Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 1

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 1
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 1

Mentari sudah lewat pucuk langit, hari sudah lewat lohor, berdiri di pucuk Cit-sing-giam, In Hou menikmati pemandangan alam semesta nan permai dan molek, sejak beberapa jam tadi dia telah berada di atas Cit-sing-giam yang terletak di Pu-tho-san di wilayah Kwi-lin yang terkenal itu. Sebagai pendekar kenamaan yang tersohor di empat lautan, dari keluarga besar persilatan, ayahnya In Jong dulu pernah meraih Bu-cong-goan di kala Dynasti Bing-ing-cong bertahta.

Sejak lama memang dia sudah mengagumi keindahan alam semesta di daerah Kwi-lin, namun baru kini dia berkesempatan berkunjung kemari, tapi kedatangannya kali ini bukan lantaran ingin bertamasya di daerah Kwi-lin. Tapi maksudnya hendak bersua dengan seorang bekas kenalannya dan berkenalan dengan seorang sahabat baru.

Kawan lama yang di maksud adalah Tam Pa-kun yang sudah dikenalnya baik sejak 20 tahun yang lalu. Tam Pa-kun berjuluk Kim-to-thi-ciang, terkenal dengan 64 jalan Phoan-liong-to dan Tay-kin-na-jiu yang meliputi 72 jurus itu. Meski sudah dua puluhan tahun bersahabat dengan Tam Pa-kun, tapi pertemuan terakhir juga terjadi pada lima tahun yang lalu. Justru karena telah lama tidak bertemu itulah, maka kali ini begitu Tam Pa-kun mengundangnya ke Kwi-lin, maka dari tempat jauh ribuan li dia datang kemari memenuhi undangan temannya.

Sahabat baru yang hendak dikenalkan padanya adalah penduduk Kwi-lin, walau ketenaran namanya tidak segemilang Tam Pa-kun di Tionggoan, tapi di lima propinsi di daerah Say-lam dia merupakan tokoh yang diagulkan dalam kalangan bulim, orang memberi julukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

Tunggu punya tunggu sang kawan belum juga kunjung tiba, lambat laun lenyap juga selera In Hou menikmati panorama di depan matanya, dengan risau dia berpikir: “Orang yang hendak dikenalkan oleh Tam-toako tentunya bukan tokoh yang bernama kosong. Pernah kudengar cerita orang, bahwa Lui Tin-gak suka royal membuang uang untuk membantu sesama kaum persilatan, tidak sedikit tamu-tamu kaum persilatan yang bermukim di kediamannya. Sayang kali ini aku mengemban tugas yang cukup berat, kalau tidak, ingin juga aku beristirahat beberapa lama di tempat kediamannya."

Teringat bahwa tidak lama lagi dia bakal diperkenalkan kepada Lui Tin-gak oleh Tam Pa-kun. hatinya menjadi bergairah. Tapi kenapa sejauh ini Tam Pa-kun belum juga tiba? Pada hal matahari sudah doyong ke barat, sebentar lagi magrib baka! tiba. Dalam suratnya Tam Pa-kuri mengatakan supaya aku berada disini sebelum lohor dan bersama-sama tamasya dulu ke Cit-sing-giam. Tapi kini beberapa jam telah berselang, kenapa Tam Pa-kun belum kunjung tiba?

Sebagai teman akrab yang telah berhubungan selama 20 tahun. In Hou cukup tahu watak temannya itu, kecuali dia tidak pernah mengatakan, tapi sekali janji pasti dilaksanakan. Tapi kenapa kali ini dia ingkar janji? "Mungkinkah di tengah jalan dia mengalami sesuatu diluar dugaan?" mau tidak mau gundah pikiran In Hou, tapi lebih jauh dia membatin: "Tahun lalu Tam-toako baru kembali dari Thian-san, belum lagi sampai di rumah sudah berangkat pula menuju ke Liang-san. Mungkin kali ini dia langsung datang kemari dari Liang-san. Pada hal betapa jauhnya perjalanan ini, kalau dia tertunda satu dua hari di perjalanan juga jamak. Sesuatu mungkin memang terjadi atas dirinya, tapi belum tentu membahayakan keselamatannya, apalagi dengan bekal ilmu silatnya yang tinggi, buat apa harus berkuatir bagi dirinya?" setelah menghibur diri terasa lega dan lapang perasaannya.

Di kala pikirannya melayang¬layang itulah, tiba-tiba didengarnya suara petikan kecapi yang sayup-sayup sampai dibawa semilirnya hembusan angin lalu, suara "tang, ting' itu mengalun tinggi rendah tidak menentu, kadang-kadang terdengar jelas, tiba-tiba lenyap tak terdengar. Kalau In Hou tidak pernah meyakinkan ilmu senjata rahasia semacam Bwe-hoa-ciam, sehingga pendengarannya jeli dan tajam, lain orang tentu mengira itu suara percikan air.

In Hou mendekam di atas tanah mendengarkan dengan seksama, seolah-olah irama kecapi berkumandang dari perut bumi, dipantulkan oleh gema suaranya yang terpendam di lapisan bumi sehingga irama kecapi ini kedengarannya agak misterius. Semula In Hou keheranan dan bingung, tapi akhirnya dia mengerti: "Ya, pasti ada seseorang tengah memetik kecapi didalam

Cit-sing-giam." tanpa terasa In Hou beranjak turun dari puncak gunung menuju ke arah datangnya irama kecapi.

Tengah dia mengayun langkah, tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak: "Tuan ini, apakah kau ingin tamasya kedalam Cit-sing-giam?" In Hou tersentak sadar

dari lamunannya, waktu dia berpaling dilihatnya seorang laki-laki kampungan yang memegang sebatang obor tengah menyapa dirinya di samping gunung sana. Pada saat itu pula irama kecapi itu ternyata berhenti dan lenyap tak terdengar lagi. Cit-sing-giam memang sering dikunjungi wisatawan, oleh karena itu penduduk setempat banyak yang mencari nafkah sebagai petunjuk jalan untuk mencari sesuap nasi. Belum lagi In Hou bersuara, orang kampung penunjuk jalan itu sudah berkata pula: "Hari sudah menjelang senja, kalau tuan ingin bertamasya kedalam Cit-sing-giam harus sekarang juga."

Dalam hati In Hou berpikir: 'Entah Tam-toako apakah bakal datang hari ini? Pemetik kecapi yang liehay dalam gua sana patut diajak berkenalan," memangnya dia seorang penggemar musik, selama ini belum pernah dia mendengar petikan kecapi semerdu ini, setelah mendengar ucapan petunjuk jalan ini, tergerak hatinya, maka segera dia berseru: "Baiklah, kau tunggu sebentar."

In Hou memutar badan membelakangi petunjuk jalan itu, dia ulur jari tengahnya lalu menggores ke dinding gunung di tempat yang menyolok pandangan, menggores sebuah garis tanda panah ke arah mana dirinya akan pergi. Tenaga dikerahkan ke jarinya, seketika amblas tiga mili dan serbuk batupun bertaburan. Tapi petunjuk jalan itu kebetulan berdiri di bawah lamping gunung sana, maka dia tidak melihat apa yang dilakukan In Hou.

Dalam hati In Hou membatin: "Tam-toako pasti kenal Kim-kong-cay-latku ini, melihat tanda panah yang kugores ini, dengan kecerdikannya, tentu dia bisa menduga bahwa aku sedang tamasya kedalam Cit-sing-giam."

Setelah meninggalkan tanda goresan jarinya, dengan lega In Hou lantas minta petunjuk jalan itu mengantar dirinya serta bertanya: “Apakah kau baru keluar dari dalam gua?"

"Betul, kira-kira sesulutan dupa saja, baru saja aku mengantar dua wisatawan," demikian jawab petunjuk jalan itu.

"Apa kau dengar seseorang memetik kecapi didalam gua?"

Petunjuk jalan itu heran, katanya: "Ah, tidak, apa kau mendengar?"

In Hou menjadi bingung, katanya: "Takkan salah, baru saja suara kecapi berhenti, bagaimana kau tidak mendengarnya?"

Petunjuk jalan itu berpikir sejenak, akhirnya dia tertawa geli. "Apa yang kau tertawakan?" demikian tanya In Hou.

"Mengerti aku sekarang,"' demikian ucap petunjuk jalan, "didalam Cit-sing-giam ada terdapat sebuah rawa-rawa yang tak terukur dalamnya, konon rawa itu

bisa tembus ke Le-kiang, suara arus airnya bergema dalam gua mirip irama kecapi, maka apa yang kau dengar tadi pasti suara air."

In Hou bingung, pikirnya: "Suara air masa begitu merdu?" Tapi keajaiban dalam dunia ini memang tak terukur oleh akal sehat manusia, biar setelah berada didalam nanti kuperiksa dengan seksama."

Tanpa terasa mereka sudah tiba di ambang pintu gua Cit-sing-giam. Ternyata mulut gua amat lebar, tingginya ada dua puluhan tombak, lebar tujuh puluhan tombak. Karuan In Hou berjingkat kaget, pikirnya: "Gua sebesar ini, selama hidup baru pertama kali ini aku melihatnya."

"Konon menurut cerita orang-orang tua," demikian tutur petunjuk jalan. "Untuk menghindari peperangan yang berkecamuk, seluruh penduduk kota Kwi-lin mengungsi kedalam Cit-sing-giam, ternyata Cit-sing-giam cukup muat

ribuan penduduk." Lebih lanjut dia berkata pula, "Cit-sing-giam ini terbagi atas enam gua dan dua ruangan. Sejak dari gua pertama bisa terbagi dua jalur untuk memasuki gua yang lain, ke sebelah kiri masuk ke Toa-giam, sebelah kanan masuk ke Ci-giam, pada masing-masing tempat itu memiliki pemandangan dengan bentuknya yang berbeda pula, kedua jurusan ini akhirnya bisa bersua kembali pada lapisan gua kedua yang terletak di bawah Si-mi-san. Lalu keluar dari gua ketiga yang dinamakan Hoa-koh-san. Tuan, waktu sudah tidak mengidzinkan, mungkin hari ini kau takkan sempat bertamasya ke seluruh obyek yang ada didalam gua ini. lalu ke arah mana kau ingin pergi?"

"Boleh terserah kepadamu, tunjukkan saja jalannya," demikian ucap In Hou.

Tahu orang baru pertama kali ini berkunjung ke Cit-sing-giam, maka petunjukjalan itu berkata: "Baiklah, kutunjukkan jalan utama dari gua permulaan yang menembus ke Toa-giam saja, nanti akan keluar dari Giok-khe-tong-hu."

Baru saja mereka beranjak memasuki gua, petunjuk jalan itu berkata pula sambil tertawa lebar: "Tuan, mari kuceritakan pemandangan aneh yang ada dalam gua ini, harap kau tidak salah mengerti."

"Ah, kenapa salah mengerti?" tanya In Hou heran.

"Baiklah, silahkan kau angkat kepalamu," kata petunjuk jalan.

Dengan heran In Hou mendongak, didengarnya petunjuk jalan itu berkata: "'Inilah bagian pertama dari pemandangan yang mempesona dari Cit-sing-giam yang bernama 'kura-kura angkat kepala'."

Waktu In Hou mendongak dan melihat ke arah yang ditunjuk, memang mirip dan sesuai namanya, hampir saja dia tertawa geli. Setelah beranjak kedalam gua lebih lanjut, betapapun luas pengalaman In Hou, sebagai pelancongan yang sering bertamasya ke berbagai obyek turispun seketika takjub dan terpesona menghadapi keajaiban alam di depan matanya, terasa seolah-olah dirinya kini berada di dunia mithos.

Didalam gua penuh dengan beraneka warna stalaktit yang bercahaya menyilaukan mata, seperti karang merah, jamrut, amber atau batu giok, bentuknyapun aneh-aneh, seperti tiang penahan langit-langit gua, ada juga yang seperti rumpun rebung bambu. Seluruh gua itu seolah-olah terbentuk dari ratna mutu manikam.

Petunjuk jalan itu tuding sana tunjuk sini sambil menerangkan dengan lancar dan hafal sekali, dimana ada Lo-kun-tai, disini adalah ikan le lompat ke pintu naga, dan disana adalah Lohan penunggu mulut gua, dan tiang batu yang berbentuk seperti rebung bambu itu dinamakan Loh-ti-ciok-kek, memang bentuk-bentuk stalaktit yang satu lebih aneh dan ajaib dari yang lain, siapapun takkan bosan dan segan untuk menikmatinya.

Agaknya petunjuk jalan ini memang sudah berpengalaman dan tahu seluk beluk Cit-sing-giam, sembari bercerita dan menjelaskan dia mengeluarkan beberapa biji permen, katanya: "Tuan, coba kau cicipi permen buatan Kwi-lin ini."

"Oh, ya, terima kasih, rikuh juga menerima suguhanmu," ucap In Hou tertawa.

'Suguhan apa, kan tidak seberapa harganya? Sekeping uang tembaga juga mendapat beberapa bungkus. Meski permen ini murah harganya, tapi rasanya memang enak dan nikmat. Permen inipun dapat menahan lapar. Sering kali tengah hari tak sempat aku makan, maka permen inilah ganti penangsel perutku."

Memang In Hou sering dengar akan permen buatan Kwi-lin yang termashur ini, maka dia menerimanya sebungkus sambil menyatakan terima kasih, permen yang empuk ini kiranya dibungkuji oleh daun bambu bagian dalamnya dan dibungkus kertas kaca pula di bagian luarnya, begitu kertas dibuka, terangsang bau harum yang menyejukkan. Petunjuk jalan itupun membuka sebungkus terus di masukkan kedalam mulut sertu dikunyah dengan lahapnya. In Hou meniru perbuatan orang, semakin dikunyah terasa semakin lembut, rasanya wangi tapi juga sedikit kecut, tanpa terasa dia memuji: "Memang enak rasanya."

Petunjuk jalan tertawa, katanya: "Orang luar daerah hanya tahu kalau Kwi-lin ada tiga macam makanan yang terkenal, yaitu Ho-yok (susu kental), Be-thi (buah-buahan) dan Sam-hoa-ciu (arak sari tiga kembang), tapi jarang orang tahu akan permen ini."

"Betul, permen inipun boleh terhitung nyamikan yang menyegarkan dari Kwi-lin," ujar In Hou.

Agaknya petunjuk jalan ini merasa senang karena In Hou menyukai permen yang diberikan, katanya: "Tuan, syukurlah kau menyukainya, silahkan ambil lagi sebutir."

"Makan enak tidak boleh makan terlalu banyak supaya tidak muak. Hari ini kau belum makan siang bukan? Biarlah kau makan sendiri saja." demikian kata In Hou.

Petunjuk jalan tertawa: "Aku masih punya banyak, silahkan makan saja. makan dua bungkus juga belum terhitung banyak."

Merasa rikuh untuk menolaknya, terpaksa In Hou makan lagi sebungkus.

Dalam pada itu mereka tengah membelok ke sebelah kiri, tiba-tiba pandangan mata menjadi benderang, tampak dinding merah di bagian depan sana muncul sekelompok ukiran batu yang berwarna putih susu,, di bagian luar kelompok ukiran batu putih ini ditutupi kain gordyn sutra merah Jingga dilempit bundar rriembundar kedua samping. Setelah dekat kelompok ukiran batu putih itu, petunjuk jalan mengangkat obor serta berkata dengan tertawa: "Silahkan kau saksikan tokoh di balik gordyn itu."

Waktu In Hou melongok kedalam sebelah atas, seketika dia berdiri melongo, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn bila dibanding ukiran batu di bagian luarnya bedanya laksana langit dan bumi, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn adalah palung seorang wanita cantik rupawan seayu bidadari, duduk dengan gaya lembut dan seperti manusia hidup layaknya di atas sebuah singgasana yang terbuat dari kursi batu putih pula, pakaiannya melambai lembut terurai ke bawah, begitu anggun dan asri sekali.

Sekian lama In Hou mematung diam, batinnya: "Konon dahulu Kokoh (Bibi) adalah perempuan tercantik di seluruh bulim,. sayang aku tidak pernah melihat Kokoh di masa mudanya." mendadak dia terkenang akan putrinya In San, tahun ini putrinya genap 16 tahun, diapun termasuk gadis rupawan, selama hidup ini In Hou hanya dikaruniai seorang anak perempuan yang satu ini, bukan kepalang dia sayang dan memanjakan putrinya:

"Ayah sering bilang bahwa anak San mirip duplikat Kokoh di masa mudanya dulu, mungkin anak San tidak secantik perempuan batu putih ini, betapapun dia hanya seonggok patung besi saja, tidak selincah dan senakal anak San yang menyenangkan." ....teringat akan putrinya yang nakal dan Jenaka, tanpa terasa In Hou mengulum senyum dan terkenang kampung halaman serta keluarganya.

Petunjuk jalan itu tampak terperanjat, lekas dia pegang lengan In Hou serta digoncangkan, serunya: “Tuan, kenapa kau?”

In Hou tersentak sadar, katanya: "Ah, tidak apa-apa, kau kira aku..."

Lega hati petunjuk jalan, katanya tertawa: "Tuan, kukira kau jadi linglung saking pesona. Dulu beberapa kali pernah terjadi pelancongan yang tergila-gila kepada patung batu ini."

"Masakan diriku kau samakan mereka. Kalau kau kuatir, hayolah ke lain tempat."

"Memang di sebelah depan masih banyak keanehan yang dapat kau nikmati."

Sembari jalan otak In Hou berputar: "Patung gadis ini memang mulus, tapi kecantikannya paling menimbulkan rasa agung dan suci, memangnya siapa yang bakal timbul pikiran jahat terhadapnya? Tapi bicara soal cinta sejati. Kohu (paman) boleh terhitung laki-laki sejati yang jarang ada bandingnya dalam dunia ini. Dulu entah betapa besar siksa deritanya sebelum dia menjadi suami isteri dengan Kokoh. Setelah Kokoh meninggal, seorang diri dia menyepi di hutan batu, selama belasan tahun belakangan ini belum pernah dia keluar dari hutan batu itu, kerjanya sehari-hari hanya memperdalam ilmu silat dan ilmu pedang. Em, kalau kali ini aku bisa bertemu dengan Tam-toako ingin rasanya aku menunaikan pesan paman."

Bahwa In Hou memang seorang pendekar gagah perkasa yang tersohor di empat lautan, tapi kalau dibanding pamannya, peduli soal nama atau kepandaian Kungfunya, masih terpaut jauh sekali. Karena pamannya itu adalah Thio Tan-hong yang diakui secara aklamasi oleh seluruh lapisan kaum persilatan sebagai jago nomor satu di seluruh dunia. Sejak 40 tahun yang silam bersama isterinya In Lui. ilmu pedang gabungan mereka berdua sudah tiada bandingan di kolong langit ini.

Murid Thio Tan-hong yang tertua Toh Thian-tok merupakan seorang genius persilatan pula, bukan saja dia memperoleh ajaran murni gurunya, malah dengan kepintarannya sendiri diapun mencipta dan mengkombinasikan ajaran gurunya serta membuka aliran baru yang lain dari yang lain. Toh Thian-tok bersemayam di Thian-san, demi menyempurnakan cita-cita muridnya serta demi kejayaan alirannya di kelak kemudian hari. Thio Tan-hong malah mengangkat muridnya yang satu ini sebagai cikal bakal suatu aliran tersendiri, aliran baru dengan bekal ilmu pedang hasil ciptaan baru pula ini akhirnya dinamakan Thian-san-pay. Di bawah pimpinan dan asuhan Toh Thian-tok selama dua puluhan tahun, sehari demi sehari Thian-san-pay maju pesat dan menjulang semakin tenar dan disegani, meski Thian-san-pay bercokol jauh di daerah barat, namun murid-murid didiknya sama berkepandaian tinggi, sehingga cukup setimpal untuk berjajar dengan Siau-lim, Bu-tong, Go-bi dan Ceng-seng empat partai besar di daerah Tionggoan. Tapi lantaran letaknya yang jauh di daerah barat itu pula, sehingga nama Thian-san-pay tidak setenar ke empat partai besar yang ada di Tionggoan. Mending bagi Thio Tan-hong yang dapat hidup bebas berlanglang buana kemana dia suka. Isterinya In Lui paling suka akan hutan dan batu di daerah Kwi-lin ini, maka setelah isterinya meninggal, seorang diri Thio Tan-hong lantas bersemayam disini, pertama untuk mengenang isteri tercinta, kedua karena letak hutan batu ini yang terasing dari dunia luar, maka dia bisa lebih tekun memperdalam ilmu pedang. Jarak antara Thian-san dengan hutan batu di Kwi-lin ini entah berapa laksa li jauhnya, setelah mengasingkan diri di Ciok-lin (hutan batu), belum pernah dia pulang ke Thian-san.

Tahun lalu In Hou pernah datang ke hutan batu menemui pamannya, Thio Tan-hong yang memberitahu kepadanya bahwa dia tengah memperdalam semacam ilmu pedang tingkat tinggi, ilmu pedang yang diciptakannya ini tidak membawakan gerakan dan jurus yang menentu, juga tidak mengikuti teori ilmu pedang umumnya, tapi merupakan himpunan dari sari pedang berbagai aliran yang aneh-aneh dan menembus ke suatu aliran yang menyimpang. Waktu itu pernah In Hou bertanya apa nama ilmu pedang yang bakal diciptakannya itu. Thio Tan-hong tertawa, katanya: "Kalau toh tanpa jurus tipu yang menentu, maka tidak perlu harus memberikan nama kepadanya Kalau kau suka, boleh dinamakan Bu-bing-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa nama) saja. Sayang meski sudah sepuluh tahun aku menyelaminya, rangkaian ilmu pedang ciptaanku ini belum juga selesai. Semoga Thian memberkati, kira-kira dalam jangka tiga tahun lagi, kemungkinan baru aku bisa menyempurnakan seluruh ajaran ilmu pedang ciptaanku ini."

Waktu itu belum jadi seluruhnya ilmu pedang ciptaannya, tapi In Hou beruntung dapat melihat demontrasi secara petilan yang ditunjukkan Thio Tan-hong, meski masih merupakan petilan yang belum lengkap tapi apa yang dilihatnya betul-betul membuatnya kagum dan memuji tak terhingga. Pada hal saat mana Thio Tan-hong sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, mau tidak mau In Hou berpikir: "Kalau Thio Tan-hong mengalami sesuatu kejadian diluar dugaan, bukankah Bu-bing-kiam-hoat ini bakal putus turunan?" -maka dengan rendah hati dia utarakan isi hatinya, dia tanya kenapa Thio Tan-hong tidak memanggil muridnya kemari?

Thio Tan-hong berkata: ''Waktuku sendiri mungkin tidak banyak lagi, setua ini lagi mana mungkin meluruk ke Thian-san? Thian-tok sudah menjadi Ciangbunjin dari suatu aliran, tak mungkin dia meninggalkan kedudukannya untuk datang kemari Dan lagi bila minta tolong orang lain untuk menyampaikan kabar, susah juga mencari orangnya yang dapat dipercaya." Oleh karena itu In Hou mengajukan dirinya, dia suka terima tugas untuk menyampaikan kabar ini ke Thian-san. Thio Tan-hong berkata: "Aku tahu urusanmu sendiri juga banyak, pergi ke Thian-san bukan suatu kerja yang mudah. Palagi Bu-bing-kiam-hoat yang kuciptakan juga belum sempurna, lebih baik begini saja, rangkaian yang telah kususun sebagian ini biar nanti kubuatkan duplikatnya untukmu. Kelak bila telah lengkap seluruhnya, sementara Thian-tok tetap tak berada di dampingku, biar kusembunyikan didalam Ciok-lin di pucuk Kiam-hong (puncak pedang) di pinggir danau itu.

Waktu In Hou pamitan maka Thio Tan-hong serahkan duplikat jurus-jurus ilmu pedang ciptaannya yang masih merupakan petilan itu kepadanya, di samping itu diapun telah beritahukan kirarkira dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh jerih payahnya dengan lukisan sebuah peta sederhana. Katanya: "'Soal ini kau tidak perlu tergesa-gesa untuk menyelesaikannya, cukup asal ada kesempatan pergi ke Thian-san serahkan kepada muridku, duplikat yang kubuat ini boleh dijadikan bukti dan tanda pengenalmu, begitu melihatnya Thian-tok pasti tahu bahwa ilmu pedang ini adalah hasil ciptaanku selama ini."

Ternyata Bu-bing-kiam-hoat ciptaannya ini bukan saja ruwet dan banyak ragamnya tapi juga aneh dan menakjubkan, ada gambar tapi tiada gaya jurusnya, kalau bukan seorang tokoh silat yang betul-betul sudah punya dasar latihan dan pengetahuan tinggi, meski membaca dan mempelajari buku pelajaran ilmu pedang ini, mungkin bisa dianggapnya sebagai hasil tulisan guru silat kelas kampungan belaka. Setelah mendapat titipan Thio Tan-hong sebetulnya In Hou sudah akan berangkat sendiri ke Thian-san, tapi isi hatinya dapat diterka oleh Thio Tan-hong, maklumlah sebagai pendekar kenamaan, masih banyak urusan yang menyangkut kaum bulim di Tionggoan yang harus segera dibereskan, tak mungkin dia memecah diri untuk menunaikan dua tugas sekaligus.

Tam Pa-kun sudah bersahabat puluhan tahun dengannya, bagaimana karakter Tam Pa-kun sudah dikenalnya baik dan dapat dipercaya, palagi Tam Pa-kun adalah kenalan baik Toh Thian-tok lagi. tahun lalu baru saja dia kembali dari Thian-san. Oleh karena itu mumpung kali ini Tam Pa-kun mengundangnya kemari, dia hendak titip tugas yang diserahkan Thio Tan-hong ini kepada Tam Pa-kun untuk menyelesaikan. Maklum Tam Pa-kun bebas kelana, laki-laki bujangan lagi boleh sesuka hati kemana dia mau pergi, untuk berangkat Thian-san jelas jauh lebih gampang dari dirinya.

Berada didalam Cit-sing-giam tak bisa melihat cuaca matahari, tapi dapat diduga bahwa sekarang kira-kira sudah menjelang magrib, sambil mendengarkan penjelasan petunjuk jalan, dalam hati dia berpikir: "Entah Tam-toako sudah datang belum, bila dia melihat tanda panah yang kugores di atas dinding, pasti sudah masuk ke gua ini. Katanya dia pernah beberapa kali datang didalam Cit-sing-giam ini, tanpa petunjuk jalan pasti juga sudah tahu jalan. Ha, jikalau mendadak dia muncul dari balik gua sana, sungguh mengagetkan dan menggirangkan."

Tiba-tiba didengarnya suara air bergema, ternyata memang mirip irama harpa. Petunjuk jalan segera berkata: "Hati-hatilah tuan, jangan sampai terpeleset. Di bawah adalah telaga rawa yang tak terukur dalamnya." In Hou coba melemparkan sebutir batu, betul juga ditunggu sekian lama baru terdengar suara batu kecemplung kedalam air.

Petunjuk jalan ini memang pandai bercerita dan suka ngobrol seperti mulutnya tak pernah kering. Tiba-tiba terasa oleh In Hou perutnya rada mules, pada hal lwekangnya cukup tinggi, selama dua puluh tahun tak pernah jatuh sakit, mau tidak mau dia menjadi heran, pikirnya: "Mungkinkah aku terkena hawa beracun? Tapi gua ini rasanya tiada hawa beracun, kalau ada mana mungkin kaum pelancongan mau tamasya kemari?" Untung hanya mules sedikit saja, jadi bukan sakit seperti dipelintir, setelah dia menarik napas dan mengatur jalan darah semangatnya seketika pulih kembali. Tanya In Hou: "Apakah dasar rawa ini ada mengeluarkan hawa beracun?"

"Di tempat pelancongan seperti ini mana mungkin ada hawa beracun?" ujar petunjuk jalan, "setiap hari boleh dikata aku sering mondar-mandir di pinggir rawa, tuan apa kau merasa ada sesuatu yang ganjil? Mungkin kau tidak biasa dan terlalu lama didalam gua, dada terasa sesak dan mual?"

In Hou tidak berani memastikan bahwa dirinya keracunan, batinnya: "Dengan bekal latihan lwekangku, umpama makan racun juga takkan kuasa mencelakai diriku, apalagi hanya hawa beracun? Mungkin secara kebetulan saja perutku sakit?"

Di kala hatinya bimbang itulah, tiba-tiba didengarnya irama harpa bergema pula. Kali ini bukan lagi suara air, tapi betul-betul suara petikan senar harpa, iramanya kalem mengalun lembut, seolah-olah jari jemari seorang tukang sulap yang membawa pikirannya tenggelam ke dunia mithos, begitu asyik dan pesona dia mendengarkan suara harpa, bukankah irama harpa inikah yang didengarnya tadi?

"Eh, dengarkan," seru In Hou tanpa sadar, "bukankah ada seseorang sedang memetik harpa? Nah disana itu, disana. Lekas bawa aku menemui orang itu," belum lenyap akhir suaranya, mendadak pandangannya menjadi gelap. Ternyata obor yang dipegang petunjuk jalan mendadak padam. In Hou berpengalaman menghadapi berbagai peristiwa. meski menghadapi kejadian mendadak dia tetap tenang, mata kuping dipertajam, maka didengarnya dari arah belakang menyamber datang senjata rahasia, lekas dia menjentik balik tangannya, dengan Tam-ci-sin-thong dia menjentik jatuh sebutir Toh-kut-ting ke dasar rawa di bawah sana.

Tiba-tiba didengarnya petunjuk jalan berteriak: "Hai, siapa main-main memadamkan oborku? Aduh, tolong, tolong," lalu terdengar suara terpeleset dan jatuh gedebukan. Kejadian mendadak dan urusan cukup gawat, tak sempat banyak pikir bagi In Hou, namun dia tahu bahwa petunjuk jalan itu telah dikerjai oleh orang. Pada hal jurang rawa di bawah sana dalamnya luar biasa, kalau sampai terjatuh kesana. memangnya jiwa tidak melayang? Sebagai pendekar yang berbudi luhur, sudah tentu In Hou tidak bisa berpeluk tangan membiarkan petunjuk jalan itu melayang jiwanya secara percuma.

Mendengar suara, In Hou dapat membedakan arah, segera dia menubruk kesana sambil ulur tangan menangkap tumit kaki petunjuk jalan serta ditariknya ke atas. Tak nyana perubahan mendadak terjadi, petunjuk jalan itu ternyata jatuh kedalam pelukannya, berbareng kedua telapak tangannya menggempur, karuan In Hou rasakan dadanya seperti dipukul palu godam, kontan dia terjungkir balik.

Terdengar petunjuk jalan itu terkekeh, katanya: "Turunlah menjadi santapan ikan,"" kembali kakinya melayang, dia tendang In Hou supaya terjerumus kedalam rawa.

"Coba lihat kau yang jatuh atau aku yang terjerumus," In Hou menghardik. Mendadak tubuhnya melejit terbalik sembari melontarkan Kim-kong-ciang-lat.

"Pyaar", telapak tangan kedua pihak saling gempur mengeluarkan ledakan bagai bunyi guntur. Kontan In Hou sempoyongan mundur sambil berkelit ke samping, Demikian pula petunjuk jalan itu berseru tertahan sekali sambil loncat ke samping terus menyelinap ke balik batu, agaknya dia apal seluk beluk disini, maka lekas-lekas menyembunyikan diri. Dari belakang batu dia bergelak tertawa, katanya: "Kim-kong-ciang keluarga In memang tak bernama kosong, tapi hari ini jangan harap kau bisa lolos dari telapak tanganku." Suaranya mendadak juga berubah, logatnya jelas bukan penduduk asli kota Kwi-lin lagi, kedengarannya suara serak pecah seperti gesekan benda keras yang menusuk pendengaran. Kini baru jelas duduknya perkara, kiranya orang ini menyamar sebagai penduduk setempat menjadi petunjuk jalan In Hou didalam Cit-sing-giam.

Setelah adu pukulan sekaii dengan lawan, seketika In Hou merasakan dada terasa sesak dan mual, beberapa kali dia ingin tumpah, lekas dia menarik napas sambil mengerahkan hawa murni, sehingga pernapasannya segar kembali, serta bersiaga menanti sergapan musuh.

"In Tayhiap," seru orang itu bergelak tawa. "Kembang gula yang kuberikan tadi enak rasanya bukan? Sayang kembang gula itu rasanya semula manis akhirnya pahit getir. Hehe, sekarang tentu kau sudah mengerti bukan, untuk keluar dari gua ini dengan nyawa tetap hidup, terpaksa kau harus mendengar perintahku saja."

Baru sekarang In Hou sadar bahwa kembang gula yang dimakannya tadi kiranya beracun.

Setelah menghembuskan sekulum napas berat, In Hou berkata: "Aku tak pernah bermusuhan dan tidak berbuat salah terhadapmu, kenapa kau membokong aku?"

Orang itu terloroh-loroh pula, suaranya seperti benturan benda kasar, katanya: "Dengan kau memang aku tidak bermusuhan, tapi dengan Thio Tan-hong, dendamku justru sedalam lautan."

"Siapa kau?" hardik In Hou.

Sembunyi di belakang batu, kalem suara orang itu: "Kau belum pernah melihatku, tapi pasti pernah dengar namaku. Aku bernama Le Khong thian”.

In Hou terperanjat, bentaknya: "Jadi kau Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing itu?" dalam hati dia berpikir: "Tak heran dia mampu membokongku dengan permen beracun."

Perlu diketahui Kiau Pak-bing tenyata adalah Toa-mo-thau (gembong iblis) yang pernah menggetarkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, bukan saja Kungfunya tinggi dan liehay diapun mahir menggunakan racun. Dengan bekal lwekang In Hou sekarang, racun biasa semestinya takkan mampu mencelakai jiwanya, tapi Le Khong-thian adalah satu-satunya murid Kiau Pak-bing yang mewarisi kepandaiannya, dia pula yang turun tangan, jelas berbeda sekali perbawanya.

"Betul, sekarang kau sudah tahu siapa aku ini," demikian seru Le Khong-thian pongah. "Terbayang masa lalu, di kala guruku te:luka parah di bawah pedang Thio Tan-hong, jiwakupun hampir saja melayang. Kami guru dan murid tak kuasa bercokol di Tionggoan, terpaksa ngacir keluar lautan. Coba katakan dendam kesumat sedalam ini, tidakkah pantas aku menuntut balas?"

In Hou jadi berpikir: "Mendengar ucapannya ini, memangnya Kiau Pak-bing iblis tua dan laknat itu belum mampus?"

Kiranya pada empat puluh tahun lalu Thio Tan-hong adalah ahli pedang nomor satu di seluruh jagat, sementara Kiau Pak-bing gembong iblis nomor satu di kolong langit, yang sesat jelas tak mau jajar dengan yang lurus, pernah beberapa kali kedua tokoh besar ini bentrok, masing-masing pernah menang dan kalah. Akhir kali mereka adu tanding di puncak Lao-san, dengan Thian-san-kiam-hoat ciptaannya yang baru Thio Tan-hong berhasil mengalahkan Kiau Pak-bing. Beruntun Kiau Pak-bing tujuh kali terluka dan akhirnya jatuh menggelinding ke lamping gunung, Le Khong-thian ini merebut jenazah gurunya terus lompat turun dan terjun kedalam laut. Pada hal waktu Kiau Pak-bing roboh terjungkal badannya sudah terluka parah dan sudah empas-empis, apalagi gelombang lautan sedang pasang dan mengamuk dahsyat, maka para penonton yang sebagian besar juga tokoh-tokoh persilatan itu sama menyangka umpama Le Khong-thian akhirnya lolos dari renggutan elmaut, Riau Pak-bing jelas pasti mati. Memang setelah peristiwa besar itu, Kiau Pak-bing guru dan murid tak pernah terdengar lagi beritanya. Sang waktu berlalu bagai air mengalir tak pernah kembali, tak nyana hari ini setelah empat puluh tahun kemudian, bukan saja peristiwa besar itu sudah sama dilupakan orang, malah nama Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian juga sudah lama dilupakan oleh kaum persilatan, apalagi tahu dimana jejak mereka selama ini. "

Agaknya Le Khong-thian dapat meraba jalan pikiran In Hou, katanya setelah tergelak-gelak: "Thio Tan-hong kira guruku sudah mati, diluar tahunya bahwa guruku panjang umur dan mendapat karunia Tuhan, sampai sekarang beliau masih hidup di dunia ini. Biar kuberitahu kepadamu, kali ini aku justru mendapat perintah guru untuk kembali menuntut balas."

In Hou memaki: "Kalau begitu lebih betul kalau kau menuntut balas langsung kepada Thio Tan-hong."

"Apakah Thio Tan-hong dia masih hidup?" seru Le Khong-thian. "Dimanakah dia sekarang."

"Umpama tahu juga takkan kuberitahu kepadamu," demikian jengek In Hou, "kau ingin menuntut balas, boleh silahkan cari sendiri. Hm, aku kuatir kau tak punya nyali meluruk ke tempat

kediamannya."--perlu

diketahui kini Thio Tan-hong sedang menyelami pelajaran ilmu silat yang belum rampung dia ciptakan, dalam keadaan segenting ini dia pantang diganggu oleh orang luar, apa lagi musuhnya. Andaikata tempat pengasingannya diketahui orang, mungkin musuh bisa meluruk kesana mencari setori padanya, meski dengan bekal kepandaiannya sekarang tak takut menghadapi musuh, tapi In Hou tak berani memberitahu tempat itu kepada lawan.

Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya: "Ucapanmu memang betul. Pertama memang aku tak bisa menemukan Thio Tan-hong. Kedua umpama benar menemukan dia, mungkin aku tetap bukan tandingannya, terpaksa sasaran kupilih dirimu. Siapa suruh kau pernah keponakannya? Hehe, menurut apa yang kutahu, setelah isteri Thio Tan-hong mampus, hanya kau seoranglah familinya yang terdekat. Muridnya Toh Thian-tok jauh berada di Thian-san, jelas dia tidak lebih dekat dan akrab dari dirimu."

"Mentang-mentang kau ini terhitung seorang tokoh juga, tidak berani menghadapi Thio Tan-hong, tapi dengan akal licik dan memalukan membokong diriku malah."

"Untuk menghindari gugur bersama dengan kau," demikian ujar Le Khong-thian dengan nada tengik, "kan tiada manfaatnya. Kini kau telah makan kembang gulaku, didalam kembang gula itu aku sudah mencampur dengan Hap-kut-san. Tentunya kau juga tahu, setelah makan Hap-kut-san, tulangmu akan lemas ototpun linu, jelas kau takkan mungkin adu jiwa pula dengan aku. Nah segalanya sudah kuterangkan, kini kau ingin hidup atau mau mati terserah kepada dirimu, asal kau mau tunduk akan segala perintahku, akan kuberi obat penawarnya."

Memang Le Khong-thian sudah matang dalam rencana, dia kira pihaknya sudah berada di tempat yang unggul, setelah menunggu racun bekerja dalam tubuh In Hou, baru dia akan turun tangan.

Tak tahunya diam-diam In Hou juga sedang mengarahkan hawa muminya menghimpun lwekang, sekaligus mencegah racun menjalar kumat, maka sengaja dia ajak lawan putar lidah sekian lamanya. Kini In Hou sudah berhasil kerahkan hawa murninya berputar tiga keliling dan terhimpun di pusar, dia yakin dalam jangka sejam, dirinya pasti tidak akan mati keracunan, maka dia lantas tertawa mengejek: "Kau punya syarat apa, kenapa tidak berani keluar dan bicara berhadapan dengan aku!" habis berkata mendadak dia bersuit panjang, suaranya melengking tinggi dan keras bergema didalam gua, Le Khong-thian sampai pekak dan tergetar jantungnya.

Bahwasanya tujuan In Hou bersuit bukan untuk pamer di hadapan Le Khong-thian, yang dia harap hanyalah supaya Tam Pa-kun mendengar suitannya ini. Dalam hati dia membatin: "Entah Tam-toako sudah datang belum, jikalau dia sudah berada disini, pasti akan mendengar suaraku ini."

Karena kupingnya pekak dan mendengung, karuan Le Khong-thian kaget, baru sekarang dia insaf bahwa lwekang In Hou ternyata tinggi dan diluar perhitungannya. Tapi meski hati merasa kaget dan waswas, tapi dia masih yakin akan tipu dayanya, segera dia balas menjengek: "Lwekang gerungan singamu ini memang hebat luar biasa, tapi jangan kira dapat menggertak diriku. Baiklah, kalau kau ingin tahu syarat yang kuajukan, pasang kuping dan dengarkan."

Begitu melihat bayangan orang muncul segera In Hou menyergapnya. Sejak tadi golok pusaka yang selalu disandingnya sudah terhunus, dengan-golok di tangan kiri dan telapak tangan kanan, golok membabat paha lawan, sementara telapak tangan membelah ke dadanya. "Trang" terdengar benturan keras, kembang api berptjar dalam kegelapan gua yang pekat ini.

Ternyata golok pusaka In Hou membacok di atas Tok-kak-tong-jin yang terbikin dari baja murni. To-kak-tong-jin ini dahulu adalah senjata andalan Kiau Pak-bing, kini diwariskan kepada Le Khong-thian. Sebelum ini Le Kong-thian sudah sembunyikan senjatanya itu di balik batu, setelah memancing In Hou tiba di pinggir rawa baru dia mulai turun tangan, salah satu sebab yang utama adalah sembarang waktu dia bisa memungut senjatanya yang disembunyikan di balik batu di pinggir rawa ini.

Bahwa senjatanya mampu menahan bacokan golok pusaka In Hou, lega juga hati Le Khong-thian, jengeknya dingin: "In-keh-to-hoat (ilmu golok keluarga In) memang hebat, tapi manusia bajaku ini belum tentu terkalahkan oleh golokmu," sembari bicara dia dorong manusia baja di tangannya, lengan panjang manusia baja itu mendadak terjulur keluar menutuk ke Hian-ki-hiat di depan dada In

Hou, meski gelap gulita, tapi sasaran yang dia incar ternyata tepat sekali.

Betapa tinggi taraf kepandaian silat In Hou, mana mungkin dia bisa tertutuk? Meski berada didalam gerombolan batu-batu yang berserakan dengan gesit dia gunakan langkah Naga Melingkar Melangkah Kaki, mendengar angin membedakan arah, maka dengan leluasa dia berkelit sambil balas menyerang.

Le Khong-thian menarikan senjata bajanya sekencang kitiran, angin menderu kencang terus mengepruk dan menjojoh. Dengan mengerahkan lwekang, In Hou kerjakan golok pusaka sekali garis dan iris di atas senjata baja lawan, maka terdengarlah suara keras bagai gema lonceng dan tambur, percikan api berpijar, tampak beberapa luka goresan di atas senjata manusia baja Le Khong-thian bertambah banyak. Namun demikian, In Hou sendiri juga merasakan sejalur hawa dingin tahu-tahu merembes kedalam telapak tangan terus merembes ke Sau-yang-king-meh. Karuan In Hou terkejut, pikirnya: "Konon Kiau Pak-bing dulu menjagoi bulim dengan ilmu Siu-lo-im-sat-kang yang telah diyakinkan sampai ke tingkat sembilan, ilmunya mampu disalurkan ke senjata untuk melukai lawan, agaknya Le Khong-thian juga telah mewarisi kedua macam ilmu gurunya yang lichay ini." — apa yang diduga In Hou memang tidak meleset, tapi terkaannya hanya betul sebagian, Siu-lo-im-sat-kang yang

diyakinkan Le Khong-thian sejauh ini hanya sampai tingkat ke tujuh, demikian pula ilmu menyalurkan lwekang melalui senjata hanya separuh dari kemampuan gurunya dulu. Jikalau sekarang dia sudah memiliki Kungfu setingkat gurunya dulu, meski kepandaian In Hou sekarang berlipat dua juga takkan kuasa menghadapinya. Walau demikian ilmu menyalurkan lwekang dingin melalui senjata yang dilancarkan Le Khong-thian juga sudah cukup membuat In Hou kepayahan, hawa dingin sudah merembes kedalam Sau-yang-king-meh, celaka karena In Hou sebelumnya sudah makan Hap-kut-san, kadar racun yang semula sudah dikeram oleh kemurnian Iwekangnya, kini jadi buyar dan kumat malah.

Sembari kerahkan lwekang menahan racun, terpaksa In Hou harus menghadapi serbuan musuh, lambat laun terasa mata berkunang-kunang, kepalapun mulai pening, batinnya: "Kalau aku bersemadi didalam sebuah kamar kosong tanpa gangguan menyembuhkan keracunan ini, paling tidak aku masih kuat bertahan satu jam lagi, kini di samping harus melawan racun dalam tubuh harus menghalang serbuan musuh lagi, paling lama aku hanya mampu bertahan setengah jam, aku harus lekas mengakhiri pertempuran ini."

"Huuu," tiba-tiba In Hou menghembuskan serumpun napas dari mulutnya, kontan Le Khong-thian merasakan mukanya tertiup dingin, tapi begitu rasa dingin lenyap lalu disusul hembusan angin sepoi hangat seperti di musim semi, seketika dia menjadi kantuk dan malas rasanya. Karuan Le Khong-thian berjingkat kaget, pikirnya: "Tak nyana lwekang In Hou ternyata setangguh ini."

Ternyata hawa dingin yang merembes kedalam tubuh telah berhasil ditekan dan dihimpun oleh lwekang In Hou terus dihembuskan keluar melalui mulut. Bahwa Le Khong-thian pertama merasa dingin lalu merasa hangat, yang dingin adalah Siu-lo-im-sat-kangnya sendiri yang merembes ke tubuh In Hou, sedang hembusan hangat itu adalah hawa murni In Hou sendiri.

Maka In Hou sekarang bergerak lebih cepat untuk segera mengakhiri pertempuran, goloknya bergerak jurus yang satu lebih cepat dari jurus yang lain, terpaksa Le Khong-thian juga tarikan manusia baja senjatanya itu sekencang baling-baling seumpama hujan deras juga takkan tembus membasahi badan.

Terdengarlah dering keras beradunya kedua senjata, gema suaranya sampai mengalun bergelombang didalam gua. Golok In Hou itu mampu mengiris emas atau memotong batu giok, tajamnya luar biasa, hanya sekali iris, maka manusia baja lawan telah dihiasi goresan memutih yang kelihatan tajam. Hanya sekejap saja manusia baja itu sudah babak belur dan gumpil sebagian besar.

Akan tetapi kepandaian Le Kong-thian memang cukup tangguh, dibanding In Hou paling lebih asor setingkat, ketambah dia lebih paham seluk beluk Cit-sing-giam, maka dengan leluasa dia bisa lompat sana nyelinap sini sesuka hati, tanpa kuatir ketumbuk batu runcing. Meski In Hou berada di atas angin, sementara tak mampu melukai lawan.

Di kala kedua orang ini lagi bertempur mengadu jiwa sambil memboyong seluruh kemampuan masing-masing, dari kegelapan di bawah dasar rawa sana tiba-tiba terdengar suara "Crang, ering" bergema didalam gua, semula In Hou kira orang didalam gua itu memetik harpanya lagi, tapi setelah didengarkan lebih lanjut, jelas itu bukan suara air, juga bukan irama harpa, melainkan adalah petikan senar gitar, umumnya petikan gitar yang membawakan lagu apapun cukup mengasyikan, tapi petikan senar gitar yang satu ini justru menimbulkan rasa sebal dan bosan dalam hati. In Hou lantas tahu bahwa pemetik gitar ini pasti seorang jago kosen dari aliran sesat, dan boleh dipastikan dia pasti komplotan Le Khong-thian. Yang dia harapkan adalah kawannya Tam Pa-kun bisa lekas datang tepat pada waktunya, tak kira yang datang lebih dulu malah bala bantuan musuh. Betul juga belum lagi petikan gitar itu berhenti, cepat sekali mendadak terasa kesiur angin kencang, dalam kegelapan terasa ada sesuatu benda menyamber kearah In Hou. Pandangan In Hou terbentang keempat penjuru, pendengarannya pun dipasang tajam, sekali tegakkan golok pusaka, "Tring" dia pukul jatuh senjata rahasia itu, kiranya sebatang Toh-kut-ting, paku penembus tulang.

"Siapa kau, pintarnya main bokong secara licik," hardik In Hou.

Orang itu berkakakan, katanya: "Sia-sia kau diagulkan sebagai pendekar yang banyak pengalaman, memangnya masih tidak tahu akan Thi-bi-pa (gitar besi) yang kugunakan beserta senjata rahasia di dalamnya?"

"Gitar besi, gitar besi?" mendadak In Hou terjngat akan cerita seorang bulim cianpwe yang menceritakan tokoh-tokoh aneh dalam kalangan Kangouw, orang ini bernama Siang Ho-yang, tokoh yang sudah kenamaan sebelum Thio Tan-hong angkat nama, orang ini tidak lurus tapi juga tidak sesat, setelah nama Thio Tan-hong malang melintang, tahu-tahu dia sudah menghilangkan jejaknya, Siang Ho-yang menciptakan ilmu gitar besinya ini dengan gaya permainan yang lebih khusus, selama ini dia belum pernah menerima murid, apakah dia pernah bermusuhan dengan Thio Tan-hong, In Hou juga tidak tahu. Kalau orang ini menggunakan gitar besi, jelas bukan muridnya yang dia angkat setelah masa tuanya di waktu dia mengasingkan diri.

Lekas sekali orang inipun telah melejit keluar dari balik batu, gitar besi di tangannya menderu kencang, dari tempat yang lebih atas menindih turun terus mengepruk ke batok kepala ln Hou. Pendengaran In Hou cukup tajam, secara reflek diapun ayun golok menangkis dan saling bentur dengan gitar besi musuh, maka terdengarlah suara benturan yang mengusik pendengaran, terasa rasa sebal dan mual di dada In Hou bertambah berat. Ternyata golok pusakanya tidak kuasa membelah gitar besi lawan, tapi gitar besi musuh juga tidak mampu merusak golok pusakanya. Begitu kedua pihak saling bentur dengan kekuatan lwekang masing-masing, kedua pihak sama bergontai sempoyongan, jelas taraf lwekang orang ini masih lebih unggul dari Le Khong-thian, kira-kira setanding dengan In Hou.

Karena itu ln Hou harus melawan keroyokan dua musuh tangguh, karuan dia semakin kerepotan. Palagi dia sudah keracunan, sedetik lebih lama, berarti posisinya lebih tidak menguntungkan.

Lambat laun In Hou merasakan dirinya susah bertahan lagi, kondisinya semakin parah. Seperti umumnya gitar bagian dalam adalah kosong, dan didalam gitar musuh ini ada tersimpan pegas rahasia yang menyimpan berbagai senjata rahasia, seperti Toh-kut-ting, Bwe-hoa-ciam dan lain-lain senjata rahasia yang berbentuk kecil, dengan cara tempur berkisar dan berputar kian kemari, tahu-tahu melejit dekat, kejap lain melompat jauh, senjata rahasiapun bekerja setiap ada peluang. "Cret" sebatang paku penembus tulang tiba-tiba menyamber keluar menyerempet pundak, untung hanya pakaian In Hou saja yang ketembus bolong.

Le Khong-thian membentak: "Jangan kata kau bukan tandingan kami berdua, meski kuat melawan, racun dalam tubuhmu juga akan segera bekerja. Memangnya kau tidak ingin hidup? Tak ada faedahnya kau melawan, lebih baik kau menyerah dan tunduk akan perintahku."

"Dalam hal apa aku harus tunduk kepadamu?" seru In Hou dengan suara sumbang.

"Siang-heng," ucap Le Khong-thian, "sudah jelas dia takkan lolos dari telapak tangan kita, biarlah beri kesempatan untuk dia menimbang-nimbang."

Orang itu berkata: "Baiklah, jelaskan kepadanya, coba lihat apakah dia tahu diri." Maka kedua orang ini menarik senjata dan berdiri di kiri kanan In Hou, sikap mereka tetap garang dan mengepung.

Pelan-pelan Le Khong-thian berkata: "Thio Tan-hong tak berada di Thian-san, pasti dia semayam di suatu tempat untuk memperdalam dan mencipta ilmu pedang lagi. Aku sudah memperoleh berita, belakangan ini kau pernah bertemu dengan Thio Tan-hong, bukankah dia ada menyerahkan buku pelajaran ilmu pedang kepadamu?"

Baru sekarang In Hou sadar bahwa tujuan mereka adalah hendak merebut Bu-bing-kiam-hoat. Karuan berjingkat dia dibuatnya, batinnya: "Bagaimana mungkin mereka bisa tahu akan hal ini? Tentang kunjunganku ke Ciok-lin mengunjungi paman hanya pernah kuberitahu kepada Tam-toako saja, itupun terjadi pada beberapa tahun yang lalu, pada hal kunjunganku itu pun baru kulaksanakan tahun lalu, umpama Tam-toako tidak lupa tentang hal ini, yakin dia pasti takkan membocorkan hal ini kepada orang lain, lalu siapa yang memberitahu mereka?"

"Bagaimana?" desak Le Khong-thian, "kau hendak mempertahankan buku pelajaran ilmu pedang itu atau ingin hidup?"

In Hou berkata dengan suara tawar: "Aku kan bukan murid didik Thian-san-pay, umpama benar dia memiliki buku pelajaran ilmu pedang yang terbaru, kan lebih pantas kalau diwariskan kepada muridnya Toh Thian-tok."

Le Khong-thian menyeringai dingin, katanya: "Dia bukan mewariskan kepadamu, tapi titip dan suruh kau serahkan kepada muridnya kelak. Soalnya kau adalah keponakannya yang terdekat, dia pasti mempercayaimu. Jangan kau kira kami tidak tahu?"

"Bagaimana mungkin dia bisa tahu akan rahasia ini? Pada hal Tam-toako sendiri juga tidak tahu akan hal ini," mau tidak mau In Hou bingung dan keheranan. Kala itu kepalanya pening tidak sempat memikirkan soal-soal rumit ini.

Sebetulnya bukan ada seseorang tahu akan rahasia ini, soalnya Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian guru dan murid selama hidup bermusuhan dengan Thio Tan-hong, mereka tahu betul karakter dan wataknya, bahwa Le Khong-thian tahu kalau In Hou adalah satu-satunya orang yang akhir kali bertemu dengan Thio Tan-hong, maka dia menduga dan yakin bahwa Thio Tan-hong pasti titip dan serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaannya yang terbaru kepada In Hou untuk disampaikan kepada muridnya, karena sudah jelas bahwa Thio Tan-hong pasti tidak akan merelakan pelajaran Kungfu ciptaannya putus turunan, itu berarti sia-sia jerih payahnya selama ini.

Mendapat kesempatan ini diam-diam In Hou kerahkan lwekang membendung kadar racun menjalar lebih jauh, maka sengaja dia berusaha mengulur waktu, katanya: "Peduli gurumu itu, orang baik atau jahat, konon dulu diapun mengagulkan diri sebagai jago kosen nomor satu di kolong langit ini, betul tidak?"

"Ilmu silat beliau memangnya nomor satu di jagat raya ini, pada pertempuran terakhir dengan Thio Tan-hong dulu itu, karena terlebih dulu dia sudah menghadapi tiga padri sakti Siau-lim-pay, maka Thio Tan-hong beruntung dapat menang setengah jurus."

In Hou menjengek dingin:

"Kalau begitu jadi aku yang salah omong, bukan gurumu terlalu mengagulkan diri, tapi memang kenyataan ilmu silatnya nomor satu di dunia ini?"

"Memangnya perlu dijelaskan lagi?" kata Le Khong-thian dengan angkuh, "dulu kalau dia tidak terluka parah, pasti sejak lama dia sudah mencari Thio Tan-hong menuntut balas. Dulu Thio Tan-hong beruntung memperoleh bantuan tiga padri sakti itu baru menang secara kebetulan. Kalau mau bicara soal latihan dan pelajaran Kungfu sejati bagaimana mungkin Thio Tan-hong bisa dibandingkan dia orang tua?"

In Hou terbahak-bahak. "Apa yang kau tertawakan?" Semprot Le Khong-thian murka.

"Aku jadi geli, masakah manusia yang mengagulkan diri sebagai jago nomor satu di kolong langit ini, mengatur tipu daya main bokong lagi untuk merebut buku pelajaran ilmu pedang musuhnya."

"Kau tahu apa?" sentak Le Khong-thian, "maksud beliau hanyalah mendapatkan buku pelajaran ilmu pedang Thio Tan-hong serta mengoreksi kesalahannya, supaya para orang gagah di kolong langit ini tahu, hakikatnya Thio Tan-hong hanya bernama kosong belaka."

In Hou terbahak-bahak lagi, katanya: "Sayang, sayang, sayang pilumu tak berada disini."

"Kalau berada disini memangnya kenapa?" Le Khong-thian naik pitam, "memangnya kau berani bertanding dengan beliau?"

"Aku mana berani dibandingkan dengan dia? Tapi jikalau dia berada disini, kukira dia patut dibandingkan dengan dinding batu disini, ingin aku saksikan kulit mukanya pasti jauh lebih tebal dari dinding batu ini."

Dari malu Le Khong-thian jadi gusar, baru saja dia hendak mengumbar adat, laki-laki she Siang itu tiba-tiba berkata: "Le-toako, jangan kau kena ditipu olehnya, jangan biarkan dia mengulur waktu lagi."

Le Khong-thian tersentak sadar, katanya: "Betul, mari kita bicarakan soal di depan mata."

Orang she Siang itu memetik senar gitarnya, mengeluarkan irama musik yang tidak enak didengar kuping, katanya: "Orang she In, waktunya sudah tiba, kau mau tunduk atau tidak?"

Mendadak suara irama harpa berkumandang pula dari pojok gua sana, meski suaranya sayup-sayup, namun irama harpa yang mengalun lembut mengasyikan ini seketika membuyarkan petikan gitar yang menusuk pendengaran itu, seketika In Hou seperti dicekoki obat penawar yang menyejukan perasaan, dada lapang sanubari tentram, kembali dia berada dalam ketenangan semula.

Le Khong-thian mendadak menghardik: "Jangan memetik harpa lagi, kalau tidak dengar peringatanku jangan salahkan kalau nanti kulempar kau kedalam rawa."

Pemetik harpa agaknya jeri terhadap Le Khong-thian, irama harpa seketika sirap.

Lekas In Hou menarik napas, hawa murni dalam tubuhnya sudah berputar tiga keliling, katanya tawar: "Soal apa yang kalian ingin aku tunduk?"

Iblis she Siang itu berkata: "Kuharap kau punahkan Kungfu sendiri, lalu serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong itu."

"O, aku harus memunahkan Kungfu sendiri? Syarat yang kalian ajukan kok bertambah keji dan telengas."

"Punahkan ilmu silat sendiri kan lebih mending dari jiwa melayang," jengek iblis she Siang itu.

"In Hou," sentak Le Khong-thian, "kau harus tahu diri, untuk menamatkan jiwamu, segampang aku membalik telapak tangan. Kau sudah terjatuh di tanganku, ada delapan belas macam kompesan untuk menyiksamu, setiap macam siksaan itu jelas lebih menderita daripada kau punahkan ilmu silat sendiri, kau percaya tidak?"

Iblis she Siang itu berkata pula: "Sekarang mulai kuhitung, sampai hitungan ketiga, kalau kau belum juga punahkan Kungfu sendiri, biarlah aku saja yang turun tangan. Satu ... dua ..." dia cukup kawakan bersama Le Khong-thian dalam hal ilmu silat, betapapun In Hou takkan mampu mengelabui pandangan mereka dalam soal memunahkan ilmu silat sendiri ini.

Nekad mengadu jiwa dan berkorban atau terima menyerah memunahkan ilmu silat sendiri In Hou harus lekas ambil putusan. Katanya setelah menghela napas: "Baiklah, aku menyerah saja."

"Nah kan begitu," seru Le Khong-thian terloroh-loroh, "seorang laki-laki harus pandai melihat gelagat."

"Buku pelajaran pedang akan kuserahkan lebih dulu baru kupunahkan Kungfu sendiri, boleh tidak?" tanya In Hou.

Le Khong-thian berpikir: "Memangnya kau mampu lolos dari telapak tanganku," tujuan utama memang merebut buku pelajaran ilmu pedang, maka dia berkata: "Baik, begitupun boleh, taruh Kiam-boh (buku pelajaran ilmu pedang) itu di atas tanah."

"Baik, nah ambillah," seru In Hou, mendadak dia ayun tangan, kelihatannya seperti melempar sejilid buku tipis ke arah rawa. Keadaan gelap pekat betapapun tinggi lwekang seseorang serta tajam pandangannya, paling juga bisa melihat samar-samar saja, karuan Le Khong-thian dan iblis she Siang itu mengira dia betul-betul melemparkan Kiam-boh itu.

Jarak iblis she Siang itu lebih dekat, dalam gugupnya tak sempat dia banyak pikir, sigap sekali dia melejit maju hendak menyamber Kiam-boh itu. Tapi pada waktu yang sama In Hou juga menubruk maju sambil membentak:

"Turunlah,"

"Wut" telapak tangannya segera memukul satu jurus.

Dalam gugupnya iblis she Siang itu ternyata cukup cermat juga, agaknya dia sudah siaga dan menduga bahwa In Hou mungkin bisa menyergap dirinya. Tapi sungguh dia tidak sangka setelah keracunan ilmu silat In Hou masih begini tinggi.

Tangan kirinya segera mengayun ikat pinggang, ujung ikat pinggangnya berhasil menggulung Kiamboh yang masih melayang di tengah udara, sementara gitar besi di tangan kanan menyapu ke pinggang In Hou. Dia kira In Hou pasti akan melejit ke samping, tak nyana telapak tangan In Hou tetap menggempur ke mukanya. "Tang", seperti gada memukul genta, gitar yang terbuat dari besi murni itu ternyata terpukul dekok oleh In Hou, maka senjata rahasia rahasia yang tersimpan di dalamnya seketika berhambur rontok selebat hujan. Betapapun tangguh ilmu si iblis she Siang ini, dia tetap tak kuat melawan pukulan Kim kong-ciang-lat yang dahsyat ini, seperti tayangan putus benang badannya seketika melayang kedalam rawa.

Dalam saat genting yang menentukan mati hidup sendiri, lekas iblis she Siang ini gunakan ikat pinggangnya menggantol sebatang batu runcing yang menongol keluar di tengah udara, maka dirinya bergelantungan di tengah udara, saking gugup dia berteriak: "Le-heng, lekas, tolong aku."

Pada hal Le Khong-thian sedang mengayun senjata mengepruk ke batok kepala In Hou, mana dia sempat hiraukan mati hidup kawannya. In Hou putar golok pusakanya sekencang angin lesus, Le Khong-thian dicecarnya mencak-mencak dan keripuhan, hanya mampu membela diri tak kuasa balas menyerang, sekonyong-konyong dia melejit maju lebih dekat serta menyelinap ke kiri, telapak tangan kiri berbareng tegak membelah, hardiknya: "Kaupun turunlah."

Jelas pukulannya sudah hampir mengenai Le Khong-thian dan memukul lawan terjungkal dalam rawa, tak nyana pada detik-detik yang menentukan ini, mendadak In Hou rasakan pergelangan tangan mengejang linu, ternyata tenaga tidak mampu dikerahkan lagi.

Ternyata waktu memukul gitar besi lawan tadi, telapak tangannya pun terkena sebatang Bwe-hoa-ciam, kini di kala dia kerahkan setaker tenaga yang penghabisan ini, bukan saja racun didalam jarum itu bekerja, sekaligus Hap-kut-san didalam tubuh pun kumat. Begitu telapak tangan kedua orang saling bentur, Le Khong-thian bergontai saja, tapi In Hou sempoyongan mundur, terasa sekujur badan lemas lunglai, langkah enteng mengambang, kakipun menginjak tempat kosong, kontan diapun terjungkal jatuh seperti iblis she Siang tadi terjerumus kedalam rawa.

Sejenak Le Khong-thian melenggong, akhirnya bergelak tertawa: "Akhirnya kau yang menjadi umpan ikan didalam rawa. Sayang sekali buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong ikut menjadi santapan ikan."

Walau terjerumus kedalam rawa, namun dalam hati In Hou merasa lega malah, pikirnya: "Betapapun kalian tak berhasil mendapatkan Bu-bing-kiam-hoat, syukurlah aku tidak menyia-nyiakan harapan

paman atas diriku." –ternyata yang dilempar kedalam rawa tadi adalah surat Tam Pa-kun yang menjanjikan dirinya bertemu di Cit-sing-giam. Tapi tugas yang diserahkan kepadanya oleh Thio Tan-hong jelas tak mampu diselesaikan lagi. "Byuuuur", jatuh dari ketinggian puluhan tombak, In Hou jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, begitu menyentuh air dan tenggelam, seketika In Hou tidak sadarkan diri.



000OOO000



Entah berselang berapa lama, lambat laun In Hou mulai siuman, mata tak mampu dipentang, namun kupingnya mendengar petikan harpa yang mengasyikkan, dan merdu, itulah irama harpa yang memancingnya untuk masuk kedalam Cit-sing-giam.

In Hou coba menggerakkan kaki tangan namun sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan, sekujur badan seperti kaku dan keras. Ingin bicara, namun tenggorokan seperti kejang tak kuasa mengeluarkan suara. Tak terasa In Hou tertawa getir dalam hati, batinnya: "Keadaanku ini bukankah mirip orang mati?" namun kesadarannya semakin pulih dan nyata, kini dia teringat bahwa dirinya terjebur kedalam rawa, namun sekarang sedang rebah di atas ranjang. Maka dia berpikir: "Mungkin orang sakti yang menabuh harpa itu telah menolongku, sayang aku tak kuasa melihatnya, tak kuasa berbicara pula."

Di dengarnya sambil memetik harpa orang itu bersenandung pula membawakan syair-syair pujangga dynasti Tong, ln Hou asyik mendengarkan, pikirnya: "Orang sedih memang punya dunianya sendiri. Agaknya pemetik harpa ini seorang tokoh yang punya asal-usul."

Akhirnya kelopak matanya bisa bergerak dan bisa sedikit terbuka, yang terlihat dalam pandangannya adalah seorang kakek tua dengan rambut beruban, di sampingnya berdiri tegak seorang bocah laki-laki berusia lima belasan.

Terdengar bocah itu berkata: "Kakek, agaknya orang ini sudah siuman, coba lihat, kelopak matanya sedang bergerak-gerak."

Kakek jtu berkata: "Mungkin seperti kemarin, walau matanya terpentang, namun dia tetap tidak sadar dan tak punya rasa. Mungkin dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya."

Kini In Hou tahu bahwa dirinya sudah sekian hari rebah di tempat ini, jadi dia pernah membuka kelopak matanya. Dalam hati dia mengeluh dan tertawa getir: "Aku tahu siapa diriku, namun tidak tahu siapa kau."

"Sungguh menakutkan," suara bocah itu berkata, "Sudah tiga hari tiga malam dia rebah dalam keadaan seperti ini. Kakek, kau pandai mengobati, apa kau bisa menolongnya?"

Kakek itu menghela napas, katanya: "Jarum beracun di tubuhnya sudah kucabuti, tapi jenis racun lain yang berada didalam tubuhnya, aku tidak mampu memunahkan."

Bocah itu jadi gelisah, katanya: "Kalau demikian, jadi dia takkan bisa hidup?"

"Entah," ujar kakek itu, "untung dia memiliki Iwekang tangguh, semoga lambat laun dia bisa sembuh sendiri. Sing-ji, jangan kau banyak tanya lagi, biar kupetik harpa untuk dia dengar, irama harpaku mungkin membantunya untuk berjuang membangkitkan daya hidupnya."

Terdengar musik mengalun hangat dan tentram, itulah musik yang didengarnya di kala In Hou dalam keadaan genting melawan keroyokan Le Khong-thian berdua. Tapi yang didengarnya waktu itu hanya sebagian mukanya saja, Le Khong-thian sudah melarangnya memetik lebih lanjut.

Perasaan In Hou damai dan sentosa, lambat laun diapun tenggelam dalam alunan musik dan mencapai taraf semadi, segala kerisauan hati, seolah menjadi buyar oleh alunan musik yang menentramkan ini.

Nada lagu tanpa disadari mendadak berubah, berubah lebih enteng dan riang gembira. Bak sepasang kekasih yang sedang bercumbu rayu, seperti pula sepasang kawan yang lagi asyik bicara, bagai pula putra putri yang sedang bersenda gurau di bawah pelita, sekeluarga hidup bahagia penuh diliputi kenikmatan ini.

Mendadak irama harpa berhenti, seperti baru sadar dari impian, kontan terasa oleh In Hou dirinya sudah pulih perasaannya, sungguh bukan kepalang rasa segar dan nyaman, hawa murni meski lambat sudah terasa mulai mengalir dalam tubuhnya. Tapi dia tetap tak mampu bergeming, tetap tak kuasa bersuara, apalagi berbicara.

"Kakek," kata bocah itu, "apakah yang kau petik barusan adalah Khong-ling-san?"

In Hou terkejut, batinnya: "Apa, mungkinkah Khong-ling-san belum putus turunan?"

Ternyata Khong-ling-san adalah judul sebuah lagu petikan harpa, konon sejak lama Khong-ling-san ini sudah lenyap dan putus turunan, tak nyana kakek ubanan ini ternyata pandai memetik lagu ini.

"Betul," didengarnya kakek itu berkata, "memang inilah Khong ling-san."

"Kakek, kenapa tidak kau petik lagu bagian belakang?" tanya si bocah.

Pada hal ln Hou sedang berpikir: "Sebelum ajalnya pencipta lagu ini masih sempat membawakan lagu ciptaannya, tentunya mengandung duka cita yang tak terperikan, namun kenapa yang dipetik kakek itu barusan bernada riang gembira?"

Belum habis hatinya menerka, didengarnya kakek itu menjawab pertanyaan cucunya: "Bagian belakang teramat menyedihkan, bukan saja tiada manfaatnya untuk dia, malah mungkin menjadikan dia celaka."

"O, kiranya begitu," ucap si bocah, "aku sendiri juga tak tega mendengar bagian belakang itu. Tapi nada lagunya yang betul-betul menyentuh sanubari orang terletak di bagian belakangnya itu. Di kala kau melagukannya, ingin rasanya tidak mendengarkan, tapi tak kuasa aku pasang kuping juga. Kakek, kapan kau sudi mengajarkan kepadaku?"

"Biarlah kelak saja," ujar sang kakek, lalu dia menghela napas. "Yang benar, biarlah Khong-ling-san putus turunan saja."

"Lho, kenapa?" tanya si bocah.

Tidak menjawab pertanyaan cucunya, kakek itu berkata lebih lanjut: "Kaum pelajar umumnya sama menyangka bahwa Khong-ling-san pasti memilukan dan merawankan hati, yang benar bukan demikian seluruhnya. Ada gunung tinggi baru kelihatan tanah datar, adanya kesenangan baru timbul rasa duka cita pula. Waktu Pit-khong terbunuh dulu, yang dikenangnya adalah para sahabatnya, terbayang akan kehidupan riang bahagia sebelumnya, barulah tercipta pula nada-nada sedih di bagian belakangnya, itulah sebabnya kenapa jauh berbeda bagian depan dan belakang dari lagu harpa ciptaannya itu."

"Eh, kakek, begitu asyik kau bercerita, kenapa tahu-tahu melelehkan air mata?"

"Meski aku bukan pembunuh, tapi dia mati lantaran aku. Karena tertarik oleh lagu harpaku, maka hari itu dia meluruk kedalam Cin-sing-giam. Bila tak kuasa menolongnya, sampai matipun aku akan menyesal."

"Kakek, aku tidak suka mendengarkan kata-kata yang menyedihkan ini. Orang bilang kau adalah Dewa Harpa, baru sekarang aku maklum, ternyata dengan memetik harpa kau pandai mengobati penyakit orang pula. Kakek setiap hari boleh kau petik lagu-lagu harpa itu untuk didengarnya, bantulah dia selekasnya memulihkan kesehatan, dia pasti tidak akan mati."

"Semoga seperti yang kau harapkan," demikian ucap sang kakek, lalu dia periksa urat nadi In Hou, sesaat kemudian baru berkata: "Kelihaiannya lebih baik sedikit, tapi mungkin belum pulih perasaannya."

"Kakek, kalau kau berhasil menolongnya, dia pasti suka bersahabat dengan kau."

"Memangnya ada sangkut paut apa dengan dirimu?"

"Bukankah tadi kau bilang ilmu silatnya tinggi? Bila kami bersahabat, akan kuminta dia mengajarkan beberapa jurus Kungfu kepadaku, kuduga dia pasti meluluskan permintaanku."

"Kiranya kau punya tujuan," ujar sang kakek tertawa, "tapi apa kau sudah lupa akan wejanganku, menolong orang jangan mengharap balas budinya. Apalagi terhadap dia aku tidak terhitung menanam budi, hanya boleh dikatakan menebus kesalahan."

"Aku tahu. Karena itu semula aku ingin angkat guru kepadanya, kini aku tak berani mengharapkan lagi. Tapi sesama teman, kalau satu sama lain saling membantu, itu kan lepas dari soal balas budi segala."

Mendengar orang bicara soal persahabatan, tanpa terasa In Hou teringat: "Entah Tam-toako sudah datang belum? Tapi It-cu-king-thian Lu Tin-gak adalah penduduk setempat, untuk mencarinya jauh lebih mudah. Dia paling suka bersahabat, teman akrab Tam-toako pula, jikalau dia tahu aku sedang terluka, pasti dia datang kemari merawatku. Sayang sekarang aku tidak mampu mohon bantuan mereka untuk mengantarku ke rumah keluarga Lui. Jikalau aku memperoleh perlindungan keluarga Lui, mereka kakek dan cucu ini tentu takkan kerembet perkara."

"Ah, omongan bocah," ucap sang kakek tertawa. "Jadi muridnya saja kau tidak setimpal, apalagi menjadi sahabatnya."

"Kakek, bukankah kau sering bilang, persahabatan antar manusia terletak pada saling pengertian yang mendalam? Soal perbedaan umur, kaya atau miskin dan tinggi rendah kedudukan seseorang tidak menjadikan halangan persahabatan sejati."

Diam-diam In Hou membatin: "Bocah ini terlalu Jenaka, apa yang dikatakan ternyata cukup beralasan dan masuk akal. Pendek kata, bila orang lain mendengar apa yang diucapkannya barusan, orang pasti tertawa geli."

"Oh, ya kakek," seru si bocah, "kau belum beritahu kepadaku, siapakah orang ini?"

"Pada waktu berada di Cit-sing-giam hari itu baru aku tahu siapa dia ini, dia adalah In Tayhiap yang kesohor di kolong langit itu," demikian sang kakek menjelaskan.

Agaknya bocah itu terkejut, katanya: "Apakah In Tayhiap yang dulu pernah membantu Kim-to Cecu di Gan-bun-koan memukul mundur pasukan Watsu itu?"

Kim-to Cecu Ciu Kian sebetulnya adalah komandan besar pasukan kerajaan Bing yang berkuasa di Gan-bun-koan, belakangan karena dia difitnah oleh kaum durna, terpaksa dia tinggalkan jabatan dan membawa pasukan melarikan diri, diluar Gan-bun-koan dia menduduki sebuah gunung serta mengangkat dirinya sebagai raja penyamun, tapi dia tetap setia kepada Dynasti Bing, pernah beberapa kali dia membantu pihak kerajaan mematahkan serbuan musuh yang membahayakan keselamatan negara.

Dua puluh tahun yang lalu, In Hou pernah membantunya memukul dan mengalahkan pasukan Watsu yang menyerbu tiba. Peristiwa besar itu, boleh dikata banyak diketahui oleh kaum persilatan. Dalam hati In Hou membatin: "Dia bisa tahu akan peristiwa besar itu, kuduga kakeknya ini pasti pernah berhubungan dengan kaum persilatan."

"Kalau bukan In Tayhiap itu memangnya siapa lagi?" ujar sang kakek tertawa.

"Tak heran kakek ingin menolongnya."

"Aku ingin menolongnya bukan lantaran dia adalah In Tayhiap."

"Memangnya lantaran apa?"

"Pertama karena aku sehingga dia menderita dan jiwa hampir melayang, hal ini- tadi sudah kukatakan. Kedua, ai, kalau Khong-ling-san boleh putus turunan, tapi Khong-ling-kiam tidak boleh tanpa pewaris."

Bocah itu kebingungan, katanya: "Khong-ling-kiam apakah itu?"

"Aku hanya berumpama saja, seperti juga Khong-ling-san dalam musik petikan harpa. Bagi kaum persilatan yang diimpikan dan kuatir putus turunan adalah pelajaran ilmu pedang tingkat tinggi, oleh karena itulah kuberanikan diri menamakan Khong-ling-kiam."

'Kakek, aku masih belum paham akan keteranganmu."

Maka sang kakek menjelaskan lebih lanjut: "In Tayhiap memiliki sejilid buku pelajaran silat yang diwarisi dari jago pedang nomor satu di jagat raya ini, seperti gajah mati karena taringnya, demikianlah keadaannya sekarang, dia terluka oleh dua musuh tangguh yang hendak merebut buku pelajaran ilmu pedang itu. Jikalau dia tak tertolong, maka Kiam-boh itu mungkin betul-betul akan menjadi Khong-ling-kiam."

Terharu In Hou dibuatnya, batinnya: "Yang benar paman tidak mewariskan Kiam-boh itu kepadaku, tapi demi menyelamatkan Kiam-boh ini, dia tidak takut kerembet perkara, jikalau beruntung aku tidak mati, kelak aku harus berusaha membalas budi kebaikannya," lalu dia berpikir pula: "Aku kecemplung ke rawa, entah Kiam-boh itu hilang tidak?" Sayang dia tidak mampu bergerak, juga tidak mampu bersuara, terpaksa dia tekan rasa kuatirnya ini didalam hati.

Bocah itu bertanya pula: "Apakah kedua orang jahat itu liehay juga?"

"Sudah tentu liehay. Kalau tidak masakah In Tayhiap sampai dikerjai mereka?"

"Kakek, apakah kedua orang jahat itu tahu kau telah menolong In Tayhiap?"

"Entah mereka tahu atau tidak, semoga saja mereka kira In Tayhiap sudah mati."

"Tapi kecuali mereka, didalam Cit-sing-giam hanya ada kau seorang, seumpama mereka curiga..."

"Kau takut mereka meluruk kesini?"

Si bocah tunduk kepala, sesaat baru berkata perlahan: "Aku betul-betul merasa kuatir."

In Hou takut kalau urusannya merembet kakek dan cucunya ini, maka rasa kuatirnya lebih besar dari si bocah, pikirnya: "Keparat she Siang itu kena sekali pukulanku, lukanya pasti tidak ringan, Le Khong-thian memang lebih mending, tapi untuk menyembuhkan luka mereka paling cepat juga sepuluh hari, namun demikian luka mereka tidak akan separah lukaku. Jikalau timbul rasa curiga mereka, perduli aku masih hidup atau sudah mati, mereka pasti akan membuat penyelidikan, urusan jadi berabe. Cara terbaik sekarang adalah biar aku berlindung ke rumah keluarga Lui, mereka kakek dan cucu sekaligus juga akan terlindung. Sayang aku tak mampu bersuara, tak kuasa memberitahu mereka."

Kedengarannya sang kakek kurang senang, katanya: "Sing-ji, biasanya bagaimana aku mendidikmu, memangnya sudah kau lupakan semua? Jadi manusia harus mengutamakan kesetiaan dan kebenaran, umpama benar elmaut bakal menimpa, betapapun kita tak boleh berpeluk tangan.”

Kontan bocah itu membantah: "Kakek, kau salah paham akan ucapanku."

"O. lalu bagaimana maksudmu?"

"Kakek, aku tidak takut urusan ln Tayhiap bakal merembet kita, tapi sebaliknya aku kuatir kita tidak mampu melindungi In Tayhiap. Kakek, bukankah kau punya teman yang memiliki Kungfu tinggi, meski kepandaian mereka tidak setinggi InTayhiap, tapi mereka lebih tangguh dari kita, umpamanya..."

Belum habis dia bicara sang kakek telah menukas: "Kau tidak tahu. urusan ini sekali-kali tidak boleh minta bantuan orang lain," sikap dan suaranya kelihatan kereng dan bengis, katanya lebih lanjut: "Sing-ji, kau harus ingat, urusan In Tayhiap sekali-kali tidak boleh bocor. Walau terhadap seorang yang paling kau hormati dan kau kagumi, sekali-kali jangan kau bicarakan soal ini."-rupa-rupanya dia sudah maklum siapa orangnya yang di maksud oleh cucunya itu.

Si bocah melongo keheranan, tapi melihat sikap kakeknya yang kereng berwibawa, terpaksa dia simpan unek-unek hatinya, katanya: "Baik, kakek, kau tak usah kuatir, aku takkan lupa."

Tiba-tiba sang kakek bertanya: "Khong-ling-san bagian depan apakah sudah pandai kau memetiknya?"

"Mungkin petikanku masih kurang mahir."

"Biarlah kupetik sekali sebagai contoh, perhatikan liku-liku ritmenya." Bahwa dia tidak suruh cucunya memperhatikan gerakan petikan tangan, ini menandakan bahwa kepandaian memetik harpa si bocah sudah cukup mahir.

Kembali In Hou terhanyut ke alam tanpa bobot dan rasa oleh merdunya petikan harpa, selesai dia mendengar petikan Khong-ling-san bagian depan ini, mendadak terasakan di bagian pusarnya seperti timbul hawa hangat, hawa murninya lambat laun menjadi lancar, rasa sesak dan mual di dada juga semakin tawar. Karuan bukan main girang In Hou, dia coba-coba kerahkan hawa murni menghimpun lwekang, walaupun teramat sukar untuk menghimpun hawa murni, tapi toh sudah bisa mengerahkan hawa murni. Akan tetapi sejauh ini dia tetap tak mampu bergeming dan tak mampu bicara.

"Apa kau sudah mengingatnya?"

"Sudah kuingat betul." "Baiklah, sekarang giliranmu, ingin aku mendengar petikanmu."

Diam-diam In Hou mendengarkan pula petikan harpa si bocah, meski tidak seindah dan sebagus petikan sang kakek, namun cukup juga membuatnya terpesona, meminjam nada irama Harpa inilah sedikit demi sedikit In Hou berhasil menghimpun hawa murni kedalam pusar. Tanpa disadarinya, Khong-ling-san bagian depan telah berakhir dipetik oleh si bocah.

Sang kakek menghela napas, katanya: "Meski kurang mendalam, tapi kira-kira sudah cukup memuaskan, tapi kau harus lebih giat berlatih"

Agaknya bocah merasa heran, tanyanya: "Kakek, kenapa kau terburu-buru menyuruhku memetik khong-ling-san bagian depan ini?"

Sang kakek menghela napas, katanya: "Kejadian dalam dunia susah diramal, untung rugi manusia sukar diraba, jikalau aku mengalami sesuatu, maka tugas berat untuk menolong jiwa In Tayhiap terpaksa harus kau sendiri yang memikulnya."

Si bocah melenggong, katanya: "Kakek, jangan kau berkata demikian lagi. Siapa tidak tahu kalau kau orang baik, semogalah Thian selalu melindungi orang baik. Kakek semoga kau panjang umur, In Tayhiap juga pasti takkan mati.

"Semoga seperti apa yang kau harapkan, tapi tiada ruginya kau berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.'"

Baru sampai disini pembicaraan mereka, tiba-tiba terdengar "Tok, tok, tok," suara ketukan pinju diluar. Seketika berubah air muka sang kakek dan si bocah. Lekas-lekas sang kakek berkata lirih: "'Biar kutengok siapa tamu yang datang, bila kau mendengar sesuatu yang ganjil, lekas kau bawa In Tayhiap sembunyi di kamar bawah tanah, apa pun yang terjadi disini jangan kau keluar lagi."

Sembari mengetuk pintu orang diluar itu pun berteriak: "Apakah Ki Harpa ada di rumah?"

Sang kakek menghela napas lega, katanya lirih: "Bukan suara

kedua gembong iblis." –Segera dia bersuara: "Ya, ya, sebentar." — — dia tahu perduli siapa yang datang, mau sembunyi juga tidak sempat lagi, terpaksa dia keluar membuka pintu menyambut kedatangan sang tamu.

Sang kakek terima tamunya di ruang tamu di depan, sementara In Hou dan cucunya berada di kamar belakang. Mereka mendengar suara daun pintu ditutup, tapi tidak mendengar percakapan di ruang tamu. Jantung si bocah berdetak keras, In Hou sendiri juga tidak mampu bergerak, hatinya pun tegang. Mereka menunggu dengan perasaan tak karuan, untung tak terdengar suara gaduh atau keganjilan lainnya. Belum mereka mendengar suara pintu ditutup mengantar tamu pulang, tiba-tiba sang kakek sudah melangkah masuk ke kamar.

Lekas si bocah bertanya gugup: "Siapakah tamunya?"

Sang kakek goyang-goyang tangan, katanya lirih: "'Perlahan dikit, tamunya belum pulang. Dia orang keluarga Lui Tayhiap.""

Tampak betapa girang si cucu. hampir saja dia berteriak kegirangan. Tapi sang kakek melotot kepadanya, baru dia tersentak sadar. Pikirnya: '"Betul, yang datang hanyalah orang suruhan, bukan Lui Tayhiap sendiri. Walau orang suruhan Lui Tayhiap boleh dianggap orang baik, lebih baik kalau aku berhati-hati, buat apa harus memberitahu kepadanya akan rahasia kehadiran In Tayhiap disini." Maka dengan suara tertekan dia berkata: "Kakek, untuk apa Lui Tayhiap suruh orangnya ke mari?"

Sang kakek menjawab: "Lui Tayhiap mengundangku ke rumahnya, entah ada urusan penting apa?" sungguh aneh, kalau cucunya kelihatan girang, dia justru mengerutkan kening seperti ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Dengan masgul si bocah berkata: "Kakek, bukankah kebetulan malah? Kau boleh memberitahu kepada Lui Tayhiap..."

Bertaut alis sang kakek, tukasnya dengan suara rendah: "Setelah berhadapan dengan Lui Tayhiap, aku bisa bertindak melihat gelagat. Kau harus ingat pesanku, jagalah In Tayhiap dengan baik. Dan lagi, kau harus ingat dan perhatikan, waktu aku kembali nanti, ketukan pintu dua cepat satu lambat. Jikalau bukan ketukan rahasia yang kulakukan ini, kau harus lekas-lekas bawa In Tayhiap menyingkir," habis meninggalkan pesannya, sang kakek bergegas mengambil harpa di atas meja, tapi segera ditaruh kembali di atas meja, katanya: "Inilah pusaka warisan keluarga kita, biarlah kutinggalkan untuk kau saja," lalu dia ambil harpa yang lain terus melangkah keluar.

Tak sempat si bocah bertanya pula kepada kakeknya, tapi dalam hati dia membatin: "Mungkin Lui Tayhiap mengundang kakek kesana untuk pertunjukan memetik harpa, tapi orang suruhannya itu justru anggap bulu ayam sebagai panah perintah, dikatakan ada urusan penting segala," ternyata kejadian serupa sudah sering terjadi.

In Hou yang celentang kaku di atas ranjang juga merasa senang tapi juga heran, dalam hati dia berpikir: "Entah Lui Tayhiap yang dimaksud apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Tapi di daerah Kwi-lin ini yang pantas disebut Tayhiap kukira tiada orang lain. Kenapa nada percakapan Ki Harpa ini masih kelihatan bimbang apakah persoalanku perlu diberitahukan kepadanya? Apakah dia belum mau percaya kepada Lui Tayhiap. Kukira dia terlalu berprasangka."

Pepatah ada bilang: "Menghadapi suasana girang semangat orang akan bergairah." In Hou tahu sang kakek yang menolong jiwanya ini ternyata bersahabat baik dengan It-cu-king¬ thian Lui Tin-gak, hatinya senang bukan main, tanpa disadarinya kelopak matanya kini sudah bisa terpentang seluruhnya. Waktu dia coba-coba pula, eh, jari jemarinya ternyata juga sudah bisa bergerak.

Agaknya si bocah melihat gerak geriknya, serunya kegirangan: “In Tayhiap, kau sudah siuman. Apakah kau sudah ada perasaan?" tapi lekas sekali dia tepuk jidat sendiri sambil berkata pula tertawa geli: "Saking senang aku jadi pikun, aku lupa bahwa kau belum bisa bersuara. Tapi kalau kau sudah punya perasaan dan teringat akan pengalamanmu, harap kau berkedip tiga kali”

Beruntun In Hou mengedip tiga kali, si bocah berjingkrak girang, katanya: "In Tayhiap, ternyata kau sudah sadar benar, sayang kakek sedang pergi. Lebih baik aku tidak banyak ngobrol dengan kau, kau sudah sadar, perutmu tentu lapar, makanlah ala kadarnya dulu," lekas dia lari ke dapur serta membawa semangkok bubur, lalu dengan sabar dan teliti dia pentang mulut In Hou serta menyuapi, melihat In Hou mampu menghabiskan semangkok bubur, senangnya bukan main, katanya: ""Apa kau masih lapar? Tapi kakek pernah pesan, kau dilarang sekaligus makan terlalu banyak, nanti setelah hari menjadi gelap kusuapi semangkok lagi. Sekarang biar kupetik harpa untuk kau dengar, aku tidak semahir kakek, kuharap kau pun suka mendengarkan."

Perasaan enteng, hati girang, maka semangat In Hou jauh lebih baik, pikirnya: "Bocah ini sungguh baik, usianya paling baru 15, usianya sebaya dengan putriku, jikalau aku bisa terhindar dari musibah kali ini, biar kuangkat dia sebagai murid, supaya anak San punya seorang Sute sebagai teman bermain. Cuma kakeknya tega tidak menyerahkan cucunya ini kepadaku?"

Keadaan In Hou

tak ubahnya sesosok mayat, meski hanya makan semangkok bubur, namun daya hidupnya sudah mulai bersemi, di tengah alunan irama harpa, sedikit demi sedikit dia menghimpun hawa murninya ke pusar, lambat laun hawa murni sudah berhasil dihimpun dan berjalan lancar.

"Creng" suara harpa berhenti pada petikan lima senar bersama. In Hou menarik napas panjang, tanpa dirasakan dia menggeliat serta membalik miring. Si bocah kegirangan, serunya: "Wah kau betul-betul jauh lebih baik sekarang. Banyak kejadian pasti ingin kau ketahui, biarlah kututurkan kepadamu." lalu dia duduk di samping In Hou, katanya perlahan: "Aku she Tan bernama Ciok-sing, Kakekku bernama Tan Kiat-gih, tapi kemungkinan ini bukan nama aslinya, siapa nama aslinya aku pun tidak tahu. Masih ada, dia menamakan dirinya Ki Harpa, namun orang lain justru menyebutnya Dewa Harpa."

Terkulum senyuman di ujung mulut In Hou, pikirnya: "Julukan Dewa Harpa memang setimpal buat orang tua ini."

Lebih lanjut Tan Ciok-sing berkata: "Di samping pandai memetik harpa, kakekku juga pandai berenang. Tiga hari yang lalu kau terjerumus kedalam rawa, kakekku yang menolongmu ke mari, eh, kau sudah sadar, hal ini tidak "erlu kuceritakan tentu kau sendiri juga sudah ingat. Em, coba kupikir dulu, apa saja yang harus kuberitahu kepadamu."

Tenggorokan In Hou berbunyi kerutukan,"dengan seksama Tan Ciok-sing mendengarkan, saking senang dia berjingkrak berdiri, serunya: "In Tayhiap, kau sudah bisa bicara."

Bibir In Hou bergerak, namun suara yang keluar selirih bunyi nyamuk, dia sendiri pun tidak mendengar. Lekas Tan Ciok-sing dekatkan kupingnya ke mulut orang, sesaat kemudian baru dia paham orang berkata demikian: "Lui, Lui Tayhiap yang dimaksud itu, apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"

Semakin girang Tan Ciok-sing, katanya: "Betul, apa kau juga kenal

Lui Tayhiap? Apa dia kawanmu?"

Hanya beberapa, patah kata tadi, In Hou sudah kehabisan tenaga, terpaksa dia hanya mengangguk.

"Bagus, kau tidak perlu banyak bicara, biar kuberitahu kepadamu," demikian kata Tan Ciok-sing. "Lui Tayhiap, adalah teman karib kakek, dia senang mendengar petikan harpa kakek. Pada waktu kau ketimpa musibah itu, Lui Tayhiaplah yang mengundangnya untuk menabuh harpa di C't-sing-giam."

Tanpa terasa seperti anjlok perasaan hati In Hou. Baru sekarang dia tahu, bahwa Ki Harpa bukan secara kebetulan memetik harpa didalam gua pelancongan itu, namun atas undangan It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Urusan ini sungguh terlalu aneh dan membingungkan. Kenapa dia mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam gua itu? Justru kedua gembong iblis itu juga mencelakai dirinya dalam gua.itu. Memang In Hou sudah berjanji dengan Tam Pa-kun untuk melancong juga kedalam Cit-sing-giam, tapi andaikata dia hari itu tidak mendengar suara petikan harpa nan merdu mengasyikkan itu. In Hou takkan tergesa-gesa masuk kesana sebelum kawan yang dijanjikan datang. Dia pasti akan menunggunya di puncak gunung sesuai perjanjian.

Jilid 2



Suara harpa, pembokongan, Lui Tin-gak, Le Khong-thian... tentang kesatria dan perbuatan jahat, antara pendekar dan gembong iblis, mendadak semuanya ini menjadikan suatu mata rantai yang menjadi ruwet didalam benak In Hou. Bahwasanya In Hou sudah tak berani berpikir lebih lanjut. Tapi urusan besar yang menyangkut nasib dan jiwanya, mau tak mau In Hou harus memikirkan dan berusaha memecahkan persoalannya ini.

Terasa betapa dingin perasaannya sekarang, rasa dingin yang timbul dari lubuk hatinya yang paling dalam, lebih dingin dan mengenaskan dari pada jatuh kedalam lumpur salju di jurang es, tanpa terasa dia bergidik seram, tanpa terasa otaknya bekerja pula: "Mungkinkah semua ini memang merupakan jebakan yang sudah direncanakan lebih dulu. orang sengaja memancingnya dengan suara harpa sehingga aku terjatuh kedalam jaringan perangkap mereka?" Terbayang lagi betapa sedih dan pilu kata-kata Ki Harpa yang penuh penyesalan tadi, terasa bahwa dugaannya lebih meyakinkan lagi. Sementara Ki Harpa diperalat tanpa sebelumnya dia menyadari perbuatannya.

Apakah semua ini mungkin? Sesaat In Hou menjadi hambar, dia tak berani percaya akan analisanya ini, dalam hati dia berteriak: "Tidak tidak mungkin, dengan karakter Lui Tayhiap, bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan serendah dan hina ini? Apalagi dia kan teman karib Tam-toako."

Dan satu hal lagi, dengan Lui Tin-gak, In Hou hanyalah teman yang baru kenal nama masing-masing jadi bukan kenalan karib. "Dari mana dia bisa tahu kalau aku gemar mendengar musik dan pecandu harpa? Kalau dia tidak tahu, bagaimana mungkin dia bisa mengatur semua jebakan itu?" Ai, kalau dipikirkan lebih lanjut, bukankah teman karib sendiri pun patut dicurigai juga? Tidak dingin tapi In Hou bergidik sendiri, lubuk hatinya berteriak: "Tidak, tidak, mana boleh aku mencurigai Tam-toako? Lui Tin-gak adalah orang yang dikagumi Tam-toako, julukannya adalah It-cu-king-thian, julukan yang sudah kesohor di kolong langit, memangnya julukannya itu hanya nama kosong belaka?"

Setelah tenangkan diri, lebih lanjut In Hou berpikir: "Dalam hal ini pasti ada latar belakangnya, bahwa Tam-toako memuji Lui Tin-gak sebagai kesatria sejati, mestinya dia bukan laki-laki rendah yang berbudi rendah." Akan tetapi kenapa Lui Tin-gak mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam Cit-sing-giam? Kenapa pula Ki Harpa berkata:

"Walau aku tidak secara langsung membunuhnya, tapi dia mati lantaran diriku." Apa maksud kata-katanya ini?

Melihat wajah orang mendadak pucat pias, bibirnya juga bergerak, Tan Ciok-sing terkejut, teriaknya: “In Tayhiap, apa yang ingin kau katakan? Aku tidak mendengarnya."

Tenggorokan In Hou berbunyi, tapi tidak mengeluarkan suara. Lapat-lapat di antara setengah sadar, tiba-tiba didengarnya suara harpa berbunyi pula.

Ternyata Tan Ciok-sing kaget dan kebingungan, maka untuk ketiga kalinya segera dia memetik harpa membawakan lagu Khong-ling-san. Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir: "Aku tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, semoga petikan harpa ini dapat membantu kesehatannya."

Pikiran In Hou yang gundah dan ruwet lambat laun menjadi tenang dan damai di tengah keasyikkan irama harpa nan merdu, melihat air muka orang semakin merah dan tidak seburuk tadi, barulah lega perasaan Tan Ciok-sing.

Habis lagunya, cepat Tan Ciok-sing dekatkan pula kuping sendiri ke mulut orang, katanya: "in Tayhiap, apakah kau sudah lebih segar? Tadi apa yang ingin kau katakan?"

In Hou tenangkan diri, batinnya: "Untung aku belum mati, soal ini pasti akan datang saatnya dapat dibikin terang."

"Golok pusakaku itu, apakah hilang terjatuh kedalam rawa?" akhirnya In Hou kuasa mengeluarkan suara pula, suaranya malah terdengar sedikit lebih keras.

Sebetulnya dia ingin tanya tentang Kiam-boh tulisan Thio Tan-hong yang dititipkan padanya itu, tapi mengingat bila dirinya tanya hal ini, mungkin si bocah bisa salah paham menyangka dirinya mencurigai kakeknya, betapa pun dia tidak suka menyakiti sanubari bocah yang masih hijau dan jujur serta polos ini.

Menepuk jidat Tan Ciok-sing berseru dengan tertawa: "Betul, coba lihat betapa cerobohnya aku ini. Sejak tadi pantasnya sudah kuterangkan padamu. Pakaianmu seluruhnya ada disini, biar kuambil supaya kau periksa, apakah ada barang milikmu yang hilang."

"inilah golok pusakamu, maaf, karena ingin tahu, pernah aku meloloskannya keluar, memang tajam luar biasa, pernah juga kucoba membacok batu, ternyata batu terbelah rata menjadi dua."

Lebih lanjut Tan Ciok-sing mengeluarkan sebuah bungkusan kain, dibuka di hadapan In Hou, katanya: "Inilah pakaian yang kau kenakan pada hari itu, aku sudah mencucinya bersih, baju yang kau pakai sekarang adalah milik kakek, kau tidak usah rikuh. Beberapa tahil uang perak ini juga tidak hilang."

Setelah memperlihatkan isi buntalan kain Tan Ciok-sing membuntalnya pula. Lalu dimana Kiam-boh? Melihat orang tidak menyinggungnya, karuan In Hou menjadi gelisah. Di saat dia berkuatir itulah tiba-tiba Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Masih ada sebuah kotak kuletakkan di bawah bantalmu, kakek melarang aku menyentuhnya, aku memang tidak berani membuka dan melihat isinya." Lalu dari bawah bantal dia merogoh keluar kotak itu, tanyanya: "Apa kau ingin aku membukanya untuk kau periksa?"

In Hou menghela napas lega, katanya: "Baiklah. Tapi kotak ini tak boleh dibuka sembarangan, kau harus kuajarkan dulu cara membukanya. Letakkan kotak itu di atas meja, ibu jari menekan tutup kotak, ke kiri kau putar tiga kali, lalu ke kanan dua kali, setelah itu kau harus lekas minggir."

Tan Ciok-sing bekerja menurut petunjuknya, maka terdengar suara jeplakan, tutup kotak itu tiba-tiba mencelat terbuka, dari dalamnya menjulur keluar enam batang pisau kecil, posisi keenam pisau kecil ini saling silang menjadikan sebuah jala yang kebetulan menggantikan tutup kotak tadi.

Tan Ciok-sing menjulurkan lidah, katanya: "Liehay betul, untung aku patuh akan peringatan kakek, tidak berani membukanya secara diam-diam, kalau tidak jari-jariku pasti sudah protol seluruhnya."

Ternyata kotak milik Thio Tan-hong ini adalah pemberian Hek-pek-mo-ko, dua teman kakak beradik dari negeri Thian-tok, waktu In Hou meninggalkan Ciok-lin, Thio Tan-hong gunakan kotak ini untuk menyimpan Kiam-boh tulisannya itu serta dititipkan kepadanya.

Tan Ciok-sing maju mendekat, tampak dalam kotak memancarkan cahaya kemilau kuning, ternyata ada beberapa biji kacang "emas menindih di atas lempitan kertas. Didengarnya In Hou berkata: "Keluarkan kacang emas itu dan simpan di tempat lain. Lalu kau putar dan balikkan kotak itu, tepat pada tengah-tengah kotak kau gunakan tenaga beruntun mengetuk tujuh kali, tak boleh lebih dan jangan kurang, pisau-pisau kecil itu akan segera mengkeret masuk.ke tempat asalnya."

Setelah mengerjakan seperti apa yang ditunjukkan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: '"Kotakmu ini sungguh menyenangkan."

"Kalau kau suka boleh kuberikan kepadamu. Kacang emas itu boleh kau serahkan kepada kakekmu."

Terunjuk rasa kurang senang pada mimik muka Tan Ciok-sing, katanya: "In Tayhiap, aku dan kakek sama pandang kau sebagai kawan, memangnya berani kami mengharap imbalan? Kau, tindakanmu ini berarti tidak memandang kami berdua."

Lekas In Hou mohon maaf: ""Adik kecil, jangan kau salah paham, sekali-kali tak pernah aku berpikir demikian, aku hanya berpikir, kalian telah berusaha mengobati aku, paling tidak kan juga memerlukan uang."

"Obat yang digunakan kakek semuanya tersedia lengkap disini, sementara memetik harpa setiap hari juga tidak perlu pakai uang."

"'Baiklah, kalau kau tidak mau tolong kau simpankan dulu. Keluarkan beberapa lempitan kertas itu, aku ingin melihatnya."

Didalam kotak ada tersimpan tiga lempitan kertas, kertas pertama adalah peta lukisan Thio Tan-hong yang menunjukkan dimana letak pusaka yang dia sembunyikan di pucuk gunung, sementara dua lempitan yang lain adalah hasil karya Thio Tan-hong sendiri, yaitu tulisan tangan Bu-bing-kiam-hoat.

Di hadapan In Hou, satu demi satu Tan Ciok-sing beber ketiga lempitan kertas itu. Dalam melempit ketiga kertas itu In Hou menggunakan cara khusus yang khas pula, sekali pandang lantas dapat diketahui bahwa lempitan ini belum pernah dijamah orang. Maka dia berkata dengan tertawa: "Coba kau lihat, itulah Khong-ling-kiam yang dibicarakan kakekmu tadi, lantaran kedua benda inilah maka kedua iblis laknat itu hendak mencelakai jiwaku."

Melihat In Hou mempercayai dirinya, Tan Ciok-sing senang sekali, katanya: "In Tayhiap, banyak terima kasih bahwa kau pandang aku sebagai sahabatmu," lalu dia menyambung: "Jadi sejak tadi kau sudah sadar, pembicaraanku tadi dengan kakek tentu juga kau dengar bukan. Tapi ketiga huruf Khong-ling-kiam tidak boleh sembarang digunakan, itulah pesan kakek, maklum dia tidak pernah menduga bahwa Kiam-boh milikmu ini mungkin saja berubah jadi Khong-ling-kiam."

In Hou suruh dia melempitnya pula serta dimasukkan kedalam kotak, lalu disimpan di bawah bantal pula, katanya: "Kau ingin jadi muridku bukan?"

Bersinar bola mata Tan Ciok-sing, tapi lekas dia menggeleng kepala, katanya: "Tidak, kalau aku memohon kau menerimaku sebagai murid, kakek tentu bilang aku mengharapkan balas budi."

"Bagaimana kalau sebaliknya, aku yang minta kau jadi muridku?" ujar In Hou tersenyum.

Berpikir sebentar Tan Ciok-sing berkata: "Tetap kurang baik, aku hanya mengharap kau memandangku sebagai sahabat."

Tergerak hati In Hou, tiba-tiba dia mendapat akal, baru saja dia hendak bicara. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, dua kali cepat sekali lambat, saking senang Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya: "Kakek kembali."

Waktu Tan Ciok-sing lari keluar membuka pintu, hati In Hou pun kaget bercampur senang, pikirnya: "It-cu-king-thian membiarkan dia pulang sendiri, agaknya aku terlalu banyak curiga."

Belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara Tan Ciok-sing yang penuh ketakutan dan panik: "Kakek, kenapa kau?"

Membelalak mata In Hou, tampak Tan Ciok-sing memapah kakeknya berjalan masuk dengan sempoyongan, Ki Harpa tampak pucat pasi, darah pun meleleh keluar dari ujung mulutnya.

“Tidak apa-apa, aku terjatuh di tengah jalan," sahut Ki Harpa.

"Kakek, kau ngapusi aku," teriak Tan Ciok-sing, "air mukamu seburuk ini, mungkin kau pun terluka dalam?"

Tidak menjawab pertanyaan cucunya, Ki Harpa malah menoleh ke arah In Hou, katanya: "Ah. agaknya In Tayhiap sudah jauh lebih baik."

"Kakek, kau memang harus senang. In Tayhiap memang jauh lebih baik, dia sudah sadar dan punya perasaan, barusan dia pun sudah bicara. Tapi kakek, kau..."

In Hou berkata dengan suara lemah: "Ki Harpa, budi pertolonganmu atas jiwaku, sungguh tak terlukiskan besarnya. Lui Tayhiap juga terhitung kenalanku, entah kenapa, dia bertindak begini kepadamu?" sebagai ahli persilatan, sekali pandang dia sudah tahu bahwa Ki Harpa terluka dalam yang cukup parah. Maka dalam hati In Hou berpikir: "Entah dia terluka di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Ai, memangnya Lui Tin-gak tega turun tangan sekeji ini? Kukira dia terluka di tengah perjalanan pulang waktu bersua dengan komplotan Le Khong-thian. Apa pun yang terjadi, bilamana dia menyebut nama Tam-toako di hadapannya, sehingga Lui Tin-gak tahu tentang hubunganku dengan Tam-toako, Lui Tin-gak pasti akan membantu dan mengobatinya?"

Setelah memeriksa urat nadi In Hou. Ki Harpa menghela napas lega, katanya: 'in Tayhiap kau ada harapan sembuh, legalah hatiku. Tapi sekarang keadaan cukup genting, bukan saja kau tidak boleh banyak bicara dan mengeluarkan banyak tenaga, aku pun tiada kesempatan lagi menjelaskan kepadamu. Ada sebuah hal, rasanya perlu segera aku berpesan kepada cucuku ini."

Tan Ciok-sing belum tahu kalau kakeknya terluka parah, dengan rasa was-was dia bertanya: "Kakek, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

Ki Harpa menarik napas panjang, katanya: "Sing-ji, lekas bersama In Tayhiap kau sembunyi ke ruang bawah tanah, nanti apa pun yang terjadi di atas, kularang kau keluar."

Baru sekarang Tan Ciok-sing betul-betul kaget katanya: "Kakek, orang jahat hendak mencelakai kau? Kakek, kalau tidak kau jelaskan duduk persoalannya, aku takkan meninggalkan dirimu."

Bengis sikap Ki Harpa: "Secepat ini kau sudah melupakan pesanku? Umpama aku gugur, kau harus melindungi jiwa dan raga In Tayhiap, tapi kalau kau tidak patuh akan pesanku, mati pun aku tidak akan meram. Apalagi dengan kehadiranmu disini kau takkan mampu membantu apa pun, hayo lekas masuk."

Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing membopong In Hou, tapi langkahnya terasa berat. Pada saat itulah In Hou sudah mendengar diluar seperti ada derap langkah kaki orang, tapi Tan Ciok-sing belum mendengarnya.

Ki Harpa pura-pura tenangkan diri, katanya tersenyum: "Sing-ji. dengarkan petuah kakek, lekaslah masuk. Kakek tadi hanya guyon saja, memangnya belum tentu kalau jiwaku bakal melayang."

Terpaksa Tan Ciok-sing gendong In Hou serta membuka pintu rahasia di balik dinding. Tiba-tiba Ki Harpa teringat, lekas dia ambil kotak itu terus dimasukkan kedalam baju In Hou lalu dorong mereka masuk kedalam kamar rahasia serta lekas-lekas menutup pula pintunya.

Baru saja mereka masuk ke kamar bawah tanah, diluar sudah didengarnya suara gaduh, jelas pintu besar rumahnya telah digedor dan hendak dijebol oleh penyatron. Musuh memang sudah masuk, yang datang ternyata tidak seorang saja.

Saking kaget serasa jantung Tan Ciok-sing hampir mencelat keluar dari rongga dadanya, entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba tangan In Hou sudah dapat bergerak, dalam kegelapan dia meraba-raba akhirnya

menggenggam tangan Tan Ciok-sing, katanya lirih: "Jangan takut, orang baik pasti dilindungi Thian."

Walau In Hou terkena racun jahat tak mampu bergerak, namun daya latihan ilmu silatnya selama beberapa tahun ini,

pendengarannya masih jauh lebih tajam dari orang biasa, percakapan orang diluar dia masih bisa mendengarkan dengan jelas, meski itu suara Ki Harpa yang sudah terluka parah dan lemah.

Terdengar beberapa orang sedang menghardik tanya kepada Ki Harpa: "Dimana In Hou kau sembunyikan?"

"Mana Kiam-boh yang digembol In Hou itu, hayo serahkan."

"Hm, jangan kau menipuku, aku tahu kau telah menolongnya, maka Kiam-boh itu pasti terjatuh di tanganmu."

Bukan kepalang sedih hati In Hou, orang-orang itu jelas sedang mencari dirinya, tapi di antara logat bicara orang-orang ini, tiada suara Le Khong-thian dan iblis she Siang itu. Dalam hati In Hou tertawa getir, batinnya: "Tak nyana Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong baru saja keluar sudah menimbulkan bencana, semoga jiwa raga Ki Harpa jangan menjadi korban karenanya."

Terdengar suara serak dan lemah Ki Harpa berkata: "Sayang kalian datang terlambat, Kiam-boh itu memang ada, tapi sudah diambil oleh It-cu-king-thian."

"Apa betul?"

"Untuk apa aku menipu kalian? Coba lihat, bukankah aku terluka parah?"

"Apa kau dipukul oleh It-cu-king-thian?"

"Aku baru saja pulang dari rumah keluarga Lui, tentunya kalian sudah tahu. Kalau aku tidak serahkan Kiam-boh itu kepada It-cu-king-thian, apakah aku bisa pulang dengan hidup?" Dia tidak menjelaskan apakah benar Lui Tin-gak yang melukainya, namun maksud perkataannya itu memang mau mengatakan bahwa Lui Tin-gaklah yang melukai dirinya.

Saking gemas gigi In Hou sampai berkerutukan, pikirnya: "Sungguh tak kira, Lui Tin-gak yang dijuluki It-cu-king-thian ternyata adalah manusia berhati binatang."

Di antara orang-orang itu seorang berkata: "Omongannya memang betul, menurut apa yang kutahu, kakek ini barusan memang pernah berkunjung ke rumah keluarga Lui. Ada seorang saudara angkatku yang kupendam di rumah keluarga Lui."

"Lalu dimana In Hou?" bentak seorang yang lain lagi.

"In Hou pun sudah direbut dan dibawa pergi oleh orang-orang utusan Lui Tin-gak."

"Hm, bukan mustahil kakek keparat ini menipu kita, hayo kita geledah rumahnya."

Di bawah kamar rahasia In Hou membelakangi dinding, dengan kencang dia pegang tangan Tan Ciok-sing. Tadi dia suruh Tan Ciok-sing tak usah takut, tanpa terasa hati sendiri juga gugup. Maklumlah selama hidupnya ini entah betapa banyak pengalaman tegang dan berbahaya, namun tak pernah dia mengalami bahaya seperti hari ini. Dia bukan kuatir jiwa raga sendiri, tapi dia kuatir urusannya merembet keluarga Tan, kakek dan cucu ini ikut menjadi korban.

Terdengar suara gaduh dan ribut di sebelah atas, jelas orang-orang itu sudah bongkar sana geledah sini. Dalam hati Tan Ciok-sing berteriak: "Semoga Thian Yang Maha Kuasa memberi perlindungan kepada hambanya ini, jangan biarkan orang-orang jahat itu berbuat keji terhadap kakekku."

Sudah tentu orang-orang itu tak berhasil menemukan Kiam-boh atau In Hou, seorang yang agaknya jadi pemimpin mereka berkata: "Agaknya apa yang dikatakan kakek ini memang tidak bohong, In Hou sudah terluka parah, jelas takkan mungkin merat sendiri, mungkin memang sudah direbut oleh It-cu-king-thian."

"Toako," sela seorang lain, "lalu bagaimana kita selanjutnya?"

Orang yang dipanggil 'Toako' berkata: "Biarlah setelah kita menemukan Le Khong-thian bicara lebih lanjut, demi Kiam-boh itu, terpaksa kita harus menghapus permusuhan menjadi sahabat dengan dia untuk menghadapi It-cu-king-thian bersama."

Orang yang bicara tadi mendengus, jengeknya: "It-cu-king-thian sudah mencelakai In Hou, kini pura-pura jadi orang baik lagi melindunginya. Kukira rahasia ini sekali-sekali tak berani It-cu-king-thian bicarakan dengan orang luar, bagaimana kalau kita bocorkan sedikit rahasia ini, supaya dia tahu bahwa kita sudah tahu akan rahasianya, dengan alasan ini kita dapat mengancam dan memerasnya."

"Akal bagus," seru seorang lagi, "Toako, begitu sajalah. Kalau berintrik dengan Le Khong-thian, siapa tahu diluar tahu kita diam-diam dia sudah sekongkol dengan It-cu-king-thian? Kalau betul demikian, bukan saja dia tidak akan bergabung dengan kita, celakanya kita sendiri yang menjadi kecundang."

Orang yang dipanggil Toako tertawa dingin, katanya: "Memangnya kau kira It-cu-king-thian gampang diusik? Berani kau hendak mengancam dan memeras dia?"

"Lalu bagaimana menurut pendapatmu Toako?" tanya orang itu.

Si Toako berkata: "Sebelum jelas duduknya persoalan, jangan kita sembarang bertindak. Bagaimana selanjutnya kita harus bertindak, setelah pulang nanti kita rundingkan lagi," agaknya dia sudah tahu kecuali Ki Harpa yang sudah empas empis menunggu ajal ini, tiada manusia lain di rumah ini, di samping itu dia juga takut bila di balik dinding ada kuping yang mencuri dengar percakapan mereka.

Diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas lega. dalam hati dia berdoa: "Semoga Thian bermurah hati, semoga kawanan penjahat ini lekas pergi. Syukur mereka tidak menemukan pintu rahasia di balik dinding ini."

In Hou kawakan Kangouw, pengalamannya luas, setelah mendengar percakapan kawanan penjahat itu mau tidak mau hatinya amat kaget, pikirnya: "Semoga Thian memberi perlindungan, janganlah Ki Harpa dibunuh oleh kawanan penjahat ini untuk

menutup mulutnya."-Baru dia

berpikir sampai disini, tiba-tiba didengarnya suara "Bluk" yang cukup keras, seperti ada seseorang yang roboh ke lantai. Suara serak Ki Harpa terdengar berteriak: "Mohon kalian suka bermurah hati, jangan harpa itu kalian rusak."

"Huh, siapa sudi ambil harpamu yang bobrok itu, simpanlah sendiri dan boleh kau serahkan kepada It-cu-king-thian, hm, kuatirnya mungkin kau takkan bisa memetik harpamu lagi untuk dia." Itulah suara sang Toako yang kedengaran ketus dan bengis.

Saking kaget Tan Ciok-sing sudah berjingkrak berdiri dan hendak menerjang keluar. Entah dari mana datangnya tenaga, lekas In Hou menariknya, serta berbisik di pinggir telinganya: "Jangan keluar."

Dari sang kakek sedikit banyak Tan Ciok-sing pernah juga diajarkan Kungfu, tenaganya jelas jauh lebih kuat dari orang dewasa biasa, tapi dia toh tidak kuasa berontak karena tarikan In Hou. Untung Tan Ciok-sing lekas sadar, dengan bekal kepandaiannya sekarang, keluar hanya mengantar jiwa percuma, terpaksa dengan lunglai dia duduk di samping In Hou.

Tarikan In Hou juga dilakukan saking gugupnya, gerakan tanpa pikir secara reflek lagi, sungguh tak nyana bahwa dia mampu menahan Tan Ciok-sing, karuan hatinya senang dan kaget pula: "Eh, kenapa mendadak aku sudah punya tenaga?" tapi waktu dia coba berusaha berdiri, kaki masih terasa lemas dan lumpuh tak mampu keluarkan tenaga. Sebagai ahli Kungfu sejenak dia melenggong, lantas dia paham duduknya persoalan. Ternyata siapa saja bila dalam keadaan gugup atau berbahaya dapat saja mengeluarkan tenaga besar diluar sadar. Padahal dia sudah terkena racun jahat, bilamana hawa murni dalam tubuh sudah buyar dan tak mungkin dihimpun lagi, tenaga terpendam didalam tubuh jelas takkan mampu dikembangkan. Kini bahwa dia mampu mengerahkan tenaga terpendam itu, ini membuktikan bahwa lwekang yang dia kerahkan sudah membawa hasil.

Dalam hati In Hou tertawa getir: "Ternyata aku masih sebagai orang lumpuh, si lumpuh yang harus dilindungi seorang bocah. Ai, cukup asal aku dapat memulihkan sedikit tenagaku, betapa baiknya. Kini hawa murniku sudah ludes, terpaksa aku harus mulai dari permulaan lagi, tapi untuk mencapai apa yang kuharapkan paling tidak memerlukan waktu satu jam. Umpama benar aku dapat mengumpulkan sedikit tenaga itu, apa pula manfaatnya."

Maklum enam tujuh musuh yang ada diluar semuanya berkepandaian cukup tangguh, umpama betul In Hou dapat memulihkan beberapa bagian tenaganya, juga takkan mampu menandingi mereka. Apalagi tenaga yang dikerahkan In Hou untuk menarik Tan Ciok-sing hanyalah tenaga alamiah yang dimiliki juga oleh manusia umumnya, hakikatnya belum terhitung tenaga lwekang. Maka setelah sekian saat dia berdiam diri sambil pasang kuping, didengarnya Ki Harpa sedang merintih-rintih, serta derap langkah orang banyak yang berlalu tergesa-gesa, lekas sekali suara ribut diluar sudah tak terdengar lagi.

Musuh akhirnya sudah pergi, namun nasib Ki Harpa mungkin celaka dari pada selamat. Setelah mendengar musuh pergi jauh, tapi tidak mendengar suara Ki Harpa minta tolong, sungguh tak kepalang pilu hati In Hou, lekas dia lepas pegangan tangan Tan Ciok-sing, katanya: "Lekas, lekas keluar dan papah kakekmu masuk ke mari."

Waktu Tan Ciok-sing memburu keluar, dilihatnya sang kakek rebah di antara ceceran darah, harpa kesayangannya itu masih dipeluknya dengan kencang.

"Oh, kakek," teriak Tan Ciok-sing dengan kalap dan panik, lekas dia memayang kakeknya. Ki Harpa merintih lemah, bibirnya berada di pinggir telinga cucunya, katanya lirih: "Jangan gembar gembor, jagalah kalau penjahat datang lagi," suaranya lembut seperti bunyi nyamuk, tapi mendengar sang kakek masih mampu bicara, lega juga hati Tan Ciok-sing, lekas dia bopong sang kakek masuk kedalam kamar rahasia.

"Sing-ji, sulutlah pelita, biar kulihat keadaan In Tayhiap, dia, apakah dia sudah baik?"

Begitu masuk kamar rahasia Ki Harpa segara berpesan demikian.

Tan Ciok-sing menurunkan Ki Harpa di pinggir In Hou, lalu menyulut pelita, katanya: "In Tayhiap sudah jauh lebih baik, tapi kau kek..."

In Hou pegang tangan Ki Harpa serta meraba nadinya. Walau In Hou tidak mahir pengobatan, namun mendengar denyut nadi dia bisa juga, terasa denyut nadi Ki Harpa sudah kalut, luka-luka yang diidapnya agaknya sukar tersembuhkan lagi. Karuan seperti tenggelam sanubari In Hou, rasanya lebih dingin waktu terjatuh kedalam rawa hari itu, yakin bahwa dirinya pasti mati, namun penderitaan batin sekarang ternyata jauh lebih menyedihkan.

Tapi Ki Harpa justru mengulum senyum, katanya: "In Tayhiap, keadaanmu memang jauh lebih baik. Tapi jangan kau banyak membuang tenaga percuma," suaranya lebih lantang.

Timbul setitik harapan dalam benak Tan Ciok-sing, tanyanya: "In Tayhiap, apakah kakek masih bisa ditolong?" -sudah tentu dia tidak tahu bahwa semangat kakeknya memang kelihatan lebih segar, padahal itulah tanda-tanda akhir hayatnya.

Menghibur dengan membohonginya atau bicara terus terang? Di kala In Hou sukar berkeputusan ini, Ki Harpa sudah tertawa getir, katanya: "Manusia akhirnya pasti mati, kakekmu sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, mati pun tidak perlu menyesal."

Maka pecahlah tangis Tan Ciok-sing, katanya: "Kakek, kau tidak boleh mati dan tidak akan mati, jangan kau tinggalkan aku."

Entah dari mana datangnya tenaga tiba-tiba Ki Harpa membentak: "Sekarang bukan saatnya menangis. Sing-ji, dengarkan pesanku, setelah aku mati, bakar saja rumah ini, selekasnya kau harus menyingkir jauh ke tempat lain."

Sambil menahan air mata Tan Ciok-sing meratap: "Kakek, beritahu padaku, siapakah musuhmu?"

Berkata Ki Harpa dengan suara serak: "Aku tidak tahu, aku tidak mengharap kau menuntut balas sakit hatiku. Yang kuharapkan semoga kau dapat menunaikan keinginanku, lekas tolong In Tayhiap dari tempat bahaya ini bersama harpa kuno itu," suaranya semakin lemah.

"Tidak, kek," teriak Tan Ciok-sing, "aku ingin tahu, kakek, kepada mereka kau bilang, It-cu-king-thian yang melukai kau, apa itu betul?" sebetulnya dia tidak mendengar jelas apa yang dikatakan kakeknya, tapi dari percakapan orang-orang jahat itu tahu tentang keadaan kakeknya. Kini dia tahu bahwa Kiam-boh yang dibicarakan kakeknya dikatakan sudah direbut It-cu-king¬ thian adalah untuk menipu para penjahat, lalu tentang It-cu-king-thian melukai dirinya, apakah juga bukan untuk mengelabui musuh?

Seperti teringat sesuatu, sesaat dengan suara terputus-putus Ki Harpa mengeluarkan tiga patah kata: "Bukan, bukan dia."

Legalah hati Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin: "Kiranya betul hanya untuk menipu musuh. Sebenarnya aku tidak pantas curiga kepada lt-cu-king-thian.

Memangnya mungkin Lui Tayhiap tega mencelakai kakek?"

Tapi In Hou yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan lain pula kesimpulannya, setelah mendengar omongan Ki Harpa bertambah tebal rasa curiganya. Pikirnya: "Kalau It-cu-king-thian orang baik, kenapa Ki Harpa memberitahu kepada para penjahat itu bahwa dialah yang merebut Kiam-boh? Memangnya tujuannya hendak melimpahkan petaka kepada lt-cu-king-thian?"

"Lalu siapa yang melukai kau waktu kakek pulang dari rumah keluarga Lui?" tanya Tan Ciok-sing menegas.

Ki Harpa jadi marah, serunya: "Aku tidak ingin kau menuntut balas, maka kau tak usah turut campur." Tan Ciok-sing mengiakan, namun mimik wajahnya masih menampilkan rasa curiga dan penasaran.

Ki Harpa menjadi luluh perasaannya, agaknya dia ingin memberi penjelasan, maka rahasia yang ingin disimpannya terpaksa dia jelaskan setelah menghela napas panjang: "Memang aku terluka di rumah keluarga Lui, tapi urusan tiada sangkut pautnya dengan Lui Tayhiap. Ai, sayang sekali, aku sudah tiada kesempatan menjelaskan kepadamu."

Tan Ciok-sing berkata: "Kakek, apakah aku bersama In Tayhiap boleh sembunyi ke rumah keluarga

Lui?"--Ternyata dia tidak

curiga kepada lt-cu-king-thian, namun hanya merasa heran, bahwa kakeknya terluka parah di rumah keluarga Lui, kenapa tidak menyuruh dirinya pergi kesana minta penjelasan kepada Lui Tayhiap, tapi malah suruh dia membawa In Hou pergi ke tempat jauh.

Lekas Ki Harpa berkata: "Tidak, jangan. Jangan kita bikin sengsara orang lain, tak perlu kau mencari keterangan kepada Lui Tayhiap."

In Hou membatin: "Tadi kau bilang Kiam-boh dan diriku telah direbut oleh Lui Tin-gak, bukankah keterangan bohong ini sudah membikin susah mereka?" tapi tidak enak dia utarakan isi hatinya ini. Apalagi dalam hati dia sudah maklum: "Dia suruh cucunya pergi ke tempat jauh, pasti kuatir It-cu-king-thian bertindak diluar batas, cucu yang satu-satunya ini pun dibunuh It-cu-king-thian sekalian."

Agaknya Ki Harpa sudah meraba isi hatinya ini, katanya: "Kukatakan bahwa Kiam-boh terjatuh ke tangan It-cu-king-thian, karena memenuhi permintaan Lui Tayhiap sendiri."

Sudah tentu In Hou takkan mau percaya akan keterangan ini, tapi Tan Ciok-sing cukup tahu akan watak kakeknya, dia percaya sebelum ajalnya sang kakek pasti tidak akan mengapusi dirinya, maka dia bertanya: "Kenapa?"

"Lui Tayhiap sudah menduga bahwa peristiwa barusan pasti akan terjadi selekas mungkin. Kalau dia memaksaku untuk berkata demikian, terpaksa aku memenuhi pesannya itu."

Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir: "Lui Tayhiap menyuruh kakek berbuat demikian, mungkin untuk menarik perhatian para penjahat itu untuk menghadapinya, sehingga orang-orang jahat itu mengendorkan perhatiannya untuk mencari jejak In Tayhiap?"

Suara Ki Harpa semakin lemah, katanya: "Sing-ji, jangan kau banyak tanya, aku juga tidak punya banyak waktu untuk bicara dengan kau. Aku, aku, aku ..." akhir katanya suaranya sudah lirih dan tidak terdengar lagi.

"Kakek," teriak Tan Ciok-sing dengan tersirap, "masih ada pesan apa lagi?" Perlahan jari-jarinya mengelus dada sang kakek, "Huuaah" tiba-tiba Ki Harpa memuntahkan sekujur riak kental yang berdarah.

Seperti ada sesuatu yang masih belum diselesaikan kalau tidak dikatakan rasanya hati belum puas, tiba-tiba dia menarik napas panjang membangkitkan semangat, katanya: "Setelah aku mati, bakar saja rumah ini, biar aku ikut diperabukan disini. Dan lagi..."

Sampai disini pelan-pelan dia berpaling ke arah In Hou, katanya perlahan: "In Tayhiap, kau akan segera sembuh, kumohon sukalah kau merawat cucuku ini."

Menahan sedih In Hou berkata: "In-kong (tuan penolong), legakan hatimu. Aku tidak punya putra, cucumu akan kuanggap sebagai putraku sendiri."

Ki Harpa tersenyum simpul, katanya: "Baik, syukurlah, puaslah hatiku." Pelan-pelan mata pun terpejam.

Lekas Tan Ciok-sing meraba hidung sang kakek, pernapasannya telah berhenti, badannya pun sudah mulai dingin. Seketika terasa dunia seperti berputar jungkir balik, sambil memeluk jenazah sang kakek, ingin menangis tapi tak keluar suara, sekian lama dia mematung.

"Nak," ujar In Hou tersendat haru, "nangislah, nangislah sepuas hatimu."

Sesaat lamanya baru Tan Ciok-sing memekik dan meratap gerung-gerung, air matanya bercucuran menetes di atas jazat sang kakek, tercampur dengan darah yang berlepotan di badannya.

Betapa haru dan pilu hati In Hou, namun dia tidak menangis. Dalam hati dia berkata: "Duduk perkara yang sebenarnya memang belum jelas, tapi It-cu-king-thian tak terhindar dari kecurigaan. Jikalau Kungfuku bisa pulih kembali, pasti akan kubuat perhitungan dengan dia, jikalau kodrat telah menentukan beginilah nasibku selanjutnya, terpaksa kuturunkan kepandaianku kepada Ciok-sing. It-cu-king-thian jelas bukan tokoh sembarang tokoh, bukan mustahil seperti yang dikatakan kawanan penjahat itu, dia memang berintrik dengan Le Khong-thian untuk mencelakai diriku. Umpama Ciok-sing dapat belajar setingkat kepandaianku sekarang, mungkin dia tetap takkan mampu menuntut balas sakit hati kakeknya. Lalu bagaimana baiknya?"

Tiba-tiba didengarnya diluar seperti ada suara orang, In Hou terkejut, katanya gugup: "Jangan menangis Sing-ji, seperti ada orang datang."

Maka terdengar seorang bergelak tawa diluar, katanya:

"Ternyata di balik dinding ini ada pintu rahasianya, untung aku cukup cerdik, diluar tahu Toako diam-diam aku putar balik ke mari lagi." -kiranya orang ini cukup ahli juga dalam bidang bangunan, tapi Toako yang dia katakan tadi tidak tahu akan kemahirannya ini. Sebetulnya tadi dia sudah merasa curiga bahwa di balik dinding pasti ada apa-apanya, karena tamak dan ingin mengangkangi Kiam-boh itu, sengaja dia diam saja. Setelah semua orang pergi, dia mencari alasan meninggalkan rombongan terus lari balik kesini secara diam-diam.

Sungguh tak terperikan rasa kaget Tan Ciok-sing, setelah berjingkrak dia sudah siap meniup padam pelita, pikirnya hendak melabrak penyatron di tempat gelap. Tapi In Hou mendadak berseru: "Jangan padamkan pelita. Lekas petik harpa, lekas bawakan irama harpa."

Tan Ciok-sing bingung, tapi dalam keadaan mendesak ini, dia sudah tidak banyak pikir lagi, nada suara In Hou seperti membawa tenaga yang tak dapat ditolaknya, dalam keadaan kebingungan itu, dia hanya menurut petunjuk In Hou.

Lekas petikan senar harpa berkumandang, tapi In Hou mengerutkan kening, katanya lirih: "Kau harus bersikap tenang terhadap keadaan sekitarmu, anggaplah kau tidak melihat dan mendengar apa-apa, pusatkan konsentrasimu untuk memetik Khong-ling-san bagian pertama."

Tan Ciok-sing tahu dengan bantuan irama harpa baru In Hou akan dapat mengumpulkan tenaga, lekas dia tenangkan diri dan pusatkan pikiran, maka petikan harpanya kini jauh lebih mantap dan lebih merdu.

Di tengah alunan irama harpa yang syahdu itulah mendadak terdengar suara gedubrakan keras, pintu rahasia yang terpasang di atas dinding dijebol secara kasar oleh orang jahat itu.

"Anak bagus, jangan takut, teruskan petikan harpamu," demikian ln Hou memberi dorongan mental.

Langkah kaki dari jauh semakin mendekat, setelah melewati tujuh tombak lorong di sebelah kiri sana, akhirnya orang jahat itu melangkah masuk ke kamar rahasia ini. Sementara itu Khong-ling-san kebetulan tengah membawakan kisah pertemuan antara dua sahabat yang telah lama dimadu cinta dan kangen lalu bertamasya dalam suasana manis madu, iramanya enteng lincah dan jenaka meriangkan hati.

In Hou tenggelam dalam suasana riang terhanyut oleh merdunya irama harpa, hatinya tenang pikiran mantap, seolah-olah dia tidak mendengar dan melihat akan kedatangan orang asing ini, perlahan setitik demi setitik hawa murninya mulai dihimpun kedalam pusar.


Langkah kaki pendatang itu mengganggu juga ketentraman hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa dia menoleh ke arah In Hou, sedikit lena, jari jemarinya kelihatan sedikit gemetar lagi, maka irama yang semula riang lembut dan cepat itu mendadak menjulang tinggi seperti melengking.

Semula In Hou mengerutkan kening, tapi lekas sekali dia unjuk senyum seperti menghibur Tan Ciok-sing, katanya: "Nak, tak usah takut, teruskan petikanmu."

Tan Ciok-sing tersentak sadar, sadar bahwa detik-detik genting antara mati hidup ini sekali-sekali dirinya tidak boleh lena, maka dia menuruti pesan In Hou. Kembali irama harpanya mengalun lembut dan ringan cepat seperti semula dalam tempo yang sama.

Begitu masuk ke kamar rahasia, melihat keadaan ini, orang itu melenggong sejenak, mau tidak mau hatinya ragu dan was-was. Jazat Ki Harpa, jelas terkapar di atas lantai. Sementara In Hou duduk membelakangi dinding, tidak bergerak tidak menunjukkan suatu perubahan mimik mukanya yang pucat, jelas yang satu mampus yang lain luka parah. Tapi pemuda itu justru setenang itu memetik harpanya seperti tidak terjadi apa-apa disini.

"Sandiwara apa yang tengah mereka lakukan?" Demikian batin orang itu. "Apakah kakek ini pura-pura mati? Apakah luka-luka In Hou tidak separah apa yang kita duga?" Setelah melenggong sejenak akhirnya dia berpikir pula: "Betapa taraf Kungfu In Hou, kalau dia tidak terluka parah dan mampu bergerak leluasa, mana mungkin dia membiarkan aku masuk ke mari? Hm, agaknya dia sengaja hendak menipu dan menggertak aku, kenapa aku harus jeri. Umpama kakek keparat ini betul pura-pura mati, tingkat kepandaiannya jelas bukan tandinganku, apa yang harus kutakuti?" Dalam keadaan kebat kebit ini akhirnya bertambah besar nyali orang itu, dua langkah dia maju, kakinya menendang jenazah Ki Harpa, dia ingin tahu apakah Ki Harpa pura-pura mati atau betul-betul sudah mati, sekaligus dia pun ingin melihat reaksi In Hou.

In Hou tetap tidak bergeming, malah akhirnya memejamkan mata.

Irama harpa tiba-tiba terhenti, Tan Ciok-sing membentak: "Jangan sentuh kakekku." Agaknya dia tidak kuasa menahan emosi. Padahal orang itu sudah menendang jenazah Ki Harpa sampai membalik celentang, sekali coba ternyata sudah kenyataan bahwa dia sudah mati.

Mendadak Tan Ciok-sing berjingkrak berdiri, hardiknya: "Bangsat, aku, aku..." dia ingin bilang 'aku akan adu jiwa dengan kau', tiba-tiba didengarnya In Hou menghela napas perlahan.

Helaan napas perlahan, tapi bagi pendengaran Tan Ciok-sing seperti palu godam yang mengemplang kepalanya, hatinya tersirap, lekas dia membatin: "Apa gunanya aku adu jiwa dengan dia? Aku berkorban tidak jadi soal, tapi In Tayhiap akan ikut menjadi korban." Sekilas dia menenangkan pikiran dan hati, lalu duduk kembali mulai memetik harpanya.

Orang itu terbahak-bahak, katanya: "Kau, kau kenapa? Baik, kau larang aku menyentuh kakekmu, biar aku menyentuhmu saja."

Kali ini Tan Ciok-sing seperti tidak mendengar gertakan, dengan sepenuh hati dia lanjutkan petikan lagu Khong-ling-san bagian pertama sampai ritme terakhir.

Karuan orang itu marah karena merasa disepelekan: "Setan cilik, apa yang sedang kau lakukan? Berani kau tidak hiraukan pertanyaanku, biar kucekik kau sampai mampus," kedua tangan sudah terpentang dengan gaya hendak menubruk maju dan ma mencekik leher Tan Ciok-sing.

Mendadak In Hou membuka mata, katanya dingin: "Ada pertanyaan apa boleh kau tanya padaku, kau ingin memiliki barang yang kau incar, hanya kepadaku saja kau boleh tanya. Jangan kau sentuh bocah ini, kalau tidak jangan harap kau bisa berhasil."

Orang itu terbahak-bahak senang, katanya menoleh: "Bagus, biar kutanya kau saja. Asal kau bicara jujur, memangnya aku sudi cari perkara dengan setan cilik ini. Nah katakan, dimana Kiam-boh yang diberikan kepadamu oleh Thio Tan-hong?"

"Ke marilah dan ambil sendiri," ucap In Hou.

Sudah tentu orang itu tidak menduga bahwa In Hou mau memberikan Kiam-boh itu segampang ini kepadanya, karuan hatinya kaget dan senang, pikirnya: "Agaknya kakek keparat ini memang menipu kita, hakikatnya Kiam-boh itu tidak dirampas oleh It-cu-king-thian. Tapi kenapa It-cu-king-thian tidak membunuh dan merebut Kiam-bohnya itu? Menurut dugaan, kakek ini jelas terluka parah setelah keluar dari rumah keluarga Lui, terang terluka waktu It-cu-king-thian

mengompres keterangannya, memangnya It-cu-king-thian tidak tahu kalau In Hou berada di rumahnya?"

Beranjak dua langkah orang itu segera menyeringai dingin: "Ambil ya ambil, memangnya aku takut kau menipuku," di tengah tawa sinisnya mendadak dia ayun sebelah tangannya, sebatang Kong-piau tahu-tahu melesat ke arah In Hou.

Terendus bau amis oleh ln Hou, dia tahu piau baja ini berlumur racun. Karuan mencelos hatinya: "Akhirnya aku tak mampu

melindungi bocah ini."-jelas

piau baja itu sudah hampir mengenai In Hou, dalam jarak yang sudah dekat itu mendadak menjulang naik melesat ke atas, ujung piau yang runcing tajam boleh dikata menyerempet hidung In Hou dan "Trap" menancap di atas dinding. Ternyata sambitan piau ini hanya bertujuan memancing reaksi In Hou apakah dia masih memiliki kepandaian sejati. Cara sambitannya tadi pun menggunakan kepandaian khusus, merupakan timpukan piau kelas tinggi.

In Hou menekan perasaan, kini dia lebih yakin bahwa taruhan kali ini dirinya telah memungut kemenangan. Ternyata dia sudah mengira bahwa orang ini pasti takkan berani segera membunuhnya, karena belum memperoleh Kiam-boh yang diincarnya.

Mendengar suara "Trap" yang cukup keras itu Tan Ciok-sing terkejut, sebelum dia berpaling In Hou sudah keburu membentak: "Jangan hiraukan dia, teruskan petikanmu."

Orang itu tergelak-gelak, katanya: "In Tayhiap memang bernyali besar, sungguh kagum, sungguh kagum."

In Hou mendengus ejek, katanya: "Tempat dimana Kiam-boh itu disimpan, hanya aku saja yang tahu, dengan maksud baik aku ingin berikan kepadamu, kau sebaliknya hendak mencelakai aku."

Orang itu segera unjuk seri tawa ramah, katanya: "In Tayhiap, aku hanya mencoba keberanianmu, harap maaf dan tidak berkecil hati."

"Di hadapan orang jujur tidak perlu kau membual," jengek In Hou pula. "Jelas kau tidak akan membiarkan aku hidup, memang aku juga sudah berkeputusan untuk mati. Tapi jangan kau mengusik bocah inj, kalau tidak paling aku mati lebih cepat dan Kiam-boh itu jangan harap dapat kau miliki."

Orang itu pun sudah cukup berpengalaman sebagai insan persilatan, semula dia masih menaruh curiga, kenapa seramah ini ln Hou sudi memberikan Kiam-boh itu kepadanya, setelah mendengar permintaan In Hou baru dia tahu persoalannya. Pikirnya: "Jadi Kiam-boh itu ingin dia tukar dengan jiwa si bocah. He, he, biarlah aku sekedar memberi muka kepadanya, setelah Kiam-boh berada di tanganku, memangnya bocah ini mampu terbang ke langit?" dengan tawa dibuat-buat segera dia berkata: "In Tayhiap, jangan terlalu curiga, aku Oh Lo-Sam walau bukan tokoh kenamaan, dikalangan Kangouw namaku cukup cemerlang juga, memangnya aku sudi mengurus seorang bocah? Dari pada itu hadiah pemberianmu nanti sungguh tak terhingga nilainya, oleh karena itu aku berjanji akan bantu mengobati luka-lukamu."

ln Hou pura-pura percaya akan obrolannya, katanya perlahan: "Kuharap omonganmu dapat dipercaya. Baiklah, dukunglah aku berdiri, antarkan aku ambil Kiam-boh itu."

Bagi insan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, dikala jiwa terancam, secara reflek akan timbul reaksinya untuk menyelamatkan diri. Tadi pisau baja timpukan orang boleh dikata menyerempet hidungnya, bukan saja tubuhnya tidak kelihatan bergeming dia pun tidak berusaha menangkap piau, maka Oh Lo-sam mengira bahwa In Hou memang sudah kehabisan tenaga, legalah hatinya, bergegas dia memburu maju hendak memapah orang. Tak nyana dalam waktu sedetik saja,tiba-tiba Oh Lo-sam merasa pergelangan tangannya linu pegal, tahu-tahu urat nadinya sudah dicengkram oleh In Hou. Sekali meronta usaha Oh Lo-sam gagal membebaskan diri, baru sekarang dia insaf bahwa dirinya telah tertipu lawan, saking kagetnya, kontan dia angkat sebelah kakinya terus menendang.

Diam-diam In Hou juga mengeluh: "Celaka, aku memang tidak berguna lagi."

Mendengar suara pergumulan mereka, Tan Ciok-sing tak tahan sabar lagi, tanpa merasa petikan jarinya pada senar-senar harpa menjadi kacau, sehingga nada irama harpanya meninggi satu nada. Untung In Hou segera berteriak: "Teruskan petikanmu."

Di tengah alunan suara harpa itulah mendadak In Hou gerakkan telapak tangan mengenjot, pukulan telapak tangan ini merupakan sisa-sisa tenaga dalamnya yang terpendam, bagaimanapun liehaynya Oh Lo-sam, mana dia mampu menerimanya? Lengking jeritannya terdengar mengerikan, seperti bola yang dilempar tubuhnya jungkir balik ke belakang. Tapi tendangan kakinya ternyata juga berhasil mengenai ulu hati In Hou.

Seperti bola yang dilemparkan tubuh Oh Lo-sam melayang lewat dari atas kepala Tan Ciok-sing.

"Bluk" menumbuk dinding, kepalanya pecah, darah dan otaknya berceceran, mayatnya rebah celentang di kaki tembok sana.

Tahu-tahu irama harpa pun berhenti. Ternyata pada detik-detik menentukan ini Tan Ciok-sing berakhir pula membawakan lagu Khong-ling-san.

Waktu dia menoleh dilihatnya darah meleleh dari ujung mulut In Hou, mukanya pucat seperti kertas putih. Bergegas Tan Ciok-sing taruh harpanya terus memburu maju ke depan In Hou, tanyanya dengan

Suara gemetar: In Tayhiap, kenapa kau?"

In Hou menarik napas perlahan-lahan, lalu berkata: "Anak bagus, dengarkan kata-kataku, jangan banyak tanya," sisa-sisa hawa murni yang berhasil dihimpunnya boleh dikata sudah berantakan, racun yang mengeram dalam tubuhnya juga sudah kumat, umpama barusan tidak tertendang ulu hatinya oleh Oh Lo Sam, diapun sudah tahu bahwa jiwanya takkan dapat ditolong lagi.

"Anak bagus, aku takkan bisa menuntut balas sakit hati kakekmu. Selanjutnya tergantung usahamu sendiri untuk menuntut balas."

Mendengar kata-kata ini Tan Ciok-sing terperanjat. Wajah In Hou mengulum senyum lebar, katanya: "Anak baik,-tak usah sedih, kini bukan saatnya kau bersedih, dengarlah pesanku yang terakhir."

"Anak baik, kau adalah sahabatku yang terakhir, sahabat yang paling dapat kupercaya," sampai disini tiba-tiba teringat olehnya akan Tam Pa-kun, kalau dua jam sebelum ini ada orang tanya dia siapa temannya yang terakhir, tanpa ragu-ragu dia pasti menyebut nama Tam Pa-kun. Tapi setelah dia mendengar percakapan kawanan penjahat dengan Ki Harpa tadi, meski kenyataan belum bisa membuktikan bahwa Tam Pa-kun dan It-cu-king-thian berintrik mencelakai dirinya, namun kepercayaannya kepada kedua orang ini sudah luntur.

Betapa takkan menyedihkan, bila seseorang di saat-saat ajalnya mendadak menyadari bahwa kawan yang dianggapnya paling karib ternyata mengatur tipu daya untuk mencelakai jiwanya. Pandangan In Hou menjadi gelap, hatinya seperti disayat-sayat, lekas dia menghirup napas, kepada diri sendiri dia menghibur dengan pikiran begini: "Tidak, bagaimana boleh aku mencurigai Tam-toako, Tam-toako pasti bukan manusia serendah itu. Kalau It-cu-king-thian memang sukar dikatakan." Lalu dia berpikir pula: "Bagi diriku, soal yang terpenting Sekarang adalah selekasnya memberi pesan apa yang perlu kupesan kepada anak ini. Jangan kata Tam-toako, meski It-cu-king-thian itu baik atau jahat, sekarang tak perlu aku menghabiskan tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan hal ini."

"Aku tahu kau ingin belajar Kungfu, tapi aku kurang setimpal menjadi gurumu, karena umpama benar kau berhasil belajar setingkat diriku, mungkin kau tetap takkan mampu menuntut balas," sejenak berhenti dia lalu melanjutkan: "Tapi, aku bisa mewakili seseorang menerima kau sebagai murid, dia adalah Thio Tan-hong yang diakui secara mutlak oleh kaum persilatan sebagai jago nomor Satu ui jagai ini. Dia adalah pamanku."

Tan Ciok-sing sesenggukkan, katanya: "In Tayhiap, aku hanya ingin kau hidup, biar tak usah aku belajar Kungfu."

In Hou tertawa sedih, katanya: "Siapa tidak ingin hidup? Tapi kalau aku tidak panjang umur, anak bodoh, kalau kau tidak mau belajar Kungfu, lalu siapa yang akan menuntut balas kematian kakekmu? Aku, aku ingin kau mendengar petunjukku..." tanpa terasa suaranya semakin lemah, napaspun mulai memburu.

Memeluk badan orang, Tan Ciok-sing menggoyang-goyang tubuh In Hou, teriaknya: "In Tayhiap sadarlah kau."

Tiba- tiba In Hou membuka mata, katanya lemah: "Tak usah kuatir, aku tidak akan segera mati. Tadi sampai dimana aku bicara?"

"Katamu kau hendak mewakili Thio Tan-hong menerimaku sebagai murid," sementara dalam hati dia membatin: "Siapa tahu apakah Thio Tan-hong sudi menerima diriku sebagai murid?"

In Hou seperti dapat meraba jalan pikiranya, katanya lebih lanjut: "Thio Tan-hong semayam di Ciok-lin, kau harus mencarinya kesana, setelah menghadapinya, tuturkan kejadian yang menimpa diriku kepadanya, barang-barang peninggalanku juga harus kau tunjukkan kepadanya, pasti dia percaya kepadamu dan menerimamu sebagai murid. Kau pernah meyakinkan Iwekang tidak?"

"Kakek pernah mengajarkan cara bersemedhi dan mengatur napas," sahut Tan Ciok-sing.

"Bagus, itu sudah cukup. Dalam kotak itu terdapat pelajaran pukulan ilmu golok, di samping itu ada pula beberapa lembar tulisan tangan Thio Tan-hong, yaitu pelajaran Bu-bing-kiam-hoat. Didalam buku pelajaran ilmu pukulan itu, tercantum pula pelajaran inti sari cara mempelajari Iwekang, kau harus mempelajarinya dengan rajin dan tekun, baru selanjutnya maju lebih jauh mempelajari ilmu yang lain."

"Besok juga kau harus meninggalkan tempat ini langsung menuju ke Ciok-lin," demikian ucap In Hou lebih lanjut, "tapi, usia Thio Tan-hong sudah lanjut, aku kuatir mungkin kau takkan bisa menemuinya lagi. Oleh karena itu kuminta kau mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu Iwekang tingkat tinggi itu seorang diri. Thio Tan-hong juga meninggalkan sebuah gambar peta yang menerangkan dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh ciptaannya, tadi ada kuselipkan didalam lempitan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat dan semuanya sudah kuserahkan kepadamu. Umpama Thio Tan-hong sudah meninggal, kau boleh mencarinya sesuai petunjuk peta itu. Dengan bakat dan kemampuanmu, aku yakin tanpa bimbingan guru kau pun akan dapat menyelami dan mempelajarinya dengan baik dan berhasil.

Setelah berhasil meyakinkan ilmu dan menuntut balas sakit hati kakek, bawalah Kiam-boh milik Thio Tan-hong itu ke Thian-san dan serahkan kepada Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok. Dia adalah murid besar Thio Tan-hong, atau juga Toa-subengmu. Tuturkan kepadanya apa yang terjadi, aku percaya bahwa dia akan mengakui kau sebagai Sutenya, sampai disini napasnya sudah semakin memburu dan megap-megap, setelah menguras tenaga baru dia mampu bersuara.

"Tapi bagaimana aku bisa tahu siapa musuhku?" demikian dalam hati Tan Ciok-sing berpikir. Melihat In Hou sudah menderita begitu, walau masih banyak pertanyaan yang ingin dikemukakan, karena tidak tega dia batalkan niatnya.

Tiba-tiba In Hou gigit ujung lidah sendiri membangkitkan semangat pula, katanya meninggikan suara: "Ada satu hal perlu kuperingatkan kepadamu, kau harus selalu ingat, hati manusia sukar diraba, sekali-kali jangan kau mudah percaya kepada orang lain, meski dia seorang pendekar besar yang tersohor di seluruh jagat ini."

Mencelos hati Tan Ciok-sing, teriaknya: "In Tayhiap, apakah It-cu-king-thian maksudmu?"

"Betul, musuhku sudah jelas yaitu Le Khong-thian dan seorang gembong iblis she Siang, siapa kawanan penjahat yang meluruk datang tadi belum diketahui, tapi kedua kelompok orang itu mungkin punya hubungan dengan It-cu-king-thian, dari pesan kakekmu tadi sebelum ajal, kemungkin In It-cu-king-thian lah yang menjadi biang keladinya. Tapi lantaran kuatir kau juga ketimpa bencana, maka dia tidak berani menjelaskan kepadamu."

Beberapa patah kata ini laksana halilintar yang menggelegar sampai

Tan Ciok-sing berkunang-kunang, hatinya menjadi risau dan gundah. It-cu-king-thian kan teman baik kakek, mana mungkin, mana bisa mungkin? Tapi kakek suruh aku merat ke tempat jauh, aku dilarang minta perlindungan kepadanya? Kakek bilang tidak ingin dia terseret dalam peristiwa ini, apakah ini kata-kata setulus hatinya? Ai, mungkin keterangan In Tayhiap lebih bisa dipercaya.

Rintihan In Hou seketika menyadarkan lamunan Tan Ciok-sing, katanya kaget: "In Tayhiap, kau ..."

Dengan suara terputus-putus In Hou berkata: "Golok pusakaku kuberikan kepadamu, kacang emas itu kau boleh ambil sebagai ongkos perjalanan, bagaimana juga harus pergi ke Ciok-lin, yakinilah ilmu, tuntutlah kematian kakek dan sakit hatiku."

"In Tayhiap," teriak Tan Ciok-sing, "aku pasti menuntut sakit hatimu. Masih ada pesan apa pula kepadaku?" lalu dia dekatkan kuping di depan bibir In Hou.

Didengarnya suara In Hou selirih nyamuk berkata: "Aku punya seorang putri, bernama In San, usianya sebaya kau, kau adalah sahabatku, tak berani aku menganggapmu sebagai anakku, tapi aku harap kau menganggapnya sebagai kakak, kalian... kalian..." tiba-tiba suaranya tak terdengar lagi.

"Baiklah, aku akan mencari In-cici," seru Tan Ciok-sing. Waktu dia meraba hidung In Hou ternyata napasnya sudah berhenti.

Kakek sudah meninggal, In Tayhiap yang harus dia lindungi atas perintah sang kakek kini juga berangkat menyusul kakek. Sekian lama Tan Ciok-sing mematung mengawasi kedua sosok jenazah yang terkapar di hadapannya, seolah-olah sedang bermimpi buruk yang tidak ada gunanya. Seumpama sebuah perahu tanpa nakoda yang terombang-ambing di tengah lautan. Tan Ciok-sing sudah kehabisan akal sehat, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, sampai rasa takut, sedihpun telah dilupakan, perasaannya hambar, ingin dia menangis, tapi air mata seperti kering. Sebetulnya kakek menyuruh dia menolong jiwa In Hou, tapi kenyataan justru ln Hou yang telah menyelamatkan jiwanya dan berkorban jiwa, pendekar besar yang kenamaan, demi menyelamatkan jiwa anak gunung yang miskin ini, rela berkorban jiwa raga, sampai achir hayatnya dia masih belum tahu siapa sebetulnya biang keladi yang mencelakainya. Detik-detik terakhir hayatnya, hanya bisa menganggap dirinya — — bocah yang baru saja dikenalnya - sebagai sahabat karibnya yang terdekat. "Ai, mungkin sampai akhir hayatnya dia takkan mati dengan meram dan tentram."

"Kakek tugas yang kau serahkan kepadaku tak mampu kulaksanakan, aku telah menyia-nyiakan harapanmu. Kakek, makilah aku, hajarlah aku!" memeluk jenazah kakeknya, Tan Ciok-sing menggoyang-goyangnya sambil meratap dan menangis. Sungguh kasihan, jazat sang kakek yang sudah dingin itu, bagaimana bisa mendengar ratapannya dan memakinya?

"Klotak" tiba-tiba didengar sesuatu benda jatuh di atas lantai. Ternyata itulah sejilid buku pelajaran lagu Khong-ling-san yang disimpan dan dipandang sebagai pusaka oleh kakeknya.

Dengan pandangan nanar Tan Ciok-sing jemput buku itu, di balik beberapa lembar, lalu berkata: "Kakek inilah Gim-boh (buku harpa) milikmu yang berharga, hanya bagian pertama yang kau ajarkan kepadaku. Kini aku harus berpisah dengan kau, selanjutnya tiada orang yang akan mengajar aku memetik harpa lagi Aku maklum kau tidak ingin mengajarkan Khong-ling-san bagian belakang, tapi kalau Khong-ling-san putus turunan, matipun kau tidak akan meram dengan tenang. Kakek sekarang biar kupetikkan sebuah lagu, lagu Khong-ling-san bagian belakang inilah untuk mengantar keberangkatanmu," setelah membetulkan letak harpa, dia membuka halaman buku serta mulai memetik lagu Khong-ling-san bagian belakang.

Sang kakek memang tidak pernah mengajarkan tapi dalam keadaan sedih dan pilu sekarang, hatinya dirundung duka nestapa lagi, makna lagu Khong-ling-san bagian belakang justru cocok dan serasi dengan keadaannya sekarang.

Belum pernah belajar tapi dia bisa membawakan lagu itu dengan baik sekali, mungkin ini merupakan pengalaman yang mengesankan selama hidupnya. Bila sang kakek masih hidup entah dirinya akan dipuji atau ditegor. Betapa kontrasnya suasana yang serba terbalik ini, pada hal usianya baru lima belas, pemuda bak kembang baru mekar. Tapi petikan lagunya adalah sedemikian mempesona dan mengetuk sanubari, sehingga seseorang pendatang yang tidak diundang sampai mendengarkan dengan berdiri kesima. Sedangkan Tan Ciok-sing tenggelam dalam petikan lagunya yang mengenaskan, hakikatnya dia tidak tahu bahwa seseorang telah berada didalam kamar rahasia itu.

Pada bait terakhir dari petikan lagunya tiba-tiba terdengar suara "Tring" salah satu dari lima senar harpanya putus, Tan Ciok-sing kaget dan tersentak sadar, waktu dia angkat kepala baru dilihatnya seorang laki-laki besar dengan jambang bauk lebat telah berdiri di hadapannya.

Bagai mimpi buruk yang bergelombang, tamu yang tak diundang ini ternyata adalah It-eu-king-thian Lui Tin-gak. Sesaat Tan Ciok-sing tercengang, tiba-tiba teringat pesan In Hou sebelum ajalnya tadi bahwa It-cu-king-thian yang satu ini kemungkinan sekongkol dengan para penjahat itu, atau lebih jelasnya dialah biang keladi dari musibah yang menimpa kakeknya dan In Tayhiap.

"Untuk apa dia ke mari? Mungkinkah dia tidak tahu kalau In Tayhiap sudah mati dan hendak membunuhnya? Apakah dia akan melepas dan mengampuni aku?" darah seperti bergolak dalam tubuh Tan Ciok-sing, emosinya sudah berkobar, hampir saja dia memaki: "Bagus sekali, kau pendekar besar palsu yang pura-pura baik hati ini, belum cukup kau mencelakai kakekku dan In Tayhiap, nah sekarang giliranku, bunuhlah aku," tapi entah kenapa, mungkin karena terlalu berduka, seperti mimpi buruk saja, tenggorokannya tersumbat mulut sudah terpentang tapi suaranya tidak keluar.

It-cu-king-thian sendiri juga berdiri melenggong sekian saat, seperti dalam alam mimpi yang buruk juga, tiba-tiba dia tersentak mengawasi tiga jenazah yang menggeletak didalam kamar ini, lalu menoleh mengawasi Tan Ciok-sing dengan pandangan lengang, dia kenal Ki Harpa, kenal Oh Lo-sam yang tadi terpukul mati oleh In Hou, tapi dia tidak pernah kenal siapa In Hou adanya.

Akhirnya Lui Tin-gak dapat menguasai suasana, setelah perasaannya tenang,

pandangannya yang hambar teralih dari jenazah In Hou ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya dengan suara gemetar: "Kakekmu sudah mati?"

Tan Ciok-sing tidak menjawab. Dari sorot matanya Lui Tin-gak dapat merasakan betapa besar dendam dan rasa permusuhan bocah ini terhadap dirinya.

Dia menarik napas dingin, sedih dan pilu hati Lui Tin-gak, "perlukah kujelaskan kepada anak ini?" sesaat dia bimbang, akhirnya tidak menjelaskan, lalu bertanya: "Apakah orang ini In Tayhiap? Bagaimana dia bisa mati?"

Akhirnya meledak juga emosi Tan Ciok-sing, serunya beringas: "Bagaimana kematian In Tayhiap, memangnya kau sendiri belum tahu?"

Berkaca-kaca mata Lui Tin-gak, "Biang" tiba-tiba dia memukul dada sendiri keras-keras, teriaknya: "In Tayhiap, akulah yang salah dan berdosa terhadapmu, aku datang terlambat. Ki Harpa, langkahku kali ini pun juga salah, seharusnya aku tidak menyuruhmu pulang, pendekar macam apa aku ini, sahabat tuaku sendiri tidak mampu aku melindunginya."

"Kucing menangisi tikus, pura-pura welas asih," dalam hati Tan Ciok-sing memaki, dilihatnya Lui Tin-gak menghampiri jenazah kakeknya terus membungkuk, agaknya hendak membopong kakeknya.

"Jangan kau sentuh kakekku," walau tahu dengan seujung jari Lui Tin-gak saja orang mampu menamatkan riwayatnya, tapi entah dari mana datangnya keberanian, dengan tegas dia larang Lui Tin-gak menyentuh kakek yang dicintainya.

Betapa tenar dan besar wibawa It-cu-king-thian didalam bulim, biasanya hanya dia yang memerintah dan memberi petunjuk, orang lain tiada yang berani membangkang perintahnya, kapan dia pernah dibentak seperti ini? Tapi hari ini dia seperti menciut nyalinya berhadapan dengan sikap keren dan beringas Tan Ciok-sing, dengan tawa getir dia menarik balik kedua tangan serta mundur dua langkah.

"Nak, pasti kau menyangka akulah yang mencelakai kakekmu," dengan tawa kecut It-cu-king-thian berkata.

Tan Ciok-sing menatapnya dengan pandangan mendelik, jengeknya: "Tak perlu kau menjelaskan padaku, jikalau kau tidak pernah berbuat kesalahan, tak perlu kau merasa gugup atau menyesal."

"Bukankah kau ingin menuntut balas sakit hati kakekmu?" tanya Lui Tin-gak.

Tan Ciok-sing pasrah nasib, serunya membusung dada: "Betul, aku bersumpah menuntut balas sakit hati kakek, kalau kau takut kelak aku menuntut balas, sekarang kau bunuh aku, kalau tidak..."

"Kalau tidak kenapa?" terpukul sanubari Lui Tin-gak, meski dirundung duka, agaknya dia merasa kagum juga berhadapan dengan anak yang pemberani.

"Kelak aku akan belajar Kungfu, datang suatu hari dengan kedua tanganku ini akan kupenggal kepala biang keladi yang membunuh kakek dan In Tayhiap," demikian sahut Tan Ciok-sing lantang.

Agaknya Lui Tin-gak hendak berkata, namun dia tampak ragu-ragu. Sesaat lamanya baru dia berkata: "Bagus, semoga terlaksana cita-citamu, aku tidak akan membela diri, kalau kau anggap aku sebagai musuh boleh silakan saja. Tapi untuk membunuhku tidak akan segampang yang kau kira, oleh karena itu seperti apa yang kau katakan tadi, belajarlah Kungfu dengan rajin. Ai..." dari nada bicaranya, terasa masih ada omongan yang ingin di ucapkan,tapi mendadak dia urungkan, lalu sikapnya kentara seperti tengah pasang kuping mendengarkan sesuatu.

Memang betul, dia mendengarkan sesuatu, mendengar suitan panjang yang melengking di kejauhan. Letak rumah keluarga Tan ini berada di puncak gunung di belakang Cit-sing-giam, suitan panjang itu terdengar berkumandang dari arah Cit-sing-giam.

Suitan keras bak pekik naga gerungan harimau, mengalun tinggi melampaui puncak gunung melintasi sungai masuk ke rumah terdengar oleh kuping It-cu-king-thian. Tapi terdengar dari jarak yang begitu jauh, hanya tokoh macam Lui Tin-gak yang melatih mendengar angin membedakan benda, memiliki lwekang tinggi lagi baru bisa mendengarnya dengan jelas. Tan Ciok-sing hanya menerka-nerka dalam hati melihat sikap orang yang aneh, namun dia membadek orang tentu mendengar apa-apa.

Suitan itu sendiri agaknya berada diluar dugaannya, tapi tidak merasa asing mendengar suitan seperti ini. Sungguh kaget dan senang hati It-cu-king-thian, pikirnya: "Apakah itu Say-cu-hong-kang Tam Pa-kun? Kukira dia tidak akan ke mari. Tapi suitannya itu terdengar bergelombang putus-putus bernada sedih pula, dengan kadar lwekangnya tidak sepantasnya sampai begitu? Wah, celaka, mungkin Tam-toako juga terluka."

Belum habis dia berpikir, terdengar pula suara gelak tawa gemuruh beberapa orang, letaknya tidak jauh di belakang rumah keluarga Tan ini. Lekas sekali langkah kaki orang-orang ini pun sudah terdengar. Seketika mendelik mata Lui Tin-gak, air muka pun berubah, tiba-tiba dia menerobos lari keluar.

Gerak gerik Lui Tin-gak yang tenburu-buru secara mendadak lagi, Tan Ciok-sing kaget dibuatnya. Tapi lega pula hatinya, agaknya kejadian berada diluar dugaannya Semula dia sangka Lui Tin-gak takkan membiarkan dirinya hidup, suruh dirinya belajar Kungfu hanyalah kata cemoohan belaka, bak umpama kucing yang mempermainkan tikus yang hampir dicaploknya. Tak kira tiba-tiba Lui Tin-gak lari pergi.

"Mungkin mendengar musuh yang lebih liehay akan datang, maka dia buru-buru melarikan diri, tapi kalau dia hendak membunuhku, segampang membalik telapak tangan, sedetik juga jiwaku sudah tamat, kenapa tidak dia bunuh aku dulu baru pergi?" pikir punya pikir Tan Ciok-sing tidak habis mengerti, dia menjadi bingung bahwa Lui Tin-gak betul-betul meninggalkan dirinya dengan segar bugar. Tapi lekas sekali dia pun sudah mendengar suara banyak orang di belakang rumahnya.

Yang paling menusuk pendengaran adalah gelak tawa yang keras seperti benda keras beradu. Itulah suara tawa sang "Toako" yang semalam menggeledah rumahnya itu.

Maka terdengar suara Lui Tin-gak berkata: "Aku sudah memeriksanya. Ki Harpa sudah mati tapi In Hou tidak kutemukan, Oh Lo-sam pun tidak ada disana."

Kata-kata Lui Tin-gak dapat didengarnya jelas, tapi percakapan orang-orang lain justru tidak didengarnya jelas, yang kedengaran hanyalah gelak tawa mereka. Sudah tentu Tan Ciok-sing tdak tahu, bahwa Lui Tin-gak sengaja menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang untuk didengar olehnya.

Sayang dalam sanubarinya sudah diliputi rasa permusuhan dan dendam terhadap Lui Tin-gak, sudah tentu tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa Lui Tin-gak telah membantu dirinya terhindar dari bencana lain yang bakal menimpa dirinya, sengaja dia memancing para penjahat itu ke tempat lain.

"Hmmm, memang tidak meleset dugaan In Tayhiap, bukti sudah nyata bahwa It-cu-king-thian ternyata berkomplot dengan para penjahat pembunuh kakek, hubungan mereka terdengar begitu intim, agaknya memang segolongan," demikian pikir Tan Ciok-sing.

Entah apa yang dikatakan sang "Toako", lalu terdengar pula suara Lui Tin-gak: "Jadi sekarang Tam Pa-kun sudah kecundang di tangan kalian? Memangnya apa pula yang kalian takuti atas dirinya? He? Hee, kalian takut balas digigit sebelum ajalnya? Baiklah, aku ikut kalian kesan a, bekerja lebih baik hati-hati, jangan sampai dia di tolong orang lagi seperti ln Hou. Umpama sudah mati, kita harus temukan jenazahnya baru hati merasa lega," sampai disini percakapan selanjutnya tidak terdengar lagi. Waktu itu sudah mendekati kentongan ke empat, suasana malam nan sunyi lengang, terdengar suara jengkrik dan kodok bersahutan.

"Betapa jahatnya It-cu-king-thian ini," demikian batin Tan Ciok-sing, "entah siapa pula orang she Tam yang dibicarakan itu, kalau dianiaya kawanan penjahat ini, pasti dia dari golongan pendekar sejati. Dari nada suara It-cu-king-thian, bukan mustahil dia teman baik In Tayhiap."

Urusan selanjutnya yang harus diselesaikan Tan Ciok-sing sudah cukup merisaukan hatinya, memangnya dia juga tahu dirinya tidak punya kepandaian untuk mencampuri urusan orang lain. Setelah menenangkan hati, teringat pesan kakek dan In Hou dia harus meninggalkan rumah sebelum terang tanah.

"Tugas yang terpenting sekarang adalah mengebumikan kakek," demikian pikir Tan Ciok-sing, "kakek paling suka dolan di Cit-sing-giam, aku harus mengebumikan kakek disana." Tapi masih ada In Hou, tak mungkin sekaligus dia membawa dua jenazah keluar pintu. Kalau sekarang dia mengubur In Hou lebih dulu, jelas waktunya tidak keburu lagi. Teringat pesan In Hou segera dia berjongkok dan menyembah kepada jenazah In Hou, katanya: "In Tayhiap, mohon maaf bahwa terpaksa aku merabukan dirimu, abumu kelak akan aku antarkan ke rumahmu dan kuserahkan langsung kepada putrimu." Setelah jenazah In Hou diperabukan, abu tulang belulangnya dia simpan didalam sebuah guci kecil, lalu dia panggul sang kakek dan menyelundup keluar dari jalanan rahasia lain yang menembus diluar rumahnya. Api masih berkobar di rumahnya, malah tambah besar, sesuai pesan kakeknya dia bakar habis rumahnya yang dicintainya.

Tak berani dia berpaling mengawasi kobaran api yang menyala terang, dengan menggendong sang kakek sambil memeluk harpa peninggalannya serta membawa abu In Hou, dia lewat jalanan kecil yang lebih pendek menuju ke Cit-sing-giam.



000OOO000



Dugaan Lui Tin-gak memang tidak meleset, orang yang bersuit panjang dari arah Cit-sing-giam memang Tam Pa-kun adanya. Kira-kira mendekati tengah malam tadi baru dia tiba di tempat perjanjian dengan In Hou. Sudah tentu dia tidak bertemu dengan siapa saja.

Dalam hati Tam Pa-kun tertawa getir: "Aku terlambat tiga hari, memangnya In Toako harus menunggu terus disini? Hm, selama hidup baru sekali ini aku ingkar janji, untung terhadap sahabat karib, In Toako pasti juga menduga bahwa di tengah jalan mungkin terjadi sesuatu atas diriku, y ah apa boleh buat."

Justru hubungannya teramat intim dengan In Hou, walau orang sudah pergi, dia yakin In Hou pasti ada meninggalkan tanda apa-apa, supaya dirinya lekas dapat menemukan In Hou.

Waktu dia mengetik batu api, betul juga dilihatnya di atas dinding karang ada goresan panah yang ditinggalkan In Hou dengan Kim-kong-cay-lat.

Sesaat dia masih belum bisa menangkap arti dari goresan panah itu bahwa kini In Hou berada didalam Cit-sing-giam, apalagi percikan api dari goresan batu api itu pun hanya samar-samar saja sehingga kurang jelas, maka dia kira In Hou masih meninggalkan tulisan di dinding karang ini, maka dia maju mendekat dan mengamati.

Baru saja dia tiba di bawah dinding, tiba tiba kakinya menginjak tempat kosong, kiranya dia menginjak lobang jebakan yang di atasnya hanya ditutupi rumput-rumput kering, karena tidak menduga dan kurang waspada maka Tam Pa-kun terjeblos jatuh kedalam lobang. Tapi Tam Pa-kun memang jago kelas satu yang liehay, meski kejadian amat mendadak dan kaget pula, tapi dia tidak menjadi gugup atau bingung, belum lagi kakinya menyentuh dasar lobang, sebelah kakinya segera menendang ke samping, "Biang" dengan menjejak dinding lobang tubuhnya yang sudah amblas itu mendadak melejit ke atas, di tengah hamburan debu dan pasir, tangkas sekali dia sudah melompat keluar dari lobang jebakan.

Pada detik-detik yang hampir menentukan mati hidupnya ini, terasa hawa dan gemerdep sinar dingin menyolok mata, ternyata di dasar lobang jebakan ada tertancap enam puluh batang golok yang mengkilap tajam, ujung golok yang runcing tajam menghadap ke atas siap menyambut badan mangsanya, kalau Tam Pa-kun betul-betul jatuh ke bawah, bagaimana akibatnya dapatlah dibayangkan. Tapi meski dia terhindar dari hutan golok di bawah lobang, namun tak kuasa menghindar dari hujan panah yang serabutan. Di kala tubuhnya melambung ke atas keluar lobang itulah belum kakinya menginjak bumi, dari atas batu-batu cadas sekitarnya telah berhamburan anak panah selebat hujan. Pada hal tubuhnya masih terapung, betapapun tinggi kepandaiannya, tak mungkin menangkis dan menghindar. Namun menghadapi saat-saat kritis ini Tam Pa-kun jumpalitan mundur ke belakang, berbareng kedua telapak tangan memukul dan menepuk, puluhan batang panah kena dirontokkan oleh angin pukulan. Namun demikian, masih ada tiga batang panah yang mengenai tubuhnya. Sebatang menembus telapak tangan kiri, sebatang menancap di pundak kanan, daif sebatang lagi lebih berbahaya, mengincar mukanya, hanya beberapa senti saja hampir matanya terpanah buta.

Begitu kedua tangan menggentak, panah yang menancap di pundak tergetar lepas dan mencelat jatuh. Lalu dia cabut pula panah yang menancap di mukanya, darah bercucuran membasahi selebar muka dan tubuhnya, hardiknya murka! "Bangsat keparat rendah, yang punya nyali hayo keluar," meski terkena tiga batang panah, lukanya cukup parah, namun perbawanya masih kelihatan garang dan perkasa.

Dari tengah gerombolan rumput tiba-tiba menjulur sebatang tombak panjang, seorang membentak: "Orang she Tam, kematian di depan mata, masih berani bertingkah," ujung tombak kontan menusuk ke arah Tam Pa-kun. Sasaran tusukan tombak adalah pusar, serangannya keji, tenaganya besar.

Tam Pa-kun balas membentak: "Serangan bagus," sekali pegang dia tangkap ujung tombak lawan. Diluar tahunya di rumpun pohon sebelah kiri ada seorang musuh pula yang sembunyi, tanpa banyak mengeluarkan suara tiba-tiba dia menyergap maju seraya membacok dengan golok, paha kanan Tam Pa-kun terkena bacokan. Para pemanah yang berada di atas cadas melihat musuh luka lagi sama bersorak kegirangan.

Di tengah sorak gembira kawanan penjahat itu terdengar Tam Pa-kun menggerung keras disusul dua kali jeritan orang yang meregang jiwa. Ternyata dalam keadaan terluka itu, Tam Pa-kun masih sempat angkat kaki kirinya menendang penjahat yang bersenjatakan golok itu kena ditendangnya terjungkel kedalam jurang. Sekali cengkram lagi, penjahat yang bersenjata tombak kena dijinjing terus dilempar beberapa tombak jauhnya, untung kawanan penjahat yang lain sempat menangkapnya beramai-ramai sehingga jiwanya tidak melayang, tapi tulang pundaknya telah teremas hancur oleh Tam Pa-kun. Sigap sekali Tam Pa-kun juga telah mengeluarkan golok pusaka, dengan jurus. Me-can-pat-hong (bertempur delapan penjuru di waktu malam), goloknya menimbulkan segulungan sinar perak untuk menyampok dan merontokkan hujan panah terus menerjang ke atas batu cadas.

Sudah tentu kawanan penjahat sama panik dan ribut. Tam Pa-kun sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw mengandalkan tujuh puluh dua jurus Kim-na-jiu dan enam puluh empat jurus Phoan-liong-to-hoat, nama besarnya memang tidak kosong. Karuan kawanan penjahat itu sama ketakutan dan berteriak: "Minggir, jangan melawan secara kekerasan."

"Kurcaci yang hina dina..." hardik Tam Pa-kun, tapi belum habis dia memaki, terdengar suara "Tang" kembang api berpijar, ternyata golok Tam Pa-kun membacok batu, untung dia juga sempat kendalikan diri, kalau tidak hampir saja dia menumbuk batu.

Pentolan penjahat menjadi girang, teriaknya: "Tam Pa-kun, kau sudah terkena panah kita yang beracun, racun sudah bekerja dalam tubuh, coba sampai kapan kau masih segarang ini."

Tam Pa-kun menahan emosi dan kendalikan pernapasan

mengerahkan lwekang, betul juga terasa mukanya mulai kebal dan gatal sekali, pandangannya pun sudah menjadi gelap.

Waktu itu kira-kira sudah menjelang kentongan ketiga, ada sinar bintang, biasanya mata Tam Pa-kun amat tajam, waktu dia melompat keluar dari lobang jebakan tadi, lapat-lapat masih bisa di lihatnya bayangan beberapa orang. Tapi sekarang segalanya serba gelap. Karuan mencelos hati Tam Pa-kun: "Mungkinkah mataku sudah buta?"

Saking senang pentolan penjahat itu tertawa pula, oloknya: "Supaya kau tidak menjadi setan gentayangan, mati jangan penasaran, biarlah kujelaskan. Hehe, Tam Pa-kun, kali ini kau salah menilai, kita dari Tok-liong-pang meski bukan terhitung perserikatan besar, namun di kalangan persilatan juga ada sedikit nama, kenapa kau begitu memandang kami serendah ini."

Tam Pa-kun menyeringai dingin, katanya: "O, kiranya kau inilah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong-pang? Sungguh aku kurang hormat."

Thi Ou tergelak-gelak, katanya: "Tidak berani. Tapi orang she Thi ini bukan terhitung penjahat rendah kelas kambing bukan?"

Tam Pa-kun tertawa dingin, jengeknya: "Aku tahu Tok-Iiong-pang kalian malang melintang dan banyak membuat kejahatan di daerah tenggara, belakangan memperoleh tulang punggung macam Le Khong-thian. Hm, hm, ketahuilah, dalam pandangan aku orang she Tan, Tok-liong Pangcu macam tampangmu ini tidak lebih hanya segelintir belut belaka."

Saking gusar Thi Ou malah tertawa bergelak, katanya: "Tam Pa-kun, matamu sudah picak tak perlu aku memakimu, kenyataan kau sudah punya mata tidak bisa melihat. Sekarang biar kau bertingkah beberapa kejap lagi, akhirnya jiwamu toh tergenggam di tanganku. Bidik dia," anak buah Tok-liong-pang segera berpencar, maka anak panah kembali beterbangan.

Mendadak Tam Pa-kun membentak: "Apa yang kau tertawakan? Memangnya tidak terima? Baiklah, diberi tidak membalas kurang hormat, sekarang sambutlah senjata rahasiaku. Kalau kau mampu menangkap krikil kecil ini, kuangkat jempol dan kuakui kau adalah Hohan."

Golok dipindah ke tangan kiri Tam Pa-kun mainkan senjatanya sekencang kitiran sampai hujan deraspun takkan tembus, berbareng , tangan kanan terayun, sebutir krikil yang tadi dijemputnya ditimpukkan ke atas pucuk batu cadas.

Puncak batu karang tingginya ada tujuh delapan tombak, kerikil sekecil itu ditimpukkan dari bawah ke atas, namun daya luncurnya ternyata menderu kencang. Thi Ou terhitung tokoh persilatan juga, begitu mendengar deru luncuran krikil kecil ini, mau tidak mau hatinya terkejut juga, tak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa setelah terpanah tiga batang panah beracun, Tam Pa-kun masih memiliki lwekang sekuat ini. Dia tahu dengan bekal lwekang yang dimilikinya sekarang jelas takkan mampu menyambut krikil kecil ini, lekas dia ayun tameng besi yang dipegangnya, "Tang" krikil kecil itu kena disampuknya pergi.

Tak nyana daya luncuran krikil kecil itu masih belum lenyap, ditangkis lagi maka mencelat miring kesana dan kebetulan mengenai seorang penjahat yang berdiri di samping Thi Ou. Kepandaian orang ini sebetulnya juga tidak rendah, jabatannya adalah Toa-thaubak didalam Tok-liong-pang, namun dia tidak meniru perbuatan sang Pangcu untuk menyampuk pergi krikil itu, karuan kepalanya seketika bocor keluar kecap, saking kesakitan dia menjerit sambil menjengking merintih-rintih. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan kegemparan di antara kawanan penjahat, yang bernyali kecil seketika mengkeret dan sembunyi di belakang batu tanpa berani mengintip, apa lagi melongok keluar. Tapi ada juga seorang penjahat yang menyangka Tam Pa-kun sudah buta, maka dia membidik serta memanah. Diluar tahunya, meski matanya sudah buta, namun pendengaran Tam Pa-kun dapat membedakan datangnya serangan. Begitu mendengar suara busur dipentang, kontan dia timpuk sebutir krikil lagi ke arah penjahat itu.

Kungfu penjahat yang satu ini jauh lebih rendah dari Toa-thaubak tadi, mana dia mampu menahan Tam-ci-sin-thong Tam Pa-kun yang dilandasi lwekang tingkat tinggi? Tahu akan datangnya mara bahaya mulutnya terpentang hendak menjerit, kebetulan dua gigi depannya seketika protol, darah memenuhi seluruh mulutnya, tapi keadaannya jauh lebih mending dibanding luka-luka yang diderita Thaubak tadi.

Saking ketakutan, kawanan penjahat itu tak berani lepas panah lagi, Tam Pa-kun menarik napas, perlahan-lahan dia memanjat ke lamping gunung, maksudnya pura-pura hendak menghadang jalan mundur kawanan penjahat itu. Pimpinan kawanan penjahat segera memberi tanda gerakan tangan menyuruh anak buahnya lekas mengundurkan diri. Tanpa perintahnya sebetulnya kawanan penjahat itu sudah sama ngacir. Pimpinan itu lari sembunyi ke suatu tempat yang menurut perkiraannya tak mungkin dicapai oleh Tam Pa-kun terus pentang mulut memaki: "Orang she Tam, silakan kau main gagah-gagahan disini, sebelum hari terang tanah nanti, aku akan kembali mengubur tulang belulangmu."

Tam Pa-kun mendengarkan dengan cermat, didapatinya bahwa kawanan penjahat sudah pergi jauh, tanpa merasa dia menghela napas lega, namun setelah perasaan longgar, seketika kepala terasa pusing tujuh keliling, tak kuat dia bertahan lebih lama lagi.

Untung mengandalkan kekuatan Iwekangnya dia mampu melindungi jantung supaya tidak keracunan, dalam waktu singkat terang jiwanya belum ajal. Tapi rasa gatal dimukanya sungguh sukar ditahan lagi, matapun sudah tak mampu terbuka.

Mau tak mau Tam Pa-kun tertawa getir sendiri, pikirnya: "Agaknya aku akan jadi buta, jikalau aku dapat bertemu dengan Lui-toako, mungkin jiwaku bisa tertolong, tapi mataku sudah buta, bagaimana bisa pergi mencarinya? Hehe, tak nyana setengah umur aku malang melintang di Kangouw, hari ini terjungkal dan menemui ajal di tangan penjahat rendah." Dengan pilu dia tertawa panjang, dia yakin jiwanya pasti takkan tertolong lagi.

Mendadak tei gerak pikirannya, tanpa kuasa dia menjerit tertahan, "Celaka, goresan arah panah di dinding batu tadi pasti peninggalan In-toako dengan tenaga jarinya yang hebat, musuh justru menggunakan tanda goresannya itu untuk menjebakku masuk perangkap. Bukan mustahil In-toako juga telah celaka dibokong mereka," lalu dia berpikir pula: "Tak jadi soal aku mati, namun nasib .In-toako belum kuketahui, matipun takkan meram. Bagaimana juga aku harus berusaha memberifahu kepada It-cu-king-thian. Em, kini kira-kira sudah menjelang kentongan keempat."

Karena tekadnya ini Tam Pa-kun segera mengerahkan, sisa tenaganya, golok dimasukkan ke sarungnya, dengan golok panjang sebagai tongkat dia menggeremet turun dari Cit-sing-giam, yang diharapkan sebelum terang tanah, dirinya belum mati karena keracunan, bila di jalan pegunungan bisa bertemu dengan penduduk, dia bisa minta bantuan untuk mengantar dirinya ke rumah keluarga Lui.

Entah berapa lama dan jauh Tam Pa-kun berjalan, yang nyata tenaganya sudah semakin lemah, untuk melangkah setindak juga terasa berat dan sukar. Akhirnya dia menghela napas panjang, pikirnya: "Tak kira akhirnya aku harus mati dan terkubur di gunung kenamaan ini. Tapi sekarang aku belum boleh mati, kalau aku mati, siapa akan memberi kabar kepada It-cu-king-thian? Siapa pula yang bisa mewakili aku mencari jejak In-toako?" tiba-tiba kupingnya menangkap suara sesenggukan, entah siapa sedang menangis tak jauh di depan sana. Karuan hati Tam Pa-kun kaget dan girang, batinnya: "Thian yang maha kuasa memang adil, akhirnya kutemukan juga seseorang disini. Tapi entah siapa dia, kenapa menangis begitu sedih di tempat ini?"

Orang yang menangis ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing yang sedang mengebumikan kakeknya di bawah Cit-sing-giam. Dengan golok pusaka milik In Hou, dia menggali liang lahat, dengan cara sederhana dia mengubur kakeknya, lalu berlutut serta berdoa: "Kakek di alam baka semoga kau melindungiku sehingga berhasil kuyakinkan ilmu tinggi, kelak aku akan kembali menuntut balas sakit hatimu, waktu itu baru akan kubangun pula pusaramu."

Sebetulnya dia kuatir bila di atas Cit-sing-giam masih ada musuh yang ketinggalan, maka dia tidak berani menangis, namun sebelum berpisah ini, tak kuasa dia membendung duka nestapa ini, air matapun bercucuran.

Tiba-tiba dia mendengar langkah orang yang mendatangi ke arahnya, sudah tentu Tan Ciok-sing kaget, bergegas dia melompat berdiri seraya berpaling, kebetulan didengarnya pula suara gedebukan, seseorang berlepotan darah roboh terkapar tak jauh di sebelah sana. Mendadak tergerak benak Tan Ciok-sing, teriaknya sambil memburu maju: "Apakah she Tam?

Tam Pa-kun sudah tidak tahan lagi, namun mendengar pertanyaan Tan Ciok-sing, tercekat hatinya, lekas dia meronta bangun dengan siku menahan badan lalu berduduk melolos golok melintangkan di depan dada, katanya: "Siapa kau! Dari mana kau tahu akan diriku?"


Maklum meski Tam Pa-kun amat terkenal di kalangan Kangouw, tapi dia yakin seorang penduduk pegunungan takkan mungkin kenal dirinya maka timbul rasa curiganya, kuatir kawanan penjahat meluruk datang pula, maka dia bersiaga.

"Jawab dulu pertanyaanku. Kau kenal In Hou, In Tayhiap tidak?" tanya Tan Ciok-sing.

Tam Pa-kun ragu dan bingung, katanya: "Kalau kenal kenapa, kalau tidak kenal bagaimana? Siapa kau sebetulnya?"

"Aku adalah sahabat In Tayhiap, jikalau kau kenal dia, sukalah kau percaya padaku, bicaralah sejujurnya."

Kaget dan girang hati Tam Pa-kun, namun dia juga tidak berani percaya seratus persen. Dari suara Tan Ciok-sing dia yakin bahwa usianya masih terlalu muda, logat suaranya tidak mirip orang dewasa, pikirnya: "Kedengarannya usianya baru lima belas, bagaimana mungkin dia adalah sahabat In Tayhiap?"

Namun dalam menghadapi jalan buntu seperti dirinya sekarang, meski memperoleh setitik harapan juga tak boleh disia-siakan, mau tidak mau dia harus percaya. Maka katanya: "Baik, aku

mempercayaimu. Memang aku she Tam bernama Pa-kun, sahabat In Tayhiap sejak puluhan tahun yang lalu. Siapa namamu?"

Tan Ciok-sing segera menyebut namanya. Tam Pa-kun melenggong, pikirnya: "Tan Ciok-sing, belum pernah aku mendengar nama ini."

Tan Ciok-sing berkata: "Tam Tayhiap, apakah kau pun dibokong dan teraniaya oleh kawanan penjahat itu?"

Kembali Tam Pa-kun kaget dibuatnya, gagang golok digenggamnya lebih kencang, tanyanya: "Darimana kau tahu?"

"Lukamu parah, aku sendiri tak bisa lama berada disini, harap sukalah kau percaya kepadaku, turunkan golokmu, biar kuperiksa apakah aku mampu menolong dan mengobati luka-lukamu?"

Mendengar orang bicara secara jujur dan tulus, Tam Pa-kun berpikir: "Terang aku takkan bisa mencapai rumah keluarga Lui, apa boleh buat, biarlah kupertaruhkan jiwaku ini," lalu dia turunkan golok, katanya: "Tak perlu kau keburu nafsu mengobati lukaku, kalau kau adalah sahabat In Tayhiap, lekas kau beritahu kepadaku, bagaimana keadaannya sekarang?"

Serba susah untuk menerangkan, Tan Ciok-sing berpikir: "Lukanya begini parah, bila kuberitahu In Tayhiap sudah ajal, mungkin..."

Tidak mendengar jawabannya, Tam Pa-kun membentak: "Bagaimana keadaan In Tayhiap, kenapa kau tidak bersuara?"

Tan Ciok-sing kertak gigi, katanya: "Seperti keadaanmu sekarang In Tayhiap juga dibokong dan terluka oleh musuh."

"Dimana dia sekarang?" tanya Tam Pa-kun, bahwa In Hou juga terbokong memang sudah diduganya, maka dia tidak begitu kaget dan heran.

"Aku tidak tahu, Tam Tayhiap, sukalah kau beri kesempatan supaya aku menyembuhkan luka-lukamu dulu, setelah kau menyembuhkan iuka-iuka ini baru mampu mencarinya bukan?"

Tam Pa-kun cukup luas pengetahuannya, dia tahu bahwa Tan Ciok-sing belum bicara sejujurnya, namun kini dia sudah percaya bahwa Tan Ciok-sing tidak akan mencelakainya, batinnya: "Mungkin dia tahu bahwa kawanan penjahat itu memang liehay, maka dia tidak berani banyak bicara," lalu katanya: "Aku tidak akan segera mati, tolong pergilah kau mengundang It-cu-king-thian ke mari."

Ganti Tan Ciok-sing yang berjingkat kaget, katanya: "Apa itu It-cu-king-thian, aku tidak tahu."

"Kalau kau sahabat In Hou, mana mungkin tidak tahu nama besar It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"

"Kalau kau tidak percaya, yah apa boleh buat. Tapi bagaimana juga, luka-lukamu harus disembuhkan dulu," tanpa hiraukan reaksi Tam Pa-kun, lekas dia maju membersihkan noda-noda darah di muka orang serta membubuhi Kim-jong-yok.

Kakek Tan Ciok-sing pernah belajar pengobatan, maka dia pernah membuat sendiri Kim-jong-yok dan ohat-obat pemunah racun umumnya, walau dalam hal pengobatan Tan Ciok-sing belum mendapat ajaran langsung dari sang kakek, sedikit banyak juga sudah pernah menyelaminya, waktu dia meninggalkan rumah, obat-obatan yang diperlukan juga dibawanya serta.

Luka-luka Tam Pa-kun sudah membengkak besar dan berwarna hitam berbau amis lagi, setelah menjejalkan sebutir pil penawar racun ke mulut orang, Tan Ciok-sing berpikir: "Semoga racun yang mengeram dalam tubuhnya tidak sejahat racun yang mengenai In Tayhiap, syukurlah kalau pil penawar racun bikinan kakek ini dapat menyembuhkan luka-lukanya."

Apa yang diterka Tan Ciok-sing memang tidak meleset, Tok-liong-pang atau sindikat naga beracun meski menggunakan nama "racun", betapapun dia perserikatan dari aliran kelas dua, panah beracun yang mereka pergunakan terang tidak sejahat racun yang digunakan gembong iblis she Siang yang digunakan melukai In Hou. Setelah menelan pil penawar itu, lekas Tam Pa-kun kerahkan hawa murni membantu khasiat obat bekerja lebih cepat, terasa dada lebih enteng dan wangi, dia tahu meski pil obat ini bukan obat penawar yang tepat untuk memunahkan kadar racun panah, namun jiwanya jelas tertolong, paling tidak dapat dipertahankan untuk beberapa kejap lagi.

Akhirnya Tam Pa-kun menghela napas lega, katanya: "Adik cilik, banyak terima kasih. Sekarang sudah terang tanah belum?"

"Belum, tapi tidak akan lama lagi."

"Baiklah, keadaanku sekarang tidak berbahaya lagi, tolonglah kau pergi mengundang It-cu-king-thian ke mari, aku yakin kau pasti mengenalnya."

"Tidak, jangan kau mencari It-cu-king-thian," kata Tan Ciok-sing prihatin.

"Kenapa?" Tam Pa-kun menegasi.

Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba dari lereng gunung sebelah sana terdengar langkah kaki serombongan orang yang turun ke mari, lekas sekali suara percakapan merekapun terdengar, dan yang sedang bicara kebetulan justru It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

Lekas Tam Pa-kun merebahkan diri serta menempelkan telinga di atas tanah, didengarnya It-cu-king-thian Lui Tin-gak sedang berkata: "Kenapa bayangan setanpun tidak kelihatan, kemana Tam Pa-kun menyembunyikan diri?"

Bukan kepalang girang hati Tam Pa-kun, pikirnya: "Sungguh kebetulan, orang yang kuharapkan kebetulan telah datang." Baru saja mulutnya terpentang dan hendak berteriak memanggil Lui Tin-gak, mendadak mulutnya didekap tangan orang sehingga suaranya tak terdengar. Tam Pa-kun boleh dikata sudah kehabisan tenaga, meronta juga tak berhasil. Tapi dia tahu yang mendekap mulutnya jelas adalah Tan Ciok-sing. Didengarnya Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya: "Tam Tayhiap, jangan kau bersuara."

"Kenapa? Kenapa?" Timbul tanda tanya dalam benak Tam Pa-kun, namun lekas sekali dia sudah mendengar suara seorang yang sudah amat dikenalnya berkata tertawa: "Tak usah kuatir, Tam Pa-kun terkena panah beracun kita, memangnya berapa jauh dia melarikan diri, kita cari perlahan-lahan saja."

Suara orang ini bukan lain adalah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong pang yang membokong Tam

Pa-kun tadi. Karuan Tam Pa-kun jadi bingung dan tak habis mengerti, sesaat dia melenggong. Tan Ciok-sing berbisik pula di pinggir telinganya: "Tam Tayhiap, sudah dengar bukan? lt-cu-king-thian sekomplotan dengan kawanan penjahat itu."

Langkah mereka semakin dekat, cepat sekali mereka sudah berada di bawah gunung, cahaya oborpun telah kelihatan. Seorang penjahat mendadak berteriak: "Coba lihat, disini ada noda darah, kita ikuti ceceran darah ini, pasti dapat menemukan jejak Tam Pa-kun."


Detak jantung Tan Ciok-sing seperti bandulan lonceng yang terayun pergi datang. "Bagaimana baiknya?" Saking kepepet dan kebingungan dia sampai kehabisan akal, namun dia insyaf bila jejak mereka disini ketemu oleh musuh maka akibatnya susah dibayangkan.

Di kala Tan Ciok-sing bimbang dan gemetar inilah, mendadak Tam Pa-kun meronta menggentak kepalanya, telapak tangan Tan Ciok-sing yang mendekap mulutnya terlepas, dengan suara lirih Tam Pa-kun berkata: "Jangan hiraukan diriku, lekas kau pergi."

Langkah orang-orang itu sudah semakin dekat lagi.

Sekilas Tan Ciok-sing menenangkan pikiran, pikirnya: "Sakit hati kakek dan In Tayhiap kelak harus aku yang membalasnya. Dari pada aku disini tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan mustahil Tam Tayhiap juga celaka di tangan musuh, apalagi aku tentu dengan mudah menyerahkan jiwa raga ini," karena itu dia kertak gigi, Tam Pa-kun berusaha dipapahnya bangun terus diseretnya kedalam semak-semak rumput, lalu berbisik: "Tam Tayaiap, aku akan pergi. Semoga Thian melindungimu terhindar dari petaka ini. Ada sepatah kata perlu kusampaikan kepadamu, In Tayhiap sudah meninggal, yang mencelakai In Tayhiap juga It-cu-king-thian," habis bicara segera dia mendekam terus menggeremet kesana menyusup pergi di antara semak-semak rumput.

Hampir Tam Pa-kun tidak percaya akan pendengarannya. "Bagaimana mungkin? Lui-toako mana mungkin melukai In-toako? Tapi apa pula maksudnya mencari aku dengan Tok-liong Pangcu?"

Maklumlah Tam Pa-kun dengan Lui Tin-gak adalah sahabat karib bak kakak beradik, secara mutlak dia percaya kepada Lui Tin-gak. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing pergi, bukan lantaran kuatir Lui Tin-gak bakal turun tangan keji terhadapnya, tapi dia kuatir Tok-liong Pangcu yang akan berbuat jahat kepadanya. Walaupun hakikatnya dia belum lagi sempat mencari tahu kenapa Lui Tin-gak bisa bergaul dan berada dalam rombongan Thi Ou.

Tan Ciok-sing menggeremet pergi di tengah semak rumput, meski dia sudah bertindak hati-hati, betapapun akhirnya mengeluarkan suara keresekan, begitu Thi Ou pasang kuping lalu berkata: "Disana seperti ada suara orang, hayo coba kita periksa kesana," seorang Thaubak berkata: "Pangcu harus hati-hati. Entah racun dalam tubuh Tam Pa-kun sudah kumat belum?"

Thi Ou tertawa, katanya: "Ada Lui Tayhiap di antara kita, perlu apa takut?"

"Betul, kalian tidak usah kuatir," terdengar Lui Tin-gak berkata, "kalau benar Tam Pa-kun sembunyi disini, biar aku menghadapinya. Kalau dia sudah terluka separah itu, yakin aku masih dapat melayaninya."

Thi Ou segera mengumpak, katanya: "Umpama Tam Pa-kun belum terluka juga belum tentu tandingan Lui Tayhiap. Kalau Lui Tayhiap harus menghadapinya, itu berarti membunuh ayam pakai golok kerbau."

Lui Tin-gak tertawa tergelak-gelak, katanya: "Ah, kau terlalu memuji," suaranya amat jumawa.

Diam-diam Tam Pa-kun berpikir pula: "Lui-toako pasti bukan manusia serendah itu, mungkin urusan ini masih ada latar belakang yang tidak kuketahui?" mendadak dia berjingkrak berdiri seraya membentak: "Orang she Tam ada disini, tak usah kalian susah payah mencariku, siapa ingin membunuhku, silahkan maju."

Dia sudah nekad mempertaruhkan jiwanya, kalau Lui Tin-gak tidak seperti apa yang dia duga jelas jiwanya pasti melayang. Tapi dia sudah bertekad untuk melabrak musuh habis-habisan, tujuannya tak lain demi melindungi Tan Ciok-sing melarikan diri.

Melihat Tam Pa-kun mendadak muncul di hadapan mereka, karuan Thi Ou dan anak buahnya sama kaget, perhatian semuanya tertuju kepada Tam Pa-kun, tiada yang tahu kalau di semak rumput sana ada seorang lagi menyembunyikan diri.

Terdengar suara Lui Tin-gak yang berat keren berkata: "Nah, coba kalian lihat, aku akan membunuhnya," pada akhir kata-katanya mendadak telapak tangannya terayun balik memukul ke belakang, "Biang", diluar dugaan orang banyak, yang jadi sasaran pukulannya itu justru dada Tok-liong Pangcu.

Semula Thi Ou berdiri jajar dengan dia, mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa Lui Tin-gak bakal membunuhnya, kontan tubuh Thi Ou mencelat jauh'seperti bola tertendang jatuh beberapa tombak jauhnya. Padahal Bian-ciang yang dilancarkan Lui Tin-gak ini dapat memukul remuk batu, mana Thi Ou kuat menerima pukulan dahsyat ini? "Huuaaah..." di tengah jerit lengking yang menyayat hati, darah berhamburan dari mulutnya, setelah terguling beberapa kali, akhirnya meringkel diam. Karuan seluruh anak buah Thi Ou terkesima dan pecah nyalinya.

Tam Pa-kun sendiri juga amat haru dan senang pula, akhirnya dialah yang menang dalam pertaruhan jiwa ini.

"Tam-toako," seru Lui Tin-gak, "aku datang terlambat."

Baru sekarang anak buah Thi Ou tersentak sadar, tanpa komando serempak mereka melarikan diri. Hanya seorang pengawalnya yang memburu maju hendak memapah Thi Ou.

Mendadak Thi Ou membalikkan tubuh, tiga batang panah beracun tahu-tahvi meluncur mengincar punggung Lui Tin-gak. Lekas-lekas Tam Pa-kun berteriak: "Awas Lui-toako, ada serangan senjata rahasia," karena berhadapan dengan Tam Pa-kun, berarti Lui Tin-gak membelakangi Thi Ou.

"Bagus," bentak Lui Tin-gak, "kebetulan aku bisa pinjam panah beracun ini," sekali menggapai ke belakang, tiga batang panah beracun itu kena di tangkapnya, langsung dia sambitkan pula. Pengawal Thi Ou baru saja sampai di sampingnya, begitu kena timpukan panah beracun kontan dia terjungkal roboh binasa.

Dua batang panah lagi melesat ke arah dua penjahat yang lari paling jauh, seorang lari ke selatan yang lain lari ke utara, jarak mereka sudah seratusan langkah, tak nyana jiwa mereka tak terhindar dari renggutan maut.

Sisa beberapa penjahat yang tak mampu melarikan diri sama meratap minta ampun sambil berlutut. Lui Tin-gak kebacut gemes, sambil kertak gigi dia membentak: "Tok-liong-pang sudah keliwat batas kejahatannya, matipun kalian setimpal," mengembangkan ketangkasan gerak tubuhnya, ke kiri menyapu ke kanan menendang, kepalan disusul tendangan maut, menutuk dan menjojoh pula, dalam sekejap saja mayat bergelimpangan, seluruh anak buah Thi Ou habis dibabatnya.

Setelah memberantas kawanan penjahat, It-cu-king-thian menghela napas gegetun, katanya: "Tuhan memang maha pengasih, sebetulnya aku tidak ingin membabat habis mereka, tapi menilai perbuatan mereka hari ini, terpaksa aku harus bunuh mereka."

Tam Pa-kun tahu meski Tok-liong-pang merupakan sindikat kelas dua dalam Kangouw, tapi anggotanya rata-rata pandai menggunakan racun, suka main licik dan sukar dilayani. Kalau mereka tahu sang Pangcu mati di tangan Lui-toako, pasti berusaha menuntut batas dengan cara keji luar biasa. "Ai, demi menyelamatkan diriku, Lui-toako tidak segan mencari permusuhan, tadi hampir saja aku mencurigainya," sungguh bukan kepalang haru dan menyesal hatinya, tanpa kuasa air mata berlinang.

"Tam-toako, bagaimana luka-lukamu?" seru Lui Tin-gak sambil menghampiri. "Haya, kenapa matamu..." setelah dekat baru dia melihat jelas, kedua biji mata Tam Pa-kun membengkak besar berwarna merah seperti buah apel.

Tam Pa-kun tertawa sedih, katanya: "Meski menderita aku terhitung beruntung juga, tadi ada orang yang telah memberi obat kepadaku, jiwaku mungkin takkan berbahaya."

"Mana orang itu?" tanya Lui Tin-gak melengak.

"Sudah lari pergi," sahut Tam Pa-kun.

Lui Tin-gak semakin heran, tanyanya: "Siapakah dia?"

"Aku tidak tahu siapa dia, tapi soal ini kita bicarakan nanti, ada urusan penting yang perlu kutanyakan kepadamu."

"Betapapun kedua matamu harus lekas diobati, hayolah dicuci dulu di sungai sana."

"Mata menjadi buta juga tidak jadi soal, Lui toako, kenapa urusan penting tidak kau bicarakan dulu?"

Lui Tin-gak tahu soal apa yang hendak dibicarakan, hatinya perih seperti disayat-sayat, katanya dengan tertawa dibuat-buat: "Urusan penting apa?"

"In Hou sudah tiba di Kwi-lin, apakah kau sudah bertemu dia?"

"Ya, sudah ketemu."

"Syukurlah. Tadi aku hampir percaya omongan orang lain, kukira dia betul-betul sudah mati," sesaat dia berdiam tidak memperoleh jawaban Lui Tin-gak, walau dia tidak bisa melihat perubahan mimik muka orang, tapi dia sudah merasakan firasat jelek, tanyanya lekas: "Lui-toako, ada yang tidak beres?"

Tersendat suara Lui Tin-gak: "Orang itu memang tidak menipumu. In Tayhiap memang sudah mati."

Mengejang tubuh Tam Pa-kun, sekujur badan menjadi dingin, derita batinnya jauh lebih parah dari siksaan racun panah tadi, lama dia mematung, akhirnya tersentak sadar, teriaknya tak tertahan: "Sudah mati? Bagaimana matinya?"

"Dia dibokong oleh kawanan penjahat di atas Cit-sing-giam."

Tam Pa-kun sudah menduga bahwa In Hou pasti juga mengalami nasib seperti dirinya, tapi mendapat keterangan langsung dari Lui Tin-gak, hatinya tetap kaget dan heran, tanyanya: "Siapakah yang membokongnya?"

"Kabarnya Le Khong-thian dan Siang Po-san."

Gemeretak gigi Tam Pa-kun, katanya: "Kiranya kedua orang ini, apakah mereka masih berada di Kwi-lin?"

"Entah, kukira mereka belum pergi. Karena belum mendapatkan barang yang mereka incar, In Tayhiap mati atau hidup, mereka pasti ingin menyelidiki juga."

"Kalau demikian, jadi mereka juga terluka?"

"Ya, kabarnya mereka juga terluka, beberapa hari ini entah mereka sembunyi dimana menyembuhkan luka-luka itu."

"Tak heran, waktu kawanan Tok-liong-pang mencelakai aku semalam, kedua gembong iblis ini tidak muncul, kalau mereka ikut datang, masakah aku bisa hidup sampai sekarang? Ai, In-toako aku datang terlambat empat hari, sehingga kau menjadi korban, tak nyana lagi bahwa jiwaku ini kau pula yang menolongku."

"Memangnya aku ingin tanyakan Tam-toako," kata Lui Tin¬ gak, "biasanya kau paling tepat janji, kenapa kali ini sampai terlambat empat hari. Dari percakapanmu barusan agaknya kau sudah menduga bahwa yang mencelakai In-toako adalah kedua gembong iblis itu, apa pula yang terjadi?"

"Di tengah jalan, kudengar berita bahwa kedua gembong iblis ini datang hendak mencelakai In-toako, maka aku terus menempuh perjalanan siang malam, pikirku hendak menghadang mereka. Tak nyana di tengah jalan beruntun malah aku yang dicegat dan disergap kaki tangan mereka. Walau beruntung aku dapat lobos, namun aku sudah terlambat empat hari dari waktu yang dijanjikan."

"Bahwa In Tayhiap hendak datang ke Kwi-lin, cara bagaimana mereka bisa tahu?" tanya Lui Tin-gak.

"Aku juga heran, selamanya tak pernah kubicarakan hal ini dengan orang lain, kukira In Hou juga tidak akan sembarang bicara dengan orang."

"Ya, beberapa tahun yang lalu pernah kudengar bahwa In Hou ingin tamasya di Kwi-lin, tapi kedatangannya ke Kwi-lin kali ini kuketahui setelah dia terbokong musuh," lalu dengan tertawa getir dia melanjutkan: "Kalau dikatakan sebetulnya sedikit banyak aku juga sudah mendengar kabar angin, tapi dalam perkiraan In Tayhiap, mungkin dia merasa curiga kepadaku. Sayang di kala dia masih hidup tak sempat aku memberi penjelasan kepadanya," waktu berkata mimiknya kelihatan aneh, sayang Tam Pa-kun tidak bisa melihat keanehan ini.

"Lui-toako, kenapa kau bilang begitu, kau adalah teman karibku yang paling kental, memangnya aku bakal curiga kepadamu? Menurut hematku, In Hou juga tidak pantas bercuriga kepadamu."

Lui Tin-gak geleng-geleng kepala, katanya getir: "Tam-toako, kau tidak tahu."

"Tidak tahu apa?"

"Aku memang pantas dicurigai, karena terhadap orang pernah aku mengakui bahwa aku sekongkol dengan kawanan penjahat untuk mencelakainya."

"Kenapa kau bilang demikian?"

"Panjang kalau dituturkan, hayolah sambil jalan sambil bicara."

"Betul, aku juga ingin tanya kepadamu. Katamu kau pernah melihat In Hou. Kapan dan dimana?" .

"Kemarin malam kira-kira kcntongan ketiga di rumah seorang teman. Sayang sekali yang kulihat hanyalah jenazah In Tayhiap."

"Temanmu itu bukankah seorang pemuda tanggung berusia lima belasan, she Tan bernama Ciok-sing?"

"Betul, darimana kau tahu?"

"Sahabat kecil itulah yang tadi mengobati luka-lukaku."

"Apa yang dia katakan terhadapmu?"

"Memang betul dugaanmu, dia memang menaruh prasangka terhadapmu, dia yakin bahwa kaulah biang keladi dari kematian In Hou."

Waktu itu mereka sudah tiba di pinggir sungai, Lui Tin-gak segera membersihkan muka dan badan Tam Pa-kun yang berlepotan darah, serta membubuhi obat pula. Air sungai yang bening dingin untuk mencuci mata, Tam Pa-kun merasa jauh lebih segar dan nyaman, matanya memang bisa terbuka, tapi yang kelihatan hanya samar-samar.

"Apa kau tahu Dewa Harpa?" tanya Lui Tin-gak.

"Dewa Harpa?" Tam Pa-kun seperti sadar, "apa maksudmu Tan Kiat-gih locianpwe itu? Apa dia juga berada di Kwi-lin?"

"Sudah dua puluh tahun dia mengasingkan diri di bawah Cit-sing-giam, tapi dia sudah mengikat janji dengan aku, aku dilarang membocorkan asal-usulnya, maka sejauh ini aku tidak pernah bercerita kepadamu tentang dirinya."

"Kepandaian memetik harpa cianpwe ini katanya tidak bandingan di kolong langit ini, sudah lama aku mengagumi namanya. Tapi untuk apa kau menyinggung dia?"

"Pemuda bernama Tan Ciok-sing yang menolong jiwamu itu adalah cucunya. In Hou dibokong oleh kedua gembong iblis itu didalam Cit-sing-giam dan terluka parah jatuh kedalam rawa untung Ki Harpa inilah yang menolongnya, tapi keadaannya waktu itu memang amat menguatirkan. Peristiwa ini baru kuketahui kemarin, maka kusuruh Ki Harpa bersandiwara bahwa akulah biang keladi pembunuh In Hou, malah kuminta dia berusaha supaya orang lain percaya."

Tam Pa-kun paham, katanya: "Karena waktu itu mati hidup In Hou masih merupakan teka teki, kau kuatir ada kelompok lain yang berusaha mencelakai In Hou pula, maka sengaja kau terima memikul tuduhan jahat ini, supaya perhatian orang-orang itu teralih atas dirimu. Ai, maksud tujuanmu kiranya cukup pahit juga..."

"Banyak terima kasih Tam-toako atas pengertianmu kepadaku. Sayang In Tayhiap sudah mati, jelas aku tak kuasa mcmbelek hatiku untuk kutunjukkan kepadanya."

"Lui-toako, urusan sudah terlanjur sejauh ini, sedihpun tak berguna, yang penting sekarang kita harus lekas mengurus jenazah In Hou."

"Betul, Ciok-sing bocah itu, seharusnya aku memberikan perlindungan dan tempat berteduh." Lui Tin-gak kira sekarang Tan Ciok-sing tentu sudah lari pulang, hatinya masih ragu-ragu, apakah perlu dia menjelaskan duduknya persoalan?

Rumah kediaman keluarga Tan berada di Yau-kong-hong di sebelah selatan Po-tho-san, Po-tho-san memiliki empat puncak yang bernama Thian-sut, Thian-bian, Thian-ki dan Thian-cwan. Cit-sing-giam berada di puncak Thian-ki-hong.

Kalau Lui Tin-gak mengira Tan Ciok-sing lari pulang, tak kira waktu dia mengitari lamping gunung Po-tho-san, tampak di bawah Yau-kong-hong sana, api tampak berkobar-kobar, tempat kebakaran adalah di rumah keluarga Tan. Sekilas Lui Tin-gak melengak akhirnya menarik napas panjang.

Walau kedua mata Tam Pa-kun tak terpentang, namun dia merasakan juga gemeredepnya cahaya panasnya api. Tanyanya kaget: "Lui-toako, apa yang terjadi?"

"Rumah keluarga Tan sudah di bumi hanguskan."

"Lalu cucu Ki Harpa itu..."

"Ciok-sing bocah itu baru saja melarikan diri dari sini, padahal rumahnya sudah tinggal puing-puing belaka, agaknya dia sengaja membakar rumah sendiri sebelum meninggalkan rumahnya tadi. Tadi aku kira dia bakal lari pulang, kiranya dugaanku meleset."

"Begitu lebih mending, semoga bocah ini selamat dan walafiat."

"Tapi aku tidak tahu entah kapan baru akan bisa bertemu dengan dia, dia tentu menganggap aku sebagai musuh besarnya."

Tiba-tiba Tam Pa-kun teringat suatu hal, katanya: "Soal ini mungkin kelak masih bisa dibikin terang, tapi dalam saat-saat genting ini kukira Lui-toako, kau harus meninggalkan Kwi-lin sementara. Kedua gembong iblis itu..."

Sebelum habis penjelasannya, Lui Tin-gak sudah tahu maksudnya, katanya tertawa getir: "Betul, setelah luka-luka kedua gembong iblis ini sembuh, mereka jelas takkan membiarkan aku. Tadi waktu aku memberantas orang-orang Tok-liong-pang memang sudah ambil putusan."

"Putusan apa?"

"Meniru Tan Ciok-sing, membakar rumah tinggal, lalu pergi."

Sedih sekali Tam Pa-kun, katanya: "Sayang mataku sudah buta, bikin susah kau pula untuk menyembuhkannya, jelas aku tak mampu membantu kau."

"Harta benda terhitung apa, yang penting asal diri tidak berbuat salah, setia terhadap kawan sudah cukup dan tak perlu menyesal."

Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah dalam perjalanan meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan kampung halaman dimana dia pernah dibesarkan, berat memang rasanya, tapi mengingat masa depan, demi menuntut balas sakit hati kakek dan In Tayhiap, dia harus belajar Kungfu. Pikirnya: "In Tayhiap suruh aku menemui Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang bergelar pendekar nomor satu di jagat ini, semogalah Thian memberikan wahyunya supaya cita-citaku tercapai. Hm, persetan dengan It-cu-king-thian segala, tunggu saja, setelah aku kembali kelak, sekali tabas akan kupenggal kepalanya," sudah tentu mimpipun Tan Ciok-sing tidak menduga, di kala dia bersumpah dalam hati ini, rumah keluarga Lui juga sudah terbakar habis. It-cu-king-thian Lui Tin-gak juga tidak akan menunggu dia pulang ke Kwi-lin lagi.

Tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing mulai memasuki daratan tinggi di perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu. Dalam perjalanan selama tiga bulan ini, begitu senggang dia lantas mempelajari ilmu pukulan dan ajaran golok pemberian In Hou. Dalam ajaran ilmu pukulan juga tertera pelajaran lwekang, maka setiap pagi dan malam, sehari dua kali Tan Ciok-sing pasti belajar dan latihan sesuai petunjuk dalam buku. Untung dari kakeknya dia telah diajarkan dasar latihan pernapasan, dibekali bakatnya yang baik lagi, untuk belajar lwekang tingkat tinggi, meski tanpa bimbingan guru, akhirnya dia berhasil juga. Setelah tiga bulan meski dia baru mencapai kulitnya dalam pelajaran lwekang tingkat tinggi ini, tapi dibanding sebelumnya, jelas bedanya teramat jauh. Tapi beberapa jurus pelajaran ilmu pedang yang tertulis didalam Kiam-boh karya Thio Tan-hong itu, sejauh ini masih belum berhasil diselaminya.

Hari itu dia tiba di sebuah kota kecil, hari sudah mulai gelap, dalam kota ini hanya terdapat sebuah hotel kecil, maka Tan Ciok-sing menginap di hotel ini. Waktu meninggalkan rumah, Tan Ciok-sing hanya membawa dua perangkat pakaian selama menempuh perjalanan tiga bulan ini, tak sempat dia membuat atau membeli pakaian baru, maka pakaian yang dipakainya sekarang bukan saja warnanya sudah luntur, kotor dan butut lagi. Apa lagi usianya yang masih terlalu muda, muka kotor kena debu, menggendong sebuah kotak kayu yang sudah rombeng dan buntalan kecil yang enteng saja, keadaannya memang rada lucu.

Pemilik hotel seorang yang mata duitan, melihat keadaannya minta kamar lagi, seketika dia mengerutkan alis, katanya: "Menurut peraturan hotel kami, uang makan dan uang nginap harus dibayar dimuka."

"Boleh saja, berapa aku harus membayar," kata Tan Ciok-sing. Tak nyana waktu dia merogoh kantong, seketika dia berdiri tertegun, ternyata uang pecahan yang dibawanya telah habis, sisanya hanya beberapa keping uang tembaga dan kacang emas pemberian In Hou.


Pemilik hotel menghitung-hitung: "Tarip kamar biar kuhitung tiga ketip saja, ditambah ongkos makan dua kali dan lain-lain biarlah dihitung genap satu tail saja. Hayo segera bayar."

"Aku tidak punya uang perak, tapi..."

Belum habis dia bicara pemilik hotel sudah mendelik gusar, serunya: "Uangmu hanya beberapa keping tembaga ini, memangnya kau hendak makan dan nginap gratis. Makanya, masa ada urusan segampang ini?"

"Bukan begitu, walau aku tidak punya uang perak, tapi aku punya emas," seru Tan Ciok-sing. Pemilik hotel mendelik kaget, serunya terbeliak: "Kau punya emas, coba keluarkan."

Tan Ciok-sing keluarkan sebutir kacang emas, katanya: "Nah terimalah kacang emas ini, nilainya kukira lebih dari satu tail perak?"

Kota ini terletak di dataran tinggi, penduduknya rata-rata kaum miskin, yang menginap di hotel ini kebanyakan adalah kaum pesuruh atau pedagang kelilingan, kapan pernah melihat tamu yang memiliki emas? Demikian pula pemilik hotel yang kemaruk uang ini, dia pun belum pernah melihat emas.

Sekian lama dia mengawasi pemuda tanggung yang kotor dan butut ini, mana berani dia percaya bahwa uang yang dikeluarkan ini emas tulen, segera dia menjengek dingin: "Sebutir tembaga kuning hendak kau gunakan menipuku, kau kira aku ini goblok?"

"Ini emas murni, tidak percaya boleh kau bawa ke toko emas atau tukarkan ke bank."

"Memangnya kau kira aku punya banyak waktu lari ke kota besar menukarkan tembagamu ini," ternyata kota kecil ini tiada bank.

"Tapi emasku ini betul-betul murni, kalau ada tempo kan bisa kau pergi menukarnya."

Pemilik hotel mendengus ejek, katanya: "Umpama benar emas murni, aku kan tidak tahu dari mana kau bisa memilikinya. Orang kecil seperti kami ingin berdagang secara halal, jangan nanti kami terembet urusan dengan opas."

Tan Ciok-sing geregetan, katanya: "Kau kira aku mencuri?"

"Kau sendiri yang bilang. Pendek kata aku minta pembayaran uang perak, kalau tanpa uang perak lekas kau enyah dari sini, jangan membuat ribut saja."

Malu dan jengkel Tan Ciok-sing dibuatnya, namun mengingat pemilik hotel ini memang manusia kampungan terpaksa dia menahan amarah, katanya: "Baiklah, kau tidak percaya bahwa uangku ini emas, biarlah aku pergi saja."

Tiba-tiba seorang berkata: "Engkoh cilik, buat apa kau marah-marah? Di kota ini hanya ada hotel ini saja, kemana kau hendak menginap? Penduduk juga takkan mau menerima orang yang tidak dikenal asal-usulnya. Marilah coba kubantu membereskan."

Kiranya dua tamu yang sudah menginap lebih dulu keluar dari kamar mendengar keributan ini, seorang laki-laki,setengah umur berbadan pendek kekar, seorang lagi berhidung betet, mata cekung dan berjambang bauk, perawakannya tinggi keren, dilihat tampangnya jelas dia bukan orang bangsa Han. Yang bicara tadi adalah laki-laki setengah umur itu.

"Aku toh bukan pengemis, kenapa harus minta-minta kepadanya," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Tentu, tentu," ucap laki-laki pendek, "siapa berani memandang rendah kau? Tapi Laopan tidak mau terima emas, kau pun tidak boleh memaksanya, betul tidak? Lebih baik begini saja, kau keluarkan salah satu barangmu sebagai tanggungan bagaimana? Emasmu itu kan bisa ditukarkan sembarang waktu untuk menebusnya. Bukankah ini cara yang paling baik untuk kedua pihak?"

"Aku tidak punya barang apa untuk dibuat tanggungan disini," ujar Tan Ciok-sing.

"Lalu apa isi kotakmu ini?" tanya laki-laki pendek.

Dalam kotak berisi harpa kuno warisan kakek Tan Ciok-sing, mana boleh barang berharga ini untuk barang tanggungan, maka dia berkata: "Ah, hanya sebuah harpa bobrok, kukira Toa laopan ini juga tidak akan mau menerimanya."

"Coba dikeluarkan supaya dilihat, kan tidak apa-apa?" pinta laki-laki pendek.

Betapapun Tan Ciok-sing masih merupakan pemuda tanggung, gampang dipancing dan suka ngumbar emosi, pikirnya: "Kalau tidak kuperlihatkan, mungkin mereka kira yang tersimpan didalam kotak ini barang curian."

Laki-laki brewok seperti orang asing itu menatap tajam tanpa berkedip pada kotak harpanya ini. Demikian pula tergerak hati laki-laki pendek, namun mimik mukanya tidak menunjukkan ketamakan hatinya.

Pemilik hotel mendengus lagi, katanya: "Harpa bobrokmu ini, paling dinilai belasan keping uang tembaga atau dimasukkan dapur untuk kayu bakar. Em, lalu apa pula isi buntalanmu itu?

Barang lain tidak jadi soal, tapi dalam buntalannya ini dia simpan golok pusaka In Hou. Karena kalau golok digantung di pinggang bisa menarik perhatian orang, maka sengaja Ciok-sing menyimpan dalam buntalannya. "Harpa kuno boleh dilihat orang, tapi golok pusaka ini sekali-kali tak boleh diketahui orang," maka sengaja dia pura-pura naik pitam, katanya: "Aku lebih suka nginap di emperan toko, dari pada kau hina disini. Batal saja."

Pemilik hotel mengejek: "Buntalanmu itu paling berisi satu stel pakaian rombeng, memangnya kau kira aku sudi menerima, enyahlah."

Baru saja Tan Ciok-sing putar badan, laki-laki brewok hidung betet itu tiba-tiba menahannya, katanya: "Adik cilik, kenapa kau sepandangan seperti dia?" dia bicara bahasa Han, cuma logatnya kaku, jelas memang bukan orang Han.

Dalam waktu yang sama laki-laki pendek itu sudah merogoh kantong mengeluarkan sebutir uang perak terus disodorkan kepada pemilik hotel, katanya:

"Coba kau timbang, uang perak ini tentu lebih setahil? Kelebihannya boleh untukmu."

"Pemilik hotel tertegun, tanyanya: 'Kau yang mentraktir?"

"Aturan hotelmu ini tentunya tidak melarang orang lain mentraktir temannya bukan?"

"Tuan ini jangan menggoda, bagi kaum pedagang seperti kita ini, memangnya menolak rejeki malah?" bahwa dia hitung uang makan dan penginapan Tan Ciok-sing setahil perak sudah menggorok beberapa lipat dari tarip biasanya, agaknya dia memang sengaja hendak mempersulit Tan Ciok-sing.

"Tuan ini justru pembawa rejeki, lekaslah kau panggil dia kembali, sediakan sebuah kamar untuk dia," demikian kata laki-laki pendek.

Setelah menerima uang sikap pemilik hotel ternyata berubah, sambil berseri tawa munduk-munduk lagi, katanya: "Siangkong mohon maaf akan kekurang ajaranku tadi, harap tidak berkecil hati. Kebetulan masih ada sebuah kamar kelas satu, letaknya berdampingan dengan kamar kedua tuan ini, silahkan masuk dan beristirahat."

Tan Ciok-sing tidak mau terima kebaikan orang, kacang emas itu dia keluarkan lagi dan berkata pada laki-laki pendek: "Terima kasih kau membayar rekening hotelku, nah terimalah uang emasku ini."

"Uang setahil perak terhitung apa?" ucap laki-laki pendek, "kalau kau kembalikan padaku berarti kau tidak pandang kami sebagai sahabat."

"Selama ini kita belum kenal, mana boleh merogoh kantongmu untuk keperluanku," kata Tan Ciok-sing rikuh.

Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya: "Di empat penjuru lautan semuanya saudara. Setulus hati aku ingin bersahabat dengan kau."

Tan Ciok-sing jadi rikuh untuk paksa orang menerima uang emasnya, tapi kuatir kedua orang ini terus ajak dia ngobrol, dia pura-pura menggeliat dan menguap terus minta diri.

Laki-laki pendek itu berkata: "Saudara cilik, sehari ini agaknya kau menempuh perjalanan, badan tentu sudah penat, silahkan beristirahat."

Setelah makan malam Tan Ciok-sing tutup pintu kamarnya terus merebahkan diri di atas ranjang. Waktu makan tadi dia kuatir kedua orang di sebelah akan datang ajak dia ngobrol pula, tak kira kedua orang itu lebih pagi menutup pintu kamarnya, tidak mengganggunya lagi.

Rebah di atas ranjang, Tan Ciok-sing berpikir, "Kedua orang itu agaknya orang baik hati sekali-kali aku tak boleh menerima kebaikan orang secara percuma. Nanti setelah mereka tidur nyenyak, secara diam-diam biar kumasukkan sebuah kacang emas kedalam buntalan mereka," lebih lanjut dia berpikir pula, "Tapi apakah caraku itu tidak terlalu kasar. Mereka anggap aku sebagai sahabat, aku membalasnya dengan cara yang kurang sportif apakah tidak memalukan."

Karena tak berhasil menyimpulkan cara untuk membalas kebaikan orang, lama kelamaan Tan Ciok-sing merasa kelelahan, di saat dia layap-layap hendak tertidur, tiba-tiba hidungnya mengendus bau wangi, rasa kantuknya seketika bertambah berat, karuan hatinya kaget, lekas-lekas dia gigit ujung lidah, rasa sakit membuat semangatnya.bangkit, waktu dia melongok kesana didapatinya kertas jendela telah berlobang, diluar lobang tampak setitik sinar api, asap wangi tampak dihembus masuk melalui lobang kecil itu.

"Kurcaci, kiranya berani bertingkah disini hendak mencelakai aku si rudin ini," demikian batin Tan Ciok-sing.

Untung Tan Ciok-sing sudah meyakinkan lwekang selama tiga bulan, meski dupa wangi yang memabukkan ini liehay, dalam waktu singkat ini masih belum membuatnya pingsan. Setelah menggigit ujung lidah rasa kantuk seketika lenyap, lekas dia keluarkan sebutir pil penawar racun terus ditelannya. Pikirnya, "Orang tua sering berwejang harta dan uang jangan suka dipamer di muka umum, mungkin penjahat ini melihat si rudin macamku ini memiliki kacang emas, maka mau menggerayang aku."

Tengah dia membatin tiba-tiba terdengar suara yang sudah dikenalnya berbisik diluar jendela. "Mengerjai bocah yang masih berbau pupuk bawang kukira tak perlu banyak susah, kukira sudah

Cukuplah.”

Seorang lain berkata: "Berhati-hati kan lebih baik, bocah itu pandai Kungfu, tunggu lagi sebentar," percakapan mereka amat lirih merubah suara lagi, maka Tan Ciok-sing tidak yakin apakah kedua orang itu adalah tamu di sebelah yang tadi membantu dirinya

Sesaat lagi, mungkin kedua penjahat ini sangka Tan Ciok-sing sudah pulas, pelan-pelan mereka mendorong jendela terus melompat masuk. Langkahnya ringan tidak mengeluarkan suara. Ginkang mereka ternyata tidak rendah.

Golok milik In Hou memang sudah disiapkan di bawah bantalnya, kalau dengan golok ini secara mendadak dia bacok kedua maling ini, memang tidak sukar untuk membunuhnya, dasar dia bocah gunung yang berhati bajik, mana berani dia membunuh orang, buntalanpun dia dorong ke sebelah dalam, batinnya, "Kalau betul mereka tamu di kamar sebelah, mereka pernah membantu aku, cukup bila aku menggertak mereka saja."

Cepat sekali kedua maling itu sudah tiba di depan ranjangnya, tangan di ulur terus mencengkram ke pundaknya, tapi cengkramannya luput, tahu-tahu Tan Ciok-sing bangun berduduk, katanya: "Kawan, kau perlu uang, ada beberapa kacang emas ini, nah, ambillah," sembari bicara dengan suatu gerakan cepat yang liehay dan cekatan dia sisipkan ketiga butir kacang emas itu ke telapak tangan sang maling terus didorongnya pergi.

Kalau dia berhati bajik sebaliknya maling ini bermaksud jahat padanya. Maling yang lain sebat sekali telah menubruk maju, kelima jarinya bagai cakar mencengkram ke tenggorokannya. Maling yang didorongaya pergi itu lebih jahat lagi, ternyata dia mencabut golok terus membacok.

Karuan Tan Ciok-sing gusar, kontan dia layangkan kakinya, meski dalam kegelapan tapi tendangannya ternyata telak sekali, yang ditendang pergelangan musuh, "Trang" golok lawan mencelat terbang keluar jendela dan jatuh berkerontang di tanah.

Tak berhasil mencengkram tenggorokannya penjahat yang lain merubah gerakan terus mencengkram ke pundak, tulang pundak merupakan titik kelemahan manusia, kalau sampai diremas hancur, betapapun tinggi ilmu silat orang, tenaga takkan mampu dikerahkan lagi. Saat mana Tan Ciok-sing sudah lompat turun dari atas ranjang, sedikit miringkan tubuh dengan jurus Thi-bun-san (palang pintu besi), lengan lawan hendak ditelikungnya. Tapi

Kbpailuaian pvnjciiiat yang itu

ternyata jauh lebih tinggi dari temannya, lekas dia merendahkan pundak menyurutkan lengan, tahu-tahu tangannya terbalik melancarkan Kim-na-jiu, "Bret* baju Tan Ciok-sing kena dicengkramnya robek. Sementara kawannya yang kehilangan senjata telah menubruk maju pula, "Wut" sebuah pukulan mengincar punggung Tan Ciok-sing. Sekaligus menghadapi keroyokan ' dua musuh, bagi Tan Ciok-sing yang belum punya pengalaman tempur ini menjadi kerepotan juga, di saat-saat genting itu, penjahat yang berkepandaian lebih tinggi itu mendadak menjerit "aduh", agaknya terluka.

Tangan Tan Ciok-sing terayun balik dengan telak menggenjot dada penjahat yang lain, sambil mengeluarkan gerangan tertahan dia sempoyongan mundur, kebetulan tiba di depan pintu, sekali tendang daun pintu ditendangnya roboh berantakan, tanpa janji keduanya terus ngacir angkat kaki seribu.

Diam-diam Tan Ciok-sing merasa bersyukur dan beruntung, pikirnya, "Penjahat yang satu berkepandaian lemah, tapi kawannya itu tinggi ilmunya, mungkin lebih unggul dariku. Aneh, aku yakin tadi tidak melukai dia, memangnya ada orang yang membantuku secara diam-diam?”

Tujuannya memang hanya memukul mundur penjahat, setelah tujuan tercapai, diapun tidak keluar mengejar. Segera dia sulut pelita dan memeriksa, apakah ada barangnya yang hilang.

Setelah keadaan jadi terang, pertama dia temukan kotak kayu terjatuh di lantai, kotak pemberian In Hou dimana tersimpan Kiam-boh karya Thio Tan-hong. Seperti diketahui kotak ini ada dipasang alat rahasia, kalau tidak tahu cara membukanya, tutup kotak bisa menjeplak dan di dalamnya menjulur enam batang pisau kecil yang berposisi saling silang merupakan jala pisau. Tutup kotak itu kini juga sudah terbuka, tapi pisau-pisau kecil itu sudah mengkeret ke tempatnya.

Baru sekarang Tan Ciok-sing paham, "Jadi kotak inilah-yang telah membantuku," dia duga penjahat itu telah mencuri kotaknya ini, tapi jari tangannya terluka oleh pisau-pisau kecil yang dipasang didalam kotak.

Untung Kiam-boh karya Thio Tan-hong dan pelajaran ilmu golok serta pukulan peninggalan In Hou tiada yang hilang. Tan Ciok-sing menghela napas lega, setelah ditutup, kotak dimasukkan kedalam bajunya. Pelita dijinjingnya memeriksa ranjang, kali ini dia betul-betul kaget, ternyata buntalannya telah lenyap.

Pakaian rombeng dalam buntalan itu tidak jadi soal, tapi golok pusaka milik In Hou itu berada dalam buntalan juga, sekali-sekali golok itu tidak boleh hilang.

Padahal buntalannya tadi dia dorong ke belakang ranjang serta ditutupi selimut. Tak nyana meski telah berlaku hati-hati tetap hilang, lebih baik kalau tadi dia sembunyikan ke bawah ranjang bersama harpanya. Untung harpa warisan kakeknya tidak ikut hilang.


Dalam perjalanan dia ada membawa tiga macam barang pusaka, pertama harpa peninggalan kakeknya, kedua Kiam-boh karya Thio Tan-hong dan ketiga golok pusaka peninggalan In Hou, bahwa hanya satu yang hilang dari ketiga pusakanya itu, boleh dikata dia sudah cukup beruntung. Namun demikian dia sudah merasa sayang dan gegetun.

Sudah tentu keributan ini membuat kaget pemilik hotel dan tamu-tamu lainnya, beruntun mereka berbondong mendatangi kamar Tan Ciok-sing. Hotel kecil ini hanya memiliki lima kamar, hari itu tamu yang menginap hanya lima orang, ditambah pemilik hotel dan pembantunya seluruhnya ada tujuh orang, tapi kamar Tan Ciok-sing sudah menjadi sesak dan bejubel. Para tamu itu seperti berlomba tanya apa yang terjadi, sudah tentu Tan Ciok-sing segan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, secara gampang dia memberi jawaban, sembari melayani mereka diam-diam iapun perhatikan kedua tamu yang sore tadi membantu dirinya.

Perhatian ini ternyata membawa hasil, tampak laki-laki brewok berhidung betet itu jari tengah tangan kanannya dibalut kain putih, darah kelihatan masih merembes keluar. Sementara laki pendek itu bila bicara napasnya kelihatan tersengal, setiap beberapa patah kata pasti batuk-batuk sambil meraba dada.

Rasa curiga Tan Ciok-sing bertambah besar, pikirnya, "Suara kedua penjahat tadi mirip mereka, perawakannya juga satu tinggi yang lain pendek, naga-naganya pasti mereka."

Mendengar bahwa dia hanya kehilangan sebuah buntalan berisi pakaian lama dan barang yang tidak berharga, para tamu itu lantas tidak ambil perhatian lebih lanjut, malah ada yang berolok. "Sebal juga maling kecil itu, kukira kau kehilangan barang berharga apa," secara tidak langsung nadanya seperti mau menyalahkan Tan Ciok-sing hanya kehilangan barang-barang sepele kok bikin geger.

Pemilik hotel juga tertawa dingin. "Dalam hotel kecil kami ini selamanya belum pernah terjadi pencurian, kalau benar ada peristiwa pencurian disini, aneh juga kenapa maling itu tidak mengincar barang milik siapa yang berharga, tapi malah mencuri pakaian rombengmu."

Seorang tamu yang baik hati menimbrung, "Mungkin maling itu datang dari luar daerah, malam-malam dia kesasar masuk ke hotel ini, mana dia tahu tamu mana punya uang. Engkoh cilik, coba kau periksa lagi apakah kau ada kehilangan uang?"

Pemilik hotel menyeringai dingin, katanya, "Kalau dia membawa uang, memangnya perlu orang lain mentraktir dia makan dan menginap disini," bahwa kejadian kedua tamu tadi membayar uang penginapan Tan Ciok-sing belum ada yang tahu, sengaja pemilik hotel membeber keburukannya ini dihadapan orang banyak.

Mendengar peringatan tamu yang baik hati tadi, maka Tan Ciok-sing ingat akan kacang emasnya itu, lekas dia merogoh kantong, ternyata kantong berisi kacang emas itupun telah terbang entah kemana. Mungkin waktu pencuri tadi sempat menjambret robek, pakaiannya, kantong kecil itupun kena direbutnya. Tanpa sadar dia menjerit tertahan, serunya, "Ya, kacang emasku juga hilang."

Tamu yang baik hati itu melengak, serunya, "Apa? Kau punya kacang emas? Berapa jumlahnya?" karena Tan Ciok-sing berpakaian butut dalam hati dia tidak mau percaya.

"Kira-kira ada dua puluh atau tiga puluh butir," sahut Tan Ciok-sing.

"Berapa kira-kira?" tanya tamu yang baik hati itu.

"Aku tidak pernah menghitungnya dengan pasti," sahut Tan Ciok-sing.

Tamu itu mengerutkan kening, katanya, "Kalau demikian, engkoh cilik ini orang yang pandai menyembunyikan diri. Belum pernah aku melihat orang yang punya uang suka berlaku rudin seperti ini," nadanya sudah jelas bahwa dia lebih tidak percaya akan omongan Tan Ciok-sing.

Pemilik hotel tertawa dingin, katanya, "Kalian dengar? Dia mana punya kacang emas segala? Tadi dia memang pernah membayar sebuah kacang warna kuning mengkilap, katanya kacang emas untuk membayar ongkos menginap. Hehe, setelah kuperiksa kiranya adalah mainan yang terbuat dari tembaga."

Tan Ciok-sing naik pitam, serunya, "Barangku sudah hilang, kalau kau katakan itu tembaga, akupun tidak perlu berdebat dengan kau."

Tamu perawakan pendek menyela, "Kau kehilangan kacang emas sebanyak itu, apa tidak perlu lapor kepada opas?"

Tan Ciok-sing menatapnya, katanya, "Buat apa aku laporkan kepada opas, aku hanya mengharap pencuri itu suka kembalikan barang-barangku itu secara diam-diam. Kacang emas tidak dikembalikan tidak jadi soal, asal dia kembalikan buntalanku itu."

"Bagus ya," semprot pemilik hotel, "memangnya aku sudah tidak sabar lagi, agaknya harus kubongkar tampang aslimu, kau bocah rudin ini pura-pura kehilangan barang, memangnya kau hendak memeras aku untuk mengganti kehilanganmu?"

Jengkel dan keki Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya, "Aku kan tidak minta kepadamu."

"Sebanyak itu uangmu hilang di hotelku, kalau dilaporkan, memang hotelku ini tidak tersangkut paut? Maka urusan ini harus dibikin beres sekarang juga."

"Tadi sudah kukatakan, aku tidak akan lapor," seru Tan Ciok-sing.

Tamu baik hati itu juga kira Tan Ciok-sing memang membual, maka sikapnya kini berubah kurang simpatik, katanya, "Mendengar kata-katamu tadi, seolah-olah kau mencurigai semua tamu yang menginap di hotel ini, hayolah bicara terus terang saja siapa yang kau curigai?"

"Tidak berani," kata Tan Ciok-sing, "maksudku mungkin pencuri tadi tidak sempat membawa kabur barang-barangku dan disimpan entah dimana dalam hotel ini. Bilamana tuan-tuan melihatnya sudilah mengembalikan kepadaku, sungguh tak terhingga terima kasihku."

Dasar Tan Ciok-sing adalah pemuda tanggung yang cetek pengalaman dan belum pernah bergaul dalam masyarakat, dia kira kata-katanya tadi sudah cukup sopan dan masuk di akal, sehingga sang pencuri tahu diri dan tidak kehilangan muka, secara diam-diam minta damai padanya. Tak kira ucapannya ini justru menimbulkan reaksi masai.

Tamu-tamu yang lain ikut gusar dan gempar jadinya. "Keparat, kau bilang begitu, kan berarti kami juga dicurigai, memangnya kau hendak menggeledah kamar kami?" —--"Bagus ya, kau bocah rudin ini, memangnya kau jadi gila karena tak punya uang, tak berhasil memeras pemilik hotel, lalu hendak mengancam kami?"

"Hayo gusur saja bocah rudin ini ke kantor polisi, jangan biarkan dia main tipu disini," cuma kedua tamu tadi tidak ikut memaki terhadap Tan Ciok-sing.

Tiba-tiba Tan Ciok-sing berpaling ke arah laki-laki tinggi berhidung betet itu, katanya, "Harap tanya, cara bagaimana jarimu itu sampai terluka?"

Berubah air muka si brewok, katanya, "Jariku terluka, perduli amat dengan kau?"

"Tidak apa-apa, hanya tanya sambil lalu saja, kalau kau tidak mau jelaskan, ya sudah. Buat apa marah-marah?"

Laki-laki brewok itu naik pitam, serunya, "Baiklah bicara blak-blakan saja, apakah kau mencurigai aku yang mencuri barangmu?"

"Siapa mencuri barangku dia tahu sendiri. Aku kan tidak menyebut dirimu," demikian ujar Tan Ciok-sing.

Saking marah membesi muka si brewok, dampratnya, "Jelas kau telah menuduhku, kurang ajar melihat kau tak punya uang, kami kasihan dan menolongmu membayar rekening hotel, sekarang kau malah menuduhku sebagai maling."

Hadirin sama memaki dan menyalahkan Tan Ciok-sing. Pemilik hotel bersuara paling lantang. "Bocah kurcaci yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan begini, buat apa banyak bacot sama dia, gusur ke kantor polisi saja."

Laki-laki pendek itu berpura-pura jadi penengah, lekas dia menyabarkan kemarahan hadirin, katanya, "Belum tentu dia ini penipu, mungkin karena sudah kehabisan ongkos lalu cari akal, supaya ditraktir orang. Kita orang dewasa tidak perlu membuat ribut dengan bocah rudin yang masih ingusan ini, biar aku bujuk dan jelaskan padanya," lalu dia berpaling katanya setelah batuk-batuk dua kali, "Jari temanku ini teriris pisau waktu mengiris buah mangga, kenapa kau ingin tahu sebab musababnya?"

Tak tahan lagi Tan Ciok-sing bicara lebih keras, "Tadi aku gebrak dengan kedua penjahat itu, salah seorang kena kulukai jarinya. Kalau temanmu teriris pisau waktu menguliti mangga, terang bukan dia adanya, harap tidak berkecil hati," dia suruh orang lain tidak berkecil hati, hakikatnya kata-katanya tadi berarti menuding hwesio memakinya gundul.

Karuan hadirin dibuatnya marah lagi, pemilik hotel berjingkrak lebih gusar, "Nah coba semakin temberang seperti anjing gila, main gigit saja, orang yang memberinya makan juga digigitnya malah, bicara soal keadilan apa lagi dengan dia?"

"Dia tidak tahu keadilan adalah urusannya, kita kan orang dewasa, harus dapat memaafkan keteledorannya. Adik cilik, aku tidur sekamar dengan temanku ini, kau mencurigai dia, apakah kau juga mencurigai aku?"

Kata Tan Ciok-sing, "Seorang pencuri yang lain kena kugenjot dadanya," waktu dia bicara, kebetulan laki-laki pendek ini sedang batuk-batuk dan menahan dada.

Karuan laki-laki pendek berubah air mukanya, katanya, "Aku kena pilek dan batuk, jadi kau mencurigai aku. Baiklah, tuan-tuan sekalian harap menjadi saksi, biarlah bocah ini menggeledah kamarku, apakah dia dapat menunjukkan barangnya yang dicuri orang."

Tamu yang baik hati tadi berkata, "Betul, semula aku simpatik terhadapnya, kini kurasakan juga dia memang keterlaluan. Kalau bukti tidak dapat ditemukan, kita harus menghajarnya sebagai peringatan.

Tapi tak perlu membikinnya banyak susah, soal dilaporkan polisi, kukira boleh tidak usah."

Tan Ciok-sing tahu kalau orang berani suruh dirinya menggeledah kamar, tentu golok dan uang emasnya sudah disembunyikan di tempat lain, kata dia tertawa dingin, "Barang yang telah hilang mana dapat ditemukan lagi, biarlah aku terima nasib saja."

"Kau tidak berani memeriksa, berarti kau sendirilah pencurinya," damprat pemilik hotel.

Laki-laki pendek itu mengunjuk sikap belas kasihan, katanya, "Bocah ini saking rudin sepeser uangpun tidak punya, memang harus dikasihani. Biarlah aku membantumu sekali lagi, harpamu ini boleh kau serahkan padaku, kubayar sepuluh tahil perak untuk sangu kau pulang ke rumah," hadirin sama memuji kebaikan hatinya yang jarang ada di dunia ini.

"Mujur juga kau bocah rudin ini, hayo lekas ucapkan banyak terima kasih," seru pemilik hotel.

"Meski aku mati kelaparan juga tidak akan menjual harpaku ini," sahut Tan Ciok-sing tegas.

Tamu baik hati itu berkata, "Kau ini memang tidak tahu kebaikan, memangnya kau suka gegares nasi orang dan terima uang orang lain secara percuma?"

"Kenapa dia harus kasihan padaku, harpa warisan keluargaku ini sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan orang-orang jahat," sahut Tan Ciok-sing.

Tamu-tamu lain yang menonton keramaian jadi ikut naik pitam dan menaruh simpatik akan kebaikan laki-laki pendek, seorang tamu berkata, "Anjing saja masih bisa membedakan kebaikan. Hidup setua ini, belum pernah aku melihat bocah goblok dan sebandel ini."

"Padahal tuan tamu ini tadi sudah membayar setahil perak untuk ongkos kamar dan makannya, harpa bobrok ini paling seharga belasan keping tembaga, tuan ini sudah punya hak merampas harpanya itu sebagai tumbal," demikian seru pemilik hotel.

Tan Ciok-sing mundur selangkah sambil memeluk harpa, katanya dingin, "Siapa berani merebut harpaku, biar aku adu jiwa dengan dia."

"Kau bocah ini memangnya sudah gila, makan tidur gratis masih bersikap kasar terhadap orang yang menolongmu," demikian damprat pemilik hotel, "agaknya kalau tidak dihajar dia tidak akan kapok, hayo gusur ke kantor polisi biar dihajar bokongnya," sembari bicara dia sudah menggulung lengan baju serta bergaya hendak menubruk maju.

Tan Ciok-sing pun sudah marah betul, matanya mendelik beringas, agaknya laki-laki pendek itu jadi jeri, bujuknya, "Sudahlah, akupun bukan mengincar harpanya itu, anggaplah aku lagi sial, setahil perak anggap saja memberi sedekah pada pengemis."

Bahwasanya pemilik hotel juga takut kalau berurusan dengan polisi, segera dia membentak, "Betapa besar jiwa tuan tamu ini, memandang mukanya, aku tidak akan menarik panjang peristiwa ini. Sekarang enyah kau bocah gila ini."

"Pergi ya pergi," seru Tan Ciok-cing, lalu dia menuding ke dua tamu itu, katanya, "Tinggalkan alamat dan nama kalian."

"Untuk apa?" tanya laki-laki pendek.

"Kalian sudah membayar satu tahil untuk ongkos nginap dan makanku, kelak pasti akan kuganti dua kali lipat."

"Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya, "Siapa minta balasanmu? Sudah kukatakan kuanggap..."

Mendelik bundar bola mata Tan Ciok-sing, serunya, "Anggap apa?" serasa hampir meledak dadanya, kalau laki-laki ini berani mencemoohnya lagi, dia sudah siap adu jiwa tanpa hiraukan apa akibat yang bakal menimpanya, paling tidak laki-laki ini harus dihajar.


Jeri juga laki-laki pendek itu, katanya, "Ah, tidak apa-apa, kau harus tahu aku sudah membantu tanpa ingin menuntut balasan. Lekas kau pergi saja."

"Bocah ini memang sinting," hadirin sama memaki, "kalau bikin geger lagi, tuan tamu ini mengampuni kau, biar kami nanti yang menghajarmu."

Tan Ciok-sing tidak gentar menghadapi dua lawan ini, tapi dia tidak ingin berkelahi dengan tamu-tamu lain yang tidak pandai main silat, terpaksa dia beranjak keluar sambil menggerundel, harpa dipeluknya kencang-kencang. Setiba di ambang pintu keluar dia berpaling, "Hm, menanam budi tidak mengharap balasannya, kuingat kebaikan kalian hari ini." Di belakang terdengar gemuruh gelak tawa dan cemoohan orang banyak.

Tahu dirinya takkan bisa berpijak lagi di kota kecil ini, terpaksa Tan Ciok-sing menunggu kedua tamu itu keluar di ujung jalan raya, pikirnya, "Harta dan uang tidak jadi soal, tapi golok pusaka In Tayhiap sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan mereka."

Tak tahunya setelah tunggu punya tunggu, belum juga kelihatan kedua tamu itu keluar, tanpa terasa hari sudah mendekati tengah hari, perut Tan Ciok-sing sudah kelaparan. Akhirnya dia sadar juga, batinnya, "Pasti mereka sudah pergi menempuh jurusan lain."

Akhirnya dia nekad kembali ke hotel, ternyata kuda tunggangan kedua tamu itu memang sudah tidak ada. Pemilik hotel berlari keluar mengusirnya. Saking jengkel Tan Ciok-sing segera meninggalkan kota kecil ini, entah berapa jauh dia menempuh perjalanan, rasa lapar perutnya sungguh tak tertahan lagi.

Untung tak berapa lama lagi dia tiba di sebuah kota kecil yang berdekatan. Kota kecil yang ini agaknya lebih ramai dibandingkan kota kecil yang semalam dia menginap. Kebetulan Tan Ciok-sing lewat di depan sebuah warung makan, mencium harumnya masakan sedap perutnya betul-betul memberontak, tanpa pikir segera dia melangkah masuk.

Lima meja dalam warung itu sudah terisi tamu, satu di antaranya di sebelah atas duduk seoraug berpakaian perwira, seorang majikan kaya ditemani beberapa orang sekolahan dan terpandang dari penduduk setempat. Mereka tengah ngobrol panjang lebar sambil makan minum seperti dalam rumah sendiri, tak perduli kehadiran orang lain.

Waktu Tan Ciok-sing yang berpakaian rombeng memasuki warung, seorang tamu segera mengerutkan kening, katanya, "Kau pengemis ini memangnya tidak tahu aturan minta-minta? Hayo tunggu sedekah diluar."

Merah muka Tan Ciok-sing, katanya, "Aku bukan pengemis."

"Bukan pengemis? Memangnya kau tamu yang hendak makan minum disini?" kata seorang tamu lain. Kata-katanya ini mendapat sambutan gelak tawa tamu-tamu yang ada.

Menahan gusar dan lapar Tan Ciok-sing berkata, "Aku tak punya uang untuk makan minum tapi aku bukan pengemis, aku hanya menjual bakat."

Laki-laki perut gendut mirip majikan itu mungkin sudah setengah sinting karena kebanyakan minum arak, diapun berolok dengan tertawa, "Maaf, maaf, kiranya kau ini seorang seniman. Kau bisa main apa?"

"Aku bisa memetik harpa," sahut Tan Ciok-sing.

Perwira itu menimbrung, "O, kau bocah ini juga bisa main harpa? Coba mainkan."

Tan Ciok-sing segera membuka kotak panjangnya, katanya, "Tolong berikan aku sebuah meja kecil."

Melihat harpa yang dikeluarkan sudah luntur dan bobrok hadirin sama geli dan tertawa terpingkal-pingkal. Majikan gendut itu berkata, "Entah dari mana dia memperoleh harpa bobrok ini."

Tan Ciok-sing menahan sabar, katanya, "Meski bobrok harpa ini masih bisa untuk memainkan beberapa lagu, bila tuan-tuan berkenan sukalah memberi persen ala kadarnya," entah karena saking kelaparan, atau karena mangkel, waktu menyetem senar harpanya, jari-jari tangannya kelihatan gemetar.

Pemilik warung ternyata seorang yang baik hati, katanya, "Engkoh cilik, mirunilah dulu kuah kaldu ini untuk menghangatkan perut."

Setelah minum kuah kaldu, rasa lapar sedikit demi sedikit berkurang, setelah selesai menyetem, mulailah dia memetik harpanya sambil bernyanyi membawakan syair pujangga So Tong-poh.

Laki-laki sekolahan itu adalah seorang tuan tanah yang pernah belajar beberapa huruf, si perwira berpaling padanya dan bertanya, "Li-ang, lagu apa yang dinyanyikan bocah ini?"

Laki-laki itu bersikap mencemooh, katanya, "Aku hanya paham syairnya, siapa tahu lagu sedekah (lagu pengamis) apa yang dinyanyikan?"

Perwira itu geleng-geleng kepala, katanya, "Tapi lagu sedekah yang dinyanyikan kaum pengemis masih lebih enak didengar."

Laki-laki gendut itu juga berseru, "Wah, jelek sekali, kupingku sakit rasanya."

Karuan hampir meledak perut Tan Ciok-sing mendengar ejekan-ejekan itu. Pikirnya, "Percuma aku bernyanyi di hadapan manusia-manusia kasar tak kenal huruf ini. Bikin kotor harpaku saja. Hm, lebih baik aku mati kelaparan dari pada disini terhina begini rupa."

Baru saja dia hendak menyimpan harpa dalam kotaknya, tiba-tiba didengarnya seorang berkata, "Kurasa petikan harpanya justeru patut didengarkan."

Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, pembicara adalah pemuda yang berpakaian pelajar, sejak tadi dia duduk di meja pojokan sana seorang diri. Setelah memuji permainan Tan Ciok-sing dia merogoh kantong keluarkan sekeping perak kira-kira senilai dua tahil, suruh pelayan warung diberikan kepada Tan Ciok-sing.

Demi gengsi terpaksa tuan tanah majikan kaya dan perwira itu juga merogoh kantong persen beberapa keping uang tembaga.

Tan Ciok-sing hendak menampik pemberian mereka, tapi kuatir mereka kehilangan muka dan membuat geger lagi disini. Di kala dia bimbang pemuda pelajar itu sudah berseru padanya, "Kebetulan bertemu disini, silahkan kemari duduk disini sambil minum beberapa cangkir."

Tan Ciok-sing tinggalkan uang perak itu di atas meja lalu menghampiri dan menyatakan terima kasih kepada pemuda pelajar itu. Karuan tuan tanah, majikan kaya dan perwira itu sama mendongkol karena Tan Ciok-sing tidak berterima kasih pada mereka.

"Engkoh cilik," kata pelajar itu, "siapa yang mengajar kau main harpa?"

"Bocah rudin macamku ini mana mampu mengundang guru segala, sejak kecil aku belajar ala kadarnya dari kakek." .

"O, kakekmu pasti seorang kenamaan?" tanya si pelajar.

"Kecuali bisa main harpa kerja kakek menangkap ikan, sejak lahir aku hidup di gunung, entah dia ternama atau tidak?"

"Engkoh cilik, kau punya bakat tapi tidak terkembang, tak heran kalau kau suka uring-uringan. Mumpung panas makanlah paha ayam ini, minum lagi secangkir. Kalau kau sudi aku ingin bersahabat denganmu."

Setelah minum dua cawan Tan Ciok-sing berdiri, katanya. "Terima kasih, kau sudi menghargaiku, biar kupetikkan satu lagu. Bicara soal bersahabat, sungguh aku tidak berani menerimanya."

Kali ini Tan Ciok-sing membawakan syair Sim Pin, pujangga pada dynasti Tong. Pelajar itu mendengarkan sambil manggut dan memuji berulang kali.

Akhirnya dia melongo saking asyik dan terbuai oleh alunan harpa yang merdu dan syahdu.

Belum lagi Tan Ciok-sing habis membawakan lagunya ini, datang pula seorang tamu. Melihat Tan Ciok-sing sedang petik harpa sambil nyanyi sesaat dia merasa heran, lalu dia menyapa majikan gendut itu. "Lau-ang, kiranya kau gemar juga mendengar irama harpa?"

"Bukan aku yang suka dengar, Lo-ho, kebetulan kau datang, kemarilah ikut minum," lalu dia perkenalkan kepada tuan tanah dan perwira serta yang lain. Lo-ho adalah penduduk Hek-ciok-tin yang tidak punya gawe (pekerjaan), kerjanya suka luntang-lantung dan menyebar berita. "Lo-ho ada berita apa tidak?"

Setelah duduk Lo-ho berkata lirih. "Semalam terjadi kejadian aneh di Hek-ciok-tin, seorang pemuda tanggung berpakaian rombeng menginap di Hun-lay, tapi tak punya uang membayar rekening, untung ada tamu yang suka menolongnya, tak kira tengah malam dia membuat keributan, katanya barangnya kecurian. Pemuda itu juga membawa harpa bobrok."

Hek-ciok-tin adalah kota kecil dimana semalam Tan Ciok-sing menginap, jaraknya kira-kira tiga puluhan li dari kota ini, peristiwa semalam yang menimpa Tan Ciok-sing, ternyata diketahui oleh Lo-ho ini, sehari ini entah sudah berapa kali dia bercerita kepada orang.

Tuan tanah itu berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya, "Kok bisa terjadi begitu, kukira bocah itu sengaja hendak memeras hotel Hun-lay itu."

"Pendapat Li-ang memang tepat, bukan saja bocah rudin itu hendak memeras Hun-lay, diapun memeras tamu yang membantu bayar rekeningnya," lalu dia bercerita panjang lebar akan kejadian yang didengarnya, sudah tentu dalam ceritanya ditambahi bumbu dan kecap sehingga ceritanya kedengaran lebih menarik.

Akhirnya Lo-ho menambahkan, "Sayang kedua tamu baik hati itu melepasnya pergi. Kalau waktu itu aku hadir, mungkin sudah kugusur dia ke kantor polisi. Tapi aku sudah mencari tahu bahwa penipu itu berusia belasan tahun, pakaian rombeng, membawa harpa dan jual lagak dimana-mana. Haha, kukira orangnya sekarang jauh di langit dekat di depan mata."

Tuan tanah itu berkata, "Orang orang Hek-ciok-tin tiada yang tertipu, mungkin tidak sedikit pelajar-pelajar bodoh di dunia ini yang akan digoroknya."

"Sayang Lo-ho tidak melihat tampangnya, kalau ada saksinya, pasti kuringkus dia," demikian kata si perwira.

Pada saat itulah terdengar derap lari kuda yang mendatangi, dua penunggang kuda itu seketika menarik kendali waktu mendengar suara harpa dari warung makan. Lo-ho segera bertepuk tangan girang seraya berseru. "Nah itu dia saksinya telah tiba," kiranya penunggang kuda itu adalah dua tamu yang pernah membantu Tan Ciok-sing.

Laki-laki pendek itu segera membentak. "Bagus, ternyata kau bocah rudin ini mau menipu orang lagi disini, tuan-tuan, semalam bocah keparat ini hendak memeras pemilik hotel Hun-lay di Hek-ciok-tin, kamipun kena tertipu setahil perak olehnya."

"Peristiwa itu sudah kita ketahui," kata Lo-ho, suaranya lantang, "untung yang berwenang di kota ini kebetulan ada disini, biarlah urusan ini kuselesaikan disini."

Perwira itu menggebrak meja, serunya sambil berdiri. "Betul, disini ada undang-undang raja, aku yang berwenang menegakkan keadilan di daerah ini, siapapun kularang berbuat curang di daerah kekuasaanku, kawanan opas, tangkap dia," agaknya dia lupa bahwa kini dia seorang diri sedang jajan di warung ini, hakikatnya tidak membawa anak buah, apa lagi di warung makan, setelah membentak baru dia sadar telah kelepasan omong.

Pelajar itu mengerutkan kening, bujuknya. "Kulihat adik cilik ini pasti bukan penipu, kuharap persoalannya dibikin terang lebih dulu."

"Saksi sudah di depan mata, apa pula yang harus ditanyakan?' seru si perwira. "Liong-siucay, kau belum jadi penggede, pulanglah belajar lagi beberapa tahun, soal dinasku tak perlu kau ikut campur, Hm, bocah keparat ini berani mendelik padaku, biar kuringkus kau."

Sungguh tak tertahan lagi emosi Tan Ciok-sing, mendadak dia raih pecahan perak di atas meja terus dilempar ke arah dua tamu diluar sana sambil membentak, "Semalam kau mentraktir setahil perak, kini dibayar sekali lipat. Kau mencuri golokku, lekas kembalikan padaku," lalu dia berpaling serta meraih beberapa keping uang tembaga itu terus ditimpuk ke meja si perwira. "Uang kalian yang bau ini, akupun tidak sudi,"

Kepandaian laki-laki hidung betet tidak lebih asor dari Tan Ciok-sing, sekali gerakan dengan enteng dia tangkap pecahan uang perak yang ditimpukkan Tan Ciok-sing, jengeknya dingin, "Kau membayar hutang memang sudah seharusnya tapi jangan kau menuduh aku yang mencuri golokmu." Celaka adalah laki-laki pendek yang berkepandaian rendah, mukanya terluka dan berdarah oleh timpukan uang pecahan Tan Ciok-sing.

Laki-laki usil mulut yang dipanggil Lo-ho berteriak. "Celaka dua belas, pencuri cilik yang galak ini berani melukai orang lagi," mendadak dia merasa ada gejala yang kurang beres, waktu berpaling seketika dia terkesima.

Ternyata kepingan uang tembaga yang ditimpukan Ciok-sing ke meja sini semuanya melesak amblas setengah berjajar di atas meja, si perwira tampak pucat dan ketakutan. Malah tuan tanah dan majikan kaya yang bernyali kecil sudah sembunyi di kolong meja.

Tan Ciok-sing panggul harpanya terus menerjang keluar ke arah dua tamu itu, bentaknya, "Kalian inilah penipu, kembalikan tidak golokku?"

Laki-laki brewok itu sudah siap menghajar Tan Ciok-sing, tapi sekilas pandangannya melirik ke arah Liong-siucay yang sedang menatapnya tajam seperti tertawa tidak tertawa. Mencelos hati si brewok, bergegas dia lompat ke punggung kudanya, teriaknya. "Bocah ini sudah jadi gila, hayolah pergi saja."

Dua kali laki-laki pendek itu kecundang oleh Tan Ciok-sing, nyalinya sudah pecah, tanpa diperingati dia sudah bedal kudanya lebih dulu.

Ginkang Tan Ciok-sing sekarang paling cepat, sudah tentu dia tidak kuasa mengejar kecepatan lari kuda, waktu dia tiba diluar kota, kedua musuh itupun sudah tidak kelihatan bayangannya. Setelah terlampias rasa dongkolnya lega juga perasaan Tan Ciok-sing, untuk menempuh perjalanan dia tidak berani lewat jalan raya, terpaksa dia lari ke atas gunung. Semakin jauh dia meninggalkan kota kecil itu, haripun sudah semakin gelap, tanpa terasa senja menjelang.

Kuah kaldu semangkok dan paha ayam yang diganyangnya tadi kini sudah tidak berbekas dalam perutnya, perutnya mulai berontak lagi. Saking lelah akhirnya dia mendeprok di bawah pohon lalu merebahkan diri beristirahat.

Angin malam berhembus agak kencang, Tan Ciok-sing yang memang kelaparan jadi bergidik kedinginan. Untung dia membawa ketikan batu, segera dia mengumpulkan dahan dan daun kering lalu membuat api unggun. Mendadak pandangannya terbeliak seperti menemukan sesuatu, dilihatnya di depan sana penuh tumbuh pohon-pohon ubi liar, segera dia mengeduk tanah membongkar ubi terus dibakarnya.

Setelah makan beberapa kerat ubi, sungguh tak kepalang rasa senang hati Tan Ciok-sing, tenaga pulih semangatpun bangkit.

Lalu bagaimana selanjutnya dia harus menempuh kehidupan ini? Masuk kota takut ditangkap opas, hidup di atas pegunungan hanya makan ubi liar melulu, semakin dipikir hati Tan Ciok-sing semakin risau, akhirnya dia turunkan kotak buntalannya lalu memetik harpa di bawah pohon. Tanpa sadar lagu yang dibawakan adalah Khong-ling-san yang pernah dibawakannya waktu berpisah terakhir kali dengan jenazah kakeknya.

"Petikan harpa yang bagus," tiba-tiba terdengar seseorang memuji. Tan Ciok-sing berjingkrak kaget, entah kapan tahu-tahu dihadapannya sudah berdiri empat orang, semuanya mengelilingi pohon dimana dia duduk di bawahnya.

Dua orang di depan adalah kakek yang berparas aneh, padahal tampang kedua kakek ini mirip satu dengan yang lain, seperti pinang dibelah dua, cuma kulit badannya saja yang berbeda. Seorang berpakaian serba putih, yang lain berpakaian hitam. Kakek baju putih kulitnya putih bersih seperti salju, kakek baju hitam berkulit hitam legam, jadi pakaian dan kulit badan mereka serasi, hitam putih kelihatan menyolok sekali. Rambut kedua kakek ini sudah sama beruban, bola matanya gelap kebiruan, sekali pandang orang akan tahu kalau mereka bukan Oh-jin dari daerah barat pasti orang asing. Kedua kakek ini sama memegang sebuah tongkat coklat yang mengkilap, entah terbuat dari apa.

Yang membuat Tan Ciok-sing lebih heran adalah dua laki-laki yang berdiri di belakang sana, mereka bukan lain adalah dua pencuri yang menista dirinya sebagai penipu.

Laki-laki brewok itu berkata beberapa patah kata yang tak dimengerti kepada kedua kakek hitam putih, Tan Ciok-sing tidak tahu apa yang dipercakapkan, tapi mereka bicara sambil menuding harpa miliknya, jelas mereka mengincar dan hendak merebut harpa warisan keluarganya.

Laki-laki pendek itu berkata dengan tertawa, "Sungguh amat kebetulan, tak kira kau bocah ini sedang sembunyi disini."

Gusar Tan Ciok-sing dibuatnya, bentaknya, "Memang aku hendak cari kalian guna membuat perhitungan, uang sudah kukembalikan, kenapa kalian tidak kembalikan golokku?"

"Kau masih berani minta kembali golok pusaka?" ejek laki-laki pendek, "besar juga nyalimu, ketahuilah, kami juga ingin merebut harpamu itu. Tapi kami tidak akan merebut secara percuma..."

Memangnya Ciok-sing sudah dongkpl sejak kemarin, mana dia sabar mendengar obrolan orang, segera dia menerjang maju sambil memaki, "Kurang ajar, kalian kawanan rampok ini. Sudah mencuri golokku mau merebut harpaku pula."

Lekas kakek tua putih mengulap tangan, katanya, "Jangan berkelahi, kami bukan perampok."

Terasa serumpun tenaga lunak yang kuat tiba-tiba menahan dirinya seperti ada sebuah telapak tangan tidak kelihatan yang mendorong dadanya, walau lunak tenaganya tapi sukar ditahan dan dilawan, tanpa kuasa dia terdorong mundur beberapa langkah.

Habis bicara kakek tua putih itu lantas berpaling setelah mendengus dia memaki kedua laki-laki itu, "Kalian membantu aku berdagang, bukankah sudah pernah kuberitahu kepada kalian? Kita boleh menarik keuntungan dalam perdagangan, tapi kularang main rebut barang milik orang lain? Bukankah kalian mempermainkan dan menyakiti bocah ini?" bahasa

pembicaraannya menggunakan bahasa Han yang fasih dan jelas, logatnya jauh lebih baik dibandingkan laki-laki brewok itu.

Lekas laki-laki brewok bantu temannya membela diri, katanya,

"Kami bukan merampas, tapi kami membeli dengan uang."

"Pembual," damprat Tan Ciok-sing, "kalian pura-pura jadi orang baik mentraktir aku segala, siapa bilang aku menjual barangku kepada kalian?"

Mimik laki-laki pendek tampak menjilat kepada kedua orang tua hitam putih, katanya, "Aku tahu kalian orang tua segala barang antik apapun sudah punya, tapi sejauh ini belum pernah memiliki harpa kuno, oleh karena itu aku ingin memperdayanya untuk

kupersembahkan pada kalian sebagai kado ulang tahun. Silahkan kalian orang tua perhatikan, bukankah harpa itu sangat baik."

Perlahan kakek hitam berkata, "Bagus memang bagus, tapi tak boleh merebut secara paksa. Tentang golok pusaka ini..."

Si brewok kuatir kakek hitam kembalikan golok pusaka itu kepada Tan Ciok-sing, lekas dia bertanya, "Golok pusaka ini bagaimana?"

"Sulit aku memberikan putusan atas golok pusaka ini," ucap kakek hitam, "biar kutanyakan dulu biar jelas."

Diam-diam si brewok membatin. "Kaum persilatan, memangnya siapa yang tidak menyukai golok pusaka?” dia kira kakek, hitam sudah menaruh perhatian, tidak lagi mengukuhi aturan biasanya bila dia berdagang. Maka lekas dia berkata, "Loya-cu, merebut barang orang sudah tentu tidak baik, tapi, tapi..."

"Tapi apa?" kakek hitam menatapnya tajam.

Kata si brewok, "Kuingat kalau tidak salah Lo-ya-cu pernah bilang, hitam makan hitam kan boleh juga. Entah salahkah aku mengingat akan hal ini?"

"Maksudmu golok pusaka milik bocah ini juga hasil curian?" tanya kakek hitam, "darimana kau tahu?"

Mendapat bantuan dan kisikan temannya, laki-laki pendek segera menimbrung, "Bagaimana asal-usul bocah ini meski.belum kami ketahui. Tapi uang sepeserpun dia tidak punya untuk membeli pakaian bekas, lalu dari mana dia bisa memiliki kedua benda pusaka?"

Kakek hitam manggut, katanya, "Ucapanmu ini memang beralasan, asal-usul bocah ini memang agak mencurigakan."

Tan Ciok-sing berseru gusar, "Bagaimana asal-usulku perduli amat dengan kalian. Tapi ke dua anak buahmu itu jelas pembual."

"O, membual bagaimana?" tanya kakek putih.

"Mereka mengatakan aku rudin memang tidak salah, tapi semalam aku masih menggembol puluhan butir kacang emas. Waktu mereka mencuri golok pusakak*U ini, kacang emas itupun berhasil mereka gondol pula."

Laki-laki pendek itu tertawa lebar, katanya, "Omonganmu ini memangnya bisa menipu orang?"

Belum habis dia bicara tiba-tiba cahaya kuning emas berkelebat menyilaukan mata waktu kakek hitam membuka telapak tangannya di depan matanya, puluhan butir kacang emas ternyata sudah berada dalam genggamannya. Padahal laki-laki pendek ini menyimpan kacang-kacang emas ini didalam kantong baju lapisan dalam, tapi hanya dengan satu gerakan enteng dan cepat, semuanya sudah dirogohnya keluar, baju bagian luar tidak terbuka. Jangan kata laki-laki pendek ini kaget dan ketakutan, Tan Ciok-sing pun takjub dibuatnya.

Gemetar sekujur badan laki-laki pendek, katanya, "Aku hanya ingin mendapatkan kado yang kalian sukai, sekedar sebagai penghormatan pada kalian orang tua, tujuannya jelas bukan untuk kepentingan pribadi. Soalnya bocah ini tidak mau menjual pada kami, terpaksa kugunakan akal ini, bila dia tidak ada sepeser uangpun, mungkin dia mau menjualnya kepadaku."

"Plak, plok", beruntun terdengar suara keras dua kali, laki-laki brewok dan laki-laki pendek sama dipersen satu kali tamparan. Setelah menggampar mulut kedua anak buahnya, kakek hitam berkata dingin, "Tutup bacot kalian yang kotor, muka kami kalian bikin malu."

Melihat kakek hitam menghajar anak buahnya, dalam hati Tan Ciok-sing berpikir, "Tandang kedua orang asing ini memang angker dan menakutkan, tapi hati mereka ternyata baik. Mungkin mereka sudi kembalikan golok pusakaku itu."

Tak kira pelan-pelan kekek hitam melolos golok serta menjentiknya dua kali, tiba-tiba dia berkata, "Aku tidak akan membela anak buah sendiri, tapi kaupun harus bicara jujur. Cara bagaimana kau memperoleh golok pusaka ini?"

Sudah tentu tak mungkin Tan Ciok-sing ceritakan peristiwa yang menimpa In Hou kepada orang asing yang tidak dikenalnya ini? Tapi diapun tidak bisa berbohong, terpaksa dia menjawab, "Pendek kata golok ini milikku, cara bagaimana aku memilikinya, orang lain tidak perlu urus."

"Urusan lain aku boleh tidak perlu turut campur," kata kakek hitam, "tapi bicara soal asal-usul golok pusaka ini betapapun aku harus mencampurinya. Lekas katakan secara jujur, golok pusaka milik In Hou ini, cara bagaimana bisa terjatuh ke tanganmu?"

Tan Ciok-sing terperanjat, pikirnya heran, "Mungkinkah mereka sahabat In Tayhiap? Hm, hati manusia susah diduga, siapa tahu kedua kakek ini pura-pura jadi orang baik, tujuannya hendak mengorek keteranganku tentang In Tayhiap?"

"Apakah kau murid In Tayhiap?" tanya kakek hitam.

"Hakikatnya aku tidak kenal dan tidak tahu siapa itu In Tayhiap." sahut Tan Ciok-sing masa bodoh.

Tiba-tiba kakek hitam memutar golok mengangsurkan gagang golok ke arah Tan Ciok-sing, katanya, "Terimalah."

Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, tak pernah terbayang olehnya bahwa kakek hitam ini akan kembalikan golok pusaka ini begini mudah. Baru saja dia hendak minta kembali sarung goloknya sekalian, kakek hitam sudah serahkan tongkat coklat mengkilap di tangannya kepada kakek putih, bentaknya, "Golok pusaka sudah kembali di tanganmu, hayolah bacokan ke arahku."

Kembali Tan Ciok-sing tertegun, katanya kemudian, "Bicara baik-baik kenapa aku harus membacok kau?" maklum golok pusaka ini tajam luar biasa, mengiris emas dan besi seperti merajang sayur, rambut yang ditiup di tajam goloknya pun putus seketika, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani memakainya membacok kakek hitam yang bertangan kosong.

Kakek hitam tertawa dingin, katanya, "Jangan kau kira dengan bersenjata golok pusaka, kau mampu melukai seujung rambutku. Biar kubicara terus terang, kusuruh kau membacok dengan golok itu karena aku punya semacam peraturan, bila orang bertindak kasar terhadapku, baru aku punya alasan untuk merebut golok lawan. Kini sudah kujelaskan padamu, mau atau tidak kau menyerangku, aku tetap ingin memiliki harpa kunomu ini."

Sembari bicara kakek hitam ulur telapak tangannya yang segede kipas hendak merampas harpa kuno itu. Kuatir orang merusak harpanya, sudah tentu gusar hati Tan Ciok-sing. Pikirnya, "Kiranya hanya mulutnya saja yang manis, jelas diapun pentolan rampok," tanpa pikir segera dia ayun golok terus membacok.

Kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya, "Kau tertipu, setelah kau bergebrak, maka aku boleh turun tangan mengambil barangmu tanpa malu-malu lagi."

Bacokan Tan Ciok-sing bertujuan menggertak saja, tak nyana kakek hitam membalik tangan, jarinya menjentik dan tepat menyelentik punggung golok, seketika telapak tangan Tan Ciok-sing terasa pedas linu, pergelangan tangannya tergetar keras, hampir saja dia tidak kuat pegang goloknya lagi. Di tengah gelak tawa kakek hitam, kembali tangannya yang besar itu meraih ke arah harpa.

Bentak Tan Ciok-sing gusar, "Kau mau merampas harpa ini, kecuali kau bunuh aku lebih dulu," amarahnya memuncak, bola matanya sampai mencorong merah, langkahnya sebat menubruk maju, golok pusaka diobat abitkan membacok ke tangan kakek hitam yang sedang menjamah harpanya itu.

Tan Ciok-sing tahu bahwa kepandaian silat kakek hitam berapa lipat lebih tinggi dari kemampuannya, maka dia turun tangan tak kenal ampun. Jurus bacokannya itu sudah menggunakan ajaran ilmu golok yang tercantum dalam buku, cahaya golok laksana bianglala, keras dan ganas sekali.

Kakek hitam terloroh-loroh, katanya, "Bocah bagus, memangnya kau hendak adu jiwa," aneh bin ajaib, lengannya itu seperti bisa ditelikung seenaknya, tahu-tahu bacokan golok Tan Ciok-sing mengenai tempat kosong dan "Bluk" pundak kirinya malah yang kena digenjot lawan. Genjotan cukup keras, tapi Tan Ciok-sing sedikitpun tidak merasa sakit.

Sesaat ini Tan Ciok-sing melengak dibuatnya. Maklum pukulan kakek hitam mengenai telak pundak kirinya, ini betul-betul diluar dugaannya. Semula dia kira dirinya pasti terpukul jungkel balik, tapi kenyataan tidak apa-apa, malah rasa pedas dan linu di tangannya seketika lenyap.

"Masakah hanya latihan tiga bulan lwekang, hasilnya sudah begini luar biasa?" demikian batin Tan Ciok-sing.

Cepat sekali kakek hitam sudah menubruk maju lagi sambil pentang kedua tangannya, gayanya hendak merebut golok yang dipegangnya. Tak sempat lagi Tan Ciok-sing pikirkan keanehan diri sendiri yang sudah memiliki lwekang secara menakjubkan atau mungkinkah lawan yang menaruh belas kasihan, lekas goloknya bergerak dengan jurus Heng-in-toan-hoan (mega melintang memutus puncak) membendung sergapan lawan Lalu disusul jurus Sam-yang-kay-thay, Gua-hou-ting-san, Liong-yau-sim-gan, beruntun tiga jurus dari pembela diri balas menyerang. Sudah tentu ketiga jurus ini juga merupakan ajaran ilmu golok keluarga In.

Kakek hitam melayang ke kiri lompat ke kanan seperti bermain petak dengan dia, sekaligus Tan Ciok-sing memberondong dengan belasan jurus, tapi jangan kata melukai lawan, menyentuh ujung jarinya saja tidak mampu. Terdengar kakek hitam berseru tertawa, "Adu jiwa tiada gunanya untukmu, menyerah saja dan serahkan golok dan harpa itu, aku tidak akan membunuhmu."

Tapi Tan Cok-sing sudah bertekad, "orang hidup harpa ada, harpa hilang orangnya gugur", sambil kertak gigi tanpa berhenti golok di tangannya terus menghujani serangan gencar ke tubuh lawan. Seluruh ajaran ilmu golok yang dia pelajari dari buku peninggalan In Hou telah di praktekkan seluruhnya.

Sekejap saja belasan jurus telah lewat, Tan Ciok-sing tetap tidak mampu menyentuh baju lawan, apa lagi melukainya.

Mendadak kakek hitam tertawa pula, katanya, "Jurus Thi-hu-san yang kau lancarkan ini kurang betul, jurus ini sebetulnya guna bertahan sepenuhnya, jurus selanjutnya baru untuk balas menyerang mengincar bagian bawah lawan, kau justru bertahan sambil menyerang, ini tidak betul. Coba kau buktikan sendiri bukankah jurus Terbalik Menunggang Keledai ini menunjukkan lobang kosong? Jikalau telapak tanganku menepuk Hong-hu-hiat di tubuhmu, lalu cara bagaimana kau akan membela diri?" di kala dia membongkar jurus gerakan Tan Ciok-sing selanjutnya, memang Tan Ciok-sing baru saja melancarkan jurus ‘Terbalik Menunggang Keledai’.

Tan Ciok-sing kaget sekali, dia pun heran bagaimana kakek hitam ini begitu apal dan mahir sekali akan permainan ilmu golok ajaran In Hou ini? Tapi dia pikir Hong-hu-hiat terletak di belakang punggung, lawan bertempur berhadapan, bagaimana mungkin dia bisa menyerang punggungku yang memang kosong? Ilmu golok keluarga In memang mengutamakan mantap keras dan enteng lincah, kedua unsur ini dikombinasikan dalam jurus-jurus ilmu golok yang liehay itu, latihan Tan Ciok-sing jelas belum matang dan mencapai taraf yang dapat bergerak sesuai keinginan hati, dalam gerakan yang cepat ini, mana mungkin dia mampu merubah gerakan secara mendadak? Apalagi dia yakin lawan tak mungkin dapat mencapai Hong-hu-hiat di belakang punggungnya, maka jurus 'Terbalik Menunggang Keledai’ tetap dia kembangkan sesuai petunjuk yang dia pelajari dari buku, "sret" goloknya menyilang dari atas ke bawah terus membabat ke dua kaki kakek hitam.

Mendadak dia kehilangan bayangan kakek hitam, ternyata selicin belut kakek hitam telah menyelinap pergi dari bawah selangkangan. Gerakan aneh dan tangkas kakek hitam ini memang aneh dan lucu, gerakannya cepat lagi, hakikatnya tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa lawan bakal menyelinap ke belakang.

Sebetulnya gerakan aneh kakek hitam yang aneh ini, bukan saja berada diluar dugaan Tan Ciok-sing, umpama lawan seorang gembong persilatan yang memiliki kepandaian puluhan lipat lebih liehay dari Tan Ciok-sing juga pasti dibuat keheranan dan tidak menduga sebelumnya. Maklum sebagai tokob persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi, memangnya siapa yang sudi menyelinap ke bawah selangkangan lawan, oleh karena itu tiada ajaran gerakan aneh semacam itu dalam kalangan persilatan di Tionggoan ini.

Ternyata kakek hitam iui adalah orang Thian-tok (India). Gerakannya itu merupakan kembangan dari ilmu Yogya. Adat dan kebudayaan bangsa Tionghoa berbeda dengan orang India, bagi mereka menyelinap dari bawah selangkangan lawan bukanlah merupakan suatu penghinaan atau sesuatu yang memalukan. Apa lagi taraf kepandaian Tan Ciok-sing belum mencapai tingkatan yang sempurna, gerakan jurus permainannya belum terkendali oleh daya pikirannya, bahwa bayangan kakek hitam mendadak lenyap dari pandangannya, maka gerakan bacokan goloknya tetap terayun ke depan "Trang" goloknya membacok batu di atas tanah.

Dalam kejap itu pula, Tan Ciok-sing merasakan Hong-hu-hiat di belakang punggungnya tiba-tiba kesemutan, telapak tangan kakek hitam menepuk punggungnya terus mendorongnya pergi.

Hong-hu-hiat adalah salah satu hiat-to dari tiga puluh enam hiat-to penting di tubuh manusia, jikalau hiat-to yang satu ini kena ditutuk dengan Jong-jiu-hiat lawan, kalau tidak mati seketika juga pasti luka parah. Tapi Tan Ciok-sing hanya merasa kesemutan saja, setelah dia terdorong maju beberapa langkah, begitu berdiri tegak lagi rasa kesemutan itupun telah lenyap tak berbekas. Hiat-tonyapun tidak tertutuk, gerak geriknya tetap leluasa, malah mampu mengayun goloknya pula.

Kembali kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya, "Tadi sudah kuperingatkan, tapi kau tidak percaya, sekarang kau mau tunduk tidak?"

"Mau bunuh boleh bunuh, selama hayat masih di kandung badan, takkan kubiarkan kau merebut barangku."

"Bocah yang bandel," ujar kakek hitam tertawa, "baiklah, masih ada delapan belas jurus ilmu golokmu yang belum kau lancarkan, sekarang boleh kau habiskan setelah habis kau kembangkan ilmu golokmu baru kubunuh kau, supaya kau mati meram."

Sudah tentu Tan Ciok-sing sudah tidak pikirkan mati hidupnya sendiri, golok terayun dia menyerbu lagi, tanpa disadarinya sekaligus dia telah kembangkan ilmu golok keluarga In sampai habis.

Kakek hitam mendadak jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, dengan jurus kecapung tegak terbalik, ujung kakinya menjungkir ke atas, "Tang" golok di tangan Tan Ciok-sing kena di tendangnya terbang ke udara. Kembali lawan mengembangkan semacam jurus permainan aneh yang tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing.

Sigap sekali tahu-tahu kakek hitam telah melompat berdiri pula, gerakannya teramat tangkas sebelum Tan Ciok-sing sempat berbuat apa-apa dia sudah mendahului melejit kesana menangkap golok pusaka yang melayang turun.

Begitu menangkap golok kontan dia putar balik gagangnya pula serta disesapkan ke tangan Tan Ciok-sing, katanya tertawa, "Selanjutnya kau harus lebih hati-hati, jangan sampai golok pusaka ini hilang lagi."

Sekian lama Tan Ciok-sing terlongong. Kakek hitam tadi bilang setelah dirinya habis melancarkan delapan jurus ilmu goloknya lantas akan membunuhnya. Tak nyana kini bukan saja lawan tidak membunuh dirinya, malah golok pusaka ini dikembalikan padanya.

Kini tatapan mata kakek hitam setajam sembilu, katanya dingin, "Katamu kau bukan murid In Hou, lalu siapa yang mengajarkan ilmu golok ini?"

Tan Ciok-sing naik pitam pula, serunya, "Kalian ini kawanan rampok, kenapa aku harus jelaskan kepada kalian?"

Kakek hitam tertawa, katanya, "Golok pusaka sudah kukembalikan, harpa itupun tidak akan kurebut. Kenapa masih dianggap rampok juga." Ternyata tadi dia hanya menggertak Tan Ciok-sing, berpura-pura hendak merebut harpanya, tujuannya hanya memaksa Tan Ciok-sing mengembangkan ilmu golok keluarga In.

Bimbang hati Tan Ciok-sing, pikirnya, "Mungkin mereka mengincar Kiam-boh karya Thio Tan-hong, tujuannya adalah rahasia yang kuketahui dari In Hou semasa masih hidup," maka dia balas bertanya, "Kalau kau bukan rampok, siapa kau?"

Berkerut kening kakek hitam, katanya, "Masa kau tidak pernah dengar nama Hek-pek-moko?"

"Apa itu Hek-pek-moko, aku tidak pernah dengar," ujar Tan Ciok-sing.

Kakek putih yang sejak tadi menonton di pinggiran kini geleng-geleng kepala, katanya, 'Tak usah ditanyai lagi, ilmu golok bocah ini kukira bukan diajarkan langsung oleh In Hou, kalau tidak masakah masih begitu kaku?"

"Betul," demikian batin kakek hitam, "kalau dia murid In Hou, kenapa tidak kenal Hek-pek-moko? Sejak tadi begitu melihat tampang kami berdua, seharusnya dia sudah kenal. Tapi cara bagaimana golok pusaka In Hou ini bisa berada di tangannya? Dari mana dan cara bagaimana dia bisa mempelajari ilmu golok keluarga In? Walau permainannya masih kaku, tapi jelas itulah ilmu golok keluarga In."

Di kala dia kebingungan dan tidak tahu cara bagaimana harus menghadapi bocah bandel ini, mendadak didengarnya dua kali suitan yang gugup dan melengking tajam, kejap lain tampak laki-laki brewok anak buah mereka itu mengeluh tertahan lalu sempoyongan sambil memeluk dada, "Bluk" akhirnya tersungkur jatuh. Laki-laki pendek itu masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi darah tampak menetes dari lehernya. Ternyata tanpa mengeluarkan suara, tahu¬-tahu jiwanya sudah melayang terbokong musuh, sesaat lagi baru tubuhnya roboh berdentam seperti kayu.

Lekas sekali dari dalam hutan tampak bermunculan bayangan beberapa orang, oborpun menyala terang benderang. Tiga orang yang berdiri terdepan dengan langkah gontai, pelan-pelan mendekati Hek-pek-moko.

Satu di antara ketiga orang ini sudah dikenal oleh Tan Ciok-sing, yaitu laki-laki yang memeluk gitar, dia bukan lain adalah gembong iblis she Siang yang ikut mencelakai In Hou didalam Cit-sing-giam tempo hari.

Padahal hari itu dia tidak berada disana, tapi "kenal" yang dia maksud lantaran pernah dengar keterangan kakeknya tentang tampang gembong iblis ini dan Le Khong-thian, serta senjata apa yang dia gunakan. Le Khong-thian bersenjata Tok-kang-tong-jin, sedang gembong iblis she Siang . bersenjata gitar besi, senjata yang jarang terlihat dan digunakan oleh kaum persilatan. Maka Tan Ciok-sing tahu bahwa laki-laki ini pasti adalah gembong iblis yang pernah mencelakai In Hou itu.

Baru pikirannya bekerja, maka didengarnya kakek hitam berkata dingin, "Siang Po-san, berani kau membunuh kedua anak buahku, memangnya kau pamer di hadapanku?"

"Ternyata gembong iblis ini bernama Siang po-san," demikian pikir Tan Ciok-sing. "Dia salah satu musuh In Tayhiap, akan kucatat namanya."

"Tidak berani," ujar Siang Po-san, "mengurangi dua musuh kan lebih leluasa untuk berbicara."

Kini jarak ketiga orang ini tinggal belasan langkah saja dari Hek-pek-moko, kelihatannya merekapun segan terhadap Hek-pek-moko, tiga orang berdiri dalam formasi segi tiga, semuanya menatap tajam penuh perhatian, Hek-pek-moko tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.

Dua orang yang lain itu terdiri kakek bertubuh kurus kering, seorang lagi adalah Hwesio berkepala besar dan bertelinga besar pula. Kalau kakek kurus menggantung golok di pinggangnya, sementara si Hwesio bersenjata tongkat besi.

Anak buah mereka ada belasan orang, semuanya kini sudah keluar dari hutan, Hek-pek-moko berdua sudah terkepung. Tan Ciok-sing berdiri di bawah sana, letaknya di sebelah kiri bawah Hek-pek-moko, jaraknya tiga puluhan langkah, golok masih tergenggam di tangan, pikirnya, "Gembong iblis she Siang ini mungkin sudah ^hu bahwa In Tayhiap meninggal di rumahku, kalau dia mengincar diriku, biar aku adu jiwa."

Didengarnya kakek hitam berkata, "Ie-cengcu, kawan undanganmu ini ternyata punya asal-usul juga ya, yang gundul ini adalah Thi-ciang Siansu bukan?"

Hwesio itu bersuara dengan pongah, "Betul, berkat kawan-kawan Kangouw yang sudi memandang diriku serta memberi gelar itu padaku. Hehe, aku tahu kalian adalah Hek-pek-moko, walau kita belum pernah berhadapan, kukira masing-masing sudah pernah dengar nama masing-masing."

Hwesio yang satu ini sebetulnya murid Siau-lim-pay, gelarannya Cau-hong, dua puluh tahun yang lalu karena melanggar disiplin perguruan, dia diusir dari Siau-lim-si oleh ketuanya Thong-sian Siang-jin. Tapi kepandaian ajaran Siau-lim-si yang pernah dia pelajari memang amat liehay, terutama enam puluh empat jurus Hong-mo-cang-hoat merupakan bekal kepandaiannya yang hebat, konon seluruh penghuni biara Siau-lim tiada yang menjadi tandingannya. Oleh karena itu dia dijuluki Thi-ciang Siansu, gelarannya yang semula sudah dilupakan orang malah.

"Kan masih ada Le Khong-thian?" ujar kakek hitam, "Kabarnya dua tahun yang lalu dia sudah kembali ke Tionggoan, selalu keluntang keluntung dengan kau orang she Siang ini. Ie-cengcu, kau mengundang orang she Siang, kenapa tidak memanggil orang she Le itu?"


Ie-cengcu tertawa tergelak-gelak, katanya, "Hek-pek-moko, apa kalian tidak terlalu mengagulkan diri? Le Khong-thian sedang ada urusan, tapi menurut hematku, kami yang hadir ini sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan urusan disini."

Dalam hati Tan Ciok-sing membatin, "Ie-cengcu ini mungkin yang dijuluki raja golok cepat le Cun-hong itu, kalau benar dia adanya, kakek hitam putih ini mungkin bisa celaka." Perlu diketahui, dulu Tan Ciok-sing pernah dengar percakapan Lui Tin-gak dengan kakeknya membicarakan le Cun-hong ini, waktu itu It-cu-king-thian tentu tiada bandingan di kolong langit ini, namun dia boleh terhitung tokoh ternama dalam permainan golok, hanya ilmu golok In Hou yang mungkin bisa menandinginya.

Meski sebelum ini tidak kenal dan sekarang tidak menaruh rasa simpati terhadap kakek hitam putih, namun dalam hati Tan Ciok-sing, diam-diam mengharap kedua kakek ini nanti yang menang. Maklum pendatang baru ini termasuk musuh pembunuh In Hou sudah tentu bencinya terhadap orang-orang ini setengah mati, mau tidak mau dia kuatir juga akan keselamatan kakek hitam putih.

Kakek putih ternyata berwatak lebih berangasan dari kakaknya, segera dia gcdrukkan tongkatnya ke tanah, serunya lantang, "le Cun-hong, bicara blak-blakan saja, apa maksud tujuan kalian mencari kami?"

Laki-laki kurus itu memang si cepat raja golok le Cun-hong, dengan kalem dia berkata, "Kalian tak usah kuatir dan jangan marah, memang kedatanganku ada tujuan, untuk ini mohon kalian suka memaafkan."

Bentak kakek putih, "Ada omongan apa lekas katakan."

Berubah air muka Le Cun-hong disemprot kasar, "bukan aku tidak bisa memaki orang, tapi kita akan berusaha secara hormat, kalau terpaksa apa boleh buat baru menggunakan kekerasan. Hek-pek-mo-ko, selama puluhan tahun ini, harta benda yang telah kalian kumpulkan di Tiongkok ini tentu tidak sedikit jumlahnya, kalau seluruhnya diboyong keluar tentu berabe. Oleh karena itu mohon kau suka beritahu dimana kalian menyimpan harta benda itu, kami tidak akan mengangkangi seluruhnya, cukup separoh saja. Sisanya yang separoh menjadi tanggungan kami untuk mengirimnya ke perbatasan."

Kakek putih menyeringai dingin, katanya, "Enak juga kalian membuat perhitungan, sayang sekali sekarang kami sudah rudin, jangan kata harta segala, uang sangupun kita tidak punya lagi, terpaksa biar kami merogoh kantong kalian saja."

Hwesio gede itu juga menggedrukkan tongkatnya ke tanah, katanya dingin, "Genta yang tidak dipalu tidak akan bunyi, lampu tidak disulut tidak akan nyala. Kalau demikian terpaksa Pinceng harus menggunakan tongkatku ini untuk

menyempurnakan kalian."

"Eh, mau berkelahi juga boleh, memangnya aku takut kepadamu?" tantang kakek putih.

Kakek hitam justru mengulap tangan, katanya, "Tunggu sebentar, aku tak percaya bahwa kalian ke mari hanya mengejar harta dan uang. Adakah maksud tujuan lain, silahkan katakan saja."

"Hek-moko," kata le Cun-hong, "otakmu memang lebih encer dari adikmu. Memang seorang teman minta aku tanya pada kalian, kalian kan teman baik Thio Tan-hong, tentunya tahu dimana sekarang tempat tinggalnya, temanku itu akan mencarinya."

Mendengar kakek hitam putih ini adalah teman baik Thio Tan-hong, bukan kepalang kaget hati Tan Ciok-sing, batinnya,


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar