Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 5

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 5
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 5

Hotel kecil seperti ini tiada jaga malam, ginkang Toh Ni cukup bagus, langkahnya enteng tidak mengeluarkan suara, tanpa diketahui siapapun dia berada di istal, dilihatnya kedua kuda itu tidur pulas saling bersender dengan mesranya. Toh Ni jadi berpikir: "Sungguh aneh, dua binatang sekali bertemu lantas saling jatuh cinta, seperti sepasang kekasih layaknya," tanpa menimbulkan suara diam-diam dia tinggalkan istal. Maksudnya mau kembali ke kamar, tapi tiba-tiba didengarnya suara "tok, tok, tok" tiga kali ketokan pintu, ada_orang mengetuk pintu belakang hotel kecil ini.

Timbul rasa heran Toh Ni, pikirnya: "Malam selarut ini, tak mungkin ada tamu menginap, kalau tamu juga tidak mungkin lewat pintu belakang, entah siapa orang ini, mungkin ada gejala-gejala yang kurang benar."

Tengah dia membatin, kacung yang tidur di kamar belakang dapur telah terjaga bangun, letak pintu belakang memang berada di sebelah dapur, maka cepat sekali si kacung sudah membuka pintu sambil menggerutu: "Siapa? Malam selarut ini main gedor pintu segala?"

"Utusan dari karisidenan, lekas huka pintu," teriak orang diluar ilcngan suara kereng.

Karuan si kacung kaget, lekas dia menyalakan obor, lalu membuka pintu, dilihat sikap dan gerak-geriknya si kacung kenal baik pengetuk pintu.

Orang itu berkata: "Bawa aku menemui juraganmu, jangan berisik. Aku tidak ingin membuat kaget para tamu disini."

Kacung itu mengiakan sambil munduk-munduk.

Diam-diam Toh Ni berpikir: "Utusan karisidenan, mungkin seorang opas. Memangnya tujuannya mencari perkara dengan Siau-ongya?" lalu dia menunggu setelah si kacung membawa tamu tak diundang itu memasuki kamar juragannya, lalu diam-diam dia mendekat untuk mengintip. Sinar lampu tampak telah dinyalakan didalam kamar, kacung itupun telah keluar pula. Dengan ginkang Toh-Ni yang tinggi dia gunakan gerakan menggelantung dia gantol kakinya di atas payon, sementara tubuhnya jungkir balik mengintip kedalam kamar.

Tampak si juragan dengan sikapnya yang gopoh dan gugup berkata: "Ong-puthau, tengah malam buta kau orang tua datang kemari entah ada keperluan apa?" dugaan Toh Ni memang tidak meleset, tamu tak diundang ini memang orang opas utusan dari karisidenan.

Opas she Ong itu berkata: "Tiada urusan aku takkan datang malam-malam begini. Terus terang karena suatu urusan dinas yang cukup penting, aku minta juragan suka membantu."

Juragan she Thio terkejut, katanya: "Jangan Ong-puthau berkata demikian, hotelku kecil tapi selamanya tak berani melanggar aturan..."

"Urusan ini tidak menyangkut dirimu, aku hanya ingin tahu tentang dua orang tamu yang menginap disini, jangan kau bikin keributan dan tidak usah gugup."

Dugaan Toh Ni ternyata tepat pula, dua orang yang dicurigai menurut apa yang dilukiskan opas she Ong kepada juragan she Thio memang Toan Kiam-ping dengan dirinya.

Sikap juragan Thio tampak gelisah dan tidak tentram, tanyanya: "Siapakah mereka? Apakah begal besar?"

"Aku juga tidak tahu siapa mereka, kedatanganku ini juga bukan hendak menangkap mereka."

"Lalu bantuan apa yang harus kulakukan?” tanya juragan she Thio.

"Kacung yang tadi membawaku masuk kemari, apakah dia setia kepadamu?"

"Dia anak yatim piatu, sejak kecil aku mengasuhnya. Kusuruh dia ke timur, dia takkan berani ke barat."

"Kulihat kacung cilik uni memang cerdik dan cekatan, kuknra dia tidak akan bikin urusan uni kapiran."

Juragan she Thio berkata: "Kedua tamu itu besok pagi-pagi sudah akan berangkat, tugas apa yang harus diserahkan kepada kacung cilik itu?"

"Aku tahu. Tentunya mereka akan berangkat setelah sarapan pagi?"

"Aku tidak berani merahasiakan. Apakah kau orang tua ingin menaruh sesuatu dalam makanan mereka?"

"Umpama mereka tidak sarapan pagi juga tidak jadi soal. Setiap orang bila bangun pagi pasti akan minum teh hangat. Nah aku diberi sebungkus obat oleh Sa-tayjin, katanya adalah Soh-kut-sun buatan istana raja, boleh kau seduh didalam air teko yang kau suguhkan mereka, yakni mereka tidak akan tahu. Dan lagi kadar obat ini cukup enteng, si peminum tidak akan seketika kumat, tapi kira-kira sejam kemudian baru akan terkulai lemas. Kau cukup mencampuri sedikit saja, setelah minum mereka masih bisa melanjutkan perjalanan. Kejadian selanjutnya kau boleh tidak usah kuatir. Tapi obat ini boleh kau sendiri yang mencampurnya didalam air teh, cuma sebagai juragan jangan kau sendiri yang menyuguh air teh ini, tapi suruhlah kacungmu melayani permintaan mereka, kalau berhasil, pasti kalian bakal dapat persen besar."

"Yang kuharapkan hotelku selamat dan tidak berani mengharapkan persen segala. Urusan sekeci!l ini gampang dilakukan, tenta ng rahasia ini si kacung tidak usalh diberitahu."

Sampai disini pembicaraan mereka, kebetulan kacung cilik itu masuk membawa sepoci teh, setelah mengisi secangkir penuh dia haturkan dulu kepada Opas Ong, katanya: "Kau orang tua silakan cicipi dulu secangkir teh panas ini."

Opas itu tertawa, katanya: "Memangnya kau anggap aku ini tamu yang perlu dilayani segala."

"Kau orang tua memang jarang datang, kapan kami dapat mengharap kehadiran kau orang tua. Semoga kau orang tua tidak menyalahkan kami para hamba ini berlaku kasar dan kurang hormat."

Opas itu tertawa, katanya: "Bagus, kau memang pandai bicara."

Setelah mencicipi seteguk, tak terasa opas Ong memuji: "Panas dan wangi, wah sungguh wangi, segar dan teh bagus," pelan-pelan dia taruh cangkirnya pula dan siap berdiri hendak pergi, mendadak dia berseru heran, bentaknya: "Lothio, kau, Liong-kin-teh mu ini..." sekali jambret dia mencengkram baju di depan dada juragan Thio.

Karuan juragan she Thio kaget, serunya: "Aku tidak berdosa terhadap kau orang tua, ada apa dengan Liong-kin-teh?" belum habis dia bicara, cengkraman opas Ong tiba-tiba mengendor dan "Bluk" kontan dia meloso jatuh tidak sadarkan diri.

Karuan juragan she Thio kaget setengah mati, lama sekali dia melongo, mulutnya menggumam: "Apakah yang terjadi, apakah Liong-kin-teh itu yang jadi penyebabnya? Siau-siong-ji, Siau-siong-ji..." waktu dia menoleh, kacung cilik tadi sudah tak kelihatan lagi.


Toh Ni yang mencuri dengar dan mengintip diluar jendela sudah bertindak lebih dulu, diam-diam dia sudah mengeluyur keluar sana, di gang kecil yang menjurus ke dapur dia temukan kacung cilik tadi menggeletak di lantai, namun baju luarnya ternyata diblejeti. Toh Ni menggoncang tubuhnya, tapi dia tidak bergerak, namun napasnya masih teratur, demikian pula denyut nadinya masih berjalan seperti biasa. Walau Kungfu Toh Ni belum mencapai tingkatan yang tinggi, namun dia tahu bahwa kacung ini tertutuk hiat-to pelemasnya.

Karena kuatir jejaknya konangan si juragan, lekas Toh Ni lari kedalam kamarnya. Toan Kiam¬ ping segera tanya: "Kenapa begini lama baru pulang?"

"Kejadian amat aneh..." kata Toh Ni, lalu dia tuturkan apa yang dilihatnya barusan, akhirnya dia menambahkan: "Kelihatannya ada seorang kosen dalam hotel ini juga yang diam-diam membantu kita."

Toan Kiam-ping tersentak sadar, katanya: "Aku sudah tahu siapa dia. Kau tunggu disini, segera aku mencari orang itu."

Diam-diam dia mengeluyur keluar mendekati jendela kamar sebelah serta mendongkelnya pula pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, setelah daun jendela terbuka dia melompat masuk, hatinya kebat kebit, entah dugaannya betul. Di saat dia melompat masuk itulah pelita dalam kamar itu mendadak menyala.

Dilihatnya laki-laki setengah umur yang dipandang menyebalkan oleh Toh Ni kelihatan duduk bersila di pinggir ranjang, suaranya sumbang menjengek dingin: "Tengah malam buta rata, kau main menggerayang di kamarku mau apa?"

Bukan kepalang kikuk dan runyam keadaan Tban Kiam-ping, katanya tersendat-sendat: "Maaf, aku, aku kira..."

Baru saja dia mau minta maaf laki-laki bertampang menyebalkan itu tiba-tiba cekikik geli, katanya: "Toan-toako, aku sengaja menggodamu, aku tahu kau pasti kemari," suaranya yang semula sumbang kini berubah merdu dan enak didengar.

Karuan kaget dan senang Toan Kiam-ping bukan kepalang, serunya: "Adik Cin, betulkah kau."

"Bagaimana kau bisa meraba akan diriku?"

"Kacung yang menyuguh air teh itu jelas adalah samaran orang lain, kecuali kau siapa orangnya dalam dunia ini yang mampu menyaru semirip itu? Pada hal waktu ketemu kau siang tadi, aku sudah curiga akan dirimu. Soalnya kuda tungganganmu berbulu lain, sehingga aku bimbang."

"Bagaimana kau bisa curiga atas diriku? Memangnya samaranku ini ada lobang kelemahannya?"

"Samaranmu tiada yang mencurigakan, tapi sorot matamu secara wajar menampilkan rasa perhatianmu terhadapku, bola matamu yang jernih dan jeli itu takkan bisa dirubah lagi bila memandang daku."

Manis mesra hati Han Cin, katanya: "Tak nyana kau seteliti ini, aku.. aku..."

"Kau kenapa?"

Lirih suara Han Cin, "Aku senang, kau tidak memakiku seperti Siau-ni-cu memakiku laki-laki menyebalkan," tanpa tciasa dia cekikikan geli sendiri, "sekarang boleh kau panggil Siau ni-cu kemari."

Siau-ni-cu segera mengiakan dan masuk, katanya: "Siau-ni-cu punya mata tapi tidak dapat mengenali orang, harap nona Han tidak berkecil hati."

"Kali ini pandanganmu tidak setajam Toan-toako," kata Han Cin tertawa.

"Pertama aku tidak perhatikan sorot matamu, kedua kuda tungganganmu itu yang mengaburkan perhatianku," demikian ujar Toh Ni.

"Sebetulnya kuda tungganganku itu juga kupinjam dari Ciong-cici."

"Lho, bukankah kuda itu berbulu putih?"

"Kan gampang bulunya itu kusemir dengan warna lain, tapi kalau kehujanan warna semir itu bisa luntur sendiri."

"O, kau punya semir sebagus itu, lekas kau semir juga kuda kami supaya tidak dicurigakan orang."

"Tadi sudah kusemir bulu kuda Toan-toako dengan warna coklat hitam. Baru saja aku kembali dari istal. Sekarang mumpung belum terang tanah, marilah kurias kalian dengan bentuk lain pula."

Toh Ni teringat sesuatu, tanyanya: "Nona Han, dengan obat bius kau membius opas she Ong itu, mungkin juragan hotel ini bisa lapor kepada penguasa setempat, apa kita bisa menunda waktu dua jam lagi disini?"

"Semuanya sudah kubereskan, memangnya kau perlu peringatkan lagi?"

"O, jadi kaupun bikin juragan itu pulas juga?"

"Aku menutuk hiat-to penidurnya, kira-kira dua belas jam lagi baru akan siuman."

Legalah hati Toh Ni, katanya: "Nona Han, kau hendak merobah aku jadi orang apa?"

"Kembali pada wajah kalian semula."

Toan Kiam-ping kaget, katanya: "Kembali pada wajah semula? Bukankah jejak kami lebih gampang konangan?"

"Pendapatku justru terbalik. Kau harus tahu, sebetulnya kau ini pemuda bangsawan, dengan menyamar pedagang kecil, meski bentuknya cukup menyerupai, tapi sikap dan tindak tanduk serta tutur katamu tak mungkin dirubah. Bagi orang Kangouw yang berpengalaman, sekali pandang sudah tahu akan kepalsuan dirimu. Lebih baik kau menyamar pemuda perlente dan keluarga hartawan yang mau ujian ke kota raja, Siau-ni-cu tetap sebagai kacung pengiringimu. Bedanya tidak jauh dari keadaan kalian yang asli, maka sikap dan tutur kata kalian tidak perlu dibuat-buat. Yakin kawanan cakar alap-alap itu takkan menduga bahwa kalian menyamar pemuda hartawan yang mau ujian negara. Kalau mereka curiga pada para pedagang atau golongan lain, yakin tidak akan curiga pada orang-orang sekolahan."

Toan Kiam-ping maklum dan mengerti, serunya sambil keplok: "Bagus, akal bagus, inilah akal bagus dari timbal balik antara isi kosong dan kosong isi. Tapi kami tidak membawa pakaian untuk keperluan ini."

"Sudah kusiapkan," ucap Han Cin. "Mari kalian coba pas tidak dengan perawakanmu."

Senang tak terhingga Toan Kiam-ping dibuatnya, katanya: "Nona Han, kau umpama seorang dewi sakti? Darimana kau tahu kami bakal ketiban malang, di kala kami memerlukan tenaga dan pikiranmu, tahu-tahu kau muncul di hadapanku. Segalanya sudah kau siapkan lagi."

Han Cin tertawa, katanya: "Silahkan ganti pakaian dulu, setelah salin nanti kuterangkan."

Setelah mendengar ceritanya Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Begitu besar perhatian orang banyak terhadapku, sungguh harus kusesalkan. Tapi nona Han, satu hal yang paling ingin kuketahui belum kau jelaskan kepadaku."

"Soal apa?"

"Apakah Tan Ciok-sing dan In San sudah tiba di atas gunung?"

"Belum, kami kira, mereka berdua sudah menuju ke kota raja."

"Kenapa merekapun mau ke kota raja?"

"Wi-cui-hi-kiau kawan-kawannya pergi ke kota raja hendak membunuh Liong Bun-kong pembesar anjing durjana itu. Mungkin mereka tidak termasuk orang yang diundang, tapi merekapun punya permusuhan dengan pembesar anjing itu, kini setelah tahu pembesar anjing itu ada intrik dengan duta -Watsu, tanpa diundang Wi-cui-hi-kiau juga pasti mereka meluruk ke kota raja, jadi maksud tujuannya seperti Wi-cui-hi-kiau."

Toan Kiam-ping manggut-manggut, katanya: "Dugaan kalian pasti tidak salah. Tentang utusan Watsu dan terbunuhnya Ui-yap Tojin, sudah diketahui oleh In San. Satu hal belum sempat kuberitahu kepadamu, Ui-yap Tojin terbunuh oleh jago-jago Watsu yang mengiringi Dutanya, sementara Sia-cin Hwesio terluka parah dan berhasil meloloskan diri, di tengah jalan aku bersama nona In pernah bertemu dan menolong Sia-cin Hwesio yang terluka parah ilu."

"Kim-to Cecu tidak menyetujui sepak terjang Wi-cui-hi-kiau yang hendak membunuh Lioiijj Bun-kong dengan cara demikian, akupun kuatir mereka bakal menemui kesulitan dan bahaya di kota raja."

"Kuharap sebelum tiba di kota raja sudah bisa menolong ayah. Tapi, umpama usahaku ini berhasil, aku tetap akan berangkat ke kota raja. Siau-ni-cu boleh menghantar ayah ke markas Kim-to Cecu. Nona, masih aku mengharap bantuanmu."

"Toan-toako, soal bantuan tidak usah kau ucapkan lagi. Bukan saja Tan Ciok-sing teman baikmu, diapun saudara angkatku. Bicara terus terang, semula aku ada maksud supaya Kim-to Cecu mengirimku ke kota raja untuk kerja sama dengan dia, namun mengingat urusanmu lebih genting, maka aku mendahulukan ke Tayli. Bila leluasa dan berhasil menolong ayahmu, kukira tiada halangan kita lanjutkan ke kota raja."

Sembari bicara Han Cinpun sudah selesai merias mereka, waktu Toan Kiam-ping berkaca, wajahnya ternyata sudah berubah lebih ganteng, tak ubahnya pelajar lemah lembut yang getol membaca, bentuknya jelas jauh berbeda dengan muka aslinya, tak urung dia memuji: "Nona Han, kepandaianmu merias orang memang amat menakjubkan, jangan kata kawanan cakar alap-alap itu, umpama ayahku sendiri yakin takkan mengenaliku lagi."

Toh Ni tertawa, katanya: "Nona Han, aku kuatir kau bakal merubahku jadi orang yang menjijikkan, banyak terima kasih akan make upmu yang merubahku menjadi lebih cakap dari Siau-ni-cu yang sesungguhnya."

Mereka perhitungkan sebelum matahari tenggelam, dengan kecepatan jalan kereta pesakitan itu, pasti mereka akan menginap di sebuah kota kecil di depan sana, maka mereka mendahului singgah di kota kecil ini menunggu kedatangan mereka. Tak nyana dugaan mereka meleset, rombongan pesakitan itu ternyata tidak lewat kota kecil ini.

Kuatir mereka menempuh jalan lain, maka Toan Kiam-ping suruh Toh Ni putar balik menyusuri arah datangnya tadi memeriksa lebih cermat. Hampir tengah malam baru Tob Ni pulang ke hotel dan memberitahu kepada Toan Kiam-ping: "Mereka menginap di kota kecil s,ebelah belakang itu, bukan menempuh jalan putar lainnya."

Hari kedua mereka memasuki kota yang sudah ditentukan untuk menginap disini. Tiba-tiba Han Cin berkata: "Kalian pergi cari hotel lebih dulu, aku akan menyusul dan bekerja menurut situasi."

Penantian mereka kali ini tidak sia-sia. Hotel yang dicari kali ini adalah penginapan terbesar dalam kota ini, makan malampun dipercepat dari waktu biasanya. Kira-kira hampir petang rombongan kereta pesakitan itupun memasuki kota dan menginap di hotel besar itu pula.

Semula rombongan kereta pesakitan ini ada 8 orang termasuk Lo-ongya dan Ling Suhu, tapi kali ini ketambahan satu orang lagi, yaitu seorang tabib kelilingan yang masih asing membawa kotak obatnya, dengan muka lesu dia menginti! di belakang Ciok-Khong-goan dan Sa Thong-hay. Setiba di halaman hotel Sa dan Ciok berdua membimbing ayah Toan Kiam-ping turun dari atas kereta, wajah ayah Toan Kiam-ping tampak pucat dan lusuh, mungkin karena menempuh perjalanan jauh, sehingga dia tidak tahan dan jatuh sakit.

Toan Kiam-ping mengarti, pikirnya: "Kiranya sakit, tak heran dua hari ini mereka berjalan amat lambat. Ai, ayah sudah biasa hidup mewah dilayani, mana kuat menempuh perjalanan jauh yang menyiksa ini? Aku harus cepat menolongnya dari kesusahan ini."

Begitu rombongan ini memasuki hotel, Khong-tik lantas ribut dengan mereka.

Toh Ni mengintip dari celah-celah pintu lalu memberitahu Toan Kiam-ping: "Kedua pembesar anjing itu membimbing ayahmu masuk ke kamar seberang yang tengah itu. Em, tabib itu juga ikut masuk."

Maka terdengar suara gedoran pintu Ling Khong-tik di kamar seberang, serunya: "Kalian larang aku merawat Toan-losiansing, apakah aku tidak boleh masuk."

Agaknya Ciok Khong-goan segan bentrok dengan dia, katanya: "Baiklah, kau masuk boleh masuk. Tapi kau dilarang dekat-dekat dengan Toan-siansing."

Begitu Ling Khong-tik masuk kedalam kamar suaranya ribut terdengar semakin keras. Terdengar dia tanya kepada tabib: "Kau yakin dapat menyembuhkan penyakit Lo-siansing?"

"Terus terang," sahut tabib itu, "aku ini hanyalah tabib kampungan, penyakit ringan kutanggung tidak akan mati, kalau penyakit berat, ya serahkan saja kepada Thian yang maha kuasa."

Ling Khong-tik mendengus, katanya: "Kalau tahu dirimu tidak mampu, buat apa kau masih berdiri disini?"

Kata si tabib dengan muka meringis: "Bukan aku yang mau kemari, merekalah menyeretku kemari."

"Ciok-tayjin, menolong jiwa lebih penting, lekaslah kau cari tabib lain yang lebih pandai."

"Di kota sekecil ini kemana mau cari tabib pandai? Yang diundang paling juga tabib kampungan yang tidak mampu berbuat apa-apa."

"Tapi bukan mustahil dapat mencari tabib yang lebih pandai, apa salahnya kalau kau undang sekaligus dua tiga tabib, mumpung belum terlalu malam, kalian masih bisa lari ke kota karesidenan mengundang tabib dari sana."

Sa Thong-hay tertawa dingin, jengeknya: "Kau ingin kami menyempatkan salah satu orang untuk cari tabib, kalau terjadi sesuatu bagaimana? Kau sendiri kenapa tidak mau?"

Bahwa kawanan cakar alap-alap itu tidak mau berusaha, Ling Khong-tik sendiri juga kuatir bila dirinya pergi mencari tabib, bukan mustahil mereka main muslihat, di saat dia kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara kelinting yang diayun maju mundur, lalu terdengar seorang bersenandung "Say-hoa-tho Khu Pan-sian, khusus menyembuhkan penyakit aneh, siapa makan obatku, tanggung sakit hilang sebalpun lenyap, jangan kuatir raja neraka akan mengundangmu."

Ciok Khong-goan segera menyela sama tengah, katanya tertawa: "Baru saja kita bicara soal tabib, tabib pandai segera datang. Orang itu berani mengagulkan diri, mungkin memang punya kepandaian, baiklah undang dia supaya memeriksa sakit Toan-losiansing."

"Tabib keliling macam jual kecap, memangnya dia punya kepandaian apa?" jengek Ling

Khong-tik.

"Kalau kau pintar kenapa tidak kau sendiri mengobati. Hm, tidak ada tabib kau ribut, sekarang ada tabib datang, kau anggap dia bodoh tidak becus segala. Hehehe, di kampung sering aku mendengar pameo, tidak ada kuda kerbaupun boleh ditunggangi, belum tentu di kota ada tabib pandai, kenapa tidak mengundang tabib kelilingan itu untuk coba memeriksanya."

Meski tidak yakin tabib kelilingan ini mampu menyembuhkan penyakit junjungannya, tapi apa boleh buat, dari pada tidak diperiksa dan diobati, terpaksa Ling Khong-tik berkata: "Baiklah, biar dia mencobanya."

Tabib yang datang duluan berkata: "Tabib baru sudah datang, aku boleh pergi bukan? Terus terang, aku memang tidak mampu mengobatinya."

Sa Thong-hay segera membentak: "Kau tabib gentong nasi, enyahlah," lalu dia tarik suara berteriak kepada Huwan Pau yang berjaga diluar supaya mengundang tabib kelilingan itu.

Mendengar tabib kelilingan berjuluk Say-hoa-tho dan bernama Khu Pan-sian (Khu setengah dewa), tergerak hati Toan Kiam-ping yang sembunyi di kamarnya lekas dia mengintip dari celah pintu. Dilihatnya Huwan Pau membawa seorang tabib yang membawa kotak obat dan sebatang pentung masuk kedalam kamar. Di ujung pentung itu terikat sebuah" kelintingan dengan ronce kain warna warni. Wajah tabib kelilingan ini jauh berbeda dengan samaran Han Cin waktu menjadi laki-laki setengah umur yang bertampang menyebalkan itu. Diam-diam timbul rasa curiga Toan Kiam-ping, dalam hati dia menerka bahwa tabib ini adalah samaran Han Cin.

Begitu tabib ini masuk ke kamar mengintil di belakang Huwan Pau, Sa Thong-hay lantas berkata: "Apa betul kau punya kepandaian seperti yang kau agulkan sendiri?"

"Menyembuhkan penyakit menghidupkan jiwa adalah kemah iranku. Tapi aku baru mau turun tangan bila penderita betul-betul mau percaya padaku, kalau mengundangku tapi masih juga curiga padaku maka obatku takkan mujarab lagi."

"Jarang kulihat tabib seaneh kau, masa sama-sama obatnya, kenapa kau yakin bahwa obatmu pasti lebih mujarab bila kami percava kepadamu?"

"Penyakit badan mudah diobati, tapi penyakit batin susah disembuhkan. Demikian pula keadaan si sakit dengan lahir batinnya amat besar sangkutnya, bila si sakit percaya akan pertolongan si tabib baru penyakitnya akan sembuh, dia besar-benar akan terhindar dari kesulitan."

Mendengar rangkaian kata-kata si Tabib ini, Toan Kiam-ping yang mengintip di kamarnya tergerak pikirannya: "Bukankah kata-kata ini seperti ditujukan kepadaku?"

"O, ya, memang masuk akal, baik silakan kau periksa. Toan-siansing ini adalah orang penting, bila penyakitnya malah parah setelah makan obatmu, kau harus bertanggung jawab seluruhnya," demikian kata Ciok Khong-goan sambil menepuk pundak si tabib kelilingan.

Tepukan ini untuk menjajal apakah tabib kelilingan ini pandai silat atau tidak, tepukan itu tepat pada tulang pundaknya yang penting, bila tenaga dalam dikerahkan, tulang pundak akan tertepuk pecah, betapapun tinggi kepandaian silat seseorang pasti punah dan menjadi orang cacad. Bila tabib ini pandai main silat, tentu dia tahu bahwa tepukannya ini mengancam tulang pundaknya, maka dia pasti berusaha menghindar atau menangkis.

Tabib kelilingan berkata: "Tayjin aku mau menyembuhkan penyakitnya, tapi kau menggertakku, aku jadi ragu-ragu untuk menggunakan obatku."

Lenyap rasa curiga Ciok Khong-goan, katanya tergelak-gelak:

"Periksalah dengan seksama, kami ada menyediakan persen, persen untuk yang berhasil tapi juga persen untuk yang gagal. Bila penyakitnya sembuh, kupersen kau seratus tahil perak."

"Kalau begitu banyak terima kasih dulu," sahut tabib kelilingan, baru saja dia menghampiri ayah Toan Kiam-ping yang rebah di atas ranjang, tiba-tiba Sa Thong-hay berseru: "Tunggu sebentar."

Tabib itu melengak, tanyanya: "Masih ada petunjuk apa Tayjin?"

"Waktu kau memeriksa tentunya tidak suka diganggu keributan bukan?"

Tabib kelilingan itu melongo, batinnya: "Mungkin menjajalku lagi? Kalau aku turuti keinginannya, menyuruh mereka keluar semua, tentunya aku bisa dicurigai," maka setelah pura-pura berfikir sebentar dia berkata: "Bagi si sakit memang perlu ketenangan, tapi kalau hanya seorang diri memeriksa penyakit Lo-siansing ini, aku tak berani tanggung bila terjadi sesuatu atas dirinya. Lebih baik satu di antara kalian menemani aku disini."

"Betul, baiklah begitu saja," seru Sa Thong-hay, "nah Ling Suhu, silakan keluar."

"Kenapa aku yang harus keluar?" teriak Ling Khong-tik. "Tabib tolong tanya, bukankah orang sendiri yang harus menjaga si penderita?"

"Biasanya memang demikian," sahut si tabib, "perasaan si penderita akan lebih tenang kalau dijaga orang yang dekat padanya."

"Nah, dengar tidak, meski aku tidak terhitung sanak familinya, tapi aku lebih dekat daripada kalian," demikian Ling Suhu berkata.

"Tapi jangan kau lupa, disini bukan di istana, di rumahnya kau adalah orang kepercayaannya, adalah * kewajibanmu untuk melayani junjungan. Tapi disini, kami yang berkuasa, kami sebagai pelaksana perintah harus lebih dekat dengan Lo-ongya, peduli dia membenciku atau tidak, terpaksa dia harus anggap aku orang dekatnya."

Ling Khong-tik naik pitam, serunya: "Kalian sebanyak ini, memangnya takut aku berkomplot dengan tabib ini menculik Toan-losiansing?"

"Peduli amat dengan jalan pikiranmu," jengek Sa Thong-hay, "pendek kata silakan kau keluar."

Apa boleh buat, akhirnya Ling Khong-tik melangkah keluar.

Lo-ongya menghela napas, katanya lemah: "Sebetulnya tidak perlu diperiksa lagi, penyakitku ini takkan bisa disembuhkan lagi."

"Lo-siansing jangan kuatir, penyakitmu pasti dapat kusembuhkan," di bawah pengawasan Sa Thong-hay tabib itu mulai memeriksa nadi.

Rekaan Toan Kiam-ping memang tidak meleset, tabib keliling ini memang samaran Han Cin. Seperti diketahui Khu Ti atau ayah angkat Han Cin bukan saja pandai tata rias diapun pandai ilmu pengobatan, meski Han Cin tidak mewarisi kedua ilmu ini secara sempurna, tapi kepandaiannya sudah cukup lumayan dan tinggal menambah pengalaman dalam praktek. Setelah dia memeriksa urat nadi, diam-diam hatinya amat kaget, ternyata penyakit Lo-ongya memang cukup parah, "penyakitnya timbul karena penasaran dan kemarahan yang tidak terlampias, maklum sejak lama dia hidup dalam kebesaran dengan gengsi dan pamor yang dijunjung tinggi, kapan pernah dia mengalami siksa derita sebagai tawanan yang dihina begini. Umpama dapat meloloskan diri, mungkin penyakitnya tetap takkan bisa disembuhkan," demikian pikir Han Cin.

"Bagaimana?" tanya Sa Thong-hay dari samping.

"Tuan ini kehilangan kontrol pada dirinya sendiri, sehingga peredaran darahnya kurang lancar, hawa mengeras dalam perut sehingga menimbulkan serangan angin luar dan desakan hawa dalam," lalu dia sebutkan pula beberapa penyebab si penderita jatuh sakit yang ternyata jitu. Mendengar penjelasannya lancar dan tepat, diam-diam Sa Thong-hay berpikir: "Agaknya kepandaiannya memang lebih tinggi dari tabib yang kuundang kemarin," maka dia berkata: "Apa kau yakin dapat menyembuhkan penyakitnya? Harus berapa hari?"

"Penyakitnya memang tidak ringan, tapi masih ada setitik harapan, cuma harus berapa hari baru dapat kusembuhkan sukar kuramalkan. Baiklah kubuka resep obatnya."

"Baik, silakan tabib membuka resepnya dengan baik," kata Sa Thong-hay.

Dari kotak obatnya Han Cin keluarkan alat-alat tulisnya diletakkan di atas meja, Sa Thong-hay duduk di depannya secara berhadapan. Dia bantu mengaduk tinta, sementara Han Cin menunduk memejam mata seperti memikirkan obat.

Setelah tintanya diaduk kental, Sa Thong-hay berkata: "Sudah tabib pikirkan obatnya yang tepat?"

"Sudah kudapatkan," ujar Han Cin. Mendadak tangannya menggebrak meja, gebrakan meja ini dia gunakan tenaga dalam, maka tinta yang diaduknya itu tahu-tahu muncrat dan menyembur ke muka Sa Tong-hay

Kejadian amat mendadak, karuan Sa Thong-hay amat kaget, baru saja mulutnya terpentang dan sempat menjerit sekali, cepat sekali Han Cin sudah mencengkram urat nadinya.

Segera Ciok Khong-goan sudah menerjang masuk seraya membentak: "Apa yang kau lakukan?" melihat Sa Thong-hay dibekuk orang, dia tidak hiraukan temannya, tapi langsung memburu ke arah ranjang.

Tujuan Han Cin hendak membekuk Sa Thong-hay sebagai sandera untuk meloloskan diri, tak kira Ciok Khong-goan tidak hiraukan ancamannya, malah dia sendiri sekarang yang diancam: "Lekas lepaskan Sa-tayjin, Kalau tidak biar kubunuh dulu Lo-ongya," demikian bentak Ciok Khong-goan. Belum habis dia bicara, "Bret" kelambu telah ditariknya sobek dan rontok berhamburan.

Walau tahu Ciok Khong-guan hanya main gertak, namun mau tidak mau Han Cin kaget juga. Dalam keadaan segenting ini tak sempat dia banyak pikir, sekali jinjing dia lempar tubuh Sa Thong-hay ke arah Ciok Khong-goan. Lekas Ciok Khong-goan lompat menyingkir, terdengar "Wut", cambuk lemas di pinggang Han Cin sudah terlolos dan menyapu datang dengan tipu Wi-hong-sau-yap (angin lesus menyapu daun), kedua kaki Ciok Khong-goan dijadikan sasaran.

Sekenanya Ciok Khong-goan membalikkan tangan, tapi ujung cambuk tidak kena ditangkap, namun gerakan tangannya menimbulkan deruan angin yang menyibak cambuk itu ke samping, namun demikian diapun merasakan tulang pergelangan tangannya kesakitan, terpaksa dia menyurut mundur, teriaknya: "Gasak dia..."

Dalam pada itu Sa Thong-hay jatuh terjengkang dengan kaki tangan di atas, pantatnya kesakitan, bentaknya merangkak sambil memegang pantat: "Anak kura-kura, berani kau membokong aku, kalau tidak kugayang kau, aku bersumpah tidak jadi manusia."

Han Cin kembangkan ilmu cambuknya bertahan di depan ranjang, tapi sepasang kepalan susah melawan empat tinju, hanya beberapa jurus keadaannya sudah kepepet dan terdesak di bawah angin. Terpaksa Han Cin berteriak: "Toan-toako, lekas kemari," belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara "Biang" jendela ditendang ambrol, Toan Kiam-pingpun telah mencelat masuk.

"Minggirlah kalian," hardik Toan Kiam-ping, dimana kedua jarinya terjulur, tiba-tiba mengancam muka Ciok Khong-goan, bola mata orang menjadi sasaran cakarnya. Ciok-Khong-goan kira Pangeran raja ini adalah pemuda lemah yang biasa hidup mewah, betapa tinggi kepandaiannya? Sungguh tak terpikir olehnya bahwa gerak serangannya ternyata setangkas ini, baru saja daun jendela tertendang ambrol, tahu-tahu serangan orangpun telah tiba di depan matanya. Pandangannya menjadi kabur, dilihatnya jari lawan tahu-tahu sudah hampir menyentuh kelopak matanya.

Serangan ini memaksa lawan untuk menyelamatkan diri sendiri, bila Toan Kiam-ping menekuk jari dan mencukilnya, tanggung kedua biji mata Ciok Khong-goau akan dicukil nya buta, betapapun besar nyali Ciok Khong-goan, sudah tentu tidak rela matanya buta, lekas dia melompat mundur.

"Ayah, jangan takut," teriak Toan Kiam-ping, "anak datang menolongmu," menyingkap kelambu dengan sebelah tangan dia memeluk ayahnya.

Tapi Ciok Khong-goan telah menyerbunya lagi seraya membentak: "Anak keparat, inilah yang dinamakan di sorga ada jalan kau tak mau kesana, neraka buntu justru kau terjang, lebih baik kalian ayah beranak kumpul bersama di hadapan Giam-lo-ong," mulut memaki sepasang telapak tangan memukul. Jurus serangan ini dinamakan Ban-liong-siang-jong-ciang, salah satu jurus yang terliehay dari ilmu pukulan Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkannya.

Dengan enteng seperti tidak menggunakan tenaga Toan Kiam-ping menepuk sekali, kekuatan pukulan Ciok Khong-goan yang dahsyat itu seketika dipunahkan dengan seenaknya saja, terasa olehnya tenaga lunak lawan ternyata tidak sirna begitu saja, daya pantulnya masih terus menerjang maju dengan tenaga lengket yang sangat kuat, sehingga tanpa kuasa dia berputar satu lingkar baru mampu kendalikan gerak gerik sendiri, karuan kagetnya bukan main, lekas dia cabut gotok yang terselip di pinggangnya untuk berjaga di depan dada.

Dengan napas memburu Lo-ongya berteriak: "Anak Ping, apa betul kau yang datang. Ai, kenapa kau menempuh bahaya sebesar ini? Usiaku sudah lanjut, apa gunanya kau menolongku. Lekas, jangan hiraukan aku, larilah sendiri. Keluarga Toan kita tinggal kau seorang yang harus melanjutkan keturunan. Selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Dengarkan nasehatku. lekas lepaskan aku."

"Ayah," kata Toan Kiam-ping, "pejamkan mata dan jangan saksikan apa yang terjadi. Anak pasti dapat menolongmu," dengan sebelah tangannya dia kembangkan Tay-kim-na-jiu melawan rangsakan golok baja Ciok Khong-goan, ternyata Ciok Khong-goan tidak mampu mendesak maju, tapi dalam waktu dekat diapun tak mampu menerjang keluar.

Terdengar Ling Khong-tik menghardik keluar: "Jangan rintangi aku, mati atau hidup kalian sendiri yang menentukan," lalu terdengar suara "Biang", kedengaran seorang telah dipukulnya roboh, belum lagi langkahnya memasuki kamar, pukulan jarak jauhnya sudah menerjang ke tubuh Ciok Khong-goan.

Lekas Toan Kiam-ping kempit badan ayahnya terus menerjang keluar pintu. Han Cin ikut keluar di belakangnya, karena membawa ayahnya yang sedang sakit, Toan Kiam-ping tidak berani lari kencang dan lompat naik turun, baru saja dia tiba di pintu belakang hotel itu, dirinya sudah terkejar oleh kawanan cakar alap-alap. Di belakang pintu ternyata adalah tegalan yang berumput liar yang cukup luas, cepat sekali Huwan bersaudara sudah berancang dengan posisi masing-masing, Toan Kiam-ping terkepung di tengah barisan mereka. Sa Thong-hay biarkan Ciok Khong-goan melabrak Han Cin, sementara dia sendiri memberi aba-aba, katanya bergelak tertawa: "Ling Khong-tik, kami hanya membekuk pelanggar hukum, kini mereka ayah beranak sudah berada di tangan kami, terus terang aku tidak ingin mempersulit dirimu. Nah tahulah diri, lekas menyingkir yang jauh," lalu dia membentak kepada Toan Kiam-ping: "Kalau kau ingin menyelamatkan jiwa ayahmu, lekas menyerah."

Pada saat itulah, sesosok bayangan orang yang kurus kecil entah menerobos dari mana tahu-tahu sudah berada di samping Toan Kiam-ping. Kejut dan girang Toan Kum-ping teriaknya: "Siau-ni-cu, kenapa kau masih ada disini? Kau. lekas kau..."

Ternyata yang menerobos mendadak ini adalah kacungnya Toh N i, perawakan Toh Ni memang kurus kecil, perhatian Huwan bersaudara hanya terpusat pada Toan Kiam-ping, mimpi juga mereka tidak mengira bahwa pemuda ini sebesar itu nyalinya, mendadak menerobos masuk kalangan dari samping mereka.

Toh Ni menukas perkataan Toan Kiam-ping: "Serahkan Lo-ongya kepadaku."

Di saat Toh Ni menerjang masuk kalangan, kebetulan Ling Khong-tik juga menerjang datang, Sa Thong-hay membentak: "Kau tua bangka ini memang tidak tahu diuntung."

Ling Khong-tik juga menghardik: "Meski harus pertaruhkan jiwa tuaku ini, biar aku adu jiwa dengan kalian," di tengah gerungannya beruntun dia melontarkan tiga kali pukulan jarak jauh.

Melihat kelakuan orang yang kalap seperti harimau mengamuk, Sa Thong-hay jadi jeri dan tidak berani melawannya dengan kekerasan, terpaksa dia terdesak masuk dalam kalangan barisan Huwan bersaudara.

Toan Kiam-ping yang berada dalam kurungan barisan sudah tidak banyak pikir lagi, melihat kesempatan baik ini, segera dia serahkan ayahnya kepada Toh Ni, katanya pilu: "Saudaraku yang baik, kalau mampu lari berusahalah meloloskan diri, kalau tidak mampu lolos biar kita gugur bersama."

Tanpa menggendong ayahnya Toan Kiam-ping tidak menguatirkan apa-apa, dengan tekad untuk gugur bersama, mendadak dia bersiul panjang dan nyaring, pedang pusakapun telah dilolosnya. Dengan jurus Liu-sing-kan-gwat (meteor mengejar bulan), ujung pedangnya bergetar menimbulkan gambaran berlapis-lapis, sekaligus tiga kuntum sinar pedang berpencar menyerang ketiga jurusan, ke kiri menusuk Hiat-hay-hiat di bawah lambung Huwan Liong, ke kanan menusuk Ji-toh-hiat di dada Huwan Pau dan di tengah menusuk Hian-ki-hiat di ulu hati Huwan Hou. Satu jurus mengincar tiga hiat-to di tiga tubuh musuhnya, hanya Huwan Kiau yang posisinya agak jauh tidak menjadi sasaran serangan ini. Karuan Huwan bersaudara amat kaget. Tak pernah mereka bayangkan bahwa Toan Kiam-ping anak raja yang disangkanya lemah dan lembut ini memiliki ilmu pedang seliehay dan seganas ini, namun barisan pedang mereka berempat hakikatnya juga amat tangguh dan tidak kalah hebatnya, meski serempak menghadapi serangan balasan yang ampuh, tapi mereka tidak berusaha secara individu untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi saling bantu dan tolong menolong, sehingga rangsakan pedang Toan Kiam-ping berhasil dipunahkan, malah Ling Khong-tik yang hendak menerjang masuk kalanganpun berhasil dibendung di garis luar.

Ling Khong-tik seperti banteng ketaton, menubruk seraya mengayun jotosannya merabu gencar ke arah Sa Thong-hay, tahu-tahu telapak tangannyapun menempiling ke arah Huwan Kiau yang paling dekat. Pukulannya sungguh seperti kampak yang mampu membelah gunung dahsyatnya, atau palu godam yang menghancurkan batu raksasa. Sudah tentu Sa Thong-hay tidak berani melawan, lekas dia menyingkir ke samping terus menerjang kesana, sehingga Ling Khong-tik mendapat peluang melangkah satu tindak lebar. Tapi tempilingannya ke arah Huwan Kiau ternyata dapat dipunahkan oleh tusukan pedang Huwan Liong.

Untung lwekang Ling Khong-tik sudah cukup tinggi, di saat-saat kritis itu, begitu merasa ujung pedang mengancam tangan, lekas dia menarik napas mengempeskan dada dan perut sehingga tusukan pedang ini tidak mengenai ulu hatinya, namun demikian, dada di bawah teteknya sebelah kiri tergores luka oleh pedang musuh.

"Biang" ternyata Ling Khong-tik yang berkelit dengan lompatan menyingkir ini sempat pula menumbuk Huwan Hou sehingga orang jatuh terguling setombak jauhnya, sayang karena tumbukan ini sehingga gerakannya sedikit tertunda sehingga dadanya terluka kulitnya.


Barisan pedang yang rapat dan dapat bekerja sama itu, karena Huwan Hou tertumbuk jatuh, seketika pecah dan berantakan, betapa cerdik otak Toh Ni, segera dia menerjang keluar dari arah yang bobol ini. Disusul Toan Kiam-ping, Han Cin dan terakhir Ling Khong-tikpun telah lolos dari kepungan barisan pedang.

Di tengah jalan Han Cin membubuhi obat di luka Ling Khong-tik, lwekangnya tangguh, dengan bantuan pentung Han Cin dia masih dapat berlari bagai terbang. Lekas sekali mereka sudah lari memasuki hutan. Toan Kiam-ping segera ber teriak: "Siau-ni-cu."

Maka didengarnya suara Siau-ni-cu, tapi bukan jawaban kepada dirinya, tapi berkata kepada majikan tuanya: "Lo-ongya, coba buka matamu, siapa yang datang. Siau-ni-cu tidak ngapusi kau bukan?"

Dengan langkah lebar Toan Kiam-ping memburu ke dekat ayahnya, pelan-pelan Lo-ongya membuka matanya, karuan dia kejut dan senang, teriaknya keras: "Anak Ping, betul-betul kaulah. Aku, aku tidak sedang mimpi?"

Toan Kiam-ping berlutut, katanya dengan sesenggukan: "Anak tidak berbakti, sehingga ayah menderita."

Lo-ongya menggigit jari sendiri, rasanya sakit, jelas ini bukan dalam mimpi, katanya dengan suara getir: "Terima kasih pada yang kuasa, kita ayah beranak dapat bertemu lagi. Aku dapat lolos dari cengkraman iblis, meski takkan hidup lama lagi di dunia fana ini, cukup puas juga hatiku."

"Ayah, jangan ngomong yang tidak baik, kau akan kuat bertahan hidup."

Ling Khong-tik juga menghampiri dan memberi salam hormat, melihat darah membasahi pakaiannya, Lo-ongya amat kaget, tanyanya: "Ling Suhu, kau, kau terluka?"

"Ayah, kali ini Ling Suhu yang nekat menolong anak keluar dari bahaya."

"Luka seringan ini terhitung apa, sungguh aku amat menyesal tak mampu menolong Lo-ongya, bicara sejujuraya kita harus banyak terima kasih kepada tabib Khu ini."

Sorot mata Lo-ongya beralih ke arah Han Cin, Toan Kiam-ping sedang bingung cara bagaimana dia harus memperkenalkan Han Cin kepada ayahnya, tapi ayahnya sudah berkata: "Aku tahu, diapun mempertaruhkan jiwanya untuk menolongku. Tapi aku jadi curiga dan ingin tanya kepadamu."

Han Cin sudah menerka soal apa yang ingin ditanyakan, katanya: "Apa yang Lopek ingin ketahui?"

"Bahwa Ling Suhu menolongku karena dia mengingat hubungan kami sebelum ini, tapi kau belum pernah kukenal, kenapa kaupun rela mengorbankan diri untuk menolongku?"

Toh Ni tiba-tiba tertawa geli, katanya: "Lo-ongya belum tahu bahwa dia..." "Dia kenapa?"

"Dia kini sudah termasuk orang kita sendiri."

Maka Han Cin mencopot topinya sehingga rambutnya yang panjang terurai, katanya: "Siau-Ii Han Cin pernah mendapat budi pertolongan putramu, aku sedang berusaha membalas kebaikannya."

Toh Ni segera berjongkok dan berbisik-bisik sekian lama di pinggir telinga Lo-ongya, dia ceritakan bagaimana perkenalan Toan Kiam-ping dengan Han Cin serta hubungannya sejauh ini, sudah tentu dia bumbui dengan ceritanya sendiri, secara tidak langsung dia sudah memberi kisikan kepada majikan tuanya bahwa kedua muda mudi ini sudah saling jatuh cinta, Han Cin adalah calon menantunya.

Kaget dan senang Lo-ongya, katanya: "Nona Han, demi pertolonganmu sehingga aku tidak terhina di cengkraman iblis, aku amat berterima kasih kepadamu. Tapi masih ada sebuah permintaanku kepadamu, supaya selanjutnya kau baik-baik menjaga anak Ping."

Han Cin menunduk tanpa bersuara. Lo-ongya berkata pula: "Nona Han, sudikah kau menerima permohonanku? Ah, ya, anak Ping, sepantasnya kau yang melamarnya secara langsung."

Toan Kiam-ping berdiri, katanya: "Nona Han, aku tahu aku tidak setimpal jadi jodohmu, tapi sudi kiranya kau memandang muka ayahku, terimalah..."

Merah muka Han Cin, katanya: "Bukan aku tidak menerima, sebaliknya aku yang tahu bahwa aku tidak setimpal jadi pasanganmu. Lo-ongya, aku harus terus terang kepadamu, aku anak rakyat jelata yang sudah sebatang kara. Selanjutnya hidupku sebagai perempuan Kangouw yang mungkin selalu keliaran di dunia persilatan, mungkin tidak cocok dengan keluarga kalian yang bangsawan."

Lo-ongya batuk-batuk, katanya perlahan: "Jangan berkata demikian nona Han. Perkataanmu membuatku amat menyesal. Memang dulu aku kuatir kena perkara, maka aku larang anakku bergaul dengan orang persilatan. Kini setelah mengalami pahit getir ini, aku jadi sadar, urusan justru mencari perkara kepadamu. Kelak kalian suami istri senang melakukan apa boleh terserah dengan keinginan kalian. Boleh kalian kelana di Kangouw, lakukan perbuatan bajik dan berantas sebanyak mungkin kaum lalim."

Setelah mendengar penjelasan Lo-ongya, baru Han Cin mengangguk.

Lo-ongya. tertawa tergelak-gelak, katanya: "Nona Han sudah terima lamaranmu, anak Ping, selanjutnya kau harus melayaninya baik-baik sebagai istrimu tercinta. Semoga kalian hidup rukun dan bahagia sampai hari tua, banyak anak tambah rejeki," di tengah gelak tawanya itu dia mangkat dengan tenang.

Maklum selama ini dia sebagai raja tanpa mahkota yang dijunjung dan dipandang agung oleh rakyat Tayli, biasanya hidup senang dan berkecukupan, kapan pernah mengalami derita dan siksa seburuk ini, kesehatannya semakin memburuk selama digusur dalam kereta, kini boleh dikata tinggal api yang sudah kering kehabisan minyak, setelah keinginan tercapai, maka jiwanyapun melayang.

Toan Kiam-ping menangis gerung-gerung. Han Cin membujuknya: "Ping-ko, ingatlah pesan ayah, masih banyak urusan yang harus kita bereskan."

Toan Kiam-ping sadar, lekas dia seka air mata, katanya: "Ayah berpesan supaya kita lebih banyak memberantas kaum dorna. Liong Bun-kong bangsat keparat itu adalah pembunuh ayah tidak langsung, setelah membereskan jenazah ayah, mari kita ke kota raja."

Dengan berlinang air mata Ling Khong-tik berkata: "Ada maksud aku membantu apa daya tenaga tidak sampai. Semoga Kongcu leluasa di kota raja, dengan tangan sendiri kau penggal kepala musuh supaya arwah Lo-ongya tentram di alam baka. Ai, tapi..."

"Tapi kenapa?" tanya Toan Kiam-ping melengak.

"Perasaanku sekarang serba kontras, ada beberapa patah kata ingin kusampaikan kepada Kongcu."

"Ling Suhu, kupandang kau adalah angkatan tuaku sendiri, ada pesan apa boleh kau katakan saja."

"Di samping mengharap kalian sukses dengan menuntut balas kematian ayah bunda, tapi aku juga kuatir, keluarga Toan tinggal kau seorang yang harus meneruskan keturunan, hatiku tidak lega membiarkan kau menempuh bahaya. Coba pikir pembesar anjing she Liong itu sebagai sekretaris militer dan merangkap Kiu-bun-te-tok sekelilingnya dijaga jago-jago kosen yang tidak terhitung jumlahnya. Meski menuntut balas amat penting artinya, tapi kalian jangan bertindak secara gegabah."

"Nasehat Ling Suhu pasti selalu kuperhatikan," demikian ucap Toan Kiam-ping.

"Aku punya seorang teman, semula dia tinggal di Gun-bing dalam keluarga Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun, karena leluhurnya dulu pernah menjabat pangkat di kota raja, sekarang masih punya peninggalan disana. Aku tahu alamatnya di kota raja, menurut apa yang kuketahui dia ada hubungan juga dengan Bu-lim-pat-sian, maka boleh setiba di kota raja kau mengadakan hubungan dengan dia," lalu dia menulis nama dan alamat di atas secarik kertas dan diberikan kepada Toan Kiam-ping, tak lupa diapun mencopot sebentuk cincin dari jari manisnya yang berbentuk aneh warna hijau bonteng, cincin ini sebagai tanda pengenal.

Dengan bercucuran air mata Toan Kiam-ping memberi hormat serta menerima cincin itu, sudah tentu tidak lupa dia menghaturkan banyak terima kasih. Setelah mengubur jenazah ayahnya, bersama Han Cin dia melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kali ini mereka sama-sama berdandan sebagai pelajar, anak sekolahan yang mau menempuh ujian di kota raja.

Hari itu mereka sampai di kota raja, di waktu memasuki kota, tampak oleh Toan Kiam-ping Han Cin seperti termenung memikirkan sesuatu, tanyanya: "Eh, adik Cin, apa yang sedang kau pikirkan?"

Han Cin menoleh, katanya: "Ping-ko, seharusnya kau tahu apa yang kupikirkan, semoga setelah kita berada di kota raja, selekasnya bisa bertemu mereka."

"O, jadi kau merindukan Tan Ciok-sing dan In San?"

"Memangnya kau tidak merindukan mereka? Ping-ko, tempo hari waktu kau mengantarku ke markas Kim-to Cecu kau tidak mau tinggal di atas gunung, apakah pada waktu itu kau sengaja hendak menghindari mereka? Sekarang tentunya kau tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka?"

Merah, muka Toan Kiam-ping, katanya: "Adik Cin, secara resmi kau kini adalah istriku tercinta, hatiku hanya kuberikan kepadamu seorang, seperti juga kau ingin selekasnya bertemu dengan mereka, supaya mereka tahu tentang pernikahan kita. Kuyakin setelah mereka tahu pasti mereka juga ikut senang."

"Ping-ko aku hanya berkelakar, kenapa kau jadi serius ini? Sudah tentu aku percaya padamu, semoga merekapun membawa kabar baik untuk kita, entah sekarang mereka sudah tiba disini belum?"



000OOO000



Kalau Toan Kiam-ping dan Han Cin merindukan Tan Ciok-sing dan In San. Sebaliknya Tan Ciok-sing dan ln San juga sedang merindukan mereka. Sudah beberapa hari lebih dulu Tan Ciok-sing dan ln San tiba di kota raja.

In San dilahirkan di Pakkhia, tujuh tahun lamanya dia hidup di kota raja di masa kecilnya, setelah tujuh tahun ayahnya baru membawanya pulang ke Tay-tong.

Kenangan masa lalu sukar terlupakan, meski dahulu dia masih kecil, namun lapat-lapat masih dikenal olehnya dimana letak gedung tempat tinggal kakek luarnya, diapun masih ingat dimana alamat keluarga Liong, suatu hari dia mencari tahu, ternyata kakek dan nenek luarnya sudah lama meninggal. Seorang adik ibunyapun sudah lama meninggalkan Pakkhia, jadi tiada sanak kadangnya lagi di kota besar ini. Maka bersama Tan Ciok-sing, In San menyewa sebuah rumah bobrok yang terletak di belakang taman, letaknya tidak jauh dari gedung keluarga Liong.

Semasa In San masih di Pakkhia dulu, ibunya belum menikah pula, tapi Liong Bun-kong sering datang ke rumah kakeknya, diapun pernah ikut ibunya main-main ke rumah keluarga Liong dan menginap disana. Maka seluk beluk rumah keluarga Liong itu sekarang masih hapal diluar kepala.

Sayang malam pertama mereka menyelundup ke rumah keluarga Liong tidak menemukan bayangan Liong Bun-kong, bayangan Liong Seng-bu juga tidak kelihatan.

Dari percakapan penjaga malam yang mereka curi dengar baru diketahui bahwa Liong Bun-kong sedang menghadiri undangan Duta Watsu yang mengadakan perjamuan dan ramah tamah, dua hari dia menginap disana. Hari ketiga baru Duta Watsu itu akan membalas kunjungan mertamu di rumah keluarga Liong. Seluruh penghuni gedung keluarga Liong tampak sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Duta Watsu itu, karena kemungkinan Duta Watsu itu akan menginap dua malam disini.

Tentang Liong Seng-bu ternyata sedang keluar entah kcmana dan belum kembali, tapi dari percakapan penjaga malam itu dapat dipastikan, dalam dua hari ini pasti Liong Seng-bu akan pulang juga. Di bawah petunjuk In San, bersama Tan Ciok-sing mereka menyelidiki gedung keluarga Liong tanpa menemui rintangan apapun, bahwa mereka pulang pergi tanpa menemui halangan sedikitpun sungguh diluar dugaan.

Setiba di tempat kediaman, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Siapa nyana jago-jago pelindung gedung keluarga Liong semuanya tidak becus, kukira kita bakal kepergok oleh jago-jago kosen mereka."

"Anak buah bangsat tua yang paling lichay adalah Lenghou Yong. Pernah kau bilang kau pernah bergebrak melawannya."

"Dia ditugaskan menangkap Khu Ti, kebetulan dia kepergok aku di Ong-gu-san, kepandaian keparat itu memang tidak lebih asor dari Thi Ciang-hu. Kalau semalam dia ada di gedung keluarga Liong, mungkin kita takkan leluasa keluar masuk."

"Mungkin bangsat tua she Liong itu menyuruhnya mengawal selama kcpergian ini. Tapi kenapa Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay koh tidak kelihatan."

"Ke enam orang ini kemungkinan diutus pergi ke Tayli."

"Dari mana kau tahu?" "Apa kau tidak ingat pembicaraan kedua penjaga malam di pinggir gunungan semalam? Waktu itu mereka sedang membicarakan kenapa Liong Seng-bu keluar di saat duta-duta Watsu itu bakal berkunjung ke rumah pamannya."

"Aku hanya dengar akhir pembicaraan mereka. Peronda yang bertubuh tinggi waktu itu berkata: "Sungguh aku tidak habis mengerti, kenapa Tit-siauya begitu memandang mereka sedemikian pentingnya? Peronda bertubuh kurus itu berkata: "Kukira Tit-siauya sudah tidak sabar menunggu, maka dia ingin cari tahu sendiri. Maksud Tit-siauya adalah ingin dua hari lebih cepat memperoleh kabar positip, kau kira dia memandang kerja mereka yang berjerih payah itu lalu pergi menyambutnya?" dari pembicaraan ini dapat disimpulkan bahwa orang yang diutus dan dikata hendak disambut itu hakikatnya berkedudukan kira-kira sepadan mereka, maka mereka merasa uring-uringan.

Dari membayangkan percakapan kedua peronda itu, ln San lantas sadar, katanya: "Bukan mustahil yang disambut oleh bangsat kecil itu adalah Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay berenam."

"Kukira memang demikian."

"'Sebelum itu, mereka membicarakan apa?"

"Kudengar dua patah kata lebih banyak dari kau," ternyata waktu itu Tan Ciok-sing berjalan di depan, iwekangnya iebih tinggi juga, maka pendengarannya lebih tajam.

"Soal apa yang dibicarakan?"

"Patah pertama diucapkan si gendut, dia bilang: "Mereka sudah pergi sebulan lebih selayaknya sudah pulang dari In-lam."

"In-lam?"

"Si kurus itu lalu berkata: "Mungkin terjadi sesuatu pada' mereka?"

Diam-diam In San kaget, "Kalau demikian, buronan yang hendak ditangkap kawanan cakar alap-alap itu adalah Toan-toako."

"Keluarga Toan mendapat junjungan rakyat setempat, mata kupingnya luas, Kungfu Toan-toako tidak lemah, kukira kawanan cakar alap-alap itu takkan mudah berhasil. Beberapa hari lagi bangsat kecil itu toh akan pulang, tiba waktunya kita pasti dapat memperoleh kabar yang positip juga."

"Benar, setelah bangsat cilik itu pulang baru kita turun tangan, bangsat tua dan kecil sama-sama diringkus, sebelum membunuh mereka tak terlampias dendamku."

"Lebih baik di saat bangsat cilik itu pulang, Duta Watsu itupun berada di rumah keluarga Liong."

"Dijaring sekalian sudah tentu memang baik. Tapi itu berarti lawan yang harus kita hadapi lebih banyak dan tangguh."

"Memangnya aku sudah bertekad untuk berjuang sampai titik darah terakhir, aku tidak pikir pulang dengan hidup, aku tahu kaupun sependapat dengan aku. Diundur beberapa hari juga tidak jadi soal bukan?"

Kedua orang seia sekata. In San berkata tertawa: "Kita bisa berkumpul beberapa hari lagi, sudah tentu aku amat senang. Dan lagi, kau belum pernah ke Pakkhia, biarlah aku menunjuk jalan, beberapa hari ini kita boleh bertamasya seriang mungkin."

"Benar, aku sedang kuatir tidak sempat menikmati daerah pariwisata di Pakkhia, kini agaknya keinginan bakal terkabul," lalu Ciok-sing menambahkan, "Tempat lain tidak dikunjungi tidak jadi soal, tapi Ban-li-tiang-shia harus," tiba-tiba dilihat mimik In San guram seperti memikirkan sesuatu, dengan kaget Ciok-sing bertanya: "Adik *San, apa yang sedang kau pikirkan? Kau tidak senang tamasya di tembok besar?"

"Tidak apa, aku sedang pikir, akupun belum pernah ke tembok besar, kebetulan bisa kesana bersama kau," ternyata waktu kecil dia masih berada di Pakkhia. ibunya sering bertamasya bersama Liong Bun-kong, namun dia tidak pernah diajak. Sekali ayahnya membawanya pulang ke kampung halaman, ibunya sedang bertamasya di tembok besar bersama Liong Bun-kong. Terkenang akan masa lalu, dia lebih sedih dan kasihan pada ibunya yang tertipu, semakin besar pula rasa kebenciannya terhadap Liong Bun-kong sehingga sejak kecil dirinya tidak pernah mengecap cinta sejati seorang ibu terhadap putrinya.

"Baiklah akan kuatur jadwal bertamasya, tapi tamasya ke tembok besar akan kuatur pada acara terakhir. Aih, bicara kurang pantas, setelah tamasya ke tembok besar itu, tidak sia-sialah perjalanan dan tujuan kedatangan kita terakhir kali ini," demikian ujar In San rawan.



000OOO000



Ban-li-tiang-shia dibangun mulai dari Kia-kok-koan sampai San-hay-koan, tembok besar ini berliku dan seperti merambat di pegunungan sejauh dua belas ribu li, sepanjang itu tak sedikit terdapat pos-pos penjagaan yang letaknya amat berbahaya. Ki-yong-koan dan Pat-tat-nia adalah dua di antaranya. Bagi pelancongan yang datang dari Pakkhia dan ingin tamasya di tembok besar kebanyakan lewat Pat-tat-nia, bagi kalangan militer Pat-tat-nia dianggap sebagai pos terdepan dari Ki-yong-koan yang strategis, tembok besar di sepanjang pegunungan ini kira-kira sejauh belasan li dari Ki-yong-koan. Tembok besar yang terletak disini merupakan yang tertinggi dari sepanjang tembok yang dua belas ribu li itu.

Berada di atas Pat-tat-nia akan tampak tembok besar yang legak legok seperti naga merambat. Sebelum berada di tembok besar, mereka sudah melewati Ki-yong-koan, letaknya di utara Lam-gau, dua sisinya diapit gunung tinggi di tengah merupakan sebuah selat sempit yang menyerupai selokan lebar. Kala itu adalah permulaan musim semi, kembang sedang mekar semerbak di tanah pegunungan yang belukar, seluas mata memandang seperti permadani hijau yang dihiasi kelompok kembang mekar, alam permai hawa sejuk.

Tangan bergandeng tangan mereka berdua terus menanjak ke tembok besar yang paling tinggi, dari ketinggian ini mereka bisa melepas pandang ke empat penjuru, tampak tembok besar terus menjalar turun ke kaki bukit dan selulup timbul di atas pegunungan, di arah kota Pakkhia sana, asap tampak mengepul, lapat-lapat tampak puncak sebuah menara putih di tengah kepulan asap, itulah puncak menara putih yang berada di Pak-hay.

In San melihat cuaca, katanya: "Sudah hampir tengah hari, marilah kita pulang."

"Lho, koh sepagi ini sudah pulang?"

"Kalau kita menunggang kuda milik Kanglam Sianghiap, menjelang magrib juga belum terlambat. Tapi kini kita berjalan kaki."

"Pulang lebih dini juga baik, boleh memupuk semangat untuk mempersiapkan aksi nanti malam."

"Dalam perjalanan pulang nanti, bisa kita lewati beberapa obyek yang bisa kita nikmati."

Mendengar In San menyinggung kuda putih milik Kanglam Sianghiap, secara langsung Tan Ciok-sing terkenang akan Toan Kiam-ping, katanya: "Kuda putih yang dipinjamkan aku oleh Kwik Ing-yang sudah kutitipkan Toan-toako untuk dikembalikan. Entah kuda itu sekarang masih berada di tangannya?"

Sudah tentu mereka tidak tahu, teman yang sedang mereka rindukan bersama kedua ekor kuda itu kini sedang berada di pegunungan ini pula.

Ternyata Toan Kiam-ping dan Han Cin juga sudah tiba di kota raja, mereka sudah kontak dengan Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun, hari dan waktunya sudah dijanjikan untuk membunuh pembesar dorna. Merekapun punya tekad yang sama dengan Tan Ciok-sing, sebelum melaksanakan tugas bakti ingin mereka tamasya dulu di tembok besar.

In San membawa Tan Ciok-sing pulang lewat jalan lain. Kira-kira tengah hari, mereka sudah melihat Ki-yong-koan, yang bertenggci gagah di pegunungan. Tengah berjalan tiba-tiba didengarnya suara tang ting yang merdu d.m mengasyikkan, suaranya bak irama musik -dewata yang bergema diangkasa, amat jelas dan lengang "Eh, darimana datangnya su.u.i kecapi," demikian Tan Ciok-sing bersuara heran.

In San tertawa geli, katany.i "Ahli musik macammu terny.u.i juga terkecoh kali ini, itu buk.in suara kecapi."

"Aku tahu itu bukan sii.ii.i kecapi, tapi suara dan nadanya amat mirip."

"Tempat ini dinamakan Sian-khim-sia (selat menabuh kecapi), gemericik air yang bergema didalam selat menimbulkan reflek suara yang menyerupai kecapi. Aku tahu hobimu adalah musik, maka kuajak kau lewat sini supaya dapat menikmati irama kecapi alam."

Lama Tan Ciok-sing mematung sHmbil menggendong tangan menikmati irama kecapi alam yang merdu sehingga hampir lupa daratan.

Tiba-tiba In San berkata: "Tan-toako, sudikah kau melakukan sesuatu untukku?"

"Jangan kata sesuatu, sepuluh kali juga aku rela melakukan untuk dikau."

"Tempat ini bernama Sian-khim-sia, aku pingin mendengar petikan kecapimu."

"Harpa warisan leluhurku ini, dari Toan Kiam-ping sudah dikembalikan padaku, sejak itu belum pernah kupakai lagi. Coba biar kupikir, lagu apa yang pantas kupetik untuk kau?"

Pandangannya nanar ke tempat jauh, lama sekali seperti mengenang sesuatu, akhirnya dia berkata perlahan: "Toan-toako pernah minta aku memetik Khong-ling-san, karena lagu ini membawa firasat yang kurang baik, maka tidak pernah aku mau memetiknya. Sekarang kita tidak perlu kuatir akan segala pantangan, biarlah kupetik lagu ini."

Khong-ling-san adalah buah karya Hoat Khong yang paling top menjelang dia menjalani hukuman matinya, musikus genius ini melimpahkan segala perasaan kemanusiaan didalam buah karyanya ini, entah itu rasa riang gembira, sedih pilu atau kebahagiaan hidup dan kerawanan hati menjelang mati, dan itu mencocoki keadaan Tan Ciok-sing sekarang.

ln San senang, katanya: "Jadi kau juga dapat memetik Khong-ling-san yang sejak dahulu sudah putus turunan, sungguh baik sekali. Mati atau hidup apa bedanya, paling penting dapat menikmati lagu yang satu ini, sudah tentu aku tidak peduli segala pantangan segala."

Perlahan dan mengalirkan petikan harpa dari gerakan jari jemari Tan Ciok-sing, bagian depan Khong-ling-san melukiskan suasana riang gembira, mengenang betapa senang di kala bertamasya dengan kawan, bagi pendengaran In San seperti keasyikan nan mesra antara sepasang kekasih yang sedang menikmati kebesaran alam nan permai ini, tanpa terasa dia berdiri pesona, arwah seperti tersedot ke alam bebas yang memabukkan. Tiba-tiba nada lagu berubah, seperti dari musim semi dimana kembang tengah mekar semerbak mendadak musim rontok nan gersangpun telah tiba, suasana menjadi dalam keadaan hampa dan serba menyedihkan. Bila lagu dinikmati lebih lanjut, suasana seperti didalam pegunungan nan liar belukar mendengar pekik orang hutan, isak tangis seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Sebelum habis lagu ini dipetik, In San sudah tidak kuasa mengendalikan emosi, air mata bercucuran.



000OOO000



Suara harpa mengalun bebas di alam pegunungan tersiar luas terbawa angin, Tan Ciok-sing kira tiada orang lain di pegunungan ini, tak nyana ada juga orang yang mendengar petikan harpanya, orang itu adalah Toan Kiam-ping. Walau tidak jelas, namun dia sudah mulai curiga

Saat mana Toan Kiam-ping tengah berada di panggung Bok Kwi-ing menginspeksi pasukan bersama Han Cin, tengah dia membayangkan betapa gagah perwira patriot perempuan jaman dahulu memimpin pasukannya menggempur penjajah. Letak panggung ini teraling sebuah lekuk gunung dengan Sian-khim-sia dimana sekarang Tan Ciok-sing tengah memetik harpanya.

Lwekang Toan Kiam-ping sudah tinggi, pendengarannyapun jauh lebih tajam dari orang lain, hembusan angin seperti membawa imbauan musik harpa yang sayup-sayup sampai.

Melihat Toan Kiam-ping mendadak menghentikan langkah, seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu, Han Cin tertegun, tanyanya: "Apa yang sedang kau dengarkan Ping-ko?"

"Apa kau tidak dengar, seperti ada orang memetik harpa?" ujar Toan Kiam-ping.

Han Cin tertawa, katanya: "Baru saja kita meninggalkan Sian-khim-sia, yang kau dengar mungkin gema suara gericik air yang menyerupai senar-senar harpa itu?"

"Tidak, yang kudengar kali ini yakin adalah petikan senar harpa tulen. Ah, begitu merdu mengasyikan sekali, mungkin Tan Ciok-sing sedang memetik harpanya disana."

Maka Han Cin juga pasang kuping, sayang saat mana Tan Ciok-sing sudah memetik sampai ritme terakhir, suara harpapun telah berhenti, sudah tentu Han Cin tidak mendengar apa-apa lagi.

Han Cin tertawa, katanya: "Siang dipikirkan, malam bisa mimpi, walau sekarang kau tidak dalam mimpi, mungkin karena kau terlalu merindukan Tan-toako sehingga timbul kayalan dalam benakmu?"

Toan Kiam-ping masih bimbang, tiba-tiba pikirannya tergerak, katanya: "Adik Cin, Tan Ciok-sing pernah mendengar tiupan serulingmu bukan?"

"Benar, kenapa kau tanya hal ini?"

"Aku pmgin mendengar tiupan serulingmu. Petikan harpa Tan-toako tak bisa kunikmati, apa bedanya menikmati tiupan lagu serulingmu."

Han Cin cukup pintar, dia tahu kemana maksud tujuan sang suami, katanya tertawa: "Kau mengharap Tan Ciok-sing mendengar serulingku? Semoga tidak akan mengecewakan dirimu."

"Jangan kau anggap meniup seruling untuk Tan Ciok-sing, tapi untuk aku dengar. Seribu kali mendengar lagu serulingmu aku juga tidak akan bosan, cuma sayang setelah hari ini berlalu, mungkin selanjutnya takkan bisa mendengar tiupan serulingmu lagi."

Gejolak perasaan Han Cin katanya: "Baiklah, kutiup sebuah lagu untuk dikau," maka seruling batu jade dia keluarkan lalu pelan-pelan meniupkan lagu yang bernada sentimentil.

Baru saja Tan Ciok-sing memasukkan harpanya ke kotaknya dan siap-siap meninggalkan dia berdiri melenggong.

"E, eh, apa yang sedang kau pikir Toako? Kenapa berhenti?" tanya In San.

"Aku seperti mendengar suara seruling. Kalau bukan Kek Lam-wi pasti Han Cin yang meniup seruling."

In San tertawa, katanya: "Han-cici jauh berada diluar perbatasan, tanpa sebab mana mungkin bisa berada di kota raja? Kek Lam-wi adalah salah satu tokoh dari Pat-sian kemungkinan besar dia bisa datang. Tapi mungkinkah dia punya waktu senggang untuk tamasya ke tembok besar ini?"

Tan Ciok-sing diam saja, sesaat kemudian baru berkata: "Dengan seksama kuselami kekuatan nada dasar seruling itu, kemungkinan besar seruling itu ditiup oleh Han Cin."

"Dapatkah kau mengukur berapa jauh kira-kira tempat seruling itu berada?"

"Kalau tidak salah hanya teraling oleh lekuk gunung itu."

"Aku sih tidak percaya bahwa Han-cici bisa mendadak berada disini dan meniup serulingnya, tapi kalau kau sudah menduga demikian, tiada halangannya kita kesana membuktikan."

Baru saja In San hendak melangkah, tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara tertahan: "Nanti dulu, ada orang datang."

Lwekang In San tidak setinggi Tan Ciok-sing, suara seruling yang teraling sebuah lekuk gunung tidak dapat didengarnya, tapi derap langkah kaki yang agak dekat tentu dapat ditangkap ketajaman pendengarannya, diapun sudah mendengar suara orang.

"Tidak benar," tiba-tiba Tan Ciok-sing menggumam sambil mengerutkan kening.

"Apanya yang tidak benar?" tanya In San melengak.

"Ada empat orang yang mendatangi, suara salah seorang seperti sudah kukenal."

"Siapa dia?"

"Belum teringat olehku. Eh, lebih tidak benar lagi, di antara empat orang ini seperti ada orang Watsu."

Selanjutnya mereka tidak bicara, keduanya sama mendekam mendengarkan suara dari bumi. Kini In San juga sudah mendengar jelas ada empat orang yang mendatangi, tapi jarak mereka paling dekat masih satu li jauhnya.

Terdengar oleh Tan Ciok-sing suara yang dikenalnya itu sedang berkata: "Siau-ongya, itu bukan suara harpa. Tempat di depan itu bernama Sian-khim-sia, yang kau dengar itu adalah gemericik air didalam selat itu."

Dengan tertawa In San berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Siau-ongya memang benar Siau¬ongya, tapi Siau-ongya yang satu ini bukan Siau-ongya yang dulu itu."

"Benar sudah tentu bukan Toan-toako. Tadi kudengar Siau-ongya ini bicara dua patah kata, entah apa yang dia katakan, tapi .aku tahu dia menggunakan bahasa Watsu. Beberapa kali aku pernah bertemu dengan tentara Watsu diluar Gan-bun-koan, meski tidak paham apa yang dibicarakan, tapi aku dapat membedakan logat dan bahasa mereka."

Tengah bicara, tiba-tiba tampak seekor burung terbang lewat di atas kepala mereka, burung ini berbulu putih bagai salju, tapi kaki dan paruhnya ternyata berwarna merah menyala. Timbul sifat kekanak-kanakan Tan Ciok-sing, katanya: "Indah benar burung itu, suara kicauannyapun merdu. Waktu kecil sering aku menangkap burung untuk hiburan, sayang sekarang tiada tempo lagi."

"Burung ini dinamakan Soat-li-ang (merah dalam salju), konon setiap musim rontok pasti akan terbang ke selatan, musim semi tahun depan baru terbang balik ke utara. Burung jenis lain suka bergerombol, hanya burung ini yang suka hidup menyendiri, maka sukar orang menangkap burung jenis ini."

Belum habis percakapan mereka, tiba-tiba langkah orang banyak itu sudah semakin dekat, jelas tujuannya ke arah mereka.

Mereka diam dan mendengarkan dengan seksama, terdengar Siau-ongya itu berkata: "Sayang." Lalu disusul suara yang sudah dikenal Tan Ciok-sing berkata: "Siau-ongya, agaknya suka burung itu, kenapa tidak bilang sejak tadi? Kalau kutahu tentu tadi kutembak jatuh. Tapi di pegunungan ini pasti banyak burung jenis itu, nanti kalau kelihatan lagi, biar kutembak seekor untuk kau."

Tak lama kemudian, betul juga tampak seekor Soat-li-ang terbang mendatang. Tan Ciok-sing dan In San masih setengah li di sebelah depan rombongan empat orang itu, sudah tentu Soat-li-ang harus terbang lewat di atas kepala mereka dahulu. Tiba-tiba tergerak akal Tan Ciok-sing, lekas dia mencomot secuil lempung terus dijentikan, Soat-li-ang kena ditembaknya telak dan jatuh tak berkutik. Lekas In San lari kesana memungutnya dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya memuji: "Toako, tembakkanmu sungguh telak dan tepat, burung ini tidak terluka scdikitpun."

Terdengar Siau-ongya itu tengah berkata pula: "Aneh, baru saja kudengar kicau burung tadi, pasti teman burung putih tadi, kenapa tidak kelihatan bayangannya?" sembari bicara dia mempercepat langkah, lekas sekali rombongan orang itupun telah tiba di Sian khim-sia. Mereka memang empat orang. Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya seorang pemuda berusia enam belasan berpakaian mewah perlente, tentu dia inilah Pangeran cilik itu, dua lelaki yang berlari di belakangnya meski berpakaian bangsa Han tapi jelas dari tampang mereka bahwa kedua orang ini bukan orang Han. Tapi orang ke empat ternyata cukup mengejutkan hati Tan Ciok-sing.

Ternyata orang ini bukan lain adalah Lenghou Yong, setengah tahun yang lalu Tan Ciok-sing pernah melabraknya waktu berada di Cui-hwi-hong tempat kediaman Khu Ti di puncak Ong-gu-san.

Untung Tan Ciok-sing sudah ganti rupa sehingga Lenghou Yong tidak mengenali dirinya, namun melihat perawakannya, dia merasa seperti pernah mengenalnya. Tergerak pikiran Lenghou Yong, segera dia maju bertanya: "Hay, apakah kalian yang memetik harpa disini?"

"Tidak. Kami hanya duduk disini menikmati irama kecapi," jawab In San.

"Kecapi petikan siapa, mana orangnya?" tanya Lenghou Yong.

In San tertawa katanya: "Petikan kecapi dari air yang mengalir."

Sementara itu Siau-ongya melihat Soat-li-ang yang terpegang di tangan Tan Ciok-sing, segera dia memburu maju seraya berseru senang: "Oh, ternyata burung ini tertangkap olehmu, boleh aku melihatnya?"

Setelah pegang dan mengawasi Soat-li-ang yang diterimanya semakin senang Siau-ongya, senyumnya lebar, katanya: "Dengan cara apa kau menangkapnya? Sedikitpun dia tidak terluka."

Tan Ciok-sing pura-pura tidak tahu bahwa orang adalah pangeran raja katanya: "Agaknya Kongcu suka pada burung ini, biarlah kuberikan kepadamu."

"Aku baru mengenal kau, mana boleh menerima barangmu," ujar Siau-ongya rikuh.

"Hanya seekor burung, kan hanya mainan saja, tak terhitung apa-apa bukan?"

Betapa riang hati Siau-ongya sampai dia berjingkrak-jingkrak, katanya: "Kau begini baik, siapakah namamu, tinggal dimana?"

Sekenanya Tan Ciok-sing sebutkan sebuah nama palsu, dikatakan dia di rumah seorang teman, sudah tentu alamatnyapun ngawur saja, namun nama tempat itu memang ada diluar kota Pakkhia.

Siau-ongya itu berkata: "Lui-heng, aku ingin bersahabat dengan kau, tapi ayahku menjagaku amat ketat, hari ini aku hanya diperbolehkan kelayapan sebentar, mungkin tak bisa mampir ke rumahmu, lebih baik kau saja yang mencariku?"

Lekas Lenghou Yong dan kedua laki-laki Watsu memberi kedipan mata kepada Siau-ongya kuatir Siau-ongya yang masih muda tidak tahu urusan ini, membeber asal-usul alamatnya kepada orang luar. Bahwa pemuda ini memang benar seorang pangeran, tapi dia pangeran Watsu.

Kiranya Duta Watsu yang datang secara rahasia ini adalah paman dari Khan agung yang berkuasa di Watsu sekarang. Pangeran ini adalah anak bungsunya yang paling disayang. Siau-ongya minta tamasya ke tembok besar, terpaksa Lenghou Yong ditugaskan sebagai petunjuk jalan, sekaligus ikut melindunginya, untuk tidak menarik perhatian orang dan supaya tidak tahu bahwa pemuda itu seorang pangeran, maka mereka sengaja berpakaian seperti orang Han.

Meski Siau-ongya ini tidak begitu paham urusan, tapi dia juga tahu tempat penginapan ayahnya di Pakkhia tidak boleh sembarangan diketahui dan didatangi orang luar, setelah berpikir akhirnya dia berkata: "Tahukah kau di kota Pakkhia ada seorang Liong Bun-kong Liong-tayjin?"

Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya: "Maksud Kongcu Liong-tayjin dari Kiu-bun-te-tok itu?"

"Betul," ujar Siau-ongya. "Liong-tayjin adalah teman baikku, boleh kau mencariku di rumahnya. Kalau aku kebetulan keluar kau ada urusan apa yang ingin bantuanku, boleh kau minta kepada Liong-tayjin. Kipasku ini kuberikan kepadamu sebagai tanda kepercayaanku melihat kipasku ini, yakin apanya permintaan pasti dia senang membantu kau," lalu dia keluarkan sebatang kipas, gagangan kipasnya ternyata terbuat dari batu jade. Di atas kipas ada tulisan dan lukisan karya Mi-lam-kiong yang terkenal pada dynasti Song dulu. Liong-bun-kong mendapat hadiah kipas ini dari Baginda, kini dia rhadiahkan kipas itu kepada Siau-ongya, sekarang Siau-ongya memberikan kepada Tan Ciok-sing

Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, batinnya: "Yang kuhendaki adalah batok kepala Liong Bun-kong." Tapi supaya Siauw-ongya tidak curiga, dan lagi dia merasa sayang bila buah karya Mi-lam-kiong yang termashur itu jatuh ke tangan orang Watsu, maka tanpa sungkan dia menerimanya, katanya dengan pura-pura kegirangan: "Banyak terima kasih akan hadiah Kongcu, mana berani aku menginginkan pemintaan lain? Waktu sudah siang, rumah kami jauh, sebelum petang sudah harus sampai rumah mohon pamit saja."

"Diberi harus membalas kan jamak," ujar Siau-ongya, "setiba di Pakkhia jangan lupa langsung mencariku, beberapa hari lagi aku sudah akan pulang," sejak kecil bapaknya mengundang guru sastra orang Han untuk mengajar membaca dan menulis bahasa Han, maka logat perkataannya cukup fasih.

Lenghou Yong tiba-tiba tampil ke depan, katanya cengar cengir: "Kau bocah ini sungguh ketiban rejeki, seekor burung ditukar barang pusaka, masa depan gemilang masih menunggumu lagi, hidupmu akan senang berkecukupan. Sebetulnya kau ini siapa, aku belum tanya kau?"

"Aku yang rendah dengan temanku ini adalah pelajar yang mau ujian di kota raja."

"Kalau kau mau menghadap Liong-tayjin, mohon sekedar jabatan segampang membalik tangan, buat apa ikut ujian segala?"

"Kami kaum pelajar yang dikejar adalah kerja yang akan membawa kami ke masa depan nan jaya. Maaf kami betul-betul ingin lekas pulang ke Pakkhia, hari ini sudah membuang banyak waktu untuk tamasya ke tembok besar.

pelajaran jadi terbengkelai."

Tawar perkataan Lenghou Yong: "Lui-kongcu giat dan rajin belajar, memang harus dipuji. Kelak yakin kau pasti dapat merebut Conggoan," di mulut dia mengumpak dan memuji, padahal dalam hati dia sudah berniat berbuat jahat. Sembari bicara dia maju dua langkah mendekati ke depan Tan Ciok-sing, mendadak dia berkata: "Barang apa yang kau gendong ini?"

Yang digendong Tan Ciok-sing adalah harpa warisan keluarganya itu, disimpan dalam kotak panjang dari kayu, dengan sikap ketarik Lenghou Yong memberi tekanan suaranya dengan tepukan tangan, dia kerahkan tenaga dalam tepukan telapak tangannya ini.

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak membiarkan orang merusak harpa warisannya? Lekas dia berpura-pura kaget serta tergopoh ketakutan, tubuhnya limbung ke depan dan hampir terperosok jatuh. In San lekas memburu maju dengan laku yang gugup dan memapahnya sehingga kedua orang gentayangan.

Tempat dimana Tan Cok-sing berdiri adalah di pinggir selokan yang berlumut dan licin, karena pura-pura kaget langkahnya sengaja dibuat terpeleset sehingga orang lain tidak menaruh curiga akan tingkah lakunya. Pada hakikatnya dengan pura-pura terpeleset itu sebetulnya dia telah mengembangkan gerakan Ih-sing-hoan-wi tingkat tinggi. Karena tepukannya mengenai tempat kosong, tanpa merasa kaki Lenghou Yong sendiri juga ikut terpeleset, namun dia lekas menggunakan Jian-kin-tui sehingga tubuhnya tegak berdiri pula. Permainan sandiwara Tan Ciok-sing memang mirip sekali, ternyata Lenghou Yong yang banyak pengalaman dan luas pengetahuan inipun kena dikelabui, namun hatinya ragu-ragu: "Bocah ini terpeleset betul-betul atau sengaja menghindari tepukanku? Mungkinkah dia memiliki Kungfu tinggi, sengaja ingin membikin aku terpeleset jatuh sendiri?"

Tan Ciok-sing pura-pura kaget dan marah, katanya: "Kotakku ini ada beberapa jilid buku dengan beberapa keping uang pecahan, apa kau hendak menggeledah barang milikku? Tapi aku harus tahu siapa kau sebenarnya, apa kau opas? Keluarkan surat tugasmu, apa betul kau ada hak memeriksa aku. Kalau tidak sebagai pelajar mematuhi hukum jangan dikira kalau kami dapat dihina dan dipermainkan."

Siau-ongya kurang senang katanya: "Lenghou-siansing kenapa menggertaknya?" lalu dia berpaling dan berkata kepada Tan Ciok-sing: "Lui-loheng, tidak apa kalian boleh lekas pergi. Ingat sekembali ke Pakkhia, selekasnya mampir ke tempatku menginap."



000OOO000



Dalam pada itu Toan Kiam-ping dan Han Cin masih berada di panggung Bok Kwi-ing, cukup lama mereka menunggu, tapi orang yang ditunggu tidak kunjung tiba.

Han Cin berkata: "Kalau benar Tan-toako berada di Sian-khim-sia, begitu mendengar serulingku, pasti dia menyusul kemari, Ping-ko, apa kau masih mau menunggunya?"

Toan Kiam-ping jadi bimbang, katanya: "Mungkinkah aku tadi salah dengar?"

"Kukira kejadian begitu kebetulan jarang terjadi di dunia ini. Tanpa berjanji mana mungkin Tan-toako berada di tembok besar seperti kita hari ini."

"Tunggu sebentar, lihat apa itu?" seru Toan Kiam-ping.

Mereka di tempat tinggi, dari atas lihat ke bawah, dilihatnya di lereng bukit sana bermunculan bayangan beberapa orang, karuan Han Cin terkejut katanya: "Aneh, waktu kita datang, tiada seorangpun pelancongan dari mana datangnya orang sebanyak ini?"

"Langkah orang-orang itu tangkas dan enteng, kukira semuanya memiliki Kungfu yang baik," demikian kata Toan Kiam¬ping.

"Betul," uiar Han Cin setelah meneliti, "mereka bukan pelancongan, tapi kawanan wisu yang menyamar."

Pendapat Han Cin menyadarkan Toan Kiam-ping, dilihatnya orang-orang itu seperti selulup timbul di antara semak rumput yang tumbuh subur dan tinggi namun mereka hanya bergerak di daerah itu tiada yang naik ke atas gunung. Pola mereka tak ubahnya sepasukan ronda yang sedang mondar mandir.

Kini Han Cin melihat lebih jelas dari tempatnya yang tinggi, katanya: "Ada empat orang datang kesini dari arah Sian-khim-sia, tapi Tan-toako tidak ada di antara mereka."

"Ya, empat orang ini bukan manusia sembarangan, coba lihat..."

Demikian kata Toan Kiam-ping sambil menuding kesana. Tampak kawanan wisu yang sembunyi di semak itu kini bermunculan seperti memapak kedatangan ke empat orang itu, Toan dan Han mendekam mendengarkan suara, didengarnya seorang memanggil "Siau-ongya".

Han Cin terkejut, dengan tertawa dia berbisik di pinggir telinga Toan Kiam-ping: "Dari mana datang pula seorang Siau-ongya?"

Terdengar Siau-ongya itu sedang memaki: "Kalian lupa lagi, sudah kukatakan jangan panggil aku demikian, sebut saja Kongcu?"

Orang itu tersipu-sipu, katanya: "Lapor, lapor, Kongcu, disini tiada orang luar."

Salah seorang dari empat orang itu lalu berkata: "Di atas ada orang tidak?"

Mendengar suara orang ini, seketika Han Cin berubah air mukanya.

Toan Kiam-ping bertanya perlahan: "Kau tahu siapa dia?"

"Sekarang belum jelas, tapi suaranya seperti pernah kukenal entah dimana," kejap lain setelah Han Cin melihat muka orang itu dia betul-betul kaget, katanya: "Itulah Lenghou Yong jago kosen nomor satu anak buah Liong Bun-kong."

"Lenghou Yong yang pernah bergebrak dengan kau di Ong-gu-san dulu itu?"

"Waktu itu hanya Tan-toako yang melabraknya, betapa tinggi kepandaian Tan-toako diapun terdesak di bawah angin. Akhirnya aku tampil dengan menyamar sebagai Gi-hu sehingga dia lari ketakutan, walau belum pasti dia dapat mengenaliku, lebih baik kita lekas menyingkir saja."

Meski mengharap dapat bertemu dengan Tan Ciok-sing, tapi keadaan cukup mendesak terpaksa Toan Kiam-ping mengundurkan diri. Kuda mereka makan rumput di tegalan sana, sekali Toan Kiam-ping bersiul kuda tunggangan itu segera lari mendatangi, begitu mencemplak ke punggung kuda mereka putar haluan terus dibedal ke arah yang berlawanan dari arah datangnya rombongan di bawah sana.

Lenghou Yong tidak melihat wajah mereka, namun dia lihat dua ekor kuda berlari kencang bagai angin lalu, hanya sekejap telah lenyap.

Adalah Siau-ongya menghela napas, katanya: "Dua ekor kuda itu sungguh jempolan, di Mongol belum pernah aku melihat kuda sebagus itu."

"Biar kukejar," kata tenghou Yong.

Poyang Gun-ngo berkata dingin: "Lenghou-siansing, meski ginkangmu bagus, yakin kau tak akan mampu mengejar kedua kuda itu?" sebagai jago kosen yang jarang ketemu tandingan di Watsu, sudah tentu dia merasa sirik kepada Lenghou Yong.

"Kalau begitu, mari silahkan lihat-lihat di sebelah atas," ujar Lenghou Yong.

"O, ya, tadi kau bilang di atas masih ada peninggalan jaman kuno? Aku tidak pingin merebut kuda orang lain, dikejar juga belum tentu kecandak. Marilah kita bermain-main di atas saja."

Lenghou Yong mengendorkan langkah, katanya: "Lapor Siau-ongya peninggalan kuno di atas itu dinamakan panggung Bok Kwi-ing."

Berubah air muka Siau-ongya, serunya: "Bok Kwi-ing apa? Apakah pahlawan perempuan bangsa Han kalian di jaman kuno dulu yang bernama Bok Kwi-ing itu?"

"Ya, benar," sela Poyang Gun-ngo, "Bok Kwi-ing adalah jenderal perempuan dari marga Nyo yang terkenal, konon dulu pernah memukul hancur Thian-bun-tin pasukan Liau yang kesohor itu. Bok Kwi-ing disanjung puji sebagai pahlawan pembela tanah air oleh bangsa Han mereka."

Siau-ongya menarik muka, katanya: "Lenghou-siansing lalu apa maksudmu hendak membawa kami ke panggung Bok Kwi-ing?"

Baru sekarang Lenghou Yong sadar, membawa pangeran kerajaan Watsu ke panggung Bok Kwi-ing adalah merupakan suatu penghinaan bagi mereka, karuan dia tertawa nyengir lekas dia minta maaf: "Siau-ongya, agaknya kau tidak suka pemandangan alam disini, marilah kita pindah ke tembok besar di sebelah sana."

Toan Kiam-ping dan Han Cin mencongklang kudanya secepat terbang, sepanjang jalan tidak jarang mereka mendengar para wisu yang berpakaian preman itu membentak dan memaki, ada yang kagum melihat kuda mereka, ada pula yang berniat merampas kuda mereka, tapi mana mereka mampu merintangi. Cepat sekali mereka sudah tiba di bawah gunung. Toan Kiam-ping berkata setelah menghela napas: "Sayang kesempatan bertemu dengan Tan-toako terpaksa diabaikan."

000OOO000



Dengan membawa kipas pemberian Siau-ongya, dengan leluasa Tan Ciok-sing berdua turun gunung, para wisu tiada yang berani mempersulit mereka. Waktu mereka tiba di Iamping gunung tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda membedal kencang turun gunung, lapat-lapat kelihatan namun cepat sekali tinggal dua titik bayangan dan lenyap tanpa bekas.

In San berseru memuji: "Kuda bagus, kuda putih milik Kanglam Sianghiap itupun belum tentu lebih unggul dari kedua ekor kuda itu."

Tan Ciok-sing menepekur sesaat lamanya, katanya kemudian: "Mungkin kedua kuda itulah milik Kanglam Sianghiap."

"Kau tetap mengira Toan-toako dan Han-cici yang menunggang kedua kuda itu?"

"Aku memang agak curiga. Tiupan seruling orang itu memang mirip sekali dengan gaya tiupan seruling nona Han,"

"Pandanganku memang kurang tajam, tapi dapat kulihat jeias bahwa kedua ekor kuda tadi bukan berwarna putih."

Karena ragu-ragu akhirnya Tan Ciok-sing tertawa getir katanya: "Apa benar mereka toh kita tidak bisa membuktikan. Biarlah buat apa susah-susah memikir mereka."

Untung mereka jarang ketemu orang, walau tidak berani mengembangkan ginkang, namun langkah mereka jauh lebih pesat dari orang biasa berlari, sebelum matahari terbenam mereka sudah kembali ke rumah sewa di kota Pakkhia. Rumah di tengah kebun ini sudah setengah bobrok tidak diurus dan lama tidak di tempati, jauh dari bangunan rumah-rumah lain, maka dalam rumah mereka lebih leluasa bicara.

"Tan-toako," kata In San, "menurut dugaanmu, siapakah Siau-ongya itu?"

"Memangnya perlu dijelaskan lagi. Jago nomor satu dari bangsat tua shc Lion'g itu rela menjadi kacung penunjuk jalannya, jelas ada sangkut pautnya dengan Duta rahasia Watsu itu. Bukan mustahil dia putera dari Duta rahasia itu."

"Menurut hematmu, apakah Lenghou Yong sudah menduga akan dirimu?"

"Dari kejadian tadi, kukira dia memang sudah menaruh curiga, tapi belum tentu dia yakin akan diriku."

"Jelasnya mereka sudah menaruh curiga maka penjagaan malam ini tentu keras sekali. Anak buah Duta rahasia itu mampu membunuh Ui-yap Tojin, tentu tidak sedikit jago kosen di antara mereka."

"Betul, busu Watsu yang mengikuti Siau-ongya itu kepandaiannya jelas tidak lebih rendah dari Lenghou Yong. Adik San, aku tahu malam nanti bakal menghadapi mara bahaya lebih besar, namun meski tahu di atas gunung ada harimau, kita justru akan terjang ke atas gunung, mumpung Duta rahasia Watsu berada di rumah keluarga Liong, aku sudah bertekad untuk meluruk gunung harimau itu."

Tiba-tiba In San mengusulkan: "Kau memiliki kipas pemberian Siau-ongya, bukankah dengan kipas ini kau bisa mohon menghadap kepada Liong Bun-kong lalu cari kesempatan membunuhnya?"

"Cara ini kukira kurang baik, pertama Lenghou Yong sudah menaruh curiga pada kita, permohonanku menemui Liong Bun-kong belum tentu bisa terlaksana dan itu berarti kita masuk perangkap sendiri. Kedua, aku tidak sudi menggunakan barang pemberian orang lain demi keuntungan pribadiku sendiri." In San melenggong, katanya:

"Apa kau sudah anggap Siau-ongya itu sebagai kawan? Kalau dugaanmu tidak meleset, ayahnya adalah Duta rahasia itu, bukankah kita adalah musuh ayahnya."

"Ayahnya sudah tentu adalah musuh kita. Tapi pemuda berusia belasan tahun itu belum tentu sebagai musuh, paling tidak sekarang masih belum. Kawan ada banyak macam, Siau-ongya yang satu ini tentunya berbeda dengan kaum pendekar kita, tapi bila dia mau memandangku sebagai kawan, meski hanya karena memburu kesenangannya, akupun harus membalasnya setulus hati, dengan tegas menggaris bawahi antara dia dengan ayahnya. Bukankah kita berpedoman kebenaran dan keadilan, jelas antara hitam dan putih."

"Komentarmu memang agak mirip analisa Ciu-pepek (Kim-to Cecu). Baiklah, teorimu yang serba benar dan adil itu, jelas aku tidak mampu mendebatmu, malam nanti bila aku ketemu Siau-ongya itu, aku tidak akan membunuhnya."

"Bila kau menyinggung Kim-to Cecu, aku jadi amat menyesal, aku sudah berada diluar Gan-bun-koan, tapi tiada jodoh untuk menemuinya."

"Gerakan Jit-sian ke kota raja kali ini, yakin Kim-to Cecu pasti juga sudah mendapat kabar, dia pasti mengutus orang kemari."

"Satu hal lagi yang membuatku menyesal, tadi kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Toan-toako dan nona Han."

"Agaknya rasa curigamu belum juga padam? Mungkin hanya angan-anganmu saja bahwa Toan-toako dan Han-cici berada di kota raja. Tapi Jit-sian jelas pasti datang, mungkin sudah tiba sebelum kita sampai disini. Sayang kita tidak bisa mengadakan kontak."

"Akupun merindukan mereka, terutama Kek Lam-wi yang pandai meniup seruling. Tapi kupikir sebelum gerakan kita dilakukan, ada baiknya kita tidak bertemu dengan mereka. Setelah malam nanti, bila kita beruntung masih hidup, barulah nanti kita cari mereka."

Dasar berotak encer, semula In San masih melenggong, tapi cepat sekali dia sudah paham maksudnya, katanya: "Betul, jikalau aksi kita berhasil itu berarti Jit-sian dan lain-lain tidak perlu banyak berkorban," tak tertahan air matanya berlinang saking haru, katanya pula: "Tan-toako, kau sungguh baik."

Tan Ciok-sing menyeka air matanya, katanya: "Apa aku yang baik? Liong bangsat itu adalah musuh kita bersama memangnya kau masih perlu main sungkan terhadapku?"

"Bukan aku haru karena kau membantuku. Aku terharu karena kau selalu memikirkan orang lebih dulu, kepentingan orang lain selalu kau utamakan, hal inilah yang membikin aku kagum dan bertambah tebal cintaku kepadamu."

"Sudah jangan banyak bicara lagi. Yang penting sekarang kau harus menenangkan pikiran, tentramkan hatimu dan istirahat. Kentongan ketiga nanti kita harus berangkat!"



000OOO000



Kala itu Toan Kiam-ping dan Han Cin juga sudah siap-siap untuk berangkat. Karena menunggang kuda sebelum magrib mereka sudah tiba di penginapan.

Han Cin menutup pintu, katanya dengan tertawa lirih: "Sayang bertemu dengan Siau-ongya, sebetulnya kita masih bisa bertamasya lebih lama lagi, terpaksa harus buru-buru pulang sebelum waktunya."

"Memangnya, orang yang ingin ditemui tidak ketemu, orang yang menyebalkan justru kepergok. Tapi puas juga hatiku setelah tamasya di tembok besar."

Han Cin seperti memikirkan sesuatu, agak lama dia tidak bersuara.

"Adik Cin, kau sedang mikir apa lagi?"

"Aku ingin keluar belanja, sebentar juga kembali, kau tidak usah ikut."

"Adik Cin," setelah memanggil Toan Kiam-ping tidak meneruskan perkataannya.

Han Cin menoleh, katanya: "Kenapa, kau kuatir aku tak mampu pulang?"

"Justeru sebaliknya, aku mengharap malam nanti kau jangan pulang."

Berubah roman muka Han Cin, katanya: "Toako, apa maksudmu? Memangnya..."

"Jangan salah paham adik Cin, bukan maksudku menyuruhmu menyingkir menjelang bahaya tiba, aku cuma berfikir, masih ada cita-citamu yang belum tercapai."

HanCin tertegun, katanya: "Dari mana kau tahu?"

"Tiupan serulingmu tadi membuatku terkenang kepada Kek Lam-wi. Masih segar dalam ingatanku, kau pernah bilang, semasa hidup ayahmu punya seorang teman baik, seorang yang paling pandai meniup seruling, karena geger sehingga kalian putus hubungan, belakangan diketahui dia ngungsi ke Khong-goan dan sudah menetap disana. Ayahmu amat merindukan dia, namun tidak mau mencarinya ke Khong-goan. Tapi dia mengharap setelah beliau mati kau bisa kesana mencarinya." "Betul, ayah berpesan supaya aku, menyerahkan seluruh hasil karyanya kepada dia. Tapi ayah tidak pernah menyebut siapa nama orang itu, menjelang ajalnya dia ingin menerangkan tapi tidak sempat lagi. Naga-naganya ayah ada pertikaian yang mendalam dengan orang itu, namun malu untuk menerangkan."

"Susiok Kek Lam-wi bernama Ti Nio konon tinggal di Khong-goan, kepandaianmu meniup seruling mirip Kek Lam-wi, orang yang ingin dicari ayahmu, bukan mustahil adalah Susiok Kek Lam-wi pula."

"Benar, akupun pernah berpikir begitu. Tapi untuk apa dalam saat-saat seperti ini kau masih menyinggung hal ini?"

"Di rumah Coh Ceng-hun tempo hari, Sia-cin Hwesio pernah berkata pada kita, bahwa Kek Lam-wi sekarang berada di rumah Susioknya yang tinggal di Khong-goan, Wi-cui-hi-kiau sudah mengirim surat lewat burung pos supaya selekasnya dia datang ke kota raja. Kalau dihitung perjalanan, dalam beberapa hari.ini Kek Lam-wi pasti sudah tiba di kota raja. Maka aku harap kau mampir ke rumah Coh Ceng-hun untuk melihatnya, bila betul Kek Lam-wi sudah datang, kaupun bisa melaksanakan cita-cita terakhir."

Han Cin geleng-geleng kepala, katanya lembut:

"Dalam keadaanku sekarang segala persoalan takkan lebih penting dari mati hidup kita berdua. Umpama aku tak mampu melaksanakan keinginan ayah, di alam baka yakin ayah juga pasti memaafkan diriku. Karena ayah seorang sekolahan, aku tahu dia pasti setuju akan haluan yang kutempuh ini," sampai disini tak tertahan air mata bercucuran, katanya lebih lanjut: "Mungkin tinggal malam inilah kita dapat berkumpul, kau masih tega menyuruhku meninggalkan kau?"

Toan Kiam-ping bercucuran air mata pula mendengar perkataan Han Cin yang mengharukan; "Baiklah, kita memang harus sehidup semati. Kau ingin beli apa, lekas pergi."

Setelah menyeka air mata, Han Cin berkata: "Pasar Tang-an tidak jauh dari sini. Toako, jangan kau berpikir yang tidak-tidak, tunggulah aku pulang dan jangan pergi kemana-mana aku akan lekas pulang."

Han Cin bilang akan pulang cepat-cepat, tapi setelah ditunggu sekian lamanya, tetap belum kunjung pulang. Jantung Toan Kiam-ping sudah dak dik duk, sebentar dia kuatir Han Cin mengalami sesuatu diluar dugaan, sebentar dia mengharap Han Cin mau menuruti nasehatnya, "Mungkin dia mau merubah tekadnya semula, kini dia sudah pergi ke rumah keluarga Coh menemui Kek Lam-wi?"

Cukup menderita tekanan batin Toan Kiam-ping menunggu kedatangan Han Cin, pada hal waktu itu sudah menjelang magrib, "Toako, pasti kau sudah gelisah menungguku?" begitu masuk Han Cin lantas berkata dengan tertawa.

"Memangnya aku sudah siap menyusulmu ke pasar, beli apa saja kau sampai pergi selama ini? Apa isi bungkusan besar ini, apa pula yang berada di kantong kecil itu?"

"Kantong kecil ini berisi gandum, bungkusan besar ini berisi kain untuk membuat pakaian."

"Ontuk apa kau membeli semua ini?"

"Gandum bukan untuk dimakan, kain itu kubeli untuk bikin pakaian barumu."

"Kita kan tidak mau pergi pesta, buat apa kau bikin pakaian baru?"

"Masa kau tidak bisa menerkanya?"

"Aku tahu kau memang perempuan berotak cerdas, tapi aku ini orang bodoh, buat apa aku harus memeras otak. Tolong kau jelaskan sendiri saja."

"Inilah barang-barang keperluan kita untuk menyamar nanti malam."

"O, ya betul, di atas Pat-tat-nia siang tadi, para wisu keluarga Liong mungkin ada yang mengenali muka kita, maka perlu kita berdandan dan menukar rupa dan pakaian. Lalu menyamar apa baiknya?"

"Menyamar wisu keluarga Liong."

Toan Kiam-ping melengak, katanya: "Wisu keluarga Liong satu sama lain kenal dengan baik, kau tidak takut konangan?"

"Jangan kuatir, kupilih caraku ini, sudah tentu sebelumnya sudah kupikirkan masak-masak. Waktu turun gunung tadi, diam-diam sudah kuperhatikau dua wisu yang ada dibarisan terakhir, amat kebetulan yang tinggi itu perawakannya mirip kau, sedang yang pendek kira-kira sebanding dengan aku, wajah merekapun sudah kucatat dalam benakku. Bahwa mereka berada di barisan terakhir, boleh dipastikan bahwa kedudukan mereka masih terlalu kroco, dibanding Huwan bersaudara tentu kalah jauh tingkatannya. Bagi wisu yang punya pangkat pasti diperhatikan dan sukar dipalsu, maka kupikir lebih mudah menyamar wisu kroco saja. Tapi siang tadi mereka berpakaian preman, maka kita harus membuat pakaian seragam wisu keluarga Liong."

"Setiap langkah kerjamu ternyata begitu teliti dan hati-hati. Bicara terus terang, walau beberapa kali aku bersamamu lewat di depan gedung keluarga Liong, tapi tak pernah aku memperhatikan seragam apa yang mereka kenakan."

Sembari menjahit Han Cin berkata: "Untuk membeli berbagai keperluan ini sebetulnya tidak makan banyak waktu, coba kau terka kenapa aku pergi begitu lama?"

"Aku justru ingin tanya kau."

"Di pasar Tang-an, biasanya bisa menemukan pengemis di segala pelosok, tapi hari ini seorangpun justru tidak kulihat bayangan mereka. Kudengar pembicaraan orang, bahwa di tempat lain juga demikian. Semula aku belum percaya, aku putar kayun ke berbagai tempat, tapi memang terbukti di tempat-tempat yang ramai tiada kelihatan bayangan seorang pengemis juga."

"Agak ganjil memang, tapi hal ini kurasa tiada hubungannya dengan aksi kita."

"Penduduk kota sedang ramai membicarakan hal ini, ada orang bilang mungkin Kay-pang Pangcu sudah tiba di kota raja, kalau itu betul, berarti ada sangkut pautnya dengan kita."

"Yang terang, kita tidak memerlukan bantuan orang lain, peduli amat siapa yang bakal datang."

Selama pembicaraan itu, Han Cin sudah selesai menjahit dua perangkat pakaian. Langsung dia merias muka Toan Kiam-ping, akhirnya keduanya saling pandang dan tertawa geli sendiri. Han Cin berkata: "Kau mau melihat tampangmu didalam cermin?"

"Kukira tidak perlu. Tampangmu sekarang sudah merupakan cermin bagiku. Bila di tempat lain aku bertemu dengan kau, aku pasti anggap kau sebagai wisu."

"Baiklah, kalau demikian sekarang kita boleh siap-siap untuk berangkat."

Di waktu mereka hendak meninggalkan hotel secara diam-diam, mendadak terdengar diluar ada orang berkata: "Betul, ya benar, memang ada dua orang tamu seperti itu," yang bicara adalah pemilik hotel, pembicaraan dilakukan di ruang depan, sebetulnya jaraknya masih cukup jauh dari kamar mereka, tapi malam sudah sunyi, maka mereka dapat mendengar dengan jelas.

Bercekat hati Han Cin, katanya lirih: "Mungkin orang ini sengaja hendak mencari setori dengan kita."

"Coba dengarkan lebih lanjut."

Tamu yang mencari temannya itu berbicara dengan suara rendah, entah apa yang barusan dia katakan, terdengar pemilik hotel mengiakan lalu menambahkan: "Kau orang tua terlalu sungkan, banyak terima kasih akan bantuanmu ini. Baik, baik, boleh kau masuk sendiri, kedua teman baikmu itu berada di kamar yang terletak di sayap kiri, letaknya paling belakang," mungkin orang itu telah menyogok dengan jumlah uang cukup besar sehingga pemilik hotel tunduk akan segala permintaannya.

"Memang tidak salah, sasarannya adalah kita berdua."

Toan Kiam-ping siap memadamkan lampu, Han Cin mencegahnya, katanya: "Kalau yang datang adalah wisu keluarga Liong, tidak leluasa membunuhnya di hotel, lari juga bukan cara baik. Lebih baik kita tunggu saja siapa dia sebenarnya."

Lekas sekali orang itu sudah tiba di depan kamar mereka serta mengetuk pintu, dua kali pendek, katanya: "Toan-siangkong, tolong buka pintu."

Toan Kiam-ping kenal suara ini, dari celah-celah pintu dia mengintip keluar, setelah melihat jelas, hatinya kejut dan senang, yang datang ternyata adalah pesuruh tua dari keluarga Coh. Waktu mereka bertandang ke rumah Coh Ceng-hun tempo hari, orang tua inilah yang membuka pintu.

Toan Kiam-ping dan Han Cin sembunyi di belakang daun pintu lalu menariknya bersama pelan-pelan sampai pintu terbuka lebar, orang tua itu langsung melangkah masuk, daun pintupun cepat ditutup pula oleh Toan dan Han berdua. Bahwa yang membuka pintu dan menutup pintu ternyata adalah dua wisu, karuan bukan kepalang kaget si orang tua, mulut sudah terbuka dan jeritannya hampir keluar. Lekas Toan Kiam-ping mendekap mulutnya, katanya perlahan: "Jangan gugup, aku adalah Toan Kiam-ping."

Orang tua itu kenal suaranya, legalah hatinya, segera dia menuding ke arah dinding. Toan Kiam-ping maklum maksudnya, katanya: "Kamar sebelah tiada dihuni orang."

Dengan suara lirih si orang tua berkata dengan tertawa: "Cara kalian merias diri sungguh amat liehay, kalau demikian yang ini tentu nona Han adanya."

Merah muka Han Cin katanya: "Lo-yacu tajam juga pandanganmu."

"Pertama kali kalian datang To Tayhiap, dan Thong Tayhiap sudah tahu bahwa kau perempuan menyamar laki-laki, cuma mereka tidak membongkar rahasiamu."

"Dari mana kau tahu kami tinggal disini?"

"Coh-siauya kita yang mohon bantuan pihak Kaypang menyelidiki jejak kalian"

"Ada urusan penting bukan?" "Ada sebuah kabar gembira akan kusampaikan kepada kalian"

Jilid 10



"Kabar gembira apa?" tanya Toan Kiam-ping.

Orang tua itu menjelaskan: "Kek-jitya dari Pat-sian bersama nona Toh sudah datang. Sia-cin Taysu tahu kalian amat memperhatikan mereka,

merekapun mengharap dapat selekasnya bertemu dengan kalian."

"Jadi mereka sudah menyusul dari Say-jwan, kemari?"

"Benar. Masih ada tamu lagi yang datang bersama mereka."

"Siapa?"

"Seorang adalah Susiok Kek-jitya, yaitu Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Seorang lagi mempunyai kedudukan lebih besar..." lalu dia merendahkan suara berbisik, "yaitu Liok-pangcu dari Kay-pang."

Wi-su-hi-kau minta bantuan Liok-pangcu dari Kaypang dengan burung pos mengundang Kek Lam-wi bersama Toh So-so supaya selekasnya datang ke kota raja. Tahu bahwa Pat-sian akan mengadakan pertemuan kedua kalinya di kota raja dengan tujuan menuntut balas kematian Ui-yap Tojin maka Ti Nio menawarkan diri untuk membantu keponakannya, maka mereka berangkat bersama dan bergabung dengan Liok-pangcu bersama menuju ke kota raja.

Tutur orang tua lebih lanjut: "Kek-jitya tahu dari cerita Sia-cin

Taysu bahwa kalian datang-datang lantas mencarinya, sebetulnya dia ingin kemari sendiri. Tapi dia baru saja tiba, malam ini akan diadakan sekedar reuni di antara mereka. Apalagi mata-mata musuh tersebar luas di kota raja ini. Sebagai jago-jago kosen dalam Pat-sian, adalah jamak kalau pihak kawanan cakar alap-alap selalu memperhatikan gerak gerik mereka. Tengah malam menyambangi teman jelas tidak leluasa dan bisa menimbulkan kecurigaan orang, oleh karena itu mereka menekan perasaan dan menerima usul Siauya kita akulah yang disuruh kemari menyampaikan kabar ini pada kalian."

"Sepantasnya kita harus segera menemui mereka, tapi sudah hampir kentongan ketiga, tidak leluasa kami keluar. Lebih baik besok pagi-pagi betul, pasti kami akan kesana. Ada sebuah barang ini aku titip disampaikan kepada Ti Tayhiap," lalu dia keluarkan sebuah kotak yang terbungkus sutera halus, dalam kotak berisi buah karya ayah kandung Han Cin.

Agaknya orang tua itu merasa heran, tidak sukar membawa kotak sutra ini, kalau besok Han Cin akan kesana menemui mereka, kenapa tidak besok dia bawa sendiri dan langsung serahkan kepada Ti Tayhiap? Tapi dia tidak enak untuk tanya hal itu.

Tapi ada sebuah hal lain yang amat aneh orang tua itu tak kuat menahan keinginannya untuk tahu persoalannya, maka dia bertanya: "Nona Han, kepandaianmu merias orang sungguh hebat sekali, ingin menyamar apa pasti persis yang tulen. Tadi aku amat kaget dan takut, kukira aku terjebak oleh musuh. Tapi aku tidak habis mengerti, maaf nona Han bila aku cerewet menanyakan hal ini kepadamu..."

Han Cin tahu soal apa yang hendak ditanyakan, maka segera dia menyela: "Tentunya kau heran, kenapa tengah malam buta rata kami menyamar wisu keluarga Liong bukan?"

"Betul. Mendadak melihat dua wisu menghadang jalan keluarku, kukira kalian sudah ketimpa malang, cakar alap-alap sembunyi dalam kamar hendak menangkapku pula."

Han Cin berkata tawar, katanya: "Kami hanya main-main saja, di malam nan sunyi hening ini tidak perlu permainan kita diketahui orang. Bila persoalan ini berhasil selanjutnya tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka, betul tidak?"

"Ya, betul," ujar orang tua, "dengan tampang kalian sekarang keluyuran di tengah jalan rayapun kalian tidak akan dicurigai orang. Baiklah, waktu sudah larut, aku mohon pamit saja. Besok pagi-pagi mohon kalian suka mampir ke tempat kita."

Setelah orang tua itu pergi, Toan Kiam-ping berkata: "Adik Cin, mumpung Susiok Kek Lam-wi sudah datang dari Say-jwan, kau, apa kau tidak ingin merubah tekadmu?"

"Jikalau ada niatku merubah tekad, tidak perlu aku titip buah karya ayahku kepada orang tua," jawab Han Cin tegas.

Ronda di tengah jalan raya sudah mulai mengetuk tiga kali kentongan. Han Cin berkata: "Sudah kentongan ketiga, jikalau urusan bisa lancar, masih ada dua jam lagi waktu untuk membunuh bangsat she Liong itu. Mari kita berangkat."



000OOO000



Setelah meninggalkan hotel, semakin dipikir orang tua semakin heran dan timbul curiganya, bum-buru dia pulang. Coh Ceng-hun, Ti Nio, Kek Lam-wi dan lain-lain belum tidur, mereka sedang kumpul dan berbincang-bincang, melihat dia pulang dengan langkah gopoh dan keringat emerobyos semua merasa heran.

Ternyata waktu orang tua itu pulang, kebetulan mereka sedang membicarakan Han Cin, siapa sebenarnya Toan Kiam ping semua orang sudah tahu, tapi asal-usul Han Cin belum mereka ketahui.

Sia-cin berkata: "Kepandaian merias gadis itu memang luar biasa, hari itu bila Toan Kiam-ping tidak membawa tanda kepercayaan Ling Khong-tik, hampir saja aku tidak mengenalnya lagi. Gadis itu menyamar jadi pelajar sedikitpun tidak kelihatan kejanggalan."

Yang tidak dimengerti oleh Kek Lam-wi adalah soal lain, katanya: "Aneh kenapa begitu mereka tiba di kota raja lantas tanya tentang diriku?"

Maklum didalam Pat-sian Kek Lam-wi termasuk orang ke tujuh paling hanyalah saudara termuda di antara mereka.

Sia-cin Hwesio berkata: "Hari itu aku memberitahu mereka bahwa Kek-lote sekarang berada di Say-jwan meyambangi Susioknya, secara jelas gadis itu tanya apakah Susiok Kek Lam-wi adalah Ti Tayhiap yang tinggal di Khong-goan?"

"Gadis itu she apa?" tanya Ti Nio.

Coh Ceng-hun melengak, katanya: "Bukankah sudah kuterangkan kepada kau orang tua, dia she Han."

"Dia she Han," Ti Nio menggumam sambil menepekur seperti memikirkan sesuatu, "pandai tata rias dan cukup ahli malah?"

Kek Lam-wi juga heran, tanyanya: "Susiok kau tahu asal usai gadis itu?"

"Aku curiga mungkin dia puteri seorang temanku yang telah meninggal? Tahukah kalian apakah dia pandai meniup seruling?"

Coh Ceng-hun menjelaskan: "Kami baru bertemu pertama kali pada hari itu. Kecuali tahu dia ahli dalam tata rias, kita tidak tahu hal lain tentang dirinya."

Sampai disini pembicaraan mereka, kebetulan orang tua itu pulang. Langsung orang tua itu serahkan kotak sutra itu kepada Ti Nio, katanya: "Ti Tayhiap, inilah kotak titipan nona Han yang minta diserahkan kepada kau."

"Apa pula pesannya?" tanya Ti Nio.

"Tidak berpesan apa-apa, dia bilang malam ini tidak leluasa kemari besok pagi-pagi dia pasti akan menemui kau orang tua."

Mendengar penjelasan ini semua orang merasa ragu-ragu, kalau besok dia akan datang, kenapa harus titip barang sekecil dan seringan ini kepada orang lain supaya disampaikan.

Lekas Ti Nio buka kotak sutra itu, pertama dia dapatkan sepucuk surat tulisan ayah kandung Han Cin yang ditujukan kepadanya, di bawahnya adalah setumpuk naskah tulisan tangan. Melihat tulisan yang amat dikenal ini, sungguh girang dan kaget hati Ti Nio, teriaknya tanpa tertahan: "Memang betul teman lamaku."

"Apa yang ditulis dalam suratnya?" tanya Kek Lam-wi.

Lekas Ti Nio buka sampul surat dan keluarkan suratnya serta dibeber, tanpa kuasa air mata berlinang-linang, katanya dengan suara gemetar dan sedih: "Dia, dia sudah meninggal. Ai, dia tidak berpesan apa-apa, dia hanya berpesan kepada putrinya bila dia sudah mati supaya menyerahkan karyanya ini kepadaku. Ai, masakah setelah sekian lamanya, sampai matipun dia tidak mau memaafkan dan menyelami keadaanku?"

Kek Lam-wi belum lama berkumpul dengan Susioknya ini, bagaimana riwayat hidupnya dulu, sedikitpun dia tidak tahu. Dari nada perkataan sang Susiok, dia tahu ada hal-hal yang serba runyam bila diterangkan. Sebagai angkatan muda, tidak enak dia banyak bertanya.

Orang tua itu melanjutkan ceritanya: "Ada pula kejadian yang aneh dan mengherankan, mereka menyamar jadi wisu keluarga Liong, demikian pula wajah mereka sudah berubah dari wajah aslinya. Begitu aku masuk ke kamarnya, mendadak melihat dua wisu berdiri di depanku, karuan kejutku seperti arwah sudah copot meninggalkan badan. Untung Toan-kongcu segera bersuara dan memberitahu padaku maksud penyamarannya itu, kalau tidak tentu terjadi adegan yang menggelikan."

Coh Ceng-hun kaget, tanyanya: "Tengah malam begini untuk apa mereka menyamar wisu keluarga Liong?"

"Mereka bilang hanya bermain-main saja. Bila samarannya mirip, kelak mereka bisa bertindak dengan cara itu supaya tidak mengalami bahaya."

Kaypang Pangcu, Sia-cin Hwesio, Thong To, Kek dan Toh beramai adalah tokoh-tokoh Kangouw yang sudah banyak pengalaman, setelah mendengar keterangan si orang tua, maka timbul rasa curiga mereka. Sia-cin Hwesio yang berangasan berteriak lebih dulu: "Ada permainan apa dibalik samaran mereka, aku tidak bisa menerima alasan mereka dengan cara bermain-main begitu."

"Susiok," kata Kek Lam-wi, "kau orang tua banyak pengalaman, tolong kau berikan pandanganmu supaya dapat kita telaah bersama."

Ti Nio seperti sadar dari mimpi, serunya: "Ada urusan apa?"

Setelah si orang tua menceritakan pula. Ti Nio amat kaget, tak sempat meneliti naskah-naskah syair peninggalan temannya, segera dia berteriak:

"Hayo lekas berangkat."

"Pergi kemana?" tanya Kek Lam-wi heran.

Lantang suara Ti Nio: "Meluruk ke rumah bangsat she Liong."

Kejadian diluar dugaan, maka rencana mereka untuk membunuh pembesar dorna terpaksa dilakukan lebih cepat dari waktu yang telah direncanakan semula.



000OOO000



Malam itu ada tiga rombongan orang yang meluruk ke rumah keluarga Liong, Ti Nio dan lain-lain hanya tahu bahwa di depan mereka ada Toan Kiam-ping dan Han Cin yang sudah mendahului mereka, tapi diluar tahu mereka bahwa masih ada dua orang lagi yang lebih dulu bertindak di depan Toan Kiam-ping dan Han Cin. Yang pertama kali tiba di rumah keluarga Liong sudah tentu adalah Tan Ciok-sing. Maklum tempat tinggal mereka paling dekat dari gunung keluarga Liong, sebelum kentongan ketiga, mereka sudah menyelundup kedalam rumah bangsat she Liong.

Waktu kecil In San sering bermain-main di rumah keluarga Liong, setiba di Pakkhia kali ini, dua kali dia sudah menyelidik bersama Tan Ciok-sing, maka seluk beluk gedung keluarga Liong boleh dikata amat apal. In San bawa Tan

Ciok-sing masuk lewat kebon belakang lalu sembunyi didalam gerombolan pohon.

Situasi ternyata berbeda dengan dua malam yang lalu, tampak bayangan orang bergerak kian kemari didalam kebon. In San jadi bimbang, pikirnya: "Tempat tinggal bangsat tua itu sedikitnya ada empat tempat. Wisu yang meronda malam ini begini banyak, bila setiap tempat harus diselidiki, mungkin jejak kita bisa konangan."

Tengah dia berpikir, tiba-tiba didengarnya ada orang membentak: "Siapa, berdiri di tempatmu."

Tan Ciok-sing terperanjat, kiranya jejaknya konangan. Baru saja dia angkat tangan hendak menimpukkan sebutir krikil yang sejak tadi digenggamnya, tampak dari rumpun kembang sana berjalan seorang seraya menjawab: "Kenapa sih, aku."

Yang keluar ternyata seorang gadis berpakaian pelayan. Wisu itu segera tertawa, sapanya cengar cengir: "O, kiranya kak Kwi-ci, bikin jantungku kaget saja. Selarut ini untuk apa kau keluyuran disini?"

Budak itu balas mencemooh: "Aku malah yang kau bikin kaget, sepanjang jalan ini hatiku kebat kebit, takut ketemu pembunuh, ada orang bilang malam ini akan kedatangan pembunuh gelap. Tak nyana tidak kepergok pembunuh gelap, tapi ketemu kau setan alas ini, main gertak lagi."

Wisu itu tertawa, katanya: "Sebanyak ini yang meronda, lalatpun takkan lolos, kenapa takut pada pembunuh segala? Kau mau kemana, kalau takut mari kuantar."

"Aku mau antar kuah Jinsom ini ke Bing-cu-khek, kalau kau bilang tidak perlu takut, biarlah aku pergi sendiri, kau tidak usah antar aku," ternyata wisu ini sejak lama sudah naksir pada budak ayu ini, setiap ada kesempatan pasti berusaha merayunya, maka budak itu paling membencinya.

"O, mengantar kuah Jinsom untuk Lo-tayjin?" tanya si wisu.

"Entah siapa yang akan minum, aku tidak tahu. Kalau kau ingin tahu, sekembaliku nanti kuberitahu padamu, lekas kau minggir biar aku cepat kesana."

Wisu itu melclet lidah, katanya: "Tujuanmu ke Bing-cu-khek, mana aku berani menghadangmu, tadi aku hanya tanya sambil lalu saja, jangan kau kira aku sengaja mau mencari tahu."-Kiranya Bing-cu-khek adalah kamar rahasia dimana Liong Bun-kong paling suka merundingkan urusannya dengan para kepercayaannya.

Malam telah larut tapi budak ini bilang mengantar kuah Jinsom ke Bing-cu-khek, namun wisu itu tidak berani banyak tanya, tapi dia menduga pasti akan diberikan kepada Liong Bun-kong.

Girang hati In San, pikirnya: "Sungguh amat kebetulan, tanpa sengaja aku berhasil memperoleh keterangan berharga," pelan-pelan dia tarik tangan Tan Ciok-sing lalu mengajaknya menuju ke Bing-cu-khek.

Ternyata dalam taman luas ini terdapat kebon pula di tengahnya. Bing-cu-khek terletak di suatu pojokan dalam kebon, ada jambangan, kembang teratai tampak mekar, ada gunungan, ada air mancur dan segala pajangan kebon yang serba mewah, jadi lingkungan kebon kecil ini terputus dari taman besar di bagian luar. Diluar dugaan pula, kalau ronda berlalu lalang di taman luar, adalah di kebon kecil ini suasana justru sepi dan lengang, tidak nampak bayangan seorangpun disini. Dua wisu tampak berjaga di pintu masuk. In San apal keadaan disini, sengaja dia memutar ke samping, setelah melewati sebuah gunung-gunungan, bersama Tan Ciok-sing mereka masuk kedalam kebon tanpa diketahui kedua wisu jaga itu.

Letak gunungan itu kebetulan berada di samping Bing-cu-khek, tepat di depan jendela, di tengah rumpun kembang mereka terus merunduk maju ke depan tiba di bawah gunungan serta merayap masuk ke gua gunungan itu, tiada seorang wisupun yang tahu jejak mereka. Mulut gua itu berada di pucuk gunungan, bila kau menongolkan kepala, maka keadaan didalam loteng dapat dilihatnya dengan jelas.

Rumah berloteng itu tampak terang benderang, Liong Bun-kong sedang duduk di tengah, keponakannya Liong Seng-bu kelihatan berdiri di sampingnya. Ada dua orang lagi yang duduk di dua sisinya sedang bicara dengan dia. Kedua orang itu adalah Ciok Khong-goan dan Lenghou Yong.

Dingin perasaan In San, batinnya: "Tak heran bangsat tua ini begini berani, dalam kebon ini tanpa dijaga orang, ternyata Lenghou Yong ada di sampingnya. Bila sekali serang tidak kena sasaran, untuk membunuhnya jelas amat sukar."

Tan Ciok-sing memijat jari-jari ln San, isi hati mereka sama, In San paham maksudnya yaitu ingin mendengarkan pembicaraan orang-orang didalam, supaya sementara tak usah menempuh bahaya. Musuh tangguh di depan mata, meski menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang juga perlu dikuatirkan konangan musuh. In San manggut-manggut.

Patah kata pertama yang mereka dengar diucapkan oleh Liong Bun-kong, terdengar dia berkata dengan nada yang aneh: "O, jadi Siau-ongya keluarga Toan juga pandai main silat?"

"Bukan saja pandai, Kungfunya malah liehay," sela Liong Seng-bu, "kejadian sesungguhnya boleh tanya kepada Ciok Khong-goan."

Maka Ciok Khong-goan ceritakan kegagalan tugasnya kali ini, lalu menambahkan: "Kungfu Siau-ongya keluarga Toan itu bukan saja liehay, dia dibantu dua orang lagi. Seorang adalah guru silat keluarga Toan, yaitu Ling Khong-tik, seorang lagi adalah gadis yang menyamar tabib kelilingan."

Agaknya Liong Bun-kong ketarik oleh ceritanya, katanya: "Lho, gadis yang menyamar tabib kelilingan? Siapakah dia?"

"Tidak tahu," sahut Ciok Khong-goan, "kepandaian merias gadis itu memang amat mahir, kamipun belakangan baru tahu setelah dia bicara dengan suara perempuan kepada Siau-ongya keluarga Toan itu."

Mendengar tanya jawab ini, diam-diam Tan Ciok-sing amat senang, pikirnya: "Dugaanku ternyata tidak meleset."

Liong Seng-bu menghela napas, katanya: "Semula aku kuatir, gadis itu adalah In San budak nakal itu."

Liong Bun-kong melotot sekali padanya, katanya: "Sampai sekarang, kau masih tergila-gila kepada budak itu?"

Liong Seng-bu tak berani bicara lagi, sesaat kemudian kembali Liong Bun-kong berkata: "Penjagaan sudah diperketat, betapapun tinggi kepandaian si pembunuh, aku tidak perlu gentar lagi, tapi kalau ada gadis yang mahir menyamar seliehay itu, tidak boleh tidak harus dijaga."

Kini giliran Lenghou Yong berbicara: "Siang tadi waktu aku menemani Siau-ongya tamasya di tembok besar, di Sian-khim-sia ketemu seorang pemuda, aku agak curiga kalau dia adalah Tan Ciok-sing. Kepandaian bangsat cilik ini kukira lebih tinggi dari Toan Kiam-ping, walau belum tentu dia mampu menyelundup kemari, tapi lebih baik kalau dapat membunuhnya."

"Sudah tentu," ucap Liong Bun-kong, "tapi selama dua hari ini lebih penting kita melindungi tamu agung, setelah tamu-tamu kita pulang, boleh kalian menyelidiki jejak bocah itu. Bila dia berani datang ke kota raja, kukira takkan segera pergi," sampai disini tiba-tiba dia menambahkan, "aku merasa penat, Lenghou-siansing, kalau tiada urusan lagi boleh kau pulang dulu bersama Ciok Khong-goan."

Lenghou Yong melengak, katanya: "Apa Tayjin tidak memerlukan tenagaku disini untuk menjaga keselamatanmu?"

"Aku ingin kau kesana ikut melindungi tamu kita. Walau tidak sedikit jago-jago yang mengawalnya, tapi aku masih merasa kuatir, harus diusahakan jangan sampai tamu kita mengalami sesuatu di tempat kita," sembari bicara diam-diam dia memberi kedipan mata kepada Lenghou Yong. Tan dan In berdua sembunyi di atas gunungan, dapat mendengarkan suaranya tapi tidak dapat melihat tanda kedipan mata ini.

Lenghou Yong mengerti, segera diapun berpura-pura: "Lo-tayjin, disini kau tidak dilindungi, akupun merasa kuatir."

Liong Bun-kong pura-pura marah, katanya: "Ah, kenapa kau tidak bisa membedakan antara yang berat dan enteng. Tapi tamu kita itu adalah paman raja Khan agung dari Watsu, kawanan wisu sudah kusebar di taman luar, ada anak Bu yang menjagaku disini, kau kuatir apa, lekas pergi, lekas," terpaksa Lenghou Yong dan Ciok Khong-goan pura-pura apa boleh buat serta mengundurkan diri.

In San jadi girang, pikirnya: "Kehadiran Lenghou Yong memang menyulitkan kita turun tangan. Kebetulan dia diutus untuk menjaga tamu. Agaknya Thian memang membantu kita."

Lenghou Yong dan Ciok Khong:goan yang keluar dari loteng, waktu lewat gunungan agaknya berhenti mendadak. Tan Ciok-sing berdua sembunyi di atas gunungan, hanya bisa melihat sebelah depan tak mampu menoleh ke belakang, jantung mereka kebat. kebit, kuatir kedua orang ini mengadakan pemeriksaan, namun ditunggu lagi beberapa kejap, langkah kedua orang berderap pula terus pergi sampai tidak terdengar lagi.

Dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang In San berkata kepada Tan Ciok-sing: "Bagaimana, sudah saatnya turun tangan?"

"Tunggu lagi sebentar, aku kuatir ada perangkap yang sengaja untuk menjebak kita."

Tampak Liong Bun-kong tengah mengeluarkan secarik kertas, katanya: "Itulah surat perjanjian yang kubuat dengan Duta rahasia Watsu itu, kau boleh memeriksanya sekali lagi, bila ada yang kurang baik masih sempat kita koreksi lagi."

Setelah membacanya Liong Seng-bu berkata: "Walau Baginda percaya kepada paman, mungkin ada beberapa pembesar yang tidak tahu diri berpendapat perjanjian ini bakal merugikan kepentingan negara dan menghina bangsa, pasti mereka berusaha menentang."

"Karena itulah aku minta kau mencari akal, cara bagaimana baru dapat melenyapkan tantangan mereka, sehingga perjanjian ini bisa ditanda tangani dengan leluasa."

"Menurut pendapat keponakan yang bodoh, kita tetap gunakan cara lama, mengancam dan menyogok secara serempak. Yang bisa dibeli kita sogok, yang kukuh pendapat kita sikat."

"Untuk sogokan dananya sudah kusediakan dan akupun tidak perlu kikir dalam hal ini. Baiklah, cara bagaimana menyikat para pembesar yang menantang kebijaksanaan kita itu kuserahkan kepadamu."

"Baik, keponakan pasti bekerja sekuat tenaga."

Mendengar sampai disini, tak urung membara darah Tan Ciok-sing.

In San tahu perasaannya, katanya berbisik: "Buat apa toako marah, bila surat perjanjian itu sudah berada di tangan kita, manfaatnya tentu besar. Entah masih ada muslihat apapula, coba dengarkan lagi."

Tapi setelah didengarkan lebih lanjut, yang dibicarakan ternyata bukan soal negara. Terdengar Liong Seng-bu berkata: "Paman, ada satu hal entah perlukah kuberitahu kepadamu?"

"Berita baik atau buruk, aku harus mengetahuinya."

"Lapor paman, Bibi, oh, bukan, budak liar itu kini sudah mati..."

Liong Bun-kong kaget, tanyanya: "Mati bagaimana?"

"Waktu aku menemuinya di Tay-tong dulu, dia memang sudah sakit parah. Konon setiba di markas Kim-to Cecu, beberapa hari kemudian lantas meninggal karena sakitnya."

Liong Bun-kong pura-pura sedih, katanya menghela napas: "Hidup senang tidak mau dinikmati, sebagai nyonya seorang berpangkat apa jeleknya, tapi dia memilih kaum brandal sebagai kawan. Ai, sia-sia aku mencintainya sepenuh hati, tapi perempuan jalang seperti dia memang pantas juga menemui ajalnya."

Mendengar Liong Bun-kong memaki dan menghina ibunya, serasa hampir meledak dada In San, giginya gemerutuk. Desisnya: "Toako, aku tidak tahan lagi, mari turun tangan."

Waktu dia hendak melompat keluar, tiba-tiba didengarnya wisu yang berjaga di pintu kebon membentak: "Siapa?"

"Aku, Kwi-ci, datang mengantar kuah Jinsom untuk Loya," ternyata genduk cilik yang molek itu telah tiba.

Seorang wisu segera berteriak: "Yang antar kuah Jinsom sudah datang," lalu dia mengulap tangan, katanya: "Lo-tayjin dan Tit-siauya sejak tadi sudah menunggu kuah Jinsom ini, lekas kau antar ke atas."

Tiba-tiba In San mendapat akal, sewaktu genduk cilik itu tiba di bawah gunungan, dengan sebuah krikil dia menjentik tangan menutuk hiat-to penidurnya, di kala tubuh orang limbung, sigap sekali In San sudah menerobos keluar serta memapah tubuhnya sehingga tidak sampai roboh, cepat dia seret genduk cilik ini kedalam gua serta membelejeti pakaiannya, gerak geriknya cepat dan cekatan, wisu yang jaga di pintu kebon ternyata tidak tahu akan kejadian disini. Kini In San yang menggantikan si genduk mengantar kuah Jinsom itu ke atas loteng.

"Genduk malas, kenapa semalam ini baru kau antar kuah itu?" maki Liong Seng-bu.

In San mengusap muka, katanya: "Pentang mata anjingmu, lihatlah siapa aku," sembari berkata dia timpukkan wadah berisi kuah itu sembari melolos pedang, 'Sret" senjatapun menusuk. "Tang" wadah kuah itu dipukul jatuh oleh Liong Seng-bu, tapi kuahnya muncrat membasahi sekujur badan Liong Bun-kong. Tapi Liong Bun-Kong malah tertawa tergelak-gelak serunya: "Budak cilik, kau kena tipu."

Kejap lain kursi yang diduduki Liong Bun-kong tiba-tiba mencemplak mundur, dinding di belakangpun terpentang lebar, kursi yang dipegang Liong Seng-bu ikut ketarik mundur ke balik dinding dan lenyap setelah dinding itu menutup seperti sedia kala. Bukan hanya dinding saja yang terpentang, ternyata tempat dimana In San berdiri mendadak lantainya berputar terus terbalik, karena gerak putaran inilah sehingga tusukan pedang In San meleset, tanpa kuasa tubuhnya ikut berputar dan begitu lantai terbalik tanpa ampun kontan tubuhnya kejeblos di bawah. Ternyata Bing-cu-khek penuh dipasangi alat rahasia.

Hampir bersamaan dengan In San yang terjeblos kedalam perangkap, Tan Ciok-singpun kena sergap.

Begitu mendengar langkah In San tiba di atas loteng, segera dia keluar dari tempat sembunyinya, tapi sayang terlambat. Jarak gunungan ini dengan Bing-cu-khek ada belasan langkah, betapapun tinggi ginkang seseorang tak mungkin sekali lompat dapat mencapai jarak sejauh itu. Tapi di antara gunungan dengan loteng terdapat sepucuk pohon tinggi beberapa tombak yang tumbuh diluar jendela. Akar rotan melingkar batang pohon yang rindang dengan dahan-dahannya yang bercabang lebat, kebetulan ada cabang pohon yang menjuntai ke arah gunungan. Setelah mengincar tepat begitu menerobos keluar dari gunungan dengan gerakan burung bangau menjulang ke langit, tangannya meraih akar rotan terus meleset berayun ke atas dengan kaki di atas kepala di bawah, seperti tarzan yang berayun di tengah hutan saja, tubuhnya terbang ke seberang.

Tepat pada saat itulah In San terjebak dan anjlok ke bawah lantai. Tan Ciok-sing masih sempat mendengar suara keras, disusul gelak tawa Liong Bun-kong. Pada hal tubuhnya masih terapung di udara, tidak tahu apa yang telah terjadi di atas loteng tapi dia mendapat firasat jelek karena mendengar tawa Liong Bun-kong.

Karena gugup di tengah udara dia jumpalitan beberapa kali terus menukik turun, berbareng pedang sudah terhunus dan menutul lankan, baru saja tubuhnya membalik dan hendak menerjang masuk kedalam, bahayapun terjadi secara mendadak di hadapannya.

Ternyata lankan atau pagar di atas loteng itupun dipasangi alat rahasia, di kala ujung pedangnya menutul itulah, lankan itu mendadak patah. Cepat dan tepat, Liong Bun-kong yang sembunyi di balik dinding sudah menekan tombol, hujan panah kontan berhambur menyambut kehadiran Tan Ciok-sing.

Memang hebat kepandaian Tan Ciok-sing, di saat kritis inilah sekaligus dia mendemonstrasikan kepandaiannya sejati, dengan ginkang yang tiada taranya di kala tubuh masih bergantung di udara, dia lancarkan gerak pedang bertempur dalam delapan penjuru, sinar pedang berderai ke empat penjuru dengan kekuatan dahsyat. Dengan tubuh terapung itu dia sempat melihat keadaan di atas loteng. Walau usahanya memburu kedalam tidak berhasil, namun sekilas pandang ini sudah cukup membuat hatinya mencelos, perasaan dingin dan hati seperti hampir beku.

Ternyata didalam tiada orang lagi, bayangan Liong Bun-kong dan Liong Seng-bu tidak kelihatan, demikian pula In San tidak berada di atas loteng pula. Lantai yang terbuka sudah menutup, demikian pula dinding yang merekah telah pulih seperti sediakala. Sungguh heran bin ajaib, kenapa In San mendadak lenyap seperti ditelan bumi. Sesaat itu Ciok-sing jadi bingung dan tidak habis mengerti, serasa dirinya di alam mimpi.

Namun tak sempat dia berpikir lebih banyak, karena di saat dirinya melorot turun itulah, sebelum kaki menyentuh bumi, segulung angin kencang tiba-tiba menerjang dari belakang.

Kontan Tan Ciok-sing membalas dengan tusukan pedang membalik, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang, ujung pedangnya tepat mengincar Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan pembokongnya itu. Orang itupun tidak mengira dalam posisi yang seburuk ini Tan Ciok-sing masih mampu melancarkan serangan pedang seganas ini, karuan kagetnya bukan main, terpaksa dia berkelit ke samping. Pikirnya: "Baru setengah tahun berpisah, kemajuan anak muda ini ternyata begini pesat, aku tak boleh meremehkan dia."

Walau terhindar dari pukulan telapak lawan, tak urung Tan Ciok-sing rasakan punggung kesakitan juga oleh tekanan angin pukulan yang dahsyat itu. "Siapa memiliki lwekang setangguh ini?" demikian batinnya kaget.

Terdengar seorang membentak: "Anak bagus, masih bandel dan pamer kepandaian. Malam ini jangan harap kau dapat terbang dari sini," di tengah bentakannya, pukulan kedua dan ketigapun dilontarkan secara beruntun.

Penyerang gelap ini bukan lain adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari anak buah Liong Bun-kong yang setia.

Kenyataan Lenghou Yong tidak pernah pergi melindungi tamu dari Watsu, itu hanya tipu daya yang diatur Liong Bun-kong untuk menjebak musuh.

Sebetulnya mereka tidak tahu bahwa Tan Ciok-sing telah datang, tapi karena peristiwa yang dialaminya tadi siang, maka mereka sudah mempersiapkan diri, main sandiwara untuk menipu Tan Ciok-sing. Sesuai dugaan ternyata Tan Ciok-sing dan In San masuk perangkap mereka.

Sepasang telapak tangan Lenghou Yong melingkar membuat satu bundaran, tenaga pukulannya mendadak menindih ke bawah, sekaligus mematahkan tujuh serangan pedang Ciok-sing yang ganas, antara pukulan telapak tangan kontra pedang beradu kekuatan, dalam waktu singkat susah dipastikan siapa unggul siapa bakal kalah.

Wisu yang meronda di taman luar sudah mendengar keributan disini, dari empat penjuru beramai-ramai mereka meluruk masuk sambil berteriak-teriak: "Tangkap pembunuh, tangkap pembunuh. Nah itu, aku melihatnya, pembunuhnya ada disana, lekas naik, lekas naik," dari suara teriakan itu Tan Ciok-sing mendengar Ciok Khong-goan, Sa Thong-hay dan Huwan bersaudara

Sekejap lagi orang-orang itu akan segera tiba, Tan Ciok-sing tidak berani bertempur lama-lama, secepat kilat dia lontarkan dua kali serangan lng-kik-tiang-khong dan Hi-siang-jan-te, ke atas menutuk sepasang mata Lenghou Yong, ke bawah mengincar hiat-to dipusarnya. Dua sasaran yang berbeda sebetulnya sukar diincar bersama. Tapi karena gerak pedangnya dilancarkan teramat cepat, dalam sekejap itu, Lenghou Yong merasa pandangannya menjadi silau, perutnyapun dingin. Meski kaget tapi kepandaian Lenghou Yong memang hebat, meski terancam dia tidak jadi gugup, sigap sekali dia menjengkang tubuh belakang, berbareng jari tengahnya menjentik "Creng" tepat menjentik punggung pedang, tapi Tan Ciok-sing sempat lari menyingkir.

Para wisu merubung datang dari berbagai penjuru, Huwan bersaudara datang lebih dulu, serempak mereka membentak: "Anak keparat, lari kemana kau?"

Tan Ciok-sing berpapasan dengan mereka, insaf bila dirinya terkepung didalam barisan pedang mereka, terang sukar melarikan diri, dalam keadaan terpepet timbul akalnya, tiba-tiba tubuhnya merendah sambil berputar sekali, jarinya sempat meraih segenggam pasir, serunya: "Nah, kalian boleh rasakan keliehayan Toh-bing-sin-sa-ku ini."

Sinar rembulan remang-remang, gerak tubuh Tan Ciok-sing teramat cepat lagi, hakikatnya Huwan bersaudara tidak tahu yang tergenggam di tangannya adalah pasir melulu, begitu tangan orang terayun, segumpal bayangan kabut betebaran menerjang ke arah mereka, sesuai namanya Pasir Sakti Perenggut Nyawa pastilah pasir itu beracun jahat. Untuk menyelamatkan jiwa tanpa berjanji serempak mereka mencelat mundur sejauh mungkin. Gerak gerik Huwau Kiau agak lamban, beberapa krikil pasir mengenai jidatnya, rasanya sakit dan panas, saking takutnya dia menjerit ngeri: "Celaka, aku terkena pasir beracun bocah keparat itu."

Wisu yang mengudak datang di belakang mendengar musuh menimpuk pasir beracun, kontan mereka tercerai berai lari menyingkir pontang panting, di tengah keributan itulah Tan Ciok-sing sudah menerjang keluar dari rumpun kembang terus merunduk maju ke depan.

Lenghou Yong datang memeriksa, sebagai seorang berpenga-lamanan, setelah memeriksa segera dia berkata: "Kau ketipu oleh anak bangsat itu, jidatmu hanya lecet sedikit, siapa bilang terluka oleh pasir beracun."

Huwan Kiau menarik napas lega, rasa sakit memang telah lenyap dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, kontan dia mencaci maki: "Keparat yang licik, berani mempermainkan aku. Biar kubekuk kau bocah keparat ini, kubeset kulitmu."

"Lari kemana bocah itu, siapa yang melihatnya?" tanya Lenghou Yong.

"Agaknya ke arah sini," sahut seseorang. Tapi ada pula yang menuding arah lain.

Sudah tentu Lenghou Yong naik pitam sampai biji matanya melotot putih, makinya: "Kalian semua gentong nasi," karena dimaki, yang tidak bersalah sudah tentu merasa keki dan penasaran, namun mereka hanya mangkel di hati tidak berani balas memaki.

"Jangan ribut sendiri," lekas Sa Thong-hay berseru, "kembalilah ke kelompok masing-masing dan kembali ke tempat penjagaan untuk memeriksanya," sebagai perwira yang memimpin barisan penuh pengalaman, komandonya ternyata membawa reaksi yang jitu.

Dengan ginkang Tan Ciok-sing yang tinggi, di saat para wisu itu bingung dan ribut sebetulnya dia bisa melarikan diri. Tapi In San terjebak dalam perangkap musuh, sebelum berhasil menemukan dan menolong In San, mana sudi dia tinggal pergi?

Meminjam kepekatan malam, banyak pepohonan dan gunungan untuk tempat sembunyi lagi, sembari sembunyi dia menggeremet maju terus. Tiba-tiba dilihatnya di depan ada sebuah gunungan yang cukup tinggi dengan variasinya yang serba alamiah, sekeliling dilingkari berbagai batu-batuan yang berbentuk aneka ragam, bunyi air gemericik mancur dari pucuk gunungan terus mengalir turun keluar dari mulut gua, akar pepohonan rambat tampak menjuntai turun, bunga teratai tampak mekar di empang. Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir: "Dalam keadaan kepepet seperti aku, terpaksa untung-untungan sembunyi dalam gua gunungan ini."

Gunungan ini memang khusus diciptakan oleh seorang ahli, merupakan salah satu tempat yang paling digemari oleh Liong Bun-kong untuk melepas lelah disini. Didalam gunungan terdapat gua yang kosong, didalam tiada penghuninya, pada hal segala perabot dan pajangannya tidak berbeda dengan kamar buku seorang hartawan. Aliran air yang tercurah dari atas mengalir lambat kedalam gua. Untuk masuk kedalam harus menggunakan batu loncatan yang terendam di tengah aliran air dan sedikit mencuat di permukaan air. Bertahun-tahun terendam air, maka maklum kalau batu injakan ini berlumut dan amat licin, kalau tidak memiliki ginkang tinggi, orang bisa terpeleset jatuh dan sukar dapat masuk kedalam gua.

In San pernah bercerita tentang gunungan palsu ini kepada Tan Ciok-sing, konon didalam gua ada gua pula, namun ln San sendiri belum pernah masuk kedalam gua ini, .entah gua dalam gua itu apakah tembus ke tempat lain. Tan Ciok-sing tahu ada wisu yang mengikuti jejaknya dan sedang menggerebek maju, maka dia pikir gua didalam gunungan ini dapat untuk tempat sembunyi sementara waktu, umpama wisu itu tidak kuatir terpeleset jatuh, yakin mereka takkan sekaligus menerobos bersama, dengan sembunyi didalam, aku lebih leluasa menggasak mereka. Oleh karena itu Tan Ciok-sing menyusup kedalam gua.

Gua itu memang memiliki pandangan yang lain, sumber air tampak menyembur dari suatu sumber dalam gua terdapat rerumputan yang tidak dikenal namanya, akar rotan dan tetumbuhan merambat tumbuh subur disini, dinding batupun beraneka ragam bentuknya, pemandangan disini memang lain dari yang lain, tujuan Tan Ciok-sing adalah mencari jalan keluar lainnya, tapi sesaat dia jadi bingung.

Lekas sekali langkah orang banyak sudah semakin dekat, kedengarannya ada lima orang, mereka datang dari berbagai arah. Ada yang berteriak keras: "Jalan buntu disini, memangnya pembunuh itu mau sembunyi di gua buntu itu?"

Agaknya kawanan wisu itu juga tiada yang tahu bahwa didalam gua masih ada gua. Agaknya orang ini merasa keki karena dimaki Lenghou Yong tadi, untuk memasuki gua inipun mungkin bisa terpeleset jatuh, maka dia pikir buat apa aku ikut susah-susah menjual jiwa, kepandaian pembunuh itu amat tinggi, salah-salah jiwaku melayang sebelum dapat pahala.

Lega hati Tan Ciok-sing, hatinya mengharap kawanan wisu ini lekas pergi, tapi seorang berkata: "Coba diperiksa dulu kedalam, sebagai petugas yang menerima gaji orang kita wajib menunaikan perintah."

Orang pertama tadi menjengek, katanya: "Kalau kau ingin mengejar pahala, boleh silahkan kau sendiri yang masuk memeriksanya." Seorang lagi menimpali: "Betul, gua itu amat sempit licin lagi, bila kita masuk beramai-ramai jelas tidak mungkin. Lebih baik begini saja, carilah seorang teman mengiringi kau masuk. Kita tunggu kabarmu diluar." .

Tan Ciok-sing sudah meraba gagang pedang dan sembunyi di tempat gelap, siap bertindak bila perlu, pikirnya: "Apa boleh buat, terpaksa aku harus membunuh."

Seorang agaknya terpeleset jatuh dengan suara keras dia menggerutu: "Anak kurcaci, bikin aku susah payah begini. Bila berhasil kubekuk kau rasakan kalau tidak kusiksa dirimu." Wisu lain yang tidak berani masuk mendengar suara gerutunya sama tertawa geli.

Tiba-tiba tergerak hati Tan Ciok-sing, batinnya: "Seperti amat kukenal suara orang ini."

Belum habis dia berpikir, tampak dua wisu sudah menerobos masuk kedalam gua. Tak sempat Tan Ciok-sing banyak pikir, "sret" kontan pedangnya menusuk. Dengan jurus Hun-mo-sam-bu orang itu mematahkan tusukan pedang Tan Ciok-sing. Karuan Tan Ciok-sing kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini liehay, agaknya lebih liehay dari Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan. Kalau kepandaiannya cukup tangguh, kenapa ginkangnya begitu tidak becus?" Ternyata kuping Tan Ciok-sing amat tajam, tadi dia mendengar orang ini hampir terpeleset jatuh maka dia agak meremehkan dia, maka tusukan pedangnya tidak menggunakan sepenuh tenaga, maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja. Walau demikian kenyataan orang ini mampu mematahkan tusukan pedangnya yang liehay dan cepat ini, taraf kepandaiannya boleh terhitung kelas wahid dalam dunia persilatan.

Wisu yang seorang lagi kuatir Tan Ciok-sing melancarkan serangan maut, maka dia menutuk dengan kedua jarinya seraya berkata perlahan: "Tan-toako, kau tidak mengenalku, tentunya kenal jurus permainanku ini?"

Begitu mendengar suara orang ini, karuan Tan Ciok-sing tertegun serta menarik pedang, sesaat dia terlongong. Tutukan jari rangkap ini adalah gerakan tunggal ajaran Khu Ti yang termashur, Tan Ciok-sing pernah saksikan Han Cin mendemontrasikan ilmu tutuknya ini.

Suara wisu yang satu inipun mendadak berubah jadi suara perempuan, siapa lagi kalau bukan Han Cin sendiri.

Wisu yang bergebrak dengan Tan Ciok-sing baru kini "sempat bersuara: "Tan-toako, ternyata memang kau. Siaute adalah Toan Kiam-ping."

Dalam keadaan seperti ini mereka bertiga bertemu, sudah tentu bukan kepalang rasa senang mereka. Kedatangan Toan dan Han ternyata terlambat satu jam, waktu mereka tiba, dalam taman sedang ribut mengudak pembunuh gelap. Tahu malam ini mereka takkan bisa turun tangan, namun mereka ingin tahu siapa "pembunuh gelap" itu. Maka mereka mencampur diri dalam rombongan wisu serta pura-pura ikut mencari jejak pembunuh itu.

Lekas Toan Kiam-ping berkata: "Biar aku keluar membawa kawanan wisu ke tempat lain, lekaslah kau melarikan diri."

"Aku tidak akan pergi dari sini."

"Kenapa?"

Han Cin sudah menduga, katanya: "Ya, mana In-cici? Kau datang seorang diri atau kemari bersama dia?"

"Justeru karena dia terjebak, maka aku harus mencarinya," sahut Tan Ciok-sing.

Setelah mereda rasa kejutnya, Han Cin berkata: "Kalau demikian, kau tetap sembunyi saja disini, kami akan keluar mencari tahu."

Gua ini cukup panjang dan berliku, diluar ada gemericik air lagi sehingga percakapan mereka tidak kedengaran dari luar.

Tapi pembicaraan para wisu diluar gua dapat mereka dengar dengan jelas. Terdengar seorang berkata: "Lho, koh lama juga belum keluar, hayo kita periksa kedalam."

Waktu para wisu itu siap-siap hendak memeriksa kedalam gua Toan dan Han lekas keluar, Tan Ciok-sing berkeringat dingin, tapi hati merasa lega.

Terdengar seorang berseru: "Eh, kenapa jidatmu terluka?"

Toan Kiam-ping tertawa getir, katanya: "Kebentur dinding. Kuatir ada pembunuh sembunyi didalam, sembari masuk gua aku menarikan pedang untuk melindungi badan. Tak nyana pembunuh tidak ketemu, jidatku terbentur batu sampai benjut dan luka," ternyata Toan Kiam-ping sengaja melukai diri sendiri untuk mengelabui mereka supaya permainan sandiwara ini dipercaya.

Wisu yang bertanya tadi berkata: "Makanya tadi kudengar suara benturan senjata."

Wisu yang tadi menentang diadakan pemeriksaan didalam gelak tawa, katanya: "Biar kapok sudah kukatakan tadi, pembunuh masa mau sembunyi di gua buntu ini, kalian tidak percaya sekarang sudah terbukti. Baiklah, tenaga kita disini mencukupi tak usah kau bantu kita. Kembalilah ke tempat jagamu semula."

Lega hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Untung Toan-toako pandai bertindak," tak nyana baru saja Toan Kiam-ping dan Han Cin pergi, seorang telah datang pula, orang ini adalah Lenghou Yong.

Lenghou Yong berkeliling memeriksa segala pelosok, akhirnya sampai disini, tanyanya: "Bu-Iing-goan (nama gua itu) sudah diperiksa belum?"

Kepala barisan segera menjawab: "Baru saja dua orang masuk memeriksa, tidak kedapatan jejak pembunuh. Tapi mereka bukan kelompok kami, nah itu, mereka baru saja pergi, kalau Tayjin ingin tahu lebih jelas silahkan susul mereka."

Lenghou Yong memandang ke depan, Han Cin memberi kedipan mata kepada Toan Kiam-ping, sengaja mereka memperlambat langkah untuk menunggu sambil menoleh ke belakang.

Lapat-lapat Lenghou Yong masih kenal kedua wisu ini, siang tadi pernah ikut dirinya ke tembok besar, namun sikap tenang Toan dan Han memang tidak menimbulkan curiganya, maka dia berkata: "Kalau sudah diperiksa ya sudah, lekas periksa ke tempat lain," hatinyapun berpikir: "Gua gelap gulita dan lembab lagi, buat apa tanya jelas segala?"

Diam-diam Toan Kiam-ping dan Han Cin bersyukur dalam hati. Tan Ciok-sing merasa lega. Langkah Lenghou Yong semakin pergi jauh.

Setelah tenang perasaan mulai Tan Ciok-sing perhatikan keadaan gua ini, apakah didalam gua ada gua, dengan pedangnya dia membabati akar pohon dan rumputan yang merambat, namun tiada sesuatu yang didapatinya, tapi di sebelah pojok tengah dia menemukan sebuah batu yang bentuknya aneh. Batu ini mirip pintu angin, batu yang sering terdapat di puncak gunung, jauh berbeda dengan batu-batuan yang dipajang dalam gunungan ini, bentuknya yang jelek menjadikan perpaduan yang menyolok dengan gunungan yang dibangun dengan batu karang dari dasar Thay-ouw.

Tergerak hati Tan Ciok-sing, pikirnya; "Mungkin batu ini merupakan tutup lobang dari gua dalam gua itu?" lalu dia kerahkan tenaga, sekuat tenaga dia dorong batu itu, ternyata batu ini sudah berakar didalam bumi, pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan setaker tenaganya, namun batu itu tetap tidak bergeming.

Karena gagal akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh mulai bersamadi, menurut ajaran lwekang ciptaan Thio Tan-hong dia mulai mengatur hawa murni, maksudnya setelah tenaga dan semangatnya pulih, baru dia akan coba sekali lagi.

Untuk bersamadi dengan ajaran lwekang Thio Tan-hong diharuskan menenangkan pikiran dan menghimpun semangat, sehingga melihat tidak melihat, mendengar tidak mendengar tapi di kala latihannya berlangsung itulah, tiba-tiba didengarnya percakapan orang diluar, bukan saja suaranya sudah dikenal, pembicaraan orang itupun sedang menyinggung nama In San, mau tidak mau Tan Ciok-sing tersentak dari latihannya, diam-diam dia pasang kuping mendengarkan.

Yang bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu. Yang ajak bicara adalah Lenghou Yong. Untuk kedua kalinya Lenghou Yong meronda sampai disini, kebetulan bertemu dengan Liong Seng-bu yang juga mengadakan pemeriksaan di sekitar sini.

"Bagaimana keadaan Lo-tayjin?" tanya Lenghou Yong lebih dulu.

Liong Seng-bu tertawa besar, katanya: "Yah, hanya terkejut saja, sedikitpun tidak terluka. Budak itu jelas sudah terjatuh ke tangan kita."

"Wah, harus kuberi selamat kepada Kongcu."

"Selamat apa, aku justru sedang risau."

"Pujaan hati sudah datang mengantar diri, memangnya tidak patut diberi selamat?"

"Ah, kau tidak tahu, budak itu kukuh pendapat dan keras kepala, aku sampai tidak berani mendekatinya. Terpaksa sementara kukurung dia di penjara air bawah tanah, biar dia kelaparan beberapa hari."

Mendengar kabar In San, bukan main senang hati Tan Ciok-sing. Senang karena In San masih hidup, kaget karena dia tersiksa di penjara air, padahal dia tidak tahu dimana letak penjara air itu dan cara bagaimana harus menolongnya? Lenghou Yong berada diluar gua, dia tidak menemukan jalan keluar lainnya, kalau sekarang menerjang keluar jelas menyerempet bahaya. Terpaksa dia tinggal diam saja mendengarkan pembicaraan lebih lanjut.

"Tan Ciok-sing bocah kurcaci itu juga belum ditemukan, coba bayangkan, bagaimana hatiku bisa tentram?"

"Kecuali bocah itu sudah pergi, kalau tidak orang kita sebanyak ini, ubek-ubekan mencarinya dalam taman seluas ini, pasti akan bisa ditemukan."

Liong Seng-bu bertanya: "Bu-ling-goan sudah diperiksa belum?"

"Dua orang sudah masuk memeriksa."

"Mana kedua orang itu, undang kemari, aku mau tanya dia."

" "Mereka bukan dari kelompok ini, sekarang sudah ke tempat penjagaannya."

"Siapa nama kedua orang itu?"

"Kutahu mereka ikut aku pergi ke tembok besar siang tadi, namanya sih tidak ingat lagi." Maklum Lenghou Yong belum lama memegang jabatannya, wisu disini juga terlampau banyak jumlahnya, sudah tentu tak mungkin bisa mencatat nama-nama mereka dalam benaknya.

Seorang wisu yang berjaga di bilangan ini segera maju menerangkan: "Lapor Kongcu, kedua orang itu adalah Loh Hiong dan Kwe Kiat."

Liong Seng-bu melengak, mendadak dia berteriak: "Tidak mungkin."

Kepala barisan itu terkejut, tanyanya: "Apa yang tidak mungkin?"

Liong Seng-bu berkata: "Tadi aku melihat mereka, berjaga di pintu taman, menurut aturan wisu yang bertugas di pintu taman dilarang meninggalkan posnya."

Pemimpin barisan mengunjuk rasa heran, katanya: "Lho, koh aneh, tapi aku kenal betul akan kedua orang itu."

"Lekas panggil mereka kemari," kata Liong Seng-bu.

"Celaka," demikian keluh Tan Ciok-sing dalam hati, cepat dia lanjutkan pengedukan tanah di sekitar batu besar yang aneh itu. Di saat kepepet, orang sering timbul akalnya, tiba-tiba dia teringat di antara ajaran lwekang yang baru dipelajarinya ada semacam ilmu yang khusus untuk meminjam tenaga memindahkan posisi, meski tahu bahayanya teramat besar, tapi harus dicoba juga. Saking gugup tenaganya ternyata jadi berlipat ganda, dengan sekuat tenaga dia mendorong dan menarik dengan dilandasi kekuatan lwekang yang diyakinkan, meski batu besar tak mampu digeser ke pinggir, tapi sudah doyong ke samping dan terbukalah sebuah lobang.

Tan Ciok-sing segera berkeputusan terus bertindak, di saat genting ini segera dia menarik napas menekuk dada mengempes perut, secara kebetulan tubuhnya yang mengecil berhasil menerobos masuk kedalam lobang. Batu yang sedikit doyong ke samping itu segera tegak kembali seperti sedia kala dan lobangpun tertutup. Kejadian sekejap ini bagai nyawa yang putar balik antara neraka dengan dunia fana, bahayanya teramat besar, bila tenaga pertahanannya sedikit mengendor, waktunyapun tepat, jikalau gerakannya terlambat sedikit, pasti tubuhnya bisa terjepit hancur.

Waktu Lenghou Yong memasuki gua, dia menyulut obor, dilihatnya akar pepohonan sama berserakan dibabati senjata tajam, diam-diam dia amat kaget, pikirnya: "Bocah itu ternyata memang pernah sembunyi disini, entah sekarang sudah keluar belum?" Karena akar dan dedaunan pohon yang berserakan memenuhi tanah, sehingga galian tanah itu tertutup di bawahnya, kalau tidak diperiksa secara teliti takkan bisa menemukan keganjilan. Tapi diapun menduga bila didalam gua ini mungkin ada jalan keluar lainnya, maka diapun coba-coba mendorong batu besar itu, meski dia sudah kerahkan seluruh tenaganya, batu hanya bergeming sedikit, hakikatnya tidak mampu menggesernya. Namun rasa curiga masih meliputi benaknya, terpaksa dia keluar dan hendak tanya kepada

Liong Seng-bu, setelah jelas baru akan bertindak pula.

Bukan Liong Seng-bu lupa untuk memberitahu Lenghou Yong bahwa didalam Bu-ling-goan terdapat gua pula, namun hakikatnya dia tidak pernah berpikir ada manusia yang mampu menggeser tutup batu raksasa seberat laksaan kati itu.

Lega hati Tan Ciok-sing, setelah berdiri tegak dia mainkan pedangnya, meminjam secercah cahaya pedangnya yang kemilau, dia terus menggeremet maju di tengah kegelapan. Akhirnya dia mendengar suara air gua, suaranya rendah dan bergema, mirip tambur kecil yang ditabuh didalam sebuah rumah kecil yang tertutup rapat. Ciok-sing menduga pasti ada aliran kecil dari sungai di atas merembes ke bawah sini bergabung dengan sumber air yang ada di dasar bumi ini, sehingga timbul suatu arus tersendiri yang entah mengalir kemana.

Diam-diam Tan Ciok-sing berpikir: "Ada gua didalam gua, para wisu mungkin tidak tahu, tapi Liong Seng-bu tentu tahu, mungkin sebelum ini dia sudah mengatur segala sesuatu, atau sudah menunggu aku keluar di ujung lorong yang lain, tapi kalau berada dalam gua ini aku bisa mati konyol, meski bahaya apapun akan kuhadapi, aku tetap harus mencobanya keluar."

Beberapa jauh kemudian, tiba-tiba didengarnya suara air gemuruh, ternyata di dinding batu sana seperti dijebol oleh suatu arus deras sehingga dadal, aimya seperti tumbuh bergulung-gulung mengalir ke bawah dan menjadilah sebuah empang kecil.

Ciok-sing tidak pedulikan dinding yang dadal, terpaksa dia berputar mengitari empang kecil itu terus maju ke depan sana. Pada saat itulah di tengah gemuruhnya air dia seperti mendengar suara orang. Kejut Ciok-sing bukan main, hampir dia tidak percaya pada pendengarannya, pikirnya: "Lho, koh seperti adik San yang sedang memanggil-manggil namaku?" dia curiga mungkin teramat memikirkan keselamatannya sehingga timbul khayalan dalam gua air di bawah tanah ini.

Segera dia mendekam dan mendempel kuping mendengarkan suara dari bumi, yang terdengar hanyalah gemuruhnya air, suara orang itu tak terdengar lagi. Diam-diam dia membatin dalam hati: "Mana bisa terjadi begini kebetulan, mungkin aku terlalu berkhayal," tak nyana di kala dia sudah putus asa dan belum lagi dia berdiri, tiba-tiba didengarnya pula dua kali suara panggilan: "Ciok-sing, Ciok-sing," kali ini dia mendengar jelas, memang itulah suara In San.

Memang ada kejadian yang amat kebetulan di dunia ini. Seperti diketahui In San masuk perangkap di Bing-cu-khek, dia terjeblos jatuh kedalam lobang, dan lobang itu terletak di atas penjara air bawah tanah.

Di tengah udara dia gunakan gaya burung dara jumpalitan, Ceng-kong-kiam terulur lurus ke bawah, "Creng" pedangnya menyentuh batu, meminjam tenaga sentuhan yang memantul ini dia jumpalitan sekali sehingga daya luncuran tubuhnya yang menurun agak mengendor, untung dia tidak jatuh ke air. Meski jiwanya selamat, namun dia sudah tak mungkin bertemu dengan Tan Ciok-sing lagi.

Sakit hati belum terbalas, kini dia malah kejeblos dalam perangkap musuh, betapa marah, penasaran dan sedih hatinya. Dalam sekejap ini hampir saja dia coba bunuh diri, untung benaknya selalu memikirkan Tan Ciok-sing, sehingga dia tidak jadi mencari jalan pendek.

Dalam penjara air ini gelap gulita, sekeliling adalah batu dinding yang keras, di bawah air yang tidak diketahui dalamnya. Untuk melarikan diri jelas tidak mungkin.

Entah berapa lama dalam kegelapan ini, tiba-tiba dilihatnya secercah cahaya menyorot dari atas, ternyata Liong Seng-bu membuka jendela kecil yang berjeruji serta menjulurkan, sebatang obor kedalam, katanya: "Adik San, kau tidak luka bukan? Kalau terluka akan kuberikan obat untuk mengobati lukamu."

Tanpa bersuara In San timpukan sebutir krikil ke arah jendela berjeruji besi itu, tapi jarak jendela kecil itu ada delapan tombak dari bawah, mana sambitannya bisa mengenai Liong Seng-bu. Begitu mendengar samberan angin senjata rahasia, lekas Liong Seng-bu mengkeretkan kepala seraya pura-pura menjerit kesakitan, pada hal kerikil mengenai jeruji besi, katanya kemudian: "Adik San. kenapa masih begini galak? Untung tidak mengenai diriku."

Saking marah In San kertak gigi, dampratnya: "Liong Seng-bu, kalau berani turunlah kemari dan bunuh aku, kalau tidak awas pembalasanku kelak."

"Mana aku tega membunuhmu, memangnya kau tidak tahu kalau aku menyukaimu? Tapi kau terjeblos ke penjara air, tak heran kalau kau marah-marah. Tapi ini untuk kebaikanmu. Coba bayangkan, apa sih bagusnya Tan Ciok-sing anak kampung itu, kau sudi ikut dia dan mencampakkan daku? Supaya kau tidak kerembet perkaranya, apa boleh buat, terpaksa aku memisahkan kau dengan dia, asal kau menurut dan tunduk akan kemauanku, segera aku membebaskan dikau."

"Apa kau bicara sejujurnya?"

"Sudah tentu sejujurnya, jikalau aku membual biar Thian menghukumku."

"Baik, turunlah dan bicara berhadapan dengan aku, aku ingin kau bicara jelas dimuka."

"Apa benar kau tunduk padaku?"

"Setelah jelas persoalannya, akan kupikirkan. Hm, sekarang kau anggap aku pesakitan, bagaimana aku dapat percaya pada dirimu?"

Tiba-tiba Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Jangan kau anggap aku bocah cilik, aku tak bisa kau tipu, sudah tentu aku ingin kau merubah haluan, tapi aku tahu sekarang pikiranmu masih belum terang, biarlah kutunggu beberapa hari, setelah kau betul-betul berubah pikiran dan aku yakin akan kebenarannya, baru akan kubebaskan kau, di tengah gelak tawanya Liong Seng-bu telah melangkah pergi.

Maksud In San hendak menipunya turun kemari dan bicara padanya, lalu mengadu jiwa dan bila perlu biar gugur bersama, ternyata usahanya tidak berhasil, karuan hatinya amat kecewa, hampir dia hendak bunuh diri pula. Untung bayangan Tan Ciok-sing selalu menggoda pikirannya sehingga dia tidak bertindak nekad. Karena putus asa dan insaf diri berada di jalan buntu serta tiada harapan lolos, tanpa merasa mulutnya menggumam

memanggil-manggil nama Ciok-sing.

"Adik San," tiba-tiba didengarnya suara lirih berkata, "jangan takut aku telah datang."

In San tidak percaya akan pendengaran sendiri, teriaknya: "Aku bukan mimpi? Tan-toako, apa betul kau telah datang?"

"Ssst, jangan keras-keras, sudah tentu aku adanva."

In San gigit lidah sendiri, sakitnya bukan main, memang ini bukan dalam mimpi. Sekarang dia sudah terbiasa keadaan gelap, pelan-pelan dia menggeremet maju mendekati air, lapat-lapat memang dilihatnya bayangan muka Tan Ciok-sing.

Kejut dan girang In San, katanya: "Memang bukan mimpi, Tan-toako dari mana kau tahu aku ada disini, bagaimana pula kau bisa datang kemari?"

"Panjang kalau dituturkan, lekas kau putar dulu, biar aku naik ke atas."

"Kenapa?"

"Aku bertelanjang untuk berenang masuk kemari, aku harus berpakaian dulu."

Merah muka In San lekas dia mundur dan membalik tubuh.

Sesaat kemudian tahu-tahu Ciok-sing sudah mengelus rambut kepalanya, katanya lirih: "Sekarang kau boleh putar badan lagi." Tanpa kuasa keduanya lantas berpelukan kencang sekali, lama dan lama sekali baru mereda gejolak perasaan mereka, pelan-pelan merekapun mengendorkan pelukan dan berdiri berpandangan.

"Biar kuberitahu satu kabar baik padamu," kata Tan Ciok-sing, "aku sudah bertemu dengan Toan-toako dan nona Han."

"Mereka juga datang?" tanya In San girang.

"Betul, suara seruling yang kita dengar di Pat-tat-nia siang tadi memang betul nona Han yang meniup," lalu dia ceritakan pertemuannya dengan Toan dan Han berdua didalam Bu-ling-goan tadi.

"Kukira belum tentu ini merupakan berita baik," ujar In San.

"Mereka menyamar wisu keluarga Liong, Lenghou Yong dan kambrat-kambratnya tiada yang tahu rahasia mereka."

"Wisu yang mereka palsukan memang ada orangnya, sementara mungkin mereka terkelabui, namun suatu ketika pasti terbongkar juga."

"Betul, kita harus cepat-cepat berusaha keluar dari sini. Bila kita belum lolos yakin merekapun pasti tak mau pergi."

Tapi cara bagaimana mereka harus keluar?

"Tan-toako, aku bisa bertemu akhir kali dengan kau, puaslah hatiku. Kau jangan hiraukan diriku, pergilah kau seorang diri."

"Memangnya kau sudah lupa akan sumpah setia kita. Sehidup semati?"

"Tidak, tapi jangan kau lupa diluar masih ada Toan-toako dan Han-cici yang perlu bantuanmu. Sebelum kau keluar mereka takkan mau pergi. Apalagi bila kau sudah keluar, kau masih bisa berusaha menolongku, apapun bila ada seorang bisa keluar kan lebih mending dari pada sama-sama menunggu mati disini."

Getir tawa Ciok-sing, katanya: "Jangan kau membujukku, umpama ada niatku keluar, sekarang takkan bisa keluar lagi."

"Aku tak bisa berenang, tapi kau bisa. Kalau kau bisa masuk, kenapa tidak bisa keluar?"

"Lorong itu sebetulnya tidak tembus kemari, tapi entah kenapa terjadilah kebobolan oleh terjangan arus deras. Bila aku bisa berenang dan keluar, tetap takkan bisa keluar dari gua yang tertutup dari luar. Sementara pintu keluar yang lain entah berada dimana. Umpama ketahuan juga pasti telah dipasangi perangkap, dari pada menempuh bahaya, lebih baik aku menemani disini, sedikitnya kita masih bisa bercengkrama untuk beberapa hari lamanya."

Tiba-tiba In San teringat, katanya: "Liong Seng-bu keparat itu pernah membuka jendela di atas sana, aku tidak pandai Pia-hau-kang (ilmu cecak), coba kau merambat ke atas memeriksanya, kau membawa geretan api?"

"Ada," Tan Ciok-sing mengiakan.

In San mematahkan sebatang dahan pohon kering yang menjulur keluar dari celah-celah dinding, lalu disulutnya dengan geretan Ciok-sing, walau sinarnya tidak terang, namun lebih mending dari pada menggeremet di kegelapan.

Tan Ciok-sing mencoba, dengan susah payah akhirnya dia merambat ke atas, dengan teliti dia memeriksa, tanpa merasa dia menarik napas dingin. Dengan gelisah In San menunggu di bawah, tanyanya: "Bagaimana?"

"Hakikatnya tiada lobang disini, hanya ada papan besi disini, papan besi yang amat tebal, pedang pusakapun takkan bisa menusuk tembus."

In San amat kecewa, dia menunduk memeras otak.

Tan Ciok-sing berkata: "Disini kita bisa bermain cinta tanpa diganggu siapapun. Bicara terus terang, selama hidupku ini, belum pernah aku merasa hidup bahagia dan sesenang hari ini. Adik San, apa kau tidak bahagia?"

"Berada di sampingmu, memangnya aku tidak kan senang? Sayang kita tak bisa hidup abadi disini selamanya. Lebih baik kau harus keluar. Oh, ya, teringat olehku." .

"Teringat apa?"

"Kau pandai menyelam, kenapa tidak kau selidiki dasar air, mungkin ada jalan keluarnya."

"Akal bagus, baiklah kucoba," setelah memadamkan obor, dia suruh In San membelakanginya lalu mencopot pakaian, membawa Pek-hong-po-kiam pemberian Thio Tan-hong segera dia terjun kedalam air.

Kira-kira sesulutan dupa lamanya baru Tan Ciok-sing menongol keluar air. "Maaf sekian lama aku pergi, kau pasti tidak sabar menunggu."

In San membelakanginya pula, setelah Ciok-sing berpakaian, dia membalik dan tanya: "Bagaimana?"

"Permukaan air disini tenang, tapi di bawah arusnya amat deras, lorongnya juga sempit beberapa kali harus melalui lorong-lorong panjaug. Untung sejak kecil aku dibesarkan di kali, kalau tidak mungkin tak bisa kembali kesini."

"Jalan keluarnya sudah kau temukan?"

"Sudah kutemukan, sayang sukar keluar."

"Kenapa?"

"Jalan keluarnya dipagari jeruji besi sebesar lengan bayi, kira-kira harus mematahkan tiga jeruji besi baru bisa menyelinap keluar. Dengan Pek-hong-po-kiam sudah kucoba, tapi belum berhasil memutuskan, tapi aku yakin pasti dapat, cuma untuk memutus satu jeruji kira-kira makan waktu setengah sulutan dupa, untuk memutus tiga batang, berarti makan waktu hampir setengah jam. Dalam jangka waktu selama itu, bukan mustahil usaha kita bisa konangan."

"Sayang aku tak bisa menyelam, dengan hubungan sepasang pedang kita tentu jauh lebih mudah."

Mendengar perkataanya ini, Tan Ciok-sing menunduk diam, seperti sedang memikir apa-apa. Tiba-tiba dia berkata: "Adik San, kalau kau menyumbat pernapasan dapat bertahan berapa lama?"

"Aku tidak pernah latihan menyumbat pernapasan, tapi pasti jauh lebih lama dari orang biasa."

"Kau tidak bisa, mari kuajarkan. Ajaran dasar lwekang Thio Tayhiap yang kupelajari pasti dapat kau pelajari dengan cepat."

"Tapi aku kan tidak bisa menyelam."

"Didalam air aku bisa bantu menahan tubuhmu, kau pasti dapat menerobos keluar bersamaku. Setiba di permukaan yang agak lebar dan arusnya agak lambat, kau bisa menongol keluar untuk ganti napas."

In San berpikir sejenak, akhirnya dia geleng kepala.

"Kenapa, tidak mau ikut aku keluar?"

Merah muka In San, katanya: "Memangnya aku harus meniru dirimu, menyelam tanpa berpakaian?"

Tan Ciok-sing tertawa geli, katanya: "Aku bertelanjang karena untuk menggampangkan gerak gerik dalam air, berpakaian juga tetap bisa berenang."

"Kalau berpakaian kan jadi basah kuyup, begitu keluar bukan mustahil jejak kita bisa konangan?"

"Itu sih urusan kecil, yang penting keluar dulu."

Setelah tiada yang perlu dirisaukan, In San berkata: "Baiklah, ajarkan ilmu menutup

pernapasan itu kepadaku."

Sejak kecil dia mendapat latihan dasar lwekang ajaran keluarganya, pada hal sebenarnya sama dengan ajaran lwekang Thio Tan-hong, maka cepat sekali dia sudah mempelajarinya dengan baik.

Karena pandai berenang, meski menyelam sambil menyeret seorang bukan menjadi halangan bagi Tan Ciok-sing, pada hal banyak kesulitan harus dihadapi, namun akhirnya mereka berhasil juga melalui lorong-lorong sempit di bawah tanah dan tiba dimulut keluar. Dengan gabungan pedang mereka, cepat sekali tiga jeruji besi telah mereka putuskan.

Tan Ciok-sing memapah In San naik ke atas daratan, waktu In San memeriksa sekelilingnya, dia berkata: "Ini berada di timur laut taman besar, cukup jauh letaknya dari kebon dalam. Biasanya keluarga Liong melayani para tamunya disini."

Taman kembang ini sedemikian besar, barisan wisu yang meronda mondar mandir, pakaian mereka basah kuyup lagi, untuk menemukan Toan Kiam-ping dan Han Cin, meski tidak sesulit mencari jarum di lautan, tapi juga bukan kerja gampang. Tengah mereka celingukan dan bimbang, tampak barisan wisu mendatangi.

Dua wisu berjalan agak ke belakang, keduanya berjalan sambil bercakap-cakap dengan santainya, "bagaimana keadaan diluar, kedua wisu palsu apa sudah ketangkap?"

"Entah aku tidak tahu. Tapi waktu aku dipindah kemari, jelas belum ketangkap."

"Meronda disini seperti berada di dunia lain, kalau diluar terjadi keributan, disini kita bisa bercakap-cakap dengan santai tanpa susah-susah, rasanya koh jadi cemplang."

Wisu yang baru datang tertawa, katanya: "Agaknya otakmu sudah keblinger, siapapun kepingin dipindah kemari. Tamu agung dijaga oleh busu mereka sendiri, kita tak perlu ikut susah payah, kita hanya ditugaskan menjaga pintu air disini, hakikatnya tiada bahaya apapun yang mungkin mengancam jiwa kita, kalau diluar memang ramai, tapi bukan mustahil batok kepalamu terpenggal musuh tanpa kau tahu bahwa dirinya sudah mampus."

"Omonganmu memang benar, disini boleh dikata tiada bahaya. Tapi tak pernah mendengar kabar diluar, rasanya jadi masgul selalu," belum habis dia bicara tahu-tahu hiat-tonya tertutuk orang, kontan dia jatuh semaput.

Dengan gerakan secepat kilat, umpama orang mendengar geledek tidak sempat menutup kuping, Tan Ciok-sing melompat keluar dari balik gunungan terus menutuk hiat-tonya. Katanya tertawa: "Adik San, sekarang kita bisa ganti pakaian."

In San pejam mata sambil membalik tubuh, katanya: "Lekas kau bereskan kedua orang ini, jangan sampai konangan orang."

Semula Tan Ciok-sing hendak menenggelamkan mereka ke dasar air, hatinya tidak tega mengingat mereka tidak berdosa, akhirnya dia sembunyikan mereka di semak-semak rumput tak jauh dari empang.

Setelah ganti pakaian In San keluar dari gua, katanya: "Untung perawakan orang ini agak pendek, walau pakaiannya tidak cocok, juga kepanjangan sedikit. Lebih celaka baunya yang kurang sedap, aku jadi risi dan mual."

Tiba-tiba timbul pikiran Tan Ciok-sing, katanya: "Seharusnya kita berusaha menemukan Toan-toako dan Han-cici, tapi, tapi..."

"Tapi kenapa?"

"Taman sebesar ini, dalam waktu singkat bagaimana bisa menemukan mereka. Tapi sekarang ada tugas lebih penting lagi..."

In San sadar, katanya: "Yah, betul, maksudmu kita lakukan dulu soal lain baru mencari Toan-toako?"

"Betul, penginapan para tamu tak jauh dari sini. Mari kita cari dulu Duta rahasia dari Watsu, paksa dia menyerahkan surat perjanjian rahasia dengan Liong Bun-kong, kita gunakan pula dia sebagai sandera, Toan-toako dan nona Han dengan mudah pasti dapat kita bantu untuk meloloskan diri."

In San berpikir sebentar, katanya: "Tan-toako, perkataanmu benar, kita harus pikirkan dulu kerja yang lebih penting ini. Baiklah, aku setuju akan usulmu."

Pada saat itulah, dari sudut tenggara sana sayup-sayup terdengar suara keributan yang semakin keras kedengaran ada orang sedang berhantam dengan sengit. Jarak cukup jauh, kalau mereka tidak memiliki ilmu mendekam mendengar suara dari bumi, jelas takkan mendengar geger disana. Dari apa yang dapat mereka tangkap, keributan disana jelas amat ramai dan genting.

Perasaan In San tidak tentram, katanya: "Mungkin Toan-toako dan Han-cici sudah terkepung dan dikeroyok kawanan wisu?" tak usah dijelaskan lebih lanjut. Tan Ciok-sing sudah tahu apa yang ingin dikemukakan oleh In San.

Sekejap itu mereka jadi bimbang. Bila benar Toan dan Han berdua mengalami kesulitan, adalah menjadi kewajiban mereka untuk cepat memburu kesana menolong mereka, tapi merekapun melaksanakan rencana yang barusan telah disepakati bersama, yaitu menyelundup ke penginapan para tamu dari Watsu serta membunuh atau bila perlu membekuk duta rahasia Watsu?



000OOO000



Bagaimana keputusan Tan Ciok-sing biarlah kita tunda dulu sementara waktu. Marilah kita ikuti pengalaman Toan Kiam-ping dan Han Cin setelah mereka menolong Tan Ciok-sing.

Dugaan In San memang tidak meleset, mereka memang konangan musuh dan kini dikepung dan dikeroyok oleh banyak musuh. Sayang mereka tidak tahu bahwa samaran mereka telah terbongkar oleh Liong Seng-bu, waktu itu mereka masih berusaha mencari kabar tentang In San yang kejeblos kedalam perangkap.

Dimana ada orang banyak mereka tidak berani tinggal terlalu lama, setelah putar kayun kian kemari akhirnya mereka tiba di ujung taman, disini mereka ketemu seorang wisu yang meronda sendirian.

Toan Kiam-ping menghampiri lantas bertanya: "Kabarnya ada pembunuh perempuan yang ketangkap, apa betul?"

"Betul, pembunuh perempuan yang punya asal-usul cukup genting."

"Siapakah dia?"

Wisu itu meliriknya sekali, "Kabarnya ada sangkut pautnya dengan Liong-tayjin, apa betul kau tidak tahu?"

"Aku tak berani tanya kepada Ciok-tayjin, dari mana aku bisa tahu?"

"Kalau Ciok-tayjin tidak menceritakan, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."

"Bagaimana pembunuh perempuan itu sekarang?"

Seperti tertawa tidak tertawa, wisu itu berkata: "Agaknya kau memperhatikan dia."

"Ah, jangan menggoda. Aku hanya ketarik saja dan tanya dengan iseng."

Baru saja Han Cin hendak menutuk hiat-to wisu ini, mendadak terdengar seorang berkata dingin; "Kau ingin tahu, seharusnya tanya kepadaku."

Yang datang ini adalah Liong Seng-bu. Di belakangnya ikut dua wisu, yaitu dua orang yang sekarang mereka samar.

Han Cin pernah melihat Liong Seng-bu, maka dia berteriak: "Toan-toako, lekas ringkus dia. Dia itulah keponakan bangsat tua she Liong." Belum habis dia bicara pedang Toan Kiam-ping sudah menusuk ke arah Liong Seng-bu.

Dua wisu membentak serempak: "Kurcaci, berani kau menyaru tuan besarmu, kuganyang kau," dengan amarah yang meluap mereka menubruk maju. Han Cin menyendat cambuk lemasnya menahan mereka dengan putaran cambuknya. Sehingga Toan Kiam-ping berkesempatan mengudak Liong Seng-bu.

Seperti diketahui Liong Seng-bu pernah mempelajari beberapa jurus ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong. Pek-hong-koan-jit serangan Toan Kiam-ping hendak menutuk Ci-tong-hiat di dadanya, ternyata meleset. Tapi kepandaian silatnya memang terpaut jauh dibanding Toan Kiam-ping, dua jurus dia mampu menangkis dan melawan, tapi jurus ketiga sengaja Toan Kiam-ping menggunakan daya lengket lalu sekali sentak dengan tipu Sam-coan-hoat-Iun (tiga kali memutar roda), pedang panjang Liong Seng-bu kena dipelintirnya terlepas jatuh.

Toan Kiam-ping mengudak maju, dari semak-semak rumput mendadak menubruk beberapa orang yang memang sejak tadi sudah sembunyi disitu, mereka adalah Huwan bersaudara.

Untung kepandaian Toan Kiam-ping sekarang sudah maju pesat, meski disergap secara mendadak oleh ke empat bersaudara, lekas dia gunakan To-dap-jit-sing-pou (menginjak terbalik langkah tujuh bintang), secara keras dia menarik daya luncuran tubuhnya mentah-mentah, syukur usahanya berhasil sehingga dia tidak terluka.

Huwan Liong menjengek dingin: "O, kiranya Toan-siauongya, hehe, orang hidup dimanapun pasti bertemu. Tempo hari kami tak kuasa mengundangmu kemari, tanpa diundang kali ini kau malah datang sendiri," mulut bicara tangan tidak nganggur, pedang panjang terayun, segera dia merebut posisi yang menguntungkan, mulailah dia pimpin barisannya mengadakan serangan total.

Liong Seng-bu gelak tertawa, katanya: "Benar, kapan bisa mengundangnya kemari, adalah kewajibanku untuk menyambutnya sebagai tuan rumah. Kalian harus menahan tamu kita ini baik-baik, layanilah secara hormat."

"Kongcu jangan kuatir, kali ini meski tumbuh sayappun jangan harap dia bisa terbang."

Setelah barisan pedang lawan terbentuk, meski Toan Kiam-ping tidak terluka, tapi tidak mampu menjebol kepungan.

Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Adik Cin, kau ikut menderita jadinya?"

Han Cin tersenyum katanya: "Toan-toako, jangan kau lupa sumpah kita? Sehidup semati.”

Tiba-tiba tampak seorang wisu lari tergopoh ke arah sini, pada hal wisu ini semula berjaga di mulut gua Bu-ling-goan. Liong Seng-bu kaget melihat kedatangannya, tanyanya: "Mana Lenghou Yong, kenapa tidak datang?"

Saking buru-buru napas wisu itu masih sengal-sengal, sekian saat tak mampu bicara, tanpa hiraukan pertanyaan segera dia berteriak begitu dapat bersuara: "Kongcu, celaka."

"Bapakmu. Apa yang celaka," damprat Liong Seng-bu.

"Ada air mengalir dari gua bawah tanah, waktu kami beramai-ramai menggeser batu penutup air seperti menyembur keluar dari bawah."

"Lalu Tan Ciok-sing keparat itu?"

"Dua orang kita yang pandai berenang selulup ke bawah, bocah itu tidak ditemukan, malah mereka menemukan, menemukan..."

"Menemukan apa? Lekas katakan."

"Penjara air telah bobol, pembunuh perempuan yang dikurung di penjara air..."

"Bagaimana?"

"Pembunuh perempuan itu telah hilang."

"Sudah dicari ke mulut keluarnya?"

"Sudah ada orang yang kesana mencarinya. Tapi aku harus cepat kemari lapor kepada Kongcu, entah mereka menemukan pembunuh itu?"

Kejut dan girang Toan Kiam-ping serta Han Cin mendengar berita ini. Jago kosen lagi bertempur pantang pecah perhatian, maka terdengar suara "Cret" baju luar Han Cin tertusuk bolong oleh dua ujung pedang. Untung dia bergerak lincah, sedikit lambat, tentu dadanya sudah tertusuk bolong. Bagian luar dia mengenakan seragam wisu, begitu baju luar tertutuk bolong dan robek tersingkap, maka baju dalamnya yang ringkas kelihatan. Huwan Pau bergelak tertawa terus mengolok: "Memang perempuan siluman itu.

Hehe, siluman cantik, lebih baik kau menyerah saja, kalau tidak kau nanti bisa runyam, lho."

Melihat situasi, Liong Seng-bu yakin Huwan bersaudara dapat menguasai keadaan, legalah hatinya, teriaknya: "Barisan panah siap, jangan biarkan pembunuh lari. Kalau tidak bisa ditawan hidup, bidik saja sampai mati," setelah memberi aba-aba, dia percaya urusan tak perlu dia tangani sendiri, maka dia siap tinggal pergi. Maklum dia pandang Tan Ciok-sing dan In San jauh lebih berbobot dibandingkan Toan dan Han berdua.

Puluhan pemanah sudah menyebar diri, ada yang naik ke atas pohon, ada yang sembunyi di balik gunungan, pucuk anak panah yang kemilau tampak gemeredep di tengah kegelapan yang ditimpah cahaya obor. Jalan mundur Toan dan Han jelas sudah terputus. Umpama mereka mampu menjebol barisan pedang juga takkan luput dihujani anak panah.

"Adik Cin, tabahkan hatimu. Tan-toako dan nona I n sudah meloloskan diri, kita tidak perlu menguatirkan mereka."

Setelah bebas pikiran semangat tempur Han Cin berkobar, maka permainannya lebih mantap, berdampingan beradu pundak dia merangsak musuh dengan sengit bersama Toan Kiam-ping. Walau dalam waktu dekat tidak mampu membobol barisan pedang, namun permainan pedang ke empat bersaudara itu jadi mengendor dan tak mampu memperkecil ruang lingkup mereka. Kalau Han Cin berdua tidak perlu menguatirkan keselamatan Tan dan In berdua, demikian pula Huwan bersaudara kini dapat bertindak bebas, karena tidak perlu menawan hidup maka mereka menyerang lebih ganas dan bila perlu membunuh musuh saja. Bila waktu berkepanjangan, lambat laun tenaga Han Cin terkuras lebih cepat. Beberapa jurus terakhir tenaga permainannya sudah semakin lemah dan kekuatan tidak memadai keinginan serta semangat juangnya.

Di saat-saat kritis, tiba-tiba para wisu berlarian masuk dari luar seraya berkaok-kaok ketakutan: "Perampok menyerbu datang." Seketika itu juga gegap gempita suara berhantam dari berbagai penjuru, agaknya kawanan rampok yang menyerbu tiba dalam jumlah besar dan serempak dari berbagai penjuru.

Ciok Khong-goan membentak: "Jangan gugup, kerahkan separoh kekuatan disini membantu keluar. Pemanah tetap di tempat masing-masing," ternyata dia memburu kemari setelah mendengar Liong Seng-bu kepergok pembunuh disini, lalu dia wakili Sa Thong-hay memimpin barisan wisu.

Sekonyong-konyong selarik sinar api yang membara dengan suara mendesis menjulang tinggi ke angkasa. Tampak seorang kakek diikuti sepasang muda mudi, di belakangnya mengintil pula Hwesio timpang yang menggenggam sebatang tongkat baja sebesar mulut mangkok. Sungguh hebat terjangan ke empat orang, dimana mereka berada para wisu dilabraknya pontang panting. Sinar api yang menjulang ke langit tadi adalah panah sreng yang ditimpukkan oleh lelaki tua di paling depan.

Bukan sedikit wisu yang memegang obor, ditambah cahaya panah berapi yang benderang di angkasa, sempat Toan Kiam-ping melirik kesana, meski jarak masih berada seratusan langkah, tapi dia sudah melihat jelas siapa ke empat orang yang lagi melabrak musuh itu.

Dia kenal Hwesio timpang itu bukan lain adalah Sia-cin Hwesio, orang ke empat dari Bu-Iim-pat-sian, sementara sepasang muda mudi bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so. Cuma orang tua itu yang tidak dikenal olehnya.

Melihat Huwan bersaudara mengepung dua wisu, kakek itu tampak melengak, teriaknya: "Yang mana nona Han?"

Han Cin tersentak sadar, segera dia berteriak: "Apakah Ti-pepek? Aku adalah putri Han Sen."

Kakek ini memang Ti Nio, mendengar gadis yang menyamar wisu ini memang adalah putri kenalan lamanya, seperti orang kalap saja dia menerjang kemari, teriaknya: "Nona Han, jangan gugup, aku menolongmu. Hm, siapa berani menyentuh ujung rambutnya, akan kurenggut jiwanya."

Ciok Khong-goan menjengek: "Dan aku menghendaki dulu jiwamu," begitu dia mengayun tangan anak panah segera berhamburan selebar hujan, yang dibidik melulu Ti Nio saja.

Lekas Ti Nio mencopot jubah luarnya, dengan menggulung jubah dan memutarnya kencang sebagai tameng saja dia rontokkan anak panah yang berhamburan ke arahnya. Kenyataan memang aneh, anak-anak panah yang kena sentuh gulungan jubahnya itu seperti terkena tameng baja layaknya, semuanya rontok di sekeliling tubuhnya. Sementara Kek Lam-wi memutar seruling dan Toh So-so menarikan pedangnya, di bawah pelindungan Ti Nio merekapun sibuk menjatuhkan anak panah yang menggebu deras.

Lekas sekali mereka sudah menerjang tiba di depan gunungan, disini jarak makin dekat maka hujan panah semakin deras dan ketat, mendadak Ti Nio menghardik: "Diberi tidak membalas tandanya kurang hormat, sekenanya dia membungkuk meraih segenggam batu, begitu diremas hancur menjadi krikil segera ditimpukkan, krikil yang tak terhitung jumlahnya itu ternyata tidak kalah liehay dari anak-anak panah itu, sembari menimpuk gulungan jubah di tangan kanan tetap diputar kencang untuk menangkis panah yang dibidikkan ke arahnya.

Timpukan krikilnya itu menggunakan gerakan Lau-hay-sai-kim-ci (Lau-hay menyebar duit emas), begitu krikil-krikil kecil itu ditebarkan, maka terdengar disana sini orang menjerit kesakitan, kalau bukan mata buta, atau leher bolong dan muka pecah, ternyata tidak sedikit pemanah gelap yang sembunyi di atas pohon dan belakang gunungan sama terjungkal roboh.

Sia-cin Hwesio yang sudah timpang jalannya tidak begitu kencang, dia agak ketinggalan di belakang, begitu hujan panah agak mengendor, sebat sekali dia melompat jauh beberapa tombak mengitar ke belakang gunungan, dimana tongkat bajanya menutul kembali tubuhnya yang tromok itu membal ke atas, tubuhnya yang semula ketinggalan di belakang kini malah mendahului menerjang ke depan melampaui Ti Nio. Sudah tentu Kek Lam-wi kaget, teriaknya: "Siko jangan gegabah."

Maksud Sia-cin hendak menolong Toan Kiam-ping selekasnya, sudah tentu tidak hiraukan seruan Kek Lam-wi, terdengar tongkat bajanya beberapa kali menutul batu-batu gunungan mengeluarkan suara ting tang yang nyaring, tak ubahnya atlit lompat galah tubuhnya terus berlompatan terbang ke depan dengan ginkang tinggi. Dalam sekejap mata dia sudah menerjang ke arah gunungan. Ti Nio tengah sibuk merontokkan hujan panah yang datang dari arah depan sehingga tak sempat memburu kesana membantu dia. Terpaksa dia gunakan batu-batu krikil yang diremasnya sebagai senjata rahasia, sehingga para pemanah itu ketakutan tiada yang berani menongolkan kepalanya, sehingga Sia-cin Hwesio leluasa maju lebih dekat di bawah perlindungannya ini.

Panah khusus untuk membidik jarak jauh, begitu Sia-cin Hwesio menerjang ke gunungan, para pemanah itu tidak sempat membidiknya lagi, karena panah sudah tidak berguna, terpaksa mereka berhantam dalam jarak dekat dengan kaki tangan

"Kunyuk kurcaci, kalian menggelindinglah," dimana dia putar tongkat bajanya, perbawanya bagai harimau ngamuk, dimana tongkatnya menyambar, batu hancur berterbangan disertai batok kepala orang yang pecah berhamburan. Sekejap saja tujuh orang telah dikepruknya mati, sejumlah besar terluka parah, kalau bukan tulang dadanya patah, pasti kaki tangan putus. Mereka yang masih selamat beramai-ramai lompat turun dan lari sipat kuping, ada pula yang menyelinap ke gua dan kemana saja asal dapat menyelamatkan diri.

Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak, serunya: "Siapa yang tidak takut mati, hayo maju hadang aku." Baru saja dia hendak menerjang ke bawah tiba-tiba "Ser" sebatang panah meluncur dari kanan dan telak mengenai lengan kirinya.

Ti Nio segera berseru: "Lam-wi, lindungi Sia-cin Taysu," sembari bicara kaki tidak berhenti, terus dia maju menerjang hujan panah-

Melihat Sia-cin Hwesio terkena panah, Kek Lam-wi kaget, teriaknya: "Siko, turunlah istirahat, biar kuobati lukamu."

Melotot mata Sia-cin, serunya: "Dalam keadaan seperti ini masih suruh aku istirahat segala? Luka panah seringan ini terhitung apa?" tanpa ayal segera dia cabut sendiri panah yang menancap di lengan kirinya.

Setelah mencabut panah, tanpa hiraukan lukanya yang menyemburkan darah sambil menggerung keras Sia-cin Hwesio kerjakan pula tongkatnya terus menerjang ke depan. Kek Lam-wi tiidak berhasil mengejarnya. Untung setelah melewati gunungan ini, ditambah belakang sudah terjadi pertempuran kacau balau, kuatir melukai orang sendiri para pemanah sudah tidak berani membidikkan panahnya.

Han Cin sudah kehabisan tenaga, kekuatannya sudah terkuras dan tak kuat bertahan lama lagi, mendadak didengarnya sebuah raungan keras, tahu-tahu Ti Nio sudah menerjang datang kedalam kepungan mereka. Huwan Hou keterjang lebih dulu, mukanya kena tempeleng yang keras sehingga wajahnya pesok dan berubah bentuknya, darah berlepotan tubuhpun limbung hampir roboh. Di antara ke empat saudara kepandaian Huwan Kiau paling lemah, Iwekangnya juga rendah, maka dia tidak kuat menahan getaran raungan Ti Nio, belum pedangnya mengenai tubuh Ti Nio tahu-tahu senjatanya sudah terampas lawan, sekaligus dia timpukkan ke belakang, seorang wisu kena dipanteknya di tanah dengan pedang rampasan itu.

Sebetulnya ada beberapa wisu yang berkepandaian lebih tinggi dapat menutup lobang barisan ini dan mengudak di belakang Ti Nio, serta melihat sekali mengayun tangan seorang kawannya sudah terpantek binasa, sementara Huwan Hou dan Huwan Kiau dihajarnya sampai babak belur, serasa copot nyali para wisu itu, mana lagi yang berani menerjang maju?

Raungan Ti Nio yang berfrekwensi tinggi getarannya ini memang dilandasi oleh latihan lwekang selama puluhan tahun. Karena ingin menolong Han Cin, tindakannya ini sebetulnya sudah mempertaruhkan jiwa raga sendiri, untung pukulan kepalannya sedikit lebih cepat dari tusukan pedang Huwan Hou, kalau tidak umpama dia dapat melukai Huwan Hou, tubuhnya sendiri pasti akan dihiasi tusukan pedang yang bukan mustahil bisa berakibat fatal.

Barisan pedang Huwan bersaudara sudah terkenal di kalangan Kangouw, bahwa sekali labrak dia berhasil memporak-porandakan barisan tangguh ini, sungguh diluar dugaannya, baru saja dia maju hendak menarik Han Cin ke sampingnya, tiba-tiba selarik angin tajam mengancam dirinya, perasaannya yang sensitif segera memperingatkan dia untuk segera berkelit dari tusukan pedang Huwan Pau. Berbareng Huwan Hou yang sudah terluka itupun menubruk nekad dari arah belakang. Maju mundur gerakan kedua orang ini menuruti teori barisan yang liehay, kerja samanya amat serasi pula, gabungan serangan pedang Huwan Pau dan Huwan Hou yang berlawanan arah ini ternyata jauh lebih liehay dari kerja sama Huwan Hou dengan Huwan Kiau tadi. Secepat kilat kedua pihak saling berhantam beberapa jurus, ternyata Ti Nio tak mampu membebaskan diri dari kerubutan mereka untuk menolong Toan Kiam-ping.

Tiba-tiba suara bentakan sekeras geledek menggelegar memekak kuping tahu-tahu Sia-cin Hwesio sudah menerjang datang dengan permainan tongkatnya yang diputarnya sekencang kitiran, tubuhnya terbang tiga tombak jauhnya, sungguh bagai jendral perang yang terjun dari angkasa.

Pertarungan jago-jago kosen meski menghadapi lawan berat, tapi pendengaran, pandangan dan seluruh perhatiannya juga ditujukan ke arah sekelilingnya. Bukan Huwan Liong tidak tahu kalau Sia-cin Hwesio sedang menerjang tiba namun dia tidak duga kalau gerakan Hwesio tromok ini bisa secepat ini. Di kala dia melancarkan jurus serangan maut yang terakhir, Sia-cin masih berada dua puluhan tombak jauhnya. Huwan Liong kira dia masih sempat membunuh Toan Kiam-ping lalu menyambut kedatangan Sia-cin

Hwesio. Tak tahunya Sia-cin seperti melompat terbang saja tahu-tahu sudah berada di belakangnya.

Huwan Liong kaget dan pecah nyalinya terpaksa dia kendorkan serangannya kepada Toan Kiam-ping dan membalik menahan kemplangan tongkat Sia-cin dengan pedangnya. "Trang" kembang api berpijar akibat benturan keras itu, begitu keras suaranya sampai wisu yang berada di ratusan tombak jauhnya juga pekak telinganya.

Setelah benturan keras itu lenyap suaranya, tampak sesosok tubuh mencelat tinggi ke udara. Tapi yang "terbang" kali ini ternyata adalah Huwan Liong sendiri. Sebetulnya lwekang kedua lawan ini seimbang dan sukar dibedakan siapa lebih unggul. Tapi begitu pedang membentur tongkat baja, karena didorong oleh terjangan dan kekuatan samberan tongkat yang menggebu dari udara itu, tak kuasa lagi Huwan Liong menguasai tubuhnya, tubuhnya tergetar mencelat beberapa tombak jauhnya.

Akan tetapi Sia-cin Hwesio sendiri juga tersungkur jatuh di tanah dan tak mampu merangkak bangun pula. Maklum sebelum ini lengannya sudah terpanah, darah mengalir terlalu banyak, kali ini mengadu kekuatan lagi, sudah terluka tambah terluka, luka kali ini malah lebih parah, karuan dia tidak tahan pula.

Empat bersaudara sudah tiga yang terluka sudah tentu barisan pedang itu tak dapat bertahan lagi. Lekas Kek Lam-wi dan Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio, tampak wajah Hwesio gendut ini pucat pias, darah masih mengalir dari mulutnya. Sungguh seperti diiris hati Toan Kiam-ping, sambil memeluk Sia-cin Hwesio tak tertahan air mata bercucuran, lidahnya serasa kelu dan tak tahu apa yang harus diucapkan.

Tapi Sia-cin Hwesio malah tersenyum, katanya: "Toan-kongcu, jiwaku ini kan kau yang merenggutnya kembali, kini ada kesempatan aku membalas budi pertolonganmu, mati juga hatiku puas. Jangan kau bersedih karena aku," lalu berpaling berkata kepada Kek Lam-wi: "Agaknya aku sudah tidak kuat lagi, kalian tidak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran untuk aku. Satu hal yang amat kusesalkan adalah aku tak mampu menuntutkan balas kematian Ui-yap Samko, terpaksa tugas mulia itu kuserahkan kepada kau saja," suaranya semakin lemah dan matapun mendadak terpejam tubuhnya lunglai rebah dalam pelukan Toan Kiam-ping.

"Jangan Siko, jangan kau mati," teriak Kek Lam-wi, waktu dia raba denyut jantungnya masih bergerak dan terasa hangat, lekas dia membubuhi obat di luka lengannya sambil berkata: "Kita harus cari tempat untuk mengobatinya."

Berlinang air mata Toh So-so, katanya: "Seluas taman ini diliputi sinar golok dan kilatan senjata tajam, kemana dapat memperoleh tempat yang aman dan tenang?"

Tiba-tiba Toan Kiam-ping ingat sesuatu tempat, katanya lirih: "Aku tahu ada sesuatu tempat sementara boleh kita mengobati luka Sia-cin Taysu disana, tapi kita harus terjang keluar dari kepungan musuh," tempat yang dimaksud bukan lain adalah Bu-ling-goan dimana Tan Ciok-sing pernah

menyembunyikan diri dan disana pula dirinya bertemu dengan Han Cin.

Tan Ciok-sing sudah melarikan diri dari gua itu, para wisu juga telah masuk kesana menggeledah gua itu, yakin kali ini mereka akan selamat dan musuh takkan mengulang pemeriksaan. Berlima mereka menerjang maju dengan melabrak musuh sekuat tenaga, segarang harimau turun gunung, mereka sikat setiap wisu yang berusaha merintangi. Ternyata usaha mereka berhasil juga, tak lama kemudian mereka sudah dekat dengan gunungan.

Ciok Khong-goan berteriak: "Jangan gugup, bidikkan panah kalian ke arah mereka," di bawah pimpinannya, para pemanah yang masih segar bugar segera berkumpul mereka mulai mendapat kepercayaan pada diri sendiri untuk melawan musuh.

Di tengah gertakan suaranya yang keras, Ti Nio ayun tangannya menimpukkan batu ke arah Ciok Khong-goan. Lekas Ciok Khong-goan tegakkan golok bajanya yang berpunggung tebal. "Trang" goloknya yang besar dan berat itu ketimpuk miring dan hampir saja tak kuasa dia memegangnya lagi. Karuan Ciok Khong-goan amat kaget, lekas dia tiup padam sebatang obor yang dipegang wisu sebelahnya.

Waktu itu bala bantuan masih terus berdatangan dari berbagai arah, cahaya obor terang benderang di empat penjuru, dalam keadaan demikian, umpama mereka berhasil menerjang keluar kepungan disini, tentu sukar untuk menghindari pengejaran para wisu, lalu cara bagaimana mereka bisa masuk ke gua Bu-ling-goan?

Mau tidak mau jantung Toan Kiam-ping dag dig dug. "Tak usah gugup," ucap Ti Nio, dia seperti dapat meraba jalan pikiran Toan Kiam ping, "aku punya akal," lalu dia terbahak-bahak, katanya: "Kawanan cakar alap-alap, kalian takut dilihat orang, nah biarlah aku wakili kalian memadamkan obor-obor itu," sembari bicara diam¬-diam dia meremas hancur sebutir batu gunung, dengan gerakan Thian-li-sam-hoa (bidadari menyebar kembang) batu yang diremasnya hancur dia timpukkan, sekaligus puluhan obor dipadamkan. Kek Lam-wi segera tiru cara sang Susiok, beruntun diapun padamkan beberapa obor sekaligus, sementara Toh So-so yang tenaganya lebih lemah hanya memadamkan dua tiga obor. Toan dan Han hanya memadamkan obor yang dekat setiap satu obor sekali sambitan.

Setelah batu beterbangan sebagian besar obor yang menyala sudah berhasil dipadamkan. Sisanya yang masih menyala hanya menerangi beberapa bayangan orang yang sedang ribut saling tumbuk di garis lingkaran luar. Para pemanah jelas tak berani membidik lagi karena kuatir salah sasaran. Yang Maha Kuasa entah bagaimana seperti juga membantu kesulitan mereka, udara yang semula cerah oleh penerangan bulan setengah bundar, tahu-tahu gelap ditutupi mega mendung.

Setelah mereka lolos dari kepungan, begitu kebentur dengan wisu yang membawa obor, lalu ditimpuknya padam. Bila obor dinyalakan lagi sementara mereka sudah menghilang di tempat gelap.

Han Cin sudah apal daerah disini, maka dia yang menjadi penunjuk jalan kembali ke Bu-ling-goan. Secara seksama mereka memeriksa keadaan sekelilingnya di tengah kegelapan, daerah ini sudah kosong, kawanan wisu tampak bergerak di kejauhan diluar taman besar.

Ti Nio berkata: "Jangan masuk dulu, biar aku pancing wisu yang ada di sekeliling sini," habis bicara sengaja dia memperlihatkan diri terus menuju ke arah yang berlawanan dengan langkah yang lebar memapak beberapa wisu yang masih pura-pura memeriksa sekedarnya. Karuan kawanan wisu itu ketakutan dan lari berpencar seraya berteriak panik.

Yakin tiada wisu yang menaruh perhatian kepada mereka, Kek Lam-wi berkata: "Toan-kongcu serahkan Siko kepadaku. Pernah kau menolong Siko sekali, kali ini biar aku yang merawatnya, jangan kau yang sudah kelelahan ini tambah kepayahan."

"Demi menyelamatkan aku Sia-cin Taysu terluka separah ini, kalau aku tidak menjaganya, betapa hatiku bisa tenteram, Kek-heng, perkataanmu ini apa tidak terlalu membedakan?" Baru saja Kek Lam-wi mau mendebatnya, tiba-tiba didengarnya suara Ti Nio yang menggerung dan menghardik dalam pertempuran sengit, agaknya diluar dia telah bentrok dengan musuh tangguh.

"Kek-heng," kata Toan Kiam-ping, "apa kau lupa harapan Sia-cin Taysu yang tercurahkan dalam pesannya kepadamu tadi? Dia mengharap kau dapat lekas menuntut balas kematian Ui-yap Tojin bukan?"

Kek Lam-wi sadar, maka dia tidak mendebatnya lagi, katanya: "Toan-kongcu, tidak perlu aku banyak omongan akan bantuan besarmu ini, terima kasih dan mohon bantuanmu selanjutnya."

Han Cin ingin mendampingi Toan Kiam-ping, tapi Toan Kiam-ping berkata: '"Adik Cin, sekarang tenagamu amat dibutuhkan. Biar aku seorang diri merawat Sia-cin Taysu disini. Bila kau telah bertemu dengan Tan-toako boleh selekasnya kau kemari."

Melihat sang kekasih lebih mengutamakan kepentingan umum, Han Cin apa boleh buat, terpaksa dia berkata: "Toako, kau harus hati-hati." Setelah dia saksikan Toan Kian-ping masuk ke Bu-liang-goan dan tidak terjadi apa-apa, baru lega hatinya, bersama Kek Lam-wi dan Toh So-so mereka segera meninggalkan tempat itu.

"Tan-toako yang kalian bicarakan tadi adalah..." Kek Lam-wi bertanya.

"Teman baik kalian, yaitu Pendekar Pemetik Harpa Tan Ciok-sing," sahut Han Cin.

Kek Lam-wi berjingkrak kaget dan senang, serunya: "Hah, diapun kemari."

"Bukan saja dia kemari, dia datang bersama putri In Tayhiap. Tadi nona ln terjeblos kedalam perangkap musuh, untung katanya berhasil meloloskan diri, tapi entah mereka masih mengalami bahaya tidak?"

"Kalau demikian, mari lekas kita cari mereka," ajak Kek Lam-wi.

Saat mereka bicara disini pertempuran disana kedengaran semakin memuncak, suara pertarungan gemuruh bagai guntur menggelegar. Dan jauh barisan obor kelihatan bergerak cepat semua menuju ke arah pertempuran.

"Celaka, agaknya Susiok ketemu tandingan tangguh, kita harus bantu dia menjebol kepungan," demikian seru Toh So-so.

Ti Nio memang kepergok musuh tangguh.

Di waktu dia memancing perhatian kawanan wisu yang masih berkeliaran secara membabi buta, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Kalian mundur semua, biar aku yang membekuknya," lenyap suaranya orangnyapun sudah menubruk tiba, tahu-tahu segulung angin telah menerpa kepalanya.

Ti Nio mencelos pikirnya: "Orang ini tidak boleh dipandang ringan," kontan dia papak serbuan musuh dengan dorongan kedua tangan. Begitu telapak tangan saling bentur, "Biang" ledakan terjadi, tahu-tahu Ti Nio limbung, penyerang itu tergentak mundur dua langkah.

Orang itu membentak: "Kiranya kau ini Tay-cui-pi-jiu Ti Nio?"

Ti Nio menghardik: "Kau telah tahu siapa aku, tapi berani merintangi jalanku memangnya ingin mengadu jiwa dengan aku?"

Orang itu gelak tertawa katanya: "Tay-cui-pi-jiu yang kau yakinkan memang tangguh, tapi jangan kau kira dapat mengalahkan aku. Hehehe, meski malam ini kau nekad dan adu jiwa, memangnya kau kira dapat terbang meloloskan diri."

Keduanya perang mulut, tapi kaki tangan tidak berhenti, orang itu bergerak dengan langkah Ngo-hing-pat-kwa, bergerak menyerang sambil bertahan, sekejap saja Ti Nio telah diserangnya belasan gebrak, ternyata kekuatan dan permainan mereka seimbang dan sengit, siapapun tiada yang bisa memungut keuntungan.

Ternyata penyatron ini bukan lain adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari seluruh anak buah Liong Bun-kong. Lwekangnya masih setingkat di bawah Ti Nio tapi karena Ti Nio tadi sudah mengalami pertempuran sengit, tenaganya sudah dipersekot, kini menghadapi Lenghou Yong masih bertenaga baru, keadaannya jadi lebih runyam.

Dengan menarikan serulingnya Kek Lam-wi lancarkan ilmu ajaran keluarganya yang tunggal cepat sekali dua wisu yang menerjang maju telah ditutuknya terjungkal. Kepandaian Toh So-so agak lemah, tapi ilmu pedangnya ternyata amat lincah dan enteng, begitu dia menerjang ke tengah orang banyak, seperti kupu-kupu menari di antara rumpun kembang, meliuk ke kiri menusuk ke kanan, berputar ke kanan membabat ke belakang, dalam beberapa gerakan saja, beberapa wisu telah roboh berkelejetan direnggut pedangnya.

Tenaga Han Cin sudah pulih beberapa bagian diapun mainkan cambuk lemasnya, khusus dia menyerampang kaki musuh, sehingga wisu yang berada di sekitarnya sama berlompatan mundur takut dililit kedua kakinya.

"Bagus," seru Lenghou Yong. "kiranya kau perempuan siluman ini. Hm, kau bisa lolos dari barisan pedang Huwan bersaudara, coba dapatkah kau lolos dari genggamanku?" mendadak dia melompat kedua jari terangkap menjulur setajam anak-anak panah, "Cras" cambuk lemas Han Cin kena digunting oleh jarinya.

Dia bergerak sebat, tapi Ti Nio tidak lambat. Bentaknya: "Siapa berani mengusik dia," telapak tangannya memukul terbalik, sehingga pukulan kedua yang dilancarkan Lenghou Yong menyerang Han Cin harus dibatalkan untuk melawan pukulan terbalik ini.

Meski putus ujung cambuknya, sebat sekali Han Cin menarik cambuk, tapi tiba-tiba cambuk lemasnya itu telah molor ke depan pula setangkas ular sakti terus membelit kedua kaki orang. Walau Lenghou Yong memperoleh sedikit keuntungan, betapapun dia tidak mampu merampas cambuk Han Cin, terpaksa dia melompat jauh keluar kalangan.

Tapi kawanan wisu datang semakin banyak, mereka telah membentuk barisan manusia mengepung lebih ketat, walau Ti Nio beramai melabrak musuh dengan sengit, dalam waktu singkat jelas mereka takkan bisa menjebol kepungan.

Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring, tampak beberapa sinar api bercahaya benderang

membumbung tinggi ke angkasa, kawanan wisu tampak berlarian sambil berkaok-kaok: "Lekas, lekas bantu sini, cegat musuh yang meluruk kemari," segera dari arah tenggara dan barat laut suaranya mendapat sahutan yang sama, semua minta bantuan tenaga untuk membendung serbuan musuh. Ternyata rombongan pertama murid-murid Kaypang telah menyerbu masuk. Meski jumlahnya tidak banyak, tapi kepandaian mereka cukup pilihan, di tengah kegelapan, kawanan wisu tiada yang tahu berapa banyak musuh, satu sama lain sukar dibedakan, yang jelas disana sini ada musuh muncul, karuan mereka bingung dan gugup.

Di tengah pertempuran sengit itu, tiba-tiba seorang menyelinap ke samping Kek Lam-wi, saking bernafsu menggasak musuh, kepala Kek Lam-wi serasa pening, pandanganpun telah kabur, tanpa memperhatikan, secara reflek serulingnya menutuk ke hiat-to orang ini Untung orang itu berlaku sebat, sambil menyingkir dia berseru: "Kek-heng, inilah aku." Baru kini Kek Lam-wi melihat jelas, yang datang adalah Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun.

Lekas Kek Lam-wi bertanya: "Adakah kau melihat Ngo-ko dan Liok-ko?" orang nomor 5 dan 6 dalam Pat-sian adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, mereka kumpul bersama Ti Nio, Kek Lam-wi dan lain-lain di rumah keluarga Coh.

"Memang aku hendak beritahu kepadamu, mereka telah menyerbu ke penginapan duta-duta Watsu, mungkin disana mereka akan melakukan pertempuran sengit, lekas kalian kesana bantu mereka."

Saat mana belasan murid Kaypang telah menyerbu tiba bergabung dengan Ti Nio. Walau jumlahnya tidak sebanding dengan kawanan wisu tetapi dalam pertempuran di tempat gelap begini jelas pihak mereka tidak gampang dirugikan.

Ui-yap Tojin mati di tangan orang-orang Watsu, Kek Lam-wi sudah bertekad hendak menuntut balas kematian Samkonya itu, maka dia berkata: "Baik, tolong dan bantu Ti-susiok, bersama Pat-moay aku akan menyusul ke penginapan orang-orang Watsu membantu Ngoko dan Liokko," letak penginapan sebelumnya sudah mereka selidiki. "Selama ini Tan Ciok-sing dan In San tidak kelihatan, jikalau mereka berada di taman ini pasti mereka tahu kejadian pertempuran disini. Sejauh ini mereka tidak kelihatan muncul, bukan mustahil sekarang mereka berada di penginapan orang-orang Watsu?" demikian batin Kek Lam-wi



000OOO000



Dugaannya memang tidak keliru, Tan Ciok-sing dan In San memang sudah menyelundup kesana. In San tahu apal keadaan disini maka dia yang menunjuk jalan, tengah mereka merunduk maju sambil sembunyi di bayang-bayang pohon, dari samping tiba-tiba menerobos keluar seorang busu Watsu, kontan dia membentak dengan bahasa Watsu. Tan Ciok-sing tidak mengerti apa maksud perkataan orang, terpaksa dia bergerak sebat menutuk hiat-tonya.

Kiranya kedua pihak sebelumnya sudah mengatur cara kontak yang sempurna, kata-kata busu merupakan sandi rahasia yang harus dijawab dengan kata rahasia dari bahasa Han pula. Karena Tan dan In berdua mengenakan seragam wisu maka dia menyapa dengan bahasa sandi yang telah ditentukan.

Tutukan Tan Ciok-sing amat telak sehingga busu itu terkulai lemas, tapi sebelum dia kehilangan kesadaran ternyata masih mampu bersuara minta tolong. Ternyata kungfu busu ini memang tidak lemah, biasanya orang tertutuk hiat-tonya pasti semaput, tapi Ciok-sing tadi menutuk dengan setengah tenaga maka orang masih mampu bersuara sebelum terkulai jatuh.

Lekas In San tarik Ciok-sing sembunyi di semak kembang, karena teriakan minta tolong tadi seorang busu Watsu telah memburu datang dan sempat melihat mereka, bentak busu itu: "Siapa, kenapa main sembunyi?" bahasa Hannya ternyata cukup fasih, suaranya juga seperti sudah dikenal.

Kepandaian busu ini agaknya lebih tinggi dari busu yang tertutuk hiat-tonya, begitu habis bicara orangnyapun sudah memburu tiba, kedua tangan terulur ke depan, tangan kiri menangkap Tan Ciok-sing, tangan kanan mencengkram In San, dia pikir hendak menelikung mereka berdua.

Tanpa berjanji serempak Tan Ciok-sing dan In San lancarkan gerakan pedang terbalik, kontan busu itu berseru kaget dan heran menghadapi keliehayan ilmu pedang mereka. Jari yang mencengkeram diubah menjadi jentikan, "Creng" pedang In San kena dijentiknya membal. Tapi jarinya yang menjentik pedang Tan Ciok-sing hampir saja terpapas protol. Untung dalam keadaan gawat itu dia sempat menarik tangan.

Sebat sekali busu itupun telah mencabut golok sabit yang disandangnya, secepat kilat dia menyerbu dengan bacokan kilat kedua arah. Kini Tan dan In berdua sudah membalik tubuh berhadapan, maka dia melihat jelas penyerangnya ini.

Busu ini bukan lain adalah salah satu pengawal Siau-ongya dari Watsu yang siang tadi ikut tamasya di tembok besar. Busu ini bernama Poyang Gun-ngo salah seorang dari lima busu Watsu yang memperoleh pangkat Padulo, padulo adalah suatu anugrah dari sang junjungan berpangkat tinggi sebagai busu pemberani yang tiada bandingan.

Secepat kilat sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San sama menusuk pula dari kanan, lekas Poyang Gun-ngo angkat goloknya menangkis, di tengah percikan kembang api, mukanya tampak kaget, ternyata telapak tangannya tergetar kesakitan.

Setelah Tin-ih-tiang-khong, jurus susulannya adalah Sing-hay-hu-ja dan Ceng-thian-jan-gwat, ketiga jurus ini dilancarkan sekaligus dalam sekali tarikan napas, merupakan tiga jurus rangkaian ilmu pedang gabungan mereka yang paling liehay khusus untuk menyerang, Poyang Gun-ngo mampu menangkis jurus kedua, namun golok sabitnya sudah gumpil 'sebagian, begitu menangkis jurus ketiga, sepasang goloknya sudah tak mampu dipegangnya lagi, semuanya tergetar jatuh di tanah. Selama hidup dan malang melintang kapan dia pernah kalah separah dan serunyam ini. Saking kagetnya lekas dia jumpalitan mundur setombak lebih, hatinya hambar pikiran kosong, dia keheranan.

Tiga jurus memukul mundur musuh, sebat sekali Tan dan In menyelinap kedalam rumpun kembang. Setelah Poyang Gun-ngo dapat menenangkan diri bayangan merekapun sudah tidak kelihatan.

"Karena keributan ini, mungkin sukar kita turun tangan," demikian kata In San. "Tapi, kita tetap harus mencobanya. Aku tahu satu jalan rahasia, mari kau ikut aku."

Tah Ciok-sing mengintil saja di belakang In San berputar kayun di antara semak kembang dan batu-batuan, setelah melewati dua gua, mereka memasuki sebuah paya-paya kembang pada saat itulah tiba-tiba seorang membentak: "Maling bernyali besar, lari kemana?"

In San kira jejak mereka sudah konangan, tapi di kala mereka merandek, didengarnya derap langkah orang berlari ke arah sana bukan ke tempat persembunyian mereka. In San tetap berkuatir, katanya: "Mungkin Toan-toako dan Han-cici juga telah datang?"

Mereka sembunyi di bawah paya-paya kembang sambil mencuri lihat keluar, lekas sekali merekapun memperoleh jawaban. Yang dikejar dan diluruk kawanan busu Watsu ternyata adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, orang ke lima dan ke enam dari Pat-sian.

Dua busu Watsu tampak memakai senjata yang aneh bentuknya, seorang menggunakan senjata yang berbentuk pedang bukan pedang, seperti tombak bukan tombak, kalau dikata pedang karena memiliki dua mata pedang, dikata tombak karena panjangnya tidak menyerupai tombak umumnya yang panjang.

Seorang busu lagi memegang dua macam gaman, tangan kiri pegang golok tangan kanan menyekal pentung pendek. Umumnya orang memakai pentung panjang dan golok pendek, tapi gaman orang ini justru terbalik, pentung pendek golok panjang.

Busu yang bergaman pedang aneh itu berseru: "Kalian mundur, jangan nanti manusia liar dari selatan ini memandang rendah kita busu dari Watsu."

Busu yang bersenjata pentung dan golok ikut berolok-olok, katanya: "Kalian pasti apa yang disebut si gendut dan si kurus dari Pat-sian yang berkecimpung di Tionggoan-? Hehe, aku sudah pernah mencoba kepandaian si Hwesio dan si Tosu, semula merekapun seperti kalian, tepuk dada mengagulkan diri, tapi akhirnya yang satu masuk berdiri rebah keluar, yang satu meski tidak mati, tapi juga sudah menjadi timpang."

Begitu berhadapan dengan kawanan busu ini, To dan Thong sama memuncak , amarahnya mendengar olok-olok mereka pula, semakin berkobar murka mereka, bentaknya: "Bagus, kiranya kalian yang membunuh Ui-yap Samko kita."

Waktu itu Ui-yap dan Sia-cin menghadapi keroyokan banyak busu dari Watsu, tapi kematian Ui-yap dan Sia-cin yang terluka parah sampai cacad kakinya lantaran perbuatan kedua busu ini. Tulang kaki Sia-cin remuk tertutuk oleh pentung dan tergores luka yang dalam oleh pentung dan golok busu ini. Hal ini pernah diceritakan Sia-cin kepada para saudaranya waktu mereka berkumpul di rumah keluarga Coh.

Belakangan Sia-cin Hwesio juga sudah mencari tahu, busu yang bersenjata pedang aneh ini bernama Ho Lan-kian, senjatanya itu bernama Siang-bun-kiam, sementara busu yang bersenjata rangkap pentung dan golok bernama Sat Thian-cau. Kedua orang ini bersama Poyang Gun-ngo dan seorang busu lagi yang bernama Ma Toa-ha disanjung sebagai Maha Padulo di kalangan busu Watsu. Kepandaian mereka setaraf dengan jago-jago kosen kelas wahid di Tionggoan.

Ho Lan-kian tertawa tergelak-gelak katanya: "Aku sudah tahu kalian mau menuntut balas kematian Ui-yap Tojin, hayolah maju, kita boleh satu lawan satu, supaya kalian mati dengan meram."

"Baik," bentak Thong Jian-hong, "kaulah lawanku," senjatanya Sam-kiat-kun segera digentak mengepruk ke arah Ho

Lan-kian. Di sebelah sanaTo It-kiau juga sudah melabrak Sat Thian-cau.

Sam-kiat-kun yang digunakan Thong Jian-hong memang merupakan kepandaian tersendiri, senjatanya ini dapat digunakan mengunci dan merampas senjata lawan, maka dia menantang Ho Lan-kian yang bergaman Siang-bun-kiam, dia harap senjatanya yang khusus ini dapat memetik keuntungan dari kelemahan lawan.

Diluar tahunya bahwa Siang-bun-kiam Ho Lan-kian ini ternyata berbeda dengan senjata umumnya, gaya permainannya juga berlainan dengan ilmu pedang di Tionggoan khususnya. Begitu pedang dan pentung tiga ruas itu saling bentrok, terbitlah suara berdering nyaring, dalam sekejap mereka sudah bergebrak sebanyak tiga puluh jurus.

Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba Ho Lan-kian menyelinap maju, pedang yang bermata dua itu tiba-tiba menusuk dan menjojoh, menusuk penting sekaligus menutuk hiat-to mematikan pula. Sebatang pedang ternyata permainannya diselingi tipu-tipu boan-koan-pit yang khusus untuk mengincar hiat-to lawan. Pedang umumnya hanya memiliki satu ujung jelas tak mungkin melancarkan serangan seaneh itu.

In San yang menyaksikan di tempat gelap, diam-diam berkeringat dingin, teriaknya: "Celaka Thong Jian-hong mungkin celaka."

"Tang" belum habis teriakannya, senjata beradu bayangan tergerak mundur, Thong Jian-hong tersurut tiga langkah, sementara Ho Lan-kian melompat jumpalitan setombak lebih, agaknya Thong Jian-hong lebih unggul seurat.

Lega hati Tan Ciok-sing, katanya: "Bila mereka menepati janji, satu lawan satu, kita tak usah kuatir bagi keselamatan Thong-liokhiap."

Di sebelah sana To It-kiau kontra Sat Thian-cau berhantam keras. To It-kiau bersenjata Liu-sing-tui, merupakan gaman yang berat demikian pula golok dan pentung Sat Thian-cau, setiap kali beradu pasti menimbulkan percikan kembang api. Sat Thian-cau mengembangkan kemahiran permainan pentung dan golok, pentung selalu mengetuk, menyontek dan menjojoh, sementara goloknya membacok membelah dan mengiris, rangsakan kedua senjata sederas hujan badai, setiap serangan teramat ganas dan mematikan. Tapi bandulan meteor To It-kiau ternyata berdesing nyaring berputar tidak kalah hebatnya, udara seperti diaduk oleh kekuatan deru bandulannya, setapakpun dia tidak mau mengalah. Kedua pihak setanding sama kuat, sebelum tiga ratusan gebrak mungkin takkan ada yang kalah atau menang.

Sebelum bergebrak tadi Ho dan Sat sudah menyatakan pertempuran ini satu lawan satu, tapi busu Watsu yang berdatangan menonton pertempuran ini semakin banyak, mereka mengelilingi gelanggang jadi seperti mengepung musuh, pada hal Poyang Gun-ngo juga datang menyaksikan di pinggir arena.

Beberapa kejap setelah menyaksikan adu kekuatan kedua kawannya tiba-tiba Poyang Gun-ngo geleng-geleng kepala. Tan Ciok-sing memperhatikan sambil memasang kuping, jelas dia mendengar Poyang Gun-ngo berkata kepada seorang busu di dekatnya: "Kedua orang ini bukan mata-mata yang tadi kupergoki. Uutuk apa sebanyak ini orang menonton saja, suruh sebagian yang lain pergi mencari jejak mata-mata yang tadi."

"Bagaimana?" Maksudnya tanya In San apakah perlu membantu To dan Thong.

In San berpikir sejenak, katanya: "Untuk menolong mereka, kukira lebih baik kita meringkus" pentolan mereka lebih dulu."

Waktu Tan Ciok-sing menelaah usul In San tiba-tiba dilihatnya seorang wisu dari keluarga Liong lari mendatangi. Seorang busu Watsu segera membentak dengan sandi rahasia. Wisu keluarga Liong itu segera menjawab dengan sandi rahasia dari bahasa Han, sembari menjawab dia mengulap sebelah tangan dengan tanda tersendiri pula, tanpa berhenti dia terus berlari ke depan, busu Watsu itupun tidak merintangi. Sandi rahasia itu berarti "Saudara sebangsa, hidup berdampingan", sandi rahasia ini sebelumnya sudah diikrarkan kedua pihak. Utusan orang-orang keluarga Liong yang diutus ke penginapan tamu-tamu Watsu ini sebelumnya harus mempelajari sandi rahasia itu dan bahasa Watsu.

Setelah berhadapan dengan Poyang Gun-ngo wisu itu berkata: "Liong-kongcu suruh aku menyampaikan kepada Tayjin, mata-mata itu adalah dua muda mudi, yang laki bernama Tan Ciok-sing yang perempuan bernama In San, keduanya Tayjin pernah melihatnya."

Poyang Gun-ngo heran, tanyanya: "Kapan aku pernah melihat mereka?"

"Tan Ciok-sing adalah pemuda yang siang tadi memberi seekor burung kepada Siau-ongya kalian waktu berada di Sian-khim-sia, In San adalah temannya, tapi dia perempuan yang menyamar laki-laki berdandan seperti pelajar, kini mereka berseragam wisu kita."

"Iya, tak heran aku seperti pefnah melihat mereka," ujar Poyang Gun-ngo keplok tangan, "sungguh memalukan, kenapa aku jadi keblinger."

Kini Tan Ciok-sing sudah paham maksud perkataan In San, bila dirinya ragu-ragu sejenak lagi, Poyang Gun-ngo pasti akan segera bertindak dengan anak buahnya, maka dia berkata: "Betul, mari kita ringkus Duta mereka. Memang akal bagus, adik San tunjukkan jalan."

Memang untuk membebaskan tekanan berat yang mengancam To dan Thong berdua mereka perlu memecah perhatian mereka sehingga To dan Thong menjadi longgar dan caranya adalah membekuk pemimpin mereka yang jadi Duta serta memeras dan dijadikan sandera. Meski harapan kecil, tapi justru dicoba mengadu untung.

Maka In San menarik Tan Ciok-sing menyusup ke deretan barak buah anggur yang panjang, dari luar barak anggur ini seperti dirambati dedaunan dan dahan serta akar pohon yang lebat sehingga rapat tidak tembus hawa, pada hal di dalamnya tersembunyi lorong panjang yang jarang diketahui orang.

Keluar dari lorong rahasia ini, mereka sudah berada di pekarangan dalam dibilangan penginapan yang khusus dibangun untuk para pembesar asing. Pada hal bangunan gedung disini hanya menduduki sebidang tanah dari keseluruhan taman yang luas", tapi jumlahnya juga ada dua tiga puluhan rumah. Di rumah mana duta Watsu itu menginap? Bila harus memeriksa satu persatu, kapan baru tugas mereka selesai.

Di waktu mereka berdiri kebingungan, tiba-tiba muncul seorang busu Watsu entah dari balik gunungan atau dari semak kembang, dengan suara berat dia membentak: "Hujiludo."

Tergerak hati ln San, segera dia menjawab: "Tongsulakao," waktu dia perhatikan di sekitar sini hanya ada seorang busu ini.

Melihat mereka menjawab tepat seperti sandi yang telah dijanjikan, busu Watsu itu segera memapak maju dengan seri tawa ramah mengajak mereka bicara. Katanya: "Agaknya kalian hendak minta bertemu dengan Siau-ongya kita bukan?" dengan logat kaku busu itu bicara berbahasa Han.

In San kegirangan, pikirnya: "Jadi Siau-ongya kiranya ada disini. Sungguh kebetulan kita jadi tidak usah mencarinya ubek-ubekan," maka dia menjawab: "Betul kita diutus Liong-kongcu kemari untuk lapor sesuatu kepada Siau-ongya. Entah Siau-ongya kalian sudah tidur belum?"

Busu itu menjawab: "Semula sudah tidur, begitu terjadi keributan diluar, mana Siau-ongya bisa tidur lagi? Tadi dia malah keluar ingin melihat keramaian, setelah kubujuk susah payah baru dia mau masuk kembali. Nah lihatlah, bukankah dia sedang mondar mandir dalam kamarnya?"

Tan dan In memandang ke arah tangannya menuding, tampak dibalik bayangan pepohonan yang tinggi di depan sana, menjulang tinggi atap sebuah gedung berloteng warna merah, jendelanya kebetulan menghadap kemari, di layar jendela yang terbuat dari kain sutra merah bening tampak bayangan seorang, dari bentuk bayangannya cukup dikenali bahwa dia memang Siau-ongya adanya.

"Kalian tunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Siau-ongya," ujar busu Watsu.

"Tidak usah kau susah-susah," cegah In San, "kami akan menghadap sendiri," mendadak dia rangkap kedua jarinya menutuk hiat-to busu itu.

Tan Ciok-sing berkata: "Nanti setelah berhadapan dengan Siau-ongya, jangan kau buru-buru turun tangan."

Dengan perlahan Tan Ciok-sing mengetuk jendela, Siau-ongya segera membentak: "Siapa?"

"Aku," sahut Tan Ciok-sing, "orang yang memberi burung kepadamu siang tadi."

Siau-ongya masih kenal suaranya, kejut dan girang cepat dia memburu maju membuka jendela. Melihat Ciok-sing berdua berpakaian seragam wisu dia melengak heran. Tapi segera dia menduga: "Mungkin karena memandang mukaku, maka Liong Bun-kong terima mereka sebagai wisu."

Tan Ciok-sing berkata: "Temanku juga datang Siau-ongya mau menerimanya?"

"Temanmu adalah temanku, boleh si larikan masuk bersama," kata Siau-ongya tertawa ramah.

Semula In San bermaksud membekuk Siau-ongya ini lebih dulu, tapi karena Tan Ciok-sing telah mencegahnya, terpaksa dia bersabar.

Setelah menempati kursinya masing-masing, Siau-ongya berkata dengan senang: "Tan-toako memang dapat dipercaya, kukira beberapa hari lagi baru kau akan kemari."

"Siau-ongya," ucap Tan Ciok-sing, "aku ingin bicara sejujurnya dengan kau, bukan sengaja kedatanganku ini hendak menyambangi kau."

In San menambahkan dengan suara dingin: "Seragam wisu yang kami pakai inipun rampasan."

Siau-ongya kaget, katanya: "Jadi, jadi kalian ini siapa?"

"Kami adalah pembunuh yang hendak ditangkap Liong Bun-kong," sahut Tan Ciok-sing.

Lama Siau-ongya terlongong, katanya kemudian: "Kalian bermusuhan dengan Liong Bun-kong?"

"Betul, bukan saja dia musuh kami diapun musuh bersama bangsa Han kita."

"Lho, kenapa?"

"Karena sebagai pembesar kerajaan, dia justru menjual negara dan bangsa demi mencapai kesenangan hidup, kemaruk harta gila pangkat. Tanah perdikan dari bumi Tionghoa nan besar ini dijual kepada bangsa Watsu kalian."

Berubah air muka Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, aku menganggapmu sebagai kawan, aku hanya ingin tanya kepadamu, kini apa kau ingin menghindari pengejaran orang-orang keluarga Liong di tempatku ini?"

"Kau keliru lagi bukan maksud kami kemari menghindari pengejaran mereka," sampai disini . mendadak Tan Ciok-sing angkat sebelah tangannya membelah ujung meja seperti golok membelah sayur saja ujung meja itu terpapas jatuh. Melihat kekuatan telapak tangannya yang hebat ini, saking kaget Siau-ongya sampai kesima dengan mulut melompong, tapi dia tidak berani berteriak.

"Siau-ongya, kau tidak usah takut," sela In San. "Tan-toakoku ini juga masih menganggapmu sebagai kawan, tapi bila kau berteriak, maka jangan kau sesalkan kalau kami bertindak keji kepadamu."

Siau-ongya tenangkan diri, katanya: "Tan-toako, apa betul kau menganggapku sebagai kawan?"

"Kalau aku tidak menganggap kau sebagai teman, buat apa aku membuang waktu untuk berbicara dengan kau. Tapi apakah selanjutnya kita tetap sebagai kawan, terserah kepada kau."

"Apa kehendak kalian atas diriku?" tanya Siau-ongya.

"Siau-ongya, ingin kutanya kepada kau, pasukan besar Watsu kalian menyerbu ke tanah air kita, menduduki bumi kita, membantai rakyat kita coba katakan betulkah* itu?"

"Urusan negara aku tidak tahui Tapi, sudah tentu aku tidak mengharap adanya peperangan."

"Itu sih tergantung bagaimana sifat peperangan itu. Kalian memukul kita, maka kita dipaksa untuk melawan. Kalau peperangan sudah terjadi, yang gugur bukan rakyat kita saja, bangsa Watsu kalian juga akan kehilangan pahlawan-pahlawannya. Jadi kedua pihak sama-sama mengalami derita siksa peperangan itu."

Siau-ongya berpikir sebentar, katanya: "Uraianmu memang benar. Terus terang, aku pribadi juga tidak senang melihat pasukan besar Watsu kita dikerahkan untuk memerangi bangsa kalian.""

"Syukurlah bahwa kau tahu akan hal ini. Oleh karena itu kuharap kau sudi melakukan satu hal."

"Hal apa?"

"Secara diam-diam Liong Bun-kong meneken perjanjian rahasia dengan ayahmu, perjanjian yang hakikatnya merupakan permohonan damai dan takluk dari Dynasti Bing terhadap Watsu kalian. Kami ingin minta bantuanmu untuk mendapatkan, copy dari perjanjian damai itu."

In San menambahkan: "Terus terang, kalau copy perdamaian itu kaiii serahkan kepada kami, untuk kalian ayah dan anak juga ada manfaatnya."

Siau-ongya tertawa getir, katanya: "Maaf kalau otakku terlalu dogol, aku tidak mengerti, kenapa dikata ada manfaatnya bagi kami?"

"Baiklah kuterangkan," ujar Tan Ciok-sing, "semula kami anggap ayahmu sebagai musuh, kalian ayah beranak harus ditangkap. Malam ini yang menyerbu kemari bukan hanya kami berdua, masih banyak lagi pahlawan-pahlawan bangsa kita yang sedang melabrak wisu keluarga Liong, jangan kira busu Watsu kalian" mampu menahan serbuan kita, tapi bila kau mau membantu menyerahkan copy perjanjian damai itu kepada aku, aku akan memohonkan keringanan untuk kalian ayah dan anak, supaya pahlawan bangsa kita tidak mempersulit ayahmu."

"Tapi kau suruh aku bertindak bagaimana? Jelas ayahku takkan mau menyerahkan surat perjanjian damai itu."

"Diminta tidak boleh, kau bisa berusaha mencurinya. Aku senang menganggapmu sebagai kawan dan mempercayai kau, biar aku menunggu kau disini."

Siau-ongya ini masih terlalu muda, baru enam. belas tahun, selama hidupnya kapan dia pernah kebentur urusan pelik dan menyulitkan ini. Untuk mencuri surat perjanjian damai itu bukan persoalan bagi dia, tapi dia ragu-ragu, apakah tindakannya ini bisa dibenarkan. Tapi dia berpendapat uraian Tan Ciok-sing memang benar, namun mencuri surat rahasia itu, merupakan perbuatan yang mengkhianati ayah kandung, dalam sesingkat ini, dia harus menentukan pilihan antara kebenaran dan perbuatan salah, sudah tentu serba susah dan sukar ambil putusan.

Di kala dia bimbang itulah, pintu kamarnya diketuk orang, orang diluar bersuara nyerocos dengan bahasa Watsu. In San hanya mengerti dua patah kata "buka pintu". Padahal kamar Siau-ongya ada di atas loteng, sebelum ini tak terdengar derap langkah orang menaiki tangga, tahu-tahu orang itu sudah berada diluar dan mengetuk pintu, yang datang jelas bukan orang sembarangan.

Berubah hebat air muka Siau-ongya, lekas dia berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Hwe-hud (Budha hidup) datang, lekas kalian sembunyi."

Dari cerita Kim-to Cecu In San pernah mendengar cerita tentang orang kosen di Watsu, di antaranya seorang maha guru silat yang berjuluk Milo Hoatsu, diagungkan sebagai Budha hidup. Budha hidup yang dimaksud oleh Siau-ongya pastilah orang itu. Maksud In San hendak membekuk Siau-ongya sebagai sandera untuk menghadapinya, tapi karena Tan Ciok-sing sudah bicara di muka, terpaksa dia menuruti kemauannya, bertindak menurut perubahan situasi. Lekas mereka sembunyi di balik pintu angin.

Siau-ongya membuka pintu serta mempersilahkan Hwe-hud ini dengan laku hormat. Katanya: "Malam-malam Koksu datang kemari, entah ada petunjuk apa?" ternyata benar si Budha hidup Milo Taysu yang diangkat sebagai Koksu (guru negara) pula.

Milo Taysu celingukan, katanya perlahan: "Siau-ongya, kabarnya siang tadi kau berkenalan dengan dua teman baru di tembok besar, apa betul?"

"Betul, seorang pelajar bangsa Han memberi aku seekor burung yang berbulu indah dan sukar ditangkap kepadaku. Pelajar ini bersama temannya, aku pernah berjanji pada mereka untuk memperkenalkan kepada Liong Bun-kong supaya mendapat pekerjaan. Kenapa Koksu mempersoalkan urusan kecil ini?"

"Kukira bukan urusan kecil," ucap Milo Taysu dingin, "menurut apa yang kuketahui, kedua orang itu adalah pembunuh yang hendak mencelakai ayahmu. Kau harus bicara terus terang, bukankah mereka sembunyi di kamarmu ini?"

"Koksu, dari mana kau mendapat kabar ini? Aku justeru tidak percaya mereka mau membunuh ayah," bantah Siau-ongya.

"Kau masih muda, jangan gampang ditipu orang. Katakan dimana mereka sekarang, kalau tidak biar kugeledah kamarmu ini."

Ternyata Poyang Gun-ngo telah memperoleh laporan wisu keluarga Liong itu, dia lantas menduga Tan Ciok-sing dan In San sekarang pasti sudah sembunyi di tempat kediaman Siau-ongya. Tapi Poyang Gun-ngo "hanyalah seorang bawahan, jelas dia tidak berani menggeledah kamar Siau-ongya, oleh karena itu dia mengundang

Milo Hoatsu sang Koksu untuk bertindak.

Milo Hoatsu cukup cerdik dan banyak pengalaman, dari mimik muka Siau-ongya dia tahu bahwa dugaannya tidak meleset, maka dia berkata: "Siau-ongya, biasanya kau cerdik pandai, kenapa kali ini begini ceroboh. Kau tidak membantu kita membekuk pembunuh tidak jadi soal, tapi kenapa kau justeru melindungi pembunuh ayah kandungmu malah? Lekas serahkan mereka. Soal ini boleh kututupi dan kau tidak akan kerembet, akan kukatakan di tempat lain aku meringkus mereka. Kalau tidak bila ayahmu tahu perbuatanmu ini, mungkin kau takkan terhindar dari hukuman dinas."

Kalut pikiran Siau-ongya, katanya sesaat kemudian: "Koksu, aku tidak tahu apa benar mereka itu pembunuh, tapi satu hal aku mohon kepada kau?"

"Permohonan apa?"

"Bila kau berhasil menangkap mereka, kumohon sukalah kau pandang mukaku, jangan kau bunuh mereka."

"Baik, asal mereka mau menyerah, akan kuampuni jiwa mereka. Lekas kau suruh mereka keluar."

"Tan-toako," teriak Siau-ongya, "jangan kau salahkan aku tak mampu melindungi kau, kepandaian Koksu maha tinggi, jika melawannya, kau akan mengorbankan jiwa sia-sia. Kumohon kau, kau..."

Sebelum dia mengatakan "menyerah", "Biang" pintu angin tiba-tiba tertendang ambruk. Tan Ciok-sing bergandengan keluar bersama In San.

"Pahlawan bangsa Han kepala boleh dipenggal pantang dihina," seru Tan Ciok-sing, "kau boleh minggir ke samping, ingin aku berkenalan betapa tinggi kepandaian Koksu kalian."

Belum habis dia bicara Milo Hoatsu sudah menghampiri dengan langkah lebar, katanya gelak: "Kukira siapa yang punya tiga kepala enam tangan, berani coba membunuh orang disini, tak nyana adalah dua bocah yang masih bau pupuk bawang. Baiklah, kalian ingin mencoba kepandaian Hud-ya, nah cobalah rasakan," sikapnya yang jumawa begitu tengik, seolah-olah dia yakin akan kepandaiaft sendiri, sekali gebrak pasti dapat meringkus kedua bocah ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata kepada lawan mudanya.

"Lihat pedang," di tengah bentakan Tan Ciok-sing, dua batang pedang bersama senjata In San tahu-tahu melingkar ke kanan kiri membentuk satu lingkaran. Milo Hoatsu sedang melangkah maju, mendadak terasa cahaya kemilau dingin menyilaukan mata. Tahu-tahu dirinya sudah -terkurung dan terlibat dalam lingkaran sepasang pedang lawan.

Milo Hoatsu adalah maha guru silat yang ahli, demi menjaga gengsi dan kedudukan, semula dia hendak bertindak belakangan, supaya kelemahan pihak lawan dapat dijajaki sebelum dia balas bertindak. Diluar tahu perbawa gabungan sepasang pedang ini ternyata bukan olah-olah liehaynya, sekilas pandang tiada lobang kelemahan yang dapat digunakan untuk balas menyerang.

Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut dibuatnya, "tak heran kedua bocah ini begini takabur, ternyata memang memiliki sedikit kepandaian," namun betapapun dia seorang guru silat, sebagai cikal bakal suatu aliran silat yang kenamaan di jaman ini, meski serangan sepasang pedang Ciok-sing dan In San diluar dugaannya, meski dirinya di pihak yang dicecar sedikitpun dia tidak menjadi gugup. Sambil menggerung lengan bajunya segera mengebas, kebasan lengan baju menimbulkan gejolak angin kencang dimana sinar pedang berkelebat simpang dan siur, terdengarlah suara "Cret" ujung lengan bajunya ternyata tertabas jatuh secuil, tapi pedang Ciok-sing dan In San juga tergetar menyelonong ke samping, tak mampu menusuk tubuh lawan.

Kekuatan gabungan sepasang pedang ternyata hanya mampu memapas sebagian lengan baju lawan, hal ini belum pernah terjadi selama ini, karuan Ciok-sing dan In San terkejut juga.

Diluar tahu mereka, Milo Hoatsu sendiripun tidak kurang kagetnya. Biasanya dia terlalu mengagul diri sebagai jago tiada bandingan di kolong langit ini, taraf lwekangnya sudah mencapai memetik daun dapat menimpuk luka lawan, mengayun kain sutra sekeras toya. Tak nyana setelah dia membebaskan Thi-siu-kang, lengan bajunya masih terkupas oleh pedang Ciok-sing berdua. "Dari mana membrojoinya kedua bocah ini, usia semuda ini, kepandaiannya ternyata sudah setinggi ini," demikian batinnya dengan perasaan kaget, maka dia tidak berani pandang ringan lagi.

Tengah pertempuran di loteng berlangsung dengan sengitnya, diluar tiba-tiba terdengar suara genta ditabuh bertalu-talu. Begitu mendengar suara genta, seketika berubah air muka Milo Hoatsu.

Suara genta itu merupakan tanda rahasia bahwa musuh telah menyerbu ke daerah terlarang. Kuatir Ongya mengalami bahaya, dinilai untung ruginya, sudah tentu dia harus lekas kembali melindungi sang junjungan. Maka begitu mendengar suara genta tanpa ayal lagi segera dia berlalu.

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu apa tujuan suara genta itu, tapi dia yakin pihak lawan pasti mengalami peristiwa genting supaya Milo Hoatsu lekas kembali bantu mengatasi. Maka dia berpikir: "Orang ini adalah jago nomor satu dari Watsu, bila dapat menahannya satu menit disini juga pasti menguntungkan pihak kita," maka dia mainkan pedangnya secepat kitiran menggebu dengan serangan liehay, bentaknya: "Mau lari? Memangnya gampang?"

Mendadak Milo Hoatsu memutar tubuh, dimana kedua lengannya menggentak ke atas, Kasa merah yang mengubat di tubuhnya mendadak terbang mumbul laksana segumpal mega terus menungkrup ke arah kepala Ciok-sing. Sepasang pedang Ciok-sing terapung bersama Kasa lawan ditusuknya tembus berlobang. Tapi In San tertungkrup juga, untung kasa itu sudah bolong, seperti bola yang sudah gembes, tenaga dalam yang dikerahkan Milo Hoatsu pada kasanya itu sudah sirna. Maka ln San menyingkirkan Kasa yang menutup kepalanya, hanya dada terasa sedikit sesak, karena sedikit rintangan ini, Milo Hoatsu sudah lari turun ke loteng dan berlari keluar pekarangan.

Tan Ciok-sing dan In San ikut lompat turun serta mengudak kencang. Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak: "Tan-toako, apa kau disini bersama nona In?" lenyap suaranya orangnyapun tiba, tampak dua bayangan orang melompati tembok hinggap didalam pekarangan.

Kaget dan senang hati Ciok-sing-, pendatang muncul mendadak ini bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so.

Tak sempat mereka banyak bicara, Kek Lam-wi bertanya: "Duta Watsu sudah ditemukan belum?"

"Belum, yang tinggal disini adalah putranya," sahut Ciok-sing.

"Kepala gundul itu sudah lari," ujar In San, "tiada orang dapat merintangi kita, Toako, robahlah putusanmu semula, mari kita kembali membekuk Siau-ongya."

Sampai disini pembicaraan mereka, mendadak suara mendesing disertai cahaya benderang membumbung tinggi ke angkasa. Disusul kumandang sebuah suitan panjang dan melengking tinggi seperti pekik naga di angkasa raya.

Kek Lam-wi berjingkrak girang, serunya: "Itulah Wi-cui-hi-kiau, mereka telah menemukan Duta rahasia itu," ternyata panah berapi itu merupakan tanda peringatan, Kek Lam-wi juga mengenali suara suitan mereka.

"Kalau yang dituju sudah ketemu, tidak usah kita mempersulit Siau-ongya. Lekas susul kesana," kata Tan Ciok-sing.

Berempat cepat mereka kembangkan ginkang berlari ke arah luncuran panah berapi. Tiada kesempatan untuk berbincang lagi antara Kek Lam-wi dengan Tan Ciok-sing, tapi dia hanya memberitahu satu hal: "Toan-toako dan Sia-cin Liok-ko sembunyi di Bu-ling-goan, Sia-cin Liok-ko terluka parah, nanti bila kau sempat membebaskan diri, tolong kau bantu Toan-toako keluar menyelamatkan diri. Tapi sekarang lebih penting membantu Wi-cui-hi-kiau berdua." Sebelum mereka mencapai tempat peluncuran panah berapi, dari kejauhan sudah mendengar benturan senjata yang ramai.

Tan Ciok-sing lantas sadar, tanyanya: "Kalian melihat To dan Thong-toako berdua."

"Belum, mereka kenapa?" tanya Kek Lam-wi kaget.

Tapi Tan Ciok-sing tidak perlu menjawab, karena dia telah melihat To It-kiau dan Thong Jian-hong, diapun sudah tahu jawabannya. Tatkala itu mereka sudah melampaui tempat persembunyian Tan Ciok-sing dan In San tadi, keadaan di bawah gunungan itu sudah jelas terlihat.

To It-kiau dan Thong Jian-hong memang sedang dalam keadaan gawat. Seperti diketahui sebelum berhantam tadi Ho Lan-kian dan Sat Thian-cau bilang akan menempur mereka satu lawan satu. Ho dan Sat termasuk empat jagoan top di Watsu, kepandaian mereka kebetulan setaraf dengan To dan Thong berdua, sehingga pertempuran berjalan sengit dan seimbang. Kini para busu Watsu yang semula menonton di pinggir arena, begitu mendengar tanda bahaya, mereka tidak hiraukan soal janji semula lagi. Jumlah mereka ada belasan orang termasuk Poyang Gun-ngo. Tapi demi menjaga gengsi Poyang Gun-ngo tidak mau ikut mengeroyok. Begitu mendengar tanda bahaya, dia bawa beberapa anak buahnya terus lari balik hendak melindungi junjungannya. Tapi yang masih tinggal ada delapan busu, mereka mengambil posisi yang baik mengepung To dan Thong di tengah lingkaran.

Begitu melihat keadaan yang tidak seimbang ini, Kek Lam-wi amat gusar, teriaknya: "Tan-heng, silahkan maju lebih dulu, lekas kau bantu Wi-cui-hi-kiau, aku hendak menuntut balas kematian Ui-yap Samko." Ho Lan-kian sedang berhadapan dengan To It-kiau sementara Thong Jian-hong melabrak Sat Thian-cau, begitu melihat senjata tunggal kedua busu ini, dia lantas tahu bahwa kedua busu ini adalah pembunuh Ui-yap Tojin yang diceritakan oleh Sia-cin Hwesio.

Kala Kek Lam-wi menubruk tiba secepat terbang, kebetulan dia kesamplok dengan Poyang Gun-ngo yang hendak mengundurkan diri melindungi sang junjungan. Poyang Gun-ngo membentak: "Kau inilah bocah she Kek yang pandai meniup seruling di antara Pat-sian bukan? Mumpung ada kesempatan, biar aku antar kau pergi menyusul saudaramu Ui-yap Tojin." "Trang" pedang dan seruling beradu, meminjam tenaga pantulan keras ini seruling Kek Lam-wi yang menceng itu sekaligus ditekuk turun menutuk Jian-kin-hiat di pundak Poyang Gun-ngo. Tapi sebelum serulingnya menyentuh tubuh Poyang Gun-ngo, maka terdengar suara "Cret" lebih dulu, ternyata ujung pedang Poyang Gun-ngo telah menusuk berlobang bajunya.

Tersirap hati Kek Lam-wi, pujinya dalam hati: "Cepat betul gerakan pedang orang ini," walau terkejut sedikitpun gerakannya tidak kacau, seruling batu pualam di tangannya sebat sekali ditarik mundur, sementara langkahnya limbung seperti orang mabuk, berbareng serulingnya ditarikan pula, kelihatannya permainannya kacau dan tidak menuruti teori ilmu silat. Tapi dalam sekejap itu, tujuh hiat-to besar di tubuh Poyang Gun-ngo telah diincarnya. Mau tidak mau Poyang Gun- ngo mencelos juga hatinya, pikirnya: "Ilmu tutuk bocah ini ternyata aneh dan liehay, memang tidak malu sebagai salah satu tokoh dari Pat-sian," tapi kecepatan gerak pedangnya juga tidak asor. Dimana pedang panjang menggaris melintang di tengah udara, kelihatannya seperti sejurus, tapi di dalamnya mengandung tujuh perubahan, sejurus tujuh gerakan, kebetulan tepat mematahkan tujuh tutukan hiat-to seruling Kek Lam-wi.

"Bagaimana?" tanya In San.

"Tolong dulu To dan Thong," kata Tan Ciok-sing.

Poyang Gun-ngo sudah kecundang oleh kekuatan gabungan sepasang pedang mereka, melihat mereka datang dia tidak berani disini terlalu lama, setelah menggertak dengan satu serangan, dia menghindari serangan seruling Kek Lam-wi, mendadak dia menubruk ke arah Toh So-so. Ceng-kong-kiam Toh So-so tak kuasa menahan terjangan lawan, sehingga Poyang Gun-ngo berhasil menjebol keluar terus angkat langkah seribu, tapi dia sempat berteriak: "Musuh kedatangan bala bantuan, lekas kalian bunuh mereka, jangan biarkan makanan empuk di depan mulut terlepas pula."

Sebetulnya tanpa diperingatkan oleh Poyang Gun-ngo, Ho Lan-kian dan Sat Thian-cau seperti berlomba saja sudah merangsak kedua lawannya dengan serangan ganas mematikan. Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi juga seperti berlomba menubruk tiba, sayang mereka terlambat selangkah.

To It-kiau sudah terluka dua tempat di tubuhnya, mendadak dia menggerung murka: "Biar aku adu jiwa dengan kau," bandulan meteornya tiba-tiba mengepruk ke batok kepala Sat Thian-cau. Sat Thian-cau angkat pentung pendeknya menangkis, tapi pentungnya terlilit rantai bandulan, sehingga bandulan itu berputar lebih kencang dan "Prak" telak bandulan meteor berduri itu mengenai batok kepalanya, namun Sat Thian-cau sempat menimpuk golok panjang di tangan kirinya dan telak pula menghujam ke dada To It-kiau, pertempuran sengit adu jiwa ini berakhir dengan gugur bersama.

Seperti disayat hati Thong Jian-hong, betapa sedih hatinya melihat saudaranya gugur, bagai orang gila mendadak dia putar tiga ruas tongkatnya sehingga mengeluarkan suara gemeretak, sekali sendai dan tarik dia berhasil menjepit Siang-bun-kiam Ho Lan-kian. Agaknya dia sudah nekat untuk gugur bersama musuh, seperti saudaranya.

Namun cepat sekali Kek Lam-wi dan Toh So-so sudah menyerbu kedalam arena. Memang mereka datang terlambat selangkah, tapi masih untung juga kedatangan mereka, meski tidak dapat menolong jiwa To It-kiau, kebetulan dapat membantu Thong Jian-hong. Dua busu sedang mengayun golok dan menusukan tombak menyerang dari kanan kiri belakang Thong Jian-hong, namun. angin kencang telah mengancam jiwa mereka lebih dulu, seruling Kek Lam-wi sudah menutuk lebih dulu hiat-to besar di punggung busu yang bersenjata golok. "Mampuslah kau," hardik Kek Lam-wi.

Memang busu ini kontan roboh binasa. Ternyata pedang Toh So-so juga tidak kalah cepatnya, dengan jurus Giok-li-to-soh, pedangnya menggaris luka panjang dari pundak ke punggung busu yang bergaman tombak panjang.

Dalam pada itu Sam-kiat-kun dan Siang-bun-kiam sama-sama jatuh, Thong Jian-hong lantas menghardik beringas: "Nah, biar kaupun rasakan keliehayan kepalan besiku," tangan terayun kepalanpun mengenjot, sekali jotosan ini ternyata batok kepala Ho Lan-kian pecah jadinya.

- Setelah memungut senjatanya dengan sebelah tangan yang lain Thong Jian-hong memeluk jenazah To It-kiau, mendadak dia terkial-kial menggila, teriaknya: "Ui-yap Samko, tenanglah arwahmu di alam baka. Bersama Ngoko aku telah menuntut balas kematianmu," karena memeluk jenazah sekujur badannya berlepotan darah, seperti banteng ketaton segera dia menyerbu keluar.

Dalam pada itu busu di lingkaran luar telah bubar dilabrak oleh Tan Ciok-sing bersama In San. Yang masih ada hanya beberapa busu yang berkepandaian agak tinggi. Tapi melihat keadaan Thong Jian-hong yang beringas menakutkan, busu yang berkepandaian agak tinggi inipun menjadi ciut nyalinya, belum lagi senjata Thong Jian-hong menyapu tiba serempak mereka sudah kocar kacir.

Menekan kepedihan hatinya Kek Lam-wi menyusul kesana mendampingi Thong Jian-hong, katanya lirih: "Masih ada tugas lebih penting yang harus lekas kita selesaikan, Liok-ko, tenangkanlah pikiranmu."

Thong Jian-hong lantas sadar, katanya: "Betul, Toako melepas panah berapi. Bila kita bisa membantunya menangkap Duta Watsu, setimpal juga kematian Ngoko."

Di bawah petunjuk In San, beramai mereka menyerbu ke arah penginapan orang-orang Watsu.

Tampak di tengah tanah berumput di antara bangunan gedung berloteng, bayangan orang bergerak-gerak sedang saling labrak dan hantam dengan sengitnya.

Di atas loteng ada orang memegang obor, ternyata Duta Watsu itu sedang menonton dari atas loteng. Tapi loteng tinggi beberapa tombak, di sampingnya dijaga ketat oleh beberapa busu bersenjata lengkap, maka dia tidak takut jiwa sendiri terancam.

Waktu Tan Ciok-sing tiba, kebetulan didengarnya di atas loteng orang bersorak dan memuji: "Bagus, biar manusia-manusia liar dari selatan ini tahu betapa liehay Koksu Watsu kita. Haha. Jago terkuat dari Pat-sian yang katanya menggetar Tionggoan ternyata juga hanya begini saja." Seorang busu di sebelahnya segera menimbrung: "Tionggoan Pat-sian hanya bernama kosong, mana dia mampu melawan Koksu kita yang tiada tandingan di seluruh jagat," pembicara ini bukan lain adalah Ma Toa-ha, salah satu dari empat jago kosen dari Watsu.

Ternyata di arena Wi-cui-hi-kiau tengah bergebrak dengan Milo Hoatsu. Hi-hu si nelayan Lim Ih-su memakai gaman yang cukup unik, tangan kanan memegang joran, tangan kiri memegang jala. Sementara Kiau-cu si tukang kayu Loh Im-hu bersenjata kampak besar. Sedang Milo Hoatsu bersenjata sepasang roda besar kecil yang dinamakan Jit-gw.at-siang-Iun. Setiap kali joran si nelayan membentur roda di tangan Milo Hoatsu maka berdering nyaring suara memekak telinga. Tapi aneh juga, joran yang kelihatan dari bambu hijau itu ternyata cukup ulet dan dapat memantul seperti karet, betapapun kuat roda lawan menggempur, ternyata joran tak mampu dipatahkan.

Belum lenyap gelak tawa Duta Watsu, mendadak Loh Im-hu menghardik bagai guntur, kampak besarnya seperti hendak membelah gunung tiba-tiba membacok. Milo Hoatsu juga tersurut mundur selangkah.

Menggunakan saat Loh Im-hu terhuyung dan belum berdiri tegak, dua busu mendadak menyergap maju dari belakang. Seluruh perhatian Loh Im-hu seperti ditujukan kepada Milo Hoatsu yang tangguh ini, bahwasanya dia seperti tidak tahu dan tidak hiraukan kedua lawan yang membokong dari belakang.

Mendadak terdengar pekik nyaring, di saat kritis itulah, si nelayan Lim Ih-su ternyata telah bertindak menolong Loh Im-hu menggebah kedua busu yang membokong secara licik. Tanpa menoleh, joran panjang di tangannya tiba-tiba disendai ke belakang, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang, pancing di pucuk joran kebetulan menggantol tulang pundak seorang busu, seperti memancing seekor ikan raksasa saja busu ini diangkatnya ke atas, sekali sendai pula busu itu dilemparnya beberapa tombak jauhnya. Menyusul dia menggentak pula secepat angin lesus tubuhnya berputar, jala di tangan kiri tiba-tiba ditebarkan, busu keduapun kena dijala olehnya.

Sebat sekali Milo Hoatsu berkelit terus berkelebat, menghindari bacokan kampak Loh Im-hu, tapi sepasang rodanya tiba-tiba mengepruk ke arah Lim Ih-su. Lim Ih-su sudah berhasil menjala busu itu, dia pikir Milo Hoatsu takkan berani melukai orang sendiri, tak nyana sedikitpun dia tidak hiraukan mati hidup si busu, mumpung dapat dapat kesempatan dia malah merangsak semakin hebat. Padahal jala Lim Ih-su merupakan senjata yang liehay pula, namun karena berhasil menjaring tubuh seorang yang beratnya ada seratusan kati lebih sudah tentu gerak geriknya jadi lamban dan terganggu, tujuan hendak mengancam musuh berbalik awak sendiri yang memikul beban. Apa boleh buat terpaksa Lim Ih-su membuka jaring melempar busu itu keluar kalangan. Kini dia lebih leluasa menghadapi rangsakan sepasang roda Milo Hoatsu.

Milo Hoatsu membentak: "Hadapilah kawanan pengemis itu, kedua orang ini kalian tidak perlu ikut urus."

Tanpa dipesan lagi, melihat betapa liehay permainan Lim Ih-su, para busu yang lain sudah pecah nyalinya, melihat pula betapa ganas dan kejamnya Milo Hoatsu, jiwa orang sendiri juga tidak segan dikorbankan di bawah senjata sendiri, mana ada yang berani mengantar jiwa?

Wi-cui-hi-kiau bergabung pula, dalam beberapa jurus saja, mereka telah mulai pegang kuasa dengan serangan mantap. Tapi kepandaian Milo Hoatsu memang tangguh, meski Wi-cui-hi-kiau berinisiatif menyerang, dia masih tetap kuat bertahan dan melawan dengan gagah, sedikitpun tidak kelihatan terdesak. Karena terlibat dalam adu kekuatan dengan sengit melawan Milo Hoatsu, sudah tentu Wi-cui-hi-kiau tidak sempat lagi membantu teman yang lain.

Kecuali Wi-cui-hi-kiau yang sedang melabrak Milo Hoatsu, di lapangan berumput itu masih ada belasan pengemis, mereka adalah kelompok kedua dari murid-murid Kaypang yang menyusul tiba. Mereka melihat panah berapi yang dilepas Wi-cui-hi-kiau maka beramai datang membantu. Kungfu murid Kaypang ini cukup tinggi, namun di bawah tekanan musuh sebanyak itu, mereka jadi kerepotan juga. Ada beberapa di antaranya malah sudah terdesak payah.

Melihat situasi, Tan Ciok-sing berpikir: "Wi-cui-hi-kiau, memang tidak malu sebagai pimpinan Pat-sian, kepandaiannya susah diukur. Tapi untuk mengalahkan Milo Hoatsu paling tidak harus tiga ratusan jurus kemudian. Aku harus wakili mereka, supaya mereka sempat membekuk Duta Watsu di atas loteng."

Setelah tetap pendiriannya, Tan Ciok-sing segera menampakkan diri, teriaknya lantang: "Hwesio gede, kalah menang belum ada kesudahan, kenapa kau lari. Kalau berani ayo lawan aku menentukan siapa jantan," sembari bicara meluncur bagai anak panah, beberapa lompatan jarak jauh, sebelum gema suaranya lenyap, bersama In San dia sudah terjun kedalam arena pertempuran.

"Bagus sekali, kalian berempat boleh maju bersama, memangnya aku takut?" tantang Milo Hoatsu. Sepasang roda terangkat tinggi dengan jurus Sau-tang-Iiok-hap kedua rodanya dimainkan sedemikian rupa sekujur badan seperti terbungkus dalam cahaya kemilau.

Tan Ciok-sing gunakan jurus Tay-mo-hu-yan pedang

panjangnya menusuk langsung kedalam lingkaran sinar. Berbareng In San juga gunakan jurus Tiang-ho-Ioh-jit. Ceng-bing-kiam menusuk turun dari tengah udara. Serangan tepat pada waktunya sasaran telak dan kerja samapun serasi dan ketat tiada kelemahan. Gerak pedang mereka teramat aneh dan cepat sehingga Wi-cui-hi-kiau tiada sempat berseru mencegah tahu-tahu kedua anak muda ini sudah mendahului melawan gempuran musuh tangguh.

Maka terdengar suara gemerantang seluruh hadirin pekak telinganya, cahaya perak yang membulat itu tiba-tiba pecah berderai, hawa pedangpun menyambar ke berbagai penjuru, tiga bayangan orang mencelat terpencar, siapapun tiada yang memungut keuntungan, lekas sekali kedua pihak telah saling gempur lagi.

Sebelum ini Wi-cui-hi-kiau belum pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing,-di kala dia bersama In San mendahului menyambut gempuran sepasang roda Milo Hoatsu, Wi-cui-hi-kiau sama menjerit kuatir, mereka kira kedua muda mudi ini bakal celaka oleh kehebatan ilmu musuh, bila tidak mati pasti luka parah. Tak nyana akhir dari adu kekuatan sungguh diluar dugaan mereka, belum lagi lenyap rasa kuatir mereka, tahu-tahu Tan Ciok-sing berdua telah bergabung pula menggempur Milo Hoatsu.

"Gelombang sungai belakang memang mendorong yang di depan, patah tumbuh hilang berganti. Munculnya sepasang pahlawan gagah dunia persilatan memang harus dibuat senang, tapi kenapa kami tidak pernah dengar sebelum ini," diam-diam Wi-cui-hi-kiau amat girang dan lega. Sebagai ahli silat meski baru menyaksikan satu jurus, tapi mereka tahu gabungan ilmu pedang Tan Ciok-sing dan In San merupakan lawan mematikan bagi sepasang roda lawan bila kedua muda mudi ini dibiarkan melawan Milo Hoatsu memang setanding dan itu lebih baik dari pada dirinya berdua yang turun tangan. Setelah hati lega segera mereka keluar lapangan.

Sudah tentu Duta Watsu yang menyaksikan di atas loteng amat kaget, katanya: "Dari mana datangnya dua bocah ini, ternyata mampu menandingi Koksu kita yang nomor satu di seluruh jagat. Ma Toa-ha turunlah kau bantu mereka."

Tak nyana peristiwa selanjutnya justru membuat nyalinya pecah. Tampak Lim Ih-su mendadak melompat tinggi setombak lebih, pancing di ujung jorannya tepat menggantol batu di atas dinding, seperti orang bermain ayunan, tubuhnya tiba-tiba melambung naik, dimana telapak kakinya menjejak dinding jorannya terayun pula, sehingga tubuhnya mumbul ke atas, begitulah secara bergantian kaki menjejak dan joran menggantol sehingga tubuhnya terus terayun mumbul ke atas. Berlainan pula cara yang ditempuh si tukang kayu Loh Im-hu, sepasang kampak raksasanya bergantian membelah dinding tembok yang keras terbuat dari batu gunung menjadi bolong setiap kali kena kampak. Begitu kampak dicabut kaki terus memancal naik secara bergantian kanan kiri, pada hal dinding yang menjulang lurus itu licin sekali tapi dari setiap lobang yang dibacok kampaknya itu kakinya seperti naik tangga saja terus berlari ke atas secepat terbang.

Busu yang ada di bawah berkaok-kaok, belasan orang segera memasang gendewa membidikkan panah. Lim Ih-su menebarkan jalanya untuk menangkis hujan panah, tidak sedikit panah yang terjaring di jalanya ditimpuk balik untuk melukai pemakainya.

Cepat sekali, mereka sudah hampir mencapai loteng. Karuan Duta Watsu: kaget dan pucat ketakutan, mana berani dia menonton lagi? Tersipu-sipu dia putar tubuh sembunyi kedalam kamar.

Ma Toa-ha memburu maju seraya membentak: "Turun." Golok pembelah gunung dii tangannya berpunggung tebal, beratnya ada tiga> puluh enam kati, dia incar batok kepala Loh Im-hu yang sudah hampir mencapai ketinggian foteng terus membelahnya.

Hebat memang Loh Im-hu, kakinya kebetulan menginjak lobang yang terkampak terakhir pada hal tubuhnya terapung, namun di atas dinding yang licin itu dia masih mampu mengembangkan Thi-pan-kio (jembatan besi), pinggang tertekuk ke belakang, sementara kaki menginjak kencang di lobang dinding, sehingga seluruh tubuhnya terjengkang ke belakang mirip sebuah jembatan gantung. Golok Ma Toa-ha menyamber lewat serambut di depan mukanya, tapi tidak sampai melukainya.

Dengan menggerung keras, mendadak Loh Im-hu menarik tubuh ke atas, berbareng kaki menjejak naik, tubuhnya terapung tinggi, bentaknya: "Biar kau tahu apakah Tionggoan Pat-sian betul-betul bernama kosong," itulah olok-olok yang diucapkan Ma Toa¬ha tadi. Di tengah bentakannya itulah kampaknya sudah beradu dengan golok besar berpunggung tebal Ma Toa-ha. Senjata mereka sama-sama berbobot berat, di tengah gemerarrtangnya suara tampak golok tebal Ma Toa-ha mencelat tinggi ke udara.

Pada saat itulah, Lim Ih-su juga telah melompat naik ke atas loteng, dimana jorannya mulur modot, seperti lidah ular beracun yang keluar masuk, secepat kilat dia tutuk dua busu yang menerjang datang, kekuatan gerakan jorannya ternyata masih mampu membuat pancing di ujung jorannya menukik turun menggantol luka di paha Ma Toa-ha. Pada saat itu Ma Toa-ha memang sedang terhuyung karena tergentak oleh kekuatan Loh Im-hu, sudah tentu tak mampu dia menahan diri pula setelah pahanya terluka pula, bersama dua busu yang tertutuk hiat-tonya mereka saling terjang terus terjungkal jatuh ke bawah loteng.

Memang tidak malu Ma Toa-ha sebagai jagoan kosen, meski pahanya terluka di tengah udara dia masih mampu mengendalikan tubuh dengan jumpalitan bergaya burung dara serta meluncur turun dengan enteng dan berdiri tegak. Celaka adalah kedua busu yang tertutuk hiat-tonya jatuh dari tempat ketinggian itu tanpa ampun tubuh mereka hancur dengan kepala pecah.

Begitu Wi-cui-hi-kiau menyerbu ke atas loteng, dilihatnya Duta Watsu sedang lari kedalam kamarnya. Loh Im-hu menghardik: "Lari kemana," dimana kampaknya terayun seorang busu dibelahnya terus menerjang masuk, tujuannya hendak meringkus Duta Watsu.

Tiba-tiba cahaya emas gemerdep di depan mata, seorang padri asing tiba-tiba membentak: "Jangan bertingkah disini," senjata yang digunakan padri asing ini adalah Hu-mo-kan gada penakluk iblis yang terbuat dari emas murni, bobotnya lebih berat dari golok tebal yang dipakai Ma Toa-ha, maka terdengarlah suara "Trang", loteng sampai bergetar seperti keterjang gempa. Kampak membelah gunung Loh Im-hu membacok gada penakluk iblis, kampak sempal sedikit, tapi gada tidak kurang suatu apa, tapi tenaga Loh Im-hu lebih besar, padri asing itu tertolak mundur tiga langkah, telapak tangannyapun kesakitan. Tapi padri asing ternyata keras kepala, sebat sekali dia sudah menerjang pula, dia libat lawannya dengan serangan gencar.

Di sebelah sana Lim Ih-su juga menghadapi dua lawan tangguh, seorang Hwesio bersenjata tongkat sebesar mulut mangkok, seorang lagi berpakaian pelajar memegang kipas besi. Senjata kedua orang ini keras dan lunak, kerja samanya ternyata amat baik. Terutama kipas besi si pelajar, entah menutuk, menusuk atau menyampuk dengan kebasan lagi, ternyata dia mampu menggunakan ilmu meminjam tenaga menggempur musuh, taraf kepandaiannya tidak lebih asor dari jago kelas wahid di Tionggoan. Lim Ih-su sebagai tertua dan terliehay dari Pat-sian ternyata juga hanya mampu menandingi mereka saja.

Ternyata ketiga orang ini adalah murid-murid didik Milo Hoatsu yang paling dibanggakan. Hwesio yang bersenjata gada penakluk iblis terbuat dari emas itu bergelar Toa-kiat, Hwesio yang bersenjata tongkat bergelar Toa-siu, kepandaian mereka kira-kira setanding dengan Poyang Gun-ngo, orang nomor satu yang menduduki jago kosen di seluruh Watsu. Sementara pelajar yang bersenjata kipas itu adalah putra seorang pembesar tinggi di Watsu, namanya Tiangsun Co, hobinya mempelajari sastra dan bahasa Han, maka sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari dia berpakaian seperti orang Han.

Dulu sering orang ini mengembara di Tionggoan, kecuali pernah mendapat petunjuk dari Milo Hoatsu, dia pernah mendapat pelajaran silat dari seorang Han yang tak dikenal pula, maka ilmu silatnya jauh melampaui para saudara seperguruan, Poyang Gun-ngopun bukan tandingannya.

Melihat Duta Watsu lari ke kamarnya, Loh Im-hu menjadi gugup, mendadak dia menghardik, bersama kampaknya dia menubruk seperti harimau menerkam mangsanya, kampak menindih gada mendadak sebelah kakinya melayang sehingga Toa-kiat kena ditendangnya jungkir balik, luka akibat tendangan sih sebetulnya tidak berat, tapi karena gadanya sendiri amat berat, dia tidak rela melepas senjatanya pula, karuan dia tertindih senjata sendiri, bila dia merangkak bangun sementara Loh lm-hu sudah menerjang masuk ke kamar tidur Duta Watsu.

Toa-siu dan Toa-kiat masuk perguruan bersama dan mencukur gundul kepalanya pada saat yang sama pula, hubungan kedua orang ini paling akrab di antara sesama seperguruan yang lain. Melihat Toa-kiat ditendang roboh oleh Loh Im-hu, karuan Toa-siu amat kaget. Jago yang sedang bertanding mana boleh terpencar perhatiannya? Begitu melihat lobang kelemahan, Lim Ih-su tidak sia-siakan kesempatan ini, joran terayun dengan gaya 'membawa' dia kerahkan ilmu Si-nio-poat-jian-kun, dimana jorannya menutul ujung tongkat lawan, terdengar suara menderu kencang, ternyata karena dilengket dan di'bawa' itulah tongkat panjang sebesar mulut mangkok itu mencelat terbang dan terlepas dari cekalannya. "Biang" lalu terdengar jeritan ramai menyayat hati, tongkat besi seberat empat puluh delapan kati itu ternyata menerjang putus lankan loteng, beberapa busu yang berdiri di sekitarnya keterjang sungsang sumbel berjatuhan ke bawah.

Cepat sekali setelah memukul mundur Toa-siu, Lim Ih-su sudah membalik badan untuk menghadapi Tiangsun Co yang berkepandaian paling tinggi, jala di tangan kiri tiba-tiba berkembang terus menungkrup ke arah Tiangsun Co, tadi Tiangsun Co pernah saksikan keliehayan permainan jala orang, apalagi dalam keadaan kepepet seorang diri pula, mana berani dia menyambut serangan ini. Kepandaiannya ternyata memang patut dipuji, gerak geriknya selicin ikan berenang dalam air, kipas mengebas, di saat-saat yang paling genting tiba-tiba dia sudah lolos keluar, malah masih sempat pula dia menyampuk pergi joran Lim Ih-su yang menerjang hiat-to besar di punggungnya.

Di saat Loh Im-hu memburu masuk kedalam kamar, dilihatnya Duta Watsu sedang menyelinap kedalam sebuah pintu rahasia. Ternyata dalam kamar tidur ini terdapat kamar rahasia, bila tombol ditekan pintu kamar rahasia akan terbuka.

"Jangan lari," bentak Loh Im-hu seraya menubruk kesana, terdengar suara gemeratak sementara Duta Watsu sudah berada didalam kamar rahasia, selapis papan besi tiba-tiba sudah melorot turun.

Waktu sudah amat mendesak, Loh Im-hu sudah tidak hiraukan lagi apakah dalam kamar masih ada busu lain yang siap membokong dirinya, mendadak dia menubruk ke depan sambil menjatuhkan diri dengan gerakan Burung Terbang Terjun ke Hutan, tubuhnya meluncur di lantai terus membresot kedalam kamar.

Sayang waktunya sudah agak terlambat, baru setengah tubuhnya menyelonong masuk, lapisan besi itu sudah menindih turun jaraknya tinggal lima dim dari batok kepalanya, Loh Im-hu sudah pertaruhkan nyawanya, dengan menggerung keras, tiba-tiba dia membalik tubuh kampak mendadak dia sudah angkat untuk menyanggah, pelan-pelan papan besi itu ternyata dapat diangkatnya naik sedikit-sedikit. Tapi pada saat itu pula mendadak dia merasa paha kanannya kesakitan, ternyata seorang busu menusuk pahanya dengan tombak. Loh Im-hu menggerung gusar, teriaknya: "Toako, lekas," sambil menahan sakit, papan besi tetap ditahannya sekuat tenaga.

Untung sebelum habis dia berteriak, sang toako, tertua dari Pat-sian Lim Ih-su telah memburu datang. Busu tadi sedang angkat tombaknya hendak menusuk lambung Loh Im hu, tapi tahu-tahu tubuhnya menjadi enteng dan terbang ke atas menumbuk langit-langit, ternyata Lim Ih-su telah menjaringnya terus dilempar ke atas, dimana jorannya bekerja pula seorang busu telah dipancingnya serta dibuang keluar saling tumbuk dengan busu ketiga yang menerjang masuk.

Lekas Lim Ih-su membungkuk tubuh, mumpung papan besi belum menindih semakin ke bawah, dia julurkan jorannya kedalam. Tapi pada saat itulah Toa-kiat dan Toa-siu sudah memburu masuk ke kamar pula bersama Tiangsun Co.

Toa-kiat memburu masuk lebih dulu, begitu melihat Wi-cui-hi-kiau sama tengkurap dan rebah di lantai, sementara kampak Loh Im-hu sedang menahan papan besi, sedang joran Lim Ih-su menjulur ke kamar rahasia, jelas senjata mereka takkan kuasa buat melawan lagi. Saking senang Toa-kiat angkat gadanya seraya membentak: "Bagus, biar tuan besarmu antar kalian pulang ke dunia barat," tapi di kala gada sudah terangkat tinggi di atas kepala itulah, mendadak didengarnya jerit kesakitan sang Ongya.

Maklum sang Ongya atau Duta Watsu ini biasanya hidup berfoya-foya, kapan pernah menyaksikan pertempuran sengit yang menyeramkan ini, meski sudah sembunyi kedalam kamar rahasia, namun saking ketakutan kedua lutut menjadi lemas dan dia meloso di lantai. Waktu Lim Ih-su menjulurkan joran kedalam, kebetulan dapat menggantol tumit kakinya, karena tumit kaki kepancing, karuan dia menjerit-jerit dan terseret keluar.

Loh Im-hu segera menghardik: "Bila kampak kulepaskan, Ongya kalian akan gepeng bersamaku. Memangnya kita tidak pikirkan keselamatan lagi kalau berani hayo maju."

Demi mempertahankan jiwa sang Ongya, sudah tentu Toa-kiat tidak berani turunkan gadanya. Sementara itu Lim Ih-su sudah menyeret sang Ongya keluar serta menjaringnya didalam jalanya. Pelan-pelan Loh Im-hu menggeser tubuhnya keluar, setelah mengambil ancang-ancang segera dia lepas tangan sambil menggelinding ke samping. "Blum" dengan suara berdentam menggetar seluruh loteng papan besi itu anjlok menyentuh lantai. Dengan kampak sebagai penyanggah tubuh pelan Loh Im-hu merangkak berdiri, mukanya pucat pias. Baru sekarang Lim Ih-su sempat perhatikan wajah adiknya, tanyanya dengan gemetar: "Jite, kenapa kau?"

Loh Im-hu unjuk senyum getir, sekuat tenaganya dia telan darah yang hampir menyembur keluar, pada hal isi dadanya sakit sekali seperti diremas-remas, tahulah dia bahwa luka dalamnya teramat parah, lebih parah dari luka tusukan tombak di pahanya. Tapi kuatir membikin sang Toako kuatir, sekuatnya dia menahan diri, katanya: "Terluka sedikit, yakin takkan mati di tempat ini. Syukur usaha kita berhasil membekuk Ongya Watsu. Toako, lekas kau gusur tawanan ini dan bergabung dengan para saudara, jangan kau hiraukan diriku."

Lekas Lim Ih-su jejalkan sebutir Siau-hoan-tan pemberian

Hongtiang Siau-lim ke mulut adiknya, setelah mendengus gusar dia berkata: "Bila kau mengalami sesuatu, biar tawananku ini sebagai penebus jiwamu."

Tiangsun Co dan lain-lain hanya memandang gelo melihat Lim Ih-su memasukkan sang junjungan kedalam jaring terus dikempit di ketiak melangkah lebar turun dari loteng. Loh Im-su yang pucat dengan kampak sebagai tongkat mengikuti di belakang langkahnya sempoyongan, seakan-akan sembarang waktu dia bisa tersungkur jatuh. Tapi mereka tiada yang berani bertindak secara gegabah, malah dalam hati mereka berdoa supaya sang junjungan diselamatkan dan dilindungi.

Kalau pertempuran di atas loteng telah usai, sementara Tan Ciok-sing dan In San yang mengembangkan ilmu gabungan pedang masih cukup tangguh menghadapi sepasang roda Milo Hoatsu. Tapi murid Kaypang yang dikeroyok menjadi kepayahan, tidak sedikit yang telah gugur di medan laga.

Sambil menjinjing sang Ongya didalam jaring Lim Ih-su beranjak keluar rumah, serunya lantang:. "Kalian masih ingin jiwa Ongya kalian tidak?"

Sudah tentu bukan kepalang kaget kawanan busu dari Watsu, sebelum diberi aba-aba oleh sang Ongya serta merta mereka sudah menyurut mundur menghentikan pertempuran.

Tak nyana sang Ongya mendadak membentak: "Jangan berhenti, kepung lebih ketat."

Lim Ih-su gusar, dampratnya: "Memangnya kau tidak ingin hidup?"

Ongya Watsu tertawa dingin: "Betul, cukup angkat sebelah tanganmu kau dapat membunuhku, tapi setelah kau bunuh aku, orang-orang kalianpun takkan selamat. Maka kulihat lebih baik kita mengadakan pertukaran secara adil. Pertama, jangan kau menghina aku."

Lim Ih-su membuka jaringnya, sebelah tangan menekan punggung, katanya: "Baik, kami akan bertindak menurut aturan lebih dulu."

Maka sang Ongya memerintahkan supaya anak buahnya menghentikan

pertempuran.

"Katakan," bentak Loh Im-hu, "pertukaran adil cara bagaimana?"

"Dengan jiwaku seorang untuk menukar jiwa kalian sebanyak ini, apa tidak adil?"

"Bagaimana caranya menukar?"

"Kan gampang, setelah kalian melepasku, akan kupersilahkan kalian pergi."

"Memangnya ada urusan semudah itu?"

"Lalu bagaimana pendapatmu?"

"Bila kau serahkan surat perjanjian damai yang kau tanda tangani bersama Liong Bun-kong, serta antar kami keluar kota, kau akan kami bebaskan."

"Pintar juga kau tawar menawar, selain menebus orang mau minta barangnya pula, padahal kalian tidak mengeluarkan apa-apa, apa boleh tukar menukar begini dianggap adil?"

Lim Ih-su mendengus: "Ya, tapi kau masih berada di tanganku."

"Kawan-kawan kalian juga masih terkepung disini, sebelum aku mengangguk, memangnya kalian mampu lari dari sini."

"Toako," seru Loh Im-hu gusar, "ini tidak mau itu tidak boleh, buat apa harus saling tukar segala, serahkan saja padaku biar kujagal dia disini, semoga arwah Samte tentram di alam baka. Kan belum tentu kita tidak mampu meloloskan diri."

Ongya Watsu mengeraskan kepala, katanya: "Baiklah, kalian lebih senang mempertaruhkan jiwa sebanyak orang ini, kenapa aku sendiri harus takut mati? Kalau berani boleh kau membunuhku," pada hal mulutnya main gertak, hatinya takut setengah mati.

Lim Ih-su berpikir diam-diam, "Menuntut balas memang penting, tapi membongkar intrik Liong Bun-kong yang menjual negara dan bangsa lebih penting lagi, paling tidak kita harus peras Duta Watsu ini untuk menyerahkan surat perjanjian damai itu, untuk apa aku mencabut nyawa orang ini?" namun dia sendiri tidak mau mengalah, jadi keadaan menjadi tegang.

Di kala keadaan membeku itulah, tiba-tiba tampak seorang pemuda berusia enam belasan berlari seperti memburu setan, dari kejauhan sudah berteriak: "Tan-toako, apakah omonganmu tadi masih boleh dipercaya?" pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya Watsu.

"Surat perjanjian itu, apakah sudah kau bawa kemari?' tanya Tan Ciok-sing.

"Betul, harap kalian lekas bebaskan ayahku."

"Tadi aku hanya bilang untuk memohonkan keringanan saja, apakah diterima, boleh kau sendiri tanya kepada Lim Tayhiap ini," sahut Tan Ciok-sing.

"Baiklah, tolong kau mohonkan keringanannya," ujar Siau-ongya.

"O, jadi sebelum ini kau sudah bicara tentang tukar menukar dengan Siau-ongya ini?" tanya Lim Ih-su.

"Mohon maaf bila Wanpwe ambil keputusan sendiri, memang aku pernah janji kepada Siau-ongya, bila dia mau menyerahkan surat perjanjian damai, aku akan mohon keringanan kepada kalian, supaya kalian tidak menyakiti dan mempersulit ayahnya. Waktu itu aku juga belum tahu bahwa kita akan berhasil membekuk ayahnya."

"Betul, inilah surat yang kami inginkan," seru Thong Jian-hong, "tapi setelah ada surat ini, kita tetap membutuhkan sandera."

Siau-ongya berkata: "Asal kalian mau membebaskan ayahku, aku suka menjadi sandera."

Ongya Watsu membentak: "Anakku, mana boleh kau berbuat sebodoh ini?"

Lim Ih-su masih berpikir sekian lamanya tanyanya: "Tan-siauhiap, kau bersahabat dengan Siau-ongya ini bukan?"

Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya: "Betul, aku pernah berjanji kepadanya, bila dia mau menyerahkan surat perdamaian itu, aku tetap akan menganggapnya sebagai kawan."

"Tan-siauhiap, hari ini sungguh besar artinya bantuanmu, kalau tidak kau bantu aku, sekarang mungkin aku takkan berhasil membekuk Ongya. Seorang laki-laki harus dapat dipercaya, akupun takkan membikin kau kehilangan kepercayaan di depan musuh. Kalau Siau-ongya adalah temanmu, akupun takkan bisa

menggunakannya sebagai sandera. Baiklah, aku terima caramu untuk menukar surat perdamaian itu."

Senang Siau-ongya bukan main, langsung dia mendekati ayahnya, katanya: "Ayah, aku sudah berjanji kepadanya, mereka melepas kau, maka jangan kau mempersulit mereka."

Ongya Watsu berkata: "Baik, asal mereka tidak meringkus kau, akupun boleh menyerahkan surat perdamaian itu kepada mereka."

Baru saja Siau-ongya mau menyerahkan surat perdamaian, mendadak Ongya membentak: "Tunggu dulu. Setelah mereka membebaskan aku, baru kau serahkan surat itu."

Siau-ongya berkata: "Kalian pasti percaya kepadaku. Yang jelas aku toh takkan bisa lari."

Bahwa tukar menukar sudah disetujui, soal tetek bengek sudah tidak terpikir pula oleh Lim Ih-su, katanya: "Baik, aku percaya kepadamu," lalu dia bebaskan Duta Watsu. Tan Ciok-sing dan Thong Jian-hong berdiri mengapit Siau-ongya. Di bawah pengawalan Tiangsun Co, Duta Watsu beranjak masuk ke rumah setengah berlari, sebelumnya dia perintahkan anak buahnya mundur dan tidak boleh mengepung, langsung dia naik ke loteng, dari loteng baru dia berkata: "Baik, anakku, sekarang boleh kau serahkan surat damai itu."

Siau-ongya serahkan surat perdamaian itu kepada Lim Ih-su, katanya: "Inilah konsep perdamaian itu dari tulisan tangan Liong Bun-kong sendiri, silahkan baca dan periksa."

Dulu Liong Bun-kong adalah pembesar sipil yang suka mengagulkan gaya tulisannya yang bagus, tidak sedikit kenalannya dari kaum pedagang yang minta tulisannya sebagai nama toko atau perusahaan. Lim Ih-su kenal baik tulisannya, setelah membaca surat perdamaian itu dengan kertak gigi dia berkata: "Terhitung surat perdamaian apa, lebih tepat kalau disebut surat permohonan menyerah. Tulisan Liong Bun-kong tidak salah. "Baiklah Siau-ongya, terima kasih akan kesediaanmu mengorbankan dirimu, boleh kau kembali saja?"

Tak kira baru saja Siau-ongya mendekati para busu Watsu, tiba-tiba Duta Watsu yang berada di atas loteng berteriak keras: "Jangan biarkan mereka membalik surat perdamaian itu, kepung mereka dan ringkus semuanya."

Saking kaget pucat muka Siau-ongya, serunya: "Ayah, mereka bicara dapat dipercaya, jangan kita mengingkari janji."

"Binatang," hardik Duta Watsu, "kau tahu apa? Aku tidak menghajarmu sudah terhitung untung, masih berani kau mengoceh tidak karuan."

Sebesar itu kapan Siau-ongya pernah dimaki sekasar itu di hadapan umum, apalagi lebih menyakitkan hati lagi dirinya dimaki "binatang", sungguh, sedih dan malu serta marah pula, teriaknya: "Ayah, kau sudi mengingkari janji tapi aku akan tetap berpegang pada pendirianku. Baiklah, aku yang jadi sandera mereka," tapi dirinya sudah berada dalam rombongan para busu mana dapat dia berbuat sesuka hati lagi. Baru saja dia hendak putar balik, Milo Hoatsu sudah memburu tiba serta menutuk hiat-tonya, katanya:

"Toa-kiat, Toa-siu, antarkan Siau-ongya ke atas loteng. Lekas turun pula."

Maka pertempuran seru terulang kembali. Sudah tentu pertarungan kedua ini jauh lebih hebat, lebih keras dan menegangkan, namun situasi justeru lebih tidak menguntungkan bagi pihak kaum pendekar. Maklum si tukang kayu Loh Im-hu sudah terluka parah, berarti mereka kehilangan bantuan yang berharga. Sebaliknya pihak musuh ketambah Tiangsun Co yang berkepandaian tinggi, dibantu pula dengan Toa-kiat dan Toa-siu, setelah membawa Siau-ongya ke atas loteng, lekas sekali mereka sudah lari turun dan terjun ke arena.

Mengetruk sepasang rodanya Milo Hoatsu tertawa temberang, katanya: "Wi-cui-hi-kiau tadi pertempuran kita belum ada kesudahan, kalau berani hayo lawan aku lagi sampai ditetapkan siapajantan atau betina," justeru dia tahu bahwa Loh Im-hu sudah terluka, maka tanpa tedeng aling-aling dia menantang mereka.

Karuan Loh lm-hu naik pitam, serunya: "Jadi, hayo maju memangnya aku gentar padamu," dengan langkah sempoyongan dia memutar sepasang kampaknya menyambut tantangan musuh. Begitu berkelit dari samberan joran Lim Ih-su, Milo Hoatsu mendorong sepasang rodanya ke arah Loh Im¬ hu, "Trang" secara telak dia membentur sepasang kampak Loh Im-hu. "Huuah" kontan Loh Im-hu memuntahkan darah segar sebanyak-banyaknya, namun sambil kertak gigi, setapakpun dia tidak mau mundur.

Lim Ih-su membentak: "Melawan orang yang sudah terluka, memangnya kau terhitung orang gagah macam apa? Jite, dengarkan nasehatku, jangan kau ketipu oleh olok-oloknya, kau mundur biar aku hadapi dia."

"Bagus," jengek Milo Hoatsu tergelak-gelak, "kalau kau ini Enghiong dan pahlawan gagah, mari layani aku satu lawan satu."

Tan dan In lekas memburu maju, sepasang pedang kembali menggempur sepasang roda, maka terdengarlah rentetan dering yang berkepanjangan seperti bunyi harpa yang dipetik senarnya, dalam sekejap itu senjata mereka beradu puluhan kali. Diam-diam Milo Hoatsu mencelos: "Ilmu pedang kedua bocah ini koh liehay benar?" yang benar bukan ilmu pedang Tan dan In lebih liehay dari dulu, tapi lantaran Milo Hoatsu sudah berhantam melawan Lim Ih-su sekian lamanya, tenaganya jelas sudah banyak terkuras, sebaliknya kekuatan Tan Ciok-sing dan In San masih lebih segar, maklum kalau mereka dapat menindas lawan dan mendesaknya di bawah angin.

Tampak oleh Tan Ciok-sing, Loh Im-hu betul-betul sudah teramat parah luka dalamnya, demikian pula wajah Lim lh-su sudah pucat dengan napas menderu pula, kekuatan mereka boleh dikata sudah hampir terkuras habis. Bila kedua orang ini mengalami kecelakaan, maka akibatnya susah dibayangkan. Diam-diam dia berpikir: "lantaran aku tidak mau membekuk Siau-ongya sebagai sandera sehingga urusan berkepanjangan seperti sekarang." Tapi menyesal juga sudah terlambat, yang penting harus diusahakan membawa surat perdamaian itu keluar dari sini. Maka dia berkata: "Semua gara-gara kesalahanku sehingga orang banyak mengalami kesulitan ini. Lim Tayhiap, tugas penting harus segera kau bereskan. Silahkan kau berangkat lebih dulu. Meski harus mengorbankan jiwa juga aku harus lindungi kau dan Loh Tayhiap keluar dari sini."

Dia yakin kepandaian Lim Ih-so amat tinggi, bila Milo Hoatsu tidak merintanginya, begitu dia lari ke gedung keluarga Liong di sebelah sana, pasti dapat dilakukannya. Tapi Lim lh-su tahu maksud hatinya, kataya: "Ongya keparat itu ingkar janji, sebetulnya sudah dalam dugaanku. Tapi biar musuh ingkar janji tapi kita harus berpegang pada kesetiaan dan kebenaran, tidak usah kau merasa sedih, aku tidak menyalahkan kau. Maksud baikmu kuterima setulus hati, tapi aku tidak akan lari."

Tiangsun Co berkata: "Memangnya kau mampu lari, hayo lawan aku sampai ada ketentuan siapa menang dan

kalah."-waktu bergebrak di

atas loteng tadi, dia kena sedikit dirugikan oleh Lim Ih-su, kini melihat Lim Ih-su sudah dalam keadaan payah dia ingin memungut keuntungan, pikirnya: "Kalau tidak sekarang aku menuntut balas tunggu kapan lagi," maka kipas dikerjakan begitu bergebrak dia lantas melancarkan serangan mematikan.

Sekali menggentak "Wut" joran panjang Lim Ih-su mendadak mengencang lurus, tiba-tiba dia tusukkan ujung jorannya seperti tombak, bentaknya: "Hayo maju, memangnya aku takut melawanmu? Kalian ada beberapa orang boleh maju semuanya," sebatang joran dari bambu hijau, tapi di tangannya ternyata jauh lebih liehay dari pentung atau tombak, karena jorannya itu dapat memantul lemas tapi juga mengeras sekuat baja, di kala menusuk mengeluarkan deru kencang. Mau tidak mau Tiangsun Co kaget dibuatnya: "Memang tidak malu keparat ini sebagai pimpinan Pat-sian, setelah mengalami pertempuran sengit selama ini, Iwekangnya ternyata masih setangguh ini."

Ma Toa-ha merasa malu karena In San berhasil menerjang masuk dari kedudukannya, melihat Tan dan In melabrak Milo Hoatsu sedemikian serunya, dia tidak berani mengusiknya, terpaksa dia putar haluan membantu orang lain, bentaknya: "Dua lawan dua baru terhitung adil. Tiangsun Pwecu, mari kubantu kau menghadapi Wi-cui-hi-kiau."

Padahal Loh Im-hu sudah terluka parah, bukan saja dia tidak mampu membantu Lim Ih-su, malah saudara tuanya ini yang selalu harus memecah perhatian melindunginya. Untung tadi sempat Lim Ih-su salurkan hawa murninya ke tubuh sang adik, tenaganya pulih sedikit, kalau tidak jelas dia tidak akan mungkin menjinjing kedua kampak besarnya yang berat.

Milo Hoatsu sempat melirik ke sekitar gelanggang melihat pihak sendiri dalam posisi unggul, hanya di sebelah sana Kek Lam-wi dan Toh So-so bersama belasan pengemis melabrak anak buahnya dengan sengit, meski, terkepung tapi semangat juang para pengemis yang sudah terluka itu tetap tinggi, bila seorang sudah kalap, puluhan orangpun takkan kuasj melawannya, demikianlah keadaan para pengemis itu, mereka sudah nekat seperti banteng ketaton, meski busu Watsu masih kuat dan ganas tak urung pecah juga nyali mereka, terpaksa mereka hanya mengepung diluar lingkaran dengan barisan tembok manusia yang ketat.

Milo Hoatsu mengerutkan kening, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku sapu habis kawanan pengemis yang jorok ini."

Belum habis dia bicara, mendadak seorang bersuara serak tua balas membentak: "Anjing kurap mana yang menggonggong merebut najis? Hmm, huh, nah disini masih ada seorang pengemis tua yang dapat membikin kalian pusing tujuh keliling," lenyap suaranya, orangnyapun tiba, tampak seorang pengemis tua menggendong buli-buli besar warna merah muncul mendahului yang lain.

Di belakang pengemis tua muncul pula serombongan pengemis lain. Ternyata pengemis tua bukan lain adalah Kaypang Pangcu Liok Kun-lun. Dia pimpin rombongan ketiga murid-murid Kaypang datang membantu. Sebagian kecil ditinggalkan di taman luar membantu Ti Nio, Han Cin, Coh Ceng-hun dan lain-lain masih melabrak wisu keluarga Liong, yang meluruk kesini kira-kira ada dua puluhan pengemis.

Dua puluhan orang ini jelas masih belum mencukupi untuk melawan jumlah busu Watsu yang hampir seratus orang namun barisan tempur yang masih segar dan bertenaga baru ini ternyata dapat juga merubah situasi. Apalagi malam gelap, busu Watsu juga tidak tahu berapa jumlah musuh yang menyerbu datang pula, sedikit banyak mereka jadi kacau dan dilabrak pontang panting.

Sambil memicingkan mata mengawasi Milo Hoatsu, Liok Kun-lun berkata: "Agaknya kau inilah Koksu dari Watsu yang mengagulkan diri nomor satu di jagat ini. Hmm, berani kau bilang mau membantai para pengemis, biarlah pengemis tua ini menyerahkan jiwa raganya lebih dulu, coba buktikan apa kau punya kemampuan untuk membunuhku."

Milo Hoatsu angkat sepasang rodanya terus didorong ke depan, sayup-sayup terdengar suara gemuruh seperti ada hujan bayu yang mengamuk, betapa hebat dorongan ini dapatlah dibayangkan. Ternyata Liok Kun-lun tidak pakai senjata, dengan sepasang tangannya dia lawan senjata musuh.

Di tengah bayangan telapak tangan menyamber dan roda menggelinding, tampak Liok Kun-lun terhuyung sedang Milo Hoatsu tergentak selangkah, Ji-gwat-siang¬ lun yang tajam itu ternyata terpental pergi oleh pukulan jarak jauh Liok Kun-lun.

Liok Kun-lun membentak: "Diberi tidak membalas tidak hormat. Lihat pukulanku." Milo Hoatsu juga tidak lemah, dalam sekejap itu langkahnya berkisar pindah langkah mengubah posisi dia hindari serangan telak dari depan, sementara sepasang rodanya terpencar ke kiri dan kanan menyerang kedua ketiak Liok Kun-lun. Maksudnya supaya lawan tidak sempat melancarkan Bik-khong-ciang lagi.

Tak tahunya Liok Kun-lun seperti sudah menduga akan tindakannya ini, merebut maju selangkah, tangannya terbalik mencengkeram tulang pundaknya. Jurus ini memaksa lawan untuk menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, terpaksa Milo Hoatsu tarik kedua rodanya menjaga diri, sudah tentu Liok Kun-lun pun sempat menghindar dari serangan roda rembulan lawan.

Milo Hoatsu biasanya terlalu agulkan diri tiada tandingan, sungguh tak pernah dibayangkan bahwa sepasang rodanya hari ini tidak mampu melawan sepasang tangan kosong Liok Kun-lun, karuan hatinya mencelos: "Pengemis tua ini memang tidak malu sebagai Pangcu Kaypang. Pang terbesar di seluruh kolong langit, lwekangnya jelas lebih tinggi dari Wi-cui-hi-kiau. Kenapa aku justru semakin payah begini?"

Bahwasanya Kungfu kedua orang ini sebetulnya mempunyai keliehayan dan kelebihannya masing-masing, latihan lwekang mereka juga kira-kira setanding. Kalau dalam keadaan biasa, bila Milo Hoatsu bersenjata kedua rodanya dan Liok Kun-lun melawan dengan tangan kosong, mestinya dia lebih unggul seurat. Tapi tadi beruntun dia sudah bertempur dengan Wi-cui-hi-kiau dan melawan gabungan ilmu pedang Tan dan In, tenaganya sudah terkuras banyak, adalah logis kalau dia berada di bawah angin melawan jago tua dari Kaypang ini.

Walau Liok Kun-lun berada di atas angin tapi situasi keseluruhannya tetap tidak menguntungkan bagi pihak mereka. Sembilan di antara sepuluh murid Kaypang sudah terluka, Lim Ih-su yang berkepandaian paling tinggi juga sudah kempas kempis kehabisan tenaga. Meski dua puluhan murid Kaypang datang membantu, tapi mereka menjadi sibuk sendiri, bukan saja harus melabrak musuh, mereka juga sibuk menolong teman yang terluka, paling situasi sementara masih kuat dipertahankan tidak sampai kalah total.

Dalam hati Liok Kun-lun juga membatin: "Padri asing ini mengagulkan diri tiada tandingan di kolong langit, tiada tandingan hanyalah bualan belaka, tapi kepandaian silatnya memang tidak lebih asor dari aku, untuk mengalahkan dia sedikitnya aku harus melabraknya tiga ratusan jurus. Bagaimana baiknya?" tiba-tiba timbul akalnya, mendadak sengaja dia menggertak dengan serangan pura-pura, sementara langkahnya menerobos beberapa tindak. Memangnya Milo Hoatsu sudah merasa kepayahan menghadapi rangsakan lawan, melihat lawan mundur tanpa sebab, dia tidak tahu muslihat apa yang dilakukan lawan, kuatir tertipu dia tidak berani mengejar. Tapi kedua roda dipegang kencang sambil menatapnya lekat-lekat menunggu reaksinya lebih lanjut.

Liok Kun-lun menanggalkan buli-buli besar di punggungnya, katanya: "Tunggu sebentar biar pengemis tua habiskan arakku, nanti kita lanjutkan lagi," lalu dia buka tutup buli-buli serta membuka mulut menuang arak kedalam perutnya hanya sekejap arak sebuli-buli telah ditenggaknya habis.

Milo Hoatsu sudah angkat sepasang rodanya siap menyambut tabrakannya. "Nanti dulu," tiba-tiba Liok Kun-lun berseru.

"Kenapa kau tidak berani melanjutkan?"

"Bertempur sekian lamanya, kau belum lagi minum, apa kau tidak dahaga?"

Milo Hoatsu melengak, bentaknya: "Tiada tempo aku mendengar ocehanmu, kalau mau berkelahi hayo maju."

Liok Kun-lun tertawa katanya: "Diberi makan anjing malah menggigit, tidak tahu kebaikan manusia. Ketahuilah, pengemis tua ingin menyuguh arak kepadamu."

Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Siapa sudi minum arakmu," dia sudah siap turun tangan, tapi melihat sikap Liok Kun-lun acuh tak acuh, dia jadi merandek tak berani turun tangan lebih dulu.

Liok Kun-lun nyekakak, katanya: "Mau atau tidak kau harus meminumnya. Arak suguhan tidak mau biar kuberi arak hukuman," akhir katanya mendadak dia pentang mulut menyemburkan sekumur arak. Kontan Milo Hoatsu rasakan kabut gelap seperti menutupi pandangan mata, kuatir terbokong musuh lekas dia pejam mata seraya memutar sepasang rodanya.

Hujan arak sama mengenai tubuhnya, meski tidak mampu melukainya, namun tubuhnya merasa pedas kesakitan juga. Kuatir matanya tersemprot buta, lekas dia putar badan membelakangi lawan serta mundur tujuh langkah lebih jauh.

Liok Kun-lun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Arak suguhan tidak mau kau lebih suka arak hukuman, bagaimana rasanya? Hehehe hahaha, kenyataan kau tidak berani melawanku lagi, biar pengemis tua pergi saja."

Waktu Milo Hoatsu membuka mata menunduk, tampak kasa merah yang dipakainya sudah berlobang kecil seperti sarang tawon. Untung lwekangnya tangguh, bila orang lain terkena semburan arak tadi tentu tubuhnya bolong-bolong, kalau tidak mati juga pasti luka parah. Melihat Kasanya bolong-bolong, Milo Hoatsu merasa kaget dan jeri pula.

Sementara itu Tan Ciok-sing berdua telah menggempur mundur Toa-kiat dan Toa-siu dengan gabungan ilmu pedang mereka, Liok Kun-lun menerjang kedalam barisan kawanan busu serta melabraknya kocar kacir, tidak sedikit kawanan busu yang dilukainya, Poyang Gun-ngo sebagai kepala jago-jago kosen dari kawanan busu Watsu pun hanya mampu melawan tiga jurus, mau tidak mau dia dipukul mundur memberi jalan

Setelah tenang hatinya Milo Hoatsu menghardik gusar: "Pengemis tua, pakai muslihat kau berusaha meloloskan diri, kalau berani kemarilah melawanku lagi." Liok Kun-lun tertawa serunya:

"Siapa menang dan kalah sudah ditentukan, buat apa aku menghadapimu? Kalau berani kemarilah kau kejar aku."

Milo Hoatsu menerawang kekuatan sendiri dibanding lawannya, dia yakin kekuatan pihak sendiri masih lebih unggul, maka dia mengulap tangan memberi tanda serta memberi perintah untuk mengejar.

Meski tiada busu yang berani membangkang, namun semangat tempur mereka sudah luluh mana berani merintangi musuh? Tujuh di antara sepuluh orang hanya berkaok, serta berlari maju tanpa ada maksud menggasak musuh lagi, mereka hanya mengejar dari kejauhan, jadi seperti mengantar lawan pergi malah. Lekas sekali murid-murid Kaypang itu sudah lari ke ujung pekarangan, mereka terpencar dalam beberapa rombongan kecil menyelinap di antara semak pohon atau rumpun kembang.

Dengan memejam mata In San juga bisa berlalu lalang didalam pekarangan ini tanpa kesasar, dia" tuntun tangan Tan Ciok-sing putar kayun menghindar orang banyak, belok kiri putar kanan, sebentar saja mereka sudah kembali ke Bu-ling-goan.

Sekitar Bu-ling-goan ternyata sepi-sepi saja tiada bayangan wisu seorangpun. Ternyata seluruh wisu keluarga Liong dikerahkan untuk menghadapi musuh yang menyerbu datang. Bu-ling-goan terletak di suatu pojokan, disini tiada jejak musuh maka tiada wisu yang ditugaskan menjaga disini.

Setelah melewati air terjun di mulut gua, dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang, perlahan Tan Ciok-sing berseru kedalam: "Aku adalah Tan Ciok-sing. Toan-toako, bagaimana keadaanmu dengan Sia-cin Taysu?" kuatir orang didalam salah paham, sebelum masuk dia bersuara lebih dulu. Tak nyana ditunggu sekian saat tidak memperoleh jawaban Toan Kiam-ping. Pada hal didalam gelap gulita entah ada atau tidak penghuninya?

Tan Ciok-sing kaget, katanya lirih kepada In San: "Hati-hatilah, mari kita masuk bersama," keduanya melolos pedang lalu menggeremet maju setapak demi setapak.

Tiba-tiba didengarnya seperti ada dengus pernapasan, waktu Ciok-sing angkat pedangnya ke depan, kemilau cahaya di ujung pedangnya seperti menerangi bayangan dua orang. Keduanya duduk bersila seperti orang bersemedi: "Apakah Toan-toako?" Tanya In San. Tetap tiada reaksi, kedua orang itu sedikitpun tidak bergerak.

Kejut Tan Ciok-sing bukan main: "Mungkin mereka sudah mati bersama," lekas dia keluarkan geretan api, serta maju mendekat, setelah jelas barulah lega hati mereka.

Kedua orang ini memang bukan lain Toan Kiam-ping dan Sia-cin Hwesio, mereka bersimpuh di tanah memejam mata, telapak tangan mereka saling genggam mirip padri tua yang samadi, begitu tenang dan asyiknya sampai kejadian di sekelilingnya seperti tidak diketahui lagi. Uap putih tampak mengepul di atas kepala Toan Kiam-ping, keringat sebesar kacang tampak bertetesan dari jidat Sia-cin Hwesio, dengus napasnyapun berat.

Sebagai ahli silat sekali pandang Tan Ciok-sing lantas tahu bahwa Toan Kiam-ping tengah membantu Sia-cin Hwesio menyalurkan hawa murni dengan bantuan tenaga murninya yang disalurkan ke tubuh orang. Bila darah mengental dalam tubuh sudah mencair, luka Sia-cin Hwesio akan jauh lebih ringan. Kini mengerahkan lwekang mereka sudah mencapai taraf yang tergenting, sudah tentu mereka tidak bisa menjawab seruan Tan Ciok-sing.

Di samping senang "Ciok-sing merasa kaget pula. Senang karena kedua orang ini masih hidup. Kaget karena setelah mengalami pertempuran sengit berulang kali, Toan Kiam-ping masih mampu menolong Sia-cin Hwesio, keadaannya sendiri jelas juga sudah letih dan lemah. Bila hawa murninya sampai terkuras, meki dia berhasil menghidupkan Sia-cin Hwesio dia sendiri pasti akan jatuh sakit berat. Lekas Ciok-sing tekan telapak tangannya di punggung Sia-cin Hwesio, dengan ajaran lwekang yang dipelajarinya dari ciptaan Thio Tan-hong, dia salurkan segulung hawa hangat ke tubuh orang melalui Hong-hu-hiat di punggung. Ajaran lwekang ciptaan Thio Tan-hong memang hebat dan mujarab hanya sekejap tampak Sia-cin Hwesio sudah membuka mata, mukanya yang pucat mulai bersemu merah.

Tan Ciok-sing berkata: "Jiwa Sia-cin Taysu tidak perlu dikuatirkan lagi. Toan-toako, kau boleh istirahat," Toan Kiam-ping tahu akan kemampuannya, maka diapun hentikan usahanya.

Tan Ciok-sing masih melanjutkan bantuannya

mendorong darah melancarkan pernapasan Sia-cin Hwesio. Sesaat lagi Sia Cin Hwesio mengerang: "Sudah, sudah cukup. Tenagaku sudah pulih sedikit. Biar kucoba, mungkin aku sudah bisa berjalan sendiri."

Tan Ciok-sing menekannya, katanya: "Jangan terburu nafsu, nanti sebentar lagi kubantu kau menerjang keluar."

Sia-cin Hwesio bertanya: "Bagaimana keadaan diluar, kau harus terus terang."

Toan Kiam-ping juga tanya: "Kalian melihat Han Cin tidak?"

"Nona Han aku belum melihatnya, tapi aku tahu dia bersama Ti Tayhiap sudah menerjang kepungan lebih dulu, bantuan dari luar juga telah datang, yakin mereka tidak akan mengalami bahaya," lalu Ciok-sing tuturkan keadaan diluar sepintas lalu.

Sia-cin Hwesio menjadi gugup pula, katanya: "Kalau demikian orang kita masih berada dalam kepungan musuh, saatnya memerlukan teraga, lekas kalian keluar bantu mereka."

"Melihat orang gelisah dan tidak tenang, terpaksa Toan Kiam-ping berkata: "Baiklah kugendong kau."

Sia-cin sudah merangkak dan memungut tongkatnya, katanya: "Jangan urus aku, aku bisa jalan sendiri," setelah berdiri dia coba gunakan tongkatnya apa mampu jalan sendiri.

Mendadak Tan Ciok-sing mendesis, katanya lirih: "Diam, ada orang datang, kau sembunyi dulu," tak lama kemudian betul juga ada suara orang melangkah ke arah gua.

Tan dan Toan amat kaget, yang datang sambil bicara adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari pengawal keluarga Liong. Seorang lagi berkata: "Meski sudah mati, aku juga ingin menemukan mayatnya," orang ini adalah Liong Seng-bu.

Agaknya Liong Seng-bu tidak tahu kalau Tan Ciok-sing dan In San sudah lari ke penginapan untuk tamu-tamu Watsu disana, karena tidak menemukan In San, dia lantas menduga mungkin In San terbawa arus deras didalam penjara air.

Bu-ling-goan punya terowongan yang tembus ke penjara air, maka dia minta Lenghou Yong mengikuti dia masuk ke gua untuk memeriksa."

In San genggam pedang pusakanya sembunyi di tempat gelap, matanya menatap ke depan dengan perasaan tegang dan girang pula: "kebetulan keparat ini antar jiwanya!"

In San menahan napas, dilihatnya Liong Seng-bu sudah dekat dari tempat

persembunyiannya tak nyana tiba-tiba Lenghou Yong menariknya.

Liong Seng-bu melengak, tanyanya: "Ada apa?"

"Kongcu," ujar Lenghou Yong tertawa, "dugaanmu memang tidak keliru, ada orang sembunyi disini. Tapi entah dia pujaanmu bukan," lalu dia menyalakan api serta membentak: "Siapa sembunyi didalam, hayo lekas menggelinding keluar."

Ternyata napas Sia-cin Hwesio agak berat setelah terluka parah, Lenghou Yong ada meyakinkan lwekang tingkat tinggi, maka pendengarannya lebih tajam dari Liong Seng-bu, begitu menginjak mulut gua lantas dia tahu ada orang didalam.

Berdiri di samping Sia Cin Hwesio sambil menghunus pedang Toan Kiam-ping membentak: "Lenghou Yong, kau ini terhitung jago kosen yang ternama, mengancam orang yang sudah terluka terhitung orang gagah macam apa, hayo keluar lawan aku seorang diri."

Lenghou Yong melirik, katanya tertawa besar: "O, ternyata Toan-siauongya. Hehe, kau juga terluka. Tapi mengingat keberanianmu ini, akupun takkan melabrakmu, sekarang aku berlaku sopan saja, silakan kau tuntun Hwesio itu ikut aku."

"Kentutmu busuk," maki Sia-cin Hwesio, "Meski bapakmu terluka juga, aku akan adu jiwa dengan kau."

Mengkerut alis Lenghou Yong, katanya: "Kalian tidak mau diperlakukan secara sopan, memangnya suka dijinjing keluar?" biasaaya dia amat pandang gengsi sendiri, betapapun dia tidak mau merendahkan derajat melabrak dua orang yang sudah terluka.

Liong Seng-bu juga sudah tahu kalau Toan Kiam-ping terluka, pikirnya: "Lenghou Yong jual mahal tahan gengsi segala, memangnya aku peduli amat," maka dia berkata: "Kalian sudah jadi tawananku, aku tidak peduli kau terluka atau tidak, kalian tidak mau keluar biarlah aku seret saja."

"Kunyuk busuk, kalau berani mari masuk," maki Sia-cin Hwesio.

Liong Seng-bu gusar, dampratnya: "Keparat umpama kau ini seekor harimau, cakarmu juga sudah protol, memangnya aku takut padamu?"

Baru saja dia melangkah, mendadak Lenghou Yong menghardik: "Awas Kongcu..."

Dalam sekejap itu Tan Ciok-sing dan In San sudah muncul dan menubruk maju dengan sepasang pedang menuding ke arah Liong Seng-bu.

Karuan kaget Liong Seng-bu serasa arwahnya copot dari badan kasarnya, teriaknya, dengan suara kelu: "To... tolong... " sungguh lucu, tujuannya kemari adalah ingin mencari In San kini setelah orang yang dicarinya mendadak muncul disini, dia justeru kaget dan ketakutan sampai tak mampu bersuara.

Tidak malu Lenghou Yong sebagai jago kosen yang berpengalaman, meski menghadapi sergapan mendadak dia tetap tidak gopoh, reaksinya ternyata juga cukup tangkas. Baru saja Liong Seng-bu mengeluarkan perkataan "tolong", mendadak terasa segulung tenaga lunak mendorong ke arahnya, berbareng pandangannya menjadi gelap. Sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah dijinjing Lenghou Yong ke samping.

Lenghou Yong sodorkan obor di tangannya ke arah muka In San, berbareng jarinya menjentik "Creng", ujung pedang orang diselentik pergi. "Sret", cepat sekali pedang Tan Ciok-sing sudah mengincar Jian-kin-hiat. Di tengah kegelapan Lenghou Yong mendengarkan suara membedakan arah, sebat sekali kakinya pindah posisi seraya melontarkan sebuah pukulan, serangannya tetap ditujukan ke arah In San.

Siang-kiam-hap-pik sebetulnya amat besar perbawanya, sayang mereka belum biasa bertempur berdampingan didalam gelap, meski hanya terpaut serambut saja, kekuatan sepasang pedang inipun dikorting banyak sekali, dengan cara suara di timur menggempur di barat, beruntun tiga jurus Lenghou Yong mencecar In San untuk membatasi serangan Tan Ciok-sing terhadap dirinya.

Pertarungan adu jiwa, mau tidak mau dalam hati masing-masing agak gugup juga. Mendadak Lenghou Yong tersentak sadar, di samping masih ada seorang pembantu, maka dia berteriak: "Kongcu, hayo lekas."

Rasa kaget Liong Seng-bu belum lenyap, dasar otaknya encer mendengar seruan Lenghou Yong segera dia tahu maksudnya. Jelas dia tidak bisa ikut menggempur Tan dan In, dia juga tahu dalam waktu lama Lenghou Yong jelas bukan tandingan Tan dan In, apalagi bergebrak di gua yang gelap, sembarang waktu jiwa Lenghou Yong terancam, umpama dia bisa lari keluar minta bantuan, mungkin tidak sempat lagi. Lenghou Yong menyuruhnya lekas, yakin bukan menyuruhnya lari, kalau disuruh lari tentu dia bilang lekas keluar.

"Ya, kenapa aku lupa ada dua orang yang sudah terluka disini," Liong Seng-bu berpikir, "menghadapi dua orang yang telah payah masa aku tidak mampu, hehehe, asal satu telah kuringkus, dapat aku mengancam bocah keparat itu supaya tunduk padaku. Setelah keluar dari gua ini, In San budak busuk itupun akan tergenggam dalam telapak tanganku."

Batu berserakan didalam gua, setelah berkeputusan Liong Seng-bu lantas mendekam serta merunduk maju. Dia tahu Sia-cin sudah terluka parah, maka dia bertujuan membokong Sia-cin lebih dulu.

Tak tahunya meski terluka parah dan Kungfunya sudah hampir lenyap, tapi Sia-cin cukup berpengalaman. Sejak tadi dia sudah siap dan berjaga bila ada orang membokong dirinya, sengaja dia pura-pura tidak tahu setelah Liong Seng-bu merandek ke dekatnya, barulah mendadak dia angkat tongkatnya menggebuk seraya membentak: "Dari mana datangnya anjing buduk hendak menggigit orang."

Mau menbokong malah terbokong Liong Seng-bu sama sekali tidak menduga, karena tidak siaga tongkat orang mengenai tubuhnya dengan telak. Sayang Sia-cin terluka parah, tenaganya lemah, meski gebukan tongkatnya itu sudah kerahkan setaker tenaga, Liong Seng-bu memang kesakitan luar biasa, tapi dia tidak terluka berat. Malah karena dia terlalu bernafsu, begitu tongkatnya terayun dia sendiripun terjerembab.

Begitu meletik bangun Liong Seng-bu berjingkrak gusar, makinya: "Bangsat gundul, kematian di depan mata masih berani mengganas," pedang dihunus terus menusuk.

"Trang" Toan Kiam-ping ulur pedangnya menangkis. Bentaknya: "Berani kau melukai Sia-cin Hwesio kurenggut dulu nyawamu."

Liong Seng-bu tahu dari benturan pedang barusan bahwa tenaga Toan Kiam-ping juga bukan tandingannya, segera dia tertawa jumawa, katanya: "Jiwamu sendiri belum tentu kau bisa selamatkan masih berani bermulut besar?"

"Sret" sebelum dia bicara habis Toan Kiam-ping sudah menusuknya dari arah yang tidak terduga, terdengar suara robek lengan baju Liong Seng-bu kena ditabasnya kutung. Diam-diam Toan Kiam-ping gegetun, sayang tenaganya lemah sehingga tusukan pedangnya ini kurang cepat dan terpaut setengah dim pasti lengan lawan ditabasnya kutung. Kepandaian silat Liong Seng-bu sekarang juga sudah mencapai taraf tertentu, setelah rasa kagetnya hilang, segera dia sadar: "Tenaganya lebih payah dari tadi, jelas keadaaanya seperti dian yang sudah kehabisan minyak. Hm, kenapa aku gentar terhadapnya?"

Setelah mundur Liong Seng-bu mendesak maju, jengeknya: "Diberi tidak membalas tidak hormat, kau kira tuan mudamu takut kepada kau sambut seranganku" "Sret, sret, sret" beruntun tiga kali pedangnya menggempur, gaya pedangya enteng dan lincah, ternyata kemahirannya sudah berbeda dari dulu.

Toan Kiam-ping harus kerahkan seluruh tenaga dan kemahirannya baru berhasil punahkan tiga rangkai serangan pedang, dalam hati dia terheran-heran. "Dari mana ilmu pedang keparat ini mendadak begini liehay?"

Seperti diketahui tiga tahun yang lalu dari tangan Tan Ciok-sing, pernah Liong Seng-bu merebut sejilid kitab ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong, buku ilmu pedang itu sebetulnya dititipkan kepada In Hou oleh Thio Tan-tong supaya diserahkan kepada muridnya Toh Thian-tok di Thian-san. Menjelang ajalnya In Hou serahkan buku itu kepada Tan Ciok-sing, waktu itu Liong Seng-bu merangkul Tan Ciok-sing, suatu kesempatan sebelum Ciok-sing sempat menyampaikan buku itu telah direbutnya. Akhirnya buku itu memang berhasil direbut kembali oleh Ciok-sing, namun Liong Seng-bu sudah sempat mempelajarinya beberapa jurus.

Setelah layani permainan pedang beberapa jurus, terasa oleh Toan Kiam-ping permainan ilmu pedang lawan tingkat tinggi, tapi bolak-balik hanya beberapa jurus itu juga, sayang tenaga sendiri sudah teramat lemah, sehingga tidak mampu dia mematahkan permainan lawan, mau tidak mau dia mengeluh dalam hati. "Keadaanku sekarang tak ubahnya seekor naga yang sudah payah dipermainkan seekor udang di sungai yang dangkal. Harimau kesasar di kampung digonggong anjing," di samping tenaga semakin lemah dia harus perhatikan pula keselamatan Sia-cin Hwesio, karuan pikirannya semakin kacau.

Saking senang Liong Seng-bu membentak: "Menyerah saja." — — "Sret" pedangnya menusuk Hong-hu-hiat di punggung Toan Kiam-ping.

Tak tahunya, ibarat cengcorang hendak menangkap tonggeret, tidak tahu burung gereja berada di belakangnya. Sebelum ujung pedangnya menyentuh kulit punggung Toan Kiam-ping, tahu-tahu terasa punggung sendiri terasa dingin, ternyata pedang In San -sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggung sendiri. Ternyata Tan Ciok-sing menempuh bahaya melancarkan serangan maut menandingi rangsakan Lenghou Yong, sehingga In San sempat mundur untuk membekuk Liong Seng-bu. Setelah meringkus musuh besarnya In San tertawa ejek: "Bangsat kecil sekarang kau tahu keliehayan kita?"

Liong ' Seng-bu bergidik, katanya gemetar: "Adik San, keluargaku menganggapmu sebaik itu, mohon kau mengingat hubungan dahulu..."

Saking murka berdiri alis In San, dampratnya: "Mending kau tidak menyinggung hubungan masa lalu, sekali kau angkat pula urusan lama, kugorok putus lehermu."

"Ya, ya, tidak berani." Liong Seng-bu munduk-munduk, "apa kehendakmu pasti kulakukan."

"Suruhlah Lenghou Yong menggelinding keluar," bentak In San.

Terpaksa Liong Seng-bu menurut perintah, serunya: "Lenghou-siansing, sukalah kau pandang mukaku, keluarlah lebih dulu."

Pada hal Lenghou Yong sudah berada di atas angin, tapi apa boleh buat terpaksa dia menghentikan pertempuran, bentaknya: "Berani kau menganiaya Kongcu, jangan harap kalian bisa keluar dari kebon ini."

"Coba buktikan saja nanti," jengek Tan Ciok-sing, In San serahkan Liong Seng-bu kepada Tan Ciok-sing, lalu dia membalik bantu Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio.

Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak, katanya: "Jangan takut, tak usah kuatir, aku takkan mati disini. Sungguh menyenangkan, keparat ini hendak menawanku sebagai sandera, kini sebaliknya dia jadi sandera kita." Dia tidak mau dipapah, menggunakan tongkatnya dia ikuti In San keluar dari gua.

Tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa Lenghou Yong lari memberi laboran kepada junjungannya.

Setelah berada diluar gua, terdengar suara pertempuran masih berlangsung dengan gaduhnya agaknya pertempuran berjalan semakin sengit.

In San tahu siapa yang paling diperhatikan Toan Kiam-ping, maka dia berkata: "Toan-toako, mari kita cari dulu Han-cici." Tapi dimana-mana ada pertempuran, entah dimana Ti Nio dan Han Cin lagi berhantam?

Di tengah kegaduhan pertempuran yang memenuhi seluruh pelosok taman besar ini, tiba-tiba terdengar bunyi seruling yang merdu menusuk pendengaran, Tan Ciok-sing girang, katanya: "'Kek Lam-wi ada disana, dia sedang mencari Susioknya, nona Han berada bersama Susioknya kemungkinan mereka ada disana juga. Mari kita serbu kesana."

Dugaannya memang tidak meleset, Kek Law-wi memang ingin kontak dengan sang Susiok melalui suara serulingnya. Pada saat itu pula, beberapa jalur kembang api berwarna biru benderang sama menjulang ke angkasa, kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Sekaligus kembang api berpijar di angkasa, pasti ada bantuan dari teman-teman yang baru datang telah tiba," dari kejauhan Tan Ciok-sing belum melihat jelas, tapi Kek Lam-wi sudah melihat Susioknya.

Di bawah penerangan kembang api yang menyala di angkasa itu, Kek Lam-wi melihat Susioknya sedang berhantam melawan Milo Hoatsu. Sementara Han Cin berada tak jauh di samping Ti Nio.

Ternyata Milo Hoatsu pimpin sisa busu yang ada bergabung dengan anak buah Liong Bun-kong, kekuatan mereka dibagi rata untuk membendung musuh yang menyerbu datang, maka terjadilah pertempuran terbuka yang lebih keras dan ramai.

Kalau pihak Pat-sian mendapat bantuan, pihak Liong Bun-kong juga kedatangan bantuan yang lebih kuat.

Menekuk pinggang bergaya seperti petani bercocok tanam di ladang sebat sekali tiba-tiba Ti Nio membresot ke samping, telapak tangannya menabas melintang setajam golok tubuhnya berkelebat dari bawah roda rembulan musuh, tangannya membacok ke lutut Milo Hoatsu. Serangan ini memaksa lawan membebaskan diri dari ancaman bahaya, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda mataharinya yang menyerang keluar. Kepandaiannya sudah mencapai taraf sesuka hati menggunakan senjata, pada hal gempuran roda matahari sekeras itu, tapi secara mentah-mentah dia kuasa menariknya mundur, hal ini sungguh diluar dugaan Ti Nio. "Bret" lengan baju Ti Nio tergores sobek oleh ujung roda yang tajam. Tapi tidak mundur Ti Nio malah mendesak maju, telapak tangannya membelah dada lawan, inilah cara bertempur gugur bersama. Kuatir roda rembulan saja tidak kuasa melawan gempuran musuh, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda matahari untuk melindungi badan.

Dengan merangsak Ti Nio membela diri, yakin Milo Hoatsu tidak berani adu jiwa dan gugur bersama, sehingga orang memunahkan serangan berbahaya ini, dalam hati padahal diapun bersyukur. Walau Milo Hoatsu seurat lebih unggul, mau tidak mau dia merasa kagum juga. "Sungguh tak nyana ada pula seorang yang mampu melawan sepasang rodaku dengan bertangan kosong. Pengemis tua itu adalah Kaypang Pangcu, dia memiliki Kungfu setinggi itu meski berada diluar perhitunganku, namun tidak perlu dibuat heran. Entah siapa laki-laki tua ini? Ai, agaknya tidak sedikit orang pandai di Tionggoan."

Secepat kilat kedua pihak saling berhantam dengan melancarkan serangan maut, namun tiada salah satu yang tersentuh luka. Tapi Ti Nio melawan dengan tangan kosong, bagaimanapun dia di pihak yang dirugikan. Dia tahu dalam tiga puluhaan jurus, dirinya masih kuat menandinginya, tapi selewat tiga puluh jurus sukar diramalkan.

Melihat sang Susiok menghadapi bahaya, lekas Kek Lam-wi memburu tiba, langsung dia timpukkan serulingnya sembari berteriak: "Susiok, serulingku ini tak bisa rusak, gunakanlah."

Ti Nio tahu Loan-giok-siau ini adalah seruling pusaka, dengan seruling berada di tangan, semangat tempurnya membara, dari bertahan lekas dia menyerbu dengan sengit.

Seruling beradu dengan roda menerbitkan rentetan suara nyaring, meski tajam gigi roda lawan, tapi seruling ternyata utuh tidak kurang sedikitpun. Tapi ini lantaran Iwekang Ti Nio setanding dengan lawan, kalau Kek Lam-wi sendiri yang menggunakan, seruling itu pasti tergetar lepas dari cekalannya.

Setelah masing-masing memakai senjata pertempuran setanding dan sama kuat. Ti Nio kembangkan ilmu tutuk tingkat tinggi, seruling digunakan sebagai potlot sekaligus dia menggebu dan puluhan jurus tanpa ganti napas. Tapi setapakpun Milo Hoatsu tak mau mundur, kedua" rodanya berputar dengan kencang dan serasi, membela diri juga balas menyerang, rangsakan Ti Nio dilawannya dengan gagah dan berani.

Menghadapi musuh tangguh yang baru pertama kali ini dihadapi selama hidup, sudah tentu Ti Nio tak sempat hiraukan persoalan lain, dilihatnya busu Watsu datang berbondong, lekas dia berteriak: "Kek-hiantit nona Han kuserahkan kepadamu, lekas kau bawa dia lari, jangan hiraukan aku."

Kek Lam-wi cerdik dan pandai bertindak, ini diketahui oleh Ti Nio, dalam keadaan segenting ini dia titip Han Cin supaya dilindungi, adalah suatu hal yang jamak dan sepantasnya, hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi anehnya nada perkataannya seolah-olah menganggap Han Cin sebagai putri kandungnya sendiri.

Tergerak hati Han Cin, tapi mengingat Ti Nio adalah sahabat baik ayahnya, keadaanpun sedemikian tegang, tiada waktu dia menelaah perkataan Ti Nio. Pada waktu itulah kebetulan dia mendengar suitan panjang Tan Ciok-sing, teriaknya girang: "Agaknya Tan- toako telah datang."

Kek Lam-wi pasang kuping mendengarkan, katanya: "Betul itulah suitan Tan-toako. Nona Han, mari ikut aku," ternyata suitan Tan Ciok-sing mengalun

turun naik mengikuti irama lagu, Han Cin dan Kek Lam-wi paham ajaran musik maka sekali dengar lantas mengenalinya.

Han Cin sudah lari ke depan

Kek Lam-wi, waktu Kek Lam-wi menoleh dia berseru heran teriaknya: "Adik So, untuk apa kau masih berdiri disitu, lekas kemari."

Toh So-so tersentak sadar, katanya: "Perhatikan Han-cici dan lindungi dia, segera aku datang," agaknya waktu mendengar pesan Ti Nio kepada Kek Lam-wi yang menitipkan Han Cin, perasaan Toh So-so jadi tidak karuan. "Apa maksud Ti-locianpwe dengan pesannya itu?" demikian dalam hati dia bertanya-taya.

Lekas sekali Poyang Gun-ngo sudah memburu datang, lebih dulu dia mencegat Kek Lam-wi serta membentak: "Anak bagus, tadi kau beruntung dapat lolos, kini jangan harap bisa lari? Kalau berani hayo lawan aku," dengan jurus Pek-hong-koan-jit pedangnya itu sungguh mirip bianglala, dalam sekejap, Kek Lam-wi dan Han Cin sudah terkurung dalam cahaya pedangnya.

Seruling Kek Lam-wi sudah diberikan kepada Ti Nio, kini dia tidak bersenjata, dengan bertangan kosong, mana dia mampu melawan Poyang Gun-ngo? Hanya beberapa gebrak saja keadaannya sudah terdesak di bawah angin, pernah sejurus serangan lawan hampir memapas kutung jari-jarinya. Han Cin mainkan cambuknya bantu menghalau serangan lawan, tapi tenaganya lemah, bantuannya tidak berarti bagi Kek Lam-wi.

Melihat sang pujaan menghadapi bahaya, Toh So-so tidak pikirkan lagi soal jelus segala, lekas dia memburu kemari, Ceng-kong-kiam dia berikan kepada Kek Lam-wi, dia sendiri menggunakan golok melawan musuh.

Pedang ada di tangan seperti harimau tumbuh sayap, beruntun Kek Lam-wi lancarkan tiga jurus serangan, ujung pedangnya mengincar hiat-to mematikan di tubuh Poyang Gun-ngo, kini situasi agak mending karena dia mampu melawan dengan mantap. Walau pedang panjang ini tidak seampuh serulingnya, dengan kekuatan tiga orang sekuatnya masih bertahan beberapa kejap lagi.

Tapi kalau Kek Lam-wi dibantu dua nona, Poyang Gun-ngo juga kedatangan bantuan. Hanya menonton sekejap Toa-kiat lantas tahu kedua nona ini sudah lemah tenaganya, meski berkepandaian lumayan, yakin mereka bukan tandingan dirinya. Maka dia suruh kawanan busu lainnya melingkari arena supaya" lawan tidak melarikan diri dan untuk menjaga bila lawan kedatangan bantuan, seorang diri dengan tongkat besarnya dia masuk ke arena.

Toa-kiat bergelak tawa, serunya: "Dua nona secantik ini mengantar kematian, sungguh harus dibuat sayang. Hehe, aku orang beribadah mengutamakan kebajikan, biarlah aku yang membacakan doa mengantar arwah kalian." Tongkatnya dikeprukan di tengah-tengah pertempuran, sehingga Toh dan Han dipisahkan dengan Kek Lam-wi. Betapa pun mereka melabrak dengan nekat sudah tidak mampu lagi bergabung dengan Kek Lam-wi.

Seorang diri Kek Lam-wi tetap bertahan, namun sepuluh jurus kemudian dia sudah terdesak di bawah angin. Toh dan Han berdua melawan Toa-kiat lambat laun merekapun kepayahan. Han Cin amat gelisah, pikirnya: "Tadi jelas kudengar suitan Tan-toako, kenapa belum juga dia kemari bersama ln-cici."

Mana dia tahu Tan Ciok-sing mendatangi sambil menggusur Liong Seng-bu. Karena dia menelikung tuan muda keluarga Liong, sudah tentu kawanan wisu itu tiada yang berani menghadangnya, semua minggir memberi jalan, namun berjalan menggusur tawanan tidak bisa mengembangkan ginkang.

Semburan kembang api masih terus berledakan di atas udara taman besar itu, mendadak di ujung taman sana tampak jago merah berkobar semakin besar.

"Celaka, kawanan rampok membakar rumah." "Aduh celaka, kelihatannya Bing-cu-khek yang terjilat api," para wisu keluarga Liong berteriak-teriak dan semuanya memburu kesana dengan rasa ketakutan. Maklum Bing-cu-khek adalah tempat kediaman Liong Bun-kong.

Tan Ciok-sing sudah mendatangi sambil menggusur Liong Seng-bu, karena tangan ditelikung kesakitan Liong Seng-bu gembar-gembor: "Maknya dirodok, Tan Ciok-sing, mana boleh kau gunakan cara ini atas diriku? Tahukah kau bila aku mati, kalian jangan harap bisa hidup." Mendengar makian kotor dan Liong Seng-bu mogok jalan terpaksa Tan Ciok-sing menutuk hiat-tonya dan mengempitnya di bawah ketiak.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Tuan muda besar, sudah cukup kau hidup foya-foya, tiba saatnya kaupun harus mencicipi apa yang dinamakan menderita dan tersiksa. Hanya tersiksa seringan ini kau tidak akan mampus."

Di tengah cahaya kobaran api tampak dua laki-laki baju hitam berlari kencang mendatangi. Melihat Tan Ciok-sing mengempit seseorang, mereka tampak senang dan kaget, tanpa janji mereka berseru: "Yang kau bekuk apakah Liong Seng-bu si bangsat kecil itu?"

"Betul," sahut Tan Ciok-sing, "siapa kalian," mulut menjawab kaki terus memburu kesana membantu Kek Lam-wi yang terdesak. Pedang Poyang Gun-ngo sedang menusuk ke ulu hati Kek Lam-wi, gerakan fdan gaya serangannya amat berbobot dan keras. Tan Ciok-sing segera ayun tubuh Liong Seng-bu sebagai tameng disodorkan ke ujung pedang musuh, bentaknya: "Kalau berani, tolong kau bunuh keponakan Liong Bun-kong ini." Perlu diketahui Liong Bun-kong tidak punya anak, keponakan satu-satunya ini sudah dipandangnya seperti anak kandung sendiri, sudah lama dia ingin mewariskan segala miliknya kepada sang keponakan tersayang ini.

Padahal Poyang Gun-ngo adalah seorang tamu asing, tapi pihak Watsu masih memerlukan bantuan Liong Bun-kong untuk mencapai cita-cita, mana berani Poyang Gun-ngo melukai keponakan Liong Bun-kong? Lekas dia tarik dan urungkan tusukan pedangnya. Untung permainan pedangnya sudah amat tinggi dan dikuasainya dengan baik, dalam waktu singkat dan mendadak lagi, syukur ujung pedangnya hanya menusuk bolong dan merobek pakaian Liong Seng-bu saja.

Gebrakan ini berlangsung sangat cepat. Setelah membebaskan bahaya yang mengancam Kek Lam-wi, barulah dia mendengar jawaban kedua laki-laki baju hitam atas pertanyaannya tadi: "Kami adalah anak buah Kim-to Cecu."

Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, kedua laki-laki itu mengenal dia, sembari menjawab pertanyaan Tan Ciok-sing mereka memburu ke arah Han Cin. "Trang" Tongkat Toa-siu tahu-tahu kena ditahan oleh golok dan pedang laki-laki itu, telapak tangan tergetar cekalan hampir terlepas, lekas dia mencelat jumpalitan. Meski sebat dia mengundurkan diri, tak urung pedang Toh So-so menggarft luka panjang di lengan kirinya. Sementara itu In San juga sudah memburu tiba.

Senang dan kejut hati In San, serunya: "Sim-toako, Ciu-toako, kiranya kalian juga datang, sungguh menyenangkan."

Kedua laki-laki bernama Sim Lan dan Ciu Hok, mereka adalah dua Toa-thaubak dari anak buah Kim-to Cecu yang berkedudukan paling tinggi. Atas perintah Kim-to Cecu mereka disuruh menyusul ke kota raja dengan tugas membujuk Wi-cui-hi-kiau supaya

membatalkan rencananya yang terlalu berbahaya. Sayang sudah beberapa hari lamanya mereka tak berhasil mengadakan kontak. Tapi ada juga orang pihak mereka yang diselundupkan kedalam keluarga Liong, selain memperhatikan gerak-gerik keluarga Liong. Kegaduhan yang terjadi dalam gedung keluarga Liong dari jauh bisa terdengar, maka mereka lantas tahu bahwa Pat-sian sudah angkat senjata melabrak orang-orang keluarga Liong. Karena gagal untuk membujuk terpaksa mereka melaksanakan rencana kedua, yaitu mengumpulkan orang-orang mereka yang ada di kota raja untuk membantu dan menyambut dari luar. Kebakaran yang terjadi di Bing-cu-khek adalah perbuatan mereka yang menyulut api.

Di saat rombongan orang-orang gagah mulai bergabung dan siap menerjang keluar kepungan mendadak dari luar terdengar suara sorak sorai yang gegap gempita. Di atas sebuah gunungan tampak Ciok Khong-goan mengangkat sebatang obor, dengan suara lantang dia berteriak: "Kalian tidak usah gelisah, Gi-iim-kun sudah dikerahkan kemari untuk membekuk kawanan rampok lekas kalian kembali ke posisi masing-masing, sebagian lekas menolong kebakaran."

Sebetulnya untuk mengerahkan pasukan Gi-lim-kun harus minta izin dari raja, tapi Liong Bun-kong adalah sekretaris militer, Kiu-bun-te-tok yang berkuasa lagi, kedudukannya amat disegani, diketahui pula Duta Watsu sedang bertamu di rumahnya, hal ini diketahui oleh komandan Gi-Iim-kun, maka begitu dia mendengar kabar, segera dia kerahkan seribu pasukan Gi-lim-kun mengepung rumah keluarga Liong hendak menangkap perampok, prosedur boleh diurus belakangan, pokoknya musuh harus diringkus dulu.

Tapi komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat adalah laki-laki yang berpendirian teguh dan kukuh melihat api berkobar dalam taman, dia menduga pertempuran didalam pasti acak-acakan. Meski luas taman kembang Keluarga Liong, kalau seribu pasukan Gi-lim-kun juga dikerahkan kedalam bukan mustahil orang sendiri bisa saling bunuh dan terinjak-injak. Sebagai komandan dia pandai memimpin pasukan, sebelum situasi jelas, terpaksa dia bersikap tenang dan siap bertindak bila perlu. Maka dia susun barisan diluar gedung keluarga Liong, bila kawanan brandal keluar satu persatu akan dipanah mati atau ditusuk mampus. Sudah tentu diapun menyerukan supaya kawanan brandal meletakkan senjata, menyerah tanpa syarat.

Ciok Khong-goan meniup terompet yang menyampaikan perintah, serunya di atas gunungan: "Kalian dengarkan pasukan Gi-lim-kun sudah kepung taman ini, kalian jelas takkan bisa melarikan diri.

Bok-jongling ada perintah, lekas kalian letakkan senjata dan menyerah, jiwanya akan diampuni dan dihukum ringan."

Kaypang Pangcu Liok Kun-lun segera melompat ke atas sebuah gunungan lain, serunya lebih lantang: "Kentutmu busuk, kaupun dengarkan, majikan muda kalian sudah berada di tangan kita, kalau kami tidak diberi jalan keluar, biar kugorok dulu lehernya. Baru kita akan adu jiwa, membelek Liong Bun-kong dan membunuh apa itu Duta Watsu segala."

Lwekangnya amat tangguh suaranya disiarkan dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang sehingga suaranya tersiar sampai jauh bukan saja menelan suara keributan dalam taman demikian pula Liong Bun-kong yang buru-buru menyelamatkan diri dari Bing-cu-khek juga mendengar suaranya.

Kebat kebit hati Liong Bun-kong, pikirnya: "Kawanan brandal itu tidak tahu aturan berani melawan hukum, bila nekad dan adu jiwa, perbuatan apa saja yang tidak berani mereka lakukan, jelas aku takkan bisa tidur tenteram." Waktu di Bing-cu-khek hampir saja dia tertusuk oleh In San rasa kejut dan takutnya belum lenyap, maka lekas dia suruh Lenghou Yong menyampaikan maksud hatinya. Ternyata Lenghou Yong tampil sebagai penengah, serunya: "Persoalan bisa dirundingkan, apa kehendak kalian, aku bisa wakilkan kalian menyampaikan kepada Liong-tayjin."

Liok Kun-lun berkata: "Kupinjam majikan muda kalian untuk antar kami keluar kota. Gi-lim-kun dilarang menguntit, setiba diluar kota, kita akan bebaskan dia."

Berkerut alis Lenghou Yong, katanya: "Kalau kalian ingkar janji, bukankah pihak kita yang dirugikan?"

"Kentutmu busuk," damprat Liok Kun-lun, "memangnya kau kira kita ini manusia rendah budi macam kalian yang punya pangkat?"

Kuatir sang paman menolak syarat mereka, itu berarti jiwa sendiri bakal terancam lekas Liong Seng-bu berseru: "Lenghou-siansing, aku tahu mereka adalah orang-orang gagah aku membenci mereka, tapi aku boleh percaya perkataan mereka. Tolong sampaikan kepada paman, percayalah kepada mereka."

"Aku percaya kalian pasti menepati janji, tapi urusan besar dan sepenting ini, aku tidak berani ambil putusan sendiri. Begini saja, kalian mengutus dua orang ikut aku berunding langsung dengan Liong-tayjin."

Liok Kun-lun undang orang banyak diajak berunding, Coh Ceng-hun berkata: "Mungkin hanya muslihat mereka, kita harus waspada, jangan kena tipu."

"Hal itu jelas harus dibuat pikiran. Tapi keponakan bangsat tua berada di tangan kita, yakin dia takkan berani berbuat senekat itu. Menurut pendapatku, dikuatirkan pihak Gi-lim-kun campur tangan, dia minta berunding dari tiga pihak."

"Keparat ini kuringkus bersama Tan-toako," demikian timbrung In San, "biar kami berdua yang berunding dengan mereka. Memang kami bertujuan menuntut balas kepada bangsat tua she Liong, kalau perundingan berjalan lancar ya sudah, kalau gagal bersama Tan-toako kami pasti akan melabraknya, bila perlu biar gugur bersama."

Liok Kun-lun tahu hubungan ln San dengan Liong Bun-kong, diapun sudah saksikan wibawa gabungan ilmu pedang sepasang muda mudi ini, maka dia terima usul mereka. Lenghou Yong bawa mereka memasuki sebuah ruangan, tampak Liong Bun-kong bersama Milo Hoatsu sudah menunggu didalam. Ruang ini amat besar, tapi pajangan amat sederhana, di tengah hanya terdapat sebuah meja panjang.

Liong Bun-kong duduk di ujung meja yang satu, sementara Milo Hoatsu dan Lenghou Yong duduk di kanan kirinya, di belakangnya adalah pintu angin yang dipasangi alat rahasia. Sementara Tan dan In duduk di tempat yang sudah mereka tentukan di ujung meja yang lain. Agaknya dia takut berhadapan dengan Tan Ciok-sing berdua maka perundingan telah diatur sedemikian rupa, meski dilindungi dua jagoan kosen tapi hatinya belum lega.

Berhadapan dengan musuh semasa berkobar sorot mata In San. Beradu pandang dengan sorot matanya lekas Liong Bun-kong melengos dengan hati bercekat, dengan tawa dipaksakan dia berkata: "Anak San, kau sudah tumbuh setinggi ini, kau tahu selamanya aku pandang kau sebagai putriku sendiri kuharap kau tidak terlalu mencari kesulitan padaku."

Dingin suara In San: "Ayahku adalah pendekar besar yang kenamaan di kolong langit umpama aku tidak kenal bakti, memangnya sudi aku mengangkat bangsat sebagai ayah. Tapi kedatanganku sekarang bukan untuk membicarakan soal pribadi, dendam lama biarlah dikesampingkan dulu. Hm, tapi kalau kau ingin membicarakan soal dahulu, biar kubunuh dulu keponakanmu, baru kubuat perhitungan lama dengan kau."

Di samping takut Liong Bun-kong jadi serba runyam, terpaksa dia alihkan pandangannya, katanya kepada Tan Ciok-sing: "Baik, baik, kita hanya membicarakan urusan dinas. Kabarnya kau adalah cucu Tan Khim-ang, usiamu semuda ini, tapi nyalimu begitu besar."

"Liong-tayjin terlalu sungkan. Bicara soal nyali masa aku dapat dibandingkan dengan engkau."

Liong Bun-kong melcngak, dia tidak paham apa maksud perkataannya, tapi mendengar orang memanggil "Liong-tayjin" padanya, memuji dirinya bernyali besar pula, hatinya agak senang dan terhibur, dalam hati dia berpikir, kiranya pemuda ini juga kenal sopan santun.

Diluar dugaan Tan Ciok-sing melanjutkan perkataannya: "Berintrik dengan musuh menjual negara dan bangsa, pasti akan dicaci maki oleh jutaan manusia, betapa besar nyali Liong-tayjin kau berani menjual negara dan bangsa, jangan kata aku tidak berani dibandingkan, yakin di kolong langit tiada orang yang berani menandingi Liong-tayjin."

Merah padam muka Liong Bun-kong, tapi kuatir perundingan ini gagal, tak berani dia mengumbar amarah. Setelah batuk-batuk kering dia berkata: "Betapa jerih payah Lohu bekerja demi kepentingan negara, meski kujelaskan yakin kalian tidak akan mengerti. Tapi sekarang bukan saatnya perang mulut, bagaimana tujuan dan maksud kalian, marilah kita bicarakan bersama."

"Nanti dulu," tiba-tiba Milo Hoatsu goyang tangan, lalu mulutnya nyerocos berbahasa Watsu bicara dengan Liong Bun-kong.

Ternyata Milo Hoatsu memberitahu kepada Liong Bun-kong bahwa surat perdamaian itu telah terjatuh ke tangan lawan. Kali ini Liong Bun-kong benar-benar berjingkrak kaget, sesaat lamanya dia melongo, tak tahu bagaimana harus ambil putusan.

Lenghou Yong memberi tanda kedipan mata lalu dengan bahasa Watsu dia bicara dengan Milo Hoatsu. In San bisa mendengar sedikit bahasa Watsu, didengarnya mereka membicarakan tokoh-tokoh penting dari Pat-sian serta dikatakan bahwa surat perdamaian itu jelas sukar direbut kembali.

Seperti diketahui Wi-cui-hi-kiau telah meloloskan diri dari gedung keluarga Liong. Kedatangan Milo Hoatsu kemari bertujuan mencegah Liong Bun-kong menyerah kepada musuh terpaksa tidak bisa bertindak apa-apa lagi.

"Kalian sudah habis berunding belum, aku tiada tempo menunggu lama-lama," desak Tan Ciok-sing.

Setelah mendapat persetujuan

Milo Hoatsu, Liong Bun-kong berkata: "Baiklah, apa syaratmu coba terangkan."

Tan Ciok-sing mengulang tuntutannya serta menjelaskan pelaksanaannya.

Liong Bun-kong mengerutkan kening, katanya: "Syarat yang kalian ajukan itu, aku harus mohon persetujuan komandan Gi-lim-kun yaitu Bok-tayjin," lalu dia suruh bawahannya pergi memanggil komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat.

Sejak tadi Bok Su-kiat sudah masuk ke rumah keluarga Liong, kini dia sedang menunggu di kamar sebelah, lekas sekali dia sudah memasuki ruang perundingan. Sekarang dia sudah jelas siapa saja orang-orang yang dipandang sebagai kawanan brandal yang menyerbu ke rumah keluarga Liong ini, diapun tahu Liong Seng-bu sudah menjadi tawanan musuh. Kawanan brandal ini hakikatnya bukan kaum gelandangan yang acak-acakan dan tidak terpimpin, mereka adalah pentolan silat yang punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw.

Tapi berhadapan dengan Tan Ciok-sing yang masih begini muda, dia menganggapnya sebelah mata. Begitu memasuki ruang sidang, matanya menjelajah seluruh hadirin, dia pura-pura tidak tahu siapa Tan dan In berdua, katanya: "Siapakah Siocia ini..."

Lenghou Yong memperkenalkan: "In-lihiap ini adalah cucu almarhum In-conggoan In Jong."

Bok Su-kiat tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kalau demikian, bukan terhitung orang luar. Nona In, kakekmu dulu juga pernah menjabat komandan Gi-lim-kun seperti aku sekarang, hitung-hitung masih terhitung angkatan tuaku. Dulu akupun sekolega dengan ayahmu."

"Sayang jalan yang ditempuh Bok-tayjin tidak sehaluan dengan ayah, maaf aku tidak berani,"

Setelah basa-basi ala kadarnya dengan In San, Bok Su-kiat berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya: "Pemuda gagah ini adalah..."

Kembali Lenghou Yong menerangkan serta memberitahu kedudukannya sekarang dalam perundingan ini, dijelaskan pula bahwa Tan Ciok-sing adalah murid penutup pendekar besar Thio Tan-hong.

Barulah sikap jumawa Bok Su-kiat agak berubah, katanya: "Jadi engkoh cilik ini adalah murid Thio Tayhiap, aku kurang hormat jadinya." Sengaja dia ulur tangan ajak berjabat tangan.

Tahu orang sengaja hendak menjajal dirinya, namun Tan Ciok-sing tidak gentar, diapun ulur tangan sambil berkata tawar:

"Tayjin terlalu mengagulkan diriku, terus terang dalam perguruan aku baru masuk satu hari."

Begitu tangan saling genggam kontan Tan Ciok-sing rasakan segulung tenaga lunak yang kuat menerjang Siau-yang-king-meh di tangannya, karuan hatinya bercekat. "Keparat ini memang memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan, tak heran dia bisa menjabat komandan Gi-lim-kun. Tapi dengan bekal ilmunya ini, jangan harap kau dapat melukai Ki-king-pat-meh dalam tubuhku."

Saling jajak ilmu secara diam-diam ini, meski Tan Ciok-sing merasa kaget. Bok Su-kiat ternyata lebih kaget pula. Ilmu yang diyakinkan Bok Su-kiat adalah Jit-sat-ciang dengan kekuatan lunak Lwekangnya dia dapat melukai urat nadi musuh diluar tahu orang yang dilukai, bila kekuatan dikerahkan, dahsyatnya bagai air bah yang melanda, meski tidak bersuara dan tidak memperlihatkan tanda-tanda namun perbawa kekuatannya kira-kira setanding dan dapat menandingi Tay-Iik-kim-kong-ciang ajaran murni Siau-lim pay, atau Hong-lui-pi-lik-ciang dari Bu-tong-pay.

Tak nyana begitu telapak tangan saling genggam, tenaga lunak yang ganas dan jahat itu ternyata seperti tenggelam kedalam lautan, sirna tanpa bekas. Sikap Tan Ciok-sing



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar