Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 5
Hotel kecil seperti ini tiada
jaga malam, ginkang Toh Ni cukup bagus, langkahnya enteng tidak mengeluarkan
suara, tanpa diketahui siapapun dia berada di istal, dilihatnya kedua kuda itu
tidur pulas saling bersender dengan mesranya. Toh Ni jadi berpikir:
"Sungguh aneh, dua binatang sekali bertemu lantas saling jatuh cinta,
seperti sepasang kekasih layaknya," tanpa menimbulkan suara diam-diam dia
tinggalkan istal. Maksudnya mau kembali ke kamar, tapi tiba-tiba didengarnya
suara "tok, tok, tok" tiga kali ketokan pintu, ada_orang mengetuk
pintu belakang hotel kecil ini.
Timbul rasa heran Toh Ni,
pikirnya: "Malam selarut ini, tak mungkin ada tamu menginap, kalau tamu
juga tidak mungkin lewat pintu belakang, entah siapa orang ini, mungkin ada
gejala-gejala yang kurang benar."
Tengah dia membatin, kacung
yang tidur di kamar belakang dapur telah terjaga bangun, letak pintu belakang
memang berada di sebelah dapur, maka cepat sekali si kacung sudah membuka pintu
sambil menggerutu: "Siapa? Malam selarut ini main gedor pintu
segala?"
"Utusan dari karisidenan,
lekas huka pintu," teriak orang diluar ilcngan suara kereng.
Karuan si kacung kaget, lekas
dia menyalakan obor, lalu membuka pintu, dilihat sikap dan gerak-geriknya si
kacung kenal baik pengetuk pintu.
Orang itu berkata: "Bawa
aku menemui juraganmu, jangan berisik. Aku tidak ingin membuat kaget para tamu
disini."
Kacung itu mengiakan sambil
munduk-munduk.
Diam-diam Toh Ni berpikir:
"Utusan karisidenan, mungkin seorang opas. Memangnya tujuannya mencari
perkara dengan Siau-ongya?" lalu dia menunggu setelah si kacung membawa
tamu tak diundang itu memasuki kamar juragannya, lalu diam-diam dia mendekat
untuk mengintip. Sinar lampu tampak telah dinyalakan didalam kamar, kacung
itupun telah keluar pula. Dengan ginkang Toh-Ni yang tinggi dia gunakan gerakan
menggelantung dia gantol kakinya di atas payon, sementara tubuhnya jungkir
balik mengintip kedalam kamar.
Tampak si juragan dengan
sikapnya yang gopoh dan gugup berkata: "Ong-puthau, tengah malam buta kau
orang tua datang kemari entah ada keperluan apa?" dugaan Toh Ni memang
tidak meleset, tamu tak diundang ini memang orang opas utusan dari karisidenan.
Opas she Ong itu berkata:
"Tiada urusan aku takkan datang malam-malam begini. Terus terang karena
suatu urusan dinas yang cukup penting, aku minta juragan suka membantu."
Juragan she Thio terkejut,
katanya: "Jangan Ong-puthau berkata demikian, hotelku kecil tapi selamanya
tak berani melanggar aturan..."
"Urusan ini tidak
menyangkut dirimu, aku hanya ingin tahu tentang dua orang tamu yang menginap
disini, jangan kau bikin keributan dan tidak usah gugup."
Dugaan Toh Ni ternyata tepat
pula, dua orang yang dicurigai menurut apa yang dilukiskan opas she Ong kepada
juragan she Thio memang Toan Kiam-ping dengan dirinya.
Sikap juragan Thio tampak
gelisah dan tidak tentram, tanyanya: "Siapakah mereka? Apakah begal
besar?"
"Aku juga tidak tahu
siapa mereka, kedatanganku ini juga bukan hendak menangkap mereka."
"Lalu bantuan apa yang
harus kulakukan?” tanya juragan she Thio.
"Kacung yang tadi
membawaku masuk kemari, apakah dia setia kepadamu?"
"Dia anak yatim piatu,
sejak kecil aku mengasuhnya. Kusuruh dia ke timur, dia takkan berani ke
barat."
"Kulihat kacung cilik uni
memang cerdik dan cekatan, kuknra dia tidak akan bikin urusan uni
kapiran."
Juragan she Thio berkata:
"Kedua tamu itu besok pagi-pagi sudah akan berangkat, tugas apa yang harus
diserahkan kepada kacung cilik itu?"
"Aku tahu. Tentunya
mereka akan berangkat setelah sarapan pagi?"
"Aku tidak berani
merahasiakan. Apakah kau orang tua ingin menaruh sesuatu dalam makanan
mereka?"
"Umpama mereka tidak
sarapan pagi juga tidak jadi soal. Setiap orang bila bangun pagi pasti akan
minum teh hangat. Nah aku diberi sebungkus obat oleh Sa-tayjin, katanya adalah
Soh-kut-sun buatan istana raja, boleh kau seduh didalam air teko yang kau
suguhkan mereka, yakni mereka tidak akan tahu. Dan lagi kadar obat ini cukup
enteng, si peminum tidak akan seketika kumat, tapi kira-kira sejam kemudian
baru akan terkulai lemas. Kau cukup mencampuri sedikit saja, setelah minum
mereka masih bisa melanjutkan perjalanan. Kejadian selanjutnya kau boleh tidak
usah kuatir. Tapi obat ini boleh kau sendiri yang mencampurnya didalam air teh,
cuma sebagai juragan jangan kau sendiri yang menyuguh air teh ini, tapi
suruhlah kacungmu melayani permintaan mereka, kalau berhasil, pasti kalian
bakal dapat persen besar."
"Yang kuharapkan hotelku
selamat dan tidak berani mengharapkan persen segala. Urusan sekeci!l ini
gampang dilakukan, tenta ng rahasia ini si kacung tidak usalh diberitahu."
Sampai disini pembicaraan
mereka, kebetulan kacung cilik itu masuk membawa sepoci teh, setelah mengisi
secangkir penuh dia haturkan dulu kepada Opas Ong, katanya: "Kau orang tua
silakan cicipi dulu secangkir teh panas ini."
Opas itu tertawa, katanya:
"Memangnya kau anggap aku ini tamu yang perlu dilayani segala."
"Kau orang tua memang
jarang datang, kapan kami dapat mengharap kehadiran kau orang tua. Semoga kau
orang tua tidak menyalahkan kami para hamba ini berlaku kasar dan kurang
hormat."
Opas itu tertawa, katanya:
"Bagus, kau memang pandai bicara."
Setelah mencicipi seteguk, tak
terasa opas Ong memuji: "Panas dan wangi, wah sungguh wangi, segar dan teh
bagus," pelan-pelan dia taruh cangkirnya pula dan siap berdiri hendak
pergi, mendadak dia berseru heran, bentaknya: "Lothio, kau, Liong-kin-teh
mu ini..." sekali jambret dia mencengkram baju di depan dada juragan Thio.
Karuan juragan she Thio kaget,
serunya: "Aku tidak berdosa terhadap kau orang tua, ada apa dengan
Liong-kin-teh?" belum habis dia bicara, cengkraman opas Ong tiba-tiba
mengendor dan "Bluk" kontan dia meloso jatuh tidak sadarkan diri.
Karuan juragan she Thio kaget
setengah mati, lama sekali dia melongo, mulutnya menggumam: "Apakah yang
terjadi, apakah Liong-kin-teh itu yang jadi penyebabnya? Siau-siong-ji,
Siau-siong-ji..." waktu dia menoleh, kacung cilik tadi sudah tak kelihatan
lagi.
Toh Ni yang mencuri dengar dan
mengintip diluar jendela sudah bertindak lebih dulu, diam-diam dia sudah mengeluyur
keluar sana, di gang kecil yang menjurus ke dapur dia temukan kacung cilik tadi
menggeletak di lantai, namun baju luarnya ternyata diblejeti. Toh Ni
menggoncang tubuhnya, tapi dia tidak bergerak, namun napasnya masih teratur,
demikian pula denyut nadinya masih berjalan seperti biasa. Walau Kungfu Toh Ni
belum mencapai tingkatan yang tinggi, namun dia tahu bahwa kacung ini tertutuk
hiat-to pelemasnya.
Karena kuatir jejaknya
konangan si juragan, lekas Toh Ni lari kedalam kamarnya. Toan Kiam¬ ping segera
tanya: "Kenapa begini lama baru pulang?"
"Kejadian amat
aneh..." kata Toh Ni, lalu dia tuturkan apa yang dilihatnya barusan,
akhirnya dia menambahkan: "Kelihatannya ada seorang kosen dalam hotel ini
juga yang diam-diam membantu kita."
Toan Kiam-ping tersentak
sadar, katanya: "Aku sudah tahu siapa dia. Kau tunggu disini, segera aku
mencari orang itu."
Diam-diam dia mengeluyur
keluar mendekati jendela kamar sebelah serta mendongkelnya pula pelan-pelan
tanpa mengeluarkan suara, setelah daun jendela terbuka dia melompat masuk,
hatinya kebat kebit, entah dugaannya betul. Di saat dia melompat masuk itulah
pelita dalam kamar itu mendadak menyala.
Dilihatnya laki-laki setengah
umur yang dipandang menyebalkan oleh Toh Ni kelihatan duduk bersila di pinggir
ranjang, suaranya sumbang menjengek dingin: "Tengah malam buta rata, kau
main menggerayang di kamarku mau apa?"
Bukan kepalang kikuk dan
runyam keadaan Tban Kiam-ping, katanya tersendat-sendat: "Maaf, aku, aku
kira..."
Baru saja dia mau minta maaf
laki-laki bertampang menyebalkan itu tiba-tiba cekikik geli, katanya:
"Toan-toako, aku sengaja menggodamu, aku tahu kau pasti kemari,"
suaranya yang semula sumbang kini berubah merdu dan enak didengar.
Karuan kaget dan senang Toan
Kiam-ping bukan kepalang, serunya: "Adik Cin, betulkah kau."
"Bagaimana kau bisa
meraba akan diriku?"
"Kacung yang menyuguh air
teh itu jelas adalah samaran orang lain, kecuali kau siapa orangnya dalam dunia
ini yang mampu menyaru semirip itu? Pada hal waktu ketemu kau siang tadi, aku sudah
curiga akan dirimu. Soalnya kuda tungganganmu berbulu lain, sehingga aku
bimbang."
"Bagaimana kau bisa
curiga atas diriku? Memangnya samaranku ini ada lobang kelemahannya?"
"Samaranmu tiada yang
mencurigakan, tapi sorot matamu secara wajar menampilkan rasa perhatianmu
terhadapku, bola matamu yang jernih dan jeli itu takkan bisa dirubah lagi bila
memandang daku."
Manis mesra hati Han Cin,
katanya: "Tak nyana kau seteliti ini, aku.. aku..."
"Kau kenapa?"
Lirih suara Han Cin, "Aku
senang, kau tidak memakiku seperti Siau-ni-cu memakiku laki-laki
menyebalkan," tanpa tciasa dia cekikikan geli sendiri, "sekarang
boleh kau panggil Siau ni-cu kemari."
Siau-ni-cu segera mengiakan
dan masuk, katanya: "Siau-ni-cu punya mata tapi tidak dapat mengenali
orang, harap nona Han tidak berkecil hati."
"Kali ini pandanganmu
tidak setajam Toan-toako," kata Han Cin tertawa.
"Pertama aku tidak
perhatikan sorot matamu, kedua kuda tungganganmu itu yang mengaburkan
perhatianku," demikian ujar Toh Ni.
"Sebetulnya kuda tungganganku
itu juga kupinjam dari Ciong-cici."
"Lho, bukankah kuda itu
berbulu putih?"
"Kan gampang bulunya itu
kusemir dengan warna lain, tapi kalau kehujanan warna semir itu bisa luntur
sendiri."
"O, kau punya semir
sebagus itu, lekas kau semir juga kuda kami supaya tidak dicurigakan
orang."
"Tadi sudah kusemir bulu
kuda Toan-toako dengan warna coklat hitam. Baru saja aku kembali dari istal.
Sekarang mumpung belum terang tanah, marilah kurias kalian dengan bentuk lain
pula."
Toh Ni teringat sesuatu, tanyanya:
"Nona Han, dengan obat bius kau membius opas she Ong itu, mungkin juragan
hotel ini bisa lapor kepada penguasa setempat, apa kita bisa menunda waktu dua
jam lagi disini?"
"Semuanya sudah
kubereskan, memangnya kau perlu peringatkan lagi?"
"O, jadi kaupun bikin
juragan itu pulas juga?"
"Aku menutuk hiat-to
penidurnya, kira-kira dua belas jam lagi baru akan siuman."
Legalah hati Toh Ni, katanya:
"Nona Han, kau hendak merobah aku jadi orang apa?"
"Kembali pada wajah
kalian semula."
Toan Kiam-ping kaget, katanya:
"Kembali pada wajah semula? Bukankah jejak kami lebih gampang
konangan?"
"Pendapatku justru
terbalik. Kau harus tahu, sebetulnya kau ini pemuda bangsawan, dengan menyamar
pedagang kecil, meski bentuknya cukup menyerupai, tapi sikap dan tindak tanduk
serta tutur katamu tak mungkin dirubah. Bagi orang Kangouw yang berpengalaman,
sekali pandang sudah tahu akan kepalsuan dirimu. Lebih baik kau menyamar pemuda
perlente dan keluarga hartawan yang mau ujian ke kota raja, Siau-ni-cu tetap
sebagai kacung pengiringimu. Bedanya tidak jauh dari keadaan kalian yang asli,
maka sikap dan tutur kata kalian tidak perlu dibuat-buat. Yakin kawanan cakar
alap-alap itu takkan menduga bahwa kalian menyamar pemuda hartawan yang mau
ujian negara. Kalau mereka curiga pada para pedagang atau golongan lain, yakin
tidak akan curiga pada orang-orang sekolahan."
Toan Kiam-ping maklum dan
mengerti, serunya sambil keplok: "Bagus, akal bagus, inilah akal bagus
dari timbal balik antara isi kosong dan kosong isi. Tapi kami tidak membawa
pakaian untuk keperluan ini."
"Sudah kusiapkan,"
ucap Han Cin. "Mari kalian coba pas tidak dengan perawakanmu."
Senang tak terhingga Toan
Kiam-ping dibuatnya, katanya: "Nona Han, kau umpama seorang dewi sakti?
Darimana kau tahu kami bakal ketiban malang, di kala kami memerlukan tenaga dan
pikiranmu, tahu-tahu kau muncul di hadapanku. Segalanya sudah kau siapkan
lagi."
Han Cin tertawa, katanya:
"Silahkan ganti pakaian dulu, setelah salin nanti kuterangkan."
Setelah mendengar ceritanya
Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Begitu besar perhatian orang
banyak terhadapku, sungguh harus kusesalkan. Tapi nona Han, satu hal yang
paling ingin kuketahui belum kau jelaskan kepadaku."
"Soal apa?"
"Apakah Tan Ciok-sing dan
In San sudah tiba di atas gunung?"
"Belum, kami kira, mereka
berdua sudah menuju ke kota raja."
"Kenapa merekapun mau ke
kota raja?"
"Wi-cui-hi-kiau
kawan-kawannya pergi ke kota raja hendak membunuh Liong Bun-kong pembesar
anjing durjana itu. Mungkin mereka tidak termasuk orang yang diundang, tapi
merekapun punya permusuhan dengan pembesar anjing itu, kini setelah tahu
pembesar anjing itu ada intrik dengan duta -Watsu, tanpa diundang
Wi-cui-hi-kiau juga pasti mereka meluruk ke kota raja, jadi maksud tujuannya
seperti Wi-cui-hi-kiau."
Toan Kiam-ping
manggut-manggut, katanya: "Dugaan kalian pasti tidak salah. Tentang utusan
Watsu dan terbunuhnya Ui-yap Tojin, sudah diketahui oleh In San. Satu hal belum
sempat kuberitahu kepadamu, Ui-yap Tojin terbunuh oleh jago-jago Watsu yang
mengiringi Dutanya, sementara Sia-cin Hwesio terluka parah dan berhasil
meloloskan diri, di tengah jalan aku bersama nona In pernah bertemu dan
menolong Sia-cin Hwesio yang terluka parah ilu."
"Kim-to Cecu tidak
menyetujui sepak terjang Wi-cui-hi-kiau yang hendak membunuh Lioiijj Bun-kong
dengan cara demikian, akupun kuatir mereka bakal menemui kesulitan dan bahaya
di kota raja."
"Kuharap sebelum tiba di
kota raja sudah bisa menolong ayah. Tapi, umpama usahaku ini berhasil, aku
tetap akan berangkat ke kota raja. Siau-ni-cu boleh menghantar ayah ke markas
Kim-to Cecu. Nona, masih aku mengharap bantuanmu."
"Toan-toako, soal bantuan
tidak usah kau ucapkan lagi. Bukan saja Tan Ciok-sing teman baikmu, diapun
saudara angkatku. Bicara terus terang, semula aku ada maksud supaya Kim-to Cecu
mengirimku ke kota raja untuk kerja sama dengan dia, namun mengingat urusanmu
lebih genting, maka aku mendahulukan ke Tayli. Bila leluasa dan berhasil
menolong ayahmu, kukira tiada halangan kita lanjutkan ke kota raja."
Sembari bicara Han Cinpun
sudah selesai merias mereka, waktu Toan Kiam-ping berkaca, wajahnya ternyata
sudah berubah lebih ganteng, tak ubahnya pelajar lemah lembut yang getol
membaca, bentuknya jelas jauh berbeda dengan muka aslinya, tak urung dia
memuji: "Nona Han, kepandaianmu merias orang memang amat menakjubkan,
jangan kata kawanan cakar alap-alap itu, umpama ayahku sendiri yakin takkan
mengenaliku lagi."
Toh Ni tertawa, katanya:
"Nona Han, aku kuatir kau bakal merubahku jadi orang yang menjijikkan,
banyak terima kasih akan make upmu yang merubahku menjadi lebih cakap dari
Siau-ni-cu yang sesungguhnya."
Mereka perhitungkan sebelum
matahari tenggelam, dengan kecepatan jalan kereta pesakitan itu, pasti mereka
akan menginap di sebuah kota kecil di depan sana, maka mereka mendahului
singgah di kota kecil ini menunggu kedatangan mereka. Tak nyana dugaan mereka
meleset, rombongan pesakitan itu ternyata tidak lewat kota kecil ini.
Kuatir mereka menempuh jalan
lain, maka Toan Kiam-ping suruh Toh Ni putar balik menyusuri arah datangnya
tadi memeriksa lebih cermat. Hampir tengah malam baru Tob Ni pulang ke hotel
dan memberitahu kepada Toan Kiam-ping: "Mereka menginap di kota kecil
s,ebelah belakang itu, bukan menempuh jalan putar lainnya."
Hari kedua mereka memasuki kota
yang sudah ditentukan untuk menginap disini. Tiba-tiba Han Cin berkata:
"Kalian pergi cari hotel lebih dulu, aku akan menyusul dan bekerja menurut
situasi."
Penantian mereka kali ini
tidak sia-sia. Hotel yang dicari kali ini adalah penginapan terbesar dalam kota
ini, makan malampun dipercepat dari waktu biasanya. Kira-kira hampir petang
rombongan kereta pesakitan itupun memasuki kota dan menginap di hotel besar itu
pula.
Semula rombongan kereta
pesakitan ini ada 8 orang termasuk Lo-ongya dan Ling Suhu, tapi kali ini
ketambahan satu orang lagi, yaitu seorang tabib kelilingan yang masih asing
membawa kotak obatnya, dengan muka lesu dia menginti! di belakang
Ciok-Khong-goan dan Sa Thong-hay. Setiba di halaman hotel Sa dan Ciok berdua
membimbing ayah Toan Kiam-ping turun dari atas kereta, wajah ayah Toan
Kiam-ping tampak pucat dan lusuh, mungkin karena menempuh perjalanan jauh,
sehingga dia tidak tahan dan jatuh sakit.
Toan Kiam-ping mengarti,
pikirnya: "Kiranya sakit, tak heran dua hari ini mereka berjalan amat
lambat. Ai, ayah sudah biasa hidup mewah dilayani, mana kuat menempuh
perjalanan jauh yang menyiksa ini? Aku harus cepat menolongnya dari kesusahan
ini."
Begitu rombongan ini memasuki
hotel, Khong-tik lantas ribut dengan mereka.
Toh Ni mengintip dari
celah-celah pintu lalu memberitahu Toan Kiam-ping: "Kedua pembesar anjing
itu membimbing ayahmu masuk ke kamar seberang yang tengah itu. Em, tabib itu
juga ikut masuk."
Maka terdengar suara gedoran
pintu Ling Khong-tik di kamar seberang, serunya: "Kalian larang aku
merawat Toan-losiansing, apakah aku tidak boleh masuk."
Agaknya Ciok Khong-goan segan
bentrok dengan dia, katanya: "Baiklah, kau masuk boleh masuk. Tapi kau
dilarang dekat-dekat dengan Toan-siansing."
Begitu Ling Khong-tik masuk kedalam
kamar suaranya ribut terdengar semakin keras. Terdengar dia tanya kepada tabib:
"Kau yakin dapat menyembuhkan penyakit Lo-siansing?"
"Terus terang,"
sahut tabib itu, "aku ini hanyalah tabib kampungan, penyakit ringan
kutanggung tidak akan mati, kalau penyakit berat, ya serahkan saja kepada Thian
yang maha kuasa."
Ling Khong-tik mendengus,
katanya: "Kalau tahu dirimu tidak mampu, buat apa kau masih berdiri
disini?"
Kata si tabib dengan muka
meringis: "Bukan aku yang mau kemari, merekalah menyeretku kemari."
"Ciok-tayjin, menolong
jiwa lebih penting, lekaslah kau cari tabib lain yang lebih pandai."
"Di kota sekecil ini
kemana mau cari tabib pandai? Yang diundang paling juga tabib kampungan yang
tidak mampu berbuat apa-apa."
"Tapi bukan mustahil dapat
mencari tabib yang lebih pandai, apa salahnya kalau kau undang sekaligus dua
tiga tabib, mumpung belum terlalu malam, kalian masih bisa lari ke kota
karesidenan mengundang tabib dari sana."
Sa Thong-hay tertawa dingin,
jengeknya: "Kau ingin kami menyempatkan salah satu orang untuk cari tabib,
kalau terjadi sesuatu bagaimana? Kau sendiri kenapa tidak mau?"
Bahwa kawanan cakar alap-alap
itu tidak mau berusaha, Ling Khong-tik sendiri juga kuatir bila dirinya pergi
mencari tabib, bukan mustahil mereka main muslihat, di saat dia kebingungan,
tiba-tiba didengarnya suara kelinting yang diayun maju mundur, lalu terdengar
seorang bersenandung "Say-hoa-tho Khu Pan-sian, khusus menyembuhkan
penyakit aneh, siapa makan obatku, tanggung sakit hilang sebalpun lenyap,
jangan kuatir raja neraka akan mengundangmu."
Ciok Khong-goan segera menyela
sama tengah, katanya tertawa: "Baru saja kita bicara soal tabib, tabib
pandai segera datang. Orang itu berani mengagulkan diri, mungkin memang punya
kepandaian, baiklah undang dia supaya memeriksa sakit Toan-losiansing."
"Tabib keliling macam
jual kecap, memangnya dia punya kepandaian apa?" jengek Ling
Khong-tik.
"Kalau kau pintar kenapa
tidak kau sendiri mengobati. Hm, tidak ada tabib kau ribut, sekarang ada tabib
datang, kau anggap dia bodoh tidak becus segala. Hehehe, di kampung sering aku
mendengar pameo, tidak ada kuda kerbaupun boleh ditunggangi, belum tentu di
kota ada tabib pandai, kenapa tidak mengundang tabib kelilingan itu untuk coba
memeriksanya."
Meski tidak yakin tabib
kelilingan ini mampu menyembuhkan penyakit junjungannya, tapi apa boleh buat,
dari pada tidak diperiksa dan diobati, terpaksa Ling Khong-tik berkata:
"Baiklah, biar dia mencobanya."
Tabib yang datang duluan
berkata: "Tabib baru sudah datang, aku boleh pergi bukan? Terus terang,
aku memang tidak mampu mengobatinya."
Sa Thong-hay segera membentak:
"Kau tabib gentong nasi, enyahlah," lalu dia tarik suara berteriak
kepada Huwan Pau yang berjaga diluar supaya mengundang tabib kelilingan itu.
Mendengar tabib kelilingan
berjuluk Say-hoa-tho dan bernama Khu Pan-sian (Khu setengah dewa), tergerak
hati Toan Kiam-ping yang sembunyi di kamarnya lekas dia mengintip dari celah
pintu. Dilihatnya Huwan Pau membawa seorang tabib yang membawa kotak obat dan sebatang
pentung masuk kedalam kamar. Di ujung pentung itu terikat sebuah"
kelintingan dengan ronce kain warna warni. Wajah tabib kelilingan ini jauh
berbeda dengan samaran Han Cin waktu menjadi laki-laki setengah umur yang
bertampang menyebalkan itu. Diam-diam timbul rasa curiga Toan Kiam-ping, dalam
hati dia menerka bahwa tabib ini adalah samaran Han Cin.
Begitu tabib ini masuk ke
kamar mengintil di belakang Huwan Pau, Sa Thong-hay lantas berkata: "Apa
betul kau punya kepandaian seperti yang kau agulkan sendiri?"
"Menyembuhkan penyakit
menghidupkan jiwa adalah kemah iranku. Tapi aku baru mau turun tangan bila
penderita betul-betul mau percaya padaku, kalau mengundangku tapi masih juga
curiga padaku maka obatku takkan mujarab lagi."
"Jarang kulihat tabib seaneh
kau, masa sama-sama obatnya, kenapa kau yakin bahwa obatmu pasti lebih mujarab
bila kami percava kepadamu?"
"Penyakit badan mudah
diobati, tapi penyakit batin susah disembuhkan. Demikian pula keadaan si sakit
dengan lahir batinnya amat besar sangkutnya, bila si sakit percaya akan
pertolongan si tabib baru penyakitnya akan sembuh, dia besar-benar akan
terhindar dari kesulitan."
Mendengar rangkaian kata-kata
si Tabib ini, Toan Kiam-ping yang mengintip di kamarnya tergerak pikirannya:
"Bukankah kata-kata ini seperti ditujukan kepadaku?"
"O, ya, memang masuk
akal, baik silakan kau periksa. Toan-siansing ini adalah orang penting, bila
penyakitnya malah parah setelah makan obatmu, kau harus bertanggung jawab
seluruhnya," demikian kata Ciok Khong-goan sambil menepuk pundak si tabib
kelilingan.
Tepukan ini untuk menjajal
apakah tabib kelilingan ini pandai silat atau tidak, tepukan itu tepat pada
tulang pundaknya yang penting, bila tenaga dalam dikerahkan, tulang pundak akan
tertepuk pecah, betapapun tinggi kepandaian silat seseorang pasti punah dan
menjadi orang cacad. Bila tabib ini pandai main silat, tentu dia tahu bahwa
tepukannya ini mengancam tulang pundaknya, maka dia pasti berusaha menghindar
atau menangkis.
Tabib kelilingan berkata:
"Tayjin aku mau menyembuhkan penyakitnya, tapi kau menggertakku, aku jadi
ragu-ragu untuk menggunakan obatku."
Lenyap rasa curiga Ciok
Khong-goan, katanya tergelak-gelak:
"Periksalah dengan
seksama, kami ada menyediakan persen, persen untuk yang berhasil tapi juga
persen untuk yang gagal. Bila penyakitnya sembuh, kupersen kau seratus tahil
perak."
"Kalau begitu banyak
terima kasih dulu," sahut tabib kelilingan, baru saja dia menghampiri ayah
Toan Kiam-ping yang rebah di atas ranjang, tiba-tiba Sa Thong-hay berseru:
"Tunggu sebentar."
Tabib itu melengak, tanyanya:
"Masih ada petunjuk apa Tayjin?"
"Waktu kau memeriksa
tentunya tidak suka diganggu keributan bukan?"
Tabib kelilingan itu melongo,
batinnya: "Mungkin menjajalku lagi? Kalau aku turuti keinginannya, menyuruh
mereka keluar semua, tentunya aku bisa dicurigai," maka setelah pura-pura
berfikir sebentar dia berkata: "Bagi si sakit memang perlu ketenangan,
tapi kalau hanya seorang diri memeriksa penyakit Lo-siansing ini, aku tak
berani tanggung bila terjadi sesuatu atas dirinya. Lebih baik satu di antara
kalian menemani aku disini."
"Betul, baiklah begitu
saja," seru Sa Thong-hay, "nah Ling Suhu, silakan keluar."
"Kenapa aku yang harus
keluar?" teriak Ling Khong-tik. "Tabib tolong tanya, bukankah orang
sendiri yang harus menjaga si penderita?"
"Biasanya memang
demikian," sahut si tabib, "perasaan si penderita akan lebih tenang
kalau dijaga orang yang dekat padanya."
"Nah, dengar tidak, meski
aku tidak terhitung sanak familinya, tapi aku lebih dekat daripada kalian,"
demikian Ling Suhu berkata.
"Tapi jangan kau lupa,
disini bukan di istana, di rumahnya kau adalah orang kepercayaannya, adalah *
kewajibanmu untuk melayani junjungan. Tapi disini, kami yang berkuasa, kami
sebagai pelaksana perintah harus lebih dekat dengan Lo-ongya, peduli dia
membenciku atau tidak, terpaksa dia harus anggap aku orang dekatnya."
Ling Khong-tik naik pitam,
serunya: "Kalian sebanyak ini, memangnya takut aku berkomplot dengan tabib
ini menculik Toan-losiansing?"
"Peduli amat dengan jalan
pikiranmu," jengek Sa Thong-hay, "pendek kata silakan kau
keluar."
Apa boleh buat, akhirnya Ling
Khong-tik melangkah keluar.
Lo-ongya menghela napas,
katanya lemah: "Sebetulnya tidak perlu diperiksa lagi, penyakitku ini
takkan bisa disembuhkan lagi."
"Lo-siansing jangan
kuatir, penyakitmu pasti dapat kusembuhkan," di bawah pengawasan Sa
Thong-hay tabib itu mulai memeriksa nadi.
Rekaan Toan Kiam-ping memang
tidak meleset, tabib keliling ini memang samaran Han Cin. Seperti diketahui Khu
Ti atau ayah angkat Han Cin bukan saja pandai tata rias diapun pandai ilmu
pengobatan, meski Han Cin tidak mewarisi kedua ilmu ini secara sempurna, tapi
kepandaiannya sudah cukup lumayan dan tinggal menambah pengalaman dalam
praktek. Setelah dia memeriksa urat nadi, diam-diam hatinya amat kaget,
ternyata penyakit Lo-ongya memang cukup parah, "penyakitnya timbul karena
penasaran dan kemarahan yang tidak terlampias, maklum sejak lama dia hidup
dalam kebesaran dengan gengsi dan pamor yang dijunjung tinggi, kapan pernah dia
mengalami siksa derita sebagai tawanan yang dihina begini. Umpama dapat
meloloskan diri, mungkin penyakitnya tetap takkan bisa disembuhkan,"
demikian pikir Han Cin.
"Bagaimana?" tanya
Sa Thong-hay dari samping.
"Tuan ini kehilangan
kontrol pada dirinya sendiri, sehingga peredaran darahnya kurang lancar, hawa
mengeras dalam perut sehingga menimbulkan serangan angin luar dan desakan hawa
dalam," lalu dia sebutkan pula beberapa penyebab si penderita jatuh sakit
yang ternyata jitu. Mendengar penjelasannya lancar dan tepat, diam-diam Sa
Thong-hay berpikir: "Agaknya kepandaiannya memang lebih tinggi dari tabib
yang kuundang kemarin," maka dia berkata: "Apa kau yakin dapat
menyembuhkan penyakitnya? Harus berapa hari?"
"Penyakitnya memang tidak
ringan, tapi masih ada setitik harapan, cuma harus berapa hari baru dapat
kusembuhkan sukar kuramalkan. Baiklah kubuka resep obatnya."
"Baik, silakan tabib
membuka resepnya dengan baik," kata Sa Thong-hay.
Dari kotak obatnya Han Cin
keluarkan alat-alat tulisnya diletakkan di atas meja, Sa Thong-hay duduk di
depannya secara berhadapan. Dia bantu mengaduk tinta, sementara Han Cin
menunduk memejam mata seperti memikirkan obat.
Setelah tintanya diaduk
kental, Sa Thong-hay berkata: "Sudah tabib pikirkan obatnya yang tepat?"
"Sudah kudapatkan,"
ujar Han Cin. Mendadak tangannya menggebrak meja, gebrakan meja ini dia gunakan
tenaga dalam, maka tinta yang diaduknya itu tahu-tahu muncrat dan menyembur ke
muka Sa Tong-hay
Kejadian amat mendadak, karuan
Sa Thong-hay amat kaget, baru saja mulutnya terpentang dan sempat menjerit
sekali, cepat sekali Han Cin sudah mencengkram urat nadinya.
Segera Ciok Khong-goan sudah
menerjang masuk seraya membentak: "Apa yang kau lakukan?" melihat Sa
Thong-hay dibekuk orang, dia tidak hiraukan temannya, tapi langsung memburu ke
arah ranjang.
Tujuan Han Cin hendak membekuk
Sa Thong-hay sebagai sandera untuk meloloskan diri, tak kira Ciok Khong-goan
tidak hiraukan ancamannya, malah dia sendiri sekarang yang diancam: "Lekas
lepaskan Sa-tayjin, Kalau tidak biar kubunuh dulu Lo-ongya," demikian
bentak Ciok Khong-goan. Belum habis dia bicara, "Bret" kelambu telah
ditariknya sobek dan rontok berhamburan.
Walau tahu Ciok Khong-guan
hanya main gertak, namun mau tidak mau Han Cin kaget juga. Dalam keadaan
segenting ini tak sempat dia banyak pikir, sekali jinjing dia lempar tubuh Sa
Thong-hay ke arah Ciok Khong-goan. Lekas Ciok Khong-goan lompat menyingkir,
terdengar "Wut", cambuk lemas di pinggang Han Cin sudah terlolos dan
menyapu datang dengan tipu Wi-hong-sau-yap (angin lesus menyapu daun), kedua
kaki Ciok Khong-goan dijadikan sasaran.
Sekenanya Ciok Khong-goan
membalikkan tangan, tapi ujung cambuk tidak kena ditangkap, namun gerakan
tangannya menimbulkan deruan angin yang menyibak cambuk itu ke samping, namun
demikian diapun merasakan tulang pergelangan tangannya kesakitan, terpaksa dia
menyurut mundur, teriaknya: "Gasak dia..."
Dalam pada itu Sa Thong-hay
jatuh terjengkang dengan kaki tangan di atas, pantatnya kesakitan, bentaknya
merangkak sambil memegang pantat: "Anak kura-kura, berani kau membokong
aku, kalau tidak kugayang kau, aku bersumpah tidak jadi manusia."
Han Cin kembangkan ilmu
cambuknya bertahan di depan ranjang, tapi sepasang kepalan susah melawan empat
tinju, hanya beberapa jurus keadaannya sudah kepepet dan terdesak di bawah
angin. Terpaksa Han Cin berteriak: "Toan-toako, lekas kemari," belum
lenyap suaranya, mendadak terdengar suara "Biang" jendela ditendang
ambrol, Toan Kiam-pingpun telah mencelat masuk.
"Minggirlah kalian,"
hardik Toan Kiam-ping, dimana kedua jarinya terjulur, tiba-tiba mengancam muka
Ciok Khong-goan, bola mata orang menjadi sasaran cakarnya. Ciok-Khong-goan kira
Pangeran raja ini adalah pemuda lemah yang biasa hidup mewah, betapa tinggi
kepandaiannya? Sungguh tak terpikir olehnya bahwa gerak serangannya ternyata
setangkas ini, baru saja daun jendela tertendang ambrol, tahu-tahu serangan
orangpun telah tiba di depan matanya. Pandangannya menjadi kabur, dilihatnya
jari lawan tahu-tahu sudah hampir menyentuh kelopak matanya.
Serangan ini memaksa lawan
untuk menyelamatkan diri sendiri, bila Toan Kiam-ping menekuk jari dan
mencukilnya, tanggung kedua biji mata Ciok Khong-goau akan dicukil nya buta,
betapapun besar nyali Ciok Khong-goan, sudah tentu tidak rela matanya buta,
lekas dia melompat mundur.
"Ayah, jangan
takut," teriak Toan Kiam-ping, "anak datang menolongmu,"
menyingkap kelambu dengan sebelah tangan dia memeluk ayahnya.
Tapi Ciok Khong-goan telah
menyerbunya lagi seraya membentak: "Anak keparat, inilah yang dinamakan di
sorga ada jalan kau tak mau kesana, neraka buntu justru kau terjang, lebih baik
kalian ayah beranak kumpul bersama di hadapan Giam-lo-ong," mulut memaki
sepasang telapak tangan memukul. Jurus serangan ini dinamakan
Ban-liong-siang-jong-ciang, salah satu jurus yang terliehay dari ilmu pukulan
Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkannya.
Dengan enteng seperti tidak
menggunakan tenaga Toan Kiam-ping menepuk sekali, kekuatan pukulan Ciok
Khong-goan yang dahsyat itu seketika dipunahkan dengan seenaknya saja, terasa
olehnya tenaga lunak lawan ternyata tidak sirna begitu saja, daya pantulnya
masih terus menerjang maju dengan tenaga lengket yang sangat kuat, sehingga
tanpa kuasa dia berputar satu lingkar baru mampu kendalikan gerak gerik
sendiri, karuan kagetnya bukan main, lekas dia cabut gotok yang terselip di
pinggangnya untuk berjaga di depan dada.
Dengan napas memburu Lo-ongya
berteriak: "Anak Ping, apa betul kau yang datang. Ai, kenapa kau menempuh
bahaya sebesar ini? Usiaku sudah lanjut, apa gunanya kau menolongku. Lekas,
jangan hiraukan aku, larilah sendiri. Keluarga Toan kita tinggal kau seorang
yang harus melanjutkan keturunan. Selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir
kehabisan kayu bakar. Dengarkan nasehatku. lekas lepaskan aku."
"Ayah," kata Toan Kiam-ping,
"pejamkan mata dan jangan saksikan apa yang terjadi. Anak pasti dapat
menolongmu," dengan sebelah tangannya dia kembangkan Tay-kim-na-jiu
melawan rangsakan golok baja Ciok Khong-goan, ternyata Ciok Khong-goan tidak
mampu mendesak maju, tapi dalam waktu dekat diapun tak mampu menerjang keluar.
Terdengar Ling Khong-tik
menghardik keluar: "Jangan rintangi aku, mati atau hidup kalian sendiri
yang menentukan," lalu terdengar suara "Biang", kedengaran
seorang telah dipukulnya roboh, belum lagi langkahnya memasuki kamar, pukulan
jarak jauhnya sudah menerjang ke tubuh Ciok Khong-goan.
Lekas Toan Kiam-ping kempit
badan ayahnya terus menerjang keluar pintu. Han Cin ikut keluar di belakangnya,
karena membawa ayahnya yang sedang sakit, Toan Kiam-ping tidak berani lari
kencang dan lompat naik turun, baru saja dia tiba di pintu belakang hotel itu,
dirinya sudah terkejar oleh kawanan cakar alap-alap. Di belakang pintu ternyata
adalah tegalan yang berumput liar yang cukup luas, cepat sekali Huwan bersaudara
sudah berancang dengan posisi masing-masing, Toan Kiam-ping terkepung di tengah
barisan mereka. Sa Thong-hay biarkan Ciok Khong-goan melabrak Han Cin,
sementara dia sendiri memberi aba-aba, katanya bergelak tertawa: "Ling
Khong-tik, kami hanya membekuk pelanggar hukum, kini mereka ayah beranak sudah
berada di tangan kami, terus terang aku tidak ingin mempersulit dirimu. Nah
tahulah diri, lekas menyingkir yang jauh," lalu dia membentak kepada Toan
Kiam-ping: "Kalau kau ingin menyelamatkan jiwa ayahmu, lekas
menyerah."
Pada saat itulah, sesosok
bayangan orang yang kurus kecil entah menerobos dari mana tahu-tahu sudah
berada di samping Toan Kiam-ping. Kejut dan girang Toan Kum-ping teriaknya:
"Siau-ni-cu, kenapa kau masih ada disini? Kau. lekas kau..."
Ternyata yang menerobos
mendadak ini adalah kacungnya Toh N i, perawakan Toh Ni memang kurus kecil,
perhatian Huwan bersaudara hanya terpusat pada Toan Kiam-ping, mimpi juga
mereka tidak mengira bahwa pemuda ini sebesar itu nyalinya, mendadak menerobos
masuk kalangan dari samping mereka.
Toh Ni menukas perkataan Toan
Kiam-ping: "Serahkan Lo-ongya kepadaku."
Di saat Toh Ni menerjang masuk
kalangan, kebetulan Ling Khong-tik juga menerjang datang, Sa Thong-hay
membentak: "Kau tua bangka ini memang tidak tahu diuntung."
Ling Khong-tik juga
menghardik: "Meski harus pertaruhkan jiwa tuaku ini, biar aku adu jiwa
dengan kalian," di tengah gerungannya beruntun dia melontarkan tiga kali
pukulan jarak jauh.
Melihat kelakuan orang yang
kalap seperti harimau mengamuk, Sa Thong-hay jadi jeri dan tidak berani
melawannya dengan kekerasan, terpaksa dia terdesak masuk dalam kalangan barisan
Huwan bersaudara.
Toan Kiam-ping yang berada
dalam kurungan barisan sudah tidak banyak pikir lagi, melihat kesempatan baik
ini, segera dia serahkan ayahnya kepada Toh Ni, katanya pilu: "Saudaraku
yang baik, kalau mampu lari berusahalah meloloskan diri, kalau tidak mampu
lolos biar kita gugur bersama."
Tanpa menggendong ayahnya Toan
Kiam-ping tidak menguatirkan apa-apa, dengan tekad untuk gugur bersama,
mendadak dia bersiul panjang dan nyaring, pedang pusakapun telah dilolosnya.
Dengan jurus Liu-sing-kan-gwat (meteor mengejar bulan), ujung pedangnya
bergetar menimbulkan gambaran berlapis-lapis, sekaligus tiga kuntum sinar
pedang berpencar menyerang ketiga jurusan, ke kiri menusuk Hiat-hay-hiat di
bawah lambung Huwan Liong, ke kanan menusuk Ji-toh-hiat di dada Huwan Pau dan
di tengah menusuk Hian-ki-hiat di ulu hati Huwan Hou. Satu jurus mengincar tiga
hiat-to di tiga tubuh musuhnya, hanya Huwan Kiau yang posisinya agak jauh tidak
menjadi sasaran serangan ini. Karuan Huwan bersaudara amat kaget. Tak pernah
mereka bayangkan bahwa Toan Kiam-ping anak raja yang disangkanya lemah dan
lembut ini memiliki ilmu pedang seliehay dan seganas ini, namun barisan pedang
mereka berempat hakikatnya juga amat tangguh dan tidak kalah hebatnya, meski
serempak menghadapi serangan balasan yang ampuh, tapi mereka tidak berusaha
secara individu untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi saling bantu dan tolong
menolong, sehingga rangsakan pedang Toan Kiam-ping berhasil dipunahkan, malah
Ling Khong-tik yang hendak menerjang masuk kalanganpun berhasil dibendung di
garis luar.
Ling Khong-tik seperti banteng
ketaton, menubruk seraya mengayun jotosannya merabu gencar ke arah Sa
Thong-hay, tahu-tahu telapak tangannyapun menempiling ke arah Huwan Kiau yang
paling dekat. Pukulannya sungguh seperti kampak yang mampu membelah gunung
dahsyatnya, atau palu godam yang menghancurkan batu raksasa. Sudah tentu Sa
Thong-hay tidak berani melawan, lekas dia menyingkir ke samping terus menerjang
kesana, sehingga Ling Khong-tik mendapat peluang melangkah satu tindak lebar.
Tapi tempilingannya ke arah Huwan Kiau ternyata dapat dipunahkan oleh tusukan
pedang Huwan Liong.
Untung lwekang Ling Khong-tik
sudah cukup tinggi, di saat-saat kritis itu, begitu merasa ujung pedang
mengancam tangan, lekas dia menarik napas mengempeskan dada dan perut sehingga
tusukan pedang ini tidak mengenai ulu hatinya, namun demikian, dada di bawah
teteknya sebelah kiri tergores luka oleh pedang musuh.
"Biang" ternyata
Ling Khong-tik yang berkelit dengan lompatan menyingkir ini sempat pula
menumbuk Huwan Hou sehingga orang jatuh terguling setombak jauhnya, sayang
karena tumbukan ini sehingga gerakannya sedikit tertunda sehingga dadanya
terluka kulitnya.
Barisan pedang yang rapat dan
dapat bekerja sama itu, karena Huwan Hou tertumbuk jatuh, seketika pecah dan
berantakan, betapa cerdik otak Toh Ni, segera dia menerjang keluar dari arah
yang bobol ini. Disusul Toan Kiam-ping, Han Cin dan terakhir Ling Khong-tikpun
telah lolos dari kepungan barisan pedang.
Di tengah jalan Han Cin
membubuhi obat di luka Ling Khong-tik, lwekangnya tangguh, dengan bantuan
pentung Han Cin dia masih dapat berlari bagai terbang. Lekas sekali mereka
sudah lari memasuki hutan. Toan Kiam-ping segera ber teriak:
"Siau-ni-cu."
Maka didengarnya suara
Siau-ni-cu, tapi bukan jawaban kepada dirinya, tapi berkata kepada majikan
tuanya: "Lo-ongya, coba buka matamu, siapa yang datang. Siau-ni-cu tidak
ngapusi kau bukan?"
Dengan langkah lebar Toan
Kiam-ping memburu ke dekat ayahnya, pelan-pelan Lo-ongya membuka matanya,
karuan dia kejut dan senang, teriaknya keras: "Anak Ping, betul-betul
kaulah. Aku, aku tidak sedang mimpi?"
Toan Kiam-ping berlutut, katanya
dengan sesenggukan: "Anak tidak berbakti, sehingga ayah menderita."
Lo-ongya menggigit jari
sendiri, rasanya sakit, jelas ini bukan dalam mimpi, katanya dengan suara
getir: "Terima kasih pada yang kuasa, kita ayah beranak dapat bertemu
lagi. Aku dapat lolos dari cengkraman iblis, meski takkan hidup lama lagi di
dunia fana ini, cukup puas juga hatiku."
"Ayah, jangan ngomong
yang tidak baik, kau akan kuat bertahan hidup."
Ling Khong-tik juga
menghampiri dan memberi salam hormat, melihat darah membasahi pakaiannya,
Lo-ongya amat kaget, tanyanya: "Ling Suhu, kau, kau terluka?"
"Ayah, kali ini Ling Suhu
yang nekat menolong anak keluar dari bahaya."
"Luka seringan ini
terhitung apa, sungguh aku amat menyesal tak mampu menolong Lo-ongya, bicara
sejujuraya kita harus banyak terima kasih kepada tabib Khu ini."
Sorot mata Lo-ongya beralih ke
arah Han Cin, Toan Kiam-ping sedang bingung cara bagaimana dia harus
memperkenalkan Han Cin kepada ayahnya, tapi ayahnya sudah berkata: "Aku
tahu, diapun mempertaruhkan jiwanya untuk menolongku. Tapi aku jadi curiga dan
ingin tanya kepadamu."
Han Cin sudah menerka soal apa
yang ingin ditanyakan, katanya: "Apa yang Lopek ingin ketahui?"
"Bahwa Ling Suhu
menolongku karena dia mengingat hubungan kami sebelum ini, tapi kau belum
pernah kukenal, kenapa kaupun rela mengorbankan diri untuk menolongku?"
Toh Ni tiba-tiba tertawa geli,
katanya: "Lo-ongya belum tahu bahwa dia..." "Dia kenapa?"
"Dia kini sudah termasuk
orang kita sendiri."
Maka Han Cin mencopot topinya sehingga
rambutnya yang panjang terurai, katanya: "Siau-Ii Han Cin pernah mendapat
budi pertolongan putramu, aku sedang berusaha membalas kebaikannya."
Toh Ni segera berjongkok dan
berbisik-bisik sekian lama di pinggir telinga Lo-ongya, dia ceritakan bagaimana
perkenalan Toan Kiam-ping dengan Han Cin serta hubungannya sejauh ini, sudah
tentu dia bumbui dengan ceritanya sendiri, secara tidak langsung dia sudah
memberi kisikan kepada majikan tuanya bahwa kedua muda mudi ini sudah saling
jatuh cinta, Han Cin adalah calon menantunya.
Kaget dan senang Lo-ongya,
katanya: "Nona Han, demi pertolonganmu sehingga aku tidak terhina di
cengkraman iblis, aku amat berterima kasih kepadamu. Tapi masih ada sebuah
permintaanku kepadamu, supaya selanjutnya kau baik-baik menjaga anak
Ping."
Han Cin menunduk tanpa
bersuara. Lo-ongya berkata pula: "Nona Han, sudikah kau menerima
permohonanku? Ah, ya, anak Ping, sepantasnya kau yang melamarnya secara
langsung."
Toan Kiam-ping berdiri,
katanya: "Nona Han, aku tahu aku tidak setimpal jadi jodohmu, tapi sudi
kiranya kau memandang muka ayahku, terimalah..."
Merah muka Han Cin, katanya:
"Bukan aku tidak menerima, sebaliknya aku yang tahu bahwa aku tidak
setimpal jadi pasanganmu. Lo-ongya, aku harus terus terang kepadamu, aku anak rakyat
jelata yang sudah sebatang kara. Selanjutnya hidupku sebagai perempuan Kangouw
yang mungkin selalu keliaran di dunia persilatan, mungkin tidak cocok dengan
keluarga kalian yang bangsawan."
Lo-ongya batuk-batuk, katanya
perlahan: "Jangan berkata demikian nona Han. Perkataanmu membuatku amat
menyesal. Memang dulu aku kuatir kena perkara, maka aku larang anakku bergaul
dengan orang persilatan. Kini setelah mengalami pahit getir ini, aku jadi
sadar, urusan justru mencari perkara kepadamu. Kelak kalian suami istri senang
melakukan apa boleh terserah dengan keinginan kalian. Boleh kalian kelana di
Kangouw, lakukan perbuatan bajik dan berantas sebanyak mungkin kaum
lalim."
Setelah mendengar penjelasan
Lo-ongya, baru Han Cin mengangguk.
Lo-ongya. tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Nona Han sudah terima lamaranmu, anak Ping, selanjutnya kau
harus melayaninya baik-baik sebagai istrimu tercinta. Semoga kalian hidup rukun
dan bahagia sampai hari tua, banyak anak tambah rejeki," di tengah gelak
tawanya itu dia mangkat dengan tenang.
Maklum selama ini dia sebagai
raja tanpa mahkota yang dijunjung dan dipandang agung oleh rakyat Tayli,
biasanya hidup senang dan berkecukupan, kapan pernah mengalami derita dan siksa
seburuk ini, kesehatannya semakin memburuk selama digusur dalam kereta, kini
boleh dikata tinggal api yang sudah kering kehabisan minyak, setelah keinginan
tercapai, maka jiwanyapun melayang.
Toan Kiam-ping menangis
gerung-gerung. Han Cin membujuknya: "Ping-ko, ingatlah pesan ayah, masih
banyak urusan yang harus kita bereskan."
Toan Kiam-ping sadar, lekas
dia seka air mata, katanya: "Ayah berpesan supaya kita lebih banyak
memberantas kaum dorna. Liong Bun-kong bangsat keparat itu adalah pembunuh ayah
tidak langsung, setelah membereskan jenazah ayah, mari kita ke kota raja."
Dengan berlinang air mata Ling
Khong-tik berkata: "Ada maksud aku membantu apa daya tenaga tidak sampai.
Semoga Kongcu leluasa di kota raja, dengan tangan sendiri kau penggal kepala
musuh supaya arwah Lo-ongya tentram di alam baka. Ai, tapi..."
"Tapi kenapa?" tanya
Toan Kiam-ping melengak.
"Perasaanku sekarang
serba kontras, ada beberapa patah kata ingin kusampaikan kepada Kongcu."
"Ling Suhu, kupandang kau
adalah angkatan tuaku sendiri, ada pesan apa boleh kau katakan saja."
"Di samping mengharap
kalian sukses dengan menuntut balas kematian ayah bunda, tapi aku juga kuatir,
keluarga Toan tinggal kau seorang yang harus meneruskan keturunan, hatiku tidak
lega membiarkan kau menempuh bahaya. Coba pikir pembesar anjing she Liong itu sebagai
sekretaris militer dan merangkap Kiu-bun-te-tok sekelilingnya dijaga jago-jago
kosen yang tidak terhitung jumlahnya. Meski menuntut balas amat penting
artinya, tapi kalian jangan bertindak secara gegabah."
"Nasehat Ling Suhu pasti
selalu kuperhatikan," demikian ucap Toan Kiam-ping.
"Aku punya seorang teman,
semula dia tinggal di Gun-bing dalam keluarga Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun,
karena leluhurnya dulu pernah menjabat pangkat di kota raja, sekarang masih
punya peninggalan disana. Aku tahu alamatnya di kota raja, menurut apa yang
kuketahui dia ada hubungan juga dengan Bu-lim-pat-sian, maka boleh setiba di
kota raja kau mengadakan hubungan dengan dia," lalu dia menulis nama dan
alamat di atas secarik kertas dan diberikan kepada Toan Kiam-ping, tak lupa
diapun mencopot sebentuk cincin dari jari manisnya yang berbentuk aneh warna
hijau bonteng, cincin ini sebagai tanda pengenal.
Dengan bercucuran air mata
Toan Kiam-ping memberi hormat serta menerima cincin itu, sudah tentu tidak lupa
dia menghaturkan banyak terima kasih. Setelah mengubur jenazah ayahnya, bersama
Han Cin dia melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kali ini mereka sama-sama
berdandan sebagai pelajar, anak sekolahan yang mau menempuh ujian di kota raja.
Hari itu mereka sampai di kota
raja, di waktu memasuki kota, tampak oleh Toan Kiam-ping Han Cin seperti
termenung memikirkan sesuatu, tanyanya: "Eh, adik Cin, apa yang sedang kau
pikirkan?"
Han Cin menoleh, katanya:
"Ping-ko, seharusnya kau tahu apa yang kupikirkan, semoga setelah kita berada
di kota raja, selekasnya bisa bertemu mereka."
"O, jadi kau merindukan
Tan Ciok-sing dan In San?"
"Memangnya kau tidak
merindukan mereka? Ping-ko, tempo hari waktu kau mengantarku ke markas Kim-to
Cecu kau tidak mau tinggal di atas gunung, apakah pada waktu itu kau sengaja
hendak menghindari mereka? Sekarang tentunya kau tidak perlu kuatir berhadapan
dengan mereka?"
Merah, muka Toan Kiam-ping,
katanya: "Adik Cin, secara resmi kau kini adalah istriku tercinta, hatiku
hanya kuberikan kepadamu seorang, seperti juga kau ingin selekasnya bertemu
dengan mereka, supaya mereka tahu tentang pernikahan kita. Kuyakin setelah
mereka tahu pasti mereka juga ikut senang."
"Ping-ko aku hanya
berkelakar, kenapa kau jadi serius ini? Sudah tentu aku percaya padamu, semoga
merekapun membawa kabar baik untuk kita, entah sekarang mereka sudah tiba
disini belum?"
000OOO000
Kalau Toan Kiam-ping dan Han
Cin merindukan Tan Ciok-sing dan In San. Sebaliknya Tan Ciok-sing dan ln San
juga sedang merindukan mereka. Sudah beberapa hari lebih dulu Tan Ciok-sing dan
ln San tiba di kota raja.
In San dilahirkan di Pakkhia,
tujuh tahun lamanya dia hidup di kota raja di masa kecilnya, setelah tujuh
tahun ayahnya baru membawanya pulang ke Tay-tong.
Kenangan masa lalu sukar terlupakan,
meski dahulu dia masih kecil, namun lapat-lapat masih dikenal olehnya dimana
letak gedung tempat tinggal kakek luarnya, diapun masih ingat dimana alamat
keluarga Liong, suatu hari dia mencari tahu, ternyata kakek dan nenek luarnya
sudah lama meninggal. Seorang adik ibunyapun sudah lama meninggalkan Pakkhia,
jadi tiada sanak kadangnya lagi di kota besar ini. Maka bersama Tan Ciok-sing,
In San menyewa sebuah rumah bobrok yang terletak di belakang taman, letaknya
tidak jauh dari gedung keluarga Liong.
Semasa In San masih di Pakkhia
dulu, ibunya belum menikah pula, tapi Liong Bun-kong sering datang ke rumah
kakeknya, diapun pernah ikut ibunya main-main ke rumah keluarga Liong dan
menginap disana. Maka seluk beluk rumah keluarga Liong itu sekarang masih hapal
diluar kepala.
Sayang malam pertama mereka
menyelundup ke rumah keluarga Liong tidak menemukan bayangan Liong Bun-kong,
bayangan Liong Seng-bu juga tidak kelihatan.
Dari percakapan penjaga malam
yang mereka curi dengar baru diketahui bahwa Liong Bun-kong sedang menghadiri
undangan Duta Watsu yang mengadakan perjamuan dan ramah tamah, dua hari dia
menginap disana. Hari ketiga baru Duta Watsu itu akan membalas kunjungan
mertamu di rumah keluarga Liong. Seluruh penghuni gedung keluarga Liong tampak
sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Duta Watsu itu,
karena kemungkinan Duta Watsu itu akan menginap dua malam disini.
Tentang Liong Seng-bu ternyata
sedang keluar entah kcmana dan belum kembali, tapi dari percakapan penjaga
malam itu dapat dipastikan, dalam dua hari ini pasti Liong Seng-bu akan pulang
juga. Di bawah petunjuk In San, bersama Tan Ciok-sing mereka menyelidiki gedung
keluarga Liong tanpa menemui rintangan apapun, bahwa mereka pulang pergi tanpa
menemui halangan sedikitpun sungguh diluar dugaan.
Setiba di tempat kediaman, Tan
Ciok-sing tertawa, katanya: "Siapa nyana jago-jago pelindung gedung
keluarga Liong semuanya tidak becus, kukira kita bakal kepergok oleh jago-jago
kosen mereka."
"Anak buah bangsat tua
yang paling lichay adalah Lenghou Yong. Pernah kau bilang kau pernah bergebrak
melawannya."
"Dia ditugaskan menangkap
Khu Ti, kebetulan dia kepergok aku di Ong-gu-san, kepandaian keparat itu memang
tidak lebih asor dari Thi Ciang-hu. Kalau semalam dia ada di gedung keluarga
Liong, mungkin kita takkan leluasa keluar masuk."
"Mungkin bangsat tua she
Liong itu menyuruhnya mengawal selama kcpergian ini. Tapi kenapa Huwan
bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay koh tidak kelihatan."
"Ke enam orang ini
kemungkinan diutus pergi ke Tayli."
"Dari mana kau
tahu?" "Apa kau tidak ingat pembicaraan kedua penjaga malam di
pinggir gunungan semalam? Waktu itu mereka sedang membicarakan kenapa Liong
Seng-bu keluar di saat duta-duta Watsu itu bakal berkunjung ke rumah
pamannya."
"Aku hanya dengar akhir
pembicaraan mereka. Peronda yang bertubuh tinggi waktu itu berkata:
"Sungguh aku tidak habis mengerti, kenapa Tit-siauya begitu memandang
mereka sedemikian pentingnya? Peronda bertubuh kurus itu berkata: "Kukira
Tit-siauya sudah tidak sabar menunggu, maka dia ingin cari tahu sendiri. Maksud
Tit-siauya adalah ingin dua hari lebih cepat memperoleh kabar positip, kau kira
dia memandang kerja mereka yang berjerih payah itu lalu pergi
menyambutnya?" dari pembicaraan ini dapat disimpulkan bahwa orang yang
diutus dan dikata hendak disambut itu hakikatnya berkedudukan kira-kira sepadan
mereka, maka mereka merasa uring-uringan.
Dari membayangkan percakapan
kedua peronda itu, ln San lantas sadar, katanya: "Bukan mustahil yang
disambut oleh bangsat kecil itu adalah Huwan bersaudara, Ciok Khong-goan dan Sa
Thong-hay berenam."
"Kukira memang
demikian."
"'Sebelum itu, mereka
membicarakan apa?"
"Kudengar dua patah kata
lebih banyak dari kau," ternyata waktu itu Tan Ciok-sing berjalan di
depan, iwekangnya iebih tinggi juga, maka pendengarannya lebih tajam.
"Soal apa yang
dibicarakan?"
"Patah pertama diucapkan
si gendut, dia bilang: "Mereka sudah pergi sebulan lebih selayaknya sudah
pulang dari In-lam."
"In-lam?"
"Si kurus itu lalu
berkata: "Mungkin terjadi sesuatu pada' mereka?"
Diam-diam In San kaget,
"Kalau demikian, buronan yang hendak ditangkap kawanan cakar alap-alap itu
adalah Toan-toako."
"Keluarga Toan mendapat
junjungan rakyat setempat, mata kupingnya luas, Kungfu Toan-toako tidak lemah,
kukira kawanan cakar alap-alap itu takkan mudah berhasil. Beberapa hari lagi
bangsat kecil itu toh akan pulang, tiba waktunya kita pasti dapat memperoleh
kabar yang positip juga."
"Benar, setelah bangsat
cilik itu pulang baru kita turun tangan, bangsat tua dan kecil sama-sama
diringkus, sebelum membunuh mereka tak terlampias dendamku."
"Lebih baik di saat
bangsat cilik itu pulang, Duta Watsu itupun berada di rumah keluarga
Liong."
"Dijaring sekalian sudah
tentu memang baik. Tapi itu berarti lawan yang harus kita hadapi lebih banyak
dan tangguh."
"Memangnya aku sudah
bertekad untuk berjuang sampai titik darah terakhir, aku tidak pikir pulang
dengan hidup, aku tahu kaupun sependapat dengan aku. Diundur beberapa hari juga
tidak jadi soal bukan?"
Kedua orang seia sekata. In
San berkata tertawa: "Kita bisa berkumpul beberapa hari lagi, sudah tentu
aku amat senang. Dan lagi, kau belum pernah ke Pakkhia, biarlah aku menunjuk
jalan, beberapa hari ini kita boleh bertamasya seriang mungkin."
"Benar, aku sedang kuatir
tidak sempat menikmati daerah pariwisata di Pakkhia, kini agaknya keinginan
bakal terkabul," lalu Ciok-sing menambahkan, "Tempat lain tidak
dikunjungi tidak jadi soal, tapi Ban-li-tiang-shia harus," tiba-tiba
dilihat mimik In San guram seperti memikirkan sesuatu, dengan kaget Ciok-sing
bertanya: "Adik *San, apa yang sedang kau pikirkan? Kau tidak senang
tamasya di tembok besar?"
"Tidak apa, aku sedang
pikir, akupun belum pernah ke tembok besar, kebetulan bisa kesana bersama
kau," ternyata waktu kecil dia masih berada di Pakkhia. ibunya sering
bertamasya bersama Liong Bun-kong, namun dia tidak pernah diajak. Sekali
ayahnya membawanya pulang ke kampung halaman, ibunya sedang bertamasya di
tembok besar bersama Liong Bun-kong. Terkenang akan masa lalu, dia lebih sedih
dan kasihan pada ibunya yang tertipu, semakin besar pula rasa kebenciannya
terhadap Liong Bun-kong sehingga sejak kecil dirinya tidak pernah mengecap
cinta sejati seorang ibu terhadap putrinya.
"Baiklah akan kuatur
jadwal bertamasya, tapi tamasya ke tembok besar akan kuatur pada acara
terakhir. Aih, bicara kurang pantas, setelah tamasya ke tembok besar itu, tidak
sia-sialah perjalanan dan tujuan kedatangan kita terakhir kali ini,"
demikian ujar In San rawan.
000OOO000
Ban-li-tiang-shia dibangun
mulai dari Kia-kok-koan sampai San-hay-koan, tembok besar ini berliku dan
seperti merambat di pegunungan sejauh dua belas ribu li, sepanjang itu tak
sedikit terdapat pos-pos penjagaan yang letaknya amat berbahaya. Ki-yong-koan
dan Pat-tat-nia adalah dua di antaranya. Bagi pelancongan yang datang dari
Pakkhia dan ingin tamasya di tembok besar kebanyakan lewat Pat-tat-nia, bagi
kalangan militer Pat-tat-nia dianggap sebagai pos terdepan dari Ki-yong-koan
yang strategis, tembok besar di sepanjang pegunungan ini kira-kira sejauh
belasan li dari Ki-yong-koan. Tembok besar yang terletak disini merupakan yang
tertinggi dari sepanjang tembok yang dua belas ribu li itu.
Berada di atas Pat-tat-nia
akan tampak tembok besar yang legak legok seperti naga merambat. Sebelum berada
di tembok besar, mereka sudah melewati Ki-yong-koan, letaknya di utara Lam-gau,
dua sisinya diapit gunung tinggi di tengah merupakan sebuah selat sempit yang
menyerupai selokan lebar. Kala itu adalah permulaan musim semi, kembang sedang
mekar semerbak di tanah pegunungan yang belukar, seluas mata memandang seperti
permadani hijau yang dihiasi kelompok kembang mekar, alam permai hawa sejuk.
Tangan bergandeng tangan
mereka berdua terus menanjak ke tembok besar yang paling tinggi, dari
ketinggian ini mereka bisa melepas pandang ke empat penjuru, tampak tembok
besar terus menjalar turun ke kaki bukit dan selulup timbul di atas pegunungan,
di arah kota Pakkhia sana, asap tampak mengepul, lapat-lapat tampak puncak
sebuah menara putih di tengah kepulan asap, itulah puncak menara putih yang
berada di Pak-hay.
In San melihat cuaca, katanya:
"Sudah hampir tengah hari, marilah kita pulang."
"Lho, koh sepagi ini
sudah pulang?"
"Kalau kita menunggang
kuda milik Kanglam Sianghiap, menjelang magrib juga belum terlambat. Tapi kini
kita berjalan kaki."
"Pulang lebih dini juga
baik, boleh memupuk semangat untuk mempersiapkan aksi nanti malam."
"Dalam perjalanan pulang
nanti, bisa kita lewati beberapa obyek yang bisa kita nikmati."
Mendengar In San menyinggung
kuda putih milik Kanglam Sianghiap, secara langsung Tan Ciok-sing terkenang
akan Toan Kiam-ping, katanya: "Kuda putih yang dipinjamkan aku oleh Kwik
Ing-yang sudah kutitipkan Toan-toako untuk dikembalikan. Entah kuda itu
sekarang masih berada di tangannya?"
Sudah tentu mereka tidak tahu,
teman yang sedang mereka rindukan bersama kedua ekor kuda itu kini sedang
berada di pegunungan ini pula.
Ternyata Toan Kiam-ping dan
Han Cin juga sudah tiba di kota raja, mereka sudah kontak dengan Liong-bun-kiam-khek
Coh Ceng-hun, hari dan waktunya sudah dijanjikan untuk membunuh pembesar dorna.
Merekapun punya tekad yang sama dengan Tan Ciok-sing, sebelum melaksanakan
tugas bakti ingin mereka tamasya dulu di tembok besar.
In San membawa Tan Ciok-sing
pulang lewat jalan lain. Kira-kira tengah hari, mereka sudah melihat
Ki-yong-koan, yang bertenggci gagah di pegunungan. Tengah berjalan tiba-tiba
didengarnya suara tang ting yang merdu d.m mengasyikkan, suaranya bak irama
musik -dewata yang bergema diangkasa, amat jelas dan lengang "Eh, darimana
datangnya su.u.i kecapi," demikian Tan Ciok-sing bersuara heran.
In San tertawa geli, katany.i
"Ahli musik macammu terny.u.i juga terkecoh kali ini, itu buk.in suara
kecapi."
"Aku tahu itu bukan
sii.ii.i kecapi, tapi suara dan nadanya amat mirip."
"Tempat ini dinamakan
Sian-khim-sia (selat menabuh kecapi), gemericik air yang bergema didalam selat
menimbulkan reflek suara yang menyerupai kecapi. Aku tahu hobimu adalah musik,
maka kuajak kau lewat sini supaya dapat menikmati irama kecapi alam."
Lama Tan Ciok-sing mematung
sHmbil menggendong tangan menikmati irama kecapi alam yang merdu sehingga
hampir lupa daratan.
Tiba-tiba In San berkata:
"Tan-toako, sudikah kau melakukan sesuatu untukku?"
"Jangan kata sesuatu, sepuluh
kali juga aku rela melakukan untuk dikau."
"Tempat ini bernama
Sian-khim-sia, aku pingin mendengar petikan kecapimu."
"Harpa warisan leluhurku
ini, dari Toan Kiam-ping sudah dikembalikan padaku, sejak itu belum pernah
kupakai lagi. Coba biar kupikir, lagu apa yang pantas kupetik untuk kau?"
Pandangannya nanar ke tempat
jauh, lama sekali seperti mengenang sesuatu, akhirnya dia berkata perlahan:
"Toan-toako pernah minta aku memetik Khong-ling-san, karena lagu ini
membawa firasat yang kurang baik, maka tidak pernah aku mau memetiknya.
Sekarang kita tidak perlu kuatir akan segala pantangan, biarlah kupetik lagu
ini."
Khong-ling-san adalah buah
karya Hoat Khong yang paling top menjelang dia menjalani hukuman matinya,
musikus genius ini melimpahkan segala perasaan kemanusiaan didalam buah
karyanya ini, entah itu rasa riang gembira, sedih pilu atau kebahagiaan hidup
dan kerawanan hati menjelang mati, dan itu mencocoki keadaan Tan Ciok-sing
sekarang.
ln San senang, katanya:
"Jadi kau juga dapat memetik Khong-ling-san yang sejak dahulu sudah putus
turunan, sungguh baik sekali. Mati atau hidup apa bedanya, paling penting dapat
menikmati lagu yang satu ini, sudah tentu aku tidak peduli segala pantangan
segala."
Perlahan dan mengalirkan
petikan harpa dari gerakan jari jemari Tan Ciok-sing, bagian depan
Khong-ling-san melukiskan suasana riang gembira, mengenang betapa senang di
kala bertamasya dengan kawan, bagi pendengaran In San seperti keasyikan nan
mesra antara sepasang kekasih yang sedang menikmati kebesaran alam nan permai
ini, tanpa terasa dia berdiri pesona, arwah seperti tersedot ke alam bebas yang
memabukkan. Tiba-tiba nada lagu berubah, seperti dari musim semi dimana kembang
tengah mekar semerbak mendadak musim rontok nan gersangpun telah tiba, suasana
menjadi dalam keadaan hampa dan serba menyedihkan. Bila lagu dinikmati lebih
lanjut, suasana seperti didalam pegunungan nan liar belukar mendengar pekik
orang hutan, isak tangis seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Sebelum
habis lagu ini dipetik, In San sudah tidak kuasa mengendalikan emosi, air mata
bercucuran.
000OOO000
Suara harpa mengalun bebas di
alam pegunungan tersiar luas terbawa angin, Tan Ciok-sing kira tiada orang lain
di pegunungan ini, tak nyana ada juga orang yang mendengar petikan harpanya,
orang itu adalah Toan Kiam-ping. Walau tidak jelas, namun dia sudah mulai
curiga
Saat mana Toan Kiam-ping
tengah berada di panggung Bok Kwi-ing menginspeksi pasukan bersama Han Cin,
tengah dia membayangkan betapa gagah perwira patriot perempuan jaman dahulu
memimpin pasukannya menggempur penjajah. Letak panggung ini teraling sebuah
lekuk gunung dengan Sian-khim-sia dimana sekarang Tan Ciok-sing tengah memetik
harpanya.
Lwekang Toan Kiam-ping sudah
tinggi, pendengarannyapun jauh lebih tajam dari orang lain, hembusan angin
seperti membawa imbauan musik harpa yang sayup-sayup sampai.
Melihat Toan Kiam-ping
mendadak menghentikan langkah, seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu, Han
Cin tertegun, tanyanya: "Apa yang sedang kau dengarkan Ping-ko?"
"Apa kau tidak dengar,
seperti ada orang memetik harpa?" ujar Toan Kiam-ping.
Han Cin tertawa, katanya:
"Baru saja kita meninggalkan Sian-khim-sia, yang kau dengar mungkin gema
suara gericik air yang menyerupai senar-senar harpa itu?"
"Tidak, yang kudengar
kali ini yakin adalah petikan senar harpa tulen. Ah, begitu merdu mengasyikan
sekali, mungkin Tan Ciok-sing sedang memetik harpanya disana."
Maka Han Cin juga pasang
kuping, sayang saat mana Tan Ciok-sing sudah memetik sampai ritme terakhir,
suara harpapun telah berhenti, sudah tentu Han Cin tidak mendengar apa-apa
lagi.
Han Cin tertawa, katanya:
"Siang dipikirkan, malam bisa mimpi, walau sekarang kau tidak dalam mimpi,
mungkin karena kau terlalu merindukan Tan-toako sehingga timbul kayalan dalam
benakmu?"
Toan Kiam-ping masih bimbang,
tiba-tiba pikirannya tergerak, katanya: "Adik Cin, Tan Ciok-sing pernah
mendengar tiupan serulingmu bukan?"
"Benar, kenapa kau tanya
hal ini?"
"Aku pmgin mendengar
tiupan serulingmu. Petikan harpa Tan-toako tak bisa kunikmati, apa bedanya
menikmati tiupan lagu serulingmu."
Han Cin cukup pintar, dia tahu
kemana maksud tujuan sang suami, katanya tertawa: "Kau mengharap Tan
Ciok-sing mendengar serulingku? Semoga tidak akan mengecewakan dirimu."
"Jangan kau anggap meniup
seruling untuk Tan Ciok-sing, tapi untuk aku dengar. Seribu kali mendengar lagu
serulingmu aku juga tidak akan bosan, cuma sayang setelah hari ini berlalu,
mungkin selanjutnya takkan bisa mendengar tiupan serulingmu lagi."
Gejolak perasaan Han Cin
katanya: "Baiklah, kutiup sebuah lagu untuk dikau," maka seruling
batu jade dia keluarkan lalu pelan-pelan meniupkan lagu yang bernada
sentimentil.
Baru saja Tan Ciok-sing
memasukkan harpanya ke kotaknya dan siap-siap meninggalkan dia berdiri melenggong.
"E, eh, apa yang sedang
kau pikir Toako? Kenapa berhenti?" tanya In San.
"Aku seperti mendengar
suara seruling. Kalau bukan Kek Lam-wi pasti Han Cin yang meniup
seruling."
In San tertawa, katanya:
"Han-cici jauh berada diluar perbatasan, tanpa sebab mana mungkin bisa
berada di kota raja? Kek Lam-wi adalah salah satu tokoh dari Pat-sian
kemungkinan besar dia bisa datang. Tapi mungkinkah dia punya waktu senggang
untuk tamasya ke tembok besar ini?"
Tan Ciok-sing diam saja,
sesaat kemudian baru berkata: "Dengan seksama kuselami kekuatan nada dasar
seruling itu, kemungkinan besar seruling itu ditiup oleh Han Cin."
"Dapatkah kau mengukur
berapa jauh kira-kira tempat seruling itu berada?"
"Kalau tidak salah hanya
teraling oleh lekuk gunung itu."
"Aku sih tidak percaya
bahwa Han-cici bisa mendadak berada disini dan meniup serulingnya, tapi kalau
kau sudah menduga demikian, tiada halangannya kita kesana membuktikan."
Baru saja In San hendak
melangkah, tiba-tiba Tan Ciok-sing bersuara tertahan: "Nanti dulu, ada
orang datang."
Lwekang In San tidak setinggi
Tan Ciok-sing, suara seruling yang teraling sebuah lekuk gunung tidak dapat
didengarnya, tapi derap langkah kaki yang agak dekat tentu dapat ditangkap
ketajaman pendengarannya, diapun sudah mendengar suara orang.
"Tidak benar,"
tiba-tiba Tan Ciok-sing menggumam sambil mengerutkan kening.
"Apanya yang tidak
benar?" tanya In San melengak.
"Ada empat orang yang
mendatangi, suara salah seorang seperti sudah kukenal."
"Siapa dia?"
"Belum teringat olehku.
Eh, lebih tidak benar lagi, di antara empat orang ini seperti ada orang
Watsu."
Selanjutnya mereka tidak
bicara, keduanya sama mendekam mendengarkan suara dari bumi. Kini In San juga
sudah mendengar jelas ada empat orang yang mendatangi, tapi jarak mereka paling
dekat masih satu li jauhnya.
Terdengar oleh Tan Ciok-sing
suara yang dikenalnya itu sedang berkata: "Siau-ongya, itu bukan suara
harpa. Tempat di depan itu bernama Sian-khim-sia, yang kau dengar itu adalah
gemericik air didalam selat itu."
Dengan tertawa In San berbisik
di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Siau-ongya memang benar Siau¬ongya,
tapi Siau-ongya yang satu ini bukan Siau-ongya yang dulu itu."
"Benar sudah tentu bukan
Toan-toako. Tadi kudengar Siau-ongya ini bicara dua patah kata, entah apa yang
dia katakan, tapi .aku tahu dia menggunakan bahasa Watsu. Beberapa kali aku
pernah bertemu dengan tentara Watsu diluar Gan-bun-koan, meski tidak paham apa
yang dibicarakan, tapi aku dapat membedakan logat dan bahasa mereka."
Tengah bicara, tiba-tiba
tampak seekor burung terbang lewat di atas kepala mereka, burung ini berbulu
putih bagai salju, tapi kaki dan paruhnya ternyata berwarna merah menyala.
Timbul sifat kekanak-kanakan Tan Ciok-sing, katanya: "Indah benar burung
itu, suara kicauannyapun merdu. Waktu kecil sering aku menangkap burung untuk
hiburan, sayang sekarang tiada tempo lagi."
"Burung ini dinamakan
Soat-li-ang (merah dalam salju), konon setiap musim rontok pasti akan terbang
ke selatan, musim semi tahun depan baru terbang balik ke utara. Burung jenis
lain suka bergerombol, hanya burung ini yang suka hidup menyendiri, maka sukar
orang menangkap burung jenis ini."
Belum habis percakapan mereka,
tiba-tiba langkah orang banyak itu sudah semakin dekat, jelas tujuannya ke arah
mereka.
Mereka diam dan mendengarkan
dengan seksama, terdengar Siau-ongya itu berkata: "Sayang." Lalu
disusul suara yang sudah dikenal Tan Ciok-sing berkata: "Siau-ongya,
agaknya suka burung itu, kenapa tidak bilang sejak tadi? Kalau kutahu tentu tadi
kutembak jatuh. Tapi di pegunungan ini pasti banyak burung jenis itu, nanti
kalau kelihatan lagi, biar kutembak seekor untuk kau."
Tak lama kemudian, betul juga
tampak seekor Soat-li-ang terbang mendatang. Tan Ciok-sing dan In San masih
setengah li di sebelah depan rombongan empat orang itu, sudah tentu Soat-li-ang
harus terbang lewat di atas kepala mereka dahulu. Tiba-tiba tergerak akal Tan
Ciok-sing, lekas dia mencomot secuil lempung terus dijentikan, Soat-li-ang kena
ditembaknya telak dan jatuh tak berkutik. Lekas In San lari kesana memungutnya
dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya memuji: "Toako, tembakkanmu
sungguh telak dan tepat, burung ini tidak terluka scdikitpun."
Terdengar Siau-ongya itu
tengah berkata pula: "Aneh, baru saja kudengar kicau burung tadi, pasti
teman burung putih tadi, kenapa tidak kelihatan bayangannya?" sembari
bicara dia mempercepat langkah, lekas sekali rombongan orang itupun telah tiba
di Sian khim-sia. Mereka memang empat orang. Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala,
dilihatnya seorang pemuda berusia enam belasan berpakaian mewah perlente, tentu
dia inilah Pangeran cilik itu, dua lelaki yang berlari di belakangnya meski
berpakaian bangsa Han tapi jelas dari tampang mereka bahwa kedua orang ini
bukan orang Han. Tapi orang ke empat ternyata cukup mengejutkan hati Tan
Ciok-sing.
Ternyata orang ini bukan lain
adalah Lenghou Yong, setengah tahun yang lalu Tan Ciok-sing pernah melabraknya
waktu berada di Cui-hwi-hong tempat kediaman Khu Ti di puncak Ong-gu-san.
Untung Tan Ciok-sing sudah ganti
rupa sehingga Lenghou Yong tidak mengenali dirinya, namun melihat perawakannya,
dia merasa seperti pernah mengenalnya. Tergerak pikiran Lenghou Yong, segera
dia maju bertanya: "Hay, apakah kalian yang memetik harpa disini?"
"Tidak. Kami hanya duduk
disini menikmati irama kecapi," jawab In San.
"Kecapi petikan siapa,
mana orangnya?" tanya Lenghou Yong.
In San tertawa katanya:
"Petikan kecapi dari air yang mengalir."
Sementara itu Siau-ongya
melihat Soat-li-ang yang terpegang di tangan Tan Ciok-sing, segera dia memburu
maju seraya berseru senang: "Oh, ternyata burung ini tertangkap olehmu,
boleh aku melihatnya?"
Setelah pegang dan mengawasi
Soat-li-ang yang diterimanya semakin senang Siau-ongya, senyumnya lebar,
katanya: "Dengan cara apa kau menangkapnya? Sedikitpun dia tidak
terluka."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak
tahu bahwa orang adalah pangeran raja katanya: "Agaknya Kongcu suka pada
burung ini, biarlah kuberikan kepadamu."
"Aku baru mengenal kau,
mana boleh menerima barangmu," ujar Siau-ongya rikuh.
"Hanya seekor burung, kan
hanya mainan saja, tak terhitung apa-apa bukan?"
Betapa riang hati Siau-ongya
sampai dia berjingkrak-jingkrak, katanya: "Kau begini baik, siapakah
namamu, tinggal dimana?"
Sekenanya Tan Ciok-sing
sebutkan sebuah nama palsu, dikatakan dia di rumah seorang teman, sudah tentu
alamatnyapun ngawur saja, namun nama tempat itu memang ada diluar kota Pakkhia.
Siau-ongya itu berkata:
"Lui-heng, aku ingin bersahabat dengan kau, tapi ayahku menjagaku amat
ketat, hari ini aku hanya diperbolehkan kelayapan sebentar, mungkin tak bisa
mampir ke rumahmu, lebih baik kau saja yang mencariku?"
Lekas Lenghou Yong dan kedua
laki-laki Watsu memberi kedipan mata kepada Siau-ongya kuatir Siau-ongya yang
masih muda tidak tahu urusan ini, membeber asal-usul alamatnya kepada orang
luar. Bahwa pemuda ini memang benar seorang pangeran, tapi dia pangeran Watsu.
Kiranya Duta Watsu yang datang
secara rahasia ini adalah paman dari Khan agung yang berkuasa di Watsu
sekarang. Pangeran ini adalah anak bungsunya yang paling disayang. Siau-ongya
minta tamasya ke tembok besar, terpaksa Lenghou Yong ditugaskan sebagai
petunjuk jalan, sekaligus ikut melindunginya, untuk tidak menarik perhatian
orang dan supaya tidak tahu bahwa pemuda itu seorang pangeran, maka mereka
sengaja berpakaian seperti orang Han.
Meski Siau-ongya ini tidak
begitu paham urusan, tapi dia juga tahu tempat penginapan ayahnya di Pakkhia
tidak boleh sembarangan diketahui dan didatangi orang luar, setelah berpikir
akhirnya dia berkata: "Tahukah kau di kota Pakkhia ada seorang Liong
Bun-kong Liong-tayjin?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget,
katanya: "Maksud Kongcu Liong-tayjin dari Kiu-bun-te-tok itu?"
"Betul," ujar
Siau-ongya. "Liong-tayjin adalah teman baikku, boleh kau mencariku di
rumahnya. Kalau aku kebetulan keluar kau ada urusan apa yang ingin bantuanku,
boleh kau minta kepada Liong-tayjin. Kipasku ini kuberikan kepadamu sebagai
tanda kepercayaanku melihat kipasku ini, yakin apanya permintaan pasti dia
senang membantu kau," lalu dia keluarkan sebatang kipas, gagangan kipasnya
ternyata terbuat dari batu jade. Di atas kipas ada tulisan dan lukisan karya
Mi-lam-kiong yang terkenal pada dynasti Song dulu. Liong-bun-kong mendapat
hadiah kipas ini dari Baginda, kini dia rhadiahkan kipas itu kepada Siau-ongya,
sekarang Siau-ongya memberikan kepada Tan Ciok-sing
Dalam hati Tan Ciok-sing
tertawa geli, batinnya: "Yang kuhendaki adalah batok kepala Liong
Bun-kong." Tapi supaya Siauw-ongya tidak curiga, dan lagi dia merasa
sayang bila buah karya Mi-lam-kiong yang termashur itu jatuh ke tangan orang
Watsu, maka tanpa sungkan dia menerimanya, katanya dengan pura-pura kegirangan:
"Banyak terima kasih akan hadiah Kongcu, mana berani aku menginginkan
pemintaan lain? Waktu sudah siang, rumah kami jauh, sebelum petang sudah harus
sampai rumah mohon pamit saja."
"Diberi harus membalas
kan jamak," ujar Siau-ongya, "setiba di Pakkhia jangan lupa langsung
mencariku, beberapa hari lagi aku sudah akan pulang," sejak kecil bapaknya
mengundang guru sastra orang Han untuk mengajar membaca dan menulis bahasa Han,
maka logat perkataannya cukup fasih.
Lenghou Yong tiba-tiba tampil
ke depan, katanya cengar cengir: "Kau bocah ini sungguh ketiban rejeki,
seekor burung ditukar barang pusaka, masa depan gemilang masih menunggumu lagi,
hidupmu akan senang berkecukupan. Sebetulnya kau ini siapa, aku belum tanya
kau?"
"Aku yang rendah dengan
temanku ini adalah pelajar yang mau ujian di kota raja."
"Kalau kau mau menghadap
Liong-tayjin, mohon sekedar jabatan segampang membalik tangan, buat apa ikut
ujian segala?"
"Kami kaum pelajar yang
dikejar adalah kerja yang akan membawa kami ke masa depan nan jaya. Maaf kami
betul-betul ingin lekas pulang ke Pakkhia, hari ini sudah membuang banyak waktu
untuk tamasya ke tembok besar.
pelajaran jadi
terbengkelai."
Tawar perkataan Lenghou Yong:
"Lui-kongcu giat dan rajin belajar, memang harus dipuji. Kelak yakin kau
pasti dapat merebut Conggoan," di mulut dia mengumpak dan memuji, padahal
dalam hati dia sudah berniat berbuat jahat. Sembari bicara dia maju dua langkah
mendekati ke depan Tan Ciok-sing, mendadak dia berkata: "Barang apa yang
kau gendong ini?"
Yang digendong Tan Ciok-sing
adalah harpa warisan keluarganya itu, disimpan dalam kotak panjang dari kayu,
dengan sikap ketarik Lenghou Yong memberi tekanan suaranya dengan tepukan
tangan, dia kerahkan tenaga dalam tepukan telapak tangannya ini.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak membiarkan orang merusak harpa warisannya? Lekas dia berpura-pura kaget
serta tergopoh ketakutan, tubuhnya limbung ke depan dan hampir terperosok
jatuh. In San lekas memburu maju dengan laku yang gugup dan memapahnya sehingga
kedua orang gentayangan.
Tempat dimana Tan Cok-sing
berdiri adalah di pinggir selokan yang berlumut dan licin, karena pura-pura
kaget langkahnya sengaja dibuat terpeleset sehingga orang lain tidak menaruh
curiga akan tingkah lakunya. Pada hakikatnya dengan pura-pura terpeleset itu
sebetulnya dia telah mengembangkan gerakan Ih-sing-hoan-wi tingkat tinggi.
Karena tepukannya mengenai tempat kosong, tanpa merasa kaki Lenghou Yong
sendiri juga ikut terpeleset, namun dia lekas menggunakan Jian-kin-tui sehingga
tubuhnya tegak berdiri pula. Permainan sandiwara Tan Ciok-sing memang mirip
sekali, ternyata Lenghou Yong yang banyak pengalaman dan luas pengetahuan
inipun kena dikelabui, namun hatinya ragu-ragu: "Bocah ini terpeleset
betul-betul atau sengaja menghindari tepukanku? Mungkinkah dia memiliki Kungfu
tinggi, sengaja ingin membikin aku terpeleset jatuh sendiri?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget
dan marah, katanya: "Kotakku ini ada beberapa jilid buku dengan beberapa
keping uang pecahan, apa kau hendak menggeledah barang milikku? Tapi aku harus
tahu siapa kau sebenarnya, apa kau opas? Keluarkan surat tugasmu, apa betul kau
ada hak memeriksa aku. Kalau tidak sebagai pelajar mematuhi hukum jangan dikira
kalau kami dapat dihina dan dipermainkan."
Siau-ongya kurang senang
katanya: "Lenghou-siansing kenapa menggertaknya?" lalu dia berpaling
dan berkata kepada Tan Ciok-sing: "Lui-loheng, tidak apa kalian boleh lekas
pergi. Ingat sekembali ke Pakkhia, selekasnya mampir ke tempatku
menginap."
000OOO000
Dalam pada itu Toan Kiam-ping
dan Han Cin masih berada di panggung Bok Kwi-ing, cukup lama mereka menunggu,
tapi orang yang ditunggu tidak kunjung tiba.
Han Cin berkata: "Kalau
benar Tan-toako berada di Sian-khim-sia, begitu mendengar serulingku, pasti dia
menyusul kemari, Ping-ko, apa kau masih mau menunggunya?"
Toan Kiam-ping jadi bimbang,
katanya: "Mungkinkah aku tadi salah dengar?"
"Kukira kejadian begitu
kebetulan jarang terjadi di dunia ini. Tanpa berjanji mana mungkin Tan-toako
berada di tembok besar seperti kita hari ini."
"Tunggu sebentar, lihat
apa itu?" seru Toan Kiam-ping.
Mereka di tempat tinggi, dari
atas lihat ke bawah, dilihatnya di lereng bukit sana bermunculan bayangan
beberapa orang, karuan Han Cin terkejut katanya: "Aneh, waktu kita datang,
tiada seorangpun pelancongan dari mana datangnya orang sebanyak ini?"
"Langkah orang-orang itu
tangkas dan enteng, kukira semuanya memiliki Kungfu yang baik," demikian
kata Toan Kiam¬ping.
"Betul," uiar Han
Cin setelah meneliti, "mereka bukan pelancongan, tapi kawanan wisu yang
menyamar."
Pendapat Han Cin menyadarkan
Toan Kiam-ping, dilihatnya orang-orang itu seperti selulup timbul di antara semak
rumput yang tumbuh subur dan tinggi namun mereka hanya bergerak di daerah itu
tiada yang naik ke atas gunung. Pola mereka tak ubahnya sepasukan ronda yang
sedang mondar mandir.
Kini Han Cin melihat lebih
jelas dari tempatnya yang tinggi, katanya: "Ada empat orang datang kesini
dari arah Sian-khim-sia, tapi Tan-toako tidak ada di antara mereka."
"Ya, empat orang ini
bukan manusia sembarangan, coba lihat..."
Demikian kata Toan Kiam-ping
sambil menuding kesana. Tampak kawanan wisu yang sembunyi di semak itu kini
bermunculan seperti memapak kedatangan ke empat orang itu, Toan dan Han
mendekam mendengarkan suara, didengarnya seorang memanggil
"Siau-ongya".
Han Cin terkejut, dengan
tertawa dia berbisik di pinggir telinga Toan Kiam-ping: "Dari mana datang
pula seorang Siau-ongya?"
Terdengar Siau-ongya itu
sedang memaki: "Kalian lupa lagi, sudah kukatakan jangan panggil aku
demikian, sebut saja Kongcu?"
Orang itu tersipu-sipu,
katanya: "Lapor, lapor, Kongcu, disini tiada orang luar."
Salah seorang dari empat orang
itu lalu berkata: "Di atas ada orang tidak?"
Mendengar suara orang ini,
seketika Han Cin berubah air mukanya.
Toan Kiam-ping bertanya
perlahan: "Kau tahu siapa dia?"
"Sekarang belum jelas,
tapi suaranya seperti pernah kukenal entah dimana," kejap lain setelah Han
Cin melihat muka orang itu dia betul-betul kaget, katanya: "Itulah Lenghou
Yong jago kosen nomor satu anak buah Liong Bun-kong."
"Lenghou Yong yang pernah
bergebrak dengan kau di Ong-gu-san dulu itu?"
"Waktu itu hanya
Tan-toako yang melabraknya, betapa tinggi kepandaian Tan-toako diapun terdesak
di bawah angin. Akhirnya aku tampil dengan menyamar sebagai Gi-hu sehingga dia
lari ketakutan, walau belum pasti dia dapat mengenaliku, lebih baik kita lekas
menyingkir saja."
Meski mengharap dapat bertemu
dengan Tan Ciok-sing, tapi keadaan cukup mendesak terpaksa Toan Kiam-ping
mengundurkan diri. Kuda mereka makan rumput di tegalan sana, sekali Toan
Kiam-ping bersiul kuda tunggangan itu segera lari mendatangi, begitu mencemplak
ke punggung kuda mereka putar haluan terus dibedal ke arah yang berlawanan dari
arah datangnya rombongan di bawah sana.
Lenghou Yong tidak melihat
wajah mereka, namun dia lihat dua ekor kuda berlari kencang bagai angin lalu,
hanya sekejap telah lenyap.
Adalah Siau-ongya menghela
napas, katanya: "Dua ekor kuda itu sungguh jempolan, di Mongol belum
pernah aku melihat kuda sebagus itu."
"Biar kukejar," kata
tenghou Yong.
Poyang Gun-ngo berkata dingin:
"Lenghou-siansing, meski ginkangmu bagus, yakin kau tak akan mampu mengejar
kedua kuda itu?" sebagai jago kosen yang jarang ketemu tandingan di Watsu,
sudah tentu dia merasa sirik kepada Lenghou Yong.
"Kalau begitu, mari
silahkan lihat-lihat di sebelah atas," ujar Lenghou Yong.
"O, ya, tadi kau bilang
di atas masih ada peninggalan jaman kuno? Aku tidak pingin merebut kuda orang
lain, dikejar juga belum tentu kecandak. Marilah kita bermain-main di atas
saja."
Lenghou Yong mengendorkan
langkah, katanya: "Lapor Siau-ongya peninggalan kuno di atas itu dinamakan
panggung Bok Kwi-ing."
Berubah air muka Siau-ongya,
serunya: "Bok Kwi-ing apa? Apakah pahlawan perempuan bangsa Han kalian di
jaman kuno dulu yang bernama Bok Kwi-ing itu?"
"Ya, benar," sela
Poyang Gun-ngo, "Bok Kwi-ing adalah jenderal perempuan dari marga Nyo yang
terkenal, konon dulu pernah memukul hancur Thian-bun-tin pasukan Liau yang
kesohor itu. Bok Kwi-ing disanjung puji sebagai pahlawan pembela tanah air oleh
bangsa Han mereka."
Siau-ongya menarik muka,
katanya: "Lenghou-siansing lalu apa maksudmu hendak membawa kami ke
panggung Bok Kwi-ing?"
Baru sekarang Lenghou Yong
sadar, membawa pangeran kerajaan Watsu ke panggung Bok Kwi-ing adalah merupakan
suatu penghinaan bagi mereka, karuan dia tertawa nyengir lekas dia minta maaf:
"Siau-ongya, agaknya kau tidak suka pemandangan alam disini, marilah kita
pindah ke tembok besar di sebelah sana."
Toan Kiam-ping dan Han Cin
mencongklang kudanya secepat terbang, sepanjang jalan tidak jarang mereka
mendengar para wisu yang berpakaian preman itu membentak dan memaki, ada yang
kagum melihat kuda mereka, ada pula yang berniat merampas kuda mereka, tapi
mana mereka mampu merintangi. Cepat sekali mereka sudah tiba di bawah gunung.
Toan Kiam-ping berkata setelah menghela napas: "Sayang kesempatan bertemu
dengan Tan-toako terpaksa diabaikan."
000OOO000
Dengan membawa kipas pemberian
Siau-ongya, dengan leluasa Tan Ciok-sing berdua turun gunung, para wisu tiada
yang berani mempersulit mereka. Waktu mereka tiba di Iamping gunung tiba-tiba
dilihatnya dua ekor kuda membedal kencang turun gunung, lapat-lapat kelihatan
namun cepat sekali tinggal dua titik bayangan dan lenyap tanpa bekas.
In San berseru memuji:
"Kuda bagus, kuda putih milik Kanglam Sianghiap itupun belum tentu lebih
unggul dari kedua ekor kuda itu."
Tan Ciok-sing menepekur sesaat
lamanya, katanya kemudian: "Mungkin kedua kuda itulah milik Kanglam
Sianghiap."
"Kau tetap mengira
Toan-toako dan Han-cici yang menunggang kedua kuda itu?"
"Aku memang agak curiga.
Tiupan seruling orang itu memang mirip sekali dengan gaya tiupan seruling nona
Han,"
"Pandanganku memang
kurang tajam, tapi dapat kulihat jeias bahwa kedua ekor kuda tadi bukan
berwarna putih."
Karena ragu-ragu akhirnya Tan
Ciok-sing tertawa getir katanya: "Apa benar mereka toh kita tidak bisa
membuktikan. Biarlah buat apa susah-susah memikir mereka."
Untung mereka jarang ketemu
orang, walau tidak berani mengembangkan ginkang, namun langkah mereka jauh
lebih pesat dari orang biasa berlari, sebelum matahari terbenam mereka sudah
kembali ke rumah sewa di kota Pakkhia. Rumah di tengah kebun ini sudah setengah
bobrok tidak diurus dan lama tidak di tempati, jauh dari bangunan rumah-rumah
lain, maka dalam rumah mereka lebih leluasa bicara.
"Tan-toako," kata In
San, "menurut dugaanmu, siapakah Siau-ongya itu?"
"Memangnya perlu
dijelaskan lagi. Jago nomor satu dari bangsat tua shc Lion'g itu rela menjadi
kacung penunjuk jalannya, jelas ada sangkut pautnya dengan Duta rahasia Watsu
itu. Bukan mustahil dia putera dari Duta rahasia itu."
"Menurut hematmu, apakah
Lenghou Yong sudah menduga akan dirimu?"
"Dari kejadian tadi,
kukira dia memang sudah menaruh curiga, tapi belum tentu dia yakin akan
diriku."
"Jelasnya mereka sudah
menaruh curiga maka penjagaan malam ini tentu keras sekali. Anak buah Duta
rahasia itu mampu membunuh Ui-yap Tojin, tentu tidak sedikit jago kosen di
antara mereka."
"Betul, busu Watsu yang
mengikuti Siau-ongya itu kepandaiannya jelas tidak lebih rendah dari Lenghou
Yong. Adik San, aku tahu malam nanti bakal menghadapi mara bahaya lebih besar,
namun meski tahu di atas gunung ada harimau, kita justru akan terjang ke atas
gunung, mumpung Duta rahasia Watsu berada di rumah keluarga Liong, aku sudah
bertekad untuk meluruk gunung harimau itu."
Tiba-tiba In San mengusulkan:
"Kau memiliki kipas pemberian Siau-ongya, bukankah dengan kipas ini kau
bisa mohon menghadap kepada Liong Bun-kong lalu cari kesempatan
membunuhnya?"
"Cara ini kukira kurang
baik, pertama Lenghou Yong sudah menaruh curiga pada kita, permohonanku menemui
Liong Bun-kong belum tentu bisa terlaksana dan itu berarti kita masuk perangkap
sendiri. Kedua, aku tidak sudi menggunakan barang pemberian orang lain demi
keuntungan pribadiku sendiri." In San melenggong, katanya:
"Apa kau sudah anggap
Siau-ongya itu sebagai kawan? Kalau dugaanmu tidak meleset, ayahnya adalah Duta
rahasia itu, bukankah kita adalah musuh ayahnya."
"Ayahnya sudah tentu
adalah musuh kita. Tapi pemuda berusia belasan tahun itu belum tentu sebagai
musuh, paling tidak sekarang masih belum. Kawan ada banyak macam, Siau-ongya
yang satu ini tentunya berbeda dengan kaum pendekar kita, tapi bila dia mau
memandangku sebagai kawan, meski hanya karena memburu kesenangannya, akupun
harus membalasnya setulus hati, dengan tegas menggaris bawahi antara dia dengan
ayahnya. Bukankah kita berpedoman kebenaran dan keadilan, jelas antara hitam
dan putih."
"Komentarmu memang agak
mirip analisa Ciu-pepek (Kim-to Cecu). Baiklah, teorimu yang serba benar dan
adil itu, jelas aku tidak mampu mendebatmu, malam nanti bila aku ketemu
Siau-ongya itu, aku tidak akan membunuhnya."
"Bila kau menyinggung
Kim-to Cecu, aku jadi amat menyesal, aku sudah berada diluar Gan-bun-koan, tapi
tiada jodoh untuk menemuinya."
"Gerakan Jit-sian ke kota
raja kali ini, yakin Kim-to Cecu pasti juga sudah mendapat kabar, dia pasti
mengutus orang kemari."
"Satu hal lagi yang
membuatku menyesal, tadi kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Toan-toako
dan nona Han."
"Agaknya rasa curigamu
belum juga padam? Mungkin hanya angan-anganmu saja bahwa Toan-toako dan Han-cici
berada di kota raja. Tapi Jit-sian jelas pasti datang, mungkin sudah tiba
sebelum kita sampai disini. Sayang kita tidak bisa mengadakan kontak."
"Akupun merindukan
mereka, terutama Kek Lam-wi yang pandai meniup seruling. Tapi kupikir sebelum
gerakan kita dilakukan, ada baiknya kita tidak bertemu dengan mereka. Setelah
malam nanti, bila kita beruntung masih hidup, barulah nanti kita cari
mereka."
Dasar berotak encer, semula In
San masih melenggong, tapi cepat sekali dia sudah paham maksudnya, katanya:
"Betul, jikalau aksi kita berhasil itu berarti Jit-sian dan lain-lain
tidak perlu banyak berkorban," tak tertahan air matanya berlinang saking
haru, katanya pula: "Tan-toako, kau sungguh baik."
Tan Ciok-sing menyeka air
matanya, katanya: "Apa aku yang baik? Liong bangsat itu adalah musuh kita
bersama memangnya kau masih perlu main sungkan terhadapku?"
"Bukan aku haru karena
kau membantuku. Aku terharu karena kau selalu memikirkan orang lebih dulu,
kepentingan orang lain selalu kau utamakan, hal inilah yang membikin aku kagum
dan bertambah tebal cintaku kepadamu."
"Sudah jangan banyak
bicara lagi. Yang penting sekarang kau harus menenangkan pikiran, tentramkan
hatimu dan istirahat. Kentongan ketiga nanti kita harus berangkat!"
000OOO000
Kala itu Toan Kiam-ping dan
Han Cin juga sudah siap-siap untuk berangkat. Karena menunggang kuda sebelum
magrib mereka sudah tiba di penginapan.
Han Cin menutup pintu, katanya
dengan tertawa lirih: "Sayang bertemu dengan Siau-ongya, sebetulnya kita
masih bisa bertamasya lebih lama lagi, terpaksa harus buru-buru pulang sebelum
waktunya."
"Memangnya, orang yang
ingin ditemui tidak ketemu, orang yang menyebalkan justru kepergok. Tapi puas
juga hatiku setelah tamasya di tembok besar."
Han Cin seperti memikirkan sesuatu,
agak lama dia tidak bersuara.
"Adik Cin, kau sedang
mikir apa lagi?"
"Aku ingin keluar
belanja, sebentar juga kembali, kau tidak usah ikut."
"Adik Cin," setelah
memanggil Toan Kiam-ping tidak meneruskan perkataannya.
Han Cin menoleh, katanya: "Kenapa,
kau kuatir aku tak mampu pulang?"
"Justeru sebaliknya, aku
mengharap malam nanti kau jangan pulang."
Berubah roman muka Han Cin,
katanya: "Toako, apa maksudmu? Memangnya..."
"Jangan salah paham adik
Cin, bukan maksudku menyuruhmu menyingkir menjelang bahaya tiba, aku cuma
berfikir, masih ada cita-citamu yang belum tercapai."
HanCin tertegun, katanya:
"Dari mana kau tahu?"
"Tiupan serulingmu tadi
membuatku terkenang kepada Kek Lam-wi. Masih segar dalam ingatanku, kau pernah
bilang, semasa hidup ayahmu punya seorang teman baik, seorang yang paling
pandai meniup seruling, karena geger sehingga kalian putus hubungan, belakangan
diketahui dia ngungsi ke Khong-goan dan sudah menetap disana. Ayahmu amat
merindukan dia, namun tidak mau mencarinya ke Khong-goan. Tapi dia mengharap
setelah beliau mati kau bisa kesana mencarinya." "Betul, ayah
berpesan supaya aku, menyerahkan seluruh hasil karyanya kepada dia. Tapi ayah
tidak pernah menyebut siapa nama orang itu, menjelang ajalnya dia ingin menerangkan
tapi tidak sempat lagi. Naga-naganya ayah ada pertikaian yang mendalam dengan
orang itu, namun malu untuk menerangkan."
"Susiok Kek Lam-wi
bernama Ti Nio konon tinggal di Khong-goan, kepandaianmu meniup seruling mirip
Kek Lam-wi, orang yang ingin dicari ayahmu, bukan mustahil adalah Susiok Kek
Lam-wi pula."
"Benar, akupun pernah
berpikir begitu. Tapi untuk apa dalam saat-saat seperti ini kau masih
menyinggung hal ini?"
"Di rumah Coh Ceng-hun
tempo hari, Sia-cin Hwesio pernah berkata pada kita, bahwa Kek Lam-wi sekarang
berada di rumah Susioknya yang tinggal di Khong-goan, Wi-cui-hi-kiau sudah
mengirim surat lewat burung pos supaya selekasnya dia datang ke kota raja.
Kalau dihitung perjalanan, dalam beberapa hari.ini Kek Lam-wi pasti sudah tiba
di kota raja. Maka aku harap kau mampir ke rumah Coh Ceng-hun untuk melihatnya,
bila betul Kek Lam-wi sudah datang, kaupun bisa melaksanakan cita-cita
terakhir."
Han Cin geleng-geleng kepala,
katanya lembut:
"Dalam keadaanku sekarang
segala persoalan takkan lebih penting dari mati hidup kita berdua. Umpama aku
tak mampu melaksanakan keinginan ayah, di alam baka yakin ayah juga pasti
memaafkan diriku. Karena ayah seorang sekolahan, aku tahu dia pasti setuju akan
haluan yang kutempuh ini," sampai disini tak tertahan air mata bercucuran,
katanya lebih lanjut: "Mungkin tinggal malam inilah kita dapat berkumpul,
kau masih tega menyuruhku meninggalkan kau?"
Toan Kiam-ping bercucuran air
mata pula mendengar perkataan Han Cin yang mengharukan; "Baiklah, kita
memang harus sehidup semati. Kau ingin beli apa, lekas pergi."
Setelah menyeka air mata, Han
Cin berkata: "Pasar Tang-an tidak jauh dari sini. Toako, jangan kau
berpikir yang tidak-tidak, tunggulah aku pulang dan jangan pergi kemana-mana
aku akan lekas pulang."
Han Cin bilang akan pulang
cepat-cepat, tapi setelah ditunggu sekian lamanya, tetap belum kunjung pulang.
Jantung Toan Kiam-ping sudah dak dik duk, sebentar dia kuatir Han Cin mengalami
sesuatu diluar dugaan, sebentar dia mengharap Han Cin mau menuruti nasehatnya,
"Mungkin dia mau merubah tekadnya semula, kini dia sudah pergi ke rumah
keluarga Coh menemui Kek Lam-wi?"
Cukup menderita tekanan batin
Toan Kiam-ping menunggu kedatangan Han Cin, pada hal waktu itu sudah menjelang
magrib, "Toako, pasti kau sudah gelisah menungguku?" begitu masuk Han
Cin lantas berkata dengan tertawa.
"Memangnya aku sudah siap
menyusulmu ke pasar, beli apa saja kau sampai pergi selama ini? Apa isi
bungkusan besar ini, apa pula yang berada di kantong kecil itu?"
"Kantong kecil ini berisi
gandum, bungkusan besar ini berisi kain untuk membuat pakaian."
"Ontuk apa kau membeli
semua ini?"
"Gandum bukan untuk
dimakan, kain itu kubeli untuk bikin pakaian barumu."
"Kita kan tidak mau pergi
pesta, buat apa kau bikin pakaian baru?"
"Masa kau tidak bisa
menerkanya?"
"Aku tahu kau memang
perempuan berotak cerdas, tapi aku ini orang bodoh, buat apa aku harus memeras
otak. Tolong kau jelaskan sendiri saja."
"Inilah barang-barang
keperluan kita untuk menyamar nanti malam."
"O, ya betul, di atas Pat-tat-nia
siang tadi, para wisu keluarga Liong mungkin ada yang mengenali muka kita, maka
perlu kita berdandan dan menukar rupa dan pakaian. Lalu menyamar apa
baiknya?"
"Menyamar wisu keluarga
Liong."
Toan Kiam-ping melengak,
katanya: "Wisu keluarga Liong satu sama lain kenal dengan baik, kau tidak
takut konangan?"
"Jangan kuatir, kupilih
caraku ini, sudah tentu sebelumnya sudah kupikirkan masak-masak. Waktu turun
gunung tadi, diam-diam sudah kuperhatikau dua wisu yang ada dibarisan terakhir,
amat kebetulan yang tinggi itu perawakannya mirip kau, sedang yang pendek
kira-kira sebanding dengan aku, wajah merekapun sudah kucatat dalam benakku.
Bahwa mereka berada di barisan terakhir, boleh dipastikan bahwa kedudukan
mereka masih terlalu kroco, dibanding Huwan bersaudara tentu kalah jauh
tingkatannya. Bagi wisu yang punya pangkat pasti diperhatikan dan sukar
dipalsu, maka kupikir lebih mudah menyamar wisu kroco saja. Tapi siang tadi
mereka berpakaian preman, maka kita harus membuat pakaian seragam wisu keluarga
Liong."
"Setiap langkah kerjamu
ternyata begitu teliti dan hati-hati. Bicara terus terang, walau beberapa kali
aku bersamamu lewat di depan gedung keluarga Liong, tapi tak pernah aku
memperhatikan seragam apa yang mereka kenakan."
Sembari menjahit Han Cin
berkata: "Untuk membeli berbagai keperluan ini sebetulnya tidak makan
banyak waktu, coba kau terka kenapa aku pergi begitu lama?"
"Aku justru ingin tanya
kau."
"Di pasar Tang-an,
biasanya bisa menemukan pengemis di segala pelosok, tapi hari ini seorangpun
justru tidak kulihat bayangan mereka. Kudengar pembicaraan orang, bahwa di
tempat lain juga demikian. Semula aku belum percaya, aku putar kayun ke
berbagai tempat, tapi memang terbukti di tempat-tempat yang ramai tiada
kelihatan bayangan seorang pengemis juga."
"Agak ganjil memang, tapi
hal ini kurasa tiada hubungannya dengan aksi kita."
"Penduduk kota sedang
ramai membicarakan hal ini, ada orang bilang mungkin Kay-pang Pangcu sudah tiba
di kota raja, kalau itu betul, berarti ada sangkut pautnya dengan kita."
"Yang terang, kita tidak
memerlukan bantuan orang lain, peduli amat siapa yang bakal datang."
Selama pembicaraan itu, Han
Cin sudah selesai menjahit dua perangkat pakaian. Langsung dia merias muka Toan
Kiam-ping, akhirnya keduanya saling pandang dan tertawa geli sendiri. Han Cin
berkata: "Kau mau melihat tampangmu didalam cermin?"
"Kukira tidak perlu.
Tampangmu sekarang sudah merupakan cermin bagiku. Bila di tempat lain aku
bertemu dengan kau, aku pasti anggap kau sebagai wisu."
"Baiklah, kalau demikian
sekarang kita boleh siap-siap untuk berangkat."
Di waktu mereka hendak
meninggalkan hotel secara diam-diam, mendadak terdengar diluar ada orang
berkata: "Betul, ya benar, memang ada dua orang tamu seperti itu,"
yang bicara adalah pemilik hotel, pembicaraan dilakukan di ruang depan,
sebetulnya jaraknya masih cukup jauh dari kamar mereka, tapi malam sudah sunyi,
maka mereka dapat mendengar dengan jelas.
Bercekat hati Han Cin, katanya
lirih: "Mungkin orang ini sengaja hendak mencari setori dengan kita."
"Coba dengarkan lebih
lanjut."
Tamu yang mencari temannya itu
berbicara dengan suara rendah, entah apa yang barusan dia katakan, terdengar
pemilik hotel mengiakan lalu menambahkan: "Kau orang tua terlalu sungkan,
banyak terima kasih akan bantuanmu ini. Baik, baik, boleh kau masuk sendiri,
kedua teman baikmu itu berada di kamar yang terletak di sayap kiri, letaknya
paling belakang," mungkin orang itu telah menyogok dengan jumlah uang
cukup besar sehingga pemilik hotel tunduk akan segala permintaannya.
"Memang tidak salah,
sasarannya adalah kita berdua."
Toan Kiam-ping siap memadamkan
lampu, Han Cin mencegahnya, katanya: "Kalau yang datang adalah wisu
keluarga Liong, tidak leluasa membunuhnya di hotel, lari juga bukan cara baik.
Lebih baik kita tunggu saja siapa dia sebenarnya."
Lekas sekali orang itu sudah
tiba di depan kamar mereka serta mengetuk pintu, dua kali pendek, katanya:
"Toan-siangkong, tolong buka pintu."
Toan Kiam-ping kenal suara
ini, dari celah-celah pintu dia mengintip keluar, setelah melihat jelas,
hatinya kejut dan senang, yang datang ternyata adalah pesuruh tua dari keluarga
Coh. Waktu mereka bertandang ke rumah Coh Ceng-hun tempo hari, orang tua inilah
yang membuka pintu.
Toan Kiam-ping dan Han Cin
sembunyi di belakang daun pintu lalu menariknya bersama pelan-pelan sampai
pintu terbuka lebar, orang tua itu langsung melangkah masuk, daun pintupun
cepat ditutup pula oleh Toan dan Han berdua. Bahwa yang membuka pintu dan
menutup pintu ternyata adalah dua wisu, karuan bukan kepalang kaget si orang
tua, mulut sudah terbuka dan jeritannya hampir keluar. Lekas Toan Kiam-ping
mendekap mulutnya, katanya perlahan: "Jangan gugup, aku adalah Toan
Kiam-ping."
Orang tua itu kenal suaranya,
legalah hatinya, segera dia menuding ke arah dinding. Toan Kiam-ping maklum
maksudnya, katanya: "Kamar sebelah tiada dihuni orang."
Dengan suara lirih si orang
tua berkata dengan tertawa: "Cara kalian merias diri sungguh amat liehay,
kalau demikian yang ini tentu nona Han adanya."
Merah muka Han Cin katanya:
"Lo-yacu tajam juga pandanganmu."
"Pertama kali kalian
datang To Tayhiap, dan Thong Tayhiap sudah tahu bahwa kau perempuan menyamar
laki-laki, cuma mereka tidak membongkar rahasiamu."
"Dari mana kau tahu kami
tinggal disini?"
"Coh-siauya kita yang
mohon bantuan pihak Kaypang menyelidiki jejak kalian"
"Ada urusan penting
bukan?" "Ada sebuah kabar gembira akan kusampaikan kepada
kalian"
Jilid 10
"Kabar gembira apa?"
tanya Toan Kiam-ping.
Orang tua itu menjelaskan:
"Kek-jitya dari Pat-sian bersama nona Toh sudah datang. Sia-cin Taysu tahu
kalian amat memperhatikan mereka,
merekapun mengharap dapat
selekasnya bertemu dengan kalian."
"Jadi mereka sudah
menyusul dari Say-jwan, kemari?"
"Benar. Masih ada tamu
lagi yang datang bersama mereka."
"Siapa?"
"Seorang adalah Susiok
Kek-jitya, yaitu Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Seorang lagi mempunyai kedudukan
lebih besar..." lalu dia merendahkan suara berbisik, "yaitu
Liok-pangcu dari Kay-pang."
Wi-su-hi-kau minta bantuan
Liok-pangcu dari Kaypang dengan burung pos mengundang Kek Lam-wi bersama Toh
So-so supaya selekasnya datang ke kota raja. Tahu bahwa Pat-sian akan
mengadakan pertemuan kedua kalinya di kota raja dengan tujuan menuntut balas
kematian Ui-yap Tojin maka Ti Nio menawarkan diri untuk membantu keponakannya,
maka mereka berangkat bersama dan bergabung dengan Liok-pangcu bersama menuju
ke kota raja.
Tutur orang tua lebih lanjut:
"Kek-jitya tahu dari cerita Sia-cin
Taysu bahwa kalian
datang-datang lantas mencarinya, sebetulnya dia ingin kemari sendiri. Tapi dia
baru saja tiba, malam ini akan diadakan sekedar reuni di antara mereka. Apalagi
mata-mata musuh tersebar luas di kota raja ini. Sebagai jago-jago kosen dalam
Pat-sian, adalah jamak kalau pihak kawanan cakar alap-alap selalu memperhatikan
gerak gerik mereka. Tengah malam menyambangi teman jelas tidak leluasa dan bisa
menimbulkan kecurigaan orang, oleh karena itu mereka menekan perasaan dan
menerima usul Siauya kita akulah yang disuruh kemari menyampaikan kabar ini
pada kalian."
"Sepantasnya kita harus
segera menemui mereka, tapi sudah hampir kentongan ketiga, tidak leluasa kami
keluar. Lebih baik besok pagi-pagi betul, pasti kami akan kesana. Ada sebuah
barang ini aku titip disampaikan kepada Ti Tayhiap," lalu dia keluarkan
sebuah kotak yang terbungkus sutera halus, dalam kotak berisi buah karya ayah
kandung Han Cin.
Agaknya orang tua itu merasa
heran, tidak sukar membawa kotak sutra ini, kalau besok Han Cin akan kesana
menemui mereka, kenapa tidak besok dia bawa sendiri dan langsung serahkan
kepada Ti Tayhiap? Tapi dia tidak enak untuk tanya hal itu.
Tapi ada sebuah hal lain yang
amat aneh orang tua itu tak kuat menahan keinginannya untuk tahu persoalannya,
maka dia bertanya: "Nona Han, kepandaianmu merias orang sungguh hebat
sekali, ingin menyamar apa pasti persis yang tulen. Tadi aku amat kaget dan
takut, kukira aku terjebak oleh musuh. Tapi aku tidak habis mengerti, maaf nona
Han bila aku cerewet menanyakan hal ini kepadamu..."
Han Cin tahu soal apa yang
hendak ditanyakan, maka segera dia menyela: "Tentunya kau heran, kenapa
tengah malam buta rata kami menyamar wisu keluarga Liong bukan?"
"Betul. Mendadak melihat
dua wisu menghadang jalan keluarku, kukira kalian sudah ketimpa malang, cakar
alap-alap sembunyi dalam kamar hendak menangkapku pula."
Han Cin berkata tawar,
katanya: "Kami hanya main-main saja, di malam nan sunyi hening ini tidak
perlu permainan kita diketahui orang. Bila persoalan ini berhasil selanjutnya
tidak perlu kuatir berhadapan dengan mereka, betul tidak?"
"Ya, betul," ujar
orang tua, "dengan tampang kalian sekarang keluyuran di tengah jalan
rayapun kalian tidak akan dicurigai orang. Baiklah, waktu sudah larut, aku
mohon pamit saja. Besok pagi-pagi mohon kalian suka mampir ke tempat
kita."
Setelah orang tua itu pergi,
Toan Kiam-ping berkata: "Adik Cin, mumpung Susiok Kek Lam-wi sudah datang
dari Say-jwan, kau, apa kau tidak ingin merubah tekadmu?"
"Jikalau ada niatku
merubah tekad, tidak perlu aku titip buah karya ayahku kepada orang tua,"
jawab Han Cin tegas.
Ronda di tengah jalan raya
sudah mulai mengetuk tiga kali kentongan. Han Cin berkata: "Sudah
kentongan ketiga, jikalau urusan bisa lancar, masih ada dua jam lagi waktu
untuk membunuh bangsat she Liong itu. Mari kita berangkat."
000OOO000
Setelah meninggalkan hotel,
semakin dipikir orang tua semakin heran dan timbul curiganya, bum-buru dia
pulang. Coh Ceng-hun, Ti Nio, Kek Lam-wi dan lain-lain belum tidur, mereka
sedang kumpul dan berbincang-bincang, melihat dia pulang dengan langkah gopoh
dan keringat emerobyos semua merasa heran.
Ternyata waktu orang tua itu
pulang, kebetulan mereka sedang membicarakan Han Cin, siapa sebenarnya Toan
Kiam ping semua orang sudah tahu, tapi asal-usul Han Cin belum mereka ketahui.
Sia-cin berkata:
"Kepandaian merias gadis itu memang luar biasa, hari itu bila Toan
Kiam-ping tidak membawa tanda kepercayaan Ling Khong-tik, hampir saja aku tidak
mengenalnya lagi. Gadis itu menyamar jadi pelajar sedikitpun tidak kelihatan
kejanggalan."
Yang tidak dimengerti oleh Kek
Lam-wi adalah soal lain, katanya: "Aneh kenapa begitu mereka tiba di kota
raja lantas tanya tentang diriku?"
Maklum didalam Pat-sian Kek
Lam-wi termasuk orang ke tujuh paling hanyalah saudara termuda di antara
mereka.
Sia-cin Hwesio berkata:
"Hari itu aku memberitahu mereka bahwa Kek-lote sekarang berada di
Say-jwan meyambangi Susioknya, secara jelas gadis itu tanya apakah Susiok Kek
Lam-wi adalah Ti Tayhiap yang tinggal di Khong-goan?"
"Gadis itu she apa?"
tanya Ti Nio.
Coh Ceng-hun melengak,
katanya: "Bukankah sudah kuterangkan kepada kau orang tua, dia she
Han."
"Dia she Han," Ti
Nio menggumam sambil menepekur seperti memikirkan sesuatu, "pandai tata
rias dan cukup ahli malah?"
Kek Lam-wi juga heran,
tanyanya: "Susiok kau tahu asal usai gadis itu?"
"Aku curiga mungkin dia
puteri seorang temanku yang telah meninggal? Tahukah kalian apakah dia pandai
meniup seruling?"
Coh Ceng-hun menjelaskan:
"Kami baru bertemu pertama kali pada hari itu. Kecuali tahu dia ahli dalam
tata rias, kita tidak tahu hal lain tentang dirinya."
Sampai disini pembicaraan
mereka, kebetulan orang tua itu pulang. Langsung orang tua itu serahkan kotak
sutra itu kepada Ti Nio, katanya: "Ti Tayhiap, inilah kotak titipan nona
Han yang minta diserahkan kepada kau."
"Apa pula pesannya?"
tanya Ti Nio.
"Tidak berpesan apa-apa,
dia bilang malam ini tidak leluasa kemari besok pagi-pagi dia pasti akan
menemui kau orang tua."
Mendengar penjelasan ini semua
orang merasa ragu-ragu, kalau besok dia akan datang, kenapa harus titip barang
sekecil dan seringan ini kepada orang lain supaya disampaikan.
Lekas Ti Nio buka kotak sutra
itu, pertama dia dapatkan sepucuk surat tulisan ayah kandung Han Cin yang
ditujukan kepadanya, di bawahnya adalah setumpuk naskah tulisan tangan. Melihat
tulisan yang amat dikenal ini, sungguh girang dan kaget hati Ti Nio, teriaknya
tanpa tertahan: "Memang betul teman lamaku."
"Apa yang ditulis dalam
suratnya?" tanya Kek Lam-wi.
Lekas Ti Nio buka sampul surat
dan keluarkan suratnya serta dibeber, tanpa kuasa air mata berlinang-linang,
katanya dengan suara gemetar dan sedih: "Dia, dia sudah meninggal. Ai, dia
tidak berpesan apa-apa, dia hanya berpesan kepada putrinya bila dia sudah mati
supaya menyerahkan karyanya ini kepadaku. Ai, masakah setelah sekian lamanya,
sampai matipun dia tidak mau memaafkan dan menyelami keadaanku?"
Kek Lam-wi belum lama
berkumpul dengan Susioknya ini, bagaimana riwayat hidupnya dulu, sedikitpun dia
tidak tahu. Dari nada perkataan sang Susiok, dia tahu ada hal-hal yang serba
runyam bila diterangkan. Sebagai angkatan muda, tidak enak dia banyak bertanya.
Orang tua itu melanjutkan
ceritanya: "Ada pula kejadian yang aneh dan mengherankan, mereka menyamar
jadi wisu keluarga Liong, demikian pula wajah mereka sudah berubah dari wajah
aslinya. Begitu aku masuk ke kamarnya, mendadak melihat dua wisu berdiri di
depanku, karuan kejutku seperti arwah sudah copot meninggalkan badan. Untung
Toan-kongcu segera bersuara dan memberitahu padaku maksud penyamarannya itu,
kalau tidak tentu terjadi adegan yang menggelikan."
Coh Ceng-hun kaget, tanyanya:
"Tengah malam begini untuk apa mereka menyamar wisu keluarga Liong?"
"Mereka bilang hanya
bermain-main saja. Bila samarannya mirip, kelak mereka bisa bertindak dengan
cara itu supaya tidak mengalami bahaya."
Kaypang Pangcu, Sia-cin
Hwesio, Thong To, Kek dan Toh beramai adalah tokoh-tokoh Kangouw yang sudah
banyak pengalaman, setelah mendengar keterangan si orang tua, maka timbul rasa
curiga mereka. Sia-cin Hwesio yang berangasan berteriak lebih dulu: "Ada permainan
apa dibalik samaran mereka, aku tidak bisa menerima alasan mereka dengan cara
bermain-main begitu."
"Susiok," kata Kek
Lam-wi, "kau orang tua banyak pengalaman, tolong kau berikan pandanganmu
supaya dapat kita telaah bersama."
Ti Nio seperti sadar dari
mimpi, serunya: "Ada urusan apa?"
Setelah si orang tua
menceritakan pula. Ti Nio amat kaget, tak sempat meneliti naskah-naskah syair
peninggalan temannya, segera dia berteriak:
"Hayo lekas
berangkat."
"Pergi kemana?"
tanya Kek Lam-wi heran.
Lantang suara Ti Nio:
"Meluruk ke rumah bangsat she Liong."
Kejadian diluar dugaan, maka
rencana mereka untuk membunuh pembesar dorna terpaksa dilakukan lebih cepat
dari waktu yang telah direncanakan semula.
000OOO000
Malam itu ada tiga rombongan
orang yang meluruk ke rumah keluarga Liong, Ti Nio dan lain-lain hanya tahu
bahwa di depan mereka ada Toan Kiam-ping dan Han Cin yang sudah mendahului
mereka, tapi diluar tahu mereka bahwa masih ada dua orang lagi yang lebih dulu
bertindak di depan Toan Kiam-ping dan Han Cin. Yang pertama kali tiba di rumah
keluarga Liong sudah tentu adalah Tan Ciok-sing. Maklum tempat tinggal mereka
paling dekat dari gunung keluarga Liong, sebelum kentongan ketiga, mereka sudah
menyelundup kedalam rumah bangsat she Liong.
Waktu kecil In San sering
bermain-main di rumah keluarga Liong, setiba di Pakkhia kali ini, dua kali dia
sudah menyelidik bersama Tan Ciok-sing, maka seluk beluk gedung keluarga Liong
boleh dikata amat apal. In San bawa Tan
Ciok-sing masuk lewat kebon
belakang lalu sembunyi didalam gerombolan pohon.
Situasi ternyata berbeda
dengan dua malam yang lalu, tampak bayangan orang bergerak kian kemari didalam
kebon. In San jadi bimbang, pikirnya: "Tempat tinggal bangsat tua itu
sedikitnya ada empat tempat. Wisu yang meronda malam ini begini banyak, bila
setiap tempat harus diselidiki, mungkin jejak kita bisa konangan."
Tengah dia berpikir, tiba-tiba
didengarnya ada orang membentak: "Siapa, berdiri di tempatmu."
Tan Ciok-sing terperanjat,
kiranya jejaknya konangan. Baru saja dia angkat tangan hendak menimpukkan
sebutir krikil yang sejak tadi digenggamnya, tampak dari rumpun kembang sana
berjalan seorang seraya menjawab: "Kenapa sih, aku."
Yang keluar ternyata seorang
gadis berpakaian pelayan. Wisu itu segera tertawa, sapanya cengar cengir:
"O, kiranya kak Kwi-ci, bikin jantungku kaget saja. Selarut ini untuk apa
kau keluyuran disini?"
Budak itu balas mencemooh:
"Aku malah yang kau bikin kaget, sepanjang jalan ini hatiku kebat kebit,
takut ketemu pembunuh, ada orang bilang malam ini akan kedatangan pembunuh
gelap. Tak nyana tidak kepergok pembunuh gelap, tapi ketemu kau setan alas ini,
main gertak lagi."
Wisu itu tertawa, katanya:
"Sebanyak ini yang meronda, lalatpun takkan lolos, kenapa takut pada
pembunuh segala? Kau mau kemana, kalau takut mari kuantar."
"Aku mau antar kuah
Jinsom ini ke Bing-cu-khek, kalau kau bilang tidak perlu takut, biarlah aku
pergi sendiri, kau tidak usah antar aku," ternyata wisu ini sejak lama
sudah naksir pada budak ayu ini, setiap ada kesempatan pasti berusaha
merayunya, maka budak itu paling membencinya.
"O, mengantar kuah Jinsom
untuk Lo-tayjin?" tanya si wisu.
"Entah siapa yang akan
minum, aku tidak tahu. Kalau kau ingin tahu, sekembaliku nanti kuberitahu
padamu, lekas kau minggir biar aku cepat kesana."
Wisu itu melclet lidah,
katanya: "Tujuanmu ke Bing-cu-khek, mana aku berani menghadangmu, tadi aku
hanya tanya sambil lalu saja, jangan kau kira aku sengaja mau mencari
tahu."-Kiranya Bing-cu-khek adalah kamar rahasia dimana Liong Bun-kong
paling suka merundingkan urusannya dengan para kepercayaannya.
Malam telah larut tapi budak
ini bilang mengantar kuah Jinsom ke Bing-cu-khek, namun wisu itu tidak berani
banyak tanya, tapi dia menduga pasti akan diberikan kepada Liong Bun-kong.
Girang hati In San, pikirnya:
"Sungguh amat kebetulan, tanpa sengaja aku berhasil memperoleh keterangan
berharga," pelan-pelan dia tarik tangan Tan Ciok-sing lalu mengajaknya
menuju ke Bing-cu-khek.
Ternyata dalam taman luas ini
terdapat kebon pula di tengahnya. Bing-cu-khek terletak di suatu pojokan dalam
kebon, ada jambangan, kembang teratai tampak mekar, ada gunungan, ada air
mancur dan segala pajangan kebon yang serba mewah, jadi lingkungan kebon kecil
ini terputus dari taman besar di bagian luar. Diluar dugaan pula, kalau ronda
berlalu lalang di taman luar, adalah di kebon kecil ini suasana justru sepi dan
lengang, tidak nampak bayangan seorangpun disini. Dua wisu tampak berjaga di
pintu masuk. In San apal keadaan disini, sengaja dia memutar ke samping,
setelah melewati sebuah gunung-gunungan, bersama Tan Ciok-sing mereka masuk
kedalam kebon tanpa diketahui kedua wisu jaga itu.
Letak gunungan itu kebetulan
berada di samping Bing-cu-khek, tepat di depan jendela, di tengah rumpun
kembang mereka terus merunduk maju ke depan tiba di bawah gunungan serta
merayap masuk ke gua gunungan itu, tiada seorang wisupun yang tahu jejak
mereka. Mulut gua itu berada di pucuk gunungan, bila kau menongolkan kepala,
maka keadaan didalam loteng dapat dilihatnya dengan jelas.
Rumah berloteng itu tampak
terang benderang, Liong Bun-kong sedang duduk di tengah, keponakannya Liong
Seng-bu kelihatan berdiri di sampingnya. Ada dua orang lagi yang duduk di dua
sisinya sedang bicara dengan dia. Kedua orang itu adalah Ciok Khong-goan dan
Lenghou Yong.
Dingin perasaan In San,
batinnya: "Tak heran bangsat tua ini begini berani, dalam kebon ini tanpa
dijaga orang, ternyata Lenghou Yong ada di sampingnya. Bila sekali serang tidak
kena sasaran, untuk membunuhnya jelas amat sukar."
Tan Ciok-sing memijat
jari-jari ln San, isi hati mereka sama, In San paham maksudnya yaitu ingin
mendengarkan pembicaraan orang-orang didalam, supaya sementara tak usah
menempuh bahaya. Musuh tangguh di depan mata, meski menggunakan ilmu mengirim
suara gelombang panjang juga perlu dikuatirkan konangan musuh. In San
manggut-manggut.
Patah kata pertama yang mereka
dengar diucapkan oleh Liong Bun-kong, terdengar dia berkata dengan nada yang
aneh: "O, jadi Siau-ongya keluarga Toan juga pandai main silat?"
"Bukan saja pandai,
Kungfunya malah liehay," sela Liong Seng-bu, "kejadian sesungguhnya
boleh tanya kepada Ciok Khong-goan."
Maka Ciok Khong-goan ceritakan
kegagalan tugasnya kali ini, lalu menambahkan: "Kungfu Siau-ongya keluarga
Toan itu bukan saja liehay, dia dibantu dua orang lagi. Seorang adalah guru
silat keluarga Toan, yaitu Ling Khong-tik, seorang lagi adalah gadis yang
menyamar tabib kelilingan."
Agaknya Liong Bun-kong ketarik
oleh ceritanya, katanya: "Lho, gadis yang menyamar tabib kelilingan?
Siapakah dia?"
"Tidak tahu," sahut
Ciok Khong-goan, "kepandaian merias gadis itu memang amat mahir, kamipun
belakangan baru tahu setelah dia bicara dengan suara perempuan kepada
Siau-ongya keluarga Toan itu."
Mendengar tanya jawab ini,
diam-diam Tan Ciok-sing amat senang, pikirnya: "Dugaanku ternyata tidak
meleset."
Liong Seng-bu menghela napas,
katanya: "Semula aku kuatir, gadis itu adalah In San budak nakal
itu."
Liong Bun-kong melotot sekali
padanya, katanya: "Sampai sekarang, kau masih tergila-gila kepada budak
itu?"
Liong Seng-bu tak berani
bicara lagi, sesaat kemudian kembali Liong Bun-kong berkata: "Penjagaan
sudah diperketat, betapapun tinggi kepandaian si pembunuh, aku tidak perlu
gentar lagi, tapi kalau ada gadis yang mahir menyamar seliehay itu, tidak boleh
tidak harus dijaga."
Kini giliran Lenghou Yong
berbicara: "Siang tadi waktu aku menemani Siau-ongya tamasya di tembok
besar, di Sian-khim-sia ketemu seorang pemuda, aku agak curiga kalau dia adalah
Tan Ciok-sing. Kepandaian bangsat cilik ini kukira lebih tinggi dari Toan
Kiam-ping, walau belum tentu dia mampu menyelundup kemari, tapi lebih baik
kalau dapat membunuhnya."
"Sudah tentu," ucap
Liong Bun-kong, "tapi selama dua hari ini lebih penting kita melindungi
tamu agung, setelah tamu-tamu kita pulang, boleh kalian menyelidiki jejak bocah
itu. Bila dia berani datang ke kota raja, kukira takkan segera pergi,"
sampai disini tiba-tiba dia menambahkan, "aku merasa penat,
Lenghou-siansing, kalau tiada urusan lagi boleh kau pulang dulu bersama Ciok
Khong-goan."
Lenghou Yong melengak,
katanya: "Apa Tayjin tidak memerlukan tenagaku disini untuk menjaga
keselamatanmu?"
"Aku ingin kau kesana
ikut melindungi tamu kita. Walau tidak sedikit jago-jago yang mengawalnya, tapi
aku masih merasa kuatir, harus diusahakan jangan sampai tamu kita mengalami
sesuatu di tempat kita," sembari bicara diam-diam dia memberi kedipan mata
kepada Lenghou Yong. Tan dan In berdua sembunyi di atas gunungan, dapat
mendengarkan suaranya tapi tidak dapat melihat tanda kedipan mata ini.
Lenghou Yong mengerti, segera
diapun berpura-pura: "Lo-tayjin, disini kau tidak dilindungi, akupun
merasa kuatir."
Liong Bun-kong pura-pura
marah, katanya: "Ah, kenapa kau tidak bisa membedakan antara yang berat
dan enteng. Tapi tamu kita itu adalah paman raja Khan agung dari Watsu, kawanan
wisu sudah kusebar di taman luar, ada anak Bu yang menjagaku disini, kau kuatir
apa, lekas pergi, lekas," terpaksa Lenghou Yong dan Ciok Khong-goan
pura-pura apa boleh buat serta mengundurkan diri.
In San jadi girang, pikirnya:
"Kehadiran Lenghou Yong memang menyulitkan kita turun tangan. Kebetulan
dia diutus untuk menjaga tamu. Agaknya Thian memang membantu kita."
Lenghou Yong dan Ciok
Khong:goan yang keluar dari loteng, waktu lewat gunungan agaknya berhenti
mendadak. Tan Ciok-sing berdua sembunyi di atas gunungan, hanya bisa melihat
sebelah depan tak mampu menoleh ke belakang, jantung mereka kebat. kebit,
kuatir kedua orang ini mengadakan pemeriksaan, namun ditunggu lagi beberapa
kejap, langkah kedua orang berderap pula terus pergi sampai tidak terdengar
lagi.
Dengan ilmu mengirim suara
gelombang panjang In San berkata kepada Tan Ciok-sing: "Bagaimana, sudah
saatnya turun tangan?"
"Tunggu lagi sebentar,
aku kuatir ada perangkap yang sengaja untuk menjebak kita."
Tampak Liong Bun-kong tengah
mengeluarkan secarik kertas, katanya: "Itulah surat perjanjian yang kubuat
dengan Duta rahasia Watsu itu, kau boleh memeriksanya sekali lagi, bila ada
yang kurang baik masih sempat kita koreksi lagi."
Setelah membacanya Liong Seng-bu
berkata: "Walau Baginda percaya kepada paman, mungkin ada beberapa
pembesar yang tidak tahu diri berpendapat perjanjian ini bakal merugikan
kepentingan negara dan menghina bangsa, pasti mereka berusaha menentang."
"Karena itulah aku minta
kau mencari akal, cara bagaimana baru dapat melenyapkan tantangan mereka,
sehingga perjanjian ini bisa ditanda tangani dengan leluasa."
"Menurut pendapat
keponakan yang bodoh, kita tetap gunakan cara lama, mengancam dan menyogok
secara serempak. Yang bisa dibeli kita sogok, yang kukuh pendapat kita
sikat."
"Untuk sogokan dananya
sudah kusediakan dan akupun tidak perlu kikir dalam hal ini. Baiklah, cara
bagaimana menyikat para pembesar yang menantang kebijaksanaan kita itu
kuserahkan kepadamu."
"Baik, keponakan pasti
bekerja sekuat tenaga."
Mendengar sampai disini, tak
urung membara darah Tan Ciok-sing.
In San tahu perasaannya,
katanya berbisik: "Buat apa toako marah, bila surat perjanjian itu sudah
berada di tangan kita, manfaatnya tentu besar. Entah masih ada muslihat
apapula, coba dengarkan lagi."
Tapi setelah didengarkan lebih
lanjut, yang dibicarakan ternyata bukan soal negara. Terdengar Liong Seng-bu
berkata: "Paman, ada satu hal entah perlukah kuberitahu kepadamu?"
"Berita baik atau buruk,
aku harus mengetahuinya."
"Lapor paman, Bibi, oh,
bukan, budak liar itu kini sudah mati..."
Liong Bun-kong kaget,
tanyanya: "Mati bagaimana?"
"Waktu aku menemuinya di
Tay-tong dulu, dia memang sudah sakit parah. Konon setiba di markas Kim-to
Cecu, beberapa hari kemudian lantas meninggal karena sakitnya."
Liong Bun-kong pura-pura
sedih, katanya menghela napas: "Hidup senang tidak mau dinikmati, sebagai
nyonya seorang berpangkat apa jeleknya, tapi dia memilih kaum brandal sebagai
kawan. Ai, sia-sia aku mencintainya sepenuh hati, tapi perempuan jalang seperti
dia memang pantas juga menemui ajalnya."
Mendengar Liong Bun-kong
memaki dan menghina ibunya, serasa hampir meledak dada In San, giginya
gemerutuk. Desisnya: "Toako, aku tidak tahan lagi, mari turun
tangan."
Waktu dia hendak melompat
keluar, tiba-tiba didengarnya wisu yang berjaga di pintu kebon membentak:
"Siapa?"
"Aku, Kwi-ci, datang
mengantar kuah Jinsom untuk Loya," ternyata genduk cilik yang molek itu
telah tiba.
Seorang wisu segera berteriak:
"Yang antar kuah Jinsom sudah datang," lalu dia mengulap tangan,
katanya: "Lo-tayjin dan Tit-siauya sejak tadi sudah menunggu kuah Jinsom
ini, lekas kau antar ke atas."
Tiba-tiba In San mendapat
akal, sewaktu genduk cilik itu tiba di bawah gunungan, dengan sebuah krikil dia
menjentik tangan menutuk hiat-to penidurnya, di kala tubuh orang limbung, sigap
sekali In San sudah menerobos keluar serta memapah tubuhnya sehingga tidak
sampai roboh, cepat dia seret genduk cilik ini kedalam gua serta membelejeti
pakaiannya, gerak geriknya cepat dan cekatan, wisu yang jaga di pintu kebon
ternyata tidak tahu akan kejadian disini. Kini In San yang menggantikan si
genduk mengantar kuah Jinsom itu ke atas loteng.
"Genduk malas, kenapa
semalam ini baru kau antar kuah itu?" maki Liong Seng-bu.
In San mengusap muka, katanya:
"Pentang mata anjingmu, lihatlah siapa aku," sembari berkata dia
timpukkan wadah berisi kuah itu sembari melolos pedang, 'Sret" senjatapun
menusuk. "Tang" wadah kuah itu dipukul jatuh oleh Liong Seng-bu, tapi
kuahnya muncrat membasahi sekujur badan Liong Bun-kong. Tapi Liong Bun-Kong
malah tertawa tergelak-gelak serunya: "Budak cilik, kau kena tipu."
Kejap lain kursi yang diduduki
Liong Bun-kong tiba-tiba mencemplak mundur, dinding di belakangpun terpentang
lebar, kursi yang dipegang Liong Seng-bu ikut ketarik mundur ke balik dinding
dan lenyap setelah dinding itu menutup seperti sedia kala. Bukan hanya dinding
saja yang terpentang, ternyata tempat dimana In San berdiri mendadak lantainya
berputar terus terbalik, karena gerak putaran inilah sehingga tusukan pedang In
San meleset, tanpa kuasa tubuhnya ikut berputar dan begitu lantai terbalik
tanpa ampun kontan tubuhnya kejeblos di bawah. Ternyata Bing-cu-khek penuh
dipasangi alat rahasia.
Hampir bersamaan dengan In San
yang terjeblos kedalam perangkap, Tan Ciok-singpun kena sergap.
Begitu mendengar langkah In
San tiba di atas loteng, segera dia keluar dari tempat sembunyinya, tapi sayang
terlambat. Jarak gunungan ini dengan Bing-cu-khek ada belasan langkah,
betapapun tinggi ginkang seseorang tak mungkin sekali lompat dapat mencapai
jarak sejauh itu. Tapi di antara gunungan dengan loteng terdapat sepucuk pohon
tinggi beberapa tombak yang tumbuh diluar jendela. Akar rotan melingkar batang
pohon yang rindang dengan dahan-dahannya yang bercabang lebat, kebetulan ada
cabang pohon yang menjuntai ke arah gunungan. Setelah mengincar tepat begitu
menerobos keluar dari gunungan dengan gerakan burung bangau menjulang ke
langit, tangannya meraih akar rotan terus meleset berayun ke atas dengan kaki
di atas kepala di bawah, seperti tarzan yang berayun di tengah hutan saja,
tubuhnya terbang ke seberang.
Tepat pada saat itulah In San
terjebak dan anjlok ke bawah lantai. Tan Ciok-sing masih sempat mendengar suara
keras, disusul gelak tawa Liong Bun-kong. Pada hal tubuhnya masih terapung di
udara, tidak tahu apa yang telah terjadi di atas loteng tapi dia mendapat
firasat jelek karena mendengar tawa Liong Bun-kong.
Karena gugup di tengah udara
dia jumpalitan beberapa kali terus menukik turun, berbareng pedang sudah
terhunus dan menutul lankan, baru saja tubuhnya membalik dan hendak menerjang
masuk kedalam, bahayapun terjadi secara mendadak di hadapannya.
Ternyata lankan atau pagar di
atas loteng itupun dipasangi alat rahasia, di kala ujung pedangnya menutul
itulah, lankan itu mendadak patah. Cepat dan tepat, Liong Bun-kong yang
sembunyi di balik dinding sudah menekan tombol, hujan panah kontan berhambur
menyambut kehadiran Tan Ciok-sing.
Memang hebat kepandaian Tan
Ciok-sing, di saat kritis inilah sekaligus dia mendemonstrasikan kepandaiannya
sejati, dengan ginkang yang tiada taranya di kala tubuh masih bergantung di
udara, dia lancarkan gerak pedang bertempur dalam delapan penjuru, sinar pedang
berderai ke empat penjuru dengan kekuatan dahsyat. Dengan tubuh terapung itu
dia sempat melihat keadaan di atas loteng. Walau usahanya memburu kedalam tidak
berhasil, namun sekilas pandang ini sudah cukup membuat hatinya mencelos,
perasaan dingin dan hati seperti hampir beku.
Ternyata didalam tiada orang
lagi, bayangan Liong Bun-kong dan Liong Seng-bu tidak kelihatan, demikian pula
In San tidak berada di atas loteng pula. Lantai yang terbuka sudah menutup,
demikian pula dinding yang merekah telah pulih seperti sediakala. Sungguh heran
bin ajaib, kenapa In San mendadak lenyap seperti ditelan bumi. Sesaat itu
Ciok-sing jadi bingung dan tidak habis mengerti, serasa dirinya di alam mimpi.
Namun tak sempat dia berpikir
lebih banyak, karena di saat dirinya melorot turun itulah, sebelum kaki
menyentuh bumi, segulung angin kencang tiba-tiba menerjang dari belakang.
Kontan Tan Ciok-sing membalas
dengan tusukan pedang membalik, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang,
ujung pedangnya tepat mengincar Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan
pembokongnya itu. Orang itupun tidak mengira dalam posisi yang seburuk ini Tan
Ciok-sing masih mampu melancarkan serangan pedang seganas ini, karuan kagetnya
bukan main, terpaksa dia berkelit ke samping. Pikirnya: "Baru setengah
tahun berpisah, kemajuan anak muda ini ternyata begini pesat, aku tak boleh
meremehkan dia."
Walau terhindar dari pukulan
telapak lawan, tak urung Tan Ciok-sing rasakan punggung kesakitan juga oleh
tekanan angin pukulan yang dahsyat itu. "Siapa memiliki lwekang setangguh
ini?" demikian batinnya kaget.
Terdengar seorang membentak:
"Anak bagus, masih bandel dan pamer kepandaian. Malam ini jangan harap kau
dapat terbang dari sini," di tengah bentakannya, pukulan kedua dan
ketigapun dilontarkan secara beruntun.
Penyerang gelap ini bukan lain
adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari anak buah Liong Bun-kong yang setia.
Kenyataan Lenghou Yong tidak
pernah pergi melindungi tamu dari Watsu, itu hanya tipu daya yang diatur Liong
Bun-kong untuk menjebak musuh.
Sebetulnya mereka tidak tahu
bahwa Tan Ciok-sing telah datang, tapi karena peristiwa yang dialaminya tadi
siang, maka mereka sudah mempersiapkan diri, main sandiwara untuk menipu Tan
Ciok-sing. Sesuai dugaan ternyata Tan Ciok-sing dan In San masuk perangkap
mereka.
Sepasang telapak tangan
Lenghou Yong melingkar membuat satu bundaran, tenaga pukulannya mendadak
menindih ke bawah, sekaligus mematahkan tujuh serangan pedang Ciok-sing yang
ganas, antara pukulan telapak tangan kontra pedang beradu kekuatan, dalam waktu
singkat susah dipastikan siapa unggul siapa bakal kalah.
Wisu yang meronda di taman
luar sudah mendengar keributan disini, dari empat penjuru beramai-ramai mereka
meluruk masuk sambil berteriak-teriak: "Tangkap pembunuh, tangkap
pembunuh. Nah itu, aku melihatnya, pembunuhnya ada disana, lekas naik, lekas
naik," dari suara teriakan itu Tan Ciok-sing mendengar Ciok Khong-goan, Sa
Thong-hay dan Huwan bersaudara
Sekejap lagi orang-orang itu
akan segera tiba, Tan Ciok-sing tidak berani bertempur lama-lama, secepat kilat
dia lontarkan dua kali serangan lng-kik-tiang-khong dan Hi-siang-jan-te, ke
atas menutuk sepasang mata Lenghou Yong, ke bawah mengincar hiat-to dipusarnya.
Dua sasaran yang berbeda sebetulnya sukar diincar bersama. Tapi karena gerak
pedangnya dilancarkan teramat cepat, dalam sekejap itu, Lenghou Yong merasa
pandangannya menjadi silau, perutnyapun dingin. Meski kaget tapi kepandaian
Lenghou Yong memang hebat, meski terancam dia tidak jadi gugup, sigap sekali
dia menjengkang tubuh belakang, berbareng jari tengahnya menjentik "Creng"
tepat menjentik punggung pedang, tapi Tan Ciok-sing sempat lari menyingkir.
Para wisu merubung datang dari
berbagai penjuru, Huwan bersaudara datang lebih dulu, serempak mereka
membentak: "Anak keparat, lari kemana kau?"
Tan Ciok-sing berpapasan
dengan mereka, insaf bila dirinya terkepung didalam barisan pedang mereka,
terang sukar melarikan diri, dalam keadaan terpepet timbul akalnya, tiba-tiba
tubuhnya merendah sambil berputar sekali, jarinya sempat meraih segenggam
pasir, serunya: "Nah, kalian boleh rasakan keliehayan Toh-bing-sin-sa-ku
ini."
Sinar rembulan remang-remang,
gerak tubuh Tan Ciok-sing teramat cepat lagi, hakikatnya Huwan bersaudara tidak
tahu yang tergenggam di tangannya adalah pasir melulu, begitu tangan orang
terayun, segumpal bayangan kabut betebaran menerjang ke arah mereka, sesuai
namanya Pasir Sakti Perenggut Nyawa pastilah pasir itu beracun jahat. Untuk
menyelamatkan jiwa tanpa berjanji serempak mereka mencelat mundur sejauh
mungkin. Gerak gerik Huwau Kiau agak lamban, beberapa krikil pasir mengenai
jidatnya, rasanya sakit dan panas, saking takutnya dia menjerit ngeri:
"Celaka, aku terkena pasir beracun bocah keparat itu."
Wisu yang mengudak datang di
belakang mendengar musuh menimpuk pasir beracun, kontan mereka tercerai berai
lari menyingkir pontang panting, di tengah keributan itulah Tan Ciok-sing sudah
menerjang keluar dari rumpun kembang terus merunduk maju ke depan.
Lenghou Yong datang memeriksa,
sebagai seorang berpenga-lamanan, setelah memeriksa segera dia berkata:
"Kau ketipu oleh anak bangsat itu, jidatmu hanya lecet sedikit, siapa
bilang terluka oleh pasir beracun."
Huwan Kiau menarik napas lega,
rasa sakit memang telah lenyap dan tidak menimbulkan reaksi apa-apa, kontan dia
mencaci maki: "Keparat yang licik, berani mempermainkan aku. Biar kubekuk
kau bocah keparat ini, kubeset kulitmu."
"Lari kemana bocah itu,
siapa yang melihatnya?" tanya Lenghou Yong.
"Agaknya ke arah
sini," sahut seseorang. Tapi ada pula yang menuding arah lain.
Sudah tentu Lenghou Yong naik
pitam sampai biji matanya melotot putih, makinya: "Kalian semua gentong
nasi," karena dimaki, yang tidak bersalah sudah tentu merasa keki dan
penasaran, namun mereka hanya mangkel di hati tidak berani balas memaki.
"Jangan ribut
sendiri," lekas Sa Thong-hay berseru, "kembalilah ke kelompok
masing-masing dan kembali ke tempat penjagaan untuk memeriksanya," sebagai
perwira yang memimpin barisan penuh pengalaman, komandonya ternyata membawa
reaksi yang jitu.
Dengan ginkang Tan Ciok-sing
yang tinggi, di saat para wisu itu bingung dan ribut sebetulnya dia bisa
melarikan diri. Tapi In San terjebak dalam perangkap musuh, sebelum berhasil
menemukan dan menolong In San, mana sudi dia tinggal pergi?
Meminjam kepekatan malam,
banyak pepohonan dan gunungan untuk tempat sembunyi lagi, sembari sembunyi dia
menggeremet maju terus. Tiba-tiba dilihatnya di depan ada sebuah gunungan yang
cukup tinggi dengan variasinya yang serba alamiah, sekeliling dilingkari
berbagai batu-batuan yang berbentuk aneka ragam, bunyi air gemericik mancur
dari pucuk gunungan terus mengalir turun keluar dari mulut gua, akar pepohonan
rambat tampak menjuntai turun, bunga teratai tampak mekar di empang. Diam-diam
Tan Ciok-sing berpikir: "Dalam keadaan kepepet seperti aku, terpaksa
untung-untungan sembunyi dalam gua gunungan ini."
Gunungan ini memang khusus
diciptakan oleh seorang ahli, merupakan salah satu tempat yang paling digemari
oleh Liong Bun-kong untuk melepas lelah disini. Didalam gunungan terdapat gua
yang kosong, didalam tiada penghuninya, pada hal segala perabot dan pajangannya
tidak berbeda dengan kamar buku seorang hartawan. Aliran air yang tercurah dari
atas mengalir lambat kedalam gua. Untuk masuk kedalam harus menggunakan batu
loncatan yang terendam di tengah aliran air dan sedikit mencuat di permukaan
air. Bertahun-tahun terendam air, maka maklum kalau batu injakan ini berlumut
dan amat licin, kalau tidak memiliki ginkang tinggi, orang bisa terpeleset
jatuh dan sukar dapat masuk kedalam gua.
In San pernah bercerita
tentang gunungan palsu ini kepada Tan Ciok-sing, konon didalam gua ada gua
pula, namun ln San sendiri belum pernah masuk kedalam gua ini, .entah gua dalam
gua itu apakah tembus ke tempat lain. Tan Ciok-sing tahu ada wisu yang
mengikuti jejaknya dan sedang menggerebek maju, maka dia pikir gua didalam
gunungan ini dapat untuk tempat sembunyi sementara waktu, umpama wisu itu tidak
kuatir terpeleset jatuh, yakin mereka takkan sekaligus menerobos bersama,
dengan sembunyi didalam, aku lebih leluasa menggasak mereka. Oleh karena itu
Tan Ciok-sing menyusup kedalam gua.
Gua itu memang memiliki
pandangan yang lain, sumber air tampak menyembur dari suatu sumber dalam gua
terdapat rerumputan yang tidak dikenal namanya, akar rotan dan tetumbuhan
merambat tumbuh subur disini, dinding batupun beraneka ragam bentuknya,
pemandangan disini memang lain dari yang lain, tujuan Tan Ciok-sing adalah
mencari jalan keluar lainnya, tapi sesaat dia jadi bingung.
Lekas sekali langkah orang
banyak sudah semakin dekat, kedengarannya ada lima orang, mereka datang dari
berbagai arah. Ada yang berteriak keras: "Jalan buntu disini, memangnya
pembunuh itu mau sembunyi di gua buntu itu?"
Agaknya kawanan wisu itu juga
tiada yang tahu bahwa didalam gua masih ada gua. Agaknya orang ini merasa keki
karena dimaki Lenghou Yong tadi, untuk memasuki gua inipun mungkin bisa
terpeleset jatuh, maka dia pikir buat apa aku ikut susah-susah menjual jiwa,
kepandaian pembunuh itu amat tinggi, salah-salah jiwaku melayang sebelum dapat
pahala.
Lega hati Tan Ciok-sing,
hatinya mengharap kawanan wisu ini lekas pergi, tapi seorang berkata:
"Coba diperiksa dulu kedalam, sebagai petugas yang menerima gaji orang
kita wajib menunaikan perintah."
Orang pertama tadi menjengek,
katanya: "Kalau kau ingin mengejar pahala, boleh silahkan kau sendiri yang
masuk memeriksanya." Seorang lagi menimpali: "Betul, gua itu amat
sempit licin lagi, bila kita masuk beramai-ramai jelas tidak mungkin. Lebih
baik begini saja, carilah seorang teman mengiringi kau masuk. Kita tunggu
kabarmu diluar." .
Tan Ciok-sing sudah meraba
gagang pedang dan sembunyi di tempat gelap, siap bertindak bila perlu,
pikirnya: "Apa boleh buat, terpaksa aku harus membunuh."
Seorang agaknya terpeleset
jatuh dengan suara keras dia menggerutu: "Anak kurcaci, bikin aku susah
payah begini. Bila berhasil kubekuk kau rasakan kalau tidak kusiksa
dirimu." Wisu lain yang tidak berani masuk mendengar suara gerutunya sama
tertawa geli.
Tiba-tiba tergerak hati Tan
Ciok-sing, batinnya: "Seperti amat kukenal suara orang ini."
Belum habis dia berpikir,
tampak dua wisu sudah menerobos masuk kedalam gua. Tak sempat Tan Ciok-sing
banyak pikir, "sret" kontan pedangnya menusuk. Dengan jurus
Hun-mo-sam-bu orang itu mematahkan tusukan pedang Tan Ciok-sing. Karuan Tan
Ciok-sing kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini liehay, agaknya
lebih liehay dari Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan. Kalau kepandaiannya cukup
tangguh, kenapa ginkangnya begitu tidak becus?" Ternyata kuping Tan
Ciok-sing amat tajam, tadi dia mendengar orang ini hampir terpeleset jatuh maka
dia agak meremehkan dia, maka tusukan pedangnya tidak menggunakan sepenuh
tenaga, maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja. Walau demikian kenyataan
orang ini mampu mematahkan tusukan pedangnya yang liehay dan cepat ini, taraf
kepandaiannya boleh terhitung kelas wahid dalam dunia persilatan.
Wisu yang seorang lagi kuatir
Tan Ciok-sing melancarkan serangan maut, maka dia menutuk dengan kedua jarinya
seraya berkata perlahan: "Tan-toako, kau tidak mengenalku, tentunya kenal
jurus permainanku ini?"
Begitu mendengar suara orang
ini, karuan Tan Ciok-sing tertegun serta menarik pedang, sesaat dia terlongong.
Tutukan jari rangkap ini adalah gerakan tunggal ajaran Khu Ti yang termashur,
Tan Ciok-sing pernah saksikan Han Cin mendemontrasikan ilmu tutuknya ini.
Suara wisu yang satu inipun
mendadak berubah jadi suara perempuan, siapa lagi kalau bukan Han Cin sendiri.
Wisu yang bergebrak dengan Tan
Ciok-sing baru kini "sempat bersuara: "Tan-toako, ternyata memang
kau. Siaute adalah Toan Kiam-ping."
Dalam keadaan seperti ini
mereka bertiga bertemu, sudah tentu bukan kepalang rasa senang mereka.
Kedatangan Toan dan Han ternyata terlambat satu jam, waktu mereka tiba, dalam
taman sedang ribut mengudak pembunuh gelap. Tahu malam ini mereka takkan bisa
turun tangan, namun mereka ingin tahu siapa "pembunuh gelap" itu.
Maka mereka mencampur diri dalam rombongan wisu serta pura-pura ikut mencari
jejak pembunuh itu.
Lekas Toan Kiam-ping berkata:
"Biar aku keluar membawa kawanan wisu ke tempat lain, lekaslah kau
melarikan diri."
"Aku tidak akan pergi
dari sini."
"Kenapa?"
Han Cin sudah menduga,
katanya: "Ya, mana In-cici? Kau datang seorang diri atau kemari bersama
dia?"
"Justeru karena dia
terjebak, maka aku harus mencarinya," sahut Tan Ciok-sing.
Setelah mereda rasa kejutnya,
Han Cin berkata: "Kalau demikian, kau tetap sembunyi saja disini, kami
akan keluar mencari tahu."
Gua ini cukup panjang dan
berliku, diluar ada gemericik air lagi sehingga percakapan mereka tidak
kedengaran dari luar.
Tapi pembicaraan para wisu
diluar gua dapat mereka dengar dengan jelas. Terdengar seorang berkata:
"Lho, koh lama juga belum keluar, hayo kita periksa kedalam."
Waktu para wisu itu siap-siap
hendak memeriksa kedalam gua Toan dan Han lekas keluar, Tan Ciok-sing
berkeringat dingin, tapi hati merasa lega.
Terdengar seorang berseru:
"Eh, kenapa jidatmu terluka?"
Toan Kiam-ping tertawa getir,
katanya: "Kebentur dinding. Kuatir ada pembunuh sembunyi didalam, sembari
masuk gua aku menarikan pedang untuk melindungi badan. Tak nyana pembunuh tidak
ketemu, jidatku terbentur batu sampai benjut dan luka," ternyata Toan
Kiam-ping sengaja melukai diri sendiri untuk mengelabui mereka supaya permainan
sandiwara ini dipercaya.
Wisu yang bertanya tadi
berkata: "Makanya tadi kudengar suara benturan senjata."
Wisu yang tadi menentang
diadakan pemeriksaan didalam gelak tawa, katanya: "Biar kapok sudah
kukatakan tadi, pembunuh masa mau sembunyi di gua buntu ini, kalian tidak
percaya sekarang sudah terbukti. Baiklah, tenaga kita disini mencukupi tak usah
kau bantu kita. Kembalilah ke tempat jagamu semula."
Lega hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Untung Toan-toako pandai bertindak," tak nyana baru saja
Toan Kiam-ping dan Han Cin pergi, seorang telah datang pula, orang ini adalah
Lenghou Yong.
Lenghou Yong berkeliling
memeriksa segala pelosok, akhirnya sampai disini, tanyanya: "Bu-Iing-goan
(nama gua itu) sudah diperiksa belum?"
Kepala barisan segera
menjawab: "Baru saja dua orang masuk memeriksa, tidak kedapatan jejak
pembunuh. Tapi mereka bukan kelompok kami, nah itu, mereka baru saja pergi,
kalau Tayjin ingin tahu lebih jelas silahkan susul mereka."
Lenghou Yong memandang ke
depan, Han Cin memberi kedipan mata kepada Toan Kiam-ping, sengaja mereka
memperlambat langkah untuk menunggu sambil menoleh ke belakang.
Lapat-lapat Lenghou Yong masih
kenal kedua wisu ini, siang tadi pernah ikut dirinya ke tembok besar, namun
sikap tenang Toan dan Han memang tidak menimbulkan curiganya, maka dia berkata:
"Kalau sudah diperiksa ya sudah, lekas periksa ke tempat lain,"
hatinyapun berpikir: "Gua gelap gulita dan lembab lagi, buat apa tanya
jelas segala?"
Diam-diam Toan Kiam-ping dan
Han Cin bersyukur dalam hati. Tan Ciok-sing merasa lega. Langkah Lenghou Yong
semakin pergi jauh.
Setelah tenang perasaan mulai
Tan Ciok-sing perhatikan keadaan gua ini, apakah didalam gua ada gua, dengan
pedangnya dia membabati akar pohon dan rumputan yang merambat, namun tiada
sesuatu yang didapatinya, tapi di sebelah pojok tengah dia menemukan sebuah
batu yang bentuknya aneh. Batu ini mirip pintu angin, batu yang sering terdapat
di puncak gunung, jauh berbeda dengan batu-batuan yang dipajang dalam gunungan
ini, bentuknya yang jelek menjadikan perpaduan yang menyolok dengan gunungan
yang dibangun dengan batu karang dari dasar Thay-ouw.
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
pikirnya; "Mungkin batu ini merupakan tutup lobang dari gua dalam gua
itu?" lalu dia kerahkan tenaga, sekuat tenaga dia dorong batu itu,
ternyata batu ini sudah berakar didalam bumi, pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan
setaker tenaganya, namun batu itu tetap tidak bergeming.
Karena gagal akhirnya Tan
Ciok-sing duduk bersimpuh mulai bersamadi, menurut ajaran lwekang ciptaan Thio
Tan-hong dia mulai mengatur hawa murni, maksudnya setelah tenaga dan
semangatnya pulih, baru dia akan coba sekali lagi.
Untuk bersamadi dengan ajaran
lwekang Thio Tan-hong diharuskan menenangkan pikiran dan menghimpun semangat,
sehingga melihat tidak melihat, mendengar tidak mendengar tapi di kala
latihannya berlangsung itulah, tiba-tiba didengarnya percakapan orang diluar,
bukan saja suaranya sudah dikenal, pembicaraan orang itupun sedang menyinggung
nama In San, mau tidak mau Tan Ciok-sing tersentak dari latihannya, diam-diam
dia pasang kuping mendengarkan.
Yang bicara bukan lain adalah
Liong Seng-bu. Yang ajak bicara adalah Lenghou Yong. Untuk kedua kalinya
Lenghou Yong meronda sampai disini, kebetulan bertemu dengan Liong Seng-bu yang
juga mengadakan pemeriksaan di sekitar sini.
"Bagaimana keadaan
Lo-tayjin?" tanya Lenghou Yong lebih dulu.
Liong Seng-bu tertawa besar,
katanya: "Yah, hanya terkejut saja, sedikitpun tidak terluka. Budak itu
jelas sudah terjatuh ke tangan kita."
"Wah, harus kuberi
selamat kepada Kongcu."
"Selamat apa, aku justru
sedang risau."
"Pujaan hati sudah datang
mengantar diri, memangnya tidak patut diberi selamat?"
"Ah, kau tidak tahu,
budak itu kukuh pendapat dan keras kepala, aku sampai tidak berani
mendekatinya. Terpaksa sementara kukurung dia di penjara air bawah tanah, biar
dia kelaparan beberapa hari."
Mendengar kabar In San, bukan
main senang hati Tan Ciok-sing. Senang karena In San masih hidup, kaget karena
dia tersiksa di penjara air, padahal dia tidak tahu dimana letak penjara air
itu dan cara bagaimana harus menolongnya? Lenghou Yong berada diluar gua, dia tidak
menemukan jalan keluar lainnya, kalau sekarang menerjang keluar jelas
menyerempet bahaya. Terpaksa dia tinggal diam saja mendengarkan pembicaraan
lebih lanjut.
"Tan Ciok-sing bocah
kurcaci itu juga belum ditemukan, coba bayangkan, bagaimana hatiku bisa
tentram?"
"Kecuali bocah itu sudah
pergi, kalau tidak orang kita sebanyak ini, ubek-ubekan mencarinya dalam taman
seluas ini, pasti akan bisa ditemukan."
Liong Seng-bu bertanya:
"Bu-ling-goan sudah diperiksa belum?"
"Dua orang sudah masuk
memeriksa."
"Mana kedua orang itu,
undang kemari, aku mau tanya dia."
" "Mereka bukan dari
kelompok ini, sekarang sudah ke tempat penjagaannya."
"Siapa nama kedua orang
itu?"
"Kutahu mereka ikut aku
pergi ke tembok besar siang tadi, namanya sih tidak ingat lagi." Maklum
Lenghou Yong belum lama memegang jabatannya, wisu disini juga terlampau banyak
jumlahnya, sudah tentu tak mungkin bisa mencatat nama-nama mereka dalam
benaknya.
Seorang wisu yang berjaga di
bilangan ini segera maju menerangkan: "Lapor Kongcu, kedua orang itu
adalah Loh Hiong dan Kwe Kiat."
Liong Seng-bu melengak,
mendadak dia berteriak: "Tidak mungkin."
Kepala barisan itu terkejut,
tanyanya: "Apa yang tidak mungkin?"
Liong Seng-bu berkata:
"Tadi aku melihat mereka, berjaga di pintu taman, menurut aturan wisu yang
bertugas di pintu taman dilarang meninggalkan posnya."
Pemimpin barisan mengunjuk
rasa heran, katanya: "Lho, koh aneh, tapi aku kenal betul akan kedua orang
itu."
"Lekas panggil mereka
kemari," kata Liong Seng-bu.
"Celaka," demikian
keluh Tan Ciok-sing dalam hati, cepat dia lanjutkan pengedukan tanah di sekitar
batu besar yang aneh itu. Di saat kepepet, orang sering timbul akalnya,
tiba-tiba dia teringat di antara ajaran lwekang yang baru dipelajarinya ada
semacam ilmu yang khusus untuk meminjam tenaga memindahkan posisi, meski tahu
bahayanya teramat besar, tapi harus dicoba juga. Saking gugup tenaganya
ternyata jadi berlipat ganda, dengan sekuat tenaga dia mendorong dan menarik
dengan dilandasi kekuatan lwekang yang diyakinkan, meski batu besar tak mampu
digeser ke pinggir, tapi sudah doyong ke samping dan terbukalah sebuah lobang.
Tan Ciok-sing segera
berkeputusan terus bertindak, di saat genting ini segera dia menarik napas
menekuk dada mengempes perut, secara kebetulan tubuhnya yang mengecil berhasil
menerobos masuk kedalam lobang. Batu yang sedikit doyong ke samping itu segera tegak
kembali seperti sedia kala dan lobangpun tertutup. Kejadian sekejap ini bagai
nyawa yang putar balik antara neraka dengan dunia fana, bahayanya teramat
besar, bila tenaga pertahanannya sedikit mengendor, waktunyapun tepat, jikalau
gerakannya terlambat sedikit, pasti tubuhnya bisa terjepit hancur.
Waktu Lenghou Yong memasuki
gua, dia menyulut obor, dilihatnya akar pepohonan sama berserakan dibabati
senjata tajam, diam-diam dia amat kaget, pikirnya: "Bocah itu ternyata
memang pernah sembunyi disini, entah sekarang sudah keluar belum?" Karena
akar dan dedaunan pohon yang berserakan memenuhi tanah, sehingga galian tanah
itu tertutup di bawahnya, kalau tidak diperiksa secara teliti takkan bisa
menemukan keganjilan. Tapi diapun menduga bila didalam gua ini mungkin ada
jalan keluar lainnya, maka diapun coba-coba mendorong batu besar itu, meski dia
sudah kerahkan seluruh tenaganya, batu hanya bergeming sedikit, hakikatnya
tidak mampu menggesernya. Namun rasa curiga masih meliputi benaknya, terpaksa
dia keluar dan hendak tanya kepada
Liong Seng-bu, setelah jelas
baru akan bertindak pula.
Bukan Liong Seng-bu lupa untuk
memberitahu Lenghou Yong bahwa didalam Bu-ling-goan terdapat gua pula, namun
hakikatnya dia tidak pernah berpikir ada manusia yang mampu menggeser tutup
batu raksasa seberat laksaan kati itu.
Lega hati Tan Ciok-sing,
setelah berdiri tegak dia mainkan pedangnya, meminjam secercah cahaya pedangnya
yang kemilau, dia terus menggeremet maju di tengah kegelapan. Akhirnya dia
mendengar suara air gua, suaranya rendah dan bergema, mirip tambur kecil yang
ditabuh didalam sebuah rumah kecil yang tertutup rapat. Ciok-sing menduga pasti
ada aliran kecil dari sungai di atas merembes ke bawah sini bergabung dengan
sumber air yang ada di dasar bumi ini, sehingga timbul suatu arus tersendiri
yang entah mengalir kemana.
Diam-diam Tan Ciok-sing
berpikir: "Ada gua didalam gua, para wisu mungkin tidak tahu, tapi Liong
Seng-bu tentu tahu, mungkin sebelum ini dia sudah mengatur segala sesuatu, atau
sudah menunggu aku keluar di ujung lorong yang lain, tapi kalau berada dalam
gua ini aku bisa mati konyol, meski bahaya apapun akan kuhadapi, aku tetap
harus mencobanya keluar."
Beberapa jauh kemudian,
tiba-tiba didengarnya suara air gemuruh, ternyata di dinding batu sana seperti
dijebol oleh suatu arus deras sehingga dadal, aimya seperti tumbuh
bergulung-gulung mengalir ke bawah dan menjadilah sebuah empang kecil.
Ciok-sing tidak pedulikan
dinding yang dadal, terpaksa dia berputar mengitari empang kecil itu terus maju
ke depan sana. Pada saat itulah di tengah gemuruhnya air dia seperti mendengar
suara orang. Kejut Ciok-sing bukan main, hampir dia tidak percaya pada
pendengarannya, pikirnya: "Lho, koh seperti adik San yang sedang
memanggil-manggil namaku?" dia curiga mungkin teramat memikirkan
keselamatannya sehingga timbul khayalan dalam gua air di bawah tanah ini.
Segera dia mendekam dan
mendempel kuping mendengarkan suara dari bumi, yang terdengar hanyalah
gemuruhnya air, suara orang itu tak terdengar lagi. Diam-diam dia membatin
dalam hati: "Mana bisa terjadi begini kebetulan, mungkin aku terlalu
berkhayal," tak nyana di kala dia sudah putus asa dan belum lagi dia
berdiri, tiba-tiba didengarnya pula dua kali suara panggilan: "Ciok-sing,
Ciok-sing," kali ini dia mendengar jelas, memang itulah suara In San.
Memang ada kejadian yang amat
kebetulan di dunia ini. Seperti diketahui In San masuk perangkap di
Bing-cu-khek, dia terjeblos jatuh kedalam lobang, dan lobang itu terletak di
atas penjara air bawah tanah.
Di tengah udara dia gunakan
gaya burung dara jumpalitan, Ceng-kong-kiam terulur lurus ke bawah,
"Creng" pedangnya menyentuh batu, meminjam tenaga sentuhan yang
memantul ini dia jumpalitan sekali sehingga daya luncuran tubuhnya yang menurun
agak mengendor, untung dia tidak jatuh ke air. Meski jiwanya selamat, namun dia
sudah tak mungkin bertemu dengan Tan Ciok-sing lagi.
Sakit hati belum terbalas,
kini dia malah kejeblos dalam perangkap musuh, betapa marah, penasaran dan
sedih hatinya. Dalam sekejap ini hampir saja dia coba bunuh diri, untung
benaknya selalu memikirkan Tan Ciok-sing, sehingga dia tidak jadi mencari jalan
pendek.
Dalam penjara air ini gelap
gulita, sekeliling adalah batu dinding yang keras, di bawah air yang tidak
diketahui dalamnya. Untuk melarikan diri jelas tidak mungkin.
Entah berapa lama dalam
kegelapan ini, tiba-tiba dilihatnya secercah cahaya menyorot dari atas,
ternyata Liong Seng-bu membuka jendela kecil yang berjeruji serta menjulurkan,
sebatang obor kedalam, katanya: "Adik San, kau tidak luka bukan? Kalau
terluka akan kuberikan obat untuk mengobati lukamu."
Tanpa bersuara In San timpukan
sebutir krikil ke arah jendela berjeruji besi itu, tapi jarak jendela kecil itu
ada delapan tombak dari bawah, mana sambitannya bisa mengenai Liong Seng-bu.
Begitu mendengar samberan angin senjata rahasia, lekas Liong Seng-bu
mengkeretkan kepala seraya pura-pura menjerit kesakitan, pada hal kerikil
mengenai jeruji besi, katanya kemudian: "Adik San. kenapa masih begini
galak? Untung tidak mengenai diriku."
Saking marah In San kertak
gigi, dampratnya: "Liong Seng-bu, kalau berani turunlah kemari dan bunuh
aku, kalau tidak awas pembalasanku kelak."
"Mana aku tega
membunuhmu, memangnya kau tidak tahu kalau aku menyukaimu? Tapi kau terjeblos
ke penjara air, tak heran kalau kau marah-marah. Tapi ini untuk kebaikanmu.
Coba bayangkan, apa sih bagusnya Tan Ciok-sing anak kampung itu, kau sudi ikut
dia dan mencampakkan daku? Supaya kau tidak kerembet perkaranya, apa boleh
buat, terpaksa aku memisahkan kau dengan dia, asal kau menurut dan tunduk akan
kemauanku, segera aku membebaskan dikau."
"Apa kau bicara
sejujurnya?"
"Sudah tentu sejujurnya,
jikalau aku membual biar Thian menghukumku."
"Baik, turunlah dan
bicara berhadapan dengan aku, aku ingin kau bicara jelas dimuka."
"Apa benar kau tunduk
padaku?"
"Setelah jelas
persoalannya, akan kupikirkan. Hm, sekarang kau anggap aku pesakitan, bagaimana
aku dapat percaya pada dirimu?"
Tiba-tiba Liong Seng-bu
tertawa, katanya: "Jangan kau anggap aku bocah cilik, aku tak bisa kau tipu,
sudah tentu aku ingin kau merubah haluan, tapi aku tahu sekarang pikiranmu
masih belum terang, biarlah kutunggu beberapa hari, setelah kau betul-betul
berubah pikiran dan aku yakin akan kebenarannya, baru akan kubebaskan kau, di
tengah gelak tawanya Liong Seng-bu telah melangkah pergi.
Maksud In San hendak menipunya
turun kemari dan bicara padanya, lalu mengadu jiwa dan bila perlu biar gugur
bersama, ternyata usahanya tidak berhasil, karuan hatinya amat kecewa, hampir
dia hendak bunuh diri pula. Untung bayangan Tan Ciok-sing selalu menggoda
pikirannya sehingga dia tidak bertindak nekad. Karena putus asa dan insaf diri
berada di jalan buntu serta tiada harapan lolos, tanpa merasa mulutnya
menggumam
memanggil-manggil nama
Ciok-sing.
"Adik San," tiba-tiba
didengarnya suara lirih berkata, "jangan takut aku telah datang."
In San tidak percaya akan
pendengaran sendiri, teriaknya: "Aku bukan mimpi? Tan-toako, apa betul kau
telah datang?"
"Ssst, jangan
keras-keras, sudah tentu aku adanva."
In San gigit lidah sendiri,
sakitnya bukan main, memang ini bukan dalam mimpi. Sekarang dia sudah terbiasa
keadaan gelap, pelan-pelan dia menggeremet maju mendekati air, lapat-lapat
memang dilihatnya bayangan muka Tan Ciok-sing.
Kejut dan girang In San,
katanya: "Memang bukan mimpi, Tan-toako dari mana kau tahu aku ada disini,
bagaimana pula kau bisa datang kemari?"
"Panjang kalau
dituturkan, lekas kau putar dulu, biar aku naik ke atas."
"Kenapa?"
"Aku bertelanjang untuk
berenang masuk kemari, aku harus berpakaian dulu."
Merah muka In San lekas dia
mundur dan membalik tubuh.
Sesaat kemudian tahu-tahu
Ciok-sing sudah mengelus rambut kepalanya, katanya lirih: "Sekarang kau
boleh putar badan lagi." Tanpa kuasa keduanya lantas berpelukan kencang
sekali, lama dan lama sekali baru mereda gejolak perasaan mereka, pelan-pelan
merekapun mengendorkan pelukan dan berdiri berpandangan.
"Biar kuberitahu satu
kabar baik padamu," kata Tan Ciok-sing, "aku sudah bertemu dengan
Toan-toako dan nona Han."
"Mereka juga
datang?" tanya In San girang.
"Betul, suara seruling
yang kita dengar di Pat-tat-nia siang tadi memang betul nona Han yang
meniup," lalu dia ceritakan pertemuannya dengan Toan dan Han berdua
didalam Bu-ling-goan tadi.
"Kukira belum tentu ini
merupakan berita baik," ujar In San.
"Mereka menyamar wisu
keluarga Liong, Lenghou Yong dan kambrat-kambratnya tiada yang tahu rahasia
mereka."
"Wisu yang mereka
palsukan memang ada orangnya, sementara mungkin mereka terkelabui, namun suatu
ketika pasti terbongkar juga."
"Betul, kita harus
cepat-cepat berusaha keluar dari sini. Bila kita belum lolos yakin merekapun
pasti tak mau pergi."
Tapi cara bagaimana mereka
harus keluar?
"Tan-toako, aku bisa
bertemu akhir kali dengan kau, puaslah hatiku. Kau jangan hiraukan diriku, pergilah
kau seorang diri."
"Memangnya kau sudah lupa
akan sumpah setia kita. Sehidup semati?"
"Tidak, tapi jangan kau
lupa diluar masih ada Toan-toako dan Han-cici yang perlu bantuanmu. Sebelum kau
keluar mereka takkan mau pergi. Apalagi bila kau sudah keluar, kau masih bisa
berusaha menolongku, apapun bila ada seorang bisa keluar kan lebih mending dari
pada sama-sama menunggu mati disini."
Getir tawa Ciok-sing, katanya:
"Jangan kau membujukku, umpama ada niatku keluar, sekarang takkan bisa
keluar lagi."
"Aku tak bisa berenang,
tapi kau bisa. Kalau kau bisa masuk, kenapa tidak bisa keluar?"
"Lorong itu sebetulnya
tidak tembus kemari, tapi entah kenapa terjadilah kebobolan oleh terjangan arus
deras. Bila aku bisa berenang dan keluar, tetap takkan bisa keluar dari gua
yang tertutup dari luar. Sementara pintu keluar yang lain entah berada dimana.
Umpama ketahuan juga pasti telah dipasangi perangkap, dari pada menempuh
bahaya, lebih baik aku menemani disini, sedikitnya kita masih bisa bercengkrama
untuk beberapa hari lamanya."
Tiba-tiba In San teringat,
katanya: "Liong Seng-bu keparat itu pernah membuka jendela di atas sana,
aku tidak pandai Pia-hau-kang (ilmu cecak), coba kau merambat ke atas
memeriksanya, kau membawa geretan api?"
"Ada," Tan Ciok-sing
mengiakan.
In San mematahkan sebatang
dahan pohon kering yang menjulur keluar dari celah-celah dinding, lalu
disulutnya dengan geretan Ciok-sing, walau sinarnya tidak terang, namun lebih
mending dari pada menggeremet di kegelapan.
Tan Ciok-sing mencoba, dengan
susah payah akhirnya dia merambat ke atas, dengan teliti dia memeriksa, tanpa
merasa dia menarik napas dingin. Dengan gelisah In San menunggu di bawah,
tanyanya: "Bagaimana?"
"Hakikatnya tiada lobang
disini, hanya ada papan besi disini, papan besi yang amat tebal, pedang
pusakapun takkan bisa menusuk tembus."
In San amat kecewa, dia
menunduk memeras otak.
Tan Ciok-sing berkata:
"Disini kita bisa bermain cinta tanpa diganggu siapapun. Bicara terus
terang, selama hidupku ini, belum pernah aku merasa hidup bahagia dan sesenang
hari ini. Adik San, apa kau tidak bahagia?"
"Berada di sampingmu,
memangnya aku tidak kan senang? Sayang kita tak bisa hidup abadi disini
selamanya. Lebih baik kau harus keluar. Oh, ya, teringat olehku." .
"Teringat apa?"
"Kau pandai menyelam,
kenapa tidak kau selidiki dasar air, mungkin ada jalan keluarnya."
"Akal bagus, baiklah
kucoba," setelah memadamkan obor, dia suruh In San membelakanginya lalu
mencopot pakaian, membawa Pek-hong-po-kiam pemberian Thio Tan-hong segera dia terjun
kedalam air.
Kira-kira sesulutan dupa
lamanya baru Tan Ciok-sing menongol keluar air. "Maaf sekian lama aku
pergi, kau pasti tidak sabar menunggu."
In San membelakanginya pula,
setelah Ciok-sing berpakaian, dia membalik dan tanya: "Bagaimana?"
"Permukaan air disini
tenang, tapi di bawah arusnya amat deras, lorongnya juga sempit beberapa kali
harus melalui lorong-lorong panjaug. Untung sejak kecil aku dibesarkan di kali,
kalau tidak mungkin tak bisa kembali kesini."
"Jalan keluarnya sudah
kau temukan?"
"Sudah kutemukan, sayang
sukar keluar."
"Kenapa?"
"Jalan keluarnya dipagari
jeruji besi sebesar lengan bayi, kira-kira harus mematahkan tiga jeruji besi
baru bisa menyelinap keluar. Dengan Pek-hong-po-kiam sudah kucoba, tapi belum
berhasil memutuskan, tapi aku yakin pasti dapat, cuma untuk memutus satu jeruji
kira-kira makan waktu setengah sulutan dupa, untuk memutus tiga batang, berarti
makan waktu hampir setengah jam. Dalam jangka waktu selama itu, bukan mustahil
usaha kita bisa konangan."
"Sayang aku tak bisa
menyelam, dengan hubungan sepasang pedang kita tentu jauh lebih mudah."
Mendengar perkataanya ini, Tan
Ciok-sing menunduk diam, seperti sedang memikir apa-apa. Tiba-tiba dia berkata:
"Adik San, kalau kau menyumbat pernapasan dapat bertahan berapa
lama?"
"Aku tidak pernah latihan
menyumbat pernapasan, tapi pasti jauh lebih lama dari orang biasa."
"Kau tidak bisa, mari
kuajarkan. Ajaran dasar lwekang Thio Tayhiap yang kupelajari pasti dapat kau
pelajari dengan cepat."
"Tapi aku kan tidak bisa
menyelam."
"Didalam air aku bisa
bantu menahan tubuhmu, kau pasti dapat menerobos keluar bersamaku. Setiba di
permukaan yang agak lebar dan arusnya agak lambat, kau bisa menongol keluar
untuk ganti napas."
In San berpikir sejenak,
akhirnya dia geleng kepala.
"Kenapa, tidak mau ikut
aku keluar?"
Merah muka In San, katanya:
"Memangnya aku harus meniru dirimu, menyelam tanpa berpakaian?"
Tan Ciok-sing tertawa geli,
katanya: "Aku bertelanjang karena untuk menggampangkan gerak gerik dalam
air, berpakaian juga tetap bisa berenang."
"Kalau berpakaian kan
jadi basah kuyup, begitu keluar bukan mustahil jejak kita bisa konangan?"
"Itu sih urusan kecil,
yang penting keluar dulu."
Setelah tiada yang perlu
dirisaukan, In San berkata: "Baiklah, ajarkan ilmu menutup
pernapasan itu kepadaku."
Sejak kecil dia mendapat
latihan dasar lwekang ajaran keluarganya, pada hal sebenarnya sama dengan
ajaran lwekang Thio Tan-hong, maka cepat sekali dia sudah mempelajarinya dengan
baik.
Karena pandai berenang, meski
menyelam sambil menyeret seorang bukan menjadi halangan bagi Tan Ciok-sing,
pada hal banyak kesulitan harus dihadapi, namun akhirnya mereka berhasil juga
melalui lorong-lorong sempit di bawah tanah dan tiba dimulut keluar. Dengan
gabungan pedang mereka, cepat sekali tiga jeruji besi telah mereka putuskan.
Tan Ciok-sing memapah In San
naik ke atas daratan, waktu In San memeriksa sekelilingnya, dia berkata:
"Ini berada di timur laut taman besar, cukup jauh letaknya dari kebon
dalam. Biasanya keluarga Liong melayani para tamunya disini."
Taman kembang ini sedemikian
besar, barisan wisu yang meronda mondar mandir, pakaian mereka basah kuyup
lagi, untuk menemukan Toan Kiam-ping dan Han Cin, meski tidak sesulit mencari
jarum di lautan, tapi juga bukan kerja gampang. Tengah mereka celingukan dan
bimbang, tampak barisan wisu mendatangi.
Dua wisu berjalan agak ke
belakang, keduanya berjalan sambil bercakap-cakap dengan santainya,
"bagaimana keadaan diluar, kedua wisu palsu apa sudah ketangkap?"
"Entah aku tidak tahu. Tapi
waktu aku dipindah kemari, jelas belum ketangkap."
"Meronda disini seperti
berada di dunia lain, kalau diluar terjadi keributan, disini kita bisa
bercakap-cakap dengan santai tanpa susah-susah, rasanya koh jadi
cemplang."
Wisu yang baru datang tertawa,
katanya: "Agaknya otakmu sudah keblinger, siapapun kepingin dipindah
kemari. Tamu agung dijaga oleh busu mereka sendiri, kita tak perlu ikut susah
payah, kita hanya ditugaskan menjaga pintu air disini, hakikatnya tiada bahaya
apapun yang mungkin mengancam jiwa kita, kalau diluar memang ramai, tapi bukan
mustahil batok kepalamu terpenggal musuh tanpa kau tahu bahwa dirinya sudah
mampus."
"Omonganmu memang benar,
disini boleh dikata tiada bahaya. Tapi tak pernah mendengar kabar diluar,
rasanya jadi masgul selalu," belum habis dia bicara tahu-tahu hiat-tonya
tertutuk orang, kontan dia jatuh semaput.
Dengan gerakan secepat kilat,
umpama orang mendengar geledek tidak sempat menutup kuping, Tan Ciok-sing
melompat keluar dari balik gunungan terus menutuk hiat-tonya. Katanya tertawa:
"Adik San, sekarang kita bisa ganti pakaian."
In San pejam mata sambil
membalik tubuh, katanya: "Lekas kau bereskan kedua orang ini, jangan
sampai konangan orang."
Semula Tan Ciok-sing hendak
menenggelamkan mereka ke dasar air, hatinya tidak tega mengingat mereka tidak
berdosa, akhirnya dia sembunyikan mereka di semak-semak rumput tak jauh dari
empang.
Setelah ganti pakaian In San
keluar dari gua, katanya: "Untung perawakan orang ini agak pendek, walau
pakaiannya tidak cocok, juga kepanjangan sedikit. Lebih celaka baunya yang
kurang sedap, aku jadi risi dan mual."
Tiba-tiba timbul pikiran Tan
Ciok-sing, katanya: "Seharusnya kita berusaha menemukan Toan-toako dan
Han-cici, tapi, tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Taman sebesar ini, dalam
waktu singkat bagaimana bisa menemukan mereka. Tapi sekarang ada tugas lebih
penting lagi..."
In San sadar, katanya:
"Yah, betul, maksudmu kita lakukan dulu soal lain baru mencari
Toan-toako?"
"Betul, penginapan para
tamu tak jauh dari sini. Mari kita cari dulu Duta rahasia dari Watsu, paksa dia
menyerahkan surat perjanjian rahasia dengan Liong Bun-kong, kita gunakan pula
dia sebagai sandera, Toan-toako dan nona Han dengan mudah pasti dapat kita
bantu untuk meloloskan diri."
In San berpikir sebentar, katanya:
"Tan-toako, perkataanmu benar, kita harus pikirkan dulu kerja yang lebih
penting ini. Baiklah, aku setuju akan usulmu."
Pada saat itulah, dari sudut
tenggara sana sayup-sayup terdengar suara keributan yang semakin keras
kedengaran ada orang sedang berhantam dengan sengit. Jarak cukup jauh, kalau
mereka tidak memiliki ilmu mendekam mendengar suara dari bumi, jelas takkan
mendengar geger disana. Dari apa yang dapat mereka tangkap, keributan disana
jelas amat ramai dan genting.
Perasaan In San tidak tentram,
katanya: "Mungkin Toan-toako dan Han-cici sudah terkepung dan dikeroyok
kawanan wisu?" tak usah dijelaskan lebih lanjut. Tan Ciok-sing sudah tahu
apa yang ingin dikemukakan oleh In San.
Sekejap itu mereka jadi
bimbang. Bila benar Toan dan Han berdua mengalami kesulitan, adalah menjadi
kewajiban mereka untuk cepat memburu kesana menolong mereka, tapi merekapun
melaksanakan rencana yang barusan telah disepakati bersama, yaitu menyelundup
ke penginapan para tamu dari Watsu serta membunuh atau bila perlu membekuk duta
rahasia Watsu?
000OOO000
Bagaimana keputusan Tan
Ciok-sing biarlah kita tunda dulu sementara waktu. Marilah kita ikuti
pengalaman Toan Kiam-ping dan Han Cin setelah mereka menolong Tan Ciok-sing.
Dugaan In San memang tidak
meleset, mereka memang konangan musuh dan kini dikepung dan dikeroyok oleh
banyak musuh. Sayang mereka tidak tahu bahwa samaran mereka telah terbongkar
oleh Liong Seng-bu, waktu itu mereka masih berusaha mencari kabar tentang In
San yang kejeblos kedalam perangkap.
Dimana ada orang banyak mereka
tidak berani tinggal terlalu lama, setelah putar kayun kian kemari akhirnya
mereka tiba di ujung taman, disini mereka ketemu seorang wisu yang meronda
sendirian.
Toan Kiam-ping menghampiri
lantas bertanya: "Kabarnya ada pembunuh perempuan yang ketangkap, apa
betul?"
"Betul, pembunuh
perempuan yang punya asal-usul cukup genting."
"Siapakah dia?"
Wisu itu meliriknya sekali,
"Kabarnya ada sangkut pautnya dengan Liong-tayjin, apa betul kau tidak
tahu?"
"Aku tak berani tanya
kepada Ciok-tayjin, dari mana aku bisa tahu?"
"Kalau Ciok-tayjin tidak
menceritakan, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."
"Bagaimana pembunuh
perempuan itu sekarang?"
Seperti tertawa tidak tertawa,
wisu itu berkata: "Agaknya kau memperhatikan dia."
"Ah, jangan menggoda. Aku
hanya ketarik saja dan tanya dengan iseng."
Baru saja Han Cin hendak
menutuk hiat-to wisu ini, mendadak terdengar seorang berkata dingin; "Kau
ingin tahu, seharusnya tanya kepadaku."
Yang datang ini adalah Liong
Seng-bu. Di belakangnya ikut dua wisu, yaitu dua orang yang sekarang mereka
samar.
Han Cin pernah melihat Liong
Seng-bu, maka dia berteriak: "Toan-toako, lekas ringkus dia. Dia itulah
keponakan bangsat tua she Liong." Belum habis dia bicara pedang Toan
Kiam-ping sudah menusuk ke arah Liong Seng-bu.
Dua wisu membentak serempak:
"Kurcaci, berani kau menyaru tuan besarmu, kuganyang kau," dengan
amarah yang meluap mereka menubruk maju. Han Cin menyendat cambuk lemasnya
menahan mereka dengan putaran cambuknya. Sehingga Toan Kiam-ping berkesempatan
mengudak Liong Seng-bu.
Seperti diketahui Liong
Seng-bu pernah mempelajari beberapa jurus ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong.
Pek-hong-koan-jit serangan Toan Kiam-ping hendak menutuk Ci-tong-hiat di
dadanya, ternyata meleset. Tapi kepandaian silatnya memang terpaut jauh
dibanding Toan Kiam-ping, dua jurus dia mampu menangkis dan melawan, tapi jurus
ketiga sengaja Toan Kiam-ping menggunakan daya lengket lalu sekali sentak
dengan tipu Sam-coan-hoat-Iun (tiga kali memutar roda), pedang panjang Liong
Seng-bu kena dipelintirnya terlepas jatuh.
Toan Kiam-ping mengudak maju,
dari semak-semak rumput mendadak menubruk beberapa orang yang memang sejak tadi
sudah sembunyi disitu, mereka adalah Huwan bersaudara.
Untung kepandaian Toan Kiam-ping
sekarang sudah maju pesat, meski disergap secara mendadak oleh ke empat
bersaudara, lekas dia gunakan To-dap-jit-sing-pou (menginjak terbalik langkah
tujuh bintang), secara keras dia menarik daya luncuran tubuhnya mentah-mentah,
syukur usahanya berhasil sehingga dia tidak terluka.
Huwan Liong menjengek dingin:
"O, kiranya Toan-siauongya, hehe, orang hidup dimanapun pasti bertemu.
Tempo hari kami tak kuasa mengundangmu kemari, tanpa diundang kali ini kau
malah datang sendiri," mulut bicara tangan tidak nganggur, pedang panjang
terayun, segera dia merebut posisi yang menguntungkan, mulailah dia pimpin
barisannya mengadakan serangan total.
Liong Seng-bu gelak tertawa,
katanya: "Benar, kapan bisa mengundangnya kemari, adalah kewajibanku untuk
menyambutnya sebagai tuan rumah. Kalian harus menahan tamu kita ini baik-baik,
layanilah secara hormat."
"Kongcu jangan kuatir,
kali ini meski tumbuh sayappun jangan harap dia bisa terbang."
Setelah barisan pedang lawan
terbentuk, meski Toan Kiam-ping tidak terluka, tapi tidak mampu menjebol
kepungan.
Toan Kiam-ping menghela napas,
katanya: "Adik Cin, kau ikut menderita jadinya?"
Han Cin tersenyum katanya:
"Toan-toako, jangan kau lupa sumpah kita? Sehidup semati.”
Tiba-tiba tampak seorang wisu
lari tergopoh ke arah sini, pada hal wisu ini semula berjaga di mulut gua
Bu-ling-goan. Liong Seng-bu kaget melihat kedatangannya, tanyanya: "Mana
Lenghou Yong, kenapa tidak datang?"
Saking buru-buru napas wisu
itu masih sengal-sengal, sekian saat tak mampu bicara, tanpa hiraukan
pertanyaan segera dia berteriak begitu dapat bersuara: "Kongcu,
celaka."
"Bapakmu. Apa yang
celaka," damprat Liong Seng-bu.
"Ada air mengalir dari
gua bawah tanah, waktu kami beramai-ramai menggeser batu penutup air seperti
menyembur keluar dari bawah."
"Lalu Tan Ciok-sing
keparat itu?"
"Dua orang kita yang
pandai berenang selulup ke bawah, bocah itu tidak ditemukan, malah mereka
menemukan, menemukan..."
"Menemukan apa? Lekas
katakan."
"Penjara air telah bobol,
pembunuh perempuan yang dikurung di penjara air..."
"Bagaimana?"
"Pembunuh perempuan itu
telah hilang."
"Sudah dicari ke mulut
keluarnya?"
"Sudah ada orang yang
kesana mencarinya. Tapi aku harus cepat kemari lapor kepada Kongcu, entah
mereka menemukan pembunuh itu?"
Kejut dan girang Toan
Kiam-ping serta Han Cin mendengar berita ini. Jago kosen lagi bertempur pantang
pecah perhatian, maka terdengar suara "Cret" baju luar Han Cin
tertusuk bolong oleh dua ujung pedang. Untung dia bergerak lincah, sedikit
lambat, tentu dadanya sudah tertusuk bolong. Bagian luar dia mengenakan seragam
wisu, begitu baju luar tertutuk bolong dan robek tersingkap, maka baju dalamnya
yang ringkas kelihatan. Huwan Pau bergelak tertawa terus mengolok: "Memang
perempuan siluman itu.
Hehe, siluman cantik, lebih baik
kau menyerah saja, kalau tidak kau nanti bisa runyam, lho."
Melihat situasi, Liong Seng-bu
yakin Huwan bersaudara dapat menguasai keadaan, legalah hatinya, teriaknya:
"Barisan panah siap, jangan biarkan pembunuh lari. Kalau tidak bisa
ditawan hidup, bidik saja sampai mati," setelah memberi aba-aba, dia
percaya urusan tak perlu dia tangani sendiri, maka dia siap tinggal pergi.
Maklum dia pandang Tan Ciok-sing dan In San jauh lebih berbobot dibandingkan
Toan dan Han berdua.
Puluhan pemanah sudah menyebar
diri, ada yang naik ke atas pohon, ada yang sembunyi di balik gunungan, pucuk
anak panah yang kemilau tampak gemeredep di tengah kegelapan yang ditimpah
cahaya obor. Jalan mundur Toan dan Han jelas sudah terputus. Umpama mereka
mampu menjebol barisan pedang juga takkan luput dihujani anak panah.
"Adik Cin, tabahkan
hatimu. Tan-toako dan nona I n sudah meloloskan diri, kita tidak perlu
menguatirkan mereka."
Setelah bebas pikiran semangat
tempur Han Cin berkobar, maka permainannya lebih mantap, berdampingan beradu
pundak dia merangsak musuh dengan sengit bersama Toan Kiam-ping. Walau dalam
waktu dekat tidak mampu membobol barisan pedang, namun permainan pedang ke
empat bersaudara itu jadi mengendor dan tak mampu memperkecil ruang lingkup
mereka. Kalau Han Cin berdua tidak perlu menguatirkan keselamatan Tan dan In
berdua, demikian pula Huwan bersaudara kini dapat bertindak bebas, karena tidak
perlu menawan hidup maka mereka menyerang lebih ganas dan bila perlu membunuh
musuh saja. Bila waktu berkepanjangan, lambat laun tenaga Han Cin terkuras
lebih cepat. Beberapa jurus terakhir tenaga permainannya sudah semakin lemah
dan kekuatan tidak memadai keinginan serta semangat juangnya.
Di saat-saat kritis, tiba-tiba
para wisu berlarian masuk dari luar seraya berkaok-kaok ketakutan:
"Perampok menyerbu datang." Seketika itu juga gegap gempita suara
berhantam dari berbagai penjuru, agaknya kawanan rampok yang menyerbu tiba
dalam jumlah besar dan serempak dari berbagai penjuru.
Ciok Khong-goan membentak:
"Jangan gugup, kerahkan separoh kekuatan disini membantu keluar. Pemanah
tetap di tempat masing-masing," ternyata dia memburu kemari setelah
mendengar Liong Seng-bu kepergok pembunuh disini, lalu dia wakili Sa Thong-hay
memimpin barisan wisu.
Sekonyong-konyong selarik sinar
api yang membara dengan suara mendesis menjulang tinggi ke angkasa. Tampak
seorang kakek diikuti sepasang muda mudi, di belakangnya mengintil pula Hwesio
timpang yang menggenggam sebatang tongkat baja sebesar mulut mangkok. Sungguh
hebat terjangan ke empat orang, dimana mereka berada para wisu dilabraknya
pontang panting. Sinar api yang menjulang ke langit tadi adalah panah sreng
yang ditimpukkan oleh lelaki tua di paling depan.
Bukan sedikit wisu yang
memegang obor, ditambah cahaya panah berapi yang benderang di angkasa, sempat
Toan Kiam-ping melirik kesana, meski jarak masih berada seratusan langkah, tapi
dia sudah melihat jelas siapa ke empat orang yang lagi melabrak musuh itu.
Dia kenal Hwesio timpang itu
bukan lain adalah Sia-cin Hwesio, orang ke empat dari Bu-Iim-pat-sian,
sementara sepasang muda mudi bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so. Cuma
orang tua itu yang tidak dikenal olehnya.
Melihat Huwan bersaudara
mengepung dua wisu, kakek itu tampak melengak, teriaknya: "Yang mana nona
Han?"
Han Cin tersentak sadar,
segera dia berteriak: "Apakah Ti-pepek? Aku adalah putri Han Sen."
Kakek ini memang Ti Nio,
mendengar gadis yang menyamar wisu ini memang adalah putri kenalan lamanya,
seperti orang kalap saja dia menerjang kemari, teriaknya: "Nona Han,
jangan gugup, aku menolongmu. Hm, siapa berani menyentuh ujung rambutnya, akan
kurenggut jiwanya."
Ciok Khong-goan menjengek:
"Dan aku menghendaki dulu jiwamu," begitu dia mengayun tangan anak
panah segera berhamburan selebar hujan, yang dibidik melulu Ti Nio saja.
Lekas Ti Nio mencopot jubah
luarnya, dengan menggulung jubah dan memutarnya kencang sebagai tameng saja dia
rontokkan anak panah yang berhamburan ke arahnya. Kenyataan memang aneh,
anak-anak panah yang kena sentuh gulungan jubahnya itu seperti terkena tameng
baja layaknya, semuanya rontok di sekeliling tubuhnya. Sementara Kek Lam-wi
memutar seruling dan Toh So-so menarikan pedangnya, di bawah pelindungan Ti Nio
merekapun sibuk menjatuhkan anak panah yang menggebu deras.
Lekas sekali mereka sudah
menerjang tiba di depan gunungan, disini jarak makin dekat maka hujan panah
semakin deras dan ketat, mendadak Ti Nio menghardik: "Diberi tidak
membalas tandanya kurang hormat, sekenanya dia membungkuk meraih segenggam
batu, begitu diremas hancur menjadi krikil segera ditimpukkan, krikil yang tak
terhitung jumlahnya itu ternyata tidak kalah liehay dari anak-anak panah itu,
sembari menimpuk gulungan jubah di tangan kanan tetap diputar kencang untuk
menangkis panah yang dibidikkan ke arahnya.
Timpukan krikilnya itu
menggunakan gerakan Lau-hay-sai-kim-ci (Lau-hay menyebar duit emas), begitu
krikil-krikil kecil itu ditebarkan, maka terdengar disana sini orang menjerit
kesakitan, kalau bukan mata buta, atau leher bolong dan muka pecah, ternyata
tidak sedikit pemanah gelap yang sembunyi di atas pohon dan belakang gunungan
sama terjungkal roboh.
Sia-cin Hwesio yang sudah
timpang jalannya tidak begitu kencang, dia agak ketinggalan di belakang, begitu
hujan panah agak mengendor, sebat sekali dia melompat jauh beberapa tombak
mengitar ke belakang gunungan, dimana tongkat bajanya menutul kembali tubuhnya
yang tromok itu membal ke atas, tubuhnya yang semula ketinggalan di belakang
kini malah mendahului menerjang ke depan melampaui Ti Nio. Sudah tentu Kek
Lam-wi kaget, teriaknya: "Siko jangan gegabah."
Maksud Sia-cin hendak menolong
Toan Kiam-ping selekasnya, sudah tentu tidak hiraukan seruan Kek Lam-wi,
terdengar tongkat bajanya beberapa kali menutul batu-batu gunungan mengeluarkan
suara ting tang yang nyaring, tak ubahnya atlit lompat galah tubuhnya terus
berlompatan terbang ke depan dengan ginkang tinggi. Dalam sekejap mata dia
sudah menerjang ke arah gunungan. Ti Nio tengah sibuk merontokkan hujan panah
yang datang dari arah depan sehingga tak sempat memburu kesana membantu dia.
Terpaksa dia gunakan batu-batu krikil yang diremasnya sebagai senjata rahasia,
sehingga para pemanah itu ketakutan tiada yang berani menongolkan kepalanya,
sehingga Sia-cin Hwesio leluasa maju lebih dekat di bawah perlindungannya ini.
Panah khusus untuk membidik
jarak jauh, begitu Sia-cin Hwesio menerjang ke gunungan, para pemanah itu tidak
sempat membidiknya lagi, karena panah sudah tidak berguna, terpaksa mereka
berhantam dalam jarak dekat dengan kaki tangan
"Kunyuk kurcaci, kalian menggelindinglah,"
dimana dia putar tongkat bajanya, perbawanya bagai harimau ngamuk, dimana
tongkatnya menyambar, batu hancur berterbangan disertai batok kepala orang yang
pecah berhamburan. Sekejap saja tujuh orang telah dikepruknya mati, sejumlah besar
terluka parah, kalau bukan tulang dadanya patah, pasti kaki tangan putus.
Mereka yang masih selamat beramai-ramai lompat turun dan lari sipat kuping, ada
pula yang menyelinap ke gua dan kemana saja asal dapat menyelamatkan diri.
Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak,
serunya: "Siapa yang tidak takut mati, hayo maju hadang aku." Baru
saja dia hendak menerjang ke bawah tiba-tiba "Ser" sebatang panah
meluncur dari kanan dan telak mengenai lengan kirinya.
Ti Nio segera berseru:
"Lam-wi, lindungi Sia-cin Taysu," sembari bicara kaki tidak berhenti,
terus dia maju menerjang hujan panah-
Melihat Sia-cin Hwesio terkena
panah, Kek Lam-wi kaget, teriaknya: "Siko, turunlah istirahat, biar
kuobati lukamu."
Melotot mata Sia-cin, serunya:
"Dalam keadaan seperti ini masih suruh aku istirahat segala? Luka panah
seringan ini terhitung apa?" tanpa ayal segera dia cabut sendiri panah
yang menancap di lengan kirinya.
Setelah mencabut panah, tanpa
hiraukan lukanya yang menyemburkan darah sambil menggerung keras Sia-cin Hwesio
kerjakan pula tongkatnya terus menerjang ke depan. Kek Lam-wi tiidak berhasil
mengejarnya. Untung setelah melewati gunungan ini, ditambah belakang sudah
terjadi pertempuran kacau balau, kuatir melukai orang sendiri para pemanah
sudah tidak berani membidikkan panahnya.
Han Cin sudah kehabisan
tenaga, kekuatannya sudah terkuras dan tak kuat bertahan lama lagi, mendadak
didengarnya sebuah raungan keras, tahu-tahu Ti Nio sudah menerjang datang
kedalam kepungan mereka. Huwan Hou keterjang lebih dulu, mukanya kena tempeleng
yang keras sehingga wajahnya pesok dan berubah bentuknya, darah berlepotan
tubuhpun limbung hampir roboh. Di antara ke empat saudara kepandaian Huwan Kiau
paling lemah, Iwekangnya juga rendah, maka dia tidak kuat menahan getaran
raungan Ti Nio, belum pedangnya mengenai tubuh Ti Nio tahu-tahu senjatanya
sudah terampas lawan, sekaligus dia timpukkan ke belakang, seorang wisu kena
dipanteknya di tanah dengan pedang rampasan itu.
Sebetulnya ada beberapa wisu
yang berkepandaian lebih tinggi dapat menutup lobang barisan ini dan mengudak
di belakang Ti Nio, serta melihat sekali mengayun tangan seorang kawannya sudah
terpantek binasa, sementara Huwan Hou dan Huwan Kiau dihajarnya sampai babak
belur, serasa copot nyali para wisu itu, mana lagi yang berani menerjang maju?
Raungan Ti Nio yang
berfrekwensi tinggi getarannya ini memang dilandasi oleh latihan lwekang selama
puluhan tahun. Karena ingin menolong Han Cin, tindakannya ini sebetulnya sudah
mempertaruhkan jiwa raga sendiri, untung pukulan kepalannya sedikit lebih cepat
dari tusukan pedang Huwan Hou, kalau tidak umpama dia dapat melukai Huwan Hou,
tubuhnya sendiri pasti akan dihiasi tusukan pedang yang bukan mustahil bisa
berakibat fatal.
Barisan pedang Huwan
bersaudara sudah terkenal di kalangan Kangouw, bahwa sekali labrak dia berhasil
memporak-porandakan barisan tangguh ini, sungguh diluar dugaannya, baru saja
dia maju hendak menarik Han Cin ke sampingnya, tiba-tiba selarik angin tajam
mengancam dirinya, perasaannya yang sensitif segera memperingatkan dia untuk
segera berkelit dari tusukan pedang Huwan Pau. Berbareng Huwan Hou yang sudah
terluka itupun menubruk nekad dari arah belakang. Maju mundur gerakan kedua
orang ini menuruti teori barisan yang liehay, kerja samanya amat serasi pula,
gabungan serangan pedang Huwan Pau dan Huwan Hou yang berlawanan arah ini
ternyata jauh lebih liehay dari kerja sama Huwan Hou dengan Huwan Kiau tadi.
Secepat kilat kedua pihak saling berhantam beberapa jurus, ternyata Ti Nio tak
mampu membebaskan diri dari kerubutan mereka untuk menolong Toan Kiam-ping.
Tiba-tiba suara bentakan
sekeras geledek menggelegar memekak kuping tahu-tahu Sia-cin Hwesio sudah
menerjang datang dengan permainan tongkatnya yang diputarnya sekencang kitiran,
tubuhnya terbang tiga tombak jauhnya, sungguh bagai jendral perang yang terjun
dari angkasa.
Pertarungan jago-jago kosen
meski menghadapi lawan berat, tapi pendengaran, pandangan dan seluruh
perhatiannya juga ditujukan ke arah sekelilingnya. Bukan Huwan Liong tidak tahu
kalau Sia-cin Hwesio sedang menerjang tiba namun dia tidak duga kalau gerakan
Hwesio tromok ini bisa secepat ini. Di kala dia melancarkan jurus serangan maut
yang terakhir, Sia-cin masih berada dua puluhan tombak jauhnya. Huwan Liong
kira dia masih sempat membunuh Toan Kiam-ping lalu menyambut kedatangan Sia-cin
Hwesio. Tak tahunya Sia-cin
seperti melompat terbang saja tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
Huwan Liong kaget dan pecah
nyalinya terpaksa dia kendorkan serangannya kepada Toan Kiam-ping dan membalik
menahan kemplangan tongkat Sia-cin dengan pedangnya. "Trang" kembang
api berpijar akibat benturan keras itu, begitu keras suaranya sampai wisu yang
berada di ratusan tombak jauhnya juga pekak telinganya.
Setelah benturan keras itu
lenyap suaranya, tampak sesosok tubuh mencelat tinggi ke udara. Tapi yang
"terbang" kali ini ternyata adalah Huwan Liong sendiri. Sebetulnya
lwekang kedua lawan ini seimbang dan sukar dibedakan siapa lebih unggul. Tapi
begitu pedang membentur tongkat baja, karena didorong oleh terjangan dan
kekuatan samberan tongkat yang menggebu dari udara itu, tak kuasa lagi Huwan
Liong menguasai tubuhnya, tubuhnya tergetar mencelat beberapa tombak jauhnya.
Akan tetapi Sia-cin Hwesio
sendiri juga tersungkur jatuh di tanah dan tak mampu merangkak bangun pula.
Maklum sebelum ini lengannya sudah terpanah, darah mengalir terlalu banyak,
kali ini mengadu kekuatan lagi, sudah terluka tambah terluka, luka kali ini
malah lebih parah, karuan dia tidak tahan pula.
Empat bersaudara sudah tiga
yang terluka sudah tentu barisan pedang itu tak dapat bertahan lagi. Lekas Kek
Lam-wi dan Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio, tampak wajah Hwesio gendut
ini pucat pias, darah masih mengalir dari mulutnya. Sungguh seperti diiris hati
Toan Kiam-ping, sambil memeluk Sia-cin Hwesio tak tertahan air mata bercucuran,
lidahnya serasa kelu dan tak tahu apa yang harus diucapkan.
Tapi Sia-cin Hwesio malah
tersenyum, katanya: "Toan-kongcu, jiwaku ini kan kau yang merenggutnya
kembali, kini ada kesempatan aku membalas budi pertolonganmu, mati juga hatiku
puas. Jangan kau bersedih karena aku," lalu berpaling berkata kepada Kek
Lam-wi: "Agaknya aku sudah tidak kuat lagi, kalian tidak perlu membuang
banyak tenaga dan pikiran untuk aku. Satu hal yang amat kusesalkan adalah aku
tak mampu menuntutkan balas kematian Ui-yap Samko, terpaksa tugas mulia itu
kuserahkan kepada kau saja," suaranya semakin lemah dan matapun mendadak
terpejam tubuhnya lunglai rebah dalam pelukan Toan Kiam-ping.
"Jangan Siko, jangan kau
mati," teriak Kek Lam-wi, waktu dia raba denyut jantungnya masih bergerak
dan terasa hangat, lekas dia membubuhi obat di luka lengannya sambil berkata:
"Kita harus cari tempat untuk mengobatinya."
Berlinang air mata Toh So-so,
katanya: "Seluas taman ini diliputi sinar golok dan kilatan senjata tajam,
kemana dapat memperoleh tempat yang aman dan tenang?"
Tiba-tiba Toan Kiam-ping ingat
sesuatu tempat, katanya lirih: "Aku tahu ada sesuatu tempat sementara
boleh kita mengobati luka Sia-cin Taysu disana, tapi kita harus terjang keluar dari
kepungan musuh," tempat yang dimaksud bukan lain adalah Bu-ling-goan
dimana Tan Ciok-sing pernah
menyembunyikan diri dan disana
pula dirinya bertemu dengan Han Cin.
Tan Ciok-sing sudah melarikan
diri dari gua itu, para wisu juga telah masuk kesana menggeledah gua itu, yakin
kali ini mereka akan selamat dan musuh takkan mengulang pemeriksaan. Berlima
mereka menerjang maju dengan melabrak musuh sekuat tenaga, segarang harimau
turun gunung, mereka sikat setiap wisu yang berusaha merintangi. Ternyata usaha
mereka berhasil juga, tak lama kemudian mereka sudah dekat dengan gunungan.
Ciok Khong-goan berteriak:
"Jangan gugup, bidikkan panah kalian ke arah mereka," di bawah
pimpinannya, para pemanah yang masih segar bugar segera berkumpul mereka mulai
mendapat kepercayaan pada diri sendiri untuk melawan musuh.
Di tengah gertakan suaranya
yang keras, Ti Nio ayun tangannya menimpukkan batu ke arah Ciok Khong-goan.
Lekas Ciok Khong-goan tegakkan golok bajanya yang berpunggung tebal.
"Trang" goloknya yang besar dan berat itu ketimpuk miring dan hampir
saja tak kuasa dia memegangnya lagi. Karuan Ciok Khong-goan amat kaget, lekas
dia tiup padam sebatang obor yang dipegang wisu sebelahnya.
Waktu itu bala bantuan masih
terus berdatangan dari berbagai arah, cahaya obor terang benderang di empat
penjuru, dalam keadaan demikian, umpama mereka berhasil menerjang keluar
kepungan disini, tentu sukar untuk menghindari pengejaran para wisu, lalu cara
bagaimana mereka bisa masuk ke gua Bu-ling-goan?
Mau tidak mau jantung Toan
Kiam-ping dag dig dug. "Tak usah gugup," ucap Ti Nio, dia seperti
dapat meraba jalan pikiran Toan Kiam ping, "aku punya akal," lalu dia
terbahak-bahak, katanya: "Kawanan cakar alap-alap, kalian takut dilihat
orang, nah biarlah aku wakili kalian memadamkan obor-obor itu," sembari
bicara diam¬-diam dia meremas hancur sebutir batu gunung, dengan gerakan
Thian-li-sam-hoa (bidadari menyebar kembang) batu yang diremasnya hancur dia
timpukkan, sekaligus puluhan obor dipadamkan. Kek Lam-wi segera tiru cara sang
Susiok, beruntun diapun padamkan beberapa obor sekaligus, sementara Toh So-so
yang tenaganya lebih lemah hanya memadamkan dua tiga obor. Toan dan Han hanya
memadamkan obor yang dekat setiap satu obor sekali sambitan.
Setelah batu beterbangan
sebagian besar obor yang menyala sudah berhasil dipadamkan. Sisanya yang masih
menyala hanya menerangi beberapa bayangan orang yang sedang ribut saling tumbuk
di garis lingkaran luar. Para pemanah jelas tak berani membidik lagi karena
kuatir salah sasaran. Yang Maha Kuasa entah bagaimana seperti juga membantu
kesulitan mereka, udara yang semula cerah oleh penerangan bulan setengah
bundar, tahu-tahu gelap ditutupi mega mendung.
Setelah mereka lolos dari
kepungan, begitu kebentur dengan wisu yang membawa obor, lalu ditimpuknya
padam. Bila obor dinyalakan lagi sementara mereka sudah menghilang di tempat
gelap.
Han Cin sudah apal daerah
disini, maka dia yang menjadi penunjuk jalan kembali ke Bu-ling-goan. Secara
seksama mereka memeriksa keadaan sekelilingnya di tengah kegelapan, daerah ini
sudah kosong, kawanan wisu tampak bergerak di kejauhan diluar taman besar.
Ti Nio berkata: "Jangan
masuk dulu, biar aku pancing wisu yang ada di sekeliling sini," habis
bicara sengaja dia memperlihatkan diri terus menuju ke arah yang berlawanan
dengan langkah yang lebar memapak beberapa wisu yang masih pura-pura memeriksa
sekedarnya. Karuan kawanan wisu itu ketakutan dan lari berpencar seraya
berteriak panik.
Yakin tiada wisu yang menaruh
perhatian kepada mereka, Kek Lam-wi berkata: "Toan-kongcu serahkan Siko
kepadaku. Pernah kau menolong Siko sekali, kali ini biar aku yang merawatnya,
jangan kau yang sudah kelelahan ini tambah kepayahan."
"Demi menyelamatkan aku
Sia-cin Taysu terluka separah ini, kalau aku tidak menjaganya, betapa hatiku bisa
tenteram, Kek-heng, perkataanmu ini apa tidak terlalu membedakan?" Baru
saja Kek Lam-wi mau mendebatnya, tiba-tiba didengarnya suara Ti Nio yang
menggerung dan menghardik dalam pertempuran sengit, agaknya diluar dia telah
bentrok dengan musuh tangguh.
"Kek-heng," kata
Toan Kiam-ping, "apa kau lupa harapan Sia-cin Taysu yang tercurahkan dalam
pesannya kepadamu tadi? Dia mengharap kau dapat lekas menuntut balas kematian
Ui-yap Tojin bukan?"
Kek Lam-wi sadar, maka dia
tidak mendebatnya lagi, katanya: "Toan-kongcu, tidak perlu aku banyak
omongan akan bantuan besarmu ini, terima kasih dan mohon bantuanmu
selanjutnya."
Han Cin ingin mendampingi Toan
Kiam-ping, tapi Toan Kiam-ping berkata: '"Adik Cin, sekarang tenagamu amat
dibutuhkan. Biar aku seorang diri merawat Sia-cin Taysu disini. Bila kau telah
bertemu dengan Tan-toako boleh selekasnya kau kemari."
Melihat sang kekasih lebih
mengutamakan kepentingan umum, Han Cin apa boleh buat, terpaksa dia berkata:
"Toako, kau harus hati-hati." Setelah dia saksikan Toan Kian-ping
masuk ke Bu-liang-goan dan tidak terjadi apa-apa, baru lega hatinya, bersama
Kek Lam-wi dan Toh So-so mereka segera meninggalkan tempat itu.
"Tan-toako yang kalian
bicarakan tadi adalah..." Kek Lam-wi bertanya.
"Teman baik kalian, yaitu
Pendekar Pemetik Harpa Tan Ciok-sing," sahut Han Cin.
Kek Lam-wi berjingkrak kaget
dan senang, serunya: "Hah, diapun kemari."
"Bukan saja dia kemari,
dia datang bersama putri In Tayhiap. Tadi nona ln terjeblos kedalam perangkap
musuh, untung katanya berhasil meloloskan diri, tapi entah mereka masih
mengalami bahaya tidak?"
"Kalau demikian, mari
lekas kita cari mereka," ajak Kek Lam-wi.
Saat mereka bicara disini
pertempuran disana kedengaran semakin memuncak, suara pertarungan gemuruh bagai
guntur menggelegar. Dan jauh barisan obor kelihatan bergerak cepat semua menuju
ke arah pertempuran.
"Celaka, agaknya Susiok
ketemu tandingan tangguh, kita harus bantu dia menjebol kepungan,"
demikian seru Toh So-so.
Ti Nio memang kepergok musuh
tangguh.
Di waktu dia memancing
perhatian kawanan wisu yang masih berkeliaran secara membabi buta, tiba-tiba
didengarnya seorang membentak: "Kalian mundur semua, biar aku yang
membekuknya," lenyap suaranya orangnyapun sudah menubruk tiba, tahu-tahu
segulung angin telah menerpa kepalanya.
Ti Nio mencelos pikirnya:
"Orang ini tidak boleh dipandang ringan," kontan dia papak serbuan
musuh dengan dorongan kedua tangan. Begitu telapak tangan saling bentur,
"Biang" ledakan terjadi, tahu-tahu Ti Nio limbung, penyerang itu tergentak
mundur dua langkah.
Orang itu membentak:
"Kiranya kau ini Tay-cui-pi-jiu Ti Nio?"
Ti Nio menghardik: "Kau
telah tahu siapa aku, tapi berani merintangi jalanku memangnya ingin mengadu
jiwa dengan aku?"
Orang itu gelak tertawa
katanya: "Tay-cui-pi-jiu yang kau yakinkan memang tangguh, tapi jangan kau
kira dapat mengalahkan aku. Hehehe, meski malam ini kau nekad dan adu jiwa,
memangnya kau kira dapat terbang meloloskan diri."
Keduanya perang mulut, tapi
kaki tangan tidak berhenti, orang itu bergerak dengan langkah Ngo-hing-pat-kwa,
bergerak menyerang sambil bertahan, sekejap saja Ti Nio telah diserangnya
belasan gebrak, ternyata kekuatan dan permainan mereka seimbang dan sengit,
siapapun tiada yang bisa memungut keuntungan.
Ternyata penyatron ini bukan
lain adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari seluruh anak buah Liong
Bun-kong. Lwekangnya masih setingkat di bawah Ti Nio tapi karena Ti Nio tadi
sudah mengalami pertempuran sengit, tenaganya sudah dipersekot, kini menghadapi
Lenghou Yong masih bertenaga baru, keadaannya jadi lebih runyam.
Dengan menarikan serulingnya
Kek Lam-wi lancarkan ilmu ajaran keluarganya yang tunggal cepat sekali dua wisu
yang menerjang maju telah ditutuknya terjungkal. Kepandaian Toh So-so agak
lemah, tapi ilmu pedangnya ternyata amat lincah dan enteng, begitu dia
menerjang ke tengah orang banyak, seperti kupu-kupu menari di antara rumpun
kembang, meliuk ke kiri menusuk ke kanan, berputar ke kanan membabat ke
belakang, dalam beberapa gerakan saja, beberapa wisu telah roboh berkelejetan
direnggut pedangnya.
Tenaga Han Cin sudah pulih
beberapa bagian diapun mainkan cambuk lemasnya, khusus dia menyerampang kaki
musuh, sehingga wisu yang berada di sekitarnya sama berlompatan mundur takut
dililit kedua kakinya.
"Bagus," seru
Lenghou Yong. "kiranya kau perempuan siluman ini. Hm, kau bisa lolos dari
barisan pedang Huwan bersaudara, coba dapatkah kau lolos dari
genggamanku?" mendadak dia melompat kedua jari terangkap menjulur setajam
anak-anak panah, "Cras" cambuk lemas Han Cin kena digunting oleh
jarinya.
Dia bergerak sebat, tapi Ti
Nio tidak lambat. Bentaknya: "Siapa berani mengusik dia," telapak
tangannya memukul terbalik, sehingga pukulan kedua yang dilancarkan Lenghou
Yong menyerang Han Cin harus dibatalkan untuk melawan pukulan terbalik ini.
Meski putus ujung cambuknya,
sebat sekali Han Cin menarik cambuk, tapi tiba-tiba cambuk lemasnya itu telah
molor ke depan pula setangkas ular sakti terus membelit kedua kaki orang. Walau
Lenghou Yong memperoleh sedikit keuntungan, betapapun dia tidak mampu merampas
cambuk Han Cin, terpaksa dia melompat jauh keluar kalangan.
Tapi kawanan wisu datang
semakin banyak, mereka telah membentuk barisan manusia mengepung lebih ketat,
walau Ti Nio beramai melabrak musuh dengan sengit, dalam waktu singkat jelas
mereka takkan bisa menjebol kepungan.
Tiba-tiba terdengar suara
suitan nyaring, tampak beberapa sinar api bercahaya benderang
membumbung tinggi ke angkasa,
kawanan wisu tampak berlarian sambil berkaok-kaok: "Lekas, lekas bantu
sini, cegat musuh yang meluruk kemari," segera dari arah tenggara dan
barat laut suaranya mendapat sahutan yang sama, semua minta bantuan tenaga
untuk membendung serbuan musuh. Ternyata rombongan pertama murid-murid Kaypang
telah menyerbu masuk. Meski jumlahnya tidak banyak, tapi kepandaian mereka
cukup pilihan, di tengah kegelapan, kawanan wisu tiada yang tahu berapa banyak
musuh, satu sama lain sukar dibedakan, yang jelas disana sini ada musuh muncul,
karuan mereka bingung dan gugup.
Di tengah pertempuran sengit
itu, tiba-tiba seorang menyelinap ke samping Kek Lam-wi, saking bernafsu
menggasak musuh, kepala Kek Lam-wi serasa pening, pandanganpun telah kabur,
tanpa memperhatikan, secara reflek serulingnya menutuk ke hiat-to orang ini
Untung orang itu berlaku sebat, sambil menyingkir dia berseru: "Kek-heng,
inilah aku." Baru kini Kek Lam-wi melihat jelas, yang datang adalah
Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun.
Lekas Kek Lam-wi bertanya:
"Adakah kau melihat Ngo-ko dan Liok-ko?" orang nomor 5 dan 6 dalam
Pat-sian adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, mereka kumpul bersama Ti Nio,
Kek Lam-wi dan lain-lain di rumah keluarga Coh.
"Memang aku hendak
beritahu kepadamu, mereka telah menyerbu ke penginapan duta-duta Watsu, mungkin
disana mereka akan melakukan pertempuran sengit, lekas kalian kesana bantu
mereka."
Saat mana belasan murid
Kaypang telah menyerbu tiba bergabung dengan Ti Nio. Walau jumlahnya tidak
sebanding dengan kawanan wisu tetapi dalam pertempuran di tempat gelap begini
jelas pihak mereka tidak gampang dirugikan.
Ui-yap Tojin mati di tangan
orang-orang Watsu, Kek Lam-wi sudah bertekad hendak menuntut balas kematian
Samkonya itu, maka dia berkata: "Baik, tolong dan bantu Ti-susiok, bersama
Pat-moay aku akan menyusul ke penginapan orang-orang Watsu membantu Ngoko dan Liokko,"
letak penginapan sebelumnya sudah mereka selidiki. "Selama ini Tan
Ciok-sing dan In San tidak kelihatan, jikalau mereka berada di taman ini pasti
mereka tahu kejadian pertempuran disini. Sejauh ini mereka tidak kelihatan
muncul, bukan mustahil sekarang mereka berada di penginapan orang-orang
Watsu?" demikian batin Kek Lam-wi
000OOO000
Dugaannya memang tidak keliru,
Tan Ciok-sing dan In San memang sudah menyelundup kesana. In San tahu apal
keadaan disini maka dia yang menunjuk jalan, tengah mereka merunduk maju sambil
sembunyi di bayang-bayang pohon, dari samping tiba-tiba menerobos keluar
seorang busu Watsu, kontan dia membentak dengan bahasa Watsu. Tan Ciok-sing
tidak mengerti apa maksud perkataan orang, terpaksa dia bergerak sebat menutuk
hiat-tonya.
Kiranya kedua pihak sebelumnya
sudah mengatur cara kontak yang sempurna, kata-kata busu merupakan sandi
rahasia yang harus dijawab dengan kata rahasia dari bahasa Han pula. Karena Tan
dan In berdua mengenakan seragam wisu maka dia menyapa dengan bahasa sandi yang
telah ditentukan.
Tutukan Tan Ciok-sing amat
telak sehingga busu itu terkulai lemas, tapi sebelum dia kehilangan kesadaran
ternyata masih mampu bersuara minta tolong. Ternyata kungfu busu ini memang
tidak lemah, biasanya orang tertutuk hiat-tonya pasti semaput, tapi Ciok-sing
tadi menutuk dengan setengah tenaga maka orang masih mampu bersuara sebelum
terkulai jatuh.
Lekas In San tarik Ciok-sing
sembunyi di semak kembang, karena teriakan minta tolong tadi seorang busu Watsu
telah memburu datang dan sempat melihat mereka, bentak busu itu: "Siapa,
kenapa main sembunyi?" bahasa Hannya ternyata cukup fasih, suaranya juga
seperti sudah dikenal.
Kepandaian busu ini agaknya
lebih tinggi dari busu yang tertutuk hiat-tonya, begitu habis bicara orangnyapun
sudah memburu tiba, kedua tangan terulur ke depan, tangan kiri menangkap Tan
Ciok-sing, tangan kanan mencengkram In San, dia pikir hendak menelikung mereka
berdua.
Tanpa berjanji serempak Tan
Ciok-sing dan In San lancarkan gerakan pedang terbalik, kontan busu itu berseru
kaget dan heran menghadapi keliehayan ilmu pedang mereka. Jari yang
mencengkeram diubah menjadi jentikan, "Creng" pedang In San kena
dijentiknya membal. Tapi jarinya yang menjentik pedang Tan Ciok-sing hampir
saja terpapas protol. Untung dalam keadaan gawat itu dia sempat menarik tangan.
Sebat sekali busu itupun telah
mencabut golok sabit yang disandangnya, secepat kilat dia menyerbu dengan
bacokan kilat kedua arah. Kini Tan dan In berdua sudah membalik tubuh
berhadapan, maka dia melihat jelas penyerangnya ini.
Busu ini bukan lain adalah
salah satu pengawal Siau-ongya dari Watsu yang siang tadi ikut tamasya di
tembok besar. Busu ini bernama Poyang Gun-ngo salah seorang dari lima busu
Watsu yang memperoleh pangkat Padulo, padulo adalah suatu anugrah dari sang
junjungan berpangkat tinggi sebagai busu pemberani yang tiada bandingan.
Secepat kilat sepasang pedang
Tan Ciok-sing dan In San sama menusuk pula dari kanan, lekas Poyang Gun-ngo
angkat goloknya menangkis, di tengah percikan kembang api, mukanya tampak
kaget, ternyata telapak tangannya tergetar kesakitan.
Setelah Tin-ih-tiang-khong,
jurus susulannya adalah Sing-hay-hu-ja dan Ceng-thian-jan-gwat, ketiga jurus
ini dilancarkan sekaligus dalam sekali tarikan napas, merupakan tiga jurus
rangkaian ilmu pedang gabungan mereka yang paling liehay khusus untuk
menyerang, Poyang Gun-ngo mampu menangkis jurus kedua, namun golok sabitnya
sudah gumpil 'sebagian, begitu menangkis jurus ketiga, sepasang goloknya sudah
tak mampu dipegangnya lagi, semuanya tergetar jatuh di tanah. Selama hidup dan
malang melintang kapan dia pernah kalah separah dan serunyam ini. Saking
kagetnya lekas dia jumpalitan mundur setombak lebih, hatinya hambar pikiran
kosong, dia keheranan.
Tiga jurus memukul mundur musuh,
sebat sekali Tan dan In menyelinap kedalam rumpun kembang. Setelah Poyang
Gun-ngo dapat menenangkan diri bayangan merekapun sudah tidak kelihatan.
"Karena keributan ini,
mungkin sukar kita turun tangan," demikian kata In San. "Tapi, kita
tetap harus mencobanya. Aku tahu satu jalan rahasia, mari kau ikut aku."
Tah Ciok-sing mengintil saja
di belakang In San berputar kayun di antara semak kembang dan batu-batuan,
setelah melewati dua gua, mereka memasuki sebuah paya-paya kembang pada saat
itulah tiba-tiba seorang membentak: "Maling bernyali besar, lari
kemana?"
In San kira jejak mereka sudah
konangan, tapi di kala mereka merandek, didengarnya derap langkah orang berlari
ke arah sana bukan ke tempat persembunyian mereka. In San tetap berkuatir,
katanya: "Mungkin Toan-toako dan Han-cici juga telah datang?"
Mereka sembunyi di bawah
paya-paya kembang sambil mencuri lihat keluar, lekas sekali merekapun
memperoleh jawaban. Yang dikejar dan diluruk kawanan busu Watsu ternyata adalah
To It-kiau dan Thong Jian-hong, orang ke lima dan ke enam dari Pat-sian.
Dua busu Watsu tampak memakai
senjata yang aneh bentuknya, seorang menggunakan senjata yang berbentuk pedang
bukan pedang, seperti tombak bukan tombak, kalau dikata pedang karena memiliki
dua mata pedang, dikata tombak karena panjangnya tidak menyerupai tombak
umumnya yang panjang.
Seorang busu lagi memegang dua
macam gaman, tangan kiri pegang golok tangan kanan menyekal pentung pendek.
Umumnya orang memakai pentung panjang dan golok pendek, tapi gaman orang ini
justru terbalik, pentung pendek golok panjang.
Busu yang bergaman pedang aneh
itu berseru: "Kalian mundur, jangan nanti manusia liar dari selatan ini
memandang rendah kita busu dari Watsu."
Busu yang bersenjata pentung
dan golok ikut berolok-olok, katanya: "Kalian pasti apa yang disebut si
gendut dan si kurus dari Pat-sian yang berkecimpung di Tionggoan-? Hehe, aku
sudah pernah mencoba kepandaian si Hwesio dan si Tosu, semula merekapun seperti
kalian, tepuk dada mengagulkan diri, tapi akhirnya yang satu masuk berdiri
rebah keluar, yang satu meski tidak mati, tapi juga sudah menjadi
timpang."
Begitu berhadapan dengan
kawanan busu ini, To dan Thong sama memuncak , amarahnya mendengar olok-olok
mereka pula, semakin berkobar murka mereka, bentaknya: "Bagus, kiranya
kalian yang membunuh Ui-yap Samko kita."
Waktu itu Ui-yap dan Sia-cin
menghadapi keroyokan banyak busu dari Watsu, tapi kematian Ui-yap dan Sia-cin
yang terluka parah sampai cacad kakinya lantaran perbuatan kedua busu ini.
Tulang kaki Sia-cin remuk tertutuk oleh pentung dan tergores luka yang dalam
oleh pentung dan golok busu ini. Hal ini pernah diceritakan Sia-cin kepada para
saudaranya waktu mereka berkumpul di rumah keluarga Coh.
Belakangan Sia-cin Hwesio juga
sudah mencari tahu, busu yang bersenjata pedang aneh ini bernama Ho Lan-kian,
senjatanya itu bernama Siang-bun-kiam, sementara busu yang bersenjata rangkap
pentung dan golok bernama Sat Thian-cau. Kedua orang ini bersama Poyang Gun-ngo
dan seorang busu lagi yang bernama Ma Toa-ha disanjung sebagai Maha Padulo di
kalangan busu Watsu. Kepandaian mereka setaraf dengan jago-jago kosen kelas
wahid di Tionggoan.
Ho Lan-kian tertawa
tergelak-gelak katanya: "Aku sudah tahu kalian mau menuntut balas kematian
Ui-yap Tojin, hayolah maju, kita boleh satu lawan satu, supaya kalian mati
dengan meram."
"Baik," bentak Thong
Jian-hong, "kaulah lawanku," senjatanya Sam-kiat-kun segera digentak
mengepruk ke arah Ho
Lan-kian. Di sebelah sanaTo
It-kiau juga sudah melabrak Sat Thian-cau.
Sam-kiat-kun yang digunakan
Thong Jian-hong memang merupakan kepandaian tersendiri, senjatanya ini dapat
digunakan mengunci dan merampas senjata lawan, maka dia menantang Ho Lan-kian
yang bergaman Siang-bun-kiam, dia harap senjatanya yang khusus ini dapat
memetik keuntungan dari kelemahan lawan.
Diluar tahunya bahwa
Siang-bun-kiam Ho Lan-kian ini ternyata berbeda dengan senjata umumnya, gaya
permainannya juga berlainan dengan ilmu pedang di Tionggoan khususnya. Begitu
pedang dan pentung tiga ruas itu saling bentrok, terbitlah suara berdering
nyaring, dalam sekejap mereka sudah bergebrak sebanyak tiga puluh jurus.
Di tengah pertarungan sengit
itu, tiba-tiba Ho Lan-kian menyelinap maju, pedang yang bermata dua itu
tiba-tiba menusuk dan menjojoh, menusuk penting sekaligus menutuk hiat-to
mematikan pula. Sebatang pedang ternyata permainannya diselingi tipu-tipu
boan-koan-pit yang khusus untuk mengincar hiat-to lawan. Pedang umumnya hanya
memiliki satu ujung jelas tak mungkin melancarkan serangan seaneh itu.
In San yang menyaksikan di
tempat gelap, diam-diam berkeringat dingin, teriaknya: "Celaka Thong
Jian-hong mungkin celaka."
"Tang" belum habis
teriakannya, senjata beradu bayangan tergerak mundur, Thong Jian-hong tersurut
tiga langkah, sementara Ho Lan-kian melompat jumpalitan setombak lebih, agaknya
Thong Jian-hong lebih unggul seurat.
Lega hati Tan Ciok-sing,
katanya: "Bila mereka menepati janji, satu lawan satu, kita tak usah
kuatir bagi keselamatan Thong-liokhiap."
Di sebelah sana To It-kiau
kontra Sat Thian-cau berhantam keras. To It-kiau bersenjata Liu-sing-tui,
merupakan gaman yang berat demikian pula golok dan pentung Sat Thian-cau,
setiap kali beradu pasti menimbulkan percikan kembang api. Sat Thian-cau
mengembangkan kemahiran permainan pentung dan golok, pentung selalu mengetuk,
menyontek dan menjojoh, sementara goloknya membacok membelah dan mengiris,
rangsakan kedua senjata sederas hujan badai, setiap serangan teramat ganas dan
mematikan. Tapi bandulan meteor To It-kiau ternyata berdesing nyaring berputar
tidak kalah hebatnya, udara seperti diaduk oleh kekuatan deru bandulannya,
setapakpun dia tidak mau mengalah. Kedua pihak setanding sama kuat, sebelum
tiga ratusan gebrak mungkin takkan ada yang kalah atau menang.
Sebelum bergebrak tadi Ho dan
Sat sudah menyatakan pertempuran ini satu lawan satu, tapi busu Watsu yang
berdatangan menonton pertempuran ini semakin banyak, mereka mengelilingi
gelanggang jadi seperti mengepung musuh, pada hal Poyang Gun-ngo juga datang
menyaksikan di pinggir arena.
Beberapa kejap setelah
menyaksikan adu kekuatan kedua kawannya tiba-tiba Poyang Gun-ngo geleng-geleng
kepala. Tan Ciok-sing memperhatikan sambil memasang kuping, jelas dia mendengar
Poyang Gun-ngo berkata kepada seorang busu di dekatnya: "Kedua orang ini
bukan mata-mata yang tadi kupergoki. Uutuk apa sebanyak ini orang menonton
saja, suruh sebagian yang lain pergi mencari jejak mata-mata yang tadi."
"Bagaimana?"
Maksudnya tanya In San apakah perlu membantu To dan Thong.
In San berpikir sejenak,
katanya: "Untuk menolong mereka, kukira lebih baik kita meringkus"
pentolan mereka lebih dulu."
Waktu Tan Ciok-sing menelaah
usul In San tiba-tiba dilihatnya seorang wisu dari keluarga Liong lari
mendatangi. Seorang busu Watsu segera membentak dengan sandi rahasia. Wisu
keluarga Liong itu segera menjawab dengan sandi rahasia dari bahasa Han,
sembari menjawab dia mengulap sebelah tangan dengan tanda tersendiri pula,
tanpa berhenti dia terus berlari ke depan, busu Watsu itupun tidak merintangi.
Sandi rahasia itu berarti "Saudara sebangsa, hidup berdampingan",
sandi rahasia ini sebelumnya sudah diikrarkan kedua pihak. Utusan orang-orang
keluarga Liong yang diutus ke penginapan tamu-tamu Watsu ini sebelumnya harus
mempelajari sandi rahasia itu dan bahasa Watsu.
Setelah berhadapan dengan
Poyang Gun-ngo wisu itu berkata: "Liong-kongcu suruh aku menyampaikan
kepada Tayjin, mata-mata itu adalah dua muda mudi, yang laki bernama Tan
Ciok-sing yang perempuan bernama In San, keduanya Tayjin pernah
melihatnya."
Poyang Gun-ngo heran,
tanyanya: "Kapan aku pernah melihat mereka?"
"Tan Ciok-sing adalah
pemuda yang siang tadi memberi seekor burung kepada Siau-ongya kalian waktu
berada di Sian-khim-sia, In San adalah temannya, tapi dia perempuan yang
menyamar laki-laki berdandan seperti pelajar, kini mereka berseragam wisu
kita."
"Iya, tak heran aku
seperti pefnah melihat mereka," ujar Poyang Gun-ngo keplok tangan,
"sungguh memalukan, kenapa aku jadi keblinger."
Kini Tan Ciok-sing sudah paham
maksud perkataan In San, bila dirinya ragu-ragu sejenak lagi, Poyang Gun-ngo
pasti akan segera bertindak dengan anak buahnya, maka dia berkata: "Betul,
mari kita ringkus Duta mereka. Memang akal bagus, adik San tunjukkan
jalan."
Memang untuk membebaskan
tekanan berat yang mengancam To dan Thong berdua mereka perlu memecah perhatian
mereka sehingga To dan Thong menjadi longgar dan caranya adalah membekuk
pemimpin mereka yang jadi Duta serta memeras dan dijadikan sandera. Meski
harapan kecil, tapi justru dicoba mengadu untung.
Maka In San menarik Tan
Ciok-sing menyusup ke deretan barak buah anggur yang panjang, dari luar barak
anggur ini seperti dirambati dedaunan dan dahan serta akar pohon yang lebat
sehingga rapat tidak tembus hawa, pada hal di dalamnya tersembunyi lorong
panjang yang jarang diketahui orang.
Keluar dari lorong rahasia
ini, mereka sudah berada di pekarangan dalam dibilangan penginapan yang khusus
dibangun untuk para pembesar asing. Pada hal bangunan gedung disini hanya
menduduki sebidang tanah dari keseluruhan taman yang luas", tapi jumlahnya
juga ada dua tiga puluhan rumah. Di rumah mana duta Watsu itu menginap? Bila
harus memeriksa satu persatu, kapan baru tugas mereka selesai.
Di waktu mereka berdiri
kebingungan, tiba-tiba muncul seorang busu Watsu entah dari balik gunungan atau
dari semak kembang, dengan suara berat dia membentak: "Hujiludo."
Tergerak hati ln San, segera
dia menjawab: "Tongsulakao," waktu dia perhatikan di sekitar sini
hanya ada seorang busu ini.
Melihat mereka menjawab tepat
seperti sandi yang telah dijanjikan, busu Watsu itu segera memapak maju dengan
seri tawa ramah mengajak mereka bicara. Katanya: "Agaknya kalian hendak
minta bertemu dengan Siau-ongya kita bukan?" dengan logat kaku busu itu
bicara berbahasa Han.
In San kegirangan, pikirnya:
"Jadi Siau-ongya kiranya ada disini. Sungguh kebetulan kita jadi tidak
usah mencarinya ubek-ubekan," maka dia menjawab: "Betul kita diutus
Liong-kongcu kemari untuk lapor sesuatu kepada Siau-ongya. Entah Siau-ongya
kalian sudah tidur belum?"
Busu itu menjawab:
"Semula sudah tidur, begitu terjadi keributan diluar, mana Siau-ongya bisa
tidur lagi? Tadi dia malah keluar ingin melihat keramaian, setelah kubujuk
susah payah baru dia mau masuk kembali. Nah lihatlah, bukankah dia sedang
mondar mandir dalam kamarnya?"
Tan dan In memandang ke arah
tangannya menuding, tampak dibalik bayangan pepohonan yang tinggi di depan
sana, menjulang tinggi atap sebuah gedung berloteng warna merah, jendelanya
kebetulan menghadap kemari, di layar jendela yang terbuat dari kain sutra merah
bening tampak bayangan seorang, dari bentuk bayangannya cukup dikenali bahwa
dia memang Siau-ongya adanya.
"Kalian tunggu sebentar,
biar kulaporkan kepada Siau-ongya," ujar busu Watsu.
"Tidak usah kau
susah-susah," cegah In San, "kami akan menghadap sendiri,"
mendadak dia rangkap kedua jarinya menutuk hiat-to busu itu.
Tan Ciok-sing berkata:
"Nanti setelah berhadapan dengan Siau-ongya, jangan kau buru-buru turun
tangan."
Dengan perlahan Tan Ciok-sing
mengetuk jendela, Siau-ongya segera membentak: "Siapa?"
"Aku," sahut Tan
Ciok-sing, "orang yang memberi burung kepadamu siang tadi."
Siau-ongya masih kenal
suaranya, kejut dan girang cepat dia memburu maju membuka jendela. Melihat
Ciok-sing berdua berpakaian seragam wisu dia melengak heran. Tapi segera dia
menduga: "Mungkin karena memandang mukaku, maka Liong Bun-kong terima
mereka sebagai wisu."
Tan Ciok-sing berkata:
"Temanku juga datang Siau-ongya mau menerimanya?"
"Temanmu adalah temanku,
boleh si larikan masuk bersama," kata Siau-ongya tertawa ramah.
Semula In San bermaksud
membekuk Siau-ongya ini lebih dulu, tapi karena Tan Ciok-sing telah
mencegahnya, terpaksa dia bersabar.
Setelah menempati kursinya
masing-masing, Siau-ongya berkata dengan senang: "Tan-toako memang dapat
dipercaya, kukira beberapa hari lagi baru kau akan kemari."
"Siau-ongya," ucap
Tan Ciok-sing, "aku ingin bicara sejujurnya dengan kau, bukan sengaja
kedatanganku ini hendak menyambangi kau."
In San menambahkan dengan
suara dingin: "Seragam wisu yang kami pakai inipun rampasan."
Siau-ongya kaget, katanya:
"Jadi, jadi kalian ini siapa?"
"Kami adalah pembunuh
yang hendak ditangkap Liong Bun-kong," sahut Tan Ciok-sing.
Lama Siau-ongya terlongong,
katanya kemudian: "Kalian bermusuhan dengan Liong Bun-kong?"
"Betul, bukan saja dia
musuh kami diapun musuh bersama bangsa Han kita."
"Lho, kenapa?"
"Karena sebagai pembesar
kerajaan, dia justru menjual negara dan bangsa demi mencapai kesenangan hidup,
kemaruk harta gila pangkat. Tanah perdikan dari bumi Tionghoa nan besar ini
dijual kepada bangsa Watsu kalian."
Berubah air muka Siau-ongya,
katanya: "Tan-toako, aku menganggapmu sebagai kawan, aku hanya ingin tanya
kepadamu, kini apa kau ingin menghindari pengejaran orang-orang keluarga Liong
di tempatku ini?"
"Kau keliru lagi bukan
maksud kami kemari menghindari pengejaran mereka," sampai disini .
mendadak Tan Ciok-sing angkat sebelah tangannya membelah ujung meja seperti
golok membelah sayur saja ujung meja itu terpapas jatuh. Melihat kekuatan
telapak tangannya yang hebat ini, saking kaget Siau-ongya sampai kesima dengan
mulut melompong, tapi dia tidak berani berteriak.
"Siau-ongya, kau tidak
usah takut," sela In San. "Tan-toakoku ini juga masih menganggapmu
sebagai kawan, tapi bila kau berteriak, maka jangan kau sesalkan kalau kami
bertindak keji kepadamu."
Siau-ongya tenangkan diri,
katanya: "Tan-toako, apa betul kau menganggapku sebagai kawan?"
"Kalau aku tidak
menganggap kau sebagai teman, buat apa aku membuang waktu untuk berbicara
dengan kau. Tapi apakah selanjutnya kita tetap sebagai kawan, terserah kepada
kau."
"Apa kehendak kalian atas
diriku?" tanya Siau-ongya.
"Siau-ongya, ingin
kutanya kepada kau, pasukan besar Watsu kalian menyerbu ke tanah air kita,
menduduki bumi kita, membantai rakyat kita coba katakan betulkah* itu?"
"Urusan negara aku tidak
tahui Tapi, sudah tentu aku tidak mengharap adanya peperangan."
"Itu sih tergantung
bagaimana sifat peperangan itu. Kalian memukul kita, maka kita dipaksa untuk
melawan. Kalau peperangan sudah terjadi, yang gugur bukan rakyat kita saja,
bangsa Watsu kalian juga akan kehilangan pahlawan-pahlawannya. Jadi kedua pihak
sama-sama mengalami derita siksa peperangan itu."
Siau-ongya berpikir sebentar,
katanya: "Uraianmu memang benar. Terus terang, aku pribadi juga tidak
senang melihat pasukan besar Watsu kita dikerahkan untuk memerangi bangsa
kalian.""
"Syukurlah bahwa kau tahu
akan hal ini. Oleh karena itu kuharap kau sudi melakukan satu hal."
"Hal apa?"
"Secara diam-diam Liong
Bun-kong meneken perjanjian rahasia dengan ayahmu, perjanjian yang hakikatnya
merupakan permohonan damai dan takluk dari Dynasti Bing terhadap Watsu kalian.
Kami ingin minta bantuanmu untuk mendapatkan, copy dari perjanjian damai
itu."
In San menambahkan:
"Terus terang, kalau copy perdamaian itu kaiii serahkan kepada kami, untuk
kalian ayah dan anak juga ada manfaatnya."
Siau-ongya tertawa getir,
katanya: "Maaf kalau otakku terlalu dogol, aku tidak mengerti, kenapa
dikata ada manfaatnya bagi kami?"
"Baiklah
kuterangkan," ujar Tan Ciok-sing, "semula kami anggap ayahmu sebagai musuh,
kalian ayah beranak harus ditangkap. Malam ini yang menyerbu kemari bukan hanya
kami berdua, masih banyak lagi pahlawan-pahlawan bangsa kita yang sedang
melabrak wisu keluarga Liong, jangan kira busu Watsu kalian" mampu menahan
serbuan kita, tapi bila kau mau membantu menyerahkan copy perjanjian damai itu
kepada aku, aku akan memohonkan keringanan untuk kalian ayah dan anak, supaya
pahlawan bangsa kita tidak mempersulit ayahmu."
"Tapi kau suruh aku
bertindak bagaimana? Jelas ayahku takkan mau menyerahkan surat perjanjian damai
itu."
"Diminta tidak boleh, kau
bisa berusaha mencurinya. Aku senang menganggapmu sebagai kawan dan mempercayai
kau, biar aku menunggu kau disini."
Siau-ongya ini masih terlalu
muda, baru enam. belas tahun, selama hidupnya kapan dia pernah kebentur urusan
pelik dan menyulitkan ini. Untuk mencuri surat perjanjian damai itu bukan
persoalan bagi dia, tapi dia ragu-ragu, apakah tindakannya ini bisa dibenarkan.
Tapi dia berpendapat uraian Tan Ciok-sing memang benar, namun mencuri surat
rahasia itu, merupakan perbuatan yang mengkhianati ayah kandung, dalam
sesingkat ini, dia harus menentukan pilihan antara kebenaran dan perbuatan
salah, sudah tentu serba susah dan sukar ambil putusan.
Di kala dia bimbang itulah,
pintu kamarnya diketuk orang, orang diluar bersuara nyerocos dengan bahasa
Watsu. In San hanya mengerti dua patah kata "buka pintu". Padahal
kamar Siau-ongya ada di atas loteng, sebelum ini tak terdengar derap langkah
orang menaiki tangga, tahu-tahu orang itu sudah berada diluar dan mengetuk
pintu, yang datang jelas bukan orang sembarangan.
Berubah hebat air muka
Siau-ongya, lekas dia berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Hwe-hud
(Budha hidup) datang, lekas kalian sembunyi."
Dari cerita Kim-to Cecu In San
pernah mendengar cerita tentang orang kosen di Watsu, di antaranya seorang maha
guru silat yang berjuluk Milo Hoatsu, diagungkan sebagai Budha hidup. Budha
hidup yang dimaksud oleh Siau-ongya pastilah orang itu. Maksud In San hendak
membekuk Siau-ongya sebagai sandera untuk menghadapinya, tapi karena Tan
Ciok-sing sudah bicara di muka, terpaksa dia menuruti kemauannya, bertindak
menurut perubahan situasi. Lekas mereka sembunyi di balik pintu angin.
Siau-ongya membuka pintu serta
mempersilahkan Hwe-hud ini dengan laku hormat. Katanya: "Malam-malam Koksu
datang kemari, entah ada petunjuk apa?" ternyata benar si Budha hidup Milo
Taysu yang diangkat sebagai Koksu (guru negara) pula.
Milo Taysu celingukan, katanya
perlahan: "Siau-ongya, kabarnya siang tadi kau berkenalan dengan dua teman
baru di tembok besar, apa betul?"
"Betul, seorang pelajar
bangsa Han memberi aku seekor burung yang berbulu indah dan sukar ditangkap
kepadaku. Pelajar ini bersama temannya, aku pernah berjanji pada mereka untuk
memperkenalkan kepada Liong Bun-kong supaya mendapat pekerjaan. Kenapa Koksu
mempersoalkan urusan kecil ini?"
"Kukira bukan urusan
kecil," ucap Milo Taysu dingin, "menurut apa yang kuketahui, kedua
orang itu adalah pembunuh yang hendak mencelakai ayahmu. Kau harus bicara terus
terang, bukankah mereka sembunyi di kamarmu ini?"
"Koksu, dari mana kau
mendapat kabar ini? Aku justeru tidak percaya mereka mau membunuh ayah,"
bantah Siau-ongya.
"Kau masih muda, jangan
gampang ditipu orang. Katakan dimana mereka sekarang, kalau tidak biar
kugeledah kamarmu ini."
Ternyata Poyang Gun-ngo telah
memperoleh laporan wisu keluarga Liong itu, dia lantas menduga Tan Ciok-sing
dan In San sekarang pasti sudah sembunyi di tempat kediaman Siau-ongya. Tapi
Poyang Gun-ngo "hanyalah seorang bawahan, jelas dia tidak berani
menggeledah kamar Siau-ongya, oleh karena itu dia mengundang
Milo Hoatsu sang Koksu untuk
bertindak.
Milo Hoatsu cukup cerdik dan
banyak pengalaman, dari mimik muka Siau-ongya dia tahu bahwa dugaannya tidak
meleset, maka dia berkata: "Siau-ongya, biasanya kau cerdik pandai, kenapa
kali ini begini ceroboh. Kau tidak membantu kita membekuk pembunuh tidak jadi
soal, tapi kenapa kau justeru melindungi pembunuh ayah kandungmu malah? Lekas
serahkan mereka. Soal ini boleh kututupi dan kau tidak akan kerembet, akan
kukatakan di tempat lain aku meringkus mereka. Kalau tidak bila ayahmu tahu
perbuatanmu ini, mungkin kau takkan terhindar dari hukuman dinas."
Kalut pikiran Siau-ongya,
katanya sesaat kemudian: "Koksu, aku tidak tahu apa benar mereka itu
pembunuh, tapi satu hal aku mohon kepada kau?"
"Permohonan apa?"
"Bila kau berhasil
menangkap mereka, kumohon sukalah kau pandang mukaku, jangan kau bunuh
mereka."
"Baik, asal mereka mau
menyerah, akan kuampuni jiwa mereka. Lekas kau suruh mereka keluar."
"Tan-toako," teriak
Siau-ongya, "jangan kau salahkan aku tak mampu melindungi kau, kepandaian
Koksu maha tinggi, jika melawannya, kau akan mengorbankan jiwa sia-sia. Kumohon
kau, kau..."
Sebelum dia mengatakan
"menyerah", "Biang" pintu angin tiba-tiba tertendang
ambruk. Tan Ciok-sing bergandengan keluar bersama In San.
"Pahlawan bangsa Han
kepala boleh dipenggal pantang dihina," seru Tan Ciok-sing, "kau
boleh minggir ke samping, ingin aku berkenalan betapa tinggi kepandaian Koksu
kalian."
Belum habis dia bicara Milo
Hoatsu sudah menghampiri dengan langkah lebar, katanya gelak: "Kukira
siapa yang punya tiga kepala enam tangan, berani coba membunuh orang disini,
tak nyana adalah dua bocah yang masih bau pupuk bawang. Baiklah, kalian ingin
mencoba kepandaian Hud-ya, nah cobalah rasakan," sikapnya yang jumawa
begitu tengik, seolah-olah dia yakin akan kepandaiaft sendiri, sekali gebrak
pasti dapat meringkus kedua bocah ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah
mata kepada lawan mudanya.
"Lihat pedang," di
tengah bentakan Tan Ciok-sing, dua batang pedang bersama senjata In San
tahu-tahu melingkar ke kanan kiri membentuk satu lingkaran. Milo Hoatsu sedang
melangkah maju, mendadak terasa cahaya kemilau dingin menyilaukan mata.
Tahu-tahu dirinya sudah -terkurung dan terlibat dalam lingkaran sepasang pedang
lawan.
Milo Hoatsu adalah maha guru
silat yang ahli, demi menjaga gengsi dan kedudukan, semula dia hendak bertindak
belakangan, supaya kelemahan pihak lawan dapat dijajaki sebelum dia balas
bertindak. Diluar tahu perbawa gabungan sepasang pedang ini ternyata bukan
olah-olah liehaynya, sekilas pandang tiada lobang kelemahan yang dapat
digunakan untuk balas menyerang.
Mau tidak mau Milo Hoatsu
terkejut dibuatnya, "tak heran kedua bocah ini begini takabur, ternyata
memang memiliki sedikit kepandaian," namun betapapun dia seorang guru
silat, sebagai cikal bakal suatu aliran silat yang kenamaan di jaman ini, meski
serangan sepasang pedang Ciok-sing dan In San diluar dugaannya, meski dirinya
di pihak yang dicecar sedikitpun dia tidak menjadi gugup. Sambil menggerung
lengan bajunya segera mengebas, kebasan lengan baju menimbulkan gejolak angin
kencang dimana sinar pedang berkelebat simpang dan siur, terdengarlah suara
"Cret" ujung lengan bajunya ternyata tertabas jatuh secuil, tapi
pedang Ciok-sing dan In San juga tergetar menyelonong ke samping, tak mampu
menusuk tubuh lawan.
Kekuatan gabungan sepasang
pedang ternyata hanya mampu memapas sebagian lengan baju lawan, hal ini belum
pernah terjadi selama ini, karuan Ciok-sing dan In San terkejut juga.
Diluar tahu mereka, Milo
Hoatsu sendiripun tidak kurang kagetnya. Biasanya dia terlalu mengagul diri
sebagai jago tiada bandingan di kolong langit ini, taraf lwekangnya sudah
mencapai memetik daun dapat menimpuk luka lawan, mengayun kain sutra sekeras
toya. Tak nyana setelah dia membebaskan Thi-siu-kang, lengan bajunya masih
terkupas oleh pedang Ciok-sing berdua. "Dari mana membrojoinya kedua bocah
ini, usia semuda ini, kepandaiannya ternyata sudah setinggi ini," demikian
batinnya dengan perasaan kaget, maka dia tidak berani pandang ringan lagi.
Tengah pertempuran di loteng
berlangsung dengan sengitnya, diluar tiba-tiba terdengar suara genta ditabuh
bertalu-talu. Begitu mendengar suara genta, seketika berubah air muka Milo
Hoatsu.
Suara genta itu merupakan
tanda rahasia bahwa musuh telah menyerbu ke daerah terlarang. Kuatir Ongya
mengalami bahaya, dinilai untung ruginya, sudah tentu dia harus lekas kembali
melindungi sang junjungan. Maka begitu mendengar suara genta tanpa ayal lagi
segera dia berlalu.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak tahu apa tujuan suara genta itu, tapi dia yakin pihak lawan pasti
mengalami peristiwa genting supaya Milo Hoatsu lekas kembali bantu mengatasi.
Maka dia berpikir: "Orang ini adalah jago nomor satu dari Watsu, bila
dapat menahannya satu menit disini juga pasti menguntungkan pihak kita,"
maka dia mainkan pedangnya secepat kitiran menggebu dengan serangan liehay,
bentaknya: "Mau lari? Memangnya gampang?"
Mendadak Milo Hoatsu memutar
tubuh, dimana kedua lengannya menggentak ke atas, Kasa merah yang mengubat di
tubuhnya mendadak terbang mumbul laksana segumpal mega terus menungkrup ke arah
kepala Ciok-sing. Sepasang pedang Ciok-sing terapung bersama Kasa lawan
ditusuknya tembus berlobang. Tapi In San tertungkrup juga, untung kasa itu
sudah bolong, seperti bola yang sudah gembes, tenaga dalam yang dikerahkan Milo
Hoatsu pada kasanya itu sudah sirna. Maka ln San menyingkirkan Kasa yang
menutup kepalanya, hanya dada terasa sedikit sesak, karena sedikit rintangan
ini, Milo Hoatsu sudah lari turun ke loteng dan berlari keluar pekarangan.
Tan Ciok-sing dan In San ikut
lompat turun serta mengudak kencang. Pada saat itulah tiba-tiba seorang
berteriak: "Tan-toako, apa kau disini bersama nona In?" lenyap
suaranya orangnyapun tiba, tampak dua bayangan orang melompati tembok hinggap
didalam pekarangan.
Kaget dan senang hati
Ciok-sing-, pendatang muncul mendadak ini bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh
So-so.
Tak sempat mereka banyak
bicara, Kek Lam-wi bertanya: "Duta Watsu sudah ditemukan belum?"
"Belum, yang tinggal
disini adalah putranya," sahut Ciok-sing.
"Kepala gundul itu sudah
lari," ujar In San, "tiada orang dapat merintangi kita, Toako,
robahlah putusanmu semula, mari kita kembali membekuk Siau-ongya."
Sampai disini pembicaraan
mereka, mendadak suara mendesing disertai cahaya benderang membumbung tinggi ke
angkasa. Disusul kumandang sebuah suitan panjang dan melengking tinggi seperti
pekik naga di angkasa raya.
Kek Lam-wi berjingkrak girang,
serunya: "Itulah Wi-cui-hi-kiau, mereka telah menemukan Duta rahasia
itu," ternyata panah berapi itu merupakan tanda peringatan, Kek Lam-wi
juga mengenali suara suitan mereka.
"Kalau yang dituju sudah
ketemu, tidak usah kita mempersulit Siau-ongya. Lekas susul kesana," kata
Tan Ciok-sing.
Berempat cepat mereka
kembangkan ginkang berlari ke arah luncuran panah berapi. Tiada kesempatan
untuk berbincang lagi antara Kek Lam-wi dengan Tan Ciok-sing, tapi dia hanya
memberitahu satu hal: "Toan-toako dan Sia-cin Liok-ko sembunyi di
Bu-ling-goan, Sia-cin Liok-ko terluka parah, nanti bila kau sempat membebaskan
diri, tolong kau bantu Toan-toako keluar menyelamatkan diri. Tapi sekarang
lebih penting membantu Wi-cui-hi-kiau berdua." Sebelum mereka mencapai
tempat peluncuran panah berapi, dari kejauhan sudah mendengar benturan senjata
yang ramai.
Tan Ciok-sing lantas sadar,
tanyanya: "Kalian melihat To dan Thong-toako berdua."
"Belum, mereka
kenapa?" tanya Kek Lam-wi kaget.
Tapi Tan Ciok-sing tidak perlu
menjawab, karena dia telah melihat To It-kiau dan Thong Jian-hong, diapun sudah
tahu jawabannya. Tatkala itu mereka sudah melampaui tempat persembunyian Tan
Ciok-sing dan In San tadi, keadaan di bawah gunungan itu sudah jelas terlihat.
To It-kiau dan Thong Jian-hong
memang sedang dalam keadaan gawat. Seperti diketahui sebelum berhantam tadi Ho
Lan-kian dan Sat Thian-cau bilang akan menempur mereka satu lawan satu. Ho dan
Sat termasuk empat jagoan top di Watsu, kepandaian mereka kebetulan setaraf
dengan To dan Thong berdua, sehingga pertempuran berjalan sengit dan seimbang.
Kini para busu Watsu yang semula menonton di pinggir arena, begitu mendengar
tanda bahaya, mereka tidak hiraukan soal janji semula lagi. Jumlah mereka ada
belasan orang termasuk Poyang Gun-ngo. Tapi demi menjaga gengsi Poyang Gun-ngo
tidak mau ikut mengeroyok. Begitu mendengar tanda bahaya, dia bawa beberapa
anak buahnya terus lari balik hendak melindungi junjungannya. Tapi yang masih
tinggal ada delapan busu, mereka mengambil posisi yang baik mengepung To dan
Thong di tengah lingkaran.
Begitu melihat keadaan yang
tidak seimbang ini, Kek Lam-wi amat gusar, teriaknya: "Tan-heng, silahkan
maju lebih dulu, lekas kau bantu Wi-cui-hi-kiau, aku hendak menuntut balas
kematian Ui-yap Samko." Ho Lan-kian sedang berhadapan dengan To It-kiau
sementara Thong Jian-hong melabrak Sat Thian-cau, begitu melihat senjata
tunggal kedua busu ini, dia lantas tahu bahwa kedua busu ini adalah pembunuh
Ui-yap Tojin yang diceritakan oleh Sia-cin Hwesio.
Kala Kek Lam-wi menubruk tiba
secepat terbang, kebetulan dia kesamplok dengan Poyang Gun-ngo yang hendak
mengundurkan diri melindungi sang junjungan. Poyang Gun-ngo membentak:
"Kau inilah bocah she Kek yang pandai meniup seruling di antara Pat-sian
bukan? Mumpung ada kesempatan, biar aku antar kau pergi menyusul saudaramu
Ui-yap Tojin." "Trang" pedang dan seruling beradu, meminjam
tenaga pantulan keras ini seruling Kek Lam-wi yang menceng itu sekaligus
ditekuk turun menutuk Jian-kin-hiat di pundak Poyang Gun-ngo. Tapi sebelum serulingnya
menyentuh tubuh Poyang Gun-ngo, maka terdengar suara "Cret" lebih
dulu, ternyata ujung pedang Poyang Gun-ngo telah menusuk berlobang bajunya.
Tersirap hati Kek Lam-wi,
pujinya dalam hati: "Cepat betul gerakan pedang orang ini," walau
terkejut sedikitpun gerakannya tidak kacau, seruling batu pualam di tangannya
sebat sekali ditarik mundur, sementara langkahnya limbung seperti orang mabuk,
berbareng serulingnya ditarikan pula, kelihatannya permainannya kacau dan tidak
menuruti teori ilmu silat. Tapi dalam sekejap itu, tujuh hiat-to besar di tubuh
Poyang Gun-ngo telah diincarnya. Mau tidak mau Poyang Gun- ngo mencelos juga
hatinya, pikirnya: "Ilmu tutuk bocah ini ternyata aneh dan liehay, memang
tidak malu sebagai salah satu tokoh dari Pat-sian," tapi kecepatan gerak
pedangnya juga tidak asor. Dimana pedang panjang menggaris melintang di tengah
udara, kelihatannya seperti sejurus, tapi di dalamnya mengandung tujuh
perubahan, sejurus tujuh gerakan, kebetulan tepat mematahkan tujuh tutukan
hiat-to seruling Kek Lam-wi.
"Bagaimana?" tanya
In San.
"Tolong dulu To dan
Thong," kata Tan Ciok-sing.
Poyang Gun-ngo sudah kecundang
oleh kekuatan gabungan sepasang pedang mereka, melihat mereka datang dia tidak
berani disini terlalu lama, setelah menggertak dengan satu serangan, dia
menghindari serangan seruling Kek Lam-wi, mendadak dia menubruk ke arah Toh
So-so. Ceng-kong-kiam Toh So-so tak kuasa menahan terjangan lawan, sehingga
Poyang Gun-ngo berhasil menjebol keluar terus angkat langkah seribu, tapi dia sempat
berteriak: "Musuh kedatangan bala bantuan, lekas kalian bunuh mereka,
jangan biarkan makanan empuk di depan mulut terlepas pula."
Sebetulnya tanpa diperingatkan
oleh Poyang Gun-ngo, Ho Lan-kian dan Sat Thian-cau seperti berlomba saja sudah
merangsak kedua lawannya dengan serangan ganas mematikan. Tan Ciok-sing dan Kek
Lam-wi juga seperti berlomba menubruk tiba, sayang mereka terlambat selangkah.
To It-kiau sudah terluka dua
tempat di tubuhnya, mendadak dia menggerung murka: "Biar aku adu jiwa
dengan kau," bandulan meteornya tiba-tiba mengepruk ke batok kepala Sat
Thian-cau. Sat Thian-cau angkat pentung pendeknya menangkis, tapi pentungnya
terlilit rantai bandulan, sehingga bandulan itu berputar lebih kencang dan
"Prak" telak bandulan meteor berduri itu mengenai batok kepalanya,
namun Sat Thian-cau sempat menimpuk golok panjang di tangan kirinya dan telak
pula menghujam ke dada To It-kiau, pertempuran sengit adu jiwa ini berakhir
dengan gugur bersama.
Seperti disayat hati Thong
Jian-hong, betapa sedih hatinya melihat saudaranya gugur, bagai orang gila
mendadak dia putar tiga ruas tongkatnya sehingga mengeluarkan suara gemeretak,
sekali sendai dan tarik dia berhasil menjepit Siang-bun-kiam Ho Lan-kian.
Agaknya dia sudah nekat untuk gugur bersama musuh, seperti saudaranya.
Namun cepat sekali Kek Lam-wi
dan Toh So-so sudah menyerbu kedalam arena. Memang mereka datang terlambat
selangkah, tapi masih untung juga kedatangan mereka, meski tidak dapat menolong
jiwa To It-kiau, kebetulan dapat membantu Thong Jian-hong. Dua busu sedang
mengayun golok dan menusukan tombak menyerang dari kanan kiri belakang Thong
Jian-hong, namun. angin kencang telah mengancam jiwa mereka lebih dulu,
seruling Kek Lam-wi sudah menutuk lebih dulu hiat-to besar di punggung busu
yang bersenjata golok. "Mampuslah kau," hardik Kek Lam-wi.
Memang busu ini kontan roboh
binasa. Ternyata pedang Toh So-so juga tidak kalah cepatnya, dengan jurus
Giok-li-to-soh, pedangnya menggaris luka panjang dari pundak ke punggung busu
yang bergaman tombak panjang.
Dalam pada itu Sam-kiat-kun
dan Siang-bun-kiam sama-sama jatuh, Thong Jian-hong lantas menghardik beringas:
"Nah, biar kaupun rasakan keliehayan kepalan besiku," tangan terayun
kepalanpun mengenjot, sekali jotosan ini ternyata batok kepala Ho Lan-kian
pecah jadinya.
- Setelah memungut senjatanya
dengan sebelah tangan yang lain Thong Jian-hong memeluk jenazah To It-kiau,
mendadak dia terkial-kial menggila, teriaknya: "Ui-yap Samko, tenanglah
arwahmu di alam baka. Bersama Ngoko aku telah menuntut balas kematianmu,"
karena memeluk jenazah sekujur badannya berlepotan darah, seperti banteng
ketaton segera dia menyerbu keluar.
Dalam pada itu busu di
lingkaran luar telah bubar dilabrak oleh Tan Ciok-sing bersama In San. Yang
masih ada hanya beberapa busu yang berkepandaian agak tinggi. Tapi melihat
keadaan Thong Jian-hong yang beringas menakutkan, busu yang berkepandaian agak
tinggi inipun menjadi ciut nyalinya, belum lagi senjata Thong Jian-hong menyapu
tiba serempak mereka sudah kocar kacir.
Menekan kepedihan hatinya Kek
Lam-wi menyusul kesana mendampingi Thong Jian-hong, katanya lirih: "Masih
ada tugas lebih penting yang harus lekas kita selesaikan, Liok-ko, tenangkanlah
pikiranmu."
Thong Jian-hong lantas sadar,
katanya: "Betul, Toako melepas panah berapi. Bila kita bisa membantunya
menangkap Duta Watsu, setimpal juga kematian Ngoko."
Di bawah petunjuk In San,
beramai mereka menyerbu ke arah penginapan orang-orang Watsu.
Tampak di tengah tanah
berumput di antara bangunan gedung berloteng, bayangan orang bergerak-gerak
sedang saling labrak dan hantam dengan sengitnya.
Di atas loteng ada orang
memegang obor, ternyata Duta Watsu itu sedang menonton dari atas loteng. Tapi
loteng tinggi beberapa tombak, di sampingnya dijaga ketat oleh beberapa busu
bersenjata lengkap, maka dia tidak takut jiwa sendiri terancam.
Waktu Tan Ciok-sing tiba,
kebetulan didengarnya di atas loteng orang bersorak dan memuji: "Bagus,
biar manusia-manusia liar dari selatan ini tahu betapa liehay Koksu Watsu kita.
Haha. Jago terkuat dari Pat-sian yang katanya menggetar Tionggoan ternyata juga
hanya begini saja." Seorang busu di sebelahnya segera menimbrung:
"Tionggoan Pat-sian hanya bernama kosong, mana dia mampu melawan Koksu
kita yang tiada tandingan di seluruh jagat," pembicara ini bukan lain
adalah Ma Toa-ha, salah satu dari empat jago kosen dari Watsu.
Ternyata di arena
Wi-cui-hi-kiau tengah bergebrak dengan Milo Hoatsu. Hi-hu si nelayan Lim Ih-su
memakai gaman yang cukup unik, tangan kanan memegang joran, tangan kiri
memegang jala. Sementara Kiau-cu si tukang kayu Loh Im-hu bersenjata kampak
besar. Sedang Milo Hoatsu bersenjata sepasang roda besar kecil yang dinamakan
Jit-gw.at-siang-Iun. Setiap kali joran si nelayan membentur roda di tangan Milo
Hoatsu maka berdering nyaring suara memekak telinga. Tapi aneh juga, joran yang
kelihatan dari bambu hijau itu ternyata cukup ulet dan dapat memantul seperti
karet, betapapun kuat roda lawan menggempur, ternyata joran tak mampu
dipatahkan.
Belum lenyap gelak tawa Duta
Watsu, mendadak Loh Im-hu menghardik bagai guntur, kampak besarnya seperti
hendak membelah gunung tiba-tiba membacok. Milo Hoatsu juga tersurut mundur
selangkah.
Menggunakan saat Loh Im-hu
terhuyung dan belum berdiri tegak, dua busu mendadak menyergap maju dari
belakang. Seluruh perhatian Loh Im-hu seperti ditujukan kepada Milo Hoatsu yang
tangguh ini, bahwasanya dia seperti tidak tahu dan tidak hiraukan kedua lawan
yang membokong dari belakang.
Mendadak terdengar pekik
nyaring, di saat kritis itulah, si nelayan Lim Ih-su ternyata telah bertindak
menolong Loh Im-hu menggebah kedua busu yang membokong secara licik. Tanpa
menoleh, joran panjang di tangannya tiba-tiba disendai ke belakang, seperti
kepalanya tumbuh mata di belakang, pancing di pucuk joran kebetulan menggantol tulang
pundak seorang busu, seperti memancing seekor ikan raksasa saja busu ini
diangkatnya ke atas, sekali sendai pula busu itu dilemparnya beberapa tombak
jauhnya. Menyusul dia menggentak pula secepat angin lesus tubuhnya berputar,
jala di tangan kiri tiba-tiba ditebarkan, busu keduapun kena dijala olehnya.
Sebat sekali Milo Hoatsu
berkelit terus berkelebat, menghindari bacokan kampak Loh Im-hu, tapi sepasang
rodanya tiba-tiba mengepruk ke arah Lim Ih-su. Lim Ih-su sudah berhasil menjala
busu itu, dia pikir Milo Hoatsu takkan berani melukai orang sendiri, tak nyana
sedikitpun dia tidak hiraukan mati hidup si busu, mumpung dapat dapat
kesempatan dia malah merangsak semakin hebat. Padahal jala Lim Ih-su merupakan
senjata yang liehay pula, namun karena berhasil menjaring tubuh seorang yang
beratnya ada seratusan kati lebih sudah tentu gerak geriknya jadi lamban dan
terganggu, tujuan hendak mengancam musuh berbalik awak sendiri yang memikul
beban. Apa boleh buat terpaksa Lim Ih-su membuka jaring melempar busu itu
keluar kalangan. Kini dia lebih leluasa menghadapi rangsakan sepasang roda Milo
Hoatsu.
Milo Hoatsu membentak:
"Hadapilah kawanan pengemis itu, kedua orang ini kalian tidak perlu ikut
urus."
Tanpa dipesan lagi, melihat
betapa liehay permainan Lim Ih-su, para busu yang lain sudah pecah nyalinya,
melihat pula betapa ganas dan kejamnya Milo Hoatsu, jiwa orang sendiri juga
tidak segan dikorbankan di bawah senjata sendiri, mana ada yang berani
mengantar jiwa?
Wi-cui-hi-kiau bergabung pula,
dalam beberapa jurus saja, mereka telah mulai pegang kuasa dengan serangan
mantap. Tapi kepandaian Milo Hoatsu memang tangguh, meski Wi-cui-hi-kiau
berinisiatif menyerang, dia masih tetap kuat bertahan dan melawan dengan gagah,
sedikitpun tidak kelihatan terdesak. Karena terlibat dalam adu kekuatan dengan
sengit melawan Milo Hoatsu, sudah tentu Wi-cui-hi-kiau tidak sempat lagi
membantu teman yang lain.
Kecuali Wi-cui-hi-kiau yang
sedang melabrak Milo Hoatsu, di lapangan berumput itu masih ada belasan
pengemis, mereka adalah kelompok kedua dari murid-murid Kaypang yang menyusul
tiba. Mereka melihat panah berapi yang dilepas Wi-cui-hi-kiau maka beramai
datang membantu. Kungfu murid Kaypang ini cukup tinggi, namun di bawah tekanan
musuh sebanyak itu, mereka jadi kerepotan juga. Ada beberapa di antaranya malah
sudah terdesak payah.
Melihat situasi, Tan Ciok-sing
berpikir: "Wi-cui-hi-kiau, memang tidak malu sebagai pimpinan Pat-sian,
kepandaiannya susah diukur. Tapi untuk mengalahkan Milo Hoatsu paling tidak
harus tiga ratusan jurus kemudian. Aku harus wakili mereka, supaya mereka
sempat membekuk Duta Watsu di atas loteng."
Setelah tetap pendiriannya,
Tan Ciok-sing segera menampakkan diri, teriaknya lantang: "Hwesio gede,
kalah menang belum ada kesudahan, kenapa kau lari. Kalau berani ayo lawan aku
menentukan siapa jantan," sembari bicara meluncur bagai anak panah,
beberapa lompatan jarak jauh, sebelum gema suaranya lenyap, bersama In San dia
sudah terjun kedalam arena pertempuran.
"Bagus sekali, kalian
berempat boleh maju bersama, memangnya aku takut?" tantang Milo Hoatsu.
Sepasang roda terangkat tinggi dengan jurus Sau-tang-Iiok-hap kedua rodanya
dimainkan sedemikian rupa sekujur badan seperti terbungkus dalam cahaya
kemilau.
Tan Ciok-sing gunakan jurus
Tay-mo-hu-yan pedang
panjangnya menusuk langsung
kedalam lingkaran sinar. Berbareng In San juga gunakan jurus Tiang-ho-Ioh-jit.
Ceng-bing-kiam menusuk turun dari tengah udara. Serangan tepat pada waktunya
sasaran telak dan kerja samapun serasi dan ketat tiada kelemahan. Gerak pedang
mereka teramat aneh dan cepat sehingga Wi-cui-hi-kiau tiada sempat berseru
mencegah tahu-tahu kedua anak muda ini sudah mendahului melawan gempuran musuh
tangguh.
Maka terdengar suara
gemerantang seluruh hadirin pekak telinganya, cahaya perak yang membulat itu
tiba-tiba pecah berderai, hawa pedangpun menyambar ke berbagai penjuru, tiga
bayangan orang mencelat terpencar, siapapun tiada yang memungut keuntungan,
lekas sekali kedua pihak telah saling gempur lagi.
Sebelum ini Wi-cui-hi-kiau
belum pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing,-di kala dia bersama In San
mendahului menyambut gempuran sepasang roda Milo Hoatsu, Wi-cui-hi-kiau sama
menjerit kuatir, mereka kira kedua muda mudi ini bakal celaka oleh kehebatan
ilmu musuh, bila tidak mati pasti luka parah. Tak nyana akhir dari adu kekuatan
sungguh diluar dugaan mereka, belum lagi lenyap rasa kuatir mereka, tahu-tahu
Tan Ciok-sing berdua telah bergabung pula menggempur Milo Hoatsu.
"Gelombang sungai
belakang memang mendorong yang di depan, patah tumbuh hilang berganti.
Munculnya sepasang pahlawan gagah dunia persilatan memang harus dibuat senang,
tapi kenapa kami tidak pernah dengar sebelum ini," diam-diam
Wi-cui-hi-kiau amat girang dan lega. Sebagai ahli silat meski baru menyaksikan
satu jurus, tapi mereka tahu gabungan ilmu pedang Tan Ciok-sing dan In San
merupakan lawan mematikan bagi sepasang roda lawan bila kedua muda mudi ini
dibiarkan melawan Milo Hoatsu memang setanding dan itu lebih baik dari pada
dirinya berdua yang turun tangan. Setelah hati lega segera mereka keluar
lapangan.
Sudah tentu Duta Watsu yang
menyaksikan di atas loteng amat kaget, katanya: "Dari mana datangnya dua
bocah ini, ternyata mampu menandingi Koksu kita yang nomor satu di seluruh
jagat. Ma Toa-ha turunlah kau bantu mereka."
Tak nyana peristiwa
selanjutnya justru membuat nyalinya pecah. Tampak Lim Ih-su mendadak melompat
tinggi setombak lebih, pancing di ujung jorannya tepat menggantol batu di atas
dinding, seperti orang bermain ayunan, tubuhnya tiba-tiba melambung naik,
dimana telapak kakinya menjejak dinding jorannya terayun pula, sehingga
tubuhnya mumbul ke atas, begitulah secara bergantian kaki menjejak dan joran
menggantol sehingga tubuhnya terus terayun mumbul ke atas. Berlainan pula cara
yang ditempuh si tukang kayu Loh Im-hu, sepasang kampak raksasanya bergantian
membelah dinding tembok yang keras terbuat dari batu gunung menjadi bolong
setiap kali kena kampak. Begitu kampak dicabut kaki terus memancal naik secara
bergantian kanan kiri, pada hal dinding yang menjulang lurus itu licin sekali
tapi dari setiap lobang yang dibacok kampaknya itu kakinya seperti naik tangga
saja terus berlari ke atas secepat terbang.
Busu yang ada di bawah
berkaok-kaok, belasan orang segera memasang gendewa membidikkan panah. Lim
Ih-su menebarkan jalanya untuk menangkis hujan panah, tidak sedikit panah yang
terjaring di jalanya ditimpuk balik untuk melukai pemakainya.
Cepat sekali, mereka sudah
hampir mencapai loteng. Karuan Duta Watsu: kaget dan pucat ketakutan, mana
berani dia menonton lagi? Tersipu-sipu dia putar tubuh sembunyi kedalam kamar.
Ma Toa-ha memburu maju seraya
membentak: "Turun." Golok pembelah gunung dii tangannya berpunggung
tebal, beratnya ada tiga> puluh enam kati, dia incar batok kepala Loh Im-hu
yang sudah hampir mencapai ketinggian foteng terus membelahnya.
Hebat memang Loh Im-hu,
kakinya kebetulan menginjak lobang yang terkampak terakhir pada hal tubuhnya
terapung, namun di atas dinding yang licin itu dia masih mampu mengembangkan
Thi-pan-kio (jembatan besi), pinggang tertekuk ke belakang, sementara kaki
menginjak kencang di lobang dinding, sehingga seluruh tubuhnya terjengkang ke
belakang mirip sebuah jembatan gantung. Golok Ma Toa-ha menyamber lewat
serambut di depan mukanya, tapi tidak sampai melukainya.
Dengan menggerung keras,
mendadak Loh Im-hu menarik tubuh ke atas, berbareng kaki menjejak naik,
tubuhnya terapung tinggi, bentaknya: "Biar kau tahu apakah Tionggoan
Pat-sian betul-betul bernama kosong," itulah olok-olok yang diucapkan Ma
Toa¬ha tadi. Di tengah bentakannya itulah kampaknya sudah beradu dengan golok
besar berpunggung tebal Ma Toa-ha. Senjata mereka sama-sama berbobot berat, di
tengah gemerarrtangnya suara tampak golok tebal Ma Toa-ha mencelat tinggi ke
udara.
Pada saat itulah, Lim Ih-su
juga telah melompat naik ke atas loteng, dimana jorannya mulur modot, seperti
lidah ular beracun yang keluar masuk, secepat kilat dia tutuk dua busu yang
menerjang datang, kekuatan gerakan jorannya ternyata masih mampu membuat
pancing di ujung jorannya menukik turun menggantol luka di paha Ma Toa-ha. Pada
saat itu Ma Toa-ha memang sedang terhuyung karena tergentak oleh kekuatan Loh
Im-hu, sudah tentu tak mampu dia menahan diri pula setelah pahanya terluka
pula, bersama dua busu yang tertutuk hiat-tonya mereka saling terjang terus
terjungkal jatuh ke bawah loteng.
Memang tidak malu Ma Toa-ha
sebagai jagoan kosen, meski pahanya terluka di tengah udara dia masih mampu
mengendalikan tubuh dengan jumpalitan bergaya burung dara serta meluncur turun
dengan enteng dan berdiri tegak. Celaka adalah kedua busu yang tertutuk
hiat-tonya jatuh dari tempat ketinggian itu tanpa ampun tubuh mereka hancur
dengan kepala pecah.
Begitu Wi-cui-hi-kiau menyerbu
ke atas loteng, dilihatnya Duta Watsu sedang lari kedalam kamarnya. Loh Im-hu
menghardik: "Lari kemana," dimana kampaknya terayun seorang busu
dibelahnya terus menerjang masuk, tujuannya hendak meringkus Duta Watsu.
Tiba-tiba cahaya emas gemerdep
di depan mata, seorang padri asing tiba-tiba membentak: "Jangan bertingkah
disini," senjata yang digunakan padri asing ini adalah Hu-mo-kan gada
penakluk iblis yang terbuat dari emas murni, bobotnya lebih berat dari golok
tebal yang dipakai Ma Toa-ha, maka terdengarlah suara "Trang", loteng
sampai bergetar seperti keterjang gempa. Kampak membelah gunung Loh Im-hu
membacok gada penakluk iblis, kampak sempal sedikit, tapi gada tidak kurang suatu
apa, tapi tenaga Loh Im-hu lebih besar, padri asing itu tertolak mundur tiga
langkah, telapak tangannyapun kesakitan. Tapi padri asing ternyata keras
kepala, sebat sekali dia sudah menerjang pula, dia libat lawannya dengan
serangan gencar.
Di sebelah sana Lim Ih-su juga
menghadapi dua lawan tangguh, seorang Hwesio bersenjata tongkat sebesar mulut
mangkok, seorang lagi berpakaian pelajar memegang kipas besi. Senjata kedua
orang ini keras dan lunak, kerja samanya ternyata amat baik. Terutama kipas besi
si pelajar, entah menutuk, menusuk atau menyampuk dengan kebasan lagi, ternyata
dia mampu menggunakan ilmu meminjam tenaga menggempur musuh, taraf
kepandaiannya tidak lebih asor dari jago kelas wahid di Tionggoan. Lim Ih-su
sebagai tertua dan terliehay dari Pat-sian ternyata juga hanya mampu menandingi
mereka saja.
Ternyata ketiga orang ini
adalah murid-murid didik Milo Hoatsu yang paling dibanggakan. Hwesio yang
bersenjata gada penakluk iblis terbuat dari emas itu bergelar Toa-kiat, Hwesio
yang bersenjata tongkat bergelar Toa-siu, kepandaian mereka kira-kira setanding
dengan Poyang Gun-ngo, orang nomor satu yang menduduki jago kosen di seluruh
Watsu. Sementara pelajar yang bersenjata kipas itu adalah putra seorang
pembesar tinggi di Watsu, namanya Tiangsun Co, hobinya mempelajari sastra dan
bahasa Han, maka sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari dia berpakaian seperti
orang Han.
Dulu sering orang ini
mengembara di Tionggoan, kecuali pernah mendapat petunjuk dari Milo Hoatsu, dia
pernah mendapat pelajaran silat dari seorang Han yang tak dikenal pula, maka
ilmu silatnya jauh melampaui para saudara seperguruan, Poyang Gun-ngopun bukan
tandingannya.
Melihat Duta Watsu lari ke
kamarnya, Loh Im-hu menjadi gugup, mendadak dia menghardik, bersama kampaknya
dia menubruk seperti harimau menerkam mangsanya, kampak menindih gada mendadak
sebelah kakinya melayang sehingga Toa-kiat kena ditendangnya jungkir balik,
luka akibat tendangan sih sebetulnya tidak berat, tapi karena gadanya sendiri
amat berat, dia tidak rela melepas senjatanya pula, karuan dia tertindih
senjata sendiri, bila dia merangkak bangun sementara Loh lm-hu sudah menerjang
masuk ke kamar tidur Duta Watsu.
Toa-siu dan Toa-kiat masuk
perguruan bersama dan mencukur gundul kepalanya pada saat yang sama pula,
hubungan kedua orang ini paling akrab di antara sesama seperguruan yang lain.
Melihat Toa-kiat ditendang roboh oleh Loh Im-hu, karuan Toa-siu amat kaget.
Jago yang sedang bertanding mana boleh terpencar perhatiannya? Begitu melihat
lobang kelemahan, Lim Ih-su tidak sia-siakan kesempatan ini, joran terayun
dengan gaya 'membawa' dia kerahkan ilmu Si-nio-poat-jian-kun, dimana jorannya
menutul ujung tongkat lawan, terdengar suara menderu kencang, ternyata karena
dilengket dan di'bawa' itulah tongkat panjang sebesar mulut mangkok itu
mencelat terbang dan terlepas dari cekalannya. "Biang" lalu terdengar
jeritan ramai menyayat hati, tongkat besi seberat empat puluh delapan kati itu
ternyata menerjang putus lankan loteng, beberapa busu yang berdiri di sekitarnya
keterjang sungsang sumbel berjatuhan ke bawah.
Cepat sekali setelah memukul
mundur Toa-siu, Lim Ih-su sudah membalik badan untuk menghadapi Tiangsun Co
yang berkepandaian paling tinggi, jala di tangan kiri tiba-tiba berkembang
terus menungkrup ke arah Tiangsun Co, tadi Tiangsun Co pernah saksikan
keliehayan permainan jala orang, apalagi dalam keadaan kepepet seorang diri
pula, mana berani dia menyambut serangan ini. Kepandaiannya ternyata memang
patut dipuji, gerak geriknya selicin ikan berenang dalam air, kipas mengebas,
di saat-saat yang paling genting tiba-tiba dia sudah lolos keluar, malah masih
sempat pula dia menyampuk pergi joran Lim Ih-su yang menerjang hiat-to besar di
punggungnya.
Di saat Loh Im-hu memburu
masuk kedalam kamar, dilihatnya Duta Watsu sedang menyelinap kedalam sebuah
pintu rahasia. Ternyata dalam kamar tidur ini terdapat kamar rahasia, bila
tombol ditekan pintu kamar rahasia akan terbuka.
"Jangan lari,"
bentak Loh Im-hu seraya menubruk kesana, terdengar suara gemeratak sementara
Duta Watsu sudah berada didalam kamar rahasia, selapis papan besi tiba-tiba
sudah melorot turun.
Waktu sudah amat mendesak, Loh
Im-hu sudah tidak hiraukan lagi apakah dalam kamar masih ada busu lain yang
siap membokong dirinya, mendadak dia menubruk ke depan sambil menjatuhkan diri
dengan gerakan Burung Terbang Terjun ke Hutan, tubuhnya meluncur di lantai
terus membresot kedalam kamar.
Sayang waktunya sudah agak
terlambat, baru setengah tubuhnya menyelonong masuk, lapisan besi itu sudah
menindih turun jaraknya tinggal lima dim dari batok kepalanya, Loh Im-hu sudah
pertaruhkan nyawanya, dengan menggerung keras, tiba-tiba dia membalik tubuh
kampak mendadak dia sudah angkat untuk menyanggah, pelan-pelan papan besi itu
ternyata dapat diangkatnya naik sedikit-sedikit. Tapi pada saat itu pula
mendadak dia merasa paha kanannya kesakitan, ternyata seorang busu menusuk
pahanya dengan tombak. Loh Im-hu menggerung gusar, teriaknya: "Toako,
lekas," sambil menahan sakit, papan besi tetap ditahannya sekuat tenaga.
Untung sebelum habis dia
berteriak, sang toako, tertua dari Pat-sian Lim Ih-su telah memburu datang.
Busu tadi sedang angkat tombaknya hendak menusuk lambung Loh Im hu, tapi
tahu-tahu tubuhnya menjadi enteng dan terbang ke atas menumbuk langit-langit,
ternyata Lim Ih-su telah menjaringnya terus dilempar ke atas, dimana jorannya
bekerja pula seorang busu telah dipancingnya serta dibuang keluar saling tumbuk
dengan busu ketiga yang menerjang masuk.
Lekas Lim Ih-su membungkuk
tubuh, mumpung papan besi belum menindih semakin ke bawah, dia julurkan
jorannya kedalam. Tapi pada saat itulah Toa-kiat dan Toa-siu sudah memburu
masuk ke kamar pula bersama Tiangsun Co.
Toa-kiat memburu masuk lebih
dulu, begitu melihat Wi-cui-hi-kiau sama tengkurap dan rebah di lantai, sementara
kampak Loh Im-hu sedang menahan papan besi, sedang joran Lim Ih-su menjulur ke
kamar rahasia, jelas senjata mereka takkan kuasa buat melawan lagi. Saking
senang Toa-kiat angkat gadanya seraya membentak: "Bagus, biar tuan besarmu
antar kalian pulang ke dunia barat," tapi di kala gada sudah terangkat
tinggi di atas kepala itulah, mendadak didengarnya jerit kesakitan sang Ongya.
Maklum sang Ongya atau Duta
Watsu ini biasanya hidup berfoya-foya, kapan pernah menyaksikan pertempuran
sengit yang menyeramkan ini, meski sudah sembunyi kedalam kamar rahasia, namun
saking ketakutan kedua lutut menjadi lemas dan dia meloso di lantai. Waktu Lim
Ih-su menjulurkan joran kedalam, kebetulan dapat menggantol tumit kakinya,
karena tumit kaki kepancing, karuan dia menjerit-jerit dan terseret keluar.
Loh Im-hu segera menghardik:
"Bila kampak kulepaskan, Ongya kalian akan gepeng bersamaku. Memangnya
kita tidak pikirkan keselamatan lagi kalau berani hayo maju."
Demi mempertahankan jiwa sang
Ongya, sudah tentu Toa-kiat tidak berani turunkan gadanya. Sementara itu Lim
Ih-su sudah menyeret sang Ongya keluar serta menjaringnya didalam jalanya.
Pelan-pelan Loh Im-hu menggeser tubuhnya keluar, setelah mengambil
ancang-ancang segera dia lepas tangan sambil menggelinding ke samping.
"Blum" dengan suara berdentam menggetar seluruh loteng papan besi itu
anjlok menyentuh lantai. Dengan kampak sebagai penyanggah tubuh pelan Loh Im-hu
merangkak berdiri, mukanya pucat pias. Baru sekarang Lim Ih-su sempat
perhatikan wajah adiknya, tanyanya dengan gemetar: "Jite, kenapa
kau?"
Loh Im-hu unjuk senyum getir,
sekuat tenaganya dia telan darah yang hampir menyembur keluar, pada hal isi
dadanya sakit sekali seperti diremas-remas, tahulah dia bahwa luka dalamnya
teramat parah, lebih parah dari luka tusukan tombak di pahanya. Tapi kuatir
membikin sang Toako kuatir, sekuatnya dia menahan diri, katanya: "Terluka
sedikit, yakin takkan mati di tempat ini. Syukur usaha kita berhasil membekuk
Ongya Watsu. Toako, lekas kau gusur tawanan ini dan bergabung dengan para
saudara, jangan kau hiraukan diriku."
Lekas Lim Ih-su jejalkan
sebutir Siau-hoan-tan pemberian
Hongtiang Siau-lim ke mulut
adiknya, setelah mendengus gusar dia berkata: "Bila kau mengalami sesuatu,
biar tawananku ini sebagai penebus jiwamu."
Tiangsun Co dan lain-lain
hanya memandang gelo melihat Lim Ih-su memasukkan sang junjungan kedalam jaring
terus dikempit di ketiak melangkah lebar turun dari loteng. Loh Im-su yang
pucat dengan kampak sebagai tongkat mengikuti di belakang langkahnya sempoyongan,
seakan-akan sembarang waktu dia bisa tersungkur jatuh. Tapi mereka tiada yang
berani bertindak secara gegabah, malah dalam hati mereka berdoa supaya sang
junjungan diselamatkan dan dilindungi.
Kalau pertempuran di atas
loteng telah usai, sementara Tan Ciok-sing dan In San yang mengembangkan ilmu
gabungan pedang masih cukup tangguh menghadapi sepasang roda Milo Hoatsu. Tapi
murid Kaypang yang dikeroyok menjadi kepayahan, tidak sedikit yang telah gugur
di medan laga.
Sambil menjinjing sang Ongya
didalam jaring Lim Ih-su beranjak keluar rumah, serunya lantang:. "Kalian
masih ingin jiwa Ongya kalian tidak?"
Sudah tentu bukan kepalang
kaget kawanan busu dari Watsu, sebelum diberi aba-aba oleh sang Ongya serta
merta mereka sudah menyurut mundur menghentikan pertempuran.
Tak nyana sang Ongya mendadak
membentak: "Jangan berhenti, kepung lebih ketat."
Lim Ih-su gusar, dampratnya:
"Memangnya kau tidak ingin hidup?"
Ongya Watsu tertawa dingin:
"Betul, cukup angkat sebelah tanganmu kau dapat membunuhku, tapi setelah
kau bunuh aku, orang-orang kalianpun takkan selamat. Maka kulihat lebih baik
kita mengadakan pertukaran secara adil. Pertama, jangan kau menghina aku."
Lim Ih-su membuka jaringnya,
sebelah tangan menekan punggung, katanya: "Baik, kami akan bertindak
menurut aturan lebih dulu."
Maka sang Ongya memerintahkan
supaya anak buahnya menghentikan
pertempuran.
"Katakan," bentak
Loh Im-hu, "pertukaran adil cara bagaimana?"
"Dengan jiwaku seorang
untuk menukar jiwa kalian sebanyak ini, apa tidak adil?"
"Bagaimana caranya
menukar?"
"Kan gampang, setelah
kalian melepasku, akan kupersilahkan kalian pergi."
"Memangnya ada urusan
semudah itu?"
"Lalu bagaimana
pendapatmu?"
"Bila kau serahkan surat
perjanjian damai yang kau tanda tangani bersama Liong Bun-kong, serta antar
kami keluar kota, kau akan kami bebaskan."
"Pintar juga kau tawar
menawar, selain menebus orang mau minta barangnya pula, padahal kalian tidak
mengeluarkan apa-apa, apa boleh tukar menukar begini dianggap adil?"
Lim Ih-su mendengus: "Ya,
tapi kau masih berada di tanganku."
"Kawan-kawan kalian juga
masih terkepung disini, sebelum aku mengangguk, memangnya kalian mampu lari
dari sini."
"Toako," seru Loh
Im-hu gusar, "ini tidak mau itu tidak boleh, buat apa harus saling tukar
segala, serahkan saja padaku biar kujagal dia disini, semoga arwah Samte
tentram di alam baka. Kan belum tentu kita tidak mampu meloloskan diri."
Ongya Watsu mengeraskan
kepala, katanya: "Baiklah, kalian lebih senang mempertaruhkan jiwa
sebanyak orang ini, kenapa aku sendiri harus takut mati? Kalau berani boleh kau
membunuhku," pada hal mulutnya main gertak, hatinya takut setengah mati.
Lim Ih-su berpikir diam-diam,
"Menuntut balas memang penting, tapi membongkar intrik Liong Bun-kong yang
menjual negara dan bangsa lebih penting lagi, paling tidak kita harus peras
Duta Watsu ini untuk menyerahkan surat perjanjian damai itu, untuk apa aku
mencabut nyawa orang ini?" namun dia sendiri tidak mau mengalah, jadi
keadaan menjadi tegang.
Di kala keadaan membeku
itulah, tiba-tiba tampak seorang pemuda berusia enam belasan berlari seperti
memburu setan, dari kejauhan sudah berteriak: "Tan-toako, apakah omonganmu
tadi masih boleh dipercaya?" pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya
Watsu.
"Surat perjanjian itu,
apakah sudah kau bawa kemari?' tanya Tan Ciok-sing.
"Betul, harap kalian
lekas bebaskan ayahku."
"Tadi aku hanya bilang
untuk memohonkan keringanan saja, apakah diterima, boleh kau sendiri tanya
kepada Lim Tayhiap ini," sahut Tan Ciok-sing.
"Baiklah, tolong kau mohonkan
keringanannya," ujar Siau-ongya.
"O, jadi sebelum ini kau
sudah bicara tentang tukar menukar dengan Siau-ongya ini?" tanya Lim
Ih-su.
"Mohon maaf bila Wanpwe
ambil keputusan sendiri, memang aku pernah janji kepada Siau-ongya, bila dia
mau menyerahkan surat perjanjian damai, aku akan mohon keringanan kepada
kalian, supaya kalian tidak menyakiti dan mempersulit ayahnya. Waktu itu aku
juga belum tahu bahwa kita akan berhasil membekuk ayahnya."
"Betul, inilah surat yang
kami inginkan," seru Thong Jian-hong, "tapi setelah ada surat ini,
kita tetap membutuhkan sandera."
Siau-ongya berkata: "Asal
kalian mau membebaskan ayahku, aku suka menjadi sandera."
Ongya Watsu membentak:
"Anakku, mana boleh kau berbuat sebodoh ini?"
Lim Ih-su masih berpikir
sekian lamanya tanyanya: "Tan-siauhiap, kau bersahabat dengan Siau-ongya
ini bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut,
katanya: "Betul, aku pernah berjanji kepadanya, bila dia mau menyerahkan
surat perdamaian itu, aku tetap akan menganggapnya sebagai kawan."
"Tan-siauhiap, hari ini
sungguh besar artinya bantuanmu, kalau tidak kau bantu aku, sekarang mungkin
aku takkan berhasil membekuk Ongya. Seorang laki-laki harus dapat dipercaya,
akupun takkan membikin kau kehilangan kepercayaan di depan musuh. Kalau
Siau-ongya adalah temanmu, akupun takkan bisa
menggunakannya sebagai
sandera. Baiklah, aku terima caramu untuk menukar surat perdamaian itu."
Senang Siau-ongya bukan main,
langsung dia mendekati ayahnya, katanya: "Ayah, aku sudah berjanji
kepadanya, mereka melepas kau, maka jangan kau mempersulit mereka."
Ongya Watsu berkata:
"Baik, asal mereka tidak meringkus kau, akupun boleh menyerahkan surat
perdamaian itu kepada mereka."
Baru saja Siau-ongya mau
menyerahkan surat perdamaian, mendadak Ongya membentak: "Tunggu dulu.
Setelah mereka membebaskan aku, baru kau serahkan surat itu."
Siau-ongya berkata:
"Kalian pasti percaya kepadaku. Yang jelas aku toh takkan bisa lari."
Bahwa tukar menukar sudah
disetujui, soal tetek bengek sudah tidak terpikir pula oleh Lim Ih-su, katanya:
"Baik, aku percaya kepadamu," lalu dia bebaskan Duta Watsu. Tan
Ciok-sing dan Thong Jian-hong berdiri mengapit Siau-ongya. Di bawah pengawalan
Tiangsun Co, Duta Watsu beranjak masuk ke rumah setengah berlari, sebelumnya
dia perintahkan anak buahnya mundur dan tidak boleh mengepung, langsung dia
naik ke loteng, dari loteng baru dia berkata: "Baik, anakku, sekarang
boleh kau serahkan surat damai itu."
Siau-ongya serahkan surat
perdamaian itu kepada Lim Ih-su, katanya: "Inilah konsep perdamaian itu dari
tulisan tangan Liong Bun-kong sendiri, silahkan baca dan periksa."
Dulu Liong Bun-kong adalah
pembesar sipil yang suka mengagulkan gaya tulisannya yang bagus, tidak sedikit
kenalannya dari kaum pedagang yang minta tulisannya sebagai nama toko atau perusahaan.
Lim Ih-su kenal baik tulisannya, setelah membaca surat perdamaian itu dengan
kertak gigi dia berkata: "Terhitung surat perdamaian apa, lebih tepat
kalau disebut surat permohonan menyerah. Tulisan Liong Bun-kong tidak salah.
"Baiklah Siau-ongya, terima kasih akan kesediaanmu mengorbankan dirimu,
boleh kau kembali saja?"
Tak kira baru saja Siau-ongya
mendekati para busu Watsu, tiba-tiba Duta Watsu yang berada di atas loteng
berteriak keras: "Jangan biarkan mereka membalik surat perdamaian itu,
kepung mereka dan ringkus semuanya."
Saking kaget pucat muka
Siau-ongya, serunya: "Ayah, mereka bicara dapat dipercaya, jangan kita
mengingkari janji."
"Binatang," hardik
Duta Watsu, "kau tahu apa? Aku tidak menghajarmu sudah terhitung untung,
masih berani kau mengoceh tidak karuan."
Sebesar itu kapan Siau-ongya
pernah dimaki sekasar itu di hadapan umum, apalagi lebih menyakitkan hati lagi
dirinya dimaki "binatang", sungguh, sedih dan malu serta marah pula,
teriaknya: "Ayah, kau sudi mengingkari janji tapi aku akan tetap berpegang
pada pendirianku. Baiklah, aku yang jadi sandera mereka," tapi dirinya
sudah berada dalam rombongan para busu mana dapat dia berbuat sesuka hati lagi.
Baru saja dia hendak putar balik, Milo Hoatsu sudah memburu tiba serta menutuk
hiat-tonya, katanya:
"Toa-kiat, Toa-siu,
antarkan Siau-ongya ke atas loteng. Lekas turun pula."
Maka pertempuran seru terulang
kembali. Sudah tentu pertarungan kedua ini jauh lebih hebat, lebih keras dan
menegangkan, namun situasi justeru lebih tidak menguntungkan bagi pihak kaum
pendekar. Maklum si tukang kayu Loh Im-hu sudah terluka parah, berarti mereka
kehilangan bantuan yang berharga. Sebaliknya pihak musuh ketambah Tiangsun Co
yang berkepandaian tinggi, dibantu pula dengan Toa-kiat dan Toa-siu, setelah
membawa Siau-ongya ke atas loteng, lekas sekali mereka sudah lari turun dan
terjun ke arena.
Mengetruk sepasang rodanya
Milo Hoatsu tertawa temberang, katanya: "Wi-cui-hi-kiau tadi pertempuran
kita belum ada kesudahan, kalau berani hayo lawan aku lagi sampai ditetapkan
siapajantan atau betina," justeru dia tahu bahwa Loh Im-hu sudah terluka,
maka tanpa tedeng aling-aling dia menantang mereka.
Karuan Loh lm-hu naik pitam,
serunya: "Jadi, hayo maju memangnya aku gentar padamu," dengan
langkah sempoyongan dia memutar sepasang kampaknya menyambut tantangan musuh.
Begitu berkelit dari samberan joran Lim Ih-su, Milo Hoatsu mendorong sepasang
rodanya ke arah Loh Im¬ hu, "Trang" secara telak dia membentur
sepasang kampak Loh Im-hu. "Huuah" kontan Loh Im-hu memuntahkan darah
segar sebanyak-banyaknya, namun sambil kertak gigi, setapakpun dia tidak mau
mundur.
Lim Ih-su membentak:
"Melawan orang yang sudah terluka, memangnya kau terhitung orang gagah
macam apa? Jite, dengarkan nasehatku, jangan kau ketipu oleh olok-oloknya, kau
mundur biar aku hadapi dia."
"Bagus," jengek Milo
Hoatsu tergelak-gelak, "kalau kau ini Enghiong dan pahlawan gagah, mari
layani aku satu lawan satu."
Tan dan In lekas memburu maju,
sepasang pedang kembali menggempur sepasang roda, maka terdengarlah rentetan
dering yang berkepanjangan seperti bunyi harpa yang dipetik senarnya, dalam
sekejap itu senjata mereka beradu puluhan kali. Diam-diam Milo Hoatsu mencelos:
"Ilmu pedang kedua bocah ini koh liehay benar?" yang benar bukan ilmu
pedang Tan dan In lebih liehay dari dulu, tapi lantaran Milo Hoatsu sudah
berhantam melawan Lim Ih-su sekian lamanya, tenaganya jelas sudah banyak
terkuras, sebaliknya kekuatan Tan Ciok-sing dan In San masih lebih segar,
maklum kalau mereka dapat menindas lawan dan mendesaknya di bawah angin.
Tampak oleh Tan Ciok-sing, Loh
Im-hu betul-betul sudah teramat parah luka dalamnya, demikian pula wajah Lim
lh-su sudah pucat dengan napas menderu pula, kekuatan mereka boleh dikata sudah
hampir terkuras habis. Bila kedua orang ini mengalami kecelakaan, maka
akibatnya susah dibayangkan. Diam-diam dia berpikir: "lantaran aku tidak
mau membekuk Siau-ongya sebagai sandera sehingga urusan berkepanjangan seperti
sekarang." Tapi menyesal juga sudah terlambat, yang penting harus diusahakan
membawa surat perdamaian itu keluar dari sini. Maka dia berkata: "Semua
gara-gara kesalahanku sehingga orang banyak mengalami kesulitan ini. Lim
Tayhiap, tugas penting harus segera kau bereskan. Silahkan kau berangkat lebih
dulu. Meski harus mengorbankan jiwa juga aku harus lindungi kau dan Loh Tayhiap
keluar dari sini."
Dia yakin kepandaian Lim Ih-so
amat tinggi, bila Milo Hoatsu tidak merintanginya, begitu dia lari ke gedung
keluarga Liong di sebelah sana, pasti dapat dilakukannya. Tapi Lim lh-su tahu
maksud hatinya, kataya: "Ongya keparat itu ingkar janji, sebetulnya sudah
dalam dugaanku. Tapi biar musuh ingkar janji tapi kita harus berpegang pada
kesetiaan dan kebenaran, tidak usah kau merasa sedih, aku tidak menyalahkan
kau. Maksud baikmu kuterima setulus hati, tapi aku tidak akan lari."
Tiangsun Co berkata:
"Memangnya kau mampu lari, hayo lawan aku sampai ada ketentuan siapa
menang dan
kalah."-waktu bergebrak
di
atas loteng tadi, dia kena
sedikit dirugikan oleh Lim Ih-su, kini melihat Lim Ih-su sudah dalam keadaan
payah dia ingin memungut keuntungan, pikirnya: "Kalau tidak sekarang aku
menuntut balas tunggu kapan lagi," maka kipas dikerjakan begitu bergebrak
dia lantas melancarkan serangan mematikan.
Sekali menggentak
"Wut" joran panjang Lim Ih-su mendadak mengencang lurus, tiba-tiba
dia tusukkan ujung jorannya seperti tombak, bentaknya: "Hayo maju,
memangnya aku takut melawanmu? Kalian ada beberapa orang boleh maju
semuanya," sebatang joran dari bambu hijau, tapi di tangannya ternyata
jauh lebih liehay dari pentung atau tombak, karena jorannya itu dapat memantul
lemas tapi juga mengeras sekuat baja, di kala menusuk mengeluarkan deru
kencang. Mau tidak mau Tiangsun Co kaget dibuatnya: "Memang tidak malu
keparat ini sebagai pimpinan Pat-sian, setelah mengalami pertempuran sengit
selama ini, Iwekangnya ternyata masih setangguh ini."
Ma Toa-ha merasa malu karena
In San berhasil menerjang masuk dari kedudukannya, melihat Tan dan In melabrak
Milo Hoatsu sedemikian serunya, dia tidak berani mengusiknya, terpaksa dia
putar haluan membantu orang lain, bentaknya: "Dua lawan dua baru terhitung
adil. Tiangsun Pwecu, mari kubantu kau menghadapi Wi-cui-hi-kiau."
Padahal Loh Im-hu sudah
terluka parah, bukan saja dia tidak mampu membantu Lim Ih-su, malah saudara
tuanya ini yang selalu harus memecah perhatian melindunginya. Untung tadi
sempat Lim Ih-su salurkan hawa murninya ke tubuh sang adik, tenaganya pulih
sedikit, kalau tidak jelas dia tidak akan mungkin menjinjing kedua kampak
besarnya yang berat.
Milo Hoatsu sempat melirik ke
sekitar gelanggang melihat pihak sendiri dalam posisi unggul, hanya di sebelah
sana Kek Lam-wi dan Toh So-so bersama belasan pengemis melabrak anak buahnya
dengan sengit, meski, terkepung tapi semangat juang para pengemis yang sudah
terluka itu tetap tinggi, bila seorang sudah kalap, puluhan orangpun takkan
kuasj melawannya, demikianlah keadaan para pengemis itu, mereka sudah nekat
seperti banteng ketaton, meski busu Watsu masih kuat dan ganas tak urung pecah
juga nyali mereka, terpaksa mereka hanya mengepung diluar lingkaran dengan
barisan tembok manusia yang ketat.
Milo Hoatsu mengerutkan
kening, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku sapu habis kawanan pengemis
yang jorok ini."
Belum habis dia bicara,
mendadak seorang bersuara serak tua balas membentak: "Anjing kurap mana
yang menggonggong merebut najis? Hmm, huh, nah disini masih ada seorang
pengemis tua yang dapat membikin kalian pusing tujuh keliling," lenyap
suaranya, orangnyapun tiba, tampak seorang pengemis tua menggendong buli-buli
besar warna merah muncul mendahului yang lain.
Di belakang pengemis tua
muncul pula serombongan pengemis lain. Ternyata pengemis tua bukan lain adalah
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun. Dia pimpin rombongan ketiga murid-murid Kaypang
datang membantu. Sebagian kecil ditinggalkan di taman luar membantu Ti Nio, Han
Cin, Coh Ceng-hun dan lain-lain masih melabrak wisu keluarga Liong, yang
meluruk kesini kira-kira ada dua puluhan pengemis.
Dua puluhan orang ini jelas
masih belum mencukupi untuk melawan jumlah busu Watsu yang hampir seratus orang
namun barisan tempur yang masih segar dan bertenaga baru ini ternyata dapat
juga merubah situasi. Apalagi malam gelap, busu Watsu juga tidak tahu berapa
jumlah musuh yang menyerbu datang pula, sedikit banyak mereka jadi kacau dan
dilabrak pontang panting.
Sambil memicingkan mata
mengawasi Milo Hoatsu, Liok Kun-lun berkata: "Agaknya kau inilah Koksu
dari Watsu yang mengagulkan diri nomor satu di jagat ini. Hmm, berani kau
bilang mau membantai para pengemis, biarlah pengemis tua ini menyerahkan jiwa
raganya lebih dulu, coba buktikan apa kau punya kemampuan untuk
membunuhku."
Milo Hoatsu angkat sepasang
rodanya terus didorong ke depan, sayup-sayup terdengar suara gemuruh seperti
ada hujan bayu yang mengamuk, betapa hebat dorongan ini dapatlah dibayangkan.
Ternyata Liok Kun-lun tidak pakai senjata, dengan sepasang tangannya dia lawan
senjata musuh.
Di tengah bayangan telapak
tangan menyamber dan roda menggelinding, tampak Liok Kun-lun terhuyung sedang
Milo Hoatsu tergentak selangkah, Ji-gwat-siang¬ lun yang tajam itu ternyata
terpental pergi oleh pukulan jarak jauh Liok Kun-lun.
Liok Kun-lun membentak:
"Diberi tidak membalas tidak hormat. Lihat pukulanku." Milo Hoatsu
juga tidak lemah, dalam sekejap itu langkahnya berkisar pindah langkah mengubah
posisi dia hindari serangan telak dari depan, sementara sepasang rodanya
terpencar ke kiri dan kanan menyerang kedua ketiak Liok Kun-lun. Maksudnya
supaya lawan tidak sempat melancarkan Bik-khong-ciang lagi.
Tak tahunya Liok Kun-lun
seperti sudah menduga akan tindakannya ini, merebut maju selangkah, tangannya
terbalik mencengkeram tulang pundaknya. Jurus ini memaksa lawan untuk
menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, terpaksa Milo Hoatsu tarik kedua rodanya
menjaga diri, sudah tentu Liok Kun-lun pun sempat menghindar dari serangan roda
rembulan lawan.
Milo Hoatsu biasanya terlalu
agulkan diri tiada tandingan, sungguh tak pernah dibayangkan bahwa sepasang
rodanya hari ini tidak mampu melawan sepasang tangan kosong Liok Kun-lun,
karuan hatinya mencelos: "Pengemis tua ini memang tidak malu sebagai
Pangcu Kaypang. Pang terbesar di seluruh kolong langit, lwekangnya jelas lebih
tinggi dari Wi-cui-hi-kiau. Kenapa aku justru semakin payah begini?"
Bahwasanya Kungfu kedua orang
ini sebetulnya mempunyai keliehayan dan kelebihannya masing-masing, latihan
lwekang mereka juga kira-kira setanding. Kalau dalam keadaan biasa, bila Milo
Hoatsu bersenjata kedua rodanya dan Liok Kun-lun melawan dengan tangan kosong,
mestinya dia lebih unggul seurat. Tapi tadi beruntun dia sudah bertempur dengan
Wi-cui-hi-kiau dan melawan gabungan ilmu pedang Tan dan In, tenaganya sudah
terkuras banyak, adalah logis kalau dia berada di bawah angin melawan jago tua
dari Kaypang ini.
Walau Liok Kun-lun berada di
atas angin tapi situasi keseluruhannya tetap tidak menguntungkan bagi pihak
mereka. Sembilan di antara sepuluh murid Kaypang sudah terluka, Lim Ih-su yang
berkepandaian paling tinggi juga sudah kempas kempis kehabisan tenaga. Meski
dua puluhan murid Kaypang datang membantu, tapi mereka menjadi sibuk sendiri,
bukan saja harus melabrak musuh, mereka juga sibuk menolong teman yang terluka,
paling situasi sementara masih kuat dipertahankan tidak sampai kalah total.
Dalam hati Liok Kun-lun juga
membatin: "Padri asing ini mengagulkan diri tiada tandingan di kolong
langit, tiada tandingan hanyalah bualan belaka, tapi kepandaian silatnya memang
tidak lebih asor dari aku, untuk mengalahkan dia sedikitnya aku harus
melabraknya tiga ratusan jurus. Bagaimana baiknya?" tiba-tiba timbul
akalnya, mendadak sengaja dia menggertak dengan serangan pura-pura, sementara langkahnya
menerobos beberapa tindak. Memangnya Milo Hoatsu sudah merasa kepayahan
menghadapi rangsakan lawan, melihat lawan mundur tanpa sebab, dia tidak tahu
muslihat apa yang dilakukan lawan, kuatir tertipu dia tidak berani mengejar.
Tapi kedua roda dipegang kencang sambil menatapnya lekat-lekat menunggu
reaksinya lebih lanjut.
Liok Kun-lun menanggalkan
buli-buli besar di punggungnya, katanya: "Tunggu sebentar biar pengemis
tua habiskan arakku, nanti kita lanjutkan lagi," lalu dia buka tutup
buli-buli serta membuka mulut menuang arak kedalam perutnya hanya sekejap arak
sebuli-buli telah ditenggaknya habis.
Milo Hoatsu sudah angkat
sepasang rodanya siap menyambut tabrakannya. "Nanti dulu," tiba-tiba
Liok Kun-lun berseru.
"Kenapa kau tidak berani
melanjutkan?"
"Bertempur sekian
lamanya, kau belum lagi minum, apa kau tidak dahaga?"
Milo Hoatsu melengak,
bentaknya: "Tiada tempo aku mendengar ocehanmu, kalau mau berkelahi hayo
maju."
Liok Kun-lun tertawa katanya:
"Diberi makan anjing malah menggigit, tidak tahu kebaikan manusia.
Ketahuilah, pengemis tua ingin menyuguh arak kepadamu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya:
"Siapa sudi minum arakmu," dia sudah siap turun tangan, tapi melihat
sikap Liok Kun-lun acuh tak acuh, dia jadi merandek tak berani turun tangan lebih
dulu.
Liok Kun-lun nyekakak,
katanya: "Mau atau tidak kau harus meminumnya. Arak suguhan tidak mau biar
kuberi arak hukuman," akhir katanya mendadak dia pentang mulut
menyemburkan sekumur arak. Kontan Milo Hoatsu rasakan kabut gelap seperti
menutupi pandangan mata, kuatir terbokong musuh lekas dia pejam mata seraya
memutar sepasang rodanya.
Hujan arak sama mengenai
tubuhnya, meski tidak mampu melukainya, namun tubuhnya merasa pedas kesakitan
juga. Kuatir matanya tersemprot buta, lekas dia putar badan membelakangi lawan
serta mundur tujuh langkah lebih jauh.
Liok Kun-lun tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Arak suguhan tidak mau kau lebih suka arak
hukuman, bagaimana rasanya? Hehehe hahaha, kenyataan kau tidak berani melawanku
lagi, biar pengemis tua pergi saja."
Waktu Milo Hoatsu membuka mata
menunduk, tampak kasa merah yang dipakainya sudah berlobang kecil seperti
sarang tawon. Untung lwekangnya tangguh, bila orang lain terkena semburan arak
tadi tentu tubuhnya bolong-bolong, kalau tidak mati juga pasti luka parah.
Melihat Kasanya bolong-bolong, Milo Hoatsu merasa kaget dan jeri pula.
Sementara itu Tan Ciok-sing
berdua telah menggempur mundur Toa-kiat dan Toa-siu dengan gabungan ilmu pedang
mereka, Liok Kun-lun menerjang kedalam barisan kawanan busu serta melabraknya
kocar kacir, tidak sedikit kawanan busu yang dilukainya, Poyang Gun-ngo sebagai
kepala jago-jago kosen dari kawanan busu Watsu pun hanya mampu melawan tiga
jurus, mau tidak mau dia dipukul mundur memberi jalan
Setelah tenang hatinya Milo
Hoatsu menghardik gusar: "Pengemis tua, pakai muslihat kau berusaha
meloloskan diri, kalau berani kemarilah melawanku lagi." Liok Kun-lun
tertawa serunya:
"Siapa menang dan kalah
sudah ditentukan, buat apa aku menghadapimu? Kalau berani kemarilah kau kejar
aku."
Milo Hoatsu menerawang
kekuatan sendiri dibanding lawannya, dia yakin kekuatan pihak sendiri masih
lebih unggul, maka dia mengulap tangan memberi tanda serta memberi perintah
untuk mengejar.
Meski tiada busu yang berani
membangkang, namun semangat tempur mereka sudah luluh mana berani merintangi
musuh? Tujuh di antara sepuluh orang hanya berkaok, serta berlari maju tanpa
ada maksud menggasak musuh lagi, mereka hanya mengejar dari kejauhan, jadi
seperti mengantar lawan pergi malah. Lekas sekali murid-murid Kaypang itu sudah
lari ke ujung pekarangan, mereka terpencar dalam beberapa rombongan kecil
menyelinap di antara semak pohon atau rumpun kembang.
Dengan memejam mata In San
juga bisa berlalu lalang didalam pekarangan ini tanpa kesasar, dia" tuntun
tangan Tan Ciok-sing putar kayun menghindar orang banyak, belok kiri putar
kanan, sebentar saja mereka sudah kembali ke Bu-ling-goan.
Sekitar Bu-ling-goan ternyata
sepi-sepi saja tiada bayangan wisu seorangpun. Ternyata seluruh wisu keluarga
Liong dikerahkan untuk menghadapi musuh yang menyerbu datang. Bu-ling-goan
terletak di suatu pojokan, disini tiada jejak musuh maka tiada wisu yang
ditugaskan menjaga disini.
Setelah melewati air terjun di
mulut gua, dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang, perlahan Tan Ciok-sing
berseru kedalam: "Aku adalah Tan Ciok-sing. Toan-toako, bagaimana
keadaanmu dengan Sia-cin Taysu?" kuatir orang didalam salah paham, sebelum
masuk dia bersuara lebih dulu. Tak nyana ditunggu sekian saat tidak memperoleh
jawaban Toan Kiam-ping. Pada hal didalam gelap gulita entah ada atau tidak
penghuninya?
Tan Ciok-sing kaget, katanya
lirih kepada In San: "Hati-hatilah, mari kita masuk bersama,"
keduanya melolos pedang lalu menggeremet maju setapak demi setapak.
Tiba-tiba didengarnya seperti
ada dengus pernapasan, waktu Ciok-sing angkat pedangnya ke depan, kemilau
cahaya di ujung pedangnya seperti menerangi bayangan dua orang. Keduanya duduk
bersila seperti orang bersemedi: "Apakah Toan-toako?" Tanya In San.
Tetap tiada reaksi, kedua orang itu sedikitpun tidak bergerak.
Kejut Tan Ciok-sing bukan
main: "Mungkin mereka sudah mati bersama," lekas dia keluarkan
geretan api, serta maju mendekat, setelah jelas barulah lega hati mereka.
Kedua orang ini memang bukan
lain Toan Kiam-ping dan Sia-cin Hwesio, mereka bersimpuh di tanah memejam mata,
telapak tangan mereka saling genggam mirip padri tua yang samadi, begitu tenang
dan asyiknya sampai kejadian di sekelilingnya seperti tidak diketahui lagi. Uap
putih tampak mengepul di atas kepala Toan Kiam-ping, keringat sebesar kacang
tampak bertetesan dari jidat Sia-cin Hwesio, dengus napasnyapun berat.
Sebagai ahli silat sekali
pandang Tan Ciok-sing lantas tahu bahwa Toan Kiam-ping tengah membantu Sia-cin
Hwesio menyalurkan hawa murni dengan bantuan tenaga murninya yang disalurkan ke
tubuh orang. Bila darah mengental dalam tubuh sudah mencair, luka Sia-cin
Hwesio akan jauh lebih ringan. Kini mengerahkan lwekang mereka sudah mencapai
taraf yang tergenting, sudah tentu mereka tidak bisa menjawab seruan Tan
Ciok-sing.
Di samping senang
"Ciok-sing merasa kaget pula. Senang karena kedua orang ini masih hidup.
Kaget karena setelah mengalami pertempuran sengit berulang kali, Toan Kiam-ping
masih mampu menolong Sia-cin Hwesio, keadaannya sendiri jelas juga sudah letih
dan lemah. Bila hawa murninya sampai terkuras, meki dia berhasil menghidupkan
Sia-cin Hwesio dia sendiri pasti akan jatuh sakit berat. Lekas Ciok-sing tekan
telapak tangannya di punggung Sia-cin Hwesio, dengan ajaran lwekang yang
dipelajarinya dari ciptaan Thio Tan-hong, dia salurkan segulung hawa hangat ke
tubuh orang melalui Hong-hu-hiat di punggung. Ajaran lwekang ciptaan Thio
Tan-hong memang hebat dan mujarab hanya sekejap tampak Sia-cin Hwesio sudah
membuka mata, mukanya yang pucat mulai bersemu merah.
Tan Ciok-sing berkata:
"Jiwa Sia-cin Taysu tidak perlu dikuatirkan lagi. Toan-toako, kau boleh
istirahat," Toan Kiam-ping tahu akan kemampuannya, maka diapun hentikan
usahanya.
Tan Ciok-sing masih
melanjutkan bantuannya
mendorong darah melancarkan
pernapasan Sia-cin Hwesio. Sesaat lagi Sia Cin Hwesio mengerang: "Sudah,
sudah cukup. Tenagaku sudah pulih sedikit. Biar kucoba, mungkin aku sudah bisa
berjalan sendiri."
Tan Ciok-sing menekannya,
katanya: "Jangan terburu nafsu, nanti sebentar lagi kubantu kau menerjang
keluar."
Sia-cin Hwesio bertanya:
"Bagaimana keadaan diluar, kau harus terus terang."
Toan Kiam-ping juga tanya:
"Kalian melihat Han Cin tidak?"
"Nona Han aku belum
melihatnya, tapi aku tahu dia bersama Ti Tayhiap sudah menerjang kepungan lebih
dulu, bantuan dari luar juga telah datang, yakin mereka tidak akan mengalami
bahaya," lalu Ciok-sing tuturkan keadaan diluar sepintas lalu.
Sia-cin Hwesio menjadi gugup
pula, katanya: "Kalau demikian orang kita masih berada dalam kepungan
musuh, saatnya memerlukan teraga, lekas kalian keluar bantu mereka."
"Melihat orang gelisah
dan tidak tenang, terpaksa Toan Kiam-ping berkata: "Baiklah kugendong
kau."
Sia-cin sudah merangkak dan
memungut tongkatnya, katanya: "Jangan urus aku, aku bisa jalan
sendiri," setelah berdiri dia coba gunakan tongkatnya apa mampu jalan
sendiri.
Mendadak Tan Ciok-sing
mendesis, katanya lirih: "Diam, ada orang datang, kau sembunyi dulu,"
tak lama kemudian betul juga ada suara orang melangkah ke arah gua.
Tan dan Toan amat kaget, yang
datang sambil bicara adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari pengawal
keluarga Liong. Seorang lagi berkata: "Meski sudah mati, aku juga ingin
menemukan mayatnya," orang ini adalah Liong Seng-bu.
Agaknya Liong Seng-bu tidak
tahu kalau Tan Ciok-sing dan In San sudah lari ke penginapan untuk tamu-tamu
Watsu disana, karena tidak menemukan In San, dia lantas menduga mungkin In San
terbawa arus deras didalam penjara air.
Bu-ling-goan punya terowongan
yang tembus ke penjara air, maka dia minta Lenghou Yong mengikuti dia masuk ke
gua untuk memeriksa."
In San genggam pedang
pusakanya sembunyi di tempat gelap, matanya menatap ke depan dengan perasaan
tegang dan girang pula: "kebetulan keparat ini antar jiwanya!"
In San menahan napas, dilihatnya
Liong Seng-bu sudah dekat dari tempat
persembunyiannya tak nyana
tiba-tiba Lenghou Yong menariknya.
Liong Seng-bu melengak,
tanyanya: "Ada apa?"
"Kongcu," ujar
Lenghou Yong tertawa, "dugaanmu memang tidak keliru, ada orang sembunyi
disini. Tapi entah dia pujaanmu bukan," lalu dia menyalakan api serta
membentak: "Siapa sembunyi didalam, hayo lekas menggelinding keluar."
Ternyata napas Sia-cin Hwesio
agak berat setelah terluka parah, Lenghou Yong ada meyakinkan lwekang tingkat
tinggi, maka pendengarannya lebih tajam dari Liong Seng-bu, begitu menginjak
mulut gua lantas dia tahu ada orang didalam.
Berdiri di samping Sia Cin
Hwesio sambil menghunus pedang Toan Kiam-ping membentak: "Lenghou Yong,
kau ini terhitung jago kosen yang ternama, mengancam orang yang sudah terluka
terhitung orang gagah macam apa, hayo keluar lawan aku seorang diri."
Lenghou Yong melirik, katanya
tertawa besar: "O, ternyata Toan-siauongya. Hehe, kau juga terluka. Tapi
mengingat keberanianmu ini, akupun takkan melabrakmu, sekarang aku berlaku
sopan saja, silakan kau tuntun Hwesio itu ikut aku."
"Kentutmu busuk,"
maki Sia-cin Hwesio, "Meski bapakmu terluka juga, aku akan adu jiwa dengan
kau."
Mengkerut alis Lenghou Yong,
katanya: "Kalian tidak mau diperlakukan secara sopan, memangnya suka
dijinjing keluar?" biasaaya dia amat pandang gengsi sendiri, betapapun dia
tidak mau merendahkan derajat melabrak dua orang yang sudah terluka.
Liong Seng-bu juga sudah tahu
kalau Toan Kiam-ping terluka, pikirnya: "Lenghou Yong jual mahal tahan
gengsi segala, memangnya aku peduli amat," maka dia berkata: "Kalian
sudah jadi tawananku, aku tidak peduli kau terluka atau tidak, kalian tidak mau
keluar biarlah aku seret saja."
"Kunyuk busuk, kalau
berani mari masuk," maki Sia-cin Hwesio.
Liong Seng-bu gusar,
dampratnya: "Keparat umpama kau ini seekor harimau, cakarmu juga sudah
protol, memangnya aku takut padamu?"
Baru saja dia melangkah,
mendadak Lenghou Yong menghardik: "Awas Kongcu..."
Dalam sekejap itu Tan
Ciok-sing dan In San sudah muncul dan menubruk maju dengan sepasang pedang
menuding ke arah Liong Seng-bu.
Karuan kaget Liong Seng-bu
serasa arwahnya copot dari badan kasarnya, teriaknya, dengan suara kelu:
"To... tolong... " sungguh lucu, tujuannya kemari adalah ingin
mencari In San kini setelah orang yang dicarinya mendadak muncul disini, dia
justeru kaget dan ketakutan sampai tak mampu bersuara.
Tidak malu Lenghou Yong
sebagai jago kosen yang berpengalaman, meski menghadapi sergapan mendadak dia
tetap tidak gopoh, reaksinya ternyata juga cukup tangkas. Baru saja Liong
Seng-bu mengeluarkan perkataan "tolong", mendadak terasa segulung
tenaga lunak mendorong ke arahnya, berbareng pandangannya menjadi gelap.
Sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah dijinjing Lenghou
Yong ke samping.
Lenghou Yong sodorkan obor di
tangannya ke arah muka In San, berbareng jarinya menjentik "Creng",
ujung pedang orang diselentik pergi. "Sret", cepat sekali pedang Tan
Ciok-sing sudah mengincar Jian-kin-hiat. Di tengah kegelapan Lenghou Yong
mendengarkan suara membedakan arah, sebat sekali kakinya pindah posisi seraya
melontarkan sebuah pukulan, serangannya tetap ditujukan ke arah In San.
Siang-kiam-hap-pik sebetulnya
amat besar perbawanya, sayang mereka belum biasa bertempur berdampingan didalam
gelap, meski hanya terpaut serambut saja, kekuatan sepasang pedang inipun
dikorting banyak sekali, dengan cara suara di timur menggempur di barat,
beruntun tiga jurus Lenghou Yong mencecar In San untuk membatasi serangan Tan
Ciok-sing terhadap dirinya.
Pertarungan adu jiwa, mau
tidak mau dalam hati masing-masing agak gugup juga. Mendadak Lenghou Yong
tersentak sadar, di samping masih ada seorang pembantu, maka dia berteriak:
"Kongcu, hayo lekas."
Rasa kaget Liong Seng-bu belum
lenyap, dasar otaknya encer mendengar seruan Lenghou Yong segera dia tahu
maksudnya. Jelas dia tidak bisa ikut menggempur Tan dan In, dia juga tahu dalam
waktu lama Lenghou Yong jelas bukan tandingan Tan dan In, apalagi bergebrak di
gua yang gelap, sembarang waktu jiwa Lenghou Yong terancam, umpama dia bisa
lari keluar minta bantuan, mungkin tidak sempat lagi. Lenghou Yong menyuruhnya
lekas, yakin bukan menyuruhnya lari, kalau disuruh lari tentu dia bilang lekas
keluar.
"Ya, kenapa aku lupa ada
dua orang yang sudah terluka disini," Liong Seng-bu berpikir,
"menghadapi dua orang yang telah payah masa aku tidak mampu, hehehe, asal
satu telah kuringkus, dapat aku mengancam bocah keparat itu supaya tunduk
padaku. Setelah keluar dari gua ini, In San budak busuk itupun akan tergenggam
dalam telapak tanganku."
Batu berserakan didalam gua,
setelah berkeputusan Liong Seng-bu lantas mendekam serta merunduk maju. Dia
tahu Sia-cin sudah terluka parah, maka dia bertujuan membokong Sia-cin lebih
dulu.
Tak tahunya meski terluka
parah dan Kungfunya sudah hampir lenyap, tapi Sia-cin cukup berpengalaman.
Sejak tadi dia sudah siap dan berjaga bila ada orang membokong dirinya, sengaja
dia pura-pura tidak tahu setelah Liong Seng-bu merandek ke dekatnya, barulah
mendadak dia angkat tongkatnya menggebuk seraya membentak: "Dari mana
datangnya anjing buduk hendak menggigit orang."
Mau menbokong malah terbokong
Liong Seng-bu sama sekali tidak menduga, karena tidak siaga tongkat orang
mengenai tubuhnya dengan telak. Sayang Sia-cin terluka parah, tenaganya lemah,
meski gebukan tongkatnya itu sudah kerahkan setaker tenaga, Liong Seng-bu
memang kesakitan luar biasa, tapi dia tidak terluka berat. Malah karena dia
terlalu bernafsu, begitu tongkatnya terayun dia sendiripun terjerembab.
Begitu meletik bangun Liong
Seng-bu berjingkrak gusar, makinya: "Bangsat gundul, kematian di depan
mata masih berani mengganas," pedang dihunus terus menusuk.
"Trang" Toan
Kiam-ping ulur pedangnya menangkis. Bentaknya: "Berani kau melukai Sia-cin
Hwesio kurenggut dulu nyawamu."
Liong Seng-bu tahu dari
benturan pedang barusan bahwa tenaga Toan Kiam-ping juga bukan tandingannya,
segera dia tertawa jumawa, katanya: "Jiwamu sendiri belum tentu kau bisa
selamatkan masih berani bermulut besar?"
"Sret" sebelum dia
bicara habis Toan Kiam-ping sudah menusuknya dari arah yang tidak terduga,
terdengar suara robek lengan baju Liong Seng-bu kena ditabasnya kutung.
Diam-diam Toan Kiam-ping gegetun, sayang tenaganya lemah sehingga tusukan
pedangnya ini kurang cepat dan terpaut setengah dim pasti lengan lawan
ditabasnya kutung. Kepandaian silat Liong Seng-bu sekarang juga sudah mencapai
taraf tertentu, setelah rasa kagetnya hilang, segera dia sadar: "Tenaganya
lebih payah dari tadi, jelas keadaaanya seperti dian yang sudah kehabisan minyak.
Hm, kenapa aku gentar terhadapnya?"
Setelah mundur Liong Seng-bu
mendesak maju, jengeknya: "Diberi tidak membalas tidak hormat, kau kira
tuan mudamu takut kepada kau sambut seranganku" "Sret, sret,
sret" beruntun tiga kali pedangnya menggempur, gaya pedangya enteng dan
lincah, ternyata kemahirannya sudah berbeda dari dulu.
Toan Kiam-ping harus kerahkan
seluruh tenaga dan kemahirannya baru berhasil punahkan tiga rangkai serangan
pedang, dalam hati dia terheran-heran. "Dari mana ilmu pedang keparat ini
mendadak begini liehay?"
Seperti diketahui tiga tahun
yang lalu dari tangan Tan Ciok-sing, pernah Liong Seng-bu merebut sejilid kitab
ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong, buku ilmu pedang itu sebetulnya dititipkan
kepada In Hou oleh Thio Tan-tong supaya diserahkan kepada muridnya Toh
Thian-tok di Thian-san. Menjelang ajalnya In Hou serahkan buku itu kepada Tan
Ciok-sing, waktu itu Liong Seng-bu merangkul Tan Ciok-sing, suatu kesempatan
sebelum Ciok-sing sempat menyampaikan buku itu telah direbutnya. Akhirnya buku
itu memang berhasil direbut kembali oleh Ciok-sing, namun Liong Seng-bu sudah
sempat mempelajarinya beberapa jurus.
Setelah layani permainan
pedang beberapa jurus, terasa oleh Toan Kiam-ping permainan ilmu pedang lawan
tingkat tinggi, tapi bolak-balik hanya beberapa jurus itu juga, sayang tenaga
sendiri sudah teramat lemah, sehingga tidak mampu dia mematahkan permainan
lawan, mau tidak mau dia mengeluh dalam hati. "Keadaanku sekarang tak
ubahnya seekor naga yang sudah payah dipermainkan seekor udang di sungai yang
dangkal. Harimau kesasar di kampung digonggong anjing," di samping tenaga
semakin lemah dia harus perhatikan pula keselamatan Sia-cin Hwesio, karuan
pikirannya semakin kacau.
Saking senang Liong Seng-bu
membentak: "Menyerah saja." — — "Sret" pedangnya menusuk
Hong-hu-hiat di punggung Toan Kiam-ping.
Tak tahunya, ibarat cengcorang
hendak menangkap tonggeret, tidak tahu burung gereja berada di belakangnya.
Sebelum ujung pedangnya menyentuh kulit punggung Toan Kiam-ping, tahu-tahu
terasa punggung sendiri terasa dingin, ternyata pedang In San -sudah mengancam
Hong-hu-hiat di punggung sendiri. Ternyata Tan Ciok-sing menempuh bahaya
melancarkan serangan maut menandingi rangsakan Lenghou Yong, sehingga In San
sempat mundur untuk membekuk Liong Seng-bu. Setelah meringkus musuh besarnya In
San tertawa ejek: "Bangsat kecil sekarang kau tahu keliehayan kita?"
Liong ' Seng-bu bergidik,
katanya gemetar: "Adik San, keluargaku menganggapmu sebaik itu, mohon kau
mengingat hubungan dahulu..."
Saking murka berdiri alis In
San, dampratnya: "Mending kau tidak menyinggung hubungan masa lalu, sekali
kau angkat pula urusan lama, kugorok putus lehermu."
"Ya, ya, tidak
berani." Liong Seng-bu munduk-munduk, "apa kehendakmu pasti
kulakukan."
"Suruhlah Lenghou Yong menggelinding
keluar," bentak In San.
Terpaksa Liong Seng-bu menurut
perintah, serunya: "Lenghou-siansing, sukalah kau pandang mukaku,
keluarlah lebih dulu."
Pada hal Lenghou Yong sudah
berada di atas angin, tapi apa boleh buat terpaksa dia menghentikan pertempuran,
bentaknya: "Berani kau menganiaya Kongcu, jangan harap kalian bisa keluar
dari kebon ini."
"Coba buktikan saja
nanti," jengek Tan Ciok-sing, In San serahkan Liong Seng-bu kepada Tan
Ciok-sing, lalu dia membalik bantu Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio.
Sia-cin Hwesio tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Jangan takut, tak usah kuatir, aku takkan mati
disini. Sungguh menyenangkan, keparat ini hendak menawanku sebagai sandera,
kini sebaliknya dia jadi sandera kita." Dia tidak mau dipapah, menggunakan
tongkatnya dia ikuti In San keluar dari gua.
Tidak bisa berbuat apa-apa,
terpaksa Lenghou Yong lari memberi laboran kepada junjungannya.
Setelah berada diluar gua,
terdengar suara pertempuran masih berlangsung dengan gaduhnya agaknya
pertempuran berjalan semakin sengit.
In San tahu siapa yang paling
diperhatikan Toan Kiam-ping, maka dia berkata: "Toan-toako, mari kita cari
dulu Han-cici." Tapi dimana-mana ada pertempuran, entah dimana Ti Nio dan
Han Cin lagi berhantam?
Di tengah kegaduhan pertempuran
yang memenuhi seluruh pelosok taman besar ini, tiba-tiba terdengar bunyi
seruling yang merdu menusuk pendengaran, Tan Ciok-sing girang, katanya:
"'Kek Lam-wi ada disana, dia sedang mencari Susioknya, nona Han berada
bersama Susioknya kemungkinan mereka ada disana juga. Mari kita serbu
kesana."
Dugaannya memang tidak
meleset, Kek Law-wi memang ingin kontak dengan sang Susiok melalui suara
serulingnya. Pada saat itu pula, beberapa jalur kembang api berwarna biru
benderang sama menjulang ke angkasa, kaget dan senang hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Sekaligus kembang api berpijar di angkasa, pasti ada bantuan
dari teman-teman yang baru datang telah tiba," dari kejauhan Tan Ciok-sing
belum melihat jelas, tapi Kek Lam-wi sudah melihat Susioknya.
Di bawah penerangan kembang
api yang menyala di angkasa itu, Kek Lam-wi melihat Susioknya sedang berhantam
melawan Milo Hoatsu. Sementara Han Cin berada tak jauh di samping Ti Nio.
Ternyata Milo Hoatsu pimpin
sisa busu yang ada bergabung dengan anak buah Liong Bun-kong, kekuatan mereka
dibagi rata untuk membendung musuh yang menyerbu datang, maka terjadilah
pertempuran terbuka yang lebih keras dan ramai.
Kalau pihak Pat-sian mendapat
bantuan, pihak Liong Bun-kong juga kedatangan bantuan yang lebih kuat.
Menekuk pinggang bergaya
seperti petani bercocok tanam di ladang sebat sekali tiba-tiba Ti Nio membresot
ke samping, telapak tangannya menabas melintang setajam golok tubuhnya
berkelebat dari bawah roda rembulan musuh, tangannya membacok ke lutut Milo
Hoatsu. Serangan ini memaksa lawan membebaskan diri dari ancaman bahaya,
terpaksa Milo Hoatsu tarik roda mataharinya yang menyerang keluar.
Kepandaiannya sudah mencapai taraf sesuka hati menggunakan senjata, pada hal
gempuran roda matahari sekeras itu, tapi secara mentah-mentah dia kuasa
menariknya mundur, hal ini sungguh diluar dugaan Ti Nio. "Bret"
lengan baju Ti Nio tergores sobek oleh ujung roda yang tajam. Tapi tidak mundur
Ti Nio malah mendesak maju, telapak tangannya membelah dada lawan, inilah cara
bertempur gugur bersama. Kuatir roda rembulan saja tidak kuasa melawan gempuran
musuh, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda matahari untuk melindungi badan.
Dengan merangsak Ti Nio
membela diri, yakin Milo Hoatsu tidak berani adu jiwa dan gugur bersama,
sehingga orang memunahkan serangan berbahaya ini, dalam hati padahal diapun
bersyukur. Walau Milo Hoatsu seurat lebih unggul, mau tidak mau dia merasa
kagum juga. "Sungguh tak nyana ada pula seorang yang mampu melawan
sepasang rodaku dengan bertangan kosong. Pengemis tua itu adalah Kaypang
Pangcu, dia memiliki Kungfu setinggi itu meski berada diluar perhitunganku,
namun tidak perlu dibuat heran. Entah siapa laki-laki tua ini? Ai, agaknya
tidak sedikit orang pandai di Tionggoan."
Secepat kilat kedua pihak
saling berhantam dengan melancarkan serangan maut, namun tiada salah satu yang
tersentuh luka. Tapi Ti Nio melawan dengan tangan kosong, bagaimanapun dia di
pihak yang dirugikan. Dia tahu dalam tiga puluhaan jurus, dirinya masih kuat
menandinginya, tapi selewat tiga puluh jurus sukar diramalkan.
Melihat sang Susiok menghadapi
bahaya, lekas Kek Lam-wi memburu tiba, langsung dia timpukkan serulingnya
sembari berteriak: "Susiok, serulingku ini tak bisa rusak,
gunakanlah."
Ti Nio tahu Loan-giok-siau ini
adalah seruling pusaka, dengan seruling berada di tangan, semangat tempurnya
membara, dari bertahan lekas dia menyerbu dengan sengit.
Seruling beradu dengan roda
menerbitkan rentetan suara nyaring, meski tajam gigi roda lawan, tapi seruling
ternyata utuh tidak kurang sedikitpun. Tapi ini lantaran Iwekang Ti Nio
setanding dengan lawan, kalau Kek Lam-wi sendiri yang menggunakan, seruling itu
pasti tergetar lepas dari cekalannya.
Setelah masing-masing memakai
senjata pertempuran setanding dan sama kuat. Ti Nio kembangkan ilmu tutuk tingkat
tinggi, seruling digunakan sebagai potlot sekaligus dia menggebu dan puluhan
jurus tanpa ganti napas. Tapi setapakpun Milo Hoatsu tak mau mundur,
kedua" rodanya berputar dengan kencang dan serasi, membela diri juga balas
menyerang, rangsakan Ti Nio dilawannya dengan gagah dan berani.
Menghadapi musuh tangguh yang
baru pertama kali ini dihadapi selama hidup, sudah tentu Ti Nio tak sempat
hiraukan persoalan lain, dilihatnya busu Watsu datang berbondong, lekas dia
berteriak: "Kek-hiantit nona Han kuserahkan kepadamu, lekas kau bawa dia
lari, jangan hiraukan aku."
Kek Lam-wi cerdik dan pandai
bertindak, ini diketahui oleh Ti Nio, dalam keadaan segenting ini dia titip Han
Cin supaya dilindungi, adalah suatu hal yang jamak dan sepantasnya, hal ini
sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi anehnya nada perkataannya seolah-olah
menganggap Han Cin sebagai putri kandungnya sendiri.
Tergerak hati Han Cin, tapi
mengingat Ti Nio adalah sahabat baik ayahnya, keadaanpun sedemikian tegang,
tiada waktu dia menelaah perkataan Ti Nio. Pada waktu itulah kebetulan dia
mendengar suitan panjang Tan Ciok-sing, teriaknya girang: "Agaknya Tan-
toako telah datang."
Kek Lam-wi pasang kuping
mendengarkan, katanya: "Betul itulah suitan Tan-toako. Nona Han, mari ikut
aku," ternyata suitan Tan Ciok-sing mengalun
turun naik mengikuti irama
lagu, Han Cin dan Kek Lam-wi paham ajaran musik maka sekali dengar lantas
mengenalinya.
Han Cin sudah lari ke depan
Kek Lam-wi, waktu Kek Lam-wi
menoleh dia berseru heran teriaknya: "Adik So, untuk apa kau masih berdiri
disitu, lekas kemari."
Toh So-so tersentak sadar,
katanya: "Perhatikan Han-cici dan lindungi dia, segera aku datang,"
agaknya waktu mendengar pesan Ti Nio kepada Kek Lam-wi yang menitipkan Han Cin,
perasaan Toh So-so jadi tidak karuan. "Apa maksud Ti-locianpwe dengan
pesannya itu?" demikian dalam hati dia bertanya-taya.
Lekas sekali Poyang Gun-ngo
sudah memburu datang, lebih dulu dia mencegat Kek Lam-wi serta membentak:
"Anak bagus, tadi kau beruntung dapat lolos, kini jangan harap bisa lari?
Kalau berani hayo lawan aku," dengan jurus Pek-hong-koan-jit pedangnya itu
sungguh mirip bianglala, dalam sekejap, Kek Lam-wi dan Han Cin sudah terkurung
dalam cahaya pedangnya.
Seruling Kek Lam-wi sudah
diberikan kepada Ti Nio, kini dia tidak bersenjata, dengan bertangan kosong,
mana dia mampu melawan Poyang Gun-ngo? Hanya beberapa gebrak saja keadaannya
sudah terdesak di bawah angin, pernah sejurus serangan lawan hampir memapas
kutung jari-jarinya. Han Cin mainkan cambuknya bantu menghalau serangan lawan,
tapi tenaganya lemah, bantuannya tidak berarti bagi Kek Lam-wi.
Melihat sang pujaan menghadapi
bahaya, Toh So-so tidak pikirkan lagi soal jelus segala, lekas dia memburu
kemari, Ceng-kong-kiam dia berikan kepada Kek Lam-wi, dia sendiri menggunakan
golok melawan musuh.
Pedang ada di tangan seperti
harimau tumbuh sayap, beruntun Kek Lam-wi lancarkan tiga jurus serangan, ujung
pedangnya mengincar hiat-to mematikan di tubuh Poyang Gun-ngo, kini situasi
agak mending karena dia mampu melawan dengan mantap. Walau pedang panjang ini
tidak seampuh serulingnya, dengan kekuatan tiga orang sekuatnya masih bertahan
beberapa kejap lagi.
Tapi kalau Kek Lam-wi dibantu
dua nona, Poyang Gun-ngo juga kedatangan bantuan. Hanya menonton sekejap
Toa-kiat lantas tahu kedua nona ini sudah lemah tenaganya, meski berkepandaian
lumayan, yakin mereka bukan tandingan dirinya. Maka dia suruh kawanan busu
lainnya melingkari arena supaya" lawan tidak melarikan diri dan untuk
menjaga bila lawan kedatangan bantuan, seorang diri dengan tongkat besarnya dia
masuk ke arena.
Toa-kiat bergelak tawa,
serunya: "Dua nona secantik ini mengantar kematian, sungguh harus dibuat
sayang. Hehe, aku orang beribadah mengutamakan kebajikan, biarlah aku yang
membacakan doa mengantar arwah kalian." Tongkatnya dikeprukan di
tengah-tengah pertempuran, sehingga Toh dan Han dipisahkan dengan Kek Lam-wi.
Betapa pun mereka melabrak dengan nekat sudah tidak mampu lagi bergabung dengan
Kek Lam-wi.
Seorang diri Kek Lam-wi tetap
bertahan, namun sepuluh jurus kemudian dia sudah terdesak di bawah angin. Toh
dan Han berdua melawan Toa-kiat lambat laun merekapun kepayahan. Han Cin amat
gelisah, pikirnya: "Tadi jelas kudengar suitan Tan-toako, kenapa belum
juga dia kemari bersama ln-cici."
Mana dia tahu Tan Ciok-sing
mendatangi sambil menggusur Liong Seng-bu. Karena dia menelikung tuan muda
keluarga Liong, sudah tentu kawanan wisu itu tiada yang berani menghadangnya,
semua minggir memberi jalan, namun berjalan menggusur tawanan tidak bisa
mengembangkan ginkang.
Semburan kembang api masih
terus berledakan di atas udara taman besar itu, mendadak di ujung taman sana
tampak jago merah berkobar semakin besar.
"Celaka, kawanan rampok
membakar rumah." "Aduh celaka, kelihatannya Bing-cu-khek yang
terjilat api," para wisu keluarga Liong berteriak-teriak dan semuanya
memburu kesana dengan rasa ketakutan. Maklum Bing-cu-khek adalah tempat
kediaman Liong Bun-kong.
Tan Ciok-sing sudah mendatangi
sambil menggusur Liong Seng-bu, karena tangan ditelikung kesakitan Liong Seng-bu
gembar-gembor: "Maknya dirodok, Tan Ciok-sing, mana boleh kau gunakan cara
ini atas diriku? Tahukah kau bila aku mati, kalian jangan harap bisa
hidup." Mendengar makian kotor dan Liong Seng-bu mogok jalan terpaksa Tan
Ciok-sing menutuk hiat-tonya dan mengempitnya di bawah ketiak.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Tuan muda besar, sudah cukup kau hidup foya-foya, tiba saatnya
kaupun harus mencicipi apa yang dinamakan menderita dan tersiksa. Hanya
tersiksa seringan ini kau tidak akan mampus."
Di tengah cahaya kobaran api
tampak dua laki-laki baju hitam berlari kencang mendatangi. Melihat Tan
Ciok-sing mengempit seseorang, mereka tampak senang dan kaget, tanpa janji
mereka berseru: "Yang kau bekuk apakah Liong Seng-bu si bangsat kecil
itu?"
"Betul," sahut Tan
Ciok-sing, "siapa kalian," mulut menjawab kaki terus memburu kesana
membantu Kek Lam-wi yang terdesak. Pedang Poyang Gun-ngo sedang menusuk ke ulu
hati Kek Lam-wi, gerakan fdan gaya serangannya amat berbobot dan keras. Tan
Ciok-sing segera ayun tubuh Liong Seng-bu sebagai tameng disodorkan ke ujung
pedang musuh, bentaknya: "Kalau berani, tolong kau bunuh keponakan Liong
Bun-kong ini." Perlu diketahui Liong Bun-kong tidak punya anak, keponakan
satu-satunya ini sudah dipandangnya seperti anak kandung sendiri, sudah lama
dia ingin mewariskan segala miliknya kepada sang keponakan tersayang ini.
Padahal Poyang Gun-ngo adalah
seorang tamu asing, tapi pihak Watsu masih memerlukan bantuan Liong Bun-kong
untuk mencapai cita-cita, mana berani Poyang Gun-ngo melukai keponakan Liong
Bun-kong? Lekas dia tarik dan urungkan tusukan pedangnya. Untung permainan
pedangnya sudah amat tinggi dan dikuasainya dengan baik, dalam waktu singkat
dan mendadak lagi, syukur ujung pedangnya hanya menusuk bolong dan merobek pakaian
Liong Seng-bu saja.
Gebrakan ini berlangsung
sangat cepat. Setelah membebaskan bahaya yang mengancam Kek Lam-wi, barulah dia
mendengar jawaban kedua laki-laki baju hitam atas pertanyaannya tadi:
"Kami adalah anak buah Kim-to Cecu."
Han Cin pernah tinggal di
markas Kim-to Cecu, kedua laki-laki itu mengenal dia, sembari menjawab
pertanyaan Tan Ciok-sing mereka memburu ke arah Han Cin. "Trang"
Tongkat Toa-siu tahu-tahu kena ditahan oleh golok dan pedang laki-laki itu,
telapak tangan tergetar cekalan hampir terlepas, lekas dia mencelat jumpalitan.
Meski sebat dia mengundurkan diri, tak urung pedang Toh So-so menggarft luka
panjang di lengan kirinya. Sementara itu In San juga sudah memburu tiba.
Senang dan kejut hati In San,
serunya: "Sim-toako, Ciu-toako, kiranya kalian juga datang, sungguh
menyenangkan."
Kedua laki-laki bernama Sim
Lan dan Ciu Hok, mereka adalah dua Toa-thaubak dari anak buah Kim-to Cecu yang
berkedudukan paling tinggi. Atas perintah Kim-to Cecu mereka disuruh menyusul
ke kota raja dengan tugas membujuk Wi-cui-hi-kiau supaya
membatalkan rencananya yang
terlalu berbahaya. Sayang sudah beberapa hari lamanya mereka tak berhasil
mengadakan kontak. Tapi ada juga orang pihak mereka yang diselundupkan kedalam
keluarga Liong, selain memperhatikan gerak-gerik keluarga Liong. Kegaduhan yang
terjadi dalam gedung keluarga Liong dari jauh bisa terdengar, maka mereka
lantas tahu bahwa Pat-sian sudah angkat senjata melabrak orang-orang keluarga
Liong. Karena gagal untuk membujuk terpaksa mereka melaksanakan rencana kedua,
yaitu mengumpulkan orang-orang mereka yang ada di kota raja untuk membantu dan
menyambut dari luar. Kebakaran yang terjadi di Bing-cu-khek adalah perbuatan
mereka yang menyulut api.
Di saat rombongan orang-orang
gagah mulai bergabung dan siap menerjang keluar kepungan mendadak dari luar
terdengar suara sorak sorai yang gegap gempita. Di atas sebuah gunungan tampak
Ciok Khong-goan mengangkat sebatang obor, dengan suara lantang dia berteriak:
"Kalian tidak usah gelisah, Gi-iim-kun sudah dikerahkan kemari untuk
membekuk kawanan rampok lekas kalian kembali ke posisi masing-masing, sebagian
lekas menolong kebakaran."
Sebetulnya untuk mengerahkan
pasukan Gi-lim-kun harus minta izin dari raja, tapi Liong Bun-kong adalah
sekretaris militer, Kiu-bun-te-tok yang berkuasa lagi, kedudukannya amat
disegani, diketahui pula Duta Watsu sedang bertamu di rumahnya, hal ini
diketahui oleh komandan Gi-Iim-kun, maka begitu dia mendengar kabar, segera dia
kerahkan seribu pasukan Gi-lim-kun mengepung rumah keluarga Liong hendak
menangkap perampok, prosedur boleh diurus belakangan, pokoknya musuh harus
diringkus dulu.
Tapi komandan Gi-lim-kun Bok
Su-kiat adalah laki-laki yang berpendirian teguh dan kukuh melihat api berkobar
dalam taman, dia menduga pertempuran didalam pasti acak-acakan. Meski luas
taman kembang Keluarga Liong, kalau seribu pasukan Gi-lim-kun juga dikerahkan
kedalam bukan mustahil orang sendiri bisa saling bunuh dan terinjak-injak.
Sebagai komandan dia pandai memimpin pasukan, sebelum situasi jelas, terpaksa
dia bersikap tenang dan siap bertindak bila perlu. Maka dia susun barisan
diluar gedung keluarga Liong, bila kawanan brandal keluar satu persatu akan
dipanah mati atau ditusuk mampus. Sudah tentu diapun menyerukan supaya kawanan
brandal meletakkan senjata, menyerah tanpa syarat.
Ciok Khong-goan meniup
terompet yang menyampaikan perintah, serunya di atas gunungan: "Kalian
dengarkan pasukan Gi-lim-kun sudah kepung taman ini, kalian jelas takkan bisa
melarikan diri.
Bok-jongling ada perintah, lekas
kalian letakkan senjata dan menyerah, jiwanya akan diampuni dan dihukum
ringan."
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun
segera melompat ke atas sebuah gunungan lain, serunya lebih lantang:
"Kentutmu busuk, kaupun dengarkan, majikan muda kalian sudah berada di tangan
kita, kalau kami tidak diberi jalan keluar, biar kugorok dulu lehernya. Baru
kita akan adu jiwa, membelek Liong Bun-kong dan membunuh apa itu Duta Watsu
segala."
Lwekangnya amat tangguh
suaranya disiarkan dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang sehingga
suaranya tersiar sampai jauh bukan saja menelan suara keributan dalam taman
demikian pula Liong Bun-kong yang buru-buru menyelamatkan diri dari
Bing-cu-khek juga mendengar suaranya.
Kebat kebit hati Liong
Bun-kong, pikirnya: "Kawanan brandal itu tidak tahu aturan berani melawan
hukum, bila nekad dan adu jiwa, perbuatan apa saja yang tidak berani mereka
lakukan, jelas aku takkan bisa tidur tenteram." Waktu di Bing-cu-khek
hampir saja dia tertusuk oleh In San rasa kejut dan takutnya belum lenyap, maka
lekas dia suruh Lenghou Yong menyampaikan maksud hatinya. Ternyata Lenghou Yong
tampil sebagai penengah, serunya: "Persoalan bisa dirundingkan, apa
kehendak kalian, aku bisa wakilkan kalian menyampaikan kepada
Liong-tayjin."
Liok Kun-lun berkata:
"Kupinjam majikan muda kalian untuk antar kami keluar kota. Gi-lim-kun
dilarang menguntit, setiba diluar kota, kita akan bebaskan dia."
Berkerut alis Lenghou Yong,
katanya: "Kalau kalian ingkar janji, bukankah pihak kita yang
dirugikan?"
"Kentutmu busuk,"
damprat Liok Kun-lun, "memangnya kau kira kita ini manusia rendah budi
macam kalian yang punya pangkat?"
Kuatir sang paman menolak
syarat mereka, itu berarti jiwa sendiri bakal terancam lekas Liong Seng-bu
berseru: "Lenghou-siansing, aku tahu mereka adalah orang-orang gagah aku
membenci mereka, tapi aku boleh percaya perkataan mereka. Tolong sampaikan
kepada paman, percayalah kepada mereka."
"Aku percaya kalian pasti
menepati janji, tapi urusan besar dan sepenting ini, aku tidak berani ambil
putusan sendiri. Begini saja, kalian mengutus dua orang ikut aku berunding
langsung dengan Liong-tayjin."
Liok Kun-lun undang orang
banyak diajak berunding, Coh Ceng-hun berkata: "Mungkin hanya muslihat
mereka, kita harus waspada, jangan kena tipu."
"Hal itu jelas harus
dibuat pikiran. Tapi keponakan bangsat tua berada di tangan kita, yakin dia
takkan berani berbuat senekat itu. Menurut pendapatku, dikuatirkan pihak
Gi-lim-kun campur tangan, dia minta berunding dari tiga pihak."
"Keparat ini kuringkus
bersama Tan-toako," demikian timbrung In San, "biar kami berdua yang
berunding dengan mereka. Memang kami bertujuan menuntut balas kepada bangsat
tua she Liong, kalau perundingan berjalan lancar ya sudah, kalau gagal bersama
Tan-toako kami pasti akan melabraknya, bila perlu biar gugur bersama."
Liok Kun-lun tahu hubungan ln
San dengan Liong Bun-kong, diapun sudah saksikan wibawa gabungan ilmu pedang
sepasang muda mudi ini, maka dia terima usul mereka. Lenghou Yong bawa mereka
memasuki sebuah ruangan, tampak Liong Bun-kong bersama Milo Hoatsu sudah
menunggu didalam. Ruang ini amat besar, tapi pajangan amat sederhana, di tengah
hanya terdapat sebuah meja panjang.
Liong Bun-kong duduk di ujung
meja yang satu, sementara Milo Hoatsu dan Lenghou Yong duduk di kanan kirinya,
di belakangnya adalah pintu angin yang dipasangi alat rahasia. Sementara Tan
dan In duduk di tempat yang sudah mereka tentukan di ujung meja yang lain.
Agaknya dia takut berhadapan dengan Tan Ciok-sing berdua maka perundingan telah
diatur sedemikian rupa, meski dilindungi dua jagoan kosen tapi hatinya belum
lega.
Berhadapan dengan musuh semasa
berkobar sorot mata In San. Beradu pandang dengan sorot matanya lekas Liong
Bun-kong melengos dengan hati bercekat, dengan tawa dipaksakan dia berkata:
"Anak San, kau sudah tumbuh setinggi ini, kau tahu selamanya aku pandang
kau sebagai putriku sendiri kuharap kau tidak terlalu mencari kesulitan
padaku."
Dingin suara In San:
"Ayahku adalah pendekar besar yang kenamaan di kolong langit umpama aku
tidak kenal bakti, memangnya sudi aku mengangkat bangsat sebagai ayah. Tapi
kedatanganku sekarang bukan untuk membicarakan soal pribadi, dendam lama
biarlah dikesampingkan dulu. Hm, tapi kalau kau ingin membicarakan soal dahulu,
biar kubunuh dulu keponakanmu, baru kubuat perhitungan lama dengan kau."
Di samping takut Liong
Bun-kong jadi serba runyam, terpaksa dia alihkan pandangannya, katanya kepada
Tan Ciok-sing: "Baik, baik, kita hanya membicarakan urusan dinas. Kabarnya
kau adalah cucu Tan Khim-ang, usiamu semuda ini, tapi nyalimu begitu
besar."
"Liong-tayjin terlalu
sungkan. Bicara soal nyali masa aku dapat dibandingkan dengan engkau."
Liong Bun-kong melcngak, dia
tidak paham apa maksud perkataannya, tapi mendengar orang memanggil
"Liong-tayjin" padanya, memuji dirinya bernyali besar pula, hatinya
agak senang dan terhibur, dalam hati dia berpikir, kiranya pemuda ini juga
kenal sopan santun.
Diluar dugaan Tan Ciok-sing
melanjutkan perkataannya: "Berintrik dengan musuh menjual negara dan
bangsa, pasti akan dicaci maki oleh jutaan manusia, betapa besar nyali
Liong-tayjin kau berani menjual negara dan bangsa, jangan kata aku tidak berani
dibandingkan, yakin di kolong langit tiada orang yang berani menandingi
Liong-tayjin."
Merah padam muka Liong
Bun-kong, tapi kuatir perundingan ini gagal, tak berani dia mengumbar amarah.
Setelah batuk-batuk kering dia berkata: "Betapa jerih payah Lohu bekerja
demi kepentingan negara, meski kujelaskan yakin kalian tidak akan mengerti.
Tapi sekarang bukan saatnya perang mulut, bagaimana tujuan dan maksud kalian,
marilah kita bicarakan bersama."
"Nanti dulu,"
tiba-tiba Milo Hoatsu goyang tangan, lalu mulutnya nyerocos berbahasa Watsu
bicara dengan Liong Bun-kong.
Ternyata Milo Hoatsu
memberitahu kepada Liong Bun-kong bahwa surat perdamaian itu telah terjatuh ke
tangan lawan. Kali ini Liong Bun-kong benar-benar berjingkrak kaget, sesaat
lamanya dia melongo, tak tahu bagaimana harus ambil putusan.
Lenghou Yong memberi tanda
kedipan mata lalu dengan bahasa Watsu dia bicara dengan Milo Hoatsu. In San bisa
mendengar sedikit bahasa Watsu, didengarnya mereka membicarakan tokoh-tokoh
penting dari Pat-sian serta dikatakan bahwa surat perdamaian itu jelas sukar
direbut kembali.
Seperti diketahui
Wi-cui-hi-kiau telah meloloskan diri dari gedung keluarga Liong. Kedatangan
Milo Hoatsu kemari bertujuan mencegah Liong Bun-kong menyerah kepada musuh
terpaksa tidak bisa bertindak apa-apa lagi.
"Kalian sudah habis
berunding belum, aku tiada tempo menunggu lama-lama," desak Tan Ciok-sing.
Setelah mendapat persetujuan
Milo Hoatsu, Liong Bun-kong
berkata: "Baiklah, apa syaratmu coba terangkan."
Tan Ciok-sing mengulang
tuntutannya serta menjelaskan pelaksanaannya.
Liong Bun-kong mengerutkan
kening, katanya: "Syarat yang kalian ajukan itu, aku harus mohon
persetujuan komandan Gi-lim-kun yaitu Bok-tayjin," lalu dia suruh
bawahannya pergi memanggil komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat.
Sejak tadi Bok Su-kiat sudah
masuk ke rumah keluarga Liong, kini dia sedang menunggu di kamar sebelah, lekas
sekali dia sudah memasuki ruang perundingan. Sekarang dia sudah jelas siapa
saja orang-orang yang dipandang sebagai kawanan brandal yang menyerbu ke rumah
keluarga Liong ini, diapun tahu Liong Seng-bu sudah menjadi tawanan musuh.
Kawanan brandal ini hakikatnya bukan kaum gelandangan yang acak-acakan dan
tidak terpimpin, mereka adalah pentolan silat yang punya nama dan kedudukan di
kalangan Kangouw.
Tapi berhadapan dengan Tan
Ciok-sing yang masih begini muda, dia menganggapnya sebelah mata. Begitu
memasuki ruang sidang, matanya menjelajah seluruh hadirin, dia pura-pura tidak
tahu siapa Tan dan In berdua, katanya: "Siapakah Siocia ini..."
Lenghou Yong memperkenalkan:
"In-lihiap ini adalah cucu almarhum In-conggoan In Jong."
Bok Su-kiat tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Kalau demikian, bukan terhitung orang luar. Nona
In, kakekmu dulu juga pernah menjabat komandan Gi-lim-kun seperti aku sekarang,
hitung-hitung masih terhitung angkatan tuaku. Dulu akupun sekolega dengan
ayahmu."
"Sayang jalan yang
ditempuh Bok-tayjin tidak sehaluan dengan ayah, maaf aku tidak berani,"
Setelah basa-basi ala kadarnya
dengan In San, Bok Su-kiat berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya:
"Pemuda gagah ini adalah..."
Kembali Lenghou Yong
menerangkan serta memberitahu kedudukannya sekarang dalam perundingan ini, dijelaskan
pula bahwa Tan Ciok-sing adalah murid penutup pendekar besar Thio Tan-hong.
Barulah sikap jumawa Bok
Su-kiat agak berubah, katanya: "Jadi engkoh cilik ini adalah murid Thio
Tayhiap, aku kurang hormat jadinya." Sengaja dia ulur tangan ajak berjabat
tangan.
Tahu orang sengaja hendak
menjajal dirinya, namun Tan Ciok-sing tidak gentar, diapun ulur tangan sambil
berkata tawar:
"Tayjin terlalu
mengagulkan diriku, terus terang dalam perguruan aku baru masuk satu
hari."
Begitu tangan saling genggam
kontan Tan Ciok-sing rasakan segulung tenaga lunak yang kuat menerjang
Siau-yang-king-meh di tangannya, karuan hatinya bercekat. "Keparat ini
memang memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan, tak heran dia bisa menjabat
komandan Gi-lim-kun. Tapi dengan bekal ilmunya ini, jangan harap kau dapat
melukai Ki-king-pat-meh dalam tubuhku."
Saling jajak ilmu secara
diam-diam ini, meski Tan Ciok-sing merasa kaget. Bok Su-kiat ternyata lebih
kaget pula. Ilmu yang diyakinkan Bok Su-kiat adalah Jit-sat-ciang dengan
kekuatan lunak Lwekangnya dia dapat melukai urat nadi musuh diluar tahu orang
yang dilukai, bila kekuatan dikerahkan, dahsyatnya bagai air bah yang melanda,
meski tidak bersuara dan tidak memperlihatkan tanda-tanda namun perbawa
kekuatannya kira-kira setanding dan dapat menandingi Tay-Iik-kim-kong-ciang
ajaran murni Siau-lim pay, atau Hong-lui-pi-lik-ciang dari Bu-tong-pay.
Tak nyana begitu telapak
tangan saling genggam, tenaga lunak yang ganas dan jahat itu ternyata seperti
tenggelam kedalam lautan, sirna tanpa bekas. Sikap Tan Ciok-sing