Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 6

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 6
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 6

tetap wajar dan tenang-tenang seperti tidak terjadi apa-apa, seolah-olah tidak tahu kalau tenaga lunaknya yang dahsyat itu telah menerjang kedalam tubuhnya, meski percobaan dilakukan berulang kali, namun betapa tinggi atau rendah lwekang Tan Ciok-sing tetap tak berhasil dia selami. Logis kalau dia kaget dan jeri.

"Anak ini masih begini muda, baru belajar sehari di bawah petunjuk Thio Tan-hong namun Iwekangnya ternyata sudah mencapai taraf sehebat ini?" demikian batin Bok Su-kiat, di samping kaget diapun keheranan, kuatir Tan Ciok-sing balas menggempurnya, lekas dia lepaskan pegangannya, katanya dengan mimik kikuk: "Memang tidak malu Tan-heng sebagai murid pandai Thio Tayhiap kagum, mengagumkan."

Yang jelas bukan lwekang lebih unggul dibanding latihan Bok Su-kiat, tapi dia gunakan gaya lengket dan tarik dari ajaran lwekang tingkat tinggi ciptaan Thio Tan-hong, gempuran dahsyat tenaga lunak lawan kena dilengketnya sampai sirna tanpa bekas tapi bila serangan diteruskan berulang kali dan temponya berkepanjangan, mungkin Tan Ciok-sing takkan kuat memunahkannya terus menerus.

Diam-diam Tan Ciok-sing geli, "Syukur keparat ini tidak dapat mengukur tinggi rendah bekal kepandaianku. Dengan sikap tenang dan wajar dia berkata tawar: "Terima kasih akan pujianmu. Nah sekarang boleh kita lanjutkan perundingan tadi."

"Bagus ingin aku mendengar dulu usul apa yang dikemukakan Tan-siauhiap," ujar Bok Su-kiat.

"Tadi sudah kukemukakan kepada Liong-tayjin, boleh kau tanya kepadanya."

Pertama memanggil "engkoh cilik" sekarang Bok Su-kiat ganti panggilan "Siauhiap" walau Liong Bun-kong orang awam yang yang tidak bisa main silat, tapi dia bisa meraba dalam adu kekuatan barusan, jelas Bok Su-kiat di pihak yang dirugikan. Nyalinya lebih kecil lagi bila perundingan ini gagal jelas pihaknya akan di pihak yang dirugikan, maka dia jelaskan tuntutan Tan Ciok-sing tadi kepada Bok Su-kiat, lalu menambahkan: "Menurut pendapatku lebih baik damai saja, untuk ini harap Jong-ling suka membantu."

Bok Su-kiat menepekur sesaat lamanya, katanya: "Liong-tayjin, bukan aku tidak mau membantu kau, soal ini kukira kurang leluasa."

"Jong-ling menghadapi kesulitan apa, boleh coba dijelaskan."

"Terus terang, karena memandang muka Liong-tayjin, maka aku memberanikan diri mengerahkan pasukan Gi-lim-kun kemari. Itu aku telah menyalahi prosedur yang semestinya, melanggar hukum yang berlaku. Celaka adalah kau sebagai Sekretaris militer justru melanggar hukum yang harus kau tegakkan, sebaliknya bagi aku baru pertama kali ini aku melanggar kebiasaan."

Liong Bun-kong tertawa dipaksakan, katanya: "Terima kasih akan peringatan Tayjin, tapi kalau Tayjin sudi menyusulkan laporan, yakin Baginda Raja tidak akan menyalahkan engkau."

"Sudah tentu, Liong-tayjin adalah pembesar kesayangan dan kepercayaan Baginda, Baginda pasti tidak akan menyalahkan aku untuk menolong kesulitanmu. Tapi justru disinilah letak kesulitannya, coba pikir, kalau Baginda sudah tahu peristiwa ini, tapi seorang penjahatpun tak berhasil kubekuk, bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab kepada Baginda?"

Sampai disini dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing, katanya dengan unjuk tawa: "Tan-siauhiap, harap kau tidak berkecil hati. Aku tahu kalian bukan penjahat, tapi terhadap Baginda tidak bisa tidak aku harus bilang demikian. Entah Tan-siauhiap tahu akan maksudnya?"

"Aku tidak mengerti," sahut Tan Ciok-sing menarik muka.

Bok Su-kiat berkata: "Bila kalian mau memberikan beberapa orang supaya aku dapat memberi laporan ala kadarnya urusan tentu lebih mudah dibereskan. Aku boleh memberi pertanggungan jawabku kepadamu, terhadap teman-temanmu pasti akan dijatuhkan hukuman seringan mungkin."

Tan Ciok-sing menjengek dingin: "Jadi maksudmu hendak tukar menukar sandera?"

"Jangan kau gunakan istilah "sandera" dalam persoalan ini. Aku memandang kalian sebagai sahabat baikku."

"Kami tidak setimpal jadi temanmu, sandera adalah sandera, kenapa harus ditutup-tutupi."

"Baiklah, terserah kau senang mengunakan istilah apa. Lalu bagaimana maksudmu?"

"Mau tukar menukar sandera juga boleh, akulah sanderanya dan ikut kau, terserah kau mau bunuh atau di penjara dua puluh tahun juga boleh. Tapi apapun kualami, pasti akan dialami juga oleh Liong-kongcu."

Liong Bun-kong kaget, pikirnya: "Kalau menggunakan cara itu, entah kapan keponakanku bakal pulang dengan selamat?"

Tan Ciok-sing seperti tahu jalan pikirannya katanya dingin: "Itulah yang dinamakan barter secara adil. Jangan kau kira harga diriku tidak sebanding dengan keponakan kesayanganmu itu?"

Terpaksa Liong Bun-kong menyerah, katanya: "Tan-siauhiap jangan berkelakar, kita tetap ingin menyelesaikan secara damai."

"Damai cara bagaimana?" desak Tan Ciok-sing.

"Baiklah laksanakan menurut tuntutanmu tadi."

"Lalu bagaimana aku harus memberi laporan kepada Baginda?"

"Akulah yang akan bertanggung jawab."

"Bukan aku tidak percaya kepada Liong-tayjin, tapi atas kemauanku sendiri aku kerahkan pasukan Gi-lim-kun, tidak kecil kesalahanku, walau kau berjanji mohon keringanan bagiku, betapapun aku masih tidak lega."

"Apa maksud Jong-ling?"

"Bicara hanya omong kosong tanpa bukti, maka aku minta tanda bukti hitam di atas putih. Tolong kau buatkan dua carik tanda buktinya kepadaku."

"O, kau minta dua carik tulisan di atas kertas?"

"Pertama kau harus melaporkan kepada Baginda, bahwa kaulah yang memberi putusan melepas kawanan penjahat itu malam ini."

"Dan yang kedua?"

"Sekarang cuaca masih gelap pintu kota belum dibuka. Tolong dengan cap kebesaranmu sebagai Kiu-bun-te-tok, tekenlah sebuah surat perintah supaya penjaga pintu membuka lebar pintu kota."

Sebetulnya sebagai komandan Gi-lim-kun diapun punya hak mengeluarkan surat perintah ini. Bahwa dia minta Liong Bun-kong yang menulis, tujuannya adalah untuk melimpahkan tanggung jawab dan kesalahan pada orang lain. Apa boleh buat terpaksa Liong Bun-kong setujui juga permintaannya.

Liong Bun-kong suruh anak buahnya mengaduk tinta dan membeber kertas, pensil sudah di tangan, tapi sekian lamanya dia masih bimbang untuk menulis. Surat perintah itu gampang ditulis, namun surat laporan kepada Baginda itulah yang menyulitkan posisinya, kalau dia mengakui membebaskan kawanan penjahat, bagaimana selanjutnya dia harus menghadapi raja? Apa pula akalnya? Sudah tentu hal ini memerlukan pemikiran yang matang.

"Liong-tayjin," jengek Tan Ciok-sing, "kalau sekarang belum bisa ambil putusan, baiklah kami mohon diri saja," beberapa patah kata ini diucapkan dengan tegas dan kereng, secara langsung memperingatkan kepada Liong Bun-kong, kalau dia masih ragu-ragu, tidak segera menulis apa yang diminta, biarlah perundingan dianggap berakhir sampai disini.

"Baik, baik, segera akan kutulis, segera kutulis," cepat Liong Bun-kong menjawab, di mulut mengatakan "segera" pada hal pensil yang sudah dibubuhi tinta belum juga dicoretkan di atas kertas.

Tiba-tiba Bok Su-kiat meniup panjang sekali kertas laporan yang sudah siap hendak ditulis oleh Liong Bun-kong tiba-tiba tertiup terbang, terasa oleh Tan Ciok-sing kesiur angin menerpa ke arahnya, kertas putih itu tahu-tahu sudah melayang ke arah mukanya.

Ternyata karena tidak berhasil menjajaki ilmu silat Tan Ciok-sing. Bok Su-kiat masih penasaran, maka kali ini mumpung ada kesempatan dia ingin sekedar pamer keliehayan dirinya untuk membuat jeri lawan. Dia ada meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, jangan kira hanya sekali tiupan mulut, namun selembar kertas itu ternyata ditiupnya melesat terbang sekencang pisau tajam. Umpama tak dapat melukai Tan Ciok-sing, sedikitnya dapat membuatnya kaget.

Tapi maksud

mendemonstrasikan ilmu yang diyakinkan ini bukan melulu ingin membuat keder lawan. Tujuan yang utama adalah hendak mengacau, mengulur waktu supaya Liong Bun-kong punya banyak kesempatan menunda kekalahannya.

Tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa lawan justru memiliki kepandaian yang lebih mengejutkan lagi. Di kala kertas itu tertiup terbang lurus ke arah Tan Ciok-sing, sekonyong-konyong tampak sinar kemilau berkelebat sekali, kertas itu tahu-tahu terbagi jadi tiga, tiga jadi enam dan enam jadi dua belas, dua belas kertas persegi kecil-kecil yang melayang jatuh berjajar di atas meja.

Dalam waktu sekejap itu ternyata Tan Ciok-sing dan In San telah mengayun sepasang pedang mereka, melancarkan sejuru^ ilmu pedang tunggal yang tiada taranya, sejurus tiga gerakan. Demonstrasi yang menakjubkan dari suatu ilmu pedang puncak tinggi betul-betul menciutkan nyali komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, wajahnya berubah pucat lalu menghijau akhirnya semu merah saking malu.

Maklum dengan kecepatan gerak pedang untuk membabat suatu, benda keras bukan suatu yang sulit, selembar kertas tipis yang enteng sedang melayang lagi, didalam sekejap waktu itu harus memapasnya menjadi dua belas persegi yang berbentuk sama adalah karya yang tidak mudah dilakukan. Bukan saja dalam ilmu pedang harus memiliki kemahiran yang luar biasa gerak tangannyapun harus mantap dan dilandasi kekuatan yang terkendali secara pas, dan yang digunakan harus pedang pusaka yang tajamnya luar biasa.

Milo Hoatsu dan Lenghou Yong pernah merasakan sendiri betapa hebatnya Siang-kiam-hap-pik Tan dan In berdua, maka mereka tidak begitu heran dan takjub, tapi Bok Su-kiat baru pertama kali ini menyaksikan ilmu pedang yang begini aneh dan mendekati magic, mau tidak mau hatinya amat terkejut. "Bagaimana lwekang bocah ini aku belum tahu, tapi bila dia bergabung dengan budak ayu ini melawanku, jelas aku bukan lawannya," Bok Su-kiat bukan saja tidak berhasil menggertak dan membuat malu orang, malah dia sendiri yang dibuat malu dan jeri pula.

Gerak pedang Tan Ciok-sing memang melebihi sinar kilat berkelebat, bila Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melompat maju mengadang di depan Liong Bun-kong, sinar pedangpun sudah berkelebat dan pedang sudah kembali kedalam sarungnya.

"Liong-tayjin, agaknya kau tidak mau menggunakan alat tulismu, baiklah, agaknya persoalan hari ini harus diselesaikan dengan senjata," demikian ancam Tan Ciok-sing.

Pucat pias saking takut dan kaget Liong Bun-kong, diam-diam dia membatin: "Bila pedangnya tadi menusuk ke arahku, meski Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melindungiku dari samping, jiwaku juga belum tentu bisa selamat." Dalam keadaan seperti ini, mana dia berani beragu lagi, lekas dia gerakkan alat tulisnya. Saking gugup dia tidak pikirkan lagi merangkai kata-kata yang indah untuk menutupi kesalahan sendiri, akhirnya surat laporan dan surat perintah itupun telah ditulisnya rampung.

Bok Su-kiat juga tidak merintangi, seterima surat itu, langsung dia keluar menyampaikan perintahnya kepada pasukan Gi-lim-kun.

Memegang surat perintah membuka pintu, Tan Ciok-sing berkata: "Liong-tayjin, mohon kau suka suruh orang menyiapkan belasan ekor kuda," putusan sudah jadi, persoalan kecil inipun sudah tidak jadi pikiran lagi bagi Liong Bun-kong, segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan apa yang diminta.

Sukses dengan tugas beratnya Tan Ciok-sing kembali ke tempat semula memberi laporan kepada Kaypang Pangcu beserta Thong Jian-hong dan lain-lain. Cepat merekapun berembuk dan memutuskan untuk memberi prioritas bagi kawan-kawan yang terluka supaya diangkut dengan kereta dan kuda, rombongan terakhir menggusur Liong Seng-bu keluar kota.

Ternyata pasukan Gi-lim-kun memenuhi janji, sepanjang jalan mereka tidak merintangi dan mengikuti. Dengan surat perintah Liong Bun-kong sudah tentu dengan leluasa mereka membuka pintu kota terus keluar kota. Lenghou Yong mengikuti tak jauh di belakang, sesuai perlanjian, dia diizinkan ikut untuk membawa pulang majikan mudanya.

Lenghou Yong berhenti diluar pintu kota, katanya: 'Sekarang boleh kalian bebaskan Liong-kongcu bukan?"

"Kenapa gugup, janji pasti kita tepati," jengek Tan Ciok-sing. Lalu dia jinjing Liong Seng-bu dan diturunkan ke tanah, katanya pula: "kau juga yang beruntung, bila masih kau main kayu dan juga berusaha mencelakai orang-orang kita, bila terjatuh ke tanganku lagi, awas jiwa anjingmu."

Rombongan besar kaum pendekar telah keluar kota dengan selamat, sepanjang jalan mereka berbincang-bincang tentang pengalaman tadi semua sama mengelus dada lega dan bersyukur bahwa Thian memang maha adil dan memberi jalan hidup bagi mereka.

Rumah Coh Ceng-hun berada diluar kota, pada suatu desa yang terletak di bawah Say-san yang jauh dari keramaian. Markas besar Kaypang cabang Pakkhia kebetulan juga ada di Say-san. Setelah semua orang keluar pintu, mereka sebelumnya sudah berunding, para korban akan dirawat dan diurus oleh murid-murid Kaypang di markas besar mereka. Sementara teman-teman Kim-to Cecu kecuali Sim Lan dan Ciu Hok merekapun menetap di markas Kaypang. Malah Kaypang Pangcu Liok Kun-lun dan orang-orang gagah lainnya tinggal di rumah Coh Ceng-hun.

Dalam gerakan besar dan berhasil kali ini yang gugur dari tokoh-tokoh penting mereka hanya To It-kiau seorang, sementara Loh Im-hu terluka parah, Sia-cin Hwesio dan Toan Kiam-ping sudah sedikit pulih kesehatannya, sementara tidak sedikit murid Kaypang dan kawan-kawan seperjuangan undangan Sim dan Ciu yang terluka ringan. Setelah kemenangan tercapai, perasaan semua orangpun tertekan, namun betapapun hati mereka terhibur juga karena surat perdamaian itu berhasil direbutnya pula, tapi bagaimana harus memanfaatkan surat perdamaian ini, mereka masih harus berunding dengan seksama. Sudah tentu tugas utama yang sekarang harus mereka laksanakan adalah merawat dan mengobati para korban.

Tari Ciok-sing, In San dan Han Cin berada di kamar sakit Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping sudah tidur napasnya enteng teratur meski masih agak lemah. Han Cin pasang kuping mendengarkan denyut jantungnya, hatinya amat risau dan kuatir, meski sekuatnya dia menahan air mata tak urung matanya sudah merah berkaca-kaca.

Waktu Tan dan In membujuk dan menghiburnya, Ti Nio beranjak masuk, katanya: "Toan-kongcu meyakinkan lwekang murni yang punya dasar kuat, sementara jiwanya tidak perlu dibuat kuatir. Biarlah dia tidur secukupnya. Nona Han, marilah kau keluar ikut aku ada yang ingin kubicarakan dengan kau."

Han Cin sudah tahu bahwa Ti Nio adalah sahabat lama ayahnya yang paling karib, memang banyak tanda tanya yang mengganjel sanubarinya selama ini, dia harap Ti Nio bisa membuka tabir jawabannya.

Tapi hatinya kini masih menguatirkan keadaan sang pujaan, meski Toan Kiam-ping sudah tidur nyenyak, dan dia harus pergi meninggalkannya dalam waktu singkat. Siapa tahu bisa penyakitnya mendadak memburuk, umpama mendadak dia siuman, tapi dirinya tiada di sampingnya, bukankah akan menjadi kekecewaannya?

In San seperti tahu perasaannya, katanya lembut: "Han-cici, legakan hatimu. Kalau dia bangun, aku bisa bantu kau merawat dan menjaganya."

Han Cin masih ragu-ragu, mendadak Ti Nio julurkan jari tengah tangan kiri terus menutuk enteng di Tan-dian-hiat Toan Kiam-ping. Sudah tentu Han Cin tahu bahwa Ti Nio tidak bakal mencelakai Toan Kiam-ping, tapi perbuatan Ti Nio yang mendadak dan tak terduga ini, mau tidak mau membuatnya kaget juga.

Ti Nio tertawa, katanya: "Aku menutuk Tan-dian-hiatnya, tapi ilmu tutuk tunggal perguruanku ini berbeda dengan ilmu tutuk umumnya. Ilmu tutukku ini kecuali dapat bantu mengumpulkan hawa murni, sekaligus membuatnya tidur pulas sehingga semangat dan tenaganya lekas pulih. Jelas akan membawa manfaat bukan merugikan," maka legalah hati Han Cin, dia keluar mengikuti ajakan Ti Nio.

Setelah mereka pergi In San berkata kepada Tan Ciok-sing sambil tersenyum. "Apa kau tidak menaruh perhatian sikap Ti-locianpwe kepada Han-cici?"

Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya: "Bagaimana menurut pendapatmu?"

"Kulihat sikap Ti-locianpwe terlalu baik kepada Han-cici."

"Kukira jamak kalau Ti-locianpwe menaruh kasihan dan sayang terhadap putri teman baiknya, kenapa harus dibuat heran?"

"Tidak, kulihat sikap dan mimik serta tutur kata Ti-locianpwe sedemikian rupa baiknya, tidak mirip perasaan kasih sayang dan memperhatikan keponakan."

"Lalu perasaan macam apa menurut pendapatmu?"

"Menurut hematku dia seperti mengganggap Han-cici seperti anak kandungnya sendiri," sedang mereka berbincang, seorang tua datang dan berkata: "Tan-siangkong, In-siocia. Liok-pangcu mengundang kalian untuk berunding."

Tan Ciok-sing tahu Toan Kiam-ping baru akan sadar setelah tidur nyenyak selama beberapa jam lagi, maka tanpa kuatir sedikitpun dia tinggalkan kamar tidur ini. Bila mereka memasuki suatu kamar rahasia, tampak beberapa orang telah menanti kedatangannya. Mereka adalah Liok-pangcu, salah satu Wi-cui-hi-kiau Lim lh-su, kedua orang utusan Kim-to Cecu, Sim Lan dan Ciu Hok, demikian pula Coh Ceng-hun sebagai tuan rumah.

Kecuali tuan rumah, beberapa orang itu mewakili tiga pihak, mereka adalah orang-orang penting yang berkompeten dalam persoalan rahasia yang akan mereka rundingkan. Melihat kehadiran orang-orang penting ini Ciok-sing lantas tahu yang bakal dibicarakan tentu urusan besar.

Betul juga begitu buka mulut Liok Kun-lun lantas berkata: "Tan-siauhiap, nona In, semalam telah bikin kalian capai, tapi aku tetap tidak akan memberi kesempatan untuk kalian istirahat karena urusan besar masih perlu kita rundingkan dengan kalian."

"Liok-pangcu terlalu

mengagulkan diriku. Entah urusan besar apa yang akan dibicarakan?" tanya Ciok-sing.

"Surat perdamaian itu sudah berada di tangan kita, yang harus kita rundingkan adalah cara bagaimana kita memanfaatkan surat perdamaian itu?" kata Liok Kun-lun.

"Urusan memang genting. Wanpwe belum sempat memikirkan jalan keluarnya, maka tak berani aku sembarang mengajukan usul," demikian ucap Tan Ciok-sing.

"Kalau demikian silahkan Lim Tayhiap utarakan maksud hatinya?" pinta Liok Kun-lun.

Lim Ih-su berkata: "Liong Bun-kong keparat itu berintrik dengan bangsa asing hendak menjual negara dan bangsa, dosanya tidak terampunkan, surat perdamaian hasil tulisan tangannya ini merupakan bukti yang mematikan. Mumpung kita memperoleh kesempatan, marilah kita beber dosanya di hadapan umum, sekaligus kita serukan kepada khalayak ramai untuk angkat senjata dan membangkitkan semangat juang mereka untuk melawan penjajah."

Ciu Hok bicara: "Gerakan seperti itu memang cukup menyenangkan, tapi masih harus diselidiki siapa sebetulnya biang keladinya, mungkin bukan bangsat tua she Liong."

Lim Ih-su sadar, katanya: "Maksudmu, biang keladinya adalah Baginda Raja sendiri."

"Betul," ujar Ciu Hok, "jikalau tanpa memperoleh persetujuan Baginda Raja yang berkuasa memangnya pembesar anjing itu berani terang-terangan

mengundang Data Watsu mengadakan perundingan damai serta menginap di rumahnya pula. Coba pikir pasukan Gi-lim-kun pun telah dikerahkan, seluruh pembesar sipil maupun militer kerajaan memang siapa lagi yang tidak tahu bahwa bangsat tua she Liong telah melayani Duta-duta Watsu itu di penginapan di rumahnya."

"Kalau demikian sekalian kita berontak saja kepada Baginda Raja," demikian usul Lim Ih-su, "pihak kerajaan memang sudah anggap Kim-to Cecu kalian sebagai pemberontak, kenapa kalian masih ragu-ragu untuk angkat senjata menumpasnya?"

"Bukan kita takut memberontak," sela Sim Lan, "tapi yang penting kita harus dapat menguasai situasi, bila pemberontakan lebih banyak membawa sengsara bagi rakyat jelata, lebih baik kita tunda saja gerakan besar ini."

Liok Kun-lun manggut-manggut, katanya: "Betul, urusan harus dibedakan yang penting dan yang ringan. Bicara soal situasi yang sekarang kita hadapi, musuh kita yang utama adalah penguasa yang berkuasa sekarang di Watsu, jadi bukan Baginda Raja dynasti Bing yang berkuasa di kerajaan kita."

"Lalu bagaimana menurut pendapat Sim-thauling?" tanya Lim lh-su.

"Ini bukan maksudku seorang, tapi aku membawa suara Kim-to Cecu dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Yang penting adalah kita harus berusaha supaya pasukan negeri tidak menggempur kita, justru sebaliknya kita harus berusaha supaya pasukan kerajaan bergabung dengan laskar rakyat kita menghadapi serbuan musuh. Kalau kita harus memberontak juga melawan serbuan Watsu, itu berarti melemahkan kekuatan kita sendiri, pihak Watsulah yang akan memungut keuntungan," demikian Sim Lan memberikan uraiannya.

Lim Ih-su geleng-geleng katanya: "Pandangan bagus, tapi seperti yang tadi kau katakan bahwa Baginda Raja mungkin adalah biang keladi dari semua kejadian ini, lalu apakah dia mau bergabung dengan kita melawan penjajah? Bukankah ini suatu pemikiran yang terlalu muluk?"

Ciu Hok berkata: "Baginda Raja jelas tidak akan mau, oleh karena itulah kita justeru harus memanfaatkan kesempatan ini, memaksanya sehingga dia mau bergabung dengan kita."

"Kalau Baginda Raja boleh tunduk dan mau dengar perkataan setiap orang, dia tidak akan jadi Raja. Justru sebaliknya rakyat harus tunduk akan perintahnya, lalu dengan cara apa kau dapat membuatnya tunduk akan omonganmu?" demikian debat Lim Ih-su.

Sim Lan berkata: "Kukira meski Baginda adalah biang keladinya, kukira rahasia ini pantang diketahui oleh siapapun, betul tidak?"

"Betul," seru Liok Kun-lun, "sebagai pihak yang berkuasa raja boleh melakukan perbuatan apa saja, tapi perbuatan hina dina seperti takluk dan mohon damai dengan bangsa asing, jelas akan dia rahasiakan, karena dia pikirkan juga gerakan rakyat yang tidak kecil artinya. Kalau tidak perlu dia suruh Liong Bun-kong wakili dia melaksanakan kehendaknya itu secara rahasia."

Lim Ih-su tertawa dingin, katanya: "Yang benar hal itupun hanya sekedar menutupi tabir belaka. Sudah setengah bulan Duta rahasia bangsa Watsu itu berada di kota raja, pembesar sipil maupun militer kerajaan siapa yang tidak tahu?"

"Itu persoalan lain," bantah Liok Kun-lun, "meski pembesar sipil maupun militer sama tahu, paling mereka hanya berani kasak-kusuk saja, siapa berani bicara secara blak-blakan di depan umum? Baginda Raja duduk tinggi di atas singgasana, asal kasak-kusuk para pembesar itu tidak masuk kupingnya, dia boleh tidak usah ambil pusing dan anggap tidak tahu."

"Kalau demikian lalu bagaimana?" desak Lim Ih-su.

"Kalau Baginda tidak ingin orang lain tahu, maka kita harus cari upaya supaya Baginda tahu bahwa kita telah tahu," timbrung Coh Ceng-hun.

"Dengan cara apa?" Lim Ih-su bertanya pula.

"Aku punya seorang paman, kini menjabat pembantu pencatat sejarah di istana, orangnya jujur dan dapat dipercaya, selama hidupnya cinta bangsa dan negara, biasanya teramat tinggi memandang dirinya sebagai pembesar setia. Biar aku mencarinya dan memperlihatkan surat damai ini kepadanya, mohon pula bantuannya supaya berusaha mengadukan Liong Bun-kong. Supaya dirinya tidak terlibat, yakin Baginda pasti mengorbankan pembesar dorna ini. Bagaimana menurut pendapat kalian akan akalku ini?"

Perlu diketahui Coh Ceng-hun adalah keturunan pembesar tinggi sejak beberapa generasi, sampai sekarang beberapa pamannya masih juga punya jabatan penting dalam pemerintahan.

Sim Lan berpikir sebentar, lalu katanya: "Cara itu memang baik, tapi terdapat suatu lobang kelemahan yang amat fatal."

"Kelemahan bagaimana?" tanya Coh Ceng-hun.

"Kalau Liong Bun-kong balas bertanya, dari mana kau memperoleh surat perdamaian ini? Bagaimana dia harus menjawab? Aku kuatir usaha kita bukan saja tidak akan berhasil, celaka adalah pamanmu dan keluarganya akan ketimpa bencana dengan tuduhan sekongkol dengan pemberontak. Coba pikir sebagai pembesar tinggi yang terkenal setia pada negara, mana dia mau memikul dosa seberat itu? Dan lagi Liong Bun¬kong bisa memungkiri tuduhan itu, berbalik dia putar persoalan memfitnahnya mau berontak, atau menyiarkan berita bohong serta mencari gara-gara selalu."

Coh Ceng-hun geleng-geleng, katanya gegetun: "Akal ini kurang sempurna, usul itu tidak diterima, ada cara baik apa pula yang harus kita rundingkan?"

Sim Lan berkata: "Coh-heng jangan patah semangat, usulmu itu memang amat bagus, cuma orangnya yang melaksanakan harus diganti orang lain."

"Diganti siapa?" tanya Coh Ceng-hun.

"Kukira tidak perlu memakai prosedur kerajaan, ganti saja salah satu di antara kita sendiri," Sim Lan berusul.

Lim Ih-su kaget, selanya: "Orang kita serdiri yang melaksanakan, apakah mungkin?"

Tegas suara Sim Lan: "Asal dapat berhadapan dengan Raja, maka Raja harus tunduk dan dengar keinginan kita."

"Kenapa?" Lim Ih-su masih bingung.

"Cara kita yaitu menggunakan caranya sendiri untuk membalasnya," Sim Lan berkata.

"Aku masih tidak paham, tolong kau jelaskan lebih terperinci," pinta Lim Ih-su.

"Raja menguasai para pembesar bawahannya, bukaukah cara ini dapat kita gunakan untuk mengancam dan membujuknya?" Sim Lan menjelaskan.

"O, jadi dengan mengancam dan membujuknya sekaligus menekan sang raja?" seru Lim lh-su, seolah-olah dia anggap cara ini terlalu muluk.

Sim Lan seperti tahu jalan pikirannya, katanya kalem: "Ini bukan akal yang muluk atau berkelebihan. Bagi seorang Raja apa yang paling penting kecuali dapat menduduki singgasananya dengan anteng dan abadi, mempertahankan kedudukan rajanya. Tujuannya minta damai kepada Watsu bukan lain juga supaya dia dapat mempertahankan maksudnya ini, coba katakan betul tidak?"

Tanpa merasa Lim Ih-su mengangguk sambil mengiakan.

Sim Lan bicara lebih lanjut: "Kita bisa mengultimatum kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan kita melawan serbuan penjajah, akan kita umumkan tentang surat perdamaian itu ke seluruh negeri, biar rakyat banyak tahu, bahwa Baginda Raja ingin menyerah dan minta damai, maka jangan harapkan kerajaan dapat melindungi kehidupan mereka. Di samping itu kitapun harus bangkitkan semangat kepahlahwanan bangsa kita untuk menggempur musuh supaya rakyat tidak tertindas dan menderita karena peperangan."

Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Cara ini memang dapat membuat kaget Baginda, memangnya dia sudah jeri pada Kim-to Cecu kalian, bila kita betul-betul bertindak seperti akalmu itu, Kim-to Cecu akan mendapat junjungan rakyat serta mendukungnya, bila pasukan besar telah angkat senjata memangnya kedudukannya masih bisa tenang?"

Sim Lan berkata lagi: "Bila dia setuju bergabung dengan kita melawan serbuan musuh kita harus berjanji untuk mendukung dia jadi Raja abadi, kita bina bersama kedamaian tanah air kita nan jaya. Tentang permohonan damainya kepada pihak Watsu harus tetap kita rahasiakan. Setelah

mempertimbangkan untung ruginya, adalah logis bila dia dapat kita kuasai, kemana dia harus menentukan arah yakin dia memilih sendiri."

Lim Ih-su masih merengkel, katanya: "Tapi cara itu pun merupakan paksaan, bukan mustahil dia bisa ingkar."

Sim Lan berkata tandas: "Asal pasukan kerajaan tidak berani kerja sama dengan Watsu untuk menggempur kita, itu sudah merupakan peluang baik untuk kita menahan serbuan penjajah. Yang terang ancaman agresi musuh sudah di ambang pintu, tentara kerajaan juga berasal dari rakyat jelata, sembilan di antara sepuluh tentu senang melawan agresi musuh. Umpama sang Raja ingkar janji juga kita tidak perlu kuatir lagi."

Akhirnya hadirin menyetujui cara ini, lalu mereka merundingkan siapa calon yang diutus untuk menunaikan tugas penting dan rahasia ini.

Lim Ih-su berkata: "Orang ini harus punya pengetahuan luas keberanian yang luar biasa pula. Dia harus memiliki ginkang yang tinggi, Kungfu yang hebat juga, kalau tidak bagaimana mungkin dia menyelundup ke istana raja? Dikuatirkan sebelum bertemu dengan Baginda, jejaknya sudah konangan oleh kawanan wisu istana."

Di antara hadirin yang datang, terhitung lwekang Liok Kun-lun paling tangguh, Lim Ih-su paling tinggi ginkangnya. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh penting sebagai pimpinan lagi bagi rombongan masing-masing dan harus pegang kuasa dan situasi. Pertempuran semalam Lim Ih-su menderita luka dalam yang cukup berat, hawa murninya sudah jauh berkurang, untuk memulihkan kesehatannya sedikitnya memerlukan waktu sepuluh hari, baru ginkangnyapun akan pulih seperti sedia kala.

Akhitnya Tan Ciok-sing mengajukan dirinya, katanya: "Bila hadirin tidak anggap usiaku terlalu muda dan cetek pengalaman, berkepandaian rendah lagi, dengan senang hati aku rela memikul tugas berat ini."

"Tan-siauhiap terlalu sungkan," ucap Liok Kun-lun, "Menilai bakat dan ilmu silatmu, kau memang calon tunggal yang tiada bandingannya, tapi kau hanya seorang diri..."

Belum habis dia bicara In San sudah cepat menyela: "Liok-pangcu, mohon persetujuan kau orang tua supaya aku pergi bersama Tan-toako."

Kepandaian gabungan sepasang pedang mereka hadirin sudah menyaksikan, ginkang In San juga cukup tinggi, bila kedua orang ini menunaikan tugas itu umpama usahanya gagal, untuk meloloskan diri yakin tidak menjadi soal. Maka Liok Kun-lun orang pertama yang menyatakan persetujuannya, Lim Ih-su masih bimbang, dia kuatir In San seorang gadis mungkin kurang setimpal menjalankan tugas ini.

In San berkata lebih lanjut: "Bila aku bertemu dengan sang raja, sekaligus ada keuntungannya, bila aku menyebut nama Kakek, yakin sang Raja masih mengingatnya," seperti diketahui kakek In San yaitu In Jong dahulu pernah merebut Bu-conggoan di kala Bing-ing-cong masih berkuasa, sebagai komandan Gi-lim-kun, beliau pernah mendirikan jasa dan pahala besar untuk negara dan bangsa. Raja yang berkuasa sekarang Cu Kian-sin adalah putra sulung Bi-ing-cong, di waktu dia masih pangeran, pernah dia bermain-main ke rumah keluarga In, jadi hubungannya dengan sang kakek dan ayahnya amat akrab.

"Betul," ujar Liok Kun-lun, "bila kau bertemu dengan raja boleh kau singgung nama kakek dan ayahmu, bukan mustahil dia lebih percaya dan mau menerima

keteranganmu," maka hadirin sepakat mencalonkan Tan Ciok-sing dan In San berdua untuk menunaikan tugas.

In San berkata: "Menyerempet bahaya aku tidak takut, tapi ada satu kesulitan yang perlu dibereskan."

"Kesulitan apa?" Tanya Lim ih-su

"Dulu aku pernah tinggal di rumah keluarga Liong, tapi hampir tidak berhasil aku menemukan tempat persembunyiannya. Istana raja jauh lebih besar dan ruwet dari gedung bangsat tua itu, aku belum pernah masuk istana, kalau hanya mengadu nasib melulu, mungkin takkan bisa kebetulan."

Liok Kun-lun memeras otak, katanya kemudian: "Soal ini boleh serahkan padaku. Murid Kaypang ada yang di taman, di istana dan kenal baik dengan para thaykam, dengan sogokan uang yang cukup banyak jumlahnya, yakin thaykam itu dapat diminta bantuannya untuk menggambar sebuah peta tentang seluk beluk istana. Sudah tentu juga masih memerlukan nasib mujur, tapi cara ini kukira lebih baik ditempuh dari pada main untung-untungan."

Setelah segala sesuatunya dirundingkan dan diputuskan secara aklamasi, karena memikirkan kesehatan Toan Kiam-ping, Tan Ciok-sing bersama ln San mohon diri pulang ke kamar

Toan Kiam-ping masih tidur nyenyak, Ti Nio dan Han Cin juga belum kembali.



000OOO000



Ti Nio ajak Han Cin ke hutan cemara di belakang rumah, sepanjang jalan saling membisu, seakan ada urusan yang mengganjel hati dan mengganggu pikiran.

Diam-diam Han Cin mulai curiga. "Apakah yang hendak dia bicarakan dengan aku? Kenapa tidak bicara didalam rumah saja?"

Setiba didalam hutan yang agak jauh dan sunyi baru Ti Nio menghentikan langkah, tapi dia tetap membungkam sekian lamanya. Lama dia mengawasi Han Cin, sikapnya amat aneh dan ganjil, seperti amat senang, tapi juga amat sedih.

Dengan rasa was-was akhirnya Han Cin memberanikan diri bertanya: "Ti-locianpwe,

kenapakah kau?"

Sebelum buka suara Ti Nio menghela napas dulu, katanya kemudian, "Wajahmu mirip ibumu."

"Apa iya? Ayah juga bilang demikian."

Ti Nio melenggong, katanya: "Apa mirip wajahmu dengan ibumu, masa kau tidak tahu, sampai ayahmu yang harus memberitahu kepadamu?"

"Waktu ibu meninggal, aku belum genap satu tahun."

Tak tertahan bercucuran air mata Ti Nio, katanya: "Ibumu meninggal di waktu mengungsi?"

"Ya, waktu itu kami belum memperoleh tempat berteduh yang tetap."

Sungguh tak terperikan sedih Ti Nio, lama sekali baru dia menahan air matanya, katanya pula: "Semua itu adalah karena dosaku aku tidak mampu membantu kesulitan ayah bundamu. Ai, Ibumu memang amat menderita."

Sudah tentu Han Cin pun amat sedih, tapi rasa curiganya lebih besar.

Pikirnya karena perang sehingga ayah bunda harus mengungsi dan mengalami siksa derita selama di rantau, kematian ibu memang termasuk suatu kecelakaan, namun itu jamak dan sering terjadi dalam keadaan huru hara yang tidak aman, mana bisa menyalahkan seseorang. Walaupun Ti Nio wajib membantu dan melindungi sahabat baiknya, tapi seperti apa yang dia katakan masing-masing pihak menuju ke arah jalannya sendiri, suami istripun bukan mustahil mengalami kejadian seperti itu, apa lagi hanya sahabat? Umpama dia tidak sempat dan tidak mampu membantu temannya, tidak perlu dia begitu sedih seperti menyesali kesalahan sendiri.

"Ti-pepek, kemarin aku ada titip karya peninggalan ayah kepada pesuruh keluarga Coh, entah kau orang tua sudah menerimanya?" demikian tanya Han Cin.

Ti Nio menyeka air mata, katanya: "Banyak terima kasih akan kesudian ayahmu mewariskan karya peninggalannya kepadaku, hatipun bisa tentram kini. Kau tidak tahu, selama bertahun-tahun ini, aku paling kuatir bahwa ayahmu tidak sudi memaafkan aku. Sekarang legalah aku, agaknya ayahmu sudah mau memaafkan diriku."

Han Cin berkata: "Ti-pepek, dalam hal apa ayah harus memaafkan engkau? Selama ini aku berprasangka, justru kaulah yang harus memaafkan ayahku."

"Oh, apa yang dikatakan ayahmu?"

"Dia bilang pernah melakukan suatu kesalahan terhadap seorang teman baiknya, tapi dia tidak perlu menyesal," sulit Han Cin menelaah perkataan ayahnya ini, pada hal sifat ayahnya lurus dan jujur, kenapa setelah melakukan kesalahan sedikitpun tidak menyesal? Tatapan matanya mengandung tanda tanya, dia harap Ti Nio bisa memberikan jawabannya.

Ti Nio menghela napas panjang, katanya: "Yang betul akulah yang salah terhadap ayahmu, akulah yang harus menyesal."

"Ti-pepek, sebetulnya apakah yang pernah terjadi, boleh kau menceritakan kepadaku?"

Ti Nio tidak segera menjawab, dengan suara lirih mulutnya menggumam seperti senandung syair yang memilukan. Suaranya serak dan tersendat bagai kelu lidahnya, senandungnyapun tidak dilanjutkan. Han Cin tahu syair yang disenandungkan Ti Nio adalah ciptaan ayahnya, mendengar berapa sedih dan pilu suara senandungnya, Han Cin sendiri tak tertahanpun mencucurkan air mata. Bukan saja hatinya ikut sedih, makna syair itupun membuatnya tidak habis mengerti.

Ti Nio juga tidak melanjutkan senandungnya setelah menarik napas panjang dia berkata: "Dulu waktu aku bersama ayahmu, dia belajar meniup seruling kepadaku, aku belajar membuat syair kepadanya. Setiap syair yang habis kubuat pasti kuserahkan kepadanya untuk dikoreksi. Tapi hanya syair inilah yang kubuat untuk diriku sendiri, belum pernah kuperlihatkan kepadanya, sekarang biar kudeklamasikan untuk kau."

Hambar rasa Han Cin mendengar syair ciptaan Ti Nio, setelah Ti Nio habis mendeklamasikan karyanya sendiri. Han Cin lantas bertanya: "Ti-pepek, maaf akan kelancanganku, bukankah makna syairmu ini seperti mengenang seorang gadis pujaanmu? Apakah gadis itu sekarang sudah meninggal?"

"Betul, dia sudah meninggal. Tapi setelah beberapa tahun kemudian baru kuketahui."

Bergetar hati Han Cin, katanya: "Waktu kau menulis syair ini apakah ayah masih berada bersamamu?"

"Waktu itu kita memang sudah berpisah, tapi dia belum mengungsi, kalau mau aku masih bisa mencarinya."

"Kenapa kau tidak mencarinya?"

"Karena aku ragu dia tidak mau menemui aku, setelah aku membuat syairku ini sebetulnya ingin aku menyerahkan kepadanya, tapi akhirnya aku membatalkan niatku, biarlah untuk kenangan saja."

"Kenapa?" tanya Han Cin.

"Apakah ayahmu sayang kepadamu?" tanya Ti Nio tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Han Cin, hal ini kembali diluar dugaan Han Cin.

Setelah melenggong Han Cin berkata: "Ti-pepek, pertanyaanmu agak aneh, ayahku sudah tentu sayang kepadaku, teramat sayang sekali. Setelah ibu wafat kami ayah beranak terus hidup berdampingan. Bila ada makanan enak pasti dia berikan dulu kepadaku, kalau membeli kain pasti aku dibikinkan pakaian baru. Kami memang miskin, tapi hidup sederhana dan bahagia."

"Ya, tidak pantas aku tanya hal ini kepadamu. Ayahmu memang orang baik, orang paling baik di dunia ini, hal ini sudah lama kutahu. Kenapa aku curiga bahwa dia tidak menyayangi kau?"

Kalau dia tidak curiga adalah Han Cin semakin tebal rasa curiganya. CWiga kenapa dia mempunyai jalan pikiran yang tidak pantas mencurigai sesuatu yang dicurigai?

"Aku tidak tahu apakah pantas aku memberitahu kepadamu, tapi kini setelah kupikir kalau ayahmu tidak memberitahu kepada kau, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."

"Tidak, ayah sebetulnya ingin memberitahu kepadaku sebelum ajalnya. Sayang waktu sudah amat mendesak dan tidak sempat lagi, dia hanya bisa bilang sepatah kata."

"Apa yang dikatakan?"

"Beliau bilang: 'Ada sesuatu rahasia perlu kuberitahu kepadamu,' sikapnya seperti bertekad hendak memberitahu hal itu kepadaku, tapi setelah maksudnya diutarakan, dia jadi seperti bimbang dan ragu-ragu, akhirnya hanya itu saja yang dikatakan lantas putus napasnya. Rahasia yang sudah dia janjikan hendak diberitahukan kepadaku tetap tidak jadi dikatakan. Ti-pepek, kau harus memberitahu aku kalau tidak hidupku ini selamanya tidak akan bisa tentram."

"Selama hidupku takkan bisa tentram". kata-kata ini seberat bandulan yang menindih sanubari Ti Nio, sekujur badan seperti gemetar dan keringat dinginpun gemerobios. Sebetulnya dia tidak ingin membeber duduk persoalan yang sebenarnya, tapi apakah dia tega membiarkan Han Cin hidup tertekan lahir batin?

Lama mereka berhadapan saling pandang, akhirnya Ti Nio seperti berhasil menyingkirkan benda berat yang menindih sanubarinya, dengan lekat dia pandang Han Cin, dengan nada pahit dia berkata: "Baiklah akan kukisahkan sebuah cerita, cerita tentang diriku."

"Keluarga Ti kami adalah keluarga turun temurun di Kim-ling, ayahku adalah seorang cikal bakal suatu aliran persilatan, kenyang belajar dan membaca buku, serba mahir surat dan sastra, memetik harpa main catur, tulis menulis dan seni lukis semua adalah keahliannya. Tapi keluarga kami ternyata tidak banyak, kecuali beberapa pelayan dan kacung, kami hanya empat orang, kecuali ayah bundaku bersama aku bertiga, masih ada seorang Piaumoay yang sejak kecil diasuh sampai tumbuh dewasa di rumahku.

"Piaumoay adalah putri tunggal adik ibuku, sejak kecil ditinggal mati ayah bundanya. Mengingat hubungan dekat kakak beradik, ibupun memandangnya seperti anak kandung sendiri, sejak kecil diasuh, dididik sampai besar."

"Sejak kecil kami tumbuh besar bersama, seperti saudara kandung sendiri tapi tabiatnya agak berbeda dengan aku, hobinya sastra dan tidak suka belajar silat, namun sedapat mungkin dia pernah belajar silat padaku, begitu kembali ke kamar tidak pernah dia melepas buku yang senang dibacanya."

"Entah karena ayah bundanya sudah wafat sejak dia masih kecil, sehingga dia suka menyendiri, sering kali setengah hari dia tidak pernah bicara sepatah kata kepadaku. Sering aku mencari kesempatan untuk membuatnya senang dengan berbagai cara yang kubuat-buat, apa keinginannya selalu kuturuti, namun jarang aku bisa menyaksikan senyum tawanya."

"Untuk memperoleh jasa simpatiknya, terpaksa aku berusaha memenuhi segala kesenangannya. Dalam bidang sastra, entah itu memetik harpa, menggambar, membuat syair atau main catur jelas aku bukan tandingannya. Tapi hanya satu, mungkin karena bakatku lebih mendekati kebutuhan, aku belajar meniup seruling, ternyata pelajaran yang kucapai cukup dibanggakan. Kebetulan leluhurku ada meninggalkan sebatang seruling batu pualam, suara yang kutiup dari seruling pualam ini ternyata amat empuk dan enak didengar."

"Seruling pualam itu adalah sebuah pusaka konon dibuat dari pualam dingin yang tumbuh ribuan tahun di dasar laut, kekuatannya dapat menahan bacokan golok dan pedang. Kepada ayah aku minta seruling itu, dengan seruling itu pula ayah mengajarkan ilmu tutuk kepadaku. Dan dengan seruling itulah aku sering membawakan lagu untuk didengarkan Piaumoay.

Hanya di kala dia mendengar lagu tiupan serulingku baru kulihat dia mengulum senyum dan tawa. maka latihanku meniup serulingpun lebih giat dan rajin."

"Karena itu pernah aku dimaki oleh ayah karena latihan silat terbengkalai, beliau bilang Piaumoay adalah anak perempuan tidak pandai silat tidak jadi soal, kalau dia tidak suka juga tidak perlu dipaksa. Tapi lain dengan kau, kau adalah anak tunggalku, kelak bakal mewarisi seluruh kepandaianku. Sudah tentu besar harapanku kau pandai sastra dan silat, tapi aku kuatir kau gagal di bidang sastra, mengecewakan pula ilmu silatmu. Dari pada keduanya setengah jalan, maka aku lebih cenderung supaya kau lebih menekuni pelajaran silat."

"Tapi meski ayah memberi wejangan kepadaku, secara diam-diam sering pula aku ajak Piaumoay keluar bermain-main. Di Cong-san kutiup seruling untuk dia dengar."

Sampai disini cerita orang, dalam hati Han Cia diam-diam berpikir: "Jadi sejak kecil Ti-pepek sudah begitu besar cintanya kepada sang Piaumoay, namun dari nada ceritanya ini, cintanya agaknya bertepuk sebelah tangan, entah siapa pula Piaumoaynya itu, akhirnya menikah dengan siapa?" lapat-lapat dia sudah merasakan suatu keganjilan, timbul rasa dingin dalam sanubarinya lekas dia pusatkan perhatiannya tak berani pikir lebih jauh.

Ti Nio seperti tahu jalan pikiran Han Cin, katanya lebih lanjut setelah menghela napas. "Memang sejak kecil aku amat mencintai Piaumoay, selama hidupku ini hanya dia saja yang pernah kucintai. Sudah tentu waktu kecil aku tidak tahu arti cinta, namun setelah keduanya tumbuh dewasa, aku semakin menyadari bahwa aku tidak boleh meninggalkan dan berpisah dengan dia."

"Tapi aku yakin dia tidak akan meninggalkan aku, bukan lantaran janji yang diucapkan di waktu kecil, adalah karena didalam pandangan ayah bundaku, mereka sudah pandang kami sebagai sepasang suami isteri yang setimpal. Urusan jodoh jelas tidak perlu dirisaukan lagi, hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak ayah bundaku untuk minta persetujuannya, bila kami sudah sama dewasa, boleh tentukan waktu dan langsung nikah. Aku tahu maksud ayah bundaku, dia juga tahu. Jalan pikiranku sama dengan maksud orang tuaku, kukira dia takkan mengetahui, maka hatiku amat lega dan tentram."

"Tahun demi tahun berlalu, tanpa terasa kami sudah sama dewasa. Aku meyakinkan Thong-cu-kang, kalau menikah terlalu pagi akan mengganggu latihan lwekangku. Ayahku sudah membuat rencana, setelah aku berusia likuran baru akan melangsungkan pernikahanku dengan Piaumoay. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa

perjodohanku ini jelas takkan mengalami perubahan apapun, maka akupun turuti saja kehendak orang tua, tidak perlu buru-buru menikah."

"Tapi peristiwa yang tak pernah terduga akhirnya terjadi juga."

"Tahun itu aku berusia sembilan belas, Piaumoay tujuh belas. Tahun itu mendadak ayah keluar pintu menyelesaikan suatu urusan, pulangnya dia membawa seorang pemuda menetap di rumah kita."

"Pemuda ini adalah putra seorang guru sekolah yang kenamaan di Hang-ciu, waktu kecil ayah pernah menjadi muridnya, maka ayah amat patuh dan menghormatinya seperti orang tua sendiri. Sebetulnya ada maksud ayah mengajak guru sastra ini menetap di rumah kita, tapi tabiat guru tua ini memang kaku, beberapa kali ayah utarakan maksud baiknya, tapi selalu ditolaknya."

"Kepergian ayah kali itu karena dia mendapat kabar bahwa guru tua sekolah itu menderita sakit parah, sengaja dia pergi ke Hang-ciu menengoknya, sayang sekali, setiba ayah di rumah guru sekolah itu, penyakit guru tua itupun kebetulan kumat dan tidak terobati lagi, sebelum ajalnya dia masih sempat bertemu muka dan bicara beberapa patah kata."

"Guru sekolah ini hidupnya serba kekurangan, menjelang setengah umur baru menikah dalam usia lanjut baru mendapat anak, putranya kebetulan seusia dengan aku. Sebelum ajalnya dia titip anaknya yang sebatangkara kepada ayah, sudah tentu ayah berjanji dan dengan senang hati menerimanya."

"Guru sekolah itu berpesan: 'Jangan kau kukuh akan tingkatan, dulu kau belajar membaca padaku, kini biar anakku belajar silat padamu, aku tahu seusianya belajar silat memang sudah terlambat, tapi tujuanku hanya supaya badannya sehat. Dia sudah menyembah padaku sebagai pengangkatan guru, kuharap kau tidak menolaknya.'"

"Ayah tahu maksud sang guru, putranya sebaya dengan aku, maka dia mengaturnya demikian, kecuali untuk melicinkan jalan supaya putranya leluasa belajar silat di rumah gurunya, diharapkan pula didalam hal panggilan satu sama lain tidak menjadi kikuk. Ini hanya soal kecil, maka ayah menerimanya. Setelah sang guru memberikan pesannya, maka beliaupun meram dengan tentram."

"Setelah guru meninggal, ayah mengurus penguburannya, setelah lewat masa berkabungnya ayah bawa putranya itu pulang yaitu murid yang baru diterimanya, atau pemuda yang kusebut tadi."

Mendengar cerita sampai disini, dalam hati Han Cin sudah dapat menerka beberapa bagian. Sejauh ini, Ti Nio tidak menyebut nama pemuda itu, maka diapun tak berani tanya. Perasaannya berat dan tertekan.

Ti Nio melanjutkan: "Putra guru ayah sebaya dengan aku, tapi dia lebih muda beberapa bulan, setelah dia angkat ayah sebagai guru maka panggilanpun berubah, dia jadi Suteku."

"Tabiat Suteku ini ternyata mirip Piaumoay, pendiam dan jarang bicara, tidak suka latihan silat. Maklum usianya sudah dewasa tidak mudah mempelajari ilmu tingkat tinggi, apalagi ayahnya juga berpesan supaya dia latihan silat hanya untuk menyehatkan badan, maka ayahku tidak memaksanya latihan silat. Kebetulan tahun itu latihan silatku mencapai saat-saat peralihan, ilmu tutuk perguruan kita teramat sukar untuk diyakinkan, sehingga seluruh tenaga dan pikiran dan waktuku disita untuk memperdalam pelajaran ilmu tutuk itu, pengawasan ayah terhadap latihankupun semakin ketat."

"Tak lama kemudian kusaksikan suatu kejadian, entah karena belakangan ini aku jarang mendekati Piaumoay serta menemaninya bermain, atau karena tabiat yang sama, hubungan mereka ternyata semakin intim dan dekat."

Ti Nio menyambung: "Sisa waktu latihan silatku tetap tidak bisa dibuang percuma, ayah tidak ingin aku mengabaikan pelajaran sastra, maka Sute selalu ditunjuk untuk memberi petunjuk kepadaku, membuat syair, menggambar atau main catur, sudah tentu akupun ditugaskan mengajarkan dasar pelajaran lwekang untuk menyehatkan badan Sute."

"Kalau Sute mengajar sastra padaku, aku mengajar silat padanya. Tak lama kemudian Sute minta ditambah satu mata pelajaran, dia lebih tekun, lebih rajin mempelajarinya. Coba kau terka pelajaran apa yang diminta?"

Tergerak hati Han Cin, sepontan dia menjawab: "Dia minta kau mengajarkan meniup seruling."

"Betul, dia minta aku mengajar meniup seruling Pada hal ayahku bisa meniup seruling juga ayahnya yang mengajar."

"Bukan dia tidak bisa soalnya dia merasa tiupan serulingku lebih baik dari padanya, maka dia ingin belajar lebih baik."

"Waktu itu aku memang terlalu bodoh, kukira dia hanya ketarik oleh seruling saja, tidak pernah terpikir olehku kenapa dia begitu tekun belajar meniup seruling."

Tanpa merasa Han Cin berkata pula: "Oh, dia belajar seruling untuk diperdengarkan pada Piaumoaymu."

Ti Nio menunduk diam sesaat, katanya kemudian: "Sebetulnya umpama dia tidak pandai meniup seruling, Piaumoayku juga tetap mencintainya. Dia justeru belajar seruling, tujuannya tak lain untuk lebih memikat hati Piaumoay saja."

Setelah menghela napas, Ti Nio berkata lebih lanjut: "Suatu ketika habis latihan silat, sengaja aku mencari Piaumoay, kemana-mana tidak kutemukan dia. Akhirnya kucari dia ke danau dimana dulu sering aku mengajaknya main, barulah disana kutemukan dia."

"Disana dia tidak seorang diri, di dampingnya ada seorang pemuda yang menemaninya jalan-jalan. Kukira tidak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu, pemuda itu sudah jelas adalah Suteku."

"Dulu sering aku di tepi danau di bawah pohon meniup seruling untuk didengar Piaumoay, tapi hari itu kedudukanku diganti oleh Sute. Lagu yang dibawakan adalah lagu cinta untuk sang pujaan hati. Piaumoay begitu kesengsem, mendengar dengan senyum mekar dan asyik sekali, pandangannya begitu hangat dan mesra."

"Ai, selama kita bersama, belum pernah Piaumoay tertawa seriang itu kepadaku, bila dia mau memandangku dengan tatapan seperti itu, meski usiaku harus diperpendek beberapa tahun juga rela."

"Apapun yang terjadi sekarang aku sudah paham, secara diam-diam aku mengundurkan diri, dengan perasaan yang hancur dan hati yang kecewa aku pulang.ke rumah."

Han Cin tidak berpendapat bahwa sang Piaumoay harus mencintainya, tapi mendengar kisah yang mengharukan ini, tak urung dia ikut sedih juga. Pikirnya: "Ai, siapa yang salah? Siapapun tiada yang salah!"

"Malam itu aku melakukan perbuatan salah selama hidupku." Ti Nio melanjutkan ceritanya. "Tengah malam aku

membangunkan Sute, aku bilang, bukankah kau ingin belajar meniup seruling, mari ikut aku ke suatu tempat."

"Malam itu terang bulan, cuaca cerah, dia kira malam nan indah ini menimbulkan seleraku untuk mengajar seruling padanya, meski hati rada heran, tapi dia ikut kepadaku. Aku membawanya ke tepi danau, di bawah pohon dimana siang tadi dia meniup seruling untuk Piaumoay. Aku keluarkan seruling pemberian ayah."

"Waktu itu agaknya dia sudah tahu maksudku, aku tidak banyak bicara, diapun tidak tanya, dia hanya berdiri mematung mendengar-kan irama serulingku. Aku tuangkan seluruh perasaan hatiku melalui irama seruling, kulimpahkan betapa derita batinku selama aku merindukan cinta sang pujaan."

"Aku yakin tiupan serulingku waktu itu merupakan tiupan yang pafing mengharukan dan mengetuk hati orang selama hidupku, habis satu lagu air matapun berlinang. Sute tetap tidak bicara barang sekecap, tapi aku lihat air matapun berkaca-kaca di kelopak matanya.

"Lama dan lama sekali baru aku berkata: 'Sebetulnya bukan maksudku meniup seruling ini untuk kau dengar tapi kutiup untuk seorang lain, sayang dia sudah tidak suka mendengar tiupan serulingku lagi, dia hanya suka mendengar tiupan serulingmu.'"

"Sute menyeka air mata, katanya: 'Suheng, kau tak perlu kuatir. Aku tahu siapa yang kau maksud, untuk selanjutnya aku berjanji tidak akan meniup seruling pula di hadapannya."'

"Dua hari kemudian, mendadak ayah tanya kepadaku, tahukah kau kenapa Sutemu mendadak minta diri hendak meninggalkan kita?"

"Ayah memberitahu padaku Sute bilang karena dirinya tidak berbakat belajar silat maka dia ingin pulang ke kampung halaman untuk bercocok tanam saja, hidup berdikari. Sudah tentu ayah menampik alasannya, pesan ayahnya dulu tetap dijadikan pedoman untuk menahannya tinggal di rumahku. Syukur ayah berhasil membatalkan niatnya. Tapi ayah kira tabiatnya itu mewarisi watak ayahnya yang suka menyendiri dan kaku, malu makan gratis di rumah perguruan sehingga timbul niatnya pulang ke kampung halaman. Ayah malah kuatir tutur kataku setiap hari mungkin menyinggung perasaannya, maka aku dipesan wanti-wanti supaya tidak berlaku kasar padanya. Sudah tentu aku tahu sebab musababnya, sudah tentu aku tidak berani untuk memberitahu kepada ayah. Semalam suntuk aku tidak bisa tidur, otakku bekerja keras, timbul tanda tanya apakah aku mengharapkan dia meninggalkan perguruan?"

"Terbayang betapa cerah dan manis senyum mekar Piaumoay kepadanya, serta tatapan matanya yang begitu birahi, ingin rasanya dia lekas pergi meninggalkanku. Tapi terpikir pula pergaulan belum genap setahun ini, hubunganku dengan dia sudah seperti saudara sekandung, bila dia meninggalkan aku selama hidupku ini mungkin sukar aku memperoleh teman sebaik itu, aku jadi berat ditinggal pergi."

"Ai, bila aku sudah tahu peristiwa yang terjadi belakangan..."

Mimik Ti Nio sekarang melambangkan kenangan lama yang serba salah, serba dosa dan sukar untuk disesalkan, rasa malu, hambar, sedih serta pilu bercampur aduk. Berbagai perasaan gado-gado ini terlimpahkan dalam suaranya yang bergetar terunjuk dalam sorot matanya pula.

Han Cin juga tak kuasa menahan gejolak perasaannya, tanyanya: "Belakangan apa yang terjadi?"

Ti Nio menghela napas panjang: "Sejak hari itu tak pernah kulihat mereka bersama, tapi sejak itu pula Piaumoay tidak ambil peduli kepadaku."

"Aku duduk tidak tenang, tidur tidak nyenyak, hasratku latihanpun pudar, pada hal ayah sering memaki aku, latihan yang sebetulnya makan satu jam, aku hanya setengah jam. Begitu mengakhiri latihan, aku selalu mencari berbagai alasan untuk mencarinya."

"Tapi dia selalu juga menggunakan berbagai alasan, selalu menolak ajakanku, kalau bukan hendak belajar, katanya mau menjahit, pernah juga bilang badan kurang enak, hari ini tidak ada minat bermain dan alasan lain.

Terakhir dia malah mengunci diri dalam kamar tidak mau menemui aku."

"Kesehatannya ternyata semakin menurun, mukanya pucat badan kurus, entah dia kena sakit, keadaannya memang mirip orang sakit benar-benar."

Dalam hati Han Cin menghela napas, batinnya: "Memang Ti-pepek sendiri yang salah, tidak bisa menyelami perasaan seorang gadis. Bibit cinta yang baru bersemi dalam hati seorang gadis justru kau cabut mentah-mentah, tidaklah heran kalau dia merasa keki kepadamu?"

"Setelah berbagai peristiwa itu, sebodoh-bodohnya aku juga akhirnya paham akan isi hatinya," demikian Ti Nio melanjutkan ceritanya, "Sekarang aku paham, yang betul-betul dicintainya adalah Sute bukan aku."

Maka Han Cin berkata: "Hubungan cinta laki perempuan memang teramat ganjil, cinta hanya boleh dikejar secara wajar, tidak boleh dipaksakan. Ti-pepek, kejadian sudah lama berselang, kenapa pula sekarang kau harus menyiksa diri," usianya patut menjadi putri Ti Nio, tapi apa yang dia ucapkan ini, seolah-olah ditujukan kepada seorang yang sebaya usianya dengan dia. Namun Ti Nio tidak menjadi runyam atau risi dan kikuk, dengan sorot penuh haru dan terima kasih dia menatap Han Cin, dengan manggut-manggut dia berkata: "Ucapanmu memang betul, sayang sekali waktu itu tiada orang yang bicara seperti kau sekarang kepadaku."

"Akan tetapi umpama waktu itu ada orang berkata demikian mungkin aku tetap takkan mau mendengar nasehatnya. Sejak Piaumoay mulai berjalan dan belajar bicara aku sudah hidup bersama dia. Selama dua puluh tahun ini hanya dia seorang yang terukir dalam sanubariku, bila dia riang aku ikut riang, bila dia sedih aku jadi sedih."

"Kini setelah kutahu dalam kalbunya telah terisi orang lain, dan karena orang itulah sehingga kehadiranku telah dicampakkan dari relung hatinya, coba kau pikir bagaimana-perasaanku waktu itu? Aku dibakar rasa cemburu, aku jelus, hampir aku gila karena cemburu, lama kelamaan badankupun kurus dan pucat."

Semakin dengar hati Han Cin semakin takut dan kaget serta tidak tentram, pikirnya: "Dalam keadaan seperti itu, entah apa saja yang bakal dilakukan Ti-pepek?" lapat-lapat terasa olehnya, bahwa kejadian itu pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya, namun dia tidak berani tanya, maka dia hanya menanti, menunggu Ti Nio sendiri yang akan menceritakan.

Setelah istirahat Ti Nio meneruskan: "Setelah aku paham isi hati Piaumoay, isi hatiku dan perubahanku juga telah diketahui oleh ayah bunda."

"Suatu hari ibu memanggilku dan ajak aku bicara seorang diri, dia tanya kepadaku, ayah bilang belakangan ini kau seperti tiada semangat latihan, kenapa? Aku tidak berani mungkir, tapi akupun tidak berani menjelaskan sebab musababnya."

"Ibu bilang, kau tidak usah mencari alasan untuk ngapusi aku, kau adalah anak kandungku apa yang terpikir dalam benakku, memangnya aku tidak bisa ikut merasakan?"

"Maka diapun bertanya pula. Belakangan ini agaknya kau menjauhi Piaumoay, hubunganmu seperti renggang, apa pula yang terjadi?"

"Aku tetap menjawab. 'Aku tidak tahu.* Tapi tak tahan aku tambahi sepatah kata. 'Bu kalau kau ingin tahu boleh kau tanya kepada Piaumoay saja.'"

"Seperti tertawa tidak tertawa ibu mengawasiku, katanya, kau takut dia sudah besar, sudah tumbuh sayap dan bisa terbang sendiri?"

"Aku diam saja, tapi tak tahan aku menghela napas."

"Ibu juga ikut menghela napas, katanya: 'Anak bodoh, kalau untuk soal ini kau jadi risau, kukira mungkin kau yang terlalu banyak curiga.'"

"Ibu bilang, Piaumoaymu memang bukan dilahirkan dari rahimku, tapi sejak kecil akulah yang mengasuh dan

membimbingnya, tabiat memang lembut dan penurut, aku tidak percaya kalau dia tidak punya perasaan balas budi. Seorang lagi, dia mendapat perlindungan pula di rumah kita, yakin diapun takkan berani melakukan perbuatan yang mendurhakai kita."

"Agaknya ibu sudah menangkap adanya gejala kurang sehat di antara kami bertiga, orang lain yang dimaksud dalam perkataannya sudah jelas ditujukan kepada Sute."

"Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada ibu? Itu menurut pandangan beliau orang tua, dia anggap bila Piaumoay main cinta diam-diam dengan Sute itu berarti durhaka dan lupa budi pekerti. Kalau dia begitu yakin dan percaya kepada mereka, kenapa aku harus menjelek-jelekkan hubungan mereka?"

"Ibu bilang lebih lanjut. Mungkin usia kalian sudah dewasa, Piaumoay tahu cepat atau lambat akan jadi menantuku, maka dia merasa malu dan kikuk terhadapmu, sehingga gerak gerik dan sikapnya belakangan ini seperti agak terkekang."

"Sebetulnya ayahmu sudah memutuskan untuk menikahkan kalian di akhir tahun nanti, tapi setelah melihat keadaan sekarang, lebih baik kalau soal jodoh ini dipercepat saja supaya tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Anak bangun, jangan kau banyak pikiran lagi, ibu bisa menguruskan sampai beres. Mulai besok, kau harus mulai giat latihan lagi dengan ayahmu."

"Aku tahu apa maksud 'mengurus sampai beres' yang diucapkan ibu, memangnya aku terlalu gegabah waktu itu, aku tinggal diam dan tiada pendapat. Ai, mungkin juga karena egoisku didalam sanubariku pada hal aku juga senang dan terhibur bahwa ayah bundaku telah mengaturnya?"

"Hari itu akhirnya tiba, ayah bunda melakukan kesalahan, kesalahanku lebih besar lagi."

"Kesalahan apa yang lebih besar?" Han Cin tidak berani tanya, terpaksa hanya menunggu cerita sambungannya.

Dalam gemblengan derita masa lalu yang menjadi kenangan pahitnya sekarang, wajah Ti Nio tampak merah hijau dan pucat bergantian, seolah-olah dia takut menceritakan perbuatan salah apa yang menjadikan dia begitu menyesal dan malu. Melihat betapa sedih dan derita Ti Nio sekarang, hampir tak tertahan dia hendak berteriak: "Ti-pepek, kalau kau tidak ingin membeber masa lalu, janganlah kau teruskan ceritamu."

Tapi setelah mengertak gigi, akhirnya Ti Nio melanjutkan ceritanya.

"Hari itu adalah hari ulang tahun ayah, dia tidak memberitahu sanak kadang, hanya membuka sebuah meja perjamuan, orang sendiri dipanggil untuk merayakan bersama."

"Tahun ini ayah berusia empat puluh sembilan, hidangan ulang tahun yang disiapkanpun hanya ala kadarnya saja. Kalau tidak mengundang teman-teman adalah jamak. Tapi anehnya yang menghadiri perjamuan kali ini ternyata hanya Piaumoayku seorang tanpa kehadiran Sute."

"Sejak Sute berada di rumah kita, ayah selalu memandang sebagai keluarga sendiri, kenapa pada hari ulang tahun ayah kali ini, dia tidak diundang untuk merayakan bersama. Tapi meski hati merasa heran, lapat-lapat aku sudah menduga apa yang akan terjadi."

"Betul juga, setelah kami masing-masing minum tiga cangkir arak, ayah membuka kata lebih dulu: 'Tahun depan aku sudah genap lima puluh tahun situasi sekarang kurang aman, kemungkinan peperangan akan geger maka aku ingin selekasnya menunaikan keinginan hatiku.'"

"Ganti ibu yang bicara: 'Hwi-ji (nama kecil Piaumoay), ibumu dulu serahkan kau kepadaku, aku adalah bibimu, tak ubahnya ibu kandungmu juga, bukan saja aku mengangapmu sebagai putri kandungku akupun ingin kau menjadi menantuku, perjamuan malam iui di samping merayakan ulang tahun pamanmu sekaligus untuk mengikat perjodohanmu dengan anak Nio, sekarang juga kalian boleh tukar cincin. Perjodohan boleh diresmikan dulu, soal perjamuan boleh diundur untuk beberapa waktu lagi. Bisa saksikan kalian menjadi suami isteri, itu adalah cita-cita pamanmu juga keinginanku. Sejak kecil kalian dibesarkan bersama, maka kaupun tidak perlu malu.'"

"Ibu kira Piaumoay pasti tidak menolak, apa yang dikatakan tak ubahnya sebuah perintah belaka, hakikatnya dia tidak pernah minta pendapat dan persetujuannya."

"Tak tahunya setelah mendengar perkataan ibu, air mata Piaumoay bercucuran, air mukanyapun berubah."

"Ibu melenggong^ katanya: 'Lho, kenapa, kau tidak mau?'"

"Sambil menyeka air mata menahan isak Piaumoay ^berkata: 'Bibi, terima kasih akan budi kebaikanmu membesarkan aku, aku suka selamanya menjadi putrimu."

"Ibu bilang, jadi kau tidak mau menjadi menantuku. Sejak kecil kau bergaul dengan anak Nio hanya kau saja yang terukir dalam sanubarinya, tentunya kau juga tahu. Memangnya dalam hal apa anak Nio tidak setimpal jadi suamimu? Umpama kau tidak mengingat sejak kecil aku mengasuh kau, seharusnya kau pun tidak menolak cinta murninya."

Ti Nio menghela jiapas, menyambung ceritanya: "Perkataan ibu mengetuk sanubarinya, tak tertahan aku ikut mencucurkan air mata."

"Dengan kesima aku mengawasi Piaumoay, kupikir sorot mataku waktu itu, pasti dapat membuatnya pilu karena terasa tatapanku yang menyalahkan dia."

"Ai, aku terharu oleh perkataan ibu, namun tak terpikir olehku, bahwa perkataan ibu telah melukai sanubarinya yang suci."

"Ai, waktu itu aku hanya pikirkan rasa sedihku sendiri, diluar tahuku dia justru lebih sedih dari aku."

"Keadaan jadi serba runyam, sudah tentu ayah jadi kurang senang, katanya: 'Kalian mau merayakan ulang tahunku atau mau mengantar kematianku? Hmmm, kupikir hendak mendatangkan hari bahagia rangkap, kalian justeru bertangisan apa-apaan ini? Apa kehendak kalian boleh terus terang saja kepadaku,' mulutnya mengatakan 'kalian' tapi matanya justru menatap Piaumoay."

"Ai, sudah tentu Piamoay tidak kuat menerima tekanan berat ini? Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan ayah ibu, katanya: 'Bila bibi dan paman tidak merawatku, mana aku bisa hidup sebesar ini, apapun kehendak kalian boleh terserah saja, mohon kalian tidak marah. Paman, bukan maksudku hendak mendatangkan rasa sebalmu, aku hanya terkenang pada ayah bunda yang telah berada di alam baka, aku hanya benci pada diriku sendiri kenapa aku bernasib sejelek ini, kenapa ayah ibu mati sejak aku masih kecil."

"Aku tidak tahu apakah Ayah dan ibu tahu kata-katanya yang mengandung arti sampingan, tapi aku tahu kemana arah perkataannya. Bila ayah bundanya masih hidup, tidak bakal^dia harus tunduk pada perintah ayah bundaku."

"Tapi- kalau dilanjutkan aku harus malu kepada diriku sendiri, waktu itu bukan saja aku tidak kasihan padanya, malah rasa cemburuku semakin berkobar. 'Jadi kau dipaksa menyetujui menikah dengan aku, aku menikah dengan badanmu, tapi cintamu justeru kau berikan kepada orang lain.'"

"Tapi ibuku amat senang, mungkin memang dia tidak tahu, atau untuk menghilangkan rasa kikuk dan runyam, dia pura-pura tidak tahu. Dia memapah Piaumoay dan berkata: 'Anak yang baik, aku tahu kau pasti mendengar nasehatku. Kau terkenang ayah bunda yang telah lama mangkat adalah jamak dan sepantasnya. Tapi bila mereka tahu hidupmu selanjutnya sudah tidak akan kapiran, di alam baka yakin ayah bundamu juga terhibur. Hari ini hari baik, jangan kau bersedih pula, marilah dengan riang gembira kita habiskan hidangan ini, habiskan arak bahagia ini.'"

"Piaumoay memaksakan senyum getir menuang arak, sebaliknya ingin tertawapun aku tidak bisa lagi. Tapi aku minum arak banyak sekali, arak dapat menghilangkan rasa kesal, tanpa terasa aku menenggak habis beberapa cangkir sampai akhirnya aku mabuk."

"Ibu suruh dia memapahku masuk ke kamar tidur, dia suruh Piaumoay belajar menjadi seorang isteri yang baik, seorang isteri yang baik harus tahu bagaimana meladeni suami."

"Begitu masuk kamar, berhadapan dengan dia, arak dalam perutku seperti membakar badan rasa jelusku mendadak berkobar pula, mataku melotot mengawasinya."

"Sikapku membuatnya kaget.

Dia bilang, Piauko, kau mabuk, lekaslah tidur. Dia bantu aku mencopot baju luar memapahku naik ke tempat tidur. Agaknya dia mengharap aku lekas tidur pulas, supaya dia lekas keluar dari kamar."

"Sikapnya yang gopoh ternyata membakar amarahku. 'Aku kan bukan harimau, memangnya kau takut kucaplok?' demikian pikirku. Lalu aku berpikir pula: 'kau hendak menghindariku, karena apa? Bukankah untuk cepat-cepat menemui gendakmu?'"

"Mendadak aku berjingkrak duduk, mataku melotot makin besar. Kataku: 'Aku tidak mabuk, siapa bilang aku mabuk. Aku tahu jelas, kau tak mencintai aku, kau mencintai Sute. Terus terang saja padaku, sekarang kau ingin berkencan dengan dia? Rasa sedihmu hanya bisa kau limpahkan di hadapannya?'"

"Dia melenggong, air mata bercucuran, katanya dengan tersedu-sedu: 'Piauko, maafkan aku, aku menampik cintamu, tapi, aku, aku tidak kuasa atas diriku..."'

"Angan-anganku yang

terakhirpun lenyap, meski aku tahu dia mencintai Sute, tapi aku masih mengharap dia menyangkal, umpama dia menipuku juga tidak jadi soal."

"Sekarang, justru terbalik, dia mengaku terus terang, dia tidak bisa tidak harus mencintai Sute. Hm, berani dia minta maaf kepadaku."

"Aku tidak berani mendengar perkataannya lagi, aku menyeringai dingin: 'Sayang sekarang kau sudah menjadi istriku.'"

"Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang asing, sesaat kemudian baru berkata lirih: 'Memang aku sudah berjanji kepada bibi untuk menjadi istrimu, aku pun tidak ingin ngapusi kau, sekarang aku belum bisa melupakan dia. Setelah menikah, lebih baik kau membawaku ke tempat jauh. kelak aku pasti akan melupakan dia.'"

"Dia bicara setulus hati, sayang dia lupa satu hal, aku sedang mabuk, aku sudah kehilangan kesadaranku, saat seperti itu aku lebih suka menipu diriku sendiri, mana aku mau mendengar nasehatnya."

"Aku tidak kuasa menahan gejolak nafsu binatangku yang meledak. 'Kau tidak akan melupakan dia, aku pun tidak sudi kau menjadi isteriku karena dipaksa, hatimu tidak dapat kumiliki, biar aku merasakan kenikmatan tubuhmu.""

"Aku, aku bukan manusia, aku binatang jalang, aku melakukan perbuatan hina dan kotor yang tidak dapat kumaafkan sendiri, perbuatan yang kusesalkan selama hidup."

Hati Han Cin seperti mengejang, bagai diiris-iris, dia ikut sedih akan nasib Piaumoaynya, diapun ikut kasihan akan nasib Ti Nio. Setelah menyeka air matanya, lama kemudian Ti Nio berkata: "Aku mendengar isak tangisnya, rasa mabukku seketika buyar."

"Aku menyesal, aku malu. kenapa aku bisa melakukan perbuatan kotor, yang melebihi binatang liar. Langsung aku gampar mukaku sampai bengkak besar, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya."

"Aku tidak berani mohon maaf, akhirnya malah dia yang bicara dulu. 'Piauko, aku tidak akan membencimu, aku malah kasihan padamu, tapi sukalah kau maafkan aku, kuharap kau melupakan kejadian ini, lupakan pula diriku ini."'

"Setelah berkata dia dorong jendela terus lari pergi. Aku sadar dan mabukku, tapi kakiku lemas lunglai akupun malu untuk mengejarnya."

"Sejak dia lari itulah untuk selanjutnya dia tidak pernah pulang lagi."

"Ai, apapun yang telah terjadi, kesalahan ada padaku, sehingga aku harus berpisah dengannya untuk selama-lamanya, meski hanya perpisahan hidup tapi tak pernah aku memperoleh kesempatan untuk menyatakan penyesalan hatinya."

"Ternyata Sute lenyap bersama dia. Sejak itu aku tidak pernah melihat Suteku lagi"."

"Menghadapi peristiwa yang memalukan dan menyedihkan ini, sudah tentu ayah bundaku amat sedih dan marah sekali. Tapi entah berpegang pada kejelekan keluarga pantang tersiar, supaya tidak menyakiti hatiku pula, ayah bunda tidak mengungkat lagi akan perbuatan mereka yang buron itu. Bukan ayah bunda saja yang bungkam, pelayan dan kacung rumahkupun tiada yang berani menyinggung mereka pula."

"Orang mati biasanya masih dikenang, tapi orang-orang keluargaku justru anggap mereka tidak pernah ada dalam rumahku, seperti sesuatu yang mendadak lenyap tanpa bekas."

"Meski mereka sudah pergi, walau tiada seorangpun yang membicarakan mereka lagi, tapi bayangan mereka tetap terukir dalam sanubariku, sampai sekarang tidak bisa dihapus."

"Piaumoay ada meninggalkan dua patah kata, supaya aku melupakan peristiwa malam itu, melupakan dia. Tapi dapatkah aku melupakan dia."

"Aku tak mampu mencari tahu berita dan jejak mereka, namun benar aku tidak berani mencari tahu mereka. Terpaksa aku hanya menyiksa diri dengan kehidupan merana dan menyepi, sering aku mondar mandir di danau, meniup serulingku, mengenang masa lalu."

Berlinang air mata Han Cin, pikirnya: "Tak heran sebelum pergi Piaumoaynya bilang tidak membencinya, tapi kasihan padanya. Tapi aku harus simpati dan kasihan pada siapa?" Tanpa merasa dia angkat kepala dan memandang dengan air mata berlinang, serunya: "Ti-pepek.""

Sejenak Ti Nio memandangnya, sesaat dia bimbang lalu katanya: "Jangan kau .kasihan padaku, memang pantas aku memperoleh hukuman ini."

"Sebetuluya aku tiada hasrat melanjutkan cerita ini, tapi ceritanya belum selesai. Aku merasa aku harus membeber segala persoalan ini kepadamu."

"Situasi tidak meleset dari dugaan ayahku, agresor Watsu telah memasuki tanah air kita, dalam pertempuran besar di Tho-bok-po, pasukan kerajaan dynasti Bing dipukul hancur berantakan, pada hal raja Ing-cong sendiri yang memimpin pasukan besar juga akhirnya menjadi tawanan musuh. Syukurlah sekretaris militer pada masa itu Ih Cian bertindak tegas, segera mengangkat junjungan baru dan sekuat tenaga mempertahankan ibu kota melawan serbuan musuh yang lagi menang, kalau tidak dynasti Bing pasti sudah runtuh dan musnah sejak dua puluhan tahun yang lalu."

"Bahwa negara dikacau peperangan lekas sekali berhasil diamankan adalah urusan belakang. Pada hal agresor Watsu sempat mengeduk harta kekayaan negara dan rakyat, rakyat jelata tidak sedikit yang menderita oleh peperangan itu, bahwa raja ditawan dan ibu kota dikepung sudah tersiar luas sehingga rakyat di daerah Kanglampun sudah ribut dan geger sendiri, meski pasukan kuda Watsu belum tiba di Kanglam, tapi anasir-anasir pemberontak dan kaum dorna sudah kasak kusuk dengan pihak Watsu, mereka siap menyambut serbuan pasukan Watsu dari dalam."

"Dalam suasana kacau dan geger itu, semua orang sibuk mengurus harta dan keselamatan dan siap menyambut perubahan yang bakal terjadi, meski aku amat merindukan mereka tapi rasa sedihku sudah banyak berkurang."

"Sungguh tak nyana dalam saat-saat genting itulah aku mendapat berita mereka."

"Suatu hari, tanpa sengaja aku mendengar percakapan ayah dan ibu, mereka sedang membicarakan Piaumoay."

"Ibu sedang memaki Piaumoay: 'Sia-sia aku mengasuh dan membesarkan dia, setelah besar dia malah migggat bersama muridmu, kini sudah ketahuan jejak mereka, coba katakan tindakan apa yang hendak kau lakukan?'"

"Agaknya ayah jadi ragu-ragu, katanya kemudian: 'Kau laki-laki tidak punya pendirian, memangnya kau mandah peluk tangan terhadap manusia yang tidak kenal budi dan cinta kasih, kau biarkan saja mereka merusak nama baik keluarga kita?'"

"Ayah menghela napas, katanya: 'Umpama mereka dibekuk kembali memangnya hukuman apa yang hendak dijatuhkan pada mereka, apakah kita masih mengharap dia menjadi menantu kita?'"

"Akhirnya ibu menghela napas, katanya: 'Walau tidak akan jadi menantuku, aku penasaran kalau kau tinggal diam. Aku tetap menentang perjodohan laki perempuan cabul itu. Aku ingin kau menangkap mereka kembali, hukum mereka dengan aturan keluarga. Apalagi dia satu-satunya keponakanku, kalau aku tidak memanggilnya pulang, aku akan berdosa pada kakak yang telah meninggal.'"

"Akhirnya aku berlari masuk dan berteriak: 'Ayah, ibu, kuharap kalian tidak mempersulit mereka lagi, dalam hal ini akulah yang salah bukan salah mereka."'

"Ayah menghela napas panjang, katanya: 'Nah, sudah kau saksikan, umpama mereka ditangkap kembali, kecuali kau menghukum mati mereka, kalau tidak anak Nio sendiri yang akan menderita lahir batin. Yakin kaupun takkan tega menghukum mati mereka bukan? Kalau demikian kenapa tidak kau biarkan saja mereka mencari jalan hidupnya sendiri.'"

"Ibu geleng-geleng kepala, katanya kepadaku: 'Sungguh tak kira, kaupun begini tidak becus dan lemah perasaan, dia mengingkari dirimu, kau justru membela dan melindunginya. Kalau demikian, mereka memang tidak boleh masuk ke pintu rumah kita. Baiklah, anggaplah aku yang bertindak kasar, biarlah mereka mencari hidupnya sendiri.'"

"Aku berkata: 'Bu, bukan aku ingin mengundang mereka pulang, tapi aku ingin tahu dimana jejak mereka sekarang.'"

"Ibu bilang: 'Apa, kau masih pingin mencari dan bertemu dengan mereka?""

"Aku berkata: 'Aku boleh tidak bertemu dengan mereka, tapi aku harus tahu kabar tentang mereka, kalau tidak hatiku tidak akan tentram.'"

"Apa boleh buat, akhirnya ibu memberitahu: 'Mereka sembunyi di famili Sutemu dari keluarga miskin. Konon mereka sudah menikah dan berkeluarga.'"

"Semula aku memang tidak berani mencari mereka, tapi situasi sehari demi sehari semakin buruk dan tegang serombongan pemberontak kabarnya merajalela di daerah Soh-ciu, kabarnya kaum pemberontak inipun katanya akan menyerbu Hang-ciu,"

"Keluargaku juga sudah siap mengungsi. Aku jadi kangen dan merindukan mereka, aku ikut gugup dan gelisah akan keselamatannya. Mereka tidak memiliki Kungfu sejati dan dalam keadaan rudin lagi, berada di kota yang teracam peperangan, apakah mereka mampu menyelamatkan diri dari malapetaka? Dalam keadaan yang sudah kepepet dan kritis itu, siapa lagi yang mau membantu mereka kecuali aku?"

"Siapa tahu setibaku di Hang-ciu, ternyata aku jadi amat kecewa."

"Mereka tidak mau menemui kau?" tanya Han Cin.

Ti Nio geleng-geleng kepala, katanya: "Bukan."

"O, jadi mereka berdua sudah pergi?"

"Bukan mereka berdua, tapi mereka bertiga sudah mengungsi."

"Lho," Han Cin bersuara heran, "siapa pula yang satu?"

Ti Nio pandang Han Cin lekat-lekat katanya: "Dengarkan ceritaku lebih lanjut, nanti kau tahu sendiri."

"Aku berhasil menemukan famili miskin keluarga Sute, dia memberitahu kepadaku, bahwa Piaumoay sudah melahirkan orok perempuan, baru saja genap sebulan. Memangnya kondisinya amat lemah, setelah habis melahirkan lagi, namun karena situasi sudah amat tegang, kuatir peperangan menjilat kemari, orok kecil itu akan ketimpa malang. Maka dua hari sebelum aku datang, mereka sudah mengungsi. Agaknya Piaumoay sudah menduga aku bakal menyusulnya, maka dia meninggalkan sepucuk surat minta disampaikan kepadaku."

"Sebelum aku membuka surat itu, aku sudah menduga apa isi suratnya. Memang tidak meleset, dalam suratnya itu dia memberitahu kepadaku bahwa putri yang dilahirkan itu adalah anakku, pernah timbul maksudnya hendak mengembalikan putriku itu kepadaku, tapi akhirnya dia bertekad untuk mengasuh dan merawat bocah itu meski apapun yang akan dihadapinya. Karena diapun mengharap ada nona cantik dari keluarga ternama yang akan dipersunting olehku, kalau orok ini ditinggalkan untukku, pasti akan mengganggu perjodohanku. Maka mereka berkeputusan meski keadaan serba susah, mereka akan tetap berusaha memelihara anak itu, sampaipun harus mengorbankan jiwa raga sendiri juga mereka lakukan demi keselamatan orok itu sehingga tumbuh dewasa."

Saking terharu Han Cin berteriak: "Dia memang tidak menipu kau, dalam pengungsian itu, akhirnya dia memang berkorban karena anak itu, saat itu si bocah baru berumur genap setahun."

"Ceritaku sudah tamat. Aku tidak pernah menikah lagi sampai sekarang, selama dua puluhan tahun ini aku selalu mencari anak itu, sekarang aku berhasil menemukan dia, entah anak ini, dia, dia..."

Dengan mata berlinang Han Cin tatap Ti Nio sekian lamanya, jantung Ti Nio seperti gelombang badai yang mengamuk rongga dadanya, seperti seorang tawanan yang siap difonis hukumannya oleh hakim.

"Aku sudah paham, segalanya sudah kumengerti," ucap Han Cin kelu, "aku adalah orok itu. Piaumoaymu adalah ibuku, Sutemu, dia, dia adalah ayahku."

Seperti tenggelam hati Ti Nio, katanya berat: "Apa yang dia katakan memang tidak salah, hanya Han-sutelah yang pantas jadi ayahnya, aku, aku tidak setimpal jadi ayahnya."

"Ayah," mendadak Han Cin menjerit serta menubruk kedalam pelukannya.

"Sekarang aku sudah paham, kenapa selama ini ayah tidak mau memberitahu padaku, ternyata aku bukan anak kandungnya. Tapi aku tahu sebelum ajalnya dia ingin membeber persoalan sebenarnya, kukira di alam baka arwahnya tentu sudah tahu dan ikut senang bahwa hari ini aku sudah berkumpul dengan ayah kandungku. Ah, tidak, salah omonganku. Kau adalah ayah kandungku, diapun ayahku juga. Ayah, maukah kau maafkan perkataanku ini?"

Dengan air mata bercucuran Ti Nio dengarkan pengakuan putrinya, betapa lega hatinya, katanya: "Anak Cin, kaulah yang harus memaafkan aku, fonismu terlalu ringan untuk menghukum kesalahanku," air mata bercucuran, ingus mengalir pula, tapi wajah Ti Nio dihias secerah senyum bahagia, "walau dia bukan ayah kandungmu, tapi dialah orang yang paling baik terhadapmu selama ini. Dia lebih kandung, lebih erat dan dekat dari ayahmu sendiri. Yang harus disesalkan adalah aku, sebagai ayah kandungmu, tapi kapan aku pernah memberikan kebaikan kepadamu, kau malah menderita lahir batin..."

Lekas Han Cin mendekap mulut ayahnya, katanya: "Ayah, jangan kau menyiksa dirimu, peristiwa masa lalu sukar dikatakan kesalahan terletak pada siapa, kini aku sudah berada dalam haribaanmu, buat apa masa lalu dikenang pula? Ayah, kenapa kau bilang tidak pernah memberi kebaikan kepadaku, semalam bukankah kau telah

menyelamatkan jiwaku?"

Ti Nio menyeka air mata, katanya: "Anak Cin, terima kasih bahwa kau sudi memaafkan aku. Memang, marilah kita ayah beranak membuka lembaran baru, mulai hidup dari lembaran permulaan. Kau boleh tidak usah berubah she, kau paham maksudku?"

Han Cin juga menyeka air mata, sahutnya: "Anak mengerti. Aku adalah putri keluarga Han tapi juga putri keluarga Ti. She apa tidak begitu penting."

"Selama belasan tahun ini, bagaimana kalian ayah beranak hidup? Ah, terlalu banyak yang ingin kuketahui? Cara bagaimana kau bisa meyakinkan ilmu setinggi ini, bukan ayahmu yang mengajar Kungfu kepadamu bukan?"

"Anak belajar Kungfu kepada Gi-hu, ayah belum pernah menyatakan dia pandai main Kungfu malah."

"O, kau masih punya seorang Gi-hu lagi?"

"Gi-huku bernama Khu Ti, beliau semayam di Ong-gu-san. Beliau adalah kawan paling karib ayah dalam masa tuanya. Ayah, soal ini biarlah kelak kuceritakan kepadamu."

"Aku juga ada sebuah cerita yang akan kututurkan kepadamu."

"Cerita apa?" tanya Han Cin, dirasakan mimik ayahnya agak aneh, seperti mau bicara tapi sungkan.

"Tentang seruling batu pualam warisan keluarga kita itu."

Sampai disini pembicaraan mereka, mereka mendengar irama seruling. Seruling yang ditiup oleh Kek Lam-wi.

Ternyata Liok Kun-lun sudah mengatur segala sesuatu untuk pemberangkatan Tan Ciok-sing dengan fn San, besok pagi sebelum fajar menyingsing mereka sudah harus masuk kota dan tinggal di rumah salah seorang murid Kaypang, maka mumpung waktu masih ada setengah hari mereka diharuskan menghafalkan gambar peta tentang seluk beluk istana raja, malam nanti mereka sudah harus masuk ke istana.

Perjamuan perpisahan khusus diadakan tengah malam. Secara bergantian para hadirin menyuguh arak, waktu tiba giliran Kek Lam-wi, dia berkata: "Tan-toako, biar kutiup seruling untuk mengantar pemberangkatanmu, nanti akupun ingin mendengar petikan harpamu."

"Baiklah, marilah kita sama-sama main sebuah lagu instrumental seruling dan harpa, lagu apa yang ingin kau mainkan?" tanya Tan Ciok-sing.

"Inilah lagu ciptaanku sendiri, silahkan kau periksa," ucap Kek Lam-wi.

Setelah membaca lagu ciptaan Kek Lam-wi, Tan Ciok-sing berkata: "Bagus, gubahanmu teramat bagus," lalu dia angsurkan lagu itu kepada In San dan berkata: "Adik San, coba kau yang bernyanyi."

Melihat sikap mereka wajar, riang dan mantap, menghadapi tugas berat yang kemungkinan menghadapi mara bahaya seperti berpulang keharibaan orang tua, sungguh haru Kek Lam-wi bukan main.

Lebih haru lagi setelafi paduan lagu seruling dan harpa mengiringi nyanyian ln San yang memilukan, hadirin sama menunduk dan menghela napas rawan, pikiran mereka hanyut oleh suasana haru yang menusuk kalbu menjelang perpisahan ini, Tan Ciok-sing curahkan seluruh perasaan hatinya pada petikan senar harpanya. "Tak" pada ritme terakhir, senar harpa putus seutas.

Tan Ciok-sing dorong harpanya terus berdiri, katanya: "Nona Han, tolong kau simpan harpaku ini, kalau aku tidak kembali, tolong kau serahkan harpaku ini kepada Toan-toako."

"Jangan berpikir begitu Tan-toako," ucap Han Cin, "aku yakin kau akan kembali bersama In-cici."

Tan Ciok-sing tertawa tergelak¬ gelak, katanya: "Semoga aku berhasil menunaikan tugas suci ini, mati atau hidup sudah tidak terpikir lagi olehku," di tengah gelak tawanya itu dia berputar sambil soja kepada seluruh hadirin, lalu dia ajak ln San berlalu dengan jalan beradu pundak.

Liok Kun-lun sendiri mengantar mereka keluar kota. Sementara hadirin yang lain tetap berada di ruang perjamuan yang terang benderang, rasa haru mereka masih belum tentram, sehingga tiada seorangpun yang ngantuk dan ingin tidur.

Kek' Lam-wi masih berdiri terlongong sambil memegangi serulingnya, lama baru dia menyadari bahwa entah sejak kapan Ti Nio dan Han Cin tengah mengawasi seruling pualam yang dipegangnya seperti sedang melamunkan sesuatu. Kek Lam-wi jadi heran, batinnya: "Kenapa Susiok dan nona Han baru sekarang datang?"

"Anak Cin, boleh kau beritahu kepada Kok-suhengmu," demikian kata Ti Nio.

Kek Lam-wi melenggong, katanya: "Nona Han, kau angkat Susiok sebagai guru?"

Ti Nio tersenyum, katanya: "Dia bukan muridku tapi adalah putriku. Kalau dibicarakan dia boleh terhitung Sumoaymu juga."

Kaget dan heran Kek Lam-wi, namun lekas sekali dia sudah mengerti, pikirnya: "Tak heran, malam itu Susiok begitu mati-matian melindungi dan menolong Han Cin."

Ti Nio berkata pula: "Kalian tentu tidak menduga, baru hari ini aku sendiri tahu bahwa dia sebetulnya adalah putriku. Keluarga Kek dan keluarga Ti adalah seperguruan, keluarga yang sudah kental sejak beberapa generasi. Maka Lam-wi kuanggap sebagai keponakanku sendiri, selanjutnya kalian boleh akrab .seperti saudara sekandung saja."

Maka Han Cin segera maju memberi hormat kepada Kek Lam-wi sebagai Suheng, hadirinpun maju mengucap selamat kepada mereka, kesibukan dan keramaian disini tanpa terasa telah mengesampingkan Toh So-so malah.

Secara diam-diam dari samping Toh So-so menyaksikan dan memperhatikan, teringat kejadian malam itu, hatinya kecut, hambar tidak karuan rasanya.

Han Cin juga teringat akan satu hal, mengawasi seruling pualam di tangan Kek Lam-wi, diam-diam dia membatin: "Waktu ayah bercerita, berulang kali dia menyinggung seruling pualam warisan keluarganya, seruling pualam Kek Lam-wi ini kalau ditiup juga mengeluarkan lagu yang indah dan merdu, entah apakah seruling pualam milik ayah itu?"

Yang menjadikan pandangannya terpesona adalah seruling di tangan Kek Lam-wi, tapi Toh So-so yang memperhatikan dari samping justru tidak tahu kalau Han Cin memperhatikan seruling itu, karuan semakin ruwet pikirannya.

Akhirnya Kek Lam-wi menyadari juga bahwa sikap dan mimik orang agak ganjil, lekas dia berkata: "Han-cici masih menguatirkan keadaan Toan-toako, marilah lekas kita temani dia pulang biarlah kabar baik ini dia sampaikan sendiri kepada Toan-toako," lahirnya dia seperti berolok-olok kepada Han Cin, yang terang kata-katanya ditujukan kepada Toh So-so.

Waktu mereka tiba di rumah keluarga Coh, kebetulan Toan Kiam-ping sudah siuman, melihat mata Han Cin merah dan bengkak habis menangis. Toan Kiam-ping kira orang terlalu prihatin dan menguatirkan kesehatan dirinya, maka lekas dia berkata: "Kenyataan koh aneh, setelah tidur pulas, keadaanku jauh lebih baik. Adik Cin, tak usah kau kuatir akan diriku."

Ti Nio berkata dengan tertawa: "Cara tutukan yang kugunakan tadi memang khusus untuk membantu pulihnya kesehatanmu, tanggung dalam sepuluh hari, kau sudah pulih seperti sediakala."

"Sepuluh hari sebentar juga sudah lalu," ujar Han Cin senang. "Toan-toako, kau harus beristirahat dengan baik."

"Betul, Ti-locianpwe, kau banyak bekerja demi menolong jiwaku, maaf aku belum sempat menghaturkan terima kasihku," demikian kata Toan Kiam-ping.

Ti Nio berkata: "Urusan sekecil ini buat apa ditaruh dalam hati."

"Aku jelas harus berterima kasih kepadamu, apalagi semalam aku tak sempat melindungi nona Han, demi pertolonganmu sehingga dia bebas dari mara bahaya, entah bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."

Ti Nio terkekeh geli, katanya: "Dia ini putriku, sepantasnya akulah yang harus berterima kasih kepadamu, mana boleh persoalan diputar balik malah?"

Terbeliak kaget dan senang hati Toan Kiam-ping, katanya: "O, jadi Ti Tayhiap adalah ayahmu, kenapa kau tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku?"

"Aku sendiri juga baru tahu," sahut Han Cin cekikikan.

Setelah mendengar penjelasan Han Cin, bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tertawa: "Nona Han, sungguh amat menggirangkan. Baiklah aku terus terang, beberapa jam sebelum ini, aku tidak tahu kesehatanku bisa sembuh secepat ini, pernah timbul pikiranku begini, tidak jadi soal aku mati, tapi kematianku akan menjadikan kau sengsara, itu berarti aku berdosa terhadap kau. Kita, senasib sepenanggungan, tiada sanak tiada kadang, setelah aku berada di alam baka, siapa yang akan mendampingi dan menghibur kau? Kini persoalan sudah jelas, ternyata kau masih punya seorang ayah yang baik dan arif hijaksana, umpama penyakitku takkan sembuh, aku akan berangkat dengan perasaan lega dan tentram ke dunia lain."

Berlinang air mata Han Cin mendengar limpahan perasaan Toan Kiam-ping yang blak-blakan ini, katanya: "Toan-toako, jangan kau berpikir yang tidak genah. Aku yakin kau akan selamat dan sehat kembali," wajahnya tampak berseri tawa dengan perasaan lega dan terhibur.

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Memangnya sekarang kau tak perlu kuatir untuk diriku, akupun tidak perlu menguatirkan kau, lalu apa pula yang kau tangisi?"

Diam-diam Ti Nio menyaksikan dan mendengarkan percakapan muda mudi ini, sebodoh-bodohnya juga dia sudah menduga bahwa putrinya ternyata sudah cintrong sama Toan Kiam-ping, dan Toan

Kiam-ping juga membalas cintanya dengan setulus hatinya. Hubungan mereka jelas sudah bukan merupakan hubungan sesama teman biasa.

Setelah perjamuan usai, perasaan Ti Nio tak bisa tentram, diam-diam dia berpikir: "Dari pesan Tan Ciok-sing kepada anak Cin tadi, seolah-olah hubungan anak Cin dengan Toan Kiam-ping adalah pasangan kekasih yang sudah matang, entah bagaimana perasaan anak Cin bila dia memang sudah punya pujaan hati, angan-anganku mungkin tidak bisa terlaksana." — — lalu dia ajak Han Cin keluar dan berjalan-jalan ke hutan dimana tadi mereka berbincang-bincang.

"Ayah," kata Han Cin membuka suara lebih dulu, "bukankah kau ingin menceritakan sebuah kisah yang lain?"

"Betul," ujar Ti Nio, "kisah ini harus di mulai dari sebatang seruling pualam."

Tergerak hati Han Cin, katanya: "Seruling dalam kisahmu itu, bukankah seruling pualam yang sekarang berada di tangan Kek Lam-wi itu?"

"Kau memang pintar, sekali tebak kena sasaran. Seruling pualam itulah dimana masa mudaku dulu kugunakan untuk didengar ibumu."

"Bukankah seruling itu warisan keluarga kita?"

"Betul, belum ada setahun Lam-wi datang ke Khong-goan menemui aku sebagai Susioknya. Tapi sejak dia masih orok dahulu, aku sudah pernah melihatnya sekali. Seruling pualam itu juga bukan warisan keluarga Ti kita."

"Tapi ayah, kau pernah bilang..."

"Dulu waktu aku minta seruling ini dari ayah aku juga kira seruling ini adalah warisan keluarga kita, padahal aku belum tahu asal-usulnya. Baru hari ini..."

Seperti mengenang masa lalu. dia beristirahat sejenak, barulah memulai menceritakan kisah seruling pualam itu kepada putrinya.

"Hari itu, sehari setelah aku pulang dari Hang-ciu. Gerombolan perampok ternyata mulai mengganas di daerah Soh-ciu dan Hang-ciu, terutama kota Hang-ciu sudah dikuras habis-habisan, berita buruk tersiar dari utara bahwa agresor Watsu ternyata telah mengepung kota raja, bila kota raja sampai diduduki musuh, maka dapatlah dibayangkan apa yang bakal terjadi."

"Akhirnya ayah berkeputusan supaya aku mengungsi ke tempat lain, tapi dia hanya menyuruh aku seorang diri pergi."

"Kenapa kakek tidak mengungsi sekalian?"

"Ayah bilang dia harus mengurus harta warisan leluhur, katanya dia cukup mengusai situasi dan keadaan, banyak kenalan pula di kota kelahiran sendiri, meski malapetaka bakal datang, yakin berkat luasnya pergaulannya, kesulitan apapun pasti dapat diatasi, maka aku disuruhnya pergi sendiri, tak usah menguatirkan keselamatan ayah bunda." Yang benar ini hanya alasan ayahnya belaka. Setelah beberapa tahun berselang baru Ti Nio tahu akan sebab musabab kenapa ayah bundanya tidak mau mengungsi. Ternyata waktu itu secara rahasia ayahnya telah bergabung dalam laskar rakyat dan mengadakan gerakan bersenjata siap melawan agresor membela tanah air."

"Ayah kuatir karena Kungfuku belum memadai di samping aku adalah anak tunggal pula, sehingga dia berpikir agak egois, mementingkan keselamatan diriku untuk menyambung keturunan kelak."

Ti Nio melanjutkan ceritanya: "Sebelum berangkat, ayah menyerahkan dua barang kepadaku serta berpesan wanti-wanti. Yaitu sebatang seruling pualam, dan pelajaran Tiam-hiat hasil ciptaannya setelah diperdalam sekian tahun dengan segala daya dan tenaganya---yaitu gambaran pelajaran King-sin-pit-hoat.

"Ayah bertanya kepadaku: 'Tahukah kau asal-usul seruling pualam ini?' Waktu itu akupun bertanya seperti kau tanya kepadaku tadi: 'Apakah seruling ini bukan warisan leluhur kita?'"

"Ayah geleng-geleng kepala, katanya: 'Bukan. Seruling ini pemberian seorang teman kepadaku. Walau aku boleh mewariskan kepadamu sebagai warisan keluarga, tapi bila keturunan temanku itu betul-betul memiliki bakat yang tinggi, aku masih mengharapkan seruling ini akan dikembalikan kepada yang berhak menerimanya.'"

"Sudah tentu aku tidak habis heran, apakah teman ayah itu tidak terlalu royal? Seruling pusaka yang diincar setiap insan persilatan rela diberikan kepada ayah? Siapakah teman ayah itu? Timbul berbagai tanda tanya dalam benakku."

"Ayah lantas berkata: 'Apa kau masih ingat Kek-supek? Beberapa tahun lampau pernah dia membawa putranya bertamu di rumah kita.'"

"Lama aku mengingat-ingat baru akhirnya aku teringat, kira-kira tujuh tahun yang lalu, memang pernah datang seorang Kek-supek dengan putranya yang menginap beberapa lama di rumah kita. Putranya itu sebaya dengan aku, aku juga ingat namanya Kek Bin-yang. Hanya tiga malam mereka menginap, waktu itu karena menghadapi persoalan Piaumoay dan Sute sehingga aku terpukul lahir batin, adalah jamak kalau aku melupakan teman baik masa kanak-kanak dulu, kalau ayah tidak menyinggung, terang aku sudah melupakannya.

Sampai disini Han Cin sudah paham beberapa bagian, tanyanya: "Jadi seruling pualam itu adalah pemberian Kek-supek kepada kakek? Sementara bocah yang waktu itu bernama Kek Bin-yang, tentu adalah ayah kandung Kek Lam-wi bukan?"

"Tepat sekali. Mungkin juga lantaran berjodoh setelah berjerih payah sekian tahun lamanya, di puncak Sing-siok-hay di pegunugan Kun-lun, Kek-supek berhasil memetik segumpal batu pualam hangat serta membuatnya jadi sebatang seruling."

"Jelas batu pualam itu sukar diperoleh, kenapa dia rela memberikan kepada kakek."

"Soalnya bakat ayah paling baik di antara sesama saudara seperguruan, seruling pualam hangat itu bisa membantu ayah mempercepat latihan ilmu Tiam-hiat yang sedang diyakinkan, oleh karena itu apapun dia minta ayah menerima hadiah mahal yang tiada taranya itu. Beliau berkata yang diharapkan adalah kekayaan perguruan dan memperluas ajarannya, meski sukses yang dicapai kelak bukan hasil karya kedua tangannya diapun ikut bangga akan usaha dan perjuangannya lalu apa arti sebatang seruling pualam ini."

Han Cin menghela napas, katanya: "Kek-supek ayah itu ternyata berjiwa besar dan berlapang dada."

"Bukan hanya itu saja," kata Ti Nio lebih lanjut. "Ayah pernah bilang juga bahwa dia pernah mendapat budi pertolongau Kek-suhengnya itu. Tanpa bantuan dan dorongan Kek-suhengnya itu, ayah takkan bisa rajin dan tekun mempelajari serta memperdalam ilmunya, entah berapa kali pula mara bahaya yang telah dihindarinya selama berada di damping sang suheng. Tapi cerita sampingan ini bukan tujuanku yang utama untuk berbincang dengan kau disini, malam ini secara ringkas saja akan kukisahkan hubungan kental antara keluarga Ti kita dengan keluarga Kek, tentang seluk beluknya biarlah ditunda dulu saja pada lain kesempatan," maka pembicaraan dia putar balik ke malam itu, bagaimana ayahnya berpesan kepadanya.

Sebelum berangkat ayah berpesan kepadaku: "Aku memperoleh bantuan dan pertolongan Kek-suheng. sampai sejauh ini tak mampu membalasnya, waktu dia menyerahkan seruling ini kepadaku kami ada janji dua hal. Sekarang aku tiada waktu mencarinya ke Kwa-ciu, terpaksa biarlah kau yang mewakili aku mencapai keinginanku."

"Aku tanya tentang kedua hal perjanjian itu. Ayah menjelaskan: 'Waktu itu kami sama-sama tahu istri masing-masing sudah hamil. Maka perjanjian pertama antara kami ialah bila anak kita sama-sama laki-laki, mereka harus angkat saudara, bila sama-sama perempuan, harus jadi kakak beradik pula. Bila laki dan perempuan, kelak mereka harus menjadi suami isteri."

"Tahun itu waktu dia bertandang ke rumah kita membawa anaknya, mengingat usia kalian masih kecil, dia sedang terlibat urusan penting lagi, maka dia hanya menginap tiga hari di rumah kita terus pergi ke lain tempat, maka tidak sempat mengadakan upacara untuk pengangkatan saudara kalian. Maka aku mengusulkan supaya menunda setelah kalian dewasa baru akan mengundang sanak saudara untuk menyaksikan upacara persaudaraan kalian, sekaligus akan kujelaskan pula seluk beluknya, supaya orang banyak tahu sepak terjang Kek-suheng selama ini, di samping itu maksudnya adalah supaya kalian juga tahu hubungan keluarga kita yang intim."'

"'Dalam situasi seperti sekarang upacara angkat saudara yang kuharapkan dulu jelas tidak mungkin diadakan lagi. Tapi asal kau berhasil menemukan Kek-suheng dan anaknya, tak usah pakai perjamuan segala, secara sederhana boleh kalian lakukan upacara ala kadarnya saja, maksudnya juga tidak bakal luntur.'"

"Setelah patah hati, memang aku ingin memperoleh seorang teman karib sebagai pelepas rindu dan sepi, sungguh bukan main senang hatiku setelah mendengar penjelasan ayah, peduli apapun yang bakal terjadi, aku harus mencari mereka sesuai pesan ayah."

"Lalu ayah menjelaskan hal kedua, beliau amat berterima kasih dan merasa hutang budi akan kebaikan dan pemberian seruling Kek-suhcngnya, maka diam-diam dia bersumpah dalam hati, kapan dia berhasil meyakinkan ilmu sakti, dia akan ajarkan juga ilmunya itu secara merata kepada putra Kek-suheng. Dulu Suheng mengharap dengan seruling pualam itu dapat membantu dia sukses mempelajari ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi, kini harapan itu telah terkabul, dia sudah berhasil meyakinkan King-sin-pit-hoat dengan seruling pualam itu.

maka ayah suruh aku serahkan gambar penjelasan pelajaran King-sin-pit-hoat hasil jerih payahnya kepada Kek-suheng dan anaknya."

"Ayah bilang: 'Baru tahun lalu aku berhasil menyelami seluruh pelajaran Kmg-sin-pit-hoat ini dan berhasillah kupelajari ilmu tutuk tunggal yang tiada taranya. Sayang situasi semakin gawat, jelas diriku tak mungkin pergi mencari Kek-suheng dan menyerahkan pelajaran Tiam-hiat itu kepadanya. Kau sendiri belum sempurna mempelajarinya, kau juga masih perlu mendapat bantuan seruling pualam itu, tapi sepanjang jalan kau boleh mempelajari dan mengingat gambar penjelasan ini, bila mereka ayah dan anak mau ngungsi bersama kau, kau masih boleh belajar bersama mereka.'"

'"Seruling ini akupun ada maksud dikembalikan kepada pemiliknya semula. Tapi seruling ini memang barang pusaka, kau harus tepat menyerahkan kepada yang berhak. Bila putra Kek-suheng memang punya bakat belajar silat, baru boleh kau serahkan seruling ini kepadanya, kalau tidak lebih baik jangan kau kembalikan,' setelah diberi wejangan pula, hari itu juga aku berangkat membawa seruling dan Pit-kip, mengungsi ke selatan. Tapi setiba di Kwa-ciu, ternyata situasi disini juga genting dan tidak aman, dua hari sebelum aku tiba di Kwa-ciu, aku sudah tahu bahwa aku dikuntit orang. Sayang pengalamanku cetek tapi sebagai kambing yang baru keluar kandang tidak takut berhadapan dengan harimau, meski aku merasa curiga, namun aku tidak ambil di hati."

"Setiba di Kwa-ciu, seperti rencana semula aku bekerja tanpa membuang waktu mencari Kek-supek. Keluarga Kek ternyata cukup terkenal dan disegani di daerah Kwa-ciu, sekali aku mencari tahu pada penduduk setempat lantas kucapai rumahnya."

"Setiba aku di rumah keluarga Kek, satu peristiwa terjadi sungguh diluar dugaanku."

Han Cin menyela: "Mungkin mereka juga sudah mengungsi?"

"Bukan. Aku hanya bertemu dengan Kek Bin-yang." "Lho, lalu ayahnya?" "Dengan pakaian blaco (pakaian duka cita) Kek Bin-yang keluar menyambut kedatanganku, ayahnya, Supekku telah neninggal."

"Kira-kira tiga bulan yang lalu, gerombolan perampok telah beroperasi di Kwa-ciu, gerombolan perampok ini ditunjang oleh pihak Watsu, di antara anggotanya tidak sedikit terdapat jago-jago silat dari bulim. Demi melindungi rakyat sekota, Supek kerahkan tenaga yang ada, dia pimpin rakyat melawan gerombolan perampok itu, sayang seorang diri Supek kewalahan dikeroyok musuh sebanyak itu, akhirnya dia terluka parah, penyakitnya tak terobati lagi."

"Ibu Kek Bin-yang masih hidup, dia juga sudah menikah, punya seorang anak, lahir setelah ayahnya meninggal, waktu itu usianya sudah genap dua bulan, orok itu bukan lain adalah Kek Lam-wi yang akhirnya menjadi salah satu anggota Pat-sian."

"Aku singgung perjanjian Supek dengan ayah tempo dulu, bibi Kek memberi tahu kepadaku, katanya sebelum suaminya ajal dia juga memberitahu soal ini padanya. Katanya bila aku tidak datang di Kwa-ciu, mereka juga akan ke Kim-ling mencari ayah dan aku."

"Dia amat senang karena aku sudah datang lebih dulu untuk memenuhi janji itu, malam itu kami bersembayang bersama, minum tiga cangkir arak sebagai sumpah setia untuk selanjutnya menjadi saudara angkat seperti saudara sekandung sendiri. Tapi waktu aku menyerahkan catatan ilmu silat karya ayah dan kembalikan seruling kepada mereka, ibu beranak itu menolak dan tidak mau mempelaj arinya."

"Bercerita masa lalu bibi Kek amat sedih dan pilu, tapi juga amat senang. Dia bilang yang penting hubungan kedua keluarga tetap terjalin dengan baik, dapat menyaksikan putra angkat bersaudara dengan diriku, hatinya sudah amat tenang dan lega. Tapi bila dia menyinggung kenangan lama, dia amat sendu dan rawan, dia mengatakan..."

Sampai disini Ti Nio berhenti sambil mengawasi putrinya seperti memikirkan sesuatu. Tak tahan Han Cin bertanya: "Apa yang dikatakan?" heran dia kenapa sang ayah seperti bimbang.

Akhirnya Ti Nio berkata: "Bibi Kek berkata: Besar harapannya supaya kedua keluarga kita dapat mencontoh leluhur kita, dia tanya apakah aku sudah menikah?"

Melonjak jantung Han Cin, tanyanya: "Lho, untuk apa dia tanya soal ini?"

"Dia harap aku dapat mengikat suatu perjanjian juga dengan putranya. Bila kelak sama-sama punya anak laki-laki harus angkat saudara, punya anak perempuan sebagai kakak seadik, kalau laki perempuan harus jadi suami isteri."

Karuan Han Cin melenggong dan menjublek sekian lama.

Ti Nio melanjutkan: "Dari cerita suaminya bibi sudah tahu bahwa ayah ada maksud mengawinkan Piaumoay dengan aku. Bibi berkata dengan tertawa kepadaku: 'Dulu waktu Bin-yang pulang dari rumahku sering dia mengomel, katanya kau selalu mengeloni Piaumoay dan sering tidak menghiraukan dia. Kini Bin-yang sudah punya anak, yakin kaupun sudah menikah dengan Piaumoaymu?'"

Sudah tentu di samping kaget Han Cin amat gugup, namun rikuh pula menanyakan apa jawaban sang ayah terhadap bibi Kek.

Ti Nio seperti tahu perasaan putrinya, sekilas dia lirik putrinya, dalam hati diam-diam dia mengeluh, katanya kemudian. "Sudah tentu aku malu menceritakan persoalan Piaumoay kepada bibi, terpaksa aku mencari alasan bahwa kepandaianku belum sempurna, belum ada pikiran berumah tangga. Hakikatnya aku tidak pernah menyinggung Piaumoay, tak pernah pula aku mengutarakan maksudku supaya kelak kita juga mengikat perjanjian itu, sengaja aku alihkan pokok pembicaraan. Melihat sikapku yang dingin dan tidak ambil perhatian, mungkin bibi agak salah paham padaku, maka selanjutnya diapun tak pernah menyinggung soal ini."

Sampai disini Ti Nio tertawa getir, katanya lebih lanjut: "Ai, mana dia tahu bahwa mulutku tak mungkin bicara karena pengalaman pahit yang pernah kuresapi, kalau dia salah paham, yah, biarlah."

"Terus terang waktu itu aku berpikir begini. Kalau aku bisa berkeputusan sendiri, sudah tentu aku senang mengikat perjanjian itu dengan Kek-suheng. Tapi Piaumoay adalah bini orang lain, putriku juga sudah bukan anakku lagi. Kelak apakah dia masih sudi mengakui aku sebagai ayah, aku juga tidak tahu. Kalau aku tidak setimpal jadi seorang ayah, mana berani aku sembarangan mengikat janji dengan orang lain?"

Mendengar cerita ayahnya yang terakhir ini baru legalah hati Han Cin, pikirnya: "Syukur ayah tidak menerima tawaran keluarga Kek kalau terjadi urusan tentu serba runyam. Ai, ayah bukan kau tidak setimpal jadi ayahku, tapi kau tidak atau belum bisa menyelami isi hati putrimu," sudah tentu dia juga rikuh dan malu mengutarakan perasaan hatinya kepada sang ayah.

"Situasi masih genting, tapi setelah mengalami perampokan besar-besaran itu untuk sementara Kwa-ciu boleh dihitung agak aman dan tentram. Perhitunganku semula akan menginap beberapa hari di rumah keluarga Kek, menurunkan pelajaran Kungfu yang kuterima dari ayah kepada Kek-suheng. Tak nyana hari kedua, terjadilah bencana yang tak pernah terbayang sebelumnya."

Han Cin kaget, katanya: "Bencana apa?"

"Kalau dibicarakan kesalahan ada padaku. Maklum waktu itu aku cetek pengalaman dan tidak pernah berkelana di Kangouw, kedatanganku ke rumah keluarga Kek sekaligus memancing kedatangan gerombolan perampok pula."

Han Cin paham seketika, katanya: "O, jadi orang-orang yang sehari sebelumnya selalu menguntit ayah itu?"

"Betul orang yang menguntit aku itu ternyata juga seorang ahli, dia tahu seruling yang kubawa adalah barang pusaka, tujuan mereka hendak merebut seruling pualam."

"Mereka saksikan aku masuk ke rumah keluarga Kek, mungkin merasa kekuatan sendiri kurang ungkulan, maka malam itu mereka tidak turun tangan."

"Tapi hari kedua mereka mengundang bantuan yang berkepandaian tinggi, permulaan yang diundang ialah tokoh yang tiga bulan lalu pernah dikalahkan Supek, tapi Supek sendiri setelah memukul mundur kambrat-kambratnya, dalam keadaan lemah kehabisan tenaga diapun terkena sekali pukulan dahsyat yang mematikan dari pentolan perampok.

"Bersama Bin-yang aku bahu membahu melawan serbuan musuh, pertempuran amat sengit dan dahsyat, kawanan perampok kita babat dan tumpas, tidak sedikit yang kami bunuh dan lukai tapi karena harus melindungi oroknya yang masih kecil, Bin-yang juga terpukul parah oleh Toa-cui-pi-jiu pentolan perampok itu, isi perutnya tcrluka tak mungkin disembuhkan lagi.

"Bagaimana akhirnya?" tanya Han Cin tegang.

Bercucuran air mata Ti Nio, suaranya sember: "Toa-cui-pi-jiu kepala rampok itu memang terhitung ilmu tunggal yang hebat di kalangan bulim, dinilai lwekangnya pada waktu itu, jelas aku bukan tandingannya, bahwa aku dapat kalahkan dia adalah berkat kesaktian seruling pualamku ini, dengan melancarkan King-sin-pit-hoat aku dapat melawannya sama kuat. Sayang lwekang dan latihan silat Kek-suheng jauh di bawahku, pukulan Toa-cui-pi-jiu itu telak mengenai dada lagi, mana kuat dia bertahan? Sungguh kasihan, setelah terluka parah, pesanpun tak bisa diutarakan, dengan air mata bercucuran dia hanya bisa menuding oroknya yang masih dalam gendongan, dengan sorot matanya yang berlinang air mata dia memohon dan melimpahkan perasaannya, setelah aku berjanji barulah dia berangkat dengan meram."

Han Cin amat haru, katanya menghela napas: "Sejak kecil ternyata Kek-suheng juga sudah hidup menderita. Kalau aku setahun kehilangan ibu, dia baru dua bulan sudah ditinggalkan ayahnya."

Ti Nio berkata: "Betul. Lantaran nasib kalian sama, maka aku mengharap kalian harus saling berkasih sayang."

Entah sengaja atau tidak kata-katanya, tapi bagi yang mendengar justru tahu kemana juntrungan kata-kata ini. Han Cin rasakan perkataan sang ayah mengandung dua unsur, kontan jantungnya berdetak. Tapi diluar tahunya di balik hutan sana, ada pula seorang, yang sembunyi dan mencuri dengar pembicaraan mereka, hatinyapun terketuk mendengar perkataan Ti Nio terakhir, jantungnya juga berdebar keras. Orang itu bukan lain adalah Toh So-so.

Memang sengaja dia sembunyi di tempat itu lebih dulu untuk mendengar percakapan Ti Nio dengan putrinya, karena sejak malam kemarin, dalam jangka sehari semalam ini, banyak gejala yang menimbulkan rasa was-was dalam hatinya, perasaan hatinya yang paling sensitif memberi ingat padanya, sehingga dia memperoleh suatu fisarat. Bahwa pertemuan ayah dan anak ini bukan melulu persoalan mereka berdua, tapi juga menyangkut hubungan langsung dengan Kek Lam-wi.

Kini Ti Nio memang tidak membicarakan hal itu secara gamblang, namun dia sudah menduga apa yang akan dikatakan Ti Nio kepada putrinya, mendengar sampai disini, mau tidak mau timbul rasa jelusnya, dalam hati dia tertawa dingin: "Memangnya kalian senasib sepenanggungan, biarlah aku mengalah, silahkan kalian saling berkasih sayang."

Tak kuasa dia menahan rasa haru dan sedihnya, semula dia sudah ingin tinggal pergi, namun dia masih kuat menahan emosinya, tempat sembunyinya di semak rumput sejauh belasan langkah, dia mendekam tanpa berani bergerak serta mendengar lebih lanjut.

Terdengar Ti Nio sedang berkata: "Setelah Kek-suheng meninggal semula aku akan bawa ibu dan isteri serta putranya pindah ke tempat lain, tapi bibi bilang membawa orok kecil mengungsi amat tidak leluasa, maka dia berkukuh untuk membawa cucunya pulang ke rumah orang tuanya. Keluarga bibi tinggal di atas gunung, disana memang tepat untuk menghindari huru hara. Bibi juga mengajakku kesana, tapi karena aku masih ada urusan lain, kuharap masih bisa menemukan ibumu maka aku tolak ajakan mereka."

"Seruling pualam dan buku gambar penjelasan King-sin-pit-hoat karya ayah kutinggalkan kepada mereka, sebagai hadiah untuk keponakan bila kelak dia sudah tumbuh dewasa, bibi dan Suso (isteri Bin-yang) juga mengerti sedikit Kungfu, dengan membekal seruling pualam itu, paling tidak mereka masih mampu membela diri. Apalagi seruling itu memang milik keluarga mereka, setelah kubujuk dan kujelaskan panjang lebar, akhirnya mereka mau menerima kedua barang itu."

Baru sekarang Han Cin tahu bahwa seruling pualam itu setelah mengalami berbagai peritiwa yang rumit dan berbelit-belit akhirnya terjatuh ke tangan Kek Lam-wi.

Ti Nio melanjutkan ceritanya: "Setelah aku menyerahkan seruling dan Pit-kip, aku berkata kepada bibi: "Bibi, pesan yang pernah kau sampaikan pasti takkan kulupakan. Semoga kelak bila aku kembali kesini, Lam-tit sudah tumbuh dewasa, masih ada kesempatan untuk aku menunaikan angan-angan leluhur."

Mau tidak mau tergetar pula hati Han Cin mendengar penuturan sang ayah." Angan-angan apa yang hendak ditunaikan ayah? Kesempatan apa pula yang dia tunggu selama ini? Bukan secara tidak langsung perkataan ayah itu merupakan janji pula terhadap Bibi dan Susonya?" Han Cin tidak tahu apakah kedua janda keluarga Kek itu maklum akan tujuan perkataan sang ayah, tapi Han Cin sendiri paham. Itu berarti, tanpa ditanya lagi diapun sudah tahu apa jawabannya. Sudah tentu Han Cin tidak berani tanya, tapi Ti Nio sudah menjelaskan sendiri.

"Aku bertekad untuk melakukan dua hal untuk membalas budi kebaikan keluarga Kek. Tugas pertama adalah menuntut balas bagi kematian Kek-supek dan Kek-suheng."

"Lwekang kepala perampok itu teramat tinggi dan lebih unggul dari aku, maka aku harus menyempurnakan Kungfuku baru akan dapat mengalahkan dia, maka aku harus latihan lebih giat dan rajin mempertinggi ilmu, tanpa bantuan seruling pualam, aku harus dapat mengalahkan kepala rampok itu."

"Pada hal siapa nama dan asal-usul kepala rampok itu, sedikitpun aku tidak tahu, untuk menuntut balas, aku harus mencari tahu dan menyelidiki jejaknya. Tidak lama kemudian gerombolan perampok itupun telah bubar, jejak kepala rampok itupun tak diketahui parannya."

Han Cin masgul, katanya: "Wah, lalu kemana untuk menyelidiki nya?"

"Untung walau aku tidak tahu nama dan asal-usulnya, tapi aku tahu akan Kungfunya, Toa-ciu-pi-jiu yang diyakinkan itu boleh terhitung ilmu tunggal dalam bulim, setelah beberapa tahun berselang, yakin kepandaiannya itu tentu telah diyakinkan lebih sempurna, namanya juga pasti amat tenar. Dari sini pasti dapat aku menemukan jejaknya, syukurlah akhirnya aku berhasil menemukan jejak pembunuh Kek-suheng dan Kek-supek."

"Siapakah orang itu?" tanya Han Cin.

"Dia bukan lain adalah jago nomor satu di bawah bangsat tua she Liong, yaitu Lenghou Yong."

Han Cin tersentak sadar dan paham, katanya: "O, kiranya dia. Tak heran sengaja jauh-jauh kau dari Khong-goan menyusul ke kota raja. Kecuali salah seorang keponakanmu adalah satu di antara Pat-sian, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas. Entah apakah Kek-suheng sudah tahu bahwa Lenghou Yong adalah pembunuh kakek dan ayahnya?"

"Dia masih belum tahu."

"Kenapa tidak kau beritahu kepadanya?"

"Karena sebelum kemarin malam aku bertemu dengan Lenghou Yong, aku belum yakin kalau dialah musuh kita."

"Sebelum ini, aku sudah mencari tahu, tokoh liehay yang mahir menggunakan Toa-cui-pi-jiu dalam kalangan Kangouw hanyalah Lenghou Yong, tapi Lenghou Yong sudah disogok oleh Liong Bun-kong untuk menjadi pengawal kepercayaannya, apakah betul dia adalah kepala rampok yang dulu itu, aku harus membuktikan sendiri."

Ti Nio berkata gregeten: "Dua puluh tahun lamanya aku mencari musuh besar, kemarin malam akhirnya aku dapat menemukan dia."

"Sesuai dugaan, Toa-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong jauh lebih hebat dari dua puluh tahun lalu, namun tampangnya tidak berubah besar bedanya, sekali pandang aku lantas tahu bahwa dialah memang kepala rampok yang dulu itu. Ai. tapi aku yakin, dia pasti tidak mengenali diriku lagi."

Sampai disini dia meraba rambut kepalanya yang sudah beruban, katanya setelah menghela napas: "Dua puluh tahun lalu aku adalah pemuda yang gagah perkasa dan jauh lebih muda dari dia, tapi kini aku sudah jadi kakek tua yang bpruban. Mana mungkin dia masih mengenaliku?"

Mengawasi rambut ayahnya yang sudah beruban, muka yang sudah berkeriput, Han Cin merasa ikut pilu, pikirnya: "Usia ayah sekarang paling baru empat puluh lebih, namun kelihatannya sudah seperti kakek reyot berusia enam puluhan lebih," Han Cin tahu bukan lantaran kehidupan yang tidak kenal kasihan ini merubah sang ayah menjadi laki-laki yang loyo, tapi lantaran teramat sedih dan merana sehingga ayahnya bak kembang yang layu sebelum saatnya, demikian batin Han Cin. Dia dapat meresapi betapa rawan perasaan sang ayah selama ini.

Untuk mengalihkan kepedihan hati sang ayah, dengan tawa dipaksakan Han Cin berkata: "Kan lebih baik kalau dia tidak mengenalimu. Bila dia tahu kau adalah musuhnya bukan mustahil dia sudah bersiap-siap sebelumnya."

"Betul. Lantaran itulah semalam aku tidak membongkar perbuatannya dulu. Sudah tentu, dalam situasi seperti semalam, akupun tiada tempo untuk membuat perhitungan dengan musuh besar itu."

Han Cin tertawa pula. katanya: "Ayah. usiamu belum tua, Kungfumu juga tidak terbengkalai bukan. Tapi Toa-cui-pi-jiu Lenghou Yong memang teramat liehay, yakin seperti apa yang ayah katakan, taraf kepandaiannya sekarang pasti jauh lebih tinggi dibanding dua puluh tahun yang lalu. Tapi ayah, Kungfumu sendiri selama dua puluh tahun ini juga pasti sudah melompat maju, walau pandangan putrimu tidak tajam tapi aku sudah tahu dan yakin demikian. Semalam waktu kau melabraknya, bukankah kau berada di atas angin. Sayang semalam bukan pertarungan satu lawan satu, kalau tidak dalam jangka seratus jurus, jiwanya pasti terenggut di tangan ayah."

Ti Nio tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Seratus jurus kurasa terlalu diagulkan, dalam jangka tiga ratus jurus, yakin aku dapat mengambil jiwanya. Sayang semalam aku tiada kesempatan untuk menuntut balas padanya. Tapi padri asing yang menggantikan dia itu, kepandaiannya ternyata lebih tangguh lagi. Kalau keponakan Lam-wi tidak serahkan seruling pusaka kepadaku, hampir aku tidak kuasa menghindari mara bahaya."

Han Cin berkata: "Seorang Kuncu menuntut balas, sepuluh tahun belum terlambat. Ayah kau sudah menunggu dua puluh tahun, apa salahnya bersabar beberapa hari lagi. Padri asing itu datang bersama utusan Watsu, tak lama lagi pasti pulang ke negerinya. Kapan ayah mau menuntut balas kepada Lcnghou Yong, memangnya kuatir takkan berhasil?"

Ti Nio manggut-manggut, katanya: "Betul. Akupun berpikir demikian. Baiklah, soal menuntut balas ini boleh dikesampingkan dulu. Kini aku akan utarakan keputusanku yang kedua pada kau."

"Angan-angan yang kedua", mendengar perkataan sang ayah, serasa berdebar jantung Han Cin. Walau teka teki belum terjawab, namun dia sudah meraba angan-angan apa yang hendak dikatakan oleh ayahnya.

Melihat perubahan mimik muka putrinya, Ti Nio menghela napas, katanya kalem: "Mungkin kau tidak ingin mendengarnya, tapi aku tetap akan beritahu padamu."

"Itulah angan-angan bersama dua keluarga Kek dan Ti kita, dua puluh tahun yang lalu meski aku tidak memberi jawaban tegas kepada Bibi Kek, namun dalam hati kecilku waktu itu aku sudah berjanji, kuharap kelak bisa meneruskan perjanjian leluhur kedua keluarga kita."

"Waktu itu aku berpikir begini: Aku yakin suatu ketika pasti akan bisa menemukan ibumu dan Suteku, akan kusampaikan maksud hatiku ini dan mohon persetujuan mereka. Waktu itu aku berpikir, kesalahan yang pernah kulakukan, tak berani aku mohon maaf kepada mereka, tapi demi masa depan putriku, apalagi keluarga Kek merupakan keluarga persilatan, umpama hubungan kedua keluarga tidak intim, perjodohan inipun boleh dikata setimpal dan sama bobotnya."

Mulut Han Cin sudah terpentang, dia ingin bicara, tapi tidak tahu dari mana dia harus bicara.

"Anak Cin," kata Ti Nio, "biarlah aku bicara sampai habis, baru kau boleh utarakan isi hatimu."

"Dua tahun yang lalu, kudengar kabar dalam usia yang masih muda Kek Lam-wi sudah angkat nama sebagai salah satu dari Pat-sian, betapa senang hatiku. Tapi belakangan setelah aku menyaksikan Kungfunya, terus terang, aku amat menyesal dan gegetun pula. Tapi aku sendiri yang menyebabkan penyesalan itu."

Mendengar sang ayah tiba-tiba membicarakan Kungfu Kek Lam-wi, tanpa merasa Han Cin melengak, tapi bila sang ayah tidak bicara soal jodoh, sikapnya sih tidak begitu kikuk. Pikirnya: "Kungfu Kek-suheng kan hebat, entah soal apa yang disesalkan ayah?"

Ti Nio seperti dapat meraba pikiran putrinya, katanya: "Kalau dibanding jago silat kalangan Kangouw umumnya, kepandaian Kek-suhengmu memang terhitung kelas wahid. Tapi sayang dia tidak mempelajari ilmu silat kelas tinggi, Kungfu kelas tinggi yang betul-betul murni."

Tak tahan Han Cin bertanya: "Bukankah kau sudah serahkan gambar penjelasan King-sin-pit-hoat kepadanya? Bukankah ilmu itu sudah terhitung Kungfu kelas tinggi?"

"Waktu aku menyerahkan gambar penjelasan itu taraf kepandaianku sendiri jelas tidak setinggi latihanku sekarang, gambar penjelasan itu hanya mengajarkan cara dan pemecahan ilmu Tiam-hiat, tentang rahasia menyalurkan hawa murni dan Iwekang, kalau hanya berdasarkan gambar penjelasan itu saja tetap takkan bisa melatihnya sampai taraf yang paling tinggi. Apalagi mantra yang harus digunakan untuk melancarkan ilmu Tiam-hiat berdasarkan gambar penjelasan itu, baru beberapa tahun belakangan ini berhasil kuselami."


"Kalau demikian, sekarang juga belum terlambat kau mengajarkan kepadanya."

"Betul. Aku memang sudah siap mengajarkan kepadanya. Aku sudah berkeputusan dalam waktu dekat ini akan kuserahkan dua hadiah kepadanya. Kuharap kau dapat membantu ayah menunaikan harapanku itu."

Han Cin tersentak kaget, teriaknya: "Ayah..."

Ti Nio goyang-goyang tangan supaya dia tidak ribut dan biarlah dia bicara habis. "Kedua hadiah itu akan kuserahkan sebagai mas kawinnya. Hadiah pertama adalah batok kepala Lenghou Yong kedua adalah ilmu Tiam-hiat tunggal ajaran keluarga Ti kita. Anak Cin, aku amat senang, kau sudi mengakui aku sebagai ayah, maka aku harap kau suka membantu ayah mencapai angan-angan terakhir."

Han Cin menghela napas, katanya: "Ayah, ada beberapa patah kata, entah pantas tidak kuutarakan'.'"

"Aku justru ingin mendengar isi hatimu, boleh kau katakan. Bagaimana?"

"Ayah, bukan putrimu tidak tunduk akan petuahmu, tapi tindakanmu ini tidak akan membawa kebaikan bagi segala pihak, termasuk Kek-suheng tentunya."

"Kenapa? Justeru mengingat hubungan turun temurun tiga generasi dari keluarga Kek dan Ti, maka aku ingin menjodohkan kau dengan dia. Aku malah akan bantu dia menuntut balas, akan kuajarkan pula ilmu tingkat tinggi, bagaimana kau bilang akan tidak menguntungkan dia malah?"

"Avah, sukalah kau tidak mencampur adukan persoalan menuntut balas, meyakinkan ilmu dengan perjodohan."

"Baik coba kau jelaskan, kenapa soal jodoh ini tidak atau kurang baik?"'

"•Ayah, maaf bila aku bicara terus terang dan sejujurnya. Bagi kau tindakanmu ini jelas demi kebaikanmu, untuk keluarga Kck¬supek, tapi bicara dari pihak Kek-supek sendiri, mungkin dia bisa mengomel dan salahkan kau terlalu banyak mencampuri urusan anak muda."

Ti Nio sudah tahu apa yang hendak dikatakan tapi dia tetap bertanya: "Kenapa?"

"Dalam kalangan Kangouw, siapa tidak tahu bahwa Kek Lam-wi dan Toh So-so, dua di antara Pat-sian ini adalah sepasang kekasih yang sudah memadu cinta? Ayah, apakah kau tidak tahu akan hubungan mereka?" Han Cin menyinggung nama Toh So-so, dia tidak tahu pada hal Toh So-so sambunyi di semak-semak tak jauh dari tempatnya berada.

Tapi sayang sekali dia tidak lebih dini menyebut nama Toh So-so, bila sejak tadi namanya disinggung, perkembangan selanjutnya mungkin berbeda dengan kenyataan yang bakal terjadi.

Ternyata di kala mendengar Ti Nio hendak menyerahkan dua hadiah besar sebagai pesalin pernikahan putrinya, secara diam-diam Toh So-so lantas menyelinap pergi.

Semenit yang lalu dia masih dekat di depan mata, namun kini, meski dia belum pergi jauh, namun percakapan Ti Nio dan putrinya sudah tidak terdengar lagi olehnya.

"Bukan aku tidak tahu," ujar Ti Nio, "tapi kau hanya tahu yang satu, tidak tahu yang lain."

"Apanya yang lain?"

"Menurut apa yang kuketahui walau mereka sering bersama, tapi belum ada ikatan jodoh, apa lagi kulihat watak mereka berbeda. Nona she Toh itu kulihat suka membawakan perangai putri bangsawan, suka ngambek dan brengsek, sebaliknya Kek-suhengmu adalah laki-laki yang tidak suka dikekang dan dibatasi."

Sebetulnya hati Han Cin dirundung kegelisahan, tapi mendengar perkataan sang ayah, tak urung dia cekikikan geli.

"Apa yang kau tertawakan, anak Cin?"

"Ayah, kukira itu hanya jalan pikiranmu yang dimabuk angan-angan belaka."

Ti Nio kurang senang, katanya: "Memangnya menurut hematmu mereka adalah pasangan yang setimpal?"

"Cinta muda mudi ibarat orang minum air panas atau dingin dapat diketahuinya sendiri. Apakah mereka cocok satu dengan yang lain, orang lain sukar memberikan putusannya. Yang penting bila mereka merasa cocok, pastilah cocok."

Ti Nio berjingkat, pikirnya: "Benar, dulu aku juga berpendapat aku dengan Piaumoay adalah pasangan setimpal, Han-sute jelas tidak cocok dengan dia. Tapi akhirnya jalan pikiran mereka justru jauh berbeda dengan maksudku. Bila mengenang peristiwa masa lalu, tidak bisa tidak aku harus mengaku, bila tidak lantaran aku yang membuat mereka celaka, sekarang mungkin mereka masih hidup sebagai suami isteri yang bahagia," maka dengan tawa getir dia berkata: "Mungkin selama hidupku ini terlalu tekun latihan silat, sehingga tidak banyak yang kuketahui tentang sepak terjang anak-anak muda sekarang."

Han Cin berkata lebih lanjut: "Asal mereka sudah saling cinta, meski tanpa ikatan jodoh apa pula halangannya? Watak berbeda juga tidak jadi soal. Memangnya tiada manusia yang mirip dalam dunia ini, asal mereka bukan manusia yang berdiri di bidang yang berlawanan meski perangai berbeda, satu sama lain bisa saling mengalah dan saling koreksi. Di depan mata kita sudah ada contohnya. Seperti Tan Ciok-sing Toako dengan In San-cici, mereka juga tiada ikatan dari orang tua, pakai mak comblang segala, sudah tentu tanpa perjanjian nikah segala. Apalagi mereka keturunan dari dua keluarga yang berbeda, tabiatnya juga berlainan. Tapi siapapun mengakui bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang saling cinta setulus hati, memangnya siapa yang akan menentang dan mengatasi keburukan mereka?" sebetulnya dia sendiri bersama Toan Kiam-ping juga merupakan contoh teladan, tapi dia rikuh untuk membicarakan awak sendiri.

Kalau sang putri bicara panjang lebar adalah sang ayah merasa gundah dan ruwet pikiran.

Maklum Ti Nio adalah seorang Tayhiap, selama hidupnya paling berpegang pada sumpah dan janji, oleh karena itu meski dia tahu uraian putrinya masuk akal. Tapi dia juga amat berat untuk mengingkari apa yang pernah diucapkan maka dia berkata: "Apakah betul mereka saling cinta setulus hati, aku tidak enak tanya kepada Lam-wi. Tapi soal jodoh ini adalah usul nenek dan ibunya di waktu dia masih bayi dulu. Walau waktu itu aku tidak memberi jawaban positip, namun dalam hati kecilku sudah berjanji pada diriku sendiri. Bila dia belum terikat dengan nona Toh itu, kukira apa salahnya katau dia menikah dengan gadis lain. Lebih baik begini saja, setelah aku memenggal kepala Lenghou Yong, baru akan kusuruh orang membicarakan soal jodoh ini. Kala itu bila dia tidak setuju, akupun tidak akan memaksa, terhitung aku tidak mengingkari kehendak orang tuanya."

Han Cin berkata: "Kalau ayah berbuat demikian, itu berarti ayah sengaja melakukan kesalahan. Pertama, kau memberi bantuan budi kepadanya, untuk membarlas kebaikan budimu ini, meski dia menjadi menantumu juga terpaksa. Kau sudi putrimu menikah dengan laki-laki yang dipaksa baru mau menerima aku sebagai isterinya? Apalagi..."

"Apalagi apa?"

Urusan sudah terlanjur sejauh ini, Han Cin tidak perlu main malu-malu lagi, katanya: "Apalagi kau belum tanya bagaimana pendapatku?"

Getir suara Ti Nio. "Tanpa kau jelaskan aku sudah tahu, kau menyukai Toan-kongcu bukan?"

"Betul, diapun amat menyukai aku."

"Apakah kalian sudah mengikat janji untuk hidup sampai tua?"

Merah muka Han Cin, katanya: "Keluarganya kena musibah, kedatangannya ke kota raja kali ini untuk menuntut balas, mati hidup masih sukar diramalkan."

Ti Nio menghela napas lega, katanya: "Kalau demikian, kalian belum ada janji pernikahan?"

Kalem suara Han Cin: "Semalam waktu kami meluruk ke gedung keluarga Liong, kami sudah sumpah bersama. Meski kita dilahirkan bukan pada hari bulan dan tahun yang sama, tapi biarlah mati pada hari bulan dan tahun yang sama."

Meski bukan sumpah setia menentukan perjodohan, namun pernyataan itu merupakan sumpah setia untuk sehidup semati. Maknanya sudah lebih gamblang.

Ti Nio tertunduk diam, lama kemudian baru dia bersuara: "Bukan Toan Kiam-ping tidak baik tapi dia keturunan keluarga bangsawan, leluhurnya pernah jadi raja dan dia sendiri adalah seorang pangeran, aku kuatir dia akan membawa sifat jeleknya yang suka disanjung dan diladeni."

"Kini keluarganya sudah berantakan, tiada bedanya dengan kita sebagai insan persilatan yang terlantar. Jangan kata tata kehidupannya biasa jauh berbeda dengan para pangeran umumnya, meski betul dulu dia membawa watak anak bangsawan, kini setelah mengalami musibah dan digembleng sedemikian rupa, yakin dia akan merubah pandangannya terhadap kehidupan ini. Apalagi aku justru menyenangi dia karena dia orang yang berperangai demikian, bukan lantaran leluhurnya dahulu adalah keluarga kerajaan."

Tahu bahwa urusan tak mungkin dirobah pula, akhirnya Ti Nio menghela napas, katanya: "Seorang laki-laki sejati harus menepati janji, mungkin kali ini aku tidak dapat menepati janjiku dulu, sungguh aku malu terhadap arwah Kek-suheng di alam baka,"

Tak tahan Han Cin membantah: "Ayah, dahulu ayah bundamu bukankah juga pernah berjanji kepada nenek luarku, supaya kau menikah dengan Piaumoay?"

Kata-kata ini bagai godam yang memukul dada Ti Nio sampai dia berjingkat kaget roman mukanyapun seketika berubah pucat.

"Betul, 'perintah orang tua' itulah penyebab tragedi yang menyedihkan dahulu. Akupun terlalu tunduk pada perintah orang tua, justru karena aku merasa adanya perintah itu sehingga perjodohan itu sudah resmi dan sepantasnya, maka aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Piaumoay justru pemberani, dia melawan kehendak orang tua dan menyukai Han-sute. Kalau demikian, apa pula arti janji para leluhur? Perkataan anak Cin memang tidak salah, soal jodoh adalah urusan besar, betapapun jodoh tidak boleh dipaksa, kalau anak-anak muda sama tidak jatuh cinta kenapa perjodohan harus dipaksakan. Aku sudah membuat celaka ibu anak Cin, betapapun tak boleh mencelakainya lagi," ucapan putrinya tadi memang amat melukai gengsi dan harga dirinya, tapi sekaligus telah mencegah terulangnya tragedi yang tidak diinginkan.

"Anak Cin terima kasih kau telah menyadarkan aku. Aku memang bukan ayah yang baik, hampir saja aku melakukan kesalahan lagi. Baiklah kalau kalian memang sudah sama cinta, akupun tidak akan memaksamu," luka lama sanubari Ti Nio kembali ditusuknya sampai darah bercucuran, namun karena rasa sakit luka lama inilah sehingga dia sadar kembali dari kesalahan, dengan berlinang air mata dia minta maaf kepada putrinya.

Senang dan duka hati Han Cin, katanya sambil memeluk sang ayah: "Ayah, kau adalah ayali yang baik, ayah yang dapat membedakan kebenaran, putrimu amat berterima kasih kepadamu. Ayah sebetulnya engkau tidak perlu gelisah, masih ada cara sempurna untuk menyelesaikan persoalan ini."

Ti Nio melenggong, katanya: "Cara sempurna bagaimana?"

"Bukankah kau ingin membalas kebaikan keluarga Kek yang telah menahan budi kepada dua generasi keluarga kita?"

"Memangnya, aku ingin melanjutkan perjanjian leluhur kita, justru karena itu. Tapi kini..."

Han Cin menukas dengan tertawa. "Dua kado yang kau siapkan untuk kau berikan kepada Kek Lam-wi masih boleh kau serahkan, malah tetap boleh kau serahkan sebagai pesalin."

"Lho, maksudmu..."

"Boleh kau berikan sebagai kado pernikahan Kek Lam-wi dengan Toh-cici. Kau sudah anggap dia sebagai keponakan sendiri, kaupun boleh memungut Toh-cici sebagai putrimu."

Ti Nio sadar, pikiran pepatnya terbuka, katanya: "Betul, tanpa mengikat perjodohan dengan pihak keluarga sendiri, aku masih pantas membalas kebaikan keluarga Kek. Memang, otakku yang bebal ini kenapa tidak bisa berpikir menyimpang, untung kau memberi ingat kepadaku. Anak Cin, kau boleh lega hati. Aku pasti bertindak seperti akal tadi."

Saking senang, Han Cin sampai berjingkrak seraya berteriak: "Ayah, kau memang ayahku yang baik."

"Jangan memuji aku," ujar Ti Nio tertawa sambil mengelus rambut anaknya, "sekarang mari pulang, kita tengok keadaan Kiam-ping."



000OOO000



Diluar dugaan Ti Nio dan Han Cin, saat mana ternyata Kek Lam-wi berada di pinggir ranjang Toan Kiam-ping.

Toan Kiam-ping berkata: "Ti Tayhiap banyak terima kasih akan bantuanmu, sehingga sakitku sudah sembuh, mana berani..."

Sebelum dia bicara habis. Ti Nio sudah menukas dengan tertawa lebar: "Sengaja aku kemari untuk menyampaikan berita baik."

Toan Kiam-ping sudah menerka dalam hati, seketika sorot matanya bersinar, tanyanya: "Kabar baik apa?"

Ti Nio tersenyum, katanya: "Anak Cin adalah anak kandungku, persoalannya dengan kau sudah dia jelaskan kepadaku. Maka menurut maksudku setelah sakitmu sembuh biarlah kalian bertunangan dulu. Setelah tiga tahun kau berkabung, baru adakan upacara pernikahan," lalu secara ringkas dia ceritakan bagaimana mereka ayah dan anak bertemu kembali setelah berpisah dua puluh tahun lamanya.

Mendengar berita gembira ini sungguh bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tersipu-sipu. "Banyak terima kasih pada paman yang sudi menyerahkan putrimu kepadaku. Mohon maaf karena Siau-tit sedang sakit, tidak bisa memberi sembah hormat kapada kau orang tua."

"Toan-toako," sela Kek Lam-wi tertawa," kenapa kau membahasakan diri sebagai Siau-tit lagi, seharusnya kau menggunakan istilah Siau-say (menantu)," pada hal dalam hati dia sedang dirundung persoalan, meski memberi ucapan selamat setulus hati, namun tawanya kelihatan agak dipaksakan.

"Kek-toako," ujar Toan Kiam-ping, "jangan kau menggodaku melulu aku sih akan menunggu minum arak bahagia kau bersama nona Toh."

Guram air muka Kek Lam-wi, katanya: "Jangan melibatkan diriku, aku mana punya rejeki sebesar itu."

Toan Kiam-ping melengak, baru dia hendak tanya apa maksud perkataannya, Han Cin sudah mendahului: "Kek-suko, ada satu hal ayah hendak memberitahu kepada kau, tapi soal ini panjang kalau dibicarakan..."

"Baiklah, marilah kita bicara diluar, jangan mengganggu Toan-toako yang perlu istirahat."

Han Cin mendahului keluar, katanya: "Dimana Toh-cici?"

"Entahlah. Dia meninggalkan sepucuk surat tapi tidak menjelaskan kemana dia pergi."

Tergetar hati Han Cin, katanya tergagap: "Surat, apa yang dikatakan dalam surat?"

"Dia suruh aku tanya satu hal kepada kau."

Mendengar hal ini seperti disambar geledek kaget Han Cin, mukanya seketika merah berubah hijau bergantian, sekuatnya dia tenangkan diri, tanyanya dengan suara gemetar: "Soal, soal apa?"

Untung Kek Lam-wi kira karena dia mendengar Toh So-so menghilang sehingga hati merasa kaget dan gugup, tidak terpikir akan akibat lain. Katanya: "Dia bilang Ti-susiok dan kau tahu siapa pembunuh ayahku. Sejak pagi tadi Ti-susiok diundang Liok-pangcu dan Lim-toako untuk berunding menyelesaikan urusan besar, pada hal aku ingin lekas tahu terpaksa aku tanya kau saja."

Sadarlah Han Cin akan duduk persoalannya. "Ternyata

percakapanku dengan ayah di hutan telah dicuri dengar oleh Toh-cici," setelah tahu akan hal ini, meski dia merasa rikuh dan kikuk kaget lagi, namun dari nada pembicaraan Kek Lam-wi agaknya Toh So-so tidak menyinggung persoalan yang menyulitkan bagi mereka yang kini berhadapan, legalah hatinya, katanya: "Betul, kemarin malam ayah sudah berhasil menyelidiki dengan betul, siapa pembunuh ayahmu."

Berita ini sementara telah menentramkan perasaan Kek Lam-wi yang tidak tentram karena kehilangan sang pujaan, hatinya memperoleh getaran baru yang menambah semangat jantannya. Lekas dia bertanya: "Lekas beritahu kepadaku siapakah dia?"

Pelan-pelan Han Cin berkata: "Pembunuh ayahmu dulu adalah Lenghou Yong."

Kek Lam-wi melenggong sesaat lamanya, katanya kemudian. "Tak heran So-so bilang demikian. Ai, tapi jalan pikirannya itu belum tentu pasti benar..."

Tanpa merasa Han Cin melengak, sebelum oraug bicara habis segera dia bertanya: "Apa yang dikatakan Toh-cici, boleh kau beritahu kepadaku?"

"Dia mendorongku untuk belajar silat lebih tekun dan rajin, dengan tanganku sendiri menuntut balas kepada musuh. Dia kuatir kehadirannya di dampingku akan mengganggu pelajaranku, dia berkeputusan untuk meninggalkan aku."

Ternyata To So-so tidak selesai mendengar percakapan Ti Nio dengan Han Cin, secara diam-diam dia tinggal pergi dengan membawa hati yang luka, hati yang rawan. Diam-diam dia berpikir. "Memang Lam-ko amat mencintai aku, tapi kalau cintanya dibanding kedua hadiah itu, lalu dia akan memilih diriku atau mau menerima kedua hadiah itu?" sudah tentu dia tidak bisa memberikah jawaban Kek Lam-wi, tapi dia bisa meresapi derita dan goncangan hatinya.

Dendam orang tua sedalam lautan. Hal ini diresapinya dengan jelas, cita-cita Kek Lam-wi yang terbesar justru menuntut balas kematian ayahnya. Sering kali Kek Lam-wi bilang demikian kepadanya. "Sia-sia aku dilahirkan di dunia ini, siapa pembunuh ayahku, sejauh ini aku masih tak berhasil menyelidikinya," setiap kali menyinggung persoalan yang satu ini, selalu dia merasa masgul dan menderita tekanan batin, seperti hampir gila rasanya.

"Kini siapa pembunuh ayahnya sudah diketahui, tapi dengan bekal kepandaian Lam-ko sekarang, jelas dia bukan tandingan Lenghou Yong. Tanpa bantuan sang Susiok, entah kapan dia baru akan berhasil menuntut balas?"

"Ai, kalau dia sukar berkeputusan memilih yang mana, biarlah aku saja yang memilih jalan hidupku sendiri."

"Lam-ko memang amat mencintai aku, akupun setulus hati mencintainya. Demi cintaku kepadanya, aku rela membantu dia mencapai cita-cita," demikianlah, setelah dia berkeputusan, dengan berlinang air mata dia menulis sepucuk surat ditinggalkan untuk Lam-wi, lalu secara diam-diam dia tinggal pergi.

Sudah tentu Kek Lam-wi tidak percaya akan alasan yang ditulis dalam suratnya itu, setelah dipikir-pikir bolak-balik tetap dia tidak peroleh jawaban, rasa masgul yang menekan perasaan hati tak kuasa lagi dilimpahkan di hadapan Han Cin. "Sungguh aku tidak mengerti, kenapa dalam saat-saat seperti ini dia justru meninggalkan aku."

Sudah tentu Han Cin tahu sebabnya. Bagaimana jalan pikiran Toh So-so diapun bisa menyelami. Ai, tapi mungkinkah dia menjelaskan secara gamblang kepada Kek Lam-wi? Hari pertama telah pergi, hari kedua telah lalu, hari ketiga juga sudah berselang. Toh So-so tetap tak kembali. Tan Ciok-sing dan In San juga tidak kunjung pulang. Toh So-so menghilang adalah persoalan kecil, padahal menurut rencana Tan Ciok-sing dan ln San hari kedua sudah harus pulang, tapi sudah tiga hari masih tidak melihat bayangan mereka, kemungkinan mereka telah mengalami musibah di istana raja.

Sambil memindah alamat markas pusatnya, pihak Kaypang bekerja paling sibuk menyebar anak muridnya mencari tahu, namun tiga hari telah pergi, hasilnya tetap nihil. Lebih menguatirkan lagi karena Thaykam kecil kenalan Coh Ceng-hun dan biasa mengadakan kontak dengan Kaypang selama ini tidak muncul. Malam itu Thaykam kecil ini sudah berjanji akan membantu Tan Ciok-sing dan In San dari dalam, sebelumnya sudah dijanjikan juga bila terjadi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka tiga hari dia akan berusaha memberi kabar kepada pihak Kaypang. Sebagai salah satu Thaykam yang bisa meladeni sang Raja dari dekat, sering dia mencari alasan disuruh memberi barang keperluan para selir untuk bolos keluar istana. Thaykam yang menjaga pintu tahu kedudukannya dalam istana yang telah dipercayai oleh Baginda maka dia bisa keluar masuk dengan bebas. Tapi selama tiga hari ini, bayangannya masih tidak kelihatan. Titip kabar kepada orang lain juga tidak.



000OOO000



Bagaimana keadaan Tan Ciok-sing dan ln San sekarang? Pengalaman mereka harus diceritakan dari permulaan malam pertama. Gedung istana raja berada didalam lingkungan Jik-cin-ceng. Jik-cin-ceng ada empat pintu, pintu tengah dinamakan du-bun, di atas tembok ada dibangun sebuah gedung berloteng yang dinamakan Ngo-hong-lau, para Wisu yang berdinas malam sebagian tinggal di atas Ngo-hong-lau ini, sudah tentu masuk dari pintu tengah ini tidak mungkin. Pintu timur dinamakan Tang-hoa-bun, pintu barat dinamakan Say-hoa-bun,

semuanya berada dalam lingkungan aliran sungai pelindung kota, sungainya lebar airnya dalam, betapapun tinggi Ginkang seseorang tak mungkin bisa melampauinya. Hanya pintu utara yang dinamakan Sin-bu-bun, menghadap ke King-san. Bagi ahli silat yang memiliki Ginkang tinggi, masih mampu naik dari Sin-bu-bun dan menyelundup kedalam istana.

Dari petang Tan Ciok-sing dan ln San sembunyi di King-san, kira-kira menjelang kentongan ketiga baru mereka mengembangkan Ginkang memanjat ke Sin-bu-bun, padahal di bawah Sin-bu-bun dijaga Wisu, namun di atas tembok tiada bangunan apapun, begitu berada di Sin-bu-bun, langsung mereka melambung ke arah Ni-an-tiam, para Wisu di bawah mimpi juga tidak mengira ada orang berani menyelundup kedalam istana, hakikatnya mereka tidak tahu sama sekali akan kedatangan Tan Ciok-sing dan ln San.

Genteng istana terbuat dari kaca yang licin, untung Ginkang Tan Ciok-sing dan ln San sudah tinggi, setelah melampaui beberapa wuwungan istana kaca akhirnya mereka tiba di Sin-ling-kiong. Di sinilah letak peristirahatan permaisuri Sia-hoa-wan berada di belakang Sin-ling-kiong. Thaykam kecil yang berjanji hendak membantu mereka sebelumnya sudah mengadakan kontak hendak bertemu dengan mereka di Sim-hiang-ting.

Mendekam di wuwungan Sin-ling-kiong, dengan seksama mereka perhatikan keadaan di bawah. Malam itu cuaca gelap, namun lapat-lapat terlihat bayangan para Wisu yang meronda hilir mudik. Ternyata pintu gerbang Sin-ling-kiong tepat berhadapan dengan pintu timur dari Giong-hoan didalam Sia-hoa-wan, pada setiap pintu masuk adalah pantas kalau selalu dijaga oleh kawanan Wisu.

Dua Wisu tampak hilir mudik saling berhadapan, betapapun tinggi Ginkang seseorang, bila dia harus loncat turun dari atap genting yang tinggi, jejaknya pasti konangan oleh para penjaga itu. Lalu bagaimana baiknya?

Berkerut alis Tan Ciok-sing, sekilas berpikir akhirnya dia mendapat akal. Setelah diperhatikan dilihatnya kedua Wisu itu yang satu ke arah timur yang lain ke arah barat, setelah melangkah tiga puluhan tindak, lalu sama-sama putar balik. Tan Ciok-sing diam-diam memelintir dua butir tanah lempung dari bawah sepatunya, di kala kedua Wisu itu memutar balik mendadak dia menjentik dengan jari, kedua butir tanah lempung itu diselentik ke arah dua pucuk pohon yang terletak di kiri kanan. Ternyata burung yang bersarang di pucuk pohon itu menjadi kaget dan terbang berhamburan mengeluarkan suara berisik.

Sudah tentu kedua Wisu itu kaget mendengar suara ribut dari kicau burung yang kaget dan terbang berhamburan di malam yang gelap ini, sekilas perhatian mereka tertuju kesana, dan sebelum saatnya membalik, serempak mereka mendongak melihat burung-burung yang beterbangan itu. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Tan Ciok-sing berdua, sigap sekali mereka melompat turun secepat kilat. Bak umpama selembar daun jatuh, tanpa mengeluarkan suara, bila kedua Wisu itu membalik badan, dan melangkah balik secara berhadapan pula, Tan Ciok-sing berdua sudah menyelinap kesana sembunyi di balik rumpun kembang.

Salah seorang Wiu ternyata jadi curiga, katanya: "Aneh tanpa sebab masakah burung-burung di atas pohon bisa kaget beterbangan?"

Wisu yang lain tertawa, katanya: "Kau ini memang sudah kenyang dan terlalu nganggur, burung mau terbang biar terbang, peduli amat dengan kau, buat apa pikirkan sebabnya mereka terbang."

Walau curiga, tapi mengingat dari pada terembet urusan, lebih baik bersikap masa bodoh habis perkara.

Dengan merunduk Tan Ciok-sing dan ln San terus menggeremet maju di antara rumpun kembang, berkat ketangkasan gerak-gerik mereka, akhirnya mereka berhasil menyelinap kedalam Sia-hoa-wan.

Setelah diperhatikan disini ternyata tiada Wisu yang meronda hilir mudik, legalah hati mereka. Sia-hoa-wan ternyata amat besar dan luas, empat penjuru tidak kelihatan ujungnya. Pohon-pohon tua banyak terdapat didalam taman kembang ini, gunung-gunungan yang dibangun serba indah, telaga buatan, pepohonan yang terawat serta gardu pemandangan yang dibangun bertingkat tersebar seperti-biji-biji catur yang sengaja disebar menurut posisi dan kedudukan yang sudah diperhitungkan. Berada di Sia-hoa-wan yang luas dan besar, dimanapun kau mudah mendapatkan tempat untuk sembunyi. Namun di tempat seluas ini cara bagaimana mereka harus menemui Thaykam kecil itu, jelas ini memerlukan tenaga dan pikiran.

Mereka terus maju menyibak kembang menyingkirkan dahan, dengan hati-hati dan penuh perhatian mereka sedang menggeremet ke arah sebuah belumbang, tiba-tiba dilihatnya sinar api berkelebat. Tan Ciok-sing sembunyi di tempat gelap, waktu dia pasang mata, tampak dua Wisu menenteng lampion sedang mengiringi seorang pemuda yang berpakaian perlente dengan mantel bulu rase sedang bergontai ke arah sini.

In San kaget, segera dia berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing:

"Toako, coba kau perhatikan, orang ini seperti bukan orang Han, seperti sudah pernah kukenal."

"Betul, keparat ini kalau tidak salah adalah seorang Pwecu yang pernah kita temui di penginapan rumah bangsat tua she Liong itu."

"Tidak salah," In San juga ingat sekarang, "keparat ini malam itu pernah bergebrak melawan Wi-cui-hi-kiau Lim Tayhiap. Menurut Lim Tayhiap Kungfunya cukup liehay, taraf kepandaiannya malah lebih tinggi dari Poyang Gun-ngo dan ke empat jago-jago Watsu lainnya."

"Kemarin baru Liok-pangcu berhasil mencari tahu, keparat ini bernama Tiangsun Co. Konon adalah putra seorang Ongya di Watsu."

Terdengar Tiangsun Co sedang bicara: "Guruku semestinya akan datang sendiri, tapi setelah dia berunding dengan Ongya, dirasakan bahwa aku seorang diri mewakili dia juga sudah lebih dari cukup. Putusannya ini yakin membuat kalian kecewa bukan?"

Wisu yang di depan berkata: "Ah kenapa bilang begitu, kapan kita bisa mengundang Pwecu kemari. Siang tadi Hu-congkoan kebetulan juga ada membicarakan kau Pwecu..."

Agaknya Tiangsun Co ketarik, sebelum orang bicara habis dia sudah bertanya: "Oh, jadi Hu-congkoan kalian juga mengenal diriku, apa yang dikatakan?"

"Hu-congkoan memuji Pwecu sebagai tunas muda yang jarang bandingannya dalam negeri sendiri, usia muda pandai bekerja, cerdik dan tangkas serta perkasa. Kali ini sebetulnya dia ingin mengundang Pwecu bersama Milo Hoatsu, namun dia kuatir Pwecu tidak sudi memberi muka kepadanya. Apalagi karena hubungan kita baru terjalin sekali ini, maka kami juga tidak berani bertindak terlalu berani. Tapi kedatangan kau seorang juga sudah cukup. Sungguh tak nyana bahwa Pwecu sendiri sudi kemari, terus terang kita lebih senang menyambut kedatanganmu dari pada kedatangan Milo Hoatsu."

Tiangsun Co tertawa bingar, katanya: "Kalian terlalu menyanjungku, mana bisa aku dibanding guruku?"

"Bukan kami suka berolok-olok, memang begitulah Hu-congkoan mengutarakan isi hatinya."

"Kenapa demikian?"

"Gurumu meski seorang Koksu, jabatan tinggi besar gengsinya. Tapi bicara soal urusan dinas dan kekeluargaan, mana dia bisa dibanding Pwecu yang langsung keturunan kerabat istana, di hadapan Khan Agung, jelas kau lebih mudah bicara bukan? Banyak persoalan yang tidak mungkin kami bicarakan dengan gurumu, kita bisa bebas bicara dengan Pwecu."

"Itu memang betul," ucap Tiangsun Co, "banyak terima kasih akan penghargaan Hu-congkoan kalian kepadaku, terus terang sudah lama aku juga amat mengagumi Hu-congkoan kalian."

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin di tempat

persembunyiannya: "Kiranya mereka telah tiba di Pakkhia, namun berani bergerak secara bebas bukan saja berintrik dengan Liong Bun-kong, kedatangan Tiangsun Co kali ini jelas ada janji pertemuan rahasia dengan Hu-congkoan yang paling berkuasa di istana raja, entah muslihat apa pula di belakang pertemuan mereka nanti? Sayang tugas berat perlu segera dibereskan, tiada tempo untuk mencari tahu ada intrik apa pula antara Tiangsun Co dengan Hu-congkoan."

Tan Ciok-sing berkata bisik-bisik: "Orang macam apa Hu-congkoan itu, apa kau tahu?"

"Pernah kudengar paman Ciu membicarakan dia, konon Congkoan istana dalam bernama Hu Kian-seng, Kungfunya tidak lebih asor dibanding Bok Su-kiat," sembari menjelaskan dia gandeng tangan Ciok-sing diajak memutari sebuah gunungan, menyelinap di antara semak kembang terus merunduk ke depan. Tak lama kemudian tampak kemilau cahaya yang timbul dari refleks permukaan air, ternyata belumbang sudah kelihatan tak jauh di sebelah depan. In San berbisik di dekat telinga Tan Ciok-sing: "Gardu di depan itu adalah Sim-hiang-ting. Coba kau periksa lebih dulu, adakah orang di sekitarnya?" ketajaman matanya melihat di tempat gelap tidak sejeli Tan Ciok-sing, maka dia suruh Ciok-sing memeriksanya.

Tan Ciok-sing memandang ke depan dengan seluruh ketajaman matanya, namun tidak kelihatan ada bayangan seorangpun disana. Diam-diam hatinya kaget, pikirnya: "Celaka, bila Thaykam kecil itu tiba-tiba ingkar janji, cara bagaimana kita bisa bertemu dengan Baginda Raja."

Belum habis dia berpikir, tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang muncul di gardu di seberang sana entah dari mana dia muncul. Waktu Tan Ciok-sing mendongak, dilihatnya rembulan tepat di tengah cakrawala, waktu kebetulan tepat kentongan ketiga. Diam-diam dia tertawa geli dan lega, pikirnya: "Thaykam kecil ini berjanji kentongan ketiga ternyata dia muncul tepat pada waktunya, agaknya aku malah yang terlalu gelisah."

Baru saja Tan Ciok-sing mau unjuk diri sambil menberikan tanda isyarat. Pada saat itulah, mendadak didalam gardu tahu-tahu sudah muncul pula bayangan seorang. Tampak tangan orang ini merenggut kuduk Thaykam kecil, katanya menyeringai: "Tengah malam buta rata, untuk apa kau berada disini, main sembunyi-sembunyi lagi?"

Gemetar suara Thaykam kecil: "Aku, aku tidak bisa tidur, kemari mencari angin."

Orang itu mendengus, jengeknya: "Bulan sembilan saatnya menjelang musim dingin, kau cari angin apa disini? Dan lagi mencari angin kemari kenapa tidak berjalan terang-terangan dari pintu, koh malah merangkak keluar dari lobang di bawah tanah?"

Ternyata di samping Sim-hiang-ting terdapat sebuah gunungan palsu. Di bawah gunungan ini terdapat sebuah gua yang tembus ke Sim-hiang-ting. Thaykam kecil dan orang itu sama-sama merangkak keluar dari gua tersembunyi itu.

Sudah tentu Thaykam kecil tak mampu menjawab. Orang itu berkata: "Terus terang sudah lama aku memperhatikan dirimu. Kau sering bolos ke pasar di pintu timur dan mampir di sebuah warung minuman mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang yang tidak dikenal asal-usulnya, kau kira aku tidak tahu? Sayang sejauh ini aku tidak berhasil mendapatkan bukti. Hehe, malam ini belangmu betul-betul sudah kubongkar, hayo lekas berterus terang," habis dia bicara terdengar tenggorokan Thaykam kecil bersuara berkerutuk. Walau Tan Ciok-sing tidak melihat air mukanya tapi dia tahu Thaykam kecil itu sedang disiksa supaya mengaku.

"Hayo mengaku terus terang," ancam orang itu.

Di saat memperoleh kesempatan ganti napas, benak Thaykam kecil sudah berpikir putar balik. Dia teringat akan keluarganya yang sudah tiada, hidup menyendiri dalam keadaan melarat dan menderita, teringat betapa manis dan baik budi orang Kaypang yang telah menolongnya dari kesengsaraan, dia tahu pula betapa besar arti tugas yang sedang diembannya ini, maka dengan mengertak gigi pelan-pelan dia mendongak, katanya mendesis: "Aku, tiada yang perlu kukatakan."

Ternyata sejak kecil dia sudah ditinggal mati ayah bunda, tiada sanak tiada kadang dia hidup terlunta sejak kecil, suatu ketika dia ditolong orang Kaypang dan berusaha menanamnya didalam istana raja, disini dia dikebiri menjadi Thaykam. Sudah beberapa tahun dia hidup didalam lingkungan istana, namun sejauh ini hidupnya masih belum tentram, akhir tahun yang lalu baru dirinya diangkat ke istana dalam untuk melayani raja, barulah kehidupannya disini lebih mending, meski sudah hidup serba berkecukupan tapi dia tidak pernah melupakan kebaikan orang-orang Kaypang, tidak pernah lupa akan pesan ayah bundanya sebelum ajal mereka dahulu.

Kini dalam benaknya dia berpikir: "Tio-thocu amat percaya padaku, maka dia menugaskan aku menjadi agen disini, tugasku berat tapi besar dan penting artinya. Walau aku tidak tahu untuk apa mereka mengutus orang untuk menemui Baginda Raja, namun dia menduga urusan besar ini pasti menyangkut kepentingan rakyat banyak, mana boleh aku menjual mereka."

Agaknya orang itu yakin dengan mudah dia akan berhasil mengompres keterangannya, tak nyana dengan tegas dia menjawab: "Tidak", hal ini betul-betul diluar dugaannya. Setelah menjengek sekali orang itu tertawa dingin: "Baik, kau tidak mau bicara, biar kugusur kau kehadapan Hu-congkoan, di kantornya ada delapan belas jenis alat siksa, setiap jam boleh diganti alat siksa lain supaya derita yang kau alami bisa merata, yakin kau akan dilayani dengan puas dan santai. Coba saja waktu itu, kau mau bicara tidak?"

Waktu dia hendak seret Thaykam kecil itu keluar dari Sim¬ hiang-ting, baru saja langkah kakinya bertindak, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menyambar kelenci menubruk ke arah dirinya, belum lagi orang itu sempat bersuara, mendadak dadanya terasa kesemutan, Hian-ki-hiat di dada telak tertimpuk oleh tanah lempung timpukan Tan Ciok-sing.

Sudah tentu lemas pegangan orang itu, "Bluk" kontan dia tersungkur jatuh. Sementara Thaykam kecil terhuyung bebas lalu menggelendot di lankan dengan pandangan rnenjublek. Lekas Ciok-sing bebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Thaykam kecil, tangan kanan terulur, di Yang-ciang dia tekan tiga kali, lalu menekan pula tiga kali di In-ciang. Inilah isyarat yang telah mereka janjikan sebelumnya.

Sungguh kaget dan girang Thaykam kecil bukan main, katanya: "Kau utusan pihak Kaypang syukurlah akhirnya kau datang juga."

"Maaf, aku datang terlambat selangkah, sehingga kau menderita," demikian ucap Tan Ciok-sing. "Sekarang tak usah banyak bicara, beritahu padaku, apakah orang ini wisu yang bertugas malam ini?"

"Dia ini pimpinan barisan wisu, tapi malam ini bukan dia yang berdinas," sahut Thaykam kecil.

Ciok-sing tidak perlu kualir, segera ia turun tangan, sekali remas dia gunakan Jong-jiu-hoat menggetar pecah urat nadi pemimpin barisan Wisu, tanpa mengeluarkan suara jiwa orang itu melayang seketika.

"Dimana sekarang Baginda berada, kau tahu?" tak sempat menyembunyikan mayat orang itu, segera dia tanya kepada Thaykam kecil.

Thaykam kecil menjawab: "Baginda ada di Long-gak-kek, tadi aku melihat dia sedang membaca laporan dinas, kudengar dia berpesan kepada Thaykam yang berdinas di kamar bukunya, katanya dia malam ini hendak tidur di kamar tulis, tidak seperti biasanya dia harus tidur bergiliran di kamar selirnya. Agaknya malam nanti dia akan tidur jauh malam, mumpung ada kesempatan, kau bisa menemuinya disana. Kau tahu letak Long-sim-tiam," dalam gambar peta yang dibuat Thaykam kecil ada diterangkan dengan jelas, karena tempat itu merupakan gedung bangunan yang cukup besar, Tan Ciok-sing yakin tidak sulit untuk mencarinya, katanya: "Aku tahu."

"Kalau demikian maaf aku tidak antar kalian kesana," ucap Thaykam kecil.

Sementara itu In San berada diluar gardu mengawasi keadaan sekitarnya, Thaykam kecil tahu dia datang bersama Tan Ciok-sing. Untung dalam jangka waktu yang pendek ini tiada rombongan ronda yang lewat disini. Thaykam kecil ini tidak bisa main silat, jikalau dia disuruh mengunjukkan tempatnya mungkin bisa menambah beban mereka malah. Maka Tan Ciok-sing berkata: "Baiklah, kau tak usah kuatir, aku pasti dapat temukan tempat itu. Tolong mayat ini kau yang mengurusnya." - Dalam hati dia membatin, setengah jam lagi bakal bertemu dengan Baginda, umpama mayat orang ini ketemu orang juga tidak jadi soal lagi.

Baru saja Tan Ciok-sing hendak berlalu, Thaykam kecil itu mendadak berkata: "Hiapsu, tunggu sebentar..."

"Masih ada persoalan apa?" tanya Tan Ciok-sing menoleh.

Sikap Thaykam kecil agak ganjil, sesaat kemudian baru berkata: "Bila kau bertemu dengan Tio-thocu, tolong sampaikan kepadanya, katakan bahwa aku tidak pernah melupakan petuahnya."

Karuan Tan Ciok-sing melenggong, pikirnya: "Dalam saat segenting ini, kau masih mengoceh kepersoalan yang tidak perlu," katanya: "Baik, pesanmu pasti kusampaikan," lalu dia ajak In San berlalu.

Setelah meninggalkan Sim-hiang-ping baru Tan Ciok-sing menelaah pesan Thaykam kecil yang dirasakan agak ganjil, serta mimik mukanya yang aneh, mau tidak mau dia menaruh curiga, belum jauh mereka pergi, sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara rintihan seseorang.

Tan Ciok-sing . terperanjat, katanya: "Lekas balik, kita lihat apa yang terjadi?"

"Lihat apa?" tanya In San heran. Maklum pendengarannya tidak setajam Tan Ciok-sing, meski dia mendengar sesuatu suara dari Sim-hiang-ting, namun dia tidak bisa membedakan suara apa itu.

"Mungkin Thaykam kecil itu mengalami sesuatu," ujar Tan Ciok-sing.

Tadi mereka melihat Thaykam kecil itu telah menyeret mayat orang itu kedalam gua di bawah gunungan, maka begitu tiba di Sim-hiang-ting, langsung mereka juga menyusup kedalam gua, seketika mereka terbelalak kaget, ternyata sebatang belati tampak menancap di dada Thaykam kecil, tubuhnya roboh berdampingan di samping mayat tadi dan masih kelejctan, ternyata dia menggunakan belati yang tergantung di pinggangnya mayat itu untuk membunuh diri.

Lekas Tan Ciok-sing menubruk maju serta menutuk beberapa Hiat-to untuk mencegah darah mengalir keluar, tapi belati itu menembus jantung, mana mungkin jiwanya ditolong lagi? Pertolongan pertama yang dilakukan paling hanya memperpanjang napasnya

sehingga dia masih bisa bertahan hidup beberapa kejap lamanya.

Lambat laun Thaykam kecil membuka mata, katanya lirih: "Kenapa tidak lekas kau tunaikan tugasmu?"

"Kau, kenapa kau bertindak senekat ini?" ujar Tan Ciok-sing gugup.

"Cepat atau lambat peristiwa ini pasti terbongkar, dan lagi aku kuatir bila kejadian ini terlalu cepat diketahui mereka, aku sendiri tidak yakin apakah di bawah siksaan mereka aku kuat bertahan untuk tidak mengaku."

Tahu jiwanya tak mungkin ditolong lagi, terpaksa Tan Ciok-sing berkata: "Adakah pesanmu yang lain?"--Segera dia dekatkan telinganya di mulut orang, didengarnya suara yang keluar dari mulut Thaykam kecil selirih bunyi nyamuk: "Aku, aku sudah tidak punya orang tua, tiada sanak tidak punya kandang, tiada yang perlu kau repotkan. Tolong saja kau sampaikan pesanku tadi kepada Tio-thocu," habis bicara matanya terpejam, napaspun putus.

Tan Ciok-sing menyembah tiga kali terhadap jenazah Thaykam kecil, katanya: "Walau Thaykam ini tidak pandai silat, namun dia patut disebut seorang pendekar besar."

In San menghibur: "Sekarang bukan saatnya bersedih, marilah kita dengarkan pesannya, lekas mengerjakan tugas kita yang penting."

Mereka segera mengembangkan Ginkang, sepanjang jalan ini dengan mudah mereka menghindari kawanan Wisu yang mondar mandir. Lekas sekali mereka sudah mengitari Yong-sim-tiam, Long-gak-kekpun telah tampak di depan mata.

Long-gak-kek merupakan gedung bertingkat dua, mereka sembunyi di tempat gelap, mendongak ke atas, tampak kamar di atas loteng memang ada sinar lampu yang menyorot keluar, bayangan seorang tampak juga di atas jendela sutra, dari gayanya tampaknya sedang membaca sesuatu, pastilah Baginda Raja sedang membaca laporan dinas. Di bawah loteng di depan pintu berdiri dua Wisu.

Dalam hati Tan Ciok-sing mereka: "Kungfu kedua Wisu ini pasti lebih tinggi, tanah lempung kecil mungkin tak kuasa menutuk Hiat-to mereka," terpaksa dia menyerempet bahaya, dengan Kim-ci-piau (mata uang emas) menggunakan cara menimpuk menutuk Hiat-to. Mata uang itu memang meluncur secepat kilat, baru saja kedua Wisu itu membuka mulut hendak berteriak, Hiat-to pelemas di tubuh mereka telah tertimpuk dengan telak. Kontan tubuh mereka bergetar sekali, tapi mereka tetap berdiri tegak di tempat masing-masing tanpa dapat bergerak lagi. Kecuali seorang ahli silat yang kebetulan lewat di depan mereka, orang lain takkan tahu kalau mereka sudah dikerjai orang.

Seluruh perhatian Baginda Raja sedang ditujukan pada laporan yang dibacanya, hakikatnya tidak ambil peduli dan tidak tahu apa yang terjadi diluar. Tapi diluar kamar bukunya dijaga pula seorang jago kosen dari istana, dengan jelas jago kosen ini mendengar luncuran kedua mata uang dan kedua Wisu yang jaga di bawah seketika bungkam.

Sudah tentu timbul rasa curiga jago kosen ini, tapi mimpi juga dia tidak pernah menduga ada orang luar yang berani datang ke istana yang terlarang, sudah tentu tak pernah terbayang pula olehnya bahwa ada pembunuh hendak mengincar jiwa junjungannya. Tanpa bersuara atau mengganggu Baginda, diam-diam dia beranjak dari tempatnya, dengan berjinjit-jinjit dia turun dari loteng tanpa diketahui siapapun.

Tan Ciok-sing memang menanti kedatangannya, begitu kaki orang melangkah keluar pintu, kontan dia persen orang dengan timpukan sebentuk mata uang. Tak nyana jago kosen ini memiliki kepandaian tinggi, mata uang itu sempat dijentiknya pergi. Namun demikian, walau mata uang itu dijentiknya jatuh, jari tangan sendiripun sakit bukan main, malah seluruh lengan kanannya pegal dan linu tak mampu bergerak lagi.

Dalam waktu singkat terasa angin kesiur menerjang tiba, tahu-tahu Tan Ciok-sing di kiri dan ln San di kanan sudah menyergapnya bersama.

Walau orang ini boleh terhitung jago kosen, namun bila dibanding Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat dan kepala barisan Bayangkari Hu Kian-seng masih kalah jauh, padahal taraf kepandaian Tan Ciok-sing kira-kira sembabat dengan Bok Su-kiat, cukup Tan Ciok-sing seorang sudah mampu membekuk dia, apalagi ada ln San membantunya? Akibatnya meski dia melawan sekuat tenaga, hanya tiga gebrak dia mampu melawan, kontan dia terpukul roboh oleh Tan Ciok-sing, celakanya diapun tidak sempat bersuara minta tolong. Tapi waktu tubuhnya jatuh masih mengeluarkan suara gedubukan, suaranya jelas lebih keras dari mata uang yang jatuh tadi.

Baginda Raja yang sedang asyik membaca di kamar bukunyapun mendengar suara gedubukan ini. Dengan kaget dia meletakkan laporan dinas yang dibacanya, tanyanya kepada seorang Thaykam di sampingnya: "Siau-cu-cu, kau dengar tidak, barusan Tim mendengar seperti ada benda apa yang jatuh diluar?"

Siau-cu-cu she Bong bernama Tit, salah seorang Thaykam berkuasa yang paling dipercaya dan disayang Baginda, ambisinya besar, pandai menjilat dan berusaha untuk menyampaikan suatu permintaan tertentu kepada Baginda Raja. Katanya: "Biar hamba keluar melihatnya, mungkin sesuatu yang jatuh tertiup angin kencang. Tiga Wisu yang dinas jaga malam ini di Long-gak-kek semua berkepandaian tinggi, Baginda tidak usah kuatir apa-apa."

Baginda Raja berkata: "Tim yakin takkan ada sesuatu yang terjadi, baiklah tak usah kau keluar melihatnya."

"Terima kasih Baginda," ucap Bong Tit.

Baginda berkata pula: "Barusan Tim ada membaca sebuah laporan, baru aku tahu diluar ternyata telah terjadi sesuatu yang

menggemparkan, tapi Tim masih dikelabui sejauh ini. Tim jadi ingat rencana yang pernah kau usulkan beberapa hari yang lalu, jikalau diluar kekuasaan kepala Bayangkari didirikan lagi sebuah badan yang dinamakan Say-tio, em, ya, rencana ini, rencana ini..."


"Harap Baginda periksa dengan baik," lekas Bong Tit mengumpak, "maksud hamba adalah supaya Baginda lebih banyak memilih orang kepercayaan untuk disebar mata kuping (mata-mata)..." ternyata Say-tio atau suatu badan intelejen yang akan dipimpin sendiri oleh Bong Tit. Bukan saja kekuasaan dan operasinya hendak menandingi kepala Bayangkari yang paling berkuasa di seluruh bilangan istana, diapun ingin memiliki kekuasaan besar untuk membunuh dan menghukum siapa saja yang dinilainya perlu dihukum atau dibunuh.

Belum habis mereka berbicara mendadak "Biang" daun pintu tahu-tahu menjeplak keras didorong orang dari luar. Orang yang menerjang masuk jelas adalah Tan Ciok-sing dan In San berdua.

Bong Tit membentak: "Hoan Tiong-cu, keparat gila kau? Ada urusan apa kau main terjang..." Hoan Tiong-cu adalah jago kosen yang jaga diluar kamar dan ditutuk oleh Tan Ciok-sing dengan timpukan mata uang tadi. Tapi setelah melihat jelas siapa yang menerjang masuk ternyata muda mudi, yang laki bukan Thaykam dan yang perempuan juga bukan dayang, maka mulutnya yang memangnya berkaok itu seketika melompong lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya.

Waktu Tan Ciok-sing menegas, Baginda Raja ternyata adalah pemuda yang berusia dua puluh lima atau duapuluh enam tahun, sementara Thaykam yang dipangil Siau-cu-cu yang bernama Bong Tit berusia sekitar tiga puluhan.

Baginda Raja kelihatan jauh lebih tenang dan tabah, bentaknya: "Siapa kalian? Untuk apa main terjang ke kamar buku Tim?" Perlu diketahui Baginda Raja bernama Cu Kian-sin, bila dinilai sesungguhnya raja ini tidak begitu jelek. Sejak umur delapan belas tahun dia dinobatkan sebagai raja (tahun 1465), belum lama setelah dia mencuci bersih nama baik Ih Cian yang pernah menjabat sekretaris militer di waktu ayah bagindanya dulu menjadi raja, sayang nasib Ih Cian amat jelek, akhirnya dia mati oleh komplotan dorna yang memfitnahnya.

Karena Cu Kian-sin (raja) ini pernah melakukan perbuatan yang mulia ini maka Liok Kun-lun, dan Lim Ih-su mempunyai kesan yang cukup baik dan menaruh angan-angan kepadanya.

Tapi sayang sekali semakin dewasa dia justru semakin lemah hati dan mudah dijilat, segan menggunakan otak sehingga kawanan dorna memperoleh kesempatan untuk berkomplot dan pegang kuasa untuk

mengelilinginya, dia dianjurkan hidup foya-foya dan dimabuk kesenangan, sehingga akhirnya dia menjadi raja bulan-bulanan dan dijadikan boneka oleh kawanan dorna yang berkuasa. Belakangan setelah dia mengangkat Bong Tit dan mempercayakan dia mendirikan Say-tio, dia lebih diperalat untuk memberantas para pembesar yang setia dan jujur, sehingga pemerintahannya semakin bobrok. Ini terjadi di belakang hari, disini kami tidak bercerita berkepanjangan.

Meski berwatak lemah, betapapun dia seorang raja sedikit banyak masih punya wibawa, kini dengan menabahkan hati dia membentak, padahal jantungnya berdebur keras, sehingga sikapnya masih kelihatan tenang dan agung sebagaimana seorang raja, jelas dia jauh lebih tenang dibanding Bong Tit yang sudah gemetar di pinggir sana.

""Baginda boleh tidak usah takut," ujar Tan Ciok-sing, "ada urusan penting yang ingin kami sampaikan kepada paduka, jadi tak usah dibuat kuatir."

Di kala Tan Ciok-sing bicara, In San sekali berkelebat telah menubruk ke arah Bong Tit serta menutuk Hiat-tonya. "Bluk" kontan Bong Tit terkulai roboh tidak ingat diri.

Baru sekarang Cu Kian-sin ambil perhatian, dilihatnya In San adalah seorang gadis belia yang cantik rupawan, tapi gadis rupawan ini ternyata tega turun tangan sekeji dan seliehay ini, mau tidak mau dia kaget dan jeri pula. "Kau, kau bilang tidak bermaksud jahat, lalu, kenapa kalian melukai Thaykam yang mendampingiku?" sesaat kemudian baru Cu Kian-sin kuasa bertanya dengan gelagapan.

Lekas In San berlutut, katanya: "Mohon paduka suka memaafkan kekurang ajaran hamba, soalnya urusan yang hendak kami laporkan teramat penting dan hanya paduka saja yang boleh tahu. Terpaksa hamba bertindak kasar menutuk Hiat-to penidur Thaykam ini. Setelah dua belas jam, dia akan siuman sendiri."

Melihat orang menyembah dan memberi hormat selayaknya, legalah hati Cu Kian-sin, katanya: "Nona memiliki kepandaian setinggi ini, sungguh jarang terlihat olehku. Baiklah kuampuni kesalahanmu, silahkan bangun, Nona, kau belum menjelaskan kepada Tim, siapa kau sebenarnya?" setelah rasa jerinya sedikit tawar, mau tidak mau dia jadi kepincut melihat kecantikan In San, diam-diam dia membatin: "Nona manis ini cantiknya bagai kembang, lebih jelita dari selir yang beberapa hari yang lalu kugauli."

In San adalah gadis polos dan suci murni, sedikit banyak dia masih membawakan wataknya yang kekanak-kanakan, mana dia tahu bahwa sang raja padahal kepincut oleh kecantikannya, melihat orang kesima mengawasi dirinya tak tertahan dia cekikik geli, katanya: "Waktu kecil dulu hamba pernah bertemu dengan Baginda, tapi Baginda pasti sudah lupa."

Cu Kian-sin terheran-heran, katanya: "Kau pernah melihat Tim, jadi, kau, siapakah kau?"

In San berkata: "Kakekku adalah Bu-conggoan In Jong, ayahku adalah In Hou pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun. Waktu kecil pernah ayah membawaku bermain-main di Sia-hoa-wan, waktu itu kebetulan Baginda sedang naik perahu memetik buah teratai di telaga buatan bersama beberapa dayang, ayah memberitahu padaku bahwa kau adalah Thaycu (pangeran)."

Cu Kian-sin tertawa, katanya: "O, jadi kau ini cucu In Jong, putri In Hou. Kakekmu dulu amat berjasa terhadap ayah Baginda almarhum, sayang ayahmu tidak mau bekerja untuk Tim. Apakah ayahmu baik-baik saja?"

"Terima kasih akan perhatian Baginda, sayang sekali ayah telah lama meninggal."

"Sayang, sayang sekali, apakah kau punya saudara?"

"Ayah ibuku hanya melahirkan aku seorang."

"Wah harus disayangkan. Mengingat kau adalah keturunan pembesar setia, sebetulnya Tim ingin menganugrahi jabatan dalam kalangan pemerintahan untuk sanak kadangmu, sayang keluargamu tiada lelaki yang bisa menerima anugrahku ini. Tapi pembesar perempuan sekarang juga sudah umum, bagaimana kalau kau tinggal di istana menjadi pembesar perempuanku yang utama. Apalagi ilmu silatmu amat bagus, kau boleh menjadi pengawal pribadiku, bila senggang boleh kau ajarkan kepandaian kepada para dayang dan selirku supaya mereka pandai menjaga diri."

"Terima kasih atas penghargaan Baginda, aku tidak ingin jadi pembesar. Bicara soal Kungfu, dibanding Tan-toako ini, aku masih kalah jauh, bila Baginda ingin dibantu orang yang berkepandaian tinggi..."

Agaknya Cu Kian-sin tidak senang dan tidak sabar mendengar In San mengangkat orang lain, segera dia menukas: "Soal lain biarlah dibicarakan nanti. Tim ingin tanya padamu, apa kehendakmu? Kalau tidak jadi pengawal, lalu, kau jadi, jadi..."

Belum terpikir olehnya anugrah apa yang tepat untuk dia berikan kepada In San, Tan Ciok-sing yang menunggu di samping sejak tadi juga sudah tidak sabar lagi, pikirnya: "Baginda lalim ini ternyata suka mengurus tetek bengek, kenapa tidak dia gunakan otaknya, tengah malam buta rata kami menyelundup ke tempat kediamannya yang terlarang dan terjaga ketat, memangnya hanya ingin ajak ngobol sama kau?" mengingat waktu amat mendesak, dia tidak peduli apakah tindakannya kurang ajar atau merendahkan derajat Baginda, segera dia tampil ke muka serta menjura, katanya: "Siau-bin (rakyat jelata) Tan Ciok-sing, ada urusan penting ingin lapor kepada paduka yang mulia, mohon maaf akan kelancangan kami ini."

Dia hanya menjura tanpa berlutut, menurut aturan jaman itu, pemberian hormat itu ditujukan kepada sesama orang yang setingkat. Jadi kalau diusut menurut perundang-undangan kerajaan, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah melanggar aturan yang patut dihukum penggal kepala karena dianggap kurang ajar terhadap rajanya.

Karuan Cu Kian-sin gusar, bentaknya: "Memangnya matamu tidak melihat Tim sedang bicara dengan nona In ini? Kau ada keperluan apa boleh dibicarakan nanti. Kalau tidak kau keluar saja, biar nona In mewakili kau bicara saja,"--jikalau ada Wisu di dekatnya, tentu dia sudah suruh pengawalnya membekuk Tan Ciok-sing.

"Aku tahu," bantah Tan Ciok-sing, "urusanku teramat penting dan tidak boleh ditunda-tunda, jikalau Baginda tidak selekasnya memberi putusan dan bertindak membereskannya, kemungkinan kawanan dorna akan bergerak lebih dulu."

In San berkata dengan tertawa: "Tan-toako ini berwatak berangasan, Baginda, mohon kau maafkan kelancangannya. Tapi apa yang dikatakan memang benar."

Cu Kian-sin lantas melirik dingin kearah Tan Ciok-sing, katanya: "O, jadi kau mau laporan apa terhadap Tim? Siapa itu pembesar dorna? Coba jelaskan."

Tan Ciok-sing berkata: "Kedatanganku ini demi memperjuangkan kepentingan rakyat jelata. Bicara soal mengadu, bolehlah dikata mengadu untuk memperjuangkan nasib rakyat. Tapi lebih penting lagi adalah demi kepentingan tanah air dimana sekarang Paduka berkuasa. Seharusnya aku harus melampirkan surat laporan, namun kuatir kawanan dorna juga ada kaki tangan di dekat Baginda, maka terpaksa kami memberanikan diri menghadap langsung kemari. Pembesar dorna itu adalah..." sampai disini dia ulur jari tengah tangan kanan, lalu menggores huruf di permukaan meja tulis raja, nama orang yang ditulisnya dengan gaya indah dan kuat itu adalah 'Liong Bun-kong'.

Meja yang licin mengkilap terbuat dari kayu cendana yang keras itu ternyata tergores dalam oleh gerakan jari tangan Tan Ciok-sing, melihat demontrasi kehebatan ilmu jari Tan Ciok-sing ini, Cu Kian-sin seketika berdiri mematung, sekujur badan menjadi dingin lemas seperti diguyur air dingin, otaknya yang kepincut oleh kecantikan In San tadi seketika sadar. Diam-diam dia membatin: "Mereka datang bersama, sikap In San begitu mesra terhadap anak muda ini, agaknya hubungan mereka tentu sudah teramat intim. Bocah ini dapat menggores huruf di permukaan meja, jikalau jarinya yang sekeras baja itu mengetok tubuh Tim, wah pasti celaka aku ini," mengingat kedudukan dan situasi yang dihadapinya sekarang, seolah-olah dirinya sudah berada di genggaman bocah she Tan ini, mana berani dia bertingkah dan unjuk kewibawaan sebagai seorang raja?

In San tertawa, katanya: "Toako. di meja Baginda kau menulis nama pembesar dorna itu, apa kau tidak takut dilihat orang lain? Apalagi meja Baginda ini begini antik, setelah kau gores dengan huruf-huruf pembesar keparat itu menjadi lenyap nilai ke antikannya, selanjutnya tentu tak bisa dipakai lagi, sungguh sayang."

"Kukira tidak jadi soal, biarlah aku hapus saja," ujar Tan Ciok-sing, sekenanya telapak tangannya menghapus di permukaan meja, eh, seperti main sulap belaka, ketiga goresan huruf itu ternyata lenyap tak berbekas lagi, namun di permukaan meja bertumpuk serbuk halus. Setelah membersihkannya, Tan Ciok-sing berkata: "Permukaan meja ini terpaksa kuhapus sedikit dekuk ke bawah dan tidak rata lagi, untuk ini harap Baginda memberi maaf."

Karuan semakin ciut nyali Cu Kian-sin, cukup lama kemudian baru dia kuasa bicara: "Itu soal kecil, tak usah dirisaukan. Entah karena apa Hiap-su (tuan pendekar) mengatakan Liong-siangsu (sekretaris Liong) adalah pembesar dorna?"

"Secara diam-diam dia mengadakan intrik dan meneken surat perdamaian dengan pihak Watsu. Duta rahasia utusan Watsu itu masih berada di rumahnya, apakah Baginda tidak tahu?" tanya Tan Ciok-sing.

Cu Kian-sin pura-pura kaget, katanya: "O, apa betul ada kejadian itu? Sungguh Tim tidak tahu sama sekali."

"Kalau demikian nyali Liong Bun-kong sungguh teramat besar, diluar tahu raja dia berani bertindak diluar garis kekuasaannya. Mohon Baginda menghukumnya sebagai penghianat bangsa menjual negara."

"Tapi apakah Hiapsu bukan mendengar fitnah orang lain?" tanya Cu Kian-sin. "Ketahuilah menghukum pembesar tinggi merupakan perkara dinas yang luar biasa, apalagi Tim tidak bisa menerima pengaduan sepihak lalu mempercayainya demikian saja, bila kau bisa mengunjukkan bukti dan kenyataan bahwa dia penghianat dan penjual tanah air, barulah hukuman bisa segera dilaksanakan."

"Baginda menginginkan bukti dan kenyataan, kukira ini bukan soal sulit, coba Baginda periksa inilah surat perjanjian permohonan damai yang di tanda tangani oleh Liong Bun-kong sendiri."

Cu Kian-sin terima konsep surat permohonan perdamaian itu serta membaca dan memeriksanya dengan seksama, diam-diam hatinya amat kaget dan badan menjadi lunglai, mulutpun terkancing tak mampu bersuara. Dia kaget bukan karena reaksi surat perdamaian ini terlalu merendahkan derajat dan martabat bangsa. Pada hal isi dan makna dari surat perjanjian ini sebelumnya

Jilid 12



sudah dia ketahui. Surat-surat yang tadi dia periksa dan baca adalah lampiran surat perjanjian damai dari laporan rahasia Liong Bun-kong atas hasil kerjanya, jadi isi yang tertulis di dalamnya kira-kira sama dengan konsep surat perjanjian yang diserahkan Tan Ciok-sing kepadanya.

Yang membuatnya kaget adalah surat sepenting ini, bagaimana bisa Liong Bun-kong tidak menyimpannya di tempat rahasia sehingga terjatuh ke tangan Tan Ciok-sing?

Agaknya In San dapat meraba jalan pikirannya, katanya: "Beberapa malam yang lalu kami memperolehnya langsung dari tangan Liong Bun-kong di rumahnya. Dengan mata kepala kami sendiri kami saksikan duta rahasia Watsu itu menginap di rumahnya, sayang kami tidak berhasil membekuk Duta rahasia Watsu itu."

In San berkata lebih lanjut: "Tulisan tangan Liong Bun-kong, tentunya Baginda cukup mengenalnya, jangan dicurigai bahwa surat yang kami serahkan ini palsu."

Jantung Cu Kian-sin benar-benar berdegup keras, lekas dia berkata: "Nona In, dua generasi keluargamu adalah pembesar setia terhadap kerajaan, apa yang kau katakan, masa Tim tidak percaya."

"Kalau Baginda percaya kami tidak main curang, coba periksa surat perjanjian itu, apakah tidak terlalu merendahkan derajat dan martabat bangsa serta negara?" — — lalu dia serobot surat perjanjian itu dari tangan Cu Kian-sin serta membaca bagian yang penting: "Pertama: Kerajaan Bing dilarang menempatkan pasukannya di kota Tay-tong, itu berarti mengosongi dan membuka pintu membiarkan tentara Watsu masuk tanpa rintangan menduduki tanah kita. Kedua: daerah barat kota Yong-ciu dan utara Liong-ciu diserahkan kepada pihak Watsu, itu berarti menyerahkan tanah dan rakyat kita kepada musuh di bawah kekuasaan penjajah, tanpa berperang musuh telah menduduki tanah perdikan kita. Ketiga: setiap tahun harus mengirim tiga ratus laksa tahil perak sebagai upeti kepada raja Watsu, itu berarti darah dan keringat rakyat diperas untuk memperkuat rangsum dan perongkosan angkatan perang musuh. Keempat: Dynasti Bing diharuskan menggabung kekuatan pasukannya untuk membersihkan perbatasan dan tangan kaum..."

Sampai disini sengaja Tan Ciok-sing merandek, lalu bertanya kepada Cu Kian-sin: "Untuk yang ke empat ini tentunya Baginda merasa menguntungkan bagi kerajaan di bawah pemerintahanmu bukan? Entah Baginda tahu atau tidak siapakah 'kaum pemberontak' yang akan disapu bersih oleh pihak Watsu dengan kekuatan pasukan kerajaan kita?"

Sudah tentu Cu Kian-sin tahu, tapi mana dia berani terus terang, terpaksa pura-pura tidak tahu, tanyanya: "Siapa?"

Tan Ciok-sing berkata: "Yaitu Kim-to Cecu Ciu San-bin, yang menggabung seluruh kekuatan laskar rakyat membendung beberapa kali intervensi pasukan besar Watsu."

In San ikut memberi penjelasan "Ayah Ciu San-bin yaitu Ciu Kian dahulu pernah diangkat sebagai kepala staf pasukan besar yang berkuasa di Tay-tong di kala ayahmu almarhum bertahta dulu, belakangan Ciu Kian dipaksa untuk memberontak oleh kelicikan dan fitnah Ong Tin yang berkuasa waktu itu, walau akhirnya Ciu Kian menduduki gunung mengangkat diri sebagai raja penyamun, namun selamanya dia pantang bentrok dengan pihak kerajaan, sejauh itu dia masih setia dan loyal kepada tanah air dan bangsa serta rajanya Mereka ayah beranak dua generasi membuka ladang bercocok tanam demi kesejahteraan laskar rakyat yang dipimpinnya, belum pernahh mereka membegal dan merampas hak milik pemerintah. Yang diincar selalu adalah milik pihak Watsu.

Baginda, coba katakan, laskar rakyat yang berjuang demi rakyat dan membela tanah air, bolehkah dianggap sebagai kaum pemberontak?"

Terpaksa Cu Kian-sin menanggapi: "Kalau seperti apa yang kau katakan, sudah tentu tidak boleh dianggap kaum pemberontak."

Tan Ciok-sing meneruskan komentarnya: "Syarat ke empat ini justru yang paling keji dan jahat, secara langsung Baginda sendiri harus menghancurkan negara yang dikuasainya."

"Pendek kata," timbrung In San, "bila Baginda menuruti syarat yang diajukan itu, menanda tangani perjanjian ini, itu berarti rakyat dan tanah air kita terancam mala petaka dan kemelut. Maka kami mohon Baginda suka bertindak dan berkeputusan dengan tegas, jangan kena pengaruh oleh orang lain."

"Baiklah," ucap Cu Kian-sin, "tolong kalian suka memikirkan cara bagaimana Tim harus bertindak?"

Tan Ciok-sing tidak sungkan lagi, katanya: "Menurut pendapatku, paduka harus berani bertindak tegas dan memikirkan kepentingan bangsa dan negara, menyikat pembesar dorna, membersihkan aparat pemerintah dari anasir-anasir jahat, angkat senjata melawan serbuan kaum penjajah."

Cu Kian-sin mendengarkan sambil manggut-manggut, sesaat dia menunduk menepekur, lalu dia pegang poci teh kecil di atas meja menuang secangkir kecil terus ditenggak habis. Seolah-olah minum teh untuk membangkitkan semangatnya, dengan semangat menyala baru dia bisa memusatkan pikirannya.

Setelah minum baru Cu Kian-tin seperti teringat sesuatu, katanya tertawa: "Nona In kau adalah tamuku, kita boleh tidak persoalkan perbedaau derajat, adalah pantas kalau Tim menyambutmu sebagai tamuku. Selama ini kau disini, aku belum sempat menyuguh barang secangkir teh. Inilah daun teh keluaran Kiu-kang yang diseduh dengan air embun, rasa dan baunya amat harum, silahkan kaupun minum secangkir," lalu dia ambil cangkir yang lain serta hendak mengisinya dengan air teh.

Sejak magrib tadi setelah memasuki istana, sampai kentongan ketiga ini In San memang belum minum, apalagi karena terlalu tegang dan was-was tadi tidak dirasakan, kirii dia benar-benar merasa haus sekali. Mencium bau teh, dalam hati dia berpikir: "Entah bagaimana rasanya air teh yang diminum raja, mumpung ada kesempatan aku dapat mencicipinya disini," segera dia maju mendekat serta merebut poci dari tangan Cu Kian-sin serta menuangnya secangkir penuh. Katanya: "Terima kasih atas pemberian secangkir teh ini, mana berani menyusahkan Baginda, biarlah aku mengisinya sendiri."

Jiwa In San memang masih kekanak-kanakan, ingin merasakan bagaimana rasanya air teh pemberian raja, namun tak pernah dia mengabaikan kewaspadaan. Namun dia melihat Baginda sudah minum dulu secangkir, air teh yang dia tuang sendiri keluar dari poci yang sama, maka dia pikir teh yang boleh diminum raja, tentu boleh juga dia minum.

"Tan-hiapsu," kata Cu Kian-sin, "kau sudah bicara panjang lebar, tentunya mulutmu juga sudah kering silahkan kaupun minum secangkir. Sungguh harus disesalkan, hanya ada orang Thaykam yang biasa melayani aku di kamar buku ini, sepantasnya Thaykam yang meladeni kalian berdua."

"Baginda tidak usah sungkan, aku tidak dahaga," sahut Tan Ciok-sing.

Namun In San sudah menuang secangkir penuh, katanya tertawa: "Toako, In-bu-teh ini memang enak rasanya, Baginda sudi memberimu secangkir, marilah kau habiskan secangkir ini."

Melihat In San tidak menunjukan reaksi apa-apa setelah minum secangkir, maka dengan lega hati Tan Ciok-sing segera habiskan juga secangkir teh itu. Setelah minum Tan Ciok-sing berkata: "Urusan besar negara sebetulnya aku tidak berani banyak bicara. Tapi nuraniku memberontak setelah melihat kenyataan ini, terpaksa aku memberanikan diri menyampaikan persoalan yang sebenarnya, mohon Baginda berpikir lagi lebih seksama."

"Kau mau bicara apa boleh silahkan katakan saja," kata Cu Kian-sin.

"Menurut pendapatku, damai dengan musuh tak ubahnya sekandang dengan harimau. Jikalau kita mohon perdamaian sesuai perjanjian ini, tanpa menempatkan pasukan di perbatasan dan harus menyerahkan sebagian tanah perdikan kita, bila kekuatan musuh semakin melebarkan sayap, tentu lebih sukar kita membendungnya, dan hal itupun hanya tentram untuk sementara, bila pasukan besar Watsu benar-benar dikerahkan, maka tanah kekuasaan Baginda yang luas ini akan dicaplok habis oleh musuh."

Cu Kian-sin menunduk seperti memeras otak agaknya dia tidak terpengaruh oleh penjelasan Tan Ciok-sing dan masih mengukuhi pendapat sendiri. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing menggunakan caranya yirt| terakhir, katanya: "Bila paduka tetap tidak mau memberi putusan untuk melawan intervensi musuh, terpaksa biarlah kita menempuh jalannya sendiri-sendiri."

Bercekat hati Cu Kian-sin, katanya angkat kepala: "Apa yang kau maksud dengan menempuh jalannya sendiri-sendiri?"

Kalem suara Tan Ciok-sing: "Terpaksa kami akan menyebar luaskan dan mengumumkan surat permohonan perdamaian ini ke seluruh negeri, akan kami desak Kim-to Cecu angkat senjatanya mengundang para patriot untuk membela tanah air dan bangsa. Aku yakin rakyat pasti mendukung perjuangan kita yang mulia."

Cu Kian-sin betul-betul kaget, pikirnya: "Kalau betul demikian, mungkin sebelum pasukan Watsu menyerbu tiba, kedudukanku sebagai raja inipun tak kuasa dipertahankan lagi," maka tersipu-sipu dia berkata: "Kesetiaan kalian memang patut dipuji. Baiklah, biarlah Tim memikirkan hal ini semasak-masaknya."

Cu Kian-sin bertingkah dan pura-pura mengerutkan kening menepekur dan memeras otak, tak lama kemudian dia membuka mata dan berkata: "Walau sudah sejak beberapa generasi merupakan ancaman serius bagi kepentingan kerajaan kita. Sejak peristiwa To¬ bok, ayah Baginda tertawan musuh dan kekalahan total merupakan suatu yang memalukan, memangnya Tim tak pernah berpikir untuk menuntut balas? Syukurlah kalian dari golongan pendekar sudi angkat senjata membela tanah air dan bangsa, adalah pantas kalau Tim menelaah saran-saran kalian dan akan kupikirkan dengan baik. Tan-hiapsu, kau ingin menjabat apa?"

Tan Ciok-sing girang, katanya: "Kalau demikian, paduka siap memberantas kaum dorna dan menyikat anasir-anasir jahat serta melawan serbuan musuh dari luar. Kalau demikian halnya, kami sebagai rakyat yang menjunjungmu siap bertempur sampai titik darah terakhir demi membela kerajaan. Tapi kami akan bekerja diluar lingkungan kerajaan, yakin jauh lebih bermanfaat dari pada bertugas di kalangan pemerintahan, maksud baik Baginda tak berani kami menerima."

"Baiklah, kalau kau tidak mau menjabat pangkat, seorang laki-laki memang punya cita-citanya sendiri, Tim tidak akan memaksamu."

"Entah kapan kiranya tekad paduka itu bisa terlaksana? Untuk ini kami memberanikan diri mohon jawaban paduka untuk menentukan batas waktunya, supaya Kim-to Cecu dan para patriot yang lain bisa tentram serta bersiap siaga," maklum Tan Ciok-sing kuatir raja muda usia ini hanya mulutnya saja bicara tapi tidak bisa dipercaya, jawabannya itu hanya mengada-ada untuk mengulur waktu belaka. Maka dia menuntut jawaban positip dari Cu Kian-sin.

Mengkcrut alis Cu Kian-sin, katanya: "Memaklumkan perang dengan Watsu merupakan urusan besar negara, ini menyangkut kejayaan dan keruntuhan bangsa dan negara betapapun urusan tidak boleh tergesa-gesa. Sampaipun persiapan melengkapi angkatan perang dari kerajaan kitapun harus dilaksanakan secara rahasia supaya musuh tidak mengetahui," secara tidak langsung dia menjawab pernyataan Tan Ciok-sing tadi, umpama Tan Ciok-sing memaklumkan soal ini ke seluruh negeri, bahwa Baginda Raja bertekad angkat senjata melawan penjajah, hal itupun takkan bisa dilaksanakan lagi.

Tan Ciok-sing berkata: "Tapi paduka harus melakukan suatu tindakan drastis yang cukup menggemparkan dan

membangkitkan semangat juang rakyat umumnya, lebih cepat lebih baik, hal ini amat perlu untuk memantapkan situasi dan menentramkan hati rakyat."

"Menurut pendapatmu, tindakan apa yang harus Tim dahulukan?" In San berkata: "Kalau paduka masih ada kesulitan untuk angkat senjata melawan serbuan musuh penjajah, lebih baik kau memberantas kaum dorna yang merongrong kepentingan negara, hal ini yakin akan mendapat dukungan sepenuhnya dari segala lapisan."

Cu Kian-sin berkata: "Konon Liong Bun-kong ada permusuhan dengan keluargamu, apa betul?"

"Betul," sahut In San naik darah. "Bangsat she Liong itu pembunuh ayahku, tapi kehadiranku disini bukan lantaran dendam pribadi."

"Aku tahu. Peduli untuk pribadi atau demi urusan dinas, adalah pantas kalau aku memberi keadilan kepadamu. Baiklah, tiga bulan lagi, aku pasti meminjam entah alasan apa, mencopot kedudukan dan mencabut hak kekuasaannya. Bagaimana kalian puas tidak? Janjinya ini memang bukan bualan belaka, dia memang sudah berkeputusan bila perlu biarlah Liong Bun-kong dikorbankan demi memperkokoh kedudukan sendiri.

"Baik, tiga bulan kemudian, bila paduka menghadapi suatu kesulitan dan sukar menjatuhkan hukuman kepada Liong Bun-kong, aku akan datang pula kemari mohon petunjuk paduka. Setelah tahu duduk persoalannya, akan kami bantu paduka menjatuhkan vonnisnya. Tapi lebih baik paduka sendiri sudah bisa berkeputusan sendiri, sehingga kami tidak perlu datang pula supaya tidak membuat kaget paduka." Kuatir Cu Kian-sin tiba saatnya merobah haluan dan sukar berkeputusan, maka dia mendesaknya dengan kata-kata yang halus, padahal pernyataannya ini cukup serius dan merupakan ancaman pula. Cu Kian-sin sudah tahu Kungfunya tinggi, karena nyalinya sudah ciut sudah tentu dia mengiakan berulang kali, dia berjanji dalam jangka tiga bulan segalanya pasti sudah beres.

Akhirnya Tan Ciok-sing merasa mendapat jawaban yang cukup memuaskan, baru saja dia hendak pamitan, saat itulah mendadak dirasakannya ada angin kesiur, tahu-tahu senjata rahasia sudah menyerang dekat di belakangnya. Tampak sinar putih berkelebat, "tring, tring" dua kali. Ternyata yang menyerang tiba adalah dua bentuk uang tembaga, sekali pedang bekerja, kedua bentuk mata uang itu dipapasnya menjadi empat potong.

Sebentuk mata uang lagi menerjang ke Hiat-to besar di punggung In San, gerakan mencabut pedang In San tidak secepat Tan Ciok-sing, terpaksa dia berkelit. Untung gerakan tubuh Menyusup Kembang Mengitari Pohon yang diyakinkannya sudah sempurna, merupakan Ginkang tingkat tinggi lagi, dalam keadaan kritis itu dia sudah menyelinap ke samping Cu Kian-sin, sekali raih dia membekuknya serta membentak: "Siapa berani bertindak?" Mata uang itu langsung terbang ke depan Cu Kian-sin, Tan Ciok-sing kaget, dia kuatir raja muda ini terluka oleh mata uang tembaga ini. Tapi kejadian memang aneh, setiba di depan muka raja mata uang itu tiba-tiba berputar arah terus membelok kembali dan jatuh ke lantai dengan suara yang keras. Ternyata penyambit mata uang ini, jauh lebih takut bila timpukan mata uangnya mengenai junjungannya, maka tenaga sambitannya diperhitungkan dengan tepat, tiga kaki di depan muka sang raja tiba-tiba bisa berputar arah sendiri dan mundur kembali.

Kedua mata uang tembaga itu bentuknya kecil, dengan tabasan pedangnya Tan Ciok-sing merontokkannya semua, namun dia rasakan telapak tangannya kesemutan, karuan kagetnya bukan main, kini menyaksikan gaya timpukannya yang aneh dan menakjubkan lagi, hatinya lebih kaget lagi, pikirnya: "Siapa dia? Lwekangnya ternyata tidak lebih asor dibanding komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, mungkinkah..."

Tengah dia membatin tampak seorang menerobos masuk dari jendela. Cu Kian-sin kontan menghardik padanya: "Kedua orang ini adalah teman Tim, nyalimu sungguh besar, sebelum diundang dan mendapat persetujuanku, berani kau bertingkah disini."

Lekas orang itu menjatuhkan diri berlutut, serunya: "Mohon ampun akan kelancangan hamba yang tidak tahu ini. Hamba kira Baginda diancam dan dijadikan sandera oleh kawanan pembunuh gelap, karena gugup tidak periksa lagi sehingga mengejutkan Baginda, mohon Baginda memberi ampun."

"Nona In, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Cu Kian-sin.

"Memang tidak bisa menyalahkan dia, dia ini..."

"Dia adalah kepala pasukan Bayangkari Hu Kian-seng."

Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah mengira orang ini adalah Hu Kian-seng, pikirnya: "Tak heran Kim-to Cecu memuji ilmu silatnya yang hebat, ternyata memang tidak bernama kosong."

Maka Cu Kian-sin berkata bermuka-muka: "Baiklah, kuterima permohonan ampun nona In, kelancanganmu tidak

kuperpanjang urusannya. Ada urusan apa.kau kemari?"

Hu Kian-seng berdiri, dia memberi salam kepada rajanya, katanya: "Ada sedikit urusan, paduka sedang ada tamu, biarlah kulaporkan nanti juga tidak jadi soal."

"Paduka sedang ada urusan, biarlah kami mohon diri," kata Tan Ciok-sing.

"Nanti dulu, kenapa tergesa-gesa, kalau kalian begini saja, pasti membuat geger kawanan Wisu yang jaga, supaya tidak salah paham, Hu Kian-seng, wakilkan Tim mengantar kedua tamuku ini."

"Hamba terima tugas," sahut Hu Kian-seng, "baginda masih ada pesan yang lain?"

"Ya, kau pasti belum tahu siapa kedua tamu agung ini?"

"Mohon paduka suka menjelaskan," ucap Hu Kian-seng.

"Nona In ini adalah cucu In Jong yang pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun di kala ayah Baginda almarhum dulu masih bertahta, ayahnya In Hou juga pernah mendirikan pahala besar buat negara, kau harus menaruh hormat padanya. Tentang Tan-siauhiap ini..." mulutnya tersendat tak kuasa meneruskan kata-katanya, ternyata dia sudah lupa siapa nama Tan Ciok-sing.

Tan Ciok-sing segera memperkenalkan diri: "Aku bernama Tan Ciok-sing, delapan belas generasi kakek moyangku tiada satupun yang pernah menjabat pangkat, kau tidak perlu sungkan kepadaku."

Kalau Cu Kian-sin melupakan nama Tan Ciok-sing, adalah Hu

Kian-seng amat kaget mendengar namanya. Kejadian Bok Su-kiat bertempur melawan Tan Ciok-sing di rumah keluarga Liong tempo hari sudah dia ketahui. Maka dalam hati dia berpikir: "Tak heran kabarnya Bok Su-kiat sedikit dirugikan oleh bocah ini, gerakan pedang yang dipamerkan tadi memang hebat luar biasa."

Hu Kian-seng berjalan di belakang mengantar mereka keluar. Sementara itu jago kosen she Hoan tampak masih rebah di tanah tanpa bisa bergerak. Seperti diketahui dia tertutuk Hiat-tonya oleh Jong-jiu-hoat Tan Ciok-sing.

Waktu Hu Kian-seng lewat di sampingnya mulutnya

menggerundel, sekali depak kontan dia bebaskan tutukan Hiat-tonya. Jago kosen she Hoan itu segera melompat bangun, dengan membelalak mata dia awasi Tan Ciok-sing dan Hu Kian-seng bergantian. Hu Kian-seng segera berkata: "Tidak lekas kau menjaga dan melayani keperluan Baginda."

Saking keheranan jago she Hoan itu berkata: "Ke... kedua orang ini..."

"Mereka adalah tamu Baginda, aku disuruh mengantar kedua tamu Baginda, kau tidak perlu ikut urusan..."

Jago kosen she Hoan itu segera mengiakan sambil munduk-munduk tanpa berani bicara lagi.

Yang benar dia sudah merasakan kelichayan Tan Ciok-sing, umpama disuruh urus juga, dia sudah kapok dan pecah nyalinya.

Kepandaian Hu Kian-seng dengan caranya mendepak membebaskan tutukan, mau tidak mau menimbulkan kewaspadaan Tan Ciok-sing. Ilmu tutuk yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil ciptaan Thio Tan-hong yang liehay dan rumit. Jangan kata jago silat kaum persilatan, seorang ahli tutukpun belum tentu dapat membebaskan tutukan Hiat-to itu dalam waktu singkat.

Sebagai kepala barisan Bayangkari boleh dikata Hu Kian-seng adalah orang yang paling dekat dengan raja, sudah tentu dia tahu isyarat apa yang telah disampaikan junjungannya kepada dia bila dia mengantar kedua tamunya ini. Maka dia berpikir: "Dari nada Baginda tadi agaknya dia menaksir kepada cewek ayu ini, aku harus berusaha untuk tidak melukai dia. Baiklah, biar kuhadapi dulu bocah she Tan ini. Tapi ilmu pedang bocah ini bukan olah-olah liehaynya, sekali bertindak aku harus membawa hasil."

Tanpa merasa mereka sudah tiba di Ling-bik-ti, Hu Kian-seng yakin Baginda sekarang sudah meninggalkan Long-gak-kck, umpama dirinya tidak berhasil membekuk Tan Ciok-sing, dia tidak perlu kuatir Tan Cok-sing putar balik kesana serta menyandera junjungannya. Maka tanpa kuatir apa, dia turun tangan.

Saat mana dia berjalan di belakang Tan Ciok-sing, mendadak dia angkat telapak tangan terus mengenjot ke Toa-cui-hiat di punggung Tan Ciok-sing. Jarak mereka begitu dekat, pukulan ini dilontarkan dengan sepenuh tenaga lagi, jikalau pukulan telak mengenai sasaran, umpama tidak mampus juga pasti terluka parah.

Diluar tahunya sejak tadi Tan Ciok-sing sudah siaga, dia siap menghadapi segala sergapan. Begitu Hu Kian-seng menyerang dengan Jong-jiu-hoat, baru saja tangan bergerak lantas menimbulkan deru angin kencang. Pada saat kritis itulah, begitu merasakan angin menerjang, secara reflek Tan Ciok-sing tudingkan jarinya ke belakang. Dengan jari mengganti pedang dia melancarkan sejurus Hian-niau-hoat-sa, padahal malam amat gelap, tapi tudingan jarinya dengan tepat menjojoh ke urat nadi di pergelangan tangan lawan.

Inilah perlawanan untuk gugur bersama, jikalau kedua pihak sama tidak mau mengalah bentrok secara kekerasan, meski Tan Ciok-sing terluka parah, Hu Kian-seng sendiri juga akan terluka seluruh Siau-yang-king-meh dalam tubuhnya.

untuk meyakinkan ilmu pukulan besinya, sedikitnya Hu Kian-seng perlu latihan sepuluh tahun lamanya baru pulih seperti sedia kala.

Jarak dekat kedua pihak menyerang dengan kencang lagi, siapapun tak sempat menggunakan otaknya. Tan Ciok-sing sudah pertaruhkan jiwa raganya, tapi Hu Kian-seng mana mau mengadu jiwa. Sebat sekali dia tarik tangan serta menepis ke samping, sementara kakinya bergerak dengan Ban-liong-yau-pou, menghindar sambil balas menyerang. Mulutnya ternyata tidak mau menganggur, teriaknya: "Ada pembunuh, hayo kemari tangkap dia."

Karena terdorong oleh angin pukulan lawan, tanpa kuasa Tan Ciok-sing tersuruk ke depan beberapa langkah baru berdiri tegak pula. Dalam hati diam-diam Tan Ciok-sing amat kaget: "Lwekangku kenapa menjadi begini tak berguna?" maklum meski dia tahu Lwekang Hu Kian-seng lebih unggul dari dirinya, tapi taraf Lwekangnya paling hanya setingkat tebih tinggi dari Bok Su-kiat, dia pernah bentrok langsung dengan Bok Su-kiat, maka dia yakin bila dia melawan secara kekerasan, sedikitnya dia masih kuat melawan tiga puluhan jurus, tak nyana menghadapi Bik-khong¬ciang lawan kali ini, dirinya tidak kuasa mempertahankan diri.

Cepat sekali In San sudah mencabut pedang, bentaknya sambil tertawa dingin: "Namanya sebagai jago kosen nomor satu dari istana raja, ternyata berbuat licik dan picik main bokong segala, tidak tahu malu."

Merah muka Hu Kian-seng, katanya: "Nona In, urusan tidak menyangkut dirimu, silakan kau minggir."

Sudah tentu In San tidak mau minggir, belum habis Hu Kian-seng bicara, tampak sinar kemilau dingin menyilaukan mata telah membabat tiba, ternyata Tan Ciok-sing dan In San sudah melancarkan jurus gabungan ilmu pedang mereka merabunya gencar. Sebagai ahli silat, sudah tentu Hu Kian-seng tahu betapa hebat rangsakan sepasang pedang ini, dilihatnya gerak gabungan sepasang pedang lawan hakikatnya tiada lobang kelemahan, jelas dirinya takkan mampu menghalau dan memisah kedua orang ini, karuan hatinya mencelos, pikirnya: "Celaka, kalau aku gunakan Jong-jiu-hoat balas menyerang, bagaimana bisa tidak sampai melukai budak ayu ini?"

Tapi dalam posisinya yang menyangkut mati hidupnya, bagaimana mungkin dia tidak balas menyerang dengan Jong-jiu-hoat? Maka dia gunakan Siang-jong¬ ciang, ke kiri menggenjot Tan Ciok-sing, ke kanan menghantam In San. Tapi tenaga pukulan yang dia lancarkan antara kiri dan kanan jauh berbeda. Pukulan yang dilontarkan kepada Tan Ciok-sing menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sementara untuk menyerang In San dia hanya menggunakan dua puluh persen saja. Demi keselamatan sendiri hal itu harus dia lakukan tanpa banyak pikir, meski terpaksa ln San mungkin tcrluka dan dia dimarahi atau dihukum oleh Baginda Raja juga tidak sempat dihiraukan lagi.

In San tergetar mundur oleh pukulan ini sehingga terhuyung hampir jatuh, sementara Tan Ciok-sing tersuruk maju hampir saja jatuh terjerembab. Baru saja Hu Kian-seng akan menyusuli dengan serangan jurus Ya-be-hun-cong menyelinap ke tengah untuk memisah kedua orang ini. Tak kira baru saja niat ini terlintas dalam benaknya, laksana kilat menyambar, mendadak dilihatnya dua jalur cahaya pedang laksana lembayung tahu-tahu sudah membabati dari samping hendak membelah pinggangnya. Perbawa gabungan sepasang pedang ini sungguh berbeda diluar dugaannya. Kalau dia tidak tahu diri tetap melontarkan jurus serangan Ya-be-hun-cong itu, mungkin bukan saja dia tidak mampu memisah kedudukan Tan dan ln kemudian tubuh sendiri yang bakal terbelah terpisah jadi dua.

Memang tidak malu Hu Kian-seng diangkat sebagai jago nomor satu dari barisan Bayangkari, betapa cepat reaksi dan tindakannya didalam menghadapi bahaya, di saat jiwanya tergantung pada sekali tarikan napas itu, sigap sekali dia gunakan Kan-te-pa-jong mendadak tubuhnya melambung tinggi ke atas dengan tubuh terbaring lurus, berbareng' kedua kakinya menendang secara berantai ke arah Tan Ciok-sing. Mendadak Tan Ciok-sing gunakan Hong-tiam-thau, sehingga Hu Kian-seng sempat melompat keluar dari lingkaran sinar pedang. Namun demikian tak urung pantatnya tertusuk juga oleh ujung pedang ln San, kulit dagingnya terpapas sebagian besar. Karena bokongnya terluka sudah tentu dia tak berani bertempur lebih lama lagi, cepat dia angkat langkah seribu.

Baru saja Tan Ciok-sing sempat menarik napas lega, waktu dia menoleh, dilihatnya In San bernapas sengal-scngal dan tubuhnya limbung. Tan Ciok-sing kaget, lekas dia memburu maju memapahnya, katanya: "Adik San, kenapa kau?"

Dengan napas sengal In San berkata: “tidaktidak apa-apa. Tapi urusan agak ganjil. Toako, menurut pendapatmu bagaimana Kungfu Hu Kian-seng bila dibanding Milo Hoatsu?"

Melihat kekasihnya tidak terluka lega hati Ciok-sing. Tapi dia tidak habis mengerti kenapa dalam waktu , mendesak menanyakan hal ini? "Kungfu Hu Kian-seng agaknya setingkat lebih tinggi dari Bok Su-kiat, namun jelas dia bukan tandingan Milo Hoatsu."

"Memangnya, tapi kenapa gabungan pedang kita tadi kenapa tidak mampu membunuhnya? Kelihatannya seperti jadi lemah? Bukankah urusan agak ganjil?"

Tan Ciok-sing baru sadar dan ikut merasa heran pula setelah In San menyinggung hal ini. Pikirnya: "Betul, malam itu dengan gabungan sepasang pedang kita, malam itu Milo Hoatsu yang tangguh itupun terkalahkan oleh kita. Kini Hu Kian-seng meski juga terluka oleh pedang kita, tapi hanya dalam tiga gebrak saja kenapa aku sendiri sudah hampir tidak tahan lagi, pada hal malam itu kita masih mampu bertahan belasan jurus melawan Milo Hoatsu tanpa terdesak sedikitpun. Sepantasnya tidak seperti hari ini, apa sih sebabnya? Kenapa bisa begini?"

Tapi awak masih berada di tempat berbahaya, sudah tentu tak sempat dia banyak pikir, katanya: ".Adik San, tak usah kau nusinakan hal ini? Mumpung sekarang kita masih bisa lari marilah lekas menyingkir dari sini."

Tapi In San malah berkata: "Ya, sekarang teringat olehku, tadi kita minum teh suguhan Baginda, mungkin kita telah dikerjai olehnya. Toako, Lwekangku jauh bukan ukuranmu, jelas aku takkan bisa lari. Mana boleh aku membantumu ikut celaka. Lekas jangan hiraukan aku, larilah seorang diri."

Tan Ciok-sing seperti diguyur air, seketika pikirannya jernih, pikirnya: "Betul, pasti air teh itulah yang menjadi penyebabnya."

Terdengar "tangkap pembunuh" yang bersahutan dan ribut dan berbagai tempat tampak bayangan para Wisu berlarian dari berbagai penjuru memburu kesini. Hu Kian-seng yang terluka cukup parah dan belum lari jauh segera ikut berteriak: "Pembunuh di arah Ling-bik-ti, lekas kalian grebek mereka."

In San jadi gugup, katanya membanting kaki: "Seharusnya aku tidak suruh kau ikut minum teh itu, betapapun kau jangan ikut celaka bersamaku, dengarlah nasehatku, lekas kau lari, lekas lari."

Sudah tentu Ciok-sing tidak mau meninggalkan dia begini saja, katanya setelah mengertak gigi: "Kita sehidup semati." pada hal Wisu yang memburu paling dekat jelas sudah kelihatan, tapi malam cukup gelap sehingga kawanan Wisu itu juga belum melihat mereka.


Karena kepepet tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, segera dia jemput sebutir batu terus ditimpukkan kedalam empang. Lalu dia susuli pula lemparan beberapa buah batu ke arah Long-gak-kek. Tenaga timpukannya sudah diperhitungkan sehingga batu kedua lebih jauh dari batu pertama, batu ketiga lebih jauh pula dari batu kedua dan seterusnya, sehingga suara jatuhnya seperti langkah seorang yang lari mengembangkan Ginkang. Habis menimpukkan batu segera dia menyelinap dan lari ke arah yang berlawanan.

Para Wisu yang berada didekat Ling-bik-ti segera berteriak ke arah belakang: "Seorang pembunuh mencebur ke air, seorang lagi lari ke arah Long-gak-kek. Lekas pencar tenaga kalian untuk mengejar kesana. Lindungilah Baginda."

Lekas Tan Ciok-sing menggigit lidah sendiri sampai berdarah, ternyata dia menyadari kesadarannya mulai terpengaruh, rasa kantuk menyerang dirinya, tapi setelah kesakitan semangatnya mendadak terbangkit pula, maka dengan menyeret In San, dia kembangkan Ginkang Siang-ih-ji-hwi sambil sembunyi di antara bayang-bayang bangunan di sekitarnya dia terus menyelinap kedalam taman kembang.

Langkah In San mendadak menjadi berat dan lamban, meski Tan Ciok-sing bantu menyeretnya, namun dia sudah tidak mampu berjalan lagi. Lekas Tan Ciok-sing memeluknya, dengan suara lirih seperti bunyi nyamuk In San berbisik di pinggir telinganya: "Toako, aku, aku tak kuat lagi. Aku mau tidur." Waktu Ciok-sing menunduk, benar juga terlihat matanya sudah terpejam.

Sudah tentu kejut Ciok-sing bukan main, dia kira racun telah kumat dalam tubuhnya, tapi didengarnya In San masih bernapas baik, lekas dia pegang urat nadinya, denyut nadinya juga berjalan normal. Sesaat lagi bukan saja napasnya teratur malah dia menggeros. Keadaannya tak ubahnya seperti seorang yang tidur lelap.

Karuan Cok-sing keheranan: "Melihat keadaannya tidak mirip keracunan, tapi dalam keadaan genting ini kenapa dia tertidur pulas?" Kejadian selanjutnya ternyata memang amat aneh, tanpa sadar tiba-tiba Ciok-sing sendiri juga menguap, rasa kantuk membuatnya ingin mencari ranjang empuk untuk tidur lelap di damping kekasih yang dicintai ini

Untung betapapun Lwekangnya jauh lebih tangguh dari ln San, dia sadar dalam keadaan seperti ini betapapun dia tidak boleh tertidur, kembali dia menggigit lidah, supaya rasa sakit membangkitkan semangatnya dan menghilangkan rasa kantuk. Setelah menghembus napas sekali, lekas dia gunakan ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong menyalurkan hawa murni ke pusar, sehingga tenaganya pulih beberapa bagian, dengan memeluk In San, dia maju lebih lanjut seperti bermain petak dengan para Wisu itu.

Sayup-sayup didengarnya suara Hu Kian-seng berkaok-kaok di dekat empang sana: "Agaknya bocah she Tan itu pandai berenang, hayo panggil orang yang pandai berenang untuk mengejarnya."

Dalam hati Ciok-sing membatin: "Ternyata empang itu ada saluran yang menuju keluar istana, sayang tadi aku tidak tahu," tapi meski dia tahu juga takkan bisa meloloskan diri bersama In San. Untuk lari dengan menyelam dalam air harus menggunakan ilmu penutup pernapasan, orang lain jelas takkan bisa membantunya, kini In San sedang pulas dalam pelukannya mana mungkin dibawa lari menyelam didalam air. Meski sekuatnya dia membangkitkan semangat, tapi rasa kantuk itu seperti gelombang pasang yang melanda terus menerus. "Apa boleh buat, biarlah kemana aku bisa melangkah kesitulah aku pergi," demikian pikir Ciok-sing pasrah pada kuasa Thian.

Tapi untung karena Hu Kian-seng tahu Ciok-sing pandai berenang dan kuatir dia lari dari saluran di dasar empang yang menembus keluar istana, di samping suruh panggil orang yang pandai berenang, diapun suruh beberapa Wisu memburu keluar istana untuk menjaga di mulut saluran serta menangkapnya. Keributan disini ternyata menguntungkan Ciok-sing berdua untuk sembunyi kian kemari.

Dengan memeluk In San terasa bobotnya semakin berat, Ciok-sing sadar bahwa dirinya juga takkan kuat bertahan lama lagi, karena tenaga sendiri juga semakin lemah. Mau tidak mau dia menghela napas: "Mungkin kami takkan bisa lolos. Untung mereka tidak berani melukai adik San, asal adik San bisa hidup, biar aku mati juga tidak menjadi soal."

Terpaksa dia memilih ke arah tempat-tempat yang bersemak belukar dan jarang didatangi orang, tanpa tujuan asal terjang dan maju saja, tak lama kemudian, bukan saja In San yang dipeluknya sudah tak kuasa diseretnya, otaknya juga menjadi kosong dan berat, lambat laun kelopak mata sendiri juga tak kuasa dibuka lagi.

Setelah dia mengitari dua gunungan, lapat-lapat dilihatnya di depan ada gubuk yang dibangun dari tanah liat, bagaimana mungkin didalam taman raja seperti ini terdapat sebuah gubuk tanah liat? Hati merasa heran, namun dia tidak sempat pikirkan keanehan ini. Hanya ingin tidur, tidur... Sebelum mencapai gubuk tanah liat itu dia sudah tidak kuat lagi mendadak dia tersungkur jatuh. In San masih berada dalam pelukannya, seperti juga In San, tanpa dirasakan tahu-tahu dia sudah tidur nyenyak.

Ternyata mereka memang telah dikerjai oleh Cu Kian-sin raja muda itu, tapi bukan terkena racun. Ternyata air teh yang mereka minum itu memang sengaja diramu oleh tabib raja yang khusus diperuntukkan Baginda Raja sendiri, kasiat teh itu dapat menenangkan pikiran memulihkan semangat, merupakan air teh yang membantu orang tidur pulas dalam jangka tertentu menurut kadar yang diminumuya. Tapi tidak membawa efek sampingan dan berbahaya, malah membantu kesehatan badan.

Tahu bahwa dirinya malam ini akan tidur telat malam, maka sambil kerja menyelesaikan urusan dinas di kamar bukunya, kuatir dirinya terlalu lelah bekerja, Cu Kian-sin suruhkan Thaykam menyeduh sepoci teh untuk membantu tidurnya supaya lelap. Teh itu hendak diminumnya menjelang tidur nanti malam, menghadapi kehadiran Ciok-sing berdua, karena dia menaksir In San, maka tergerak pikirannya, maka dia suguh air tehnya itu kepada In San.

Cukup lama juga mereka pulas, setelah tengah hari kedua baru mereka siuman dari tidurnya. Begitu membuka mata mereka jadi kebingungan dan heran, ternyata mereka tidur berdampingan di tumpukan jerami yang berserakan dalam rumah kotor dan bobrok serta berbau najis kuda.

Sambil menepuk jidat Tan Ciok-sing berkata: "Aneh, bukankah kita berada di Sia-hoa-wan. Kenapa bisa berada di rumah petani? Tempat apakah ini?"

"Kelihatannya seperti didalam istal, jerami ini jelas adalah makanan kuda," ujar In San.

"Keluarga petani mana mungkin menyimpan umpan kuda sebanyak ini, mungkin kita masih berada di istal raja," demikian kata Ciok-sing.

"Toako, bagaimana perasaanmu? Kurasa semangatku baik sekali. Bukankah semalam kita minum secangkir teh beracun kenapa bisa begini?"

"Akupun amat segar, sedikitpun tidak keracunan. Tapi aku masih ingat tadi aku jatuh diluar, memangnya siapa yang memindahkan kita didalam rumah?" dia coba kerahkan tenaga memukul dan menendang, gerak kaki tangannya ternyata menimbulkan deru angin sehingga tumpukan jerami tergetar runtuh.

Baru saja dia hendak keluar serta memeriksa keadaan sekitarnya, dari luar telah masuk satu orang, dari dandanannya menunjukkan bahwa dia seorang Thaykam tua. Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya: "Kau, kau siapa?"

"Jangan tegang," ucap Thaykam tua, "aku membantu kalian. Aku she Ong, seorang Thaykam yang tugas sehari-harinya mengurus kuda dalam istana."

"O, jadi kaulah yang memindahkan kami kedalam rumah?" tanya Ciok-sing.

"Betul, kulihat kalian jatuh diluar, aku kuatir kalian kepergok kawanan Wisu maka kugotong masuk ke gudang jerami ini. Bau najis kuda disini mungkin membuat' mereka tak sudi menggeledah kemari, tapi juga untung karena bau busuk itulah sehingga jejak kalian tidak ketemu mereka."

Barulah Tan Ciok-sing sadar bahwa Thaykam tua ini adalah penolong jiwa mereka, lekas dia menjura menyatakan terima kasih. In San bertanya: "Ong-kongkong, banyak terima kasih akan budi pertolonganmu. Tapi kenapa kau sudi menyerempet bahaya untuk menolong kami?"

"Karena aku adalah teman Siau-tat-cu," sahut Thaykam tua.

In San bingung, tanyanya: "Siapakah Siau-tat-cu?"

"Yaitu Thaykam kecil yang semalam bertemu dengan kalian di Sim-hiang-ting itu."

Kejut dan girang Tan Ciok-sing dan In San, tanpa janji mereka bertanya: "Jadi urusan kami, Siau-tat-cu sudah ceritakan kepadamu?" dalam hati mereka amat menyesali akan kematian Thaykam kecil itu, berkorban setelah menunaikan tugas mulia, tapi siapa namanya hakikatnya mereka belum sempat tanya kepada dia.

Thaykam tua berkata: "Dia sih tidak cerita apa-apa kepadaku. Tapi secara tidak langsung bolehlah dianggap dia telah memberitahu kepadaku."

In San melongo, tanyanya: "Bagaimana maksudnya? Boleh kau menjelaskan kepada kami?"

"Aku memang akan bercerita lebih jelas kepada kalian. Ai, teringat pada Siau-tat-cu, aku jadi perih hatiku, kalau kalian anggap aku tidak cerewet, biarlah aku bercerita sejak permulaan."

"Ong-kongkong," ujar In San, "aku memang ingin tahu lebih banyak perihal Siau-tat-cu."

"Waktu Siau-tat-cu masuk ke istana, dia baru berusia dua belas tahun," demikian Thaykam tua mulai bercerita, "mungkin kami berjodoh, Thaykam urusan pekerja suruh aku pimpin dia melakukan kerja serabutan, akupun disuruh memberi petunjuk tentang adat istiadat serta aturan-aturan di istana kepadanya."

"Kami sama-sama dari keluarga miskin, tidak lama hubungan kami sudah seperti sanak kadang sendiri. Dia menganggap aku kakek akupun memandangnya sebagai cucu."

"Belakangan karena dia giat bekerja dan rajin belajar, suatu hari Baginda Raja ketarik padanya serta mengangkatnya sebagai Thaykam yang melayaninya dari dekat. Akupun memperoleh manfaat karena dia telah naik pangkat. Sehingga aku ditugaskan sebagai pemelihara kuda di istal kerajaan ini. Bagi orang lain tugas ini mungkin dianggap kotor dan rendah, tapi bai'i aku justru tugas disini lebil bebas dan menyenangkan dari pada di istana dalam, setiap hari dihina dan diperlakukan semena-mena seperti binatang layaknya oleh Thaykam urusan kerja yang kereng dan jahat itu."

"Bagi orang lain Siau-tat-cu dianggap naik ke pucuk tangga, tapi dia tidak pernah melupakan asalnya, sering juga dia datang ke istal menengok aku dan sering mengajak ngobrol. "Semalam diapun datang pula, dia malah ajak aku menghabiskan beberapa cangkir tuak. Pada hal selama ini tak pernah dia minum minuman keras, baru semalam pertama kali aku saksikan, dia minum sebanyak itu. Kulihat sikap dan mimiknya agak aneh dan janggal, aku tanya kau ada urusan atau ada persoalan apa yang mengganjel hatinya. Tapi dia tidak mau menjelaskan. Dia hanya bilang, bila dia mengalami sesuatu, dia minta aku jangan sedih."

"Sudah tentu timbul rasa curigaku, begitu dia meninggalkan istal aku lantas menguntitnya diam-diam. Terus terang akupun pernah belajar silat. Belasan tahun berada di istana, meski memejam mata juga aku bisa mondar mandir di Sia-hoa-wan. Dari kejauhan aku menguntitnya tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk kawanan Wisu yang jaga dan ronda.

"Kulihat dia menyelinap masuk ke sebuah gua gunungan, aku tahu gua itu menembus ke Sim-hiang-ting, baru saja aku hendak mengikuti jejaknya, tiba-tiba kulihat seorang Wisu telah mendahului aku menyusup kedalam gua itu pula, saking kaget aku sampai kebingungan dan menyembunyikan diri, niatku semula kubatalkan.

"Tapi lapat-Iapat masih sempat juga kusaksikan keadaan didalam Sim-hiang-ting dari kejauhan."

"Kulihat dua bayangan besar laksana burung terbang melesat masuk kedalam Sim-hiang- ting, tentunya bayangan itu adalah kalian bukan?"

"Betul, kedua bayangan itu adalah kami," ucap Tan Ciok-sing, "akulah yang membunuh Wisu itu. Ai, tapi Siau-tat-cu, dia, dia..." teringat betapa Siau-tat-cu gugur demi tugas, tak urung berkaca-kaca air mata di kelopak matanya.

Thaykam tua berkata lebih lanjut: "Semua itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kalian pergi, dengan membesarkan hati aku juga menyusup kedalam gua, kutemukan mayat Wisu itu tapi juga kutemukan Siau-tat-cu rebah di atas tanah, sebuah belati menancap di dadanya. Kuraba dia seperti masih hangat dan pernapasannya amat lemah, entah dia sudah mati atau sudah sekarat."

Diam-diam Tan Ciok-sing amat menyesal, pikirnya: "Kukira dia sudah mati, namun aku tidak seteliti orang tua ini memeriksanya," yang benar, meski dia tahu Siau-tat-cu belum mati, juga dia takkan berhasil menolongnya. Apalagi waktu amat mendesak, mereka lebih perlu menemui raja lebih cepat.

Thaykam tua bercerita pula: "Pelan-pelan kucabut belati itu serta membubuhi obat di tempat lukanya, meski aku takkan bisa menolong jiwanya, betapapun aku harus berusaha. Sebelum aku berhasil mencabut belati itu, ternyata Siau-tat-cu telah siuman, pelan-pelan dia membuka mata..."

"Oh, jadi, dia tidak mati," seru In San.

"Dia siuman karena rasa kesakitan yang luar biasa, namun keadaannya memang sudah teramat lemah," demikian tutur Thaykam tua.

Rasa girang In San seketika sirna pula.

"Setelah membuka mata dan melihat jelas diriku, dia berkata: 'Jiwaku telah tak tertolong lagi, jangan kau menyia-nyiakan tenagamu, lekaslah dengarkan beberapa patah pesanku.' Waktu itu aku maklum keadaannya yang sudah teramat kritis, di saat dia bisa bicara segera aku tanya kepadanya: 'Siapakah yang mencelakai kau? Lekas beritahu padaku.'"

"Siau-tat-cu berkata: 'Muda mudi itu bukan pembunuh, mereka adalah orang baik, bila mereka mengalami kesulitan, bila kau mampu dan bisa, kuharap kau sudi menolong...' suaranya semakin lirih dan lemah, pada akhir katanya kelopak matanyapun terpejam, kali ini dia betul-betul meninggal."

"Dia bunuh diri karena membantu kami," kata In San. Lalu dia ceritakan kejadian semalam.

"Tanpa kau jelaskan aku juga tahu bukan kalian yang membunuh Siau-tat-cu, kalau tidak sebelum ajalnya, masakah dia mau mohon pertolonganku untuk membantu kalian? Apalagi aku sudah tahu bahwa kalian orang baik, bukan lantaran cerita Siau-tat-cu baru mau percaya pada kalian."

"Darimana kau tahu?" tanya In San heran.

Thaykam tua itu berkata: "Nona In, kakekmu adalah Bu-conggoan In Jong dari dynasti yang dahulu dan ayahmu In Tayhiap In Hou bukan?"

In San paham seketika, katanya: "Agaknya kau dengar pembicaraan kawanan Wisu yang membicarakan diriku?" pada hal dia belum menjelaskan asal-usul dirinya kepada Thaykam kecil yang bunuh diri itu.

Thaykam tua lantas berkata: "Betul, di waktu aku menyusup kcdalam gua itu kudengar ribut-ribut kawanan Wisu yang hendak menangkap pembunuh, tak lama kemudian jenazah Siau-tat-cu dan Wisu itupun kutemukan. Untung mereka mengira pembunuh itu yang membunuh mereka, bila sampai diusut, biasanya Siau-tat-cu berhubungan dengan aku, mungkin aku bisa kena perkara."

'Kudengar mereka kasak kusuk, seorang Wisu yang mendengar kabar memberitahu kepada temannya, katanya Hu-congkoan sudah berpesan, bila kalian menemukan pembunuh perempuan itu, dilarang mengusik seujung rambutnya. Dari pembicaraan mereka itulah aku tahu asal-usul nona In."

"Semasa kakekmu hidup aku pernah melihatnya, mungkin mereka tidak tahu adanya Thaykam tua macam diriku ini, tapi aku justru tahu kesetiaan mereka terhadap negara. Bicara terus terang, pembesar-pembesar jaman sekarang siapa yang patut kupuji dan kusanjung, aku hanya pengagum mereka ayah beranak."

"Nona In, setelah tahu asal-usulmu, meski Siau-tat-cu tidak berpesan kepadaku, aku pasti akan membantu kesulitan kalian. Memangnya putri In Tayhiap bukan orang baik? Begitu aku berpikir. Kau orang baik, maka orang yang datang bersamamu memang harus kuragukan pula?"

"Waktu itu hatiku gugup setengah mati, dengan cara apa baru aku bisa menolong kalian? siapa tahu kejadian justru amat kebetulan, begitu aku kembali kutemukan kalian pulas diluar kandang kuda. Untung kawanan Wisu belum memeriksa sampai disini, maka bergegas aku sembunyikan kalian ke gudang jerami."

Habis Thaykam tua bercerita. Tan Ciok-sing lantas berkata: "Ong-kongkong, sungguh tak tahu cara bagaimana aku harus berterima kasih kepada kau, aku kuatir urusan bisa membuat celaka."

"Kalau Siau-tat-cu berani gugur demi membantu kalian, memangnya aku harus takut mati? Apalagi kini aku sudah tahu kedatangan kalian kemari adalah menyelesaikan urusan besar menyangkut kepentingan negara dan bangsa, bila aku bisa gugur demi kesuksesan kalian, terhitung tidak sia-sia hidupku selama ini."

"Jangan berkata demikian, Siau-tat-cu sudah berkorban, betapapun kau tidak boleh ikut berkorban. Tolong carikan apa saja yang dapat kami makan, setelah tenaga pulih kami akan segera keluar."

"Coba lihat, betapa cerobohku ini, bicara melulu sampai lupa menyiapkan makanan, pada hal semalam suntuk kalian belum mengisi perut." Tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sepiring bakpau, katanya pula: "Harap dimaafkan tiada makanan lain yang bisa kusuguhkan untuk kalian."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Ah, ini justru hidangan lezat yang belum pernah kunikmati selama ini."

Setelah menghabiskan tiga bakpau, In San coba-coba menggerakkan kaki tangan, katanya kepada Tan Ciok-sing dengan tertawa: "Toako, teh yang semalam kita minum itu agaknya memang tidak beracun, tenagaku sekarang tiada bedanya dengan keadaan semula. Mari kita cari akal untuk lolos keluar."

Lekas Thaykam tua menyela: "Jangan kalian coba menyerempet bahaya."

"Bagaimana keadaan diluar?" tanya In San.

Thaykam tua tertawa getir, ujarnya: "Setelah kejadian semalam, penjagaan jelas diperketat. Kawanan Wisu dibagi dalam tiga regu untuk meronda setiap waktu, jumlahnyapun diperbesar. Terutama di Sia-hoa-wan, setiap pelosok ada orang sembunyi mengintip keadaan sekelilingnya. Seekor lalat terbangpun pasti konangan."

In San jadi gelisah, katanya: "Wah, bagaimana? Liok-pangcu, Lim Tayhiap, Toan-toako dan lain-lain sedang menunggu kabar kami, bila kami tidak kembali dalam waktu yang ditentukan betapa kuatir hati mereka."

"Apa boleh buat, terpaksa kalian harus sabar menunggu beberapa hari. Bila keadaan sudah kendor aku akan bantu kalian keluar dari sini," demikian kata Thaykam tua.

In San menghela napas, katanya: "bila Han Cin disini, pasti kita punya akal untuk keluar."

Tan Ciok-sing tersentak sadar, katanya: "Aku punya akal, mari kita coba."

"Akal apa?" tanya In San.

"Untuk ini, kami mohon Ong-kongkong suka membantu."

"Katakan saja, bila aku bisa melakukan, tugas apapun akan kulaksanakan."

"Tolong usahakan seperangkat seragam Wisu dan pakaian Thaykam kecil."

"Itu mudah, tapi besok baru aku bisa menyiapkan permintaan kalian ini."

"Toako," seru In San girang, "jadi Han-cici juga mengajarkan tata rias itu kepadamu."

"Belum sempurna apa yang pernah kupelajari, mumpung sekarang diperlukan, biarlah kupratckkan pada dirimu, apalagi malam gelap yakin kebolehanku masih bisa mengelabuhi mereka."

Thaykam tua berkata: "Tapi cara bagaimana kalian bisa keluar dari pintu istana? Menurut apa yang kutahu Hu-coangkoan sudah mengeluarkan perintah keras, siapa saja dilarang keluar istana, kecuali membawa dua benda pengenal."

"Kedua benda pengenal apa?" tanya Ciok-sing.

"Pertama adalah perintah langsung dari Baginda Raja dengan cap kerajaan, atau membawa lencana perintah yang dikeluarkan oleh Hu-congkoan. Itu berarti hanya Baginda Raja dan Hu-congkoan saja yang boleh memberi izin orang keluar masuk istana."

Kedua benda yang diperlukan ini jelas tidak mungkin mereka peroleh, Tan Ciok-sing berkata: "Tak usah pedulikan soal ini, carikan dulu seragam yang kuperlukan itu."

Hari kedua Thaykam tua membawa dua perangkat pakaian yang cocok dengan perawakan mereka, maka Tan Ciok-sing segera merias In San dan diri sendiri menjadi bentuk yang berbeda, hari itu juga In San mulai belajar tingkah laku dan tata krama para Thaykam kepada Thaykam tua. Malamnya mereka berunding cara bagaimana mereka harus menyelundup keluar dengan aman, Thaykam tua tetap menganjurkan supaya mereka tidak menyerempet bahaya.

Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata: "Kau tahu dimana tempat tinggal Hu-congkoan?"

"Tahu," sahut Thaykam tua, "dia sih tidak seperti baginda harus setiap malam berpindah tempat menginap."

"Kalau demikian, lebih mudah untuk mencarinya, Ong-kongkong, tolong jelaskan dimana tempat tinggalnya, cara bagaimana kami bisa kesana?"

Mereka menyamar Wisu dan Thaykam kecil, malam itu kebetulan gelap gulita, di Sia-hoa-wan mereka bisa menggeremet maju terus dengan sembunyi di antara rumput kembang dan semak-semak pepohonan, untunglah sejauh mana mereka tidak dipergoki orang. Setiba di tempat sepi dan tidak kelihatan ada bayangan orang, In San tanya dengan suara lirih: "Kau hendak minta lencana itu dari Hu Kian-seng secara kekerasan?"

"Ya, kemarin malam dia terluka, yakin bukan tandingan kita. Nanti kita bertindak melihat gelagat, syukur bisa kita curi lencana itu, kalau gagal kita bekuk dia sebagai sandera."

"Betul," ucap In San, "tanpa masuk sarang harimau mana dapat membekuk anak macan. Toako langkah caturmu ini sungguh tepat sekali."

Setelah maju pula beberapa kejap sesuai petunjuk Thaykam tua, mereka sudah tak jauh dari tempat kediaman Hu Kian-seng. Di belakang rumah terdapat sebuah pohon tua tingginya melebihi tembok Tan Ciok-sing pusatkan perhatiannya mengawasi

sekelilingnya, di sekitar rumah jelas tidak ada penjaga. Mungkin karena takabur akan kepandaian sendiri yang dianggap tiada bandingan, demi membuktikan kesetiaannya kepada Baginda pula, maka seluruh anak buahnya dia kerahkan untuk membekuk pembunuh semalam.

Setelah memutar ke belakang rumah, Ciok-sing kembangkan

Ginkangnya melompat tinggi ke pucuk pohon, hawa seperti membeku, dahan tidak bergoyang, sekali melambung lagi kakinya sudah menggantol payon terus ditekuk pula melingkar ke atas sehingga tubuhnya teraling-aling, dengan gaya kerai menjuntai tubuhnya bergelantung mengintai kedai am.

Didalam rumah tampak Hu Kian-seng tengah duduk setengah tidur di ranjang bicara dengan seseorang. Orang itu adalah Tiangsun Co, perlu diketahui Tiangsun Cau masuk ke istana kemarin malam, kira-kira hampir bersamaan waktunya dengan Tan Ciok-sing berdua di kala mereka menyelundup masuk.

"Ternyata keparat ini belum pergi, biar kucuri dengar pembicaraan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.

Didengarnya Tiangsun Co sedang berkata: "Bagaimana keadaan H u Tayjin? Lantaran persoalanku sampai Hu Tayjin terluka, sungguh aku jadi tidak enak hati."

Hu Kian-seng tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kan hanya luka luar saja, kenapa dibuat kapiran? Paling lama dua hari juga pasti sudah sembuh. Aku tak mampu membantu menyelesaikan urusan Pwecu, justru akulah yang kurang enak."

Dari nada tawanya dapatlah Tan Ciok-sing mengukur kekuatan Lwekangnya, ternyata memang berisi, mau tidak mau bercekat hatinya, pikirnya: "Lwekang keparat ini memang luar biasa, secepat itu dia sudah pulih kembali. Untung aku tidak bertindak gegabah."

Tiangsun Co berkata: "Hu Tayjin, jangan kau berkata demikian, aku tahu kau sudah bekerja giat dan mati-matian untuk kepentinganku, aku hanya heran..."

"Heran soal apa?"

"Heran, kenapa rajamu kelihatan ragu-ragu? Bukankah kau pernah bilang, kau paham dan mengerti kemana hati rajamu berkiblat, katanya dia mau berdamai dengan pihak kita."

Hu Kian-seng tidak segera menjawab, katanya kemudian: "Apa saja yang dijanjikan Baginda kepada kau, bolehkah kau jelaskan kepadaku?" seperti diketahui pada malam kejadian itu Tiangsun Co gagal menemui Cu Kian-sin, karena gugup dan kaget serta ketakutan sang raja minum obat penenang dan sehari semalam tidur pulas tidak bangun-bangun, baru hari ini dia dipanggil menghadap.

"Sejak mula rajamu bilang mau berdamai, tapi soal konsep perdamaian itu dia bilang ingin mempelajarinya lagi lebih seksama.

maka tidak bisa segera memberi jawaban positip. Kelihatannya ada apa-apa yang menjadi ganjelan pikirannya tapi aku sungkan mendesaknya."

"Memangnya, dua hari yang lalu tindak-tanduknya masih gamblang, malah dia memuji Liong Bun-kong kali ini bekerja dengan baik dan sesuai mencocoki seleranya. Entah kenapa mendadak berubah haluan dan bimbang? Em, mungkin lantaran dia ketakutan oleh pembunuh gelap itu?"

"Sebetulnya urusan gara-gara kalian bertindak kurang hati-hati," demikian ucap Tiangsun Co, "kenapa pembunuh gelap dibiarkan menyelundup kedalam istana."

Hu Kian-seng tertawa nyengir, katanya: "Selanjutnya kujamin takkan terjadi lagi peristiwa seperti itu."

"Bicara soal itu pula. Aku tidak percaya gara-gara kedatangan pembunuh gelap itu, rajamu lantas merubah haluan. Mungkin tidak ada sebab lainnya? Coba kau pikirkan."

"Sukar aku menerkanya," ucap Hu Kian-seng geleng-geleng.

Mereka tidak tahu latar belakang persoalannya, tapi Tan Ciok-sing tahu seluk beluknya. Diam-diam dia merasa senang setelah mendengar pembicaraan ini, pikirnya: "Sesuai dugaan Kim-to Cecu, asal kami teguh melawan musuh baginda lalim itu, mau tidak mau harus berpikir dua belas kali, apa lagi setelah kubentangkan untung dan ruginya liku-liku persoalan ini, sedikit banyak bujukanku membawa hasil juga."

Sesaat kemudian didengarnya Hu Kian-seng berkata pula: "Tiangsun Pwecu, kapan kau bisa bertandang ke tempatku ini, mumpung ada kesempatan menginaplah sehari lagi, setelah pembunuh berhasil kuringkus, kami tunggu kesempatan, akan kuusahakan mengorek keterangan dari Sribaginda."

Dingin nada perkataan Tiangsun Co: "Aku justru tidak punya banyak tempo menunggu jawabanmu. Terus terang selama dua hari ini aku sudah sebal dan bosan disekap dalam istana ini, gerak-gerikku seperti terbelenggu saja. Kalau siang aku maklum tak leluasa keluyuran diluar, tapi malam ini aku akan keluar. Sekarang aku ingin pamitan kepada kau." Perlu diketahui meski Tiangsun Co adalah tamu agung undangan Hu Kian-seng, namun kejadian ini dia hanya berani beritahu kepada beberapa orang kepercayaannya saja.

Lekas Hu Kian-seng minta maaf, katanya: "Dua hari ini aku terpaksa harus istirahat menyembuhkan luka-lukaku, sehingga tidak bisa menemani

Pwecu, mohon suka dimaafkan. Bila Pwecu ingin jalan dan pelesir, aku sih bisa mencari akal dan memberi fasilitas padamu."

Sikap Tiangsun Pwecu tidak sabar lagi, tukasnya:

"Kedatanganku ini bukan ingin jalan di Sia-hoa-wan, ketentuan yang sudah kami ikrarkan bersama sudah melampaui batas waktunya. Maka malam ini betapapun aku harus pulang."

Pada hal Hu Kian-seng sendiri juga kuatir bila tamunya terlalu lama disini, bukan mustahil intriknya dengan pihak musuh bisa terbongkar, maka dia berkata: "Kalau Pwecu memaksa ingin pulang, akupun tidak memaksa lagi. Lencana dinas ini boleh Pwecu simpan untuk digunakan bila kau mau keluar istana, cukup kau perlihatkan lencana ini kepada para penjaga, mereka tidak berani menahanmu- Lebih baik kau keluar dari pintu barat, Wisu yang dinas jaga disana malam ini adalah orang kepercayaanku."

"Bagaimana aku harus keluar?" tanya Tiangsun Pwecu sambil menerima lencana dinas.

"Tak usah kuatir, sebentar kusuruh orang mengantarmu ke pintu barat," kepalanya tertunduk memikirkan siapa yang cocok untuk menunaikan tugas ini.

Sementara Tan Ciok-sing juga mencari akal, cara bagaimana dia harus merebut lencana dinas yang dipegang Tiangsun Co.

Pada saat itulah mendadak didengarnya Hu Kian-seng membentak: "Siapa diluar."

Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya konangan. Baru saja dia hendak menerjang keluar, syukur seseorang telah menjawab dibalik luar: "Baginda ada perintah, Li Tiong-si kemari menyampaikan firman." Legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Untung aku tidak gegabah."

Ternyata dalam mengadakan pembicaraan rahasia di kamar ini sebelumnya Hu Kian-seng sudah berpesan kepada anak buahnya. Kecuali mendengar suaranya, siapapun tidak diperbolehkan naik ke loteng. Maka begitu mendengar langkah orang segera dia membentak tanya. Kini mendengar ada firman baginda, sudah tentu ketentuannya itu menjadi tumbang.

Diam-diam Hu Kian-seng bimbang: "Kenapa Baginda mengirim firmannya dalam saat begini entah ada urusan penting apa?" Lekas dia mengenakan seragam kebesarannya serta merambat turun dari pembaringan, berdiri tegak, menyambut perintah raja.

Tiangsun Co berbisik: "Apa aku perlu menyingkir?"

Hu Kian-seng berpikir: "Baginda sudah tahu akan kedatangan Tiangsun Co disini."

Maka dia berkata: "Merendahkan Pwecu saja, boleh kau pura-pura jadi pcngawalku, entah bagaimana bunyi firman itu, mungkin..." sampai disini dilihatnya Wisu yang jaga diluar sudah membuka pintu serta menyilahkan seorang Thaykam kecil yang membawa firman raja masuk ke kamarnya.

Hu Kian-seng berlutut menerima firman raja, Thaykam kecil berkata: "Congkoan Tayjin tak usah banyak adat Sri Baginda suruh aku kemari mengundang seseorang, segera juga aku harus kembali memberi laporan."

Mendengar Thaykam kecil "mengundang", legalah hati Hu Congkoan, tanyanya: "Entah siapa yang diundang Baginda?"

Tidak segera membaca firman Baginda. Thaykam kecil itu malah menuding Tiangsun Co dan berkata: "Bukankah dia ini Tiangsun Pwecu dari negeri Watsu yang tempo hari juga datang kemari?" Tiangsun Co memang mengenakan mantel bulu musang, dandanannya memang jauh berbeda dengan kawanan Wisu.

Mengira dugaannya tidak meleset, lekas Hu Kian-seng berkata: "Pandangan Li-kongkong memang tajam, betul, dia memang Tiangsun Pwecu."

Thaykam kecil itu tertawa, ujarnya: "Kiranya Pwecu memang masih disini, tumben aku membuang banyak waktu. Baginda suruh aku kemari mengundang Tiangsun Pwecu."

Tiangsun Pwecu lantas membusung dada sambil bertolak pinggang, katanya sambil angkat kepala: "Untung kau datang lebih dini, aku sudah siap pulang. Untuk apa pula Bagindamu mengundangku?"

"Hamba tidak tahu. Mohon Pwecu suka memerlukan diri memenuhi undangan Baginda."

Tan Ciok-sing yang mencuri dengar diluar, tiba-tiba memperoleh sebuah akal. Di kala Hu Kian-seng membungkuk mengantar Thaykam kecil dan Tiangsun Pwecu keluar, diapun menjejak kaki di atas dahan, tubuhnya melambung tinggi jumpalitan dua kali di tengah udara melampaui pucuk pohon terus melayang turun secara diam-diam.

Thaykam kecil itu membawa Tiangsun Pwecu menyusuri jalanan kecil didalam taman kembang yang berliku-liku ke arah timur, maklum tamu asing ini diundang secara diam-diam, meski dia tidak takut kepergok oleh kawanan Wisu, namun dia merasa perlu hati-hati dan menghindari kesulitan.

Di tempat yang sepi sana, tampak bayangan Tan Ciok-sing dan In San keluar dari semak¬semak. Tan Ciok-sing menyamar sebagai Wisu, Thaykam kecil itu kira dia hendak mencegat jalan dan menanyai, segera dia membentak lebih dulu: "Kurang ajar, memangnya kau tidak tahu siapa aku? Lekas enyah."

Belum lenyap suaranya, Tan Ciok-sing dan In San sudah turun tangan lebih dulu. In San tertawa mengejek: "Aku tahu siapa kau, sayang justru kau tidak tahu siapa aku," di tengah tawa dinginnya itu, secepat kilat dia menutuk Hiat-to Thaykam kecil.

Tiangsun Co adalah jago silat kosen meski kcadian teramat mendadak, betapapun dia tidak semudah Thaykam kecil itu, sekali gerak lantas tertawan, maka terdengar suara "Pak" secara reflek dia menyerang dengan Im-ciang secara terbalik untuk melawan tutukan jari Tan Ciok-sing, terasa telapak tangannya sakit kesemutan, baru saja mulutnya terpentang hendak menggembor, tiba-tiba selarik sinar kilat menyamber di depan mata, tahu-tahu ujung pedang Tan Ciok-sing telah mengancam tenggorokannya, dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang dia melintir suaranya ke telinga lawannya: "Masa kau tidak mengenalku lagi, akukan Tan Ciok-sing. Berani kau bersuara, segera kutamatkan riwayatmu disini."

Bukan kepalang kaget Tiangsun Co, memang dia tidak berani bersuara, dan berkutik lagi ujung pedang Tan Ciok-sing telah mengancam tenggorokan, dan sekali tutul dengan ujung pedangnya itu Hiat-tonya telah ditutuk.

In San membantunya menyeret tubuh mereka kedalam gua buatan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita harus ganti pakaian lagi."

In San tahu maksudnya, katanya: "Betul, biar aku menyamar jadi Thaykam kecil dan kau menyaru jadi Tiangsun Co," segera dia memutar tubuh membelakangi diri supaya Tan Ciok-sing membelejeti pakaian Tiangsun Co dan Thaykam kecil.

Tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata dengan tertawa riang: "Ha, sungguh kebetulan. Aku menemukan sebuah mustika."

Tanpa merasa In San menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing sedang membuka baju luar Thaykam kecil serta mengambil sebuah benda dari dalam kantong bajunya, lekas In San maju dua tindak sambil tanya: "Mustika apa?"

"Mustika lebih berharga dari lencana dinas milik Hu Kian-seng," ucap Tan Ciok-sing.

In San segera sadar, serunya: "Apakah cap kerajaan Baginda?"

"Ya, boleh juga dianggap sebagai firman raja, karena inilah surat perintah baginda untuk mengantar orang keluar istana yang distempel cap kerajaan."

Kiranya kali ini Tiangsun Co dipanggil oleh Cu Kian-sin untuk menyilakannya keluar istana. Cu Kian-sin tidak berani menanda tangani perjanjian damai itu, tapi dia ingin menyampaikan beberapa patah kata kepada Tiangsun Co, serta memberi hadiah beberapa macam barang berharga, lalu akan menyuruh Thaykam kecil itu mengantarnya keluar istana. Surat perintah itu sudah ditulisnya lebih dulu, untuk menjaga bila terjadi sesuatu dan dia tidak sempat menemui Tiangsun Co masih tetap bisa pulang. Yang benar, Cu Kian-sin sendiri memang tidak senang kalau Tiangsun Co terlalu lama berada di istana.

Habis ganti pakaian, kembali Tan Ciok-sing perlihatkan kebolehannya merias diri sendiri menjadi Tiangsun Co, walau dalam saat mendesak, persiapan terlalu tergesa-gesa, sehingga

penyamarannya tidak begitu mirip, tapi dia yakin orang-orang di istana ini yang pernah melihat Tiangsun Co tidak banyak, para wisu dalam istana ini paling hanya beberapa gelintir saja yang pernah melihatnya, malam ini mereka belum tentu dinas jaga lagi. Dengan membekal surat perintah Baginda lagi, untuk keluar istana pasti tidak akan mengalami banyak kesulitan. Tapi dalam benaknya masih ada sesuatu ganjalan yang belum terlampias, langkah yang sudah digerakan tiba-tiba berhenti lagi.

In San melengak, tanyanya: "Toako, kenapa tidak lekas berangkat?"

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Jelek-jelek kita pernah diterima dan dilayani Baginda Raja, kalau pergi tanpa pamitan kurang hormat. Maka kupikir akan kuminta tolong kepada Thaykam kecil ini untuk mengirim kabar padanya," lalu dia sobek pakaian dalam Thaykam kecil yang kebetulan terbuat dari sutra putih, di atas cuilan kain inilah dia meninggalkan pesannya dengan darah.

Dengan ujung pedangnya dia tusuk jari tengah Tiangsun Co sehingga keluar darah, dengan darah Tiangsun Co inilah dia menulis pesannya di atas kain sutra itu. Karena Hiat-to tertutuk Tiangsun Co tidak mampu bergerak atau bersuara, namun saking kesakitan tubuhnya bergetar.

Di atas sutra putih itu Tan Ciok-sing menulis demikian: "Harap Baginda tidak lupa akan perjanjian tiga bulan. Mengkhianat dan ingkar janji tidak akan memperoleh pengampunan Thian Yang Maha Kuasa."

"Bagus," In San tepuk tangan, "sejak dulu kala, kapan seorang baginda pernah menerima tulisan darah yang menuntut peri kemanusiaannya. Yakin Cu Kian-sin bocah itu akan ketakutan setengah mati."

Tan Ciok-sing menggulung kain sutra itu serta diikat dan dijirat di leher Thaykam kecil, setelah itu dia gandeng In San keluar dari gua gunungan.

"Jangan kita menuju ke pintu barat," In San memberi ingat.

"Betul, Hu Kian-scng suruh Tiangsun Co keluar dari pintu barat, biarlah kita keluar dari arah yang berlawanan saja."

Tujuh di antara sepuluh penjaga di pintu timur adalah anggota Gi-lim-kun, tiga yang lain adalah anak buah Hu Kian-scng dari kesatuan Bhayangkari. Mereka atau ketiga Wisu itu bukan kepercayaan Hu Kian-seng, mereka belum punya hak dan tidak setimpal menyambut atau melayani para tamu Hu Kian-seng. Tapi mereka tahu bahwa komandan mereka Hu Kian-seng pernah menerima seorang tamu agung dari negeri Watsu secara diam-diam.

In San acungkan surat perintah Baginda itu kepada pemimpin barisan jaga pintu serta membentak: "Atas perintah Baginda aku disuruh mengantar tamu. lekas siapkan kereta."

Umumnya para Thaykam itu sudah dikebiri, maka nada suaranya mirip perempuan, In San ternyata cukup mahir memerankan sandiwara ini. Ternyata pemimpin barisan jaga pintu kota itu percaya begitu saja, maklum diapun tidak kenal Thaykam kecil yang biasa melayani Sri Baginda, setelah memeriksa surat perintah, tanda tangan dan cap kerajaan, segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan kereta.

Satu di antara Wisu yang jaga pada saat itu pernah melihat Tiangsun Co. Dari samping dia pandang perawakan tubuh Tan Ciok-sing tidak mirip Tiangsun Co, mau tidak mau timbul rasa curiganya. Tapi dia tidak pernah disuruh melayani Tiangsun Co dan dekat, tapi sebagai Wisu pesuruh yang sering disuruh mondar mandir menyampaikan perintah, dari kejauhan dia pernah melihat Tiangsun Co sekali. Meski hati agak curiga, namun dia tidak berani yakin bahwa Tan Ciok-sing ini adalah samaran. Akhirnya dia membesarkan nyali bertanya: "Apakah tuan besar ini adalah tamu agung undangan Hu-congkoan beberapa hari yang lalu, entah apakah Congkoan Tayjin juga sudah tahu..."

Sebelum orang bicara habis, In San sudah membentak: "Kurang ajar, kau ini barang apa, berani tanya asal-usul tamu Baginda."

Wisu itu munduk-munduk sambil menyengir, katanya: "Hamba tidak berani. Maksud hamba hanya ingin menyampaikan sembah sujud dan salam hormat Congkoan kami kepada tamu kita."

"Hmm," In San menjengek, "memangnya perlu kau menjilat pantat."

Diam-diam Tan Ciok-sing sudah keluarkan lencana dinas itu dan dibanting di hadapan Wisu itu tanpa bersuara.

In San tertawa dingin pula, katanya: "Agaknya kalian masih tidak percaya akan perintah raja yang distempel cap kerajaan? Nah, buka mata anjing kalian, coba periksa apakah itu lencana dinas komandanmu yang tulen?"

Tersipu-sipu Wisu itu pungut lencana dinas itu serta mengembalikan kepada Tan Ciok-sing dengan kedua tangannya, katanya dengan tawa menyengir kikuk: "Bukan begitu maksud hamba. Memang hamba tidak pantas cerewet, harap Pwecu tidak berkecil hati."

Pemimpin barisan jaga itu sudah memeriksa perintah raja dan terbukti lencana dinas itupun bukan palsu, mana berani dia bercuit lagi, segera dia siapkan dua ekor kuda, Tan Ciok-sing dan In San juga tidak banyak ribut, segera cemplak ke punggung kuda terus dibedal keluar istana.

Setelah mereka pergi kawanan Wisu itu saling pandang dan merasa heran dan bingung, yang cerewet tadi segera menghampiri pemimpin barisan jaga serta berkata: "Ma-tokwi, kurasa urusan agak janggal."

"Apanya yang janggal? Surat perintah itu aku yakin bukan palsu, memangnya lencana dinas itu bukan tulen?"

"Perintah raja dan lencana dinas itu memang tulen, tapi orangnya yang palsu."

Ma-tokwi atau pemimpin barisan jaga itu kaget, tanyanya: "Dari mana kau berani bilang begitu?"

Pangeran Watsu itu pernah aku melihatnya sekali, wajah dan perawakannya tidak mirip dengan orang tadi. Apalagi hanya Thaykam kecil saja yang bicara dengan kita, hakikatnya tamu itu tidak pernah buka suara."

Ma-tokwi bukan pemimpin goblok, soalnya dia kebingungan setelah melihat firman raja sehingga pikirannya tidak tenang, kini setelah diingatkan baru sadar, katanya: "Kecurigaan memang masuk akal, mungkin dia kuatir kita dengar logatnya bukan orang Watsu, maka dia tidak berani buka suara."

Wisu itu berkata: "Tulen atau palsu sukar ditebak, lebih baik lekas laporkan kepada Komandan untuk mengejarnya?"

Ternyata komandan pasukan Bhayangkari Bok Su-kiat sedang meronda tidak jauh dari tempat itu.

Sementara itu Tan Ciok-sing dan In San mencongklang kudanya melewati dua jalan raya, tiba-tiba didengarnya di belakang ada kuda dilarikan kencang mengejar datang, seorang yang terdepan berteriak: "Tiangsun Pwecu, harap tunggu sebentar, aku adalah Bok Su-kiat."

Bok Su-kiat kenal baik dengan Tiangsun Co, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani menoleh. In San yang wakili dia menjawab: "Bok-jongling, biarlah aku yang mengantar tamu kita, tak usah kau ikut susah payah, silahkan kembali saja," jawaban In San ini justru menimbulkan rasa curiga Bok Su-kiat.

Dengan mengerutkan kening Bok Su-kiat berpikir: "Kalau betul orang itu Tiangsun Co, sikapnya kenapa begitu kaku seperti tidak mengenalku lagi?" maklum di rumah Liong Bun-kong tempo hari dia pernah bertemu beberapa kali dengan Pangeran Watsu ini, dia tahu Tiangsun Co adalah Pangeran dan Tiangsun Co juga tahu bahwa dia menjabat komandan Bhayangkari, bahwa dia ingin bermuka-muka terhadap Tiangsun Co, Tiangsun Co juga tidak berani berlaku kurang hormat kepadanya. "Apalagi Thaykam kecil ini selama ini belum pernah aku melihatnya, biasanya Baginda tidak pernah menyuruh seorang Thaykam kecil untuk mengantar tamunya?"

Semakin dipikir makin curiga, segera dia berkeputusan dan membentak: "Kalian berhenti, kalau tidak jangan menyesal bila aku bertindak," bila orang di depan itu betul Tiangsun Co mendengar bentakannya ini, sepantasnya kalau dia naik pitam dan marah-marah. Bila sudah marah betapapun Tiangsun Co pasti akan bersuara.

Tan Ciok-sing yang menyamar Tiangsun Co sudah tentu tidak buka suara, kudanya malah dikeprak semakin kencang. Sementara In San masih berlagak, katanya dengan tertawa dingin: "Bok Su-kiat besar benar nyalimu, aku mendapat firman raja untuk mengantar tamu, berani kau mencegat jalan."

Sementara itu Bok Su-kiat sudah pecut kudanya dibedal lebih kencang, jarak telah diperpendek, semakin dipandang orang di depan itu jelas tidak mirip Tiangsun Co, segera dia membentak pula: "Kalian justru yang bernyali besar, berani menyamar Thaykam dan tamu agung kita. Hayo berhenti dan menggelinding turun dari kuda kalau membangkang kematian hukumannya," sembari bicara dia sudah angkat busur memasang panah terus beruntun tiga kali dia membidik ke punggung In San.

Tan Ciok-sing tahu kekuatan Bok Su-kiat yang tangguh, mendengar serangan panah berantai ini dia kuatir In San tidak kuat menahannya, di punggung kuda mendadak dia gunakan gerakan burung dara membalik tubuh, tangannya bergerak ke belakang membabat dengan pedang. Begitu sepasang pedang bergerak, hawa pedangnya menyambar bagai lembayung, ketiga batang panah itu seketika kutung jadi enam potong. Sudah tentu secara langsung penyamaran merekapun terbongkar. Bok Su-kiat memang belum tahu siapa mereka, tapi dia sudah yakin bahwa Tan Ciok-sing jelas bukan Tiangsun Co, sementara In San juga bukan Thaykam tulen.

Untuk menangkis serangan panah itu, terpaksa Tan Ciok-sing berdua harus mengendorkan lari kuda mereka. Pada saat itulah, dari gang kecil di sebelah depan sana tiba-tiba menerjang keluar dua ekor kuda mencegat jalan lari mereka.

Sambil keprak kudanya Bok Su-kiat membentak: "Dua orang ini menyamar, lekas bekuk dia."

Dua orang penunggang kuda yang mencegat itu adalah jago kosen dari pasukan Bhayangkari, seorang bernama Ku Hong ahli Tay-lik-eng-jiau-kang seorang lagi bernama Pui Ou mahir menggunakan sepasang ganco. Ku Hong menggunakan jurus Mencabut Lobak di Tanah Kering, di punggung kuda segera dia menubruk ke depan, gerakannya mirip benar dengan seekor burung rajawali yang menyambar kelinci, dia incar tulang pundak Tan Ciok-sing terus mencengkeramnya. Jurus ini merupakan tipu mematikan yang liehay dari ilmu pukulan yang merupakan pukulan kemahirannya, bila tulang pundak tercengkram jari-jarinya, meski orang memiliki kepandaian setinggi langit juga pasti tak akan bisa berkutik lagi dengan tubuh cacat, dia kira cengkeraman iiehay ini pasti berhasil membekuk lawan, di luar tahunya bahwa lawan yang dihadapinya sekarang teramat tangguh.

"Serangan bagus," Tan Ciok-sing membentak, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit) Pek-hong-kiam dia tuding ke atas mengincar telapak tangan Ku Hong. Bila cengkraman lawan diteruskan, yakin telapak tangannya pasti akan berlobang tertusuk pedangnya.

Bila dia mau gerakan pedang diteruskan dengan jurus Hian-niau-hoat-sa, lengan Ku Hong pasti sudah dibabatnya protol dari tubuhnya Tapi dia tidak tega turun tangan keji, gerakan pedangnya dia robah jadi tepukan mendatar, sekaligus mengerahkan Lwekang tingkat tinggi menggunakan Can-ih-cap-pwe-tiat.

Ku Hong sudah menarik kedua tangan seraya menyikut, terasa dirinya seperti menumbuk sekarung kapas yang empuk, mendadak terasa pula perutnya silir dingin, ujung pedang lawan yang kemilau dingin ternyata telah menusuk luka kulit perutnya. Karuan kagetnya bukan main, tenaga mantul yang digunakan Tan Ciok-sing segera melemparkan tubuhnya jauh kesana dan jatuh terbanting dengan tubuh celentang.

Agaknya Ku Hong berkulit tebal, cepat sekali dia sudah melompat berdiri lagi tapi dia insaf Tan Ciok-sing telah mengampuni jiwanya, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh.

Di sebelah sana Pui Ou menghadapi ln San, nasibnya tidak sebaik temannya. Pui Ou membanggakan sepasang

ganconya yang bergagang panjang peranti mengatasi golok dan pedang, maka dia keprak kudanya mencegat di depan In San, kontan sepasang ganconya menusuk dan menggantol seraya membentak: "Lepaskan pedang."

"Belum tentu," jengek In San, gerak pedangnya secepat kilat terdengar suara "Krak, tiang" sebelum ganconya bcih.isil menggantol pedang ln San, gigi gantolan di ujung ganconya mhI.iIi terbabat protol oleh pedang mustika In San. Ternyata In San juga tidak tega membunuhnya, bentaknya: "Minggir," dimana pedangnya berputar, bukan menusuk orang tapi menusuk kuda.

Saking kesakitan kuda tunggangan Pui Ou berjingkrak terus lari sambil meringkik, Pui Ou terlempar dari punggung kuda dan terbanting di jalan raya yang berlandas batu hijau, kepala bocor tulang keseleo, keadaannya lebih parah dari Ku Hong.

Melihat kepandaian kedua orang itu sedemikian liehay, diam-diam Bok Su-kiat kaget, pikirnya: "Mungkinkah yang menyaru jadi Tiangsun Pwecu, bocah she Tan itu?" baru saja dia menduga, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San sudah melambung tinggi lompat ke atas genteng penduduk.

Bok Su-kiat menghardik: "Keparat, mau lari kemana?" secepat kilat diapun mengudak lompat ke atas genteng. Rumah penduduk di sekitar sini kebanyakan milik para hartawan yang membangun rumah secara megah, tingginya ada tiga tombak. Bu Su-kiat tidak mampu lompat setinggi itu, tapi dengan Eng-jiau-kang dia menangkap payon rumah serta menyendal tubuh sehingga badannya terbalik mumbul jumpalitan ke atas wuwungan, paling terlambat beberapa detik saja dari Tan dan I n berdua, maka lekas sekali dia sudah menyandak.


Tan Ciok-sing menoleh seraya membentak: "Bagus, Bok Su-kiat, mari hari ini kita tentukan siapa jantan siapa betina."

"Bagus, Tan Ciok-sing," jengek Bok Su-kiat, "kukira siapa bernyali besar, kiranya kau. Kau bocah keparat bernyali besar kurang ajar ini, hari ini biar merasakan keliehayanku," di tengah jengek tawanya itu dia menggunakan Tay-kim-na-jiu-hoat. Kalau dia memaki Tan Ciok-sing, tapi yang jadi sasaran serangannya justru In San.

Waktu Tan Ciok-sing dan In San mewakili para ksatria mengadakan perundingan di rumah Liong Bun-kong dulu. Secara diam-diam Tan Ciok-sing pernah saling jajal dan mengukur kepandaian masing-masing telah demonstrasikan kemahiran sendiri-sendiri.

Kalau Tan Ciok-sing gunakan pedang kilatnya mengecutkan hati lawannya, sementara Bok Su-kiat pamer Lwekangnya yang hebat, masing-masing pihak sama mengagumi keliehayan lawan. Sayang di rumah Liong Bun-kong tempo hari mereka tidak berkesempatan untuk bergebrak secara sesungguhan.

Tahu ilmu pedang Tan Ciok-sing liehay, maka Bok Su-kiat bertindak lebih dulu menyerang titik kelemahan pihak lawan. Dia tahu bahwa In San adalah gadis yang ditaksir oleh raja junjungannya, tapi Lwekangnya sudah diyakinkan mencapai tarap yang sempurna, dia yakin cengkramannya yang liehay serta sudah diperhitungkan itu tetap takkan merugikan atau melukai In San sedikitpun.

Serangannya ini menggunakan Cong-yan-jiu dari Kim-na-jiu-hoat, ilmu tunggal perguruannya yang liehay, jauh berbeda dengan Kim-na-jiu yang diajarkan berbagai perguruan lain. Kedua lengannya satu di atas yang lain di bawah, jari tangan kiri terangkap seperti ujung tombak mencolok sepasang mata ln San. Gerakan ini hanya gertakan belaka, untuk memancing lawan memperkuat pertahanan di sebelah atas. Pada hal telapak tangan kanan justru membabat miring laksana golok menyerang sepasang kaki In San. Serangan menggempur timur bersuara di barat ini dilancarkan secepat kilat dan liehay luar biasa.

Diluar perhitungannya, bahwa gerakan Tan Ciok-sing ternyata melebihi kecepatannya sendiri. Di saat kritis itu, sebelum ujung jarinya menyentuh In San, ujung pedang Tan Ciok-sing telah menanti telapak tangan kirinya yang mencolok mata ln San, ujung pedang mengincar telak Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangannya.

Sudah tentu Bok Su-kiat tidak berani meneruskan cengkramannya, di tengah jalan dia robah gerakan, jarinya menjentik dan "Creng" pedang Tan Ciok-sing diselentiknya membal ke pinggir, begitu tubuh merendah turun telapak tangan kanan tetap membabat kedua kaki In San.

Tapi rintangan sekejap ini sudah memberi kesempatan kepada In San untuk balas menyerang. Sebat sekali tampak tubuhnya mendak terus melompat maju dia gunakan gerakan Burung Seriti Menyusup ke Awan, Ginkang yang liehay melambung satu tombak lebih tingginya dengan jurus Giok-li-to-so dari tengah udara dia menusuk ke bawah. Sementara meminjam tenaga selehtikan jari orang, pedang Tan Ciok-sing dipelintlir membalik dengan gerakan Sabuk Kemala Melilit Pinggang, secara telak dan serasi dia imbangi gerakan pedang ln San yang menyerang dari atas.

"Bret" ujung lengan baju Bok Su-kiat terpapas sebagian dan terbang berhamburan seperti kupu-kupu terbang di pucuk kembang. Masih untung dia sempat menarik diri melompat mundur sejauh mungkin, kalau tidak lengan kanannya pasti sudah terbabat kutung. Tenaga Lwekangnya yang hebat sempat pula menggetar pergi pedang Tan Ciok-sing terus menyurut mundur pula tiga langkah. Namun cepat sekali sepasang pedang Tan dan In sudah memburunya dengan serangan jurus kedua. Perbawanya bagai damparan ombak yang bergulung-gulung tak kenal putus.

Jurus gabungan pedang kali ini kekuatannya lebih hebat dari jurus pertama, daya rangsakannyapun lebih menyeluruh. Soalnya tadi In San serambut lebih lambat mengeluarkan pedang, sehingga lawan masih sempat menjentik pedang Tan Ciok-sing, tapi gabungan dua pedang kali ini boleh dikata sudah merupakan dwi tunggal yang sukar dilawan. Apa boleh buat Bok Su-kiat terdesak mundur pula tiga langkah, tanpa disadarinya kini dia sudah berdiri di pinggir payon.

Tan Ciok-sing membentak: "Menggelinding turun," dengan jurus Hian-niau-hoat-sa dia ikut menubruk maju, tulang pundak lawan menjadi sasaran tutukan pedangnya. Sementara dalam waktu yang sama In San dengan jutus Pay-hun-tian (menyibak mega merenggut kilat), ujung pedang memancarkan cahaya dingin, menusuk ke tulang pundak kanan pula.

Bok Su-kiat menjadi sengit, sembari menghardik tangannya menjotos, Tan Ciok-sing kira lawan nekad hendak adu jiwa, melihat jotosan lawan bertenaga hebat, kuatir In San tidak kuat melawannya, lekas Ciok-sing berkisar terus pasang kuda-kuda, pedangnya membalik terayun memapas pergelangan tangan. Gerakan pedangnya ini sedikit terlambat sehingga Bok Su-kiat sempat melompat sambil jumpalitan terus ke bawah genteng. Ternyata jotosan itu kelihatannya seperti hendak mengadu jiwa, pada hal hanyalah gertakan belaka untuk cari kesempatan mengundurkan diri. Melihat Kungfu lawan semahir itu, mau tidak mau kejut juga hatinya.

Sebaliknya bagi Bok Su-kiat yang Komandan pasukan Bhayangkari ini dalam tiga gebrak saja dirinya harus menelan kekalahan di tangan lawan mudanya, sudah tentu bukan kepalang malu dan penasaran hatinya. Dengan gerakan burung dara jumpalitan, secara enteng dia hinggap di bumi, mulutpun terus menghardik gusar: "Lepas panah," -umpama In San terpanah mati juga tidak peduli lagi.

Sementara itu pasukan Gi-lim-kun sudah memburu datang dari berbagai arah, anak panah segera berhamburan selebat hujan. Dengan tangan bergandeng tangan Tan Ciok-sing dan In San berlompatan dari wuwungan yang lain terus menuju ke arah barat, di jalan raya sebelah barat ternyata sudah dikepung pula, terpaksa Tan dan In harus putar kencang pedangnya untuk meruntuhkan anak panah yang dibidikkan ke arah mereka. Pasukan Gi-lim-kun itu kapan pernah menyaksikan Ginkang sehebat itu, sesaat mereka jadi melongo.

Setelah bebas dari bidikan panah pasukan Gi-lim-kun, Tan Ciok-sing berdua terus tancap gas berlari ke arah pintu barat, para Wisu yang berjaga di pintu bawah, lapat-lapat melihat dua bayangan orang melambung terbang melampaui tembok tinggi, waktu ditegasi ' bayangan itu sudah lenyap. Pada hal mereka tahu ada orang yang melarikan diri keluar kota, namun mana mereka berani ribut. Lalai menunaikan tugas sehingga pembunuh lolos merupakan kesalahan yang bisa mengakibatkan jiwa mereka jadi korban.

Sekaligus Tan dan In berlari sejauh tiga puluhan li, bila mereka tiba di rumah keluarga Coh di kaki bukit itu, haripun sudah terang tanah.

Tan Ciok-sing berkata tertawa: "Liok Pangcu dan Lim Tayhiap menunggu tiga hari, bila melihat kita tidak kunjung tiba, entah betapa gelisah hati mereka," begitu dia angkat kepala, senyum tawanya seketika kuncup, tampak rumah gedung keluarga Coh sudah terbakar habis tinggal puing-puingnya saja.

In San mengelus dada, katanya: "Pasti pasukan kerajaan yang membakar rumah Coh Ceng-hun. Entah bagaimana keadaan Liok-pangcu, Lim Tayhiap dan lain-lain?"

"Di sekitar sini ada perumahan penduduk, mari kita cari kabar dari mereka," demikian ajak Tan Ciok-sing.

Beberapa rumah penduduk telah mereka datangi, semua pintu besarnya terbuka lebar, tapi tiada seorangpun penghuni di dalamnya, sampaipun perabot telah kosong melompong, penduduknya entah mengungsi kemana.

Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya: "Agaknya tiada harapan kita dapat mencari kabar dari penduduk. Keluarga Coh ketimpa petaka, mungkin mereka takut kerembet maka siang-siang sudah angkat kaki dari tempat kediamannya.

Tiba-tiba In San bersuara heran, katanya dengan tertawa: "Toako, pendapatmu memang beralasan, tapi yakin rekaanmu meleset, coba lihat, disana itu bukankah ada dua orang?"

Waktu itu mereka sedang turun gunung Tan Ciok-sing menoleh ke-arah yang dituding In San, dilihatnya dua orang tua yang j.ilan tertatih-tatih, lelaki dan perempuan agaknya sepasang suami isii-n. yang lelaki memikul kayu keiinv yang perempuan menggendong rumput hijau, mereka sedang menuju ke atas gunung.

Tan Ciok-sing berkata: "Sepasang kakek dan nenek ini ternyata bernyali besar, tapi di rumah mereka sudah tiada harta benda lagi, untuk apa cari kayu dan rumput?"

"Umpama mereka betul adalah mata-mata musuh, kita juga tidak perlu kuatir, mari coba kita cari tahu kepada mereka," demikian In San ajukan pendapatnya.

Mereka percepat langkah turun ke bawah, setelah dekat dengan seksama dia awasi kakek dan nenek, kedua kakek nenek itu juga berhenti dan balas mengawasi mereka, sorot matanya memancar rasa heran dan bingung.

"Lo-kongkong dan Lo-popoh," demikian sapa Tan Ciok-sing, "harap kalian suka istirahat sebentar. Ingin kami mencari tahu satu hal kepada kalian."

Nenek itu berkata: "Kami hanya tahu menebang pohon dan cari rumput, urusan lain kami tidak tahu. Maaf, kami harus lekas pulang, banyak kerjaan yang menunggu dibereskan."

In San menyodorkan sekeping uang perak kepada si nenek seraya berkata: "Soal yang ingin kami tanya kau pasti tahu, sekedar imbalan ini harap kau suka menerimanya."

Setelah menerima uang, si nenek berkata: "Baiklah, memandang uang perak ini, biar kudengar soal apa yang ingin kau tanyakan. Bila aku tahu pasti kuterangkan."

In San berkata: "Di atas gunung ada sebuah keluarga Coh, tentunya kalian sudah tahu."

"Kalian teman keluarga Coh itu?" tanya si nenek.

"Betul," Tan Ciok-sing menyela, "kami adalah kenalan baik majikan muda keluarga itu, yang bernama Coh Ceng-hun."

"Tentunya kalian adalah pembesar dari kota bukan, agaknya keluarga Coh tidak pernah ada hubungan dengan pihak kerajaan."

Tan Ciok-sing tahu si nenek merasa curiga, dia jadi bimbang apakah perlu menerangkan asal-usul sendiri kepada si nenek.

Mendadak si nenek membentak: "Bagus ya, kiranya kalian pura-pura menyaru pembesar."

Tan Ciok-sing kaget, baru saja dia akan turun tangan, tiba-tiba didengarnya In San juga balas membentak: "Bagus ya, ternyata kalian juga menyamar kaum penebang."

Sampai disini, tiba-tiba In San dan si nenek 'sama tertawa geli, katanya: "Han-cici, jangan kau

menggoda kami lagi," "In-cici memang pandanganmu lebih tajam," suara si nenek yang ketua-tuaan tiba-tiba berubah merdu.

Tan Ciok-sing seketika sadar dan berseru sambil keplok tangan: "Kiranya nona Han, jadi kakek ini tentunya Toan-toako adanya."

Kakek itu segera mengusap muka sendiri dan kelihatanlah wajah aslinya, memang bukan lain adalah Toan Kiam-ping.

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Aku tidak semahir adik Cin dapat merubah suara, maka terpaksa aku pura-pura bisu."

"Justru kau tetap tidak buka suara sehingga aku curiga," ujar In San, "segera aku menduga kalian. Toan-toako, luka-lukamu sudah sembuh?"

"Aku dirawat dan memperoleh pengobatan dari Giam-ong-te Lau Su-tho, sudah lama sembuh, tadi aku sudah siap hendak melabrak Tan-toako malah."

Tan Ciok-sing melcngak, katanya: "Kenapa kau hendak melabrakku?"

"Siapa suruh kau menyamar Tiangsun Co? Pandanganku toh tidak setajam adik Cin, dalam waktu sesingkat ini aku belum bisa membedakan penyamaranmu."

"Sudah tidak perlu banyak ngobrol, lekas jelaskan, bagaimana keadaan Liok-pangcu dan Lim Tayhiap dan lain-lain."

"Jangan kuatir," ucap Toan Kiam-ping, "malam itu kita disergap pasukan kerajaan, rumah kediaman keluarga Coh juga dibakar mereka, untung Liok-pangcu dan Lim Tayhiap mahir memimpin dan menghadapi kejadian secara tenang sehingga korban yang jatuh tidak terlampau parah. Kawan-kawan yang menetap di rumah keluarga Coh semua dapat meloloskan diri dengan selamat. Kejadian sebenarnya malam itu nanti kujelaskan. Tolong kau ceritakan dulu bagaimana tugas kalian masuk ke istana, kau tahu hatiku seperti dibakar saking gelisah menunggu kalian pulang."

Mendengar orang banyak selamat, legalah hati Tan Ciok-sing katanya: "Sang raja sudah berhasil kami temui, cuma bagaimana hasil anjuran kita terhadapnya, sejauh ini masih belum bisa diketahui."

Lalu pengalaman tiga hari di istana dia ceritakan, Toan Kiam-ping dan Han Cin sering tegang, dan akhirnya menghela napas lega setelah mendengar kisahnya itu.

Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa: "Mengkhianat dan mengingkari janji akan memperoleh hukuman dari Thian Yang Maha Kuasa. Peringatan yang kau tinggalkan untuk raja itu memang tepat sekali. Sudah tentu kita takkan percaya begitu saja omongannya tapi sebaliknya dia harus memperhatikan peringatan kita itu. Paling tidak, dia tidak akan berani menanda tangani perjanjian damai itu, terhitung tugasmu sudah berhasil separo. Tan-toako, In-moaycu, tidak kecil jasa kalian."

"Ah, soal jasa segala, aku toh hanya melaksanakan rencana orang banyak yang ditugaskan kepada kami."

"Kau tidak usah sungkan," sela Han Cin, "satu hal ingin aku memberitahu kepada kalian, dari soal ini dapat dinilai bahwa tugas telah kalian laksanakan telah membawa hasil baik."

"Soal apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Liong Bun-kong keparat tua itu pura-pura jatuh sakit dan tidak pernah lagi menghadap raja. Menurut berita yang diperoleh Liok-pangcu, katanya Baginda Raja sendiri yang menganjurkan dia demikian. Para begundal keluarga Liong konon juga sama saling terka dan kebingungan, kasak-kusuk bahwa majikan mereka bakal jatuh pamor dan runtuh kedudukannya. Mereka sedang berpikir-pikir untuk mencari jalannya sendiri seumpama pohon roboh kerapun bubar."

"Batas waktu yang diberikan raja adalah tiga bulan, bila dia runtuh kukira juga tidak akan selekas ini," ujar Tan Ciok-sing.

Han Cin tertawa katanya: 'Manusia licik yang pandai menjilat biasanya pintar melihat arah angin memegang kemudi, mungkin mereka takkan menunggu bila puncak gunung es itu runtuh baru akan mencari daya menyelamatkan diri."

"Sekarang kalian pindah kemana?" tanya In San.

"Pindah ke Loh-su-san salah satu dari Say-san. Markas cabang Kaypang di Pakkhia memang didirikan di Pit-mo-giam di Loh-su-san itu?" demikian Toan Kiam-ping menjelaskan.

Waktu itu sudah lewat lohor, diam-diam In San

memperhitungkan jarak perjalanan, lalu berkata: "Siang hari tidak leluasa kita mengembangkan Ginkang, dari sini pergi ke Loh-su-san kira-kira memakan waktu setengah hari, sekarang sudah sepantasnya kita berangkat."

Tiba-tiba Han Cin berkata: "Malam ini kami tidak akan kembali ke Loh-su-san."

"Lho, kenapa?" tanya In San. "Malam ini kami ingin pergi ke Lo-gau-kio. Letak Lo-gau-kio lebih jauh dari Loh-su-san, sebelum tengah malam nanti sudah harus tiba di Lo-gau-kio, maka tiada tempo mampir ke tempat lain lagi."

Lo-gau-kio terletak tiga puluhan li dari pintu barat Khon-an-bun di Pakkhia, jembatan itu melintang di atas Ing-ting-ho menghubungi jalan raya King-si sebelah barat dan timur, merupakan satu di antara delapan tempat tamasya bagi pelancongan. Waktu masih di Pakkhia dulu, usia In San masih kecil maka dia belum pernah kesana, tapi dia tahu akan tempat tamasya itu.

In San jadi heran, katanya: "Lo-gau-kio adalah satu obyek tamasya di Pakkhia, yakin kalian tidak ingin tamasya malam hari di jembatan bersejarah itu bukan?"

"Terus terang kami kesana hanya ingin menyaksikan orang berkelahi. Bila kalian tidak perlu beristirahat marilah malam ini ikut kami kesana?"

Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya: "Siapa dengan siapa yang berkelahi?"

"Malam ini Kek Lam-wi akan menuntut balas kepada Lenghou Yong," tutur Toan Kiam-ping.

Tan Ciok-sing kaget, serunya: "Lho, apa yang telah terjadi?"

"Mungkin kau belum tahu seluk beluk keluarga Kek. Dua puluh tahun yang lalu ayahnya terbunuh oleh Lenghou Yong. Tapi setelah malam kita membuat keributan di rumah keluarga Liong itu, baru ayahku memberi keyakinan berdasarkan penyelidikan yang cermat bahwa musuh pembunuh ayahnya adalah Lenghou Yong."

"Apa Lenghou Yong mau menerima tantangannya berkelahi di Lo-gau-kio?" tanya Tan Ciok-sing.

"Ayah yang mengatur. Ayah mohon bantuan seorang yang dipercaya oleh Lenghou Yong untuk datang di Lo-gau-kio. Bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya, karena pagi-pagi tadi kami sudah berangkat dari Loh-su-san, jadi kami kurang jelas karena ayah tidak sempat menjelaskan. Tapi Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi akan menuntut balas kepadanya."

Han Cin melanjutkan ceritanya: "Kemarin secara berutun dua hari, ayahku yang bertugas kemari menunggu kalian, hari ini dia harus mengatur pertemuan Kek-suko dengan Lenghou Yong, maka kami yang ditugaskan kemari. Terus terang, kami hanya ingin coba-coba saja mengadu untung sungguh sangat kebetulan, kalian justru pulang pada saat ini pula. Tan-toako, kalian akan pulang dulu menemui Liok pangcu, atau ikut kami ke Lo-gau-kio melihat keramaian."

Tan Ciok-sing berkata lantang: "Kawan-kawan begitu baik terhadapku, mana boleh aku berpeluk tangan, adalah sepatutnya aku ikut membantu kesulitan teman. Maka aku akan ikut kalian pergi ke Lo-gau-kio saja."

In San tanya: "Lenghou Yong membekal Kungfu tinggi, meski Kek Lam-wi tidak lemah, bila satu lawan satu, mungkin dia bukan tandingannya. Apa kalian sudah menjanjikan aturan perkelahian?"

"Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi yang mengundangnya," ujar Han Cin.

"Maksudku bagaimana Kek Lam-wi membicarakan soal itu dengan ayahmu? Menurut aturan Kangouw, umumnya menuntut balas hanya boleh berkelahi satu lawan satu."

"Aku tidak tahu," ucap Han Cin. "Tiga hari terakhir ini, ayah selalu mengawasi latihan Kek-suheng dan mengajarkan tiga jurus ilmu kepadanya."

"Tiga jurus ilmu belum tentu dapat mengalahkan Lenghou Yong," kata In San.

"Malam ini ayah pasti pergi bersamanya, aku yakin ayah tidak akan membiarkan dia menderita rugi."

Tan Ciok-sing menimbrung: "Di samping membantu Kek-sukomu berhasil menuntut balas, ayahmupun tidak boleh kehilangan pamor, itulah yang sulit."

Toan Kiam-ping menyela: "Ti-locianpwe sudah memperhitungkan soal ini dengan cermat, kukira dia sudah mempersiapkan hal ini dengan matang.'

Tapi Tan Ciok-sing masih kuatir, katanya: "Meski Ti-locianpwe sudah mempersiapkan secara sempurna, Lenghou Yong juga bukan kaum kroco yang mudah ditipu. Sekarang tidak perlu menduga-duga, hayo lekas berangkat saja."

"Betul," In San tertawa, "kita ini kan kaum kroco dalam Bulim, bila perlu tak usah bicara aturan Kang¬ouw segala untuk menumpasnya."



000OOO000



Malam itu bulan purnama, suasana tenang di bawah penerangan sang putri malam di Lo-gau-kio terasa semakin indah dan mempesona.

Menjelang tengah malam, sang putri malam bercokol tepat di tengah langit, di atas jembatan tampak muncul bayangan satu orang, orang ini adalah Kek Lam-wi.

Ing-ting-ho di bawah jembatan dahulu dinamakan Bu-ting-ho, damparan ombak air sungguh menerpa-nerpa dan melanda beton kaki jembatan yang kokoh, sehingga memercikan buih-buih putih yang bergulung-gulung pergi dan sirna satu persatu.

Malam purnama, arus yang deras gemuruh, ketenangan malam terasa permai dan membangkitkan jiwa kesatria. Demikian perasaan Kek Lam-wi pada saat itu.

Panjang Lo-gau-kio empat puluh tujuh tombak, seluruhnya terbuat dari batu Inlam, kedua sisi jembatan dipagari batu-batu putih berukir, semuanya merupakan tonggak batu yang masing-masing berjumlah seratus empat puluh batang, di atas setiap batang tonggak batu itu terdapat patung singa yang mendekam garang, bentuknya mirip satu dengan yang lain.

Perasaan Kek Lam-wi sekarang tak ubahnya damparan ombak air di bawah jembatan. Malam ini dia akan menentukan mati hidup dengan musuh pembunuh ayahnya. "Mungkinkah Lenghou Yong datang?" rembulan sudah merambat doyong ke barat, suasana tetap sunyi tiada gerakan apa-apa. Melamun seorang diri akhirnya Kek Lam-wi terkenang kepada Toh So-so. "Malam seperti ini, entah dimana dia sekarang? Apakah dia sekarang juga sedang merindukan daku?"

Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan disini untuk lekas-lekas meninggalkan Pakkhia menyusul Toh So-so ke Kanglam. Hari sudah larut malam Lenghou Yong belum juga kunjung tiba.

"Di kala menghadapi pertempuran mati hidup, mana boleh pikiran kacau, hati tidak tenang," tiba-tiba Kek Lam-wi menyadari kesalahan, segera dia keluarkan serulingnya, dengan irama seruling dia ingin menenangkan hati dan memantapkan semangat juangnya.

Belum habis dia meniup seruling, dari seberang sana muncul dua bayangan orang. Kek Lam-wi memicing mata melihat dengan seksama, dikenalnya satu di antara kedua orang itu memang Lenghou Yong adanya.

Setelah mendengar irama serulingnya, tiba-tiba Lenghou Yong mempercepat langkahnya. Teman Lenghou Yong adalah laki-laki setengah umur, berperawakan buntak berpakaian sebagai hartawan. Meski tubuhnya gembrot tapi langkah larinya ternyata cukup cepat, dengan kencang diapun mengintil di belakang Lenghou Yong.

Waktu di rumah Liong Bun-kong malam itu, meski Kek Lam-wi pernah melihat Lenghou Yong tapi suasana pada saat itu terlalu kacau dan ribut di tengah kancah pertempuran, sehingga Lenghou Yong tidak sempat memperhatikan dirinya. Itu berarti Kek Lam-wi kenal dia, sebaliknya Lenghou Yong tidak mengenalnya. Tapi setelah mendengar irama seruling Kek Lam-wi, tanpa merasa tergerak hatinya.

Segera dia berpaling tanya kepada temannya itu: "Yang ingin mengadakan kontak dengan kita apakah pemuda peniup seruling di atas jembatan itu? Setiba disini boleh kau beritahu kepadaku siapi dia sebenarnya?"

"Lenghou Tayjin," kata laki-laki gendut itu, "sukalah kau percaya kepadaku, aku benar-benar tidak tahu siapakah orang ini. Aku hanya tahu dia memiliki sebuah benda antik yang ingin dijual kepada kita."

"Benda mustika macam apakah," tanya Lenghou Yong.

Laki-laki gendut itu gelagapan, katanya: "Mustika apa aku juga tidak tahu. Tapi aku percaya temanku itu tidak akan menipuku. Bila Tayjin kuatir soal dagang ini boleh kita batalkan saja..."

Belum habis dia bicara Lenghou Yong sudah tertawa, katanya: "Kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Betul yang dipegangnya itu memang sebuah mustika. Temanmu tidak menipu kau, dan kaupun tidak menipuku."

Legalah hati si gendut, katanya: "Lenghou Tayjin, memangnya aku ingin mohon bantuanmu demi mencapai kedudukan yang lumayan mana berani aku ngapusi kau?"

Untuk hubungan dagang ini meski dia sebagai perantara mempertemukan jual beli itu di atas jembatan ini, pada hal seluk beluk persoalan sesungguhnya

hakikatnya dia sendiri juga tidak tahu apa-apa, karena dia hanya dimintai bantuan orang lain.

Orang yang menjadi perencana pertemuan jual beli ini adalah Ti Nio, namun Ti Nio tidak pernah mengunjukan diri. Laki-laki gembrot seperti hartawan ini bernama Kwik Su-to, di Pakkhia dia memang terkenal sebagai salah satu hartawan yang suka membeli barang-barang antik, didalam kota dia membuka belasan rumah gadai dan beberapa bank

Sekarang adalah hartawan, pada hal dahulu dia adalah seorang begal tunggal. Namanya yang asli sudah tentu bukan Kwik Su-to, nama itu dia gunakan setelah menyulap diri sebagai seorang hartawan yang suka menderma, nama itupun diperolehnya dari seorang guru sekolah kampungan setelah dibayarnya lima ketip. Memang selanjutnya dia bisa hidup teratur dan disiplin, secara munafik dia pura-pura jadi dermawan.

Kali ini Ti Nio minta bantuan Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia, suatu malam dia mendatangi rumah hartawan she Kwik yang terkenal dermawan ini, dengan bujukan dan ancaman serta membentangkan untung ruginya, Kwik Su-to dianjurkan menghubungi Lenghou Yong untuk menyelesaikan jual beli sebuah benda mustika.

Kwik Su-to tahu jual beli ini takkan menguntungkan dirinya, pertemuan itu pasti tidak akan membawa penyelesaian yang baik pula, tapi dia tahu diri, kekuatan Kaypang teramat besar di kota raja, jangan kata mungkin orang-orang Kaypang bakal mencabut nyawanya, cukup bila asal-usulnya dibongkar di hadapan umum, kedok sendiri akan terbongkar, mana dia masih bisa bercokol di Pakkhia. Apa boleh buat terpaksa dia rela menjadikan diri sebagai perantara ini. Lenghou Yong juga tahu jelas riwayat hidupnya, tahu meski dia sudah menyulap diri sebagai hartawan yang' dermawan, secara diam-diam dia masih sebagai tukang tadah pula, tidak sedikit keuntungan yang diperolehnya dari jual beli secara gelap ini. Apalagi dia memang sedang mengharapkan bantuan Lenghou Yong, meski harus keluar sejumlah uang, syukur bila Lenghou Yong sudi bicara tentang kebaikan dirinya di hadapan Liong Bun-kong, kepadanya dia ingin memperoleh jabatan di kalangan pemerintahan.

Kepada Lenghou Yong dia bilang, ada seorang teman Kangouw punya sebuah mustika yang hendak dijual, walau dia belum pernah bertemu teman itu, tapi seorang teman lain yang dapat dipercaya sebagai perantara, mereka menjanjikan untuk mengadakan pertemuan di Lo-gau-kio untuk menyelesaikan jual beli itu. Mustika itu ingin dia beli dan akan dihadiahkan kepada Lenghou Yong, tapi dia minta Lenghou Yong sendiri melihat mustika itu, bila senang dan mencocoki selera, berapapun harganya akan dia bayar. Secara tidak langsung diapun menyatakan untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan dia mohon Lenghou Yong yang berkepandaian tinggi supaya bertindak bila mana perlu Lenghou Yong memang tamak dan loba, rakus lagi, bisa memperoleh keuntungan semudah ini sudah tentu dia amat senang dan secara suka rela dia mau mengiringi laki-laki gendut yang berusaha menjilat pantatnya ini. Didalam persoalan jual beli ini, sekaligus menimbulkan akal bulusnya untuk suatu kepentingan sendiri.

Tersiar luas di luaran bahwa kedudukan Liong Bun-kong mulai goyah, hal ini sudah tentu sudah didengarnya pula. Kini dia sedang giat mencari majikan baru yang patut dijadikan tulang punggung pula, dan orang yang dimaksud bukan lain adalah Hu Kian-seng, > bila meleset boleh dia mengekor kepada Yu-hian-ong dari Watsu yang kini menginap di rumah kediaman keluarga Liong sebagai utusan negeri Watsu, tak lama lagi duta besar ini akan pulang ke negerinya.

Untuk ini diapun sedang memperhitungkan untung ruginya serta membandingkan satu dengan yang lain demi keuntungan pribadinya kelak, majikan mana yang dirasakan lebih menguntungkan kepada dia dirinya akan rela diperbudak. Bila betul-betul memperoleh sebuah mustika, umpama diri sendiri tidak menyenangi juga tidak jadi soal, mustika ini boleh dia persembahkan kepada majikan baru yang akan dijunjungnya sebagai kado.

Di samping itu diapun jelas mengetahui seluk beluk kehidupan Kwik Su-to, kepada hartawan munafik asal begal tunggal yang memiliki kekayaan besar ini, dia boleh percaya dan melegakan hatinya, oleh karena itu dia ambil putusan untuk bertaruh menghadapi bahaya bila perlu.

Setiba di Lo-gau-kio, sembari berlari mendatangi Lenghou Yong segera berseru tanya: "Apakah tuan ini yang hendak menjual barang mustikanya?"

Pelan-pelan Kek Lam-wi angkat serulingnya, "betul," sahutnya.

Senang hati Lenghou Yong, tanyanya pula: "apakah mustikamu adalah seruling ini?"

"Betul," Kek Lam-wi menjawab tawar.

"Tolong tanya cara bagaimana kau memperoleh seruling ini?" tanya Lenghou Yong.

"Mau beli boleh bayar, tidak mau boleh batal. Kenapa kau tanya sejelas ini?" tanya Kek Lam-wi.

"Baiklah, katakan berapa harga yang kau inginkan?"

"Aku tidak mau dibayar uang."

"O, kau ingin barter?"

"Apa betul kau ingin barter setulus hati dengan aku?"

"Sudah tentu. Boleh kau sebutkan saja apa keinginanmu," diam-diam Lenghou Yong sudah merasa curiga kepada Kek Lam-wi.

"Baik, biar aku bicara secara blak-blakan, apapun aku tidak mau kecuali batok kepalamu."

Kwik Su-to berjingkrak kaget dan ketakutan. Tapi setelah mclengak sekilas Lenghou Yong malah tertawa tergelak-gelak, katanya: "Mengandal apa kau ingin batok kepalaku?" jengeknya sambil melirik hina sikapnya seolah-olah tidak pandang sebelah mata kepada Kek Lam-wi.

"Dengan serulingku ini," jengek Kek Lam-wi dingin.

"Kau kira aku sudi memenggal kepala menyerahkan kepada kau?"

"Inilah barter secara adil, kalau tidak sudi memenggal kepala sendiri, memangnya seruling mustikaku sudi kuserahkan kepadamu dengan cuma-cuma?"

Lenghou Yong terbahak-bahak, serunya: "Barter cara begini memang menyenangkan, tapi batok kepala ditukar seruling, meski serulingmu itu senilai satu kota, kukira barter ini tetap tidak adil."

"Betul," timbrung Kwik Su-to, "kukira agak keterlaluan."

"Keterlaluan? Aku malah belum memperhitungkan bunganya."

Mendelik mata Lenghou Yong, bentaknya: "Siapa kau?"

"Kau tidak kenal aku, tapi aku tahu siapa kau," kata Kek Lam-wi sinis.

"O, jadi kau ingin membuat perhitungan dengan aku Lenghou Yong?" sorot matanya tiba-tiba beralih ke muka Kwik Su-to.

Kwik Su-to merinding dan gemetar, tersipu-sipu dia berkata: "Lenghou Tayjin urusan tidak menyangkut diriku, aku hanya jadi perantara saja. Aku toh tidak tahu liku-liku permusuhan kalian."

Tiba-tiba Lenghou Yong teringat, bentaknya: "Bukankah kau ini Kek Lam-wi salah satu dari Pat-sian?"-Maklum Kek Lam-wi terkenal sebagai pendekar yang pandai meniup seruling di kalangan Kangouw. Meski Lenghou Yong tidak mengenalnya, tapi dia pernah mendengar namanya.

"Betul," ucap Kek Lam-wi, "laki-laki sejati duduk tidak menukar nama berdiri tidak merubah she, aku inilah Kek Lam-wi adalah aku."

Diam-diam Lenghou Yong berpikir: "Pimpinan Pat-sian Lim Ih-su malam itu hanya kuat menandingi aku, Kek Lam-wi ini orang termuda dari Pat-sian, kenapa aku takut padanya?" Segera dia tertawa, katanya: "Pat-sian kalian berani menentang diriku, memang tidak perlu dibuat heran, tapi aku jadi ingin tahu, kenapa kau seorang diri ingin mencariku?"

"Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cu kau pernah membunuh satu orang, apakah masih ingat akan peristiwa itu?"

Lenghou Yong tersentak sadar, bentaknya: "Jadi Kek Bing-yang dari Kwi-cu itu adalah bapakmu?"

Berlinang air mata Kek Lam-wi, katanya berat: "Betul, sekarang tentu kau sudah mengerti bukan?"

Lenghou Yong menyeringai sadis, katanya: "Ya, aku paham sekarang, jadi kau mau menuntut balas atas kematian bapakmu. Baiklah, sekalian kujelaskan kepada kau, syukur kau menampilkan diri malah, serulingmu itu demikian pula batok kepalamu biar kurenggut bersama."

Pada saat itulah sebuah suara serak tua berkata dingin: "Mana ada jual beli secara liar dan tidak adil seperti itu di dunia ini."

Dari belakang sebuah patung singa mendadak melompat keluar satu orang, dia bukan lain adalah Ti Nio.

Lenghou Yong mencelos hatinya, "Tua bangka ini sukar dilayani," tapi lahirnya dia tenang malah bergelak tertawa.

"Apa yang kau tertawakan," bentak Ti Nio.

"Ti-losiansing," ujar Lenghou Yong, "hitung-hitung kau ini kan seorang ternama, kenapa tidak tahu cara menepati aturan Kangouw?"

"Siapa bilang aku tidak tahu aturan?" bentak Ti Nio.

"Permusuhan dengan dia, menurut aturan hanya boleh diselesaikan kami berdua. Tapi bila kau tidak menghiraukan peraturan, anggap dirimu lebih hebat dan mau membantu dia mengeroyok aku, akupun tidak gentar, hehehe, hayolah kalian maju bersama."

Ti Nio mendengus hidung, jengeknya: "Tidak perlu aku mewakili Kek Lam-wi menuntut balas, memang pantas bagi dirimu kalau menilai orang lain dengan karaktermu sendiri,"

"Lalu untuk apa kau datang kemari mencampuri urusan orang lain?"

"Aku datang untuk menegakkan keadilan, aku akan menyaksikan jual beli ini secara adil."

"Apa maksud perkataanmu?"

"Barter harus adil, kalau kau menginginkan serulingnya, menginginkan pula batok kepalanya, itu berarti kau bertindak secara liar dan tidak tahu malu."

Lenghou Yong tertawa dingin, katanya: "Seruling mustika ditukar batok kepala, memangnya itu terhitung adil?"

"Sudah tentu bukan tanpa syarat kau harus menyerahkan batok kepalamu. Dengarkan dulu penjelasanku, boleh nanti kau menilai apakah putusanku adil atau tidak?"

"Baik, coba jelaskan. Bagaimana caranya baru terhitung adil menurut pendapatmu?"

"Coba katakan kau yakin berapa jurus kau dapat merampas serulingnya?" tanya Ti Nio.

Lenghou Yong berpikir sejenak, katanya: "Sepuluh jurus," maklum Pat-sian bukan jago kroco, walau dia tidak kenal Kek Lam-wi, tapi dari urutan para Pat-sian dan bagaimana taraf kepandaian masing-masing sudah lama diketahuinya jelas. Apalagi setelah dia pernah gebrak sebanding melawan tertua dari Pat-sian Lim Ih-su. Usia Kek Lam-wi baru likuran tahun, jago termuda diantara Pat-sian, dinilai tingkatan dia masih terhitung angkatan muda, demi menjaga gengsi dan

mempertahankan pamor, adalah logis kalau dia tidak sudi memandang Kek Lam-wi sebagai musuh seangkatan.

Sekarang diingatnya pula, di kala pertempuran sengit terjadi di rumah Liong Bun-kong dulu, pernah dia bergebrak sebentar melawan Kek Lam-wi, waktu itu cukup sekali pukulannya dia bikin lawannya ini terjungkal roboh. Kini dia membatasi sepuluh jurus, menurut anggapannya sudah terlalu banyak.

"Baik," seru Ti Nio, "kami turuti saja keinginanmu, sepuluh jurus terbatas. Bila dalam sepuluh jurus kau mampu merampas serulingnya, seruling itu boleh kau ambil, kalau kau gagal maka kau harus serahkan batok kepalamu."

"Bagus, akupun turuti caramu ini. Tapi perlu kuperingatkan, bila aku di pihak yang menang, jangan kau nanti pungkir janji serta mencampuri urusanku ini."

"Kwik Su-to," ujar Ti Nio, "mari kaupun ikut menjadi saksi bersamaku. Saksi atau wasit adalah orang yang menegakan keadilan, dilarang membelok ke pihak manapun, nah kau boleh legakan sadja hatimu."

"Kepalanku ini tidak bermata, kalau dalam sepuluh jurus aku memukulnya mampus bagaimana?"

"Seruling tetap akan menjadi milikmu."

"Bagus, baiklah kita putuskan demikian. Kau ini wasit, boleh kau mulai menghitung, nah jurus pertama kumulai," di tengah seringai tawanya dia bergerak dengan jurus Yu-liong-tam-jiau, kelima jarinya tertekuk mencengkram ke tulang pundak Kek Lam-wi.

Itulah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat Lenghou Yong yang sudah dilatihnya sempurna, gerakannya teramat aneh dan cepat, telak dan keji. Entah berapa banyak jago-jago silat Kangouw yang menjadi korban keganasan jurus tunggal ini. Tak nyana hari ini cengkramannya ternyata mengenai tempat kosong, segesit kera tahu-tahu Kek Lam-wi telah berkelit ke samping.

Seperti diketahui sejak dua kali bergebrak melawan Lenghou Yong, diam-diam Ti Nio perhatikan keliehayan dan permainannya, kecuali dia mengajar tiga jurus ilmu tunggal yang mungkin bisa merobohkan lawan meski dirinya terdesak di bawah angin, diapun mengajarkan gerakan langkah yang enteng seperti melayang, gerakan langkah itu kebetulan sekarang tepat digunakan untuk menghindari serangan Lenghou Yong.

"Diberi tidak membalas kurang hormat, nah lihat serulingku," demikian Kek Lam-wi membentak, mendadak serangannya terbuka mari kanan kiri, satu jurus dua gerakan, ke kiri dia menutuk Giok-kwan, ke kanan menutuk Yang-pek, kedua Hiat-to ini terletak di kanan kiri dada, merupakan tempat mematikan bila kena serangan.

Tapi meski jurus ini merupakan serangan liehay dari King-sin-pit-hoat, namun bukan termasuk salah satu jurus dari tiga jurus liehay ajaran Ti Nio itu.

"King-sin-pit-hoat memang hebat, tapi untuk mengalahkan aku, haha, masih terlalu jauh," demikian Lenghou Yong mencemooh. Sebelum dia habis bicara "Tring, tring" dua kali dia menjentik pergi seruling Kek Lam-wi, hampir saja Kek Lam-wi tak kuat memegang serulingnya karena jari-jarinya terasa kaku kesemutan. Tapi jurus serangan Kek Lam-wi ini sudah cukup setimpal sehingga lawan terpaksa harus menangkis. Tanpa berjanji Ti Nio dan Kwi Su-to berseru bersama: "Jurus kedua."

Serangan Kim-na-jiu Lenghou Yong selanjutnya, kembali berhasil diluputkan oleh Kek Lam-wi. Tiba-tiba timbul niat jahat Lenghou Yong, pikirnya: "Entah dari mana keparat ini mempelajari langkah yang aneh, biar aku gunakan Tay-cui-pi-jiu untuk menghadapinya, umpama tidak mampus biar dia terluka parah," tiba-tiba gerakan telapak tangannya mengundang deru angin kencang, secara beruntun dia lancarkan dua jurus serangan yang mematikan.

Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong merupakan ilmu tunggal di Bulim. Kehebatannya memang mampu membelah pilar batu dimana angin pukulannya mendampar, pakaian Kek Lam-wi tampak berkibar-kibar, koyak beterbangan, seperti tiba-tiba puluhan kupu-kupu beterbangan di udara. Itulah adu kekuatan Lwekang, bagi yang bertenaga kuat pasti menang, yang lemah pasti kalah, untuk adu kekuatan siapapun tidak boleh main untung-untungan lagi.

Meski Kek Lam-wi mahir menggunakan- langkahnya yang aneh secara tangkas, dia tetap di pihak yang dirugikan, dan kerugian yang dideritanyapun tidak kecil. Untung meski pakaiannya tergetar pecah dan berhamburan, dia sendiri sih belum terluka parah, hal ini ternyata berada diluar perhitungan Lenghou Yong.

"Anak kurcaci, coba saja berapa jurus lagi kau kuat bertahan?" memperoleh angin Lenghou Yong tidak menyia-nyiakan kesempatan, di kala Kek Lam-wi belum berdiri tegak, mendadak dia mengenjot pula. Genjotannya ini seperti mengarah ke bawah, Kek Lam-wi dipaksa lompat ke atas, tak tahunya segulung tenaga pukulan tiba-tiba sudah menerjang tiba di depan dada.

Ternyata Lenghou Yong menggunakan cara mendekat memukul ke tempat jauh, merupakan gerakan tunggal pula dari salah satu jurus Tay-cui-pi-jiu yang liehay itu. Bila ilmu ini diyakinkan mencapai taraf yang tinggi, memukul batu seperti menekan tahu. Kini jotosannya mengincar bagian bawah, namun tenaganya justru menjurus ke atas, tingkatan ilmu pukulannya ini masih terhitung kelas dua. Tapi taraf kepandaiannya memang lebih tinggi dari Kek Lam-wi, meski ilmu yang dilontarkan ini belum mencapai tingkat yang sempurna, Kek Lam-wi toh sudah mengeluh kepayahan.

Lompatan Kek Lam-wi ke atas ini justru seperti memapak dan memberikan dadanya untuk dimakan pukulan lawan, kontan tubuhnya terjungkal jumpalitan. Agaknya sebelumnya tak pernah terpikir oleh Ti Nio bahwa pertempuran bakal berlangsung seperti ini, karuan dia melongo kaget di tempatnya. Beruntun Lenghou Yong sudah melontarkan tiga kali serangan, diapun lupa menghitungnya lagi.

Melihat Kek Lam-wi terjungkal jatuh, kaget dan girang Kwik Su-to bukan main, lekas dia tenangkan hati dan berteriak: "Jurus keenam."

Jelas tampak Kek Lam-wi bakal terjungkal jatuh dengan kepala bocor, tak tahunya di kala tubuhnya terjengkang membalik itulah, tiba-tiba dia ulur serulingnya ke bawah menutul dulu ke tanah, meminjam pantulan tenaga tutulan ini, dengan tangkas dia jumpalitan pergi serta berdiri tegak di atas kakinya. Meski tidak terjungkal jatuh, tapi kakinya goyah sempoyongan, jelas dia tidak tahan lagi, tampak serulingnya menuding seraya membentak dengan suara serak gemetar:

"Bangsat tua, biar aku adu jiwa dengan kau. Huuuaaah," tiba-tiba dia memuntahkan darah segar.

Lenghou Yong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Anak bagus, kematian sudah di depan mata masih bertingkah. Kalau kau tahu diri lekas serahkan seruling itu, kalau tidak jiwamu pasti amblas," dengan langkah lebar dia mendesak maju seraya ulur tangan mencengkram ke arah Kek Lam-wi.

Seperti orang mabuk langkah Kek Lam-wi gentayangan mundur, sikapnya seperti gentar dengan kedua tangannya terpaksa dia angsurkan seruling dan berkata: "Baiklah, seruling ini kuserahkan."

Kali ini giliran Lenghou Yong yang melengak, pikirnya: "Bocah ini jelas sudah terluka dalam, meski tidak mampus juga takkan mampu melawan lagi. Bila kubunuh dia, Ti-lothau mungkin bisa melabrak aku, baiklah, setelah kuperoleh seruling itu anggaplah pertikaian inipun lunas," maka dia ulur tangan hendak menyambut.

Tak nyana di antara sambaran kilat, mendadak Kek Lam-wi memutar serulingnya sehingga Lenghou Yong tak berhasil memegangnya.

Sambil bersenandung Kek Lam wi kerjakan seruling secepat kilat. Seketika Lenghou Yong merasakan pandangannya berkunang-kunang, bayangan seruling seolah-olah merubungnya dari berbagai penjuru mengurung dirinya. "Anak keparat," hardiknya murka, "berani kau menipu aku," dengan menggertak kedua tangannya bergerak dengan jurus Heng-sau-jian-kun.

Di tengah sambaran bayangan seruling dan gempuran kepalan tangan, tampak Kek Lam-wi gunakan gerakan Sip-hiong-hoan-hun (mengempeskan dada membalik mega) selincah burung walet tubuhnya menerobos pergi tiga tombak. Sebaliknya Lenghou Yong terdengar menggeram sekali, mukanya tampak membesi hijau.

Maka legalah hati Ti Nio, dengan girang segera dia berteriak: "Jurus ke tujuh, jurus ke delapan," ternyata baru sekarang Kek Lam-wi melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus tunggal yang dia ajarkan.

Kenapa sejauh ini baru Kek Lam-wi melancarkan jurus serangan tunggal ini? Soalnya jurus serangan tunggal ini harus dilancarkan sesuai kesempatan yang ada, baru hasilnya bisa berlipat ganda dan akibatnya pasti fatal bagi sang lawan. Kalau tanpa perhitungan matang, terpaut serambut saja, akan sia-sia perjuangan mengadu jiwa ini.

Harus diketahui ketiga jurus tunggal ciptaan Ti Nio yang diajarkan kepada Kek Lam-wi adalah hasil saringan yang diperolehnya dari cangkokan King-sin-pit-hoat, ketiga jurus itu khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu andalan Lenghou Yong. Betapapun Kungfu Kek Lam-wi memang ketinggalan jauh dibanding Lenghou Yong, bila begitu bergebrak Kek Lam-wi lantas melancarkan ketiga jurus tunggal itu, dengan kekuatan ketiga jurus tunggal itu saja rasanya masih belum mampu mengalahkannya, harapan menangpun terlampau tipis. Oleh karena itu Kek Lam-wi mencari akal dan mengatur tipu daya, dia tetap menggunakan kemampuan sendiri

dikombinasikan langkah ajaib ajaran Ti Nio, memperlihatkan titik kelemahan sendiri sehingga lawan takabur dan memandang rendah dirinya, setelah tiba saat yang dinantikan baru dia menyergap dengan serangan telak.

Baru dua jurus dari tiga jurus tunggal yang dipelajari dia lancarkan, ternyata telah berhasil menutuk Jian-kin-hiat Lenghou Yong. Untung Lenghou Yong sempat berkelit sedikit, kalau tidak tulang pundaknya pasti bolong tertembus serulingnya. Sayang Lwekang kedua lawan terpaut amat jauh, meski dengan Jong-jiu-hoat Kek Lam-wi berhasil menutuk Hiat-tonya, namun dalam waktu sekejap Lenghou Yong berhasil kerahkan hawa murni membobol Hiat-to yang tertutuk. Akan tetapi jurus Heng-sau-jian-kun yang

dilancarkan untuk balas menyerang Kek Lam-wi betapapun mengurangi pula perbawa kekuatannya sehingga Kek Lam-wi sempat melompat jauh kesana dan siaga menunggu reaksi musuh.

Lenghou Yong murka, bentaknya: "Anak keparat, kau main tipu daya, kalau tidak kubunuh kau, aku bersumpah takkan jadi manusia."

Kek Lam-wi menjengek: "Seruling kuberikan, salah siapa, kau tidak becus menerimanya? Kalau tidak terima boleh maju lagi, kan belum genap sepuluh jurus, masih ada sisa dua jurus, memangnya kau mampu berbuat apa terhadapku? Hm, jika kau tidak mampu membunuhku, nah, coba saja rasakan, akulah yang akan menggorok lehermu."

Bercekat hati Lenghou Yong, pikirnya: "Betul, tinggal dua jurus lagi, kenapa aku terburu emosi," lekas dia tekan perasaan, diam-diam kerahkan Lwekang, dengan mendelik dia menatap tajam ke arah Kek Lam-wi.

Sikap Kek Lam-wi kelihatan lebih tenang, tiba-tiba diangkat serulingnya terus ditiupnya.

Mendadak Lenghou Yong membentak: "Nih, sejurus saja kumampusi jiwamu, kenapa harus dua jurus," kumandang suaranya orangnyapun menubruk tiba, kedua lengannya terpentang seperti burung elang yang kelaparan menyambar kelinci, Kek Lam-wi hendak diterkamnya, dimana gerakan kaki tangannya ternyata menimbulkan deru angin kencang.

Ti Nio berteriak: "Jurus ke sembilan," mau tidak mau suaranya terdengar gemetar. Ternyata dia tahu jurus ini Lenghou Yong menggunakan seluruh

kekuatannya, Eng-jiau dan Tay-cui-pi-jiu dilontarkan bersama menjadi satu jurus gabungan yang liehay. Ti Nio tahu kondisi Kek Lam-wi sekarang memang lebih sedikit menguntungkan dari gebrak tadi, serta melihat serangan Lenghou Yong yang dibakar oleh amarahnya itu, betul-betul hatinya amat kuatir akan keselamatan Kek Lam-wi, dia bertanya-tanya, apakah jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang dia ajarkan kepada Kek Lam-wi masih mampu untuk mengalahkan musuh.

Begitu menubruk dekat, kontan Lenghou Yong merasa segulung hawa hangat menerpa mukanya, kulit mukanya menjadi panas dan perih. Lekas Lenghou Yong melengos dan meleng kepala, bentaknya: "Anak keparat, maui licik apa kau ini, kau kira aku takut."

Seperti diketahui seruling mustika Kek Lam-wi merupakan pusaka Bulim yang jarang ada bandingannya, hawa hangat yang ditiup keluar dari batang seruling itu ternyata dapat digunakan menyerang dan melukai musuh. Lwekang Lenghou Yong jauh lebih tinggi dibanding Kek Lam-wi, meski dia tidak sampai terluka, mau tidak mau dia terhenyak sebentar.

Kembali Kek Lam-wi bersenandung mengiringi gerakan serulingnya, kini seruling panjang itu bergerak dengan jurus-jurus ilmu pedang, secepat anak panah tiba-tiba meluncur keluar, dia lancarkan jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio itu. Jurus ini dinamakan Li Khong memanah batu, merupakan jurus terampuh dari jurus tunggal itu. Terdengar "Crak" seruling meluncur secepat anak panah menancap amblas ke pundak Lenghou Yong, sudah tentu tulang pundak kirinya putus dan remuk.

Lenghou Yong melolong panjang, suaranya seperti serigala yang terluka, sebelum terjungkal roboh dia sempat mendorong kedua telapak tangannya, Kek Lam-wi dihantamnya mencelat sejauh tiga tombak.

Lekas Ti Nio memburu kesana serta memapahnya berdiri, wajah Kek Lam-wi pucat pias, meadadak dia menjerit dan menumpahkan darah segar sebanyak-banyaknya.

Akhir dari duel ini ternyata roboh bersama, luka-luka Kek Lam-wi kelihatannya lebih parah dari lawannya.

Tapi akhir dari pertempuran ini sungguh diluar dugaan Ti Nio dan Kek Lam-wi sendiri. Maklum Kungfu Lenghou Yong hakikatnya jauh lebih tinggi dibanding Kek Lam-wi, bila Hiat-to di pundaknya tidak kena tutuk lebih dulu, serta wajahnya diterpa hawa panas pula, meski jurus terakhir itu Kek Lam-wi mampu melukai lawan, jiwanya pasti melayang seketika karena gempuran kedua tangan musuh.

Meski kedua pihak sama-sama roboh dan terluka, tapi batas sepuluh jurus yang dijanjikanpun telah genap. Karena tulang pundak kiri remuk, karuan tambah murka Lenghou Yong, mukanya beringas seliar serigala, bentaknya: "Anak kurcaci, biar aku adu jiwa dengan kau," begitu menubruk maju mendadak dia menyerang pula sekali.

Karena tulang pundak kiri remuk, lengan kirinya sudah tidak mampu bergerak lagi, maka seluruh sisa kekuatannya dia himpun di lengan kanan, pukulannya ini boleh dikata sudah mengerahkan seluruh kekuatan yang pernah dilatihnya, perbawanya jauh lebih hebat dibanding tamparan kedua telapak tangannya tadi, maka pukulan ini tidak boleh dipandang remeh. Tapi serangan dahsyat ini sudah terhitung jurus ke sebelas.

Ti Nio sedang memapah Kek Lam-wi, dengan tubuhnya dia melindunginya sembari mengebas lengan baju, bentaknya: "Sepuluh jurus sudah genap, kau ingin berhantam lagi boleh aku iringi kehendakmu."

Jarak hanya lima langkah, kedua kekuatan dahsyat saling tumbuk maka terdengarlah suara "Pyaaaar" bagai ledakan halilintar. Sambil menggandeng Kek Lam-wi, Ti Nio tergentak mundur tujuh langkah baru kuat berdiri di atas kakinya pula, pada hal Lwekangnya setingkat lebih tinggi dari Lenghou Yong, sungguh tidak pernah disangkanya bahwa gempuran terakhir Lenghou Youg sedahsyat ini, mau tidak mau tersirap darahnya.

Sebaliknya Lenghou Yong tetap berdiri tegak di tempatnya, tapi sekejap lain tampak tubuhnya limbung bergontai dua kali, "Huuuuaaaah" darah segar menyembur dari mulutnya. Lwekangnya jelas bukan tandingan Ti Nio, apalagi setelah terluka parah, setelah adu kekuatan secara kekerasan ini, keadaannya sudah tentu lebih parah. Insaf meski nekad juga dirinya tak ungkulan mengalahkan Ti Nio, terpaksa dengan lesu dia mundur teratur, pikirnya: "Biarlah aku berusaha mengulur waktu, biar mereka takabur sebentar."

Lekas Ti Nio jejal sebutir Siau-hoan-tan yang memang sudah dia siapkan ke mulut Kek Lam-wi, Siau-hoan-tan ini diberikan oleh Lim Ih-su yang memperoleh dari Hong-tiang Siau-lim-pay, diam-diam dia pegang urat nadi Kek Lam-wi, meski lukanya parah, namun urat nadinya syukur tidak terluka, dengan kasiat Siau-hoan-tan, yakin jiwanya bisa tertolong. Maka dengan lega hati dia menoleh ke arah Lenghou Yong serta menjengek: "Sepuluh jurus sudah genap, janjimu bisa dipercaya tidak?"

Kwik Su-to segera tampil ke muka, katanya: "Kukira akan keterlaluan bila Lenghou Tayjin dipaksa bunuh diri? Apalagi Lenghou Tayjin juga telah kehilangan sebelah lengannya, kukira..."

"Kukira bagaimana?" bentak Ti Nio.

Semula Kwik Su-to hendak bilang, kukira anggaplah urusan selesai sampai disini, tapi serta dipelototi oleh Ti Nio nyalinya kuncup seketika, dengan tergagap dia menjawab: "Kukira, apakah Ti-siansing bisa menggunakan cara lain, syukur bisa persoalan dibikin damai. Luka Kek-siauhiap tentu tidak ringan, untuk ini aku rela mengganti ongkos pengobatannya."

"Memangnya siapa sudi menerima uang busukmu," semprot Ti Nio, "jangan kau lupa kau ini seorang wasit. Bila kau suka mengabaikan kedudukanmu dan berdiri di pihak Lenghou Yong, itupun boleh, kau boleh sebagai tambahan rentenya. Tapi rente itu tak perlu dibayar dengan uang."

Dasar pikun, atau mungkin karena ketakutan, meski dia tahu nada Ti Nio agak menyindir, tapi dia masih tidak tahu, tanyanya: "Kalau rente tidak dibayar dengan uang lalu dibayar dengan apa, harap Ti-siansing menjelaskan."

Ti Nio berkata tawar: "Agaknya kau suka rela membayar rentenya itu?"

Bercekat hati Kwik Su-to, katanya gelagapan: "Kalau aku mampu mengeluarkan. Aku sih ingin mendamaikan persoalan ini."

"Baik, kau dengarkan," seru Ti Nio, "dua puluh tahun yang lalu Lenghou Yong membunuh ayah Kek Lam-wi, yaitu suhengku. Sesuai kalkulasi kaum pedagang macammu yang memberikan rente kepada peminjam, tentunya tak usah dua puluh tahun kau sudah akan memperoleh kembali modalmu yang semua dari rente itu. Sekarang biarlah kuberi muka kepada kau, rentenya tidak kutuntut terlalu tinggi, biar kuhitung satu tambah satu saja, nah lekaslah kaupun serahkan jiwamu untuk mengiringi kematiannya."

Karuan Kwik Su-to berjingkrak kaget, arwahnya serasa terbang ke awang-awang, teriaknya sambil goyang-goyang tangan: "Wah, rentenya itu aku, aku tak berani membayarnya," dengan gemetar dia melangkah mundur seperti takut dibekuk Ti Nio untuk mencabut nyawanya.

Pada saat itulah sayup-sayup terdengar oleh Ti Nio di tempat kejauhan ada suara pertempuran, kuatir urusan berbuntut panjang segera dia membentak: "Lenghou Yong, kau bereskan dirimu sendiri, atau aku yang turun tangan? Kini sebagai seorang wasit aku harus bertindak adil, kuhitung sampai tiga, bila kau masih belum bertindak, terpaksa kuwakili kau mencabut jiwamu."

Lenghou Yong tertawa getir, katanya: "Jelek-jelek aku ini terhitung seorang kosen di Bulim, mana aku sudi mati secara terhina? Biar kugorok leherku sendiri dan kuserahkan kepada kalian," di kala dia berpura-pura mencabut golok hendak menggorok leber sendiri itu, di bawah penerangan rembulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak dua bayangan sedang berlari kencang bagai terbang mendatangi kemari.



000OOO000



Tan Ciok-sing, In San dan Toan Kiam-ping serta Han Cin akhirnya tiba di Lo-gau-kio, karena siang kurang leluasa mengembangkan Ginkang di depan umum, maka pada kentongan ketiga baru mereka sampai di suatu tempat yang tak jauh letaknya dari Lo-gau-kio. Kala itu mereka berada di atas sebuah bukit kecil, dari pengkolan bukit dari kejauhan mereka sudah nampak Lo-gau-kio.

Tengah malam di tanah tegalan yang sunyi. Tiba-tiba Han Cin menghela napas, katanya: "Lenghou Yong mungkin belum tiba di Lo-gau-kio, kebetulan kita menyusul tiba pada waktunya."

Tan Ciok-sing yang lari di paling depan mendadak mempercepat larinya, Han Cin kira orang buru-buru ingin sampai ke tempat tujuan, tapi In San justru bersuara heran, katanya: "Agaknya ada orang di depan," belum habis dia bicara, di depan memang muncul satu orang.

Orang itu mendadak berhadapan dengan Tan Ciok-sing, kedua pihak sama-sama melongo, orang itu lantas berseru: "Tiangsun Pwecu, wah aku, kau bukan..."

Tan Ciok-sing sudah menjengek: "Poyang Gun-ngo, kau keliru menyambutku. Tapi aku yakin kau bukan khusus mau menyambut kedatangan Pwecumu bukan? Untuk apa kau sembunyi disini?"

Ternyata Poyang Gun-ngo memang diundang Lenghou Yong untuk memberi bantuan padanya.

Satu lari yang lain mengudak di belakang, lekas sekali, di keremangan malam Lo-gau-kio sudah tampak di sebelah depan. Tapi apakah di atas jembatan ada orang, dari jarak sejauh ini masih belum kelihatan. Di kala kedua orang adu lari dengan tancap gas, mendadak terdengar sebuah lolong jeritan yang menyayat hati.

Itulah jeritan Lenghou Yong yang pundaknya tertembus seruling Kek Lam-wi, Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing sama-sama kaget. Karena mereka tidak bisa membedakan suara jeritan siapa. Kedua orang hampir bersamaan mencapai jembatan.

Dalam pada itu, di atas jembatan Ti Nio sedang paksa Lenghou Yong "bunuh diri". Karena tak mungkin mengulur waktu lagi, sudah tentu kaget dan murka pula hati Lenghou Yong, pikirnya: "Orang yang sudah kujanjikan kenapa masih belum kunjung tiba?" apa boleh buat terpaksa dia pelan-pelan melolos golok dan siap menggorok leher sendiri, pada detik-detik terakhir sebelum ajalnya ini dia masih mengharap munculnya keajaiban.

Bintang penolong memang muncul secara mendadak, sebelum golok menggorok leher itulah di kala dia angkat kepala memandang kesana, dilihatnya dua orang seperti adu kecepatan lari sedang berlomba mendatangi, bayangan orang di depan sudah mencapai ujung jembatan. Karuan bukan kepalang girang hati Lenghou Yong, pikirnya: "Sungguh tak nyana Tiangsun Pwecu juga sudi membantu kesulitanku. Dengan kekuatan gabungan Poyang Gun-ngo dan Tiangsun Pwecu, umpama Bak-pangcu dari Hoay-yang-pang tidak datang juga tidak jadi soal, yakin mereka sudah berkelebihan untuk menghadapi Ti-lothau," saking senangnya lekas dia berteriak: "Tiangsun Pwecu, Poyang-ciangkun, tepat sekali kedatangan kalian."

Hampir dalam waktu yang sama Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing juga berteriak.

Dengan suara gemetar Poyang Gun-ngo berteriak: "Lenghou-siansing, apakah kau terluka?"

Sementara Tan Ciok-sing berteriak juga: "Ti-lopek bagaimana keadaan Kek-toako?"

Mendengar suara Tan Ciok-sing, bukan main kaget Lenghou Yong, rasa girangnya seketika kuncup tak berbekas. Sebaliknya Ti Nio kegirangan. Dia sudah melihat jelas yang mengudak Poyang Gun-ngo adalah Tan Ciok-sing, segera dia berseru senang: "Poyang Gun-ngo, apakah kau mau membayar rente Lenghou Yong?"

Melihat Ti Nio berada di atas jembatan, mana Poyang Gun-ngo berani maju, lekas dia menghentikan langkah dan bertanya bingung: "Membayar rente apa?"

"Rente Lenghou-siansing yang hutang jiwa terhadap mereka," lekas Kwik Su-to menimbrung, "mereka menuntut jiwa sebagai rentenya."

Sudah tentu ciut nyali Poyang Gun-ngo, teriaknya berjingkrak mundur: "Wah, maaf, aku tidak bisa membayar rentenya itu," baru saja kakinya menginjak ujung jembatan, segera dia lompat turun ke pinggir sungai terus lari sipat kuping melalui gili-gili.

Sementara itu Tan Ciok-sing sudah mencapai pertengahan jembatan, dia tiada niat mengejarnya. Ti Nio segera membentak: "Nah, tiada orang yang sudi membayar rentemu, lekas kau bereskan dirimu sendiri, masih tunggu apa lagi?"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi air dikayuh serta luncuran sebuah perahu di atas air, dari semak daun welingi sana, tiba-tiba muncul sebuah sampan meluncur ke arah jembatan. Seorang laki-laki besar, berpunggung lebar, berdada bidang • berdiri di depan sampan. Ti Nio curahkan perhatiannya kepada Tan Ciok-sing yang mengudak Poyang Gun-ngo, maka setelah sampan kecil itu dikayuh sampai di bawah jembatan baru dia mendengar dan melihatnya. Tengah malam buta rata untuk apa sampan kecil dikayuh ke bawah jembatan? Sudah tentu timbul rasa curiga Ti Nio, sayang dia sadar setelah terlambat.

Baru saja dia menoleh hendak mendesak Lenghou Yong bunuh diri pula, tiba-tiba Lenghou Yong sudah menekan batu singa di pinggir jembatan terus melompat jumpalitan dan tepat hinggap di atas sampan dengan enteng.

Laki-laki besar yang berdiri di depan sampan itu ternyata bukan lain adalah Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu yang dahulu sering bersekongkol melakukan berbagai kejahatan di Bulim.

Mendengar berita temannya ini hidup makmur di kota raja, maka Bak Bu-wi jadi ketarik dan sengaja menyusulnya ke kota raja, dia harap temannya suka membantu sehingga dia bisa memperoleh pangkat dan kedudukan di kota raja, baru kemarin dia tiba. Kedatangan kawan lama yang mahir berenang ini sungguh amat kebetulan bagi Lenghou Yong. Pada hal Bak Bu-wi belum lagi mendapat kebaikan apapun dari dia, orang justru telah memperalat dirinya lebih dulu.

Sesuai yang diduga Tan Ciok-sing, Lenghou Yong memang manusia licik yang tidak mudah ditipu? Meski dia kemaruk harta namun secara diam-diam diapun sudah mengatur teman-temannya di sekitar Lo-gau-kio. Poyang Gun-ngo'dia pula yang mengundang, dia dimintai berjaga-jaga di atas daratan, sementara Bak Bu-wi diharuskan siap siaga dari sungai. Rencana rapi yang diaturnya ini tenyata diluar tahu Kwik Su-to.

Di atas darat dan di air sudah ada teman yang siap bantu memberi pertolongan bila mana perlu, sudah tentu dia tidak perlu kuatir menghadapi bahaya. Tak nyana perhitungannya meski sempurna-betapapun Thian memang lebih berkuasa. Mimpipun dia tak pernah bahwa Tan Ciok-sing dan In San bisa kebetulan keluar dari istana raja di hari itu pula dan kebetulan pula di saat dirinya menghadapi jalan buntu, Poyang Gun-ngo kebentur mereka berdua. Kini tinggal Bak Bu-wi seorang yang boleh diharapkan untuk menolong dirinya, seperti seorang yang kecebur ke air layaknya, bila bisa menangkap setangkai jeramipun dia tidak akan melepaskannya, demikian pula dia mengincar tepat waktunya untuk loncat ke atas sampan. Sampan itu berlaju pesat mengikuti arus air yang deras. Ti Nio tidak bisa berenang, terpaksa dia hanya mencaci maki belaka.

Tiba-tiba Tan Ciok-sing berseru: "Kalian tak usah gugup, biar aku ringkus mereka kembali," lompat ke atas batu singa di pinggir jembatan sekuat tenaga dia menjejak sekerasnya, secepat kilat tubuhnya meluncur ke depan, lalu jumpalitan dua kali di udara dan meluncur turun tepat di atas sampan. Betapa sempurna Ginkangnya, sungguh

mengagumkan, Ti Nio tak urung tepuk tangan memuji.

"Bagus, kau bocah ini mengantar jiwa," bentak Bak Bu-wi, kontan dia ayun gayung terus mengemplang, "Krak" kembali api berpijar. Gayung besinya yang lebar dan tebal itu ternyata terpapas sebagian besar. Maklum Tan Ciok-sing membawa Pek-hong-kiam warisan Thio Tan-hong. Sayang karena rintangan ini Tan Ciok-sing tak mampu mencapai sampan, karena di kala pedang dan galah beradu, dari samping Lenghou Yong bantu membokong dengan pukulan jarak jauh. Setelah memapas putus gayung lawan daya kekuatan luncuran tubuh Tan Ciok-sing sudah habis, kedorong oleh angin pukulan lagi, tanpa ampun dia sudah kecebur kedalam air.

Bak Bu-wi tertawa tergelak-gelak, katanya: "Anak keparat, unjukan kegagahanmu di hadapan

Hay-liong-ong di dasar air," di tengah gelak tawanya dia gunakan sisa gayungnya itu mengebut sampan yang meluncur mengikuti arus, lekas sekali sampan sudah meluncur ke tengah sungai. Namanya saja sungai ini Ing-ting-ho (sungai tenang abadi) pada hal arusnya bergelombang airnya berpusar, banyak batu-batu karang berbahaya di dasar sungai, bila tidak pandai mengendalikan sampan, salah membentur karang dan sampanpun bisa hancur dan orangpun mati kelelap di dasar air.

Beberapa kejap lagi masih belum kelihatan Tan Ciok-sing menongolkan kepalanya, karuan Ti Nio kuatir, tapi dia sendiri tak pernah belajar berenang, terpaksa hanya gugup membanting kaki dan memukul telapak tangan sendiri. Di samping In San tertawa katanya: "Ti-cianpwe tidak usah kuatir. Tan-toako mahir berenang, dia takkan mati tenggelam. Kini pasti sedang bekerja di dasar air untuk menghadapi musuh."

Tiba-tiba tampak kepala Tan Ciok-sing muncul di permukaan air, serunya lantang: "Kenapa tergesa-gesa. Biar kuantar kalian menghadap raja laut saja."

Tiba-tiba tampak sampan kecil itu bergoyang-goyang meluncur melewati sela sela karang sempit. Tampak Bak Bu-wi angkat gayungnya, berbareng Lenghou Yong juga memukul ke permukaan air dengan Bik-khong-ciang, dengan gabungan kekuatan kedua orang ini, meski gelombang tinggi hampir menelan sampan mereka, sampan tetap melaju ke depan. Kali ini Tan Ciok-sing tidak kelihatan muncul lagi.

Ti Nio berkata: "Marilah kita ikuti sampan itu, Wi-tit, kau masih bisa lari?"

Kek Lam-wi menarik napas, sahutnya: "Aku masih mampu lari," sejak menelan Siau-hoan-tan sampai sekarang sudah berselang setengah sulutan dupa, kasiat obat sudah bekerja dalam tubuhnya. Meski hawa murninya belum pulih, Lwekang sudah berhasil dihimpunnya sedikit, untuk berlari dia masih lebih kuat dibanding laki-laki kekar biasa. Ti Nio genggam tangan kanannya, diam-diam dia bantu salurkan tenaga dan menyeretnya pula.

Lekas sekali mereka sudah turun ke pesisir terus membuntuti sampan itu dari pinggir sungai.

Kwik Su-to cari kesempatan hendak ngacir pergi. Ti Nio keburu membentak: "Urusan belum selesai, kau sebagai wasit mana boleh pulang lebih dini."

In San mencabut pedang, katanya mengancam: "Tan-toako belum kembali, kau sudah mau lari? Kalau mau lari boleh kau terjun ke air sekalian."

Han Cin menimbrung: "Betul bila Tan-toako tidak kembali kitapun lempar dia ke air."

Apa boleh buat terpaksa Kwik Su-to ikut mereka mengudak sampan itu, dalam hati diam-diam dia berdoa supaya Tan Ciok-sing tidak mati tenggelam.

Sampan kecil itu meluncur secepat kuda dibedal kencang di tengah arus sungai yang bergolak tapi para pengejar yang berlari-lari di pinggir sungai mengembangkan Ginkangpun tidak ketinggalan.

Tiba-tiba Han Cin berteriak: "Ayah, tuh lihat, bukankah itu Tan-toako?"

Ti Nio menoleh ke arah yang ditunjuk, tampak sesosok bayangan seperti ikan terbang melesat di permukaan air lalu lenyap pula ditelan gelombang. Sesaat kemudian, tiba-tiba tampak sampan kecil itu berputar tidak terkendali pula di tengah sungai. Sebentar lagi, sampan itu miring dan mulai karam.

In San tepuk tangan girang, serunya: "Gelagatnya sampan itu akan dibikin karam oleh Tan-toako."

Terdengar Bak Bu-wi membentak: "Kurcaci, berani kau bikin tenggelam sampanku, biar kusikat dulu jiwamu," dayung kutung dibuang, segera dia keluarkan sepasang garpu besar terus terjun kedalam air.

Ti Nio dan lain-lain terpaksa berhenti dan menonton di pinggir sungai, tampak air bergolak semakin besar, pertempuran di bawah air ternyata berjalan amat seru, sehingga sukar dibedakan mana Tan Ciok-sing mana Bak Bu-wi, semua menonton dengan hati tidak tentram, telapak tanganpun berkeringat dingin. Terutama Ti Nio, dia jelas tahu kemampuan Bak Bu-wi, pikirnya: "Hoay-yang-pang adalah sindikat terbesar di perairan, sebagai Pangcu Hoay-yang-pang, terang ilmu di bawah air Bak Bu-wi amat liehay. Di atas daratan jelas Tan Ciok-sing bisa menyikatnva dengan mudah, tapi di air mana dia menjadi tandingannya."

Mendadak terdengar suara jeritan dan gaduh, Lenghou Yong berkaok-kaok: "Bak-toako, kemarilah tolong aku."

Kiranya perahu itu kena ditusuk bolong dasarnya oleh pedang mustika Tan Ciok-sing, arus sungai sederas itu pula, lobang itu menjadi semakin melebar dan airpun masuk semakin banyak. Akhirnya sampan itu penuh air dan air berputar semakin keras di tengah sungai, kebetulan di depan ada karang, kontan sampan itu kebentur pecah dan hancur berantakan.

Dalam pada itu dua orang yang lagi berhantam di tengah sungaipun telah berakhir, tampak seorang berenang secepat ikan terbang ke seberang sana melarikan diri. Jarak cukup jauh gelombangpun besar sehingga sulit diketahui siapa yang melarikan diri itu.

Lekas sekali airpun tenang kembali, orang banyak sama menunggu sambil menahan napas, namun hati gelisah bukan main. Pertama mereka melihat pakaian koyak terhanyut minggir ke tepi, In San lari meraihnya serta diperiksa, akhirnya dia menghela napas lega, katanya: "Yang melarikan diri itu adalah Bak Bu-wi."

Belum habis dia bicara, tampak seorang menongolkan dirinya, lalu dengan langkah sempoyongan berlari di pesisir. Semua orang jadi melenggong karena orang yang mentas ke atas daratan dengan tubuh lunglai ini ternyata adalah Lenghou Yong.

Perih hati In San, segera dia memburu maju seraya membentak: "Kau, telah mencelakai..." sebelum dia sempat mengucap 'Tan-toako', tiba-tiba dia sudah mendengar suara Tan Ciok-sing berseru: "Aku gusur keparat ini kembali, Kek-toako, silahkan kau menjatuhkan vonismu," lekas sekali Tan Ciok-singpun sudah berada di atas daratan.

Ternyata karena Lwekang Lenghou Yong cukup tangguh, meski tidak pandai berenang, didalam air dia kuat menahan napas. Ilmu bermain didalam air Tan Ciok-sing jelas jauh lebih liehay dari lawannya, tapi dia hanya membekuknya tanpa melukainya pula, terus di gelandang naik ke atas darat.

Ti Nio segera membentak: "Kau bereskan diri sendiri, atau aku yang turun tangan?"

"Susiok hutang darah ini biar aku sendiri yang menagih padanya," demikian seru Kek Lam-wi, semangatnya seperti bergelora, langsung dia menubruk maju sambil mengangkat serulingnya, makinya: "Hutang harus dibayar, tepat tidak akan menuntut bayaranmu?"

Lenghou Yong sudah lemah kehabisan tenaga, mana kuat bertempur lagi, apalagi tulang pundak kiri sudah cacad, begitu dia menangkis dengan lengan kanan. "Krak" tulang lengannya terpukul remuk pula. Seketika dia menjerit sekeras-kerasnya seperti binatang yang sekarat menjelang ajalnya, mendadak dengan beringas dia mencelat bangun terus menubruk.

Kek Lam-wi kira orang berlaku nekad hendak menubruk dirinya, maka dia menyurut selangkah sambil melintang seruling di depan dada, bila lawan benar menyeruduk dirinya, dia sudah siap hendak mengepruk batok kepalanya biar pecah

Tak nyana Lenghou Yong tidak menubruk atau menyeruduk ke arah Kek Lam-wi tapi dia benturkan kepalanya di atas batu besar yang berada tak jauh di pinggir sungai. Kepala pecah otakpun berhamburan, jiwapun melayang seketika. Agaknya dia insaf jiwanya takkan bisa selamat lagi, dari pada tersiksa dan terhina, lebih baik bunuh diri, maka mumpung masih ada sisa tenaga, sebelum Kek Lam-wi menamatkan riwayatnya, dia nekad benturkan kepalanya di atas batu.

Sesaat lamanya Kek Lam-wi berdiri terlongong, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut serta meratap pilu: "Ayah, hari ini sakit hatimu berhasil kutuntut balas, semoga arwahmu beristirahat tenang di alam baka," setelah musuh pembunuh ayah mampus, dia sendiripun merasa seluruh tubuh sakit dan lunglai, tak kuasa lagi dia berdiri, pelan-pelan meloso jatuh lemas.

Ti Nio memapahnya, katanya: "Hiantit, patut kuberi selamat bahwa kau berhasil menuntut balas kematian ayahmu. Sudahjah, sekarang mari kita pulang."

Semua orang putar balik ke atas jembatan dengan perasaan riang gembira. Hanya Kvvik Su-to yang bermuram durja. Ti Nio membentak: "Sekarang sudah tiada urusanmu, lekas enyah."

Tiba-tiba Kwik Su-to berlutut di depannya, malah ratapnya: "Ti-loyacu, aku mohon kepada kau, jangan kau mengusirku pergi!"

Ti Nio tidak sempat pikirkan nasib orang, sejenak dia melengak, bentaknya: "Eh, kenapa tidak enyah?"

Pada saat itulah tampak dua ekor kuda mendatangi menarik dua kereta dan berhenti di ujung jembatan. Seorang laki-laki yang pegang kendali salah satu kereta segera melompat turun sambil tertawa tergelak-gelak, serunya: "Selamat, kuhaturkan selamat akan keberhasilan kalian menunaikan tugas. Sayang aku datang terlambat, sehingga tidak sempat saksikan kau memenggal batok kepala musuhmu."

Laki-laki ini bukan lain adalah Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia. Ternyata dia kuatir terjadi sesuatu diluar dugaan, maka dia siapkan dua buah kereta untuk bertindak bilamana perlu.

Ti Nio berkata: "Masih ada kabar gembira perlu kuberitahukan kepada kau, kalian belum pernah kenal, nah lekas kemari kuperkenalkan, inilah Tio thocu dan inilah Tan Ciok-sing Tan-siauhiap."

Baru sekarang Tio Kan-loh tahu bahwa Tan Ciok-sing dan In San berdua berhasil menyelamatkan diri dari istana raja, rasa girangnya lebih besar lagi setelah memberi hormat kepada Tan Ciok-sing berdua, segera dia berkata: "Orang banyak memang sedang menunggu kau pulang bersama nona In, mari silahkan naik kereta."

Tan Ciok-sing berkata: "Ti-locianpwe, silahkan naik dulu bersama Kek-toako."

"Tio-thocu, Tio- thocu," teriak Kwik Su-to, "tolong kau selamatkan jiwaku."

Sejak tiba Tio Kan-loh sebetulnya sudah melihat dia berlutut di tanah, baru sekarang dia menoleh dan menjengek* tanya: "Eh, apa yang sedang kau lakukan? Mau jadi anak Lenghou Yong yang berbakti?"

Ti Nio berkata: "Kusuruh dia pulang, dia tidak mau."

"Kenapa tidak mau pulang?" tanya Tio Kan-loh.

Dengan meringis Kwik Su-to berkata: "Tio-thocu, yakin kaupun sudah tahu. Akulah yang mengajak Lenghou Yong kemari memenuhi undanganmu, kini Lenglou Yong sudah mati, mana aku bisa pulang ke Pakkhia pula? Untung bila pihak mereka tiada yang tahu. Pada hal Poyang Gun-ngo dan Bak Bu-wi sudah melihat kehadiranku disini, bila perkara pembunuhan ini diusut, batok kepalakupun bisa dipenggal, kau suruh aku pulang, bukankah berarti aku harus menyerahkan jiwa ragaku?"

"Lalu apa kehendakmu?" tanya Tio Kan-loh.

"Mohon Tio-thocu sudi menerimaku sebagai kacungmu."

"Lho, hartawan besar* di kota raja yang terkenal seperti kau masa terima jadi kacung pengemis? Tapi umpama kau mau minta sedekah pada penduduk, Kaypang kami juga tidak boleh sembarangan menerima murid." demikian ujar Tio Kan-loh.

"Tak berani aku mengharapkan dapat diterima sebagai murid Kaypang, semoga aku bisa mendarma baktikan tenagaku untukmu saja, terserah tugas apapun aku rela melakukan. Tio-thocu, tolong kau bermurah hati mengingat kali ini akupun bekerja dengan baik..."

Tio Kan-loh menepekur sebentar, pikirnya: "Orang ini terhitung bejat, namun dalam peristiwa ini dia memang besar andilnya, sehingga Lenghou Yong dipancing kemari dan terbunuh oleh Kek-siauhiap, kini baru sadar akan akibatnya dan kesulitannya ini juga lantaran aku yang menyeretnya."

Melihat orang diam saja, lekas Kwik Su-to mendesak: "Aku hanya mengharap jiwa selamat, soal harta dan rumah boleh kutinggalkan seluruhnya. Bila perkara ini diusut, bukan mustahil harta benda dan rumahku pasti disita dan disegel, tapi aku punya simpanan emas di beberapa tempat yang pasti tidak mereka ketahui, dengan senang hati akan kuserahkan seluruhnya kepada kalian, semoga kalian sudi melindungi aku."

"Bedebah," maki Tio Kan-loh, "siapa sudi menerima uang busukmu, tapi mengingat kau pernah melakukan kebaikan demi kepentingan kami, baiklah sementara boleh kau berlindung di tempat kami," dia datang dengan seorang murid Kaypang bergoni lima, maka dia pesan kepada murid Kaypang itu supaya membawa Kwik Su-to pergi, sementara boleh menetap di suatu tempat rahasia untuk melindungi jiwa raganya.

Kwik Su-to munduk-munduk kegirangan sambil menyatakan terima kasih. Tio Kan-loh tidak berani membawa Kwik Su-to ke markas cabang Kaypang di Pit-mo-giam karena dia sudah tahu martabat laki-laki gendut ini, maka dia bertindak cukup hati-hati. Tak nyana akhirnya terjadi juga peristiwa yang menyakitkan hati ibarat mengundang serigala masuk kedalam rumah, sehingga Kaypang yang berada di kota raja mengalami grebekan besar dan tertumpas hampir habis. Tentang peristiwa ini baiklah kami kisahkan lain kesempatan.

Setelah murid Kaypang itu membawa Kwik Su-to pergi. Tio Kan-loh bantu memapah Kek Lam-wi naik ke atas kereta, rombongan tujuh orang ini segera menuju ke Say-san.

Dua kali di tengah jalan mereka kepcrgok pasukan negeri yang memeriksa surat jalan, untung mereka semua menyamar orang-orang desa, tanya jawab secara lancar dan bebas, disogok beberapa keping uang perak lagi, untung tidak sampai menimbulkan keributan. Bila mereka tiba di cabang Kaypang di Pit-mo-giam, haripun sudah mulai gelap.

Bukan main senang dan kaget orang-orang gagah yang berada didalam markas setelah mendapat berita menggembirakan ini, semua keluar dan merubung maju menyambutnya, dengan penuh perhatian mereka mendengar kisah perjalanan Tan Ciok-sing yang menghadap Baginda Raja. Semua sama memberi selamat dan pujian serta mengangkat jempol.

Loh In-hu berkata: "Apa yang pernah diucapkan raja, entah merdu atau tidak perkataannya, aku tetap tidak bisa percaya."

Lim Ih-su tertawa, katanya: "Ucapan raja memang tidak boleh dipercaya, tapi raja kan juga takut mati. Demi keselamatannya, betapapun dia harus

memperhatikan pesan tulisan berdarah yang ditinggalkan Tan-hengte itu."

Tan Ciok-sing berkata: "Aku hanya menakut-nakutinya saja, mungkin dia betul-betul ciut nyalinya dan mau tidak mau harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak. Tapi aku yakin yang betul-betul ditakuti adalah Kim-to Cecu, takut bila dia tidak angkat senjata melawan musuh, rakyat akan mendukung Kim-to Cecu, itu berarti kedudukannya sebagai rajapun bakal goyah."

Kaypang Pangcu Liok-

kun-lun tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Apa yang kau katakan memang betul, bila dinilai secara keseluruhan Baginda Raja itu tetap takut terhadap kekuatan rakyat jelata. Tapi dalam hal ini jangan kita terlalu optimis dengan pendapat sendiri, kukira dari hasratnya ingin meneken surat perjanjian damai dengan musuh, sampai dia dipaksa untuk melawan musuh itu di dalamnya tentu terdapat banyak liku-liku yang tidak bisa dimengerti orang lain."

"Itu sudah pasti," Lim Ih-su mendukung pendapat ini, "untung batas waktunva hanya tiga bulan, tiga bulan kemudian kita akan tahu apakah janji pertama dari raja bakal terlaksana tidak."

Setelah berhasil menuntut balas, perasaan Kek Lam-wi longgar dan lega, hatinya riang dan gembira, lekas sekali dalam tiga hari kesehatannya sudah hampir pulih. Demikian pula keadaan Loh In-hu, boleh dikata sembilan puluh persen sudah sehat kembali, hanya Sia-cin Hwesio saja yang terluka paling parah, dia masih perlu banyak istirahat.

Hari ke empat seorang murid Kaypang yang berhasil lolos keluar dari kota raja membawa sebuah berita ke Pit-mo-giam. Sesuai dugaan Liok Kun-lun, berita pertama yang dibawa murid Kaypang ini adalah, "penjagaan" diperkeras di seluruh kota raja. Berita kedua adalah, Liong Bun-kong pura-pura sakit dan minta cuti, selama beberapa hari tidak masuk istana menghadap raja. Jabatannya sebagai sekretaris militer masih dipegangnya tapi praktek kerjanya sudah diserahkan ke sekretariat. Sementara kedudukannya sebagai Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di seluruh kota raja sudah diserah terimakan kepada Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat sebagai penjabat sementara.

"Bagus, janji pertama dari raja muda itu telah dilaksanakan separo," seru Lim Ih-su.

Berita ketiga adalah Duta besar Watsu secara diam-diam telah meninggalkan kota raja, tapi Poyang Gun-ngo dan Ma Toa-ha dua busu pengawalnya masih ditinggal di rumah keluarga Liong. Kedua orang ini memang ditahan oleh Liong Bun-kong untuk bantu menjaga keselamatannya.

Liok Kun-lun berkata: "Setelah kehilangan seorang Lenghou Yong, kini mendapat ganti Poyang Gun-ngo dan Ma Toa-ha, usaha kita untuk membunuhnya jadi lebih sulit lagi. Tapi aku jadi curiga, bahwa Duta besar rahasia Watsu mau meninggalkan kedua Busunya pasti ada latar belakangnya, bukan melulu untuk bantu melindungi keselamatan bangsat tua itu."

Sim Lan salah satu utusan Kim-to Cecu berkata: "Itu Sudah gamblang, kedua Busu ini memang sengaja ditanam di kota raja sebagai mata-mata mereka. Aku jadi ingat akan satu hal, kukira hal ini perlu kita perhatikan juga."

"Soal apa?" tanya Lim Ih-su.

"Baginda jelas tidak akan membocorkan pembicaraannya dengan kita kepada siapapun, tapi konsep perjanjian damai yang telah dibuat Liong Bun-kong dengan Duta rahasia Watsu itu ditahan oleh raja, kukira Duta besar Watsu juga pasti menduga bahwa di belakang persoalan ini pasti ada terjadi perobahan yang merugikan pihaknya."

"Lalu bagaimana?" tanya Tan Ciok-sing.

"Setiba di negerinya mungkin Watsu akan segera kerahkan pasukannya menyerbu kemari, kukira dalam dua hari ini bersama Ciu Hok aku harus segera kembali ke markas."

"Tunggu lagi beberapa hari, setelah aku membereskan urusan dinas dalam Kaypang, ingin aku pergi bersama kalian," demikian ujar Liok Kun-lun.

Berita ke empat tidak begitu penting, namun menyangkut pribadi Toan Kiam-ping. Perkara yang menimpa keluarga Toan sehingga keluarga Toan di Tayli dieopot kedudukannya oleh penguasa setempat adalah gara-gara hasutan Liong Seng-bu yang menggosok pamannya Liong Bun-kong. Kini setelah Liong Bun-kong sendiri sibuk mengurus nasib sendiri, maka perkara inipun terbengkalai.

"Selamat Toan Kongcu," seru Sim Lan, "sekarang kau boleh pulang ke kampung halaman dengan bebas dan leluasa."

Merah muka Toan Kiam-ping, katanya: "Aku amat menyesal kenapa dulu kehidupanku terhimbau oleh kesenangan melulu, kini kawan-kawan sedang sibuk mondar mandir demi kepentingan nusa dan bangsa, memangnya aku harus pulang menjadi "Siau-ongya" yang bernama kosong belaka?"

"Bagus," puji Sim Lan, "kau punya pengertian yang obyektif, aku amat kagum padamu. Tapi aku tetap anjurkan kau pulang saja."

"Kenapa?" tanya Toan Kiam-ping.

"Bukan maksudku

menganjurkan kau pulang menjadi Siau-ongya, tapi pulang untuk bantu menyelesaikan suatu tugas."

"Tugas apa yang bisa aku bantu menyelesaikan?"

"Tayli adalah kampung halaman dan tempat kelahiranmu, rakyat Tayli terhadap keluarga Toan kalian amat hormat tunduk dan patuh, sepulang kau ke kampung halaman, banyak kerja yang harus kau kerjakan. Umpamanya menjelaskan kepada rakyat jelata cara bagaimana harus melawan serangan penjajah, dengan tenaga dan darah daging sendiri melindungi kampung halaman, jangan terlalu percaya kepada kekuatan kerajaan yang sudah keropos, ini hanya salah satu contoh. Di rumah kau akan jauh lebih berguna dari pada disini. Ini bukan melulu pendapatku, tapi juga didukung oleh Kim-to Cecu."

"Betul," timbrung Ti Nio, "penjelasanmu cukup menyeluruh. Hiantit, kali ini kau pulang bukan lagi sebagai Siau-ongya, tapi pulang sebagai salah seorang teman laskar rakyat. Bila kau sudah memahami hai ini, maka kau akan hidup tentram lahir dan batin."

"Bagus sekali uraian Ti-locianpwe," ucap Sim Lan, "tapi sepatah kata kurasa kurang tepat diucapkan."

Ti Nio melengak, tanyanya: "Perkataan yang mana?"

"Toan-kongcu bukan pulang sebagai teman kami."

Toan Kiam-ping melenggong, tanyanya: "Apakah aku belum setimpal sebagai teman laskar rakyat?"

Sim Lan tertawa lebar, katanya: "Kau adalah orang kita sendiri."

Toan Kiam-ping tertegun, entah haru atau saking senang, tanpa kuasa air matanya meleleh, serunya lantang: "Terima kasih, kalian teramat menghargai diriku, baik, besok juga aku pulang ke Tayli."

Ti Nio berkata: "Besok biar aku antar kau dan anak Cin pulang. Ucapan Sim-thauling sekaligus menyadarkan aku. Setelah mengantar kalian pulang ke Tayli, segera akupun akan kembali ke Khong-goan, disana aku yakin banyak pula yang bisa kukerjakan."

Pembicaraan selesai larut malam. Hari kedua hadirin mengantar pemberangkatan mereka bertiga. Sakit Kek Lam-wi sudah delapan puluh persen sembuh, setelah perjamuan usai, seorang diri dia menyatakan ingin mengantar mereka.

Sebelum berpisah Ti Nio berkata: "Hiantit, sungguh menggembirakan sakit hatimu sudah terbalas. Kini tinggal satu saja keinginanku."

"Susiok, besar sekali bantuanmu kali ini sehingga aku berhasil menuntut balas, tak perlu aku berbincang soal budi dan kebaikan, keinginan apa yang belum kau orang tua capai, bila perlu tenagaku silakan perintahkan saja."

Ti Nio tertawa, ujarnya: "Keinginanku ini memang hanya kau saja yang bisa menyelesaikan."

"Apakah itu?" desak Kek Lam-wi.

Han Cin tertawa cekikikan, katanya: "Kau sepintar ini masa tidak bisa menerkanya? Seperti juga ayah, akupun ingin supaya kau lekas mencari Toh-cici dan mengajaknya pulang."

"Betul," ujar Ti Nio, "pernikahan anak Cin tidak perlu kupikirkan lagi. Maka keinginanku yang terakhir adalah supaya selekasnya minum arak pernikahanmu dengan nona Toh."

Yang benar, tanpa disinggung Ti Nio dan putrinya, meski luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, hati dan pikiran Kek Lam-wi sudah lama terbang menyelusuri jejak Toh So-so. Sayang dia tidak tahu dimana kini Toh So-so berada.

Lekas sekali tiga hari telah berselang, kini luka-lukanya sudah sembuh seluruhnya. Hari itu di atas Pit-mo-giam seorang diri dia berlatih King-sin-pit-hoat yang diajarkan Ti Nio, tiba didengarnya seorang berseru memuji: "Bagus," waktu dia menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San lari mendatangi.

"Kek-toako," seru In San, "selamat ya kau berhasil mempelajari ilmu tutuk nomor satu di kolong langit ini, dendammu sudah terbalas, betapa riang hati Toh-cici bila tahu akan hal ini."

Di hadapan teman baik tidak perlu malu-malu, Kek Lam-wi berkata: "Kurasakan aku sudah tak tertahan lagi, ingin rasanya sekarang aku sudah mendekapnya, cuma kemana aku harus mencarinya."

"Aku ini orang perempuan, sedikit banyak bisa menyelami perasaan sesama jenisnya," demikian In San mengutarakan pendapatnya, "aku yakin bukan maksud Toh-cici sengaja mau menjauhi kau, dia pasti berada di suatu tempat yang mudah kau temukan."

"Coba kau terka, dimana kiranya dia berada," tanya Kek Lam-wi.

"Kukira kau sendiri yang harus menerkanya, coba kau pikirkan kemana saja dulu kau bertamasya umpamanya, di tempat yang paling mengesankan dan mengasyikan."

Kek Lam-wi jadi sadar, katanya: "Betul, seharusnya aku pulang ke kampung halamannya untuk mencarinya. Di kala kami dibuai asmara dulu, dia paling suka bertamasya di Ji-si-kio mendengar irama serulingku." Kek Lam-wi dan Toh So-so adalah kelahiran Yang-ciu. Ji-si-kio adalah salah satu obyek pariwisata yang terkenal di Yang-ciu.

"Lukamu sudah sembuh, lekaslah kau susul dia kesana?" In San menganjurkan serta memberi dorongan mental.

"Tapi," Kek Lam-wi masih ragu-ragu.

"Tapi apa?" desak In San.

"Seorang diri aku meninggalkan orang banyak disini, apa tidak rikuh. Apalagi luka Liok-ko (Sia-cin Hwesio) belum sembuh."

Tan Ciok-sing menimbrung: "Mungkin kami bisa mengiringi kau. Tentang luka-luka Sia-cin Taysu, banyak orang yang merawatnya, kukira tidak usah kau pikirkan."

Kek Lam-wi melengak, katanya: "Bukankah kalian akan menetap disini sampai bangsat tua Liong digulingkan dari kedudukannya? Kenapa kalian mau menemani aku pergi ke Yang-ciu?"

"Justru lantaran persoalan itulah maka aku mencari kau," ujar Tan Ciok-sing.

"Sudah bicara sebanyak ini, aku masih bingung, sebetulnya menyangkut soal apa?"

"Kau tahu di Thay-ouw ada seorang Lo-enghiong bernama Ong Goan-tin bukan?"

"Maksudmu Cong-cecu Ong Goan-tin dari 36 kepala markas perairan di Tay-ouw?"

Tan Ciok-sing mengiakan.

"Sebagai orang kelahiran Kanglam, sudah tentu aku tahu akan Bengcu para pahlawan perairan di Kanglam yang terkenal itu? Sebetulnya beliau adalah teman baik ayahku almarhum, waktu kecil aku pernah melihatnya sekali."

"Lebih bagus kalau begitu, Tan-toako, arah yang kita tuju ternyata tepat," kata In San.

"Ada apa dengan Ong Goan-tin? Soal apa pula yang ingin kalian bicarakan denganku?"

Tanpa merasa sudah tiba di markas Kaypang. Tan Ciok-sing berkata: "Setelah bertemu dengan Sim-thauling, kau akan jelas duduk persoalannya."

Di kala mereka memasuki balairung, kebetulan mendengar percakapan Liok-pangcu dengan Sim Lan.

"Urusan dinas dalam Kaypang sudah kubereskan, hari ini juga aku bisa pergi bersama kalian, aku sudah mengirim kabar dengan burung pos, supaya semua murid-murid Kaypang di berbagai cabang, bila sempat menyiapkan diri, dalam jangka tiga bulan semua sudah harus berangkat dan kumpul di markas kalian siap menunaikan tugas," demikian Liok Kun-lun berkata.

Kaypang adalah serikat besar, muridnya laksaan jumlahnya, tersebar di segala pelosok. Dengan pernyataan Liok Kun-lun itu.

berarti kekuatan Kim-to Cecu bertambah laksaan tenaga yang tangguh. Sim Lan kegirangan, katanya: "Dapat memperoleh bantuan Pangcu besar ini, sungguh bukan kepalang besar artinya, kini yang masih harus kita rundingkan adalah siapa yang tepat untuk diutus ke Thay-ouw?"

Lim Ih-su berkata: "Barusan Ciok-sing keluar mencari Lam-wi. Jit-te adalah kelahiran Kanglam. Kupikir biarlah dia, dia... Nah itu kebetulan dia sudah datang. Jit-tc, ada persoalan ingin kami bicarakan dengan kau."

"Barusan Tan-toako sudah menjelaskan kepadaku, katanya aku diutus ke Thay-ouw menemui Ong Goan-tin Cong-cecu dari tiga puluh enam kepala perairan disana?"

"Betul, cuma kami kuatir kesehatanmu belum pulih," ucap Lim Ih-su.

"Kesehatanku sudah pulih, To'ako tak usah kuatir. Entah untuk urusan apa kalian ingin mengadakan kontak dengan Ong Goan-tin?"

"Begini," Sim Lan menjelaskan, "tanggal dua puluh dua bulan delapan adalah hari ulang tahun Ong Goan-tin, sebelum kami kemari, Cecu ada pesan supaya kami hadir dalam perjamuan hari ulang tahunnya itu mewakili beliau. Tapi waktu mendesak sekarang tidak mungkin kami pergi kesana, tapi Cecu juga ada pesan bila perlu boleh diwakilkan orang lain yang cocok di antara kita. Mewakili pihak kita memberi selamat hari ulang tahunnya."

"Lahirnya memberi selamat ulang tahun, tugas yang nyata adalah merangkul Ong Goan-tin kedalam barisan kita untuk bergabung melawan penjajah. Jelaskan kepadanya bagaimana maksud dan tindakan kita yang sudah kita rencanakan bersama."

"Baik. Segera aku boleh berangkat." Kata Kek Lam-wi tegas, "tapi apakah aku boleh mewakili Cecu kalian?"

"Kitakan orang sendiri, Kek-jithiap tidak usah sungkan, tapi terus terang aku agak kuatir bila kau berangkat seorang diri, lebih baik..."

Tan Ciok-sing segera menimbrung: "Aku bersama nona In justru ingin mohon persetujuanmu, biarlah kami menemani perjalanan Kek-toako."

Sim Lan tertawa lebar, katanya senang: "O, jadi kalian memang sudah ada maksud?"

In San berjingkrak, serunya tepuk tangan: "Jadi, kau setuju?"

Sim Lan berkata: "Sebetulnya aku memang memancing kalian uutuk menampilkan diri. Menurut apa yang diketahui, di masa hidupnya ayahmu pernah menanam budi terhadap Ong Goan-tin, demikian pula hubungan kental ayahmu dengan Cecu kami, Ong Goan-tin juga tahu amat jelas."

"Tadi Kek-toako juga bercerita, katanya semasa hidupnya dulu ayahnya juga punya hubungan kental dengan Ong Goan-tin, waktu kecil diapun pernah melihat Ong Goan-tin," demikian timbrung In San.

"Maka itu kita putuskan kalian bertiga harus berangkat, membawa nama kita untuk memberi selamat ulang tahunnya. Tan-siauhiap dan nona In boleh mewakili markas kita, sementara Kek-jit-hiap mewakili Pat-sian. Begitu terasa lebih berbobot."

Coh Ceng-hun menyela: "Urusan sudah selesai dibicarakan, baiklah mari kita minum bersama untuk mengantar keberangkatan mereka."

"Kami juga ingin berangkat hari ini juga," ucap ln San.

Lim Ih-su melenggong, katanya: "Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan, hari ini baru tanggal dua puluh enam bulan tujuh, jadi masih satu bulan lebih. Setengah bulan sudah lebih cukup untuk menempuh perjalanan dari sini ke Tay-ouw, kenapa harus buru-buru, beberapa hari lagi baru berangkat juga masih belum terlambat."

In San tertawa, katanya: "Disini kalian melarangku menuntut balas kepada bangsat tua she Liong, aku jadi sebal. Kini mumpung ada kesempatan bisa bertamasya ke Kanglam, Kek-toako kelahiran Yang-ciu, orang Kanglam cekek dia bisa ajak kami berpariwisata."

Lim Ih-su maklum, pikirnya: "Kiranya Jit-tc ingin pulang ke rumah, kenapa aku jadi pikun, bukankah dia ingin lekas-lekas menemukan Pat-moay?" maka cepat dia berkata: "Baiklah, dari pada disini kalian juga terlalu iseng."

Dalam perjamuan perpisahan Sim Lan kembali memberi petunjuk yang berharga, begitu perjamuan usai masing-masing lantas berangkat ke arah tujuan sendiri-sendiri.

Supaya tidak menimbulkan kesulitan di perjalanan, In San berpakaian laki-laki. Bertiga mereka naik kuda, siang malam menempuh perjalanan, hanya enam hari propinsi Hopak dan Soatang telah mereka lewati, kini mulai memasuki propinsi Kangsoh. Pemandangan alam Kanglam memang permai mempersona, In San dan Ciok-sing tidak habis memuji, mereka melek huruf, maka tidak sedikit pula syair-syair yang mereka karang dan menjadi buah pembicaraan di sepanjang jalan.

Tengah berjalan, tiba-tiba tampak di depan sana dibedal seekor kuda yang berlari kencang ditelan debu yang mengepul tinggi di belakangnya. Tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara heran.

"Toako, kenapa kau?" tanya In San, "apakah penunggang kuda di depan itu menimbulkan kecurigaanmu?"

"Ya, kulihat bayangan punggungnya seperti pernah kukenal," sahut Tan Ciok-sing.

"Benar, aku pun merasa seperti kenal dia, siapakah dia?' sela Kek Lam-wi.

"Siapakah dia?" tiba-tiba tanpa berjanji mereka berdua sama berteriak: "Seperti Poyang Gun-ngo?"

Tapi In San masih ragu-ragu, katanya sesaat kemudian: "Menurut pandangan kalian hari itu, dia dipendam di kota raja sebagai spion, lalu untuk apa pula seorang diri dia berada di Soh-ciu?"

"Pendapat kami tetap tidak berobah, sebagai spion yang dipendam, tugasnya tidak melulu di kota raja saja," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Maksudmu kedatangannya ke Kanglam ini juga dalam rangka tugasnya?" In San menegas.

"Kukira demikian," sahut Tan Ciok-sing.

"Sayang kita hanya melihat bayangan punggungnya saja. Tidak yakin apa betul pasti dia," ucap I n San ragu-ragu.

Kek Lam-wi berkata: "Di depan ada sebuah gardu minuman, mari kita menghilangkan dahaga sambil tanya kepada nenek penjual vvedang. Syukur orang itupun marrtpir ke gardu minuman itu."

Gardu minuman itu didirikan di pinggir jalan letaknya tepat di persimpangan jalan. Lurus ke depan menuju ke Soh-ciu bila ke kiri dan ke kanan menuju ke kota-kota kecil di sekitarnya. Jarak masih ada setengah li, tapi dari kejauhan mereka sudah melihat adanya gardu minuman ini.

Dalam gardu, si nenek penjual teh tengah asyik bicara dengan cucu perempuannya. Cucunya masih berusia tiga atau empat belas tahun. Meski jarak masih setengah li, tapi mereka sama memiliki Kungfu tinggi, pendengarannya jelas lebih tajam dari orang lain, maka pembicaraan didalam gardu minuman ini, mereka bisa mendengarkan dengan jelas.

Agaknya si nenek meski sudah tua namun pandangannya masih tajam, dari kejauhan diapun telah melihat kedatangan mereka bertiga, serunya heran: "Eh, hari ini yang menempuh perjalanan naik kuda koh lebih banyak dari biasanya," perlu diketahui orang-orang Kanglam terutama di daerah Soh-ciu dan Hang-ciu kalau bepergian suka berjalan kaki, bila menempuh perjalanan, mereka suka naik perahu.

Nona kecil itu berkata: "Laki-laki naik kuda tidak perlu dibuat heran, nona cantik yang lemah gemulai seperti hendak jatuh ditiup angin ternyata juga pandai menunggang kuda sebesar ini baru pertama kali ini aku melihatnya."

Mendengar ucapan nona kecil ini tergerak hati Kek Lam-wi, lekas dia pecut kuda dilarikan lebih kencang.

Di depan sana nona kecil keplok tangan seraya berjingkrak senang, "Ou, kencang benar lari kuda itu," sementara dalam hati dia membatin: "Orang ini agaknya memburu waktu menempuh perjalanan, mana mungkin dia bakal mampir ke warung kami, jualan kami hari ini mungkin tidak akan terjual habis lagi."

Tak kira tengah dia melamun memikirkan nasib, tiga ekor kuda tiba-tiba berhenti di depan gardu, suara ringkik kuda membuatnya berjingkrak kaget.

Si nenek segera menyapa: "Tuan-tuan, silakan mampir minum dulu barang dua cangkir. Kami menyediakan arak dan teh wangi."

Tan Ciok-sing mendahului melangkah masuk, katanya: "Arak kami tidak mau, tapi tarip teh akan kami bayar dua kali lipat," sembari bicara dia merogoh kantong mengeluarkan kepingan perak terus disodorkan kepada si nenek.

Si nenek menerima uang itu, tapi dia berkata: "Tiada aturan begitu, harga arak memang dua kali lipat tarip teh, kalian hanya minum teh mana boleh aku menerima bayaran tarip arak?"

"Nanti dulu, kami belum habis bicara," sela Kek Lam-wi," arak kami tidak minum, tapi kami ingin makan nyamikan atau kue apa yang tersedia disini. Apa kalian ada menyediakan bebek goreng?"

Nenek itu tertegun, katanya: "Tuan, kiranya kau kelahiran sini? Siapa shemu?" ternyata Kek Lam-wi bicara dengan logat orang Soh-ciu asli.

"Aku she Kek," ujar Kek Lam-wi, "temanku ini she lan. Aku kelahiran Yang-ciu, tapi ada famili yang tinggal di Soh-ciu, maka sering aku tinggal di Soh-ciu."

"Goreng bebek memang ada, tapi tinggal beberapa potong saja, harganya juga cuma seketip saja."

"Ah, kenapa diperhitungkan sejelas itu," ucap Kek Lam-wi tertawa, keluarkan saja seluruhnya."

Karena Kek Lam-wi pandai bicara bahasa Soh-ciu, sikap si nenek tampak lebih ramah dan simpatik. Setelah menghabiskan secangkir teh Kek Lam-wi berkata: "Popoh, aku ingin tanya seseorang kepada kau!"

'"Siapa?" balas tanya si nenek. "Ada seorang nona yang berdandan begini dan potongan begitu, apa pernah lewat sini?"

"Iya, agaknya ada, kalau tidak salah dia menunggang seekor kuda putih, kira-kira satu jam yang lewat."

Nona kecil itu menimbrung: "Nona itu cantik benar, diapun pandai bicara bahasa Soh-ciu kita."

Semula Tan Ciok-sing melenggong, tapi lekas diapun paham: "O, kiranya dia mencari tahu jejak Toh So-so. Ya, maklum, bila dibanding, jelas Toh So-so jauh lebih penting dari pada Poyang Gun-ngo," demikian batinnya.

"'Apa betul?" girang Kek Lam-wi, arah mana yang dia tempuh?"

"Jalan di tengah itu," sahut si nenek.

"Pasti dia menuju ke Soh-ciu," ujar Kek Lam-wi.

"Pernah apa sih kau dengan nona itu," tanya si nenek.

"Dia adalah Piaumoayku," sahut Kek Lam-wi, "tapi aku sendiri belum tahu bila hari ini dia bakal datang ke Soh-ciu."

Nona kecil ttu tertawa geli, katanya: "Tak heran

kesenangannya ternyata seperti sama kau."

Kek Lam-wi melengak, tanyanya: "Kesenangan apa?"

"Seperti kau, diapun suka makan goreng bebek," ujar nona kecil, "diapun hanya minum teh pantang minum arak, sebelum berangkat dia minta dibungkuskan dua ekor bebek goreng. Maka sisanya, ya cuma sedikit ini."

Diam-diam Kek Lam-vvi membatin: "So-so memang suka makan goreng bebek, tapi biasanya tak pernah makan sebanyak itu. Em, ya, mungkin dia beli lebih banyak supaya menguntungkan nenek dan cucunya ini. Atau mungkin dia juga tahu aku suka makan goreng bebek, setiba di Soh-ciu, meski dia tidak bisa menghabiskan sebanyak itu, dia tetap membelinya juga."

Nona cilik itu tertawa pula, katanya: "Lekaslah kau kejar Piaumoaymu itu, kalau terlambat dia mungkin terkejar seorang yang lain."

Kek Lam-wi tertegun, tanyanya: "Siapa mengejarnya?"

"Seorang tamu yang usianya kira-kira sebaya kau tapi dia tidak mampir minum arak atau teh, begitu mendengar Piaumoaymu berangkat belum lama, segera dia cemplak kudanya terus mengudaknya."

Kek Lam-wi ragu-ragu, pikirnya: "Siapakah pemuda itu? Teman yang dikenal So-so sebaya dengan aku hanya Ciok-sing Toako saja. Em, bukan mustahil cakar alap-alap telah menguntit jejaknya."

Nona cilik itu tertawa, kataaya: "Lho, koh malah melamun, kenapa tidak lekas kau susul Piaumoaymu?"

Si nenek tertawa, omelnya: "Budak kecil banyak ngomong saja, tuan ini toh tidak buru-buru, kenapa kau malah yang menjadi kuatir?"

"Popoh," kata Kek Lam-wi. "Aku masih ingin tahu tentang seseorang."

"O, siapa lagi yang yang ingin kau ketahui?" tanya si nenek.

"Seorang laki-laki yang tampangnya luar biasa," lalu dia gambarkan tampang Poyang Gun-ngo dan dandanannya.

"Tidak lama setelah Piaumoaymu pergi memang ada seorang laki-laki penunggang kuda lewat, tapi dia tidak menghentikan kudanya yang dilarikan sekencang angin, mataku yang sudah tua ini tidak melihat jelas tampangnya."

"Arah mana yang

ditempuhnya?" Kek Lam-wi menegas.

"Kalau tidak salah membelok ke arah kiri."

Kek Lam-wi kuatir Toh So-so kebentrok dengan Poyang Gun-ngo, kini setelah tahu Poyang Gun-ngo membelok ke kiri, arah yang berbeda, maka legalah hatinya. Tapi ia berpikir: "Entah apakah orang itu betul Poyang Gun-ngo? Tapi bila betul Poyang Gun-ngo, seorang diri dia meninggalkan kota raja sudah cukup mencurigakan, setiba disini tidak langsung ke Soh-ciu lalu kemana dia? Apa ini tidak lebih mengherankan."

Apa yang ingin mereka ketahui sudah diperoleh keterangan sejelasnya. Maka bergegas mereka meninggalkan gardu minum itu.

Di samping merasa senang In San juga merasa curiga, katanya: "Kek-toako menurut pendapatmu, nona penunggang kuda itu apa bukan Toh-cici?" ternyata dia teringat pada seorang lain tapi supaya tidak mengecewakan Kek Lam-wi, maka dia tidak utarakan jalan pikirannya.

Ternyata Kek Lam-wi amat yakin, sahutnya: "Aku yakin pasti dia."

Setiba di Soh-ciu, Kek Lam-wi berkata: "Mari kucarikan hotel lebih dulu baru berusaha menemukan So-so. Hotel terbaik di Soh-ciu berada di Say-cu-lim saja."

"Apa tidak lebih baik kami ikut kau mencari Toh So-so, setelah menemukan dia baru cari hotel?"

Kek Lam-wi menetapkan: "Familinya itu keluarga miskin, penduduk biasa yang tidak pandai main silat. Bila sekaligus kita bertiga menunggang kuda mampir ke rumahnya mencari So-so, mungkin bisa menarik perhatian orang banyak, ini bisa mendatangkan kesulitan bagi mereka."

Mendengar penjelasannya, In San segera batalkan niatnya menemani dia mencari Toh So-so.

Say-cu-lim terletak jauh diluar kota maka Kek Lam-vvi ajak mereka kesana, sepanjang jalan dia ceritakan asal-usul dari Say-cu-lim yang terkenal itu. "Sai-cu-Iim merupakan daerah wisata yang terkenal di Soh-ciu," demikian Kek Lam-wi mulai bercerita.

"Konon Say-cu-lim hanya satu di antara kebon raya yang terkenal di Soh-ciu, apa betul?" tanya In San.

"Bukan itu saja. Kira-kira seratus tahun yang lalu, di kalaThio Su-seng angkat dirinya menjadi raja di Soh-ciu Say-cu-lim pernah dipugar menjadi istananya. Belakangan setelah Thio Su-seng gugur di medan perang, Say-cu-lim disita oleh yang berwajib dan dijual kepada hartawan besar yaitu Kiu-thay-say-cu In Thian-cian yang berjuluk Soh-ciu-pa (buaya Soh-ciu)."

"Kisah ini pernah kudengar dari cerita ayah," ujar In San. "Tan-toako, bila diurutkan sedikit banyak In Thian-cian ini ada sangkut pautnya dengan kau."

Tan Ciok-sing-heran, katanya: "In Thian-cian kan sudah mati puluhan tahun yang lalu, bagaimana mungkin ada sangkut pautnya dengan aku?"

"Setelah In Thian-cian berkuasa di Say-cu-lim, kebon raya ini dia jadikan gelanggang pertandingan dan tempat mesum. Pernah suatu ketika gurumu Thio Tan-hong lewat sini, sengaja dia ingin mengajar adat buaya darat ini, suatu kali dia membuat keributan di gelanggang perjudiannya itu. In Thian-cian kalah puluhan laksa tahil perak, tapi tidak mau bayar akhirnya dia pukul luka parah. Konon In Than-cian akhirnya mati saking jengkel, sejak itu gelanggang perjudian dan tempat mesum di Say-cu-lim ditutup dan pulih kembali seperti sediakala."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Sungguh menyenangkan cara Suhu menyelesaikan peristiwa itu. Kebon raya sebaik itu mana boleh diinjak dan dirusak oleh kawanan buaya darat? Bila kejadian kebentur di tanganku akupun akan bertindak demikian."

"In Thian-cian mati lantaran dendam kepada gurumu," demikian ujar In San tertawa, "bila keturunannya tahu kau adalah murid penutup Thio Tan-hong, coba katakan apa yang bakal mereka lakukan? Yakin mereka tidak akan melupakan dendam sakit hati sejak puluhan tahun lalu itu, maka sasaran pasti ditujukan pada dirimu."

"O, jadi Say-cu-lim sekarang masih berada di tangan keturunan orang she In itu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Betul," ujar Kek Lam-wi, "sekarang dikuasai oleh In Kip, cucunya In Thian-cian. Tiga puluh tahun setelah In Thian-cian mati, kira-kira sepuluh tahun yang lalu Say-cu-lim dia bangun kembali sebagai kebon wisata serta dibangun hotel-hotel."

"Bagaimana martabat In Kip itu?" tanya Tan Ciok-sing,

"Kabarnya tidak sewenang-wenang, seperti kakeknya dulu, tapi dia juga tamak dan loba. Hotel yang dibangun dalam Say-cu-lim itu cukup terkenal di Kanglam, hotel kelas satu yang khusus menerima para hartawan atau orang yang tebal kantongnya, menyediakan pula tempat mewah untuk para pembesar atau keluarga raja. Taripnya mencekik leher, ongkos menginap semalam, cukup untuk ongkos setengah bulan keluarga sedang."

"Kalau hanya tamak harta dan tidak melakukan kejahatan sih, kita tidak usah pcrdulikan dia," kata Tan Ciok-sing.

Kek Lam-wi tertawa, katanya: "Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa kau adalah murid Thio Tayhiap? Dan lagi In Kip tak mungkin memegang tampuk pimpinan sendiri di hotel itu, tak gampang untuk memergokinya. Kita boleh tidak usah kuatir menginap disana."

"Bukan kita takut dia menuntut balas," ucap In San, "cuma tadi menyinggung kisah Say-cu-lim maka sekalian aku ceritakan kepada Tan-toako."

Tak terasa mereka telah tiba di Say-cu-lim.

Hotel yang dibangun di kebon raya ini memang luar biasa, bentuk bangunannya megah dan angker, jelas dikerjakan oleh arsitek yang terkenal dan berpengalaman, entah berapa duit yang ditanam untuk membangun proyek sebesar ini. Diluar mereka tanya kepada penjaga pintu tentang kamar dan taripnya, setelah Kek Lam-wi memberi sekeping uang perak baru penjaga pintu ini mengantar mereka masuk kedalam.

Penjaga pintu membawa mereka ke kantor hotel lalu mengundurkan diri. Seorang petugas lantas keluar menyambut, mereka bertiga minta dua kamar, petugas itu mengamat-amati mereka dengan seksama, dandanan mereka mirip pelajar, pakaiannya meski tidak mewah, kelihatannya seperti anak keluarga hartawan, baru dia mencatat nama dan alamat serta berkata: "Disini tiada kamar yang disewakan."

Kek Lam-wi melenggong, katanya: "Tapi kami sudah tanya jelas kepada penjaga pintu, katanya masih banyak kamar kosong."

Petugas itu berkata: "Mungkin dia tidak menjelaskan peraturan disini."

"Peraturan apa?" tanya Kek Lam-wi.

"Disini kami tidak menyewakan kamar, kalau mau nginap harus menyewa sebuah villa, bagaimana kalau kusediakan villa yang ada lotengnya? Di atas atau di bawah ada kamar dan sebuah ruang tamu. Kebetulan cocok untuk tempat tinggal kalian bertiga."

"Baik," kata Kek Lam-wi, "sementara kami akan menginap dua hari."

Petugas itu berkata pula: "Menurut aturan, tarip harus dibayar kontan sehari sepuluh tahil perak. Kuda kalian setiap ekornya dikenakan tarip makan setahil setiap hari, tarip ini termasuk ongkos perawatan dan istal."

Harga masa itu sekuintal beras putih paling baik paling mahal dua tahil perak, sepuluh tahil cukup untuk ongkos makan keluarga miskin setahun lamanya. Diam-diam Tan Ciok-sing melelet lidah.

Kek Lam-wi mengeluarkan sekeping emas, petugas menimang, berkata: "Emas ini berat tiga tahil lima ketip, dinilai harga pasaran adalah tiga puluh lima tahil perak."

Kek Lam-wi berkata: "Sisanya tidak usah dikembalikan, catat saja di buku mungkin kami akan menginap lebih lama bila perlu."

Melihat orang mampu mengeluarkan uang emas, sikap si petugas lantas berubah ramah, katanya dengan seri tawa sambil munduk: "Kalian ingin makan apa, bisa dipesan lebih dulu, segala macam masakan kami sediakan dan dikerjakan oleh koki-koki berpengalaman."

Kek Lam-wi berkata: "Mereka berdua akan makan malam disini, aku akan keluar menyelesaikan urusan, mungkin agak malam baru kembali."

"Baiklah," petugas itu mengiakan, "nomor tembaga ini boleh kau simpan, terserah kapan kau akan kembali, tidak jadi soal."

Kek Lam-wi tertawa, katanya: "Keras juga tata tertib kalian disini."

"Ya demi menjaga ketentraman para tamu yang menetap disini. Dengan membawa nomor tembaga sebagai bukti penginap disini, kami tidak perlu takut orang-orang yang tidak bertanggung jawab mencari keuntungan pura-pura jadi tamu disini," segera dia panggil dua orang disuruhnya membawa kuda tunggangan mereka, serta mengantar mereka menuju ke sebuah rumah yang dimaksud.

Rumah ini terletak di tengah dua gunungan menghadap sebuah telaga buatan, pemandangan memang permai menyejukan perasaan, cocok dengan selera mereka. Kebetulan letak rumah ini berada di pojok kebon dan berjauhan dengan villa-villa yang lain. Setelah meletakan buntalannya, segera Kek Lam-wi keluar hendak menemui famili Toh So-so di kota Soh-ciu.

Setelah makan malam Tan Ciok-sing dan In San mengobrol panjang lebar, mereka menunggu dengan sabar, tanpa terasa kentongan kedua sudah jelang, tapi Kek Lam-wi belum juga pulang.

"San-moay," kata Tan Ciok-sing, "naiklah ke loteng, badanmu penat, tidurlah dulu."

In San tertawa: "Sekarang hilang rasa kantukku. Aku mau menunggu Kek Lam-wi pulang, yakin dia akan kembali membawa kabar gembira," tengah mereka bicara lantas terdengar suara ringkik kuda.

In San berseru heran: "Eh, malam selarut ini masih juga ada tamu yang menginap kesini?" maklum hotel di Say-cu-lim ini berbeda dengan hotel di kota umumnya, letaknya saja sudah jauh dari keramaian kota, yang menginap disini hanyalah para hartawan atau keluarga pembesar yang iseng dan berfoya. Mereka yang menempuh perjalanan jauh dan memburu waktu tidak mungkin mau menginap disini, meski cetek pengalaman, namun In San menjadi curiga.

"Dari ringkik kuda itu dapat dinilai tunggangannya itu adalah kuda jempolan," ujar Tan Ciok-sing, segera dia mendekam pasang kuping mendengarkan suara dari tanah.

Letak villa mereka menginap jauh dari kantor hotel, namun mereka memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya juga teramat tajam, dengan mendekam pasang kuping, lapat-lapat Ciok-sing mendengar percakapan orang.

"Kudaku ini kalian harus memeliharanya dengan baik. Aku perlu dua villa?" kata sang tamu yang baru datang.

"Ya, ya, segera kami suruh orang merawatnya dengan baik. Syukurlah Toaya hari ini sudi mampir..." terdengar kuasa hotel berkata.

Sebelum dia habis bicara, tamu itu sudah mendengus, katanya: "Cukup asal kau tahu siapa aku ini, tidak usah, tidak usah,..." percakapan selanjutnya suaranya lirih Tan Ciok-sing tidak mendengarnya lagi.

Sesaat kemudian didengarnya tamu itu berkata: "Aku ingin tahu jejak dua orang..."

Tan Ciok-sing pasang kuping mendengarkan dengan seksama, sayarg percakapan selanjutnya tidak terdengar, namun lapat-lapat dia mendengar seorang petugas hotel mengatakan: "Oo kuda putih..."

In San berkata: "Suara tamu ini seperti sudah kukenal, namun sukar diingat siapa dia sebenarnya. Pemilik hotel bersikap begitu hormat kepadanya, kukira dia punya asal-usul yang tidak kecil."

"Dia sedang mencari dua orang, bukan mustahil sasarannya adalah kita," kata Tan Ciok-sing.

"Masa? Apa yang dia tanyakan, tadi aku kurang jelas."

"Aku juga tidak jelas, tapi kudengar seorang menyinggung soal kuda putih."

In San kaget, katanya sesaat kemudian: "Kuda putih? Kalau begitu bisa diduga, maksud petugas itu menjawab pertanyaan itu, berarti menunjukkan bahwa salah seorang dari dua orang itu menunggang kuda putih."

"Lalu?"

"Kalau dugaanku ini tidak meleset, itu berarti yang dia cari bukan kita."

Sampai disini, mereka mendengar pula ringkik kuda, ringkik dari tiga ekor kuda.

"Kedengarannya, tiga ekor kuda sedang tarung. Tarung di istal. Karena bila datang dari luar pantasnya kita mendengar derap kakinya."

Tengah Ciok-sing bicara In San sedang menepekur.

"Adik San," tanya Ciok-sing lirih, "apa yang sedang kau pikirkan?"

"Mereka bicara tentang kuda putih, entah seekor atau dua ekor?"

"Memangnya ada sangkut pautnya?" ujar Tan Ciok-sing tertawa, diam-diam dia merasa heran entah kenapa dalam keadaan seperti In San justeru memikirkan hal yang tidak perlu.

In San ragu dan curiga, belum sempat dia buka suara, pembicaraan di kantor hotel kembali terdengar nyata.

Itulah suara kacung yang tadi disuruh membawa kuda ke istal, suaranya gugup: "Celaka Toaya, kuda, kudamu itu..." katanya diucapkan dengan napas sengal-sengal.

Tamu itu lantas membentak: "Kudaku kenapa."

Kacung itu berkata: "Kudamu ditendang keluar oleh dua ekor kuda putih, kini sedang mengamuk dan terlepas, lari pontang panting di kebon. Aku, aku tidak mampu mengekangnya."

In San berjingkrak girang, katanya: "Nah, betul dugaanku, ternyata dua ekor kuda putih."

Tan Ciok-sing masih bingung, katanya: "Kuda tamu itu jelas bukan kuda sembarangan, kenapa kalah menghadapi kedua ekor kuda putih?"

"Memangnya kau tahu bahwa kuda putih itupun kuda jempolan?"

Ciok-sing goyang tangan, supaya dia tidak bicara lagi. Agaknya tidak perhatikan perkataan In San, tapi sedang memikirkan urusan lain.

Ternyata tamu itupun merasa heran, katanya: "Masa iya, Hwe-Iiong-ki memang bertabiat kasar, beruntung kalau dia tidak mengusik tunggangan orang lain, mana mungkin dia yang disepak keluar oleh kuda lain orang malah?"

"Lapor Toaya," kata kacung itu, "Toaya memang tidak salah, kudamu dulu yang mengusik kuda lain, tapi dia akhirnya tidak mampu menandingi kedua ekor kuda putih itu."

"Aneh, Hwe-liong-ki masa kalah, dia terluka tidak?" tanya tamu itu.

"Entah, kini dia sedang blingsatan di kebon, apapun diterjangnya, aku tidak berani mendekatinya."

Kepala kantor agaknya menjadi gugup akan kejadian diluar dugaan ini, katanya kebingungan: "Dia masih bisa lari, tentunya tidak terluka. Toaya, apakah kau perlu menemui pemilik kedua ekor kuda putih itu untuk minta ganti rugi?"

Tamu itu berkata: "Binatang berkelahi juga sudah umum, kalau sudah berkelahi kalau tidak menang tentu kalah, buat apa harus menuntut segala? Urusan sekecil ini kenapa harus cari perkara, salah-salah aku ditertawakan orang. Baiklah, biar aku menjinakkan Hwe-liong-ki."

Sudah tentu petugas kantor munduk-munduk serta mengumpak, segera dia ikut berlari keluar menuju ke kebon belakang untuk menyaksikan sang tamu menjinakkan kuda tunggangannya.

Tan Ciok-sing dan In San sama-sama diam seperti ada yang dipikirkan, tiba-tiba Tan Ciok-sing menepuk paha, katanya: "Ya, aku sudah tahu."

"Kau tahu apa?" dalam hati In San berpikir, "mungkin dia sudah menebak siapa pemilik kedua ekor kuda putih itu?"

Tan Ciok-sing berkata: "Tamu itu adalah Bak Bu-wi."

In San tersenyum, katanya: "Maksudmu Bak Bu-wi yang malam itu pernah bergebrak dengan kau di Loh-gau-kio itu?"

"Betul, pasti tidak salah, tamu ini adalah Bak Bu-wi, Moay-yang-pang adalah sindikat gelap di Kanglam yang berkuasa di perairan, agaknya dia pulang dan sembunyi di sarang sendiri."

"Semula tujuannya hendak mencari tulang punggung macam Liong Bun-kong bangsat tua itu, kini terpaksa dia kembali, tapi aku jadi curiga, kembalinya kali ini pasti ada apa-apa yang sedang diembannya."

"Betul. Bukan mustahil kedatangan Poyang Gun-ngo kemari juga atas undangannya."

"Betul, dia minta dua villa yang lain pasti disiapkan untuk Poyang Gun-ngo."

"Seorang diri juga tidak perlu menggunakan sebuah villa, kemungkinan dia mengundang juga beberapa orang, entah siapa?"

"Peduli apa maksud tujuannya, apakah dia sekongkol dengan Poyang Gun-ngo, manusia macam dia setelah kebentur di tanganku, aku tidak akan memberi ampun kepadanya."

"Baiklah, setelah larut malam nanti, kita selidiki keadaannya," demikian usul Tan Ciok-sing.

Waktu itu sudah mendekati kentongan ketiga, namun Kek Lam-wi masih belum kunjung pulang.

Tan Ciok-sing mengajak: "Mari kita selidiki dulu situasi disini, kembalinya nanti menunggu kedatangan Kek-toako pula." Diam-diam mereka- melompat keluar dari jendela, setelah mengitari gunung-gunungan terus menuju ke timur, di sebelah timur terdapat belasan villa, letaknya tersebar tidak teratur di antara pepohonan dan gunung-gunungan.

Tiba-tiba dari depan menghembus angin lalu, hidung In San seketika mengendus-endus, katanya tertawa: "Toako, ada bau aneh yang terbawa angin, kau bisa membedakan bau apa?"

"Sedikit bacin, kalau tidak salah mirip bau najis kuda."

"Ringkik kuda tadi berkumandang dari arah sana, istal kuda pasti berada disana. Biar aku kesana melihatnya."

"Kau ingin melihat kedua ekor kuda putih itu?"

In San mengiakan.

"Orangnya lebih penting dari kuda, kita temukan dulu Bak Bu-wi baru nanti kita tengok binatang empat kaki itu," demikian kata Tan Ciok-sing, dia kira In San hanya sekedar memuaskan rasa ketariknya saja.

In San tertawa, katanya: "Kemungkinan kedua ekor kuda putih itu justru lebih penting dari Bak Bu-wi. Mencari Bak Bu-wi harus memeriksa satu villa ke villa yang lain, kedua kuda putih itu justru bisa segera kutemukan di istal, biarlah aku kesana memeriksanya."

Tergerak juga hati Tan Ciok-sing, katanya: "Baiklah, kalau kularang tentu kau uring-uringan, baiklah kita bertindak sesuai rencana tadi, pergilah ke istal, aku berjaga disini."

Diam-diam In Sin menuju ke istal, belum lagi dia memasuki pintu, kedua ekor kuda putih seperti sudah tahu kedatangannya, keduanya lantas meringkik dan berjingkrak-jingkrak sambil melongokan lehernya keluar. Melihat sikap mereka yang kesenangan, seperti hendak menerjang keluar dari kandang. Lekas In San ulur tangannya mengelus kepalanya, katanya tertawa: "Kalian memang cerdik pandai dan peka perasaan, kalian tidak pangling kepadaku," kedua kuda itu mengulur kepalanya menggosok-gosok lengan In San.

In San berpikir: "Bila mereka meringkik terus-terusan, mungkin bisa mengundang orang kemari," maka dia berkata tertawa: "Baiklah, setelah aku bertemu dengan majikan kalian besok aku kembali."

Cepat-cepat dia kembali ke tempat semula, dilihatnya Tan Ciok-sing menyongsongnya, mimik dan sikapnya kelihatan aneh. Tanpa berjanji mereka buka mulut bersama: "Kau temukan

apa?"-"Coba kau terka?" — "Tidak kau yang ceritakan dulu."

Akhirnya In San bercerita lebih dulu: "Tan-toako, aku sudah bertemu dengan kedua ekor kuda putih itu. Mereka adalah milik teman kita."

"Ha, jadi kuda putih milik Kanglam Sianghiap itu?"

"Iya, kau tidak menduga bukan? Coba katakan apakah kedua ekor kuda ini tidak jauh lebih penting dari Bak Bu-wi?"

"Semula aku memang menduga akan kedua ekor kuda putih itu. Tapi mereka masih berada di markas Kim-to Cecu, sementara kedua ekor kuda itu berada di Pakkhia, bagaimana mungkin secepat ini sudah berada di Soh¬ ciu?"

"Memangnya kau lupa, Sim dan Ciu kedua Thauling sehari lebih dini meninggalkan Pakkhia, tentu dia sudah tiba di markasnya?"

Seperti diketahui kedua ekor kuda putih itu semula dipinjam mereka, belakangan mereka pinjamkan pula kepada Toan Kiam-ping dan Khong Ling-tck dan dibawa ke Pakkhia.

Kata Ciok-sing tertawa: "Kau memang betul. Aku yang ceroboh, masa urusan sepele begini juga harus dipikir simpang siur. Mungkin Toan-toako serahkan kedua ekor kuda putih itu kepada Sim dan Ciu dua Thauling untuk kembalikan kepada Kanglam Sianghiap di markas Kim-to Cecu. Kanglam Sianghiap kelahiran Soh-ciu, mendengar kita datang ke Kanglam hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, tentu mereka mohon izin kepada Kim-to Cecu untuk pulang ke kampung halaman pula. Karena mereka menunggang kedua ekor kuda putih ini, maka dia lebih dulu sampai disini."

"Mungkin mereka akan menemui kita di pesta Ong Goan-tin, sungguh tidak nyana bakal sama-sama menginap di hotel yang sama di hari yang sama pula."

"Kalau dugaanku tidak meleset, pasti orang yang tadi kulihat adalah mereka."

Kejut dan girang In San, tanyanya: "Kau sudah melihat mereka?"

"Aku melihat mereka, sebaliknya mereka tidak melihat aku. Tapi mereka kuatir bila kau melihatnya," ternyata di waktu kedua ekor kuda putih itu meringkik berulang kali, Tan Ciok-sing melihat dua bayangan orang lari munduk-munduk ke arah istal, tapi begitu melihat In San keluar, cepat-cepat mereka mengkeret tubuh menyembunyikan diri.

"Mungkin mereka kuatir kuda putih itu dicuri orang maka keluar memeriksanya. Yakin mereka belum melihat jelas diriku. Toako, sekarang apa yang harus kita lakukan? Cari mereka lebih dulu atau mencari jejak Bak Bu-wi?"

"Aku sudah tahu dimana tempat tinggal mereka. Nah, di villa itu, tadi aku melihat mereka masuk kesana."

Villa itu juga terletak di tengah terapit dua gunungan, membelakangi sebidang hutan bambu, seperti juga letak villa yang di tempati Tan Ciok-sing berdua, letaknya di pojokan yang menyendiri.

Hubungan In San dengan Ciong Bin-siu, salah satu dari Kanglam Sianghiap seperti kakak adik, katanya: "Setelah tahu tempat tinggal mereka, marilah kita temui mereka dulu. Percakapan Bak Bu¬ wi dengan pemilik hotel dapat kita simpulkan, bahwa kedatangannya mungkin menguntit jejak mereka. Mari kita beritahu hal ini kepada mereka."

"Betul, temui kawan lebih dulu baru kita labrak musuh," ujar Tan Ciok-sing," ditambah tenaga mereka berdua, tentu lebih mudah untuk mencari jejak Bak Bu-wi didalam hotel ini," sambil sembunyi-sembunyi dengan langkah hati-hati mereka menuju ke villa yang dituding Ciok-sing tadi.

"Toako," tiba-tiba In San teringat sesuatu, "kedatangan Kanglam Sianghiap memang suatu hal yang menyenangkan, tapi bagi Kek-toako, kurasa justru bisa mengecewakan dia."

"Betul, nenek penjual teh tadi bilang nona penunggang kuda pandai berbahasa Soh-ciu, kemungkinan dia adalah Ciong-lihiap jadi bukan Toh So-so seperti yang diduganya."

"Ya, Kek-toako salah duga aku jadi kuatir. Bila dia tidak menemukan Toh-cici seharusnya sudah kembali kenapa sampai sekarang belum pulang?"

Sampai disini pembicaraan mereka, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan orang. Lekas Ciok-sing tarik lengan In San sembunyi di belakang pohon, di pinggir telinganya dia berbisik: "Yang datang adalah Bak Bu-wi."

In San masih belum melihat jelas, dia berjongkok dan tanyanya lirih: "Temannya siapa?"

"Entah siapa, tapi kelihatannya bukan Poyang Gun-ngo."

Lekas sekali kedua orang ini sudah lewat mengitari gunungan di depan sana.

"Kau masuk lebih dulu," kata Ciok-sing, "biar aku gebah mereka," seperti diketahui dia pernah gebrak melawan Bak Bu-wi, dia yakin dirinya cukup mampu mengatasinya. Meski dia tidak tahu siapa teman Bak Bu-wi, tapi kalau bukan Poyang Gun-ngo, dia yakin dirinya masih mampu mengalahkannya pula. Yang dia kuatirkan justru Kanglam Sianghiap berdua bila mereka tidak menginsafi bahwa dirinya telah diincar musuh, maka dia suruh In San masuk lebih dulu supaya urusan tidak jadi kapiran.

Baru saja In San berlalu, Bak Bu-wi dan temannya itupun telah dekat, Bak Bu-wi pun bicara bisik-bisik dengan temannya itu, tapi dengan mendekam di tanah Tan Ciok-sing masih bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

Didengarnya laki-laki yang tidak dikenal itu berkata lirih: "Lo¬bak, kau tidak salah lihat bukan? Jangan sampai terjadi huru hara disini."

"Walau aku belum pernah melihat bocah bernama Kwik Ing¬ yang dan genduk bernama Ciong Bin-siu itu, tapi kuda tunggangan mereka adalah kuda jempolan yang terkenal, umpama anak buahku salah melihat orang, yakin tidak akan salah mengenali kudanya."

Orang itu tertawa enteng, katanya: "Ya, betul. Tujuan kita memang kedua ekor kuda itu, umpama penunggangnya bukan Kanglam Sianghiap, setimpal juga kali ini turun tangan."

"Satu hal perlu kuperingatkan kepada kau," ujar Bak Bu-wi, "jangan kita membuat keributan di Say-cu-lim sehingga membuat kaget tamu yang lain. Kanglam Sianghiap jelas harus kita hadapi, tapi jangan sampai terjadi banjir darah disini."

"Kau kuatir pemilik hotel disini kerembet perkara sehingga dagangannya jatuh pamor?" kata orang itu, "jangan kuatir, keuntungan tetap akan kuprioritaskan untuk Lo In."

"Bukan demi dagangan In Kip melulu, kita masih akan pinjam tempatnya ini untuk mengail ikan yang lebih besar. Setengah bulan lagi, di waktu Ong Goan-tin mengadakan pesta ulang tahunnya, yakin tidak sedikit orang persilatan yang terkenal berdatangan memberi selamat kepadanya, yang menginap disini tentu tak terhitung jumlahnya. Bila malam ini terjadi keributan, orang luar sampai tahu, biar tersiar luas di luaran, orang orang itu takkan mau menginap disini pula, hubungan kita dengan Lo In tentu diketahui mereka pula."

"Em, ya," orang itu tertawa, "Say-cu-lim ini dijadikan gelanggang untuk memancing ikan besar, memang itulah akal muslihat yang telah direncanakan oleh Liong-tayjin."

"Betul. Jangan kau kira kedudukan Liong-tayjin sekarang kelihatan goyah, padahal dia cukup pandai melihat gelagat dan menyelami jalan pikiran Sri Baginda, yakin akan datang saatnya tenaganya akan diperlukan lagi."

Orang itu berkata: "Mana aku berani memandang rendah Liong Taijin, ketahuilah, Hu-congkoan juga berpesan demikian kepadaku."

Bak Bu-wi tertawa, katanya: "Apa betul? Agaknya kita memang sependapat."

"Lalu bagaimana pendapatmu?"

"Lebih baik sekali tembak kena sasaran, sebelum mereka sempat bersuara kita sudah membekuk mereka. Tapi Kungfu Kanglam Sianghiap memang tidak lemah, aku sedang mempertimbangkan apakah perlu aku menggunakan Ke-bing-ngo-ko-hoa-hun-siang?"

Orang itu agak kurang senang, katanya: "Dupa wangi biasa digunakan oleh kaum bajingan pemetik bunga, perbuatan rendah yang memalukan kaum persilatan, apa tidak menjatuhkan pamor kita. Meski Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu dijuluki Kanglam Sianghiap, aku sih tidak gentar menghadapi mereka."

Di tempat sembunyinya Ciok-sing berpikir: "Besar mulut orang ini, agaknya kedudukannya lebih tinggi dari Bak Bu-wi."

Dari percakapan kedua orang ini, sedikit banyak Tan Ciok-sing sudah meraba lika-liku persoalannya, pikirnya pula: "Kiranya seorang diutus Liong Bun-kong dan yang lain diutus H u Kian-seng untuk menjebak dan mencelakai orang gagah yang berdatangan bakal memberi selamat pesta ulang tahun Ong Goan-tin. Syukur malam ini kebentur di tanganku, betapapun aku tidak berpeluk tangan sehingga rencana jahat mereka tercapai. Tapi cara apa yang tepat untuk menghadapi kedua bangsat ini?" maklum dia sendiri juga tidak ingin membuat keributan disini sehingga perkaranya menjadi besar dan tersiar di luaran.

Tengah dia menimang-nimang, Bak Bu-wi dan temannya itu sudah dekat, tak jauh dari tempat sembunyinya. Mendadak Tan Ciok-sing memperoleh akal. "Kenapa aku tidak pura-pura menjadi ronda lalu menghajar mereka supaya kapok," menurut gambarannya mereka akan ditutuk Hiat-tonya dan dicemplungkan ke empang teratai. Maka cepat dia melompat keluar seraya membentak: "Pencuri bernyali besar," Ciok-sing sengaja mengecilkan suaranya, apalagi dia sudah merias diri menjadi bentuk wajah yang lain, di malam gelap lagi Bak Bu-wi mana bisa mengenalinya.

Bak Bu-wi kaget, memang dia sangka peronda, lekas dia berseru lirih: "Husss, jangan teriak aku adalah Bak..."

Betapa cepat gerakan Tan Ciok-sing belum Bak Bu-wi bicara habis, tahu-tahu dirinya sudah terbekuk orang.

Jelek-jelek Bak Bu-wi adalah seorang Pangcu, ilmu silatnya juga tidak lemah, dalam kagetnya lekas dia gunakan Toh-bau-coat-kak, pundak ditekan ke bawah berbareng kedua lengan disendai, pikirnya hendak mengkelit jatuh Tan Ciok-sing, sayang dia kalah cepat dan kurang cekatan reaksinya, serangan Tan Ciok-sing secepat kilat juga, mengikuti gerakan lawan kedua jari-jari tangannya meremas kencang urat nadinya, seketika Bak Bu-wi lunglai dan jatuh semaput.

Sergapan Tan Ciok-sing berlangsung teramat cepat dan sekejap saja, tahu-tahu Bak Bu-wi telah berhasil dibekuknya. Tetapi temannya itu ternyata memiliki gerakan yang tangkas juga di kala Tan Ciok-sing membalik hendak menubruknya, tahu-tahu terasa angin kencang menerjang dirinya, ternyata orang telah ayun telapak tangannya membelah ke dadanya.

Serangan telapak tangan ini laksana kilat menyambar, sasarannyapun mematikan, dalam saat-saat sekritis itu, hakikatnya Tan Ciok-sing harus berusaha menyelamatkan diri sebelum dia sempat menyambar tubuh Bak Bu-wi untuk menangkis serangan musuh.

Syukur Tan Ciok-sing kini sudah merupakan ahli silat, begitu angin pukulan lawan menerpa tiba, dia lantas tahu lawan ini betul seorang lawan tangguh, terpaksa dia lempar tubuh Bak Bu-wi mendadak gunakan gerakan Hong-tiam-thau, sembari berkelit dia menyelinap ke samping menyongsong pukulan lawan secara kekerasan pula.

"Pyaaaarr", ledakan bagai geledek terjadi akibat dari benturan telapak tangan kedua pihak. Ciok-sing merasa seperti diterjang kekuatan dahsyat bagai gugur gunung yang tak kuasa dibendungnya, tanpa kuasa dia tergentak mundur beberapa langkah.

Orang itu bersuara heran, agaknya dia kaget akan kepandaian Tan Ciok-sing, bentaknya: "Siapa kau?" mulut bicara, kaki tangan bergerak maju, jari tangan tergenggam, kini dia robah serangan dengan Tay-lik-ing-jiau-kang, mencengkram tulang pundak Ciok-sing.

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak mau memberi kesempatan pada lawan untuk merebut inisiatif. Dengan telapak tangan kiri dan jari tangan kanan, secara gesit dia balas menyerang. Terdengar pula benturan keras "Biang" kali ini Ciok-sing tergetar lebih keras dan tergentak mundur delapan langkah, dengan ujung kaki menutul tanah beruntun dia berputar dua kali baru kuasa menegakan badan pula.

Kali ini orang itu menjerit melengking, meski suaranya tidak keras, namun kedengarannya aneh. Ternyata dalam adu kekuatan kali ini meski Tan Ciok-sing menderita rugi lebih besar, tapi orang itupun mengalami cidera yang lumayan, kalau dinilai secara adil, kedua pihak sama-sama terluka. Serangan telapak tangan diselingi tutukan jari Tan Ciok-sing meski tidak kuasa melawan gempuran musuh, tapi dengan jari sebagai ganti pedang, Ciok-sing melancarkan jurus Hian-niau-hoat-sa dari jurus ilmu pedang yang liehay. Dalam kegelapan hakikatnya orang itu tidak melihat jelas dan tidak menduga bahwa Tan Ciok-sing mampu melancarkan serangan liehay menakjubkan ini, sehingga pergelangan tangannya kena ketutul ujung jari tangan.

Bukan saja pergelangan kesemutan, seluruh lengan terasa sakit dan lunglai tak dapat digerakan lagi. Karuan kejutnya bukan main, pikirnya: "Untung bukan Lau-hong-hiat di tengah telapak tanganku yang tertutuk kalau tidak Kungfu yang kulatih puluhan tahun ini bakal buyar dan sia-sia belaka."

Sudah tentu orang itu kini sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing bukan peronda, tapi justru dia tidak tahu asal-usulnya maka rasa kejutnya lebih besar. Hakikatnya dia tidak berani membuat keributan disini, Bak Bu-wi ditawan musuh lagi, mana berani dia tinggal lebih lama pula disini, mumpung lawan tergentak mundur, lekas dia samber Bak Bu-wi yang celentang tak jauh disana terus dibawa lari sipat kuping.

Setelah berputar dua kali baru Tan Ciok-sing mampu berdiri tegak. Sementara itu bayangan orang itu sudah menghilang di semak-semak sana sambil memanggul tubuh Bak Bu-wi. Diam-diam Ciok-sing kaget, pikirnya: "Orang itu memanggul Bak Bu-wi, pada hal pergelangan tangannya terkena tutukanku, tapi masih kuat berlari secepat itu, agaknya Lwekangnya masih lebih tinggi dari aku."

Sementara itu ln San belum masuk ke villa itu, walau dia yakin Tan Ciok-sing tidak akan kalah menghadapi kedua musuhnya tapi dia merasa prihatin juga akan keselamatannya, sebelum melihat jelas hasil tindakan Ciok-sing rasanya kurang lega masuk ke rumah. Maka setiba di depan pintu dia malah berhenti dan menonton dari kejauhan sambil bertolak pinggang, di samping menjaga segala kemungkinan dan membantu Ciok-sing bila perlu, diapun menghadang Kanglam Sianghiap bila mereka menerjang keluar serta membuat keributan yang tidak diinginkan.

Setelah melihat orang itu lari memanggul Bak Bu-wi, Tan Ciok-sing masih belum menghampiri dirinya, karuan kagetnya bukan main. Lekas dia berlari balik dan tanya perlahan: "Toako, kenapa kau?"

Tan Ciok-sing kerahkan hawa murni dan berputar tiga kali ke sekujur badannya, rasa sesak dadanya seketika lenyap, sahutnya: "Syukur tidak sampai terluka dalam."

Lega hati In San tapi dari nada Ciok-sing dia merasa Toakonya menderita rugi maka kagetnya lebih besar lagi, tanyanya: "Apakah orang itu begitu liehay?"

Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Semula kukira dia hanya membual saja, tak kira dia memang memiliki Kungfu yang liehay. Terus terang, dia adalah musuh tangguh yang baru pertama kali ini kuhadapi, Lwekangnya masih lebih unggul dibanding Hu Kian-seng atau Bok Su-kiat, kira-kira setaraf dengan Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu itu. Tapi meski kali ini aku menderita rugi, diapun tidak memperoleh keuntungan, lukanya mungkin tidak lebih ringan."

"Seliehay itu?" In San melelet lidah, "Toako, apa betul keadaanmu tidak mcngkuatirkan!"

"Untung di malam gelap, kalau di siang hari aku jelas bukan tandingannya. Kau tak usah kuatir dengan ajaran Lwekang Suhu yang kuyakinkan, meski melawan dua kali pukulan dahsyatnya, aku tidak gampang dilukai. Kelak bila bersua kembali, kita harus melawannya dengan Siang-kiam-hap-pik yakin aku dapat mengalahkan dia."

"Lekas kau masuk beristirahat. Apa kau bisa menggunakan ginkang? Kalau tidak bisa biar aku undang mereka keluar."

"Biar kucoba dulu, mari kau gandeng aku." Ilmu Ginkang atau gerakan tubuh yang diajarkan Thio Tan-hong ada sebuah gerakan yang dinamakan Pi-gi-siang-hwi (pentang sayap berganda), dikembangkan dua orang yang bergandengan tangan serta melompat bersama, yang tangguh membantu yang lemah sehingga satu sama lain saling isi sehingga lompatan bisa mencapai sejauh mungkin.

Tembok tidak tinggi, In San pikir umpama Ciok-sing belum mampu mengembangkan Ginkang, dirinya yakin masih mampu menggandengnya lompat ke atas. Tak nyana begitu tangan bergandengan, belum lagi In San kerahkan tenaga, tahu-tahu terasa tubuhnya menjadi enteng dan tertarik mumbul ke atas tembok. Tujuan semula dia yang hendak bantu Ciok-sing, kenyataan justru dia yang ditarik Tan Ciok-sing. Baru sekarang dia tahu bahwa Lwekang Tan Ciok-sing memang amat tangguh dan tidak kurang suatu apapun.

Di kala mereka bergandengan melompat tinggi dan menutul di atas tembok serta bergandengan turun kedalam, di saat ujung kaki menyentuh tanah, tiba-tiba terasa angin kencang menerjang tiba, dua batang pedang tahu-tahu sudah menusuk tiba.

Ciok-sing mahir mendengar suara membedakan senjata, dia tahu ujung pedang mengincar Ci-tong-hiat di bawah ketiak. Ci-tong-hiat adalah Hia't-to pelemas, agaknya pembokong hanya bertujuan menawan dirinya hidup-hidup, jadi tidak bertujuan membunuhnya.

Sudah tentu Ciok-sing tahu siapa penyerang ini dan tahu bahwa orang salah sangka dikira dirinya adalah musuh, namun cara turun tangannya pakai perhitungan. Maka diapun hanya kerahkan sedikit tenaga menjentik dengan jari tengah, pedang lawan dijentiknya pergi dengan Tan-ci-sin-thong. Sementara setangkas kupu tahu-tahu In San bergerak dengan gerakan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sekali bergerak tubuhnya sudah menyingkir kesana.

Mereka sama-sama memperlihatkan gerakan yang sudah dikenal baik oleh penyerangnya, maka dua orang seketika bersuara heran. "Ciong-cici," lekas In San berseru perlahan, "jangan membuat gaduh, aku bersama Tan-toako."

Kedua penyerang itu memang Kanglam Sianghiap, ternyata mereka juga mendengar pertarungan diluar, maka diam-diam mereka sudah siap menyambut musuh di pekarangan.

Kejut dan senang hati Ciong Bin-siu, katanya: "In-moaycu, kiranya kau, kenapa kau berubah jadi pemuda seganteng ini? Kalau tidak salah masih ada dua orang, siapa mereka dan kemana?"

"Kedua orang itu hendak berbuat jahat kepada kalian sudah digebah pergi oleh Tan-toako," sahut In San.

Kwik Ing-yang kaget, katanya: "Apa yang terjadi?"

"Panjang ceritanya, mari bicara didalam," ajak Tan Ciok-sing.

Setiba di rumah Kwik Ing-yang menyulut lampu, melihat noda darah yang mengotori pakaian Ciok-sing, Kwik Ing-yang kaget, tanyanya: "Tan-toako, kau terluka?"

"Terluka sedikit, tidak apa-apa," sahut Tan Ciok-sing.

Karena pedangnya dijentik dengan Tan-ci-sin-thong, Kwik Ing-yang maklum apa yang dikatakan Tan Ciok-sing memang bukan pura-pura. Katanya tertawa: "Ya, dengan bekal Kungfumu sekarang, berapa orang dalam Kangouw sekarang yang mampu melukai kau. Tapi orang itu mampu meloloskan diri dari tanganmu, liehay juga dia, siapa dia?"

Maka Tan Ciok-sing tuturkan kejadian diluar barusan secara singkat.

"Jadi kalian bentrok dengan Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu."

Ciong Bin-siu menimbrung: "Pada hal tujuan mereka adalah kami. Tan-toako, syukur kau membantu secara diam-diam, kalau tidak mungkin kami tidak akan lolos dari tipu daya mereka berdua."

"Bak Bu-wi tidak perlu dibuat takut," ucap Tan Ciok-sing, "tapi terrjannya itu baru terhitung lawan tangguh."

Kwik Ing-yang berkuatir. katanya: "Setelah terjadi peristiwa ini, asal-usul kita tak bisa disembunyikan lagi. Kukira tempat ini tidak lagi cocok bagi kami,"

"Apa sekarang juga kita harus pindah dari sini?" tanya Ciong Bin-siu.

"Kita memang harus meninggalkan tempat ini. Tapi juga tidak perlu tergesa-gesa," kata Ciok-sing, lalu percakapan Bak Bu-wi dengan temannya yang dia curi dengar dia ceritakan kepada Kanglam Sianghiap.

"Hm, kurcaci, jadi mereka hendak menjadikan Say-cu-lim sebagai gelanggang memancing ikan, arti kata lain hendak menjaring orang-orang gagah yang bakai menginap disini. Keji benar rencana mereka," demikian kata Kwik Ing-yang gemes.

In San teringat sesuatu, katanya: "Ciong-cici, apakah kemarin kau mampir di sebuah gardu minuman membeli dua ekor goreng bebek?"

"Benar, sejak kecil aku suka makan goreng bebek, maka diluar kota aku sudah membelinya untuk kubawa pulang," demikian sahut Ciong Bin-siu.

"Waktu itu Kwik-toako tidak bersama kau, benar tidak?" In San menegas.

"Bagaimana kau bisa tahu sejelas ini?"

"Nenek yang empunya gardu minuman itu yang cerita kepadaku."

"Betul. Ing-yang pergi menguntit orang yang dicurigai, maka di simpang jalan dia berpisah dengan aku. Kira-kira setengah hari kemudian baru dia menyusulku."

"Kwik-toako," tanya In San, "siapa yang kau curigai sampai perlu kau menguntitnya?"

"Orang-orang Bu-san-pang," sahut Kwik Ing-yang.

In San melenggong, katanya: "Bu-san-pang yang mahir menggunakan senjata rahasia beracun itu? Kalau tidak salah pernah kudengar Kim-to Cecu membicarakan Bu-san-pang ini, tapi tidak banyak yang kuketahui."

"Semula Bu-san-pang hanya sebuah kumpulan kecil di Su-jwan, namun namanya cukup terkenal. Memang mereka pandai menggunakan senjata rahasia beracun dan sudah terkenal di Kangouw. Dipimpin seorang Tho-su perempuan, biasa dipanggil Bu-sam Niocu. Sepak terjangnya kanan kiri tidak menentu, tidak jahat juga tidak lurus, tapi belakangan ini aktif mereka lebih menjurus ke arah yang sesat. Maka tahun yang lalu, waktu Bu-sam Niocu menemui Kim-to Cecu dan mohon diterima untuk menggabung ke barisan laskar rakyat telah ditolak oleh Kim-to Cecu secara tegas."

"Gembong jahat begitu memangnya dia juga hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin?" kata Ciok-sing.

"Memangnya, aku juga sedang curiga," ucap Kwik Ing-yang. "Di tengah jalan begitu melihat jejak orang itu, timbul keinginanku untuk mencari tahu apakah di antara mereka ada Bu-sam Niocu?"

"Apa kau kenal dia?" tanya In San, "kenapa aku tidak pernah dengar."

"Aku kenal dia," sahut Kwik Ing-yang, "tapi dia tidak mengenalku."

"Lho, kenapa?" tanya In San.

"Kim-to Cecu pernah menggambarkan tampangnya kepada kami, tampangnya agak berlainan dengan paras perempuan umumnya, mukanya kasar tingkah lakunya lebih menyerupai laki-laki, di pelipis kirinya ada goresan bekas bacokan golok."

"Kau berhasil menguntit mereka? Apa betul dia?" Ciok-sing mendesak.

"Setiba di persimpangan jalan, kami tidak tahu jalan mana yang mereka tempuh, terpaksa aku berpisah dengan adik Bin-siu. Aku memilih jalan pertama yang menuju ke kiri, kira-kira setengah sulutan dupa aku sudah menyandak rombongan orang itu. Bu-sam Niocu memang berada dalam rombongan itu. Supaya tidak menarik kecurigaan mereka, setelah aku melampaui rombongan mereka, aku berputar agak jauh lalu kembali ke arah datangku semula. Kudaku lari kencang, di waktu lewat di sampingnya, sekilas aku meliriknya, kudapati sikapnya menaruh curiga terhadapku."

"Aku justru yang harus mencurigai dia," sela Ciong Bin-siu, "sarangnya jauh berada di Su-jwan, entah kenapa tahu-tahu muncul di Soh-ciu?"

Kwik Ing-yang lantas teringat sesuatu, katanya: "Betul, pernah kudengar Sim dan Ciu dua Thauling bicara, katanya kalian bersama Kek Lam-wi meninggalkan kota raja. Kek Lam-wi hendak menyusul calon istrinya, tiba waktunya juga akan pergi ke Thay-ouw memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, betul?"

Tan Ciok-sing mengiakan.

"Sekarang dia pergi ke Yang-ciu seorang diri atau..."

"Dia masih bersama kami dan menginap juga di Say-cu-lim. Tapi sekarang dia sedang keluar."

"Tak heran dia tidak muncul disini, dia kemana?" tanya Ciong Bin-siu.

"Mencari seorang famili Toh So-so yang tinggal di Soh-ciu, mencari tahu jejaknya," Ciok-sing menerangkan.

Ciong Bin-siu sadar, katanya tertawa: Makanya kalian tanya sejelasnya itu kepada nenek penjual teh itu. Jadi Kek Lam-wi mengira aku ini adalah Toh So-so?”

In San menghela napas, katanya: “Iya. Sudah tentu dia tidak kira kau bakalberada disini.”

"Sungguh aku menyesal, Kok toako harus kecewa karenanya. Apa besok dia sudah kembali?”

"Dia bilang, begitu mendapat kabar, berhasil tidak menemukan nona Toh, dia akan pulang memberitahu kepada kami" kata Ciok-sing.

Kwik Ing-yang kaget, katanya: "Jelas dia tidak akan menemukan Toh So-so, seharusnya sekarang dia sudah pulang. Waktu kalian meninggalkan villa..."

"Setelah kentongan ketiga baru kami keluar, waktu itu Kek-toako masih belum pulang," ujar Tan Ciok-sing.

"Kemungkinan sekarang dia sudah pulang," ucap In San, "mari kita kembali."

Kwik Ing-yang berkata: "Bila Kek-toako sudah pulang, tolong kalian ajak dia kemari."

"Sekarang sudah menjelang fajar," kata Ciok-sing, "biar setelah terang tanah kami akan kemari."

"Begitupun baik," ujar Kwik Ing-yang, "daripada kalian mondar mandir, celaka bila kepergok peronda, tentu menimbulkan kecurigaan," dari perkataan ini Tan ciok-sing sudah maklum bahwa kwik Ing-yang berdua tentu sudah tahu asal-usul pemilik hotel ini, namun dia sudah tidak sempat membicarakan hal ini dengan mereka.

Seperti waktu keluarnya tadi, diam-diam mereka melompati pagar tembok, setiba di villa kediaman mereka. Langsung mereka menuju ke kamar di bawah loteng, dimana sudah diatur kamar Ciok-sing bersama Kek Lam-wi. Baru saja mereka melangkah memasuki pintu samping, terasa kesiur angin menyampuk tiba, seperti ada sebuah senjata panjang menutuk ke Jian-kim-hiat di pundak Tan Ciok-sing.

Ciok-sing mengangkat jarinya menjepit seraya bersuara lirih: "Kek-toako, inilah aku."

Kek Lam-wi menyerang dengan King-sin-pit-hoat, begitu

menghadapi serangan orang dia lantas tahu siapa yang menyerangnya, apalagi setelah jarinya menjepit senjata lawan, terasa memang bulat licin, yaitu seruling kemala hangat milik Kek Lam-wi.

Kek Lam-wi lantas menyalakan lampu, katanya: "Kalian pergi kemana, kenapa sekarang baru kembali? aku tidak tahu apa yang kalian alami, aku jadi curiga ada orang datang hendak menyergapku lagi."

Mendengar 'menyergap lagi' Ciok-sing jadi kaget, tanyanya: "Apa yang kau alami? Apakah di tengah perjalanan pulang kau disergap orang?"

"Ya, memang aku dibokong, tapi bukan di Say-cu-lim. Mungkin penyerang itu tidak bermaksud membunuhku, maka aku hanya luka-luka ringan, kalian tak usah kuatir."

"Apa yang telah kau alami? Lekas kau terangkan," desak Tan Ciok-sing.

"Aku justru ingin cepat tahu apa yang kalian alami disini, sehingga perlu kalian keluar bersama, kalau tidak hatiku tidak akan rentram."

"Baik, akan kuuraikan dua hal kepada kau. Pertama, kami bentrok dengan Bak Bu-wi dan seorang jago kosen yang belum diketahui namanya. Kedua, Kanglam Sianghiap juga tinggal di Say-cu-lim ini. Baru saja kami pulang dari kediamannya di villa yang lain. Karena banyak yang kami bicarakan, baru sekarang kami pulang."

Senang tapi juga kecewa hati Kek Lam-wi, katanya: "Agaknya aku salah kira, Ciong-lihiap kusangka adik So-so. Berita apa yang mereka bawa, kalian bentrok dengan Bak Bu-wi, bagaimana kelanjutannya?"

"Perlahan-lahan kujelaskan.

Sekarang ceritakan pengalamanmu," desak Ciok-sing. Dia sudah perhatikan sikap dan mimik Kek Lam-wi agak kurang normal.

"Aku sudah menemui famili adik So-so itu, dia bilang hakikatnya tidak tahu kalau adik So-so sudah pulang ke Soh-ciu. Aku amat kecewa, aku lantas pulang."

"Kira-kira tiga li sebelum aku sampai di Say-cu-lim, mendadak aku diserang dengan senjata rahasia, serangan pertama berhasil kukelit, tapi serangan kedua mengenaiku dengan telak. Penyerang gelap itu memiliki Ginkang yang bagus, karena terluka tak berani aku mengudaknya, terpaksa aku berusaha mengobati dulu luka-lukaku."

Mendengar Kek Lam-wi terkena senjata rahasia, Tan Ciok-sing kaget, tanyanya: "Kau terkena senjata rahasia apa? Bagaimana luka-lukamu?"

"Tidak soal, hanya kulit dagingku saja yang lecet, tapi senjata rahasia yang digunakan itu agaknya punya asal-usul yang patut diperhatikan. Nah kalian periksa."

Di bawah lampu Tan dan In memeriksa senjata rahasia itu dengan seksama, tampak bentuk senjata rahasia itu mirip seekor kupu-kupu kecil, ada sayap yang tipis tapi sisinya tajam. Pakaian Kek Lam-wi sobek karena ketajaman senjata rahasia ini sehingga kulit dagingnya ikut tergores sedikit.

In San membolak-balik senjata rahasia itu sekian lamanya, katanya setelah menepckui "Ouw-tiap-piau seperti ini jarang terlihat. Kek-toako, kalian Pat-sian luas pergaulan dan banyak pengetahuan umpama belum pernah lihat pasti pernah dengar. Tahukah kau termasuk aliran mana senjata rahasia sejenis ini?"

"Apa kalian pernah dengar nama Bu-san-pang," tanya Kek Lam-wi.

In San kaget, kalanya: "Bu-san-pang yang serba ahli menggunakan senjata rahasia itu? Baru tadi Kanglam Sianghiap membicarakan asal-usul Bu-san-pang itu dengan kami."

"Ouw-tiap-piau ini adalah senjata rahasia tunggal yang biasa digunakan oleh Bu-san-pang Pangcu yang bernama Bu-sam Niocu."

Ciok-sing betul-betul kaget, tanyanya: "Senjata rahasia tunggal Bu-sam Niocu? Kurasa tidak boleh dianggap enteng. Lekas kau telan Bik-ling-tan peninggalan guruku ini..."

Bik-ling-tan dibuat dari sari Thian-san-soat-lian (teratai salju) kasiatnya dapat memunahkan seratus jenis racun, merupakan obat pemunah racun yang tak ternilai dan paling sulit didapat.

Tapi Kek Lam-wi mandah tertawa saja, katanya kalem: "Terima kasih akan kebaikanmu Tan-heng, luka seringan ini tak usah menggunakan Bik-ling-tan yang tak ternilai itu. Walau senjata rahasia ini milik Bu-sam Niocu, tapi Ouw-tiap-piau ini tidak mengandung racun. Setelah kububuhi Kim-jong-yok, rasa sakit telah hilang."

"Senjata rahasia tunggal Bu-sam Niocu ternyata tidak beracun, berita aneh," kata In San heran.

"Maka itu, tadi aku katakan dia tidak bermaksud membunuhku. Kenapa pula kalian membicarakan Bu-san-pang dengan Kanglam Sianghiap?"

"Di tengah jalan mereka bersua dengan rombongan orang Bu-san-pang. Kira-kira sejam Bu-Sam Niocu tiba di Soh-ciu lebih dulu dari kita," lalu In San ceritakan pembicaraannya dengan Kwik Ing-yang.

"Bu-san-pang jauh berada di Su-jwan barat, jejak mereka jarang keluar dari Sam-siap, kenapa mendadak berada di Soh-ciu? Di waktu Kanglam Sianghiap membicarakan hal ini dengan kami, kami sudah menduga-duga dan tidak habis mengerti, sekarang aku baru paham ternyata maksud tujuan mereka hendak menyergap Kek¬ toako," demikian ujar In San.

Kek Lam-wi geleng-geleng kepala, katanya: "Jauh-jauh mereka meluruk ke Soh-ciu ini aku yakin bukan lantaran mau menyergap aku saja."

"Tindak-tanduk mereka memang aneh, kalau tidak ingin membunuh Kek-toako kenapa pula membokong kau? Buat apa mereka mencari gara-gara terhadap Pat-sian? Bukankah mencari permusuhan?"

"Aku juga belum dapat menyelami tujuan mereka yang sebenarnya, tapi belakangan terjadi pula suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan orang-orang Bu-san-pang?"

"Peristiwa apa?" Tan dan In tanya bersama.

Sebelum berkata Kek Lam-wi memejam mata mendengarkan sesuatu dengan cermat, Tan Ciok-sing berkata: "Diluar yakin tiada jejak manusia."

Kek Lam-wi berkata lirih: 'Diluar tiada orang mencuri dengar. Tapi kita harus ingat, kita menginap di hotel milik In Kip, jelas punya maksud jahat, tidak boleh tidak harus hati-hati. Marilah kita bicara di atas loteng saja, siapa tahu di belakang dinding ada telinga."

Melihat sikapnya bersitegang leher, entah kejadian apa yang pernah dialaminya, mau tidak mau Tan Ciok-sing dan In San ikut merasa risau.

Setiba di kamar di atas loteng, Kek Lam-wi menutup pintu, baru melanjutkan pembicaraan: "Waktu aku pulang kemari sudah mendekati kentongan ke empat. Aku keluarkan nomor tembaga itu, setelah penjaga memeriksa, baru pintu itu dibuka membiarkan aku masuk."

"Melihat kau selarut itu baru pulang, sudah tentu penjaga pintu merasa heran," ujar In San tertawa.

"Sebaliknya, yang merasa kaget dan heran justru adalah aku, bukan dia."

"Lho mengapa?"

"Pintu kebon terbuka, begitu aku melangkah masuk, didalam sudah ada seorang menyongsong kedatanganku. Coba terka siapa dia?"

"Mana aku bisa menerkanya, lekas kau terangkan saja siapa dia?" In San gugup.

"Kuasa hotel itu," ujar Kek Lam-wi.

"Ya, memang tidak terduga, kuasa hotel memang angkuh, tapi uang memang licin, selarut itu dia masih menunggu kau pulang. Em, mungkin lantaran kau menyogoknya dengan uang emasmu itu."

Kek Lam-wi tertawa, katanya: "Uang emas itu mungkin penyebab sehingga dia tidak memandang rendah kita, tapi aku yakin sikapnya itu bukan lantaran uang emas itu sehingga dia perlu bermuka-muka terhadap kita."

"Lalu lantaran apa?" tanya In San.

"Jangan terburu nafsu," ujar Tan Ciok-sing tertawa, "dengarkan saja cerita Kek-toako."

Kek Lam-wi meneruskan ceritanya: "Dengan laku hormat kuasa hotel itu berkata terhadapku: 'Kek-ya telah pulang, mohon maaf, aku terlambat menyambut.' Aku bilang kenapa selarut ini kau masih belum tidur? Dia bilang: 'Aku memang menunggu Kek-ya pulang. 'Aku bilang terima kasih. Waktu itu aku sudah mulai curiga, maka aku ulur tangan berjabatan dengan dia sebagai tanda terima kasih."

"Berjabat tangan sekaligus kau menjajal Lwekangnya?" tanya Ciok-sing.

"Betul, aku mencobanya."

"Bagaimana hasilnya?"

"Susah diukur."

Ciok-sing kaget, serunya: "Kuasa hotel itu bertampang biasa, ternyata seorang kosen?"

"Mungkin Lwekangku yang terlalu cetek dan belum lama ini mengalami luka-luka, maka kurasa Lwekangnya susah diukur. Bila kau Tan-toako yang menjajal dia, jelas berbeda. Waktu aku mencobanya, semula hanya kukerahkan tiga bagian tenaga terus bertambah sampai delapan sembilan bagian kekuatanku, namun sikapnya tetap biasa seperti tidak merasa apa-apa, wajahnya tetap bersenyum dan berkata supaya aku tidak usah sungkan, tapi dia ternyata tidak memberi reaksi."

"Meski kesehatan Kek-heng baru sembuh, tapi dia memiliki Kungfu sebaik itu, boleh terhitung sebagai jago kosen kelas satu di Kangouw. Lalu bagaimana?"

"Akhirnya dia undang aku ke kantornya untuk bicara, katanya ada urusan penting yang hendak dibicarakan," demikian tutur Kek Lam-wi, "waktu itu aku ragu-ragu, namun kupikir apa halangannya mendengar penjelasannya, maka aku ikut masuk ke kantor."

Sampai disini Kek Lam-wi merogoh keluar selembar undangan, katanya: "Setelah duduk dia mengeluarkan kartu undangan ini, katanya majikannya mengundangku untuk menghadiri perjamuan."

Undangan itu hanya ditujukan kepada Kek Lam-wi seorang, waktu Tan Ciok-sing buka kartu undangan hanya terdapat beberapa baris tulisan yang mengharap kehadirannya dalam perjamuan yang diadakan di suatu tempat pada tanggal dan hari yang sudah ditentukan, di bawah tertanda In Kip.

Tan Ciok-sing manggut¬-manggut, katanya: "Kiranya dia sudah tahu bahwa kau adalah Kek-jithiap dari salah satu Pat-sian, tak heran sikapnya menjilat kepadamu."

"Untung mereka belum tahu asal-usulku dan Tan-toako," demikian In San, "bila In Kip sudah tahu, tak mungkin hanya Kek Lam-wi seorang saja yang diundang."

Kek Lam-wi meneruskan: "Tahu tak mungkin mengelabui orang, tapi aku yakin In Kip pasti tidak berani mencari setori dengan Pat-sian, maka aku coba mengorek keterangannya: "Apa aku saja yang diundang?"

"Kuasa hotel berkata: 'Maaf, majikan ada pesan, undangan ini khusus hanya untuk Kek-jitya saja. Beliaupun mengharap supaya soal undangan ini Jitya tidak memberitahu kepada orang lain, termasuk kedua temanmu itu."

In San tertawa, katanya: "Persoalan sudah jelas. Aku jadi tidak mengerti kenapa mereka bertindak secara sembunyi-sembunyi?"

Tan Ciok-sing juga mendapat firasat, undangan In Kip kali ini bukan mustahil merupakan muslihat jahat.

"Memangnya aku juga merasa keki akan sikap mereka yang sembunyi-sembunyi, tapi aku hendak menolak undangan ini, kuasa hotel itu sudah mengeluarkan dua benda, katanya: 'Inilah pemberian majikanku untuk Kek-

jithiapF - Melihat benda itu

seketika aku telan kembali ucapan yang mau kulontarkan."

"Dua benda apakah itu?" tanya In San.

"Inilah yang pertama, kau periksa dengan seksama," ujar Kek Lam-wi.

Kontan In San bersuara heran, katanya: "Bukankah ini Ouw-tiap-piau, senjata rahasia tunggal milik Bu-sam Niocu itu, untuk apa kau mengeluarkan pula?"

Kek Lam-wi tertawa, katanya: "Inilah Ouw-tiap-piau yang telah dilumuri racun jahat, kena darah mencekik leher, kau harus hati-hati, jangan sampai tanganmu tergores luka keluar darah. Yang satu ini adalah Ouw-tiap-piau yang tadi kalian periksa, tidak beracun.'

In San letakan kedua Ouw-tiap-piau itu di atas meja, jajar dan teliti, kalau tidak diperhatikan orang sulit melihat perbedaannya, piau kupu-kupu yang beracun, sayapnya sedikit berwarna ungu.

In San heran, tanyanya: "In Kip memberikan piau beracun milik Bu-sam Niocu kepada kau, apa maksudnya?"

"Kau boleh lihat dulu benda yang kedua ini," ujar Kek Lam-wi, yang dikeluarkan kali ini adalah sebentuk tusuk kondai terbuat dari batu kemala.

"Batu kemala terbaik, buatannyapun halus dan rajin. Hm, piau beracun ditambah tusuk kondai, kado yang diberikan In Kip kepada kau tidak murah nilainya. Tapi sifat kedua kado ini justeru berlainan. Kau bisa menerka arah maksudnya?"

"Sudah kupahami," ujar Kek Lam-wi.

"Apa tujuannya?"

Kalem suara Kek Lam-wi: "Inilah tusuk kondai yang biasa dipakai di atas sanggul So-so."

In San keplok tangan, serunya: "Tak heran, aku seperti pernah melihat tusuk kondai ini."

Tutur Kek Lam-wi lebih jauh: "Setelah menyerahkan kedua kado ini kepadaku, kuasa hotel berkata pula: 'Majikanku bermaksud meminjam kembang

dipersembahkan kepada sang Budha. Jikalau Kek-jithiap ingin bertemu dengan pemilik kedua benda ini, maka Kek-jithiap harus hadir tepat pada waktu perjamuan yang ditentukan."

In San manggut dan paham, katanya: "Sekarang aku tahu tujuan mereka. Melalui kedua kado ini In Kip memperingatkan dirimu, bahwa Toh-cici kini jatuh ke tangan orang-orang Bu-san-pang. Kalau kau ingin menolong Toh-cici, maka kau harus tunduk akan keinginan mereka."

Kek Lam-wi tertawa getir, katanya: "Betul, agaknya In Kip ada intrik dengan Bu-san-pang, So-so digunakan untuk mengancam diriku. Hanya aku tidak tahu apa yang mereka inginkan atas diriku?"

"Mereka hanya mengundang kau saja, dilarang memberitahu kepada kami, dari sini dapat kita simpulkan, bila terjadi kekerasan kuatir tidak menguntungkan mereka. Hm, cara yang keji mereka gunakan karena mereka sudah menduga bahwa kau pasti berusaha menolong nona Toh, dalam keadaan seperti sekarang kau hanya bisa tunduk akan perintah mereka."

In San bertanya: "Apakah In Kip mengundang kau di rumahnya?" dia pikir bila tahu alamat In Kip, bersama Tan Ciok-sing dia siap meluruk kesana memberi bantuan bilamana perlu.

"Entahlah," sahut Kek Lam-wi, "kuasa hotel bilang, bila tiba waktunya dia akan utus seorang menjemput dan mengantar aku. Dia suruh aku berusaha cari alasan meninggalkan kalian," agaknya dia juga sudah meraba jalan pikiran In San, lalu menambahkan: "Kalau benar So-so terjatuh ke tangan mereka, tiada gunanya kalian ikut kesana."

Ciok-sing dan In San tanya bersama: "Jadi bagaimana keputusanmu, pergi atau tidak?"

Kek Lam-wi masih bimbang, katanya: "Bagaimana menurut pendapat kalian?"

"Kemungkinan setelah mencelakai Toh-cici, jiwamupun bakal direnggut mereka," kata ln San.

"Sebetulnya bila mereka mau merenggut jiwaku tak usah susah payah mengatur tipu daya segala. Pertama, waktu Bu-sam Niocu menyergapku, dia bisa menggunakan piau beracun, sejak itu jiwaku pasti sudah melayang. Kedua, dengan taraf kepandaian kuasa hotel, bila tadi mendadak dia turun tangan keji. pasti aku sudah mampus atau terluka parah di tangannya."

Berpikir sejenak akhirnya Tan Ciok-sing berkata: "Uraianmu memang betul. Agaknya tujuan utama mereka bukan menginginkan jiwamu,

kemungkinan di belakang persoalan ini ada suatu rencana keji, kau disudutkan dan terpaksa harus tunduk serta berjanji membantu mereka."

"Tapi bila benar So-so di tangan mereka, bagaimana juga aku tak bisa berpeluk tangan."

"Sudah tentu," ucap Tan Ciok-sing dan In San bersama.

Maka tetap keputusan Kek Lam-wi, katanya: "Betapapun berbahaya, aku sudah pasti akan menyerempetnya.

Dalam hati kecil Tan Ciok-sing merasakan cara ini kurang tepat, namun dalam keadaan mendesak begini, tiada cara lain yang dapat mereka simpulkan untuk menolong Toh So-so. Demi keselamatan Toh So-so, maka Tan Ciok-sing tidak mungkin merintangi kehendak Kek Lam-wi.

Tanpa merasa mereka bicara semalam suntuk fajarpun telah menyingsing.

Memandang keluar jendela, Kek Lam-wi jadi teringat, katanya: "Kanglam Sianghiap masih menguatirkan dirimu, kini sudah terang tanah, sepantasnya aku kesana menemui mereka. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, kurasa tidak leluasa. Tan-toako, tolong kau saja yang menyampaikan berita ini kepada mereka."

"Baiklah," sahut Tan Ciok-sing. Baru saja dia beranjak hendak turun ke bawah loteng, tiba-tiba didengarnya ada orang membuka pintu di bawah.

Lekas Kek Lam-wi berkata: "Jangan gegabah, kalau tujuannya hendak menyergap orang, tidak mungkin dia berani masuk dari pintu depan."

"Baiklah, biar kuturun melihatnya, bila ada urusan akan kupanggil kau," ucap Ciok-sing lalu beranjak keluar.

Setiba di bawah loteng, ternyata seorang kacung muda berusia tujuh belasan membawa sapu. "Aku yang menyapu dan membersihkan villa ini," ucap kacung muda itu, "maaf, gerak-gerikku teramat kasar sehingga tuan terjaga bangun sepagi ini."

Lega hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Tak heran dia mempunyai kunci duplikat," katanya: "O, tidak apa-apa, sejak tadi aku sudah bangun."

Ciok-sing duga Kek Lam-wi sudah dengar perkataan si kacung, maka dia merasa tidak perlu naik ke atas memberitahu. Maka dia ajak kacung ini ngobrol: "Kau, amat rajin bekerja, sepagi ini kau sudah mulai bekerja."

Kacung muda itu mengikuti Ciok-sing masuk ke kamar, tiba-tiba dia merendahkan suara berbisik: "Tuan, adakah kau ini Tan Ciok-sing Tan-siauhiap?"

Tan Ciok-sing terperanjat, lekas dia menoleh dan tanya: "Siapa kau?"

"Aku utusan Seng Toa-coan. Cong-piauthau dari Ceng-lam Piaukiok untuk menyerahkan surat kepada kau. Beliau kurang leluasa kemari mencari kalian," sahut si kacung.

Seng Toa-coan adakah kenalan baik Kek Lam-wi sejak leluhur mereka, hal ini Tan Ciok-sing sudah tahu.

Curiga dan tidak tentram hati Tan Ciok-sing, katanya: "O, jadi kau ini bukan kacung yang biasa membersihkan tempat ini?"

"Tidak," sahut si kacung, "aku memang kacung yang diupah oleh hotel disini. Tapi akupun adalah murid Seng-cong-piauthau, hal ini tiada seorangpun dalam hotel ini yang tahu."

Tan Ciok-sing maklum ternyata kacung ini sengaja ditanam di Say-cu-lim sebagai mata-mata dan bekerja sebagai kacung, spion yang memberi informasi kepada Seng Toa-coan, Ciok-sing tanya: "Ada kabar apa?"

"Seng-cong-piauthau suruh aku menyampaikan, diharap kalian tengah hari nanti pergi ke Ham-san-si diluar kota."

"Tengah hari?" diam-diam Tan Ciok-sing menerawang, bertepatan dengan Kek Lam-wi yang harus menghadiri perjamuan undangan In Kip."

Kacung itu berkata lebih lanjut: "Seng-cong-piauthau bilang, bila kalian bertiga tidak bisa pergi, seorang saja juga tidak jadi soal, tapi diharap Tan Tayhiap sendiri yang harus kesana."

"Apa kau tahu siapa pula yang diundang untuk ke Ham-san-si?" tanya Ciok-sing.

"Bukan Seng-cong-piauthau yang mengundangmu ke Ham-san-si, siapa dia aku tidak tahu. Tapi Seng-cong-piauthau bilang orang itu menunjuk dirimu dan hendak berhadapan langsung dengan kau. Bila kau sudah berhadapan dengan dia, kau akan tahu siapa dia."

"Baiklah, aku akan datang tepat pada waktunya. Masih ada berita lain?"

"Ada. Tapi bukan berita yang dikirim Seng-cong piauthau untuk disampaikan kepada kau, tapi berita yang berhasil kucuri dengar."

"Bagus, coba kau terangkan."

"Kuasa hotel sudah tahu asal-usul kalian."

Hal ini sudah dalam rekaan Tan Ciok-sing, namun tak urung dia bertanya: "Darimana kau tahu bila kuasa hotel sudah tahu?"

"Semalam kira-kira kentongan ketiga, kudengar kuasa hotel berbicara dengan seorang di kantornya."

"Siapa yang dia ajak bicara?"

"Berapa kali mereka menyebut nama Hu Kian-seng, orang itu kalau tidak salah adalah orang utusan Hu Kian-seng. Aku sudah tahu shenya, tapi tidak tahu namanya. Shenya itu kedengarannya juga aneh."

"Dia she apa?"

"Dalam daftar seratus she tidak tercantum. Kudengar kuasa hotel memanggil dia Tang-bun Siangsing."

Sampai disini pembicaraan mereka In San juga turun dari loteng, kebetulan melangkah masuk kamar, katanya: "Percakapan kalian kudengar semua, boleh dilanjutkan."

"She rangkap seperti Tang-bun jarang ada di Tionggoan. Kemungkinan dia dari suku minoritet."

In San paham seluk beluk persilatan, segera dia menimbrung: "Di jaman dynasti Song, ada seorang maha guru silat kenamaan bernama Tang-bun Bong, beliau tinggal di sebuah pulau kecil yang terpencil di lautan timur. Di kalangan Bulim orang sama menjulukinya Tang-hay-liong, entah orang ini adalah keturunannya?"

"Tak usah kita mereka bagaimana asal-usulnya. Cepat atau lambat kita toh bakal berhadapan. Teruskan saja kisahmu."

Kacung itu meneruskan: "Kuasa hotel berlaku hormat dan menyanjungnya, katanya: 'Tang-bun-siansing, kau memperoleh dukungan dari Hu-congkoan, Sri Baginda juga menghargai kau, kelak paling sedikit kau pasti bisa menjabat wakil Komandan Gi-lim-kun, bila tiba waktunya, harap kau tidak lupa bantu siaute mencapai kedudukan yang lumayan.'"

"Orang itu tertawa, katanya: 'Disini kau sudah jadi kuasa hotel, kedudukan dan hasilmu tidak kalah dari jabatan kecil di istana. Memangnya kau masih belum puas? Bicara terus terang, tujuan hidupku bukan ingin menjabat pangkat, yang kuharap hanyalah dapat mendirikan suatu aliran tersendiri, dengan tubuh luarku ini setia terhadap kerajaan. Bila kau ingin mengejar pangkat dan harta, kukira bukan persoalan sukar bagi aku, asal kali ini kau mau membantu kami sekuat tenaga jasamu tidak kecil itu sudah merupakan pelicin jalan bagi kesuksesanmu kelak.'-Sampai disini pembicaraan mereka makin lirih seperti bisik-bisik. Dari tempat sembunyiku diluar tidak mendengar apa-apa pula. Sesaat kemudian baru kedengaran mereka tertawa besar. Kudengar kuasa hotel mengucapkan perkataan yang kurasa aneh."

"Omongan aneh apa?" Ciok-sing menegas.

"Tamu she Tang-bun itu setelah tertawa riang berkata: 'Setelah urusan selesai, Baginda sendiri juga akan merasakan kebaikanmu.'"

In San kaget, selanya: "Begitu penting. Dari pembicaraan ini dapat kita duga bahwa rencara keji yang mereka atur tentu tidak kecil artinya."

Diam-diam Tan Ciok-sing seperti sudah menduga akan suatu

(bersai hal, tapi dipikir-pikir akhirnya ilin urung bicara, katanya kemudian "Masih ada berita lagi?"

"Tiada lagi," ujar si kacung, "kalian tingggal disini, selup langkah harus hati-hati." Selelah kacung pergi, Tan dan In naik kc loteng pula dan berunding dengan Kek Lam-wi. Kek Lam-wi harkat* "Pembicaraan kalian di bawah aku sudah dengar jelas. Kalian boleh menepati undangan ke Ham-san si itu. Bila aku bisa kembali tanpa kurang suatu apa, akan kususul kalian ke Ham-san-si. Umpama mengalami sesuatu boleh kalian mencari perhitungan dengan kuasa hotel disini."

Meski menguatirkan keselamatan Kek Lam-wi dalam menghadiri undangan In Kip, tapi urusan tidak boleh ditunda dan tidak mungkin dicegah, terpaksa mereka bekerja sesuai rencana. Waktu Ciok-sing dan In San tiba di villa Kanglam Sianghiap, mereka siap sarapan pagi yang disediakan pihak hotel, Ciok-sing tuturkan tTahwa Kek Lam-wi sudah pulang dan terangkan pula berita yang dicuri dengar oleh kacung muda itu kepada mereka.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar