Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 8(Tamat)

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 8(Tamat)
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 8(Tamat)

"Aku jadi ingin mengadu kepandaian dengan perempuan siluman itu," ujar Lau Thi-cu, kalian tidak usah kuatir, soal perahu mudah nanti kucarikan."

Setiba di tempat tujuan, tiada bayangan manusia, perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya: "Siau-cu-cu, kau bilang punya akal."

"Jangan kuatir," ucap Lau Thi-cu, "didalam gua tak jauh dari sini belakangan ini ada dibuat perahu yang belum sempat digunakan."

Dalam gua yang dituju memang terdapat beberapa perahu, masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata: "Siau-cu-cu, ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"

"Siau-ciok-cu, kenapa kau bilang begitu, memangnya aku ini bukan temanmu sejak kecil? Kitakan pernah sehidup semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya menolong aku, bukan untuk kali ini pula aku pernah membantu kau."

Kek Lam-wi dan Toh So-so kelahiran dan dibesarkan di Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang tapi dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan. Setelah menurunkan perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di depan menunjukkan jalan, galah diangkat terus menutul ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur mengikuti arus. Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San berada di belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa scgulung arus kencang menggulung tiba, perahu kecil Tan Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus berpusar.

Mendengar suara gelombang Lau Thi-cu lantas tahu bahwa mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak: "Mundur ke samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."

Tan Ciok-sing kerahkan Jian-kin-tui sehingga perahunya tidak terbalik, setelah perahunya terkendali segera dia praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah perahunya segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain perahunya sudah meluncur keluar dari dalam gua dan melihat langit terang.

Diluar gua air seperti dituang menggerojok turun dengan deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih kencang dan berbahaya. Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu layaknya. In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini hatinya kebat-kebit, katanya: "Sungguh berbahaya, mengecilkan nyali saja."

Belum habis dia bicara, tiba-tiba gelombang besar mendampar. Lau Thi-cu berteriak: "Awas menubruk karang," batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya sedikit saja apalagi arus air teramat deras dengan gelombang besar pula, dalam gugupnya Tan Ciok-sing tak kuasa dia mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke samping. Pada detik-detik gawat di kala perahunya hampir membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh tenaga ujung galahnya tepat menyodok pucuk karang serta mendorongnya sehingga perahu yang terdorong ombak itu berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke atas, seketika In San merasa dirinya seperti naik mega seolah-olah dirinya terbawa arus dilempar ke tengah angkasa namun cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah. Waktu dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan batu-batu karang dan terus laju ke depan.

Lau Thi-cu berpaling ke belakang, legalah hatinya, serunya memuji: "Hebat kau Siau-ciok-cu."

Tan Ciok-sing seka keringatnya, katanya tertawa: "Terima kasih akan petunjukmu, kepandaianmu jauh lebih mahir lagi."

Maklum naik perahu didalam air yang arusnya sederas itu, bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus memiliki tenaga raksasa. Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan perahunya seperti laju di perairan yang arusnya tenang, jelas Kungfunya sekarang sudah mencapai taraf tertentu, dasarnya cukup kuat.

Cepat sekali mereka sudah mencapai setengah dari selat sempit berarus kencang itu. Setelah lega hatinya, In San berkata: "Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."

Lau Thi-cu berseru di depan: "Syukurlah di depan tiada daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan berada di perairan Thay-ouw."

Baru saja mereka merasa lega, tiba-tiba Toh So-so berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping dengan melongo. Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah pandangannya, tak usah tanya segera dia tahu kenapa kekasihnya kaget dan melongo.

Tampak di antara dua batu besar yang menonjol di permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu itu sudab pecah berantakan, jauh di depan sana masih kelihatan pecahan perahu yang terapung. Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya: "Lau-toako, perahu itu apakah milik kalian..." Lam-wi tidak tega meneruskan perkataannya, dia pikir jarang ada perahu lewat disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang dinaiki Bu-sam Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"

"Betul," sahut Lau Thi-cu, "itulah perahu khusus yang kami sediakan di pinggir sungai."

Kek Lam-wi menghela napas, katanya: ."Kalau begitu tak usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."

Pada hal perahu mereka kini sudah berada di perairan Thay-ouw. Hujan rintik-rintik kabut mulai datang, Thay-ouw seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut kabut, kemana mereka harus mencari?

Makin ke tengah kabut makin tebal, tak lama kemudian di tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang bergerak terombang-ambing maju ke depan.

Dengan suara lirih Lau Thi-cu berkata: "Di depan ada sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang digantung di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."

Pada hal saat mana sudah menjelang tengah malam, dalam kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di tengah perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan.

Tergerak hati Kek Lam-wi katanya: "Lau-toako, perlahan saja mendekatinya kapal di depan itu."

"Aku tahu," ujar Lau Thi-cu tertawa, "jangan kuatir, mereka tidak akan tahu jejak kita. Dengan kemahirannya mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan tanpa banyak mengeluarkan suara.

Setelah agak dekat sayup-sayup terdengar suara percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu yang jalang itu.

Karuan Tan Ciok-sing berlima amat girang. Segera mereka pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu makin jelas. "Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku ada di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak," agaknya Bu-sam Niocu sedang main cinta dengan seorang lelaki.

Berkerut alis Kek Lam-wi dan Toh So-so namun lega pula hati mereka. Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami kesulitan, agaknya dia disekap di atas perahu itu. Yang menjadi tanda tanya dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu?

"He, he, putri mustikamu, merdu sekali kedengarannya, mesra dan sayang sekali. Bagi mereka yang tidak tahu seluk beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak kandungmu sendiri," terdengar laki-laki itu mencemooh dengan nada menggoda.

Tan Ciok-sing melengak, semula dia sangka lelaki yang sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah suaminya kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong. Tapi setelah didengarnya dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong. "Lalu siapa laki-laki ini?" demikian Ciok-sing bertanya-tanya.

Terdengar Bu-sam Niocu berkata: "Haya kenapa kau bilang demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak yang kulahirkan dari rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan menyerempet bahaya untuk menculiknya dari markas Ong Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari dari selat geledek yang berbahaya itu?"

"Sam-nio," ujar laki-laki itu bergelak tawa, "urusan sudah sejauh ini, kau masih belum mau bicara sejujurnya kepadaku, apa tidak terlalu?"

"Bicara jujur soal apa?" tanya Bu-sam Niocu.

"Kau kan hanya memperalat dia untuk membeli hati orang Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit budak ayu itu di bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut pendapatku sudah sejak lama kau telah membunuhnya."

"Perbuatan keji masa lalu apa? Sebetulnya berapa banyak kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan nama baikku?" suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar dan panik.

Laki-laki itu tertawa, katanya: "Alah aksinya, dulu kau sekongkol dengan Thi Khong membunuh suamimu yang pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang. Kalian memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang lain tidak tahu, hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang orang-orang Bu-san-pang belum memperoleh bukti, tapi tidak sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara sejujurnya kau tidak berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh dia kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah besar dan yakin akan perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka terpaksa kau besikap baik dan sayang terhadapnya supaya orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang membunuh ayahnya."

"Kau memang setan cerdik, apapun kau ketahui maka kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita itu."

Laki-laki itu tertawa pula, katanya: "Aku tahu kau telah membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius juga tidak jadi soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan kita."

"O, jadi kaupun telah melakukaa sesuatu pada dirinya?"

"Ya, aku telah menutuk Hiat-to penidurnya, paling sedikit dua belas jam kemudian baru dia akan bangun."

"Kau memang setan kelaparan, kiranya kau memang bermaksud jelek terhadapku."

"Salah, bukan bermaksud jelek, aku justru ingin berbuat baik terhadapmu."

"Apa kehendakmu?"

"Kuingin kau menjadi biniku."

"Tidak, tidak muugkin, aku tidak bisa kawin dengan kau."

"Kenapa tidak bisa, Bu San-hun telah mati. Kau boleh menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus, kenapa sekarang tidak boleh menikah dengan aku? Memangnya kau ingin menjadi janda sampai tua?"

"Justru karena Thi Khong mati belum ada satu bulan, pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau kau tidak takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh orang banyak."

"O, jadi kau hanya kuatir dicemooh orang, jadi bukan tidak sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan kepada kau, aku tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi suamimu, siapa berani mentertawakan kau."

Terdengar Bu-sam Niocu cekikikan geli dan genit, katanya: "Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang terkenal dan disegani kaum persilatan siapa berani bertingkah di hadapanmu?"

Perahu yang ditumpangi Tan Ciok-sing berlaju ke depan makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah kenal suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka sampai disini, kini dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu. Orang itu bukan lain adalah Toa-thauling Giam-ong-pang Giam Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.

Tawa genit dan percakapan kedua orang di atas perahu tiba-tiba terhenti. Ternyata sebagai orang yang banyak pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa sebuah perahu kecil tengah menguntit kapal mereka di sebelah belakang.

Pelan-pelan dia mendorong Giam Cong-po yang menindih tubuhnya ke samping. Giam Cong-po keheranan sebelum dia sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir telinganya: "Ada dua perahu menguntit di belakang, biar aku memeriksanya."

"Umpama Ong Goan-tin sendiri yang mengudak kemari aku juga tidak gentar, biarkan saja peduli amat?" jengek Giam Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar, mana dia mau diganggu.

Bu-sam Niocu mencubit lengannya, katanya perlahan dengan tertawa: "Waktu masih panjang untuk kita, sekarang kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang menguntit betapapun harus hati-hati."

Giam Cong-po berkata uring-uringan: "Kurcaci mana yang berani menguntit kita, biar nanti kupukul perahunya sampai pecah berantakan."

Bu-sam Niocu lari keluar pegang kemudi sehingga kapalnya membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po beranjak ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi. Jarak kedua pihak tinggal enam tujuh tombak, tapi di tengah kabut Giam Cong-po tidak melihat jelas siapa penumpang kedua perahu kecil itu.

Dengan kalem dia angkat sebuah jangkar besi di pojok kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke perahu Tan Ciok-sing. Jangkar besi itu besar dan berat, dia lempar dengan tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran ditambah beratnya kira-kira ada ribuan kati. Jangan kata perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar segede itu, jelas perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa pecah berantakan.

Untung dia melempar jangkar itu ke perahu Tan Ciok-sing. Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong, galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis mengikuti arah luncur jangkar gede itu. "Byuuurrr" jangkar gede itu berhasil disampuknya miring dan jatuh kedalam danau, air muncrat menimbulkan ombak besar.

Karuan Giam Cong-po kaget bukan main, baru sekarang dia insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh. Sembari meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus menubruk kearah perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing. Kejadian cepat sekali, di tengah udara tubuhnya jumpalitan dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik turun meluncur ke arah perahu kecil itu.

"Pletak", galah panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil dipukulnya patah menjadi dua. Tapi sebelum kaki Giam Cong-po menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah

dipersiapkan, mendadak dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana kilat menyambar, sinarnya terang menyilaukan mata. Maka terdengarlah dering keras beradunya senjata, kali ini gayung besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas kutung. Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan sepasang pedang. Pedang mereka gaman mustika yang dapat mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada bandingan pula di kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka?

Belum lagi ujung kakinya menyentuh perahu, ujung pedang Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas Giam Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih dipegang, gagang dayung itu kembali terpapas kutung pula, sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan lagi sebagai senjata.

Sementara itu Bu-sam Niocu baru selesai berpakaian, didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan bersuara heran dia menegur: "Lho, kok cepat benar kau sudah kembali?"

Kek Lam-wi tendang pintu kabin sambil membentak: "Coba kau lihat siapa aku."

Kaget Bu-sam Niocu bukan main, kontan dia ayun tangan menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Toh So-so putar kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka terdengar suara gemerisik. Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu rontok dan hancur berhamburan.

Karena sedikit hambatan ini, Bu-sam Niocu sudah membobol dinding papan terus lari ke geladak.

Kek Lam-wi membentak: "Lari kemana," secepat angin dia mengudak keluar. Kembali Bu-sam Niocu mengayun balik tangannya menghamburkan senjata rahasia. Serangan senjata rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam, begitu ditimpukkan senjata rahasia itu lantas meledak, segumpal asap berapi menimbulkan kabut tebal diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak terhitung banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang beracun.

Untung sebelumnya Kek Lam-wi sudah siaga, di waktu dia melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah dibikin basah, sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika dikebutnya padam. Jarum-jarum lembut beracun itupun tergulung dalam jubahnya. Sebat sekali Toh So-so sudah ikut menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut menyapu habis hamburan jarum-jarum lembut itu.

Kek Lam-wi tidak berhenti, seruling pualamnya segera dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam Niocu, jurus Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok dari King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi yang liehay. Walau kesehatan Kek Lam-wi belum pulih seluruhnya, mungkin karena terlalu panik, Bu-sam Niocu kena ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.

Lekas Kek Lam-wi berdua putar masuk ke kabin serta mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah. Kek Lam-wi sudah berjongkok memeriksa Hiat-to mana di tubuhnya yang tertutuk dan hendak membebaskan tutukan Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Cam-wi dan Toh So-so, dia sangka dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak tertahan: "Kek-toako, Toh-cici, betul, betulkah kalian?"

Toh So-so girang, serunya: "Bu-cici, ternyata kau sudah siuman." Segera dia turun tangan membebaskan Hiat-tonya yang tertutuk.

Saking girang Bu Siu-hoa berlinang air matanya, katanya terisak: "Sungguh tak nyana aku masih bisa hidup bertemu dengan kalian."

"Ibu tirimu yang jahat itu sudah kami bekuk hidup-hidup, sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang kau tangisi?" Toh So-so menghibur.

"Ayah kandungmu dicelakai sampai mati oleh ibu tirimu ini, apa kau sudah tahu," ujar Kek Lam-wi sengit.

"Percakapannya dengan pentolan Gam-ong-pang di kamar sebelah sudah kudengar seluruhnya," sahut Bu Siu-hoa.

"Bu-cici, sepantasnva aku memberi selamat kepadamu," kata Toh So-so.

Bu Siu-hoa melenggong, katanya: "Kenapa memberi selamat kepadaku."

"Selamat atas kemajuan Kungfumu," ujar Toh So-so tertawa, "kau terkena obat bius perempuan laknat itu, ditutuk pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut dipuji."

Bu Siu-hoa berkata: "Waktu aku digusur perempuan jahat itu, diam-diam aku sudah menelan obat penawarnya. Tentang ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako, dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna." Ternyata dua hari dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam gua batu, mengingat orang telah menolong jiwanya, untuk membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan cara mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal untuk menyelamatkan diri.

"Mana keparat she Giam itu?" tanya Bu Siu-hoa.

"Masih ada di geladak sedang bertarung dengan Tan-toako," sahut Kek Lam-wi.

Waktu mereka tiba di atas geladak, tampak air bergolak dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang bertarung didalam air. Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil ternyata juga tidak kelihatan.

Perahu kecil yang ditumpangi Tan Ciok-sing berputar-putar di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah, turun naik terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak dikendalikan mungkin bisa tenggelam.

"Celaka," seru Toh So-so, "In-cici masih di atas perahu itu, dia tidak pandai berenang, lekas kita menolongnya."

Beramai-ramai mereka kayuh kapal besar ini mendekati perahu yang sudah miring itu. In San sudah lompat ke atas atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua tombak In San segera melompat naik ke atas kapal besar.

Ternyata menghadapi Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In

San, Giam Cong-po tepaksa didesak jatuh kedalam air, dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat menghadapi mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot perahu orang.

Kuatir Tan Ciok-sing bukan tandingan Giam Cong-po, Kek Lam-wi berkata: "Biar aku turun ke air membantunya."

Lekas In San mencegah, katanya: "Kesehatanmu sendiri belum sembuh, jangan kau mencari susah sendiri."

"Biar aku saja turun membantunya," kata Toh So-so.

"Siau-cu-cu sudah terjun ke air membantu Tan-toako," demikian tutur In San, "bila mereka berdua juga tidak kuat menghadapi musuh didalam air..."

Belum habis dia bicara, "Byuur" tahu-tahu Bu Siu-hoa sudah terjun kedalam air. Hanya sekejap saja tiba-tiba dua kepala orang menongol ke permukaan air. Tan Ciok-sing mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu. Waktu itu fajar telah menyingsing tampak pakaian mereka berlumuran darah.

In San kaget, serunya: "Lau-toako kau terluka. Mana adik Siu-hoa?"

"Jangan gugup," ujar Lau Thi-cu tertawa lebar, "ini darah orang lain. Nona Bu berhasil membunuh brandal she Giam itu."

Di tengah tawanya itu tampak Bu Siu-hoa sudah muncul ke permukaan air, katanya: "Lau-toako terima kasih akan bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."

Perlu diketahui kepandaian renang Giam Cong-po ternyata amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu, Tan Ciok-sing meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan pasti berhasil melarikan diri. Setelah terbukti Giam Cong-po sudah mati, baru Bu Siu-hoa naik ke atas, maka dia agak terlambat muncul di permukaan air.

Bu Siu-hoa sedang berpikir cara bagaimana dia harus menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di atas kapal dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu, ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan, dari pada mati di tangan orang lain dia rela bunuh diri menelan racun.



000ooo000



Memperoleh laporan yang menggembirakan ini, lekas Ong Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka. Yang ikut menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun. Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi sembah hormat kepada gurunya.

Melihat Bu Siu-hoa pulang dengan selamat legalah hati Ong Goan-tin. Mendengar muridnya berjasa besar Lui Tin-gak juga amat senang. Di samping menghibur dan melegakan hati Bu Siu-hoa orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang jujur dan polos ini sampai canggung dan malu mukanya jengah.

Dalam perjamuan, hati hadirin sama riang gembira, setelah tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat bicara: "Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu sehingga keributan ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku karena Lui-toako dan Tam-toako sudi datang bersama kaum pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal beberapa hari di markasku ini."

Tan Ciok-sing mendahului buka suara: "Terima kasih akan maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak bisa tinggal lama disini."

"Kalian ada keperluan penting apa, kenapa buru-buru," tanya Ong Goan-tin.

Sebelum Tan Ciok-sing menjawab, Tam Pa-kun sudah tertawa, katanya: "Ong-toako kenapa kau menjadi pelupa?"

Ong Goan-tin melengak, tanyanya: "Aku lupa apa?"

"Tentang mereka membuat geger istana raja, waktu menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah meninggalkan empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal itu pernah kuceritakan kepada kau?"

Ong Goan-tin sadar, katanya: "Betul kenapa aku jadi lupa. Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke kota raja, menagih janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia untuk menepati janji."

"Benar Baginda pernah berjanji, dalam jangka tiga bulan dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri dorna Liong Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama nona In kami ingin tiba di kota raja lebih dini."

"Kalian bagaimana?" tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lam-wi dan Toh So-so.

"Janji Tan-toako dengan Baginda Raja adalah janji pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako pasti sudah menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat bersama Tan-toako."

"Apakah luka-lukamu tidak mengganggu?" tanya Ong Goan-tin.

"Sudah lama sembuh," sahut Kek Lam-wi

"Bahwa kalian sedang mengemban tugas, sudah tentu aku tidak enak menahan kalian disini.

Nona Bu kuharap sementara kau tinggal disini saja."

Memangnya Bu Siu-hoa sekarang sudah sebatang kara, mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan lega.



000ooo000



Pendek kata. Sepanjang jalan mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa. Hari itu mereka tiba di Pakkhia. Untuk menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota In San gunakan kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja, sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian laki-laki, menyamar jadi kacung mereka.

Jalan raya lalu lintas padat, kereta gerobak berlalu lalang, kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya tiada perbedaan dengan tiga bulan yang lalu. Tapi perasaan hati mereka yang jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.

Tiga bulan yang lalu mereka bertekad meski gugur di medan laga juga rela asal berhasil menemui raja, sudah tentu yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh Liong Bun-kong sekalian. Meski tujuan mulia, namun mereka harus bertindak secara menggelap, harapan cerah tidak pernah nampak di depan mata.

Kini mereka sudah sadar, umpama Baginda Raja tidak mau tunduk akan kehendak rakyat banyak namun keyakinan mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput gelap yang selama ini menyelubungi harapan masa depan sudah sirna tak berbekas lagi. Waktu mereka tiba di kota raja kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga bulan.

Malam itu mereka menginap di hotel, besok pagi mereka langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang Kaypang.

Baru saja mereka keluar kota, terasa dua orang telah menguntit mereka. Kedua orang ini berkepala kecil dengan muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan tingkah laku mereka, siapapun akan tahu bahwa kedua orang ini jahat dan menjijikan. Lekas sekali kedua orang ini sudah memburu dekat.

Sekejap Tan Ciok-sing celingukan, dilihatnya kanan-kiri tiada orang, segera dia menyongsong kedatangan mereka. "Saudara ini tentu sudah lelah."

Kedua orang itu berhenti, sekejap saling pandang lalu satu persatu mengawasi mereka, mimik mukanya kelihatan aneh. Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata: "Lelah sih tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang lelah, tentunya kalian juga lelah." Sengaja dia meninggikan suara, jelas berusaha menutupi suara aslinya supaya orang tidak kenal logat suaranya.

Tan Ciok-sing berkata sinis: "Jangan pura-pura, kalian ini kawan dari garis mana, lekas terus terang."

Yang perawakan besar berkata: "Apa maksudnya kawan dari garis mana? Coba kau katakan dulu kau dari garis mana, supaya kami maklum apa yang kau maksud."

"Baik terus terang kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan dari garis yang sedang dicari oleh majikanmu," di kala mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap tiba-tiba menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan mengancam jiwa orang, maka gerakannya cukup gesit, orang biasa terang tak mungkin bisa meloloskan diri. Tak nyana dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar, mulutnya malah berkaok: "Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu tidak layak sebagai kawan."

Di kala Tan Ciok-sing turun tangan itu, laki-laki pendek di sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Katanya: "Adik In masa kau tidak mengenalku lagi," ujarnya.

"Toako jangan gegabah," seru In San, "diakan Han-cici..."

Hampir bersamaan In San berteriak dengan laki-laki pendek itu.

Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, hampir bersamaan pula diapun berteriak dengan lawannya. "Toan-toako kiranya kau." "Tan-hengte ternyata kau."

Ternyata dua orang yang menguntit mereka ini bukan lain adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping dan Han Cin.

In San tertawa, katanya: "Ooo, ternyata guruku telah datang, tak heran samaranku konangan," maklum kepandaian riasnya dia pelajari dari Han Cin.

"Toan-toako," kata Tan Ciok-sing bukankah kau sudah pulang ke Tayli? Kenapa secepat ini sudah berada di kota raja pula?"

"Janjimu tiga bulan dengan baginda, tidak pernah kulupakan," ujar Toan Kiam-ping.

"Bukankah waktu itu orang banyak mengharap supaya kau melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu, kurasa tidak perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."

"Aku maklu^ maksudmu tapi jangan kau lupa, ayahku mati karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku membiarkan kalian saja yang menuntut balas?"

Han Cin tertawa katanya: "Untung kalian bertemu aku, markas Kaypang sudah pindah."

"Pindah kemana?" tanya Ciok-sing.

"Pindah ke Jui-hwi-hong. Mari kuajak kalian kesana," ujar Toan Kiam-ping.

Setiba di markas Kaypang baru mereka tahu apa sebabnya mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka terbongkar adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to yang pernah ditolong itu.

Waktu Kwe Su-to membawa pasukan besar pemerintah menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang sudah mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka sudah pindah ke lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.

Kaypang Pangcu Liok Kun-lun memberi tahu dua hal tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum pernah masuk istana menghadap raja. Kedua, keponakannya yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam mengawal separtai harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya, seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah dibegal orang.

"Yang berani membegal harta mereka tentu bukan kaum begal biasa," kata Ciok-sing.

"Memang bukan begal biasa, menurut laporan mereka adalah Wi-cui-hi-kiau," ujar Liok Kun-lun.

Kek Lam-wi senang, katanya: "O, jadi Toako juga sudah tiba, dimana mereka?"

"Dua hari lagi baru akan tiba. Mereka sudah mengirim kabar kepadaku," sahut Liok Kun-lun pula.

"Pertemuanku dengan Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku tidak akan menunggu mereka," kata Tan Ciok-sing.

Toan Kiam-ping berkata: "Kali ini aku bersama adik Cin minta persetujuan kalian untuk ikut masuk ke istana."

Kek Lam-wi dan Toh So-so sebetulnya juga ingin ikut, tapi Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu kurang leluasa, apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Pat-sian yang lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun, urung ikut ke istana.

Malam kedua kira-kira kentongan ketiga Tan Ciok-sing berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja sesuai janji tiga bulan yang lalu.

Tan dan In sebelumnya pernah kemari maka kali ini dengan mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan barisan ronda. Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan, sementara In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan di belakang, sementara Toan Kiam-ping menguntit dalam jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang. Ginkang Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah termasuk kelas tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin mereka mengembangkan Ginkang laksana kecapung yang menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain tanpa mengeluarkan suara. Tan dan In sudah punya pengalaman maka mereka berhasil mengelabui jago-jago silat pelindung istana, lekas sekali mereka sudah menyelundup ke Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti dulu dapat maju dengan leluasa. Kini kemana mereka harus menemui Baginda? Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung bangunannya entah- ada ratusan jumlahnya, hanya tempat tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira ada puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja menginap di istana mana? Kalau tempo hari mereka dibantu seorang thaykam yang selalu dekat di samping raja sehingga tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi Thaykam kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada Thaykam yang akan menunjukkan jalan lagi.

Sebelum mereka mendapat akal dan perundingan diantara mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara desiran aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup angin, tapi jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin. Mereka adalah ahli silat, mendengar suaranya seketika melenggong. Tan Ciok-sing berkata: "Itulah suara senjata rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."

In San berkata: "Kalau suara krikil rasanya jauh lebih keras dan kasar."

Ciok-sing berkata: "Kalau tidak salah dugaanku itulah sebutir lempung kecil." Sampai disini tiba-tiba tergerak pikiran Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir: "Jikalau Wisu istana memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan senjata rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke samping kita bukankah membuat kita terkejut dan sadar? Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang kawan-kawannya?" Karena itu segera dia hendak menyerempet bahaya, coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia tadi meluncur.

Di depan sebuah gunung-gunungan mengadang jalan di waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka harus melanjutkan arahnya, tiba-tiba terdengar pula suara desiran ringan halus tadi, kali ini Tan Ciok-sing sengaja tidak mau menuruti petunjuk senjata rahasia itu, tapi menuju ke arah lain.

Terdengar suara ledakan lirih seperti kacang yang dipecah kulitnya, disusul bubuk tanah yang berhamburan berjatuhan di atas kepalanya. Senjata rahasia yang pecah di atas kepalanya memang adalah sebutir lempung. Sebagai ahli silat sudah tentu Tan Ciok-sing maklum bahwa orang menggunakan Tam-ci-sin-thong.

Sebutir lempung dijentik pecah pada jarak tertentu yang telah diperhitungkan dengan tepat bukan saja ini memerlukan latihan juga harus tepat waktu yang ditentukan untuk menggunakan tenaga yang pas-pasan pula.

Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut. Tapi kejap lain diam-diam hatinya amat senang dan lega karena dia sudah paham, apa maksud timpukan lempung itu.

Tengah berpikir didengarnya pula suara desiran perlahan tadi, sebutir lempung meluncur di atas kepalanya tahu-tahu lempung itu berputar satu lingkaran terus meluncur ke sebelah kiri. Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak keliru, orang yang menimpukkan lempung secara diam-diam ini memang sedang menunjukkan arah jalan yang selamat bagi mereka.

Tanpa terasa mereka dituntun tiba di depan sebuah gedung. Di depan gedung terdapat sebuah gunung-gunungan sekelilingnya dipagari pepohonan. Sebutir lempung melayang lewat di atas kepala mereka, cepat sekali berputar arah lalu jatuh di atas kepala Ciok-sing. Tan Ciok-sing tahu, maksudnya supaya mereka berhenti sampai disitu saja.

In San berbisik mepet telinga Ciok-sing: "Tempat ini dinamakan Yang-sim-tiam, di tempat inilah Baginda Raja menerima para pembantunya, ada kalanya diapun sibuk memeriksa dokumen-dokumen penting disini. Mungkinkah Baginda Raja ada disini?"

Tan Ciok-sing sembunyi di belakang gunung-gunungan dengan seksama dia periksa keadaan sekitarnya. Yang-sim-tiam adalah gedung bersusun dua, di sebelah atasnya terdapat sebuah baicon, sinar lampu tampak menyorot disana. Bayangan orang tampak berpeta di jendela. Sementara bayangan orang tampak mondar mandir diluar, jelas mereka adalah jago-jago kosen pengawal raja.

Ciok-sing kembangkan Ginkang tinggi secara diam-diam dia melompat ke atas pohon. Dia melompat ke atas sesaat angin menghembus agak kencang sehingga daun pohon bergoyang gemerisik, tapi dahan dimana dia hinggap sedikitpun tidak bergeming, para Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam tiada satupun yang tahu.

Malam itu tiada rembulan, bintang yang kelihatan juga jarang-jarang, pohon dimana dia sembunyi daunnya rimbun, tepat untuk sembunyi. Dari atas pohon yang tinggi dia dapat melihat keadaaan di atas loteng.

Yang berada didalam sebuah kamar di atas loteng adalah seorang pemuda berpakaian perlente dan seorang laki-laki setengah umur. Pemuda perlente itu bukan lain adalah Baginda Raja yang berkuasa sekarang dan pernah bertemu dengan Ciok-sing, yaitu Cu Kian-sin. Laki-laki setengah umur adalah komandan pasukan bayangkari Hu Kian-seng. Kungfu Hu Kian-seng setaraf dengan kepandaian komandan pasukan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, dalam kalangan Bulim terhitung jago kosen juga.

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Ada orang ini di sampingnya, supaya tidak mengejutkan orang banyak jelas tidak mungkin." Meski dirinya di tempat gelap, lawan di tempat terang tapi dia tidak yakin dalam sekali gebrak pasti dapat membekuk Hu Kian-seng, sesaat lamanya dia bimbang tidak berani bertindak gegabah. Di kala dia mencari akal didengarnya sang raja telah membuka suara: "Apakah kedua orang itu sudah masuk istana?"

Hu Kian-seng menjawab: "Baginda ada janji, mana mereka berani datang terlambat, sudah lama mereka masuk. Apakah perlu mengundang mereka sekarang juga?"

Istilahnya mengundang, dari sini dapat diperkirakan bahwa kedudukan kedua orang itu tentu luar biasa. Tergerak hati Tan Ciok-sing: "Kedua orang itu jelas bukan aku dan San, lalu siapa?"

Terdengar sang raja berkata: "Nanti saja biar mereka terlambat setengah jam lagi. Aku ingin membaca laporan situasi dari laporan komandan kota Tay-tong. Entah bagaimana peperangan yang tengah berlangsung di Gan-bun-koan?" agaknya dia ingin tahu dulu situasi dan kondisi, baru nanti berkeputusan bagaimana bersikap terhadap utusan rahasia negeri Watsu.

Hu Kian-seng berkata: "Gelagatnya tidak menguntungkan. Laporan Lau-congping dari Tay-tong dikirim dengan kuda kilat, menjelang kentongan kedua tadi baru masuk istana. Aku sudah memeriksa dan kuletakkan di arsip¬arsip surat. Silahkan Baginda memeriksanya."


Laporan itu khusus diselipkan di sebuah map yang ditindih singa-singaan terbuat dari tembaga setelah Cu Kian-sin membacanya tiba-tiba dia berseru heran. Lekas Hu Kian-seng memburu maju ikut membaca, seketika rona mukanyapun berobah hebat.

Ternyata sepasang mata singa-singaan tembaga itu dibuat dari dua butir mutiara, kini kedua matanya ternyata bolong mutiaranya telah lenyap. Orang yang sengaja mengorek buta singa-singaan tembaga ini secara langsung seperti mengolok Baginda Raja punya mata tapi buta, atau mungkin juga menghina laporan Lau-congping dari Thay-tong akan laporannya yang palsu.

Sebagai komandan bayangkari, Hu Kian-seng bertanggung jawab menjaga keselamatan raja, karuan keringat dingin berketes di atas jidatnya sesaat dia berdiri melongo. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah setelah membaca surat laporan itu wajah Cu Kian-sin tampak berubah pula, bentaknya: "Hu Kian-seng dari mana datangnya surat laporan ini?"

Sang raja tidak mengusut kemana hilangnya sepasang mutiara yang menjadi mata singa-singaan tembaga, tapi tanya -asal-usul surat laporan yang sedang dibacanya sudah tentu hal ini jauh diluar dugaan Hu Kian-seng. Sebetulnya bukan Cu Kian-sin tidak melihat atau tidak tahu maksud orang mencukil mutiara mata singa-singaan tembaganya, tapi surat laporan yang bermimpipun tidak pernah dia bayangkan ini, justru amat mengejutkan hatinya.

Hu Kian-seng keheranan katanya: "Ini., apakah bukan surat laporan Lau-congping?"

"Coba kau periksa sendiri," sentak Cu Kian-sin.

Surat laporan dari komandan militer kota Tay-tong itu dibungkus kain sutra kuning, bagian luarnya ditulis dengan tinta yang bermutu paling baik, di sebelah atas kiri diberi tanda nomor arsip dan di bawahnya terdapat tanda tangan Taykam penerima surat laporan itu yang tembusannya dikirim balik kepada si pengirim.

Tapi kertas lempitan yang sekarang dipegang dan dibaca Baginda ternyata dari kertas yang berkwalitet rendah, jadi tidak memenuhi syarat sebagai surat laporan lazimnya. Sementara itu Cu Kian-sin sudah membuka lempitan surat dengan kertas kasar itu, lekas Hu Kian-seng menghampiri ke belakang, dari jarak yang agak jauh dia ikut membaca, tampak kertas kasar itu ditulisi huruf-huruf besar yang bergaya kuat dan indah, jadi tidak sesuai lagi sebagai laporan yang sudah ditentukan harus ditulis dengan huruf-huruf kecil yang rapi dan rajin.

Hu Kian-seng kaget, serunya: "Ini. siapakah yang menukar surat laporan ini."

Cu Kian-sin gusar, bentaknya: "Kau tanya aku malah? Coba baca inilah surat tulisan Kim-to Cecu yang ditujukan kepadaku."

Hu Kian-seng mendekat maju serta membaca lebih cermat, baru sekarang dia melihat jelas baris pertama tulisan di atas kertas kasar itu berbunyi:

"Ciu San-bin rakyat jelata dari kaum liar berani mati menyampaikan sepatah dua kata. "

Saking kagetnya Hu Kian-seng sampai gemetar, tiba-tiba dilihatnya di pojok sampul surat terdapat lempitan kertas lain yang terselip di dalamnya, lekas dia melolosnya keluar begitu melihat tulisan di atas kertas halus ini, tanpa terasa tangannya gemetar matanya melirik, agaknya dia tidak berani dan tidak ingin kertas tulisan ini dilihat atau diketahui oleh Sri Baginda.

Tapi Cu Kian-sin cukup tajam. "Siapa punya? Serahkan kepadaku."

"Inilah surat laporan Lau¬ congping yang asli, tapi..."

Belum habis dia bicara Cu Kian-sin sudah merebut surat laporan itu dari tangannya, setelah dibeber tampak di balik surat laporan ada huruf-huruf besar yang berbunyi demikian:

"Jerih melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, pandai membual lagi. "

Cu Kian-sin membeber surat laporan komandan militer kota Tay-tong dan surat lempit Kim-to Cecu di atas meja lalu dicocokkan satu dengan yang lain. Hu Kian-scng melayani dari samping, tampak junjungannya kadang mengerutkan alis, kejap lain berseri tawa lalu manggut-manggut, adakalanya mcnepekur sekian lamanya seperti sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba mengetuk meja serta bernyanyi-nyanyi kecil entah apa yang sedang dipikir dalam benaknya. Yang terang sikapnya kelihatan kaget, senang dan lega, namun dalam rasa senangnya terselip juga rasa risau dan masgul.

Walau Tan Ciok-sing tidak tahu apa isi surat itu, tapi dia mcmbadek Kim-to Cecu pasti memberi nasehat dan memberi pengarahan situasi dan kondisi dalam negeri, membeber seluk beluknya serta menggambarkan bagaimana Sri Baginda harus bertindak.

dinasehatinya pula supaya dia tidak menyerah atau minta damai terhadap pihak Watsu. Dalam hati Ciok-sing membatin: "Bila dia mau mendengar nasehat Kim-to Cecu kali ini kurasa tidak perlu aku menemuinya secara langsung."

Tengah berpikir, dilihatnya Cu Kian-sin sudah angkat kepala, wajahnya masih mengulum senyum katanya kepada Hu Kian-seng: "Beritanya sih lumayan."

"Berita tentang apa?" tanya Hu Kian-scng.

"Pihak Kim-to Cecu mendapat kemenangan gilang gemilang dalam pertempuran di luar Gan-bun-koan."

Hu Kian-seng heran, katanya: "Tapi dalam laporan Lau-congping..."

"Kemenangan dicapai oleh pihak Kim-to Cecu jadi tiada sangkut pautnya dengan Lau-congping. Sudah jelas bahwa laporan Lau-congping ini, hm, huh, memang betul membual dan menjilat belaka, situasi digambarkan sedemikian jelek dan buruk."

Hu Kieng-seng berkomentar: "Dari tanggalnya kedua surat ini dikirim dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin dalam satu tempat dan waktu yang sama, pihak Watsu sama-sama menghadapi dua peperangan besar. Dan lagi dinilai keseluruhan dari peperangan itu, yang satu bilang menang gilang gemilang, yang lain justru bijang kalah total, ini, ini..."

"Lau-congping berhadapan dengan musuh seperti melihat harimau, ini memang benar, jadi laporannya ini terang palsu dan membual, dia mengharap Tim selekasnya mengirim bantuan tentara dan rangsum." Diluar kesadarannya dia gunakan istilah Kim-to Cecu dalam mencemooh perbuatan Lau-congping. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Cu Kian-sin lebih percaya kepada laporan Kim-to Cecu dari laporan dinas Komando militer kota Tay-tong.

Sampai disini, mau tidak mau hati Tan Ciok-sing amat girang, pikirnya: "Gelagatnya raja muda ini masih tidak terlampau bejat."

Tak nyana tiba-tiba, didengarnya Cu Kian-sin menggumam dengan melamun: "Yang Tim kuatirkan justru kelanjutan dari peperangan ini." Kiriman surat Kim-to Cecu dia simpan, sementara surat laporan Komandan militer kota Tay-tong dia remas-remas lalu dilempar ke tempat sampah akhirnya dia menghela napas panjang. Walau dia tidak melanjutkan perkataannya tapi Hu Kian-seng pandai melihat sikap dan rona muka orang menebak isi hatinya, diam-diam dia sudah tahu kemana kiblat pikiran junjungannya.

Hu Kian-seng yang sudah kelihatan tak berani banyak bersuara ini diam-diam bersorak dalam hati, katanya: "Baginda cekatan bertindak dan bijaksana dalam menentukan sikap, Hamba ada pendapat yang mungkin kurang enak didengar kuping, sebelumnya mohon Baginda memberi ampun."

"Bukankah Tim sudah lama bilang kepadamu," demikian ujar Cu Kian-sin. "Tim memang memerlukan usul dan pendapat para pembesar jujur dan baik hati. boleh kau katakan saja."

"Harap Baginda periksa dan pikirkan, pasukan negeri kalah perang sebaliknya kaum berandal mencapai kemenangan di medan laga kukira hasilnya tidak akan membawa untung bagi Baginda."

"Pcndapatmu memang tepat. Memang itulah yang Tim kuatirkan," ujar Cu Kian-sin. "Memang Kim-to Cecu akan membantuku dengan setia bila Tim mau kerahkan pasukan besar negeri mengusir penjajah. Namun Tim masih sangsi akan kesetiaan dan kejujurannya. Dan masih ada lagi. Walau kali ini dia mendapat kemenangan besar siapa tahu lain kali..." •

"Betul." timbrung Hu Kian-seng, "kalah menang di medan laga adalah kejadian logis, umpama benar Kim-to Cecu dapat menang perang betapapun dia adalah brandal yang menduduki satu pegunungan sebagai daerah kekuasaannya melulu, anak buahnya tidak lebih adalah kelompok campur aduk yang tidak karuan kalau bertempur sungguhan, mana mereka mampu menghadapi pasukan Watsu yang bersenjata lengkap? Kalau kita mengandal kekuatan kaum berandal ini, bila pihak Watsu mengerahkan seluruh kekuatan perangnya dan berhasil menumpas mereka, bukankah posisi kita serba repot dan runyam? Dalam keadaan kepepet seperti itu, mana mungkin mereka mau menerima permintaan damai kita." Maklum Hu Kian-seng sudah disogok dan memperoleh banyak keuntungan dari duta Watsu, begitu ada kesempatan maka dia membesarkan kekuatan musuh dan meruntuhkan semangat juang pihak sendiri.

"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" Tanya Cu Kian-sin.

"Menurut pendapat hamba yang bodoh, mumpung memperoleh sedikit kemenangan ini kita adakan kontak dengan Watsu mengajaknya berunding, syarat yang kita ajukan mungkin bisa lebih

menguntungkan bagi kepentingan kita."

Cu Kian-sin menepekur sejenak, katanya kemudian: "Setelah menemui, utusan rahasia pihak Watsu, sebetulnya Tim akan merundingkan persoalan ini kepada pembesar lainnya dalam sidang balairung besok pagi. Kalau begitu baiklah kita laksanakan sesuai rencana semula."

"Betul. Mari kita lihat sikap dan pendapat utusan rahasia Watsu ini bagaimana kenyataan dari hasil peperangan di luar Yan-bu-koan. Baginda akan dapat mengambil kesimpulan lebih jelas dari mulut mereka. Apakah sekarang juga kita undang mereka kemari?"

"Baiklah, lekas kau suruh orang mengundang Tiangsun Co kemari."

Baru sekarang Tan Ciok-sing tahu, "kiranya Tiangsun Co datang pula sebagai utusan rahasia. Maka seorang lagi yang akan diundang Baginda pasti adalah Milo Hoatsu."

Pada hal Hu Kian-seng masih berada di atas loteng, bila kedua jago kosen dari Watsu itu sudah tiba, bagaimana mungkin dia bisa berhadapan langsung dengan Sri Baginda. Tengah dia bimbang, dilihatnya Hu Kian-seng melongokkan kepalanya

memandang keluar jendela.

Ternyata Hu Kian-seng mendengar seseorang memanggil namanya, suaranya seperti mengambang dan tidak diketahui arah datangnya, sayup-sayup lagi seperti ada tapi juga tiada, entah itu suara manusia atau teriakan setan, tanpa sadar berdiri bulu kuduknya.

Melihat sikap dan rona muka orang agak ganjil Cu Kian-sin bertanya: "Hu Kian-seng, apa yang kau lihat diluar?"

Setelah tersirap lekas Hu Kian-seng tenangkan hati, katanya: "Tidak apa-apa. Hamba ingin memeriksa keadaan diluar, akan kukerahkan tenaga untuk memperkuat penjagaan diluar."

Diam-diam dia curiga kemungkinan Tan Ciok-sing secara sembunyi-sembunyi telah

menyelundup masuk ke istana pula. Di samping kuatir sang raja tidak berani menanda tangani surat perjanjian damai itu, tadi dia sudah kebacut omong besar, bila Tan Ciok-sing betul-betul menyelundup ke Yang-sim-tiam ini, pamor dan kedudukannya sebagai komandan pasukan Bayangkari ini sih boleh tidak usah dipikirkan, celaka bila Sri Baginda menjatuhkan vonis berat akan kesalahannya.

Karena itu bila betul Tan Ciok-sing menyelundup masuk, sebelum dia menerjang kedalam Yan-sim-tiam dia sudah harus membekuknya. Sudah tentu dia juga tahu bahwa In San pasti datang bersama Tan Ciok-sing, tapi dia yakin tenaga yang dia sebar di sekitar Yang-sim-tiam cukup kuat untuk menghadapi In San maka dia tidak perlu takut bila Tan Ciok-sing memancingnya keluar meninggalkan tempat tugasnya.

Cu Kiam-sin berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bolehlah kau memeriksa keadaan diluar. Sudah saatnya Koksu dari Watsu dan Tiangcun Pwecu tiba disini, boleh kau wakili Tim menyambut kedatangan mereka."

Hu Kian-seng memanggil dua Wisu pembantunya masuk serta berpesan kepada mereka, "Aku akan keluar menyambut kedatangan utusan Watsu, kalian disini hati-hati menjaga keselamatan Baginda. Kedua Wisu ini yang satu bernama Pek Ting, Ciangbunjin dari Eng-jiau-bun sekte utara. Seorang lagi bernama Kiang Swan, jago kosen yang liehay dalam permainan Pat-kwa-ciang. Kedua orang ini merupakan jago-jago top di kalangan Wisu di istana raja, taraf Kungfu mereka hanya setengah urat di bawah Hu Kian-seng, boleh dikata termasuk jago di antara jago. Dengan adanya mereka berada di samping sang raja, betapapun cukup kuat hanya untuk menghadapi In San seorang, maka dengan lega hati Hu Kian-seng berlalu.

Baru saja dia keluar dan belum jauh meninggalkan Yang-sim-tiam, tiba-tiba didengarnya suara "Seeer" yang lirih, mata kuping Hu Kian-seng setajam radar, kontan dia mengayun tangan memukul dengan Bik-khong-ciang, sebutir lempung kena dipukulnya hancur tapi mukanya kecipratan beberapa lempung lembut. Sebagai seorang ahli silat, sudah tentu dia tahu kalau lempung tadi ditimpukkan oleh seorang ahli senjata rahasia.

Dia kira pembokong itu adalah Tan Ciok-sing, karuan hatinya gusar, pikirnya: "Kau keparat ini berani mempermainkan aku." Dia tidak ingin membuat ribut-ribut membuat kaget sang junjungan maka tanpa bersuara segera dia menubruk ke arah datangnya lempung. Beruntun orang itu menimpuk tiga kali Hu Kian-seng selalu gagal menemukan jejaknya. Tanpa terasa dia dipancing semakin jauh meninggalkan Yang-sim-tiam.

Karena tidak mendapat petunjuk selanjutnya dari orang itu, Tan Ciok-sing sedang berpikir apakah perlu sekarang dia menerjang kedalam Yang-sim-tiam, tiba-tiba dilihatnya dua orang telah muncul diluar Yang-sim-tiam. Sinar lampu yang menyorot keluar dari Yang-sim-tiam cukup benderang, maka Tan Ciok-sing yang sembunyi di atas pohon dapat melihat jelas. Yang jalan di depan adalah seorang Taykam, dia bukan lain adalah samaran In San. Tapi yang berjalan di belakang ternyata mengenakan pakaian seragam bangsa Watsu, dia bukan lain adalah utusan rahasia pihak Watsu, yaitu Tiangsun Co. Tiga bulan yang lalu Ciok-sing pernah bertemu dengan dia, maka dia masih kenal tampangnya.

Mau tidak mau Ciok-sing heran. Bagaimana bisa In San berada di samping Tiangsun Co? Sudah tentu cepat sekali dia sudah menduga mungkin Tiangsun Co yang ini adalah samaran Han Cin? Tapi Han Cin bersama ln San waktu menyelundup ke istana tadi sama-sama menyamar jadi Taykam. Dalam waktu sesingkat ini dari mana dia bisa memperoleh seragam pakaian orang Watsu? Apalagi pakaian kebesaran seorang Pwecu? Di saat hatinya bimbang dan bertanya-tanya sementara In San bersama Tiangsun Co sudah tiba di depan Yang-sim-tiam.

Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, yang menyamar Tiangsun Co bukan lain adalah Han Cin.

Ternyata diluar tahu Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin yang sembunyi di belakang gunung-gunungan telah disambit sebutir malam bundar, setelah malam bundar itu dipecah, di dalamnya ada segulung lempitan kertas, setelah dibeber tampak kertas kecil itu bertuliskan empat patah kata:

"Masuk gua ganti pakaian. "

Itulah pesan orang yang memberi petunjuk jalan.

Tanpa ragu In San dan Han Cin menyelinap kesana memasuki gua, didalam gua memang ada seperangkat pakaian. Setelah diambil dan diperiksa, In San berkata: "Han-cici bukankah ini seragam pakaian orang Watsu?"

Han Cin cukup cerdik, segera dia paham, katanya: "Orang itu suruh aku menyaru Tiangsun Co."



000ooo000



Perawakan Tiangsun Co termasuk pendek di kalangan Bangsa Watsu yang kekar besar. Tapi badannya masih lebih tinggi dari Han Cin. Tapi ditumpukan pakaian ini terdapat sepasang sepatu slop yang berukuran tinggi, di dalamnya disumbat kapas. Bila Han Cin memakai sepatu ini, maka tinggi badannya kira-kira sebanding dengan Tiangsun Co.

Kepandaian merias Han Cin sekarang mungkin susah dicari bandingannya di dunia, dibalik pakaiannya dia sumbat lagi dengan gumpalan kapas sehingga tubuhnya kelihatan lebih besar, sehingga samarannya lebih mirip lagi. Selalu dibawanya bahan-bahan keperluan rias lagi, segera dia ganti pakaian serta merias diri sendiri dibantu In San pula, maka sekejap saja dia sudah ganti rupa menjadi Tiangsun Co sungguhan, katanya tertawa: "Adik In, mirip tidak samaranku?"

"Jikalau tidak diamati dengan teliti siapapun takkan bisa membedakan, sekarang malam gelap lagi, yakin kawanan Wisu itu akan bisa dikelabui."

Dugaan memang tidak meleset, ada empat Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam, satu di antaranya pernah melihat Tiangsun Co, namun juga hanya melihat sekali saja, ternyata dia memang tidak curiga. Diluar dugaannya kawanan Wisu itu memang tidak curiga kepada Tiangsun Co palsu, tapi justru curiga terhadap dirinya. Siapa-siapa Thaykam kecil yang selalu berada di samping raja mereka tahu jelas dan kenal baik, sebaliknya Thaykam yang disamai" oleh In San, selama ini mereka tidak kenal dan belum pernah lihat. Pada hal urusan hari ini betapa penting artinya, Bong Tit kepala dari para Thaykam kenapa justru mengutus Thaykam kecil yang masih asing?

Tapi mereka hanya curiga saja, tidak berani menegur apa lagi memastikan bahwa Thaykam kecil ini adalah mata-mata yang menyelundup dari luar. Maka Wisu yang pernah melihat Tiangsun Co itu maju menyapa: "Harap Pwelek tunggu sebentar." Lalu dia menoleh dengan dingin dia tanya kepada I n San: "Agaknya kami belum pernah melihatmu, apakah Bong-kokong ada memberi tanda bukti melaksanakan tugas kepada kau?

Kau harus tahu siapapun malam ini yang mau memasuki Yang-sim-tiam harus memiliki medali tembaga."

Untung In San sudah siap, segera dia keluarkan kipas lempit bergagang emas itu serta digoyang-goyang, katanya: "Coba kalian periksa dengan teliti apakah kipas ini tidak lebih berharga dari lencana tembaga Bong-kokong?"

Kipas gagang emas ini adalah kipas yang diberikan oleh sang raja kepada Siau-ong-ya dari Watsu tiga bulan yang lalu. Di atas kipas ada lukisan kembang Cu Kian-sin serta sajak ciptaannya pula. Waktu dihadiahkan kepada pangeran kecil Watsu itu, Cu Kian-sin ada membubuhi cap dan tanda tangannya. Sudah tentu kawanan Wisu itu tiada yang tahu akan pemberian kipas ini, tapi mereka kenal cap dan tanda tangan junjungan mereka. Kipas pribadi yang dibubuhi cap tanda tangan sang raja di tangan In San, sudah tentu jauh lebih kuat dan terpercaya dari pada lencana tembaga Bong-kokong, kawanan Wisu tidak berani mempersulit dirinya.

Maklum jumlah Thaykam di istana ada ribuan, sudah tentu kawanan Wisu itu tidak mungkin kenal seluruhnya. Wisu itu kira In San adalah Thaykam kecil yang belakangan ini mendapat kepercayaan sang raja, mana berani dia merintangi?

Mendengar utusan Watsu telah tiba agaknya Cu Kian-sin melengak, katanya: "Lho cepat sekali kalian datang, kenapa Hu-congkoan tidak kelihatan."

Dua Wisu yang melindungi sang raja yaitu Pek Ting dan Kiang Swan jadi curiga, Pek Ting berkata: "Bukankah Baginda menyuruh dia menyambut mereka, mungkin mereka tidak bertemu di tengah jalan?"

Cu Kian-sin berkata: "Tiangsun Pwelek Tim pernah melihatnya kurasa siapa punya nyali sebesar itu berani menyaru dirinya."

ln San serahkan kipas itu kepada Han Cin, sambil menggoyang kipas Han Cin segera berlenggang naik ke loteng serunya: "Tiangsun Co, mohon bertemu dengan raja junjungan dynasti Bing." Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, di markas itu ada tawanan orang Watsu maka dia meniru logat orang Watsu bicara dalam bahasa Han, tiruannya ternyata mirip delapan puluh persen. Sudah tentu logat suara Tiangsun Co tidak pernah diperhatikan oleh Cu Kian-sin, cuma lapat-lapat dia masih kenal bentuk wajahnya, namun dalam waktu sesingkat ini mana bisa dia membedakan apakah ini barang tulen atau palsu? Tapi melihat kipas emas itu, segera dia teringat akan kejadian yang menyenangkan dulu sehingga dia hadiahkan kipasnya itu kepada pangeran kecil bangsa Watsu.

Melihat kipas itu hatinya terasa riang dan bangga, pikirnya: "Agaknya kipasku itu sengaja diserahkan kepada Tiangsun Co untuk diperlihatkan di hadapanku bahwa mereka menghargai karyaku, sungguh harus dipuji." Dia kira orang sengaja menaruh hormat dan menghargainya maka cara ini memang amat berhasil dari pada menjilat dengan kata-kata.

Pepatah ada bilang kau menghargai aku satu kaki, aku menghormatimu satu tombak, apalagi Cu Kian-sin memang sudah sejak mula merasa jeri terhadap orang Watsu, sekarang dia anggap dirinya sebagai raja dari negeri yang lemah menyambut kedatangan utusan besar negeri kuat, maka bergegas dia berdiri, katanya: "Dalam jangka tiga bulan Pwelek harus pulang pergi menempuh perjalanan jauh, sungguh melelahkan. Tidak usah sungkan silahkan duduk, silahkan duduk."

Melihat sang raja menyambut dengan riang dan mengucapkan kata-kata yang meyakinkan sudah tentu Pek Ting dan Kiang Swan tidak berani curiga lagi bahwa Pwelek yang satu ini tiruan? Tersipu-sipu mereka menarik kursi membersihkan meja lalu memberi hormat menyilahkan tamunya duduk.

Dalam pada itu pintu kamar telah tertutup. Baru sekarang Cu Kian-sin sempat melihat In San adalah Thaykam yang asing dan belum pernah dilihatnya, namun dia tidak ambil di hati, dia kira Thaykam ini adalah pembantu setia dan terpercaya dari Bong Tit, melihat bibirnya merah giginya putih rapi, hatinya agak senang dan ketarik katanya: "Baiklah disini tiada urusanmu, kau boleh keluar."

In San mengiakan maju dua langkah memberi hormat, tiba-tiba tangannya bergerak membalik menutuk Hiat-to Pek Ting. Dalam waktu yang sama Han Cin juga telah menutuk Hiat-to Kiang Swan dengan kipas lempitnya itu.

Kungfu kedua orang ini sebetulnya tidak lebih asor dari mereka, soalnya mereka sedang membungkuk, mimpipun tidak pernah menyangka, bahwa utusan Watsu ini bakal turun tangan membokongnya, mana mereka bisa menghindar, tanpa mengeluarkan suara keduanya roboh terkulai.

Sudah tentu kejadian membuat Cu Kian-sin kaget setengah mati, mukanya pucat, "Ka... kalian si..." Demikian katanya tergagap.

Sebelum 'siapa' sempat diucapkan, In San sudah terima kipas lempit itu dari tangan Han Cin terlis dibeber di depan mata Cu Kian-sin, katanya dengan tersenyum: "Apakah Baginda masih ingat janji pertemuan denganku dulu? Mohon maaf Bin-li (perempuan jelata) datang terlambat beberapa hari. Kuharap Baginda tidak bicara keras-keras."

Kipas itu ada lukisan dan sajak tulisan Cu Kian-sin tapi di sebetahnya ada tulisan tangan Tan Ciok-sing pula yang berbunyi:

"Janji liga bulan, harap Baginda selalu ingat. Mengingkari janji dan kebenaran, tidak terampunkan oleh yang Kuasa. "

Sebelum meninggalkan istana tempo hari Tan Ciok-sing pernah meninggalkan pesannya ini di hadapan Cu Kian-sin sebagai peringatan tegas. Mana Cu Kian-sin berani melupakan melihat huruf-huruf besar di balik kipas itu hatinya gugup seketika.

"Lalu dia ini..." Matanya melirik ke arah Han Cin, baru sekarang dia sadar, makin diamati Tiangsun Co yang satu ini agak berbeda dengan Pwelek yang pernah dilihatnya tiga bulan yang lalu, tapi juga tidak mirip Tan Ciok-sing.

In San berterus-terang, katanya: "Dia ini bukan Tiangsun Pwelek, dia adalah teman baikku nona Han."

Lega sedikit hati Cu Kian-sin, pikirnya: "Pemuda itu tidak datang syukurlah."

"Nona In, kakekmu pernah membuat pahala besar bagi negara, ayahmupun menjadi pembesar teladan, keluargamu adalah keluarga pembesar setia bagi kerajaan, Tim tidak pernah melupakan jasa-jasa baik keluargamu. Ada persoalan apa boleh kau bicarakan di depanku, silahkan duduk."

"Memang ada persoalan yang ingin kubicarakan dengan kau maka aku datang pula kemari." Tawar suara In San. "Umpama aku mau membunuhmu sekarang, semudah aku membalikkan telapak tanganku saja?"

Setelah lenyap rasa kagetnya hati Cu Kian-sin menjadi tenang dan mantap, pikirnya: "Bila kau tidak menbunuhku urusan sih gampang diselesaikan, maka dengan suara lembut dia berkata: "Baik apa yang ingin kau utarakan, boleh kau kemukakan di hadapan Tim, Tim pasti menuruti kehendakmu."

"Apa yang perlu kukatakan didalam surat Kim-to Cecu sudah dijelaskan, sekarang tergantung sikap Baginda apakah kau mau menerima nasehat baiknya."

"Peperangan adalah urusan negara, menyangkut kehidupan urat nadi bangsa dan tanah air, soal ini kukira Tim masih harus berpikir secara cermat."

"Kami sudah memberi waktu tiga bulan untuk kau berpikir panjang, seorang laki-laki harus berani berkeputusan dalam sepatah kata, apalagi kau adalah raja yang berkuasa, apa pula yang membuatmu bimbang..." Belum habis dia bicara tiba-tiba dilihatnya mimik Cu Kian-sin agak ganjil seperti hendak menekan atau menyembunyikan perasaan, tapi perasaan kaget dan senang itu tak kuasa dia tutupi. Tergerak hati ln San, mendadak dirasakan angin berkesiur ada orang membokong di belakangnya.

Pembokong ini adalah Pek Ting yang tadi telah ditutuk Hiat-tonya, ternyata Lwekang Pek Ting memang tangguh, tadi In San kurang teliti menutuk tidak dengan Jong-jiu-hoat, setelah mengatur napas dan mengerahkan Lwekang ternyata Pek Ting berhasil membebaskan tutukan jalan darahnya.

Sedikitpun In San tidak siaga, sergapan ini sebetulnya takkan bisa dia hindarkan, untung dia melihat mimik muka Cu Kian-sin aneh otaknya cukup cerdik lagi, meski belum tahu apa yang bakal terjadi secara reflek dia menggeser ke samping.

Dia berhadapan dengan raja berarti membelakangi Pek Ting. Cengkraman Pek Ting memang mengincar tulang pundaknya.

kalau Bi-ba-kut kena dicengkram ilmu silatnya yang pernah diyakinkan In San akan punah seketika. Gerakan menghindar ke samping tanpa sengaja justru tepat dan berhasil menyelamatkan dirinya. "Krak" jari-jari Pek Ting mencengkram bolong meja. Karena serangan luput, sigap sekali dia sudah membalik seraya mencengkram ke arah Han Cin. Pek Ting adalah Ciangbunjin Eng-jiau-bun sekte utara, Kim-na-jiu-hoat yang diyakinkan jarang ketemu tandingan di Bulim. Melihat jari lawan sekuat baja, mau tidak mau Han Cin tersirap kaget.

Cepat sekali In San sudah memutar tubuh, pedang sudah terlolos terus menusuk. "Wut, wut" dua kali gerakan tangan Pek Ting menderu menyerang untuk membela diri Han dan In kena didesak mundur beberapa langkah. Setelah mendengus baru saja dia hendak berteriak, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaku seperti kena sihir saja berdiri mematung, kedua tangannya bergaya seperti hendak mencengkram, wajahnya beringas dengan mulut menyeringai, keadaannya kelihatan lucu menggelikan.

Tiada angin, tiba-tiba daun jendela terbuka sendiri, sesosok bayangan laksana panah tiba-tiba menyeplos masuk. Pendatang ini adalah Tan Ciok-sing. Sembunyi di atas pohon dari ketinggian dia dapat melihat jelas keadaan didalam rumah. Melihat Pek Ting menyergap dari belakang In San segera dia bertindak, sebelum tubuhnya menerjang masuk senjata rahasianya telah bekerja, senjata rahasia yang digunakan adalah biji buah yang baru dipetiknya di atas pohon.

Gerakan Ciok-sing cepat dan seenteng daun melayang, dari pohon dia meluncur kedalam rumah tanpa mengeluarkan suara. Sehingga kawanan Wisu yang jaga di bawah tiada satupun yang memergoki perbuatannya. Tapi suara ramai di atas loteng, mereka sih sudah mendengarnya.

Mereka tidak tahu apa yang terjadi di atas loteng, namun mereka tahu bahwa Baginda sedang berunding dengan utusan rahasia negeri Watsu, jikalau mereka tidak diminta naik ke loteng, betapapun mereka tidak berani gegabah bertindak. Seorang Wisu berkata bisik-bisik: "Agaknya orang Watsu berangasan dan kasar, karena gusar Baginda mendebatnya sehingga terjadi perang mulut. Suara tadi mirip orang yang menggebrak meja. Entah Baginda atau orang Watsu tadi yang menggebrak meja?"

Wisu lain berkata: "Kalau demikian kurasa tidak perlu kita risaukan."

Wan Giap adalah Wisu tertua didalam pasukan bayangkari yang bertugas di istana, sudah puluhan tahun dia setia kepada kerajaan, sejenak dia berpikir, lalu katanya: "Jikalau Baginda yang dihina orang Watsu, kurasa kita tidak boleh berpeluk tangan. Hu-congkoan tidak berada disini, umpama terjadi sesuatu diluar dugaan siapa di antara kita yang harus bertanggung jawab. Menurut hematku, satu di antara kita perlu naik melihat keadaan."

Tiga Wisu temannya cuma menggeleng, katanya: "Mencuri dengar perundingan" Baginda dengan utusan Watsu bisa dihukum mati, jikalau kau berani menanggung akibatnya boleh kau saja yang naik." Seorang lagi bicara: "Justru karena Hu-congkoan tidak disini, kami tidak berani sembarangan bertindak tanpa mendapat perintahnya. Wan toako, kau berani, boleh kau mewakili kami naik ke atas. Ai, kami memang bernyali kecil yang kami harapkan hanya selamat, aku tidak ingin mengejar jasa."

Wan Giap yakin dirinya adalah Wisu tertua yang biasa mendapat kepercayaan dan disayang raja, terhadap sang junjungan dia memang amat setia, makin dia pikir hatinya makin kuatir, akhirnya dia menepuk dada, katanya: "Baiklah biar aku naik ke atas."

Setelah menutuk Hiat-to kedua Wisu pula, lekas Tan Ciok-sing membalik tubuh merenggut Cu Kian-sin serta mengancam: "Aku tidak bermaksud jahat kepada Baginda, tapi Baginda harus bertindak menurut petunjukku. Jikalau satu di antara kami ada yang cidera akupun tidak akan menjamin keselamatan Baginda.

Saking ketakutan dan kaget muka Cu Kian-sin pucat pasi, katanya gemetar: "Baiklah aku mendengar petunjuk Hiapsu." Biasanya dia yang memberi perintah, kapan dia pernah tunduk kepada orang lain, selama hidup mungkin baru sekali ini dia bilang mau menerima petunjuk orang lain.

Tanpa sungkan Tan Ciok-sing segera berbisik di pinggir telinganya memberi petunjuk apa-apa. Pada saat itulah terdengar derap langkah naik ke atas, Wan Giap si Wisu tua telah naik ke atas loteng. Meski bernyali besar, namun Wan Giap tidak berani gegabah. Didengarnya Cu Kian-sin membentak: "Siapa diluar?" Mana dia berani mendorong pintu, tersipu-sipu dia berlutut diluar pintu serta berseru: "Hamba Wan Giap sengaja naik kemari untuk melayani Baginda."

Cu Kian-sin membentak: "Kau adalah Wisu tertua, kenapa masih tidak tahu aturan. Tanpa Tim yang mengundang untuk apa kau kemari. Mengingat jasamu selama ini setia dan berbakti kepada kerajaan, kali ini tidak kutimpakan hukuman kepadamu lekas menggelinding ke bawah."

Wan Giap berkeringat dingin, tersipu dia mengiakan terus merangkak turun ke bawah loteng. Meski kaget den ketakutan namun hatinya lega. Karena dia sudah mendengar suara junjungannya jelas bahwa sang raja tidak kurang suatu apa. Pada hal suara makian Cu Kian-sin juga gemetar. Tapi karena Wan Giap sendiri juga gemetar mana dia memperhatikan secermat itu.

Kalau hati Wan Giap sudah lega, adalah perasaan Cu Kian-sin makin tertekan. Pada hal Tan Ciok-sing paling dia takuti, lalu apa yang akan dilakukan Tan Ciok-sing pada dirinya?

Tan Ciok-sing membimbingnya duduk, lalu memberi hormat, katanya: "Aku terlambat beberapa hari, mohon Baginda memaafkan."

Walau hanya penghormatan biasa sebagaimana lazimnya yang terjadi di kalangan rakyat jelata, Cu Kian-sin merasa lega juga, pikirnya: "Gelagatnya mereka tidak bermaksud jahat terhadap Tim." Katanya: "Hiapsu tidak usah banyak adat, Tim tidak akan menyalahkan kau. Entah kedatangan Hiapsu kali ini..." Kalem suara Tan Ciok-sing:

"Percakapanmu dengan nona In tadi sudah kudengar jelas, kedatanganku kali ini hanya mengulang pertanyaan lama. Apakah harus angkat senjata melawan serbuan Watsu atau akan minta damai kepada mereka, apakah kau masih belum memutuskannya?"

Cu Kian-sin tertunduk diam, hatinya berpikir: "Kenapa utusan Watsu belum juga tiba, Hu Kian-seng kenapa pergi begini lama?" Pada hal setengah jam lebih lewat.

Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Kuharap Baginda tidak banyak curiga. Jikalau Kim-to Cecu ingin jadi raja, kenapa di saat pasukan Watsu menyerbu ke Tay-tong dia angkat senjata melawannya, tidak mengalihkan sasarannya merebut tahta kerajaan, pada hal kekuatannya ibarat telur menumbuk batu, betapa besar korban yang telah dideritanya? Kini mereka terpencil diluar Gan-bun-koan tapi masih gigih melawan musuh demi kemerdekaan nusa dan bangsa."

"Harap Baginda berpikir lebih cermat, mungkin Baginda berpendapat, minta damai dan terima dihina dapat bertahan hidup sementara sebaliknya menurut pendapatku, bangsa Watsu liar dan punya ambisi besar mereka tidak akan memberikan kehidupan tentram dan sejahtera kepadamu.

kepada rakyat jelata yang hidup tertindas 'dalam kemiskinan. Bila tiba saatnya mereka menyusun kekuatan besar menyerbu datang mungkin singgasana Bagindapun takkan bisa dipertahankan lagi. Dari pada Baginda dihina dan ditipu oleh bangsa Watsu, mumpung sekarang ada kesempatan untuk mencapai kemenangan kenapa tidak kau bangkit melawannya."

Pidato Tan Ciok-sing memang tidak enak bagi pendengaran sang Raja, tapi tepat mengorek penyakit hati Cu Kian-sin, rasa curiganya terhadap Kim-to Cecu rada berkurang. Di samping itu dia memang merasa keki dan penasaran melihat sikap pongah orang-orang Watsu meski dia bukan seorang raja besar yang memiliki kemampuan besar pula, tapi juga bukan raja lalim yang terlalu ceroboh, mendengar anjuran Tan Ciok-sing semangat terbakar jiwa patriotnya bangkit. Akhirnya Cu Kian-sin manggut-manggut, katanya: "Utusan Watsu sebentar lagi akan tiba, baiklah Tim akan menerima petunjuk."

"Bagaimana pula persoalan Liong Bun-kong?" Tanya In San.

"Tim tahu dia adalah musuhmu, besok juga Tim akan pecat dia dari semua jabatan."

"Bangsat tua itu merugikan rakyat dan negara, tujuanku bukan melulu untuk menuntut balas sakit hati pribadi. Hukuman yang Baginda jatuhkan kepadanya kurasa terlalu ringan."

"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"

"Tolong Baginda memberi surat kuasa kepadaku, biar aku yang membekuk bangsat tua itu." Ujar In San.

Cu Kian-sin masih ragu-ragu tapi akhirnya dia terima permintaan In San.

Semula dia masih ingin melindungi dan mempertahankan Liong Bun-kong tapi setelah dipikir lebih mendalam, bila kepala Liong Bun-kong terpenggal tapi dapat meredakan kemarahan masai bukankah ada manfaatnya juga bagi dirinya. Maka dia berkata: "Baik, boleh kau susun redaksinya nanti Tim yang tanda tangan dan dibubuhi cap pula." Dalam kamar itu tersedia lengkap peralatan tulis, hanya beberapa kejap In San sudah rampung menulis surat kuasa itu.

Pada saat itulah diluar tiba-tiba terjadi keributan.

Seorang membentak: "Kurang ajar, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek, lalu siapa Tiangsun Pwelek?" Ucapan bahasa Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang dan nyata bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang tulen.

Suara seorang yang lain kedengaran amat jelek, seperti gesekan benda logam: "Kalian sedang apa disini? Hayo tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm siapa berani menghadangku?" Yang bicara bukan lain adalah Koksu negeri Watsu, Milo Hoatsu adanya. Sengaja dia mau pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya mendengung keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak telinganya.

Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing sudah termakan oleh Cu Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya menjadi gugup dan gelisah. Tapi diapun merasa heran: "Kemana sih Hu Kian-seng yang membawa mereka kemari?"

In San berkata: "Baginda tidak usah gugup biar kami yang menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak berani bertingkah di hadapan Baginda."



000ooo000



Bagaimana In San akan melayani utusan Watsu, baiklah kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu Kian-seng.

Mengudak jago kosen yang mempermainkan dirinya, tanpa terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok Sia-hoa wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu Kian-seng adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia sadar, pikirnya: "Kungfu Tan Ciok-sing pernah kusaksikan. Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak lemah. Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba orang yang mempermainkan aku bukan dia."

Mau tidak mau hatinya jadi tidak tentram. "Walau aku sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut dipancing dari tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung dengan ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-sim-tiam, Pek Ting dan Kiang Swan jelas bukan tandingan mereka. Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah tiba di Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo Hoatsu pasti dapat menghadapi mereka."

Tengah dia kebingungan sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.

Milo Hoatsu berkaok-kaok sambil berlari, pada hal mereka belum tiba di Yang-sim-tiam. Tapi Hu Kian-seng dapat membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo Hoatsu sedang menuju ke Yang-sim-tiam.

Milo Hoatsu memaki dengan bahasa Mongol sayup-sayup Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata, karena pulang pergi dia memaki: "Kurang ajar." Karuan

Hu Kian-seng melengak heran, pikirnya: "Siapa yang berani berbuat kurang ajar kepada mereka?"

Karena tidak tentram, Hu Kian-seng tidak berani mengudak jago kosen yang misterius tadi. Tapi baru saja dia putar badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin menyamber tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya. Reaksinya Hu Kian-seng cukup cekatan, secara reflek dia membalik tangan mencengkram ke belakang.

Suaranya masih dekat di kupingnya, tak nyana cengkramannya mengenai tempat kosong. Begitu Hu Kian-seng menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap ke semak-semak kembang. Orang itu sudah menampakkan diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk wajahnya tapi akhirnya dia melihat juga bayangannya.

Dia seorang gembong silat, cengkramannya tidak berhasil namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini sedikit di bawahnya. Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri jauh ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin pihak sendiri yang bakal runyam. Akhirnya dia sadar: "Orang ini melibatku disini, jelas tujuannya menahanku selama mungkin, kenapa aku harus ditipunya."

"Setan alas, kau tidak berani keluar, memangnya aku harus melayanimu disini, biar malam ini kuampuni jiwamu." Demikian bentak Hu Kian-seng.

Orang itu tertawa, katanya: "Setan alas, kau tidak berani mengejar, aku justru ingin bermain petak dengan kau."

Kali ini Hu Kian-seng sudah siaga, begitu merasa angin menyamber kedua tangannya segera bergerak, Pun-lui-ciang dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.

"Aduh." Orang itu menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu terluka, hatinya girang. Tak nyana belum lenyap suara jeritannya, orang itu telah berkata pula: "Syukur aku selamat. Tidak kena." Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat bayangan orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun kembang.

Meski berkepandaian tinggi bernyali besar, mau tidak mau Hu Kian-seng tersirap hatinya: "Gerak gerik orang ini laksana setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong olehnya." Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi, segera dia angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-sim-tiam.

Baru setengah jalan dia ketemu seorang Thaykam yang sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal. Hu Kian-seng kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit mengutus Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu menghadap kepada Baginda.

Hampir saja mereka bertumbukan, keduanya sama-sama kaget. "Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak berada di samping Baginda, koh berada disini malah?"

"Bukankah Bong-kokong mengutusmu menemani utusan Watsu menghadap Baginda? Kenapa seorang diri kau berlari-lari sipat kuping."

Tanpa berjanji kedua orang sama mengajukan pertanyaan.

Hu Kian-seng berkata: "Semula tujuanku memang hendak ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi kudengar suara Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah menuju ke Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka. Apakah yang telah terjadi?"

"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi," tutur Thaykam itu, "kejadian memang aneh dan ganjil."

"Baiklah, coba kau jelaskan kejadian yang menimpa dirimu, nanti kita menganalisa bersama."

"Bukankah Baginda berjanji akan menerima utusan Watsu pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda setengah jam lagi. Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."

"Ada kejadian apa?"

"Tak nyana, tiba saat yang ditentukan Tiangsun Pwelek tidur di ranjang tidak bisa bangun."

"O, dia, dia dibokong orang?"

"Bukan begitu saja, pakaiannya malah dibelejeti orang."

Hu Kian-seng kaget, teriaknya: "Wah celaka, pasti seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda." Tanpa banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang meninggalkan si Thaykam berdiri terlongong.



000ooo000



Dengan marah-marah akhirnya Milo Hoatsu dan Tiangsun Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada Tiangsun Co berseru: "Apakah raja kalian ada disini? Lekas beritahu padanya, aku sudah datang."

Kawanan Wisu yang dinas saling pandang, katanya seseorang: "Tuan ini..."

Tiangsun Co naik pitam, sentaknya: "Kau ini anggota bayangkari yang bertugas jaga disini malam ini?"

Wisu itu mengiakan sambil manggut.

Tiangsun Co mendengus, rasa gusarnya makin bertambah. "Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa tidak tahu siapa yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini? Aku inilah Tiangsun Pwelek dari Watsu."

Wan Giap, Wisu tertua tampil ke depan, katanya: "Apa betul kau ini Tiangsun Pwelek? Lalu kenapa..." Maksudnya mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi mereka, karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati, kedatangan mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam yang dapat dipercaya dengan membawa lencana tembaga sebagai tanda dinas.

Memangnya Tiangsun Co sudah marah dan penasaran, karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi, semprotnya: "Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu siapa Tiangsun Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak genah, malah memeriksa diriku. Minggir, biar aku masuk sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi laporan."

Wan Giap adalah Wisu tua yang paling setia kepada raja, mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya: "Umpama benar kau ini utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini, betapapun aku tidak akan biarkan kau kurang ajar terhadap junjungan kita. Maka dia coba bicara halus: "Maaf, dalam istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar." Dengan menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya.

Tiangsun Co berjingkrak gusar. "Tata tertib kentut anjing. Minggir."

Wan Giap memang sudah siap waktu mengadang di depan orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat di tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara sisa tiga jarinya yang lain agak ditekuk, itulah salah satu gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu. Sebagai ahli silat, sekali turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi. Mau tidak mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan Wan Giap lekas dia menarik tangan.

"Kalau benar tuan adalah utusan Watsu kuharap kau menjaga harga diri." Demikian kata Wan Giap tawar sambil menarik gerakan Liong-jiau-jiu.

Tiba-tiba Milo Hoatsu melangkah lebar dalam matanya seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di depannya.

Jari Wan Giap segera mencengkram, Milo mengebas lengan baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh tindak, setelah berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya. Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah kerahkan tujuh lapis Liong-siang-kang. Untung yang melawan adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung sudah jatuh terjengkang sungsang sumbel.

"Mutiara sebesar beras juga coba memancarkan cahaya." Demikian jengek Milo Hoatsu, "sudah tahu keliehayanku? Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"

Pada saat itulah seorang Thaykam beranjak keluar sambil memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah samaran In San. Menuding dengan kipasnya In San membentak: "Ada apa ribut-ribut disini?"

Wan Giap segera menyahut: "Ada orang yang mengaku sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan Baginda."

"Baginda sudah tahu. Baginda ada perintah suruh orang yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk menghadap kepadanya."

"Kurcaci," maki Tiangsun Co penasaran, "aku ini jelas adalah utusan Watsu, kenapa dikatakan mengakui?"

Milo tahu di belakang kejadian ini pasti ada sebabnya maka dia berkata: "Pwelek tak usah marah, setelah kita berhadapan dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."

In San menuding pula dengan kipasnya. "Yang diundang hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu, Hwesio ini dilarang masuk."

Milo Hoatsu adalah Koksu negeri Watsu kedudukannya lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.

Sementara itu banyak Wisu telah lari mendatangi, Wan Giap segera memberi tanda. Milo Hoatsu segera dikurung rapat.

Melihat dirinya dikurung, otak Milo Hoatsu malah menjadi jernih, pikirnya: "Tidak sukar aku membunuh habis kawanan Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam? Baiklah hari ini aku telan penghinaan demi tercapainya rencana besar, biar hari ini aku mengalah, biar Tiangsun Co seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian damai sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus tunduk dan melaksanakannya, coba saja apa dia berani menentang kehendakku untuk menghukum mati kawanan Wisu ini."

Bahwa Milo Hoatsu tidak berani mengumbar amarah, sudab tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang diri dia ikut In San naik ke loteng.

Han Cin yang menyaru Tiangsun Co sementara itu sudah berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih berdiri kaku dengan gaya masing-masing yang lucu.

Tan Ciok-sing memang berpakaian sekolah, kini dia mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di belakang Cu Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.

Begitu In San membawa Tiangsun Co masuk ke kamar dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan besar itu segera dia tutup dan kunci.

Tiangsun Co tidak tahu kalau Pek Ting dan Kiang Swan tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin berkobar, pikirnya: "Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua Wisu ini petingkah untuk menghinaku, memangnya aku gampang digertak?" Dengan membusung dada segera dia berkata lantang: "Khan Agung dari Watsu ada perintah untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."

"O," Cu Kian-sin mengangguk, "silahkan duduk."

Tak tahan Tiangsun Co menahan emosi serunya keras: "Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian damai, tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa, bertindak..."

"Kurang ajar." Belum sempat dia mengucapkan kata-katanya, Tan Ciok-sing telah

menghardiknya: "Tiangsun Co, di hadapan Baginda Raja kau petingkah."

Tiangsun Co kira dia hanya sebagai pembantu sekretaris yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya: "Aku belum menuding kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini barang apa, berani kau membacot disini."

Sikap kasar Tiangsun Co sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, bagaimana dia akan

menghadapinya juga telah dia rancang bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada Cu Kian-sin.

Pertama Cu Kian-sin memikirkan keselamatan jiwa sendiri, kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya keki maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi, bentaknya sambil menggebrak meja: "Kau ini utusan Watsu yang mau minta damai terhadap Tim bukan?"

Begitu dia gebrak meja meski tidak keras tapi Tiangsun Co sudah dibuat kaget setengah mati, matanya mendelik, katanya: "Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil Khan Agung, memangnya Baginda belum tahu?"

"Tim tahu. Tapi apa kau tahu siapakah Tan-haksu ini?"

Tiangsun Co kira, pemuda ini paling adalah pembesar kesayangannya, tetap angkuh dia berkata: "Dia siapa? Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"

"Dia inipun sebagai wakil Tim sepenuhnya. Kau ingin damai boleh kau bicara dengan dia."

Kaget dan gusar pula hati Tiangsun Co, katanya: "Soal ini menyangkut urusan besar nasib negara, kenapa Baginda mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda mengganti seorang lain..."

"Siapa utusan Khan Agung kalian, Tim tidak peduli. Siapa wakilku yang akan berunding dengan kau kalianpun tidak perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau berbicara, disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang berkuasa." Di bawah pengawasan Tan Ciok-sing dengan membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang lagi menghapal pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga suaranya sudah agak gemetar. Tapi karena suaranya yang bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan emosi saking marahnya.

Mimpipun Tiangsun Co tidak menyangka bahwa Cu Kian-sin bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan seberani itu, mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak bicara lagi.

Maka Tan Ciok-sing menimbrung dengan suara dingin: "Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu tidak akan dosa-dosamu?"

Mendelik Tiangsun Co, tanyanya: "Aku punya dosa apa?"

"Sebagai utusan sebuah negara, sepantasnya kau tahu tata tertib seorang diplomat. Kenapa setelah berhadapan dengan raja kita, kau tidak segera berlutut?" lalu dia menghardik dengan suara kereng: "Hayo berlutut." Tangan diulur menekan tubuh orang.

Umpama Tiangsun Co mau berlutut, dalam keadaan seperti ini juga pasti melawan karena dipaksa secara kasar, saking gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk Ji-ti-hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan Ciok-sing dengan tubuh terguling jatuh, supaya tak mampu merangkak berdiri lagi.

Tak nyana ujung jarinya seperti menumbuk dinding batu waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing, jelas jarinya telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan

Ciok-sing tetap wajar tidak berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit kesakitan.

Cepat sekali tangan Tan Ciok-sing sudah pegang pundaknya. Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi, pundaknya seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.

"Bagus, sekarang boleh kau bicara. Bagaimana maksud damai negerimu?" Pelan-pelan dia melepas pegangan dan tekanan tangannya di pundak orang.

Kejut Tiangsun Co lebih besar lagi, pikirnya: "Cu Kian-sin sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang ini, jelas dia seorang jago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja. Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah kubicarakan dulu soal perjanjian damai itu baru nanti berusaha membuat perhitungan." Dia insaf gelagat tidak menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu dicapai namun betapapun harus dicoba.

Maka dia angkat kepala, serunya membantah: "Tiga bulan yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah dibuat. Kedatangan kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."

"Tan-haksu," kata Cu Kian-sin, "lemparkan kembali konsep perjanjian damai itu kepadanya."

Tan Ciok-sing mengiakan, lalu dia robek konsep perjanjian damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga bulan yang lalu serta dibuang di atas lantai.

Saking marah mata Tiangsun Co mendelik merah padam, katanya: "Apa maksudmu Baginda?"

"Dari pada perang aku memang lebih cinta damai, tapi bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani, kalian harus tunduk akan kehendakku."

"Konsep perjanjian damai itukan sudah dirancang bersama oleh dua pihak setelah redaksinya diganti berulang kali, bila mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang dirasa perlu saja," demikian bantah Tiangsun Co.

"Tutup mulutmu!" bentak Tan Ciok-sing, "kau sedang bicara dengan raja kami, mana boleh bersikap kasar, main bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami sendiri, mana boleh kau mencampuri kehendak kami."

Baru saja Tiangsun Co sudah merasakan keliehayannya, melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan bersikap gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian baru dia menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan emosi, katanya dingin: "Baiklah lalu menurut pendapat kalian, bagaimana perjanjian damai ini harus ditanda tangani?"

Cu Kian-sin berkata: "Tan-haksu silahkan kau bicarakan dengan dia."

Tan Ciok-sing berkata: "Tiongkok adalah negara berbudaya tinggi, kalian kalah perang dan minta damai, kami mau tidak menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh karena itu cukuplah asal sebetulnya kalian mengirim pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah dilakukan."

"Apa-apaan, kenapa kami harus menyesal dan minta maaf?"

"Kalian mengerahkan pasukan menyerbu dan menduduki wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta maaf dan mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf malah?"

Tiangsun Co berkata: "Memberi sedikit kelonggaran kepada kalian memang bukan mustahil, tapi kami mengajukan beberapa syarat yang harus dipatuhi: 1. Dua negeri kita harus bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2. Dynasti Bing harus menarik mundur pasukannya dari Tay-tong. 3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok dan beberapa daerah. 4...."

Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah menggebrak meja serta menudingnya. "Besar mulutmu, kalian kalah perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah, menarik mundur tentara, minta damai segala? Syarat-syarat itu sepantasnya kalian sendiri yang harus memikulnya. Tapi sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut kalian mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh dianggap rampung, lalu apa pula kehendak kalian?"

"Baginda harus berpikir cermat," Tiangsun Co masih berusaha putar lidah, "pemerintahmu terlalu mengandal kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami kegagalan tapi bila kami mau mengerahkan pasukan besar."

Tan Ciok-sing menjengek dingin: "Bila Khan Agungmu masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan, terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila kalian berani mengerahkan pasukan besar boleh silahkan kapan saja akan kami sambut."

Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun Co, pikirnya: "Haksu yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di depan junjungannya? Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti Cu Kian-sin..." Segera dia menarik muka, katanya membusung dada dengan sikap temaha: "Baginda, kau harus berani berkeputusan mencari jalan yang benar, jangan mudah kau dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."

Sikapnya yang sombong dan tengik justru menimbulkan reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis: "Kalau tidak kenapa?"

"Jikalau pasukan besar kita sudah kerahkan batu jadepun bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja tidak akan berlangsung lama lagi."

Walau Cu Kian-sin takut terhadap Watsu kini dia tidak tahan lagi, serunya gusar: "Kurang ajar! Kau sedang bicara dengan Tim tahu!"

Tiba-tiba Tan Ciok-sing mencengkram kuduk Tiangsun Co serta menjinjingnya ke atas, katanya: "Utusan Watsu berani menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi hukuman, akan menghilangkan pamor negeri besar kita."

Setelah amarahnya berkobar, diam-diam Cu Kian-sin kuatir bila bertindak terlampau jauh. Tapi Tan Ciok-sing bertindak demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada Tan Ciok¬ sing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu jauh ribuan li diluar perbatasan maka rasa takut terhadap Tan Ciok-sing sekarang jauh lebih besar bila pasukan besar negeri Watsu kenyataan menyerbu negerinya. Maka samar-samar dia berkata: "Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus dia terima, boleh terserah kepadamu saja."

Tan Ciok-sing mengiakan, pelan-pelan dia gunakan Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya dia lempar ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum, sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya serak: "Boleh buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..." Mulutnya masih ingin memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang digunakan Tan liehay, tenaga yang disalurkan kedalam tulang sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski sudah kertak gigi menahan napas, akhirnya tak tertahan dia merintih juga, rangkaian kata-kata yang siap dilontarkan tak kuasa diucapkan lagi.

Tan Ciok-sing berkata: "Kau menghina Raja, semestinya hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini seorang utusan negara asing hari ini kuampuni jiwamu." Sampai disini sengaja dia merandek.

Meski kesakitan namun dalam hati Tiangsun Co amat senang, pikirnya: "Memangnya kau berani membunuh aku? Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas." Saking kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani bicara. Tapi rasa bangga dan puas tak urung tampil di wajahnya.

Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Hukuman mati boleh diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah, laksanakan pukulan empat puluh kali."

In San dan Han Cin mengiakan bersama. Mereka tarik Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang tersedia di kamar buku itu, dengan palang pintu itulah pantat Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.

Waktu Hu Kian-seng buru-buru kembali ke Yang-sim-tiam, anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu. Melihat gelagat jelek ini, sungguh terkejut Hu Kian-seng bukan main. Lekas dia tarik Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan: "Kenapa hanya Milo Hoatsu yang ada disini? Mana Tiangsun Co?"

"Baginda hanya mengizinkan Tiangsun Co saja yang menghadap." Sahut Wan Giap.

Hu Kian-seng tahu kedudukan Milo Hoatsu lebih tinggi, katanya: "Bagaimana mungkin Baginda memberi perintah begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan kepadamu?"

"Bukan, seorang Thaykam keluar menyampaikan

perintahnya." Demikian tutur Wan Giap. "Thaykam itu memegang kipas pribadi Baginda."

"Sebelum ini kalian belum pernah melihat Thaykam itu?" Tanya Hu Kian-seng.

"Belum pernah melihatnya."

"Bagaimana dia bisa masuk?"

"Bukankah Bong-kokong yang mengutusnya mengantar utusan Watsu? Oh ya, hampir lupa aku memberitahu kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan memang tidak mirip Tiangsun Co yang belakangan."

Hu Kian-seng kaget, pikirnya: "Ternyata ada orang yang menyaru." Katanya gugup: "Jangan kalian berbuat salah kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu yang tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."

Baru saja Hu Kian-seng beranjak di undakan loteng, dia sudah mendengar suara palang pintu menghajar pantat, rasa kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan bahwa Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia memburu ke atas serta berteriak: "Baginda, Baginda..."

Ternyata kejadian selanjutnya menambah rasa kejutnya pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia mohon supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara junjungannya sudah membentak: "Siapa berani naik ke atas tanpa kuperintah?"

Terpaksa Hu Kian-seng menghentikan langkah, serunya lantas: "Hamba Hu Kian-seng sudah kembali."

Sebagai Komandan pasukan Bayangkari, biasanya selalu mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia keluar untuk menyambut kedatangan utusan Watsu. Sekarang sudah kembali sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya tidak perlu harus dipanggil. Maka setelah dia berteriak, dia harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan segera memanggilnya.

Tak nyana didengarnya suara Cu Kian-sin lebih beringas, bentaknya: "Disini tak perlu tenagamu. Disana tenagamu diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu terhadap Tim?"

Saking kaget dan takut lekas Hu Kian-seng berlutut diluar pintu, serunya: "Mohon Baginda memberi petunjuk."

"Ada apa di bawah loteng, kenapa ribut?" Sentak Cu Kian-sin. "Ada, ada..."

"Jangan membela orang luar, apakah Koksu dari Watsu yang membuat onar?"

Terpaksa Hu Kian-seng memberi laporan: "Ya, ya, Milo Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui Baginda."

Kereng suara Cu Kian-sin: "Tim larang dia naik kemari, dia berani membuat keributan, memangnya dia masih memberi muka kepada Tim? Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan disini, tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat onar!"

Sudah tentu apa yang diucapkan Cu Kian-sin telah didikte oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan. Namun demikian, rasa curiganya bertambah besar. Sikap keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali ini, tidak mirip keadaan biasanya yang dia ketahui benar.

Setelah pantatnya dihajar keras, meski tidak mampu bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih. Begitu mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia berkaok-kaok kesakitan. In San tidak berani menutuk Hiat-tonya.

Hu Kian-seng mendengar rintihan, namun dia tidak berani menerjang masuk. Maklum setiap patah kata yang keluar dari mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah. Dengan kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marah-marah memaki Koksu negri Watsu kalau Koksunya juga dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa. Dia pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat utusan Watsu memang kehendak Baginda sendiri, kalau dirinya menerjang masuk berarti melanggar aturan, mana berani dia memikul dosa yang tidak terampun? Karena itu dia tidak pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri tidak berbuat salah.

Dan lagi Hu Kian-seng memang seorang yang pandai menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir bila Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah keadaan Cu Kian-sin akan lebih berbahaya? Kalau Baginda sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah lagi, akibatnya tentu fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara konyol.

Apa boleh buat terpaksa Hu Kian-seng mengiakan, buru-buru dia lari turun ke bawah. Ternyata keributan semakin besar di bawah. Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar rintihan Tiangsun Co yang sedang disiksa di atas.

Melihat Hu Kian-seng keluar, Milo Hoatsu lantas membentak:

"Apa yang dilakukan raja kalian? Kenapa Tiangsun Pwelek merintih-rintih?"

Hu Kian-seng jeri bila padri asing ini benar-benar mengamuk, terpaksa dia membual: "Koksu, mungkin kau salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi sebentar."

"Apa, jadi kau tidak disuruh mengundangku naik ke atas?" Semprot Milo Hoatsu, "aku harus menunggu disini pula, kalian, hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah tidak ingin hidup?"

Wan Giap paling setia kepada sang junjungan, tak tahan berkobar amarahnya, bentaknya: "Kami menyambutmu dengan

kehormatan, kalianpun harus tahu diri, mana boleh kau lancang dan petingkah disini," kata-katanya mengobarkan pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka bersorak terus merubung maju.

Milo Hoatsu membentak: "Aku, jijik melayani kalian, Hu Kian-seng, hayo temani aku naik ke atas."

Hu Kian-seng berkata perlahan: "Maaf, atas perintah Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."

"Apa?" Milo Hoatsu berjingkrak, "kau juga melarang aku ke atas?"

"Bukan aku yang melarang,

Baginda ingin supaya kau menunggu di bawah saja."

"Bedebah, aku justru ingin berhadapan dengan raja dan akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya menggentak, dua Wisu terpental setombak lebih.

“Apa boleh buat, urusan sudah terlanjur sejauh ini, terpaksa Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu mendorongkan telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu, pukulan lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang Lwekangnya, memang setingkat lebih asor dibanding Milo Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh tenaganya, akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan sebagian besar tak urung dia sendiri tergentak mundur beberapa langkah, setelah berputar satu lingkaran baru berdiri tegak.

Wan Giap membentak: "Berani kau betingkah lagi, biar aku adu jiwa dengan kau."

Kedua wisu tadi dilempar jatuh hingga kepalanya bocor tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan orang segera merangsak maju.

Milo Hoatsu juga seorang ahli, gebrak percobaan dengan Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi pertempuran sengit, Hu Kian-seng dibantu belasan anak buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.

Terpaksa dia berdiri tegak di tempatnya, bentaknya beringas: "Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi muka kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa yang terjadi di atas?"

"Aku tidak tahu."

"Kau melihat Tiangsun Pwelek tidak?"

"Tidak."

Karuan Milo kaget dan gusar, makinya sambil menuding Hu Kian-seng: "Hu Kian-seng, lalu apa kerjamu?"

"Apa kerjaku memangnya kau tidak tahu, aku komandan bayangkari yang berkuasa disini, tahu!" Akhirnya Hu Kian-seng naik pitam setelah dibentak dan dituding.

"Sebagai Komandan bayangkari yang berkuasa, ada musuh menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau usut dan periksa." Hardik Milo Hoatsu.

Bercekat hati Hu Kian-seng, tapi dia mengeraskan kepala, katanya: "Darimana kau tahu ada mata-mata musuh menyelundup ke istana?"

"Tiangsun Pwelek telah dikerjai orang di penginapannya, pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba kami disini, anak buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah datang lebih dulu?"

Milo Hoatsu ternyata cukup teliti, walau dia tidak mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi Tiangsun Pwelek sudah dalam dugaannya. Maka dia duga Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu Kian-seng.

Hu Kian-Seng pentang kedua tangannya, katanya: "Hoatsu, sabarlah, jangan marah-marah dengarkan penjelasanku."

"Tulen atau palsu sudah jelas, apa pula yang perlu dibicarakan?" Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya dia bersikap kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu Kian-Seng, setelah maju dua langkah dia berhenti pula.

"Seperti apa yang kau bilang," demikian ujar Hu Kian-Seng, "urusan pasti bisa diusut sampai terang, harap kau tunggu sebentar? Tiangsun Pwelek segera akan keluar."

Milo Hoatsu mendengus, "Siapa tahu apa yang rajamu yang bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun Pwelek. Bila kalian menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya seumur hidup?"

Wan Giap menyemprot gusar:

"Kata-katamu terlalu kurang ajar terhadap Baginda, jangan kau menyesal bila kami bertindak kasar terhadapmu."

Diam-diam Hu Kian-seng panggil seorang Wisu serta memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah mengundang bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan pula bahwa ada mata-mata musuh berada di Sia-hoa-wan.

Sebelum kawanan Wisu tiba, Tiangsun Pwelek telah keluar. Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan merintih-rintih dia terguling jatuh dari atas tangga.

Maklum empat puluh kali pukulan palang pintu cukup membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah punya dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih cukup kuat. Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas loteng, tujuannya, adalah mau memancing kemarahan Milo Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.

Melihat keadaannya Milo Hoatsu memang naik pitam, amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya: "Tiangsun Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"

Tiangsun Pwelek merangkak, serunya serak: "Siapa lagi kecuali raja anjing mereka!"

Sambil menggerung Milo Hoatsu lantas menerjang, bentaknya: "Kalian berani menghina utusan negeri kita, biar aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."

Mendengar Baginda dimaki "Raja anjing" amarah Wan Giap lebih berkobar, bentaknya: "Peduli siapa dia, gampar mulutnya." Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana terus meringkusnya. Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya jungkir balik, demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya mencelat.

Urusan amat mendesak Hu Kian-seng tidak banyak pikir lagi, terpaksa dia maju merintangi. "Biang", mereka adu pukulan. "Huuuaaaah", kontan Hu Kian-seng muntah darah. Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh, sayang Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka dia yang kena rugi.

Melihat pemimpin mereka muntah darah entah bagaimana luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya, ganyang musuh lebih dulu, maka beramai-ramai mereka merangsak.

Milo Hoatsu menanggalkan jubahnya, bentaknya: "Siapa merintangi aku dia mati. Aku akan membuat perhitungan dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."

Wan Giap yang terpukul jungkir balik itu, luka-lukanya lebih parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo Hoatsu langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula, amarahnya tak terbendung lagi, entah dari mana datangnya kekuatan, segera dia meletik bangun, bentaknya: "Hayo kawan-kawan, kita adu jiwa."

Milo Hoatsu sudah menyendal jubahnya laksana segumpal mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu yang menyerbu dirinya.

Kawanan Wisu ini terhitung jago-jago kosen dalam istana, tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan jauh, pula dibanding Milo Hoatsu. Maka terdengarlah suara gemerantang yang ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas dan jatuh.

Di kala jubah Milo menggulung ke depan tiba-tiba terasa angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata, dari samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.

Bercekat hati Milo Hoatsu: "Siapa kira anak buah Hu Kian-seng ada juga yang berkepandaian setinggi ini."

T6rsipu-sipu dia memutar tubuh menghadapi serangan orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan disendai miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut serangan Hu Kian-seng dan dua orang pembantunya.

Karena itu perhatian terpencar tenagapun tidak seimbang karena harus melayani dua pihak, "cret" jubah kasanya yang tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.

Kasanya itu digunakan sebagai senjata setelah dilandasi kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar. Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai lemas seperti ban kempes, sudah tentu kekuatannya seketika sirna.

Tadi Hu Kian-seng tidak gunakan tenaga sepenuhnya hingga mengalami rugi besar. Kini menghadapi detik-detik mati hidup, mana berani dia berlaku ayal? Biang, telapak tangan beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga langkah. Terasa

kerongkongannya anyir, darah yang sudah menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat. Maklum sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati, betapapun dia malu dikalahkan.

Hu Kian-seng berterima kasih kepada Wisu yang telah menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak sempat dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki kepandaian pedang seliehay itu? Kini baru dia ada kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di sebelahnya. Hatinya lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.

Saat mana Wan Giap baru saja melompat berdiri melihat Wisu ini diapun melengak, tanyanya: "Siapa kau?" Sikap setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir mampus, maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak lupa memperhatikan lawan dan kawan.

Wisu ini bukan lain adalah samaran Toan Kiam-ping. Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Ciok-sing. Mendengar Milo Hoatsu membuat keributan di depan Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari tempat sembunyinya. Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kian-seng berhasil ditolong.

Satu hal yang tidak dia kira, dalam keadaan seribut ini, Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih sempat memperhatikan dirinya. Seluruh Wisu yang ada di istana semua kenal baik dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini yang tidak dikenalnya.

Toan Kiam-ping sudah tahu, masih mungkin dia mengelabui Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap. Dasar cerdik, hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana terus diacungkan, katanya: "Aku disuruh Bok-jongling kemari untuk membantu melindungi Baginda, inilah lencana pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan Bong-kokong sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di istana, kita harus mengusirnya."

Bok Su-kiat adalah komandan Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi keselamatan istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan melindunginya. Jadi jelas tugas Gi-lim-kun berbeda dengan pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu bertugas didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lirrl-kun dilarang sembarang masuk ke istana.

Satu hal lagi, bahwa seragam pasukan Gi-lim-kun berbeda dengan seragam pasukan bayangkari. Toan Kiam-ping mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan seragam pasukan Bayangkari. Sudah tentu Toan Kiam-ping tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan komandan pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia mengaku sebagai anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia menyaru jadi anggota Gi-lim-kun. Bualannya memang menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya, dan tidak sempat perhatikan dirinya lagi. Ternyata dia berhasil.

Bukan Wan Giap tidak melihat kelemahan alasannya, tapi keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok dengan kenyataan.

Janji pertemuan Cu Kian-sin dengan Tan Ciok-sing sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga pasukan bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak meminta kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago kosennya bantu -bertugas didalam istana. Persoalan ini dia serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu Kian-seng kurang senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang raja dan tidak memberi tahu kepada Bok Su-kiat. Yang terang sang raja hanya berpesan secara lisan, tiada bukti hitam di atas putih.

Beberapa hari kemudian, suasana tentram tidak terjadi apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.

Tapi Wan Giap tahu akan pesan raja, cuma dia tidak tahu bila Hu

Kian-seng menahan pesan secara lisan ini. Karena terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata hampir cocok -dengan kenyataan. Lenyap rasa curiga Wan Giap, serta merta matanya melirik ke arah Hu Kian-seng.

Sudah tentu Hu Kian-seng tahu bahwa Toan Kiam-ping membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya, sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk bertindak membalas kebaikan orang dengan membongkar asal-usulnya. Apalagi dia harus menyimpan rahasia, jikalau perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah salah lebih lanjut. Apalagi dia belum mendapat laporan tentang asal-usul Toan Kiam-ping, kepandaian silatnya tinggi lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat memang mengutus dia masuk ke istana.

Hatinya maklum lirikan mata Wan Giap kepada dirinya adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya. Tapi dalam keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak tahu sementara diam sebagai jawaban.

Melihat Hu Kian-seng diam saja, Wan Giap kira dia membenarkan. Maka sisa curiganya telah sirna.

Apalagi keadaan segawat ini, mana sempat dia tanya kepada Hu Kian-seng. .

Pembicaraan beberapa patah kata itu berlangsung amat singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh Milo Hoatsu untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.

Pelan-pelan dia mengembangkan kedua lengannya, terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar matanya tambah menyala, bentaknya: "Kurang ajar, berani kau memaki aku gegabah? Hm, baiklah, coba buktikan, siapa yang akan terlempar keluar dari sini." Belum lenyap suara bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali ini membelah ke arah Wan Giap. Jarak mereka ada satu tombak, telapak tangannya tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata sedahsyat gugur gunung. Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan, dadanya sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.

Toan Kiam-ping bertindak cekatan, "Sret" pedangnya telah menusuk Lau-kiong-hiat di telapak tangan lawan. Bila Lau-kiong-hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila hawa murni bocor Kungfunya akan punah.

Sudah tentu Milo Hoatsu tidak membiarkan telapak tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas menjentik. Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya tepat dan telak. "Creng" pedang lawan kena diselentiknya pergi.

Telapak tangan Toan Kiam-ping pecah berdarah, getaran selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat memegang pedang. Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya jumpalitan mundur beberapa tombak.

Hu Kian-seng sudah berada di damping Wan Giap, berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran Milo Hoatsu berhasil dibendung. Kekuatan tiga jago top menimbulkan getaran hawa yang cukup dahsyat, jendela tak jauh di samping mereka tergetar jebol. Beberapa Wisu lain yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat tenaga mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak menerjang ke atas loteng.

Dalam pada itu Toan Kiam-ping sudah berdiri pula, dari jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat sembunyi Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang. Tapi jelas bukan Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin. Han Cin melambaikan tangan ke arahnya.

Walau dihajar empat puluh kali gebukan di pantatnya, luka-luka Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja, diam-diam dia sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu. Wisu itu tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia menjerit sekali terus jatuh semaput. Tapi di kala meronta seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada Tiangsun Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa dia menyurut mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.

Toan Kiam-ping mencelat maju, pedang dipindah ke tangan kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia menusuk ke arah Tiangsun Co. Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan tandingannya, apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia mampu melawan tusukan pedang secepat kilat ini?

Tahu dirinya tidak mampu berkelit, amarahnya malah berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju, bentaknya: "Berani kau membunuhku." Dia pikir sebagai utusan negrinya, dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.

Tapi belum habis dia bicara, dadanya sudah terasa dingin, serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata tidak merasa sakit sama sekali. Ternyata ilmu pedang Toan Kiam-ping sekarang telah mencapai taraf sempurna, gerakannya dapat dikendalikan menurut perintah otaknya, begitu ujung pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar adalah Hiat-to pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co lunglai, seperti menjinjing kucing layaknya, Toan Kiam-ping merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap, serunya: "Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah ini empat puluh kali."

Bukan kawanan wisu itu tidak mikir untuk menyandera Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka mereka tidak berani bertindak secara gegabah. Bahwa Toan Kiam-ping melempar Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa Wan Giap menerimanya. Begitu Tiangsun Co jatuh ke tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau, langkah yang tidak dia lakukan terpaksa juga harus dihadapinya.

Sudah tentu amarah Milo Hoatsu tak tertahankan lagi, langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak: "Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo turunkan, kupuntir kepalamu."

Berulang kali dirinya dimaki dan terluka pula, akhirnya Wan Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat terus diputar sebagai tameng, bentaknya balik:

"Baik, mari, kau puntir, coba buktikan kepala siapa yang kepuntir patah."

Lekas Hu Kian-seng menerobos ke tengah mereka, teriaknya: "Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa dibicarakan. Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek, lekas turunkan dia." Betapapun Hu Kian-seng adalah atasannya, karena dibentak terpaksa Wan Giap turunkan Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya menccngkram punggungnya. Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri disandera lawan, Milo Hoatsu tidak berani sembarang bertindak lagi.

"Kalian berani menghina utusan kita, persoalan apa pula yang perlu dibicarakan?"

"Kalau kau tidak ribut, sudah tentu kami tidak akan bertindak kasar." Wan Giap balas membentak.

"Sebetulnya apa kehendak kalian?" Bentak Milo Hoatsu. "Kami justru ingin tahu apa kehendakmu?" Bantah Wan Giap pula.

"Wan Giap," sentak Hu Kian-seng, "jangan kurang ajar lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."

"Paling tidak dia harus berjanji dulu tidak akan membuat keributan, baru aku akan membebaskan orangnya. Tiangsun Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita berada disini, mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama berlaku hormat kan juga harus dipatuhi kedua pihak." Tekad setianya kepada raja memang harus dipuji, bila dia mengumbar adat, meski H u Kian-seng adalah atasannya juga berani dibantah.

Sudah tentu makin murka Milo Hoatsu mendengar ocehan Wan Giap. Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang diri jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thian-mo-ciang-lat yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah banyak dikorting, jikalau urusan belum beres dan harus bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah. Apalagi umpama dia berhasil lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan lawan.

Begitu menerima Tiangsun Co segera dia membebaskan tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus beranjak keluar.

"Hoatsu, Pwelek," teriak Hu Kian-seng, "tunggu sejenak, biar aku menghadap Baginda, nanti kita bicara lagi. Kuyakin dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."

Hu Kian-seng menduga pasti ada mata-mata musuh yang sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu. Tapi urusan menjadi ribut sebesar ini memang diluar dugaannya.

Segera dia celingukan, Wisu yang tadi menolong dirinya sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham duduknya perkara. Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini, Wan Giap tentu menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi membeber soal ini. Oleh karena itu, dia bertindak menurut perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu.

Tapi tak pernah terpikir olehnya, setelah Tiangsun Co dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah perhitungannya dapat dapat terlaksana?

Dengan muka merah padam, Milo Hotsu membentak: "Hu Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau berani hayo bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini mendengar penghinaan kalian." Sembari bicara kedua lengannya bekerja terus menerjang ke depan. Para Wisu yang dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi.

Setelah Hiat-to dibebaskan, rasa sakit Tiangsun Co bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak: "Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar Watsu kita menyerbu tiba."

"Tiangsun Co," bentak Wan Giap, "mulut anjingmu tidak tumbuh gading, berani-berani kau bermulut kotor, aku, aku..." belum habis dia bicara, mulutnya sudah didekap Hu Kian-seng.

Sebetulnya Tiangsun Co juga sudah kapok, namun dia pura-pura temberang: "Kau berani apa?" Tersipu-sipu bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam.

Kawanan Wisu tiada yang berani mengadang, terpaksa mereka dibiarkan pergi.

Lega hati Wan Giap, katanya: "Hu-congkoan, mari kutemani kau menghadap Baginda."

Terbeliak mata Hu Kian-seng, katanya: "Kau kira urusan sudah beres? Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau kuatir akan keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku, kerahkan seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."

"Mata-mata dari . mana datangnya? Macam apa mata-mata itu?" Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun Co yang datang duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu sejauh ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat apa mengejar jejaknya ke tempat lain?

Saking jengkel Hu Kian-seng membanting kaki, katanya: "Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga belum berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana tampangnya? Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal ringkus dia."

"Tapi Baginda sendiri..."

"Aku yang akan melindungi Baginda, kau tidak usah kuatir, lekas, lekas laksanakan."

Setelah komandannya sendiri yang berjanji akan menjaga keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini baru merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.

Hu Kian-seng sendiri belum tahu apakah Tiangsun Co tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia naik tangga mendekati kamar buku, di depan pintu dia batuk-batuk beberapa kali.

"Siapa diluar." Cu Kiam-sin membentak dari dalam.

"Hamba Hu Kian-seng."

"Kenapa baru sekarang kau datang?"

Hu Kian-seng melenggong, katanya: "Tadi hamba sudah kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani Koksu dari Watsu."

Cu Kian-sin mendengus hidung, katanya lagi: "Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang Tim ingin temui telah kemari."

Setelah melihat Baginda, duduk persoalannya sudah terang bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih kebat-kebit, perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi juga seperti memperoleh sesuatu.

Menurut rencananya semula dia hendak minta damai dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan Ciok-sing, malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi setelah kejadian ini, rencananya semula mau tidak mau harus direnungkan kembali.

Dia sudah tahu bahwa Kim-to Cecu telah memperoleh kemenangan besar diluar Gan-bun-koan. dia sudah menerima janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah bila dia angkat senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak akan memberontak.

Dengan tangannya sendiri dia membuang konsep perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co, malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan mengancam dirinya. Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun Co itupun atas persetujuannya. Walau dia setuju karena terpaksa karena dia disandera. Tapi betapapun dia masih memiliki wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk membeber kenyataan yang dihadapi di hadapan orang Watsu, apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.

Apalagi seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, bila Kim-to Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak kuat melawan Watsu. Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak, rakyat banyak pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama angkat senjata melawan penjajah. Bila hal itu terjadi, maka singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan goyah dan bukan mustahil akan terguling.

Satu hal lagi, kepandaian Tan Ciok-sing betul-betul amat menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In boleh pergi datang seenak udelnya. Bila gagal menangkap mereka, pasti akan melunak datang pula. Bila teringat peringatan:

"ingkar janji menghianati bangsa, Yang Kuasa tidak akan memberi ampun "

hatinya goncang tubuh gemetar.

Apa boleh buat, terpaksa dia harus berani mengorbankan Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut campur.

Walau Hu Kian-seng tidak turut campur tapi Tan In berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk meninggalkan istana.

Waktu itu sudah menjelang pagi, cuaca sudah remang-remang tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur telah bejjaga dan menanti di punggung kuda.

Ternyata pasukan jaga Gi-lim-kun yang berada diluar istana telah mendengar juga gema lonceng peringatan dari istana, tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam, tanpa diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa mempersiapkan diri, seluruh pasukan yang ada dikerahkan dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan dijaga ketat. Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada di Tang-hoa-bun.

Toan Kiam-ping berkaok-kaok: "Minggir. Atas perintah Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi jalan." Sembari berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi.

Tiba-tiba seorang membentak: "Peduli siapa, harus berhenti." Seorang penunggang kuda tampil dari barisan berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping mendengung pekak.

Pembentak ini bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun sendiri Bok Su-kiat adanya.

Melihat gelagat jelek, lekas Han Cin berteriak: "Sedang menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh menunda waktu." Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda tetap dikeprak menuju ke arah yang berlawanan.

Diluar tahunya, Bok Su-kiat tidak pandang lencana Bong Tit, mengambil panah memasang busur, "ser, ser, ser". Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang anak panah ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua mengincar In San, dua lagi membidik Han Cin.

Tidak sukar untuk memukul jatuh kedua anak panah itu, tapi In San dan Han Cin, sekarang masih menyaru sebagai Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa main silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya luncuran panah berantai bidikan Bok Su-kiat amat kencang bidikkannyapun tepat, bila mereka memperlihatkan dirinya pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar.

In dan Han memang cerdik dan tangkas tanpa berjanji mereka berpikir: "Betapapun besar nyali Bok Su-kiat, dia tidak akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya." Maka mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak mengembangkan kepandaian menyambuti anak panah.

Gerakan mereka ternyata tepat. Dua batang panah melesat terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun tidak terluka.

Betapa liehay dan menakjubkan kepandaian memanah Bok Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari rongga dada. Tapi untung juga mereka

memperlihatkan sikap gugup dan kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak berkurang.

Toan Kian-ping mengacungkan medali tembaga seraya berseru: "Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa kami utusan Bong-kokong?"

"Untuk apa Bong-kokong mengutus kalian keluar?"

"Untuk itu, maaf kami tidak berani menjawab." Sahut Han Cin.

Bok Su-kiat mendengus, katanya: "Kalian tidak mau menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian keluar."

Tan Ciok-sing menimbrung: "Urusan memang tidak boleh ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh suruh orang tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih dulu."

"Tidak boleh. Aku pasti akan suruh orang tanya kepada Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya disini. Bila asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian pergi."

"Bok-jongling," ,ujar In San dingin, "kau boleh tidak usah peduli apakah benar medali ini dikeluarkan oleh Bong-kokong, memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak pandang sebelah mata." Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit emas yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi baginda.

Bok Su-kiat kenal tulisan baginda, semula dia memang kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap bandel tidak mau memberi jalan. Dalam hati dia berpikir: "Para Thaykam dan wisu di istana memang tidak-seluruhnya kukenal, tapi urusan sebesar dalam suasana segenting ini, bila benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus pasti juga Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula Wisu yang dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan cekatan, kalau benar mereka, mana mungkin aku tiada satupun tidak kenal."

Tapi karena In San memperlihatkan kipas berkerangka emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga bahwa mereka tiruan? "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan tanda kuasa," kata Bok Su-kiat.

"O, jadi kau ingin melihat surat kuasa dari Baginda?" jengek Han Cin.

"Betul," ujar Bok Su-kiat,

"dalam istana sedang terjadi keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku disalahkan baginda surat kuasa itu aku tetap ingin melihatnya."

Han Cin tertawa dingin, katanya: "kau ingin lihat, boleh kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan kepadamu. Ini menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami tidak membocorkan kepada siapapun." Sembari bicara dia membeber gulungan kertas yang berisi surat kuasa untuk Tan Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir jahat kerajaan termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya. Hanya sedikit yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan dan cap baginda. Surat kuasa ini ditulis di atas kertas tebal yang mempunyai dasar warna biru dengan corak khusus yang diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya Bok Su-kiat sudah percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat cap dan tanda tangannya, maka dia yakin tidak salah lagi.

Sayang waktu Han Cin sedikit membuka gulungan kertas itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat, namun mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di baris terakhir dari surat kuasa itu ada tercantum nama

Liong Bun-kong.

Hubungan pribadi Bok Su-kiat dengan Liong Bun-kong amat intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan namanya, diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang: "Surat kuasa ini bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"

Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda, waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang menunggang kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini bukan lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.

Dalam kalangan Gi-lim-kun terbatas pada beberapa perwira saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri Watsu yang masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu asal-usul mereka.

Pasukan Gi-lim-kun sekarang dikerahkan atas perintah komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa identitasnya, dilarang keluar. Oleh karena itu, meski mereka merasa heran melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka maju menghadang, bagaimana juga mereka tidak diijinkan keluar.

Memangnya hati sedang keki, Milo Hoatsu keprak kudanya terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di depan barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya: "Siapa berani merintangi aku? Yang ingin hidup lekas menyingkir."

Seorang perwira yang jujur berangasan segera membentak gusar: "Hayo turun, peduli kau ini anak kura-kura, siapapun tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah terlarang ini." Sembari membentak tombak panjang terangkat terus menusuk kuda Milo Hoatsu.

Perwira ini hanya memiliki Kungfu biasa mana kuat dia melawan Milo Hoatsu? Sambil tertawa dingin, sekali raih Milo Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu sendiri yang terjungkal roboh dari punggung kudanya termakan oleh tombaknya sendiri.

Sudah tentu kekasarannya menimbulkan amarah masai, umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci orang-orang Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu ditekan oleh atasan, maka rasa dendam mereka sukar terlampias. Kini mumpung komandan mereka ada perintah, cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah, kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai mereka maju hendak menggasaknya.

Entah siapa yang memberi aba-aba, tiba-tiba anak panah berhamburan sederas hujan lebat. Hujan anak panah seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat itu. Sayang Tiangsun Co tidak memiliki kepandaian setinggi Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo Hoatsu sedikit lena, paha Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia tersungkur ke bawah kuda.

Mau tidak mau Milo kaget dan kebingungan, terpaksa dia berteriak: "Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal kami. Bok Su-kiat kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian keluar minta maaf kepadaku."

Sebetulnya Bok Su-kiat masih ingin tanya kepada Tan Ciok-sing, tapi kejadian mendadak ini lebih menarik perhatiannya, mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta dikeprak kesana, serunya: "Berhenti, berhenti. Lekas hentikan."

Mendengar suaranya baru pasukan Gi-lim-kun menghentikan aksinya. Karena paha terpanah, ditambah luka Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi. Untung meski luka luar cukup berat, tenaganya tidak lenyap seluruhnya.

Mumpung ada keributan, lekas Han Cin gulung pula surat kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal kuda keluar dari kota terlarang.

Dalam keadaan seperti itu. Bok Su-kiat tidak sempat banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani perintahkan anak buahnya mencegat mereka pula.

Tapi setelah anak buahnya menghentikan serangannya, sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa dia panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat menyuruhnya lekas pergi ke sekretariat negara menemui Liong Bun-kong. Bukan dia curiga akan surat kuasa tadi, tapi karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh bekerja mendahului surat perintah itu memberi kisikan kepada Liong Bun-kong. Ketiga perwira itu cukup cerdik dan tangkas bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci, mereka juga sudah maklum.

Melihat Bok Su-kiat muncul, baru Milo Hoatsu lega hati, katanya setelah mendengus: "Kalian memanah Tiangsun Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan kuperhitungkan. Sekarang lekas kalian ganti dua ekor kuda, kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh li."

Sekretariat negara dimana Liong Bun-kong menempati kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat, itulah daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya. Setelah mereka keluar dari pintu barat, tak lama kemudian, mereka mendengar derap lari kuda yang dibedal, tahulah mereka bahwa di belakang ada pengejar. Begitu mereka menoleh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah mengaburkan kudanya.

Sudah tentu ketiga perwira ini tidak berani menyusul mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu. Kalau ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah atasan, secara diam-diam melindungi utusan raja ke tempat tujuan, cara itu memang tidak melanggar kedisiplinan.

Tapi walau Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya tidak tahu tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka. Kalau putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar yang lebih besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.

Sebetulnya ketiga perwira itu terus menguntit, entah kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin jauh. Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula ketiga perwira itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.

Tan Ciok-sing berkata: "Aneh, kuda tunggangan mereka tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki, kenapa mereka tidak menyusul pula?"

In San tertawa, ujarnya: "Mungkin mereka insyaf bila bertindak diluar perintah mereka bisa celaka sendiri, apalagi kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur teratur."

Yang benar, bukan mereka jeri mengingat surat perintah Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka yang roboh tak bangkit lagi.

Setelah mengudak beberapa jauh kemudian, entah kenapa kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal roboh tak berkutik. Tiga orang sama keheranan, tengah mereka memeriksa kuda masing-masing, tiba-tiba terdengar suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga seorang perwira Gi-lim-kun.

Lekas sekali perwira penunggang kuda ini telah dekat, ketiga perwira yang duluan ini sama kaget, serempak mereka berdiri siap memberi hormat. Ternyata Perwira yang duluan ini pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya, karena dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di bawah Bok Su-kiat, namanya Ing Siu-goan.

"Apa yang kalian alami disini?" tanya Ing Siu-goan.

Salah seorang menjawab: "Lapor Tayjin, entah kenapa, kuda kami mendadak terserang penyakit, mulutnya berbuih tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."

Seorang lagi berkata: "Atas perintah Bok-tayin, kami disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak terduga mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin memberi petunjuk, bagaimana sebaliknya?"

Seorang lain bertanya: "Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?" Orang ini lebih teliti dari dua temannya, agaknya dia menaruh curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan tutur katanya menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam mengawasi mimik muka Ing Siu-goan.

Ing Siu-goan mendengus sekali, katanya: "Untung aku keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai. Bok-jongling memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku disuruh menyusul kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh pulang saja, ada tugas lain untuk kalian, temui langsung kepada Bok-jongling."

Dua perwira di antaranya memang ogah pergi ke tempat kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing Siu-goan, kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka berpikir: "Seluk beluk dan lika-liku pemerintahan para pembesar memang serbu membingungkan. Bok-jongling suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat kepada Liong Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok-jongling punya jabatan tinggi, dia tidak perlu kuatir kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong, malapetaka bakal menimpa kami bertiga."

Karena itu dengan senang kedua orang ini berkata: "Terima kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan kau saja sampai harus menunaikan tugas sendiri." Meski orang ketiga agak curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan petunjuk orang terpaksa dia tidak berani banyak bicara lagi. Seperti pelari marathon yang lagi berlomba saja, ketiga perwira ini terpaksa pulang dengan lari. Setelah mereka pergi jauh Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar kudanya mengejar rombongan Tan Ciok-sing.

Baru saja Tan Ciok-sing melewati suatu tegalan dan membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba terdengar lari kuda yang menyusul datang sekencang angin badai. Waktu mereka menoleh, tampak yang mengejar tiba hanya seorang perwira.

Tan Ciok-sing heran, katanya perlahan: "Cakar alap-alap yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang tadi."

Setelah agak dekat In San melihat jelas wajah orang seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada Tan Ciok-sing: "Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, namanya Ing Siu-goan."

Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa Gi-lim-kun mengutus Ing Siu-goan wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka, gelagatnya mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya tidak bisa dihindari lagi, maka dia berkata: "Biarlah nanti aku melihat dia, kalian boleh langsung pergi ke rumah keluarga Liong."

Lekas sekali kuda Ing Siu-goan sudah dibedal tiba, jaraknya tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera menarik kendali serta memutar balik, bentaknya: "Kami adalah petugas yang sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani main terjang?"

Ing Siu-goan tidak menjawab, dia malah tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan. Tan Ciok-sing kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos pedang, dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang berkelebat, dia lindungi tubuhnya. Tak nyana sebelum senjata rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata rahasia itu sudah meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju dan kepala Tan Ciok-sing. Kiranya senjata rahasia adalah sebutir lempung.

Tergerak hati Tan Ciok-sing, di saat dia melenggong, In Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tan Siau-hiap, selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya kau tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk jalan bukan?"

Kaget dan terbeliak senang Tan Ciok-sing dibuatnya, tapi hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan Gi-lim-kun mau membantu mereka?

Tiba-tiba Han Cin tertawa, katanya: "Ah, aku sudah mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan Gi-lim-kun tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir saja akupun kena kau kelabui."

Ing Siu-goan tiruan tertawa lebar, katanya: "Han Lihiap memang seorang ahli, sekali pandang lantas tahu kalau aku ini tiruan."

"Sebetulnya akupun tidak bisa membedakan, cuma kulihat seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak cocok dengan perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau kau tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun tidak yakin bahwa kau ini adalah Ing Siu-goan tiruan."

Orang itu tertawa, katanya: "Semoga tiruanku ini tidak konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."

Tan Ciok-sing senang, katanya: "Jadi Locianpwe sengaja menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat tua she Liong itu."

Mereka bicara sambil jalan, orang itu mendekatkan kuda tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan berjajar, katanya tertawa: "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan perguruanmu. Mungkin aku lebih tua beberapa tahun, biarlah aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap saudara Toan Kiam-ping sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona Han Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia hadis memanggil suheng kepadaku."

"Aku sudah tahu usiamu belum tua," ujar HanCin, "maka tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku tidak menyangka bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu sejelasnya siapakah kau sebenarnya."

Orang itu tertawa, katanya: "Namaku, kusebutkan kalian juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku, mungkin kalian pernah mendengarnya."

"Kepandaian saudara setinggi itu, gurumu tentu seorang cianpwe kosen yang pernah menggetarkan Kangouw." Demikian ujar Tan Ciok-sing, "Tolong saudara sebutkan siapa nama besar gurumu."

"Bicara tentang pengalaman berkecimpung di Kangouw, guruku masih jauh lebih lama dibanding jago pedang nomor satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat puluh tahun beliau memang pernah terkenal di kalangan Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak mendapat nama baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku menampiknya."

Seorang murid memberi komentar sedemikian rupa tentang gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing melongo.

Orang itu seperti tahu perasaan mereka katanya lebih lanjut: "Bukan aku sebagai murid berani bersikap kurang ajar terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak suka diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi orang-orang yang seangkatan dengan beliau sama beranggapan beliau adalah orang yang tidak lurus, tapi juga tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan kening, karena itu Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum persilatan mengecapnya jelek lantas dia malu diri."

"Sebanyak itu komentarmu," ujar Han Cin, "kukira sudah saatnya kau menyebut she dan nama gelaran gurumu."

Maka orang itu berkata: "Guruku she rangkap Siangkoan bernama Ling-hong."

Tengah Tan Ciok-sing berpikir, Toan Kiam-ping sudah berkata: "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok Tayhiap yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"

"Betul." Ujar orang itu, "beliau memang maling sakti nomor satu di masa itu, tapi tiada orang yang pernah memanggilnya Tayhiap."

"Tak heran kau bilang perguruanmu ada sedikit hubungan dengan perguruan kami." Demikian ucap Toan-Kiam-ping, "Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin belum pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini adalah teman karib gurumu semasa masih hidupnya dulu, beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang terkenal, yaitu pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."

"Aku adalah murid penutup guruku, di kala aku masuk perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar cerita orang lain."

"Asal-usulmu aku sudah tahu." Ucap orang itu, "kedatanganku ini justru karena mengingat hubungan perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau. Aku bernama Cin Tay-hun."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Cin-heng, mata singa baja penindih kertas di meja baginda itu dikorek orang, demikian pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini adalah perbuatanmu?"

"Betul, memang aku yang melakukan. Kepandaian tak berarti, harap tidak ditertawakan," demikian ucap Cin Tay-bun kikuk.

Tan Ciok-sing berkata: "Kali ini kau tidak mencuri pusaka raja, tapi teiah memberikan hadiah berharga dari Kim-to Cecu kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk di Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari perguruanmu, memang patut dipuji."

In San ikut menimbrung, katanya: "Cin-toako, jadi atas perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini? Sejak kapan kau datang ke markas? Kenapa aku tidak tahu?"

Maka Cin Tay-hun lantas bercerita. Ternyata selama hidup gurunya Biau-jiu-sin-tho

Siangkoan Ling-hong hanya suka mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda pusaka tak ternilai harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia pelajaran silat tingkat tinggi. Sampaipun buku-buku pusaka pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya. Oleh karena itu peduli golongan hitam atau aliran putih, pembesar, bangsawan atau orang kaya dalam kalangan Bulim, setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.

Sejak dia mengasingkan diri, hidup di pengasingan menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada muridnya: "Selama hidup terlalu banyak perbuatan jahatku, jarang berbuat baik dan bajik. Walau perbuatan jahatku tidak sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi perbuatan baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."

"Walau kejahatan besar tidak pernah dilakukan, perbuatan baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau dipertimbangkan antara yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih besar. Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap jelek, oleh karena itu hanya satu permintaan kepada kau, lakukanlah suatu kerja besar yang mengundang pujian orang banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus, supaya aku bisa tentram di alam baka."

Setelah menceritakan pesan gurunya, sengaja Cin Tay-hun berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam hati.

Toan Kiam-ping berkata: "Gurumu adalah seorang kosen aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik yang dia inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia yang luar biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan Kim-to Cecu?"

"Betul," ujar Cin Tay-hun, "walau guruku mengasingkan diri, selama empat puluh tahun lepas dari urusan Kangouw. Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya dengan baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan pasukan kecilnya berulang kali berhasil memukul mundur serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan juga diketahui dengan baik.

Maka beliau berpesan kepadaku: "Selama hidupku teramat banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan, aku ini bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka mengoleksi. Aku tahu hobbymu. tidak selaras dengan kesenanganku, maka benda-benda mustika itu tidak kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan seluruhnya kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli rangsum dan senjata. Sementara buku-buku pelajaran silat hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang bakatku terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai tiada satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah kau mempelajari buku-buku silat itu dapat tekun belajar dan hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang pernah kucapai. Cuma aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat untuk mendarma baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."

Tan Ciok-sing memuji: "Tindakan gurumu memang patut dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri untuk membantu yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah melakukan perbuatan buruk, pesannya kepadamu bila sudah dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala dosa-dosanya itu."

Tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah tiba diluar gedung pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong. Melihat wakil komandan Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam datang, sudah tentu orang-orang Liong Bun-kong amat kaget, lekas mereka berlari masuk memberi laporan.

Tak lama kemudian, pengurus rumah tangga keluarga Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut. Sa Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong Bun-kong, setelah Liong Bun-kong minta cuti, dia melihat gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon meletakkan jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bun-kong. Umpama Liong Bun-kong berhasil

mempertahankan jabatan tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk merehabilitir kedudukannya. Menjadi pengurus rumah tangga keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman, sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan pemerintahan, celaka bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di copot kedudukannya serta dijebloskan kedalam penjara.

Dengan mimik heran dan kurang percaya dia mengawasi Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun, katanya: "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit perintah raja kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan kepada Liong-tayjin?" Ternyata hubungannya dengan Ing Siu-goan biasanya amat baik, seperti saudara kakak beradik.

Melihat orang tidak bisa membedakan tiruannya, diam-diam Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana lazimnya orang berpangkat, dia berkata: "Surat perintah ini langsung diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat. Jangan kata aku tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua petugas inipun mereka tidak tahu. Lekas kau suruh tuanmu keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar baik yang menguntungkan dia."

Sa Thong-hay bersikap serba salah, katanya cemberut: "Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya. Harap para Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang Liong-tayjin keluar."

Dia bilang sebentar, tapi Tan Ciok-sing harus menunggu hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga kunjung keluar. Mereka tahu untuk menerima perintah raja siapapun diharuskan berdandan mengenakan pakaian kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap semestinya juga tidak akan selama ini.

Han Cin yang menyaru jadi petugas utama sudah akan marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.

Han Cin lantas membentak: "Liong Bun-kong, berlutut, terima firman baginda."

Liong Bun-kong berlutut seluruh tubuhnya mendekam, mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin: "Aku ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan? Kalian suruh aku berlutut malah kebetulan bagi aku."

Waktu kecil In San sering dolan ke rumah Liong Bun-kong, kini terasa wajah orang jauh lebih kurus . dan tua, namun bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut maka In San tidak menaruh perhatian lebih seksama.

Dengan suara lantang Han Cin membacakan firman raja. Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.

"Sekretaris negara merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong ada indikasi sekongkol dengan musuh menjual negara, membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama pejabat, korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata, bersama ini dinyatakan jabatannya dicopot dan harta bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri yang akan memeriksa perkara ini. Selesai."

Habis mendengar firman raja, perlahan-lahan Liong Bun-kong berdiri, katanya gemetar: "Tayjin, bolehkah aku memeriksa firman raja di tanganmu itu."

Han Cin gusar: "Liong Bun-kong besar nyalimu, berani kau mencurigai firman Baginda."

"Tidak berani," sahut Liong Bun-kong menjura, "menurut peraturan istana, sebagai pejabat tinggi aku berhak memohon grasi kepada junjungan."

Di antara lima orang, hanya In San kira-kira memahami tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak tahu apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong Bun-kong. Dalam hati dia membatin: "Firman raja itu memang bukan palsu, apa salahnya biar diperiksa olehnya?" Maka dia berkata: "Baiklah, biar dia memeriksa, Tay-wi, boleh kau serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."

In San tahu akan undang-undang ini, tapi kalau Liong Bun-kong tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana ini In San juga tidak akan ingat lagi. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang sudah dalam perhitungannya yang cermat. Andaikata Liong Bun-kong curiga dan menolak

mengembalikan firman, Tan Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.

Kungfu Tan Ciok-sing sekarang sudah setaraf jago kosen kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa dihitung dengan jari. Liong Bun-kong hanya pembesar sipil yang lemah berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal runyam.

Tak nyana perobahan kejadian selanjutnya justru jauh diluar dugaannya.

Di waktu serah terima firman dari tangan Tan Ciok-sing kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing merasa telapak tangannya kesemutan. Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh sekaligus terasa panas. Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat Lwekang yang paling sukar diyakinkan.

Bahwa Liong Bun-kong mampu menyalurkan Lwekang melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting di tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.

Mimpipun Tan Ciok-sing tidak pernah menduga bahwa pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan seperti Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini, jangan kata sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga melawan, umpama dia sudah mempersiapkan diri, juga mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang hebat ini.

Kejadian cepat sekali, tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik keras. Tan Ciok-sing telah diringkusnya terus ditutuk Hiat-to pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas kepala.

Kejadian diluar perhitungan, karuan In San, Han Cin, Cin Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.

"Sret" kontan In San mencabut pedang seraya membentak: "Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar dorna yang akan dibekuk atas perintah firman raja." Tan Ciok-sing disandera, In San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah dicabut, tapi dia tidak berani menusuk.

Baru'saja Cin Tay-hun hendak melabrak maju melancarkan kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja itu, tiba-tiba ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok ke atas kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki Ginkang tinggi telah dipendam di atas atap, setiap orang membawa segantang air penuh, di saat-saat menentukan itulah mereka menyiram air itu ke bawah.

Cin Tay-hun beramai sedang dalam pikiran kalut, betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga tak mungkin dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup. Demikian pula In San dan lain-lain juga kecipratan muka dan tubuhnya, sehingga penyamaran mereka terbongkar.

Liong Bun-kong tertawa tergelak-gelak katanya: "Betul, aku ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi kalian juga Thaykam dan Wisu palsu."'

Baru sekarang In San mengenali orang yang menyamar jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go, Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh In San bersama Tan Ciok-sing di pesta ulang tahun Ong Goan-tin di Thay-ouw tempo hari.

Cin Tay-hun membentak: "Sugong Go, kau kira kami menyamar petugas penyampai firman raja, kau salah. Firman itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina firman raja, meski kelak kalian bisa merat, bukan mustahil Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh kekayaan dan keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku tahu kau sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum kasep."

Hanya sekejap dari dalam memang keluar satu orang, tapi bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan besarmu, bukan mustahil kaupun memalsu firman raja?" Orang ini bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ing Siu-goan tulen.

Ternyata pengurus rumah tangga Liong Bun-kong yaitu Sa Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong Bun-kong, bersama Tang-hay-liong-ong mereka berunding mencari jalan keluar untuk menghadapi persoalan ini, maka akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda kilat mengundang Ing Siu-goan.

Cin Tay-hun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kenyataan memang sukar dibedakan yang palsu dan yang tulen, ada baiknya juga kita berkenalan."

Sembari bicara dia melompat maju, secepat kilat tangannya melancarkan serangan.

Pukulan Cin Tay-hun telak mengenai pundak orang, terasa pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas, mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga perlawanan lawan sontak timbul dengan hebat, sehingga telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan Sip-hiong-kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas menyerang, dia sudah bersalto beberapa tombak jauhnya.

Sebelum kakinya berdiri tegak, tangannya telah terayun, katanya tawar: "Firman raja itu dijatuhkan untuk Liong Bun-kong, kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong Bun-kong saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani menentang firman raja, atau merasa curiga akan firman itu, biar dia sendiri yang langsung menghadap baginda, tanyakan persoalannya supaya jelas."

Benda yang terayun di tangannya itu bukan lain adalah gulungan kertas yang berisi firman raja yang akan diberikan Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-hay-liong-ong, setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong menyerahkan kepada Ing Siu-goan.

Dalam gerakan secepat kilat menyerang Ing Siu-goan serta memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin Tay-hun masih mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik firman raja itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri menjublek. Sementara Ing Siu-goan sendiri kaget dan ciut nyalinya diam-diam dia berpikir: "Bila bocah keparat ini menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun, bukankah jiwaku sudah mampus sekarang."

Di kala hadirin menjublek itu, kembali Cin Tay-hun bergerak tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa Thong-hay, bentaknya: "Terimalah firman raja."

Saking kagetnya, secara reflek Sa Thonghay angkat kedua tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya seperti menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahu-tahu gulungan firman raja itu sudah disesepkan ke telapak tangannya. Karuan Sa Thong-hay gusar: "Anak keparat, berani kau

mempermainkan aku."

Dia tidak berani merusak firman raja, tangannya tak mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua kakinya menendang dengan serangan berantai. Sa Thong-hay adalah murid aliran Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian tendangan kakinya jauh lebih liehay dari ilmu pukulan.

Meski tendangannya secepat kilat, mana dia mampu menendang Cin Tay-hun? Hanya membalik setengah lingkar, kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping mata uang tembaga ke arah Tang-hay-liong-ong.

Senjata rahasia lempung menutuk Hiat-to yang diyakinkan merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya, kini dia ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan tepat. Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan gerak-geriknya, kuatir orang tahu-tahu menyerbu dan menggerayangi dirinya. Kini melihat mata uang menyerang dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng, namun harapannya ternyata gagal, ketiga mata uang itu seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan telak.

Cin Tay-hun sudah kegirangan, tak nyana tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak katanya: "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan cahayanya." Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu tiba-tiba secepat meteor melesat balik ke arah pemiliknya. Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan, ketiga mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik dengan daya luncur dan tidak kalah kencangnya. Kiranya Tang-hay-liong-ong meyakinkan Can-ih-cap-pwe-tiat, Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna. Bukan saja dia sudah melatihnya sampai menyentuh pakaian kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai Hiat-tonya ternyata mampu diritul kembali untuk menyerang pemiliknya.

Kejadian diluar tahu Cin Tay-hun, meski dia memiliki Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup runyam. Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya menggelundung di tanah, ternyata pantatnya tetap terkena juga oleh mata uangnya sendiri. Untung dia sudah menutup Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka apa-apa.

Sebetulnya Tang-hay-liong-ong tengah bergelak tawa, entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung sekeras-kerasnya, Tan Ciok-sing yang sudah menjadi tawanannya tiba-tiba dilempar.

Lwekang Tan Ciok-sing memang tidak setangguh Tang-hay-liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki segi¬segi lain yang menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya, yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to maksudnya tenaga tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah ke tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to yang tertutuk itu pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu singkat. Ilmu ini tiada bedanya dengan cara mengerahkan hawa murni menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan Hiat-to.

Di waktu mata uang Cin Tay-hun mengenai tubuh Tang-hay-liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun sudah bebas. Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh Tang-hay-liong-ong. tubuh bagian atas tak mampu mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan, tapi kedua kakinya masih bebas bergerak. Sekali ujung kakinya menendang, dengan telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut Tang-hay-liong-ong.

Lwekang Tan Ciok-sing sudah tentu jauh lebih tinggi dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong memiliki ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak urung merasa kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan menabok batok kepalanya.

Kejadian diluar dugaan, sergapan mendadak lagi, demi menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa pikir, terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.

Lwekangnya memang teramat tangguh, dalam sekejap, hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiau-hiat yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di bagian tubuhnyapun sirna seketika.

Sambil menggerung gusar segera dia menubruk maju, maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing. Sudah tentu In San tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong, Ceng-bing-kiam sudah bergerak menghadang di depan Tan Ciok-sing.

Begitu Tang-hay-liong-ong ulur tangan mencengkram. "Cret" tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas sobek, di tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju itu hancur beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak lekas menarik tangannya, jari-jarinya pasti sudah terpapas putus oleh pedang mustika itu.

Kungfu Tang-hay-liong-ong sebetulnya jauh lebih tinggi dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa, dengan tangan kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia pasti tidak akan dirugikan. Tapi baru saja Hiat-' tonya bebas, geraknya kurang leluasa, maka hampir saja dia terluka oleh In San.

Baru saja Cin Tay-hun gunakan keledai malas menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan berantai Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke tubuhnya.

Secara kebetulan, Tan Ciok-sing yang dilempar Tang-hay-liong-ong dengan daya lempar keras itu tepat meluncur ke arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi. "Biang" sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran, mendadak tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan Ciok-sing, tubuhnya terbanting keras, kepala bocor membentur lantai.

Tang-hay-liong-ong meraung gusar: "Bawa kemari senjataku." Dari dalam berlari keluar empat busu keluarga Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus Tang-hay-liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak melempar sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong. Sementara itu Tan Ciok-sing sudah keluarkan senjatanya berdiri jajar bersama In San.

Setelah menyekal sepasang senjatanya, Tang-hay-liong-ong membentak: "Baiklah, dengan sepasang gamanku ini kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai keinginan kalian, bertanding secara adil satu babak."

"Kau seumpama seorang jendral yang telah kalah perang di medan laga, kalau tidak terima, apa halangannya bertempur sekali lagi?" demikian ejek Tan Ciok-sing.

Tang-hay-liong-ong gusar, dampratnya: "Tempo hari kalian menang dengan akal licik, masih berani juga bermulut besar? Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."

Maka terdengarlah dering ramai dari benturan keras antara sepasang pedang dengan Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong, benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api berpijar benderang.

Dengan kertak gigi Tang-hay-liong-ong bertekad merebut kemenangan untuk membalas kekalahannya di Tong-thing-san tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang pernah dia yakinkan pada sepasang senjatanya dia boyong seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh lebih hebat dari dulu.

Makin lama pertempuran tiga orang ini makin sengit, serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata. Tanpa terasa dalam arena setombak lebih di sekitar gelanggang terjalin pusaran angin kencang sehingga orang lain tidak berani maju mendekat.

Di saat pertempuran kacau balau berlangsung, tiba-tiba dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan Ciok-sing kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak buah Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok Khong-goan, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay adalah dua perwira tinggi yang paling setia kepada Liong Bun-kong.

Sikap Ciok Khong-goan kelihatan tegang dan gugup, katanya: "Sugong-thocu,

mengingat nona In ini pernah ada hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau supaya hubungan tidak retak, maka diberikan kelonggaran supaya kau memberi kesempatan untuk mereka pergi. Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau dipanggil untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu dihiraukan lagi."

Sudah tentu Tan Ciok-sing heran mendengar perkataan Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia teringat akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun bubarlah.

Setelah bertempur sekian lamanya, tetap tak berhasil mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Tang-hay-liong-ong juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan mengundurkan diri, mendadak dia menggertak sekali terus putar tubuh.

Hawa amarah membakar dada In San, teriaknya: "Bangsat tua she Liong, kalau berani kau keluar. Keluargaku telah kau bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias dendamku."

Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya: "Nona In, lekas kau pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin adalah..."

Belum habis dia bicara In San sudah melabraknya dengan menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.

Lekas gaman 'di tangan kanan Tang-hay-liong-ong diangkat dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya: "Budak tidak tahu di untung, kau..." "Trang" api berpijar, dengan gerak burung dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke belakang.

Tan Ciok-sing kaget, lekas dengan jurus Tiang-hong-king-thian, sinar pedangnya tampak berkembang memanjang tak ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara Tang-hay-Liong-ong dengan In San.

Dalam sekejap itu Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya silir semilir, ternyata di waktu In San jumpalitan mundur, dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah dipapasnya secomot. Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri menghadapi Tan Ciok-sing, In San bahwasanya tidak dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut di atas kepalanya karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa banyak bersuara lagi, lekas dia merat kedalam serta menutup pintu.

Waktu Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya ujung kaki In San baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali, tak usah Tan Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula. Melihat kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.

"Adik San, seorang Kuncu membalas dendam sepuluh tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua itu sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun lagi, biarlah kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar bangsat tua itu hidup lebih lama."

Setelah tenang gejolak perasaannya. In San juga maklum, untuk menuntut balas seketika terang tidak mungkin. Pikirnya: "Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua itu, tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi, masih menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang untuk menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat. Sekarang lebih penting kami meloloskan diri." Maka dia manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka membuka jalan, setelah bergabung dengan Toan Kiam-ping, Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang keluar dari rumah keluarga Liong.

Tengah mereka melarikan diri, tiba-tiba tampak dari depan datang serombongan barisan kuda membawa panji Gi-lim-kun, dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda tinggi gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng. Jabatan kedua orang ini sejajar dan setingkat, tapi lantaran tugas masing-masing berbeda,

sepantasnya Hu Kian-seng menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia pernah keluar istana meninggalkan tugasnya. Kini justru bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan menuju ke rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.

Ada pula kejadian yang lebih mengejutkan hati Tan Ciok-sing, tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar mengudak kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di sawah ladang yang baru saja panen.

Cin Tay-hun membentak: "Apakah Gi-lim-kun memang digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum jembel)? Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."

Dandanannya sekarang masih menyamar Ing Siu-goan sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga tampangnya kelihatan lucu dan menggelikan, tapi perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun. Demikian pula Tan Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih berpakaian wisu, sementara In San dan Han Cin berpakaian Thaykam.

Melihat rombongan mereka, sudah tentu anggota Gi-lim-kun merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah ada yang berteriak: "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."

Tapi lain pandangan Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas Bok Su-kiat membentak: "Kurcaci bernyali besar, di hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu tiruan semuanya, hayo tangkap."

Maksud Cin Tay-hun dan Tan Ciok-sing memang hendak memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Semalam kami sudah bertemu, seharusnya kau maklum bahwa petugas seperti diriku ini bukan tiruan."

Hu Kian-seng melengak, bentaknya: "Omong kosong, hari ini kau harus diringkus." Di mulut dia bersikap garang, namun dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya?

Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen yang harus menjalankan firman raja.

Dalam keadaan kebat kebit Cu Kian-sin semula masih bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana. Setelah Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya, umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi, hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.

Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan. Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar, betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.

Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu. Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong Bun-kong.

Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong, bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondong-bondong menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bun-kong secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong. Sa Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan Ciok-sing pula. Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka, sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah kepergok dengan Tan Ciok-sing.

Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaok-kaok - terus menyerbu. Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.

Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocar-kacir, dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya. Sudah tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.

Bok Su-kiat gusar, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku ringkus dia."

Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur. Dari seorang anak buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.

Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar lagi, maka tombak itu mendesing kencang. Cin Tay-hun sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak mata dan menyengir hidung, teriaknya: "Haya celaka, kau tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu," tiba-tiba tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda, tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda. Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak kuda lagi.

Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya: "Bangsat cilik, lari kemana kau," mengeprak kuda segera dia mengudak.

Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tay-hun. Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiong-liong-jut-hay. Sekuat tenaga dia menusuk. Lwekang Toan Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis dengan pedang, "Trang" lelatu api berpijar. Ceng-kong-kiam di tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung. Melihat gelagat tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.

Pertempuran berjalan seru alias setanding.

Siang-kiam-hap-pik Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kian-seng lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan Han terus menerjang keluar dari kepungan.

Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng membisikinya: "Biarkan mereka pergi."

Bok Su-kiat melengak, katanya: "Kukira bocah itu sudah kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan meringkusnya?"

Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum: "Keluar rumah harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak menguntungkan kita, biarlah, mereka pergi saja."

Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah paham maksud Hu Kian-seng, katanya: "Betul juga, kita mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bun-kong, biarlah bocah-bocah itu pergi saja." Segera dia memberi aba-aba menarik pasukannya.

Setiba Tan dan ln di atas gunung, sementara murid-murid Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan. Murid Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.

Cin Tay-hun tiba-tiba berkata: "Aku ingin pulang ke rumah keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."

"Seorang diri terlalu Bahaya bagi dirimu," ujar Tan Ciok-sing.

Cin Tay-hun tertawa, katanya: "Berkelahi dengan orang, aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bun-kong. Bila jejakku konangan, aku akan segera lari."

Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya: "Baiklah, kau harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di markas lagi."

Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua. Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tay-hun, tiba-tiba Liok Kun-lun membentak: "Kalau kawan boleh silakan masuk," belum lenyap suaranya terasa angin berkesiur, api lilin bergoyang-goyang.

Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun?

"Cin-lote, hebat Ginkangmu," puji Liok Kun-lun tertawa.

"Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan hormat kepada Cianpwe."

Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Gurumu Siangkoan Ling-hong setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun. Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak'berani terima."

Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira.

Cin Tay-hun mulai berceritera: "Pasukan Gi-lim-kun itu ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."

"Apa benar?" Liok Kun-lun kaget, "jadi Liong Bun-kong telah ditangkap mereka?"

"Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkap? pasukan Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."

Lim Ih-su berkata: "Kalau demikian mana boleh dikata mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."

Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa: "Agaknya mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang tanggung."

"Kepalang tanggung bagaimana?" tanya Lim Ih-su.

Liok Kun-lun menjelaskan: "Karena terdesak oleh situasi, terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kamprat-kampratnya bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak terjadi apa-apa."

Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya: "Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu harus kita bekuk."

In San berkata: "Bangsat tua itu adalah musuh besarku, hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada aku dan Ciok-sing."

"Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan diri?"

In San berkata: "Kukira dia tidak akan berani lari ke kampung halamannya."

Cin Tay-hun berkata: "Aku sembunyi di hutan di belakang gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa kedua orang ini?"

"Kurasa dia bukan orang sembarangan." ujar Tan Ciok-sing.

"Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."

"O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota raja, dia tetap menyembunyikan diri."

In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian: "Dia sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjaga-jaga menghadapi bencana hari ini."

"Pendapatmu betul," ujar Cin Tay-hun, "Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-lim-kun yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."

Lok In-hu berkata: "Sebulan yang lalu keparat Liong Seng-bu kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan hidup, boleh juga dia."

"Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah, kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."

"Kurasa tidak sukar kutebak," ujar Lok In-hu, "justru karena dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang Gun-ngo?"

"Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."

Lok In-hu bertanya: "Lalu bagaimana pendapatmu?"

"Menurut yang kutahu," ujar In San, "biasanya Liong Seng-bu menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."

Liok Kun-lun menimbrung: "Maksudmu Liong Seng-bu punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."

"Betul, begitulah dugaanku," sahut In San.

"Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat," ujar Cin Tay-hun, "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu, kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia," lalu dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan dengan terperinci.

Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya: "Kecuali sekongkol dengan bangsa asing,

Liong Bun-kong ternyata sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris negara dia memanfaatkan fasilitas maka kekuatan tentara pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."

"Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku hanya berhasil mencuri selembar saja," demikian tutur Cin Tay-hun. •

"Poyang Gun-ngo memapahnya jalan," demikian ujar Lok In-hu, "bagaimana kau bisa turun tangan?"

Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang banyak tertawa terpingkel-pingkel.

Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan, tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun, secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.

Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira, sudah tentu dia menjadi blingsatan.

"Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku, maka mengutus kemari menemui aku?" Demikian bentak Poyang Gun-ngo.

Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung, katanya: "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar pemimpin kita? Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."

Poyang Gun-ngo berpikir: "Kiranya orang linglung, tak heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi." Sekali pukul dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya: "Aku ini Busu kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bok-jongling kalian." Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya: "Oh. ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku salah mengenalmu," sengaja dia pura-pura mau menjilat kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia telah kembangkan kepandaian copetnya.

Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun berkata: "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini tidak kita pikirkan sebelumnya."

Lim Ih-su berkata: "Betul, melihat gelagatnya, kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."

Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong Bun-kong.

Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan, terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin berat untuk berpisah. Toan dan Han akan kembali ke Tayli, sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.

Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata: "Kek-jithiap, Toh Lihiap, apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu Jiu-ceng?"

"Betul," Toh So-so menjawab, "putranya Kangouw Longcu Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"

"Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu Yau-hong bergelar Yan-Io-sai bernama Bing Lan-kun, adalah gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian, kalian harus hati-hati."

"Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hati-hati," kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia tertawa, katanya pula: "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu lagi."

Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian hari pun telah terang tanah.

Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat naik kuda ke utara.

Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong Bun-kong atau menemukan jejak mereka.

Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu kota Tay-tong.

Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah menghentikan usahanya. Setelah malam tiba tentara negeri yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk yang melancong di jalanan.

Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah tentu In San amat rindu dan haru. Rumahnya sudah disegel, harta peninggalan ayahnya juga disita habis.

Waktu memasuki kota hari mulai petang. Tan Ciok-sing mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata: "Tak usah cari penginapan."

Tan Ciok-sing maklum, katanya:

"Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang. Tapi kemana kita harus berteduh?"

In San tertawa, katanya: "Kau lupa rumahku ada disini?"

"Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang sudah dilelang."

"Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang lain, nanti kita cari tempat lain."

Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak dijaga.

Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh rumput dan alang-alang liar. Waktu In San masuk ke kamar tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.

Kaget dan riang hati In San, katanya: "Agaknya ada orang sering membersihkan rumah ini."

Tan Ciok-sing berkata: "Rumah yang telah disegel masakah mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup mencurigakan."

In San tertawa, katanya: "Kita toh hanya menginap semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih mending dari pada menginap di hotel."

Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah ln San. "Eeh, mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang bernyali sebesar ini?"

Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara yang sudah dikenal berkata: "Rumah keluarga In ini kusuruh walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku ternyata dipatuhi dengan baik. Ai, tapi sekarang aku..." yang bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu Liong Seng-bu.

Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu, meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini baik-baik. Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan senang.

Sekarang ln San memang kaget dan senang, rasa senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.

Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu ketemu tanpa membuang tenaga. Bangsat kecil yang dicari jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya sendiri.

Maka seseorang berkata: "Buat apa Kongcu susah, musibah yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup senang dan foya-foya? Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut, pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka," logat bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong.

Suara lain yang sudah dikenal bersuara: "Ting-congping yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan tangan terbuka," orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari Huwan bersaudara.

Liong Seng-bu tertawa getir, katanya: "Situasi sekarang beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat, kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan baik masa lalu?"

Huwan Liong berkata: "Justru karena berita yang dia peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau Kongcu?"

"Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang, kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In semalam saja."

Huwan Liong tertawa, katanya: "Kongcu memang berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada menginap di hotel," sembari bicara mereka sudah memasuki ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin jalan di sebelah depan.

Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu, bentaknya: "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, alehirat tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?" tampak In San berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang. Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.

"Kongcu lekas lari," teriak Huwan Liong gugup.

Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya, "ting, ting, ting" secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang membentuk barisan.

Poyang Gun-ngo berteriak: "Kongcu, kalau kau tidak bisa lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi mengundang bantuan," dia kuatir Tan dan In tidak akan membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu, pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di sakunya.

Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.

Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan pedang Huwan bersaudara yang terpental balik. Dengan jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong lagi.

Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, ln San sarungkan kembali pedangnya, katanya: "Inilah ganjaran setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana ini patut kalian jadikan contoh."

Tan Ciok-sing menambahkan: "Mengingat kalian hanya diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah silakan kalian pergi."

Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura, katanya: "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat siauhiap,

selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan Kangouw lagi."

Hari hampir terang tanah, In San menghela napas, katanya: "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja," dengan perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.

"Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita mampir ke markasnya memberi laporan."

Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apa-apa, bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan, bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya: "Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu, tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak terima kasih kepadamu."

"Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala? Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin kulaporkan kepada Cecu."

Kim-io Cecu tertawa, katanya: "Sudah logis kalau urusan tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah kita bicara didalam saja."

Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan

pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda, serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.

Kim-to Cecu berkata: "Bukankah kalian hendak meluruk ke Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana? Aku tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira belum tiba saatnya."

In San berkata: "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa bertemu orang yang kenal kami."

Tan Ciok-sing bertanya: "Situasi terakhir bagaimana? Mungkin terjadi peperangan pula."

Kim-to Cecu berkata: "Watsu baru saja mefngalami kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi lagi."

"Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."

"Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara seperguruanmu?" tanya Kim-to Cecu.

"Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru, kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."

Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya: "Ya, memang sepantasnya." Lalu menambahkan, "Toa-suhengmu Toh Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu' meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang baik."

Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu teringat seseorang, katanya: "Kebanyakan rakyat Watsu dan bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian berusaha menemuinya."

Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.

Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir, kini mereka berada di dunia salju.

Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju, bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit, di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak airnya mengalir. Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau sungai es.

Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang belum pernah mereka lihat. Di saat mereka menjublek itulah, tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula tunggal berkulit putih. Perawakan badak putih ini jauh lebih besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Ciok-sing lihat.

Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.

Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi, "Tar, tar". Dua kali cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana. Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya.

Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si badak.

Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak, berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk.

Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan main terjang membabi buta. "Biang" akhirnya menumbuk batu besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting hancur.

Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas dan tidak mampu merangkak bangun. Lekas Tan Ciok-sing memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang baru saja dipelajari: "Badak liar itu sudah mati, sudah aman, kau..." tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.

Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing, "katanya dengan bahasa Han yang fasih: "Tan-toako kau masih ingat padaku? Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara, sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."

Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas sebagai duta rahasia. Hari itu bersama anak buahnya dia bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan Tan Ciok-sing kebetulan Tan Ciok¬ sing menangkap seekor burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-li-ang (merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.

"Siau-ongya, kau baik." Sapa In San dengan tertawa.

Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya berkata dengan tertawa: "Tan-toako, temanmu ini ternyata seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya lagi," seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu In San menyamar laki-laki.

In San keluarkan kipas lempit gagang emas itu, katanya sambil diacungkan: "Kado yang kau berikan kepada Tan-toako, dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."

"Ah, terhitung apa," ujar Siau-ongya, "kipas itu pemberian raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako." Sejak kecil dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga amat lancar.

"Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?" tanya In San.

Siau-ongya bertanya: "Apakah kalian perriah dengar suatu dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"

"Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu hanya dongeng saja," ujar Tan Ciok-sing.

"Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan memang ada."

Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing jadi heran, tanyanya: "Dari mana kau tahu?"

"Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."

Maka dia menceritakan kejadiannya: "Sudah lama aku mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri, tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak itu aku tak berani menyinggung soal itu.

Tapi semakin dilarang semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang, orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diam-diam aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."

Tan Ciok-sing berkata: "Sekarang kau telah melihat puncak salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau pulang saja."

Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela napas: "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari penolong? Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Umpama kami pergi ke Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."

Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya: "Iya, kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo, ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."

"Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal ingin mohon bantuanmu."

"Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku sedang bingung bagaimana harus membalas budi pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan, apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat kemampuanku."

"Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan dengan aku disini."

"Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."

Kuda yang ditunggangi siau¬ongya adalah kuda perang yang sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak, tampak dia sudah lari keluar dari hutan. Siau¬ongya segera cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.

Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka. Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah dikepung tiga orang berkedok yang lain.

Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang. Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak: "Aku tidak salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian mengudak dan hendak membunuhku?"

Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"

Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak kudanya memburu kesana.

Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si pemuda. Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya tepat waktunya. Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan mengadang di depan orang berkedok. Melihat Ginkang orang ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang seraya membentak: "Biar kutabas cakar anjingmu."

Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya sukar menghindar. Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.

Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya

menggunakan Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh itu. Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram, sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe, sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh lawan.

Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan Tan Ciok-sing, segera dia kabur. Sayang tusukan Tan-ciok-sing tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat keliehayan Kungfunya.

Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat dia mengudak, teriaknya: "Adik San..." dia ingin supaya In San mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan orang itu sudah mati. Mati dibunuh oleh teman si pemuda.

Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya, entah bagaimana, mendadak dia meraung serta memperlihatkan

kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka. Orang ke empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak: "Buyung Ka, kau..." "Bles" tahu-tahu pedang sudah menusuk jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang itu.

Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu memperkenalkan diri: "Aku bernama A Kian, terima kasih akan pertolongan Congsu..." belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget: "Hah, kiranya kau..."

"Siau-ya," sentak temannya itu, agaknya dia berusaha mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu.

A Kian tertawa, katanya: "Dia tuan penolong jiwaku, kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."

"Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu," ujar Tan Ciok-sing.

"Kau orang Han bukan?" tanya A Kian, "kau juga tahu Yu-hian-ong?"

"Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu." Dalam hati diam-diam dia tertawa, "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh besarnya."

A Kian segera memperkenalkan orang itu: "Dia ini Wisu ayahku, bernama Buyung Ka."

Buyung Ka berkata: "Terima kasih akan pertolonganmu kepada Siauya," sembari bicara dia ulur tangan berjabatan tangan.

Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang. Buyung Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen, tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga tidak kerahkan tenaga balas menyerang. Sebagai ahli silat, dia insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi, lekas dia lepas tangan dan berkata: "Kagum, kagum."

A Kian kegirangan, katanya: "Apa kalian mau ke Holin?"

Tan Ciok-sing mengiakan.

"Ada urusan apa?"

"Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."

A Kian kegirangan, katanya: "Ayah memang sedang mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."

Lekas Tan Ciok-sing berkata: "Kebetulan malah bagi aku yang sedang nganggur ini," dalam hati dia membatin: "Tanpa membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."

"Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?" tanya A Kian.

"Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu ternyata Jendral Abu."

"Betul," ujar A Kian.

"Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana disini aku bertemu dengan Kongcu."

"Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."

"Dia adikku," Tan Ciok-sing memperkenalkan.

"Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain, terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."

Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut bersikap baik pula.

"Siauya," ujar Buyung Ka, "kejadian hari ini, sepulangmu nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."

"Aku tahu," sahut A Kian, "Tan-heng, tolong kalianpun ikut merahasiakan kejadian ini."

Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya: "Entah boleh tidak aku bertanya?"

"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan," kata A Kian "Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau merasa heran bukan?"

Tan Ciok-sing manggut-manggut.

"Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun merasa diluar dugaan."

Kuda Tan Ciok-sing dan In San adalah pemberian Kim-to Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka sudah tiba di Holin.

Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang Han pembantu tuanya keheranan, katanya: "Lo-ciangkun sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya, mari kau kutemani mengundang beliau."

"Kenapa susah-susah." Ujar A Kian, "kedua orang Han ini adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan, ayah tidak akan menyalahkan aku." Lalu A Kian menoleh kepada Tan Ciok-sing, "sepuluh tahun bagai satu hari, bila ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali," lalu dia bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.

Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti disambar lesus.

Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun banyak

ragamnya, diam-diam dia berpikir: "Jikalau dia bukan seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran, "walau belum pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek, lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat dijajaki.

Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu, "Cras" tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong.

Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji: "Ilmu golok bagus."

Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya: "A Kian, kau sudah kembali. Saudara ini..."

"Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak." Kata A Kian.

Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba: "Anak Kian, keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."

"Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama adikmu ini datang ke Holin?" tanya Abu.

"Bicara terus terang," kata Tan Ciok-sing, "kami adalah teman baik Kim-to Cecu."

Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya: "Sudah lama aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada kesempatan bertemu."

"Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia membicarakan Ciangkun dengan kami."

"Apa yang dia katakan?"

"Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan dan pengetahuan paling luas."

Abu geleng-geleng, katanya ramah: "Kim-to Cecu terlalu memuji aku."

"Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun, apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus dipuji."

"Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para leluhur kita." Demikian kata Abu, "walau kami belum pernah datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa Han kalian."

Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping ayahnya, katanya: "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku."

Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya: "Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang masih ada keturunannya?" . .

Tan Ciok-sing melengong, katanya: "Pengetahuan wan-pwe masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum pernah kudengar."

Jendral Abu menghela napas, katanya: "Kalau begitu tentu sudah putus turunan." Lalu bertanya pula: "Dalam kalangan Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah Hong-in-lui-tian?"

Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini, pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Ciok-sing tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah tentu belum pernah dengar.

Malah In San yang teringat, katanya: "Kisah Hong-in-lui-tian aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul tidak?"

"Betul," sahut Abu.

"O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."

"Hong adalah Hong Thian¬ yang, pernah menciptakan Cui-hong-to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan, terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui, Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian)

"Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"

"Apa dia bukan orang Han? Ayah tidak menjelaskan, mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."

"In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita," demikian tutur Abu.

"In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han, dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang dicintainya."

Tergerak hati In San dia mengerti, katanya: "Ciangkun, ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan Hong Tayhiap?"

"Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan. Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong, selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus demikian saja."

In San berkata: "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai sekarang masih ada keturunannya."

Abu tertawa, katanya: "Persahabatan antar bangsa yang kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus Kim-to Cecu?"

"Bukan," ujar In San, "tapi tujuan kami kali ini pernah kami utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana kami."

"Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana kedatangan kalian?"

"Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun," sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada LiongBun-kong sehingga tiba di Holin.

Abu berkata: "mereka memang sudah sampai di Holin, kini tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu undangan Khan Agung untuk menghadapinya."

"Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan pasukan menyerbu ke Tiongkok."

"Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hian-ong adalah orang yang paling getol menyuarakan perang, kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."

Kata A Kian menggertak gigi: "Manusia rendah yang menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan bencana oleh peperangan itu."

In San bertanya: "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa Ciangkun sudah tahu?"

"Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."

"O, lantaran apa namanya begitu tenar?" tanya In San.

"Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan Khan Agung."

Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.

"Tang-hay-Iiong-ong telah pamer kepandaiannya yang hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama pertandingan manusia dan binatang itu diadakan." Demikian tutur Abu.

"Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong memang tidak perlu membuang banyak tenaga."

"Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia bertanding satu persatu dengan delapan belas jago pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang menang.

"Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam kepadanya."

"Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan Tang-hay-liong-ong."

"Bagaimana akhir dari pertandingan itu?" tanya In San ketarik.

"Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.

"Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu, Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk memperdalam ilmu silat."

In San bertanya: "Kalau demikian, sekarang dia tidak serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hian-ong?"

"Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas dia tidak akan kembali."

"Itu lebih baik," ujar In San tersenyum.

Abu melengak, tanyanya: "Maksudmu akan, akan..."

"Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara, bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hay-liong-ong yang

berkepandaian tinggi tidak berada di sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."

Abu diam menepekur, A Kian berkata: "Ayah, tadi kau bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka, sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah menguntungkan kita semua."

"Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya, kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."

"Kenapa," teriak A Kian, "Ayah, berulang kali dia memfitnah hendak mecelakai kau, apa kau lupa? Tadi diapun suruh anak buahnya membunuh aku."

"Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi, mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hian-ong mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku? Aku tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah kita bertindak demikian?"

"Analisa Ciangkun memang benar," ujar In San, "kami tidak akan merembet Ciangkun."

"Jangan kalian berprasangka," ujar Abu, "bukan aku mau mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali, dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas, maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa memberi bantuan apa-apa."

"Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."

"Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di rumahnya tidak sedikit jumlahnya."

"Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi," kata Tan dan In bersama.

"Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu, umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu. Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liong-ong belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."

Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang seluk-beluk gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.

Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hian-ong. Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan, syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga penyamaran mereka tidak konangan orang.

Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap, malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.

Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk melaksanakan keinginannya.

Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yu-hian-ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru masuk dari titik kelemahan mereka itu.

Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup kedalam kebon.

Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan sungguh diluar dugaan Tan dan In. Menurut penjelasan pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia menyimpan surat-surat penting.

Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun susah dibedakan, kemana mereka harus mencari. Apalagi tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong, juga tidak perlu mencarinya.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita mengadu nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya." Dengan munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar api menyorot keluar.

Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga. Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela, dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang itu adalah Siau-ongya.

Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri: "Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini kepada ayah?" Seorang diri dia menggumam di atas loteng, suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas.

Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In San: "Mari kita menyerempet bahaya." Dengan gerakan burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara.

Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka, seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan menjublek. "Kau, kau adalah..." sebelum dia sempat mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya, bisiknya: "Jangan teriak, inilah aku."

Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing, mana dia berani berteriak. Cepat sekali In San sudah menyusul naik ke atas loteng.

"Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami sebagai sahabat," demikian ucap Tan Ciok-sing, "bicara terus terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi membantu kami."

Siau-ongya kaget, katanya: "Ada urusan apa? Apakah, apakah..."

"Apakah, kenapa?"

Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.

"Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"


"Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan, apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"

"Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu malah?"

Legalah hati Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, kau adalah tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku, urusan apapun aku akan senang membantumu."

"Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami akan membunuhnya?"

"Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di hadapan ayah."

"Siapa orang yang mengadu biru itu?"

Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar suaranya."

"Apa yang dikatakan orang itu?"

"Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi, katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako, mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"

Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga, katanya: "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus segera kita laksanakan."

"Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung kediaman kami?"

"Betul."

"Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan, bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat itu adalah..."

"Ketiga tempat itu kami sudah tahu." Tukas Tan Ciok-sing, "kami bukan ingin membunuh ayahmu, sudah tentu kami juga harus menghindari bahaya."

Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"

"Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana tempat tinggal Liong Bun-kong?"

"Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou, nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"

"Baiklah, kami akan mencarinya kesana." Tiba-tiba Siau-ongya teringat sesuatu, katanya: "Bila lewat kentongan ketiga, kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali saja."

"Kenapa?"

"Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga keluargaku."

"Apa yang mereka rundingkan?"

"Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung, Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah mendekati magrib..."

In San bertanya: "Ayahmu menghadap Khan Agung, apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"

"Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling lambat sebelum kentongan ketiga pasti pulang." "Lalu kenapa?" "Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang, kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan, terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu, tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jago-jago silat tinggi? Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."

"Terima kasih akan pemberitahuanmu ini." Kata In San tertawa, "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak akan datang kemari."

Setelah meninggalkan Siau-ongya. Tan .Ciok-sing melihat cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka datang tadi.

Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju ke Hi-hi lou. Di tengah jalan In San berbisik: "Menurut dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"

"Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita curigai itu."

"Mulai, satu, dua, tiga..." berbareng dengan suara lirih mereka menyebut 'Buyung Ka’.

"Lalu bagaimana baiknya? Di samping Jendral Abu ada sembunyi seorang musuh yang berbahaya."

"Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain boleh dikesampingkan dulu."

In San menarik lengan bajunya, bisiknya: "Sssst lihat sana."

"Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan Ciok-sing senang, katanya: "Betul, Hi-hi-lou ada disana." Kata-katanya dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping mereka juga tidak akan mendengar.

In San berkata: "Kalau Yu-hian¬ong sudah mengatur perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan mustahil juga ada perangkap."

"Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tang-hay-liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu, umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat menandingi kita, takut apa." Sekenanya Tan Ciok-sing menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.

"Daaar!" mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung loteng sebelah sana ternyata runtuh. Mungkinkah sebutir batu kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu? Ternyata di atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang akan selamat tiba di atas loteng. Belum lenyap gema ledakan keras itu, panahpun melesat selebat hujan. Bila seseorang betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan, juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.

Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak: "Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan.

Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala senja.

Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil, dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik, dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya.

Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gunung-gunungan menyusup kembang menghindari bentrokan dengan kawanan Wisu terus melarikan diri.

Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang tiada penjagaan.

Legalah hati In San, tanyanya: "Sing-ko menurut pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"

"Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau curiga?"

"Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan Agung?"

"Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."

"Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"

"Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk ke istana menghadap Khan Besar?"

"Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat dipercaya."

Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.

Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk menentramkan

Jilid 16



dan menangkap kembali kuda yang terlepas, Tan Ciok-sing mendengar salah seorang petugas menggerutu: "Malam ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar, baru saja mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang telah terjadi, celakanya aku telah tidur nyenyak."

Belum habis dia menggerutu tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk Hiat-tonya oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan: "Kau, kau siapa?" Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol, petugas itu kira orang sedang berkelakar dengan dirinya.

Dengan bahasa Mongol Tan Ciok-sing menjawab: "Aku adalah pembunuh."

Karuan petugas itu ketakutan, ratapnya: "Aku hanya bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."

"Kalau kau bicara jujur, aku boleh mengampuni kau, kalau tidak... coba lihat." Begitu dia layangkan kakinya, enam batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal kena disapunya runtuh patah enam batang.

"Hohan, kau, kau ingin tahu apa? Hamba akan menerangkan setahuku."

"Adik San, kau saja yang tanya." Ujar Tan Ciok-sing, bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka dia minta In San yang mengompres keterangan.

"Dengan siapa Ongya keluar?"

"Orang itu aku tidak kenal."

"Orang Mongol atau orang Han?"

"Agaknya orang Han."

"Satu di antaranya apakah usianya sudah lanjut?"

"Ada seorang yang sudah beruban rambut dan jenggotnya, pada hal usianya kira-kira baru enam puluhan."

"Kapan mereka meninggalkan istana?"

"Kentongan pertama."

"Kapan kembali?"

"Entahlah hamba tidak tahu, Ongya tidak memberitahu."

"Cukuplah, orang itu jelas adalah bangsat tua she Liong."

"Baiklah, kau boleh tidur nyenyak." In San tutuk Hiat-to penidur petugas istal, katanya: "Toako lekas kau pilih dua ekor kuda."

Mcncemplak kuda mereka lolos dari pintu belakang, meski disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu merintangi Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat gelagat, siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu yang lain semua ketimpuk batu sambitan Tan Ciok-sing dan tertutuk Hiat-tonya.

Di tengah kegelapan mereka menempuh perjalanan, kini cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap kelip, berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke depan. In San berkata: "Entah sudah kentongan ketiga belum?"

Dalam hal melihat cuaca Tan Ciok-sing lebih berpengalaman, katanya: "Bintang utara sudah berputar doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."

Tengah mereka mencongklang kuda, tiba-tiba terdengar derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah kereta ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana. Di depan kereta digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu cukup mewah dan besar, jelas bukan kereta milik keluarga biasa.

In San kegirangan, katanya pelan-pelan: "Pasti itulah kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu ada tidak dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."

"Jangan gegabah, kita tetap menyaru pesuruh keluarga raja, bertindak menurut gelagat." Demikian Tan Ciok-sing menganjurkan.

Kuda mereka berhenti di tengah jalan, kereta besar itupun dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata: "Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."

Kerai kereta tersingkap, kepala Yu-hian-ong muncul, katanya: "Siapa namamu, terjadi apa di istana?" Dirasakan suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah kepercayaannya. Tapi dalam istananya terlalu banyak orang, tidak mungkin setiap orang dia kenal, maka dia tanya dulu nama In San.

Ciok-Sing dan In San turun dari kuda serta menghampiri ke depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah berhenti serta membungkuk memberi hormat kepada Yu-hian-ong, sengaja In San pura-pura sengal-sengal, katanya tergagap: "Ada pembunuh membuat onar harap Ongya jangan pulang dulu, aku, aku adalah... " suaranya makin serak dan lirih sehingga Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi.

Yu-hian-ong tertawa tergelak gelak, katanya: "Sudah kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku, memangnya mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang mengompres mereka. Ha, siapa namamu, katakan yang jelas..."

Belum habis dia bicara, mendadak Tan Ciok-sing dengftn gerakan kilat telah menubruk rmyu mencengkram ke arah Yu-hiau ong.

Mimpipun Yu-hian-ong tidak menduga bahwa budak keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing. Yang duduk di sebelah Yu-hian-ong adalah seorang padri asing yang berperawakan kekar besar berkasa merah, gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan, "wut" tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing.

Merasakan samberan angin kencang, Ciok-sing tahu penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke atas, bentaknya: "Kalau berani, boleh pukul,"

Ciok-sing kira Yu-hian-ong berada di tangannya, betapapun padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya. Tak nyana tanpa ayal sambil mendengus dia membentak: "Kenapa tidak berani." "Biang" telapak tangannya dengan telak menggaplok punggung Yu-hian-ong.

Begitu padri asing ini bersuara Ciok-sing lantas kenal, dia bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu, Milo Hoatsu adanya.

Kejadian aneh sekali, pukulan Milo Hoatsu mengenai punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti diterjang arus badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul godam raksasa.

Milo Hoatsu menggunakan Kek-but-thoan-kang, bila jenis ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya, sekeping tahu yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh tapi batu di bawahnya hancur luluh. Meski Kek-but-thoan-kang Milo Hoatsu belum setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.

Begitu dada seperti digodam, reaksi Tan Ciok-sing ternyata cukup 'tangkas juga kontan dia bersalto ke belakang, jarinya masih mencengkram Yu-hian-ong.

Milo Hoatsu kira sekali pukulan tadi pasti membuat lawan tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka parah oleh tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah. Tak nyana Tan Ciok-sing masih kuat memegang tawanannya serta menyeretnya turun dari kereta, hal ini betul-betul diluar dugaannya.

In San juga lompat turun, pedang di tangannya lantas terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu dia babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya roboh terjungkir, lentera angin itupun padam, keadaan menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan In masih perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak kelihatan.

Begitu menginjak bumi Ciok-sing kerahkan hawa murninya, sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika. Bentaknya: "Yu-hian-ong, kau ingin hidup tidak?"

Saking ketakutan Yu-hian-ong menjublek tak mampu bicara.

Begitu melompat turun Milo Hoatsu menjemput batu menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing. Bentaknya: "Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah kalian mampu meloloskan diri."

"Siapa bilang kami mau lari?" jengek Tan Ciok-sing.

Dari sebuah kereta lain yang baru tiba turun orang mendekati mereka, katanya tergelak-gelak: "Tidak lepas dari dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang membuat keributan. Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita tentukan siapa jantan siapa betina."

Orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go, Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti dikawal, tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing membatin: "Syukur Yu-hian-ong sudah kuringkus lebih dulu, kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan ini." Dengan tertawa dia berkata:

"Sekarang kami tiada tempo melayani kau berkelahi, kalau mau bertanding boleh setelah urusanku beres, boleh kau tentukan waktu dan tempatnya."

Jantung Yu-hian-ong masih berdebar, katanya: "Apa kehendak kalian?"

"Serahkan jiwa Liong Bun-kong, kalau kau masih ingin hidup, barter dengan jiwa bangsat tua itu."

Selama ini Yu-hian-ong tidak mendengar suara atau melihat bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat: "Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."

"Betul, dia memang masuk istana bersama aku, melihat kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya di istana," Demikian Yu-hian-ong berbohong. Pada hal dia tahu bualannya ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya memang hendak mengulur waktu, dengan kepandaian Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil mereka dapat membantunya meloloskan diri.

Tan Ciok-sing setengah percaya setengah curiga, pikirnya: "Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa, memang bukan mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja menahannya di istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya untuk tidak melukai ayahnya, bagaimana baiknya?" Tengah hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba menangkap gerakan Tang-hay-liong-ong yang diam-diam mendekati In San.

"Awas adik San." Teriaknya memperingati.

Sebat sekali In San menyelinap ke belakang Yu-hian-ong, pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong. bentaknya: "Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera kuhabisi lebih dulu."

Maksud Tang-hay-liong-ong, hendak membekuk In San sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan, terpaksa Tang-hay-liong-ong mundur kembali ke tempat semula.

Pedang In San kini mengancam tenggorokan Yu-hian-ong, jengeknya dingin: "Jangan kira obrolanmu dapat menipu kami. Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan menyesal bila kepalamu kupenggal lebih dulu."

Kulit leher Yu-hian-ong sudah terasa perih dingin, nyalinya serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi ancaman In San dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak: "Baik, baiklah akan kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."

Belum habis dia bicara, Liong Bun-kong yang sembunyi di belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap: "Liong Bun-kong, kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau, hayo kembali, kembali."

Sudah tentu Liong Bun-kong tidak mau kembali, teriaknya dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut kudanya supaya berlari lebih kencang lagi.

In San segera berkeputusan, katanya: "Toako, biar aku mengejarnya, kau tahan tawanan kita."

Tan Ciok-sing cengkeram tulang pundak Yu-hian-ong, sementara telapak tangan menempel punggung, serunya lantang: "Sebelum nona In kembali, siapapun kularang bergerak, kalau tidak terpaksa aku tidak sungkan lagi menamatkan jiwa Ongya."

"Kalau nona In tidak kembali bagaimana? Memangnya kau akan menyandera Ongya selamanya?" Jengek Milo Hoatsu

"Paling lama satu jam, peduli dia pulang atau tidak, asal kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan dia."

Bayangan In San sudah tidak kelihatan, derap lari kuda juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti diganduli barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar cepatnya lari kuda.

Di kala jantungnya berdebar-debar itu, angin lalu menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing amat tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia seperti mendengar jeritan menyayat hati yang terbawa angin. Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas dia berteriak: "Adik San, bagaimana kau?" Dia menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada dalam tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya. In San mengudak ke atas gunung, jikalau dihitung jarak dalam tanah datar, dia pergi kira-kira setengah jam lamanya, jarak yang ditempuhnya kira-kira sejauh itu.

Dengan seksama dia pasang kuping menunggu jawaban In San. Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya, sungguh umpama menunggu sedetik seperti setahun. Alam semesta hening lelap, tidak terdengar reaksi In San.

Bagaimanakah pengalaman In San? Apa yang dialaminya?"

Kuda-kuda penarik kereta Yu-hian-ong rata-rata adalah kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau di siang hari, betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar. Untung sekarang malam, baru saja turun hujan. Jalanan gunung licin dan becek, tidak rata lagi. Walau kuda ini kuda perang yang sudah dilatih sedemikian rupa, namun lari di malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya pun teramat hati-hati. Karena itu daya kecepatannya menjadi agak berkurang bila dibandingkan berlari di tanah datar.

In San mengembangkan Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak kedua pihak makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos golok peninggalan ayahnya, katanya: "Mohon ayah melindungi di alam baka, semoga anak dapat menuntut balas dengan golok pusakamu ini."

Serasa terbang arwah Liong Bun-kong saking ketakutan, serunya gemetar: "Nona In, mohon kau suka pandang muka ibumu."

In San lebih gusar, semprotnya: "Berani kau mengungkat ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di atas badanmu."

Karuan nyali Liong Bun-kong serasa pecah, kuda dilecut berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk, tapi jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani menancap gas lari sekencang biasanya di siang hari.

Dalam pada itu dari arah berlawanan yang jauh sama terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah mendengar derap gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu. In San juga sudah mendengar, lekas dia meraih sebutir batu terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi timpukan batunya tidak mencapai sasaran.

Tiba-tiba Liong Bun-kong berteriak sekeras-kerasnya: "Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas tolong aku." Tiba-tiba teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan, ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting ke atas terus ambruk dengan keras, menggelundung turun ke bawah lereng. Ternyata karena dihujani cambuk kuda itupun menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda yang sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak diperintah, padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang kuda lagi, mana dia bisa pegang kendali. Waktu kuda melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong lantas dilempar dari punggungnya.

In San membentak: "Lari kemana." Beberapa kali lompatan jarak jauh dia mengudak ke arah suara berisik, dimana Liong Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah. Kala itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri malam menongol pula memancarkan sinar peraknya, meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong Bun-kong rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas sebuah batu sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke bawah lagi.

"Bangun." Bentak In San sambil menendang, ternyata Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San menyulut api, tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh luka-luka, darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia meraba pernapasannya, ternyata jiwanya sudah melayang. Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng gunung, jiwanya masih belum mati. Tapi lantaran dia ketakutan, gugup lagi, setelah jatuh jantungnya pecah dan jiwanya melayang.

Melihat kematian orang yang mengenaskan, In San jadi tidak tega menambahi sekali bacokan. Golok dia sarungkan kembali, katanya: "Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak usah aku membunuhmu pula."

Akhirnya Tan Ciok-sing memperoleh jawaban In San: "Sakit hati sudah terbalas, lekas kau kemari."

Dengan mengangkat tinggi Yu-hian-ong di atas kepalanya, Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya: "Biarlah Ongya kalian mengantarku dalam jarak tertentu."

Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Ucapan seorang kuncu laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa, kenapa ingkar..."

Tang-hay-liong-ong juga gusar, dampratnya: "Jangan banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo kita labrak dia bersama."

Tan Ciok-sing sudah mendahului lari puluhan langkah, di belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak katanya lantang: "Janji yang sudah kuucapkan pasti kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada kalian, nah terimalah." Di tengah gelak tawanya dia menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh ke samping sana.

Tersipu-sipu Milo memburu kesana menangkap tubuh Yu-hian-ong. Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai, tidak bisa bersuara, tapi napasnya masih ada. Karuan Milo Hoatsu kaget, saking gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai, bentaknya: "Kau, kau apakan Ongya?"

"Jangan kuatir," kata Ciok-sing, "aku hanya menutuk Hiat-tonya dengan Jong-jiu-hoat, bukan Hiat-tonya yang mematikan."

Milo Hoatsu seorang ahli silat juga, kini dia sudah tahu Yu-hian-ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum tahu Hiat-to mana yang tertutuk.

Tan Ciok-sing berkata: "Aku menutuk Hiat-to yang tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan Lwekang kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai. Tapi perlu aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya harus segera, walau dia tidak akan mati, kalau terlambat mungkin bisa cacat."

Tan Ciok-sing sengaja bermain muslihat pula, maklum kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi begitu saja. Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang tertutuk, kedua orang ini harus kerja sama membebaskan Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan Hiat-to yang tertutuk.

Yang benar, walau Ciok-sing menutuk dengan Jong-jiu-hoat, tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu sendiri tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong, umpama Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas jam juga akan bebas sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat seperti yang dikatakan Ciok-sing, perkataan Ciok-sing tadi hanya untuk menggertak musuh belaka.

Bagi Milo Hoatsu dia harus percaya daripada mengabaikan keselamatan jiwa Yu-hian-ong. Kuatir Tang-hay-liong-ong terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya katanya: "Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."

Sembari bekerja menembus Ki-keng-pat-meh, Tang-hay-liong-ong menyatakan isi hatinya: "Setiba di negerimu ini, sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan kuatir bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa membuat perhitungan lagi."

Setelah menyarungkan goloknya, In San tendang jenazah Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah, serunya berdoa: "Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini, semoga di alam baka kau bisa tentram."

Baru dia putar badan hendak bertemu dengan Ciok-sing, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Budak bangsat, mau lari kemana kau?"

Lenyap suaranya orangnyapun menubruk tiba, "sret" senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In San. Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang ini seorang tangguh. Lawannya ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo. Mendengar jeritan Liong Bun-kong lekas dia mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh ketinggalan di belakang.

Dengan gerakan Hong-biau¬loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit In San balas menyerang tanpa menoleh, "sret" pedangnyapun menusuk. Tusukan pedang Poyang Gun-ngo mengenai tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam Hian-ki-hiat di dadanya.

Lekas Poyang Gun-ngo menahan napas menarik dada, gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah menyerampang kedua kaki In San. Dalam gebrak pertemuan ini, kedua pihak sudah serang menyerang, sama-sama menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.

In San cabut golok peninggalan ayahnya, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, bentaknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau." Permainan goloknya diselingi gerakan pedang, demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi rangsakan golok, gerakannya aneh liehay dan mendadak pula sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur.

Lekas Poyang Gun-ngo berteriak: "Hayo kalian lekas kemari."

Pada saat itulah, suitan nyaring Tan Ciok-sing di puncak gunung sudah terdengar mereka disini. Tan Ciok-sing menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu, Poyang Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti tergetar pecah, dia kira Tan Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.

Pertarungan jago kosen mana boleh perhatian terpencar, apalagi gugup dan gelisah? Sekuat tenaga Poyang Gun-ngo merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan mundur supaya awak ada kesempatan melarikan diri. Tak nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan karena serangan sudah kebacut, "sret" pedang ln San tiba-tiba menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada Poyang Gun-ngo tertusuk telak, kembali In San mengetuk dengan punggung goloknya, kontan Poyang Gun-ngo kena dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah Liong Bun-kong.

Terdengar kawanan Wisu di bawah lereng berteriak kaget dan takut: "Haya, itulah Poyang Ciangkun yang menggelinding jatuh." "Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas, lekas keluarkan obat." "Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang Tayjin sudah mati." Kawanan Wisu menjadi geger.

Tan Ciok-sing tengah gelisah, tiba-tiba didengarnya In San berteriak: "Toako, maaf bikin kau menunggu."

Dari suaranya Tan Ciok-sing merasakan hawa murninya kurang kuat, tanyanya kaget: "Adik San, kenapa kau?"

"Tidak apa-apa aku sudah menuntut balas sakit orang tua, Poyang Gun-ngo juga kubunuh." Secepat angin lesus dia lari ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan jatuh kedalam pelukan Tan Ciok-sing.

Pada saat itulah seorang mendadak membentak beringas: "Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau lari?"

Seorang membentak dengan bahasa Mongol: "Kalian berani mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi ampun kepada kalian."

Suaranya keras berisi dan memekak telinga, jelas kedua orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan Milo Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yu-hian-ong.

"Jangan gugup adik San,' biar kita adu jiwa dengan mereka." Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan perasaan In San.

In San genggam tangannya, katanya tandas: "Aku sudah menuntut balas, asal bcrad.i bersama kau, mati atau hidup sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."

Lahirnya saja Tan Ciok-ilnj menghibur In San, pada hal hatinya sudah putus asa. Maklum meski Lwekangnya belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tang-hay-liong-ong, apalagi lawan ditambah Milo Hoatsu yang setaraf dengan Tang-hay-liong-ong.

Di kala menghadapi mati atau hidup, timbullah cinta sejati. In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah besar untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi sudah merupakan pernyataan tegas melebihi rangkaian kata-kata mutiara yang tiada artinya. Memperoleh dukungan batin, meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing berani menantangnya. Diapun genggam tangan In San, katanya perlahan: "Adik San, kau benar, bila kita bersama, entah mati atau hidup, hatikupun amat senang." Tang-hay-liong-ong sudah muncul di hadapan mereka sambil menenteng sepasang senjatanya yang berat. Sementara Milo Hoatsu memilih kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari samping, sikapnya santai, yang terang dia sudah mencegat jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.

Setahun ini Tang-hay-liong-ong sudah memikirkan cara untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan, pikirnya: "Sejak mereka menerjang keluar dari

Onghu, In San budak ini baru saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas banyak terkuras. Titik kelemahan inilah yang akan kucecar, memangnya tak mampu mengalahkan mereka?" Memang muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia berhasil menangkap kedua pembunuh ini dan diserahkan kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih disegani.

Ternyata Milo Hoatsu juga punya perhitungannya sendiri, di Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan Tan dan In, dia tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang mereka, kali ini dia terima berdiri di samping menjadi penonton saja, biar Tang-hay-liong-ong terjun pada babak pertama, bila tenaga kedua pihak sudah terkuras, dengan mudah dirinya akan menyerap keuntungan.

Diluar tahu Tang-hay-liong-ong, ternyata perhitungannya meleset, benar setahun ini ilmu silatnya maju pesat, tapi Tan dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan Ciok-sing malah jauh lebih hebat. Permainan sepasang pedang mereka kini semakin serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing bersilat sendiri-sendiri, namun permainan mereka menuruti rel sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan tiada titik kelemahannya.

Sepasang gaman berat Tang-hay-liong-ong memang mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur, sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala benderang, bianglala laksana kilat menyamber. Terdengar "Tring" sekali, kembang apipun berpijar, pedang mustika Tan Ciok-sing telah membentur gaman di tangan kiri Tang-hay-liong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung dengan gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar sehingga Tang-hay-liong-ong seperti terbungkus didalam sinar pedang.


Begitu senjata beradu, sebetulnya Tang-hay-liong-ong hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana daya membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman kanannya ke arah In San mengenai tempat kosong, karuan kejutnya bukan main, pikirnya: "Bukan saja Kiam-hoat bocah ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga maju pesat."

Mendadak Tang-hay-liong-ong menghardik, sepasang senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San, denggn enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar pada posisi lain. Dalam waktu yang sama, pedang Tan Ciok-sing laksana pelangi tahu-tahu dari sela-sela sepasang gaman lawan menusuk dada.

"Serangan bagus." Hardik Tang-hay-liong-ong, tusukan dia robah menjadi menangkis. Sepasang gamannya melintang dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia hendak menggempur hancur pedang lawan. Tapi pada detik itu, In San telah menerjang maju pula, ujung pedangnya memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk Hong-hu-hiat di punggung Tang-hay-liong-ong.

Mata dan kuping Tang-hay-liong-ong dipasang sejeli radar, sudah tentu dia tidak gampang dilukai. Kungfunya memang sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik kembali, begitu merasa punggungnya diserang, secara reflek gaman di tangan kiri berputar balik dengan jurus Wi-seng-jian-jin, tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa dipencar, tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan sendirinya berkurang, pedang mustika itu mengikis naik tenis menusuk, sementara In San melayang lewat, kembali berkis.n ke arah lain menyergap pula dan posisi yang berbeda. Kalau Tang-hay-liong-ong tidak gesit dan tangkas melayani perubahan, jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh pedang Tan Ciok-sing.

Setelah berlangsung sepuluh jurus Tan Ciok-sing insyaf Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang senjata lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus kembangkan ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat tinggi yang akhir-akhir ini berhasil dipahami, gerak gerik pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan. In San bisa mengikuti permainannya dengan cukup baik, berputar menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di kala Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan mereka, jurus-jurus pedang permainan mereka sering menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar posisi yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.

Tan dan In merubah permainan pedangnya pula, pedang dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin lincah, wajar dan mantap. Dalam beberapa gebrak sekejap itu, beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami bahaya, kalau lawan tidak kuat i r akan sepasang gamannya yang berat, mungkin dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan. Mau tidak mau terkejut hati Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia sadar, dalam setahun ini, usahanya mencipta suatu cara untuk memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum mampu menandingi kemajuan lawan pula.

Semula Milo Hoatsu berpeluk tangan, pikirnya setelah kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke arena, kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir: "Jikalau aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak akan kuat bertahan seratus jurus, akhirnya pasti Tang-hay-liong-ong saja yang terluka parah, jadi bukan gugur bersama."

Betapapun dia adalah seorang guru silat kenamaan, malu kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata: "Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu menandingi sepasang pedangnya, jadi aku tidak usah membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut, menangkap pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada Khan besar. Mereka berani membuat keributan di negeriku, jadi aku menjalankan tugas bukan karena dendam pribadi, maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala bukan?"

Dia mencari alasan supaya tidak malu terjun ke arena, sekaligus memberi muka kepada Tang-hay¬ liong-ong pula. Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang pedang lawan, pertempuran sedang mencapai puncaknya, hakikatnya tidak mampu menyambut pernyataannya.

Tan Ciok-sing malah yang menjengek dingin: "Tadi sudah kutantang kalian maju bersama, berani maju silakan, buat apa cari alasan. Omong kosong melulu."

Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Bocah sombong, biar kau tahu keliehayanku." Dari nadanya orang pasti menyangka dia akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara di timur menggempur ke barat, mendadak jarinya mencengkram ke arah In San. Dengan harapan sekali labrak tujuan berhasil.

Tak nyana perhitungan yang muluk-muluk ternyata gagal. Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin, gerak pedang merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik bahaya, semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan gabungan pedang.

Begitu jarinya luput mencengkram, kesiur angin dingin disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar Ih-khi-hiat di ketiak kanan kirinya. Agak gugup Milo Hoatsu menjentik jari tapi pedang In San tidak berhasil diselentik, namun In San merasa pergelangan tangannya seperti digigit semut, di samping panas ternyata agak linu. Hanya sedikit pengaruh saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat dan setangguh semula. Milo Hoatsu dapat memanfaatkan kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang lawan.

Cepat sekali gaya pedang Tan dan In berputar arah, dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata dirangsak lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan gaman Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka susah dilukiskan dengan kata-kata. Rangsakan Tang-hay-liong-ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah jalan.

"Sret, sret" dua kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu In San memunahkan sejurus serangan Tang-hay-liong-ong, dengan perlahan dia berkata: "Di mata ada musuh di hati tiada lawan." Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tan-hong, maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat tangguh, jangan ambil dalam hati, lahir batin harus dipusatkan dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf lupa akan antara musuh dan diri sendiri. Tapi setiap gerak serangan lawan harus diperhatikan dengan seksama. Kalau diartikan secara modern pada jaman ini, yaitu di medan laga musuh dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh harus dihargai.

Lekas sekali In San sudah memadukan lahir dan batin, dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya semula, bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik dikembangkan mencapai

puncaknya. Tidak memburu menang atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama dan gengsi, segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap dari benaknya. Karena itu gerak pedang mereka semakin santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus. Keadaan yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih mantap. Pertandingan semakin seru dan seimbang.

Di tengah pertempuran sengit itu mendadak Tang-hay-liong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit seperti ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum. Kiranya Tan Ciok-sing menggunakan cara mengumpul tenaga pada satu titian, menyerang satu titik kelemahan lawan dari ajaran Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu ujung pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-but-thoan-kang. Walau Tang-hay-liong-ong tidak mengalami luka-luka, tapi di saat mengalami sergapan tidak terduga ini, di kala dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga kekuatannya banyak terpengaruh. Jurus yang seharusnya menyerang In San itu menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya berhasil ditangkis pergi oleh In San.

Tapi cara Ciok-sing ini hanya khusus menghadapi Tang-hay-liong-ong, maklum gaman Tang-hay-liong-ong yang terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan tenaga. Sebaliknya Milo Hoatsu menggunakan kasa yang lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan menandingi tenaga kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari Tang-hay-liong-ong. Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah mengukur kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu punahkan serangan lawan, maka dia tidak perlu menggunakan caranya itu.

Diam-diam Tang-hay-liong-ong mengeluh, batinnya: "Kalau begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan tenaga dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama Tan Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut keuntungannya." Meski akibat dari pertempuran ini pihak mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi mana mau dia sendiri yang dirugikan?

Pedang Tan Ciok-sing teramat cepat, dengan gerakan kilat dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung pula dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal, dengan mudah rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.

Dalam pertempuran sengit itu, hakikatnya Tang-hay-liong-ong tidak berani pecah perhatian untuk bicara, terpaksa hanya mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat kepada Milo Hoatsu. Mendadak Milo Hoatsu membentak dengan bahasa Mongol: "Kerahkan setaker tenagamu menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."

Tang-hay-liong-ong bimbang, ya berani ya takut, semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi serangan Tan Ciok-sing yang selalu menguras tenaganya, dari pada akhirnya gugur bersama, lebih baik menerima anjuran Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak dirinya sehingga mengalami kerugian yang fatal. Mungkin dia sudah mempunyai akal yang meyakinkan untuk merobohkan kedua musuh ini." Demikian batinnya. Segera Tang-hay-liong-ong bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan pedang lawan yang sudah manunggal hakikatnya tidak dihiraukan lagi.

Tan Ciok-sing boleh tidak pikirkan keselamatan jiwa raga sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi perhatiannya juga. Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu sasaran di tubuh lawan pula.

Cepat sekali, dalam waktu yang sama Milo Hoatsu pun sudah melontarkan Toa-jiu-in

menggablok punggung Tan Ciok-sing.

Kalau Tan Ciok-sing mau menghindar, sebenarnya dia masih sempat meluputkan diri. Tapi dia lebih mementingkan keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri? "Ting" ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu, Tan Ciok-sing kontan melancarkan serangan mematikan dengan jurus Lain-io-jit-sing, secepat kilat pedangnya menciptakan tujuh kuntum sinai kembang, kebetulan bergabung dengan gaya pedang In San pula puncaknya.

Lwekang Tang-hay-liong ong sudah terkuras sedikit demi sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya dia pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu melawan dan menghindar dari tujuh serangan pedang yang mematikan ini. Terdengar mulutnya menjerit ngeri, didalam sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liong-ong dihiasi tujuh luka-luka pedang. Dua tempat telak mengenai Hiat-tonya yang mematikan, meski dia memiliki Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan lagi. Di tengah jeritan itu badan Tang-hay-liong-ong tumbang sekaku balok terus menggelinding ke bawah lembah.

Tapi di waktu Ciok-sing berhasil melukai Tang-hay-liong-ong, punggungnyapun menerima gablokan keras Milo Hoatsu. Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan memutus Ki-keng-pat-meh. Ternyata Milo Hoatsu sengaja mengorbankan Tang-hay-liong-ong untuk menyergap lawan merebut kemenangan.

"Huuuaaah". Tan Ciok-sing tumpah darah sebanyak-banyaknya. Bentaknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau." Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar.

Kaget ln San bukan kepalang, teriaknya: "Toako, kenapa kau?"

Tan Ciok-sing menarik napas panjang, sekuatnya dia bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak gigi: "Tidak apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata ada musuh, dalam hati tiada lawan."

Kejut Milo Hoatsu lebih besar dari In San, baru sekarang dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja tangguh juga murni, jauh melebihi dugaannya.

In San singkirkan segala pikiran, menghimpun semangat mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan pedang mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah. Kalau dulu setiap melancarkan gabungan pedang, Tan Ciok-sing selalu menjadi poros utama sebagai soko kekuatan manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In San. Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk gunung, apa daya tenaga tidak sampai, hakikatnya sudah tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi disini dan kali ini dalam menghadapi ujian berat, ln San membuktikan kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya sebenarnyapun mampu berdikari di samping membantu rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang Tan Ciok-sing berhasil ditambalnya. Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut: "Makin tempur kenapa budak ini makin gagah malah."

Sayang bekal Lwekang In San betapapun terpaut jauh dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha mengembangkan kekuatan ilmu pedangnya, sukar untuk memukul mundur musuh. Tapi karena dia nekat dan merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hidup-hidup Milo Hoatsu memerlukan waktu dan kesabaran, dalam waktu singkat jelas tidak mungkin.

Tan Ciok-sing masih payah, deru napasnya makin berat dan tersengal. Di saat genting dan tegang itu, terdengar suara ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.

Di bawah lembah Yu-hian-ong menemukan jenazah Tang-hay-liong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya: "Tan Ciok-sing anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak mencacah tubuhnya menaburkan abunya, sungguh tidak terlampias penasaranku. Koksu silahkan mundur." Dia kuatir Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka dia berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk membunuh Tan Ciok-sing berdua.

Harapan In San ialah dapat gugur bersama di pelukan Tan Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia tidak takut. Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya terjatuh di tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat tangguh, kuatirnya dengan sisa tenaganya bila dia membunuh diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya, maka dia nekat, pikirnya: "Untuk menyelamatkan diri jelas tidak mungkin. Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan kutunggu Sing-ko dalam perjalanan ke sorga."

Karena putus asa diam-diam dia sudah kerahkan Lwekang hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah di saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang membentak dari atas puncak: "Yu-hian-ong, kau menginginkan putramu tidak? Berani kau mengusik seujung rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini ke bawah jurang." Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hian-oni', kaget dan ketakutan, teriaknya. "Koksu harap berhenti sebentar "

Waktu orang banyak menengadah, tampak di puncak atas berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas kepalanya seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra tunggal Yu-hian-ong.

Siau-ongya berkaok-kaok: "Ayah, bebaskan mereka. Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh membalas budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak mau mati bersama tuan penolongku."

Perobahan yang tidak terduga ini, bukan saja Milo Hoatsu amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang menyandera Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.

"Apakah orang yang memberi laporan rahasia kepada Yu-hian-ong bukan dia?" Demikian batin Tan Ciok-sing. Semula mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus tumbang.

Yu-hian-ong seperti tidak kenal Buyung Ka, bentaknya: "Siapa kau? Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau mencelakai putraku?"

Mendengar seruan Yu-hian-ong, In San pun ikut bimbang, bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya: "Mungkin kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"

"Ongya," seru Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, "kau suruh orang membunuh putra Jendral Abu, aku hanya membekuk putramu sebagai sandera saja."

Yu-hian-ong gusar, bentaknya: "Omong kosong, mana ada kejadian itu."

Siau-ongya tiba-tiba berteriak: "Ayah, urusan sudah sejauh ini, terpaksa aku bicara sejujurnya. Kau suruh Jik Thian-tek menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri mendengarnya.

"Hari itu secara diam-diam aku menguntit Jik Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap A Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku menguntit mereka di tengah jalan aku kepergok seekor badak bercula, untung kedua orang Han itu yang telah menolongku serta membunuh badak itu."

Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ongya, puteramu sendiri yang membeber rahasia ini, masih berani kau mungkir?"

Sudah tentu pasukan yang hadir di sekitarnya amat kaget mendengar 'pengakuan' Siau-ongya. Mereka adalah anak buah kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin mereka berusaha membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi mereka menguatirkan keselamatan Yu-hian-ong karena kejahatannya terbongkar. Serta merta dalam hati mereka membatin: "Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau dia berhasil meringkus salah satu pembunuh itu dan menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi akan kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan menggemparkan."

Apa yang dipikirkan orang banyak sudah tentu juga terpikir oleh Yu-hian-ong, katanya: "Baiklah, anggaplah aku mengaku kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"

"Soal apa yang perlu dirundingkan? Taripku tidak boleh ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa mereka berdua, jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu, cuma asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia menghadap dan mengadukan persoalan ini kepada Khan Agung."

"Baik, aku setuju untuk menukar mereka dengan puteraku, kau bebaskan dulu puteraku."

"Kita bebaskan bersama, aku tak takut kau main licik, kau tak usah kuatir aku bakal mencelakai puteramu. Orangmu sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati terhadap kalian."

"Baik, satu, dua, tiga. Kita bebaskan bersama."

Tan Ciok-sing menarik napas menahan sakit terus lari ke atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya masih lebih cepat dari Siau-ongya. Yu-hian-ong memang tidak suruh anak buahnya membidik dengan anak panah.

Di tengah jalan Ciok-sing bertemu dengan Siau-ongya, katanya lirih: "Siau-ongya kau memang setia kawan, terima kasih." Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.

"Apa yang kau lakukan?" bentak Yu-hian-ong.

Tan Ciok-sing sudah lepaskan tangan Siau-ongya, dengan cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya: "Dia adalah tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah jangan kau terlalu curiga."

Siau-ongya kembali di samping ayahnya, sementara Tan Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di atas puncak.

"Tan-toako, beratkah lukamu," tanya Buyung Ka.

"Tidak apa-apa, aku bisa lari." Ujar Tan Ciok-sing

"Baiklah, jangan banyak bicara, kalian ikut aku saja." Ujar Buyung Ka.

Tan dan In ikut masuk kedalam hutan, pengurus rumah tangga Abu ternyata sudah menunggu. Baru sekarang Buyung Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong mereka. Ternyata atas perintah Jendral Abu mereka datang kemari untuk membantu. Melihat mereka terkepung, timbullah akalnya, segera dia lari ke Onghu.

"Aku membekuk Siau-ongya, ternyata Siau-ongya mau kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri supaya aku membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang panah perintah ayahnya."

Tan Ciok-sing berkata: "Di Onghu kami pun pernah mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia kawan."

"Hutang budi tahu membalas. Adalah pantas kalau dia balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau selamatkan."

Haru hati Tan Ciok-sing, katanya setelah menghela napas: "Buyung-heng, budi

pertolonganmu, entah kapan aku bisa membalasnya."

"Sekarang bukan saatnya basa-basi ambillah panah perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah hadiah lagi, Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau." Dia keluarkan sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti manusia, mirip orok yang baru lahir, Ho-siu-oh adalah obat mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat sebesar ini, jelas sudah ribuan tahun lamanya.

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Obat mujarab yang jarang ada, mana berani aku menerimanya."

Timanor pembantu Jendral Abu berkata: "Tan-toako, bicara terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku mengantar Ho-siu-oh ini. Aku tahu kau terluka cukup parah, Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan luka-luka itu, kau pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"

"Toako," ujar In San, "setulus hati Ciangkun memberi obat ini kepadamu, boleh kau terima saja."

Apa boleh buat, setelah dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing terima Ho-siu-oh itu. Waktu itu fajar hampir menyingsing, terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.

Panah perintah Yu-hian-ong ternyata besar manfaatnya, tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka tembus setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal mereka orang Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.

Tiga puluh li setelah meninggalkan Holin, sepanjang jalan ini sudah tiada pos penjagaan lagi. Lega hati In San, katanya: "Toako, bagaimana luka-lukamu? Mumpung tidak ada orang, lekas kau makan Ho-siu-oh ini."

"Kita capai dulu gunung itu baru istirahat, aku masih kuat bertahan, tak usah segera makan obat."

In San seperti juga Timanor, walau tahu Ciok-siong terluka parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah teramat kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah perasaan lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata. "Baiklah," katanya kemudian.

Tak jauh mereka berjalan, dari depan mendatangi serombongan orang berkendaraan unta. Melihat mereka orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan pandangan heran dan penuh tanda tanya, tapi tiada yang mencegat atau menegur. Agaknya mereka juga dirundung banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang lain.

In San lewat dari samping mereka, didengarnya seorang berkata: "Kupernah dengar, di atas gunung di depan itu ada seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya bukan dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar menemukan dia."

Seorang lagi berkata: "Kabar angin belum bisa dipercaya, aku lebih percaya tabib kenamaan di Holin. Kalau betul belum bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."

Jarak makin jauh maka pembicaran selanjutnya tidak terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib, maka In San pasang kuping, pikirnya: "Untung kami sudah punya Ho-siu-oh, jadi tidak perlu cari tabib segala."

Tak lama kemudian mereka sudah tiba di bawah gunung. Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal luka-lukanya yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Ciok-sing agak payah juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah istirahat lalu makan rangsum. Bekal itupun pemberian Buyung Ka. Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing, katanya: "Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."

"Toako, meski Lwekangmu tangguh, tapi keadaanmu tak bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan lupa kita masih harus pergi ke Thian-san."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku tidak mengatakan tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik, kalau tidak kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya merasa sayang bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan." Sambil berkata dengan pedang dia mengiris kecil-kecil beberapa keping terus ditelannya

"Hanya sedikit saja, mana bisa membawa kasiat nyata?"

"Kau tidak tahu, Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya dapal menghidupkan orang yang hampir mati, aku punya dasar lweekang, sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang lebih besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."

"Coba kau makan lagi seiris saja." Pinta In San.

Segan menolak maksud baik In San, terpaksa Ciok-sing makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In San untuk disimpan.

In San menghela napas, katanya: "Sungguh tak nyana di Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak teman, Buyung Ka betul-betul orang baik diluar dugaanku."

Tiba-tiba dilihatnya alis Tan Ciok-sing berkerut, seperti menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya: "Toako, kenapa?"

"Tidak apa-apa." Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan hawa murni lalu menarik napas panjang, katanya: "Kurasa agak aneh."

"Apanya yang aneh?" tanya In San gelisah.

"Ho-siu-oh biasanya pahit, tapi yang satu ini kenapa rasanya manis?"

"Mungkin Ho-siu-oh yang sudah jadi rasanya beda dengan yang setengah matang."

Obat mujarab pahit menguntungkan si penderita. Terasa oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil, semula dia sudah curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San, supaya orang tidak kuatir. Tapi sekarang dia sudah tidak tahan lagi, terpaksa bicara sejujurnya. "Rasanya seperti habis minum arak saja, aku mabuk."

In San tidak tahu mungkinkah obatnya sudah mulai bekerja, katanya: "Bagaimana bisa demikian? Coba kau pusatkan hawa murni kedalam pusar."

Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing berobah hebat, ternyata isi perutnya mendadak sakit bukan kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi, yang terang dia menjungkir sambil menahan sakit.

Sudah tentu kejut In San bukan main, lekas dia pegang kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke tubuhnya. Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai mereda.

"Kurasa Ho-siu-oh itu bukan barang tulen, kau buang saja." Desis Tan Ciok-sing dengan keringat dingin membasahi jidat.

"Maksudmu Ho-siu-oh ini beracun?" Teriak ln San tersirap. * "Obat ini pemberian Jenderal Abu, semestinya tidak beracun. Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah, aku tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati, buang saja dari pada mencelakai orang lain."

"Sementara akan kusimpan, bila betul ada racunnya, bisa kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun tidak akan mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu diperhatikan, kita pasti dapat membongkar kejadian ini. Toako, bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Sementara mungkin aku tidak bisa berangkat, entah tiga hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan perjalanan yang tertunda ini."

In San memapahnya masuk kedalam hutan, terasa langkah Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah bergerak, meski dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah. Seorang jago kosen yang memiliki Lwekang tinggi sudah sempurna lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski dalam keadaan luka parah atau terkena racun. Sambil memapahnya, setiap langkah perasaan In San semakin berat.

Akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, tak lama kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San. Selesai samadi, pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah kuyup. Teramat besar perhatian In San, sehingga dia selalu mencucurkan keringat dingin.

"Aku agak dahaga, carikan minum," Kata Tan Ciok-sing.

"Baiklah, akan kucarikan air. Bila menghadapi bahaya, kau lepas panah berasap." Panah itu bisa memancarkan sinar biru berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api yang indah warnanya.

"Jangan kuatir, musim dingin, binatang liar jarang keluar, ada Pek-hong-kiam untuk membela diri, binatang kecil masih bisa aku melayani."

Setelah In San pergi, Ciok-sing mulai bersamadi pula. Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala yang tidak beres. Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya, tapi setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih hebat dan keadaannya lebih parah dari dugaannya semula.

Sesuai ajaran Lwekang Thio Tan-hong dia menghimpun hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam, sehingga hawa murni yang dihimpunnya susah payah buyar seperti tanggul yang jebol sehingga air bah melanda keluar. Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada jantungnya terulang lagi. Demikian berulang kali, belum penuh sudah bobol, hawa murni yang dikumpulkan selalu tidak berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya. Dengan tangan kiri dia periksa denyut nadi tangan kanan sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan biasanya, kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat dan lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau, tidak karuan. Dari sini dapatlah dia menyimpulkan bahwa kadar racun telah meresap ke jantung dan paru-paru, bukan saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.

Mengkirik sendiri Tan Ciok-sing membayangkan keadaan dirinya, pikirnya: "Aku mati tidak jadi soal, pesan guru harus kulaksanakan." Seperti diketahui sebelum ajal Thio Tan-hong ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari tua diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay yang sekarang. Keadaan Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan saja tidak bisa, bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san?

Satu hal lagi yang menguatirkan, In San sudah berjanji sehidup semati dengan dirinya bila dirinya akhirnya meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan, melarang In San memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In San tidak mau menurut.

Tiba-tiba dia teringat didalam ajaran Hian-kang-yau-kek ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan mengumpulkan kadar racun di tubuh manusia di satu tempat yang terisolir, untuk sementara racun tidak akan bekerja, kelak masih ada kesempatan untuk berusaha menawarkannya. Tapi menempuh cara ini harus menyerempet bahaya. Karena kadar racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan bertambah besar dan ganas, bukan saja waktu bekerjanya bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah begitu kumat jiwa pasti melayang seketika.

Diam-diam Tan Ciok-sing menepekur, apakah perlu dia menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal Lwekang yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan setahun lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran Lwekang itu, dia belum mampu menyalurkan kadar racun pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera melayang. Tapi ada baiknya, karena untuk sementara kekuatannya akan pulih sebagian, "asal aku bisa hidup sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san." Demikian pikir Tan Ciok-sing.

"Terpaksa aku harus mengelabui adik San, supaya dia tidak ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat atau lambat juga pasti mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil menunaikan tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram." Akhirnya Tan Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun racun pada tempat yang terisolir dengan menentang bahaya.

Diluar tahu Tan Ciok-sing, saat mana In San pun punya pendirian dan pikiran yang serupa. Nasib ln San yang mencari air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara, tiba-tiba didengarnya gemericik air. Lekas dia berlari ke arah selokan gunung.

Tiba-tiba didengarnya teriakan bocah kecil: "Kakek, lekas kemari, aku berhasil mengeduk mustika." Bahasa Mongol yang dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing, maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol.

Tampak seorang berperawakan besar berlari-lari mendatangi, tanyanya dengan tertawa: "Gembar gembor, kau menemukan mustika apa?"

Anak itu berkata: "Kek, coba lihat. Akar ini mirip orok kecil. Kek, aku masih ingat kau pernah bilang Jin-som dan Ho-siu-oh bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som atau Ho-siu-oh?" Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?" Agaknya bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari obat, sekarang mereka sedang cari obat dalam hutan ini.

Kaget dan senang hati In San, katanya: "Mungkin orang inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di gunung ini? Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak dengan Ho-siu-oh dalam kantongku?"

Baru saja In San hendak mengunjuk diri, tiba-tiba didengarnya orang tua itu berteriak gugup: "He, lekas buang, ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun jahat yang bisa mencelakai jiwa orang."

Kaget In San bukan main, lekas dia memburu ke arah mereka.

Sementara itu si bocah sedang mencuci Ho-siu-oh itu didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun, tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya.

Orang itu kaget, tanyanya: "Nona muda, dari mana kau datang?" Maklum sudah lama dia semayam di atas pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In San adalah gadis belia bangsa Han? Agaknya dia melihat In San adalah orang Han, maka hatinya makin heran.

Tak nyana In San jauh lebih kaget dari dia, tanpa hiraukan pertanyaan, langsung dia berkata kepada si bocah: "Engkoh kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."

Mendengar In San menyebut Ho-siu-oh, si bocah jadi bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siu-oh itu di belakang tubuhnya, serunya: "Kau mau menipu, memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang menemukan mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu." Demikian kata si bocah dengan mendelik.

"Aku tidak akan merebut mustikamu, coba lihat aku juga punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip mustikamu itu." Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku keluarkan Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat Ho-siu-oh di tangan In San lebih gede, baru si bocah mau menyerahkan, katanya: "Aneh, ternyata mirip. Mungkin milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda." Ternyata Ho-siu-oh di tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang dipegang si bocah kira-kira delapan dim.

Baru saja si bocah ulur tangan mau terima Ho-siu-oh dari tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela: "Berikan kepadaku," hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In San.

In San kaget, teriaknya: "Kau mau apa?" Tapi dia lantas tahu bahwa orang ini tidak bisa silat, dilihatnya pula maksud orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga meronta.

Orang tua itu menghela napas lega, katanya melepas tangan In San: "Tok-ing-ji milikmu ini pernah digigit siapa?" In San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San normal saja, maka dia tanya demikian.

In San tersirap, teriaknya melengking: "Apa, apa katamu? Ini bukan Ho-siu-oh? Jadi, jadi..."

"Inilah Tok-ing-ji (orok beracun)." Kata orang itu, "bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh, tapi kadar obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat menyembuhkan orang yang sudah hampir mati, sebaliknya Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling jahat di dunia ini."

Ternyata Buyung Ka memang sudah berintrik dengan Yu-hian-ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing. Ho-siu-oh yang asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga Tan Ciok-sing benar-benar keracunan.

Orang yang memberi laporan gelap di tempat kediaman Yu-hian-ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang bukan lain adalah Buyung Ka.

Dalam rencana, Yu-hian-ong menganjurkan Buyung Ka menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri memang punya perhitungan jangka panjang. Waktu mengatur tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong dan Buyung Ka tidak yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing. Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing jelas takkan bisa diselamatkan lagi. Dia mati di tengah jalan, Jendral Abu dan anaknya tidak akan tahu, malah harus berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong sahabat mereka.

Rencana mereka memang sempurna, jangan kata Tan Ciok-sing, In San yang semula mencurigai Buyung Ka pun akhirnya kena dikelabui.

Sayang In San tahu setelah terlambat. Tak tertahan air matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu: "Apakah Tok-ing-ji ada penawarnya?"

Orang itu geleng-geleng kepala, sahutnya: "Tiada obat penawarnya."

Gelap pandangan In San, tubuhnya sempoyongan. Lekas orang itu memapahnya, tanyanya: "Siapa yang makan racun ini? Lekas kau pulang..." Melihat keadaan In San, dia duga yang minum racun tentu sanak familinya. Maksudnya suruh dia lekas pulang mengurus penguburannya, cuma tidak tega dia mengucapkannya!

Dengan air mata berlinang tiba-tiba In San menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

Lekas orang itu memapahnya, katanya: "Nona, apa yang kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."

Sudah tentu orang itu tidak mampu menarik bangun ln San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya: "Mohon kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka parah, karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."

Karena tidak mampu menarik In San, orang itu kaget, tiba tiba timbul rasa curiganya, katanya: "Darimana kau tahu kalau aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar ringkik kuda dan derap kuda yang ramai mendatangi.

Orang itu beringas, bentaknya: "Siapa yang kau bawa kemari, apakah mau menangkap aku?"

"Tidak, tidak, bukan aku yang membawa mereka. Aku tidak tahu..."

Terdengar langkah orang berlari-lari menuju kesini, seorang terdengar berkata: "Disana seperti ada orang bicara, kita periksa kesana."

In San merendahkan suara: "Kedua orang ini mungkin yang mencari jejak kami kakak beradik." Dari langkah mereka dia tahu bahwa kedua orang ini pandai silat.

Orang itu mendengus, jengeknya: "Kau mau menipu aku."

Waktu mendesak In San tidak sempat menjelaskan, terpaksa dia berbisik: "Kalau kau takut mereka akan berbuat jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."

"Aku tidak akan sembunyi." Ucap orang itu, "kalau kau tidak sekomplotan dengan mereka, baiklah kau saja yang sembunyi." Maklum dia tinggal di gunung ini, bila jejaknya sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya sepenuhnya, maka dia berani nekat.

Apa boleh buat, terpaksa In San menerima anjuran orang, dia sembunyi ke belakang pohon. Lekas sekali kedua orang itu sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur. Seorang

Busu bertanya: "Kalian melihat dua orang Han tidak, seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira likuran tahun."

Orang tua itu geleng-geleng, katanya: "Tidak pernah lihat, kalian ini..."

"Kami adalah Busu kelas satu Yu-hian-ong, atas perintah Ongya hendak menangkap pembunuh gelap. Pembunuhnya adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal mereka lari ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di hadapanku..." •

"Dua orang Han yang kalian katakan betul-betul tidak pernah kulihat, mana berani aku bohong terhadap kalian."

"Kau penduduk setempat tentu hapal seluk beluk pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."

"Bukan aku tidak mau membantu, tapi, tapi..."

"Tapi apa?"

"Gunung sebesar dan seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku tidak leluasa berjalan. Kalau aku temani kalian mencari mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik kalian cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri.

Alasannya memang masuk akal, maka kedua Busu itu mau pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah, teriaknya: "He coba lihat, apa, apa ini?"

Ternyata si orang tua membuang Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semak-semak itu teraling oleh tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh salah satu Busu.

Bergegas si Busu memburu serta menjemput kedua Tok-ing-ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan. "Kita mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Ho-siu-oh yang telah mencapai usia ribuan tahun?" demikian teriak Busu itu.

Orang tua itu gugup, serunya: "Jangan kalian ambil barang-barang itu."

Busu itu mendelik, bentaknya: "Kau tidak mau bantu mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang kami mengambilnya?"

"Ini, ini bukan Ho-siu-oh..." Seru si orang tua.

Busu itu mencabut golok dan membentak: "Berani kau menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh kau."

Setelah membawa Ho-siu-oh kedua Busu itu tidak banyak bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian, mendadak terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di tengah perjalanan telah mengigit masing-masing secuil, ternyata racun bekerja jiwapun melayang.

In San segera melompat keluar, katanya: "Lo-siansing, siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu?"

Akhirnya mereka saling berkenalan, orang tua ini memang benar tabib liehay yang mengasingkan diri di atas gunung, namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.

Sambil jalan Kokulon tanya pengalamannya. In San ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan akhirnya Tan Ciok-sing keracunan karena salah makan Tok-ing-ji.

"Terus terang, Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci," demikian kata Kokulon. "Jendral Abu adalah orang yang paling kuhormati dan kusegani. Ternyata kalian adalah teman baik Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku tidak akan curiga kepadamu."

"Jadi kau mau menolong jiwa engkohku?"

"Bukan aku tidak mau, sayang tenagaku tidak mampu menolongnya."

Tiba-tiba Komido berjingkrak, serunya: "Kakek, kau dengar tidak?"

"Mendengar apa?"

"Aku seperti mendengar seseorang menghela napas perlahan."

Kokulon celingukan, katanya:

"Disini mana ada orang lain, pasti kau salah dengar."

Komido bergidik ngeri, katanya memeluk sang kakek: "Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."

Pikiran butek, perasaan gundah sehingga In San tidak mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu, demikian pikirnya.

Diluar tahunya Tan Ciok-sing telah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada suara orang, diam-diam dia datang memeriksa. Maka percakapan Kokulon dengan In San diapun mendengar jelas.

Waktu In San bawa Kokulon tiba di tempat semula, tampak Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih mengepul dari kepalanya.

Kokulon heran, katanya: "Jangan ganggu dia, nanti sebentar baru akan kuperiksa." Lalu dia berkata kepada In San: "Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku akan berusaha sekuat tenaga."

Timbul setitik harapan dalam benak In San, katanya: "Terima kasih paman."

Tiba-tiba Komido berkata: "Ayam salju di rumah sudah kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para tamu?"

In San tertawa; katanya: "Menangkap ayam salju adalah keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap ayam salju."

Setelah In San pergi, tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka mata, katanya: "Paman Kokulon, aku mohon sesuatu kepadamu."

"Nanti dulu, biar kuperiksa nadimu dulu." Dia kira Tan Ciok-sing akan minta dia menolong jiwanya, maka setelah memeriksa dia berkata: "Jangan kau banyak tanya, aku akan berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan

penyakitmu. Kau adalah pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan luar biasa di antara pasien-pasienku selama aku jadi tabib."

Tan Ciok-sing berkata: "Aku tidak minta kau berusaha menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini tidak mungkin disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya hanya waktu saja, aku sih tidak perduli."

Kokulon kaget, tanyanya: "Darimana kau tahu?"

"Paman Kokulon,

pembicaraanmu dengan adikku, aku mendengarnya semua."

Kokulon terbeliak, dia insyaf bahwa persoalan tidak bisa mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia melenggong tak mampu bicara.

Diam sebentar, akhirnya Tan Ciok-sing berkata: "Aku hanya mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau tidak tahu bahwa kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."

"Aku tahu." Tiba-tiba Kokulon menukas. "Tunggu sebentar, biar aku berpikir sejenak."

Setelah berpikir beberapa kejap lamanya, Kokulon berkata: "Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan bisa sembuh, maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku harus tanya kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun kadar racun didalam pusarmu?"

"Inilah sejenis Lwekang ciptaan guruku, namanya Tay-ciu-thian-to-nah. Sayang latihnya belum sempurna."

"Bisakah kau mengerahkan Lwekang sehingga kadar racun sedikit demi sedikit dibikin buyar?"

"Aku tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum bisa mencapai taraf setinggi itu."

"Baiklah aku bicara jujur, dengan bekal Lwekangmu sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun itu, paling lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau tidak akan mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu, meski Kungfu sementara masih utuh, tapi bila racunnya kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang seketika."

"Ya, aku tahu. Bila racun kumat, jiwaku pasti melayang. Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan pesan guruku, terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku bisa bertahan hidup? Paman, harap kau bicara sejujurnya."

"Kurang lebih tiga bulan, tapi juga bisa lebih cepat atau mundur beberapa hari, itu tergantung kau sendiri..."

"Mohon paman memberi petunjuk."

"Menuju jalan kehidupan, terutama mementingkan ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau harus berusaha tidak berkelahi dengan orang, tidak boleh terlalu menguras tenaga."

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Tubuh sekokoh pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca. Untuk mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa dilakoni oleh manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari rasa senang, duka dan segala keinginan sih kurasa mampu kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan jauh, kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah diramalkan sebelumnya, maka untuk menghindari pertempuran jelas tidak mungkin."

Kokulon seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya: "Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat jurus telah beres, akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila berhadapan dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni terkuras, luka dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali terpaksa, kuanjurkan kau harus berani dihina dan dicemooh orang."

"Terima kasih akan petunjuk paman, Wanpwe akan patuh pada petunjukmu."

"Kalau kau bisa mematuhi kedua petunjuk tadi, mungkin jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau tidak mampu kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu bisa merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk pergi ke Thian-san?"

"Aku sudah menerima pesan guru, semoga sebelum aku ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."

Kokulon berkata: "Tekadmu besar, aku tidak akan mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah, sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara yang kau tempuh ini jauh lebih berguna dari ramuan obatku, maaf bila aku tak bisa membantumu lebih jauh."

"Tapi aku kuatir akan keselamatan adikku, dia ingin sehidup semati denganku..."

"Maksudmu bagaimana aku harus membantumu?"

"Dapatkah kau berusaha menahannya disini?"

"Aku pernah bicarakan soal itu kepadanya, tapi dia bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan kau sampai mati."

"Gunakan sejenis obat, umpamanya obat bius sehingga dia kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek buruk bagi kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh perjalanan yang kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya, tahun depan boleh kau berikan obat penawarnya. Dalam jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila dia tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan mencariku dan tak sempat mencari jalan pendek lagi."

Kokulon geleng-geleng, katanya: "Itu hanya dapat mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan juga. Dan lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam itu."

"Paman bagaimana juga harap kau suka berusaha, aku harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku dia ikut menjadi korban."

Kokulon berpikir sejenak, tiba-tiba bertanya: "Kau she Tan dia she In, wajah kalian juga tidak sama. Walau aku tidak paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah sesama saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan? Lalu kalian ini saudara angkat?"

"Ya, kami saudara angkat lain marga. Tapi hubungan kami amat mendalam melebihi saudara sepupu sendiri."

"Bagus, kau harus bicara jujur kepadaku, bukankah kalian sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup semati?"

"Betul, kami sudah janji setia akan hidup sampai tua, meski dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari yang sama, diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama. Hidup rukun sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka kudoakan supaya dia tidak ikut mati di saat ajalku sudah tiba."

Sebelum Kokulon bicara Ciok-sing memohon pula: "Paman, pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari aku, bagaimana juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."

Tiba-tiba Kokulon berkata: "Ada satu cara boleh dicoba, tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi satu bulan. Itu berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua bulan lagi, kau mau tidak?"

"Sudah tentu mau, asal dapat menyelamatkan jiwanya, sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku suka rela."

"Tapi waktu dua bulan mungkin tidak cukup untuk perjalananmu ke Thian-san."

"Menunaikan pesan guru sudah tentu merupakan tugas utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau dibanding, usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi. Tolong tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"

"Sekarang belum boleh menjelaskan, bila cara ini kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur, cukup asal kau percaya kepadaku saja."

Walau agak bimbang, tapi Ciok-sing sudah percaya kepada tabib pengasingan ini. Katanya: "Kalau demikian, baiklah aku tidak akan banyak tanya lagi."

"Bagus, sekarang kau membantu aku melakukan sesuatu."

"Silahkan memberi petunjuk."

"Ikutlah aku membersihkan kamar obatku. Tak takut kau tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan jorok lagi, kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa dibersihkan untuk tempat tidurmu."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Paman kenapa sungkan, asal ada tempat berteduh sudah lebih dari cukup untukku."

Bilik itu memang banyak menyimpan berbagai jenis obat-obat mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali bilik itu sudah dibersihkan dan ditata rapi. Tak lama kemudian In San dan anak itu sudah masuk kembali.

Begitu masuk rumah Komido berjingkrak dan mengoceh dengan - riang: "Kepandaian cici In memang hebat, coba lihat tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."

In San tertawa, katanya: "Kepandaianmu juga patut dipuji, tidak sedikit telur akar yang berhasil kau keduk."'

Kokulon tertawa tergclak-gelak, katanya: "Bagus, nanti kita bisa bersantap malam dengan hidangan sedap, ubi bakar dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."

Dua ekor ayam panggang, seekor dimasak kuah, sementara ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam, sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela. Angin menghembus kencang diluar, kabut tebal menyelimuti alam semesta, hawa mulai dingin. Tapi suasana hangat meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat nyala api yang masih membara, dimana ayam yang sudah diberi bumbu sedang dipanggang, baunya aduhai, lezat sekali.

Dari kamarnya Kokulon mengeluarkan sebuah buli-buli besar warna merah, katanya: "Inilah arak obat buatanku sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan aliran darah, kalian bersaudara patut minum beberapa cangkir."

In San berkata: "Aku tidak biasa minum arak, biarlah Koko wakili aku minum bagianku."

"Arak obat ini jelas berguna bagi kesehatan engkohmu, bagi kau sendiri juga tidak sedikit manfaatnya. Bila kalian sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."

"Ah, aku tidak percaya, kenapa kalau sama-sama minum, khasiatnya bisa lebih kentara?"

"Kau tidak tahu, arak obatku ini memang punya kadar yang luar biasa."

"Apanya yang istimewa?"

"Bila tutup dibuka dan arak tercium angin, bila didalam jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat obatnya akan pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh, maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau harus bantu dia minum satu pertiga."

"Kalau demikian, kau saja yang bantu dia minum bagian satu pertiga ini."

Kokulon tertawa, katanya: "Arak obat ini dapat menambah semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk kalian bila naik gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa harus minum obat. Apalagi aku tidak akan menempuh perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang menghabiskan arak sebagus ini? Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh dari keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut kusuguhkan untuk para tamuku, jikalau kau masih sungkan, berarti anggap aku ini orang luar. Maka akupun tidak akan berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."

Melihat sikap bicara Kokulon amat serius, In San berkata: "Paman, kau harus mengobati penyakit engkohku, jangan kau menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan jatahku."

Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya: "Maksud baik tuan rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya. Adik San, terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum sampai habis."

Karena didesak dan dibujuk terpaksa In San menemani Tan Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya, terasa bau harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya: "Ternyata arak ini enak rasanya."

Belum ada satu jam, seekor ayam telah habis diganyang masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat mereka berdua.

"Nona In, tubuh engkohmu kelihatan memang masih segar, betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu selalu dijaga dan dirawat. Kau tahu maksudku?" tanya Kokulon.

In San tertawa, ujarnya: "Kenapa aku tidak maklum, setiap saat aku akan mendampinginya."

"Gubukku reyot dan jorok, hanya ada bilik obat itu yang bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung kaliankan saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut, kalian habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat lebih dini."

In San rasa hal itu sudah logis. Sebelum ini sepanjang perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan kota atau rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur sekamar selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San agak malu-malu kucing.

Setelah ln San papah Tan Ciok-sing masuk kamar, Kokulon segera menutup pintu kamar, katanya: "Bila kalian merasa panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang kalian keluar, nanti masuk angin."

"Aku sudah tahu," ucap In San, "paman tidak usah kuatir."

In San tidak berani membuka jendela, tapi angin menghembus dari celah-celah papan yang bolong, hawa menjadi agak sejuk dan segar.

In San berkata: "Setelah minum arak tadi, rasanya segar dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako, apa kaupun merasa sejuk?"

"Memangnya, segar dan sejuk sekali, sejuk sekali. Eh, kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah mega."

"Ah, apa benar? Hahaha, aku juga merasa mengambang, terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku ini."

Tak lama kemudian mereka sama-sama seperti mabuk tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian, angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu membikin nyala api bergoyang-goyang, demikian pula perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan nikmat.

Tiba-tiba Tan Ciok-sing seperti berada di Kanglam di musim semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai jenis seperti menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata: "Adik San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-sing-giam dulu?"

"Kenapa tidak ingat, panorama dalam goa itu sungguh indah mempesona. Eh..."

"Kau kenapa?"

"Membicarakan Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali disana. Ah, tidak panorama di depan mataku jauh lebih indah dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna warni, berobah dan berganti..."

"Akupun punya perasaan yang sama."

"He, kurang ajar, kenapa segulung hawa panas timbul dari pusarku."

In San tertawa, katanya: "Kau melupakan penjelasan paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita minum arak obatnya tadi."

"Bukan hangat yang menjadikan badan gerah, tapi kehangatan jenis lain..." Rasa hangat yang menghinggapi perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata tapi tak usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan kehangatan yang sama. Badannya menjadi lemas lunglai, setelah menggeliat, dia berkata: "Toako, peluklah aku."

Tan Ciok-sing masih sedikit sadar, katanya tertawa: "Ah, anak segede ini masih minta dipeluk segala?"

"Aku tidak ingin dipeluk orang lain, tapi kaulah yang harus memelukku. Nah kau berpikir yang tidak-tidak, aku hanya ingin tidur pulas dalam pelukanmu."

Mulutnya bilang jangan berpikiran yang tidak-tidak, padahal dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan diri sendiri. Tiba-tiba dia cekikikan, katanya: "Malam pertama di kamar pengantin! Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam pertama di kamar pengantin?"

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dalam kamar hanya diterangi sebuah dian, mana mirip kamar pengantin yang dipasangi sepasang lilin merah? Kini sedang musim dingin, dari mana datangnya kembang segar?"

"Siapa bilang tidak ada? Di depanku sekarang tersebar bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap malam, eh sekali, aku jadi bingung untuk menyebut satu persatu, apa kau tidak melihatnya? Dian itu berubah menjadi lilin, berubah sepasang lilin?"

"Jangan mengigau aku, aku..."

In San sudah jatuh dalam pelukannya. Perasaan Ciok-sing seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong perlahan: "Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau lebih merasa segar." Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah tiada karena badan sudah ogah bergerak.

"Eeh, kenapa lupa, paman tadi berpesan tidak boleh membuka jendela."

Kedua tangan Ciok-sing kebetulan memegang tubuh In San yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang. Bukan lagi mendorong, sekarang Ciok-sing malah memauk kencang dan jari jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.

Di kala Ciok-sing membalik tubuh balas menindih In San, tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong baju Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah, In San menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir kacang merah di telapak tangannya. Kacang merah ini mereka petik bersama di pinggir sungai dalam kota Kwi-lin, salah satu hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah ini, dinamakan juga kacang rindu.

In San juga keluarkan kacang merah punyanya sendiri, sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya, dengan berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Toako kau masih ingat sumpah setia kita dulu? Kacang rindu ini sebagai bukti, bumi dan langit sebagai saksi, selama hidup cinta kita takkan luntur."

Keluhan halus disusul deru napas yang memburu sebagai jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai. Sinar dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan terhembus padam oleh angin yang meniup masuk lewat celah-celah pintu. Didalam kegelapan, di alam sorga mereka nan indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.

Rasa resah telah lenyap, pikiran pun telah jernih kembali. Sinar pagi pun telah menerobos jendela. Begitu siuman Tan Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia melirik In San. Katanya perlahan: "Adik San, aku telah membuatmu celaka."

In San mengenakan pakaian, lalu duduk menggelendot dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap wajah sang kekasih: "Toako, jangan kau bilang demikian, sedikitpun aku tidak menyesal, kita sudah sumpah setia, apa pula salahnya kita lebih mempererat ikatan. Kenapa kau sesalkan dirimu malah?"

Seperti diiris perasaan Ciok-sing, pikirnya: "Kau tidak tahu, sayang aku tidak akan hidup berdampingan dengan kau sampai hari tua." Karena tidak ingin membuat In San sedih, maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.

Tanpa terasa, setelah asyik masyuk di atas ranjang, tahu-tahu hari sudah terang tanah, waktu mereka buka pintu keluar kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti tertawa tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya: "Semalam kalian bisa tidur nyenyak?!"

Merah jengah muka In San, plegak-pleguk tak bisa bicara. Tan Ciok-sing berkata: "Aku sudah lebih sehat, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan."

In San masih membujuk supaya dia istirahat beberapa hari, tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak tangannya terus menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar digabloknya pecah berantakan katanya tertawa: "Coba periksa, tenagaku sudah pulih setengah lebih bukan?"

In San kira ini berkat arak obat semalam katanya: "Baiklah, terserah kehendakmu."

Setiba di bawah gunung, terbayang akan kejadian semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah sampai ke telinga, katanya: "Adik San, memang akulah yang salah. Jangan kau menyalahkan paman Kokulon."

In San tertawa cekikikan, katanya: "Sedikitpun aku tidak menyesal, jangan kau salahkan dirimu sendiri, akupun tidak menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu sikapku terhadapmu dan membawa manfaat pula bagi kau. Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih nyata, maksudnya juga baik."

Lekas Tan Ciok-sing bicarakan persoalan lain: "Marilah lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan perjalanan yang gampang."

"Sepanjang jalan ini ada banyak peternakan, nanti kita bisa beli kuda yang baik."

Tak nyana setiba di bawah gunung setelah beberapa hari perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan manusia. Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga menempuh perjalanan dengan jalan kaki, jarang yang naik kuda. Yang naik kuda juga untuk kebutuhan sendiri, mana mau mereka menjualnya.

Negeri Watsu banyak terdapat padang rumput, rakyatnya banyak yang hidup dari hasil peternakan. Jadi peternakan tersebar dimana-mana. Tapi karena mereka harus menghindari pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus jalan-jalan pegunungan yang sepi, apalagi tujuan mereka ke arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang. Selama tiga hari itu mereka sibuk menempuh perjalanan sehingga tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Tanpa terasa mereka sudah sepuluh hari menempuh perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan, adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas mereka sudah keluar dari wilayah Watsu dan memasuki propinsi Sinkiang.

Hari itu mereka sedang melanglang di padang rumput, tiba-tiba tampak seekor kuda dilarikan kencang bagai terbang, penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan tahun. Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak: "Siauwya tarik kendalinya, jangan lari sekencang ini." Penduduk Sinkiang yang dekat perbatasan masih menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud perkataannya.

Dari cara lari kuda itu Tan Ciok-sing tahu kuda yang ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput adalah tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan yang bisa membuat kuda tersandung, bila kuda liar mengumbar adatnya, seorang pawang liehay pun jangan harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil itu. Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik peternakan di daerah ini, sejak kecil dibesarkan di punggung kuda, sifatnya suka menang dan sombong, meski tahu kuda ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin mencobanya. Orang yang mengejar di belakang itu adalah salah satu pawang kuda yang bekerja di peternakan ayahnya.

Di punggung kuda si bocah seperti terapung di atas mega saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena takut dia jadi gugup, teriaknya: "Aku tak berhasil menguasainya, lekas kau bantu aku." Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa mengejarnya, buat apa suruh dia menarik kendali dan berhati-hati.

Begitu kencang dan liar cara lari kuda itu sehingga kakinya menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu melonjak ke atas, empat kaki meninggalkan bumi. Jelas si bocah pasti terlempar jatuh dari punggung kuda.

Untung Tan Ciok-cing datang tepat pada waktunya, begitu kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah terpegang oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan kepalanya. Secara kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga tidak bisa berkutik, kepala tak kuat diangkat semula kakinya masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya meringkik-ringkik saja. Dalam pada itu In San telah membopong bocah itu turun.

Saking takut dan kaget pawang kuda itu sudah pucat dan sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak kurang suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta menghaturkan terima kasih.

Tiba-tiba tampak seorang laki-laki suku Uighor menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak: "Liang-ji, besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda galak dan masih liar itu, kau tidak jatuh?"

Orang ini adalah pemilik peternakan di daerah ini, bernama Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah putra tunggalnya bernama Tuli-liang.

Menghampiri ayahnya Tuli-liang berseru: "Ayah, kuda liar ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku." Lalu mulutnya nyerocos kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa menangkap artinya, tapi mereka menduga si bocah sedang menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ayah. Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar, dengan kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Ciok-sing.

Tan Ciok-sing tahu inilah salah satu adat orang-orang Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali persahabatan pula.

Tuli-bun bukan bangsa Mongol, tapi karena dia hidup di perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka adat istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing menerima hata itu dengan kedua tangan lalu membalas hormat dengan membungkuk tubuh, katanya: "Jongcu (pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."

"Kapan aku bisa kedatangan tamu dari jauh, berkat pertolonganmu pula hingga jiwa putraku selamat, tiada yang kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih, bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap beberapa hari."

"Terima kasih Jongcu, kami tidak tahu sungkan, tawaranmu kami terima dengan senang hati, biarlah malam ini bikin repot kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap semalam saja, besok juga harus terus berangkat."

"Lho, kenapa hanya semalam, menurut kebiasaan kami disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh, apapun tidak bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah penolong jiwa putraku?"

"Sebetulnya ada urusan penting yang harus kami selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu tidak boleh ditunda-tunda."

Ternyata Tuli-bun seorang yang lapang dada, dengan tertawa dia berkata: "Baiklah, urusan besok biar dibicarakan besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu kalian sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya."

Setiba di peternakan, perjamuan ternyata sudah mulai dipersiapkan. Setelah membersihkan badan Tan Ciok-sing berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang mewah dengan alas kulit bulu. Hidangannya adalah kambing utuh yang sedang dipanggang di atas api unggun, ada arak susu kuda. Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan rumah begitu ramah lagi, maka merekapun tidak sungkan lagi, hidangan yang tersedia dimakannya dengan lahap.

Setelah menghabiskan tiga cangkir arak, Tuli-bun berkata: "Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana mau kemana?"

"Ya, kami orang Han datang dari kota raja Pakkhia," sahut Tan Ciok-sing.

Tuli-bun tertawa, katanya: "Apa benar? Wah betul-betul tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun di tempat kita ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana dalam beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat tamu bangsa Han."

In San melengak, katanya: "Beberapa hari yang lalu, tempat kalian juga kedatangan tamu orang Han?"

"Iya. Kedua tamuku itu seperti juga kalian, muda-mudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku ingin tanya kalian..."

Untuk mendengar dan bicara bahasa Morgol, Tan Ciok-sing tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan dengan seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tuli-bun habis bertanya, putranya Tuli-Iiang telah merebut tanya: "Toako orang Han, apa kau pandai meniup seruling?"

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Aku hanya mahir memetik harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa kau tanya aku pandai tidak meniup seruling?"

Tuli-liang berkata: "Orang Han yang datang dua hari yang lalu pernah membawakan sebuah lagu dengan alat musik sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu kutanya, dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu bernama 'seruling'. Aku senang memainkan alat musik seperti itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup seruling. Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek kepala kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"

Mendengar orang Han yang bertamu dua hari yang lalu pandai meniup seruling, saking senang Tan

Ciok-sing sampai menjublek. Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak diperhatikan.

Tuli-bun mengomel: "Orang tua sedang bicara, anak-anak tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi bicara?"

In San berkata: "Kau ada sesuatu yang ingin tanya kepada kami?"

"Betul. Memang aku ingin tanya, bukankah kalian ingin pergi ke Thian-san?"

"Jongcu," ucap In San heran, "darimana kau tahu?"

"Kedua tamu Han yang datang duluan itupun hendak pergi ke Thian-san."

"Pernahkah mereka bercerita apa-apa?" tanya Ciok-sing.

"Agaknya kalian kenal baik dengan mereka? Jadi orang yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya apakah aku pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya mereka."

"Betul. Mereka memang sahabatku. Tapi aku tidak nyana mereka bisa berada disini."

Maklum orang Han yang pandai meniup seruling dan mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi kalau bukan Kek Lam-wi.

In San berkata: "Gadis yang mendampingi Kek-toako jelas adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka menyebutkan namanya tidak?"

"Nama bangsa Han kalian aku susah mengingatnya, bahasa Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku tidak jelas tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang pandai bicara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian besar pembicaraan mereka orangku itu yang menterjemahkan. Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh kusuruh memanggil orangku itu."

Tan Ciok-sing sudah yakin bahwa mereka adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar kabar tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Katanya: "Kalau tidak menyulitkan Jongcu, tolong panggilkan orangmu itu supaya aku bicara langsung dengan dia."

Tuli-bun segera suruh orang memanggil orangnya yang pandai bahasa Han, katanya: "Jarang ada orang Han yang datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa mencari tahu jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan kupilihkan dua ekor kuda paling bagus untuk kendaraan perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan selamat kepada kalian, mari silahkan habiskan secangkir ini."

In San menenggak habis secangkir penuh, katanya: "Kami ingin secepatnya dapat menyusul mereka, banyak terima kasih akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai rencana."

"Baiklah," ujar Tuli-bun, "aku tidak akan menggondeli kalian. Nona In, agaknya kau senang minum arak susu kuda buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."

Tan Ciok-sing heran, pikirnya: "Biasanya adik San tidak suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum arak. Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi aku tak kuat minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan karena desakan tuan rumah, rasanya aku sudah ingin muntah saja. Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda ini?"

Tuli-bun amat senang, katanya tertawa: "Kapan kau bisa minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari minum lagi secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."

Tak lama belum dia bicara habis, mendadak In San berdiri meninggalkan tempat duduknya terus berlari keluar kemah. Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar. Tuli-bun jadi gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.

Begitu keluar kemah, In San sudah tidak tahan lagi, dengan membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya, makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang kembali, cukup lama In San muntah-muntah sampai air matanya bercucuran.

Setelah reda dengan muka merah In San berkata: "Bikin kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."

Tuli-bun juga kikuk, katanya: "Memang aku yang salah, kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak suka makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku menyuguh secangkir teh lebih dulu."

Tan Ciok-sing sedikit tahu tentang ilmu pengobatan, segera dia pegang urat nadi In San, terasa denyut nadinya agak berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada penyakit. Tanyanya: "Adik San, kau merasa badan kurang enak?"

"Sukar kukatakan, mungkin minum arak terlalu banyak, kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu ingin muntah."

Tuli-bun risih, katanya kikuk: "Karena badan adikmu kurang enak, lebih baik lekas istirahat saja" Lalu dia tepuk-tepuk tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San masuk ke kemah yang telah disediakan.

Sudah tentu tuan rumah dan pihak tamu tiada selera lagi minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada pawang kudanya: "Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."

Tuli-liang heran, tanyanya: "Ayah, hari sudah malam, kau mau kemana?"

"Kau temani tamu kita, aku akan mengundang Jalakun." Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan Ciok-sing: "Jalakun adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia pernah ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun pandai mengobati."

Tan Ciok-sing menjadi rikuh, katanya: "Biasanya badan adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin, kukira kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repot-repot."

"Tidak apa-apa, kaukan ingin bertemu dengan dia, akan kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga tidak jadi soal, apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."

Tan Ciok-sing menunggu dengan perasaan tidak tenteram, karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan Siau-jongcu memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang memuji: "Bagus sekali petikannya. Belum pernah aku mendengar petikan lagu harpa semerdu ini." Logat orang ini agak mendekati penduduk perbatasan diluar Gan-bun-koan, meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat didengar oleh Tan Ciok-sing,

Waktu Tan Ciok-sing menoleh. Tampak yang masuk kemah adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur jenggot kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang seperti pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari tampangnya jelas bahwa dia orang Uighor.

Tan Ciok-sing berkata: "Terima kasih akan pujian tuan. Mohon petunjuk..."

"Jalakun, kau sudah datang," teriak Tuli-liang, "mana ayah? Engkoh orang Han, inilah orangnya yang bisa berbahasa Han."

Jalakun berkata: "Ayahmu serahkan kuda api sembraninya kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia kutinggal di belakang." Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu. Jalakun memberinya nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api.

Lekas Tuli-liang lari keluar menyambut kedatangan sang ayah.

Jalakun berkata: "Kabarnya adikmu setelah minum arak susu kuda badannya kurang enak bagaimana keadaannya sekarang? Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau bukan penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah aku memeriksa adikmu?"

"Dia sudah pergi tidur, sampai sekarang belum ada orang keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya baik-baik saja." Sahut Tan Ciok-sing.

Setelah mendengar sekedar penjelasan Tan Ciok-sing, Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian: "Kukira adikmu tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."

Mendengar perkataan orang gerambyang, sukar dipastikan, Ciok-sing agak bimbang, katanya: "Lalu dia terserang penyakit, penyakit..."

"Sekarang belum positip. Biarlah tunggu dia siuman, akan kuperiksa urat nadinya."

Rikuh Tan Ciok-sing bertanya pula. Terpaksa dia alihkan persoalan: "Kabarnya dua hari yang lalu ada dua orang Han lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"

"Ya, mereka memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek Lam-wi, yang perempuan bernama Toh So-so. Sekarang aku tahu orang yang mereka cari adalah engkau."

Sesuai dugaan Tan Ciok-sing, tapi dia pun merasa diluar dugaan: "Kenapa Kek-toako mau menyebut nama sendiri dan arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"

Jalakun seperti dapat meraba isi hatinya, katanya: "Walau aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau dikatakan sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa mereka adalah Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."

Tan Ciok-sing heran, katanya: "Darimana kau tahu?"

"Aku pernah melihat Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian," demikian tutur Jalakun, "syukur mereka sudi memandangku sebagai teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum keluar kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap pernah bilang bahwa dia punya dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena gemar musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu hobbynya meniup seruling.

Tan Ciok-sing baru jelas persoalannya, katanya: "Agaknya kau telah mendengar tiupan seruling Kek Lam-wi, irama serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka sekali dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"

"Betul." Ucap Jalakun, "maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau sama dia, sekali bicara lantas seperti teman lama. Ternyata dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan Jikonya dengan aku belasan tahun yang lalu."

"Kenapa mereka mau pergi ke Thian-san, apa kau tahu?"

"Katanya menghindar diri dari musuh besar yang menguber jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa, apakah liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu menghadapinya? Kek Lam-wi bilang, bukan mereka takut menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau Wi-cui-hi-kiau diundang untuk menghadapi mereka, rasanya terlalu membesar-besarkan urusan. Sudah lama mereka dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi, maka mereka lantas menyusulnya kemari. Sekedar bertamasya."

Sampai disini Tan Ciok-sing lantas maklum, pikirnya: "Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu Yau-hong yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di hadapan ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek kepada ibunya supaya menuntutkan balas sakit hatinya bersama sang ayah."

Jalakun berkata: "Menurut cerita Kek Lam-wi, kedua musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan, maka disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru berangkat."

Sampai disini pembicaraan mereka, tampak seorang pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan untuknya. Langsung pelayan itu berkata kepada Jalakun: "Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han itu." Jalakun adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang Tuli-bun semua mengenalnya baik.

"Kenapa si nona Han itu?" tanya Jalakun.

"Baru saja dia siuman, mendadak mengeluh perut sakit dan napas sesak, kami memberinya minum kuah Jin-som, tapi semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."

"Baiklah, sekarang juga akan kuperiksa." Ucap Jalakun sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk.

Melihat Tan Ciok-sing masuk, In San lantas berkata: "Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna begini, kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda sementara."

"Jangan kuatir, Jongcu telah mengundang tabib pandai untuk memeriksa keadaanmu,

penyakitmu pasti lekas sembuh dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."

Setelah memeriksa urat nadi In San, wajah Jalakun -menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa.

In San bertanya: "Tay-hu, aku kena penyakit apa?"

Jalakun berpikir sebentar, katanya tertawa: "Tidak apa-apa, mungkin kau tidak cocok dengan iklim disini. Cukup makan dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."

In San girang, katanya: "Jadi lusa kami sudah bisa melanjutkan perjalanan?"

"Betul, kalian cukup menunda perjalanan sehari saja." Ujar Jalakun. Lalu dia membuat resep dan langsung pergi ke gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan memasaknya langsung diminumkan kepada In San dua kali.

Jalakun tertawa, katanya: "Untung kalian berada di rumah Tuli-bun, dengan biaya besar tak segan-segan dia membeli bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari orang-orang Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa begini; setahunpun cukup kau pakai."

Setelah berada diluar perkemahan, secara berbisik Tan Ciok-sing tanya kepada Jalakun: "Apa betul adikku itu karena tidak cocok dengan iklim disini?"

"Aku ingin tanya kepadamu. Kalian bukan kakak beradik sepupu bukan?"

Tan Ciok-sing menduga Kek Lam-wi sudah menjelaskan asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia berkata perlahan: "Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah mengikat jodoh."

Jalakun tertawa lebar, katanya: "Kalau begitu patut kuberi selamat kepadamu, nona In tidak sakit, tapi dia sudah mengandung."

Tan Ciok-sing terbeliak, matanya memancarkan sinar kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya tertunduk tak berani bersuara.

Setelah In San minum obat pertama, baru Tuli-bun pemilik peternakan tiba di rumah.

"Bagaimana keadaan adikmu?" Begitu masuk langsung dia tanya.

"Tidak apa-apa." Sahut Tan Ciok-sing, "tabib bilang lantaran tidak cocok dengan iklim di daerah sini, setelah minum obat, besok juga pasti baik."

Hari kedua In San makan dua obat lagi, semangatnya ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia kala, juga tidak muntah-muntah lagi. Tapi dia lebih senang makan barang-barang asam.

Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan

In San berpamitan kepada Tuli-bun. Tuli-bun berkata: "Harap tunggu sebentar." Tak lama kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masing-masing menunggang seekor kuda mendatangi.

Tuli-liang berkata: "Kuda ini milik ayah, namanya Hwe-liong-ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang hari itu berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku untuk kalian."

Tan Ciok-sing berkata: "Kuda milik Jongcu mana berani kami terima? Kuda yang satu ini juga kesukaan Siau-jongcu, aku, kami..."

Tuli-liang berjingkrak, serunya: "Tidak, kalian harus terima pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah bilang mau menerima, kenapa sekarang mungkir? Barang yang diberikan kepada tamu memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar artinya, mana ada orang memberikan barang yang dibencinya kepada orang lain?"

Tuli-bun tertawa, katanya: "Orang Han kalian biasanya ada pepatah yang bilang, perkataan seorang Kuncu laksana kuda dipecut sekali, betul tidak? Kedua ekor kuda ini sudah menjadi milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai sahabat, maka jangan kau tolak pemberian kami ini."

Melihat orang tulus dan iklas, Tan Ciok-sing jadi sungkan, terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta mengucapkan terima kasih.

Tuli-bun berkata lebih lanjut: "Sekantong arak susu kuda ini dan sekantong ransum kering ini untuk bekal kalian di tengah jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."

Baru saja mereka hendak naik ke punggung kuda, tiba-tiba Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir, diam-diam dia memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apa-apa. Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In San, diam-diam dia merasa heran.

Setelah jauh meninggalkan peternakan, In San bertanya: "Sebetulnya aku terkena penyakit apa? Tabib itu sudah menjelaskan kepadamu?"

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Adik San, biar kujelaskan sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau sudah mengandung. Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat kandungan."

In San melenggong, katanya: "Apa betul aku, aku sudah hamil? Kau tidak ngapusi aku?"

"Kau belum pernah hamil, tapi perempuan hamil tentunya kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang makan yang kecut-kecut?"

Merah selebar muka In S.ui dengan malu-malu dia menunduk, tapi hatinya senang bukan main. "Adik San," kata Tan Ciok-sing, "aku yang bikin kau sengsara, kau, kau tidak marah kepadaku bukan?"

In San angkat kepala, katanya tertawa: "Siapa bilang aku tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak senang."

Tan Ciok-sing melongo, tanyanya: "Kenapa aku tidak senang?"

In San tertawa: "Kelak aku jauh menyayangi anak kita dari pada menyayangi kau, apa kau tidak iri?"

"Memang begitulah yang kuharapkan."

"Aku, aku sedang pikir..."

"Apa yang kau pikir?"

Semekar kembang senyuman In San, katanya perlahan: "Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan yang baru hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan menunggang kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam jangka dua bulan pasti kita bisa mencapai Thian-san, kurasa aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh kau mohon kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita. Sayang mungkin aku tidak bisa menemani pulang ke markas Kim-to Cecu."

"Kau menunggu kelahiran di Thian-san, disana ada orang yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa lega meninggalkan kau disana."

"Aku pun berpikir demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia angkat guru kepada Suhengmu. Setelah dia berusia dua belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan. Tapi jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun depan atau paling lama dua tahun sudah harus menengokku ke Thian-san.

"Kitakan belum sampai di Thian-san, kenapa kau bicarakan soal kedatangan kedua kalinya?"

"Tidak, toako, aku minta sekarang juga kau berjanji akan menepati permintaanku."

"Kau kira aku tega meninggalkan kalian ibu dan anak, sudah tentu selekasnya aku akan menengok kalian."

Manis mesra hati In San, katanya: "Baiklah, ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap kau tidak lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku."

'Ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk' adalah kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In San meniru logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga dada Tan Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak mampu bersuara.

In San teringat sesuatu, tanyanya: "Oh, ya, hampir lupa aku tanya kau, bukankah Jalakun membicarakan perihal Kek-toako dan Toh-cici?"

"Jalakun ternyata adalah sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama dengan dia. Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari tuntutan balas orang terhadap mereka."

"Kuda kita lari cepat, yakin suatu ketika pasti dapat menyusul mereka."

"Benar, bila ada Toh So-so di dampingmu, banyak pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia membantu kau."

Sudah tentu In San tahu apa yang dimaksud Tan Ciok-sing, seketika merah mukanya, katanya: "Aku sudah cukup istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kek-toako dan Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."

Tapi sehari sudah lewat, dua hari sudah berselang, ...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil menyusul Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.

Hari itu mereka tengah mencongklang kuda, tiba-tiba didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu dari belakang begitu kencang laksana angin lesus yang mengamuk.

Suara seorang yang sudah dikenal berkata: "Tan-siauhiap, kau takkan menduga aku bakal menyusulmu bukan? Teman lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari kuda, memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"

Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya yang menyusul adalah Buyung Ka.

"Buyung Ka," damprat Tan Ciok-sing gusar, "tidak malu kau berani menemui aku?"

Buyung Ka tertawa, katanya: "Tan-siauhiap, kenapa kau bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan tahun yang diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."

Menggelora amarah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Ho-siu-oh apa, beruntung aku tidak mati, karena Tok-ing-ji milikmu itu."

"Betul, memang Tok-ing-ji," ujar Buyung Ka tertawa, "aku kuatir, kau takkan menempuh perjalanan sampai di Thian-san, bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan mengubur mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang merawatnya..."

Saking murka Tan Ciok-sing meraung sambil menubruk. Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya, katanya: "Membunuh manusia durjana macam begini buat apa mematuhi aturan Kangouw."

Buyung Ka tertawa tergelak-gelak katanya: "Kalian tidak akan mematuhi aturan Kangouw jadi mau mengeroyok aku. Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi aturan Kangouw."

Tampak dari dalam hutan menerjang keluar tiga orang penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di kanan kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama: "Tan Ciok-sing. Kau melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati guru, maaf sesuai perkataanmu kami tidak akan mematuhi aturan Kangouw."

Tiga orang ini adalah murid Milo Hoatsu, dua padri Lama, seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah Toa-kiat, murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu. Seorang lagi bersenjata kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling dibanggakan, yaitu Tiangsun Pwelek, Tiangsun Co. Kuatir Tan Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka menyusul datang dan mencegat serta akan membunuhnya.

Ketiga orang ini turun bersama dari punggung kuda. Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka. Bahwasanya Buyung, Ka memang tangan Yu-hian-onij yang sengaja ditanam di dekat Jenderal Abu sebagai agen rahasia untuk membunuhnya kuatir rahasianya terbongkar, sehari Tan Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup tentram. Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup mulutnya.

Keduanya sama-sama sengit dan bertekad merobohkan lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas dan mematikan. Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu, Tan Ciok-sing malah mendesak maju balas menyerang dengan jurus Li Khong memanah batu, pedangnya menusuk leher.

Di tengah berkelebatnya sinar pedang, terdengar "Cret" tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka terbang berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak sempoyongan seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir padam tertiup angin, setelah mundur beberapa langkah, baru berdiri tegak pula.

Untung Buyumg Ka berkelit cepat, dia gunakan Hong-tiam-thau menghindar, walau lehernya tidak tertusuk pedang, namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak. Ujung pedang Tan Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya silir dingin.

Hanya segebrak, Buyung Ka hampir saja terenggut nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun setelah lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang: "Memang tidak lepas dugaanku, Lwekang bocah ini tidak setangguh dulu, lekas kalian kemari."


Tiangsun Co mendahului melompat maju, dendamnya terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia melabrak maju.

Sebelum Tan Ciok-sing berdiri tegak. Tiangsun Co telah menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai: "Anak keparat rasakan pembalasanku." Sembari bicara tangannya bergerak, kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba terkembang, dengan gerakan Ngo-hing-kiam dia menyerang gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak Ciok-sing. Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan Tiangsun Co, dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.

"Tiangsun Co, luka-luka di bokongmu, karena pukulan empat puluh kali itu sudah sembuh belum? Jangan karena sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami mengampuni jiwamu, pernah kuperingatkan kepadamu, masa begini cepat sudah lupa," demikian ejek In San dengan tawa dingin, di tengah ejekannya itu, "Sret", beruntun tiga kali pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas.

Bahwa In San mengorek boroknya, karuan Tiangsun Co mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu, kalau dinilai kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding In San, tapi karena diburu hawa amarah, permainannya menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali serangan pedang kilat, kipas lempit di tangan Tiangsun Co berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia berusaha memutar balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya dapat memunahkan dua jurus terdahulu serangan In San, jurus terakhir "Ting" kembang api berpijar, ternyata kipas lempitnya tertusuk bolong. Ceng-bing-kiam yang dipegang In San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa hidupnya.

Dalam pada itu Toa-kiat dan Toa-siu juga telah menubruk tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka kembali menerjang maju.

Toa-siu menggerung keras toya besinya diayun dengan jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk. Bertepatan saat itu In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak serasi, "Tang" toya kena ditangkis pergi. Kungfu Tan Ciok-sing memang belum pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar biasa kekuatannya.

Tan Ciok-sing gentayangan dua kali baru berdiri tegak pula, sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah mendesak maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.

Tan Ciok-sing berkata: "Adik San, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Ada seorang yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."

Teringat orok yang masih dalam kandungannya, serasa diiris-iris perasaan In San, "tapi tegakah dia tinggal pergi, membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu menghadapi ke empat musuhnya?

Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu In San telah mati, maka dia kira "orang yang perlu dijaga dan dirawat" oleh In San seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak tawa dia berkata: "Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku, sudah tentu ibunya adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap keluarganya adalah jamak kalau aku ikut merawatnya." Di tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak mencengkram.

"Kunyuk kurang ajar." Mendadak Tan Ciok-sing menghardik, selicin belut tiba-tiba dia mengegos maju, menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toa-kiat yang merangsak tiba, "Sret" tahu-tahu pedangnya telah mengancam muka Tiangsun Co.

Lekas Tiangsun Co menekan dan mengebas kipasnya, "Cret" kembali kipasnya bolong tertusuk pedang, kalau Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu sudah terpapas kutung. Untung dari samping lekas Buyung Ka memukul sehingga Tiangsun Co didorong mencelat ke samping.

Serangan Tan Ciok-sing masih belum habis tenaganya, maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka. Padahal Buyung Ka sudah kerahkan sembilan bagian tenaganya, tapi tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya, mau tidak mau kaget juga hatinya: "Kenapa bocah, ini kelihatan menjadi makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura untuk menipu aku?"

Melihat In San terancam bahaya, saking gugupnya, tenaga simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek. Demikian pula orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa melakukan sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa mustahil bisa dilakukan, apalagi sekarang Ciok-sing sudah pulih tujuh bagian Lwekangnya.

Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih kuat inipun dirasakan oleh In San, segera dia berteriak: "Betul. Di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh."

Tan Ciok-sing seketika sadar, segala keruwetan dan kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas sekali ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin kemantapan batinnya. Apakah jiwanya bakal segera tamat? Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu kesulitan teman baik (Kek dan Toh)? Demikian pula apakah In San dan bayi dalam kandungannya bisakah selamat? Semua persoalan yang tadi berkecamuk dalam benaknya, sekarang telah disapunya bersih sementara.

Bila hati tenang, pikiran jernih dan batinpun bening, tanpa terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas sekali pulih delapan bagian. Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat pengeroyoknya dalam beberapa lama. Tapi keadaan juga hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak mungkin bisa mencapai kemenangan.

Sebaliknya melihat kekuatan kedua muda mudi ini makin kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar serangan mereka, tapi hati sudah mulai was-was.

Pertempuran telah berjalan setengah jam tenaga kedua pihak sudah terkuras, kekuatan meicka sudah lemah. Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat, keringat gemerobyos, napas tersengal-sengal.

Suatu ketika Tan Ciok-sing melihat titik kelemahan lawan, sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci, gaya pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia menutulkan pedang di ujung gada Toa-kiat. Dalam gebrak permulaan tadi. Ciok-sing pernah gunakan jurus ini untuk menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini terlaksana keinginannya.

"Trang" keras sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya besi Toa-siu. Tenaga kedua orang kira-kira sebanding, bobot senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga benturan keras yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi, gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara toya Toa-siu mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat. Sepasang saudara seperguruan ini menjerit keras terus roboh binasa.

Sudah tentu kejut Buyung Ka bukan kepalang, serasa arwahnya lolos dari raganya,- tanpa banyak bicara segera dia putar tubuh terus ngacir. Tan Ciok-sing gerakan pedang dan pukulan telapak tangan, pedangnya menabas kulit daging di pundak orang, sementara telapak tangannya telak menggaplok punggungnya. Luka pedang agak ringan, celaka adalah pukulan telapak tangan yang telak mengenai punggung, "Huuuaah". Darah segar tumpah dari mulutnya.

Tapi Kungfu Buyung Ka memang hebat, meski sudah terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini, ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang tenaga Tan Ciok-sing sudah bertolak kembali, tusukan pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran, sebelum sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung kuda. Kuda itu pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari negeri Turfan yang mahal harganya, kecepatan larinya tidak kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing, padahal kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas tidak sempat lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari.

Taraf kepandaian Tiangsun Co tidak setinggi Buyung Ka, larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan dari Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah lari mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana kakinya sudah masuk pedal dan hendak naik ke punggung kudanya.

In San amat benci akan ocehannya yang tidak genah tadi, alisnya tegak, bentaknya: "Bangsat, terlalu menghina kau, masih mau lari?" Menggunakan sisa tenaganya dia ayun lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur samberan kilat meluncur ke depan. Baru saja Tiangsun Co duduk di punggung kuda, seketika dia melolong panjang mengerikan. Pedang mustika tembus dari punggung ke depan dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas tanah. Kuda itu tergores luka oleh ujung pedang waktu Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan lari sipat kuping dan tak kelihatan lagi.

"Sayang Buyung Ka keparat itu bisa lolos," demikian ujar In San, "Sing-ko, tolong kau cabut pedangku itu." Waktu bicara tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh, ternyata waktu menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya, untuk jalan sudah tidak mampu lagi.

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Adik San, kenapa kau?" Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir pedang tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya kalau In San terluka perlu segera ditolong dan diobati.

"Tidak apa-apa," kata In San, "hanya kehabisan tenaga saja, istirahat sebentar juga sudah baik."

Lega hati Tan Ciok-sing, dia genggam tangannya, katanya: "Coba kuperiksa urat nadimu."

In San kaget, serunya: "He, kenapa telapak tanganmu sedingin ini? Aku tidak apa-apa, sebaliknya kau..."

Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing sudah lepas pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di tanah. Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan terbukti kesehatannya tidak kurang suatu apa, legalah hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak kuat berdiri lagi. In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling berpelukan.

Lekas Tan Ciok-sing duduk dan berkata: "Jangan kuatir, duduk istirahat sebentar nanti juga baik."

Perasaan In San tidak karuan, pikirnya: "Mungkin sisa racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam mengelabui aku."

Tak lama kemudian tampak uap putih mulai mengepul di atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah, pelan-pelan terbuka matanya dan berkata perlahan: "Tenagamu sudah agak pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita harus lekas menempuh perjalanan."

In San juga cukup ahli dalam ilmu silat, dia tahu Ciok-sing sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri luka-luka dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata: "Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu sendiri menjadi tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."

Alasan yang dikemukakan ln San memang beralasan, terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia melompat bangun, katanya: "Sudah selesai."

In San ragu-ragu, katanya: "Apa betul kau sudah baik?"

Tan Ciok-sing membalikkan tangan, sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya: "Kapan aku pernah bohong kepada kau?"

Ternyata Kek Lam-wi dan Toh So-so juga sedang ngacir, keadaan mereka lebih runyam lagi. Baru mereka memasuki wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang mengejar.

Hari itu mereka sudah memasuki daerah bersalju, hari ke sembilan sejak mereka mulai pelarian.

Mendongak mengawasi puncak gunung besar di depan, lega hati Kek Lam-wi, katanya senang: "Tak terasa kita sudah sampai di Thian-san."

Toh So-so juga kegirangan, serunya: "Apa betul? Waktu kita menginap di perkemahan suku Wana, bila membicarakan Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak nyana tahu-tahu sudah di depan mata?"

"Ini hanya cabang gunung Thian-san, namanya Liam-ceng-tang-ku-la-san." Ujar Lam-wi.

"O, jadi kau menggodaku supaya senang." Omel Toh So-so.

"Meski bukan puncak Thian-san, tapi terhitung kita sudah berada di kaki Thian-san. Entah berapa hari lagi kita harus menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini, Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah didalam haribaannya."

"Betul, makin dekat Thian-san. semakin jauh kita meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu punya nyali setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap kita di Thian-san."

"Bisa bebas dari kejaran mereka memang syukur, tapi yang lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita makin mendekati Thiansan..."

"Sehari kau bisa lebih cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan mereka, untung Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah jelus." Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah setelah menempuh perjalanan jauh dan susah, "Lam-ko, aku kepingin mendengar tiupan lagu serulingmu. Sudah sekian hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan, sekarang tiba saatnya menghibur diri."

Tak nyana belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar sebuah lengking suara yang menusuk telinga: "Budak busuk, coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."

Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah bikin pekak telinga Toh So-so.

Toh So-so tahu siapa yang memekik keras itu, saking kaget dia menjerit ketakutan.

Kek Lam-wi kembangkan Ginkang berlari ke atas seperti terbang. Tampak dari depan "mendatangi dua orang, seorang kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah bunda Kangouw Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiam-khek Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat Bing Lan-kun.

"Liu-locianpwe," teriak Kek Lam-wi, "kau adalah seorang Cianpwe yang punya nama dan kedudukan tinggi di kalangan Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran, putramu itu..." yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi 'kedudukan' tinggi hakikatnya tiada.

Sebelum Kek Lam-wi bicara habis, Bing Lan-kun sudah membentak: "Orang she Kek urusan tidak menyangkut dirimu. Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada dua jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi menantuku, kalau tidak biar kugores mukamu beberapa jalur, seperti kau melukai putraku itu."

Meski jeri tak urung membara amarah Toh So-so, serunya: "Nenek peyot galak, tahukah kau putra kesayanganmu itu..."

"Budak busuk," sentak Bing Lan-kun, "kau sudah melukai putraku, berani memakiku." Tar, pecutnya kontan terayun.

Lekas Kek Lam-wi mencegat ke depan, teriaknya: "Liu-locianpwe, kau orang ternama, urusan harus dibicarakan dulu supaya gamblang bukan?"

Membesi muka Liu Jiu-ceng, katanya: "Aku tidak memukul kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi menantu, memangnya merendahkan derajatnya?"

Toh So-so jelas bukan tandingan Bing Lan-kun, beberapa kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi mendampinginya melawan musuh.

Bing Lan-kun mengembangkan Wi-hong-sau-yap, ilmu cambuknya yang paling dibanggakan, "Sret, sret" angin menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolah-olah 'mendadak timbul pusaran angin lesus menggulung ke arah Kek dan Toh berdua.

Cambuk lemas panjang itu berputar menjadi beberapa lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan kecil, didalam lingkaran ada lingkaran. Begitu hebat dan menakjubkan juga permainan cambuk Bing Lan-kun. Kek Lam-wi dipaksa untuk mendemontrasikan King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya atas petunjuk Ti Nio, namun demikian, tak berhasil dia memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu. Tak lama kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam lingkaran cambuk lawan.

Di tengah kesibukannya itu mendadak Kek Lam-wi bersiul sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.

Bing Lan-kun menjengek dingin: "Kematian di depan mata masih bersenandung segala." Padahal dalam hati merasa heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan masih sesantai itu berdeklamasi segala.

Tampak permainan seruling Kek Lam-wi, tiba-tiba berobah. Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar laksana angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin. Perbawanya sungguh mirip gunung bersusun dan berlapis sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi. Herannya rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.

Ternyata King-sin-siau-hoat merupakan cangkokan dari King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan deklamasinya membawakan dua bait syair pula, serulingnya bergerak dari atas ke bawah terus membabat dan menyapu. Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap tak mampu menjebol garis pertahanan lawan. Habis senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah gerakan, tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu ditiupnya sekali, "Suuiiiit" Bing Lan-kun memaki: "Setan, apa yang kau lakukan?" Mendadak serumpun angin panas menerjang muka, karuan kagetnya bukan main, dia kira lawan menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup keluar dari serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk melindungi badan. Yang benar yang menerpa mukanya bukan senjata rahasia tapi serumpun hawa hangat dari tiupan serulingnya yang panas. Seperti diketahui, seruling Kek Lam-wi itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya melebihi besi atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari seruling pualam itu dapat menyerang musuh dan menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif. Sudah tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi kekuatan Lwekang yang cukup tangguh juga. Lwekang Bing Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi, maka dia tidak terluka oleh tiupan hawa murni. Tapi muka kesampuk hawa hangat itu menjadi pedas dan perih.

"Tua bangka," teriak Bing Lan-kun, "anak itu bukan milikku sendiri, kau biarkan orang menghinaku."

Liu Jiu-ceng takut bini seperti berhadapan dengan harimau, terpaksa dia menampilkan diri. Begitu dia terjun ke arena, situasi segera berobah. Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi telah terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung menindihnya, bukan saja gerakan seruling terasa berat dan susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun menjadi kurang leluasa.

Tengah mereka menghadapi bahaya, tiba-tiba terdengar irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa angin lalu.

Mendengar petikan senar-senar harpa yang merdu itu, diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget. "Siapa memiliki Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay telah datang?"

Maklum pertama irama kecapi itu terdengar, suaranya mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah berkumandang jelas dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas sudah teramat tinggi. Orang yang bisa memanjat pegunungan setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi Ginkang pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu indah dan merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa susah diraba dan dirasakan, logis kalau Liu Jiu-ceng curiga yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.

Pertarungan jago kelas wahid mana boleh terpecah perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan serangan pedang yang dfkombinasikan pukulan telapak tangan. "Biang" Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan Bik-khong-ciang. Liu Jiu-ceng juga tertiup angin hangat dari seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di dadanya.

Lwekang Liu Jiu-ceng lebih tangguh dari Kek Lam-wi, cukup tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali dia sudah segar bugar. Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa memburu Kek Lam-wi untuk membekuknya.

Di sebelah sana Yam-lo-sat Bing Lan-kun telah menyandak Toh So-so. Toh So-so menjejak kaki sekuatnya, meloncat berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat serambut, "Brett" pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan lawan.

Tapi pada detik-detik berbahaya itu pula, Kek dan Toh memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka duga, Toh So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai: "Budak busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi setan burik? Lekas katakan, kuhitung tiga kali, kalau kau tidak menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu dengan pedangku ini. "Satu, dua..."

Toh So-so merangkak mundur, belum mampu dia berdiri, sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung 'tiga'. Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat menyambar, bersama kilat pedangnya menyambar penyerang inipun menubruk maju laksana seekor burung besar menubruk ke arah Bing Lan-kun.

Bing Lan-kun amat kaget, lekas dia mencelat minggir ke samping sambil mengibas lengan baju. Maka terdengar suara robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak mampu menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya terpapas sebagian. Untung Bing Lan-kun mengeluarkan cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.

"Perempuan siluman, berani kau menyakiti Toh-cici, biar aku adu jiwa dengan kau."

Baru sekarang Bing Lan-kun melihat jelas penyerang dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain adalah In San.

Bahwa In San sudah tiba, sudah tentu Tan Ciok-sing juga sudah datang. Kedatangannya juga tepat pada waktunya, kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul mencelat dan hampir terjerumus ke dasar jurang.

Untung waktu melancarkan Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak sepenuhnya. Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak, meski pukulan Bik¬ khong-ciang cukup keras namun Kek Lam-wi tidak terluka sama sekali. Tapi bila Kek Lam-wi menginjak bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan lemah lunglai.

Melihat orang tidak terluka, legalah hati Tan Ciok-sing, segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil menjura: "Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu kejadian Wanpwe kebetulan juga hadir. Sudilah kau mendengar dulu penjelasanku, supaya pertikaian kalian bisa kudamaikan."

Sebetulnya tak usah dijelaskan oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiu-ceng sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak putranya. Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di samping didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak itu, meski tahu di pihak sendiri yang salah, terpaksa dia berusaha menuntut balas bagi sakit hati anaknya.

Yang dia takuti adalah Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda tanggung usia belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.

Dengan menyeringai dingin Liu Jiu-ceng membentak: "Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai? Lekas menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau tidak, hm, hm, segera kupunahkan ilmu silatmu."

Melihat kawan baiknya dihina, sudah tentu Tan Ciok-sing amat marah, bentaknya: "Kalau mampu boleh silahkan kau punahkan ilmu silatku." Pedang tercabut terus diputar balik, "Tang" kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok keras, tiada yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing tertolak pergi, tubuhnyapun gentayangan dua langkah. "Kena." Tiba-tiba Liu Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu, ujung pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan Ciok-sing.

Di luar tahunya Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang sudah diyakinkan sempurna, permainan sudah selaras dengan pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan Ih-sing-hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang, langkahnya

gentayangan seperti orang mabuk, tapi pada hal merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang mengandung isi kosong susah diraba. Seperti orang mabuk menggerakkan pedang saja, gerakan pedang seenaknya itu tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi yang tak terduga oleh Liu Jiu-ceng.

Kalau yang diserang seorang yang berkepandaian agak rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan Ciok-sing, tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali tusukannya, arena seluas beberapa tombak seperti terbelenggu didalam kekuatan dalamnya sekokoh tanggul dan sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar pergi oleh kekuatan Lwekang lawan. Tapi, Tan Ciok-sing berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini, mencelat kesana bergabung dengan In San. Ternyata In San sedang didesak mundur oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.

Siang-kiam-hap-pik kekuatannya berlipat ganda, Liu Jiu-ceng yang memburu datang dengan serangan pedangnya kena ditangkis cerai berai. Demikian pula cambuk panjang Bing Lan-kun seperti terkunci didalam lingkaran sinar pedang, buru-buru dibetotnya keluar. Padahal cukup tangkas reaksinya, tapi terdengar "Cras" sekali, ujung cambuknya terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat suaminya. Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung dengan kawannya sendiri.

Tan Ciok-sing menghentikan aksinya, katanya: "Liu-locianpwc, berlakulah murah hati, dimana boleh diampuni, berilah pengampunan..." dia masih berusaha melerai.

"Bocah keparat." Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar, "kau kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik kalian?" Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu sekeras badai, sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba melingkup pula, laksana mata rantai saja tahu-tahu menyapu miring terus melintir-lintir. Jurus ini merupakan serangan hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan ke ujung pedang, Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan Ciok-sing dan In San juga hanya mampu bertahan dan menahan saja.

Pertempuran seru berulang, ujung pedang Liu Jiu-ceng seperti diganduli barang berat, menuding ke timur menusuk ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung pedangnya menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa, sayup-sayup seperti terdengar gemuruh gcluduk Kalau dalam keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I n San, Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi. Tapi keadaan Tan Ciok-sing sekarang agak payah. Lwekangnya belum pulih, luka dalam, keracunan lagi, demikian pula In San sedang hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi, maka sekuatnya mereka masih kuat bertahan.

Kek Lam-wi dan Toh So-so menyaksikan pertempuran diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan, kembang sama rontok bertaburan, dalam sekejap saja, daun-daun dan kembang-kembang di atas pohon sekitar gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal dahan-dahannya saja. Kek Lam-wi geleng-geleng sambil menghela napas panjang, bukan saja takjub diapun kagum dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena dirinya tidak mampu membantu.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang, bagai pekik naga mengalun tinggi menembus angkasa menggetar bumi. Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar siulan itu, perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata. Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat kaget, pikirnya: "Entah orang itu kawan atau lawan, Lwckangnya jauh lebih tangguh dari Tan Ciok-sing keparat ini."

Tan Ciok-sing sedang mengembangkan kekuatan Bu-bing-kiam-hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak memadai, sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi kedatangan lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan Ciok-sing? Karena kaget dan perasaan tergetar, betapapun hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya menjadi kacau.

Kalau permainannya menurun, sebaliknya cahaya pedang Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring sederas bunyi ledakan mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun terputus-putus menjadi delapan potong. Pedang Liu Jiu-ceng memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang mengancam dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong oleh pedang Tan Ciok-sing kulit kepalanya menjadi silir.

Memutar tubuh Liu Jiu-ceng terus melarikan diri. Baru sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya asing memuji: "Ilmu pedang bagus."

Sekenanya orang itu meraih sekeping es terus tangan terayun, bentaknya: "Kalian berani bertingkah di Thian-san, lantas mau lari begini saja? Tinggalkan sedikit tanda mata." Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua dan meluncur ke arah dua sasaran. Bing Lan-kun lari di depan sementara Liu Jiu-ceng di belakangnya, tapi kedua orang terkena timpukan es itu berbareng.

Kontan Bing Lan-kun menjerit terus menggelinding ke bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh tubuh seperti melepuh dan hampir meledak. Ternyata ilmu silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga Liu Jiu-ceng kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan. Untung Liu Jiu-ceng masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun yang menggelundung di tanah bersalju juga tidak terluka parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong isterinya terus lari turun gunung tanpa pamitan lagi.

Melihat orang itu mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu siapa yang datang, serunya: "Apakah Toh-suheng yang datang? Siaute adalah..." saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar, pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup angin kencang, tubuhnya terombang-ambing.

"Ciok-sing Sute," seru Toh Thian-tok. "Aku sudah tahu kau adalah murid penutup Suhu. Eh, Sute kau kenapa?"

Tan Ciok-sing sudah tidak tahan, akhirnya meloso duduk di tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang amat penting. "Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiam-hoat, sayang aku tidak sempat menjelaskan kepadamu panjang lebar."

"Sute," ujar Toh Thian-tok, "jangan kau kuatirkan soal ini setelah menyaksikan ilmu pedangmu, aku sudah tahu pedangnya..." sebagai maha guru silat nomor satu di jaman ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu, ajal Tan Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Tok-ing-ji di tubuh Tan Ciok-sing telah kumat sehingga hawa murninya buyar seketika.

Tan Ciok-sing turunkan harpa, katanya: "Kek-toako, sudah lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san, belum pernah ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar, sekarang biarlah aku penuhi keinginanmu." Sebelum Kek Lam-wi sempat mencegah jari-jarinya sudah mulai memetik senar-senar harpa.

Seperti sepasang kekasih yang sedang asyik memadu cinta, seperti sesama kawan intim yang melepas rindu. Seperti pula berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana berdiri di puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin laksana siulan merdu... tanpa terasa In San tenggelam dalam alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke belakang, akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu cinta bersama Tan Ciok-sirtg.

Mendadak bunyi harpa berobah, seperti pekik lutung di selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang ditinggal kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya

untuk mencurahkan isi hati dan makna suci dari Khong-ling-san di saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal. Berpisah dengan teman, berpisah dengan isteri... mendadak "Creng" senar harpa putus.

Senar putus jiwapun melayang. Lama In San mematung seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil memeluk jenazah Tan Ciok-sing.

TAMAT


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar