Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 6
tetap wajar dan tenang-tenang
seperti tidak terjadi apa-apa, seolah-olah tidak tahu kalau tenaga lunaknya
yang dahsyat itu telah menerjang kedalam tubuhnya, meski percobaan dilakukan
berulang kali, namun betapa tinggi atau rendah lwekang Tan Ciok-sing tetap tak
berhasil dia selami. Logis kalau dia kaget dan jeri.
"Anak ini masih begini
muda, baru belajar sehari di bawah petunjuk Thio Tan-hong namun Iwekangnya
ternyata sudah mencapai taraf sehebat ini?" demikian batin Bok Su-kiat, di
samping kaget diapun keheranan, kuatir Tan Ciok-sing balas menggempurnya, lekas
dia lepaskan pegangannya, katanya dengan mimik kikuk: "Memang tidak malu
Tan-heng sebagai murid pandai Thio Tayhiap kagum, mengagumkan."
Yang jelas bukan lwekang lebih
unggul dibanding latihan Bok Su-kiat, tapi dia gunakan gaya lengket dan tarik
dari ajaran lwekang tingkat tinggi ciptaan Thio Tan-hong, gempuran dahsyat
tenaga lunak lawan kena dilengketnya sampai sirna tanpa bekas tapi bila
serangan diteruskan berulang kali dan temponya berkepanjangan, mungkin Tan
Ciok-sing takkan kuat memunahkannya terus menerus.
Diam-diam Tan Ciok-sing geli,
"Syukur keparat ini tidak dapat mengukur tinggi rendah bekal kepandaianku.
Dengan sikap tenang dan wajar dia berkata tawar: "Terima kasih akan pujianmu.
Nah sekarang boleh kita lanjutkan perundingan tadi."
"Bagus ingin aku
mendengar dulu usul apa yang dikemukakan Tan-siauhiap," ujar Bok Su-kiat.
"Tadi sudah kukemukakan
kepada Liong-tayjin, boleh kau tanya kepadanya."
Pertama memanggil "engkoh
cilik" sekarang Bok Su-kiat ganti panggilan "Siauhiap" walau
Liong Bun-kong orang awam yang yang tidak bisa main silat, tapi dia bisa meraba
dalam adu kekuatan barusan, jelas Bok Su-kiat di pihak yang dirugikan. Nyalinya
lebih kecil lagi bila perundingan ini gagal jelas pihaknya akan di pihak yang
dirugikan, maka dia jelaskan tuntutan Tan Ciok-sing tadi kepada Bok Su-kiat,
lalu menambahkan: "Menurut pendapatku lebih baik damai saja, untuk ini
harap Jong-ling suka membantu."
Bok Su-kiat menepekur sesaat
lamanya, katanya: "Liong-tayjin, bukan aku tidak mau membantu kau, soal
ini kukira kurang leluasa."
"Jong-ling menghadapi
kesulitan apa, boleh coba dijelaskan."
"Terus terang, karena
memandang muka Liong-tayjin, maka aku memberanikan diri mengerahkan pasukan Gi-lim-kun
kemari. Itu aku telah menyalahi prosedur yang semestinya, melanggar hukum yang
berlaku. Celaka adalah kau sebagai Sekretaris militer justru melanggar hukum
yang harus kau tegakkan, sebaliknya bagi aku baru pertama kali ini aku
melanggar kebiasaan."
Liong Bun-kong tertawa
dipaksakan, katanya: "Terima kasih akan peringatan Tayjin, tapi kalau
Tayjin sudi menyusulkan laporan, yakin Baginda Raja tidak akan menyalahkan
engkau."
"Sudah tentu,
Liong-tayjin adalah pembesar kesayangan dan kepercayaan Baginda, Baginda pasti
tidak akan menyalahkan aku untuk menolong kesulitanmu. Tapi justru disinilah
letak kesulitannya, coba pikir, kalau Baginda sudah tahu peristiwa ini, tapi
seorang penjahatpun tak berhasil kubekuk, bagaimana aku harus memberi
pertanggungan jawab kepada Baginda?"
Sampai disini dia berpaling ke
arah Tan Ciok-sing, katanya dengan unjuk tawa: "Tan-siauhiap, harap kau
tidak berkecil hati. Aku tahu kalian bukan penjahat, tapi terhadap Baginda
tidak bisa tidak aku harus bilang demikian. Entah Tan-siauhiap tahu akan
maksudnya?"
"Aku tidak
mengerti," sahut Tan Ciok-sing menarik muka.
Bok Su-kiat berkata:
"Bila kalian mau memberikan beberapa orang supaya aku dapat memberi
laporan ala kadarnya urusan tentu lebih mudah dibereskan. Aku boleh memberi
pertanggungan jawabku kepadamu, terhadap teman-temanmu pasti akan dijatuhkan
hukuman seringan mungkin."
Tan Ciok-sing menjengek
dingin: "Jadi maksudmu hendak tukar menukar sandera?"
"Jangan kau gunakan
istilah "sandera" dalam persoalan ini. Aku memandang kalian sebagai
sahabat baikku."
"Kami tidak setimpal jadi
temanmu, sandera adalah sandera, kenapa harus ditutup-tutupi."
"Baiklah, terserah kau
senang mengunakan istilah apa. Lalu bagaimana maksudmu?"
"Mau tukar menukar
sandera juga boleh, akulah sanderanya dan ikut kau, terserah kau mau bunuh atau
di penjara dua puluh tahun juga boleh. Tapi apapun kualami, pasti akan dialami
juga oleh Liong-kongcu."
Liong Bun-kong kaget,
pikirnya: "Kalau menggunakan cara itu, entah kapan keponakanku bakal
pulang dengan selamat?"
Tan Ciok-sing seperti tahu
jalan pikirannya katanya dingin: "Itulah yang dinamakan barter secara
adil. Jangan kau kira harga diriku tidak sebanding dengan keponakan
kesayanganmu itu?"
Terpaksa Liong Bun-kong
menyerah, katanya: "Tan-siauhiap jangan berkelakar, kita tetap ingin
menyelesaikan secara damai."
"Damai cara
bagaimana?" desak Tan Ciok-sing.
"Baiklah laksanakan
menurut tuntutanmu tadi."
"Lalu bagaimana aku harus
memberi laporan kepada Baginda?"
"Akulah yang akan
bertanggung jawab."
"Bukan aku tidak percaya
kepada Liong-tayjin, tapi atas kemauanku sendiri aku kerahkan pasukan
Gi-lim-kun, tidak kecil kesalahanku, walau kau berjanji mohon keringanan
bagiku, betapapun aku masih tidak lega."
"Apa maksud
Jong-ling?"
"Bicara hanya omong
kosong tanpa bukti, maka aku minta tanda bukti hitam di atas putih. Tolong kau
buatkan dua carik tanda buktinya kepadaku."
"O, kau minta dua carik
tulisan di atas kertas?"
"Pertama kau harus
melaporkan kepada Baginda, bahwa kaulah yang memberi putusan melepas kawanan
penjahat itu malam ini."
"Dan yang kedua?"
"Sekarang cuaca masih
gelap pintu kota belum dibuka. Tolong dengan cap kebesaranmu sebagai
Kiu-bun-te-tok, tekenlah sebuah surat perintah supaya penjaga pintu membuka
lebar pintu kota."
Sebetulnya sebagai komandan
Gi-lim-kun diapun punya hak mengeluarkan surat perintah ini. Bahwa dia minta
Liong Bun-kong yang menulis, tujuannya adalah untuk melimpahkan tanggung jawab
dan kesalahan pada orang lain. Apa boleh buat terpaksa Liong Bun-kong setujui
juga permintaannya.
Liong Bun-kong suruh anak
buahnya mengaduk tinta dan membeber kertas, pensil sudah di tangan, tapi sekian
lamanya dia masih bimbang untuk menulis. Surat perintah itu gampang ditulis,
namun surat laporan kepada Baginda itulah yang menyulitkan posisinya, kalau dia
mengakui membebaskan kawanan penjahat, bagaimana selanjutnya dia harus
menghadapi raja? Apa pula akalnya? Sudah tentu hal ini memerlukan pemikiran
yang matang.
"Liong-tayjin,"
jengek Tan Ciok-sing, "kalau sekarang belum bisa ambil putusan, baiklah
kami mohon diri saja," beberapa patah kata ini diucapkan dengan tegas dan
kereng, secara langsung memperingatkan kepada Liong Bun-kong, kalau dia masih
ragu-ragu, tidak segera menulis apa yang diminta, biarlah perundingan dianggap berakhir
sampai disini.
"Baik, baik, segera akan
kutulis, segera kutulis," cepat Liong Bun-kong menjawab, di mulut
mengatakan "segera" pada hal pensil yang sudah dibubuhi tinta belum
juga dicoretkan di atas kertas.
Tiba-tiba Bok Su-kiat meniup
panjang sekali kertas laporan yang sudah siap hendak ditulis oleh Liong
Bun-kong tiba-tiba tertiup terbang, terasa oleh Tan Ciok-sing kesiur angin
menerpa ke arahnya, kertas putih itu tahu-tahu sudah melayang ke arah mukanya.
Ternyata karena tidak berhasil
menjajaki ilmu silat Tan Ciok-sing. Bok Su-kiat masih penasaran, maka kali ini
mumpung ada kesempatan dia ingin sekedar pamer keliehayan dirinya untuk membuat
jeri lawan. Dia ada meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, jangan kira hanya sekali
tiupan mulut, namun selembar kertas itu ternyata ditiupnya melesat terbang
sekencang pisau tajam. Umpama tak dapat melukai Tan Ciok-sing, sedikitnya dapat
membuatnya kaget.
Tapi maksud
mendemonstrasikan ilmu yang
diyakinkan ini bukan melulu ingin membuat keder lawan. Tujuan yang utama adalah
hendak mengacau, mengulur waktu supaya Liong Bun-kong punya banyak kesempatan
menunda kekalahannya.
Tapi tak pernah terbayang
olehnya bahwa lawan justru memiliki kepandaian yang lebih mengejutkan lagi. Di
kala kertas itu tertiup terbang lurus ke arah Tan Ciok-sing, sekonyong-konyong
tampak sinar kemilau berkelebat sekali, kertas itu tahu-tahu terbagi jadi tiga,
tiga jadi enam dan enam jadi dua belas, dua belas kertas persegi kecil-kecil
yang melayang jatuh berjajar di atas meja.
Dalam waktu sekejap itu
ternyata Tan Ciok-sing dan In San telah mengayun sepasang pedang mereka,
melancarkan sejuru^ ilmu pedang tunggal yang tiada taranya, sejurus tiga
gerakan. Demonstrasi yang menakjubkan dari suatu ilmu pedang puncak tinggi
betul-betul menciutkan nyali komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, wajahnya berubah
pucat lalu menghijau akhirnya semu merah saking malu.
Maklum dengan kecepatan gerak
pedang untuk membabat suatu, benda keras bukan suatu yang sulit, selembar
kertas tipis yang enteng sedang melayang lagi, didalam sekejap waktu itu harus
memapasnya menjadi dua belas persegi yang berbentuk sama adalah karya yang
tidak mudah dilakukan. Bukan saja dalam ilmu pedang harus memiliki kemahiran
yang luar biasa gerak tangannyapun harus mantap dan dilandasi kekuatan yang
terkendali secara pas, dan yang digunakan harus pedang pusaka yang tajamnya
luar biasa.
Milo Hoatsu dan Lenghou Yong
pernah merasakan sendiri betapa hebatnya Siang-kiam-hap-pik Tan dan In berdua,
maka mereka tidak begitu heran dan takjub, tapi Bok Su-kiat baru pertama kali
ini menyaksikan ilmu pedang yang begini aneh dan mendekati magic, mau tidak mau
hatinya amat terkejut. "Bagaimana lwekang bocah ini aku belum tahu, tapi
bila dia bergabung dengan budak ayu ini melawanku, jelas aku bukan lawannya,"
Bok Su-kiat bukan saja tidak berhasil menggertak dan membuat malu orang, malah
dia sendiri yang dibuat malu dan jeri pula.
Gerak pedang Tan Ciok-sing
memang melebihi sinar kilat berkelebat, bila Milo Hoatsu dan Lenghou Yong
melompat maju mengadang di depan Liong Bun-kong, sinar pedangpun sudah
berkelebat dan pedang sudah kembali kedalam sarungnya.
"Liong-tayjin, agaknya
kau tidak mau menggunakan alat tulismu, baiklah, agaknya persoalan hari ini
harus diselesaikan dengan senjata," demikian ancam Tan Ciok-sing.
Pucat pias saking takut dan
kaget Liong Bun-kong, diam-diam dia membatin: "Bila pedangnya tadi menusuk
ke arahku, meski Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melindungiku dari samping, jiwaku
juga belum tentu bisa selamat." Dalam keadaan seperti ini, mana dia berani
beragu lagi, lekas dia gerakkan alat tulisnya. Saking gugup dia tidak pikirkan
lagi merangkai kata-kata yang indah untuk menutupi kesalahan sendiri, akhirnya
surat laporan dan surat perintah itupun telah ditulisnya rampung.
Bok Su-kiat juga tidak
merintangi, seterima surat itu, langsung dia keluar menyampaikan perintahnya
kepada pasukan Gi-lim-kun.
Memegang surat perintah
membuka pintu, Tan Ciok-sing berkata: "Liong-tayjin, mohon kau suka suruh
orang menyiapkan belasan ekor kuda," putusan sudah jadi, persoalan kecil
inipun sudah tidak jadi pikiran lagi bagi Liong Bun-kong, segera dia
perintahkan anak buahnya menyiapkan apa yang diminta.
Sukses dengan tugas beratnya
Tan Ciok-sing kembali ke tempat semula memberi laporan kepada Kaypang Pangcu
beserta Thong Jian-hong dan lain-lain. Cepat merekapun berembuk dan memutuskan
untuk memberi prioritas bagi kawan-kawan yang terluka supaya diangkut dengan
kereta dan kuda, rombongan terakhir menggusur Liong Seng-bu keluar kota.
Ternyata pasukan Gi-lim-kun memenuhi
janji, sepanjang jalan mereka tidak merintangi dan mengikuti. Dengan surat
perintah Liong Bun-kong sudah tentu dengan leluasa mereka membuka pintu kota
terus keluar kota. Lenghou Yong mengikuti tak jauh di belakang, sesuai
perlanjian, dia diizinkan ikut untuk membawa pulang majikan mudanya.
Lenghou Yong berhenti diluar
pintu kota, katanya: 'Sekarang boleh kalian bebaskan Liong-kongcu bukan?"
"Kenapa gugup, janji
pasti kita tepati," jengek Tan Ciok-sing. Lalu dia jinjing Liong Seng-bu
dan diturunkan ke tanah, katanya pula: "kau juga yang beruntung, bila
masih kau main kayu dan juga berusaha mencelakai orang-orang kita, bila
terjatuh ke tanganku lagi, awas jiwa anjingmu."
Rombongan besar kaum pendekar
telah keluar kota dengan selamat, sepanjang jalan mereka berbincang-bincang
tentang pengalaman tadi semua sama mengelus dada lega dan bersyukur bahwa Thian
memang maha adil dan memberi jalan hidup bagi mereka.
Rumah Coh Ceng-hun berada
diluar kota, pada suatu desa yang terletak di bawah Say-san yang jauh dari
keramaian. Markas besar Kaypang cabang Pakkhia kebetulan juga ada di Say-san.
Setelah semua orang keluar pintu, mereka sebelumnya sudah berunding, para
korban akan dirawat dan diurus oleh murid-murid Kaypang di markas besar mereka.
Sementara teman-teman Kim-to Cecu kecuali Sim Lan dan Ciu Hok merekapun menetap
di markas Kaypang. Malah Kaypang Pangcu Liok Kun-lun dan orang-orang gagah
lainnya tinggal di rumah Coh Ceng-hun.
Dalam gerakan besar dan
berhasil kali ini yang gugur dari tokoh-tokoh penting mereka hanya To It-kiau
seorang, sementara Loh Im-hu terluka parah, Sia-cin Hwesio dan Toan Kiam-ping
sudah sedikit pulih kesehatannya, sementara tidak sedikit murid Kaypang dan
kawan-kawan seperjuangan undangan Sim dan Ciu yang terluka ringan. Setelah
kemenangan tercapai, perasaan semua orangpun tertekan, namun betapapun hati
mereka terhibur juga karena surat perdamaian itu berhasil direbutnya pula, tapi
bagaimana harus memanfaatkan surat perdamaian ini, mereka masih harus berunding
dengan seksama. Sudah tentu tugas utama yang sekarang harus mereka laksanakan
adalah merawat dan mengobati para korban.
Tari Ciok-sing, In San dan Han
Cin berada di kamar sakit Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping sudah tidur napasnya
enteng teratur meski masih agak lemah. Han Cin pasang kuping mendengarkan
denyut jantungnya, hatinya amat risau dan kuatir, meski sekuatnya dia menahan
air mata tak urung matanya sudah merah berkaca-kaca.
Waktu Tan dan In membujuk dan
menghiburnya, Ti Nio beranjak masuk, katanya: "Toan-kongcu meyakinkan
lwekang murni yang punya dasar kuat, sementara jiwanya tidak perlu dibuat
kuatir. Biarlah dia tidur secukupnya. Nona Han, marilah kau keluar ikut aku ada
yang ingin kubicarakan dengan kau."
Han Cin sudah tahu bahwa Ti
Nio adalah sahabat lama ayahnya yang paling karib, memang banyak tanda tanya
yang mengganjel sanubarinya selama ini, dia harap Ti Nio bisa membuka tabir
jawabannya.
Tapi hatinya kini masih
menguatirkan keadaan sang pujaan, meski Toan Kiam-ping sudah tidur nyenyak, dan
dia harus pergi meninggalkannya dalam waktu singkat. Siapa tahu bisa
penyakitnya mendadak memburuk, umpama mendadak dia siuman, tapi dirinya tiada
di sampingnya, bukankah akan menjadi kekecewaannya?
In San seperti tahu
perasaannya, katanya lembut: "Han-cici, legakan hatimu. Kalau dia bangun,
aku bisa bantu kau merawat dan menjaganya."
Han Cin masih ragu-ragu,
mendadak Ti Nio julurkan jari tengah tangan kiri terus menutuk enteng di
Tan-dian-hiat Toan Kiam-ping. Sudah tentu Han Cin tahu bahwa Ti Nio tidak bakal
mencelakai Toan Kiam-ping, tapi perbuatan Ti Nio yang mendadak dan tak terduga
ini, mau tidak mau membuatnya kaget juga.
Ti Nio tertawa, katanya:
"Aku menutuk Tan-dian-hiatnya, tapi ilmu tutuk tunggal perguruanku ini
berbeda dengan ilmu tutuk umumnya. Ilmu tutukku ini kecuali dapat bantu
mengumpulkan hawa murni, sekaligus membuatnya tidur pulas sehingga semangat dan
tenaganya lekas pulih. Jelas akan membawa manfaat bukan merugikan," maka
legalah hati Han Cin, dia keluar mengikuti ajakan Ti Nio.
Setelah mereka pergi In San
berkata kepada Tan Ciok-sing sambil tersenyum. "Apa kau tidak menaruh
perhatian sikap Ti-locianpwe kepada Han-cici?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
tanyanya: "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kulihat sikap
Ti-locianpwe terlalu baik kepada Han-cici."
"Kukira jamak kalau
Ti-locianpwe menaruh kasihan dan sayang terhadap putri teman baiknya, kenapa
harus dibuat heran?"
"Tidak, kulihat sikap dan
mimik serta tutur kata Ti-locianpwe sedemikian rupa baiknya, tidak mirip
perasaan kasih sayang dan memperhatikan keponakan."
"Lalu perasaan macam apa
menurut pendapatmu?"
"Menurut hematku dia
seperti mengganggap Han-cici seperti anak kandungnya sendiri," sedang
mereka berbincang, seorang tua datang dan berkata: "Tan-siangkong,
In-siocia. Liok-pangcu mengundang kalian untuk berunding."
Tan Ciok-sing tahu Toan
Kiam-ping baru akan sadar setelah tidur nyenyak selama beberapa jam lagi, maka
tanpa kuatir sedikitpun dia tinggalkan kamar tidur ini. Bila mereka memasuki
suatu kamar rahasia, tampak beberapa orang telah menanti kedatangannya. Mereka
adalah Liok-pangcu, salah satu Wi-cui-hi-kiau Lim lh-su, kedua orang utusan
Kim-to Cecu, Sim Lan dan Ciu Hok, demikian pula Coh Ceng-hun sebagai tuan
rumah.
Kecuali tuan rumah, beberapa
orang itu mewakili tiga pihak, mereka adalah orang-orang penting yang
berkompeten dalam persoalan rahasia yang akan mereka rundingkan. Melihat
kehadiran orang-orang penting ini Ciok-sing lantas tahu yang bakal dibicarakan
tentu urusan besar.
Betul juga begitu buka mulut
Liok Kun-lun lantas berkata: "Tan-siauhiap, nona In, semalam telah bikin
kalian capai, tapi aku tetap tidak akan memberi kesempatan untuk kalian
istirahat karena urusan besar masih perlu kita rundingkan dengan kalian."
"Liok-pangcu terlalu
mengagulkan diriku. Entah urusan
besar apa yang akan dibicarakan?" tanya Ciok-sing.
"Surat perdamaian itu
sudah berada di tangan kita, yang harus kita rundingkan adalah cara bagaimana
kita memanfaatkan surat perdamaian itu?" kata Liok Kun-lun.
"Urusan memang genting.
Wanpwe belum sempat memikirkan jalan keluarnya, maka tak berani aku sembarang
mengajukan usul," demikian ucap Tan Ciok-sing.
"Kalau demikian silahkan
Lim Tayhiap utarakan maksud hatinya?" pinta Liok Kun-lun.
Lim Ih-su berkata: "Liong
Bun-kong keparat itu berintrik dengan bangsa asing hendak menjual negara dan
bangsa, dosanya tidak terampunkan, surat perdamaian hasil tulisan tangannya ini
merupakan bukti yang mematikan. Mumpung kita memperoleh kesempatan, marilah
kita beber dosanya di hadapan umum, sekaligus kita serukan kepada khalayak
ramai untuk angkat senjata dan membangkitkan semangat juang mereka untuk
melawan penjajah."
Ciu Hok bicara: "Gerakan
seperti itu memang cukup menyenangkan, tapi masih harus diselidiki siapa
sebetulnya biang keladinya, mungkin bukan bangsat tua she Liong."
Lim Ih-su sadar, katanya:
"Maksudmu, biang keladinya adalah Baginda Raja sendiri."
"Betul," ujar Ciu
Hok, "jikalau tanpa memperoleh persetujuan Baginda Raja yang berkuasa
memangnya pembesar anjing itu berani terang-terangan
mengundang Data Watsu
mengadakan perundingan damai serta menginap di rumahnya pula. Coba pikir
pasukan Gi-lim-kun pun telah dikerahkan, seluruh pembesar sipil maupun militer
kerajaan memang siapa lagi yang tidak tahu bahwa bangsat tua she Liong telah
melayani Duta-duta Watsu itu di penginapan di rumahnya."
"Kalau demikian sekalian
kita berontak saja kepada Baginda Raja," demikian usul Lim Ih-su,
"pihak kerajaan memang sudah anggap Kim-to Cecu kalian sebagai
pemberontak, kenapa kalian masih ragu-ragu untuk angkat senjata
menumpasnya?"
"Bukan kita takut
memberontak," sela Sim Lan, "tapi yang penting kita harus dapat
menguasai situasi, bila pemberontakan lebih banyak membawa sengsara bagi rakyat
jelata, lebih baik kita tunda saja gerakan besar ini."
Liok Kun-lun manggut-manggut,
katanya: "Betul, urusan harus dibedakan yang penting dan yang ringan.
Bicara soal situasi yang sekarang kita hadapi, musuh kita yang utama adalah
penguasa yang berkuasa sekarang di Watsu, jadi bukan Baginda Raja dynasti Bing
yang berkuasa di kerajaan kita."
"Lalu bagaimana menurut
pendapat Sim-thauling?" tanya Lim lh-su.
"Ini bukan maksudku
seorang, tapi aku membawa suara Kim-to Cecu dan kawan-kawan seperjuangan yang
lain. Yang penting adalah kita harus berusaha supaya pasukan negeri tidak menggempur
kita, justru sebaliknya kita harus berusaha supaya pasukan kerajaan bergabung
dengan laskar rakyat kita menghadapi serbuan musuh. Kalau kita harus
memberontak juga melawan serbuan Watsu, itu berarti melemahkan kekuatan kita
sendiri, pihak Watsulah yang akan memungut keuntungan," demikian Sim Lan
memberikan uraiannya.
Lim Ih-su geleng-geleng
katanya: "Pandangan bagus, tapi seperti yang tadi kau katakan bahwa
Baginda Raja mungkin adalah biang keladi dari semua kejadian ini, lalu apakah
dia mau bergabung dengan kita melawan penjajah? Bukankah ini suatu pemikiran
yang terlalu muluk?"
Ciu Hok berkata: "Baginda
Raja jelas tidak akan mau, oleh karena itulah kita justeru harus memanfaatkan
kesempatan ini, memaksanya sehingga dia mau bergabung dengan kita."
"Kalau Baginda Raja boleh
tunduk dan mau dengar perkataan setiap orang, dia tidak akan jadi Raja. Justru
sebaliknya rakyat harus tunduk akan perintahnya, lalu dengan cara apa kau dapat
membuatnya tunduk akan omonganmu?" demikian debat Lim Ih-su.
Sim Lan berkata: "Kukira
meski Baginda adalah biang keladinya, kukira rahasia ini pantang diketahui oleh
siapapun, betul tidak?"
"Betul," seru Liok
Kun-lun, "sebagai pihak yang berkuasa raja boleh melakukan perbuatan apa
saja, tapi perbuatan hina dina seperti takluk dan mohon damai dengan bangsa
asing, jelas akan dia rahasiakan, karena dia pikirkan juga gerakan rakyat yang
tidak kecil artinya. Kalau tidak perlu dia suruh Liong Bun-kong wakili dia
melaksanakan kehendaknya itu secara rahasia."
Lim Ih-su tertawa dingin,
katanya: "Yang benar hal itupun hanya sekedar menutupi tabir belaka. Sudah
setengah bulan Duta rahasia bangsa Watsu itu berada di kota raja, pembesar
sipil maupun militer kerajaan siapa yang tidak tahu?"
"Itu persoalan
lain," bantah Liok Kun-lun, "meski pembesar sipil maupun militer sama
tahu, paling mereka hanya berani kasak-kusuk saja, siapa berani bicara secara
blak-blakan di depan umum? Baginda Raja duduk tinggi di atas singgasana, asal
kasak-kusuk para pembesar itu tidak masuk kupingnya, dia boleh tidak usah ambil
pusing dan anggap tidak tahu."
"Kalau demikian lalu
bagaimana?" desak Lim Ih-su.
"Kalau Baginda tidak
ingin orang lain tahu, maka kita harus cari upaya supaya Baginda tahu bahwa
kita telah tahu," timbrung Coh Ceng-hun.
"Dengan cara apa?"
Lim Ih-su bertanya pula.
"Aku punya seorang paman,
kini menjabat pembantu pencatat sejarah di istana, orangnya jujur dan dapat
dipercaya, selama hidupnya cinta bangsa dan negara, biasanya teramat tinggi
memandang dirinya sebagai pembesar setia. Biar aku mencarinya dan
memperlihatkan surat damai ini kepadanya, mohon pula bantuannya supaya berusaha
mengadukan Liong Bun-kong. Supaya dirinya tidak terlibat, yakin Baginda pasti
mengorbankan pembesar dorna ini. Bagaimana menurut pendapat kalian akan akalku
ini?"
Perlu diketahui Coh Ceng-hun
adalah keturunan pembesar tinggi sejak beberapa generasi, sampai sekarang
beberapa pamannya masih juga punya jabatan penting dalam pemerintahan.
Sim Lan berpikir sebentar,
lalu katanya: "Cara itu memang baik, tapi terdapat suatu lobang kelemahan
yang amat fatal."
"Kelemahan
bagaimana?" tanya Coh Ceng-hun.
"Kalau Liong Bun-kong
balas bertanya, dari mana kau memperoleh surat perdamaian ini? Bagaimana dia
harus menjawab? Aku kuatir usaha kita bukan saja tidak akan berhasil, celaka
adalah pamanmu dan keluarganya akan ketimpa bencana dengan tuduhan sekongkol
dengan pemberontak. Coba pikir sebagai pembesar tinggi yang terkenal setia pada
negara, mana dia mau memikul dosa seberat itu? Dan lagi Liong Bun¬kong bisa
memungkiri tuduhan itu, berbalik dia putar persoalan memfitnahnya mau berontak,
atau menyiarkan berita bohong serta mencari gara-gara selalu."
Coh Ceng-hun geleng-geleng,
katanya gegetun: "Akal ini kurang sempurna, usul itu tidak diterima, ada
cara baik apa pula yang harus kita rundingkan?"
Sim Lan berkata:
"Coh-heng jangan patah semangat, usulmu itu memang amat bagus, cuma
orangnya yang melaksanakan harus diganti orang lain."
"Diganti siapa?"
tanya Coh Ceng-hun.
"Kukira tidak perlu
memakai prosedur kerajaan, ganti saja salah satu di antara kita sendiri,"
Sim Lan berusul.
Lim Ih-su kaget, selanya:
"Orang kita serdiri yang melaksanakan, apakah mungkin?"
Tegas suara Sim Lan:
"Asal dapat berhadapan dengan Raja, maka Raja harus tunduk dan dengar
keinginan kita."
"Kenapa?" Lim Ih-su
masih bingung.
"Cara kita yaitu
menggunakan caranya sendiri untuk membalasnya," Sim Lan berkata.
"Aku masih tidak paham,
tolong kau jelaskan lebih terperinci," pinta Lim Ih-su.
"Raja menguasai para
pembesar bawahannya, bukaukah cara ini dapat kita gunakan untuk mengancam dan
membujuknya?" Sim Lan menjelaskan.
"O, jadi dengan mengancam
dan membujuknya sekaligus menekan sang raja?" seru Lim lh-su, seolah-olah
dia anggap cara ini terlalu muluk.
Sim Lan seperti tahu jalan
pikirannya, katanya kalem: "Ini bukan akal yang muluk atau berkelebihan.
Bagi seorang Raja apa yang paling penting kecuali dapat menduduki singgasananya
dengan anteng dan abadi, mempertahankan kedudukan rajanya. Tujuannya minta
damai kepada Watsu bukan lain juga supaya dia dapat mempertahankan maksudnya
ini, coba katakan betul tidak?"
Tanpa merasa Lim Ih-su
mengangguk sambil mengiakan.
Sim Lan bicara lebih lanjut:
"Kita bisa mengultimatum kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan
kita melawan serbuan penjajah, akan kita umumkan tentang surat perdamaian itu
ke seluruh negeri, biar rakyat banyak tahu, bahwa Baginda Raja ingin menyerah
dan minta damai, maka jangan harapkan kerajaan dapat melindungi kehidupan
mereka. Di samping itu kitapun harus bangkitkan semangat kepahlahwanan bangsa
kita untuk menggempur musuh supaya rakyat tidak tertindas dan menderita karena
peperangan."
Liok Kun-lun tertawa, katanya:
"Cara ini memang dapat membuat kaget Baginda, memangnya dia sudah jeri
pada Kim-to Cecu kalian, bila kita betul-betul bertindak seperti akalmu itu,
Kim-to Cecu akan mendapat junjungan rakyat serta mendukungnya, bila pasukan
besar telah angkat senjata memangnya kedudukannya masih bisa tenang?"
Sim Lan berkata lagi:
"Bila dia setuju bergabung dengan kita melawan serbuan musuh kita harus
berjanji untuk mendukung dia jadi Raja abadi, kita bina bersama kedamaian tanah
air kita nan jaya. Tentang permohonan damainya kepada pihak Watsu harus tetap
kita rahasiakan. Setelah
mempertimbangkan untung
ruginya, adalah logis bila dia dapat kita kuasai, kemana dia harus menentukan
arah yakin dia memilih sendiri."
Lim Ih-su masih merengkel,
katanya: "Tapi cara itu pun merupakan paksaan, bukan mustahil dia bisa
ingkar."
Sim Lan berkata tandas:
"Asal pasukan kerajaan tidak berani kerja sama dengan Watsu untuk
menggempur kita, itu sudah merupakan peluang baik untuk kita menahan serbuan
penjajah. Yang terang ancaman agresi musuh sudah di ambang pintu, tentara
kerajaan juga berasal dari rakyat jelata, sembilan di antara sepuluh tentu senang
melawan agresi musuh. Umpama sang Raja ingkar janji juga kita tidak perlu
kuatir lagi."
Akhirnya hadirin menyetujui
cara ini, lalu mereka merundingkan siapa calon yang diutus untuk menunaikan
tugas penting dan rahasia ini.
Lim Ih-su berkata: "Orang
ini harus punya pengetahuan luas keberanian yang luar biasa pula. Dia harus
memiliki ginkang yang tinggi, Kungfu yang hebat juga, kalau tidak bagaimana
mungkin dia menyelundup ke istana raja? Dikuatirkan sebelum bertemu dengan
Baginda, jejaknya sudah konangan oleh kawanan wisu istana."
Di antara hadirin yang datang,
terhitung lwekang Liok Kun-lun paling tangguh, Lim Ih-su paling tinggi
ginkangnya. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh penting sebagai pimpinan lagi bagi
rombongan masing-masing dan harus pegang kuasa dan situasi. Pertempuran semalam
Lim Ih-su menderita luka dalam yang cukup berat, hawa murninya sudah jauh
berkurang, untuk memulihkan kesehatannya sedikitnya memerlukan waktu sepuluh
hari, baru ginkangnyapun akan pulih seperti sedia kala.
Akhitnya Tan Ciok-sing
mengajukan dirinya, katanya: "Bila hadirin tidak anggap usiaku terlalu
muda dan cetek pengalaman, berkepandaian rendah lagi, dengan senang hati aku
rela memikul tugas berat ini."
"Tan-siauhiap terlalu
sungkan," ucap Liok Kun-lun, "Menilai bakat dan ilmu silatmu, kau
memang calon tunggal yang tiada bandingannya, tapi kau hanya seorang
diri..."
Belum habis dia bicara In San
sudah cepat menyela: "Liok-pangcu, mohon persetujuan kau orang tua supaya
aku pergi bersama Tan-toako."
Kepandaian gabungan sepasang
pedang mereka hadirin sudah menyaksikan, ginkang In San juga cukup tinggi, bila
kedua orang ini menunaikan tugas itu umpama usahanya gagal, untuk meloloskan
diri yakin tidak menjadi soal. Maka Liok Kun-lun orang pertama yang menyatakan
persetujuannya, Lim Ih-su masih bimbang, dia kuatir In San seorang gadis
mungkin kurang setimpal menjalankan tugas ini.
In San berkata lebih lanjut:
"Bila aku bertemu dengan sang raja, sekaligus ada keuntungannya, bila aku
menyebut nama Kakek, yakin sang Raja masih mengingatnya," seperti
diketahui kakek In San yaitu In Jong dahulu pernah merebut Bu-conggoan di kala
Bing-ing-cong masih berkuasa, sebagai komandan Gi-lim-kun, beliau pernah
mendirikan jasa dan pahala besar untuk negara dan bangsa. Raja yang berkuasa
sekarang Cu Kian-sin adalah putra sulung Bi-ing-cong, di waktu dia masih
pangeran, pernah dia bermain-main ke rumah keluarga In, jadi hubungannya dengan
sang kakek dan ayahnya amat akrab.
"Betul," ujar Liok
Kun-lun, "bila kau bertemu dengan raja boleh kau singgung nama kakek dan
ayahmu, bukan mustahil dia lebih percaya dan mau menerima
keteranganmu," maka
hadirin sepakat mencalonkan Tan Ciok-sing dan In San berdua untuk menunaikan
tugas.
In San berkata:
"Menyerempet bahaya aku tidak takut, tapi ada satu kesulitan yang perlu
dibereskan."
"Kesulitan apa?"
Tanya Lim ih-su
"Dulu aku pernah tinggal
di rumah keluarga Liong, tapi hampir tidak berhasil aku menemukan tempat
persembunyiannya. Istana raja jauh lebih besar dan ruwet dari gedung bangsat
tua itu, aku belum pernah masuk istana, kalau hanya mengadu nasib melulu,
mungkin takkan bisa kebetulan."
Liok Kun-lun memeras otak,
katanya kemudian: "Soal ini boleh serahkan padaku. Murid Kaypang ada yang
di taman, di istana dan kenal baik dengan para thaykam, dengan sogokan uang
yang cukup banyak jumlahnya, yakin thaykam itu dapat diminta bantuannya untuk
menggambar sebuah peta tentang seluk beluk istana. Sudah tentu juga masih
memerlukan nasib mujur, tapi cara ini kukira lebih baik ditempuh dari pada main
untung-untungan."
Setelah segala sesuatunya
dirundingkan dan diputuskan secara aklamasi, karena memikirkan kesehatan Toan
Kiam-ping, Tan Ciok-sing bersama ln San mohon diri pulang ke kamar
Toan Kiam-ping masih tidur
nyenyak, Ti Nio dan Han Cin juga belum kembali.
000OOO000
Ti Nio ajak Han Cin ke hutan
cemara di belakang rumah, sepanjang jalan saling membisu, seakan ada urusan
yang mengganjel hati dan mengganggu pikiran.
Diam-diam Han Cin mulai
curiga. "Apakah yang hendak dia bicarakan dengan aku? Kenapa tidak bicara
didalam rumah saja?"
Setiba didalam hutan yang agak
jauh dan sunyi baru Ti Nio menghentikan langkah, tapi dia tetap membungkam
sekian lamanya. Lama dia mengawasi Han Cin, sikapnya amat aneh dan ganjil,
seperti amat senang, tapi juga amat sedih.
Dengan rasa was-was akhirnya
Han Cin memberanikan diri bertanya: "Ti-locianpwe,
kenapakah kau?"
Sebelum buka suara Ti Nio
menghela napas dulu, katanya kemudian, "Wajahmu mirip ibumu."
"Apa iya? Ayah juga
bilang demikian."
Ti Nio melenggong, katanya:
"Apa mirip wajahmu dengan ibumu, masa kau tidak tahu, sampai ayahmu yang
harus memberitahu kepadamu?"
"Waktu ibu meninggal, aku
belum genap satu tahun."
Tak tertahan bercucuran air
mata Ti Nio, katanya: "Ibumu meninggal di waktu mengungsi?"
"Ya, waktu itu kami belum
memperoleh tempat berteduh yang tetap."
Sungguh tak terperikan sedih
Ti Nio, lama sekali baru dia menahan air matanya, katanya pula: "Semua itu
adalah karena dosaku aku tidak mampu membantu kesulitan ayah bundamu. Ai, Ibumu
memang amat menderita."
Sudah tentu Han Cin pun amat
sedih, tapi rasa curiganya lebih besar.
Pikirnya karena perang
sehingga ayah bunda harus mengungsi dan mengalami siksa derita selama di
rantau, kematian ibu memang termasuk suatu kecelakaan, namun itu jamak dan
sering terjadi dalam keadaan huru hara yang tidak aman, mana bisa menyalahkan
seseorang. Walaupun Ti Nio wajib membantu dan melindungi sahabat baiknya, tapi
seperti apa yang dia katakan masing-masing pihak menuju ke arah jalannya
sendiri, suami istripun bukan mustahil mengalami kejadian seperti itu, apa lagi
hanya sahabat? Umpama dia tidak sempat dan tidak mampu membantu temannya, tidak
perlu dia begitu sedih seperti menyesali kesalahan sendiri.
"Ti-pepek, kemarin aku
ada titip karya peninggalan ayah kepada pesuruh keluarga Coh, entah kau orang
tua sudah menerimanya?" demikian tanya Han Cin.
Ti Nio menyeka air mata,
katanya: "Banyak terima kasih akan kesudian ayahmu mewariskan karya
peninggalannya kepadaku, hatipun bisa tentram kini. Kau tidak tahu, selama
bertahun-tahun ini, aku paling kuatir bahwa ayahmu tidak sudi memaafkan aku.
Sekarang legalah aku, agaknya ayahmu sudah mau memaafkan diriku."
Han Cin berkata:
"Ti-pepek, dalam hal apa ayah harus memaafkan engkau? Selama ini aku
berprasangka, justru kaulah yang harus memaafkan ayahku."
"Oh, apa yang dikatakan
ayahmu?"
"Dia bilang pernah
melakukan suatu kesalahan terhadap seorang teman baiknya, tapi dia tidak perlu
menyesal," sulit Han Cin menelaah perkataan ayahnya ini, pada hal sifat
ayahnya lurus dan jujur, kenapa setelah melakukan kesalahan sedikitpun tidak
menyesal? Tatapan matanya mengandung tanda tanya, dia harap Ti Nio bisa
memberikan jawabannya.
Ti Nio menghela napas panjang,
katanya: "Yang betul akulah yang salah terhadap ayahmu, akulah yang harus
menyesal."
"Ti-pepek, sebetulnya
apakah yang pernah terjadi, boleh kau menceritakan kepadaku?"
Ti Nio tidak segera menjawab,
dengan suara lirih mulutnya menggumam seperti senandung syair yang memilukan.
Suaranya serak dan tersendat bagai kelu lidahnya, senandungnyapun tidak
dilanjutkan. Han Cin tahu syair yang disenandungkan Ti Nio adalah ciptaan
ayahnya, mendengar berapa sedih dan pilu suara senandungnya, Han Cin sendiri
tak tertahanpun mencucurkan air mata. Bukan saja hatinya ikut sedih, makna
syair itupun membuatnya tidak habis mengerti.
Ti Nio juga tidak melanjutkan
senandungnya setelah menarik napas panjang dia berkata: "Dulu waktu aku
bersama ayahmu, dia belajar meniup seruling kepadaku, aku belajar membuat syair
kepadanya. Setiap syair yang habis kubuat pasti kuserahkan kepadanya untuk
dikoreksi. Tapi hanya syair inilah yang kubuat untuk diriku sendiri, belum
pernah kuperlihatkan kepadanya, sekarang biar kudeklamasikan untuk kau."
Hambar rasa Han Cin mendengar
syair ciptaan Ti Nio, setelah Ti Nio habis mendeklamasikan karyanya sendiri.
Han Cin lantas bertanya: "Ti-pepek, maaf akan kelancanganku, bukankah
makna syairmu ini seperti mengenang seorang gadis pujaanmu? Apakah gadis itu
sekarang sudah meninggal?"
"Betul, dia sudah
meninggal. Tapi setelah beberapa tahun kemudian baru kuketahui."
Bergetar hati Han Cin,
katanya: "Waktu kau menulis syair ini apakah ayah masih berada
bersamamu?"
"Waktu itu kita memang
sudah berpisah, tapi dia belum mengungsi, kalau mau aku masih bisa
mencarinya."
"Kenapa kau tidak
mencarinya?"
"Karena aku ragu dia
tidak mau menemui aku, setelah aku membuat syairku ini sebetulnya ingin aku
menyerahkan kepadanya, tapi akhirnya aku membatalkan niatku, biarlah untuk
kenangan saja."
"Kenapa?" tanya Han
Cin.
"Apakah ayahmu sayang kepadamu?"
tanya Ti Nio tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Han Cin, hal ini kembali
diluar dugaan Han Cin.
Setelah melenggong Han Cin
berkata: "Ti-pepek, pertanyaanmu agak aneh, ayahku sudah tentu sayang
kepadaku, teramat sayang sekali. Setelah ibu wafat kami ayah beranak terus
hidup berdampingan. Bila ada makanan enak pasti dia berikan dulu kepadaku,
kalau membeli kain pasti aku dibikinkan pakaian baru. Kami memang miskin, tapi
hidup sederhana dan bahagia."
"Ya, tidak pantas aku
tanya hal ini kepadamu. Ayahmu memang orang baik, orang paling baik di dunia
ini, hal ini sudah lama kutahu. Kenapa aku curiga bahwa dia tidak menyayangi
kau?"
Kalau dia tidak curiga adalah
Han Cin semakin tebal rasa curiganya. CWiga kenapa dia mempunyai jalan pikiran
yang tidak pantas mencurigai sesuatu yang dicurigai?
"Aku tidak tahu apakah
pantas aku memberitahu kepadamu, tapi kini setelah kupikir kalau ayahmu tidak
memberitahu kepada kau, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."
"Tidak, ayah sebetulnya
ingin memberitahu kepadaku sebelum ajalnya. Sayang waktu sudah amat mendesak
dan tidak sempat lagi, dia hanya bisa bilang sepatah kata."
"Apa yang
dikatakan?"
"Beliau bilang: 'Ada
sesuatu rahasia perlu kuberitahu kepadamu,' sikapnya seperti bertekad hendak
memberitahu hal itu kepadaku, tapi setelah maksudnya diutarakan, dia jadi
seperti bimbang dan ragu-ragu, akhirnya hanya itu saja yang dikatakan lantas
putus napasnya. Rahasia yang sudah dia janjikan hendak diberitahukan kepadaku
tetap tidak jadi dikatakan. Ti-pepek, kau harus memberitahu aku kalau tidak
hidupku ini selamanya tidak akan bisa tentram."
"Selama hidupku takkan
bisa tentram". kata-kata ini seberat bandulan yang menindih sanubari Ti
Nio, sekujur badan seperti gemetar dan keringat dinginpun gemerobios.
Sebetulnya dia tidak ingin membeber duduk persoalan yang sebenarnya, tapi
apakah dia tega membiarkan Han Cin hidup tertekan lahir batin?
Lama mereka berhadapan saling
pandang, akhirnya Ti Nio seperti berhasil menyingkirkan benda berat yang
menindih sanubarinya, dengan lekat dia pandang Han Cin, dengan nada pahit dia
berkata: "Baiklah akan kukisahkan sebuah cerita, cerita tentang
diriku."
"Keluarga Ti kami adalah
keluarga turun temurun di Kim-ling, ayahku adalah seorang cikal bakal suatu
aliran persilatan, kenyang belajar dan membaca buku, serba mahir surat dan
sastra, memetik harpa main catur, tulis menulis dan seni lukis semua adalah
keahliannya. Tapi keluarga kami ternyata tidak banyak, kecuali beberapa pelayan
dan kacung, kami hanya empat orang, kecuali ayah bundaku bersama aku bertiga,
masih ada seorang Piaumoay yang sejak kecil diasuh sampai tumbuh dewasa di
rumahku.
"Piaumoay adalah putri
tunggal adik ibuku, sejak kecil ditinggal mati ayah bundanya. Mengingat
hubungan dekat kakak beradik, ibupun memandangnya seperti anak kandung sendiri,
sejak kecil diasuh, dididik sampai besar."
"Sejak kecil kami tumbuh
besar bersama, seperti saudara kandung sendiri tapi tabiatnya agak berbeda
dengan aku, hobinya sastra dan tidak suka belajar silat, namun sedapat mungkin
dia pernah belajar silat padaku, begitu kembali ke kamar tidak pernah dia
melepas buku yang senang dibacanya."
"Entah karena ayah
bundanya sudah wafat sejak dia masih kecil, sehingga dia suka menyendiri,
sering kali setengah hari dia tidak pernah bicara sepatah kata kepadaku. Sering
aku mencari kesempatan untuk membuatnya senang dengan berbagai cara yang
kubuat-buat, apa keinginannya selalu kuturuti, namun jarang aku bisa
menyaksikan senyum tawanya."
"Untuk memperoleh jasa
simpatiknya, terpaksa aku berusaha memenuhi segala kesenangannya. Dalam bidang
sastra, entah itu memetik harpa, menggambar, membuat syair atau main catur
jelas aku bukan tandingannya. Tapi hanya satu, mungkin karena bakatku lebih
mendekati kebutuhan, aku belajar meniup seruling, ternyata pelajaran yang
kucapai cukup dibanggakan. Kebetulan leluhurku ada meninggalkan sebatang
seruling batu pualam, suara yang kutiup dari seruling pualam ini ternyata amat
empuk dan enak didengar."
"Seruling pualam itu
adalah sebuah pusaka konon dibuat dari pualam dingin yang tumbuh ribuan tahun
di dasar laut, kekuatannya dapat menahan bacokan golok dan pedang. Kepada ayah
aku minta seruling itu, dengan seruling itu pula ayah mengajarkan ilmu tutuk
kepadaku. Dan dengan seruling itulah aku sering membawakan lagu untuk
didengarkan Piaumoay.
Hanya di kala dia mendengar
lagu tiupan serulingku baru kulihat dia mengulum senyum dan tawa. maka
latihanku meniup serulingpun lebih giat dan rajin."
"Karena itu pernah aku
dimaki oleh ayah karena latihan silat terbengkalai, beliau bilang Piaumoay
adalah anak perempuan tidak pandai silat tidak jadi soal, kalau dia tidak suka
juga tidak perlu dipaksa. Tapi lain dengan kau, kau adalah anak tunggalku,
kelak bakal mewarisi seluruh kepandaianku. Sudah tentu besar harapanku kau
pandai sastra dan silat, tapi aku kuatir kau gagal di bidang sastra,
mengecewakan pula ilmu silatmu. Dari pada keduanya setengah jalan, maka aku
lebih cenderung supaya kau lebih menekuni pelajaran silat."
"Tapi meski ayah memberi
wejangan kepadaku, secara diam-diam sering pula aku ajak Piaumoay keluar
bermain-main. Di Cong-san kutiup seruling untuk dia dengar."
Sampai disini cerita orang,
dalam hati Han Cia diam-diam berpikir: "Jadi sejak kecil Ti-pepek sudah
begitu besar cintanya kepada sang Piaumoay, namun dari nada ceritanya ini,
cintanya agaknya bertepuk sebelah tangan, entah siapa pula Piaumoaynya itu,
akhirnya menikah dengan siapa?" lapat-lapat dia sudah merasakan suatu
keganjilan, timbul rasa dingin dalam sanubarinya lekas dia pusatkan
perhatiannya tak berani pikir lebih jauh.
Ti Nio seperti tahu jalan
pikiran Han Cin, katanya lebih lanjut setelah menghela napas. "Memang
sejak kecil aku amat mencintai Piaumoay, selama hidupku ini hanya dia saja yang
pernah kucintai. Sudah tentu waktu kecil aku tidak tahu arti cinta, namun
setelah keduanya tumbuh dewasa, aku semakin menyadari bahwa aku tidak boleh
meninggalkan dan berpisah dengan dia."
"Tapi aku yakin dia tidak
akan meninggalkan aku, bukan lantaran janji yang diucapkan di waktu kecil,
adalah karena didalam pandangan ayah bundaku, mereka sudah pandang kami sebagai
sepasang suami isteri yang setimpal. Urusan jodoh jelas tidak perlu dirisaukan
lagi, hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak ayah bundaku untuk minta
persetujuannya, bila kami sudah sama dewasa, boleh tentukan waktu dan langsung
nikah. Aku tahu maksud ayah bundaku, dia juga tahu. Jalan pikiranku sama dengan
maksud orang tuaku, kukira dia takkan mengetahui, maka hatiku amat lega dan
tentram."
"Tahun demi tahun
berlalu, tanpa terasa kami sudah sama dewasa. Aku meyakinkan Thong-cu-kang,
kalau menikah terlalu pagi akan mengganggu latihan lwekangku. Ayahku sudah
membuat rencana, setelah aku berusia likuran baru akan melangsungkan
pernikahanku dengan Piaumoay. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa
perjodohanku ini jelas takkan
mengalami perubahan apapun, maka akupun turuti saja kehendak orang tua, tidak
perlu buru-buru menikah."
"Tapi peristiwa yang tak
pernah terduga akhirnya terjadi juga."
"Tahun itu aku berusia
sembilan belas, Piaumoay tujuh belas. Tahun itu mendadak ayah keluar pintu
menyelesaikan suatu urusan, pulangnya dia membawa seorang pemuda menetap di
rumah kita."
"Pemuda ini adalah putra
seorang guru sekolah yang kenamaan di Hang-ciu, waktu kecil ayah pernah menjadi
muridnya, maka ayah amat patuh dan menghormatinya seperti orang tua sendiri.
Sebetulnya ada maksud ayah mengajak guru sastra ini menetap di rumah kita, tapi
tabiat guru tua ini memang kaku, beberapa kali ayah utarakan maksud baiknya,
tapi selalu ditolaknya."
"Kepergian ayah kali itu
karena dia mendapat kabar bahwa guru tua sekolah itu menderita sakit parah,
sengaja dia pergi ke Hang-ciu menengoknya, sayang sekali, setiba ayah di rumah
guru sekolah itu, penyakit guru tua itupun kebetulan kumat dan tidak terobati
lagi, sebelum ajalnya dia masih sempat bertemu muka dan bicara beberapa patah
kata."
"Guru sekolah ini
hidupnya serba kekurangan, menjelang setengah umur baru menikah dalam usia
lanjut baru mendapat anak, putranya kebetulan seusia dengan aku. Sebelum
ajalnya dia titip anaknya yang sebatangkara kepada ayah, sudah tentu ayah
berjanji dan dengan senang hati menerimanya."
"Guru sekolah itu
berpesan: 'Jangan kau kukuh akan tingkatan, dulu kau belajar membaca padaku,
kini biar anakku belajar silat padamu, aku tahu seusianya belajar silat memang
sudah terlambat, tapi tujuanku hanya supaya badannya sehat. Dia sudah menyembah
padaku sebagai pengangkatan guru, kuharap kau tidak menolaknya.'"
"Ayah tahu maksud sang
guru, putranya sebaya dengan aku, maka dia mengaturnya demikian, kecuali untuk
melicinkan jalan supaya putranya leluasa belajar silat di rumah gurunya,
diharapkan pula didalam hal panggilan satu sama lain tidak menjadi kikuk. Ini
hanya soal kecil, maka ayah menerimanya. Setelah sang guru memberikan pesannya,
maka beliaupun meram dengan tentram."
"Setelah guru meninggal,
ayah mengurus penguburannya, setelah lewat masa berkabungnya ayah bawa putranya
itu pulang yaitu murid yang baru diterimanya, atau pemuda yang kusebut
tadi."
Mendengar cerita sampai
disini, dalam hati Han Cin sudah dapat menerka beberapa bagian. Sejauh ini, Ti
Nio tidak menyebut nama pemuda itu, maka diapun tak berani tanya. Perasaannya
berat dan tertekan.
Ti Nio melanjutkan:
"Putra guru ayah sebaya dengan aku, tapi dia lebih muda beberapa bulan,
setelah dia angkat ayah sebagai guru maka panggilanpun berubah, dia jadi
Suteku."
"Tabiat Suteku ini
ternyata mirip Piaumoay, pendiam dan jarang bicara, tidak suka latihan silat.
Maklum usianya sudah dewasa tidak mudah mempelajari ilmu tingkat tinggi,
apalagi ayahnya juga berpesan supaya dia latihan silat hanya untuk menyehatkan
badan, maka ayahku tidak memaksanya latihan silat. Kebetulan tahun itu latihan
silatku mencapai saat-saat peralihan, ilmu tutuk perguruan kita teramat sukar
untuk diyakinkan, sehingga seluruh tenaga dan pikiran dan waktuku disita untuk
memperdalam pelajaran ilmu tutuk itu, pengawasan ayah terhadap latihankupun
semakin ketat."
"Tak lama kemudian
kusaksikan suatu kejadian, entah karena belakangan ini aku jarang mendekati
Piaumoay serta menemaninya bermain, atau karena tabiat yang sama, hubungan
mereka ternyata semakin intim dan dekat."
Ti Nio menyambung: "Sisa
waktu latihan silatku tetap tidak bisa dibuang percuma, ayah tidak ingin aku
mengabaikan pelajaran sastra, maka Sute selalu ditunjuk untuk memberi petunjuk
kepadaku, membuat syair, menggambar atau main catur, sudah tentu akupun
ditugaskan mengajarkan dasar pelajaran lwekang untuk menyehatkan badan
Sute."
"Kalau Sute mengajar
sastra padaku, aku mengajar silat padanya. Tak lama kemudian Sute minta
ditambah satu mata pelajaran, dia lebih tekun, lebih rajin mempelajarinya. Coba
kau terka pelajaran apa yang diminta?"
Tergerak hati Han Cin,
sepontan dia menjawab: "Dia minta kau mengajarkan meniup seruling."
"Betul, dia minta aku
mengajar meniup seruling Pada hal ayahku bisa meniup seruling juga ayahnya yang
mengajar."
"Bukan dia tidak bisa
soalnya dia merasa tiupan serulingku lebih baik dari padanya, maka dia ingin
belajar lebih baik."
"Waktu itu aku memang
terlalu bodoh, kukira dia hanya ketarik oleh seruling saja, tidak pernah
terpikir olehku kenapa dia begitu tekun belajar meniup seruling."
Tanpa merasa Han Cin berkata pula:
"Oh, dia belajar seruling untuk diperdengarkan pada Piaumoaymu."
Ti Nio menunduk diam sesaat,
katanya kemudian: "Sebetulnya umpama dia tidak pandai meniup seruling,
Piaumoayku juga tetap mencintainya. Dia justeru belajar seruling, tujuannya tak
lain untuk lebih memikat hati Piaumoay saja."
Setelah menghela napas, Ti Nio
berkata lebih lanjut: "Suatu ketika habis latihan silat, sengaja aku
mencari Piaumoay, kemana-mana tidak kutemukan dia. Akhirnya kucari dia ke danau
dimana dulu sering aku mengajaknya main, barulah disana kutemukan dia."
"Disana dia tidak seorang
diri, di dampingnya ada seorang pemuda yang menemaninya jalan-jalan. Kukira
tidak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu, pemuda itu sudah jelas adalah
Suteku."
"Dulu sering aku di tepi
danau di bawah pohon meniup seruling untuk didengar Piaumoay, tapi hari itu
kedudukanku diganti oleh Sute. Lagu yang dibawakan adalah lagu cinta untuk sang
pujaan hati. Piaumoay begitu kesengsem, mendengar dengan senyum mekar dan asyik
sekali, pandangannya begitu hangat dan mesra."
"Ai, selama kita bersama,
belum pernah Piaumoay tertawa seriang itu kepadaku, bila dia mau memandangku
dengan tatapan seperti itu, meski usiaku harus diperpendek beberapa tahun juga
rela."
"Apapun yang terjadi
sekarang aku sudah paham, secara diam-diam aku mengundurkan diri, dengan
perasaan yang hancur dan hati yang kecewa aku pulang.ke rumah."
Han Cin tidak berpendapat
bahwa sang Piaumoay harus mencintainya, tapi mendengar kisah yang mengharukan
ini, tak urung dia ikut sedih juga. Pikirnya: "Ai, siapa yang salah?
Siapapun tiada yang salah!"
"Malam itu aku melakukan
perbuatan salah selama hidupku." Ti Nio melanjutkan ceritanya.
"Tengah malam aku
membangunkan Sute, aku bilang,
bukankah kau ingin belajar meniup seruling, mari ikut aku ke suatu
tempat."
"Malam itu terang bulan,
cuaca cerah, dia kira malam nan indah ini menimbulkan seleraku untuk mengajar
seruling padanya, meski hati rada heran, tapi dia ikut kepadaku. Aku membawanya
ke tepi danau, di bawah pohon dimana siang tadi dia meniup seruling untuk
Piaumoay. Aku keluarkan seruling pemberian ayah."
"Waktu itu agaknya dia
sudah tahu maksudku, aku tidak banyak bicara, diapun tidak tanya, dia hanya
berdiri mematung mendengar-kan irama serulingku. Aku tuangkan seluruh perasaan
hatiku melalui irama seruling, kulimpahkan betapa derita batinku selama aku
merindukan cinta sang pujaan."
"Aku yakin tiupan
serulingku waktu itu merupakan tiupan yang pafing mengharukan dan mengetuk hati
orang selama hidupku, habis satu lagu air matapun berlinang. Sute tetap tidak
bicara barang sekecap, tapi aku lihat air matapun berkaca-kaca di kelopak
matanya.
"Lama dan lama sekali
baru aku berkata: 'Sebetulnya bukan maksudku meniup seruling ini untuk kau
dengar tapi kutiup untuk seorang lain, sayang dia sudah tidak suka mendengar
tiupan serulingku lagi, dia hanya suka mendengar tiupan serulingmu.'"
"Sute menyeka air mata,
katanya: 'Suheng, kau tak perlu kuatir. Aku tahu siapa yang kau maksud, untuk
selanjutnya aku berjanji tidak akan meniup seruling pula di hadapannya."'
"Dua hari kemudian,
mendadak ayah tanya kepadaku, tahukah kau kenapa Sutemu mendadak minta diri
hendak meninggalkan kita?"
"Ayah memberitahu padaku
Sute bilang karena dirinya tidak berbakat belajar silat maka dia ingin pulang
ke kampung halaman untuk bercocok tanam saja, hidup berdikari. Sudah tentu ayah
menampik alasannya, pesan ayahnya dulu tetap dijadikan pedoman untuk menahannya
tinggal di rumahku. Syukur ayah berhasil membatalkan niatnya. Tapi ayah kira
tabiatnya itu mewarisi watak ayahnya yang suka menyendiri dan kaku, malu makan
gratis di rumah perguruan sehingga timbul niatnya pulang ke kampung halaman.
Ayah malah kuatir tutur kataku setiap hari mungkin menyinggung perasaannya,
maka aku dipesan wanti-wanti supaya tidak berlaku kasar padanya. Sudah tentu
aku tahu sebab musababnya, sudah tentu aku tidak berani untuk memberitahu
kepada ayah. Semalam suntuk aku tidak bisa tidur, otakku bekerja keras, timbul
tanda tanya apakah aku mengharapkan dia meninggalkan perguruan?"
"Terbayang betapa cerah
dan manis senyum mekar Piaumoay kepadanya, serta tatapan matanya yang begitu
birahi, ingin rasanya dia lekas pergi meninggalkanku. Tapi terpikir pula
pergaulan belum genap setahun ini, hubunganku dengan dia sudah seperti saudara
sekandung, bila dia meninggalkan aku selama hidupku ini mungkin sukar aku
memperoleh teman sebaik itu, aku jadi berat ditinggal pergi."
"Ai, bila aku sudah tahu
peristiwa yang terjadi belakangan..."
Mimik Ti Nio sekarang
melambangkan kenangan lama yang serba salah, serba dosa dan sukar untuk
disesalkan, rasa malu, hambar, sedih serta pilu bercampur aduk. Berbagai
perasaan gado-gado ini terlimpahkan dalam suaranya yang bergetar terunjuk dalam
sorot matanya pula.
Han Cin juga tak kuasa menahan
gejolak perasaannya, tanyanya: "Belakangan apa yang terjadi?"
Ti Nio menghela napas panjang:
"Sejak hari itu tak pernah kulihat mereka bersama, tapi sejak itu pula
Piaumoay tidak ambil peduli kepadaku."
"Aku duduk tidak tenang,
tidur tidak nyenyak, hasratku latihanpun pudar, pada hal ayah sering memaki
aku, latihan yang sebetulnya makan satu jam, aku hanya setengah jam. Begitu
mengakhiri latihan, aku selalu mencari berbagai alasan untuk mencarinya."
"Tapi dia selalu juga
menggunakan berbagai alasan, selalu menolak ajakanku, kalau bukan hendak
belajar, katanya mau menjahit, pernah juga bilang badan kurang enak, hari ini
tidak ada minat bermain dan alasan lain.
Terakhir dia malah mengunci
diri dalam kamar tidak mau menemui aku."
"Kesehatannya ternyata
semakin menurun, mukanya pucat badan kurus, entah dia kena sakit, keadaannya
memang mirip orang sakit benar-benar."
Dalam hati Han Cin menghela
napas, batinnya: "Memang Ti-pepek sendiri yang salah, tidak bisa menyelami
perasaan seorang gadis. Bibit cinta yang baru bersemi dalam hati seorang gadis
justru kau cabut mentah-mentah, tidaklah heran kalau dia merasa keki
kepadamu?"
"Setelah berbagai
peristiwa itu, sebodoh-bodohnya aku juga akhirnya paham akan isi hatinya,"
demikian Ti Nio melanjutkan ceritanya, "Sekarang aku paham, yang betul-betul
dicintainya adalah Sute bukan aku."
Maka Han Cin berkata:
"Hubungan cinta laki perempuan memang teramat ganjil, cinta hanya boleh
dikejar secara wajar, tidak boleh dipaksakan. Ti-pepek, kejadian sudah lama
berselang, kenapa pula sekarang kau harus menyiksa diri," usianya patut
menjadi putri Ti Nio, tapi apa yang dia ucapkan ini, seolah-olah ditujukan
kepada seorang yang sebaya usianya dengan dia. Namun Ti Nio tidak menjadi
runyam atau risi dan kikuk, dengan sorot penuh haru dan terima kasih dia menatap
Han Cin, dengan manggut-manggut dia berkata: "Ucapanmu memang betul,
sayang sekali waktu itu tiada orang yang bicara seperti kau sekarang
kepadaku."
"Akan tetapi umpama waktu
itu ada orang berkata demikian mungkin aku tetap takkan mau mendengar nasehatnya.
Sejak Piaumoay mulai berjalan dan belajar bicara aku sudah hidup bersama dia.
Selama dua puluh tahun ini hanya dia seorang yang terukir dalam sanubariku,
bila dia riang aku ikut riang, bila dia sedih aku jadi sedih."
"Kini setelah kutahu
dalam kalbunya telah terisi orang lain, dan karena orang itulah sehingga
kehadiranku telah dicampakkan dari relung hatinya, coba kau pikir
bagaimana-perasaanku waktu itu? Aku dibakar rasa cemburu, aku jelus, hampir aku
gila karena cemburu, lama kelamaan badankupun kurus dan pucat."
Semakin dengar hati Han Cin
semakin takut dan kaget serta tidak tentram, pikirnya: "Dalam keadaan
seperti itu, entah apa saja yang bakal dilakukan Ti-pepek?" lapat-lapat
terasa olehnya, bahwa kejadian itu pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya,
namun dia tidak berani tanya, maka dia hanya menanti, menunggu Ti Nio sendiri
yang akan menceritakan.
Setelah istirahat Ti Nio
meneruskan: "Setelah aku paham isi hati Piaumoay, isi hatiku dan
perubahanku juga telah diketahui oleh ayah bunda."
"Suatu hari ibu
memanggilku dan ajak aku bicara seorang diri, dia tanya kepadaku, ayah bilang
belakangan ini kau seperti tiada semangat latihan, kenapa? Aku tidak berani
mungkir, tapi akupun tidak berani menjelaskan sebab musababnya."
"Ibu bilang, kau tidak usah
mencari alasan untuk ngapusi aku, kau adalah anak kandungku apa yang terpikir
dalam benakku, memangnya aku tidak bisa ikut merasakan?"
"Maka diapun bertanya
pula. Belakangan ini agaknya kau menjauhi Piaumoay, hubunganmu seperti
renggang, apa pula yang terjadi?"
"Aku tetap menjawab. 'Aku
tidak tahu.* Tapi tak tahan aku tambahi sepatah kata. 'Bu kalau kau ingin tahu
boleh kau tanya kepada Piaumoay saja.'"
"Seperti tertawa tidak
tertawa ibu mengawasiku, katanya, kau takut dia sudah besar, sudah tumbuh sayap
dan bisa terbang sendiri?"
"Aku diam saja, tapi tak
tahan aku menghela napas."
"Ibu juga ikut menghela
napas, katanya: 'Anak bodoh, kalau untuk soal ini kau jadi risau, kukira
mungkin kau yang terlalu banyak curiga.'"
"Ibu bilang, Piaumoaymu
memang bukan dilahirkan dari rahimku, tapi sejak kecil akulah yang mengasuh dan
membimbingnya, tabiat memang
lembut dan penurut, aku tidak percaya kalau dia tidak punya perasaan balas
budi. Seorang lagi, dia mendapat perlindungan pula di rumah kita, yakin diapun
takkan berani melakukan perbuatan yang mendurhakai kita."
"Agaknya ibu sudah
menangkap adanya gejala kurang sehat di antara kami bertiga, orang lain yang
dimaksud dalam perkataannya sudah jelas ditujukan kepada Sute."
"Bagaimana aku bisa
menjelaskan kepada ibu? Itu menurut pandangan beliau orang tua, dia anggap bila
Piaumoay main cinta diam-diam dengan Sute itu berarti durhaka dan lupa budi
pekerti. Kalau dia begitu yakin dan percaya kepada mereka, kenapa aku harus
menjelek-jelekkan hubungan mereka?"
"Ibu bilang lebih lanjut.
Mungkin usia kalian sudah dewasa, Piaumoay tahu cepat atau lambat akan jadi
menantuku, maka dia merasa malu dan kikuk terhadapmu, sehingga gerak gerik dan
sikapnya belakangan ini seperti agak terkekang."
"Sebetulnya ayahmu sudah
memutuskan untuk menikahkan kalian di akhir tahun nanti, tapi setelah melihat
keadaan sekarang, lebih baik kalau soal jodoh ini dipercepat saja supaya tidak
timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Anak bangun, jangan kau banyak pikiran
lagi, ibu bisa menguruskan sampai beres. Mulai besok, kau harus mulai giat
latihan lagi dengan ayahmu."
"Aku tahu apa maksud
'mengurus sampai beres' yang diucapkan ibu, memangnya aku terlalu gegabah waktu
itu, aku tinggal diam dan tiada pendapat. Ai, mungkin juga karena egoisku didalam
sanubariku pada hal aku juga senang dan terhibur bahwa ayah bundaku telah
mengaturnya?"
"Hari itu akhirnya tiba,
ayah bunda melakukan kesalahan, kesalahanku lebih besar lagi."
"Kesalahan apa yang lebih
besar?" Han Cin tidak berani tanya, terpaksa hanya menunggu cerita
sambungannya.
Dalam gemblengan derita masa
lalu yang menjadi kenangan pahitnya sekarang, wajah Ti Nio tampak merah hijau
dan pucat bergantian, seolah-olah dia takut menceritakan perbuatan salah apa
yang menjadikan dia begitu menyesal dan malu. Melihat betapa sedih dan derita
Ti Nio sekarang, hampir tak tertahan dia hendak berteriak: "Ti-pepek,
kalau kau tidak ingin membeber masa lalu, janganlah kau teruskan
ceritamu."
Tapi setelah mengertak gigi,
akhirnya Ti Nio melanjutkan ceritanya.
"Hari itu adalah hari
ulang tahun ayah, dia tidak memberitahu sanak kadang, hanya membuka sebuah meja
perjamuan, orang sendiri dipanggil untuk merayakan bersama."
"Tahun ini ayah berusia
empat puluh sembilan, hidangan ulang tahun yang disiapkanpun hanya ala kadarnya
saja. Kalau tidak mengundang teman-teman adalah jamak. Tapi anehnya yang
menghadiri perjamuan kali ini ternyata hanya Piaumoayku seorang tanpa kehadiran
Sute."
"Sejak Sute berada di
rumah kita, ayah selalu memandang sebagai keluarga sendiri, kenapa pada hari
ulang tahun ayah kali ini, dia tidak diundang untuk merayakan bersama. Tapi
meski hati merasa heran, lapat-lapat aku sudah menduga apa yang akan
terjadi."
"Betul juga, setelah kami
masing-masing minum tiga cangkir arak, ayah membuka kata lebih dulu: 'Tahun
depan aku sudah genap lima puluh tahun situasi sekarang kurang aman,
kemungkinan peperangan akan geger maka aku ingin selekasnya menunaikan
keinginan hatiku.'"
"Ganti ibu yang bicara:
'Hwi-ji (nama kecil Piaumoay), ibumu dulu serahkan kau kepadaku, aku adalah
bibimu, tak ubahnya ibu kandungmu juga, bukan saja aku mengangapmu sebagai
putri kandungku akupun ingin kau menjadi menantuku, perjamuan malam iui di
samping merayakan ulang tahun pamanmu sekaligus untuk mengikat perjodohanmu
dengan anak Nio, sekarang juga kalian boleh tukar cincin. Perjodohan boleh
diresmikan dulu, soal perjamuan boleh diundur untuk beberapa waktu lagi. Bisa
saksikan kalian menjadi suami isteri, itu adalah cita-cita pamanmu juga
keinginanku. Sejak kecil kalian dibesarkan bersama, maka kaupun tidak perlu
malu.'"
"Ibu kira Piaumoay pasti
tidak menolak, apa yang dikatakan tak ubahnya sebuah perintah belaka,
hakikatnya dia tidak pernah minta pendapat dan persetujuannya."
"Tak tahunya setelah
mendengar perkataan ibu, air mata Piaumoay bercucuran, air mukanyapun
berubah."
"Ibu melenggong^ katanya:
'Lho, kenapa, kau tidak mau?'"
"Sambil menyeka air mata
menahan isak Piaumoay ^berkata: 'Bibi, terima kasih akan budi kebaikanmu
membesarkan aku, aku suka selamanya menjadi putrimu."
"Ibu bilang, jadi kau
tidak mau menjadi menantuku. Sejak kecil kau bergaul dengan anak Nio hanya kau
saja yang terukir dalam sanubarinya, tentunya kau juga tahu. Memangnya dalam
hal apa anak Nio tidak setimpal jadi suamimu? Umpama kau tidak mengingat sejak
kecil aku mengasuh kau, seharusnya kau pun tidak menolak cinta murninya."
Ti Nio menghela jiapas,
menyambung ceritanya: "Perkataan ibu mengetuk sanubarinya, tak tertahan
aku ikut mencucurkan air mata."
"Dengan kesima aku
mengawasi Piaumoay, kupikir sorot mataku waktu itu, pasti dapat membuatnya pilu
karena terasa tatapanku yang menyalahkan dia."
"Ai, aku terharu oleh
perkataan ibu, namun tak terpikir olehku, bahwa perkataan ibu telah melukai
sanubarinya yang suci."
"Ai, waktu itu aku hanya
pikirkan rasa sedihku sendiri, diluar tahuku dia justru lebih sedih dari
aku."
"Keadaan jadi serba
runyam, sudah tentu ayah jadi kurang senang, katanya: 'Kalian mau merayakan
ulang tahunku atau mau mengantar kematianku? Hmmm, kupikir hendak mendatangkan
hari bahagia rangkap, kalian justeru bertangisan apa-apaan ini? Apa kehendak
kalian boleh terus terang saja kepadaku,' mulutnya mengatakan 'kalian' tapi
matanya justru menatap Piaumoay."
"Ai, sudah tentu Piamoay
tidak kuat menerima tekanan berat ini? Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan
ayah ibu, katanya: 'Bila bibi dan paman tidak merawatku, mana aku bisa hidup
sebesar ini, apapun kehendak kalian boleh terserah saja, mohon kalian tidak
marah. Paman, bukan maksudku hendak mendatangkan rasa sebalmu, aku hanya
terkenang pada ayah bunda yang telah berada di alam baka, aku hanya benci pada
diriku sendiri kenapa aku bernasib sejelek ini, kenapa ayah ibu mati sejak aku
masih kecil."
"Aku tidak tahu apakah
Ayah dan ibu tahu kata-katanya yang mengandung arti sampingan, tapi aku tahu
kemana arah perkataannya. Bila ayah bundanya masih hidup, tidak bakal^dia harus
tunduk pada perintah ayah bundaku."
"Tapi- kalau dilanjutkan
aku harus malu kepada diriku sendiri, waktu itu bukan saja aku tidak kasihan
padanya, malah rasa cemburuku semakin berkobar. 'Jadi kau dipaksa menyetujui
menikah dengan aku, aku menikah dengan badanmu, tapi cintamu justeru kau
berikan kepada orang lain.'"
"Tapi ibuku amat senang,
mungkin memang dia tidak tahu, atau untuk menghilangkan rasa kikuk dan runyam,
dia pura-pura tidak tahu. Dia memapah Piaumoay dan berkata: 'Anak yang baik,
aku tahu kau pasti mendengar nasehatku. Kau terkenang ayah bunda yang telah
lama mangkat adalah jamak dan sepantasnya. Tapi bila mereka tahu hidupmu
selanjutnya sudah tidak akan kapiran, di alam baka yakin ayah bundamu juga
terhibur. Hari ini hari baik, jangan kau bersedih pula, marilah dengan riang
gembira kita habiskan hidangan ini, habiskan arak bahagia ini.'"
"Piaumoay memaksakan
senyum getir menuang arak, sebaliknya ingin tertawapun aku tidak bisa lagi.
Tapi aku minum arak banyak sekali, arak dapat menghilangkan rasa kesal, tanpa
terasa aku menenggak habis beberapa cangkir sampai akhirnya aku mabuk."
"Ibu suruh dia memapahku
masuk ke kamar tidur, dia suruh Piaumoay belajar menjadi seorang isteri yang
baik, seorang isteri yang baik harus tahu bagaimana meladeni suami."
"Begitu masuk kamar,
berhadapan dengan dia, arak dalam perutku seperti membakar badan rasa jelusku
mendadak berkobar pula, mataku melotot mengawasinya."
"Sikapku membuatnya
kaget.
Dia bilang, Piauko, kau mabuk,
lekaslah tidur. Dia bantu aku mencopot baju luar memapahku naik ke tempat
tidur. Agaknya dia mengharap aku lekas tidur pulas, supaya dia lekas keluar
dari kamar."
"Sikapnya yang gopoh
ternyata membakar amarahku. 'Aku kan bukan harimau, memangnya kau takut
kucaplok?' demikian pikirku. Lalu aku berpikir pula: 'kau hendak menghindariku,
karena apa? Bukankah untuk cepat-cepat menemui gendakmu?'"
"Mendadak aku berjingkrak
duduk, mataku melotot makin besar. Kataku: 'Aku tidak mabuk, siapa bilang aku
mabuk. Aku tahu jelas, kau tak mencintai aku, kau mencintai Sute. Terus terang
saja padaku, sekarang kau ingin berkencan dengan dia? Rasa sedihmu hanya bisa
kau limpahkan di hadapannya?'"
"Dia melenggong, air mata
bercucuran, katanya dengan tersedu-sedu: 'Piauko, maafkan aku, aku menampik
cintamu, tapi, aku, aku tidak kuasa atas diriku..."'
"Angan-anganku yang
terakhirpun lenyap, meski aku
tahu dia mencintai Sute, tapi aku masih mengharap dia menyangkal, umpama dia
menipuku juga tidak jadi soal."
"Sekarang, justru
terbalik, dia mengaku terus terang, dia tidak bisa tidak harus mencintai Sute.
Hm, berani dia minta maaf kepadaku."
"Aku tidak berani
mendengar perkataannya lagi, aku menyeringai dingin: 'Sayang sekarang kau sudah
menjadi istriku.'"
"Seolah-olah dia
berhadapan dengan seorang asing, sesaat kemudian baru berkata lirih: 'Memang
aku sudah berjanji kepada bibi untuk menjadi istrimu, aku pun tidak ingin
ngapusi kau, sekarang aku belum bisa melupakan dia. Setelah menikah, lebih baik
kau membawaku ke tempat jauh. kelak aku pasti akan melupakan dia.'"
"Dia bicara setulus hati,
sayang dia lupa satu hal, aku sedang mabuk, aku sudah kehilangan kesadaranku,
saat seperti itu aku lebih suka menipu diriku sendiri, mana aku mau mendengar
nasehatnya."
"Aku tidak kuasa menahan
gejolak nafsu binatangku yang meledak. 'Kau tidak akan melupakan dia, aku pun
tidak sudi kau menjadi isteriku karena dipaksa, hatimu tidak dapat kumiliki,
biar aku merasakan kenikmatan tubuhmu.""
"Aku, aku bukan manusia,
aku binatang jalang, aku melakukan perbuatan hina dan kotor yang tidak dapat
kumaafkan sendiri, perbuatan yang kusesalkan selama hidup."
Hati Han Cin seperti
mengejang, bagai diiris-iris, dia ikut sedih akan nasib Piaumoaynya, diapun
ikut kasihan akan nasib Ti Nio. Setelah menyeka air matanya, lama kemudian Ti
Nio berkata: "Aku mendengar isak tangisnya, rasa mabukku seketika
buyar."
"Aku menyesal, aku malu.
kenapa aku bisa melakukan perbuatan kotor, yang melebihi binatang liar.
Langsung aku gampar mukaku sampai bengkak besar, tapi aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan kepadanya."
"Aku tidak berani mohon
maaf, akhirnya malah dia yang bicara dulu. 'Piauko, aku tidak akan membencimu,
aku malah kasihan padamu, tapi sukalah kau maafkan aku, kuharap kau melupakan
kejadian ini, lupakan pula diriku ini."'
"Setelah berkata dia
dorong jendela terus lari pergi. Aku sadar dan mabukku, tapi kakiku lemas
lunglai akupun malu untuk mengejarnya."
"Sejak dia lari itulah
untuk selanjutnya dia tidak pernah pulang lagi."
"Ai, apapun yang telah
terjadi, kesalahan ada padaku, sehingga aku harus berpisah dengannya untuk
selama-lamanya, meski hanya perpisahan hidup tapi tak pernah aku memperoleh
kesempatan untuk menyatakan penyesalan hatinya."
"Ternyata Sute lenyap
bersama dia. Sejak itu aku tidak pernah melihat Suteku lagi"."
"Menghadapi peristiwa
yang memalukan dan menyedihkan ini, sudah tentu ayah bundaku amat sedih dan
marah sekali. Tapi entah berpegang pada kejelekan keluarga pantang tersiar,
supaya tidak menyakiti hatiku pula, ayah bunda tidak mengungkat lagi akan
perbuatan mereka yang buron itu. Bukan ayah bunda saja yang bungkam, pelayan
dan kacung rumahkupun tiada yang berani menyinggung mereka pula."
"Orang mati biasanya
masih dikenang, tapi orang-orang keluargaku justru anggap mereka tidak pernah
ada dalam rumahku, seperti sesuatu yang mendadak lenyap tanpa bekas."
"Meski mereka sudah
pergi, walau tiada seorangpun yang membicarakan mereka lagi, tapi bayangan mereka
tetap terukir dalam sanubariku, sampai sekarang tidak bisa dihapus."
"Piaumoay ada
meninggalkan dua patah kata, supaya aku melupakan peristiwa malam itu,
melupakan dia. Tapi dapatkah aku melupakan dia."
"Aku tak mampu mencari
tahu berita dan jejak mereka, namun benar aku tidak berani mencari tahu mereka.
Terpaksa aku hanya menyiksa diri dengan kehidupan merana dan menyepi, sering
aku mondar mandir di danau, meniup serulingku, mengenang masa lalu."
Berlinang air mata Han Cin,
pikirnya: "Tak heran sebelum pergi Piaumoaynya bilang tidak membencinya,
tapi kasihan padanya. Tapi aku harus simpati dan kasihan pada siapa?"
Tanpa merasa dia angkat kepala dan memandang dengan air mata berlinang,
serunya: "Ti-pepek.""
Sejenak Ti Nio memandangnya,
sesaat dia bimbang lalu katanya: "Jangan kau .kasihan padaku, memang
pantas aku memperoleh hukuman ini."
"Sebetuluya aku tiada
hasrat melanjutkan cerita ini, tapi ceritanya belum selesai. Aku merasa aku
harus membeber segala persoalan ini kepadamu."
"Situasi tidak meleset
dari dugaan ayahku, agresor Watsu telah memasuki tanah air kita, dalam
pertempuran besar di Tho-bok-po, pasukan kerajaan dynasti Bing dipukul hancur
berantakan, pada hal raja Ing-cong sendiri yang memimpin pasukan besar juga
akhirnya menjadi tawanan musuh. Syukurlah sekretaris militer pada masa itu Ih
Cian bertindak tegas, segera mengangkat junjungan baru dan sekuat tenaga
mempertahankan ibu kota melawan serbuan musuh yang lagi menang, kalau tidak
dynasti Bing pasti sudah runtuh dan musnah sejak dua puluhan tahun yang
lalu."
"Bahwa negara dikacau
peperangan lekas sekali berhasil diamankan adalah urusan belakang. Pada hal
agresor Watsu sempat mengeduk harta kekayaan negara dan rakyat, rakyat jelata
tidak sedikit yang menderita oleh peperangan itu, bahwa raja ditawan dan ibu
kota dikepung sudah tersiar luas sehingga rakyat di daerah Kanglampun sudah
ribut dan geger sendiri, meski pasukan kuda Watsu belum tiba di Kanglam, tapi
anasir-anasir pemberontak dan kaum dorna sudah kasak kusuk dengan pihak Watsu,
mereka siap menyambut serbuan pasukan Watsu dari dalam."
"Dalam suasana kacau dan
geger itu, semua orang sibuk mengurus harta dan keselamatan dan siap menyambut
perubahan yang bakal terjadi, meski aku amat merindukan mereka tapi rasa
sedihku sudah banyak berkurang."
"Sungguh tak nyana dalam
saat-saat genting itulah aku mendapat berita mereka."
"Suatu hari, tanpa
sengaja aku mendengar percakapan ayah dan ibu, mereka sedang membicarakan
Piaumoay."
"Ibu sedang memaki
Piaumoay: 'Sia-sia aku mengasuh dan membesarkan dia, setelah besar dia malah
migggat bersama muridmu, kini sudah ketahuan jejak mereka, coba katakan
tindakan apa yang hendak kau lakukan?'"
"Agaknya ayah jadi
ragu-ragu, katanya kemudian: 'Kau laki-laki tidak punya pendirian, memangnya
kau mandah peluk tangan terhadap manusia yang tidak kenal budi dan cinta kasih,
kau biarkan saja mereka merusak nama baik keluarga kita?'"
"Ayah menghela napas,
katanya: 'Umpama mereka dibekuk kembali memangnya hukuman apa yang hendak
dijatuhkan pada mereka, apakah kita masih mengharap dia menjadi menantu
kita?'"
"Akhirnya ibu menghela
napas, katanya: 'Walau tidak akan jadi menantuku, aku penasaran kalau kau
tinggal diam. Aku tetap menentang perjodohan laki perempuan cabul itu. Aku
ingin kau menangkap mereka kembali, hukum mereka dengan aturan keluarga.
Apalagi dia satu-satunya keponakanku, kalau aku tidak memanggilnya pulang, aku
akan berdosa pada kakak yang telah meninggal.'"
"Akhirnya aku berlari
masuk dan berteriak: 'Ayah, ibu, kuharap kalian tidak mempersulit mereka lagi,
dalam hal ini akulah yang salah bukan salah mereka."'
"Ayah menghela napas
panjang, katanya: 'Nah, sudah kau saksikan, umpama mereka ditangkap kembali,
kecuali kau menghukum mati mereka, kalau tidak anak Nio sendiri yang akan
menderita lahir batin. Yakin kaupun takkan tega menghukum mati mereka bukan?
Kalau demikian kenapa tidak kau biarkan saja mereka mencari jalan hidupnya
sendiri.'"
"Ibu geleng-geleng
kepala, katanya kepadaku: 'Sungguh tak kira, kaupun begini tidak becus dan
lemah perasaan, dia mengingkari dirimu, kau justru membela dan melindunginya.
Kalau demikian, mereka memang tidak boleh masuk ke pintu rumah kita. Baiklah,
anggaplah aku yang bertindak kasar, biarlah mereka mencari hidupnya
sendiri.'"
"Aku berkata: 'Bu, bukan
aku ingin mengundang mereka pulang, tapi aku ingin tahu dimana jejak mereka
sekarang.'"
"Ibu bilang: 'Apa, kau
masih pingin mencari dan bertemu dengan mereka?""
"Aku berkata: 'Aku boleh
tidak bertemu dengan mereka, tapi aku harus tahu kabar tentang mereka, kalau
tidak hatiku tidak akan tentram.'"
"Apa boleh buat, akhirnya
ibu memberitahu: 'Mereka sembunyi di famili Sutemu dari keluarga miskin. Konon
mereka sudah menikah dan berkeluarga.'"
"Semula aku memang tidak
berani mencari mereka, tapi situasi sehari demi sehari semakin buruk dan tegang
serombongan pemberontak kabarnya merajalela di daerah Soh-ciu, kabarnya kaum
pemberontak inipun katanya akan menyerbu Hang-ciu,"
"Keluargaku juga sudah
siap mengungsi. Aku jadi kangen dan merindukan mereka, aku ikut gugup dan
gelisah akan keselamatannya. Mereka tidak memiliki Kungfu sejati dan dalam
keadaan rudin lagi, berada di kota yang teracam peperangan, apakah mereka mampu
menyelamatkan diri dari malapetaka? Dalam keadaan yang sudah kepepet dan kritis
itu, siapa lagi yang mau membantu mereka kecuali aku?"
"Siapa tahu setibaku di
Hang-ciu, ternyata aku jadi amat kecewa."
"Mereka tidak mau menemui
kau?" tanya Han Cin.
Ti Nio geleng-geleng kepala,
katanya: "Bukan."
"O, jadi mereka berdua
sudah pergi?"
"Bukan mereka berdua,
tapi mereka bertiga sudah mengungsi."
"Lho," Han Cin
bersuara heran, "siapa pula yang satu?"
Ti Nio pandang Han Cin
lekat-lekat katanya: "Dengarkan ceritaku lebih lanjut, nanti kau tahu
sendiri."
"Aku berhasil menemukan
famili miskin keluarga Sute, dia memberitahu kepadaku, bahwa Piaumoay sudah
melahirkan orok perempuan, baru saja genap sebulan. Memangnya kondisinya amat
lemah, setelah habis melahirkan lagi, namun karena situasi sudah amat tegang,
kuatir peperangan menjilat kemari, orok kecil itu akan ketimpa malang. Maka dua
hari sebelum aku datang, mereka sudah mengungsi. Agaknya Piaumoay sudah menduga
aku bakal menyusulnya, maka dia meninggalkan sepucuk surat minta disampaikan
kepadaku."
"Sebelum aku membuka
surat itu, aku sudah menduga apa isi suratnya. Memang tidak meleset, dalam
suratnya itu dia memberitahu kepadaku bahwa putri yang dilahirkan itu adalah
anakku, pernah timbul maksudnya hendak mengembalikan putriku itu kepadaku, tapi
akhirnya dia bertekad untuk mengasuh dan merawat bocah itu meski apapun yang
akan dihadapinya. Karena diapun mengharap ada nona cantik dari keluarga ternama
yang akan dipersunting olehku, kalau orok ini ditinggalkan untukku, pasti akan
mengganggu perjodohanku. Maka mereka berkeputusan meski keadaan serba susah, mereka
akan tetap berusaha memelihara anak itu, sampaipun harus mengorbankan jiwa raga
sendiri juga mereka lakukan demi keselamatan orok itu sehingga tumbuh
dewasa."
Saking terharu Han Cin
berteriak: "Dia memang tidak menipu kau, dalam pengungsian itu, akhirnya
dia memang berkorban karena anak itu, saat itu si bocah baru berumur genap
setahun."
"Ceritaku sudah tamat.
Aku tidak pernah menikah lagi sampai sekarang, selama dua puluhan tahun ini aku
selalu mencari anak itu, sekarang aku berhasil menemukan dia, entah anak ini,
dia, dia..."
Dengan mata berlinang Han Cin
tatap Ti Nio sekian lamanya, jantung Ti Nio seperti gelombang badai yang
mengamuk rongga dadanya, seperti seorang tawanan yang siap difonis hukumannya
oleh hakim.
"Aku sudah paham,
segalanya sudah kumengerti," ucap Han Cin kelu, "aku adalah orok itu.
Piaumoaymu adalah ibuku, Sutemu, dia, dia adalah ayahku."
Seperti tenggelam hati Ti Nio,
katanya berat: "Apa yang dia katakan memang tidak salah, hanya Han-sutelah
yang pantas jadi ayahnya, aku, aku tidak setimpal jadi ayahnya."
"Ayah," mendadak Han
Cin menjerit serta menubruk kedalam pelukannya.
"Sekarang aku sudah
paham, kenapa selama ini ayah tidak mau memberitahu padaku, ternyata aku bukan
anak kandungnya. Tapi aku tahu sebelum ajalnya dia ingin membeber persoalan
sebenarnya, kukira di alam baka arwahnya tentu sudah tahu dan ikut senang bahwa
hari ini aku sudah berkumpul dengan ayah kandungku. Ah, tidak, salah omonganku.
Kau adalah ayah kandungku, diapun ayahku juga. Ayah, maukah kau maafkan perkataanku
ini?"
Dengan air mata bercucuran Ti
Nio dengarkan pengakuan putrinya, betapa lega hatinya, katanya: "Anak Cin,
kaulah yang harus memaafkan aku, fonismu terlalu ringan untuk menghukum
kesalahanku," air mata bercucuran, ingus mengalir pula, tapi wajah Ti Nio
dihias secerah senyum bahagia, "walau dia bukan ayah kandungmu, tapi
dialah orang yang paling baik terhadapmu selama ini. Dia lebih kandung, lebih
erat dan dekat dari ayahmu sendiri. Yang harus disesalkan adalah aku, sebagai
ayah kandungmu, tapi kapan aku pernah memberikan kebaikan kepadamu, kau malah
menderita lahir batin..."
Lekas Han Cin mendekap mulut
ayahnya, katanya: "Ayah, jangan kau menyiksa dirimu, peristiwa masa lalu
sukar dikatakan kesalahan terletak pada siapa, kini aku sudah berada dalam
haribaanmu, buat apa masa lalu dikenang pula? Ayah, kenapa kau bilang tidak
pernah memberi kebaikan kepadaku, semalam bukankah kau telah
menyelamatkan jiwaku?"
Ti Nio menyeka air mata,
katanya: "Anak Cin, terima kasih bahwa kau sudi memaafkan aku. Memang,
marilah kita ayah beranak membuka lembaran baru, mulai hidup dari lembaran
permulaan. Kau boleh tidak usah berubah she, kau paham maksudku?"
Han Cin juga menyeka air mata,
sahutnya: "Anak mengerti. Aku adalah putri keluarga Han tapi juga putri
keluarga Ti. She apa tidak begitu penting."
"Selama belasan tahun
ini, bagaimana kalian ayah beranak hidup? Ah, terlalu banyak yang ingin
kuketahui? Cara bagaimana kau bisa meyakinkan ilmu setinggi ini, bukan ayahmu
yang mengajar Kungfu kepadamu bukan?"
"Anak belajar Kungfu
kepada Gi-hu, ayah belum pernah menyatakan dia pandai main Kungfu malah."
"O, kau masih punya
seorang Gi-hu lagi?"
"Gi-huku bernama Khu Ti,
beliau semayam di Ong-gu-san. Beliau adalah kawan paling karib ayah dalam masa
tuanya. Ayah, soal ini biarlah kelak kuceritakan kepadamu."
"Aku juga ada sebuah
cerita yang akan kututurkan kepadamu."
"Cerita apa?" tanya
Han Cin, dirasakan mimik ayahnya agak aneh, seperti mau bicara tapi sungkan.
"Tentang seruling batu
pualam warisan keluarga kita itu."
Sampai disini pembicaraan
mereka, mereka mendengar irama seruling. Seruling yang ditiup oleh Kek Lam-wi.
Ternyata Liok Kun-lun sudah
mengatur segala sesuatu untuk pemberangkatan Tan Ciok-sing dengan fn San, besok
pagi sebelum fajar menyingsing mereka sudah harus masuk kota dan tinggal di
rumah salah seorang murid Kaypang, maka mumpung waktu masih ada setengah hari
mereka diharuskan menghafalkan gambar peta tentang seluk beluk istana raja,
malam nanti mereka sudah harus masuk ke istana.
Perjamuan perpisahan khusus
diadakan tengah malam. Secara bergantian para hadirin menyuguh arak, waktu tiba
giliran Kek Lam-wi, dia berkata: "Tan-toako, biar kutiup seruling untuk
mengantar pemberangkatanmu, nanti akupun ingin mendengar petikan harpamu."
"Baiklah, marilah kita
sama-sama main sebuah lagu instrumental seruling dan harpa, lagu apa yang ingin
kau mainkan?" tanya Tan Ciok-sing.
"Inilah lagu ciptaanku
sendiri, silahkan kau periksa," ucap Kek Lam-wi.
Setelah membaca lagu ciptaan
Kek Lam-wi, Tan Ciok-sing berkata: "Bagus, gubahanmu teramat bagus,"
lalu dia angsurkan lagu itu kepada In San dan berkata: "Adik San, coba kau
yang bernyanyi."
Melihat sikap mereka wajar,
riang dan mantap, menghadapi tugas berat yang kemungkinan menghadapi mara
bahaya seperti berpulang keharibaan orang tua, sungguh haru Kek Lam-wi bukan
main.
Lebih haru lagi setelafi
paduan lagu seruling dan harpa mengiringi nyanyian ln San yang memilukan,
hadirin sama menunduk dan menghela napas rawan, pikiran mereka hanyut oleh
suasana haru yang menusuk kalbu menjelang perpisahan ini, Tan Ciok-sing
curahkan seluruh perasaan hatinya pada petikan senar harpanya. "Tak"
pada ritme terakhir, senar harpa putus seutas.
Tan Ciok-sing dorong harpanya
terus berdiri, katanya: "Nona Han, tolong kau simpan harpaku ini, kalau
aku tidak kembali, tolong kau serahkan harpaku ini kepada Toan-toako."
"Jangan berpikir begitu
Tan-toako," ucap Han Cin, "aku yakin kau akan kembali bersama
In-cici."
Tan Ciok-sing tertawa
tergelak¬ gelak, katanya: "Semoga aku berhasil menunaikan tugas suci ini,
mati atau hidup sudah tidak terpikir lagi olehku," di tengah gelak tawanya
itu dia berputar sambil soja kepada seluruh hadirin, lalu dia ajak ln San
berlalu dengan jalan beradu pundak.
Liok Kun-lun sendiri mengantar
mereka keluar kota. Sementara hadirin yang lain tetap berada di ruang perjamuan
yang terang benderang, rasa haru mereka masih belum tentram, sehingga tiada
seorangpun yang ngantuk dan ingin tidur.
Kek' Lam-wi masih berdiri
terlongong sambil memegangi serulingnya, lama baru dia menyadari bahwa entah
sejak kapan Ti Nio dan Han Cin tengah mengawasi seruling pualam yang
dipegangnya seperti sedang melamunkan sesuatu. Kek Lam-wi jadi heran, batinnya:
"Kenapa Susiok dan nona Han baru sekarang datang?"
"Anak Cin, boleh kau beritahu
kepada Kok-suhengmu," demikian kata Ti Nio.
Kek Lam-wi melenggong,
katanya: "Nona Han, kau angkat Susiok sebagai guru?"
Ti Nio tersenyum, katanya:
"Dia bukan muridku tapi adalah putriku. Kalau dibicarakan dia boleh
terhitung Sumoaymu juga."
Kaget dan heran Kek Lam-wi,
namun lekas sekali dia sudah mengerti, pikirnya: "Tak heran, malam itu
Susiok begitu mati-matian melindungi dan menolong Han Cin."
Ti Nio berkata pula:
"Kalian tentu tidak menduga, baru hari ini aku sendiri tahu bahwa dia
sebetulnya adalah putriku. Keluarga Kek dan keluarga Ti adalah seperguruan,
keluarga yang sudah kental sejak beberapa generasi. Maka Lam-wi kuanggap
sebagai keponakanku sendiri, selanjutnya kalian boleh akrab .seperti saudara
sekandung saja."
Maka Han Cin segera maju
memberi hormat kepada Kek Lam-wi sebagai Suheng, hadirinpun maju mengucap
selamat kepada mereka, kesibukan dan keramaian disini tanpa terasa telah
mengesampingkan Toh So-so malah.
Secara diam-diam dari samping
Toh So-so menyaksikan dan memperhatikan, teringat kejadian malam itu, hatinya
kecut, hambar tidak karuan rasanya.
Han Cin juga teringat akan
satu hal, mengawasi seruling pualam di tangan Kek Lam-wi, diam-diam dia
membatin: "Waktu ayah bercerita, berulang kali dia menyinggung seruling
pualam warisan keluarganya, seruling pualam Kek Lam-wi ini kalau ditiup juga
mengeluarkan lagu yang indah dan merdu, entah apakah seruling pualam milik ayah
itu?"
Yang menjadikan pandangannya
terpesona adalah seruling di tangan Kek Lam-wi, tapi Toh So-so yang memperhatikan
dari samping justru tidak tahu kalau Han Cin memperhatikan seruling itu, karuan
semakin ruwet pikirannya.
Akhirnya Kek Lam-wi menyadari
juga bahwa sikap dan mimik orang agak ganjil, lekas dia berkata: "Han-cici
masih menguatirkan keadaan Toan-toako, marilah lekas kita temani dia pulang
biarlah kabar baik ini dia sampaikan sendiri kepada Toan-toako," lahirnya
dia seperti berolok-olok kepada Han Cin, yang terang kata-katanya ditujukan
kepada Toh So-so.
Waktu mereka tiba di rumah
keluarga Coh, kebetulan Toan Kiam-ping sudah siuman, melihat mata Han Cin merah
dan bengkak habis menangis. Toan Kiam-ping kira orang terlalu prihatin dan
menguatirkan kesehatan dirinya, maka lekas dia berkata: "Kenyataan koh
aneh, setelah tidur pulas, keadaanku jauh lebih baik. Adik Cin, tak usah kau
kuatir akan diriku."
Ti Nio berkata dengan tertawa:
"Cara tutukan yang kugunakan tadi memang khusus untuk membantu pulihnya
kesehatanmu, tanggung dalam sepuluh hari, kau sudah pulih seperti
sediakala."
"Sepuluh hari sebentar
juga sudah lalu," ujar Han Cin senang. "Toan-toako, kau harus
beristirahat dengan baik."
"Betul, Ti-locianpwe, kau
banyak bekerja demi menolong jiwaku, maaf aku belum sempat menghaturkan terima
kasihku," demikian kata Toan Kiam-ping.
Ti Nio berkata: "Urusan sekecil
ini buat apa ditaruh dalam hati."
"Aku jelas harus
berterima kasih kepadamu, apalagi semalam aku tak sempat melindungi nona Han,
demi pertolonganmu sehingga dia bebas dari mara bahaya, entah bagaimana aku
harus membalas kebaikanmu."
Ti Nio terkekeh geli, katanya:
"Dia ini putriku, sepantasnya akulah yang harus berterima kasih kepadamu,
mana boleh persoalan diputar balik malah?"
Terbeliak kaget dan senang
hati Toan Kiam-ping, katanya: "O, jadi Ti Tayhiap adalah ayahmu, kenapa
kau tidak pernah ceritakan hal ini kepadaku?"
"Aku sendiri juga baru
tahu," sahut Han Cin cekikikan.
Setelah mendengar penjelasan
Han Cin, bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tertawa: "Nona
Han, sungguh amat menggirangkan. Baiklah aku terus terang, beberapa jam sebelum
ini, aku tidak tahu kesehatanku bisa sembuh secepat ini, pernah timbul
pikiranku begini, tidak jadi soal aku mati, tapi kematianku akan menjadikan kau
sengsara, itu berarti aku berdosa terhadap kau. Kita, senasib sepenanggungan,
tiada sanak tiada kadang, setelah aku berada di alam baka, siapa yang akan
mendampingi dan menghibur kau? Kini persoalan sudah jelas, ternyata kau masih
punya seorang ayah yang baik dan arif hijaksana, umpama penyakitku takkan
sembuh, aku akan berangkat dengan perasaan lega dan tentram ke dunia
lain."
Berlinang air mata Han Cin
mendengar limpahan perasaan Toan Kiam-ping yang blak-blakan ini, katanya:
"Toan-toako, jangan kau berpikir yang tidak genah. Aku yakin kau akan
selamat dan sehat kembali," wajahnya tampak berseri tawa dengan perasaan
lega dan terhibur.
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Memangnya sekarang kau tak perlu kuatir untuk diriku, akupun
tidak perlu menguatirkan kau, lalu apa pula yang kau tangisi?"
Diam-diam Ti Nio menyaksikan
dan mendengarkan percakapan muda mudi ini, sebodoh-bodohnya juga dia sudah
menduga bahwa putrinya ternyata sudah cintrong sama Toan Kiam-ping, dan Toan
Kiam-ping juga membalas
cintanya dengan setulus hatinya. Hubungan mereka jelas sudah bukan merupakan
hubungan sesama teman biasa.
Setelah perjamuan usai,
perasaan Ti Nio tak bisa tentram, diam-diam dia berpikir: "Dari pesan Tan
Ciok-sing kepada anak Cin tadi, seolah-olah hubungan anak Cin dengan Toan
Kiam-ping adalah pasangan kekasih yang sudah matang, entah bagaimana perasaan anak
Cin bila dia memang sudah punya pujaan hati, angan-anganku mungkin tidak bisa
terlaksana." — — lalu dia ajak Han Cin keluar dan berjalan-jalan ke hutan
dimana tadi mereka berbincang-bincang.
"Ayah," kata Han Cin
membuka suara lebih dulu, "bukankah kau ingin menceritakan sebuah kisah
yang lain?"
"Betul," ujar Ti
Nio, "kisah ini harus di mulai dari sebatang seruling pualam."
Tergerak hati Han Cin,
katanya: "Seruling dalam kisahmu itu, bukankah seruling pualam yang
sekarang berada di tangan Kek Lam-wi itu?"
"Kau memang pintar,
sekali tebak kena sasaran. Seruling pualam itulah dimana masa mudaku dulu
kugunakan untuk didengar ibumu."
"Bukankah seruling itu
warisan keluarga kita?"
"Betul, belum ada setahun
Lam-wi datang ke Khong-goan menemui aku sebagai Susioknya. Tapi sejak dia masih
orok dahulu, aku sudah pernah melihatnya sekali. Seruling pualam itu juga bukan
warisan keluarga Ti kita."
"Tapi ayah, kau pernah
bilang..."
"Dulu waktu aku minta
seruling ini dari ayah aku juga kira seruling ini adalah warisan keluarga kita,
padahal aku belum tahu asal-usulnya. Baru hari ini..."
Seperti mengenang masa lalu.
dia beristirahat sejenak, barulah memulai menceritakan kisah seruling pualam
itu kepada putrinya.
"Hari itu, sehari setelah
aku pulang dari Hang-ciu. Gerombolan perampok ternyata mulai mengganas di
daerah Soh-ciu dan Hang-ciu, terutama kota Hang-ciu sudah dikuras
habis-habisan, berita buruk tersiar dari utara bahwa agresor Watsu ternyata
telah mengepung kota raja, bila kota raja sampai diduduki musuh, maka dapatlah
dibayangkan apa yang bakal terjadi."
"Akhirnya ayah
berkeputusan supaya aku mengungsi ke tempat lain, tapi dia hanya menyuruh aku
seorang diri pergi."
"Kenapa kakek tidak
mengungsi sekalian?"
"Ayah bilang dia harus
mengurus harta warisan leluhur, katanya dia cukup mengusai situasi dan keadaan,
banyak kenalan pula di kota kelahiran sendiri, meski malapetaka bakal datang,
yakin berkat luasnya pergaulannya, kesulitan apapun pasti dapat diatasi, maka
aku disuruhnya pergi sendiri, tak usah menguatirkan keselamatan ayah
bunda." Yang benar ini hanya alasan ayahnya belaka. Setelah beberapa tahun
berselang baru Ti Nio tahu akan sebab musabab kenapa ayah bundanya tidak mau
mengungsi. Ternyata waktu itu secara rahasia ayahnya telah bergabung dalam laskar
rakyat dan mengadakan gerakan bersenjata siap melawan agresor membela tanah
air."
"Ayah kuatir karena
Kungfuku belum memadai di samping aku adalah anak tunggal pula, sehingga dia
berpikir agak egois, mementingkan keselamatan diriku untuk menyambung keturunan
kelak."
Ti Nio melanjutkan ceritanya:
"Sebelum berangkat, ayah menyerahkan dua barang kepadaku serta berpesan
wanti-wanti. Yaitu sebatang seruling pualam, dan pelajaran Tiam-hiat hasil
ciptaannya setelah diperdalam sekian tahun dengan segala daya dan
tenaganya---yaitu gambaran pelajaran King-sin-pit-hoat.
"Ayah bertanya kepadaku:
'Tahukah kau asal-usul seruling pualam ini?' Waktu itu akupun bertanya seperti
kau tanya kepadaku tadi: 'Apakah seruling ini bukan warisan leluhur
kita?'"
"Ayah geleng-geleng
kepala, katanya: 'Bukan. Seruling ini pemberian seorang teman kepadaku. Walau
aku boleh mewariskan kepadamu sebagai warisan keluarga, tapi bila keturunan
temanku itu betul-betul memiliki bakat yang tinggi, aku masih mengharapkan
seruling ini akan dikembalikan kepada yang berhak menerimanya.'"
"Sudah tentu aku tidak
habis heran, apakah teman ayah itu tidak terlalu royal? Seruling pusaka yang
diincar setiap insan persilatan rela diberikan kepada ayah? Siapakah teman ayah
itu? Timbul berbagai tanda tanya dalam benakku."
"Ayah lantas berkata:
'Apa kau masih ingat Kek-supek? Beberapa tahun lampau pernah dia membawa
putranya bertamu di rumah kita.'"
"Lama aku mengingat-ingat
baru akhirnya aku teringat, kira-kira tujuh tahun yang lalu, memang pernah
datang seorang Kek-supek dengan putranya yang menginap beberapa lama di rumah
kita. Putranya itu sebaya dengan aku, aku juga ingat namanya Kek Bin-yang.
Hanya tiga malam mereka menginap, waktu itu karena menghadapi persoalan
Piaumoay dan Sute sehingga aku terpukul lahir batin, adalah jamak kalau aku
melupakan teman baik masa kanak-kanak dulu, kalau ayah tidak menyinggung,
terang aku sudah melupakannya.
Sampai disini Han Cin sudah
paham beberapa bagian, tanyanya: "Jadi seruling pualam itu adalah
pemberian Kek-supek kepada kakek? Sementara bocah yang waktu itu bernama Kek
Bin-yang, tentu adalah ayah kandung Kek Lam-wi bukan?"
"Tepat sekali. Mungkin
juga lantaran berjodoh setelah berjerih payah sekian tahun lamanya, di puncak
Sing-siok-hay di pegunugan Kun-lun, Kek-supek berhasil memetik segumpal batu
pualam hangat serta membuatnya jadi sebatang seruling."
"Jelas batu pualam itu
sukar diperoleh, kenapa dia rela memberikan kepada kakek."
"Soalnya bakat ayah
paling baik di antara sesama saudara seperguruan, seruling pualam hangat itu
bisa membantu ayah mempercepat latihan ilmu Tiam-hiat yang sedang diyakinkan,
oleh karena itu apapun dia minta ayah menerima hadiah mahal yang tiada taranya
itu. Beliau berkata yang diharapkan adalah kekayaan perguruan dan memperluas ajarannya,
meski sukses yang dicapai kelak bukan hasil karya kedua tangannya diapun ikut
bangga akan usaha dan perjuangannya lalu apa arti sebatang seruling pualam
ini."
Han Cin menghela napas,
katanya: "Kek-supek ayah itu ternyata berjiwa besar dan berlapang
dada."
"Bukan hanya itu
saja," kata Ti Nio lebih lanjut. "Ayah pernah bilang juga bahwa dia
pernah mendapat budi pertolongau Kek-suhengnya itu. Tanpa bantuan dan dorongan
Kek-suhengnya itu, ayah takkan bisa rajin dan tekun mempelajari serta memperdalam
ilmunya, entah berapa kali pula mara bahaya yang telah dihindarinya selama
berada di damping sang suheng. Tapi cerita sampingan ini bukan tujuanku yang
utama untuk berbincang dengan kau disini, malam ini secara ringkas saja akan
kukisahkan hubungan kental antara keluarga Ti kita dengan keluarga Kek, tentang
seluk beluknya biarlah ditunda dulu saja pada lain kesempatan," maka
pembicaraan dia putar balik ke malam itu, bagaimana ayahnya berpesan kepadanya.
Sebelum berangkat ayah
berpesan kepadaku: "Aku memperoleh bantuan dan pertolongan Kek-suheng.
sampai sejauh ini tak mampu membalasnya, waktu dia menyerahkan seruling ini
kepadaku kami ada janji dua hal. Sekarang aku tiada waktu mencarinya ke
Kwa-ciu, terpaksa biarlah kau yang mewakili aku mencapai keinginanku."
"Aku tanya tentang kedua
hal perjanjian itu. Ayah menjelaskan: 'Waktu itu kami sama-sama tahu istri
masing-masing sudah hamil. Maka perjanjian pertama antara kami ialah bila anak
kita sama-sama laki-laki, mereka harus angkat saudara, bila sama-sama perempuan,
harus jadi kakak beradik pula. Bila laki dan perempuan, kelak mereka harus
menjadi suami isteri."
"Tahun itu waktu dia
bertandang ke rumah kita membawa anaknya, mengingat usia kalian masih kecil,
dia sedang terlibat urusan penting lagi, maka dia hanya menginap tiga hari di
rumah kita terus pergi ke lain tempat, maka tidak sempat mengadakan upacara
untuk pengangkatan saudara kalian. Maka aku mengusulkan supaya menunda setelah
kalian dewasa baru akan mengundang sanak saudara untuk menyaksikan upacara
persaudaraan kalian, sekaligus akan kujelaskan pula seluk beluknya, supaya
orang banyak tahu sepak terjang Kek-suheng selama ini, di samping itu maksudnya
adalah supaya kalian juga tahu hubungan keluarga kita yang intim."'
"'Dalam situasi seperti
sekarang upacara angkat saudara yang kuharapkan dulu jelas tidak mungkin
diadakan lagi. Tapi asal kau berhasil menemukan Kek-suheng dan anaknya, tak
usah pakai perjamuan segala, secara sederhana boleh kalian lakukan upacara ala
kadarnya saja, maksudnya juga tidak bakal luntur.'"
"Setelah patah hati,
memang aku ingin memperoleh seorang teman karib sebagai pelepas rindu dan sepi,
sungguh bukan main senang hatiku setelah mendengar penjelasan ayah, peduli
apapun yang bakal terjadi, aku harus mencari mereka sesuai pesan ayah."
"Lalu ayah menjelaskan
hal kedua, beliau amat berterima kasih dan merasa hutang budi akan kebaikan dan
pemberian seruling Kek-suhcngnya, maka diam-diam dia bersumpah dalam hati,
kapan dia berhasil meyakinkan ilmu sakti, dia akan ajarkan juga ilmunya itu
secara merata kepada putra Kek-suheng. Dulu Suheng mengharap dengan seruling
pualam itu dapat membantu dia sukses mempelajari ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi,
kini harapan itu telah terkabul, dia sudah berhasil meyakinkan
King-sin-pit-hoat dengan seruling pualam itu.
maka ayah suruh aku serahkan
gambar penjelasan pelajaran King-sin-pit-hoat hasil jerih payahnya kepada
Kek-suheng dan anaknya."
"Ayah bilang: 'Baru tahun
lalu aku berhasil menyelami seluruh pelajaran Kmg-sin-pit-hoat ini dan berhasillah
kupelajari ilmu tutuk tunggal yang tiada taranya. Sayang situasi semakin gawat,
jelas diriku tak mungkin pergi mencari Kek-suheng dan menyerahkan pelajaran
Tiam-hiat itu kepadanya. Kau sendiri belum sempurna mempelajarinya, kau juga
masih perlu mendapat bantuan seruling pualam itu, tapi sepanjang jalan kau
boleh mempelajari dan mengingat gambar penjelasan ini, bila mereka ayah dan
anak mau ngungsi bersama kau, kau masih boleh belajar bersama mereka.'"
'"Seruling ini akupun ada
maksud dikembalikan kepada pemiliknya semula. Tapi seruling ini memang barang
pusaka, kau harus tepat menyerahkan kepada yang berhak. Bila putra Kek-suheng
memang punya bakat belajar silat, baru boleh kau serahkan seruling ini
kepadanya, kalau tidak lebih baik jangan kau kembalikan,' setelah diberi
wejangan pula, hari itu juga aku berangkat membawa seruling dan Pit-kip,
mengungsi ke selatan. Tapi setiba di Kwa-ciu, ternyata situasi disini juga
genting dan tidak aman, dua hari sebelum aku tiba di Kwa-ciu, aku sudah tahu bahwa
aku dikuntit orang. Sayang pengalamanku cetek tapi sebagai kambing yang baru
keluar kandang tidak takut berhadapan dengan harimau, meski aku merasa curiga,
namun aku tidak ambil di hati."
"Setiba di Kwa-ciu,
seperti rencana semula aku bekerja tanpa membuang waktu mencari Kek-supek.
Keluarga Kek ternyata cukup terkenal dan disegani di daerah Kwa-ciu, sekali aku
mencari tahu pada penduduk setempat lantas kucapai rumahnya."
"Setiba aku di rumah
keluarga Kek, satu peristiwa terjadi sungguh diluar dugaanku."
Han Cin menyela: "Mungkin
mereka juga sudah mengungsi?"
"Bukan. Aku hanya bertemu
dengan Kek Bin-yang." "Lho, lalu ayahnya?" "Dengan pakaian
blaco (pakaian duka cita) Kek Bin-yang keluar menyambut kedatanganku, ayahnya,
Supekku telah neninggal."
"Kira-kira tiga bulan
yang lalu, gerombolan perampok telah beroperasi di Kwa-ciu, gerombolan perampok
ini ditunjang oleh pihak Watsu, di antara anggotanya tidak sedikit terdapat
jago-jago silat dari bulim. Demi melindungi rakyat sekota, Supek kerahkan
tenaga yang ada, dia pimpin rakyat melawan gerombolan perampok itu, sayang
seorang diri Supek kewalahan dikeroyok musuh sebanyak itu, akhirnya dia terluka
parah, penyakitnya tak terobati lagi."
"Ibu Kek Bin-yang masih
hidup, dia juga sudah menikah, punya seorang anak, lahir setelah ayahnya
meninggal, waktu itu usianya sudah genap dua bulan, orok itu bukan lain adalah
Kek Lam-wi yang akhirnya menjadi salah satu anggota Pat-sian."
"Aku singgung perjanjian
Supek dengan ayah tempo dulu, bibi Kek memberi tahu kepadaku, katanya sebelum
suaminya ajal dia juga memberitahu soal ini padanya. Katanya bila aku tidak
datang di Kwa-ciu, mereka juga akan ke Kim-ling mencari ayah dan aku."
"Dia amat senang karena
aku sudah datang lebih dulu untuk memenuhi janji itu, malam itu kami
bersembayang bersama, minum tiga cangkir arak sebagai sumpah setia untuk
selanjutnya menjadi saudara angkat seperti saudara sekandung sendiri. Tapi
waktu aku menyerahkan catatan ilmu silat karya ayah dan kembalikan seruling
kepada mereka, ibu beranak itu menolak dan tidak mau mempelaj arinya."
"Bercerita masa lalu bibi
Kek amat sedih dan pilu, tapi juga amat senang. Dia bilang yang penting
hubungan kedua keluarga tetap terjalin dengan baik, dapat menyaksikan putra
angkat bersaudara dengan diriku, hatinya sudah amat tenang dan lega. Tapi bila
dia menyinggung kenangan lama, dia amat sendu dan rawan, dia
mengatakan..."
Sampai disini Ti Nio berhenti
sambil mengawasi putrinya seperti memikirkan sesuatu. Tak tahan Han Cin
bertanya: "Apa yang dikatakan?" heran dia kenapa sang ayah seperti
bimbang.
Akhirnya Ti Nio berkata:
"Bibi Kek berkata: Besar harapannya supaya kedua keluarga kita dapat
mencontoh leluhur kita, dia tanya apakah aku sudah menikah?"
Melonjak jantung Han Cin,
tanyanya: "Lho, untuk apa dia tanya soal ini?"
"Dia harap aku dapat
mengikat suatu perjanjian juga dengan putranya. Bila kelak sama-sama punya anak
laki-laki harus angkat saudara, punya anak perempuan sebagai kakak seadik,
kalau laki perempuan harus jadi suami isteri."
Karuan Han Cin melenggong dan
menjublek sekian lama.
Ti Nio melanjutkan: "Dari
cerita suaminya bibi sudah tahu bahwa ayah ada maksud mengawinkan Piaumoay
dengan aku. Bibi berkata dengan tertawa kepadaku: 'Dulu waktu Bin-yang pulang
dari rumahku sering dia mengomel, katanya kau selalu mengeloni Piaumoay dan
sering tidak menghiraukan dia. Kini Bin-yang sudah punya anak, yakin kaupun
sudah menikah dengan Piaumoaymu?'"
Sudah tentu di samping kaget
Han Cin amat gugup, namun rikuh pula menanyakan apa jawaban sang ayah terhadap
bibi Kek.
Ti Nio seperti tahu perasaan
putrinya, sekilas dia lirik putrinya, dalam hati diam-diam dia mengeluh,
katanya kemudian. "Sudah tentu aku malu menceritakan persoalan Piaumoay
kepada bibi, terpaksa aku mencari alasan bahwa kepandaianku belum sempurna,
belum ada pikiran berumah tangga. Hakikatnya aku tidak pernah menyinggung
Piaumoay, tak pernah pula aku mengutarakan maksudku supaya kelak kita juga
mengikat perjanjian itu, sengaja aku alihkan pokok pembicaraan. Melihat sikapku
yang dingin dan tidak ambil perhatian, mungkin bibi agak salah paham padaku,
maka selanjutnya diapun tak pernah menyinggung soal ini."
Sampai disini Ti Nio tertawa
getir, katanya lebih lanjut: "Ai, mana dia tahu bahwa mulutku tak mungkin
bicara karena pengalaman pahit yang pernah kuresapi, kalau dia salah paham,
yah, biarlah."
"Terus terang waktu itu
aku berpikir begini. Kalau aku bisa berkeputusan sendiri, sudah tentu aku
senang mengikat perjanjian itu dengan Kek-suheng. Tapi Piaumoay adalah bini
orang lain, putriku juga sudah bukan anakku lagi. Kelak apakah dia masih sudi
mengakui aku sebagai ayah, aku juga tidak tahu. Kalau aku tidak setimpal jadi
seorang ayah, mana berani aku sembarangan mengikat janji dengan orang
lain?"
Mendengar cerita ayahnya yang
terakhir ini baru legalah hati Han Cin, pikirnya: "Syukur ayah tidak
menerima tawaran keluarga Kek kalau terjadi urusan tentu serba runyam. Ai, ayah
bukan kau tidak setimpal jadi ayahku, tapi kau tidak atau belum bisa menyelami
isi hati putrimu," sudah tentu dia juga rikuh dan malu mengutarakan
perasaan hatinya kepada sang ayah.
"Situasi masih genting,
tapi setelah mengalami perampokan besar-besaran itu untuk sementara Kwa-ciu
boleh dihitung agak aman dan tentram. Perhitunganku semula akan menginap
beberapa hari di rumah keluarga Kek, menurunkan pelajaran Kungfu yang kuterima
dari ayah kepada Kek-suheng. Tak nyana hari kedua, terjadilah bencana yang tak
pernah terbayang sebelumnya."
Han Cin kaget, katanya:
"Bencana apa?"
"Kalau dibicarakan
kesalahan ada padaku. Maklum waktu itu aku cetek pengalaman dan tidak pernah
berkelana di Kangouw, kedatanganku ke rumah keluarga Kek sekaligus memancing
kedatangan gerombolan perampok pula."
Han Cin paham seketika,
katanya: "O, jadi orang-orang yang sehari sebelumnya selalu menguntit ayah
itu?"
"Betul orang yang
menguntit aku itu ternyata juga seorang ahli, dia tahu seruling yang kubawa
adalah barang pusaka, tujuan mereka hendak merebut seruling pualam."
"Mereka saksikan aku
masuk ke rumah keluarga Kek, mungkin merasa kekuatan sendiri kurang ungkulan,
maka malam itu mereka tidak turun tangan."
"Tapi hari kedua mereka
mengundang bantuan yang berkepandaian tinggi, permulaan yang diundang ialah
tokoh yang tiga bulan lalu pernah dikalahkan Supek, tapi Supek sendiri setelah
memukul mundur kambrat-kambratnya, dalam keadaan lemah kehabisan tenaga diapun
terkena sekali pukulan dahsyat yang mematikan dari pentolan perampok.
"Bersama Bin-yang aku
bahu membahu melawan serbuan musuh, pertempuran amat sengit dan dahsyat,
kawanan perampok kita babat dan tumpas, tidak sedikit yang kami bunuh dan lukai
tapi karena harus melindungi oroknya yang masih kecil, Bin-yang juga terpukul
parah oleh Toa-cui-pi-jiu pentolan perampok itu, isi perutnya tcrluka tak
mungkin disembuhkan lagi.
"Bagaimana
akhirnya?" tanya Han Cin tegang.
Bercucuran air mata Ti Nio,
suaranya sember: "Toa-cui-pi-jiu kepala rampok itu memang terhitung ilmu
tunggal yang hebat di kalangan bulim, dinilai lwekangnya pada waktu itu, jelas
aku bukan tandingannya, bahwa aku dapat kalahkan dia adalah berkat kesaktian
seruling pualamku ini, dengan melancarkan King-sin-pit-hoat aku dapat
melawannya sama kuat. Sayang lwekang dan latihan silat Kek-suheng jauh di
bawahku, pukulan Toa-cui-pi-jiu itu telak mengenai dada lagi, mana kuat dia
bertahan? Sungguh kasihan, setelah terluka parah, pesanpun tak bisa diutarakan,
dengan air mata bercucuran dia hanya bisa menuding oroknya yang masih dalam
gendongan, dengan sorot matanya yang berlinang air mata dia memohon dan
melimpahkan perasaannya, setelah aku berjanji barulah dia berangkat dengan
meram."
Han Cin amat haru, katanya
menghela napas: "Sejak kecil ternyata Kek-suheng juga sudah hidup
menderita. Kalau aku setahun kehilangan ibu, dia baru dua bulan sudah
ditinggalkan ayahnya."
Ti Nio berkata: "Betul.
Lantaran nasib kalian sama, maka aku mengharap kalian harus saling berkasih
sayang."
Entah sengaja atau tidak
kata-katanya, tapi bagi yang mendengar justru tahu kemana juntrungan kata-kata
ini. Han Cin rasakan perkataan sang ayah mengandung dua unsur, kontan jantungnya
berdetak. Tapi diluar tahunya di balik hutan sana, ada pula seorang, yang
sembunyi dan mencuri dengar pembicaraan mereka, hatinyapun terketuk mendengar
perkataan Ti Nio terakhir, jantungnya juga berdebar keras. Orang itu bukan lain
adalah Toh So-so.
Memang sengaja dia sembunyi di
tempat itu lebih dulu untuk mendengar percakapan Ti Nio dengan putrinya, karena
sejak malam kemarin, dalam jangka sehari semalam ini, banyak gejala yang
menimbulkan rasa was-was dalam hatinya, perasaan hatinya yang paling sensitif
memberi ingat padanya, sehingga dia memperoleh suatu fisarat. Bahwa pertemuan
ayah dan anak ini bukan melulu persoalan mereka berdua, tapi juga menyangkut
hubungan langsung dengan Kek Lam-wi.
Kini Ti Nio memang tidak
membicarakan hal itu secara gamblang, namun dia sudah menduga apa yang akan
dikatakan Ti Nio kepada putrinya, mendengar sampai disini, mau tidak mau timbul
rasa jelusnya, dalam hati dia tertawa dingin: "Memangnya kalian senasib
sepenanggungan, biarlah aku mengalah, silahkan kalian saling berkasih
sayang."
Tak kuasa dia menahan rasa
haru dan sedihnya, semula dia sudah ingin tinggal pergi, namun dia masih kuat
menahan emosinya, tempat sembunyinya di semak rumput sejauh belasan langkah,
dia mendekam tanpa berani bergerak serta mendengar lebih lanjut.
Terdengar Ti Nio sedang
berkata: "Setelah Kek-suheng meninggal semula aku akan bawa ibu dan isteri
serta putranya pindah ke tempat lain, tapi bibi bilang membawa orok kecil
mengungsi amat tidak leluasa, maka dia berkukuh untuk membawa cucunya pulang ke
rumah orang tuanya. Keluarga bibi tinggal di atas gunung, disana memang tepat
untuk menghindari huru hara. Bibi juga mengajakku kesana, tapi karena aku masih
ada urusan lain, kuharap masih bisa menemukan ibumu maka aku tolak ajakan
mereka."
"Seruling pualam dan buku
gambar penjelasan King-sin-pit-hoat karya ayah kutinggalkan kepada mereka,
sebagai hadiah untuk keponakan bila kelak dia sudah tumbuh dewasa, bibi dan
Suso (isteri Bin-yang) juga mengerti sedikit Kungfu, dengan membekal seruling
pualam itu, paling tidak mereka masih mampu membela diri. Apalagi seruling itu
memang milik keluarga mereka, setelah kubujuk dan kujelaskan panjang lebar,
akhirnya mereka mau menerima kedua barang itu."
Baru sekarang Han Cin tahu
bahwa seruling pualam itu setelah mengalami berbagai peritiwa yang rumit dan
berbelit-belit akhirnya terjatuh ke tangan Kek Lam-wi.
Ti Nio melanjutkan ceritanya:
"Setelah aku menyerahkan seruling dan Pit-kip, aku berkata kepada bibi:
"Bibi, pesan yang pernah kau sampaikan pasti takkan kulupakan. Semoga
kelak bila aku kembali kesini, Lam-tit sudah tumbuh dewasa, masih ada
kesempatan untuk aku menunaikan angan-angan leluhur."
Mau tidak mau tergetar pula
hati Han Cin mendengar penuturan sang ayah." Angan-angan apa yang hendak
ditunaikan ayah? Kesempatan apa pula yang dia tunggu selama ini? Bukan secara
tidak langsung perkataan ayah itu merupakan janji pula terhadap Bibi dan
Susonya?" Han Cin tidak tahu apakah kedua janda keluarga Kek itu maklum
akan tujuan perkataan sang ayah, tapi Han Cin sendiri paham. Itu berarti, tanpa
ditanya lagi diapun sudah tahu apa jawabannya. Sudah tentu Han Cin tidak berani
tanya, tapi Ti Nio sudah menjelaskan sendiri.
"Aku bertekad untuk
melakukan dua hal untuk membalas budi kebaikan keluarga Kek. Tugas pertama
adalah menuntut balas bagi kematian Kek-supek dan Kek-suheng."
"Lwekang kepala perampok
itu teramat tinggi dan lebih unggul dari aku, maka aku harus menyempurnakan
Kungfuku baru akan dapat mengalahkan dia, maka aku harus latihan lebih giat dan
rajin mempertinggi ilmu, tanpa bantuan seruling pualam, aku harus dapat
mengalahkan kepala rampok itu."
"Pada hal siapa nama dan
asal-usul kepala rampok itu, sedikitpun aku tidak tahu, untuk menuntut balas,
aku harus mencari tahu dan menyelidiki jejaknya. Tidak lama kemudian gerombolan
perampok itupun telah bubar, jejak kepala rampok itupun tak diketahui
parannya."
Han Cin masgul, katanya:
"Wah, lalu kemana untuk menyelidiki nya?"
"Untung walau aku tidak
tahu nama dan asal-usulnya, tapi aku tahu akan Kungfunya, Toa-ciu-pi-jiu yang
diyakinkan itu boleh terhitung ilmu tunggal dalam bulim, setelah beberapa tahun
berselang, yakin kepandaiannya itu tentu telah diyakinkan lebih sempurna,
namanya juga pasti amat tenar. Dari sini pasti dapat aku menemukan jejaknya,
syukurlah akhirnya aku berhasil menemukan jejak pembunuh Kek-suheng dan
Kek-supek."
"Siapakah orang
itu?" tanya Han Cin.
"Dia bukan lain adalah
jago nomor satu di bawah bangsat tua she Liong, yaitu Lenghou Yong."
Han Cin tersentak sadar dan
paham, katanya: "O, kiranya dia. Tak heran sengaja jauh-jauh kau dari
Khong-goan menyusul ke kota raja. Kecuali salah seorang keponakanmu adalah satu
di antara Pat-sian, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas. Entah
apakah Kek-suheng sudah tahu bahwa Lenghou Yong adalah pembunuh kakek dan
ayahnya?"
"Dia masih belum
tahu."
"Kenapa tidak kau
beritahu kepadanya?"
"Karena sebelum kemarin
malam aku bertemu dengan Lenghou Yong, aku belum yakin kalau dialah musuh
kita."
"Sebelum ini, aku sudah
mencari tahu, tokoh liehay yang mahir menggunakan Toa-cui-pi-jiu dalam kalangan
Kangouw hanyalah Lenghou Yong, tapi Lenghou Yong sudah disogok oleh Liong
Bun-kong untuk menjadi pengawal kepercayaannya, apakah betul dia adalah kepala
rampok yang dulu itu, aku harus membuktikan sendiri."
Ti Nio berkata gregeten:
"Dua puluh tahun lamanya aku mencari musuh besar, kemarin malam akhirnya
aku dapat menemukan dia."
"Sesuai dugaan,
Toa-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong jauh lebih hebat dari dua puluh
tahun lalu, namun tampangnya tidak berubah besar bedanya, sekali pandang aku
lantas tahu bahwa dialah memang kepala rampok yang dulu itu. Ai. tapi aku
yakin, dia pasti tidak mengenali diriku lagi."
Sampai disini dia meraba
rambut kepalanya yang sudah beruban, katanya setelah menghela napas: "Dua
puluh tahun lalu aku adalah pemuda yang gagah perkasa dan jauh lebih muda dari
dia, tapi kini aku sudah jadi kakek tua yang bpruban. Mana mungkin dia masih
mengenaliku?"
Mengawasi rambut ayahnya yang
sudah beruban, muka yang sudah berkeriput, Han Cin merasa ikut pilu, pikirnya:
"Usia ayah sekarang paling baru empat puluh lebih, namun kelihatannya
sudah seperti kakek reyot berusia enam puluhan lebih," Han Cin tahu bukan
lantaran kehidupan yang tidak kenal kasihan ini merubah sang ayah menjadi laki-laki
yang loyo, tapi lantaran teramat sedih dan merana sehingga ayahnya bak kembang
yang layu sebelum saatnya, demikian batin Han Cin. Dia dapat meresapi betapa
rawan perasaan sang ayah selama ini.
Untuk mengalihkan kepedihan
hati sang ayah, dengan tawa dipaksakan Han Cin berkata: "Kan lebih baik
kalau dia tidak mengenalimu. Bila dia tahu kau adalah musuhnya bukan mustahil
dia sudah bersiap-siap sebelumnya."
"Betul. Lantaran itulah
semalam aku tidak membongkar perbuatannya dulu. Sudah tentu, dalam situasi
seperti semalam, akupun tiada tempo untuk membuat perhitungan dengan musuh
besar itu."
Han Cin tertawa pula. katanya:
"Ayah. usiamu belum tua, Kungfumu juga tidak terbengkalai bukan. Tapi
Toa-cui-pi-jiu Lenghou Yong memang teramat liehay, yakin seperti apa yang ayah
katakan, taraf kepandaiannya sekarang pasti jauh lebih tinggi dibanding dua
puluh tahun yang lalu. Tapi ayah, Kungfumu sendiri selama dua puluh tahun ini
juga pasti sudah melompat maju, walau pandangan putrimu tidak tajam tapi aku
sudah tahu dan yakin demikian. Semalam waktu kau melabraknya, bukankah kau
berada di atas angin. Sayang semalam bukan pertarungan satu lawan satu, kalau
tidak dalam jangka seratus jurus, jiwanya pasti terenggut di tangan ayah."
Ti Nio tertawa sambil mengelus
jenggot, katanya: "Seratus jurus kurasa terlalu diagulkan, dalam jangka
tiga ratus jurus, yakin aku dapat mengambil jiwanya. Sayang semalam aku tiada
kesempatan untuk menuntut balas padanya. Tapi padri asing yang menggantikan dia
itu, kepandaiannya ternyata lebih tangguh lagi. Kalau keponakan Lam-wi tidak
serahkan seruling pusaka kepadaku, hampir aku tidak kuasa menghindari mara
bahaya."
Han Cin berkata: "Seorang
Kuncu menuntut balas, sepuluh tahun belum terlambat. Ayah kau sudah menunggu
dua puluh tahun, apa salahnya bersabar beberapa hari lagi. Padri asing itu
datang bersama utusan Watsu, tak lama lagi pasti pulang ke negerinya. Kapan
ayah mau menuntut balas kepada Lcnghou Yong, memangnya kuatir takkan
berhasil?"
Ti Nio manggut-manggut,
katanya: "Betul. Akupun berpikir demikian. Baiklah, soal menuntut balas
ini boleh dikesampingkan dulu. Kini aku akan utarakan keputusanku yang kedua
pada kau."
"Angan-angan yang
kedua", mendengar perkataan sang ayah, serasa berdebar jantung Han Cin.
Walau teka teki belum terjawab, namun dia sudah meraba angan-angan apa yang
hendak dikatakan oleh ayahnya.
Melihat perubahan mimik muka
putrinya, Ti Nio menghela napas, katanya kalem: "Mungkin kau tidak ingin
mendengarnya, tapi aku tetap akan beritahu padamu."
"Itulah angan-angan
bersama dua keluarga Kek dan Ti kita, dua puluh tahun yang lalu meski aku tidak
memberi jawaban tegas kepada Bibi Kek, namun dalam hati kecilku waktu itu aku
sudah berjanji, kuharap kelak bisa meneruskan perjanjian leluhur kedua keluarga
kita."
"Waktu itu aku berpikir
begini: Aku yakin suatu ketika pasti akan bisa menemukan ibumu dan Suteku, akan
kusampaikan maksud hatiku ini dan mohon persetujuan mereka. Waktu itu aku
berpikir, kesalahan yang pernah kulakukan, tak berani aku mohon maaf kepada
mereka, tapi demi masa depan putriku, apalagi keluarga Kek merupakan keluarga
persilatan, umpama hubungan kedua keluarga tidak intim, perjodohan inipun boleh
dikata setimpal dan sama bobotnya."
Mulut Han Cin sudah
terpentang, dia ingin bicara, tapi tidak tahu dari mana dia harus bicara.
"Anak Cin," kata Ti
Nio, "biarlah aku bicara sampai habis, baru kau boleh utarakan isi
hatimu."
"Dua tahun yang lalu,
kudengar kabar dalam usia yang masih muda Kek Lam-wi sudah angkat nama sebagai
salah satu dari Pat-sian, betapa senang hatiku. Tapi belakangan setelah aku
menyaksikan Kungfunya, terus terang, aku amat menyesal dan gegetun pula. Tapi
aku sendiri yang menyebabkan penyesalan itu."
Mendengar sang ayah tiba-tiba
membicarakan Kungfu Kek Lam-wi, tanpa merasa Han Cin melengak, tapi bila sang
ayah tidak bicara soal jodoh, sikapnya sih tidak begitu kikuk. Pikirnya:
"Kungfu Kek-suheng kan hebat, entah soal apa yang disesalkan ayah?"
Ti Nio seperti dapat meraba
pikiran putrinya, katanya: "Kalau dibanding jago silat kalangan Kangouw
umumnya, kepandaian Kek-suhengmu memang terhitung kelas wahid. Tapi sayang dia
tidak mempelajari ilmu silat kelas tinggi, Kungfu kelas tinggi yang betul-betul
murni."
Tak tahan Han Cin bertanya:
"Bukankah kau sudah serahkan gambar penjelasan King-sin-pit-hoat
kepadanya? Bukankah ilmu itu sudah terhitung Kungfu kelas tinggi?"
"Waktu aku menyerahkan
gambar penjelasan itu taraf kepandaianku sendiri jelas tidak setinggi latihanku
sekarang, gambar penjelasan itu hanya mengajarkan cara dan pemecahan ilmu Tiam-hiat,
tentang rahasia menyalurkan hawa murni dan Iwekang, kalau hanya berdasarkan
gambar penjelasan itu saja tetap takkan bisa melatihnya sampai taraf yang
paling tinggi. Apalagi mantra yang harus digunakan untuk melancarkan ilmu
Tiam-hiat berdasarkan gambar penjelasan itu, baru beberapa tahun belakangan ini
berhasil kuselami."
"Kalau demikian, sekarang
juga belum terlambat kau mengajarkan kepadanya."
"Betul. Aku memang sudah
siap mengajarkan kepadanya. Aku sudah berkeputusan dalam waktu dekat ini akan
kuserahkan dua hadiah kepadanya. Kuharap kau dapat membantu ayah menunaikan
harapanku itu."
Han Cin tersentak kaget,
teriaknya: "Ayah..."
Ti Nio goyang-goyang tangan
supaya dia tidak ribut dan biarlah dia bicara habis. "Kedua hadiah itu
akan kuserahkan sebagai mas kawinnya. Hadiah pertama adalah batok kepala
Lenghou Yong kedua adalah ilmu Tiam-hiat tunggal ajaran keluarga Ti kita. Anak
Cin, aku amat senang, kau sudi mengakui aku sebagai ayah, maka aku harap kau
suka membantu ayah mencapai angan-angan terakhir."
Han Cin menghela napas,
katanya: "Ayah, ada beberapa patah kata, entah pantas tidak
kuutarakan'.'"
"Aku justru ingin
mendengar isi hatimu, boleh kau katakan. Bagaimana?"
"Ayah, bukan putrimu
tidak tunduk akan petuahmu, tapi tindakanmu ini tidak akan membawa kebaikan
bagi segala pihak, termasuk Kek-suheng tentunya."
"Kenapa? Justeru
mengingat hubungan turun temurun tiga generasi dari keluarga Kek dan Ti, maka
aku ingin menjodohkan kau dengan dia. Aku malah akan bantu dia menuntut balas,
akan kuajarkan pula ilmu tingkat tinggi, bagaimana kau bilang akan tidak
menguntungkan dia malah?"
"Avah, sukalah kau tidak
mencampur adukan persoalan menuntut balas, meyakinkan ilmu dengan
perjodohan."
"Baik coba kau jelaskan,
kenapa soal jodoh ini tidak atau kurang baik?"'
"•Ayah, maaf bila aku
bicara terus terang dan sejujurnya. Bagi kau tindakanmu ini jelas demi
kebaikanmu, untuk keluarga Kck¬supek, tapi bicara dari pihak Kek-supek sendiri,
mungkin dia bisa mengomel dan salahkan kau terlalu banyak mencampuri urusan
anak muda."
Ti Nio sudah tahu apa yang
hendak dikatakan tapi dia tetap bertanya: "Kenapa?"
"Dalam kalangan Kangouw,
siapa tidak tahu bahwa Kek Lam-wi dan Toh So-so, dua di antara Pat-sian ini
adalah sepasang kekasih yang sudah memadu cinta? Ayah, apakah kau tidak tahu
akan hubungan mereka?" Han Cin menyinggung nama Toh So-so, dia tidak tahu
pada hal Toh So-so sambunyi di semak-semak tak jauh dari tempatnya berada.
Tapi sayang sekali dia tidak
lebih dini menyebut nama Toh So-so, bila sejak tadi namanya disinggung,
perkembangan selanjutnya mungkin berbeda dengan kenyataan yang bakal terjadi.
Ternyata di kala mendengar Ti
Nio hendak menyerahkan dua hadiah besar sebagai pesalin pernikahan putrinya,
secara diam-diam Toh So-so lantas menyelinap pergi.
Semenit yang lalu dia masih
dekat di depan mata, namun kini, meski dia belum pergi jauh, namun percakapan
Ti Nio dan putrinya sudah tidak terdengar lagi olehnya.
"Bukan aku tidak
tahu," ujar Ti Nio, "tapi kau hanya tahu yang satu, tidak tahu yang
lain."
"Apanya yang lain?"
"Menurut apa yang
kuketahui walau mereka sering bersama, tapi belum ada ikatan jodoh, apa lagi
kulihat watak mereka berbeda. Nona she Toh itu kulihat suka membawakan perangai
putri bangsawan, suka ngambek dan brengsek, sebaliknya Kek-suhengmu adalah
laki-laki yang tidak suka dikekang dan dibatasi."
Sebetulnya hati Han Cin
dirundung kegelisahan, tapi mendengar perkataan sang ayah, tak urung dia
cekikikan geli.
"Apa yang kau tertawakan,
anak Cin?"
"Ayah, kukira itu hanya
jalan pikiranmu yang dimabuk angan-angan belaka."
Ti Nio kurang senang, katanya:
"Memangnya menurut hematmu mereka adalah pasangan yang setimpal?"
"Cinta muda mudi ibarat
orang minum air panas atau dingin dapat diketahuinya sendiri. Apakah mereka
cocok satu dengan yang lain, orang lain sukar memberikan putusannya. Yang
penting bila mereka merasa cocok, pastilah cocok."
Ti Nio berjingkat, pikirnya:
"Benar, dulu aku juga berpendapat aku dengan Piaumoay adalah pasangan
setimpal, Han-sute jelas tidak cocok dengan dia. Tapi akhirnya jalan pikiran
mereka justru jauh berbeda dengan maksudku. Bila mengenang peristiwa masa lalu,
tidak bisa tidak aku harus mengaku, bila tidak lantaran aku yang membuat mereka
celaka, sekarang mungkin mereka masih hidup sebagai suami isteri yang
bahagia," maka dengan tawa getir dia berkata: "Mungkin selama hidupku
ini terlalu tekun latihan silat, sehingga tidak banyak yang kuketahui tentang
sepak terjang anak-anak muda sekarang."
Han Cin berkata lebih lanjut:
"Asal mereka sudah saling cinta, meski tanpa ikatan jodoh apa pula
halangannya? Watak berbeda juga tidak jadi soal. Memangnya tiada manusia yang
mirip dalam dunia ini, asal mereka bukan manusia yang berdiri di bidang yang
berlawanan meski perangai berbeda, satu sama lain bisa saling mengalah dan
saling koreksi. Di depan mata kita sudah ada contohnya. Seperti Tan Ciok-sing
Toako dengan In San-cici, mereka juga tiada ikatan dari orang tua, pakai mak
comblang segala, sudah tentu tanpa perjanjian nikah segala. Apalagi mereka
keturunan dari dua keluarga yang berbeda, tabiatnya juga berlainan. Tapi
siapapun mengakui bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang saling cinta
setulus hati, memangnya siapa yang akan menentang dan mengatasi keburukan
mereka?" sebetulnya dia sendiri bersama Toan Kiam-ping juga merupakan
contoh teladan, tapi dia rikuh untuk membicarakan awak sendiri.
Kalau sang putri bicara
panjang lebar adalah sang ayah merasa gundah dan ruwet pikiran.
Maklum Ti Nio adalah seorang
Tayhiap, selama hidupnya paling berpegang pada sumpah dan janji, oleh karena
itu meski dia tahu uraian putrinya masuk akal. Tapi dia juga amat berat untuk
mengingkari apa yang pernah diucapkan maka dia berkata: "Apakah betul
mereka saling cinta setulus hati, aku tidak enak tanya kepada Lam-wi. Tapi soal
jodoh ini adalah usul nenek dan ibunya di waktu dia masih bayi dulu. Walau
waktu itu aku tidak memberi jawaban positip, namun dalam hati kecilku sudah
berjanji pada diriku sendiri. Bila dia belum terikat dengan nona Toh itu,
kukira apa salahnya katau dia menikah dengan gadis lain. Lebih baik begini
saja, setelah aku memenggal kepala Lenghou Yong, baru akan kusuruh orang
membicarakan soal jodoh ini. Kala itu bila dia tidak setuju, akupun tidak akan
memaksa, terhitung aku tidak mengingkari kehendak orang tuanya."
Han Cin berkata: "Kalau
ayah berbuat demikian, itu berarti ayah sengaja melakukan kesalahan. Pertama,
kau memberi bantuan budi kepadanya, untuk membarlas kebaikan budimu ini, meski
dia menjadi menantumu juga terpaksa. Kau sudi putrimu menikah dengan laki-laki
yang dipaksa baru mau menerima aku sebagai isterinya? Apalagi..."
"Apalagi apa?"
Urusan sudah terlanjur sejauh
ini, Han Cin tidak perlu main malu-malu lagi, katanya: "Apalagi kau belum
tanya bagaimana pendapatku?"
Getir suara Ti Nio.
"Tanpa kau jelaskan aku sudah tahu, kau menyukai Toan-kongcu bukan?"
"Betul, diapun amat
menyukai aku."
"Apakah kalian sudah
mengikat janji untuk hidup sampai tua?"
Merah muka Han Cin, katanya:
"Keluarganya kena musibah, kedatangannya ke kota raja kali ini untuk menuntut
balas, mati hidup masih sukar diramalkan."
Ti Nio menghela napas lega,
katanya: "Kalau demikian, kalian belum ada janji pernikahan?"
Kalem suara Han Cin:
"Semalam waktu kami meluruk ke gedung keluarga Liong, kami sudah sumpah
bersama. Meski kita dilahirkan bukan pada hari bulan dan tahun yang sama, tapi
biarlah mati pada hari bulan dan tahun yang sama."
Meski bukan sumpah setia
menentukan perjodohan, namun pernyataan itu merupakan sumpah setia untuk
sehidup semati. Maknanya sudah lebih gamblang.
Ti Nio tertunduk diam, lama
kemudian baru dia bersuara: "Bukan Toan Kiam-ping tidak baik tapi dia
keturunan keluarga bangsawan, leluhurnya pernah jadi raja dan dia sendiri
adalah seorang pangeran, aku kuatir dia akan membawa sifat jeleknya yang suka
disanjung dan diladeni."
"Kini keluarganya sudah
berantakan, tiada bedanya dengan kita sebagai insan persilatan yang terlantar.
Jangan kata tata kehidupannya biasa jauh berbeda dengan para pangeran umumnya,
meski betul dulu dia membawa watak anak bangsawan, kini setelah mengalami
musibah dan digembleng sedemikian rupa, yakin dia akan merubah pandangannya
terhadap kehidupan ini. Apalagi aku justru menyenangi dia karena dia orang yang
berperangai demikian, bukan lantaran leluhurnya dahulu adalah keluarga kerajaan."
Tahu bahwa urusan tak mungkin
dirobah pula, akhirnya Ti Nio menghela napas, katanya: "Seorang laki-laki
sejati harus menepati janji, mungkin kali ini aku tidak dapat menepati janjiku
dulu, sungguh aku malu terhadap arwah Kek-suheng di alam baka,"
Tak tahan Han Cin membantah:
"Ayah, dahulu ayah bundamu bukankah juga pernah berjanji kepada nenek
luarku, supaya kau menikah dengan Piaumoay?"
Kata-kata ini bagai godam yang
memukul dada Ti Nio sampai dia berjingkat kaget roman mukanyapun seketika
berubah pucat.
"Betul, 'perintah orang
tua' itulah penyebab tragedi yang menyedihkan dahulu. Akupun terlalu tunduk
pada perintah orang tua, justru karena aku merasa adanya perintah itu sehingga
perjodohan itu sudah resmi dan sepantasnya, maka aku melakukan perbuatan
terkutuk itu. Piaumoay justru pemberani, dia melawan kehendak orang tua dan
menyukai Han-sute. Kalau demikian, apa pula arti janji para leluhur? Perkataan
anak Cin memang tidak salah, soal jodoh adalah urusan besar, betapapun jodoh
tidak boleh dipaksa, kalau anak-anak muda sama tidak jatuh cinta kenapa
perjodohan harus dipaksakan. Aku sudah membuat celaka ibu anak Cin, betapapun
tak boleh mencelakainya lagi," ucapan putrinya tadi memang amat melukai
gengsi dan harga dirinya, tapi sekaligus telah mencegah terulangnya tragedi
yang tidak diinginkan.
"Anak Cin terima kasih
kau telah menyadarkan aku. Aku memang bukan ayah yang baik, hampir saja aku
melakukan kesalahan lagi. Baiklah kalau kalian memang sudah sama cinta, akupun
tidak akan memaksamu," luka lama sanubari Ti Nio kembali ditusuknya sampai
darah bercucuran, namun karena rasa sakit luka lama inilah sehingga dia sadar
kembali dari kesalahan, dengan berlinang air mata dia minta maaf kepada
putrinya.
Senang dan duka hati Han Cin,
katanya sambil memeluk sang ayah: "Ayah, kau adalah ayali yang baik, ayah
yang dapat membedakan kebenaran, putrimu amat berterima kasih kepadamu. Ayah
sebetulnya engkau tidak perlu gelisah, masih ada cara sempurna untuk
menyelesaikan persoalan ini."
Ti Nio melenggong, katanya:
"Cara sempurna bagaimana?"
"Bukankah kau ingin
membalas kebaikan keluarga Kek yang telah menahan budi kepada dua generasi
keluarga kita?"
"Memangnya, aku ingin
melanjutkan perjanjian leluhur kita, justru karena itu. Tapi kini..."
Han Cin menukas dengan tertawa.
"Dua kado yang kau siapkan untuk kau berikan kepada Kek Lam-wi masih boleh
kau serahkan, malah tetap boleh kau serahkan sebagai pesalin."
"Lho, maksudmu..."
"Boleh kau berikan
sebagai kado pernikahan Kek Lam-wi dengan Toh-cici. Kau sudah anggap dia
sebagai keponakan sendiri, kaupun boleh memungut Toh-cici sebagai
putrimu."
Ti Nio sadar, pikiran pepatnya
terbuka, katanya: "Betul, tanpa mengikat perjodohan dengan pihak keluarga
sendiri, aku masih pantas membalas kebaikan keluarga Kek. Memang, otakku yang
bebal ini kenapa tidak bisa berpikir menyimpang, untung kau memberi ingat
kepadaku. Anak Cin, kau boleh lega hati. Aku pasti bertindak seperti akal
tadi."
Saking senang, Han Cin sampai
berjingkrak seraya berteriak: "Ayah, kau memang ayahku yang baik."
"Jangan memuji aku,"
ujar Ti Nio tertawa sambil mengelus rambut anaknya, "sekarang mari pulang,
kita tengok keadaan Kiam-ping."
000OOO000
Diluar dugaan Ti Nio dan Han
Cin, saat mana ternyata Kek Lam-wi berada di pinggir ranjang Toan Kiam-ping.
Toan Kiam-ping berkata:
"Ti Tayhiap banyak terima kasih akan bantuanmu, sehingga sakitku sudah
sembuh, mana berani..."
Sebelum dia bicara habis. Ti
Nio sudah menukas dengan tertawa lebar: "Sengaja aku kemari untuk
menyampaikan berita baik."
Toan Kiam-ping sudah menerka
dalam hati, seketika sorot matanya bersinar, tanyanya: "Kabar baik
apa?"
Ti Nio tersenyum, katanya:
"Anak Cin adalah anak kandungku, persoalannya dengan kau sudah dia
jelaskan kepadaku. Maka menurut maksudku setelah sakitmu sembuh biarlah kalian
bertunangan dulu. Setelah tiga tahun kau berkabung, baru adakan upacara
pernikahan," lalu secara ringkas dia ceritakan bagaimana mereka ayah dan
anak bertemu kembali setelah berpisah dua puluh tahun lamanya.
Mendengar berita gembira ini
sungguh bukan kepalang senang hati Toan Kiam-ping, katanya tersipu-sipu.
"Banyak terima kasih pada paman yang sudi menyerahkan putrimu kepadaku.
Mohon maaf karena Siau-tit sedang sakit, tidak bisa memberi sembah hormat
kapada kau orang tua."
"Toan-toako," sela
Kek Lam-wi tertawa," kenapa kau membahasakan diri sebagai Siau-tit lagi,
seharusnya kau menggunakan istilah Siau-say (menantu)," pada hal dalam
hati dia sedang dirundung persoalan, meski memberi ucapan selamat setulus hati,
namun tawanya kelihatan agak dipaksakan.
"Kek-toako," ujar
Toan Kiam-ping, "jangan kau menggodaku melulu aku sih akan menunggu minum
arak bahagia kau bersama nona Toh."
Guram air muka Kek Lam-wi,
katanya: "Jangan melibatkan diriku, aku mana punya rejeki sebesar
itu."
Toan Kiam-ping melengak, baru
dia hendak tanya apa maksud perkataannya, Han Cin sudah mendahului:
"Kek-suko, ada satu hal ayah hendak memberitahu kepada kau, tapi soal ini
panjang kalau dibicarakan..."
"Baiklah, marilah kita
bicara diluar, jangan mengganggu Toan-toako yang perlu istirahat."
Han Cin mendahului keluar,
katanya: "Dimana Toh-cici?"
"Entahlah. Dia
meninggalkan sepucuk surat tapi tidak menjelaskan kemana dia pergi."
Tergetar hati Han Cin, katanya
tergagap: "Surat, apa yang dikatakan dalam surat?"
"Dia suruh aku tanya satu
hal kepada kau."
Mendengar hal ini seperti
disambar geledek kaget Han Cin, mukanya seketika merah berubah hijau
bergantian, sekuatnya dia tenangkan diri, tanyanya dengan suara gemetar:
"Soal, soal apa?"
Untung Kek Lam-wi kira karena
dia mendengar Toh So-so menghilang sehingga hati merasa kaget dan gugup, tidak
terpikir akan akibat lain. Katanya: "Dia bilang Ti-susiok dan kau tahu
siapa pembunuh ayahku. Sejak pagi tadi Ti-susiok diundang Liok-pangcu dan
Lim-toako untuk berunding menyelesaikan urusan besar, pada hal aku ingin lekas
tahu terpaksa aku tanya kau saja."
Sadarlah Han Cin akan duduk
persoalannya. "Ternyata
percakapanku dengan ayah di
hutan telah dicuri dengar oleh Toh-cici," setelah tahu akan hal ini, meski
dia merasa rikuh dan kikuk kaget lagi, namun dari nada pembicaraan Kek Lam-wi
agaknya Toh So-so tidak menyinggung persoalan yang menyulitkan bagi mereka yang
kini berhadapan, legalah hatinya, katanya: "Betul, kemarin malam ayah
sudah berhasil menyelidiki dengan betul, siapa pembunuh ayahmu."
Berita ini sementara telah
menentramkan perasaan Kek Lam-wi yang tidak tentram karena kehilangan sang
pujaan, hatinya memperoleh getaran baru yang menambah semangat jantannya. Lekas
dia bertanya: "Lekas beritahu kepadaku siapakah dia?"
Pelan-pelan Han Cin berkata:
"Pembunuh ayahmu dulu adalah Lenghou Yong."
Kek Lam-wi melenggong sesaat
lamanya, katanya kemudian. "Tak heran So-so bilang demikian. Ai, tapi
jalan pikirannya itu belum tentu pasti benar..."
Tanpa merasa Han Cin melengak,
sebelum oraug bicara habis segera dia bertanya: "Apa yang dikatakan
Toh-cici, boleh kau beritahu kepadaku?"
"Dia mendorongku untuk
belajar silat lebih tekun dan rajin, dengan tanganku sendiri menuntut balas
kepada musuh. Dia kuatir kehadirannya di dampingku akan mengganggu pelajaranku,
dia berkeputusan untuk meninggalkan aku."
Ternyata To So-so tidak
selesai mendengar percakapan Ti Nio dengan Han Cin, secara diam-diam dia
tinggal pergi dengan membawa hati yang luka, hati yang rawan. Diam-diam dia
berpikir. "Memang Lam-ko amat mencintai aku, tapi kalau cintanya dibanding
kedua hadiah itu, lalu dia akan memilih diriku atau mau menerima kedua hadiah
itu?" sudah tentu dia tidak bisa memberikah jawaban Kek Lam-wi, tapi dia
bisa meresapi derita dan goncangan hatinya.
Dendam orang tua sedalam
lautan. Hal ini diresapinya dengan jelas, cita-cita Kek Lam-wi yang terbesar
justru menuntut balas kematian ayahnya. Sering kali Kek Lam-wi bilang demikian
kepadanya. "Sia-sia aku dilahirkan di dunia ini, siapa pembunuh ayahku,
sejauh ini aku masih tak berhasil menyelidikinya," setiap kali menyinggung
persoalan yang satu ini, selalu dia merasa masgul dan menderita tekanan batin,
seperti hampir gila rasanya.
"Kini siapa pembunuh
ayahnya sudah diketahui, tapi dengan bekal kepandaian Lam-ko sekarang, jelas
dia bukan tandingan Lenghou Yong. Tanpa bantuan sang Susiok, entah kapan dia
baru akan berhasil menuntut balas?"
"Ai, kalau dia sukar
berkeputusan memilih yang mana, biarlah aku saja yang memilih jalan hidupku
sendiri."
"Lam-ko memang amat
mencintai aku, akupun setulus hati mencintainya. Demi cintaku kepadanya, aku
rela membantu dia mencapai cita-cita," demikianlah, setelah dia
berkeputusan, dengan berlinang air mata dia menulis sepucuk surat ditinggalkan
untuk Lam-wi, lalu secara diam-diam dia tinggal pergi.
Sudah tentu Kek Lam-wi tidak
percaya akan alasan yang ditulis dalam suratnya itu, setelah dipikir-pikir
bolak-balik tetap dia tidak peroleh jawaban, rasa masgul yang menekan perasaan
hati tak kuasa lagi dilimpahkan di hadapan Han Cin. "Sungguh aku tidak
mengerti, kenapa dalam saat-saat seperti ini dia justru meninggalkan aku."
Sudah tentu Han Cin tahu
sebabnya. Bagaimana jalan pikiran Toh So-so diapun bisa menyelami. Ai, tapi
mungkinkah dia menjelaskan secara gamblang kepada Kek Lam-wi? Hari pertama
telah pergi, hari kedua telah lalu, hari ketiga juga sudah berselang. Toh So-so
tetap tak kembali. Tan Ciok-sing dan In San juga tidak kunjung pulang. Toh
So-so menghilang adalah persoalan kecil, padahal menurut rencana Tan Ciok-sing
dan ln San hari kedua sudah harus pulang, tapi sudah tiga hari masih tidak
melihat bayangan mereka, kemungkinan mereka telah mengalami musibah di istana
raja.
Sambil memindah alamat markas
pusatnya, pihak Kaypang bekerja paling sibuk menyebar anak muridnya mencari
tahu, namun tiga hari telah pergi, hasilnya tetap nihil. Lebih menguatirkan
lagi karena Thaykam kecil kenalan Coh Ceng-hun dan biasa mengadakan kontak
dengan Kaypang selama ini tidak muncul. Malam itu Thaykam kecil ini sudah
berjanji akan membantu Tan Ciok-sing dan In San dari dalam, sebelumnya sudah
dijanjikan juga bila terjadi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka tiga hari dia
akan berusaha memberi kabar kepada pihak Kaypang. Sebagai salah satu Thaykam
yang bisa meladeni sang Raja dari dekat, sering dia mencari alasan disuruh
memberi barang keperluan para selir untuk bolos keluar istana. Thaykam yang
menjaga pintu tahu kedudukannya dalam istana yang telah dipercayai oleh Baginda
maka dia bisa keluar masuk dengan bebas. Tapi selama tiga hari ini, bayangannya
masih tidak kelihatan. Titip kabar kepada orang lain juga tidak.
000OOO000
Bagaimana keadaan Tan
Ciok-sing dan ln San sekarang? Pengalaman mereka harus diceritakan dari
permulaan malam pertama. Gedung istana raja berada didalam lingkungan
Jik-cin-ceng. Jik-cin-ceng ada empat pintu, pintu tengah dinamakan du-bun, di
atas tembok ada dibangun sebuah gedung berloteng yang dinamakan Ngo-hong-lau,
para Wisu yang berdinas malam sebagian tinggal di atas Ngo-hong-lau ini, sudah
tentu masuk dari pintu tengah ini tidak mungkin. Pintu timur dinamakan
Tang-hoa-bun, pintu barat dinamakan Say-hoa-bun,
semuanya berada dalam
lingkungan aliran sungai pelindung kota, sungainya lebar airnya dalam,
betapapun tinggi Ginkang seseorang tak mungkin bisa melampauinya. Hanya pintu
utara yang dinamakan Sin-bu-bun, menghadap ke King-san. Bagi ahli silat yang
memiliki Ginkang tinggi, masih mampu naik dari Sin-bu-bun dan menyelundup
kedalam istana.
Dari petang Tan Ciok-sing dan
ln San sembunyi di King-san, kira-kira menjelang kentongan ketiga baru mereka
mengembangkan Ginkang memanjat ke Sin-bu-bun, padahal di bawah Sin-bu-bun
dijaga Wisu, namun di atas tembok tiada bangunan apapun, begitu berada di
Sin-bu-bun, langsung mereka melambung ke arah Ni-an-tiam, para Wisu di bawah
mimpi juga tidak mengira ada orang berani menyelundup kedalam istana,
hakikatnya mereka tidak tahu sama sekali akan kedatangan Tan Ciok-sing dan ln
San.
Genteng istana terbuat dari
kaca yang licin, untung Ginkang Tan Ciok-sing dan ln San sudah tinggi, setelah
melampaui beberapa wuwungan istana kaca akhirnya mereka tiba di Sin-ling-kiong.
Di sinilah letak peristirahatan permaisuri Sia-hoa-wan berada di belakang
Sin-ling-kiong. Thaykam kecil yang berjanji hendak membantu mereka sebelumnya
sudah mengadakan kontak hendak bertemu dengan mereka di Sim-hiang-ting.
Mendekam di wuwungan
Sin-ling-kiong, dengan seksama mereka perhatikan keadaan di bawah. Malam itu
cuaca gelap, namun lapat-lapat terlihat bayangan para Wisu yang meronda hilir
mudik. Ternyata pintu gerbang Sin-ling-kiong tepat berhadapan dengan pintu
timur dari Giong-hoan didalam Sia-hoa-wan, pada setiap pintu masuk adalah
pantas kalau selalu dijaga oleh kawanan Wisu.
Dua Wisu tampak hilir mudik
saling berhadapan, betapapun tinggi Ginkang seseorang, bila dia harus loncat
turun dari atap genting yang tinggi, jejaknya pasti konangan oleh para penjaga
itu. Lalu bagaimana baiknya?
Berkerut alis Tan Ciok-sing,
sekilas berpikir akhirnya dia mendapat akal. Setelah diperhatikan dilihatnya
kedua Wisu itu yang satu ke arah timur yang lain ke arah barat, setelah
melangkah tiga puluhan tindak, lalu sama-sama putar balik. Tan Ciok-sing
diam-diam memelintir dua butir tanah lempung dari bawah sepatunya, di kala
kedua Wisu itu memutar balik mendadak dia menjentik dengan jari, kedua butir
tanah lempung itu diselentik ke arah dua pucuk pohon yang terletak di kiri
kanan. Ternyata burung yang bersarang di pucuk pohon itu menjadi kaget dan
terbang berhamburan mengeluarkan suara berisik.
Sudah tentu kedua Wisu itu
kaget mendengar suara ribut dari kicau burung yang kaget dan terbang
berhamburan di malam yang gelap ini, sekilas perhatian mereka tertuju kesana,
dan sebelum saatnya membalik, serempak mereka mendongak melihat burung-burung
yang beterbangan itu. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Tan
Ciok-sing berdua, sigap sekali mereka melompat turun secepat kilat. Bak umpama
selembar daun jatuh, tanpa mengeluarkan suara, bila kedua Wisu itu membalik
badan, dan melangkah balik secara berhadapan pula, Tan Ciok-sing berdua sudah
menyelinap kesana sembunyi di balik rumpun kembang.
Salah seorang Wiu ternyata
jadi curiga, katanya: "Aneh tanpa sebab masakah burung-burung di atas
pohon bisa kaget beterbangan?"
Wisu yang lain tertawa,
katanya: "Kau ini memang sudah kenyang dan terlalu nganggur, burung mau
terbang biar terbang, peduli amat dengan kau, buat apa pikirkan sebabnya mereka
terbang."
Walau curiga, tapi mengingat
dari pada terembet urusan, lebih baik bersikap masa bodoh habis perkara.
Dengan merunduk Tan Ciok-sing
dan ln San terus menggeremet maju di antara rumpun kembang, berkat ketangkasan
gerak-gerik mereka, akhirnya mereka berhasil menyelinap kedalam Sia-hoa-wan.
Setelah diperhatikan disini
ternyata tiada Wisu yang meronda hilir mudik, legalah hati mereka. Sia-hoa-wan
ternyata amat besar dan luas, empat penjuru tidak kelihatan ujungnya.
Pohon-pohon tua banyak terdapat didalam taman kembang ini, gunung-gunungan yang
dibangun serba indah, telaga buatan, pepohonan yang terawat serta gardu pemandangan
yang dibangun bertingkat tersebar seperti-biji-biji catur yang sengaja disebar
menurut posisi dan kedudukan yang sudah diperhitungkan. Berada di Sia-hoa-wan
yang luas dan besar, dimanapun kau mudah mendapatkan tempat untuk sembunyi.
Namun di tempat seluas ini cara bagaimana mereka harus menemui Thaykam kecil
itu, jelas ini memerlukan tenaga dan pikiran.
Mereka terus maju menyibak
kembang menyingkirkan dahan, dengan hati-hati dan penuh perhatian mereka sedang
menggeremet ke arah sebuah belumbang, tiba-tiba dilihatnya sinar api
berkelebat. Tan Ciok-sing sembunyi di tempat gelap, waktu dia pasang mata,
tampak dua Wisu menenteng lampion sedang mengiringi seorang pemuda yang
berpakaian perlente dengan mantel bulu rase sedang bergontai ke arah sini.
In San kaget, segera dia
berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing:
"Toako, coba kau
perhatikan, orang ini seperti bukan orang Han, seperti sudah pernah
kukenal."
"Betul, keparat ini kalau
tidak salah adalah seorang Pwecu yang pernah kita temui di penginapan rumah
bangsat tua she Liong itu."
"Tidak salah," In
San juga ingat sekarang, "keparat ini malam itu pernah bergebrak melawan
Wi-cui-hi-kiau Lim Tayhiap. Menurut Lim Tayhiap Kungfunya cukup liehay, taraf
kepandaiannya malah lebih tinggi dari Poyang Gun-ngo dan ke empat jago-jago
Watsu lainnya."
"Kemarin baru Liok-pangcu
berhasil mencari tahu, keparat ini bernama Tiangsun Co. Konon adalah putra
seorang Ongya di Watsu."
Terdengar Tiangsun Co sedang
bicara: "Guruku semestinya akan datang sendiri, tapi setelah dia berunding
dengan Ongya, dirasakan bahwa aku seorang diri mewakili dia juga sudah lebih
dari cukup. Putusannya ini yakin membuat kalian kecewa bukan?"
Wisu yang di depan berkata:
"Ah kenapa bilang begitu, kapan kita bisa mengundang Pwecu kemari. Siang
tadi Hu-congkoan kebetulan juga ada membicarakan kau Pwecu..."
Agaknya Tiangsun Co ketarik,
sebelum orang bicara habis dia sudah bertanya: "Oh, jadi Hu-congkoan
kalian juga mengenal diriku, apa yang dikatakan?"
"Hu-congkoan memuji Pwecu
sebagai tunas muda yang jarang bandingannya dalam negeri sendiri, usia muda
pandai bekerja, cerdik dan tangkas serta perkasa. Kali ini sebetulnya dia ingin
mengundang Pwecu bersama Milo Hoatsu, namun dia kuatir Pwecu tidak sudi memberi
muka kepadanya. Apalagi karena hubungan kita baru terjalin sekali ini, maka
kami juga tidak berani bertindak terlalu berani. Tapi kedatangan kau seorang
juga sudah cukup. Sungguh tak nyana bahwa Pwecu sendiri sudi kemari, terus
terang kita lebih senang menyambut kedatanganmu dari pada kedatangan Milo
Hoatsu."
Tiangsun Co tertawa bingar,
katanya: "Kalian terlalu menyanjungku, mana bisa aku dibanding
guruku?"
"Bukan kami suka
berolok-olok, memang begitulah Hu-congkoan mengutarakan isi hatinya."
"Kenapa demikian?"
"Gurumu meski seorang
Koksu, jabatan tinggi besar gengsinya. Tapi bicara soal urusan dinas dan
kekeluargaan, mana dia bisa dibanding Pwecu yang langsung keturunan kerabat
istana, di hadapan Khan Agung, jelas kau lebih mudah bicara bukan? Banyak
persoalan yang tidak mungkin kami bicarakan dengan gurumu, kita bisa bebas
bicara dengan Pwecu."
"Itu memang betul,"
ucap Tiangsun Co, "banyak terima kasih akan penghargaan Hu-congkoan kalian
kepadaku, terus terang sudah lama aku juga amat mengagumi Hu-congkoan
kalian."
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin di tempat
persembunyiannya:
"Kiranya mereka telah tiba di Pakkhia, namun berani bergerak secara bebas
bukan saja berintrik dengan Liong Bun-kong, kedatangan Tiangsun Co kali ini
jelas ada janji pertemuan rahasia dengan Hu-congkoan yang paling berkuasa di
istana raja, entah muslihat apa pula di belakang pertemuan mereka nanti? Sayang
tugas berat perlu segera dibereskan, tiada tempo untuk mencari tahu ada intrik
apa pula antara Tiangsun Co dengan Hu-congkoan."
Tan Ciok-sing berkata
bisik-bisik: "Orang macam apa Hu-congkoan itu, apa kau tahu?"
"Pernah kudengar paman
Ciu membicarakan dia, konon Congkoan istana dalam bernama Hu Kian-seng,
Kungfunya tidak lebih asor dibanding Bok Su-kiat," sembari menjelaskan dia
gandeng tangan Ciok-sing diajak memutari sebuah gunungan, menyelinap di antara
semak kembang terus merunduk ke depan. Tak lama kemudian tampak kemilau cahaya
yang timbul dari refleks permukaan air, ternyata belumbang sudah kelihatan tak
jauh di sebelah depan. In San berbisik di dekat telinga Tan Ciok-sing:
"Gardu di depan itu adalah Sim-hiang-ting. Coba kau periksa lebih dulu,
adakah orang di sekitarnya?" ketajaman matanya melihat di tempat gelap
tidak sejeli Tan Ciok-sing, maka dia suruh Ciok-sing memeriksanya.
Tan Ciok-sing memandang ke
depan dengan seluruh ketajaman matanya, namun tidak kelihatan ada bayangan
seorangpun disana. Diam-diam hatinya kaget, pikirnya: "Celaka, bila
Thaykam kecil itu tiba-tiba ingkar janji, cara bagaimana kita bisa bertemu
dengan Baginda Raja."
Belum habis dia berpikir,
tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang muncul di gardu di seberang sana entah
dari mana dia muncul. Waktu Tan Ciok-sing mendongak, dilihatnya rembulan tepat
di tengah cakrawala, waktu kebetulan tepat kentongan ketiga. Diam-diam dia
tertawa geli dan lega, pikirnya: "Thaykam kecil ini berjanji kentongan
ketiga ternyata dia muncul tepat pada waktunya, agaknya aku malah yang terlalu
gelisah."
Baru saja Tan Ciok-sing mau
unjuk diri sambil menberikan tanda isyarat. Pada saat itulah, mendadak didalam
gardu tahu-tahu sudah muncul pula bayangan seorang. Tampak tangan orang ini
merenggut kuduk Thaykam kecil, katanya menyeringai: "Tengah malam buta
rata, untuk apa kau berada disini, main sembunyi-sembunyi lagi?"
Gemetar suara Thaykam kecil:
"Aku, aku tidak bisa tidur, kemari mencari angin."
Orang itu mendengus,
jengeknya: "Bulan sembilan saatnya menjelang musim dingin, kau cari angin
apa disini? Dan lagi mencari angin kemari kenapa tidak berjalan terang-terangan
dari pintu, koh malah merangkak keluar dari lobang di bawah tanah?"
Ternyata di samping
Sim-hiang-ting terdapat sebuah gunungan palsu. Di bawah gunungan ini terdapat
sebuah gua yang tembus ke Sim-hiang-ting. Thaykam kecil dan orang itu sama-sama
merangkak keluar dari gua tersembunyi itu.
Sudah tentu Thaykam kecil tak
mampu menjawab. Orang itu berkata: "Terus terang sudah lama aku
memperhatikan dirimu. Kau sering bolos ke pasar di pintu timur dan mampir di
sebuah warung minuman mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang yang
tidak dikenal asal-usulnya, kau kira aku tidak tahu? Sayang sejauh ini aku
tidak berhasil mendapatkan bukti. Hehe, malam ini belangmu betul-betul sudah
kubongkar, hayo lekas berterus terang," habis dia bicara terdengar
tenggorokan Thaykam kecil bersuara berkerutuk. Walau Tan Ciok-sing tidak
melihat air mukanya tapi dia tahu Thaykam kecil itu sedang disiksa supaya
mengaku.
"Hayo mengaku terus
terang," ancam orang itu.
Di saat memperoleh kesempatan
ganti napas, benak Thaykam kecil sudah berpikir putar balik. Dia teringat akan keluarganya
yang sudah tiada, hidup menyendiri dalam keadaan melarat dan menderita,
teringat betapa manis dan baik budi orang Kaypang yang telah menolongnya dari
kesengsaraan, dia tahu pula betapa besar arti tugas yang sedang diembannya ini,
maka dengan mengertak gigi pelan-pelan dia mendongak, katanya mendesis:
"Aku, tiada yang perlu kukatakan."
Ternyata sejak kecil dia sudah
ditinggal mati ayah bunda, tiada sanak tiada kadang dia hidup terlunta sejak
kecil, suatu ketika dia ditolong orang Kaypang dan berusaha menanamnya didalam
istana raja, disini dia dikebiri menjadi Thaykam. Sudah beberapa tahun dia
hidup didalam lingkungan istana, namun sejauh ini hidupnya masih belum tentram,
akhir tahun yang lalu baru dirinya diangkat ke istana dalam untuk melayani raja,
barulah kehidupannya disini lebih mending, meski sudah hidup serba berkecukupan
tapi dia tidak pernah melupakan kebaikan orang-orang Kaypang, tidak pernah lupa
akan pesan ayah bundanya sebelum ajal mereka dahulu.
Kini dalam benaknya dia
berpikir: "Tio-thocu amat percaya padaku, maka dia menugaskan aku menjadi
agen disini, tugasku berat tapi besar dan penting artinya. Walau aku tidak tahu
untuk apa mereka mengutus orang untuk menemui Baginda Raja, namun dia menduga
urusan besar ini pasti menyangkut kepentingan rakyat banyak, mana boleh aku
menjual mereka."
Agaknya orang itu yakin dengan
mudah dia akan berhasil mengompres keterangannya, tak nyana dengan tegas dia
menjawab: "Tidak", hal ini betul-betul diluar dugaannya. Setelah
menjengek sekali orang itu tertawa dingin: "Baik, kau tidak mau bicara,
biar kugusur kau kehadapan Hu-congkoan, di kantornya ada delapan belas jenis
alat siksa, setiap jam boleh diganti alat siksa lain supaya derita yang kau
alami bisa merata, yakin kau akan dilayani dengan puas dan santai. Coba saja
waktu itu, kau mau bicara tidak?"
Waktu dia hendak seret Thaykam
kecil itu keluar dari Sim¬ hiang-ting, baru saja langkah kakinya bertindak,
mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menyambar kelenci
menubruk ke arah dirinya, belum lagi orang itu sempat bersuara, mendadak
dadanya terasa kesemutan, Hian-ki-hiat di dada telak tertimpuk oleh tanah
lempung timpukan Tan Ciok-sing.
Sudah tentu lemas pegangan
orang itu, "Bluk" kontan dia tersungkur jatuh. Sementara Thaykam kecil
terhuyung bebas lalu menggelendot di lankan dengan pandangan rnenjublek. Lekas
Ciok-sing bebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Thaykam kecil, tangan kanan
terulur, di Yang-ciang dia tekan tiga kali, lalu menekan pula tiga kali di
In-ciang. Inilah isyarat yang telah mereka janjikan sebelumnya.
Sungguh kaget dan girang
Thaykam kecil bukan main, katanya: "Kau utusan pihak Kaypang syukurlah
akhirnya kau datang juga."
"Maaf, aku datang
terlambat selangkah, sehingga kau menderita," demikian ucap Tan Ciok-sing.
"Sekarang tak usah banyak bicara, beritahu padaku, apakah orang ini wisu
yang bertugas malam ini?"
"Dia ini pimpinan barisan
wisu, tapi malam ini bukan dia yang berdinas," sahut Thaykam kecil.
Ciok-sing tidak perlu kualir,
segera ia turun tangan, sekali remas dia gunakan Jong-jiu-hoat menggetar pecah
urat nadi pemimpin barisan Wisu, tanpa mengeluarkan suara jiwa orang itu
melayang seketika.
"Dimana sekarang Baginda
berada, kau tahu?" tak sempat menyembunyikan mayat orang itu, segera dia
tanya kepada Thaykam kecil.
Thaykam kecil menjawab:
"Baginda ada di Long-gak-kek, tadi aku melihat dia sedang membaca laporan
dinas, kudengar dia berpesan kepada Thaykam yang berdinas di kamar bukunya,
katanya dia malam ini hendak tidur di kamar tulis, tidak seperti biasanya dia
harus tidur bergiliran di kamar selirnya. Agaknya malam nanti dia akan tidur
jauh malam, mumpung ada kesempatan, kau bisa menemuinya disana. Kau tahu letak
Long-sim-tiam," dalam gambar peta yang dibuat Thaykam kecil ada
diterangkan dengan jelas, karena tempat itu merupakan gedung bangunan yang
cukup besar, Tan Ciok-sing yakin tidak sulit untuk mencarinya, katanya:
"Aku tahu."
"Kalau demikian maaf aku
tidak antar kalian kesana," ucap Thaykam kecil.
Sementara itu In San berada
diluar gardu mengawasi keadaan sekitarnya, Thaykam kecil tahu dia datang
bersama Tan Ciok-sing. Untung dalam jangka waktu yang pendek ini tiada
rombongan ronda yang lewat disini. Thaykam kecil ini tidak bisa main silat,
jikalau dia disuruh mengunjukkan tempatnya mungkin bisa menambah beban mereka
malah. Maka Tan Ciok-sing berkata: "Baiklah, kau tak usah kuatir, aku
pasti dapat temukan tempat itu. Tolong mayat ini kau yang mengurusnya." -
Dalam hati dia membatin, setengah jam lagi bakal bertemu dengan Baginda, umpama
mayat orang ini ketemu orang juga tidak jadi soal lagi.
Baru saja Tan Ciok-sing hendak
berlalu, Thaykam kecil itu mendadak berkata: "Hiapsu, tunggu
sebentar..."
"Masih ada persoalan
apa?" tanya Tan Ciok-sing menoleh.
Sikap Thaykam kecil agak
ganjil, sesaat kemudian baru berkata: "Bila kau bertemu dengan Tio-thocu,
tolong sampaikan kepadanya, katakan bahwa aku tidak pernah melupakan
petuahnya."
Karuan Tan Ciok-sing
melenggong, pikirnya: "Dalam saat segenting ini, kau masih mengoceh
kepersoalan yang tidak perlu," katanya: "Baik, pesanmu pasti
kusampaikan," lalu dia ajak In San berlalu.
Setelah meninggalkan
Sim-hiang-ping baru Tan Ciok-sing menelaah pesan Thaykam kecil yang dirasakan
agak ganjil, serta mimik mukanya yang aneh, mau tidak mau dia menaruh curiga,
belum jauh mereka pergi, sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara rintihan
seseorang.
Tan Ciok-sing . terperanjat,
katanya: "Lekas balik, kita lihat apa yang terjadi?"
"Lihat apa?" tanya
In San heran. Maklum pendengarannya tidak setajam Tan Ciok-sing, meski dia mendengar
sesuatu suara dari Sim-hiang-ting, namun dia tidak bisa membedakan suara apa
itu.
"Mungkin Thaykam kecil
itu mengalami sesuatu," ujar Tan Ciok-sing.
Tadi mereka melihat Thaykam
kecil itu telah menyeret mayat orang itu kedalam gua di bawah gunungan, maka
begitu tiba di Sim-hiang-ting, langsung mereka juga menyusup kedalam gua,
seketika mereka terbelalak kaget, ternyata sebatang belati tampak menancap di
dada Thaykam kecil, tubuhnya roboh berdampingan di samping mayat tadi dan masih
kelejctan, ternyata dia menggunakan belati yang tergantung di pinggangnya mayat
itu untuk membunuh diri.
Lekas Tan Ciok-sing menubruk
maju serta menutuk beberapa Hiat-to untuk mencegah darah mengalir keluar, tapi
belati itu menembus jantung, mana mungkin jiwanya ditolong lagi? Pertolongan
pertama yang dilakukan paling hanya memperpanjang napasnya
sehingga dia masih bisa
bertahan hidup beberapa kejap lamanya.
Lambat laun Thaykam kecil
membuka mata, katanya lirih: "Kenapa tidak lekas kau tunaikan
tugasmu?"
"Kau, kenapa kau
bertindak senekat ini?" ujar Tan Ciok-sing gugup.
"Cepat atau lambat
peristiwa ini pasti terbongkar, dan lagi aku kuatir bila kejadian ini terlalu
cepat diketahui mereka, aku sendiri tidak yakin apakah di bawah siksaan mereka
aku kuat bertahan untuk tidak mengaku."
Tahu jiwanya tak mungkin
ditolong lagi, terpaksa Tan Ciok-sing berkata: "Adakah pesanmu yang
lain?"--Segera dia dekatkan telinganya di mulut orang, didengarnya suara
yang keluar dari mulut Thaykam kecil selirih bunyi nyamuk: "Aku, aku sudah
tidak punya orang tua, tiada sanak tidak punya kandang, tiada yang perlu kau
repotkan. Tolong saja kau sampaikan pesanku tadi kepada Tio-thocu," habis
bicara matanya terpejam, napaspun putus.
Tan Ciok-sing menyembah tiga
kali terhadap jenazah Thaykam kecil, katanya: "Walau Thaykam ini tidak
pandai silat, namun dia patut disebut seorang pendekar besar."
In San menghibur:
"Sekarang bukan saatnya bersedih, marilah kita dengarkan pesannya, lekas
mengerjakan tugas kita yang penting."
Mereka segera mengembangkan
Ginkang, sepanjang jalan ini dengan mudah mereka menghindari kawanan Wisu yang
mondar mandir. Lekas sekali mereka sudah mengitari Yong-sim-tiam,
Long-gak-kekpun telah tampak di depan mata.
Long-gak-kek merupakan gedung
bertingkat dua, mereka sembunyi di tempat gelap, mendongak ke atas, tampak
kamar di atas loteng memang ada sinar lampu yang menyorot keluar, bayangan
seorang tampak juga di atas jendela sutra, dari gayanya tampaknya sedang
membaca sesuatu, pastilah Baginda Raja sedang membaca laporan dinas. Di bawah
loteng di depan pintu berdiri dua Wisu.
Dalam hati Tan Ciok-sing
mereka: "Kungfu kedua Wisu ini pasti lebih tinggi, tanah lempung kecil
mungkin tak kuasa menutuk Hiat-to mereka," terpaksa dia menyerempet
bahaya, dengan Kim-ci-piau (mata uang emas) menggunakan cara menimpuk menutuk
Hiat-to. Mata uang itu memang meluncur secepat kilat, baru saja kedua Wisu itu
membuka mulut hendak berteriak, Hiat-to pelemas di tubuh mereka telah tertimpuk
dengan telak. Kontan tubuh mereka bergetar sekali, tapi mereka tetap berdiri
tegak di tempat masing-masing tanpa dapat bergerak lagi. Kecuali seorang ahli
silat yang kebetulan lewat di depan mereka, orang lain takkan tahu kalau mereka
sudah dikerjai orang.
Seluruh perhatian Baginda Raja
sedang ditujukan pada laporan yang dibacanya, hakikatnya tidak ambil peduli dan
tidak tahu apa yang terjadi diluar. Tapi diluar kamar bukunya dijaga pula
seorang jago kosen dari istana, dengan jelas jago kosen ini mendengar luncuran
kedua mata uang dan kedua Wisu yang jaga di bawah seketika bungkam.
Sudah tentu timbul rasa curiga
jago kosen ini, tapi mimpi juga dia tidak pernah menduga ada orang luar yang
berani datang ke istana yang terlarang, sudah tentu tak pernah terbayang pula
olehnya bahwa ada pembunuh hendak mengincar jiwa junjungannya. Tanpa bersuara
atau mengganggu Baginda, diam-diam dia beranjak dari tempatnya, dengan
berjinjit-jinjit dia turun dari loteng tanpa diketahui siapapun.
Tan Ciok-sing memang menanti
kedatangannya, begitu kaki orang melangkah keluar pintu, kontan dia persen
orang dengan timpukan sebentuk mata uang. Tak nyana jago kosen ini memiliki
kepandaian tinggi, mata uang itu sempat dijentiknya pergi. Namun demikian,
walau mata uang itu dijentiknya jatuh, jari tangan sendiripun sakit bukan main,
malah seluruh lengan kanannya pegal dan linu tak mampu bergerak lagi.
Dalam waktu singkat terasa
angin kesiur menerjang tiba, tahu-tahu Tan Ciok-sing di kiri dan ln San di
kanan sudah menyergapnya bersama.
Walau orang ini boleh
terhitung jago kosen, namun bila dibanding Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat dan
kepala barisan Bayangkari Hu Kian-seng masih kalah jauh, padahal taraf
kepandaian Tan Ciok-sing kira-kira sembabat dengan Bok Su-kiat, cukup Tan
Ciok-sing seorang sudah mampu membekuk dia, apalagi ada ln San membantunya?
Akibatnya meski dia melawan sekuat tenaga, hanya tiga gebrak dia mampu melawan,
kontan dia terpukul roboh oleh Tan Ciok-sing, celakanya diapun tidak sempat
bersuara minta tolong. Tapi waktu tubuhnya jatuh masih mengeluarkan suara
gedubukan, suaranya jelas lebih keras dari mata uang yang jatuh tadi.
Baginda Raja yang sedang asyik
membaca di kamar bukunyapun mendengar suara gedubukan ini. Dengan kaget dia
meletakkan laporan dinas yang dibacanya, tanyanya kepada seorang Thaykam di
sampingnya: "Siau-cu-cu, kau dengar tidak, barusan Tim mendengar seperti
ada benda apa yang jatuh diluar?"
Siau-cu-cu she Bong bernama
Tit, salah seorang Thaykam berkuasa yang paling dipercaya dan disayang Baginda,
ambisinya besar, pandai menjilat dan berusaha untuk menyampaikan suatu
permintaan tertentu kepada Baginda Raja. Katanya: "Biar hamba keluar
melihatnya, mungkin sesuatu yang jatuh tertiup angin kencang. Tiga Wisu yang
dinas jaga malam ini di Long-gak-kek semua berkepandaian tinggi, Baginda tidak
usah kuatir apa-apa."
Baginda Raja berkata:
"Tim yakin takkan ada sesuatu yang terjadi, baiklah tak usah kau keluar
melihatnya."
"Terima kasih
Baginda," ucap Bong Tit.
Baginda berkata pula:
"Barusan Tim ada membaca sebuah laporan, baru aku tahu diluar ternyata
telah terjadi sesuatu yang
menggemparkan, tapi Tim masih
dikelabui sejauh ini. Tim jadi ingat rencana yang pernah kau usulkan beberapa
hari yang lalu, jikalau diluar kekuasaan kepala Bayangkari didirikan lagi
sebuah badan yang dinamakan Say-tio, em, ya, rencana ini, rencana ini..."
"Harap Baginda periksa
dengan baik," lekas Bong Tit mengumpak, "maksud hamba adalah supaya
Baginda lebih banyak memilih orang kepercayaan untuk disebar mata kuping
(mata-mata)..." ternyata Say-tio atau suatu badan intelejen yang akan
dipimpin sendiri oleh Bong Tit. Bukan saja kekuasaan dan operasinya hendak
menandingi kepala Bayangkari yang paling berkuasa di seluruh bilangan istana,
diapun ingin memiliki kekuasaan besar untuk membunuh dan menghukum siapa saja
yang dinilainya perlu dihukum atau dibunuh.
Belum habis mereka berbicara
mendadak "Biang" daun pintu tahu-tahu menjeplak keras didorong orang
dari luar. Orang yang menerjang masuk jelas adalah Tan Ciok-sing dan In San
berdua.
Bong Tit membentak: "Hoan
Tiong-cu, keparat gila kau? Ada urusan apa kau main terjang..." Hoan
Tiong-cu adalah jago kosen yang jaga diluar kamar dan ditutuk oleh Tan
Ciok-sing dengan timpukan mata uang tadi. Tapi setelah melihat jelas siapa yang
menerjang masuk ternyata muda mudi, yang laki bukan Thaykam dan yang perempuan
juga bukan dayang, maka mulutnya yang memangnya berkaok itu seketika melompong
lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya.
Waktu Tan Ciok-sing menegas,
Baginda Raja ternyata adalah pemuda yang berusia dua puluh lima atau duapuluh
enam tahun, sementara Thaykam yang dipangil Siau-cu-cu yang bernama Bong Tit
berusia sekitar tiga puluhan.
Baginda Raja kelihatan jauh
lebih tenang dan tabah, bentaknya: "Siapa kalian? Untuk apa main terjang
ke kamar buku Tim?" Perlu diketahui Baginda Raja bernama Cu Kian-sin, bila
dinilai sesungguhnya raja ini tidak begitu jelek. Sejak umur delapan belas
tahun dia dinobatkan sebagai raja (tahun 1465), belum lama setelah dia mencuci
bersih nama baik Ih Cian yang pernah menjabat sekretaris militer di waktu ayah
bagindanya dulu menjadi raja, sayang nasib Ih Cian amat jelek, akhirnya dia
mati oleh komplotan dorna yang memfitnahnya.
Karena Cu Kian-sin (raja) ini
pernah melakukan perbuatan yang mulia ini maka Liok Kun-lun, dan Lim Ih-su
mempunyai kesan yang cukup baik dan menaruh angan-angan kepadanya.
Tapi sayang sekali semakin
dewasa dia justru semakin lemah hati dan mudah dijilat, segan menggunakan otak
sehingga kawanan dorna memperoleh kesempatan untuk berkomplot dan pegang kuasa
untuk
mengelilinginya, dia dianjurkan
hidup foya-foya dan dimabuk kesenangan, sehingga akhirnya dia menjadi raja
bulan-bulanan dan dijadikan boneka oleh kawanan dorna yang berkuasa. Belakangan
setelah dia mengangkat Bong Tit dan mempercayakan dia mendirikan Say-tio, dia
lebih diperalat untuk memberantas para pembesar yang setia dan jujur, sehingga
pemerintahannya semakin bobrok. Ini terjadi di belakang hari, disini kami tidak
bercerita berkepanjangan.
Meski berwatak lemah,
betapapun dia seorang raja sedikit banyak masih punya wibawa, kini dengan
menabahkan hati dia membentak, padahal jantungnya berdebur keras, sehingga
sikapnya masih kelihatan tenang dan agung sebagaimana seorang raja, jelas dia
jauh lebih tenang dibanding Bong Tit yang sudah gemetar di pinggir sana.
""Baginda boleh
tidak usah takut," ujar Tan Ciok-sing, "ada urusan penting yang ingin
kami sampaikan kepada paduka, jadi tak usah dibuat kuatir."
Di kala Tan Ciok-sing bicara,
In San sekali berkelebat telah menubruk ke arah Bong Tit serta menutuk
Hiat-tonya. "Bluk" kontan Bong Tit terkulai roboh tidak ingat diri.
Baru sekarang Cu Kian-sin
ambil perhatian, dilihatnya In San adalah seorang gadis belia yang cantik
rupawan, tapi gadis rupawan ini ternyata tega turun tangan sekeji dan seliehay
ini, mau tidak mau dia kaget dan jeri pula. "Kau, kau bilang tidak
bermaksud jahat, lalu, kenapa kalian melukai Thaykam yang mendampingiku?"
sesaat kemudian baru Cu Kian-sin kuasa bertanya dengan gelagapan.
Lekas In San berlutut,
katanya: "Mohon paduka suka memaafkan kekurang ajaran hamba, soalnya
urusan yang hendak kami laporkan teramat penting dan hanya paduka saja yang
boleh tahu. Terpaksa hamba bertindak kasar menutuk Hiat-to penidur Thaykam ini.
Setelah dua belas jam, dia akan siuman sendiri."
Melihat orang menyembah dan
memberi hormat selayaknya, legalah hati Cu Kian-sin, katanya: "Nona
memiliki kepandaian setinggi ini, sungguh jarang terlihat olehku. Baiklah
kuampuni kesalahanmu, silahkan bangun, Nona, kau belum menjelaskan kepada Tim,
siapa kau sebenarnya?" setelah rasa jerinya sedikit tawar, mau tidak mau
dia jadi kepincut melihat kecantikan In San, diam-diam dia membatin: "Nona
manis ini cantiknya bagai kembang, lebih jelita dari selir yang beberapa hari
yang lalu kugauli."
In San adalah gadis polos dan
suci murni, sedikit banyak dia masih membawakan wataknya yang kekanak-kanakan,
mana dia tahu bahwa sang raja padahal kepincut oleh kecantikannya, melihat
orang kesima mengawasi dirinya tak tertahan dia cekikik geli, katanya:
"Waktu kecil dulu hamba pernah bertemu dengan Baginda, tapi Baginda pasti
sudah lupa."
Cu Kian-sin terheran-heran,
katanya: "Kau pernah melihat Tim, jadi, kau, siapakah kau?"
In San berkata: "Kakekku
adalah Bu-conggoan In Jong, ayahku adalah In Hou pernah menjabat Komandan
Gi-lim-kun. Waktu kecil pernah ayah membawaku bermain-main di Sia-hoa-wan,
waktu itu kebetulan Baginda sedang naik perahu memetik buah teratai di telaga
buatan bersama beberapa dayang, ayah memberitahu padaku bahwa kau adalah Thaycu
(pangeran)."
Cu Kian-sin tertawa, katanya:
"O, jadi kau ini cucu In Jong, putri In Hou. Kakekmu dulu amat berjasa
terhadap ayah Baginda almarhum, sayang ayahmu tidak mau bekerja untuk Tim.
Apakah ayahmu baik-baik saja?"
"Terima kasih akan
perhatian Baginda, sayang sekali ayah telah lama meninggal."
"Sayang, sayang sekali,
apakah kau punya saudara?"
"Ayah ibuku hanya
melahirkan aku seorang."
"Wah harus disayangkan.
Mengingat kau adalah keturunan pembesar setia, sebetulnya Tim ingin
menganugrahi jabatan dalam kalangan pemerintahan untuk sanak kadangmu, sayang
keluargamu tiada lelaki yang bisa menerima anugrahku ini. Tapi pembesar
perempuan sekarang juga sudah umum, bagaimana kalau kau tinggal di istana
menjadi pembesar perempuanku yang utama. Apalagi ilmu silatmu amat bagus, kau
boleh menjadi pengawal pribadiku, bila senggang boleh kau ajarkan kepandaian
kepada para dayang dan selirku supaya mereka pandai menjaga diri."
"Terima kasih atas
penghargaan Baginda, aku tidak ingin jadi pembesar. Bicara soal Kungfu,
dibanding Tan-toako ini, aku masih kalah jauh, bila Baginda ingin dibantu orang
yang berkepandaian tinggi..."
Agaknya Cu Kian-sin tidak
senang dan tidak sabar mendengar In San mengangkat orang lain, segera dia
menukas: "Soal lain biarlah dibicarakan nanti. Tim ingin tanya padamu, apa
kehendakmu? Kalau tidak jadi pengawal, lalu, kau jadi, jadi..."
Belum terpikir olehnya anugrah
apa yang tepat untuk dia berikan kepada In San, Tan Ciok-sing yang menunggu di
samping sejak tadi juga sudah tidak sabar lagi, pikirnya: "Baginda lalim
ini ternyata suka mengurus tetek bengek, kenapa tidak dia gunakan otaknya,
tengah malam buta rata kami menyelundup ke tempat kediamannya yang terlarang
dan terjaga ketat, memangnya hanya ingin ajak ngobol sama kau?" mengingat
waktu amat mendesak, dia tidak peduli apakah tindakannya kurang ajar atau
merendahkan derajat Baginda, segera dia tampil ke muka serta menjura, katanya:
"Siau-bin (rakyat jelata) Tan Ciok-sing, ada urusan penting ingin lapor
kepada paduka yang mulia, mohon maaf akan kelancangan kami ini."
Dia hanya menjura tanpa berlutut,
menurut aturan jaman itu, pemberian hormat itu ditujukan kepada sesama orang
yang setingkat. Jadi kalau diusut menurut perundang-undangan kerajaan, boleh
dikata Tan Ciok-sing sudah melanggar aturan yang patut dihukum penggal kepala
karena dianggap kurang ajar terhadap rajanya.
Karuan Cu Kian-sin gusar,
bentaknya: "Memangnya matamu tidak melihat Tim sedang bicara dengan nona
In ini? Kau ada keperluan apa boleh dibicarakan nanti. Kalau tidak kau keluar
saja, biar nona In mewakili kau bicara saja,"--jikalau ada Wisu di
dekatnya, tentu dia sudah suruh pengawalnya membekuk Tan Ciok-sing.
"Aku tahu," bantah
Tan Ciok-sing, "urusanku teramat penting dan tidak boleh ditunda-tunda,
jikalau Baginda tidak selekasnya memberi putusan dan bertindak membereskannya, kemungkinan
kawanan dorna akan bergerak lebih dulu."
In San berkata dengan tertawa:
"Tan-toako ini berwatak berangasan, Baginda, mohon kau maafkan
kelancangannya. Tapi apa yang dikatakan memang benar."
Cu Kian-sin lantas melirik
dingin kearah Tan Ciok-sing, katanya: "O, jadi kau mau laporan apa
terhadap Tim? Siapa itu pembesar dorna? Coba jelaskan."
Tan Ciok-sing berkata:
"Kedatanganku ini demi memperjuangkan kepentingan rakyat jelata. Bicara
soal mengadu, bolehlah dikata mengadu untuk memperjuangkan nasib rakyat. Tapi
lebih penting lagi adalah demi kepentingan tanah air dimana sekarang Paduka
berkuasa. Seharusnya aku harus melampirkan surat laporan, namun kuatir kawanan
dorna juga ada kaki tangan di dekat Baginda, maka terpaksa kami memberanikan
diri menghadap langsung kemari. Pembesar dorna itu adalah..." sampai
disini dia ulur jari tengah tangan kanan, lalu menggores huruf di permukaan
meja tulis raja, nama orang yang ditulisnya dengan gaya indah dan kuat itu
adalah 'Liong Bun-kong'.
Meja yang licin mengkilap
terbuat dari kayu cendana yang keras itu ternyata tergores dalam oleh gerakan
jari tangan Tan Ciok-sing, melihat demontrasi kehebatan ilmu jari Tan Ciok-sing
ini, Cu Kian-sin seketika berdiri mematung, sekujur badan menjadi dingin lemas
seperti diguyur air dingin, otaknya yang kepincut oleh kecantikan In San tadi
seketika sadar. Diam-diam dia membatin: "Mereka datang bersama, sikap In
San begitu mesra terhadap anak muda ini, agaknya hubungan mereka tentu sudah
teramat intim. Bocah ini dapat menggores huruf di permukaan meja, jikalau
jarinya yang sekeras baja itu mengetok tubuh Tim, wah pasti celaka aku
ini," mengingat kedudukan dan situasi yang dihadapinya sekarang,
seolah-olah dirinya sudah berada di genggaman bocah she Tan ini, mana berani dia
bertingkah dan unjuk kewibawaan sebagai seorang raja?
In San tertawa, katanya:
"Toako. di meja Baginda kau menulis nama pembesar dorna itu, apa kau tidak
takut dilihat orang lain? Apalagi meja Baginda ini begini antik, setelah kau
gores dengan huruf-huruf pembesar keparat itu menjadi lenyap nilai ke
antikannya, selanjutnya tentu tak bisa dipakai lagi, sungguh sayang."
"Kukira tidak jadi soal,
biarlah aku hapus saja," ujar Tan Ciok-sing, sekenanya telapak tangannya
menghapus di permukaan meja, eh, seperti main sulap belaka, ketiga goresan
huruf itu ternyata lenyap tak berbekas lagi, namun di permukaan meja bertumpuk
serbuk halus. Setelah membersihkannya, Tan Ciok-sing berkata: "Permukaan
meja ini terpaksa kuhapus sedikit dekuk ke bawah dan tidak rata lagi, untuk ini
harap Baginda memberi maaf."
Karuan semakin ciut nyali Cu
Kian-sin, cukup lama kemudian baru dia kuasa bicara: "Itu soal kecil, tak
usah dirisaukan. Entah karena apa Hiap-su (tuan pendekar) mengatakan
Liong-siangsu (sekretaris Liong) adalah pembesar dorna?"
"Secara diam-diam dia
mengadakan intrik dan meneken surat perdamaian dengan pihak Watsu. Duta rahasia
utusan Watsu itu masih berada di rumahnya, apakah Baginda tidak tahu?"
tanya Tan Ciok-sing.
Cu Kian-sin pura-pura kaget,
katanya: "O, apa betul ada kejadian itu? Sungguh Tim tidak tahu sama
sekali."
"Kalau demikian nyali
Liong Bun-kong sungguh teramat besar, diluar tahu raja dia berani bertindak
diluar garis kekuasaannya. Mohon Baginda menghukumnya sebagai penghianat bangsa
menjual negara."
"Tapi apakah Hiapsu bukan
mendengar fitnah orang lain?" tanya Cu Kian-sin. "Ketahuilah
menghukum pembesar tinggi merupakan perkara dinas yang luar biasa, apalagi Tim
tidak bisa menerima pengaduan sepihak lalu mempercayainya demikian saja, bila
kau bisa mengunjukkan bukti dan kenyataan bahwa dia penghianat dan penjual
tanah air, barulah hukuman bisa segera dilaksanakan."
"Baginda menginginkan
bukti dan kenyataan, kukira ini bukan soal sulit, coba Baginda periksa inilah
surat perjanjian permohonan damai yang di tanda tangani oleh Liong Bun-kong
sendiri."
Cu Kian-sin terima konsep
surat permohonan perdamaian itu serta membaca dan memeriksanya dengan seksama,
diam-diam hatinya amat kaget dan badan menjadi lunglai, mulutpun terkancing tak
mampu bersuara. Dia kaget bukan karena reaksi surat perdamaian ini terlalu
merendahkan derajat dan martabat bangsa. Pada hal isi dan makna dari surat
perjanjian ini sebelumnya
Jilid 12
sudah dia ketahui. Surat-surat
yang tadi dia periksa dan baca adalah lampiran surat perjanjian damai dari
laporan rahasia Liong Bun-kong atas hasil kerjanya, jadi isi yang tertulis di
dalamnya kira-kira sama dengan konsep surat perjanjian yang diserahkan Tan
Ciok-sing kepadanya.
Yang membuatnya kaget adalah
surat sepenting ini, bagaimana bisa Liong Bun-kong tidak menyimpannya di tempat
rahasia sehingga terjatuh ke tangan Tan Ciok-sing?
Agaknya In San dapat meraba
jalan pikirannya, katanya: "Beberapa malam yang lalu kami memperolehnya
langsung dari tangan Liong Bun-kong di rumahnya. Dengan mata kepala kami
sendiri kami saksikan duta rahasia Watsu itu menginap di rumahnya, sayang kami
tidak berhasil membekuk Duta rahasia Watsu itu."
In San berkata lebih lanjut:
"Tulisan tangan Liong Bun-kong, tentunya Baginda cukup mengenalnya, jangan
dicurigai bahwa surat yang kami serahkan ini palsu."
Jantung Cu Kian-sin
benar-benar berdegup keras, lekas dia berkata: "Nona In, dua generasi
keluargamu adalah pembesar setia terhadap kerajaan, apa yang kau katakan, masa
Tim tidak percaya."
"Kalau Baginda percaya
kami tidak main curang, coba periksa surat perjanjian itu, apakah tidak terlalu
merendahkan derajat dan martabat bangsa serta negara?" — — lalu dia
serobot surat perjanjian itu dari tangan Cu Kian-sin serta membaca bagian yang
penting: "Pertama: Kerajaan Bing dilarang menempatkan pasukannya di kota
Tay-tong, itu berarti mengosongi dan membuka pintu membiarkan tentara Watsu
masuk tanpa rintangan menduduki tanah kita. Kedua: daerah barat kota Yong-ciu
dan utara Liong-ciu diserahkan kepada pihak Watsu, itu berarti menyerahkan
tanah dan rakyat kita kepada musuh di bawah kekuasaan penjajah, tanpa berperang
musuh telah menduduki tanah perdikan kita. Ketiga: setiap tahun harus mengirim
tiga ratus laksa tahil perak sebagai upeti kepada raja Watsu, itu berarti darah
dan keringat rakyat diperas untuk memperkuat rangsum dan perongkosan angkatan
perang musuh. Keempat: Dynasti Bing diharuskan menggabung kekuatan pasukannya
untuk membersihkan perbatasan dan tangan kaum..."
Sampai disini sengaja Tan
Ciok-sing merandek, lalu bertanya kepada Cu Kian-sin: "Untuk yang ke empat
ini tentunya Baginda merasa menguntungkan bagi kerajaan di bawah pemerintahanmu
bukan? Entah Baginda tahu atau tidak siapakah 'kaum pemberontak' yang akan
disapu bersih oleh pihak Watsu dengan kekuatan pasukan kerajaan kita?"
Sudah tentu Cu Kian-sin tahu,
tapi mana dia berani terus terang, terpaksa pura-pura tidak tahu, tanyanya:
"Siapa?"
Tan Ciok-sing berkata:
"Yaitu Kim-to Cecu Ciu San-bin, yang menggabung seluruh kekuatan laskar
rakyat membendung beberapa kali intervensi pasukan besar Watsu."
In San ikut memberi penjelasan
"Ayah Ciu San-bin yaitu Ciu Kian dahulu pernah diangkat sebagai kepala
staf pasukan besar yang berkuasa di Tay-tong di kala ayahmu almarhum bertahta
dulu, belakangan Ciu Kian dipaksa untuk memberontak oleh kelicikan dan fitnah
Ong Tin yang berkuasa waktu itu, walau akhirnya Ciu Kian menduduki gunung
mengangkat diri sebagai raja penyamun, namun selamanya dia pantang bentrok
dengan pihak kerajaan, sejauh itu dia masih setia dan loyal kepada tanah air
dan bangsa serta rajanya Mereka ayah beranak dua generasi membuka ladang
bercocok tanam demi kesejahteraan laskar rakyat yang dipimpinnya, belum pernahh
mereka membegal dan merampas hak milik pemerintah. Yang diincar selalu adalah milik
pihak Watsu.
Baginda, coba katakan, laskar
rakyat yang berjuang demi rakyat dan membela tanah air, bolehkah dianggap
sebagai kaum pemberontak?"
Terpaksa Cu Kian-sin
menanggapi: "Kalau seperti apa yang kau katakan, sudah tentu tidak boleh
dianggap kaum pemberontak."
Tan Ciok-sing meneruskan
komentarnya: "Syarat ke empat ini justru yang paling keji dan jahat,
secara langsung Baginda sendiri harus menghancurkan negara yang
dikuasainya."
"Pendek kata,"
timbrung In San, "bila Baginda menuruti syarat yang diajukan itu, menanda
tangani perjanjian ini, itu berarti rakyat dan tanah air kita terancam mala
petaka dan kemelut. Maka kami mohon Baginda suka bertindak dan berkeputusan
dengan tegas, jangan kena pengaruh oleh orang lain."
"Baiklah," ucap Cu
Kian-sin, "tolong kalian suka memikirkan cara bagaimana Tim harus
bertindak?"
Tan Ciok-sing tidak sungkan
lagi, katanya: "Menurut pendapatku, paduka harus berani bertindak tegas
dan memikirkan kepentingan bangsa dan negara, menyikat pembesar dorna,
membersihkan aparat pemerintah dari anasir-anasir jahat, angkat senjata melawan
serbuan kaum penjajah."
Cu Kian-sin mendengarkan
sambil manggut-manggut, sesaat dia menunduk menepekur, lalu dia pegang poci teh
kecil di atas meja menuang secangkir kecil terus ditenggak habis. Seolah-olah
minum teh untuk membangkitkan semangatnya, dengan semangat menyala baru dia
bisa memusatkan pikirannya.
Setelah minum baru Cu Kian-tin
seperti teringat sesuatu, katanya tertawa: "Nona In kau adalah tamuku,
kita boleh tidak persoalkan perbedaau derajat, adalah pantas kalau Tim
menyambutmu sebagai tamuku. Selama ini kau disini, aku belum sempat menyuguh
barang secangkir teh. Inilah daun teh keluaran Kiu-kang yang diseduh dengan air
embun, rasa dan baunya amat harum, silahkan kaupun minum secangkir," lalu
dia ambil cangkir yang lain serta hendak mengisinya dengan air teh.
Sejak magrib tadi setelah
memasuki istana, sampai kentongan ketiga ini In San memang belum minum, apalagi
karena terlalu tegang dan was-was tadi tidak dirasakan, kirii dia benar-benar
merasa haus sekali. Mencium bau teh, dalam hati dia berpikir: "Entah
bagaimana rasanya air teh yang diminum raja, mumpung ada kesempatan aku dapat
mencicipinya disini," segera dia maju mendekat serta merebut poci dari
tangan Cu Kian-sin serta menuangnya secangkir penuh. Katanya: "Terima
kasih atas pemberian secangkir teh ini, mana berani menyusahkan Baginda,
biarlah aku mengisinya sendiri."
Jiwa In San memang masih
kekanak-kanakan, ingin merasakan bagaimana rasanya air teh pemberian raja,
namun tak pernah dia mengabaikan kewaspadaan. Namun dia melihat Baginda sudah
minum dulu secangkir, air teh yang dia tuang sendiri keluar dari poci yang
sama, maka dia pikir teh yang boleh diminum raja, tentu boleh juga dia minum.
"Tan-hiapsu," kata
Cu Kian-sin, "kau sudah bicara panjang lebar, tentunya mulutmu juga sudah
kering silahkan kaupun minum secangkir. Sungguh harus disesalkan, hanya ada
orang Thaykam yang biasa melayani aku di kamar buku ini, sepantasnya Thaykam
yang meladeni kalian berdua."
"Baginda tidak usah
sungkan, aku tidak dahaga," sahut Tan Ciok-sing.
Namun In San sudah menuang
secangkir penuh, katanya tertawa: "Toako, In-bu-teh ini memang enak
rasanya, Baginda sudi memberimu secangkir, marilah kau habiskan secangkir
ini."
Melihat In San tidak
menunjukan reaksi apa-apa setelah minum secangkir, maka dengan lega hati Tan
Ciok-sing segera habiskan juga secangkir teh itu. Setelah minum Tan Ciok-sing
berkata: "Urusan besar negara sebetulnya aku tidak berani banyak bicara.
Tapi nuraniku memberontak setelah melihat kenyataan ini, terpaksa aku
memberanikan diri menyampaikan persoalan yang sebenarnya, mohon Baginda
berpikir lagi lebih seksama."
"Kau mau bicara apa boleh
silahkan katakan saja," kata Cu Kian-sin.
"Menurut pendapatku,
damai dengan musuh tak ubahnya sekandang dengan harimau. Jikalau kita mohon
perdamaian sesuai perjanjian ini, tanpa menempatkan pasukan di perbatasan dan
harus menyerahkan sebagian tanah perdikan kita, bila kekuatan musuh semakin
melebarkan sayap, tentu lebih sukar kita membendungnya, dan hal itupun hanya
tentram untuk sementara, bila pasukan besar Watsu benar-benar dikerahkan, maka
tanah kekuasaan Baginda yang luas ini akan dicaplok habis oleh musuh."
Cu Kian-sin menunduk seperti
memeras otak agaknya dia tidak terpengaruh oleh penjelasan Tan Ciok-sing dan
masih mengukuhi pendapat sendiri. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing
menggunakan caranya yirt| terakhir, katanya: "Bila paduka tetap tidak mau
memberi putusan untuk melawan intervensi musuh, terpaksa biarlah kita menempuh
jalannya sendiri-sendiri."
Bercekat hati Cu Kian-sin,
katanya angkat kepala: "Apa yang kau maksud dengan menempuh jalannya
sendiri-sendiri?"
Kalem suara Tan Ciok-sing:
"Terpaksa kami akan menyebar luaskan dan mengumumkan surat permohonan
perdamaian ini ke seluruh negeri, akan kami desak Kim-to Cecu angkat senjatanya
mengundang para patriot untuk membela tanah air dan bangsa. Aku yakin rakyat
pasti mendukung perjuangan kita yang mulia."
Cu Kian-sin betul-betul kaget,
pikirnya: "Kalau betul demikian, mungkin sebelum pasukan Watsu menyerbu
tiba, kedudukanku sebagai raja inipun tak kuasa dipertahankan lagi," maka
tersipu-sipu dia berkata: "Kesetiaan kalian memang patut dipuji. Baiklah,
biarlah Tim memikirkan hal ini semasak-masaknya."
Cu Kian-sin bertingkah dan
pura-pura mengerutkan kening menepekur dan memeras otak, tak lama kemudian dia
membuka mata dan berkata: "Walau sudah sejak beberapa generasi merupakan
ancaman serius bagi kepentingan kerajaan kita. Sejak peristiwa To¬ bok, ayah
Baginda tertawan musuh dan kekalahan total merupakan suatu yang memalukan,
memangnya Tim tak pernah berpikir untuk menuntut balas? Syukurlah kalian dari
golongan pendekar sudi angkat senjata membela tanah air dan bangsa, adalah
pantas kalau Tim menelaah saran-saran kalian dan akan kupikirkan dengan baik.
Tan-hiapsu, kau ingin menjabat apa?"
Tan Ciok-sing girang, katanya:
"Kalau demikian, paduka siap memberantas kaum dorna dan menyikat
anasir-anasir jahat serta melawan serbuan musuh dari luar. Kalau demikian
halnya, kami sebagai rakyat yang menjunjungmu siap bertempur sampai titik darah
terakhir demi membela kerajaan. Tapi kami akan bekerja diluar lingkungan
kerajaan, yakin jauh lebih bermanfaat dari pada bertugas di kalangan
pemerintahan, maksud baik Baginda tak berani kami menerima."
"Baiklah, kalau kau tidak
mau menjabat pangkat, seorang laki-laki memang punya cita-citanya sendiri, Tim
tidak akan memaksamu."
"Entah kapan kiranya
tekad paduka itu bisa terlaksana? Untuk ini kami memberanikan diri mohon
jawaban paduka untuk menentukan batas waktunya, supaya Kim-to Cecu dan para
patriot yang lain bisa tentram serta bersiap siaga," maklum Tan Ciok-sing
kuatir raja muda usia ini hanya mulutnya saja bicara tapi tidak bisa dipercaya,
jawabannya itu hanya mengada-ada untuk mengulur waktu belaka. Maka dia menuntut
jawaban positip dari Cu Kian-sin.
Mengkcrut alis Cu Kian-sin,
katanya: "Memaklumkan perang dengan Watsu merupakan urusan besar negara,
ini menyangkut kejayaan dan keruntuhan bangsa dan negara betapapun urusan tidak
boleh tergesa-gesa. Sampaipun persiapan melengkapi angkatan perang dari
kerajaan kitapun harus dilaksanakan secara rahasia supaya musuh tidak
mengetahui," secara tidak langsung dia menjawab pernyataan Tan Ciok-sing
tadi, umpama Tan Ciok-sing memaklumkan soal ini ke seluruh negeri, bahwa
Baginda Raja bertekad angkat senjata melawan penjajah, hal itupun takkan bisa
dilaksanakan lagi.
Tan Ciok-sing berkata:
"Tapi paduka harus melakukan suatu tindakan drastis yang cukup
menggemparkan dan
membangkitkan semangat juang
rakyat umumnya, lebih cepat lebih baik, hal ini amat perlu untuk memantapkan
situasi dan menentramkan hati rakyat."
"Menurut pendapatmu,
tindakan apa yang harus Tim dahulukan?" In San berkata: "Kalau paduka
masih ada kesulitan untuk angkat senjata melawan serbuan musuh penjajah, lebih
baik kau memberantas kaum dorna yang merongrong kepentingan negara, hal ini
yakin akan mendapat dukungan sepenuhnya dari segala lapisan."
Cu Kian-sin berkata:
"Konon Liong Bun-kong ada permusuhan dengan keluargamu, apa betul?"
"Betul," sahut In
San naik darah. "Bangsat she Liong itu pembunuh ayahku, tapi kehadiranku
disini bukan lantaran dendam pribadi."
"Aku tahu. Peduli untuk
pribadi atau demi urusan dinas, adalah pantas kalau aku memberi keadilan
kepadamu. Baiklah, tiga bulan lagi, aku pasti meminjam entah alasan apa,
mencopot kedudukan dan mencabut hak kekuasaannya. Bagaimana kalian puas tidak?
Janjinya ini memang bukan bualan belaka, dia memang sudah berkeputusan bila
perlu biarlah Liong Bun-kong dikorbankan demi memperkokoh kedudukan sendiri.
"Baik, tiga bulan
kemudian, bila paduka menghadapi suatu kesulitan dan sukar menjatuhkan hukuman
kepada Liong Bun-kong, aku akan datang pula kemari mohon petunjuk paduka.
Setelah tahu duduk persoalannya, akan kami bantu paduka menjatuhkan vonnisnya.
Tapi lebih baik paduka sendiri sudah bisa berkeputusan sendiri, sehingga kami
tidak perlu datang pula supaya tidak membuat kaget paduka." Kuatir Cu
Kian-sin tiba saatnya merobah haluan dan sukar berkeputusan, maka dia mendesaknya
dengan kata-kata yang halus, padahal pernyataannya ini cukup serius dan
merupakan ancaman pula. Cu Kian-sin sudah tahu Kungfunya tinggi, karena
nyalinya sudah ciut sudah tentu dia mengiakan berulang kali, dia berjanji dalam
jangka tiga bulan segalanya pasti sudah beres.
Akhirnya Tan Ciok-sing merasa
mendapat jawaban yang cukup memuaskan, baru saja dia hendak pamitan, saat
itulah mendadak dirasakannya ada angin kesiur, tahu-tahu senjata rahasia sudah
menyerang dekat di belakangnya. Tampak sinar putih berkelebat, "tring,
tring" dua kali. Ternyata yang menyerang tiba adalah dua bentuk uang
tembaga, sekali pedang bekerja, kedua bentuk mata uang itu dipapasnya menjadi
empat potong.
Sebentuk mata uang lagi
menerjang ke Hiat-to besar di punggung In San, gerakan mencabut pedang In San
tidak secepat Tan Ciok-sing, terpaksa dia berkelit. Untung gerakan tubuh
Menyusup Kembang Mengitari Pohon yang diyakinkannya sudah sempurna, merupakan
Ginkang tingkat tinggi lagi, dalam keadaan kritis itu dia sudah menyelinap ke
samping Cu Kian-sin, sekali raih dia membekuknya serta membentak: "Siapa
berani bertindak?" Mata uang itu langsung terbang ke depan Cu Kian-sin,
Tan Ciok-sing kaget, dia kuatir raja muda ini terluka oleh mata uang tembaga
ini. Tapi kejadian memang aneh, setiba di depan muka raja mata uang itu
tiba-tiba berputar arah terus membelok kembali dan jatuh ke lantai dengan suara
yang keras. Ternyata penyambit mata uang ini, jauh lebih takut bila timpukan
mata uangnya mengenai junjungannya, maka tenaga sambitannya diperhitungkan
dengan tepat, tiga kaki di depan muka sang raja tiba-tiba bisa berputar arah
sendiri dan mundur kembali.
Kedua mata uang tembaga itu
bentuknya kecil, dengan tabasan pedangnya Tan Ciok-sing merontokkannya semua,
namun dia rasakan telapak tangannya kesemutan, karuan kagetnya bukan main, kini
menyaksikan gaya timpukannya yang aneh dan menakjubkan lagi, hatinya lebih
kaget lagi, pikirnya: "Siapa dia? Lwekangnya ternyata tidak lebih asor
dibanding komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, mungkinkah..."
Tengah dia membatin tampak
seorang menerobos masuk dari jendela. Cu Kian-sin kontan menghardik padanya:
"Kedua orang ini adalah teman Tim, nyalimu sungguh besar, sebelum diundang
dan mendapat persetujuanku, berani kau bertingkah disini."
Lekas orang itu menjatuhkan
diri berlutut, serunya: "Mohon ampun akan kelancangan hamba yang tidak
tahu ini. Hamba kira Baginda diancam dan dijadikan sandera oleh kawanan
pembunuh gelap, karena gugup tidak periksa lagi sehingga mengejutkan Baginda,
mohon Baginda memberi ampun."
"Nona In, bagaimana
menurut pendapatmu?" tanya Cu Kian-sin.
"Memang tidak bisa
menyalahkan dia, dia ini..."
"Dia adalah kepala
pasukan Bayangkari Hu Kian-seng."
Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah
mengira orang ini adalah Hu Kian-seng, pikirnya: "Tak heran Kim-to Cecu
memuji ilmu silatnya yang hebat, ternyata memang tidak bernama kosong."
Maka Cu Kian-sin berkata
bermuka-muka: "Baiklah, kuterima permohonan ampun nona In, kelancanganmu
tidak
kuperpanjang urusannya. Ada
urusan apa.kau kemari?"
Hu Kian-seng berdiri, dia
memberi salam kepada rajanya, katanya: "Ada sedikit urusan, paduka sedang
ada tamu, biarlah kulaporkan nanti juga tidak jadi soal."
"Paduka sedang ada
urusan, biarlah kami mohon diri," kata Tan Ciok-sing.
"Nanti dulu, kenapa
tergesa-gesa, kalau kalian begini saja, pasti membuat geger kawanan Wisu yang
jaga, supaya tidak salah paham, Hu Kian-seng, wakilkan Tim mengantar kedua
tamuku ini."
"Hamba terima
tugas," sahut Hu Kian-seng, "baginda masih ada pesan yang lain?"
"Ya, kau pasti belum tahu
siapa kedua tamu agung ini?"
"Mohon paduka suka
menjelaskan," ucap Hu Kian-seng.
"Nona In ini adalah cucu
In Jong yang pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun di kala ayah Baginda almarhum
dulu masih bertahta, ayahnya In Hou juga pernah mendirikan pahala besar buat
negara, kau harus menaruh hormat padanya. Tentang Tan-siauhiap ini..."
mulutnya tersendat tak kuasa meneruskan kata-katanya, ternyata dia sudah lupa
siapa nama Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing segera
memperkenalkan diri: "Aku bernama Tan Ciok-sing, delapan belas generasi
kakek moyangku tiada satupun yang pernah menjabat pangkat, kau tidak perlu
sungkan kepadaku."
Kalau Cu Kian-sin melupakan
nama Tan Ciok-sing, adalah Hu
Kian-seng amat kaget mendengar
namanya. Kejadian Bok Su-kiat bertempur melawan Tan Ciok-sing di rumah keluarga
Liong tempo hari sudah dia ketahui. Maka dalam hati dia berpikir: "Tak
heran kabarnya Bok Su-kiat sedikit dirugikan oleh bocah ini, gerakan pedang
yang dipamerkan tadi memang hebat luar biasa."
Hu Kian-seng berjalan di belakang
mengantar mereka keluar. Sementara itu jago kosen she Hoan tampak masih rebah
di tanah tanpa bisa bergerak. Seperti diketahui dia tertutuk Hiat-tonya oleh
Jong-jiu-hoat Tan Ciok-sing.
Waktu Hu Kian-seng lewat di
sampingnya mulutnya
menggerundel, sekali depak
kontan dia bebaskan tutukan Hiat-tonya. Jago kosen she Hoan itu segera melompat
bangun, dengan membelalak mata dia awasi Tan Ciok-sing dan Hu Kian-seng
bergantian. Hu Kian-seng segera berkata: "Tidak lekas kau menjaga dan
melayani keperluan Baginda."
Saking keheranan jago she Hoan
itu berkata: "Ke... kedua orang ini..."
"Mereka adalah tamu
Baginda, aku disuruh mengantar kedua tamu Baginda, kau tidak perlu ikut
urusan..."
Jago kosen she Hoan itu segera
mengiakan sambil munduk-munduk tanpa berani bicara lagi.
Yang benar dia sudah merasakan
kelichayan Tan Ciok-sing, umpama disuruh urus juga, dia sudah kapok dan pecah
nyalinya.
Kepandaian Hu Kian-seng dengan
caranya mendepak membebaskan tutukan, mau tidak mau menimbulkan kewaspadaan Tan
Ciok-sing. Ilmu tutuk yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil ciptaan Thio
Tan-hong yang liehay dan rumit. Jangan kata jago silat kaum persilatan, seorang
ahli tutukpun belum tentu dapat membebaskan tutukan Hiat-to itu dalam waktu
singkat.
Sebagai kepala barisan
Bayangkari boleh dikata Hu Kian-seng adalah orang yang paling dekat dengan
raja, sudah tentu dia tahu isyarat apa yang telah disampaikan junjungannya
kepada dia bila dia mengantar kedua tamunya ini. Maka dia berpikir: "Dari
nada Baginda tadi agaknya dia menaksir kepada cewek ayu ini, aku harus berusaha
untuk tidak melukai dia. Baiklah, biar kuhadapi dulu bocah she Tan ini. Tapi
ilmu pedang bocah ini bukan olah-olah liehaynya, sekali bertindak aku harus
membawa hasil."
Tanpa merasa mereka sudah tiba
di Ling-bik-ti, Hu Kian-seng yakin Baginda sekarang sudah meninggalkan
Long-gak-kck, umpama dirinya tidak berhasil membekuk Tan Ciok-sing, dia tidak
perlu kuatir Tan Cok-sing putar balik kesana serta menyandera junjungannya.
Maka tanpa kuatir apa, dia turun tangan.
Saat mana dia berjalan di
belakang Tan Ciok-sing, mendadak dia angkat telapak tangan terus mengenjot ke
Toa-cui-hiat di punggung Tan Ciok-sing. Jarak mereka begitu dekat, pukulan ini
dilontarkan dengan sepenuh tenaga lagi, jikalau pukulan telak mengenai sasaran,
umpama tidak mampus juga pasti terluka parah.
Diluar tahunya sejak tadi Tan
Ciok-sing sudah siaga, dia siap menghadapi segala sergapan. Begitu Hu Kian-seng
menyerang dengan Jong-jiu-hoat, baru saja tangan bergerak lantas menimbulkan
deru angin kencang. Pada saat kritis itulah, begitu merasakan angin menerjang,
secara reflek Tan Ciok-sing tudingkan jarinya ke belakang. Dengan jari
mengganti pedang dia melancarkan sejurus Hian-niau-hoat-sa, padahal malam amat
gelap, tapi tudingan jarinya dengan tepat menjojoh ke urat nadi di pergelangan
tangan lawan.
Inilah perlawanan untuk gugur
bersama, jikalau kedua pihak sama tidak mau mengalah bentrok secara kekerasan,
meski Tan Ciok-sing terluka parah, Hu Kian-seng sendiri juga akan terluka
seluruh Siau-yang-king-meh dalam tubuhnya.
untuk meyakinkan ilmu pukulan
besinya, sedikitnya Hu Kian-seng perlu latihan sepuluh tahun lamanya baru pulih
seperti sedia kala.
Jarak dekat kedua pihak
menyerang dengan kencang lagi, siapapun tak sempat menggunakan otaknya. Tan
Ciok-sing sudah pertaruhkan jiwa raganya, tapi Hu Kian-seng mana mau mengadu
jiwa. Sebat sekali dia tarik tangan serta menepis ke samping, sementara kakinya
bergerak dengan Ban-liong-yau-pou, menghindar sambil balas menyerang. Mulutnya
ternyata tidak mau menganggur, teriaknya: "Ada pembunuh, hayo kemari
tangkap dia."
Karena terdorong oleh angin
pukulan lawan, tanpa kuasa Tan Ciok-sing tersuruk ke depan beberapa langkah
baru berdiri tegak pula. Dalam hati diam-diam Tan Ciok-sing amat kaget:
"Lwekangku kenapa menjadi begini tak berguna?" maklum meski dia tahu
Lwekang Hu Kian-seng lebih unggul dari dirinya, tapi taraf Lwekangnya paling
hanya setingkat tebih tinggi dari Bok Su-kiat, dia pernah bentrok langsung
dengan Bok Su-kiat, maka dia yakin bila dia melawan secara kekerasan,
sedikitnya dia masih kuat melawan tiga puluhan jurus, tak nyana menghadapi
Bik-khong¬ciang lawan kali ini, dirinya tidak kuasa mempertahankan diri.
Cepat sekali In San sudah
mencabut pedang, bentaknya sambil tertawa dingin: "Namanya sebagai jago
kosen nomor satu dari istana raja, ternyata berbuat licik dan picik main bokong
segala, tidak tahu malu."
Merah muka Hu Kian-seng,
katanya: "Nona In, urusan tidak menyangkut dirimu, silakan kau
minggir."
Sudah tentu In San tidak mau
minggir, belum habis Hu Kian-seng bicara, tampak sinar kemilau dingin
menyilaukan mata telah membabat tiba, ternyata Tan Ciok-sing dan In San sudah
melancarkan jurus gabungan ilmu pedang mereka merabunya gencar. Sebagai ahli
silat, sudah tentu Hu Kian-seng tahu betapa hebat rangsakan sepasang pedang
ini, dilihatnya gerak gabungan sepasang pedang lawan hakikatnya tiada lobang
kelemahan, jelas dirinya takkan mampu menghalau dan memisah kedua orang ini,
karuan hatinya mencelos, pikirnya: "Celaka, kalau aku gunakan
Jong-jiu-hoat balas menyerang, bagaimana bisa tidak sampai melukai budak ayu
ini?"
Tapi dalam posisinya yang
menyangkut mati hidupnya, bagaimana mungkin dia tidak balas menyerang dengan
Jong-jiu-hoat? Maka dia gunakan Siang-jong¬ ciang, ke kiri menggenjot Tan
Ciok-sing, ke kanan menghantam In San. Tapi tenaga pukulan yang dia lancarkan
antara kiri dan kanan jauh berbeda. Pukulan yang dilontarkan kepada Tan
Ciok-sing menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sementara untuk menyerang
In San dia hanya menggunakan dua puluh persen saja. Demi keselamatan sendiri
hal itu harus dia lakukan tanpa banyak pikir, meski terpaksa ln San mungkin
tcrluka dan dia dimarahi atau dihukum oleh Baginda Raja juga tidak sempat
dihiraukan lagi.
In San tergetar mundur oleh
pukulan ini sehingga terhuyung hampir jatuh, sementara Tan Ciok-sing tersuruk
maju hampir saja jatuh terjerembab. Baru saja Hu Kian-seng akan menyusuli
dengan serangan jurus Ya-be-hun-cong menyelinap ke tengah untuk memisah kedua
orang ini. Tak kira baru saja niat ini terlintas dalam benaknya, laksana kilat
menyambar, mendadak dilihatnya dua jalur cahaya pedang laksana lembayung
tahu-tahu sudah membabati dari samping hendak membelah pinggangnya. Perbawa
gabungan sepasang pedang ini sungguh berbeda diluar dugaannya. Kalau dia tidak
tahu diri tetap melontarkan jurus serangan Ya-be-hun-cong itu, mungkin bukan
saja dia tidak mampu memisah kedudukan Tan dan ln kemudian tubuh sendiri yang
bakal terbelah terpisah jadi dua.
Memang tidak malu Hu Kian-seng
diangkat sebagai jago nomor satu dari barisan Bayangkari, betapa cepat reaksi
dan tindakannya didalam menghadapi bahaya, di saat jiwanya tergantung pada
sekali tarikan napas itu, sigap sekali dia gunakan Kan-te-pa-jong mendadak
tubuhnya melambung tinggi ke atas dengan tubuh terbaring lurus, berbareng'
kedua kakinya menendang secara berantai ke arah Tan Ciok-sing. Mendadak Tan
Ciok-sing gunakan Hong-tiam-thau, sehingga Hu Kian-seng sempat melompat keluar
dari lingkaran sinar pedang. Namun demikian tak urung pantatnya tertusuk juga
oleh ujung pedang ln San, kulit dagingnya terpapas sebagian besar. Karena
bokongnya terluka sudah tentu dia tak berani bertempur lebih lama lagi, cepat
dia angkat langkah seribu.
Baru saja Tan Ciok-sing sempat
menarik napas lega, waktu dia menoleh, dilihatnya In San bernapas sengal-scngal
dan tubuhnya limbung. Tan Ciok-sing kaget, lekas dia memburu maju memapahnya,
katanya: "Adik San, kenapa kau?"
Dengan napas sengal In San
berkata: “tidaktidak apa-apa. Tapi urusan agak ganjil. Toako, menurut
pendapatmu bagaimana Kungfu Hu Kian-seng bila dibanding Milo Hoatsu?"
Melihat kekasihnya tidak
terluka lega hati Ciok-sing. Tapi dia tidak habis mengerti kenapa dalam waktu ,
mendesak menanyakan hal ini? "Kungfu Hu Kian-seng agaknya setingkat lebih
tinggi dari Bok Su-kiat, namun jelas dia bukan tandingan Milo Hoatsu."
"Memangnya, tapi kenapa
gabungan pedang kita tadi kenapa tidak mampu membunuhnya? Kelihatannya seperti
jadi lemah? Bukankah urusan agak ganjil?"
Tan Ciok-sing baru sadar dan
ikut merasa heran pula setelah In San menyinggung hal ini. Pikirnya:
"Betul, malam itu dengan gabungan sepasang pedang kita, malam itu Milo
Hoatsu yang tangguh itupun terkalahkan oleh kita. Kini Hu Kian-seng meski juga
terluka oleh pedang kita, tapi hanya dalam tiga gebrak saja kenapa aku sendiri
sudah hampir tidak tahan lagi, pada hal malam itu kita masih mampu bertahan
belasan jurus melawan Milo Hoatsu tanpa terdesak sedikitpun. Sepantasnya tidak
seperti hari ini, apa sih sebabnya? Kenapa bisa begini?"
Tapi awak masih berada di
tempat berbahaya, sudah tentu tak sempat dia banyak pikir, katanya: ".Adik
San, tak usah kau nusinakan hal ini? Mumpung sekarang kita masih bisa lari
marilah lekas menyingkir dari sini."
Tapi In San malah berkata:
"Ya, sekarang teringat olehku, tadi kita minum teh suguhan Baginda,
mungkin kita telah dikerjai olehnya. Toako, Lwekangku jauh bukan ukuranmu,
jelas aku takkan bisa lari. Mana boleh aku membantumu ikut celaka. Lekas jangan
hiraukan aku, larilah seorang diri."
Tan Ciok-sing seperti diguyur
air, seketika pikirannya jernih, pikirnya: "Betul, pasti air teh itulah
yang menjadi penyebabnya."
Terdengar "tangkap
pembunuh" yang bersahutan dan ribut dan berbagai tempat tampak bayangan
para Wisu berlarian dari berbagai penjuru memburu kesini. Hu Kian-seng yang
terluka cukup parah dan belum lari jauh segera ikut berteriak: "Pembunuh
di arah Ling-bik-ti, lekas kalian grebek mereka."
In San jadi gugup, katanya
membanting kaki: "Seharusnya aku tidak suruh kau ikut minum teh itu,
betapapun kau jangan ikut celaka bersamaku, dengarlah nasehatku, lekas kau
lari, lekas lari."
Sudah tentu Ciok-sing tidak
mau meninggalkan dia begini saja, katanya setelah mengertak gigi: "Kita
sehidup semati." pada hal Wisu yang memburu paling dekat jelas sudah
kelihatan, tapi malam cukup gelap sehingga kawanan Wisu itu juga belum melihat
mereka.
Karena kepepet tiba-tiba
timbul akal Tan Ciok-sing, segera dia jemput sebutir batu terus ditimpukkan
kedalam empang. Lalu dia susuli pula lemparan beberapa buah batu ke arah Long-gak-kek.
Tenaga timpukannya sudah diperhitungkan sehingga batu kedua lebih jauh dari
batu pertama, batu ketiga lebih jauh pula dari batu kedua dan seterusnya,
sehingga suara jatuhnya seperti langkah seorang yang lari mengembangkan
Ginkang. Habis menimpukkan batu segera dia menyelinap dan lari ke arah yang
berlawanan.
Para Wisu yang berada didekat
Ling-bik-ti segera berteriak ke arah belakang: "Seorang pembunuh mencebur
ke air, seorang lagi lari ke arah Long-gak-kek. Lekas pencar tenaga kalian
untuk mengejar kesana. Lindungilah Baginda."
Lekas Tan Ciok-sing menggigit
lidah sendiri sampai berdarah, ternyata dia menyadari kesadarannya mulai
terpengaruh, rasa kantuk menyerang dirinya, tapi setelah kesakitan semangatnya
mendadak terbangkit pula, maka dengan menyeret In San, dia kembangkan Ginkang
Siang-ih-ji-hwi sambil sembunyi di antara bayang-bayang bangunan di sekitarnya
dia terus menyelinap kedalam taman kembang.
Langkah In San mendadak
menjadi berat dan lamban, meski Tan Ciok-sing bantu menyeretnya, namun dia
sudah tidak mampu berjalan lagi. Lekas Tan Ciok-sing memeluknya, dengan suara
lirih seperti bunyi nyamuk In San berbisik di pinggir telinganya: "Toako,
aku, aku tak kuat lagi. Aku mau tidur." Waktu Ciok-sing menunduk, benar
juga terlihat matanya sudah terpejam.
Sudah tentu kejut Ciok-sing
bukan main, dia kira racun telah kumat dalam tubuhnya, tapi didengarnya In San
masih bernapas baik, lekas dia pegang urat nadinya, denyut nadinya juga
berjalan normal. Sesaat lagi bukan saja napasnya teratur malah dia menggeros.
Keadaannya tak ubahnya seperti seorang yang tidur lelap.
Karuan Cok-sing keheranan:
"Melihat keadaannya tidak mirip keracunan, tapi dalam keadaan genting ini
kenapa dia tertidur pulas?" Kejadian selanjutnya ternyata memang amat
aneh, tanpa sadar tiba-tiba Ciok-sing sendiri juga menguap, rasa kantuk
membuatnya ingin mencari ranjang empuk untuk tidur lelap di damping kekasih
yang dicintai ini
Untung betapapun Lwekangnya
jauh lebih tangguh dari ln San, dia sadar dalam keadaan seperti ini betapapun
dia tidak boleh tertidur, kembali dia menggigit lidah, supaya rasa sakit
membangkitkan semangatnya dan menghilangkan rasa kantuk. Setelah menghembus
napas sekali, lekas dia gunakan ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong
menyalurkan hawa murni ke pusar, sehingga tenaganya pulih beberapa bagian,
dengan memeluk In San, dia maju lebih lanjut seperti bermain petak dengan para
Wisu itu.
Sayup-sayup didengarnya suara
Hu Kian-seng berkaok-kaok di dekat empang sana: "Agaknya bocah she Tan itu
pandai berenang, hayo panggil orang yang pandai berenang untuk
mengejarnya."
Dalam hati Ciok-sing membatin:
"Ternyata empang itu ada saluran yang menuju keluar istana, sayang tadi
aku tidak tahu," tapi meski dia tahu juga takkan bisa meloloskan diri
bersama In San. Untuk lari dengan menyelam dalam air harus menggunakan ilmu
penutup pernapasan, orang lain jelas takkan bisa membantunya, kini In San
sedang pulas dalam pelukannya mana mungkin dibawa lari menyelam didalam air.
Meski sekuatnya dia membangkitkan semangat, tapi rasa kantuk itu seperti
gelombang pasang yang melanda terus menerus. "Apa boleh buat, biarlah
kemana aku bisa melangkah kesitulah aku pergi," demikian pikir Ciok-sing
pasrah pada kuasa Thian.
Tapi untung karena Hu
Kian-seng tahu Ciok-sing pandai berenang dan kuatir dia lari dari saluran di
dasar empang yang menembus keluar istana, di samping suruh panggil orang yang
pandai berenang, diapun suruh beberapa Wisu memburu keluar istana untuk menjaga
di mulut saluran serta menangkapnya. Keributan disini ternyata menguntungkan
Ciok-sing berdua untuk sembunyi kian kemari.
Dengan memeluk In San terasa
bobotnya semakin berat, Ciok-sing sadar bahwa dirinya juga takkan kuat bertahan
lama lagi, karena tenaga sendiri juga semakin lemah. Mau tidak mau dia menghela
napas: "Mungkin kami takkan bisa lolos. Untung mereka tidak berani melukai
adik San, asal adik San bisa hidup, biar aku mati juga tidak menjadi
soal."
Terpaksa dia memilih ke arah
tempat-tempat yang bersemak belukar dan jarang didatangi orang, tanpa tujuan
asal terjang dan maju saja, tak lama kemudian, bukan saja In San yang
dipeluknya sudah tak kuasa diseretnya, otaknya juga menjadi kosong dan berat,
lambat laun kelopak mata sendiri juga tak kuasa dibuka lagi.
Setelah dia mengitari dua
gunungan, lapat-lapat dilihatnya di depan ada gubuk yang dibangun dari tanah
liat, bagaimana mungkin didalam taman raja seperti ini terdapat sebuah gubuk
tanah liat? Hati merasa heran, namun dia tidak sempat pikirkan keanehan ini.
Hanya ingin tidur, tidur... Sebelum mencapai gubuk tanah liat itu dia sudah
tidak kuat lagi mendadak dia tersungkur jatuh. In San masih berada dalam
pelukannya, seperti juga In San, tanpa dirasakan tahu-tahu dia sudah tidur
nyenyak.
Ternyata mereka memang telah
dikerjai oleh Cu Kian-sin raja muda itu, tapi bukan terkena racun. Ternyata air
teh yang mereka minum itu memang sengaja diramu oleh tabib raja yang khusus
diperuntukkan Baginda Raja sendiri, kasiat teh itu dapat menenangkan pikiran
memulihkan semangat, merupakan air teh yang membantu orang tidur pulas dalam
jangka tertentu menurut kadar yang diminumuya. Tapi tidak membawa efek
sampingan dan berbahaya, malah membantu kesehatan badan.
Tahu bahwa dirinya malam ini
akan tidur telat malam, maka sambil kerja menyelesaikan urusan dinas di kamar
bukunya, kuatir dirinya terlalu lelah bekerja, Cu Kian-sin suruhkan Thaykam
menyeduh sepoci teh untuk membantu tidurnya supaya lelap. Teh itu hendak
diminumnya menjelang tidur nanti malam, menghadapi kehadiran Ciok-sing berdua,
karena dia menaksir In San, maka tergerak pikirannya, maka dia suguh air tehnya
itu kepada In San.
Cukup lama juga mereka pulas,
setelah tengah hari kedua baru mereka siuman dari tidurnya. Begitu membuka mata
mereka jadi kebingungan dan heran, ternyata mereka tidur berdampingan di
tumpukan jerami yang berserakan dalam rumah kotor dan bobrok serta berbau najis
kuda.
Sambil menepuk jidat Tan
Ciok-sing berkata: "Aneh, bukankah kita berada di Sia-hoa-wan. Kenapa bisa
berada di rumah petani? Tempat apakah ini?"
"Kelihatannya seperti
didalam istal, jerami ini jelas adalah makanan kuda," ujar In San.
"Keluarga petani mana
mungkin menyimpan umpan kuda sebanyak ini, mungkin kita masih berada di istal
raja," demikian kata Ciok-sing.
"Toako, bagaimana
perasaanmu? Kurasa semangatku baik sekali. Bukankah semalam kita minum
secangkir teh beracun kenapa bisa begini?"
"Akupun amat segar,
sedikitpun tidak keracunan. Tapi aku masih ingat tadi aku jatuh diluar,
memangnya siapa yang memindahkan kita didalam rumah?" dia coba kerahkan
tenaga memukul dan menendang, gerak kaki tangannya ternyata menimbulkan deru
angin sehingga tumpukan jerami tergetar runtuh.
Baru saja dia hendak keluar
serta memeriksa keadaan sekitarnya, dari luar telah masuk satu orang, dari
dandanannya menunjukkan bahwa dia seorang Thaykam tua. Tan Ciok-sing
berjingkrak, teriaknya: "Kau, kau siapa?"
"Jangan tegang,"
ucap Thaykam tua, "aku membantu kalian. Aku she Ong, seorang Thaykam yang
tugas sehari-harinya mengurus kuda dalam istana."
"O, jadi kaulah yang
memindahkan kami kedalam rumah?" tanya Ciok-sing.
"Betul, kulihat kalian
jatuh diluar, aku kuatir kalian kepergok kawanan Wisu maka kugotong masuk ke
gudang jerami ini. Bau najis kuda disini mungkin membuat' mereka tak sudi
menggeledah kemari, tapi juga untung karena bau busuk itulah sehingga jejak
kalian tidak ketemu mereka."
Barulah Tan Ciok-sing sadar
bahwa Thaykam tua ini adalah penolong jiwa mereka, lekas dia menjura menyatakan
terima kasih. In San bertanya: "Ong-kongkong, banyak terima kasih akan
budi pertolonganmu. Tapi kenapa kau sudi menyerempet bahaya untuk menolong
kami?"
"Karena aku adalah teman
Siau-tat-cu," sahut Thaykam tua.
In San bingung, tanyanya:
"Siapakah Siau-tat-cu?"
"Yaitu Thaykam kecil yang
semalam bertemu dengan kalian di Sim-hiang-ting itu."
Kejut dan girang Tan Ciok-sing
dan In San, tanpa janji mereka bertanya: "Jadi urusan kami, Siau-tat-cu
sudah ceritakan kepadamu?" dalam hati mereka amat menyesali akan kematian
Thaykam kecil itu, berkorban setelah menunaikan tugas mulia, tapi siapa namanya
hakikatnya mereka belum sempat tanya kepada dia.
Thaykam tua berkata: "Dia
sih tidak cerita apa-apa kepadaku. Tapi secara tidak langsung bolehlah dianggap
dia telah memberitahu kepadaku."
In San melongo, tanyanya:
"Bagaimana maksudnya? Boleh kau menjelaskan kepada kami?"
"Aku memang akan
bercerita lebih jelas kepada kalian. Ai, teringat pada Siau-tat-cu, aku jadi
perih hatiku, kalau kalian anggap aku tidak cerewet, biarlah aku bercerita
sejak permulaan."
"Ong-kongkong," ujar
In San, "aku memang ingin tahu lebih banyak perihal Siau-tat-cu."
"Waktu Siau-tat-cu masuk
ke istana, dia baru berusia dua belas tahun," demikian Thaykam tua mulai
bercerita, "mungkin kami berjodoh, Thaykam urusan pekerja suruh aku pimpin
dia melakukan kerja serabutan, akupun disuruh memberi petunjuk tentang adat
istiadat serta aturan-aturan di istana kepadanya."
"Kami sama-sama dari
keluarga miskin, tidak lama hubungan kami sudah seperti sanak kadang sendiri.
Dia menganggap aku kakek akupun memandangnya sebagai cucu."
"Belakangan karena dia
giat bekerja dan rajin belajar, suatu hari Baginda Raja ketarik padanya serta
mengangkatnya sebagai Thaykam yang melayaninya dari dekat. Akupun memperoleh
manfaat karena dia telah naik pangkat. Sehingga aku ditugaskan sebagai
pemelihara kuda di istal kerajaan ini. Bagi orang lain tugas ini mungkin
dianggap kotor dan rendah, tapi bai'i aku justru tugas disini lebil bebas dan
menyenangkan dari pada di istana dalam, setiap hari dihina dan diperlakukan
semena-mena seperti binatang layaknya oleh Thaykam urusan kerja yang kereng dan
jahat itu."
"Bagi orang lain
Siau-tat-cu dianggap naik ke pucuk tangga, tapi dia tidak pernah melupakan
asalnya, sering juga dia datang ke istal menengok aku dan sering mengajak
ngobrol. "Semalam diapun datang pula, dia malah ajak aku menghabiskan
beberapa cangkir tuak. Pada hal selama ini tak pernah dia minum minuman keras,
baru semalam pertama kali aku saksikan, dia minum sebanyak itu. Kulihat sikap
dan mimiknya agak aneh dan janggal, aku tanya kau ada urusan atau ada persoalan
apa yang mengganjel hatinya. Tapi dia tidak mau menjelaskan. Dia hanya bilang,
bila dia mengalami sesuatu, dia minta aku jangan sedih."
"Sudah tentu timbul rasa
curigaku, begitu dia meninggalkan istal aku lantas menguntitnya diam-diam.
Terus terang akupun pernah belajar silat. Belasan tahun berada di istana, meski
memejam mata juga aku bisa mondar mandir di Sia-hoa-wan. Dari kejauhan aku
menguntitnya tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk kawanan Wisu yang jaga dan
ronda.
"Kulihat dia menyelinap
masuk ke sebuah gua gunungan, aku tahu gua itu menembus ke Sim-hiang-ting, baru
saja aku hendak mengikuti jejaknya, tiba-tiba kulihat seorang Wisu telah
mendahului aku menyusup kedalam gua itu pula, saking kaget aku sampai
kebingungan dan menyembunyikan diri, niatku semula kubatalkan.
"Tapi lapat-Iapat masih
sempat juga kusaksikan keadaan didalam Sim-hiang-ting dari kejauhan."
"Kulihat dua bayangan
besar laksana burung terbang melesat masuk kedalam Sim-hiang- ting, tentunya
bayangan itu adalah kalian bukan?"
"Betul, kedua bayangan
itu adalah kami," ucap Tan Ciok-sing, "akulah yang membunuh Wisu itu.
Ai, tapi Siau-tat-cu, dia, dia..." teringat betapa Siau-tat-cu gugur demi
tugas, tak urung berkaca-kaca air mata di kelopak matanya.
Thaykam tua berkata lebih
lanjut: "Semua itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kalian
pergi, dengan membesarkan hati aku juga menyusup kedalam gua, kutemukan mayat
Wisu itu tapi juga kutemukan Siau-tat-cu rebah di atas tanah, sebuah belati
menancap di dadanya. Kuraba dia seperti masih hangat dan pernapasannya amat
lemah, entah dia sudah mati atau sudah sekarat."
Diam-diam Tan Ciok-sing amat
menyesal, pikirnya: "Kukira dia sudah mati, namun aku tidak seteliti orang
tua ini memeriksanya," yang benar, meski dia tahu Siau-tat-cu belum mati,
juga dia takkan berhasil menolongnya. Apalagi waktu amat mendesak, mereka lebih
perlu menemui raja lebih cepat.
Thaykam tua bercerita pula:
"Pelan-pelan kucabut belati itu serta membubuhi obat di tempat lukanya,
meski aku takkan bisa menolong jiwanya, betapapun aku harus berusaha. Sebelum
aku berhasil mencabut belati itu, ternyata Siau-tat-cu telah siuman,
pelan-pelan dia membuka mata..."
"Oh, jadi, dia tidak
mati," seru In San.
"Dia siuman karena rasa
kesakitan yang luar biasa, namun keadaannya memang sudah teramat lemah,"
demikian tutur Thaykam tua.
Rasa girang In San seketika
sirna pula.
"Setelah membuka mata dan
melihat jelas diriku, dia berkata: 'Jiwaku telah tak tertolong lagi, jangan kau
menyia-nyiakan tenagamu, lekaslah dengarkan beberapa patah pesanku.' Waktu itu
aku maklum keadaannya yang sudah teramat kritis, di saat dia bisa bicara segera
aku tanya kepadanya: 'Siapakah yang mencelakai kau? Lekas beritahu
padaku.'"
"Siau-tat-cu berkata:
'Muda mudi itu bukan pembunuh, mereka adalah orang baik, bila mereka mengalami
kesulitan, bila kau mampu dan bisa, kuharap kau sudi menolong...' suaranya
semakin lirih dan lemah, pada akhir katanya kelopak matanyapun terpejam, kali
ini dia betul-betul meninggal."
"Dia bunuh diri karena
membantu kami," kata In San. Lalu dia ceritakan kejadian semalam.
"Tanpa kau jelaskan aku
juga tahu bukan kalian yang membunuh Siau-tat-cu, kalau tidak sebelum ajalnya,
masakah dia mau mohon pertolonganku untuk membantu kalian? Apalagi aku sudah
tahu bahwa kalian orang baik, bukan lantaran cerita Siau-tat-cu baru mau
percaya pada kalian."
"Darimana kau tahu?"
tanya In San heran.
Thaykam tua itu berkata:
"Nona In, kakekmu adalah Bu-conggoan In Jong dari dynasti yang dahulu dan
ayahmu In Tayhiap In Hou bukan?"
In San paham seketika,
katanya: "Agaknya kau dengar pembicaraan kawanan Wisu yang membicarakan
diriku?" pada hal dia belum menjelaskan asal-usul dirinya kepada Thaykam
kecil yang bunuh diri itu.
Thaykam tua lantas berkata:
"Betul, di waktu aku menyusup kcdalam gua itu kudengar ribut-ribut kawanan
Wisu yang hendak menangkap pembunuh, tak lama kemudian jenazah Siau-tat-cu dan
Wisu itupun kutemukan. Untung mereka mengira pembunuh itu yang membunuh mereka,
bila sampai diusut, biasanya Siau-tat-cu berhubungan dengan aku, mungkin aku
bisa kena perkara."
'Kudengar mereka kasak kusuk,
seorang Wisu yang mendengar kabar memberitahu kepada temannya, katanya
Hu-congkoan sudah berpesan, bila kalian menemukan pembunuh perempuan itu,
dilarang mengusik seujung rambutnya. Dari pembicaraan mereka itulah aku tahu
asal-usul nona In."
"Semasa kakekmu hidup aku
pernah melihatnya, mungkin mereka tidak tahu adanya Thaykam tua macam diriku
ini, tapi aku justru tahu kesetiaan mereka terhadap negara. Bicara terus
terang, pembesar-pembesar jaman sekarang siapa yang patut kupuji dan kusanjung,
aku hanya pengagum mereka ayah beranak."
"Nona In, setelah tahu
asal-usulmu, meski Siau-tat-cu tidak berpesan kepadaku, aku pasti akan membantu
kesulitan kalian. Memangnya putri In Tayhiap bukan orang baik? Begitu aku
berpikir. Kau orang baik, maka orang yang datang bersamamu memang harus
kuragukan pula?"
"Waktu itu hatiku gugup
setengah mati, dengan cara apa baru aku bisa menolong kalian? siapa tahu
kejadian justru amat kebetulan, begitu aku kembali kutemukan kalian pulas
diluar kandang kuda. Untung kawanan Wisu belum memeriksa sampai disini, maka
bergegas aku sembunyikan kalian ke gudang jerami."
Habis Thaykam tua bercerita.
Tan Ciok-sing lantas berkata: "Ong-kongkong, sungguh tak tahu cara
bagaimana aku harus berterima kasih kepada kau, aku kuatir urusan bisa membuat
celaka."
"Kalau Siau-tat-cu berani
gugur demi membantu kalian, memangnya aku harus takut mati? Apalagi kini aku
sudah tahu kedatangan kalian kemari adalah menyelesaikan urusan besar menyangkut
kepentingan negara dan bangsa, bila aku bisa gugur demi kesuksesan kalian,
terhitung tidak sia-sia hidupku selama ini."
"Jangan berkata demikian,
Siau-tat-cu sudah berkorban, betapapun kau tidak boleh ikut berkorban. Tolong
carikan apa saja yang dapat kami makan, setelah tenaga pulih kami akan segera
keluar."
"Coba lihat, betapa
cerobohku ini, bicara melulu sampai lupa menyiapkan makanan, pada hal semalam
suntuk kalian belum mengisi perut." Tak lama kemudian dia sudah kembali
membawa sepiring bakpau, katanya pula: "Harap dimaafkan tiada makanan lain
yang bisa kusuguhkan untuk kalian."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Ah, ini justru hidangan lezat yang belum pernah kunikmati selama
ini."
Setelah menghabiskan tiga
bakpau, In San coba-coba menggerakkan kaki tangan, katanya kepada Tan Ciok-sing
dengan tertawa: "Toako, teh yang semalam kita minum itu agaknya memang
tidak beracun, tenagaku sekarang tiada bedanya dengan keadaan semula. Mari kita
cari akal untuk lolos keluar."
Lekas Thaykam tua menyela: "Jangan
kalian coba menyerempet bahaya."
"Bagaimana keadaan
diluar?" tanya In San.
Thaykam tua tertawa getir,
ujarnya: "Setelah kejadian semalam, penjagaan jelas diperketat. Kawanan
Wisu dibagi dalam tiga regu untuk meronda setiap waktu, jumlahnyapun diperbesar.
Terutama di Sia-hoa-wan, setiap pelosok ada orang sembunyi mengintip keadaan
sekelilingnya. Seekor lalat terbangpun pasti konangan."
In San jadi gelisah, katanya:
"Wah, bagaimana? Liok-pangcu, Lim Tayhiap, Toan-toako dan lain-lain sedang
menunggu kabar kami, bila kami tidak kembali dalam waktu yang ditentukan betapa
kuatir hati mereka."
"Apa boleh buat, terpaksa
kalian harus sabar menunggu beberapa hari. Bila keadaan sudah kendor aku akan
bantu kalian keluar dari sini," demikian kata Thaykam tua.
In San menghela napas,
katanya: "bila Han Cin disini, pasti kita punya akal untuk keluar."
Tan Ciok-sing tersentak sadar,
katanya: "Aku punya akal, mari kita coba."
"Akal apa?" tanya In
San.
"Untuk ini, kami mohon
Ong-kongkong suka membantu."
"Katakan saja, bila aku
bisa melakukan, tugas apapun akan kulaksanakan."
"Tolong usahakan
seperangkat seragam Wisu dan pakaian Thaykam kecil."
"Itu mudah, tapi besok
baru aku bisa menyiapkan permintaan kalian ini."
"Toako," seru In San
girang, "jadi Han-cici juga mengajarkan tata rias itu kepadamu."
"Belum sempurna apa yang
pernah kupelajari, mumpung sekarang diperlukan, biarlah kupratckkan pada
dirimu, apalagi malam gelap yakin kebolehanku masih bisa mengelabuhi
mereka."
Thaykam tua berkata:
"Tapi cara bagaimana kalian bisa keluar dari pintu istana? Menurut apa
yang kutahu Hu-coangkoan sudah mengeluarkan perintah keras, siapa saja dilarang
keluar istana, kecuali membawa dua benda pengenal."
"Kedua benda pengenal
apa?" tanya Ciok-sing.
"Pertama adalah perintah
langsung dari Baginda Raja dengan cap kerajaan, atau membawa lencana perintah
yang dikeluarkan oleh Hu-congkoan. Itu berarti hanya Baginda Raja dan
Hu-congkoan saja yang boleh memberi izin orang keluar masuk istana."
Kedua benda yang diperlukan ini
jelas tidak mungkin mereka peroleh, Tan Ciok-sing berkata: "Tak usah
pedulikan soal ini, carikan dulu seragam yang kuperlukan itu."
Hari kedua Thaykam tua membawa
dua perangkat pakaian yang cocok dengan perawakan mereka, maka Tan Ciok-sing
segera merias In San dan diri sendiri menjadi bentuk yang berbeda, hari itu
juga In San mulai belajar tingkah laku dan tata krama para Thaykam kepada
Thaykam tua. Malamnya mereka berunding cara bagaimana mereka harus menyelundup
keluar dengan aman, Thaykam tua tetap menganjurkan supaya mereka tidak
menyerempet bahaya.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
berkata: "Kau tahu dimana tempat tinggal Hu-congkoan?"
"Tahu," sahut
Thaykam tua, "dia sih tidak seperti baginda harus setiap malam berpindah
tempat menginap."
"Kalau demikian, lebih
mudah untuk mencarinya, Ong-kongkong, tolong jelaskan dimana tempat tinggalnya,
cara bagaimana kami bisa kesana?"
Mereka menyamar Wisu dan
Thaykam kecil, malam itu kebetulan gelap gulita, di Sia-hoa-wan mereka bisa
menggeremet maju terus dengan sembunyi di antara rumput kembang dan semak-semak
pepohonan, untunglah sejauh mana mereka tidak dipergoki orang. Setiba di tempat
sepi dan tidak kelihatan ada bayangan orang, In San tanya dengan suara lirih:
"Kau hendak minta lencana itu dari Hu Kian-seng secara kekerasan?"
"Ya, kemarin malam dia
terluka, yakin bukan tandingan kita. Nanti kita bertindak melihat gelagat,
syukur bisa kita curi lencana itu, kalau gagal kita bekuk dia sebagai
sandera."
"Betul," ucap In
San, "tanpa masuk sarang harimau mana dapat membekuk anak macan. Toako
langkah caturmu ini sungguh tepat sekali."
Setelah maju pula beberapa
kejap sesuai petunjuk Thaykam tua, mereka sudah tak jauh dari tempat kediaman
Hu Kian-seng. Di belakang rumah terdapat sebuah pohon tua tingginya melebihi
tembok Tan Ciok-sing pusatkan perhatiannya mengawasi
sekelilingnya, di sekitar
rumah jelas tidak ada penjaga. Mungkin karena takabur akan kepandaian sendiri
yang dianggap tiada bandingan, demi membuktikan kesetiaannya kepada Baginda
pula, maka seluruh anak buahnya dia kerahkan untuk membekuk pembunuh semalam.
Setelah memutar ke belakang
rumah, Ciok-sing kembangkan
Ginkangnya melompat tinggi ke
pucuk pohon, hawa seperti membeku, dahan tidak bergoyang, sekali melambung lagi
kakinya sudah menggantol payon terus ditekuk pula melingkar ke atas sehingga
tubuhnya teraling-aling, dengan gaya kerai menjuntai tubuhnya bergelantung
mengintai kedai am.
Didalam rumah tampak Hu
Kian-seng tengah duduk setengah tidur di ranjang bicara dengan seseorang. Orang
itu adalah Tiangsun Co, perlu diketahui Tiangsun Cau masuk ke istana kemarin
malam, kira-kira hampir bersamaan waktunya dengan Tan Ciok-sing berdua di kala
mereka menyelundup masuk.
"Ternyata keparat ini
belum pergi, biar kucuri dengar pembicaraan mereka," demikian batin Tan
Ciok-sing.
Didengarnya Tiangsun Co sedang
berkata: "Bagaimana keadaan H u Tayjin? Lantaran persoalanku sampai Hu
Tayjin terluka, sungguh aku jadi tidak enak hati."
Hu Kian-seng tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Kan hanya luka luar saja, kenapa dibuat kapiran?
Paling lama dua hari juga pasti sudah sembuh. Aku tak mampu membantu
menyelesaikan urusan Pwecu, justru akulah yang kurang enak."
Dari nada tawanya dapatlah Tan
Ciok-sing mengukur kekuatan Lwekangnya, ternyata memang berisi, mau tidak mau
bercekat hatinya, pikirnya: "Lwekang keparat ini memang luar biasa,
secepat itu dia sudah pulih kembali. Untung aku tidak bertindak gegabah."
Tiangsun Co berkata: "Hu
Tayjin, jangan kau berkata demikian, aku tahu kau sudah bekerja giat dan
mati-matian untuk kepentinganku, aku hanya heran..."
"Heran soal apa?"
"Heran, kenapa rajamu
kelihatan ragu-ragu? Bukankah kau pernah bilang, kau paham dan mengerti kemana
hati rajamu berkiblat, katanya dia mau berdamai dengan pihak kita."
Hu Kian-seng tidak segera
menjawab, katanya kemudian: "Apa saja yang dijanjikan Baginda kepada kau,
bolehkah kau jelaskan kepadaku?" seperti diketahui pada malam kejadian itu
Tiangsun Co gagal menemui Cu Kian-sin, karena gugup dan kaget serta ketakutan
sang raja minum obat penenang dan sehari semalam tidur pulas tidak
bangun-bangun, baru hari ini dia dipanggil menghadap.
"Sejak mula rajamu bilang
mau berdamai, tapi soal konsep perdamaian itu dia bilang ingin mempelajarinya
lagi lebih seksama.
maka tidak bisa segera memberi
jawaban positip. Kelihatannya ada apa-apa yang menjadi ganjelan pikirannya tapi
aku sungkan mendesaknya."
"Memangnya, dua hari yang
lalu tindak-tanduknya masih gamblang, malah dia memuji Liong Bun-kong kali ini
bekerja dengan baik dan sesuai mencocoki seleranya. Entah kenapa mendadak
berubah haluan dan bimbang? Em, mungkin lantaran dia ketakutan oleh pembunuh
gelap itu?"
"Sebetulnya urusan
gara-gara kalian bertindak kurang hati-hati," demikian ucap Tiangsun Co,
"kenapa pembunuh gelap dibiarkan menyelundup kedalam istana."
Hu Kian-seng tertawa nyengir,
katanya: "Selanjutnya kujamin takkan terjadi lagi peristiwa seperti
itu."
"Bicara soal itu pula.
Aku tidak percaya gara-gara kedatangan pembunuh gelap itu, rajamu lantas
merubah haluan. Mungkin tidak ada sebab lainnya? Coba kau pikirkan."
"Sukar aku
menerkanya," ucap Hu Kian-seng geleng-geleng.
Mereka tidak tahu latar
belakang persoalannya, tapi Tan Ciok-sing tahu seluk beluknya. Diam-diam dia
merasa senang setelah mendengar pembicaraan ini, pikirnya: "Sesuai dugaan
Kim-to Cecu, asal kami teguh melawan musuh baginda lalim itu, mau tidak mau
harus berpikir dua belas kali, apa lagi setelah kubentangkan untung dan ruginya
liku-liku persoalan ini, sedikit banyak bujukanku membawa hasil juga."
Sesaat kemudian didengarnya Hu
Kian-seng berkata pula: "Tiangsun Pwecu, kapan kau bisa bertandang ke
tempatku ini, mumpung ada kesempatan menginaplah sehari lagi, setelah pembunuh
berhasil kuringkus, kami tunggu kesempatan, akan kuusahakan mengorek keterangan
dari Sribaginda."
Dingin nada perkataan Tiangsun
Co: "Aku justru tidak punya banyak tempo menunggu jawabanmu. Terus terang
selama dua hari ini aku sudah sebal dan bosan disekap dalam istana ini,
gerak-gerikku seperti terbelenggu saja. Kalau siang aku maklum tak leluasa keluyuran
diluar, tapi malam ini aku akan keluar. Sekarang aku ingin pamitan kepada
kau." Perlu diketahui meski Tiangsun Co adalah tamu agung undangan Hu
Kian-seng, namun kejadian ini dia hanya berani beritahu kepada beberapa orang
kepercayaannya saja.
Lekas Hu Kian-seng minta maaf,
katanya: "Dua hari ini aku terpaksa harus istirahat menyembuhkan
luka-lukaku, sehingga tidak bisa menemani
Pwecu, mohon suka dimaafkan.
Bila Pwecu ingin jalan dan pelesir, aku sih bisa mencari akal dan memberi
fasilitas padamu."
Sikap Tiangsun Pwecu tidak
sabar lagi, tukasnya:
"Kedatanganku ini bukan
ingin jalan di Sia-hoa-wan, ketentuan yang sudah kami ikrarkan bersama sudah
melampaui batas waktunya. Maka malam ini betapapun aku harus pulang."
Pada hal Hu Kian-seng sendiri
juga kuatir bila tamunya terlalu lama disini, bukan mustahil intriknya dengan
pihak musuh bisa terbongkar, maka dia berkata: "Kalau Pwecu memaksa ingin
pulang, akupun tidak memaksa lagi. Lencana dinas ini boleh Pwecu simpan untuk
digunakan bila kau mau keluar istana, cukup kau perlihatkan lencana ini kepada
para penjaga, mereka tidak berani menahanmu- Lebih baik kau keluar dari pintu
barat, Wisu yang dinas jaga disana malam ini adalah orang kepercayaanku."
"Bagaimana aku harus
keluar?" tanya Tiangsun Pwecu sambil menerima lencana dinas.
"Tak usah kuatir,
sebentar kusuruh orang mengantarmu ke pintu barat," kepalanya tertunduk
memikirkan siapa yang cocok untuk menunaikan tugas ini.
Sementara Tan Ciok-sing juga
mencari akal, cara bagaimana dia harus merebut lencana dinas yang dipegang
Tiangsun Co.
Pada saat itulah mendadak
didengarnya Hu Kian-seng membentak: "Siapa diluar."
Tan Ciok-sing kaget, dia kira
jejaknya konangan. Baru saja dia hendak menerjang keluar, syukur seseorang
telah menjawab dibalik luar: "Baginda ada perintah, Li Tiong-si kemari
menyampaikan firman." Legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Untung
aku tidak gegabah."
Ternyata dalam mengadakan
pembicaraan rahasia di kamar ini sebelumnya Hu Kian-seng sudah berpesan kepada
anak buahnya. Kecuali mendengar suaranya, siapapun tidak diperbolehkan naik ke
loteng. Maka begitu mendengar langkah orang segera dia membentak tanya. Kini
mendengar ada firman baginda, sudah tentu ketentuannya itu menjadi tumbang.
Diam-diam Hu Kian-seng
bimbang: "Kenapa Baginda mengirim firmannya dalam saat begini entah ada
urusan penting apa?" Lekas dia mengenakan seragam kebesarannya serta
merambat turun dari pembaringan, berdiri tegak, menyambut perintah raja.
Tiangsun Co berbisik:
"Apa aku perlu menyingkir?"
Hu Kian-seng berpikir:
"Baginda sudah tahu akan kedatangan Tiangsun Co disini."
Maka dia berkata:
"Merendahkan Pwecu saja, boleh kau pura-pura jadi pcngawalku, entah
bagaimana bunyi firman itu, mungkin..." sampai disini dilihatnya Wisu yang
jaga diluar sudah membuka pintu serta menyilahkan seorang Thaykam kecil yang
membawa firman raja masuk ke kamarnya.
Hu Kian-seng berlutut menerima
firman raja, Thaykam kecil berkata: "Congkoan Tayjin tak usah banyak adat
Sri Baginda suruh aku kemari mengundang seseorang, segera juga aku harus
kembali memberi laporan."
Mendengar Thaykam kecil
"mengundang", legalah hati Hu Congkoan, tanyanya: "Entah siapa
yang diundang Baginda?"
Tidak segera membaca firman
Baginda. Thaykam kecil itu malah menuding Tiangsun Co dan berkata:
"Bukankah dia ini Tiangsun Pwecu dari negeri Watsu yang tempo hari juga
datang kemari?" Tiangsun Co memang mengenakan mantel bulu musang,
dandanannya memang jauh berbeda dengan kawanan Wisu.
Mengira dugaannya tidak
meleset, lekas Hu Kian-seng berkata: "Pandangan Li-kongkong memang tajam,
betul, dia memang Tiangsun Pwecu."
Thaykam kecil itu tertawa,
ujarnya: "Kiranya Pwecu memang masih disini, tumben aku membuang banyak
waktu. Baginda suruh aku kemari mengundang Tiangsun Pwecu."
Tiangsun Pwecu lantas
membusung dada sambil bertolak pinggang, katanya sambil angkat kepala:
"Untung kau datang lebih dini, aku sudah siap pulang. Untuk apa pula
Bagindamu mengundangku?"
"Hamba tidak tahu. Mohon
Pwecu suka memerlukan diri memenuhi undangan Baginda."
Tan Ciok-sing yang mencuri dengar
diluar, tiba-tiba memperoleh sebuah akal. Di kala Hu Kian-seng membungkuk
mengantar Thaykam kecil dan Tiangsun Pwecu keluar, diapun menjejak kaki di atas
dahan, tubuhnya melambung tinggi jumpalitan dua kali di tengah udara melampaui
pucuk pohon terus melayang turun secara diam-diam.
Thaykam kecil itu membawa
Tiangsun Pwecu menyusuri jalanan kecil didalam taman kembang yang berliku-liku
ke arah timur, maklum tamu asing ini diundang secara diam-diam, meski dia tidak
takut kepergok oleh kawanan Wisu, namun dia merasa perlu hati-hati dan
menghindari kesulitan.
Di tempat yang sepi sana,
tampak bayangan Tan Ciok-sing dan In San keluar dari semak¬semak. Tan Ciok-sing
menyamar sebagai Wisu, Thaykam kecil itu kira dia hendak mencegat jalan dan
menanyai, segera dia membentak lebih dulu: "Kurang ajar, memangnya kau
tidak tahu siapa aku? Lekas enyah."
Belum lenyap suaranya, Tan
Ciok-sing dan In San sudah turun tangan lebih dulu. In San tertawa mengejek:
"Aku tahu siapa kau, sayang justru kau tidak tahu siapa aku," di
tengah tawa dinginnya itu, secepat kilat dia menutuk Hiat-to Thaykam kecil.
Tiangsun Co adalah jago silat
kosen meski kcadian teramat mendadak, betapapun dia tidak semudah Thaykam kecil
itu, sekali gerak lantas tertawan, maka terdengar suara "Pak" secara
reflek dia menyerang dengan Im-ciang secara terbalik untuk melawan tutukan jari
Tan Ciok-sing, terasa telapak tangannya sakit kesemutan, baru saja mulutnya
terpentang hendak menggembor, tiba-tiba selarik sinar kilat menyamber di depan
mata, tahu-tahu ujung pedang Tan Ciok-sing telah mengancam tenggorokannya,
dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang dia melintir suaranya ke telinga
lawannya: "Masa kau tidak mengenalku lagi, akukan Tan Ciok-sing. Berani
kau bersuara, segera kutamatkan riwayatmu disini."
Bukan kepalang kaget Tiangsun
Co, memang dia tidak berani bersuara, dan berkutik lagi ujung pedang Tan
Ciok-sing telah mengancam tenggorokan, dan sekali tutul dengan ujung pedangnya
itu Hiat-tonya telah ditutuk.
In San membantunya menyeret
tubuh mereka kedalam gua buatan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa
kita harus ganti pakaian lagi."
In San tahu maksudnya,
katanya: "Betul, biar aku menyamar jadi Thaykam kecil dan kau menyaru jadi
Tiangsun Co," segera dia memutar tubuh membelakangi diri supaya Tan
Ciok-sing membelejeti pakaian Tiangsun Co dan Thaykam kecil.
Tiba-tiba didengarnya Tan
Ciok-sing berkata dengan tertawa riang: "Ha, sungguh kebetulan. Aku
menemukan sebuah mustika."
Tanpa merasa In San menoleh,
dilihatnya Tan Ciok-sing sedang membuka baju luar Thaykam kecil serta mengambil
sebuah benda dari dalam kantong bajunya, lekas In San maju dua tindak sambil
tanya: "Mustika apa?"
"Mustika lebih berharga
dari lencana dinas milik Hu Kian-seng," ucap Tan Ciok-sing.
In San segera sadar, serunya:
"Apakah cap kerajaan Baginda?"
"Ya, boleh juga dianggap
sebagai firman raja, karena inilah surat perintah baginda untuk mengantar orang
keluar istana yang distempel cap kerajaan."
Kiranya kali ini Tiangsun Co
dipanggil oleh Cu Kian-sin untuk menyilakannya keluar istana. Cu Kian-sin tidak
berani menanda tangani perjanjian damai itu, tapi dia ingin menyampaikan
beberapa patah kata kepada Tiangsun Co, serta memberi hadiah beberapa macam
barang berharga, lalu akan menyuruh Thaykam kecil itu mengantarnya keluar
istana. Surat perintah itu sudah ditulisnya lebih dulu, untuk menjaga bila
terjadi sesuatu dan dia tidak sempat menemui Tiangsun Co masih tetap bisa
pulang. Yang benar, Cu Kian-sin sendiri memang tidak senang kalau Tiangsun Co
terlalu lama berada di istana.
Habis ganti pakaian, kembali
Tan Ciok-sing perlihatkan kebolehannya merias diri sendiri menjadi Tiangsun Co,
walau dalam saat mendesak, persiapan terlalu tergesa-gesa, sehingga
penyamarannya tidak begitu
mirip, tapi dia yakin orang-orang di istana ini yang pernah melihat Tiangsun Co
tidak banyak, para wisu dalam istana ini paling hanya beberapa gelintir saja
yang pernah melihatnya, malam ini mereka belum tentu dinas jaga lagi. Dengan
membekal surat perintah Baginda lagi, untuk keluar istana pasti tidak akan
mengalami banyak kesulitan. Tapi dalam benaknya masih ada sesuatu ganjalan yang
belum terlampias, langkah yang sudah digerakan tiba-tiba berhenti lagi.
In San melengak, tanyanya:
"Toako, kenapa tidak lekas berangkat?"
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Jelek-jelek kita pernah diterima dan dilayani Baginda Raja,
kalau pergi tanpa pamitan kurang hormat. Maka kupikir akan kuminta tolong
kepada Thaykam kecil ini untuk mengirim kabar padanya," lalu dia sobek
pakaian dalam Thaykam kecil yang kebetulan terbuat dari sutra putih, di atas
cuilan kain inilah dia meninggalkan pesannya dengan darah.
Dengan ujung pedangnya dia
tusuk jari tengah Tiangsun Co sehingga keluar darah, dengan darah Tiangsun Co
inilah dia menulis pesannya di atas kain sutra itu. Karena Hiat-to tertutuk
Tiangsun Co tidak mampu bergerak atau bersuara, namun saking kesakitan tubuhnya
bergetar.
Di atas sutra putih itu Tan
Ciok-sing menulis demikian: "Harap Baginda tidak lupa akan perjanjian tiga
bulan. Mengkhianat dan ingkar janji tidak akan memperoleh pengampunan Thian
Yang Maha Kuasa."
"Bagus," In San
tepuk tangan, "sejak dulu kala, kapan seorang baginda pernah menerima
tulisan darah yang menuntut peri kemanusiaannya. Yakin Cu Kian-sin bocah itu
akan ketakutan setengah mati."
Tan Ciok-sing menggulung kain
sutra itu serta diikat dan dijirat di leher Thaykam kecil, setelah itu dia
gandeng In San keluar dari gua gunungan.
"Jangan kita menuju ke
pintu barat," In San memberi ingat.
"Betul, Hu Kian-scng
suruh Tiangsun Co keluar dari pintu barat, biarlah kita keluar dari arah yang
berlawanan saja."
Tujuh di antara sepuluh
penjaga di pintu timur adalah anggota Gi-lim-kun, tiga yang lain adalah anak
buah Hu Kian-scng dari kesatuan Bhayangkari. Mereka atau ketiga Wisu itu bukan
kepercayaan Hu Kian-seng, mereka belum punya hak dan tidak setimpal menyambut
atau melayani para tamu Hu Kian-seng. Tapi mereka tahu bahwa komandan mereka Hu
Kian-seng pernah menerima seorang tamu agung dari negeri Watsu secara
diam-diam.
In San acungkan surat perintah
Baginda itu kepada pemimpin barisan jaga pintu serta membentak: "Atas
perintah Baginda aku disuruh mengantar tamu. lekas siapkan kereta."
Umumnya para Thaykam itu sudah
dikebiri, maka nada suaranya mirip perempuan, In San ternyata cukup mahir
memerankan sandiwara ini. Ternyata pemimpin barisan jaga pintu kota itu percaya
begitu saja, maklum diapun tidak kenal Thaykam kecil yang biasa melayani Sri
Baginda, setelah memeriksa surat perintah, tanda tangan dan cap kerajaan,
segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan kereta.
Satu di antara Wisu yang jaga
pada saat itu pernah melihat Tiangsun Co. Dari samping dia pandang perawakan
tubuh Tan Ciok-sing tidak mirip Tiangsun Co, mau tidak mau timbul rasa
curiganya. Tapi dia tidak pernah disuruh melayani Tiangsun Co dan dekat, tapi
sebagai Wisu pesuruh yang sering disuruh mondar mandir menyampaikan perintah,
dari kejauhan dia pernah melihat Tiangsun Co sekali. Meski hati agak curiga,
namun dia tidak berani yakin bahwa Tan Ciok-sing ini adalah samaran. Akhirnya dia
membesarkan nyali bertanya: "Apakah tuan besar ini adalah tamu agung
undangan Hu-congkoan beberapa hari yang lalu, entah apakah Congkoan Tayjin juga
sudah tahu..."
Sebelum orang bicara habis, In
San sudah membentak: "Kurang ajar, kau ini barang apa, berani tanya
asal-usul tamu Baginda."
Wisu itu munduk-munduk sambil
menyengir, katanya: "Hamba tidak berani. Maksud hamba hanya ingin
menyampaikan sembah sujud dan salam hormat Congkoan kami kepada tamu
kita."
"Hmm," In San
menjengek, "memangnya perlu kau menjilat pantat."
Diam-diam Tan Ciok-sing sudah
keluarkan lencana dinas itu dan dibanting di hadapan Wisu itu tanpa bersuara.
In San tertawa dingin pula,
katanya: "Agaknya kalian masih tidak percaya akan perintah raja yang
distempel cap kerajaan? Nah, buka mata anjing kalian, coba periksa apakah itu
lencana dinas komandanmu yang tulen?"
Tersipu-sipu Wisu itu pungut
lencana dinas itu serta mengembalikan kepada Tan Ciok-sing dengan kedua
tangannya, katanya dengan tawa menyengir kikuk: "Bukan begitu maksud
hamba. Memang hamba tidak pantas cerewet, harap Pwecu tidak berkecil
hati."
Pemimpin barisan jaga itu
sudah memeriksa perintah raja dan terbukti lencana dinas itupun bukan palsu,
mana berani dia bercuit lagi, segera dia siapkan dua ekor kuda, Tan Ciok-sing
dan In San juga tidak banyak ribut, segera cemplak ke punggung kuda terus
dibedal keluar istana.
Setelah mereka pergi kawanan
Wisu itu saling pandang dan merasa heran dan bingung, yang cerewet tadi segera
menghampiri pemimpin barisan jaga serta berkata: "Ma-tokwi, kurasa urusan
agak janggal."
"Apanya yang janggal?
Surat perintah itu aku yakin bukan palsu, memangnya lencana dinas itu bukan
tulen?"
"Perintah raja dan
lencana dinas itu memang tulen, tapi orangnya yang palsu."
Ma-tokwi atau pemimpin barisan
jaga itu kaget, tanyanya: "Dari mana kau berani bilang begitu?"
Pangeran Watsu itu pernah aku
melihatnya sekali, wajah dan perawakannya tidak mirip dengan orang tadi.
Apalagi hanya Thaykam kecil saja yang bicara dengan kita, hakikatnya tamu itu
tidak pernah buka suara."
Ma-tokwi bukan pemimpin
goblok, soalnya dia kebingungan setelah melihat firman raja sehingga pikirannya
tidak tenang, kini setelah diingatkan baru sadar, katanya: "Kecurigaan
memang masuk akal, mungkin dia kuatir kita dengar logatnya bukan orang Watsu,
maka dia tidak berani buka suara."
Wisu itu berkata: "Tulen
atau palsu sukar ditebak, lebih baik lekas laporkan kepada Komandan untuk
mengejarnya?"
Ternyata komandan pasukan
Bhayangkari Bok Su-kiat sedang meronda tidak jauh dari tempat itu.
Sementara itu Tan Ciok-sing
dan In San mencongklang kudanya melewati dua jalan raya, tiba-tiba didengarnya
di belakang ada kuda dilarikan kencang mengejar datang, seorang yang terdepan
berteriak: "Tiangsun Pwecu, harap tunggu sebentar, aku adalah Bok
Su-kiat."
Bok Su-kiat kenal baik dengan
Tiangsun Co, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani menoleh. In San yang wakili
dia menjawab: "Bok-jongling, biarlah aku yang mengantar tamu kita, tak
usah kau ikut susah payah, silahkan kembali saja," jawaban In San ini
justru menimbulkan rasa curiga Bok Su-kiat.
Dengan mengerutkan kening Bok
Su-kiat berpikir: "Kalau betul orang itu Tiangsun Co, sikapnya kenapa
begitu kaku seperti tidak mengenalku lagi?" maklum di rumah Liong Bun-kong
tempo hari dia pernah bertemu beberapa kali dengan Pangeran Watsu ini, dia tahu
Tiangsun Co adalah Pangeran dan Tiangsun Co juga tahu bahwa dia menjabat
komandan Bhayangkari, bahwa dia ingin bermuka-muka terhadap Tiangsun Co,
Tiangsun Co juga tidak berani berlaku kurang hormat kepadanya. "Apalagi
Thaykam kecil ini selama ini belum pernah aku melihatnya, biasanya Baginda
tidak pernah menyuruh seorang Thaykam kecil untuk mengantar tamunya?"
Semakin dipikir makin curiga,
segera dia berkeputusan dan membentak: "Kalian berhenti, kalau tidak
jangan menyesal bila aku bertindak," bila orang di depan itu betul
Tiangsun Co mendengar bentakannya ini, sepantasnya kalau dia naik pitam dan
marah-marah. Bila sudah marah betapapun Tiangsun Co pasti akan bersuara.
Tan Ciok-sing yang menyamar
Tiangsun Co sudah tentu tidak buka suara, kudanya malah dikeprak semakin
kencang. Sementara In San masih berlagak, katanya dengan tertawa dingin:
"Bok Su-kiat besar benar nyalimu, aku mendapat firman raja untuk mengantar
tamu, berani kau mencegat jalan."
Sementara itu Bok Su-kiat
sudah pecut kudanya dibedal lebih kencang, jarak telah diperpendek, semakin
dipandang orang di depan itu jelas tidak mirip Tiangsun Co, segera dia
membentak pula: "Kalian justru yang bernyali besar, berani menyamar
Thaykam dan tamu agung kita. Hayo berhenti dan menggelinding turun dari kuda
kalau membangkang kematian hukumannya," sembari bicara dia sudah angkat
busur memasang panah terus beruntun tiga kali dia membidik ke punggung In San.
Tan Ciok-sing tahu kekuatan
Bok Su-kiat yang tangguh, mendengar serangan panah berantai ini dia kuatir In
San tidak kuat menahannya, di punggung kuda mendadak dia gunakan gerakan burung
dara membalik tubuh, tangannya bergerak ke belakang membabat dengan pedang.
Begitu sepasang pedang bergerak, hawa pedangnya menyambar bagai lembayung,
ketiga batang panah itu seketika kutung jadi enam potong. Sudah tentu secara
langsung penyamaran merekapun terbongkar. Bok Su-kiat memang belum tahu siapa
mereka, tapi dia sudah yakin bahwa Tan Ciok-sing jelas bukan Tiangsun Co,
sementara In San juga bukan Thaykam tulen.
Untuk menangkis serangan panah
itu, terpaksa Tan Ciok-sing berdua harus mengendorkan lari kuda mereka. Pada
saat itulah, dari gang kecil di sebelah depan sana tiba-tiba menerjang keluar
dua ekor kuda mencegat jalan lari mereka.
Sambil keprak kudanya Bok
Su-kiat membentak: "Dua orang ini menyamar, lekas bekuk dia."
Dua orang penunggang kuda yang
mencegat itu adalah jago kosen dari pasukan Bhayangkari, seorang bernama Ku
Hong ahli Tay-lik-eng-jiau-kang seorang lagi bernama Pui Ou mahir menggunakan
sepasang ganco. Ku Hong menggunakan jurus Mencabut Lobak di Tanah Kering, di
punggung kuda segera dia menubruk ke depan, gerakannya mirip benar dengan
seekor burung rajawali yang menyambar kelinci, dia incar tulang pundak Tan
Ciok-sing terus mencengkeramnya. Jurus ini merupakan tipu mematikan yang liehay
dari ilmu pukulan yang merupakan pukulan kemahirannya, bila tulang pundak
tercengkram jari-jarinya, meski orang memiliki kepandaian setinggi langit juga
pasti tak akan bisa berkutik lagi dengan tubuh cacat, dia kira cengkeraman
iiehay ini pasti berhasil membekuk lawan, di luar tahunya bahwa lawan yang
dihadapinya sekarang teramat tangguh.
"Serangan bagus,"
Tan Ciok-sing membentak, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi
langit) Pek-hong-kiam dia tuding ke atas mengincar telapak tangan Ku Hong. Bila
cengkraman lawan diteruskan, yakin telapak tangannya pasti akan berlobang
tertusuk pedangnya.
Bila dia mau gerakan pedang
diteruskan dengan jurus Hian-niau-hoat-sa, lengan Ku Hong pasti sudah
dibabatnya protol dari tubuhnya Tapi dia tidak tega turun tangan keji, gerakan
pedangnya dia robah jadi tepukan mendatar, sekaligus mengerahkan Lwekang
tingkat tinggi menggunakan Can-ih-cap-pwe-tiat.
Ku Hong sudah menarik kedua
tangan seraya menyikut, terasa dirinya seperti menumbuk sekarung kapas yang
empuk, mendadak terasa pula perutnya silir dingin, ujung pedang lawan yang
kemilau dingin ternyata telah menusuk luka kulit perutnya. Karuan kagetnya
bukan main, tenaga mantul yang digunakan Tan Ciok-sing segera melemparkan
tubuhnya jauh kesana dan jatuh terbanting dengan tubuh celentang.
Agaknya Ku Hong berkulit
tebal, cepat sekali dia sudah melompat berdiri lagi tapi dia insaf Tan
Ciok-sing telah mengampuni jiwanya, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh.
Di sebelah sana Pui Ou
menghadapi ln San, nasibnya tidak sebaik temannya. Pui Ou membanggakan sepasang
ganconya yang bergagang
panjang peranti mengatasi golok dan pedang, maka dia keprak kudanya mencegat di
depan In San, kontan sepasang ganconya menusuk dan menggantol seraya membentak:
"Lepaskan pedang."
"Belum tentu,"
jengek In San, gerak pedangnya secepat kilat terdengar suara "Krak,
tiang" sebelum ganconya bcih.isil menggantol pedang ln San, gigi gantolan
di ujung ganconya mhI.iIi terbabat protol oleh pedang mustika In San. Ternyata
In San juga tidak tega membunuhnya, bentaknya: "Minggir," dimana
pedangnya berputar, bukan menusuk orang tapi menusuk kuda.
Saking kesakitan kuda
tunggangan Pui Ou berjingkrak terus lari sambil meringkik, Pui Ou terlempar
dari punggung kuda dan terbanting di jalan raya yang berlandas batu hijau,
kepala bocor tulang keseleo, keadaannya lebih parah dari Ku Hong.
Melihat kepandaian kedua orang
itu sedemikian liehay, diam-diam Bok Su-kiat kaget, pikirnya: "Mungkinkah
yang menyaru jadi Tiangsun Pwecu, bocah she Tan itu?" baru saja dia
menduga, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San sudah melambung tinggi lompat ke
atas genteng penduduk.
Bok Su-kiat menghardik:
"Keparat, mau lari kemana?" secepat kilat diapun mengudak lompat ke
atas genteng. Rumah penduduk di sekitar sini kebanyakan milik para hartawan
yang membangun rumah secara megah, tingginya ada tiga tombak. Bu Su-kiat tidak
mampu lompat setinggi itu, tapi dengan Eng-jiau-kang dia menangkap payon rumah
serta menyendal tubuh sehingga badannya terbalik mumbul jumpalitan ke atas
wuwungan, paling terlambat beberapa detik saja dari Tan dan I n berdua, maka
lekas sekali dia sudah menyandak.
Tan Ciok-sing menoleh seraya
membentak: "Bagus, Bok Su-kiat, mari hari ini kita tentukan siapa jantan
siapa betina."
"Bagus, Tan
Ciok-sing," jengek Bok Su-kiat, "kukira siapa bernyali besar, kiranya
kau. Kau bocah keparat bernyali besar kurang ajar ini, hari ini biar merasakan
keliehayanku," di tengah jengek tawanya itu dia menggunakan
Tay-kim-na-jiu-hoat. Kalau dia memaki Tan Ciok-sing, tapi yang jadi sasaran
serangannya justru In San.
Waktu Tan Ciok-sing dan In San
mewakili para ksatria mengadakan perundingan di rumah Liong Bun-kong dulu.
Secara diam-diam Tan Ciok-sing pernah saling jajal dan mengukur kepandaian
masing-masing telah demonstrasikan kemahiran sendiri-sendiri.
Kalau Tan Ciok-sing gunakan
pedang kilatnya mengecutkan hati lawannya, sementara Bok Su-kiat pamer
Lwekangnya yang hebat, masing-masing pihak sama mengagumi keliehayan lawan.
Sayang di rumah Liong Bun-kong tempo hari mereka tidak berkesempatan untuk
bergebrak secara sesungguhan.
Tahu ilmu pedang Tan Ciok-sing
liehay, maka Bok Su-kiat bertindak lebih dulu menyerang titik kelemahan pihak lawan.
Dia tahu bahwa In San adalah gadis yang ditaksir oleh raja junjungannya, tapi
Lwekangnya sudah diyakinkan mencapai tarap yang sempurna, dia yakin
cengkramannya yang liehay serta sudah diperhitungkan itu tetap takkan merugikan
atau melukai In San sedikitpun.
Serangannya ini menggunakan
Cong-yan-jiu dari Kim-na-jiu-hoat, ilmu tunggal perguruannya yang liehay, jauh
berbeda dengan Kim-na-jiu yang diajarkan berbagai perguruan lain. Kedua
lengannya satu di atas yang lain di bawah, jari tangan kiri terangkap seperti
ujung tombak mencolok sepasang mata ln San. Gerakan ini hanya gertakan belaka,
untuk memancing lawan memperkuat pertahanan di sebelah atas. Pada hal telapak
tangan kanan justru membabat miring laksana golok menyerang sepasang kaki In
San. Serangan menggempur timur bersuara di barat ini dilancarkan secepat kilat
dan liehay luar biasa.
Diluar perhitungannya, bahwa
gerakan Tan Ciok-sing ternyata melebihi kecepatannya sendiri. Di saat kritis
itu, sebelum ujung jarinya menyentuh In San, ujung pedang Tan Ciok-sing telah
menanti telapak tangan kirinya yang mencolok mata ln San, ujung pedang
mengincar telak Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangannya.
Sudah tentu Bok Su-kiat tidak
berani meneruskan cengkramannya, di tengah jalan dia robah gerakan, jarinya
menjentik dan "Creng" pedang Tan Ciok-sing diselentiknya membal ke
pinggir, begitu tubuh merendah turun telapak tangan kanan tetap membabat kedua
kaki In San.
Tapi rintangan sekejap ini
sudah memberi kesempatan kepada In San untuk balas menyerang. Sebat sekali
tampak tubuhnya mendak terus melompat maju dia gunakan gerakan Burung Seriti
Menyusup ke Awan, Ginkang yang liehay melambung satu tombak lebih tingginya
dengan jurus Giok-li-to-so dari tengah udara dia menusuk ke bawah. Sementara
meminjam tenaga selehtikan jari orang, pedang Tan Ciok-sing dipelintlir
membalik dengan gerakan Sabuk Kemala Melilit Pinggang, secara telak dan serasi
dia imbangi gerakan pedang ln San yang menyerang dari atas.
"Bret" ujung lengan
baju Bok Su-kiat terpapas sebagian dan terbang berhamburan seperti kupu-kupu
terbang di pucuk kembang. Masih untung dia sempat menarik diri melompat mundur
sejauh mungkin, kalau tidak lengan kanannya pasti sudah terbabat kutung. Tenaga
Lwekangnya yang hebat sempat pula menggetar pergi pedang Tan Ciok-sing terus
menyurut mundur pula tiga langkah. Namun cepat sekali sepasang pedang Tan dan
In sudah memburunya dengan serangan jurus kedua. Perbawanya bagai damparan
ombak yang bergulung-gulung tak kenal putus.
Jurus gabungan pedang kali ini
kekuatannya lebih hebat dari jurus pertama, daya rangsakannyapun lebih
menyeluruh. Soalnya tadi In San serambut lebih lambat mengeluarkan pedang,
sehingga lawan masih sempat menjentik pedang Tan Ciok-sing, tapi gabungan dua
pedang kali ini boleh dikata sudah merupakan dwi tunggal yang sukar dilawan.
Apa boleh buat Bok Su-kiat terdesak mundur pula tiga langkah, tanpa disadarinya
kini dia sudah berdiri di pinggir payon.
Tan Ciok-sing membentak:
"Menggelinding turun," dengan jurus Hian-niau-hoat-sa dia ikut
menubruk maju, tulang pundak lawan menjadi sasaran tutukan pedangnya. Sementara
dalam waktu yang sama In San dengan jutus Pay-hun-tian (menyibak mega merenggut
kilat), ujung pedang memancarkan cahaya dingin, menusuk ke tulang pundak kanan
pula.
Bok Su-kiat menjadi sengit,
sembari menghardik tangannya menjotos, Tan Ciok-sing kira lawan nekad hendak
adu jiwa, melihat jotosan lawan bertenaga hebat, kuatir In San tidak kuat
melawannya, lekas Ciok-sing berkisar terus pasang kuda-kuda, pedangnya membalik
terayun memapas pergelangan tangan. Gerakan pedangnya ini sedikit terlambat
sehingga Bok Su-kiat sempat melompat sambil jumpalitan terus ke bawah genteng.
Ternyata jotosan itu kelihatannya seperti hendak mengadu jiwa, pada hal
hanyalah gertakan belaka untuk cari kesempatan mengundurkan diri. Melihat
Kungfu lawan semahir itu, mau tidak mau kejut juga hatinya.
Sebaliknya bagi Bok Su-kiat
yang Komandan pasukan Bhayangkari ini dalam tiga gebrak saja dirinya harus
menelan kekalahan di tangan lawan mudanya, sudah tentu bukan kepalang malu dan
penasaran hatinya. Dengan gerakan burung dara jumpalitan, secara enteng dia
hinggap di bumi, mulutpun terus menghardik gusar: "Lepas panah,"
-umpama In San terpanah mati juga tidak peduli lagi.
Sementara itu pasukan
Gi-lim-kun sudah memburu datang dari berbagai arah, anak panah segera
berhamburan selebat hujan. Dengan tangan bergandeng tangan Tan Ciok-sing dan In
San berlompatan dari wuwungan yang lain terus menuju ke arah barat, di jalan
raya sebelah barat ternyata sudah dikepung pula, terpaksa Tan dan In harus
putar kencang pedangnya untuk meruntuhkan anak panah yang dibidikkan ke arah
mereka. Pasukan Gi-lim-kun itu kapan pernah menyaksikan Ginkang sehebat itu,
sesaat mereka jadi melongo.
Setelah bebas dari bidikan
panah pasukan Gi-lim-kun, Tan Ciok-sing berdua terus tancap gas berlari ke arah
pintu barat, para Wisu yang berjaga di pintu bawah, lapat-lapat melihat dua
bayangan orang melambung terbang melampaui tembok tinggi, waktu ditegasi '
bayangan itu sudah lenyap. Pada hal mereka tahu ada orang yang melarikan diri
keluar kota, namun mana mereka berani ribut. Lalai menunaikan tugas sehingga
pembunuh lolos merupakan kesalahan yang bisa mengakibatkan jiwa mereka jadi
korban.
Sekaligus Tan dan In berlari
sejauh tiga puluhan li, bila mereka tiba di rumah keluarga Coh di kaki bukit
itu, haripun sudah terang tanah.
Tan Ciok-sing berkata tertawa:
"Liok Pangcu dan Lim Tayhiap menunggu tiga hari, bila melihat kita tidak
kunjung tiba, entah betapa gelisah hati mereka," begitu dia angkat kepala,
senyum tawanya seketika kuncup, tampak rumah gedung keluarga Coh sudah terbakar
habis tinggal puing-puingnya saja.
In San mengelus dada, katanya:
"Pasti pasukan kerajaan yang membakar rumah Coh Ceng-hun. Entah bagaimana
keadaan Liok-pangcu, Lim Tayhiap dan lain-lain?"
"Di sekitar sini ada
perumahan penduduk, mari kita cari kabar dari mereka," demikian ajak Tan
Ciok-sing.
Beberapa rumah penduduk telah
mereka datangi, semua pintu besarnya terbuka lebar, tapi tiada seorangpun
penghuni di dalamnya, sampaipun perabot telah kosong melompong, penduduknya
entah mengungsi kemana.
Tan Ciok-sing geleng-geleng,
katanya: "Agaknya tiada harapan kita dapat mencari kabar dari penduduk.
Keluarga Coh ketimpa petaka, mungkin mereka takut kerembet maka siang-siang
sudah angkat kaki dari tempat kediamannya.
Tiba-tiba In San bersuara
heran, katanya dengan tertawa: "Toako, pendapatmu memang beralasan, tapi
yakin rekaanmu meleset, coba lihat, disana itu bukankah ada dua orang?"
Waktu itu mereka sedang turun
gunung Tan Ciok-sing menoleh ke-arah yang dituding In San, dilihatnya dua orang
tua yang j.ilan tertatih-tatih, lelaki dan perempuan agaknya sepasang suami
isii-n. yang lelaki memikul kayu keiinv yang perempuan menggendong rumput
hijau, mereka sedang menuju ke atas gunung.
Tan Ciok-sing berkata:
"Sepasang kakek dan nenek ini ternyata bernyali besar, tapi di rumah
mereka sudah tiada harta benda lagi, untuk apa cari kayu dan rumput?"
"Umpama mereka betul
adalah mata-mata musuh, kita juga tidak perlu kuatir, mari coba kita cari tahu
kepada mereka," demikian In San ajukan pendapatnya.
Mereka percepat langkah turun
ke bawah, setelah dekat dengan seksama dia awasi kakek dan nenek, kedua kakek
nenek itu juga berhenti dan balas mengawasi mereka, sorot matanya memancar rasa
heran dan bingung.
"Lo-kongkong dan
Lo-popoh," demikian sapa Tan Ciok-sing, "harap kalian suka istirahat
sebentar. Ingin kami mencari tahu satu hal kepada kalian."
Nenek itu berkata: "Kami
hanya tahu menebang pohon dan cari rumput, urusan lain kami tidak tahu. Maaf,
kami harus lekas pulang, banyak kerjaan yang menunggu dibereskan."
In San menyodorkan sekeping
uang perak kepada si nenek seraya berkata: "Soal yang ingin kami tanya kau
pasti tahu, sekedar imbalan ini harap kau suka menerimanya."
Setelah menerima uang, si
nenek berkata: "Baiklah, memandang uang perak ini, biar kudengar soal apa
yang ingin kau tanyakan. Bila aku tahu pasti kuterangkan."
In San berkata: "Di atas
gunung ada sebuah keluarga Coh, tentunya kalian sudah tahu."
"Kalian teman keluarga
Coh itu?" tanya si nenek.
"Betul," Tan
Ciok-sing menyela, "kami adalah kenalan baik majikan muda keluarga itu,
yang bernama Coh Ceng-hun."
"Tentunya kalian adalah
pembesar dari kota bukan, agaknya keluarga Coh tidak pernah ada hubungan dengan
pihak kerajaan."
Tan Ciok-sing tahu si nenek
merasa curiga, dia jadi bimbang apakah perlu menerangkan asal-usul sendiri
kepada si nenek.
Mendadak si nenek membentak:
"Bagus ya, kiranya kalian pura-pura menyaru pembesar."
Tan Ciok-sing kaget, baru saja
dia akan turun tangan, tiba-tiba didengarnya In San juga balas membentak:
"Bagus ya, ternyata kalian juga menyamar kaum penebang."
Sampai disini, tiba-tiba In
San dan si nenek 'sama tertawa geli, katanya: "Han-cici, jangan kau
menggoda kami lagi,"
"In-cici memang pandanganmu lebih tajam," suara si nenek yang
ketua-tuaan tiba-tiba berubah merdu.
Tan Ciok-sing seketika sadar
dan berseru sambil keplok tangan: "Kiranya nona Han, jadi kakek ini
tentunya Toan-toako adanya."
Kakek itu segera mengusap muka
sendiri dan kelihatanlah wajah aslinya, memang bukan lain adalah Toan
Kiam-ping.
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Aku tidak semahir adik Cin dapat merubah suara, maka terpaksa
aku pura-pura bisu."
"Justru kau tetap tidak
buka suara sehingga aku curiga," ujar In San, "segera aku menduga
kalian. Toan-toako, luka-lukamu sudah sembuh?"
"Aku dirawat dan
memperoleh pengobatan dari Giam-ong-te Lau Su-tho, sudah lama sembuh, tadi aku
sudah siap hendak melabrak Tan-toako malah."
Tan Ciok-sing melcngak,
katanya: "Kenapa kau hendak melabrakku?"
"Siapa suruh kau menyamar
Tiangsun Co? Pandanganku toh tidak setajam adik Cin, dalam waktu sesingkat ini
aku belum bisa membedakan penyamaranmu."
"Sudah tidak perlu banyak
ngobrol, lekas jelaskan, bagaimana keadaan Liok-pangcu dan Lim Tayhiap dan
lain-lain."
"Jangan kuatir,"
ucap Toan Kiam-ping, "malam itu kita disergap pasukan kerajaan, rumah
kediaman keluarga Coh juga dibakar mereka, untung Liok-pangcu dan Lim Tayhiap
mahir memimpin dan menghadapi kejadian secara tenang sehingga korban yang jatuh
tidak terlampau parah. Kawan-kawan yang menetap di rumah keluarga Coh semua
dapat meloloskan diri dengan selamat. Kejadian sebenarnya malam itu nanti
kujelaskan. Tolong kau ceritakan dulu bagaimana tugas kalian masuk ke istana,
kau tahu hatiku seperti dibakar saking gelisah menunggu kalian pulang."
Mendengar orang banyak
selamat, legalah hati Tan Ciok-sing katanya: "Sang raja sudah berhasil
kami temui, cuma bagaimana hasil anjuran kita terhadapnya, sejauh ini masih
belum bisa diketahui."
Lalu pengalaman tiga hari di
istana dia ceritakan, Toan Kiam-ping dan Han Cin sering tegang, dan akhirnya
menghela napas lega setelah mendengar kisahnya itu.
Toan Kiam-ping berkata dengan
tertawa: "Mengkhianat dan mengingkari janji akan memperoleh hukuman dari
Thian Yang Maha Kuasa. Peringatan yang kau tinggalkan untuk raja itu memang
tepat sekali. Sudah tentu kita takkan percaya begitu saja omongannya tapi
sebaliknya dia harus memperhatikan peringatan kita itu. Paling tidak, dia tidak
akan berani menanda tangani perjanjian damai itu, terhitung tugasmu sudah
berhasil separo. Tan-toako, In-moaycu, tidak kecil jasa kalian."
"Ah, soal jasa segala,
aku toh hanya melaksanakan rencana orang banyak yang ditugaskan kepada
kami."
"Kau tidak usah
sungkan," sela Han Cin, "satu hal ingin aku memberitahu kepada
kalian, dari soal ini dapat dinilai bahwa tugas telah kalian laksanakan telah
membawa hasil baik."
"Soal apa?" tanya
Tan Ciok-sing.
"Liong Bun-kong keparat
tua itu pura-pura jatuh sakit dan tidak pernah lagi menghadap raja. Menurut
berita yang diperoleh Liok-pangcu, katanya Baginda Raja sendiri yang
menganjurkan dia demikian. Para begundal keluarga Liong konon juga sama saling
terka dan kebingungan, kasak-kusuk bahwa majikan mereka bakal jatuh pamor dan
runtuh kedudukannya. Mereka sedang berpikir-pikir untuk mencari jalannya
sendiri seumpama pohon roboh kerapun bubar."
"Batas waktu yang
diberikan raja adalah tiga bulan, bila dia runtuh kukira juga tidak akan
selekas ini," ujar Tan Ciok-sing.
Han Cin tertawa katanya: 'Manusia
licik yang pandai menjilat biasanya pintar melihat arah angin memegang kemudi,
mungkin mereka takkan menunggu bila puncak gunung es itu runtuh baru akan
mencari daya menyelamatkan diri."
"Sekarang kalian pindah
kemana?" tanya In San.
"Pindah ke Loh-su-san
salah satu dari Say-san. Markas cabang Kaypang di Pakkhia memang didirikan di
Pit-mo-giam di Loh-su-san itu?" demikian Toan Kiam-ping menjelaskan.
Waktu itu sudah lewat lohor,
diam-diam In San
memperhitungkan jarak
perjalanan, lalu berkata: "Siang hari tidak leluasa kita mengembangkan
Ginkang, dari sini pergi ke Loh-su-san kira-kira memakan waktu setengah hari,
sekarang sudah sepantasnya kita berangkat."
Tiba-tiba Han Cin berkata:
"Malam ini kami tidak akan kembali ke Loh-su-san."
"Lho, kenapa?" tanya
In San. "Malam ini kami ingin pergi ke Lo-gau-kio. Letak Lo-gau-kio lebih
jauh dari Loh-su-san, sebelum tengah malam nanti sudah harus tiba di
Lo-gau-kio, maka tiada tempo mampir ke tempat lain lagi."
Lo-gau-kio terletak tiga
puluhan li dari pintu barat Khon-an-bun di Pakkhia, jembatan itu melintang di
atas Ing-ting-ho menghubungi jalan raya King-si sebelah barat dan timur,
merupakan satu di antara delapan tempat tamasya bagi pelancongan. Waktu masih
di Pakkhia dulu, usia In San masih kecil maka dia belum pernah kesana, tapi dia
tahu akan tempat tamasya itu.
In San jadi heran, katanya:
"Lo-gau-kio adalah satu obyek tamasya di Pakkhia, yakin kalian tidak ingin
tamasya malam hari di jembatan bersejarah itu bukan?"
"Terus terang kami kesana
hanya ingin menyaksikan orang berkelahi. Bila kalian tidak perlu beristirahat
marilah malam ini ikut kami kesana?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
tanyanya: "Siapa dengan siapa yang berkelahi?"
"Malam ini Kek Lam-wi
akan menuntut balas kepada Lenghou Yong," tutur Toan Kiam-ping.
Tan Ciok-sing kaget, serunya:
"Lho, apa yang telah terjadi?"
"Mungkin kau belum tahu
seluk beluk keluarga Kek. Dua puluh tahun yang lalu ayahnya terbunuh oleh
Lenghou Yong. Tapi setelah malam kita membuat keributan di rumah keluarga Liong
itu, baru ayahku memberi keyakinan berdasarkan penyelidikan yang cermat bahwa
musuh pembunuh ayahnya adalah Lenghou Yong."
"Apa Lenghou Yong mau
menerima tantangannya berkelahi di Lo-gau-kio?" tanya Tan Ciok-sing.
"Ayah yang mengatur. Ayah
mohon bantuan seorang yang dipercaya oleh Lenghou Yong untuk datang di
Lo-gau-kio. Bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya, karena pagi-pagi tadi
kami sudah berangkat dari Loh-su-san, jadi kami kurang jelas karena ayah tidak
sempat menjelaskan. Tapi Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi akan menuntut
balas kepadanya."
Han Cin melanjutkan ceritanya:
"Kemarin secara berutun dua hari, ayahku yang bertugas kemari menunggu
kalian, hari ini dia harus mengatur pertemuan Kek-suko dengan Lenghou Yong,
maka kami yang ditugaskan kemari. Terus terang, kami hanya ingin coba-coba saja
mengadu untung sungguh sangat kebetulan, kalian justru pulang pada saat ini
pula. Tan-toako, kalian akan pulang dulu menemui Liok pangcu, atau ikut kami ke
Lo-gau-kio melihat keramaian."
Tan Ciok-sing berkata lantang:
"Kawan-kawan begitu baik terhadapku, mana boleh aku berpeluk tangan,
adalah sepatutnya aku ikut membantu kesulitan teman. Maka aku akan ikut kalian
pergi ke Lo-gau-kio saja."
In San tanya: "Lenghou
Yong membekal Kungfu tinggi, meski Kek Lam-wi tidak lemah, bila satu lawan
satu, mungkin dia bukan tandingannya. Apa kalian sudah menjanjikan aturan
perkelahian?"
"Lenghou Yong tidak tahu
bahwa Kek Lam-wi yang mengundangnya," ujar Han Cin.
"Maksudku bagaimana Kek
Lam-wi membicarakan soal itu dengan ayahmu? Menurut aturan Kangouw, umumnya
menuntut balas hanya boleh berkelahi satu lawan satu."
"Aku tidak tahu,"
ucap Han Cin. "Tiga hari terakhir ini, ayah selalu mengawasi latihan
Kek-suheng dan mengajarkan tiga jurus ilmu kepadanya."
"Tiga jurus ilmu belum
tentu dapat mengalahkan Lenghou Yong," kata In San.
"Malam ini ayah pasti
pergi bersamanya, aku yakin ayah tidak akan membiarkan dia menderita
rugi."
Tan Ciok-sing menimbrung:
"Di samping membantu Kek-sukomu berhasil menuntut balas, ayahmupun tidak
boleh kehilangan pamor, itulah yang sulit."
Toan Kiam-ping menyela:
"Ti-locianpwe sudah memperhitungkan soal ini dengan cermat, kukira dia
sudah mempersiapkan hal ini dengan matang.'
Tapi Tan Ciok-sing masih
kuatir, katanya: "Meski Ti-locianpwe sudah mempersiapkan secara sempurna,
Lenghou Yong juga bukan kaum kroco yang mudah ditipu. Sekarang tidak perlu
menduga-duga, hayo lekas berangkat saja."
"Betul," In San
tertawa, "kita ini kan kaum kroco dalam Bulim, bila perlu tak usah bicara
aturan Kang¬ouw segala untuk menumpasnya."
000OOO000
Malam itu bulan purnama,
suasana tenang di bawah penerangan sang putri malam di Lo-gau-kio terasa
semakin indah dan mempesona.
Menjelang tengah malam, sang
putri malam bercokol tepat di tengah langit, di atas jembatan tampak muncul
bayangan satu orang, orang ini adalah Kek Lam-wi.
Ing-ting-ho di bawah jembatan
dahulu dinamakan Bu-ting-ho, damparan ombak air sungguh menerpa-nerpa dan
melanda beton kaki jembatan yang kokoh, sehingga memercikan buih-buih putih
yang bergulung-gulung pergi dan sirna satu persatu.
Malam purnama, arus yang deras
gemuruh, ketenangan malam terasa permai dan membangkitkan jiwa kesatria.
Demikian perasaan Kek Lam-wi pada saat itu.
Panjang Lo-gau-kio empat puluh
tujuh tombak, seluruhnya terbuat dari batu Inlam, kedua sisi jembatan dipagari
batu-batu putih berukir, semuanya merupakan tonggak batu yang masing-masing
berjumlah seratus empat puluh batang, di atas setiap batang tonggak batu itu
terdapat patung singa yang mendekam garang, bentuknya mirip satu dengan yang
lain.
Perasaan Kek Lam-wi sekarang
tak ubahnya damparan ombak air di bawah jembatan. Malam ini dia akan menentukan
mati hidup dengan musuh pembunuh ayahnya. "Mungkinkah Lenghou Yong
datang?" rembulan sudah merambat doyong ke barat, suasana tetap sunyi
tiada gerakan apa-apa. Melamun seorang diri akhirnya Kek Lam-wi terkenang
kepada Toh So-so. "Malam seperti ini, entah dimana dia sekarang? Apakah
dia sekarang juga sedang merindukan daku?"
Dia ingin cepat-cepat
menyelesaikan urusan disini untuk lekas-lekas meninggalkan Pakkhia menyusul Toh
So-so ke Kanglam. Hari sudah larut malam Lenghou Yong belum juga kunjung tiba.
"Di kala menghadapi
pertempuran mati hidup, mana boleh pikiran kacau, hati tidak tenang,"
tiba-tiba Kek Lam-wi menyadari kesalahan, segera dia keluarkan serulingnya,
dengan irama seruling dia ingin menenangkan hati dan memantapkan semangat
juangnya.
Belum habis dia meniup
seruling, dari seberang sana muncul dua bayangan orang. Kek Lam-wi memicing
mata melihat dengan seksama, dikenalnya satu di antara kedua orang itu memang
Lenghou Yong adanya.
Setelah mendengar irama
serulingnya, tiba-tiba Lenghou Yong mempercepat langkahnya. Teman Lenghou Yong
adalah laki-laki setengah umur, berperawakan buntak berpakaian sebagai
hartawan. Meski tubuhnya gembrot tapi langkah larinya ternyata cukup cepat,
dengan kencang diapun mengintil di belakang Lenghou Yong.
Waktu di rumah Liong Bun-kong
malam itu, meski Kek Lam-wi pernah melihat Lenghou Yong tapi suasana pada saat
itu terlalu kacau dan ribut di tengah kancah pertempuran, sehingga Lenghou Yong
tidak sempat memperhatikan dirinya. Itu berarti Kek Lam-wi kenal dia,
sebaliknya Lenghou Yong tidak mengenalnya. Tapi setelah mendengar irama
seruling Kek Lam-wi, tanpa merasa tergerak hatinya.
Segera dia berpaling tanya
kepada temannya itu: "Yang ingin mengadakan kontak dengan kita apakah
pemuda peniup seruling di atas jembatan itu? Setiba disini boleh kau beritahu
kepadaku siapi dia sebenarnya?"
"Lenghou Tayjin,"
kata laki-laki gendut itu, "sukalah kau percaya kepadaku, aku benar-benar
tidak tahu siapakah orang ini. Aku hanya tahu dia memiliki sebuah benda antik
yang ingin dijual kepada kita."
"Benda mustika macam
apakah," tanya Lenghou Yong.
Laki-laki gendut itu
gelagapan, katanya: "Mustika apa aku juga tidak tahu. Tapi aku percaya
temanku itu tidak akan menipuku. Bila Tayjin kuatir soal dagang ini boleh kita
batalkan saja..."
Belum habis dia bicara Lenghou
Yong sudah tertawa, katanya: "Kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Betul
yang dipegangnya itu memang sebuah mustika. Temanmu tidak menipu kau, dan
kaupun tidak menipuku."
Legalah hati si gendut,
katanya: "Lenghou Tayjin, memangnya aku ingin mohon bantuanmu demi
mencapai kedudukan yang lumayan mana berani aku ngapusi kau?"
Untuk hubungan dagang ini
meski dia sebagai perantara mempertemukan jual beli itu di atas jembatan ini,
pada hal seluk beluk persoalan sesungguhnya
hakikatnya dia sendiri juga
tidak tahu apa-apa, karena dia hanya dimintai bantuan orang lain.
Orang yang menjadi perencana
pertemuan jual beli ini adalah Ti Nio, namun Ti Nio tidak pernah mengunjukan
diri. Laki-laki gembrot seperti hartawan ini bernama Kwik Su-to, di Pakkhia dia
memang terkenal sebagai salah satu hartawan yang suka membeli barang-barang
antik, didalam kota dia membuka belasan rumah gadai dan beberapa bank
Sekarang adalah hartawan, pada
hal dahulu dia adalah seorang begal tunggal. Namanya yang asli sudah tentu
bukan Kwik Su-to, nama itu dia gunakan setelah menyulap diri sebagai seorang
hartawan yang suka menderma, nama itupun diperolehnya dari seorang guru sekolah
kampungan setelah dibayarnya lima ketip. Memang selanjutnya dia bisa hidup
teratur dan disiplin, secara munafik dia pura-pura jadi dermawan.
Kali ini Ti Nio minta bantuan
Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia, suatu malam dia mendatangi rumah
hartawan she Kwik yang terkenal dermawan ini, dengan bujukan dan ancaman serta
membentangkan untung ruginya, Kwik Su-to dianjurkan menghubungi Lenghou Yong
untuk menyelesaikan jual beli sebuah benda mustika.
Kwik Su-to tahu jual beli ini
takkan menguntungkan dirinya, pertemuan itu pasti tidak akan membawa
penyelesaian yang baik pula, tapi dia tahu diri, kekuatan Kaypang teramat besar
di kota raja, jangan kata mungkin orang-orang Kaypang bakal mencabut nyawanya,
cukup bila asal-usulnya dibongkar di hadapan umum, kedok sendiri akan
terbongkar, mana dia masih bisa bercokol di Pakkhia. Apa boleh buat terpaksa
dia rela menjadikan diri sebagai perantara ini. Lenghou Yong juga tahu jelas
riwayat hidupnya, tahu meski dia sudah menyulap diri sebagai hartawan yang'
dermawan, secara diam-diam dia masih sebagai tukang tadah pula, tidak sedikit
keuntungan yang diperolehnya dari jual beli secara gelap ini. Apalagi dia
memang sedang mengharapkan bantuan Lenghou Yong, meski harus keluar sejumlah
uang, syukur bila Lenghou Yong sudi bicara tentang kebaikan dirinya di hadapan
Liong Bun-kong, kepadanya dia ingin memperoleh jabatan di kalangan
pemerintahan.
Kepada Lenghou Yong dia
bilang, ada seorang teman Kangouw punya sebuah mustika yang hendak dijual,
walau dia belum pernah bertemu teman itu, tapi seorang teman lain yang dapat
dipercaya sebagai perantara, mereka menjanjikan untuk mengadakan pertemuan di
Lo-gau-kio untuk menyelesaikan jual beli itu. Mustika itu ingin dia beli dan
akan dihadiahkan kepada Lenghou Yong, tapi dia minta Lenghou Yong sendiri
melihat mustika itu, bila senang dan mencocoki selera, berapapun harganya akan
dia bayar. Secara tidak langsung diapun menyatakan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diinginkan dia mohon Lenghou Yong yang berkepandaian
tinggi supaya bertindak bila mana perlu Lenghou Yong memang tamak dan loba,
rakus lagi, bisa memperoleh keuntungan semudah ini sudah tentu dia amat senang
dan secara suka rela dia mau mengiringi laki-laki gendut yang berusaha menjilat
pantatnya ini. Didalam persoalan jual beli ini, sekaligus menimbulkan akal
bulusnya untuk suatu kepentingan sendiri.
Tersiar luas di luaran bahwa
kedudukan Liong Bun-kong mulai goyah, hal ini sudah tentu sudah didengarnya
pula. Kini dia sedang giat mencari majikan baru yang patut dijadikan tulang
punggung pula, dan orang yang dimaksud bukan lain adalah Hu Kian-seng, >
bila meleset boleh dia mengekor kepada Yu-hian-ong dari Watsu yang kini
menginap di rumah kediaman keluarga Liong sebagai utusan negeri Watsu, tak lama
lagi duta besar ini akan pulang ke negerinya.
Untuk ini diapun sedang
memperhitungkan untung ruginya serta membandingkan satu dengan yang lain demi
keuntungan pribadinya kelak, majikan mana yang dirasakan lebih menguntungkan
kepada dia dirinya akan rela diperbudak. Bila betul-betul memperoleh sebuah
mustika, umpama diri sendiri tidak menyenangi juga tidak jadi soal, mustika ini
boleh dia persembahkan kepada majikan baru yang akan dijunjungnya sebagai kado.
Di samping itu diapun jelas
mengetahui seluk beluk kehidupan Kwik Su-to, kepada hartawan munafik asal begal
tunggal yang memiliki kekayaan besar ini, dia boleh percaya dan melegakan
hatinya, oleh karena itu dia ambil putusan untuk bertaruh menghadapi bahaya
bila perlu.
Setiba di Lo-gau-kio, sembari
berlari mendatangi Lenghou Yong segera berseru tanya: "Apakah tuan ini
yang hendak menjual barang mustikanya?"
Pelan-pelan Kek Lam-wi angkat
serulingnya, "betul," sahutnya.
Senang hati Lenghou Yong,
tanyanya pula: "apakah mustikamu adalah seruling ini?"
"Betul," Kek Lam-wi
menjawab tawar.
"Tolong tanya cara
bagaimana kau memperoleh seruling ini?" tanya Lenghou Yong.
"Mau beli boleh bayar,
tidak mau boleh batal. Kenapa kau tanya sejelas ini?" tanya Kek Lam-wi.
"Baiklah, katakan berapa
harga yang kau inginkan?"
"Aku tidak mau dibayar
uang."
"O, kau ingin
barter?"
"Apa betul kau ingin
barter setulus hati dengan aku?"
"Sudah tentu. Boleh kau
sebutkan saja apa keinginanmu," diam-diam Lenghou Yong sudah merasa curiga
kepada Kek Lam-wi.
"Baik, biar aku bicara
secara blak-blakan, apapun aku tidak mau kecuali batok kepalamu."
Kwik Su-to berjingkrak kaget
dan ketakutan. Tapi setelah mclengak sekilas Lenghou Yong malah tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Mengandal apa kau ingin batok kepalaku?"
jengeknya sambil melirik hina sikapnya seolah-olah tidak pandang sebelah mata
kepada Kek Lam-wi.
"Dengan serulingku
ini," jengek Kek Lam-wi dingin.
"Kau kira aku sudi
memenggal kepala menyerahkan kepada kau?"
"Inilah barter secara
adil, kalau tidak sudi memenggal kepala sendiri, memangnya seruling mustikaku
sudi kuserahkan kepadamu dengan cuma-cuma?"
Lenghou Yong terbahak-bahak,
serunya: "Barter cara begini memang menyenangkan, tapi batok kepala
ditukar seruling, meski serulingmu itu senilai satu kota, kukira barter ini
tetap tidak adil."
"Betul," timbrung
Kwik Su-to, "kukira agak keterlaluan."
"Keterlaluan? Aku malah
belum memperhitungkan bunganya."
Mendelik mata Lenghou Yong,
bentaknya: "Siapa kau?"
"Kau tidak kenal aku,
tapi aku tahu siapa kau," kata Kek Lam-wi sinis.
"O, jadi kau ingin
membuat perhitungan dengan aku Lenghou Yong?" sorot matanya tiba-tiba
beralih ke muka Kwik Su-to.
Kwik Su-to merinding dan
gemetar, tersipu-sipu dia berkata: "Lenghou Tayjin urusan tidak menyangkut
diriku, aku hanya jadi perantara saja. Aku toh tidak tahu liku-liku permusuhan
kalian."
Tiba-tiba Lenghou Yong
teringat, bentaknya: "Bukankah kau ini Kek Lam-wi salah satu dari
Pat-sian?"-Maklum Kek Lam-wi terkenal sebagai pendekar yang pandai meniup
seruling di kalangan Kangouw. Meski Lenghou Yong tidak mengenalnya, tapi dia
pernah mendengar namanya.
"Betul," ucap Kek
Lam-wi, "laki-laki sejati duduk tidak menukar nama berdiri tidak merubah
she, aku inilah Kek Lam-wi adalah aku."
Diam-diam Lenghou Yong
berpikir: "Pimpinan Pat-sian Lim Ih-su malam itu hanya kuat menandingi
aku, Kek Lam-wi ini orang termuda dari Pat-sian, kenapa aku takut
padanya?" Segera dia tertawa, katanya: "Pat-sian kalian berani
menentang diriku, memang tidak perlu dibuat heran, tapi aku jadi ingin tahu,
kenapa kau seorang diri ingin mencariku?"
"Dua puluh tahun yang
lalu, di Kwi-cu kau pernah membunuh satu orang, apakah masih ingat akan
peristiwa itu?"
Lenghou Yong tersentak sadar,
bentaknya: "Jadi Kek Bing-yang dari Kwi-cu itu adalah bapakmu?"
Berlinang air mata Kek Lam-wi,
katanya berat: "Betul, sekarang tentu kau sudah mengerti bukan?"
Lenghou Yong menyeringai
sadis, katanya: "Ya, aku paham sekarang, jadi kau mau menuntut balas atas
kematian bapakmu. Baiklah, sekalian kujelaskan kepada kau, syukur kau
menampilkan diri malah, serulingmu itu demikian pula batok kepalamu biar
kurenggut bersama."
Pada saat itulah sebuah suara
serak tua berkata dingin: "Mana ada jual beli secara liar dan tidak adil
seperti itu di dunia ini."
Dari belakang sebuah patung
singa mendadak melompat keluar satu orang, dia bukan lain adalah Ti Nio.
Lenghou Yong mencelos hatinya,
"Tua bangka ini sukar dilayani," tapi lahirnya dia tenang malah
bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan,"
bentak Ti Nio.
"Ti-losiansing,"
ujar Lenghou Yong, "hitung-hitung kau ini kan seorang ternama, kenapa
tidak tahu cara menepati aturan Kangouw?"
"Siapa bilang aku tidak
tahu aturan?" bentak Ti Nio.
"Permusuhan dengan dia,
menurut aturan hanya boleh diselesaikan kami berdua. Tapi bila kau tidak
menghiraukan peraturan, anggap dirimu lebih hebat dan mau membantu dia
mengeroyok aku, akupun tidak gentar, hehehe, hayolah kalian maju bersama."
Ti Nio mendengus hidung,
jengeknya: "Tidak perlu aku mewakili Kek Lam-wi menuntut balas, memang
pantas bagi dirimu kalau menilai orang lain dengan karaktermu sendiri,"
"Lalu untuk apa kau
datang kemari mencampuri urusan orang lain?"
"Aku datang untuk
menegakkan keadilan, aku akan menyaksikan jual beli ini secara adil."
"Apa maksud
perkataanmu?"
"Barter harus adil, kalau
kau menginginkan serulingnya, menginginkan pula batok kepalanya, itu berarti
kau bertindak secara liar dan tidak tahu malu."
Lenghou Yong tertawa dingin,
katanya: "Seruling mustika ditukar batok kepala, memangnya itu terhitung
adil?"
"Sudah tentu bukan tanpa
syarat kau harus menyerahkan batok kepalamu. Dengarkan dulu penjelasanku, boleh
nanti kau menilai apakah putusanku adil atau tidak?"
"Baik, coba jelaskan.
Bagaimana caranya baru terhitung adil menurut pendapatmu?"
"Coba katakan kau yakin
berapa jurus kau dapat merampas serulingnya?" tanya Ti Nio.
Lenghou Yong berpikir sejenak,
katanya: "Sepuluh jurus," maklum Pat-sian bukan jago kroco, walau dia
tidak kenal Kek Lam-wi, tapi dari urutan para Pat-sian dan bagaimana taraf
kepandaian masing-masing sudah lama diketahuinya jelas. Apalagi setelah dia
pernah gebrak sebanding melawan tertua dari Pat-sian Lim Ih-su. Usia Kek Lam-wi
baru likuran tahun, jago termuda diantara Pat-sian, dinilai tingkatan dia masih
terhitung angkatan muda, demi menjaga gengsi dan
mempertahankan pamor, adalah
logis kalau dia tidak sudi memandang Kek Lam-wi sebagai musuh seangkatan.
Sekarang diingatnya pula, di
kala pertempuran sengit terjadi di rumah Liong Bun-kong dulu, pernah dia
bergebrak sebentar melawan Kek Lam-wi, waktu itu cukup sekali pukulannya dia
bikin lawannya ini terjungkal roboh. Kini dia membatasi sepuluh jurus, menurut
anggapannya sudah terlalu banyak.
"Baik," seru Ti Nio,
"kami turuti saja keinginanmu, sepuluh jurus terbatas. Bila dalam sepuluh
jurus kau mampu merampas serulingnya, seruling itu boleh kau ambil, kalau kau
gagal maka kau harus serahkan batok kepalamu."
"Bagus, akupun turuti
caramu ini. Tapi perlu kuperingatkan, bila aku di pihak yang menang, jangan kau
nanti pungkir janji serta mencampuri urusanku ini."
"Kwik Su-to," ujar
Ti Nio, "mari kaupun ikut menjadi saksi bersamaku. Saksi atau wasit adalah
orang yang menegakan keadilan, dilarang membelok ke pihak manapun, nah kau
boleh legakan sadja hatimu."
"Kepalanku ini tidak
bermata, kalau dalam sepuluh jurus aku memukulnya mampus bagaimana?"
"Seruling tetap akan
menjadi milikmu."
"Bagus, baiklah kita
putuskan demikian. Kau ini wasit, boleh kau mulai menghitung, nah jurus pertama
kumulai," di tengah seringai tawanya dia bergerak dengan jurus
Yu-liong-tam-jiau, kelima jarinya tertekuk mencengkram ke tulang pundak Kek
Lam-wi.
Itulah salah satu jurus
Kim-na-jiu-hoat Lenghou Yong yang sudah dilatihnya sempurna, gerakannya teramat
aneh dan cepat, telak dan keji. Entah berapa banyak jago-jago silat Kangouw
yang menjadi korban keganasan jurus tunggal ini. Tak nyana hari ini
cengkramannya ternyata mengenai tempat kosong, segesit kera tahu-tahu Kek
Lam-wi telah berkelit ke samping.
Seperti diketahui sejak dua
kali bergebrak melawan Lenghou Yong, diam-diam Ti Nio perhatikan keliehayan dan
permainannya, kecuali dia mengajar tiga jurus ilmu tunggal yang mungkin bisa
merobohkan lawan meski dirinya terdesak di bawah angin, diapun mengajarkan
gerakan langkah yang enteng seperti melayang, gerakan langkah itu kebetulan
sekarang tepat digunakan untuk menghindari serangan Lenghou Yong.
"Diberi tidak membalas
kurang hormat, nah lihat serulingku," demikian Kek Lam-wi membentak,
mendadak serangannya terbuka mari kanan kiri, satu jurus dua gerakan, ke kiri
dia menutuk Giok-kwan, ke kanan menutuk Yang-pek, kedua Hiat-to ini terletak di
kanan kiri dada, merupakan tempat mematikan bila kena serangan.
Tapi meski jurus ini merupakan
serangan liehay dari King-sin-pit-hoat, namun bukan termasuk salah satu jurus
dari tiga jurus liehay ajaran Ti Nio itu.
"King-sin-pit-hoat memang
hebat, tapi untuk mengalahkan aku, haha, masih terlalu jauh," demikian
Lenghou Yong mencemooh. Sebelum dia habis bicara "Tring, tring" dua kali
dia menjentik pergi seruling Kek Lam-wi, hampir saja Kek Lam-wi tak kuat
memegang serulingnya karena jari-jarinya terasa kaku kesemutan. Tapi jurus
serangan Kek Lam-wi ini sudah cukup setimpal sehingga lawan terpaksa harus
menangkis. Tanpa berjanji Ti Nio dan Kwi Su-to berseru bersama: "Jurus
kedua."
Serangan Kim-na-jiu Lenghou
Yong selanjutnya, kembali berhasil diluputkan oleh Kek Lam-wi. Tiba-tiba timbul
niat jahat Lenghou Yong, pikirnya: "Entah dari mana keparat ini
mempelajari langkah yang aneh, biar aku gunakan Tay-cui-pi-jiu untuk
menghadapinya, umpama tidak mampus biar dia terluka parah," tiba-tiba
gerakan telapak tangannya mengundang deru angin kencang, secara beruntun dia
lancarkan dua jurus serangan yang mematikan.
Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkan
Lenghou Yong merupakan ilmu tunggal di Bulim. Kehebatannya memang mampu
membelah pilar batu dimana angin pukulannya mendampar, pakaian Kek Lam-wi
tampak berkibar-kibar, koyak beterbangan, seperti tiba-tiba puluhan kupu-kupu
beterbangan di udara. Itulah adu kekuatan Lwekang, bagi yang bertenaga kuat
pasti menang, yang lemah pasti kalah, untuk adu kekuatan siapapun tidak boleh
main untung-untungan lagi.
Meski Kek Lam-wi mahir
menggunakan- langkahnya yang aneh secara tangkas, dia tetap di pihak yang dirugikan,
dan kerugian yang dideritanyapun tidak kecil. Untung meski pakaiannya tergetar
pecah dan berhamburan, dia sendiri sih belum terluka parah, hal ini ternyata
berada diluar perhitungan Lenghou Yong.
"Anak kurcaci, coba saja
berapa jurus lagi kau kuat bertahan?" memperoleh angin Lenghou Yong tidak
menyia-nyiakan kesempatan, di kala Kek Lam-wi belum berdiri tegak, mendadak dia
mengenjot pula. Genjotannya ini seperti mengarah ke bawah, Kek Lam-wi dipaksa
lompat ke atas, tak tahunya segulung tenaga pukulan tiba-tiba sudah menerjang
tiba di depan dada.
Ternyata Lenghou Yong
menggunakan cara mendekat memukul ke tempat jauh, merupakan gerakan tunggal
pula dari salah satu jurus Tay-cui-pi-jiu yang liehay itu. Bila ilmu ini
diyakinkan mencapai taraf yang tinggi, memukul batu seperti menekan tahu. Kini
jotosannya mengincar bagian bawah, namun tenaganya justru menjurus ke atas,
tingkatan ilmu pukulannya ini masih terhitung kelas dua. Tapi taraf
kepandaiannya memang lebih tinggi dari Kek Lam-wi, meski ilmu yang dilontarkan
ini belum mencapai tingkat yang sempurna, Kek Lam-wi toh sudah mengeluh
kepayahan.
Lompatan Kek Lam-wi ke atas
ini justru seperti memapak dan memberikan dadanya untuk dimakan pukulan lawan,
kontan tubuhnya terjungkal jumpalitan. Agaknya sebelumnya tak pernah terpikir
oleh Ti Nio bahwa pertempuran bakal berlangsung seperti ini, karuan dia melongo
kaget di tempatnya. Beruntun Lenghou Yong sudah melontarkan tiga kali serangan,
diapun lupa menghitungnya lagi.
Melihat Kek Lam-wi terjungkal
jatuh, kaget dan girang Kwik Su-to bukan main, lekas dia tenangkan hati dan
berteriak: "Jurus keenam."
Jelas tampak Kek Lam-wi bakal
terjungkal jatuh dengan kepala bocor, tak tahunya di kala tubuhnya terjengkang
membalik itulah, tiba-tiba dia ulur serulingnya ke bawah menutul dulu ke tanah,
meminjam pantulan tenaga tutulan ini, dengan tangkas dia jumpalitan pergi serta
berdiri tegak di atas kakinya. Meski tidak terjungkal jatuh, tapi kakinya goyah
sempoyongan, jelas dia tidak tahan lagi, tampak serulingnya menuding seraya
membentak dengan suara serak gemetar:
"Bangsat tua, biar aku
adu jiwa dengan kau. Huuuaaah," tiba-tiba dia memuntahkan darah segar.
Lenghou Yong tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Anak bagus, kematian sudah di depan mata masih
bertingkah. Kalau kau tahu diri lekas serahkan seruling itu, kalau tidak jiwamu
pasti amblas," dengan langkah lebar dia mendesak maju seraya ulur tangan
mencengkram ke arah Kek Lam-wi.
Seperti orang mabuk langkah
Kek Lam-wi gentayangan mundur, sikapnya seperti gentar dengan kedua tangannya
terpaksa dia angsurkan seruling dan berkata: "Baiklah, seruling ini
kuserahkan."
Kali ini giliran Lenghou Yong
yang melengak, pikirnya: "Bocah ini jelas sudah terluka dalam, meski tidak
mampus juga takkan mampu melawan lagi. Bila kubunuh dia, Ti-lothau mungkin bisa
melabrak aku, baiklah, setelah kuperoleh seruling itu anggaplah pertikaian
inipun lunas," maka dia ulur tangan hendak menyambut.
Tak nyana di antara sambaran
kilat, mendadak Kek Lam-wi memutar serulingnya sehingga Lenghou Yong tak
berhasil memegangnya.
Sambil bersenandung Kek Lam wi
kerjakan seruling secepat kilat. Seketika Lenghou Yong merasakan pandangannya
berkunang-kunang, bayangan seruling seolah-olah merubungnya dari berbagai
penjuru mengurung dirinya. "Anak keparat," hardiknya murka,
"berani kau menipu aku," dengan menggertak kedua tangannya bergerak
dengan jurus Heng-sau-jian-kun.
Di tengah sambaran bayangan
seruling dan gempuran kepalan tangan, tampak Kek Lam-wi gunakan gerakan
Sip-hiong-hoan-hun (mengempeskan dada membalik mega) selincah burung walet
tubuhnya menerobos pergi tiga tombak. Sebaliknya Lenghou Yong terdengar
menggeram sekali, mukanya tampak membesi hijau.
Maka legalah hati Ti Nio,
dengan girang segera dia berteriak: "Jurus ke tujuh, jurus ke
delapan," ternyata baru sekarang Kek Lam-wi melancarkan serangan
menggunakan jurus-jurus tunggal yang dia ajarkan.
Kenapa sejauh ini baru Kek
Lam-wi melancarkan jurus serangan tunggal ini? Soalnya jurus serangan tunggal
ini harus dilancarkan sesuai kesempatan yang ada, baru hasilnya bisa berlipat
ganda dan akibatnya pasti fatal bagi sang lawan. Kalau tanpa perhitungan
matang, terpaut serambut saja, akan sia-sia perjuangan mengadu jiwa ini.
Harus diketahui ketiga jurus
tunggal ciptaan Ti Nio yang diajarkan kepada Kek Lam-wi adalah hasil saringan
yang diperolehnya dari cangkokan King-sin-pit-hoat, ketiga jurus itu khusus
diciptakan untuk menghadapi ilmu andalan Lenghou Yong. Betapapun Kungfu Kek
Lam-wi memang ketinggalan jauh dibanding Lenghou Yong, bila begitu bergebrak
Kek Lam-wi lantas melancarkan ketiga jurus tunggal itu, dengan kekuatan ketiga
jurus tunggal itu saja rasanya masih belum mampu mengalahkannya, harapan
menangpun terlampau tipis. Oleh karena itu Kek Lam-wi mencari akal dan mengatur
tipu daya, dia tetap menggunakan kemampuan sendiri
dikombinasikan langkah ajaib
ajaran Ti Nio, memperlihatkan titik kelemahan sendiri sehingga lawan takabur
dan memandang rendah dirinya, setelah tiba saat yang dinantikan baru dia
menyergap dengan serangan telak.
Baru dua jurus dari tiga jurus
tunggal yang dipelajari dia lancarkan, ternyata telah berhasil menutuk
Jian-kin-hiat Lenghou Yong. Untung Lenghou Yong sempat berkelit sedikit, kalau
tidak tulang pundaknya pasti bolong tertembus serulingnya. Sayang Lwekang kedua
lawan terpaut amat jauh, meski dengan Jong-jiu-hoat Kek Lam-wi berhasil menutuk
Hiat-tonya, namun dalam waktu sekejap Lenghou Yong berhasil kerahkan hawa murni
membobol Hiat-to yang tertutuk. Akan tetapi jurus Heng-sau-jian-kun yang
dilancarkan untuk balas menyerang
Kek Lam-wi betapapun mengurangi pula perbawa kekuatannya sehingga Kek Lam-wi
sempat melompat jauh kesana dan siaga menunggu reaksi musuh.
Lenghou Yong murka, bentaknya:
"Anak keparat, kau main tipu daya, kalau tidak kubunuh kau, aku bersumpah
takkan jadi manusia."
Kek Lam-wi menjengek:
"Seruling kuberikan, salah siapa, kau tidak becus menerimanya? Kalau tidak
terima boleh maju lagi, kan belum genap sepuluh jurus, masih ada sisa dua
jurus, memangnya kau mampu berbuat apa terhadapku? Hm, jika kau tidak mampu
membunuhku, nah, coba saja rasakan, akulah yang akan menggorok lehermu."
Bercekat hati Lenghou Yong,
pikirnya: "Betul, tinggal dua jurus lagi, kenapa aku terburu emosi,"
lekas dia tekan perasaan, diam-diam kerahkan Lwekang, dengan mendelik dia menatap
tajam ke arah Kek Lam-wi.
Sikap Kek Lam-wi kelihatan
lebih tenang, tiba-tiba diangkat serulingnya terus ditiupnya.
Mendadak Lenghou Yong
membentak: "Nih, sejurus saja kumampusi jiwamu, kenapa harus dua
jurus," kumandang suaranya orangnyapun menubruk tiba, kedua lengannya
terpentang seperti burung elang yang kelaparan menyambar kelinci, Kek Lam-wi
hendak diterkamnya, dimana gerakan kaki tangannya ternyata menimbulkan deru
angin kencang.
Ti Nio berteriak: "Jurus
ke sembilan," mau tidak mau suaranya terdengar gemetar. Ternyata dia tahu
jurus ini Lenghou Yong menggunakan seluruh
kekuatannya, Eng-jiau dan
Tay-cui-pi-jiu dilontarkan bersama menjadi satu jurus gabungan yang liehay. Ti
Nio tahu kondisi Kek Lam-wi sekarang memang lebih sedikit menguntungkan dari
gebrak tadi, serta melihat serangan Lenghou Yong yang dibakar oleh amarahnya
itu, betul-betul hatinya amat kuatir akan keselamatan Kek Lam-wi, dia
bertanya-tanya, apakah jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang dia ajarkan
kepada Kek Lam-wi masih mampu untuk mengalahkan musuh.
Begitu menubruk dekat, kontan
Lenghou Yong merasa segulung hawa hangat menerpa mukanya, kulit mukanya menjadi
panas dan perih. Lekas Lenghou Yong melengos dan meleng kepala, bentaknya:
"Anak keparat, maui licik apa kau ini, kau kira aku takut."
Seperti diketahui seruling
mustika Kek Lam-wi merupakan pusaka Bulim yang jarang ada bandingannya, hawa
hangat yang ditiup keluar dari batang seruling itu ternyata dapat digunakan
menyerang dan melukai musuh. Lwekang Lenghou Yong jauh lebih tinggi dibanding
Kek Lam-wi, meski dia tidak sampai terluka, mau tidak mau dia terhenyak
sebentar.
Kembali Kek Lam-wi
bersenandung mengiringi gerakan serulingnya, kini seruling panjang itu bergerak
dengan jurus-jurus ilmu pedang, secepat anak panah tiba-tiba meluncur keluar,
dia lancarkan jurus terakhir dari tiga jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio itu.
Jurus ini dinamakan Li Khong memanah batu, merupakan jurus terampuh dari jurus
tunggal itu. Terdengar "Crak" seruling meluncur secepat anak panah
menancap amblas ke pundak Lenghou Yong, sudah tentu tulang pundak kirinya putus
dan remuk.
Lenghou Yong melolong panjang,
suaranya seperti serigala yang terluka, sebelum terjungkal roboh dia sempat
mendorong kedua telapak tangannya, Kek Lam-wi dihantamnya mencelat sejauh tiga
tombak.
Lekas Ti Nio memburu kesana
serta memapahnya berdiri, wajah Kek Lam-wi pucat pias, meadadak dia menjerit
dan menumpahkan darah segar sebanyak-banyaknya.
Akhir dari duel ini ternyata
roboh bersama, luka-luka Kek Lam-wi kelihatannya lebih parah dari lawannya.
Tapi akhir dari pertempuran
ini sungguh diluar dugaan Ti Nio dan Kek Lam-wi sendiri. Maklum Kungfu Lenghou
Yong hakikatnya jauh lebih tinggi dibanding Kek Lam-wi, bila Hiat-to di
pundaknya tidak kena tutuk lebih dulu, serta wajahnya diterpa hawa panas pula,
meski jurus terakhir itu Kek Lam-wi mampu melukai lawan, jiwanya pasti melayang
seketika karena gempuran kedua tangan musuh.
Meski kedua pihak sama-sama
roboh dan terluka, tapi batas sepuluh jurus yang dijanjikanpun telah genap.
Karena tulang pundak kiri remuk, karuan tambah murka Lenghou Yong, mukanya
beringas seliar serigala, bentaknya: "Anak kurcaci, biar aku adu jiwa
dengan kau," begitu menubruk maju mendadak dia menyerang pula sekali.
Karena tulang pundak kiri
remuk, lengan kirinya sudah tidak mampu bergerak lagi, maka seluruh sisa
kekuatannya dia himpun di lengan kanan, pukulannya ini boleh dikata sudah
mengerahkan seluruh kekuatan yang pernah dilatihnya, perbawanya jauh lebih
hebat dibanding tamparan kedua telapak tangannya tadi, maka pukulan ini tidak
boleh dipandang remeh. Tapi serangan dahsyat ini sudah terhitung jurus ke
sebelas.
Ti Nio sedang memapah Kek
Lam-wi, dengan tubuhnya dia melindunginya sembari mengebas lengan baju,
bentaknya: "Sepuluh jurus sudah genap, kau ingin berhantam lagi boleh aku
iringi kehendakmu."
Jarak hanya lima langkah,
kedua kekuatan dahsyat saling tumbuk maka terdengarlah suara
"Pyaaaar" bagai ledakan halilintar. Sambil menggandeng Kek Lam-wi, Ti
Nio tergentak mundur tujuh langkah baru kuat berdiri di atas kakinya pula, pada
hal Lwekangnya setingkat lebih tinggi dari Lenghou Yong, sungguh tidak pernah
disangkanya bahwa gempuran terakhir Lenghou Youg sedahsyat ini, mau tidak mau
tersirap darahnya.
Sebaliknya Lenghou Yong tetap
berdiri tegak di tempatnya, tapi sekejap lain tampak tubuhnya limbung bergontai
dua kali, "Huuuuaaaah" darah segar menyembur dari mulutnya.
Lwekangnya jelas bukan tandingan Ti Nio, apalagi setelah terluka parah, setelah
adu kekuatan secara kekerasan ini, keadaannya sudah tentu lebih parah. Insaf
meski nekad juga dirinya tak ungkulan mengalahkan Ti Nio, terpaksa dengan lesu
dia mundur teratur, pikirnya: "Biarlah aku berusaha mengulur waktu, biar
mereka takabur sebentar."
Lekas Ti Nio jejal sebutir
Siau-hoan-tan yang memang sudah dia siapkan ke mulut Kek Lam-wi, Siau-hoan-tan
ini diberikan oleh Lim Ih-su yang memperoleh dari Hong-tiang Siau-lim-pay,
diam-diam dia pegang urat nadi Kek Lam-wi, meski lukanya parah, namun urat
nadinya syukur tidak terluka, dengan kasiat Siau-hoan-tan, yakin jiwanya bisa
tertolong. Maka dengan lega hati dia menoleh ke arah Lenghou Yong serta
menjengek: "Sepuluh jurus sudah genap, janjimu bisa dipercaya tidak?"
Kwik Su-to segera tampil ke
muka, katanya: "Kukira akan keterlaluan bila Lenghou Tayjin dipaksa bunuh
diri? Apalagi Lenghou Tayjin juga telah kehilangan sebelah lengannya,
kukira..."
"Kukira bagaimana?"
bentak Ti Nio.
Semula Kwik Su-to hendak
bilang, kukira anggaplah urusan selesai sampai disini, tapi serta dipelototi
oleh Ti Nio nyalinya kuncup seketika, dengan tergagap dia menjawab:
"Kukira, apakah Ti-siansing bisa menggunakan cara lain, syukur bisa
persoalan dibikin damai. Luka Kek-siauhiap tentu tidak ringan, untuk ini aku
rela mengganti ongkos pengobatannya."
"Memangnya siapa sudi
menerima uang busukmu," semprot Ti Nio, "jangan kau lupa kau ini
seorang wasit. Bila kau suka mengabaikan kedudukanmu dan berdiri di pihak
Lenghou Yong, itupun boleh, kau boleh sebagai tambahan rentenya. Tapi rente itu
tak perlu dibayar dengan uang."
Dasar pikun, atau mungkin
karena ketakutan, meski dia tahu nada Ti Nio agak menyindir, tapi dia masih
tidak tahu, tanyanya: "Kalau rente tidak dibayar dengan uang lalu dibayar
dengan apa, harap Ti-siansing menjelaskan."
Ti Nio berkata tawar:
"Agaknya kau suka rela membayar rentenya itu?"
Bercekat hati Kwik Su-to,
katanya gelagapan: "Kalau aku mampu mengeluarkan. Aku sih ingin
mendamaikan persoalan ini."
"Baik, kau
dengarkan," seru Ti Nio, "dua puluh tahun yang lalu Lenghou Yong
membunuh ayah Kek Lam-wi, yaitu suhengku. Sesuai kalkulasi kaum pedagang
macammu yang memberikan rente kepada peminjam, tentunya tak usah dua puluh
tahun kau sudah akan memperoleh kembali modalmu yang semua dari rente itu.
Sekarang biarlah kuberi muka kepada kau, rentenya tidak kutuntut terlalu
tinggi, biar kuhitung satu tambah satu saja, nah lekaslah kaupun serahkan
jiwamu untuk mengiringi kematiannya."
Karuan Kwik Su-to berjingkrak
kaget, arwahnya serasa terbang ke awang-awang, teriaknya sambil goyang-goyang
tangan: "Wah, rentenya itu aku, aku tak berani membayarnya," dengan
gemetar dia melangkah mundur seperti takut dibekuk Ti Nio untuk mencabut
nyawanya.
Pada saat itulah sayup-sayup
terdengar oleh Ti Nio di tempat kejauhan ada suara pertempuran, kuatir urusan
berbuntut panjang segera dia membentak: "Lenghou Yong, kau bereskan dirimu
sendiri, atau aku yang turun tangan? Kini sebagai seorang wasit aku harus
bertindak adil, kuhitung sampai tiga, bila kau masih belum bertindak, terpaksa
kuwakili kau mencabut jiwamu."
Lenghou Yong tertawa getir,
katanya: "Jelek-jelek aku ini terhitung seorang kosen di Bulim, mana aku
sudi mati secara terhina? Biar kugorok leherku sendiri dan kuserahkan kepada
kalian," di kala dia berpura-pura mencabut golok hendak menggorok leber
sendiri itu, di bawah penerangan rembulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak
dua bayangan sedang berlari kencang bagai terbang mendatangi kemari.
000OOO000
Tan Ciok-sing, In San dan Toan
Kiam-ping serta Han Cin akhirnya tiba di Lo-gau-kio, karena siang kurang
leluasa mengembangkan Ginkang di depan umum, maka pada kentongan ketiga baru
mereka sampai di suatu tempat yang tak jauh letaknya dari Lo-gau-kio. Kala itu
mereka berada di atas sebuah bukit kecil, dari pengkolan bukit dari kejauhan
mereka sudah nampak Lo-gau-kio.
Tengah malam di tanah tegalan
yang sunyi. Tiba-tiba Han Cin menghela napas, katanya: "Lenghou Yong
mungkin belum tiba di Lo-gau-kio, kebetulan kita menyusul tiba pada
waktunya."
Tan Ciok-sing yang lari di
paling depan mendadak mempercepat larinya, Han Cin kira orang buru-buru ingin
sampai ke tempat tujuan, tapi In San justru bersuara heran, katanya:
"Agaknya ada orang di depan," belum habis dia bicara, di depan memang
muncul satu orang.
Orang itu mendadak berhadapan
dengan Tan Ciok-sing, kedua pihak sama-sama melongo, orang itu lantas berseru:
"Tiangsun Pwecu, wah aku, kau bukan..."
Tan Ciok-sing sudah menjengek:
"Poyang Gun-ngo, kau keliru menyambutku. Tapi aku yakin kau bukan khusus
mau menyambut kedatangan Pwecumu bukan? Untuk apa kau sembunyi disini?"
Ternyata Poyang Gun-ngo memang
diundang Lenghou Yong untuk memberi bantuan padanya.
Satu lari yang lain mengudak
di belakang, lekas sekali, di keremangan malam Lo-gau-kio sudah tampak di
sebelah depan. Tapi apakah di atas jembatan ada orang, dari jarak sejauh ini
masih belum kelihatan. Di kala kedua orang adu lari dengan tancap gas, mendadak
terdengar sebuah lolong jeritan yang menyayat hati.
Itulah jeritan Lenghou Yong
yang pundaknya tertembus seruling Kek Lam-wi, Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing
sama-sama kaget. Karena mereka tidak bisa membedakan suara jeritan siapa. Kedua
orang hampir bersamaan mencapai jembatan.
Dalam pada itu, di atas
jembatan Ti Nio sedang paksa Lenghou Yong "bunuh diri". Karena tak
mungkin mengulur waktu lagi, sudah tentu kaget dan murka pula hati Lenghou
Yong, pikirnya: "Orang yang sudah kujanjikan kenapa masih belum kunjung
tiba?" apa boleh buat terpaksa dia pelan-pelan melolos golok dan siap
menggorok leher sendiri, pada detik-detik terakhir sebelum ajalnya ini dia
masih mengharap munculnya keajaiban.
Bintang penolong memang muncul
secara mendadak, sebelum golok menggorok leher itulah di kala dia angkat kepala
memandang kesana, dilihatnya dua orang seperti adu kecepatan lari sedang
berlomba mendatangi, bayangan orang di depan sudah mencapai ujung jembatan.
Karuan bukan kepalang girang hati Lenghou Yong, pikirnya: "Sungguh tak
nyana Tiangsun Pwecu juga sudi membantu kesulitanku. Dengan kekuatan gabungan
Poyang Gun-ngo dan Tiangsun Pwecu, umpama Bak-pangcu dari Hoay-yang-pang tidak
datang juga tidak jadi soal, yakin mereka sudah berkelebihan untuk menghadapi
Ti-lothau," saking senangnya lekas dia berteriak: "Tiangsun Pwecu,
Poyang-ciangkun, tepat sekali kedatangan kalian."
Hampir dalam waktu yang sama
Poyang Gun-ngo dan Tan Ciok-sing juga berteriak.
Dengan suara gemetar Poyang
Gun-ngo berteriak: "Lenghou-siansing, apakah kau terluka?"
Sementara Tan Ciok-sing
berteriak juga: "Ti-lopek bagaimana keadaan Kek-toako?"
Mendengar suara Tan Ciok-sing,
bukan main kaget Lenghou Yong, rasa girangnya seketika kuncup tak berbekas.
Sebaliknya Ti Nio kegirangan. Dia sudah melihat jelas yang mengudak Poyang
Gun-ngo adalah Tan Ciok-sing, segera dia berseru senang: "Poyang Gun-ngo,
apakah kau mau membayar rente Lenghou Yong?"
Melihat Ti Nio berada di atas
jembatan, mana Poyang Gun-ngo berani maju, lekas dia menghentikan langkah dan
bertanya bingung: "Membayar rente apa?"
"Rente Lenghou-siansing
yang hutang jiwa terhadap mereka," lekas Kwik Su-to menimbrung,
"mereka menuntut jiwa sebagai rentenya."
Sudah tentu ciut nyali Poyang
Gun-ngo, teriaknya berjingkrak mundur: "Wah, maaf, aku tidak bisa membayar
rentenya itu," baru saja kakinya menginjak ujung jembatan, segera dia
lompat turun ke pinggir sungai terus lari sipat kuping melalui gili-gili.
Sementara itu Tan Ciok-sing
sudah mencapai pertengahan jembatan, dia tiada niat mengejarnya. Ti Nio segera
membentak: "Nah, tiada orang yang sudi membayar rentemu, lekas kau
bereskan dirimu sendiri, masih tunggu apa lagi?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar
bunyi air dikayuh serta luncuran sebuah perahu di atas air, dari semak daun
welingi sana, tiba-tiba muncul sebuah sampan meluncur ke arah jembatan. Seorang
laki-laki besar, berpunggung lebar, berdada bidang • berdiri di depan sampan.
Ti Nio curahkan perhatiannya kepada Tan Ciok-sing yang mengudak Poyang Gun-ngo,
maka setelah sampan kecil itu dikayuh sampai di bawah jembatan baru dia
mendengar dan melihatnya. Tengah malam buta rata untuk apa sampan kecil dikayuh
ke bawah jembatan? Sudah tentu timbul rasa curiga Ti Nio, sayang dia sadar
setelah terlambat.
Baru saja dia menoleh hendak
mendesak Lenghou Yong bunuh diri pula, tiba-tiba Lenghou Yong sudah menekan
batu singa di pinggir jembatan terus melompat jumpalitan dan tepat hinggap di
atas sampan dengan enteng.
Laki-laki besar yang berdiri
di depan sampan itu ternyata bukan lain adalah Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu
yang dahulu sering bersekongkol melakukan berbagai kejahatan di Bulim.
Mendengar berita temannya ini
hidup makmur di kota raja, maka Bak Bu-wi jadi ketarik dan sengaja menyusulnya
ke kota raja, dia harap temannya suka membantu sehingga dia bisa memperoleh
pangkat dan kedudukan di kota raja, baru kemarin dia tiba. Kedatangan kawan
lama yang mahir berenang ini sungguh amat kebetulan bagi Lenghou Yong. Pada hal
Bak Bu-wi belum lagi mendapat kebaikan apapun dari dia, orang justru telah
memperalat dirinya lebih dulu.
Sesuai yang diduga Tan
Ciok-sing, Lenghou Yong memang manusia licik yang tidak mudah ditipu? Meski dia
kemaruk harta namun secara diam-diam diapun sudah mengatur teman-temannya di
sekitar Lo-gau-kio. Poyang Gun-ngo'dia pula yang mengundang, dia dimintai
berjaga-jaga di atas daratan, sementara Bak Bu-wi diharuskan siap siaga dari
sungai. Rencana rapi yang diaturnya ini tenyata diluar tahu Kwik Su-to.
Di atas darat dan di air sudah
ada teman yang siap bantu memberi pertolongan bila mana perlu, sudah tentu dia
tidak perlu kuatir menghadapi bahaya. Tak nyana perhitungannya meski
sempurna-betapapun Thian memang lebih berkuasa. Mimpipun dia tak pernah bahwa
Tan Ciok-sing dan In San bisa kebetulan keluar dari istana raja di hari itu
pula dan kebetulan pula di saat dirinya menghadapi jalan buntu, Poyang Gun-ngo
kebentur mereka berdua. Kini tinggal Bak Bu-wi seorang yang boleh diharapkan untuk
menolong dirinya, seperti seorang yang kecebur ke air layaknya, bila bisa
menangkap setangkai jeramipun dia tidak akan melepaskannya, demikian pula dia
mengincar tepat waktunya untuk loncat ke atas sampan. Sampan itu berlaju pesat
mengikuti arus air yang deras. Ti Nio tidak bisa berenang, terpaksa dia hanya
mencaci maki belaka.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
berseru: "Kalian tak usah gugup, biar aku ringkus mereka kembali,"
lompat ke atas batu singa di pinggir jembatan sekuat tenaga dia menjejak
sekerasnya, secepat kilat tubuhnya meluncur ke depan, lalu jumpalitan dua kali
di udara dan meluncur turun tepat di atas sampan. Betapa sempurna Ginkangnya,
sungguh
mengagumkan, Ti Nio tak urung
tepuk tangan memuji.
"Bagus, kau bocah ini
mengantar jiwa," bentak Bak Bu-wi, kontan dia ayun gayung terus
mengemplang, "Krak" kembali api berpijar. Gayung besinya yang lebar
dan tebal itu ternyata terpapas sebagian besar. Maklum Tan Ciok-sing membawa
Pek-hong-kiam warisan Thio Tan-hong. Sayang karena rintangan ini Tan Ciok-sing
tak mampu mencapai sampan, karena di kala pedang dan galah beradu, dari samping
Lenghou Yong bantu membokong dengan pukulan jarak jauh. Setelah memapas putus
gayung lawan daya kekuatan luncuran tubuh Tan Ciok-sing sudah habis, kedorong
oleh angin pukulan lagi, tanpa ampun dia sudah kecebur kedalam air.
Bak Bu-wi tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Anak keparat, unjukan kegagahanmu di hadapan
Hay-liong-ong di dasar
air," di tengah gelak tawanya dia gunakan sisa gayungnya itu mengebut
sampan yang meluncur mengikuti arus, lekas sekali sampan sudah meluncur ke
tengah sungai. Namanya saja sungai ini Ing-ting-ho (sungai tenang abadi) pada
hal arusnya bergelombang airnya berpusar, banyak batu-batu karang berbahaya di
dasar sungai, bila tidak pandai mengendalikan sampan, salah membentur karang
dan sampanpun bisa hancur dan orangpun mati kelelap di dasar air.
Beberapa kejap lagi masih
belum kelihatan Tan Ciok-sing menongolkan kepalanya, karuan Ti Nio kuatir, tapi
dia sendiri tak pernah belajar berenang, terpaksa hanya gugup membanting kaki
dan memukul telapak tangan sendiri. Di samping In San tertawa katanya:
"Ti-cianpwe tidak usah kuatir. Tan-toako mahir berenang, dia takkan mati
tenggelam. Kini pasti sedang bekerja di dasar air untuk menghadapi musuh."
Tiba-tiba tampak kepala Tan
Ciok-sing muncul di permukaan air, serunya lantang: "Kenapa tergesa-gesa.
Biar kuantar kalian menghadap raja laut saja."
Tiba-tiba tampak sampan kecil
itu bergoyang-goyang meluncur melewati sela sela karang sempit. Tampak Bak
Bu-wi angkat gayungnya, berbareng Lenghou Yong juga memukul ke permukaan air
dengan Bik-khong-ciang, dengan gabungan kekuatan kedua orang ini, meski
gelombang tinggi hampir menelan sampan mereka, sampan tetap melaju ke depan.
Kali ini Tan Ciok-sing tidak kelihatan muncul lagi.
Ti Nio berkata: "Marilah
kita ikuti sampan itu, Wi-tit, kau masih bisa lari?"
Kek Lam-wi menarik napas,
sahutnya: "Aku masih mampu lari," sejak menelan Siau-hoan-tan sampai
sekarang sudah berselang setengah sulutan dupa, kasiat obat sudah bekerja dalam
tubuhnya. Meski hawa murninya belum pulih, Lwekang sudah berhasil dihimpunnya
sedikit, untuk berlari dia masih lebih kuat dibanding laki-laki kekar biasa. Ti
Nio genggam tangan kanannya, diam-diam dia bantu salurkan tenaga dan
menyeretnya pula.
Lekas sekali mereka sudah
turun ke pesisir terus membuntuti sampan itu dari pinggir sungai.
Kwik Su-to cari kesempatan
hendak ngacir pergi. Ti Nio keburu membentak: "Urusan belum selesai, kau
sebagai wasit mana boleh pulang lebih dini."
In San mencabut pedang,
katanya mengancam: "Tan-toako belum kembali, kau sudah mau lari? Kalau mau
lari boleh kau terjun ke air sekalian."
Han Cin menimbrung:
"Betul bila Tan-toako tidak kembali kitapun lempar dia ke air."
Apa boleh buat terpaksa Kwik
Su-to ikut mereka mengudak sampan itu, dalam hati diam-diam dia berdoa supaya
Tan Ciok-sing tidak mati tenggelam.
Sampan kecil itu meluncur
secepat kuda dibedal kencang di tengah arus sungai yang bergolak tapi para
pengejar yang berlari-lari di pinggir sungai mengembangkan Ginkangpun tidak
ketinggalan.
Tiba-tiba Han Cin berteriak:
"Ayah, tuh lihat, bukankah itu Tan-toako?"
Ti Nio menoleh ke arah yang
ditunjuk, tampak sesosok bayangan seperti ikan terbang melesat di permukaan air
lalu lenyap pula ditelan gelombang. Sesaat kemudian, tiba-tiba tampak sampan
kecil itu berputar tidak terkendali pula di tengah sungai. Sebentar lagi,
sampan itu miring dan mulai karam.
In San tepuk tangan girang,
serunya: "Gelagatnya sampan itu akan dibikin karam oleh Tan-toako."
Terdengar Bak Bu-wi membentak:
"Kurcaci, berani kau bikin tenggelam sampanku, biar kusikat dulu
jiwamu," dayung kutung dibuang, segera dia keluarkan sepasang garpu besar
terus terjun kedalam air.
Ti Nio dan lain-lain terpaksa
berhenti dan menonton di pinggir sungai, tampak air bergolak semakin besar,
pertempuran di bawah air ternyata berjalan amat seru, sehingga sukar dibedakan
mana Tan Ciok-sing mana Bak Bu-wi, semua menonton dengan hati tidak tentram,
telapak tanganpun berkeringat dingin. Terutama Ti Nio, dia jelas tahu kemampuan
Bak Bu-wi, pikirnya: "Hoay-yang-pang adalah sindikat terbesar di perairan,
sebagai Pangcu Hoay-yang-pang, terang ilmu di bawah air Bak Bu-wi amat liehay.
Di atas daratan jelas Tan Ciok-sing bisa menyikatnva dengan mudah, tapi di air
mana dia menjadi tandingannya."
Mendadak terdengar suara
jeritan dan gaduh, Lenghou Yong berkaok-kaok: "Bak-toako, kemarilah tolong
aku."
Kiranya perahu itu kena
ditusuk bolong dasarnya oleh pedang mustika Tan Ciok-sing, arus sungai sederas
itu pula, lobang itu menjadi semakin melebar dan airpun masuk semakin banyak.
Akhirnya sampan itu penuh air dan air berputar semakin keras di tengah sungai,
kebetulan di depan ada karang, kontan sampan itu kebentur pecah dan hancur
berantakan.
Dalam pada itu dua orang yang
lagi berhantam di tengah sungaipun telah berakhir, tampak seorang berenang
secepat ikan terbang ke seberang sana melarikan diri. Jarak cukup jauh
gelombangpun besar sehingga sulit diketahui siapa yang melarikan diri itu.
Lekas sekali airpun tenang
kembali, orang banyak sama menunggu sambil menahan napas, namun hati gelisah
bukan main. Pertama mereka melihat pakaian koyak terhanyut minggir ke tepi, In
San lari meraihnya serta diperiksa, akhirnya dia menghela napas lega, katanya:
"Yang melarikan diri itu adalah Bak Bu-wi."
Belum habis dia bicara, tampak
seorang menongolkan dirinya, lalu dengan langkah sempoyongan berlari di
pesisir. Semua orang jadi melenggong karena orang yang mentas ke atas daratan
dengan tubuh lunglai ini ternyata adalah Lenghou Yong.
Perih hati In San, segera dia
memburu maju seraya membentak: "Kau, telah mencelakai..." sebelum dia
sempat mengucap 'Tan-toako', tiba-tiba dia sudah mendengar suara Tan Ciok-sing
berseru: "Aku gusur keparat ini kembali, Kek-toako, silahkan kau menjatuhkan
vonismu," lekas sekali Tan Ciok-singpun sudah berada di atas daratan.
Ternyata karena Lwekang
Lenghou Yong cukup tangguh, meski tidak pandai berenang, didalam air dia kuat
menahan napas. Ilmu bermain didalam air Tan Ciok-sing jelas jauh lebih liehay
dari lawannya, tapi dia hanya membekuknya tanpa melukainya pula, terus di
gelandang naik ke atas darat.
Ti Nio segera membentak:
"Kau bereskan diri sendiri, atau aku yang turun tangan?"
"Susiok hutang darah ini
biar aku sendiri yang menagih padanya," demikian seru Kek Lam-wi,
semangatnya seperti bergelora, langsung dia menubruk maju sambil mengangkat
serulingnya, makinya: "Hutang harus dibayar, tepat tidak akan menuntut
bayaranmu?"
Lenghou Yong sudah lemah
kehabisan tenaga, mana kuat bertempur lagi, apalagi tulang pundak kiri sudah
cacad, begitu dia menangkis dengan lengan kanan. "Krak" tulang
lengannya terpukul remuk pula. Seketika dia menjerit sekeras-kerasnya seperti
binatang yang sekarat menjelang ajalnya, mendadak dengan beringas dia mencelat
bangun terus menubruk.
Kek Lam-wi kira orang berlaku
nekad hendak menubruk dirinya, maka dia menyurut selangkah sambil melintang
seruling di depan dada, bila lawan benar menyeruduk dirinya, dia sudah siap
hendak mengepruk batok kepalanya biar pecah
Tak nyana Lenghou Yong tidak
menubruk atau menyeruduk ke arah Kek Lam-wi tapi dia benturkan kepalanya di
atas batu besar yang berada tak jauh di pinggir sungai. Kepala pecah otakpun
berhamburan, jiwapun melayang seketika. Agaknya dia insaf jiwanya takkan bisa
selamat lagi, dari pada tersiksa dan terhina, lebih baik bunuh diri, maka
mumpung masih ada sisa tenaga, sebelum Kek Lam-wi menamatkan riwayatnya, dia
nekad benturkan kepalanya di atas batu.
Sesaat lamanya Kek Lam-wi
berdiri terlongong, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut serta meratap pilu:
"Ayah, hari ini sakit hatimu berhasil kutuntut balas, semoga arwahmu
beristirahat tenang di alam baka," setelah musuh pembunuh ayah mampus, dia
sendiripun merasa seluruh tubuh sakit dan lunglai, tak kuasa lagi dia berdiri,
pelan-pelan meloso jatuh lemas.
Ti Nio memapahnya, katanya:
"Hiantit, patut kuberi selamat bahwa kau berhasil menuntut balas kematian
ayahmu. Sudahjah, sekarang mari kita pulang."
Semua orang putar balik ke
atas jembatan dengan perasaan riang gembira. Hanya Kvvik Su-to yang bermuram
durja. Ti Nio membentak: "Sekarang sudah tiada urusanmu, lekas
enyah."
Tiba-tiba Kwik Su-to berlutut
di depannya, malah ratapnya: "Ti-loyacu, aku mohon kepada kau, jangan kau
mengusirku pergi!"
Ti Nio tidak sempat pikirkan
nasib orang, sejenak dia melengak, bentaknya: "Eh, kenapa tidak
enyah?"
Pada saat itulah tampak dua
ekor kuda mendatangi menarik dua kereta dan berhenti di ujung jembatan. Seorang
laki-laki yang pegang kendali salah satu kereta segera melompat turun sambil
tertawa tergelak-gelak, serunya: "Selamat, kuhaturkan selamat akan
keberhasilan kalian menunaikan tugas. Sayang aku datang terlambat, sehingga
tidak sempat saksikan kau memenggal batok kepala musuhmu."
Laki-laki ini bukan lain
adalah Tio Kan-loh, ketua Kaypang cabang Pakkhia. Ternyata dia kuatir terjadi
sesuatu diluar dugaan, maka dia siapkan dua buah kereta untuk bertindak
bilamana perlu.
Ti Nio berkata: "Masih
ada kabar gembira perlu kuberitahukan kepada kau, kalian belum pernah kenal,
nah lekas kemari kuperkenalkan, inilah Tio thocu dan inilah Tan Ciok-sing
Tan-siauhiap."
Baru sekarang Tio Kan-loh tahu
bahwa Tan Ciok-sing dan In San berdua berhasil menyelamatkan diri dari istana
raja, rasa girangnya lebih besar lagi setelah memberi hormat kepada Tan
Ciok-sing berdua, segera dia berkata: "Orang banyak memang sedang menunggu
kau pulang bersama nona In, mari silahkan naik kereta."
Tan Ciok-sing berkata:
"Ti-locianpwe, silahkan naik dulu bersama Kek-toako."
"Tio-thocu, Tio-
thocu," teriak Kwik Su-to, "tolong kau selamatkan jiwaku."
Sejak tiba Tio Kan-loh
sebetulnya sudah melihat dia berlutut di tanah, baru sekarang dia menoleh dan
menjengek* tanya: "Eh, apa yang sedang kau lakukan? Mau jadi anak Lenghou
Yong yang berbakti?"
Ti Nio berkata: "Kusuruh
dia pulang, dia tidak mau."
"Kenapa tidak mau
pulang?" tanya Tio Kan-loh.
Dengan meringis Kwik Su-to
berkata: "Tio-thocu, yakin kaupun sudah tahu. Akulah yang mengajak Lenghou
Yong kemari memenuhi undanganmu, kini Lenglou Yong sudah mati, mana aku bisa
pulang ke Pakkhia pula? Untung bila pihak mereka tiada yang tahu. Pada hal
Poyang Gun-ngo dan Bak Bu-wi sudah melihat kehadiranku disini, bila perkara
pembunuhan ini diusut, batok kepalakupun bisa dipenggal, kau suruh aku pulang,
bukankah berarti aku harus menyerahkan jiwa ragaku?"
"Lalu apa
kehendakmu?" tanya Tio Kan-loh.
"Mohon Tio-thocu sudi
menerimaku sebagai kacungmu."
"Lho, hartawan besar* di
kota raja yang terkenal seperti kau masa terima jadi kacung pengemis? Tapi
umpama kau mau minta sedekah pada penduduk, Kaypang kami juga tidak boleh
sembarangan menerima murid." demikian ujar Tio Kan-loh.
"Tak berani aku
mengharapkan dapat diterima sebagai murid Kaypang, semoga aku bisa mendarma
baktikan tenagaku untukmu saja, terserah tugas apapun aku rela melakukan. Tio-thocu,
tolong kau bermurah hati mengingat kali ini akupun bekerja dengan baik..."
Tio Kan-loh menepekur
sebentar, pikirnya: "Orang ini terhitung bejat, namun dalam peristiwa ini
dia memang besar andilnya, sehingga Lenghou Yong dipancing kemari dan terbunuh
oleh Kek-siauhiap, kini baru sadar akan akibatnya dan kesulitannya ini juga
lantaran aku yang menyeretnya."
Melihat orang diam saja, lekas
Kwik Su-to mendesak: "Aku hanya mengharap jiwa selamat, soal harta dan
rumah boleh kutinggalkan seluruhnya. Bila perkara ini diusut, bukan mustahil
harta benda dan rumahku pasti disita dan disegel, tapi aku punya simpanan emas
di beberapa tempat yang pasti tidak mereka ketahui, dengan senang hati akan
kuserahkan seluruhnya kepada kalian, semoga kalian sudi melindungi aku."
"Bedebah," maki Tio
Kan-loh, "siapa sudi menerima uang busukmu, tapi mengingat kau pernah
melakukan kebaikan demi kepentingan kami, baiklah sementara boleh kau
berlindung di tempat kami," dia datang dengan seorang murid Kaypang bergoni
lima, maka dia pesan kepada murid Kaypang itu supaya membawa Kwik Su-to pergi,
sementara boleh menetap di suatu tempat rahasia untuk melindungi jiwa raganya.
Kwik Su-to munduk-munduk
kegirangan sambil menyatakan terima kasih. Tio Kan-loh tidak berani membawa
Kwik Su-to ke markas cabang Kaypang di Pit-mo-giam karena dia sudah tahu
martabat laki-laki gendut ini, maka dia bertindak cukup hati-hati. Tak nyana
akhirnya terjadi juga peristiwa yang menyakitkan hati ibarat mengundang
serigala masuk kedalam rumah, sehingga Kaypang yang berada di kota raja
mengalami grebekan besar dan tertumpas hampir habis. Tentang peristiwa ini
baiklah kami kisahkan lain kesempatan.
Setelah murid Kaypang itu
membawa Kwik Su-to pergi. Tio Kan-loh bantu memapah Kek Lam-wi naik ke atas
kereta, rombongan tujuh orang ini segera menuju ke Say-san.
Dua kali di tengah jalan
mereka kepcrgok pasukan negeri yang memeriksa surat jalan, untung mereka semua
menyamar orang-orang desa, tanya jawab secara lancar dan bebas, disogok
beberapa keping uang perak lagi, untung tidak sampai menimbulkan keributan.
Bila mereka tiba di cabang Kaypang di Pit-mo-giam, haripun sudah mulai gelap.
Bukan main senang dan kaget
orang-orang gagah yang berada didalam markas setelah mendapat berita
menggembirakan ini, semua keluar dan merubung maju menyambutnya, dengan penuh
perhatian mereka mendengar kisah perjalanan Tan Ciok-sing yang menghadap
Baginda Raja. Semua sama memberi selamat dan pujian serta mengangkat jempol.
Loh In-hu berkata: "Apa
yang pernah diucapkan raja, entah merdu atau tidak perkataannya, aku tetap
tidak bisa percaya."
Lim Ih-su tertawa, katanya:
"Ucapan raja memang tidak boleh dipercaya, tapi raja kan juga takut mati.
Demi keselamatannya, betapapun dia harus
memperhatikan pesan tulisan
berdarah yang ditinggalkan Tan-hengte itu."
Tan Ciok-sing berkata:
"Aku hanya menakut-nakutinya saja, mungkin dia betul-betul ciut nyalinya
dan mau tidak mau harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak. Tapi aku
yakin yang betul-betul ditakuti adalah Kim-to Cecu, takut bila dia tidak angkat
senjata melawan musuh, rakyat akan mendukung Kim-to Cecu, itu berarti
kedudukannya sebagai rajapun bakal goyah."
Kaypang Pangcu Liok-
kun-lun tertawa sambil
mengelus jenggot, katanya: "Apa yang kau katakan memang betul, bila dinilai
secara keseluruhan Baginda Raja itu tetap takut terhadap kekuatan rakyat
jelata. Tapi dalam hal ini jangan kita terlalu optimis dengan pendapat sendiri,
kukira dari hasratnya ingin meneken surat perjanjian damai dengan musuh, sampai
dia dipaksa untuk melawan musuh itu di dalamnya tentu terdapat banyak liku-liku
yang tidak bisa dimengerti orang lain."
"Itu sudah pasti,"
Lim Ih-su mendukung pendapat ini, "untung batas waktunva hanya tiga bulan,
tiga bulan kemudian kita akan tahu apakah janji pertama dari raja bakal
terlaksana tidak."
Setelah berhasil menuntut
balas, perasaan Kek Lam-wi longgar dan lega, hatinya riang dan gembira, lekas
sekali dalam tiga hari kesehatannya sudah hampir pulih. Demikian pula keadaan
Loh In-hu, boleh dikata sembilan puluh persen sudah sehat kembali, hanya
Sia-cin Hwesio saja yang terluka paling parah, dia masih perlu banyak
istirahat.
Hari ke empat seorang murid
Kaypang yang berhasil lolos keluar dari kota raja membawa sebuah berita ke
Pit-mo-giam. Sesuai dugaan Liok Kun-lun, berita pertama yang dibawa murid
Kaypang ini adalah, "penjagaan" diperkeras di seluruh kota raja.
Berita kedua adalah, Liong Bun-kong pura-pura sakit dan minta cuti, selama
beberapa hari tidak masuk istana menghadap raja. Jabatannya sebagai sekretaris
militer masih dipegangnya tapi praktek kerjanya sudah diserahkan ke
sekretariat. Sementara kedudukannya sebagai Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa
di seluruh kota raja sudah diserah terimakan kepada Komandan Gi-lim-kun Bok
Su-kiat sebagai penjabat sementara.
"Bagus, janji pertama
dari raja muda itu telah dilaksanakan separo," seru Lim Ih-su.
Berita ketiga adalah Duta
besar Watsu secara diam-diam telah meninggalkan kota raja, tapi Poyang Gun-ngo
dan Ma Toa-ha dua busu pengawalnya masih ditinggal di rumah keluarga Liong.
Kedua orang ini memang ditahan oleh Liong Bun-kong untuk bantu menjaga
keselamatannya.
Liok Kun-lun berkata:
"Setelah kehilangan seorang Lenghou Yong, kini mendapat ganti Poyang
Gun-ngo dan Ma Toa-ha, usaha kita untuk membunuhnya jadi lebih sulit lagi. Tapi
aku jadi curiga, bahwa Duta besar rahasia Watsu mau meninggalkan kedua Busunya
pasti ada latar belakangnya, bukan melulu untuk bantu melindungi keselamatan
bangsat tua itu."
Sim Lan salah satu utusan
Kim-to Cecu berkata: "Itu Sudah gamblang, kedua Busu ini memang sengaja
ditanam di kota raja sebagai mata-mata mereka. Aku jadi ingat akan satu hal,
kukira hal ini perlu kita perhatikan juga."
"Soal apa?" tanya
Lim Ih-su.
"Baginda jelas tidak akan
membocorkan pembicaraannya dengan kita kepada siapapun, tapi konsep perjanjian
damai yang telah dibuat Liong Bun-kong dengan Duta rahasia Watsu itu ditahan
oleh raja, kukira Duta besar Watsu juga pasti menduga bahwa di belakang
persoalan ini pasti ada terjadi perobahan yang merugikan pihaknya."
"Lalu bagaimana?"
tanya Tan Ciok-sing.
"Setiba di negerinya
mungkin Watsu akan segera kerahkan pasukannya menyerbu kemari, kukira dalam dua
hari ini bersama Ciu Hok aku harus segera kembali ke markas."
"Tunggu lagi beberapa
hari, setelah aku membereskan urusan dinas dalam Kaypang, ingin aku pergi
bersama kalian," demikian ujar Liok Kun-lun.
Berita ke empat tidak begitu
penting, namun menyangkut pribadi Toan Kiam-ping. Perkara yang menimpa keluarga
Toan sehingga keluarga Toan di Tayli dieopot kedudukannya oleh penguasa
setempat adalah gara-gara hasutan Liong Seng-bu yang menggosok pamannya Liong
Bun-kong. Kini setelah Liong Bun-kong sendiri sibuk mengurus nasib sendiri,
maka perkara inipun terbengkalai.
"Selamat Toan
Kongcu," seru Sim Lan, "sekarang kau boleh pulang ke kampung halaman
dengan bebas dan leluasa."
Merah muka Toan Kiam-ping,
katanya: "Aku amat menyesal kenapa dulu kehidupanku terhimbau oleh
kesenangan melulu, kini kawan-kawan sedang sibuk mondar mandir demi kepentingan
nusa dan bangsa, memangnya aku harus pulang menjadi "Siau-ongya" yang
bernama kosong belaka?"
"Bagus," puji Sim
Lan, "kau punya pengertian yang obyektif, aku amat kagum padamu. Tapi aku
tetap anjurkan kau pulang saja."
"Kenapa?" tanya Toan
Kiam-ping.
"Bukan maksudku
menganjurkan kau pulang
menjadi Siau-ongya, tapi pulang untuk bantu menyelesaikan suatu tugas."
"Tugas apa yang bisa aku
bantu menyelesaikan?"
"Tayli adalah kampung
halaman dan tempat kelahiranmu, rakyat Tayli terhadap keluarga Toan kalian amat
hormat tunduk dan patuh, sepulang kau ke kampung halaman, banyak kerja yang
harus kau kerjakan. Umpamanya menjelaskan kepada rakyat jelata cara bagaimana
harus melawan serangan penjajah, dengan tenaga dan darah daging sendiri
melindungi kampung halaman, jangan terlalu percaya kepada kekuatan kerajaan
yang sudah keropos, ini hanya salah satu contoh. Di rumah kau akan jauh lebih
berguna dari pada disini. Ini bukan melulu pendapatku, tapi juga didukung oleh
Kim-to Cecu."
"Betul," timbrung Ti
Nio, "penjelasanmu cukup menyeluruh. Hiantit, kali ini kau pulang bukan
lagi sebagai Siau-ongya, tapi pulang sebagai salah seorang teman laskar rakyat.
Bila kau sudah memahami hai ini, maka kau akan hidup tentram lahir dan
batin."
"Bagus sekali uraian
Ti-locianpwe," ucap Sim Lan, "tapi sepatah kata kurasa kurang tepat
diucapkan."
Ti Nio melengak, tanyanya:
"Perkataan yang mana?"
"Toan-kongcu bukan pulang
sebagai teman kami."
Toan Kiam-ping melenggong,
tanyanya: "Apakah aku belum setimpal sebagai teman laskar rakyat?"
Sim Lan tertawa lebar,
katanya: "Kau adalah orang kita sendiri."
Toan Kiam-ping tertegun, entah
haru atau saking senang, tanpa kuasa air matanya meleleh, serunya lantang:
"Terima kasih, kalian teramat menghargai diriku, baik, besok juga aku
pulang ke Tayli."
Ti Nio berkata: "Besok
biar aku antar kau dan anak Cin pulang. Ucapan Sim-thauling sekaligus
menyadarkan aku. Setelah mengantar kalian pulang ke Tayli, segera akupun akan
kembali ke Khong-goan, disana aku yakin banyak pula yang bisa kukerjakan."
Pembicaraan selesai larut
malam. Hari kedua hadirin mengantar pemberangkatan mereka bertiga. Sakit Kek
Lam-wi sudah delapan puluh persen sembuh, setelah perjamuan usai, seorang diri
dia menyatakan ingin mengantar mereka.
Sebelum berpisah Ti Nio
berkata: "Hiantit, sungguh menggembirakan sakit hatimu sudah terbalas.
Kini tinggal satu saja keinginanku."
"Susiok, besar sekali
bantuanmu kali ini sehingga aku berhasil menuntut balas, tak perlu aku
berbincang soal budi dan kebaikan, keinginan apa yang belum kau orang tua
capai, bila perlu tenagaku silakan perintahkan saja."
Ti Nio tertawa, ujarnya:
"Keinginanku ini memang hanya kau saja yang bisa menyelesaikan."
"Apakah itu?" desak
Kek Lam-wi.
Han Cin tertawa cekikikan,
katanya: "Kau sepintar ini masa tidak bisa menerkanya? Seperti juga ayah,
akupun ingin supaya kau lekas mencari Toh-cici dan mengajaknya pulang."
"Betul," ujar Ti
Nio, "pernikahan anak Cin tidak perlu kupikirkan lagi. Maka keinginanku
yang terakhir adalah supaya selekasnya minum arak pernikahanmu dengan nona
Toh."
Yang benar, tanpa disinggung
Ti Nio dan putrinya, meski luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, hati dan
pikiran Kek Lam-wi sudah lama terbang menyelusuri jejak Toh So-so. Sayang dia
tidak tahu dimana kini Toh So-so berada.
Lekas sekali tiga hari telah berselang,
kini luka-lukanya sudah sembuh seluruhnya. Hari itu di atas Pit-mo-giam seorang
diri dia berlatih King-sin-pit-hoat yang diajarkan Ti Nio, tiba didengarnya
seorang berseru memuji: "Bagus," waktu dia menoleh, dilihatnya Tan
Ciok-sing dan In San lari mendatangi.
"Kek-toako," seru In
San, "selamat ya kau berhasil mempelajari ilmu tutuk nomor satu di kolong
langit ini, dendammu sudah terbalas, betapa riang hati Toh-cici bila tahu akan
hal ini."
Di hadapan teman baik tidak
perlu malu-malu, Kek Lam-wi berkata: "Kurasakan aku sudah tak tertahan
lagi, ingin rasanya sekarang aku sudah mendekapnya, cuma kemana aku harus
mencarinya."
"Aku ini orang perempuan,
sedikit banyak bisa menyelami perasaan sesama jenisnya," demikian In San
mengutarakan pendapatnya, "aku yakin bukan maksud Toh-cici sengaja mau
menjauhi kau, dia pasti berada di suatu tempat yang mudah kau temukan."
"Coba kau terka, dimana
kiranya dia berada," tanya Kek Lam-wi.
"Kukira kau sendiri yang
harus menerkanya, coba kau pikirkan kemana saja dulu kau bertamasya umpamanya,
di tempat yang paling mengesankan dan mengasyikan."
Kek Lam-wi jadi sadar,
katanya: "Betul, seharusnya aku pulang ke kampung halamannya untuk
mencarinya. Di kala kami dibuai asmara dulu, dia paling suka bertamasya di
Ji-si-kio mendengar irama serulingku." Kek Lam-wi dan Toh So-so adalah
kelahiran Yang-ciu. Ji-si-kio adalah salah satu obyek pariwisata yang terkenal
di Yang-ciu.
"Lukamu sudah sembuh,
lekaslah kau susul dia kesana?" In San menganjurkan serta memberi dorongan
mental.
"Tapi," Kek Lam-wi
masih ragu-ragu.
"Tapi apa?" desak In
San.
"Seorang diri aku
meninggalkan orang banyak disini, apa tidak rikuh. Apalagi luka Liok-ko
(Sia-cin Hwesio) belum sembuh."
Tan Ciok-sing menimbrung:
"Mungkin kami bisa mengiringi kau. Tentang luka-luka Sia-cin Taysu, banyak
orang yang merawatnya, kukira tidak usah kau pikirkan."
Kek Lam-wi melengak, katanya:
"Bukankah kalian akan menetap disini sampai bangsat tua Liong digulingkan
dari kedudukannya? Kenapa kalian mau menemani aku pergi ke Yang-ciu?"
"Justru lantaran
persoalan itulah maka aku mencari kau," ujar Tan Ciok-sing.
"Sudah bicara sebanyak
ini, aku masih bingung, sebetulnya menyangkut soal apa?"
"Kau tahu di Thay-ouw ada
seorang Lo-enghiong bernama Ong Goan-tin bukan?"
"Maksudmu Cong-cecu Ong
Goan-tin dari 36 kepala markas perairan di Tay-ouw?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Sebagai orang kelahiran
Kanglam, sudah tentu aku tahu akan Bengcu para pahlawan perairan di Kanglam
yang terkenal itu? Sebetulnya beliau adalah teman baik ayahku almarhum, waktu
kecil aku pernah melihatnya sekali."
"Lebih bagus kalau
begitu, Tan-toako, arah yang kita tuju ternyata tepat," kata In San.
"Ada apa dengan Ong
Goan-tin? Soal apa pula yang ingin kalian bicarakan denganku?"
Tanpa merasa sudah tiba di
markas Kaypang. Tan Ciok-sing berkata: "Setelah bertemu dengan
Sim-thauling, kau akan jelas duduk persoalannya."
Di kala mereka memasuki
balairung, kebetulan mendengar percakapan Liok-pangcu dengan Sim Lan.
"Urusan dinas dalam
Kaypang sudah kubereskan, hari ini juga aku bisa pergi bersama kalian, aku
sudah mengirim kabar dengan burung pos, supaya semua murid-murid Kaypang di
berbagai cabang, bila sempat menyiapkan diri, dalam jangka tiga bulan semua
sudah harus berangkat dan kumpul di markas kalian siap menunaikan tugas,"
demikian Liok Kun-lun berkata.
Kaypang adalah serikat besar,
muridnya laksaan jumlahnya, tersebar di segala pelosok. Dengan pernyataan Liok
Kun-lun itu.
berarti kekuatan Kim-to Cecu
bertambah laksaan tenaga yang tangguh. Sim Lan kegirangan, katanya: "Dapat
memperoleh bantuan Pangcu besar ini, sungguh bukan kepalang besar artinya, kini
yang masih harus kita rundingkan adalah siapa yang tepat untuk diutus ke
Thay-ouw?"
Lim Ih-su berkata:
"Barusan Ciok-sing keluar mencari Lam-wi. Jit-te adalah kelahiran Kanglam.
Kupikir biarlah dia, dia... Nah itu kebetulan dia sudah datang. Jit-tc, ada
persoalan ingin kami bicarakan dengan kau."
"Barusan Tan-toako sudah
menjelaskan kepadaku, katanya aku diutus ke Thay-ouw menemui Ong Goan-tin Cong-cecu
dari tiga puluh enam kepala perairan disana?"
"Betul, cuma kami kuatir
kesehatanmu belum pulih," ucap Lim Ih-su.
"Kesehatanku sudah pulih,
To'ako tak usah kuatir. Entah untuk urusan apa kalian ingin mengadakan kontak
dengan Ong Goan-tin?"
"Begini," Sim Lan
menjelaskan, "tanggal dua puluh dua bulan delapan adalah hari ulang tahun
Ong Goan-tin, sebelum kami kemari, Cecu ada pesan supaya kami hadir dalam
perjamuan hari ulang tahunnya itu mewakili beliau. Tapi waktu mendesak sekarang
tidak mungkin kami pergi kesana, tapi Cecu juga ada pesan bila perlu boleh
diwakilkan orang lain yang cocok di antara kita. Mewakili pihak kita memberi
selamat hari ulang tahunnya."
"Lahirnya memberi selamat
ulang tahun, tugas yang nyata adalah merangkul Ong Goan-tin kedalam barisan
kita untuk bergabung melawan penjajah. Jelaskan kepadanya bagaimana maksud dan
tindakan kita yang sudah kita rencanakan bersama."
"Baik. Segera aku boleh
berangkat." Kata Kek Lam-wi tegas, "tapi apakah aku boleh mewakili
Cecu kalian?"
"Kitakan orang sendiri,
Kek-jithiap tidak usah sungkan, tapi terus terang aku agak kuatir bila kau
berangkat seorang diri, lebih baik..."
Tan Ciok-sing segera
menimbrung: "Aku bersama nona In justru ingin mohon persetujuanmu, biarlah
kami menemani perjalanan Kek-toako."
Sim Lan tertawa lebar, katanya
senang: "O, jadi kalian memang sudah ada maksud?"
In San berjingkrak, serunya
tepuk tangan: "Jadi, kau setuju?"
Sim Lan berkata:
"Sebetulnya aku memang memancing kalian uutuk menampilkan diri. Menurut
apa yang diketahui, di masa hidupnya ayahmu pernah menanam budi terhadap Ong
Goan-tin, demikian pula hubungan kental ayahmu dengan Cecu kami, Ong Goan-tin
juga tahu amat jelas."
"Tadi Kek-toako juga
bercerita, katanya semasa hidupnya dulu ayahnya juga punya hubungan kental
dengan Ong Goan-tin, waktu kecil diapun pernah melihat Ong Goan-tin,"
demikian timbrung In San.
"Maka itu kita putuskan
kalian bertiga harus berangkat, membawa nama kita untuk memberi selamat ulang
tahunnya. Tan-siauhiap dan nona In boleh mewakili markas kita, sementara
Kek-jit-hiap mewakili Pat-sian. Begitu terasa lebih berbobot."
Coh Ceng-hun menyela:
"Urusan sudah selesai dibicarakan, baiklah mari kita minum bersama untuk
mengantar keberangkatan mereka."
"Kami juga ingin
berangkat hari ini juga," ucap ln San.
Lim Ih-su melenggong, katanya:
"Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan, hari
ini baru tanggal dua puluh enam bulan tujuh, jadi masih satu bulan lebih.
Setengah bulan sudah lebih cukup untuk menempuh perjalanan dari sini ke
Tay-ouw, kenapa harus buru-buru, beberapa hari lagi baru berangkat juga masih
belum terlambat."
In San tertawa, katanya:
"Disini kalian melarangku menuntut balas kepada bangsat tua she Liong, aku
jadi sebal. Kini mumpung ada kesempatan bisa bertamasya ke Kanglam, Kek-toako
kelahiran Yang-ciu, orang Kanglam cekek dia bisa ajak kami berpariwisata."
Lim Ih-su maklum, pikirnya:
"Kiranya Jit-tc ingin pulang ke rumah, kenapa aku jadi pikun, bukankah dia
ingin lekas-lekas menemukan Pat-moay?" maka cepat dia berkata:
"Baiklah, dari pada disini kalian juga terlalu iseng."
Dalam perjamuan perpisahan Sim
Lan kembali memberi petunjuk yang berharga, begitu perjamuan usai masing-masing
lantas berangkat ke arah tujuan sendiri-sendiri.
Supaya tidak menimbulkan
kesulitan di perjalanan, In San berpakaian laki-laki. Bertiga mereka naik kuda,
siang malam menempuh perjalanan, hanya enam hari propinsi Hopak dan Soatang
telah mereka lewati, kini mulai memasuki propinsi Kangsoh. Pemandangan alam
Kanglam memang permai mempersona, In San dan Ciok-sing tidak habis memuji,
mereka melek huruf, maka tidak sedikit pula syair-syair yang mereka karang dan
menjadi buah pembicaraan di sepanjang jalan.
Tengah berjalan, tiba-tiba
tampak di depan sana dibedal seekor kuda yang berlari kencang ditelan debu yang
mengepul tinggi di belakangnya. Tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara heran.
"Toako, kenapa kau?"
tanya In San, "apakah penunggang kuda di depan itu menimbulkan
kecurigaanmu?"
"Ya, kulihat bayangan
punggungnya seperti pernah kukenal," sahut Tan Ciok-sing.
"Benar, aku pun merasa
seperti kenal dia, siapakah dia?' sela Kek Lam-wi.
"Siapakah dia?"
tiba-tiba tanpa berjanji mereka berdua sama berteriak: "Seperti Poyang
Gun-ngo?"
Tapi In San masih ragu-ragu,
katanya sesaat kemudian: "Menurut pandangan kalian hari itu, dia dipendam
di kota raja sebagai spion, lalu untuk apa pula seorang diri dia berada di
Soh-ciu?"
"Pendapat kami tetap
tidak berobah, sebagai spion yang dipendam, tugasnya tidak melulu di kota raja
saja," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Maksudmu kedatangannya
ke Kanglam ini juga dalam rangka tugasnya?" In San menegas.
"Kukira demikian,"
sahut Tan Ciok-sing.
"Sayang kita hanya
melihat bayangan punggungnya saja. Tidak yakin apa betul pasti dia," ucap
I n San ragu-ragu.
Kek Lam-wi berkata: "Di
depan ada sebuah gardu minuman, mari kita menghilangkan dahaga sambil tanya
kepada nenek penjual vvedang. Syukur orang itupun marrtpir ke gardu minuman
itu."
Gardu minuman itu didirikan di
pinggir jalan letaknya tepat di persimpangan jalan. Lurus ke depan menuju ke
Soh-ciu bila ke kiri dan ke kanan menuju ke kota-kota kecil di sekitarnya.
Jarak masih ada setengah li, tapi dari kejauhan mereka sudah melihat adanya
gardu minuman ini.
Dalam gardu, si nenek penjual
teh tengah asyik bicara dengan cucu perempuannya. Cucunya masih berusia tiga
atau empat belas tahun. Meski jarak masih setengah li, tapi mereka sama
memiliki Kungfu tinggi, pendengarannya jelas lebih tajam dari orang lain, maka
pembicaraan didalam gardu minuman ini, mereka bisa mendengarkan dengan jelas.
Agaknya si nenek meski sudah
tua namun pandangannya masih tajam, dari kejauhan diapun telah melihat
kedatangan mereka bertiga, serunya heran: "Eh, hari ini yang menempuh
perjalanan naik kuda koh lebih banyak dari biasanya," perlu diketahui
orang-orang Kanglam terutama di daerah Soh-ciu dan Hang-ciu kalau bepergian
suka berjalan kaki, bila menempuh perjalanan, mereka suka naik perahu.
Nona kecil itu berkata:
"Laki-laki naik kuda tidak perlu dibuat heran, nona cantik yang lemah
gemulai seperti hendak jatuh ditiup angin ternyata juga pandai menunggang kuda
sebesar ini baru pertama kali ini aku melihatnya."
Mendengar ucapan nona kecil
ini tergerak hati Kek Lam-wi, lekas dia pecut kuda dilarikan lebih kencang.
Di depan sana nona kecil
keplok tangan seraya berjingkrak senang, "Ou, kencang benar lari kuda
itu," sementara dalam hati dia membatin: "Orang ini agaknya memburu
waktu menempuh perjalanan, mana mungkin dia bakal mampir ke warung kami, jualan
kami hari ini mungkin tidak akan terjual habis lagi."
Tak kira tengah dia melamun
memikirkan nasib, tiga ekor kuda tiba-tiba berhenti di depan gardu, suara
ringkik kuda membuatnya berjingkrak kaget.
Si nenek segera menyapa:
"Tuan-tuan, silakan mampir minum dulu barang dua cangkir. Kami menyediakan
arak dan teh wangi."
Tan Ciok-sing mendahului
melangkah masuk, katanya: "Arak kami tidak mau, tapi tarip teh akan kami
bayar dua kali lipat," sembari bicara dia merogoh kantong mengeluarkan
kepingan perak terus disodorkan kepada si nenek.
Si nenek menerima uang itu,
tapi dia berkata: "Tiada aturan begitu, harga arak memang dua kali lipat
tarip teh, kalian hanya minum teh mana boleh aku menerima bayaran tarip
arak?"
"Nanti dulu, kami belum
habis bicara," sela Kek Lam-wi," arak kami tidak minum, tapi kami
ingin makan nyamikan atau kue apa yang tersedia disini. Apa kalian ada
menyediakan bebek goreng?"
Nenek itu tertegun, katanya:
"Tuan, kiranya kau kelahiran sini? Siapa shemu?" ternyata Kek Lam-wi
bicara dengan logat orang Soh-ciu asli.
"Aku she Kek," ujar
Kek Lam-wi, "temanku ini she lan. Aku kelahiran Yang-ciu, tapi ada famili
yang tinggal di Soh-ciu, maka sering aku tinggal di Soh-ciu."
"Goreng bebek memang ada,
tapi tinggal beberapa potong saja, harganya juga cuma seketip saja."
"Ah, kenapa
diperhitungkan sejelas itu," ucap Kek Lam-wi tertawa, keluarkan saja
seluruhnya."
Karena Kek Lam-wi pandai
bicara bahasa Soh-ciu, sikap si nenek tampak lebih ramah dan simpatik. Setelah
menghabiskan secangkir teh Kek Lam-wi berkata: "Popoh, aku ingin tanya
seseorang kepada kau!"
'"Siapa?" balas
tanya si nenek. "Ada seorang nona yang berdandan begini dan potongan
begitu, apa pernah lewat sini?"
"Iya, agaknya ada, kalau
tidak salah dia menunggang seekor kuda putih, kira-kira satu jam yang
lewat."
Nona kecil itu menimbrung:
"Nona itu cantik benar, diapun pandai bicara bahasa Soh-ciu kita."
Semula Tan Ciok-sing
melenggong, tapi lekas diapun paham: "O, kiranya dia mencari tahu jejak
Toh So-so. Ya, maklum, bila dibanding, jelas Toh So-so jauh lebih penting dari
pada Poyang Gun-ngo," demikian batinnya.
"'Apa betul?" girang
Kek Lam-wi, arah mana yang dia tempuh?"
"Jalan di tengah
itu," sahut si nenek.
"Pasti dia menuju ke
Soh-ciu," ujar Kek Lam-wi.
"Pernah apa sih kau
dengan nona itu," tanya si nenek.
"Dia adalah
Piaumoayku," sahut Kek Lam-wi, "tapi aku sendiri belum tahu bila hari
ini dia bakal datang ke Soh-ciu."
Nona kecil ttu tertawa geli,
katanya: "Tak heran
kesenangannya ternyata seperti
sama kau."
Kek Lam-wi melengak, tanyanya:
"Kesenangan apa?"
"Seperti kau, diapun suka
makan goreng bebek," ujar nona kecil, "diapun hanya minum teh pantang
minum arak, sebelum berangkat dia minta dibungkuskan dua ekor bebek goreng.
Maka sisanya, ya cuma sedikit ini."
Diam-diam Kek Lam-vvi membatin:
"So-so memang suka makan goreng bebek, tapi biasanya tak pernah makan
sebanyak itu. Em, ya, mungkin dia beli lebih banyak supaya menguntungkan nenek
dan cucunya ini. Atau mungkin dia juga tahu aku suka makan goreng bebek, setiba
di Soh-ciu, meski dia tidak bisa menghabiskan sebanyak itu, dia tetap
membelinya juga."
Nona cilik itu tertawa pula,
katanya: "Lekaslah kau kejar Piaumoaymu itu, kalau terlambat dia mungkin
terkejar seorang yang lain."
Kek Lam-wi tertegun, tanyanya:
"Siapa mengejarnya?"
"Seorang tamu yang
usianya kira-kira sebaya kau tapi dia tidak mampir minum arak atau teh, begitu
mendengar Piaumoaymu berangkat belum lama, segera dia cemplak kudanya terus
mengudaknya."
Kek Lam-wi ragu-ragu,
pikirnya: "Siapakah pemuda itu? Teman yang dikenal So-so sebaya dengan aku
hanya Ciok-sing Toako saja. Em, bukan mustahil cakar alap-alap telah menguntit
jejaknya."
Nona cilik itu tertawa,
kataaya: "Lho, koh malah melamun, kenapa tidak lekas kau susul
Piaumoaymu?"
Si nenek tertawa, omelnya:
"Budak kecil banyak ngomong saja, tuan ini toh tidak buru-buru, kenapa kau
malah yang menjadi kuatir?"
"Popoh," kata Kek
Lam-wi. "Aku masih ingin tahu tentang seseorang."
"O, siapa lagi yang yang
ingin kau ketahui?" tanya si nenek.
"Seorang laki-laki yang
tampangnya luar biasa," lalu dia gambarkan tampang Poyang Gun-ngo dan
dandanannya.
"Tidak lama setelah
Piaumoaymu pergi memang ada seorang laki-laki penunggang kuda lewat, tapi dia
tidak menghentikan kudanya yang dilarikan sekencang angin, mataku yang sudah
tua ini tidak melihat jelas tampangnya."
"Arah mana yang
ditempuhnya?" Kek Lam-wi
menegas.
"Kalau tidak salah
membelok ke arah kiri."
Kek Lam-wi kuatir Toh So-so
kebentrok dengan Poyang Gun-ngo, kini setelah tahu Poyang Gun-ngo membelok ke
kiri, arah yang berbeda, maka legalah hatinya. Tapi ia berpikir: "Entah
apakah orang itu betul Poyang Gun-ngo? Tapi bila betul Poyang Gun-ngo, seorang
diri dia meninggalkan kota raja sudah cukup mencurigakan, setiba disini tidak
langsung ke Soh-ciu lalu kemana dia? Apa ini tidak lebih mengherankan."
Apa yang ingin mereka ketahui
sudah diperoleh keterangan sejelasnya. Maka bergegas mereka meninggalkan gardu
minum itu.
Di samping merasa senang In
San juga merasa curiga, katanya: "Kek-toako menurut pendapatmu, nona
penunggang kuda itu apa bukan Toh-cici?" ternyata dia teringat pada
seorang lain tapi supaya tidak mengecewakan Kek Lam-wi, maka dia tidak utarakan
jalan pikirannya.
Ternyata Kek Lam-wi amat
yakin, sahutnya: "Aku yakin pasti dia."
Setiba di Soh-ciu, Kek Lam-wi
berkata: "Mari kucarikan hotel lebih dulu baru berusaha menemukan So-so.
Hotel terbaik di Soh-ciu berada di Say-cu-lim saja."
"Apa tidak lebih baik
kami ikut kau mencari Toh So-so, setelah menemukan dia baru cari hotel?"
Kek Lam-wi menetapkan:
"Familinya itu keluarga miskin, penduduk biasa yang tidak pandai main
silat. Bila sekaligus kita bertiga menunggang kuda mampir ke rumahnya mencari
So-so, mungkin bisa menarik perhatian orang banyak, ini bisa mendatangkan
kesulitan bagi mereka."
Mendengar penjelasannya, In
San segera batalkan niatnya menemani dia mencari Toh So-so.
Say-cu-lim terletak jauh
diluar kota maka Kek Lam-vvi ajak mereka kesana, sepanjang jalan dia ceritakan
asal-usul dari Say-cu-lim yang terkenal itu. "Sai-cu-Iim merupakan daerah
wisata yang terkenal di Soh-ciu," demikian Kek Lam-wi mulai bercerita.
"Konon Say-cu-lim hanya
satu di antara kebon raya yang terkenal di Soh-ciu, apa betul?" tanya In
San.
"Bukan itu saja.
Kira-kira seratus tahun yang lalu, di kalaThio Su-seng angkat dirinya menjadi
raja di Soh-ciu Say-cu-lim pernah dipugar menjadi istananya. Belakangan setelah
Thio Su-seng gugur di medan perang, Say-cu-lim disita oleh yang berwajib dan
dijual kepada hartawan besar yaitu Kiu-thay-say-cu In Thian-cian yang berjuluk
Soh-ciu-pa (buaya Soh-ciu)."
"Kisah ini pernah
kudengar dari cerita ayah," ujar In San. "Tan-toako, bila diurutkan
sedikit banyak In Thian-cian ini ada sangkut pautnya dengan kau."
Tan Ciok-sing-heran, katanya:
"In Thian-cian kan sudah mati puluhan tahun yang lalu, bagaimana mungkin
ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Setelah In Thian-cian
berkuasa di Say-cu-lim, kebon raya ini dia jadikan gelanggang pertandingan dan
tempat mesum. Pernah suatu ketika gurumu Thio Tan-hong lewat sini, sengaja dia
ingin mengajar adat buaya darat ini, suatu kali dia membuat keributan di
gelanggang perjudiannya itu. In Thian-cian kalah puluhan laksa tahil perak,
tapi tidak mau bayar akhirnya dia pukul luka parah. Konon In Than-cian akhirnya
mati saking jengkel, sejak itu gelanggang perjudian dan tempat mesum di
Say-cu-lim ditutup dan pulih kembali seperti sediakala."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Sungguh menyenangkan cara Suhu menyelesaikan peristiwa itu.
Kebon raya sebaik itu mana boleh diinjak dan dirusak oleh kawanan buaya darat?
Bila kejadian kebentur di tanganku akupun akan bertindak demikian."
"In Thian-cian mati
lantaran dendam kepada gurumu," demikian ujar In San tertawa, "bila
keturunannya tahu kau adalah murid penutup Thio Tan-hong, coba katakan apa yang
bakal mereka lakukan? Yakin mereka tidak akan melupakan dendam sakit hati sejak
puluhan tahun lalu itu, maka sasaran pasti ditujukan pada dirimu."
"O, jadi Say-cu-lim
sekarang masih berada di tangan keturunan orang she In itu?" tanya Tan
Ciok-sing.
"Betul," ujar Kek
Lam-wi, "sekarang dikuasai oleh In Kip, cucunya In Thian-cian. Tiga puluh
tahun setelah In Thian-cian mati, kira-kira sepuluh tahun yang lalu Say-cu-lim
dia bangun kembali sebagai kebon wisata serta dibangun hotel-hotel."
"Bagaimana martabat In
Kip itu?" tanya Tan Ciok-sing,
"Kabarnya tidak
sewenang-wenang, seperti kakeknya dulu, tapi dia juga tamak dan loba. Hotel
yang dibangun dalam Say-cu-lim itu cukup terkenal di Kanglam, hotel kelas satu
yang khusus menerima para hartawan atau orang yang tebal kantongnya, menyediakan
pula tempat mewah untuk para pembesar atau keluarga raja. Taripnya mencekik
leher, ongkos menginap semalam, cukup untuk ongkos setengah bulan keluarga
sedang."
"Kalau hanya tamak harta
dan tidak melakukan kejahatan sih, kita tidak usah pcrdulikan dia," kata
Tan Ciok-sing.
Kek Lam-wi tertawa, katanya:
"Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa kau adalah murid Thio Tayhiap? Dan
lagi In Kip tak mungkin memegang tampuk pimpinan sendiri di hotel itu, tak
gampang untuk memergokinya. Kita boleh tidak usah kuatir menginap disana."
"Bukan kita takut dia
menuntut balas," ucap In San, "cuma tadi menyinggung kisah Say-cu-lim
maka sekalian aku ceritakan kepada Tan-toako."
Tak terasa mereka telah tiba
di Say-cu-lim.
Hotel yang dibangun di kebon
raya ini memang luar biasa, bentuk bangunannya megah dan angker, jelas
dikerjakan oleh arsitek yang terkenal dan berpengalaman, entah berapa duit yang
ditanam untuk membangun proyek sebesar ini. Diluar mereka tanya kepada penjaga
pintu tentang kamar dan taripnya, setelah Kek Lam-wi memberi sekeping uang
perak baru penjaga pintu ini mengantar mereka masuk kedalam.
Penjaga pintu membawa mereka
ke kantor hotel lalu mengundurkan diri. Seorang petugas lantas keluar
menyambut, mereka bertiga minta dua kamar, petugas itu mengamat-amati mereka
dengan seksama, dandanan mereka mirip pelajar, pakaiannya meski tidak mewah,
kelihatannya seperti anak keluarga hartawan, baru dia mencatat nama dan alamat
serta berkata: "Disini tiada kamar yang disewakan."
Kek Lam-wi melenggong, katanya:
"Tapi kami sudah tanya jelas kepada penjaga pintu, katanya masih banyak
kamar kosong."
Petugas itu berkata:
"Mungkin dia tidak menjelaskan peraturan disini."
"Peraturan apa?"
tanya Kek Lam-wi.
"Disini kami tidak
menyewakan kamar, kalau mau nginap harus menyewa sebuah villa, bagaimana kalau
kusediakan villa yang ada lotengnya? Di atas atau di bawah ada kamar dan sebuah
ruang tamu. Kebetulan cocok untuk tempat tinggal kalian bertiga."
"Baik," kata Kek
Lam-wi, "sementara kami akan menginap dua hari."
Petugas itu berkata pula:
"Menurut aturan, tarip harus dibayar kontan sehari sepuluh tahil perak.
Kuda kalian setiap ekornya dikenakan tarip makan setahil setiap hari, tarip ini
termasuk ongkos perawatan dan istal."
Harga masa itu sekuintal beras
putih paling baik paling mahal dua tahil perak, sepuluh tahil cukup untuk
ongkos makan keluarga miskin setahun lamanya. Diam-diam Tan Ciok-sing melelet
lidah.
Kek Lam-wi mengeluarkan
sekeping emas, petugas menimang, berkata: "Emas ini berat tiga tahil lima
ketip, dinilai harga pasaran adalah tiga puluh lima tahil perak."
Kek Lam-wi berkata:
"Sisanya tidak usah dikembalikan, catat saja di buku mungkin kami akan
menginap lebih lama bila perlu."
Melihat orang mampu
mengeluarkan uang emas, sikap si petugas lantas berubah ramah, katanya dengan
seri tawa sambil munduk: "Kalian ingin makan apa, bisa dipesan lebih dulu,
segala macam masakan kami sediakan dan dikerjakan oleh koki-koki
berpengalaman."
Kek Lam-wi berkata:
"Mereka berdua akan makan malam disini, aku akan keluar menyelesaikan
urusan, mungkin agak malam baru kembali."
"Baiklah," petugas
itu mengiakan, "nomor tembaga ini boleh kau simpan, terserah kapan kau
akan kembali, tidak jadi soal."
Kek Lam-wi tertawa, katanya:
"Keras juga tata tertib kalian disini."
"Ya demi menjaga
ketentraman para tamu yang menetap disini. Dengan membawa nomor tembaga sebagai
bukti penginap disini, kami tidak perlu takut orang-orang yang tidak
bertanggung jawab mencari keuntungan pura-pura jadi tamu disini," segera
dia panggil dua orang disuruhnya membawa kuda tunggangan mereka, serta
mengantar mereka menuju ke sebuah rumah yang dimaksud.
Rumah ini terletak di tengah
dua gunungan menghadap sebuah telaga buatan, pemandangan memang permai
menyejukan perasaan, cocok dengan selera mereka. Kebetulan letak rumah ini
berada di pojok kebon dan berjauhan dengan villa-villa yang lain. Setelah
meletakan buntalannya, segera Kek Lam-wi keluar hendak menemui famili Toh So-so
di kota Soh-ciu.
Setelah makan malam Tan
Ciok-sing dan In San mengobrol panjang lebar, mereka menunggu dengan sabar,
tanpa terasa kentongan kedua sudah jelang, tapi Kek Lam-wi belum juga pulang.
"San-moay," kata Tan
Ciok-sing, "naiklah ke loteng, badanmu penat, tidurlah dulu."
In San tertawa: "Sekarang
hilang rasa kantukku. Aku mau menunggu Kek Lam-wi pulang, yakin dia akan
kembali membawa kabar gembira," tengah mereka bicara lantas terdengar
suara ringkik kuda.
In San berseru heran:
"Eh, malam selarut ini masih juga ada tamu yang menginap kesini?"
maklum hotel di Say-cu-lim ini berbeda dengan hotel di kota umumnya, letaknya
saja sudah jauh dari keramaian kota, yang menginap disini hanyalah para
hartawan atau keluarga pembesar yang iseng dan berfoya. Mereka yang menempuh
perjalanan jauh dan memburu waktu tidak mungkin mau menginap disini, meski
cetek pengalaman, namun In San menjadi curiga.
"Dari ringkik kuda itu
dapat dinilai tunggangannya itu adalah kuda jempolan," ujar Tan Ciok-sing,
segera dia mendekam pasang kuping mendengarkan suara dari tanah.
Letak villa mereka menginap
jauh dari kantor hotel, namun mereka memiliki Lwekang tinggi, pendengarannya
juga teramat tajam, dengan mendekam pasang kuping, lapat-lapat Ciok-sing
mendengar percakapan orang.
"Kudaku ini kalian harus
memeliharanya dengan baik. Aku perlu dua villa?" kata sang tamu yang baru
datang.
"Ya, ya, segera kami
suruh orang merawatnya dengan baik. Syukurlah Toaya hari ini sudi
mampir..." terdengar kuasa hotel berkata.
Sebelum dia habis bicara, tamu
itu sudah mendengus, katanya: "Cukup asal kau tahu siapa aku ini, tidak
usah, tidak usah,..." percakapan selanjutnya suaranya lirih Tan Ciok-sing
tidak mendengarnya lagi.
Sesaat kemudian didengarnya
tamu itu berkata: "Aku ingin tahu jejak dua orang..."
Tan Ciok-sing pasang kuping
mendengarkan dengan seksama, sayarg percakapan selanjutnya tidak terdengar,
namun lapat-lapat dia mendengar seorang petugas hotel mengatakan: "Oo kuda
putih..."
In San berkata: "Suara
tamu ini seperti sudah kukenal, namun sukar diingat siapa dia sebenarnya.
Pemilik hotel bersikap begitu hormat kepadanya, kukira dia punya asal-usul yang
tidak kecil."
"Dia sedang mencari dua
orang, bukan mustahil sasarannya adalah kita," kata Tan Ciok-sing.
"Masa? Apa yang dia
tanyakan, tadi aku kurang jelas."
"Aku juga tidak jelas,
tapi kudengar seorang menyinggung soal kuda putih."
In San kaget, katanya sesaat
kemudian: "Kuda putih? Kalau begitu bisa diduga, maksud petugas itu
menjawab pertanyaan itu, berarti menunjukkan bahwa salah seorang dari dua orang
itu menunggang kuda putih."
"Lalu?"
"Kalau dugaanku ini tidak
meleset, itu berarti yang dia cari bukan kita."
Sampai disini, mereka
mendengar pula ringkik kuda, ringkik dari tiga ekor kuda.
"Kedengarannya, tiga ekor
kuda sedang tarung. Tarung di istal. Karena bila datang dari luar pantasnya kita
mendengar derap kakinya."
Tengah Ciok-sing bicara In San
sedang menepekur.
"Adik San," tanya
Ciok-sing lirih, "apa yang sedang kau pikirkan?"
"Mereka bicara tentang
kuda putih, entah seekor atau dua ekor?"
"Memangnya ada sangkut
pautnya?" ujar Tan Ciok-sing tertawa, diam-diam dia merasa heran entah
kenapa dalam keadaan seperti In San justeru memikirkan hal yang tidak perlu.
In San ragu dan curiga, belum
sempat dia buka suara, pembicaraan di kantor hotel kembali terdengar nyata.
Itulah suara kacung yang tadi
disuruh membawa kuda ke istal, suaranya gugup: "Celaka Toaya, kuda, kudamu
itu..." katanya diucapkan dengan napas sengal-sengal.
Tamu itu lantas membentak:
"Kudaku kenapa."
Kacung itu berkata:
"Kudamu ditendang keluar oleh dua ekor kuda putih, kini sedang mengamuk
dan terlepas, lari pontang panting di kebon. Aku, aku tidak mampu
mengekangnya."
In San berjingkrak girang,
katanya: "Nah, betul dugaanku, ternyata dua ekor kuda putih."
Tan Ciok-sing masih bingung,
katanya: "Kuda tamu itu jelas bukan kuda sembarangan, kenapa kalah
menghadapi kedua ekor kuda putih?"
"Memangnya kau tahu bahwa
kuda putih itupun kuda jempolan?"
Ciok-sing goyang tangan,
supaya dia tidak bicara lagi. Agaknya tidak perhatikan perkataan In San, tapi
sedang memikirkan urusan lain.
Ternyata tamu itupun merasa
heran, katanya: "Masa iya, Hwe-Iiong-ki memang bertabiat kasar, beruntung
kalau dia tidak mengusik tunggangan orang lain, mana mungkin dia yang disepak
keluar oleh kuda lain orang malah?"
"Lapor Toaya," kata
kacung itu, "Toaya memang tidak salah, kudamu dulu yang mengusik kuda
lain, tapi dia akhirnya tidak mampu menandingi kedua ekor kuda putih itu."
"Aneh, Hwe-liong-ki masa
kalah, dia terluka tidak?" tanya tamu itu.
"Entah, kini dia sedang
blingsatan di kebon, apapun diterjangnya, aku tidak berani mendekatinya."
Kepala kantor agaknya menjadi
gugup akan kejadian diluar dugaan ini, katanya kebingungan: "Dia masih
bisa lari, tentunya tidak terluka. Toaya, apakah kau perlu menemui pemilik
kedua ekor kuda putih itu untuk minta ganti rugi?"
Tamu itu berkata:
"Binatang berkelahi juga sudah umum, kalau sudah berkelahi kalau tidak
menang tentu kalah, buat apa harus menuntut segala? Urusan sekecil ini kenapa
harus cari perkara, salah-salah aku ditertawakan orang. Baiklah, biar aku
menjinakkan Hwe-liong-ki."
Sudah tentu petugas kantor
munduk-munduk serta mengumpak, segera dia ikut berlari keluar menuju ke kebon
belakang untuk menyaksikan sang tamu menjinakkan kuda tunggangannya.
Tan Ciok-sing dan In San
sama-sama diam seperti ada yang dipikirkan, tiba-tiba Tan Ciok-sing menepuk
paha, katanya: "Ya, aku sudah tahu."
"Kau tahu apa?"
dalam hati In San berpikir, "mungkin dia sudah menebak siapa pemilik kedua
ekor kuda putih itu?"
Tan Ciok-sing berkata:
"Tamu itu adalah Bak Bu-wi."
In San tersenyum, katanya:
"Maksudmu Bak Bu-wi yang malam itu pernah bergebrak dengan kau di
Loh-gau-kio itu?"
"Betul, pasti tidak
salah, tamu ini adalah Bak Bu-wi, Moay-yang-pang adalah sindikat gelap di
Kanglam yang berkuasa di perairan, agaknya dia pulang dan sembunyi di sarang
sendiri."
"Semula tujuannya hendak
mencari tulang punggung macam Liong Bun-kong bangsat tua itu, kini terpaksa dia
kembali, tapi aku jadi curiga, kembalinya kali ini pasti ada apa-apa yang
sedang diembannya."
"Betul. Bukan mustahil
kedatangan Poyang Gun-ngo kemari juga atas undangannya."
"Betul, dia minta dua
villa yang lain pasti disiapkan untuk Poyang Gun-ngo."
"Seorang diri juga tidak
perlu menggunakan sebuah villa, kemungkinan dia mengundang juga beberapa orang,
entah siapa?"
"Peduli apa maksud
tujuannya, apakah dia sekongkol dengan Poyang Gun-ngo, manusia macam dia
setelah kebentur di tanganku, aku tidak akan memberi ampun kepadanya."
"Baiklah, setelah larut
malam nanti, kita selidiki keadaannya," demikian usul Tan Ciok-sing.
Waktu itu sudah mendekati
kentongan ketiga, namun Kek Lam-wi masih belum kunjung pulang.
Tan Ciok-sing mengajak:
"Mari kita selidiki dulu situasi disini, kembalinya nanti menunggu
kedatangan Kek-toako pula." Diam-diam mereka- melompat keluar dari
jendela, setelah mengitari gunung-gunungan terus menuju ke timur, di sebelah
timur terdapat belasan villa, letaknya tersebar tidak teratur di antara
pepohonan dan gunung-gunungan.
Tiba-tiba dari depan
menghembus angin lalu, hidung In San seketika mengendus-endus, katanya tertawa:
"Toako, ada bau aneh yang terbawa angin, kau bisa membedakan bau
apa?"
"Sedikit bacin, kalau
tidak salah mirip bau najis kuda."
"Ringkik kuda tadi
berkumandang dari arah sana, istal kuda pasti berada disana. Biar aku kesana
melihatnya."
"Kau ingin melihat kedua
ekor kuda putih itu?"
In San mengiakan.
"Orangnya lebih penting
dari kuda, kita temukan dulu Bak Bu-wi baru nanti kita tengok binatang empat
kaki itu," demikian kata Tan Ciok-sing, dia kira In San hanya sekedar
memuaskan rasa ketariknya saja.
In San tertawa, katanya:
"Kemungkinan kedua ekor kuda putih itu justru lebih penting dari Bak
Bu-wi. Mencari Bak Bu-wi harus memeriksa satu villa ke villa yang lain, kedua
kuda putih itu justru bisa segera kutemukan di istal, biarlah aku kesana
memeriksanya."
Tergerak juga hati Tan
Ciok-sing, katanya: "Baiklah, kalau kularang tentu kau uring-uringan,
baiklah kita bertindak sesuai rencana tadi, pergilah ke istal, aku berjaga
disini."
Diam-diam In Sin menuju ke
istal, belum lagi dia memasuki pintu, kedua ekor kuda putih seperti sudah tahu
kedatangannya, keduanya lantas meringkik dan berjingkrak-jingkrak sambil
melongokan lehernya keluar. Melihat sikap mereka yang kesenangan, seperti
hendak menerjang keluar dari kandang. Lekas In San ulur tangannya mengelus
kepalanya, katanya tertawa: "Kalian memang cerdik pandai dan peka
perasaan, kalian tidak pangling kepadaku," kedua kuda itu mengulur
kepalanya menggosok-gosok lengan In San.
In San berpikir: "Bila
mereka meringkik terus-terusan, mungkin bisa mengundang orang kemari,"
maka dia berkata tertawa: "Baiklah, setelah aku bertemu dengan majikan
kalian besok aku kembali."
Cepat-cepat dia kembali ke
tempat semula, dilihatnya Tan Ciok-sing menyongsongnya, mimik dan sikapnya
kelihatan aneh. Tanpa berjanji mereka buka mulut bersama: "Kau temukan
apa?"-"Coba kau
terka?" — "Tidak kau yang ceritakan dulu."
Akhirnya In San bercerita
lebih dulu: "Tan-toako, aku sudah bertemu dengan kedua ekor kuda putih
itu. Mereka adalah milik teman kita."
"Ha, jadi kuda putih
milik Kanglam Sianghiap itu?"
"Iya, kau tidak menduga
bukan? Coba katakan apakah kedua ekor kuda ini tidak jauh lebih penting dari
Bak Bu-wi?"
"Semula aku memang
menduga akan kedua ekor kuda putih itu. Tapi mereka masih berada di markas
Kim-to Cecu, sementara kedua ekor kuda itu berada di Pakkhia, bagaimana mungkin
secepat ini sudah berada di Soh¬ ciu?"
"Memangnya kau lupa, Sim
dan Ciu kedua Thauling sehari lebih dini meninggalkan Pakkhia, tentu dia sudah
tiba di markasnya?"
Seperti diketahui kedua ekor
kuda putih itu semula dipinjam mereka, belakangan mereka pinjamkan pula kepada
Toan Kiam-ping dan Khong Ling-tck dan dibawa ke Pakkhia.
Kata Ciok-sing tertawa:
"Kau memang betul. Aku yang ceroboh, masa urusan sepele begini juga harus
dipikir simpang siur. Mungkin Toan-toako serahkan kedua ekor kuda putih itu
kepada Sim dan Ciu dua Thauling untuk kembalikan kepada Kanglam Sianghiap di
markas Kim-to Cecu. Kanglam Sianghiap kelahiran Soh-ciu, mendengar kita datang
ke Kanglam hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, tentu mereka
mohon izin kepada Kim-to Cecu untuk pulang ke kampung halaman pula. Karena
mereka menunggang kedua ekor kuda putih ini, maka dia lebih dulu sampai
disini."
"Mungkin mereka akan
menemui kita di pesta Ong Goan-tin, sungguh tidak nyana bakal sama-sama
menginap di hotel yang sama di hari yang sama pula."
"Kalau dugaanku tidak
meleset, pasti orang yang tadi kulihat adalah mereka."
Kejut dan girang In San,
tanyanya: "Kau sudah melihat mereka?"
"Aku melihat mereka,
sebaliknya mereka tidak melihat aku. Tapi mereka kuatir bila kau
melihatnya," ternyata di waktu kedua ekor kuda putih itu meringkik
berulang kali, Tan Ciok-sing melihat dua bayangan orang lari munduk-munduk ke
arah istal, tapi begitu melihat In San keluar, cepat-cepat mereka mengkeret
tubuh menyembunyikan diri.
"Mungkin mereka kuatir
kuda putih itu dicuri orang maka keluar memeriksanya. Yakin mereka belum
melihat jelas diriku. Toako, sekarang apa yang harus kita lakukan? Cari mereka
lebih dulu atau mencari jejak Bak Bu-wi?"
"Aku sudah tahu dimana
tempat tinggal mereka. Nah, di villa itu, tadi aku melihat mereka masuk
kesana."
Villa itu juga terletak di
tengah terapit dua gunungan, membelakangi sebidang hutan bambu, seperti juga
letak villa yang di tempati Tan Ciok-sing berdua, letaknya di pojokan yang
menyendiri.
Hubungan In San dengan Ciong
Bin-siu, salah satu dari Kanglam Sianghiap seperti kakak adik, katanya:
"Setelah tahu tempat tinggal mereka, marilah kita temui mereka dulu.
Percakapan Bak Bu¬ wi dengan pemilik hotel dapat kita simpulkan, bahwa
kedatangannya mungkin menguntit jejak mereka. Mari kita beritahu hal ini kepada
mereka."
"Betul, temui kawan lebih
dulu baru kita labrak musuh," ujar Tan Ciok-sing," ditambah tenaga
mereka berdua, tentu lebih mudah untuk mencari jejak Bak Bu-wi didalam hotel
ini," sambil sembunyi-sembunyi dengan langkah hati-hati mereka menuju ke
villa yang dituding Ciok-sing tadi.
"Toako," tiba-tiba
In San teringat sesuatu, "kedatangan Kanglam Sianghiap memang suatu hal
yang menyenangkan, tapi bagi Kek-toako, kurasa justru bisa mengecewakan
dia."
"Betul, nenek penjual teh
tadi bilang nona penunggang kuda pandai berbahasa Soh-ciu, kemungkinan dia
adalah Ciong-lihiap jadi bukan Toh So-so seperti yang diduganya."
"Ya, Kek-toako salah duga
aku jadi kuatir. Bila dia tidak menemukan Toh-cici seharusnya sudah kembali
kenapa sampai sekarang belum pulang?"
Sampai disini pembicaraan
mereka, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan orang. Lekas Ciok-sing tarik lengan
In San sembunyi di belakang pohon, di pinggir telinganya dia berbisik:
"Yang datang adalah Bak Bu-wi."
In San masih belum melihat
jelas, dia berjongkok dan tanyanya lirih: "Temannya siapa?"
"Entah siapa, tapi
kelihatannya bukan Poyang Gun-ngo."
Lekas sekali kedua orang ini
sudah lewat mengitari gunungan di depan sana.
"Kau masuk lebih
dulu," kata Ciok-sing, "biar aku gebah mereka," seperti
diketahui dia pernah gebrak melawan Bak Bu-wi, dia yakin dirinya cukup mampu
mengatasinya. Meski dia tidak tahu siapa teman Bak Bu-wi, tapi kalau bukan
Poyang Gun-ngo, dia yakin dirinya masih mampu mengalahkannya pula. Yang dia
kuatirkan justru Kanglam Sianghiap berdua bila mereka tidak menginsafi bahwa
dirinya telah diincar musuh, maka dia suruh In San masuk lebih dulu supaya
urusan tidak jadi kapiran.
Baru saja In San berlalu, Bak
Bu-wi dan temannya itupun telah dekat, Bak Bu-wi pun bicara bisik-bisik dengan
temannya itu, tapi dengan mendekam di tanah Tan Ciok-sing masih bisa mendengar
percakapan mereka dengan jelas.
Didengarnya laki-laki yang
tidak dikenal itu berkata lirih: "Lo¬bak, kau tidak salah lihat bukan?
Jangan sampai terjadi huru hara disini."
"Walau aku belum pernah
melihat bocah bernama Kwik Ing¬ yang dan genduk bernama Ciong Bin-siu itu, tapi
kuda tunggangan mereka adalah kuda jempolan yang terkenal, umpama anak buahku
salah melihat orang, yakin tidak akan salah mengenali kudanya."
Orang itu tertawa enteng,
katanya: "Ya, betul. Tujuan kita memang kedua ekor kuda itu, umpama
penunggangnya bukan Kanglam Sianghiap, setimpal juga kali ini turun
tangan."
"Satu hal perlu
kuperingatkan kepada kau," ujar Bak Bu-wi, "jangan kita membuat
keributan di Say-cu-lim sehingga membuat kaget tamu yang lain. Kanglam
Sianghiap jelas harus kita hadapi, tapi jangan sampai terjadi banjir darah
disini."
"Kau kuatir pemilik hotel
disini kerembet perkara sehingga dagangannya jatuh pamor?" kata orang itu,
"jangan kuatir, keuntungan tetap akan kuprioritaskan untuk Lo In."
"Bukan demi dagangan In
Kip melulu, kita masih akan pinjam tempatnya ini untuk mengail ikan yang lebih
besar. Setengah bulan lagi, di waktu Ong Goan-tin mengadakan pesta ulang
tahunnya, yakin tidak sedikit orang persilatan yang terkenal berdatangan
memberi selamat kepadanya, yang menginap disini tentu tak terhitung jumlahnya.
Bila malam ini terjadi keributan, orang luar sampai tahu, biar tersiar luas di
luaran, orang orang itu takkan mau menginap disini pula, hubungan kita dengan
Lo In tentu diketahui mereka pula."
"Em, ya," orang itu
tertawa, "Say-cu-lim ini dijadikan gelanggang untuk memancing ikan besar,
memang itulah akal muslihat yang telah direncanakan oleh Liong-tayjin."
"Betul. Jangan kau kira
kedudukan Liong-tayjin sekarang kelihatan goyah, padahal dia cukup pandai
melihat gelagat dan menyelami jalan pikiran Sri Baginda, yakin akan datang
saatnya tenaganya akan diperlukan lagi."
Orang itu berkata: "Mana
aku berani memandang rendah Liong Taijin, ketahuilah, Hu-congkoan juga berpesan
demikian kepadaku."
Bak Bu-wi tertawa, katanya:
"Apa betul? Agaknya kita memang sependapat."
"Lalu bagaimana
pendapatmu?"
"Lebih baik sekali tembak
kena sasaran, sebelum mereka sempat bersuara kita sudah membekuk mereka. Tapi
Kungfu Kanglam Sianghiap memang tidak lemah, aku sedang mempertimbangkan apakah
perlu aku menggunakan Ke-bing-ngo-ko-hoa-hun-siang?"
Orang itu agak kurang senang,
katanya: "Dupa wangi biasa digunakan oleh kaum bajingan pemetik bunga,
perbuatan rendah yang memalukan kaum persilatan, apa tidak menjatuhkan pamor
kita. Meski Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu dijuluki Kanglam Sianghiap, aku sih
tidak gentar menghadapi mereka."
Di tempat sembunyinya
Ciok-sing berpikir: "Besar mulut orang ini, agaknya kedudukannya lebih
tinggi dari Bak Bu-wi."
Dari percakapan kedua orang
ini, sedikit banyak Tan Ciok-sing sudah meraba lika-liku persoalannya, pikirnya
pula: "Kiranya seorang diutus Liong Bun-kong dan yang lain diutus H u
Kian-seng untuk menjebak dan mencelakai orang gagah yang berdatangan bakal
memberi selamat pesta ulang tahun Ong Goan-tin. Syukur malam ini kebentur di
tanganku, betapapun aku tidak berpeluk tangan sehingga rencana jahat mereka
tercapai. Tapi cara apa yang tepat untuk menghadapi kedua bangsat ini?"
maklum dia sendiri juga tidak ingin membuat keributan disini sehingga
perkaranya menjadi besar dan tersiar di luaran.
Tengah dia menimang-nimang,
Bak Bu-wi dan temannya itu sudah dekat, tak jauh dari tempat sembunyinya.
Mendadak Tan Ciok-sing memperoleh akal. "Kenapa aku tidak pura-pura
menjadi ronda lalu menghajar mereka supaya kapok," menurut gambarannya mereka
akan ditutuk Hiat-tonya dan dicemplungkan ke empang teratai. Maka cepat dia
melompat keluar seraya membentak: "Pencuri bernyali besar," Ciok-sing
sengaja mengecilkan suaranya, apalagi dia sudah merias diri menjadi bentuk
wajah yang lain, di malam gelap lagi Bak Bu-wi mana bisa mengenalinya.
Bak Bu-wi kaget, memang dia
sangka peronda, lekas dia berseru lirih: "Husss, jangan teriak aku adalah
Bak..."
Betapa cepat gerakan Tan
Ciok-sing belum Bak Bu-wi bicara habis, tahu-tahu dirinya sudah terbekuk orang.
Jelek-jelek Bak Bu-wi adalah
seorang Pangcu, ilmu silatnya juga tidak lemah, dalam kagetnya lekas dia
gunakan Toh-bau-coat-kak, pundak ditekan ke bawah berbareng kedua lengan
disendai, pikirnya hendak mengkelit jatuh Tan Ciok-sing, sayang dia kalah cepat
dan kurang cekatan reaksinya, serangan Tan Ciok-sing secepat kilat juga,
mengikuti gerakan lawan kedua jari-jari tangannya meremas kencang urat nadinya,
seketika Bak Bu-wi lunglai dan jatuh semaput.
Sergapan Tan Ciok-sing
berlangsung teramat cepat dan sekejap saja, tahu-tahu Bak Bu-wi telah berhasil
dibekuknya. Tetapi temannya itu ternyata memiliki gerakan yang tangkas juga di
kala Tan Ciok-sing membalik hendak menubruknya, tahu-tahu terasa angin kencang
menerjang dirinya, ternyata orang telah ayun telapak tangannya membelah ke
dadanya.
Serangan telapak tangan ini
laksana kilat menyambar, sasarannyapun mematikan, dalam saat-saat sekritis itu,
hakikatnya Tan Ciok-sing harus berusaha menyelamatkan diri sebelum dia sempat
menyambar tubuh Bak Bu-wi untuk menangkis serangan musuh.
Syukur Tan Ciok-sing kini
sudah merupakan ahli silat, begitu angin pukulan lawan menerpa tiba, dia lantas
tahu lawan ini betul seorang lawan tangguh, terpaksa dia lempar tubuh Bak Bu-wi
mendadak gunakan gerakan Hong-tiam-thau, sembari berkelit dia menyelinap ke
samping menyongsong pukulan lawan secara kekerasan pula.
"Pyaaaarr", ledakan
bagai geledek terjadi akibat dari benturan telapak tangan kedua pihak.
Ciok-sing merasa seperti diterjang kekuatan dahsyat bagai gugur gunung yang tak
kuasa dibendungnya, tanpa kuasa dia tergentak mundur beberapa langkah.
Orang itu bersuara heran,
agaknya dia kaget akan kepandaian Tan Ciok-sing, bentaknya: "Siapa
kau?" mulut bicara, kaki tangan bergerak maju, jari tangan tergenggam,
kini dia robah serangan dengan Tay-lik-ing-jiau-kang, mencengkram tulang pundak
Ciok-sing.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak mau memberi kesempatan pada lawan untuk merebut inisiatif. Dengan telapak
tangan kiri dan jari tangan kanan, secara gesit dia balas menyerang. Terdengar
pula benturan keras "Biang" kali ini Ciok-sing tergetar lebih keras
dan tergentak mundur delapan langkah, dengan ujung kaki menutul tanah beruntun
dia berputar dua kali baru kuasa menegakan badan pula.
Kali ini orang itu menjerit
melengking, meski suaranya tidak keras, namun kedengarannya aneh. Ternyata
dalam adu kekuatan kali ini meski Tan Ciok-sing menderita rugi lebih besar,
tapi orang itupun mengalami cidera yang lumayan, kalau dinilai secara adil,
kedua pihak sama-sama terluka. Serangan telapak tangan diselingi tutukan jari
Tan Ciok-sing meski tidak kuasa melawan gempuran musuh, tapi dengan jari
sebagai ganti pedang, Ciok-sing melancarkan jurus Hian-niau-hoat-sa dari jurus
ilmu pedang yang liehay. Dalam kegelapan hakikatnya orang itu tidak melihat
jelas dan tidak menduga bahwa Tan Ciok-sing mampu melancarkan serangan liehay
menakjubkan ini, sehingga pergelangan tangannya kena ketutul ujung jari tangan.
Bukan saja pergelangan
kesemutan, seluruh lengan terasa sakit dan lunglai tak dapat digerakan lagi.
Karuan kejutnya bukan main, pikirnya: "Untung bukan Lau-hong-hiat di
tengah telapak tanganku yang tertutuk kalau tidak Kungfu yang kulatih puluhan
tahun ini bakal buyar dan sia-sia belaka."
Sudah tentu orang itu kini
sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing bukan peronda, tapi justru dia tidak tahu
asal-usulnya maka rasa kejutnya lebih besar. Hakikatnya dia tidak berani
membuat keributan disini, Bak Bu-wi ditawan musuh lagi, mana berani dia tinggal
lebih lama pula disini, mumpung lawan tergentak mundur, lekas dia samber Bak
Bu-wi yang celentang tak jauh disana terus dibawa lari sipat kuping.
Setelah berputar dua kali baru
Tan Ciok-sing mampu berdiri tegak. Sementara itu bayangan orang itu sudah
menghilang di semak-semak sana sambil memanggul tubuh Bak Bu-wi. Diam-diam
Ciok-sing kaget, pikirnya: "Orang itu memanggul Bak Bu-wi, pada hal
pergelangan tangannya terkena tutukanku, tapi masih kuat berlari secepat itu,
agaknya Lwekangnya masih lebih tinggi dari aku."
Sementara itu ln San belum
masuk ke villa itu, walau dia yakin Tan Ciok-sing tidak akan kalah menghadapi
kedua musuhnya tapi dia merasa prihatin juga akan keselamatannya, sebelum
melihat jelas hasil tindakan Ciok-sing rasanya kurang lega masuk ke rumah. Maka
setiba di depan pintu dia malah berhenti dan menonton dari kejauhan sambil
bertolak pinggang, di samping menjaga segala kemungkinan dan membantu Ciok-sing
bila perlu, diapun menghadang Kanglam Sianghiap bila mereka menerjang keluar
serta membuat keributan yang tidak diinginkan.
Setelah melihat orang itu lari
memanggul Bak Bu-wi, Tan Ciok-sing masih belum menghampiri dirinya, karuan
kagetnya bukan main. Lekas dia berlari balik dan tanya perlahan: "Toako,
kenapa kau?"
Tan Ciok-sing kerahkan hawa
murni dan berputar tiga kali ke sekujur badannya, rasa sesak dadanya seketika
lenyap, sahutnya: "Syukur tidak sampai terluka dalam."
Lega hati In San tapi dari
nada Ciok-sing dia merasa Toakonya menderita rugi maka kagetnya lebih besar
lagi, tanyanya: "Apakah orang itu begitu liehay?"
Tan Ciok-sing tertawa getir,
katanya: "Semula kukira dia hanya membual saja, tak kira dia memang
memiliki Kungfu yang liehay. Terus terang, dia adalah musuh tangguh yang baru
pertama kali ini kuhadapi, Lwekangnya masih lebih unggul dibanding Hu Kian-seng
atau Bok Su-kiat, kira-kira setaraf dengan Koksu Watsu yang bergelar Milo
Hoatsu itu. Tapi meski kali ini aku menderita rugi, diapun tidak memperoleh
keuntungan, lukanya mungkin tidak lebih ringan."
"Seliehay itu?" In
San melelet lidah, "Toako, apa betul keadaanmu tidak mcngkuatirkan!"
"Untung di malam gelap,
kalau di siang hari aku jelas bukan tandingannya. Kau tak usah kuatir dengan
ajaran Lwekang Suhu yang kuyakinkan, meski melawan dua kali pukulan dahsyatnya,
aku tidak gampang dilukai. Kelak bila bersua kembali, kita harus melawannya
dengan Siang-kiam-hap-pik yakin aku dapat mengalahkan dia."
"Lekas kau masuk
beristirahat. Apa kau bisa menggunakan ginkang? Kalau tidak bisa biar aku
undang mereka keluar."
"Biar kucoba dulu, mari
kau gandeng aku." Ilmu Ginkang atau gerakan tubuh yang diajarkan Thio
Tan-hong ada sebuah gerakan yang dinamakan Pi-gi-siang-hwi (pentang sayap
berganda), dikembangkan dua orang yang bergandengan tangan serta melompat
bersama, yang tangguh membantu yang lemah sehingga satu sama lain saling isi
sehingga lompatan bisa mencapai sejauh mungkin.
Tembok tidak tinggi, In San
pikir umpama Ciok-sing belum mampu mengembangkan Ginkang, dirinya yakin masih
mampu menggandengnya lompat ke atas. Tak nyana begitu tangan bergandengan,
belum lagi In San kerahkan tenaga, tahu-tahu terasa tubuhnya menjadi enteng dan
tertarik mumbul ke atas tembok. Tujuan semula dia yang hendak bantu Ciok-sing,
kenyataan justru dia yang ditarik Tan Ciok-sing. Baru sekarang dia tahu bahwa
Lwekang Tan Ciok-sing memang amat tangguh dan tidak kurang suatu apapun.
Di kala mereka bergandengan
melompat tinggi dan menutul di atas tembok serta bergandengan turun kedalam, di
saat ujung kaki menyentuh tanah, tiba-tiba terasa angin kencang menerjang tiba,
dua batang pedang tahu-tahu sudah menusuk tiba.
Ciok-sing mahir mendengar
suara membedakan senjata, dia tahu ujung pedang mengincar Ci-tong-hiat di bawah
ketiak. Ci-tong-hiat adalah Hia't-to pelemas, agaknya pembokong hanya bertujuan
menawan dirinya hidup-hidup, jadi tidak bertujuan membunuhnya.
Sudah tentu Ciok-sing tahu
siapa penyerang ini dan tahu bahwa orang salah sangka dikira dirinya adalah
musuh, namun cara turun tangannya pakai perhitungan. Maka diapun hanya kerahkan
sedikit tenaga menjentik dengan jari tengah, pedang lawan dijentiknya pergi
dengan Tan-ci-sin-thong. Sementara setangkas kupu tahu-tahu In San bergerak
dengan gerakan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sekali bergerak tubuhnya sudah
menyingkir kesana.
Mereka sama-sama
memperlihatkan gerakan yang sudah dikenal baik oleh penyerangnya, maka dua
orang seketika bersuara heran. "Ciong-cici," lekas In San berseru
perlahan, "jangan membuat gaduh, aku bersama Tan-toako."
Kedua penyerang itu memang
Kanglam Sianghiap, ternyata mereka juga mendengar pertarungan diluar, maka
diam-diam mereka sudah siap menyambut musuh di pekarangan.
Kejut dan senang hati Ciong
Bin-siu, katanya: "In-moaycu, kiranya kau, kenapa kau berubah jadi pemuda
seganteng ini? Kalau tidak salah masih ada dua orang, siapa mereka dan
kemana?"
"Kedua orang itu hendak
berbuat jahat kepada kalian sudah digebah pergi oleh Tan-toako," sahut In
San.
Kwik Ing-yang kaget, katanya:
"Apa yang terjadi?"
"Panjang ceritanya, mari
bicara didalam," ajak Tan Ciok-sing.
Setiba di rumah Kwik Ing-yang
menyulut lampu, melihat noda darah yang mengotori pakaian Ciok-sing, Kwik
Ing-yang kaget, tanyanya: "Tan-toako, kau terluka?"
"Terluka sedikit, tidak
apa-apa," sahut Tan Ciok-sing.
Karena pedangnya dijentik
dengan Tan-ci-sin-thong, Kwik Ing-yang maklum apa yang dikatakan Tan Ciok-sing
memang bukan pura-pura. Katanya tertawa: "Ya, dengan bekal Kungfumu
sekarang, berapa orang dalam Kangouw sekarang yang mampu melukai kau. Tapi orang
itu mampu meloloskan diri dari tanganmu, liehay juga dia, siapa dia?"
Maka Tan Ciok-sing tuturkan
kejadian diluar barusan secara singkat.
"Jadi kalian bentrok
dengan Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu."
Ciong Bin-siu menimbrung:
"Pada hal tujuan mereka adalah kami. Tan-toako, syukur kau membantu secara
diam-diam, kalau tidak mungkin kami tidak akan lolos dari tipu daya mereka
berdua."
"Bak Bu-wi tidak perlu
dibuat takut," ucap Tan Ciok-sing, "tapi terrjannya itu baru
terhitung lawan tangguh."
Kwik Ing-yang berkuatir.
katanya: "Setelah terjadi peristiwa ini, asal-usul kita tak bisa
disembunyikan lagi. Kukira tempat ini tidak lagi cocok bagi kami,"
"Apa sekarang juga kita
harus pindah dari sini?" tanya Ciong Bin-siu.
"Kita memang harus
meninggalkan tempat ini. Tapi juga tidak perlu tergesa-gesa," kata
Ciok-sing, lalu percakapan Bak Bu-wi dengan temannya yang dia curi dengar dia
ceritakan kepada Kanglam Sianghiap.
"Hm, kurcaci, jadi mereka
hendak menjadikan Say-cu-lim sebagai gelanggang memancing ikan, arti kata lain
hendak menjaring orang-orang gagah yang bakai menginap disini. Keji benar
rencana mereka," demikian kata Kwik Ing-yang gemes.
In San teringat sesuatu,
katanya: "Ciong-cici, apakah kemarin kau mampir di sebuah gardu minuman
membeli dua ekor goreng bebek?"
"Benar, sejak kecil aku
suka makan goreng bebek, maka diluar kota aku sudah membelinya untuk kubawa
pulang," demikian sahut Ciong Bin-siu.
"Waktu itu Kwik-toako
tidak bersama kau, benar tidak?" In San menegas.
"Bagaimana kau bisa tahu
sejelas ini?"
"Nenek yang empunya gardu
minuman itu yang cerita kepadaku."
"Betul. Ing-yang pergi
menguntit orang yang dicurigai, maka di simpang jalan dia berpisah dengan aku.
Kira-kira setengah hari kemudian baru dia menyusulku."
"Kwik-toako," tanya
In San, "siapa yang kau curigai sampai perlu kau menguntitnya?"
"Orang-orang
Bu-san-pang," sahut Kwik Ing-yang.
In San melenggong, katanya:
"Bu-san-pang yang mahir menggunakan senjata rahasia beracun itu? Kalau
tidak salah pernah kudengar Kim-to Cecu membicarakan Bu-san-pang ini, tapi
tidak banyak yang kuketahui."
"Semula Bu-san-pang hanya
sebuah kumpulan kecil di Su-jwan, namun namanya cukup terkenal. Memang mereka
pandai menggunakan senjata rahasia beracun dan sudah terkenal di Kangouw.
Dipimpin seorang Tho-su perempuan, biasa dipanggil Bu-sam Niocu. Sepak
terjangnya kanan kiri tidak menentu, tidak jahat juga tidak lurus, tapi
belakangan ini aktif mereka lebih menjurus ke arah yang sesat. Maka tahun yang
lalu, waktu Bu-sam Niocu menemui Kim-to Cecu dan mohon diterima untuk
menggabung ke barisan laskar rakyat telah ditolak oleh Kim-to Cecu secara
tegas."
"Gembong jahat begitu
memangnya dia juga hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong
Goan-tin?" kata Ciok-sing.
"Memangnya, aku juga
sedang curiga," ucap Kwik Ing-yang. "Di tengah jalan begitu melihat
jejak orang itu, timbul keinginanku untuk mencari tahu apakah di antara mereka
ada Bu-sam Niocu?"
"Apa kau kenal dia?"
tanya In San, "kenapa aku tidak pernah dengar."
"Aku kenal dia,"
sahut Kwik Ing-yang, "tapi dia tidak mengenalku."
"Lho, kenapa?" tanya
In San.
"Kim-to Cecu pernah
menggambarkan tampangnya kepada kami, tampangnya agak berlainan dengan paras
perempuan umumnya, mukanya kasar tingkah lakunya lebih menyerupai laki-laki, di
pelipis kirinya ada goresan bekas bacokan golok."
"Kau berhasil menguntit
mereka? Apa betul dia?" Ciok-sing mendesak.
"Setiba di persimpangan
jalan, kami tidak tahu jalan mana yang mereka tempuh, terpaksa aku berpisah
dengan adik Bin-siu. Aku memilih jalan pertama yang menuju ke kiri, kira-kira
setengah sulutan dupa aku sudah menyandak rombongan orang itu. Bu-sam Niocu
memang berada dalam rombongan itu. Supaya tidak menarik kecurigaan mereka,
setelah aku melampaui rombongan mereka, aku berputar agak jauh lalu kembali ke
arah datangku semula. Kudaku lari kencang, di waktu lewat di sampingnya,
sekilas aku meliriknya, kudapati sikapnya menaruh curiga terhadapku."
"Aku justru yang harus
mencurigai dia," sela Ciong Bin-siu, "sarangnya jauh berada di
Su-jwan, entah kenapa tahu-tahu muncul di Soh-ciu?"
Kwik Ing-yang lantas teringat
sesuatu, katanya: "Betul, pernah kudengar Sim dan Ciu dua Thauling bicara,
katanya kalian bersama Kek Lam-wi meninggalkan kota raja. Kek Lam-wi hendak
menyusul calon istrinya, tiba waktunya juga akan pergi ke Thay-ouw memberi
selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, betul?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Sekarang dia pergi ke
Yang-ciu seorang diri atau..."
"Dia masih bersama kami
dan menginap juga di Say-cu-lim. Tapi sekarang dia sedang keluar."
"Tak heran dia tidak
muncul disini, dia kemana?" tanya Ciong Bin-siu.
"Mencari seorang famili
Toh So-so yang tinggal di Soh-ciu, mencari tahu jejaknya," Ciok-sing
menerangkan.
Ciong Bin-siu sadar, katanya
tertawa: Makanya kalian tanya sejelasnya itu kepada nenek penjual teh itu. Jadi
Kek Lam-wi mengira aku ini adalah Toh So-so?”
In San menghela napas,
katanya: “Iya. Sudah tentu dia tidak kira kau bakalberada disini.”
"Sungguh aku menyesal,
Kok toako harus kecewa karenanya. Apa besok dia sudah kembali?”
"Dia bilang, begitu
mendapat kabar, berhasil tidak menemukan nona Toh, dia akan pulang memberitahu
kepada kami" kata Ciok-sing.
Kwik Ing-yang kaget, katanya:
"Jelas dia tidak akan menemukan Toh So-so, seharusnya sekarang dia sudah
pulang. Waktu kalian meninggalkan villa..."
"Setelah kentongan ketiga
baru kami keluar, waktu itu Kek-toako masih belum pulang," ujar Tan
Ciok-sing.
"Kemungkinan sekarang dia
sudah pulang," ucap In San, "mari kita kembali."
Kwik Ing-yang berkata:
"Bila Kek-toako sudah pulang, tolong kalian ajak dia kemari."
"Sekarang sudah menjelang
fajar," kata Ciok-sing, "biar setelah terang tanah kami akan
kemari."
"Begitupun baik,"
ujar Kwik Ing-yang, "daripada kalian mondar mandir, celaka bila kepergok
peronda, tentu menimbulkan kecurigaan," dari perkataan ini Tan ciok-sing
sudah maklum bahwa kwik Ing-yang berdua tentu sudah tahu asal-usul pemilik
hotel ini, namun dia sudah tidak sempat membicarakan hal ini dengan mereka.
Seperti waktu keluarnya tadi,
diam-diam mereka melompati pagar tembok, setiba di villa kediaman mereka.
Langsung mereka menuju ke kamar di bawah loteng, dimana sudah diatur kamar
Ciok-sing bersama Kek Lam-wi. Baru saja mereka melangkah memasuki pintu
samping, terasa kesiur angin menyampuk tiba, seperti ada sebuah senjata panjang
menutuk ke Jian-kim-hiat di pundak Tan Ciok-sing.
Ciok-sing mengangkat jarinya
menjepit seraya bersuara lirih: "Kek-toako, inilah aku."
Kek Lam-wi menyerang dengan
King-sin-pit-hoat, begitu
menghadapi serangan orang dia
lantas tahu siapa yang menyerangnya, apalagi setelah jarinya menjepit senjata
lawan, terasa memang bulat licin, yaitu seruling kemala hangat milik Kek
Lam-wi.
Kek Lam-wi lantas menyalakan
lampu, katanya: "Kalian pergi kemana, kenapa sekarang baru kembali? aku
tidak tahu apa yang kalian alami, aku jadi curiga ada orang datang hendak
menyergapku lagi."
Mendengar 'menyergap lagi'
Ciok-sing jadi kaget, tanyanya: "Apa yang kau alami? Apakah di tengah
perjalanan pulang kau disergap orang?"
"Ya, memang aku dibokong,
tapi bukan di Say-cu-lim. Mungkin penyerang itu tidak bermaksud membunuhku,
maka aku hanya luka-luka ringan, kalian tak usah kuatir."
"Apa yang telah kau
alami? Lekas kau terangkan," desak Tan Ciok-sing.
"Aku justru ingin cepat
tahu apa yang kalian alami disini, sehingga perlu kalian keluar bersama, kalau
tidak hatiku tidak akan rentram."
"Baik, akan kuuraikan dua
hal kepada kau. Pertama, kami bentrok dengan Bak Bu-wi dan seorang jago kosen
yang belum diketahui namanya. Kedua, Kanglam Sianghiap juga tinggal di
Say-cu-lim ini. Baru saja kami pulang dari kediamannya di villa yang lain.
Karena banyak yang kami bicarakan, baru sekarang kami pulang."
Senang tapi juga kecewa hati
Kek Lam-wi, katanya: "Agaknya aku salah kira, Ciong-lihiap kusangka adik
So-so. Berita apa yang mereka bawa, kalian bentrok dengan Bak Bu-wi, bagaimana
kelanjutannya?"
"Perlahan-lahan
kujelaskan.
Sekarang ceritakan
pengalamanmu," desak Ciok-sing. Dia sudah perhatikan sikap dan mimik Kek
Lam-wi agak kurang normal.
"Aku sudah menemui famili
adik So-so itu, dia bilang hakikatnya tidak tahu kalau adik So-so sudah pulang
ke Soh-ciu. Aku amat kecewa, aku lantas pulang."
"Kira-kira tiga li
sebelum aku sampai di Say-cu-lim, mendadak aku diserang dengan senjata rahasia,
serangan pertama berhasil kukelit, tapi serangan kedua mengenaiku dengan telak.
Penyerang gelap itu memiliki Ginkang yang bagus, karena terluka tak berani aku
mengudaknya, terpaksa aku berusaha mengobati dulu luka-lukaku."
Mendengar Kek Lam-wi terkena
senjata rahasia, Tan Ciok-sing kaget, tanyanya: "Kau terkena senjata
rahasia apa? Bagaimana luka-lukamu?"
"Tidak soal, hanya kulit
dagingku saja yang lecet, tapi senjata rahasia yang digunakan itu agaknya punya
asal-usul yang patut diperhatikan. Nah kalian periksa."
Di bawah lampu Tan dan In
memeriksa senjata rahasia itu dengan seksama, tampak bentuk senjata rahasia itu
mirip seekor kupu-kupu kecil, ada sayap yang tipis tapi sisinya tajam. Pakaian
Kek Lam-wi sobek karena ketajaman senjata rahasia ini sehingga kulit dagingnya
ikut tergores sedikit.
In San membolak-balik senjata
rahasia itu sekian lamanya, katanya setelah menepckui "Ouw-tiap-piau
seperti ini jarang terlihat. Kek-toako, kalian Pat-sian luas pergaulan dan
banyak pengetahuan umpama belum pernah lihat pasti pernah dengar. Tahukah kau
termasuk aliran mana senjata rahasia sejenis ini?"
"Apa kalian pernah dengar
nama Bu-san-pang," tanya Kek Lam-wi.
In San kaget, kalanya:
"Bu-san-pang yang serba ahli menggunakan senjata rahasia itu? Baru tadi
Kanglam Sianghiap membicarakan asal-usul Bu-san-pang itu dengan kami."
"Ouw-tiap-piau ini adalah
senjata rahasia tunggal yang biasa digunakan oleh Bu-san-pang Pangcu yang
bernama Bu-sam Niocu."
Ciok-sing betul-betul kaget,
tanyanya: "Senjata rahasia tunggal Bu-sam Niocu? Kurasa tidak boleh
dianggap enteng. Lekas kau telan Bik-ling-tan peninggalan guruku ini..."
Bik-ling-tan dibuat dari sari
Thian-san-soat-lian (teratai salju) kasiatnya dapat memunahkan seratus jenis
racun, merupakan obat pemunah racun yang tak ternilai dan paling sulit didapat.
Tapi Kek Lam-wi mandah tertawa
saja, katanya kalem: "Terima kasih akan kebaikanmu Tan-heng, luka seringan
ini tak usah menggunakan Bik-ling-tan yang tak ternilai itu. Walau senjata
rahasia ini milik Bu-sam Niocu, tapi Ouw-tiap-piau ini tidak mengandung racun.
Setelah kububuhi Kim-jong-yok, rasa sakit telah hilang."
"Senjata rahasia tunggal
Bu-sam Niocu ternyata tidak beracun, berita aneh," kata In San heran.
"Maka itu, tadi aku
katakan dia tidak bermaksud membunuhku. Kenapa pula kalian membicarakan
Bu-san-pang dengan Kanglam Sianghiap?"
"Di tengah jalan mereka
bersua dengan rombongan orang Bu-san-pang. Kira-kira sejam Bu-Sam Niocu tiba di
Soh-ciu lebih dulu dari kita," lalu In San ceritakan pembicaraannya dengan
Kwik Ing-yang.
"Bu-san-pang jauh berada
di Su-jwan barat, jejak mereka jarang keluar dari Sam-siap, kenapa mendadak
berada di Soh-ciu? Di waktu Kanglam Sianghiap membicarakan hal ini dengan kami,
kami sudah menduga-duga dan tidak habis mengerti, sekarang aku baru paham
ternyata maksud tujuan mereka hendak menyergap Kek¬ toako," demikian ujar
In San.
Kek Lam-wi geleng-geleng
kepala, katanya: "Jauh-jauh mereka meluruk ke Soh-ciu ini aku yakin bukan
lantaran mau menyergap aku saja."
"Tindak-tanduk mereka
memang aneh, kalau tidak ingin membunuh Kek-toako kenapa pula membokong kau?
Buat apa mereka mencari gara-gara terhadap Pat-sian? Bukankah mencari
permusuhan?"
"Aku juga belum dapat
menyelami tujuan mereka yang sebenarnya, tapi belakangan terjadi pula suatu
peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan orang-orang Bu-san-pang?"
"Peristiwa apa?" Tan
dan In tanya bersama.
Sebelum berkata Kek Lam-wi
memejam mata mendengarkan sesuatu dengan cermat, Tan Ciok-sing berkata:
"Diluar yakin tiada jejak manusia."
Kek Lam-wi berkata lirih:
'Diluar tiada orang mencuri dengar. Tapi kita harus ingat, kita menginap di
hotel milik In Kip, jelas punya maksud jahat, tidak boleh tidak harus
hati-hati. Marilah kita bicara di atas loteng saja, siapa tahu di belakang
dinding ada telinga."
Melihat sikapnya bersitegang
leher, entah kejadian apa yang pernah dialaminya, mau tidak mau Tan Ciok-sing
dan In San ikut merasa risau.
Setiba di kamar di atas
loteng, Kek Lam-wi menutup pintu, baru melanjutkan pembicaraan: "Waktu aku
pulang kemari sudah mendekati kentongan ke empat. Aku keluarkan nomor tembaga
itu, setelah penjaga memeriksa, baru pintu itu dibuka membiarkan aku
masuk."
"Melihat kau selarut itu
baru pulang, sudah tentu penjaga pintu merasa heran," ujar In San tertawa.
"Sebaliknya, yang merasa
kaget dan heran justru adalah aku, bukan dia."
"Lho mengapa?"
"Pintu kebon terbuka,
begitu aku melangkah masuk, didalam sudah ada seorang menyongsong kedatanganku.
Coba terka siapa dia?"
"Mana aku bisa
menerkanya, lekas kau terangkan saja siapa dia?" In San gugup.
"Kuasa hotel itu," ujar
Kek Lam-wi.
"Ya, memang tidak
terduga, kuasa hotel memang angkuh, tapi uang memang licin, selarut itu dia
masih menunggu kau pulang. Em, mungkin lantaran kau menyogoknya dengan uang
emasmu itu."
Kek Lam-wi tertawa, katanya:
"Uang emas itu mungkin penyebab sehingga dia tidak memandang rendah kita,
tapi aku yakin sikapnya itu bukan lantaran uang emas itu sehingga dia perlu
bermuka-muka terhadap kita."
"Lalu lantaran apa?"
tanya In San.
"Jangan terburu
nafsu," ujar Tan Ciok-sing tertawa, "dengarkan saja cerita
Kek-toako."
Kek Lam-wi meneruskan
ceritanya: "Dengan laku hormat kuasa hotel itu berkata terhadapku: 'Kek-ya
telah pulang, mohon maaf, aku terlambat menyambut.' Aku bilang kenapa selarut
ini kau masih belum tidur? Dia bilang: 'Aku memang menunggu Kek-ya pulang. 'Aku
bilang terima kasih. Waktu itu aku sudah mulai curiga, maka aku ulur tangan
berjabatan dengan dia sebagai tanda terima kasih."
"Berjabat tangan
sekaligus kau menjajal Lwekangnya?" tanya Ciok-sing.
"Betul, aku
mencobanya."
"Bagaimana
hasilnya?"
"Susah diukur."
Ciok-sing kaget, serunya:
"Kuasa hotel itu bertampang biasa, ternyata seorang kosen?"
"Mungkin Lwekangku yang
terlalu cetek dan belum lama ini mengalami luka-luka, maka kurasa Lwekangnya
susah diukur. Bila kau Tan-toako yang menjajal dia, jelas berbeda. Waktu aku
mencobanya, semula hanya kukerahkan tiga bagian tenaga terus bertambah sampai
delapan sembilan bagian kekuatanku, namun sikapnya tetap biasa seperti tidak
merasa apa-apa, wajahnya tetap bersenyum dan berkata supaya aku tidak usah
sungkan, tapi dia ternyata tidak memberi reaksi."
"Meski kesehatan Kek-heng
baru sembuh, tapi dia memiliki Kungfu sebaik itu, boleh terhitung sebagai jago
kosen kelas satu di Kangouw. Lalu bagaimana?"
"Akhirnya dia undang aku
ke kantornya untuk bicara, katanya ada urusan penting yang hendak
dibicarakan," demikian tutur Kek Lam-wi, "waktu itu aku ragu-ragu,
namun kupikir apa halangannya mendengar penjelasannya, maka aku ikut masuk ke
kantor."
Sampai disini Kek Lam-wi
merogoh keluar selembar undangan, katanya: "Setelah duduk dia mengeluarkan
kartu undangan ini, katanya majikannya mengundangku untuk menghadiri
perjamuan."
Undangan itu hanya ditujukan
kepada Kek Lam-wi seorang, waktu Tan Ciok-sing buka kartu undangan hanya
terdapat beberapa baris tulisan yang mengharap kehadirannya dalam perjamuan
yang diadakan di suatu tempat pada tanggal dan hari yang sudah ditentukan, di
bawah tertanda In Kip.
Tan Ciok-sing
manggut¬-manggut, katanya: "Kiranya dia sudah tahu bahwa kau adalah
Kek-jithiap dari salah satu Pat-sian, tak heran sikapnya menjilat
kepadamu."
"Untung mereka belum tahu
asal-usulku dan Tan-toako," demikian In San, "bila In Kip sudah tahu,
tak mungkin hanya Kek Lam-wi seorang saja yang diundang."
Kek Lam-wi meneruskan:
"Tahu tak mungkin mengelabui orang, tapi aku yakin In Kip pasti tidak
berani mencari setori dengan Pat-sian, maka aku coba mengorek keterangannya:
"Apa aku saja yang diundang?"
"Kuasa hotel berkata:
'Maaf, majikan ada pesan, undangan ini khusus hanya untuk Kek-jitya saja.
Beliaupun mengharap supaya soal undangan ini Jitya tidak memberitahu kepada
orang lain, termasuk kedua temanmu itu."
In San tertawa, katanya:
"Persoalan sudah jelas. Aku jadi tidak mengerti kenapa mereka bertindak
secara sembunyi-sembunyi?"
Tan Ciok-sing juga mendapat
firasat, undangan In Kip kali ini bukan mustahil merupakan muslihat jahat.
"Memangnya aku juga
merasa keki akan sikap mereka yang sembunyi-sembunyi, tapi aku hendak menolak
undangan ini, kuasa hotel itu sudah mengeluarkan dua benda, katanya: 'Inilah
pemberian majikanku untuk Kek-
jithiapF - Melihat benda itu
seketika aku telan kembali
ucapan yang mau kulontarkan."
"Dua benda apakah
itu?" tanya In San.
"Inilah yang pertama, kau
periksa dengan seksama," ujar Kek Lam-wi.
Kontan In San bersuara heran,
katanya: "Bukankah ini Ouw-tiap-piau, senjata rahasia tunggal milik Bu-sam
Niocu itu, untuk apa kau mengeluarkan pula?"
Kek Lam-wi tertawa, katanya:
"Inilah Ouw-tiap-piau yang telah dilumuri racun jahat, kena darah mencekik
leher, kau harus hati-hati, jangan sampai tanganmu tergores luka keluar darah.
Yang satu ini adalah Ouw-tiap-piau yang tadi kalian periksa, tidak beracun.'
In San letakan kedua
Ouw-tiap-piau itu di atas meja, jajar dan teliti, kalau tidak diperhatikan
orang sulit melihat perbedaannya, piau kupu-kupu yang beracun, sayapnya sedikit
berwarna ungu.
In San heran, tanyanya:
"In Kip memberikan piau beracun milik Bu-sam Niocu kepada kau, apa
maksudnya?"
"Kau boleh lihat dulu
benda yang kedua ini," ujar Kek Lam-wi, yang dikeluarkan kali ini adalah
sebentuk tusuk kondai terbuat dari batu kemala.
"Batu kemala terbaik,
buatannyapun halus dan rajin. Hm, piau beracun ditambah tusuk kondai, kado yang
diberikan In Kip kepada kau tidak murah nilainya. Tapi sifat kedua kado ini
justeru berlainan. Kau bisa menerka arah maksudnya?"
"Sudah kupahami,"
ujar Kek Lam-wi.
"Apa tujuannya?"
Kalem suara Kek Lam-wi:
"Inilah tusuk kondai yang biasa dipakai di atas sanggul So-so."
In San keplok tangan, serunya:
"Tak heran, aku seperti pernah melihat tusuk kondai ini."
Tutur Kek Lam-wi lebih jauh:
"Setelah menyerahkan kedua kado ini kepadaku, kuasa hotel berkata pula:
'Majikanku bermaksud meminjam kembang
dipersembahkan kepada sang
Budha. Jikalau Kek-jithiap ingin bertemu dengan pemilik kedua benda ini, maka
Kek-jithiap harus hadir tepat pada waktu perjamuan yang ditentukan."
In San manggut dan paham,
katanya: "Sekarang aku tahu tujuan mereka. Melalui kedua kado ini In Kip
memperingatkan dirimu, bahwa Toh-cici kini jatuh ke tangan orang-orang Bu-san-pang.
Kalau kau ingin menolong Toh-cici, maka kau harus tunduk akan keinginan
mereka."
Kek Lam-wi tertawa getir,
katanya: "Betul, agaknya In Kip ada intrik dengan Bu-san-pang, So-so
digunakan untuk mengancam diriku. Hanya aku tidak tahu apa yang mereka inginkan
atas diriku?"
"Mereka hanya mengundang
kau saja, dilarang memberitahu kepada kami, dari sini dapat kita simpulkan,
bila terjadi kekerasan kuatir tidak menguntungkan mereka. Hm, cara yang keji
mereka gunakan karena mereka sudah menduga bahwa kau pasti berusaha menolong
nona Toh, dalam keadaan seperti sekarang kau hanya bisa tunduk akan perintah
mereka."
In San bertanya: "Apakah
In Kip mengundang kau di rumahnya?" dia pikir bila tahu alamat In Kip,
bersama Tan Ciok-sing dia siap meluruk kesana memberi bantuan bilamana perlu.
"Entahlah," sahut
Kek Lam-wi, "kuasa hotel bilang, bila tiba waktunya dia akan utus seorang
menjemput dan mengantar aku. Dia suruh aku berusaha cari alasan meninggalkan
kalian," agaknya dia juga sudah meraba jalan pikiran In San, lalu
menambahkan: "Kalau benar So-so terjatuh ke tangan mereka, tiada gunanya
kalian ikut kesana."
Ciok-sing dan In San tanya
bersama: "Jadi bagaimana keputusanmu, pergi atau tidak?"
Kek Lam-wi masih bimbang,
katanya: "Bagaimana menurut pendapat kalian?"
"Kemungkinan setelah
mencelakai Toh-cici, jiwamupun bakal direnggut mereka," kata ln San.
"Sebetulnya bila mereka
mau merenggut jiwaku tak usah susah payah mengatur tipu daya segala. Pertama,
waktu Bu-sam Niocu menyergapku, dia bisa menggunakan piau beracun, sejak itu
jiwaku pasti sudah melayang. Kedua, dengan taraf kepandaian kuasa hotel, bila
tadi mendadak dia turun tangan keji. pasti aku sudah mampus atau terluka parah
di tangannya."
Berpikir sejenak akhirnya Tan
Ciok-sing berkata: "Uraianmu memang betul. Agaknya tujuan utama mereka
bukan menginginkan jiwamu,
kemungkinan di belakang
persoalan ini ada suatu rencana keji, kau disudutkan dan terpaksa harus tunduk
serta berjanji membantu mereka."
"Tapi bila benar So-so di
tangan mereka, bagaimana juga aku tak bisa berpeluk tangan."
"Sudah tentu," ucap
Tan Ciok-sing dan In San bersama.
Maka tetap keputusan Kek
Lam-wi, katanya: "Betapapun berbahaya, aku sudah pasti akan
menyerempetnya.
Dalam hati kecil Tan Ciok-sing
merasakan cara ini kurang tepat, namun dalam keadaan mendesak begini, tiada
cara lain yang dapat mereka simpulkan untuk menolong Toh So-so. Demi
keselamatan Toh So-so, maka Tan Ciok-sing tidak mungkin merintangi kehendak Kek
Lam-wi.
Tanpa merasa mereka bicara
semalam suntuk fajarpun telah menyingsing.
Memandang keluar jendela, Kek
Lam-wi jadi teringat, katanya: "Kanglam Sianghiap masih menguatirkan
dirimu, kini sudah terang tanah, sepantasnya aku kesana menemui mereka. Tapi
dalam situasi seperti sekarang ini, kurasa tidak leluasa. Tan-toako, tolong kau
saja yang menyampaikan berita ini kepada mereka."
"Baiklah," sahut Tan
Ciok-sing. Baru saja dia beranjak hendak turun ke bawah loteng, tiba-tiba
didengarnya ada orang membuka pintu di bawah.
Lekas Kek Lam-wi berkata:
"Jangan gegabah, kalau tujuannya hendak menyergap orang, tidak mungkin dia
berani masuk dari pintu depan."
"Baiklah, biar kuturun
melihatnya, bila ada urusan akan kupanggil kau," ucap Ciok-sing lalu
beranjak keluar.
Setiba di bawah loteng,
ternyata seorang kacung muda berusia tujuh belasan membawa sapu. "Aku yang
menyapu dan membersihkan villa ini," ucap kacung muda itu, "maaf,
gerak-gerikku teramat kasar sehingga tuan terjaga bangun sepagi ini."
Lega hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Tak heran dia mempunyai kunci duplikat," katanya: "O,
tidak apa-apa, sejak tadi aku sudah bangun."
Ciok-sing duga Kek Lam-wi
sudah dengar perkataan si kacung, maka dia merasa tidak perlu naik ke atas
memberitahu. Maka dia ajak kacung ini ngobrol: "Kau, amat rajin bekerja,
sepagi ini kau sudah mulai bekerja."
Kacung muda itu mengikuti
Ciok-sing masuk ke kamar, tiba-tiba dia merendahkan suara berbisik: "Tuan,
adakah kau ini Tan Ciok-sing Tan-siauhiap?"
Tan Ciok-sing terperanjat,
lekas dia menoleh dan tanya: "Siapa kau?"
"Aku utusan Seng Toa-coan.
Cong-piauthau dari Ceng-lam Piaukiok untuk menyerahkan surat kepada kau. Beliau
kurang leluasa kemari mencari kalian," sahut si kacung.
Seng Toa-coan adakah kenalan
baik Kek Lam-wi sejak leluhur mereka, hal ini Tan Ciok-sing sudah tahu.
Curiga dan tidak tentram hati
Tan Ciok-sing, katanya: "O, jadi kau ini bukan kacung yang biasa
membersihkan tempat ini?"
"Tidak," sahut si
kacung, "aku memang kacung yang diupah oleh hotel disini. Tapi akupun
adalah murid Seng-cong-piauthau, hal ini tiada seorangpun dalam hotel ini yang
tahu."
Tan Ciok-sing maklum ternyata
kacung ini sengaja ditanam di Say-cu-lim sebagai mata-mata dan bekerja sebagai
kacung, spion yang memberi informasi kepada Seng Toa-coan, Ciok-sing tanya:
"Ada kabar apa?"
"Seng-cong-piauthau suruh
aku menyampaikan, diharap kalian tengah hari nanti pergi ke Ham-san-si diluar
kota."
"Tengah hari?"
diam-diam Tan Ciok-sing menerawang, bertepatan dengan Kek Lam-wi yang harus
menghadiri perjamuan undangan In Kip."
Kacung itu berkata lebih lanjut:
"Seng-cong-piauthau bilang, bila kalian bertiga tidak bisa pergi, seorang
saja juga tidak jadi soal, tapi diharap Tan Tayhiap sendiri yang harus
kesana."
"Apa kau tahu siapa pula
yang diundang untuk ke Ham-san-si?" tanya Ciok-sing.
"Bukan Seng-cong-piauthau
yang mengundangmu ke Ham-san-si, siapa dia aku tidak tahu. Tapi
Seng-cong-piauthau bilang orang itu menunjuk dirimu dan hendak berhadapan
langsung dengan kau. Bila kau sudah berhadapan dengan dia, kau akan tahu siapa
dia."
"Baiklah, aku akan datang
tepat pada waktunya. Masih ada berita lain?"
"Ada. Tapi bukan berita
yang dikirim Seng-cong piauthau untuk disampaikan kepada kau, tapi berita yang
berhasil kucuri dengar."
"Bagus, coba kau
terangkan."
"Kuasa hotel sudah tahu
asal-usul kalian."
Hal ini sudah dalam rekaan Tan
Ciok-sing, namun tak urung dia bertanya: "Darimana kau tahu bila kuasa
hotel sudah tahu?"
"Semalam kira-kira
kentongan ketiga, kudengar kuasa hotel berbicara dengan seorang di
kantornya."
"Siapa yang dia ajak
bicara?"
"Berapa kali mereka
menyebut nama Hu Kian-seng, orang itu kalau tidak salah adalah orang utusan Hu
Kian-seng. Aku sudah tahu shenya, tapi tidak tahu namanya. Shenya itu
kedengarannya juga aneh."
"Dia she apa?"
"Dalam daftar seratus she
tidak tercantum. Kudengar kuasa hotel memanggil dia Tang-bun Siangsing."
Sampai disini pembicaraan
mereka In San juga turun dari loteng, kebetulan melangkah masuk kamar, katanya:
"Percakapan kalian kudengar semua, boleh dilanjutkan."
"She rangkap seperti
Tang-bun jarang ada di Tionggoan. Kemungkinan dia dari suku minoritet."
In San paham seluk beluk
persilatan, segera dia menimbrung: "Di jaman dynasti Song, ada seorang
maha guru silat kenamaan bernama Tang-bun Bong, beliau tinggal di sebuah pulau
kecil yang terpencil di lautan timur. Di kalangan Bulim orang sama menjulukinya
Tang-hay-liong, entah orang ini adalah keturunannya?"
"Tak usah kita mereka
bagaimana asal-usulnya. Cepat atau lambat kita toh bakal berhadapan. Teruskan
saja kisahmu."
Kacung itu meneruskan:
"Kuasa hotel berlaku hormat dan menyanjungnya, katanya:
'Tang-bun-siansing, kau memperoleh dukungan dari Hu-congkoan, Sri Baginda juga
menghargai kau, kelak paling sedikit kau pasti bisa menjabat wakil Komandan
Gi-lim-kun, bila tiba waktunya, harap kau tidak lupa bantu siaute mencapai
kedudukan yang lumayan.'"
"Orang itu tertawa,
katanya: 'Disini kau sudah jadi kuasa hotel, kedudukan dan hasilmu tidak kalah
dari jabatan kecil di istana. Memangnya kau masih belum puas? Bicara terus
terang, tujuan hidupku bukan ingin menjabat pangkat, yang kuharap hanyalah
dapat mendirikan suatu aliran tersendiri, dengan tubuh luarku ini setia
terhadap kerajaan. Bila kau ingin mengejar pangkat dan harta, kukira bukan
persoalan sukar bagi aku, asal kali ini kau mau membantu kami sekuat tenaga
jasamu tidak kecil itu sudah merupakan pelicin jalan bagi kesuksesanmu
kelak.'-Sampai disini pembicaraan mereka makin lirih seperti bisik-bisik. Dari
tempat sembunyiku diluar tidak mendengar apa-apa pula. Sesaat kemudian baru
kedengaran mereka tertawa besar. Kudengar kuasa hotel mengucapkan perkataan
yang kurasa aneh."
"Omongan aneh apa?"
Ciok-sing menegas.
"Tamu she Tang-bun itu
setelah tertawa riang berkata: 'Setelah urusan selesai, Baginda sendiri juga
akan merasakan kebaikanmu.'"
In San kaget, selanya:
"Begitu penting. Dari pembicaraan ini dapat kita duga bahwa rencara keji
yang mereka atur tentu tidak kecil artinya."
Diam-diam Tan Ciok-sing
seperti sudah menduga akan suatu
(bersai hal, tapi
dipikir-pikir akhirnya ilin urung bicara, katanya kemudian "Masih ada
berita lagi?"
"Tiada lagi," ujar
si kacung, "kalian tingggal disini, selup langkah harus hati-hati."
Selelah kacung pergi, Tan dan In naik kc loteng pula dan berunding dengan Kek
Lam-wi. Kek Lam-wi harkat* "Pembicaraan kalian di bawah aku sudah dengar
jelas. Kalian boleh menepati undangan ke Ham-san si itu. Bila aku bisa kembali
tanpa kurang suatu apa, akan kususul kalian ke Ham-san-si. Umpama mengalami
sesuatu boleh kalian mencari perhitungan dengan kuasa hotel disini."
Meski menguatirkan keselamatan
Kek Lam-wi dalam menghadiri undangan In Kip, tapi urusan tidak boleh ditunda
dan tidak mungkin dicegah, terpaksa mereka bekerja sesuai rencana. Waktu
Ciok-sing dan In San tiba di villa Kanglam Sianghiap, mereka siap sarapan pagi
yang disediakan pihak hotel, Ciok-sing tuturkan tTahwa Kek Lam-wi sudah pulang
dan terangkan pula berita yang dicuri dengar oleh kacung muda itu kepada
mereka.