Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 3

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 3
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 3

Waktu itu istri Thio Tan-hong yaitu bibi In Hou yang bernama In Lui sudah meninggal beberapa tahun, Thio Tan-hong sudah berniat mengasingkan diri ke Ciok-lin, mendengar isteri In Hou melahirkan seorang bayi perempuan maka dia hadiahkan pelajaran ilmu pedang ini sebagai kado, diminta kelak setelah sang bayi menanjak dewasa mengajarkan ilmu pedang ini kepadanya. Waktu itu Thio Tan-hong sudah jelaskan dimana manfaat dan kegunaan kedua ilmu pedang gabungan ini kepada In Hou, malah diapun menambahkan pesan: "Inilah ilmu pedang gabungan yang biasa dimainkan aku bersama bibimu, bibimu tidak melahirkan putra putri, maka perlu aku meninggalkan warisan ilmu pedang jerih payahnya ini kepada keponakan perempuannya. Kelak bila kau mendapatkan menantu bagus, ilmu pedang jantan akan kuturunkan kepadanya. Kuharap kelak dia adalah muridku, tapi umpama dia bukan muridku, ilmu pedang gabungan ini juga pasti akan kuacarkan kepadanya."

Setelah In San tumbuh dewasa sang ayah lantas ajarkan ilmu pedang ini kepadanya, malah sering dia berkelakar menggoda putrinya: "Murid Thio Tayhiap jauh lebih tua dari kau sejauh ini dia belum menerima murid penutup, kukira harapannya kelak k;m menikah dengan murid didiknya bakal menjadi angan-angan kosong belaka. Tapi kado pemberian Thio Tayhiap terhadapmu ini boleh dikata merupakan hadiah yang tak ternilai harganya, coba siapa jejaka yang punya rejeki sebesar ini dapat mewarisinya."

Kini di kala kepepet dan jiwa terancam bahaya, tanpa sadar In San lantas teringat akan pelajaran ilmu pedang gabungan yang liehay ini, kebetulan Tan Ciok-sing juga sedang menggunakan Pek-hong-kiam, maka tanpa banyak pikir secara reflex tangannya bergerak menurut ajaran ilmu pedang gabungan yang diperoleh dari Thio Tan-hong.

Perbawa ilmu pedang gabungan ternyata mampu mengatasi kekuatan gabungan ilmu pedang Huwan bersaudara, malah didalam perkembangan gaya pedangnya jauh di atas ilmu gabungan ke empat musuhnya.

Bahwa barisan pedang mendadak tercerai berai, karuan bukan kepalang kejut Huwan bersaudara, lekas mereka berputar posisi merubah kedudukan, kaki melangkah menurut Ngo-hing-pat-kwa menyurut mundur, pikirnya hendak ganti napas lalu serempak meronta serta balas menyerang.

Sudah tentu kejut dan girang Tan Ciok-sing bukan main, segera dia pegang kencang kesempatan baik ini, tanpa memberi kesempatan ke empat musuhnya ganti napas, pedang dimainkan sekencang kiliran, dia rabu musuh dengan tusukan dan tabasan pedang.

Ilmu golok warisan keluarga In terkenal di seluruh jagat ini dan tiada bandingan, kini dia ganti memakai pedang yang bobotnya lebih enteng untuk merangsak musuh, maka daya kecepatannya ternyata mampu menyamai gerakan pedang Tan Ciok-sing. Hakikatnya dia tidak usah peduli jurus permainan apa yang dilancarkan Tan Ciok-sing, cukup asal dia bekerja sesuai teori ilmu pedang dan dipraktekkan secara fasih dan betul, ternyata setiap gerak dan jurus permainannya cocok dan serasi satu dengan yang lain

"Trang", pergelangan tangan Huwan Riau tertusuk pedang lebih dulu, senjatanya mencelat jatuh. Maka beruntun terdengar pula suara berisik dari senjata-senjata yang kebentur patah, pedang panjang Huwan Hou dan Huwan Pau tertabas kutung, sementara pedang panjang Huwan Liong yang berkepandaian tinggi juga gumpil delapan tempat, selanjutnya jelas takkan bisa dipakai lagi.

Karuan bukan kepalang kaget dan jeri Huwan bersaudara, serempak mereka menjerit bersama terus ngacir ke empat penjuru. Liong Seng-bu si kurcaci ini lebih takut mati pula, begitu melihat gelagat jelek siang-siang dia sudah menyingkir ketempat jauh dan melarikan diri lebih dulu.

Kuda tunggangan mereka adalah kuda-kuda perang yang sudah terlatih baik, mendengar tanda suitan para majikannya lekas mereka lari mendatangi. Tapi ada seekor larinya agak terlambat, malah sering berpaling kemari seperti ada sesuatu yang berat ditinggalkan. Sekali cemplak Tan Ciok-sing mencelat ke punggungnya terus ditarik kekangnya dan ditundukkan kembali.

Huwan Liong, Huwan Hou dan Huwan Pau sudah mencemplak kuda tunggangan masing-masing, kuda yang dirampas Tan Ciok-sing adalah kuda tunggangan Huwan Kiau, sudah tentu dia tak berani merebutnya lagi, saking ketakutan lekas dia berlari ke arah sang Toako dan mencemplak di belakang punggung saudaranya, dua orang satu tunggangan terus ngacir sipat kuping, cepat sekali mereka sudah lari jauh tak kelihatan lagi.

Kuda putih yang dinaiki In San itu tampak lari keluar dari dalam hutan, kuda yang ditunggangi Tan Ciok-sing semula masih meronta-ronta, namun begitu melihat kuda putih itu, sikapnya seketika lembut dan menurut, tanpa dikuasai dia berlari menghampiri kearah kuda putih lalu saling menggosok kepala dan mendengus-dengus dengan mesranya. Kiranya kuda putih In San ini kuda jantan, kuda yang dirampas Tan Ciok-sing adalah kuda betina, maklum laki dan perempuan saling berkasih mesra. Agaknya kedua kuda ini sekali bertemu hati lantas terpaut dan jatuh cinta.

Sudah tentu jengah muka I n San, katanya menarik kuda putih: "Kudaku ini bisa lari cepat, masih sempat aku kejar bangsat she Liong itu."

"Mereka sudah lari, tak perlu dikejar," ucap Tan Ciok-sing, "kuda yang baru kurampas ini mungkin belum mau tunduk padaku, biarlah mereka berkasih mesra sebentar."

In San juga tahu kuda tunggangan Tan Ciok-sing takkan bisa menandingi kecepatan lari kuda putih, seorang diri dia takkan mampu membekuk Liong Seng-bu, terpaksa dia batalkan niatnya.

Teringat adegan berbahaya tadi sungguh jantung Tan Ciok-sing masih berdebar, katanya: "Nona In, tak nyana ilmu pedangmu ternyata juga seliehay itu."

Semakin merah wajah In San, katanya: "Memangnya hanya ilmu pedang ini yang pernah kuyakinkan, setelah dimainkan secara serampangan, tak kira berhasil menggempur mundur musuh. Yang benar ilmu pedangmu yang liehay, aku toh hanya memperoleh bantuanmu."

Saat mana hari sudah gelap, tapi di ujung barat di kaki langit sana masih kelihatan selarik sinar kemerahan, rona jengah di wajah In San jadi kelihatan berpadu, diam-diam bergetar hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Anak perempuan memang aneh, sedikit bicara juga mesti merah mukanya. Katanya tertawa: "Nona In, kenapa kau jadi begini sungkan? Justeru aku yang mendapat bantuan sepenuh tenagamu baru berhasil lolos dari bahaya. Nona In, kau tidak menyalahkan aku bukan?"

In San melongo, katanya: "Menyalahkan kau apa?"

"Tadi kuatir musuh terlalu kuat, aku tidak ingin kau ikut mengalami bahaya dan terancam jiwamu, maka kuminta kau lekas lari lebih dulu. Untung kau tidak mendengar nasehatku. Tapi bukan maksudku hendak memandang rendah dirimu, tentunya kau tidak salah paham bukan?"

Sungguh malu dan haru pula hati In San mendengar perkataan Tan Ciok-sing yang tulus ini, katanya: "Kau selalu memikirkan diriku, berterima kasih toh aku belum sempat, mana aku berani menyalahkan kau?" dalam hati dia membatin: "Memangnya dia belum tahu asal-usul dari ilmu pedang gabungan ini, atau sengaja hendak memancing reaksiku?"

Tan Ciok-sing berkata: "Hari sudah hampir gelap, marilah kita menempuh perjalanan sejauh mungkin, atau kau ingin istirahat disini saja?" tiba-tiba dia berhenti bicara karena mendapatkan In San tengah mengawasinya mendelong.

Baru saja Tan Ciok-sing merasa heran, tiba-tiba, didengarnya In San berteriak: "Haya."

Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, tanyanya gugup: "Nona In, kenapa kau?"

"Aku tidak apa-apa," sahut In San, "Tan-toako, pundakmu terluka, apa kau tidak tahu?"

Pundak Tan Ciok-sing tadi tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, sementara lengannya juga tergores luka panjang tiga dim oleh pedang Huwan Liong, darah masih merembes keluar, lengan baju kirinya sudah basah dan lengket, baru sekarang dia sadar akan luka-luka ini setelah diingatkan oleh In San.

"Luka-luka ringan, terhitung apa," ucap Tan Ciok-sing.

"Luka-luka meski ringan tak boleh diremehkan, hentikan dulu darah yang mengucur keluar," demikian kata In San, "aku membawa Kim-jong-yok, Tan-toako, silakan duduk, biar kubantu kau membubuhi obat dan membalutnya."

Waktu bertempur tadi Tan Ciok-sing tidak merasakan luka-luka di lengan dan pundaknya ini. Kini setelah diingatkan oleh In San baru dia merasakan, katanya: "Begitupun baik, biarlah merepotkan kau nona In."

"Tan-toako, kau sudah membantu sebesar itu pada ayah bundaku, urusan sekecil ini, kenapa kau malah sungkan terhadapku?"

Tapi setelah dia mengeluarkan Kim-jong-yok, dia sendiri jadi bimbang, maklum untuk membubuhi luka dan membalut luka Tan Ciok-sing dia harus membuka baju luar dan merobek lengan bajunya itu, sebagai seorang gadis perawan, kapan dia pernah bergaul dan bersentuhan kulit dengan jejaka? Mau tidak mau dia jadi malu dan serba kikuk lagi.

Agaknya Tan Ciok-sing tahu maksud hatinya, sambil kertak gigi segera dia robek lengan bajunya, katanya: "Nona In, serahkan Kim-jong-yok itu padaku, aku sendiri bisa membubuhi luka ini."

Karena Tan Ciok-sing merasa rikuh, In San malah tak enak hati, katanya: "Tan-toako, dengan sebelah tangan saja mana bisa kau membubuhi obat dan membalutnya? Dengarlah kataku, rebahkan."

Pelan-pelan Tan Ciok-sing turunkan harpa yang digendong di punggungnya, lalu dia duduk berpunggung dahan pohon, katanya: "Terima kasih nona In. Banyak peristiwa dalam dunia ini yang tak pernah diduga sebelumnya, beberapa jam yang lalu kau masih menganggapku musuh, kini kau justru begini baik terhadapku," hatinya sungguh amat senang, maka tanpa dirasakan dia utarakan isi hatinya.

Merah muka In San, katanya: "Iya, ya memang banyak persoalan yang sukar diduga sebelumnya. Tan-toako, kau tidak menyalahkan kecerobohanku bukan?"

"Aku sendiri juga belum sempat berterima kasih kepadamu, kenapa menyalahkan kau. Em, obatmu memang lebih mujarab, rasa sakit sudah tak terasakan lagi."

"Masakah begitu cepat kasiat obat ini," ucap In San tertawa, "hari sudah gelap, bocah she Liong itu sudah pecah nyalinya, tanggung dia lari ke Tay-tong dan tak berani balik kesini lagi. Kita tak perlu buru-buru melanjutkan perjalanan, marilah istirahat disini saja. Kau boleh tidur lebih dulu, biar aku jaga malam."

"Yang benar aku tidak pernah merasa lelah, malam ini tidak tidur juga boleh."

"Tan-toako," kata In San lembut, "kepandaianmu amat tinggi, namun badanmu bukan tulang besi otot kawat, dengarlah perkataanku, istirahatlah dulu."

"Paling sukar menerima kebaikan perempuan cantik," memangnya kapan Tan Ciok-sing pernah memperoleh perhatian gadis selembut ini? Seketika badan seperti segar dan semangat serta semilir dihembus angin sepoi-sepoi, hatinya manis mesra. Katanya: "Baiklah aku mendengar nasehatmu. Tapi sekarang aku belum ngantuk."

"Tan-toako, bolehkah aku melihat harpamu!" "Sudah tentu boleh." Kata In San mengelus harpa: "Harpa antik yang tak ternilai harganya, pastilah ini warisan keluargamu."

Mendengar harpanya dipuji, hati Tan Ciok-sing semakin senang. Ternyata dia cukup ahli juga mengenali nilai-nilai barang antik," katanya: "Ya, warisan kakekku. Mungkin dia belum terhitung harpa antik yang tak ternilai, namun 'didalam pandanganku, dia memang jauh lebih berharga dari benda mana saja."

"Apa betul tidak ada?" tanya In San tertawa.

Tan Ciok-sing tersentak sambil tepuk dahi, katanya: "Ya, betul, memang ada sesuatu yang jauh lebih berharga dari harpa ini." "Sesuatu apakah itu?" "Persahabatan dari kawan terdekat," demikian ucap Tan Ciok¬ sing di kala mengucapkan kata-katanya ini, tanpa terasa dia teringat kepada Toan Kiam-ping, dalam hati dia pernah berjanji hendak menghadiahkan harpa ini kepada Toan Kiam-ping.

Tapi In San salah mengartikan perkataannya, dan kira kata-kata ini ditujukan kepada dirinya, karuan mukanya jengah dan panas, katanya: "Tan-toako, kakekmu adalah guru harpa nomor satu di kolong langit ini, tentunya kau cukup ahli juga main harpa?"

"Terlalu jauh aku dibanding kakek. Sayang lenganku terluka, nanti setelah luka-lukaku sembuh kupetik beberapa lagu untuk kau nikmati. Nona In, kau juga suka memetik harpa bukan?"

"Petikan harpaku bukan merupakan irama, waktu kecil pernah aku belajar beberapa hari. Aku punya seorang teman, dia senang memetik harpa."

"Apakah Siau-ongya?"

"Ya, Toan Kiam-ping. Dari mana kau tahu?"

"Di Tayli pernah aku mendengar dia memetik harpa, memang bagus petikannya."

"Beberapa tahun lalu pernah dia tinggal sebulan di rumahku, sering dia memetik harpa untukku. Tapi aku tahu dan yakin petikannya tidak akan lebih bagus dari kau."

"Kau toh belum pernah mendengar aku memetik harpa, darimana kau berani mengambil kesimpulan ini?"

"Kenapa harus pernah dengar? Seorang guru ahli pasti menelorkan murid teladan, apalagi kakekmu adalah Ki Harpa yang diakui seluruh jagat, eh, apa yang sedang kau pikirkan Tan-toako?" tiba-tiba dia memperhatikan Tan Ciok-sing .yang sedang melongo seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Tiada yang kupikirkan, aku hanya ingin lekas sembuh supaya dapat memetik beberapa lagu untukmu," yang benar dalam hati dia sedang berpikir: "Bila mereka menikah kelak, harpa ini akan kuhadiahkan sebagai kado untuk mereka suami isteri, kurasa kadoku ini cukup luar biasa. Em, yang satu pangeran suatu kerajaan, yang lain adalah putri seorang pendekar besar, mereka memang setimpal, sungguh merupakan perjodohan yang bahagia."

Mekar seri tawa In San laksana sekuntum bunga, katanya: "Kalau begitu terima kasih lebih dulu. Toako, konon irama harpa dapat menenangkan pikiran orang, apa betul?"

"Pernah aku mendengar cerita kakek, bila kepandaian memetik harpa seseorang telah mencapai tingkatan yang paling tinggi, rasa senang dan duka seseorang dapat kau kendalikan dengan alunan irama harpa."

"Sayang aku kurang ahli, kalau tidak ingin aku memetik sebuah lagu untuk menina bobo kau supaya lekas tidur. Tan-toako, sehari ini kau sudah cukup lelah, sudah saatnya kau beristirahat."

"Petikan harpa Toan-kongcu amat bagus, kau sebagai muridnya dalam hal ini, kenapa merendahkan diri? Silahkan kau petikan lagunya, ingin aku pulas di tengah alunan harpamu,"

In San tertawa, katanya: "Yang benar aku ingin petunjuk dari kau sang guru yang ahli ini, baiklah kupetikan sebuah lagu, tapi jangan kau tertawakan diriku," lalu dia letakan harpa di pangkuannya, sambil memetik, diapun tarik suara bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu yang mengisahkan seorang gadis yang merindukan sang jejaka, lagu yang cukup populer di kalangan rakyat jelata di Tay-tong. Lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping di kala In San berusia lima belas, yaitu kali terakhir Toan Kiam-ping bertemu di rumahnya. Waktu itu dia masih kecil dan belum tahu makna lagu ini, cuma dirasakan lagunya enak dan merdu dinyanyikan. Kini waktu dia tarik suara di hadapan Tan Ciok-sing, habis lagunya mukanyapun merah jengah dan lekas-lekas menunduk.

Begitu asyik Tan Ciok-sing mendengarkan alunan lagu nan merdu dan empuk ini, tiba- tiba dia berpikir: "Pasti lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping, supaya kelak dalam malam penganten mereka bisa hidup rukun bahagia, eh kenapa aku ngelantur." Mendengar lagu ini hati Tan Ciok-sing dirundung kesedihan, tapi lebih banyak ikut bahagia dan mesra. Tanpa terasa dia betul-betul tenggelam dalam alunan lagu merdu ini dan lelap. Di alam mimpi dia nampak senyum In San bak kembang mekar tengah bergandengan tangan menghampiri dirinya, harpa antik segera dia persembahkan sebagai tanda kenang-kenangan bagi pernikahan mereka.

Dalam mimpi Tan Ciok-sing bertemu dengan Toan Kiam-ping. Diam-diam In San memperhatikan dia memejam mata dan akhirnya lelap, tanpa terasa diapun terkenang kepada Toan Kiam-ping.

Selama ini dia tidak pernah berdekatan dengan jejaka siapapun, kecuali Toan Kiam-ping. Pernah beberapa kali Toan Kiam-ping bermain di rumahnya, sejak dia masih kecil dia sudah berkenalan. Tapi di kala dia berusia lima belas itu Toan Kiam-ping lantas berpisah selama tiga tahun sampai sekarang belum pernah bertemu lagi.

Dalam jangka tiga tahun kini kecuali dia menunggu kedatangan sang ayah yang tidak kunjung pulang, sering juga dia terkenang padanya selalu membawa kesan-kesan dan menggembirakan.

Malam ini menghadapi Tan Ciok-sing yang sedang pulas di hadapannya, tanpa terasa dia terkenang pula kepada Toan Kiam-ping. Namun perasaan yang mengisi sanubarinya sekarang jelas berbeda lagi dengan kesan yang dirasakan pada saat-saat dulu bila dia terkenang kepada Toan Kiam-ping. "Tak kira pemuda yang baru saja kukenal ini sedemikian baiknya terhadapku. Sebaik Toan-toako terhadapku," demikian batin In San.

Dia adalah anak tunggal, tiada kakak tak punya adik, maka didalam sanubarinya selamanya dia pandang Toan Kiam-ping sebagai kakak kandung sendiri. Padahal Tan Ciok-sing baru dua kali bertemu dengan dia, jadi kalau dinilai secara tepatnya belum ada satu hari dia berkenalan. Walau baru berkenalan tapi hubungan mereka sekarang tidak layak diumpamakan baru berkenalan. Betapa mendalam hubungan Tan Ciok-sing terhadap keluarganya, mungkin jauh melebihi hubungan baiknya dengan Toan Kiam-ping. Dia pernah menolong ayahnya, setelah ayahnya ajal, dari tempat ribuan lie jauhnya, tanpa mengenal lelah berani menyerempet bahaya datang ke Tay-tong untuk mengembalikan barang ayahnya. Diapun tuan penolong ibundanya segala persoalan keluarganya diapun sudah jelas, malah mungkin lebih jelas dari apa yang dirinya ketahui. Masih ada satu hal yang sering membikin dia merasa jengah dan malu. Thio Tan-hong adalah gurunya, Thio Tan-hong sudah menyerahkan pedang jantan dan betina itu kepada mereka berdua.

Bila sekarang dia terkenang kepada Toan Kiam-ping, tak lain hanya merupakan kenangan sang adik terhadap sang kakak belaka. Kenangan itu memangnya menyenangkan, menyejukkan sanubari, namun asal-usul rasa senang ini tak lebih hanya merasa puas pernah mendapat perlindungan dan kasih sang kakak.

Dinilai dari kejadian yang dialaminya sehari hari ini, pemuda yang baru dikenalnya ini ternyata tak bedanya dengan Toan Kiam-ping, membela dan melindungi dirinya dengan penuh kasih sayang. Namun kasih sayang yang diterimanya dari Tan Ciok-sing agaknya berbeda dengan kasih sayang yang pernah diperolehnya dari Toan Kiam-ping, perasaan yang peka ini sudah tentu sukar dijelaskan dengan kata-kata.

Bila dia terkenang pada Toan Kiam-ping mukanya takkan merah jengah, kini berhadapan dengan Tan Ciok-sing tanpa merasa wajahnya terasa panas. Tan Ciok-sing sudah tidur, tidak enak dia menunggui laki-laki asing yang sedang pulas dengan gayanya yang lucu ini, maka dengan langkah ringan dia beranjak lewat dari samping orang. Didalam sanubarinya mulailah timbul perbedaan pendapat tentang laki-laki asing di hadapannya ini dengan Toan Kiam-ping yang sudah lama dikenalnya.

Toan Kiam-ping berwatak lemah lembut sebagai mana seorang sekolahan dari keluarga bangsawan, sikapnya ramah dan terbuka, bukan saja ilmu silatnya tinggi, main harpa, catur, membuat syair dan menggambar juga serba bisa. Pernah dirinya diajar memain harpa, mengajar dirinya menulis serta menggambar dirinya serta membuatkan syair lagi. Bicara sesungguhnya, dia amat suka dan senang kepada "Toan-toako" ini.

Walau belum sehari dan berkenalan dengan Tan Ciok-sing, tapi perasaan sudah jelas menunjukkan bahwa dia bukan sejenis laki-laki seperti Toan Kiam-ping. Kepandaian memetik harpa Tan Ciok-sing mungkin lebih tinggi dari Toan Kiam-ping, tapi meski petikan harpanya tiada bandingan, sikap dan tindak tanduknya sebagai pemuda kampungan tetap terlalu menonjol. Akan tetapi bahwasanya

Tan Ciok-sing tidak pernah berusaha untuk menyembunyikan ke kampungan dirinya, dia tetap menampilkan keaslian dirinya di hadapan In San.

Memang dia amat menyukai Toan Kiam-ping, senang akan sikapnya yang ramah dan romantis, senang akan wataknya yang terbuka dan suka mengambil dirinya, tapi kemurnian dan keaslian Tan Ciok-sing yang serba kampungan dan sederhana ini justeru menimbulkan kesan yang mendalam, kesan yang mantap dan dapat dipercaya. Sukar dia memberi jawaban pada tanda tanya hati sendiri, apakah setelah dia bergaul lama dengan Tan Ciok-sing dirinya akan menyukainya pula seperti dirinya menyukai Toan Kiam-ping, tapi dia yakin bahwa Tan Ciok-sing pasti akan membencinya.

Pikir punya pikir tanpa merasa merah pula muka In San. Angin malam yang berhembus semilir menyegarkan badan, sesaat dia melongo lalu berpikir: "Kenapa aku harus membandingkan ke dua orang ini? Toh aku tidak ingin menikah dengan Toan-toako, meski Tan Ciok-sing membawa pedang jantan, memangnya aku harus kawin dengan dia. Usiaku toh masih muda, kenapa harus bikin susah diri sendiri? Untuk apa aku pikirkan persoalan tetek bengek ini sepagi ini?"

Selamanya dia belum pernah memikirkan soal nikah, soal masa depannya, malam ini baru pertama kali. Dia tidak akan memikirkan lagi, namun perasaan hatinya tetap gejolak tak mau tenang. Tanpa merasa dia beranjak semakin jauh kedalam hutan, semakin jauh pula meninggalkan tempat Tan Ciok-sing mendengkur.

Kuda putih dan kuda rampasan Tan Ciok-sing itu entah berada dimana, mungkin pergi mencari rumput segar, sebagaimana sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, entah kemana mereka sedang bermain cinta di malam nan permai ini.

Tiba-tiba sayup-sayup seperti didengarnya suara ringkik kuda. Semula dia kira kuda putihnya itu menemukan kembali tempat istirahat majikannya. Tapi sesaat lagi kuda putih tidak kunjung muncul, malah dia mendengar langkah kaki orang.

In San sembunyi di belakang sebuah pohon besar, malam ini bulan purnama, di bawah penerangan bulan purnama tampak dua bayangan orang muncul di balik lekukan gunung sebelah sana dari bentuknya kelihatan mereka laki dan perempuan. Keduanya jalan berendeng, tidak menunggang kuda.

Lekas In San mendekam sambil pasang kuping, didengarnya yang perempuan sedang berkata: "Aneh, entah kenapa kuda putih kita punya ini tadi kelihatan gelisah dan tidak tenang, tidak tunduk perintah lagi, tahu-tahu kita dibawanya kesini.

In San terperanjat, suara perempuan ini seperti sudah amat dikenalnya.

Disusul seorang laki-laki berkata: "Sudah sehari penuh dan setengah malam ini kita berkelana, umpama kuda tidak lelah manusia yang akan keletihan. Siau-moay kau memang harus beristirahat."

"Ing-piauko." kata perempuan itu, "kau tidak tahu kenapa aku menguatirkan adik dari keluarga In itu, bahaya yang mengancam kota Tay-tong sudah tiada, ingin rasanya aku tumbuh sayap terbang kesana menemuinya."

"Memang aku juga mendapat titipan Toan Kiam-ping untuk cepat-cepat disampaikan padanya," demikian kata laki-laki itu, "kuda putih kita berlari secepat terbang, yakin besok juga kita sudah bisa sampai di Tay-tong, kaupun tidak perlu terburu-buru. Marilah cari tempat yang bersih supaya kau bisa beristirahat. Aku akan berjaga malam, besok pagi, aku akan bangunkan kau."

Mendengar pembicaraan mereka sungguh kejut dan girang hati In San, kini dia sudah tahu siapa kedua orang laki perempuan ini. Mereka bukan lain adalah Kanglam Sianghiap Kwik Ing-yan dan Ciong Bin-siu yang ingin ditemuinya di markas Kim-to Cecu. Tak kira sebelum dia sampai ke tujuan, kedua orang ini sudah mencarinya juga.

"Mereka menempuh perjalanan malam hanya ingin selekasnya menemukan aku," demikian batin In San, "biar aku diam dulu, nanti akan kugoda mereka." Kedua muda-mudi itu sudah memasuki hutan, jaraknya tidak jauh dari tempat In San sembunyi. Begitu mereka dekat In San sudah siap untuk muncul secara mendadak supaya kedua orang itu terperanjat dan kesenangan.

Ternyata langkah mereka berhenti, agaknya sedang celingukan mencari sesuatu tempat cocok dan bersih. Melihat mereka tidak maju lebih lanjut, In San sudah siap melompat keluar memberi kejutan, tiba-tiba didengarnya Ciong Bin-siu tertawa, katanya: "Cara bagaimana kau hendak menyampaikan isi hati Toan Kiam-ping kepada adik keluarga In itu."

Kali ini berbalik In San yang terkejut, "Toan Kiam-ping hendak menyampaikan isi hati apa terhadapku? Kenapa pula harus melalui mereka untuk menyampaikan kepadaku?" sesaat ini jantung In San berdebar keras, hatinya juga bingung dan gelisah.

Terdengar Kwi Ing-yang berkata dengan tertawa: "Dia rikuh mengatakan kepadaku, aku sendiri juga rikuh untuk menyampaikan pesannya itu kepada adik keluarga In. Adik Ciong, untuk hal ini terpaksa aku memohon bantuanmu. Bukan membantu untuk kepentinganku, tapi membantu untuk kepentingan Toan-toako."

"Memang Toan-toako harus dikasihani meski namanya dia seorang pangeran, hidup makmur dan serba berkecukupan, namun dia kurang mendapat seorang teman sejati, hingga sampai sekarang dia masih jejaka. Beberapa tahun lagi Siau-ongya yang selalu disanjung puji rakyatnya ini bukan mustahil akan menjadi Lo-ongya, memang pantas kita membantu dia."

"Betul, hanya kau yang bisa membantu dia untuk ini kau tidak bisa menampik lagi."

Agaknya Ciong Bin-siu juga ingin memuaskan rasa ingin tahunya, katanya tertawa: "Bukan soal bagiku untuk membantu kesulitannya itu, nah coba kau tuturkan persoalan pribadi apa yang pernah dia bicarakan dengan kau."

"Terhadapmu boleh aku katakan terus terang tapi jangan nanti lantas menggoda dia. Mungkin kau belum tahu Pangeran kita yang satu ini biasanya bergaul bebas dan terbuka, namun waktu ia bicara soal isi hati sendiri, eh, lucu sekali sikapnya malu-malu kucing, mukanya merah seperti nona jelita layaknya."

Ciong Bin-siu cekikikan, katanya: "Tak usah kau ngelantur sejauh itu. Ceritakan saja bagaimana dia utarakan isi hatinya padamu?"

"Hari itu aku membujuknya supaya lekas menikah, kukatakan sekarang kau sudah tiba saatnya untuk berkeluarga, adalah pantas kalau dia sekarang sudah punya calon permaisuri. Dia hanya diam saja sambil menunduk. Kukatakan kau Bun-bu-coan-cay (serba pandai silat dan sastra) adalah pantas kalau pandanganmu terlalu tinggi, perempuan biasa pasti tidak masuk dalam hitunganmu. Tapi untuk menemukan perempuan yang cocok memang sukar, bolehlah untuk ini kau sedikit mengalah saja."

"Eh setelah kuolok-olok begini, dia malah mau bicara. Coba terka apa yang dia katakan?"

"Nama pujaan hatinya lantas dia beritahukan kepadamu?"

"Dia justru tidak sewajar itu dalam bicara soal ini. Dia menghela napas lebih dulu, lalu dengan suara selirih nyamuk dia berkata: "Terbalik perkataanmu, bukan aku memandang orang terlalu tinggi, adalah aku sendiri malah yang kuatir tidak sesuai menjadi suaminya."

"Mendengar jawabannya ini saking senang aku berjingkrak sambil keplok tangan, kataku: "Jadi kau punya pujaan hati, lekas kasih tahu padaku, nona dari keluarga mana dia."

"Sesaat lamanya dengan suara tersendat baru dia berkata: "Kaupun sudah kenal nona ini, ayahnya adalah pendekar besar yang tersohor di kolong langit ini, sejak kecil dia sudah kelihatan cerdik pandai dan lincah Jenaka, ayu diluar iembut didaiam, sejak beberapa generasi kedua keluarga kita sudah ada hubungan erat, selama ini dia memandangku sebagai Toako-nya. Waktu kecil dulu pernah aku berkelakar sama dia, kukatakan kelak aku pasti akan mengawini dia, waktu itu hanya bermain saja, tapi pada terakhir kali aku bertemu dengan dia, dia sudah merupakan gadis yang sudah mekar dan jelita, sesampai di rumah aku jadi terserang sakit mala rindu, tak bisa aku melupakan wajahnya, baru sekarang aku sadar bahwa aku sudah tidak boleh berkelakar lagi, aku betul-betul ingin mengawininya."

"Sesaat aku masih belum tahu dan tak teringat siapa nona yang dimaksud, sambil berpikir kukorek pula keterangannya, tanyaku: "Keluarga kalian sudah berhubungan turun menurun kenapa tidak kau suruh comblang untuk meminangnya, dengan kedudukan sebagai pangeran memangnya kuatir pihak perempuan menampik?"

"Dia menghela napas pula, katanya: "Usiaku belasan tahun lebih tua, selama ini kuanggap dia sebagai adik cilik, bagaimana tidak rikuh untuk bicara soal jodoh."

"Kukatakan tak perlu kau sendiri yang menyampaikan isi hatimu, cari seorang comblang untuk meminang kepada orang tuanya, kan beres."

"Dia bilang ayah si gadis sudah hilang sejak tiga tahun yang lalu kini dia hanya sebatang kara tinggal di rumah."

"Sampai disini baru aku sadar dan tahu, teriakku sambil berjingkrak: "O, jadi yang kau maksud adalah putri In Tayhiap, kita punya adik dari keluarga In itu."

Kalau Ciong-Bin-siu merasa diluar dugaan, In San sendiri juga tidak mengira sama sekali, diam-diam dia mencuri dengar pembicaraan kedua muda-mudi ini, sampai disini tak terasa jengah dan panas wajahnya, hatinya gundah dan bingung, tak tahu entah apa yang harus dilakukan.

Kelakar Toan Kiam-ping terhadap dirinya dulu sebenarnya sudah lama dia lupakan, kini tiba¬tiba mendengar orang menyinggung kejadian lucu itu masa lalu kembali menggelitik sanubarinya.

Waktu itu usianya baru sembilan tahun, masih nona cilik yang suka ingusan, hari itu dia ditemani Toan Kiam-ping turun ke kali menangkap ikan, maklum kali kecil yang tidak dalam airnya, airnya warna kuning, berlumpur lagi, sebagai seorang pangeran kapan Toan Kiam-ping pernah bermain di tempat sekotor ini? Tapi demi menyenangkan hati In San, dengan rasa was-was dia menggandeng In San turun ke kali yang berlumpur itu menangkap ikan, pakaiannya yang mewah dan serba baru itu kuatir kotor, dasar In San memang gadis nakal sengaja dia menciprati pakaian baru orang dengan air dan lumpur, hingga pakaian orang berlepotan lumpur. Siangnya In Hou memanggil pulang makan, kebetulan dia saksikan In San membuat kotor pakaian Toan Kiam-ping, dengan tersenyum dia memberi nasehat kepada putrinya: "Kau budak liar ini begitu nakal, kelak siapa berani menjadi suamimu? Hm, kalau kau masih nakal juga kelak bagaimana kau bisa memperoleh suami." Setelah mendapat tegoran ayahnya ini memang In San merasa takut, setelah makan diam-diam dia bertanya kepada Toan Kiam-ping:

"Apakah anak perempuan harus menikah? Bagaimana kalau aku tidak bisa memperoleh suami?" Waktu itu Toan Kiam-ping terpingkal-pingkal, katanya: "Adik cilik, kau tidak usah kuatir, kelak akulah yang akan mengawini kau."

Sungguh tak nyana kelakar Toan Kiam-ping di masa kecil dulu, sekarang sikapnya menjadi serius. Kalau dulu masih kecil, setelah ditegor ayahnya dia pernah tanya kepada Toan Kiam-ping bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan suami. Kini setelah tahu bahwa Toan Kiam-ping betul-betul hendak mempersunting dirinya diapun tidak tahu bagaimana baiknya, memangnya kepada siapa sekarang dia harus merundingkan hal ini?

Karena gelisah In San berdiri terlongong. Tadi dia sudah siap melompat keluar hendak membuat kaget Kwik Ing-yang berdua, kini karena malu dia malah menyembunyikan diri tak berani mengunjuk diri. Dia takut Ciong Bin-siu betul-betul menyinggung soal pernikahan ini, cara bagaimana dia harus menjawab nanti?

Di kala dia kebingungan itulah tiba-tiba didengarnya ringkik tiga ekor kuda yang bersahutan. Kwik Ing-yang berjingkrak kaget serunya: "Didalam hutan ada

Ciong Bin-siu juga melompat berdiri teriaknya senang: "Kwik-piako, coba kau dengar agaknya ringkik kuda putihku itu."

"Betul, suaranya memang mirip," sahut Kwik Ing-yang. "Lekas kita tengok kesana."

Ciong Bin-siu sudah lari lebih dulu ke arah datangnya suara. Lekas Kwik Ing-yang menyusul kencang, tinggal In San seorang yang masih berdiri menjublek di tempat.

Tak lama kemudian terdengar suara benturan senjata dan bentakan serta makian dari dalam hutan. In San yang terlongong tiba-tiba tersentak kaget, pikirnya: "Celaka, mungkin mereka sudah bertarung dengan Tan-toako, bagaimana aku harus bertindak? Ai, kenapa keadaan semakin berabe begini?"

Jejaka dan perawan sama-sama bermalam di hutan nan sepi dan jauh dari keramaian, meski mereka sama-sama suci bersih dan bergaul secara terang-terangan, betapapun akan menimbulkan kesan jelek di mata umum. Apalagi kedatangan Kwik dan Ciong justru hendak menyampaikan kabar bahagia akan pinangan Toan Kiam-ping terhadap dirinya. "Bila mereka menemukan aku bersama Tan-toako di malam nan gelap ini di hutan, entah bagaimana mereka memperkirakan diriku?" tanpa kuasa merah dan panas pula muka In San.

Tapi jikalau dia tidak segera mengunjuk diri, mungkin urusan bisa lebih payah dan tak karuan jadinya, terpaksa In San buang segala pikiran yang tidak enak, dengan mengeraskan kepala lekas dia berlari ke arah datangnya suara.

Apa yang dia tebak memang tidak salah, Kanglani Sianghiap memang sudah berhantam dengan Tan Ciok-sing. Tan Ciok-sing juga terjaga oleh suara ringkik kuda, dia kira ada orang hendak mencuri kudanya, maka bergegas dia bangun, belum lagi dia menemukan kudanya, jejaknya sudah ditemukan oleh Kanglam Sianghiap. Malam ini bulan purnama memancarkan sinarnya yang redup; baru saja dia kucek-kucek mata dan belum melihat siapa kedua pendatang ini, mereka sudah mengenali Tan Ciok-sing lebih dulu. Kebetulan di kala mereka berhadapan inilah tampak kedua kuda putih itu juga muncul dari dalam hutan begitu melihat kuda putih miliknya itu tanpa banyak bicara "Sret" Ciong Bin-siu segera menusuk ke arah Tan Ciok-sing.

Tan Ciok-sing juga sedang membentak: "Maling kuda bernyali besar. Hanya kau, kau kiranya kau...!"

Ciong Bin-siu menghardik: "Kau maling cilik ini tak nyana kebentur dengan pemiliknya bukan?" mulut bicara pedang tak berhenti. Terpaksa Tan Ciok-sing cabut pedang menangkis, dengan jurus Hian-niau-hoat tiba-tiba dia balas menusuk dari posisi yang tidak terduga oleh Ciong Bin-siu. Jurus serangan ini memaksa lawan untuk membela diri lebih dulu, sehingga Ciong Bin-siu harus menarik pedang kalau tidak pasti pedangnya tertabas kutung.

Tan Ciok-sing menarik napas lega, teriak-teriaknya lekas: "Ciong-lihiap, jangan kau salah paham, aku sengaja hendak mengembalikan kuda putihmu itu."

Melihat ilmu pedang Tan Ciok-sing begitu liehay, kejut Kwik Ing-yang bukan main, kuatir sang Piaumoay kecundang, lekas diapun mencabut senjata. Kungfu Kwik Ing-yang jauh lebih tinggi dibanding Ciong Bin-siu, begitu ilmu pedang dikembangkan, tipu-tipu serangannya ternyata bergelombang deras susul menyusul tak kenal putus. Walaupun permainan ilmu pedangnya ini dalam pandangan Tan Ciok-sing hanya sepele saja, tapi karena dia tidak bermaksud jahat dan tidak ingin melukai lawan supaya tidak menimbulkan salah paham lebih mendalam apalagi dia tak boleh memapas kutung senjata lawan, sehingga Tan Ciok-sing harus sedikit memeras keringat menghadapi kedua lawan ini." Bahwa dirinya hampir saja kecundang, sudah tentu Ciong Bin-siu tidak mau percaya akan seruan Tan Ciok-sing. Serunya gusar: "Kau bangsat cilik ini, waktu di Ang-wa-poh tempo hari, aku sudah curiga akan tindak-tandukmu yang jahat ini, kuda putihku cara bagaimana bisa terjatuh ke tanganmu? Jelas kau adalah sekomplotan dengan pembegal di Ang-wa-poh itu. Masih berani kau membual mengudal mulut manis hendak menipuku lagi."

Belum habis dia mengamuk, mendadak didengarnya sebuah suara nyaring berteriak: "Siu-cici (kakak Siu), dia tidak menipu kau, apa yang dia katakan memang benar."

Karuan Kwik dan Ciong berdua melengak dan berhenti sambil berpaling, lekas Tan Ciok-sing melompat jauh ke belakang seraya mengembalikan pedang kedalam sarung, katanya: "Nah, kalau kalian tidak percaya padaku memangnya kalian tidak percaya kepada nona In?" bahwa dirinya dituduh semena-mena sebagai anak muda adalah jamak kalau hatinya agak dongkol, cepat dia menyingkir tanpa bersuara, biar In San yang membela dirinya.

Sejenak Ciong Bin-siu tenangkan diri, melihat yang berdiri di depannya benar-benar adalah In San, sesaat dia melongo tak percaya akan penglihatannya, In San tertawa, katanya: "Kak Siu, kau sudah tidak mengenalku lagi?"

"Haya," teriak Ciong Bin-siu kegirangan, "adik San, memang kau ini. Kukira dari mana munculnya pemuda setampan ini."

"Aku hendak mencari kalian di tempat Ciu-pepek, kuatir kurang leluasa di perjalanan, maka terpaksa aku menyamar."

"Kami juga hendak mencarimu di Tay-tong. Dia, siapa dia?" tanya Ciong Bin-siu. Melihat In San menyaru pemuda seperjalanan dan bermalam di hutan ini, karuan timbul rasa curiganya.

"Seperti juga kalian, Tan-toako ini adalah teman baik Toan Kiam-ping pula, sengaja dia datang ke Tay-tong mencariku," demikian tutur In San. "Tapi baru hari ini juga kami berkenalan," lalu dengan tertawa dia menambahkan, "Tidak berkelahi tidak akan kenal, terus terang akupun pernah salah paham padanya, malah melabraknya tak karuan. Malah kalian kuperkenalkan."

Tanda tanya mengganjel dalam benak Kwik dan Ciong, terpaksa mereka memberi hormat kepada Tan Ciok-sing, kata Ciong Bin-siu: "Kudaku ini tempo hari dirampas oleh kawanan pejahat di Ang-wa-poh, entah bagaimana bisa berada di tangan Tan-heng?" dalam hati dia membatin: "Kalau dia teman Toan Kiam-ping, kenapa tidak pernah diceritakan pada kami?!"

Sementara mereka bicara kedua ekor kuda itu sudah datang menghampiri, kuda putih itu meringkik perlahan dan mengelus mukanya ke muka Ciong Bin-siu sejenak lalu berlari pula ke arah Tan Ciok-sing dan bermesraan. Kuda putih ini memang cerdik dan pandai, tingkahnya ini seakan ingin memberitahu kepada majikan lamanya bahwa dia bersahabat baik dengan Tan Ciok-sing.

Kuda putih milik Kwik Ing-yang juga berlari datang, Kwik Ing-yang berkata dengan tertawa: "Tak heran sampai disini kau tidak mau pergi, kiranya kau menemukan pasangan disini. Baiklah, pergilah kalian bermesraan jangan mengganggu aku disini," kedua kuda ini dapat menangkap perkataan majikannya, berendeng segera mereka berlari masuk kedalam hutan. Kuda rampasan Tan Ciok-sing baru sekarang mendatangi dengan lesu dan tunduk kepala, dia tidak berani ikut kesana terpaksa dia menyingkir kesana sendirian, kasihan melihat keadaannya yang kelihatan sedih.

Kecut hati Tan Ciok-sing melihat keadaan kudanya, diam-diam dia membatin: "Melihat kawan lama adalah jamak kalau dia melupakan teman baru. Demikian sang kuda, begitu pula manusia."

"Adik Siu," ujar Kwik Ing-yang,

"kudamu itu juga mesra terhadap Tan-heng, bila Tan-heng tidak pernah menolongnya, pasti dia takkan bersikap demikian," mau tidak mau dia sedikit percaya akan omongan Tan Ciok-sing.

"Kak Siu, memang Tan-toako yang merebut kembali kuda putihmu itu dari tangan kawanan brandal di Ang-wa-poh. Kudamu itu sedikit terluka, Tan-toako pula yang menyembuhkan. Begitu baik Tan-toako terhadapnya, adalah jamak kalau dia juga bersahabat terhadapnya. Demi mengembalikan kuda itu kepada pemiliknya, sepanjang jalan dia mengejar dan menguntit jejak kalian dari Tayli sampai disini."

Ciong Bin-siu jadi rikuh, katanya: "Tan-toako tadi aku menuduhmu, mohon dimaafkan."

"Ah, tidak apa." sahut Tan Ciok-sing tawar, "syukur kuda-ini sudah kukembalikan kepada pemiliknya, terhitung tercapainya

keinginanku."

"Tan-toako," ucap Ciong Bin-siu cekikikan, "Kau memang orang baik, pantas adik cilik dari keluarga In kita ini baru saja kenal sudah begitu percaya padamu."

Sebagai gadis cilik sudah In San merasakan duri tajam pada perkataan Ciong Bin-siu, seketika merah wajahnya, katanya tertawa dipaksakan: "Kak Siu, salah omonganmu, aku sendiri juga pernah kapiran orang baik. Waktu pertama kali aku bertemu dengan Tan-toako, hampir saja aku membalas budi kebaikannya dengan serangan-serangan mematikan."

Kwik dan Ciong sama melengak, kata Ciong Bin-siu: "O, jadi Tan-toako juga tuan penolongmu?"

"O, ya, tadi kau bilang pernah melabrak Tan-toako, apakah yang telah terjadi?!" tanya Kwik Ing-yang.

Maka In San ceritakan pengalaman yang menimpa ayahnya kepada mereka, lalu ditambahkan bahwa demi melaksanakan pesan ayahnya. Tan Ciok-sing menempuh perjalanan yang jauh, mengalami berbagai rintangan dan ancaman bahaya sampai di Tay-tong serta menyerahkan barang peninggalan ayahnya kepada dirinya. Tapi tentang pertemuan Tan Ciok-sing dengan ibunya tidak diceritakan.

Mendengar betapa gagah perkasa sepak terjang Tan Ciok-sing, tak ubahnya sebagai kaum pendekar umumnya, timbul rasa kagum dan hormat Kwik dan Ciong terhadap Tan Ciok-sing. Tapi dalam hati mereka juga menguatirkan nasib teman mereka Toan Kiam-ping. Mereka pikir betapa erat dan mendalam hubunganTan Ciok-sing dengan keluarga In, mungkin demi membalas budi kebaikan orang, In San bisa jatuh hati dan kelak jadi isteri Tan Ciok-sing malah.

Kini mereka bicara terpencar, Ciong Bin-siu tarik In San ke samping sana, katanya lirih: "Toan-toako amat merindukan kau, sebetulnya dia titip pesan pada kami supaya kau mengungsi ke Tayli soalnya waktu kami tiba disini Tay-tong sudah aman, maka kami putar jalan langsung menuju ke markas Kim-to Cccu lebih dulu."

"Ya aku sudah tahu," ujar In San.

"Lalu kau mau kemana? Pergi ke Tayli atau mau menemui Kim-to Cecu?"

"Sudah tentu aku akan ajak kalian menemui Ciu-pepek lebih dulu. Beliau adalah saudara angkat ayahku, kuduga dia pasti juga merindukan aku."

"Memang dia amat merindukan kau. Kalau tidak setelah tahu Tay-tong sudah aman, beliau lantas suruh kami kemari mencari jejak dan beritamu. Tapi bila dia tahu kau selamat saja pasti lega hatinya, bukan maksudnya supaya kau kesana membantu dia. Bila kau pergi ke Tayli dulu bukan saja dia tidak akan menyalalahkan kau, malah dia akan ikut girang." Di hadapan Tan Ciok-sing sudah tentu tak enak Ciong Bin-siu menjadi mak comblang bagi Toan Kiam-ping, maka secara samar-samar saja

338

dia menyampaikan keinginan sang pangeran.

"Aku tahu Ciu-pepek tidak membutuhkan bantuanku, tahu harus kesana secepatnya. Ciong-cici, kapan kau meninggalkan markas?"

"Baru kemarin dulu?" "Kalau begitu tahukah kau Tam Tayhiap dengan ibuku apakah sudah sampai di markas?"

Ciong Bin-siu melengak, katanya: "Jadi kau sudah tahu bahwa Pek-bo, Pek-bo sudah meninggalkan, meninggalkan..." tak enak dia meneruskan perkataannya.

"Benar, aku sudah tahu ibu sudah meninggalkan keluarga Liong. Bagaimana aku bisa tahu kelak akan kujelaskan padamu. Sekarang beritahu padaku, apakah beliau sudah tiba di markas Ciu-pepek dengan aman?"

"Sebetulnya ingin aku memberitahu kepadamu, cuma... entah..." agaknya dia kuatir bila In San tidak senang dirinya menyinggung perihal ibunya.

"Ibuku ditipu orang sehingga dia berpisah dengan ayah. Tapi betapapun dia adalah ibu kandungku."

Maka legalah hati Ciong Bin-siu, lebih leluasa pula dia bercerita: "Satu jam sebelum kami meninggalkan markas kebetulan Tam Tayhiap dan ibumu telah tiba, aku juga belum sempat bicara dengan beliau. Diapun tidak tahu bahwa aku adalah temanmu."

"Ibuku memang sengsara dan banyak menderita, sudah belasan tahun berpisah dengan dia, kini dia sudah berada di ambang mata. Kakak Ciong, coba kau pikirkan, tidak pantaskah aku menemuinya?"

Karena Ciong Bin-siu belum tahu bahwa In San sudah memaafkan kesalahan ibunya, maka tadi dia membujuk In San uatuk pergi ke Tayli saja, kini setelah tahu duduk persoalannya, maka tidak pantas kalau dia mendesaknya supaya pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.

Tanpa terasa hari sudah menjelang fajar.

"Manusia menghadapi urusan bahagia pasti bangkit semangatnya, pemeo ini memang tidak salah," demikian kata Ciong Bin-siu tertawa, "semalam aku tidak tidur, setelah bertemu kau, kita berangkat sekarang, malam nanti kau akan bertemu dengan ibumu," bersama In San berdua mereka menunggang satu kuda jalan di depan.

Tan Ciok-sing mencemplak kuda yang dirampasnya dari pasukan Watsu, bersama Kwik Ing-yang mereka jalan berendeng. Dalam perjalanan Kwik Ing-yang sengaja bicara tentang Toan Kiam-ping, katanya: "Toan-toako memang teman sejati yang patut dipuji, sebagai seorang pangeran, bukan saja serba pandai Kungfu dan sastra, terhadap teman pun dia tidak pandang bulu, jiwanya besar dan lapang dada tak pernah dia mengagulkan sebagai keturunan bangsawan."

Tan Ciok-sing berkata tawar: '"Betul orang macamku yang golongan kroco ini, diapun sudi bersahabat denganku."

"Tan-heng terlalu sungkan, orang yang memiliki Kungfu setinggi kau, kami dapat berkenalan adalah keberuntungan kami. Seperti juga Toan-toako, kau memang kawan yang sukar dicari bandingannya,"

Getir suara Tan Ciok-sing: "Mana aku bisa dibanding dengan Siau-ongya?"

"Memang keseluruhannya Toan-toako serba baik, hanya ada satu bagi kami para temannya ikut merasa menyesal."

"Soal apa yang harus disesalkan?" tanya Tan Ciok-sing."

Kata Kwik Ing-yang: "Usianya sudah hampir tiga puluh, tapi sejauh ini dia belum menikah."

"Betul, rakyat jelata Tayli bila memperbincangkan Siau-ongya, pasti juga menyinggung soal ini."

Kwik Ing-yang cukup tahu diri, tak enak dia bicara secara sendirian, maka dia berpikir. "Kelihatannya dia juga cukup cerdik, kurasa dia sudah dapat merasakan juntrungan kata-kataku." Tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar pokok pembicaraan: "Tadi seperti kudengar Ciong-lihiap mengatakan, bahwa Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap sudah sampai di markas Kim-to Cecu, apakah Kwik-hcng sudah bertemu dengan Tam Tayhiap?"

Teringat sesuatu Kwik Ing-yang lantas tanya: "Tan-heng, apakah kau juga kenal dengan Tam Locianpwc?"

"Kenal sih tidak. Tapi dua hari yang lalu pernah aku bertemu dia di rumah keluarga In Tayhiap, dia pernah menyuruhku menemui dia."

"Betullah kalau begitu, jadi pendekar muda yang dia ceritakan itu kiranya kau Tan-heng."

"Ah, jadi dia pernah menyinggung diriku terhadap Kwik-hcng, apakah dia ada pesan untuk aku?"

"Waktu itu kebetulan aku sudah siap turun gunung hanya sekejap aku bicara dengan beliau. Dia suruh aku perhatikan di sepanjang jalan seorang pemuda she Tan yang menggendong harpa. Tapi bila Tan-heng tiba di markas nanti mungkin takkan ketemu dia."

'"Lho, kenapa?"

'"Tam Tayhiap bilang, dia masih ada janji dengan It-cu-king-thian Lui Tayhiap yang belum dia tepati, kemarin setelah dia mengantar In-pekbo sampai di markas, lantas pamitan dengan Kim-to Cecu, hanya menginap semalam, hari ini dia sudah berangkat ke Kwi-lin untuk menemui Lui Tayhiap."

"Konon It-cu-king-tliian sudah menghilang sejak tiga tahun lalu, rumah tinggalnya di Kwi-lin juga sudah di bumi hanguskan. Apakah dia titip kabar untuk Tam Tayhiap, atau Tam Tayhiap mendengar kabar beritanya dari lain tempat, kini diketahui bahwa dia sudah kembali ke Kwi-lin?"

"Waktu itu aku sudah siap meninggalkan markas, jadi tak sempat banyak bicara dengan Tam Tayhiap. Tapi kudengar pembicaraannya dengan Kim-to Cecu, katanya tiga tahun yang lalu sebenarnya dia sudah pernah janji dengan Lui Tayhiap karena kematian In Tayhiap, sehingga

janjian pertemuan kali itu gagal. Maka janji diperbarui lagi untuk bertemu tiga tahun yang akan datang."

Tan Ciok-sing diam saja tanpa bersuara, hatinya bingung dan pikiran kalut.

"Tan-heng, apa yang kau pikirkan?"

"Tiada apa-apa, aku hanya mengharap bertemu sekali lagi dengan Tam Tayhiap. Entah Tam Tayhiap ada titip omongan untukku tidak?"

"Ya, dia ada titipan omongan untuk disampaikan padamu, dia bilang: 'Bila di tengah jalan kau bertemu pemuda yang menggendong harpa, katakan padanya, aku akan kembali kesini, setelah menepati janji pertemuan dengan Liu Tayhiap. Suruh dia menunggu di markas saja." Tan-heng agaknya dia hanya tahu kau she Tan tapi tidak tahu namamu."

"Betul, dua kali aku bertemu dengan dia dalam waktu singkat dan tergesa-gesa, belum aku memberitahukan namaku

kepadanya," tiba-tiba dia menarik tali kendali memutar balik kudanya.

"Tan-heng, apa yang kau lakukan?"

"Tolong sampaikan kepada nona In, katakan aku tidak bisa mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."

Kebetulan waktu itu In San sedang menghentikan kudanya karena mereka berdua tertinggal jauh di belakang, teriaknya sambil berpaling: "Hai lekas kalian kemari."

Kwik Ing-yang segera tarik suara: "Nona In. Tan-toako bilang tidak akan pergi ke markas."

In San kaget, teriaknya: "Tan-toako, tunggulah sebentar."

Kwik Ing-yang tersenyum katanya: "Tan-toako, umpama benar kau ingin pergi, sepatutnya pamitan dulu kepadanya."

In San dan Ciong Bin-siu keprak kudanya putar balik: "Tan-toako kau hendak kemana?"

"Aku akan kembali ke Kwi-Iin."

"Tiada angin tidak hujan kenapa tiba-tiba hendak pulang ke rumah? Bukankah kau pernah bilang rumahmu sudah tiada?"

"Kedatanganku kali ini mengemban tiga tugas. Pertama mengembalikan barang warisan In Tayhiap. Kedua membawa pesan Toan Kiam-ping untuk nona In. Ketiga mengembalikan kuda putih ini kepada Ciong-lihiap. Tiga tugas kulaksanakan kupikir aku harus segera pulang dulu saja."

Berkerut alis In San, katanya: "Sudah tiba disini, tinggal sehari perjalanan lagi, kenapa tidak kau menemui Kim-to Cecu lebih dulu toh kau tiada urusan penting?"

"Justeru baru saja kuketahui adanya sebuah urusan, maka perlu segera pulang ke rumah. Disini hakikatnya tiada keperluan lagi untukku."

"Urusan apa yang baru saja kau ketahui?" tanya In San.

Kwik Ing-yang segera menyela: "Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap pergi ke Kwi-lin untuk menemui It-cu-king-thian Lui Tayhiap, pagi hari ini dia berangkat kesana. Baru aku ketahui akan berita ini."

"O, jadi kau hendak pulang ke Kwi-lin menemui mereka?"

"Betul, ingin aku selekasnya bertemu dengan Tam Tayhiap," sahut Tan Ciok-sing.

"Tapi Tam Tayhiap kan akan kembali kesini bukan?" In San mendesak lagi.

"Ya, betul," sela Kwik Ing-yang pula, "tadi sudah kujelaskan tentang ini. Tam Tayhiap jelas akan pulang kesini, kenapa tidak tunggu dia sampai pulang? Paling menunggu sebulan, dari pada susah payah kau mencarinya ke Kwi-lin kan belum tentu ketemu."

"Justeru aku kuatir takkan sabar menunggu selama satu bulan," tegas perkataan Tan Ciok-sing.

Melihat sikap keras Tan Ciok-sing, In San tahu meski ditahan juga takkan bisa membatalkan niatnya, kalau dia menahannya secara getol, mungkin bisa menimbulkan salah paham Ciong Bin-siu, terpaksa dia berkata: "Baiklah, banyak terima kasih atas bantuanmu kali ini, kalau kau punya urusan penting, akupun tak enak mengganggumu lagi. Semoga kaupun akan datang kemari."

Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya, "manusia hidup ada kalanya kumpul ada saatnya berpisah, aku juga mengharap bisa bertemu dengan kalian pula, apakah bisa terkabul kelak sekarang tak bisa kupastikan."

Ciong Bin-siu cekikikan, katanya: "Jangan bicara seperti itu, yang pasti kau harus kembali kesini."

Tan Ciok-sing membalikkan kudanya pula, tiba-tiba Kwik Ing¬ yang berbisik kepada Ciong Bin-siu: "Mari kita memberi sebuah kado kepadanya?"

Ciong Bin-siu seketika sadar, segera dia berteriak: "Tan-toako tunggulah sebentar."

"Ada apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Marilah saling tukar kuda tunggangan dengan aku," kata Ciong Bin-siu.

In San sampai melengak oleh tindakan ini.

"Ah, mana boleh, sengaja aku kembalikan kepadamu kenapa harus kuterima pula kuda kesayanganmu ini?" ujar Tan Ciok-sing.

"Anggaplah aku meminjamkan untukmu," kata Ciong Bin-siu, "kalau bukan kau yang merebutnya dari tangan kawanan penjahat, sekarang dia juga bukan milikku lagi. Sekarang kau memerlukan dia, adalah pantas kalau aku meminjamkan padamu. Em, Tan-toako, memangnya kau saja yang boleh membantu orang, tapi menampik bantuan orang lain kepadamu?"

Segera Kwik Ing-yang ikut bicara: "Ciu Cecu pasti juga meminjamkan kuda jempolan untuk tunggangan Tam Tayhiap ke Kwi-lin, dengan menunggang kuda putih ini, kemungkinan kau bisa menyusulnya di tengah jalan."

"Maksud mereka baik Tan¬toako, lekaslah kau terima saja, toh hanya kau pinjam sementara kelak kan bisa kau kembalikan," demikian In San ikut membujuk.

"Itulah tujuan kami meminjamkan kuda ini kepadamu dengan harapan supaya kau lekas kembali kesini," demikian seru Ciong Bin-siu, "supaya adik kecil kita ini tidak cemas mengharapi kedatanganmu." Kata-kata ini terlalu polos tapi juga menusuk perasaan, karuan Tan Ciok-sing dan In San sama merah mukanya.

Kata Tan Ciok-sing: ""Kejadian dalam dunia ini sukar diramal sebelumnya, belum tentu aku bisa kembali kesini. Markas Kim-to Cecu kan juga sering berpindah..."

"Hal itu tak perlu kau buat kuatir," tukas Ciong Bin-siu, "kalau kau tidak sempat pulang kesini, boleh kau titipkan kuda putih ini kepada Toan-ongya di Tayli saja. Dia takkan pindah rumah. Tak lama lagi aku juga akan ajak adik San kesana."

In San tidak pernah bicara soal ini dan berjanji akan ke Tayli, karuan dia melengak. Tapi tak enak dia menyangkal di hadapan orang banyak.

Tapi lain bagi perasaan Tan Ciok-sing, segera dia cemplak kuda putih, katanya: "Baiklah, banyak terima kasih akan kebaikan kalian meminjamkan kuda ini padaku, kalau aku tak sempat pergi ke Tayli, pasti akan kusuruh orang mengantarkannya kesana," segera dia keprak kuda putih terus mencongklang kencang ke depan, cepat sekali bayangannya sudah lenyap.

"Ciong-cici," kata In San cemberut, "kapan aku pernah janji akan pergi ke Tayli dengan kau."

"Kukira setelah kau menyampaikan sembah sujudmu kepada Pek-bo, kau akan kesana. Baiklah anggap aku salah menangkap perkataanmu. Tapi Toan-toako begitu kangen padamu, adalah pantas kalau kau kesana menemuinya."

"Cukup kalau kau beritahu padanya bahwa aku selamat dan sehat walafiat. Betapa susah payahnya usaha ibu untuk datang kesini sehingga bisa berkumpul dengan aku, beliaupun tak pernah kelana di Kangouw, aku pingin lebih lama merawat dan meladeninya."

"Soal ini boleh dibicarakan pelan-pelan. Piauko, berikan kudamu kepadaku," mereka tetap berdua menunggang kuda putih milik Kwik Ing-yang, beberapa kejap kemudian Ciong Bin-siu berkata pula lirih: "Kita adalah kaum persilatan yang harus mengutamakan perbedaan budi dan dendam, tapi untuk membalas budi juga harus ada batasnya bukan. Umpamanya aku meminjamkan kuda putih itu kepada Tan-toako, itupun termasuk balas budi..."

In San melongo, pipinya jadi merah seketika katanya: "Kak Siu, apa maksud perkataanmu?"

"Aku membalas budi dan kesetiaan kawannya terpaksa hanya meminjamkan kuda putih padanya, tapi jiwa ragaku kan tak mungkin kuserahkan pula. Adik In, kau seorang gadis yang pintar, perumpamanku ini tentunya kau dapat merabainya?"

Seperti kepiting direbus merah muka In San, katanya aleman dengan malu-malu: "Aku tidak tahu, tidak tahu, tak usah bicarakan lagi, perumpamaanmu itu aku juga tidak mau dengar lagi."

"Baiklah tak usah omong, jangan kau marah. Nanti setelah pikiranmu jernih, kelak kita bicarakan lagi."

Kuda segera dibedal berlari kencang naik turun, demikian pula pikiran In San ikut timbul tenggelam tidak menentu.

Kim-to Cecu menyambut kedatangan In San dengan riang gembira, katanya tertawa: "Tak kira secepat ini kaupun datang," ditariknya tangan orang lalu tanya ini dan itu.

Hati In San amat gelisah, segera dia bertanya: "Ciu-pepek, soal lain biar bicarakan nanti. Kabarnya ibuku sudah kemari..."

"O, kau sudah tahu?" tanya Kim-to Cecu.

"Dia tidak menyalahkan ibunya, maka aku yang memberitahu," sela Ciong Bin-siu.

"Syukurlah kalau begitu In-hujin sedang kuatir bila putrinya tidak mau memaafkan kesalahannya. Sebetulnya aku akan menunda sementara baru akan kujelaskan kepadamu..."

Tak sabar In San bertanya pula:

"Mana ibuku? Kenapa tidak kelihatan?"

"Badannya kurang sehat, dia sedang istirahat didalam, tapi kau tidak usah kuatir penyakit tidak begitu gawat," Kim-to Cecu menerangkan.

"Harap Pepek lekas bawa aku menemui beliau," pinta In San.

Berpikir sejenak Kim-to Cecu lantas memanggil seorang tentara perempuan, tentara perempuan ini yang disuruh mengantarkan In San katanya tertawa: "Kalian ibu dan anak memang harus berbincang-bincang, aku tidak akan mengganggu," sebagai orang tua yang cukup makan garam, dia tahu pertemuan ibu dan anak yang sudah sekian tahun berpisah ini pasti banyak persoalan pribadi yang akan dibicarakan dan pantang diketahui orang luar. Maka Kim-to Cecu tetap tinggal menemani Kanglam Sianghiap.

Dalam pada itu In-hujin memang belum tidur, dia sedang memikirkan putrinya: "Pemuda yang pandai memainkan ilmu golok keluarga In yang ditemui Tan Ciok-sing itu pasti anak San adanya, memang sejak kecil dia senang berpakaian laki-laki. Kalau dia muncul di sekitar Tay-tong, suatu hari pasti akan menyusulku kesini. Ai, entah sudikah dia memaafkan ibundanya yang sudah hina apa ini?" lalu dia berpikir pula: "Tan Ciok-sing memang pemuda idaman, bukan saja perangainya baik, hatinya jujur dan berilmu silat tinggi, sayang dia keturunan dari keluarga awam, bila kelak anak San berjodoh dengan dia, lega juga hatiku. Tapi Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli itu juga calon suami pilihan yang sukar ditemukan bandingannya, jikalau anak San menjadi isterinya mungkin dia akan lebih bahagia. Tapi Tan Ciok-sing menanam budi begitu besar terhadap keluarga kami, membawa pedang Thio Tayhiap sebagai ikatan jodoh pula..." hatinya menjadi risau dan sukar berkeputusan, akhirnya dia menghela napas dan berpikir pula: "Pernikahan hanya mengutamakan jodoh, kenapa aku harus kapiran memikirkan soal 'jodoh' putriku, terserah dia suka mana dan menikah dengan siapa. Apalagi kemungkinan dia tidak akan mau mengakui aku sebagai 'ibunya', memangnya aku kuasa memberi putusan soal pernikahannya?"

Dada terasa sakit lagi. In-hujin tahu ini tanda-tanda penyakitnya bakal kumat, sakit hati sukar diobati, obat yang paling mujarab adalah mempertahankan

ketenangan hati dan pikiran. Dia berusaha menekan gejolak pikirannya, namun tak kuasa mengendalikan, hatinya telah mulai sakit dan penyakit hampir kumat.

Di kala pikirannya kacau dan ruwet ini, tiba-tiba didengarnya suara pintu didorong orang perlahan. In-hujin kira Kim-to Cecu suruh pelayan membawakan obat untuk dirinya, tak nyana waktu dia menoleh dilihatnya yang masuk adalah seorang pemuda yang cakap.

Meski berpisah sudah belasan tahun. Walau waktu berpisah puterinya baru berusia 7 tahun, walau sekarang puterinya ini berpakaian laki-laki... peduli ada berapa banyak walau hubungan ibu dan anak sudah mendarah daging, umpama laut kering dan batu membusuk, benda berubah bentuk, seorang ibu betapapun takkan bisa melupakan dan pangling terhadap puterinya sendiri.

Sesaat lamanya In-hujin sampai menjublek di depan puterinya. Demikian pula In San berdiri terlongong didepan ibunya, ribuan kata laksaan omongan, tak tahu dari mana dia harus mulai bicara.

"San-ji, betulkah kau ini. Ini, ini, apakah ini bukan mimpi?"

Segera In San menubruk kedaiam pelukan ibunya, anak dan ibu saling berpelukan dengan kencang, keduanya saling bertangisan. "Bu, jangan kau menangis, selanjutnya kita takkan berpisah lagi."

In-hujin menyeka air mata, katanya: "San-ji, kau tidak membenciku? Aku, aku salah..."

"Yang sudah lalu anggaplah sebagai impian, tak usah disinggung lagi Bu, yang kubenci adalah orang lain, aku tidak pernah menyalahkannya kau."

"San-ji," kata In-hujin sesenggukan. "Aku tahu kau pasti memaafkan aku. Aku pernah pulang ke rumah mencarimu."

"Bu, aku tahu. Sayang hari itu aku kebetulan tak di rumah. Bu, kali ini kau bertindak setegas ini untuk pulang ke rumah, aku amat senang," dengan erat dia menggelendot dalam pelukan ibunya, tanpa terasa air matapun bercucuran.

In-hujin tertegun sejenak, katanya: "Ah, kau sudah tahu. Jadi kau sudah pulang ke Tay-tong?"

"Bu, rumah kita itu sudah dibakar oleh pasukan pemerintah yang dibawa Liong Seng-bu bocah kurcaci itu."

Mendengar puterinya menyinggung keponakan suaminya yang tiri, kembali hati In-hujin merasa dongkol dan perih pula, hatinya penuh penyesalan, katanya: "Binatang cilik itu, jangan kau menyinggung nya lagi. Aku ingin bicara tentang seorang yang lain."

"Siapa?"

"Seorang yang punya hubungan kental dengan keluarga In kita, ayahmu pernah mendapat budi pertolongannya, akupun pernah ditolong jiwaku. San-ji, ayahmu, ternyata sudah meninggal duuia..."

"Bu, semua peristiwa itu sudah kuketahui jelas, tak perlu kau jelaskan lagi. Bila ayah tahu kini kau sudah pulang, di alam baka beliau pasti akan senang juga," demikian In San menghibur ibunya sambil menyeka air matanya.

Kembali In-hujin terlongong, pikirnya: "Bagaimana dia bisa tahu semuanya? lalu berkata lebih lanjut: "Orang itu bernama Tan Ciok-sing, dia seorang pemuda yang baik, bukan saja Kungfunya tinggi, orangnya pun baik dan mengagumkan..."

"Bu, aku tahu," tukas In San, mendengar ibunya memuji Tan Ciok-sing, manis mesra rasa hati ln San, tanpa kuasa merah mukanya, kembali dia mengulang perkataan: "aku tahu."

In-hujin berhenti bicara, dengan seksama dia perhatikan putrinya, baru sekarang dia dapati putrinya sudah menggembol pedang dan golok pusaka. Karuan kejut dan girang hatinya, serunya: "San-ji, kau sudah bertemu dengan Tan Ciok-sing?"

In San haturkan golok pusaka ayahnya, katanya: "Bu, golok pusaka ayah sudah dia kembalikan."

"Pedang pusaka ini, bukankah ini pedang betina yang bernama Ceng-bing-kiam itu."

Jengah muka In San, dengan suara lirih dia mengiakan.

"Atas perintah Thio Tayhiap dia menyerahkan pedang ini, kepadamu?"

"Betul," sahut In San, kepalanya tertunduk semakin rendah.

Tak kuasa In-hujin menekan rasa senangnya, katanya: "Asal-usul pedang mustika ini, tentunya ayahmu pernah menjelaskan kepadamu, maksud tujuan Thio Tayhiap menyuruhnya

menyerahkan pedang mustika ini, kukira juga sudah kau ketahui?"

In San menjawab tahu, tapi juga tidak menyangka! Tidak tahu. Sesaat lamanya baru dia berkata lirih: "Bu, bicaralah soal lain saja. Putrimu ingin mendampingimu untuk selamanya."

"Anak bodoh," ujar In-hujin tertawa, "bagaimana mungkin kau mendampingi kuselamanya, sampai disini tiba-tiba mukanya berubah pucat, batuk dua kali.

"Bu adakah kau merasa kurang enak. Rebahlah istirahat."

"Tidak apa-apa," ucap In-hujin setelah mengatur napas, katanya lebih lanjut, "Dua hari ini aku menguatirkan dua hal. Pertama entah selagi aku masih hidup ini apakah masih sempat melihatmu, sekarang syukurlah keinginanku terkabul. Kedua aku amat merindukan Tan Ciok-sing, apakah dia dapat lolos dari bahaya. Dimanakah kau bertemu dia?"

"Kemarin dulu bertemu di tengah jalan. Semula kukira jahat, malah pernah aku melabraknya. Akhirnya dia ceritakan duduk persoalannya dan bicara pernah bertemu dengan ibu baru aku mau percaya."

"Dia tidak kau ajak kemari untuk menengok aku?"

"Dia tidak mau datang kesini." "O, dia tidak datang. Dia kemana?"

"Dia pulang ke Kwi-lin." In-hujin tertegun, katanya: "Dia sudah tahu tentang perjanjian Tam Tayhiap dengan It-cu-king-thian?"

"Ya, Ciu-pepek suruh Kanglam Sianghiap ke Tay-tong mencari jejakku, kebetulan juga petang hari itu kami bertemu. Setelah tahu tentang berita ini Tan-toako segera putar haluan, katanya mau pulang ke Kwi-lin saja. Kami sudah membujuknya untuk kemari lebih dulu, tapi dia tetap tidak mau.

Kutanya dia kenapa dia terburu-buru, bilang suruh aku tanya kepada ibu."

"O, jadi demikian, kalau demikian tidak boleh menyalahkan dia," ucap In-hujin. Dia ingin lekas pulang untuk menyelidiki siapa musuh pembunuh kakeknya. Dia pernah mencurigai lt-cu-king-thian, tapi dia tetap ragu-ragu."

"Betul, ayah memang sering menyinggung It-cu-king-thian kepadaku. Walau ayah hanya mengagumi orangnya dan belum pernah bertemu, tapi dia sudah jelas karakternya. Yakin pasti bukan dia yang turun tangan sejahat itu."

"Tapi bicara dari sudutnya itu, adalah pantas kalau untuk menyelidiki peristiwa ini sampai terang. Dari apa yang dia uraikan akan kejadian itu, kuduga meski It-cu-king-thian bukan biang keladi di belakang layar yang mencelakai ayahmu, kemungkinan dia sudah tahu siapa sebetulnya yang menjadi tulang punggung peristiwa itu." Sampai disini mendadak In-hujin menghela napas.

"Bu, masih ada persoalan apa yang menyedihkan kau?"

"Entah kau sudah tahu belum, demi menyelamatkan ayahmu sehingga kakeknya itu dicelakai musuh. Terlalu banyak hutang budi kita terhadapnya."

Kata In San rawan: "Tak kira nasibku serupa dia, sama kehilangan orang yang paling dicintai, padahal dia tidak berdosa, tapi kerembet oleh keluarga kita. Aku yakin musuh yang membunuh kakeknya."

"Itu jelas sudah pasti. Umpama bukan karya satu orang, pasti mereka ada hubungan satu dengan yang lainnya." Sampai disini In-hujin batuk-batuk lagi sambil menekan dada.

"Bu," seru In San kuatir, "istirahat saja, jangan terlalu membuang tenaga."

"Aku tidak apa-apa, tapi ada satu hal perlu aku berpesan kepadamu." Demikian kata in-hujin dengan wajah serius.

Melihat sikap ibunya yang sesungguhnya, lekas In San bertanya: "Soal apa pula yang harus kukerjakan, Ibu boleh kau katakan saja."

In-hujin menghela napas, katanya: "Walau penyakitku tidak jadi soal, entah kapan baru akan sembuh. Dendam kematian ayahmu, hanya kepadamulah kuserahkan untuk membalasnya."

"Itu sudah menjadi kewajiban untuk menuntut balas, selama hayat masih di kandung badan, aku bersumpah pasti membalas sakit hati ayahku. Bu, kau tidak usah kuatir."

"Musuhmu bukan kaum sembarangan, dua gembong iblis yang mencelakai ayahmu di Cit¬sing-giam itu, apa kau sudah tahu siapa mereka?"

"Kabarnya mereka bernama Le Khong-thian dan Siang Po-san."

"Kedua orang ini adalah jagoan tangguh dari kalangan sesat, seorang lagi yang tak kalah liehaynya bergelar raja golok Ie Cun-hong," belum diketahuinya bahwa Le Khong-thian sudah mati di tangan Thio Tan-hong, demikian pula Ie Cun-hong sudah terbunuh oleh Tan Ciok-sing.

Diam-diam In San berpikir: "Yang benar biang keladinya sembunyi di belakang layar adalah paman dan keponakan dari keluarga Liong. Bu, meski kau tidak menjelaskan, kelak aku pasti akan membuat perhitungan dengan mereka."

In-hujin seperti tahu jalan pikirannya: "Memang di belakang ketiga orang ini masih ada pula biang keladinya. Tapi aku minta setelah aku mati baru kau boleh pergi membunuhnya."

Luluh hati In San mendengar pesan ibunya, batinnya: "Ibu berkata demikian, maksudnya supaya aku tidak membunuh Liong Bun-kong dan keponakannya," dia kira ibunya pernah kawin dengan Liong Bun-kong, mengingat hubungan suami isteri selama belasan tahun ini, betapapun dia tidak tega. Sudah tentu *hal ini membuat In San kurang senang.

Tapi tidak enak dia membongkar kelemahan jiwa ibunya ini. Dengan menggigit bibir akhirnya dia berkata perlahan: "Bu, tak usah kau bicara soal yang menyedihkan."

"Baiklah mari kita bicara soal penting saja. Ilmu golok yang kau pelajari meski sudah memperoleh ajaran murni ayahmu, bekal Kungfu yang kau miliki sekarang masih terlampau jauh dibanding gembong-gembong iblis itu, kalau kau ingin menuntut balas dengan tanganmu sendiri, hanya ada satu cara."

In San melongo, tanyanya: "Cara apa?" Pernah juga dia memikirkan soal ini, tapi menurut pikirannya ia harus lebih tekun menggembleng diri mencapai tingkat tinggi, paling cepat juga harus makan waktu sepuluh tahun.

Kata In-hujin: "Bila kau berhasil meyakinkan ilmu setingkat ayahmu, mungkin musuhmu sudah mati berusia lanjut. Jikalau kau ingin lekas berhasil menuntut balas, kau harus menggabung sepasang ilmu pedang dengan Tan Ciok-sing."

Merah muka In San, kepalanya tertunduk tanpa suara.

"Untung musuhnya adalah musuhmu juga, kukira umpama dia tidak mempcrsunting kau dia pasti akan bergabung dengan kau."

"Bu' apa kau ingin supaya sekarang juga aku menyusulnya ke

Kwi-lin," tanya In San.

In-hujin menghela napas, katanya: "Pikiranku ruwet sekali, aku harap secepatnya kau menuntut balas sakit hati ayahmu."

"Menuntut balas memang penting, bu kau sedang sakit, aku harus merawatmu dulu. Biarlah anak mendampingmu untuk beberapa waktu lamanya."

In-hujin tertawa getir, katanya: "Sekarang aku sudah tahu, tak perlu aku membuat kau banyak susah, bahwa aku bisa bertemu dengan kau terakhir kali ini, sudah puas hatiku. Hari ini adalah hari yang paling menggembirakan aku, hahaha hahaha..." gelak ketawanya mendadak terputus.

In San kaget, teriaknya: "Bu, kau, kenapa kau?" tidak mendapat jawaban dan tidak melihat reaksi ibunya lekas dia memburu maju meraba pernapasan hidungnya, terasa badan ibunya sudah mulai dingin, seketika dia menjublek saking kaget.

Selama beberapa tahun ini yang selalu dibuat ganjalan hati In-hujin hanyalah putrinya dan ingin selekasnya bertemu dan berkumpul, kini setelah keinginan terlaksana, semangat dan kesehatannya sudah terlalu lemas, seumpama tanggul yang sudah jebol. Senang, penyesalan, gembira dan sedih serta pilu pula... berbagai perasaan yang saling bertentangan seketika menggejolak sanubarinya, sehingga penyakit hatinya mendadak kumat di tengah gelak tawanya malah mendadak napasnya putus.

Lama sekali In San mematung, akhirnya dia sadar akan kenyataan ini, barulah dia berteriak dan menangis gerung-gerung.



000OOO000



Tan Ciok-sing tengah dalam perjalanan menuju ke Kwi-lin, pikirannyapun gundah-gulana. Betapapun dalam perjalanan menuju ke kampung halaman, hatinya merasa senang dan hasrat untuk lekas sampai mengobar semangatnya, tapi di antara semangat yang berkobar ini, hatinya diselingi perasaan hambar pula.

Perubahan tiga tahun yang dialami sungguh terlalu besar, terutama dua bulan terakhir ini. Nasib memang selalu mempermainkan orang, sebetulnya dirinya tiada sangkut paut apa-apa dengan keluarga In yang jauh letak rumahnya dengan tempat kelahirannya. Tapi kini kedua keluarga seakan telah bergulat didalam satu arena kehidupan yang saling ikat mengikat, seumpama benang ruwet yang tidak mungkin dibenarkan digunting tidak akan habis, disebutkan takkan bisa lurus.

Terbayang percakapannya dengan In-hujin yang panjang lebar, teringat akan perkenalannya dengan In San yang semula melabraknya sebagai musuh, nasib keluarga In seolah-olah sudah mendarah daging dengan kepribadiannya. Terbayang olehnya petikan harpa In San yang menina bobokkan dirinya didalam hutan, perpisahan di tepi jalan serta pesan In San masih terngiang di telinganya, diharapkan dirinya lekas pulang menyusulnya ke markas Kim-to Cecu... sungguh senang tapi juga sedih pula hati Tan Ciok-sing, akhirnya dia hanya tersenyum pahit belaka.

"Dengan Toan-siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli memang dia pasangan yang setimpal, memangnya siapa aku ini, memangnya masih berani memikirkan dia. Paling aku hanya bisa berdoa dan menyampaikan selamat bahagia untuk pernikahan mereka, bila berita bahagia ini kelak kuterima, biar kuhadiahkan harpa antik ini sebagai kado. Ai, kenapa aku selalu memikirkan dirinya? Sekenanya Tan Ciok-sing mengayun pecutnya membedal kuda putih itu supaya berlari lebih cepat. Seakan dia ingin menghilangkan bayangan In San dari kelopak matanya, sayang bayangan In San masih terus menggelitik sanubarinya, dia sudah berusaha untuk tidak memikirkan dia, tapi tidak kuasa dia melupakannya.

Kuda putih memang berlari kencang, hanya tiga hari Tan Ciok-sing sudah keluar dari wilayah San-he, kini dia mulai memasuki propinsi Ho-lan.

Hari itu dia tengah mencongklang kudanya di bawah Ong-ju-san yang berliku-liku, kira-kira tengah hari, baru dia merasa lapar dan dahaga, kebetulan dilihatnya tak jauh di depan terdapat sebuah kedai minuman.

Kedai minuman di pinggir jalan umumnya menyediakan hidangan bagi kaum pedagang atau para pelancongan yang menempuh perjalanan jauh, bukan saja menyediakan minuman juga menghidangkan arak dan nyamikan. Maka Tan Ciok-sing menghentikan kudanya, kebetulan tak jauh di samping kedai terdapat tanah lapang berumput. Dengan tertawa Tan Ciok-sing berkata: "Aku bisa makan di kedai, kaupun boleh makan rumput sekenyangmu," dia beri kebebasan kuda putihnya mencari makan di tanah lapang berumput subur.

Tan Ciok-sing memesan seporsi daging sampi katanya: "Ada arak apa yang tersedia boleh keluarkan saja, bawakan dulu setengah kati."

Umumnya kedai minuman di tengah jalan hanya menyediakan minuman dan makanan yang bertarip rendah, adalah jamak kalau arak yang dihidangkan juga murahan, nyamikan paling juga kacang goreng. Tak nyana seteguk dia menghirup arak yang dihidangkan terasa harum dan segar, ternyata arak bagus yang belum pernah dia rasakan, sudah tentu senang hati Tan Ciok-sing, serunya memuji: "Arak bagus, arak bagus. Apa nama arak ini?"

Pemilik kedai adalah laki-laki tua renta, sahutnya: "Arak kampungan yang bikin sendiri, masa diberi nama segala. Syukurlah tuan suka menikmatinya, silahkan minum beberapa cangkir lagi."

Melihat pemilik kedai ramah dan supel, segera Tan Ciok-sing mengajaknya minum.

"Orang sehobi sukar ditemukan, kau pandai menikmati arakku, adalah pantas kalau aku yang traktir kau minum, mana boleh terbalik malah?"

Tan Ciok-sing tertawa tergelak-gelak, katanya: "Siapa yang harus mentraktir bukan soal, hayolah minum sepuasnya."

Pemilik kedai ternyata laki-laki tua yang suka kelakar, katanya: "Hayolah, biar kuiringi kau sampai mabuk," • lalu dia masuk mengeluarkan seguci arak, katanya: "Inilah arak tua yang sudah tersimpan sekian tahun, rasanya tentu lebih kecut, coba kau rasakan."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku masih harus menempuh perjalanan, kalau banyak minum mungkin mengganggu."

"Boleh minum sekuat ukuranmu saja," ucap pemilik kedai, dia penuhi dua cangkir lalu ditenggaknya habis.

Semula Tan Ciok-sing masih ragu-ragu melihat orang menghabiskan dua cangkir, dengan lega hati tanpa curiga segera diapun ikut minum.

"Tuan muda, siapa she-mu?" tanya pemilik kedai setelah menghabiskan beberapa cangkir.

"Aku yang rendah she Tan, Lopan, siapa nama besarmu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Terima kasih. Aku she Khu bernama Ti."

"Khu-losiansing fasih berbahasa, tentunya dulu seorang sekolahan juga?"

"Waktu kecil memang pernah belajar membaca beberapa tahun, sayang aku terlalu gemar arak sehingga pelajaran terbengkalai, sampai setua ini aku tidak memperoleh gelar apa-apa. Oleh karena itu ganti nama 'Ti' (terlambat), maksudku untuk peringatan akan ketidak becusanku sendiri."

Timbul rasa hormat Tan Ciok-sing, katanya: "Kiranya Lopek adalah seorang pujangga yang mengasingkan diri disini, sungguh kurang hormat."

Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya: "Karena aku tidak pintar mencari nafkah, hobiku hanya minum dan suka bikin arak sendiri, maka kubuka kedai minuman di pinggir jalan untuk sesuap nasi. Soal pujangga apa segala, tuan ini jangan menggodaku."

"Khu-losiansing, kau terlalu rendah hati."

"Tan-heng, kau membawa harpa, tentunya kau seorang ahli dalam bidang ini?"

"Ahli sih tidak, hanya bisa sedikit petikan belaka. Khu-losiansing pernah sekolah, tentu kaupun mahir memetik harpa?"

"Kau terlalu sungkan. Memetik harpa aku tidak bisa, tapi dulu aku pernah kenal seorang guru harpa yang kenamaan. Secara kebetulan guru harpa itupun she Tan."

"Siapakah guru harpa itu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Konon kepandaian memetik harpa guru harpa ini tiada bandingan di kolong langit, orang banyak menyebutnya Sian-khim (Dewa Harpa) tapi dia sendiri menamakan dirinya Ki Harpa."

"Yang di maksud ternyata kakek," demikian batin Tan Ciok-sing.

Kata Khu Ti lebih lanjut: "Pernah aku sekali bertemu dengan dia, jadi belum boleh dianggap sahabat baik. Seperti kau suatu hari dia lewat sini dan mampir di kedaiku minum arak, setelah merasakan arakku timbul rasa senangnya maka dia memetik harpa sambil bersenandung, begitu indah dan mengasyikan sekali petikan harpanya itu, selamanya takkan bisa kulupakan. Em, dihitung-hitung kejadian itu kira-kira sudah dua puluh tahun berselang."

Tan Khim-ang memang guru harpa yang suka kelana di Kangouw, tidak perlu dibuat heran kalau dia pernah mampir di kedai ini dan pamer sekedar keahliannya. Karena baru kenal sudah tentu pantang bagi Tan Ciok-sing untuk menjelaskan tentang dirinya.

Ternyata semakin berkobar semangat Khu Ti, katanya: "Beruntung hari ini Tan-heng berkunjung dan membawa harpa pula, bagaimana kalau kaupun petikkan sebuah lagu dengan iringan harpa seperti kejadian dua puluh tahun yang lampau itu?"

"Petikan harpaku yang rendah ini mana berani dibanding dengan Dewa Harpa?" ucap Tan Ciok-sing.

"Tan-heng tidak usah menampik, nah kusuguh secangkir penuh untuk menambah seleramu."

Tan Ciok-sing memang sudah terpengaruh oleh air kata-kata (arak), katanya: "Baiklah untuk membalas suguhan arakmu, biarlah aku sekedar pamer kejelekan sendiri," demikian ujar Tan Ciok-sing. Lalu dia membuka kotak mengeluarkan harpa.

Seketika terbeliak bola mata Khu Ti mulutpun bersuara heran, katanya: "Tan-heng, harpa milikmu ini kok mirip sekali dengan harpa yang dibawa Ki Harpa dulu."

"Manusia ada yang mirip adalah jamak kalau bendapun serupa, meski lagu yang dipetik sama, tapi dengan harpa yang berbeda petikan lagunya pasti berbeda pula."

Dasar Tan Cok-sing sedang kasmaran, segera dia memetik lagu yang menggambarkan seorang pemuda yang sedang sakit mala rindu. Lagunya mengalun lembut, tapi juga memilukan. Lagu sudah habis, tapi perasaan Tan Ciok-sing masih belum tentram, lama dia duduk terlongong seperti melupakan kehadiran pemilik kedai di depannya.

Mendadak derap kaki kuda yang dicongklang pesat mendatangi dengan suara gemuruh, Tan Ciok-sing tersentak dari lamunannya oleh suara gaduh ini, sebuah suara yang sudah dikenal dan menusuk kuping berkata: "Petikan harpa yang mengasyikkan. Hm, kau bocah kampung ini umpama kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau."

Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak lima ekor kuda sudah tiba di tanah lapang berumput di samping kedai, yang bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di kanan kirinya berjajar Huwan bersaudara.

Kalau Liong Seng-bu memperhatikan petikan harpa Tan Ciok-sing, adalah Huwan Liong dan saudara-saudaranya

memperhatikan kuda putih itu. Katanya: "Bocah ini takkan lolos, Liong-kongcu, sudikah kau menghadiahkan kuda itu kepadaku."

Segera Tan Ciok-sing bersiul pendek, kuda putih itu memang cerdik segera dia lari masuk hutan. Karuan Huwan Liong gusar, bentaknya: "Majikanmu takkan lolos, memangnya kau bisa melarikan diri," sebelah tangannya terayun, sebatang panah segera meluncur kencang mengejar kuda putih.

Tan Ciok-sing jemput sebatang sumpit, dengan gerakan melempar dia susul timpukan panah kecil orang dengan sambitan sumpitnya, panah timpukan itu kena dipukulnya jatuh di tengah jalan. Kuda putih itupun sudah lenyap di balik pohon.

Sudah tentu Huwan Liong gusar dan malu, hardiknya: "Bocah bernyali besar, berani kau bertingkah. Hehe, mana budak liar keluarga In itu? Kau sudah dilempar dan tak dipedulikan bukan? Hm, hehe, dengan budak itu kalian menggabung sepasang pedang, mungkin kami memang bukan tandingan. Tapi kini kau sendirian, memangnya kau bisa lolos dari tangan kami?" Huwan bersaudara serempak melompat turun terus berbaris memasuki kedai.

Omongan Huwan Liong memang bukan gertakan, Tan Ciok-sing pernah merasakan keliehayan barisan pedang mereka, dia insaf tanpa kehadiran In San tak mungkin dia memainkan ilmu pedang gabungan, jelas dirinya bukan tandingan mereka. Tapi urusan sudah terlanjur, gugup juga tak berguna. "Paling adu jiwa, Liong Seng-bu bocah keparat itu betapapun akan kupersen lobang tusukan di badannya," demikian batin Tan Ciok-sing. Maka dia tidak hiraukan lagi mati hidup awak sendiri, perasaan yang gejolak tadipun menjadi tentram dan tenang tanpa takut lagi. Pedang melintang, kaki pasang kuda-kuda, seluruh perhatian tumplek di ujung pedangnya menunggu reaksi para musuhnya.

Liong Seng-bu terakhir masuk kedai, melihat sikap Tan Ciok-sing yang tegang dan bersiaga, hatinya amat senang dan puas. Katanya setelah bergelak tawa: "Tan-heng, kau memang pemuda romantis. Irama harpa mengirim rasa rindu, kau belum bisa melupakan nona In yang jelita itu bukan? Sayang untuk selanjutnya, mungkin kau takkan bisa bertemu dengan dia."

Pemilik kedai itu tiba-tiba tampil ke depan katanya dengan tertawa: "Kapan kedaiku yang bobrok ini pernah dikunjungi tamu sebanyak ini, nah silakan tuan-tuan tamu duduk, minumlah dulu beberapa cangkir. Kalian ada pertikaian apa sukalah memandang mukaku, bagaimana kalau aku jadi penengah?"

"Urusan kami tak usah kau turut campur," semprot Liong Seng-bu.

Huwan Liong malah tertawa, katanya: "Kongcu, araknya memang wangi. Marilah kita minum dulu sampai puas, baru nanti kerjai dia."- maklum Huwan bersaudara semua setan arak, mereka pikir Tan Ciok-sing takkan bisa lolos, maka sengaja mereka hendak mempermainkannya lebih dulu.

Tanpa permisi Huwan Liong mengangkat meja kursi memindahkannya kesana kemari menjadi formasi segi tiga, jalan mundur Tan Ciok-sing berarti sudah dicegat. Mereka berempat berpencar, Tan Ciok-sing di tengah. Sementara Liong Seng-bu duduk di meja kursi yang dekat pintu.

Khu Ti berkata: "Tuan-tuan tentunya masih akan menempuh perjalanan, bagaimana kalau kusuguh setiap orang dua poci dulu?"

Melihat guci di atas meja Tan Ciok-sing, Huwan Liong yang setan arak ini sudah tentu tak mau kalah, katanya: "Jangan kuatir, ambilkan setiap orang satu guci."

Liong Seng-bu segera menyela: "Aku tidak minum, cukup empat guci saja."

Khu Ti mengiakan terus berlari masuk, tak lama kemudian dia sudah keluar menjinjing empat guci arak, setiap guci beratnya sepuluh kati, bersama gucinya, berat kotornya sedikitnya ada enam puluhan kati. Setiap tangan Khu Ti menyanggah dua guci, mulut guci kecil dan sempit, pantatnya lebar, maka guci bagian atas kelihatan bergoyang-goyang. Tapi langkah Khu Ti kelihatan mantap dan berat, mengangkat seberat itu seperti menjinjing barang enteng.

Dalam hati Huwan Liong berpikir: "Tenaga kedua tangan kakek ini ternyata besar," mereka empat bersaudara termasuk jagoan kelas satu, meski merasa sedikit janggal akan pemilik kedai ini, namun mereka tidak ambil di hati.

Dengan enteng Khu Ti letakkan guci-guci itu satu persatu tanpa kelihatan napasnya memburu, katanya tertawa: "Untung Kongcu-ya ini tidak mau minum, sisa arak yang kusimpan kebetulan tinggal empat guci saja."

Memangnya sudah ngiler Huwan Liong segera serobot satu guci terus dibuka tutupnya, setelah dicium berkata: "Arak mi memang bagus, Kongcu, apa kau tidak ingin mencicipi?"

"Nanti dulu," tiba-tiba Liong Seng-bu berteriak.

Guci sudah terangkat di atas kepala, karuan Huwan Liong melengak, tanyanya: "Ada apa Kongcu?"

"Suruh dia minum dulu, setelah dia mencicipi semua guci itu baru kalian boleh minum," demikian Liong Seng-bu memberi penugatan.

Huwan Liong sadar katanya: "Betul, adalah pantas kalau kita berjaga-jaga. Kakek tua, setiap guci ini lekaslah kau minum secangkir lebih dulu."

Khu Ti kurang senang, katanya dingin: "Kalian takut aku menaruh racun dalam arak? Meski kecil kedaiku, modalnya juga sedikit, tapi sudah puluhan tahun aku membuka kedai memangnya kau kira kedaiku ini warung gelap yang biasa merampok dan membunuh orang."

Liong Seng-bu membentak: "Suruh kau minum, kenapa cerewet," ternyata waktu datang tadi melihat Khu Ti duduk semeja dengan Tan Ciok-sing mengiringinya minum arak, dasar suka curiga maka selalu bertindak keliwat hati-hati.

Tanpa bicara Khu Ti segera angkat guci pertama .terus dituang di atas kepala, mulut terbuka arak seperti dicurahkan kedalam mulutnya, tanpa berhenti satu guci arak telah ditenggaknya habis. Kapan Huwan Liong dan adik-adiknya pernah melihat orang minum arak cara demikian sesaat mereka melongo di tempat duduk masing-masing.

Khu Ti tidak berhenti, segera dia angkat guci kedua dengan cara yang sama dia habiskan pula guci kedua, sambil menepuk perut dia berkata dingin: "Kalian takut isi guci arak beracun, biarlah seluruhnya kuhabiskan saja," lalu dia menghampiri guci ketiga serta diangkat terus dituang juga kedalam perutnya.

Bersama Tan Ciok-sing tadi sedikitnya menghabiskan setengah guci, kini menghabiskan pula dua guci, paling sedikit Khu Ti sudah menghabiskan dua puluh lima kati arak keras. Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut dan girang, pikirnya: "Kiranya bukan saja dia orang sekolahan, diapun seorang jago kosen yang menyembunyikan dirinya."

Tiba-tiba Huwan Pau teringat bahwa dalam kedai tinggal ke empat guci arak ini, maka lekas dia berteriak: "Jangan dihabiskan, aku tidak takut arakmu beracun, celaka kalau kau mati karena mabuk."

"Memangnya kau kira begini saja ukuranku, manusia akhirnya pasti mati, peduli mati sakit, atau mati karena apa, mati kan sama saja?" meletakkan guci kosong ketiga dia menghampiri pula guci ke empat.

Timbul rasa ingin tahu Huwan Liong, katanya: "Jangan dicegah biarkan saja, berapa banyak dia kuat minum?" Perut Khu Ti sudah melembung seperti perut kerbau.

Huwan Pau setan arak paling berangasan, teriaknya sambil membanting kaki: "Kalau dihabiskan kita akan minum apa?" tangan diulur sudah hendak merebut.

Di kala mereka terpesona melihat demontrasi minum arak Khu Ti, mendadak Tan Ciok-sing melompat tinggi ke atas bagai seekor burung langsung menubruk ke arah Liong Seng-bu yang duduk membelakangi pintu luar. Di tengah udara pedang sudah terlolos, dengan jurus In-kik-tiang-khong, dari atas pedangnya menusuk ke bawah.

"Brak" terdengar suara keras, ternyata pada detik-detik berbahaya ini Liong Seng-bu selulup ke bawah meja sambil angkat meja menangkis sehingga tusukan pedang Tan Ciok-sing menusuk tembus permukaan meja. Memang sejak tadi tetap bersikap tenang dan waspada, akan sergapan mendadak yang dilancarkan Tan Ciok-sing.

"Celaka," tiba-tiba Huwan Liong berteriak serempak Huwan Hou dan Huwan Kiau menendang meja di depannya ke arah Tan Ciok-sing. Sementara Huwan Liong sudah mencabut pedang terus menyerang dengan jurus pedang lilitan, sebelumnya dia sudah perhitungkan dimana kira-kira Tan Ciok-sing akan tancap kaki di lantai, ke sanalah pedangnya membabat.

'Tan Ciok-sing cabut pedangnya, di tengah udara dia jumpalitan laksana burung dara, begitu kedua kaki terpentang, "Biang, biang" dua meja yang melayang ke arahnya ditendangnya balik keluar pintu. Dimana ujung pedangnya menutul, secara tepat dia tangkis babatan pedang Huwan Liong yang mengincar kedua kakinya. Sementara sambil menyunggi meja tersipu-sipu Liong Seng-bu sudah lari keluar pintu. Huwan bersaudara segera membentuk barisan pedang mengepung dalam posisi segi empat.

"Disini bukan tempat berkelahi, hayo diluar saja," tantang Tan Ciok-sing.

Huwan Liong mengejek: "Kau masih ingin lari, jangan mimpi di siang bolong," serempak empat pedang mereka bergerak, serangan bertubi-tubi dengan gencar dan mematikan.

"Baik," seru Tan Ciok-sing, "disini ya disini, memangnya aku takut mati. Aku hanya kuatir merusak perabot didalam kedai ini."

Khu Ti menghela napas, katanya: "Ya, aku pasrah nasib saja. Yang terang harta bendaku ini hanya berharga berapa peser saja, besarkan saja nyalimu, kalau minta ganti akan kutuntut pada mereka pasti tidak akan merogoh sakumu."

"Kau ini barang apa, berani menuntut kepada kami?" damprat Huwan Kiau gusar, "nanti jiwa tuamu biar kumampusi sekalian."

Khu Ti menggeleng kepala, katanya: "Wah, kau ini memang seekor kerbau dungu, agaknya kau dibesarkan tanpa makan nasi."

Huwan Kiau mencak-mencak gusar, dampratnya: "Kakek sontoloyo, kau memaki aku sebagai binatang."

"Lha, kau sendiri yang bilang, kapan aku pernah memakimu demikian," debat Khu Ti.

Tanpa merasa mengerutkan kening Huwan Liong, lekas dia berkata: "Samte, kenapa sih kau, urusan kan harus dibedakan mana yang lebih penting, buat apa kau ribut dengan tua bangka ini?"

Dalam pertempuran sengit itu tusukan pedang Huwan Liong mengenai tempat kosong, kepalan mendadak menjotos dari bawah pedang dengan deras, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah hampir mepet tembok, jalan mundur sudah tiada, terpaksa dia menggeser langkah dua tindak sambil berputar, "Biang", tembok di belakangnya kena dijotos ambrol dan berlobang oleh kepalan Huwan Liong. Untung tembok bukan dibangun dari batu marmer, namun kepalannya sudah cecel dan berlumuran darah. Dengan gusar Huwan Liong membentak: "Coba saksikan berapa lama bocah keparat ini kuat bertahan lagi, bila ketangkap nanti, pasti kubeset kulitmu kupatahkan tulang kakimu."

Khu Ti yang sejak tadi sembunyi di pojok sana dengan badan gemetar, kini mendadak berjalan keluar sempoyongan, seperti langkah orang mabuk yang gentayangan hampir roboh, teriaknya: "Wah, wah mati aku, mati aku saking jengkel. Sebelum tulang tuan tamu ini kalian patahkan, salah-salah rumah reyotku ini sudah kalian bongkar lebih dulu."

Lekas Tan Ciok-sing memperingatkan: "Lopek, lekas kau menyingkir," walau dia tahu Khu Ti mungkin memiliki kepandaian silat, tapi barusan pedang pihak musuh terlalu liehay bagaimana juga dia tidak akan membiarkan Khu Ti menerobos masuk ke jaring barisan pedang.

Mendadak Khu Ti memukul perutnya yang gendut seperti gentong itu seraya berteriak-teriak: "Aduh, celaka, arak harum, arak wangi, empat guci arak bagus, kau sudah masuk kedalam perutku, aku kan tidak bersalah terhadapmu, kenapa kau mau berontak?"

"Setan pemabukan," bentak Huwan Liong, "menyingkirlah ke tempat jauh kalau sudah mabuk gila."

"Haya kenapa tidak kau tunggu sebentar, kenapa ingin terjang keluar saja," demikian teriak Khu Ti pula. Mendadak dia pentang mulutnya, segumpal arak panas seketika menyembur dari perutnya. Huwan Liong yang berdiri paling dekat keterjang lebih dulu, sekujur badan dari kepala muka sampai ke tubuhnya basah kuyup, lekas dia pejam mata terus melompat mundur.

Empat guci arak dihabiskan berarti ada empat puluhan kati, sekali ditekan dengan tenaga dan menyembur keluar, sungguh derasnya bagai hujan lebat. Karuan Huwan bersaudara menjadi kalang kabut, memutar pedang meninju menimbulkan deru angin sambil berlompatan kian kemari, tapi hujan arak tetap berjatuhan di atas mereka. Kejadian memang aneh, mereka berempat semuanya ada meyakinkan kekebalan badan, tapi air arak itu mengenai tubuh rasanya ternyata pedas dan sakit seperti ditusuk jarum. Lebih celaka lagi pakaian mereka sama berlobang-lobang kecil kena semprotan arak mirip sarang tawon. Bila lwekang mereka sedikit rendah lagi, pasti kulit dagingpun terluka dan berdarah. Yang dikuatirkan Huwan bersaudara hanyalah mata maka mereka sama memejam kencang tidak berani main ngintip, karuan satu dengan yang lain jadi saling tumbuk. Semula Tan Ciok-sing terkepung di tengah mereka, anehnya arak Khu Ti seperti punya mata dan memilih sasaran, meski ada yang menyiprat ke arahnya, tapi ilmu pedangnya dimainkan sekencang kitiran, setetespun dia tidak kecipratan.

Karena memejam mata, Huwan bersaudara hanya mengandal ketajaman pendengaran, sambil berkelit mereka harus mainkan pedang pula. Sejauh ini meski mereka orang dungu juga sudah tahu bahwa pemilik kedai ini kiranya juga seorang jagoan Kungfu yang memendam diri apa lagi dalam pandangan Huwan Liong sebagai kawakan Kangouw? Lekas dia memberi aba-aba pada adik-adiknya: "Angin kencang, lekas menyingkir."

Khu Ti berteriak: "Wah, kasihan arak wangi seperut ini, sungguh sayang. Tapi rasanya segar juga, perutku tidak sakit lagi," mendadak

360

tangannya mencengkeram ke baju kuduk Huwat Pau yang lagi lari keluar pintu. Bentaknya: "Perabotanku yang rusak belum kalian ganti, mau lari? Tadi kan sudah kubilang, kalian harus mengganti kerugianku," dicengkram kuduknya ternyata Huwan Pau mati kutu tak kuasa berontak.

Huwan Liong sudah lari keluar pintu, lekas dia putar balik seraya menusuk ke belakang, bentaknya: "Lepaskan adikku,"

kepandaiannya memang paling tinggi, Khu Ti tidak berani memandang rendah, sedikit menggunakan tenaga dia dorong dan putar Huwan Pau ke suatu arah sehingga tubuhnya menerjang ke ujung pedang Huwan Liong yang sedang menusuk tiba, bentaknya: "Tidak kau ganti, aku tidak akan lepas tangan," maka terdengarlah suara membrebet yang panjang, pakaian Huwan Pau tertusuk sobek sehingga isi kantong bajunya berantakan kocar-kacir di lantai.

Untung Huwan Liong bertindak cukup sigap, sembari menarik pedang, dia tarik adiknya itu ke samping. Cepat sekali Tan Ciok-sing juga sudah memburu tiba seraya menusuk dengan pedang, serangan tetap menggunakan jurus Sam-coan-hoat-lun, seorang diri sudah tentu Huwan Liong tidak kuasa melawan, sekali pelintir dan sendai kedua pedang saling tindih terus mencelat terbang dan "Trap" pedangnya menancap di atas belandar. Tapi Huwan Liong berhasil menolong adiknya terus diseret lari keluar.

Khu Ti berteriak: "Biar kuperiksa dulu, apakah uang-uang yang tercecer ini cukup untuk mengganti kerugianku, wah masih kurang sedikit."

Entah takut dikejar oleh Khu Ti, atau karena tidak membawa senjata rahasia, kontan dia ayun tangan menyambitkan sekerat uang perak seharga sepuluh tahil ke arah Khu Ti yang tengah berdiri di samping pintu.

Uang perak ini meluncur dengan menderu kencang, tapi Khu Ti hanya menggape sekali terus ditangkapnya, serunya tertawa riang: "Ketambah uang perak ini, kira-kira cukuplah uang ganti kerugianku, nah lekaslah kalian enyah dari sini."

Kuatir dikejar dan dihajar babak belur sudah tentu Huwan bersaudara seperti berlomba melarikan diri naik kuda. Sementara Liong Seng-bu sejak tadi sudah ngacir lebih dulu.

Memunguti pecahan uang yang berserakan di lantai Khu Ti gelak tertawa, katanya: "Tak kira hari ini aku bisa ketiban rejeki nomplok. Perabotku yang sudah bobrok ini paling seharga dua tahil, tapi aku memperoleh ganti dua puluh tahil, wah menyenangkan."

Kejut dan girang Tan Ciok-sing, lekas dia memberi hormat, katanya: "Maaf Wanpwe punya mata tidak melihat tingginya gunung Taysan, harap Lopek tidak berkecil hati, dan banyak terima kasih akan bantuan Lopek."

"Kau kan tamuku, tamu mengalami kesulitan, adalah jamak kalau aku sebagai tuan rumah membantu, kenapa harus terima kasih? Hehe, sekarang sudah beres, segala persoalan tidak perlu diperdebatkan, tadi kau hendak mentraktir aku, ini kau sudah memperoleh rejeki, nah minumlah sepuasmu, tanggung gratis tak usah bayar."

"Mungkin mereka akan kembali pula," ucap Tan Ciok-sing, "Lopek, kedaimu ini salah-salah bisa bangkrut karena kedatanganku."

"Memangnya sudah lama aku pingin menutup kedai ini, ongkos pindahku juga sudah tersedia sekarang, apa pula yang kukuatirkan? Lebih baik aku cari tempat mengasingkan diri. Sebetulnya aku tidak akan buru-buru pindah, apa kau tidak perhatikan, mereka lari balik ke arah datangnya semula?"

"Pemuda itu adalah putra Kiu-bun-tek-tok yang berkuasa di kota raja, sejak dari Tay-tong mengejarku sampai disini. Nyali mereka sudah pecah oleh kegagahan paman tadi, yakin dia pasti pulang membawa pasukan pemerintah untuk menggerebekmu."

"Sedikitnya dua hari baru mereka akan tiba disini, maka kau boleh tak usah buru-buru, hayolah temani aku minum sepuasnya."

Tan Ciok-sing mengiakan, dalam hati dia memang ada sebuah tanda tanya, kalau ada kesempatan sebentar dia ingin tanya kepada Khu Ti biar jelas.

"Kalau ilmu pedangmu tidak seliehay itu, arak yang semayam dalam perutku tadi juga tidak akan kuasa membubarkan barisan pedang mereka. Oh ya, tadi belum sempat kutanya, harpa antikmu ini..."

"Untung tidak apa-apa."

"Syukurlah. Meja kursi rusak tidak jadi sesal, tapi harpamu ini sudah barang antik yang tak ternilai harganya. Terus terang, tadi aku terpaksa ikut turun tangan bukan lantaran kau ini adalah tamuku saja, sebab yang utama adalah karena harpa antik ini."

"Maaf Lopek, untuk ini belum sempat tadi aku memberitahu padamu, Ki Harpa atau guru harpa yang diceritakan Lopek tadi, beliau adalah kakekku."

Khu Ti terbahak-bahak karanya: "Memangnya sejak tadi sudah kuduga kau pasti cucu Tan Khim¬ ang, kecuali keturunan Tan Khim-ang, memangnya siapa lagi yang mahir memetik harpa sebagus itu? Nah, mari, mari, lekas bantu aku membereskan rumah yang berantakan ini, nanti kita minum lagi sampai mabuk."

Meja kursi yang patah dan remuk segera disingkirkan ke pinggir, Tan Ciok-sing segera menyapu bersih ruang kedai, sementara Khu Ti masuk kedalam membawa keluar seguci arak pula, katanya tertawa: "Inilah arak tua yang sudah kusimpan selama 30 tahun. Tapi aku katakan empat guci terakhir, maksudku hendak ngapusi mereka," mangkok piring dia singkirkan kedalam lalu membawa mangkok besar untuk minum arak bersama Tan Ciok-sing.

Setelah menenggak dua cawan, Khu Ti berkata: "Dua puluh tahun sudah aku berpisah dengan kakekmu, selama ini tak pernah kudengar beritanya, beberapa tahun ini, dia..."

"Sejak aku dilahirkan, aku diasuh dan dibimbing kakek sampai sebesar ini, bertempat tinggal di Cit-sing-giam di Kwi-lin. Empat tahun yang lalu kakek sudah mangkat."

"O, lalu ayah bundamu?"

"Sejak dilahirkan aku sudah yatim piatu, ayah malah meninggal sebelum aku lahir. Karena sukar melahirkan ibu juga meninggal.

Mungkin dosaku terlampau besar sehingga ayah bunda menjadi korban..."

Khu Ti mendadak menggebrak meja, katanya keras sambil menghela napas: "Sayang, sayang sungguh kasihan, sungguh menyebalkan."

Tan Ciok-sing kaget, tanyanya hambar: "Khu-losiansing, apa maksudmu?"

Kalau Khu Ti merasa sayang karena kematian ayah bunda Tan Ciok-sing sejak dia masih kecil, ini dapat dimaklumi, tapi kenapa pula harus dibuai kasihan dan menyebalkan?

Khu Ti melengak, katanya: "Apa kakekmu selamanya tak pernah menerangkan padamu?"

Semakin bingung Tan Ciok-sing dibuatnya, tanyanya:

"Menerangkan soal apa?'" diam-diam dia mereka dalam hati: "Memangnya ayah bundaku juga mati dicelakai orang?" Sejak kecil dia hidup bersama sang kakek, jarang kakeknya bicara soal ayah bundanya, dia kira karena sejak kecil dia tidak pernah melihat ayah bundanya, maka kakek tidak ingin dia bersedih hati. Kini mendengar omongan Khu Ti barulah timbul rasa curiganya.

Seperti tahu isi hatinya, Khu Ti berkata: "Mungkin ayah bundamu tidak langsung dicelakai orang, tapi jikalau bukan lantaran pengalaman pahit yang pernah mereka alami itu, aku yakin mereka takkan mati semuda itu."

"Pengalaman pahit apakah yang pernah dialami ayah bundaku, kakek tak pernah menerangkan, Apakah Lopek boleh memberitahu padaku?"

"Kejadian sudah dua puluh tahun berselang, bahwa kakekmu tidak mau menerangkan padamu pasti ada alasannya sendiri. Orang yang menjadikan keluargamu berantakan dan mengalami bencana itupun sudah lama mati, maka kupikir kaupun boleh tak usah mengusut soal ini."

Tan Ciok-sing berdiri lalu berlutut di hadapan Khu Ti, katanya: "Meski urusan sudah lama berselang, sebagai seorang putra yang harus berbakti terhadap orang tua, adalah menjadi hak dan kewajibanku untuk tahu duduknya persoalannya, kalau tidak betapa hatiku bisa tenang..."

Lekas Khu Ti memapahnya berdiri, katanya menghela napas: "Memang sudah kebacut kubicarakan, kau tahu sedikit adalah logis kalau ingin tahu sejelasnya. Baiklah sebentar kututurkan padamu," sampai disini dia mengisi secawan penuh lalu ditenggaknya habis, lalu katanya pula: "Dengan ayahmu aku hanya pernah bertemu sekali, tapi persahabatan kami sungguh teramat kental dan keliwat intim. Tadi kau tanya padaku mengapa mengasingkan diri di desa yang sepi dan terpencil ini, kejadiannya sebetulnya juga ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang menyangkut kakek dan kedua orang tuamu."

Kejadian yang dibicarakan Khu Ti separoh di antaranya sudah direka oleh Tan Ciok-sing, tapi separoh kelebihannya benar-benar diluar dugaannya. Yang sudah diduga adalah Khu Ti pasti pernah berkenalan dan berhubungan yang intim dengan kakeknya, tapi bahwa Khu Ti juga ada sangkut pautnya dengan kedua orang tuanya, ini sungguh amat mengejutkan hatinya, lekas dia tanya tentang seluk beluknya.

Mengenang masa lalu perasaan Khu Ti kelihatan masgul, setelah menghabiskan secangkir lagi, perlahan-lahan dia bicara: "Dua puluh tahun yang lalu, adalah seorang perwira dari pasukan Gi-lim-kun. Orang sering bilang kalangan pejabat kerajaan merupakan sumber kantong yang paling subur, demikian pula dalam kalangan kemiliteran. Orang yang berwatak nyentrik sepertiku ini, ternyata dapat hidup dan berkecimpung sekian tahun lamanya disini. Lote mungkin kaupun takkan pernah menyangkanya?"

Tan Ciok-sing ikut menghabiskan secangkir arak, katanya: "Ya, memang tak terduga."

Khu Ti melanjutkan: "Waktu itu kakekmu sudah tersohor sebagai guru harpa nomor satu di dunia ini, tahun itu kebetulan dia berada di kota raja, tetapi sebelumnya aku tidak tahu."

"Aku punya seorang kawan, bicara soal kedudukan dan Kungfu dia jauh lebih tinggi dari aku, untungnya pambek dan hobi serta sepak terjangnya ternyata selaras dengan watakku, dalam kalangan militer hanya dia seoranglah terhitung temanku yang paling dekat. Kalau kubicarakan kemungkinan kau pun sudah tahu siapa orang ini."

"Aku terlambat dilahirkan, tokoh-tokoh gagah generasi yang dahulu banyak yang tidak kukenal. Entah siapa yang Lopeh maksudkan?"

"Dia adalah In Jong. Bu-conggoan yang amat tersohor di masa lalu. Umumnya tiga tahun sekali diadakan pemilihan Bu-conggoan, tapi jabatan Bu-conggoan yang digondol In Jong lain dari yang lain. Bukan saja dia pernah membebaskan Baginda Raja yang terdahulu dari tawanan bangsa Watsu, diapun mendorong ke Ie Kiam untuk angkat senjata melawan serbuan pasukan besar

Watsu sehingga negara terhindar dari jajahan bangsa asing, betapa besar pahala yang direbutnya tapi belakangan dia membuang pangkat menyibak harta benda, meletakkan jabatan mengundurkan diri kembali ke kampung halaman terima hidup bercocok tanam sampai akhir hayatnya."

Senang dan kaget hati Tan Ciok-sing, serunya: "Bukankah In-conggoan yang Lopeh ceritakan ini adalah ayah In Tayhiap In Hou dari Tay-tong?"

"Betul. Kuduga kau pasti kenal dengan keluarga In, ternyata tidak meleset," demikian ujar Khu Ti lebih lanjut. "Pada suatu malam tiba-tiba In Jong datang ke rumahku, dia bilang apakah aku sudi melakukan suatu hal bagi seorang yang belum pernah kukenal, resiko tugas yang kukerjakan kemungkinan bisa mengakibatkan aku kehilangan jabatan dan pangkatku di kalangan pemerintah?"

Waktu itu aku bilang tugas yang kau serahkan padaku pasti kerja yang harus ditegakkan kebenarannya, jangan kata hanya kehilangan pangkat dan kedudukan, umpama kepalaku harus berkorban juga tidak jadi soal. Tapi boleh kau beritahu kepadaku, siapa orang yang harus kubantu itu?"

Sampai disini pun Tan Ciok-sing pun sudah mengerti, katanya: "Orang yang dimaksudkan oleh In-conggoan pasti kakekku adanya."

"Betul, memang kakekmu."

Tan Ciok-sing heran, katanya: "Kakek hanya guru harpa, kesulitan apa yang melibatkan dirinya di kota raja, sampai In-conggoan harus menampilkan diri minta bantuan orang lain?"

"Kalau peristiwa ini menyangkut diri orang lain, malahan merupakan urusan baik yang sukar diperoleh, tapi bagi kakekmu justeru kesulitan yang paling sulit. Waktu itu ada seorang thaykam Ong Ceng, tentunya kau juga pernah dengar cerita orang-orang tua tentang dorna jahat itu?"

Tan Ciok-sing berkata: "Konon dialah biang keladinya yang paling berdosa atas kekalahan besar peristiwa To-bok-po dulu itu, Karena mendengar hasutannya maka Baginda yang berkuasa waktu itu hampir saja tewas dan negara hancur."

"Betul, karena katanya berbuat salah terhadap dorna yang berkuasa ini sehingga kakekmu mengalami kesulitan."

"Kakek adalah guru harpa yang kelana di Kangouw, memangnya ada sangkut paut apa dengan dorna durjana itu, kenapa kesulitan bisa nomplok pada dirinya."

"Setiba kakekmu di kota raja, entah bagaimana kedatangannya diketahui Ong Ceng. Mendengar dia adalah ahli harpa nomor satu di dunia ini, maka Ong Ceng mengundangnya ke rumah pribadinya ingin mendengar permainan harpanya."

"Kakek paling benci kalangan berkuasa, apalagi pejabat korup dan dorna, dia pasti menolak undangan Ong Ceng.

"Dugaanmu memang tidak meleset, kakekmu sembunyi di sebuah hotel kecil, karena tidak berhasil mengundang kakekmu, maka dia lantas mengutus Kim-ih-wi hendak menangkapnya. Malahan ayah bundamu juga hendak ditangkapnya pula. Begitu dia mengeluarkan perintah Kim-ih-wi segera melaksanakan tugas. Berita ini bocor diketahui oleh In Jong, kedudukan ln Jong amat tinggi, setiap tindak tanduknya selalu di awasi dan menjadi perhatian orang banyak, maka tidak leluasa dia bertindak atau bergerak untuk memberi kabar kepada kakekmu."

Sampai disini Tan Ciok-sing sudah paham katanya: "O, kiranya begitu, maka In-conggoan minta tolong kepada Lopek."

"Betul, sebetulnya In Jong juga tidak kenal kakekmu. Tapi dia mengagumi watak keras kakekmu yang patriotik pula maka dia merasa simpati dan tidak tega melihat kakekmu menjadi bulan-bulanan Ong Ceng."

Haru hati Tan Ciok-sing, katanya: "Betapa perkasa dan baik hati In-conggoan dan Lo Pek, sungguh merupakan teladan bagi kaum muda."

Setelah menenggak arak Khu Ti berkata pula: "Waktu itu sudah mendekati kentongan ketiga, urusan tidak boleh ditunda, maka aku berkata pada In Jong, baik soal ini kau serahkan padaku untuk kukerjakan, lekas kau pulang saja, supaya kaki tangan Ong Ceng tidak mengetahui jejakmu."

"Setelah In Jong pergi, secara buru-buru aku menulis sepucuk surat yang kutujukan kepada kakekmu, maksudnya bahwa Ong Ceng hendak menangkap dia, supaya dia lekas melarikan diri. Waktu aku tiba di hotel kecil itu kakekmu sedang duduk melamun menyanding dian agaknya dia tidak bisa tidur. Maka aku gunakan kebiasaan orang Kangouw mengirim kabar dengan sambitan belati, surat kutusuk di ujung belati terus kusambitkan kedalam menancap di atas meja?"

"Setelah melihat suratku, kakekmu tampak kaget dan ragu-ragu, lekas dia membangunkan ayah bundamu, mereka lantas berunding. Mereka menempati dua kamar yang berdampingan, ada pintu penghubung. Ayahmu bilang Ong Ceng jahat telengas, siapapun tahu akan keganasannya. Soal ini lebih baik dipercaya dari pada kapiran. Syukurlah ada pendekar yang sudi memberitahu dan menolong kesulitan kita ini adalah lebih baik kalan kita melarikan diri saja."

"Tapi kakekmu bilang kesehatan isterinya sedang terganggu, harapan semula kalian bisa beristirahat disini, kini harus pergi secara tergesa-gesa pula, mungkin dia bisa terserang penyakit yang lebih parah."

"Tapi ayah bundamu tahu gelagat urusan harus dibedakan yang gawat dan yang ringan, jikalau masih ragu, bila kaki tangan Ong Ceng datang hendak menangkap mereka, kita bertiga jelas takkan sudi dihina, memangnya jiwa raga terima dikorbankan secara percuma, bagaimana kita bisa menyelamatkan diri pula?"

"Kakekmu menghela napas, katanya: "Apa boleh buat, baiklah segera kita berangkat."

"Melihat mereka pergi, legalah hatiku. Tak nyana baru saja kaki mereka melangkah keluar dari pintu belakang, kaki tangan utusan Ong Ceng juga telah melangkah masuk dari pintu depan."

"Pimpinan kaki tangan Ong Ceng ternyata seorang yang sudah punya kedudukan tinggi dan berkepandaian Iiehay, dia adalah pimpinan barisan Kim-ih-wi bernama Ciang Thi-hu, meyakinkan Thi-sa-ciang, dia terhitung salah satu jago kosen di antara anak buah Ong Ceng. Dua orang laki yang dibawanya juga pandai menggunakan senjata rahasia.

"Kupikir bila mereka mendapatkan kakek dan ayah bundamu melarikan diri, apalagi kakekmu belum lari jauh, pasti bisa terkejar, menolong orang harus menolongnya sampai selamat, supaya kakek dan ayah bundamu bisa lolos dengan selamat, maka aku perlu mengulur waktu. Maka secara diam-diam aku menyusup masuk ke kamar kakekmu, kupakai baju kakekmu yang tidak sempat dibawanya lalu merebahkan diri di atas ranjang, seluruh tubuh kututup kemul dan pura-pura tidur menggeros.

Ciang Thi-hu ternyata termakan muslihatku, begitu datang dia menjebol pintu terus membentak: "Tan Khim-ang, diberi arak suguhan tidak mau, memangnya kau minta dihukum pancung. Hayo bangun, menyerahkan diri dan ikut aku." Begitu dia menyingkap kemul, kontan aku memberinya sebuah pukulan.

"Thi-sa-ciang yang diyakinkannya ternyata memang liehay, tapi dia terpukul juga sampai jungkir balik keluar pintu, kepalanya bocor hidungnya ringsek."

Tan Ciok-sing keplok tangan seraya berjingkrak senang, segera dia isi arak penuh dua cangkir, mereka sama-sama tenggak habis, teriaknya: "Sungguh menyenangkan."

Khu Ti bercerita pula: "Sungguh menggelikan, dua anak buah Ciang Ti-hu ternyata berani mati turun tangan serempak menyerangku dengan senjata rahasia ini. Terpaksa kugunakan cara mereka untuk menghajar mereka, senjata rahasia mereka kupukul balik, bukan aku yang terluka, tapi senjata rahasia itu makan tuannya malah. Tanpa pedulikan mereka mati atau hidup segera aku tinggalkan hotel itu. Waktu itu merekapun tak berhasil menemukan jejak kakekmu."

"Apa mereka tahu akan perbuatanmu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Malam gelap gulita, hakikatnya mereka tidak melihat dan tidak tahu akan diriku, tapi aku tahu Ciang Ti-hu seorang ahli, bahwa Thi-sa-ciangnya terpukul pecah olehku, cepat atau lambat pasti dia tahu akan perbuatanku," sampai disini Khu Ti tertawa tergelak-gelak, lalu menambahkan: "Begitulah, dari seorang perwira Gi-lim-kun akhirnya aku berubah jadi pemilik kedai minum di dusun yang sepi dan terpencil ini, setiap hari aku minum arak buatanku sendiri, senang dan bebas juga kehidupanku disini."

"Demi keluargaku sampai Khu-lopek kehilangan jabatan dan masa depan yang gemilang, meski kau menanam budi tanpa pikirkan balasannya, betapapun Wanpwe merasa rikuh dan hutang budi."

Khu Ti mengerutkan kening, katanya: "Kenapa kau bicara demikian, masa depan apa segala, hidup dalam kalangan pemerintahan yang serba kotor itu, memangnya bisa mengembangkan bakat, pambek dan cita-citaku? Melakukan kerja yang melanggar hukum Tuhan? Memang sejak lama aku sudah ingin meletakkan jabatan. Kehidupan sekarang yang kurasakan ini, ternyata jauh lebih menyenangkan, bebas dan wajar dari pada menjadi perwira Gi-lim-kun. Hanya satu yang masih kusesalkan, aku tidak sempat pamitan kepada In Jong. Malam itu juga secara diam-diam aku meninggalkan kota raja."

"Sayang sekali kehidupan serba sederhana dan bebas ini hari menjadi berantakan pula lantaran diriku."

"Kau tidak usah menguatirkan diriku, walau aku tidak membuka warung minuman, arak bikinanku sendiri setiap hari tetap bisa kuminum dan kujual."

Lain katanya lebih lanjut: "Sejak itu tak pernah aku bertemu dengan In Jong. Tapi diluar dugaanku, belum ada setengah tahun, aku malah bertemu dengan kakekmu."

Seperti sedang mengingat-ingat kejadian masa lalu, beruntun dia menghabiskan tiga cangkir lagi, baru meneruskan ceritanya: "Belum lama setelah aku membuka kedai minum ini, hari itu datang tiga tamu yang bicara dengan logat daerah lain, mereka minta arak, selintas pandang lantas aku mengenali kakekmu. Waktu di hotel dulu aku tidak sempat melihat wajahnya, tapi dia memanggul harpanya itu. Dua pengikutnya adalah sepasang suami istri yang masih muda, merekapun membawa peralatan musik. Adik cilik, entah kau tahu tidak bahwa ibu kandungmu sebenarnya juga seorang ahli musik yang pandai memetik harpa. Dan kau, dulu sebetulnya pernah kemari, cuma kau tak tahu."

Tan Ciok-sing melenggong, katanya: "Dua puluh tahun yang lalu, akukan belum lahir,"

"Betul, kau memang belum lahir, tapi kau sudah berada dalam kandungan ibumu."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Betul, usiaku tahun ini memang sembilan belas."

"Hari itu, mereka datang bersama dan minta arak, aku betul-betul dibuat kaget."

"Kenapa?"

"Kakek dan ayahmu kelihatan kurus, pucat dan lesu aku dapat melihat keadaan mereka, ayahmu malah terluka dalam yang cukup parah. Demikian pula ibumu sudah mengandung tiga bulan, wajahnya juga kelihatan berpenyakitan."

Sedih hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Mereka diburu-buru oleh menteri dorna itu, meski dunia ini cukup luas, tapi mereka pasti kehilangan akal dan tak tahu kemana mereka harus menyingkir, adalah jamak kalau mereka patah semangat dan putus asa, badan sehat dan kekarpun akhirnya pasti jatuh sakit karena kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat, hati selalu was-was lagi. Ai, tak nyana sebelum aku lahir, ayah bunda ternyata sudah harus menderita sedemikian rupa."

"Adik cilik, rakyat jelata masa itu, memangnya siapa yang tidak merasa ditindas oleh kaum penguasa, kejadian sudah berselang dua puluh tahun, kau tidak perlu bersedih karenanya," setelah menghela napas panjang, kembali dia menuang secawan penuh lalu ditenggak habis, katanya pula: "Aku silakan mereka duduk, dalam hati diam-diam aku menjadi bimbang, apakah perlu aku memperkenalkan diri dan menjelaskan duduk persoalannya? Tak kira sebelum aku sempat bicara, ternyata kakekmu sudah mengenali siapa aku ini."

Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Malam itu kakek kan tidak melihatmu, dari mana dia bisa tahu akan dirimu?"

"Dari seorang perwira Gi-lim-kun aku berubah jadi menjual minuman, adalah jamak kalau aku sering petingkah. Waktu aku membuka kedai ini, aku sendiri menulis sebuah syair dari pujangga Liok Yu untuk hiasan tempel dinding."

Tan Ciok-sing lantas tahu, katanya: "P, kakek mengenali gaya tulisanmu?"

"Betul, pandangan kakekmu ternyata tajam dan liehay, surat peringatan yang kutulis itu selama ini dia simpan baik-baik, padahal berapa huruf saja surat peringatan itu, namun dia sudah begitu paham dan mengenal gaya tulisanku. Setelah asal-usul diriku terbongkar, terpaksa aku mengaku terus terang."

"Waktu di kota raja malam itu, hakikatnya kami tidak pernah bertemu, baru sekarang kami berkenalan secara akrab. Begitu kenal seperti sahabat lama saja layaknya, kami terus mengobrol panjang lebar."

"Dalam percakapan itu baru aku tahu, ternyata kakekmu sekeluarga, bukan saja tak kuasa tinggal di kota raja karena diburu oleh Ong Ceng, ingin kelana di Kangouw juga selalu mengalami kesukaran, dua hari sebelumnya, mereka kepergok pula oleh anak buah Ong Ceng yang masih terus mengejar-ngejar mereka."

"Jadi ayahku terluka dalam karena bertempur melawan anak buah Ong Ceng," ucap Tan Ciok-sing.

"Untung mereka bukan kepergok jagoan Kim-ih-wi, dia hendak membekuk kakekmu, ayahmu segera melabraknya, akhirnya dia terluka, tapi musuh dapat digebah pergi. Tapi karena peristiwa ini ibumu kaget dan jatuh sakit. Sebetulnya ingin aku menahan mereka untuk menetap beberapa hari, setelah kesehatan pulih baru berangkat pula. Tapi mereka kuatir bila anak buah Ong Ceng memburu datang pula, apapun mereka tidak mau membuat susah aku lagi, maka hari itu kami hanya makan minum sepuasnya, sebelum berpisah kakekmu memetikkan sebuah lagu untukku."

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Tak heran ayah bunda meninggal di masa muda, kiranya gara-gara Ong Ceng si durjana itu penyebabnya."

"Setelah peristiwa To-bok-po, tak lama kemudian Ong Ceng sendiri juga mampus. Mungkin karena kejadian sudah lama berselang, maka kakekmu tidak pernah menyinggung soal ini terhadapmu."

"Sayang menteri dorna itu sudah lama mati, aku tidak bisa menuntut balas sakit hati orang tua dengan tanganku sendiri. Lalu bagaimana dengan Ciang Thi-hu?"

"Sampai sekarang Ciang Thi-hu masih hidup. Tapi konon dia sudah berganti seorang majikan lain. Majikannya yang sekarang adalah Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong."

Tan Ciok-sing berkata geram: "Liong-kongcu yang datang barusan, bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong. Sayang kali ini dia hanya membawa Huwan bersaudara, mending kalau Ciang Thi-hu."

Khu Ti menghela napas, katanya: "Orang baik di dunia ini takkan habis dibunuh, orang jahatpun takkan habis diberantas. Adalah pantas kalau selanjutnya kau berkelana sambil mendarma baktikan dirimu bagi kepentingan umum, jangan selalu kau dirundung sakit hati orang tuamu melulu. Ai, pamor kerajaan yang semakin guram, pemerintahan yang kacau balau ini, tak ubahnya seperti dua puluh tahun yang lalu?" setelah menghela napas, dia melanjutkan: "Sebelum kakekmu pergi, diapun pernah menulis sebuah syair sebagai kenang-kenangan, apa kau mau melihatnya?"

"Dimana?" tanya Tan Ciok-sing.

Maka Khu Ti menurunkan sebuah lembar kain sutra yang sudah luntur warnanya, di atas kain sutra ini bertuliskan syair-syair Liok Yu yang lain pula, gayanya kuat tulisannya tegas Tan Ciok-sing kenal betul akan tulisan kakeknya ini.

Khu Ti berkata: "Waktu itu kakekmu sudah terpengaruh oleh air kata-kata, pernah ia menyatakan ingin mencari suatu tempat untuk mengasingkan diri, seperti makna dalam syair Liok Yu ini, bahwa akhirnya dia bersemayam di bawah Cit-sing-giam, agaknya sudah terlaksana juga keinginannya," sampai disini dia lantas tanya, "Tan-siheng, ada sebuah hal yang masih belum jelas bagiku, mohon penjelasanmu."

"Lopek tak usah sungkan, entah soal apa yang ingin kau tanyakan?"

"Ilmu pedangmu amat liehay dan menakjubkan. Agaknya bukan ajaran keluarga bukan?"

"Ilmu pedangku memang kupelajari dari seorang guru ahli, pujian paman tak berani kuterima."

"Belakangan In Jong juga meletakkan jabatan mengasingkan diri, entah dia pernah bertemu dengan kakekmu tidak?"

"Seingatku, mereka tak pernah bertemu," demikian sahut Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin: "In Tayhiap In Hou adalah putra In Jong, kematian kakek justru disebabkan oleh In Hou."

Seperti ada sesuatu yang dipikirkan sesaat lamanya baru Khu Ti berkata pula: "Aneh kalau begitu."

"Soal apa yang paman rasakan aneh?"

"Entah betul tidak rabaanku, ilmu pedangmu itu bukankah kau pelajari dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong? Thio Tayhiap adalah adik ipar In-conggoan aku pernah menyaksikan ilmu pedangnya itu."

"Pandangan Lopek memang jitu aku memang mendapat pelajaran dari Thio Tayhiap."

"Ha, jadi Thio Tayhiap masih hidup?" tanya Khu Ti terbelalak girang.

"Suhu sudah meninggal bertepatan dengan pengangkatanku sebagai muridnya," lalu Tan Ciok-sing menceritakan kematian In Hou dan Thio Tan-hong serta pesan-pesan mereka kepada dirinya.

Khu Ti menenggak pula secangkir arak katanya: "Dulu In Jong tidak kenal kakekmu demi menolong kakekmu dia rela mengorbankan kedudukan melawan menteri dorna yang berkuasa, kakekmu juga tidak kenal putranya In Jong, tapi sama-sama pula demi orang yanq tidak dikenalnya rela berkorban sehingga keluarga hancur berantakan. Walau tidak berhasil menolong orang tapi jiwa patriot dan keperkasaan mereka patut dipuji."

"Khu-lopek, kau sendiri juga seorang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terjerumus kedalam pertikaian ini, sepak terjangmu yang gagah dan budiman ini, Wanpwe patut kagum dan memujamu. Bukan lantaran paman pernah menanam budi untuk keluargaku baru Wanpwe bilang demikian."

"Memangnya kau sendiri tidak demikian?" ujar Khu Ti tertawa. "Kau membantu kesulitan yang menimpa keluarga In, sebelum ini kau kan tidak tahu bahwa In Jong pernah menanam budi keluargamu. Hehehe, kalau dibicarakan lebih jauh, jadi saling mengumpak belaka. Hayo minum, minum."

"Aku sudah tak kuat minum. Waktu amat berharga, aku harus segera melanjutkan perjalanan."

"Tunggu lagi sebentar. Aku ingin mencari tahu seseorang padamu."

"Siapa?"

"It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah penduduk Kwi-lin, tentunya kau tahu?"

"Tahu Kakek pernah punya hubungan cukup baik dengan dia. Apa Khu-lopek kenal dia?"

"Sudah lama kukenal namanya, tapi belum pernah ketemu. Tapi aku tahu dia seorang gagah yang suka royal merogoh kantong, maka aku merasa sedikit heran."

"Apa yang mengherankan?"

"Tadi kau bilang kakekmu berhubungan baik dengan dia, kini baru kuingat, dulu kakekmu bilang tidak mau mencari perlindungan pada keluarga Toan di Tayli, dia lebih percaya pada kawan-kawan Kangouw, kawan yang dia maksud mungkin adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap. Waktu kalian kebentur peristiwa yang menimpa In Hou itu, kenapa kalian tidak minta pertolongannya?"

Tawar jawaban Tan Ciok-sing: "Mungkin kakek tidak ingin merembet orang lain."

"Bicara soal Lui Tayhiap, aku jadi ingat akan janjiku yang belum terlaksana dulu, selama ini amat gegetun menyesal sekali."

"Bukankah Khu-lopek tidak pernah mengenalnya?"

"Betul, aku memang tidak pernah bertemu muka dengan dia, tapi pernah aku berjanji untuk membantu sesuatu hal baginya, selama ini belum bisa aku menepati janjiku itu."

"Maaf kalau Siautit kurang hormat, mohon tanya soal apakah itu?"

"Dua puluh tahun yang lalu, waktu itu Lui Tin-gak belum lama keluar kandang, di kalangan Kangouw dia masih terhitung angkatan muda. Sudah tentu niasa itu diapun belum memperoleh julukan It-cu-king-thian. Pada suatu ketika dia pernah membantu Kim-to Cecu Ciu Kian (ayah Ciu San-bin, Kim-to Cecu yang sekarang) menghadang serbuan pasukan Watsu menjaga sebuah selat penting, seluruh laskar rakyat berjuang bersamanya semuanya gugur, seorang diri dengan golok emas dia membunuh delapan belas busu musuh, terus bertahan sampai titik darah penghabisan, sehingga bala bantuanpun tiba sehingga musuh berhasil dipukul mundur, sejak itulah dia terangkat namanya. Julukan (t-cu-king-thian pun dia peroleh sejak pertempuran besar itu."

"O, kiranya demikian. Semula kukira hanya memujikan dirinya ibarat Tok-siu-hong yang terkenal di daerah Kwi-lin itu."

"Boleh juga dikata demikian. Sejak dia berdiam di Kwi-lin, karena kedermawanannya tidak sedikit orang-orang yang tak kuasa berdiam pula di Tionggoan dan lari di Kwi-lin mendapat perlindungannya, maka tidak sedikit pula yang berpandangan sepertimu tadi menjulukinya It-cu-king-thian. Tapi asal mula julukan itu sendiri jelas dari pertempuran besar melawan pasukan Watsu itu.

"Kira-kira tiga bulan setelah pertempuran besar itu, aku memperoleh tugas untuk menyelesaikan urusan dinas di Tan¬tong karena selama ini aku amat mengagumi Kim-to Cecu, setelah aku menunaikan tugas dinasku secara diam-diam aku lari ke Gan-bun-koan menemuinya. Hubungan In Jong amat intim dengan Kim-to Cecu, dari In Jong Kim-to Cecu sudah tahu akan diriku meski baru pertama kali bertemu hubungan kami sudah seperti saudara lama, tiada persoalan yang tidak menjadi topik pembicaraan kami.

"Waktu itu Lui Tin-gak sudah lama meninggalkan markas Kim-to Cecu, tak urung kami memperbincangkan soal dirinya juga. Kim-to Cecu bilang Lui Tin-gak punya sesuatu keinginan dia mengharap suatu ketika dapat berkenalan dengan Thio Tan-hong yang memperoleh gelar jago pedang nomor satu di dunia. Dia tidak berani mengharapkan Thio Tan-hong sudi menerimanya sebagai murid dia hanya ingin mohon sedikit petunjuk beberapa jurus ilmu pedang dari Thio Tan-hong."

"Setelah mendengar hal ini aku lantas bilang kepada Kim-to Cecu, bahwa cita-citanya yang luhur ini, kemungkinan aku bisa membantu dia. Waktu itu aku berpikir begini, Thio Tan-hong adalah suami dari adik perempuan In Jong, mengingat hubungan baikku dengan In Jong, mohon bantuannya supaya dia membantu kemungkinan bisa memohon pada Thio Tan-hong untuk menerimanya sebagai murid."

"Tak kira setiba aku di kota raja dan menemui In Jong, baru tahu bahwa Thio Tan-hong sudah menghilangkan jejaknya di Kangouw. In Jong sendiri juga tidak tahu dimana sekarang Thio Tan-hong berada.

Walau aku tidak pernah berjanji kepada Lui Tin-gak secara langsung, tapi aku sendiri pernah berjanji kepada Kim-to Cecu sampai sekarang aku belum bisa melaksanakan janjiku itu, maka terasa olehku masih merasa hutang terhadap It-cu-king-thian," sampai disini Khu Ti menenggak habis secawan arak terakhir katanya: "Lote, aku mohon bantuanmu."

Tan Ciok-sing sudah dapat meraba beberapa bagian tapi dia tetap berkata: "Lopeh adalah tuan penolong keluargaku, adakah sesuatu tugas yang perlu Siautit lakukan, boleh silahkan perintahkan saja. Kalau Lopeh main sungkan. Siautit jadi rikuh dan tak enak memikulnya."

"Kelak bila kau bertemu dengan It-cu-king-thian sukalah kau mendemontrasikan ilmu pedang ajaran Thio Tan-hong ini di hadapannya, supaya keinginannya itu terkabul."

Kakek Tan Ciok-sing adalah sahabat baik It-cu-king-thian, tapi

Tan Ciok-sing sendiri, hakikatnya tidak pernah kenal dan tidak tahu liku-liku kehidupannya. Kini setelah mendengar kisah masa lalu It-cu-king-thian dari Khu Ti, hatinya jadi bingung, pikirannya ruwet: "Ternyata dia pernah berjuang berdampingan dengan Kim-to Cecu, seorang pahlawan bangsa yang patriotik lagi, mungkin aku salah mencurigainya. Tapi hati manusia siapa bisa menduga, seorang gagah atau pahlawanpun mungkin saja melakukan kesalahan. Sesuai apa yang diceritakan paman Khu, Lui Tin-gak gemar belajar silat, cita-citanya yang terbesar adalah memperoleh ajaran ilmu pedang suhu. Kejadian itu bukan mustahil lantaran dia tahu bahwa ln Hou membawa Kiam-boh karya Suhu sementara In Tayhiap menyembuhkan luka-lukanya di rumahku, karena ingin merebut Kiam-boh maka mengatur tipu daya sehingga kakekpun ikut menjadi korban? Biarlah aku menyelidiki soal ini lebih dulu, kalau betul dia adalah musuhku, akan kutantang dia berduel setelah kukembangkan pelajaran ilmu pedang Suhu di hadapannya baru kubunuh dia, berarti aku telah menunaikan permintaan paman Khu."

Khu Ti menggulung kain centel yang bertulisan syair-syair Liok Yu itu terus diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya: "Seguci arak terakhir telah habis kuminum tiada sesuatu benda dalam kedai ini yang perlu kubawa lagi. Setelah kuserahkan padamu, aku boleh pergi dengan lega hati."

Mereka beranjak keluar bersama, Tan Ciok-sing bersiul panjang, lekas sekali kuda putih itu sudah berlari mendatangi. Khu Ti memuji: "Kudamu ini bagus sekali, cerdik pula."

"Kemana selanjutnya paman akan mengasingkan diri, semoga Siautit masih ada kesempatan mohon petunjukmu."

"Di belakang gunung aku membangun sebuah gubuk, semoga aku dapat melewatkan sisa hidupku ini di tengah lebatnya awan."

Segera Tan Ciok-sing menjatuhkan diri menyembah berulang kali setelah pamitan cemplak kuda putih terus melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan tiada kejadian apa-apa, tujuh hari kemudian dia sudah memasuki propinsi Kwi-siu, hari itu dia memasuki sebuah kota kecil, pemandangan kota seperti sudah amat dikenalnya, ternyata di sinilah letak kampung halaman Liong Seng-bu, waktu pertama kali dia datang dulu, pernah bentrok dengan kawanan penjahat hampir saja dia terlantar di perantauan, untung waktu itu dia bertemu dengan Liong Seng-bu.

Waktu hari sudah malam, sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin menginap di kota ini, terpaksa dia mencari hotel. Liong Seng-bu keparat itu masih ada di Tay-tong, kukira tidak akan terjadi kesulitan atas diriku, apa salahnya kalau aku pergi ke tempat dulu yang pernah kudatangi, coba apa mereka masih mengenalku!" demikian pikir Tan Ciok-sing.

Dia menginap di hotel dimana dulu dia menginap, pemilik hotel ternyata masih mengenalnya. Begitu melihat kedatangannya, sekilas pemilik hotel melongo tapi lekas sekali dia sudah berseri tawa sambil menyambut dengan munduk-munduk: "Bukankah kau Tan-siangkong yang tahun lalu menginap di hotel kami? Angin apa yang meniupmu kemari, sungguh tamu agung, silahkan, silahkan," seperti ketiban rejeki dari langit saja, sikap hormatnya yang berkelebihan ini membikin Tan Ciok-sing merasa risi malah.

Tan Ciok-sing yang sekarang sudah tentu jauh berbeda dengan empat tahun yang lalu, naiknya kuda jempolan, meski pakaian yang dia kenakan tidak mewah, warnanya masih baru dan model mutahir lagi, tapi perubahan sikap dan pelayanan pemilik hotel ini justru jauh lebih berbeda dari dulu, ini sungguh membuatnya heran dan diluar dugaan. Diam-diam dia tertawa geli dan merasa kasihan pula, katanya: "Terima kasih, ternyata kau masih ingat diriku, apa kau tidak kuatir aku tak mampu membayar rekeningku."

Kikuk dan menyengir kuda pemilik hotel, katanya tersipu-sipu: "Beruntung Tan-siangkong sudi mampir pula, memohonpun belum tentu dapat diterima. Semoga Tan-siangkong mengizinkan kami menyuguhkan hidangan yang paling kami banggakan, berapa lama Siangkong suka menetap disini, boleh tak usah bicara soal rekening segala."

"Lha, kan aku ini jadi buaya yang suka makan tidur gratis? Mana boleh?"

"Ah, mungkin pelayanan kami tidak memuaskan sehingga Siangkong marah. Terserahlah berapa Siangkong suka bayar."

Dasar anak pegunungan, Tan Ciok-sing tidak suka main nakal, maka dia berkata: "Baiklah, berikan sebuah kamar yang bersih pendek kata aku tidak akan makan minum gratis."

Pemilik hotel mengiakan munduk, segera dia bawa Tan Ciok-sing ke sebuah kamar, katanya: "Inilah kamar kelas satu yang paling baik dari hotel kami, entah mencocoki selera Tan-siangkong?"

"Baiklah. Tak ada urusan lagi untukmu, kau boleh keluar."

Tapi pemilik hotel tidak segera berlalu, katanya malu-malu: "Tan-siangkong maaf kalau hamba cerewet, mohon tanya apakah Siangkong pulang sendirian?"

Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Kau kira dengan siapa aku akan kembali?"

"Waktu Siangkong menginap di hotel kami tahun lalu, maaf kalau kami punya mata tidak bisa membedakan orang, kami tidak tahu kalau kau adalah sahabat Liong-kongcu. Sejak hari itu Liong-kongcu meninggalkan desa bersamamu, sampai sekarang belum pulang. Kami duga, dalam dua hari ini dia pasti sudah kembali."

"Oo, kau kira aku pulang bersama Liong-kongcu.

Bagaimana kau bisa menerka kalau dalam dua hari ini dia bakal pulang?" tanya Tan Ciok-sing.

Pemilik hotel agaknya jadi heran, katanya: "Apakah Tan-siangkong belum tahu bahwa Liong-tetok Liong-lotayjin sedang cuti dan kembali ke kampung halaman?"

Selama beberapa tahun ini pengalaman dan pengetahuan Tan Ciok-sing sudah banyak maju maka dengan tawar dia berkata: "O, kiranya Liong-tayjin sedang cuti, aku tidak menduga kalau dia sudah tiba di kampung halaman. Kira-kira setengah bulan yang baru lalu aku bertemu dengan Liong-kongcu, jadi belum tahu bahwa pamannya sudah meninggalkan kota raja."

Berkata pemilik hotel setelah berpikir sejenak: "Konon karena bahaya Tay-tong sudah lenyap maka Liong-tayjin sengaja pulang ke desa untuk membersihkan pusara leluhurnya. Tan-siangkong kau adalah teman baik keponakan Liong-tayjin, perlukah kuutus orang pergi ke rumah keluarga Liong."

"Kalau aku mau mencari Liong-tayjin, aku akan pergi sendiri," demikian tukas Tan Ciok-sing, "tak usah kau mencapaikan diri," sampai disini dia merogoh keluar dua butir kacang emas dan berkata pula: "Malam ini aku ingin tidur sepuasku, jangan ada siapapun yang mengganggu aku. Jikalau ada orang mencari tentang diriku, jangan kau katakan kalau aku ada disini."

Setelah menerima pembayaran kedua butir kacang emas, sudah tentu pemilik hotel kesenangan, usaha Tan Ciok-sing membungkam mulutnya memang berhasil, sementara pemilik hotel sendiri memang juga tidak ingin mencampuri urusan orang lain.

Setelah mandi dan makan malam, Tan Ciok-sing lantas tutup pintu kamarnya. Kuatir sesuatu terjadi, dia tidak berani tidur. Kira¬kira kentongan kedua didengarnya derap lari kuda berhenti di depan pintu hotel. Ban Liong-tin yang kecil ini penduduknya tidak banyak, bukan kota penting yang menjadi pusat perdagangan lagi, penduduknya serba sederhana saja, begitu petang mendatang semua lantas tutup pintu, tapi malam sudah selarut ini siapa pula yang datang ke kota kecil ini? Demikian batin Tan Ciok-sing. Kamar yang di tempati kebetulan membelakangi sebuah taman, maka, pembicaraan orang di ruang tamu luar tak bisa didengarnya, namun diam-diam dia bersiaga.

Tapi tak lama kemudian, derap lari kuda terdengar pula, ternyata tamu penunggang kuda itu sudah pergi puia, hal ini betul-betul diluar dugaannya, agaknya sang tamu hanya bertanya beberapa patah kata saja dengan pemilik hotel.

Karuan Tan Ciok-sing keheranan, di saat dia kebingungan, didengarnya pintunya diketuk dari luar, suara pemilik hotel berkata: "Tan-siangkong tolong buka pintu."

Begitu Tan Ciok-sing membuka pintu, pemilik hotel berkata: "Maaf aku mengganggu, kulihat masih ada sinar pelita dalam kamar, kukira Tan-siangkong belum tidur, maka berani aku mengetuk pintu."

"Apa ada urusan?" tanya Tan Ciok-sing.

"Ingin kulaporkan suatu hal. Memang seperti yang diduga Siangkong, tadi ada seorang yang mencari tahu tentang diri Siangkong."

"Siapa dia?"

"Logatnya luar daerah, seorang asing yang belum pernah kulihat."

"Orang luar daerah?"

"Betul, aku jadi heran, semula kukira utusan keluarga Liong yang hendak menjemputmu. Tapi aku yakin orang yang dia cari pasti Siangkong adanya."

"Bagaimana bentuk dan wajah orang itu, apa dia menyebut namanya?"

"Seorang pemuda sebaya dengan Siangkong, dia tidak memberitahu namanya. Tapi kuda putih yang dia naiki itu, eh aneh juga kalau dikatakan, kudanya itu mirip sekali dengan kuda tunggangan Siangkong."

Tan Ciok-sing terperanjat, serunya: "masa begitu kebetulan?"

"Dia tanya padaku, adakah tamu she Tan yang sebaya dengan dia, menunggang kuda putih yang menginap di hotelku? Dia bilang hendak mencari temannya itu."

"Bagaimana kau menjawab?"

"Semula aku jadi serba susah, jikalau dia betul-betul temanmu, kalau aku tidak bicara sejujurnya, mungkin kau akan menyalahkan aku."

"Kan sudah kupesan padamu, peduli siapa yang datang, malam ini aku takkan menemuinya. Maka jangan kau katakan kalau aku menetap disini."

Mendengar ini pemilik hotel lega dan bersyukur bahwa apa yang dilakukan memang betul, lekas dia bersikap mengumpak, katanya sembari tawa: "Memangnya, mana aku melupakan pesanmu. Maka..."

"Maka kenapa?" tanya Tan Ciok-sing dalam hati dia merasa was-was.

"Maka kukatakan padanya bukan saja aku tidak pernah melihat orang yang dia cari, juga kukatakan hotel kami sudah penuh, sehingga dia tidak jadi menginap disini. Entah betul tidak tindakanku ini?"

"Bagus, tindakanmu memang tepat," lalu dirogohnya dua butir kacang emas pula, "nah uang ini untuk persen jasamu."

Dengan cengar-cengir pemilik hotel berkata: "Ah, rikuh juga untuk menerimanya," tapi mulut-bicara tangan sudah disodorkan untuk menerima kedua butir kacang emas itu, "Siangkong masih ada pesan lainnya?"

"Kuingat dalam kota ini ada dua hotel bukan?"

"Betul- Ingatan siangkong memang tajam. Masih ada sebuah lagi adalah Hun-lay-khek-tiam, letaknya di pojokan jalan di seberang sana. Siangkong apakah kau ingin mencari tahu siapa pemuda tadi, besok pagi bisa kucari tahu pada pemilik hotel Hun-lay, mungkin dia menginap disana."

Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya: "Tidak jangan kau lakukan itu."

"Baiklah, silahkan Siangkong istirahat, aku mohon diri."

Setelah pemilik hotel pergi, Tan Ciong-sing menutup pintu kamarnya. Hatinya menjadi bingung dan resah. Siapakah pemuda dengan logat luar daerah, menunggang kuda putih? Kalau di mulut pemilik hotel pemuda itu dianggapnya 'asing' tapi dalam benak Tan Ciok-sing sudah terbayang bentuk wajah seseorang yang sudah amat dikenalnya baik. Bentuk wajah In San yang menyamar jadi laki-laki.

Pelan-pelan dia membuka daun jendela, bulan sabit bergantung di atas langit, sinarnya redup, bintang kelap-kelip tersebar tidak menentu. Kini sudah mendekati kentongan ketiga. Cuaca seperti ini memang mencocoki selera orang untuk berjalan malam.

"Biar aku pergi menengoknya, apakah dia In San adanya?" tak kuasa Tan Ciok-sing menahan gejolak hatinya, akhirnya dia berpakaian ketat, terus berangkat.

"Kalau betul In San, lalu bagaimana baiknya? Ai, cukup asal aku melihatnya sekali saja, lebih baik kalau dia tidak sampai melihatku," hati Tan Ciok-sing gundah pikiran ruwet, sulit dia berkeputusan, dalam keadaan apa boleh buat ini, sementara dia tidak berkesimpulan, biarlah bekerja melihat gelagat saja.

Di bawah cahaya bulan yang remang, diam-diam dia ngeluyur keluar hotel, segera dia kembangkan ginkang langsung lari menuju ke hotel yang lain di pojok jalanan sana.

Baru saja dia tiba di pengkolan jalan di seberang hotel, tiba-tiba didengarnya suara lambaian pakaian orang, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, sekali dengar Tan Ciok-sing lantas tahu banwa seorang pejalan malam segeia akan muncul. Lekas dia sembunyi ke tempat gelap, tapi pejalan malam itu tidak melihat dirinya. Kesiur angin lekas sekali berkelebat di atas kepalanya. Gerakan pejalan kaki ini ternyata sebat dan enteng sekali, hanya sekejap saja dia sudah melayang jauh melampaui beberapa wuwungan rumah penduduk.

Namun dalam sekejap itu Tan Ciok-sing yang bermata jeli sudah melihat jelas. Walau dia tidak melihat wajah orang, tapi dari bayangan punggung orang, Tan Ciok-sing yakin dia bukan lain adalah In San yang menyamar laki-laki. Hampir saja Tan Ciok-sing menjerit tertahan, untung dia sempat mengerem suaranya. "Aneh," demikian pikirnya, "kenapa dia lari ke hotel tempatku menginap itu? Memangnya dia tidak percaya jawaban pemilik hotel, aku kemari mencarinya, diapun kesana mencariku?"

Maka secara diam-diam Tan Ciok-sing lantas menguntitnya, ginkangnya jauh lebih tinggi dari In San, jaraknya dipertahankan seratusan langkah maka In San tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya dibuntuti. Setiba di hotel dimana Tan Ciok-sing menginap, In San lantas berhenti, Tan Ciok-sing kira orang akan melompat masuk, t.?k kira hanya berhenti sebentar, tiba-tiba dia angkat langkah pula berlari lebih kencang, ke arah depan.

Hal ini betul-betul berada diluar dugaan Tan Ciok-sing pula. "Kemana dia mau pergi?" waktu dia mendongak, rembulan sudah bercokol di tengah langit, sementara bayangan In San sudah jauh ratusan langkah di depan. Tergerak hati Tan Ciok-sing, tiba-tiba dia teringat: "Bukankah rumah keluarga Liong terletak di sebelah barat kota ini?" dan In San kini jelas berlari ke arah barat.

Yang satu berlari kencang mengejar waktu, yang lain menguntit dengan ketat, tanpa terasa keduanya sudah keluar kota, akhirnya tiba di bawah sebuah bukit. Di bawah keremangan cahaya rembulan, tampak pagar tembok yang berliku-liku di kejauhan depan sana, memang itulah bentuk bangunan rumah keluarga Liong seperti yang pernah dilukiskan oleh pemilik hotel.

Baru sekarang Tan Ciok-sing mengerti, kiranya tujuan In San ke rumah keluarga Liong.

"Pulangnya Liong Bun-kong ke kampung halaman pasti merupakan berita besar untuk kota kecil ini In San tentu sudah mendapat tahu dari berita orang di hotelnya. Liong Bun-kong adalah musuh besarnya, tak heran kalau dia meluruk kemari hendak menuntut balas," demikian batin Tan Ciok.sing. "Sebagai Kiu-bun-te-tok, betapa banyak jago kosen Liong Bun-kong? Seorang diri nona In hendak menutut balas, apakah dia tidak terlalu-menyepelekan kekuatan lawan?" tengah dia mereka-reka dilihatnya dari arah hutan lebat sana tiba-tiba muncul sesosok bayangan kebetulan mencegat jalan In San, kontan dia ulur cakar tangannya terus mencengkram pundak.

Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah mempercepat langkahnya, lalu sembunyi di balik pohon tak jauh di belakang In San, begitu melihat orang itu melancarkan Kim-na-jiu-hoat, dia tahu meski In San tidak bakal kalah, tapi orang itu akan melibatnya cukup lama juga, bukan mustahil jejak kedatangan In San bisa konangan. Maka timbul keinginan Tan Ciok-sing untuk membantu secara diam-diam, sekenanya dia meraih ke tanah menjemput sebutir krikil terus dijentik ke depan.

Orang itu ternyata terlalu membanggakan kepandaiannya,, dia kira sekali cengkram lawan pasti berhasil dibekuknya. Dia pikir dengan berhasil membekuk mata-mata musuh, setelah dikompres baru diserahkan pada majikan, supaya pahalanya tidak direbut orang lain, maka dia diam saja tidak bersuara memanggil teman.

Tak nyana cengkramannya meleset, tahu-tahu golok In San sudah mengancam mukanya, cahaya golok yang kemilau menyilaukan matanya, tapi kepandaian orang ini memang lumayan juga, dalam keadaan kritis ini, lekas dia menekuk pinggang sambil membungkuk seperti petani yang bercocok tanam di tengah ladang, cuma gerakannya terbalik ke belakang sehingga mirip jembatan besi, secara kekerasan dia hindarkan dirinya dari bacokan golok, terpaut serambut hidungnya terpapas hilang. Sebat sekali kaki orang ini kembali berkisar serta menendang, begitu golok lawan berkelebat tubuhnyapun sudah melejit, ujung kakinya tahu-tahu menggantil berbareng sebelah tangannya menjojoh ketiak kiri In San dari arah yang tak terduga.

Kepalan lawan belum lagi mengenai tubuh In San, demikian pula golok In San juga belum membelah tubuh orang itu, tiba-tiba tubuh orang itu sempoyongan dan "Bluk" jatuh tersungkur.

Kuatir orang main tipu, kontan In San layangkan kakinya, tanpa bersuara lagi orang itu terguling, tak bangun lagi. Sudah tentu In San menjadi heran dan curiga, pikirnya: "Menilai kepandaian orang ini, kenapa pada detik yang genting tadi tahu-tahu bisa roboh sendiri?" dia tidak berani menyalakan api untuk memeriksa keadaan orang, terpaksa dia tambahi sekali tutukan pula, memangnya sudah semaput, ditutuk lagi sudah tentu keadaan orang itu lebih parah lagi. Padahal tanpa tutukannya ini jelas orang ini takkan mampu bergerak karena terkena tutukan sambitan krikil Tan Ciok-sing, maka pada detik-detik yang genting tadi tahu-tahu dia roboh tak berkutik.

Setelah memilih arah In San menggeremet maju lewat kebon belakang, dilihatnya di depan pintu kebon ada dua orang penjaga yang berjalan mondar-mandir, tapi kepandaian kedua orang ini ternyata jauh lebih rendah dari seorang yang tadi, tiba-tiba In San melompat keluar dari tempat sembunyinya pada waktu yang tepat, di kala kedua orang berjalan saling berhadapan, sekaligus dia gunakan kiri kanan membentang gendewa, dengan gerakan secepat kilat menyambar sehingga sang korban tak kuasa menutup telinga, dia tutuk hiat-to kedua orang ini. Sebat sekali tanpa hiraukan kedua korbannya dia melesat masuk laksana seekor burung melampaui pagar tembok.

Setiba didalam baru In San insaf bahwa dirinya menilai situasi di depannya terlalu ringan. Kebon bunga ini ternyata luas dan besar sekali, gardu, bangunan loteng serta menara pemandangan dibangun secara tersebar laksana pion-pion catur entah berapa banyak? Bangunan didalam pagar ternyata jumlahnya lebih banyak dan mentereng dibanding rumah penduduk didalam kota. Karuan In San menghirup napas dingin, di antara sekian banyak bangunan rumah hendak mencari jejak seseorang, betapa sukarnya? Jikalau satu demi satu menggeledahnya, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan selesai.

Di kala dia kebingungan dan tak tahu dari mana dia harus mulai bekerja tiba-tiba didengarnya langkah kaki orang di sebelah sana. Lekas In San sembunyi di belakang gunung-gunungan, dilihatnya dua dayang cantik jelita yang membawa keranjang sedang mendatangi.

Keranjang bambu itu ada tutupnya, dibuat oleh seorang ahli kerajinan sehingga kelihatan bagus dan antik, biasanya keranjang macam itu diperuntukkan mengisi makanan bagi kaum bangsawan, agaknya dayang-dayang cantik ini malam ini bertugas menyediakan sarapan tengah malam.

Terdengar seorang dayang berkata: "Jay-ci, bikin susah kau saja. Terus terang, aku agak takut, begini besar kebon ini, jauh lebih luas dari taman bunga kita di kota raja, siang hari saja terasa seram, apa lagi malam hari bikin jantung orang dak dik duk saja, kalau tidak ditemani, seorang diri aku takkan berani mondar mandir disini."

Dayang yang dipanggil Jay-ci berkata: 'Kita kan kakak adik sendiri, kenapa harus bicara sesungkan ini. Bukan mustahil besok malam menjadi giliranku untuk menyediakan sarapan malam seperti kau ini, memangnya aku tidak akan menyeretmu ke mari juga?"

"Loya memang keterlaluan, tengah malam buta rata masih minta dibuatkan kuah Jinsom segala, celaka adalah kaum rendah seperti kita ini?"

Jay-ci itu menghela napas, katanya: "Siapa suruh kita dilahirkan sebagai budak? Tapi Loya setiap malam harus minum kuah Jinsom, ini memang ada sebabnya, apa kau tahu?"

"Sebab apa?"

Kebetulan kedua orang ini lewat di bawah gunung-gunungan, Jay-ci berbisik: "Semula Hujin juga tinggal di rumah tua ini, kedatangan Loya kali ini konon hendak menjemputnya pulang ke kota raja," sampai disini temannya itu menyeletuk: "Selamanya belum pernah aku melihat Hujin, kabarnya sejak lima tahun yang lalu dia sudah pulang kesini, apa betul?"

Jay-ci mengiakan.

Dayang yang satu berkata: "Kenapa setiba kita disini, seluruh penghuni rumah ini tak ada seorangpun yang pernah menyinggung Hujin? Sudah sekian lamanya, belum juga pernah kulihat nyonya besar itu?"

Jay-ci berkata lirih: "Setengah bulan yang lalu, sebelum Loya tiba disini, Hujin sudah meninggalkan rumah seorang diri."

Dayang itu kaget, katanya: "Jadi Hujin minggat?"

"Betul, maka tiada orang yang berani bicara soal ini."

"Kenapa Hujin minggat?"

"Mana aku tahu, kalau dia sudah minggat, tentu karena persoalan yang memalukan."

Dayang itu tertawa dingin, jengeknya: "Siapa nyana kaum bangsawan juga ada yang melakukan perbuatan yang memalukan."

"Ssssstt. Jangan sembarang omong, kalau didengar orang, celakalah kau."

"Tempat ini begini sepi mana ada orang? Penjaga malam juga berada diluar sana."

"Lebih baik hati-hati, siapa tahu di balik dinding atau di bawah semak-semak bunga sana ada orang pasang kuping," demikian kata Jay-ci, "karena kejadian minggatnya Hujin inilah maka Loya amat marah dan jatuh sakit, kesehatannya jauh menurun dibanding waktu di kota raja, malam tidak bisa tidur, maka setiap malam kitalah yang harus menyiapkan kuah Jinsom."

Bahwa mendengar kedua dayang ini membicarakan ibunya, sudah tentu tak karuan perasaan In San, tapi dia memperoleh hasil diluar dugaan juga, kini dia yakin "Loya" yang dimaksud dalam pembicaraan kedua dayang ini pasti adalah musuh besarnya Liong Bun-kong.

Maka In San lantas melompat keluar, dia tutuk hiat-to Jay-ci baru mencengkram kuduk dayang yang lain, tajam goloknya yang kemilau dibuat ngancam di tenggorokan orang, katanya mendesis rendah: "Berani kau berteriak, kugorok lehermu."

Saking ketakutan serasa arwah terbang, kaki si dayang sampai lemas lunglai hampir tak kuat berdiri kalau tidak dijinjing In San, tapi dia masih kuasa bersuara: "Boleh kau membunuhku saja. Cuma mohon kau tidak melaporkan diriku." -dia kira In San adalah penjaga malam dalam gedung ini yang mencuri dengar pembicaraan mereka, kini dirinya diringkus dan hendak diserahkan kepada Loya untuk terima hukuman, derita siksaan yang cukup berat pernah dia saksikan, maka dia pilih jalan pendek saja.

In San tahu watak dayang cilik ini lebih keras dan tegas dari pada Jay-ci, diapun menaruh rasa dendam dan kurang senang terhadap sang Loya, maka tak tega dia menggertaknya, golok segera dia turunkan, katanya: "Bukan aku ingin membunuhmu, aku hendak membunuh Loyamu itu."

Bukan main kaget si dayang, sekian lama dia melongo mengawasi In San, tanpa kuasa mengeluarkan suara. In San lantas berbisik di pinggir telinganya: "Jangan takut, kau tidak akan kerembet. Tapi kau harus menunjukkan jalan, setiba di tempat tinggal Loyamu, kau akan kubebaskan. Tidak jadi soal kau agak terlambat membawa kuah Jinsom itu, supaya Loyamu tidak curiga terhadapmu. Tapi kalau kau tetap hendak melindungi Loyamu, tidak mau menunjukkan tempatnya, terpaksa aku membunuhmu."

Bingung juga si dayang, akhirnya dia berkeputusan, katanya mengertak gigi: "Kenapa aku harus melindungi Loya, ayahku mati karena dia tekan dan dihajar sampai luka parah karena tak kuat membayar pajak. Setelah ayah meninggal, aku diseretnya kemari untuk melunasi hutang-hutang pajak ayah. Baiklah, mari kutunjukkan tempatnya."

Jalanan didalam kebon berliku-liku dan berputar-putar kian kemari, agaknya dayang ini sudah hapal betul akan seluk beluk kebon besar ini, tanpa banyak mengeluarkan suara mereka sudah tiba di bilangan kebon yang lain. Tampak gunungan yang dibangun cukup besar terdiri dari batu-batu karang lautan menjulang di depan sana, di sekeliling gunungan dipagari batu-batu beraneka ragam, sehingga bentuk bangunan gedung di sebelah dalam tidak kelihatan, agaknya didalam kebon besar ini ada pula taman kembang yang lain, setelah berada di sebelah dalam baru ketahuan bahwa disini lain pula bentuk dan corak bangunannya.

Di tengah taman didalam kebon ini terdapat sebuah bangunan gedung berloteng, di pojok sana, jendela yang dihiasi kain paris tampak sinar lampu menyorot keluar. Tak jauh di samping gedung berloteng tampak sepucuk pohon besar menjulang tinggi ke angkasa, daunnya lebat, dahan-dahannya yang bercabang menjulur jauh ke arah loteng, sehingga pandangan In San teraling karenanya.

Dayang cilik itu berkata lirih: "Loya bertempat di atas loteng yang ada lampunya itu."

In San mengangguk, katanya: "Baiklah, kau keluar dulu dan sembunyi sebentar. Aku akan bertindak, setelah kau mendengar suara ribut-ribut di atas loteng, baru kau boleh keluar."

Pohon tua yang rimbun itu kebetulan cocok untuk tempat sembunyi, In San segera kembangkan ginkangnya yang tinggi, melompat naik ke atas pohon, dahan tidak bergeming, daun tidak goyang. Orang didalam loteng ternyata sedikitpun tidak tahu.

Memandang kedalam melalui jendela yang terbuka, tampak seorang laki-laki tua kurus tengah sibuk membalik-balik dan membaca surat-surat di bawah penerangan lampu. Sesaat lamanya In San melongo, hampir-hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya, dia kira dirinya salah mengenali orang.

Belasan tahun yang lalu, waktu In San baru berusia lima enam tahun, dia ikut ibunya tinggal di rumah neneknya. Waktu itu meski ayah bundanya hidup berpisah, tapi belum cerai. Liong Bun-kong masih berkedudukan rendah, belum menjabat Kiu-bun-te-tok. Demi mempersunting ibunya, dua tiga hari sekali dia pasti datang, usia Liong Bun-kong kira-kira sebaya dengan ayahnya, waktu itu baru dua puluh tahun, boleh dikata adalah pemuda cakap ganteng yang romantis. Usianya masih kecil dan tidak tahu apa-apa pernah juga dia merasa senang dan punya kesan baik terhadap paman Liong yang satu ini.

Tak nyana pemuda ganteng dan gagah serta romantis yang dulu dikenalnya, kini sudah berubah jadi kakek reyot yang buruk rupa lagi.

Terdengar Liong Bun-kong menghela napas,' katanya seorang diri: "Belasan tahun sebagai suami isteri, ternyata selama ini tak pernah aku memiliki hatinya."

In San sudah menggenggam sebatang Toh-kut-ting, entah kenapa hatinya tidak tega turun tangan, dia akan lebih senang bila musuh besarnya ini adalah laki-laki kasar yang jahat dan berwajah bengis, tapi kenyataannya orang adalah kakek kurus yang lemah dan takkan kuat sekali tonjok.

Tapi rasa tidak tega ini hanya sebentar saja terbayang olehnya akan keluarga si dayang yang ditindas dan diperas oleh kakek kurus kering she Liong yang jahat ini, pikirnya: "Musang berbulu ayam akan lebih keji dan telengas dari pada musang yang menyeringai buas dan liar, bahwa dayang cilik itu saja sedemikian dendam terhadapnya, memangnya penderitaanku dan petaka yang menimpa keluargaku tidak lebih parah dari dayang itu, mana boleh aku mengampuni jiwanya, sehari dia masih hidup, orang lain akan ketimpa bencana oleh perbuatan jahamya."

Sambil kertak gigi dia sudah siap menyambitkan Toh-kut-ting (paku penembus tulang), tiba-tiba sebuah suara serak yang lain terdengar berkata: "Liong-tayjin tidak usah gelisah, nanti setelah Kongcu keponakan kembali dari Tay-tong pasti bisa diperoleh sedikit berita."

Ternyata di kamar itu masih ada seorang lain, karena dia duduk di pinggir sebelah sana tanpa bersuara, dari arah In San tidak kelihatan. Maka In San urungkan niatnya, didengarnya Liong Bun-kong berkata: "Ciang-suhu, kemarilah kau, nih kutunjukan sesuatu padamu."

Orang itu duduk di depan Liong Bun-kong, baru sekarang In San dapat kelihatan jelas, dia adalah laki-laki tua berusia enam puluhan, tapi perawakannya jauh lebih gagah dan kekar dari Liong Bun-kong, meski usianya lebih tua tapi paras dan semangatnya kelihatan lebih muda dari Liong Bun-kong. Orang itu bermata juling berhidung elang, Thay-yang-hiat di kedua pelipisnya tampak menonjol, suara perkataannya mirip kicauan burung kokok beluk, sehingga risi bagi pendengaran orang lain.

Tersirap batin In San pikirnya: "Orang ini agaknya ahli lwekang yang tangguh. Tapi ilmu yang diyakinkan pasti ajaran lwekang dari aliran sesat, sudah mencapai taraf yang cukup tinggi."

Liong Bun-kong menarik laci, dari dalamnya mengeluarkan sebatang golok yang sudah terkutung jadi tiga, katanya: "Inilah golok pusaka yang pernah dipakai Raja Golok Ie Cun-hong semasa hidupnya."

In San tahu raja golok Ie Cun-Hong adalah salah seorang yang pernah mencelakai ayahnya, keruan hatinya kaget pula: "Ternyata Ie Cun-hong sudah mampus, julukannya Raja Golok meski belum tentu betul-betul raja golok, tapi ilmu goloknya yakin sudah amat tinggi dan liehay, namanya sudah cukup terkenal di Kangouw. Entah siapa yang membunuhnya?"

Agaknya dia belum tahu bahwa Tan Ciok-singlah yang telah membunuh Raja Golok ini, Sayang waktunya bergaul dengan Tan Ciok-sing terlalu pendek sehingga peristiwa ini belum pernah dia dengar.

"Selama beberapa tahun ini," demikian Liong Bun-kong bercerita lebih lanjut, "Ie Cun-hong adalah salah satu pembantuku yang paling setia dan banyak pula jasanya, jarang orang tahu asal-usul dan kedudukannya sebagai

pembantuku, malah banyak orang mengira dia adalah tokoh persilatan yang sudah lama mengasingkan diri. Tak nyana tahun lalu dia terbunuh di Ciok-lin."

Ciang-suhu itu tampak terkejut, katanya: "Dia terbunuh di Ciok-lin?"

"Betul, maka aku ingin bantuan pandangan matamu yang tajam," ujar Liong Bun-kong. "Golok pusakanya ini tertabas kutung oleh pedang lawan, kemarin dulu sudah kuutus seorang pergi ke rumahnya menyelidiki hal ini, kabarnya putranya yang mengambil pulang jenazah ayahnya tiga hari setelah peristiwa itu terjadi, menurut cerita putranya, di tubuh Ie Cun-hong terdapat tujuh luka-luka, dilihat bentuk luka-lukanya, jelas terluka oleh sejurus ilmu pedang lawan yang teramat cepat gerakannya. Coba kau periksa apakah senjata lawan bukan sebilah pedang pusaka yang tajam luar biasa? Dalam jurus permainan dapat melukai tujuh tempat di tubuh musuhnya, memangnya ilmu pedang apakah itu?"

Semakin kaget Ciang-suhu mendengar penuturan Liong Bun-kong, katanya: "Kabarnya Thio Tan-hong mengasingkan diri di Ciok-lin untuk menghabiskan masa tuanya. Walau belum pernah aku melihat ilmu pedangnya, tapi dia adalah jago pedang nomor satu di kolong langit ini, menurut apa yang kutahu dia memang memiliki sebilah pedang pusaka yang dapat mengiris besi memotong emas."

"Jadi kau berkesimpulan bahwa yang membunuh Ie Cun-hong adalah Thio Tan-hong?"

Ciang-suhu manggut, katanya: "Kecuali Thio Tan-hong, yakin tiada tokoh kosen lainnya yang mampu membunuh Ie Cun-hong semudah itu."

"Ciang-suhu, konon Gun-goan-it-cu-kang yang kau yakinkan sudah berhasil. Pada hal Thi-sa-ciang yang kaulatih itu sudah terhitung nomor satu di dunia, kini ketambahan Gun-goan-it-cu-kang, boleh dikata kau sudah sempurna diluar dan didalam, keduanya sama-sama mencapai tarap tertinggi pula. Tentunya kau tak perlu gentar menghadapi Thio Tan-hong?"

Karena diumpak, kakek she Ciang ini menjadi girang mendapat muka, seketika dia' menyeringai senang seperti kera yang memperoleh buah manis. Tapi In San yang mencuri dengar diluar betul-betul kaget dan luar biasa, batinnya: "Ciang-suhu ini bukankah yang dulu sekolega dengan kakekku dulu, namanya Thi-hu? Kukira dia sudah mati, ternyata dia masih hidup dan kini menjadi pengawal pribadi Liong Bun-kong."

Terkaan In San menang tidak keliru, laki-laki tua ini memang bukan lain adalah Ciang Thi-hu yang pernah digenjot oleh Khu-Ti. Setelah Ong Ceng ambruk, dia kehilangan Cukong, maka terpaksa dia mencari Liong Bun-kong sebagai majikannya yang baru.

Walau Ciang Thi-hu senang diumpak, tapi dia masih sadar dan dapat mengukur kekuatan awak sendiri. Setelah lenyap rasa senangnya, diam-diam hatinya merasa jeri juga. Yang ditakutkannya adalah bila Liong Bun-kong menyuruhnya pergi menghadapi Thio Tan-hong. "Takut sih tidak," demikian kata Ciang Thi-hu, "Tapi ilmu pedang Thio Tan-hong tiada tandingannya di kolong langit ini, walau aku sudah berhasil menyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, belum tentu dapat mengalahkan dia. Kalau Tayjin ingin membunuhnya, sukalah kau bersabar beberapa waktu lamanya pula, biar kucari beberapa orang untuk membantu."

Liong Bun-kong tertawa, katanya: "Kau tak usah kuatir, Thio Tan-hong sudah meninggal?"

Ciang Thi-hu terbelalak senang, katanya: "Jadi bukan Thio Tan-hong yang membunuh Ie Cun-hong?"

"Sudah tentu bukan. Aku sudah mendapat berita yang positif, empat tahun yang lalu Thio Tan-hong sudah mati, padahal kematian Ie Cun-hong belum ada satu tahun."

Lega hati Ciang Thi-hu, segera dia menyeka keringat dingin, katanya: "Selama belasan tahun aku mendampingi Tayjin, belum pernah aku keluar dari kota raja, ternyata sudah empat tahun Thio Tan-hong mati, tapi aku masih belum tahu," sampai disini timbul rasa ingin tahunya, tanyanya: "Lalu siapakah yang membunuh Ie Cun-hong? Tentunya Tayjin juga sudah berhasil menyelidikinya?"

Seperti tertawa tidak tertawa Liong Bun-kong berkata: "Ciang-suhu, jikalau kau menghadapi Thio Tan-hong mungkin kau tidak punya keyakinan, tapi bagaimana kalau kau harus menghadapi murid Thio Tan-hong?"

Kembali Ciang Thi-hu kaget dibuatnya, katanya: "Murid Thio Tan-hong bernama Toh Thian-tok, sekarang adalah cikal bakal yang menjadi Ciang-bunjin Thian-san-pay..."

"Memangnya kenapa?" tanya Liong Bun-kong.

"Konon Toh Thian-tok mencipta sendiri Thian-san-kiam-hoat, kemungkinan belum mencapai tingkatan seperti gurunya, tapi dia tak boleh dipandang ringan. Apalagi Toh Thian-tok jauh berada di Thian-san, jika Tayjin ingin menuntut balas sakit hati Ie Cun-hong, kukira bukan satu pekerjaan yang mudah," dia kira setelah Toh Thian-tok tahu gurunya meninggal, tahun lalu dia berziarah ke Ciok-lin, kebetulan Ie Cun-hong si Raja Golok juga tiba disana, maka jiwanya melayang. Tapi sebagai Ciang-bunjin Thian-san-pay, jelas Toh Thian-tok takkan lama lagi tinggal di Ciok-lin, maka dapatlah diduga bila sekarang dia pasti sudah pulang ke Thian-san.

Melihat orang begitu takut terhadap Thio Tan-hong, hal ini masih dapat dimaklumi oleh Liong Bun-kong, tapi Ciang Thi-hu juga jeri menghadapi Toh Thian-tok, hal ini membuat dia kurang senang. Katanya tawar: "Bukan Toh Thian-tok yang membunuh Ie Cun-hong."

"Memangnya siapa pula?" tanya Ciang Thi-hu melenggong.

"Seorang murid Thio Tan-hong yang lain."

"O, Thio Tan-hong masih punya seorang murid lagi? Kenapa aku tidak tahu?"

"Hal ini sudah kuselidiki, dia bernama Tan Ciok-sing, usianya kukira belum genap dua puluh, dia adalah murid penutup Thio Tan-hong."

Ciang Thi-hu menghela napas lega, batinnya: "Kiranya bocah ingusan yang masih berbau pupuk bawang, kenapa aku harus jeri padanya. Umpama bocah itu sudah memperoleh ajaran murni Thio Tan-hong, memangnya dia kuat menghadapi lwekangku yang sudah kuyakinkan puluhan tahun ini."

"Bahwa bocah itu dapat membunuh Ie Cun-hong, kukira dia juga bukan lawan enteng. Ciang-suhu, kau..." Liong Bun-kong gunakan cara mengumpak lalu menghasut, dia yakin hasilnya akan lebih mantap, meski dia merasa kurang senang, betapapun Ciang Thi-hu adalah salah satu anak buahnya yang berkepandaian paling tinggi.

Betul juga Ciang Thi-hu segera berseru: "Ah, hanya bocah yang masih ingusan jikalau aku tidak mampu membekuknya, betapa malunya untuk menghadap Tayjin lagi," sembari bicara tangannya menjemput salah satu kutungan golok di atas meja, begitu kedua telapak tangan terangkap lalu pelan-pelan dia menggosok naik turun, lekas sekali dia sudah membuka kedua telapak tangannya, tampak kutungan golok itu sudah menjadi bubuk di telapak tangannya dan jatuh berhamburan di lantai. "Kukira batok kepala bocah itu tidak akan lebih keras dari besi ini," demikian ucap Ciang Thi-hu.

In San yang mencuri dengar diluar ikut terkejut, batinnya: "Kiranya Tan-toako yang membunuh raja golok Ie Cun-hong. Tua bangka ini memiliki tenaga tangan yang begini liehay, mungkin Tan-toako bukan tandingannya? Semoga selekasnya aku dapat menemukan Tan-toako supaya dapat kuberitahu hal ini padanya sehingga dia dapat bersiaga," diluar tahunya bahwa Tan Ciok-sing kini juga berada di tempat itu.

Setelah melihat Ciang Thi-hu mendemonstrasikan ilmunya, barulah Liong Bun-kong berseri tawa, katanya tergelak-gelak: "Ciang-suhu ternyata memang belum kropos karena usia yang tua. Apakah itu Gun-goan-it-cu-kang yang baru berhasil kau yakinkan? Mataku betul-betul melek hari ini."

Ciang Thi-hu tersenyum senang dan bangga, katanya sambil membusung dada: "Kepandaian yang biasa saja, harap Tayjin tidak mentertawakan. Entah dimana bocah she Tan itu sekarang, biar segera kucari dia menuntut balas kematian Lo-ie."

"Tak perlu terburu-buru," ujar Liong Bun-kong tertawa, "masih ada yang ingin kubicarakan dengan kau."

Ciang Thi-hu mengiakan, "Silakan Tayjin jelaskan."

"Ada berita dari Tay-tong?"

Ciang Thi-hu tahu "berita" yang dimaksud Liong' Bun-Kong adalah persoalan yang menyangkut keponakannya. Maka dengan munduk-munduk segera dia menjawab: "Berita sih belum ada. Tapi Tayjin tidak usah kuatir, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay juga berada di Tay-tong, belakangan kuutus Huwan bersaudara menyusul pula kesana, kukira Tit-sauya (tuan muda keponakan) takkan kurang suatu apa. Sudah kupesan wanti-wanti kepada mereka, begitu ada perobahan harus segera mengirim berita kilat kepada Tayjin."

"Kerjamu memang amat rapi," puji Long Bun-kong, "bukan aku menguatirkan keselamatan dan tugas yang kubebankan kepada Seng-bu, betapapun tinggi kepandaian budak she In itu, memangnya tarafnya bisa melebihi bapaknya -- In Hou, kalau Huwan bersaudara sudah membantu Seng-bu, pastilah budak jelita itu dapat dibekuknya dan digusur kemari."

Diam-diam In San menyeringai dingin: "Kau kira aku tak kuasa lolos dari tangan mereka, sekarang aku justeru sudah lari ke mari. Hm, kini jiwamu sendiri yang berada di tanganku." --Tadi begitu melihat Liong Bun-kong yang kurus kering pernah dia merasa iba, kini setelah melihat tindak tanduknya yang keji dan jahat, berkobar pula rasa dendamnya.

"Lalu soal apa yang Tayjin kuatirkan?"

Liong Bun-kong menghela napas, katanya: "Aku tidak tahu bagaimana maksud Seng-bu sebenarnya, dia justru kepincut budak keluarga In itu, pada hal dia tahu itu putri musuh besar kita."

"Tapi nona In belum tentu tahu kalau ayahnya mati di tangan Tayjin."

"Ya, tapi kertas takkan bisa membungkus api, bila Seng-bu kejadian mengawini budak she In itu, lama kelamaan, bukan mustahil rahasia ini terbongkar olehnya. Bukankah itu berarti menyimpan bibit bencana bagi keluargaku sendiri?"

Gemeratak gigi In San, pikirnya: "Kau kira aku tidak tahu? Hm, aku justru sudah tahu sejak beberapa waktu lamanya. Keponakanmu ibarat kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau, ingin rasanya aku dapat membelek hatinya, hm, kau malah kuatir bila aku kawin dengan keponakanmu," pada hal paku penembus tulang sudah disiapkan sejak tadi, sayang Ciang Thi-hu berdiri di depan Liong Bun-kong, terpaksa dia menunggu kesempatan.

Agaknya Ciang Thi-hu tidak mau mencampuri urusan pernikahan Liong Seng-bu, maka dia hanya berdiri diam saja tanpa memberi komentar.

Setelah menghela napas, Liong Bun-kong berkata pula: "Sudah tentu aku tidak akan membiarkan budak she In itu menjadi menantu keponakanku, tapi aku tidak punya keturunan, aku jadi kuatir tiba suatu ketika Seng-bu dicelakai oleh budak she In itu. Tapi persoalan keponakan tak mungkin aku terlalu banyak campur. Maka apa yang kubisa lakukan hanya berusaha sekuat mungkin untuk melenyapkan bibit bencana di kelak kemudian hari. Ciang-suhu, ingin aku mohon bantuanmu, sukalah kau berangkat ke Kwi-lin."

"Pergi ke Kwi-lin?" Ciang Thi-hu menegas agaknya dia merasa diluar dugaan.

"Bocah she Tan yang membunuh Ie Cun-hong itu, asalnya kelahiran Kwi-lin."

"Apakah bocah itu sekarang tetap ada di rumah?"

"Itu aku tidak tahu. Tapi Kwi-lin adalah tempat kelahirannya, cepat atau lambat dia pasti akan pulang."

"Tidak sukar menangkap bocah itu, tapi jikalau nasibku jelek, entah kapan baru bisa pulang memberi laporan kepada Tayjin."

"Waktu tidak akan kubatasi. Apalagi tugasmu bukan melulu membekuk bocah itu saja."

Kembali Ciang Thi-hu melengak, tanyanya: "Masih ada orang lainnya?"

"In Hou masih punya seorang teman, konon kedatangan In Hou ke Kwi-lin dulu itu adalah atas undangan pertemuan temannya itu. In Hou sudah mati, tapi orang itu lolos dari pengejaran kita."

"O, jadi yang Tayjin maksudkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"

"Betul, Kungfu orang ini amat tangguh, tidak lebih asor dari In Hou. Kalau dia tidak dilenyapkan, makan tidur aku tidak akan tentram."

"Tapi Tam Pa-kun kan bukan penduduk asli Kwi-lin?"

"Aku tahu. Tapi takkan lama lagi dia pasti akan datang ke Kwi-lin."

In San yang mencuri dengar diluar diam-diam terperanjat, pikirnya: "Paman Tam hendak ke Kwi-lin, bagaimana dia bisa mendapat kabar ini begitu cepat?"

Bahwa dirinya bertugas pula menghadapi Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, diam-diam perasaan Ciang Thi-hu tidak tentram, diam-diam dia membatin: "Konon 72 jurus Kim-na-jiu-hoat dan 64 jalan Phoan-liong-tonya amat liehay, walau aku sudah meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, tidak yakin aku dapat mengalahkan dia."

Walau hati merasa kebat-kebit, tapi lahirnya dia tetap bersikap mengumpak kepada Liong Bun-kong, katanya: "Berita yang diterima Tayjin memang cepat dan tajam, meski jarang keluar pintu, tapi kejadian di dunia Kangouw dapat diketahui jelas. Tayjin tak usah kuatir, asal dia berada di Kwi-lin, dia takkan lolos dari cengkramanku."

Liong Bun-kong tersenyum sambil mengelus jenggot kambingnya, katanya: "Tak usah kau pergi seorang diri mengadu jiwa, akupun sudah

mempersiapkan untukmu," lalu dia mengeluarkan secarik kertas daftar, katanya lirih: "Yang terdaftar di sebelah kanan ini adalah orang-orang kita, yang terdaftar di sebelah kiri adalah musuh-musuh kita. Kali ini tugas pimpinan kuserahkan kepadamu, mumpung ada kesempatan, babatlah seluruh musuh-musuh kita itu. Kirimlah kabar kepada orang-orang kita dalam daftar ini supaya bantu mencari jejak bocah she Tan itu. Nah periksalah dulu daftar ini, coba berapa banyak yang sudah kau kenal? Atau siapa kiranya yang kau curigai?"

Terbakar dada In San, pikirnya: "Kau bangsat tua ini, bukan saja membuat keluargaku berantakan, orang lain yang tidak berdosa juga akan kau celakai."

Mumpung mendapat kesempatan baik ini, di kala Ciang Thi-hu menunduk memeriksa daftar itu, sekali ayun tangan menimpuk paku yang digenggamnya sejak tadi ke arah jendela, sasarannya adalah Thay-yang-hiat Liong Bun-kong.

In San yakin paku penembus tulangnya itu pasti akan menamatkan jiwa Liong Bun-kong, tak nyana belakang kepala Ciang Thi-hu seakan tumbuh mata, tanpa menoleh begitu merasa angin kesiur di belakang kepala, segera dia menjentik balik, ke belakang, "Cring" tepat dia selentik paku yang menyamber tiba mencelat balik keluar jendela, dan meluncur kembali ke arah In San pula.

In San menggelantung di atas pohon, ujung kakinya menggantol dahan pohon, sehingga tubuhnya jungkir balik dan mendekat ke jendela sambil menimpuk senjata rahasianya.

Lekas In San kerahkan tenaga di ujung kakinya sehingga dahan dimana dia bergelantung tak kuat menahan berat badannya begitu tubuhnya anjlok ke bawah dahan pohon itupun patah seketika, pada hal tindakan In San inipun hanya untung-untungan belaka, dia sendiri tidak tahu apakah cara yang ditempuhnya ini dapat dihindarkan samberan paku yang menyerang balik ini, tapi keadaan memang sudah mendesak, tiada cara lain terpaksa dia gunakan akalnya ini.

Begitu dahan patah paku itupun sudah menyambar tiba dan menyerempet di atas kepala In San, tapi sasarannya menceng ke samping In San selamat tidak kurang suatu apapun.

Cepat sekali Ciang Thi-hu sudah menubruk keluar, bentaknya: "Pembunuh bernyali besar, masih ingin lari?"

Ginkang In San memang sudah tinggi, di kala tubuhnya meluncur lurus ke bawah dan hampir menyentuh tanah, mendadak dia gunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan, dengan enteng dan tanpa mengeluarkan suara kakinya hinggap di muka bumi.

Begitu pukulan Ciang Thi-hu menyerang tiba, golok pusaka In San juga sudah tercabut, dengan jurus Ki-hwe-lau-thian, dia memapak kedatangan lawan serta menyerang pergelangan tangannya.

Deru angin yang kencang menyapu jatuh topi di atas kepala In San sehingga rambutnya yang panjang terurai, melihat dia seorang gadis jelita, mau tidak mau Ciang Thi-hu tertegun. Sudah tentu In San sendiri juga tidak kurang kagetnya, bukan saja golok pusakanya tak mampu menabas musuh, malah topi sendiri tersapu oleh angin pukulan lawan, untung dia sudah cukup mahir menggunakan golok ini, lekas dia memelintir pegangan goloknya berputar setengah lingkaran, tapi hampir saja dia tergores luka oleh golok sendiri.


Gerakan golok In San yang lincah dan gesit ini juga membuat Ciang Thi-hu heran pikirnya: "Aneh, permainan golok ini agaknya pernah aku melihatnya?" Dan lebih mengherankan lagi lwekang In San ternyata jauh lebih rendah dari pada sebelum dia tahu bahwa In San adalah perempuan tadi, kiranya paku yang dijentiknya balik itu di tengah jalan dipukul jatuh oleh timpukan sebutir lempung orang lain, In San tidak tahu akan kejadian ini, tapi Ciang Thi-hu tahu. Tadi dia kira penimpuk lempung tadi pasti adalah jagoan bulim yang kosen dan jago kosen ini pasti juga seorang laki-laki, betapapun tinggi kepandaian seorang perempuan, tak mungkin memiliki lwekang setangguh ini.

"Haya, celaka, diam-diam Ciang Thi-hu mengeluh dalam hati setelah teringat masih ada seorang kosen lagi disekitar sini, secara diam-diam telah membantu In San. Setelah berhamil meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, Ciang Thi-hu yakin dirinya boleh mencalonkan diri dalam deretan 10 jago tangguh di masa ini, bahwa orang itu dapat memukul jatuh jentikan paku besinya hanya dengan sebutir lempung kecil, jelas lwekangnya tidak rendah, tapi diapun yakin orang belum tentu dapat mengalahkan dirinya. Bahwa dia mengeluh bukan karena takut menghadapi orang itu, tapi bila orang itu ada di sekitar gelanggang, betapapun dia harus hati-hati dan waspada, karena itu, mending bagi In San, dia masih kuat bertahan untuk beberapa kejap lamanya.

Lekas sekali belasan jurus telah berlalu, taraf kepandaian Ciang Thi-hu betapapun memang berlipat ganda lebih tinggi dari In San, meski hati merasa was-was dan harus pasang mata kuping terhadap jago lain yang sembunyi, In San toh sudah kepayahan dan terdesak oleh rabuannya yang gencar. In San tetap mengandalkan ketajaman goloknya, sekuatnya dia bertahan membela diri.

Di saat-saat genting itu, '"wut" mendadak Ciang Thi-hu memukul pergi golok In San, diluar dugaan dia memperlambat gerakannya lalu menghentikan gerakannya, bentaknya: "Kau ini putri In Hou bukan? Lekas bicara terus terang, supaya aku tidak kesalahan tangan."

Hanya belasan jurus Ciang Thi-hu sudah meraba permainan golok In San, maka dia lantas tahu asal-usul In San.

Maklum selama beberapa tahun dia pernah sekolega bersama In Jong didalam Gi-lim-kun maka ajaran ilmu golok keluarga In jelas takkan bisa mengelabui matanya. Tapi lantaran sudah terlalu lama, baru sekarang dia teringat. Sebaliknya In San sudah berlaku nekad hendak mengadu jiwa, bentaknya: "Betul, malam ini hendak kutuntut balas kematian ayah, kau rela menjadi antek Liong Bun-kong si anjing itu, biar kubunuh kau dulu." Setelah tahu asal-usul In San, Ciang Thi-hu malah tidak berani membunuhnya, gerak serangannya pun diperhitungkan. Setelah In San didesaknya mundur dua langkah, dia berseru lantang: "Liong-tayjin, pembunuh gelap ini adalah putri In Hou, bagaimana aku harus membereskan dia, harap Tayjin memberi petunjuk."

Suara Liong Bun-kong kumandang dari atas loteng: "Bujuklah dia supaya mau menyerah. Beritahu padanya, aku tetap akan memandangnya sebagai putri kandungku sendiri."

Ciang Thi-hu segera menekan suaranya, katanya: "Nona In, jangan kau tidak tahu kebaikan. Bila kau ikut Liong-tayjin, kalian ibu beranak akan hidup berkumpul, bukankah itu lebih baik?" dia kira In San belum tahu bila ibunya sudah minggat dari rumah keluarga Liong. Diluar tahu Ciang Thi-hu pula bahwa In San sudah bertemu dengan ibunya, malah ibunya sudah mangkat di malam pertemuan yang menyedihkan dan memilukan itu.

Kalau Liong dan Ciang tidak menyinggung ibunya masih mending, seolah-olah bara yang disiram minyak, karuan berkobar amarah In San dengan jurus Hing-to-it-hong, goloknya bergerak secepat kilat terus membacok, bentaknya: "Kalau aku tidak berhasil membunuh keparat she Liong itu, jadi setanpun aku tetap akan menuntut balas," serangan golok yang ganas dan nekat ini diluar dugaan Ciang Thi-hu, walau tidak sampai melukai dirinya, tapi dia kaget dan berjingkrak mundur.

Ciang Thi-hu cukup mengeluarkan tiga bagian tenaga Gun-goan-it-cu-kang, kembali dia sampuk golok In San lalu berteriak: "Liong-tayjin, budak ini tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, dia tegas menolak kebaikan Tayjin, bagaimana baiknya?"

Liong Bun-kong tidak berani membuka jendela, sembunyi didalam kamar dia tarik suara: "Lebih baik kau bekuk dia hidup-hidup, kalau tidak bisa membekuknya hidup, kau bunuh diapun aku tidak akan salahkan kau."

Setelah mendapat persetujuan hilang keraguan Ciang Thi-hu, maka serangannya lantas bertambah gencar dan kuat, begitu menyelinap maju jari tangannya segera mencengkram. Gerak cengkraman ini adalah tipu liehay dari Hun-kin-joh-kut-jiu, dilandasi tiga puluh persen kekuatan Gun-goan-it-cu-kang, maka perbawanya lebih dahsyat lagi, jikalau sasarannya kena telak, tulang pundak In San pasti teremas hancur. Umpama memiliki kepandaian setinggi langit, bila tulang pundak sudah diremas hancur, berarti Kungfunya sudah punah dan selanjutnya takkan bisa bermain silat lagi. Tapi Ciang Thi-hu masih kuatir bila dirinya disalahkan oleh keponakan Liong Bun-kong, maka dia pikir hanya ingin memunahkan ilmu silatnya saja, kalau tidak bila dia tambah tenaga serangannya, jiwa In San sudah bisa ditamatkan sejak tadi.

Cengkraman ini kelihatan ganas, tapi daya kerjanya ternyata lamban. Dia pikir hendak menggertak In San supaya dia takut dan mundur teratur bukan mustahil akan merubah haluannya, mau menyerah dan tunduk pada keluarga Liong. Hun kin-joh-kut yang diyakinkan ini sudah mencapai taraf sempurna, walau gerakan kelihatan lamban, jelas In San takkan bisa berkelit. Pada hal golok In San sudah terkunci oleh telapak tangan kirinya, untuk menangkis atau balas menyerang jelas tidak mungkin, di saat-saat kritis dimana jari-jari tangan Ciang

Thi-hu sudah dekat tulang pundak In San. Ciang Thi-hu masih sempat membujuk: "Nona In, urusan sudah kebacut sejauh ini, kenapa kau masih kukuh pendapat? Semutpun ingin hidup, lekas kau minta maaf kepada Liong-tayjin dan memanggil Liong-tayjin..."

Sebelum dia menyebut "ayah", sesosok bayangan orang mendadak melompat keluar dari balik gunungan.

Semula tujuan Tan Ciok-sing hanya akan membantu secara sembunyi, tapi setelah menyaksikan beberapa jurus, dia lantas tahu bahwa kepandaian Ciang Thi-hu benar-benar tinggi, tanpa menggunakan ilmu pedang gabungan, kalau dirinya hanya membantu secara menggelap, bantuannya tidak akan berarti bagi In San. Di kala cengkraman tangan Ciang Thi-hu hampir menyentuh pundak In San itulah Tan Ciok-sing dipaksa untuk menerjang keluar.

Karena tahu ada musuh tangguh lain yang berada di sekitar gelanggang, Ciang Thi-hu selalu pasang mata kuping, sejak tadi dia sudah bertindak waspada dan penuh perhitungan, begitu merasa angin kesiur menyambar dari belakang, dia tahu bahwa musuh tangguh yang tersembunyi itu tengah membokong dirinya, kuatir dirinya kecundang, mana berani dia meremas tulang pundak In San?

Lekas dia gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit sambil melancarkan serangan susulan lainnya, kedua telapak tangan tergabung menimbulkan suatu rumpun tenaga tiga tambah tiga berarti enam puluh persen tenaga Gun-goan-it-cu-kang terhimpun dalam serangan tangannya ini.

Maka terdengarlah suara "Cret", lengan baju Ciang Thi-hu tertusuk bolong oleh Pek-hong-po-kiam Tan Ciok-sing, tapi ujung pedang Tan Ciok-singpun menceng dan tergetar pergi oleh pukulan Gun-goan-it-cu-kang lawan, hanya terpaut dua mili hampir menusuk hiat-to Ki-ti-hiat. Diam-diam Tan Ciok-sing merasa sayang akan kegagalan serangan ini.

Sudah tentu bukan kepalang senang dan kaget In San, seketika dia menjublek di tempatnya. Padahal pertempuran jago-jago silat kelas tinggi, mana boleh berlaku lena. Walau Gun-goan-it-cu-kang yang dilontarkan Ciang Thi-hu bukan ditujukan ke arahnya, namun dia terserempet juga oleh gelombang angin pukulannya. Seketika dia keterjang mundur sempoyongan, golok yang dipegang sampai jatuh berkerontang di atas batu.

"Tan-toako, ternyata kau. Tahukah kau, aku sedang mencarimu," saking girang In San tidak pikirkan hendak menjemput goloknya.

Dengan ujung kakinya Tan Ciok-sing menjungkit golok serta ditangkapnya, tapi tidak dia berikan kepada In San, teriaknya: "Lekas cabut Ceng-bing-po-kiam."

In San tersentak sadar serunya: "Betul, menghadapi keparat tua ini, memang pantas kita menghadapinya dengan Siang-kiam-hap-pik."

Begitu Siang-kiam-hap-pik dijalankan, situasi seketika banyak berubah. Ciang Thi-hu seketika terkurung di tengah kilatan sinar pedang, gerak-geriknya yang lincah tak ubahnya seperti tikus yang terjebak didalam kurungan dan lari kian kemari. Insaf akan keadaan dirinya yang semakin terdesak, demi keselamatan sendiri sudah tentu Ciang Thi-hu tidak sudi mati konyol, maka diapun bermain tidak kenal kasihan lagi. Tiba-tiba dia berputar ke kiri, In San langsung dihadapinya. Kedua telapak tangan bergerak membundar seperti gelang, lalu dirubah gaya seorang pemusik yang memeluk gitar, telapak tangan kiri pura-pura mencengkeram, sementara telapak tangan kanan membelah miring Gun-goan-it-cu-kang dia tambah sampai lima puluh persen kekuatannya sendiri.

Kalau dia tahu diri sejak tadi melancarkan kekuatan Gun-goan-it-cu-kang untuk menghadapi In San, umpama tidak mati In San pasti terluka parah, tapi kini keadaan sudah berubah tambah kekuatanpun sudah terlambat.

Bukan saja permainan Siang-kiam-hap-pik teramat serasi dan tepat serta ketat, perbawa yang dikembangkanpun tiga lipat lebih besar dari pada permainan secara individu. Maka lima bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan Ciang Thi-hu paling hanya mampu menggeser sedikit ujung pedang In San, sehingga dirinya tidak sampai tertusuk, tapi pedang lawan tak mampu diputarnya terlepas apalagi hendak balas melukainya.

Maka Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing segera menyelinap masuk arena, sudah tentu dia takkan memberi peluang bagi Ciang Thi-hu untuk melancarkan serangan susulan untuk melukai In San? Dalam sekejap itu dua larik sinar pedang tahu-tahu tertabur menjadi selarik cahaya pelangi, untung Ciang Thi-hu lekas mengundurkan diri, terlambat sedetik saja tubuhnya sudah terbabat menjadi dua.

Lekas Ciang Thi-hu kerahkan tenaga terus mendorong, Gun-goan-it-cu-kang mencapai tujuh bagian, gerakan Tan Ciok-sing berhasil dibendungnya sebentar, bentaknya: "Anak bagus siapa kau? Kalau pemberani sebutkan namamu."

Tan Ciok-sing tertawa dingin, jengeknya: "Kalau tidak kukatakan, mungkin kau mati takkan meram. Seorang laki-laki tak perlu takut menyebutkan namanya, aku bukan lain adalah duri dalam kulit daging kalian Tan Ciok-sing adanya. Hehehe, bukankah Liong Bun-kong menyuruhmu ke Kwi-lin untuk menghadapi aku? Sekarang aku datang kemari, tak usah tuan besar macam tampangmu ini susah payah mencari jejakku."

Keruan Ciang Thi-hu kaget, tanpa merasa bulu kuduknya berdiri, pikirnya: "Ternyata bocah inilah murid penutup Thio Tan-hong, tak heran ilmu pedangnya begini liehay," cepat sekali gerakan kedua pedang gabungan Tan dan In sudah merabu kembali Ciang Thi-hu terkurung didalam libatan cahaya pedang.

Ciang Thi-hu dipaksa mengerahkan seluruh

kemampuannya, namun dia tetap bertahan saja tak mampu balas menyerang, diam-diam dia mengeluh, pikirnya: "Kalau aku tidak nekad menguras hawa murni, mungkin aku bisa kecundang oleh pedang bocah-bocah keparat ini," akan tetapi meski dia terkurung seperti binatang dalam perangkap, tapi kekuatan pukulannya masih kelihatan dahsyat dan mengejutkan, setiap kali pukulan dilontarkan, sayup-sayup terdengar gemuruh seperti guntur menggelegar di kejauhan, deru anginnya yang kencang seperti amukan angin lesus, dalam arena pertempuran seluas beberapa tombak, debu pasir beterbangan.

Lekas sekali beberapa busu sudah diundang datang oleh suara keributan disini, sekitar gedung berloteng dimana Liong Bun-kong tinggal telah dijaga ketat, tidak sedikit di antara para busu itu yang berkepandaian cukup lumayan, tapi mereka hanya mampu menonton tiga tombak diluar kalangan, berdiripun tak tegak, sering terdesak mundur sempoyongan.

Kilatan pedang menyambar simpang siur menyilau mata, deru angin pukulan juga laksana bunyi guntur yang memekak telinga. Kalau bukan jago silat kelas tinggi, mana mampu menerjunkan diri kedalam arena? Para busu itu lambat laun didesak mundur semakin jauh dari kalangan pertempuran, mereka hanya menyaksikan dengan pandangan mendelong dan kesima.

Tiba-tiba terdengar suara genta bertalu-talu ternyata dari tempat sembunyinya Liong Bun-kong memerintahkan seorang busu membunyikan genta tanda bahaya. Maklum dia kuatir Ciang Thi-hu seorang diri bukan tandingan kawanan penyatron, maka diam-diam dia sudah melarikan diri melalui jalan rahasia di bawah tanah.

Tak lama kemudian, taman kembang yang luas ini sudah benderang disinari cahaya obor, bayangan orang tampak berlari berbondong-bondong mendatangi. Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing membentak: "Bunuh dulu bangsat tua ini," tiba-tiba Pek-hong-kiam menuding ke timur menusuk ke barat, sekaligus dia melancarkan tujuh jurus serangan mematikan.

Begitu mengembangkan Siang-kiam-hap-pik hati In San dan Tan Ciok-sing bersatu padu, pikiran sejalan gerakanpun serasi. Begitu Tan Ciok-sing mempergencar serangan, serta merta In Sanpun segera mengimbangi. Dalam sekejap mata lingkaran pertahanan Ciang Thi-hu ditekan sedemikian rupa menjadi semakin menciut. Dalam keadaan terdesak ini Ciang Thi-hu sudah maklum, sebelum jago silat tangguh dari pengawal Liong Bun-kong datang tubuhnya pasti sudah dihiasi tusukan pedang kedua musuhnya ini.

Seperti serigala yang mengamuk dalam kepungan, bola mata Ciang Thi-hu sudah melotot membara, napasnya mendengus saperti banteng mengamuk, bentaknya: "Bocah bagus, kau ingin membunuhku, memangnya segampang keinginanmu. Hem, rasakan keliehayan Gun-goan-it-cu-kang," berbareng kedua telapak tangannya menari turun naik, membalik ke kiri memutar ke kanan. Sekonyong-konyong segulung tenaga dahsyat terlontar keluar dari kibasan kedua telapak tangannya sedahsyat gugur gunung.

Perbawa Siang-kiam-hap-pik memang aneh, semakin dahsyat menghadapi serangan semakin hebat pula daya tahan dan perlawanannya, di kala menghadapi rangsangan hebat dari serangan Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu ini, Siang-kiam-hap-pik pun memperlihatkan perbawanya yang paling dahsyat. Maka terdengarlah rentetan suara keras dan memekak, tampak sepasang lengan baju Ciang Thi-hu koyak-koyak beterbangan seperti kupu-kupu yang menari di tengah udara, sehingga kedua lengannya yang kurus legam kelihatan telanjang. Pedang yang tajam memang tidak mampu melukai tubuhnya, tapi hawa pedang yang simpang siur menggencet dan mengoyak hancur lengan bajunya.

Dalam gebrak ini kedua pihak sama-sama mengerahkan puncak kekuatannya, bahwa keadaan Ciang Thi-hu kelihatan , serba mengenaskan, tapi In San sendiripun sedikit menderita oleh getaran angin pukulan lawan sehingga langkahnya sempoyongan.

Kebetulan ada beberapa busu berlari tiba, melihat kesempatan yang menguntungkan ini, mereka hendak menyerang In San dari belakang. Tak nyana belum lagi In San turun tangan beberapa busu itu sudah sama roboh gedebukan sambil mengeluh kesakitan.

Ternyata pada gebrak terakhir ini Ciang Thi-hu sudah kerahkan sepuluh bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang, perbawa Siang-kiam-hap-pik memang masih mampu menahannya. Tapi beberapa busu yang masih rendah Kungfunya ini mana kuat menahan getaran dahsyat ini?

Seperti diketahui Gun-goan-ii-cu-kang yang diyakinkan Ciang Thi-hu baru saja berhasil dilatihnya sempurna, jikalau sekaligus sekarang dia harus kerahkan setaker kemampuannya, akibatnya pasti menguras habis hawa murni dan itu berarti luka dalam yang cukup parah. Oleh karena inilah, dalam pertempuran tadi dia hanya menambah kekuatan setahap demi setahap, tak berani sekaligus mengerahkan kekuatannya sampai sembilan bagian tenaga sendiri. Kini terpaksa Ciang Thi-hu lontarkan serangan sepenuh tenaga meski berhasil meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang lawan, tapi dia sendiri juga sudah lemas lunglai kehabisan tenaga. Lekas dia memutar tubuh membelakangi musuh, "Huuuaaah" tanpa kuasa dia menyemburkan sekumur darah segar, tapi dia tidak berani memperlihatkan kepada Tan Ciok-sing bahwa dirinya sudah terluka.

Situasi semakin tidak menguntungkan, Tan Ciok-sing juga tak berani bertempur terlalu lama di sarang musuh, lekas dia memburu ke samping In San, katanya: "Adik San, bagaimana kau?"

Sebelum dia memapahnya In San sudah dapat berdiri tegak pula, katanya lirih: "Tidak apa-apa, sayang gelagat agaknya tidak bisa mengijinkan hari ini kita menuntut balas."

"Syukurlah kalau tidak apa-apa," ujar Tan Ciok-sing, "seorang laki-laki menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat. Hayolah kita pergi."

Meski banyak jumlah busu dari keluarga Liong, mana mampu menahan atau merintangi mereka? Apalagi beberapa busu sudah roboh dan menjadi contoh, mana mereka berani berkorban pula. Pada hal mereka tidak tahu bahwa kawan-kawannya itu roboh karena Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan Ciang Thi-hu, mereka menyangka kedua penyatron ini memiliki kepandaian tinggi semacam Can-ih-cap-pwe-tiat yang aneh, serta menakjubkan. Di tengah teriakan para busu yang hanya berkaok-kaok tanpa bertindak ini, dengan leluasa Tan dan In berdua melesat terbang ke atas wuwungan terus lari meninggalkan gedung keluarga Liong.

Setelah jauh berada diluar, Tan Ciok-sing menoleh ke belakang, melihat musuh tidak mengejar baru legalah hatinya, katanya: "Nona In mimpipun aku tidak menduga bahwa kau bisa berada disini."

In San menghela napas, katanya: "Tan-toako aku justru yang tidak menyangka, di saat kritis, di waktu jiwaku terancam bahaya, mendadak kau muncul dari atas langit."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Mana aku bisa membiarkan kau masuk ke sarang harimau seorang diri? Kalau kau sudah kemari, memangnya aku harus berpeluk tangan?

"Semalam aku pernah mampir ke hotel dimana kau nginap untuk mencari kau, pemilik hotel mengatakan tiada tamu macam kau ini, ternyata dia ngapusi aku."

"Jangan kau salahkan dia, akulah yang suruh dia begitu, aku tidak tahu kalau kau bakal datang. Menurut perhitunganku semula, ingin menghilangkan jejak supaya orang-orang keluarga Liong tidak tahu akan kedatanganku."

"Aku tidak menyalahkan dia, tapi aku menyalahkan kau malah. Kalau kau tahu aku sudah datang, kenapa kau tidak mau menemui aku? Tahukah kau aku sengaja hendak mencarimu?"

"Justru karena itu, mimpi juga aku tidak sangka kalau kau yang datang."

"Ibu sudah tiada. Aku tahu kau pulang ke Kwi-lin hendak menuntut balas, musuhmu adalah musuhku juga, memangnya aku boleh berpeluk tangan membiarkan kau menempuh bahaya."

"Terima kasih akan perhatianmu, tapi aku tetap tidak duga kau bakal menyusulku."

"Kenapa tetap tidak menduga? Nasib kita sudah terjerat menjadi satu. Kau kira aku bisa berpeluk tangan menyaksikan usaha penuntutan balasanmu dan mengharap kau yang menuntut balas bagiku?"

"Bukan, bukan begitu maksudku..."

"Lalu apa maksudmu? Katakan."

Ruwet pikiran Tan Ciok-sing, tak tahu dengan alasan apa dia harus menjelaskan. Sementara itu mereka sudah mulai memasuki kota kecil. "Mari kita ambil kuda kita dan segera meninggalkan kota ini. Nanti bicara saja di tengah jalan," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Baik. Nanti kita bertemu di perjalanan. Tempatnya di gardu pinggir jalan diluar kota sana, siapa tiba lebih dulu dia harus menunggu. Tapi watakku kau sudah tahu, kau tadi berjanji hendak memberi penjelasan, jangan kira setelah kau mengulur waktu lantas anggap persoalan ini tiada begitu saja." Fajar sudah hampir menyingsing, di ufuk timur cahaya mentari sudah mulai menongol dengan secercah cahayanya yang remang-remang, namun toko-toko dalam kota belum ada yang buka.

Setelah mengambil kudanya Tan Ciok-sing terus mengepraknya kencang, baru saja terang tanah dia sudah tiba di gardu diluar kota. Ternyata In San sudah menunggunya disana.

"Nah katakan, kenapa kau bilang tidak menduga kalau aku sengaja mencarimu kemari?" In San betul-betul menuruti adatnya, begitu bertemu lantas mengajukan pertanyaan ulang. Apa boleh buat, terpaksa Tan Ciok-sing melontarkan isi hatinya: "Kukira kau pergi ke Tayli lebih dulu."

"Untuk apa aku ke Tayli?" In San tahu maksud orang, tapi sengaja dia bertanya.

Karena didesak sedemikian rupa, tak mungkin Tan Ciok-sing menghindar lagi, katanya kemudian: "Bukankan Siau-ongya dari keluarga Toan dari Tayli menginginkan kau mengungsi kesana. Ibumu sudah meninggal, kukira..."

"O, kau kira setelah aku yatim piatu, tiada orang yang menjadi tulang punggungku, tidak punya rumah lagi, adalah pantas kalau aku mencari pelindung di rumah keluarga Toan begitu?"

"Bukan begitu maksudku. Keluarga kalian sudah turun temurun punya ikatan yang intim, Toan-toako juga sudah kangen padamu."

Tegak alis In San, katanya: "Jadi dalam pandanganmu, aku ini perempuan yang tidak bisa melihat gelagat dan tidak punya martabat?"

"O, tidak, nona In, kau adalah pahlawan gagah kaum wanita, mana berani aku memandang rendah dirimu?"

"Kenapa kau punya kesan seburuk itu padaku? Memang Toan-toako baik terhadapku, kalau aku tidak punya kerja, setelah peperangan ini berakhir mungkin aku bisa kesana menengoknya. Tapi sekarang, jangan kata aku harus menuntut balas kematian ayah bunda, umpama tidak, aku juga takkan sudi pergi ke Tayli. Bukankah tenagaku lebih bermanfaat di markas besar Ciu-pepek yang memerlukan bantuan dan tenaga kaum muda seperti kita?"

Lama Tan Ciok-sing bungkam seribu basa, akhirnya dia tertawa menyengir: "Aku memang lugu, mungkin aku salah omong, harap maaf dan jangan kau berkecil hati."

Tiba-tiba In San berkata'dengan suara lirih: "Toan-toako baik terhadapku, tapi kau lebih baik lagi terhadapku. Aku menghargai Toan-toako, aku lebih menghormatimu. Jangan karena asal-usul kelahiranmu sebagai rakyat biasa lantas kau merasa rendah diri, memang Toan-toako, keturunan bangsawan, tapi ketahuilah didalam sanubariku, martabatmu kuanggap lebih tinggi dan lebih agung dari dia, kau tidak akan asor dibanding dia."

Pertama kali ini In San mencurahkan sikap dan isi hatinya, meskipun belum boleh dianggap sikap dan penuangan rasa cintanya, tapi hal ini sudah cukup membuat jantung Tan Ciok-sing berdetak dan jengah mukanya, tapi hatinya juga senang luar biasa. Lama sekali baru Tan Ciok-sing angkat kepala dan berbicara: "Nona In, terima kasih akan penghargaanmu terhadapku."

In San tersenyum, katanya: "Tan-toako, kita senasib sepenanggungan, aku sudah memanggilmu Toako, kenapa kau masih begitu sungkan kepadaku? Anggaplah aku sebagai adikmu?"

"Adik San, semalam aku mencuri dengar diluar, tidak jelas kudengar seluruhnya, kalau tidak salah Liong Bun-kong pernah menyinggung Tam Pa-kun dengan Ciang Thi-hu?"

"Betul, Liong bangsat itu sudah tahu bahwa Tam Pa-kun pergi ke Kwi-Iin, dia menyuruh Ciang Thi-hu kesana untuk membekuknya."

"Adakah dia juga menyinggung It-cu-king-thian?"

"Agaknya tidak. Tapi, ya, ada suatu hal sekarang kuingat, sayang aku terburu nafsu turun tangan."

"Soal apa?"

"Liong bangsat itu menyerahkan secarik dañar kepada Ciang Thi-hu, didalam daftar itu tercantum nama-nama kawan dan lawan mereka yang ada di Kwi-lin."

"O, daftar itu amat berguna bagi kita. Kawan mereka adalah musuh kita, bila kita bisa merebut daftar itu, kita bisa berhati-hati dan sikat mereka satu persatu."

In San berkata: "It-cu-king-thian adalah tokoh kenamaan di Kwi-lin, kukira nama It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti tercantum didalam daftar itu. Waktu itu Ciang Thi-hu sedang memeriksa daftar itu, sayang aku buru-buru turun tangan, kalau tidak mungkin dia bisa menyinggung It-cu-king-thian."

"Kalau Ciang Thi-hu sudah menerima tugas itu dari Liong bangsat, cepat atau lambat pasti akan mengikuti jejak kita mengejar ke Kwi-lin, semoga daftar itu tidak dibuang, kelak bila ketemu dia, masih ada kesempatan kita merebutnya," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Setelah melontarkan serangannya terakhir semalam, agaknya Ciang Thi-hu kehabisan tenaga dan luka cukup parah, kalau dia berani datang ke Kwi-lin juga, dia pasti bukan tandinganmu."

Sunguh-sungguh sikap Tan Ciok-sing, katanya: "Gun-koan-it-cu-kang yang diyakinkan Ciang-Thi-hu tidak boleh diremehkan. Dengan taraf latihannya sekarang, meski lwekangnya menurun tiga bagian, aku tetap belum pasti dapat mengalahkan dia. Tapi bila kita tetap Siang-kiam-hap-pik, kurasa lain pula persoalannya."

Lirih suara In San: "Lalu apa pula yang kau kualirkan, aku tidak akan berpisah dengan kau. Kapan saja, dimana saja Siang-kiam-hap-pik tetap boleh kita kembangkan."

Bukan kepalang rasa senang dan terhibur hati Tan Ciok-sing, tanpa merasa mulutnya menyeletuk: "Setelah berhasil menuntut balas, apakah kau juga takkan berpisah denganku?"

Jengah muka In San, sahutnya: "Ilmu pedangku masih kuharap petujukmu, kalau kau tidak mengusirku, aku akan tetap ikut padamu."

Kuda tunggangan mereka adalah kuda yang dapat menempuh ratusan li sehari, kira-kira 10 hari kemudian, mereka sudah mulai memasuki perbatasan Ouw-lan dan Khong-say, setelah berada di karisidenan Hing-an, berarti mereka sudah berada di propinsi Khong-say.

Tampak aliran sungai besar disini mulai bercabang dua, pemandangan nan permai dengan hawa nan sejuk.

Setelah menempuh perjalanan sekian hari, maka mereka turun di pinggir sungai, membiarkan kuda minum air dan makan rumput sepuasnya. Tan Ciok-sing dan In San juga duduk di tanah berumput melepas lelah. Dua hari lagi Tan Ciok-sing akan tiba di tempat kelahiran entah bagaimana perasaannya sekarang, senang, duka tapi juga lega, kalau dulu dia seorang diri meninggalkan kampung halaman, sekarang kembali berduaan, maka untuk melepas rasa rindu akan kampung halaman dan melimpahkan perasaan hati nan suka dan duka ini, dia memetik harpanya.

In San asyik mendengarkan sambil menunduk kepala, wajahnya tampak merah dan malu.

"Petikan harpa yang bagus," tiba-tiba terdengar seorang memuji. Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya dua ekor kuda dicongklang pesat di jalan raya ke arah sini.

Kedua penunggang kuda ini adalah Hwesio dan Tosu. Hwesio itu yang berseru memuji. In San bersuara heran, katanya lirih: "Hwesio ini dapat menikmati keindahan petikan harpamu, kiranya dia juga seorang seniman."

Jarak masih cukup jauh, begitu mendengar irama harpa Tan Ciok-sing, kedua orang ini segera mengeprak kuda lebih pesat untuk mendengar lebih jelas dari jarak dekat. Terdengar Hwesio itu berseru pula: "Anak muda, petikan harpamu amat bagus, coba petiklah sebuah lagu lagi."

Tapi si Tosu malah mengerutkan kening, katanya: "Kita harus menempuh perjalanan. Kukira cukup kau menikmati sebuah lagu ini untuk dijadikan kenangan. Bukankah lebih baik?"

Hwesio itu tertawa, katanya: "Kata-katamu ini mirip filsafat saja, Betul, anak muda ini belum tentu sudi memetikkan sebuah lagu lagi, hayolah lanjutkan perjalanan."

Sambil mencongklang kudanya si Hwesio agaknya masih menikmati irama harpa dengan asyiknya, malah di punggung kuda kaki tangannya menari berjingkrak-jingkrak. Pada hal kuda itu sedang lari pesat di jalan pegunungan yang naik turun. Mendadak tubuhnya itu mencelat mumbul seperti dilempar ke atas.

Karuan In San menjerit kaget, teriaknya: "Aduh, celaka."

Dengan gaya burung dara jumpalitan si Hwesio dengan enteng meluncur turun dan duduk pula di punggung kuda. Katanya tertawa: "Terima kasih akan perhatianmu nona, Toa Hwesio takkan bisa jatuh." Tan Ciok-sing berdua berada di pinggir sungai, sementara mereka mencongklang kuda di jalan raya jarak di antara mereka ada satu li, tapi gelak tawa dan perkataan si Hwesio dapat didengar In San sejelas orang bicara berhadapan, malah terasa pekak telinganya, karuan In San kaget, pikirnya: "Latihan lwekang Hwesio ini, mungkin tidak lebih asor dari Kim-to Cecu."

Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya: "Pandangan si Hwesio juga tajam, dia hanya lewat sambil lalu di jalan raya, ternyata selintas pandang lantas tahu kalau kau perempuan menyamar laki-laki."

Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar si Tosu berkata dengan tertawa: "Memangnya kau ini orang beribadat macam apa, orang beribadat macammu ini seharusnya lepas dari segala urusan duniawi, tapi kau justru terbius oleh irama harpa, bermulut besar menganggulkan diri takkan bisa jatuh lagi?"

Hwesio itu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Memangnya aku ini Hwesio sontoloyo, doyan arak suka daging, siapa bilang aku ini Hwesio agung yang tulen?"

Lekas sekali bayangan merekapun sudah tidak kelihatan lagi. Tan Ciok-sing berkata: "Hwesio dan Tosu ini agaknya tokoh-tokoh yang punya bobot, kalau Hwesio itu mau menunggu beberapa lama, aku sih sudi memetikkan sebuah lagu untuk dia."

In San berkata: "Bukankah kau dengar mereka harus memburu waktu untuk menyelesaikan urusan penting? Sudah cukup kita beristirahat, sudah saatnya kita berangkat."

Setelah berada di punggung kuda lambat-lambat mereka congklang kudanya ke arah depan, belum jauh mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda dicongklang cepat mendatangi dari depan. Kedua penunggangnya gendut kurus, yang gendut tinggi lima kaki, perawakannya tambun seperti semangka. Yang kurus, tingginya ada tujuh kaki lebih, kepala kecil leher panjang, tubuhnya mirip genter. Melihat pasangan manusia yang lucu dan menggelikan ini tanpa terasa mereka tertawa geli.

Si gendut segera berkata: "Apa yang kau tawakan, geli karena aku segendut ini?"

"Karena geli aku tertawa, tiada sangkut pautnya dengan kau," sahut In San.

"Hm. kau bohong."

Jilid 6



"Kak gendut, hayolah tak usah cari perkara," tukas si kurus.

Si gendut tiba-tiba berkata: "Kuda mereka jauh lebih baik dari tunggangan kita, waduh, kuda yang begitu jempol, belum pernah aku melihat kuda sebagus ini."

Cepat sekali kedua kuda itu mendatangi dan kedua pihak sudah saling berhadapan, diam-diam Tan Ciok-sing bersiaga, betul juga begitu jarak kedua pihak semakin dekat, di kala kedua penunggang kuda itu hampir melewati mereka, si gendut mendadak mengulur tangan hendak merintangi lari kuda Tan Ciok-sing. Begitu kepala kuda tunggangan Tan Ciok-sing tertekan, seketika dia meringkik dan berdiri dengan kaki belakangnya, Namun dengan sigap Tan Ciok-sing sudah memukul dengan daya dorongan yang kuat, serunya: "Apa kehendakmu?"

"Tidak apa-apa," seru si gendut tertawa tergelak-gelak, "ingin aku mencoba kekuatan daya terjangan kudamu," di tengah gelak tawanya, kudanya itu sudah mencongklang pergi. Si kurus tetap berada di sampingnya, omelnya: "Kak gendut, kenapa selalu kau mengumbar tabiatmu yang jelek ini, suka mencari gara-gara. Memangnya kau lupa kita sedang menunaikan tugas penting."

Si gendut tertawa, katanya: "Tenaga pukulan bocah itu memang hebat, sayang kita sedang bertugas, kalau tidak ingin aku berkenalan dan bersahabat dengan mereka," lekas sekali merekapun telah pergi jauh.

Diam-diam In San melelet lidah, katanya: "Besar sekali tenaga orang itu, dengan sekali tekanan di punggung kuda, dia mampu menahan daya lari seekor kuda. Tan-toako, kau tidak apa-apa bukan?"

Telapak tangan Tan Ciok-sing masih kesemutan dan linu, katanya: "Tidak apa. Tapi kalau mengadu tenaga pukulan, jelas aku bukan tandingannya. Tapi permainan tenaga dalam orang ini ternyata sudah terkendali baik sekali, bisa bekerja sesuai keinginan hati."

"Darimana kau bisa tahu, kulihat tubuhnya juga tergeliat di punggung kuda."

"Telapak tangannya menekan kuda, sehingga kuda yang lagi lari berhasil ditekannya berhenti, tapi kudaku ini sedikitpun tidak terluka, kepandaian semacam ini jelas tidak mampu kulakukan."

In San sekarang juga cukup berpengalaman, diam-diam diapun kaget, katanya: "Sungguh aneh dan janggal, dalam jangka waktu belum ada sejam, beruntun kita bersua empat jagoan silat kosen."

Dengan rasa ragu dan curiga mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan. Beberapa kejap lagi, terdengar ringkik kuda di kejauhan sana, tampak dua ekor kuda lari mendatangi pula penunggang kudanya juga orang-orang aneh yang menimbulkan rasa heran dan kaget.

Dikatakan "aneh" bukan lantaran tampang kedua orang ini terlalu istimewa, tapi adalah dandanan mereka. Kedua orang ini mengenakan pakaian rombeng, seorang memanggul kampak, seorang lagi membawa kepis yang terikat di pinggang, tangannya memegang joran, joran di tangannya sering digunakan sebagai pecut. Kalau kedua orang ini tidak menunggang kuda umumnya orang akan mengira mereka adalah tukang kayu dan pencari ikan yang pulang dari gunung dan sungai. Selintas pandang orang juga akan tahu bahwa kuda tunggangan mereka pilihan, malah pelananya tampak mewah dan tersulam indah sekali, jelas penebang kayu dan pengail ikan biasa takkan mungkin memilikinya. Bahwa tukang penebang kayu dan seorang pengail menaiki kuda jempolan lagi, bukankah ini agak janggal dan aneh.

Setelah agak dekat dan melihat jelas mereka, pengail ikan itu bersuara heran dan kaget, katanya: "kuda yang bagus dan gagah, penunggangnyapun lebih tampan lagi," serta merta matanya melirik ke arah In San, kembali mulutnya bersuara aneh, katanya seperti untuk didengar sendiri: "Kulihat bocah ini agak janggal," agaknya dia juga melihat penyamaran In San, tahu bahwa dia adalah anak perempuan.

Diam-diam In San menggerutu dan mengumpat dalam hati: "Memangnya kau sendiri yang janggal," baru saja dia pernah merasakan pelajaran dari pengalaman yang terdahulu, maka kali ini dia tidak berani banyak usil.

Tapi jawaban penebang kayu justru merupakan jawaban dalam hati In San juga: "Dalam pandangan orang lain, kau dan aku justru dipandangnya sebagai mahluk aneh. Kenapa kau peduli mereka itu gagah, tampan atau buruk rupa, hayolah."

"Kau tidak usah kuatir," ucap pengail, "aku tidak akan seperti Bui samko (kak gendut ketiga) yang suka mencari perkara itu."

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Kiranya mereka serombongan dengan kedua orang gendut dan kurus yang jalan duluan tadi," walau pengail ini sudah berkata tidak akan mencari gara-gara tapi Tan Ciok-sing berlaku waspada.

Cepat sekali kedua pihak sudah mendatangi semakin dekat, celakanya Tan dan In berdua kebetulan tiba di jalan pegunungan yang sempit, hanya cukup tiba untuk jalan seekor kuda. Baru saja Tan Ciok-sing hendak menyingkir ke gundukan tanah yang lebih tinggi, kedua penunggang kuda ini sudah mencongklang datang lebih dulu. Agaknya mereka juga punya maksud yang sama, kuatir saling bertumbukan dengan Tan Ciok-sing berdua. Tan Ciok-sing menghela napas lega, tapi waktu dia memandang ke depan, diam-diam dia merasa kuatir bagi kedua orang itu.

Di lereng bukit di sepanjang jalan sempit itu tumbuh deretan pohon pendek yang rimbun dan dahannya bercabang simpang siur, seakan-akan banyak lengan orang sengaja diulur keluar untuk merintangi jalan orang, jelas peluang untuk lewat amat sempit. Dalam keadaan seperti ini, jalan kaki masih leluasa lewat, tapi menunggang kuda salah-salah bisa terjungkel jatuh karena kesabet dahan, paling ringan muka cecel dowel, celaka kalau leher putus atau kepala bocor, maka cara yang paling baik adalah turun dari punggung kuda, menyibak dahan-dahan pohon serta menuntun kuda, Tapi kedua penunggang kuda ini bukan saja mencongklang kudanya, merekapun tidak mau turun.

Di kala Tan Ciok-sing merasa kuatir, tiba-tiba dilihatnya penebang kayu mengayun kampak yang dipanggulnya, angin menderu kampak bekerja laksana baling-baling, sementara sang kuda masih terus membedal kencang. Dahan-dahan pohon yang melintang jalan tampak protol beterbangan, setelah kudanya mencongklang lewat baru dahan-dahan yang terbabat beterbangan itu berhamburan jatuh, karuan Tan Ciok-sing melongo menyaksikan pertunjukan yang menakjubkan ini.

Kalau penebang kayu membuka jalan dengan caranya yang lucu secara kekerasan ini, adalah pengail ikan juga menggunakan caranya pula yang aneh. Terdengar mulutnya mengeluh terus berteriak: "Aku berada di belakangmu, kutungan dahan yang berhamburan ini, memangnya sengaja kau ingin kepalaku bocor?" mendadak tubuhnya melejit jumpalitan di atas punggung kuda, joran di tangannya yang panjang itu mendempel sebatang pohon setinggi beberapa tombak, tubuhnya segera terayun seperti pemain akrobatik bermain ayunan, secara beruntun dia berjumpalitan turun naik ke depan, lekas sekali tubuhnya sudah melesat ke depan melampaui daerah yang berbahaya ini, sementara kudanya tetap mencongklang ke depan. Begitu dia menarik jorannya, di tengah udara dia jumpalitan sekali lagi lalu melayang turun dan duduk tegak pula di punggung kudanya.

In San berkata lirih: "Joran itu adalah senjatanya yang ternama, benang pancingnya itu entah terbuat dari apa, punya daya tahan sekuat itu."

"Kau tahu siapa mereka?" tanya Ciok-sing.

"Entah," sahut In San, "tapi waktu kecil pernah aku mendengar cerita ayah. Di pinggir sungai Wi-cui terdapat seorang pengail dan penebang kayu, mereka adalah tokoh pengasingan dari bulim, ayah juga tidak tahu siapa nama mereka, mungkin kedua orang inilah."

"Wi-cui berada di Kam-siok yang mengalir masuk ke Siam-say. Kalau mereka tinggal di pinggir Wi-cui, kalau penduduk Kam-siok pasti kelahiran Siam-say. Untuk apa mereka berada di tempat nan jauh ini?"

In San tertawa, katanya: "Mana aku bisa tahu Tapi satu hal dapat kuduga."

"Hal apa?"

"Kira kira sebelum dua jam lagi, di tengah jalan nanti kita bakal ketemu dua orang kosen pula?"

"Lho, dari mana kau bisa tahu?"

"Kena tidak tebakanku, biarlah sebentar lagi kita buktikan, tunggu saja."

Tan Ciok-sing setengah percaya, tapi hatinya masih ragu-ragu, mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan. Betul juga belum ada setengah jam, dari depan tampak mendatangi pula dua penunggang kuda. Penunggangnya adalah laki perempuan, usianya masih muda baru dua puluhan. Pakaian perlente kudapun jempolan, yang laki-laki gagah dan tampan, yang perempuan ayu jelita. Diam-diam Tan Ciok-sing memuji dalam hati.

Kalau Tan Ciok-sing memperhatikan mereka, merekapun memperha-tikan Tan Ciok-sing. Waktu itu mereka sama berjalan di jalan raya, kuda kedua pihak juga dilarikan sesuka hati. Setelah jarak semakin dekat, kedua muda mudi tampak memperlambat lari kudanya, setelah lewat di samping mereka ternyata tidak menunjukkan aksi apa-apa.

Kira-kira dalam jarak sepanahan kemudian, terdengar laki-laki itu berkata lirih: "Harpa yang dipanggul pemuda itu kemungkinan adalah barang antik."

Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia tarik kendali memperlambat jalan kudanya, diam-diam dia pasang kuping mendengarkan percakapan mereka. Setelah meyakinkan lwekang ajaran Thio tan hong pendengaran kupingnya tajam luar biasa, dalam jarak seratus tangkah, meski orang bicara bisik-bisik juga sayup-sayup dapat didengarnya. Pada hal jarak kedua pihak sekarang belum ada seratus langkah.

"Darimana kau tahu?" tanya yang perempuan.

Yang lelaki berkata: "Kotak itu terbuat dari kayu cendana yang sudah berusia ribuan tahun, warnanya memang sudah butut dan luntur, bagi yang tidak tahu mungkin disangka kayu busuk, bagi pecinta seni baru akan tahu bahwa kotak itu betul-betul antik dan tak ternilai harganya. Coba kau pikir, kalau kotaknya saja sebagus itu maka harpa di dalamnya pasti lebih antik lagi. Jikalau rekaanku tidak meleset, kemungkinan yang berada didalam kotak itu adalah Kiau-bwe-khim peninggalan Coa Pah di jaman dynasti Tang-han dulu."

Harpa warisan keluarga Tan Ciok-sing ini memang Kiau-bwe-khim, demikian pula kotak itu memang terbuat dari kayu cendana yang sudah ribuan tahun. "Pemuda ini ternyata pandai menilai barang, seorang ahli barang-barang antik," diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

Perempuan itu tertawa, katanya: "Aku tahu maksudmu, bukankah kau ingin mendengar suara petikan harpa antik ini? Sayang kita harus menempuh perjalanan."

"Memang," ujar si pemuda, "orang yang bisa memiliki harpa sebagus itu, pasti dia bukan orang sembarangan, sayang kita sedang bertugas, tiada kesempatan berkenalan dengan dia." Sampai disini jarak mereka sudah lebih dari seratus langkah, pembicaraan selanjutnya sudah tidak terdengar lagi.

Maka terdengarlah alunan tiupan suara seruling dari kejauhan, suaranya yang melengking tajam laksana pekik bangau di angkasa raya, lembut dan jernih laksana bergema di udara. Bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi mereka masih mendengar alunan seruling nan merdu. Dapatlah diduga, karena mereka bicara soal harpa antik, maka timbul hasrat si pemuda meniup serulingnya, mungkin juga karena atas permintaan gadis seperjalanan itu.

"Tiupan seruling pemuda itu bagus bukan?" ucap In San.

"Bagus sekali. Pengetahuannya mengenai harpa, kurasa belum pernah kutemui seorang ahli seperti dia."

"Belajar harpa lebih sukar dari seruling, mungkin dia tidak berhasil belajar harpa lalu belajar meniup seruling. Sayang masing-masing pihak punya urusan sendiri, kalau tidak harpa dan seruling kalian dapat berpadu."

"Pengetahuan pemuda itu mengenai harpa cukup mengejutkanku, tapi kaupun mengejutkan aku pula. Adik San dari mana kau pernah belajar meramal?"

"Kedua orang itu terhitung jago kosen tidak?" tanya ln San.

"Jago kosen itu luas artinya, beragam pula macamnya, walau aku tidak tahu berapa tinggi rendah Kungfu kedua orang ini, tapi aku yakin mereka memiliki kepandaian yang cukup baik. Tapi lepas dari soal Kungfu, bahwa pemuda itu selayang pandang saja lantas mengenali Kiau-bwe-khim milikku ini dia sudah termasuk kosen dalam bidang ini. Adik San, kenapa setengah jam sebelumnya tadi kau sudah lantas dapat menduga bahwa kita bakal bertemu lagi dengan kedua orang kosen ini?"

"Apakah kau tahu adanya peradatan yang dinamakan Pat-sian-ing-khek?"

"Maaf pengetahuanku tentang peradatan terlalu cetek, apa itu Pat-sian-ing-khek?"

"Itulah suatu upacara besar yang agung dan terhormat bagi penyambutan seorang tamu yang sering terjadi di kalangan Kangouw. Tuan rumahnya kalau bukan Ketua dari suatu Pay, Pang atau Hwe, pasti seorang angkatan tua yang tersohor dan mulia. Tapi pamor sang tamu yang diundang adalah lebih terhormat dan kedudukannya lebih tinggi dari tuan rumah sendiri. Peradatan seperti ini kadang kala dinamakan Pat-sian-sau-ing sam-pek-li (delapan dewa menyambut tamu tiga ratus li)."

Tan Ciok-sing manggut, katanya: "O, jadi delapan jago kosen yang pernah kita pergoki tadi kiranya adalah delapan dewa yang diartikan dalam peradatan Pat-sian-ing-khek ini? Entah mereka mewakili tokoh besar mana untuk menyambut tamu agung ini?"

"Betul, delapan orang ini adalah petugas yang. menyambut tamu agung itu. Menurut peraturan mereka terbagi empat pasang dari tempat jauh untuk menyambut tamu. Kita sudah bertemu enam orang, kuduga masih ada dua lagi di belakang."

Diam-diam Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Delapan orang ini semua adalah jago-jago kosen, lalu siapakah tuan rumahnya, begini banyak jago kosen yang rela menjadi pembantunya?"

"Kau salah. Delapan orang ini belum tentu pasti anak buah sang tuan rumah itu, apalagi kau artikan ditugaskan, itu tidak benar."

"Memangnya apa hubungan mereka dengan si tuan rumah?"

"Kemungkinan merekapun para tamu yang datang, demi menunjukkan rasa hormat dan mau memberi muka kepada si tuan rumah dan tamu yang harus disambut itu, maka mereka suka rela menampilkan diri sebagai penyambut tamu."

"Adik San, banyak juga urusan yang kau ketahui," puji Tan Ciok-sing.

"Bukan aku yang tahu banyak, semua ini kudengar dari cerita ayah. Dulu waktu aku berusia tiga tahun, di rumahku pernah juga terjadi keramaian adanya peradatan Pat-sian-ing-khek (delapan dewa menyambut tamu) ini. Tahun itu kakek merayakan ulang tahunnya yang ke 61, murid tertua Thio Tayhiap Thio Tan-hong yaitu cikal bakal Thian-san-pay Toh Thian-tok juga datang, Kim-to Cecu juga pernah mewakili ayah menjadi salah satu dari delapan dewa itu menyambut kedatangannya. Sayang, waktu itu aku masih kecil, tahunya hanya suka melihat keramaian. Lika liku sebenarnya dari tata cara itu baru kuketahui dari cerita ayah setelah aku menanjak dewasa," sampai disini mendadak dia cekikikan.

Tan Ciok-sing melongo, tanyanya: "Adik San, apa yang kau tertawakan?"

"Thio Tayhiap adalah famili yang lebih tua dua angkatan dari aku, kau adalah muridnya, jadi kau lebih tinggi seangkatan dari aku. Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok adalah Suhengmu. Kalau dahulu untuk menyambut kedatangan Toh Thian-tok, keluargaku menggunakan upacara Pat-sian-ing-khek, pada hal kau adalah Sutenya, kedudukan setingkat, sayang sekali waktu kau datang ke rumahku, waktunya tidak tepat, bukan saja tiada yang menyambutmu, malah hampir saja kau dihajar habis-habisan."

Tan Ciok-sing tertawa geli, katanya: "Masa aku dibanding Toh-suheng? Aku adalah murid penutup Suhu, jauh sebelum aku berguru Toh-suheng sudah menjadi cikal bakal dari suatu perguruan besar."

"Untung peraturan Kangouw memang cukup bebas dan menurut kondisi masing-masing, kalau tidak..."

"Kalau tidak kenapa?"

Merah muka.In San, tapi dia tidak mau bicara lagi. Ternyata dia berpikir begini: "Kalau harus menurut adat dan perbedaan angkatan, selanjutnya aku takkan boleh bergaul lagi dengan kau."

Tan Ciok-sing juga tidak mendesak lebih lanjut, dia diam saja sambil menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan.

"Eh, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya In San.

"Tadi kau bilang delapan dewa menyambut tamu tiga ratus li? Dari Kwi-lin sampai Ling-kik kira-kira dua ratus li, bila diteruskan memasuki daerah Ouw-lam, kira-kira memang mencapai tiga ratusan li."

"O, jadi maksudmu mau bilang bahwa si tuan rumah itu kemungkinan bertempat tinggal di Kwi-lin?"

"Aku hanya menduga saja. Tapi tokoh besar di Kwi-lin yang setimpal menggunakan peradatan Pat-sian-ing-khek hanya It-cu-king-thian Lui Ting-gak saja."

"Aku tahu maksudmu. Dahulu Lui Tin-gak membakar rumah lalu tinggal pergi, pasti ada sebabnya. Kini berita tersebar luas bahwa dia akan kembali, tapi kuduga kedatangannya kembali ke rumah ini pasti tidak ingin disiarkan. Kalau tidak buat apa dahulu dia harus menghilang secara misterius?"

"Maka itu, mau tidak mau aku jadi curiga siapakah si tuan rumah ini, sungguh aku tidak habis mengerti."

"Besok juga kita tiba di Kwi-lin, teka teki ini pasti terjawab disana."

Dirundung berbagai pertanyaan itu kedua orang ini melanjutkan perjalanan, memang setelah kejadian Pat-sian ini, selanjutnya mereka tidak pernah bertemu dengan "jago kosen" lagi. Kuda mereka lari kencang, kira-kira menjelang lohor hari kedua, kota Kwi-lin yang megah dan paling tersohor di bilangan selatan ini sudah kelihatan di kejauhan.

Sebelum matahari terbenam mereka sudah tiba di Kwi-lin. Kata

Tan Ciok-sing: "Kita cari penginapan diluar pintu timur bagaimana? Rumahku dulu terletak di bawah Cit-sing-giam diluar pintu timur itu."

"Kau tidak usah tanya aku, kembali ke kota kelahiranmu, kau adalah tuan rumah, segalanya terserah kau yang mengatur."

Tan Ciok-sing menemukan sebuah hotel kecil yang terletak di samping Hoa-kio diluar pintu timur, empat tahun yang lalu, setiap hari Tan Ciok-sing pasti lewat di depan hotel ini memanggul kepis, dia masih kenal baik pemilik hotel ini, tapi dia sudah tidak mengenalnya lagi, maklum dulu dia hanyalah bocah kampung yang kecil dan berpakaian rombeng, sudah tentu pemilik hotel ini tak pernah memperhatikan dirinya. Dengan berseri tawa pemilik hotel ini menyambut kedatangan mereka, In San minta dua kamar yang berdampingan.

Setelah makan malam, haripun sudah petang. Tan Ciok-sing ajak In San jalan-jalan ke Hoa-kio (jembatan kembang) terus menuju ke Po-tho-san. Cit-sing-giam terletak di kaki Po-tho-san. Sementara rumah tinggalnya dulu berada di bawah Cit-sing-giam.

Setiba di letak rumahnya dulu, tampak puing-puing rumahnya sudah tak karuan, rumput liar menjadikan halaman rumahnya semak-semak belukar. Menghadapi puing-puing rumahnya, terbayang dahulu kakeknya mengajarkan memetik harpa, tanpa terasa hati duka nestapa, tanpa kuasa air mata bercucuran.

Dengan pilu In San berkata lirih: "Rumahmu hancur, rumahkupun berantakan. Tapi kita masih bisa membangun lagi sebuah rumah, aku amat suka tempat ini, kelak kita bisa mendirikan pula sebuah rumah di tempat yang lama ini."

Berdebur jantung Tan Ciok-sing, katanya: "Apa betul kau punya keinginan itu?"

In San manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu," teriak Tan Ciok-sing tertawa, "Adik San, banyak terima kasih padamu?"

"Terima kasih apa?"

"Terima kasih bahwa kau sudi membangun sebuah rumah pula bersamaku."

Merah muka In San selanjutnya dia bungkam.

"Patah tumbuh hilang berganti, yang lama rusak baru akan diganti yang baru, tak perlu kita terlalu berkeluh kesah di tempat ini."

Baru saja dia hendak ajak pergi, tiba-tiba In San berkata: "Eh, tempat aku berdiri ini, kenapa tanahnya terasa lunak."

Waktu Tan Ciok-sing menyingkirkan pecahan genteng dan sisa kayu terbakar, tampak disitu, ada bekas-bekas galian.

Setelah diperiksa dengan teliti, bekas-bekas galian itu ternyata ada beberapa tempat. Sejenak Tan Ciok-sing menepekur, katanya: "Agaknya dalam dua tiga hari yang lalu, ada orang pernah datang kemari."

Waktu In San membongkar tanah bekas galian, di dalamnya ternyata memang berlobang, agaknya setelah menggali tanah orang itu hanya menguruknya dengan pecahan genteng dan sisa-sisa tanah di sekitarnya, supaya kelihatan tertutup saja, hatinya heran, katanya: "Orang itu menggali tanah di bekas puing-puing ini apa sih kerjanya?"

Sesaat pula Tan Ciok-sing berpikir, katanya kemudian: "Jelas dia sedang mencari kotak milik ayahmu itu, didalam kotak itu tersimpan ajaran ilmu goloknya dan Kiam-boh karya Suhuku."

"Buku pelajaran ilmu golok itukan sudah kau kembalikan kepadaku."

"Tapi orang itu tidak tahu."

"Kalau begitu dia bukan utusan bangsat she Liong itu? keponakan keparat she Liong itu pernah merebut kotak itu, dia kan tahu akan hal ini."

"Betul, kemungkinan

rombongan orang lain. Kemungkinan mereka tidak tahu bahwa rumah ini aku sendiri yang membakarnya. Mereka kira aku ikut mati terbakar didalam rumah."

"Kalau demikian, aku yakin mereka pasti akan datang pula. Karena mereka hanya menggali beberapa tempat ini, belum lagi membongkar puing-puing didalam rumah itu."

"Marilah kita pergi ke pusara ayahmu dan kakekku, setelah kita memindahkan tulang belulang beliau, nanti kentongan ketiga kita kemari lagi." Tan Ciok-sing sudah siapkan dua guci ukuran sedang untuk tempat abu.

"Betul, setelah selesai mengerjakan urusan ini, kembali dulu ke hotel. Kentongan ketiga nanti diam-diam kita kemari dan menunggu disini. Aku ingin tahu siapa mereka."

Hari sudah semakin gelap. Tan Ciok-sing mempercepat langkah membawa In San ke belakang gunung, di suatu tempat yang sepi dan sembunyi, sekelilingnya adalah batu karang yang berserakan, kebetulan di tengah-tengah lingkaran batu-batu karang ini terdapat sebidang tanah datar dan kosong, hanya Ciok-sing saja yang tahu akan tempat ini.

Kata Tan Ciok-sing: "Malam itu secara tergesa-gesa aku mengebumikan kakek dan ayahmu di tempat ini, tak lama kemudian lantas kudengar Tam Tayhiap dikejar oleh kawanan berandal."

Hati sedih air matapun bercucuran, In San berkata: "Kematian ayah terlalu mengenaskan, tapi aku tidak tahu. Baru sekarang aku dapat kemari bersembahyang. Tan-toako, banyak terima kasih padamu. Lebih menyedihkan lagi kakekmu ikut ajal karenanya."

"Jenazah mereka kukebumikan di satu tempat, tapi aku ada memberi tanda, takkan bisa keliru, lalu dia memasuki sela-sela batu, lompat sana putar sini turun naik sekian lamanya, sembari jalan dia memberi petunjuk kepada In San, tak lama kemudian merekapun tiba di tempat tujuan. Begitu tiba di tanah lapang, pandangan kedua orang seketika sama terkesima.

Hari memang sudah petang, tapi mentari yang terbenam masih memancarkan sisa cahayanya, maka jelas sekali kelihatan di tanah lapang ini terdapat dua gundukan tanah sebagai kuburan.

Tan Ciok-sing hampir tidak percaya pada apa yang disaksikan ini, lekas dia memburu maju serta melihat lebih jelas, ternyata betul kedua kuburan ini memang adalah pusara kakeknya dan ayah In San.

Kedua pusara ini dibangun dan dipelihara baik sekali, di depannya malah dipasang batu nisan lagi, batu nisan di sebelah kiri bertuliskan "Pusara pendekar besar In Hou" sementara batu nisan sebelah kanan berukir huruf-huruf "Pusara ahli harpa Tan Hou-lu."

Malam itu Tan Ciok-sing mengebumikan jenazah kedua orang secara sederhana tanpa layon pula, karena tergesa-gesa dia hanya memberi tanda tertentu saja terus melarikan diri. Tanda yang dibuat dulu sudah tiada, tapi kuburan disini telah dibangun sebaik ini. "Siapakah yang berhati sebaik ini, sudi membangun pusara ini? Memangnya aku sedang mimpi?" waktu dia gigit jari rasanya sakit, jelas ini bukan mimpi.

In San bertanya dengan suara lirih: "Nama Tan Hou-lu yang terukir di atas nisan itu, apakah kakekmu?"

"Ya, kakek menamakan dirinya Khim-ang (Ki Harpa), tapi orang lain memanggilnya Sian-khim (Dewa Harpa) tapi nama aslinya adalah Hou-lu. Nama ini dipakai di waktu masih muda, jarang yang tahu akan nama ini. Akupun tidak diberi tahu. Suatu hari aku membalik buku pelajaran memetik harpa karya kakek, kulihat di atas buku ada tertera cap namanya, setelah kutanyakan baru aku tahu itulah nama aslinya yang sudah lama tak terpakai."

"Kalau demikian, orang yang membangun pusara ini pasti adalah kawan dekat kakekmu."

"Betul, kalau tidak bisa tahu nama asli kakekku."

"Lalu siapa gerangan orang itu menurut rekaanmu?"

"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kakek punya seorang kenalan lama bernama Khu Ti. Khu Thi ini dulu pernah sekolega bersama kakekmu didalam pasukan Gi-Iim-kun."

"Aku juga tahu akan orang ini, ayah pernah bicara tentang dia kepadaku. Tapi dia sudah lama menghilang dari kalangan Kangouw."

Tan Ciok-sing lantas ceritakan pertemuannya dengan Khu Ti di kedai minum serta pertolongan orang akan dirinya waktu dikeroyok Huwan bersaudara. Sebetulnya dalam benaknya sudah membayangkan seseorang, tapi orang ini sejauh ini masih merupakan tanda tanya bagi sanubarinya, entah dia kawan atau lawan, karena itu hal ini tidak ingin dia bicarakan dengan In San.

In San berkata: "Semula aku sudah ingin memindah tulang belulang ayah kembali ke kampung halaman, tapi rumahku di Tay-tong terbakar habis, syukur ada orang yang baik hati membangunkan pusara ini, biarlah beliau selanjutnya beristirahat selamanya disini saja. Tan-toako, bagaimana menurut pendapatmu?"

"Semasa -hidup kakek senang tinggal di tempat ini, aku kembali hanya ingin memperbaiki pusaranya ini dan sembahyang saja. Lebih baik kalau kita tidak usah bcrsusah payah lagi."

"Sayang kita tidak tahu siapa orang itu, sukar kita menyampaikan terima kasih padanya, hal ini biar kita tunda dulu untuk membalas kebaikannya," teringat ayah bunda sudah tiada, tanpa kuasa In San berlutut dan menyembah di depan pusara ayahnya serta menangis gerung-gerung. "Ayah, ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu, ibu sudah insaf dan mengakui kesalahannya dan kembali ke rumah keluarga In kita. Dia meninggal dalam pelukan putrimu, sayang jaraknya jauh, maka penguburan bersama kemari biar kutunda untuk beberapa lama lagi. Tapi ayah, inilah kejadian yang menimbulkan penyesalan paling besar di masa hidupmu, kini segalanya sudah kujelaskan, semoga di alam baka hatimu terhibur dan tentram," begitulah sambil terisak-isak In San memanjatkan doa kepada ayahnya.


Tan Ciok-sing tidak menangis, tapi rasa duka takkan terlampias meski dia menangis gerung-gerung. Dia berlutut di depan pusara kakeknya lalu harpa warisan dia keluarkan katanya: "Kek, sebelum mangkat, engkau mengajarkan Khong-ling-san kepadaku, sekarang biarlah kupetik lagu itu untuk kau dengar."

Waktu itu hari sudah betul-betul petang, kaum pelancongan jelas sudah sama-sama pulang tak mungkin ada orang masih berada di sekitar situ. Maka Tan Ciok-sing tidak perlu kuatir bila petikan harpanya didengar orang, setelah menyetem senarnya, mulailah dia memetik lagu Khong-ling-san.

Lagu bagian depan dari Khong-ling-san adalah irama yang riang gembira, perasaan Tan Ciok-sing diliputi rasa kenangan di masa kecilnya yang hidup senang, maka pantulan irama harpanya seperti menggambarkan makna

kebahagiaan keluarga, seolah-olah sekeluarga berkumpul menari menyanyi dengan suka ria sambil bertepuk dan bersorak. In San yang masih sesenggukan tanpa terasa menyeka air mata serta mendengarkan dengan seksama.

Di kala dia mendengarkan dengan penuh perhatian, di kala irama Khong-ling-san hampir berganti nada, mendadak terdengar suara "Crang creng" dari petikan senar gitar yang menusuk pendengaran, sehingga ritme-ritme Khong-ling-san yang dibawakan oleh petikan harpa Tan Ciok-sing menjadi kacau. Keruan Tan Ciok-sing kaget, segera dia menghentikan mainannya.

Terdengar suara seorang yang seperti dikenalnya berkata: "Eh mungkin Tan Khim-ang belum mati. Kecuali Ki Harpa itu siapa pula yang bisa memetik harpa sebagus ini?"

Seorang lagi berkata: "Para saudara Tok-liong-pang ada yang menyaksikan sendiri kematian Khim-ang, hal ini jelas takkan salah," suara orang ini juga seperti pernah didengarnya entah dimana.

Orang ketiga malah membentak: "Siapa memetik harpa disini, hayo lekas keluar," suaranya juga seperti sudah dikenal.

Ternyata dihadapan mereka hanya tampak batu-batu gunung yang berserakan serta berlapis-lapis, hakikatnya mereka tidak tahu bila di antara sela-sela batu yang berserakan itu ada jalanan yang bisa tembus kedalam, sudah tentu tak terbayang juga oleh mereka kalau di tengah batu berserakan itu berbeda pula keadaannya.

Orang keempat terdengar berkata: "Kau bilang kuburan Tan Khim-ang dan In Hou ada disini, kenapa tidak kelihatan?"

Orang kelima menjawab: "Aku dengar dari mulut seorang sanak keluarga Lui, tapi dia juga tidak tahu letaknya yang tepat, dia hanya tahu berada di sekitar daerah ini."

Suara kedua orang masih asing bagi pendengaran Tan Ciok-sing.

Orang yang bicara pertama tadi berkata pula: "Suara harpa kumandang dari arah sini maka pemetik harpa itu pasti ada di sekitar sini, hayo kita geledah."

Seketika Tan Ciok-sing teringat akan suara orang ini, serta merta matanya mencorong membayangkan nafsu membunuh.

"Siapakah mereka?" tanya In San lirih.

Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya: "Musuh-musuh kita. Dua orang terakhir aku tidak tahu siapa dia. Yang bicara pertama tadi adalah Thi-bi-pa Siang Po-san, bersama Le Khong-thian, hari itu mereka menjebak dan membokong ayahmu di Cit-sing-giam. Tiga tahun lalu Le Khong-thian sudah mati di tangan Suhu. Orang kedua adalah Thi-ciang Siansu, murid murtad dari Siau-lim, gelarnya yang semula adalah Ciau-khong. Orang ketiga adalah kepala brandal yang pernah kulabrak di Ang-wa-poh, bernama Phoa Lat-hong, Kuda putih milik Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu dulu pernah dibegal olehnya, belakangan berhasil kurebut kembali."

Terdengar orang keempat tadi membentak: "Kusuruh kau menunjuk jalan, kenapa masih berdiri saja?"

Dengan suara gemetar dan tergagap orang kelima menjawab: "Thi pangcu, kau, ada yang tidak kau ketahui..."

Yang dipanggil Thi-pangcu berkata: "Apa yang tidak kuketahui?"

"Menurut cerita orang tua dari keluarga Lui itu, It-cu-king-thian pernah mengeluarkan perintah larangan, siapa berani merusak atau membongkar kuburan In Hou dan Tan Khim-ang, dia bersumpah akan membunuhnya. Siapa saja sebelum memperoleh izinnya dilarang berada di sekitar sini, kalau sampai diketahui kedua kaki orang itu akan dipatahkan. Jangan kata aku memang tidak tahu dimana letak kuburan itu, umpama tahu, aku, aku..."

Thi-pangcu itu menjengek: "Kau tidak berani menunjukan tempatnya kepada kami, begitu?"

Orang kelima itu menjawab takut-takut: "Kau orang tua tahu, kepandaianku macam cakar ayam ini betapa berani mencari perkara kepada It-cu-king-thian. Aku hanya bisa membawa kalian sampai disini, kalau mau menggeledah dan mencari silakan cari sendiri. Aku belum menginjak lingkaran kuburan itu, berarti aku belum melanggar larangan It-cu-king-thian."

"Gentong nasi," damprat Thi-pangcu itu. "Baiklah, kau tidak berani cari perkara pada It- cu-king-thian, lekas kau kembali saja, tak perlu kau bantu kami. Aku justru ingin cari gara-gara pada It-cu-king-thian. Hm, It-cu-king-thian dan Tam Pa-kun telah membunuh Engkohku, dendam sakit hati ini aku bersumpah akan membalasnya."

Mendengar sampai disini Tan Ciok-sing lantas paham, katanya lirih: "Orang keempat ini adalah pejabat Pangcu baru dari Tok-liong-pang. Pangcu yang lama bernama Thi Ou. Waktu Tam Tayhiap datang terlambat dalam perjanjiannya dengan ayahmu, dia terjebak dan dibokong oleh kawanan Tok-liong-pang di Cit-sing-giam, waktu itu It-cu-king-thian bersama mereka. Kejadian lebih lanjut waktu itu tidak kusaksikan, tapi dari nada Thi-pangcu yang satu ini, agaknya Thi Ou malah dibunuh oleh It-cu-king-thian dan menolong Tam Tayhiap."

"It-cu-king-thian adalah pendekar besar yang dipercaya oleh ayah bundaku, kini kau dengar sendiri pembicaraan mereka, tentunya rasa curigaku terhadapnya tidak beralasan lagi?" lalu dia menambahkan pula. "Jadi orang kelimapun sudah dapat diterka, dia penduduk setempat yang kebetulan kenal dengan seorang tua dulu membantu kerja di rumah keluarga Lui."

"Agaknya mereka mulai bergerak ke arah sini," demikian bisik In San.

"Batu-batu gunung berserakan disini berlapis dan bersusun, tak ubahnya Pat-tin-toh ciptaan Cukat Liang yang tersohor di jaman Sam Kok dulu tanpa seorang petunjuk jalan yang tahu seluk beluk daerah ini, untuk menemukan tempat ini kukira memakan waktu cukup lama, tapi kita tetap harus berjaga-jaga."

Terdengar Thi-pangcu itu berkata pula: "Tan Khim-ang jelas takkan hidup kembali dari liang kuburnya, tapi pemetik harpa pasti punya sangkut paut yang erat dengan Tan Khim-ang itu, kalau tidak salah terkaanku, tadi dia sedang memetik harpa di depan pusara Tan Khim-ang."

"Konon It-cu-king-thian sudah pulang ke Kwi-lin secara diam-diam, aku terima kabar dari rumah keluarga Liong, yakin kabar ini tidak akan salah," demikian timbrung Thi-ciang Siansu.

Phoa Lat-hong ikut menyeletuk: "Kalau orang itu memetik harpa di depan kuburan Tan Khim-ang, dia bisa menemukan letak kuburan itu, maka dia pasti tahu dimana sekarang It-cu-king-thian menyembunyikan diri?"

"Betul," ucap Thi-pangcu, "maka itu kita harus bekuk dulu bocah itu."

"Sayang tadi kita keburu nafsu, sekarang bocah itu tak berani memetik harpanya lagi," Demikian kata Thi-ciang Siansu.

"Aku punya akal untuk memancingnya keluar," demikian timbrung Siang Po-san. Kembali dia petik senar gitarnya.

Suara gitar ini menusuk telinga dan tidak enak didengar, kontan In San merasa hati tidak karuan rasanya seakan-akan sukmanya hendak tersedot keluar dari raganya. Karuan dia kaget, lekas mengerahkan lwekang serta menghimpun semangat, katanya: "Kenapa petikan gitar orang ini begini jelek."

Karena Tan Ciok-sing meyakinkan lwekang ajaran Thio Tan-hong maka dia tidak merasa apa-apa, katanya: "Inilah ilmu tunggal dari Gitar Besi, waktu berhadapan dengan musuh, dengan petikan gitarnya itu dia berusaha menggoyahkan pikiran dan meruntuhkan semangat lawan. Tapi kepandaian dari aliran sesat ini, asal kau sendiri menenangkan hati dan pikiran, anggap saja tidak mendengarnya, dia tidak akan mempengaruhi dirimu."

"Walau demikian, amat menyebalkan juga," kata In San.

"Memang tidak boleh dibiarkan," demikian kata Tan Ciok-sing, "beruntung musuh datang sendiri, memangnya kita harus biarkan mereka lari? Marilah kau ikut aku, kita berputar dari arah lain mencegat jalan mundur mereka, lalu disergap sebelum mereka siaga," mereka lalu menggeremet keluar dari arah belakang melalui semak dan sela batu terus berputar satu lingkaran, kini keempat gembong iblis ini sudah berada di depan mereka, walau kepala mereka celingukan kian kemari, tapi masih belum juga menemukan jejak mereka.

Adalah laki-laki penunjuk jalan tadi masih ragu-ragu berdiri di tempatnya, mundur maju susah dia mengambil keputusan. Dia tahu Thi-pangcu sudah marah, tapi dia juga tidak berani melanggar larangan It-cu-king-thian, terpaksa dia tetap berdiri saja di kejauhan, maka waktu Tan dan In berdua muncul, dia lantas melihatnya lebih dulu? Karuan laki-laki ini amat kaget, tanpa sadar mendadak dia menjerit.

In San lebih cermat, segera dia pikir hendak menawan laki-laki ini untuk dimintai keterangannya, lekas dia menjentikan jari menimpuk sekeping uang. Kepandaian orang ini jelas amat rendah, mana dia mampu menghindar dari serangan senjata gelap In San? Belum lagi mulutnya terkatup, hiat-tonya telah tersambit telak, kontan dia jatuh terus menggelundung ke bawah sana.

Tapi jeritannya tadi telah mengundang perhatian keempat gembong iblis itu, serempak mereka menoleh dengan kaget. Phoa Lat-hong kepala berandal itu segera mengenali Tan Ciok-sing bentaknya: "Bagus sekali, kiranya kau bocah ini."

Tan Ciok-sing kenal Siang Po¬san tapi sebaliknya dia tidak kenal Ciok-sing, tanyanya kepada Phoa Lat-hong: "Siapa bocah ini?"

"Bocah yang merebut kuda putihku di Ang wa-poh itu," sahut Phoa Lat-hong. Agaknya peristiwa itu sudah diceritakan kepada teman-temannya ini.

Diam-diam Siang Po-san kaget, tapi mulutnya bergelak tawa, katanya: "Tapi kebetulan malah dia kemari, sekarang dia tidak membawa kuda, jangan harap dia bisa lolos dari tangan kita."

In San tertawa dingin, katanya: "Apa betul kuda putih itu milikmu? Tidak tahu malu. Hihi, kau takut kami melarikan diri, sebaliknya kami yang kuatir kau melarikan diri."

Ternyata Thi-ciang Siansu juga sudah mengenali Tan Ciok-sing, tiga tahun yang lalu perjalanan Tan Ciok-sing menuju ke Ciok-lin, pernah dia kebentur Raja Golok Ie Cun-hong yang membentuk barisan golok mengepung Hek-pek-moko seperti diketahui Thi-ciang Siansu ini adalah pembantu Ie Cun-hong yang paling diandalkan, tapi kejadian sudah tiga tahun yang lampau, kini Tan Ciok-sing sudah dewasa, pakaiannyapun tidak sebutut dulu, tapi dia memperhatikan harpa antik yang digendong Tan Ciok-sing, maka segera dia mengenalnya.

Begitu mengenali dia, Thi-ciang Siansu seperti ketiban rejeki nomplok, serunya tertawa riang: "Tuhan memang Maha pemurah, agaknya kita bakal diberi hadiah barang pusaka."

Thi-pangcu bertanya: "Masakah bocah ini membawa pusaka apa?"

"Dia membawa golok In Hou, bukan mustahil buku pelajaran ilmu goloknya itu juga berada padanya. Dan lagi harpa kuno yang digendongnya itu, menurut apa yang kuketahui, dulu Hek-pek-moko juga pernah mengincarnya. Benda yang dapat menarik perhatian Hek-pek-moko, dapatlah dibayangkan pasti barang pusaka yang berharga."

Siang Po-san berpikir sejenak, katanya kemudian: "Tan Khim-ang memang punya seorang cucu, setelah Tan Khim-ang mati, jejaknya menghilang entah kemana. Kalau kuburan Tan Khim-ang ada disini, bocah ini membawa harpanya pula, kebetulan tadi memetik lagu pula di depan kuburannya, mungkin dia inilah cucunya itu."

"Lalu apa pula yang kita tunggu," seru Thi-pangcu, "hayo bekuk bocah ini," lalu beramai mereka memburu ke bawah, jarak mereka semakin dekat. Thi-ciang Siansu berlari paling depan, tongkat besinya sebesar mulut mangkok itu lantas diayunnya sambil menghardik: "Anak bagus, lekas serahkan golok pusaka milik In Hou, nanti jiwamu kuampuni," tongkatnya itu segera menjojoh ke dada Tan Ciok-sing.

"Jangan kau salah mencari orang," tukas In San tertawa, "golok In Tayhiap berada padaku. Tapi, aku tak boleh serahkan padamu."

In San masih berpakaian laki-laki, dasar goblok dan kasar Thi-ciang Siansu masih belum dapat membedakan dirinya, bentaknya: "Siapa kau? Hm, hm, peduli siapa kau, golok berada di tanganmu, lekas serahkan, kalau tidak kusikat nyawamu."

"Bicara memang gampang, coba saja kalau mampu," tantang In San tertawa.

Thi-ciang Siansu memang Hwesio buas yang suka membunuh korbannya, karuan dia berjingkrak gusar, segera dia menubruk maju seraya mengayun tongkat terus mengemplang ke batok kepala In San.

Siang Po-san lebih hati-hati, lekas dia berteriak: "Thi-ciang Suheng, jangan kau membunuhnya, kulihat anak perempuan ini punya asal-usul," kiranya dia sudah tahu akan samaran In San.

Belum habis dia bicara mendadak dilihatnya dua larik cahaya pelangi melambung bersama. Ternyata kuatir In San kecundang tanpa berjanji Tan Ciok-sing berebut maju hendak bantu menangkis lawan. Bentaknya: "Kalian maju bersama saja, berapa jumlah kalian, kita tetap akan bersatu padu," karena dia harus bergabung dengan In San, maka dia memberi suara dulu supaya tidak melanggar aturan Kangouw.

Thi-pangcu tertawa besar, katanya: "Dua bocah yang masih berbau bawang juga berani ugal-ugalan di hadapanku," dia kira tongkat baja Thi-ciang Siansu seberat enam puluhan kati itu sudah lebih dari cukup untuk menghancur leburkan kedua bocah ingusan ini? Tak nyana akibatnya justru jauh berada diluar perhitungannya.

Dalam sekejap itu sebelum perkataan Thi-pangcu lenyap suaranya, terdengar dering nyaring benturan senjata keras, kembang apipun berpijar. Terdengar In San berkata dengan tertawa: "Golok pusaka tidak akan kuberikan, biarlah kau rasakan dulu keliehayan pedang pusaka ini, asal kau mampu boleh kau mengambilnya dari tanganku."

Walau Thi-ciang Siansu jago kosen yang memperoleh ajaran mumi dari Siau-lim, betapapun dia takkan kuat menghadapi perbawa gabungan permainan sepasang pedang. Di tengah pijaran kembang api, tampak dia tergetar mundur beberapa langkah, waktu menunduk dilihatnya tongkatnya tergores dan gumpil sedikit.

Kalau Thi-ciang Siansu gusar, kaget dan malu, Tan dan In juga sama-sama terkejut. Maklum pedang pusaka mereka mampu mengiris besi seperti merajang sayur, kalau tenaga dalam Thi-ciang Siansu tidak lebih unggul dari mereka, tongkatnya itu pasti sudah kutung.

Telapak tangan In San kesemutan dan linu, pikirnya: "Masih ada tiga gembong iblis belum lagi terjun ke arena, mungkin aku takkan kuat melawan secara kekerasan."

Thi-pangcu berada di belakang Thi-ciang Siansu, melihat kesudahan gebrak pertama ini diapun terkejut, sekali timpuk dia lepaskan tiga batang Tok-liong-cui. Sebagai adik kandung Thi Ou, Pangcu terdahulu dan pendiri Tok-liong-pang, dia bernama Thi Khong, tapi kepandaiannya ternyata jauh lebih tinggi dari sang Engkoh. Tiga batang Tok-liong-cui yang meluncur datang ini ternyata membawa kesiur angin yang berbau amis memualkan.

Tan Ciok-sing gusar, serunya: "Senjata rahasia yang ganas, kami tidak mau, nih kukembalikan," begitu Siang-kiam-hap-pik, jalan pikiran dan maksud hati mereka cocok satu sama yang lain, serempak mereka sama mengembangkan jurus Hing-hun-toan-hong, di bawah libatan dua larik pelangi yang menggulung dan menolak, ketiga batang Tok-liong-cui itu seketika patah jadi enam potong, celaka adalah ke enam potongan senjata rahasia ini diritul kembali ke arah pemiliknya.

Karuan kejut Thi Khong bukan main, lekas dia menjatuhkan diri sambil menggelundung kesana beberapa tombak. Meski keadaannya amat lucu dan mengenaskan, tapi masih untung karena tidak terluka oleh senjata rahasia sendiri.

Permainan pedang Tan Ciok-sing memang amat menakjubkan, tenaga yang dikerahkan juga diperhitungkan, begitu tiga senjata yang diritul balik itu jatuh di tanah, sisa lagi kutungan yang lain tiba-tiba terbang membelok di tengah udara, mendadak melesat ke muka Thi-ciang Siansu. Lekas Thi-ciang Siansu menyembunyikan kepala sambil mengkeret leher seperti bulus, berbareng tongkat dia angkat tegak berdiri, "Tring, tring, iring" ketiga kutungan senjata rahasia itu beruntun dapat ditangkisnya jatuh. Tak urung hidungnya mengendus bau amis, hampir saja dia tumpah-tumpah, keringat dingin membasahi jubahnya. Sesuai dengan namanya Tok-liong-pang ternyata pandai menggunakan racun, sebagai Pangcu maka senjata rahasia yang dipergunakan Thi Khong ternyata dilumur racun jahat, Tok-liong-cuinya ini malah dilumuri tujuh jenis racun yang jahat.

Baru saja pertempuran di mulai, Siang Po-san yang cukup cerdik tak mau terjun langsung ke arena, diluar kalangan segera dia memetik gitarnya, suaranya yang jelek dan menusuk perasaan ini memang maksudnya hendak mengaburkan pertahanan lawan. Lwekang Ciok-sing tinggi, dia mahir teori musik menguasai permainan, keadaannya masih baik, tapi lain dengan In San, dia sudah hampir tidak kuat lagi, hatinya menjadi kalut. Sehingga permainan Siang-kiam-hap-pik terganggu dan kurang serasi, menunjukkan beberapa titik kelemahan, kembali senjata rahasia Thi Khong menyusul masuk kedalam lingkaran, kali ini dia menimpuk dengan tiga batang paku penembus tulang.

Dengan jurus Khong-ciok-kay-ping Pek-hong-kiam menggaris ke tengah udara, ketiga paku beracun itu seketika hancur berhamburan di tengah pelintiran cahaya pedang. Tapi permainannya ini hanya membantu In San menangkis senjata rahasia, sehingga gerakan pedang In San tak bisa kerja sama dengan baik. Kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Siang Po-san, lekas gitarnya diayun membelah ke tengah sehingga kedua orang ini dipisahkan. Serempak Thi-ciang Siansu dan Phoa Lat-hong menyergap maju dari kiri kanan, yang dicecar adalah In San. "Sret" pedang Tan Ciok-sing menusuk kesana, tapi pedangnya tertangkis oleh gitar Siang Po-san.

Karena terganggu oleh suara gitar sehingga pikiran kacau permainan In San pun ikut terganggu. Untung Tan Ciok-sing cukup siaga dan bertindak tepat, mendadak dia melancarkan dua jurus permainan pedang dari ajaran Bu-bing-kiam-hoat untuk

menambal lobang kelemahan yang diperlihatkan In San.

"Adik San, jangan hiraukan suara gitarnya," Tan Ciok-sing memperingatkan. Tapi In San sendiri memang belum punya ketenangan itu, tak mungkin tak mendengarnya, meski dia sudah berusaha, tapi suara senar gitar yang jelek itu justru menyusup ke telinganya.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, Ciok-sing membatin: "Sayang aku tidak bisa memetik harpa di waktu melayani musuh, kalau tidak tentu bisa kupecahkan irama petikan gitar gembong iblis ini."

Bu-bing-kiam-hoat memang hebat, tapi perbawanya jelas tidak sehebat Siang-kiam-hap-pik. Karena pikiran In San tak terpusatkan, dalam gebrak sepuluh jurus, ada dua tiga jurus permainan mereka pasti tidak serasi, itu berarti seperti mereka bertempur secara individu. Untuk sementara mungkin tidak jadi soal bagi Tan Ciok-sing, malah sering membantu In San, tapi kalau pertempuran ini berkepanjangan, jelas pihaknya pasti akan kecundang.

Manusia umumnya timbul akalnya di kala kepepet atau di saat gugup, mendadak tergerak pikiran Tan Ciok-sing: "Aku tidak bisa memetik harpa, tapi kan bisa juga mengganggu nada dan not permainan gitar orang," segera dia mulai bersiul, siulan yang dilandasi tenaga dalam ini ternyata bisa berbunyi panjang dan naik turun sesuai lagu yang dia bawakan.

Usahanya memang berhasil, petikan gitar Siang Po-san menjadi kacau, karuan dia kaget. Tapi In San justru terbangkit semangatnya, perbawa Siang-kiam-hap-pik seketika berlipat ganda pula, bukan saja pulih seperti semula malah jauh melebihi sebelumnya.

Seperti diketahui permainan Siang-kiam-hap-pik ini hakikatnya tidak menggunakan gerak permainan yang ada tata laksananya, tapi disesuaikan gaya pedang, bergerak secara wajar dan serasi sehingga kedua pedang cocok dan ketat tanpa lobang sedikitpun. Dasar otaknya encer Tan Ciok-sing lebih berbakat lagi, permainannya lebih berkembang dan penuh variasi, bergerak sesuai kebutuhan dan dapat berubah mengikuti situasi, sehingga intisari Bu-bing-kiam-hoat dapat dia kembangkan dengan sempurna. Sementara (n San tetap menggunakan ilmu pedang yang pernah dia pelajari, menurut teori ilmu pedang maju mundur secara teratur. Tidak lama kemudian cahaya pedang seperti meledak semakin besar dan luas arena lingkungannya, dari pihak yang diserang kini berbalik dan musuh dicecarnya di bawah angin.

Tiga lawan tangguh ini lama-kelamaan didesak mundur. Tongkat besar di tangan Thi-ciang Siansu berdiri tegak terus jempalitan badan, dengan jurus Naga hitam melilit pohon, ujung tongkatnya mendadak menggulung balik, tujuannya menyapu kedua kaki In San. Mendadak In San melejit mumbul setinggi satu tombak lebih, dimana sinar pedang berkelebat, tahu-tahu pundak kiri Thi-ciang Siansu sudah terluka, jubah Hwesionya yang memang merah semakin merah dan basah oleh darah yang merembes keluar. Tapi tusukan pedang yang melukai pundaknya ini bukan serangan In San.

Di kala tubuh In San melambung ke udara, gerak pedang Ciok-sing yang belakangan tapi tibanya lebih dulu, mendadak dari posisi yang tak terduga menusuk tiba. Perhatian Thi-ciang ditujukan kepada In San yang menukik dari atas, sungguh tak pernah diduganya bahwa Tan Ciok-sing mendadak menyerang tiba pula, untung gitar Siang Po-san segera mengepruk tiba sehingga gerakan pedang itu sedikit terhalang, kalau tidak tulang pundaknya pasti sudah tertusuk patah, betapapun tinggi ilmu silatnya akan punah seketika.

Di tengah udara In San menggunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan. Phoa Lat-hong yang berada di samping Thi-ciang Siansu belum lagi sempat menyingkir, tusukan pedang In San dengan jurus naga kik-ting-hong tahu-tahu sudah menuding tenggorokannya. Ternyata secara reflek mereka telah berganti posisi dan merobah kedudukan untuk menyerang musuh yang berbeda, inilah salah satu jurus liehay dan manunggal dari Siang-kiam-hap-pik itu.

Pada detik-detik antara hidup dan mati, di kala elmaut sudah mengancam ini, jelas Phoa Lat-hong takkan mampu berkelit lagi, terpaksa dia nekat dan tidak hiraukan keselamatan lagi melancarkan ilmu Tay-cui-pit, dengan tangan kosong dia menangkis pedang secara keras, "Cras" dua jari Phoa Lat-hong tertabas buntung. Tapi In San sendiri juga tergentak mundur dua langkah. Untung perlawanan Phoa Lat-hong yang nekat secara keras ini sehingga kedua tangannya tidak putus tertabas pedang.

Lwekang Phoa Lat-hong cukup tangguh, tapi dia tak kuat juga menahan rasa kesakitan karena dua jari kutung, kontan dia menjerit sekeras-kerasnya terus putar tubuh melarikan diri. Bahwa tulang pundaknya nyaris tertusuk patah, karuan keringat dingin gemerobyos, sudah tentu Thi-ciang Siansu menjadi keder dan tak berani bertempur lebih lama.

"Mau lari kemana," bentak Tan Ciok-sing, sinar pedangnya bagai selarik lembayung terus menusuk kesana. Lekas Siang Po-san angkat gitarnya menangkis, tapi Ceng-bing-kiam In San juga menusuk tiba, begitu Siangkiam berpadu, perbawanya berlipat ganda. Gitar Siang Po-san dibuat dari besi baja yang mengandung sembrani, tapi terserang sepasang pedang pusaka ini mana kuat menahannya, di tengah suara gaduh yang memekak telinga, perut gitar yang gelembung kosong itu tahu-tahu sudah tergores lobang panjang.

Baru saja Tan Ciok-sing hendak menambahi dengan serangan mematikan, tak nyana di tengah dering beradunya benda keras terdengar pula selingan suara mencepret, mendadak bintik sinar bintang gemerdep, seperti diketahui dalam perut gitar Siang Po-san yang kosong ini di dalamnya ada dipasang alat-alat rahasia untuk menyimpan senjata rahasia, bila menghadapi bahaya sekali dia tekan tombol, senjata rahasia didalam perut gitar akan segera menyambar keluar. Demikian pula sekarang ini, Siang Po-san menggunakan serumpun Bwe-hoa-ciam selembut bulu kerbau, disusul tujuh batang To-kut-ting yang dilumuri racun.

Karuan Tan Ciok-sing kaget, teriaknya: "Celaka," lekas dia menolak ke depan menggunakan tenaga lunak mendorong pergi In San. Untung Tan Ciok-sing memperoleh ajaran lwekang Thio Tan-hong, ilmu pedang juga memperoleh ajaran murni, meski latihannya baru tiga tahun tapi taraf latihannya sudah cukup hebat, reaksinya cekatan lagi, dalam sedetik itu. sebelah tangan mendorong In San, lengan bajunya sekaligus mengebut pula menggulung jarum-jarum lembut yang menyerang datang. Pek-hong-kiam di tangan kanan dengan jurus Hing-hun-toan-hong merontokan lima paku penebus tulang, lalu jari tangan kiri menjentik, "Creng" paku ke empat ditutulnya kembali. Pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan segala kemampuannya, tak urung paku ke tujuh masih lolos juga.dari penjagaannya, untung dia lekas menunduk sehingga paku beracun itu meluncur lewat hampir menyerempet jidatnya.

Dengan gusar Ciok-sing kebutkan pula lengan bajunya, jarum-jarum yang dijaringnya ini dia persembahkan kembali kepada pemiliknya. Pada hal Siang Po-san melesat beberapa tombak jauhnya, jarum-jarum lembut itu terang tak mampu melukainya lagi, celaka adalah Tok-liong-pang Pangcu yang sejak tadi membantu dari luar kalangan dengan serangan senjata rahasia beracun tiba-tiba menjerit kesakitan.

Ternyata paku ke enam yang dijentik balik oleh Tan Ciok-sing sasarannya adalah Tok-liong pangcu yang main licik membokong dengan senjata rahasia beracun. Paku beracun itu sebenarnya melesat balik mengincar Thay-yang-hiat di pelipisnya. Perubahan yang tak pernah diduga ini, karuan membikin Thi Khong berjingkrak kaget seperti disengat kala, pada hal dia cukup tangguh dalam permainan senjata rahasia, tapi toh tak kuasa berkelit lagi, untung karena berjingkrak kaget ini sasaran Thay-yang-hiat tidak terkena telak, tapi paku beracun itu tak urung amblas kedalam pundaknya.

Thi Khong adalah ahli pengguna racun, karena terluka oleh paku beracun ini, bukan saja sakit tapi arwah serasa terbang ke awan-awan, lekas dia berkaok minta obat pemunah kepada Siang Po-san, Siang Po-san membentak: "Lekas lari. Nanti kuberi obat di bawah gunung."

Tan Ciok-sing tidak mengejar, lekas dia memburu ke samping In San, dilihatnya In San pucat pasi wajahnya, tanyanya gugup dan kuatir: "Apa kau tidak terluka?"

"Sungguh kebetulan, paku itu meruntuhkan tusuk kondaiku, untung tidak sampai luka. Sayang aku kurang cekatan, hingga musuh lari semuanya."

"Untung sebelumnya kau sudah membekuk seorang tawanan. Sekarang kita bisa mengompres tawanan itu," demikian kata Tan Ciok-sing.

Tak nyana, tawanan yang tertutuk hiat-tonya oleh timpukan mata uang In San sudah lenyap Setelah tertimpuk mata uang tadi orang itu jatuh menggelundung ke bawah lereng sana, semak rumput tampak tertindih dan awut-awutan, ceceran darah juga tampak di antara daun-daun pohon kecil yang tumbuh di sekitar situ, mungkin waktu tubuhnya menggelundung ke bawah badannya terluka oleh benturan batu-batu gunung yang runcing sehingga mengeluarkan darah. Ciok-sing berdua mengikuti jejak ceceran darah menginjak semak belukar, tapi bayangan orang itu tetap tidak kelihatan, tapi mereka belum putus asa, daerah sekitarnya mereka obrak-abrik hingga ke bawah gunung, bayangan tawanan itu tetap tidak kelihatan.

"Aneh, jelas hiat-to pelemasnya tadi tertutuk oleh timpukan mata uangku. Ilmu tutuk jalan darah tunggalku ini, baru akan bebas setelah dua belas jam berselang. Dalam waktu sesingkat ini, jelas dia takkan bisa bergerak."

"Orang itu hanya menunjuk jalan ke empat gembong iblis itu, kepandaiannya rendah, jelas tak mungkin mampu membebaskan sendiri tutukan hiat-tonya itu."

"Umpama ada yang menolongnya, orang itu pasti mahir menggunakan ilmu tutuk dari keluargaku. Kalau tidak kecuali dia jago silat kosen dari bulim, lwekangnya sudah mencapai taraf tinggi, dengan tenaga murni dia bisa bantu menjebol tutukan hiat-to itu. Em, aneh sekali."

Sembari bicara mereka berjalan balik ke kota, tanpa terasa mereka sudah tiba di Hoa-kio, tampak sinar pelita sudah terpasang di empat penjuru kota, bulan sabit tampak bergantung di cakrawala.

Setiba mereka di hotel, pemilik hotel segera memburu maju menyambut mereka dengan seri tawa lebar, katanya: "Aku memang sedang mengharap Siangkong berdua lekas pulang."

"Temanku ingin melihat pemandangan Po-tho-san nan permai, maka aku menemaninya, sayang hari sudah petang, kita tak sempat melancong ke Cit-sing-giam, terpaksa besok saja* Maaf bikin kau lama menunggu kami."

Pemilik hotel tidak hiraukan keterangan ini, katanya: "Sayang kalian terlambat pulang, baru saja ada dua orang teman kalian kemari."

Ciok-sing kaget, pikirnya: "Baru saja aku tiba di Kwi-lin, dari mana datangnya orang bisa mencariku? Siapa yang punya berita secepat ini?"

"Siapakah kedua orang itu? Begitu masuk kota aku lantas menginap disini, tiada teman yang kuberitahu, dari mana mereka bisa tahu aku menginap disini? Apa tidak keliru mereka mencari orang?" tanya Tan Ciok-sing.

"Tidak mungkin salah," sahut pemilik hotel, "mereka menggambarkan wajah, usia dan kuda tunggangan kalian, demikian kotak panjang yang dibawa Tan Kongcu, setiap hal dapat dilukiskan dengan jelas, yakin dia pasti teman kalian. Tentang dari mana mereka bisa tahu kalian tinggal disini, wah aku tidak bisa menjelaskan."

"Sudah panjang lebar kau bicara, kenapa tidak kau sebut siapa nama mereka?"

"Sudah kutanya mereka, mereka bilang bila Siangkong berdua kembali, asal kau katakan kedatangan kami, dia akan tahu siapa kami," berarti kedua orang itu tidak mau menyebut atau meninggalkan namanya.

"Baiklah, coba kau terangkan, berapa usia mereka, bagaimana pula tampangnya?" tanya In San.

"Yang datang pemuda dan pemudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Pakaiannya cukup perlente, agaknya keturunan dari orang berada," ternyata pemuda yang berpakaian perlente ini ringan tangan untuk mencari tahu diri Tan Ciok-sing berdua dia sudah menyogok 10 tahil perak kepada pemilik hotel ini.

Tiba-tiba Tan Ciok-sing ingat sesuatu tanyanya: "Apakah pemuda itu ada membawa sebatang seruling?"

"Betul," sahut pemilik hotel, "selama ini belum pernah kulihat seruling sebagus itu. Waktu bicara dia memang memegang dan mengelus serulingnya itu. Jadi sudah jelas, bahwa kedua orang itu adalah teman kalian bukan?"

"Belum lama berselang kami memang pernah melihatnya, tapi belum menjadi kawan karib.

Mereka tidak menyebut nama, apakah meninggalkan alamat? Supaya kami pergi menyambangi mereka?"

"Tadi bicaraku belum selesai, karena kalian belum kembali, mereka tampak agak kecewa. Pemuda itu pinjam pinsil dan minta kertas kepadaku, dia ada meninggalkan sepucuk surat. Aku tidak berani membukanya, mungkin dalam suratnya ada meninggalkan pesan."

Setelah menerima sampul surat Tan Ciok-sing berkata: "Baiklah, terima kasih akan bantuanmu melayani temanku. Kupikir besok saja aku balas menyambangi mereka, malam ini kami ingin tidur sepuasnya, jikalau ada orang mencari kami, jangan katakan bahwa aku ada disini," lalu dia persen sekeping uang perak nilainya kurang lebih 10 tahil.

Sekembali dalam kamar Tan Ciok-sing berkata: "Kedua orang itu, kemungkinan adalah dua orang terakhir dari delapan Pat-sian yang bertemu kita di tengah jalan kemarin."

In San mengangguk, katanya: "Betul, kedua orang itu pemuda pemudi, sang pemuda membawa seruling. Mungkin karena ingin menikmati petikan harpamu maka dia ingin berkenalan dengan kau, apa kau ingin menyambangi mereka?"

"Coba periksa dulu apa yang dia tulis dalam surat ini," demikian kata Tan Ciok-sing.

Waktu dia buka surat itu, di dalamnya menyatakan kekagumannya terhadap Tan Ciok-sing berdua serta mohon berkenalan, dan dijanjikan supaya tiga hari yang akan datang bertemu di Lian-hoa-hong bersama-sama menikmati matahari terbit. Surat ini tertanda nama Kek Lam-wi. Di bagian bawahnya ditambahkan pula pesan yang berbunyi: "Orang yang ingin saudara temui, di puncak Lian-hoa-hong akan anda temukan pula. Harap dimaklumi," setelah membaca tulisan tambahan ini, seketika Tan Ciok-sing melenggong.

"Lho, kenapa kau melongo malah?" tanya In San.

Segera Tan Ciok-sing menyerahkan surat itu padanya, katanya: "Lihatlah sendiri, bukankah amat aneh?"

"Em, gaya tulisannya memang bagus. Betul tidak, dia ingin bersahabat dengan kau."

"Aku sih tidak perhatikan tulisannya, yang kuherankan adalah dari mana dia bisa tahu siapa yang- akan kucari? Apa kau pernah mendengar nama Kek Lam-wi itu?"

In San geleng-geleng, katanya: "Waktu ayah masih hidup, banyak juga tokoh-tokoh silat yang pernah dia sebutkan padaku, tapi orang she Kek ini usianya kira-kira sebaya dengan kita, ayah pasti tak pernah memberi tahu, bagaimana aku tahu asal-usulnya. Tapi dari nada surat ini dapat disimpulkan bahwa dia sudah tahu siapa kau adanya, diapun tahu siapa orang yang hendak kau temui. Tapi aku duga yang dimaksud kalau bukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, pasti Tam Pa-kun. Apakah Lian-hoa-hong jauh dari sini?"

Lian-hoa-hong adalah gunung yang kenamaan di daerah Yang-siok, tak ubahnya Tok-siu-tong yang kenamaan di daerah Kwi-lin. Yang-siok tiada seratus li dari Kwi-lin, kuda lari cepat dapat ditempuh satu hari pulang pergi."

"Dari surat ini dapat kusimpulkan bahwa Lui Tayhiap dan Tam-siok-siok mungkin berada dan bertemu di Lian-hoa-hong, jadi bukan mengadakan pertemuan di Kwi-lin."

"Menurut pendapatmu, apakah suratnya ini dapat dipercaya?"

"'Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian yang kemarin kita temukan di tengah jalan itu, hal ini sudah dapat dipastikan. Bahwa dia mengundangmu ke Lian-hoa-hong, mungkin akan ada pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Jadi bolehlah diduga kalau It-cu-king-thian Lui Tayhiap dan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun pasti hadir dalam pertemuan besar ini."

"Betul, Pat-sian yang kita temui di tengah jalan itu semuanya adalah jago-jago silat yang jarang kita temui di Kangouw, maka dapatlah dibayangkan bahwa tuan rumahnya pasti adalah tokoh besar yang tersohor pula. Hanya tokoh besar yang mampu mengerahkan peradatan Pat-sian-ing-khek baru setimpal mengundang kehadiran Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap dalam pertemuan besar yang akan datang itu."

"Bukan mustahil Lui Tayhiap adalah tuan rumahnya."

"Baiklah, undangan ini akan kuterima dan aku pasti hadir dalam pertemuan itu. Untung Yang-siok tidak jauh dari sini, hari terakhir baru kita berangkat juga belum terlambat. Malam ini kita tetap bekerja sesuai rencana semula, menyelidiki siapakah yang membongkar puing-puing rumahku dulu. Mumpung masih ada sisa waktu dua jam, marilah kita menghimpun semangat dan tenaga,"

In San segera kembali ke kamarnya. Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, memejam mata memusatkan pikiran menghimpun hawa murni, mulailah dia bersamadi, kira-kira menjelang kentongan ketiga dengan lirih dia menjentik ke arah dinding, kamar mereka berdampingan, segera In San mempersiapkan diri lalu membuka jendela melompat keluar. Mereka memiliki ginkang tinggi tanpa diketahui siapapun cepat sekali mereka sudah meninggalkan hotel.

Kira-kira setengah jam kemudian mereka sudah tiba di puing-puing rumah Tan Ciok-sing dulu, cuaca masih gelap suasana sunyi senyap yang terdengar hanya suara jangkrik.

"Agaknya tiada orang pernah kemari," bisik In San.

"Memangnya kita umpama menjaga lobang menunggu kelinci, belum tentu kelinci liar itu bakal datang malam ini, walau harapan nihil umpamanya kita tetap menunggu dengan sabar."

"Ya, marilah kita cari tempat untuk sembunyi."

Untung banyak batu besar dimana-mana, kebetulan tidak jauh dari puing-puing rumah Tan Ciok-sing terdapat dua batu besar seperti pasangan orang yang lagi berpelukan, di tengah kedua batu ini ada celah-celah yang kebetulan cukup untuk sembunyi.

Menunggu sesaat lamanya, In San berbisik di pinggir telinga: "Aih, agaknya ada orang datang."

"Jangan berisik, saksikan saja siapa yang kemari."

Tak lama kemudian muncul sesosok bayangan orang di tengah puing-puing sana. Cahaya bulan sabit remang-remang sehingga dari kejauhan sukar dibedakan bentuk dan tampangnya, tapi orang ini sudah cukup dikenal oleh Tan Ciok-sing, waktu dia menegas segera dia kenal siapa orang itu. Setelah tahu siapa orang yang datang ini, tanpa merasa dia melengak heran dan kaget.

"Siapa?" tanya In San berbisik. Agaknya dia merasakan sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang agak aneh, seperti sudah tahu siapa orang datang ini.

Tan Ciok-sing menjawab dengan bisikan pula: "It-cu-king-thian Lui Tin-gak."

Bahwa yang datang adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak, bukan saja Tan Ciok-sing tak habis mengerti, In S^n sendiri juga tidak pernah menduganya. Tanyanya lirih: "Apakah perlu menemuinya?"

"Jangan terburu nafsu. Lihat dulu apa kerjanya disini?"

Sebetulnya rasa curiga Tan Ciok-sing terhadap It-cu-king-thian sudah tawar, tapi dia tidak menduga yang datang kali ini adalah dia, sesaat dia jadi ragu-ragu curiganya timbul lagi dan malah lebih tebal.

"Khu Ti pernah bilang, bahwa It-cu-king-thian gemar belajar silat, saking getolnya umpama orang gila saja layaknya. Semasa mudanya dia punya keinginan mengangkat guru kepada Thio Tayhiap. Jelas dia tidak tahu kalau buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap dan

Kiam-boh Thio Tayhiap itu sudah diserahkan kepadaku..." tengah dia menduga-duga, dilihatnya Lui Tin-gak sudah memegang sebuah sekop dan sedang menggali tanah di tengah puing-puing rumahnya.

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Nah, konangan sekarang. It-cu-king-thian memang laki-laki munafik, pendekar palsu, manusia rendah. Apakah benar dia sekongkol dengan Siang Po-san mencelakai kakek belum dapat kubuktikan tapi bahwa dia mengincar ilmu golok dan Kiam-boh itu kini sudah menjadi kenyataan, bukankah perbuatannya ini terlalu hina dan rendah. Kalau dia betul manusia yang bermartabat rendah, bukan mustahil bahwa dia pula yang mencelakai kakek," tapi sebelum dia berkeputusan tindakan apa yang harus dia lakukan, tiba-tiba dilihatnya It-cu-king-thian sudah menghentikan kerjanya.

Di keremangan cahaya rembulan, tampak It-cu-king-thian sedang berjongkok seperti mengeduk tanah atau mengorek-ngorek dengan tangannya.

In San berbisik di pinggir telinga Ciok-sing: "Tempat itu tadi pernah kita gali, mungkin dia sudah tahu bila kita sudah pernah kemari. Aneh kelakuannya malam ini..."

"Apa sulitnya menduga perbuatan ini. Jelas hendak mencari buku pelajaran ilmu golok dan Kiam-boh itu."

"Umpama benar, kukira di belakang persoalan pasti ada sebab musababnya. Aku yakin It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti takkan sudi mengincar barang orang lain."

"Apa, kau masih percaya kalau dia orang baik?"

"Tak usah kita main teka teki sendiri. Saksikan saja apa yang akan dia lakukan lebih lanjut?"

Tampak It-cu-king-thian sudah berdiri lagi, mulutnya seperti menggumam: "Memangnya aku kuatir kalian tidak akan datang," lalu dia menengadah seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu suara.

Tan Ciok-sing kaget, batinnya: "Siapa yang dia maksud dengan 'kalian'? Apakah dia sudah tahu kalau aku bersama adik San berada di Kwi-lin. Atau dia sudah menemukan jejak dan percakapan kami?"

Mendadak It-cu-king-thian Lui Tin-gak berlari keluar dari lingkungan puing-puing Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya sudah diketahui orang cepat dia bersiaga memegang gagang pedang. Tapi In San berbisik: "Jangan sembrono."

Ternyata sekali berkelebat It-cu-king-thian menyelinap kesana sembunyi di belakang sebuah batu besar, letak batu besar ini tidak jauh dari puing-puing rumah, jaraknya hanya beberapa tombak dari tempat persembunyian Tan dan In.

Sesaat lagi baru Tan Ciok-sing mendengar suara langkah orang, yang datang adalah dua orang berpakaian hitam, tangan masing-masing menjinjing sebuah pacul dan sekop.

Baru sekaraug Tan Ciok-sing mengerti, ternyata It-cu-king-thian mendengar kedatangan kedua orang ini, jadi "kalian" yang dikatakan tadi yang dimaksud adalah kedua orang ini. Tak urung Ciok-sing merasa heran dan menyesal pula: "Setelah kedua orang ini dekat baru aku tahu kedatangan mereka, jelas kepandaian dalam hal ini aku masih kalah jauh dibanding It-cu-king-thian. Entah siapa gerangan kedua orang ini? Dari gelagatnya, dia bukan komplotan It-cu-king-thian."

Di saat dia membatin, dilihatnya kedua orang baju hitam itu sudah melangkah ke arah puing-puing tanpa berjanji keduanya sama bersuara kaget dan heran. "Dilihat keadaan ini agaknya barusan ada orang sudah datang," kata seorang.

"Kita harus hati-hati, entah kenapa, beberapa hari ini jago-jago silat kosen dari berbagai tempat berbondong-bondong datang ke Kwi-lin. Di antaranya ada Wi-cui-hi-kiau, Siang-kang-siang-hiap, Sek-in-jin-tok dan Ui-yap Tojin, malah ada juga yang bilang It-cu-king-thian juga datang," demikian kata orang yang lain.

"Wah, jadi jago-jago kosen dari aliran sesat dan golongan lurus sama tumplek kemari."

"Maka itu, kita harus hati-hati. Peduli yang mana diantara mereka, semua lebih hebat dari pada kita."

"Justru karena itu pula kita harus bekerja cepat menemukan pusaka itu. Kalau sampai orang lain tahu akan tempat ini, celakalah kita."

Kedua orang ini segera mengerjakan pacul dan sekop mulai menggali tanah di dua tempat, sembari kerja mulut mereka masih terus mengoceh seperti berunding entah apa. Mendadak It-cu-king-thian melompat keluar dan anjlok di depan mereka. Karuan kedua orang itu berjingkrak kaget sambil menyusut mundur. "Siapa, siapa kau?" pacul dan sekop sudah diangkat tapi tidak berani turun tangan.

"Aku Lui Tin-gak, Tan Khim-ang adalah teman baikku, untuk apa kalian gali tanah dan membongkar puing-puing disini? Lekas katakan," demikian bentak Lui Tin-gak.

"Hah, kiranya kau orang tua adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap, sungguh kami kurang hormat. Kami dari Hek-hou-pang (serikat macan hitam), dengan pihak Tok-liong-pang kami ada sedikit hubungan."

"Aku tidak peduli kalian dari

Hek-hou-pang atau Tok-liong-pang, tiada tempo aku ngobrol dengan kalian, Lekas jawab pertanyaanku."

"Lui Tayhiap, bolehkah kami tanya untuk apa kau kemari? Bukan mustahil tujuan kita..."

It-cu-king-thian mendengus, "kalian barang macam apa, berani mengurus aku? Sekarang aku yang tanya kalian, lekas kalian jawab, barang apa yang kalian gali? Siapa pula yang menjadi tulang punggung kalian?"

"Baik, baik, biar kujelaskan seluruhnya Lui Tayhiap, harap kau bersabar mendengar laporan kami," kedua orang ini bersikap munduk-munduk supaya It cu-king-thian tidak bersiaga. Mendadak keduanya angkat pacul dan sekop masing-masing terus mengepruk ke batok kepala lt-cu-king-thian. Bukan lantaran mereka tidak takut terhadap It-cu-king-thian, tapi sebaliknya bila mereka bicara sejujurnya, jiwa mereka malah celaka di tangan It-cu-king-thian, maka mereka nekat bertindak secara membokong, syukur berhasil membunuh It-cu-king-thian, nama mereka akan lekas tersiar dan diagulkan di dunia persilatan. Maka terdengarlah suara "Trang" yang keras sekali It-cu-king-thian menggentak kedua tangan, pacul dan sekop itu seketika tertangkis terbang ke udara.

Gentakan keras kedua lengan It-cu-king-thian ternyata bukan hanya menyebabkan pacul dan sekop itu terbang ke udara, tapi kedua laki-laki itupun seperti digenjot dengan martil dada masing-masing, darah kontan menyembur dari mulutnya dengan menjerit mereka bergulingan di tanah.

Berdebar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan dari tempat sembunyinya, pikirnya: "It-cu-king-thian tidak bernama kosong. Entah dia kawan atau lawan?" dia tahu meski dirinya sudah berhasil meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, dirinya mungkin masih belum mampu mengalahkan dia.

Pada saat itulah, mendadak tampak pula sesosok bayangan orang laksana seekor burung besar melejit turun ke tengah puing-puing, gerakan tubuhnya gesit dan tangkas, dibanding It-cu-king-thian tadi mungkin lebih dari pada kurang.

Kedua laki-laki dari Hek-hou-pang seperti mendapat bintang penolong, lekas mereka merangkak bangun terus memburu kearah orang itu seraya berteriak bersama: "Ciang-suhu, tolong."

Pendatang ini bukan lain adalah jago nomor dua dalam kalangan Gi-lim-kun, sekarang terima menjadi Cong-kiau-thau di rumah keluarga Liong yaitu Ciang Thi-hu adanya.

Agaknya It-cu-king-thian tidak mengenalnya, tanpa berhenti dia melangkah maju sambil ulur tangan hendak mencengkram kedua laki-laki itu, bentaknya: "Orang lain minggir saja, kalau tidak jangan salahkan kalau aku bertindak kasar."

Ciang Thi-hu terloroh-loroh, katanya: "Kau hendak membunuh menutup mulut mereka?" di tengah loroh tawanya kedua telapak tangan terbalik terus menghantam, empat telapak tangan beradu menimbulkan benturan keras laksana guntur menggelegar, Tan Ciok-sing berdua yang sembunyi puluhan langkah di sanapun merasa pekak telinganya.

Agaknya kekuatan kedua pihak setanding, badan It-cu-king-thian tampak limbung dua kali. Sementara Ciang Thi-hu terdorong mundur tiga langkah baru bisa berdiri tegak.

"Toako," kata In San. "apa pula yang masih kau ragukan? Kita harus keluar membantu It-cu-king-thian."

Tan Ciok-sing masih bimbang, katanya lirih: "It-cu-king-thian tidak akan kalah, kita saksikan saja nanti bertindak menurut gelagat," tak nyana dalam sekejap itu situasi di depan mata ternyata mendadak berubah.

Kedua orang tadi sembunyi di belakang Ciang Thi-hu, pikirnya ada tameng untuk sembunyi, tak kira Ciang Thi-hu mendadak mengayun tangan ke belakang, kedua laki-laki itu dikepruknya mati dengan kepala pecah. Jeritan yang menyayat hati menjelang ajal kedua orang ini membuat In San merinding dan mengkirik.

"Bagus," bentak It-cu-king-thian, "kiranya kau hendak menutup mulut mereka. Siapa kau?"

"Lui Tayhiap, aku bukan turun tangan membantu kau," ucap Siang Thi-hu, "yang terang kedua orang ini sudah terluka dalam oleh getaran tenaga dalammu, jiwanya takkan tertolong lagi. Kenapa kau biarkan mereka tersiksa lebih lama?"

"Keji juga caramu ini," jengek It-cu-king-thian, "orang she Lui masih ingin menjajalmu," di tengah deru angin pukulannya, debu dan pasir beterbangan. Dalam sekejap kedua pihak telah mengadu tiga kali pukulan, tapi akhir pukulan tidak bentrok secara keras karena Ciang Thi-hu menghindar sambil miringkan tubuh, sehingga dua gelombang pukulan berbareng menyapu ke satu arah. "Biang" batu besar di sebelah kanan sana terpukul remuk.

Baru saja In San buka mulut mau mendesak Tan Ciok-sing keluar membantu, ternyata pertempuran tiba-tiba berhenti. Ciang Thi-hu tampak melompat jauh kesana sambil tertawa tergelak-gelak.

"Apa yang kau tawakan-'' hardik It-cu-king-thian.

"Sudah lama kudengai kebesaran nama It-cu-king-thian yang mahir main golok dan ilmu pukulan telapak tangan, beruntung hari ini bersua disini, kenyataan memang tidak bernama kosong. Tapi kalau kau ingin mengadu pukulan dengan aku, kukira kau kurang pandai memilih lawan."

It-cu-king-thian mendengus, "kau kira aku tidak mampu mengalahkan kau?"

"Bukan begitu maksudku. Kita sudah mengadu empat pukulan, kukira kau sudah tahu siapa diriku bukan? Kalau pertandingan dilanjutkan, mungkin aku bukan tandinganmu. tapi untuk mengalahkan aku, sedikitnya memakan tiga ratusan jurus. Bukankah dua hari lagi kau hadir dalam pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Dalam pertemuan itu mungkin ada kejadian yang akan mempersulit dirimu. Tapi terhadapmu aku tidak bermaksud jahat, kenapa kau harus menguras tenagamu kepadaku?"

Sekilas It-cu-king-thian melengak, katanya: "Gun-goan-it-cu-kang yang tuan yakinkan memang jarang kusaksikan, kau terlalu sungkan, bila bertempur tiga ratus jurus mungkin aku yang kau kalahkan malah. Pada jaman ini orang yang memiliki Gun-goan-it-cu-kang sehebat ini hanya ada seorang, jadi kau inilah Ciang Thi-hu salah satu jagoan kosen dari Gi-lim-kun yang sejajar dengan Khu Ti pada dua puluh tahun yang lalu."

"Terima kasih akan pujian Lui Tayhiap, sebetulnya tak berani aku menerimanya. Sekarang boleh kita bicara secara santai bukan? Terus terang saja, dua puluh tahun yang lalu, aku sudah ingin berkenalan dengan kau, sayang tiada kesempatan."

"Terima kasih akan penghargaanmu, soal apa yang ingin kau bicarakan dengan aku?"

In San heran katanya: "Kenapa Lui Tayhiap kelihatan semakin sungkan?"

"Tayhiap apa, kukira mereka memangnya sekomplotan," demikian jengek Tan Ciok-sing.

In San geleng-geleng, agaknya dia masih tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sekomplotan dengan Ciang Thi-hu, tapi kenyataan di depan mata ini sukar pula untuk dijelaskan. Didengarnya Ciang Thi-hu berkata: "Kau pasti curiga untuk apa aku datang kemari?"

"Betul," ucap It-cu-king-thian, "aku memang ingin tanya kepadamu?"

"Lui Tayhiap, kau sendiri apa pula kerja disini?"

"Kau sudah tahu sengaja tanya?"

"Jadi Lui Tayhiap mengaku akan maksud kemari, setujuan dengan kedua orang Hek-hou-pang ini?"

"Kaupun punya maksud yang sama bukan?"

"Kau keliru Lui Tayhiap," ujar Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak. "Agaknya kau belum tahu."

"Tahu apa?" tanya It-cu-king-thian tertegun.

"Ilmu pedang Thio Tan-hong sudah ada pemiliknya, tapi kau masih main gali disini, umpama setiap jengkal tanah disini kau keduk juga tiada gunanya."

"Siapa yang memilikinya?" Tanya It-cu-king-thian kaget.

"Seorang pemuda berusia likuran tahun."

"Pemuda berusia likuran tahun. Apakah dia she Tan?"

"Aku yakin kau sudah tahu siapa dia. Tapi akupun baru dua hari yang lalu tahu bahwa dia adalah cucu dari sahabatmu."

"Darimana kau tahu kalau dia yang memilikinya?"

"Kira-kira belasan hari yang lalu, aku pernah bergebrak dengan dia."

"O, jadi kedatanganmu ke Kwi-lin kali ini, tujuannya hendak mencari anak itu?"

"Bukan seluruhnya lantaran dia,"

"O ya, kabarnya kau memperoleh banyak keuntungan dari Liong-tayjin."

Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak, tawa yang puas dan bangga, tapi dia tidak menjawab pertanyaan It-cu-king-thian, katanya sesaat kemudian: "Lui Tayhiap, kau denganku bukan kawan dari segolongan, tapi ada sebuah urusan, bila kita bisa kerja sama secara jujur, pasti menguntungkan untuk kedua pihak. Apa kau sudi membicarakan soal itu denganku?"

"Baik, silakan menjelaskan."

"Sudah lama aku dengar betapa nikmatnya Sam-hoa-cui buatan Kwi-lin, sudikah kau mentraktirku

"O ya, disini bukan tempat bicara. Kau datang ke Kwi-lin sebagai tuan rumah adalah pantas aku menjamumu, boleh silahkan kau ajak teman-temanmu datang ke tempatku."

"Lui Tayhiap, kau memang cerdik, sekali tebak lantas tahu bahwa persoalan ini memang masih perlu minta bantuan teman yang lain. Baiklah, mari sekarang kita berangkat."

Setelah bayangan mereka tidak kelihatan baru Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Tahu orangnya tahu mukanya tidak tahu hatinya, pepatah ini memang betul. Adik San, coba katakan apa salah aku mencurigai It-cu-king-thian!"

"Ya, aku masih tidak percaya bahwa Lui Tayhiap sebobrok itu, mustahil ada maksud-maksud tertentu yang tidak kita ketahui." "Maksud apa?"

"Aku tak bisa menjelaskan. Tapi dari nada pembicaraan Ciang Thi-hu tadi sudah terbukti bahwa Lui Tayhiap hakikatnya belum pernah janji atau sekongkol dengan keluarga Liong. Bukankah dia bilang dia dan Lui Tayhiap, bukan kawan dari segolongan?"

"Tapi mereka hendak berintrik untuk mencelakai aku."

"Lho, merekakan tidak bicara begitu?"

"Urusan dagang apa yang Memangnya masih ada persoalan lain?"

"Walau aku saksikan sendiri dan mendengar percakapan mereka, kulihat mereka pergi bersama pula, tapi aku tak mau percaya bahwa It-cu-king-thian sudi berkomplot dengan Ciang Thi-hu untuk mencelakai kita. Untung masih ada waktu tiga hari, urusan ini bakal dibereskan."

"Maksudmu pertemuan di Lian-hoa-hong yang akan diadakan tiga hari lagi itu?"

"Keng Lam-wi bilang, kau akan bertemu dengan orang yang ingin kau temui di Lian-hoa-hong, aku • yakin orang yang dimaksud adalah It-cu-king-thian, mungkin paman Tam juga disana. Boleh nanti kau langsung tanya padanya."

Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Ya, bagaimana juga baik dan bajik hati kita, apa salahnya kalau kita waspada dan siaga terhadap siapapun."

Sebetulnya In San mempercayai It-cu-king-thian, soalnya dia sendiri juga tidak bisa memberi penjelasan dan memecahkan kejadian yang baru saja disaksikan, apa lagi Tan Ciok-sing teramat kukuh akan pendapatnya, mau tidak mau keyakinannya menjadi goyah. Sesaat kemudian baru dia bersuara: "Lalu apakah kita harus menghadiri pertemuan Lian-hoa-hong itu?"

"Hadir sih harus. Tapi kita harus lebih hati-hati. Bagaimana Kek Lam-wi sebetulnya, orang macam apa dia sebetulnya, hakikatnya masih terlalu asing bagi kita. Walau sepak terjangnya kelihatan lebih mendekati kaum pendekar."

In San termenung beberapa saat lamanya, katanya kemudian: "Kau kuatir bila Kek Lam-wi kemungkinan sekomplotan dengan It-cu-king-thian?"

"Semoga tidak demikian."

"Bila betul mereka sekomplotan, bukankah kedatangan kita kesana berarti masuk perangkapnya?"

"Memang aku sedang berpikir dan mencari akal cara bagaimana kita harus memecahkan persoalan rumit ini."

In San tidak berani mengganggunya lagi, setelah menempuh perjalanan beberapa lamanya, tanpa terasa mereka sudah tiba di Hoa-kio, tak lama lagi mereka sudah akan tiba di hotel, baru In San bertanya: "Sudah kau temukan caranya."

"Besok saja kujelaskan kepadamu," sahut Tan Ciok-sing tertawa.

Kontan In San merengut, dengusnya: "Em, jual mahal segala?"

"Bukan jual mahal, apa akalku dapat terlaksana, harus kutunggu sampai besok pagi baru bisa kuketahui."

Tanpa diketahui siapapun mereka kembali ke kamar masing-masing, saat mana sudah menjelang kentongan kelima. In San langsung tidur, tapi rasanya hanya sekejap saja, tahu-tahu dia waktu siuman mentari sudah menyorot masuk lewat jendela.

Setelah membersihkan badan dan berdandan In San lalu keluar dan mengetok pintu kamar Tan Ciok-sing, tapi tiada penyahutan. Lekas pemilik hotel sudah lari mendatangi, katanya dengan tertawa: "Sejak pagi-pagi tadi Tan-siangkong sudah keluar, katanya sebentar dia akan kembali. Dia bilang suruh kau sarapan pagi lebih dulu."

Setelah makan In San masuk kamar dan menunggu dengan sabar, kira-kira setengah jam kemudian baru Tan Ciok-sing kembali.

"Heh, kemana kau?" tanya In San.

"Aku pergi menyewa perahu, sebentar kita berangkat ke Yang-siok, rekening hotel sudah kulunasi seluruhnya. Lekas kau bereskan buntalanmu."

"Segera berangkat? Kenapa tidak lewat jalan darat?" tanya In San heran.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dari Kwi-lin ke Yang-siok, perahu berlaju mengikuti arus air, sepanjang perjalanan kau dapat menikmati pemandangan alam nan permai sepuas hatimu. Kalau naik kuda lewat jalan darat, bukan saja kecapaian, tak mungkin kau menikmati kehidupan tentram sepanjang jalan."

"Jangan kau kira aku ini anak dogol yang ceroboh, aku tahu maksudmu," demikian ucap In San. "Kek Lam-wi mengundangmu bertemu di Lian-hoa-hong tiga hari lagi, kalau kita lewat jalan darat, kemungkinan jejak kita dikuntit kaki tangannya. Kau kuatir akan hal ini bukan?"

"Otakmu memang encer, sekali tebak kena sasaran. Kalau kita naik perahu lebih dini, mungkin mereka tidak akan menduga. Apalagi perahu bisa langsung tiba di bawah Lian-hoa-hong. Waktunya sudah kuperhitungkan, kira-kira hari ketiga malam kita akan tiba di tempat tujuan. Kita bisa naik ke gunung tanpa diketahui siapapun."

"Kuda kita bagaimana?" tanya In San.

"Tinggalkan saja di Kwi-lin."

"Titipkan kepada pemilik hotel? Berani kau mempercayainya?"

Lirih suara Tan Ciok-sing: "Pemilik perahu adalah teman karibku sejak kecil, waktu anak-anak dulu sering kami bermain di sungai menangkap ikan," lalu dengan tertawa dia menambahkan, "waktu melihatku tadi semula dia masih ragu-ragu tapi rasanya seperti sudah kenal, akhirnya setelah aku memanggil dengan nama kecilnya, baru dia berjingkrak girang. Temanku ini seratus persen dapat dipercaya."

"Jadi kedua ekor kuda kita hendak kau titipkan ke rumahnya? Kuda itu kita pinjam dari Kanglam Sianghiap, jikalau hilang bagaimana?"

"Kita harus berani bertaruh. Bicara terjadi sesuatu, umpama kita ke Yang-siok naik kuda, bukan mustahil persoalan yang akan kita hadapi di tengah jalan mungkin lebih banyak dan ruwet," akhirnya In San setuju saja, maka Tan Ciok-sing lantas mengajaknya keluar. Setiba di bawah Hoa-kio, temannya tukang perahu itu memang sudah menunggu mereka.

Melihat In San berpakaian sebagus dan berwajah setampan ini, tukang perahu kelihatan heran dan kesima, tapi dia cukup cerdik, apalagi tadi Tan Ciok-sing sudah jelaskan padanya, maka dia tidak banyak tanya, sikapnya wajar, sewajar dia melayani tamu-tamu yang lain. Tan Ciok-sing serahkan kedua ekor kudanya kepada sanak keluarga tukang perahu untuk dibawa pulang, segera mereka naik ke perahu terus berangkat.

Setelah perahu berlaju di tengah sungai si tukang perahu baru bersuara dengan tertawa: "Tan-toako, sudah beberapa tahun kita berpisah, kini kau sudah kaya, selama beberapa tahun ini kemana dan apa saja usahamu? Baru hari ini kau pulang ke kampung halaman?"

"Usaha apa? Pulang dengan kaya segala? Selama beberapa tahun ini aku hanya mengandal harpaku untuk mencari sesuap nasi di Kangouw. Siau-cu-cu, terus terang, aku amat kagum dan kepingin hidup setenang dan setentram kau. Kau memiliki perahu sendiri, kerja tak usah diperintah orang dan tidak perlu jengkel dan malu dimarahi orang, mencari sesuap nasi secara halal berdasar cucuran keringat sendiri. Berkecimpung di Kangouw, siksa deritanya luar biasa."

"Betul juga omonganmu, aku sih mengandal gunung dan air disini untuk mencari sesuap nasi. Ada saja ikan atau udang yang dapat kutangkap di sungai, meski agak sengsara, namun kita tetap hidup sederhana dan bersahaja, Siau-ciok-cu, tahun itu waktu rumahmu habis terbakar, kabarnya kakekmu meninggal, kucari kau kemana-mana, aku tidak tahu akan mati hidupmu, betapa sedih hatiku. Syukurlah hari ini mendadak kau muncul, legalah hatiku. Siau-ciok-cu, peduli kau berduit atau kantongmu kempes, sikapku terhadapmu tetap seperti dahulu. Kembalilah keharibaan kampung halaman, kita bersaudara tetap bisa hidup berdampingan menangkap ikan di sungai, mencari kayu bakar di gunung, bukankah lebih baik? Akupun ingin belajar memetik harpa padamu," katanya diucapkan dengan tulus, tanpa terasa berkaca-kaca kelopak mata Tan Ciok-sing haru.

"Bukankah sekarang aku sudah kembali? Kelak aku memang hendak membangun pula rumahku itu, seperti kakek untuk selamanya aku akan hidup di bawah Cit-sing-giam. Bukan aku saja yang akan menetap seumur hidup disini, temanku ini pun akan menemaniku tinggal disini selamanya."

"Apa betul? Em, siapakah nama besar temanmu ini, kenapa tidak kau perkenalkan padaku?" ujar tukang perahu.

In San segera menyebut sebuah nama palsu katanya: "Sudah lama aku kepingin menikmati panorama nan indah dan molek di desamu ini. Aku memang ingin menetap di Kwi-lin saja. Untuk itu aku harus pulang dulu ke desa baru akan kemari lagi."

Tukang perahu tertawa, katanya: "Baik juga kau nikmati dulu pemandangan sepanjang Kwi-lin ke Yang-siok ini, yakin kau akan lebih mantap tinggal disini. Kau adalah teman Siau-ciok-cu, maka aku amat senang menyambut kedatanganmu."

"Siau-ciok-cu (si krikil cilik), em, Tan-toako baru sekarang aku tahu akan nama kecilmu," demikian kelakar In San.

"Sejak kecil dengan Tan-toako kami saling memanggil nama kecil. Dia bernama Tan Ciok-sing, maka aku memanggilnya Siau-ciok-cu. Namaku Lauw Tui-cu, maka dia memanggilku Siau-cu-cu (si jagak cilik)."

"Siau-cu-cu," tukas Tan Ciok-sing, "beberapa hari ini adakah pelancongan dari luar daerah yang menyewa perahumu pergi Yang-siok?"

"Ya, kemarin dulu ada beberapa orang berlogat utara hendak menyewa perahuku, jumlah mereka terlalu banyak, perahu kecil, akhirnya mereka menyewa perahu Hou-losam."

"Di Yang-siok adakah tokoh besar yang diagungkan? Maksudku orang ternama seperti It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan lain-lain."

"Betul, kini kuingat," ujar Siau-cu-cu. "Di Yang-siok memang ada seorang gagah yang kaya raya, kabarnya dalam gedungnya memelihara banyak busu, kepandaian kungfunya sendiri juga tinggi. Memang namanya tidak tersohor sebanding Lui Tayhiap, tapi daerah sekitarnya dia cukup terkenal dan disegani. Kabarnya beberapa hari lagi dia akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60, bukan mustahil tamu-tamu luar daerah itu semua hendak memberi selamat kepadanya."

"Siapakah orang itu? Kok belum pernah kudengar adanya orang gagah macam itu."

"Orang itu she Nyo bernama Hou Hu. Kabarnya rumahnya berada di atas Bik-lian-hong. Dua tahun terakhir ini aku sering ke Yang-siok baru kudengar perihal dia."

Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir: "Belum pernah kudengar nama Nyo Hou-hu di kalangan Kangouw, mungkin hanya raja tanah di sekitar Yang-siok saja? Apakah pantas dia mengerahkan delapan dewa menyambut tamu segala? Mungkin aku masih cetek pengalaman, setelah tiba di Yang¬ siok akan kucari tahu saja," lalu dia bertanya: "Hari ini adakah tamu yang menuju ke Yang-siok?"

"Sejak kemarin sudah tiada tamu yang menyewa perahu ke Yang-siok. Kau kan tahu, untuk sampai ke Yang-siok, naik perahu memerlukan waktu tiga hari dua malam, jauh lebih lambat dari jalan darat. Bagi yang suka menikmati pemandangan alam baru naik perahu dan mereka berangkat lebih dini, kalau sekarang baru berangkat, naik perahu lagi, dia tidak akan sempat menghadiri perayaan hari ulang tahun Nyo-toaya."

Seperti ingat sesuatu tiba-tiba tukang perahu menambahkan: "Tadi kau menyinggung It-cu-king-thian Lui Tin-gak, kini aku baru ingat. Bukankah kakekmu dulu sahabatnya? Setelah rumahmu terbakar habis dia pernah datang mencari tahu duduk persoalannya."

"Lho, kabarnya It-cu-king-thian juga menghilang pada tahun itu bukan?" tanya Ciok-sing.

"Memangnya, hal itu memang agak aneh, malam kedua setelah rumahmu terbakar, rumah Lui Tayhiap juga terbakar habis. Sejak itu tak pernah ada orang melihat Lui Tayhiap pula."

"Kapan dia mencari tahu kepada kalian?"

"Hari ketiga setelah rumah keluargamu terbakar habis. Tapi bukan Lui Tayhiap sendiri yang datang, tapi seorang tua pesuruh yang mencari tahu kalian kakek dan cucu."

"Dia tidak mencari majikan sendiri malah perhatikan kami, bukankah aneh."

"Lui Tayhiap dijuluki It-cu-king-thian, apa makna julukannya itu, memangnya kau tidak tahu?"

"Kakek pernah menjelaskan kepadaku, julukannya itu mengandung dua arti. Pertama diibaratkan Tok-siu-hong di Kwi-lin, sebagai sebuah tonggak di langit selatan. Kedua, dia suka melindungi teman, umpama tonggak yang menyanggah langit, melindungi umat manusia yang menderita kesukaran."

"Lho, kau sudah tahu, kenapa dibuat heran, Lui Tayhiap adalah laki-laki sejati, seorang kawan setia, menurut cerita orang tua pesuruh itu, dua hari setelah rumahmu terbakar, sebetulnya dia sendiri mau datang memeriksa. Tapi setelah lewat lohor baru dia memperoleh berita, kebetulan rumahnya kedatangan seorang teman lama yang sudah sekian tahun tak pernah ketemu, maka dia tidak sempat meluangkan waktu. Maka berpesan kepada pesuruh tua itu untuk menyelidiki persoalan dan mencari tahu jejak kalian kakek dan cucu. Malam itu juga pesuruh tua itu meninggalkan rumah keluarga Lui dan tinggal di rumah familinya di pintu timur, besok paginya baru akan ke Cit-sing-giam memeriksa rumah dan mencari tahu kalian. Tak nyana malam itu juga rumah keluarga Lui kebakaran, beruntung pesuruh tua ini terhindar dari petaka ini tapi dia sendiri juga tidak tahu nasib majikannya, karena kejadian amat mendadak, maka dia terlambat bertindak hingga hari ketiga dia sempat mencari kalian dan menyelidiki kejadian itu."

"Pesuruh tua itu bilang, perduli majikannya masih hidup atau sudah mati, dia harus tetap melaksanakan pesannya itu. Pertama harus mendapat tahu nasib sebenarnya kalian kakek dan cucu, kalau masih hidup harus ditampung, kalau sudah mati harus kebumikan atau diperabukan sesuai keinginan sang majikan. Sayang dia mencari tahu kepadaku, aku sendiri tahu apa. Ai, Lui Tayhiap setia kawan dan berani berkorban demi kawan, walau kejadian itu tidak terlalu mengherankan bagi aku, tapi aku ikut menyesal dan gegetun sekali."

Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Bahwa dia begitu memperhatikan kakek dan aku, akupun merasa heran dan terharu, entah bagaimana aku harus membalas kebaikannya."

Agaknya tukang perahu itu tidak memperhatikan sikap nada ganjil Tan Ciok-sing, katanya lebih lanjut:

"Akhir-akhir ini kudengar berita angin, katanya Lui Tayhiap masih hidup, berapa tahun yang lalu setelah rumahnya kebakaran dia lantas ngungsi ke lain tempat, kini sudah kembali. Entah betul atau tidak... semoga Thian melindungi umatnya yang sosial dan dermawan."

Hari kedua perahu sudah keluar dari daerah Ling-yang dan mulai masuk keresidenan Yang-siok. Setelah melewati dua selat, tampak puncak gunung menjulang tinggi di kejauhan sana. Menuding sebuah puncak yang bentuknya seperti sebuah mahkota tukang perahu berkata: "Itulah puncak pertama yang paling ternama di Yang-siok bernama Kwan-wan (karang mahkota)."

Keluar dari Kwan-wan mereka memasuki daerah Siau-san (gunung sulam), sesuai namanya puncak inipun terdiri dari batu karang yang beraneka ragam bentuk dan warnanya, coraknya seperti sebuah kain sulaman yang memiliki warna-warni yang mempesona, tak ubahnya laksana sebuah lukisan alam nan permai.

Tiba-tiba tukang perahu berkata: "Siau-ciok-cu sudikah kau memetik harpamu, petiklah sebuah lagu untukku? Sejak kecil aku suka mendengar petikan harpa, di alam nan permai dengan hawa nan sejuk ini, betapa nikmatnya mendengarkan himbauan musik yang santai."

Memang Tan Ciok-sing sendiri juga menjadi gatal jari-jarinya, segera dia turunkan harpanya serta mulai memetikkan sebuah lagu tamasya. In San dan tukang perahu berdiri pesona mendengar perpaduan irama musik dan gemericiknya air sungai. Begitu satu lagu selesai dipetik tukang perahu segera tepuk tangan sambil memuji: "Siau-ciok-cu hebat sekali, begitu bagus petikan harpamu kukira tidak kalah dari kakekmu dulu."

Tengah mereka bicara, tiba-tiba dari tempat yang amat jauh sayup-sayup terdengar sebuah suitan panjang, suitan yang memuji oleh himbauan irama harpa yang indah ini. Diam-diam Tan Ciok-sing kaget, hatinyapun amat menyesal.

"Eh, Siau-ciok-cu, kenapa kau? Sikapmu kelihatan agak janggal?" tanya tukang perahu.

"Tidak apa. Siau-cu-cu, apa kau mendengar suara suitan?"

"Aku tidak perhatikan. Mungkin kau salah dengar."

"Tidak mungkin salah, yang kudengar betul adalah suitan manusia, bukan suara air." Tan Ciok-sing tidak tahu dari arah puncak mana datangnya suitan tadi, maka jaraknyapun sukar diukur, apakah orang yang bersuit memiliki lwekang tinggi juga sukar diduga.

Maka diapun tidak tanya lebih lanjut.

Hari itu mereka berlayar tanpa mengalami sesuatu kejadian, hanya perasaan Tan Ciok-sing agak terganggu oleh suitan tadi, sehingga tiada seleranya lagi menikmati pemandangan sepanjang perjalanan ini.

Sesuai rencana hari ketiga menjelang magrib mereka sudah tiba di bawah Bik-Iian-hong. Seperti juga Tok-siu-hong di Kwi-lin, Bik-lian-hong inipun menjulang tinggi mencakar langit tak ubahnya sebuah tonggak yang menyanggah langit, tapi kelihatannya lebih tinggi dibanding Tok-siu-hong. Cuaca sudah remang, dari kejauhan tidak kelihatan jelas, tapi lapat-Iapat masih kelihatan puncak gunung ini seperti mekar laksana kelopak kembang teratai yang sedang berkembang.

Setelah perahu menepi tukang perahu berkata: "Hari sudah gelap, kalian nginap di perahu saja semalam. Nanti kupancing dua ekor ikan segar untuk lauk pauk makan malam."

"Siau-cu-cu, ingin aku melihat caramu memancing ikan, tapi setelah makan malam, kami akan naik ke darat," kata Ciok-sing.

"Kalian mau pergi kemana, kan siang hari lebih baik. Kenapa malam-malam, apa mau cari hotel?"

"Kita punya tujuan tertentu, bukan mau cari hotel."

"Kalian mau kemana?"

"Terus terang, ada seorang teman yang baru kami kenal mengundang kami bertemu disini," demikian Tan Ciok-sing menjelaskan. "Siau-cu-cu, sejak kecil kita adalah teman karib, tidak pantas aku ngapusin kau, kedatanganku ke Yang-siok kali ini bukan hanya ingin bertamasya, tapi ada urusan lain yang akan kami kerjakan. Tapi akan merugikan kau bila kau tahu tentang urusan ini, oleh karena itu aku mohon maaf dan harap kau maklum, hal itu tak bisa kujelaskan kepadamu. Tiga hari kemudian, aku akan pulang ke rumahmu, tapi andaikata aku tidak bisa pulang, tolong kau rawat kuda kami itu. Kelak ada orang akan datang mengambilnya, asal orangnya cocok dan bicaranya benar, boleh kau serahkan padanya," lalu dia sebutkan nama Kanglam Sianghiap serta melukiskan perawakan dan muka mereka, Lalu dia merogoh perak seberat 10 tahil diserahkan kepada tukang perahu sebagai ongkos makan kudanya.

Karuan tukang perahu melongo kaget, sekian lama baru dia bersuara: "Siau-ciok-cu, uang ini kau harus tarik kembali. Walau aku miskin, kedua ekor kuda itu aku masih mampu memberinya makan Tapi aku rada kuatir, kenapa kau punya maksud untuk tidak kembali Terus teranglah kepadaku, apakah urusan yang hendak kau selesaikan itu mungkin bakal merenggui jiwamu?"

"Nasib manusia sukar diramal, aku hanya berusaha untuk berhati-hati dan menjaga segala kemungkinan, kukira aku tidak akan mengalami bahaya seberat itu. Untuk ini kau tidak perlu terlalu kuatir."

"Kalau begitu, Siau-ciok-cu, kau tidak usah pergi saja."

"Pertemuan kali ini menyangkut masa depanku, betapapun aku harus menepati janji ini. Sekarang tak bisa kujelaskan, tapi bila aku bisa pulang ke rumahmu, kelak akan kuceritakan padamu."

"Baiklah, kalau begitu aku juga tidak akan pulang, biar aku menunggumu di bawah Bik-lian-hong ini."

"Lho, jangan, jangan kau terlibat dalam persoalan ini."

Tukang perahu geleng-geleng, katanya: "Tidak, kau ini sukalah maafkan aku kalau aku tidak menurut petunjukmu. Sejak kecil kita sudah seia sekata, berat sama dipikul enteng sama dijinjing bersama, kau masih ingat bukan?"

Melihat sikap tegas dan kukuh tukang perahu akhirnya Ciok-sing berkata: "Baiklah begini saja, kau tunggu sampai besok pagi bila mentari sudah terbit, aku belum kembali, kau harus segera pulang, jangan kau mencari tahu tentang diriku."

Melihat sikap Ciok-sing yang serius tukang perahu tahu urusan agak genting, maka dia tidak banyak tanya lagi.

Saat mana sudah mendekati kentongan kedua Tan Ciok-sing mohon diri kepada Siau-cu-cu, dia ajak In San meninggalkan perahu terus mendarat, sengaja dia memilih letak dan jurusan utara yang curam dan berbahaya dari Bik-lian-hong terus manjat ke atas.

Dengan ginkang mereka yang tinggi, tidak ada kesulitan yang dapat merintangi mereka, lekas sekali mereka sudah berada di puncak Bik-lian-hong. Pohon siong tampak menjulang tinggi ke angkasa, batu-batu gunung bercorak ragamnya tersebar disana sini, di bawah penerangan cahaya bulan sabit, suasana tampak sunyi dan seram. Dari tempat nan tinggi ini tampak Le-kang legat legot laksana ular putih yang merambat di bumi nan luas ini.

Tan Ciok-sing selalu memikirkan pertemuannya dengan Kek Lam-wi, maka dia tidak punya selera menikmati pemandangan alam di malam hari yang mempersona ini. Batinnya: "Dia pasti menduga aku baru akan datang setelah lewat tengah malam, maka dia tidak akan menungguku di puncak ini, bagaimana aku harus mencarinya?"

Tengah dia melamun, tiba-tiba dilihatnya di tanah berumput di depan sama muncul bayangan dua orang, In San segera berbisik di pinggir telinganya: "Nah itu mereka datang, bagaimana kita?" Yang muncul ternyata memang Kek Lam-wi dengan gadis jelita yang seperjalanan menunggang kuda tempo hari.

"Tunggu dulu perkembangan selanjutnya," kata Tan Ciok-sing lirih.

Terdengar gadis ita berkata: 'Sudah menjelang kentongan ketiga, kukira sahabat yang kau undang itu takkan datang kemari."

"Rembulan belum bercokol di tengah cakrawala, berarti masih termasuk hari ini. Kalau aku mengundangnya bertemu hari ini, maka kita harus menunggunya pula satu jam," demikian sahut Kek Lam-wi.

"Untuk menunggu dia disini kau sampai tidak menghadiri perjamuan ulang tahun yang besar-besaran itu. Tamu-tamu ternama yang datang dari berbagai tempat tidak sedikit jumlahnya."

"Aku tahu, namanya saja tuan rumah perjamuan adalah Nyo Hou-hu, yang betul atas nama dan pamor It-cu-king-thian, Lui Tayhiap.

Memangnya siapa yang takkan memberi muka terhadap Lui Tayhiap?"

Tan Ciok-sing kaget, batinnya: "Kiranya tidak meleset dugaanku, tuan rumah sebetulnya memang It-cu-king-thian."

Terdengar gadis itu bertanya: "Apa kau tahu kenapa Lui Tayhiap meminjam kesempatan perayaan hari ulang tahun Nyo Hou-hu ini mengundang kawan-kawannya sebanyak itu?"

"Walau aku diangkat salah satu dari Pat-sian menyambut tamu, tapi liku-liku persoalannya juga tidak tahu?"

"Apa kau beritahukan perjanjianmu kali ini kepada Lui Tayhiap?"

"Dia terlalu banyak urusan, sekecil ini kenapa harus diberitahu padanya?" Apalagi asal-usul sahabat itu aku sendiri juga belum tahu,"

"Tapi dia tanya padaku tentang dirimu."

"Apa jawabmu?"

"Apa yang kau katakan kepada Nyo Hou-hu demikian pula kukatakan padanya."

Ternyata sejak pagi-pagi tadi Kek Lam-wi sudah memberi salam hormat dan menghaturkan selamat hari ulang tahun kepada Nyo Hou-hu, diapun mohon pamit untuk bertamasya ke Kwan-wan dan Bik-lian-hong, malamnya baru pulang ikut menghadiri perjamuan. Tapi dikuatirkan bila pulangnya terlambat, maka dia mohon diri dan harap dimaafkan.

Bagaimana asal-usul Tan Ciok-sing, Kek Lam-wi sendiri tidak jelas, apakah Tan Ciok-sing mau menepati undangannya? Juga dia tidak tahu, maka urusan ini tidak berani dia bicarakan kepada tuan rumah, kuatir kalau terjadi sesuatu yang tak terduga. Dia pikir setelah bertemu dengan Tan Ciok-sing baru aku berkeputusan apakah patut dia membawa kawan baru ini hadii dalam perjamuan itu.

Tamu-tamu yang menghadiri perayaan hari ulang tahun Nyo Hou-hu kebanyakan datang dengan dua tujuan, pertama ialah ingin bertemu dengan It-cu-king-thian yang telah menghilang sejak empat tahun yang lalu, kedua ingin bertamasya di daerah sekeliling Yang-siok yang penuh dengan obyek-obyek wisata. Hari ini perjamuan akan diadakan malam hari, maka banyak tamu seperti juga Kek Lam-wi sejak pagi-pagi sudah membuat rencana bersama teman-temannya untuk bertamasya. Soalnya Kek Lam-wi termasuk salah satu dari Pat-sian, maka dia-memerlukan untuk memberitahu dulu kepada tuan rumah.

Menurat rencana Kek Lam-wi semula, sebelum hari gelap dia sudah bakal kembali menghadiri perjamuan besar di rumah keluarga Nyo tak nyana setelah ditunggu-tunggu sampai kentongan ketiga Tan Ciok-sing belum juga kunjung tiba. Kini mendengar Lui Tayhiap pernah menanyakan dirinya, dia jadi rikuh dan agak menyesal.

"Bagaimana Lui Tayhiap sampai menanyakan diriku?" tanya Kek Lam-wi.

Gadis itu lantas bercerita, "Tadi ada seorang tamu memetik kecapi sambil minum arak untuk memeriahkan pertemuan dan menyambut kedatangan para tamu yang lain, tiba-tiba Lui Tayhiap ingat dirimu."

"Karena mendengar petikan kecapi itu baru dia teringat akan tiupan serulingku?"

"Betul, malah dia juga menyinggung seorang lagi. Coba kau tebak siapa?"

"Kenalan Lui Tayhiap tersebar di seluruh jagat, bagaimana aku bisa menebaknya."

"Yang dia singgung adalah orang yang kau undang untuk bertemu disini."

"O, jadi sahabat she Tan itu juga kenalan Lui Tayhiap?"

Tan Ciok-sing yang mencuri dengar percakapan mereka, diam-diam ikut terkejut.

"Pemuda itu masih terhitung Wanpwe Lui Tayhiap, kakeknya adalah sahabat baik Lui Tayhiap. Bukankah kau ingin tahu asal-usulnya? Biar sekarang kuberi tahu padamu, kakeknya adalah..."

"Nanti dulu coba kutebak. Kakeknya pasti adalah guru harpa nomor satu di seluruh jagat Tan Khim-ang."

"Sungguh pintar, sekali tebak kena sasaran. Menurut cerita Lui Tayhiap, Tan Khim-ang menghabiskan masa tuanya di bawah Cit-sing-giam, mereka sering berhubungan. Sayang beberapa tahun yang lalu telah meninggal. Cucunya itu juga meninggalkan Kwi-lin. Kukira cucu Tan Khim-ang yang dia maksudkan, sembilan puluh persen adalah pemuda she Tan yang kau undang kemari itu."

"Ya pastilah," ucap Kek Lam-wi tertawa getir, "kau memujikan pintar, yang benar aku ini terlalu ceroboh. Seharusnya sejak mula aku sudah menebak kalau dia adalah keturunan Tan Khim-ang. Kecuali keturunan Tan Khim-ang, siapa pula yang mampu memetik harpa sebagus itu? Sayang aku tidak tahu bahwa Tan Khim-ang mengasingkan diri di bawah Cit-sing-giam, kalau tidak tentu sudah kutebak akan dirinya. Siapakah nama cucu Tan Khim-ang apakah Lui Tayhiap memberitahu padamu? Kukira nama yang dia pakai di hotel adalah nama palsu."

"Pemuda itu bernama Tan Ciok-sing. Lui Tayhiap bilang, katanya dia dengar Tan Ciok-sing sudah kembali ke Kwi-lin, dia minta bantuan kita untuk memperhatikan. Dia ingin bertemu dengan cucu sahabatnya itu."

"Lalu kau memberitahu kepadanya tidak?"

"Waktu itu ada beberapa tamu lain yang ajak dia bicara, kulihat dia terlalu sibuk, maka kupikir biar setelah kau bertemu dengan sahabat itu, kalau betul dia adalah Tan Ciok-sing, lalu membawanya menemui Lui Tayhiap biar dia merasa diluar dugaan dan kesenangan."

Diam-diam Tan Ciok-sing sembunyi di belakang batu membatin: "Untung aku tidak segera unjuk diri. Hm, Lui Ting-gak ingin selekasnya bertemu denganku karena ingin bantu menyelesaikan tugas kerja Ciang Thi-hu, aku hendak dibekuknya dan diserahkan kepada Liong-tayjin mereka? Kek Lam-wi ini agaknya orang baik, tapi dia belum tahu kemunafikan Lui Tin-gak, sekarang biar kutunda dulu bertemu dengan dia. Coba dengarkan percakapan mereka."

Tan Ciok-sing ingin tahu apakah Ciang Thi-hu sudah datang belum. Tapi Kek Lam-wi dan gadis itu membicarakan persoalan yang lain, hakikatnya mereka tidak pernah menyinggung Ciang Thi-hu.

Kek Lam-wi menghela napas, katanya: "Sayang kini sudah mendekati kentongan ketiga, Tan Ciok-sing belum juga kunjung tiba, mungkin dia akan datang. Kau menyusulku hendak mengajak pulang bukan? Memang aku yang bikin kau menunggu dengan hati tidak tentram."

"Kali ini hanya separo tebakanmu yang kena," ujar si gadis tertawa.

"Kena separo bagaimana?" tanya Kek Lam-wi melengak.

"Hatiku gelisah menunggumu, memang betul. Tapi bukan aku menyusul kemari untuk mengajakmu pulang. Sebaliknya aku ingin kau tetap berada disini saja, malah kalau bisa sampai besok pagi setelah fajar menyingsing."

"Setelah kentongan ketiga, berarti perjanjian hari itu batal, kau kira Tan Ciok-sing masih akan datang?"

"Bukan untuk menunggu Tan Ciok-sing, Yang ingin supaya kau tetap berada disini juga bukan aku, aku hanya menyampaikan pesannya saja."

Semakin heran Kek Lam-wi tanyanya: "Pesan siapa?"

"Nyo Cengcu yang merayakan hari ulang tahun."

"Untuk apa dia suruh aku tetap disini?"

"Aku sendiri juga tidak tahu. Setelah perjamuan bubar dia mengundangku kedalam sebuah kamar, diam-diam dia memberitahukan kepadaku supaya sebelum kentongan ketiga sudah berada di atas Bik-lian-hong, katanya ada sebuah peristiwa besar bakal terjadi. Kutanya dia peristiwa apa, dia bilang setelah saatnya kau akan tahu. Pendek kata ada sebuah tontonan baik. Dia tanya kau apa sudah pulang, kalau sudah pulang supaya mengajakmu pula. Sebetulnya aku ingin bilang bahwa kau memang sudah berada disini. Tapi dia masih banyak kerjaan, mungkin hendak memberitahu tamu lain secara pribadi, sikapnya kelihatan buru-buru, maka tak enak aku banyak tanya, saat itu juga aku lantas berangkat kemari menyusulmu."

"Pesan apa yang dia sampaikan?"

"Dia suruh aku jangan bersuara meski melihat kejadian aneh apapun, setelah dia tepuk tangan sebagai tanda, hadirin baru diharapkan keluar."

"Apa hadirin?"

"Ya, oleh karena itu aku yakin orang yang diundang kemari untuk melihat tontonan itu bukan kita berdua saja."

"Kejadian ini sungguh aneh, sandiwara apa sih yang tengah dirancangnya?"

"Mana aku tahu? Seperti kau akupun tidak habis mengerti. Pendek kata ada tontonan, marilah kita menunggu dengan sabar."

Agaknya dia masih tidak tahu, kecuali Kek Lam-wi tak jauh dari mereka masih ada dua orang lain yang juga keheranan dan bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinga In San: "Mungkin tidak karena aku?"

"Kukira tidak mungkin. Kek Lam-wi dan nona itukan tidak membocorkan rahasia pertemuan disini. Bagaimana Nyo Hou-hu bisa tahu kalau kau berada disini. Apa lagi bila untuk menghadapi kau, seorang Lui Tayhiap kan sudah cukup berkelebihan, kenapa harus mengerahkan orang banyak itu?"

"Kalau begitu biarlah kitapun tunggu disini saja, nanti ikut menonton keramaian."

"Betul, saat ini sudah hampir kentongan ketiga, sebentar lagi tontonan akan segera dimulai." Mereka bicara dengan bisik-bisik, ternyata kedua muda mudi disana tidak tahu.

Tiba-tiba didengarnya gadis itu berkata lirih: "Agaknya ada orang datang, lekas kita sembunyi jangan bersuara."

Tak lama kemudian, betul juga tampak dua orang beranjak memasuki tanah rumput, melihat kedua orang ini, jantung Tan Ciok-sing serasa hendak melonjak keluar. Yang datang ternyata bukan lain adalah It-cu-king-thian Lui Tin¬gak dan Ciang Thi-hu.

Saking heran In San berbisik menempel telinga Tan Ciok-sing: "Eh, tak kira Ciang Thi-hu bangsat tua inipun kemari."

"Kenapa heran, bukankah tuan rumah pertemuan ini adalah It-cu-king-thian sendiri, mereka memang sedang berintrik, tidak heran kalau It-cu-king-thian juga mengundangnya," demikian Tan Ciok-sing dengan suara tawar.

Bagaimana juga In San masih tidak percaya kalau It-cu-king-thian sudi bersekongkol dengan Ciang Thi-hu, katanya: "Kukira Lui Tayhiap punya rencana dan maksud tertentu?"

"Kecuali ingin menjilat pada bangsat tua ini, apa pula tujuannya?" jengek Ciok-sing.

"Kukira Lui Tayhiap tidak akan seperti itu, apalagi dalam pertemuan ini betapa banyak kaum pendekar yang hadir, kalau Lui Tayhiap berani membawa bangsat tua ini kemari, mau tidak mau memang harus dicurigai, memangnya Nyo Hou- hu tidak tahu akan asal-usul bangsat tua ini?"

"Kuatirnya kaum pendekar itu semuanya diapusi oleh It-cu-king-thian. Kapan Nyo Hou-hu keluar dari daerahnya, sejak dua puluh tahun yang lalu Ciang Thi-hu sudah jadi antek kerajaan, maka tidak perlu heran kalau Nyo Hou-hu tidak tahu asal-usulnya."

"Kukira urusan tidak segampang itu, Nyo Hou-hu mengundang orang banyak menyaksikan tontonan di Lian hoa-hong yang dimaksud adalah adu kepandaian antara It-cu-king-thian melawan Ciang Thi-hu."

"Kalau begitu tak perlu kita berdebat sendiri, lihat saja tontonan apa yang bakal terjadi."

Tatkala It-cu-king-thian dan Ciang Thi-hu sudah berada di tengah tanah lapang, keduanya lantas duduk di atas sebuah batu karang sambil bercakap-cakap.

Terdengar It-cu-king-thian berkata: "Lociang, sekarang kau sudah maklum kenapa aku mengajakmu memberi selamat ulang tahun kepada Nyo Hou-hu bukan? Semula aku masih kuatir, apakah kau punya keberanian sebesar ini?"

"Aku sudah tahu kaulah sebenarnya yang menjadi tuan rumah pertemuan itu, bahwa kau percaya padaku, maka akupun harus percaya padamu, kau pula yang mengundangku, apa pula yang harus kutakuti?"

"Aku mengundangmu bukan lantaran aku tuan rumahnya, maksudku untuk menambah semarak perjamuan besar itu. Untuk ini kukira kau sudah maklum akan jerih payahku ini."

"Kira-kira aku sudah dapat meraba, tapi sukalah kau menjelaskan lebih lanjut."

It-cu-king-thian tertawa, katanya: "Orang-orang yang ingin kau temui, umpama kali ini tidak seluruhnya hadir, kukira delapan puluh persen juga sudah ada."

"Betul, menurut daftar yang kuterima dari Liong-tayjin orang-orang dari kawan dan lawan memang banyak yang hadir pagi tadi."

"Adakah yang mengenali dirimu."

"Kawan-kawan yang menjadi spion Liong-tayjin sudah tentu ada yang kenal aku, tapi mereka tidak membocorkan rahasiaku."

"Kalau orang-orang yang harus kau tangkap menurut perintah Liong-tayjin?"

"Mungkin mereka juga belum tahu asal-usulku, kalau tidak di waktu kau memperkenalkan aku meski aku memakai nama palsu, mereka pasti sudah melabrakku. Hehe bukan aku suka agulkan diri, kepandaianku merias diri ternyata dapat mengelabuhi mereka, sudah dua puluh tahun aku tidak berkecimpung di kalangan Kangouw, kecuali tokoh-tokoh yang sudah tua dan kenal aku, mereka takkan ada yang tahu akan diriku."

"Siapa yang paling menarik perhatianmu?"

"Memangnya perlu dikatakan lagi, sudah tentu teman baikmu Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun."

"Kau tidak kira kalau dia datang bukan?"

"Liong-tayjin sudah mendapat kabar. Cuma aku tidak kira bahwa kau sampai menggunakan peradatan Pat-sian-ing-khek untuk menyambut kedatangannya."

Mendengar sampai disini, sungguh senang hati In San bukan main. Pikirnya: "Ternyata Pat-sian-ing-kek itu untuk menyambut kedatangan Tam Pa-kun. Lui Tayhiap adalah sahabat mati hidup Tam Tayhiap, yakin dia tidak akan menjual teman baiknya itu? Tapi kenapa Lui Tayhiap mengadakan perundingan rahasia dengan bangsat she Ciang ini?" mau tidak mau goyah juga kepercayaan In San terhadap It-cu-king-thian.

"Kenapa tidak kau duga?" It-cu-king-thian menegas.

"Walau dia teman baikmu, tapi di antara tamu-tamu yang hadir, nama dan pamornya adalah yang paling besar dan dihormati, tapi menurut hematku dia belum setimpal untuk disambut dengan cara Pat-sian-ing-kek. Mereka yang menjadi Pat-sian, seperti Wi-cui-hi-kiau, Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio dan lain-lain, paling hanya setingkat di bawah kedudukan dan pamornya di bulim. Bagaimana juga Kim-to-thi-ciang masih terpaut jauh bila dibanding Thio Tan-hong. Oleh karena itu, Lo-lui, aku jadi heran dan tidak habis mengerti bagaimana kau bisa mengerahkan Pat-sian untuk menyambutnya."

Berkata It-cu-king-thian kalem: "Pat-sian-ing-kek hakikatnya bukan menyambut kedatangan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun. Tapi sekaligus untuk menyambut kedatangan duta khusus yang diutus oleh Kim-to Cecu."

Sebenarnya Ciang Thi-hu juga sudah meraba ke arah itu, tapi dia sengaja pura-pura tidak tahu, sengaja dia malah bertanya pula: "Untuk apa Kim-to Cecu mengutusnya kemari?"

"Kini pihak kerajaan minta damai dengan pihak Watsu, kedua pihak sama-sama ingin memberantas laskar rakyat yang dikoordinir oleh Kim-to Cecu. Masakah kau tidak tahu, kenapa Kim-to Cecu khusus mengutus Tam Pa-kun kemari?"

"Ya, dia mewakili Kim-to Cecu untuk menarik simpati orang-orang gagah dan pahlawan-pahlawan bangsa untuk membantu perjuangannya?"

"Betul, demikian halnya."

"Apa kau ada maksud membantu mereka?"

It-cu-king-thian tidak menjawab "Ya" atau "tidak" namun dia berkata tawar: "Apa tidak keterlaluan kau tanyakan hal ini kepadaku?"

Agaknya jawaban ini sudah diduga oleh Ciang Thi-hu, dia tertawa gelak, katanya: "Kim-to Cecu dengan gabungan kekuatan laskar yang campur aduk itu hendak melawan pasukan besar Watsu, bukankah ibarat telur membentur batu. Mereka yang mau bergabung dan bantu dia berperang, bukan saja harus menderita dan tersiksa lahir batin, merekapun harus berkorban jiwa raga secara percuma, hanya kaum bodoh saja yang sudi berbuat demikian, oleh karena itu kita harus menggagalkan rencana gila ini Lo-lui, biar kuberi tahu suatu kabar baik padamu."

"Kabar baik apa?" tanya It-cu-king-thian.

"Sekarang Liong-tayjin sedang jaya, sebelum dia keluar dari kota raja. Baginda Raja telah mengundangnya, keputusan sudah akan segera diumumkan bahwa dia naik pangkat menjadi sekretaris militer. Dahulu orang tua Liong-tayjin juga pernah menjabat sekretaris militer, kini setelah sepuluh tahun berselang, diapun mendapat jabatan seperti ayahnya dulu, bukankah hal ini amat menggembirakan, sekaligus menguntungkan kita pula?"

"Ya, pepatah juga bilang air pasang perahunya tinggi, wah kau patut diberi selamat."

Ciang Thi-hu senang dan bangga, katanya tertawa: "Kalau aku mendapat keuntungan, memangnya aku bakal melupakan kau? Tapi tahukah kau kenapa Baginda Raja mengangkat Liong-tayjin sebagai sekretaris militer, malah bukan mustahil kelak dia bisa diangkat menjadi perdana menteri?" »

"Liong-tayjin cerdik pandai dan mahir bekerja, jasanya lebih dari orang tuanya adalah patut kalau Baginda Raja menggunakan tenaga militan untuk bantu menguasai pemerintahan kerajaan ini."

"Bahwa Liong-tayjin cerdik pandai bekerja pula hal ini tidak perlu diragukan, bahwa Baginda Raja mau memberikan hal dan kekuasaan sebesar itu, memang ada sebab musabab lainnya."

"Boleh aku tahu sebab-sebabnya itu?" tanya It-cu-king-thian.

"Sudah tentu boleh. Tentunya kau tahu pihak kerajaan sedang berusaha mengulur perdamaian dengan pihak Watsu, politik yang dianut adalah menentramkan dulu dalam negeri baru akan melawan atau membendung ofensif dari luar. Sementara Liong-tayjin memang sejak lama sudah ada ikatan dengan pihak Watsu, meski pasukan kedua negara sudah herbaku hantam di medan laga, duta-duta kedua pihak masih terus hilir mudik membicarakan perdamaian itu. Jadi peranan Liong-tayjin dalam hal ini boleh dikata amat besar, tidak heran kalau Baginda mengangkatnya sampai setinggi itu, maka..."

"Oleh karena itu jangan kita biarkan tugas utama kedatangan Tam Pa-kun kesini sampai berhasil, betul tidak?" It-cu-king-thian meneruskan.

"Betul," seru Ciang Thi-hu keplok tangan, "karena itu bagaimana juga aku mohon bantuanmu untuk menggagalkan usaha mereka."

Tiba-tiba It-cu-king-thian berkata: "Tahukah kau kenapa aku mengajakmu ke Lian-hoa-hong?"

Ciang Thi-hu melenggong, katanya: "Di rumah keluarga Nyo memang tidak leluasa berbicara, kira-kira ada rahasia apa yang ingin kau beritahukan kepadaku?"

"Betul," suara It-cu-king-thian kalem, "ada sebuah berita baik yang akan kuberitahukan kepadamu juga."

Diam-diam bersorak girang hati Ciang Thi-hu tanyanya cepat: "Kabar baik apa?"

"Belasan orang yang ada maksud masuk kedalam pasukan laskar rakyat Kim-to Cecu sudah diringkus secara diam-diam oleh Nyo Hou-hu, di antaranya adalah orang-orang yang sudah terdaftar oleh Liong-tayjin. Minuman yang diberikan kepada mereka sudah dicampur obat bius yang khusus dibuat untuk mereka. Orang lain menyangka mereka mabuk, lalu bagaimana membereskan mereka, untuk ini harap Lo-heng memberi petunjuk."

Dada Tan Ciok-sing hampir meledak mendengar kata-kata It-cu-king-thian ini, hampir saja dia tak kuat lagi menahan emosi dan hendak terjang keluar melabraknya. Lekas In San menariknya, katanya berbisik: "Kalau betul Lui Tin-gak kini sudah berkiblat kepihak kerajaan, hanya mengantar nyawa saja kau keluar. Sabarlah dan dengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut?"

Sebaliknya Kek lam wi dan gadis itu saling melongo berpandangan di tempat sembunyi mereka. Kiranya merekapun sudah siap pergi membantu Kim-to Cecu, malah mereka juga sudah menyampaikan niatnya ini kepada It-cu-king-thian dan Nyo Hou-hu. Kalau betul ucapan It-cu-king-thian, kenapa mereka berdua sekarang bebas? Demikian pikir mereka. Maklum meski Kek Lam-wi tidak mengikuti perjamuan besar tadi, tapi bilamana It-cu-king-thian dan Nyo Hou-hu mau mencelakai dirinya, dirinya yang tidak siaga dan tidak pernah menduga pasti bisa celaka. Sementara si gadis, bukan saja dia hadir dalam perjamuan besar itu, Nyo Hou-hu malah mengundangnya berbicara secara rahasia, kenyataan sampai sekarang dia masih segar bugar.

"Kabar baik" ini memang amal menguntungkan Ciang Thi-hu, ha! ini sudah terpikir oleh Ciang Thi-hu, tapi sampai taraf mana "baik"nya, ternyata masih berada diluar dugaannya, sesaat dia melengong, katanya kemudian: "Jadi Nyo Hou-hu juga sehaluan dengan kita?"

"Betul, kubujuk dia, seorang laki-laki harus bisa melihat gelagai dan memilih jalan yang benar, untung dia mau tunduk dan menerima bujukanku."

"Dari mana dia bisa tahu siapa-siapa yang hendak ditangkap tayjin?" tapi lekas sekali dia sudah tertawa geli sendiri, lalu menyambung dan menjawab pertanyaan sendiri: "Tentu kau yang memberitahu bukan?"

"Sayang kau hanya memberitahu beberapa orang yang jadi pentolannya, entah aku melupakan mereka tidak?" lalu secara hapal dia sebutkan nama beberapa orang.

"Ingatanmu amat bagus. Tapi ada seorang lagi yang paling penting, entah bagaimana kau akan menghadapinya?"

"Maksudmu Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"

"Betul, bukankah kau kawan baiknya?"

"Demi menunjukkan darma baktiku kepada Liong-tayjin, aku tidak perduli kawan baik segala siapa suruh dia tidak tahu diri? Tapi lwekangnya amat tangguh, arak beracun pun tidak akan dapat melumpuhkan dia. Apa boleh buat terpaksa aku sendiri yang harus tampil, besok akan kuajak dia berunding di kamar rahasia bersama Nyo Hou-hu, di kala dia tidak siaga akan kututuk hiat-tonya."

"Paling baik akalmu ini," seru Ciang Thi-hu. "Sebetulnya Kungfumu tidak lebih asor dari dia, kalau kau membokong secara mendadak, pasti berhasil."

Mendengar sampai disini, sungguh hati Tan Ciok-sing gugup, kaget, gemes lagi, katanya lirih kepada In San: "Bagaimana? Mereka hendak mencelakai Tam Tayhiap."

In San juga tidak menyangka bahwa It-cu-king-thian ternyata betul-betul sebejat itu, sudi berintrik dengan Ciang Thi-hu hendak melakukan perbuatan kotor dan serendah itu. hatinya jadi bingung dan hambar, tanyanya pula: "Bagaimana menurut

pendapatmu?"

"Akan kusergap mereka dan menahannya untuk beberapa lama, lekas kau laporkan hal ini kepada Tam Tayhiap."

"Tidak jiwamu bisa melayang."

“Kalau kau tidak memberi kabar ini, Tam Tayhiaplah yang akan celaka jiwanya."

Sudah tentu In San juga tahu keselamatan jiwa Tam Pa-kun menyangkut pula kalah menangnya pasukan laskar rakyat di bawah pimpinan Kim-to Cecu. Tapi dia juga tahu, kalau sekarang Tan Ciok-sing nekat melabrak kedua orang ini, jiwanya pasti melayang pula. Memangnya dia tega melihat kekasihnya mati dihadapannya dalam beberapa kejap ini?

Tengah mereka bimbang, didengarnya It-cu-king-thian sedang berkata pula: "Kali ini Nyo Hou-hu banyak membantu kerja kita, sepantasnya jangan kita anggap dia orang luar pula."

"Sudah tentu, selanjutnya aku masih perlu minta bantuannya," sembari bicara mereka jalan mondar mandir di tanah lapang berumput, kebetulan sekarang mereka berada tak jauh dari tempat persembunyian Tan dan In berdua, jaraknya paling hanya belasan langkah.

Ingin rasanya sekali tusuk Tan Ciok-sing membunuh kedua orang ini, sayang jarak sedekat ini, umpama dia mau bekerja sesuai kehendaknya tadi, mungkin dia sendiri nanti takkan sempat lolos dari telapak tangan kedua jagoan kosen ini, jikalau dirinya bertindak nekad tapi tidak membawa hasil dan keuntungan berarti sia-sia. Apa boleh buat, untuk sementara terpaksa dia menahan sabar dan menunggu kesempatan untuk bertindak.

Tengah dia menimang-nimang, didengarnya It-cu-king-thian berkata pula: "Akupun sedang berpikir, membabat rumput tidak sampai ke akarnya setelah kehujanan dia akan tumbuh lagi, kebetulan memperoleh kesempatan baik ini, seharusnya kita menjaring mereka seluruhnya."

"Maksudmu kita babat musuh-musuh kita itu?" Ciang Thi-hu menegas.

"Terutama orang-orang yang ingin dibekuk oleh Liong-tayjin. Sementara orang-orang gagah yang hadir hari ini kelak juga harus diciduk satu persatu. Cuma untuk minta bantuan Nyo Hou-hu kau harus betul-betul

mempercayai nya."

"Menurut kau bagaimana aku harus percaya padanya?"

"Untuk melaksanakan tugas besar ini hingga sukses, kalau hanya aku dan Nyo Hou-hu saja yang melaksanakan kukira masih kurang menyeluruh, aku masih ingin bantuan orang lain. Lo-ciang, kau pernah bilang Liong-tayjin ada memberi sebuah daftar nama kepadamu, serahkan daftar nama itu kepadaku, biar kutunjukkan kepada Ngo Hou hu, bagaimana?”

"O, kau ingin mendapat daftar itu?"

"Tanpa daftar itu bagaimana kita bisa membedakan mana kawan mana lawan? Lo-ciang orang yang mencurigakan jangan dipakai, kalau memakai orang jangan curiga padanya. Kalau kau ingin bantuan Nyo Hou-hu, kau harus anggap dia orang kita sendiri."

Ciang Thi-hu ragu-ragu katanya kemudian: "Setelah memperoleh daftar ini bagaimana kalau Nyo Hou-hu berubah hati?"

"Kau tidak percaya pada Nyo Hou-hu berarti tidak mempercayai aku, baiklah, kalau kau tetap curiga begini, ya, sudahlah."

Dalam sekejap ini Ciang Thi-hu sudah berpikir putar balik, otaknya bekerja secara kilat, akhirnya dia berkeputusan untuk menempuh bahaya, batinnya: "Tanpa bantuan mereka, jangan kata untuk menjaring musuh sebanyak mungkin hanya Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun seorang saja, mungkin aku tak mampu menandinginya." Maka dengan seri tawa segera Ciang Thi-hu berkata: "Lui-heng, jangan kau salah paham, bagaimana aku tidak mempercayaimu? Cuma daftar itu menyangkut urusan besar, peranannya amat penting, betapapun aku harus hati-hati bertindak tadi aku memang usil, jangan berkecil hati. Baiklah, daftar nama ini harap kau serahkan kepada Nyo Hou-hu."

It-cu-king-thian terima daftar nama itu serta dibacanya sekali, dengan ' hati-hati dia menyimpannya. Lalu tertawa tergelak-gelak riang, katanya: "Baiklah segera kuserahkan kepada Nyo Hou-hu."

Mendengar gelak tertawa orang yang bernada ganjil sekilas Ciang Thi-hu melengak, pikirnya. "Kenapa dia bilang segera akan diserahkan kepada Nyo Hou-hu?" tanyanya: "Daftar sudah kuserahkan masih ada persoalan apa pula yang ingin kau bicarakan disini?"

Tawar suara It-cu-king-thian: "Kukira tiada lagi," sikapnya dingin dan kereng.

"Kalau begitu, marilah kita pulang saja," ajak Ciang Thi-hu.

"Kenapa pulang?"

"Bukankah kau hendak serahkan daftar itu kepada Nyo Hou-hu?"

"Betul, tapi tak usah pulang dan serahkan dia di rumahnya."

"O, jadi kaupun mengundang dia kesini, cobalah suruh dia keluar untuk berkenalan dengan aku?"

It-cu-king-thian berkata: "Tanah lapang disini kulihat amat bagus dan cukup luas, bagai mana kalau dibanding gelanggang latihan silat di rumah keluarga Nyo itu," dia bicara tanpa menjawab pertanyaan.

Karuan Ciang Thi-hu melenggong tanyanya cepat. "Lo-lui, apa maksud ucapanmu ini?" It-cu-king-thian berkata dengan kalem: "Tiada omongan yang perlu kubicarakan lagi dengan kau, tapi ada satu persoalan, betapapun aku harus membereskan dengan kau disini."

Ciang Thi-hu kaget, serunya: "Persoalan apa?"

"Malam itu aku telah mendapat kesempatan belajar dengan kau di puing-puing rumah keluarga Tan, sayang siapa kalah siapa asor belum ada ketentuan, sejauh ini belum lagi lenyap seleraku berantam. Maka mumpung sekarang ada kesempatan ingin aku melanjutkan adu kepandaian, mohon kau suka memberi petunjuk."

"Apa, kau masih ingin bertanding dengan aku?"

"Bukan lagi bertanding, aku ingin menentukan siapa jantan atau betina di antara kau dan aku. Atau boleh juga dikatakan menentukan mati hidup."

Karuan bukan kepalang kaget Ciang Thi-hu: "Kau, kau, kau tidak berkelakar bukan? Baru saja bicara baik-baik, kenapa kau..."

It-cu-king-thian menukas dengan jawaban dingin: "Karena aku orang she Lui ingin berbuat seperti orang 'bodoh' yang kau katakan tadi."

Orang "bodoh" yang dimaksud Ciang Thi-hu adalah mereka yang tidak mau harta benda, pangkat dan jabatan tinggi, tapi lebih suka menjadi pembantu Kim-to Cecu melawan kekuasaan raja, tepatnya kaum pemberontak. Tak nyana kini It-cu-king-thian Lui Tin-gak justru rela menjadi orang yang "bodoh".

Bukan Ciang Thi-hu saja yang kaget mendengar pernyataan tegas ini, In San pun hampir bersorak kegirangan. Memang sejak mula dia sudah menduga pasti ada latar belakang tertentu sehingga It-cu-king-thian mengajak Ciang Thi-hu kemari, tapi tak terpikir olehnya bahwa tujuan It-cu-king-thian adalah hendak ngapusi daftar nama itu, kini setelah tujuan tercapai segera dia hendak membunuh Ciang Thi-hu.

"Lha, bagaimana. Sudah kukatakan Lui Tayhiap pasti bukan orang jahat, sekarang kau sudah percaya? Oh, ya kau pernah bilang..." demikian bisik In San di pinggir telinga Tan Ciok-sing dengan tertawa.

Tan Ciok-sing sendiri juga merasa senang dan kaget, tapi juga amat menyesal, tapi dia tetap tidak percaya akan pendengarannya sendiri, segera dia menukas perkataan In San: "Betul, tadi kukatakan bila It-cu-king-thian membunuh keparat tua itu, baru aku mau percaya padanya, kini biar aku menunggu kenyataan."

Tampak Ciang Thi-hu berjingkrak gusar, suaranya gemetar: "Kau, kau, jadi obrolanmu tadi semua hanya hendak menipuku?"

It-cu-king-thian terbahak-bahak, katanya: "Menghadapi sampah persilatan macammu ini, aku hanya menggunakan cara yang sama untuk membalas kepada orang yang melakukannya. Tapi aku tidak menipumu seluruhnya, tadi aku berjanji untuk menyerahkan daftar ini kepada Nyo Hou-hu, nah sekarang juga boleh kau saksikan bahwa ucapanku dapat dipercaya."

Belum habis It-cu-king-thian berbicara tahu-tahu terdengar tiga kali tepukan tangan serempak dari gerombolan batu-batu yang berserakan di sekitar lapangan bermunculan banyak orang dalam sekejap beberapa orang menyulut obor sehingga keadaan sekelilingnya menjadi terang benderang. Batu-batu karang dengan berbagai bentuknya yang aneh-aneh dan besar di atas Lian-hoa-hong berserakan itu memang tempat baik untuk sembunyi. Orang yang berdiri paling depan adalah tuan rumah Nyo Hou-hu, di belakangnya lagi adalah Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio, Wi-cui-hi-kiau dan lain-lain anggota Pat-sian. Karena Kek Lam-wi dan gadis itu termasuk anggota Pat-sian sudah tentu merekapun ikut keluar.

Belasan orang yang tadi dikatakan sudah diringkus dengan arak bius oleh It-cu-king-thian tadi, ternyata berada dalam rombongan besar yang berdiri mengelilingi tanah lapang ini. Tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang melengking, begitu keras getaran suitan ini sampai memekak telinga Ciang Thi-hu, dari pucuk pohon tak jauh di belakangnya tiba-tiba melompat turun seseorang.

Orang ini adalah Kim-to-thi-chiang Tam Pa-kun, katanya dengan gelak tertawa: "Lui-toako, peranan sandiwaramu sungguh baik dan berhasil, Tapi aku harap babak selanjutnya dari peranan sandiwara ini kau serahkan kepadaku," maksudnya dia hendak mewakili It-cu-king-thian menempur Ciang Thi-hu.

It-cu-king-thian tersenyum, katanya: "Tam-toako, biarlah aku lanjutkan saja. Aku tahu banyak kawan-kawan yang menaruh curiga padaku, entah mengapa aku membawa bangsat tua ini pada perjamuan tadi. Kalau peranan ini tidak kulanjutkan, bagaimana aku bisa menunjukkan kebersihan jiwaku," sembari bicara dia serahkan daftar nama itu kepada Nyo Hou-hu.

Seterima daftar itu sekilas Nyo Hou-hu membacanya lalu tertawa, katanya: "Ciang Thi-hu, banyak terima kasih atas pemberian daftar ini, biar kuberitahu kepadamu, kawan-kawanmu yang tercantum dalam daftar ini, hampir seluruhnya telah kutangkap. Memangnya aku sedang kuatir bila ada ikan yang lolos dari jaring, hingga kurang bersih aku menyapu mereka, kini berdasar daftar ini, aku bisa melanjutkan grebekanku, sesuai apa yang tadi kau katakan membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya." Ciang Thi-hu berdiri lemas dengan muka pucat pias, adalah orang-orang gagah yang hadir sama tertawa gemuruh.

Lebih lanjut Nyo Hou-hu berkata pula setelah ikut tertawa lebar: "Para kawan-kawan yang hadir, kenapa malam ini kuundang kalian ke Lian-hoa-hong ini tentunya tak usah kujelaskan, kalian sudah maklum sendiri. Haha, kalau mau nonton ya carilah adegan yang bagus, bahwa Lui Tayhiap adalah jagoan top yang tidak perlu diragukan lagi, sementara 'Ciang Tayjin' yang berperan sebagai tokoh jahat ini, sejak dua puluh tahun yang lalu merupakan jagoan paling kosen dalam pasukan Gi-lim-kun. Hehe, haa, beruntunglah kita semua dapat menyaksikan pertunjukan yang seru dan ramai ini."

Dengan muka pucat berkeringat dingin, terpaksa Ciang Thi-hu mengeraskan kepala katanya: "Orang she Ciang hari ini terjebak dalam permainan licik kalian, tiada yang perlu kukatakan lagi kalian maju bersama, orang she Ciang dapat gugur di tangan kalian orang-orang gagah sebanyak ini, setimpal juga kematianku."

"Jangan mengumpak awak sendiri sebagai orang gagah, tuan besar Ciang," jengek It-cu-king-thian, "kupingmu kan tidak tuli, memangnya kau tidak dengar apa yang diucapkan Nyo Cengcu barusan? Untuk menjagalmu kenapa harus membuang banyak tenaga? Cukup aku orang she Lui seorang saja yang berlaga dengan kau, biar nanti kau mati dengan tentram,"

Terbetik setitik harapan dalam benak Ciang Thi-hu, setelah ngakak dipaksa akhirnya dia berkata. "Memang kata-katamu inilah yang kuharapkan. Tapi perkataanmu belum cukup jelas, bolehkah aku bertanya supaya persoalan lebih terang."

"Kau ingin omong atau mau kentut, lekas saja," jengek It-cu-king-thian.

"Bagaimana kalau orang she Ciang beruntung dapat mengalahkan kau Lui Tayhiap? Hadirin sebanyak ini, apakah merekapun boleh satu persatu melawanku satu persatu? Hehe, namaku Thi-hu (tukang besi), tapi badanku yang hampir reyot ini bukan terdiri rangka besi balung saja, terus terang aku takkan kuat melawan kalian secara giliran."

Karena ucapannya ini menimbulkan reaksi kemarahan hadirin: "Keparat kau ini barang apa masakah bisa mengalahkan Lui Tayhiap? Dia memancing kemarahan kita, supaya sudi melepas dia, kau bilang dia ibarat nelayan yang sudah terbalik perahunya di tengah lautan, yang diharap dapat menangkap setangkai jerami. Memangnya dia sedang bermimpi kalau mengharap bisa mengalahkan Lui Tayhiap. Akan tetapi biarlah dia berhasil menangkap setangkai jerami itu."

It-cu-king-thian angkat kedua tangan sambil berputar menekan keributan hadirin. Serunya lantang: "Baiklah, kujelaskan dulu kepadamu, kalau kau mampu mengalahkan aku, segera kupersilahkan kau turun gunung."

"Apa betul?" teriak Ciang Thi-hu terbeliak girang.

"Kau kira kita ini manusia kerdil macammu yang tidak dipercaya ini?" demikian bentak Nyo Hou-hu, "cara apa yang sudah disebutkan Lui Tayhiap tadi, hadirin pasti akan mematuhinya."

Mendadak It-cu-king-thian membentak: "Persoalan sudah jelas, tidak segera dimulai, masih tunggu apa lagi?"

"Tamu tak boleh mendahului tuan rumah, harap Lui Tayhiap memberi petunjuk."

"Jangan kau meninggikan derajatmu, siapa anggap kau sebagai tamu?" damprat It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

"Aturan tetap aturan," demikian ucap Ciang Thi-hu, hadirin kira dia sengaja hendak mengulur waktu, tak nyana mendadak dia melontarkan sebuah pukulan mengepruk batok kepala It-cu-king-thian. Setelah telapak tangannya terayun baru dia lanjutkan kata-katanya: "Tapi kalau Lui Tayhiap tidak sudi melayaniku sebagai tamu, terpaksa aku tidak sungkan lagi."

It-cu-king-thian tetap tidak bergerak, setelah telapak tangan lawan terpaut lima dim dari kepalanya, baru mendadak dia miringkan tubuh telapak tangan melintang bagai golok, dengan jurus Hian-niau-hoa-sa, dia menepis pergelangan tangan lawan, jengeknya: "Siapa suruh kau sungkan?" jurus Hian-niau-hoa-sa ini adalah permainan tunggal yang pandai melawan serangan lawan dengan tenaga keras dan lunak, jikalau Ciang Thi-hu tidak merubah permainannya, pergelangan tangannya itu salah-salah bisa tertabas kutung.

Dalam pada itu, Tan Ciok-sing dan In San juga sudah keluar dari tempat persembunyiannya, perhatian hadirin tertuju ke tengah gelanggang, maka tiada perhatikan mereka.

Tan Ciok-sing berkata lirih: "Lui Tayhiap terkenal bukan karena ilmu pedangnya yang liehay, tapi jurus Hian-niu-hoa-sa ini adalah perubahan dari cabang ilmu pedang, seakan-akan ada persamaan yang serasi dengan Bu-bing-kiam-hoat yang diajarkan oleh suhu. Agaknya Kungfu tingkat tinggi kebanyakan memang terjalin dalam satu sumber yang sama," tanpa disadarinya kini dia sudah ganti sebutan kepada It-cu-king-thian, ini menandakan bahwa dia sudah tidak menaruh curiga pula terhadap Lui Tin-gak.

Di kala Tan Ciok-sing berbisik bicara dengan In San itu, keadaan pertempuran di tengah arena ternyata sudah berubah.

Kungfu Ciang Thi-hu memang liehay dan tinggi, pukulan yang dia lontarkan untuk menyergap It-cu-king-thian tadi semula kelihatan kuat dan deras, begitu mengadakan perlawanan ternyata dalam waktu singkat itu mendadak gerakan yang membela itu telah dirobah menjadi tabasan miring. "Biang" telapak tangan kedua pihak kontan beradu, keduanya sama limbung dua kali. Bahwa dia mampu mengadu pukulan sampai sepuluh jurus dengan It-cu-king-thian memang tidak perlu dibuat heran, hal inipun sudah diduga oleh hadirin. Tapi dalam waktu sependek itu dia bisa bermain sesuka hati, maju mundur dan keluar masuknya tenaga ternyata terkontrol baik sekali, ini menandakan bahwa taraf kepandaian silatnya memang sudah tinggi. Tadi hadirin sudah yakin bahwa It-cu-king-thian pasti akan memenangkan pertempuran adu jiwa ini, kini mau tidak mau timbul rasa kuatir dalam benak mereka.

Cepat sekali begitu limbung dan tersurut mundur selangkah, dia tuntun tenaga lawan ke atas berbareng dengan langkah berantai dia menyelinap maju, tiba-tiba kakinya melayang dengan tendangan miring. Telapak tangan kanan Ciang Thi-hu melayang miring dia membalas dengan sejurus Hou-te-jan-hou. Lekas It-cu-king-thian menarik kaki kanan, tahu-tahu kaki kiri melayang pula, tendangan berantai tiga kali mendesak Ciang Thi-hu mundur tiga langkah. Hadirin kagum dan memuji: "Kiranya kepandaian ilmu tendangan Lui Tayhiap juga begini liehay dan mahir." Hadirin kira It-cu-king-thian sudah merebut posisi yang lebih unggul dan pasti akan menang, tak nyana mendadak Ciang Thi-hu berputar badan sembari menarikan kedua telapak tangannya, sekaligus dia lontarkan sepuluh jurus pukulan dengan kekuatan penuh secara keras, hingga dia berhasil mendesak maju ke depan It-cu-king-thian sehingga lawannya tak mampu lagi menyerang dengan pukulan yang dikombinasikan dengan tendangan pula. Para ahli Kungfu yang hadir sama tahu bahwa dia memainkan Ngo-hing-ciang-hoat, pukulan ini mengutamakan membelah, menyelinap, menggebuk,

membabat, dan menjojoh, lima unsur saling isi dan tubuh, ada pula keras ada pula lunak, kekuatan pukulannya menderu bagai gelombang pasang. Di bawah serangan gencar yang deras dan nekad seperti mau adu jiwa ini, It-cu-king-thian ternyata terdesak mundur selangkah demi selangkah.

Angin pukulan bergolak, pasir terbang batu berguling. Terdengar suara keretekan yang ramai, itulah suara dahan-dahan pohon yang patah dan runtuh. Pada hal mereka berhantam di tengah tanah lapang yang cukup luas, pohon yang tumbuh paling dekat juga ada belasan langkah jauhnya, sudah tentu pukulan mereka takkan mungkin secara telak memukul ke arah pohon, tapi dahan-dahan itu sama rontok karena kekuatan Bok-khong-ciang yang dahsyat. Bila mereka bertempur di sebelah timur, dahan pohon di sebelah timur sama runtuh, kalau berkisar ke barat, pohon-pohon di sebelah barat pun sama tumbang.

Kalau pohon jadi korban, adalah manusia yang menonton diluar gelanggang sama menyingkir semakin jauh, padahal mereka memiliki kepandaian cukup tinggi, namun tak kuasa membendung gelombang kekuatan pada pukulan kedua jagoan yang kosen ini.

Di tengah pertempuran sengit itulah, mendadak terdengar suara ledakan dahsyat, disusul batu krikil besar kecil sama muncrat ke berbagai penjuru, kiranya Ciang Thi-hu terlalu bernafsu untuk mengalahkan musuh, maka pukulannya sudah terukur lagi kekuatannya, dimana angin pukulannya menyambar sebuah batu karang sebesar pelukan orang dewasa dihantamnya hancur lebur. Tapi pukulannya tidak mengenai It-cu-king-thian. Meski tidak terkena pukulan lawan, tapi It-cu-king-thian terdesak turun seakan dia hanya mampu menangkis, membela diri dan tak kuasa balas menyerang.

Para ahli silat yang hadir kini lebih nyata lagi, bahwa Ciang Thi-hu kini sudah getol adu jiwa, pukulannya dilandasi kekuatan Gun-goan-it-cu-kang.

"Gun-goan-it-cu-kang ternyata memang Iiehay, agaknya bangsat tua ini sudah melatihnya mencapai tingkat paling tinggi, taraf ke sembilan," demikian kata seorang busu.

Seorang busu (guru silat) lain menimbrung; "Tidak menurut pendapatku, tingkat latihannya sekarang paling baru mencapai taraf ke delapan. Tiga puluh tahun yang lalu aku pernah saksikan Tiong-pangcu dari Kaypang dalam jarak seratusan langkah mampu memukul hancur sebuah pilar batu marmer dengan Gun-goan-it-cu-kang, jelas dia punya jauh lebih Iiehay."

"Umpama betul baru mencapai taraf ke delapan, perbawanya juga sudah cukup hebat. Aku jadi kuatir, apakah Lui Tayhiap..." guru silat pertama tadi tidak meneruskan kata-katanya, tapi orang lain tahu, dia menguatirkan It-cu-king-thian, mungkin tidak mampu melawan Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu yang mencarai taraf ke delapan. Teman bicaranya tadipun diam saja tidak memberi tanggapan pula, agaknya secara diam-diam diapun mengakui kebenaran kata-kata temannya, maka dia tinggal bungkam saja.

Tiba-tiba didengarnya sebuah suara serak kasar berkata: "Omong kosong, kalian tahu kentut apa, Lui Tayhiap menggunakan kelunakan melawan kekerasan, seperti lemah kenyataan kuat, sebaliknya keparat she Ciang itu sudah hampir kehabisan tenaga. Aku berani bertaruh dalam seratus jurus, Lui Tayhiap pasti menang, hayo siapa yang berani bertaruh denganku?"

Pembicara ini adalah seorang Hwesio, dia bukan lain adalah Hwesio kasar atau salah satu dari Pat-sian yang pernah bersua di tengah jalan dengan Tan Ciok-sing itu julukannya Sia-cin Hwesio, suaranya keras maka banyak hadirin yang mendengar kata-katanya.

Kata-katanya diucapkan kasar seperti tidak kenal aturan, tapi kedua guru silat itu ternyata bungkam seketika, tidak marah mereka malah girang dan lega. Bahwa Sia-cin Hwesio berani bicara sekeras dan setandas itu, jelas bahwa It-cu-king-thian sudah punya akal dan cara untuk mengalahkan dan membekuk musuhnya. "Memangnya kita semua mengharap Lui Tayhiap yang menang, buat apa harus bertaruh dengan kau," demikian seseorang berseru.

Tapi banyak hadirin yang masih belum tahu akan seluk-beluk dari pertempuran seperti yang dikatakan Sia-cin Hwesio tadi. Tapi Tan Ciok-sing justeru mengikutinya dengan jelas dan seksama.

"Perhatikan gerak langkah Lui Tayhiap," bisik Tan Ciok-sing kepada In San, "dia melangkah dengan posisi Ngo-hing-pat-kwa, setiap langkah gerakannya selalu memunahkan sebagian tenaga pukulan dahsyat Ciang Thi-hu. Jelas dia betul-betul bisa mempraktekan ajaran ilmu tingkat tinggi yaitu menghindari yang isi menggempur yang kosong, dari pihak yang diserang berbalik menyerang, yang hijau mengalahkan yang sudah matang. Kalau Sia-cin Hwesio menilai dia baru akan menang dalam seratusan gebrakan, kukira terlalu banyak. Menurut penglihatanku, dalam sepuluh jurus lagi, Lui Tayhiap sudah akan balas menyerang. Kira-kira tiga puluh jurus kemudian, jiwa bangsat tua she Ciang ini pasti akan tamat, kau percaya tidak?"

Maka terlihat Ciang Thi-hu sedang melontarkan sebuah pukulan, yang digunakan adalah jurus membelah, tapi jari-jari tangannya terkepal dan terangkat tinggi di atas kepala, gerakannya seperti martil yang lagi diayun dan siap hendak dipukulkan perbawa serangan ini memang hebat sekali, tapi kali ini It-cu-king-thian ternyata tidak mundur lagi kepalannya melintang terus disampokan keluar, sehingga kepalan Ciang Thi-hu kena dituntun ke samping, sekaligus dia tambahi dengan gerakan mendorong pula. Lekas Ciang Thi-hu gunakan merubah bentuk memindah kedudukan, sekaligus serangannya dirobah menjojoh, sasarannya di atas mengancam muka lawan, jurus ini dinamakan Ciong-thian-bau, atau Meriam Yang Mengincar Ke Udara. Telapak tangan It-cu-king-thian terayun, gerakan mendorong berubah menggelantung, dengan jotosan sekaligus dia menggantolnya keluar, maka kepalan dan telapak tanganpun beradu, kali ini ternyata tidak menimbulkan suara, tapi kenyataan bahwa Ciang Thi-hu kini yang berganti tertolak mundur selangkah. Perkembangan selanjutnya memang terlalu cepat, kini It-cu-king-thian sudah lebih berinisiatip menyerang, kedua telapak tangannya bekerja sekencang angin kitiran, Ciang Thi-hu balas diserangnya dengan gencar dan ganas.

Diam-diam In San tertawa, katanya: "Sudah tentu aku percaya akan komentarmu, mungkin kau pun berkelebihan menilainya," ternyata hanya dalam tiga gebrak saja setelah Tan Ciok-sing memberikan komentarnya, It-cu-king-thian sudah merubah situasi, dari pihak terdesak berbalik balas mendesak, lebih banyak menyerang dari pada bertahan.

Keringat Ciang Thi-hu gemerobyos, matanya mendelik otot-otot hijau merongkol keluar, sikapnya kini lebih mirip serigala yang mengamuk didalam kandang, kelihatan betapa liar dan buas perangainya, secara nekat diapun melawan dengan serangan-serangan gencar dan mematikan, seolah-olah dia mengharapkan kemenangan meski dalam keadaan terdesak ini.

Diam-diam It-cu-king-thian tertawa dalam hati: "Jikalau kau tidak segugup dan emosi seperti ini, mungkin masih kuat bertempur tiga puluh jurus. Hehe, kini kau masih berani mengadu serangan dengan aku, itu berarti kau memang ingin lekas tamat riwayatmu."

Di tengah pertempuran sengit itu, tiba-tiba lengan It-cu-king-thian seperti melengkung, sekonyong-konyong dengan jurus Wan-kiong-sia-gwat (menarik gendewa memanah rembulan), jarinya menutuk ke hiat-to di dada Ciang Thi-hu. Pada hal Ciang Thi-hu sedang menarikan sepasang tangannya sekencang baling-baling, dengan menyerang dia berusaha mempertahankan posisinya yang terdesak, dia sudah yakin pertahanannya sekarang sudah amat ketat dan kokoh, tak nyana entah kenapa, tahu-tahu jari It-cu-king-thian masih juga menyelonong masuk dan dadanya kena tertutuk dengan telak.

Karuan Ciang Thi-hu kaget sekali, lekas dia gunakan gerakan Hong-biau-loh-hoa untuk berkelit, sudah tentu It-cu-king-thian tidak memberikan kesempatan pula padanya, begitu tangan kiri bergerak naik menyanggah sikut lawan, telapak tangan kanan tiba-tiba menyusup keluar dari bawah ketiak terus menjojoh ke Ih-gi-hiat di bawah ketiak Ciang Thi-hu.

Ih-gi-hiat adalah salah satu hiat-to mematikan di tubuh manusia, berkelit jelas tidak mungkin lagi, dia juga tahu bahwa tenaga dalamnya kini sudah bukan lagi tandingan It-cu-king-thian, apa boleh buat terpaksa dia berbuat nekat serta melawan dengan setaker tenaganya yang masih tersisa.

Betapa dahsyat kekuatan binatang yang sudah nekat didalam kandang, demi mempertahankan mati dan hidup lagi. Tampak Ciang Thi-hu mendoyongkan tubuh, sehingga seluruhnya melengkung miring laksana busur, kedua telapak tangannya didorong lurus ke depan laksana pucuk panah, tenggorokannya mengeluarkan suara krok krok seperti kodok ngorek, seolah-olah dia hendak menindihkan seluruh kekuatannya ke tubuh lawannya. Para penonton diluar gelanggang sama merasakan tenaga gempurannya ini sedahsyat gugur gunung. Sekejap ini seluruh hadirin menyaksikan dengan mata terbeliak dan suasana menjadi hening lelap, sedemikian sepinya umpama jarum jatuh juga bisa terdengar.

Perawakan Ciang Thi-hu tinggi kekar dan berotot kencang, perawakannya lebih tinggi sekepala dari It-cu-king-thian, kini dengan serangan menindih dari atas ke bawah ini, seluruh kekuatan tubuhnya sekaligus menindih turun sehingga kelihatan dia memperoleh posisi yang menguntungkan. Banyak hadirin yang pernah menyaksikan kedahsyatan Gun-goan-it-cu-kang, mau tidak mau mereka sama kuatir dan berdegup jantungnya, mereka kuatir bila It-cu-king-thian tidak kuat melawan gempuran hebat ini.

Di tengah keheningan lelap itu, mendadak terdengar suara "krak" yang keras, tubuh Ciang Thi-hu yang gede itu mendadak jungkir balik dan terpental kesana terus terguling-guling sambil menjerit keras seperti babi hendak disembelih.

Kiranya pada detik-detik yang menentukan tadi It-cu-king-thian bukan saja tidak menerjang maju, diapun tidak menangkis atau berusaha mematahkan serangan musuh, tapi dalam posisi yang menyulitkan dan didalam keadaan yang tidak mungkin menurut penglihatan orang lain, mendadak dia merebut kecepatan balas menyerang, telapak tangan kanan menggantol keluar, berbareng dengan jurus Ling-yang-kwa-kak (kambing gembel menanduk) secepat kilat telapak tangan kiri menempiling ke muka Ciang Thi-hu. Waktunya tepat sasarannyapun telak sehingga Ciang Thi-hu dipaksa untuk miring tubuh sambil melontarkan pukulannya, sudah tentu serangannya mengenai tempat kosong, kelambatan yang sedetik ini sudah memberi peluang untuk It-cu-king-thian melancarkan serangan liehay dari Hun-kin-joh-kut-jiu, lengan Ciang Thi-hu kena dipelintirnya patah. Dari jurus Ling-yang-kwa-kak yang gertakan belaka tahu-tahu dirubah dengan serangan Hun-kin-joh-jiu yang sesungguhnya, perubahan antara isi dan kosong ini sungguh amat menakjubkan, kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio dan Tan Ciok-sing, hadirin yang lain belum lagi melihat jelas, tahu-tahu tampak Ciang Thi-hu sudah mencelat jatuh berguling-guling seperti bola yang tertendang.

Hening sekejap mendadak meledaklah sorak sorai dan tepuk tangan yang gegap gempita. Hadirin sama berjingkrak dan menari-nari dengan senang serta merubung maju.

Nyo Hou-hu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tontonan sudah berakhir, kini tiba giliran adegan selanjutnya, yaitu mengompres keterangan dari mulut tawanan. Lui Tayhiap silakan kau istirahat di samping, nanti masih kami butuhkan keputusanmu untuk memberikan hukuman padanya."

Baru saja dia menghampiri kesana hendak menarik Ciang Thi-hu yang telah patah lengannya, mendadak didengarnya Ciang Thi-hu meronta-ronta sambil berkuik-kuik mengerikan, darah tiba-tiba menyembur dari mulutnya, setelah berkelejetan beberapa kali, tiba-tiba kakinya mengejang lurus, tangannya pun mencakar-cakar tanah, kejap lain tubuhnya pun menjadi lemas dan tak bergerak lagi untuk selamanya. Kiranya dengan sisa tenaga Gun-goan-it-cu-kang yang masih tersisa dia menghancurkan urat nadi sekujur badannya, sehingga jiwanya melayang seketika.

It-cu-king-thian berkata: "Untung daftar nama itu sudah berada di tangan kita, tidak mengompres keterangannya juga tidak menjadi soal."

"Kematian keparat tua ini memang setimpal, sepatutnya dia mati lebih mengenaskan lagi," demikian ujar Nyo Hou-hu. Segera dia suruh tiga Ceng-sing menyeret Ciang Thi-hu serta dikuburkan secara sederhana. Baru sekarang hadirin sempat memberi salam kepada It-cu-king-thian.

Tam Pa-kun juga hendak maju memberi selamat, tiba-tiba didengarnya seorang

memanggilnya: "Tam-pepek." — Waktu Tam Pa-kun menoleh, dilihatnya seorang pemuda berwajah ganteng berdiri di sampingnya, waktu dia menegas dan meneliti, lekas dia mengenalinya kiranya In San yang menyamar laki-laki. Karuan senang Tam Pa-kun diluar dugaan, katanya: "Hian-tit-li, kaupun datang juga?"

"Aku datang bersama seorang kawan," sahut In San.

"Siapa?" tanya Tam Pa-kun.

"Seorang pemuda gagah yang sudah kau kenal, kau pernah membantu dia, diapun pernah menolongmu."

Di kala mereka bicara, di waktu terjadi keramaian dimana para hadirin berlomba memberi selamat kepada It-cu-king-thian itulah, Tan Ciok-sing melompat maju kesana, teriaknya lantang: "Lui Tin-gak, kau orang tua keparat ini apa masih kenal padaku?"

Sudah tentu hadirin kaget dan tertegun, sorot mata mereka sama tertuju ke arah Tan Ciok-sing. "Dari mana munculnya pemuda bernyali besar ini?" hadirin yang bertabiat kasar segera mendamprat: "Bocah busuk, kau ini barang apa, berani bermulut kasar terhadap Lui Tayhiap?" -Ada juga yang mengira dia komplotan Ciang Thi-hu, bentaknya: "Apa kau hendak menuntut balas kematian Ciang Thi-hu si keparat itu? Memangnya kau kira Lui Tayhiap sudi bergebrak melawanmu, biar aku saja yang mengajar adat kau bocah busuk ini."

Melihat dia mendadak muncul, karuan Kek Lam-wi kaget dan senang, lekas dia berteriak: "Kawan ini akulah yang mengundangnya kemari, aku tahu dia bukan anak buah Ciang Thi-hu."

"Kalau dia bukan komplotan Ciang Thi-hu, kenapa sikap dan tutur katanya begini kurang ajar terhadap Lui Tayhiap? Siapa dia, kau tahu, lekas terangkan," hadirin berlomba tanya dengan bentakan kasar.

Sudah tentu Kek Lam-wi juga tidak mampu menjawab pertanyaan ini, dengan tawa getir terpaksa dia berkata: "Biarlah dia sendiri yang menerangkan. Hai, Tan-heng, apakah kau tidak kenal It-cu-king-thian Lui Tayhiap? Apa kau tidak salah menemukan orang?"

Dengan sikap pongah Tan Ciok-sing menjawab: "Sampai terbakar hanguspun aku kenal keparat tua ini, memangnya aku hendak membuat perhitungan dengan dia."

Sudah tentu hadirin semakin murka mendengar kata-katanya yang kasar ini. Kek Lam-wipun tak berani bersuara lagi, apalagi tampil ke depan melerai.

Lekas It-cu-king-thian angkat sebelah tangannya memberi tanda, hadirin segera tahan sabar, keributanpun berhenti, katanya: "Betul, aku tahu siapa pemuda ini, dia memang bukan komplotan Ciang Thi-hu, dia adalah keturunan seorang sahabatku, yaitu cucu dari guru harpa nomor satu di jagat ini - Tan Khim-ang."

Didalam perjamuan besar siang tadi It-cuking-thian pernah membuka kata mohon bantuan hadirin yang ikut mencari jejak Tan Ciok-sing, maka tidak sedikit hadirin yang tahu akan hal ini menjadi bingung dan keheranan.

Di bawah tatapan hadirin yang sebanyak itu, sedikitpun Tan Ciok-sing tidak gentar, katanya dengan nada kereng: "Urusan sudah sejauh ini, kukira para hadirin juga pasti sudah maklum bukan? Dengan Ciang Thi-hu hakikatnya aku tidak kenal, apalagi menjadi komplotannya, kedatanganku kemari bukan untuk menuntut balas kematian orang lain, tapi demi menuntut balas sakit hatiku sendiri."

"Bagus," seru It-cu-king-thian, "memang aku ingin bicara dengan kau supaya jelas, mohon tanya ada permusuhan dan sakit hati apa antara aku dengan kau?"

Tan Ciok-sing menyeringai dingin, katanya: "Masa kau tidak malu mengagulkan diri sebagai sahabat baik kakekku, pada hal apa yang kau lakukan kukira hanya kau sendiri yang paham."

"Apa sih maksud perkataanmu, kau kira akulah yang mencelakai kakekmu?"

"Memangnya kau masih berani mungkir?"

Pesuruh tua keluarga Lui yang pernah mencari tahu kepada Siau-cu-cu itu kebetulan juga berada di antara rombongan hadirin, tak tahan lagi segera dia tampil ke depan, katanya: "Kau bocah goblok ini, memangnya tidak tahu membalas kebaikan malah memfitnah orang baik. Tahukah kau siapa yang mengubur dan merawat pusara kakekmu? Tahukah kau di kala Lui Tayhiap sendiri mengalami bencana, dia masih tidak lupa memikirkan keselamatan kalian kakek dan cucu, dia suruh aku pergi membantu kalian, untuk ini aku berani menjadi saksi."

Tan Ciok-sing menyeringai pula, katanya kalem: "Memangnya sekarang aku hendak membongkar kemunafikan keparat tua ini, supaya orang-orang gagah di kolong langit ini tidak tertipu olehnya.

Betapapun sabar dan besar pambek It-cu-khing-thian, kini dia dibikin naik pitam juga, katanya: "Jadi didalam benakmu aku ini adalah sedemikian bejatnya?"

"Malam itu kakekku pulang dari rumahmu, tubuhnya sudah terluka parah, jelas kaulah yang mencelakainya. Peduli kau bermulut manis dan ludahmu sampai kering, aku tetap takkan mau percaya padamu, maka tidak perlu kau mengoceh, simpanlah tenagamu."

Disana Tam Pa-kun geleng-geleng kepala, katanya kepada In San: "Temanmu kenapa begitu keras kepala dan kukuh pendapat, berangasan lagi, seluk beluk persoalan itu aku tahu jelas dia keliru kalau menyalahkan Lui Tayhiap," baru saja dia hendak tampil ke depan tiba-tiba In San menarik lengan bajunya, serta berbisik di pinggir telinganya: "Paman Tam, jangan kau mencampuri urusan ini. Temanku itu hendak memerankan sebuah tontonan yang lebih menarik dengan Lui Tayhiap, namun tujuannya tidak boleh diberitahukan dulu kepada Lui Tayhiap."

Tam Pa-kun melengak, tanyanya: "Apa tujuannya?"

"Saksikan lebih lanjut, nanti kau akan tahu," sahut In San, "pendek kata, membawa keberuntungan dan tidak akan merugikan Lui Tayhiap."

Mendengar penjelasan yang serba sembunyi ini Tam Pa-kun jadi ketarik dan ingin tahu, maka dia batalkan niatnya hendak memisah, katanya tertawa: "Baiklah, biarlah aku menonton saja, ingin aku menyaksikan sandiwara bagus apa yang hendak mereka perankan."

It-cu-king-thian tidak tahu maksud tujuan Tan Ciok-sing, namun dia jadi uring-uringan, jengkel tapi juga geli, katanya: "Hampir empat puluh tahun aku berkecimpung di Kangouw, belum pernah kulihat pemuda sendablek ini, kesempatan untuk aku memberi penjelasan juga tidak kau berikan, memangnya apa kehendakmu?"

"Begitu tampil tadi sudah kukatakan secara blak-blakan, memangnya kau tidak dengar?"

"Jadi kau betul-betul hendak menuntut balas kematian kakekmu?"

"Jangan cerewet lagi, keluarkan senjatamu."

"Menghadapi jagoan macam Ciang Thi-hupun aku bertangan kosong, memangnya melawan kau aku harus pakai senjata malah?"

"Aku tidak ingin memungut keuntungan darimu. Tadi kau sudah bergebrak dengan Ciang Thi-hu, kalau kau tidak pakai senjata, yakinlah akan rugi. Dan lagi golok, pukulan telapak tangan dan lwekangmu diagulkan sebagai kepandaian tunggal, sepantasnya aku memberi kesempatan padamu untuk mengembangkan segala kemampuanmu, kalau tidak kau takkan mati dengan mata meram dan kalah lahir batin," sembari bicara "Sret" dia sudah melolos pedang pusakanya lebih dulu, ujung pedangnya memancarkan cahaya kemilau, langsung dituding ke arah It-cu-king-thian.

Hadirin jadi dongkol tapi juga geli, kembali mereka berebut memaki: "Bocah bodoh yang sinting, berani dia menjajal tiga jurus ilmu kebanggaan Lui Tayhiap, hajar dia, ganyang saja."

Melihat orang melolos pedang diam-diam It-cu-king-thian tersirap darahnya, apalagi melihat pedang lawan senjata pusaka, tak berani dia memandang enteng. Memang Tan Ciok-sing melolos Pek-hong-po-kiam yang diwariskan Thio Tan-hong kepadanya.

Sudah tentu It-cu-king-thian cukup ahli untuk menilai senjata, diapun tahu pedang apa yang berada di tangan Tan Ciok-sing. Hanya Pek-hong-po-kiam yang ujungnya memancarkan cahaya kemilau dingin berwarna putih biru, dalam jarak sepuluh langkah, orang masih merasakan hawa pedangnya yang dingin.

Tapi yang membuat darah It-cu-king-thian tersirap bukan lantaran pedang pusaka ini, tapi gaya orang memegang pedang. Sikap menuding dengan gerakan seenaknya ini, seolah-olah bukan jurus permainan pedang, namun kenyataannya merupakan tipu permulaan dari ilmu pedang tingkat tinggi, tujuh hiat-to di atas tubuh It-cu-king-thian ternyata di bawah ancaman hawa pedang.

Kalau orang lain tidak melihat dan merasakan kenyataan ini sebagai ahli Kungfu sudah tentu It¬cu-king-thian maklum akan ancaman serius ini. Sesaat dia jadi menjublek, hatinya kaget tapi juga girang. Pengalamannya cukup luas, dia kaget karena ilmu pedang Tan Ciok-sing ternyata begini aneh dan belum pernah dilihatnya sebelum ini. Senang karena cucu sahabat lamanya, kini telah berhasil mempelajari ilmu pedang liehay.

"Tak heran dia begini temberang, kiranya memang sudah punya bekal. Sudah mendalam salah pahamnya terhadapku, jelas takkan mau mendengar penjelasanku. Pemuda yang suka membawa adat sendiri ini memang patut dihajar adat, setelah keok baru dia akan insaf, hal ini akan membawa manfaat bagi dia. Biar aku menjatuhkan dulu pamornya baru nanti kuberi penjelasan kepadanya," demikian batin It-cu-king-thian.

"Ha, ha, ha," It-cu-king-thian tertawa bergelak tiga kali, katanya: "Tam-toako, tolong pinjamkan golok pusakamu, biar aku mohon pengajaran dari pemuda perkasa ini," ternyata waktu berangkat ke Bik-lian-hong dia tidak membawa senjata.

Hadirin melongo. Maklum hakikatnya Tan Ciok-sing tidak mungkin dijajarkan dengan It-cu-king-thian. Walau Tan Ciok-sing menantangnya mencabut senjata, tapi dengan kedudukan It-cu-king¬ thian, biasanya dia hanya tersenyum ejek dan pasti tak sudi memakai senjata melawan bocah kemarin sore. Tadi diapun hanya bertangan kosong dan kenyataan berhasil mengalahkan Ciang Thi-hu, apalagi menghadapi bocah kroco yang masih hijau lagi, tak nyana bukan saja dia menuruti keinginan Tan Ciok-sing, malah dia meminjam golok pusaka Tam Pa-kun, sudah tentu hadirin kaget dan diluar dugaan.

Setelah menerima golok pusaka dari Tam Pa-kun baru It-cu-king-thian berkata: "Sudah 10 tahun aku tak pernah memakai senjata bergebrak dengan lawan, hari ini biar aku melanggar pantangan ini untuk dikau. Anak bodoh, walau kau tidak membedakan salah benar, keberanianmu sungguh

mengagumkan aku. Tapi kau harus hati-hati, inilah golok pusaka milik Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap, golok ini jauh lebih tajam dari golok yang dulu pernah kugunakan. Senjata tidak punya mata, maka kau harus waspada, jangan kau terluka karenanya."

"Memangnya siapa tahu kalau kau sendiri yang bakal terluka oleh pedang mustikaku?" Tan Ciok-sing balas mengejek, "sebelum turun tangan tak usah kau mengagulkan diri. Ketahuilah, kau pakai golok pusaka, akupun menggunakan pedang mustika."

Karuan kata-katanya ini membakar kemarahan publik, "Lui Tayhiap berbaik hati, kau bocah keparat ini tidak tahu di untung, memangnya kau bocah bodoh yang hijau pupus ini mampu melukai Lui Tayhiap?"

Tan Ciok-sing berkata tawar: "Siapa menang, atau kalah setelah bergebrak baru akan diketahui. Orang she Lui, jangan cerewet saja, hayo silakan mulai."

Sungguh dongkol, geli dan gemas pula It-cu-king-thian dibuatnya, katanya: "Kau minta aku menyerangmu lebih dulu?"

"Tadi aku sudah bilang tidak akan memungut keuntunganmu, kau sudah bergebrak sebabak, kini biar aku mengalah tiga jurus lebih dulu."

It-cu-king-thian tertawa tergelak-gelak, katanya: "Anak muda, patut dipuji keberanianmu. Baiklah, kuturuti keinginanmu," golok diangkat tinggi, betul juga dia lantas membelah ke batok kepala Tan Ciok-sing. Berapa tinggi dan terhormat kedudukan It-cu-king-thian, tapi kenyataan dia mau menerima tantangan anak muda yang mengalah tiga jurus pula padanya, sudah tentu hadirin sama kaget dan melongo keheranan. Terutama kejut In San paling besar. Maklum jawaban It-cu-king-thian terasa ada maksud sampingan yang berbeda. Maksud yang sebenarnya adalah ingin membantu lawannya angkat nama supaya tersohor, arti sampingannya adalah hendak menamatkan jiwanya. Dan umumnya nada sampingan yang sering terjadi di kalangan Kangouw adalah menjurus pada arti yang kedua ini.

Tam Pa-kun seperti tahu jalan pikiran In San, katanya tertawa: "Kau tak usah kuatir kurasa Lui Tayhiap tidak bermaksud jahat kepada temanmu, malah aku kuatir temanmu yang masih berdarah panas itu tidak tahu mengukur kekuatan sendiri."

Belum selesai dia bicara, dilihatnya It-cu-king-thian sekaligus telah menyerang tiga bacokan secara berantai. Kedua orang masih tetap berdiri di tempat masing-masing. Tan Ciok-sing sama sekali tidak terluka. Kiranya tiga jurus serangan It-cu-king-thian hanya gerakan gertak sambal belaka, tapi tajam goloknya betul-betul menyambar di atas kepalanya, pada hal gaya dan tenaga bacokannya begitu kuat dan mengejutkan.

Kalau para penonton berseru kaget, adalah Tan Ciok-sing berdiri diam dan tenang, sikapnya wajar. Dia seperti sudah tahu kalau golok It-cu-king-thian tidak akan melukai tubuhnya, di kala ketiga jurus serangan golok secara berantai dilancarkan, hakikatnya dia tidak bergeming sedikitpun. Mau tidak mau It-cu-king-thian merasa kagum dan memuji akan ketenangan dan ketabahannya. Maklumlah bagi seorang persilatan tidak sukar untuk meneliti serangan isi kosong lawannya, namun di kala sinar golok yang gemeredep menyilaukan mata tak urung biasanya secara reflek orang akan berkelit, sebaliknya kelopak mata Tan Ciok-sing sedikitpun tidak bergerak.

Baru sekarang In San menghela napas lega, katanya lirih: "Paman Tan, kau juga tidak usah kuatir, aku tahu Tan-toako tidak akan berbuat sembrono dan kurang ajar."

Disana didengarnya It-cu-king-thian tengah membentak: "Tiga jurus sudah kulancarkan kau masih belum juga turun tangan, memangnya apa pula yang kau tunggu?"

Dingin suara Tan Ciok-sing: "Kau tidak mau turun tangan secara keji adalah salahmu, kesempatan sebaik ini kau sia-siakan, aku justru tidak akan menerima kebaikanmu ini. Nah lihat pedang!"

Begitu pedang berkelebat tahu-tahu dia sudah mendesak maju tiga langkah, dengan jurus Li Khong Memanah Batu pedangnya lurus laksana anak panah yang meluncur, kira-kira tiga kaki sebelum mengenai pundak It-cu-king-thian, tahu-tahu membelok balik pula dengan setengah lingkaran gerakannya berubah menjadi Hing-hun-cin-nia, lalu Soat-yong-lan-kwan, kalau luncurannya pesat adalah tarikan pedangnyapun teramat cepat. Inilah ilmu pedang yang serba sempurna dalam tahap menyerang dan tahap membela diri.

It-cu-king-thian tak mampu membedakan asal-usul ilmu pedangnya, diam-diam terkejut hatinya, batinnya: "Li-khong sia-ciok (Li Khong memanah batu) adalah jurus ilmu pedang dari Kun-lun-pay yang tersohor, sementara jurus Hing-hun-cin-nia dan Soat-yong-lan-kwan adalah ilmu pedang dari Go-bi-pay, namun tiga jurus yang dia pamerkan tadi jelas lebih sempurna, bervariasi dari sumber aslinya," tidak berani balas menyerang secara gegabah, lekas dia melintang golok di depan dada, tujuannya memunahkan serangan pedang lawan. Dua jurus susulan yang dilancarkan Tan Ciok-sing memang berjaga bila lawan balas menyerang, karena It-cu-king-thian tidak menyerang maka gerakan pedangnya ini mengenai tempat kosong.

"Siapa gurumu?" tanya It-cu-king-thian heran.

"Setelah pertandingan ini usai, bila kau masih hidup, nanti kau akan tahu. Buat apa gugup?" demikian jengek Tan Ciok-sing.

"Sret" kembali pedangnya menusuk tiba. Di antara para penonton ada yang naik pitam segera berebut memaki: "Bocah kurang ajar yang tidak tahu adat, Lui Tayhiap, buat apa kau sungkan dan memberi hati padanya."

It-cu-king-thian berseru lantang: "Baiklah, diberi tidak membalas tidak hormat, sambutlah beberapa jurus golokku."

Tampak, cahaya emas kemilau menyilau mata kini It-cu-king-thian betul-betul menggerakan golok emas pinjaman Tam Pa-kun untuk menyerang secara sungguhan, kanan kiri seperti selulup timbul di antara rumpun kembang, berputar dan menukik seperti menari, beruntun dia membacok lima kali.

Tak sedikit ahli silat yang hadir, banyak di antaranya yang menyaksikan dengan jelas beberapa jurus tadi bagi It-cu-king-thian paling hanya gerak percobaan belaka, namun kali ini dia betul-betul melancarkan serangan secara serius. Begitu bermain secara sungguhan. seketika Tan Ciok-sing seperti terkurung didalam libatan cahaya emas golok lawan.

Lima jurus bacokan ini memang dilancarkan dangan gagah dan deras, pada hal orang gagah yang hadir tidak sedikit yang sering mengalami pertempuran besar dan sengit, namun demikian mereka toh merasa kaget dan terbalik pandangannya. Demkian pula In San menyaksikan dengan merinding, keringat dingin gemerobyos. Pada hal dia tahu bahwa It-cu-king-thian tidak akan melukai Tan Ciok-sing.

Di tengah kurungan cahaya golok emas lawan, Tan Ciok-sing tak ubahnya seperti sampan di tengah lautan yang dipermainkan gelombang pasang. Langkahnya bergontai gaya pedangnyapun berputar kencang. Dalam sekejap itu kalau It-cu-king-thian menyerang lima jurus, maka diapun menyerang tujuh tusukan pedang, Tapi penonton diluar kalangan hanya melihat sinar golok tanpa melihat bayangan manusia. Jurus apa yang digunakan Tan Ciok-sing, ternyata tiada seorangpun yang tahu. Sudah tentu kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun.

Berdiri alis Tam Pa-kun, matanya terbeliak, mulutnya menyungging senyum, tak tertahan akhirnya dia menghela papas gegetun senang: "Temanmu itu memang hebat dan jempolan, belum pernah aku saksikan ilmu pedang sehebat dan seaneh ini. Dalam ilmu senjata selama hidup aku hanya menyakinkan ilmu golok, yakin kemampuanku cukup melebihi orang lain, tapi dibanding Lui Tayhiap aku jadi merasa rendah diri, tapi temanmu ini bukan saja mampu bertahan dan mementalkan serangan, dia mampu pula dua jurus lebih banyak dari Lui Tayhiap, dalam sekejap tadi dia mampu menyerang tanpa kalah asor dari ilmu golok Lui Tayhiap."

Bayangan dua orang di tengah gelanggang tiba-tiba berpencar, tanpa sadar keduanya sama menunduk memeriksa golok dan pedang masing-masing. Tan Ciok-sing melompat keluar kalangan di kala Tam Pa-kun bicara sampai "lebih dua jurus".

Kejut dan girang In San, katanya tertawa: "Paman Tam, apa betul dia melancarkan tujuh jurus tusukan pedang untuk melawan lima bacokan golok? Kenapa sedikitpun aku tidak melihatnya?" pada hal kejadian tujuh tusukan pedang melawan lima bacokan golok hanya sekejap saja, tapi dalam perasaan In San seperti telah melampaui suatu masa yang panjang dan gelap.

Didalam jangka waktu menghadapi lima bacokan golok lawan secara beruntun ini, Tan Ciok-sing sendiripun merasakan adanya perbedaan yang menyolok pada gebrakan pertama tadi terasa olehnya bahwa lwekang It-cu-king-thian tidak seampuh yang dibayangkan semula, tapi tiga jurus kemudian tenaga lawan ternyata bertambah kuat dan kokoh. Waktu dia menyambut jurus ke empat, terasa pergelangan tangannya tergetar, hampir saja Pek-hong¬ kiam tak kuat dipegangnya lagi Tapi di waktu dia menyambut jurus terakhir, tenaga lawan ternyata jauh lebih lemah lagi, kebetulan cukup tiba untuk dia tahan secara pas-pasan.

Tan Ciok-sing maklum, agaknya It-cu-king-thian sengaja

menggunakan tenaga dalamnya sesuai situasi yang diperlukan saja setelah dia mengukur sampai dimana taraf lwekang Tan Ciok-sing, sehingga dia cukup mampu melawannya dan tidak sampai dirugikan. "Baru saja dia berhantam dengan Ciang Thi-hu, namun tenaga dalamnya masih setangguh ini jelas takkan mampu menandinginya," demikian batin Tan Ciok-sing, mau tidak mau semakin kagum dan diam-diam dia memuji akan kebesaran jiwa lawan.

It-cu-king-thian sendiri setelah mengalami lima bacokan goloknya dibalas tujuh tusukan pedang, dia pun merasakan adanya gejala-gejala yang mengherankan. Ternyata ke lima jurus bacokkannya ini dilancarkan sekaligus tanpa ganti napas, namanya Ngo-gak-tio-yang (lima puncak menghadap mentari), kekuatannya sedahsyat gelombang samudera yang satu lebih hebat dari yang lain. Supaya Tan Ciok-sing kuat melawan secara pas-pasan, dia pun telah memeras keringat dan memutar otak, setelah melancarkan empat kali bacokan dengan tenaga ^ang sedikit lebih besar, secara kekerasan segera dia menarik dan mengurangi tenaganya sehingga anjlok sejauh itu, pada detik itulah Tan Ciok-sing lancarkan dua tusukan yang terakhir, sebetulnya dia punya kesempatan untuk menusuk luka dirinya, tapi Tan Ciok-sing cukup menutul saja lantas menghentikan gerakannya, tidak meneruskan serangan dia malah melompat keluar kalangan.

"Anak bocah ini tadi bilang mau menuntut balas sakit hati kakeknya, kenapa kesempatan sebaik itu dia sia-siakan? Dengan bekal kepandaiannya sekarang, tak mungkin dia tidak tahu adanya peluang di waktu aku sedang merubah jurus permainanku tadi?" demikian batin It-cu-king-thian.

Di nilai kwalitas pedang Tan Ciok-sing sebetulnya masih lebih unggul dari golok It-cu-king-thian, tapi lantaran tenaga dalam Tan Ciok-sing tidak setanding lawannya, pedang dan golok hanya membentur lantas saling mundur, oleh karena itu senjata mereka sama-sama tidak sampai rusak.

Pertama karena rasa ingin tahunya, kedua juga ingin menyaksikan sampai kemana taraf kepandaian ilmu pedang Tan Ciok-sing yang serba baru dan aneh ini, maka setelah golok pinjaman ini tidak cidra legalah hati It-cu-king¬ thian, segera dia maju pula seraya membentak: "Ilmu pedangmu belum kau kembangkan sesuai kemampuanmu, tak usah takut-takut lancarkan saja segala kemahiranmu.

Bahwa Tan Ciok-sing mampu melawan Ngo-gak-tio yang dilancarkan It-cu-king-thian hadirin sudah sama heran dan kaget, kini mendengar It-cu-king-thian suruh lawan mudanya ini

mengembangkan segala

kemampuan ilmu pedangnya lagi, semakin melenggong mereka dibuatnya. Banyak di antaranya yang cerewet mengejek dan menceroboh Tan Ciok-sing tidak tahu diri, seketika sirep dan suasana menjadi sunyi senyap.

Gebrak kedua kalinya antara Tan Ciok-sing kontra It-cu-king-thian ini baru betul-betul merupakan adu kepandaian sejati yang amat tinggi mutunya. Tampak It-cu-king-thian merubah gaya permainan ilmu goloknya, golok emasnya berkisar membuat lingkaran-lingkaran yang

membuka tutup dengan rapat dan membacok dan membabat ke arah Tan Ciok-sing, sementara gerakan Tan Ciok-sing mengikuti gaya pedang bergerak secara kilat.

Kalau pedang Tan Ciok-sing bergerak semakin cepat dan deras, adalah sebaliknya golok It-cu-king-thian semakin lambat dan berat.

Ujung goloknya seperti diganduli barang ribuan kati, membacok ke timur membabat ke barat, meski gaya goloknya kokoh dan mantap, tapi lajunya amat lamban. Tapi keanehan justeru terletak pada kelambanan ini betapapun serangan kilat pedang Tan Ciok-sing tetap tak mampu menembus pertahanannya. Setiap kali ujung pedangnya menusuk ke depan It-cu-king-thian, seolah ditangkis dan membentur dinding baja yang tidak kelihatan saja, mau tidak mau dia harus lekas menarik pedang merubah permainan.

Setelah melancarkan delapan belas jurus serangan golok secara lamban, mendadak It-cu-king-thian membentak: "Anak muda, hati-hatilah, kini aku akan menyerangmu secara gencar," tangan terangkat golok membacok turun, mendadak permainan goloknya berubah. Tampak sinar golok seredup cahaya rembulan, menyilaukan mata terasa dingin pula, golok digerakkan laksana angin lesus, serangan dengan jurus-jurus yang liehay sambil melangkah berkisar mengitari Tan Ciok-sing. Maju mundur dengan silang bersilang, berputar dan menyerobot dengan berbagai perubahan yang sulit diselami, begitu cepat gerakannya sehingga baru saja kelopak mata terpejam tahu-tahu kedudukannya sudah berpindah, tiba-tiba di depan kadang-kadang di kanan. Bayangan tubuhnya bergerak serasi dengan permainan goloknya. Seorang hadirin yang mengenal betapa hebat permainan ilmu golok ini tak tertahan bersorak memuji: "Sungguh hebat golok cepat Cap-pwe-ban."

Kiranya ilmu golok ini khusus cipjaan It-cu-king-thian sendiri, merupakan cangkokan dari delapan belasan kisaran puncak Thay-san yang terletak di bawah Thian Bun, bentuknya yang ideal . menimbulkan ilham dibenak Lui Tin-gak sehingga terciptalah ilmu goloknya ini. Cap-pwe-ban adalah nama tempat yang berbahaya di puncak Thay-san, jalan gunung berliku dan bolak-balik memutar dari bawah ke atas, setiap lima langkah satu putaran, sepuluh langkah sekali membelok, semakin berputar semakin tinggi, semakin tinggi semakin berbahaya. Demikianlah permainan ilmu golok ciptaan It-cu-king-thian ini gayanya laksana tegaknya gunung Tay-san dengan lingkaran delapan belas jalan gunungnya yang berbahaya ini, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan ganas serta kejinya ilmu golok ini.

Tam Pa-kun segera memberi penjelasan kepada In San: "Cap-pwe-ban di Tay-san ada perbedaan antara delapan belas cepat dan delapan belas lamban, delapan belas bagian depan agak longgar, sebaliknya bagian belakang lebih sempit dan pendek,

keadaannyapun jauh lebih berbahaya. Bagian depan mengutamakan gaya permainan yang berat dan keras, bagian belakang justeru mengutamakan gaya permainan yang ganas dan berbahaya. Dahulu dengan bekal ilmu goloknya ini entah berapa banyak orang-orang gagah yang kecundang dan dikalahkan olehnya. Memang ada berapa tokoh silat yang mampu menandingi delapan belas lamban, tapi tiada pernah kudengar ada yang mampu melawan delapan belas kencang. Untuk menilai ilmu golok ini, yang paling penting adalah memperhatikan perubahan langkah kakinya."

Ternyata In San tidak ketarik oleh penjelasan ini, dia tetap menguatirkan keselamatan Tan Ciok-sing, lama kelamaan dia sendiri sampai ikut memburu napas saking menahan rasa tegang yang berlebihan, tanpa disadarinya mata berkunang kepalapun berat dan pusing tujuh keliling, lekas dia memejamkan mata serta bertanya: "Tam-pepek, begitu liehay permainan ilmu golok Lui Tayhiap, menurut hematmu apakah Ciok-sing mampu..."

Tiba-tiba didengarnya Tam Pa¬ kun tertawa dan berkata: "Lekas kau buka matamu, bukan saja dia kuat melawan, kini malah berbalik balas menyerang."

Ternyata dengan bekal Bu-bing-kiam-hoat yang diselaminya Tan Ciok-sing berhasil

mengembangkannya dalam praktek, dasar berbakat dan pandai menambah variasi, dengan mudah dia memunahkan seluruh rangsakan lawan, orang lain tak melihat jelas, yang kelihatan hanya bayangannya yang bergontai di tengah kurungan cahaya golok, kelihatannya seperti terdesak di bawah angin, Tapi kenyataan dia justeru adem ayem dan selamat saja, rangsakan golok lawan dihadapinya secara wajar. Di kala In San memejam mata itu, sementara rangsakan golok Lui Tin-gak yang telah mencapai kecepatan gerakan permainannya di bagian belakang delapan belas itupun sudah selesai dimainkan. Beruntun Tan Ciok-sing hanya mengembangkan tiga jurus permainan pedang berantai untuk mematahkan jurus serangan lawan yang terakhir.

It-cu-king-thian tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ilmu pedang bagus, hanya kau seorang yang pertama mampu memunahkan delapan belas kencang dari permainan golok cepatku ini, hayolah diteruskan."

Karuan hadirin sama melenggong dan kaget mendengar pernyataan ini.

Kata Tan Ciok-sing: "Utang piutang memangnya belum selesai perhitungannya, sudah tentu harus dilanjutkan," di tengah alunan perkataannya cahaya pedang di tangannya mendadak melebar panjang, dalam sekejap ini situasi berubah seratus delapan puluh derajat, kalau tadi dia yang dikurung oleh cahaya golok yang kemilau kuning adalah sekarang Pek-hong-kiam yang kemilau perak itu berbalik membungkus sinar golok yang kekuning-kuningan.

It-cu-king-thian tak bisa tertawa lagi, raut wajahnya tampak serius. Jelas bahwa menghadapi gebrak selanjutnya ini tidak berani lena, memandang enteng. Sikapnya jauh lebih prihatin dari pada waktu dia menghadapi Ciang Thi-hu, keadaannyapun lebih payah. Permainan goloknya juga berubah cepat dan lambat, ditarikan naik turun dengan segala variasi dan kelincahannya. Dalam pertempuran sengit itu, golok It-cu-king-thian tampak membuat sebuah lingkaran yang mumbul semakin tinggi dari bawah terus membacok, beruntun tujuh jurus serangan, gaya rangsakannya kencang, tapi di kala menarik goloknya amat lamban. Penonton tiada yang melihat jelas berapa jurus serangan yang telah dia lancarkan dan menggunakan tipu apa, yang tampak hanyalah entah goloknya mengetuk, menangkis dan membacok, semua adalah gerakan dasar ilnu golok yang menjadi acak-acakan dan tidak teratur. Namun demikian, kenyataan Tan Ciok-sing didesaknya mundur dalam jarak setombak lebih.

Kalau penonton tidak merasakan langsung dimana letak keliehayan dan kehebatan tujuh jurus serangan ini, tapi bagi Tan Ciok-sing yang menghadapi serangan ini secara langsung diam-diam amat kaget. Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan adalah peranti mematahkan dan memunahkan permainan lawan serta menyergapnya, gerakannya gampang berubah mengikuti situasi dan kondisi. Tapi dalam menghadapi tujuh jurus rangsakan golok It-cu-king-thian ini, Tan Ciok-sing betul-betul merasakan seperti ditindih kekuatan yang berlapis dan bersusun, amat berat dan rapat sekaligus, hakikatnya tak mampu dijebol atau dibendung.

Kalau dikatakan para penonton tiada yang menyaksikan jelas jalannya pertempuran seru ini rasanya kurang tepat, paling tidak Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun dapat menyaksikan secara terperinci dan jelas sekali, setelah menyaksikan tujuh serangan bacokan golok It-cu-king-thian, sungguh hatinya kejut dan girang pula, katanya kepada In San: "Selama 10 tahun ini Lui Toako tak pernah memakai golok lagi, tak nyana secara diam-diam dia telah meyakinkan ilmu golok sehebat ini permainannya sekarang jauh lebih tinggi dibanding permainan golok cepat Cap-pwe-ban tadi. Coba lihat setiap jurus permainannya mengandung makna yang mendalam, setiap jurus serangannya merupakan intisari yang berhasil dia cangkok dari berbagai ilmu golok kelas tinggi."

In San tertawa, katanya: "Penjelasanmu terlalu tinggi untuk kumengerti, manalagi aku tidak mampu mengikuti jalan permainan mereka. Aku hanya ingin tanya, menurut pendapatmu apakah Tan Ciok-sing mampu menandinginya?"

Tam Pa-kun tidak berani segera memberi jawaban, sesaat lamanya lagi dia menyaksikan dengan cermat, akhirnya dia manggut-manggut dan berkata dengan rasa kagum: "Ilmu pedang temanmu itu ternyata semakin lama main pedangnya semakin aneh, semakin tinggi dan semakin mahir dan wajar, mau tidak mau aku jadi merasa apa yang pernah kupelajari juga hanya demikian saja, terlalu dangkal bila dibanding dengan bekal kepandaiannya ini. Lalu siapa bakal menang di antara mereka ini aku sendiri belum bisa menentukan, cuma boleh kukata masing-masing memiliki

kemahiran dan keunggulannya sendiri-sendiri."

Dalam bicara dengan In San ini, dia merasa seperti sayang kehilangan kesempatan untuk menikmati pertarungan hebat dan bermutu tinggi ini, setelah memberi penjelasan ala kadarnya lekas dia berpaling dan menonton seperti orang kesurupan layaknya, matanya tak berkesip, seluruh perhatian dia tumplek ke arena pertempuran. Pertempuran meningkat semakin sengit dan kedua pihak sama-sama memboyong Kungfu tingkat tinggi, para hadirin kecuali mereka yang memiliki tingkat kepandaian setaraf dengan Tam Pa-kun yang dapat menyaksikan dan menganalisa jalannya pertempuran, tapi jumlahnya juga cukup bisa dihitung dengan jari tangan, kebanyakan terang merasa kabur dan merasa pertempuran babak kedua ini hakikatnya tidak seseru pertandingan babak pertama tadi Maka terdengar suara bisik-bisik disana sini. "Aneh, pertandingan macam apa nih, seperti sedang latihan sendiri-sendiri saja," orang yang diajak bicara memangnya juga berkepandaian rendah, namun dia pura-pura punya isi dan banyak pengalaman, maka segera dia menanggapinya: "Masakah seenteng yang kau perkirakan itu? Coba saja saksikan, bukankah keringat telah membasahi jidat Lui Tayhiap?"

Memang kedua orang yang lagi berhantam di tengah arena berjarak antara setombak, masing-masing mainkan tipu jurus senjata masing-masing, hakikatnya golok dan pedang tidak pernah beradu, ada kalanya Tan Ciok-sing mendadak melompat mumbul. "Sret" pedangnya menusuk, tapi begitu It-cu-king-thian melintangkan pedang menangkis, seketika Tan Ciok-sing mencelat balik ke tempatnya pula. Kadang kala It-cu-king-thian yang membentak sambil melangkah maju setindak, goloknya membacok beberapa kali, tapi cukup Tan Ciok-sing menudingkan ujung pedangnya ke arahnya, seketika dia menyurut mundur sambil berkelit. Delapan puluh atau sembilan puluh persen dari penonton banyak yang tidak tahu apa sebetulnya yang sedang dilakukan oleh kedua jago yang sedang berhantam di tengah arena ini. Setelah pertempuran semakin memuncak, mendadak kedua orang sama-sama melejit tinggi ke atas, selarik sinar emas dan selarik cahaya perak kemilau bagai pelangi putih saling gubat dan seliweran di tengah udara, "Trang" terdengar sekali bentrokan nyaring, tampak Pek-hong-kiam di tangan Tan Ciok-sing mencelat terbang ke angkasa. Bahwa senjata Tan Ciok-sing kena dibentur dan lepas dari cekalannya, maka pertempuran sengit ini secara kenyataan dan tak boleh digugat lagi, It-cu-king-thian berada di pihak pemenang. Bahwa pertempuran sengit yang aneh dan seperti mustahil ini berakhir demikian saja secara mendadak, hadirin masih melongo dan belum sempat berganti napas, mereka jadi lupa bersorak.

Di kala mereka masih melongo •dan sudah buka mulut hendak memberi applus kepada It-cu-king-thian, tampak It-cu-king-thian sudah anjlok turun dan memasukkan golok ke sarungnya, katanya sambil bersoja: "Suatu kenyataan bahwa gelombang sungai yang di belakang selalu memang mendorong gelombang yang di depan, patah tumbuh hilang berganti. Kau dapat mengalahkan aku sejurus, aku betul-betul tunduk lahir dan batin. Bagaimana keputusanmu terhadap jiwa ragaku ini, orang she Lui boleh terserah kepada kehendakmu saja."

Ternyata pada gebrak terakhir tadi, pakaian It-cu-king-thian ternyata bolong tertusuk oleh pedang Tan Ciok-sing, setelah itu baru pedang pusaka Tan Ciok-sing kena diketuk lepas oleh getaran tenaga dalam It-cu-king-thian yang hebat sehingga mencelat terbang ke udara. Jadi jelasnya didalam adu tenaga dalam jelas Tan Ciok-sing ketinggalan jauh, tapi didalam permainan tipu jurus serangan kedua pihak, It-cu-king-thian sudah jelas bukan tandingan Tan Ciok-sing.

Serangan pedang Tan Ciok-sing boleh dikata teramat cepat, di kala berhasil menusuk bolong pakaian lawan, bila dia mau sedikit tambah tenaga, maka perut lawan bakal ditusuknya tembus. Orang lain tiada yang tahu, tapi It-cu-king-thian sendiri maklum akan hal ini, bahwa Tan Ciok-sing telah sengaja menyelamatkan jiwanya. Sudah tentu It-cu-king-thian sendiri tadi pernah juga menaruh belas kasihan kepada Tan Ciok-sing, bila dia betul-betul menggunakan kekuatan besarnya, ketukan goloknya itu bukan hanya menggetar lepas pedangnya, tapi Tan Ciok-sing sendiri juga bakal mengalami luka dalam yang parah. •

Akan tetapi umpama betul hal ini menjadi kenyataan It-cu-king-thian sudah terluka lebih dulu, sedang Tan Ciok-sing terluka belakangan. Kini setelah kedua pihak sama tahu lawan menaruh belas kasihan, orang sebagai It-cu-king-thian yang lebih tua dan punya kedudukan dan gengsi di kalangan persilatan, tapi sebagai seorang kesatria, sebagai pendekar besar, betapa dia takkan secara rela untuk bersoja dan mengaku kalah terhadap Tan Ciok-sing?

Tadi Tan Ciok-sing menyatakan hendak menuntut balas atas kematian kakeknya baru dia menantang It-cu-king-thian berkelahi. Kini setelah It-cu-king-thian mengaku kalah, maka kejadian sesungguhnya dari duel sengit ini perlu juga segera dibereskan. Oleh karena itu It-cu-king-thian berpegang pada peraturan dan kebiasaan kaum persilatan umumnya, setelah mengaku kalah dia terima menyerahkan diri terserah pada hukuman apa yang dilakukan lawannya yang menang.

Orang-orang gagah yang hadir seratus persen menjagoi It-cu-king-thian, dan yakin pasti dia yang akan menang, mendadak mendengar tokoh yang dijagoi mengaku kalah, keruan semua merasa melongo keheranan, karena lobang kecil di pakaian It-cu-king-thian di bagian perut itu tiada orang yang memperhatikan.

Nyo Hou-hu yang pertama merasa tidak terima, serunya: "Hai apa sih yang telah terjadi, umpama kau ingin memberi muka dan menyempurnakan seorang muda yang gagah ini, kan tidak perlu kau berbuat sejahat ini?"

It-cu-king-thian tertawa getir katanya: "Tapi kenyataan memang aku yang kalah."

Tapi sebelum dia sempat memberi penjelasan lebih lanjut, sementara itu Tan Ciok-sing sudah tangkap pedangnya yang meluncur jatuh dari udara, langsung dia menghampiri ke depan It-cu-king-thian, dengan laku hormat dia menjura dan memberi hormat: "Wanpwe memang kurang ajar dan melakukan kesalahan terhadap Lui Tayhiap. Yang benar adalah Wanpwe yang harus mendapat hukuman dan hajaran dari Lui Tayhiap," demikian ucap Tan Ciok-sing.

Keruan hadirin melengak keheranan pula, mereka bingung menghadapi ulah Tan Ciok-sing yang tidak karuan. Adalah It-cu-king-thian sendiri merasa senang dan kaget pula, katanya: "Bukankah kau hendak menuntut balas kematian kakekmu dan ingin membuat perhitungan dengan aku?"

"Betul, Wanpwe memang patut mampus, dulu memang aku merasa curiga terhadap Lui Tayhiap, tapi kini aku tahu bahwa akulah yang salah," sahut Tan Ciok-sing menunduk.

"Apa, kau sudah tahu? Jadi kau tadi, waktu bertempur dengan aku, hakikatnya kau tidak anggap aku musuhmu."

"Lui Tayhiap berbuat baik dan setia kawan untuk ini belum lagi Wanpwe menyatakan terima kasih, mana berani aku menganggapmu sebagai musuh?"

"Kalau demikian, kenapa tadi kau menekankan hendak menuntut balas kematian kakekmu, dan paksa aku untuk bertempur dengan kau?" tanya It-cu-king-thian.

"Mohon Lui Tayhiap memberi ampun. Wanpwe memang bermaksud paksa Lui Tayhiap untuk berhantam dengan aku. Kalau aku tidak menggunakan alasan menuntut balas memangnya Lui Tayhiap sudi bergebrak dengan Wanpwe?"

"O, kiranya begitu. Tapi aku tetap tidak mengerti, kenapa kau harus paksa aku bergebrak dengan kau?"

Pelan-pelan Tan Ciok-sing menegakkan tubuh serta berbicara kalem: "Kira-kira sebulan yang lalu pernah aku bertemu dengan seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri, cianpwe ini she Ku bernama Ti."

Kejut dan girang pula It-cu-king-thian dibuatnya, katanya: "Khu-loenghiong yang ketemu kau ini, bukankah jagoan ternama dari Gi-lim-kun yang sejajar dengan Bu-conggoan In Jong pada tiga puluh tahun yang lalu itu?"

Tan Ciok-sing mengangguk, katanya lebih lanjut: "Khu-locianpwe pernah bercerita akan masa silamnya dulu, Lui Tayhiap memang benar, memang betul beliau adanya."

It-cu-king-thian berkeplok senang, katanya: "Khu-loenghiong adalah salah satu cianpwe yang lama sudah kukagumi, sayang sudah lebih tiga puluhan tahun dia menghilangkan jejaknya dari percaturan dunia persilatan. Kiranya dia masih hidup sehat walafiat. Tapi aku masih juga tidak mengerti, apa sangkut pautnya kau bertemu dengan Khu-loenghiong dengan kejadian hari ini?"

"Kepadaku Khu-loenghiong pernah menyinggung cita-cita Lui Tayhiap dulu yang pernah dinyatakan terhadap Lo-kim-to Cecu," demikian Ciok-sing menjelaskan.

Sampai disini baru It-cu-king-thian mengerti, katanya: "O, jadi ilmu pedangmu ini, adalah ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong yang diwariskan kepadamu?"

Tan Ciok-sing manggut, katanya: "Beruntung wanpwe mendapatkan berkah, Thio Tayhiap sudi menerimaku sebagai murid penutupnya," lalu dia melanjutkan. "Setelah Khu-Iocianpwe tahu akan keinginan Lui Tayhiap ini, dia bilang dahulu dia ingin membantu Lui Tayhiap supaya terlaksana cita-citamu, sayang sekali belakangan dia sendiri mengalami suatu musibah, sehingga dipaksa untuk mengasingkan diri, selama tiga puluh tahun ini bantuannya jadi tertunda dan belum tercapai."

"Oleh karena itu dia minta kepadamu untuk membantu aku mencapai keinginanku itu?" It-cu-king-thian meneruskan.

"Tidak berani. Akan tetapi mumpung ada kesempatan, terpaksa Wanpwe mohon pengajaran langsung dari Lui Tayhiap saja."

"Dengan Khu-locianpwe kami hanya saling kenal nama saja, tak nyana dia begitu simpatik, ingin membatu aku mencapai cita-cita, sungguh aku amat kagum, terima kasih haru akan ketulusan hatinya," dia tahu hadirin pasti merasa bingung, maka segera dia memberi penjelasan: "Cita-citaku itu adalah ingin memohon pelajaran ilmu pedang kepada Thio Tayhiap Thio Tan-hong. Sejak tiga puluh tahun yang lalu Thio Tayhiap sudah tidak karuan parannya, kukira keinginanku itu jelas takkan bisa tercapai lagi, tak nyana cucu sahabat baikku, atau murid Thio Tayhiap sendiri hari ini menyampaikan cita-citaku dahulu."

Maka setelah Tan Ciok-sing menjelaskan hal ihwalnya, hadirin menjadi gempar sana sini berbisik, semua ingin tahu berita terakhir dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong.

Tan Ciok-sing jadi serba susah, apa yang ingin diketahui orang¬orang itu, semuanya adalah persoalan yang sulit untuk diceritakan, terpaksa akhirnya dia berkata: "Suhu sudah almarhum, beliau wafat di hari menerima aku sebagai murid penutupnya."

Tam Pa-kun berkata: "Semasa masih hidup Thio Tayhiap tidak suka diganggu orang, maka dia memilih suatu tempat untuk pengasingan dirinya,

memperdalam ilmu pedang dan berhasil menciptakan Kungfu tingkat tinggi. Maka tak perlu kita tahu di tempat mana terakhir beliau semayam," hadirin semua adalah kaum persilatan. Umumnya dalam kalangan Kangouw ada pantangan yang sudah mereka ketahui dan patuhi bersama, tadi karena merasa girang dan lega karena mendengar berita Thio Tan-hong maka tak kuasa mereka menahan gelora hati untuk menanyakan pendekar besar pujaan mereka ini. Setelah mendengar penjelasan Tam Pa-kun, barulah suasana menjadi reda.

Baru sekarang Tam Pa-kun ada kesempatan maju berkenalan dengan Tan Ciok-sing, katanya: "Waktu di Tay-tong malam itu, aku masih belum tahu akan dirimu. Kalau tidak pasti aku sudah memberi penjelasan kepadamu, tentang persoalan Lui Tayhiap itu. Tapi juga untung aku tidak sempat menjelaskan kepadamu. Jikalau aku turut campur, maka kau takkan punya alasan untuk bertanding dengan Lui Tayhiap, maka kita semuapun takkan memperoleh kesempatan sebaik ini untuk menyaksikan pertandingan sehebat tadi," maka hadirin gemuruh dalam susana gelak tawa dan tepuk tangan.

It-cu-king-thian serahkan kembali golok emas itu kepada Tam Pa-kun, katanya: "Terima kasih kau telah meminjamkan golok emasmu ini kalau mengandal sepasang tangan kosongku saja, jelas aku bukan tandingan Tan-siauhiap yang mahir memakai pedang."

Setelah menerima goloknya Tam Pa-kun berkata lebih lanjut: "Lui Toako, ada sebuah persoalan lagi yang ingin kusampaikan kepadamu yakin kau akan amat senang."

"Persoalan apa?" tanya It-cu-king-thian.

Tam Pa-kun menarik In San ke depan, katanya tertawa: "Thio Tan-hong dan In Jong adalah dua pendekar besar dari kaum cianpwe yang kau kagumi. Putra In Jong, In Hou adalah sahabat yang sejak lama ingin kau kenal, betul tidak?"

"Ya, memangnya kenapa?" tanya It-cu-king-thian.

"Biar kuberitahu kepadamu, nona ini adalah putri tunggal dari In Hou In Tayhiap."

Baru sekarang hadirin memperhatikan In San, dan tahu pula bahwa dia adalah seorang gadis belia yang menyamar jadi laki-laki, semua mereka heran dan bingung.

Dengan rawan In San berkata: "Sayang ayah sudah meninggal dicelakai musuh, beberapa hari yang lalu baru sempat aku sembahyang di depan pusara beliau. Tapi aku harus berterima kasih kepada Lui Tayhiap yang telah merawat dan membangun kembali pusaranya itu."

Lekas It-cu-king-thian membalas hormat, katanya: "Sebetulnya ayahmu sudah berjanji dengan Tam Tayhiap untuk berkunjung ke rumahku, sayang aku tahu setelah terlambat, bukan saja tak mampu bertidak selaku tuan rumah akupun tak bisa berbuat banyak setelah dia dicelakai oleh musuh. Walau aku tidak membunuhnya tapi secara tidak langsung, kematiannya karena kelalaianku juga. Sungguh aku merasa menyesal dan mohon maaf kepada nona, aku merasa malu pula untuk berhadapan dengan orang-orang gagah di dunia ini."

In San membasut air matanya katanya: "Urusan duka cita ini biarlah berlalu dan tak perlu kita pikirkan lagi. Hari ini adalah hari bahagia kita semua, dimana orang-orang gagah dari segala penjuru kumpul disini adalah pantas kalau kita harus bersuka ria bersama."

Dalam pada itu Kek Lam-wi menggandeng gadis jelita itu tampil ke depan memperkenalkan diri, akhirnya In San tahu bahwa gadis jelita teman Kek Lam-wi bernama Toh So-so, adik seperguruan Kek Lam-wi. Mereka adalah penduduk Kanglam juga, mereka adalah teman baik dari Kanglam Sianghiap. Kwik Ing-yang dan Ciang Bin-siu.

Mendengar kalau Kanglam Sianghiap kini berada di markas Kim-to Cecu, bukan main rasa senang mereka, kata So-so: "Tak heran waktu aku melihat kuda kalian hari itu seperti sudah kukenal, ternyata memang betul milik Kanglam Sianghiap. Aku sudah kangen pada mereka."

"Kabarnya kalian juga hendak pergi ke markas Kim-to Cecu?" tanya In San.

"Betul, bukan kami saja, semua yang hadir disini hendak kesana," ujar Toh So-so.

"Kalau begitu, berapa bulan lagi kau akan bertemu lagi dengan mereka." Kata In San.

Di sebelah sana Tan Ciok-singpun sedang berbicara oengan Kek Lam-wi, keduanya sama riang, kata Kek Lam-wi: "Hobiku selama hidup ini adalah musik, yang kedua baru belajar kungfu. Dalam musik terutama adalah harpa, Sayang aku tak berhasil belajar harpa, belajar ilmu pedang juga gagal. Sebaliknya

Tan-heng ilmu harpa dan ilmu pedangmu sama mencapai top, untuk selanjutnya aku harap Tan-heng suka memberi petunjuk kepadaku."

"Kek-heng terlalu sungkan, aku tahu Kek-heng mahir meniup seruling, akupun ingin mohon petunjuk dari Kek-heng."

Dari samping It-cu-king-thian menyeletuk: "Kalian besok masih ada tempo untuk mengadu harpa dan seruling Ciok-sing Hiantit, masih ada omongan yang ingin kubicarakan dengan engkau."

Waktu itu sudah menjelang kentongan ke empat, Nyo Hou-hu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Setelah menyaksikan dua babak tontonan yang bagus tadi semalam suntuk kita semua tiada yang tidur, kini tiba saatnya kita pulang beristirahat."

Tahu bahwa It-cu-king-thian hendak mengajak Tan Ciok-sing bicara, maka Kek Lam-wi segera mohon diri, bersama Toh So-so mereka berangkat pulang lebih dulu, tapi dia mengundang Tan Ciok-sing untuk bertamasya naik perahu.

It-cu-king-thian, Tam Pa-kun, Tan Ciok-sing dan In San berempat berangkat paling akhir, mereka turun gunung bersama, baru sekarang sambil jalan mereka sempat bicara secara panjang lebar tentang peristiwa selama empat tahun akhir ini.

Maka It-cu-king-thian lantas menjelaskan kepada Tan Ciok-sing: "Peristiwa malam itu yang menimpa kakekmu begini. Waktu dia datang ke rumah dia memberitahu bahwa In Tayhiap sedang merawat luka-lukanya di rumahnya. Seharusnya aku segera datang ke rumahmu memberi pertolongan, tapi waktu itu ada sesuatu yang amat kukuatirkan, sehingga bukan saja tidak bisa segera memberi pertolongan, malah Kakekmu pun kusuruh segera pulang. Tahukah kenapa sebabnya? Karena di rumah aku juga kedatangan tiga tamu yang tak kuundang, tamu yang tidak kusenangi. Ketiga tamu itu adalah Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing, gembong iblis besar yang puluhan tahun lalu pernah sejajar dengan Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi adalah Siang Po-san, satu-satunya murid keturunan dari Bi-ba-bun, orang ketiga adalah Tok-liong-pang Pangcu Thio Ou."

"Ketiga orang inilah yang mencelakai In Tayhiap," kata Tan Ciok-sing.

"Mereka datang sebelum kakekmu tiba waktu itu akupun belum tahu kalau In Tayhiap sudah celaka di tangan mereka. Mungkin mereka belum tahu bagaimana keadaan luka In Tayhiap, mereka menyebar anak buahnya untuk mencari tahu dimana kira-kira jejak In Tayhiap."

"Mereka memang kurang ajar dan petingkah datang lantas secara lantang menyerukan gabungan kekuatan untuk membunuh In Tayhiap. Diharap aku ikut bergabung dalam komplotan mereka, pertama bantu mencari tahu dimana kira-kira sekarang In Tayhiap berada, atau kalau tidak mau menerima uluran tangan, diminta supaya aku tidak menghalangi aksi mereka."

"Kalau ketiga orang ini bergabung, waktu itu jelas aku bukan tandingan mereka, oleh karena itu terpaksa aku bersikap kendor dan mencari akal cara bagaimana untuk mencegah usaha mereka secara diam-diam."

"Tapi sebelum aku memperoleh akal untuk menghadapi mereka, kakekmupun datang, aku mohon diri sebentar, kutinggal ketiga tamu itu di ruang tamu, lalu kutemui kakekmu di kamar rahasia, waktu itu kakekmu belum terluka."

"Setelah mendapat keterangan kakekmu baru aku tahu akan berita positip keadaan In Tayhiap, konon dia punya harapan untuk sembuh dari lukanya yang parah, maka legalah hatiku, lekas aku suruh kakekmu lekas pulang, supaya tidak kepergok oleh ketiga gembong iblis yang kini menjadi tamuku."

"Waktu itu memang aku sudah tahu bahwa ketiga gembong iblis itu adalah biang keladi yang melukai In Tayhiap, akan tetapi aku masih belum bisa membalas sakit hati In Tayhiap seorang diri. Terpaksa aku layani mereka secara ala kadarnya, akhirnya aku antar mereka pergi, kupikir setelah Tam Tayhiap datang nanti, dengan kekuatan kami berdua, yakin kami akan dapat menuntut balas sakit hati In Tayhiap."

"Tak nyana belum jauh setelah kekekmu pergi, beliau dibokong dan disergap oleh orang Tok-liong-pang hingga terluka, tapi hal ini baru kuketahui belakangan setelah ketiga tamu dari gembong-gembong iblis itu pergi."

"Waktu itu pikiranku hanya mencari akal untuk memberi bantuan dan menyelamatkan In Tayhiap, supaya dia dapat merawat lukanya di rumah keluarga Tan dengan tentram tanpa diganggu siapapun. Siapa nyana bukan saja In Tayhiap akhirnya mengalami nasibnya yang mengenaskan, malah kakek Tan Ciok-sing juga harus ikut berkorban. Sungguh bukan kepalang rasa menyesalku, kalau siang-siang aku tahu bakal terjadi peristiwa ini, pasti malam itu aku berlaku nekad mengadu jiwa dan melabrak ketiga gembong iblis itu, Ciok-sing Hian-tit, nona In, memang pantas kalian menyalahkan aku karena kelalaianku bertindak waktu itu."

Lekas Tan Ciok-sing dan In San berkata bersama: "Lui Tayhiap harap jangan menyalahkan diri sendiri, bicara soal situasi waktu itu umpama kau nekad dan melabrak mereka, urusanpun takkan banyak berubah dan membawa manfaat, Lui Tayhiap jiwa pendekarmu dan rasa setia kawananmu memang patut kita kagumi dan harus menjadi teladan kita semua, untuk ini kami amat berterima kasih kepadamu."

Berkata It-cu-king-thian lebih lanjut: "Hari kedua aku datang ke rumah kakekmu, In Tayhiap, dan kakekmu sudah sama meninggal, seharusnya itu waktu aku memberi penjelasan kepada kau Ciok-sing, tapi..."

"Semua lantaran kecorobohan dan kebodohanku," demikian ucap Tan Ciok-sing, "Waktu itu kuanggap umpama bukan kau yang langsung mencelakai kakekku, paling tidak kau tersangkut didalam perkara ini, begitu melihatmu, sikapku lantas tegas memandangmu sebagai musuh besar. Ternyata aku seceroboh ini, akupun pantas mati saja."

"Kau tidak bisa disalahkan juga, kakekmu terluka parah setelah pulang dari rumahku, memang siapapun pasti akan mencurigai diriku. Tapi, bahwa waktu itu aku tak mau memberi penjelasan kepadamu, memang didalam hal ini masih ada sebab musababnya."

"Lui Tayhiap, tak perlu kau jelaskan lagi, hanya akulah yang harus disalahkan karena kebodohanku, kini urusan sudah jeias, memangnya aku masih tidak percaya padamu?" demikian kata Tan Ciok-sing.

"Meski kau tidak menaruh curiga pula kepadaku, tapi aku masih ingin menjelaskan hal ini?" demikiau lt-cu-king-thian menyatakan.

"In Tayhiap sudah gugur, tapi kawanan penjahaf'itu belum tahu, sebelum mereka mendapatkan golok pusaka dan buku pelajaran silat milik In Tayhiap jelas takkan mau berhenti sampai disini. Waktu kakekmu pulang dari rumahku malam itu, di tengah jalan jejaknya konangan oleh orang-orang Tok-liong-pang, kakekmu dilukai namun dia berhasil lolos. Betapa senang hati mereka setelah memperoleh sumber penyelidikan ini, maka mereka terus mengejar dan menyelidik."

Tan Ciok-sing paham, katanya: "Lui Tayhiap, secara suka rela kau memanggul nama buruk sehingga mereka menyangka In Tayhiap sudah terjatuh ke tanganmu, sudah tentu barang peninggalannya juga terjatuh ke tanganmu. Maka kalau mereka ingin mendapatkan barang-barang itu, terpaksa harus berhadapan dengan kau, selanjutnya tidak akan mencari perkara terhadap kami kakek dan cucu. Ya, tak heran malam itu dengan leluasa aku dapat lolos dari cengkeraman iblis kiranya kaulah yang membantu secara diam-diam. Ai, Lui Tayhiap, kenapa kau harus bertindak sejauh ini, sebetulnya kau bisa berusaha supaya aku tahu..."

It-cu-king-thian tersenyum, katanya: "Aku memang sengaja supaya kaupun menaruh curiga kepadaku, sehingga orang lainpun lebih curiga lagi. Oleh karena itu, sepulang dari rumahmu, malam itu juga aku membakar rumah. Aku berbuat demikian, pertama lantaran seorang diri tak akan mampu menempur beberapa gembong iblis itu, kedua maksudku ingin memancing mereka pergi, supaya mereka menyangka setelah aku memperoleh barang-barang yang mereka incar terus merat ke tempat jauh, dan kau akan selamat dan tidak akan direcoki mereka."

Haru dan sedih hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa air mata berkaca-kaca di kelopak matanya, katanya: "Lui Tayhiap, karena aku kau rela memikul segala resiko buruk itu, demi aku pula kau mengorbankan rumah dan harta benda, tapi aku justeru menuduh dan menyalahkan kau, budi kebaikanmu ini, selama hidup sukar aku membalasnya."

Tam Pa-kun menghela napas, katanya: "Aku pun harus disalahkan karena terlambat datang empat hari waktu yang dijanjikan. Sampai detik ini aku masih belum mengerti, entah bagaimana perjanjianku dengan In Tayhiap bisa bocor. Di tengah jalan aku kepergok Huwan bersaudara, dua hari lamanya aku dilibat dan dikeroyok mereka, akhirnya dua di antaranya dapat kulukai dan membobol kepungan dari barisan golok mereka. Siang dan malam aku menempuh perjalanan, alangkah sayangnya tenagaku sudah hampir habis. Lebih tak terpikir lagi setelah aku terlambat empat hari tiba di Cit-sing-giam, orang-orang Tok-liong-pang masih menunggu aku dan mengatur jebakan sehingga aku terperangkap, begitu tiba aku lantas terbokong dan terluka parah. Untung Lui Toako bertindak tepat pada saatnya kalau tidak jiwaku takkan hidup sampai sekarang."

"Rahasia ini dicuri dengar oleh Liong Seng-bu bangsat kurcaci itu." demikian Tan Ciok-sing menjelaskan, "lalu pamannya yang bernama Liong Bun-kong mengatur tipu daya sehingga In Tayhiap celaka dan kita semua mengalami musibah ini," lalu dia menceritakan pula apa yang dia ketahui dari penuturan In-hujin. Baru sekarang Tam Pa-kun tahu duduknya perkara.

Dalam pada itu mereka sudah tiba di bawah gunung, rumah keluarga Nyo. sudah tampak di kejauhan sana, haripun sudah mendekati fajar.

Teringat sesuatu Tan Ciok-sing lantas berkata: "Aku hendak menemui seorang teman, kira-kira memerlukan waktu setengah jam. Adik San, kau boleh ikut Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap menunggu di rumah keluarga Nyo saja."

"Dimana temanmu berada?" tanya It-cu-king-thian.

"Berada di bawah Bik-lian-hong, di tepi sungai," sahut Tan Ciok-sing.

"Kau datang bersamanya kemarin malam?" tanya It-cu-king-thian pula.

"Ya, dialah yang mengantarku kemari dengan perahunya."

"Kalau dia temanmu, kenapa tidak kau ajak ke rumah keluarga Nyo saja, supaya kita semua bisa kumpul."

"Dia bukan kaum persilatan, dia seorang nelayan cilik yang waktu kecil menjadi teman baikku. Aku tidak ingin dia ikut terjun kedalam pusaran pertikaian kaum persilatan."

Waktu Tan Ciok-sing buru-buru menyusul ke tepi sunyai, tampak perahu Siau-cu-cu masih ditambat di pinggir sungai, ternyata dia masih menunggu disana.

Siau-cu-cu amat girang, katanya: "Memangnya aku lagi kuatir, syukurlah kau kembali dengan selamat. Semalam apa yang terjadi? Mana nona In, kenapa tidak pulang bersamamu?"

Tan Ciok-sing tertegun, katanya tertawa: "Ternyata kau sudah tahu kalau dia menyaru laki-laki. Jangan kuatir, dia tidak apa-apa, Dia ketemu dua orang sahabat ayahnya, kini seperjalanan menuju ke rumah keluarga Nyo."

"Kalau begitu marilah kau pulang naik perahu kecilku ini? Hari ini angin menghembus kencang, kembalinya pasti lebih laju."

"Memang aku kemari hendak memberitahu kepadamu, aku akan tinggal dua hari lagi disini kuharap kau pulang lebih dulu."

Siau-cu-cu tersentak, katanya tersenyum: "Ya memang aku yang goblok. Kalau nona In belum pulang, sepantasnya kaupun tetap berada disini."

Merah muka Tan Ciok-sing, katanya: "Baru saja aku berkenalan dengan seorang teman she Kek, yaitu teman yang kuceritakan padamu mengundangku kesini."

"Adakah urusan lain yang perlu kau pesan padaku?" tanya Siau-cu-cu.

"Tidak ada, cuma tolong kau rawat kedua ekor kudaku itu."

"Bicara soal kedua ekor kuda itu, ada sebuah hal perlu kuberitahu padamu."

Melihat sikapnya agak ganjil Tan Ciok-sing bertanya: "Hal apa?"

"Tadi pagi sebelum fajar menyingsing, kudengar ada orang yang memperbincangkan kedua ekor kuda putihmu itu."

Tan Ciok-sing kaget, tanyanya: "Siapa mereka?"

"Entah siapa, mereka lewat di pinggir kali, perahuku ini berada di tengah lebatnya daun-daun welingi, sehingga mereka tidak melihatnya."

"Apa yang mereka bicarakan?"

Seorang berkata: "Aneh, bocah itu dan temannya menunggang kuda putih milik Kanglam Sianghiap, bila mereka muncul di tengah jalan, orang-orang pihak kita pasti dapat mengenalinya. Tapi tiada seorangpun yang melihat kuda putih itu, tahu-tahu bocah itu sudah berada disini." Seorang lagi berkata: "Memangnya kau kira dia tidak bisa datang naik perahu?" Yang duluan berkata pula: "Hal itu sudah kupikir, sayang sekarang tinggal kita berdua, apa masih ada orang lain yang berhasil lolos belum diketahui.. Keadaan kita sekarang masih cukup berbahaya, syukur kalau Liong-tayjin ada mengutus orang untuk membantu kita." -"Sampai disini pembicaraan mereka, selanjutnya apa pula yang dibicarakan aku tidak mendengar dengan jelas. Dari nada pembicaraan mereka, agaknya mereka adalah tawanan yang berhasil meloloskan diri."

Setelah Tan Ciok-sing tiba di rumah keluarga Nyo, langsung dia bicarakan hal ini kepada Nyo Hou-hu, setelah diperiksa, memang, ada tiga orang yang berhasil lolos dari orang-orang jahat yang terdaftar. Itu berarti kecuali dua orang yang ditemui Siau-cu-cu, masih ada seorang lain pula yang lolos. Tapi ketiga orang ini hanya kaum kroco yang tidak begitu penting peranannya, semuanya sudah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan oleh Nyo Hou-hu.

Ternyata Tan Ciok-sing amat cocok dengan Kek Lam-wi, maka dua pasangan kekasih bertamasya bersama, satu memetik harpa yang lain meniup seruling, kedua pemudinya bernyanyi, berdendang dan menari, suasana sungguh amat riang dan menggembirakan. Sehari itu mereka menjelajah seluruh obyek-obyek turis di Kwan-san tanpa merasakan lelah, maklum setiap kali berada di suatu tempat yang indah pemandangannya, maka alunan harpa dan seruling pasti berkumandang di antara alam pegunungan nan permai, dipadu pula dengan kicauan burung yang merdu, sungguh indah dan mengasyikan sekali. Akhir kali dari paduan suara harpa dan seruling, dimana gema suaranya masih berkumandang di antara lembah dan sungai, tiba-tiba terdengar sebuah suitan panjang, malah sayup-sayup seperti terdengar seorang memuji: "Bagus."

Kek Lam-wi melongo sejenak, katanya kaget dan senang: "Agaknya orang ini punya hobi jugatialam bidang musik, mungkin dia ingin berkenalan dengan kita." Suitan itu berkumandang dari atas puncak sana, kalau bukan seorang yang memiliki lwekang tinggi, suaranya tak mungkin bisa terdengar sejauh ini.

Teringat sesuatu Tan Ciok-sing berkata: "Bukan saja orang ini sehobi dengan kita, kemungkinan dia memang punya maksud tertentu, agaknya dia sengaja hendak menarik perkenalan, kali ini aku pasti tidak salah dengar."

Kek Lam-wi heran, katanya: "Soal apa yang kau katakan? Apakah orang itu pernah muncul?"

"Waktu aku datang, di atas perahu pernah juga kupetik harpaku untuk teman tukang perahuku, waktu itu sayup-sayup pernah juga kudengar suara suitan. Tapi hanya suaranya saja tanpa kelihatan bayangannya, kuduga orangnya pasti sama."

"Kemungkinan orang ini masih ada di atas gunung, mari kita cari dia," demikian ajak Kek Lam-wi.

Tak nyana setiba mereka di puncak Kwa-san, bayangan seorangpun tiada yang terlihat.

Kek Lam-wi menghela napas, katanya: "Agaknya orang kosen ini tak sudi bertemu dengan kita semua."

"Aneh, kenapa dua kali dia sengaja bersuit?" ujar In San.

Tan Ciok-sing juga tidak habis mengerti katanya: "Kukira dia sengaja, hendak menarik perhatian kami, ternyata salah dugaanku." "Tapi aku yakin orang itu tidak ' punya maksud jahat terhadap kita," timbrung In San.

"Sudah tentu, kalau dia seorang musikus, seorang seniman, yakin dia bukan orang jahat."

Tapi Tan Ciok-sing tidak sependapat, batinnya: "Liong Seng-bu juga seorang pelajar pandai main musik pula, kelihatannya lemah lembut, kenyataannya dia lebih ganas dari serigala," namun dia tidak ingin berdebat dengan teman baru ini, maka dia simpan pikirannya dalam hati.

Sepulang ke rumah keluarga Nyo hari sudah petang, Nyo Hou-hu berkata: "Aku dan Lui Tayhiap sedang menunggu kalian pulang."

"Apa ada urusan?" tanya Tan Ciok-sing.

"Hayo masuk dulu, bicara didalam saja," ucap Nyo Hou-hu.

Nyo Hou-hu membawa mereka kedalam kamar bukunya, It-cu-king-thian sudah menunggu mereka. Melihat mereka datang, dia tertawa, katanya: "Hari ini kalian tentu amat riang?"

"Hari ini bertamasya dengan Kek-heng, sungguh merupakan hari yang paling menyenangkan selama hidupku ini. Tapi..."

"Tapi apa?" tanya It-cu-king-thian.

"Entah Nyo Cengcu ada persoalan apa yang hendak dibicarakan dengan kami, silakan bicarakan lebih dulu."

"Ada satu urusan yang perlu kusampaikan kepada Kek-heng, tapi bukan soal penting, silakan kalian dulu yang bicara."

"Kami juga tiada urusan apa, cuma ingin kami tanya seseorang kepada Nyo Cengcu."

"Siapa- yang kalian maksud?"

"Seorang yang belum kami ketahui nama dan wajahnya," kata Tan Ciok-sing, lalu dia tuturkan kejadian yang mereka alami di Kwa-san.

Nyo Hou-hu tampak keheranan, katanya: "Penduduk di sekitar Kwa-san boleh dikata amat kukenal, tapi tiada orang kosen seperti kalian katakan itu. Kukira dia orang luar yang datang kesana."

"Kalau dia orang luar sepantasnya juga kemari memberi selamat kepada Nyo Cengcu. Kalau tidak untuk apa pula dia berada di sekitar sini?" demikian kata Kek Lam-wi.

Nyo Hou-hu berkata: "Kalian terlalu memberi muka kepadaku, kalau dia seorang kosen, masakah berani aku menerima ucapan selamatnya? Tapi secara kebetulan, tadi memang ada seorang kemari mencari tahu tentang dirimu."

"Siapa?" tanya Kek Lam-wi.

"Kek-heng, bukankah kau punya seorang Susiok yang bernama Ti Nio tinggal di kota Khong-gwan di daerah Jwan-say?" tanya Hou-hu.

"Benar," sahut Kek Lam-wi, "tapi belum pernah aku bertemu dengan Ti-susiok."

"Dia mengutus seorang muridnya she Kok kemari, dia mengharap kedatanganmu ke Khong-gwan tanggal lima belas bulan depan untuk menemuinya."

"Sebetulnya aku ingin kumpul beberapa hari lagi disini dengan Tan-heng, karena hal ini terpaksa besok juga aku harus berangkat," demikian ucap Kek Lam-wi.

"Baiklah, karena kau ada urusan, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi. Tolong sampaikan salamku kepada Susiokmu."

"Kek-heng besok menuju ke Kwi-lin lebih dulu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Betul, kupikir akan menempuh perjalanan darat saja dengan nona

Toh, sepanjang jalan bisa menikmati pemandangan alam, petangnya kebetulan tiba di Kwi-lin."

"Kalau begitu besok kita bisa seperjalanan," kata Tan Ciok-sing.

"Lho, kau juga mau pergi? Apa kau tidak menunggu Lui Tayhiap?" Tanya Nyo Hou-hu.

"Temanku tukang perahu itu tiada pengalaman Kangouw sama sekali, aku menguatirkan keselamatannya," demikian kata Tan Ciok-sing, "kalau dia kena perkara lantaran aku, bagaimana hatiku bisa tentram."

Sesaat berpikir akhirnya It-cu-king-thian berkata: "Ucapanmu betul, hati-hati memang lebih baik. Kedua ekor ikan yang lolos itu tidak perlu dibuat kuatir, tapi kalau orang aneh itu sengaja hendak mencari perkara kepadamu, di Kwi-lin aku sudah menyebar beberapa orang, kuatirnya merekapun tak kuasa menghadapinya."

"Kalau demikian, akupun takkan menahanmu, kelak kita bertemu saja di markas Kim-to Cecu," kata Nyo Hou-hu.

Kata It-cu-king-thian lebih lanjut: "Muridku yang ketiga bernama In Ih, dia kenal kau dan Kek-siheng, besok setiba kalian di Kwi-lin, boleh menginap di rumahnya demikian pula temanmu itu bila menghadapi sesuatu persoalan boleh minta bantuan kepadanya. Temanmu itu walau dari kaum lemah namun punya jiwa ksatria, bila dia suka belajar silat, boleh aku suruh In Ih menerimanya sebagai murid."

Setelah segala sesuatunya diatur baik, hari kedua, Tan Ciok-sing, In San, Kek Lam-wi dan Toh So-so berempat mohon diri, lalu menempuh perjalanan bersama.

Dari Yang-siok ke Kwi-lin sejauh seratus dua puluh li, sehari perjalanan supaya tidak terlambat, terpaksa mereka hanya menikmati pemandangan sepanjang jalan sambil lalu belaka. Di tengah jalan mereka kehujanan dan harus berteduh selama satu jam, karena jalanan becek, waktu mereka memasuki kota Kwi-lin, hari sudah gelap.

"Seharusnya aku ikut pergi ke rumah keluarga In, tapi kuatir terlalu malam, tidak leluasa mencari temanku itu. Tolong sampaikan saja salamku kepada In Ih."

Kek Lam-wi mengiakan katanya: "Tapi, apa kau tidak makan malam dulu? Marilah, kita makan dulu."

Perut Tan Ciok-sing memang sudah lapar, dari pada bikin susah Siau-cucu, dia pikir lebih baik mampir ke warung dulu baru ke rumahnya. Maka katanya: "Baiklah, besok aku tak bisa mengiringi perjalanan kalian lebih jauh, biar kali ini aku yang traktir, kalian ingin makan apa boleh pesan saja,"

"Supaya tidak membuang waktu, kita makan di warung saja. Aku hanya ingin menikmati satu macam makanan saja."

"Masakan apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Nasi tim daging kuda."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kau memang pandai mencari makan, nasi tim daging kuda dari Kwi-lin memang lain dari yang lain, di lain tempat takkan bisa kau nikmati. Di jalan Yong-im ada sebuah warung tua yang paling baik, mari kuajak kesana. Tapi jangan kau pandang warung itu sudah reyot dan kotor."

Warung tua ini memang kecil, kotor lagi, dinding rumahnya sudah hitam hangus oleh asap, agaknya sudah sekian tahun tidak pernah dibersihkan. Toh So-so dari keluarga besar yang kaya raya, sudah tentu tak biasa berada di warung sekotor ini, dia masuk dan duduk sambil menutup hidung.

Melihat ada tamu, pelayan segera menyilakan duduk, tanpa dipesan segera dia lari kesana mulai mengiris daging kuda. Secara bisik-bisik In San berkata: "Kenapa tidak kau pesan beberapa mangkok lebih dulu?"

"Tidak usah pesan," kata Tan Ciok-sing, "apalagi orang-orang yang kemari makan nasi tim daging kuda tiada yang tahu pasti berapa banyak dia menghabiskan."

"Eh, memangnya takeran makan sendiri tidak tahu?" tanya In San bingung.

"Orang yang takeran makannya besar sekaligus bisa menghabiskan tiga puluh sampai empat puluh mangkok, bagi yang takeran kecil sedikitnya juga belasan atau dua puluhan mangkok. Makan banyak atau sedikit kan tidak menjadi persoalan."

"Apa?" teriak In San, "seorang bisa menghabiskan empat puluh mangkok? Mangkok apa itu?"

"Nanti setelah disuguhkan kau akan tahu sendiri," sahut Tan Ciok-sing. Tak lama kemudian pelayan sudah membawa nampan menyuguhkan nasi tim daging kuda.

Ternyata mangkok yang berisi nasi daging kuda hanya sebesar cangkir teh. Seketika In San tertawa, katanya: "O, kiranya sekali gares dapat melalap satu mangkok, tak heran yang doyan makan bisa menghabiskan empat puluh mangkok."

"Nasinya juga amat harum," kata Toh So-so. Setelah dicicipi ternyata daging kudanya empuk wangi dan manis, nasinyapun lembut dan segar, memang lezat dan nikmat. Semula dia makan sambil menutup hidung, akhirnya semakin lahap semakin riang dan berseri tawa.


Sudah menjadi aturan umum, bila sang tamu tidak suruh berhenti, pelayan masih terus menyuguhkan tanpa berhenti. Tan Ciok-sing minta Sam-hoa-ciu, dengan Kek Lam-wi dia makan sambil minum arak. Sebentar saja mangkok kosong sudah bersusun memenuhi meja.

In San berkata: "Aneh, semakin makan semakin enak."

"Itupun merupakan peraturan untuk yang suka makan nasi tim daging kuda. Beberapa mangkok permulaan daging yang disuguhkan adalah daging kuda biasa, kira-kira setelah lima mangkok, baru kau akan betul-betul merasakan daging kuda yang paling lezat, bila kau sudah merasakan bagian dalamnya, tanggung kau takkan merasa kenyang."

Waktu pelayan menghitung rekening, mereka berempat seluruhnya menghabiskan sembilan puluh delapan mangkok. Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kurang dua genap seratus mangkok, takeran makan kita ternyata biasa saja."

Di tengah jalan mereka berpisah, Tan Ciok-sing dan In San menuju ke pintu timur, waktu mendongak ternyata rembulan sudah bercokol di tengah langit, Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Begitu lama kita makan nasi tim daging kuda, sekarang mungkin sudah menjelang kentongan ketiga."

"Salahmu minum arak segala, kalau sudah terlambat mau apa lagi, paling mengganggu tidur Siau-cu-cu, kukira dia tidak akan salahkan kau," demikian kata In San.

Berendeng mereka beranjak di Hoa-kio terus menuju ke Cit-sing-giam, rumah Siau-cu-cu berada di belakang Cit-sing-giam, mereka masih harus menempuh perjalanan cukup jauh. Pada saat itulah di atas lereng sana kedengaran ada suara orang. Lekas Tan Ciok-sing tarik tangan In San sambil memberi tanda supaya dia berhenti. In San melengak, lekas diapun mendengar suara orang di atas.

Suara yang terbawa angin lalu kedengaran jelas, ternyata pembicaraan dua orang yang sudah mereka kenal suaranya. Seorang adalah Siang Po-san, seorang lagi adalah Phoa Lat-hong. Terdengar Phoa Lat-hong sedang berkata: "Sungguh sial, tak nyana tak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Entah siapa kedua keparat itu?"

"Kalah menang sudah biasa, suatu ketika gagal juga sudah sering terjadi, untung kita sudah tahu dimana sembunyinya Tan Ciok-sing bocah keparat itu, besok mungkin dia akan kembali dari Yang-siok, asal dia tidak bersama It-cu-king-thian, kita masih bisa mengerjai dia."

Phoa Lat-hong berkata: "Kuatirnya kedua keparat itu adalah komplotannya, kita kuntit diam-diam, ternyata mereka juga mengawasi kita.

"Kukira bukan, kalau kedua orang itu temannya, mana bisa mereka melakukan perbuatan seperti kita?"

Sampai disini Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia kembangkan Pat-pou-kan-sian terus melompat keluar memburu ke atas lereng, bentaknya: "Tak usah tunggu sampai besok bagaimana kalian hendak menjebakku, sekarang saja," belum habis dia bicara pedang pusakanya sudah terlolos, tubuh dan pedangnya bagai selarik lembayung menukik turun terus menggulung tiba, "Trang" pedangnya membentur keras dengan gitar besi Siang Po-san.

Sebagai murid tunggal Bi-ba-bun kungfu Siang Po-san memang cukup tinggi, dalam sekejap itu dia sudah bergebrak tiga jurus dengan Tan Ciok-sing, namun tiada yang dirugikan. Samentara itu In San terlambat bertindak, maka dia belum menyusul tiba.

Setelah mendesak Tan Ciok-sing mundur dua langkah tiba-tiba Siang Po-san berteriak: "Angin kencang." begitu gitar ditekan, "Ting, ting" tiba-tiba dua batang paku penembus tulang melesat kesana menyerang ke arah In San yang memburu tiba. Tan Ciok-sing tahu betapa liehay paku orang, kuatir In San tak kuasa menangkisnya, lekas dia membalik tubuh sambil menyambit dua batang piau besi, sehingga paku penembus tulang itu dirontokkan di tengah jalan.

Siang dan Phoa berdua pernah merasakan betapa liehaynya Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, begitu melihat In San memburu tiba, kontan mereka ngacir mencawat ekor. Sementara Tan Ciok-sing menguatirkan keselamatan Siau-cu-cu, maka dia tidak mengejar.

"Dari pembicaraan mereka tadi dapat disimpulkan, bahwa mereka berada disini hendak melakukan kerja tanpa modal. Tapi di kala mereka hendak bertindak, ternyata kebentur lawan tangguh yang bertujuan sama," demikian In San mengutarakan pendapatnya.

"Syukur kalau orang yang bentrok dengan mereka adalah orang-orang utusan Lui Tayhiap."

"Mungkin hanya tinggal harapanmu belaka, kan belum tentu kedua orang itu orang baik."

"Betul, agaknya kedua orang itu juga melakukan perbuatan yang sama, jelas perbuatan mereka terhitung jahat pula. Entah perbuatan jahat apa yang mereka lakukan?"

Setiba di depan rumah Siau-cu-cu, tampak sinar api masih menyorot keluar dari jendela. Waktu itu sudah lewat kentongan ketiga, jantung Tan Ciok-sing jadi berdebar, batinnya: "Sampai malam begini ternyata Siau-cu-cu belum tidur, jangan-jangan memang terjadi apa-apa pada dirinya," tengah berpikir dia beranjak lebih dekat, maka didengarnya Siau-cu-cu sedang berbicara dengan ibunya didalam rumah. Ayah Siau-cu-cu sudah lama wafat, sejak kecil mereka anak dan ibu hidup berdampingan.

"Aduh, dadamu menghitam begini, mungkin lukanya tidak ringan, tengah malam buta rata begini, bagaimana bisa masuk kota mengundang tabib kemari, bagaimana baiknya?"

"Bu, tak usah kau kuatir, aku sudah jauh lebih baik. Sekarang tidak terlalu sakit lagi."

"Ah, masa iya, kau ditendang roboh dan jatuh pingsan oleh rampok bengis itu, baru saja siuman, mana mungkin bisa sembuh secepat ini? Em, ya orang itu memberi sebotol pil obat ini untukmu, baiklah dicoba saja,"

Mendengar Siau-cu-cu terluka, karuan Tan Ciok-sing gugup dan gelisah, lekas dia menggedor pintu. Siau-cu-cu kira kawanan rampok putar balik lagi, serunya murka: "Bu, lekas kau sembunyi, biar aku adu jiwa dengan kawanan anjing itu," entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba dia berjingkrak berdiri.

"Siau-cu-cu, tak usah takut, inilah aku," lekas Tan Ciok-sing berteriak keluar.

Sudah tentu Siau-cu-cu kaget dan girang, tapi dia tak percaya akan pendengaran sendiri, tanyanya: "Apa betul kau Siau-ciok-cu?"

"Coba dengarkan dengan cermat, memangnya kau tidak mengenal suaraku lagi? Aku pulang bersama nona In."

Lekas Siau-cu-cu membuka daun pintu, tanpa terasa air mata berkaca-kaca, katanya: "Siau- ciok-cu, aku malu berhadapan dengan kau," tubuhnya limbung, hampir saja dia tersungkur jatuh.

Lekas Tan Ciok-sing membimbingnya ke atas pembaringan, katanya: "Peduli apa yang telah terjadi, aku tidak salahkan engkau. Sembuhkan dulu luka-lukamu lebih penting."

Tapi Sian-cu-cu berkata: "Kedua ekor kudamu itu dicuri orang."

Hal ini sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, lekas dia menghibur: "Memang sayang kalau kuda itu direbut kawanan rampok, apapun yang terjadi, jiwa dan keselamatan lebih penting. Jangan kau ambil dalam hati peristiwa ini mari biar kuperiksa lukamu."

"Kau pernah bilang kuda itu kau pinjam dari orang lain, mereka bisa menempuh ribuan li sehari, kuda sebagus itu tapi aku tak mampu melindunginya."

"Memangnya kuda yang dapat lari ribuan li sehari lebih tebal dari persahabatanmu terhadapku, tak usah kau pikirkan hal ini, kalau tidak mendengar nasehatku, aku bisa marah lho."

Tengah mereka bicara ibu Siau-cu-cu sudah melepas pakaian atas putranya, katanya lembut: "Siau-ciok-cu, tolong kau periksa, apakah lukanya parah?"

Tampak rona hitam menghiasi dada Siau-cu-cu, selintas pandang memang menakutkan, Tan Ciok-sing tahu luka-luka ini memang cukup parah, tapi kini sudah jauh lebih mending. Kulit yang membengkak hitam itu semula cukup lebar dan luas, kini rona hitamnya sudah agak luntur. Begitu pakaian Siau-cu-cu dibuka hidung Tan Ciok-sing mengendus bau Kim-jong-yok. Tanyanya: "Kau pernah memoles obat pada lukamu ini? Lho kenapa diusap lagi?"

"Kawanan rampok itulah yang membubuhi obat ini, aku tak percaya ada rampok sebaik itu, maka aku mengusapnya bersih."

"Rampok itu memang aneh, kenapa setelah melukai kau membubuhi obat lagi? Tapi inilah Kim-jong-yok tulen dari kwalitet paling baik."

"Tapi mereka adalah dua rampok yang lain, bukan dua rampok yang duluan," demikian ibu Siau cu-cu menerangkan.

Tiba-tiba In San menyeletuk: "Rampok yang memberi salep kepadamu itu bukankah juga memberi sebotol pil obat, coba keluarkan supaya kuperiksa."

Lekas ibu Siau-cu-cu angsurkan botol obat itu kepada In San, katanya: "Lekas nona periksa apakah pil obat inipun tulen?"

Setelah melihat pil obat itu seketika In San keheranan, katanya: "Inilah Wi-yang-tan buatan keluargaku dari resep tunggal warisan leluhur khusus mengobati luka-luka dalam, menurut ayah Wi-yang-tan dari keluarga kita ini kira-kira sejajar mujarabnya dengan Siau-hoan-tan buatan Siau-lim-si. Aku juga punya resep rahasia ini, tapi aku sendiri belum pernah membuatnya."

Mau tak mau Tan Ciok-sing ikut heran, katanya: "Apa betul?"

"Coba kau buktikan, aku sekarang juga membawa Wi-yang-tan." In San keluarkan sebuah botol porselin kecil diangsurkan kepada Tan Ciok-sing, bentuk dan warnanya memang sama demikian pula baunya yang harum juga tak berbeda.

Kata In San: "Lauw Toako, luka-luka yang kau derita ini sebutir sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkannya. Tapi rampok itu sekaligus memberi tiga butir padamu, dia benar-benar seorang rampok yang baik hati."

"Masakah rampok ada yang berhati baik, wah merupakan berita jadinya. Tapi aku tetap tak percaya."

"Kim-jong-yok itu jelas tulen, maka pil inipun pasti bukan palsu," ucap Ciok-sing.

"Kalau kau tak percaya obat pemberian rampok ini, biarlah kutukar saja dengan Wi-yang-tan milikku ini," demikian kata In San.

Siau-cu-cu segera telan sebutir Wi-yang-tan tak lama kemudian terasa hawa hangat timbul dalam pusarnya, seketika semangatnya berkobar dan badan lebih segar.

Waktu Siau-cu-cu makan obat Tan Ciok-sing bertanya kepada In San: "Apakah Wi-yang-tan ayahmu sering disumbangkan kepada teman-temannya?"

Cukup lama In San berpikir, katanya kemudian: "Aku tidak mengerti. Walau ayah takkan mungkin memberikan obat-obat ini kepada teman-temannya, tapi kawan-kawan dari kaum ksatria memerlukan ayah akan memberikan dengan sukarela. Teman-temannya yang paling akrab hanya yakin tahu Tam-pepek dan Kim-to Cecu," sebetulnya dalam hati dia sudah curiga, tapi sekarang dia tidak leluasa memberitahu kepada Tan Ciok-sing.

"Dengan kepandaian ayahmu, orang lain tak mungkin bisa mencuri Wi-yang-tan dari tangannya," demikian kata Ciok-sing, aneh juga mungkinkah kawanan rampok ini dari kalangan ksatria?"

Kesehatan Siau-cu-cu sudah juga lebih baik, tak tahan dia berteriak: "Kaum ksatria apa? Kau tahu rampok yang memberi obat inilah yang merebut kudamu. Ai, sayang kedatanganmu terlambat satu jam, kalau kau bisa datang lebih pagi, kalian akan bentrok dengan kawanan rampok itu."

"Kawanan rampok? Jadi bukan hanya dua orang saja yang kemari?" tanya Ciok-sing.

"Semua empat orang, tapi mereka tidak datang bersama. Dua orang datang lebih dulu lalu datang pula dua yang lain."

"Dua orang yang datang duluan apakah berwajah begini begitu? Satu di antaranya membawa gitar?" lalu dia lukiskan bentuk tampang Siang Po San dan Phoa Lat-hong.

"Sedikitpun tidak salah, dari mana kau bisa tahu?" tanya Siau-cu-cu terbeliak.

"Aku sudah ketemu mereka di tengah jalan," ujar Ciok-sing tertawa, lalu dia ceritakan bahwa kedua gembong iblis itu sudah digebahnya lari mencawat ekor.

Keruan Siau-cu-cu amat senang, katanya: "Sayang kau tidak merebut balik kuda itu, tapi terlampias juga rasa penasaranku."

"Kuda kami itu dirampas oleh kedua rampok yang datang belakangan bukan?" tanya Ciok-sing. "Ya, betul," sahut Siau-cu-cu.

"Bagaimana pula tampang perampok yang datang belakangan?"

"Rampok yang datang duluan sebetulnya sudah hendak membunuh aku. Pada detik-detik genting di kala jiwaku sudah hampir menghadap Giam-lo-ong itu, tiba-tiba muncul dua sosok bayangan orang, secepat angin lesus tahu-tahu menubruk tiba. Rampok yang bersenjata gitar segera berteriak: 'Jangan hiraukan bocah itu, kita sudah berhasil, lekas pergi saja.' Aku melihat mereka sudah mencemplak ke punggung kuda, tapi kejadian selanjutnya bagaimana aku tidak tahu. Dadaku kena ditendang sekali sakitnya bukan main, kontan aku jatuh semaput."

Maka tiba giliran ibu Siau-cu-cu bercerita: "Aku mengintip dari belakang daun pintu, melihat Siau-cu-cu ditendang roboh, saking kaget aku gemetar dan tak mampu berdiri lagi, ingin keluar menolongnya tapi kedua kakiku terasa lunglai tak bertenaga.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar