya
membawakan dua bait syair pula, serulingnya bergerak dari atas ke bawah terus
membabat dan menyapu. Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu
cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap tak mampu menjebol
garis pertahanan lawan. Habis senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah
gerakan, tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu ditiupnya
sekali, "Suuiiiit" Bing Lan-kun memaki: "Setan, apa yang kau
lakukan?" Mendadak serumpun angin panas menerjang muka, karuan kagetnya
bukan main, dia kira lawan menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup
keluar dari serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk melindungi
badan. Yang benar yang menerpa mukanya bukan senjata rahasia tapi serumpun hawa
hangat dari tiupan serulingnya yang panas. Seperti diketahui, seruling Kek
Lam-wi itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya melebihi besi
atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari seruling pualam itu dapat
menyerang musuh dan menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif. Sudah
tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi kekuatan Lwekang
yang cukup tangguh juga. Lwekang Bing Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi,
maka dia tidak terluka oleh tiupan hawa murni. Tapi muka kesampuk hawa hangat
itu menjadi pedas dan perih.
"Tua bangka," teriak
Bing Lan-kun, "anak itu bukan milikku sendiri, kau biarkan orang
menghinaku."
Liu Jiu-ceng takut bini
seperti berhadapan dengan harimau, terpaksa dia menampilkan diri. Begitu dia
terjun ke arena, situasi segera berobah. Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi telah
terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung menindihnya, bukan saja gerakan
seruling terasa berat dan susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun
menjadi kurang leluasa.
Tengah mereka menghadapi
bahaya, tiba-tiba terdengar irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa
angin lalu.
Mendengar petikan senar-senar
harpa yang merdu itu, diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget. "Siapa
memiliki Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay
telah datang?"
Maklum pertama irama kecapi
itu terdengar, suaranya mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di
tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah berkumandang jelas
dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas sudah teramat tinggi. Orang yang bisa
memanjat pegunungan setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi
Ginkang pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu indah dan
merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa susah diraba dan dirasakan,
logis kalau Liu Jiu-ceng curiga yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.
Pertarungan jago kelas wahid
mana boleh terpecah perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan
serangan pedang yang dfkombinasikan pukulan telapak tangan. "Biang"
Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan Bik-khong-ciang. Liu Jiu-ceng juga
tertiup angin hangat dari seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di
dadanya.
Lwekang Liu Jiu-ceng lebih
tangguh dari Kek Lam-wi, cukup tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali
dia sudah segar bugar. Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa memburu Kek
Lam-wi untuk membekuknya.
Di sebelah sana Yam-lo-sat
Bing Lan-kun telah menyandak Toh So-so. Toh So-so menjejak kaki sekuatnya,
meloncat berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat serambut,
"Brett" pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan lawan.
Tapi pada detik-detik
berbahaya itu pula, Kek dan Toh memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka
duga, Toh So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai: "Budak
busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi setan burik? Lekas katakan,
kuhitung tiga kali, kalau kau tidak menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu
dengan pedangku ini. "Satu, dua..."
Toh So-so merangkak mundur,
belum mampu dia berdiri, sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju
sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung 'tiga'.
Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat menyambar, bersama kilat
pedangnya menyambar penyerang inipun menubruk maju laksana seekor burung besar
menubruk ke arah Bing Lan-kun.
Bing Lan-kun amat kaget, lekas
dia mencelat minggir ke samping sambil mengibas lengan baju. Maka terdengar
suara robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak mampu
menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya terpapas sebagian. Untung Bing
Lan-kun mengeluarkan cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia
berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.
"Perempuan siluman,
berani kau menyakiti Toh-cici, biar aku adu jiwa dengan kau."
Baru sekarang Bing Lan-kun
melihat jelas penyerang dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain
adalah In San.
Bahwa In San sudah tiba, sudah
tentu Tan Ciok-sing juga sudah datang. Kedatangannya juga tepat pada waktunya,
kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul mencelat dan hampir terjerumus
ke dasar jurang.
Untung waktu melancarkan
Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak
sepenuhnya. Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak, meski pukulan Bik¬
khong-ciang cukup keras namun Kek Lam-wi tidak terluka sama sekali. Tapi bila
Kek Lam-wi menginjak bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan
lemah lunglai.
Melihat orang tidak terluka,
legalah hati Tan Ciok-sing, segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil
menjura: "Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan
tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu kejadian Wanpwe
kebetulan juga hadir. Sudilah kau mendengar dulu penjelasanku, supaya
pertikaian kalian bisa kudamaikan."
Sebetulnya tak usah dijelaskan
oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiu-ceng sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak
putranya. Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di samping
didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak itu, meski tahu di pihak
sendiri yang salah, terpaksa dia berusaha menuntut balas bagi sakit hati
anaknya.
Yang dia takuti adalah
Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda
tanggung usia belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.
Dengan menyeringai dingin Liu
Jiu-ceng membentak: "Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai?
Lekas menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau tidak, hm, hm,
segera kupunahkan ilmu silatmu."
Melihat kawan baiknya dihina,
sudah tentu Tan Ciok-sing amat marah, bentaknya: "Kalau mampu boleh
silahkan kau punahkan ilmu silatku." Pedang tercabut terus diputar balik,
"Tang" kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok keras, tiada
yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing
tertolak pergi, tubuhnyapun gentayangan dua langkah. "Kena."
Tiba-tiba Liu Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu, ujung
pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan Ciok-sing.
Di luar tahunya
Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang sudah diyakinkan sempurna, permainan
sudah selaras dengan pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan
Ih-sing-hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang, langkahnya
gentayangan seperti orang
mabuk, tapi pada hal merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang
mengandung isi kosong susah diraba. Seperti orang mabuk menggerakkan pedang
saja, gerakan pedang seenaknya itu tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi
yang tak terduga oleh Liu Jiu-ceng.
Kalau yang diserang seorang
yang berkepandaian agak rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan
Ciok-sing, tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali tusukannya,
arena seluas beberapa tombak seperti terbelenggu didalam kekuatan dalamnya
sekokoh tanggul dan sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci
tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar pergi oleh kekuatan
Lwekang lawan. Tapi, Tan Ciok-sing berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini,
mencelat kesana bergabung dengan In San. Ternyata In San sedang didesak mundur
oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.
Siang-kiam-hap-pik kekuatannya
berlipat ganda, Liu Jiu-ceng yang memburu datang dengan serangan pedangnya kena
ditangkis cerai berai. Demikian pula cambuk panjang Bing Lan-kun seperti
terkunci didalam lingkaran sinar pedang, buru-buru dibetotnya keluar. Padahal
cukup tangkas reaksinya, tapi terdengar "Cras" sekali, ujung
cambuknya terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat suaminya.
Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung dengan kawannya sendiri.
Tan Ciok-sing menghentikan
aksinya, katanya: "Liu-locianpwc, berlakulah murah hati, dimana boleh
diampuni, berilah pengampunan..." dia masih berusaha melerai.
"Bocah keparat."
Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar, "kau kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik
kalian?" Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu sekeras badai,
sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba melingkup pula, laksana mata rantai
saja tahu-tahu menyapu miring terus melintir-lintir. Jurus ini merupakan serangan
hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan ke ujung pedang,
Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan Ciok-sing dan In San juga hanya mampu
bertahan dan menahan saja.
Pertempuran seru berulang,
ujung pedang Liu Jiu-ceng seperti diganduli barang berat, menuding ke timur
menusuk ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung pedangnya
menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa, sayup-sayup seperti terdengar
gemuruh gcluduk Kalau dalam keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I
n San, Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi. Tapi keadaan Tan
Ciok-sing sekarang agak payah. Lwekangnya belum pulih, luka dalam, keracunan
lagi, demikian pula In San sedang hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi,
maka sekuatnya mereka masih kuat bertahan.
Kek Lam-wi dan Toh So-so
menyaksikan pertempuran diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan
cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan, kembang sama rontok
bertaburan, dalam sekejap saja, daun-daun dan kembang-kembang di atas pohon
sekitar gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal dahan-dahannya
saja. Kek Lam-wi geleng-geleng sambil menghela napas panjang, bukan saja takjub
diapun kagum dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena dirinya
tidak mampu membantu.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar sebuah siulan panjang, bagai pekik naga mengalun tinggi menembus
angkasa menggetar bumi. Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar siulan itu,
perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata. Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat
kaget, pikirnya: "Entah orang itu kawan atau lawan, Lwckangnya jauh lebih
tangguh dari Tan Ciok-sing keparat ini."
Tan Ciok-sing sedang
mengembangkan kekuatan Bu-bing-kiam-hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak
memadai, sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi kedatangan
lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan Ciok-sing? Karena kaget dan
perasaan tergetar, betapapun hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya
menjadi kacau.
Kalau permainannya menurun,
sebaliknya cahaya pedang Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka
terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring sederas bunyi ledakan
mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun terputus-putus menjadi delapan potong.
Pedang Liu Jiu-ceng memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang mengancam
dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong oleh pedang Tan Ciok-sing
kulit kepalanya menjadi silir.
Memutar tubuh Liu Jiu-ceng
terus melarikan diri. Baru sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya
asing memuji: "Ilmu pedang bagus."
Sekenanya orang itu meraih
sekeping es terus tangan terayun, bentaknya: "Kalian berani bertingkah di
Thian-san, lantas mau lari begini saja? Tinggalkan sedikit tanda mata."
Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua dan meluncur ke
arah dua sasaran. Bing Lan-kun lari di depan sementara Liu Jiu-ceng di
belakangnya, tapi kedua orang terkena timpukan es itu berbareng.
Kontan Bing Lan-kun menjerit
terus menggelinding ke bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin
meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh tubuh seperti melepuh
dan hampir meledak. Ternyata ilmu silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga
Liu Jiu-ceng kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan. Untung Liu Jiu-ceng
masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun yang menggelundung di tanah
bersalju juga tidak terluka parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong
isterinya terus lari turun gunung tanpa pamitan lagi.
Melihat orang itu
mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu
siapa yang datang, serunya: "Apakah Toh-suheng yang datang? Siaute
adalah..." saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar,
pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup angin kencang, tubuhnya
terombang-ambing.
"Ciok-sing Sute,"
seru Toh Thian-tok. "Aku sudah tahu kau adalah murid penutup Suhu. Eh,
Sute kau kenapa?"
Tan Ciok-sing sudah tidak
tahan, akhirnya meloso duduk di tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang
amat penting. "Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu
kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiam-hoat, sayang aku
tidak sempat menjelaskan kepadamu panjang lebar."
"Sute," ujar Toh
Thian-tok, "jangan kau kuatirkan soal ini setelah menyaksikan ilmu
pedangmu, aku sudah tahu pedangnya..." sebagai maha guru silat nomor satu
di jaman ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu, ajal Tan
Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Tok-ing-ji di tubuh Tan
Ciok-sing telah kumat sehingga hawa murninya buyar seketika.
Tan Ciok-sing turunkan harpa,
katanya: "Kek-toako, sudah lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san,
belum pernah ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar, sekarang
biarlah aku penuhi keinginanmu." Sebelum Kek Lam-wi sempat mencegah
jari-jarinya sudah mulai memetik senar-senar harpa.
Seperti sepasang kekasih yang
sedang asyik memadu cinta, seperti sesama kawan intim yang melepas rindu.
Seperti pula berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana berdiri di
puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin laksana siulan merdu... tanpa
terasa In San tenggelam dalam alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke
belakang, akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu cinta
bersama Tan Ciok-sirtg.
Mendadak bunyi harpa berobah,
seperti pekik lutung di selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang
ditinggal kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya
untuk mencurahkan isi hati dan
makna suci dari Khong-ling-san di saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal.
Berpisah dengan teman, berpisah dengan isteri... mendadak "Creng"
senar harpa putus.
Senar putus jiwapun melayang.
Lama In San mematung seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil
memeluk jenazah Tan Ciok-sing.
TAMAT