Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 2

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 2
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 2

"Omongan orang she Ie entah dapat dipercaya tidak?" soalnya dia tidak percaya bahwa Thio Tan-hong yang diagungkan seluruh lapisan persilatan itu ternyata punya dua teman bangsa asing. Memang Tan Ciok-sing tidak tahu asal-usul mereka, tapi dari tingkah laku mereka jelas memang kurang genah. Menurut apa yang dikatakan Ie Cun-hong barusan, agaknya mereka banyak mengeduk harta benda secara tidak halal di Tiongkok.

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu, meski kedua kakek bertampang seram dan aneh ini berwatak aneh pula, apa lagi mereka memang banyak mengeduk keuntungan di Tiongkok. Tapi mereka memang betul teman baik Thio Tan-hong, malah setelah mereka berkenalan dengan Thio Tan-hong, sepak terjang merekapun banyak berubah, lebih banyak berbuat kebajikan dari pada kejahatan.

Kedua kakek ini adalah saudara kembar cuma yang tua hitam bernama Hek-moko, sang adik putih bernama Pek-moko, kalau digabung bernama Hek-pek-moko, semula mereka adalah pedagang perhiasan dan barang-barang antik dari India.

Usaha dagang mereka memang cukup besar, namun cara yang mereka praktekkan memang kurang legal. Main selundup, sogok dan bila perlu main paksa, merekapun pernah jadi maling yang suka mengeduk harta benda didalam kuburan raja-raja. Namun mereka ada membuat sebuah peraturan, yaitu mereka hanya mencuri benda milik orang telah mati, kepada manusia-manusia hidup hanya menipu pantang merebut. Belakangan mereka kenal Thio Tan-hong, karena suatu ketika secara kebetulan Thio Tan-hong menemukan istana di bawah tanah milik kedua kakak beradik ini, didalam istana bawah tanah inilah kedua orang asing ini menyimpan harta bendanya.

Kalau mereka sendiri akhirnya pantang menjadi maling atau pencuri, tapi mereka tetap menjadi tukang tadah, bila perlu meluruk kemana sajapun boleh, asal ada barang dan usaha jalan, tidak perduli dari mana asal-usul barang itu. Oleh karena itu anak buahnya campur aduk terdiri dari beberapa lapisan, itulah sekedar gambaran sepak terjang Hek-pek-moko yang lalu, lain dulu lain sekarang, kini Hek-pek moko tidak lagi sekaya dulu, meski belum sampai rudin, tapi simpanan mereka memang sudah tidak banyak lagi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Soalnya setelah mereka ditundukkan oleh Thio Tan-hong, secara suka rela mereka serahkan seluruh harta simpanannya kepada Thio Tan-hong, oleh Thio Tan-hong harta terpendam itu diserahkan kepada Kim-to Cecu Ciu Kian ayah dan anak yang bercokol diluar Gan-bun-koan untuk melawan serbuan pasukan Watsu. Ciu Kian sebetulnya adalah komandan tentara yang berkuasa di perbatasan, karena difitnah oleh kawanan dorna, akhirnya dia tinggalkan jabatan dan kedudukan terus menduduki gunung menjadi penyamun, meski jadi brandal, namun loyalitasnya terhadap kerajaan Bing tak pernah luntur, dalam mendirikan pangkalannya diluar perbatasan itu, dia tetap berusaha menahan serbuan pasukan Watsu dibantu laskar rakyat yang patriotik. Tiga puluh tahun yang lalu, Ciu Kian terhitung raja golok yang kenamaan juga, kini dia sudah meninggal, maka anaknya Ciu San-bing mewarisi jabatan ayahnya, hubungannya dengan In Hou amat intim. Di pangkalan Ciu San-bing inilah Hek-pek-moko pernah beberapa kali bertemu dengan In Hou, masing-masing pernah tukar pikiran tentang ilmu silat, oleh karena itu kedua kakak hitam putih ini amat apal akan ilmu golok keluarga In.

Sebelum menjawab pertanyaan Ie Cun-hong tentang jejak Thio Tan-hong, Hek-moko menengadah sesaat tanpa bersuara, akhirnya dia tertawa geli tiga kali, baru berkata, "Mengandalkan kalian beberapa gelintir kurcaci ini, memangnya pantas kalian mencari Thio Tan-hong?"

Gusar Ie Cun-hong, dampratnya, "Cara hormat sudah kita tempuh. Ternyata kau tidak tahu diri, baiklah, ingin aku belajar kenal sampai dimana kepandaian kalian Hek-pek-moko?"

"Ie-cengcu," timbmng Thi-cang Siausu, "biarlah Pinceng dulu yang belajar kenal kepandaian hitam putih ini. Liok-giok-cang yang dipergunakan kakak beradik ini konon juga termasuk benda pusaka, ingin aku bertaruh dengan mereka, coba Liok-giok-cang mereka yang liehay atau tongkat bajaku yang hebat, kalau tongkat mereka dapat mengalahkan tongkatku, selanjutnya namaku akan terhapus dari percaturan Kangouw. Sebaliknya kalau aku yang menang, terpaksa tanpa sungkan tongkat pusaka mereka itu akan kurebut."

Kalau si Hwesio dan Ic Cmi-hong berebut hendak berkelahi dengan Hek-pek-moko, sementara Siang Po-san diam-diam mengawasi Tan Ciok-sing tanpa berkedip.

Seorang anak buah Ie Cun-hong berkata, "Ganyang dulu bocah ini?"

Siang Po-san geleng-geleng kepala, katanya, "Bocah ini kalau tidak salah cucu Ki Harpa, jangan kau mengusiknya."

"Siapakah Ki Harpa itu?" tanya anak buah itu.

"Ki Harpa adalah Dewa Harpa yang terkenal sebagai pemetik harpa nomor satu di dunia ini, bagaimana asal-usulnya aku juga tidak jelas. Tapi aku tahu In Hou pernah merawat luka-lukanya di rumah mereka, In Hou masih hidup atau sudah mati, ingin aku mengompres keterangan dari mulut bocah ini."

"Baiklah, biar kita ringkus dia hidup-hidup saja," kata anak buah itu. Musuh utama mereka sekarang jelas adalah Hek-pek-moko, sudah tentu Tan Ciok-sing yang masih tanggung ini tidak menjadi perhatian mereka, maka anak buah itu menarik seorang temannya lagi menghampiri ke arah Tan Ciok-sing.

Mendengar In Hou terluka, sudah tentu Hek-pek-moko kaget, air mukapun berubah.

Si Hwesio tertawa gelak, serunya. "Belum lagi turun tangan, memangnya kalian sudah jeri?"

Hek-moko tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng dia enjot kedua kaki, tubuhnya terapung ke atas, gerakan tubuhnya sungguh cepat luar biasa, si Hwesio kira orang melabrak dirinya, lekas dia lintangkan tongkat hendak menangkis, bentaknya, "Kenapa tidak kau gunakan senjata tunggalmu." Belum habis dia bicara, bayangan orang didepan mata tahu-tahu sudah lenyap. Ternyata bersuara di timur Hek-moko menggempur kebarat, di tengah udara dia memutar badan meluncur turun di hadapan Siang Po-san, bentaknya. "Biar aku belajar kenal senjata rahasiamu lebih dulu,"

Sekali menekan gitar besinya, tiga batang Toh-kut-ting segera melesat keluar. Hek-moko keburu memukul turun dengan telapak tangan, "Tang" gitar lawan dihantamnya telak. Perih telapak tangan Siang Po-san, tanpa kuasa dia terhuyung ke samping, tapi gitar besinya sekalian menyapu ke bawah Hek-moko. Gerak perubahan permainannya ini memang cukup liehay, tangkas tapi ganas. Tapi sebat sekali Hek-moko ternyata sudah melayang balik ke tempat asalnya. Terdengar sebuah dengusan keras, sebatang Toh-kut-ting tahu-tahu sudah menyambar tiba di depan mata Siang Po-san, cepat Siang Po-san angkat jari tangannya menjepit, paku itu kena ditangkapnya dengan mudah, katanya dingin, "Kau memakai senjata rahasiaku, mana bisa melukai aku? Hayolah kita bertanding menurut kepandaian senjata masing-masing. Wah celaka..."

Belum habis dia bicara, terdengar dua jeritan keras yang mengerikan, ternyata tangan kiri Hek-moko menyambut senjata rahasia lawan, ketiganya lalu dia sambitkan dari arah dan posisi yang berbeda, dua batang paku di antaranya seperti punya mata layaknya, tahu-tahu balik melesat ke belakang dan mengincar ke arah dua anak buah le Cun-hong yang meluruk kearah Tan Ciok-sing, dengan telak ulu hati mereka tersambit, maka jiwanya seketika melayang.

Begitu Hek-moko pamer kepandaian, si Hwesio yang bermulut besar melongo kaget dan jeri, pikirnya, "Usianya sudah lebih enam puluh tahun, tapi gerak-geriknya masih demikian gesit dan lincah. Musuh setangguh ini, jelas sukar dilayani."

Siang Po-san sendiripun bukan kepalang kagetnya, pikirnya, "Gerakan untuk menangkap senjata yang dilakukan tadi, kira-kira masih bisa juga kulakukan, tapi untuk menimpuk sejauh ratusan langkah, telak mengenai ulu hati lagi, malah sasaran berada di sebelah belakang, jelas kepandaian setinggi ini belum bisa kutandingi."

Hek-moko terloroh-loroh, katanya, "Siang Po-san, kau melukai dua anak buahku, kini kubalas pula dengan caramu sendiri, adil bukan."

"Tapi anak buahmu bukan aku yang membunuh?" damprat le Cun-hong gusar.

"Kalian kan sekomplotan, kalau tidak terima boleh maju menuntut balas bagi mereka," demikian tantang Hek-moko.

"He, bagaimana taruhan kita?" karena terlanjur bicara tadi, meski hati sudah agak jeri, tapi demi gengsi terpaksa dia menebalkan muka menyinggung usulnya sendiri.

"Kenapa tergesa-gesa?" seru Hek-moko, "setelah aku jajal golok cepat si raja golok Ie-cengcu, tentu akan kuhadapi juga dirimu. Kaupun tak usah kuatir akan diriku, meski golok Ie-cengcu dijuluki golok tercepat tiada bandingannya di kolong langit, aku yakin dia takkan bisa membacokku mampus," karena diolok-olok sudah tentu berang le Cun-hong dibuatnya.

Pek-moko yang berangasan menjadi gatal, mendengar si Hwesio menantang berulang kali, akhirnya dia tidak tahan, sambil mengetuk tongkat ke tanah dia membentak, "Kepala gundul, kau memang tidak tahu diri, kau ini barang apa, berani menantang engkohku, hm, kalau kau sudah bosan hidup, hayolah bertanding satu lawan satu dengan aku. Tidak usah pakai hadiah segala, jiwa kita saja dipertaruhkan."

Hek-moko tertawa, bujuknya, "Dik, usia kita sudah setua ini, janganlah suka pemberang. Pertunjukan harus babak demi babak, kalau sekaligus dua babak, penontonnya bisa jadi kebingungan."

Pek-moko tahu maksud tujuan engkohnya, maka dia berkata, "Baiklah, Koko, kumengalah padamu, biar kepala gundul ini hidup beberapa kejap lagi."

"Baik akan kutunggu supaya nanti aku bisa mendoakan arwahmu diterima di sisi Thian," yang benar dia sudah mulai jeri, jikalau Ie Cun-hong terjun pada babak pertama kan juga menguntungkan dirinya, sekaligus dia bisa saksikan permainan musuh, jikalau dia sendiri nanti terjun ke arena melawan Hek-moko sedikit banyak sudah bisa menyelami permainannya dan menentukan akal untuk mengalahkannya.

Padahal Ie Cun-hong amat membanggakan ilmu goloknya yang tiada tandingan, namun setelah menyaksikan demontrasi kepandaian Hek-moko tadi, rasa jeri sudah menghantui sanubarinya juga, tapi dia berpikir, "Masa dia bisa melebihi gerakan golok cepatku, kalau dia bergerak seperti menghadapi Siang Po-san tadi, sebelum dia tiba di depanku, badannya tentu sudah kupersen beberapa kali tusukan, kenapa takut padanya?" dia kira perhitungannya tidak akan meleset, seketika timbul nyalinya, katanya, "Hek-moko, kau menuding aku dan menantang, baiklah kulayani, bagaimana kalau kau kalah?"

"Apa kehendakmu?" Hek-moko balas tanya.

"Seperti apa yang kukatakan tadi, cukup separah harta milikmu," ujar Ie Cun-hong.

"Kalau kau yang kalah?" tanya Hek-moko.

"Selanjutnya kututup pintu menggantung golok," sahut Ie Cun-hong.

Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya, "Baiklah, silahkan kau sebutkan cara bertanding, aku menurut kemauanmu saja."

"Jangan jumawa, keluarkan senjatamu."

"Apa yang membuatmu terburu nafsu begini?" ujar Hek-moko, tiba-tiba dia menghampiri Tan Ciok-sing, katanya, "Pinjam golokmu itu."

Tan Ciok-sing mengharap dia menang, dia juga tahu kalau orang mau merampas golok dari tangannya segampang membalik telapak tangan, maka dengan sikap jantan dia angsurkan golok milik In Hou itu kepada Hek-moko.

Ie Cun-hong tidak habis mengerti, pikirnya, "Pentungnya itu termasuk pusaka, kenapa dia meminjam golok kepada bocah itu malah?"

Maklumlah permainan kombinasi kedua tongkat Hek-pek-moko bukan saja menjagoi India, di Tiongkok pernah juga menyapu banyak orang gagah, selama ini belum pernah ketemu tandingan. Meski Ie Cun-hong baru pertama kali ini berhadapan dengan mereka, tapi dia juga tahu keliehayan gabungan ilmu pentung kedua kakek hitam putih ini. Bahwa Hek-moko tidak menggunakan senjata andalannya, malah pinjam golok bocah ini, maklum kalau le Cun-hong tidak habis mengerti.

Pelan-pelan Hek-moko jalan kembali lalu berdiri di depan Ie Cun-hong, pelan-pelan pula dia mencabut golok, tampak sinar golok laksana air bening memancarkan cahaya kemilau. Golok In Hou ini entah pernah menghirup darah berapa banyak orang, namun tetap memancarkan cahaya terang, tak ubahnya golok yang baru saja digembleng.

Tersirap darah Ie Cun-hong, batinnya, "Betul, memang golok bagus."

"Ie-cengcu," kata Hek-moko dingin, "kau dijuluki golok cepat tiada bandingan, baru saja aku belajar beberapa jurus ilmu golok dari bocah itu, ingin aku mohon belajar pula beberapa jurus dari kau."

Sudah tentu le Cun-hong amat gusar, gelar "raja golok" yang dimilikinya sudah diakui khalayak ramai, kini Hek-moko menantang dia adu golok, jelas telah memandang rendah dirinya, apalagi Hek-moko bilang baru saja belajar beberapa jurus kepada bocah ingusan lantas mau menghadapi dirinya.

Namun Ie Cun-hong yakin akan dirinya, pikirnya, "Meski dia mengandalkan ketajaman golok pusaka itu, permainan goloknya jelas bukan tandinganku," saking gusar dia malah tertawa tergelak-gelak, "Hek-moko, kau sendiri yang cari mampus, jangan nanti salahkan aku," di tengah gelak tawanya, cahaya terang tiba-tiba berputar di empat penjuru, bayangan tubuhnya seperti dibungkus gugusan cahaya kemilau, Ie Cun-hong sudah mulai melancarkan kecepatan goloknya. Padahal golok hanya sebatang, orangnya pun cuma satu, tapi karena kecepatan gerak tubuh dan permainan goloknya, seakan-akan ada belasan orang yang sekaligus memainkan jurus golok menyerang ke arah Hek-moko.

Perbawa serangan golok ini begitu dahsyat, kelihatannya Hek-moko bakal tercacah hancur tubuhnya. Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, jantungnya berdetak kencaug, pikirnya, "Memang tidak malu Ie Cun-hong bergelar raja golok, memang tidak bernama kosong. Kakek hitam ini agaknya terlalu memandang rendah padanya."

Di saat benaknya membatin ini, dilihatnya Hek-moko sudah tarikan golok di tangannya dengan gerakan santai dan seenaknya, boleh dikata dia menghadapi rangsakan golok lawan secara wajar dan kalem, jauh berbeda dengan rangsakan Ie Cun-hong yang keras dan deras, tapi secara pas-pasan dimana tajam goloknya menyabet dan menyontek, dengan tepat seperti kebetulan pula serangan hebat Ic Cun-hong kena dipatahkan atau disampuk pergi, bayangan sinar golok yang bertaburan memenuhi angkasa seketika kuncup tak berbekas.

Kebat kebit jantung Tan Ciok-sing melihat pertandingan yang menegangkan ini, pikirnya, "Bagus sekali, ternyata jurus Yan-loh-ping-sa (belibis hinggap di pasir datar) harus begitu cara memainkannya, agaknya aku hanya memperoleh gayanya belum menyelami inti sarinya,"

Ternyata yang dilancarkan Hek-moko barusan memang ilmu golok keluarga In kedua pihak saling serang dan bertahan, dalam sekejap saja puluhan jurus telah berlalu. Gerakan golok Ie Cun-hong memang sedikit lebih cepat dibandingkan Hek-moko, tapi keadaan tetap seimbang.

Tan Ciok-sing jadi bingung, pikirnya, "Beberapa jurus ini kelihatannya tidak mirip ajaran ilmu golok yang tercantum dalam buku peninggalan In Tayhiap, tapi lebih mantap tenang juga lincah dan enteng, mungkinkah ini kembangan atau variasi dari permainan ilmu golok keluarga In yang sejati?"

Seperti dapat meraba jalan pikirannya, tiba-tiba Hek-moko menggunakan jurus Hing-hun-toan-hong membendung serangan Ie Cun-hong, katanya pelan-pelan, "Ilmu silat harus dihargai pada mutu ciptaannya, asal dapat menyelami inti sarinya, perduli ilmu golok tingkat tinggi sekalipun, pasti dapat dimainkan dengan perubahan sesuka hati. Malah tanpa pernah mempelajarinya pun dapat juga memainkannya secara mahir, itu tergantung bakat dan kecerdasan otak. Hehe, Ie Cengcu, coba katakan betul tidak?"

Perlu diketahui bahwa taraf kepandaian dan bekal Kungfu Hek-moko sebetulnya masih lebih unggul di atasnya In Hou. Permainan ilmu golok keluarga In memang dia tidak semahir dan lengkap seperti apa yang dimainkan Tan Ciok-sing tadi, tapi karena diapun sudah apal dan pernah menyelaminya, mengandal bekal kepandaiannya lagi sehingga dengan mudah dia menciptakan sendiri gerakan baru, umpama In Hou sekarang masih hidup serta melihat permainannya ini, diapun pasti kaget dan kagum, serta merasa bahwa kepandaian ilmu golok yang pernah diyakinkannya juga hanya begitu saja. Kata-kata petunjuk itu sebetulnya dia tujukan kepada Tan Ciok-sing, tapi bagi pendengaran Ie Cun hong, dia menganggap Hek-moko sedang mengejek dan memberi peringatan pada dirinya.

"Hek-moko," damprat Ie Cun-hong gusar, "jangan temberang, ilmu golok orang she Ie, memangnya perlu kau yang mengajarkan?"

Hek-moko tergelak-gelak, katanya: "Mana berani? Siapa tidak tahu Ie Cengcu dijuluki si cepat raja golok yang tiada bandingannya? Itu hanya kesimpulanku yang bodoh belaka, mumpung ada kesempatan sukalah kau memberi kesempatan untuk tukar pikiran. Tapi menurut hematku, ilmu golok meski mampu bergerak dan menyerang dengan kecepatan tinggi masih belum boleh dihitung sebagai ilmu golok tingkat tinggi yang sudah mencapai puncaknya."

"Jadi ilmu golokmu sudah mencapai puncak tertinggi?" jengek le Cun-hong.

"Aku tidak mengatakan demikian," ujar Hek-moko tertawa, "kan sudah kukatakan, kepandaian cakar kucingku ini, baru saja belajar dari engkoh cilik itu, untuk mencapai puncak tertinggi entah masih berapa laksa tingkat bedanya, sudah tentu lebih-lebih bukan tandingan kau si raja golok ini umpama tamu yang berkunjung ke rumah makan dan kau adalah kokinya. Meski aku tidak pandai memasak, tapi masakan hasil karyamu dapat juga kucicipi dan kunilai apakah enak dan lezat? Coba katakan betul tidak?"

Sudah tentu le Cun-hong semakin berang, bentaknya: "Kau ini mau bertanding golok atau ingin ngobrol?" dalam beberapa patah kata ini, beruntun goloknya sudah menyerang tiga puluh enam jurus.

Padahal dengan gaya santai Hek-moko hanya balas menyerang tujuh jurus, tiga puluh enam jurus rangsakan lawan tahu-tahu telah dipunahkan seluruhnya, katanya tertawa: "Sudah tentu bertanding golok tapi aku ingin pula ngobrol. Tadi waktu kau memutuskan cara bertanding kan tidak melarang aku buka suara. Nah, lihatlah yang jelas, kukira ilmu golok tingkat tinggi tak berguna kalau hanya mengutamakan kecepatan, poros inti permainan golok adalah mengutamakan diri sendiri, dari pada menanti lawan menyerang, ada lebih baik aku melayani kehendak lawan. Yang muda lebih unggul dari yang tua, lambat lebih unggul dari gugup. Lawan membacok sepuluh jurus, aku cukup balas satu jurus, jikalau kau anggap analisaku ini salah. Nah mari kita mulai bertanding lagi."

Majikan, tamu, tua dan muda merupakan unsur-unsur penting dalam ilmu golok dalam sandi kata rahasia, bergerak lebih dulu menundukkan musuh, berarti pihak yang diserang malah balas menyerang, yang bergerak belakangan malah dapat mengalahkan musuh itu berarti sang majikan melayani tamunya, menyontek dengan ujung golok dinamakan muda, mengetuk dengan gagang golok dinamakan tua, menyanggah dan menindih dinamakan lambat, kalau ujung golok memapak maju lebih dulu dinamakan gugup. Sembari bicara Hek-moko membuat contoh dengan gerakan goloknya, supaya Tan Ciok-sing dapat menyaksikan dengan jelas. Tan Ciok-sing belajar dan berhasil tanpa bimbingan guru, untuk beberapa bulan pelajaran ini hasilnya ternyata cukup lumayan, tapi hasil yang dia pelajari baru merupakan kulitnya saja. Baru sekarang dia memperoleh petunjuk dan bimbingan dari guru ternama, banyak persoalan yang selama ini tidak terpecahkan kini semuanya sudah jelas baginya.

Waktu Hek-moko mengatakan "bertanding", tangan kirinya menggertak dengan suatu gerak tipuan, menuding timur menggempur barat, dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung sakti menggaris pasir), tajam goloknya menerobos keluar dari bawah sikutnya. Jurus ini bergerak tepat pada waktunya dan menakjubkan lagi, hampir saja golok cepat le Cun-bong menyentuh dadanya, seolah-olah dia sudah dapat meraba serangan Ie Cun-hong, golok pusakanya sudah menyongsong dan mencegat di depannya. Karena itu gerakan ilmu golok Ie Cun-hong sebetulnya lebih cepat, sekarang kini menjadi terbalik seakan sedetik lebih terlambat dari lawan.

"Trang" terdengar benturan keras, kembang api berpijar, Ie Cun-hong melompat minggir tiga langkah, waktu dia menunduk, punggung goloknya ternyata gompal sedikit. Tadi Ie Cun-hong melontarkan jurus Me-can-pat-hong (bertempur malam di delapan penjuru) yang merupakan gerakan menyimpan golok, tujuannya untuk melindungi sekujur badan, diam-diam dia berteriak, "syukur, untung golokku ini berpunggung tebal."

Ternyata dalam detik-detik yang kritis tadi, membalik punggung golok untuk membentur golok pusaka Hek-moko. Memang dia sudah mahir merubah gerakan sesuai jalannya pertempuran, gerak perubahannya teramat cepat pula, taraf kepandaian ilmu goloknya memang sudah hebat luar biasa.

Diam-diam Hek-moko berpikir: "Ie Cun-hong bergelar raja golok, walau terlalu mengagulkan diri, tapi dia memang tidak bernama kosong," maka segera dia berkata: "Tadi Ie-cengcu mengembangkan unsur sebagai tamu berubah majikan, sebaliknya aku dari majikan menyambut tamu, dalam segebrak saja lantas terjadi perubahan posisi dan gaya, dari sini terbuktilah teori yang pernah kuterangkan tadi memang masuk di akal bukan?" dia menggunakan praktek bertempur sebagai contoh yang nyata, tujuannya memberi penjelasan permainan ilmu golok itu kepada Tan Ciok-sing, sudah tentu Tan Ciok-sing maklum akan maksud tujuan orang, sungguh hatinya amat haru dan terima kasih pula. Sebaliknya Ie Cun-hong kira Hek-moko seperti sedang mendidik atau menghina dirinya, karuan marahnya bukan main.

Melihat keadaan Ie Cun-hong yang tidak menguntungkan, tiba-tiba Thi-ciang Siansu maju selangkah, tongkat besi segede mangkok di tangannya terangkat menuding Pek-moko, bentaknya: "Waktu sudah berlarut, Locu tak sabar menunggu, hayolah kita mulai bertanding." Demi mempertahankan gengsi, sudah tentu dia malu mengerubut Hek-moko dengan Ie Cun-hong, maka terpaksa dia gunakan akalnya sendiri, dia tahu kalau kepandaian Pek-moko ketinggalan dibanding engkohnya, umpama dirinya tak mampu mengalahkan lawan, tentunya juga tak akan mudah dikalahkan. Maka begitu gebrak di mulai dia terus merangsak dengan serangan gencar dan keras, kalau Pek-moko diserangnya hanya mampu bertahan dan mundur terus, tentu Hek-moko menguatirkan keselamatan, adiknya, itu berarti perhatiannya mulai terpencar.

"Hayo maju, memangnya aku takut," seru Pek-moko, dengan menjinjing kedua tongkat, dia maju menghadapi tantangan si Hwesio, katanya: "Koko, bukan aku tidak tunduk pada pesanmu, soalnya kepala gundul ini terlalu menghina."

Hek-moko tertawa, katanya: "Bahwasanya permainan

sandiwaraku ini juga sudah berakhir pada babak ini, boleh kau sambut tantangannya."

Disini dia belum habis bicara, tongkat besi Thi-ciang Siansu yang gede itu sudah menderu dengan serangan menyapu ke pinggang Pek-moko. Begitu kencang deru angin sapuan tongkatnya ini sampai batu pasir ikut tersapu terbang. Maka di tengah berdencingnya benturan keras benda-benda logam, kuping setiap hadirin seperti pekak jadinya.

Tongkat besi Thi-ciang Siansu sebesar mulut mangkok, jauh' lebih besar dari Liok-giok-cang yang digunakan Pek-moko. Tapi begitu kedua tongkat masing-masing saling bentur, ternyata sedikitpun Thi-ciang Siansu tidak berhasil memungut keuntungan apapun, malah pergelangan sendiri terasa kaku dan linu.

Akan tetapi menghadapi benturan kekerasan ini Pek-moko sendiri tak urung juga tergentak sempoyongan. Kalau dinilai lvvekang kedua pihak, ternyata mereka kira-kira seimbang.

Thi-ciang Siansu sudah bertekad akan menyerang secara gencar dan mengadu kecepatan, sebelum Pek-moko berdiri tegak tongkatnya sudah disurung ke depan pula, ujung tongkat menjojoh Hiat-hay-hiat di bawah pusar Pek-moko dengan jurus Ular Berbisa Mencari Lubang.

Pek-moko menggoncang tongkat di tangan kiri menyontek ke samping, sementara tongkat di tangan kanan digunakan sebagai Poan-koan-pit untuk balas menutuk Jian-kin-hiat di pundak musuh. Kekuatan Thi-ciang Siansu sedikit lebih unggul, walau tongkat besinya kena disontek ke samping, namun tenaga pantulannya masih belum lenyap, "trang" tongkat kanan Pek-moko kena dibenturnya juga ke samping, sebat sekali dia barengi dengan gerak susulan yang dinamakan Heng-sau-jian-kun (menyapu habis ribuan pasukan), kembali beruntun tiga gerakan dia menyerang tiga jalan darah bagian bawah Pek-moko. Pek-moko menggunakan gerakan naga melingkar melangkah kaki, kembali dia berkelit. Berhasil merebut posisi dan mendahului dengan serangan gencar, Thi-ciang Siansu seperti mendapat angka, maka dia lancarkan rangsakan gencar, setiap jurus merupakan serangan ganas dan mematikan.

Lwekang Thi-ciang Siansu memang teramat tangguh, kekuatan jari dan lengan tangannya memang hebat luar biasa, tongkat segede mulut mangkok ternyata dapat diputarnya seringan dahan'bambu, mengeluarkan deru kencang lagi, sekitar gelanggang bayangan tongkat melulu, perbawanya sungguh laksana gugur gunung seperti kilat dan geledek saling menyamber, bagi kaum persilatan kelas rendah, jangan kata kena dikemplang tongkatnya, tersampuk angin tongkatnya saja, isi perut mungkin bisa rontok dan terluka parah.

Pek-moko diam-diam berpikir: "Hong-mo-cang-hoat (ilmu pentung iblis gila) ajaran murni Siau-lim-si ini ternyata memang hebat sekali. Aku harus dapat berperan baik didalam permainan sandiwara ini, jangan sampai dikalahkan olehnya," maka dia layani serbuan musuh dengan mantap dan tenang, bayangan tongkat selulup timbul memenuhi udara, tak ubahnya dua ekor naga yang lagi berkutet sengit di tengah udara. Dalam waktu mendesak ini jelas dia memang tak berkesempatan balas menyerang, tapi untuk mengalahkan dia, ternyata Thi-ciang Siansu harus menguras tenaga dan memeras keringat.

Pada saat itulah, di sebelah sana tampak Hek-moko mengayun goloknya berkelebat di tengah udara, tahu-tahu Ie Cun-hong merasa kepalanya menjadi silir dan dingin, sebelah rambut kepalanya ternyata sudah terkupas rontok berhamburan.

Pek-moko tertawa tergelak-gelak, serunya: "Koko, dia kan tidak ingin jadi Hwesio, kenapa kau mencukur gundul kepalanya."

Hek-moko juga terloroh-loroh, katanya: "Apa yang diagulkan si golok cepat tiada bandingan ternyata juga demikian saja. Terima kasih," mendadak dia menghardik: "le-cengcu, apa pula yang hendak kau katakan sekarang?"

Tadi Ie Cun-hong sudah bilang kalau dirinya kalah, selanjutnya tidak akan muncul dalam kalangan Kangouw, itu berarti dia tidak boleh cari perkara pula pada Hek-pek-moko. Tapi dia berjuluk Raja Golok, dalam adu golok pula dia dikalahkan Hek-moko, betapa dia rela dan sudi menelan kekalahan ini begini saja? Apalagi dia mempunyai rencana dan tujuan tertentu, semula dia kira pihaknya pasti unggul dan menang, mana mungkin dia mau menyerah karena kalah sejurus dalam pertandingan ini?

Demi gengsi dan rasa tamak yang menghantui hatinya jauh mengungguli rasa takut dan malunya. Karena malu Ie Cun-hong malah naik pitam, bentaknya: "Hari ini ada kau tiada aku, ada aku tiada kau, kekalahan setengah jurus atau satu jurus bukan jadi soal, memang hal ini dapat di buat ukuran untuk menentukan kalah menang?" habis bicara goloknya dikerjakan terus menyerbu lagi.

Umpama orang sering menggunakan cara bertanding untuk menentukan siapa liehay siapa asor, yaitu cukup saling tutul saja, atau bertempur sampai titik darah penghabisan, kalau sebelumnya sudah dijanjikan tidak akan berakhir sebelum salah satu pihak ada yang gugur, meski kalah sejurus, orang masih boleh meneruskan pertempuran. Tapi le Cun-hong memang sudah memilih cara pertandingan ini, meski penjelasannya belum pasti, maksudnya adalah cukup saling tutul saja, baru sekarang dia menggunakan cara kedua untuk melabrak Hek-moko, tindakan dan perbuatannya ini memang tidak pantas dan tidak boleh dipuji.

"Memangnya tidak malu kau sebagai orang kenamaan, menjilat ludah sendiri, memangnya kau tidak takut ditertawakan orang-orang gagah di kalangan Kangouw?"

"Kalau aku dapat mati di tanganmu, kan lebih baik dari pada menggantung golok tutup pintu, siapa bilang aku menjilat ludahku sendiri? Hehe, sebaliknya bila kau terbunuh olehku, berarti aku sudah menyumbat mulutmu, yang hadir disini semua orangku pula, memang siapa yang tahu akan pertandingan golok antara kau dan aku ini?"

Sekaligus Hek-moko patahkan dua puluh empat jurus serangan golok kilat lawan. Bentaknya: "Kau ingin membunuhku, kukira juga tidak gampang, bertanding satu lawan satu, jelas kau bukan tandinganku, suruhlah kambrat-kambratmu terjun ke gelanggang."

Siang Po-san tertawa tergelak-gelak, katanya: "Hek-moko, memangnya aku hendak membalas permainan licikmu tadi. Kini kau begini temberang, jangan salahkan kalau aku mengeroyokmu bersama Ie-cengcu."

Hek-moko tertawa dingin, katanya: "Kalian suka main keroyok untuk mengalahkan musuh, memangnya aku gentar? Hayolah maju, tak usah banyak bacot."

Tan Ciok-sing tahu sampai dimana keliehayan Siang Po-san, pikirnya: "In Tayhiappun bukan tandingan gombong iblis ini waktu bergabung dengan Le Khong-thian. Kepandaian raja golok I-Cun-hong kira-kira tidak di bawah Le Khong-thian, dengan kekuatan kedua orang ini, kakek hitam mana mampu menghadapi mereka?" karena menguatirkan keselamatan Hek-moko, tanpa sadar mulutnya memaki: "Tidak tahu malu."

Siang Po-san sudah bergaya hendak menubruk kearah Hek-moko, mendengar suaranya, mendadak dia tekan gitar besinya, tiga batang Toh-kut-ting tahu-tahu melesat keluar dari dalam perut gitar, sasarannya adalah Tan Ciok-sing yang berdiri kira-kira seratus langkah disana. Kepandaian senjata rahasia Siang Po-san ini termasuk kelas wahid di kalangan Kangouw, dia yakin ketiga paku penembus tulang yang disambitkan ini, hanya akan menutuk hiat-to tanpa melukai seujung rambut.

"Tidak tahu malu," hardik Hek-moko, golok pusaka di tangannya tiba-tiba meluncur bagai selarik cahaya bianglala. Golok benda berat daya timpukannya kuat dan kencang, maka ketiga paku itu kena disusul, di tengah jalan tahu-tahu kena dipukul jatuh. Malah daya luncuran golok pusaka masih cukup kencang, kebetulan melayang turun di depan Tan Ciok-sing, ujung golok menancap amblas kedalam tanah, gagang goloknya masih bergoyang dan bergetar kencang.

Teriak Hek-moko: "Nah kukembalikan golokmu, lekas kau pergi," dia tahu selanjutnya akan terjadi pertempuran sengit, musuh akan main keroyok dengan jumlah yang banyak, dia kuatir anak buah le Cun-hong akan membekuk pemuda tanggung ini.

Lekas Tan Ciok-sing cabut golok terus dimasukkan kedalam serangka, perasaannya ternyata hambar, walau dia belum tahu asal-usul kedua kakek bangsa asing ini, namun kini Tan Ciok-sing sudah mulai yakin bahwa mereka memang teman baik Thio Tan-hong. Pikirnya: "Kakek hitam ini beruntun dua kali menyelamatkan jiwaku, seharusnya aku beritahu kabar kematian In Tayhiap kepada mereka," tapi Hek-pek-moko kini sedang bertempur sengit menggasak musuh, tak mungkin dia bisa memberitahu mereka, maka dia jadi bimbang. "Tinggal pergi, atau tidak?" Tan Ciok-sing jadi ragu-ragu dan sukar ambil putusan.

Melihat Hek-moko melempar golok pusaka, senang hati Siang Po-san, dia tidak sia-siakan kesempatan baik ini, dengan jurus Thi-li-keng-te (bajak besi menggaruk tanah), gitarnya segera menyapu ketiga jurusan di badan Hek-moko, kekuatan serangan satu jurus tiga gerakan ini ternyata hebat luar biasa, deru anginnya ternyata menimbulkan gelombang angin lesus yang membawa taburan daun dan debu.

Dengan bekal kepandaian Hek-moko sebetulnya dia mampu menghadapi gitar besi lawan dengan pukulan telapak tangan, tapi dia perlu menjaga serangan golok cepat le Cun-hong. Kalau dia melawan dan menghadapi lawan secara kekerasan, umpama berhasil menggempur mundur gitar Siang Po-san, tentu dia sendiri terluka oleh golok le Cun-hong. Kejadian berlangsung cepat sekali, golok le Cun-hong memang sudah membacok tiba.

Hebat memang kepandaian Hek-moko, dalam detik-detik yang kritis ini, tiba-tiba dia jejakkan kaki, tubuhnya melambung ke atas, berbareng lengan bajunya yang gondrong mengebut membelit ke arah golok, "sret" lalu disusul "tang" lelatu apipun meletik.

Ternyata Hek-moko gunakan ilmu tingkat tinggi yang peranti menggunakan tenaga pinjam tenaga, dengan lengan baju dia melilit golok terus ditariknya ke samping, gerak golok Ie Cun-bong laksana kilat, karena tarikan ini tak kuasa dia kendalikan gerakan sendiri, maka goloknya kebetulan membentur gitar besi Siang Po-san. Tapi lengan baju Hek-moko juga terkupas sebagian oleh golok lawan. Gebrak sejurus ini sungguh teramat berbahaya dan menegangkan, kalau sedikit lena atau salah perhitungan, yang tertabas mungkin bukan lagi lengan baju tapi sebelah lengannya malah.

Lwekang Ie Cun-hong dan Siang Po-san setingkat, punggung golok yang tebal membentur gitar besi, golok terpental balik, sedang gitar tergetar turun ke bawah terus terseret di atas tanah meninggalkan goresan yang cukup dalam di atas tanah berlumpur. Kedua orang sekilas sama tertegun, cepat sekali mereka membentak gusar: "Hek-moko, lari kemana kau?"

Diam-diam Hek-moko

bersyukur bahwa dirinya selamat, katanya tertawa tergelak-gelak: "Siang Po-san, gitar besimu itu ternyata amat berguna juga untuk meluku sawah. Tak perlu kau terburu nafsu, kau ingin laripun takkan kubiarkan."

Jurus yang digunakan Siang Po¬san tadi adalah Bajak Besi Meluku Tanah, karena digempur oleh gerakan aneh Hek-moko tadi, sehingga gitarnya itu betul-betul menjadi bajak yang peranti untuk meluku sawah oleh kaum petani, karuan gusarnya bukan kepalang.

Sigap sekali laksana seekor burung raksasa selincah kera melompat Hek-moko sudah melompat jauh memburu ke arah adiknya, kakak beradik mempunyai daya pikir yang serupa, maka Pek-moko segera lemparkan sebelah tongkatnya.

Begitu menangkap tongkatnya sendiri Hek-moko lantas membentak: "Biar kalian berkenalan dengan gabungan permainan tongkat kami berdua."

Tadi seorang diri Pek-moko jelas tak kuasa menandingi tekanan tongkat baja Thi-ciang Siansu. Begitu Hek-moko melompat tiba tongkatnya bergetar keras, ujung tongkatnya telah menyontek ke tengah tongkat baja Thi-ciang Siansu yang segede mulut mangkok. Dalam sekejap itu, cahaya tongkat coklat yang mgngkilap terang itu mendadak mencorong, dua batang tongkat laksana dua ekor naga yang keluar dari lautan, tongkat baja lawan seperti dililit dan dikurung di tengah. "Trang" sekeras guntur menggelegar, hampir saja Thi-ciang Siansu tak kuasa memegang tongkatnya lagi, lebih celaka lagi tongkatnya itu membalik hampir saja melukai jidat sendiri. Akibat benturan yang hebat ini membuat dada Thi-ciang Siansu sesak, darah bergolak dan seisi perut seperti dipelintir, tak tertahan lagi sekumur darah menyembur dari mulutnya. Untung Ie Cun-hong dan Siang Po-san lekas menubruk tiba, sehingga tekanan yang menimpa dirinya menjadi enteng.

Bukan kepalang kaget Ie Cun-hong dan Siang Po-san, maklum Thi-ciang Siansu adalah murid didik Siau-lim-pay, Iwekangnya yang tangguh tiada bandingan diantara mereka umpama dia bukan tandingan Hek-pek-moko, paling tidak juga mampu melawan sepuluh jurus, tak nyana dalam segebrak saja melawan gabungan ilmu tongkat lawan dia sudah kecundang dan luka cukup parah. Betapa hebat kekuatan gabungan permainan tongkat lawan, sungguh tak pernah mereka bayangkan.

Cepat sekali Hek-moko sudah membalik badan, sepasang tongkat mereka kembali menyapu balik memapak kedatangan Ie Cun-hong, lekas Ie Cun-hong merubah gaya permainannya, gerak-geriknya tambah lincah dan berkisar kian kemari selicin ular merambat. Terdengar dencing benturan senjata, seperti perpaduan musik yang ramai, tampak Ie Cun¬hong mencelat keluar dari lingkungan cahaya tongkat lawan sejauh satu tombak. Untung dia tidak terluka. Bukan lantaran Iwekangnya lebih tinggi dibanding Thi-ciang Siansu, adalah karena gerakan goloknya dilancarkan teramat cepat, sekali sentuh lantas mundur, sekali berkelebat lantas lewat. Meskipun goloknya membentur sepasang tongkat lawan sebanyak belasan kali, namun daya tolak dari benturan itu sendiri terang tidak sebesar atau sekuat daya mcmbal tongkat baja yang gede dan berat itu.

Ternyata Siang Po-san berotak lebih cerdik, lekas dia berseru: "Usahakan kedua kakak beradik ini terpisah," mumpung dia lihat Hek-moko menyerbu kesana, dengan gerakan lincah dan tangkas dia mendadak menyelinap maju menggempur Pek-moko.

Pek-moko menyambut dengan jurus Pek-hong-koan-jit, tongkat dimainkan sebagai pedang untuk memapak serangan lawan dengan tusukan. Gitar besi Siang Po-san menyapu miring, serta disendai balik ke samping, lima jalur senarnya tahu-tahu menggesek ke urat nadi Pek-moko. Gitar besi ini memang merupakan senjata tunggal jang jarang ada di kalangan bulim, daya gunanya amat banyak, betapa luas pengalaman dan pengetahuan Pek-moko, namun belum pernah dia menghadapi serangan senjata seaneh ini.

"Creng, creng" dalam detik-detik yang menentukan itu, dua senar gitar besi ternyata tersendai putus oleh tongkat lawan, senar putus biasanya menjuntai ke bawah, tapi begitu Siang Po-san mengayun gitarnya, dua senar yang putus ini ternyata berdiri lurus kaku menusuk ke arah dua mata Pek-moko. Lwekangnya memang bukan tandingan Pek-moko, tapi dia pandai memanfaatkan tenaga dalamnya, didalam permainan licik dan keji jelas dia masih lebih unggul dari Pek-moko.

Karena tak menduga dan sudah kepepet, terpaksa Pek-moko kembangkan ilmu Yoga yang jarang terlihat di Tionggoan, dengan kepala di bawah kaki di atas dia jungkir balik kesana. Oleh karena gangguan Siang Po-san, berarti usaha memisah mereka kakak beradik jadi berhasil, kedua saudara kembar ini terpisah beberapa langkah jauhnya. Thi-ciang Siansu memang tidak malu sebagai bekas murid Siau-Iim-pay, dalam waktu sekejap ini, dia sudah rampung mengendalikan

pernapasan dan menekan darah sehingga berjalan normal, kini dia sudah mampu terjun ke arena lagi. Kerja sama dengan le Cun-hong, mereka berhasil menekan permainan tongkat Hek-moko.

Bahwa Siang Po-san menusuk sepasang mata lawan dengan kedua senar gitarnya yang putus, ini pun gerak serangan yang aneh pula, tak kira reaksi dan perubahan yang diperlihatkan Pek-moko lebih aneh lagi di kala dia jumpalitan jungkir balik itu, tahu-tahu tongkatnya mengemplang balik "Trang" gitar lawan kena dipukulnya. Lwekang mereka memang berimbang, Siang Po-san tergentak mundur tiga langkah ke samping sementara Pek-moko bersalto tiga kali di tengah udara baru meluncur turun dan hinggap dengan enteng, tapi pundaknya terasa pegal dan linu, ternyata bajunya tertusuk bolong, untung tidak mengenai hiat-to penting. Kejadian berlangsung teramat cepat. Hek-moko mendadak menghardik, dia berkelit dari serangan golok cepat Ie Cun-hong, kakak beradik berbareng sama melompat ke atas, maka pentung mereka kembali bergabung dari atas terus menggempur ke bawah, cahaya coklat kembali mencorong benderang.

Benturan senjata keras yang menggetar itu memekakkan telinga semua hadirin, tongkat baja Thi-ciang Siansu memercikkan lelatu api sementara punggung golok tebal Ie Cun-hong kembali gompal di dua tempat, sementara gitar besi Siang Po-san dekuk pada ujung tengahnya, alat rahasia yang dipasang di perut gitarnya tergetar rusak, maka senjata rahasia yang tersimpan di dalamnya takkan bisa digunakan lagi. Meski jumlah mereka bertiga, dengan tingkat kepandaian yang sebanding lagi, tapi menghadapi gabungan permainan tongkat lawan, ternyata mereka hanya mampu membela diri melulu, jangan harap dapat balas menyerang.

Saking marah bola mata Ie Cun-hong sampai merah menyala, teriaknya gusar: "Pasang barisan golok," memangnya anak buah yang dia bawa sudah berdiri pada posisi masing-masing, mendapat aba-aba, segera arena kurungan mereka diperkecil, maka Hek-pek-moko berdua terkepung di tengah gelanggang.

Keadaan seketika berubah hebat, yang tampak hanya cahaya golok yang menari-nari, laksana ribuan baris sinar kilat saling samber simpang siur, mirip sekali sebagai jala sinar yang besar. Karena dibendung dan terkurung didalam cahaya golok, jelas cahaya coklat yang dipantulkan tongkat Hek-pek-moko menjadi guram, tapi gerakan mereka tetap lincah dan ganas laksana naga hidup yang bergulat di tengah samudra.

Ternyata Ie Cun-hong digelari raja golok bukan lantaran permainan ilmu goloknya saja yang hebat, tapi To-bong-tin (barisan jala golok) ciptaannya ini ternyata lebih Iiehay lagi. To-bong-tin harus dilakukan sembilan orang sebagai satu kelompok, delapan orang menduduki delapan unsur dan sudut, sementara seorang lagi sebagai pimpinannya berada di tengah atau di pusat kelompok barisan, dengan permainan golok cepat serempak mereka maju mundur menggempur musuh, sembilan orang bersatu padu laksana tunggal, jelas musuh takkan mungkin sekaligus membunuh sembilan orang, kalau berusaha mematahkan serangan mereka satu persatu, jelas dia sendiri yang bakal mampus terbacok. Anak buah Ie Cun-hong yang -dididik dalam barisan jala golok ini seluruhnya ada dua puluh tujuh orang semuanya kini dia bawa kemari, tapi dua di antaranya tadi telah terbunuh oleh Hek-moko maka barisan hanya bisa dibagi dua kelompok saja, sisanya yang tujuh orang sebagai cadangan, tapi cukup dua kelompok barisan golok ini sudah bikin Hek-moko pusing menghadapinya.

Kalau dinilai taraf kepandaian perorangan anak buah Ie Cun-hong paling termasuk jago kelas dua dalam kalangan Kangouw, (api dengan gabungan sembilan orang, mereka cukup tangguh untuk menghadapi jago kosen mana saja, apalagi gabungan delapan belas orang, meski tokoh silat kelas tertinggi juga paling mampu membela diri saja, untuk memecahkan barisan jelas teramat sukar juga.

Untung perbawa gabungan permainan tongkat Hek-pek-moko juga hebat luar biasa, oleh karena itu Ie Cun-hong, Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu tetap tidak bisa berpeluk tangan mundur dari tengah arena, merekapun harus kerja sama dengan gerak perobahan barisan golok untuk membendung rangsakan kedua tongkat lawan. Ini berarti Hek-pek-moko sekaligus harus menghadapi lima jago silat tinggi, lama kelamaan, tenaga berkurang sehingga mereka terdesak di bawah angin.

Setelah membentuk barisan golok belum juga berhasil mengalahkan musuh, mau tidak mau Ie Cun-hong merasa gugup juga, mendadak dia sadar, bentaknya; "Kalian memang orang bodoh, kenapa berdiri diam saja disitu?"

Tujuh orang sebagai cadangan kira Ie-cengcu suruh mereka ikut maju mengerubut, sekilas mereka melengak. Maklum barisan golok harus dilakukan sembilan orang baru bisa mengembangkan kekuatan barisan yang nyata. Kini kalau mereka ikut terjun, barisan jelas tak mungkin terbentuk, itu berarti mereka harus bertempur secara individu atau perorangan. Padahal musuh begitu tangguh, mungkin belum segebrak jiwa mereka sudah terenggut oleh tongkat Hek-pek-moko.

Berkerut kening Ie Cun-hong, bentaknya lagi: "Goblok, hayo bekuk bocah keparat itu." Baru sekarang ketujuh anak buahnya itu sadar bahwa sang Cengcu suruh mereka membekuk bocah cilik ini, lega juga hati mereka, serempak mereka mengiakan.

Ie Cun-hong memaki pula: "Bodoh, menangkap bocah cilik memangnya perlu tenaga tujuh orang? Cukup dua orang saja," maklum hatinya kebat kebit, di samping kuatir Tan Ciok-sing melarikan diri, juga kuatir bila barisannya ini kemungkinan mengalami sesuatu, tanpa adanya cadangan, kemungkinan segalanya bisa berantakan. Dua orang anak buahnya yang bernyali paling kecil seperti berlomba segera memburu kesana. Nyali mereka sudah pecah menyaksikan pertempuran yang dahsyat ini, sudah tentu mereka lebih suka menangkap bocah kecil yang masih berbau pupuk bawang, dari pada sebagai cadangan. Tak nyana kalau mereka ingin menyingkir dari malapetaka, tapi elmaut justru merenggut jiwa mereka lebih dulu.

Setelah menyaksikan permainan golok Tan Ciok-sing tadi, Hek-moko tahu bahwa Tan Ciok-sing latihan tanpa guru, sehingga dia belum memperoleh ajaran ilmu golok In Hou yang murni, meski kepandaian anak buah Ie Cun-hong terbatas, tapi dia kuatir bocah itu masih bukan tandingan mereka. Di tengah gempuran yang sengit itu mendadak dia menghardik keras laksana guntur, tongkat di tangan kanan menyampuk serangan golok cepat Ie Cun-hong, berbareng lengan kiri terulur, di tengah samberan bacokan golok yang seliweran, dia jambret salah seorang musuh dari barisan golok musuh secara kekerasan. Di tengah kumandang suara hardikannya itu, Hek-moko angkat tinggi tawanannya terus diayun berputar seperti atlit lempar peluru yang siap melemparkan tawanannya, maka terdengarlah dua kali jeritan yang mengerikan disusul suara gedebukan yang keras. Bola manusia yang dilempar Hek-moko ini mencapai ratusan langkah dan kebetulan menumbuk salah seorang anak buah Ie Cun-hong yang lagi memburu ke arah Tan Ciok-sing. Orang yang ditumbuk ini keterjang mencelat ke samping kebetulan menumbuk temannya yang satu lagi, maka secara karambol ketiga anak buah Ie Cun-hong ini menggelinding ke bawah lereng sana, meski jiwa tidak melayang, paling tidak pasti terluka parah.

Serangan berantai secara karambol ini meski membebaskan bahaya yang mengancam Tan Ciok-sing, tapi Hek-moko tergores luka lengan kirinya. Maklum barisan golok ini merupakan pusaka bagi Ie Cun-hong, betapapun takkan gampang dipecahkan begitu saja? Betapapun tangkas dan liehay gerakan Hek-moko, tapi untuk menjambret musuh dari barisan golok, terpaksa dia sendiri juga harus menerima akibatnya, untung lukanya itu hanya tergores kulit dagingnya, lukanya tidak parah.

Kurang satu orang berarti barisan golok telah terbuka sebuah lobang. Dalam waktu segenting ini Pek-moko tidak menyiakan kesempatan ini, begitu menycndal tongkat, dia kepruk salah seorang lawan yang terdekat sehingga tulang pergelangan tangannya terketuk hancur, sambil memegang tangan, orang ini menjatuhkan diri terguling-guling sambil menjerit-jerit seperti babi mau disembelih.

Lekas Thi-ciang Siansu memburu maju menyumbat lobang ini, begitu dua tongkat saling ketuk, rangsakan Pek-moko kena dibendung, sekali ayun kaki Ie Cun-hong tendang minggir anak buahnya yang terluka, lalu menyuruh dua anak buah cadangannya maju menggantikan kedudukan yang kosong.

Betapa hati tidak akan jeri dan nyali pecah melihat teman sendiri menjadi korban secara mengenaskan. Ie Cun-hong membentak: "Kalian tidak perlu takut, Hek-moko sudah terluka, gasak saja takut apa?"

Hek-moko tertawa terkial-kial, gelak tawanya bergema di atas pegunungan, katanya: "Ie Cun-hong, jangan kau menghinaku karena sudah terluka? Hayo kau sendiri saja yang maju," dua tongkat beriringan menggaris sebuah lingkaran, maka terdengarlah dering beruntun yang memekak telinga, delapan belas batang golok semuanya kena dibentur pergi oleh kedua tongkat. Malah kekuatan tongkat Hek-moko belum berakhir sampai disitu saja, ujung tongkatnya masih menyodok ke muka Ie Cun-hong, padahal sinar tongkat mencorong terang menyilaukan mata, terpaksa Ie Cun-hong lekas melompat minggir.

Mendengar Hek-moko terluka, Tan Ciok-sing kaget, tapi dia lantas berpikir: "Disini aku takkan mampu membantu mereka, dari pada menjadi beban mereka, biarlah aku menyingkir saja."

Berhasil memukul mundur delapan belas jago golok lawan, Hek-pek-moko dapat ganti napas sekedarnya, teriaknya: "Tidak lekas kau pergi? Lebih jauh lebih baik. Kawanan tikus ini takkan bisa mencelakai kami, kau tidak perlu kuatir."

Mendengar gelak tawa Hek-moko yang kumandang jelas tenaga dalamnya masih tangguh, lega juga hatinya, segera dia panggul harpanya terus berteriak: "Baik, kutunggu kalian di bawah gunung."

"Bawah gunung masih dalam daerah kekuasaan mereka, boleh kau lari sejauh mungkin, kalau mau mencari kau, kami pasti dapat menemukan kau," demikian seru Hek-moko.

Tan Ciok-sing segera angkat langkah seribu, larinya sudah setaker tenaganya, sayang dia terlambat, sisa tiga orang anak buah Ie Cun-hong sudah memburu datang tanpa diperintah majikannya, baru puluhan langkah Tan Ciok-sing lari sudah tersusul musuh.

Thi-ciang Siansu tertawa, katanya: "Hek-moko, gembar gembor belaka, memangnya siapa yang hendak kau gertak?"

Gelak tawa Hek-moko tadi memang bertujuan pamer lwekang, pada hal gelak tawanya itupun dipaksakan, pertama dia ingin supaya Tan Ciok-sing pergi dengan perasaan lega, kedua untuk menciutkan nyali anak buah Ie Cun-hong. Tapi bagi pendengaran seorang ahli silat yang sudah memiliki kepandaian taraf tinggi, dari gelak tawanya tadi sudah diketahui bahwa tenaganya sisa sedikit dan bakal terkuras habis dalam waktu dekat.

Ie Cun-hong akhirnya menyadari juga akan gertak sambel Hek-moko ini, teringat akan rasa takutnya tadi, merah jengah mukanya, katanya: "Betul, kalian tidak perlu takut, keadaannya sudah payah seperti binatang yang mengamuk dalam kandang, coba buktikan nanti berapa lama mereka kuat bertahan," langsung dia pimpin delapan belas anak buahnya sehingga daya kekuatan barisan bertambah kokoh. Hek-pek-moko memang hanya mampu membela diri, gerakan gabungan yang tadi dilancarkan kini sudah terbendung dan tiada kesempatan lagi jangan kata menjebol kepungan, menyerbu ke tengah barisan melukai musuhpun tidak mampu.

Kalau disini Hek-pek-moko dalam keadaan kritis di tengah kepungan barisan golok, sementara di sebelah sana Tan Ciok-sing juga sedang bergelut dengan sengit. Musuh yang menyandaknya lebih dulu berperawakan pendek, kontan Tan Ciok-sing membacok balik ke belakang. Dari kejauhan Siang Po-san berseru: "Awas goloknya itu pusaka."

"Aku tahu," sahut laki-laki pendek itu, golok cepat di tangannya menepis tegak mengiris dengan gerakan Siat-jiat-ou, karena gerak goloknya terlalu cepat menyerang musuh sehingga lawan dipaksa untuk menyelamatkan diri lebih dulu, maka Tan Ciok-sing terpaksa menarik balik golok untuk melindungi badan, dari menyerang kini dia di pihak yang membela diri. Sinar golok bayangan orang berkelebat lewat, laki-laki pendek itu beruntun membacok tujuh kali, namun tidak sampai membentur golok pusakanya, inipun sudah membikin Tan Ciok-sing keripuhan. Cepat sekali dua musuh yang memburu datangpun telah tiba.

Dinilai taraf kepandaian silat ketiga orang ini, belum termasuk apa-apa di kalangan Kangouw, tapi menghadapi Tan Ciok-sing tenaga mereka bertiga cukup berkelebihan.

Tan Ciok-sing mencak-mencak keripuhan dicecar mereka, meski dia mengandal ketajaman goloknya, namun keadaannya tetap terdesak di bawah angin, berkali-kali dia menghadapi ancaman bahaya. Untung dia membekal golok pusaka, kalau tidak bagaimana akibatnya sungguh tak berani dia membayangkan. Kalau Tan Ciok-sing mengeluh dalam hati mendadak didengarnya Hek-moko berteriak: "Dari pada tamu berubah jadi majikan, adalah lebih baik majikan melayani sang tamu. Yang muda melampaui yang tua, yang terlambat lebih baik dari pada yang gugup."

Dasar otaknya encer, cepat sekali berkelebat pikiran Tan Ciok-sing, apa yang diajarkan Hek-moko cepat sekali sudah menyadarkan pikirannya. "Wut" tiba-tiba goloknya membacok, gerakannya kini jelas lebih mantap dan sudah memperoleh poros inti ilmu golok keluarga In, ujung golok memapak serangan golok musuh yang datang dari arah depan, sementara gagang goloknya mengetuk golok yang menyerang tiba dari arah kiri, tajam goloknya miring terus menyayat ke bawah, karuan seorang lawan yang berada di sebelah kanan menjadi kaget dan jeri serta menarik tangan dan mundur tersipu-sipu.

Jurus Hun-mo-san-bu (menari tiga kali menggenggam mega) ini adalah serangan golok yang tadi digunakan Hek-moko untuk membabat rontok rambut Ie Cun-hong. Sudah tentu jurus yang sama dilancarkan oleh Tan Ciok-sing, perbawanya jauh ketinggalan dibanding Hek-moko, tapi kepandaian ketiga lawannya itupun jauh lebih rendah dibanding Ie Cun hong. Kini Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami intisari ilmu golok keluarga In, maka permainannya sekarang sudah jauh berbeda, walau belum bisa menang, tapi untuk bertahan terang sudah cukup berkelebihan.

Tapi ilmu golok yang berhasil diselaminya sekarang baru pertama kali ini dipraktekkan, apa benar permainannya, dia sendiri juga tidak tahu. Untung Hek-moko segera berseru lagi: "Dalam pandangan ada musuh, dalam hati tiada musuh. Usaha tergantung pada diri pribadi, peduli musuh

kuat atau lemah,"-kata-kata ini

juga merupakan letak dari kemurnian ilmu golok tingkat tinggi, apa yang dinamakan dalam pandangan ada musuh ialah di kala kau . bergebrak kau harus menghadapi lawan secara serius, dalam hati tiada musuh berarti peduli musuh betapapun kuatnya, kalau kau sudah melabraknya dengan sengit, maka kau harus anggap lawanmu itu musuh yang enteng dan patut kau robohkan.

Pendek kata peduli lawanmu itu musuh tangguh atau lawan lemah, kau sendiri harus dapat berkelahi dengan sungguh-sungguh dan menggunakan taraf kepandaianmu yang memadai, berkelahi dengan singa harus setaker tenaga, berkelahi dengan kelinci pun harus demikian.

Karena baru pertama kali Tan Ciok-sing menggunakan ilmu golok yang berhasil dipelajari dan diselaminya sendiri, hatinya masih belum yakin akan kemampuan sendiri, kini setelah mendengar petunjuk Hek-moko, hati lapang pikiran jernih, dapat menangkap maknanya yang paling dalam pula, maka semangat tempurnya kontan berkobar. Sekaligus dia lancarkan tiga jurus serangan berantai, dari bertahan kini dia balas menyerang, serunya lantang: "Terima kasih akan petunjukmu."

Melihat permainan golok si bocah mendadak tambah gencar dan liehay, laki-laki pendek itu kaget dan gugup, serunya: "Jaga posisi kalian masing-masing, hayo gunakan bacokan serempak, cacah dia jadi pergedel," walau mereka bertiga berusaha membentuk barisan golok, tapi karena biasanya sudah kebiasaan dalam praktek barisan, kerja sama dalam menyerang dan bertahan amat serasi, maka permainan mereka cukup ampuh, juga kekuatannya tidak boleh dipandang rendah. Di tengah pertempuran sengit itu, beruntun terdengar suara mendesis, pakaian Tan Ciok-sing ternyata tersayat sobek, lengan bajunya tertabas jatuh sebagian, sobekan yang melayang jatuh ini terkoyak-koyak kecil beterbangan pula oleh samberan golok ketiga orang itu. Tapi karena gerakan golok teramat cepat, meski pakaian tersayat sobek, kulit dagingnya tidak sampai terluka. Kalau sebelum ini, menghadapi detik-detik yang berbahaya ini betapa pun besar nyalinya, terang dia sudah gugup dan ketakutan. Kini sedikitpun dia tidak terpengaruh malah seperti tidak merasakan sama sekali akan ancaman bahaya, setelah bertempur seratusan jurus permainan goloknya malah semakin lancar dan mahir, gerak permainan yang semula kaku lama kelamaan menjadi wajar dan liehay, semakin dipraktekkan, semakin banyak dan mendalam pula hasil yang dapat diselaminya.

Dalam pertempuran memperebutkan antara hidup dan mati ini, mendadak Tan Ciok-sing menggerung keras, jurus Hun-mo-sam-bu dilancarkan pula, dimana golok pusakanya terayun. Jurus Hun-mo-sam-bu yang sama namun setelah dilancarkan untuk yang kedua kalinya oleh Tan Ciok-sing ternyata perbawanya jauh lebih hebat dari yang pertama tadi.

Sekonyong-konyong cahaya golok bertambah terang bertaburan seperti tabir bintang, maka terdengarlah lengking jerit yang menyayat hati, laki-laki pendek yang menyerang dari arah depan itu lengan kanannya kena tertabas buntung, kontan dia roboh kelejetan Sementara laki-laki di sebelah kiri golok bajanya terbabat putus jadi dua, telapak tangannya tergetar pecah berdarah, sedangkan laki-laki di sebelah kanan kena disodok Ih-khi-hiatnya oleh gagang pedang Tan Ciok-sing, saking kesakitan dia melengking sambil memeluk perut. Tanpa hiraukan temannya yang terluka, kedua orang ini lekas melarikan diri sambil menahan sakit.

Selama ini belum pernah membunuh orang, kini mendadak dia memperoleh kemenangan setelah mengalami pertempuran sengit, sungguh tidak pernah terpikir olehnya bahwa permainan goloknya tadi mempunyai kekuatan sehebat itu, maka dengan mendelong dia mengawasi saja laki-laki yang buntung lengannya terguling-guling di depannya.

Meski dikerubut serta kerepotan, tapi pandangan dan pendengaran Hek-moko tetap memperhatikan keadaan sekitarnya, melihat Tan Ciok-sing berhasil mengalahkan lawannya, segera dia berteriak: "Tidak lekas lari tunggu apa pula? Mau kemana kau pergi boleh terserah, aku punya akal untuk mencarimu."

Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya Hek-pek-moko masih terkurung dalam barisan golok musuh, antara sinar terang dan cahaya coklat selalu berkutet dan timbul tenggelam, kedua pihak bergelut dengan seru dan sengit. Maklum taraf kungfunya masih rendah, tidak bisa dia membedakan pihak mana bakal unggul dan asor. Pikirnya: "Gelagatnya Hek-pek-moko masih kuat bertahan dan tak mampu menjebol kepungan, tapi mereka takkan mudah dikalahkan. Setelah aku menyingkir dari sini, mereka tidak perlu kuatir akan keselamatanku, mungkin mereka akan bertempur lebih terkontrol," hatinya kini betul-betul sudah kagum dan terima kasih pada Hek-pek-moko, apa yang dikatakan orang sudah dipercaya seratus persen. Batinnya: "Dia bilang akan bisa menemukan aku, pasti akan bisa bertemu lagi. Ginkang mereka begitu bagus, asal bisa menjebol kurungan, memangnya mereka tak mampu menyusul aku?"

Karena musuh berada di depan mata pula, sudah tentu dia tidak berani membocorkan jejak Thio Tan-hong, maka dia berkata: "Baiklah, kutunggu kalian di tempat tujuanku," lalu dia lari kencang turun gunung. Kini dia sudah percaya penuh bahwa Hek-pek-moko adalah teman baik Thio Tan-hong, maka dia kira bahwa merekapun pasti sudah tahu kalau Thio Tan-hong sekarang semayam di Ciok-lin, dia yakin Hek-pek-moko pasti maklum kemana juntrungan kata-katanya.

Seperti baru bermimpi buruk, setelah berlari sekian lamanya, suara dencing senjata beradu tak terdengar lagi, pikirnya: "Manusia memang tidak boleh dinilai dari tampangnya, semula kukira kedua kakek tua ini adalah gembong penjahat, siapa tahu mereka justru menyelamatkan jiwaku. Betapa menyenangkan bila aku bisa pergi ke Ciok-lin menemui Thio Tayhiap bersama mereka?"

Waktu dia lari menuruni lereng gunung, mendadak di dengarnya dari semak-semak rumput sana ada rintihan orang. Tan Ciok-sing tak kuasa menghentikan daya larinya yang menurun, kakinya hampir saja menendang tubuh seseorang, tapi kedua kakinya tiba-tiba dipeluk orang itu, karuan kagetnya bukan main, waktu dia menunduk, di tengah keremengan cahaya bulan masih dikenalinya orang yang memeluk kakinya adalah anak buah Ie Cun-hong yang tadi dilempar ke bawah lereng oleh Hek-pek-moko. Luka-lukanya amat parah, terutama kedua kakinya putus, namun dengan kencang dia peluk kedua kaki Tan Ciok-sing.

Tan Ciok-sing menaruh belas kasihan dan tidak tega melihat keadaannya, segera dia berjongkok sambil keluarkan Kim-jong-yok mengobati luka dan

menyambungkan tulang kakinya, orang itu menjadi terharu dan berterima kasih akan kebaikan hati si pemuda, setelah dia tahu kemana arah tujuan si pemuda, segera dia memberi petunjuk ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.

Sesuai petunjuk orang ini dengan leluasa Tan Ciok-sing turun gunung terus menuju ke barat. Tujuannya adalah Ciok-lin yang berada di Hun-lam, arahnya tepat ke arah barat.

Hari kedua pagi-pagi benar Tan Ciok-sing sudah tiba di bawah gunung, angin gunung menghembus sepoi-sepoi, kicau burung terdengar merdu, sesaat dia berhenti dan pasang kuping dengan cermat suara pertempuran jelas tidak terdengar dari tempat sejauh ini. Tanpa merasa gundah dan was¬was perasaan hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Kedua kakek bangsa Thian-tiok apakah bisa lolos dari bahaya?" Tapi teringat akan dendam sakit hati sendiri, sekali-sekali dia tidak boleh berada di tempat berbahaya ini. Ie Cun-hong punya anak buah sebanyak itu, tersebar luas lagi, umpama Hek-pek-moko mampu mengalahkan mereka, sukar juga untuk memberantas musuh yang banyak. Bila beberapa di antaranya yang lolos melarikan diri turun gunung dan kepergok dirinya, akibatnya bisa celaka.

Mumpung hari masih pagi dan penduduk kampung belum banyak yang keluar, segera ia kembangkan ginkang, sekaligus dia berlari dua tiga puluh li, akhirnya dia memasuki sebuah kota kecil, disini dia mampir ke kota membeli dua perangkat pakaian serta sarapan pagi sekenyangnya, lalu melanjutkan perjalanan ke barat pula, Tan Ciok-sing terus maju menempuh perjalanan dengan perasaan tidak tenang, beruntung dia tidak pernah mengalami rintangan pula. Sebelum matahari tenggelam dia sudah menempuh perjalanan seratus li jauhnya.

"Semoga Thian memberi pelindungan, dengan selamat aku bisa tiba di Ciok-lin dan menemukan Thio Tan-hong yang dijuluki jago pedang nomor satu pada jaman ini, dia bertekad untuk belajar Kungfu sampai berhasil, pulang untuk menuntut balas. Tapi dia dengar usia Thio Tan-hong sudah amat lanjut, apakah dia masih hidup? Kedua kakek Thian-tiok itu adalah teman Thio Tan-hong dan In Tayhiap, jikalau aku bisa bertemu pula dengan mereka, akan kumohon petunjuk dan ajaran kepandaian mereka, tentunya mereka tidak akan menampik? angan-angan Tan Ciok-sing memang merasuk hati, tapi apa yang harus dia hadapi kemudian sungguh menjadi kecewa.

Perjalanan terus dilanjutkan ke arah barat, hari ini adalah yang ketiga. Sepanjang jalan tetap selamat, namun dia belum juga bertemu dengan Hek-pek-moko. Di kala dia berayun langkah dengan hambar itulah, mendadak dia dengar seorang berteriak: "Haya, kau, bukankah kau ini adik cilik pemetik harpa itu? Sungguh iak nyana bertemu pula dengan kau."

Waktu Tan Ciok-sing berpaling, tampak seorang pemuda berpakaian pelajar tengah mempercepat langkahnya

memburu ke arah dirinya. Meski bukan Hek-pek-moko, Tan Ciok-sing sedikit kecewa, tapi karena pertemuannya yang tidak terduga dengan pemuda pelajar ini, rasa gundah dan was-wasnya selama ini agak terhibur juga.

Pemuda pelajar ini bukan lain adalah siucay yang pernah jumpa di warung makan tempo hari, orang memberi dua tahil perak setelah dia membawakan sebuah lagu di bawah iringan dan petikan harpa, dia hanya tahu orang dipanggil Liong-siucay.

"Liong-siangkong," kata Tan Ciok-sing menghentikan langkah, "aku belum mengucapkan banyak terima kasih akan kejadian tempo hari itu."

Pelajar itu berkata tertawa: "Hari itu aku betul-betul menguatirkan keadaanmu, tak nyana kecuali kau pandai memetik harpa, ilmu silatmu ternyata juga hebat. Setelah kau lolos dari kerubutan orang-orang jahat itu, baru legalah hatiku. Oh, ya, aku belum berkenalan dengan nama dan she-mu."

Tahu bahwa dirinya adalah anak gunung yang masih bau pupuk bawang, belum pernah kecimpung di dunia Kangouw lagi, dalam kalangan bulim jelas takkan ada orang yang kenal dirinya, kalau pelajar ini tahu namanya pasti juga tidak jadi soal, maka dia bicara sejujurnya. Pelajar itu segera memperkenalkan diri pula: "Aku she Liong, bernama Seng-bu. Boleh kau panggil namaku atau panggil Liong-toako juga boleh."

"Aku ini kan anak rudin, mana berani aku menjajarkan diri dengan dirimu," ujar Tan Ciok-sing.

Berkerut alis Liong Seng-bu, katanya: "Kalau demikian kau anggap aku ini orang apa? Bersahabat tidak perduli tinggi rendah kedudukan, apalagi kau pandai bermain Kungfu, bicara terus terang, malah kuatir tak sebanding bersahabat dengan dirimu."

"Paling aku pernah belajar beberapa gerakan cakar kucing, mana boleh dikata membekal Kungfu segala?" kata Ciok-sing tertawa.

"Soal Kungfu aku ini termasuk orang luar, Kungfu yang pernah kau pamerkan hari itu, cukup membuat aku kagum dan tunduk lahir batin. Tapi kepandaian yang kumaksud akan dirimu bukan soal

Kungfu saja, kemahiranmu memetik harpa itu juga termasuk keahlian yang tak ada bandingannya. Terus terang hobyku juga bermain catur, melukis dan memetik harpa. Guru-guru ahli musik atau ahli pemetik harpa yang kukenal tidak sedikit, tapi tiada seorangpun yang mampu menandingimu."

Mendengar orang memuji kepandaian dirinya memetik harpa, Tan Ciok-sing merasa orang sehoby dirinya, katanya: "Liong-siangkong terlalu memuji."

"Lho, kenapa memanggilku Liong-siangkong segala? Kalau sudi sukakah kau memanggil aku Liong-toako saja."

Maka tanpa sungkan-sungkan lagi Tan Ciok-sing memanggilnya, "Liong-toako, dimanakah

alamatmu. Kelak kalau aku lewat ke kotamu, pasti aku mampir ke rumahmu," secara tidak langsung dia hendak pamit untuk berpisah.

"Kenapa terburu-buru, adik cilik, kau mau kemana?" tanya Liong Seng-bu.

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak mau menceritakan tujuannya ke Ciok-lim mau menemui Thio Tan-hong, setelah berpikir dia berkata: "Aku ini hanyalah bocah yang mencari nafkah dengan menyanyi dan memetik harpa, empat penjuru lautan ini adalah rumahku, tiada tujuan tertentu yang menjadi arah perjalananku."

"Kalau kau tiada tujuan tertentu, ingin aku berunding dengan kau."

"Berunding soal apa?"

"Ingin aku mengundangmu ke tempat tinggalku, angkat kau sebagai guru, entah kau sudi atau tidak?"

"Kepandaianku serendah ini mana pantas menjadi guru? Liong-toako, banyak terima kasih akan bantuanmu, kebaikanmu akan kuukir dalam benakku."

"Usiamu memang lebih muda, jaman dulu ada juga bocah yang pernah menjadi sarjana, kau kan punya keahlian, kenapa begini sungkan. Adik cilik, setulus hati aku suka mengangkat kau sebagai guru, jikalau kau tidak percaya, sekarang juga boleh aku berlutut kepadamu."

Tan Ciok-sing tersipu-sipu mencegah orang, katanya: "Bukan sungkan, aku tahu apa yang aku bisa sekarang belum matang betul. Dan lagi aku sudah biasa kelana di Kangouw, tidak kerasan kalau menetap pada suatu tempat."

Melihat orang menolak dengan tegas, dibujuk juga tetap tidak mau, mendadak Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Siau-suhu, kalau kau tidak mau menetap di rumahku, terpaksa biar aku yang mengikuti kau saja."

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kau ini seorang pelajar, mana boleh berkelana di Kangouw bersamaku?"

"Pangkat dan harta tidak terpandang di mataku, kapan aku bisa bertemu dengan guru harpa seahli dirimu. Hari ini setelah kutemukan, bagaimana juga aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."

Tan Ciok-sing berterima kasih akan tekad dan ketulusan hatinya, tapi betapapun dia tidak boleh selalu mengikuti diriku? Sesaat dia jadi bingung dia seperti merengek: "Mana boleh? Bagaimana mungkin?"

"Kenapa tidak mungkin?" tanya Liong Seng-bu.

"Kau punya pekerjaan, aku juga punya urusan!"

"Kau punya urusan apa?"

"Aku harus berkelana mencari sesuap nasi dengan harpaku, kau harus belajar mengikuti ujian, kalau tidak pulang apakah kau tidak jadi kapiran nanti?"

"Tadi sudah kukatakan aku tidak gila pangkat dan harta. Tentang kau mencari nafkah, kukira tidak akan menjadi persoalan, kalau aku belajar kepadamu, kan menjadi kewajibanku untuk meladeni guru?"

"Tidak, tidak bisa," ucap Tan Ciok-sing geleng kepala, "tetap tidak bisa."

"Kenapa tetap tidak bisa?"

"Kau keluar kali ini tentunya punya sesuatu urusan, mana bisa kau ingin ikut aku lalu bersikap sekukuh ini?"

"O, jadi kau kuatirkan hal ini atas diriku. Bicara terus terang, aku ini suka melancong, kali ini meninggalkan rumah, seperti juga dirimu, tanpa tujuan tertentu, kemana kaki melangkah ke situlah aku pergi, dimana ada pemandangan bagus, disana aku akan tinggal beberapa hari. Hehehe bukankah ini cocok dengan tabiatmu?"

"Apalagi dari pada kau menempuh perjalanan seorang diri, bukankah lebih baik punya teman?" demikian kata Liong Seng-bu lebih lanjut, "Setiap waktu bila kau merasa senang, boleh kau ajarkan aku cara memetik harpa."

Tan Ciok-sing memang anak gunung yang masih hijau plonco tidak punya pengalaman lagi, karena kalah debat akhirnya dia berkata: "Baiklah, kita boleh seperjalanan, aku akan ajarkan memetik harpa, kau mengajar beberapa huruf kepadaku. Toako, kemana kau hendak melancong?"

"Daerah ini termasuk perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu, bagaimana kalau kita keliling ke tempat-tempat wisata. Lusa kita mampir ke Gun-bing, lalu melancong pula ke Tayli." Di tengah jalan Tan Ciok-sing sudah mencari tahu, bahwa letak Ciok-lin berada di karisidenan Lok-lam kira-kira dua ratus li di selatan Gun-bing.

"Boleh saja, hayolah berangkat," kata Tan Ciok-sing. Sengaja dia berjalan dengan langkah lebar, maksudnya supaya pelajar ini memburunya, kalau sedikit tersiksa tentu orang akan kapok, Liong Seng-bu memang berjalan cepat-cepat sampai napasnya ngos-ngosan, akhirnya. Tan Ciok-sing sendiri yang merasa tidak tega lalu memperlambat langkahnya mengiringinya. Begitulah jalan berhenti, berhenti jalan pula, hari itu mereka hanya menempuh tujuh puluhan li, ternyata Liong Seng-bu tidak pernah mengeluh, kalau malam menginap di hotel, sikapnya tetap gagah bergairah, tidak kelihatan lelah, bersenda gurau dan bercakap riang gembira.

"Liong-toako," kata Tan Ciok-sing tertawa, "tidak duga, kaupun kuat berjalan."

"Sering aku melancong seorang diri, maka aku lebih kuat dari pada kaum pelajar umumnya. Kepandaian begini bagus siapa yang mengajarkan kau?"

"Aku ini anak gunung, sejak kecil diasuh oleh kakek, beliaulah yang mengajar aku, tahun ini kakek telah meninggal, terpaksa aku kelana di Kangouw mencari sesuap nasi."

"Jadi kakekmu yang mengajar harpa dan ilmu silat. Entah siapakah nama besar kakekmu? Sudilah kau memberitahu?"

"Biasanya orang memanggil beliau Ki Harpa. Siapa namanya aku pun tidak tahu," teringat akan kematian kakeknya, tanpa merasa berkaca-kaca bola mata Tan Ciok-sing.

"Adik cilik, hal apa yang kau sedihkan?" tanya Liong Seng-bu.

"Tidak apa-apa, aku teringat pada kakek, Liong-toako, biar kupetikkan sebuah lagu untuk kau dengar."

Liong Seng-bu tersentak sadar, pikirnya: "Benar kalau aku terlalu banyak mengajukan pertanyaan, mungkin dia bisa curiga padaku," maka dia lantas berkata: "Baiklah, memangnya aku kan ingin belajar padamu."

Mereka menginap semalam, hari kedua melanjutkan perjalanan ke arah barat. Liong Seng-bu tidak pernah tanya soal pribadinya lagi, yang diperbincangkan hanya soal seni lukis dan kesastraan melulu. Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit memungut hasil.

Seperjalanan dengan orang, di samping kuatir orang tanya tentang riwayat hidupnya, Tan Ciok-sing juga kuatir bila dia kebentur dengan Hek-pek-moko bagaimana baiknya? "Aku tak mungkin menjelaskan padanya, bila tiba saatnya terpaksa biar ku tinggal dia pergi ikut Hek-pek-moko saja," demikian pikir Tan Ciok-sing.

Kira-kira setengah bulan mereka seperjalanan, tanpa merasa hari itu mereka telah tiba di Gun-bing, tapi jejak Hek-pek-moko tidak muncul juga.

Cuaca kota Gun-bing sepanjang tahun seperti musim semi. Kotanya makmur, pusat perdagangan dan kebudayaan lagi. Tan Ciok-sing terpesona waktu memasuki kota budaya ini. Melihat dia senang, Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Bagus tidak kota ini, biarlah kita tinggal beberapa hari sambil plesir di kota ini," setelah berputar kayun setengah harian dalam kota, akhirnya mereka menetap di sebuah hotel besar yang terletak di pusat kota

Hari kedua Liong Seng-bu sudah membuat rencana untuk tamasya, pagi pergi ke Toa-koan-wan sorenya pergi ke Say-san. Kedua tempat ini merupakan pusat keramaian dari kota Gun-bing, Agaknya Liong Seng-bu memang sudah biasa berpetualang, disini dia menjadi petunjuk dan pandai menceritakan seluk beluk dan asal-usul tempat-tempat yang mereka kunjungi.

Pada saat mana mereka berada di suatu tempat yang bernama Liong-bun (pintu naga), entah benar-benar lelah atau hanya beraksi Liong Seng-bu berhenti serta berdiri menggelendot di pagar, katanya: "Siau-suhu, beberapa hari ini, aku sampai tak sempat belajar harpa lagi dengan kau, mumpung di tempat sejuk dan sepi ini, bagaimana kalau kita bermain disini?" lalu Liong Seng-bu pinjam harpa Tan Ciok-sing terus ditabuhnya, dia membawakan sebuah lagu kenangan seorang jejaka yang jatuh cinta terhadap seorang gadis yang dipujanya, sayang dia tidak memperoleh tanggapan yang diharapkan.

"Cinta juga termasuk seni, dengan irama musik dapat menyatakan makna cinta, apakah lagu yang kau mainkan tadi adalah apa yang terkandung dalam sanubarimu?" demikian kata Ciok-sing tertawa.

"Betul. Aku tahu, aku tidak setimpal jadi jodoh nona itu, maka tak berani aku nyatakan isi hatiku."

"Liong-toako, orang setampan kau, pandai tulis pintar membaca, gadis cantik mana yang tidak setimpal jadi jodohmu, kenapa kau merendahkan diri?"

"Gadis yang kupuja itu di samping pandai sastera, dia pun ahli silat pula Siau-suhu, kaupun pandai Kungfu sudikah kau mengajarkan kepadaku, atau berilah petunjuk supaya aku dapat belajar pada seorang tokoh kosen?"

"Apakah dia hendak mengorek isi hatiku?" demikian batin Tan Ciok-sing, "tapi melihat sikap orang yang tulus dan sungguh-sungguh, diam-diam dia salahkan jalan pikirannya yang tidak genah ini. Katanya dengan tawa getir: "Aku sendiri juga ingin belajar lebih tinggi, toh sejauh ini tak berhasil aku menemukan jago kosen."

"Siau-suhu, adakah jago kosen siapa yang sudah menjadi pilihanmu?" tanya Liong Seng-bu.

Tan Ciok-sing mengelak, katanya: "Aku toh belum berkecimpung dalam bulim, siapa saja jago-jago kosen dalam bulim ini, hakikatnya aku tidak tahu. Dan lagi jago kosen hanya bisa di temukan secara kebetulan, tak mungkin diburu-buru, sebelum ini cara bagaimana aku bisa tahu kepada siapa aku harus belajar?"

Liong Seng-bu seperti kecewa, katanya lesu: "Adik cilik, memang betul ucapanmu. Biarlah aku berdoa semoga kelak aku bisa menemukan seorang jago kosen dan mengangkat guru kepadanya."

"Lebih baik kita tetap belajar harpa saja, Liong-toako petikan harpamu sudah bertambah maju, kini marilah kugantikan, coba kubawakan syair lagu hasil ciptaanmu, kemarilah."

Setelah menyambuti harpa, Tan Ciok-sing duduk mendeprok lalu mulai menyetem serta siap membawa lagunya.

Di kala mereka asyik dan tenggelam dalam alunan irama harpa, mendadak terdengar seorang tarik suara keras-keras terus berkaok-kaok dengan suara kasar dan serak, suaranya sumbang menusuk pendengaran, konsentrasi Tan Ciok-sing sampai buyar dan menghentikan petikannya.

Tampak dari ujung pengkolan sana tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang bertampang kriminil. Berkerut kening Liong Seng-bu, katanya: "Menyebalkan."

"Apa menyebalkan?" seru salah seorang laki-laki itu, "kepada siapa kau tujukan ucapanmu?" dengan langkah lebar dia terus menumbuk ke arah Liong Seng-bu.

Jalanan gunung yang sempit terletak di atas ngarai ini memangnya licin dan membelakangi jurang, Liong Seng-bu berdiri membelakangi jurang, meki di belakangnya ada pagar, kalau di tumbuk bukan mustahil dia bisa terjungkel ke bawah jurang! Karuan Tan Ciok-sing kaget, namun hendak menolong Liong Seng-bu jelas tidak keburu lagi, sementara seorang laki yang lain juga menumbuk ke arah dirinya. Lekas Tan Ciok-sing angkat harpanya seraya bergerak dengan Hud-in-jiu, sekali putar tahu-tahu dia seret orang itu lewat ke samping terus menyelonong ke belakang.

Ilmu silat orang ini agaknya lumayan juga, meski badan kehilangan keseimbangan, tapi sekaligus dia doyongkan badan sambil angkat sebelah kakinya mendepak, sebelah kakinya pula menggantol ke tumit Tan Ciok-sing maksudnya hendak menjegalnya jatuh.

Untung bekal kepandaian Tan Ciok-sing sekarang tidak serendah beberapa bulan yang lalu, dalam keadaan kritis ini, gerakannya masih cepat lagi, sambil merendahkan pundak, sikutnya bekerja, "Buk" kaki orang memang menggantol kakinya, tapi sebelum lawan kerahkan tenaga, dadanya sudah kena disikut sampai terjerumus jatuh terguling ke jalanan sempit yang menurun ke bawah sana.

Waktu Tan Ciok-sing memutar badan, apa yang dilihatnya membuat hatinya mencelos. Yang dilihatnya kiranya laki-laki kasar itu sedang jatuh celentang di tanah,* sementara bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.

Cepat sekali laki-laki ini sudah melejit berdiri, sikapnya sudah siap menggasak Tan Ciok-sing pula tapi ragu-ragu. Agaknya dia melihat temannya yang terguling-guling itu, maka tidak berani bertindak pula secara semberono.

Jarak kira-kira ada tiga tombak, angin pukulan menyampuk muka menimbulkan rasa pedas dan panas. Kuatir bukan tandingan lawan, lekas Tan Ciok-sing mencabut golok, sekali ayun dia membelah sebuah batu gunung yang besar serta membentak: "Mari maju ingin aku tahu apakah batok kepalamu lebih keras dari batu ini."

Betapa tajam golok pusaka Tan Ciok-sing ini, karuan laki-laki itu ciut nyalinya, tanpa berani bersuara segera dia putar tubuh angkat langkah seribu.

Setelah kedua orang kasar itu dipukul kabur, baru Tan Ciok-sing mendengar teriakan Liong Seng-bu: "Adik cilik, tolong, tolong."

Waktu menengok keluar pagar, dilihatnya Liong Seng-bu bergantung di atas jurang, sebelah tangannya menangkap kaki sebatang cagak besi dari pagar gunung. Lekas Ciok-sing mencopot kain sabuknva, kedua kaki menggantol pagar besi, segera dia ulurkan kain sabuknya ke bawah, untung panjang sabuk kainnya pas-pasan mencapai tempat dimana Liong Seng-bu bergelantung di udara.

Pucat dan ketakutan yang teramat sangat membuat Liong Seng-bu tak kuasa bicara untuk sekian lamanya. Setelah napas teratur dan perasaan tenang kembali, baru dia ingat mengucapkan terima kasih kepada Tan Ciok-sing.

"Liong.toako," kata Tan Ciok-sing, "peristiwa ganjil ini agak mencurigakan."

"Memangnya, kita tidak pernah bermusuhan dengan mereka sungguh aku tak habis mengerti kenapa mereka membuat gara-gara, syukur Tuhan masih melindungi, kalau tidak tentu aku sudah hancur lebur di jurang sana."

"Liong-toako, kau terluka tidak?"

"Syukur hanya lecet sedikit. Waktu orang tadi menumbuk datang, aku sempat mendengkul perutnya, tapi aku sendiri terjungkel ke bawah, untung aku sempat meraih cagak besi. Adik cilik, kepandaianmu memang hebat, kedua orang kasar itu kena kau pukul pergi."

"Bukan kepandaianku tinggi, mereka takut pada golokku ini," demikian ujar Tan Ciok-sing, terbayang kejadian tadi, rasa curiganya timbul lagi. Pikirnya: "Kalau tiga bulan yang lalu, mungkin aku sudah celaka. Liong-toako katanya tidak bisa silat, tapi setelah disergap orang yang pandai Kungfu, jiwanya masih selamat, sungguh aneh bin ajaib."

"Adik cilik," tanya Liong Seng-bu, "harpamu tidak rusak?"

Mencelos hati Tan Ciok-sing, lekas dia periksa harpanya dengan teliti, akhirnya menghela napas, katanya: "Untung tidak kurang apa¬-apa."

"Say-san masih banyak lagi tempat tamasya, setelah kejadian yang tidak menyenangkan ini, jadi lenyap seleraku untuk melancong. Hayolah kita pulang saja," sepanjang jalan ini Liong Seng-bu seperti khawatir bila kedua laki-laki kasar itu akan mengejar lagi, maka sikapnya tampak gugup dan sering celingukan, langkahnyapun buru-buru.

Tapi Tan Ciok-sing diam-diam membatin: "Kalau benar kedua orang itu tiada bermusuhan dengan Liong-toako, kenapa mereka bertindak sekasar ini, kan tidak pantas bertujuan jahat? Tapi bukan mustahil tujuan mereka adalah diriku. Mungkinkah mereka anak buah Ie Cun-hong?" sulit juga Tan Ciok-sing memperoleh jawaban dari rekaannya, diam-diam dia malah sedikit menyesal dan merasa bersalah terhadap Liong Seng-bu yang harus ikut ketimpa bahaya. Pikirnya: "Kalau betul dugaanku, bukankah aku yang membikin Liong-toako turut susah?"

Setelah tiba di hotel baru Liong Seng-bu tampak lega dan dapat bicara dengan tertawa, katanya: "Adik cilik, hari ini aku terhindar dari kematian, kaupun dibuat kaget, marilah kita minum beberapa cawan untuk menenangkan hati."

Entah karena kebanyakan minum atau karena terlalu lelah dan rasa ketakutan yang menghantui hatinya, setelah makan malam Liong Seng-bu terus menutup diri dalam kamar dan tidur dengan nyenyak, dengkur pernapasannya lambat dan teratur.

Tapi Tan Ciok-sing malah gundah gulana tidak bisa memejamkan mata. Tanpa terasa didengarnya suara kentongan tukang ronda yang mundar-mandir di jalan raya sebanyak tiga kali, berarti hari sudah menjelang subuh.

Tan Ciok-sing bangun perlahan-lahan lalu mengenakan bajunya, dengan suara lirih dia memanggil "Liong-toako" dua kali, tapi dengkur Liong Seng-Bu masih sekeras babi, jelas tidak mudah untuk membangunkannya.

Pikiran Tan Ciok-sing kalut seruwet benang, pikirnya: "Sebetulnya aku masih bisa menemani Liong-toako beberapa hari lagi, tapi biarlah aku berangkat sendiri saja lebih cepat lebih baik. Yang terang kapan saja aku toh harus berpisah dengan dia. Laki-laki kasar itu kalau hendak mencari setori padaku, Liong-toako tentu tidak akan diapa-apakan."

Tengah dia menimbang-nimbang apakah dia perlu meninggalkan tulisan untuk memberi penjelasan kepada Liong Seng-bu, tiba-tiba daun jendela yang tertutup itu menjeplak terbuka sendiri, selarik sinar tampak meluncur dan "Trak" sebuah pisau belati yang tajam kemilau tahu-tahu menancap di atas meja, di ujung belati yang menancap meja tertusuk secarik kertas surat.

Mengira musuh telah meluruk datang, lekas Tan Ciok-sing ambil surat itu serta dibuka sampulnya, pikirnya: "Begini lebih baik, aku jadi terang duduknya persoalan," tapi setelah dia membaca isi suratnya, sungguh amat diluar dugaannya. Surat itu bukan ditujukan dirinya, tapi ditujukan kepada Liong Seng-bu malah.

Tulisan surat ini miring dengan . gaya yang tidak karuan, jelas ditulis orang kasaran, bunyinya demikian: "Liong-san, kebetulan kau berada di Gun-bing, perhitungan lama kita harus lekas diselesaikan. Kalau kau berani, kita janji bertemu di Liong-bun. Aku tidak akan membawa anak buah, kita bertanding satu lawan satu. Kuperingatkan kepadamu untuk terakhir kali, mau lari kau tidak akan lolos dari pengawasanku, kuharap kau tahu diri."

Sebetulnya Tan Ciok-sing siap meninggalkan Liong Seng-bu secara diam-diam, setelah membaca surat ini, sesaat dia melenggong Tiba-tiba sebuah tangan menyelonong dari belakang merebut pucuk surat yang dibacanya, kata orang di belakangnya: "Adik cilik, bikin kaget kau saja," entah kapan ternyata Liong Seng-bu sudah bangun dan tahu-tahu berdiri di belakang.

"Maaf Liong-toako, surat ini untuk kau, aku tidak tahu barusan sudah kubuka dan kubaca."

Setelah membaca surat itu, berubah hebat muka Liong Seng-bu, katanya sesaat kemudian: "Adik cilik, ada sebuah hal, kuharap kau suka memaafkan diriku. Kukatakan aku tidak pandai silat, ini memang aku menipumu. Kelihatannya aku seperti Siucay, yang benar akupun kaum persilatan."

"Kemarin kau tidak terluka apa-apa, memangnya aku sudah curiga. Tapi aku tak habis mengerti, apa sebetulnya yang pernah terjadi?"

"Panjang ceritanya, pendek kata aku pernah berbuat salah terhadap seorang jahat yang memiliki kepandaian tinggi, kedua orang yang di Liong-bun tadi hanyalah anak buahnya saja."

"Lalu siapa yang mengirim surat ini?" tanya Tan Ciok-sing.

"Pasti anak buahnya juga. Orang jahat itu terlalu tinggi hati, caranya keji, hatinya kejam, dia memang yakin bahwa aku tidak akan lolos dari telapak tangannya, maka dia mengundang untuk bertanding satu lawan satu. Agaknya dia sengaja supaya aku banyak menderita lahir batin baru akan membunuhku."

"Undangannya itu jelas tidak bermaksud baik. Kalau kau memang bukan tandingannya, lebih baik kau tidak usah tepati undangannya."

"Tiada gunanya, anak buahnya tersebar dimana-mana, kemana aku lari tetap kecari juga. Umpama hari ini aku berhasil lolos besok juga pasti harus membuat perhitungan. Kecuali ada seorang jago kosen yang sudi membantuku."

"Sayang, besar keinginanku membantu apa daya tenaga tak sampai. Musuhmu itu pasti teramat liehay, kedua anak buahnya tadi, akupun bukan tandingan mereka."

"Aku tahu. Bicara terus terang, aku bersahabat dengan kau, maksudku ingin minta bantuanmu, tapi dari peristiwa tadi, meski kepandaianmu lebih tinggi dari aku, kau tetap bukan tandingan gembong penjahat itu. Umpama kau tetap hendak membantuku, terpaksa aku harus menampik kebaikanmu, aku tidak ingin kau mendapat susah. Adik cilik buntalanmu sudah kau siapkan, apakah kau sudah siap meninggalkan tempat ini?"

Merah muka Tan Ciok-sing, katanya: "Bukan maksudku hendak pergi diluar tahu Liong-toako, tapi, tapi..."

"Adik cilik, lekaslah kau pergi, tak perlu kau menjelaskan padaku.

Begini besar perhatianmu kepadaku, tidak sia-sialah kami bersahabat. Mati hidup seseorang sudah ditentukan takdir, kalau besok malam aku memang harus celaka, akupun akan menerima nasibku ini."

Bergolak dada Tan Ciok-sing, sifat satrianya berkobar, tanpa pikirkan diri sendiri lagi, segera dia berseru: "Liong toako, kau ikut aku saja?"

"Ikut kau? Kemana?" "Toako, kau tak usah peduli, aku punya satu tujuan,"

"Kalau tak bisa lolos bagaimana? Bukankah kau ikut celaka malah?"

"Tadi aku ingin pergi diam-diam karena aku belum tahu persoalanmu. Kini setelah kau menghadapi mara bahaya, kalau aku tidak ikut memikul bebanmu, buat apa persahabatan kita ini. Aku juga tidak tahu apakah kita bisa lolos, tapi kan lebih baik dari menunggu nasib."

Lekas Liong Seng-bu- goyang-goyang tangan, katanya: "Jangan, lebih baik kau lari seorang diri saja."

"Kau berkata demikian berarti memandang rendah diriku. Toako sebetulnya kau tidak perlu banyak kuatir, tempat itu tidak jauh dari Gun-bing, kalau sekarang berangkat, menempuh perjalanan siang malam, kalau lari cepat, besok malam tentu sudah tiba di tempat tujuan. Setiba di tempat itu, pasti ada orang akan membantu. Betapa liehay musuhmu, pasti takkan petingkah disana," kuatir Liong Seng-bu tidak mau ikut lari, terpaksa dia sedikit membocorkan rahasia itu.

Girang Liong Seng-bu bukan kepalang, lekas dia rogoh keluar sekeping uang mas terus ditaruh di atas meja, katanya: "Syukur adik begini setia kawan, baiklah sekarang kita berangkat. Tak usah mengganggu pemilik hotel."

Maksud Tan Ciok-sing adalah ingin mengajak Liong Seng-bu ke Ciok-lin dan semoga diterima Thio Tan-hong sebagai murid.

Alam pikiran Tan Ciok-sing memang terlalu Jenaka, karena iba dan merasa punya kewajiban sebagai sesama sahabat, kalau teman memang hadapi bahaya adalah pantas kalau dia ikut memikul kesulitan yang menimpa Liong Seng-bu, pada hal dia tidak memikirkan untung rugi akibat yang diperbuatnya ini. Thio Tan-hong adalah pendekar besar yang dikagumi dan diagungkan oleh kaum persilatan di kolong langit ini, sudah tentu dia berjiwa ksatria dan perkasa dalam membela kepentingan si lemah. Dengan membawa surat dan barang milik In Tayhiap memohon sesuatu bantuannya, tentu dia akan

meluluskan permintaanku. Jikalau dia suka menerima Liong-toako sebagai muridnya pula sudah tentu baik sekali, umpama tidak mau, demi memandang muka In Tayhiap, paling tidak pasti suka melindungi Liong-toako," demikian pikir Tan Ciok-sing. Tapi apakah Thio Tan-hong masih hidup, setiba di Ciok-lin apakah lantas dapat menemukan Thio Tan-hong? Semua ini masih sukar diramalkan, oleh karena itu terhadap Liong Seng-bu dia masih belum berani menjelaskan sejujurnya, sebelum tiba di Ciok-lin, sementara dia hanya akan memberi keterangan samar-samar.

Setelah meninggalkan uang, secara diam-diam Liong Seng-bu dan Tan Ciok-sing meninggalkan hotel itu. Baru sekarang Tan Ciok-sing menyadari bahwa ginkang orang ternyata masih lebih tinggi dibanding dirinya. Tinggi tembok kota Gun-bing ada tiga tombak, Tan Ciok-sing takkan mampu melompatmya, maka Liong Seng-bu merambat naik lebih dulu dengan ilmu cecak merambat, lalu menggunakan tambang panjang yang memang sudah disiapkan mengerek Tan Ciok-sing ke atas. Setiba diluar kota, langkah 1 long Seng-bu ternyata lebih ringan bagai terbang, kcadaaanya jelas jauh berbeda dengan sebelum ini, sekuat tenaga Tan Ciok-sing kerahkan kemampuannya baru sejajar.

Tak nyana Liong-toako pandai berpura-pura dan menipu orang. Tanpa merasa Tan Ciok-sing geli sendiri akan kebodohannya yang sejak mula kira orang adalah pelajar yang lemah, tapi dia merasa jengkel juga karena telah tertipu mentah-mentah. Dasar bajik dan jujur lekas dia berpikir pula: "Dia punya kesulitannya sendiri, bukankah ada beberapa persoalan yang tidak mungkin kubicarakan dengan dia?"

Mendengar musuh Liong Seng-bu sedemikian liehay, sepanjang jalan hati Tan Ciok-sing ikut kebat-kebit, kuatir di tengah jalan bentrok dengan musuh liehay dan teringkus balik. Namun diluar dugaannya, sepanjang jalan ini tiada terjadi apa-apa pula, mereka tiba di tempat tujuan satu jam lebih pagi, sebelum senja dengan selamat merekapun tiba di Ciok-lin.

Hembusan angin barat di waktu senja memang membawa suasana hangat dan silir nyaman, waktu angkat kepala, tampak puncak-puncak batu yang tak terhitung banyaknya terbentang di depan mata, berlapis-lapis dan bersusun seperti sedang lomba menembus langit.

Dengan langkah gontai mereka mulai memasuki hutan batu, tampak di tengah sana sebatang balok batu besar seperti bergelantungan di tengah udara melintang panjang, di atas batu terukir empat huruf yang berbunyi: "Thian-kay-gi-kin" (Tuhan mencipta pandangan aneh), di sebelah dan sekitarnva masih pula banyak tulisan-tulisan dari pujangga-pujangga yang

memujikan keindahan alam ciptaan Thian ini. Selintas pandang kedalam hutan batu, tampak pintu seperti beribu berlaksa banyaknya, suasana tenang sepi dan menjelang keremangan malam menjadikan keadaan sekitarnya serba mengerikan.

Liong Seng-bu tampak menampilkan rasa kaget dan senang luar biasa, dia berhenti di ambang pintu hutan batu, katanya: "Adik cilik, bukankah disini Hutan Batu?"

"Betul, marilah kita masuk. Kenapa, apa kau merasa adanya gejala yang tidak benar?"

"Nanti dulu, nanti dulu. Sebelum ini pernahkah kau datang ke Ciok-lin?"

"Tidak, belum pernah."

"Terlalu berbahaya kalau begitu. Dalam catatan kuno ada dikatakan, kalau laksana pintu hutan batu sampai tertutup, tak ubahnya berada dalam Pat-tin-koh ciptaan Cukat Liang di jaman Sam Kok dulu. Memangnya boleh kita masuk secara gegabah? Jikalau sampai kesasar dan salah jalan, selama hidup ini takkan bisa keluar dari hutan batu."

"Menempuh sedikit bahaya kukira juga patut, cianpwe kosen yang hendak kita cari itu, justeru bertempat tinggal didalam Ciok-lin."

"Siapa cianpwe kosen itu, sudikah kau sekarang berterus-terang padaku?"

"Kalau aku sudah mengajaknya kemari, adalah logis kalau aku terangkan asal-usul Thio Tan-hong," maka dia berkata: "Yahlah Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang diakui secara umum sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini."

"Haya," teriak Liong Seng-bu, "kenapa tidak kau jelaskan sejak semula, jadi kau kenal Thio Tayhiap?"

Kuatir orang salah paham Tan Ciok-sing berkata: "Bukan aku sengaja mau main teka teki waktu meninggalkan Gun-bing, aku tidak pernah duga kita bakal tiba di tujuan begini leluasa. Tapi selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap, jadi belum bisa dikatakan kenal."

Liong Seng-bu menarik muka, katanya: "Adik cilik, apa kau tidak berkelakar denganku?"

"Toako tak usah gelisah, dengar dulu penjelasanku. Walau selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap, tapi aku mendapat titipan seorang untuk menemui beliau. Orang itu adalah famili dekat Thio Tayhiap, dan memberitahu padaku, asal aku menjelaskan urusannya, Thio Tayhiap pasti akan sudi menerima aku sebagai muridnya."

"Orang itu siapa? Urusan apa pula yang dia titip supaya kau kerjakan?"

Pertanyaan bertubi ini seolah-olah hendak membanting kwali mengorek intip ini membuat Tan Ciok-sing serba susah. Haruskah dia membeber rahasia In Hou kepadanya?

Melihat orang mengunjuk sikap serba susah, sengaja Liong Seng-bu menghela napas, katanya: "Adik cilik, sebetulnya tidak pantas aku mencari tahu rahasiamu, tapi soal ini menyangkut urusan mati hidupku, adalah jamak kalau aku prihatin akan hal ini. Ai, adik cilik setelah kita bergaul selama beberapa hari ini, memangnya kau masih tidak percaya kepadaku? Dan lagi kalau aku tidak tahu menahu segala persoalan ini, bila berhadapan dengan Thio Tayhiap, mungkin sukar aku memberi jawaban yang tepat."

"Kalau aku sudah mau membawa Liong-toako menemui Thio Tayhiap, cepat atau lambat rahasia ini pasti diketahuinya juga. Waktu aku memberi laporan kepada Thio Tayhiap, memangnya aku harus menyuruh dia menyingkir dulu? Kalau akhirnya toh dia mesti tahu, soal cepat atau lambat yang terpaut beberapa jam ini kenapa harus kujadikan alasan?" maklumlah Tan Ciok-sing betapapun baru berusia belasan, meski sudah kenyang hidup menderita, namun dia masih cetek pengalaman dan belum bisa membedakan baik buruk serta menyelami keculasan hati manusia, akhirnya dia membeber rabasia itu: "Orang itu bernama In Hou, dia keponakan dekat Thio Tayhiap."

"Kenapa tidak dia sendiri yang mencari sang paman, malah titip kepadamu? tanya Liong Seng-bu.

"In Tayhiap sudah meninggal, sebelum ajalnya itu dia berpesan kepadaku," teringat betapa mengenaskan kejadian waktu itu, tanpa merasa dia mencucurkan air mata.

"Adik cilik kau masih begini sedih, bolehlah kau menangis sepuas-puasnya, Meski aku bukan sanak kadangmu, tapi persahabatan kita sudah laksana saudara kandung, boleh kau anggap aku sebagai sanak kadang sendiri. Soal yang menyedihkan setelah terlampias dalam tangis, mungkin perasaanmu bisa sedikit longgar."

Liong Seng-bu memang sengaja hendak mengorek keterangannya, maka kata-katanya kelihatan setulus hati. Sayang Tan Ciok-sing yang belum kenyang mengalami gelombang hidup ini, mana dia tahu kemunafikan hati orang, tanpa sadar dia menjadi haru dan menaruh simpatik padanya.

Kalau rahasia sudah bocor sedikit, seperti juga tanggul yang bocornya semakin besar sehingga air bah akhirnya tidak tertahan lagi. Waktu Tan Ciok-sing menyeka air mata, rahasia dirinyapun telah habis dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling.

Setelah tahu lika liku persoalannya sudah tentu bukan kepalang senang hati Liong Seng-bu, namun lahirnya dia berpura-pura ikut sedih dan prihatin, katanya membujuk: "Adik cilik, pengalaman hidupmu memang harus dikasihani penderitaan lahir batinmu memang patut dikasihani, kini tiba saatnya kau membangkitkan semangat. Kau membawa golok In Tayhiap, tanda bukti ini kukira sudah cukup, apalagi kaupun membawa buku ilmu pedang karya Thio Tayhiap sendiri, Thio Tayhiap pasti percaya padamu dan mengangkatmu sebagai murid."

"Doakan saja. Malah aku masih punya angan-angan, jikalau kita bisa menjadi Suheng-te, bukankah, lebih baik."

Liong Seng-bu berpura-pura amat haru dan terima kasih, katanya: "Adik cilik, terima kasih atas penghargaanmu akan diriku, bahwa aku bisa berlindung di tempat Thio Tayhiap sudah cukup puas bagi aku," sampai disini mendadak dia seperti teringat sesuatu, katanya: "Adik cilik, tanda kepercayaan yang diberikan In Tayhiap untukmu tidak kau hilangkan bukan?"

"Barang sepenting ini, mana boleh hilang? Nah coba lihat, Kiam-boh karya Thio Tayhiap dan ilmu golok ajaran keluarga In semua kusimpan dalam kotak ini," sambil bicara dia keluarkan kotak kayu persegi itu.

Seperti mencorong bola mata Liong Seng-bu, dia maju mendekat ke samping Tan Ciok-sing, mendadak dia ulur jari menutuk Ciang-bun-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing secara keras. Baru saja Tan Ciok-sing hendak membuka kotak itu, sungguh mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa Liong Seng-bu yang sudah dipandang sebagai saudara kandung sendiri ini bakal membokongnya. "Bluk" kontan dia tersungkur jatuh.

Ciang-bun-hiat adalah salah satu dari dua belas hiat-to di tubuh manusia yang membuat badan lemas lunglai, kalau kena ditutuk, takkan mampu bergerak sedikitpun, bicarapun tidak bisa, tapi tetap sadar dan dapat mendengarkan.

Tanpa hiraukan Tan Ciok-sing yang tersungkur, Liong Seng-bu merebut kotak kayu itu lebih dulu, lalu dia jemput pula golok pusaka itu, serunya berjingkrak senang seperti si gila putus lotre: "Adik cilik," katanya kemudian, "jangan kau salahkan bila aku bertindak keji, dari pada kau yang menjadi murid Thio Tan-hong, kan lebih baik aku saja yang menjadi muridnya." Tahulah Tan Ciok-sing bahwa orang hendak memalsu dirinya, menipu Thio Tan-hong menerima dia sebagai murid, karuan bukan kepalang dongkol, gemes dan marah hatinya, hampir saja dia kelenger dibuatnya.

Di tengah gelak tawanya yang menggila, Liong Seng-bu berkata lebih lanjut: "Sebetulnya setelah aku memperoleh kebaikan ini dari kau, tidaklah pantas kalau aku membunuhmu. Tapi aku yakin kau tidak akan terima menderita kerugian besar ini, umpama kau tidak akan mencari perkara padaku kelak, aku kuatir kau akan membocorkan rahasiaku ini. Supaya tidak menjadikan bencana di kelak kemudian hari, terpaksa kubunuh kau dan kusumbat mulutmu. Tapi harpa kesayanganmu ini akan kukubur bersamamu, terhitung aku menanam sedikit kebaikan demi persaudaraan kita."

Pelan-pelan Liong Scng-bu mencabut golok, setelah disentil sekali, dia memuji: "Golok bagus, golok bagus," seperti kucing yang mempermainkan tikus yang telah dicaploknya, dia mengamati, mengelus dan membolak-balik golok pusaka itu di samping Tan Ciok-sing, tapi tidak segera ayun golok membunuhnya.

Baru sekarang Tan Ciok-sing menyesal dan gegetun, pikirnya: "Goblokku sendiri, kenapa mau percaya begini saja terhadap orang yang baru dikenalnya," apa boleh buat, terpaksa dia pejam mata menunggu kematian saja.

Mendadak terdengar suara dua orang yang berpadu: "Golok bagus, golok bagus. Cara yang keji, cara yang keji."

Sudah tentu kaget Liong Seng-bu bukan main, tak sempat lagi dia ayun goloknya untuk membunuh Tan Ciok-sing, lekas dia lompat ke samping, golok melintang melindungi badan baru pelan-pelan dia menoleh.

Mendengar suara yang pernah didengarnya ini, Tan Ciok-sing buka matanya pula, ternyata kedua orang ini bukan lain dua laki-laki kasar yang sengaja cari perkara di Liong-bun itu.

Liong Seng-bu tertawa sambil memasukkan golok kedalam sarungnya, katanya: "Kiranya kalian berdua, bikin kaget aku saja. Tapi, kenapa kalianpun ikut menyusul kemari?"

Laki-laki yang bertubuh kekar itu berkata: "Liong-losam, kuucapkan selamat akan kesuksesanmu. Kemarin kami ikut membantu sebagai pembantu pemainmu, tidak jelek bukan permainan kami?"

Baru sekarang Tan Ciok-sing kembali sadar, "musuh" yang diomongkan Liong Seng-bu kemarin hakikatnya hanya isapan jempol belaka, ternyata dia memang sekongkol dengan kedua laki-laki ini untuk menipu dirinya.

Liong Seng-bu tertawa dipaksakan, katanya: "Lo-li, kau punya tampang kriminil dan pandai memerankan orang jahat, sudah tentu permainanmu kemarin bagus sekali."

Laki-laki lainnya yang bertubuh lebih pendek berkata: "Tapi, usaha dagang ini kan kita kerjakan bersama, setelah kau memperoleh keuntungan besar tentunya tidak melupakan kami berdua?"

"Itu sudah selayaknya, kita kan seperti saudara sendiri, memangnya kalian masih tidak percaya padaku?"

Yang dipanggil Lo-li berkata: "Bukan tidak percaya, tapi ada lebih baik kalau kita selesaikan usaha bersama ini secara damai saja. Kalau toh sudah berhasil maka pembagian harus sama dan adil. Kalau secara diam-diam kami tidak membuntutimu ke mari, cara bagaimana kami tahu kau berhasil atau tidak?"

Merasakan nada pembicaraan mereka sudah tidak mempercayai dirinya lagi, maka Liong Seng-bu berkata: "Apa yang kuucapkan kepada bocah ini tadi, tentu kalian juga sudah dengar. Maka kalian tentu sudah tahu, maafaatnya masih belum kita capai seluruhnya. Coba pikirkan, Thio Tan-hong hanya mau menerima seorang murid, terpaksa hanya aku saja yang memalsu dirinya. Kelak bila aku berhasil mempelajari Kungfu tinggi, baru bisa aku membagi hasil dengan kalian."

Laki-laki kasar tinggi itu berkata: "Bagaimana pendapatmu Lo-han."

"Manfaat besar memang ada di belakang, namun keuntungan kecil kan sekarang juga bisa dibagi bukan?" kata orang she Han.

"Apa yang perlu dibagi sekarang?" Liong Seng-bu menegas.

"Li-toako," kata orang she Han, "kau terima golok pusaka, sedang aku menginginkan Kiam-boh itu, bagaimana?" tidak langsung menjawab pertanyaan Liong Seng-bu sebaliknya dia berunding dengan laki-laki she Li itu, jelas bahwa mereka sebelumnya sudah ada kata sepakat.

Laki-laki kekar she Li bergelak tawa, katanya: "Sebetulnya Kiam-boh karya Thio Tan-hong sedikit lebih bernilai, tapi kita kan sesama saudara, aku sebagai engkoh boleh saja mengalah, terserah bagaimana keinginanmu."

Lekas Liong Seng-bu berkata: "'Bagaimana boleh cara begitu."

"Liong-losam," dingin tegas suara laki-laki kasar, "seorang laki-laki harus tahu diri, dalam hal ini kau sudah memperoleh keuntungan yang paling besar, buat apa berdebat dan rebutan pula dengan kami?"

Orang she Han itu menambahkan: "Memangnya, Liong-losam, coba kau pikir, setelah kau menjadi murid Thio Tan-hong jago pedang nomor satu di dunia ini, berarti Kungfumu kelak nomor satu di jagat ini, bukankah keuntungan yang kau peroleh jauh lebih berharga dari golok pusaka atau Kiam-boh segala? Memangnya kau tidak rikuh mengukuhi soal sepele dan kecil ini?"

Liong Seng-bu menyeringai getir, katanya: "Toako berdua tidak fahu, kedua barang ini harus kugunakan sebagai tanda kepercayaan supaya bisa bertemu dan dipercaya oleh Thio Tan-hong. Kelak setelah aku berhasil belajar Kungfu kan belum terlambat kuberikan kepada kalian. Itu waktu bukan saja boleh aky serahkan golok dan Kiam-boh, Kungfu yang telah kupelajari juga bisa kuajarkan .pula kepada kalian, bukankah itu lebih menguntungkan?"

Mendelik mata laki-laki kekar, katanya: "Liong-losam, bukan aku sebagai saudara tua ini tidak percaya kepadamu, memangnya kami goblok harus menunggu selama itu."

Liong Seng-bu mengerutkan alis, katanya: "Kalau kalian ambil kedua barang kepercayaan ini, cara bagaimana aku harus menemui Thio Tan-hong dan mendapat kepercayaann ya?"

"Liong-losam," ujar laki-laki pendek she Han, "mulutmu manis pandai bicara. Segala rahasia telah kau ketahui dari mulut bocah ini, memangnya apa pula yang kau kuatirkan?"

"Jangan kalian lupa Thio Tan-hong tokoh besar yang pernah digembleng dalam pengalaman hidup, memangnya dia gampang ditipu seperti bocah ingusan ini?"

"Belum tentu," ucap laki-laki she Han, "kau bisa juga menipunya asal tepat pada sasaran, In Hou mati di Kwi-lin ini memang kenyataan. Ki Harpa kakek dan cucu berbudi terhadap In Hou, inipun tidak keliru. Kalau toh apa yang diceritakan semua kenyataan, tanpa tanda pengenal segala juga pasti keteranganmu dipercaya."

Laki-laki kekar itu jadi kurang sabar, katanya: "Liong-losam, terserah bagaimana kau akan menipu Thio Tan-hong, yang terang kami tidak mau membantumu secara percuma."

"Tadi aku sudah berjanji kelak akan membagi hasil pada kalian!" kata Liong Seng-bu.

"Kelak, kelak, siapa tahu kelak kau akan mungkir dan menyikat seluruh hasil hari ini. Pendek kata, tidak usah banyak bicara lagi, golok dan Kiam-boh harus kau serahkan, kalau tidak, terpaksa kami tidak sungkan lagi kepadamu."

Liong Seng-bu bersikap apa boleh buat, katanya getir: "Agaknya kalian memang tidak percaya lagi kepadaku, terpaksa aku kabulkan keinginan kalian."

"Memangnya, sebaiknya sejak tadi kau terima usul kami, kau tidak perlu banyak debat?" kata laki-laki she Li.

Orang she Han berkata: "Kotak yang berisi Kiam-boh itu kau letakkan di tanah, aku bisa mengambilnya sendiri."

"Betul," laki-laki she Li tersadar, "lemparkan golok itu, tak usah kau kemari."

Liong Seng-bu tertawa pahit, katanya: "Kalian begini curiga, memangnya Siauwte bakal membokong kalian?" lalu dia keluarkan kotak itu dan ditaruh di tanah.

Orang she Han memutus sebatang dahan sebagai genter lalu menjungkit kotak itu ke arahnya.

Sementara laki-laki kekar itu berseru: "Lemparkan golok itu ke mari."

"Ya, terimalah," seru Liong Seng-bu, mendadak sinar golok berkelebat bagai kilat, dengan gerakan yang luar biasa cepat mendadak Liong Seng-bu mencabut golok terus ditimpuk.

Walau sudah bersiaga, tapi tidak terbayang oleh laki-laki kekar ini setelah tipu daya Liong Seng-bu mereka bongkar, dia masih berani turun tangan keji pada mereka. Mau meloloskan senjata menangkis terang tidak keburu lagi. Maka terdengar "Crap" menyusul darah muncrat berhamburan, tahu-tahu golok pusaka itu sudah menusuk amblas ke ulu hatinya. Pada saat itu pula laki-laki she Han itu telah timpukan sebatang Kong-piau. Mendengar deru angin kencang, lekas Liong Seng-bu mendak ke bawah sambil berputar miring. Tapi tak urung pundaknya terserempet lecet berdarah, untung tidak sampai mengenai tulang pundaknya.

Cepat sekali tanpa berjanji kedua orang sama menubruk kesana untuk merebut golok. Ternyata orang she Han setengah langkah lebih cepat, tapi dia tidak sempat memungut golok tersebut, terpaksa dia tendang golok itu ke samping sehingga keduanya sama-sama tidak memperoleh apa yang diinginkan, "Liong-losam," bentak laki-laki she Han, "Keji benar kau."

"Siapa salah, kalian memaksa aku turun tangan," bantah Liong Seng-bu. Kedua orang saling menyalahkan, namun kaki tangan mereka tidak pernah berhenti.

Rebah di tanah tak mampu berkutik. Tan Ciok-sing hanya mendelong mengawasi mereka baku hantam, diam-diam dia berpikir: "Kepandaian Liong Seng-bu ternyata memang lebih unggul dari aku. Kepandaian laki-laki she Harr ini juga lebih tinggi dari aku."

Dinilai taraf kepandaian silat Liong Seng-bu setingkat lebih unggul, tapi pundaknya tergores Piau, sedikit banyak mengurangi kelincahannya, maka keadaan tetap sama kuat.

"Han-toako, hentikan saja pertempuran ini," demikian kata Liong Seng-bu, "golok dan Kiamboh akan kuserahkan kepadamu."

"Siapa lagi percaya omongan setanmu," damprat laki-laki she Han. "Biang" dengan sejurus pukulan Tiang-kun, dia pukul dada Liong Seng-bu, bagai sebatang tonggak kayu yang terpukul, Liong Seng-bu terhuyung kaku beberapa langkah terus roboh dan terbanting dengan keras.

Girang laki-laki she Han, lekas dia memburu maju hendak memeriksa apakah sang korban sudah mampus atau masih hidup, baru saja dia angkat kaki hendak persen lagi dengan sekali tendangan ke ulu hati orang, tak nyana baru saja kakinya terangkat tahu-tahu terasa kesemutan, dia sendiri tak kuasa berdiri tegak lagi terus roboh tersungkur. Ternyata Liong Seng-bu menggunakan akal licik pula, dia pura-pura terpukul luka parah, rebah celentang menunggu musuh maju mendekat, mendadak kedua kaki bekerja, lawan kena dijegalnya roboh.

Dengan menahan rasa sakit di dada Liong Seng-bu melejit bangun terus menindih di atas badan laki-laki she Han. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya jari-jari Liong Seng-bu mencekik leher orang she Han. Sudah tentu laki-laki she Han berontak dan meronta sekuatnya sambil berguling-guling.

Pertempuran ala binatang buas ini memang amat mengerikan. Tulang iga Liong Seng-bu putus dua, tapi sepuluh jari jemarinya laksana tanggem mencekik kencang leher lawan, sedikitpun tidak pernah kendor. Kira-kira setengah sulutan dupa, lambat laun laki-laki she Han mengeluarkan suara keluhan aneh dari lehernya, akhirnya dia tak kuat bertahan lagi, napas putus jiwa melayang. Tan Ciok-sing sampai merinding dan seram melihat adegan yang mengerikan ini.

Liong Seng-bu kehabisan tenaga, napasnya empas-empis, luka-lukanya tidak ringan lagi. Meski kedua temannya berhasil dibunuh, tapi dia sendiri sekarang tidak kuat berdiri. Lama kemudian baru dia merayap kesana memungut golok pusaka dari tubuh laki-laki kekar. Lobang besar di dadanya segera menyemburkan darah yang deras, jiwanya tidak tertolong lagi.

Terasa lunglai sekujur badan Liong Seng-bu, Pikirnya: "Untung hiat-to bocah ini sudah kututuk, tak usah kuatir dia bisa mengerjai aku biar nanti kubunuh juga dia," setelah beristirahat sejenak lagi, dia merayap pula kesana mengambil kotak itu. Saking senang dia sampai terloroh-loroh: "Dua pusaka kini berada di tanganku," karena tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, sambil terkial-kial dia membuka tutup kotak. Rasa puas harus diutamakan, ingin dia menyaksikan Kiam-boh macam apa sebetulnya karya atau ciptaan Thio Tan-hong yang termashur itu.

Tak nyana saking girang dan berakhir dengan rasa duka, belum lenyap gelak tawanya, tahu-tahu dia menggembor kesakitan. Ternyata waktu membuka tutup kotak dia menyentuh alat rahasia, begitu tutup terbuka, lembaran-lembaran pisau kecil itu seketika mengiris putus sebuah jari tangannya.

Umumnya jari sakit bisa meresap ke sum-sum apalagi dalam keadaan lunglai seperti Liong Seng-bu, badan terluka luar dalam lagi, kini sebuah jarinya harus terputus lagi, sudah tentu kondisi fisiknya menjadi semakin goyah? Setelah menjerit kesakitan, kontan dia jatuh semaput.

Ganti Tan Ciok-sing yang kaget dan girang, pikirnya: "Thian memang maha adil, yang berbuat jahat tentu memperoleh ganjaran setimpal. Tadi sebetulnya aku sudah < hendak membukakan kotak itu, jikalau dia tidak begitu keburu nafsu, pasti Kiam-boh itu kini sudah berada di tangannya. Dia menutuk hiat-toku, tapi cara membuka kotak tidak tahu, patutlah kalau dia harus mengorbankan sebelah jarinya. Tak nyana kotak itu sekali lagi membantuku." Tapi Tan Ciok-sing sekarang belum lagi terhindar dari mara bahaya. Kuncinya terletak pada: Apakah hiat-tonya yang tertutuk bisa punah sebelum Liong Seng-bu siuman dari pingsannya?

Soalnya Liong Seng-bu menggunakan Jiong-jiu-hoat menutuk jalan pelemasnya, tanpa bantuan orang untuk membebaskan sendiri hiat-to itu harus makan waktu dua belas jam padahal Liong Seng-bu hanya jatuh semaput saja. Apalagi dasar kungfunya juga tidak lemah, meski luka-lukanya cukup parah, tapi yakin sebelum dua belas jam tentu dia sudah siuman. Maka jiwa Tan Ciok-sing pasti terancam bahaya.

Di tempat belukar yang jauh dari keramaian penduduk seperti ini, mana mungkin orang datang kemari? Kecuali Thio Tan-hong yang semayam didalam Ciok-lin kebetulan keluar. Tapi Ciok-lin begini luas, pucuk-pucuk batu berlapis dan bersusun ribuan seperti bentuk pintu-pintu langit, kalau Thio Tan-hong semayam jauh didalam hutan batu, betapapun keras kejadian diluar sini juga takkan terdengar dari dalam, memangnya tanpa sebab dan alasan mungkinkah Thio Tan-hong keluar? Mulut tak mampu bersuara lagi, karuan Tan Ciok-sing hanya tertawa getir saja sambil terima nasib.

Dengan mendelong dia awasi keadaan Liong Seng-bu, sedikit kaki tangan atau badan Liong Seng-bu bergerak, jantungnya pun ikut berdetak, untung sejauh ini Liong Seng-bu tetap belum siuman. Pada hal hari itu sudah mulai gelap, sia-sialah dia mengharap pertolongan orang lain.

Lama-kelamaan Tan Ciok-sing tak tahan mengalami siksaan lahir batin ini, meadadak pikirnya: "Dari pada menunggu pertolongan orang lain, kenapa aku tidak berusaha menolong diriku sendiri, kenapa tidak kucoba kerahkan hawa murni untuk membebaskan tutukan hiat-to ini? Umpama usaha ini sia-sia, kan lebih baik daripada menunggu kematian begini," maka dia tidak perdulikan mati hidup Liong Seng-bu lagi, memusatkan konsentrasi lalu mulai kerahkan hawa murni.

Buku pelajaran ilmu golok dan pukulan peninggalan In Hou ada juga yang tercantum cara belajar lwekang. Lwekang yang terlatih baik ini dapat membantu membebaskan hiat-to yang tertutuk. Tapi Tan Ciok-sing baru latihan tiga bulan, hasilnya boleh dikata baru pupuk dasarnya saja, untuk membebaskan tutukan hiat-to sendiri sudah tentu bukan suatu kerja yang mudah.

Entah berapa lamanya, terasa oleh Tan Ciok-sing hawa hangat tiba-tiba timbul dari pusarnya, agaknya usahanya sudah mulai menunjukkan hasilnya.

Meyakinkan lwekang tingkat tinggi bila sudah mencapai taraf tertentu, untuk membebaskan tutukan hiat-to di tubuh sendiri biasanya paling lama memakan waktu setengah jam, tapi sekarang entah berapa jam telah berlalu, Tan Ciok-sing tetap hanya dapat menghimpun sedikit demi sedikit hawa murninya, bahwasanya badan masih tetap tidak mampu bergerak.

Hari sudah gelap, untung sang Dewi malam yang setengah bulat bercokol di cakrawala. Tiba-tiba

Liong Seng-bu menggeliat serta membalik badan, mulutnya berkerok-kerok seperti suara kodok agaknya takkan lama lagi pasti dia sudah siuman. Diam-diam Tan Ciok-sing kertak gigi, batinnya: "Mati hidup sudah ditentukan takdir, betapapun aku harus terus berusaha," maka dia tidak perduli lagi ada kejadian apa di sekitarnya, mata tidak melihat kuping tidak mendengar. Karena itu, hawa murni yang dia kerahkan menjadi bertambah cepat dan lancar.

Akhirnya Liong Seng-bu siuman juga. Darah masih menetes dari jarinya yang putus, sakit dan perihnya luar biasa. Tapi dia sudah mulai dapat bergerak. Setelah membubuhi obat pada luka-luka jarinya, istirahat pula sejenak, setelah badan terasa sedikit segar, dengan hati-hati dia memeriksa, didapatinya kotak itu masih terletak di samping kakinya, tutup kotak ternyata sudah menutup kembali.

Liong Seng-bu jemput dahan pohon yang dibuat menyongkel oleh laki-laki pendek tadi, pelan-pelan dia sentuh kotak itu, lalu didorong kian kemari tapi tiada menunjukkan reaksi apa-apa, akhirnya dia membesarkan nyali, namun dengan rasa kebat-kebit dia masukkan kotak itu kedalam kantongnya. Kalau tidak dibuka kotak itu takkan menyentuh alat rahasianya.

Waktu sang dewi malam bercokol di tengah langit, barulah Liong Seng-bu pulih seluruhnya, namun tenaganya baru terhimpun dua bagian. Pikirnya: "Bocah ini berkepandaian lumayan mungkin sebelum dua belas jam dia sudah bebas hiat-tonya, maka perlu aku segera membunuhnya." Padahal waktu itu sudah lewat delapan jam setelah hiat-to Tan Ciok-sihg tertutuk, sebelum terang tanah hiat-tonya takkan punah sendirinya. Memang Liong Seng-bu tidak pernah menduga bahwa Tan Ciok-sing sedang berusaha membebaskan tutukan hiat-tonya, maka dengan menabahkan hati dia angkat golok pusaka serta berkata pula tertawa: "Adik cilik, untung aku sudah siuman lebih dulu, sebelum hiat-tomu yang kututup punah, ini berarti umurku memang panjang, maka tak usah kau menyesali nasibmu ini."

Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang", entah dari mana datangnya sebutir krikil tiba-tiba membentur goloknya sampai tak kuasa dia memegangnya lagi, jatuh berkerontangan di tanah. Karuan Liong Seng-bu kaget setengah mati, waktu dia menegas, dilihatnya Tan Ciok-sing sedang melompat bangun berdiri.

Ternyata menghadapi detik-detik yang genting ini, Ki-king-pat-meh di tubuhnya yang belum lancar karena tutukan hiat-to di tubuhnya mendadak jebol, seperti air bah yang tak terbendung, hawa murninya lantas mengalir bagai arus kencangnya, sudah tentu hiat-to yang tertutuk jadi terbuka karenanya.

Setelah menjatuhkan golok di tangan orang Tan Ciok-sing lantas menudingnya serta mendamprat: "Liong Seng-bu, sia-sialah kau membaca buku-buku kuno dari para Nabi, tapi sepak terjangmu ternyata begini rendah dan hina, untung Tuhan memang maha pengasih, kau kurcaci ini tak berhasil mencelakai jiwaku."

Pergelangan tangan Liong Seng-bu kesemutan dia kira ilmu silat Tan Ciok-sing sudah pulih seperti sedia kala, orang akan segera membunuh dirinya malah. Dia insaf luka-lukanya tidak ringan, mana dia berani gebrak dengan Tan Ciok-sing.

"Adik cilik, sukalah kau mengingat hubungan akrab kita beberapa hari ini, sukalah ampuni jiwaku," saking ketakutan Liong Seng-bu lupa memungut golok pusaka itu, sembari bicara dia sudah putar badan lari sipat kuping. Entah dari mana dia peroleh tenaga, di kala jiwa terancam, meski badan masih lemah, ternyata dia bisa merat begitu cepat, cepat sekali dia sudah menggelundung turun ke lereng sana, kejap lain sudah tak kelihatan lagi.

"Enyahlah kau," damprat Tan Ciok-sing, "siapa sudi bersaudara dengan tampangmu." Setelah rasa penasaran terlampias, mendadak lututnya terasa lemas lagi, tanpa kuasa dia meloso jatuh pula. Ternyata pada detik-detik yang kritis tadi, kebetulan hiat-tonya yang tertutuk tiba-tiba bebas, maka dia menjemput krikil terus dijentikkan merontokkan golok Liong Seng-bu, padahal kondisinya masih teramat lemah, maka dia tidak kuat bertahan lama. Jikalau Liong Seng-bu cukup tabah dan tidak lari ketakutan, susah dibayangkan bagaimana akibatnya.

Setelah tidur nyenyak, waktu siuman haripun telah terang tanah. Melihat keadaan kedua mayat yang mengenaskan ini, hatinya tidak tega, segera dia menggali liang lahat menggunakah goloknya mengebumikan kedua mayat itu.

Sambil memasukkan golok kedalam sarungnya dia berpikir: "Untung golok pusaka dan harpa ini tidak hilang, sayang sekali kotak berisi Kiam-boh karya Thio Tayhiap itu terbawa lari oleh keparat itu. Tapi hanya beberapa lembar tulisan tangan yang belum lengkap itu, kukira dia takkan paham membaca dan mempelajarinya."

Menyongsong terbitnya matahari, jagat raya ini penuh diliputi cahaya keemasan yang cemerlang, dengan langkah lebar dan tegap Tan Ciok-sing memasuki Ciok-lin.

Tapi Tan Ciok-sing tiada selera menikmati keanehan di sekitarnya, dia ingin buru-buru masuk kedalam dan ingin tahu apakah Thio Tan-hong masih hidup dan semayam di Ciok-lin? Padahal kemana dan bagaimana dia harus menemukan tempat tinggal Thio Tan-hong didalam hutan batu yang berlapis-lapis seperti punya ribuan sampai laksaan pintu ini, terpaksa dia asal mengayun langkah saja.

Setelah dia memasuki sebuah jalanan sempit dan tiba pada sebuah celah batu yang bentuknya menyerupai pintu, pandangannya tiba-tiba menjadi terang dan terbentang, tampak di bawah samping gunung sana terdapat sebuah danau kecil, sepanjang pinggir danau penuh ditumbuhi beraneka ragam kembang dan tetumbuhan liar, bau kembang yang wangi semerbak merangsang hidung menyegarkan badan, di atas dinding gunung yang curam tegak itu terdapat dua huruf besar yang berbunyi: "Kiam-hong" (puncak pedang).

Tan Ciok-sing bersorak girang dalam hati, dia ingat In Hou pernah menuturkan, bahwa setiap hari Thio Tan-hong pasti berlatih pedang di Kiam-hong ini, mencuci pedang di danau kecil itu pula. Coretan huruf di puncak dinding gunung itu juga hasil karya Thio Tan-hong. Tanpa sengaja, secara kebetulan dirinya kesasar ke tempat yang ditujunya, danau kecil itu dinamakan Kiam-ti (danau pedang). Tapi bayangan orang tidak kelihatan disini, maka dia tarik suara berteriak sekeras-kerasnya: "Thio Tayhiap, Wanpwe Tan Ciok-sing, atas permintaan In Hou In Tayhiap datang kemari mohon bertemu," ditunggu-tunggu tiada reaksi, tak terdengar suara jawaban. Karena kesal akhirnya Tan Ciok-sing duduk di atas batu di pinggir danau, waktu menurunkan harpa, mendadak pikirannya tergerak: "Kenapa tidak kugunakan irama harpa ini untuk menyatakan maksud kedatanganku?"

Tapi setelah sebuah lagu habis dia bawakan, gema irama harpa seperti masih mengalun dalam hutan batu ini, tapi setelah ditunggu sekian lama, keadaan tetap sunyi, hanya air danau saja yang kelihatan bergelombang lembut tertiup angin lalu, puncak pedang tetap dalam keheningan lelap.

"Mungkin Thio Tayhiap tidak suka menemui orang-orang awam? Atau mungkin beliau sudah meninggal?" demikian batin Tan Ciok-sing, hatinya risau dan masgul. Mengingat betapa dirinya susah payah dan mengalami mara bahaya, jiwa hampir tamat lagi baru bisa mencapai tempat tujuan, jikalau tidak berhasil menemukan Thio Tan-hong, bagaimana dia dapat menuntut balas kematian kakeknya? Saking duka nestapa tak tertahan air mata bercucuran, tanpa terasa pula jari jemarinya yang sudah ahli memetik senar itu telah memetik lagu Khong-ling-san.

Bagian belakang dari Khong-ling-san merupakan irama lagu yang paling menyedihkan di kolong langit ini, kecuali Tan Ciok-sing, pada jaman ini rasanya tiada orang lain yang mampu memetik lagu ini. Biasanya kicau burung didalam hutan begitu merdu pada setiap pagi, kini entah karena terbuai oleh irama lagu yang sedih memilukan ini, burung-burung itu seperti lupa terbang pergi mencari makan, malah tidak sedikit yang berdatangan hinggap di dahan-dahan pohon.

Di kala dia memetik harpa melimpahkan rasa dukanya, mendadak didengarnya langkah kaki orang yang bergema didalam hutan batu. Tidak terhitung jumlah tonggak-tonggak batu yang berdiri menjulang tinggi ke atas, maka dinamakan hutan batu. Berada didalam hutan, orang bisa mondar-mandir kemari, tanpa bisa menemukan jalan keluarnya. Tapi langkah kaki orang itu mendatangi semakin dekat, seolah-olah orangnya sudah berada di depan mata, hakikatnya masih banyak pengkolan dan pintu-pintu yang berlapis itu harus dilewati baru orang akan bisa berhadapan muka.

Begitu mendengar langkah kaki orang, semula Tan Ciok-sing kaget dan senang, tapi setelah langkah kaki itu semakin dekat dan jelas, hatinya bukan lagi girang tapi kaget dan was-was. Karena yang datang terang tidak seorang saja, tapi dari langkah tiga orang. Padahal In Hou memberitahu padanya, bahwa Thio Tan-hong seorang diri semayam di hutan batu. Selama puluhan tahun ini, hanya In Hou seorang saja yang terkecuali pernah masuk ke hutan batu. Tapi kini ada tiga orang yang mendatangi.

Kalau orang biasa jelas tidak mungkin tanpa sebab mau memasuki hutan batu, apalagi perjalanan kedalam hutan batu amat berbahaya. Oleh karena itu kalau hal ini dipikirkan secara sehat, kalau yang datang bukan Thio Tan-hong sendiri, maka pendatang ini jelas adalah musuh besarnya.

Di kala hatinya kebat-kebit itu, walau jari-jarinya bergerak menyentil senar, tapi pandangan matanya tertuju kearah datangnya suara langkah.

Tiba-tiba terdengar suara serak seseorang tua berkata di belakangnya: "Sudahlah, hentikan permainan harpamu."

Sudah tentu Tan Ciok-sing kaget setengah mati, waktu dia menoleh, hatinya seketika bersorak girang. Yang berdiri di belakangnya ternyata Hek-moko adanya.

Tapi tidak terbayang rasa senang pada wajah Hek-moko, malah seperti mau menyalahkan dirinya. "Thio Tayhiap sedang 'menutup diri latihan semadi', kau tahu tidak?"

Apa itu menutup diri latihan semadi, hakikatnya Tan Ciok-sing tidak tahu. Tapi dari nada perkataan Hek-moko, seakan-akan dia menyalahkan dirinya telah mengganggu ketenangan Thio Tan-hong dengan irama musiknya yang menyedihkan tadi. Maka dengan hambar dia berkata: "Aku, aku tidak tahu. Tapi, diluar, diluar..."

Langkah orang diluar sudah semakin dekat lagi, sebuah suara yang sudah dikenalnya sedang berkata: "Aneh, Thio Tan-hong masih senggang juga mendengarkan irama harpa?" seorang yang tak dikenal menanggapi: "Mungkin dia ingin meniru Cukat Liang yang mengundurkan musuh dengan petikan harpanya? Tapi aku tak percaya dia sebanding dengan Khong Bing, memangnya kita ini bangsa kurcaci."

Prihatin sikap Hek-moko, katanya di pinggir telinga Tan Ciok¬ sing: "Lekas sembunyi, beberapa orang ini jauh lebih liehay dan jahat dibanding Ie Cun-hong, aku takkan kuasa melindungimu."

Pernah mendapat pengalaman sekali Tan Ciok-sing cukup tahu diri, maklum kalau kehadirannya disini bukan saja tidak akan membantu Hek-moko, malah menjadikan beban orang, maka lekas dia angkat harpanya, terus merambat naik ke Kiam-hong dan sembunyi di belakang sebuah batu.

Baru saja dia menyembunyikan diri, ketiga orang itupun telah tiba di pinggir danau. Salah seorang di antaranya bukan lain adalah gembong iblis besar Le Khong-thian yang pernah dilihatnya di Cit-sing-giam dulu. Dua orang lagi adalah seorang Tosu tua dan seorang nenek uban menjinjing tongkat berkepala naga.

Bukan saja kaget Tan Ciok-sing juga keheranan, pikirnya: "Hek-pek-moko kakak beradik laksana dwi-tunggal, kenapa yang kelihatan sekarang hanya kakaknya, kemana adiknya? Celaka kalau ketiga penyatron itu berkepandaian lebih liehay dari Ie Cun-hong, seorang diri mana Hek-moko mampu menghadapi mereka? Thio Tayhiap sedang semadi, jelas dia takkan bisa keluar menghadapi musuh-musuh ini."

Kedua belah pihak umpama busur yang telah dipentang tinggal angkat senjata terus saling labrak, dengan diliputi rasa was-was dan serba curiga, Tan Ciok-sing tidak sempat pikirkan urusan tetek bengek lagi.

Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya: "Hek-moko, tentunya kau tidak kira bahwa akhirnya aku bisa menemukan tempat ini, bukan. Hehe, tahukah kau, sebetulnya hari itu aku bisa bantu le Cunhong membunuhmu, tapi aku justru hendak pinjam tenagamu untuk menunjukkan jalan kemari, terpaksa kubiarkan kau hidup beberapa hari lagi. Hehche, kini kau tiada gunanya, sekali kemplanganmu kepada Ie Cun-hong biar sekarang kutagih padamu."

"Hek-moko," terdengar nenek uban itu berkata, "kalau ingin hidup, lekas kau panggil Thio Tan-hong keluar."

Hek-moko tertawa dingin, katanya: "Kau nenek gembel ini berani gebrak dengan Thio Tayhiap, memangnya kau ini tahu diri tidak?"

"Kau ini terhitung barang apa, berani menghina aku Kiu-poan-bo? Tahukah kau, Thio Tan-hong pun takkan berani kurang ajar terhadapku," waktu mengucapkan "kurang ajar" sengaja dia gedrukkan tongkatnya, batu di bawah kakinya seketika terketuk hancur Hek-moko terbahak-bahak, katanya: "Kiu-poan-bo, puluhan tahun tak bertemu, ternyata kulit mukamu semakin tebal saja. Dulu bersama Liok-yang Cinjin, Jit-sia Tojin bukankah kau diusir dari Tiam-jong-san, apa pula yang Thio Tayhiap pernah katakan kepadamu? Kalau kau tidak ingat boleh kuperingatkan sekali lagi kepadamu."

Kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, di dunia ini ada empat gembong iblis, yang jadi pentolannya adalah guru dari Le Khong-thian, yaitu Kiau Pak-bing, disusul Liok-yang Cinjin, Jit-sia Tojin dan Kiu-poan-bo yang sekarang adu mulut dengan Hek-moko. Setelah Kiau Pak-bing dikalahkan Thio Tan-hong, dia merat jauh ke lautan timur. Tiga gembong iblis yang lain bergabung hendak menuntut balas kepada Thio Tan-hong, pertempuran sengit terjadi di puncak Tiam-jong-san, akhirnya mereka bertiga tetap bukan tandingan lawan, pada waktu itu mereka sudah bersumpah selama Thio Tan-hong masih hidup tidak akan muncul di kalangan Kangouw, barulah Thio Tan-hong mau mengampuni jiwa mereka.

Selama tiga puluh tahun ini, Jit-sia Tojin sudah meninggal, sementara Kiau Pak-bing sembunyi di lautan timur, hanya muridnya saja yang diutus kemari. Jadi empat gembong iblis yang dulu menjagoi Tionggoan kini tinggal Kiu-poan-bo dan Liok Yang Cinjin. Liok Yang Cinjin adalah Tosu tua yang berdiri di pinggir gelanggang sebelah sana.

Bahwa Hek-moko mengorek borok mereka, karuan Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin naik pitam. Kata Liok Yang Cinjin dengan suara berat: "Kau tahu apa, mumpung Thio Tan-hong belum mampus, maka hari ini aku datang ke mari."

"Hek-moko," seru Kiu-poan-bo, "kalau kau tidak ingin jadi setan gentayangan, "lekas kau suruh Thio Tan-hong keluar."

Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya: "Menyembelih ayam tak perlu menggunakan golok kerbau, kalian bertiga boleh maju bersama, biar aku wakilkan Thio Tayhiap ajar adat kepada kalian."

"Hek-moko, memangnya berapa tinggi kepandaianmu? Kalau ingin mampus apa susahnya, cukup si nenek tua ini berkelebihan untuk menamatkan riwayatmu?" begitu habis ucapannya "Wut" pentungnya lantas menyapu tiba.

Liok Yang Cinjin sudah maju beberapa langkah, mendengar perkataan Kiu-poan-bo, terpaksa dia mundur ke tempatnya, dalam hati dia berpikir: "Betul, aku perlu menyimpan tenaga untuk menghadapi Thio Tan-hong. Walau Thio Tan-hong sudah berusia lanjut, betapapun dia tidak boleh dipandang remeh."

Hek-moko angkat juga tongkatnya, terdengar dencing keras beruntun memekak telinga sampai Tan Ciok-sing yang sembunyi di tempat ketinggian sana terasa mendengung kepalanya. Waktu dia pentang mata, dilihatnya dua bayangan Hek-moko dan Kiu-poan-bo tiba-tiba mundur terpisah, masing-masing pihak tergentak tiga langkah. Hek-moko rasakan telapak tangannya kesemutan, tapi kepala naga di atas pentung Kiu-poan-bo gumpil sedikit.

Diam-diam mencelos hati Hek-moko, pikirnya: "Tak heran nenek reyot ini dulu bisa sejajar dengan Kiau Pak-bing sebagai empat pentolan gembong iblis, lwekangnya ternyata memang luar biasa. "Selama hidup ini entah berapa kali Hek-moko bertanding satu lawan satu dengan musuh, kecuali Thio Tan-hong selamanya belum ada orang yang berani mengadu kekuatan dengan dia, apalagi memungut keuntungan. Walau Kiu-poan-bo kali ini tidak memungut keuntungan apapun, tapi hasil dari adu kekuatan ini, ternyata sama-sama tergetar mundur tiga langkah, malah kalau dia tidak lekas-lekas menggunakan Jian-kin-tui untuk memberati badan, hampir saja dia kecundang di depan umum, jadi kalau dinilai secara adil, sebetulnya dia sudah terhitung kalah setengah urat.

Liok-giok-cang miliknya itu termasuk barang pusaka juga, tak heran barisan golok Ie Cun-hong tetap tak mampu membekuk mereka kakak beradik.

Kalau Hek-moko setengah kaget, Kiu-poan-bo juga tidak kalah kagetnya karena kepala, naga di atas pentungnya gumpil. Biasanya saudara kembar ini selalu berdampingan, kelihatan sang engkoh pasti ada sang adik, kenapa sekarang hanya Hek-moko yang menghadapi kami? Agaknya kami diberi kesempatan untuk menamatkan jiwa Thio Tan-hong. Konon kekuatan gabungan permainan sepasang tongkat mereka hebat luar biasa, jikalau aku tidak menyelesaikan pertempuran ini dalam waktu singkat bila Pek-moko keburu datang, mungkin kami bertigapun susah mengalahkan mereka kakak beradik, bagaimana kita masih bisa menghadapi Thio Tan-hong?" karena otaknya memang encer, kepengin menang dalam waktu singkat, maka dia tidak kepalang tanggung lagi serangan bertubi-tubi dilancarkan dengan sengit.

Dalam detik-detik pcrtcmpiii.in yang sengit ini, kembali bayangan mereka terpisah lalu saling tubruk pula. Tongkat Kiu-poan-bo menjojoh ke Hiat-hay-hiat di bawah pusar lawan, sementara bentuk permainan tongkat Hek-moko yang mencorong mirip Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang sayap), dari samping mengetuk urat nadi lawan.

Sinar coklat berkelebat, mendadak membuat sebuah lingkaran, kepala naga di ujung pentung Kiu-poan-bo seperti terbungkus didalamnya, dua gembong iblis yang menyaksikan dari samping ikut kebat-kebit hatinya.

Mendadak Kiu poan-bo menggertak sekali, pentung kepala naganya menekan turun ke bawah dengan jurus Ping-sa-loh-yan (blibis hinggap di pasir datar) untuk memunahkan tekanan tongkat Hek-moko sekaligus pentungnya itu mengetuk naik terus melintirnya pula. "Kena" kembali mulutnya menghardik, begitu pentungnya berputar, mulut dari kepala naga besi itu tahu-tahu sudah nyelonong ke muka Hek-moko. Serempak Liok-yang Cinjin dan Le Khong-thian sama bersorak memuji, sebaliknya Tan Ciok-sing mengucurkan keringat dingin, hatinya kuatir setengah mati.

Beberapa jurus permainan pentung Kiu-poan-bo memang teramat liehay dan menakjubkan, tapi juga ganas dan keji. Dengan gerakan kilat balas menyerang ini, dia yakin Hek-moko pasti sukar lolos dari pentung besinya. Tak kira gerakannya sudah begitu cepat, tapi Hek-moko masih lebih cepat lagi, terdengar "Trang" yang keras, tongkat coklat Hek-moko ternyata sudah menutup gerakan pentung lawan selanjutnya, jengeknya dingin: "Belum tentu," kembali sinar coklat melingkar, pentung lawan seolah-olah terbungkus didalamnya.

Beberapa gerakan saling lomba dan tubruk ini terjadi dalam sekejap mata, kedua pihak berlomba dahulu mendahului merebut kesempatan, sehingga tiga orang penonton diluar gelanggang sama silau dan terpukau. Terdengar Kiu-poan-bo berkaok-kaok gusar beberapa kali, pentung kepala naganya menuding timur mengepruk ke barat mengemplang ke utara menyapu ke selatan, tapi tetap tak kuasa membebaskan diri dari libatan sinar coklat lawan.

Lwekang Kiu-poan-bo memang setingkat lebih tinggi, namun permainan tongkat Hek-moko lebih liehay dan hebat, apalagi tongkat coklat itu ternyata tahan dan kuat beradu dengan besi, dalam hal senjata jelas dia memungut keuntungan, oleh karena itu, meski dalam waktu singkat sukar dia mengalahkan lawan, namun sedikit banyak dia sudah unggul di atas angin. Tak berapa lama kemudian, kepala naga di atas pentung Kiu¬ poan-bo kembali gumpil pula.

Semakin dalam kerut kening Liok-yang Cinjin melihat laju pertempuran ini, ingin maju membantu tapi kuatir Thio Tan-hong mendadak muncul, kalau dirinya sudah menguras tenaga, jelas ini bukan tindakan bijaksana yang bakal menguntungkan pribadinya.

Tiba-tiba, Le Khong-thian berkata: "Yang memetik harpa tadi terang bukan Thio Tan-hong."

"Darimana kau tahu?" tanya Liok-yang Cinjin.

"Walau Thio Tan-hong serba mahir dalam bidang sastra, tapi dalam hal memetik harpa jelas dia tidak lebih unggul dari satu orang ini. Dalam jaman ini, kecuali Ki Harpa dari Kwi-lin tiada orang lain yang mahir memetik harpa semerdu itu, waktu di Cit-sing-giam tempo hari pernah aku mendengar irama harpanya ini."

"Bukankah kau bilang bahwa Ki Harpa telah mati?!" tanya Liok-yang Cinjin.

"Aku tahu kalau dia terluka parah, hanya dugaanku saja dia telah mati, aku sendiri tidak melibat jenazahnya."

"Bagaimana kepandaian Ki Harpa?" tanya Liok-yang Cinjin.

"Petikan harpanya aku yakin nomor satu di dunia ini, tapi dalam hal Kungfu, dia paling terhitung kelas kambing."

Liok-yang Cinjin menepekur sejenak, katanya: "Aneh, kenapa Thio Tan-hong belum juga keluar?"

"Thio Tan-hong sudah lanjut usia, kemungkinan karena ingin cepat-cepat menyelesaikan latihan Iwekangnya, sekarang dia sedang mengalami Jau-hwe-jip-mo."

Pengalaman Liok-yang Cinjin jelas jauh lebih tinggi dari Le Khong-thian, diam-diam dia membatin: "Ketangguhan lwekang Thio Tan-hong sudah teruji dan tiada bandingannya sejak tiga puluh tahun yang lalu. Apalagi lwekang yang diyakinkan adalah ajaran murni dari aliran lurus. Jau-hwe-jip-mo jelas tidak mungkin. Tapi Hek-pek-moko adalah kawan yang paling setia terhadapnya, jikalan dia berada disini tak mungkin dia berpeluk tangan saja? Em, kemungkinan dia sudah meninggalkan Ciok-lin dan suruh Hek-moko menjaga tempat tinggalnya?"

Yang dikuatirkan Liok-yang Cinjin adalah bila Thio Tan-hong tak jauh dari tempat ini, orang mendadak muncul di saat-saat kritis. Kini setelah diketahui yang memetik harpa tadi bukan Thio Tan-hong, maka dia pikir adalah patut kalau dia menyerempet bahaya. Maka dia berkata: "Baiklah, pergilah kau eaii pemetik harpa itu, biar aku membantu Kiu-poan-bo." Memang itulah yang diharapkan Le Khong-thian, sudah tentu dengan senang hati dia menerima tugas enteng ini.

"Hek-moko," bentak Liok-yang Cinjin, "kemana adikmu? Ingin aku merasakan betapa hebat kekuatan gabungan permainan tongkat kalian kakak beradik."

Hek-moko tertawa dingin, ejeknya: "Menghadapi hidung kerbau macam tampangmu ini, memangnya perlu menggunakan ilmu tongkat gabungan? Sejak tadi toh sudah kusuruh kalian maju bersama, hayolah maju jangan pura-pura cari alasan."

"Baik, kau sendiri yang ingin mampus, jangan salahkan kalau aku main keroyok," sembari bicara, dia sudah melangkah memasuki arena, senjata yang dikeluarkannya ternyata berbentuk aneh.

Senjata tunggalnya itu adalah seutas cambuk panjang berwarna merah darah, entah terbuat dari jenis barang apa, di atas cambuknya ini digantung dua tengkorak manusia yang terbuat dari besi, warnanya yang putih dengan bentuknya yang bagus pula, sekilas pandang orang akan menyangka bahwa itu tengkorak asli.

"Tar", sekali sabet cambuk Liok-yang Cinjin, kedua tengkorak itu ikut berputar dan menari mengikuti kisaran cambuk, mendadak mulut kedua tengkorak meringis lalu terpentang hendak menggigit ke arah Hek-moko."

Hek-moko menyengel dingin: "Menggunakana senjata aneh semacam ini, memangnya kau kira dapat menciutkan nyaliku?" sekali gentak dia ayun tangan, begitu tongkat coklat menggetarkan pergi pentung Kiu-poan-bo, ujung tongkatnya tiha-tiba menyelonong maju menusuk ke mulut tengkorak yang terpentang lebar.

Begitu Liok-yang Cinjin memutar pergelangan tangan, kedua tengkorak itu tiba-tiba melejit terbang ke atas, beruntun dia melancarkan tipu Lian-hoan-sam-pian, Wi-hong-sau-liu, dua ilmu tunggal dari permainan cambuknva yang paling liehay. Hek-moko gunakan Ih-sing-hoan-wi berkelit dari serangan pentung Kiu-poan-bo, sementara tongkat coklatnya mengetuk pergi ujung cambuk lawan yang satunya pula, "Bret" ternyata bajunya tergigit oleh tengkorak dan sobek sebagian besar. Mendapat angin Liok-yang Cinjin menyeringai dingin, katanya: "Bagaimana, senjata aneh dari kalangan sesat ini liehay bukan."

Hampir melonjak keluar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan pertempuran seru ini, dilihatnya Le Khong-thian sudah tiba di kaki puncak, teriaknya: "Ki Harpa, tak usah sembunyilah. Asal kau mau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, aku tidak akan mencabut jiwamu, hayolah keluar."

Pada saat itulah, mendadak Tan Ciok-sing merasa pundaknya kesemutan, tahu-tahu dia telah ditangkap seseorang dari belakang. Karuan kejutnya bukan main, untung orang itu segera berbisik di pinggir telinganya: "Jangan berisik, kubawa kau menemui Thio Tayhiap," suaranya sudah dikenal, setelah tenangkan diri baru Tan Ciok-sing tahu bahwa orang di belakangnya ini adalah Pek-moko.

Agaknya Pek-moko tahu seluk beluk hutan batu ini, di tengah hutan batu dia putar kanan belok kiri, dengan meminjam gugusan batu-batu besar kecil dia main sembunyi-sembunyi terus maju ke depan, gerakannya begitu tangkas dan gesit, tujuannya adalah Kiam-hong. Le Khong-thian yang berada di kaki bukit ternyata tidak tahu sama sekali. Lekas sekali Tan Ciok-sing telah dibawa masuk ke sebuah lobang batu. Didalam lobang batu besar inilah tampak duduk bersila seorang laki-laki berwajah bersih welas asih berjenggot tiga baris, Tan Ciok-sing menduga laki-laki tua inilah pasti Thio Tan-hong adanya.

Setelah mengalami berbagai rintangan dan penderitaan, akhirnya keinginan bisa tercapai, sudah tentu bukan kepalang rasa senang dan haru serta kaget Tan

Ciok-sing sesaat lamanya dia sampai berdiri melenggong tak kuasa mengeluarkan suara.

Pek-moko menurunkan Tan Ciok-sing serta berkata: "Yang memetik harpa tadi adalah bocah ini. Dia, dia adalah..."

"Aku sudah tahu asal-usulnya," tukas Thio Tan-hong, "jangan kau membuang waktu, pergilah bantu engkohmu."

Tampak sikap ragu-ragu dan serba susah pada wajah Pek-moko, katanya: "Thio Tayhiap, lalu kau..."

"Takkan lama lagi aku sudah akan selesai dengan semadiku, kau tidak perlu kuatir, lekas, lekas pergi," desak Thio Tan-hong.

Ternyata dalam latihan lwekang tingkat tinggi setelah mencapai taraf yang paling top dinamakan Pit-koan-lian-kang, untuk Pit-koan atau semadi paling lama tujuh hari paling cepat tujuh hari, didalam jangka waktu latihan ini, tidak tidur, tidak makan, tak boleh bergerak atau bicara, keadaannya mirip seperti kaum padri yang semadi, maka apa yang terjadi di sekitarnya boleh melihat seperti tidak melihat, mendengar tidak didengarkan, jikalau dalam saat-saat kritis ini sampai ada musuh datang mencari setori, seorang biasa yang tidak belajar silatpun mampu untuk membuatnya mati cukup dengan tonjokan sebuah jari tangannya saja. Waktu Hek-pek-moko tiba di hutan batu, kebetulan Thio Tan-hong sedang Pit-koan-lian-kang, maka begitu mereka tahu kedatangan ketiga gembong iblis itu, salah satu di antara mereka perlu tinggal disini untuk menjaga keselamatan Thio Tan-hong.

Tahu bahwa kakaknya kini sedang terancam bahaya, apa boleh buat akhirnya Pek-moko berkata: "Thio Tayhiap, sukalah kau berhati-hati dan jaga dirimu sendiri, tak perlu kau buru-buru ikut melayani musuh-musuh itu," lalu dia lari keluar dari lobang batu. Cepat sekali terdengarlah dering beradunya senjata yang ramai, gema suaranya yang keras seperti mendengung di atas pegunungan batu, dapat diduga bahwa Pek-moko tentu sedang melabrak Le Khong-thian.

"Anak bagus," kata Thio Tan-hong dengan suara lembut dan ramah, "sudah lama aku menunggu kedatanganmu, tapi tak tersangka baru kau tiba di saat aku Pit-koan-lian-kang, tapi untuk sementara kau boleh tidak usah urus kejadian diluar."

Baru-buru Tan Ciok-sing berlutut serta menyembah, katanya: "Wanpwe Tan Ciok-sing, mendapat pesan langsung dari In Tayhiap..."

Belum habis dia bicara Thio Tan-hong sudah membimbingnya bangun, katanya: "Kau tidak perlu banyak hormat," lalu menghela napas, "nasib In Hou yang buruk sudah kuketahui. Anak bagus, lagu apa yang kau petik dengan irama harpa tadi?"

Tan Ciok-sing melengak, dia tidak habis mengerti kenapa pada situasi segenting ini Thio Tan-hong masih sempat menanyakan hal-hal kecil ini. Tapi dengan laku hormat dia menjawab: "Yang kupetik tadi adalah lagu Khong-ling-san."

"O, ternyata Khong-ling-san," ujar Thio Tan-hong manggut sambil menghela napas, "tak heran begitu memilukan, dengan latihan ketenanganku selama lima puluh tahun, ternyata terpengaruh juga diriku."--Kiranya di waktu

Thio Tan-hong menjalani Pit-koan-lian-kang, keadaannya tak ubahnya seperti padri sakti yang semadi, tapi irama Khong-ling-san ternyata dapat menyentak konsentrasinya, sehingga dia terjaga dari puncak semadinya.

"Thio Tayhiap," Tan Ciok-sing berkata was-was, "aku tak sengaja mengganggumu, aku, aku tidak tahu..."

Pelan-pelan Thio Tan-hong mengusap kepalanya, katanya lembut: "Bukan saja aku tidak menyalahkan kau, aku harus terima kasih padamu. Jikalau bukan irama harpamu yang membuatku terjaga, hutan batu yang permai ini, pasti akan diinjak-injak oleh kawanan iblis itu. Anak bagus, sekarang tolong kau petikkan pula lagu Khong-ling-san, tapi bagian depannya saja."

Bagian depan Khong-ling-san adalah mengisahkan dua sahabat yang sedang tamasya riang gembira di alam bebas setelah sekian lama tidak bersua. Maka begitu irama lagu mulai berkumandang, suasana lobang batu besar yang semula terasa redup kini mendadak tambah semarak, tak ubahnya seperti alam semesta yang diliputi kehidupan subur dan makmur di musim semi. Pelan-pelan Thio Tan-hong pejamkan mata menunduk kepala, lekas sekali dia sudah tenggelam pula dalam latihan semadinya. Di kala Tan Ciok-sing mencapai ritme terakhir dari lagu yang dibawakan, Thio Tan-hong sudah mulai membuka mata serta angkat kepala, irama musik masih bergema dalam lobang batu. Mendadak Thio Tan-hong bersuit panjang, suaranya seperti auman harimau laksana pekik naga, Tan Ciok-sing yang berada di sampingnya sampai berjingkrak girang dan melongo.

Suitan panjang dan menggelegar ini sekaligus telah memamerkan betapa tangguh Iwekangnya, sebetulnya Tan Ciok-sing masih terlalu cetek untuk bicara soal teori ilmu silat, tapi kini dia tahu juga bahwa semadi yang sekejap di bawah iringan lagu petikan harpanya tadi semangat dan tenaga Thio Tan-hong telah pulih seluruhnya, hawa murni seperti bergolak dalam tubuhnya.

Betul juga dilihatnya Thio Tan-hong sudah berdiri, katanya: "Anak bagus sekarang aku sudah boleh berbuka semadi, marilah kau ikut aku luar."



000OOO000



Hek-pek-moko sedang memainkan gabungan ilmu tongkatnya di bawah Kiam-hong menempur tiga gembong iblis, saat mana keadaan telah mencapai saat-saat tegang yang terakhir. Mendadak suitan panjang mengalun tinggi di angkasa, sudah tentu ketiga gembong iblis itu amat kaget, sebaliknya Hek-pek-moko girang setengah mati.

Liok-yang Cinjin berlaku nckad, hardiknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau." Cambuk panjangnya tiba-tiba menggulung seperti dari kiri tapi terbalik ke kanan, ujung cambuk sudah membelit ujung kaki Pek-moko, sementara dua kerangka yang tergantol di atas cambuk sudah mental terbang ke atas. yang satu menggigit ke pundak kanan Hek-moko, yang lain menggigit pundak kiri Pek-moko. gerakan satu jurus tiga serangan ini sungguh teramat keji dan telengas.

Dengan gerakan Yan cu coan hun (burung walet menyelinap di mega) mendadak Hek-moko melambung setombak lebih, tongkat coklat di tangannya dengan jurus Ing-kik-tiang-khong (burung elang menyerang dari tengah udara) mengemplang turun ke bawah. Sementara Pek-moko melancarkan jurus Ko-teng-jan-siok (akar menjalin membelit pohon), menyampuk pergi kepala tengkorak yang hendak menggigit pundaknya. Maka terdengarlah suara "Dar, dar", dua kali, begitu tersentuh tongkat kedua tengkorak itu mendadak meledak, menyemburlah kembang api dan asap merah gelap.

Perlu diketahui bahwa cambuk panjang yang dimainkan Liok-yang Cinjin ini dinamakan Ko-lo-liat-hwe-pian (cambuk api tengkorak), didalam kepala tengkorak besi dipasang alat rahasia, bukan saja dapat menggigit orang sampai urat nadi dan tulangnya putus, di dalamnya pun dipasang alat rahasia yang dapat menyemburkan api yang bersuhu tinggi. Bahwa hari itu Liok Yang Cinjin berani meluruk kesini mau menantang Thio Tan-hong bersama Kiu-poan-bo dan Le Khong-thian lantaran dia kira Thio Tan-hong sudah tua dan lemah badan, di samping dia memiliki cambuk api yang keji ini.

Kejadian sungguh tak terduga sama sekali, saat mana Tan Ciok¬sing masih berada di lamping gunung, tampak setelah ledakan keras tadi, Hek-pek-moko sama-sama terkurung didalam kobaran api, pakaian dan rambut mereka yang uban telah dijilat api.

"Tosu iblis," hardik Hek-moko murka, "biar aku adu jiwa dengan kau," tanpa hiraukan api yang menjilat badan, mendadak dia ayun tongkatnya mengepruk ke arah Liok Yang Cinjin. Lwekang Pek-moko lebih rendah, dia tidak kuat bertahan, lekas dia jatuhkan diri menggelinding beberapa kali, pikirnya hendak memadamkan api yang membakar pakaian tapi belum lagi dia melompat berdiri pula pentung kepala naga Kiu-poan-bo tahu-tahu sudah mengemplang ke arah dirinya.

Kemplangan tongkat Hek-moko berhasil menyampuk pergi Ko-lo-pian Liok Yang Cinjin, mendadak diapun menjatuhkan diri berguling seraya berseru: "Lui-thian-kiau-hong" belum lagi Pek-moko sempat melompat berdiri tahu-tahu Hek-moko sudah menggelinding tiba hendak melancarkan gabungan ilmu tongkat mereka, maka dia urungkan niatnya malah ikut merebahkan diri pula.

Begitu kedua tongkat mereka terangkat, "Trang" keras sekali, kontan Kiu-poan-bo menyemburkan darah segar, badanpun melejit jumpalitan beberapa tombak ke belakang. Ternyata jurus Lui-tian-kiau-hong merupakan pusat gabungan lwekang kedua saudara kembar yang dilandasi setaker lwekang mereka, meski Kungfu Kiu-poan-bo lebih hebat lagi juga takkan kuat menghadapinya.

Tapi .erangan tongkat Hek-moko inipun merupakan kekuatan terakhir saja, lekas dia bimbing adiknya berdiri terus lari belasan langkah kesana, keduanya tampak sempoyongan, tak ubahnya kembang lilin yang tertiup angin.

Le Khong-thian kegirangan, teriaknya: "Mereka sudah tidak kuat lagi, lekas sikat mereka."

Belum habis dia bicara mendadak terdengar sebuah bentakan menggelegar: "Kalian beberapa siluman jahat ini berani menjilat ludah melanggar sumpah, hari ini Thio Tan-hong tak bisa memberi ampun lagi pada kalian," hardikan Thio Tan-hong ini menggunakan lwekang auman singa, begitu hebat tenaga getarannya sampai Le Khong-thian berdiri memukau seperti patung yang kehilangan semangat, To-kak-tong-jin yang sudah diangkatnya tinggi ke atas tak bergerak lagi, agaknya dia jeri untuk memukulkan ke arah Hek-moko lagi.

Cepat sekali, sebelum gema hardikan itu lenyap, tiba-tiba Thio

Tan-hong sudah melayang turun seperti terjun dari tengah langit, orangnya masih puluhan langkah jauhnya, tapi tenaga Pit-khong-ciang yang dia lancarkan ternyata mendampar hebat laksana gugur gunung.

"Blum" kepala tengkorak besi yang tercantol di ujung cambuk Liok-yang Cinjin terpukul hancur menjadi bubuk oleh tenaga pukulan Thio Tan-hong, kobaran api yang menyala hebat itu seperti dihembus angin lesus malah tertolak balik membakar badannya sendiri, lekas sekali dia terguling-guling sambil menggerung, memekik dan meraung minta tolong pula, tapi kobaran api itu memang hebat, cepat sekali dia sudah mampus terbakar menjadi abu.

Thio Tan-hong membentak: "Le Khong-thian, tidak setimpal kau mengotori pedangku, lekaslah punahkan sendiri ilmu silatmu."

Le Khong-thian tetap berdiri kaku seperti patung, Tong-jin tetap terangkat di atas kepalanya, badannya tidak bergeming sama sekali. Thio Tan-hong mengerutkan kening, katanya: "Mengingat rasa baktimu yang ingin menuntut balas bagi gurumu, maka boleh aku mengampuni jiwamu, memangnya

kau masih tidak terima?" Le Khong-thian tetap tidak bergerak atau menjawab pertanyaannya. Baru kini Thio Tan-hong merasakan keganjilan ini, lekas dia memburu maju merebut Tong-jin di tangan Le Khong-thian. Begitu tubuh orang tersentuh, seperti sebatang balok pelan-pelan badan Le Khong-thian roboh berdentam. Ternyata jantungnya pecah oleh getaran hardikan Thio Tan-hong, jiwapun melayang.

Kiu-poan-bo rebah di antara genangan darahnya sendiri, setelah merintih-rintih dia berteriak: "Thio Tayhiap, mohon sukalah kau bermurah hati, tamatkan saja jiwaku."

Jurus Lui-tian-kiau-hong yang dilancarkan Hek-pek-moko memang dahsyat luar biasa, seorang diri Kiu-poan-bo berani melawan jurus dahsyat ini secara kekerasan, karuan dia tergetar luka parah sampai muntah darah, kini keadaannya sudah empas empis dan sekarat.

Thio Tan-hong jadi tidak tega, katanya setelah menghela napas: "Inilah yang dinamakan orang jahat berbuat jahat akhirnya pasti memperoleh ganjaran setimpal," segera jarinya menjentik sebuah krikil dengan telak mengenai hiat-to mematikan di tubuh Kiu-poan-bo, tujuannya memang untuk mengurangi penderitaannya, jiwapun melayang seketika.

Api yang menjilat tubuh Hek-pek-moko sudah padam, tapi keadaan mereka juga empas-empis. Mereka rebah sejajar di tanah, kini keduanya berusaha meronta bangun.

"Kalian jangan bergerak," kata Thio Tan-hong, "biar aku obati kalian."

Napas Pek-moko sudah lemah, mulutnya megap-megap, bibirnya bergerak seperti ingin bicara, lekas Thio Tan-hong dekatkan telinganya ke mulut orang, didengarnya Pek-moko berkata: "Thio Tayhiap, kau sudah menuntut balas sakit hati kami, aku amat senang, api yang membakar kami mengandung racun..." suaranya selembut bunyi nyamuk, sebelum habis dia berpesan, jiwapun telah melayang.

Lekas kedua tangan Thio Tan-hong bekerja, telapak tangan kiri mendempel punggung Pek-moko, tangan kanan mendempel punggung Hek-moko, pelan-pelan dia salurkan hawa murninya ke tubuh mereka. Tak lama kemudian, terasa badan Pek-moko semakin dingin dan kaku, sementara Hek-moko tampak bergerak dan menggeliat, pelan-pelan dia membuka mata.

Diam-diam Thio Tan-hong menghela napas, pikirnya: "Ternyata aku sendiri juga seperti pelita yang sudah hampir kehabisan minyak," tadi dengan hawa mumi sendiri dia bantu Hek-pek-moko dengan saluran tenaga, tak nyana jiwa Pek-moko tetap tak berhasil ditolongnya. Hek-moko memang sadar kembali, tapi keadaannya juga sudah payah takkan bertahan lama lagi.

"Thio Tayhiap," kata Hek-moko lemah, "seharusnya tidak secepat ini kau menyelesaikan samadimu, kami berkorban tidak jadi soal kau justru harus menjaga kesehatanmu, bukankah kau harus menamatkan karya ciptaan ilmu pedangmu untuk diwariskan murid didikmu kelak?"

Seperti disayat hati Thio Tan-hong, katanya pilu: "Jangan kau banyak pikiran, lekas pusatkan hawa murni ke pusar, aku akan membantumu menjebol Ki-king-pat-meh."

"Bagaimana keadaan adikku?" tanya Hek-moko.

"Sementara tak usah kau pedulikan dia, dengarkan perkataanku. Setelah racun api yang mengenai badanmu dapat dibersihkan kau masih bisa tetap hidup," kata Thio Tan-hong. Selama hayatnya belum pernah Thio Tan-hong berbohong terhadap kawannya, kini karena tidak tega memberi tahu kematian Pek-moko kepada kakaknya, terpaksa dia berbohong, namun Hek-moko sudah tahu dari nada jawabannya.

"Thio Tayhiap," kata Hek-moko, "syukurlah kau tidak apa-apa. Kami bersaudara dilahirkan pada hari bulan dan tahun yang sama, adalah jamak kalau mati pada hari bulan dan tahun yang sama pula. Tak usah kau membuang tenaga percuma untuk kami. Kedua tongkat harap kau suka simpan untuk warisan muridku yang datang mengambilnya. Kalau tiada yang mengambil, boleh serahkan saja kepada adik cilik ini."

"Jangan," teriak Thio Tan-hong. Tapi kepala Hek-moko sudah tertekuk lemas didalam pelukannya, ternyata dia menggetar putus urat nadi sendiri sehingga jiwa melayang.

Baru sekarang Tan Ciok-sing tiba di tempat kejadian, melihat kematian Hek-moko yang mengenaskan, tak tertahan dia memekik panjang terus menubruk maju dan menangis tersedu-sedu.

Lengan baju Thio Tan-hong mengebas enteng, seguiung tenaga lunak segera mendorong Tan Ciok-sing ke samping, katanya: "Badannya sudah keracunan, Iwekangmu masih rendah, jangan kau menyentuhnya."

Setelah pertempuran yang berakhir korban beberapa jiwa ini, keadaan hutan batu kembali tenang dan sunyi, namun Hek-pek-moko harus ikut berkorban bersama musuh-musuh penyatron Teringat kebaikan dan budi pertolongan kedua cjanpwc ini, Tan Ciok-sing hampir tidak berani percaya akan kenyataan ini, nangispun tak keluar air mata, sesaat dia berdiri mematung.

Kata Thio Tan-hong: "Dari sesat kedua saudara kembar ini telah kembali ke jalan lurus, apa yang ingin mereka kerjakan sudah terlaksana. Aku tahu, sebelum ajal mereka hakikatnya tak terasa derita apa-apa dalam sanubari mereka. Tapi nak, kalau mau menangis lekaslah kau menangis sepuasmu," pelan-pelan rebahkan badan Hek-moko lalu berlari naik ke Kiam-hong.

Agak lama Tan Ciok-sing terlongong baru akhirnya meneteskan air mata. Di kala tangisnya sampai serak, didengarnya di belakang ada orang berkata: "Anak bagus, kaupun tidak perlu bersedih hati, hayolah kau bantu aku, biarlah mereka beristirahat dengan tenang." Waktu Tan Ciok-sing berpaling dilihatnya Thio Tan-hong sudah kembali sambil membawa sebuah sekop dan pacul.

Tan Ciok-sing tidak berbicara, dia terima sekop itu lalu bantu menggali tanah. Setelah mengebumikan Hek-pek-moko, Thio Tan-hong berkata: "Galilah lagi sebuah liang lahat, ketiga mayat itupun perlu dikubur."

Dalam pada itu Thio Tan-hong mencari sebuah batu yang dirasa cocok untuk dijadikan nisan. Pedang pendek dikeluarkan, di atas batu nisan ini dia menulis beberapa huruf yang berbunyi: "Sahabat dari Thian-tiok tempat beristirahat Hek-pek-moko."

Sementara itu Tan Ciok-sing juga sudah selesai mengubur mayat ketiga gembong iblis itu, sambil menahan air mata, sekarang ganti dia yang membujuk Thio Tan-hong: "Thio Tayhiap lebih penting kau menjaga kesehatanmu sendiri. Kalau manusia hidup pasti mengalami mati dan hidup, kaupun tidak perlulah menyesalinya," dilihatnya Thio Tan-hong mendadak seperti menjadi tua dan loyo, setelah menegakkan batu nisan itu, napasnya ternyata memburu, badanpun basah oleh keringat.

Thio Tan-hong seperti tersentak sadar, katanya: "Betul, urusanku yang belum selesai, sudah seharusnya lekas kuatur dengan baik."

Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu "urusan" apa dan pesan apa yang akan diberikan kepada siapa? Tapi lapat-lapat dia merasakan firasat yang tidak baik, dilihatnya sang dewi malam sudah bercokol tinggi di angkasa, katanya: "Thio Tayhiap kau harus lekas beristirahat, urusan yang harus di selesaikan biarlah dikerjakan besok pagi saja?"

Thio Tan-hong tertawa, ujarnya: "Kalau sudah suratan takdir mau apa, besok, besok matahari akan tetap terbit dari timur, tapi aku sendiri mana kala entah telah berada dimana?"

Mencelos hati Tan Ciok-sing bulu kuduknya merinding, sesaat lamanya dia berdiri terpukau tak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakan.

"Anak bagus," kata Thio Tan-hong, "maksud kedatanganmu sudah kuketahui, bukankah kau ingin mengangkat guru kepadaku?"

Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin membikin repot orang di kala Thio Tan-hong kesusahan, tapi Thio Tan-hong sendiri sudah membeberkan urusannya, sudah tentu malah kebetulan, lekas dia berlutut serta menyembah kepada Thio Tan-hong sebagai lazimnya murid bersujut kepada sang guru katanya: "Memang Tecu ada maksud itu, entah Thio Tayhiap sudi..."

"Meski aku baru saja mengenalmu, aku tahu bahwa kau adalah pemuda jujur yang sederhana pula, syukurlah kaupun orang yang tahu hutang budi, ini lebih mencocoki seleraku. Sejak hari ini, kau adalah murid penutupku."

Sungguh girang dan sedih pula hati Tan Ciok-sing, setelah menyeka air mata, lekas dia menyembah pula serta memanggil: "Suhu."

Thio Tan-hong membimbingnya bangun, katanya: "Ilmu golok ajaran In Hou coba mainkan sekali."

Sebenarnya tiada selera Tan Ciok-sing memainkan ilmu goloknya lagi, tapi mengingat keadaan gurunya, baik juga untuk mengalihkan perhatian beliau, oleh karena itu meski hati masih dirundung kesedihan, segera dia melolos golok lalu

mendemontrasikan ilmu golok keluarga In menurut apa yang dapat dia pelajari di hadapan Thio Tan-hong.

"Anak baik," ucap Thio Tan-hong tertawa, "kau cukup pintar, dengan dasar yang sudah kau pupuk ini, untuk meyakinkan lwekang taraf tinggi kukira tanpa bimbingan langsung dari seorang guru pasti dapat juga kau belajar dan menyelaminya. Em, legalah hatiku."

Tan Ciok-sing melengak. Thio Tan-hong memujinya ini jelas menggirangkan hatinya, tapi kenapa suhu harus berkata demikian, bahwa aku bisa belajar sendiri tanpa bimbingan guru, beliaupun legalah.

Thio Tan-hong mengeluarkan sejilid buku, katanya perlahan: "Inilah intisari latihan lwekang karyaku sendiri, kau harus tekun membaca dan mempelajarinya dengan rajin, dalam jangka tiga tahun yakin kau akan berhasil. Ada beberapa bagian yang sukar di mengerti, mumpung sekarang ada kesempatan biar kujelaskan kepadamu."

Tan Ciok-sing buang segala kerisauan hatinya, dengan seksama dia mendengarkan, untung Thio Tan-hong menjelaskan panjang lebar dan mendetail, cara memberi penjelasan pun gampang di mengerti. Kata Thio Tan-hong: "Kalau masih ada bagian-bagian yang masih kurang jelas, asal kau sudah paham dan hapal teorinya, kelak kau pasti akan mengerti sendiri."

Kembali Tan Ciok-sing melengak dibuatnya, kenapa Thio Tan-hong mengharap kelak dia memahaminya sendiri? "Apakah Suhu hendak meninggalkan Ciok-lin?"

Berkata Thio Tan-hong lebih lanjut: "Aku berhasil menciptakan Bu-bingrkiam-hoat, kuukir di atas dinding gua batu. Murid besarku Toh Thian-tok adalah Ciangbunjin Thian-san-pay, tapi dia belum tahu kalau aku telah menciptakan ilmu pedang ini. Kelak kau berhasil mempelajarinya, kalau ada kesempatan bertemu dengan Toa-suhengmu, boleh kau wakilkan aku ajarkan ilmu pedang ini kepadanya Jikalau tiada kesempatan bertemu, ya apa boleh buat. Ilmu silatnya kini merupakan suatu aliran tersendiri, sukses yang dicapainya kelak jelas masih di atasku, akupun tak perlu kuatir akan dirinya."

Lama Thio Tan-hong termenung seperti mengenang sesuatu, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya: "Bulan purnama malam ini sungguh amat indah, sayang tokoh-tokoh seangkatanku, peduli dia musuh atau kawan, boleh dikata sebagian besar sudah mendahului aku, tiada orang menemaniku menikmati keindahan bulan. Ai, begini sunyi dunia ini, aku terang takkan lama di dunia ini lagi."

Bergidik Tan Ciok-sing dibuatnya: "Suhu, selanjutnya Tecu kan bisa selalu menemanimu."

"Kau memang anak baik, tapi usiamu masih teramat muda. Bagaimana perasaan seorang tua, yang sebatang kara dan hidup terasing lagi, jelas kau takkan bisa menyelaminya," setelah berkata kembali dia menepekur seperti tenggelam dalam kehidupan masa lalu, tanpa berkesip dan tidak bergeming pandangannya lengang ke permukaan danau.

Waktu Tan Ciok-sing hendak membujuknya lekas istirahat, mendadak Thio Tan-hong keluarkan sebatang pedang panjang dan sebilah pedang pendek ditaruh di atas meja, katanya: "Aneh, entah mengapa perasaanku kok terasa agak ganjil, banyak urusan yang ingin kubicarakan dengan kau. Marilah kuceritakan riwayat dari sepasang pedang pusaka ini."

Tak ingin mengganggu hasrat orang, maka Tan Ciok-sing diam saja serta pasang kuping.

"Ibu gurumu bernama In Lui, In Hou memanggilnya Kokoh (bibi), tentunya In Hou pernah bicara hal ini kepadamu?"

Tan Ciok-sing manggut-manggut, Thio Tan-hong l.alu melanjutkan: "Kami adalah Suheng-moay, pedang panjangku ini bernama Pek-hong (pelangi putih), pedang pendek miliknya ini bernama Ceng-bing, bersama dia kami berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan, adalah karena ilmu gabungan tongkat Hek-pek-moko terkalahkan oleh ilmu pedang gabungan kami, maka dia kami tundukan dan selanjutnya terima diperintah."

"Ibu gurumu paling menyukai alam permai didalam hutan batu ini," jari-jari Thio Tan-hong memainkan air danau, seperti mengenang masa lalu, sesaat kemudian baru dia melanjutkan: "Usianya lebih muda dari aku, tak nyana dia justeru pergi mendahuluiku. Karena Bu-bing-kiam-hoat belum berhasil ku rampungkan, terpaksa aku menepati pesannya, sehingga aku menetap belasan tahun didalam hutan batu ini. Belakangan kudapati bahwa kesehatanku sudah banyak mundur, badanku sudah loyo dimakan usia, kemungkinan Thian telah menentukan nasibku. Maka kira-kira tiga hari yang lalu sengaja aku mulai Pit-koan-lian-kang pula, harapanku pada latihan terakhir ini aku bisa hidup beberapa kejap lebih lama lagi demi mencapai cita-citaku yang terakhir. Pit-koan yang kuperhitungkan tujuh hari terpaksa hanya tercapai tiga hari karena kedatangan ketiga gembong iblis itu, celakanya adalah Hek-pek-moko pun harus gugur karenanya."

"Suhu," ujar Tan Ciok-sing pilu, "inikan bukan kesalahanmu..."

"Memang bukan kesalahanku." tukas Thio Tan-hong, "yang benar mereka gugur karena aku betapapun aku amat menyesal akan nasib buruk ini. Tapi untunglah aku telah berhasil mendapat ilham tentang jurus terakhir dari Bu-bing-kiam-hoat itu, tadi aku kembali ke gua batu adalah untuk mcngukii jurus terakhir ini di dinding balu dalam gua itu," sampai disim tilu tiba Thio Tan-hong mcnycimgai sedih, katanya: "Paling ifchvk aku tidak menyia-nyiakan harapku Ibu guru dan Hek-pek-moko, dan sekarang segalanya boleh dikata sudah kucapai dengan sukses besar."

"Suhu berhasil dan sukses, memang patut diberi selamat"

"Lebih menyenangkan lagi pada detik-detik ajalku terakhir ini, aku masih berkesempatan memperoleh seorang murid penutup, tak perlu aku kuatir bahwa Bu-bing-kiam-hoat selanjutnya tiada mendapat pewaris," sampai disini mendadak dia bertanya kepada Tan Ciok-sing: "In Hou punya seorang anak gadis bernama In San, dia pernah beritahu kepadamu?"

"Sebelum akhir hayatnya In Tayhiap pernah berpesan supaya aku serahkan buku pelajaran ilmu golok, golok pusaka dan lain-lain kepada putrinya."

"Baiklah, kelak setelah kau berhasil mempelajari ilmu peninggalanku ini, aku masih ada sebuah pesan supaya kau sampaikan."

"Silakan Suhu katakan," ujar Tan Ciok-sing.

Thio Tan-hong jemput pedang panjang, katanya: "Pek-hong-kiam ini kuberikan kepadamu, kuharap kau tidak menyia-nyiakannya."

"Tecu, tecu mana mungkin berani menerima pusaka yang tidak ternilai ini..."

"Anak bodoh, pusaka dari perguruan kita, kecuali kau kepada siapa harus kuwariskan, memangnya harus kubawa ke liang kubur? Toa-suhengmu kini adalah cikal bakal sebuah aliran tersendiri, taraf kepandaian silatnya, kelak mungkin masih lebih unggul dari aku, maka dia tidak perlu memakai pedang ini."

Kalau tetap menolak, itu berarti aieman. Terpaksa Tan Ciok-sing terima Pek-hong-kiam yang diberikan kepadanya.

Lalu Thio Tan-hong menjemput pedang pendek katanya: "Ceng-bing-kiam ini, kelak tolong kau serahkan kepada putri In Hou."

Tan Ciok-sing menerimanya dengan hormat, sahutnya: "Tecu terima perintah."

Dengan wajah berseri Thio Tan-hong berkata lebih lanjut: "Pedang ini memangnya pusaka warisan keluarga In, In Hou sudah meninggal, kini tinggal putrinya saja yang masih hidup dari keluarga ln, maka pedang ini adalah pantas kalau kembali ke tangannya. Kuharap kau maklum kemana arah tujuan dan maksudku, jikalau kalian bisa juga bergabung memainkan sepasang pedang ini, itu jauh lebih baik."

Ceng-bing dan Pek-hong adalah sepasang pedang yang dipakai Thio Tan-hong suami istri, pedang gabungan mereka suami isteri pernah menggemparkan Kangouw. Kini Thio Tan-hong mewariskan pedang-pedang itu kepada Tan Ciok-sing dan putri In Hou, malah ditambah serangkaian kata-kata lagi, karuan Tan Ciok-sing bingung dan bimbang. "Apa maksud Suhu sebenarnya? Apakah, apakah dia ada maksud... em, baru saja aku masuk perguruan, dendam sakit hati belum lagi kubalas, mana boleh berpikiran tidak genah?"

Thio Tan-hong seperti sedang memikirkan sesuatu, sesaat lamanya mendadak dia berkata: "Bulan purnama malam ini sungguh bagus sekali Sing-ji, coba kau petikan lagi lagu Khong-ling-san. Kali ini harus kau lagukan selengkapnya."

Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Bagian belakang Khong-ling-san yang mengenaskan, keadaan Suhu kelihatan agak ganjil, kalau beliau mendengar lagu yang memilukan ini mungkin tidak menguntungkan."

Agaknya Thio Tan-hong tahu jalan pikirannya, katanya tersenyum: "Sudah lama Khong-ling-san putus turunan, boleh dikata lagu ini merupakan ciptaan pujangga besar jaman dulu yang tak mungkin dibanding oleh manusia kini, jikalau aku dapat mendengar lagu ini selengkapnya, sungguh merupakan suatu keberuntungan yang paling besar semasa hidupku ini. Syukurlah kau pandai memetik lagu ini selengkapnya, biarlah kau anggap sebagai hadiah kepadaku yang baru saja kuangkat murid."

Merinding Tan Ciok-sing mendengar kata-kata gurunya, seolah-olah dia dirambati firasat jelek yang bakal menimpa gurunya. Tapi Thio Tan-hong sudah kebacut omong, jikalau dia tidak memetik lagu itu, bukankah kelihatan belangnya malah? Apalagi Thio Tan-hong menitik berat persoalan pada "hadiah masuk perguruan".

Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing memetik lagu Khong-ling-san. Semula perasaannya memang seperti dipaksakan, tapi begitu irama harpa mengalun, tanpa terasa dia pun harus memusatkan seluruh semangat dan perhatiannya, lambat laun dia pun tenggelam dalam alunan musik yang mengasyikan dan mengetuk sanubari. Lama kelamaan alam sekelilingnya dirasakan seperti kosong dan hampa, malah seakan-akan dia sudah melupakan bahwa Thio Tan-hong berada di depannya.

Kepala Thio Tan-hong tertunduk, mata terpejam, pikirannya terbayang pada kenangan lama, entah itu kehidupan yang riang gembira atau pengalaman yang meresahkan atau menyedihkan, suka dan duka sama terbayang dalam benaknya... "Adik Lui, demi memenuhi harapanmu, merampungkan Bu-bing-kiam-hoat, sehingga kau terlalu lama menungguku. Sebetulnya tanpa kehadiranmu di sampingku, umpama aku berhasil meyakinkan dan menciptakan Kungfu yang paling top di dunia ini, kesenangan apa pula yang kuperoleh."

Akhirnya petikan lagu Khong-ling-san berakhir, pelan-pelan Tan Ciok-sing angkat kepalanya, tampak Thio Tan-hong duduk tenang seperti padri samadi, ditunggu sekian lama tetap tidak bergerak. "Suhu," teriak Tan Ciok-sing, setelah tidak melihat reaksi atau jawaban Thio Tan-hong baru dia terperanjat, dengan membesarkan hati, dia maju mendekat maksudnya

memapahnya, didapatinya Thio Tan-hong sudah meninggal.

Seorang maha guru besar persilatan, ternyata telah mangkat dengan tenang setelah menikmati lagu petikan harpa yang jarang bisa didengar oleh manusia siapa saja dalam dunia ini, begitu wajar dan bebas Thio Tan-hong pulang menghadap Yang Kuasa. Tapi Tan Ciok-sing justeru berduka sekali.

Kembang mekar musim semi telah tiba, kembang rontok musim semipun telaTi berselang, tanpa terasa sudah tiga tahun Tan Ciok-sing berdiam di Ciok-lin. Selama tiga tahun ini, dalam jangka tiga bulan dia pasti turun gunung pergi ke kota yang berdekatan membeli rangsum dan pakaian serta peralatan sehari-hari yang diperlukan, kota yang berjarak tiga puluhan li ini semakin gampang ditempuh dalam waktu singkat.

penduduk kota kebanyakan orang-orang gunung yang hidup sederhana dan jujur, kepada mereka dia membeli rangsum dan keperluan lain, dari hubungan sekian lamanya akhirnya dia punya beberapa teman.

Hari itu dia baru saja pulang dari kota, entah mengapa hatinya amat gundah dan masgul. Dalam hati dia berpikir: "Tempat ini memang terasing dari dunia ramai, entah apa saja yang telah terjadi di dunia luar sana, patutkah aku mengasingkan diri tanpa menghiraukan masyarakat umum? Pusara kakek mungkin sudah ditumbuhi rumput liar? Ai, dendam kakek dan In Tayhiap masih menunggu diriku untuk membalasnya. Entah sampai dimana taraf Kungfuku? Kapan aku baru tamat belajar?"

Maklum dia belajar tanpa bimbingan, apakah sekarang Kungfunya sudah tamat, dia sendiri tidak tahu, tapi semakin belajar dia semakin merasakan ilmu ciptaan Thio Tan-hong yang satu ini ternyata memang mendalam, luas dan besar sekali artinya, belajar tiga tahun ini, seakan-akan dia hanya baru mempelajari kulitnya belaka.

Tapi mengingat tugas menuntut balas, betapa pun dia harus belajar Kungfu. Sejauh ini dia masih merasa hasil yang dipelajarinya sekarang masih belum cukup mampu untuk menghadapi Lui Tin¬ gak, Siang Po-san dan le Cun-hong, maka dia merasa perlu untuk belajar lebih tekun dan rajin. Maka selanjutnya dia menekunkan diri dalam pelajaran lwekang murni sesuai karya Thio Tan-hong, berhasil juga dia mempelajari lwekang tingkat tinggi.

Entah berapa lamanya, mendadak dia merasa sekujur badan panas membara, rasanya amat tersiksa, tak lama lagi segulung arus panas tiba-tiba timbul dari pusar, dalam sekejap saja lantas merembes ke seluruh badan. Rasa mual di dada mendadak lenyap, badan segar dan nyaman sekali. Berhasil meyakinkan ilmu lwekangnya, lekas Tan Ciok-sing berdiri, hatinya kejut dan girang. Pikirnya: "Menurut uraian dalam pelajaran, agaknya aku telah berhasil menjebol Ki-king-pat-meh. Memangnya, Iwekangku telah berhasil kuyakinkan?"

Setelah menarik napas dalam pelan-pelan dia berjalan keluar gua, coba-coba dia berlari turun gunung. Bentuk Kiam-hong amat curam, biasanya dia harus

mengembangkan ginkang, toh juga harus berpegang pada akar-akar rotan, tapi sekarang dia dapat lari seringan burung dan tangkas seperti berlenggang di tanah datar tanpa banyak ganti napas sekaligus dia lari tutun ke tanah datar di kaki bukit.

Sang dewi malam kebetulan bertahta di angkasa raya, air danau tenang dan mengkilap bagai permukaan kaca. Alunan gelombangnya yang lembut menggambarkan sinar bulan yang beraneka bentuk dan warnanya. Keadaan ini tak ubannya seperti keadaan tiga tahun yang lalu waktu gurunya meninggal di tempat ini pula. Di pinggir danau yang sama, suasana dan waktu yang sama pula. Tapi perasaan Tan Ciok-sing sungguh berbeda sekali.

Lama dia termenung-menung, lalu pelan-pelan dia cabut Pek-hong-kiam pemberian gurunya, sekali sendak berpetalah ceplok cahaya pedang, mendadak dia jejak kaki badan melambung tinggi ke angkasa. Di kala tubuhnya meluncur turun dan hinggap di tanah, tampak ceplok-ceplok kembang sama rontok berjatuhan di permukaan danau. Ternyata pada puluhan kuntum kembang yang tumbuh di pinggir danau dia telah mamapasnya sekelopak setiap kuntumnya, pohon tidak bergoyang dahan tidak bergeming.

Saking girang Tan Ciok-sing sampai berjingkrak-jingkrak, teriaknya: "Jurus terakhir dari Bu-bing-kiam-hoat akhirnya berhasil kupelajari juga." "Besok aku boleh pergi meninggalkan lembah ini, sekarang aku harus pamitan kepada Suhu," baru saja dia berniat pergi ke pusara gurunya, memberi laporan hasil yang telah dicapainya ini terhadap arwah sang guru, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu yang ganjil.

Ilmu silat Tan Ciok-sing sekarang sudah jauh berbeda dari tiga tahun yang lampau, maka pendengaran dan pandangannya jauh lebih tajam dari orang biasa. Begitu merasakan ada sesuatu yang ganjil segera dia mendekam menempel telinga ke bumi mendengarkan dengan seksama. Betul juga di kejauhan didengarnya langkah dua orang yang mendatangi.

Kedua orang ini belum lama memasuki daerah hutan batu, jaraknya masih cukup jauh untuk mencapai danau pedang. Tapi Iwekang kedua orang ini agaknya belum setingkat Tan Ciok-sing bahwasanya mereka belum atau tidak mendengar suara tawa Tan Ciok-sing tadi, sebaliknya Tan Ciok-sing sudah tahu akan kedatangan mereka.

Lekas sekali suara percakapan kedua orang itupun telah terdengar. Suaranya seperti sudah amat dikenal, sekilas Tan Ciok-sing melengak, akhirnya dia tahu siapa yang berbicara itu, seketika hatinya berang.

Kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah Liong Seng-bu yang mengatur tipu daya mencelakai Tan Ciok-sing dan hendak merebut pusaka yang dimilikinya, seorang lagi adalah le Cun-hong yang pernah bergabung dengan Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu mengeroyok Hek-pek-moko.

Didengarnya Liong Seng-bu tengah berkata: "le-cengcu, jikalau Thio Tan-hong belum mati, kita harus bertindak hati-hati. Menurut pendapatmu, apakah perlu aku menyaru jadi Tan Ciok-sing bocah ingusan itu saja?"

le Cun-hong berkata: "Kalau Thio Tan-hong belum mati, bocah itu tentu sudah menjadi muridnya, bagaimana kau bisa memalsukan dirinya?"

Liong Seng-bu tertawa kecil, katanya: "Aku kan bisa memutar balik persoalan, yang benar kukatakan palsu. Aku kan memiliki kotak kayu dan Kiam-boh karyanya itu."

"Usia Thio Tan-hong memang sudah lanjut dan mungkin sudah jompo, kurasa sukar kau dapat ngapusi dia."

"Ie-cengcu," ujar Liong Seng-bu, "'kita kan tahu kalau bukan tandingan Thio Tan-hong, maka akalku ini kurasa perlu dicoba, meski menyerempet bahayapun juga setimpal."

Sesaat lamanya baru terdengar le Cun-hong berkata: "Menurut apa yang kutahu, tiga tahun yang lalu, Le Khong-thian bersama Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin pernah meluruk ke Ciok-lin, tapi sampai sekarang tak pernah dengar kabar berita mereka. Entah terbunuh oleh Thio Tan-hong, atau Thio Tan-hong yang berhasil dibunuh mereka? Atau mungkin pula mereka gugur bersama? Akan tetapi, baiklah mereka kita perhitungkan yang paling buruk, bila mereka yang terbunuh oleh Thio Tan-hong, sekarang Thio Tan-hong sudah tua renta, setelah mengalami pertempuran sengit, sedikit banyak pasti terluka dalam, yakin dengan golok cepatku, pasti takkan terkalahkan olehnya?"

"Jadi kita putuskan untuk menggunakan kekerasan?" kata Liong Seng-bu.

Ie Cun-hong berpikir sejenak, katanya: "Tujuan kita hanya mencari tahu keadaan. Boleh kau masuk memeriksa keadaan didalam, aku akan sembunyi..." sembari bicara merekapun telah tiba di mulut jalanan yang menuju ke danau pedang.

Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia melompat keluar sambil membentak: "Kawanan tikus juga berani mengganggu guruku."

Liong Seng-bu berjingkat, teriaknya: "Saudara cilik, kau..." -"Sret" pedang Tan Ciok-sing tahu-tahu sudah menusuk tiba.

"Trang" sekenanya Liong Seng-bu menangkis, kembang api berpijar. Tahu-tahu pedang panjang di tangan Liong Seng-bu sudah kutung menjadi dua. Dalam kerepotan untuk menyelamatkan diri, lekas dia jumpalitan seperti burung dara jungkir balik di udara, melompat jauh tiga tombak, seketika dia merasa kulit kepalanya silir dan dingin. Waktu dia raba, ternyata sebagian rambut kepalanya tercukur sebagian.

Hanya segebrak bukan saja Tan Ciok-sing mengutungi pedangnya, hampir saja kulit kepalanyapun dibeset oleh pedang Tan Ciok-sing, karuan bukan main rasa kaget Liong Seng-bu. Tapi Tan Ciok-sing sendiri juga merasa diluar dugaan.

Maklum jiwa Tan Ciok-sing jujur dan bajik, tusukannya tidak bermaksud menamatkan jiwa Liong Seng-bu, maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja. Tiga tahun yang lalu kepandaian Liong Seng-bu memang lebih tinggi, tapi juga tidak terpaut banyak, oleh karena itu, Tan Ciok-sing kali ini tidak menggunakan jurus mematikan dari Bu-bing-kiam-hoat yang telah berhasil dipelajarinya. Walau demikian, dia yakin Liong Seng-bu takkan mampu menahannya. Dia kira Liong Seng-bu pasti takkan mampu melawan atau menangkis gerakan pedangnya yang cepat, hiat-to lawan pasti tertusuk dan menggeletak tak bergerak.

Pedang Liong Seng-bu memang tertabas kutung, tapi betapapun orang telah menangkis serangannya, meski hanya segebrak saja, tapi Tan Ciok-singpun tak mampu menusuk hiat-to orang.

"Apakah latihan ilmu pedangnya kini sudah jauh lebih tinggi? Atau ilmu pedang yang kupelajari hakikatnya belum tamat dan sempurna?" demikian batin Tan Ciok-sing.

Saking kaget dan jeri seperti copot arwah Liong Seng-bu, lekas dia berteriak ke belakang serakan batu, teriaknya melengking: "Bocah ini liehay sekali, Ie-cengcu, le-cengcu, lekas, lekas kau ke mari."



000OOO000



Bahwasanya Ie Cun-hong tidak melihat gebrakan yang berlangsung di antara mereka barusan. Begitu dia memasuki mulut jalanan yang menuju ke danau pedang, sorot matanya lantas ketumbuk pada dua gundukan tanah di sebelah sana. Gundukan tanah yang pusara ini satu adalah kuburan Hek-pek-moko kawan Thio Tan-hong dari bangsa India. Sebuah lagi adalah kuburan Thio Tan-hong.

Melihat kedua kuburan ini, girang Ie Cun-hong tak ubahnya rasa kaget Liong Seng-bu sekarang, keadaannya sama-sama diluar dugaan. Di kala Liong Seng-bu berteriak-teriak minta tolong, diapun bersorak seperti orang putus lotre: "Thio Tan-hong sudah mati, sudah mati."

Thio Tan-hong yang paling ditakuti sudah mati, pembantu utamanya yang amat diandalkan yaitu Hek-pek-moko juga sama-sama mati, sudah tentu Ie Cun-hong tidak pandang sebelah mata terhadap Tan Ciok-sing, bocah yang masih bau pupuk bawang ini? "Hehehe, bocah ini mampu berbuat apa? Liong-siangkong, jikalau kau takut, silakan menyingkir agak jauh, biar aku yang bereskan dia," demikian seru Ie Cun-hong pongah sambil terloroh-loroh.

Sayang Tan Ciok-sing tidak yakin akan diri sendiri, dia tahu Ie Cun-hong adalah gembong silat yang cukup tinggi kepandaiannya, jauh lebih hebat dibanding Liong Seng- bu, pikirnya: "Mungkin aku bukan tandingannya, tapi hari ini aku harus berani adu jiwa dengan

dia."-"Sret" pedangnya segera

melancarkan jurus yang mematikan.

Ie Cun-hong luas pengalaman, melihat serangan pedang Tan Ciok-sing mengambang, mirip jurus Hong-wi-loh-coan dari Ceng-seng¬ pay, tapi juga mirip jurus Tui-jui-hu-ceng dari Siong-san-pay, gaya pedangnya bergerak melingkar seperti bundaran gelang, dimana letak kehebatannya sukar diraba, karuan dia tertegun, "Ilmu pedang macam apa ini?" Cepat sekali ujung pedang Tan Ciok-sing sudah memantulkan setitik sinar dingin, mendadak sudah menusuk tiba di depan matanya, cahayanya yang terang menyilaukan mata.

Tiba-tiba Ie Cun-hong menundukkan kepala, berbareng golok cepatnya membabat, balas menyerang dia berusaha membela diri, pedang dan golok tidak kebentur, tapi terdengar suara "Bret" lengan baju Ie Cun-hong terpapas sebagian, tapi kain ikat pinggang Tan Ciok-sing juga putus oleh babatan golok lawan. Senjata tidak beradu, masing-masing dirugikan sedikit, tapi hanya pakaiannya saja yang rusak, maklum serangan kedua pihak sama cepat.

Sebetulnya jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing dapat mengakibatkan Ie Cun-hong mati seketika atau luka parah, sayang dia kurang yakin akan kehebatan ilmu pedang yang baru saja berhasil diyakinkan, sedikit banyak dia masih gugup dan tegang, sehingga Ie Cun-hong mendapat angin, gebrak permulaan ini boleh terhitung seri sama kuat.

Diam-diam le Cun-hong amat kaget, "bocah ini ternyata sudah terlatih baik," bahwasanya dia belum tahu bahwa Tan Ciok-sing belum lagi memboyong kemahiran yang sesungguhnya. Karena lengan bajunya sobek dia naik pitam, bentaknya: "Anak keparat, berani kau melawan aku. Dalam jangka sepuluh jurus, aku orang she Ie kalau tidak mampu membunuhmu, bersumpah aku takkan bercokol di dunia ini. Setelah kurenggut jiwamu, baru nanti kubongkar kuburan Thio Tan-hong."

Mendengar orang hendak membongkar kuburan gurunya, Tan Ciok-sing betul-betul naik pitam, hardiknya: "Berani kau?" di kala dia bicara dua patah kata ini, sekaligus Ie Cun-hong telah melancarkan tiga puluh enam jurus bacokan golok, ada yang satu jurus tiga gerakan, ada pula yang sejurus empat variasi, pendek kata, jumlah serangannya jelas sudah melebihi sepuluh jurus, Tan Ciok-sing cuma balas menyerang tujuh jurus, hanya sekali pedangnya beradu dengan golok lawan, tajam golok le Cun-hong gumpil sebagian.

Tan Ciok-sing tenawa mengejek: "Sudah lewat sepuluh jurus, bukankah tadi kau bersumpah? Memangnya kau ini bukan manusia, tak peilu aku menuntut sumpahmu tadi."

Merah padam wajah Ic Cun¬ hong, sedapat mungkin dia menekan hawa nafsunya, pikirnya: "Bocah ini memakai pedang pusaka, aku harus kembangkan ilmu golok cepat supaya dia tidak bisa mengutungi golokku," maka sambil kertak gigi dia nekad melawan dengan sengit, permainan goloknya dikembangkan semakin cepat, deru angin menimbulkan lesus yang kencang.

Berpedoman pada petunjuk Thio Tan-hong, di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh, dengan membekal keyakinan ini dimana sorot matanya bekerja, yang dilihatnya hanya ujung golok lawan saja. Musuh tangguh atau lemah sudah tidak menjadi perhatiannya lagi.

Bu-bing-kiam-hoat mengutamakan gerakan enteng, menyesuaikan gelagat dan berubah menurut situasi, kegunaannya serba lengkap. Begitu lawan membacok tiba, secara reflek akan merubah gerakan melayani dan memunahkan serangan lawan dengan gerakan yang wajar dan tidak menggunakan sistimatis, namun setiap gerak dan perubahan itu justru mencakup berbagai Kungfu dari segala aliran. Semakin gencar Ie Cun-hong memberondong semakin terasa bahwa permainan pedang bocah ini semakin menakjubkan dan sekokoh dinding baja. Sebetulnya permainan ilmu goloknya sudah diakui oleh umum merupakan ilmu golok yang paling ruwet dengan beraneka macam gerak perubahan dan-variasi, tapi ilmu pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing sekarang justeru beratus kali lebih luas dan rumit, bukan saja lebih ragam tapi juga hebat dan lebih tinggi mutunya dibanding ilmu golok sendiri. Sehingga semakin lama keadaan le Cun-hong makin payah, karuan tak kepalang kaget, bingung dan resah hatinya.

Semula Tan Ciok-sing tidak dilandasi keyakinan pada diri sendiri, tapi semakin lama, sikap tempurnya semakin tenang dan mantap. Pikirnya: "Aneh, tiga tahun yang lalu, waktu aku meyaksikan permainan ilmu goloknya tidak bisa kuikuti dengan jelas, tapi kini terasa permainannya bukan saja jelas, tapi juga terasa sepele dan biasa saja, agaknya permainannya mundur dan tidak lebih cepat dari tiga tahun yang lalu?"

Yang benar bukan karena ilmu silat Ie Cun-hong mundur, tapi kemajuan yang dicapai Tan Ciok-sing selama tiga tahun ini yang melampaui lawannya, maka apa yang dibanggakan Ie Cun-hong sebagai "golok cepat", dalam pandangannya sekarang hanya biasa saja.

Semakin tempur gerakan kedua pihak semakin keras dan cepat, Tan Ciok-sing telah kembangkan Bu-bing-kiam-hoat selengkapnya tanpa terasa permainannya sekarang betul-betul sudah mencapai taraf yang dapat dibanggakan. Sinar pedang dan kilat golok saling samber, laksana berpacu. Bagi Ie Cun-hong terasa bayangan Tan Ciok-sing berada di delapan penjuru. Baru sekarang dia diam-diam merasa menyesal, kenapa memandang enteng lawan cilik ini. Tapi menyesal pun sudah kasep, dalam keadaan yang sudah kebacut seperti ini, ada hasratnya melarikan diri, tapi tak kuasa dia menerjang lolos dari kepungan jaringan cahaya pedang.

Pada puncaknya mendadak Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing memelintir balik dengan putaran kencang, kembang cahaya yang tercipta dari pedang pusaka itu seperti bintang-bintang di langit beterbangan di udara, sehingga gelombang golok yang digetarkan oleh permainan golok le Cun-hong semua ditolak kembali. Sekonyong-konyong Ie Cun-hong berteriak sekali, tubuhnya melambung jumpalitan sejauh tiga tombak.

Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Dia belum kalah, kenapa mau lari, mungkin mau menipu aku?" bentaknya: "Kalau berani jangan lari, hayo lawan aku tiga ratus gebrak lagi," sembari bicara dia melintangkan pedang sambil pasang kuda-kuda, seluruh perhatiannya tertuju ke arah lawan, menunggu reaksinya.

Tapi terlihat olehnya Ie Cun-hong berdiri sempoyongan, darah tampak meleleh dari ujung mulutnya, tiba-tiba "Bluk" dia terjatuh dan menggeletak. Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak percaya bahwa Raja Golok yang kenamaan ini, betul-betul sudah mati terbunuh oleh dirinya, sesaat kemudian Ie Cun-hong tetap tidak bergerak, maka dia maju mendekat, sekali kaki bergerak dia bikin tubuh Ie Cun-hong terguling dua kali, baru sekarang dia tahu bahwa Ie Cun-hong memang sudah mati. .

Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, batinnya: "Kalau tahu dia begini tidak becus, waktu bergebrak tadi seharusnya aku tidak menggunakan sepenuh tenaga, supaya dia tetap hidup dan tertawan untuk meminta keterangannya."

Maklum Tan Ciok-sing tidak yakin akan kemampuan sendiri, kuatir bukan tandingan si "Raja Golok", maka begitu ada peluang, secara reflek dia merangsak gencar sekuat tenaga. Malah pada jurus serangan terakhir, ujung pedangnya berhasil menusuk Hiat to mematikan tubuh lawan, lapi dia sendiri masih belum tahu.

Menyesal juga Tan Ciok sing, kalau dirinya bisa mengalahkan lawan, seharusnya ditawan hidup-hidup. Ternyata dia ingin mengompres keterangan dari mulut le Cun-hong untuk menjawab tanda tanya yang selama ini masih mengganjel sanubarinya yaitu apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak sekomplotan dengan mereka, kini Ie Cun-hong sudah mati, tanda tanya ini mungkin akan selalu bersemayam dalam benaknya.

Ie Cun-hong sudah mati, kan masih ada Liong Seng-bu. "Mungkin Liong Seng-bu juga tahu akan rahasia komplotan mereka?" demikian batin Tan Ciok-sing. "Liong Seng-bu," teriaknya, "keluar kau, aku tidak membunuhmu. Aku hanya ingin kau berbicara jujur kepadaku." Suasana hutan batu hening lelap, hanya suara air mengalir yang gemericik. Tapi bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi. Tan Ciok-sing sudah jelajahi seluruh pelosok hutan batu ini, namun jejak Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.

"Sudah tiba saatnya aku harus meninggalkan hutan batu ini. Sebetulnya tak perlu aku mengompres keterangan Ie Cun-hong, meskf kematian kakek bukan langsung di tangan Lui Tin-gak, jelas pasti dialah biang keladinya. Kalau tidak masakah kebetulan waktu itu dia berada di Cit-sing-giam pada peristiwa itu terjadi.

Liong Seng-bu keparat ini biar kesempatan lain kubuat perhitungan sama dia, masih banyak urusan lain yang perlu kubereskan," lalu Tan Ciok-sing kembali ke gua batu, dia benahi bekalnya, sekilas dilihatnya sepasang pentung Hek-pek-moko, sesaat dia jadi bingung, sudah tiga tahun lamanya, tapi tiada murid keturunan mereka yang datang untuk mengambilnya.

Kedua tongkat coklat, bersama Pek-hong dan Ceng-bing-kiam merupakan senjata pusaka yang jarang ada di dunia ini, pedang sih gampang dibawa kemana-mana, tapi kedua tongkat itu agak menyulitkan, dibawapun menarik perhatian orang, disimpan juga susah. Terpaksa Tan Ciok-sing memendamnya didalam kamar batu, setelah keluar dia sumbat mulut gua dengan batu besar. Dipandang dari bawah Kiam-hong, kalau orang tidak tahu di atas puncak ada gua batu, orang takkan bisa menemukannya. Apalagi bentuk Kiam-hong cukup curam dan tinggi laksana tonggak, tidak banyak orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih jarang pula orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih jarang pula orang yang bakal menemukan gua itu. Kalau betul-betul sampai tercuri orang, ya apa boleh buat.

Di depan pusara gurunya dia berdoa: "Hari ini Tecu mohon diri untuk berpisah dengan kau orang tua, pesanmu pasti akan kulaksanakan. Semoga Suhu di alam baka melindungi Tecu sehingga berhasil menuntut balas," lalu dia duduk bersimpuh serta memetik lagu Khong-ling-san sebagai sesajen perpisahan.

Rasa sedih dan senang serta terhibur sama menggelitik sanubari Tan Ciok-sing, pikirnya: "Khong-ling-san pernah putus turunan selama ribuan tahun, tapi apakah ilmu pedang guru tidak bisa menjadi Khong-ling-kiam? Kelak pasti kuserahkan kepada Toa-suheng biar dia yang mengembangkan dan mewariskan kepada generasi mendatang." Dia tahu angan-angan terbesar gurunya setelah menanjak lanjut usia, yaitu menguatirkan Bu-bing-kiam-hoat hasil jerih payahnya akan putus turunan seperti Khong-ling-san.

Keluar dari hutan batu, terasa cahaya mentari terang benderang, cuaca cerah hawa sejuk. Tapi perasaan Tan Ciok-sing justeru dirundung kekesalan. Dunia seluas ini, kemana sekarang dia harus pergi, sesaat dia berdiri menjublek sukar mengambil keputusan.

"Mati dan perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan. Kakek sudah lama mati, pulang ke kampung halaman pun aku tetap takkan bertemu dengan beliau, hanya besar hasrat juga untuk bersembahyang di depan pusaranya. Sebaliknya nona In menunggu selama tiga tahun, selama itu sang ayah yang ditunggu-tunggu tak juga kunjung tiba. Ai, mati hidup sang ayah masih merupakan teka-teki, menunggu sekian lama ini betapa hatinya takkan rindu dan kuatir? Yakin penderitaan lahir batinnya pasti akan lebih berat dari pada ia tahu kalau ayahnya sudah lama meninggal." demikian batin Tan Ciok-sing.

"Penduduk kampung kemarin dulu pernah memberi tahu bahwa pasukan Watsu telah menyerbu perbatasan dan kini mengepung Gan-bun-koan. Kampung halaman In Tayhiap berada di Tay-tong, letaknya persis di daerah Gan-bun-koan. Jikalau aku tidak lekas kesana mencari nona In, kalau peperangan sudah berlangsung, pasti sukar menemukan dia. Apalagi dia seorang gadis yatim-piatu, sebatangkara lagi, meski memiliki Kungfu, dalam masa kekacauan yang berkecamuk ini, keselamatannya tentu selalu mengalami bahaya. Jikalau terjadi sesuatu atas dirinya, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Suhu yang telah berpesan sebelum ajalnya? Bukankah mengecewakan In Tayhiap pula yang telah mempercayakan putrinya padaku?"

"Barang warisan In Tayhiap dan Ceng-bing-po-kiam milik Subo harus secepatnya kuserahkan kepada nona In. Soal inilah yang harus kukerjakan lebih dulu. Tak boleh aku membuatnya menunggu lagi lebih lama. Tentang dendam sakit hati kakek tertunda lagi beberapa lama juga tidak jadi soal," setelah berpikir-pikir akhirnya Tan Ciok-sing ambil putusan, soal menuntut balas boleh ditunda, lebih dulu ia harus menuju ke Tay-tong mencari putri In Hou.

Dari Ciok-lin pergi ke Tay-tong yang terletak di San-he, lebih jauh dari sini pergi ke kampung halamannya. Setiba di dusun di bawah gunung, dia membeli seekor keledai sebagai tunggangan, di tengah jalan sering dia ketemu rombongan pengungsi, dari mereka dia tanya letak kota Tay-tong serta ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.

Tahu bahwa dia hendak pergi ke Tay-tong, para pengungsi itu mengunjuk rasa heran dan curiga, tapi mereka memberi keterangan juga. Jalan raya yang harus ditempuhnya sekarang adalah menjurus ke selatan, lalu belok ke barat serta menuju ke utara pula, lewat Jwan-tang masuk Ouw-pak menembus Ho-lam terus masuk ke San-he. Jalan yang ditempuh ini jauh lebih aman, cuma jaraknya lebih jauh, untuk mencapai tujuan, sedikitnya dia harus memakan waktu tiga bulan.

Jalan lain yang bisa juga ditempuhnya menuju utara, dari Tayli masuk ke Jwan-se, menembus Han-tiong, lewat Siam-pak lalu langsung menuju ke San-he. Jaraknya lebih dekat maka akan lekas sampai ke tempat tujuan pula, tapi jalan yang harus ditempuhnya lebih sukar karena kebanyakan jalan pegunungan. Sepanjang jalan ini sering diganggu brandal atau penyamun. Kalau perjalanan ditempuh dengan cepat, kira-kira dua bulan sudah bisa tiba di tempat tujuan.

Mengingat dia perlu segera tiba di tempat tujuan, maka Tan Ciok-sing memilih jalan pendek. Dari Ciok-lin dia menuju ke Tayli, perjalanan sejauh seribu li seluruhnya jalan pegunungan yang berliku-liku, berbahaya lagi, terutama di lamping gunung yang jalannya berbatu dan lenggang lenggok, turun naik pula. Untung keledai yang dibelinya ini sudah biasa jalan .di atas pegunungan, sehingga perjalanannya tidak terlalu banyak terganggu.

Sudah lima hari dia menempuh perjalanan, dirinya masih di tengah pegunungan. Untung In-lan termasuk daerah tropis, hawanya sejuk cuaca baik.

Hari itu Tan Ciok-sing mencongklang keledainya melalui sebuah selat gunung yang jalannya merambat ke atas secara melingkar, tiba-tiba di depan sana kumandang suara seorang yang bersenandung dengan nada tinggi berisi. Belum selesai laki-laki ini bersenandung tiba-tiba didengarnya pula suara gadis tertawa serta berkata: "Piauko selamanya belum pernah aku melihat kau seriang sekarang. Soal apa sih yang membuatmu senang?"

Laki-laki itu berkata: "Aku kuatir kau menderita dalam perjalanan. Tadi bukankah kau masih juga kangen akan kampung halaman?"

Pada waktu itu keledai Tan Ciok-sing sudah turun dari pinggang gunung, dilihatnya di bawah pohon besar di pinggir jalan sana tertambat dua ekor kuda putih, dengan pelananya serba putih pula terbuat dari perak. Tan Ciok-sing tidak pandai menilai kuda, tapi melihat bentuk kedua kuda putih ini, dia yakin pasti kuda jempolan.

Melihat ada orang lewat mendekat, si gadis seperti malu bermanis madu di depan orang yang tidak dikenal, cepat dia menunduk serta ajak bicara kepersoalan lain: "Orang sering bilang Thian-cu-bio paling tinggi dan Ang-wa-poh paling berbahaya, ternyata memang tidak bernama kosong."

"Kiranya aku kini sudah tiba di daerah Ang-wa-poh," demikian batin Tan Ciok-sing. Dia tahu, dua hari perjalanan lagi dirinya akan tiba di Tayli, perjalanan dua hari mendatang jauh lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang, semangat yang semula sudah luluh, seketika berkobar pula.

Didengarnya laki-laki itu sedang berkata: "Orang sering berkata, panorama di Tayli paling memukau. Setelah menempuh perjalanan jauh yang serba berbahaya ini baru terasakan kebenarannya. Tuhan Yang Maha Kuasa memang adil menata semua ini, seseorang harus mengalami derita kehidupan baru akhirnya menikmati kesenangan nan tentram. Begitulah gelombang kehidupan manusia umumnya."

Seperti mendengar kotbah saja Tan Ciok-sing manggut-manggut, diam-diam timbul keinginannya berkenalan dan bersahabat dengan sepasang muda mudi ini, maka dia bedal keledainya ke bawah serta membelokkannya ke bawah sebuah pohon besar lain yang tak jauh dari tempat duduk sepasang muda mudi itu.

Melihat Tan Ciok-sing seperti anak desa yang sederhana, pakaiannya penuh debu lagi, tapi menggendong sebuah harpa kuno, diam-diam si gadis menaruh perhatian padanya, tapi hanya sekilas dia melirik terus berpaling lagi bicara dengan sang pemuda yang dipanggilnya Piauko. Ternyata sang Piauko lebih menaruh perhatian terhadap Tan Ciok-sing, tapi diapun tidak menyapa. Malah sikapnya kelihatan sengaja dingin terhadap Tan Ciok-sing.

Sudah tentu Tan Ciok-sing merasakan juga sikap dingin dan kaku kedua muda mudi ini.

Kalau mau sebetulnya dia bisa turunkan harpanya serta memetik sebuah lagu untuk menarik perhatian sang pemuda sehingga orang akan ajak bicara padanya, tapi dia berpikir: "Menilai seseorang tak boleh dari sikap lahiriah dan tampangnya, bukankah Liong Seng-bu kelihatan cakap, ramah tamah dan terpelajar? Sudah tentu muda mudi ini belum tentu setype dengan Liong Seng-bu, tapi hanya mendengar beberapa patah percakapan mereka lantas ingin bersahabat, bukankah aku ini terlalu Jenaka, apalagi mereka sepasang kekasih, kehadiranku disini jelas mengganggu kesenangan mereka?"

Benar juga pikirannya, terdengar sang gadis berkata sambil berdiri: "Piauko, kita berangkat yok."

"Betul," ucap si pemuda, "lebih baik cepat-cepat menempuh perjalanan, mungkin besok tengah hari kita sudah bisa tiba di Tayli," mereka mencemplak kuda putih terus dicongklang dengan pesat.

Tak enak Tan Ciok-sing ikut segera berangkat, dia tetap istirahat di bawah pohon. Dilihatnya waktu kedua orang itu hampir membelok ke tikungan di depan sana, entah sengaja atau tidak si pemuda menoleh ke arah dirinya. Dilihatnya pula si gadis mendekatkan kudanya serta mengulur leher membisiki apa-apa di pinggir telinga si pemuda.

Sebetulnya pemuda itu seorang ahli dan berpengalaman soal Kangouw, jauh lebih teliti dan cermat dari sang Piaumoay, kalau sang Piaumoay hanya memperhatikan harpa kuno yang digendong Tan Ciok-sing, tapi si pemuda juga telah menaruh perhatian pada dua bilah pedang pusaka yang dibawanya. Belum lama dan tentunya belum begitu jauh kedua muda mudi ini pergi, tiba-tiba didengarnya suara bunyi tanduk ditiup panjang seperti terompet, disusul suara suitan nyaring bunyi dari bidikan panah bersiul. Bila hembusan angin pegunungan tiba, sayup-sayup terdengar suara berisik dan gaduh dari banyak orang yang sedang berkelahi.

Karuan Tan Ciok-sing kaget, lekas dia melompat ke punggung keledainya terus dibedal ke depan sana, tampak kira-kira tiga li di depan sana tepatnya di bawah sebuah lereng gunung, sepasang muda mudi itu sedang dikeroyok kawanan brandal dan terkepung rapat.

Sepanjang pinggir jalan lereng gunung itu penuh ditumbuhi rumput setinggi manusia, dalam semak-semak itulah kawanan brandal menyembunyikan diri. Begitu mereka mencongklang tiba kudanya, dari dalam semak-semak rumput sama bermunculan gantolan-gantolan panjang, karena tidak menduga, kaki depan kudanya tergantol sehingga sang kuda tersungkur ke depan, dan si gadis jatuh dari punggung kudanya. Tapi si pemuda lebih tangkas, dalam saat-saat gawat itu, pecut di tangannya mendadak menggeletar, ujung cambuk membelit naik dari bawah, belum lagi kaki si gadis menyentuh tanah, tumitnya sudah terbelit cambuk, sekali sendai lagi tubuh si gadis yang hampir ambruk itu tiba-tiba melejit mumbul pula dan tepat melayang turun dan duduk di belakang sang Piauko. Tapi kuda putih tunggangannya sendiri sudah dibekuk oleh pentolan brandal.

Cepat sekali kawanan brandal itu sudah merubung maju. Si pemuda menghardik: "Bagus, biar kuberi sedikit persen pada kalian bangsat kecil ini." Karena tidak membawa senjata rahasia, terpaksa dia merogoh segenggam uang tembaga, Terdengar suara gerincing yang ramai, tiga senjata musuh kena dipukul terbang, dua orang lagi tertimpuk uang tembaga jatuh terguling-guling.

Tapi ada seorang laki-laki perawakan gagah tampang bengis ternyata cukup liehay, hanya sekali tangan meraih, lima keping uang tembaga kena ditangkapnya terus ditimpuk balik ke arah si pemuda. Sekali pukul dengan Bik-khong-ciang si pemuda merontokkan uang-uang tembaga yang hampir makan tuannya, tapi ada satu di antaranya menyerempet pelipis si gadis. Dan sini dapatlah dinilai bahwa tenaga dalam laki-laki kasar ini sesungguhnya tidak kalah dari si pemuda.

"Piauko," teriak si gadis, "pedang pendekku ..." kiranya waktu dia terjungkel jatuh dari punggung kuda, pedang pendek kesayangannya baru saja terlolos keluar, karena tubuh kebacut terjerembab sehingga dia tak kuasa memegangnya dan jatuh ke tanah.

Terpaksa si pemuda putar balik tunggangannya, cambuk terayun ujung cambuknya menggulung pedang pendek yang menggeletak di tanah, sekali sendai pula pedang pendek yang tergulung di ujung cambuk yang panjang itu tiba-tiba meluncur ke depan sana menusuk ke tenggorokan laki-laki kasar itu, karuan laki-laki gagah bertampang bengis itu terkejut dan melompat mundur.

Tusukan pedang pendek itupun hanya gertakan saja, lekas sekali si pemuda sudah tangkap pedang pendek sang Piaumoay terus cemplak kuda kabur dari kepungan.

Agaknya si gadis masih tidak terima, teriaknya: "Piauko, kuda tunggangan kita sebetulnya merupakan pasangan juga..." jelas maksudnya merasa sayang kalau kudanya terampas oleh kawanan brandal.

Si pemuda tertawa dan berkata lirih: "Piaumoay, asal kita selalu berdampingan, apa halangannya kuda ini kehilangan temannya, kelak kita masih bisa merebutnya kembali."

Merah muka si gadis, katanya: "Piauko, memang kau yang betul hayo kita lekas pergi!" dia maklum dalam keadaan seperti ini, meski Kungfu sang Piauko tinggi, jelas takkan kuat menghadapi keroyokan kawanan brandal sebanyak itu, kehilangan seekor kuda tidak jadi soal dari pada jiwa sang Piauko melayang, terpaksa dia merelakan kudanya.

Kuda yang memuat dua orang ternyata larinya masih kencang. Pentolan berandal menimpuk tiga batang Piau terbang, dua batang dipukul jatuh oleh cambuk si pemuda, piau ketiga jatuh belasan langkah di belakang mereka.

"Sayang, sayang," ujar pentolan brandal, "bakpau yang sudah di depan mulut terlepas lagi."

Seorang Thaubak segera menghibur: "Untung kita berhasil merampas kudanya yang bagus ini, tidak sia-sia perjalanan ini."

Seorang laki-laki yang menjadi wakil pentolan brandal itu tengah menundukkan kuda putih yang berhasil mereka rebut itu. Paha kuda teriuka oleh gantolan besi, darah meleleh, lehernya sudah terjirat kencang, tapi dia masih bedal-bedal dan meronta-ronta. Wakil pentolan brandal itu coba menungganginya serta dilarikan ke lereng sana, mendadak dia berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, hampir saja dia terjungkal jatuh dari punggung kuda.

Berkerut alis kepala brandal, serunya: "Loji, kemarilah, biar aku yang mencoba."

Jengah selebar muka wakil pentolan brandal, katanya: "Sifat liar kuda ini sukar di tundukkan, mungkin hanya tenaga Toako yang hebat itu dapat menundukkan dia."

Baru saja pentolan brandal maju menghampiri, tiba-tiba

didengarnya salah seorang anak buahnya berteriak girang: "Eh, datang satu lagi."

Waktu kepala brandal ini berpaling, dilihatnya seorang pemuda tanggung berpakaian orang desa tengah mendatangi mencongklang keledai kurus kecil. Pemuda ini memanggul sebuah kotak panjang, entah barang apa isinya. Tapi pinggangnya kelihatan menonjol, bagi kepala brandal yang pengalaman ini sekilas pandang lantas tahu bahwa yang disembunyikan dibalik baju tersebut terdapat dua bilah pedang panjang dan pendek. "Bocah ini agak aneh kelihatannya," demikian pikirnya, segera dia membentak: "Bocah keparat, siapa kau, untuk apa kau kemari?"

"Kalian siapa? Apa kerjanya disini?" Tan Ciok-sing balas bertanya.

Kawanan brandal bergelak tertawa, kata salah seorang: "Ah, kiranya bocah sinting, Toako, tak usah dihiraukan, sikat saja sekalian."

Maka berhamburanlah anak panah ke arah Tan Ciok-sing. Lengan baju Tan Ciok-sing yang longgar dan panjang dikebutkan kian kemari menimbulkan deru angin kencang, anak panah rontok dan bertaburan jatuh. Tapi hanya dia sendiri yang selamat, celaka adalah keledainya yang terpanah beberapa batang, cepat Tan Ciok-sing lompat turun sebelum keledainya ambruk binasa. Teriaknya: "Keledai ini adalah harta kekayaanku, kalian

membunuhnya, hayo lekas ganti."

Kawanan brandal sama bergelak geli, serunya: "Kau ini pura-pura pikun atau memang goblok? Membunuh orang pun kita tidak perlu ganti jiwa, apalagi membunuh seekor keledaimu, berani kau minta ganti malah?"

Pentolan brandal membentak: "Baiklah, kau ke mari, tunjukan beberapa gebrak permainanmu, bila mencocoki seleraku nanti kuganti berlipat ganda."

Kata Tan Ciok-sing: "Hidupku hanya menangkap burung memancing ikan, permainan apa pula yang kubisa. Tapi aku tahu aturan, hutang jiwa bayar jiwa, hutang harta bayar uang, kalau kau tidak mau ganti, aku akan gugat kalian," dengan mengembangkan ginkang Pat-pou-kan-sian, dalam jarak yang dekat ini, larinya melebihi kecepatan kuda kencang, cepat sekali dia sudah tiba di lereng dimana kawanan brandal masih bergerombol.

Baru sekarang kawanan brandal itu insaf bahwa bocah kampungan yang tidak terpandang ini ternyata memiliki kepandaian yang liehay, tapi mengingat dia hanya bocah ingusan seorang diri lagi, maka mereka tetap tidak memandangnya sebelah mata. Beramai-ramai mereka merubung maju.

Kepala brandal tiba-tiba berteriak: "Awas kalian," belum lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya cahaya terang kemilau menyilau mata, kiranya pedang Tan Ciok-sing telah terlolos keluar. Belum lagi kepala brandal ini melihat jelas, delapan brandal yang merubung maju itu sekaligus roboh terkapar. Jumlah kawanan brandal ini kira-kira belasan orang, kini separoh di antaranya dalam segebrak telah dirobohkan. Tiada satupun yang kuasa bersuara atau bergerak, tapi tidak pula tampak badan mereka cidera mengeluarkan darah.

"Celaka," teriak kepala brandal, "bocah ini pandai ilmu siluman," sudah tentu kepala brandal ini tidak tahu kalau anak buahnya sekaligus dalam segebrak itu telah tertusuk hiat-tonya oleh kecepatan gerak pedang Tan Ciok-sing, maka dia kira anak buahnya terbunuh oleh ilmu siluman bocah cilik ini."

Kaget dan marah pula kepala brandal ini, tetap bercokol di punggung kuda putih dia ayun golok besar yang berpunggung tebal itu terus membacok dengan Lat-pi-hoa-san mengincar batok kepala Tan Ciok-sing. Cepat Tan Ciok-sing angkat pedangnya menangkis, "Trang" lelatu api meletik, ujung golok berpunggung tebal milik kepala brandal ternyata tertabas kutung. Tapi Tan Ciok-sing juga rasakan pergelangan tangannya kesemutan, hanpir saja Pek-hong-kiam tak kuat dipegangnya lagi.

Kepala brandal ini ternyata kepala batu, golok sudah buntung tapi dia rebut sebatang toya baja, dari salah seorang anak buahnya, dengan gaya Thay-san-ap-ting kembali mengepruk ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Kau punya pedang pusaka aku juga tidak takut. Kalau kau mampu hayo kutungi pula toya bajaku ini," toya merupakan senjata berat, betapapun tajam pedang pusaka itu untuk memotongnya jelas tidak mudah. Apalagi tenaga kepala brandal ini jelas lebih kuat dari Tan Ciok-sing, berada di atas kuda lagi, Tan Ciok-sing yang ada di bawah jelas kalah posisi, maka setelah dencing benturan mereda, batang toya itu memang gumpil dan tergores di banyak tempat. Sementara Tan Ciok-sing tertolak jatuh terduduk di atas tanah.

Lekas kepala brandal menarik kendali mengeprak kuda maju, toya di tangannya kembali terayun terus mengepruk pula ke arah Tan Ciok-sing. Sementara lima brandal lagi yang juga menunggang kuda mengeprak kudanya menerjang tiba, pikirnya hendak menginjak-injak Tan Ciok-sing menjadi pergedel. Ternyata tidak sia-sia Tan Ciok-sing menggembleng diri selama tiga tahun ini, dalam saat¬ saat kritis itu, mendadak dia meletik bangun selincah ikan, kini tiba saatnya dia pamer kepandaian yang dipelajarinya dari ajaran Thio Tan-hong.

Empat ekor kuda yang membedal kencang menerjang tempat kosong. Cepat sekali dengan gerakan Di Tanah Kering Mencabut Lobak Tan Ciok-sing sudah mencelat mumbul ke atas setinggi satu tombak lebih, lebih tinggi dari kepala brandal yang bercokol di punggung kuda. Bentaknya: "Hutang jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang, kau harus mengganti keledaiku yang mati." Sret, dari tengah udara tiba-tiba pedangnya menusuk turun. Jurus ini dinamakan Bing-poh-kiu-siau, bukan saja gaya serangannya liehay dan ganas, perubahannya pun menakjubkan dan sukar diraba. Meski tinggi kepandaian kepala brandal ini, namun kapan dia pernah menyaksikan apa lagi melawan ilmu pedang tingkat tinggi yang liehay ini, belum lagi dia sempat mengerjakan toya bajanya, pedang Tan Ciok-sing telah menusuk dirinya dengan telak.

Kini posisi berganti, kepala brandal tertusuk roboh dari punggung kuda, dan kebetulan tubuh Tan Ciok-sing yang meluncur turun hinggap di punggung kuda, setelah duduk tegap di atas pelana dia membentak dengan suara dingin: "Kalau tidak terima hayo kalian maju pula."

Kepala brandal ternyata tahu diri, jiwanya selamat karena si bocah menaruh belas kasihan, kalau tidak jiwanya barusan sudah amblas di ujung pedang orang, umpama selamat, tulang pundaknya pasti tertutuk putus, berarti kepandaian silatnya akan punah pula, karuan ciut nyalinya, tanpa banyak bersuit lagi lekas dia mencemplak ke punggung kuda yang lain terus dibedal lari turun gunung. Bahwa kepalanya lari sudah tentu kawanan brandal lain yang segar lekas-lekas ngacir. Kini kecuali delapan brandal yang tertutuk hiat-to nya dan tak mampu bergerak itu masih ada seorang lagi, yaitu wakil kepala brandal, sebetulnya besar juga hasratnya melarikan diri sayang kuda putih yang ditungganginya itu tidak mau tunduk akan kehendaknya.

Berkata Tan Ciok-sing seorang diri: "Kuda ini jelas tidak sepadan dengan keledaiku, aku tetap dirugikan. Hehe, kuda putih yang gagah ini sih boleh juga, biarlah kuda putih ini yang kupilih sebagai gantinya."

Melihat orang menghampiri, sementara kuda yang ditunggangi tidak mau tunduk hanya terputar-putar saja di tempat, kini mendadak berjingkrak dan mumbul kaki depannya, karena tidak menyangka, wakil kepala brandal itu semakin gugup, dilihatnya Tan Ciok-sing memburu datang pula, serasa terbang arwahnya, lekas dia berteriak: "Mohon ampun Hoharl, biarlah kuda ini kuserahkan kepadamu," di kala dia bicara ini kembali kuda putih melompat tinggi terus berjingkrak pula, sehingga penunggangnya terlempar jatuh terguling.

"Kuda ini bukan milikmu, memangnya aku berterima kasih, hayo enyah," bentak Tan Ciok-sing.

Babak belur dan benjut muka wakil kepala berandal, tanpa hiraukan luka dan rasa sakit lekas dia menggelundung ke bawah lereng tanpa berani bersuara.

Tan Ciok-sing lompat turun mendekati kuda putih serta menepuknya perlahan, katanya tertawa: "Jangan kau umbar adatmu kepadaku, mari kuantar kau menemui majikanmu," agaknya kuda putih ini memang cerdik dan pandai mendengar ucapan manusia, sambil meringkik perlahan dia menunduk dan mengelus kepalanya ke badan Tan Ciok-sing. Segera Tan Ciok-sing membubuhi obat pada luka-luka di kaki depannya setelah itu kuda putih menekuk kedua lutut depannya, lagaknya seperti menyuruh Tan Ciok-sing lekas naik ke punggungnya.


Sebetulnya Tan Ciok-sing masih kasihan untuk menunggang kuda yang terluka kakinya ini, tapi karena kuda ini pandai menangkap ucapan manusia, mengingat lukanya juga tidak parah, maka dengan tertawa dia berkata: "Baiklah aku tahu kau ingin lekas bertemu dengan majikan, akupun tidak perlu sungkan lagi."

Jarak Ang-wa-poh sampai ke Tayli kira-kira hanya tiga ratus li, dengan kekuatan lari kuda putih ini dalam satu hari dapat ditempuhnya.

Tapi kuatir luka-luka kakinya tambah berat, maka Tan Ciok-sing tidak membedalnya lari kencang dia biarkan saja kuda ini lari seenaknya maka di tengah jalan dia perlu menginap semalam.

Hari kedua pagi-pagi sekali Tan Ciok-sing sudah menempuh perjalanan, setelah melewati jalan pegunungan yaug naik turun dan berbatu-batu, kira-kira tengah hari dia sudah keluar dari sebuah selat dan nampak di depan nan jauh sana bayangan sebuah kota yang angker dan megah.

Saat mana sudah mendekati senja, mengingat dirinya harus menemukan orang di kota Tayli, terpaksa dia abaikan kesempatan menikmati panorama alam semesta nan indah permai, kuda dibedal kencang. Mendekati kota, orang yang berlalu di jalan raya semakin banyak, banyak orang-orang di jalan sama memuji kuda putihnya yang gagah dan berlari sekencang angin.

Hari sudah gelap Tan Ciok-sing baru memasuki Tayli, setelah menemukan sebuah hotel dia menginap disini. Hari kedua dia keluar menyirapi berita, namun karena dia tidak kenal siapa nama kedua pasangan muda mudi itu, maka hasilnya nihil, sehari penuh dia keluntang keluntung dalam kota tanpa berhasil menemukan jejak kedua orang yang dicarinya itu.

Hari ketiga Tan Ciok-sing mendapat akal, pikirnya: "Dari pada aku ubek-ubekan mencari mereka, kenapa tidak berusaha supaya mereka yang mencari diriku. Jiang-san dan Ni-hay merupakan dua obyek tamasya yang termashur di Tayli, setiba disini kenapa tidak aku melancong kesana." Pagi-pagi benar dia sudah menunggang kuda putih, sengaja dia belak belok melewati jalan raya yang ramai tanya orang-orang di jalanan minta petunjuk ke arah mana dia harus pergi untuk menuju ke Jiang-san. Bahwasanya dari pemilik hotel tadi dia sudah tanya arah dan letak Jiang-san, maksudnya itu bukan lain hanyalah supaya menarik perhatian orang sehingga terdengar oleh kedua muda mudi itu serta tahu dimana jejak dirinya.

Naik perahu mengarungi Ni¬hay, tibalah dia di kaki Jiang-san, puncak gunung diselimuti salju, namun di antara warna putih salju yang mengkilap itu tampak juga warna coklat kehitaman dari batu-batu gunung serta dahan-dahan yang sudah gundul. Dari sinilah timbulnya nama tambahan "Tiam-jong-san" yang kenamaan itu.

Hari itu kebetulan hari libur di negeri Tayli, sehingga kaum pelancongan tidak sedikit yang membanjir datang menikmati keindahan alam Tiam-jong-san nan molek dan berhawa sejuk. Setiap pelancong yang melihat kuda tunggangan Tan Ciok-sing tiada yang mengunjuk jempol memuji kegagahannya.

"Sudah dua hari aku putar kayun mengelilingi kota dan tempat-tempat ramai yang di kunjungi pelancongan, jikalau benar majikan kuda ini berada di Tayli, tentu dia sudah dengar akan diriku, biarlah aku segera pulang saja," demikian batin Tan Ciok-sing setelah setengah hari menjelajah pegunungan Tiam-jong-san.

Setiba di kaki gunung, di antara lebatnya pepohonan daun welingi dia berteriak memanggil tukang perahu. Tukang perahu menyambut kedatangannya dengan tertawa, katanya: "Siangkong, cepat betul kau kembali,"

"Jong-san sebesar dan seluas ini memangnya bisa kujelajahi dalam setengah hari ini," ujar Tan Ciok-sing, "cukuplah asal bisa sekedar menikmati keindahan nan permai di gunung ini."

Senja telah menjelang, sinar surya yang hampir terbenam keperaduannya memancarkan cahaya keemasan nan kemilau di permukaan air, menambah asri, perahu-perahu layar para nelayan yang berdendang lagu menyambut datangnya senja kala mulai berlaju kembali ke pangkalan. Di saat Tan Ciok-sing terpesona memandangi kesibukan para nelayan di tengah danau ini tampak sebuah perahu pesiar jang dipajang molek dengan layar lempit tengah berlaju ke arah sini mengikuti angin buritan.

Tukang perahu kelihatan tercengang, katanya: "Siau-ongya memang suka melancong, hari sudah hampir gelap, dia masih berada disini. Padahal, kau sudah menjelajah Jong-san dan pingin pulang."

Tan Ciok-sing tercengang pula, katanya: "Siau-ongya dari istana Toan maksudmu?"

"Kecuali istana Toan, di negeri Tayli kita ini memangnya ada Siau-ongya kedua? Lo-ongya hanya mempunyai seorang anak tunggal ini, namanya Kiam-ping."

"Jadi Siau-ongya ini suka berdarmawisata?" tanya Tan Ciok-sing.

"Ya, Siau-ongya suka pelesir.

Terhadap siapa saja dia ramah tamah, terhadap rakyat jelata macam kamipun dia suka memberi hormat, tak pernah dia jual tampang dan berlagak sebagai pangeran.

"O, apa ya, agaknya dia seorang pemuda yang baik," ujar Tan Ciok-sing

"Memangnya Siau-ongya kita ini laki-laki yang jarang ada bandingannya. Kabarnya ilmu sastra dan ilmu silat sama-sama tinggi tingkatannya. Dalam Onghu betapa banyak guru-guru silat, namun hanya beberapa saja yang mampu menandingi dia. Cuma ada satu hal cirinya."

"Ciri apa?" tanya Tan Ciok-sing. "Sebetulnya juga bukan ciri jelek. Kita kan rakyat jelata, semua sama menyanjung dan mencintainya, sayang dia tidak pernah berbuat seperti yang kita harapkan, karena itulah kita merasa sedikit masgul."

"Soal apa bikin kalian masgul karenanya," tanya Tan Ciok-sing pula.

"Sampai sekarang dia masih belum menikah," sahut tukang perahu.

"Mungkin Lo-ongya merasa usianya masih kecil, maka belum mencarikan jodoh baginya. Memangnya soal jodoh perlu dibuat heran."

"Kita sudah biasa memanggilnya Siau-ongya sebetulnya usianya tidak kecil lagi, tahun ini dia sudah dua puluh delapan tahun."

"Kalau dia pandai sastra mahir silat, sepantasnya kalau istrinya itu seorang yang sepadan."

"Soal jodoh kan tidak boleh dipaksakan" ujar Tan Ciok-sing tertawa.

"Ucapanmu memang tidak salah Siangkong," ucap tukang perahu. "Lo-ongya sangat sayang padanya, maka dia serahkan soal jodoh kepadanya. Entah berapa banyak comblang yang hilir mudik keluar masuk istana, tapi semuanya ditampik mentah-mentah."

Di kala mereka bercakap-cakap ini, perahu hias yang megah itu jaraknya sudah semakin dekat. Tiba-tiba di dengarnya dering suara senar harpa dipetik dari dalam perahu hias itu. Karuan Tan Ciok-sing menoleh dengan tertegun.

"Sering Siau-ongnya di kala pesiar di danau, main catur, melukis atau main musik di atas perahunya," demikian kata tukang perahu geli melihat sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang lucu seperti orang kampungan.

Bahwasanya Tan Ciok-sing bukan tertegun karena Siau-ongya ini mahir memetik harpa. Dia heran karena dia merasa kenal betul akan irama harpa itu. Siapa saja bila dia pandai memetik harpa, harpa macam apa saja tentu mudah dipetik, tapi bagi seorang ahli dia pasti bisa membedakan perbedaan antara irama harpa yang satu dengan harpa yang lain, apalagi orang macam Tan Ciok-sing cucu Ki Harpa yang sejak kecil sudah belajar seni harpa. Sekali dengar lagu petikan harpa dari perahu hias Siau-ongya dia lantas tahu, bahwa harpa yang dipetik itu adalah harpa warisan keluarganya itu.

Waktu meninggalkan hotel tadi dia titipkan harpanya itu kepada pemilik hotel. Pemilik hotel kelihatan seorang yang jujur dan dapat dipercaya, maka dia yakin harpanya itu tidak akan hilang, apa lagi bentuk harpa antik itu sudah kelihatan usang. Tapi disini dia justru mendengar petikan lagu dari harpa antik miliknya itu.

Apakah pemilik hotel menghadiahkan harpa antik itu kepada Siau-ongya? Atau secara kebetulan di dunia ini ada sebuah harpa lain milik Siau-ongya yang mirip harpa antik dirinya? Melihat dia asyik mendengarkan lagu, tukang perahu berkata: "Tuan, kiranya kaupun ahli musik juga? Bagus tidak petikan harpa Siau-ongya kita?"

"Bagus, petikan harpa yang bagus," puji Tan Ciok-sing hambar. Padahal dalam hati dia mereka-reka: "Jikalau betul harpa antik milikku itu, bagaimana aku harus bersikap?"

Jilid 4



Sudah tentu dia segan mencari perkara dengan keluarga istana, tapi harpa itu adalah warisan keluarganya, betapapun tak boleh terjatuh ke tangan orang lain.

Kini perahu hias yang berlayar itu berlaju kencang semakin dekat lagi, kerai tersingkap separoh, maka dari jarak tertentu masih kelihatan keadaan didalam perahu. Tampak seorang pemuda berdandan seperti pemuda bangsawan tengah duduk menghadapi meja pendek, di atas meja inilah terletak harpa yang lagi dipetiknya itu. Begitu memandang kesana, jantung Tan Ciok-sing serasa berdebur semakin keras, meski harpa itu terbakar jadi abu juga tetap dikenalnya baik, dia yakin harpa di atas meja yang lagi dipetik pemuda itu betul adalah harpa antik peninggalan kakeknya itu.

Dua gadis pelayan tampak berdiri di kanan kiri si pemuda, seorang sedang sibuk membakar dupa wewangian, seorang lagi tengah tertawa sedang berkata kepada si pemuda: "Siau-ongya, sukalah kau petik sebuah lagu lagi yang bernada riang?"

"Lagu apa yang kau gemari?" tanya Siau-ongya.

"Lagu kampung halaman saja," sahut pelayan cilik itu.

"Agaknya kau sudah kangen rumah, baiklah, aku yang petik harpa, kau yang bernyanyi," demikian kata Siau-ongya.

Di kala suara harpa mengalun, lekas tukang perahu mendorong Tan Ciok-sing ke samping. Sudah tentu Tan Ciok-sing melenggong, tukang perahu berbisik di pinggir telinganya: "Tuan, kau masuk saja ke kabin, jangan kau pandang pelayan orang begitu rupa."

Merah muka Tan Ciok-sing, tanpa bicara lekas dia masuk ke kabin. Dalam hati masih bingung berpikir: "Harpa antikku itu bagaimana? Bagaimana baiknya minta kembali harpa itu."

Didengarnya pelayan cilik itu sudah tarik suara berdendang dan berjoget dengan riang dan mengasyikkan. Di kala sebuah lagu habis dinyanyikan perahu hias itupun kebetulan merapet dengan perahu yang di naiki Tan Ciok-sing. Lama Tan Ciok-sing terlongong, bukan karena petikan harpa Siau-ongya yang bagus, meski Siau-ongya ini pandai memetik harpa, tapi bagi tingkatan seorang ahli harpa seperti Tan Ciok-sing, petikan harpa Siau-ongya masih dianggapnya biasa adalah karena petikan harpa dan lagu kampung halaman itulah yang membuatnya kangen pada kampung kelahirannya.

Percakapan merdu di atas perahu hias itu menyadarkan lamunannya, di dengarnya pelayan itu berkata: "Eh, Siau-ongya, lihatlah kuda putih itu." Kuda putih Tan Ciok-sing memang ditambat di buritan.

Siau-ongya bersuara heran juga, agaknya dia berbicara beberapa patah, cuma suaranya rendah tidak terdengar oleh Tan Ciok-sing yang berada dalam kabin.

Kedua perahu sudah berendeng, tukang perahu menghentikan perahunya. Tukang perahu di atas perahu hias berkata: "To-toasiok, Siau-ongya suruh aku memberi salam kepadamu."

Tertawa lebar tukang perahu saking senang, katanya: "Banyak terima kasih, tolong sampaikan juga salam hormatku kepada Siau-ongya."

"To-toasiok," kata tukang perahu hias, "siapakah tamu didalam perahumu?"

Jantung Tan Ciok-sing berdebur keras, batinnya: "Nah, menyangkut diriku."

Tukang perahu menjawab: "Seorang pemuda pelancongan."

Tukang perahu hias berkata pula: "Siau-ongya suruh aku menyampaikan, katanya mohon dimaafkan atas sebuah permintaannya..."

"Kenapa Siau-ongya begini sungkan, ada perintah apa sudilah katakan saja," sahut tukang perahu.

Tukang perahu hias berkata: "Siau-ongya ingin mengundang tamu di atas perahumu untuk berbincang-bincang disini."

Kaget dan girang tukang perahu, lekas dia menunduk kedalam kabin berkata lirih: "Tuan, apakah kau kenal baik dengan Siau-ongya?"

"Jikalau aku kenal dia, buat apa tadi aku tanya kau tentang dirinya?" sahut Tan Ciok-sing.

"Tapi Siau-ongya mengundangmu ke atas perahunya..."

"Siau-ongya sudi memberi muka, memangnya aku ini tidak tahu diri?" ujar Tan Ciok-sing.

"Memangnya, orang lain menyembah lima kali pun takkan diluluskan permintaannya," ujar tukang perahu, lekas dia mengambil lemparan papan panjang dipasang sebagai tangga penyeberangan, lalu dia bantu Tan Ciok-sing menuntun dan menyebrangkan kuda putih.

Anak buah Siau-ongya telah memberi persen kepada tukang perahu, katanya: "Tuan tamu ini, nanti akan kami antar dia pulang, kau tidak usah menunggunya." Tukang perahu mengiakan sambil munduk-munduk, cepat-cepat dia kayuh perahunya pergi dengan tertawa riang.

Dalam pada itu Siau-ongya yang bernama Toan Kiam-ping sudah menyingkap kerai dan berdiri didalam kabin, katanya: "Terlambat menyambut kedatangan tamu dari jauh, mohon dimaafkan pelayanan yang kurang pantas ini."

Tan Ciok-sing menjura, katanya: "Rakyat jelata kampungan seperti diriku sungguh berbesar hati mendapat penghargaan untuk bertemu. Sebelum ini saling tidak kenal, entah sebab apa gerangan Siau-ongya mengundangku ke mari?"

Waktu berbicara mata Tan Ciok-sing tidak memandang Siau-ongya. Harpa antik itu terletak di hadapannya, dengan seksama dia mengamat-amati memang betul, dia yakin harpa ini adalah miliknya.

Pelayan cilik itu tertawa cekikikan, katanya: "Siau-ongya, bicara dengan tamu kenapa begini kolokan, memangnya tidak berkelebihan?"

"Betul," ujar Toan Kiam-ping, "tamu agung berkunjung, banyak sungkan memang terlalu berlebihan. Kali ini aku memberanikan diri mengundang anda, tentunya banyak pertanyaan dan curiga, biarlah aku mulai saja dengan duduk persoalannya. Aku bernama Toan Kiam-ping, harap tanya siapa nama mulia anda?"

Setelah Tan Ciok-sing menyebutkan namanya, Toan Kiam-ping berkata: "Tan-heng, tanpa berkedip kau mengawasi harpa kuno ini, apakah sebelum ini kau pernah melihatnya?"

Diam-diam Tan Ciok-sing sudah berkeputusan, umpama dia harus berbuat salah terhadap Siau-ongya ini, betapapun harpa ini harus diminta kembali, maka dia berkata: "Ya, aku merasa heran."

"Apanya yang kau herankan?" tanya Toan Kiam-ping.

"Bicara terus terang, di rumahku terdapat pula sebuah harpa kuno seperti ini. Sungguh tak nyana bahwa di dunia ada barang antik serupa ini," sembari bicara dia perhatikan mimik dan reaksi Siau-ongya.

Tidak menjawab pertanyaannya, Toan Kiam-ping malah tertawa, katanya: "Meski kami baru saling kenal, kalau diusut mungkin sebelum ini kita sudah ada hubungan. Hubungan ini kemungkinan menyangkut harpa kuno ini."

Heran dan tidak mengerti, tanya Tan Ciok-sing: "Selamanya aku tak pernah datang ke Tayli. Entah danmana datangnya hubungan ini?"

"Terdapatlah seorang guru ahli harpa yang tiada bandingannya di kolong langit ini, dia she Tan menamakan dirinya "Ki Harpa", orang banyak memanggilnya Dewa Harpa. Entah pernah apa ahli harpa ini dengan Tan-heng?"

"Beliau adalah kakekku," sahut Tan Ciok-sing.

"Nah, itulah betul," ucap Toan Kiam-ping, "Tan-heng, kau belum pernah datang ke Tayli tapi kakekmu dulu pernah berkunjung ke Tayli."

"Kapan hal itu terjadi?"

"Kira-kira sudah berselang dua puluh tahun. Waktu itu aku baru berusia tujuh tahun," demikian tutur Toan Kiam-ping.

"Maklum aku tidak tahu, itu waktu aku belum lahir," demikian batin Tan Ciok-sing.

Tutur Toan Kiam-ping lebih lanjut: "Meski aku baru berusia tujuh tahun, tapi ingatanku tajam kesanku mendalam. Begitu kakekmu mendemontrasikan kepandaiannya seluruh istana menjadi gempar, semua mendengarkan dengan terlongong seperti orang mabuk. Waktu itu sebetulnya aku sudah minta seorang busu menemaniku pergi Jong-san menangkap burung, tapi mendengar irama harpa kakekmu, terasa begitu merdu melebihi kicauan burung, sehingga aku lupa akan janji itu sehingga busu itu kecele. Masih segar dalam ingatanku, harpa yang dimainkan kakekmu dulu adalah harpa yang ini pula. Waktu itu pernah aku merabanya, kupikir kayu rongsokan yang sudah rongsok begini ditambah beberapa senar, di tangan kakek tua ini kenapa bisa memperdengarkan irama lagu semerdu ini?" lalu dia bergelak tawa, "Tan-heng, tentunya kau sudah mengerti sekarang?"

Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, katanya: "Jadi harpa ini adalah, adalah..."

"Betul, harpa ini adalah milik keluargamu," ujar Toan Kiam-ping, "tapi legakan saja hatimu, meski aku mengambilnya. Kini kuundang kau kemari, maksudku hendak mengembalikan barang ini kepada pemiliknya."

"Kalau Siau-ongya suka pada harpa ini, seharusnya boleh kuberikan kepada Siau-ongya...!" demikian kata Tan Ciok-sing dengan ragu-ragu.

Belum habis dia bicara, pelayan cilik tadi cekikikan, katanya: "Lho, kenapa begitu, kalau kau tidak mengambilnya pulang, bukankah Siau-ongya menjadi pencuri malah?"

Toan Kiam-ping berkata: "Aku tahu dalam hatimu pasti masih bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengambil barangmu dari hotel? Haha, Tan heng, jikalau tadi kau tidak mendengar petikan lagu harpaku tadi, belum tentu kau mau bertemu dengan aku?"

"Ini memang betul," demikian batin Tan Ciok-sing. Sudah tentu dia rikuh mengucapkan, tanyanya: "Masih satu hal yang belum kumengerti, mohon dijelaskan. Darimana Siau-ongya tahu aku punya harpa antik ini?"

"Sebelum datang ke hotel penginapanmu, aku memang tidak tahu," sahut Toan Kiam-ping, "aku memang sengaja mencarimu."

Tan Ciok-sing sudah membandek beberapa bagian, katanya: 'Sungguh merupakan suatu kehormatan besar. Tapi untuk keperluan apa Siau-ongya memerlukan datang ke hotel mencari diriku?"

"Tan-heng, jangan terlalu sungkan. Kalau sungkan berlebihan, berarti kau tidak menganggapku sebagai kawan. Panjang kalau diceritakan, tapi boleh secara ringkas kujelaskan, persoalan terletak pada kuda putih itu."

"Kuda putih ini memang bukan milikku," ujar Tan Ciok-sing tertawa.

"Aku tahu. Kuda ini milik salah satu dari Kanglam Sianghiap yang bernama Ciong Bin-siu, betul tidak?"

"Kanglam Sianghiap?" Tan Ciok-sing menegas.

"Lho, kau belum tahu asal-usul mereka? Di kota Hangciu terdapat dua keluarga besar persilatan. Keluarga Kwe dan keluarga Ciong. Kedua keluarga memangnya punya hubungan famili. Tuan muda keluarga Kwe bernama Kwe Bi-yang, dia punya Piaumoay yang bernama Ciong Bin-siu, meski masih berusia muda, namun di daerah Kanglam sudah angkat nama besar, maka mereka dijuluki Kanglam Sianghiap."

"Betul, kudengar mereka saling membahasakan Piau-heng-moay. Tapi kuda ini berhasil kurebut dari kawanan brandal, panjang juga kalau diceritakan..."

"Duduk persoalannya aku sudah tahu," ujar Toan Kiam-ping.

"Darimana kau tahu?" tanya Tan Ciok-sing heran.

"Dua hari yang lalu Kanglam Sianghiap juga datang ke Tayli, mereka sudah bertemu dengan aku, mereka ceritakan di Ang-wa-poh kehilangan seekor kuda tunggangan, hari ini ada orang memberitahu kepadaku, katanya ada seorang pemuda pelancongan dari luar daerah menunggang seekor kuda putih, menginap di sebuah hotel di sebelah barat kota. Maka aku datang ke hotel itu mencarimu. Ciangkui bilang kau tamasya ke Jong-san, mungkin karena dia ingin mengambil hatiku, maka barang titipanmu diperlihatkan kepadaku. Aku kenal harpa antik ini, aku yakin anak keturunan Ki Harpa pasti tidak sekomplotan dengan kawanan brandal dari Ang-wa-poh."

Toan Kiam-ping menaruh hormat dan menghargai kakeknya, maka diapun yakin dan percaya bahwa dirinya pasti bukan orang jahat, maka timbul rasa kagum dan simpatik Tan Ciok-sing pada pangeran ini, maka dia lantas berkata: "Siau-ongya, ada sebuah hal mohon kau suka membantu."

"Sekali bertemu seumpama sahabat lama, Tan-heng tak usah sungkan, silakan katakan."

"Kuda putih ini harap Siau-ongya suka merawatnya."

"Aku sudah berikan seekor kuda lain yang jempolan juga kepada Ciong-lihap, meski tidak sebanding kuda putih ini, kukira terpautnya juga tidak jauh. Kanglam Sianghiap sudah pergi kuda putih tertinggal disini tiada gunanya, kau akan menempuh perjalanan, boleh kau gunakan saja."

"Justru karena mereka sudah meninggalkan tempat ini, entah kapan baru akan bertemu mereka di Tayli, maka mohon bantuan Siau-ongya untuk menyerahkan kepada pemiliknya. Entah kapan suatu ketika mereka toh akan kemari lagi."

"Itu belum tentu, mungkin mereka kembali tanpa lewat Tayli. Umpama kembali mungkin sudah setahun berselang," sejenak Toan Kiam-ping berpikir lalu bertanya: "Tan-heng, maaf kalau aku kurang hormat, bolehkah aku tahu kemana tujuanmu?"

"Aku akan pergi ke Tay-tong-hu di San-he," "Sungguh kebetulan, Kanglam Sianghiap justru juga pergi ke Tay-tong-hu."

"Mereka juga kesana? Konon tempat itu kini sedang berkecamuk peperangan?"

"Bukankah kau hendak kesana?"

"Ada urusan pribadi yang harus kuselesaikan, tidak bisa tidak aku harus kesana."

"Kecuali urusan mereka sendiri, merekapun mengemban tugas penting, maka mereka harus pergi kesana juga," lalu dia menjelaskan pula, tentunya kau sudah tahu, pasukan Watsu sudah menduduki propinsi daerah barat negeri kita. Tapi yakin gerakan laskar rakyat kita masih kuasa membendung mereka. Kini pasukan besar Watsu dipusatkan diluar perbatasan Gan-bun-koan, segala saat siap menyerbu ke Tionggoan. Diluar Gan-bun-koan ada juga laskar rakyat yang dipimpin oleh Kim-to Cecu Ciu San-bin. Tujuan Kanglam Sianghiap adalah membantu mereka. Kamipun akan hubungan dengan Kim-to Cecu untuk merancang cara bagaimana bergabung melawan penjajah."

Berpikir sebentar Tan Ciok-sing lalu berkata: "Kalau demikian, terpaksa biar kuda ini tetap kubawa ke Tay-tong-hu untuk mencari mereka. Tapi..."

"Tapi apa?" tanya Toan Kiam-ping.

"Terus terang, baru kali ini aku berkecimpung di Kangouw, sama sekali tiada kenalan dengan kaum persilatan, dengan Kim-to Cecu sama sekali tiada hubungan, umpama aku bisa menghindari pasukan kuda musuh dan keluar dari Gan-bun-koan, mungkin tidak gampang uutuk bertemu dengan Kim-to Cecu."

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Barisan Kim-to Cecu berada diluar Gan-bun-koan, konon sembarang waktu hijrah ke lain tempat. Dimana letak markas pusat mereka yang pasti aku dan Kanglam Sianghiap juga tidak tahu. Tapi, kau tidak perlu mencari Kim-to Cecu, setiba di Tay-tong, yakin kau dapat mencari tahu berita mereka."

"Tay-tong-hu tentunya merupakan kota besar dalam situasi genting bagaimana bisa mencari kabar?"

"Ada seorang pendekar yang tersohor bernama In Hou, tentunya kau pernah mendengar nama besarnya?" tanya Toan Kiam-ping.

Tan Ciok-sing terperanjat, katanya: "Meski aku cetek pengalaman, namun nama besar In Tayhiap tentu pernah kudengar."

Berkata Toan Kiam-ping lebih lanjut: "Paman In Hou adalah jago pedang nomor satu yang diakui dunia sejak tiga puluh tahun yang lain, namanya Thio Tan-hong. Thio

Tayhiap dulu ada hubungan intim dengan kakekku, pernah menginap beberapa hari di rumahku. Oleh karena itu setiap kali In Tayhiap berada di In-lam, beliau pasti berkunjung ke rumahku. Terakhir kali kira-kira tiga tahun yang lalu, akhirnya entah kenapa sampai sekarang tak pernah kudengar beritanya lagi, entah dia sudah pulang ke rumahnya?"

Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bagaimana nasib yang menimpa In Hou. Tapi karena dia baru saja kenal Toan Kiam-ping, maka rahasia kematian In Hou tak berani dia ceritakan.

Toan Kiam-ping berkata lebih lanjut: "Tapi umpama In Tayhiap belum pulang, putrinya pasti ada di rumah. Oh ya, aku lupa beritahu padamu, In Tayhiap hanya punya seorang putri, namanya In San. Nona In pernah beberapa kali berkunjung ke rumah kami."

Sampai disini pelayan cilik itu tiba-tiba cekikikan pula, timbrungnya: "Siau-ongya, tentunya kau tak pernah melupakan nona manis itu."

Merah muka Toan Kiam-ping, semprotnya: "Hus budak cilik campur bicara, kami sedang berunding tahu!"

Pelayan itu melelet lidah terus mendekap mulut menahan geli.

Toan Kiam-ping berkata pula: "Setiba di Tay-tong. Kanglam Sianghiap pasti berkunjung dulu ke rumah keluarga In. Syukur bila In Tayhiap ada di rumah, beliau pasti berusaha bantu kalian menemukan Kim-to Cecu. Jikalau tiada, nona In pasti punya akal untuk membantu. Hanya yang di kuatirkan bila disana sudah terjadi peperangan, nona In terpaksa sudah pindah atau mengungsi. Tapi apapun yang terjadi, setiba kau di Tay-tong boleh kau berusaha mencarinya. Kuharap kau dapat menemukan dia, dari dia pasti kau memperoleh berita Kanglam Sianghiap."

"Baiklah, pasti kuusahakan menemukan nona In, adakah pesanmu untuk kusampaikan kepadanya?" tanya Tan Ciok-sing.

Pelayan cilik itu cekikikan pula selanya: "Betul siapa tahu di tengah jalan Kanglam Sianghiap mengalami sesuatu sehingga membatalkan keberangkatannya ke Tay-tong. Siau-ongya, kau pun ada orang lain yang dapat mengirim berita padanya."

Jengah muka Toan Kiam-ping, omelnya: "Kau semakin tidak tahu aturan, jangan menimbrung lagi," lalu dia berpaling katanya kepada Tan Ciok-sing: "Baiklah, Tan-heng, aku titip sebuah pesan untuknya, bila dia ingin ngungsi kami akan menyambutnya di Tayli."

Entah mengapa tiba-tiba hati Tan Ciok-sing merasa kecut, batinnya: "O, kiranya Siau-ongya ini sejauh ini tidak mau menikah karena diam-diam menaksir nona In itu."

Nona In atau putri In Hou boleh dikata tidak pernah dikenalnya, gadis yang masih asing tapi seperti juga familinya yang paling dekat. Sebelum ajal In Hou pernah berpesan supaya dirinya mencari putrinya itu, beliau mengharap dirinya bisa bergaul rapat dan seintim saudara sepupu sendiri, malah gurunya Thio Tan-hong mewariskan Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam yang dulu merupakan senjata andalan mereka suami istri, kepada dirinya dan putri In Hou, harapan beliau memang tidak diutarakan secara gamblang, tapi Tan Ciok-sing maklum kemana juntrungan gurunya.

Tapi sekali-kali Tan Ciok-sing tidak berani mempunyai pikiran yang tidak genah atau muluk-muluk, tapi kini setelah tidak sengaja tahu bahwa Siau-ongya ini menaksir In San, mau tidak mau hatinya menjadi hambar. Sukar menjelaskan perasaan ganjil ini, entah itu iri, cemburu atau jelus, tapi terselip pula perasaan senang, kesadarannya lebih menang memerangi batinnya. "Putri In Tayhiap merupakan pasangan setimpal dengan Siau-ongya. Sepantasnya aku menghaturkan selamat pada mereka, jikalau hal ini kelak betul-betul menjadi kenyataan, pasti di alam baka In Tayhiap akan senang dan terhibur hatinya."

Melihat orang melongo, Toan Kiam-ping bertanya: "Tan-heng, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak apa-apa, kupikir tidak akan pulang ke hotel lagi. Siau-ongya, tolong kau bayarkan rekening hotelku," sembari bicara dia merogoh kantong hendak mengambil uang.

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Sudah kulunasi seluruhnya, ongkos tidak seberapa, tidak usah kau sungkan. Cuma kenapa kau begini tergesa-gesa meninggalkan Tayli? Marilah mampir ke rumahku menginap barang dua malam."

"Tidak usahlah, perang tengah berkecamuk di perbatasan, pesan Siau-ongya juga tidak boleh tertunda, biarlah aku segera berangkat saja," maklum dia ingin selekasnya merampungkan pesan In Hou dan gurunya.

"Begitupun baik," kata Toan Kiam-ping sesaat kemudian, "kuharap sekembalimu kelak, kau bisa ngobrol beberapa hari denganku," laju perahu masih tetap kencang, daratan sudah kelihatan tak jauh di depan sana Toan Kiam-ping berkata pula: "Tan-heng, sebelum berpisah sudikah kiranya kau membawakan sebuah petikan lagu supaya aku bisa menikmati petikan harpamu?"

"Kalau Siau-ongya suka mendengarkan, baiklah aku pamer sedikit kebodohanku, mohon tidak ditertawakan," lalu Tan Ciok-sing duduk bersimpuh dan mulai menyetem senar serta mulai memetik harpanya.

Lagu yang dibawakan adalah lagu perjuangan bangsa melawan penjajah, begitu asyik dan semangatnya dia membawakan lagu dengan sepenuh hati dan pikiran. Baru saja habis petikan lagu harpanya mendadak terasa dadanya kesemutan. Maklum di Ang-wa-poh dia melabrak kawanan brandal, dia sendiri juga terkuras hawa murninya, sampai kini belum pulih seluruhnya, karena tenggelam dalam petikan lagu perjuangannya sehingga darah bergolak pikiran berkobar semangatpun menyala, hati dan irama lagu berpadu, sehingga tanpa disadari darahnya mendidih dan menggumpal di rongga dada sehingga napas menjadi sesak.

Tanda-tanda jelek ini harus lekas diusahakan penyembuhannya, kalau terlambat mungkin membawa akibat yang fatal kelak. Baru saja Tan Ciok-sing hendak bersemadi mengerahkan hawa murni, mendadak terasa punggung leher, pundak dan dadanya sekaligus kesemutan. Jari Toan Kiam-ping bergerak secepat angin dengan kemahiran ilmu tutuknya, tiga hiat-to di tubuhnya dalam sekejap telah ditutuk. Toa-ciu-hiat di punggung leher, Kin-gan-hiat di pundak dan Hian-ki-hiat di dada.

Bukan main kejut Tan Ciok-sing, dia kira Siau-ongya membokong di kala dirinya dalam keadaan kritis. Tak nyana rasa kesemutan tadi hanya sebentar saja, tahu-tahu dari hiat-to yang tertutuk ini timbul arus hangat yang mengalir ke seluruh badan sehingga segar dan nyaman.

"Maaf Tan-heng akan tindakanku yang gegabah ini," kata Toan Kiam-ping, "kulihat hawa murnimu seperti tersumbat, urat nadi harus segera diperlancar jalannya, maka tak sempat memberitahu lebih dulu, aku memberanikan bantu kau menyembuhkan luka-lukamu dengan It-ci-sian-kang. Tan-heng tak usah kuatir It-ci-sian-kang ajaran keluargaku ini jauh berbeda dengan ilmu Tiam-hiat dari aliran umumnya, kalau ilmu tutuk aliran lain peranti melukai orang, adalah It-ci-sian-kang warisan keluargaku ini khusus untuk menyembuhkan penyakit, jelasnya untuk menolong orang. Bermanfaat bagi kesehatan badan."

Sesaat lagi terasa oleh Tan Ciok-sing badannya memang semakin fit, semangatnya berkobar lebih menyala dari sebelumnya. Ternyata penjelasan Toan Kiam-ping memang bukan bualan belaka sudah tentu hatinya amat senang dan berterima kasih. Diam-diam dia kagum juga akan ilmu Tiam-hiat orang yang begini hebat. Bahwasanya dengan bekal kepandaian Tan Ciok-sing, sekarang jikalau dia bersiaga, tak mungkin Toan Kiam-ping dapat menutuk hiat-tonya, namun karena kejadian diluar dugaan, dalam sesingkat itu Toan Kiam-ping mampu sekaligus menutuk tiga hiat-to, jelas kepandaiannya pun boleh dibanggakan. "Tak heran didalam memberikan komentar dan analisanya tentang berbagai aliran persilatan, Suhu menonjolkan ilmu Tiam-hiat dari keluarga Toan di Tayli sebagai ilmu nomor satu yang tiada bandingannya memang tidak bernama kosong," demikian batin Tan Ciok-sing.

It-ci-sian-kang ternyata memang mujijat dan menakjubkan, bukan saja dirinya terhindar dari bahaya luka dalam, semangat dan kesehatan badannya malah berlipat lebih meyakinkan. Maklum setelah hawa murninya terganggu, meski dapat bersemadi mengerahkan Iwekang, mengontrol pernapasan mengendalikan arus tenaga menembus urat nadi, maka kesehatannya takkan banyak terganggu. Tapi dia sendiri tidak yakin apakah dengan cara penyembuhan ini kesehatannya dapat pulih seluruhnya umpama dapat disembuhkan takkan secepat ini. Saking kagum kembali Tan Ciok-sing menghaturkan terima kasih.

"Tan-heng memang tidak malu sebagai murid didik dari guru kenamaan, petikan harpamu ternyata tidak asor dibanding kakekmu dulu. Meski badan kurang sehat kau masih sudi memetik harpa untuk menghibur hatiku, justru akulah yang harus berterima kasih padamu. Tiada sesuatu yang dapat kuberikan sebagai balasan, untuk ini harap Tan-heng suka terima tanda kenang-kenangan yang tidak berarti ini," sembari bicara dia mengeluarkan secarik kertas yang penuh ditulisi huruf-huruf kecil.

"Di atas kertas ini ditulis cara bagaimana menyembuhkan luka atau penyakit dengan It-ci-sian-kang, harap Tan-heng suka menerimanya. It-ci-sian-kang sebetulnya juga dapat untuk melukai orang, tapi dengan bekal kepandaian Tan-heng tentunya takkan sudi mempelajari kepandaian yang tidak berarti ini, maaf kalau aku tidak mencatatnya di atas kertas ini."

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Mana berani aku terima tanda kenang-kenangan sebesar ini dari Siau-ongya?"

"Banyak bahaya yang harus kau hadapi dalam perjalanan ini Tan-heng," kata Toan Kiam-ping, "umpama tidak diperlukan, untuk menolong orang juga baik. Tan-heng pertemuan kita kali ini memang terlambat, sukalah kau dengar perkataanku, apalagi kau mau terima titipan pesanku. Barang tak berarti begini sebagai tanda penghargaanku kepadamu. Kalau kau tak mau terima, sungguh aku kurang enak hati malah."

Melihat sikap tulus orang terpaksa Tan Ciok-sing menerimanya. Sementara itu perahu sudah merapat dermaga.

"Seribu li mengantar sahabat akhirnya berpisah juga," demikian ucap Toan Kiam-ping, "kini biarlah aku pinjam harpamu untuk mengantar keberangkatan Tan-heng dengan sebuah lagu perpisahan. Harap Tan-heng memberi petunjuk."

"Siau-Ongya terlalu sungkan," kata Tan Ciok-sing.

Toan Kiam-ping mulai memetik harpa, pelayan cilik itu bernyanyi.

Rawan dan masgul perasaan Tan Ciok-sing menjelang perpisahan ini, meski baru beberapa jam berselang persahabatan mereka, namun terasa betapa luhur dan tinggi budi pekerti persahabatan sepasang pemuda yang sama-sama gagah perkasa berjiwa patriot ini.

Setelah naik di daratan Tan Ciok-sing mohon diri terus cemplak kuda putih berpisah dengan Toan Kiam-ping. Toan Kiam-ping berdiri mendelong mengawasi kepergian orang.

Perjalanan dari Tayli di In-lam ke Tay-tong sungguh merupakan jarak yang tidak dekat, naik gunung menyebrang sungai masuk selat keluar dari daerah rawa-rawa, kalau orang biasa mungkin harus ditempuh setahun lamanya. Untung kuda putih ini memang kuda jempolan, dalam jangka satu bulan dia sudah memasuki Jwan-se, lewat Han-tiong masuk Siam-pak terus memasuki propinsi Sian-he. Setelah tiba di Gin-lin, sepanjang jalan sering dia bertemu dengan kelompok-kelompok pengungsi.

Dari penjelasan para pengungsi itu Tan Ciok-sing mendapat tahu bahwa pasukan besar Watsu sudah semakin mendekati Gan-bun-koan, tapi Tay-tong-hu masih berada di tangan pemerintah, legalah hati Tan Ciok-sing.

Beberapa hari perjalanan lagi, kaum pengungsi yang ditemui semakin jarang, mungkin mereka yang bisa lari sudah habis mengungsi ke tempat lain, tetap tinggal hanyalah nenek-nenek atau kakek dan bocah-bocah kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menunggu nasib yang bakal menimpa di rumah sendiri.

Hari itu dia mulai beranjak di daerah Yan-ji-san,. Yan-ji-san terletak di barat daya Tan-hong, setelah melewati gunung ini, kira-kira tujuh puluh li lagi akan tiba di tempat tujuan. Karena ingin cepat-cepat sampai, sengaja Tan Ciok-sing menempuh jalan pegunungan yang banyak menyingkat waktu dan memperpendek perjalanan, dengan kekuatan lari kuda putih ini, yakin sebelum petang nanti dia sudah akan tiba di Tay-tong. Di kala dia mencongklang kudanya di jalan pegunungan yang tidak rata ini, tiba-tiba dilihatnya di kaki gunung sana ada sebaris tentara, jumlahnya hanya belasan saja, semua menunggang kuda.

Barisan kuda ini mencongklang kuda mereka di padang rumput nan luas dan lapang, mereka berdendang dan bernyanyi lagu perjuangan yang terdengar gagah dan berpadu penuh semangat, namun Tan Ciok-sing tak tahu lagu perjuangan apa yang mereka nyanyikan. Setelah agak dekat baru kelihatan seragam pakaian dan bendera yang; berkibar. Ternyata mereka bukan barisan tentara kerajaan Bing, tapi barisan tentara asing.

Tan Ciok-sing betul-betul kaget, sungguh tak nyana disini kesampok dengan sepasukan kuda Watsu, "Mungkinkah Tay-tong sudah diduduki musuh?" apakah kali ini dia dapat menunaikan tugas dengan baik, hal ini membikin hatinya kebat-kebit.

Tak kira masih ada pula kejadian yang lebih mengejutkau lagi. Mendadak barisan kuda itu menghentikan kudanya serta berpencar, lagu tidak dinyanyikan lagi, ada beberapa orang melompat turun dari punggung kuda.

Dari ketinggian Tan Ciok-sing dapat saksikan kejadian di bawah sana dengan jelas, kini didapatinya bahwa barisan Watsu ini ternyata tengah mengudak seorang Han, kini mereka sudah mcnyandak yang dikejarnya, maka beberapa orang Watsu itu lompat turun hendak membekuknya.

Orang itu berperawakan kecil sedikit kurus, usianya kelihatan masih muda, dari kejauhan kurang jelas. Tapi jelas keadaannya bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah, dia lari sana trobos sini. Orang-orang Watsu itu berkaok dan membentak gusar, cepat sekali mereka telah mengepungnya dan akan membekuknya hidup-hidup.

Disini kelihatan betapa besar jiwa patriotik Tan Ciok-sing melihat bangsa sendiri terancam dan menjadi bulan-bulanan kaum penjajah, darah terasa mendidih di dada, segera dia kempit perut kuda serta membedalnya turun gunung. Kuda putih meringkik panjang, laksana angin lesus cepat sekali sudah berpacu di tanah datar. Tapi dalam jangka waktu singkat ini situasi di bawah sana ternyata sudah berbeda sekali. Hampir Tan Ciok-sing tidak berani percaya akan apa yang dilihat matanya.

Orang Han itu adalah pemuda bertubuh kecil agak kurus bermuka kotor, pakaiannya masih terhitung rapi. Agaknya dia sengaja mengotori muka sendiri supaya tidak menjadi perhatian orang sehingga mudah untuk lari atau mengungsi. Pemuda yang mirip pelajar ini ternyata memegang golok dan kini sedang memutarnya kencang. Di waktu Tan Ciok-sing tiba di kaki gunung, kebetulan dia melihat pemuda itu tengah membacok roboh seorang tentara Watsu yang bertubuh kekar dan gagah. Di bawah kakinya kelihatan dua sosok mayat pula tiga orang Watsu yang lain tampak berlari menyingkir dengan membawa luka. Tampak oleh Tan Ciok-sing gerakan bacokan tadi begitu lincah mantap dan tangkas sekali.

Tapi yang membikin Tan Ciok sing heran bukan karena permainan golok si pemuda yang liehay seperti ini, tapi ilmu golok yang di mainkan itu amat hapal dan dikenalnya dengan baik. Bacokan golok si pemuda tadi didalam jurus sembunyi tipuan, didalam gerakan ketambah variasi, tidak mengejar kemenangan dengan serangan membabi buta tapi lebih dulu bertahan membela diri, jelas jurus yang dimainkan pemuda ini adalah salah satu jurus dari ilmu golok keluarga In yang bernama Yan-can-pat-hong-ciang-to-sek, jurus ini peranti menghadapi keroyokan musuh yang berjumlah banyak, tapi jurus Ciang-to-sek yang berhasil dipelajari Tan Ciok-sing dari buku peninggalan In Hou, ternyata sedikit berbeda dengan jurus yang dimainkan oleh si pemuda. Ciang-to-sek didalam buku lebih keras dan merupakan serangan gencar, sebaliknya permainan Ciang-to-sek si pemuda ini kelihatan lebih lembut dan kurang tenaga, didalam permainan ilmu goloknya seperti dikombinasikan dengan gerakan jurus pedang nan lincah dan gesit, jelas berbeda dari kemurnian ajaran ilmu golok keluarga In.

Tan Ciok-sing hanya tahu bahwa In Hou punya seorang putri, tanpa murid seorangpun. Kini mendapat melihat pemuda ini pandai juga memainkan jurus yang amat dikenalnya ini, karuan dia melongo keheranan. Diam-diam dia lantas membatin: "Mungkin pengetahuanku ini yang masih cetek, dunia yang sebesar ini, bukan mustahil suatu aliran persilatan memiliki ilmu golok yang hampir mirip dengan ilmu golok keluarga In, atau kemungkinan pula merupakan kembangan yang berhasil dicangkok dari ilmu golok keluarga In?" Maklum In Hou adalah pendekar besar yang tersohor di segala penjuru angin, adalah logis kalau ilmu goloknya pernah disaksikan orang banyak. Maka masuk di akal juga kalau Tan Ciok-sing mempunyai analisa begini.

Enam tentara Watsu yang mengeroyok si pemuda sudah tiga mati luka-luka, dua orang lagi masih bercokol di atas kuda melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, lekas mereka keprak kuda berpencar arah, seorang memapak kedatangan Tan Ciok-sing, seorang lagi menerjang ke arah pemuda. Di kala Tan Ciok-sing tertegun itulah, mendadak dirasakan angin bersiur di belakang kepalanya, tahu-tahu Long-ge-pang perwira Watsu itu sudah mengemplang tiba. Sekilas masih sempat dilihat oleh Tan Ciok-sing, sekali membacok balik si pemuda kembali berhasil membacok roboh seorang musuh, sekali raih dia rampas pula sebatang Ceng-tong-cian terus ditimpuk kc arah perwira yang membokong Tan Ciok-sing, teriakny;i

memperingatkan: "Awas saudara." Tujuan Tan Ciok-sing hendak menolong orang, kini bcrbalik orang yang menolong diiinyj malah.

Meski takjub mengawasi permainan ilmu golok ti pemuda sehingga perhatian Tan lok-sing terpecah, namun bekal kepandaiannya sekarang sudah termasuk tinggi dibanding tokoh silat kelas satu, meski dibokong secara reflek dia masih mampu bertahan dan balas menyerang. Pada detik-detik yang gawat itu, terdengar "Trang" yang nyaring diseling suara "Cras" pula. Suara "trang" yang nyaring itu karena Seng-tong-cian timpukan si pemuda dengan tepat membentur Long-ge-pang si perwira, sementara suara "Cras" itu adalah hasil tabasan pedang Tan Ciok-sing yang memenggal kepala si perwira, darah menyembur tinggi ke angkasa.

Kuda putih tunggangan Tan Ciok-sing ternyata cerdik pandai gagah pula, dalam sekejap itu, Tan Cok-sing menjepit perutnya pula, agaknya tahu maksud majikannya, kuda putih segera menerjang maju dengan lompatan jauh ke depan laksana panah meluncur mengudak ke arah si perwira yang menerjang ke arah si pemuda. Baru saja si pemuda berpaling hendak memenggal kepala si perwira ini, dilihatnya bayangan putih berkelebat, kuda putih sudah melesat di samping tubuhnya, tahu-tahu perwira itu pun sudah terjungkal jatuh tanpa kepala lagi. Dua tentara Watsu yang masih selamat karuan ketakutan setengah mati, lekas mereka angkat langkah seribu. Si pemuda tidak hiraukan musuh yang melarikan diri, kedua mata menatap Tan Ciok-sing lekat-lekat.

Tan Ciok-sing kira orang memperhatikan kuda

tunggangannya, maka dia melompat turun serta memberi hormat, katanya: "Kepandaian saudara sungguh liehay, Siaute tidak tahu diri, bikin tertawaan saudara saja."

"Kepandaianmu juga hebat," ujar si pemuda tawar, "pedangmu itu lebih hebat lagi." sikapnya yang tawar serba kaku lagi, bukan saja tidak nyatakan terima kasih, diapun tidak membalas hormat.

Heran Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya: "Maaf kalau aku kurang hormat, mohon tanya siapa nama besar saudara, apakah kau lari dari Tay-tong?"

Tidak menjawab, si pemuda malah balas bertanya: "Siapa kau?"

"Aku she Tan bernama Ciok-sing, tolong tanya..."

Mendengar nama Tan Ciok-sing seketika berobah air muka si pemuda, belum selesai dia bicara, tahu-tahu: "Sret" golok si pemuda telah menabas dirinya.

Mimpipun Tan Ciok-sing tidak mengira si pemuda malah membalas kebaikannya dengan serangan golok yang mematikan ini, karena tidak menduga dan tiada siaga hampir saja lehernya tertabas.

Untung reaksinya cukup cekatan dia masih sempat berkelit. Teriaknya dengan darah tersirap: "Sebelum ini aku tidak pernah mengenalmu, umpama aku terlalu campur tangan, maksud kan baik terhadapmu, kenapa kau hendak membunuhku?"

Sekali tabasannya luput, menyusul si pemuda memberondong lagi tiga jurusan serangan terpaksa Tan Ciok-sing kembangkan permainan Khong-jiu-jip-pek-to untuk melayaninya, namun dia tidak pecah perhatian untuk ajak bicara lagi.

Sekejap mata mereka telah saling labrak lima puluhan jurus, sejauh ini Tan Ciok-sing tidak mampu merebut golok orang, pemuda itu juga tidak mampu melukai Tan Ciok-sing. Diam diam Tan Ciok-sing menaruh perhatian, terasa permainan golok orang memang mirip ilmu golok keluarga In.

Lama kelamaan tergerak hati Tan Ciok-sing, tiba-tiba dia menyerempet bahaya menyelinap maju dengan gerakan berani ujung jari tengahnya menyentik punggung golok si pemuda di kala gerakan si pemuda belum dilancarkan cepat-cepat dia melompat keluar kalangan, katanya: "Berhenti, berhenti. Pernah apa kau dengan In Tayhiap?"

Tapi si pemuda tidak mau berhenti, mukanya tampak beringas, sorot matanya pun menyala bengis, bentaknya: "Berani kau menyebut nama besar In Tayhiap, kalau hari ini bukan aku yang gugur, kaulah yang mampus."

"Ke... kenapa?" tanya Tan Ciok-sing gelagapan dan bingung, tahu-tahu sinar golok menyilaukan mata, serangan golok si pemuda semakin ganas setiap serangan mengincar tempat mematikan di tubuhnya.

Karena sibuk melayani rangsakan di pemuda Tan Ciok-sing tidak sempat berusaha lagi.

"Perbuatanmu sendiri masa kau tidak tahu," hardik si pemuda, badan berputar mengikuti gerakan golok, "Cret" dimana goloknya menyamber pakaian Tan Ciok-sing kena ditabasnya sobek memanjang. Diam-diam si pemuda merasa "Sayang", tabasannya ini dia kira bisa melukai tulang pundak Tan Ciok-sing. Situasi semakin gawat dan berbahaya bagi dirinya, terpaksa Tan Ciok-sing harus melolos pedang untuk membela diri.

Setelah pedang di tangan, lebih leluasa dan santai saja, Tan Ciok-sing melayani serbuan lawan, dengan sejurus Sam-coan-hoat-lun, dengan mudah dia punahkan serangan berantai si pemuda.

Tan Ciok-sing membawa dua bilah pedang Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam, Pek-hong-kiam tadi sudah dia gunakan menabas mati si perwira, kini entah sengaja atau karena keripuhan menghadapi serangan golok lawan, dia mencabut Ceng-bing-kiam. Si pemuda tadi sudah perhatikan Pek-hong-kiam yang dia pakai, kini melihat dia melolos Ceng-bing-kiam, maka perhatiannya semakin besar, setelah lebih diteliti, Ceng-bing-kiam ini seperti pedang yang sudah dikenalnya baik, karuan hatinya semakin kejut dan gusar.

Kepandaian si pemuda ternyata memang cukup tinggi, tapi cukup bagi Tan Ciok-sing.

mengembangkan Bu-bing-kiam-hoat, adalah gampang kalau dia mau mengalahkan si pemuda. Tapi Tan Ciok-sing masih bimbang, dia kuatir bila kurang hati-hati bisa melukai si pemuda. Semula dia balas menyerang untuk mempertahankan diri maksudnya supaya si pemuda tahu diri dan mundur teratur. Tak nyana si pemuda justru tidak hiraukan lagi mara bahaya yang mengancam. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing patahkan saja semua serangan lawan. Sedapat mungkin dia berusaha tidak melukai lawan tapi juga harus berjaga supaya tidak dilukai, maka dapatlah dibayangkan betapa sukar dan berat usahanya ini. Beberapa kejap lagi Tan Ciok-sing berpikir: "Sebodoh-bodohnya mestinya dia tahu aku menaruh belas kasihan padanya. Aneh, kenapa dia seperti mau adu jiwa dengan aku?"

Si pemuda tidak bodoh, diapun tidak gegabah, dia pun sedang berpikir: "Aneh, kenapa bangsat ini menaruh belas kasihan padaku? Ya, mungkin sengaja dia masih berpura-pura jadi orang baik untuk menipuku."

Setelah punahkan serangan orang Tan Ciok-sing berkata: "Saudara, aku tidak tahu kau pernah apa dengan In Hou, tapi kalau kau memanggilnya In Tayhiap, umpama bukan murid didiknya, tentunya kaupun seorang yang pengagumnya. Kenapa tidak kita bicara blak-blakan saling menerangkan? Bicara terus terang, aku ada sedikit hubungan dengan In Tayhiap."

"Kau ada hubungan apa dengan dia?" jengek si pemuda.

"Beritahu dulu apa hubunganmu dengan In Tayhiap, nanti kujelaskan apa yang aku tahu kepadamu."

Pemuda itu menjengek: "Apa yang pernah kau lakukan aku sudah tahu, tidak perlu kaujelaskan lagi padaku."

"Kau tahu tentang apa?" tanya Tan Ciok-sing heran.

Tiba-tiba si pemuda mencabut keluar sebatang pedang, dengan pedang di tangan kanan golok di tangan kiri dia menusuk dan menabas ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Aku tahu kau adalah keparat yang mencelakai In Tayhiap dengan racun."

Enteng gerakan pedang, golok bergaya berat dan keras, dua tangan memainkan dua macam senjata yang berbeda dengan jurus permainan yang berlainan pula, sebetulnya merupakan permainan kombinasi yang amat sukar, tapi pemuda ini justru dapat menggabungkan keras dan lunak dalam gerakan yang serasi. Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing memang peranti untuk menghadapi serangan yang banyak perubahan dan variasinya, namun dia toh hampir kecundang. Terpaksa dia tumplek perhatian, serangan lawan dia punahkan secara enteng, katanya: "Bukan aku ingin mengagulkan diri, tapi apa yang kulakukan justru terbalik dari tuduhanmu. In Tayhiap memang terbunuh oleh oYang jahat yang licik, tapi akulah orang yang pernah menolongnya. Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga hendak menolong jiwanya, sayang usahaku tidak berhasil."

Mendengar Tan Ciok-sing menyinggung kematian In Hou, amarah si pemuda memuncak sampai tidak kuasa bicara, akhirnya dia mendamprat dengan suara gemetar: "Kau keparat ini, kau bisa menipu orang lain, jangan harap kau bisa menipuku. Memang, dengan bekal kepandaianmu secetek ini tak bakal dapat mencelakai jiwa ln Tayhiap, tapi kau justru memungut keuntungan di kala dia dalam keadaan susah, membantu musuh berbuat kejahatan, itu berarti pula yang mencelakai jiwanya," mulut bicara tangan tak pernah kendor, pedang menusuk golok menabas, serangannya merabu semakin keji.

"Aku membantu kejahatan?" dengus Tan Ciok-sing gusar, "aku mencelakai In Tayhiap? Siapa yang bilang kepadamu?" sedikit lena "Cret" kembali bajunya tergores sobek, hampir saja pundaknya tertusuk pedang lawan. Melihat sedemikian besar rasa permusuhan si pemuda terhadap dirinya, diam-diam dia mencari akal: "Kujelaskan juga dia takkan mau percaya," tiba-tiba tergerak pikirannya, golok pusaka milik In Hou segera dia keluarkan, katanya: "Baiklah biar kugunakan ilmu golok keluarga In mohon pengajaranmu," dia meniru permainan si pemuda, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, maka terjadilah serang menyerang yang sengit.

Melihat golok pusaka itu, mendelik membara bola mata si pemuda, bentaknya: "Bangsat keparat, katamu bukan kau yang mencelakai In Tayhiap, bagaimana golok In Tayhiap bisa berada di tanganmu?"

"Dia sendiri yang menyerahkan kepadaku, dia titip supaya aku menyerahkan kepada sanak keluarganya. Tentunya kau tahu seluk beluk keluarganya..."

"Siapa percaya obrolanmu?" damprat si pemuda murka, sebelum Tan Ciok-sing bicara habis kembali dia mendesak dengan serangan gencar pula.

Sejauh ini Tan Ciok-sing mulai menduga bahwa pemuda ini pasti ada hubungan erat dengan keluarga ln, asal dia bisa menyebut nama putri In Hou, tak jadi soal aku serahkan golok ini kepadanya supaya disampaikan. Tak kira setelah melihat golok pusaka ini, si pemuda malah semakin beringas dan memandangnya seperti musuh buyutan. Apa boleh buat akhirnya Tan Ciok-sing berkeputusan untuk mengalahkan dia lebih dulu. Selama tiga tahun menggembleng diri di Ciok-lin, Bu-bing-kiam-hoat tingkat terakhir pun telah berhasil diyakinkan, adalah jamak kalau taraf permainan ilmu golok keluarga In yang dipelajarinya juga sudah keliwat matang. Kalau diukur jelas lebih unggul dari si pemuda.

Dengan golok melawan golok, pedang menghadapi pedang, Tan Ciok-sing berhasil menekan rangsakan kedua senjata lawan. Belasan jurus kembali telah lewat, si pemuda jelas sudah ditekannya di bawah angin hanya mampu membela diri tak kuasa balas menyerang. Mendapat angin Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Golok dapat kurebut atau kucuri, tapi ilmu golok ini memangnya bisa kucuri. Ketahuilah, karena ingin membalas budi kebaikanku yang telah menolong jiwanya, maka In Tayhiap sudi mengajarkan ilmu golok ini kepadaku?"

"Ajaran ilmu golok memang tidak bisa dicuri, memangnya buku ajaran ilmu goloknya itu tidak bisa kau curi? Sayang, berdasar ajaran buku ilmu golok itu kau belajar sendiri tanpa izin, memangnya kau kira permainan golokmu ini boleh dibanggakan," entah karena terlalu banyak bicara, gerakan goloknya ternyata menunjukkan sebuah titik lobang kelemahan.

Tan Ciok-sing sudah naik pitam, punggung golok tiba-tiba membalik dengftn gerakan serupa dia merangsek maju menekan turun golok perak si pemuda, jengeknya: "Cara bagaimana baru terhitung mahir dan patut dibanggakan?"

Dalam jangka sepercikan api ini, golok perak si pemuda tiba-tiba membalik turun, gerakan Siang-jiu-to yang sebetulnya menjojoh ke atas tiba-tiba dia tabaskan ke bawah dalam tiga jalan dengan tipu He-jiu¬ to, bentaknya: "Perubahan ini kau tidak mampu, masih berani kau ngapusi aku bilang In Tayhiap mengajar langsung kepadamu?"

Tajam golok menabas secepat kilat, tahu-tahu Tan Ciok-sing rasakan lututnya silir, ternyata celananya terpapas sebesar mulut cangkir, kalau dia tidak menyurut mundur, hampir saja lututnya tertabas kutung.

Dalam detik-detik berbahaya ini, Tan Ciok-sing tidak sempat banyak pikir lagi, pedang di tangan kanan segera balas menyerang, secara reflek dia lancarkan tipu pedang yang paling liehay dari Bu-bing-kiam-hoat untuk mematahkan serangan lawan tanpa hiraukan keselamatan lawan lagi. "Trang" golok perak si pemuda tahu-tahu kutung jadi dua, gerakan pedang Tan Ciok-sing ternyata masih terus melaju, sekali pelintir dan sendai Ceng-kong-kiam yang dipegang si pemuda kena diketuknya lepas dan terbang ke tengah udara.

Kalau si pemuda amat kaget, tak kalah kagetnya pula Tan Ciok-sing sendiri. Untung pemuda itu tidak terluka, baru lega hati Tan Ciok-sing, lekas dia menarik golok dan pedang lantas dimasukan ke sarungnya, bentaknya: "Siapa kau sebetulnya?"

Setelah mendapat warisan murni ajaran Kungfu Thio Tan-hong baru Tan Ciok-sing berhasil mempelajari ilmu golok keluarga In secara menyeluruh. Bicara soal kemahiran memang dia lebih unggul, tapi dinilai kemurnian ajarannya, jelas pemuda ini lebih matang. Ini dapat dibuktikan dari permainannya pada jurus terakhir barusan.

Tidak menjawab si pemuda mendadak melejit tinggi, dengan gerakan Yan-cu-sam-jau-cui Tiga Kali Burung Walet Menutul Air, beberapa kali lompatan berjangkit tahu-tahu dia mencemplak ke punggung kuda putih. Semula Tan Ciok-sing kira orang hendak melarikan diri, setelah melihat menunggang' kudanya baru dia terkejut, lekas dia bersiul pikirnya hendak mengundangnya kembali. Biasanya kuda putih ini amat penurut pada dirinya, kini entah mengapa, dia tidak lagi tunduk akan perintahnya. Tanpa melawan dia diam saja si pemuda menunggang di punggungnya terus kabur secepat angin malah.

Heran dan rasa curiga berkecamuk dalam benak Tan Ciok-sing, pikirnya: "Pemuda ini pasti anak didik langsung dari In Tayhiap. Tapi suhu pernah bilang bahwa dia hanya mewariskan ilmu goloknya kepada putrinya saja, memangnya siapa dan darimana pemuda ini mempelajari ilmu golok itu? Mungkinkah murid penutupnya? Hal ini belum juga diketahui oleh Suhu? Aneh, biasanya kuda itu binal dan galak terhadap orang lain, kenapa dia mau tunduk pada pemuda itu." Tan Ciok-sing tetap tidak habis mengerti, sementara si pemuda sudah jauh mencongklang kuda putih itu.

Untung kuda tunggangan tentara Watsu yang jadi korban itu masih berada di sekitarnya. Tan Ciok-sing tangkap salah satu di antaranya, pikirnya: "Apapun yang terjadi, umpama Tay-tong sudah diduduki musuh, aku akan tetap kesana mencari kabar."

Karena kesampok barisan tentara Watsu ini, maka selanjutnya Tan Ciok-sing tak berani lewat jalan raya. Jalan di atas pegunungan bukan saja lebih selamat diapun dapat selalu mengamati keadaan di padang rumput nan luas terbentang sunyi itu.

Sepanjang jalan ini dia tempuh dengan perasaan kebat kebit, kira-kira dua jam perjalanan dia tetap tak menjumpai seorang manusia. Memang aneh, pasukan musuh tidak pernah dilihatnya lagi, di padang rumput nan jauh di bawah sana pun tiada gerakan apa-apa.

Tengah Tan Ciok-sing masgul, mendadak didengarnya suara berisik agak jauh di semak-semak rumput di depan sana. Jaraknya masih ratusan langkah, orang biasa tak mungkin mendengar keresekan ini, tapi kepandaian Tan Ciok-sing sudah tinggi. Lwekangnya tangguh, pendengarannya tajam, dia tahu di semak rumput sana ada orang sembunyi.

Tiba-tiba di dengarnya dari semak-semak itu seorang berbisik-bisik: "Aneh, entah dari mana datangnya bocah ini, seorang diri menunggang kuda, berani menuju ke utara, memangnya dia hendak

pergi ke Tay-tong malah?"-

seorang lagi berkata, "Peduli siapa dia dari mana, kebetulan kita bisa merampas kudanya."

Tan Ciok-sing melengak, pikirnya: "Aneh, kedua bangsa asing ini kok pandai berbahasa Han selancar ini?" tengah berpikir, "ser, ser" dua batang panah tahu-tahu sudah menyamber ke arah dirinya.

Kedua panah ini mana dapat melukainya? Sekali raih Tan Ciok-sing tangkap sebatang, sebatang yang lain sasarannya jauh menceng ke samping. Agaknya bidikan panah tentara Watsu ini terlalu rendah.

Cepat Tan Ciok-sing keprak kudanya, bentaknya: "Siapa itu yang membokong, hayo menggelinding keluar."

Dua orang yang mendekam dalam semak-semak itu segera melompat keluar, sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing, mereka memang tentara, tapi bukan tentara Watsu, sebaliknya tentara kerajaan Bing dari bangsa Han tulen.

Begitu melompat keluar kedua tentara ini menjinjing tombak terus menusuk, seorang lagi mengayun golok besar menghadang di depan terus membacok kepala kuda. Yang bersenjata golok ini tentara yang sudah berusia lanjut, lekas Tan Ciok-sing tarik tali kekang sehingga kepala kuda terhindar dari bacokan, karena terlalu bernafsu mengayun golok, tentara tua ini sampai terjerembab jatuh bergulingan.

Sungguh geli dan jengkel pula Tan Ciok-sing dibuatnya, sekenanya dia ayun dan sendai pecutnya, sekali gulung dia rampas tombak panjang tentara muda itu, "pletak" langsung dia putuskan tombak itu jadi dua, bentaknya: "Kalian tidak berani melawan kepada musuh penjajah, tapi berani menindas rakyat jelata melulu?" kutungan tombak dibuang segera dia melompat turun.

Saking ketakutan kedua tentara itu berlutut dan menyembah sambil minta ampun.

"Aku bukan rampok, aku adalah rakyat jelata. Hayo berdiri dan jawab pertanyaanku dengan betul, nanti kuampuni jiwa kalian."

Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk. Tanya Tan Ciok-sing: "Bagaimana keadaan Tay-tong?"

"Sudah diduduki musuh," jawab kedua orang seperti berlomba omong.

"Kalian baru lari dari Tay-tong?"

"Betul, kita rombongan terakhir yang meninggalkan Tay-tong."

Jauh hari sebelum ini Tan Ciok-sing sudah menduga cepat atau lambat Tay-tong pasti direbut musuh, tapi mendapat bukti dari mulut kedua tentara ini, mau tidak mau dia merasa merinding dan dongkol pula. "Tak nyana dari laksaan li dirinya ke mari, Tay-tong sudah di depan mata, namun kota yang dituju sudah terinjak-injak di bawah tapal kuda musuh.

"Kenapa tidak kulihat rombongan besar pasukan pemerintah yang melarikan diri?" tanya Tan Ciok-sing.

"Komandan kita takut mati, sebelum musuh tiba dia sudah melarikan diri diam-diam. Setelah musuh tiba di bawah tembok wakil komandan kita bersama seluruh stafnya beramai-ramai lari, sudah tentu kaum keroco seperti kita tak lagi berani bertahan menjaga kota. Kita tak berani lari ke negeri sendiri, tak berpakaian seragam tentara pula, terpaksa lari pura-pura sebagai pengungsi."

"Pasukan pemerintah takut melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, tak heran kaum penjajah bertingkah dan mengganas," demikian ujar Tan Ciok-sing

"Hohan," kata tentara tua, "kau tidak akan ke Tay-tong bukan?!"

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Aku memang hendak ke Tay-tong."

Orang tua itu terkejut, katanya: "Dalam situasi seperti ini, kau masih mau pergi ke Tay-tong? Hohan, walau kau berkepandaian tinggi. Jangan seorang diri pergi ke sarang harimau lho."

"Pepatah mengatakan tidak masuk sarang harimau, mana dapat menangkap anak harimau? Kau tak usah menguatirkan diriku. Semoga kalian selamat dan lekas sampai di rumah," habis bicara segera dia keprak kudanya berlari ke arah Utara.

Sehari penuh Tan Ciok-sing menempuh perjalanan, heran selama ini tak pernah dia kesamplok lagi dengan seorangpun, jejak musuh juga tidak kelihatan. "Mungkin setelah pasukan besar musuh menduduki Tay-tong, mereka perlu istirahat beberapa lama, maka tidak berlaju ke arah barat, pasukan kecil yang terbunuh di jalanan tadi mungkin hanyalah barisan ronda yang bertugas menyirapi situasi musuh?"

Hari kedua menjelang tengah hari, Tay-tong sudah kelihatan tak jauh di depan sana. Tan Ciok-sing berada dipuncak gunung seberang mengawasi keadaan musuh dari tempat tinggi. Dilihatnya tembok kota yang biasa ramai dan mengibarkan bendera kini kelihatan sepi dan lenggang, jangan kata bayangan manusia, bayangan binatangpun tak kelihatan. Lama dia mendekam mendengarkan suara apa-apa, tapi tiada terdengar derap kaki kuda atau adanya tanda-tanda pertempuran. Diam-diam Tan Ciok-sing menaruh curiga, pikirnya: "Memangnya kota dikosongkan sebagai muslihat menjebak musuh?"

Semula dia bermaksud masuk ke kota setelah malam tiba, kini melihat keadaan yang sepi ini timbul nyalinya, maka dia bedal kudanya turun dari gunung langsung berpacu ke bawah kota.

Semakin dekat, keadaan tetap sunyi, tiada tentara yang keluar menghalanginya, agaknya kota ini memang sudah kosong. Pintu gerbang kota juga terbentang lebar, tiada seorangpun penjaga. Tan Ciok-sing keprak kudanya masuk kedalam kota. Jalan raya sunyi senyap rumah-rumah sama tutup pintu, entah ada tidak penghuninya.

Setelah putar kayun menyusuri dua tiga jalan raya, barulah Tan Ciok-sing melihat sebuah warung teh yang setengah menutup pintu, seorang bocah bemsia dua belasan tengah longok-longok ke arah sini, lalu berpaling kedalam dan berkata: "Kek, bukan tentara asing, seorang Han yang menunggang kuda."

Tan Ciok-sing baru paham, pikirnya: "Kiranya mereka kira aku ini tentara Watsu," maka dia mendekat dan turun terus mengetuk pintu katanya: "aku datang dari selatan, mohon suka diberi air minum."

Bocah itu berkata: "Kek, sudah lama kita tidak buka warung, kebetulan ada tamu datang. Perutku memang sudah kelaparan, hayolah kita layani," maklum usianya masih kecil, dia maklum kalau berdagang pasti mendapat uang, ada uang baru bisa beli nasi.

Seorang tua membuka daun pintu yang sudah keropos, katanya dengan tawa getir: "Berdagang pula? Tuan ini, terus terang, meski sebelum ini kami buka warung, tapi sekarang daun teh pun kami tidak punya lagi. Kau minta minum, terpaksa aku hanya bisa menyuguh segelas air putih saja."

"Sehari ini aku tidak minum barang setetes air. Rasa dahaga tak tertahan lagi, terima kasih kalau Lo-tiang sudi memberi segelas air minum."

Orang tua ini memang baik hati, segera dia membawa keluar semangkok penuh air putih, katanya. "Siau-ko, kenapa dalam keadaan seperti ini kau masih datang ke Tay-tong?!"

"Hubungan putus berita tidak sampai, waktu aku berangkat, tidak tahu kalau disini sudah perang. Tapi masih untung, Tay-tong kan masih belum direbut musuh."

"Beberapa hari ini sungguh berbahaya, musuh sudah berada di bawah tembok, pasukan pemerintah sudah lari semua, pada detik kita menunggu serbuan musuh kedalam kota. Entah kenapa dalam semalam saja, musuh yang berjejal di bawah tembok ternyata sudah pergi semuanya. Ada yang bilang karena Kim-to Cecu turun gunung memutus jalan mundur mereka, mereka tidak tahu kalau pasukan pemerintah sudah merat seluruhnya, kuatir terkepung dan di tekan dari depan belakang, maka lekas-lekas mereka mengundurkan diri. Ada pula yang bilang dalam negeri mereka terjadi perebutan kekuasaan, entah mana yang betul."

"Peduli mana yang benar, kenyataan nama besar Kim-to Cecu memang menggetar nyali musuh. Pasukan musuh agaknya memang dipecah dalam jumlah banyak untuk mundur, ada juga yang terputus jalan mundurnya maka main bunuh dan mengganas terhadap penduduk."

"Betul, pasukan kecil musuh yang terpencar itu banyak yang mengganas didalam kota setelah tahu kota ini tidak terjaga, rakyat jelata menjadi korban mereka, harta benda dan rangsum mereka rampas seluruhnya," demikian tutur si kakek.

"O, kiranya begitu, banyak terima kasih akan pelayanan kakek, tiada yang dapat kubuat balasan, silahkan terima setengah karung rangsum kering ini," lalu dia buka kantong rangsum dan berkata: "Adik cilik, nah cobalah kamu akan ini."

Bercahaya mata bocah yang sudah kelaparan ini, teriaknya: "Waduh wanginya. Hore, aku dapat kue bolu, aku dapat kue bolu Kek, kau pun makanlah setengah."

"Air semangkok terhitung apa," ucap si kakek. "Siau-ko, mana berani aku terima kebaikanmu ini?"

"Terus terang, rangsum kering ini sebetulnya bukan milikku," ujar Tan Ciok-sing geli.

Si kakek melengak, hati curiga tapi dia tidak berani tanya, adalah si bocah yang tidak tahu urusan segera berdiri dan tanya: "Wah, jadi hasil rampasan? Kalau kau merampas milik orang lain, tak berani aku memakannya."

"Bukan hasil rampasan," kata Tan Ciok-sing, "di tengah jalan ada kesamplok pasukan kecil musuh, tapi musuh yang sudah mati maka rangsum mereka aku ambil."

"Siapa yang membunuh mereka?" tanya si bocah terbelalak.

"Entahlah, kulihat ada delapan mayat musuh menggeletak di tanah berumput, kuda mereka berpencar makan rumput. Setelah mengumpulkan rangsum mereka, aku ambil seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan."

Bocah itu berjingkrak sambil tepuk tangan: "Pasti anak buah Kim-to Cecu yang mengganyang mereka."

"Jadi barang milik Watsu, hayolah kita sikat saja," seru si bocah lalu mengganyang kue bolu itu dengan lahapnya.

"Siau-ko, sungguh baik hati, entah bagaimana aku harus membalas kebaikan ini. Adakah sesuatu yang perlu kubantu? Oh, ya, aku belum sempat tanya, logatmu dari luar daerah, untuk apa kau menempuh bahaya datang ke Tay-tong?"

"Aku mendapat pesan dan titipan seorang kenalan untuk mencari seseorang disini."

"Entah siapa yang Siau-ko cari?"

"Di kota Tay-tong ini ada seorang In Tayhiap In Hou, apakah Lo-tiang kenal dia?"

"Mana mungkin kita tidak kenal In Tayhiap," sela si bocah, "waktu kecil pernah aku melihatnya. Rumah mereka tidak jauh dari sini, belok ke kiri di ujung jalan raya itu lalu tiba di persimpangan jalan di depan pintunya terdapat sepasang batu singa besar, nah itulah rumahnya. Aku bisa antar kau kesana."

"Jadi kau hendak mencari In Tayhiap? Sayang sudah tiga tahun In Tayhiap tidak pulang."

"Apakah In-hujin tak di rumah?"

"In-hujin?" si kakek melengak, "In-hujin yang kau tanyakan? Masa kau belum tahu?"

"Tahu apa?" balas tanya Tan Ciok-sing.

"Maaf akan kelancangan Lo-han, siapa yang suruh kau kemari mencari In Tayhiap?!"

"Aku adalah salah seorang pembantu yang bekerja di istana keluarga Toan di Tayli atas perintah Siau-ongya, aku disuruh menyambut keluarga In Tayhiap untuk mengungsi ke Tayli."

Kakek ini tahu bahwa keluarga In memang ada hubungan keluarga dengan keluarga Toan di Tayli, tapi hubungan tidak sering, maka dalam hati dia membatin: "Mungkin keburukan keluarga pantang tersiar keluar, soal itu tentu tak pernah dibicarakan In Tayhiap dengan keluarga Toan. Atau mungkin juga pernah dibicarakan, namun Siau-ongya itu tentu takkan memberi penjelasan pada bawahannya. Setiba disini setelah tahu In Tayhiap tiada di rumah, adalah jamak kalau dia menanyakan In-hujin."

"Jadi In-hujin juga tidak di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.

"Sejak beberapa tahun lalu In Tayhiap sudah berpisah dengan istrinya," demikian ujar kakek tua.

“Lho, kenapa?!" tanya Tan Ciok-sing kaget.

Kakek itu geleng-geleng, katanya: "Aku mana tahu. In Tayhiap sering minum-minum di warungku ini, urusan pribadinya sudah tentu tidak aku tanyakan," seakan-akan dalam persoalan ini ada rahasia tertentu yang pantang diucapkan.

Sebelum ajal In Hou berpesan supaya Tan Ciok-sing pulang ke rumah memberi kabar kepada puterinya, sejauh itu tidak pernah menyinggung isterinya. Demikian pula suhunya Thio Tan-hong juga berpesan supaya Ceng-bing-kiam diserahkan pada putri In Hou, tidak membicarakan isteri In Hou. Maklum hanya setengah hari Tan Ciok-sing kumpul dengan gurunya yang sudah dekat ajal. Adalah logis, kalau dia tidak tahu apa-apa tentang seluk beluk keluarga In. Kini melihat sikap dan tutur kata laki-laki tua ini ada sesuatu yang kurang beres, maka dia tidak mendesak lebih lanjut. Tapi tujuan kedatangannya ini adalah mencari In San, maka jejak dan berita mengenai In San harus diselidiki.

"Kabarnya In Tayhiap punya seorang putri, entah adakah dia di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.

"Tak pernah kudengar bahwa nona In pernah meninggalkan rumah, selama belasan hari ini semua penduduk sama menutup pintu, mana berani mencampuri urusan orang lain. Apa dia masih ada di rumah, kami juga tidak tahu."

"Apa susahnya untuk cari tahu dia di rumah atau tidak," sela si bocah, "hayo kuantar kau ke rumahnya kan beres."

"Terima kasih adik cilik akan kebaikanmu, tak usah ikut repot-repot, alamat sudah kau jelaskan, aku bisa mencarinya sendiri. Cuma titip kuda ini dan sukalah kalian merawatnya baik-baik."

"Itu mudah," ujar si kakek, "makanan untuk manusia memang kami tidak punya, tapi di kebun pun banyak tumbuh sayuran dan rumput liar, soal makan untuk kuda tidak perlu dikuatirkan."

Setelah pamitan Tan Ciok-sing segera meninggalkan warung teh dan menuju ke alamat seperti yang diterangkan si bocah. Pada persimpangan jalan di ujung jalan raya pada putaran kedua memang terdapat sebuah rumah gedung dengan pintu gerbang lebar diluar pintu terdapat sepasang batu singa besar. Cuma letak dan arah sepasang batu singa ini kelihatan rada ganjil.

Umumnya sepasang singa ini ditaruh dalam posisi yang sama dengan arah yang sama pula tapi sepasang singa yang dilihat Tan Ciok-sing sekarang justeru agak aneh. Kepala batu singa sebelah kanan tertuju ke tengah jalan, sebaliknya singa batu di sebelah kiri justru terbalik, pantatnya yang terarah ke jalan raya, kepalanya terarah ke pintu besar.

Tan Ciok-sing berjingkat, pikirnya: "Siapa yang berbuat segila ini? Tapi tenaganya sungguh luar biasa, bahwa dia berani unjuk kekuatan di depan rumah In Tayhiap, tentunya bukan ingin melakukan tantangan belaka," lalu dengan seksama dia maju memeriksa, singa batu sebelah kanan memang tetap pada letaknya, tapi pada badan singa batu terdapat dekukan cap telapak tangan, memang tidak dalam tapi kelihatan cukup jelas. Tan Ciok-sing curiga dan ragu-ragu, pikirnya pula: "Bahwa orang ini berani pamer kepandaian di depan seorang ahli, pasti maksudnya tidak baik. Apakah nona In kini sudah dikerjai musuh?"

Saat mana hari sudah menjelang magrib. Tan Ciok-sing mendekati pintu menggedor cukup keras, tapi ditunggu-tunggu tiada orang membuka pintu. Maka hati Tan Ciok-sing semakin gelisah. "Nona In, aku mendapat titipan dari ayahmu. Kubawa golok pusaka ayahmu sebagai bukti, harap kau suka buka pintu," demikian teriaknya menggunakan Iwekang tinggi, suaranya tidak keras tapi dapat tersiar cukup jauh, kalau didalam ada orang pasti mendengarnya. Tapi beruntun tiga kali berkaok-kaok, didalam tetap sunyi dan tiada reaksi.

Kuatir putri In Hou mengalami musibah, dia tidak hiraukan adat istiadat lagi, segera dia kembangkan ginkang melompat ke atas tembok terus melayang kedalam hendak memeriksa keadaan didalam.

Didalam sepi tak tampak bayangan seorangpun, tapi tak kelihatan ada mayat disini, diam-diam lega juga hati Tan Ciok-sing. Setelah memeriksa ruang tamu, kamar buku dan sebuah kamar tidur yang mungkin di tempati I n Hou semasa masih hidupnya, keadaan rumah dalam keadaan rapi dan teratur baik, tiada tanda-tanda keributan. Akhirnya dia tiba di depan sebuah kamar yang mungkin di tempati oleh nona In. Daun pintu hanya dirapatkan, masih tercium bau harum dari sisa-sisa asap dupa yang keluar dari sela-sela pintu. Pikir Tan Ciok-sing: "Pasti inilah kamar tidur nona In, pantaskah aku masuk kedalam?" pelan-pelan dia mengetuk pintu, tetap tiada jawaban.

Tan Ciok-sing membesarkan hati, pelan-pelan dia dorong daun pintu lalu melongok kedalam kerai di belakang pintu setengah tergulung, kelambu menjuntai turun, seprei dan kemul serta bantal guling tetap rapi, meja dan jendeia bersih mengkilat tiada debu. Meja bundar di bawah jendela itu terbuat dari batu marmer hijau mulus, di atas meja terdapat pedupaan, sisa api masih menyala. Melihat gelagatnya penghuni kamar ini belum lama keluar dan sebentar lagi akan kembali.

Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Kalau musuh In Tayhiap kemari, pasti ada tanda-tanda perkelahian didalam rumah. Demikian pula bila nona In ketangkap musuh, sedikitnya dia pasti melawan dan keadaan kamar tentu morat-marit."

Di kala Tan Ciok-sing kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, mendadak didengarnya suara seorang perempuan memanggil dengan tertahan: "San-ji, San-ji, San-ji."

Karuan Tan Ciok-sing terperanjat, batinnya: "Mungkinkah ln-hujin telah kembali? Bila dia melihat aku berada di kamar putrinya, wah, berabe..." sesaat dia jadi melongo kebingungan, apakah dia harus lari keluar atau sembunyi saja.

Belum lagi dia berkeputusan, didengarnya perempuan diluar itu menghela napas panjang, katanya rawan: "San-ji, apa kau tidak hiraukan ibumu lagi aku datang minta pengampunanmu," memang tidak salah dugaannya, yang datang memang ibu In San. Setelah memasuki kamar In San, Tan Ciok¬ sing hanya merapatkan daun pintunya saja. Langkah perempuan itu semakin dekat akhirnya berada di depan kamar. Tapi dia tidak segera mendorong pintu.

"Kembali In-hujin berkata dengan suara lirih: "San-ji, kau membenciku, aku tidak menyalahkan kau, dulu memang aku yang salah. Tapi setiap detik aku selalu merindukan kau. Kini sengaja aku kemari mencarimu, apa kau tidak sudi keluar menemuiku?"

Tan Ciok-sing memang belum tahu akan seluk beluk kehidupan keluarga In, namun sedikit banyak dia tahu adalah pantang dirinya mencari tahu rahasia keluarga orang lain. Jikalau sampai konangan bahwa dirinya tahu liku-liku kehidupan keluarga lain bisa-bisa dirinya celaka. "Tak heran kakek penjual teh itu ragu-ragu waktu membicarakan tentang In-hujin, agaknya perpisahan antara In Tayhiap dengan isterinya, memang berlatar belakang jelek." Demikian pikir Tan Ciok-sing karena itu dia sadar dirinya tidak boleh keluar.

Tidak mendengar jawaban, In-hujin berpikir: "Biar kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada dia," maka dia berkata pula: "San-ji, aku membawa berita ayahmu, terserah kau mau mengakui diriku atau tidak, kau akan kubawa pergi dari sini. Karena ayahmu sudah tidak bisa merawatmu lagi," tiba-tiba dia kertak gigi terus mendorong pintu.

Di saat In-hujin mengutarakan isi hatinya ini, benak Tan Ciok-sing sudah berputar bolak-balik, semula dia hendak sembunyi, tapi akhirnya dia berpikir: "Dia tahu berita apa tentang suaminya? Aku harus tanya jelas kepadanya. Dan lagi tujuanku kemari adalah mengembalikan barang peninggalan In Tayhiap, tidak ketemu putrinya kuserahkan kepada isterinya kan juga sama saja. Walaupun dia sudah berpisah dengan In Tayhiap, kenyataan kan dia tetap ibu In San," di kala dia hendak bersuara itulah tiba-tiba daun pintu sudah didorong terbuka.

Mendadak melihat seorang pemuda sembunyi di kamar putrinya, karuan In-hujin kaget. Baru saja Tan Ciok-sing sempat berucap "aku", tiba-tiba dilihatnya cahaya kemilau dingin sudah menyamber tiba, In-hujin telah menusuknya dengan pedang.

Sebat sekali Tan Ciok-sing mengegos ke samping, di saat In-hujin melengak, sebat sekali dia berkelebat lewat samping tubuhnya. Gerakannya boleh dikata cukup cepat sementara perasaan In-hujin juga tergoncang, tapi dimana ujung pedang menyamber, lengan bajunya tak urung terpapas sebagian, untung tidak melukai kulit dagingnya.

Tersipu-sipu Tan Ciok-sing berseru: "Aku bukan orang jahat, aku kemari atas perintah In Tayhiap."

Belum habis dia bicara bagai bayangan mengikuti bentuk aslinya In-hujin sudah memburu tiba, "Sret" kembali pedangnya menusuk, dampratnya:

"Memangnya In Hou suruh kau masuk ke kamar putrinya? Sekarang waktu apa? Kau masuk ke rumah orang tanpa permisi, kalau bukan rampok pasti pemerkosa," di kala bicara In-hujin melancarkan delapan jurus serangan, sinar pedangnya menembus ke kanan menyelinap ke kiri, sedikit lengah Tan Ciok-sing pasti dihiasi lobang pada tubuhnya.

Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing melolos golok pusaka In Hou: "Harap Pek-bo mendapat tahu..."

"Siapa Pek-bomu?" hardik In-hujin.

Tan Ciok-sing memutar golok mengetuk pedang orang, katanya: "In-hujin, kau tidak percaya akan diriku, tentunya kau percaya akan golok ini, inilah golok pusaka milik In Tayhiap, tentunya Hujin mengenalnya baik. In Tayhiap suruh aku membawanya ke mari sebagai tanda pengenal."

Mendengar perobahan panggilan Tan Ciok-sing, seketika merah muka In-hujin, pikirnya: "Apa yang kuucapkan tadi, tentunya sudah didengar seluruhnya oleh bocah ini," tiba-tiba alisnya tegak matanya mendelik, hawa nafsu berkobar dalam benaknya, dengan jurus Giok-li-coan-so, mendadak dia menusuk dari arah yang tak pernah diduga oleh Tan Ciok-sing.

Bagaimana juga Tan Ciok-sing takkan berani menggunakan golok pusaka untuk memapas pedang lawan, tapi jurus serangan mendadak ini bukan saja keji tapi juga liehay, demi menyelamatkan diri, tak sempat dia banyak pikir menguatirkan segala sesuatunya lagi. Untung dia sudah meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, ilmu pedang yang khusus diciptakan untuk menghadapi segala perubahan situasi. In-hujin melancarkan serangan mematikan ini dia kira Tan Ciok-sing takkan mampu meloloskan diri, tak nyana pada detik-detik ujung pedangnya hampir menusuk tubuh orang tahu-tahu "Cret" Ceng-kong-kiam di tangannya telah kutung jadi dua, pada hal Tan Ciok-sing hanya berputar sambil menggerakkan golok pusaka itu, maklum Tan Ciok-sing telah melansir gerakan Bu-bing-kiam-hoat kedalam permainan golok.

"Harap Hujin suka memaafkan," ucap Tan Ciok-sing. "Sesungguhnya memang In Tayhiap yang menyuruhku kemari..."

"Nanti dulu, siapa namamu?" tanya In-hujin.

Tan Ciok-sing kira orang sudah mau mendengar laporannya, maka dia masukkan golok kedalam sarungaya, katanya: "Wanpwe Tan Ciok-sing, bertempat di Kwi-lin..."

Berubah air muka In-hujin, bentaknya: "Ternyata memang benar kau keparat ini."

"Wut" pedang kutung di tangannya tahu-tahu ditimpuk dengan deru angin kencang menerjang ke dada Tan Ciok-sing.

Untung Tan Ciok-sing cepat berkelit, dengan gerakan Hong-tiam-thau, pedang kutung itu menyamber lewat serambut di atas kepalanya. Teriaknya dengan tersirap: "In-hujin, aku sudah bicara baik-baik, kenapa kau, kau..."

Beringas pucat wajah In-hujin, beruntun dia batuk-batuk, sambil batuk sambil berkata putus-putus: "Kau keparat ini, kau kira aku tidak tahu? Kau sudah membunuh In Hou, berani ke mari hendak menipu aku. Hm, goloknya itu sudah kau curi dan kini kau gunakan pada diriku, memangnya kau kira aku takut, nah rasakan kelihayanku."

Bingung dan heran Tan Ciok-sing dibuatnya, batinnya: "Kemarin pemuda itu seketika naik pitam setelah aku memperkenalkan diriku, menuduhku sebagai pembunuh In Tayhiap. Sekarang demikian pula sikap In-hujin. Siapakah yang memfitnahku? Kenapa pula mereka begitu percaya akan fitnah pada diriku, hakikatnya aku tidak diberi kesempatan membela diri?"-Lekas sekali

dia pun sudah tahu duduk perkaranya: "Agaknya In-hujin memperoleh kabar bahwa akulah yang mencelakai jiwa In Tayhiap."

Batuk In-hujin tidak berhenti, seperti orang yang sedang sakit umumnya, keadaannya sebetulnya lemah, tapi gerakannya teramat cepat, di tengah batuknya itu dia mencopot kain ikat pinggang, bagai ular sakti ikat pinggangnya ini berputar menari dan bergulung-gulung, sambil memaki kain sutra merah di tangannya itu berusaha membelit golok Tan Ciok-sing, maksudnya hendak merebutnya.

Jangan pandang enteng kain lemas panjang ini, karena di bawah permainan In-hujin ternyata mengeluarkan deru angin yang kencang bagai lesus, perbawanya tidak kalah dari sebatang ruyung lemas, malah lebih lincah dan sukar dilayani. Dua jurus serangan dapat dihindarkan, tapi jurus ketiga gerakan Tan Ciok-sing sedikit ayal, ujung kain menyerempet ujung hidungnya, rasanya pedas dan panas. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing tarikan goloknya untuk menangkis. Tapi kain selendang lemas itu justru bergerak mengikuti gerakan goloknya, naik turun seperti burung hong terbang, sedikitpun tidak kuasa untuk membendung gerakannya. Bahwasanya golok pusaka ini tajamnya dapat mengiris besi, tapi sekarang tak kuasa memapas selendang sutra ini, lebih sulit dihadapi lagi karena permainan selendang sutra In-hujin mengkombinasikan tenaga lunak dan keras, sesekali dia harus waspada jikalau tidak mau kepalanya kena dikemplang.

Apa boleh buat Tan Ciok-sing keluarkan pula Pek-hong-kiam pemberian Thio Tan-hong, dengan golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, dia melibat dirinya didalam cahaya pedang dan sinar golok, kini keadaannya agak mending, tapi paling hanya mampu bertahan membela diri, hakikatnya tak mampu balas menyerang.

In-hujin menjengek dingin: "Kiranya kau keparat cilik ini juga berhasil menipu pedang pusaka Thio Tan-hong."

Kecut tawa Tan Ciok-sing, katanya: "Cara bagaimana baru kau mau percaya padaku? Ketahuilah Thio Tayhiap adalah guruku, Pek-hong-kiam ini adalah pusaka perguruan yang diwariskan padaku, masih ada sebatang Ceng-bing-kiam..."

"Untuk putrimu", belum sempat dia ucapkan, tahu-tahu pergelangan tangan terasa kesemutan, golok pusaka di tangan kiri sudah tergulung lepas dari cekalannya, sekali sendai dan dorong golok yang tergulung di ujung selendangnya dia timpuk balik, karena sibuk mempertahankan diri, Tan Ciok-sing tidak sempat berbicara lagi.

"Trang" golok dan pedang beradu, sama-sama senjata pusaka maka meletiklah kembang api, untung pedang dan golok tiada yang gumpil. Golok

berkerontangan jatuh di lantai, selendang In-hujin kembali hendak membelit pedang pusakanya. Hanya bersenjata pedang, meski ilmu pedangnya liehay, karena kurang pengalaman, lambat laun Tan Ciok-sing semakin kerepotan.

Di tengah pergulatan antara permainan pedang melawan selendang sutra lemas itu, Tan Ciok-sing mendengar batuk In-hujin semakin keras dan memanjang, agaknya keadaannya juga semakin payah.

Terpaksa Tan Ciok-sing boyong seluruh kepandaiannya, beberapa jurus dia berhasil punahkan serangan In-hujin, sedikit peluang segera dia berseru: "In-hujin, kau sedang sakit bukan? Sukalah kau berhenti dulu, biar aku bicara beberapa patah? Jelas aku takkan bisa lolos, kaupun bisa beristirahat."

Maksudnya baik, tak tahunya mendadak In-hujin menyerang lebih gencar dan berantai, "Tang" akhirnya Pek-hong-kiam di tangan kanan Tan Ciok-sing kena dibelit dan terlepas dari cekalannya. Begitu pedang dikipatkan dan terlempar di pojok kamar, sekali membalik pergelangan tangan pula, ujung selendang itu selincah ular tahu-tahu membelit leher Tan Ciok-sing, seperti ular hidup saja lilitan selendang sutra atas lehernya ini semakin mengencang, hanya sekejap Tan Ciok-sing sudah megap-megap hampir putus napas.

Diam-diam Tan Ciok-sing mengeluh: "Tak nyana hari ini jiwaku amblas di tangan In-hujin secara penasaran," meski dia sudah dalam keadaan kepepet, secara reflek adalah jamak kalau dia berusaha membebaskan diri.

Sekejap lagi pandangan Tan Ciok-sing sudah mulai gelap, kepalanya berkunang-kunaang pusing tujuh keliling, tenaga untuk merontapun sudah tiada lagi. Insaf bahwa jiwa sendiri bakal melayang, tiba-tiba di dengarnya In-hujin batuk-batuk pula beberapa kali, entah mengapa, selendang yang membelit lehernya perlahan-lahan mengendor.

Sukma Tan Ciok-sing boleh dikata sudah putar balik dari sorga dunia pula, agak lama baru dia bisa memulihkan kesadarannya, waktu dia membuka mata, dilihatnya In-hujin juga mendeprok di lantai, wajahnya pucat pias, darah meleleh di ujung bibir, darah tampak pula berceceran di lantai.

Lekas Tan Ciok-sing tenangkan diri, hawa murni dikerahkan berputar tiga lingkaran, lekas sekali dia sudah memulihkan beberapa bagian tenaga dan semangatnya, lalu perlahan-lahaan menghampiri In-hujin.

"Kau, kau bunuh aku saja," desis In-hujin geram.

"Aku kemari bukan untuk membunuhmu," sahut Tan Ciok-sing.

"Barusan hampir saja aku membunuhmu, kini aku sudah tiada tenaga melawan, kenapa tidak kau membunuhku?"

"Hujin hendak membunuhku, mungkin karena salah paham. Memangnya aku juga harus bertindak semberono tanpa memandang baik buruk dan benar salahnya?"

Sudah tentu In-hujin tidak percaya akan ketulusan hatinya, jengeknya: "Muslihat apa pula yang hendak kau lakukan?"

Tan Ciok-sing tidak banyak bicara lagi, dia pungut dulu golok dan pedang pusaka dimasukan ke sarung lalu mengangsurkan golok pusaka itu ke tangan In-hujin, setelah orang menggenggam gagang golok pelan-pelan dia menariknya bangun.

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya In-hujin.

"Mari kubimbing Hujin rebah di atas pembaringan, lantai ini lembab dan dingin, tidak baik untuk kesehatan."

Meski tidak percaya bahwa Tan Ciok-sing ternyata sebaik ini hatinya, namun dia sendiri toh harus pikirkan kesehatan, di luar sadarnya dia genggam gagang golok lebih erat lalu beranjak ke pembaringan dengan golok sebagai tongkat.

In-hujin rebah di atas pembaringan putrinya, katanya: "Baiklah, ada omongan apa boleh kau katakan kepadaku sekarang," dalam hati dia membatin: "Biar kudengar obrolan manis apa yang hendak dia sampaikan untuk menarik simpatikku?"

"Jangan tergesa-gesa, sekarang kau belum boleh banyak pikir, setelah keadaanmu lebih baik saja. In-hujin sukalah kau beritahu padaku, penyakit apakah yang kau idap? Apa kau ada membawa obat?"

Melihat sikap orang jujur dan bicara setulus hati, bukan pura-pura dan munafik, rasa curiganya dengan sendirinya mulai berkurang, katanya setelah menghela napas: "Penyakitku ini tak kan bisa diobati lagi, kau tidak perlu memeras keringat."

"Sukalah kau ulurkan tanganmu," pinta Tan Ciok-sing.

"Untuk apa?" tanya In-hujin melengak.

"Wanpwe pernah belajar ilmu pengobatan, meski masih cetek, maksud Wanpwe hendak memeriksa nadi Hujin."

Pikir In-hujin: "Kalau dia mau bunuh aku sejak tadi jiwaku sudah melayang, buat apa pakai main sandiwara segala," maka dia ulurkan tangannya, tiga jari Tan Ciok-sing segera menekan urat nadi pergelangan tangannya. Bagi kaum persilatan bila urat nadi penting ini sampai tercengkeram oleh lawan, itu berarti menyerahkan jiwa raga sendiri kepada musuh. Meski In-hujin yakin Tan Ciok-sing tidak bermaksud jahat, namun hatinya kebat-kebit juga.

Agak lama Tan Ciok-sing memeriksa urat nadi lalu memejam mata menepekur. In-hujin berkata: "Aku tahu penyakitku ini takkan bisa sembuh dan tinggal menunggu waktu saja, untuk ini boleh kau berterus terang kepadaku saja."

Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya: "Kau adalah angkatan tuaku, untuk menyembuhkan penyakit ini, maaf kalau aku tidak memakai peradatan lagi." Pelan-pelan dia membalikkan tubuh In-hujin. Sudah tentu In-hujin kaget, serunya dengan suara berat: "Kau, apa yang kau lakukan?"

Tan Ciok-sing tidak bicara, tangan kanan diulurkan menempel di punggung orang terus menyalurkan Iwekang ke tubuh orang, bantu melancarkan jalan darah yang terganggu dan tersumbat, Tan Ciok-sing sudah memperoleh ajaran murni Iwekang Thio Tan-hong, meski terbatas waktu sehingga latihannya belum sempurna, tapi Iwekang murni dari aliran lurus ini sungguh luar biasa. Sebentar saja terasa oleh In-hujin segulung hawa panas timbul dalam pusarnya. Sebagai ahli silat sudah tentu dia tahu babwa Tan Ciok-sing sedang mengobati penyakitnya secara jujur dan bajik.

Diam-diam dia menyesal akan kecurigaan dirinya terhadap kebaikannya. Pikirnya: "Baru saja dia bertempur dengan aku, hampir tercekik mati pula, namun dia masih sudi menguras hawa murninya untuk membantu aku menembus urat nadi yang buntu, sungguh memalukan kalau aku curiga padanya malah," tanpa terasa air matanya bercucuran, katanya sesenggukan: "Kau sudah berusaha sekuat tenaga, tapi usahamu tak kan berhasil. Jangan kau menguras hawa murnimu demi diriku."

"In-hujin kau masih ada harapan sembuh. Jangan banyak pikiran, lekas himpun hawa murni kedalam pusar."

Beberapa kejap lagi didengarnya, In-hujin merintih-rintih kesakitan, teriaknya: "Panas, panas, mampus aku karena kepanasan, aku, aku tidak kuat lagi." Ternyata hawa murni yang dihimpun In-hujin tidak bisa disalurkan secara semestinya sementara Tan Ciok-sing hanya mengandalkan kekuatan Lwekang sendiri juga tak kuasa menembus Ki-king-pat-meh. Pikiran In-hujin tidak tenang lagi, maka hanya hawa api semakin membara dalam tubuh.

Setelah bertempur tadi Tan Ciok-sing juga kehabisan tenaga, kini harus menguras lwekang untuk menyembuhkan penyakit In-hujin pula, keadaannya boleh dikata sudah lunglai.

Di kala Tan Ciok-sing kehabisan daya, tiba-tiba dia teringat cara kakeknya dulu waktu menyembuhkan In Tayhiap pernah mempergunakan petikan lagu Khong-ling-san bagian pertama, meski belakangan In Tayhiap mati karena serbuan kawanan penjahat, bahwasanya usaha penyembuhan dengan irama musik itu semestinya berhasil, karena mendapat bantuan petikan harpa itu In Hou berhasil memulihkan beberapa bagian tenaganya.

"Kenapa tidak kucoba?" demikian batin Tan Ciok-sing, "walaupun kemampuanku belum memadai kakek, mungkin, aku masih mampu menenangkan gejolak perasaannya." Lekas Tan Ciok-sing menyulut dupa wangi, lalu menaruh harpa antik di atas toilet, irama musik nan merdu seketika bergema seiring dengan jarinya yang bergerak lincah di atas senar harpa.

Laksana hembusan angin sepoi di musim panas, seperti menemukan air di tengah padang pasir nan panas terik. Mendadak In-hujin merasa seperti diguyur air dingin, badannya kepanasan lekas sekali terhembus lenyap oleh semilirnya alunan musik, bara didalam hatipun seketika padam tersiram oleh sumber air nan dingin.

Bagian pertama Khong-ling-san mengisahkan kenangan terhadap seorang sahabat baik. Tapi In-hujin justeru terkenang pada masa lalu, masa remajanya nan riang dan gembira, terkenang pada malam pertama dirinya menikah mengecap kebahagiaan rumah tangga. Waktu itu dia puas bahwa sang suami adalah seorang gagah, meski sesewaktu dia pun teringat pada seorang pemuda lain yang pernah juga mengetuk sanubarinya.



000OOO000



Layar kenangan mulai tersingkap. Delapan belas tahun yang lalu, dirinya masih sebesar putrinya sekarang. Ayahnya adalah wakil komandan dari pasukan bayangkari, sedang In Hou adalah putra In Jong yang pernah merebut Bu-conggoan. Kedua keluarga sembabat berhubungan intim 'agi, maka pada waktu dirinya berusia enam belas, atas putusan kedua orang tuanya, mereka dinikahkan.

Tapi ada pula seorang laki-laki lain yang memuja dan mengejar-ngejar dirinya. Dia bernama Liong Bun-kong, putra tunggal Liong Yau-wa yang berpangkat sekretaris militer. Seperti juga In Hou, Liong Bun-kong berperawakan gagah, tampan dan romantis, ilmu silatnya memang bukan tandingan In Hou, tapi dia lebih pandai main aksi dan merayu perempuan. Ayahnya sebagai sekreteris militer, pada hal dia lulusan sekolah sastra.

Kedua laki-laki ini sama-sama sudah dikenalnya baik sebelum pertunangan diresmikan. Tapi dinilai keadaan waktu itu, dia lebih cenderung untuk mencintai In Hou. Pada usia delapan belas dia menikah, betapa riang gembira pada hari-hari pertama sejak pernikahan itu, sampai hari ini setelah delapan belas tahun berselang, hatinya masih merasakan manis mesra.

Tahun kedua dia melahirkan seorang orok mungil perempuan, bayangan Liong Bun-kong hakikatnya sudah tawar dan lenyap dari benaknya. Dia sudah cukup puas hidup dalam ketenangan sebagai nyonya muda yang diladeni, dengan sepenuh hati dia merawat dan mengasuh putrinya yang masih kecil. Hanya ada satu hal yang kurang memuaskan hatinya, yaitu suaminya tidak berusaha untuk mengejar kedudukan di kalangan pemerintahan, meski ayahnya seorang Bu-conggoan, namun dia tidak sudi memperjuangkan pangkat dan kedudukan di bawah naungan kebesaran nama ayahnya atau dengan bekal kepandaian sendiri.

Sayang sekali kehidupan romantis nan bahagia ini tidak berlangsung lama, terjadi suatu perubahan pada keluarga In, sementara dia sendiripun mulai merasakan ujian nan berat didalam gelombang perjalanan hidup yang penuh liku-liku ini.

Karena amat kecewa dan menentang kemerosotan wibawa kerajaan, In Jong tidak mau menaruh dirinya didalam kalangan dorna yang berkuasa di istana, sehingga suatu ketika dia dianggap menyalahi Ong Tin, thaykam yang paling berkuasa pada waktu itu, insaf bahwa dirinya sewaktu-waktu mungkin terancam bahaya In Jong tahu dirinya takkan lama lagi berpijak di istana, maka dia meletakkan jabatan pulang ke kampung halaman Karena selalu memikirkan keselamatan negara serta keselamatan keluarga, di hari tuanya dia jatuh sakit sampai akhir hayat loyalitasnya terhadap kerajaan tak pernah luntur.

In Hou suaminya setelah kematian sang ayah, tiada minatnya meneruskan cara perjuangan ayahnya, dia lebih senang menggunakan caranya sendiri bergaul dengan kaum pendekar dalam kalangan Kangouw, lebih celaka lagi di antara sekian banyak kawan-kawan Kangouwnya itu, ada seorang yang bernama Ciu-San-bin justru dicap "pemberontak" dan menjadi buronan pemerintah.

Bahwa In Hou bergaul dengan kaum persilatan, adalah jamak kalau dia sendiri harus berkecimpung di Kangouw pula. Dia merupakan pembantu utama dari Kim-to Cecu Ciu San-bin, mengemban tugas berat sebagai kurir untuk menarik simpatisan dan para patriot bangsa, maka jarang dia berada di rumah, lebih banyak waktunya berada diluar menunaikan tugas. Mengikuti perubahan kehidupan ini, hubungan mesra suami istripun mulai renggang. Adalah logis kalau dia tidak senang hati karena suami jarang di rumah. Meski dalam hati dia maklum bahwa sang suami masih amat mencintainya seperti malam pertama pernikahan mereka dulu. Dan yang lebih penting lagi adalah dia tidak suka hidup didalam suasana kebat-kebit yang selalu diburu dan dibayangi ketakutan, sudah tentu dia lebih tidak suka ikut suami keluntang-keluntung dalam kehidupan Kangouw. Hatinya selalu was-was, bila suatu ketika pihak kerajaan tahu bahwa suaminya merupakan duta penting Kim-to Cecu, akan datang suatu hari, mereka suami istri akan dipaksa mengembara di kalangan Kangouw.

Maka timbullah kenangan masa lalu dimana kehidupan nan tenang di kota raja serba berkecukupan lagi, mau tidak mau bayangan Liong Bun-kong yang romantis dan tampan itu kembali timbul dalam benaknya, dalam impiannya pula.

Bahwa sebagai istri dia menentang jalan hidup yang ditempuh suaminya, apalagi ayahnya yang semakin berkuasa dan gila harta dan pangkat ini, dia lebih kurang senang mempunyai seorang menantu yang tidak suka maju malah terima menjebloskan diri kedalam lumpur kenistaan. Maka pada suatu hari waktu dia pulang ke kandang orang tuanya, ayahnya tak mau melepasnya pulang ke rumah suaminya. Dan apa boleh buat dia sendiripun suka rela menetap di rumah orang tuanya.

Selama ini Liong Bun-kong masih membujang, mendapat tahu bahwa dia kembali ke rumah orang tua, dua tiga hari dia pasti datang berkunjung. Kini ayahnya sudah naik pangkat lebih tinggi pula, di kalangan militer Liong Bun-kong juga sudah memperoleh pangkat yang tidak rendah di bawah naungan orang tuanya.

Ternyata ayah bundanya ketarik dan sering memuji Liong Bun-kong di hadapan putrinya, sementara sikap Liong-kongcu tak pernah luntur, dia tetap ramah dan menaruh hati serta memperhatikan segala kebutuhannya.

Setelah meninggalkan suami sudah tentu merasa kesepian, terhibur juga akhirnya setelah ada pemuda tampan kaya raya dan romantis lagi selalu menghibur dirinya. Lambat laun hubungan mereka semakin intim, pergi tamasya, berlatih silat bersama pula.

Walau hubungannya dengan Liong Bun-kong semakin intim, tapi dia tidak pernah melupakan suaminya, dan tak pernah dia melanggar tata susila atau melakukah sesuatu yang mendurhakai suami. Bahwa ayah bundanya selalu memuji Liong-kongcu setinggi langit di hadapannya, mereka tak pernah memaksa atau menganjurkan dirinya untuk menikah lagi.

Tanpa terasa dua tahun dia hidup di rumah orang tuanya, kini putrinya sudah berusia tujuh tahun. Dalam dua tahun ini pernah beberapa kali timbul niatnya untuk pulang ke rumah suaminya, tapi ayah bundanya selalu menahannya dengan berbagai alasan. Ibunya berkata: "Kalau suamimu masih mencintaimu, sepantasnya dia datang menjemput kau pulang. Kenyataan dia tidak pernah datang, berarti dia tidak hiraukan dirimu lagi."

Dipikir-pikir memang beralasan, dia ingin menguji suami, maka dia berkeputusan menunggu suaminya datang menjemput dirinya. Tapi dua tahun lamanya, suaminya tidak pernah datang menjemput. Tapi dia juga pernah pikir, mungkin sang suami takut bila kerajaan tahu akan hubungan dirinya dengan Kim-to Cecu, maka dia tidak berani masuk ke kota raja? Sudah tentu tak pernah dia utarakan rahasia suaminya ini terhadap kedua orang tuanya, pernah juga dia coba-coba mengorek keterangan ayahnya, agaknya beliau belum tahu bahwa suaminya ada hubungan dengan Kim-to Cecu.

Namun dia berpikir pula, bila suaminya masih mencintai dirinya, meski menempuh bahaya pasti juga datang. Umpama kata amat berbahaya, paling tidak kan mengirim kabar atau surat. Maklum kalau dia ngambek dan amat dongkol, akhirnya tak pernah terbetik pikiran lagi untuk pulang ke rumah suaminya. Tapi sebab utama akan keputusannya ini adalah karena dia tidak rela meninggalkan kehidupan yang serba makmur dan berkecukupan di kota raja ini.

Akhirnya datang suatu hari. Hari itu dia di ajak Liong Bun-kong menikmati pemandangan daun merah di Say-san, sehari penuh mereka melancong dengan riang dan gembira. Malamnya setelah dia pulang ke rumah baru diketahui bahwa putrinya sudah tiada.

Waktu dia tanyakan kepada sang ibu, tanpa menjawab ibunya mengeluarkan sepucuk surat. Begitu melihat tulisan di sampul surat seketika dia mengenal gaya tulisan sang suami. Tapi waktu dia buka surat itu, kenyataan itu surat perceraian. Sungguh dongkol dan kaget pula, hampir saja dia semaput. Apa yang sebetulnya terjadi? Setelah dia puas menangis, baru ibunya datang dan memberi tahu: "Dia tadi kemari, Siau-san dibawanya pergi!"

"Kenapa dia menceraikan aku?" tanyanya hambar.

"Katanya, sifat kalian berbeda. Dia lebih suka hidup kelana di Kangouw, kau takkan mau mengikuti jejaknya. Setelah dipikir dua tahun ini, dia rasa lebih baik berpisah saja."

"Dan lagi," tutur ibunya dengan suara lirih, "ada sebuah hal selama ini memang kusembunyikan terhadapmu, menurut berita yang berhasil kami serapi, dia kini sudah punya simpanan. Konon perempuan itu she Ciu, adik perempuan seorang yang dinamakan Cecu entah apa. Sudah tentu dia tidak mengaku, tapi aku yakin lantaran perempuan inilah yang menjadi biang keladinya. Kamipun belum mencari tahu dengan jelas, bila kau ingin tahu kami bisa menyuruh orang menyelidiki hal ini."

Dia tahu Kim-to Cecu Ciu San-bin memang punya seorang adik perempuan, katanya: "Ma, suruhlah ayah tak usah repot. Kalau dia sudah menceraikan aku, memangnya aku masih mengharap untuk rujuk kembali dengan dia? Peduli dia akan menikah lagi dengan siapa?"

Ibunya menyeka air matanya, katanya tersenyum: "Nah itu betul, kau memang putriku yang punya pendirian teguh. Bicara terus terang, aku pun tidak senang punya mantu seperti itu. Kalau dia sudah menceraikan kau, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia mau mempersunting dirimu."

"Ma, jangan kau berkata demikian? Meski aku tidak akan rujuk, tapi selama hidupku ini, aku tidak akan menikah lagi," tanpa terasa dia menangis gerung-gerung lagi. Dia membenci suami, dia dongkol pula bahwa sang ibu tak dapat menyelami perasaannya.

Diluar tahunya bahwa siang tadi suaminya datang setulus dan penuh rasa rindu serta kecintaan yang tak pernah luntur untuk menjemputnya pulang. Kalau dia tahu duduknya, persoalan, pasti dia akan membenci ayah bundanya, takkan menyalahkan sang suami yang telah menulis surat cerai ini. Persoalannya adalah, ayah bundanya sudah lama tahu kalau mantunya ada hubungan dengan Kim-to Cecu. Selama dua tahun ini sering suaminya mengirimi surat, tapi semuanya dirampas oleh ayah bundanya.

Waktu In Hou datang hari itu, ayahnya lantas mengancamnya atas hubungan rahasia In Hou dengan Kim-to Cecu. Ayahnya bilang bahwa putrinya yang memberitahu rahasia ini kepada dirinya.

Diluar tahu In Hou bahwa pihak kerajaan sejak lama sudah menanam spionnya didalam markas Kim-to Cecu, maka hubungan intimnya dengan Ciu San-bin sudah tentu diketahui jelas, mau tidak mau In Hou percaya akan gertakannya ini.

"Jangan kau bawa anakku kedalam lumpur kenistaan," demikian kata ayahnya kepada In Hou siang tadi, "kalau kau ingin membawa putrimu, boleh kau bawa. Mengingat hubungan sebelum ini sebagai mertua dan mantu, hal ini tidak akan kulaporkan. Tapi kau harus menulis surat perceraian," akhirnya sang mertua memaksanya untuk menceraikan isterinya.

Sudah tentu peristiwa buruk ini merupakan pukulan berat bagi In Hou, dia tidak percaya kalau sang istri sudah berubah terhadapnya, katanya: "Boleh, suruhlah anakmu keluar, dihadapannya langsung akan kubuat surat cerai itu," dia ingin tahu bagaimana reaksi istrinya.

"Kukira tidak perlu," kata mertua, "seorang laki-laki harus berani berkeputusan tanpa pamrih, urusan yang berbuntut kepanjangan takkan membawa untung kedua pihak."

Kata In Hou menahan gejolak perasaannya, "Umpama

selanjutnya harus putus hubungan suami isteri, pertemuan terakhir toh harus diberi kesempatan."

Mertuanya menjengek: "Kuharap kau jangan menemuinya saja. Disini kau tidak akan bisa melihatnya."

In Hou ragu-ragu, katanya: "Dimana dia sekarang?"

"Baiklah kalau kau ingin tahu, kuberitahu padamu," kalau suara sang mertua, "sejak pagi tadi Liong-kongcu telah mengajaknya tamasya ke Say-san. Sekarang masih sempat kau pergi kesana melihatnya. Tapi surat cerai itu harus kau tulis lebih dulu."

Seorang pelayan sudah mempersiapkan tinta dan alat tulis serta kertas. Seorang pelayan lain keluar membopong putrinya In San, In San yang baru berusia tujuh tahun amat senang melihat sang ayah, segera dia minta turun terus berlari kedalam pelukan ayahnya, teriaknya: "Yah, kau bawa aku pulang, aku tidak senang tinggal di rumah nenek, ibu jarang mengajak aku bermain."

Seperti disayat perasaan In Hou, tanyanya dengan suara tersendat: "Mana ibu?"

"Sejak pagi-pagi ibu sudah pergi jalan-jalan bersama paman Liong, dia sering pergi sendiri, aku tidak dihiraukan lagi."

Mendengar omelan putrinya, sungguh jengkel dan penasaran serta sedih pula hati In Hou, menahan air mata segera dia angkat pena terus menulis surat cerai itu. Tapi dia masih belum putus asa, dia masih ingin melihat isterinya. Setelah menitipkan putrinya pada seorang kenalan dia menyusul ke Say-san. Memang dia melihat isterinya, tapi dia tidak berani unjuk diri untuk berpisahan dengan sang isteri. Apa yang dikatakan sang mertua memang kenyataan isterinya ternyata bersama Liong Bun-kong.

Waktu itu mereka sedang jalan berendeng turun gunung, isterinya tampak mekar bersemangat, senyum selalu dikulum, kelihatannya lebih riang dan bahagia di waktu mereka baru menikah dulu.

Perlukah dia bicara lagi dengan isterinya? Maka dengan perasaan luluh dan kecewa, diam-diam dia mengundurkan diri. Hari kedua dia bawa puterinya pulang ke rumah.

Sedikitpun In-hujin tidak tahu bahwa suaminya pernah mengintip dirinya secara diam-diam.

Tidak sampai tiga bulan In-hujin tahu-tahu sudah berubah jadi Liong-hujin, semula dia tidak ingin menikah pula, sayang dia bukan perempuan yang punya tekad baja, di kala kesedihan masih dirundung badan, akhirnya dia tak kuasa melawan bujuk rayu sang jejaka.

Duduk persoalan sesungguhnya baru diketahui, setelah ayah bundanya meninggal. Ibu inangnya yang memberi tahu padanya.

Bu inangnya berkata: "Siocia, waktu Hujin masih hidup aku tidak berani bicara. Dia pernah mengancam aku, bila aku bocorkan rahasia ini aku akan dibunuhnya. Hari itu Lo-hujin suruh aku membawa Siau-san keluar dan diserahkan kepada Ko-ya (babah mantu), pembicaraan mereka kudengar semuanya. Siocia, orang lain takkan ada yang bisa menyelami isi hatimu, tapi aku tahu, kau masih merindukan Ko-ya. Ko-ya memang orang baik, akupun ikut penasaran karena dia difitnah." Bu inang ini mengasuhnya sejak kecil, hanya dia seorang yang simpatik terhadap nasib In Hou, meski nona asuhannya ini kini sudah menjadi Nyonya Liong, tapi dalam percakapan ini dia tetap memanggil In Hou sebagai babah mantu. Supaya tidak membingungkan biar*selanjutnya kita tetap mengistilahkan In-hujin terhadap Liong-hujin baru ini.

Panjang lebar bu inang menceritakan apa yang didengarnya hari itu, ingin menangis tapi air mata tak kuasa menetes, perasaan In-hujin memang sukar dilukiskan pada saat mana, akhirnya dia mengertak gigi, tanyanya: "Bagaimana dengan perempuan she Ciu itu? Apakah perempuan itu betul-betul sudah menikah dengan dia?"

"Tiada kejadian itu, semua itu hanya cerita bohong Lo-hujin. Dua hari yang lalu seorang keponakanku baru kembali dari desa, katanya selama ini Ko-ya tidak menikah lagi, seorang diri dia rawat mengasuh dan mendidik Siau-san, meski tetap sehat tapi badannya jauh lebih kurus. Selama beberapa tahun dia tidak pernah keluar rumah pula. Kini Siau-san sudah menanjak besar, dia titipkan kepada salah seorang kakak misannya untuk menjaganya, baru tahun ini dia boleh keluar rumah."

"Tahun ini Siau-san sudah berusia tiga belas tahun bukan?" ucap In-hujin mengada-ada.

"Betul, memang berusia tiga belas. Keponakanku pernah melihatnya, katanya Siau-san amat mirip dirimu, orang' sama memuji dia sebagai kembangnya kota Tay-tong." demikian tutur bu inang.

Kabar putrinya dan suami yang dahulu sudah diperoleh, memangnya dia dapat berbuat apa? Kini statusnya adalah Liong-hujin. Pangkat Liong Bun-kong ternyata menanjak terus, karirnya semakin maju dalam kalangan pemerintah, selama enam tahun menikah dengan dirinya, kini pangkatnya sudah sebagai Kiu-bun-te-tok yang menguasai keamanan kota raja.

Demi gengsi, martabat dan demi kekuasaan dan jabatan sang suami, sudah tentu dia tidak ingin pecah hubungan dengan suaminya sekarang, malah diapun merahasiakan diri bahwa dia telah tahu akan berita suaminya dulu dan puterinya.

Adalah mending kalau soal-soal yang menyedihkan bisa terlampias, kalau sampai mengganjel hati, itulah merupakan siksa derita yang paling berat di dunia ini. Selama belasan hari sejak dia berbincang-bincang dengan bu inang tak pernah dia tidur tenang, siang seperti lazimnya dia ngobrol ala kadarnya dengan sang suami sebelum menunaikan tugas, maka tak lama kemudian dia mulai terserang penyakit hati yang memusingkan.

Kalau dulu dia mendambakan kehidupan makmur dan serba kecukupan di kota raja ini, tapi kini dia sudah bosan akan kehidupan sebagai nyonya agung yang dipuja. Kepada suaminya dia memohon supaya diberi kesempatan pulang ke kampung halaman menyembuhkan penyakit.

Sudah tentu Liong Bun-kong juga tahu bahwa tidur seranjang dengan sang isteri tapi dia tidak pernah memiliki hatinya, karirnya sedang menanjak, sebagai pejabat tinggi sudah tentu dia lebih bernafsu mengejar harta dan pangkat dari pada mengejar nafsu birahi terhadap isteri yang kaku dan semakin berpenyakitan ini. Maka dengan senang hati dia meluluskan permintaan sang isteri, kini dia lebih bebas lagi diluar pengawasan sang isteri.

"Kau pulang saja ke desaku," demikian kata Liong Bun-kong, "disana aku punya seorang ponakan bernama Seng-bu, dua tahun yang lalu waktu dia kemari kau pernah melihatnya. Kepandaian sastra dan silatnya cukup lumayan, tahun lalu diapun sudah lulus Ki-jin tapi dia lebih suka mengejar karir di kalangan militer. Di rumah kau bisa wakilkan aku mengajar silat padanya. Kita tidak punya anak, sejak lama aku ingin dia menjadi pelanjut dari keluarga kita. Tapi soal ini biar ditunda bila kelak dia sudah betul-betul punya kedudukan tinggi."

Rumah keluarga Liong berada di Hoa-gi di daerah Kui-yang, itulah sebuah desa yang hijau permai. Dia meninggalkan kehidupan kota yang ramai dan gaduh, menetap di desa yang aman tentram dan sejuk ini, maka kesehatannya lambat laun semakin baik. Ilmu silat yang telah terlantar sekian tahun ini kembali dia latih lagi, bila senggang dia mengajar juga pada ponakan suaminya. Liong Seng-bu memang anak cerdik, pandai mengambil hatinya lagi, lama-kelamaan dia merasa senang juga hidup di desa ini. Tapi terasa pula bahwa keponakan yang satu ini sering bermuka-muka melucu dan ceriwis.

Kehidupan di desa memang lebih sederhana lebih senggang pula, sehingga sering dia melamun mengenang dan merindukan suami yang dahulu dan putrinya. Rasa rindu ini tambah mendalam berikut berselangnya sang Waktu, di kala malam tiba seorang diri dia suka melamun: "Hou-ko selama ini tak pernah menikah lagi, apakah dia masih merindukan cinta kita dulu?

San-ji sudah dewasa, apakah dia masih mengingatku?" Beberapa kali hampir dia tidak kuasa menahan gejolak perasaannya, ingin pulang ke rumah suaminya yang secara diam-diam untuk menengok putrinya. Hidup di desa ini jauh dari jangkauan kekuasaan suaminya yang sekarang, dia memiliki kepandaian, kemana dia ingin pergi, siapapun takkan bisa menghalangi. Tapi apakah dia boleh membawa keinginan hati secara serampangan? Kini dia adalah isteri Liong Bun-kong, Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di kota raja, mana boleh dia rujuk kembali dengan suaminya yang dahulu? Kesalahan di pihak sendiri, menyesal juga sudah kasep. Lebih merisaukan lagi, apakah In Hou dan putrinya sudi memaafkan kesalahannya? Kalau ganjalan hati ini tak dapat dilenyapkan, maka sakit hati inipun sukar disembuhkan. Ai, kini dia sudah meninggalkan suami, keadaannya tetap tak berubah laksana burung kenari yang terkurung didalam sangkar.

Suatu kejadian yang tak pernah terpikir sebelumnya, suatu hari dia bertemu secara mendadak dengan suaminya terdahulu In Hou. Dalam kehidupan di desa, secara pasti tiap pagi adalah latihan silat di hutan cemara di belakang rumahnya. Ada kalanya sang keponakan mengiringi dia latihan, tapi lebih banyak waktu dia latihan sendiri. Maklum pemuda yang suka royal sudah biasa kehidupan malam. Liong Seng-bu selalu bangun siang, bila ingin mencuri kesenangan hati sang bibi saja baru dia bangun pagi menemaninya berlatih. Lambat laun dari seminggu tiga empat kali semakin berkurang cuma satu kali dan akhirnya satu bulan dua tiga kali saja. Hari itu dia hanya latihan sendiri.

Setelah dia berakhir berlatih ilmu pedang, lapat-lapat seperti didengarnya seorang mengheia napas. Suara lembut yang hampir tak terdengar oleh siapapun, tapi justru bagi pendengarannya suara helaan ini sudah amat dikenalnya, malah helaan yang lirih ini laksana bunyi guntur di pinggir telinganya.

Sekejap ini hatinya gundah, risau dan resah, tapi sudah tiada kesempatan banyak pikir lagi, sekilas tertegun lekas dia berlari ke arah datangnya suara. Di bilahan hutan sebelah dalam, memang dia menemukan seseorang yang sudah amat dikenalnya. Sungguh mimpi juga tak pernah dia bayangkan? Dia coba menggigit jari, tapi rasaaya sakit, jelas ini bukan mimpi. Hampir dia tidak percaya akan apa yang disaksikan, orang yang berdiri di depannya memang bukan lain adalah suaminya yang terdahulu, In Hou. In Hou sendiri tampak melenggong juga karena jejaknya mendadak konangan dan tidak sempat sembunyi.

"Hou-ko, sungguh tak kira aku masih bisa bertemu dengan kau. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memang kasihan padaku yang selalu merindukan dikau, sengaja kau diantarnya ke mari untuk menemuiku? Tapi Hou-ko, aku, aku berdosa padamu, tiada muka aku menemuimu," lama baru In-hujin buka suara sambil sesenggukan.

Sudah tentu dia tidak tahu bahwa bukan Tuhan yang pengasih terhadapnya juga bukan secara kebetulan, tapi adalah usaha In Hou sendiri yang telah memeras keringat dan pikiran, sehingga hari ini berhasil bersua disini.

In Hou sudah mencari tahu bahwa dia sudah meninggalkan kota raja dan tinggal di desa Hoa-gi ini, selama beberapa tahun terakhir ini tiga kali dia menempuh perjalanan lewat Kwi-yang, tiga kali sengaja dia mampir ke Hoa-gi dan sembunyi di sekitar rumah keluarga Liong, bukan harapannya ingin bertemu muka dan berbincang-bincang dengan bekas isterinya, kalau bisa mengintipnya secara diam-diam sudah lebih dari cukup puas untuknya. Tapi karena setiap kali dia disibukkan oleh tugas penting, tak mungkin tinggal lama di Hoa-gi, apalagi sebagai orang asing di desa itu tak enak dia selalu mundar-mandir di sekitar rumah keluarga Liong. Oleh karena itu setiap kali datang paling dia hanya berdiam sehari, datang tergesa-gesa pergi terburu-buru.

Pertama tidak ketemu, kedua memang sudah melihatnya, dia berada sama ponakan Liong Bun-kong, sudah tentu In Hou tidak berani unjuk diri. Ketiga kali yaitu sekarang ini dan yang terakhir, tadi dia melihat bekas isterinya sedang berlatih pedang seorang diri. Melihat wajahnya nan sayu dan kurus, tanpa terasa dia mengheia napas panjang.

"Tidak pantas aku menemuimu," ujar In Hou, "kalau dilihat orang, mungkin kau akan terlibat kesulitan. Aku hanya ingin tahu, selama beberapa tahun ini apakah kau baik-baik saja? Jikalau kau hidup bahagia, hatikupun lega dan tiada yang kupikirkan lagi."

Perasaan yang sekian lama tak terlampias ini kini bagai air bah yang menjebol tanggul tak tertahankan lagi, In-hujin memeluk suaminya, katanya sesenggukan: "Bicara soal bahagia segala? Coba lihat penyakit kini meradang tubuhku, tinggal menunggu waktu saja untuk berpulang ke alam baka. Hou-ko, kejadian dulu..."

"Kejadian dulu jangan disinggung lagi. Katakan saja apa keinginanmu sekarang?"

"Tidak, betapapun aku harus bicara soal dulu, Hou-ko bukan maksudku hendak mengingkari dirimu. Soalnya aku ditipu oleh ayah bundaku."

"Bu inangmu sudah suruh keponakannya menjelaskan kepadaku. Kini aku hanya ingin tahu isi hatimu."

In Hou mendesak jawabannya, karuan hatinya gundah pikiran ruwet. Memang dalam keadaan sekarang dia ingin kembali keharibaan suami dahulu, namun banyak pula soal-soal yang dia kuatirkan dari akibat putusannya ini, meski hubungan boleh rujuk kembali, betapapun hubungan sudah pernah retak, umpama keretakan dapat ditambal, betapapun pasti ada bekas-bekasnya. Memangnya mudah soal rujuk ini diselesaikan?

Akhirnya In Hou menghela napas, katanya: "Aku ini laki-laki yang sudah kebacut kelana di Kangouw, sekarang kau adalah istri Kiu-bun-te-tok, sebetulnya tidak pantas, tidak pantas..."

Bercucuran air mata ln-hujin, katanya terisak-isak: "Hou-ko, kau masih belum tahu perasaanku, tentang kejadian dulu itu, sungguh aku amat menyesal, bahwa kau tidak menyalahkan aku, aku sudah amat berterima kasih, memangnya aku harus menyalahkan kau malah?"

"Segala persoalan masa lalu anggaplah sudah himpas sama sekali. Kalau kau tidak merasakan kerendahan diriku sekarang, apa pula yang harus kau ragukan, ayolah ikut aku."

In-hujin menunduk kepala, katanya lirih: "Hou-ko, berilah kesempatan untuk kuberpikir?"

Terunjuk mimik kecewa pada sorot mata ln Hou, katanya kemudian: "Ya, kini kau sudah menjadi milik orang lain, memang tidak pantas kau pergi bersamaku. Waktu amat mendesak, tak boleh aku lama-lama disini. Begini saja, setelah kau pikirkan masak-masak, bila kau memang ingin ikut aku, boleh kau menyusulku di Kwi-lin."

In-hujin tertegun, katanya: "Jadi kau tidak akan pulang, tujuanmu ke Kwi-lin dan sengaja mampir ke mari? Belum pernah aku ke Kwi-lin, disana kepada siapa aku harus mencari tahu jejakmu?"

Kata In Hou: "Aku sudah berjanji untuk bertemu di Kwi-lin dengan Tam Pa-kun, setiba di Kwi-lin, boleh kau mencari It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Bersama Tam-toako kemungkinan aku menginap di rumahnya. Umpama tidak disana, pasti dia akan membantumu mencari aku. It-cu-king-thian Lui Tin-gak cukup terkenal di Kwi-lin, gampang kau menemukan alamatnya."

Ada dua sebab kenapa In Hou menyuruh isterinya menyusul dia ke Kwi-lin. Pertama karena dia tidak tahu kapan dirinya bisa kembali. Kedua, jikalau isterinya pulang ke rumah di Tay-tong menunggu dirinya pulang, suaminya sekarang, yaitu Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong tahu alamat rumahnya, bukan mustahil dia mengutus anak buahnya meluruk ke rumahnya untuk membawanya pulang, hal ini akan menimbulkan banyak kesulitan. Kwi-lin terletak jauh dari kota raja, kekuasaan Liong Bun-kong di kota raja takkan menjangkau sejauh ini. Apalagi di Kwi-lin It-cu-king-thian Lui Tin-gak bisa membantu dan melindunginya.

In Hou percaya pada bekas isterinya ini, meski telah mengalami berbagai pertikaian, namun dia masih berani membocorkan rahasia jejaknya kepada sang isteri. Malah dengan penuh keyakinan dia sudah siap untuk rujuk kembali di Kwi-lin.

Siapa tahu kepergiannya ini justeru merupakan perpisahan untuk selamanya. Inilah pertemuan mereka suami isteri yang terakhir. Karena rahasia jejaknya ini dibocorkan tanpa sengaja, sehingga mengakibatkan dirinya mengalami peristiwa fatal dan rahasia ini bahwasanya bukan In-hujin yang membocorkan.

Baru saja In-hujin mau bicara, tiba-tiba In Hou berkata lirih: "Seperti ada orang datang. Ingat pesanku, pergilah ke Kwi-lin menemui aku, sekarang aku harus berlalu."

In-hujin tersentak sadar, lekas dia manggut-manggut, katanya lirih: "Berangkatlah, pesanmu pasti kuingat baik-baik," hakikatnya dia tidak memberi jawaban pasti kepada In Hou, bahwa dia akan menyusul In Hou ke Kwi-lin. Sayang In Hou pergi terburu-buru, tak mungkin dia menelaah nada perkataannya.

Gerakan In Hou sungguh amat cepat dan tangkas, hanya sekejap saja dia sudah menghilang. Sungguh girang tapi juga menyesal hati In-hujin. Senang karena: "Oh, kepandaiannya ternyata sudah jauh lebih maju, dengan ginkangnya yang tinggi ini, seharusnya dia bisa menghindari diriku, bahwa dia mau bertemu dengan aku, agaknya memang ada maksudnya rujuk kembali denganku," diapun menyesal karena sampai detik ini dia tidak atau belum berani ambil putusan entah kemana dirinya harus menentukan arjh.

Dikala pikiran kalut inilah, langkah orang itu pun sudah terdengar semakin dekat, waktu In-hujin menoleh, dilihatnya keponakannya Liong Sc-bu tengah mendatangi. Seperti biasanya Liong Se-bu cengar-cengir untuk senyum kepadanya, katanya memberi hormat: "Bibi, hari ini aku terlambat bangun lagi, kebiasaan buruk bangun siang ini sungguh sukar kuatasi, ai, agak rikuh aku."

Diam-diam In-hujin perhatikan sikap dan mimiknya, agaknya dia belum tahu akan rahasia dirinya barusan. Jantungnya yang kebat-kebit lambat laun tenang kembali. Pikirnya: "Tingkat kepandaian Liong Seng-bu kutahu betul, dengan bekal lwekangnya sekarang, tak mungkin dia bisa mencuri dengar pembicaraanku barusan dengan In Hou," maka dia tekan gejolak perasaannya, katanya lembut: "Kau memang tidak biasa bangun pagi, tidak usah dipaksakan. Yang benar, kalau kau ingin berjuang di kalangan kemiliteran, dengan bekal kepandaianmu sekarang sudah lebih dari cukup. Pamanmu juga akan membantu, memangnya apalagi yang kau kuatirkan?"

Liong Seng-bu mengunjuk sikap hambar dan gugup, katanya: "Aku tahu paman pasti akan mengangkat diriku, tapi aku ingin mengandal tenagaku sendiri untuk angkat nama. Walau pun aku bukan dari kaum persilatan, tapi senang aku bergaul dengan mereka. Kalau banyak bekal kumiliki, tentu diriku takkan dipandang rendah orang. Bibi, kuharap kau tidak kecewa dan jangan karena aku terlalu malas sehingga tidak sudi mengajar padaku."

"Kau suka belajar silat, aku akan berdaya sekuat tenaga. Tapi, kenapa tadi kau bilang suka bergaul dengan kaum persilatan?"

"Pertama kaum persilatan umumnya orang-orang gagah, aku suka mereka. Kedua kelak bila aku sudah memperoleh pangkat, toh aku bisa menarik bantuan mereka untuk bekerja bagi kerajaan."

"Jauh juga rencanamu. Tak heran pamanmu sering memuji dikau. Katanya hanya kau kelak yang mampu mewarisi kebesaran keluarga Liong."

"Terima kasih akan pujian paman dan bibi, untuk ini mohon bibi suka membimbingku."

Terpaksa In Hu-jin mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang, melihat orang berlatih secara rajin dan patuh akan petunjuknya, malah hasil yang dicapainya hari ini jauh lebih bagus dari biasanya. Adalah hati In-hujin yang ruwet ini, beberapa kali bergebrak latihan selalu dia yang melakukan kesalahan.

Bahwa Liong Seng-bu hari ini berlatih dengan rajin dan tekun sekali, hal ini sudah melegakan hati In-hujin. Begini dia berpikir, jikalau Liong Seng-bu sudah tahu pertemuan rahasia dirinya dengan In Hou tadi, pasti dia tidak setenang dan sesabar ini sikapnya. Agaknya

In-hujin menilai orang lain atas ukuran diri sendiri, diluar tahunya bahwa Liong Seng-bu yang masih berusia muda ini ternyata berotak cerdik dan banyak muslihatnya. Yang betul pembicaraannya dengan In Hou tadi sudah dicuri dengar seluruhnya. Sudah lama Liong Seng-bu mendekam di semak-semak rumput, setelah mendengar habis percakapan mereka, secara diam-diam dia menggeremet keluar ke tempat jauh, lalu dengan langkah berat putar balik. Waktu mendekam di semak-semak rumput tadi Liong Seng-bu tidak berani bernapas keras-keras, sementara In Hou dan In-hujin sama-sama dibuai oleh curahan perasaan mereka, sudah tentu mereka tidak begitu cermat untuk memeriksa keadaan sekelilingnya.

Setelah berlatih beberapa jurus ilmu pedang. In-hujin berkata: "Belajar silat tidak boleh terlalu rakus, hari ini cukup sampai disini saja."

"Bibi," tiba-tiba Liong Seng-bu berkata, "ada apa sih kau hari ini?"

Mencelos hati In-hujin, katanya: "Ah, tidak apa-apa. Kenapa kau bertanya begini padaku?"

"Hari ini agaknya bibi tidak sesabar biasanya mengajarku, atau mungkin aku yang terlalu bodoh."

"Hari ini latihanmu cukup baik, memang badanku yang rasanya kurang enak."

"Ooo, kiranya begitu. Bibi, kau tiada persoalan, biarlah keponakan memberi sedikit berita padamu!"

"Soal apa?"

"Besok aku ingin ke kota raja. Ada pesan apa bila perlu biar kukerjakan?"

"Ah, pesan apa. Katakan saja pada pamanmu, aku baik-baik saja di desa ini, tak usah dia kuatir akan diriku."

"Ada pesan lainnya?"

"Tiada lagi."

Liong Seng-bu seperti tidak mendengar omongannya, katanya seorang diri: "Jikalau ada apa-apa dan bibi tidak leluasa suruh orang lain, keponakan bisa melakukan."

Berubah air muka In-hujin, katanya: "Ada urusan apa yang perlu aku minta bantuan orang lain? Apa maksudmu?"

"Bibi jangan salah paham, paman dan bibi memandangku seperti anak kandung sendiri, bibi sudi membimbing dan mendidik setekun ini, aku anggap kau sebagai ibu kandungku sendiri Untuk ini harap bibi sudi menyelami ketulusan perasaanku."

"Pamanmu memang ada maksud memungutmu sebagai anak. Aku sih tak punya rejeki sebesar ini."

Tersipu-sipu Liong Seng-bu berlutut serta menyembah, katanya: "Paman dan bibi sudi mengambilku sebagai anak, sungguh merupakan rejeki besar bagiku," setelah menyembah dengan suara lembut dia memanggil "ibu".

"Setelah pamanmu mengangkatmu secara resmi, boleh kau memanggilku demikian. Sudahlah, kalau tiada urusan lain kau boleh pulang dulu."

"Bu, masih ada persoalan yang akan anak sampaikan."

"Baru kukatakan, jangan memanggilku demikian. Panggil bibi saja."

"Ya, ya, bibi, harap tunggu sebentar."

"Masih ada urusan apa yang hendak kau bicarakan?"

"Bi, meski ada sesuatu yang tidak enak kau bicarakan dengan orang lain, tapi paman ada satu hal yang tidak enak dibicarakan dengan kau, tapi dia pernah bicara dengan aku."

Berubah air muka In-hujin, katanya: "Oo, ada kejadian itu? Apa perlu kau sampaikan kepadaku?"

"Paman memang ingin supaya kau tahu, maka aku disuruh tanya kepada bibi."

"Baiklah, coba katakan tentang soal apa?"

"Dua tahun yang lalu bibi pulang ke kampung untuk menyembuhkan penyakit, paman tahu hatimu selalu murung. Tempo hari waktu aku ke kota raja, paman bilang bila bibi suka membawa San-moay kemari untuk tinggal bersamamu."

Pucat wajah ln-hujin, katanya gemetar: "Apa betul dia punya maksud begitu?"

"Kuatir kau marah dan menyinggung perasaanmu, maka paman tak berani buka suara. Kalau San-moay dibawa ke kota raja memang berabe, tapi kalau diajak kemari, orang luar pasti tidak tahu," lalu dia merendahkan suara dan berkata lebih lanjut: "Paman bilang, terhadap In Tayhiap diapun amat mengagumi, sayang tabiat kalian berbeda, sehingga perjodohan tidak terjalin abadi, hal ini tak boleh menyalahkan dia, bahwasanya paman tidak pernah cemburu terhadap In Tayhiap."

"Tidak usah kau katakan lagi," teriak In-hujin.

"Ya, paman hanya ingin supaya kau tahu maksudnya, sebetulnya dia bukan orang berjiwa sempit atau suka jelus. Keberangkatanku ke kota raja akan lewat Tay-tong, kalau bibi suka menjemput San-moay kemari, sekembalinya nanti kuselesaikan juga soal ini."

Kalut pikiran In-hujin, katanya sesaat kemudian: "Usianya sudah besar, terserah kepadanya saja."

"Kalau begitu biar aku menengoknya dulu, tanya dulu maksudnya. Bibi, sukalah kau menulis surat untuk dia."

"Berapa lama kau pergi?"

"Paling cepat empat puluh hari, tapi takkan keliwat dua bulan."

"Surat tidak perlu kutulis, kau bawa tusuk kundai ini, dia mengenal barang-barangku. Katakan bahwa aku amat merindukan dia, kalau dia mau boleh kau membawanya kemari. Aku tahu kau pandai putar lidah, jauh lebih baik dari pada tulis surat."

Seperti tertawa tidak tertawa mimik Liong Seng-bu, katanya: "Bibi, jangan kau memujiku, semoga saja aku tidak mengecewakan harapan bibi," segera dia terima tusuk kundai itu. Hari kedua segera berangkat.

Di rumah In-hujin hidup sehari bagai setahun pikir yang ini merisaukan yang itu. Hari-hari berlalu secara berlarut-larut berkepanjangan, sejauh ini dia tetap sukar ambil keputusan. Di gunting tidak putus, dibetulkan tetap tidak bisa. Perasaannya waktu ini sungguh seruwet benang pintal yang sudah gubat menggubat tak mungkin diluruskan lagi.

Mungkinkah dia rebah kembali keharibaan suami yang terdahulu? Walau dia tahu In Hou jujur, bijak dan setulus hatinya ingin rujuk kembali. In Hou adalah pendekar gagah yang tersohor di kalangan Kangouw, dirinya adalah wanita yang sudah hina dan nista, kalau dia kembali kedalam kalangan keluarga In, apakah ada muka dia bertemu dengan kawan-kawan In Hou yang simpatik? In Hou mungkin tidak takut ditertawakan orang, tapi dirinyalah yang akan menjadi buah bibir orang banyak. Bagaimana dia bisa angkat kepala ditatap oleh lirikan mata yang menghina dan mencemooh? Akan tetapi dia sudah kenyang merana dalam kehidupan yang serba munafik dan kesepian ini, hidup yang tiada arti ini, tidak mungkin berkumpul dengan orang yang paling dekat dan dicintainya, meski makan tidur berkecukupan, tak ubahnya dirinya seperti mayat hidup melulu. Perhitungan yang paling bijaksana adalah, mengambil In San untuk kumpul bersama dirinya, dari sini dia akan leluasa minggat bersama puterinya menjemput In Hou, sekeluarga hidup dalam pengasingan yang tidak mungkin dikenal orang pula.

Apakah In Hou sudi berbuat demikian? Dia tahu bagaimana watak suaminya, jelas In Hou takkan mau melakukan perbuatan yang dianggapnya memalukan ini, biarlah, umpama rencana ini tak bisa terlaksana, ada sang puteri tunggal didampingnya, hidupnya tidak akan menderita dan tersiksa seperti ini.

Dilandasi oleh perasaan yang serba kalut, ini, maka dia menyetujui maksud Liong Seng-bu yang akan pergi menjemput puterinya. Bahwa putusan masih belum positip biarlah hal ini diputuskan begini sementara, segala sesuatunya biar diputuskan setelah Liong Seng-bu kembali saja.

In-hujin tidak pergi ke Kwi-lin mencari suami, tapi dia mengutus seorang pelayan pribadinya, dengan menyaru laki-laki mengantar suratnya ke rumah keluarga Lui di Kwi-lin, supaya In Hou tahu tekad dan putusannya, tahu gejolak perasaannya.

Pelayan pribadi ini sudah pulang sebelum Liong Seng-bu pulang. Kabar yang dibawa pulang adalah berita buruk yang jauh berada diluar dugaannya. Rumah It-cu-king-thian terbakar ludes secara aneh, kini sudah tinggal puing-puingnya saja, orang-orang Iceluarga Lui entah sudah pindah kemana lagi. Bahwa It-cu-king-thian tidak ditemukan, sudah tentu suaminya terdahulu In Hou juga tidak bisa ditemukan.

Tiga bulan lebih, jauh lebih lama dari janjinya baru Liong Seng-bu pulang. Seperti berangkatnya tempo hari, pergi seorang diri, pulang juga seorang diri, hakikatnya dia tidak membawa In San pulang.

"Bibi, maaf kali ini aku tak mampu menunaikan tugas yang kau bebankan padaku, sungguh aku merasa malu dan menyesal," begitu sampai di rumah Liong Seng-bu segera lapor kepada sang bibi.

In-hujin amat kecewa, tanyanya: "Apa kau tidak bertemu dengan Siau-san?"

"Ketemu, tapi dia tidak mau ikut kemari. Nah lihatlah tusuk kundai ini," tanda mata itu dia kembalikan kepada sang bibi sambil menunduk kepala.

Tusuk kundai itu sedikit gumpil, tanpa dijelaskan oleh Liong Seng-bu, In-hujin juga sudah maklum bahwa tusuk kundai itu dibanting oleh puterinya.

"Ternyata begitu benci Siau-san kepadaku," bagai disayat-sayat perasaan In-hujin, tanpa kuasa air matanya bercucuran, tapi ada persoalan lain yang membuatnya lebih kaget, lebih menyakitkan hati lagi.

"Bibi, harap kau tenangkan diri, masih ada yang kusampaikan. Cuma agak sulit juga aku membicarakan soal ini."

Bergetar pula perasaan In-hujin, sekuatnya dia membendung air mata, katanya: "Boleh kau katakan saja."

"Perjalanan kali ini terlambat satu bulan dari waktu yang kurencanakan, karena aku mendengar kabar yang agak aneh dan ganjil. Demi mencari tahu kebenaran dari berita itu, pernah aku mencari beberapa orang yang punya sumber penyelidikan luas di kalangan Kangouw."

"Berita aneh dan ganjil apa?" tanya In-hujin.

"Tentunya kau tahu betapa besar rasa kagum paman dan aku terhadap ln Tayhiap, meskipun terhadap paman mungkin dia masih sirik dan tidak senang hati, tapi paman tetap memperhatikan dirinya."

"Adakah dia kena perkara apa?" In-hujin mendesak.

"Betul," sahut Liong Seng-bu manggut, "di Kwi-lin ada seorang pendekar besar yang berjuluk It-cu-king-thian Lui Tin-gak, apakah bibi pernah mendengar namanya?"

"Pernah, dia kenapa?"

"Konon beberapa bulan yang lalu In Tayhiap pernah janji bertemu dengan dia di Kwi-lin, waktu dia kesana, mungkin saatnya aku berangkat ke kota raja itu."

Timbul rasa curiga In-hujin: "Dari mana dia bisa memperoleh kabar secepat ini? Mungkinkah pembicaraanku dengan Hou-ko tempo hari dicuri dengar olehnya? Tapi melihat gelagatnya waktu itu, tidak mungkin."

Liong Seng-bu seperti dapat menebak isi hatinya, katanya lebih lanjut: "Bibi kan tahu ayah paman sebagai sekretaris militer, maka kaum persilatan ternama diberbagai daerah semuanya masuk dalam daftar hitamnya."

Penjelasan ini memang masuk akal, untuk sementara In-hujin anggap obrolannya dapat dipercaya, tanyanya: "Di kota raja, kabar apa yang kau dengar?"

"Tidak lama setelah aku di kota raja, kebetulan ada sebuah surat laporan yang dibawa oleh kuda yang dapat lari delapan ratus li sehari dari Kwi-lin, konon rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak secara aneh terbakar habis, di kala rumah itu terbakar ada orang melihat In Tayhiap lari keluar dengan luka parah."

Bahwa rumah keluarga Lui sudah tinggal puing-puingnya saja, hal ini sudah diketahui oleh In-hujin. Tapi In Hou terluka parah sejauh ini dia masih belum tahu, karuan dia kaget dan berubah air mukanya, tanyanya: "Bagaimana akhirnya?"

"Berita itu singkat saja, waktu aku tetap berada di kota raja, tiada surat laporan susulan lagi dari Kwi-lin. Kejadian selanjutnya dapat kuberitahu setelah berada di kalangan Kangouw, tapi apa kabar itu benar atau salah juga tidak berani aku memastikan."

"Peduli benar atau salah, lekas jelaskan." desak In-hujin.

"Konon It-cu-king-thian Lui Tin-gak diagulkan sebagai pendekar besar, namun dia adalah manusia munafik yang berhati keji dan telengas, entah karena apa dia berusaha mencelakai jiwa ln Tayhiap. In Tayhiap lari keluar dengan luka parah dan sembunyi di rumah seorang teman, tak nyana temannya ini juga sekongkol dengan Lui Tin-gak."

"Jadi dia dicelakai orang? Bagaimana selanjutnya?"

Malam itu, rumah temannya itu juga terbakar habis secara aneh. Ada orang melihat dia masuk, tapi tiada yang melihat dia lari keluar."

"Siapa temannya itu?"

"Kabarnya seorang kakek she Tan guru musik harpa bersama cucunya. Malam itu hanya mereka berdua saja yang kelihatan lari keluar, seperti juga keluarga Lui Tin-gak, entah kemana jejak mereka berdua yang terang mereka lenyap dari Kwi-lin secara misterius."

"In, In Hou bagaimana? Adakah orang yang menemukan mayatnya?"

"Rumah keluarga Tan tinggal puing-puingnya, tapi jenazah atau tulang belulang In Tayhiap sih tidak ditemukan. Tapi sejak malam itu tiada orang pernah melihatnya lagi," dari penuturan ini dapat diraba bahwa jiwa In Hou lebih banyak celaka dari pada selamat. Gelap pandangan In-hujin, seketika dia semaput sayup-sayup masih sempat didengarnya Liong Seng-bu berteriak-teriak memanggil "Bibi".

Sejak hari itu, In-hujin tidak pernah menyinggung tentang In Hou lagi, penyakitnya bertambah parah, dua tiga hari kumat sekali semakin lama semakin parah dan rumit. Untung dia masih merindukan puteri tunggalnya, maka dia harus berontak untuk bertahan hidup. Oleh karena itu setiap hari dia tetap berlatih silat untuk menambah tenaga kondisi badannya. Sejak itu pula Liong Seng-bu tak berani menyinggung tentang In Hou juga, sampai kira-kira tiga tahun kemudian, kira-kira sebulan lebih yang lalu suatu hari dia pulang tergesa-gesa. "Belakangan ini terjadi sesuatu peristiwa aneh di Kangouw..." begitu masuk rumah, setelah memberi selamat pada bibinya lantas dia bercerita panjang lebar.

"Kejadian aneh apa?" tanya In-hujin, karena iseng ingin juga dia tahu berita apa yang terjadi diluar.

"Di kalangan Kangouw baru saja muncul seorang pemuda yang berusia belum genap 20 tahun, dia pandai memainkan ilmu golok keluarga In."

In-hujin kaget katanya. "Dia pandai main ilmu golok keluarga In," In-hujin tahu, ln Hou hakikatnya tidak pernah menerima murid, ilmu golok itu hanya khusus dia ajarkan kepada putri tunggalnya.

"Masih ada yang lebih aneh lagi, pemuda ini pun memakai sebilah golok pusaka yang tajam sekali, menurut orang-orang yang kenal baik dengan In Tayhiap, golok pusaka itu adalah golok warisan keluarga In Tayhiap."

"Siapa nama dan she pemuda itu? Bagaimana asal-usulnya?" tanya ln-hujin, seketika pucat pias air mukanya.

"Semula tiada orang yang tahu asal-usulnya, akhirnya seorang teman In Tayhiap yang suka membantu mencari tahu kian kemari, syukur usahanya ternyata berhasil. Pemuda itu she Tan bernama Ciok-sing, asal dari kota Kwi-lin."

Gemetar suara In-hujin, katanya: "Kau, dulu kau pernah bilang, pada malam hilangnya In Hou tiga tahun yang lalu, dia sembunyi di rumah seorang sahabatnya. Sahabatnya itu she Tan. Pada malam itu juga rumah keluarga Tan juga terbakar habis, keluarga mereka juga lenyap tak berbekas."

"Betul," ujar Liong Seng-bu menghela napas, "Keluarga Tan itu terdiri kakek dan cucu, sang kakek adalah ahli harpa, cucunya waktu itu berusia lima belasan. Pemuda yang pandai main ilmu golok keluarga In muncul di Kangouw ini kecuali membawa golok pusaka In Hou, diapun selalu membawa sebuah harpa, petikan harpanya juga cukup ahli. Usianya kira-kira sebaya dengan cucu keluarga Tan itu. Ai, kukira nasib In Tayhiap tentu celaka."

Sebetulnya In-hujin juga sudah menduga ke arah ini, dalam hati dia menerka: Pasti It-cu-king-thian bersekongkol dengan Tan Ciok-sing mencelakai In Hou, buku pelajaran ilmu golok dan golok pusaka itu dirampas mereka. Bagaikan ribuan panah mencocok jantung, tak terperikan sakit hati In-hujin, kedua matanya membelalak merah, desisnya sambil mengolak gigi: "Baik, nama Tan Ciok-sing akan kuukir didalam benakku," habis bicara diapun meloso roboh semaput.



000OOO000



Sungguh tak kira tiga bulan kemudian, Tan Ciok-sing yang dianggapnya pembunuh bekas suaminya ini, kepergok di rumah sang suami pada malam pertama dia tiba-tiba ada disini.

Meski sudah cerai selama delapan belas tahun, namun selama ini dalam sanubari In-hujin masih tetap pandang In Hou sebagai suaminya, maka dia harus menuntut balas atas kematian suami, golok pusaka milik sang suami harus direbut kembali, dengan golok pusaka milik suaminya itu itu dia akan membunuh Tan Ciok-sing.

Tak nyana pada detik-detik yang menentukan itu mendadak penyakitnya kumat. Lebih diluar dugaannya lagi bahwa Tan Ciok-sing yang semula dianggap sebagai pembunuh suami dan hampir dia cekik sampai mati ini, sekarang berbalik menolong djiwanya dari renggutan elmaut. Pemuda sejujur, bijak dan rela berkorban sendiri demi menolong orang lain, mungkinkah dia sampai hati benar membunuh suaminya yang sedang celaka serta merebut goloknya?

Kepada pihak mana dia harus percaya? Percaya pada Liong Seng-bu atau percaya pada pemuda di hadapannya ini? Hatinya yang rawan ini menjadi hambar, seakan-akan jalan pikirannya berhenti sama sekali. Di tengah alunan irama harpa yang lembut ini, tanpa merasa dia memejam mata, apapun tidak dipikir, dengan lelap dia pulas tanpa terasa.

Waktu dia siuman hari sudah pagi pada hari kedua esok harinya, tampak Tan Ciok-sing masih menunggu di pinggir pembaringan, "In-hujin, kau sudah baik?" tanya Tan Ciok-sing melihat dia membuka mata.

Sungguh haru dan menyesal pula hati In-hujin, katanya: "Lebih baik sedikit. Apa semalam suntuk ini kau tidak tidur? Banyak terima kasih akan kebaikan dan jerih payahmu."

"Ini memang sudah menjadi kewajiban Wanpwe," ucap Tan Ciok-sing, "sudah kumasakkan bubur, kau tunggu sebentar, biar kuambil di dapur."

Semangat In-hujin sudah jauh lebih segar, perutnya memang sedang lapar Tan Ciok-sing membawa semangkok bubur yang masih mengepul panas, eh, masih menyediakan dua macam lauk pauk lagi. Waktu makan bubur itu, tak urung berkaca-kaca kedua bola mata In-hujin. "Bikin kau repot saja, hayolah kau pun makan." Kata In-hujin.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dalam kota sudah sukar menemukan makanan, untung di dapur masih ada disimpan segentong besar, kira-kira cukup untuk makan tiga hari. Aku sendiri membawa rangsum kering, barusan aku sudah makan."

Pikiran kalut masih berkecamuk dalam hati, terasa oleh In-hujin banyak persoalan yang dia ingin tanya kepada pemuda ini, tapi tak tahu dari hal apa dia harus mulai bicara.

Dengan teliti Tan Ciok-sing meladeni In-hujin sampai habis makan, katanya: "Semangatmu baru saja pulih jangan terlalu banyak bicara, istirahatlah sebentar lagi,"

"Baiklah, ceritakan dulu persoalanmu kepadaku," kata In-hujin.

"Memang akan kulaporkan kepada Hujin tentang pertemuanku dengan In Tayhiap. Tiga tahun yang lalu..."

"In-hujin tersenyum, katanya ramah: "Aku tidak senang dipanggil Hujin, kau panggil bibi saja kepadaku," pada hal semalam dia melarang Tan Ciok-sing memanggilnya "bibi".

Tan Ciok-sing bercerita dari sejak kakeknya menolong In Hou, sampai kematiannya secara mengenaskan, bicara sampai pesan In Hou yang terakhir, lalu diceritakan pula pengalamannya di Ciok-lin yang akhirnya diangkat jadi murid penutup Thio Tan-hong, sebelum sang guru meninggal, Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam diwariskan padanya. Dari mulut Tan Ciok-sing In-hujin memperoleh kepastian akan kematian suaminya, sungguh bukan kepalang rasa pedih In-hujin. Untung hal ini sebelumnya sudah dia ketahui, meski hati merasa perih, dia masih kuat menerima pukulan batin ini.

Tan Ciok-sing dapat menyelami rasa sedih seperti ini takkan terbujuk dengan kata-kata manis apapun, maka diapun diam saja berdiri di samping tanpa berbicara.

Sesaat kemudian, setelah In-hujin menyeka air mata, katanya: "Wanpwe memang tidak punya rejeki, pada hari aku diterima murid oleh Suhu, pada hari itu pula Suhu meninggal dunia, hanya dua jam aku berkumpul dan bicara dengan beliau, hanya beberapa soal penting saja yang dia bicarakan kepadaku."

"Dia suruh kau menyerahkan Ceng-bing-kiam kepada putriku, adakah dia pesan apa-apa."

"Katanya pedang ini semula memang milik keluarga In."

"Benar ini memang milik Sunio (Ibu guru) atau bibi ayah San-ji yang dipakainya dulu. Lalu Pek-hong-kiam?"

"Beliau menyerahkan kepadaku, dipesan supaya aku menggunakan pedang ini secara baik-baik."

In-hujin seperti memikirkan sesuatu, katanya sesaat kemudian: "Apa dia tidak menceritakan asal-usul kedua pedang ini?"

"Aku hanya tahu bahwa kedua bilah pedang dulu adalah senjata yang dipakai Suhu dan Sunio."

"Kecuali itu, seharusnya gurumu memberitahu persoalan lain, apa dia tidak sempat berpesan padamu?"

Merah muka Tan Ciok-sing, sahutnya tergagap: "Ya, beliau tidak bilang apa-apa."

Mendengar kata memperhatikan mimik, segera In-hujin tahu karena malu Tan Ciok-sing tidak berani memberitahu, pada hal dia sudah tahu kemana maksud tujuan gurunya, namun di hadapan In¬hujin dia tidak berani berbincang terus terang.

Pek-hong-ceng-bing merupakan dua pedang berpasangan, merupakan senjata pengikat perjodohan Thio Tan-hong dengan isterinya di waktu muda. Dalam hati In-hujin berpikir: "Agaknya Thio Tan-hong ada maksud menjodohkan San-ji kepada anak ini, waktu Thio Tan-hong bertemu dia sebelumnya sudah tahu bahwa Hou-ko sudah meninggal, sebagai sanak kadang tertua dari keluarga In, adalah menjadi kewajibannya untuk memutuskan perjodohan anak San. Hou-ko menyuruhnya pulang menyerahkan golok dan buku ajaran ilmu goloknya mungkin sebelumnya dia juga sudah punya maksud yang sama?" tanpa terasa In-hujin memandangnya terlongong sekian lamanya, pikirnya lagi: "Kungfu bocah ini amat baik, jujur, tulus dan bajik. Tapi soal lain yang dikatakan Seng-bu itu entah betul atau tidak? Jikalau anak San sudah punya simpanan dalam hatinya, perjodohan ini jelas tidak mungkin dibicarakan."

Dia teringat persoalan yang pernah dibicarakan Liong Seng-bu. Waktu itu dia rebah di atas ranjang setelah penyakitnya kumat, seperti anak kandung sendiri Liong Seng-bu dengan teliti meladeninya, setiap hari masak obat dan mengajak ngobrol. Meski merasakan sang keponakan ini agak bermuka-muka, namun dalam hati dia berterima kasih akan kebaikannya yang sudi merawat dirinya.

Suatu hari kesehatannya jauh lebih baik dari biasanya, tiba-tiba Liong Seng-bu datang dan berkata kepadanya: "Bibi, sebetulnya masih ada sesuatu hal yang hari itu ingin kusampaikan kepada kau orang tua, mengingat penyakit bibi masih berat, maka kutunda sampai hari ini. Kupikir lebih baik kalau hal ini kubicarakan dengan kau orang tua."

Bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah, jantung In-hujin berdetak pula, katanya dengan rasa kaget: "Apakah kabar buruk?"

"Untuk ini bibi boleh lega hati, meskipun bukan kabar baik, tapi juga bukan kabar buruk."

"Baik coba katakan. Soal apa?"

"Waktu aku pulang dulu pernah aku mampir ke Tay-tong. Untuk kedua kalinya aku bertemu dengan adik San."

Menegang perasaan In-hujin, tanyanya: "Dia bagaimana?"

"Adik San baik-baik saja," ucap Liong Seng-bu tersenyum, "kini dia sudah tumbuh dewasa, merupakan gadis cantik rupawan."

"Yang ingin kuketahui, apa saja yang dia bicarakan dengan kau?"

"Kini dia sudah tahu urusan.

Waktu aku memberitahu bahwa kau amat merindukan dia, dia menunduk, katanya: "Akupun merindukan ibu, tapi aku ingin menunggu ayah pulang, setelah mendapat izinnya baru aku mau menemui dia."

Senang dan duka pula hati In-hujin, katanya: "Bahwa dia masih menganggapku sebagai ibunya, matipun aku bisa meram. Tapi dia ingin menunggu ayahnya pulang, harapan ini jelas takkan terkabul selamanya."

"Kuatir dia tidak kuat menghadapi pukulan batin, maka peristiwa yang menimpa In Tayhiap tak berani kuceritakan padanya. Tentang pemuda yang muncul di kalangan Kangouw serta pandai memainkan ilmu golok keluarga In kuketahui belakangan. Maka akupun tak berani kasih tahu padanya."

In-hujin menghela napas, katanya: "Aku tak berani mengharapkan lagi. Betapapun aku tidak tega meninggalkan dia sebagai yatim piatu yang harus hidup sebatang kara."

"Memangnya, paman juga berpikir demikian."

"Lho, apa pamanmu juga menyinggung anak San terhadapmu?"

"Paman bilang, bila ayahnya mengalami sesuatu, dia masih punya ibu, paman dengan senang hati menjadi ayah tirinya. Paman juga bilang adalah jamak kalau kita memanggilnya pulang kesini, kalau sudah saatnya dinikahkan supaya yang jadi orang tua tidak kapiran memikirkan nasibnya kelak."

"Usianya masih kecil, soal menikah boleh kelak dibicarakan. Syukur kalau dia mau berada di dampingku saja."

"Mungkin bibi tidak tahu, soal perjodohan adik San, paman memang punya cukup alasan untuk membicarakan hal ini."

"Alasan apa?" tanya In-hujin melengak.

"Paman ada mendengar kabar, katakan ada sebuah keluarga yang akan meminang adik San, apakah adik San mencintai orang itu, paman sendiri belum tahu, tapi kalau hal ini tidak lekas dicegah, kemungkinan bisa menjadi kenyataan. Paman amat menguatirkan hal ini, ai, orang itu, orang itu..."

Tak urung In-hujin ikut kaget pula, tanyanya: "Siapakah orang itu? Bagaimana asal-usulnya?"

Liong Seng-bu menenggak habis secangkir teh baru bicara pula: "Orang itu bernama Toan Kiam-ping, asal-usulnya memang cukup tinggi dan agung, dia adalah pangeran dari keluarga Toan di Tayli."

Lega hati In-hujin, pikirnya: "Kenapa aku melupakan keluarga

Toan, selama ini keluarga Toan dan In punya hubungan yang intim. Waktu aku berada' di rumah keluarga In, pernah In Hou membicarakan pangeran raja ini terhadapku. Konon pangeran ini amat cerdik pandai, baru berusia belasan tahun sudah mempunyai dasar Kungfu dan ilmu sastra yang tinggi. Sayang aku tak pernah melihatnya. Dihitung-hitung usianya mungkin 10 tahun lebih tua dari anak San, asal orangnya baik, 10 tahun lebih tua dari sang isteri juga tidak jadi soal. Tapi kenapa paman Seng-bu malah menguatirkan hal ini?"

Seperti merasakan kekuatiran In-hujin, Liong Seng-bu bercerita lebih lanjut: "Toan Kiam-ping kenyataan memang seorang pangeran raja, bahwa keluarga In dapat berbesanan dengan keluarga agung ini sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak terhingga..."

In-hujin mengerutkan kening, katanya: "Ayah anak San bukan laki-laki yang kemaruk harta dan pangkat, bilamana anak San memang mencintai orang itu, kupikir pasti bukan lantaran dia itu seorang pangeran. Sejak kecil wataknya mirip sang ayah. Letak persoalannya hanya pada Siau-ongya itu apakah dia seorang baik?"

"Omongan bibi memang betul, persoalan justeru timbul pada sang pangeran ini."

"Apa pamanmu sudah mengutus orang menyelidiki hal ini? Apa sepak terjangnya tidak genah?"

"Mungkin lebih parah dari sepak terjang yang tidak genah."

"O, soal apakah yang sedemikian gawatnya?"

"Bibi tidak usah gugup, biar ku jelaskan dengan jelas, Pangeran ini tahun ini berusia 27, belum menikah. Konon orangnya romantis dan suka main perempuan, di rumahnya banyak pelayan perempuan cantik-cantik. Bagi keluarga bangsawan tidaklah dibuat heran kalau dia punya tiga isteri lima gundik, tapi yang membuat paman kuatir adalah persoalan lain."

"Persoalan apa pula?" In-hujin, menegas. "Keluarga Toan menjadi raja di Tayli sejak dinasti Song. Rakyat Tayli terdiri dari suku bangsa minoritet, bangsa Han kita jarang yang bisa hidup disana. Keluarga Toan juga dari suku minoritet, karena sudah bertahun-tahun mereka bergaul dan berhubungan dengan bangsa Han kita, maka peradaban mereka lebih ' maju dan adat istiadatpun mengikuti perilaku bangsa Han kita. Dan letak persoalannya justru keluarga Toan ini bukan suku bangsa Han. Keluarga Toan memang punya wibawa besar di kalangan rakyat Tayli, maka sejauh ini, Baginda Raja masih membiarkan mereka menjabat kedudukan tapi tanpa kekuasaan berarti, jadi kedudukan mereka boleh dikata sudah senin kemis. Jadi 'pangeran' inipun hanya nama kosong belaka."

Berkerut kening In-hujin, katanya: "Untuk apa kau bicara soal ini padaku? Peduli Toan Kiam-ping itu pangeran atau orang biasa, asal ayahnya setuju dan dia sendiri juga suka, tidak jadi persoalan bagi aku."

Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Betul omongan bibi. Akupun tidak suka memandang tinggi jabatan dan kekuasaan. Tapi lebih mending kalau dia seorang rakyat jelata, celaka adalah kalau dia dicurigai sebagai kaum pemberontak, kalau adik San menikah dengan dia bukankah dia bakal ketimpa mara bahaya?" sampai disini Liong Seng-bu melirik In-hujin lalu meneruskan dengan merendahkan suara: "Kali ini paman ada memberi kisikan sebuah rahasia kepadaku. Katanya kerajaan sedang siap-siap turun tangan kepada keluarga Toan, waktunya tidak akan lama."

"Lebih celaka lagi, Toan Kiam-ping sang pangeran ini tidak tahu diri, dia bergaul dengan berbagai aliran kaum persilatan, malah secara diam-diam juga ada mengikat hubungan dengan Kim-to Cecu yang bercokol diluar Gan-bun-koan. Baginda sedang memerintahkan paman untuk mengutus jago-jagonya pergi kesana mengumpulkan data-data dan bukti bahwa keluarga Toan memang nyata berkomplot dengan kaum pemberontak. Tapi lantaran agresi Watsu sehingga situasi cukup genting di perbatasan, mungkin persoalan ini tertunda untuk sementara waktu lagi.

"O, jadi karena perintah rahasia Baginda itu, maka pamanmu kuatir mungkin aku juga bisa keserempet perkara," demikian ujar In-hujin.

"Paman ada maksud untuk menjemput adik San pulang saja dan cepat-cepat dinikahkan lebih baik. Dari omongan paman dapat kurasakan bahwa dia sudah punya calon pilihannya."

"Siapa calon pilihannya?" "Paman tidak jelaskan, aku tidak enak tanya. Tapi paman ada menulis sepucuk surat untuk bibi, mungkin dalam surat dia ada menyinggung soal ini. Apa bibi ada maksud untuk membaca surat itu?"

"Baiklah, mari serahkan aku. Tolong suruhlah pelayan memasak kuah untukku, kau tak usah repot-repot meladeniku lagi," tampak sikap kikuk dan risi Liong Seng-bu, dengan tawa lucu segera dia mengiakan terus mengundurkan diri.

Waktu In-hujin buka surat itu dan membacanya, isi surat memang membicarakan soal pernikahan In San, tapi calon menantu yang dia penujui jusreru berada diluar dugaannya. Ternyata suaminya atau paman Liong Seng-bu berpendapat supaya putrinya In San dikawinkan dengan keponakannya Liong Seng-bu. Dikatakan dalam surat itu, bahwa In San memang puterinya, dalam arti kedudukan sekarang terhitung adik Liong Seng-bu, tapi betapapun mereka dari dua marga yang berbeda, jadi berikutnya mereka masih boleh juga terikat sebagai suami isteri. Dikatakan pula bahwa sang ponakan yang satu ini, kelak akan mewarisi kedudukannya, betapa baiknya kalau hubungan famili ini lebih dekat lagi dengan ikatan pernikahan ini.

Tapi dalam pendapat In-hujin justeru berbeda, dia tidak merasakan kebaikan dari pernikahan ini, bukan karena dia kuatir melanggar peradatan atau tingkatan, tapi dari pengalaman hidupnya sendiri yang serba merana ini, dia merasakan soal pernikahan ini tidak boleh terjadi.

Didalam keluarga Liong, lahir batinnya boleh dikata terpukul amat berat. Apalagi watak puterinya menuruni sifat bapaknya, sebagai seorang ibu dia cukup tahu perangai puterinya ini. Sungguh tak berani dia membayangkan apa jadinya bila puterinya betul-betul menjadi nyonya muda keluarga Liong. Apalagi puterinya itu katanya sudah punya idaman hati.

Setelah In-hujin sudah menghabiskan semangkok bubur, dengan alasan memberi salam Liong Seng-bu datang pula dan ajak ngobrol pula padanya. Tanyanya: "Apakah bibi sudah membaca surat paman?"

"Sudah," sahut in-hujin tawar, "tiada apa-apa hanya surat biasa."

Karena tadi bilang tidak tahu apa isi surat itu, maka Liong Seng-bu hanya menyengir saja mendengar jawaban In-hujin, sudah tentu dia tidak berani membongkar jawabannya yang bohong. Tapi dasar mukanya tebal dia masih berkata: "Mengenai soal adik San, paman ada memberi petunjuk kepadaku."

"Petunjuk apa?" "Paman ada bilang, bila bibi mau pergi sendiri membawa adik San pulang, diapun setuju. Beliau malah suruh aku menemani bibi. Kalau bibi merasa ripuh, boleh tulis surat saja anak buah paman akan membawanya kesana bersamaku menjemput adik San kemari."

"Aku masih sakit, tak mungkin menempuh perjalanan, biarlah tunggu setelah penyakitku sembuh saja."

Liong Seng-bu tidak berani terlalu mendesak, katanya: "Setelah penyakit bibi sembuh juga baik, tapi... dua tiga hari lagi keponakan akan keluar, paman memberi tugas kepadaku."

"Kau boleh pergi, sekembalimu nanti mungkin penyakitku juga sudah sembuh."

Maka hari kedua, Liong Seng-bu meninggalkan rumah. Sang waktu berselang dengan cepat tanpa terasa sebulan telah lalu, kabar yang tersiar diluar semakin kalut, konon pasukan Watsu sudah menduduki Gan-bun-koan, sementara Tay-tong sudah dikepung musuh.

Kini In-hujin membuang segala kekuatiran, hatinya yang gugup malah menambah baik kesehatannya, entah itu untuk sementara, tapi dia sudah bisa berjalan cepat, maka seorang diri dia terjun pula di Kangouw, berangkat ke Tay-tong yang dilanda kecamuk peperangan. Tak nyana di rumah In Hou dia tidak menemukan puterinya, tapi bersua dengan Tan Ciok-sing yang membawa barang peninggalan dan warisan In Hou kepada puterinya.

Mengawasi golok dan pedang pusaka yang ditaruh di meja oleh Tan Ciok-sing, pikiran In-hujin melayang-layang terutama Ceng-bing pokiam, teringat akan cerita Liong Seng-bu mengenai pangeran keluarga Toan, hatinya semakin risau.

"Terima kasih, kau telah membawa barang peninggalan ayah San-ji kemari," ujar In-hujin, "Akupun datang mencarinya. Sayang kita terlambat, entah kemana dia sekarang. Lalu bagaimana sebaiknya?"

"Ingin aku mohon Pek-bo wakilkan putrimu menerima golok pusaka, pedang pusaka dan buku pelajaran ilmu golok ini. Pasukan musuh sudah mundur, Tay-tong boleh dikata untuk sementara akan aman, cepat atau lambat putrimu pasti akan kembali," demikian pendapat Tan Ciok-sing.

"Lalu kau mau kemana?" tanya In-hujin.

"Kupikir hendak mencari Kim-to Cecu."

"Kau mau mencari Kim to Cecu? Apa kau kenal dia?"

"Ada seorang teman yang kenal dia. Dia berpesan padaku, jikalau tidak berhasil menemukan puterimu, boleh aku pergi ke markas Kim-to Cecu untuk berteduh disana sementara waktu. Kemungkinan Kim-to Cecu bisa membantu untuk mencari tahu jejak putrimu."

"Siapakah temanmu itu?" tanya In-hujin melenggong. "Darimana dia tahu kalau kau datang ke Tay-tong hendak mencari putriku?"

"Bukan aku memberitahu kepadanya, malah dia yang memberitahu kepadaku. Dia tahu aku bertujuan ke Tay-tong, maka dia tanya padaku apakah tahu kalau di Tay-tong ada orang In Tayhiap. Kukatakan aku tahu, tapi aku tidak ceritakan padanya bahwa aku pernah bertemu dengan ln Tayhiap. Maka dia lantas titip pesan itu untuk puterimu."

In-hujin menjadi heran, pikirannya tergerak segera dia bertanya pula: "Apa dia teman anak San? Kau belum kasih tahu siapa she dan namanya?"

"Dia bernama Toan Kiam-ping, seorang pangeran dari keluarga Toan di Tayli. Dalam perjalanan aku lewat Tayli, dalam suatu kesempatan yang kebetulan kami bertemu dan berkenalan."

"Dia titip pesan apa padamu? Boleh beri tahu kepadaku?"

"Sudah tentu boleh. Katanya keluarganya punya hubungan intim dengan keluarga In, maka dia pikir hendak mengundang puterimu ke rumahnya untuk mengungsi."

In-hujin manggut-manggut, katanya: "Betul, keluarga Toan dan keluarga In memang sudah berhubungan intim sejak beberapa generasi. Tapi aku tidak setuju kalau anak San ngungsi ke rumah keluarga Toan."

Karena dia tidak menjelaskan alasannya, meski Tan Ciok-sing merasa heran, tapi dia sungkan bertanya. Kata ln-hujin lebih lanjut.

"Ketiga barang mustika ini, kupikir tetap harus kau simpan saja untuk sementara." "Mengapa?"

"Berkat bantuan dan pertolonganmu sehingga untuk sementara penyakitku bisa sembuh. Tapi bibit penyakitnya bila tidak dilenyapkan, penyakit ini suatu ketika pasti akan kumat dan soal waktu belaka hidupku ini. Entah kapan anak San baru akan pulang, maka tidak berani aku menyimpan ketiga barang mustika. Maka sukalah kau titip simpan barang peninggalan ayahnya dan Ceng-bing-kiam ini, kelak bila ada kesempatan kau bertemu dengan dia, boleh kau serahkan padanya."

"Pek-bo jangan banyak pikiran, aku yakin penyakitmu akan lekas sembuh."

"Semoga seperti apa katamu, sebelum bertemu dengan anak San, matipun aku tidak akan bisa meram. Kapan kau akan berangkat, aku tidak ingin membikin repot kau lagi."

"Syukurlah bahwa Pek-bo bisa mempercayai diriku, aku amat berterima kasih. Kuharap Pek-bo membuang segala pikiran yang merisaukan hati, rawatlah penyakit ini dengan sabar dan tekun. Setelah Pek-bo sembuh betul, baru aku berangkat juga belum terlambat."

Sudah tentu In-hujin amat terharu, terima kasih dan menyesal pula, katanya: "Kau memang pemuda yang bajik, jujur dan tulus, hampir saja aku menuduh dan memfitnahmu tanpa juntrungan."

"Tidak boleh menyalahkan Pek-bo, adalah pantas kalau aku dicurigai. Aku membawa golok In Tayhiap, pandai main ilmu goloknya lagi. Sebelum bertemu dengan Pek-bo, di tengah jalan, akupun dicurigai orang sebagai pembunuh ln Tayhiap."

"Siapakah dia?" tanya ln-hujin.

"Seorang pemuda sebaya dengan aku, anehnya, diapun pandai menggunakan ilmu golok keluarga In," lalu dia ceritakan pengalaman dua hari yang lalu, dimana dia bertemu dengan pemuda yang hendak ditolongnya oleh serbuan pasukan kuda Watsu, akhirnya dirinya malah yang dilabrak.

Mendengar ceritanya In-hujin malah terbeliak senang, namun sikapnya tetap biasa.

"Untuk ini aku ingin tanya kepada Hujin, adakah In Tayhiap menerima seorang murid?"

Merah muka In-hujin, katanya kikuk: "Sudah sekian tahun aku berpisah dengan dia, kejadian belakangan ini, aku tidak tahu jelas."

"Baiklah kalau begitu. Sudilah kiranya Pek-bo memberitahu siapa orang yang memfitnah diriku itu?"

"Adakah kau punya seorang teman she Liong?"

Tan Ciok-sing keplok tangan, baru sekarang dia sadar, katanya: "O, kiranya Liong Seng-bu?"

"Betul, memang Liong Seng-bu. Bagaimana kau bisa kenal dia?"

Maka Tan Ciok-sing ceritakan bagaimana dia berkenalan dengan Liong Seng-bu, belakangan bagaimana mereka menempuh perjalanan dan akhirnya orang turun tangan keji atas dirinya karena hendak merebut barang-barang pusaka yang dibawanja.

Lama In-hujin melongo akhirnya geleng-geleng, sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa sang keponakan ternyata adakah pemuda yang culas dan tamak pula. Lalu katanya: "Jadi manusia harus bajik terhadap sesamanya, tapi kehidupan kaum persilatan memang penuh liku-liku. Maka selanjutnya kau harus selalu ingat, jangan kau mengemban keinginan hendak mencelakai orang, tapi embanlah kewaspadaan untuk menjaga keculasan hati orang lain atas dirimu?"

"Ya, banyak terima kasih akan petuah Pek-bo." Ucap Tan Ciok-sing, "sejauh ini aku masih belum tahu orang macam apa sebenarnya Liong Seng-bu ini, dari sikap dan tutur katanya, kelihatannya dia seorang sekolahan yang sudah mendalam dalam pelajaran buku, namun tak terduga bahwa hatinya ternyata seburuk itu, bahwa dia memfitnah diriku di hadapan Pek-bo, tentunya Pek-bo mengenalnya dengan baik? Bolehkah Pek-bo memberitahu siapakah dia sebenarnya?"

Tak urung merah pula wajah In-hujin, katanya samar-samar: "Dia seorang famili jauh, sifatnya memang bangor, biasanya aku tidak menyukainya. Mungkin dia mengincar golok dan buku pelajaran ilmu golok keluarga In itu, maka dia mencelakai kau."

"Pek-bo," ujar Tan Ciok-sing, "waktu kau masuk kemari tadi, pernah kau perhatikan ke dua singa batu yang aneh letaknya itu?"

Kata In-hujin: "Singa batu di sebelah kiri dibalik arahnya, sementara singa batu sebelah kanan ditinggali sebuah cap tangan, betul tidak?"

"Betul, dari cap tangan di atas singa batu itu, ilmu silat orang itu memang teramat tinggi. Entah apakah dia musuh besar keluarga In?" Maklum Tan Ciok-sing sedang menguatirkan keselamatan In San yang belum pernah dilihatnya, di samping merasa heran juga akan sikap In-hujin. Kenapa setelah melihat keganjilan atas kedua singa batu itu, In-hujin agaknya tidak prihatin akan keselamatan putrinya? In-hujin berkata dengan senyum manis: "Aku tahu siapa orang yang sengaja main-main dengan singa batu itu, kau tidak usah kuatir, dia adalah seorang teman baik anak San. Pernah kau dengar nama Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"

Tan Ciok-sing berjingkat, katanya: "O, kiranya Tam Tayhiap? Aku pernah melihatnya."

"Dimana kau pernah melihatnya?"

"Di malam In Tayhiap kena musibah itulah. Terlalu banyak persoalan yang kukatakan tadi, maka hal ini belum sempat kututurkan. Menurut cerita In Tayhiap, lantaran menepati janji undangan dengan Tam Pa-kun sejak tiga tahun yang lalu, maka dia datang ke Kwi-lin. Sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Sayang Tam Pa-kun terlambat datang tiga hari, waktu aku bertemu dengan dia, In Tayhiap sudah meninggal. Semula aku masih menaruh curiga, apakah dia sekongkol dengan Lui Ting-gak dan Le Khong-thian untuk mencelakai In Tayhiap? Kalau tidak bagaimana mungkin Le Khong-thian bisa tahu kemana arah tujuan dan kepergian In Tayhiap? Mereka sudah mengatur tipu daya dan jebakan untuk mencelakai jiwanya secara keji."

In-hujin geleng-geleng, katanya: "Tam Pa-kun adalah kenalan mati hidup In Hou, bagaimana martabatnya aku tahu jelas, betapa juga dia tidak akan berbuat jahat mencelakai In Hou. Tentang It-cu-king-thian Lui Tin-gak, memang sudah lama aku mendengar kebesaran namanya sebagai pendekar, tapi belum pernah bertemu. Tapi aku yakin dia pasti bukan biang keladi yang mencelakai In Hou."

"Belakangan aku bertemu dengan Tam Pa-kun, aku juga tahu bahwa curigaku tidak berdasar dan kenyataan memang keliru. Waktu aku bertemu dengan dia, diapun sedang dikejar dan dilukai oleh kawanan penjahat yang mencelakai jiwa ln Tayhiap pula. Badannya terkena beberapa panah beracun, kedua matanya juga buta. Dia memberitahu padaku, katanya dia dijebak dan dicelakai musuh di tempat dimana seharusnya dia berjanji pertemuan dengan In Tayhiap."

"Akhirnya bagaimana?" tanya In-hujin tegang.

"Ternyata It-cu-king-thian Lui Tin-gak ada di antara kawanan penjahat itu, langkah mereka semakin dekat, tapi seperti juga keadaan Pek-bo sekarang, Tam Tayhiap yakin Lui Tin-gak tidak akan mencelakai dirinya, dia suruh aku lekas melarikan diri, katanya bukan dia kuatir It-cu-king-thian akan mencelakai jiwaku, tapi dia kuatir aku terluka oleh anak buah musuh dalam keributan nanti, jelas dia tak mungkin melindungi aku. Bekal kepandaianku pada tiga tahun yang lalu memang berbeda jauh sekali, bukan saja tidak akan mampu menolong Tam Tayhiap, mungkin bisa merupakan beban dirinya untuk melindungi aku malah. Apa boleh buat, terpaksa aku lari secara diam-diam. Bagaimana akhir kejadian selanjutnya, aku tidak tahu."

"Aku cukup kenal ilmu pukulan besi yang diyakinkan Tam Pa-kun. Dari tanda tangan yang ada di atas singa batu itu, jelas adalah peninggalannya. Kejadian selanjutnya tidak kau saksikan, tapi aku bisa membayangkannya. Aku yakin pasti It-cu-king-thian berbalik muka kerja sama dengan dia menyikat habis kawanan penjahat itu, malah luka-luka di tubuh Tam Tayhiap pun berhasil dia sembuhkan."

Tan Ciok-sing berdiri termangu mendengar analisa In-hujin, "Kau sedang pikir apa?" tanya In-hujin.

"Aku memikirkan dua persoalan. Pertama untuk apa Tam Pa-kun meninggalkan telapak tangan di atas singa batu itu? Sebagai seorang pendekar yang kenamaan, tentunya dia tidak melakukan sesuatu tanpa sengaja?"

"Memang Tam Pa-kun seorang yang tidak suka berkelakar, bahwa dia berbuat demikian pasti ada sebab dan alasannya, tapi untuk apa sebenarnya, aku juga sukar menebak."

"Kedua siapa yang membocorkan rahasia pertemuan In Tayhiap dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin? Yang tahu rahasia ini hanya tiga orang In Tayhiap, Tam Pa-kun dan Lu Tin-gak, kini sudah jelas bukan Tam Pa-kun, jadi kalau bukan Lui Tin-gak pula, lalu siapa?"

Pucat muka In-hujin, suaranya serak gemetar: "Aku berani tanggung juga bukan Lui Tin-gak, tapi kita tidak usah main teka teki sendiri, perkara ini suatu ketika pasti akan jelas duduk persoalannya, aku yakin akan datang suatu hari aku pasti dapat membekuk orang yang mencelakai dan membocorkan rahasia itu," waktu mengatakan isi hatinya ini, sanubarinya seperti ditusuk sembilu sakitnya.

Bahwasanya dia sudah tahu siapa orang yang membocorkan rahasia itu, malah rahasia ini bocor lantaran keteledoran dirinya pula sehingga dicuri dengar oleh orang ini. Jadi kalau diusut secara kenyataan, secara tidak langsung diapun termasuk orang yang membocorkan rahasia ini.

Melihat keganjilan air muka In-hujin, Tan Ciok-sing kira orang terlalu banyak bicara, sehingga kehabisan tenaga, katanya: "Pek¬ bo, kau beristirahat saja. Marilah kuhibur dengan petikan sebuah lagu lagi."

Pandangan In-hujin tertuju keluar jendela, seperti sedang memikirkan apa-apa, hakikatnya seperti memperhatikan apa yang diucapkan Tan Ciok-sing. Keruan Tan Ciok-sing kaget, dia kira penyakit orang kumat lagi, baru saja dia maju hendak tanya, tiba-tiba In-hujin menoleh sambil menegakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi syarat supaya dia tidak bersuara. Lalu dia berbisik: "Ada orang datang, lekas kau sembunyi, aku bisa menghadapinya."

Tan Ciok-sing tidak tahu siapa yang datang, memang dia merasa rikuh berada di kamar perempuan, tapi waktu mendesak begini membuatnya bingung, keluar tidak mungkin, lalu dimana dia harus menyembunyikan diri.

Lekas In-hujin menuding almari pakaian, tanpa banyak pikir Tan Ciok-sing menyelinap masuk kedalam almari, baru saja dia merapatkan almari, betul juga didengarnya suara lapat-Iapat datangnya langkah kaki yang semakin dekat, kini menaiki undakan mendorong pintu besar terus masuk kedalam rumah. Dari langkah kaki yang terdengar bisa di duga yang datang ada tiga orang. Kaget dan malu hati Tan Ciok¬sing, pikirnya: "Dalam keadaan sakit tapi pendengaran In-hujin masih setajam ini, dibandingkan dia ternyata aku masih kalah jauh."

Begitu memasuki rumah, ketiga orang itu bicara sambil bisik-bisik terus maju memeriksa dan menggeledah tempat-tempat yang mereka lalui. Dengan cermat Tan Ciok-sing pasang kuping, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang sudah amat dikenalnya: "Entah Kim-to-thi-ciang itu sudah pergi atau belum."

Tan Ciok-sing kaget, tapi lantas naik pitam, orang yang bicara ternyata bukan lain adalah Liong Seng-bu. Demikian pula In-hujin, dia ke tambahan jengkel dan benci. Diapun sudah mendengar suara percakapan Liong Seng-bu diluar pintu, maka dia membatin: "Agaknya Hou-ko di alam baka memang memberi kesempatan padaku untuk menuntut balas, entah bagaimana bocah keparat ini diantar kemari untuk mengantar kematian. Hm, hm, memang aku hendak membuat perhitungan kebetulan dia kemari."

Lalu terdengar seorang bersuara agak serak tua: "Hari itu dia sengaja pamer kepandaian, dikira kita lari kena gertakannya, kini kuyakin dia takkan mengira kita bakal kemari lagi. Lalu untuk apa dia berjaga-jaga pula disini?"

Orang ketiga ikut menimbrung:

"Tam Pa-kun hanya bernama kosong, kalau ada kesempatan ingin aku menjajal Kim-to-thi-ciangnya itu."

"Hari itu hanya ada aku bersama, Ciok-tuthau, sudah jamak kalau kami gentar menghadapinya. Kini bila kalian bergabung mengeroyok dia, jelas tak usah takut padanya."

Mendengar sampai disini, diam-diam In-hujin dan Tan Ciok-sing tahu duduknya perkara. Kiranya untuk menakut-nakuti kawanan penjahat ini masuk ke rumah keluarga In, maka sengaja Tam Pa-kun meninggalkan bekas telapak tangan itu di atas singa batu, itu berarti dia melindungi keselamatan In San pula. Mendadak Tan Ciok-sing mengingat sesuatu, didalam almari jari-jarinya menjentik beberapa kali.

Lekas In-hujin dekatkan telinganya di samping almari, didengarnya suara Tan Ciok-sing selembut nyamuk, mengatakan tentang "harpa antik"-nya yang terletak di atas meja.

Maklum Liong Seng-bu pernah melihat harpa antik milik Tan Ciok-sing ini, dia kuatir orang mengenalinya, maka dia memberi ingat kepada In-hujin. Pada hal langkah ketiga orang diluar sudah berada di pekarangan dalam, tak mungkin mereka banyak bicara lagi.

In-hujin juga tersentak sadar, pikirnya: "Harpa ini memang cukup antik, mungkin dia kuatir Liong Seng-bu merusaknya nanti bila bergebrak disini. Sebetulnya hal ini tidak perlu dibuat kuatir," dia yakin semudah membalik telapak tangan untuk membekuk Liong Seng-bu tapi karena Tan Ciok-sing berkuatir, hati-hati sedikit memang juga baik, maka dengan gerakan terburu-buru sekenanya dia menarik secarik kain sutra merah terus dilampirkan di atas harpa antik itu. Sementara ketiga orang itupun sudah dekat dan sedang menuju ke kamar In San ini.

Rebah di pembaringan, napas In-hujin sengaja dibuat berat dan tersengal.

Kaget dan senang Liong-bu yang berada diluar pintu, serunya: "Siapa didalam?"

In-hujin juga berpura-pura senang dan kaget, katanya dengan napas memburu: "Apakah Seng-bu diluar? Dengan siapa kau kemari?"

Liong Seng-bu amat kecewa, katanya dengan laku hormat: "Betul, memang aku. Bibi, apakah penyakitmu sudah sembuh. Kenapa tidak kau rawat penyakitmu di rumah..." ternyata dia kira yang ada didalam kamar adalah In San.

Mendengar suara In-hujin, kedua orang diluar itu juga merasa diluar dugaan, lekas mereka berdiri tegak diluar, katanya: "Lapor Hujin, hamba Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay atas perintah Te-tok datang kemari untuk menjemput Siocia pulang ke kota raja. Tidak tahu bila Hujin ada disini, harap dimaafkan," kedua orang ini adalah dua perwira dari anak buah suaminya J^iong Bun-kong yang berkepandaian paling tinggi.

Dalam hati In-hujin berpikir: "Jikalau aku tidak sakit, bukan soal aku menghadapi mereka. Tapi buat apa aku merendahkan derajat bergebrak dengan mereka?" Maka dia berkata: "Bu-ji, kau masuklah, Ciok-tuthau dan Sa-jongiing boleh tunggu diluar saja, jangan biarkan orang lain masuk kemari." Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk.

Pelan-pelan Liong Seng-bu mendorong daun pintu, dilihatnya In-hujin sedang rebah di atas ranjang, mukanya pucat bagai kertas, napasnya yang menderu terdengar berat, agaknya penyakitnya kumat dan bertambah berat. Maka legalah hatinya, katanya: "Bibi, kenapa kau begini menyiksa diri? Bukankah bibi sudah kukasih tahu, paman sudah mempersiapkan segalanya untuk menjemput adik San pulang, kenapa bibi harus kemari sendiri?"

Tan Ciok-sing yang sembunyi didalam almari menjadi keheranan: "Bagaimana mungkin Liong Seng¬bu ternyata adalah keponakan In-hujin? Memangnya siapa pula Te-tok Tayjin itu?" dia yakin dalam hal ini pasti ada latar belakang yang cukup ruwet, terpaksa dia menahan napas mendengarkan lebih lanjut.

In-hujin menghela napas, katanya: "Aku tahu pamanmu pasti mengutus orang membawanya pulang. Tapi dia adalah putri kandungku, sudah tentu aku amat prihatin akan dirinya. Situasi di Tay-tong amat genting lagi, terpaksa aku nekad datang kemari. Tak nyana setiba disini, San-ji tidak kuketemukan, penyakitku malah kumat lagi."

Liong Seng-bu amat kecewa, katanya: "Untung bahaya sudah berselang disini, tak lama lagi adik San mungkin pulang, bagaimana keadaan bibi sekarang, perlukah kupanggil tabib untuk memeriksa?"

In-hujin pura-pura payah, duduk bersandar di pinggir ranjang, tangannya menggapai ke arah Liong Seng-bu, katanya terputus-putus: "Penyakitku ini mungkin, mungkin tak bisa sembuh lagi. Kau, kemarilah kau, aku... aku hendak bicara dengan kau."

Liong Seng-bu mengiyakan sambil menghampiri, tiba-tiba matanya melirik ke arah toilet, dilihatnya sebuah harpa kuno yang ditutupi selembar kain merah sutra, harpa kuno itu sendiri tidak dia lihat tapi dari bentuknya dia bisa memperkirakan barang apakah-di bawah kain merah sutra itu, jelas bukan perabot yang biasa dibuat dandan anak gadis, sekilas timbul rasa curiganya, tiba-tiba dia ulur tangan menyingkap kain sutra merah itu, segera dia mengenali harpa kuno milik Tan Ciok-sing itu.

Tahu gelagat jelek tapi Liong Seng-bu masih mampu menenangkan hati, katanya: "Kiranya juga bibi suka main harpa? Selama ini belum pernah aku tahu."

"Aku kesepian dalam menunggu sembuhnya penyakit ini, kadang-kadang timbul rasa isengku maka kugunakan harpa ini untuk menghibur hati."

Pandangan Liong Seng-bu menjelajah seluruh isi kamar, dirasakan tiada mungkin orang sembunyi di kamar ini, pikirnya: "Kalau Tan Ciok-sing tidak pernah kemari, bagaimana mungkin harpa miliknya berada disini? Entah dia sudah pergi? Lebih baik aku berhati-hati." Lalu dia mundur beberapa langkah, katanya: "Ada sesuatu yang lupa kuberi tahu kepada mereka, segera aku kembali."

Melihat sikap orang yang agak ganjil sudah tentu In-hujin tidak membiarkan pergi, katanya: "Baiklah, lekas kau kembali," menanti orang sudah putar tubuh dan berjalan hampir mendekati pintu, mendadak dengan tenaga sikut menahan ranjang, In-hujin mencelat bangun dan meluncur terapung, seperti burung elang menyambar kelinci, sekali tangan terulur dia cengkram tulang pundak Liong Seng-bu.

Karuan Liong Seng-bu menjerit kesakitan, teriaknya: "Bibi, kau." "Jangan bersuara," desis In-hujin di pinggir telinganya, "berani kau berteriak, segera kucabut nyawamu."

Sengaja In-hujin juga mengeluh sekali, lalu katanya: "Papah aku berdiri, jangan takut, aku hanya kebentur sedikit, tidak apa-apa," kata-katanya yang terakhir dia tujukan kepada dua orang yang berjaga diluar.

Sesaat lagi In-hujin pasang kuping, didengarnya kedua orang itu tidak putar balik, maka legalah hatinya. Segera dia tekan urat nadi Liong Seng-bu, lalu menyeretnya mendekat ke ranjang.

"Bibi," kata Liong Seng-bu suaranya lirih lembut, "keponakan tidak pernah berbuat salah terhadapmu..."

"Ada urusan yang ingin kutanya kepadamu, kau harus menjawab terus terang."

"Masak keponakan berani menipu bibi?"

"Perkataanmu ini justru telah menipuku. Perjanjian In Hou dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin bukankah kau yang membocorkan kepada pamanmu, lalu mengatur tipu daya menjebak mereka serta mencelakai jiwa mereka pula?"

Liong Seng-bu berjingkat kaget, serunya: "Bibi, kau, apa katamu? Hakikatnya aku tidak tahu menahu soal itu."

"Hari itu kau mencuri dengar pembicaraan kami, kau kira aku tidak tahu? Tapi waktu itu aku masih belum ada keputusan untuk meninggalkan keluarga Liong, tak pernah kuduga pula bahwa kau akan berbuat sejahat ini, maka aku diam saja tidak bertindak padamu. Aku paling benci bila ditipu orang, jikalau kau mau berterus terang, mungkin aku bisa mengampuni jiwamu."

Terbetik setitik harapan, kata Liong Seng-bu: "Harap bibi maklum, bukan keponakan berani ngapusi kau, semua ini adalah putusan dan perintah paman sendiri."

"Baik, teruskan," desak In-hujin menahan amarah, "kau, kenapa kau mencelakai In Hou? Kenapa pula kau memfitnah Tan Ciok-sing?"

"Bibi, bukan aku yang mencelakai In Tayhiap, paman yang punya maksud jahat ini. Ai, yang benar paman juga bermaksud baik terhadapmu. Sebagai Te-tok Hujin. kalau bibi masih ada hubungan dengan In Hou..." Merah padam muka In-hujin, dampratnya melotot: "Aku tidak pingin mendengar obrolannya, lebih penting kau bicara secara jujur."

Tan Ciok-sing yang mendengarkan sampai disini di tempatnya" sembunyinya berpikir: "Jadi In-hujin sudah nikah lagi, jadi sekarang dia adalah nyonya besar. Coba saja dia masih kemaruk kehidupan serba berkecukupan atau membela dan membalas kematian In Hou."

"Keponakan sejak kecil memperoleh banyak kebaikan paman, mana berani aku main sembunyi, apa yang kudengar semuanya sudah kulaporkan padanya, tapi aku tidak mengira bila paman bisa bertindak sejauh itu untuk mencelakai In Tayhiap."

"Tidak perlu kau membela diri, aku tidak sabar lagi mendengar obrolanmu."

"Ya, baiklah kuperpendek saja. Setelah paman tahu akan hal ini, segera dia mengutus orang memberitahu kepada Hek-ciok-ceng Cengcu le Cun-hong."

"Ie Cun-hong yang bergelar si Raja Golok itu? Ada sangkut paut apa dia dengan pamanmu?"

"Sudah lama dia ingin bekerja demi kepentingan kerajaan, maka sering dia berhubungan dengan paman, tapi bibi sendiri tidak pernah tahu. Paman menugaskan Ie Cun-hong mengatur rencana untuk mencelakai jiwa In Tayhiap. Tapi Ie Cun-hong di samping licik dan culas ternyata dia cukup licin pula, dalam melaksanakan tugasnya sendiri tidak mengunjuk diri.

"Kebetulan waktu itu datang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi bernama Le Khong-thian, konon tokoh liehay ini ada bermusuhan dengan In Tayhiap, maka Ie Cun-hong lalu mengatur muslihat serta mengundang seorang temannya yang lain bernama Siang Po-san untuk membantu Le Khong-thian, di samping itu masih ada pula orang-orang Tok-liong-pang semuanya meluruk ke Kwi-Iin disana mereka melaksanakan rencana jahat itu. Semua ini baru kudengar laporan le Cun-hong kepada paman setelah peristiwa itu berselang satu bulan. Bagaimana mereka turun tangan, secara terperinci aku tidak bisa menjelaskan."

In-hujin teringat suatu hal, tanyanya: "It-cu-king-thian tidak sekongkol dengan kalian?"

Liong Seng-bu melengak, pikirnya: "Eh kenapa perempuan busuk ini menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian malah, atau sengaja hendak mengorek keteranganku? Berapa banyak yang dia ketahui?"

"Ada atau tidak, kenapa tidak bicara?" In-hujin mendesaknya pula.

Pada hal Tan Ciok-sing sedang pasang kuping mendengarkan, tanpa terasa dia menghela napas enteng. Betapa licik dan cerdik Liong Seng-bu mendengar suara helaan napas ini, otaknya yang encer segera berputar, pikirnya: "Bocah itu pasti sembunyi dalam kamar ini, meski aku tidak tahu dimana dia sembunyi. Pasti dia pula yang memberi tahu kejadian yang mengakibatkan kematian In Hou. Betapa liehay dan sempurna rencana yang diatur paman dengan Ie dan Le bertiga, tidak heran kalau bocah ini sampai menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian, pertanyaan perempuan busuk ini menitik beratkan ke persoalan ini, pasti bocah itulah yang ingin tahu. Baiklah, kutipu mereka pula dengan melimpahkan kesalahan kepada orang," sengaja dia ragu-ragu dan plegak pleguk, katanya: "Bibi, maksudmu...!"

"It-cu-king-thian Lui Tin-gak, katamu suka bergaul dengan kaum persilatan, memangnya kau tidak pernah mendengar nama besarnya?"

Liong Seng-bu pura-pura teringat, katanya: "Oh, ya, teringat aku sekarang. It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang ikut merencanakan muslihat itu, malah dialah yang menjadi biang keladinya."

"Siapa yang memberitahu kau akan hal ini?"

"Secara kebetulan kudengar pembicaraan paman dengan utusan Ie-cengcu."

"Apa yang mereka bicarakan?"

"Paman berpesan pada orang itu bahwa It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah orang kita sendiri. Supaya mereka tidak usah takut dan jeri padanya, setiba di Kwi-lin boleh berunding dengan dia. Kudengar orang itu berkata: "Kalau demikian, In Hou janji bertemu dengan Tam Pa-kun di rumah Lui Tin-gak, bukankah berarti mereka masuk jaring sendiri?"

"Apa betul kau mendengar mereka bicara demikian? Aku tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sehaluan dengan kalian."

'"Kalau bibi tidak percaya aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi memang waktu itu aku dengar bicara demikian."

"Dan akhirnya bagaimana?" "Kebetulan aku lewat dan mendengar pembicaraan ini, tak berani aku mencuri dengar lama-lama diluar kamar, bagaimana akhir pembicaraan mereka, aku tidak tahu."

"In Tayhiap sudah jadi korban, kalian masih belum puas, kenapa bocah she Tan itu juga kalian kejar?"

"Karena hanya dia saja yang tahu akan kematian In Tayhiap, golok dan buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap berada di tangannya. Aku ingin rebut kembali barang-barang itu dan serahkan kepada adik San."

"Jadi kau ini agaknya berbudi dan baik hati terhadap kami ibu dan anak?"

"Bibi, jangan salah paham bila keponakan bicara terus terang. Tindakan paman kali ini memang agak kejam, tapi kenyataan adalah demi kepentingan. Paman sekarang adalah Kiu-bun-te-tok, tak lama lagi bakal naik pangkat, sebagai isterinya kedudukanmu akan ikut naik setingkat pula. Bahwa paman menyingkirkan In Hou, adalah mengharap kau bisa hidup tenang dan tenteram didalam keluarga Liong kita sampai hari tua."

Hampir meledak dada In-hujin, dampratnya dengan kertak gigi: "Binatang, kalian paman dan keponakan memang hewan. Aku telah salah melangkah, menyesal juga sudah terlambat, meski jiwaku harus melayang, sakit hati ini harus kutuntut pada dirimu," tiga jari tangan kanan menekan urat nadi, sementara telapak tangan kiri pelan terangkat hendak menepuk batok kepala orang. Keruan serasa terbang arwah Liong Seng-bu, ingin dia minta tolong, tapi dia insaf bila berteriak mungkin jiwanya mati lebih cepat. Pada saat kepepet ini tiba-tiba timbul akalnya, serunya: "Bibi, tidak jadi soal aku mati, kuatirnya adik San..."

Telapak tangan In-hujin tinggal satu dim di atas kepalanya, mendengar kata-katanya segera dia berhenti, tanyanya: "Anak San sudah tidak berada di Tay-tong, memangnya kalian bisa berbuat apa atas dirinya?"

"Terus terang, paman mengutus beberapa kelompok orang kemari. Dua hari yang lalu adik San menyamar laki-laki keluar dari Tay-tong, orang kita sudah mengikuti jejaknya, untuk membuktikan laporan ini, maka bersama Ciok dan San kedua anak buah paman aku kemari memeriksa. Bibi, kau boleh membunuhku, kau sendiripun tak akan bisa lolos. Adik San ketangkap orang kita, paman pasti akan membunuhnya juga untuk menuntut balas sakit hatiku. Bibi, kau masih bisa berpikir secara sehat, kau harus memikirkan untung ruginya. Kalau bibi tidak ingin pulang ke damping paman, boleh kau lari ke tempat yang jauh, meski paman marah takkan bisa berbuat apa-apa."

In-hujin menjadi ragu dan merandek setelah mendengar bujukan Liong Seng-bu.

Urat nadi Liong Seng-bu sebetulnya tertekan oleh tiga jari In-hujin, tiba-tiba dirasakan olehnya jari-jari itu rada gemetar, tenaga tekanan juga rada mengendor, ini menandakan bahwa hatinya terguncang. Pada detik menentukan mati hidup ini, tiba-tiba timbul setitik harapan, sudah tentu Liong Seng-bu tidak sia-siakan kesempatan ini! Segera dia merendahkan pundak sambil meronta sekuatnya sehinga terlepas dari cengkraman In-hujin, malah dua jarinya balas menutuk.

Memang In-hujin sedikit teledor sehingga berbalik kena kecundang. Dulu, dia pernah mengajar Kungfu kepada Liong Seng-bu, dikiranya kepandaian Liong Seng-bu yang terbatas ini, pasti takkan lolos dari tangannya. Diluar tahunya bahwa sejak tiga tahun yang lalu Liong Seng-bu pernah merebut beberapa lembar tulisan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat karya Thio Tan-hong dari tangan Tan Ciok-sing. Walau yang diperolehnya tidak lengkap, tapi berdasar kecerdikannya sendiri selama tiga tahun ini dia pelajari dengan tekun, di kota raja dia sering ajak adu kepandaian dengan jago-jago silat pamannya, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh lebih tinggi. Tapi dihadapan In-hujin dia berpura-pura rendah.

Perasaan In-hujin sedang tergoncang, tak terpikir olehnya bahwa sang tawanan bakal berontak, karena tidak siaga tahu-tahu jalan darah di dadanya kena ditonjok sekali, seketika dia rasakan badannya kesemutan.

"Kunyuk kurang ajar," hardik In-hujin, sekaligus telapak tangannya terbalik, telapak tangannya mengiris keluar dengan sisa tenaganya, maka terdengar suara "Brak" yang cukup keras, Liong Seng-bu kena digetar sungsang sumbel oleh tenaga pukulan ini, badannya menumbuk daun pintu. "Biang" tahu-tahu daun pintu ditendang terpentang dari luar. Baru saja Liong Seng-bu hendak berteriak minta tolong, kedua perwira yang datang bersamanya itu sudah menerjang masuk.

Ternyata kedua orang ini hanya mengiakan saja atas perintah In-hujin, sengaja dengan langkah berat berjalan pergi lalu ngeluyur balik dengan langkah ringan, serta mendekam diluar pintu mencuri dengar pembicaraan didalam kamar, mereka maklum jiwa Liong Seng-bu berada digenggaman In-hujin, maka tak berani mereka bertindak gegabah, baru sekarang tanpa pikirkan akibatnya mereka menerjang masuk.

Meski dalam keadaan sakit, betapapun kepandaian dan lwekang In-hujin masih lebih tinggi dibanding Liong Seng-bu, cukup dia memutar tiga kali hawa murni dalam tubuh, hiat-to yang tertutuk sudah lancar kembali. Namun karena ini dia cukup memeras tenaga, meski hiat-to yang tertutuk sudah bebas, tapi badan bagian bawah masih dalam keadaan lumpuh.

Sambil memapah Liong Seng-bu, Ciok Khong-goan berkata: "Kongcu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa," seru Liong Seng-bu sengit, "lekas kalian bekuk perempuan busuk itu."

"Kurang ajar, siapa suruh kalian masuk, lekas enyah dari sini," bentak In-hujin.

Tawar suara Sa Thong-hay: "Hujin sedang sakit, jangan mengumbar amarah. Harap Hujin ikut kami berangkat ke kota raja saja."

"Siapa Hujin kalian itu?" damprat In-hujin, "pulanglah kalian dan beritahu kepada Liong Bun-kong, aku tidak akan kembali pula ke rumah keluarga Liong."

Sa Thong-hay menyeringai, katanya: "Kalau kau tidak sudi jadi Liong-hujin, maka jangan kau salahkan kalau kami bertindak kepadamu," sembari bicara kakinya melangkah maju mendekat di pinggir ranjang In-hujin.

Tiba-tiba Liong Seng bu teringat, teriaknya: "Awas, dalam kamar ini ada sembunyi seorang lagi."

Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing tendang almari terus melompat keluar. Sa Thong-hay sedang mengulur tangan hendak mencengkeram In-hujin, tiba tiba dia rasakan angin kencang

282

menyerang dari belakang, ternyata Tan Ciok-sing menyerang dengan sejurus tusukan pedang.

Memang tidak malu Sa Thong-hay memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan genting ini dia masih sempat membalik tangan menangkap ke belakang, ternyata dengan balas menyerang dia lawan serangan musuh, dengan tangan kosong dia hendak merebut pedang pusaka Tan Ciok-sing. Jurus Kim-na-jiu ini mencengkeram ke urat nadi di pergelangan tangan Tan Ciok-sing, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan Tan Ciok-sing memang khusus untuk menghadapi serangan secara mendadak serta dapat bergerak mengikuti perubahan yang dihadapinya, segera langkah menggeser berganti posisi, ujung pedangnya melingkar menggaris sebuah bundaran kecil memapas pergelangan tangan lawan yaug terjulur tadi. Cengkeraman luput Sa Thong-hay sekaligus turunkan telapak tangan kiri terus membelah ke sikut Tan Ciok-sing. Dengan jurus jun-hun-ka-jan, cahaya pedangnya berderai melebar dengan getaran yang menyilaukan, sehingga Sa Thong-hay kena didesaknya mundur dua langkah.

Betapapun didalam kamar menghambat gerak-gerik, sukar untuk mengembangkan kepandaian sejati, sebagai jago Tay-lik-ing-jiau-kang, dengan tangan kosong tak mungkin Sa Thong-hay kuat melawan pedang pusaka Tan Ciok-sing. Lekas Ciok Khong-goan menubruk maju sambil mencabut golok. Golok Tan Ciok-sing bergerak enteng dan lincah, jurus hian-niau-hoat-sa yang kelihatan sepele ini tiba-tiba dilancarkan menyerang Sa Thong-hay, tapi sasaran yang diincarnya justeru Ciok Khong-goan yang menyerang tiba. Di tengah deru pukulan telapak tangan dan samberan kilat pedang, tampak Tan Ciok-sing bergerak setangkas kera, badan bergerak mengikuti laju pedang, secara mendadak pedangnya menusuk ke dada Ciok Khong-goan dari arah dan posisi yang tak terpikir oleh lawan. Ciok Khong-goan juga termasuk jago dalam memainkan golok cepat, tapi ilmu pedang Tan Ciok-sing jelas lebih rumit dan liehay sukar dijajaki, bahwa kagetnya secara reflek dia tarik goloknya menangkis "Trang" tahu-tahu ujung kepala goloknya terpapas kutung oleh Ceng-bing-kiam. Sebagai ahli silat Sa dan Ciok cukup tahu bergebrak didalam kamar bahayanya berlipat ganda bagi pihak mereka, apalagi lawan memakai senjata pusaka, umpama mereka tidak sampai kalah, akhirnya mungkin bisa gugur bersama. Adalah logis bila dua jagoan yang sedang bertempur memikirkan juga jalan mundur keselamatan dirinya sesuai situasi yang ada. Maka tanpa berjanji kedua orang ini berlari keluar dari kamar tidur In San, teriaknya: "Bangsat cilik, kalau berani hayo keluar."

Lega hati Tan Ciok-sing, katanya: "Pek-bo, kau?"

"Aku tidak apa-apa. Lekas libat mereka supaya tidak melarikan diri," In-hujin yakin dalam jangka setengah jam dia sudah cukup waktu untuk melancarkan seluruh jalan darahnya, bila kedua kaki sudah leluasa bergerak, maka dia bisa membantu Tan Ciok-sing melabrak musuh-musuh itu.

Terdengar Liong Seng-bu menjengek diluar: "Perempuan busuk, anakmu sudah sebesar itu, ternyata masih juga kau tidak malu main pat-gulipat disini, sungguh tidak tahu malu."

Saking gusar In-hujin sampai memuntah sekumur darah, bentaknya: "Bunuhlah anjing keparat itu. Sungguh aku menyesal kenapa tadi tidak kucabut jiwanya."

"Memangnya, kalau mampu hayo keluar dan bunuh kami bertiga," ejek Sa Thong-hay, "kalau kau tidak keluar, biar kukubur kalian sepasang laki-laki perempuan anjing ini hidup-hidup." "Wut" dengan kepalannya tiba-tiba dia menggempur ke dinding. Yang diyakinkan adalah Tay-Iik-ing-jiau-kang, betapa dahsyat tenaga pukulannya, seketika dinding jebol dan runtuh berhamburan, dua batu bata mencelat kesana hampir saja menjatuhi harpa yang berada di atas toilet.

Tan Ciok-sing gusar, harpa itu segera dia buntal dan digendong, katanya: "Pek-bo, aturlah pernapasan dan kerahkan hawa murni tak usah pecah perhatian atas diriku. Kedua cakar alap-alap ini aku mampu menghadapi mereka," tiba-tiba dia gerakkan tangannya, dengan jurus Me-can-pat-hong seluruh tubuh terbungkus dalam libatan cahaya pedang terus menerjang keluar pintu. Liong Seng-bu berjingkat kaget serta putar badan menyingkir ke tempat jauh.

"Biar bocah keparat ini tahu keliehayanku," bentak Sa Thong-hay, kini dia sudah memegang sebatang kipas lempit yang terbuat dari besi baja. Dengan jurus Bek-hong-koan-jit pedang Tan Ciok-sing menusuk lambung musuh. Dengan kipas lempitnya Sa Thong-hay menangkis serta menuntunnya keluar, secara pas-pasan dia geser tenaga serangan pedang Tan Ciok-sing ke samping sehingga pedang Tan Ciok-sing tersampuk minggir.

Inilah tenaga lunak untuk mengalahkan kekerasan yang meminjam tenaga untuk memunahkan tenaga. Umumnya orang yang meyakinkan Tay-lik-ing-jiau-kang jarang yang memiliki landasan latihan lwekang. Tan Ciok-sing tidak menduga bahwa lawan yang satu ini ternyata mahir lwekang, hampir saja dia kena kecundang, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan itu khusus memang untuk melayani segala perubahan mengikuti situasi yang ada, maka meneruskan laju pedangnya tiba-tiba pedang panjang tadi melingkar sekali memunahkan daya lengket dari kipas lawan begitu berubah permainan pedangnya dari jurus Pek-hong-koan-jit dia rubah menjadi Kiau-hu-bun-Io (pencari kayu tanya jalan), pedang menyapu bagian bawah Sa Thong-hay. Kipas Sa Thong-hay ditarik melempit terus ditekan turun, "Trang" pedang dan kipas beradu menimbulkan percikan lelatu api. Dalam jurus bentrokan ini walau Sa Thong-hay tidak mampu mengeser pedang lawan, namun tenaganya sudah terpunahkan sebagian besar, sehingga Tan Ciok-sing tidak mampu menusuk lobang kipas besi orang.

Melihat kawan tidak kuasa mengalahkan lawan cilik ini, sudah tentu Ciok Khong-goan tidak tinggal diam, sambil menghardik sekali di bawah permainan goloknya dia selingi pukulan tangan Tan Ciok-sing dirangsaknya dengan sengit. Menghadapi dua musuh dari dua jurusan sedikitpun Tan Ciok-sing tidak merasa jeri pedang ditarikan turun naik dengan gerak kecepatan luar biasa memainkan jurus-jurus pedang ciptaan gurunya lagi, dengan leluasa dia masih mampu menghadapi keroyokan kedua orang ini. Malah dirabu oleh gerakan pedang cepat Tan Ciok-sing, Sa Thong-hay tidak mampu lagi mengembangkan gwakangnya, sementara Ciok Khong-goan paling juga hanya mampu bertahan saja.

Kepandaian Ciok Khong-goan memang tidak setingkat Sa Thong-hay yang mampu meyakinkan lwekang dan gwakang, betapapun dia sudah termasuk jago liehay, sudah menjadi incaran Tan Ciok-sing hendak memukul roboh dulu pada sasaran yang lemah ini, sejauh itu usahanya tetap gagal. Permainan golok dicampur pukulan Ciok Khong-goan memang cocok untuk menghadapi gerak pedang kilat Tan Ciok-sing, tapi untuk balas menyerang jelas tidak mungkin, kalau untuk bertahan dalam jangka tertentu dia masih mampu membela diri.

Liong Seng-bu sudah lari puluhan langkah, waktu dia berpaling dilihatnya Sa dan Ciok berdua tidak kelihatan lebih asor, maka dia tenangkan hati pelan-pelan dia putar balik mendekati arena pertempuran.

Tan Ciok-sing mencegat di pintu, bentaknya: "Liong Seng-bu, berani kau selangkah memasuki pintu ini, biar kubunuh kau lebih dulu."

Tapi didalam In-hujin berkata dingin: "Biarkan saja dia masuk, tak usah kau menghalanginya, silahkan saja masuk kemari,"

Sudah tentu Liong Seng-bu tahu betapa liehaynya In-hujin, meski dalam keadaan sakit, tadi kena tutukan jarinya lagi, namun dia masih jeri untuk mendampinginya.

"Liong-kongcu," seru Sa Thong-hay. "Lekas kau lari minta bantuan, balai kota kan tidak jauh dari sini."

Liong Seng-bu tersentak sadar oleh peringatan ini, pikirnya: "Ya kenapa tidak aku kerahkan tentara kemari? Kurasa militer di Tay-tong kan pengagum paman."

In-hujin lebih terkejut mendengar percakapan ini, dalam jangka setengah jam dengan taraf lwekang In-hujin sekarang sebetulnya dia sudah mampu melancarkan hawa murninya, tapi karena pikiran gundah hati risau, hawa murni sukar dihimpun, sehingga rasa linu dan pati kedua kakinya bertambah parah.

Sementara Tan Ciok-sing yang menghadapi kedua musuhnya di pekarangan lama kelamaan merasa payah, semangat tempur masih gigih tapi tenaga semakin terkuras. Suatu ketika pedangnya menusuk ke leher Ciok Khong-goan, lawan menegakkan golok menangkis "Trang" pedangnya kena disampuk pergi, golok lawan ternyata tidak kurang suatu apa, sebat sekali pedang Tan Ciok-sing sudah melintir balik, maksudnya hendak menusuk hiat-to lawan dari arah yang tak terduga, hasilnya serambut lebih lambat sehingga tusukannya gagal.

Padahal Ciok Khong-goan sudah dibuat silau oleh cahaya pedang, untuk berkelit jelas tidak mungkin. Tak nyana ujung pedang lawan tahu-tahu menyelonong ke samping, hanya terpaut serambut itu hiat-tonya tidak sampai tertusuk. Begitu tenang perasaan dan pikiran Ciok Khong-goan seketika berteriak girang: "Bocah ini sudah kepayahan."

Kipas Sa Thong-hay mengetuk dan mengebas terbuka, beruntun dia bebaskan tiga jurus serangan rangkaian pedang Tan Ciok-sing. Tiga serangan pedang berantai ini masih cukup kencang gerakannya, tapi dibanding tadi jelas sudah jauh lebih lambat dan lemah. Karuan Sa Thong-hay ikut senang, serunya: "Betul, tak perlu kita adu jiwa dengan bocah ingusan ini, hayo kuras saja tenaganya, libat terus jangan sampai melarikan diri."

Yang benar dengan bekal ginkang dan kemahiran ilmu pedangnya yang liehay, walau saat itu dia sudah hampir kehabisan tenaga, untuk melarikan dia masih cukup berlebihan. Tapi di kamar masih ada In-hujin yang tidak mampu berjalan, bagaimana mungkin dia melarikan diri tanpa memikirkan tentang keselamatan orang. Oleh karena itu sekuatnya dia mengempos semangat untuk bertahan mati-matian. Jeri menghadapi permainan pedangnya yang liehay sukar diraba, Sa dan Ciok berdua juga tidak berani terlalu mendesak. Tanpa merasa pertempuran ini sudah berselang hampir setengah jam, badan Tan Ciok-sing basah kuyup keringatnya gemerobyos, gerakan pedangnya boleh dikata tanpa dilandasi kekuatan tenaga dalam lagi. Kiranya untuk membantu penyembuhan penyakit In-hujin, dia harus menyalurkan Iwekangnya, tidak sedikit hawa murninya yang terkuras, dalam kondisi yang semakin lemah ini, akibatnya pihak musuh semakin mengganas dan pihak sendiri semakin payah kehabisan tenaga.

Di saat-saat tegang ini, tiba-tiba terdengar derap lari kuda yang kencang dari kejauhan. Derap kaki kuda yang kacau balau dan gaduh suaranya, bagi yang berpengalaman sekali dengar akan lantas tahu bahwa kuda yang dicongklang mendatangi sedikitnya ada belasan.

Ciok Khong-goan tertawa tergelak-gelak, serunya: "Nah itu pasukan pemerintah sudah tiba, coba bocah keparat kau ini mau lari kemana?" Padahal keadaan Tan Ciok-sing sudah ibarat pelita yang sudah kekeringan minyak, umpama pasukan pemerintah tidak datang, jelas diapun takkan bisa meloloskan diri lagi.

Belum lagi gelak tawa Ciok Khong-goan lenyap, di atap rumah tiba-tiba didengarnya kesiuran angin lambaian pakaian manusia. Mereka bertempur di pekarangan, Sa dan Ciok menghadap ke kamar dimana In-hujin berada, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menukik turun dari arah taman belakang sana terus meluncur lenyap kedalam kamar. Bayangan itu lenyap di antara paya-paya di sebelah sana dimana merupakan samping kamar yang terdapat sebuah jendela, mungkin orang itu sudah menerobos masuk kedalam. Sa dan Ciok tidak tahu siapa pendatang ini, tapi Liong Seng-bu sudah mengundang bala bantuan, mungkin orang itu adalah jago kosen yang diundang Liong Seng-bu, meski hati merasa kaget, namun hati mereka tidak gugup. Tan Ciok-sing yang membelakangi kamar sudah tentu tidak melihat berkelebatnya bayangan hitam. Tapi kupingnya cukup tajam, diapun mendengar lambaian baju seseorang yang melayang pesat di atap rumah. Seperti juga kedua lawannya, Tan Ciok-sing menduga orang yang menerjang masuk ke kamar In-hujin adalah bala bantuan yang diundang Liong Seng-bu untuk membekuk In-hujin. Karuan hatinya gugup, permainannya pun kacau balau.

Mendadak didengarnya sebuah suara yang seperti sudah amat dikenalnya tersiar dari kamar: "Te-moay, tak usah gugup, mari kubawa kau keluar." Disusul suara In-hujin setengah berteriak dengan nada kaget dan senang: "Tam-toako kaukah. Tam-toako, aku, aku malu berhadapan dengan kau."

Mendengar panggilan "Tam-toako" kedua pihak yang lagi berhantam di pekarangan sama-sama melengak. Terutama Sa dan Ciok lantas berjingkat kaget, sebaliknya Tan Ciok-sing kegirangan setengah mati. Orang yang setimpal dipanggil Tam-toako oleh In-hujin, kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memangnya siapa lagi?

Sebetulnya kipas lempit Sa Thong-hay sudah bergerak menutuk Ih-khi-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing di kala yang diserang ini lagi tertegun, namun karena sedikit melengak ini, tutukannya jadi menceng, meski menyentuh tubuh Tan Ciok-sing, namun yang kena sisi hiat-to yang tidak berbahaya. Kontan Tan Ciok-sing merasa ketiaknya sakit dan linu, namun gerak-geriknya tidak menjadi terhalang karenanya. Mendadak pedangnya malah berputar balik menyampuk kipas lawan itu terus menggaris miring kesana, baju Ciok Khong-goan kena ditabasnya sobek secuil. Karena kaget Ciok Khong-goan lekas melompat mundur dengan gerakan gugup.

Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, orang yang baru datang dan masuk ke kamar tidur In San memang bukan lain adalah Tam Pa-kun. Didengarnya Tam Pa-kun berkata dengan suara lirih: "Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah, tahu salah bisa merubah dan mengoreksi diri, betapa bajik hatinya itu. Te-moay, urusan yang sudah lalu jangan kau singgung lagi, marilah lekas ikut aku ke markas Kim-to Cecu, sebentar lagi pasukan pemerintah sudah akan kemari."

In-hujin tertawa kecut, katanya: "Jangan kata aku tidak mampu bergerak, umpama mampu bergerak aku juga tiada muka berhadapan dengan teman-teman Hou-ko."

Baru sekarang Tam Pa-kun kaget, tanyanya: "Jadi Te-moay sudah terluka?"

"Lekaslah kau bantu pemuda itu, tak usah kau hiraukan diriku," kata In-hujin.

Dengan cermat Tam Pa-kun mengawasi dan memeriksa, didapatinya kaki orang yang lumpuh, katanya: "Ah, tidak jadi soal," jari tengahnya terulur terus menutuk ke Hoan-tiau-hiat di lutut In-hujin, seketika In-hujin merasa Siau-yang-king-meh di bagian kakinya bergetar, maka hawa murni yang sejak tadi sudah terhimpun di pusar seketika mengalir kencang ke bagian bawah tubuhnya, tanpa merasa segera dia bergerak turun dan berdiri. Maklum Tam Pa-kun adalah ahli silat, sekali pandang lantas dia tahu bahwa In-hujin tertutuk hiat-tonya, meski sudah berusaha menghimpun hawa murni dan hiat-to sudah terbuka, namun hawa murni itu nyasar ke arah yang berbeda, sehingga kedua kakinya menjadi lumpuh sementara. Bahwa In-hujin sudah memiliki kepandaian silat yang bertaraf tinggi masih mengalami kesalahan ini, dapatlah dibayangkan pasti karena pikirannya sedang kacau.

Tam Pa-kun keluarkan golok emasnya yang masih bersarung, gagang golok dia angsurkan kepada In-hujin, katanya: "Jangan kau banyak pikiran, urusan tidak boleh ditunda lagi, lekas pergi bersamaku." Ilmu silat In-hujin belum pulih, tapi kedua kakinya sudah bisa jalan. Diluar terdeagar ringkik kuda dan teriakan orang banyak, ternyata pasukan kuda pemerintah telah datang dan mengepung rumah keluarga In.

Terdengar suara Liong Seng-bu sedang berteriak: "Jangan terburu-buru masuk ke rumah, kita tunggu saja diluar, bila bangsat itu lari keluar, kita bidik dia dengan panah."

Pemimpin barisan kuda, bertanya: "Kalau dia tidak lari keluar bagaimana?"

Liong Seng-bu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Apa susahnya, kita bakar rumahnya." Lalu dia berteriak lantang: "Sa-jongling, Ciok-tuthau, kalian sudah bekuk bangsat kecil itu belum? Kalau belum boleh kalian keluar saja."

Tan Ciok-sing tahu Tam Pa-kun sebentar akan keluar, sudah tentu dia tidak memberi peluang kepada kedua lawannya untuk mengundurkan diri. Segera dia mengempos semangat dan labrak kedua lawannya dengan sengit, "Sret, sret" beruntun dia lancarkan dua jurus serangan pedang, ke kiri dia tusuk perut Sa Thong-hay, ke kanan dia menusuk mata Ciok Khong-goan.

Karuan Sa Thong-hay naik pitam, serunya: "Baiklah, kita bekuk dulu bocah keparat ini baru nanti menempur Tam Pa-kun."

Belum habis dia bicara, tampak Tam Pa-kun dengan memegang ujung golok emasnya sudah berjalan keluar menyeret In-hujin.

Kata In-hujin: "Tam-toako, jangan kau hiraukan aku, lekas kau bantu pemuda itu," dalam waktu yang mendesak begini tidak sempat dia menjelaskan siapa sebenarnya Tan Ciok-sing, terpaksa dia desak Tam Pa-kun membantu Tan Ciok-sing untuk sama-sama meloloskan diri.

Sebagai jago kelas wahid sekilas pandang Tam Pa-kun lantas tahu, diam-diam hatinya heran, pikirnya: "Ilmu pedang pemuda ini amat bagus dan menakjubkan, jauh berbeda dengan ilmu pedang pada umumnya, sayang tenaganya sudah lemah, kalau tidak sejak tadi dia sudah mampu mengalahkan kedua musuhnya. Aneh, ada angkatan muda seliehay ini muncul di kalangan Kangouw, kenapa sejauh ini aku tidak tahu?"

Maklumlah pertemuan Tan Ciok-sing dan Tam Pa-kun pada malam hari di Cit-sing-giam tempo dulu, Tam Pa-kun sudah terluka cukup parah oleh panah beracun, racun sudah menjalar sehingga kedua matanya hampir buta. Waktu itu Tan Ciok-sing memang bicara dengan dia, tapi wajah orang dia belum pernah melihat. Hakikatnya dia juga tidak pernah menduga, setelah berselang tiga tahun, bocah cilik yang dulu berkepandaian cakar ayam kini memiliki ilmu pedang taraf tinggi seliehay ini. Kuatir Kungfu In-hujin belum pulih, maka Tam Pa-kun tidak berani meninggalkan In-hujin, katanya: "Apa susahnya menghadapi kedua bangsat busuk ini," habis kata-katanya sebelah tangannya segera menghantam dengan Bik-khong-ciang, jaraknya masih tujuh langkah, namun damparaan angin pukulannya bikin golok Ciok Khong-goan tertolak minggir, kontan dia rasakan dada seperti diterjang batu raksasa, sebelum sempat berteriak, begitu mulut terpentang darah segar sudah menyembur sebanyak-banyaknya, tubuhnya mencelat sempoyongan, untung dia masih kuat menguasai tubuh hingga tidak sampai terjungkal roboh.

Sa Thong-hay memiliki lwekang lebih tinggi toh limbung juga dibuatnya, lekas dia membentang kipas besi terus mengiris ke pergelangan tangan Tam Pa-kun yang memegang ujung golok. Kipas lempitnya pinggirnya tajam bagai pisau, bergerak dalam jarak dekat dapat digunakan sebagai golok bergigi. Dia kira Tam Pa-kun hanya mampu bergebrak dengan sebelah tangan kiri saja, maka dia berani menyerang titik kelemahan orang.

Tak nyana gerak-gerik Tam Pa-kun cepat luar biasa, begitu tumit menggeser sambil berputar, tangan kanan tetap memegang ujung golok, sementara ke lima jari tangan kiri terangkap telapak tangan melintang terus membabat laksana golok, kebetulan sasarannya mengincar tetap ke arah kipas Sa Thong-hay. Tenaga dikerahkan di ujung jari terus disodokan sekerasnya. Betapa pun liehay lwekang Sa Thong-hay yang bisa lunak dapat keras itu, ternyata tak mampu memunahkan terjangan kekuatan tangannya ini.

"Plak" telapak tangan Tam Pa-kun yang terdiri darah daging itu ternyata tembus melobangi kipas lempit Ciok Khong-goan yang terbuat dari baja murni, hebat memang tenaganya yang masih tersisa cukup besar ini masih merenggut lengan orang, jari-jarinya yang berkuku tajam melukai lengannya sampai kulit dagingnya cecel dowel, darah bercucuran. Sudah tentu Sa Thong-hay tak kuasa menghadapi terjangan pukulan tangan dahsyat ini, tubuhnya seperti bola yang ditendang mencelat terbang melayang melampaui pintu luar. Untung ilmu silatnya cukup tinggi, di tengah udara dia masih berusaha kendalikan tubuh sekali gerak dengan gaya burung dara jumpalitan, dengan ringan kedua kakinya hinggap di tanah, namun lekas dia menungging sambil berkaok-kaok kesakitan.

Melihat bola daging manusia mendadak terlempar keluar, belum lagi tentara pemerintah diluar melihat jelas siapa orang yang terlempar keluar, beberapa tentara yang beradat berangasan segera pentang busur terus membidik. Pintu besar sudah terpentang lebar, dari dalam tampak berlari sipat kuping seorang lagi, dia memutar golok bajanya meruntuhkan panah-panah yang dibidikan ke arah Sa Thong-hay, bentaknya: "Kalian sudah picak semua? Sembarang membidik orang."

Liong Seng-bu terperanjat, lekas dia membentak: "Lekas berhenti, itulah Sa Tayjin dan Ciok Tayjin." Yang ikut menerjang keluar di belakang Sa Thong-hay ternyata Ciok Khong-goan adanya. Dadanya sesak setelah muntah darah diterjang angin pukulan jarak jauh Tam Pa-kun, karuan pecah nyalinya terus lari sipat kuping. Tapi Sa Thong-hay yang dilempar keluar larinya lebih cepat lagi.

Sungguh kejut dan girang hati Ciok-sing yang masih berada di pekarangan, lekas dia memberi hormat kepada Tam Pa-kun, Tam Pa-kun tak sempat banyak bicara, dia hanya berpesan: "Adik cilik, tolong kau bantu membuka jalan lekas kita terjang keluar kepungan." Pedang yang dibawa Tan Ciok-sing adalah pedang mustika dengan bekal kepandaian ilmu pedangnya, pasti takkan terluka oleh serbuan hujan panah. Lalu dia menoleh dan berkata pula: "Te-moay, apakah sekuatnya kau masih mampu mengembangkan ginkang?" In-hujin manggut-manggut. Lwekangnya memang belum pulih, namun ginkang tidak memerlukan banyak tenaga, sekuatnya dia masih mampu mengembangkan kepandaiannya ini.

Tam Pa-kun mengangguk, katanya: "Baiklah, mari ikut aku naik ke rumah," golok bersarung itu dia anggap sebagai tongkat untuk menggandeng In-hujin, mereka berdua berbareng menjejak bumi terus mengapung tinggi ke atas rumah, mendapat daya tuntunan dan tarikan melalui golok yang dipegangnya, dengan enteng In-hujin dapat hinggap di atas rumah.

Dalam pada itu dengan memutar kencang pedang laksana baling-baling Tan Ciok-sing menerjang keluar secepat angin Iesus. Baru saja Sa Thong-hay berdiri tegak belum lagi kakinya beranjak tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah menerjang keluar di belakangnya.

Sudah tentu pasukan pemerintah itu tak berani sembarangan membidik lagi. Lekas Ciok Khong¬goan gerakan golok menghadang, kini tenaga kedua pihak sudah sama-sama lemah, kalau diukur malah kekuatan Tan Ciok-sing sekarang lebih unggul. Begitu pedang dan golok beradu, ujung golok tebal Ciok Khong-goan kembali terpapas kutung sebagian lagi. Sementara rasa kaget dan jeri Sa Thong-hay belum lenyap maka dia timpukan kipas lempitnya yang sudah rusak bagai besi rombeng ini ke arah Tan Ciok-sing. Dengan gaya Burung Hong Mengangguk, Tan Ciok-sing menghindar, berbareng dengan sejurus gerakan pedang dia balik menyerang lengan lawan, tapi tahu-tahu ujung pedang sudah mengancam dada. Sa Thong-hay harus kerahkan setaker kemampuannya mengebut dengan lengan bajunya. "Bret" lengan bajunya terpapas robek, tapi pedang Tan Ciok-sing kena disampuk miring ke pinggir. Tan Ciok-sing tidak ingin terlibat dalam pertempuran sengit pula, setelah berhasil membebaskan diri dari libatan kedua musuh ini, dia menerjang ke barisan pasukan pemerintah yang mengepung disekeliling pekarangan. Di kala perhatian pasukan pemerintah tertuju ke arah Tan Ciok-sing itulah, Tam Pa-kun telah berlompatan bagai burung terbang menubruk turun. Seorang perwira paling depan menjadi sasaran empuk baginya, sekali tempeleng dia pukul jatuh perwira itu terus merebut kuda tunggangannya, serta menyambut In-hujin yang ikut lompat turun di belakangnya, lekas dia telah berhasil merebut seekor kuda untuk tunggangan In-hujin.

Ada seorang tentara tidak tahu keliehayan Tam Pa-kun, dengan kencang dia berusaha mengudak. Tam Pa-kun membentak: "Biar kau tahu keliehayan golok emasku," dimana sinar emas berkelebat, batok kepala tentara yang mengudak datang ini seketika mencelat tinggi ke udara, darah menyemprot dari lehernya yang sudah protol kepalanya. Tam Pa-kun kembalikan golok kedalam sarungnya, bentaknya sambil tertawa dingin: "Siapa lagi yang tidak takut mati, hayo maju," tentara yang terpenggal terhitung salah seorang pemberani dan gagah perkasa di medan laga, di kalangan tentara pemerintah dia cukup terpandang dan disanjung pula oleh temannya. Kini hanya sekali ayun golok musuh telah membunuhnya, karuan ciut nyali tentara yang lain, siapa lagi yang berani mengejar? Tam Pa-kun di belakang dan melindungi In-hujin melarikan diri.

Liong Seng-bu gusar, teriaknya: "Takut apa lepaskan panah."

Tam Pa-kun menyeringai dingin, sekali raih dia pegang satu batang panah, dengan gerakan menyambit dia timpuk balik panah ini dengan kekuatan jentikan jari, ini ternyata jauh lebih kuat daya luncurnya dari bidikan panah berbusur, jarak padahal sudah mencapai seratus langkah, namun panah ini masih melesat kencang ke arah Liong Seng-bu.

Kejut Liong Seng-bu bukan kepalang, untung di sampingnya berdiri seorang perwira mengayun cambuk menyampuk panah, panah melenceng ke samping tapi daya lemparnya yang kencang membuat panah ini menyerempet dahi Liong Seng-bu dan menancap di pundak seorang perwira lain yang berdiri di belakangnya. Liong Seng-bu gemorobyos oleh keringat dingin, mulutnya tidak berani bercuit lagi.

"Tam-toako, pemuda itu..." seru In-hujin gugup.

Tam Pa-kun tersentak sadar, segera dia tarik suara berteriak: "Adik cilik, setelah lolos kepungan, datanglah ke markas Kim-to Cecu untuk bertemu," dia kira Sa dan Ciok berdua sudah terluka, di antara perwira-perwira pemerintah itu tiada jago kosen lainnya, pasukan berkuda itu takkan dapat menahannya maka dia tidak ingin In-hujin ikut menempuh bahaya, lebih penting dia melindungi keluar dari mara bahaya. In-hujin pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing, diapun percaya pemuda ini pasti dapat meloloskan diri. Tan Ciok-sing pernah bilang bahwa tujuannya ke Tay-tong adalah mencari putrinya kalau tidak ketemu akan mampir ke markas Kim-to Cecu, sayang dia lupa bahwa Tan Ciok-sing tidak tahu dimana letak markas Kim-to Cecu itu. Tadi Tam Pa-kun menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang dilandasi lwekang yang tangguh, bicara pada kata terakhir bayangan mereka berduapun sudah tidak kelihatan.

Pedang Tan Ciok-sing diputar secepat kitiran, jelas dia sudah hampir menjebol kepungan mendadak dirasakan angin tajam mengancam gitoknya, sebatang ruyung lemas tahu-tahu sudah melingkar datang, sebagai seorang persilatan sekali pandang lantas Tan Ciok-sing tahu penyerang ini merupakan ahli silat juga.

Secara reflek dia membalik tangan dengan jurus Hing-hun-toan-hong pedang pusakanya menepis miring. Gerakannya sudah cukup cepat, tapi penyerang inipun tidak kalah cepat, di tengah deru angin kencang ruyung lemas itu tiba-tiba sudah menggulung balik pula, gerakannya merupakan tipu permainan ruyung liehay yang dinamakan Wi-hong-sau-liu. Ukuran ruyungnya ini lebih panjang dari ruyung umumnya, bila Tan Ciok-sing tidak merubah permainan pedangnya, umpama ruyung itu terpapas sebagian, tapi dia sendiri pasti juga kena terbelit. Oleh karena itu dia dipaksa untuk mengerahkan tenaga mendemonstrasikan kelemasan pinggangnya, dengan gaya Yan-cu-can-hun tiba-tiba dia melejit mumbul setombak tingginya.

Penyerang dengan senjata ruyung ini ternyata bukan lain adalah perwira yang tadi berdiri di samping Liong Seng-bu serta menyampuk miring panah yang ditimpukkan Tam Pa-kun. Orang ini bernama Toh Liok-ki, salah seorang murid didik dari aliran Utti-pian-hoat. Taraf Kungfunya meski tidak sebanding Sa Thong-hay, tapi menghadapi Tan Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga ini, dia masih mampu bertahan sama kuat alias setanding.

Baru saja beberapa gebrak Tan Ciok-sing menghadapi ruyung Toh Liok-ki, Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan sudah memburu tiba pula. Sa Thong-hay membentak: "Anak bagus, Tam Pa-kun takkan membantumu lagi, coba saja apa kau mampu lolos dari genggamanku?"

"Wut" begitutiba kontan dia menggenjot ke punggung Tan Ciok-sing. Walau Sa Thong-hay sudah terluka, tapi di antara sekian banyak pasukan yang ada kepandaiannya masih terhitung paling top. Menghadapi musuh di depan dan belakang, Tan Ciok-sing tahu diri, bila dirinya sampai dilibat oleh Sa Thong-hay, untuk lolos pasti sukar, tiba-tiba otaknya yang cerdik mendapat akal, pada detik-detik berbahaya ini, dia tidak hiraukan pukulan Sa Thong-hay yang membokong dari belakang, tiba-tiba dia menubruk sekuatnya ke arah Toh Liok-ki malah.

"Bocah keparat, ingin mampus kau," hardik Toh Liok-ki kaget, ruyung disendai terus disapu ke pinggang lawan. Pada detik-detik yang menentukan ini kembali Tan Ciok-sing bertindak nekad dan untung-untungan, mendadak dia mendak tubuh sambil berputar terus menjengkang tubuh sambil miring seperti petani bercocok tanam di tengah ladang, ruyung lemas itu menyamber lewat di atas punggungnya, secara kebetulan dia berhasil menghindar dari sapuan ruyung musuh.

Pandangan Toh Liok-ki mendadak jadi silau, saking kaget, secara reflek dia berusaha melindungi badan tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Dalam seribu kesibukannya mendadak dia menggunakan gerakan Ular Sanca Membalik Tubuh, tubuh bersama ruyung lemas itu berputar laksana gangsingan terus menyapu pula ke arah bayangan yang menubruk maju. Maka terdengar suara "Plak", orang itu membentak: "Lo-toh, inilah aku."--Ternyata Tan

Ciok-sing sudah membresot lewat dari sampingnya. Orang yang hampir dimakan ruyungnya itu kiranya Sa Thong-hay. Cara menyelamatkan diri yang ditempuh Tan Ciok-sing memang amat berbahaya, waktu yang digunakan juga tepat.

Sa Thong-hay menolak ruyung kawan sendiri yang menyapu mukanya, meski lwekangnya tinggi, tak urung dia tertolak berputar dua lingkaran, hampir saja dia saling tumbukan dengan Toh Liok-ki. Toh Liok-ki sendiri juga terhuyung-huyung hampir jatuh, karuan mukanya merah padam, lekas dia tarik ruyung lemasnya.

Begitu lolos dari kepungan kedua musuh dari depan dan belakang, Tan Ciok-sing lantas kembangkan kelincahan gerak tubuhnya, laksana burung walet yang menyusup kedalam hutan, laksana burung camar bermain di antara gelombang samudra, tubuh bergerak mengikuti gerakan pedang, pesat sekali tubuhnya berkelebat dan maju terus di antara tentara-tentara pemerintah. Beberapa tentara yang berada dekat dirinya pasti diberi persen goresan luka pedang atau kena ditempeleng pipinya, ada pula yang ditusuk buta matanya dan ditendangnya jungkir balik sampai patah tangan atau kaki, jerit kesakitan terdengar saling bersahutan. Jalan raya tidak seperti tanah lapang, meski jumlah tentara pemerintah banyak, mereka toh tidak bisa berjubel mengepung seorang musuh. Melihat beberapa temannya terluka sebagian besar yang lain tanpa komando telah menyingkir menyelamatkan diri.

Tan Ciok-sing pura-pura hendak memburu ke arah Liong Seng-bu, bentaknya: "Bangsat she Liong, meski jiwaku harus berkorban, hari ini aku harus membunuhmu."

Saking ketakutan Liong Seng-bu menjerit minta tolong. Lekas Ciok Khong-goan memburu tiba, dengan jurus pek-hong-koan-jit Tan Ciok-sing menusuk lurus dengan pedang, di tengah jalan pedangnya mendadak berubah sasaran menusuk pula dari posisi yang tidak terduga, berbareng mulutnya menghardik: "Lepaskan golok."

Memangnya Ciok Khong-goan bukan tandingan Tan Ciok-sing, hatinya sudah jeri dalam keadaan gugup lagi, mana dia kuasa menghadapi ilmu pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini. Terpaksa dia memang harus melepaskan senjata demi menyelamatkan diri pula, sementara kaki menyurut mundur sambil berteriak gemetar: "Sa-toako, lekas ke mari."

Sekali ketuk Tan Ciok-sing pukul golok lawan yang mencelat terbang itu, lalu tertawa tergelak¬gelak, serunya: "Bangsat kecil she Liong, biar kau hidup beberapa hari lagi. Maaf, tuan mudamu tidak mengiringi lebih lanjut."

Sebelum Sa Thong-hay memburu datang, di tengah gelak tawa kemenangannya, Tan Ciok-sing sudah lompat naik ke atas rumah penduduk.

Tiga jago kosen di antara perwira-perwira tinggi itu, hanya Sa Thong-hay yang memiliki ginkang paling tinggi. Seorang diri jelas dia tidak berani mengejar, karena dia yakin umpama dirinya mampu menyandak juga tidak bakal memperoleh keuntungan, salah-salah awak sendiri bisa celaka, maka dia hanya bisa perintahkan anak buahnya melepas panah.

Dasar masih berjiwa anak-anak, Tan Ciok-sing juga tidak mau mengalah, genteng rumah penduduk dibuat senjata rahasia, karuan pasukan pemerintah menjadi kacau balau dijatuhi bom-bom genteng yang berat dan keras itu. Kejap lain dia sudah lari pergi mengembangkan ginkang dan tidak kelihatan lagi.

"Entah Tam Tayhiap bersama In-hujin sudah keluar kota belum? Biar aku kembali mengambil kuda tungganganku itu," demikian batin Tan Ciok-sing. Dilihatnya pasukan kuda pemerintah tengah mengudak ke arah sini, sengaja dia berlari putar kayun di tengah jalan raya dalam kota untuk mengaburkan jejaknya, lalu secara diam-diam dia pulang ke rumah kakek bersama cucunya penjual teh itu.

Kakek pemilik warung teh belum tidur, dian kecil tampak dipegang di tangannya, jendela setengah terbuka, kepalanya longok-longok keluar sambil pasang kuping. Mendadak didengarnya seseorang mengetuk bawah jendelanya tiga kali, karuan kagetnya seperti disengat kalajengking, tanyanya gemetar: "Siapa?"

Cepat Tan Ciok-sing menjawab". "Tamu yang semalam datang itu."

Pemilik kedai masih kenal suara Tan Ciok-sing, lekas dia membuka pintu. Di bawah penerangan dian yang remang-remang, dilihatnya sekujur tubuh Tan Ciok-sing berlumuran darah, karuan kagetnya bukan main: "Siangkong, kau terluka?" tanyanya gemetar.

"Aku tidak terluka, inilah darah tentara yang menyemprot tubuhku, pasukan pemerintah itu mau mencelakai jiwa In-hujin, terpaksa aku labrak mereka. Aku bukan perampok, paman tidak usah takut. Akupun tidak ingin kau kena perkara, aku datang mengambil kudaku."

Pemilik warung tidak segelisah tadi, katanya: "Tak perlu kau jelaskan lagi, aku percaya kau orang baik. Bicaralah jujur, bila kau terluka, boleh sembunyi di rumahku, aku tidak takut kena perkara."

"Terima kasih akan kebaikan paman, aku betul-betul tidak terluka. Tolonglah kau bawa keluar kudaku itu."

"Baiklah," sahut si kakek, dia menoleh ke arah dipan, dimana cucunya sudah tidur nyenyak, sebelum keluar dia mengemuli cucunya lalu membawa Tan Ciok-sing ke belakang. Anak itu tampak tersenyum dalam mimpinya, kue pemberian Tan Ciok-sing tampak masih dipegang di tangannya.

Sambil jalan kakek itu berkata lirih: "Bukan lantaran siang tadi kau memberi rangsum pada kami maka kukatakan kau orang baik. Aku tahu kau adalah sahabat Tam Tayhiap, betul tidak?"

"Aku belum setimpal menjadi sahabat baik Tam Tayhiap, tapi aku pernah mengenalnya saja. Apa kau juga tahu Tam Tayhiap?"

"Dia adalah sahabat baik In Tayhiap, beberapa tahun lalu sering minum-minum di kedaiku. Tadi aku mencuri lihat dari celah-celah pintu, kulihat dia berlari pergi menunggang kuda bersama In-hujin. Persoalan keluarga In sedikit banyak juga pernah kudengar, cuma aku tidak tahu kapan In-hujin pulang. Pulangnya kali ini pasti secara diam-diam diluar tahu suaminya yang sekarang, tak heran pasukan pemerintah itu hendak menangkap dia. Siangkong, apa sekarang kau hendak menyusul mereka?"

"Betul, tahukah kau jalan mana yang mereka tempuh?" tanya Tan Ciok-sing.

"Mereka lari lewat jalan raya di seberang gang yang sana itu, agaknya mereka hendak keluar kota dari pintu utara. Menurut apa yang kuketahui, penjagaan di pintu utara paling lemah,"

"Terima kasih akan petunjukmu paman."

Baru saja dia hendak pamitan, kakek itu tiba-tiba berkata bisik-bisik: "Apa kau hendak mencari Kim-to Cecu?"

Tan Ciok-sing kegirangan, katanya: "Benar. Paman, apa kau tahu dimana letak markas Kim-to Cecu?"

Lirih suara kakek pemilik kedai: "Terus terang, walau aku bukan anak buah Kim-to Cecu, tapi beberapa Thaubak dari markasnya sering juga datang kemari minum-minum, berkat kepercayaan mereka terhadapku, aku dipandang orang sendiri, ada kalanya mereka bercerita tentang keadaan markas mereka. Berita apa saja yang pernah kudengar dalam kota Tay-tong pasti juga kuberitahu mereka. Menurut cerita mereka, tiga bulan yang lalu, markas besar mereka berada di Sip-jit-hong di atas Tio¬yang-san. Sembarang waktu mereka sering berpindah tempat, cuma markas pusatnya saja yang didirikan pada suatu tempat yang cukup strategis, yakin sampai saat sekarang ini masih belum pindah ke lain tempat. Tapi tempat itu aku sendiri juga belum pernah kesana, cara bagaimana untuk kesana, aku tidak bisa menjelaskan. Tapi setiba di Tio-yang-san, boleh kau sebut nama Tam Tayhiap dan mencari tahu dari mulut para pemburu setempat, mereka pasti mau menunjukkan jalan padamu."

Setelah mengucapkan terima kasih serta meninggalkan beberapa butir kacang emas, Tan Ciok-sing segera pamitan terus cemplak kudanya keluar dari pintu belakang. Hari sudah menjelang tengah malam, pasukan pemerintah juga sudah ditarik mundur. Tan Ciok-sing keprak kudanya berlari sekencang angin menuju ke pintu utara. Sepanjang jalan beberapa kali dia bersua dengan barisan ronda, dengan mudah dia robohkan mereka semua.

Tiba di pintu utara dilihatnya pintu gerbangnya terpentang lebar, ada beberapa tentara tua sedang sibuk membetulkan daun pintu, melihat Tan Ciok-sing mencongklang kudanya secepat mungkin, beramai-ramai tentara itu lari serabutan menyembunyikan diri. Maklum pintu utara ini kebetulan menghadapi agresi pasukan Watsu, beberapa hari yang lalu pasukan besar Watsu sudah berada di bawah tembok, pasukan penjaga kota sudah lari menyelamatkan diri, kini yang masih ditinggal hanya beberapa orang yang sudah berusia lanjut. Tadi Tam Pa-kun bersama In-hujin memang lari lewat pintu utara, kunci pintu gerbang ini di tabas rusak oleh golok emas Tam Pa-kun, belum lagi rasa takut tentara-tentara itu lenyap, kini dilihatnya Tan Ciok-sing menerjang tiba pula, mana mereka berani merintangi?

Setelah jauh meninggalkan kota baru Tan Ciok-sing mendengar suara trompet didalam kota, dia duga Liong Seng-bu tahu dirinya lari dari pintu utara lalu mengerahkan pasukan mengejar ke arahnya ini. Dengan kertak gigi Tan Ciok-sing berpikir: "Kelak meski kau tidak mencariku, aku pasti mencari perkara padamu, sekarang tiada tempo aku melayanimu."

Kudanya ini adalah kuda rampasan dari pasukan Watsu, meski tidak sehebat kuda putih itu, tapi dibanding kuda yang ditunggangi pasukan pemerintah di Tay-tong jelas lebih bagus. Entah berapa jauh sudah Tan Ciok-sing membedal kudanya, menjelang fajar pasukan yang mengejar di belakang sudah tidak kelihatan lagi. Pikirnya: "Untung bertemu dengan kakek pemilik kedai, baru aku tahu cara bagaimana untuk menemui Kim-to Cecu. Padahal kudaku ini lari secepat ini, kenapa masih belum menyandak Tam Tayhiap dar In-hujin? Memangnya mereka menempuh jalan lain?"

Tan Ciok-sing terus menempuh perjalanan, mendekati lohor baru dia bersua dengan orang yang menempuh perjalanan, dia seorang laki-laki tua yang mengendalikan sebuah gerobak. Pada laki-laki tua ini Tan Ciok-sing tanya jalan, ternyata Tio-yang-san tiga ratus li di sebelah utara Tay-tong, perjalanan ditempuh lewat jalan pegunungan. Kudanya ini memang lebih bagus dari kuda biasa, tapi sebelum hari petang takkan sampai-di tujuan.

"Engkoh kecil," tanya laki-laki tua itu keheranan, "gunung itu belukar dan tiada penduduk yang tinggal disana, untuk apa kau kesana?"

"Tujuanku mencari famili di Tay-tong, kebetulan familiku itu sudah pergi jauh kearah Sin-kang berdagang kuda, letak pasaran kuda konon di sebelah utara Tio-yang-san, bukankah aku harus lewat dari bawah gunung itu?"

Setelah jelas akan jalan mana yang harus di tempuhnya, Tan Ciok-sing terus melanjutkan perjalanan, dalam hati dia merasa heran, kusir gerobak ini sudah tiga hari menempuh perjalanan di atas pegunungan ini, kenapa dia tidak pernah melihat Tam Tayhiap dan In-hujin? Kiranya Tan Ciok- sing masih terlalu hijau, kurang pengalaman, dalam tanya jawab dengan kusir gerobak tadi, banyak dia menunjukkan hal-hal yang mencurigakan, sudah tentu kusir gerobak itu mencurigai asal-usulnya, maka dia tidak bicara sejujurnya.

Sepanjang jalan banyak juga persoalan yang dipikirkan Tan Ciok-sing namun tiada satupun yang dapat dia simpulkan jawabannya. Di kala pikiran masih terombang ambing itulah, tanpa terasa dia tiba di tiga persimpangan jalan. Ke arah mana jalan yang harus dipilih. Di saat Tan Ciok-sing ragu-ragu untuk menentukan pilihannya, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda yang dilarikan kencang, seekor kuda putih tampak lari mendatangi dari jalanan kecil yang lain sana. Pesat sekali lari kuda ini, hanya sekejap tahu-tahu sudah tiba di depan. Penunggang kuda putih ini ternyata adalah pemuda itu, keduanya kesamptok secara tidak terduga, sesaat kedua sama melenggong.

Kontan pemuda itu mencabut golok sambil mendelik gusar ke arah Tan Ciok-sing, rasanya sekali bacok dia ingin memotong tubuh Tan Ciok-sing menjadi dua, namun dia juga tahu bahwa dirinya bukan tandingan lawan, maka dia hanya memaki: "Bangsat cilik, akan datang suatu hari akan kubuat kau memperoleh ganjaran setimpal," tanpa menghentikan kudanya dia mencongklangnya dari

sampingnya. Melihat Tan Ciok-sing, kuda putih itu seperti melihat kenalan baiknya, sambil lari dia meringkik panjang sambil berjingkrak.

Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia berteriak: "Bukankah kau sudah pulang ke rumah dan tahu apa yang telah terjadi, baru saja kau keluar dari Tay-tong bukan? Tunggu sebentar, jangan lari, ada omongan yang ingin kubicarakan dengan kau." "Kalau dugaanku tidak meleset, dia pasti pernah pulang ke rumah," demikian pikir Tan Ciok-sing. Betul juga dilihatnya pemuda itu menarik tali kekang dan memutar balik kuda tunggangannya.

Tapi muka si pemuda masih kelihatan murka, agaknya lebih benci dan marah dari sikapnya tadi. Begitu kudanya dibedal datang dia terus menerjang tanpa buka suara, mendadak goloknya terayun membacok ke arah Tan Ciok-sing, Karena tidak menduga hampir saja muka Tan Ciok-sing kesercmpet bacokan.

Sejak mula pemuda ini sudah anggap Tan Ciok-sing sebagai pembunuh ayahnya, mending kalau Tan Ciok-sing tak bersuara memanggilnya, hawa marahnya seketika berkobar karena kira peristiwa yang terjadi di rumahnya semalam di Tay-tong adalah gara-garanya lagi. Diapun berpikir: "Kudaku larinya lebih cepat, kalau tidak kuat melawan, lari juga bukan soal," karena diburu nafsu goloknya membacok gencar sekaligus dia menyerang beberapa jurus untuk melampiaskan dendam. Betapa liehay dan cepat gerakan ilmu golok keluarga In, karena didesak terpaksa Tan Ciok-sing keluarkan juga goloknya untuk membela diri, "Ting" sekali ketuk dia bikin golok orang menceng ke samping. Untung Tan Ciok-sing hanya mengetuk dengan punggung golok, kalau tidak pasti golok si pemuda tertabas kutung.

Kuda berputar silih berganti saling terjang, kedua orang bertempur di atas kuda karena kuda sendiri kalah gagah dan garang, dia harus main bertahan atau membela diri saja, sudah tentu keadaannya semakin payah.

Hanya beberapa gebrak kuda tunggangan Tan Ciok-sing mendadak terpeleset, kaki depannya tertekuk sambil meringkik kesakitan terus roboh di tanah. Maklum sehari ini dia sudah lari amat jauh dengan kecepatan tinggi, tenaganya sudah habis dan terlalu lelah, sekarang harus bertempur lagi, karuan tidak tahan lagi. Sebelum kudanya roboh Tan Ciok-sing sudah melompat jauh kesana, tapi karena terlalu besar menggunakan tenaga, hampir saja diapun terpeleset jatuh. Pemuda itu kegirangan, bentaknya: "Bangsat cilik, rasakan golokku."

Diluar dugaannya, kuda putih ini ternyata juga amat cerdik, Tan Ciok-sing pernah menyelamatkan jiwanya, bergaul dan menunggangnya untuk beberapa lamanya, agaknya dia tahu pemuda yang ada di punggungnya hendak membunuh tuan penolong jiwanya, sudah tentu dia tidak mau dikendalikan lagi, mendadak dia menghentikan langkah, pemuda itu hampir saja terjorok jatuh dari punggungnya. Karuan si pemuda terperanjat, makinya: "Binatang, tidak tunduk padaku kubunuh kau."

Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah berdiri tegak terus lompat maju, teriaknya: "Aku tidak tahu kau pernah apa dengan In Tayhiap, tapi di Tay-tong aku sudah bertemu dengan In-hujin maukah kau tahu berita dan jejaknya sekarang?"

Pemuda itu melongo, makinya: "Kau mencelakai jiwa ayahku, membawa pasukan membakar rumahku lagi, aku takkan sejajar denganmu dalam bumi ini, apa pula yang harus dibicarakan?"

Dugaan Tan Ciok-sing kini tidak meleset lagi, pemuda ini adalah samaran putri In Hou yaitu (n San adanya. Sungguh kejut dan senang pula hati Tan Ciok-sing, namun dalam waktu singkat ini dia jadi gelagapan, bagaimana dia harus bertindak supaya tidak menambah curiga orang terhadap dirinya.

Karena kuda putih tidak mau tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa In San melompat turun, dampratnya: "Bangsat cilik, ayahku sudah kau bunuh, nah sekarang bunuh sekalian aku ini, akil akan adu jiwa dengan kau," keduanya kini bertanding di tanah berumput, untuk menghindar dan meluputkan diri dari serangan golok orang kini bukan menjadi persoalan bagi Tan Ciok-sing. Dengan gerakan Hong-biau-loh-yap secara tangkas dia berkelit dari tiga serangan berantai In San, katanya: "Nona In, kenapa tidak kau pikir, secara cermat, kalau benar aku membunuh ayahmu, kini kau ingin adu jiwa denganku, kan kebetulan malah bagiku untuk membabat rumput sampai keakar-akarnya, kenapa aku harus mengalah padamu."

"Betul, kepandaiannya jauh lebih tinggi, memegang golok dan pedang mustika, jikalau dia ingin membunuhku, sejak mula jiwaku sudah melayang," demikian batin In San, namun rasa curiganya tetap belum hilang, jengeknya: "Siapa tahu tipu daya apa yang sedang kau rencanakan atas diriku?"

"Terserah kau mau percaya tidak. Dua hari yang lalu aku pun sudah bertemu dengan ibumu. Apapun yang terjadi dia adalah ibu kandungmu, memangnya kau tidak ingin tahu keadaannya sekarang?"

"Justru aku tidak percaya kalau dia mau pulang ke rumah?" debat In San.

Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Meski ibumu salah langkah, namun sejak lama dia sudah bertobat, sudah insaf akan kesalahan. Sejak kau diajak pulang oleh ayahmu dari rumah kakek luarmu, malamnya setelah dia pulang tidak menemukan kau, pernah dia jatuh sakit sampai parah, belakangan memang dia menikah lagi, namun dia ditipu keluarganya, toh sejauh itu dia masih tetap merindukan kau. Tahun itu kau baru berusia tujuh tahun bukan? Banyak kejadian yang belum kau ketahui, hakikatnya ibumu adalah seorang yang bajik, karena tertipu sehingga dia berbuat kesalahan diluar kesadarannya. Ayahmu sendiri sudah memaafkan kesalahannya, masa kau tidak bisa memaafkan malah?"

Karuan In San terlongong mendengar ocehan Tan Ciok-sing ini. Bahwa Tan Ciok-sing bisa bercerita sejelas ini akan perpisahan dirinya dengan sang ibu di masa kecilnya itu, jikalau bukan ibunya yang bercerita padanya, memangnya dari siapa dia bisa tahu liku-liku rumah tangganya?

"Tiga tahun yang lalu," ucap Tan Ciok-sing lebih lanjut, "ibumu suruh Liong Seng-bu membawa tusuk kundai sebagai tanda kepercayaannya datang

mencarimu. Katanya kau membantingnya patah, apa benar?"

In San melengak, tanpa sadar tangannya meraba sanggul dan mencabut sepasang tusuk kundai, katanya: "Siapa bilang aku membantingnya patah, nah bukankah tusuk kundai ini masih baik?"

"Liong Seng-bu yang laporan hal ini kepada ibumu. Kalau demikian dia sengaja mau menipu ibumu," ujar Tan Ciok-sing.

Kata In San sedikit sengit: "Memang aku agak membenci ibuku, tapi aku lebih membenci orang-orang dari keluarga Liong, kau kira aku tidak tahu, segalanya aku sudah tahu dengan jelas, ayah juga pernah bicara dengan aku, ibu ditipu oleh orang-orang keluarga Liong."

"Syukurlah kalau kau sudah tahu," kata Tan Ciok-sing lega.

"Keparat itu minta aku pulang ikut dia," demikian tutur In San, "coba kau pikir patutkah aku meluluskan perintahnya? Tusuk kundai memang sudah kuterima, tapi segera aku gebah dia lari. Untung dia melarikan diri secepat setan, kalau tidak kedua kakinya pasti sudah kupukul remuk."

"Yang membawa pasukan membakar rumahmu semalam juga bocah she Liong itu."

In San melengak, seperti heran dan diluar dugaan, katanya: "O, kiranya kau juga berani memaki dia."

"Bukan saja aku ingin mendampratnya, aku malah ingin membunuhnya," demikian ucap Tan Ciok-sing sengit, "semalam kalau jumlah mereka tidak banyak, aku pasti sudah membunuhnya."

"Kenapa kau begitu membencinya?" tanya In San.

"Cukup parah dan payah aku ditipu dan hampir saja celaka oleh muslihatnya. Lebih celaka lagi dia memfitnah aku, katanya akulah pembunuh ayahmu."

"Dari mana kau tahu kalau dia memfitnah kau?" tanya In San.

"Ibumu memberitahu padaku. Semula seperti kau begitu melihat aku dia lantas melabrakku, katanya hendak menuntut balas atas kematian suaminya. Dengan susah payah dan berbagai cara akhirnya aku dapat meyakinkan ibumu sehingga dia percaya padaku, lalu aku tuturkan duduk persoalan yang sebenarnya."

Tiba-tiba In San berkata: "Kukira kau ini alap-alap kerajaan.

Bukankah ayahmu punya kedudukan dalam kalangan Bhayangkari?"

Tan Ciok-sing tertegun, tanyanya: "Siapa bilang? Ayahku sudah meninggal sejak aku berumur setahun, beliau adalah guru harpa yang kelana di Kangouw, jangan kata tidak pernah menjabat pangkat, melihat para pejabatpun dia sudah pusing tujuh keliling. Aku hanya hidup bersama kakek, sejak kecil beliaulah yang mengasuhku sampai dewasa. Kami bertempat tinggal di bawah Cit-sing-giam di daerah Kwi-lin, membajak sawah menjala ikan adalah kehidupan kami sehari-hari. Tiga tahun yang lalu beliaupun telah meninggal, ia, kematiannya..."

Ingin Tan Ciok-sing menceritakan sebab musabab kematian kakeknya kepada In San, maklum kematian kakeknya punya sangkut paut yang erat dengan kematian ln Hou. Ayah In San. Tapi karena In San masih ragu terhadap dirinya kalau menceritakan kenyataan ini padanya belum tentu orang mau percaya, dan lagi ada urusan lain yang lebih penting harus segera dia bicarakan, terpaksa hal ini biar ditunda dulu. Katanya: "Perihal kakekku kelak akan kututufkan lagi. Yang memfitnah diriku pada kau ku yakin pasti bocah she Liong itu?"

In San mengangguk, katanya: "Betul, memang dia yang katakan."

"Apa katanya?"

"Setelah kugebah lari dulu, kira-kira setahun kemudian dia datang lagi, katanya dia tahu jejak-dan berita ayah, dia minta supaya aku bersabar mendengar penjelasannya."

"Sudah lama ayah tidak kunjung pulang, karena selama ini tidak pernah mendapat kabar dari ayah, memangnya aku sudah kebingungan dan merindukannya. Walau membencinya terpaksa aku menahan hati mendengarkan apa yang hendak dituturkan padaku."

"Dia bilang pihak kerajaan sudah tahu bahwa ayahku ada berhubungan dengan Kim-to Cecu, kini ayah menjadi buronan dan hendak ditangkap. Akhir-akhir ini pihak kerajaan mendapat kabar, ayahmu akan ke Kwi-lin menyambangi Se-lam Tayhiap yang bergelar It cu-king-thian Lui Tin-gak maka jaring jebakan sudah diatur disana, sekaligus akan menjaring dan menangkap beberapa orang, di samping membeli atau menyogok Lui Tin-gak, jago-jago istana juga dikerahkan kesana."

Dalam hati Tan Ciok-sing membatin: "Kiranya It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang sudah dirangkul pihak kerajaan."

"Dia bilang di antara jago-jago kosen yang dikerahkan dari pasukan Bhayangkari itu, satu di antaranya adalah ayahmu dan kau sendiri juga ikut."

Dongkol dan geli juga hati Tan Ciok-sing, katanya: "Setan keparat. Ayahku sudah lama meninggal, bagaimana bisa jadi anggota Bhayangkari segala? Tiga tahun yang lalu aku hanyalah anak desa yang hanya memiliki kepandaian cakar ayam, memangnya kosen apa segala?" sampai disini tiba-tiba hatinya tergerak pula, pikirnya: "Kalau keparat itu bisa memfitnah aku, bukan mustahil dia juga memfitnah orang lain, dia bilang It-eu-king-thian sudah dipelet kerajaan, kenapa aku harus mempercayai obrolannya? Memang malam itu kakek keluar dari rumah keluarga Lui dengan luka parah, tapi bukan mustahil dalam kejadian ini masih ada latar belakang lainnya?"

"Dia bilang jago-jago yang diutus kesana sudah tentu tak boleh berpakaian seragam, semua harus menyamar jadi apa saja, selama perjalanan ayah ke Kwi-lin, jejaknya selalu dikuntit dengan ketat. Ayahmu pandai main harpa, maka dia membawa kau sebagai guru harpa yang kelana di Kangouw, sehingga ayahku tidak menaruh curiga," sampai disini serta merta dia melirik harpa yang digendong di punggung Tan Ciok¬sing.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Memang aku bisa memetik harpa, tapi aku diajari kakek bukan ayah. Kakekku memang seorang ahli harpa yang sudah punya nama, sebelum aku dilahirkan beliau memang sudah sering kelana di Kangouw. Kalau tidak percaya, boleh kau tanya temanmu, umpamanya Toan-siau-ongya dari Tayli."

In San melenggong, serunya: "Kau kenal Toan Kiam-ping. Dia tahu perihal kakekmu?"

"Betul. Dia ada titip pesan padaku supaya disampaikan kepadamu. Tapi panjang ceritanya."

"Kalau panjang ceritanya, boleh kelak kau ceritakan. Sekarang biar aku selesaikan ceritaku," kata In San lebih lanjut, "sebetulnya tidak segampang itu aku mau percaya obrolan bocah itu, tapi dia mengeluarkan sebuah benda, mau tidak mau aku sedikit percaya padanya."

"Barang apa?" tanya Tan Ciok-sing.

In San keluarkan sebuah kotak persegi, katanya: "Inilah barang mainan yang diberikan ayah oleh Hek-pek-moko di dalamnya ada dipasang alat rahasia, bagi yang tidak tahu cara membukanya, jari tangannya bisa terluka oleh pisau-pisau kecil yang terpasang di dalamnya."

Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, namun dia diam saja, katanya: "Kenapa pula dengan kotak kecil ini?"

"Bocah itu bilang, Bhayangkari adalah pasukan pribadi Baginda Raja, dia boleh bergerak leluasa tanpa kendali oleh pihak militer. Meski tahu bahwa pihak kerajaan hendak menangkap ayah, tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka secara diam-diam dia menyusul ke Kwi-lin, dia harap disana bisa bertemu dengan ayah dan memberi tahu berita buruk ini padanya."

"Tak nyana waktu dia bertemu dengan ayah, beliau sudah terluka parah, napasnya sudah kempas kempis."

"Maka ayahmu serahkan kotak ini sebagai tanda kepercayaan dan suruh dia pulang memberi kabar kepadamu?" demikian tukas Tan Ciok-sing.

In San mengangguk, katanya: "Bocah itu bilang, ayah memberitahu padanya, dia salah minum arak beracun pemberian It-cu-kin-thian, sehingga alap-alap kerajaan punya kesempatan membokong dirinya. Dia juga membeber nama para musuhnya, kecuali It-cu-king-thian, jago kosen Bhayangkari yang melukai dia sampai parah bernama Tan Khim-ang, tapi Tan Khim-ang juga sudah dia pukul mampus pada saat itu.

Peristiwa itu terjadi setelah dia meninggalkan rumah keluarga Lui, anak Tan Khim-ang mengira dia sudah mati, golok pusaka dan buku pelajaran ilmu golok itu dirampasnya terus melarikan diri, tanpa menghiraukan jenazah ayah kandungnya lagi. Anak bangsat itu juga hendak membawa kotak ini — maaf, aku menggunakan istilah yang dipakai bocah she Liong waktu dia bercerita tentang ayah — tapi dia tidak tahu cara membukanya, jarinya tergores luka oleh pisau kecil di dalamnya, saking kaget dan kesakitan dia buang kotak ini."

"Ayah suruh bocah keparat itu membawa pulang kotak ini sebagai bukti, berpesan pula supaya aku berusaha menuntut balas sakit hatinya. Bocah itu juga memberitahu padaku, katanya dia sudah mencari tahu hingga jelas, orang yang membawa lari golok dan buku pelajaran ilmu golok serta ikut mencelakai ayah itu adalah putra Tan Khim-ang, namanya Tan Ciok-sing."

Tan Ciok-sing menyeringai dingin, katanya: "Untuk mencari tahu memang dia cukup banyak membuang tenaga dan pikiran, tapi persoalan justeru dia putar balik. Tan Khim-ang adalah kakekku, bukan ayahku. Coba serahkan kotak itu padaku."

"Untuk apa?" In San melengak, tapi dia sodorkan juga kotak itu.

"Coba kau saksikan aku membukanya," dengan mudah dia tekan sini tarik sana sehingga kotak itu terbuka tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.

"Bagaimana kau juga bisa membuka kotak rahasia ini?" tanya In San heran.

"Didalam kotak ini semula ada disimpan beberapa lembar kertas tulisan tangan Thio Tan-hong yang memuat ajaran ilmu pedang karyanya, ayahmu serahkan kotak ini kepadaku, sayang aku punya mata tidak bisa membedakan manusia baik dan jahat, akhirnya kotak ini direbut oleh keparat she Liong itu." -lalu dia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya itu.

Bertambah rasa kepercayaan In San kepadanya, pikirnya: "Kalau bukan ayah yang mengajarkan cara membuka kotak ini, bagaimana dia mampu membuka kotak ini?"

Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Waktu itu setelah berhasil merebut kotak ini, salah satu jari bocah she Liong itu tergores luka cukup parah. Tapi dia toh memperoleh beberapa lembar Kiam-boh itu, cukup setimpal juga luka yang dideritanya itu."

"Menurut ceritamu ini, cara bagaimana pula ayah sampai dicelakai? Coba kau ceritakan padaku."-Setelah persoalan menjadi jelas, tak tertahan In San menangis sesenggukan, katanya terisak: "Ternyata kaulah tuan penolong ayahku, meski ayah sudah mengalami nasibnya yang jelek, aku tetap akan berterima kasih kepadamu."

"Bahwa kau sudi mempercayai aku, itu sudah cukup. Nah inilah golok dan buku pelajaran ilmu golok ayahmu yang titip padaku untuk diserahkan kembali padamu."

Mengingat kematian kakek Tan Ciok-sing lantaran menolong ayahnya, hati In San ikut menyesal dan haru, sesaat lamanya dia menjublek menerima barang-barang peninggalan ayahnya, tak tahu apa yang harus dia katakan kepada Tan Ciok-sing.

"Dan pedang mustika inipun harus kuserahkan kepadamu," kata Tan Ciok-sing.

In San melongo, katanya: "Pedang mustika ini kan bukan milik ayah."

"Memang bukan milik ayahmu, tapi boleh dianggap sebagai barang keluargamu."

In San melengak pula, tanyanya: "Bagaimana bisa begitu?"

"Bukankah kau punya seorang bibi yang menjadi isteri Thio Tan-hong Thio Tayhiap?"

"Ya, kenapa?" tapi akhirnya In San mengerti, "o, jadi pedang mustika ini adalah senjata yang dipakai bibi semasa hidupnya itu?"

"Betul, waktu aku memberi kabar ke Ciok-lin kepada Thio Tayhiap, berkat kemurahan hatinya beliau sudi mengangkat aku sebagai murid. Menjelang ajalnya, dia suruh aku menyerahkan Ccng-bing-kiam ini kepadamu."

"Menurut apa yang kutahu, Thio Tayhiap masih punya sebilah Pek-hong-po-kiam, pedang mustika itu..."

Mimik Tan Ciok-sing agak lucu, katanya malu-malu: "Pedang itu diwariskan aku oleh Suhu."

In San belum pernah melihat kedua bilah pedang mustika ini. Tapi asal-usulnya sudah sering dia dengar dari cerita ayahnya, dia tahu bahwa kedua pedang ini merupakan sepasang pedang jantan dan betina, pedang yang membawa kisah rumit dan berliku-liku sehingga perjodohan Thio Tayhiap dengan bibinya bisa terangkap.

Karuan jengah muka In San, katanya dalam hati: "Thio Tayhiap membagi pedang jantan dan betina ini kepadaku dan dia, mungkin, mungkin..." kemana maksud dan tujuan Thio Tan-hong sudah tentu sudah dimaklumi oleh In San, namun dia tidak tahu apakah Tan Ciok-sing tahu tujuan yang tersembunyi ini. Sudah tentu dia malu untuk tanya soal ini, namun demikian sanubarinya yang bersih dan tulus itu kini mulai ruwet dan risau.

"Hari sudah hampir petang, marilah kita melanjutkan perjalanan," demikian ajak Tan Ciok-sing.

"Ya, kita harus cepat bertemu dengan Kim-to Cecu, kalau malam nanti ada rembulan, menempuh jalan di tengah malam juga tidak jadi coal. Cuma kudamu ini, apakah masih mampu jalan?" sampai disini dia menjadi kikuk sendiri, katanya menambahkan: "Maaf ya hari itu aku merebut kudamu ini."

"Kuda putih ini sebetulnya juga bukan milikku."

"Aku sudah tahu. Kepunyaan Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu bukan? Hari itu aku juga heran, kenapa kuda tunggangan Ciong-lihiap berada di tanganmu, kuda ini juga mau tunduk padamu?"

"Akulah yang merebutnya kembali dari tangan kawanan penjahat."

"Kudanya ini terjatuh ketangan kawanan penjahat? Hari itu, aku kira, kukira...!"

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Hari itu kau kira akulah yang merebut kuda ini dari tangan Ciong-lihiap?"

In San merasa kurang enak, katanya: "Maka aku lebih yakin lagi bahwa kau orang jahat. Tapi belakangan setelah ku pikir-pikir aku jadi ragu-ragu sendiri." "Kenapa?" "Kuda ini cerdik pandai, kalau kau merebut dari sang majikan, dia pasti takkan mau kau tunggangi."

"Tapi dia juga tunduk pada perintahmu. Apa kau juga bersahabat dengan Kanglam Sianghiap?"

"Sahabat sih bukan. Tiga tahun yang lalu bersama Toan Kiam-ping mereka pernah berkunjung ke rumahku, aku pernah mencobanya dulu. Ingatannya ternyata amat baik, dia masih mengenalku."

"Beberapa hari yang lalu mereka sudah tiba di daerah sini, kukira bisa bertemu di rumahmu. Siau-ongya juga bilang mereka pasti ke Tay-tong dan pasti mampir ke rumahmu."

"Mungkin mereka memang pernah kemari tapi tiga hari yang lalu aku sudah meninggalkan rumah. Oh, ya tadi kau bilang Toan Kiam-ping titip pesan padamu, ada urusan penting apa?"

"Dia ingin mengundang nona mengungsi ke Tayli saja."

"Banyak terima kasih akan kebaikannya, kesulitan sudah kualami dan berhasil kuhindarkan. Selanjutnya aku sudah berkeputusan untuk tinggal di markas Ciu-pepek, mungkin takkan ke Tayli lagi."

"Siau-ongya amat merindukan kau, dia kuatir Kanglam Sianghiap tidak berhasil menemukan kau, maka dia juga titip pesan ini kepadaku."

"Keluarga Toan memang sejak beberapa generasi aeja hubungan erat dengan keluarga In kami, Toan Kiam-ping memang cukup baik tak pernah dia agulkan diri sebagai seorang pangeran, selamanya aku pandang dia sebagai engkohku sendiri."

Mendengar In San memuji Toan Kiam-ping, hati Tan Ciok-sing rada senang, tapi juga merasa kecut. Diam-diam dia mentertawakan diri sendiri, pikirnya: "Kedua keluarga mereka memang cocok dan serasi, adalah setimpal kalau putri In Tayhiap mendapat jodoh seorang pangeran. Sepantasnya aku ikut senang bagi terangkapnya perjodohan ini."

Sudah tentu In San tidak tahu perasaan rumitnya ini katanya: "Tan-toako, kudamu jelas takkan bisa lari lagi, marilah cari tempat untuk istirahat."

"Memangnya hari sudah hampir gelap, biar dia menempuh perjalanan sejauh mungkin, baru nanti kita cari tempat untuk istirahat."

"Yang benar kuda ini kau rampas kembali dari tangan penjahat, adalah jamak kalau kau saling tukar tunggangan dengan aku."

"Ah, di antara kita kenapa harus saling membedakan..." setelah tercetus ucapannya, mendadak dia merasakan kata-katanya kurang pantas, seketika merah mukanya. In San sendiri juga tertolong mendengar kata-katanya ini, sudah tentu mukanya lebih jengah.

Lekas Tan Ciok-sing menambahkan: "Kupikir tujuan kita kan sama-sama mau ke markas Kim-to Cecu, lalu apa bedanya siapa yang menunggang kuda putih ini?"

Dalam hati In San membatin: "Dia pasti tahu tujuan gurunya suruh dia menyerahkan Ceng-bing-kiam ini kepadaku, kalau dibicarakan dia menanam budi terhadap ayah... tapi aku baru saja mengenalnya, memangnya demi membalas budinya itu, aku lantas pasrah diriku kepada dia? hatinya menjadi gundah dan rawan, tak tahu bagaimana harus mengambil sikap. Lama-kelamaan tindak tanduknya menghadapi Tan Ciok-sing jadi agak kikuk dan rikuh tidak sewajarnya tadi.

Semakin lama kuda tunggangan rampasan Tan Ciok-sing semakin lambat jalannya, padahal mentari sudah terbenam di kaki gunung. Kata Tan Ciok-sing: "Di depan ada sebidang hutan marilah kita istirahat disana."

Sebesar ini belum pernah bergaul berduaan dengan laki-laki yang belum dikenalnya betul, apa lagi harus bermalam di hutan belukar macam ini? Walau dia tahu

Tan Ciok-sing adalah pemuda baik-baik, betapa pun dia merasa malu dan rikuh. Setelah berpikir lalu dia berkata: "Baiklah, kita boleh tidur bergiliran, kau boleh istirahat dulu, aku yang jaga malam."

Tak keruan rasa hati Tan Ciok-sing mendengar ucapan ini, pikirnya: '"Belum lagi tiba di hutan itu, kenapa kau sudah bicara lebih dulu? Memangnya aku bakal menipumu? Hemm, kau putri seorang pendekar besar, memangnya aku tidak setimpal bersama kau, biarlah setelah sampai di markas Kim-to Cecu dan bertemu dengan Tam-toako, setelah urusan kubereskan, aku akan segera berpisah dengan dia, kembali ke Kwi-lin seorang diri. Supaya orang jangan menyangka aku sebagai kodok buduk ini kepingin gegares daging bangau," sama-sama memikirkan

persoalannya sendiri sehingga untuk sesaat lamanya mereka tidak banyak bicara lagi. Kalau In San seenaknya menjalankan kudanya pelan-pelan, Tan Ciok-sing mengikutinya di belakang tanpa bersuara.

Baru saja mereka sampai di hutan itu, dari arah belakang terdengar derap lari kuda yang gemuruh dan kencang.

Tan Ciok-sing berkata: "Agaknya pasukan pengejar telah menyusul. Nona In kudamu dapat lari kencang, lekaslah kau lari lebih dulu."

Berkerut alis In San katanya: "Kalau betul pasukan pengejar, kenapa aku harus lari lebih dulu? Kau kira aku gentar menghadapi para pengejar ini?"

"Bukan itu maksudku. Dari langkah kuda dapat kudengar yang mengejar hanya lima orang, kukira aku mampu menggasak mereka, kau tak usah ikut campur."

"Memang, kenapa aku lupa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari aku, gagah dan perkasa, tak perlu aku harus membantumu," demikian sindir ln San jengkel.

Pada saat itulah pengejar itupun sudah mengudak datang, orang yang terdepan mendadak berteriak keras: "Adik San, adik San, kenapa kau bergaul dengan pemuda bergajul ini. Tahukah kau siapa dia? Dia itulah bangsat cilik Tan Ciok-sing yang sekongkol dengan It-cu-king-thian membunuh ayahmu itu."

Karena dongkol semula In San bermaksud tinggal lari seorang diri ke tempat Kim-to Cecu biar Tan Ciok-sing sendirian menghadapi musuh, namun begitu mendengar dan melihat orang yang mendatangi ini, niatnya seketika menjadi buyar. Rasa dongkolnya kepada Tan Ciok-sing menjadi beralih kepada orang yang mencelakai ayah dan menyebabkan keluarganya berantakan ini.

Ternyata orang yang membedalkuda paling depan ini bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di belakang Liong Seng-bu masih ada empat orang berpakaian busu, bukan saja seragam mereka serupa, raut muka mereka pun hampir mirip satu dengan yang lain, seakan-akan mereka saudara kembar dan sekandung.

Jarak cukup jauh, salah seorang busu itu mendadak membidik terus melepas panah. Melihat musuh besar mendatangi, keruan membara mata Tan Ciok-sing, hakikatnya dia tidak hiraukan panah yang mengincar datang itu, dari punggung kuda dia melejit turun, bentaknya: "Liong Seng-bu, kebetulan keparat kau ini datang." Pedang dilolos terus memapak maju, panah itu mengenai kudanya sampai mati, namun ujung pedangnya sudah mengancam muka Liong Seng-bu.

"Trang" seorang busu di samping Liong Seng-bu ternyata amat cekatan, pada saat kritis itu dia angkat pedangnya menyambut tusukan pedang Tan Ciok-sing sehingga senjata beradu keras, dan tusukan ke muka Liong Seng-bu tertangkis. Begitu pedang beradu, lelatu api berpijar, pedang yang digunakan busu ini adalah pedang panjang berpunggung tebal, namun toh gumpil sebagian besar, namun tidak sampai patah. Namun demikian busu ini menjadi kaget dan heran melihat permainan pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini.

Bahwa busu ini mampu menangkis serangan pedang Tan Ciok-sing yang liehay, ini betul-betul diluar dugaan Tan Ciok-sing. Tapi dia yakin keempat musuh ini hanya kaum kroco belaka, dalam tiga gebrakan dia yakin dirinya masih mampu merobohkan mereka.

Gerakan pedang Tan Ciok-sing laksana angin lesus, hakikatnya musuh tidak diberi kesempatan ganti napas. "Sret, sret" beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan berantai. Seorang busu telah melompat turun dari punggung kuda, lekas dia menubruk maju, seorang busu yang terdepan dan sudah bergebrak duluan dengan Tan Ciok-sing tadipun sudah putar balik memutar pedangnya menjadi garis bundar terus menyapu menyilang dari kiri ke kanan, jadi kebetulan serasi dengan busu seorang lagi yang menyerang dari arah lain, rasanya gerakan pedang mereka begitu rapat dan sempurna tiada lobang sedikitpun, sehingga serangan pedang Tan Ciok-sing yang liehay itu dapat dipunahkan dengan mudah.

Keruan bercekat hati Tan Ciok-sing pikirnya: "Walau ilmu pedang mereka tidak terhitung tinggi, tetapi juga tidak begitu hebat, entah kenapa begitu kedua orang bergabung kekuatannya lantas berlipat ganda secara mendadak?" Maklum sekarang Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami inti sari pelajaran Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong, umpama berhadapan dengan ilmu pedang tingkat tinggi dan aliran manapun dalam pandangannya tidak lebih juga hanya begitu saja, kalau di bicarakan secara serius, ilmu pedang kedua orang ini belum terhitung tingkat tinggi. Tapi anehnya justeru kelihatan biasa, tapi sejurus ilmu pedang itu ternyata begitu rapat dan sempurna di bawah permainan dua orang ini. Akan tetapi, meski seorang diri menghadapi dua orang, Tan Ciok-sing masih tetap unggul.

Di sebelah sana Liong Seng-bu berteriak: "Bocah ini liehay sekali, Toako dan Jiko kalian mungkin belum mampu membekuk bocah itu, kalian tidak perlu hiraukan aturan Kangouw segala, lekaslah keroyok dia saja."

Busu ketiga berkata: "Site, majulah kau membantu Toako dan Jiko," lalu dia berpaling dan berkata kepada Liong Seng-bu: "Kongcu tak usah kuatir, bila ketiga saudaraku ini membentuk suatu barisan pedang, meski kepandaian bangsat cilik ini setinggi langit juga pasti tidak akan bisa lolos. Biar aku disini menemani Kongcu saja," dia kuatir bila ln San mendadak mengamuk, Liong Seng-bu tak kuat melawannya.

Liong Seng-bu tahu maksud orang, matanya menatap In San, sikapnya seperti temberang sambil mulut bersuara dalam tenggorokan, lalu katanya: "Ya, begitu juga boleh."

In San sudah lompat turun pula dari punggung kuda, dengan sepenuh perhatian dia menyaksikan ketiga busu itu mengeroyok Tan Ciok-sing dengan sengit, hakikatnya dia tidak peduli dan tidak hiraukan kehadiran Liong Seng-bu.

Busu ketiga masuk gelanggang, Tan Ciok-sing semakin rasakan tekanan bertambah berat. Di tengah pertempuran sengit itu mendadak dia gunakan jurus Sam-coan-hoat-un Pek-hong-kiam terayun ke atas memetakan tiga kuntum cahaya pedang, seperti ke kiri tapi juga mirip ke kanan, dalam sesingkat itu, ketiga lawannya sama-sama merasa kabur dan silau pandangannya, hawa pedang yang dingin menyampuk muka, seakan-akan tajam pedang yang kemilau itu sekaligus mengancam tenggorokan mereka bertiga. Tapi ketiga saudara ini mempunyai tekad dan isi hati yang sama, serempak mereka membentak, tiga pedang sekaligus terayun dalam gerakan dan posisi sama, satu di depan yang lain di belakang melibatkan diri dalam selarik lingkaran pedang.

Jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil kesimpulannya sendiri yang diperoleh dari kembangan Bu-bing-kiam-hoat yang paling ganas, cepat, keji, telak dan berubah empat unsur berkombinasi sehingga gaya pedangnya seperti mengambang tapi dilandasi tenaga dalam sehingga perubahannya sukar diraba. Tapi gerak-gerik ketiga lawannya selalu serempak dan bersatu padu, barisan pedang yang mereka ciptakan betul-betul rapat dan kuat, maka sering terdengar dencing benturan senjata disertai lelatu api. Bukan saja Tan Ciok-sing tidak mampu menjebol pertahanan lawan, malah dia terkepung di tengah lingkaran sinar pedang ketiga lawannya, dalam benturan barusan telapak tangan terasa sedikit pedas.

Kiranya empat busu yang dibawa Liong Seng-bu kali ini adalah saudara kembar yang dilahirkan satu rahim, she Huwan bernama Liong', Hou, Pau dan Kiau. Yang mengeroyok Tan Ciok-sing adalah Lotoa Huwan Liong, Loji Huwan Hou dan Losi Huwan Kiau, yang melindungi Liong Seng-bu adalah Losam Huwan Pau. Ke empat busu ini sebetulnya adalah pengawal pribadi paman Liong Seng-bu, Liong Bun-kong yang menjabat Kiu-bun-te-tok di kota raja, kalau dinilai kepandaian sejati mereka, bila satu lawan satu mereka bukan tandingan Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan, namun keempat saudara kembar ini meyakinkan suatu ilmu barisan pedang yang amat liehay dan ketat, jago kosen kelas tinggi pun sukar meloloskan diri dari kepungan barisan pedang mereka.

Barisan pedang mereka ini diciptakan oleh aliran Thian-liong-bun di Tibet, berbeda dengan aliran pedang yang ada di daerah Tionggoan, kalau hanya seorang bertempur dengan musuh permainan pedangnya kelihatan biasa dan sepele, tapi dua orang bergabung kekuatannya bertambah satu lipat, tiga orang bekerja sama, kekuatannya akan bertambah lipat ganda pula, bila empat orang sekaligus turun tangan, kekuatannya sama dengan enam belas orang jago kosen sekaligus menyerang pada titik sasaran yang sama.

Kini Tan Ciok-sing seorang diri melawan tiga orang, berarti dia melawan delapan musuh kelas satu, meski bersenjata pedang pusaka, namun pedangnya sering tertolak pergi oleh getaran tenaga gabungan ketiga lawannya, sehingga sukar dia membentur putus senjata, lawan, sejauh ini tak mungkin dia membuat keuntungan. Terpaksa Tan Ciok-sing kembangkan kegesitan tubuhnya, gerakannya enteng dan lincah secara cekatan lagi supaya tidak sampai terbokong dan kecundang. Lima puluh jurus kemudian, lingkaran kepungan lawan semakin mengetat, gerakan cepat Tan Ciok-sing semakin sukar dikembangkan. Bahna gugupnya lekas dia berteriak: "Nona In, lekas kau pergi. Tolong sampaikan kabarku kepada Tam Tayhiap, tak usah kau menungguku disini."

Anehnya bukan saja In San tidak segera mengeluarkan senjata maju membantu, dia pun tidak segera tinggal pergi. Tan Ciok-sing suruh dia lari, dia seakan-akan tidak mendengar peringatannya itu.

Dasar kepincut paras ayu, Liong Seng-bu berpikir: "Pasti dia sudah mendapat tahu duduknya persoalan dari mulut bocah keparat itu. Tapi aku yakin dia masih setengah percaya." Dilihatnya Tan Ciok-sing yang dikepung Huwan bersaudara tidak akan bisa lolos lagi, maka legalah hatinya, segera dia maju dua langkah, katanya: "Adik San, jangan kau kena kepelet bocah keparat itu, dia betul-betul adalah musuh pembunuh ayahmu. Apa kau tidak ingin menuntut balas dan membunuhnya?"

In San bersikap pura-pura bimbang, sorot matanya guram dan melirik kearah Liong Seng-bu, katanya: "Liong kongcu, silakan kau kemari aku ingin bicara dengan kau."

Huwan Pau yang ada di samping Liong Seng-bu berbisik: "Hati-hati Kongcu."

Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Apa tidak bisa kau katakan disini saja?"

In San mendengus, katanya: "Persoalan ayah bundaku ingin kutanya supaya jelas, baru nanti aku percaya padamu. Hmm, kau tidak percaya padaku, memangnya aku harus percaya padamu. Kau tidak mau kemari, ya sudah."

Persoalan ayah bunda In San menyangkut urusan keluarga, sebagai anak perempuan sudah tentu dia pantang membicarakan keburukan keluarga di hadapan umum, hal ini memang jamak dan masuk di akal. Mengingat hal ini diam-diam hati Liong Seng-bu senang, pikirnya: "Asal timbul rasa curiganya terhadap bocah she Tan itu aku akan berhasil membujuknya sehingga dia percaya padaku." Maka tanpa pedulikan peringatan Huwan Pau, dia mengulap tangan sambil berkata: "Tak usah kau ikuti aku. Nona In adalah adikku, kami bersaudara ingin omong urusan pribadi, memangnya aku harus hati-hati apa," sembari bicara diam-diam dia memberi lirikan kepada Huwan Pau terus melangkah ke arah In San.

Meski terkepung dan sedang berhantam dengan sengit, tapi mata kuping Tan Ciok-sing selalu memperhatikan keadaan

sekelilingnya, maka setiap perkataan In San dapat juga didengarnya jelas. Karuan hatinya semakin gelisah, teriaknya: "Nona In, jangan kau ketipu lagi oleh anak jadah itu."

Sedikit lena karena bicara, pedang panjang Huwan Liong meluncur tiba menusuk lurus dari depan mengincar dada, sementara kedua pedang Huwan Hou dan Huwan Kiau juga berendeng dalam satu garis melingkar satu bundaran membendung gerakan pedang Tan Ciok-sing. Walau secara lincah dan pas-pasan Tan Ciok-sing masih sempat menghindari tusukan pedang Huwan Liong, tapi terdengar suara "Bret" pakaiannya bolong oleh tusukan pedang Huwan Liong, untung tidak sampai melukai kulit dagingnya, apa boleh buat menyelamatkan diri lebih penting, maka dia tidak hiraukan lagi keadaan In San.

Mendekati In San, Liong Seng-bu cengar-cengir, katanya: "Adik San, soal apa yang ingin kau tanyakan?"

Pada saat itulah mendadak tampak bintik-bintik sinar bintang kemilau sama meluruk datang, tahu-tahu In San timpukkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Jarak sedemikian dekat, mana Liong Scng-bu bisa meluputkan diri? Sebisa mungkin dia memutar tubuh sambil menundukkan kepala, belum lagi dia angkat langkah melarikan diri, terdengarlah suara berisik lembut, jarum-jarum lembut itu seluruhnya sudah menancap di punggung Liong Seng-bu.

Girang hati In San, jengeknya dingin: "Bangsat keparat, justru kaulah yang membantu mencelakai ayahku, kau kira aku bisa kau tipu lagi?" "Sret" dia mencabut golok terus maju hendak menggorok leher Liong Seng-bu.

Mendadak Liong Seng-bu menoleh: "Adik San, kenapa kau berkelakar denganku?" wajahnya berseri tawa, sedikitpun tidak tampak dia terluka.

Rasa girang In San berubah jadi kaget, hatinya ragu-ragu: "Memangnya bocah ini sudah memiliki Iwekang kebal senjata rahasia? Waktu dia menemui aku tempo hari kepandaiannya masih keroco, memangnya tiga tahun ini kemajuan sepesat ini?" Tapi dendam kematian orang tua sedalam lautan, meski hati merasa bimbang tangannya segera bekerja cepat, dengan jurus Yan-loh-ping-sa, golok pusakanya segera membelah.

Dia cepat ternyata Liong Seng-bu juga tidak lambat, lekas dia mengayun balik pedang, gaya pedangnya ternyata cukup liehay dan ganas. Jurus ini mengincar balik musuh sehingga lawan dipaksa melindungi tubuh sendiri lebih dulu sebelum melukai lawan. Secara reflek In San sudah tentu harus menghindar, tapi gerakannya amat cekatan, goloknya sudah merabu pula dengan jurus Pek-ho-liang-ji. "Trang" kembang api berpijar, pedang Liong Seng-bu terketuk gumpil sedikit oleh golok In San. Tapi Liong Seng-bu sempat melompat minggir sejauhnya, tetap segar tidak terluka sedikitpun. Cepat sekali Huwan Pau sudah lompat maju menolong.

Ternyata Liong Seng-bu memakai kaos kutang yang tidak mempan senjata, jarum-jarum itu tembus pakaian luarnya, namun tidak kuasa menembusi kaos kutangnya itu. Di samping itu, Bu-bing-kiam-hoat yang diperolehnya meski hanya petilan dan tidak lengkap, namun selama tiga tahun belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini juga memperoleh kemajuan. Tergantung kedua keuntungan inilah, maka dia berani maju kedepan In San tanpa dikawal.

Baru sekarang Tan Ciok-sing sadar akan sikap In San yang pura-pura dungu tadi, maksudnya adalah memancing Liong Seng-bu mendekatinya supaya leluasa membunuhnya. Walau usaha itu gagal, namun rasa kuatir Tan Ciok-sing seketika tersapu bersih. Segera dia mengempos semangat, beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan, kepungan ketat Huwan bersaudara yang mengetat tadi kini didesaknya mundur melebar.

Disana In San sudah melabrak. Huwan Pau seorang diri melawan In San. Huwan Pau jelas kalah setingkat, namun karena hanya lebih rendah setingkat maka untuk mengalahkan lawannya agak sukar juga bagi In San, malah dia kena dilibat sehingga tak kuasa terjang kesana mengejar dan membunuh Liong Seng-bu.

"Nona In," teriak Tan Ciok-sing, "selama gunung tetap menghijau, tak usah takut kehabisan kayu bakar, lekaslah kau pergi ke markas Kim-to Cecu memberi kabar."

Tapi In San gertak gigi tanpa bersuara, sekaligus dia kembangkan tiga puluh enam jurus ilmu goloknya, Huwan Pau didesaknya mundur puluhan langkah. Memang tujuan Huwan Pau memancing kemarahan In San dengan serangan gencar ini sehingga dia bisa mundur ke dekat para saudaranya, meski hanya mampu menangkis dan membela diri, gerak pedang dan langkah kakinya masih tetap tenang dan teratur.

Tan Ciok-sing sudah tahu bila ke empat saudara ini bergabung jadi satu, maka barisan pedang ini akan bertambah kokoh sukar ditembus lagi, bahwa In San mendesak maju ke arahnya ini bukankah ibarat masuk jaring sendiri. Tapi dia tahu In San takkan mau mendengar peringatannya, apa boleh buat dia hanya bisa menghela napas gegetun belaka.

Betul juga Huwan Liong yang menjadi pimpinan barisan segera memberi aba-aba merubah posisi dari barisan pedang ini, kini In Sanpun digulung dalam barisan. Empat orang bergabung perbawanya berlipat pula. Empat batang pedang memetakan sebuah jaringan sinar pedang, Tan Ciok-sing dan In San berdua seperti dibungkus di dalamnya, baru sekarang In San merasakan gerak-geriknya seperti terkekang, ilmu goloknya tak kuasa dikembangkan, beruntun dia terancam tusukan dan tabasan pedang musuh.

Melihat Tan Ciok-sing dan In San berdua meski tumbuh sayap juga takkan bisa meloloskan diri, baru lega dan lenyap rasa kaget Liong Seng-Bu, segera dia main tingkah lagi dengan mengudal ocehan: "Kalau tidak bisa membekuk hidup-hidup bocah she Tan ini, yang mati juga boleh. Tapi nona In adalah adikku, sekali-kali kalian jangan melukainya."

Huwan Liong mengiakan, pedang panjangnya tiba-tiba menusuk keluar dari urutan lingkar besar menusuk ke Hian-ki-hiat di depan dada In San. Sebagai saudara tertua dari ke empat bersaudara ini, ilmu pedangnya terhitung paling sempurna, dengan ujung pedang dia mampu menusuk hiat-to lawan tanpa melukai seujung rambut si korban.

Kerja sama gerak pedang ke empat bersaudara memang benar-benar rapat tanpa cacat sedikitpun di kala Huwan Liong menusukkan pedangnya, tiga pedang yang lain serempak juga menyerang Tan dan In berdua, bukan saja menekan dan menutup gaya permainan pedang Tan Ciok-sing, golok pusaka In San juga kena ditindih.

Dalam menghadapi saat-saat kritis ini Tan Ciok-sing menjadi nekat, tanpa hiraukan keselamatan awak sendiri mendadak dia mendesak maju seraya lancarkan serangan mematikan, memangnya Bu-bing-kiam-hoat yang dipelajari amat berguna untuk menghadapi segala perubahan seperti ini, maka jurus Sing-han-hu-jay ini tahu-tahu menyelonong masuk ke pusaran lingkaran sinar pedang lawan dan ternyata betul-betul membawa akibat luar biasa. Maka terdengar suara bentrokan yang nyaring dan panjang, tiga pedang musuh sekaligus kena dibentur pergi. Golok In San tegak kokoh di depan dada berhasil membentur pergi pedang Huwan Liong yang menusuk datang.

Huwan bersaudara sekaligus turun gelanggang, kekuatan mereka seumpama enam belas jago-jago silat kelas tinggi turun tangan bersama meski Tan Ciok-sing dapat mengembangkan perbawa Bu-bing-kiam-hoat mencapai taraf kejayaannya, namun kekuatannya masih belum dapat melampaui rangsakan para musuhnya. Memang ketiga pedang lawan kena dibentur pergi, namun demikian tidak urung pundak kirinya tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, untung hanya luka luar dikulit badannya saja.

"Nona In, bocah she Tan ini laksana golekan lempung yang takkan mampu menyebrang sungai, jiwa sendiri sedang terancam memangnya dia mampu melindungi dirimu," demikian bujuk Huwan Liong, "tentunya kau juga tahu Liong-kongcu kami merasa kasihan dan menaruh hati padamu, jelas dia tidak akan membikin susah padamu. Harap kau letakan senjata dan mundurlah keluar gelanggang, supaya kami tidak sampai melukai kau," untung mereka tidak berani melukai In San, sehingga sejauh ini In San masih kuat bertahan.

Mendadak In San tertawa dingin, jengeknya: "Terlalu pagi kalian takabur, nah lihatlah keliehayan nonamu," di tengah jengek tawanya itu tiba-tiba Ceng-bing-kiam sudah tcrlolos dari sarungnya, dengan tangan kiri pegang golok tangan kanan main pedang, golok untuk menjaga badan sementara pedang panjang menyerang musuh

Memang aneh bin ajaib tusukan pedang In San yang miring seperti sembarangan ini, ternyata serasi dan cocok pula dengan gerakan jurus pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing, rangkaian sinar pedang lawan laksana jala itu seketika tercerai berai.

Ternyata sekarang Tan Ciok-sing dan In San sama menggunakan pedang jantan dan betina, dua permainan ilmu pedang tergabung menjadi satu, kekuatannya ternyata dahsyat sekali. Dahulu Thio Tan-hong suami istri tak lama setelah menikah, berdasar ajaran ilmu pedang tingkat tinggi, berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan yang tiada bandingan tarapnya. Siang-kiam-ho-bik (dua pedang gabungan) yang diciptakan ini bukan melulu mengutamakan setiap jurus pedang bergerak secara serasi, namun gaya pedangnya yang harus serasi, cukup asal kedua pihak sama-sama menghafal kunci rahasianya cukup sebuah tusukan pedang biasa saja, namun dapat bergabung mencapai puncak kehebatan dengan gerakan pedang kawan sendiri.

Hakikatnya In San belum pernah melihat Thio Tan-hong begitulah menurut ingatannya tapi ilmu pedang yang dimainkan ini secara tidak langsung memang Thio Tan-hong yang mengajarkan padanya, dalam hal ini memang ada kisahnya tersendiri.

Dikatakan didalam ingatannya selamanya belum pernah dia melihat Thio Tan-hong juga kurang tepat. Yang benar dia dulu pernah melihatnya, tapi itu terjadi tiga hari setelah dia dilahirkan dari rahim ibunya, sebagai orok yang belum tahu apa karena baru saja dilahirkan, bahwa ayah bunda sendiripun belum bisa membedakan sudah tentu siapa saja yang pernah dilihatnya di masa kecilnya dulu jelas tiada kesan apa-apa dalam benaknya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar