Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 2
"Omongan orang she Ie
entah dapat dipercaya tidak?" soalnya dia tidak percaya bahwa Thio
Tan-hong yang diagungkan seluruh lapisan persilatan itu ternyata punya dua
teman bangsa asing. Memang Tan Ciok-sing tidak tahu asal-usul mereka, tapi dari
tingkah laku mereka jelas memang kurang genah. Menurut apa yang dikatakan Ie
Cun-hong barusan, agaknya mereka banyak mengeduk harta benda secara tidak halal
di Tiongkok.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak tahu, meski kedua kakek bertampang seram dan aneh ini berwatak aneh pula,
apa lagi mereka memang banyak mengeduk keuntungan di Tiongkok. Tapi mereka
memang betul teman baik Thio Tan-hong, malah setelah mereka berkenalan dengan
Thio Tan-hong, sepak terjang merekapun banyak berubah, lebih banyak berbuat kebajikan
dari pada kejahatan.
Kedua kakek ini adalah saudara
kembar cuma yang tua hitam bernama Hek-moko, sang adik putih bernama Pek-moko,
kalau digabung bernama Hek-pek-moko, semula mereka adalah pedagang perhiasan
dan barang-barang antik dari India.
Usaha dagang mereka memang
cukup besar, namun cara yang mereka praktekkan memang kurang legal. Main
selundup, sogok dan bila perlu main paksa, merekapun pernah jadi maling yang
suka mengeduk harta benda didalam kuburan raja-raja. Namun mereka ada membuat
sebuah peraturan, yaitu mereka hanya mencuri benda milik orang telah mati,
kepada manusia-manusia hidup hanya menipu pantang merebut. Belakangan mereka
kenal Thio Tan-hong, karena suatu ketika secara kebetulan Thio Tan-hong
menemukan istana di bawah tanah milik kedua kakak beradik ini, didalam istana
bawah tanah inilah kedua orang asing ini menyimpan harta bendanya.
Kalau mereka sendiri akhirnya
pantang menjadi maling atau pencuri, tapi mereka tetap menjadi tukang tadah,
bila perlu meluruk kemana sajapun boleh, asal ada barang dan usaha jalan, tidak
perduli dari mana asal-usul barang itu. Oleh karena itu anak buahnya campur
aduk terdiri dari beberapa lapisan, itulah sekedar gambaran sepak terjang
Hek-pek-moko yang lalu, lain dulu lain sekarang, kini Hek-pek moko tidak lagi
sekaya dulu, meski belum sampai rudin, tapi simpanan mereka memang sudah tidak
banyak lagi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Soalnya setelah mereka
ditundukkan oleh Thio Tan-hong, secara suka rela mereka serahkan seluruh harta
simpanannya kepada Thio Tan-hong, oleh Thio Tan-hong harta terpendam itu
diserahkan kepada Kim-to Cecu Ciu Kian ayah dan anak yang bercokol diluar
Gan-bun-koan untuk melawan serbuan pasukan Watsu. Ciu Kian sebetulnya adalah
komandan tentara yang berkuasa di perbatasan, karena difitnah oleh kawanan
dorna, akhirnya dia tinggalkan jabatan dan kedudukan terus menduduki gunung
menjadi penyamun, meski jadi brandal, namun loyalitasnya terhadap kerajaan Bing
tak pernah luntur, dalam mendirikan pangkalannya diluar perbatasan itu, dia
tetap berusaha menahan serbuan pasukan Watsu dibantu laskar rakyat yang
patriotik. Tiga puluh tahun yang lalu, Ciu Kian terhitung raja golok yang
kenamaan juga, kini dia sudah meninggal, maka anaknya Ciu San-bing mewarisi
jabatan ayahnya, hubungannya dengan In Hou amat intim. Di pangkalan Ciu
San-bing inilah Hek-pek-moko pernah beberapa kali bertemu dengan In Hou,
masing-masing pernah tukar pikiran tentang ilmu silat, oleh karena itu kedua
kakak hitam putih ini amat apal akan ilmu golok keluarga In.
Sebelum menjawab pertanyaan Ie
Cun-hong tentang jejak Thio Tan-hong, Hek-moko menengadah sesaat tanpa
bersuara, akhirnya dia tertawa geli tiga kali, baru berkata, "Mengandalkan
kalian beberapa gelintir kurcaci ini, memangnya pantas kalian mencari Thio
Tan-hong?"
Gusar Ie Cun-hong, dampratnya,
"Cara hormat sudah kita tempuh. Ternyata kau tidak tahu diri, baiklah,
ingin aku belajar kenal sampai dimana kepandaian kalian Hek-pek-moko?"
"Ie-cengcu," timbmng
Thi-cang Siausu, "biarlah Pinceng dulu yang belajar kenal kepandaian hitam
putih ini. Liok-giok-cang yang dipergunakan kakak beradik ini konon juga
termasuk benda pusaka, ingin aku bertaruh dengan mereka, coba Liok-giok-cang
mereka yang liehay atau tongkat bajaku yang hebat, kalau tongkat mereka dapat
mengalahkan tongkatku, selanjutnya namaku akan terhapus dari percaturan
Kangouw. Sebaliknya kalau aku yang menang, terpaksa tanpa sungkan tongkat
pusaka mereka itu akan kurebut."
Kalau si Hwesio dan Ic
Cmi-hong berebut hendak berkelahi dengan Hek-pek-moko, sementara Siang Po-san
diam-diam mengawasi Tan Ciok-sing tanpa berkedip.
Seorang anak buah Ie Cun-hong
berkata, "Ganyang dulu bocah ini?"
Siang Po-san geleng-geleng
kepala, katanya, "Bocah ini kalau tidak salah cucu Ki Harpa, jangan kau
mengusiknya."
"Siapakah Ki Harpa
itu?" tanya anak buah itu.
"Ki Harpa adalah Dewa
Harpa yang terkenal sebagai pemetik harpa nomor satu di dunia ini, bagaimana
asal-usulnya aku juga tidak jelas. Tapi aku tahu In Hou pernah merawat
luka-lukanya di rumah mereka, In Hou masih hidup atau sudah mati, ingin aku
mengompres keterangan dari mulut bocah ini."
"Baiklah, biar kita
ringkus dia hidup-hidup saja," kata anak buah itu. Musuh utama mereka
sekarang jelas adalah Hek-pek-moko, sudah tentu Tan Ciok-sing yang masih
tanggung ini tidak menjadi perhatian mereka, maka anak buah itu menarik seorang
temannya lagi menghampiri ke arah Tan Ciok-sing.
Mendengar In Hou terluka,
sudah tentu Hek-pek-moko kaget, air mukapun berubah.
Si Hwesio tertawa gelak,
serunya. "Belum lagi turun tangan, memangnya kalian sudah jeri?"
Hek-moko tiba-tiba menyeringai
dingin, berbareng dia enjot kedua kaki, tubuhnya terapung ke atas, gerakan
tubuhnya sungguh cepat luar biasa, si Hwesio kira orang melabrak dirinya, lekas
dia lintangkan tongkat hendak menangkis, bentaknya, "Kenapa tidak kau
gunakan senjata tunggalmu." Belum habis dia bicara, bayangan orang didepan
mata tahu-tahu sudah lenyap. Ternyata bersuara di timur Hek-moko menggempur
kebarat, di tengah udara dia memutar badan meluncur turun di hadapan Siang
Po-san, bentaknya. "Biar aku belajar kenal senjata rahasiamu lebih
dulu,"
Sekali menekan gitar besinya,
tiga batang Toh-kut-ting segera melesat keluar. Hek-moko keburu memukul turun
dengan telapak tangan, "Tang" gitar lawan dihantamnya telak. Perih
telapak tangan Siang Po-san, tanpa kuasa dia terhuyung ke samping, tapi gitar
besinya sekalian menyapu ke bawah Hek-moko. Gerak perubahan permainannya ini
memang cukup liehay, tangkas tapi ganas. Tapi sebat sekali Hek-moko ternyata
sudah melayang balik ke tempat asalnya. Terdengar sebuah dengusan keras,
sebatang Toh-kut-ting tahu-tahu sudah menyambar tiba di depan mata Siang
Po-san, cepat Siang Po-san angkat jari tangannya menjepit, paku itu kena
ditangkapnya dengan mudah, katanya dingin, "Kau memakai senjata rahasiaku,
mana bisa melukai aku? Hayolah kita bertanding menurut kepandaian senjata
masing-masing. Wah celaka..."
Belum habis dia bicara,
terdengar dua jeritan keras yang mengerikan, ternyata tangan kiri Hek-moko
menyambut senjata rahasia lawan, ketiganya lalu dia sambitkan dari arah dan
posisi yang berbeda, dua batang paku di antaranya seperti punya mata layaknya,
tahu-tahu balik melesat ke belakang dan mengincar ke arah dua anak buah le
Cun-hong yang meluruk kearah Tan Ciok-sing, dengan telak ulu hati mereka
tersambit, maka jiwanya seketika melayang.
Begitu Hek-moko pamer
kepandaian, si Hwesio yang bermulut besar melongo kaget dan jeri, pikirnya,
"Usianya sudah lebih enam puluh tahun, tapi gerak-geriknya masih demikian
gesit dan lincah. Musuh setangguh ini, jelas sukar dilayani."
Siang Po-san sendiripun bukan
kepalang kagetnya, pikirnya, "Gerakan untuk menangkap senjata yang
dilakukan tadi, kira-kira masih bisa juga kulakukan, tapi untuk menimpuk sejauh
ratusan langkah, telak mengenai ulu hati lagi, malah sasaran berada di sebelah
belakang, jelas kepandaian setinggi ini belum bisa kutandingi."
Hek-moko terloroh-loroh,
katanya, "Siang Po-san, kau melukai dua anak buahku, kini kubalas pula
dengan caramu sendiri, adil bukan."
"Tapi anak buahmu bukan
aku yang membunuh?" damprat le Cun-hong gusar.
"Kalian kan sekomplotan,
kalau tidak terima boleh maju menuntut balas bagi mereka," demikian
tantang Hek-moko.
"He, bagaimana taruhan
kita?" karena terlanjur bicara tadi, meski hati sudah agak jeri, tapi demi
gengsi terpaksa dia menebalkan muka menyinggung usulnya sendiri.
"Kenapa
tergesa-gesa?" seru Hek-moko, "setelah aku jajal golok cepat si raja
golok Ie-cengcu, tentu akan kuhadapi juga dirimu. Kaupun tak usah kuatir akan
diriku, meski golok Ie-cengcu dijuluki golok tercepat tiada bandingannya di
kolong langit, aku yakin dia takkan bisa membacokku mampus," karena
diolok-olok sudah tentu berang le Cun-hong dibuatnya.
Pek-moko yang berangasan
menjadi gatal, mendengar si Hwesio menantang berulang kali, akhirnya dia tidak
tahan, sambil mengetuk tongkat ke tanah dia membentak, "Kepala gundul, kau
memang tidak tahu diri, kau ini barang apa, berani menantang engkohku, hm,
kalau kau sudah bosan hidup, hayolah bertanding satu lawan satu dengan aku.
Tidak usah pakai hadiah segala, jiwa kita saja dipertaruhkan."
Hek-moko tertawa, bujuknya,
"Dik, usia kita sudah setua ini, janganlah suka pemberang. Pertunjukan
harus babak demi babak, kalau sekaligus dua babak, penontonnya bisa jadi
kebingungan."
Pek-moko tahu maksud tujuan engkohnya,
maka dia berkata, "Baiklah, Koko, kumengalah padamu, biar kepala gundul
ini hidup beberapa kejap lagi."
"Baik akan kutunggu
supaya nanti aku bisa mendoakan arwahmu diterima di sisi Thian," yang
benar dia sudah mulai jeri, jikalau Ie Cun-hong terjun pada babak pertama kan
juga menguntungkan dirinya, sekaligus dia bisa saksikan permainan musuh,
jikalau dia sendiri nanti terjun ke arena melawan Hek-moko sedikit banyak sudah
bisa menyelami permainannya dan menentukan akal untuk mengalahkannya.
Padahal Ie Cun-hong amat
membanggakan ilmu goloknya yang tiada tandingan, namun setelah menyaksikan
demontrasi kepandaian Hek-moko tadi, rasa jeri sudah menghantui sanubarinya
juga, tapi dia berpikir, "Masa dia bisa melebihi gerakan golok cepatku,
kalau dia bergerak seperti menghadapi Siang Po-san tadi, sebelum dia tiba di
depanku, badannya tentu sudah kupersen beberapa kali tusukan, kenapa takut
padanya?" dia kira perhitungannya tidak akan meleset, seketika timbul
nyalinya, katanya, "Hek-moko, kau menuding aku dan menantang, baiklah
kulayani, bagaimana kalau kau kalah?"
"Apa kehendakmu?"
Hek-moko balas tanya.
"Seperti apa yang
kukatakan tadi, cukup separah harta milikmu," ujar Ie Cun-hong.
"Kalau kau yang
kalah?" tanya Hek-moko.
"Selanjutnya kututup
pintu menggantung golok," sahut Ie Cun-hong.
Hek-moko tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Baiklah, silahkan kau sebutkan cara bertanding,
aku menurut kemauanmu saja."
"Jangan jumawa, keluarkan
senjatamu."
"Apa yang membuatmu
terburu nafsu begini?" ujar Hek-moko, tiba-tiba dia menghampiri Tan
Ciok-sing, katanya, "Pinjam golokmu itu."
Tan Ciok-sing mengharap dia
menang, dia juga tahu kalau orang mau merampas golok dari tangannya segampang
membalik telapak tangan, maka dengan sikap jantan dia angsurkan golok milik In
Hou itu kepada Hek-moko.
Ie Cun-hong tidak habis
mengerti, pikirnya, "Pentungnya itu termasuk pusaka, kenapa dia meminjam
golok kepada bocah itu malah?"
Maklumlah permainan kombinasi
kedua tongkat Hek-pek-moko bukan saja menjagoi India, di Tiongkok pernah juga
menyapu banyak orang gagah, selama ini belum pernah ketemu tandingan. Meski Ie
Cun-hong baru pertama kali ini berhadapan dengan mereka, tapi dia juga tahu
keliehayan gabungan ilmu pentung kedua kakek hitam putih ini. Bahwa Hek-moko
tidak menggunakan senjata andalannya, malah pinjam golok bocah ini, maklum
kalau le Cun-hong tidak habis mengerti.
Pelan-pelan Hek-moko jalan
kembali lalu berdiri di depan Ie Cun-hong, pelan-pelan pula dia mencabut golok,
tampak sinar golok laksana air bening memancarkan cahaya kemilau. Golok In Hou
ini entah pernah menghirup darah berapa banyak orang, namun tetap memancarkan
cahaya terang, tak ubahnya golok yang baru saja digembleng.
Tersirap darah Ie Cun-hong,
batinnya, "Betul, memang golok bagus."
"Ie-cengcu," kata
Hek-moko dingin, "kau dijuluki golok cepat tiada bandingan, baru saja aku
belajar beberapa jurus ilmu golok dari bocah itu, ingin aku mohon belajar pula
beberapa jurus dari kau."
Sudah tentu le Cun-hong amat
gusar, gelar "raja golok" yang dimilikinya sudah diakui khalayak
ramai, kini Hek-moko menantang dia adu golok, jelas telah memandang rendah
dirinya, apalagi Hek-moko bilang baru saja belajar beberapa jurus kepada bocah
ingusan lantas mau menghadapi dirinya.
Namun Ie Cun-hong yakin akan
dirinya, pikirnya, "Meski dia mengandalkan ketajaman golok pusaka itu,
permainan goloknya jelas bukan tandinganku," saking gusar dia malah
tertawa tergelak-gelak, "Hek-moko, kau sendiri yang cari mampus, jangan
nanti salahkan aku," di tengah gelak tawanya, cahaya terang tiba-tiba
berputar di empat penjuru, bayangan tubuhnya seperti dibungkus gugusan cahaya
kemilau, Ie Cun-hong sudah mulai melancarkan kecepatan goloknya. Padahal golok
hanya sebatang, orangnya pun cuma satu, tapi karena kecepatan gerak tubuh dan
permainan goloknya, seakan-akan ada belasan orang yang sekaligus memainkan
jurus golok menyerang ke arah Hek-moko.
Perbawa serangan golok ini
begitu dahsyat, kelihatannya Hek-moko bakal tercacah hancur tubuhnya. Tan
Ciok-sing merinding dibuatnya, jantungnya berdetak kencaug, pikirnya,
"Memang tidak malu Ie Cun-hong bergelar raja golok, memang tidak bernama
kosong. Kakek hitam ini agaknya terlalu memandang rendah padanya."
Di saat benaknya membatin ini,
dilihatnya Hek-moko sudah tarikan golok di tangannya dengan gerakan santai dan
seenaknya, boleh dikata dia menghadapi rangsakan golok lawan secara wajar dan
kalem, jauh berbeda dengan rangsakan Ie Cun-hong yang keras dan deras, tapi
secara pas-pasan dimana tajam goloknya menyabet dan menyontek, dengan tepat
seperti kebetulan pula serangan hebat Ic Cun-hong kena dipatahkan atau disampuk
pergi, bayangan sinar golok yang bertaburan memenuhi angkasa seketika kuncup
tak berbekas.
Kebat kebit jantung Tan
Ciok-sing melihat pertandingan yang menegangkan ini, pikirnya, "Bagus
sekali, ternyata jurus Yan-loh-ping-sa (belibis hinggap di pasir datar) harus
begitu cara memainkannya, agaknya aku hanya memperoleh gayanya belum menyelami
inti sarinya,"
Ternyata yang dilancarkan
Hek-moko barusan memang ilmu golok keluarga In kedua pihak saling serang dan
bertahan, dalam sekejap saja puluhan jurus telah berlalu. Gerakan golok Ie
Cun-hong memang sedikit lebih cepat dibandingkan Hek-moko, tapi keadaan tetap
seimbang.
Tan Ciok-sing jadi bingung,
pikirnya, "Beberapa jurus ini kelihatannya tidak mirip ajaran ilmu golok
yang tercantum dalam buku peninggalan In Tayhiap, tapi lebih mantap tenang juga
lincah dan enteng, mungkinkah ini kembangan atau variasi dari permainan ilmu
golok keluarga In yang sejati?"
Seperti dapat meraba jalan
pikirannya, tiba-tiba Hek-moko menggunakan jurus Hing-hun-toan-hong membendung
serangan Ie Cun-hong, katanya pelan-pelan, "Ilmu silat harus dihargai pada
mutu ciptaannya, asal dapat menyelami inti sarinya, perduli ilmu golok tingkat
tinggi sekalipun, pasti dapat dimainkan dengan perubahan sesuka hati. Malah
tanpa pernah mempelajarinya pun dapat juga memainkannya secara mahir, itu
tergantung bakat dan kecerdasan otak. Hehe, Ie Cengcu, coba katakan betul
tidak?"
Perlu diketahui bahwa taraf
kepandaian dan bekal Kungfu Hek-moko sebetulnya masih lebih unggul di atasnya
In Hou. Permainan ilmu golok keluarga In memang dia tidak semahir dan lengkap
seperti apa yang dimainkan Tan Ciok-sing tadi, tapi karena diapun sudah apal
dan pernah menyelaminya, mengandal bekal kepandaiannya lagi sehingga dengan
mudah dia menciptakan sendiri gerakan baru, umpama In Hou sekarang masih hidup
serta melihat permainannya ini, diapun pasti kaget dan kagum, serta merasa
bahwa kepandaian ilmu golok yang pernah diyakinkannya juga hanya begitu saja.
Kata-kata petunjuk itu sebetulnya dia tujukan kepada Tan Ciok-sing, tapi bagi
pendengaran Ie Cun hong, dia menganggap Hek-moko sedang mengejek dan memberi
peringatan pada dirinya.
"Hek-moko," damprat
Ie Cun-hong gusar, "jangan temberang, ilmu golok orang she Ie, memangnya
perlu kau yang mengajarkan?"
Hek-moko tergelak-gelak,
katanya: "Mana berani? Siapa tidak tahu Ie Cengcu dijuluki si cepat raja
golok yang tiada bandingannya? Itu hanya kesimpulanku yang bodoh belaka,
mumpung ada kesempatan sukalah kau memberi kesempatan untuk tukar pikiran. Tapi
menurut hematku, ilmu golok meski mampu bergerak dan menyerang dengan kecepatan
tinggi masih belum boleh dihitung sebagai ilmu golok tingkat tinggi yang sudah
mencapai puncaknya."
"Jadi ilmu golokmu sudah
mencapai puncak tertinggi?" jengek le Cun-hong.
"Aku tidak mengatakan
demikian," ujar Hek-moko tertawa, "kan sudah kukatakan, kepandaian
cakar kucingku ini, baru saja belajar dari engkoh cilik itu, untuk mencapai
puncak tertinggi entah masih berapa laksa tingkat bedanya, sudah tentu
lebih-lebih bukan tandingan kau si raja golok ini umpama tamu yang berkunjung
ke rumah makan dan kau adalah kokinya. Meski aku tidak pandai memasak, tapi
masakan hasil karyamu dapat juga kucicipi dan kunilai apakah enak dan lezat? Coba
katakan betul tidak?"
Sudah tentu le Cun-hong
semakin berang, bentaknya: "Kau ini mau bertanding golok atau ingin
ngobrol?" dalam beberapa patah kata ini, beruntun goloknya sudah menyerang
tiga puluh enam jurus.
Padahal dengan gaya santai
Hek-moko hanya balas menyerang tujuh jurus, tiga puluh enam jurus rangsakan
lawan tahu-tahu telah dipunahkan seluruhnya, katanya tertawa: "Sudah tentu
bertanding golok tapi aku ingin pula ngobrol. Tadi waktu kau memutuskan cara
bertanding kan tidak melarang aku buka suara. Nah, lihatlah yang jelas, kukira
ilmu golok tingkat tinggi tak berguna kalau hanya mengutamakan kecepatan, poros
inti permainan golok adalah mengutamakan diri sendiri, dari pada menanti lawan
menyerang, ada lebih baik aku melayani kehendak lawan. Yang muda lebih unggul
dari yang tua, lambat lebih unggul dari gugup. Lawan membacok sepuluh jurus,
aku cukup balas satu jurus, jikalau kau anggap analisaku ini salah. Nah mari
kita mulai bertanding lagi."
Majikan, tamu, tua dan muda
merupakan unsur-unsur penting dalam ilmu golok dalam sandi kata rahasia,
bergerak lebih dulu menundukkan musuh, berarti pihak yang diserang malah balas
menyerang, yang bergerak belakangan malah dapat mengalahkan musuh itu berarti
sang majikan melayani tamunya, menyontek dengan ujung golok dinamakan muda,
mengetuk dengan gagang golok dinamakan tua, menyanggah dan menindih dinamakan
lambat, kalau ujung golok memapak maju lebih dulu dinamakan gugup. Sembari
bicara Hek-moko membuat contoh dengan gerakan goloknya, supaya Tan Ciok-sing
dapat menyaksikan dengan jelas. Tan Ciok-sing belajar dan berhasil tanpa
bimbingan guru, untuk beberapa bulan pelajaran ini hasilnya ternyata cukup
lumayan, tapi hasil yang dia pelajari baru merupakan kulitnya saja. Baru
sekarang dia memperoleh petunjuk dan bimbingan dari guru ternama, banyak
persoalan yang selama ini tidak terpecahkan kini semuanya sudah jelas baginya.
Waktu Hek-moko mengatakan
"bertanding", tangan kirinya menggertak dengan suatu gerak tipuan,
menuding timur menggempur barat, dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung sakti
menggaris pasir), tajam goloknya menerobos keluar dari bawah sikutnya. Jurus
ini bergerak tepat pada waktunya dan menakjubkan lagi, hampir saja golok cepat
le Cun-bong menyentuh dadanya, seolah-olah dia sudah dapat meraba serangan Ie
Cun-hong, golok pusakanya sudah menyongsong dan mencegat di depannya. Karena
itu gerakan ilmu golok Ie Cun-hong sebetulnya lebih cepat, sekarang kini
menjadi terbalik seakan sedetik lebih terlambat dari lawan.
"Trang" terdengar
benturan keras, kembang api berpijar, Ie Cun-hong melompat minggir tiga
langkah, waktu dia menunduk, punggung goloknya ternyata gompal sedikit. Tadi Ie
Cun-hong melontarkan jurus Me-can-pat-hong (bertempur malam di delapan penjuru)
yang merupakan gerakan menyimpan golok, tujuannya untuk melindungi sekujur
badan, diam-diam dia berteriak, "syukur, untung golokku ini berpunggung
tebal."
Ternyata dalam detik-detik
yang kritis tadi, membalik punggung golok untuk membentur golok pusaka
Hek-moko. Memang dia sudah mahir merubah gerakan sesuai jalannya pertempuran,
gerak perubahannya teramat cepat pula, taraf kepandaian ilmu goloknya memang
sudah hebat luar biasa.
Diam-diam Hek-moko berpikir:
"Ie Cun-hong bergelar raja golok, walau terlalu mengagulkan diri, tapi dia
memang tidak bernama kosong," maka segera dia berkata: "Tadi
Ie-cengcu mengembangkan unsur sebagai tamu berubah majikan, sebaliknya aku dari
majikan menyambut tamu, dalam segebrak saja lantas terjadi perubahan posisi dan
gaya, dari sini terbuktilah teori yang pernah kuterangkan tadi memang masuk di
akal bukan?" dia menggunakan praktek bertempur sebagai contoh yang nyata,
tujuannya memberi penjelasan permainan ilmu golok itu kepada Tan Ciok-sing,
sudah tentu Tan Ciok-sing maklum akan maksud tujuan orang, sungguh hatinya amat
haru dan terima kasih pula. Sebaliknya Ie Cun-hong kira Hek-moko seperti sedang
mendidik atau menghina dirinya, karuan marahnya bukan main.
Melihat keadaan Ie Cun-hong
yang tidak menguntungkan, tiba-tiba Thi-ciang Siansu maju selangkah, tongkat
besi segede mangkok di tangannya terangkat menuding Pek-moko, bentaknya:
"Waktu sudah berlarut, Locu tak sabar menunggu, hayolah kita mulai
bertanding." Demi mempertahankan gengsi, sudah tentu dia malu mengerubut
Hek-moko dengan Ie Cun-hong, maka terpaksa dia gunakan akalnya sendiri, dia
tahu kalau kepandaian Pek-moko ketinggalan dibanding engkohnya, umpama dirinya
tak mampu mengalahkan lawan, tentunya juga tak akan mudah dikalahkan. Maka
begitu gebrak di mulai dia terus merangsak dengan serangan gencar dan keras,
kalau Pek-moko diserangnya hanya mampu bertahan dan mundur terus, tentu
Hek-moko menguatirkan keselamatan, adiknya, itu berarti perhatiannya mulai
terpencar.
"Hayo maju, memangnya aku
takut," seru Pek-moko, dengan menjinjing kedua tongkat, dia maju menghadapi
tantangan si Hwesio, katanya: "Koko, bukan aku tidak tunduk pada pesanmu,
soalnya kepala gundul ini terlalu menghina."
Hek-moko tertawa, katanya:
"Bahwasanya permainan
sandiwaraku ini juga sudah
berakhir pada babak ini, boleh kau sambut tantangannya."
Disini dia belum habis bicara,
tongkat besi Thi-ciang Siansu yang gede itu sudah menderu dengan serangan
menyapu ke pinggang Pek-moko. Begitu kencang deru angin sapuan tongkatnya ini
sampai batu pasir ikut tersapu terbang. Maka di tengah berdencingnya benturan
keras benda-benda logam, kuping setiap hadirin seperti pekak jadinya.
Tongkat besi Thi-ciang Siansu
sebesar mulut mangkok, jauh' lebih besar dari Liok-giok-cang yang digunakan
Pek-moko. Tapi begitu kedua tongkat masing-masing saling bentur, ternyata
sedikitpun Thi-ciang Siansu tidak berhasil memungut keuntungan apapun, malah
pergelangan sendiri terasa kaku dan linu.
Akan tetapi menghadapi
benturan kekerasan ini Pek-moko sendiri tak urung juga tergentak sempoyongan.
Kalau dinilai lvvekang kedua pihak, ternyata mereka kira-kira seimbang.
Thi-ciang Siansu sudah
bertekad akan menyerang secara gencar dan mengadu kecepatan, sebelum Pek-moko
berdiri tegak tongkatnya sudah disurung ke depan pula, ujung tongkat menjojoh
Hiat-hay-hiat di bawah pusar Pek-moko dengan jurus Ular Berbisa Mencari Lubang.
Pek-moko menggoncang tongkat
di tangan kiri menyontek ke samping, sementara tongkat di tangan kanan
digunakan sebagai Poan-koan-pit untuk balas menutuk Jian-kin-hiat di pundak
musuh. Kekuatan Thi-ciang Siansu sedikit lebih unggul, walau tongkat besinya
kena disontek ke samping, namun tenaga pantulannya masih belum lenyap,
"trang" tongkat kanan Pek-moko kena dibenturnya juga ke samping,
sebat sekali dia barengi dengan gerak susulan yang dinamakan Heng-sau-jian-kun
(menyapu habis ribuan pasukan), kembali beruntun tiga gerakan dia menyerang
tiga jalan darah bagian bawah Pek-moko. Pek-moko menggunakan gerakan naga
melingkar melangkah kaki, kembali dia berkelit. Berhasil merebut posisi dan
mendahului dengan serangan gencar, Thi-ciang Siansu seperti mendapat angka,
maka dia lancarkan rangsakan gencar, setiap jurus merupakan serangan ganas dan
mematikan.
Lwekang Thi-ciang Siansu
memang teramat tangguh, kekuatan jari dan lengan tangannya memang hebat luar biasa,
tongkat segede mulut mangkok ternyata dapat diputarnya seringan dahan'bambu,
mengeluarkan deru kencang lagi, sekitar gelanggang bayangan tongkat melulu,
perbawanya sungguh laksana gugur gunung seperti kilat dan geledek saling
menyamber, bagi kaum persilatan kelas rendah, jangan kata kena dikemplang
tongkatnya, tersampuk angin tongkatnya saja, isi perut mungkin bisa rontok dan
terluka parah.
Pek-moko diam-diam berpikir:
"Hong-mo-cang-hoat (ilmu pentung iblis gila) ajaran murni Siau-lim-si ini
ternyata memang hebat sekali. Aku harus dapat berperan baik didalam permainan
sandiwara ini, jangan sampai dikalahkan olehnya," maka dia layani serbuan
musuh dengan mantap dan tenang, bayangan tongkat selulup timbul memenuhi udara,
tak ubahnya dua ekor naga yang lagi berkutet sengit di tengah udara. Dalam
waktu mendesak ini jelas dia memang tak berkesempatan balas menyerang, tapi
untuk mengalahkan dia, ternyata Thi-ciang Siansu harus menguras tenaga dan
memeras keringat.
Pada saat itulah, di sebelah
sana tampak Hek-moko mengayun goloknya berkelebat di tengah udara, tahu-tahu Ie
Cun-hong merasa kepalanya menjadi silir dan dingin, sebelah rambut kepalanya
ternyata sudah terkupas rontok berhamburan.
Pek-moko tertawa
tergelak-gelak, serunya: "Koko, dia kan tidak ingin jadi Hwesio, kenapa
kau mencukur gundul kepalanya."
Hek-moko juga terloroh-loroh,
katanya: "Apa yang diagulkan si golok cepat tiada bandingan ternyata juga
demikian saja. Terima kasih," mendadak dia menghardik: "le-cengcu,
apa pula yang hendak kau katakan sekarang?"
Tadi Ie Cun-hong sudah bilang
kalau dirinya kalah, selanjutnya tidak akan muncul dalam kalangan Kangouw, itu
berarti dia tidak boleh cari perkara pula pada Hek-pek-moko. Tapi dia berjuluk
Raja Golok, dalam adu golok pula dia dikalahkan Hek-moko, betapa dia rela dan
sudi menelan kekalahan ini begini saja? Apalagi dia mempunyai rencana dan
tujuan tertentu, semula dia kira pihaknya pasti unggul dan menang, mana mungkin
dia mau menyerah karena kalah sejurus dalam pertandingan ini?
Demi gengsi dan rasa tamak
yang menghantui hatinya jauh mengungguli rasa takut dan malunya. Karena malu Ie
Cun-hong malah naik pitam, bentaknya: "Hari ini ada kau tiada aku, ada aku
tiada kau, kekalahan setengah jurus atau satu jurus bukan jadi soal, memang hal
ini dapat di buat ukuran untuk menentukan kalah menang?" habis bicara
goloknya dikerjakan terus menyerbu lagi.
Umpama orang sering
menggunakan cara bertanding untuk menentukan siapa liehay siapa asor, yaitu
cukup saling tutul saja, atau bertempur sampai titik darah penghabisan, kalau
sebelumnya sudah dijanjikan tidak akan berakhir sebelum salah satu pihak ada
yang gugur, meski kalah sejurus, orang masih boleh meneruskan pertempuran. Tapi
le Cun-hong memang sudah memilih cara pertandingan ini, meski penjelasannya belum
pasti, maksudnya adalah cukup saling tutul saja, baru sekarang dia menggunakan
cara kedua untuk melabrak Hek-moko, tindakan dan perbuatannya ini memang tidak
pantas dan tidak boleh dipuji.
"Memangnya tidak malu kau
sebagai orang kenamaan, menjilat ludah sendiri, memangnya kau tidak takut
ditertawakan orang-orang gagah di kalangan Kangouw?"
"Kalau aku dapat mati di
tanganmu, kan lebih baik dari pada menggantung golok tutup pintu, siapa bilang
aku menjilat ludahku sendiri? Hehe, sebaliknya bila kau terbunuh olehku,
berarti aku sudah menyumbat mulutmu, yang hadir disini semua orangku pula,
memang siapa yang tahu akan pertandingan golok antara kau dan aku ini?"
Sekaligus Hek-moko patahkan
dua puluh empat jurus serangan golok kilat lawan. Bentaknya: "Kau ingin
membunuhku, kukira juga tidak gampang, bertanding satu lawan satu, jelas kau
bukan tandinganku, suruhlah kambrat-kambratmu terjun ke gelanggang."
Siang Po-san tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Hek-moko, memangnya aku hendak membalas
permainan licikmu tadi. Kini kau begini temberang, jangan salahkan kalau aku
mengeroyokmu bersama Ie-cengcu."
Hek-moko tertawa dingin,
katanya: "Kalian suka main keroyok untuk mengalahkan musuh, memangnya aku
gentar? Hayolah maju, tak usah banyak bacot."
Tan Ciok-sing tahu sampai
dimana keliehayan Siang Po-san, pikirnya: "In Tayhiappun bukan tandingan
gombong iblis ini waktu bergabung dengan Le Khong-thian. Kepandaian raja golok
I-Cun-hong kira-kira tidak di bawah Le Khong-thian, dengan kekuatan kedua orang
ini, kakek hitam mana mampu menghadapi mereka?" karena menguatirkan
keselamatan Hek-moko, tanpa sadar mulutnya memaki: "Tidak tahu malu."
Siang Po-san sudah bergaya
hendak menubruk kearah Hek-moko, mendengar suaranya, mendadak dia tekan gitar
besinya, tiga batang Toh-kut-ting tahu-tahu melesat keluar dari dalam perut
gitar, sasarannya adalah Tan Ciok-sing yang berdiri kira-kira seratus langkah
disana. Kepandaian senjata rahasia Siang Po-san ini termasuk kelas wahid di
kalangan Kangouw, dia yakin ketiga paku penembus tulang yang disambitkan ini,
hanya akan menutuk hiat-to tanpa melukai seujung rambut.
"Tidak tahu malu,"
hardik Hek-moko, golok pusaka di tangannya tiba-tiba meluncur bagai selarik
cahaya bianglala. Golok benda berat daya timpukannya kuat dan kencang, maka
ketiga paku itu kena disusul, di tengah jalan tahu-tahu kena dipukul jatuh.
Malah daya luncuran golok pusaka masih cukup kencang, kebetulan melayang turun
di depan Tan Ciok-sing, ujung golok menancap amblas kedalam tanah, gagang
goloknya masih bergoyang dan bergetar kencang.
Teriak Hek-moko: "Nah
kukembalikan golokmu, lekas kau pergi," dia tahu selanjutnya akan terjadi
pertempuran sengit, musuh akan main keroyok dengan jumlah yang banyak, dia
kuatir anak buah le Cun-hong akan membekuk pemuda tanggung ini.
Lekas Tan Ciok-sing cabut
golok terus dimasukkan kedalam serangka, perasaannya ternyata hambar, walau dia
belum tahu asal-usul kedua kakek bangsa asing ini, namun kini Tan Ciok-sing
sudah mulai yakin bahwa mereka memang teman baik Thio Tan-hong. Pikirnya:
"Kakek hitam ini beruntun dua kali menyelamatkan jiwaku, seharusnya aku
beritahu kabar kematian In Tayhiap kepada mereka," tapi Hek-pek-moko kini
sedang bertempur sengit menggasak musuh, tak mungkin dia bisa memberitahu
mereka, maka dia jadi bimbang. "Tinggal pergi, atau tidak?" Tan
Ciok-sing jadi ragu-ragu dan sukar ambil putusan.
Melihat Hek-moko melempar
golok pusaka, senang hati Siang Po-san, dia tidak sia-siakan kesempatan baik
ini, dengan jurus Thi-li-keng-te (bajak besi menggaruk tanah), gitarnya segera
menyapu ketiga jurusan di badan Hek-moko, kekuatan serangan satu jurus tiga
gerakan ini ternyata hebat luar biasa, deru anginnya ternyata menimbulkan
gelombang angin lesus yang membawa taburan daun dan debu.
Dengan bekal kepandaian
Hek-moko sebetulnya dia mampu menghadapi gitar besi lawan dengan pukulan
telapak tangan, tapi dia perlu menjaga serangan golok cepat le Cun-hong. Kalau
dia melawan dan menghadapi lawan secara kekerasan, umpama berhasil menggempur
mundur gitar Siang Po-san, tentu dia sendiri terluka oleh golok le Cun-hong.
Kejadian berlangsung cepat sekali, golok le Cun-hong memang sudah membacok
tiba.
Hebat memang kepandaian
Hek-moko, dalam detik-detik yang kritis ini, tiba-tiba dia jejakkan kaki,
tubuhnya melambung ke atas, berbareng lengan bajunya yang gondrong mengebut
membelit ke arah golok, "sret" lalu disusul "tang" lelatu
apipun meletik.
Ternyata Hek-moko gunakan ilmu
tingkat tinggi yang peranti menggunakan tenaga pinjam tenaga, dengan lengan
baju dia melilit golok terus ditariknya ke samping, gerak golok Ie Cun-bong
laksana kilat, karena tarikan ini tak kuasa dia kendalikan gerakan sendiri,
maka goloknya kebetulan membentur gitar besi Siang Po-san. Tapi lengan baju
Hek-moko juga terkupas sebagian oleh golok lawan. Gebrak sejurus ini sungguh
teramat berbahaya dan menegangkan, kalau sedikit lena atau salah perhitungan,
yang tertabas mungkin bukan lagi lengan baju tapi sebelah lengannya malah.
Lwekang Ie Cun-hong dan Siang
Po-san setingkat, punggung golok yang tebal membentur gitar besi, golok
terpental balik, sedang gitar tergetar turun ke bawah terus terseret di atas
tanah meninggalkan goresan yang cukup dalam di atas tanah berlumpur. Kedua
orang sekilas sama tertegun, cepat sekali mereka membentak gusar:
"Hek-moko, lari kemana kau?"
Diam-diam Hek-moko
bersyukur bahwa dirinya
selamat, katanya tertawa tergelak-gelak: "Siang Po-san, gitar besimu itu
ternyata amat berguna juga untuk meluku sawah. Tak perlu kau terburu nafsu, kau
ingin laripun takkan kubiarkan."
Jurus yang digunakan Siang
Po¬san tadi adalah Bajak Besi Meluku Tanah, karena digempur oleh gerakan aneh
Hek-moko tadi, sehingga gitarnya itu betul-betul menjadi bajak yang peranti
untuk meluku sawah oleh kaum petani, karuan gusarnya bukan kepalang.
Sigap sekali laksana seekor
burung raksasa selincah kera melompat Hek-moko sudah melompat jauh memburu ke
arah adiknya, kakak beradik mempunyai daya pikir yang serupa, maka Pek-moko
segera lemparkan sebelah tongkatnya.
Begitu menangkap tongkatnya
sendiri Hek-moko lantas membentak: "Biar kalian berkenalan dengan gabungan
permainan tongkat kami berdua."
Tadi seorang diri Pek-moko
jelas tak kuasa menandingi tekanan tongkat baja Thi-ciang Siansu. Begitu
Hek-moko melompat tiba tongkatnya bergetar keras, ujung tongkatnya telah
menyontek ke tengah tongkat baja Thi-ciang Siansu yang segede mulut mangkok.
Dalam sekejap itu, cahaya tongkat coklat yang mgngkilap terang itu mendadak
mencorong, dua batang tongkat laksana dua ekor naga yang keluar dari lautan,
tongkat baja lawan seperti dililit dan dikurung di tengah. "Trang"
sekeras guntur menggelegar, hampir saja Thi-ciang Siansu tak kuasa memegang
tongkatnya lagi, lebih celaka lagi tongkatnya itu membalik hampir saja melukai
jidat sendiri. Akibat benturan yang hebat ini membuat dada Thi-ciang Siansu
sesak, darah bergolak dan seisi perut seperti dipelintir, tak tertahan lagi
sekumur darah menyembur dari mulutnya. Untung Ie Cun-hong dan Siang Po-san
lekas menubruk tiba, sehingga tekanan yang menimpa dirinya menjadi enteng.
Bukan kepalang kaget Ie
Cun-hong dan Siang Po-san, maklum Thi-ciang Siansu adalah murid didik
Siau-lim-pay, Iwekangnya yang tangguh tiada bandingan diantara mereka umpama
dia bukan tandingan Hek-pek-moko, paling tidak juga mampu melawan sepuluh
jurus, tak nyana dalam segebrak saja melawan gabungan ilmu tongkat lawan dia
sudah kecundang dan luka cukup parah. Betapa hebat kekuatan gabungan permainan
tongkat lawan, sungguh tak pernah mereka bayangkan.
Cepat sekali Hek-moko sudah
membalik badan, sepasang tongkat mereka kembali menyapu balik memapak
kedatangan Ie Cun-hong, lekas Ie Cun-hong merubah gaya permainannya,
gerak-geriknya tambah lincah dan berkisar kian kemari selicin ular merambat.
Terdengar dencing benturan senjata, seperti perpaduan musik yang ramai, tampak
Ie Cun¬hong mencelat keluar dari lingkungan cahaya tongkat lawan sejauh satu
tombak. Untung dia tidak terluka. Bukan lantaran Iwekangnya lebih tinggi
dibanding Thi-ciang Siansu, adalah karena gerakan goloknya dilancarkan teramat
cepat, sekali sentuh lantas mundur, sekali berkelebat lantas lewat. Meskipun
goloknya membentur sepasang tongkat lawan sebanyak belasan kali, namun daya
tolak dari benturan itu sendiri terang tidak sebesar atau sekuat daya mcmbal
tongkat baja yang gede dan berat itu.
Ternyata Siang Po-san berotak
lebih cerdik, lekas dia berseru: "Usahakan kedua kakak beradik ini
terpisah," mumpung dia lihat Hek-moko menyerbu kesana, dengan gerakan
lincah dan tangkas dia mendadak menyelinap maju menggempur Pek-moko.
Pek-moko menyambut dengan
jurus Pek-hong-koan-jit, tongkat dimainkan sebagai pedang untuk memapak
serangan lawan dengan tusukan. Gitar besi Siang Po-san menyapu miring, serta
disendai balik ke samping, lima jalur senarnya tahu-tahu menggesek ke urat nadi
Pek-moko. Gitar besi ini memang merupakan senjata tunggal jang jarang ada di
kalangan bulim, daya gunanya amat banyak, betapa luas pengalaman dan
pengetahuan Pek-moko, namun belum pernah dia menghadapi serangan senjata seaneh
ini.
"Creng, creng" dalam
detik-detik yang menentukan itu, dua senar gitar besi ternyata tersendai putus
oleh tongkat lawan, senar putus biasanya menjuntai ke bawah, tapi begitu Siang
Po-san mengayun gitarnya, dua senar yang putus ini ternyata berdiri lurus kaku
menusuk ke arah dua mata Pek-moko. Lwekangnya memang bukan tandingan Pek-moko,
tapi dia pandai memanfaatkan tenaga dalamnya, didalam permainan licik dan keji
jelas dia masih lebih unggul dari Pek-moko.
Karena tak menduga dan sudah
kepepet, terpaksa Pek-moko kembangkan ilmu Yoga yang jarang terlihat di
Tionggoan, dengan kepala di bawah kaki di atas dia jungkir balik kesana. Oleh
karena gangguan Siang Po-san, berarti usaha memisah mereka kakak beradik jadi
berhasil, kedua saudara kembar ini terpisah beberapa langkah jauhnya. Thi-ciang
Siansu memang tidak malu sebagai bekas murid Siau-Iim-pay, dalam waktu sekejap
ini, dia sudah rampung mengendalikan
pernapasan dan menekan darah
sehingga berjalan normal, kini dia sudah mampu terjun ke arena lagi. Kerja sama
dengan le Cun-hong, mereka berhasil menekan permainan tongkat Hek-moko.
Bahwa Siang Po-san menusuk
sepasang mata lawan dengan kedua senar gitarnya yang putus, ini pun gerak
serangan yang aneh pula, tak kira reaksi dan perubahan yang diperlihatkan
Pek-moko lebih aneh lagi di kala dia jumpalitan jungkir balik itu, tahu-tahu tongkatnya
mengemplang balik "Trang" gitar lawan kena dipukulnya. Lwekang mereka
memang berimbang, Siang Po-san tergentak mundur tiga langkah ke samping
sementara Pek-moko bersalto tiga kali di tengah udara baru meluncur turun dan
hinggap dengan enteng, tapi pundaknya terasa pegal dan linu, ternyata bajunya
tertusuk bolong, untung tidak mengenai hiat-to penting. Kejadian berlangsung
teramat cepat. Hek-moko mendadak menghardik, dia berkelit dari serangan golok
cepat Ie Cun-hong, kakak beradik berbareng sama melompat ke atas, maka pentung
mereka kembali bergabung dari atas terus menggempur ke bawah, cahaya coklat
kembali mencorong benderang.
Benturan senjata keras yang
menggetar itu memekakkan telinga semua hadirin, tongkat baja Thi-ciang Siansu
memercikkan lelatu api sementara punggung golok tebal Ie Cun-hong kembali
gompal di dua tempat, sementara gitar besi Siang Po-san dekuk pada ujung
tengahnya, alat rahasia yang dipasang di perut gitarnya tergetar rusak, maka
senjata rahasia yang tersimpan di dalamnya takkan bisa digunakan lagi. Meski
jumlah mereka bertiga, dengan tingkat kepandaian yang sebanding lagi, tapi
menghadapi gabungan permainan tongkat lawan, ternyata mereka hanya mampu
membela diri melulu, jangan harap dapat balas menyerang.
Saking marah bola mata Ie
Cun-hong sampai merah menyala, teriaknya gusar: "Pasang barisan
golok," memangnya anak buah yang dia bawa sudah berdiri pada posisi
masing-masing, mendapat aba-aba, segera arena kurungan mereka diperkecil, maka
Hek-pek-moko berdua terkepung di tengah gelanggang.
Keadaan seketika berubah
hebat, yang tampak hanya cahaya golok yang menari-nari, laksana ribuan baris
sinar kilat saling samber simpang siur, mirip sekali sebagai jala sinar yang
besar. Karena dibendung dan terkurung didalam cahaya golok, jelas cahaya coklat
yang dipantulkan tongkat Hek-pek-moko menjadi guram, tapi gerakan mereka tetap
lincah dan ganas laksana naga hidup yang bergulat di tengah samudra.
Ternyata Ie Cun-hong digelari
raja golok bukan lantaran permainan ilmu goloknya saja yang hebat, tapi
To-bong-tin (barisan jala golok) ciptaannya ini ternyata lebih Iiehay lagi.
To-bong-tin harus dilakukan sembilan orang sebagai satu kelompok, delapan orang
menduduki delapan unsur dan sudut, sementara seorang lagi sebagai pimpinannya
berada di tengah atau di pusat kelompok barisan, dengan permainan golok cepat
serempak mereka maju mundur menggempur musuh, sembilan orang bersatu padu
laksana tunggal, jelas musuh takkan mungkin sekaligus membunuh sembilan orang,
kalau berusaha mematahkan serangan mereka satu persatu, jelas dia sendiri yang
bakal mampus terbacok. Anak buah Ie Cun-hong yang -dididik dalam barisan jala
golok ini seluruhnya ada dua puluh tujuh orang semuanya kini dia bawa kemari,
tapi dua di antaranya tadi telah terbunuh oleh Hek-moko maka barisan hanya bisa
dibagi dua kelompok saja, sisanya yang tujuh orang sebagai cadangan, tapi cukup
dua kelompok barisan golok ini sudah bikin Hek-moko pusing menghadapinya.
Kalau dinilai taraf kepandaian
perorangan anak buah Ie Cun-hong paling termasuk jago kelas dua dalam kalangan
Kangouw, (api dengan gabungan sembilan orang, mereka cukup tangguh untuk
menghadapi jago kosen mana saja, apalagi gabungan delapan belas orang, meski
tokoh silat kelas tertinggi juga paling mampu membela diri saja, untuk
memecahkan barisan jelas teramat sukar juga.
Untung perbawa gabungan
permainan tongkat Hek-pek-moko juga hebat luar biasa, oleh karena itu Ie
Cun-hong, Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu tetap tidak bisa berpeluk tangan
mundur dari tengah arena, merekapun harus kerja sama dengan gerak perobahan
barisan golok untuk membendung rangsakan kedua tongkat lawan. Ini berarti
Hek-pek-moko sekaligus harus menghadapi lima jago silat tinggi, lama kelamaan,
tenaga berkurang sehingga mereka terdesak di bawah angin.
Setelah membentuk barisan
golok belum juga berhasil mengalahkan musuh, mau tidak mau Ie Cun-hong merasa
gugup juga, mendadak dia sadar, bentaknya; "Kalian memang orang bodoh,
kenapa berdiri diam saja disitu?"
Tujuh orang sebagai cadangan
kira Ie-cengcu suruh mereka ikut maju mengerubut, sekilas mereka melengak.
Maklum barisan golok harus dilakukan sembilan orang baru bisa mengembangkan
kekuatan barisan yang nyata. Kini kalau mereka ikut terjun, barisan jelas tak
mungkin terbentuk, itu berarti mereka harus bertempur secara individu atau
perorangan. Padahal musuh begitu tangguh, mungkin belum segebrak jiwa mereka
sudah terenggut oleh tongkat Hek-pek-moko.
Berkerut kening Ie Cun-hong,
bentaknya lagi: "Goblok, hayo bekuk bocah keparat itu." Baru sekarang
ketujuh anak buahnya itu sadar bahwa sang Cengcu suruh mereka membekuk bocah
cilik ini, lega juga hati mereka, serempak mereka mengiakan.
Ie Cun-hong memaki pula:
"Bodoh, menangkap bocah cilik memangnya perlu tenaga tujuh orang? Cukup
dua orang saja," maklum hatinya kebat kebit, di samping kuatir Tan
Ciok-sing melarikan diri, juga kuatir bila barisannya ini kemungkinan mengalami
sesuatu, tanpa adanya cadangan, kemungkinan segalanya bisa berantakan. Dua
orang anak buahnya yang bernyali paling kecil seperti berlomba segera memburu
kesana. Nyali mereka sudah pecah menyaksikan pertempuran yang dahsyat ini,
sudah tentu mereka lebih suka menangkap bocah kecil yang masih berbau pupuk
bawang, dari pada sebagai cadangan. Tak nyana kalau mereka ingin menyingkir
dari malapetaka, tapi elmaut justru merenggut jiwa mereka lebih dulu.
Setelah menyaksikan permainan
golok Tan Ciok-sing tadi, Hek-moko tahu bahwa Tan Ciok-sing latihan tanpa guru,
sehingga dia belum memperoleh ajaran ilmu golok In Hou yang murni, meski
kepandaian anak buah Ie Cun-hong terbatas, tapi dia kuatir bocah itu masih
bukan tandingan mereka. Di tengah gempuran yang sengit itu mendadak dia
menghardik keras laksana guntur, tongkat di tangan kanan menyampuk serangan
golok cepat Ie Cun-hong, berbareng lengan kiri terulur, di tengah samberan
bacokan golok yang seliweran, dia jambret salah seorang musuh dari barisan
golok musuh secara kekerasan. Di tengah kumandang suara hardikannya itu,
Hek-moko angkat tinggi tawanannya terus diayun berputar seperti atlit lempar peluru
yang siap melemparkan tawanannya, maka terdengarlah dua kali jeritan yang
mengerikan disusul suara gedebukan yang keras. Bola manusia yang dilempar
Hek-moko ini mencapai ratusan langkah dan kebetulan menumbuk salah seorang anak
buah Ie Cun-hong yang lagi memburu ke arah Tan Ciok-sing. Orang yang ditumbuk
ini keterjang mencelat ke samping kebetulan menumbuk temannya yang satu lagi,
maka secara karambol ketiga anak buah Ie Cun-hong ini menggelinding ke bawah
lereng sana, meski jiwa tidak melayang, paling tidak pasti terluka parah.
Serangan berantai secara
karambol ini meski membebaskan bahaya yang mengancam Tan Ciok-sing, tapi
Hek-moko tergores luka lengan kirinya. Maklum barisan golok ini merupakan
pusaka bagi Ie Cun-hong, betapapun takkan gampang dipecahkan begitu saja?
Betapapun tangkas dan liehay gerakan Hek-moko, tapi untuk menjambret musuh dari
barisan golok, terpaksa dia sendiri juga harus menerima akibatnya, untung
lukanya itu hanya tergores kulit dagingnya, lukanya tidak parah.
Kurang satu orang berarti
barisan golok telah terbuka sebuah lobang. Dalam waktu segenting ini Pek-moko
tidak menyiakan kesempatan ini, begitu menycndal tongkat, dia kepruk salah
seorang lawan yang terdekat sehingga tulang pergelangan tangannya terketuk
hancur, sambil memegang tangan, orang ini menjatuhkan diri terguling-guling
sambil menjerit-jerit seperti babi mau disembelih.
Lekas Thi-ciang Siansu memburu
maju menyumbat lobang ini, begitu dua tongkat saling ketuk, rangsakan Pek-moko
kena dibendung, sekali ayun kaki Ie Cun-hong tendang minggir anak buahnya yang
terluka, lalu menyuruh dua anak buah cadangannya maju menggantikan kedudukan
yang kosong.
Betapa hati tidak akan jeri
dan nyali pecah melihat teman sendiri menjadi korban secara mengenaskan. Ie
Cun-hong membentak: "Kalian tidak perlu takut, Hek-moko sudah terluka,
gasak saja takut apa?"
Hek-moko tertawa terkial-kial,
gelak tawanya bergema di atas pegunungan, katanya: "Ie Cun-hong, jangan
kau menghinaku karena sudah terluka? Hayo kau sendiri saja yang maju," dua
tongkat beriringan menggaris sebuah lingkaran, maka terdengarlah dering
beruntun yang memekak telinga, delapan belas batang golok semuanya kena
dibentur pergi oleh kedua tongkat. Malah kekuatan tongkat Hek-moko belum
berakhir sampai disitu saja, ujung tongkatnya masih menyodok ke muka Ie
Cun-hong, padahal sinar tongkat mencorong terang menyilaukan mata, terpaksa Ie
Cun-hong lekas melompat minggir.
Mendengar Hek-moko terluka,
Tan Ciok-sing kaget, tapi dia lantas berpikir: "Disini aku takkan mampu
membantu mereka, dari pada menjadi beban mereka, biarlah aku menyingkir
saja."
Berhasil memukul mundur
delapan belas jago golok lawan, Hek-pek-moko dapat ganti napas sekedarnya,
teriaknya: "Tidak lekas kau pergi? Lebih jauh lebih baik. Kawanan tikus
ini takkan bisa mencelakai kami, kau tidak perlu kuatir."
Mendengar gelak tawa Hek-moko
yang kumandang jelas tenaga dalamnya masih tangguh, lega juga hatinya, segera
dia panggul harpanya terus berteriak: "Baik, kutunggu kalian di bawah
gunung."
"Bawah gunung masih dalam
daerah kekuasaan mereka, boleh kau lari sejauh mungkin, kalau mau mencari kau,
kami pasti dapat menemukan kau," demikian seru Hek-moko.
Tan Ciok-sing segera angkat
langkah seribu, larinya sudah setaker tenaganya, sayang dia terlambat, sisa
tiga orang anak buah Ie Cun-hong sudah memburu datang tanpa diperintah
majikannya, baru puluhan langkah Tan Ciok-sing lari sudah tersusul musuh.
Thi-ciang Siansu tertawa,
katanya: "Hek-moko, gembar gembor belaka, memangnya siapa yang hendak kau
gertak?"
Gelak tawa Hek-moko tadi
memang bertujuan pamer lwekang, pada hal gelak tawanya itupun dipaksakan,
pertama dia ingin supaya Tan Ciok-sing pergi dengan perasaan lega, kedua untuk
menciutkan nyali anak buah Ie Cun-hong. Tapi bagi pendengaran seorang ahli
silat yang sudah memiliki kepandaian taraf tinggi, dari gelak tawanya tadi
sudah diketahui bahwa tenaganya sisa sedikit dan bakal terkuras habis dalam
waktu dekat.
Ie Cun-hong akhirnya menyadari
juga akan gertak sambel Hek-moko ini, teringat akan rasa takutnya tadi, merah jengah
mukanya, katanya: "Betul, kalian tidak perlu takut, keadaannya sudah payah
seperti binatang yang mengamuk dalam kandang, coba buktikan nanti berapa lama
mereka kuat bertahan," langsung dia pimpin delapan belas anak buahnya
sehingga daya kekuatan barisan bertambah kokoh. Hek-pek-moko memang hanya mampu
membela diri, gerakan gabungan yang tadi dilancarkan kini sudah terbendung dan
tiada kesempatan lagi jangan kata menjebol kepungan, menyerbu ke tengah barisan
melukai musuhpun tidak mampu.
Kalau disini Hek-pek-moko
dalam keadaan kritis di tengah kepungan barisan golok, sementara di sebelah
sana Tan Ciok-sing juga sedang bergelut dengan sengit. Musuh yang menyandaknya
lebih dulu berperawakan pendek, kontan Tan Ciok-sing membacok balik ke
belakang. Dari kejauhan Siang Po-san berseru: "Awas goloknya itu
pusaka."
"Aku tahu," sahut
laki-laki pendek itu, golok cepat di tangannya menepis tegak mengiris dengan
gerakan Siat-jiat-ou, karena gerak goloknya terlalu cepat menyerang musuh
sehingga lawan dipaksa untuk menyelamatkan diri lebih dulu, maka Tan Ciok-sing
terpaksa menarik balik golok untuk melindungi badan, dari menyerang kini dia di
pihak yang membela diri. Sinar golok bayangan orang berkelebat lewat, laki-laki
pendek itu beruntun membacok tujuh kali, namun tidak sampai membentur golok
pusakanya, inipun sudah membikin Tan Ciok-sing keripuhan. Cepat sekali dua
musuh yang memburu datangpun telah tiba.
Dinilai taraf kepandaian silat
ketiga orang ini, belum termasuk apa-apa di kalangan Kangouw, tapi menghadapi Tan
Ciok-sing tenaga mereka bertiga cukup berkelebihan.
Tan Ciok-sing mencak-mencak
keripuhan dicecar mereka, meski dia mengandal ketajaman goloknya, namun
keadaannya tetap terdesak di bawah angin, berkali-kali dia menghadapi ancaman
bahaya. Untung dia membekal golok pusaka, kalau tidak bagaimana akibatnya
sungguh tak berani dia membayangkan. Kalau Tan Ciok-sing mengeluh dalam hati
mendadak didengarnya Hek-moko berteriak: "Dari pada tamu berubah jadi
majikan, adalah lebih baik majikan melayani sang tamu. Yang muda melampaui yang
tua, yang terlambat lebih baik dari pada yang gugup."
Dasar otaknya encer, cepat
sekali berkelebat pikiran Tan Ciok-sing, apa yang diajarkan Hek-moko cepat
sekali sudah menyadarkan pikirannya. "Wut" tiba-tiba goloknya
membacok, gerakannya kini jelas lebih mantap dan sudah memperoleh poros inti
ilmu golok keluarga In, ujung golok memapak serangan golok musuh yang datang
dari arah depan, sementara gagang goloknya mengetuk golok yang menyerang tiba
dari arah kiri, tajam goloknya miring terus menyayat ke bawah, karuan seorang
lawan yang berada di sebelah kanan menjadi kaget dan jeri serta menarik tangan
dan mundur tersipu-sipu.
Jurus Hun-mo-san-bu (menari
tiga kali menggenggam mega) ini adalah serangan golok yang tadi digunakan Hek-moko
untuk membabat rontok rambut Ie Cun-hong. Sudah tentu jurus yang sama
dilancarkan oleh Tan Ciok-sing, perbawanya jauh ketinggalan dibanding Hek-moko,
tapi kepandaian ketiga lawannya itupun jauh lebih rendah dibanding Ie Cun hong.
Kini Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami intisari ilmu golok keluarga In,
maka permainannya sekarang sudah jauh berbeda, walau belum bisa menang, tapi
untuk bertahan terang sudah cukup berkelebihan.
Tapi ilmu golok yang berhasil
diselaminya sekarang baru pertama kali ini dipraktekkan, apa benar
permainannya, dia sendiri juga tidak tahu. Untung Hek-moko segera berseru lagi:
"Dalam pandangan ada musuh, dalam hati tiada musuh. Usaha tergantung pada
diri pribadi, peduli musuh
kuat atau
lemah,"-kata-kata ini
juga merupakan letak dari
kemurnian ilmu golok tingkat tinggi, apa yang dinamakan dalam pandangan ada
musuh ialah di kala kau . bergebrak kau harus menghadapi lawan secara serius,
dalam hati tiada musuh berarti peduli musuh betapapun kuatnya, kalau kau sudah
melabraknya dengan sengit, maka kau harus anggap lawanmu itu musuh yang enteng
dan patut kau robohkan.
Pendek kata peduli lawanmu itu
musuh tangguh atau lawan lemah, kau sendiri harus dapat berkelahi dengan
sungguh-sungguh dan menggunakan taraf kepandaianmu yang memadai, berkelahi
dengan singa harus setaker tenaga, berkelahi dengan kelinci pun harus demikian.
Karena baru pertama kali Tan
Ciok-sing menggunakan ilmu golok yang berhasil dipelajari dan diselaminya
sendiri, hatinya masih belum yakin akan kemampuan sendiri, kini setelah
mendengar petunjuk Hek-moko, hati lapang pikiran jernih, dapat menangkap
maknanya yang paling dalam pula, maka semangat tempurnya kontan berkobar.
Sekaligus dia lancarkan tiga jurus serangan berantai, dari bertahan kini dia
balas menyerang, serunya lantang: "Terima kasih akan petunjukmu."
Melihat permainan golok si
bocah mendadak tambah gencar dan liehay, laki-laki pendek itu kaget dan gugup,
serunya: "Jaga posisi kalian masing-masing, hayo gunakan bacokan serempak,
cacah dia jadi pergedel," walau mereka bertiga berusaha membentuk barisan
golok, tapi karena biasanya sudah kebiasaan dalam praktek barisan, kerja sama
dalam menyerang dan bertahan amat serasi, maka permainan mereka cukup ampuh,
juga kekuatannya tidak boleh dipandang rendah. Di tengah pertempuran sengit
itu, beruntun terdengar suara mendesis, pakaian Tan Ciok-sing ternyata tersayat
sobek, lengan bajunya tertabas jatuh sebagian, sobekan yang melayang jatuh ini
terkoyak-koyak kecil beterbangan pula oleh samberan golok ketiga orang itu. Tapi
karena gerakan golok teramat cepat, meski pakaian tersayat sobek, kulit
dagingnya tidak sampai terluka. Kalau sebelum ini, menghadapi detik-detik yang
berbahaya ini betapa pun besar nyalinya, terang dia sudah gugup dan ketakutan.
Kini sedikitpun dia tidak terpengaruh malah seperti tidak merasakan sama sekali
akan ancaman bahaya, setelah bertempur seratusan jurus permainan goloknya malah
semakin lancar dan mahir, gerak permainan yang semula kaku lama kelamaan
menjadi wajar dan liehay, semakin dipraktekkan, semakin banyak dan mendalam
pula hasil yang dapat diselaminya.
Dalam pertempuran
memperebutkan antara hidup dan mati ini, mendadak Tan Ciok-sing menggerung
keras, jurus Hun-mo-sam-bu dilancarkan pula, dimana golok pusakanya terayun.
Jurus Hun-mo-sam-bu yang sama namun setelah dilancarkan untuk yang kedua
kalinya oleh Tan Ciok-sing ternyata perbawanya jauh lebih hebat dari yang
pertama tadi.
Sekonyong-konyong cahaya golok
bertambah terang bertaburan seperti tabir bintang, maka terdengarlah lengking
jerit yang menyayat hati, laki-laki pendek yang menyerang dari arah depan itu
lengan kanannya kena tertabas buntung, kontan dia roboh kelejetan Sementara
laki-laki di sebelah kiri golok bajanya terbabat putus jadi dua, telapak
tangannya tergetar pecah berdarah, sedangkan laki-laki di sebelah kanan kena
disodok Ih-khi-hiatnya oleh gagang pedang Tan Ciok-sing, saking kesakitan dia
melengking sambil memeluk perut. Tanpa hiraukan temannya yang terluka, kedua
orang ini lekas melarikan diri sambil menahan sakit.
Selama ini belum pernah
membunuh orang, kini mendadak dia memperoleh kemenangan setelah mengalami
pertempuran sengit, sungguh tidak pernah terpikir olehnya bahwa permainan
goloknya tadi mempunyai kekuatan sehebat itu, maka dengan mendelong dia
mengawasi saja laki-laki yang buntung lengannya terguling-guling di depannya.
Meski dikerubut serta
kerepotan, tapi pandangan dan pendengaran Hek-moko tetap memperhatikan keadaan
sekitarnya, melihat Tan Ciok-sing berhasil mengalahkan lawannya, segera dia
berteriak: "Tidak lekas lari tunggu apa pula? Mau kemana kau pergi boleh
terserah, aku punya akal untuk mencarimu."
Waktu Tan Ciok-sing angkat
kepala, dilihatnya Hek-pek-moko masih terkurung dalam barisan golok musuh,
antara sinar terang dan cahaya coklat selalu berkutet dan timbul tenggelam,
kedua pihak bergelut dengan seru dan sengit. Maklum taraf kungfunya masih
rendah, tidak bisa dia membedakan pihak mana bakal unggul dan asor. Pikirnya:
"Gelagatnya Hek-pek-moko masih kuat bertahan dan tak mampu menjebol kepungan,
tapi mereka takkan mudah dikalahkan. Setelah aku menyingkir dari sini, mereka
tidak perlu kuatir akan keselamatanku, mungkin mereka akan bertempur lebih
terkontrol," hatinya kini betul-betul sudah kagum dan terima kasih pada
Hek-pek-moko, apa yang dikatakan orang sudah dipercaya seratus persen.
Batinnya: "Dia bilang akan bisa menemukan aku, pasti akan bisa bertemu
lagi. Ginkang mereka begitu bagus, asal bisa menjebol kurungan, memangnya
mereka tak mampu menyusul aku?"
Karena musuh berada di depan
mata pula, sudah tentu dia tidak berani membocorkan jejak Thio Tan-hong, maka
dia berkata: "Baiklah, kutunggu kalian di tempat tujuanku," lalu dia
lari kencang turun gunung. Kini dia sudah percaya penuh bahwa Hek-pek-moko
adalah teman baik Thio Tan-hong, maka dia kira bahwa merekapun pasti sudah tahu
kalau Thio Tan-hong sekarang semayam di Ciok-lin, dia yakin Hek-pek-moko pasti
maklum kemana juntrungan kata-katanya.
Seperti baru bermimpi buruk,
setelah berlari sekian lamanya, suara dencing senjata beradu tak terdengar
lagi, pikirnya: "Manusia memang tidak boleh dinilai dari tampangnya,
semula kukira kedua kakek tua ini adalah gembong penjahat, siapa tahu mereka
justru menyelamatkan jiwaku. Betapa menyenangkan bila aku bisa pergi ke
Ciok-lin menemui Thio Tayhiap bersama mereka?"
Waktu dia lari menuruni lereng
gunung, mendadak di dengarnya dari semak-semak rumput sana ada rintihan orang.
Tan Ciok-sing tak kuasa menghentikan daya larinya yang menurun, kakinya hampir
saja menendang tubuh seseorang, tapi kedua kakinya tiba-tiba dipeluk orang itu,
karuan kagetnya bukan main, waktu dia menunduk, di tengah keremengan cahaya
bulan masih dikenalinya orang yang memeluk kakinya adalah anak buah Ie Cun-hong
yang tadi dilempar ke bawah lereng oleh Hek-pek-moko. Luka-lukanya amat parah,
terutama kedua kakinya putus, namun dengan kencang dia peluk kedua kaki Tan
Ciok-sing.
Tan Ciok-sing menaruh belas
kasihan dan tidak tega melihat keadaannya, segera dia berjongkok sambil
keluarkan Kim-jong-yok mengobati luka dan
menyambungkan tulang kakinya,
orang itu menjadi terharu dan berterima kasih akan kebaikan hati si pemuda,
setelah dia tahu kemana arah tujuan si pemuda, segera dia memberi petunjuk ke
arah mana dia harus menempuh perjalanan.
Sesuai petunjuk orang ini
dengan leluasa Tan Ciok-sing turun gunung terus menuju ke barat. Tujuannya
adalah Ciok-lin yang berada di Hun-lam, arahnya tepat ke arah barat.
Hari kedua pagi-pagi benar Tan
Ciok-sing sudah tiba di bawah gunung, angin gunung menghembus sepoi-sepoi,
kicau burung terdengar merdu, sesaat dia berhenti dan pasang kuping dengan
cermat suara pertempuran jelas tidak terdengar dari tempat sejauh ini. Tanpa
merasa gundah dan was¬was perasaan hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Kedua
kakek bangsa Thian-tiok apakah bisa lolos dari bahaya?" Tapi teringat akan
dendam sakit hati sendiri, sekali-sekali dia tidak boleh berada di tempat
berbahaya ini. Ie Cun-hong punya anak buah sebanyak itu, tersebar luas lagi,
umpama Hek-pek-moko mampu mengalahkan mereka, sukar juga untuk memberantas musuh
yang banyak. Bila beberapa di antaranya yang lolos melarikan diri turun gunung
dan kepergok dirinya, akibatnya bisa celaka.
Mumpung hari masih pagi dan
penduduk kampung belum banyak yang keluar, segera ia kembangkan ginkang,
sekaligus dia berlari dua tiga puluh li, akhirnya dia memasuki sebuah kota
kecil, disini dia mampir ke kota membeli dua perangkat pakaian serta sarapan
pagi sekenyangnya, lalu melanjutkan perjalanan ke barat pula, Tan Ciok-sing
terus maju menempuh perjalanan dengan perasaan tidak tenang, beruntung dia
tidak pernah mengalami rintangan pula. Sebelum matahari tenggelam dia sudah
menempuh perjalanan seratus li jauhnya.
"Semoga Thian memberi
pelindungan, dengan selamat aku bisa tiba di Ciok-lin dan menemukan Thio
Tan-hong yang dijuluki jago pedang nomor satu pada jaman ini, dia bertekad
untuk belajar Kungfu sampai berhasil, pulang untuk menuntut balas. Tapi dia
dengar usia Thio Tan-hong sudah amat lanjut, apakah dia masih hidup? Kedua
kakek Thian-tiok itu adalah teman Thio Tan-hong dan In Tayhiap, jikalau aku
bisa bertemu pula dengan mereka, akan kumohon petunjuk dan ajaran kepandaian
mereka, tentunya mereka tidak akan menampik? angan-angan Tan Ciok-sing memang
merasuk hati, tapi apa yang harus dia hadapi kemudian sungguh menjadi kecewa.
Perjalanan terus dilanjutkan
ke arah barat, hari ini adalah yang ketiga. Sepanjang jalan tetap selamat,
namun dia belum juga bertemu dengan Hek-pek-moko. Di kala dia berayun langkah
dengan hambar itulah, mendadak dia dengar seorang berteriak: "Haya, kau, bukankah
kau ini adik cilik pemetik harpa itu? Sungguh iak nyana bertemu pula dengan
kau."
Waktu Tan Ciok-sing berpaling,
tampak seorang pemuda berpakaian pelajar tengah mempercepat langkahnya
memburu ke arah dirinya. Meski
bukan Hek-pek-moko, Tan Ciok-sing sedikit kecewa, tapi karena pertemuannya yang
tidak terduga dengan pemuda pelajar ini, rasa gundah dan was-wasnya selama ini
agak terhibur juga.
Pemuda pelajar ini bukan lain
adalah siucay yang pernah jumpa di warung makan tempo hari, orang memberi dua
tahil perak setelah dia membawakan sebuah lagu di bawah iringan dan petikan
harpa, dia hanya tahu orang dipanggil Liong-siucay.
"Liong-siangkong,"
kata Tan Ciok-sing menghentikan langkah, "aku belum mengucapkan banyak
terima kasih akan kejadian tempo hari itu."
Pelajar itu berkata tertawa:
"Hari itu aku betul-betul menguatirkan keadaanmu, tak nyana kecuali kau
pandai memetik harpa, ilmu silatmu ternyata juga hebat. Setelah kau lolos dari
kerubutan orang-orang jahat itu, baru legalah hatiku. Oh, ya, aku belum berkenalan
dengan nama dan she-mu."
Tahu bahwa dirinya adalah anak
gunung yang masih bau pupuk bawang, belum pernah kecimpung di dunia Kangouw
lagi, dalam kalangan bulim jelas takkan ada orang yang kenal dirinya, kalau
pelajar ini tahu namanya pasti juga tidak jadi soal, maka dia bicara
sejujurnya. Pelajar itu segera memperkenalkan diri pula: "Aku she Liong,
bernama Seng-bu. Boleh kau panggil namaku atau panggil Liong-toako juga
boleh."
"Aku ini kan anak rudin,
mana berani aku menjajarkan diri dengan dirimu," ujar Tan Ciok-sing.
Berkerut alis Liong Seng-bu,
katanya: "Kalau demikian kau anggap aku ini orang apa? Bersahabat tidak
perduli tinggi rendah kedudukan, apalagi kau pandai bermain Kungfu, bicara
terus terang, malah kuatir tak sebanding bersahabat dengan dirimu."
"Paling aku pernah
belajar beberapa gerakan cakar kucing, mana boleh dikata membekal Kungfu
segala?" kata Ciok-sing tertawa.
"Soal Kungfu aku ini
termasuk orang luar, Kungfu yang pernah kau pamerkan hari itu, cukup membuat
aku kagum dan tunduk lahir batin. Tapi kepandaian yang kumaksud akan dirimu
bukan soal
Kungfu saja, kemahiranmu
memetik harpa itu juga termasuk keahlian yang tak ada bandingannya. Terus
terang hobyku juga bermain catur, melukis dan memetik harpa. Guru-guru ahli
musik atau ahli pemetik harpa yang kukenal tidak sedikit, tapi tiada seorangpun
yang mampu menandingimu."
Mendengar orang memuji
kepandaian dirinya memetik harpa, Tan Ciok-sing merasa orang sehoby dirinya,
katanya: "Liong-siangkong terlalu memuji."
"Lho, kenapa memanggilku
Liong-siangkong segala? Kalau sudi sukakah kau memanggil aku Liong-toako
saja."
Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi Tan Ciok-sing memanggilnya, "Liong-toako, dimanakah
alamatmu. Kelak kalau aku
lewat ke kotamu, pasti aku mampir ke rumahmu," secara tidak langsung dia
hendak pamit untuk berpisah.
"Kenapa terburu-buru,
adik cilik, kau mau kemana?" tanya Liong Seng-bu.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak mau menceritakan tujuannya ke Ciok-lim mau menemui Thio Tan-hong, setelah
berpikir dia berkata: "Aku ini hanyalah bocah yang mencari nafkah dengan
menyanyi dan memetik harpa, empat penjuru lautan ini adalah rumahku, tiada
tujuan tertentu yang menjadi arah perjalananku."
"Kalau kau tiada tujuan
tertentu, ingin aku berunding dengan kau."
"Berunding soal apa?"
"Ingin aku mengundangmu
ke tempat tinggalku, angkat kau sebagai guru, entah kau sudi atau tidak?"
"Kepandaianku serendah
ini mana pantas menjadi guru? Liong-toako, banyak terima kasih akan bantuanmu,
kebaikanmu akan kuukir dalam benakku."
"Usiamu memang lebih
muda, jaman dulu ada juga bocah yang pernah menjadi sarjana, kau kan punya
keahlian, kenapa begini sungkan. Adik cilik, setulus hati aku suka mengangkat
kau sebagai guru, jikalau kau tidak percaya, sekarang juga boleh aku berlutut
kepadamu."
Tan Ciok-sing tersipu-sipu
mencegah orang, katanya: "Bukan sungkan, aku tahu apa yang aku bisa
sekarang belum matang betul. Dan lagi aku sudah biasa kelana di Kangouw, tidak
kerasan kalau menetap pada suatu tempat."
Melihat orang menolak dengan
tegas, dibujuk juga tetap tidak mau, mendadak Liong Seng-bu tertawa, katanya:
"Siau-suhu, kalau kau tidak mau menetap di rumahku, terpaksa biar aku yang
mengikuti kau saja."
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Kau ini seorang pelajar, mana boleh berkelana di Kangouw bersamaku?"
"Pangkat dan harta tidak
terpandang di mataku, kapan aku bisa bertemu dengan guru harpa seahli dirimu.
Hari ini setelah kutemukan, bagaimana juga aku tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan ini."
Tan Ciok-sing berterima kasih
akan tekad dan ketulusan hatinya, tapi betapapun dia tidak boleh selalu
mengikuti diriku? Sesaat dia jadi bingung dia seperti merengek: "Mana
boleh? Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak
mungkin?" tanya Liong Seng-bu.
"Kau punya pekerjaan, aku
juga punya urusan!"
"Kau punya urusan
apa?"
"Aku harus berkelana
mencari sesuap nasi dengan harpaku, kau harus belajar mengikuti ujian, kalau
tidak pulang apakah kau tidak jadi kapiran nanti?"
"Tadi sudah kukatakan aku
tidak gila pangkat dan harta. Tentang kau mencari nafkah, kukira tidak akan
menjadi persoalan, kalau aku belajar kepadamu, kan menjadi kewajibanku untuk
meladeni guru?"
"Tidak, tidak bisa,"
ucap Tan Ciok-sing geleng kepala, "tetap tidak bisa."
"Kenapa tetap tidak
bisa?"
"Kau keluar kali ini
tentunya punya sesuatu urusan, mana bisa kau ingin ikut aku lalu bersikap
sekukuh ini?"
"O, jadi kau kuatirkan
hal ini atas diriku. Bicara terus terang, aku ini suka melancong, kali ini
meninggalkan rumah, seperti juga dirimu, tanpa tujuan tertentu, kemana kaki
melangkah ke situlah aku pergi, dimana ada pemandangan bagus, disana aku akan
tinggal beberapa hari. Hehehe bukankah ini cocok dengan tabiatmu?"
"Apalagi dari pada kau
menempuh perjalanan seorang diri, bukankah lebih baik punya teman?"
demikian kata Liong Seng-bu lebih lanjut, "Setiap waktu bila kau merasa
senang, boleh kau ajarkan aku cara memetik harpa."
Tan Ciok-sing memang anak
gunung yang masih hijau plonco tidak punya pengalaman lagi, karena kalah debat
akhirnya dia berkata: "Baiklah, kita boleh seperjalanan, aku akan ajarkan
memetik harpa, kau mengajar beberapa huruf kepadaku. Toako, kemana kau hendak
melancong?"
"Daerah ini termasuk
perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu, bagaimana kalau kita keliling ke tempat-tempat
wisata. Lusa kita mampir ke Gun-bing, lalu melancong pula ke Tayli." Di
tengah jalan Tan Ciok-sing sudah mencari tahu, bahwa letak Ciok-lin berada di
karisidenan Lok-lam kira-kira dua ratus li di selatan Gun-bing.
"Boleh saja, hayolah
berangkat," kata Tan Ciok-sing. Sengaja dia berjalan dengan langkah lebar,
maksudnya supaya pelajar ini memburunya, kalau sedikit tersiksa tentu orang
akan kapok, Liong Seng-bu memang berjalan cepat-cepat sampai napasnya
ngos-ngosan, akhirnya. Tan Ciok-sing sendiri yang merasa tidak tega lalu
memperlambat langkahnya mengiringinya. Begitulah jalan berhenti, berhenti jalan
pula, hari itu mereka hanya menempuh tujuh puluhan li, ternyata Liong Seng-bu
tidak pernah mengeluh, kalau malam menginap di hotel, sikapnya tetap gagah
bergairah, tidak kelihatan lelah, bersenda gurau dan bercakap riang gembira.
"Liong-toako," kata
Tan Ciok-sing tertawa, "tidak duga, kaupun kuat berjalan."
"Sering aku melancong
seorang diri, maka aku lebih kuat dari pada kaum pelajar umumnya. Kepandaian
begini bagus siapa yang mengajarkan kau?"
"Aku ini anak gunung, sejak
kecil diasuh oleh kakek, beliaulah yang mengajar aku, tahun ini kakek telah
meninggal, terpaksa aku kelana di Kangouw mencari sesuap nasi."
"Jadi kakekmu yang
mengajar harpa dan ilmu silat. Entah siapakah nama besar kakekmu? Sudilah kau
memberitahu?"
"Biasanya orang memanggil
beliau Ki Harpa. Siapa namanya aku pun tidak tahu," teringat akan kematian
kakeknya, tanpa merasa berkaca-kaca bola mata Tan Ciok-sing.
"Adik cilik, hal apa yang
kau sedihkan?" tanya Liong Seng-bu.
"Tidak apa-apa, aku
teringat pada kakek, Liong-toako, biar kupetikkan sebuah lagu untuk kau
dengar."
Liong Seng-bu tersentak sadar,
pikirnya: "Benar kalau aku terlalu banyak mengajukan pertanyaan, mungkin
dia bisa curiga padaku," maka dia lantas berkata: "Baiklah, memangnya
aku kan ingin belajar padamu."
Mereka menginap semalam, hari
kedua melanjutkan perjalanan ke arah barat. Liong Seng-bu tidak pernah tanya
soal pribadinya lagi, yang diperbincangkan hanya soal seni lukis dan kesastraan
melulu. Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit memungut hasil.
Seperjalanan dengan orang, di
samping kuatir orang tanya tentang riwayat hidupnya, Tan Ciok-sing juga kuatir
bila dia kebentur dengan Hek-pek-moko bagaimana baiknya? "Aku tak mungkin
menjelaskan padanya, bila tiba saatnya terpaksa biar ku tinggal dia pergi ikut
Hek-pek-moko saja," demikian pikir Tan Ciok-sing.
Kira-kira setengah bulan
mereka seperjalanan, tanpa merasa hari itu mereka telah tiba di Gun-bing, tapi
jejak Hek-pek-moko tidak muncul juga.
Cuaca kota Gun-bing sepanjang
tahun seperti musim semi. Kotanya makmur, pusat perdagangan dan kebudayaan
lagi. Tan Ciok-sing terpesona waktu memasuki kota budaya ini. Melihat dia
senang, Liong Seng-bu tertawa, katanya: "Bagus tidak kota ini, biarlah
kita tinggal beberapa hari sambil plesir di kota ini," setelah berputar
kayun setengah harian dalam kota, akhirnya mereka menetap di sebuah hotel besar
yang terletak di pusat kota
Hari kedua Liong Seng-bu sudah
membuat rencana untuk tamasya, pagi pergi ke Toa-koan-wan sorenya pergi ke
Say-san. Kedua tempat ini merupakan pusat keramaian dari kota Gun-bing, Agaknya
Liong Seng-bu memang sudah biasa berpetualang, disini dia menjadi petunjuk dan
pandai menceritakan seluk beluk dan asal-usul tempat-tempat yang mereka
kunjungi.
Pada saat mana mereka berada
di suatu tempat yang bernama Liong-bun (pintu naga), entah benar-benar lelah
atau hanya beraksi Liong Seng-bu berhenti serta berdiri menggelendot di pagar,
katanya: "Siau-suhu, beberapa hari ini, aku sampai tak sempat belajar
harpa lagi dengan kau, mumpung di tempat sejuk dan sepi ini, bagaimana kalau
kita bermain disini?" lalu Liong Seng-bu pinjam harpa Tan Ciok-sing terus
ditabuhnya, dia membawakan sebuah lagu kenangan seorang jejaka yang jatuh cinta
terhadap seorang gadis yang dipujanya, sayang dia tidak memperoleh tanggapan
yang diharapkan.
"Cinta juga termasuk
seni, dengan irama musik dapat menyatakan makna cinta, apakah lagu yang kau
mainkan tadi adalah apa yang terkandung dalam sanubarimu?" demikian kata
Ciok-sing tertawa.
"Betul. Aku tahu, aku
tidak setimpal jadi jodoh nona itu, maka tak berani aku nyatakan isi
hatiku."
"Liong-toako, orang
setampan kau, pandai tulis pintar membaca, gadis cantik mana yang tidak
setimpal jadi jodohmu, kenapa kau merendahkan diri?"
"Gadis yang kupuja itu di
samping pandai sastera, dia pun ahli silat pula Siau-suhu, kaupun pandai Kungfu
sudikah kau mengajarkan kepadaku, atau berilah petunjuk supaya aku dapat
belajar pada seorang tokoh kosen?"
"Apakah dia hendak
mengorek isi hatiku?" demikian batin Tan Ciok-sing, "tapi melihat
sikap orang yang tulus dan sungguh-sungguh, diam-diam dia salahkan jalan
pikirannya yang tidak genah ini. Katanya dengan tawa getir: "Aku sendiri
juga ingin belajar lebih tinggi, toh sejauh ini tak berhasil aku menemukan jago
kosen."
"Siau-suhu, adakah jago
kosen siapa yang sudah menjadi pilihanmu?" tanya Liong Seng-bu.
Tan Ciok-sing mengelak,
katanya: "Aku toh belum berkecimpung dalam bulim, siapa saja jago-jago
kosen dalam bulim ini, hakikatnya aku tidak tahu. Dan lagi jago kosen hanya bisa
di temukan secara kebetulan, tak mungkin diburu-buru, sebelum ini cara
bagaimana aku bisa tahu kepada siapa aku harus belajar?"
Liong Seng-bu seperti kecewa,
katanya lesu: "Adik cilik, memang betul ucapanmu. Biarlah aku berdoa
semoga kelak aku bisa menemukan seorang jago kosen dan mengangkat guru
kepadanya."
"Lebih baik kita tetap
belajar harpa saja, Liong-toako petikan harpamu sudah bertambah maju, kini
marilah kugantikan, coba kubawakan syair lagu hasil ciptaanmu, kemarilah."
Setelah menyambuti harpa, Tan
Ciok-sing duduk mendeprok lalu mulai menyetem serta siap membawa lagunya.
Di kala mereka asyik dan
tenggelam dalam alunan irama harpa, mendadak terdengar seorang tarik suara
keras-keras terus berkaok-kaok dengan suara kasar dan serak, suaranya sumbang
menusuk pendengaran, konsentrasi Tan Ciok-sing sampai buyar dan menghentikan
petikannya.
Tampak dari ujung pengkolan
sana tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang bertampang kriminil. Berkerut
kening Liong Seng-bu, katanya: "Menyebalkan."
"Apa menyebalkan?"
seru salah seorang laki-laki itu, "kepada siapa kau tujukan
ucapanmu?" dengan langkah lebar dia terus menumbuk ke arah Liong Seng-bu.
Jalanan gunung yang sempit
terletak di atas ngarai ini memangnya licin dan membelakangi jurang, Liong
Seng-bu berdiri membelakangi jurang, meki di belakangnya ada pagar, kalau di
tumbuk bukan mustahil dia bisa terjungkel ke bawah jurang! Karuan Tan Ciok-sing
kaget, namun hendak menolong Liong Seng-bu jelas tidak keburu lagi, sementara
seorang laki yang lain juga menumbuk ke arah dirinya. Lekas Tan Ciok-sing
angkat harpanya seraya bergerak dengan Hud-in-jiu, sekali putar tahu-tahu dia
seret orang itu lewat ke samping terus menyelonong ke belakang.
Ilmu silat orang ini agaknya
lumayan juga, meski badan kehilangan keseimbangan, tapi sekaligus dia doyongkan
badan sambil angkat sebelah kakinya mendepak, sebelah kakinya pula menggantol
ke tumit Tan Ciok-sing maksudnya hendak menjegalnya jatuh.
Untung bekal kepandaian Tan
Ciok-sing sekarang tidak serendah beberapa bulan yang lalu, dalam keadaan
kritis ini, gerakannya masih cepat lagi, sambil merendahkan pundak, sikutnya
bekerja, "Buk" kaki orang memang menggantol kakinya, tapi sebelum
lawan kerahkan tenaga, dadanya sudah kena disikut sampai terjerumus jatuh terguling
ke jalanan sempit yang menurun ke bawah sana.
Waktu Tan Ciok-sing memutar
badan, apa yang dilihatnya membuat hatinya mencelos. Yang dilihatnya kiranya
laki-laki kasar itu sedang jatuh celentang di tanah,* sementara bayangan Liong
Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.
Cepat sekali laki-laki ini
sudah melejit berdiri, sikapnya sudah siap menggasak Tan Ciok-sing pula tapi
ragu-ragu. Agaknya dia melihat temannya yang terguling-guling itu, maka tidak
berani bertindak pula secara semberono.
Jarak kira-kira ada tiga
tombak, angin pukulan menyampuk muka menimbulkan rasa pedas dan panas. Kuatir
bukan tandingan lawan, lekas Tan Ciok-sing mencabut golok, sekali ayun dia
membelah sebuah batu gunung yang besar serta membentak: "Mari maju ingin
aku tahu apakah batok kepalamu lebih keras dari batu ini."
Betapa tajam golok pusaka Tan
Ciok-sing ini, karuan laki-laki itu ciut nyalinya, tanpa berani bersuara segera
dia putar tubuh angkat langkah seribu.
Setelah kedua orang kasar itu
dipukul kabur, baru Tan Ciok-sing mendengar teriakan Liong Seng-bu: "Adik
cilik, tolong, tolong."
Waktu menengok keluar pagar,
dilihatnya Liong Seng-bu bergantung di atas jurang, sebelah tangannya menangkap
kaki sebatang cagak besi dari pagar gunung. Lekas Ciok-sing mencopot kain
sabuknva, kedua kaki menggantol pagar besi, segera dia ulurkan kain sabuknya ke
bawah, untung panjang sabuk kainnya pas-pasan mencapai tempat dimana Liong
Seng-bu bergelantung di udara.
Pucat dan ketakutan yang
teramat sangat membuat Liong Seng-bu tak kuasa bicara untuk sekian lamanya.
Setelah napas teratur dan perasaan tenang kembali, baru dia ingat mengucapkan
terima kasih kepada Tan Ciok-sing.
"Liong.toako," kata
Tan Ciok-sing, "peristiwa ganjil ini agak mencurigakan."
"Memangnya, kita tidak
pernah bermusuhan dengan mereka sungguh aku tak habis mengerti kenapa mereka
membuat gara-gara, syukur Tuhan masih melindungi, kalau tidak tentu aku sudah
hancur lebur di jurang sana."
"Liong-toako, kau terluka
tidak?"
"Syukur hanya lecet
sedikit. Waktu orang tadi menumbuk datang, aku sempat mendengkul perutnya, tapi
aku sendiri terjungkel ke bawah, untung aku sempat meraih cagak besi. Adik
cilik, kepandaianmu memang hebat, kedua orang kasar itu kena kau pukul
pergi."
"Bukan kepandaianku
tinggi, mereka takut pada golokku ini," demikian ujar Tan Ciok-sing,
terbayang kejadian tadi, rasa curiganya timbul lagi. Pikirnya: "Kalau tiga
bulan yang lalu, mungkin aku sudah celaka. Liong-toako katanya tidak bisa
silat, tapi setelah disergap orang yang pandai Kungfu, jiwanya masih selamat, sungguh
aneh bin ajaib."
"Adik cilik," tanya
Liong Seng-bu, "harpamu tidak rusak?"
Mencelos hati Tan Ciok-sing,
lekas dia periksa harpanya dengan teliti, akhirnya menghela napas, katanya:
"Untung tidak kurang apa¬-apa."
"Say-san masih banyak
lagi tempat tamasya, setelah kejadian yang tidak menyenangkan ini, jadi lenyap
seleraku untuk melancong. Hayolah kita pulang saja," sepanjang jalan ini
Liong Seng-bu seperti khawatir bila kedua laki-laki kasar itu akan mengejar
lagi, maka sikapnya tampak gugup dan sering celingukan, langkahnyapun
buru-buru.
Tapi Tan Ciok-sing diam-diam
membatin: "Kalau benar kedua orang itu tiada bermusuhan dengan
Liong-toako, kenapa mereka bertindak sekasar ini, kan tidak pantas bertujuan
jahat? Tapi bukan mustahil tujuan mereka adalah diriku. Mungkinkah mereka anak
buah Ie Cun-hong?" sulit juga Tan Ciok-sing memperoleh jawaban dari
rekaannya, diam-diam dia malah sedikit menyesal dan merasa bersalah terhadap
Liong Seng-bu yang harus ikut ketimpa bahaya. Pikirnya: "Kalau betul
dugaanku, bukankah aku yang membikin Liong-toako turut susah?"
Setelah tiba di hotel baru
Liong Seng-bu tampak lega dan dapat bicara dengan tertawa, katanya: "Adik
cilik, hari ini aku terhindar dari kematian, kaupun dibuat kaget, marilah kita
minum beberapa cawan untuk menenangkan hati."
Entah karena kebanyakan minum
atau karena terlalu lelah dan rasa ketakutan yang menghantui hatinya, setelah
makan malam Liong Seng-bu terus menutup diri dalam kamar dan tidur dengan
nyenyak, dengkur pernapasannya lambat dan teratur.
Tapi Tan Ciok-sing malah
gundah gulana tidak bisa memejamkan mata. Tanpa terasa didengarnya suara
kentongan tukang ronda yang mundar-mandir di jalan raya sebanyak tiga kali,
berarti hari sudah menjelang subuh.
Tan Ciok-sing bangun
perlahan-lahan lalu mengenakan bajunya, dengan suara lirih dia memanggil
"Liong-toako" dua kali, tapi dengkur Liong Seng-Bu masih sekeras
babi, jelas tidak mudah untuk membangunkannya.
Pikiran Tan Ciok-sing kalut
seruwet benang, pikirnya: "Sebetulnya aku masih bisa menemani Liong-toako
beberapa hari lagi, tapi biarlah aku berangkat sendiri saja lebih cepat lebih
baik. Yang terang kapan saja aku toh harus berpisah dengan dia. Laki-laki kasar
itu kalau hendak mencari setori padaku, Liong-toako tentu tidak akan
diapa-apakan."
Tengah dia menimbang-nimbang
apakah dia perlu meninggalkan tulisan untuk memberi penjelasan kepada Liong
Seng-bu, tiba-tiba daun jendela yang tertutup itu menjeplak terbuka sendiri,
selarik sinar tampak meluncur dan "Trak" sebuah pisau belati yang
tajam kemilau tahu-tahu menancap di atas meja, di ujung belati yang menancap
meja tertusuk secarik kertas surat.
Mengira musuh telah meluruk
datang, lekas Tan Ciok-sing ambil surat itu serta dibuka sampulnya, pikirnya:
"Begini lebih baik, aku jadi terang duduknya persoalan," tapi setelah
dia membaca isi suratnya, sungguh amat diluar dugaannya. Surat itu bukan
ditujukan dirinya, tapi ditujukan kepada Liong Seng-bu malah.
Tulisan surat ini miring
dengan . gaya yang tidak karuan, jelas ditulis orang kasaran, bunyinya
demikian: "Liong-san, kebetulan kau berada di Gun-bing, perhitungan lama
kita harus lekas diselesaikan. Kalau kau berani, kita janji bertemu di
Liong-bun. Aku tidak akan membawa anak buah, kita bertanding satu lawan satu.
Kuperingatkan kepadamu untuk terakhir kali, mau lari kau tidak akan lolos dari
pengawasanku, kuharap kau tahu diri."
Sebetulnya Tan Ciok-sing siap
meninggalkan Liong Seng-bu secara diam-diam, setelah membaca surat ini, sesaat
dia melenggong Tiba-tiba sebuah tangan menyelonong dari belakang merebut pucuk
surat yang dibacanya, kata orang di belakangnya: "Adik cilik, bikin kaget
kau saja," entah kapan ternyata Liong Seng-bu sudah bangun dan tahu-tahu
berdiri di belakang.
"Maaf Liong-toako, surat
ini untuk kau, aku tidak tahu barusan sudah kubuka dan kubaca."
Setelah membaca surat itu,
berubah hebat muka Liong Seng-bu, katanya sesaat kemudian: "Adik cilik,
ada sebuah hal, kuharap kau suka memaafkan diriku. Kukatakan aku tidak pandai
silat, ini memang aku menipumu. Kelihatannya aku seperti Siucay, yang benar
akupun kaum persilatan."
"Kemarin kau tidak
terluka apa-apa, memangnya aku sudah curiga. Tapi aku tak habis mengerti, apa
sebetulnya yang pernah terjadi?"
"Panjang ceritanya,
pendek kata aku pernah berbuat salah terhadap seorang jahat yang memiliki
kepandaian tinggi, kedua orang yang di Liong-bun tadi hanyalah anak buahnya
saja."
"Lalu siapa yang mengirim
surat ini?" tanya Tan Ciok-sing.
"Pasti anak buahnya juga.
Orang jahat itu terlalu tinggi hati, caranya keji, hatinya kejam, dia memang
yakin bahwa aku tidak akan lolos dari telapak tangannya, maka dia mengundang
untuk bertanding satu lawan satu. Agaknya dia sengaja supaya aku banyak
menderita lahir batin baru akan membunuhku."
"Undangannya itu jelas
tidak bermaksud baik. Kalau kau memang bukan tandingannya, lebih baik kau tidak
usah tepati undangannya."
"Tiada gunanya, anak
buahnya tersebar dimana-mana, kemana aku lari tetap kecari juga. Umpama hari
ini aku berhasil lolos besok juga pasti harus membuat perhitungan. Kecuali ada
seorang jago kosen yang sudi membantuku."
"Sayang, besar
keinginanku membantu apa daya tenaga tak sampai. Musuhmu itu pasti teramat
liehay, kedua anak buahnya tadi, akupun bukan tandingan mereka."
"Aku tahu. Bicara terus
terang, aku bersahabat dengan kau, maksudku ingin minta bantuanmu, tapi dari
peristiwa tadi, meski kepandaianmu lebih tinggi dari aku, kau tetap bukan
tandingan gembong penjahat itu. Umpama kau tetap hendak membantuku, terpaksa
aku harus menampik kebaikanmu, aku tidak ingin kau mendapat susah. Adik cilik
buntalanmu sudah kau siapkan, apakah kau sudah siap meninggalkan tempat
ini?"
Merah muka Tan Ciok-sing,
katanya: "Bukan maksudku hendak pergi diluar tahu Liong-toako, tapi,
tapi..."
"Adik cilik, lekaslah kau
pergi, tak perlu kau menjelaskan padaku.
Begini besar perhatianmu
kepadaku, tidak sia-sialah kami bersahabat. Mati hidup seseorang sudah
ditentukan takdir, kalau besok malam aku memang harus celaka, akupun akan
menerima nasibku ini."
Bergolak dada Tan Ciok-sing,
sifat satrianya berkobar, tanpa pikirkan diri sendiri lagi, segera dia berseru:
"Liong toako, kau ikut aku saja?"
"Ikut kau? Kemana?"
"Toako, kau tak usah peduli, aku punya satu tujuan,"
"Kalau tak bisa lolos
bagaimana? Bukankah kau ikut celaka malah?"
"Tadi aku ingin pergi
diam-diam karena aku belum tahu persoalanmu. Kini setelah kau menghadapi mara
bahaya, kalau aku tidak ikut memikul bebanmu, buat apa persahabatan kita ini.
Aku juga tidak tahu apakah kita bisa lolos, tapi kan lebih baik dari menunggu
nasib."
Lekas Liong Seng-bu-
goyang-goyang tangan, katanya: "Jangan, lebih baik kau lari seorang diri
saja."
"Kau berkata demikian
berarti memandang rendah diriku. Toako sebetulnya kau tidak perlu banyak
kuatir, tempat itu tidak jauh dari Gun-bing, kalau sekarang berangkat, menempuh
perjalanan siang malam, kalau lari cepat, besok malam tentu sudah tiba di
tempat tujuan. Setiba di tempat itu, pasti ada orang akan membantu. Betapa
liehay musuhmu, pasti takkan petingkah disana," kuatir Liong Seng-bu tidak
mau ikut lari, terpaksa dia sedikit membocorkan rahasia itu.
Girang Liong Seng-bu bukan
kepalang, lekas dia rogoh keluar sekeping uang mas terus ditaruh di atas meja,
katanya: "Syukur adik begini setia kawan, baiklah sekarang kita berangkat.
Tak usah mengganggu pemilik hotel."
Maksud Tan Ciok-sing adalah
ingin mengajak Liong Seng-bu ke Ciok-lin dan semoga diterima Thio Tan-hong
sebagai murid.
Alam pikiran Tan Ciok-sing
memang terlalu Jenaka, karena iba dan merasa punya kewajiban sebagai sesama
sahabat, kalau teman memang hadapi bahaya adalah pantas kalau dia ikut memikul
kesulitan yang menimpa Liong Seng-bu, pada hal dia tidak memikirkan untung rugi
akibat yang diperbuatnya ini. Thio Tan-hong adalah pendekar besar yang dikagumi
dan diagungkan oleh kaum persilatan di kolong langit ini, sudah tentu dia
berjiwa ksatria dan perkasa dalam membela kepentingan si lemah. Dengan membawa
surat dan barang milik In Tayhiap memohon sesuatu bantuannya, tentu dia akan
meluluskan permintaanku.
Jikalau dia suka menerima Liong-toako sebagai muridnya pula sudah tentu baik
sekali, umpama tidak mau, demi memandang muka In Tayhiap, paling tidak pasti
suka melindungi Liong-toako," demikian pikir Tan Ciok-sing. Tapi apakah
Thio Tan-hong masih hidup, setiba di Ciok-lin apakah lantas dapat menemukan
Thio Tan-hong? Semua ini masih sukar diramalkan, oleh karena itu terhadap Liong
Seng-bu dia masih belum berani menjelaskan sejujurnya, sebelum tiba di
Ciok-lin, sementara dia hanya akan memberi keterangan samar-samar.
Setelah meninggalkan uang,
secara diam-diam Liong Seng-bu dan Tan Ciok-sing meninggalkan hotel itu. Baru
sekarang Tan Ciok-sing menyadari bahwa ginkang orang ternyata masih lebih
tinggi dibanding dirinya. Tinggi tembok kota Gun-bing ada tiga tombak, Tan
Ciok-sing takkan mampu melompatmya, maka Liong Seng-bu merambat naik lebih dulu
dengan ilmu cecak merambat, lalu menggunakan tambang panjang yang memang sudah
disiapkan mengerek Tan Ciok-sing ke atas. Setiba diluar kota, langkah 1 long
Seng-bu ternyata lebih ringan bagai terbang, kcadaaanya jelas jauh berbeda
dengan sebelum ini, sekuat tenaga Tan Ciok-sing kerahkan kemampuannya baru
sejajar.
Tak nyana Liong-toako pandai
berpura-pura dan menipu orang. Tanpa merasa Tan Ciok-sing geli sendiri akan
kebodohannya yang sejak mula kira orang adalah pelajar yang lemah, tapi dia
merasa jengkel juga karena telah tertipu mentah-mentah. Dasar bajik dan jujur
lekas dia berpikir pula: "Dia punya kesulitannya sendiri, bukankah ada beberapa
persoalan yang tidak mungkin kubicarakan dengan dia?"
Mendengar musuh Liong Seng-bu
sedemikian liehay, sepanjang jalan hati Tan Ciok-sing ikut kebat-kebit, kuatir
di tengah jalan bentrok dengan musuh liehay dan teringkus balik. Namun diluar
dugaannya, sepanjang jalan ini tiada terjadi apa-apa pula, mereka tiba di
tempat tujuan satu jam lebih pagi, sebelum senja dengan selamat merekapun tiba
di Ciok-lin.
Hembusan angin barat di waktu
senja memang membawa suasana hangat dan silir nyaman, waktu angkat kepala,
tampak puncak-puncak batu yang tak terhitung banyaknya terbentang di depan
mata, berlapis-lapis dan bersusun seperti sedang lomba menembus langit.
Dengan langkah gontai mereka
mulai memasuki hutan batu, tampak di tengah sana sebatang balok batu besar seperti
bergelantungan di tengah udara melintang panjang, di atas batu terukir empat
huruf yang berbunyi: "Thian-kay-gi-kin" (Tuhan mencipta pandangan
aneh), di sebelah dan sekitarnva masih pula banyak tulisan-tulisan dari
pujangga-pujangga yang
memujikan keindahan alam
ciptaan Thian ini. Selintas pandang kedalam hutan batu, tampak pintu seperti
beribu berlaksa banyaknya, suasana tenang sepi dan menjelang keremangan malam
menjadikan keadaan sekitarnya serba mengerikan.
Liong Seng-bu tampak
menampilkan rasa kaget dan senang luar biasa, dia berhenti di ambang pintu
hutan batu, katanya: "Adik cilik, bukankah disini Hutan Batu?"
"Betul, marilah kita
masuk. Kenapa, apa kau merasa adanya gejala yang tidak benar?"
"Nanti dulu, nanti dulu.
Sebelum ini pernahkah kau datang ke Ciok-lin?"
"Tidak, belum
pernah."
"Terlalu berbahaya kalau
begitu. Dalam catatan kuno ada dikatakan, kalau laksana pintu hutan batu sampai
tertutup, tak ubahnya berada dalam Pat-tin-koh ciptaan Cukat Liang di jaman Sam
Kok dulu. Memangnya boleh kita masuk secara gegabah? Jikalau sampai kesasar dan
salah jalan, selama hidup ini takkan bisa keluar dari hutan batu."
"Menempuh sedikit bahaya
kukira juga patut, cianpwe kosen yang hendak kita cari itu, justeru bertempat
tinggal didalam Ciok-lin."
"Siapa cianpwe kosen itu,
sudikah kau sekarang berterus-terang padaku?"
"Kalau aku sudah
mengajaknya kemari, adalah logis kalau aku terangkan asal-usul Thio
Tan-hong," maka dia berkata: "Yahlah Thio Tan-hong Thio Tayhiap yang
diakui secara umum sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini."
"Haya," teriak Liong
Seng-bu, "kenapa tidak kau jelaskan sejak semula, jadi kau kenal Thio
Tayhiap?"
Kuatir orang salah paham Tan
Ciok-sing berkata: "Bukan aku sengaja mau main teka teki waktu
meninggalkan Gun-bing, aku tidak pernah duga kita bakal tiba di tujuan begini
leluasa. Tapi selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio Tayhiap, jadi
belum bisa dikatakan kenal."
Liong Seng-bu menarik muka,
katanya: "Adik cilik, apa kau tidak berkelakar denganku?"
"Toako tak usah gelisah,
dengar dulu penjelasanku. Walau selamanya belum pernah aku bertemu dengan Thio
Tayhiap, tapi aku mendapat titipan seorang untuk menemui beliau. Orang itu
adalah famili dekat Thio Tayhiap, dan memberitahu padaku, asal aku menjelaskan
urusannya, Thio Tayhiap pasti akan sudi menerima aku sebagai muridnya."
"Orang itu siapa? Urusan
apa pula yang dia titip supaya kau kerjakan?"
Pertanyaan bertubi ini
seolah-olah hendak membanting kwali mengorek intip ini membuat Tan Ciok-sing
serba susah. Haruskah dia membeber rahasia In Hou kepadanya?
Melihat orang mengunjuk sikap
serba susah, sengaja Liong Seng-bu menghela napas, katanya: "Adik cilik,
sebetulnya tidak pantas aku mencari tahu rahasiamu, tapi soal ini menyangkut
urusan mati hidupku, adalah jamak kalau aku prihatin akan hal ini. Ai, adik
cilik setelah kita bergaul selama beberapa hari ini, memangnya kau masih tidak
percaya kepadaku? Dan lagi kalau aku tidak tahu menahu segala persoalan ini,
bila berhadapan dengan Thio Tayhiap, mungkin sukar aku memberi jawaban yang
tepat."
"Kalau aku sudah mau
membawa Liong-toako menemui Thio Tayhiap, cepat atau lambat rahasia ini pasti
diketahuinya juga. Waktu aku memberi laporan kepada Thio Tayhiap, memangnya aku
harus menyuruh dia menyingkir dulu? Kalau akhirnya toh dia mesti tahu, soal
cepat atau lambat yang terpaut beberapa jam ini kenapa harus kujadikan
alasan?" maklumlah Tan Ciok-sing betapapun baru berusia belasan, meski
sudah kenyang hidup menderita, namun dia masih cetek pengalaman dan belum bisa membedakan
baik buruk serta menyelami keculasan hati manusia, akhirnya dia membeber
rabasia itu: "Orang itu bernama In Hou, dia keponakan dekat Thio
Tayhiap."
"Kenapa tidak dia sendiri
yang mencari sang paman, malah titip kepadamu? tanya Liong Seng-bu.
"In Tayhiap sudah
meninggal, sebelum ajalnya itu dia berpesan kepadaku," teringat betapa
mengenaskan kejadian waktu itu, tanpa merasa dia mencucurkan air mata.
"Adik cilik kau masih
begini sedih, bolehlah kau menangis sepuas-puasnya, Meski aku bukan sanak
kadangmu, tapi persahabatan kita sudah laksana saudara kandung, boleh kau
anggap aku sebagai sanak kadang sendiri. Soal yang menyedihkan setelah
terlampias dalam tangis, mungkin perasaanmu bisa sedikit longgar."
Liong Seng-bu memang sengaja
hendak mengorek keterangannya, maka kata-katanya kelihatan setulus hati. Sayang
Tan Ciok-sing yang belum kenyang mengalami gelombang hidup ini, mana dia tahu
kemunafikan hati orang, tanpa sadar dia menjadi haru dan menaruh simpatik
padanya.
Kalau rahasia sudah bocor
sedikit, seperti juga tanggul yang bocornya semakin besar sehingga air bah
akhirnya tidak tertahan lagi. Waktu Tan Ciok-sing menyeka air mata, rahasia
dirinyapun telah habis dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling.
Setelah tahu lika liku
persoalannya sudah tentu bukan kepalang senang hati Liong Seng-bu, namun
lahirnya dia berpura-pura ikut sedih dan prihatin, katanya membujuk: "Adik
cilik, pengalaman hidupmu memang harus dikasihani penderitaan lahir batinmu
memang patut dikasihani, kini tiba saatnya kau membangkitkan semangat. Kau
membawa golok In Tayhiap, tanda bukti ini kukira sudah cukup, apalagi kaupun
membawa buku ilmu pedang karya Thio Tayhiap sendiri, Thio Tayhiap pasti percaya
padamu dan mengangkatmu sebagai murid."
"Doakan saja. Malah aku
masih punya angan-angan, jikalau kita bisa menjadi Suheng-te, bukankah, lebih
baik."
Liong Seng-bu berpura-pura
amat haru dan terima kasih, katanya: "Adik cilik, terima kasih atas
penghargaanmu akan diriku, bahwa aku bisa berlindung di tempat Thio Tayhiap
sudah cukup puas bagi aku," sampai disini mendadak dia seperti teringat
sesuatu, katanya: "Adik cilik, tanda kepercayaan yang diberikan In Tayhiap
untukmu tidak kau hilangkan bukan?"
"Barang sepenting ini,
mana boleh hilang? Nah coba lihat, Kiam-boh karya Thio Tayhiap dan ilmu golok
ajaran keluarga In semua kusimpan dalam kotak ini," sambil bicara dia
keluarkan kotak kayu persegi itu.
Seperti mencorong bola mata
Liong Seng-bu, dia maju mendekat ke samping Tan Ciok-sing, mendadak dia ulur
jari menutuk Ciang-bun-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing secara keras. Baru
saja Tan Ciok-sing hendak membuka kotak itu, sungguh mimpipun tak pernah
terbayang olehnya bahwa Liong Seng-bu yang sudah dipandang sebagai saudara
kandung sendiri ini bakal membokongnya. "Bluk" kontan dia tersungkur
jatuh.
Ciang-bun-hiat adalah salah
satu dari dua belas hiat-to di tubuh manusia yang membuat badan lemas lunglai,
kalau kena ditutuk, takkan mampu bergerak sedikitpun, bicarapun tidak bisa,
tapi tetap sadar dan dapat mendengarkan.
Tanpa hiraukan Tan Ciok-sing
yang tersungkur, Liong Seng-bu merebut kotak kayu itu lebih dulu, lalu dia
jemput pula golok pusaka itu, serunya berjingkrak senang seperti si gila putus
lotre: "Adik cilik," katanya kemudian, "jangan kau salahkan bila
aku bertindak keji, dari pada kau yang menjadi murid Thio Tan-hong, kan lebih
baik aku saja yang menjadi muridnya." Tahulah Tan Ciok-sing bahwa orang
hendak memalsu dirinya, menipu Thio Tan-hong menerima dia sebagai murid, karuan
bukan kepalang dongkol, gemes dan marah hatinya, hampir saja dia kelenger
dibuatnya.
Di tengah gelak tawanya yang
menggila, Liong Seng-bu berkata lebih lanjut: "Sebetulnya setelah aku
memperoleh kebaikan ini dari kau, tidaklah pantas kalau aku membunuhmu. Tapi
aku yakin kau tidak akan terima menderita kerugian besar ini, umpama kau tidak
akan mencari perkara padaku kelak, aku kuatir kau akan membocorkan rahasiaku
ini. Supaya tidak menjadikan bencana di kelak kemudian hari, terpaksa kubunuh
kau dan kusumbat mulutmu. Tapi harpa kesayanganmu ini akan kukubur bersamamu,
terhitung aku menanam sedikit kebaikan demi persaudaraan kita."
Pelan-pelan Liong Scng-bu
mencabut golok, setelah disentil sekali, dia memuji: "Golok bagus, golok
bagus," seperti kucing yang mempermainkan tikus yang telah dicaploknya,
dia mengamati, mengelus dan membolak-balik golok pusaka itu di samping Tan
Ciok-sing, tapi tidak segera ayun golok membunuhnya.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
menyesal dan gegetun, pikirnya: "Goblokku sendiri, kenapa mau percaya
begini saja terhadap orang yang baru dikenalnya," apa boleh buat, terpaksa
dia pejam mata menunggu kematian saja.
Mendadak terdengar suara dua
orang yang berpadu: "Golok bagus, golok bagus. Cara yang keji, cara yang
keji."
Sudah tentu kaget Liong
Seng-bu bukan main, tak sempat lagi dia ayun goloknya untuk membunuh Tan
Ciok-sing, lekas dia lompat ke samping, golok melintang melindungi badan baru
pelan-pelan dia menoleh.
Mendengar suara yang pernah
didengarnya ini, Tan Ciok-sing buka matanya pula, ternyata kedua orang ini
bukan lain dua laki-laki kasar yang sengaja cari perkara di Liong-bun itu.
Liong Seng-bu tertawa sambil
memasukkan golok kedalam sarungnya, katanya: "Kiranya kalian berdua, bikin
kaget aku saja. Tapi, kenapa kalianpun ikut menyusul kemari?"
Laki-laki yang bertubuh kekar
itu berkata: "Liong-losam, kuucapkan selamat akan kesuksesanmu. Kemarin
kami ikut membantu sebagai pembantu pemainmu, tidak jelek bukan permainan
kami?"
Baru sekarang Tan Ciok-sing
kembali sadar, "musuh" yang diomongkan Liong Seng-bu kemarin
hakikatnya hanya isapan jempol belaka, ternyata dia memang sekongkol dengan
kedua laki-laki ini untuk menipu dirinya.
Liong Seng-bu tertawa
dipaksakan, katanya: "Lo-li, kau punya tampang kriminil dan pandai
memerankan orang jahat, sudah tentu permainanmu kemarin bagus sekali."
Laki-laki lainnya yang
bertubuh lebih pendek berkata: "Tapi, usaha dagang ini kan kita kerjakan
bersama, setelah kau memperoleh keuntungan besar tentunya tidak melupakan kami
berdua?"
"Itu sudah selayaknya,
kita kan seperti saudara sendiri, memangnya kalian masih tidak percaya
padaku?"
Yang dipanggil Lo-li berkata:
"Bukan tidak percaya, tapi ada lebih baik kalau kita selesaikan usaha
bersama ini secara damai saja. Kalau toh sudah berhasil maka pembagian harus
sama dan adil. Kalau secara diam-diam kami tidak membuntutimu ke mari, cara
bagaimana kami tahu kau berhasil atau tidak?"
Merasakan nada pembicaraan
mereka sudah tidak mempercayai dirinya lagi, maka Liong Seng-bu berkata:
"Apa yang kuucapkan kepada bocah ini tadi, tentu kalian juga sudah dengar.
Maka kalian tentu sudah tahu, maafaatnya masih belum kita capai seluruhnya.
Coba pikirkan, Thio Tan-hong hanya mau menerima seorang murid, terpaksa hanya
aku saja yang memalsu dirinya. Kelak bila aku berhasil mempelajari Kungfu
tinggi, baru bisa aku membagi hasil dengan kalian."
Laki-laki kasar tinggi itu
berkata: "Bagaimana pendapatmu Lo-han."
"Manfaat besar memang ada
di belakang, namun keuntungan kecil kan sekarang juga bisa dibagi bukan?"
kata orang she Han.
"Apa yang perlu dibagi
sekarang?" Liong Seng-bu menegas.
"Li-toako," kata
orang she Han, "kau terima golok pusaka, sedang aku menginginkan Kiam-boh
itu, bagaimana?" tidak langsung menjawab pertanyaan Liong Seng-bu
sebaliknya dia berunding dengan laki-laki she Li itu, jelas bahwa mereka sebelumnya
sudah ada kata sepakat.
Laki-laki kekar she Li
bergelak tawa, katanya: "Sebetulnya Kiam-boh karya Thio Tan-hong sedikit
lebih bernilai, tapi kita kan sesama saudara, aku sebagai engkoh boleh saja
mengalah, terserah bagaimana keinginanmu."
Lekas Liong Seng-bu berkata:
"'Bagaimana boleh cara begitu."
"Liong-losam,"
dingin tegas suara laki-laki kasar, "seorang laki-laki harus tahu diri,
dalam hal ini kau sudah memperoleh keuntungan yang paling besar, buat apa
berdebat dan rebutan pula dengan kami?"
Orang she Han itu menambahkan:
"Memangnya, Liong-losam, coba kau pikir, setelah kau menjadi murid Thio
Tan-hong jago pedang nomor satu di dunia ini, berarti Kungfumu kelak nomor satu
di jagat ini, bukankah keuntungan yang kau peroleh jauh lebih berharga dari
golok pusaka atau Kiam-boh segala? Memangnya kau tidak rikuh mengukuhi soal
sepele dan kecil ini?"
Liong Seng-bu menyeringai
getir, katanya: "Toako berdua tidak fahu, kedua barang ini harus kugunakan
sebagai tanda kepercayaan supaya bisa bertemu dan dipercaya oleh Thio Tan-hong.
Kelak setelah aku berhasil belajar Kungfu kan belum terlambat kuberikan kepada
kalian. Itu waktu bukan saja boleh aky serahkan golok dan Kiam-boh, Kungfu yang
telah kupelajari juga bisa kuajarkan .pula kepada kalian, bukankah itu lebih
menguntungkan?"
Mendelik mata laki-laki kekar,
katanya: "Liong-losam, bukan aku sebagai saudara tua ini tidak percaya
kepadamu, memangnya kami goblok harus menunggu selama itu."
Liong Seng-bu mengerutkan
alis, katanya: "Kalau kalian ambil kedua barang kepercayaan ini, cara
bagaimana aku harus menemui Thio Tan-hong dan mendapat kepercayaann ya?"
"Liong-losam," ujar
laki-laki pendek she Han, "mulutmu manis pandai bicara. Segala rahasia
telah kau ketahui dari mulut bocah ini, memangnya apa pula yang kau
kuatirkan?"
"Jangan kalian lupa Thio
Tan-hong tokoh besar yang pernah digembleng dalam pengalaman hidup, memangnya
dia gampang ditipu seperti bocah ingusan ini?"
"Belum tentu," ucap
laki-laki she Han, "kau bisa juga menipunya asal tepat pada sasaran, In
Hou mati di Kwi-lin ini memang kenyataan. Ki Harpa kakek dan cucu berbudi
terhadap In Hou, inipun tidak keliru. Kalau toh apa yang diceritakan semua
kenyataan, tanpa tanda pengenal segala juga pasti keteranganmu dipercaya."
Laki-laki kekar itu jadi kurang
sabar, katanya: "Liong-losam, terserah bagaimana kau akan menipu Thio
Tan-hong, yang terang kami tidak mau membantumu secara percuma."
"Tadi aku sudah berjanji
kelak akan membagi hasil pada kalian!" kata Liong Seng-bu.
"Kelak, kelak, siapa tahu
kelak kau akan mungkir dan menyikat seluruh hasil hari ini. Pendek kata, tidak
usah banyak bicara lagi, golok dan Kiam-boh harus kau serahkan, kalau tidak,
terpaksa kami tidak sungkan lagi kepadamu."
Liong Seng-bu bersikap apa
boleh buat, katanya getir: "Agaknya kalian memang tidak percaya lagi
kepadaku, terpaksa aku kabulkan keinginan kalian."
"Memangnya, sebaiknya
sejak tadi kau terima usul kami, kau tidak perlu banyak debat?" kata
laki-laki she Li.
Orang she Han berkata:
"Kotak yang berisi Kiam-boh itu kau letakkan di tanah, aku bisa
mengambilnya sendiri."
"Betul," laki-laki
she Li tersadar, "lemparkan golok itu, tak usah kau kemari."
Liong Seng-bu tertawa pahit,
katanya: "Kalian begini curiga, memangnya Siauwte bakal membokong
kalian?" lalu dia keluarkan kotak itu dan ditaruh di tanah.
Orang she Han memutus sebatang
dahan sebagai genter lalu menjungkit kotak itu ke arahnya.
Sementara laki-laki kekar itu
berseru: "Lemparkan golok itu ke mari."
"Ya, terimalah,"
seru Liong Seng-bu, mendadak sinar golok berkelebat bagai kilat, dengan gerakan
yang luar biasa cepat mendadak Liong Seng-bu mencabut golok terus ditimpuk.
Walau sudah bersiaga, tapi
tidak terbayang oleh laki-laki kekar ini setelah tipu daya Liong Seng-bu mereka
bongkar, dia masih berani turun tangan keji pada mereka. Mau meloloskan senjata
menangkis terang tidak keburu lagi. Maka terdengar "Crap" menyusul
darah muncrat berhamburan, tahu-tahu golok pusaka itu sudah menusuk amblas ke
ulu hatinya. Pada saat itu pula laki-laki she Han itu telah timpukan sebatang
Kong-piau. Mendengar deru angin kencang, lekas Liong Seng-bu mendak ke bawah
sambil berputar miring. Tapi tak urung pundaknya terserempet lecet berdarah,
untung tidak sampai mengenai tulang pundaknya.
Cepat sekali tanpa berjanji
kedua orang sama menubruk kesana untuk merebut golok. Ternyata orang she Han
setengah langkah lebih cepat, tapi dia tidak sempat memungut golok tersebut,
terpaksa dia tendang golok itu ke samping sehingga keduanya sama-sama tidak
memperoleh apa yang diinginkan, "Liong-losam," bentak laki-laki she
Han, "Keji benar kau."
"Siapa salah, kalian
memaksa aku turun tangan," bantah Liong Seng-bu. Kedua orang saling
menyalahkan, namun kaki tangan mereka tidak pernah berhenti.
Rebah di tanah tak mampu
berkutik. Tan Ciok-sing hanya mendelong mengawasi mereka baku hantam, diam-diam
dia berpikir: "Kepandaian Liong Seng-bu ternyata memang lebih unggul dari
aku. Kepandaian laki-laki she Harr ini juga lebih tinggi dari aku."
Dinilai taraf kepandaian silat
Liong Seng-bu setingkat lebih unggul, tapi pundaknya tergores Piau, sedikit
banyak mengurangi kelincahannya, maka keadaan tetap sama kuat.
"Han-toako, hentikan saja
pertempuran ini," demikian kata Liong Seng-bu, "golok dan Kiamboh
akan kuserahkan kepadamu."
"Siapa lagi percaya
omongan setanmu," damprat laki-laki she Han. "Biang" dengan
sejurus pukulan Tiang-kun, dia pukul dada Liong Seng-bu, bagai sebatang tonggak
kayu yang terpukul, Liong Seng-bu terhuyung kaku beberapa langkah terus roboh
dan terbanting dengan keras.
Girang laki-laki she Han,
lekas dia memburu maju hendak memeriksa apakah sang korban sudah mampus atau
masih hidup, baru saja dia angkat kaki hendak persen lagi dengan sekali
tendangan ke ulu hati orang, tak nyana baru saja kakinya terangkat tahu-tahu
terasa kesemutan, dia sendiri tak kuasa berdiri tegak lagi terus roboh
tersungkur. Ternyata Liong Seng-bu menggunakan akal licik pula, dia pura-pura
terpukul luka parah, rebah celentang menunggu musuh maju mendekat, mendadak
kedua kaki bekerja, lawan kena dijegalnya roboh.
Dengan menahan rasa sakit di
dada Liong Seng-bu melejit bangun terus menindih di atas badan laki-laki she
Han. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya jari-jari Liong Seng-bu mencekik
leher orang she Han. Sudah tentu laki-laki she Han berontak dan meronta
sekuatnya sambil berguling-guling.
Pertempuran ala binatang buas
ini memang amat mengerikan. Tulang iga Liong Seng-bu putus dua, tapi sepuluh
jari jemarinya laksana tanggem mencekik kencang leher lawan, sedikitpun tidak
pernah kendor. Kira-kira setengah sulutan dupa, lambat laun laki-laki she Han
mengeluarkan suara keluhan aneh dari lehernya, akhirnya dia tak kuat bertahan
lagi, napas putus jiwa melayang. Tan Ciok-sing sampai merinding dan seram
melihat adegan yang mengerikan ini.
Liong Seng-bu kehabisan
tenaga, napasnya empas-empis, luka-lukanya tidak ringan lagi. Meski kedua
temannya berhasil dibunuh, tapi dia sendiri sekarang tidak kuat berdiri. Lama
kemudian baru dia merayap kesana memungut golok pusaka dari tubuh laki-laki
kekar. Lobang besar di dadanya segera menyemburkan darah yang deras, jiwanya
tidak tertolong lagi.
Terasa lunglai sekujur badan
Liong Seng-bu, Pikirnya: "Untung hiat-to bocah ini sudah kututuk, tak usah
kuatir dia bisa mengerjai aku biar nanti kubunuh juga dia," setelah beristirahat
sejenak lagi, dia merayap pula kesana mengambil kotak itu. Saking senang dia
sampai terloroh-loroh: "Dua pusaka kini berada di tanganku," karena
tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, sambil terkial-kial dia membuka tutup
kotak. Rasa puas harus diutamakan, ingin dia menyaksikan Kiam-boh macam apa
sebetulnya karya atau ciptaan Thio Tan-hong yang termashur itu.
Tak nyana saking girang dan
berakhir dengan rasa duka, belum lenyap gelak tawanya, tahu-tahu dia menggembor
kesakitan. Ternyata waktu membuka tutup kotak dia menyentuh alat rahasia,
begitu tutup terbuka, lembaran-lembaran pisau kecil itu seketika mengiris putus
sebuah jari tangannya.
Umumnya jari sakit bisa
meresap ke sum-sum apalagi dalam keadaan lunglai seperti Liong Seng-bu, badan
terluka luar dalam lagi, kini sebuah jarinya harus terputus lagi, sudah tentu
kondisi fisiknya menjadi semakin goyah? Setelah menjerit kesakitan, kontan dia
jatuh semaput.
Ganti Tan Ciok-sing yang kaget
dan girang, pikirnya: "Thian memang maha adil, yang berbuat jahat tentu
memperoleh ganjaran setimpal. Tadi sebetulnya aku sudah < hendak membukakan
kotak itu, jikalau dia tidak begitu keburu nafsu, pasti Kiam-boh itu kini sudah
berada di tangannya. Dia menutuk hiat-toku, tapi cara membuka kotak tidak tahu,
patutlah kalau dia harus mengorbankan sebelah jarinya. Tak nyana kotak itu
sekali lagi membantuku." Tapi Tan Ciok-sing sekarang belum lagi terhindar
dari mara bahaya. Kuncinya terletak pada: Apakah hiat-tonya yang tertutuk bisa
punah sebelum Liong Seng-bu siuman dari pingsannya?
Soalnya Liong Seng-bu
menggunakan Jiong-jiu-hoat menutuk jalan pelemasnya, tanpa bantuan orang untuk
membebaskan sendiri hiat-to itu harus makan waktu dua belas jam padahal Liong
Seng-bu hanya jatuh semaput saja. Apalagi dasar kungfunya juga tidak lemah,
meski luka-lukanya cukup parah, tapi yakin sebelum dua belas jam tentu dia
sudah siuman. Maka jiwa Tan Ciok-sing pasti terancam bahaya.
Di tempat belukar yang jauh
dari keramaian penduduk seperti ini, mana mungkin orang datang kemari? Kecuali
Thio Tan-hong yang semayam didalam Ciok-lin kebetulan keluar. Tapi Ciok-lin
begini luas, pucuk-pucuk batu berlapis dan bersusun ribuan seperti bentuk
pintu-pintu langit, kalau Thio Tan-hong semayam jauh didalam hutan batu,
betapapun keras kejadian diluar sini juga takkan terdengar dari dalam,
memangnya tanpa sebab dan alasan mungkinkah Thio Tan-hong keluar? Mulut tak
mampu bersuara lagi, karuan Tan Ciok-sing hanya tertawa getir saja sambil
terima nasib.
Dengan mendelong dia awasi
keadaan Liong Seng-bu, sedikit kaki tangan atau badan Liong Seng-bu bergerak,
jantungnya pun ikut berdetak, untung sejauh ini Liong Seng-bu tetap belum
siuman. Pada hal hari itu sudah mulai gelap, sia-sialah dia mengharap
pertolongan orang lain.
Lama-kelamaan Tan Ciok-sing tak
tahan mengalami siksaan lahir batin ini, meadadak pikirnya: "Dari pada
menunggu pertolongan orang lain, kenapa aku tidak berusaha menolong diriku
sendiri, kenapa tidak kucoba kerahkan hawa murni untuk membebaskan tutukan
hiat-to ini? Umpama usaha ini sia-sia, kan lebih baik daripada menunggu
kematian begini," maka dia tidak perdulikan mati hidup Liong Seng-bu lagi,
memusatkan konsentrasi lalu mulai kerahkan hawa murni.
Buku pelajaran ilmu golok dan
pukulan peninggalan In Hou ada juga yang tercantum cara belajar lwekang.
Lwekang yang terlatih baik ini dapat membantu membebaskan hiat-to yang
tertutuk. Tapi Tan Ciok-sing baru latihan tiga bulan, hasilnya boleh dikata
baru pupuk dasarnya saja, untuk membebaskan tutukan hiat-to sendiri sudah tentu
bukan suatu kerja yang mudah.
Entah berapa lamanya, terasa
oleh Tan Ciok-sing hawa hangat tiba-tiba timbul dari pusarnya, agaknya usahanya
sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Meyakinkan lwekang tingkat
tinggi bila sudah mencapai taraf tertentu, untuk membebaskan tutukan hiat-to di
tubuh sendiri biasanya paling lama memakan waktu setengah jam, tapi sekarang
entah berapa jam telah berlalu, Tan Ciok-sing tetap hanya dapat menghimpun
sedikit demi sedikit hawa murninya, bahwasanya badan masih tetap tidak mampu
bergerak.
Hari sudah gelap, untung sang
Dewi malam yang setengah bulat bercokol di cakrawala. Tiba-tiba
Liong Seng-bu menggeliat serta
membalik badan, mulutnya berkerok-kerok seperti suara kodok agaknya takkan lama
lagi pasti dia sudah siuman. Diam-diam Tan Ciok-sing kertak gigi, batinnya:
"Mati hidup sudah ditentukan takdir, betapapun aku harus terus
berusaha," maka dia tidak perduli lagi ada kejadian apa di sekitarnya,
mata tidak melihat kuping tidak mendengar. Karena itu, hawa murni yang dia
kerahkan menjadi bertambah cepat dan lancar.
Akhirnya Liong Seng-bu siuman
juga. Darah masih menetes dari jarinya yang putus, sakit dan perihnya luar
biasa. Tapi dia sudah mulai dapat bergerak. Setelah membubuhi obat pada
luka-luka jarinya, istirahat pula sejenak, setelah badan terasa sedikit segar,
dengan hati-hati dia memeriksa, didapatinya kotak itu masih terletak di samping
kakinya, tutup kotak ternyata sudah menutup kembali.
Liong Seng-bu jemput dahan
pohon yang dibuat menyongkel oleh laki-laki pendek tadi, pelan-pelan dia sentuh
kotak itu, lalu didorong kian kemari tapi tiada menunjukkan reaksi apa-apa,
akhirnya dia membesarkan nyali, namun dengan rasa kebat-kebit dia masukkan
kotak itu kedalam kantongnya. Kalau tidak dibuka kotak itu takkan menyentuh
alat rahasianya.
Waktu sang dewi malam bercokol
di tengah langit, barulah Liong Seng-bu pulih seluruhnya, namun tenaganya baru
terhimpun dua bagian. Pikirnya: "Bocah ini berkepandaian lumayan mungkin
sebelum dua belas jam dia sudah bebas hiat-tonya, maka perlu aku segera membunuhnya."
Padahal waktu itu sudah lewat delapan jam setelah hiat-to Tan Ciok-sihg
tertutuk, sebelum terang tanah hiat-tonya takkan punah sendirinya. Memang Liong
Seng-bu tidak pernah menduga bahwa Tan Ciok-sing sedang berusaha membebaskan
tutukan hiat-tonya, maka dengan menabahkan hati dia angkat golok pusaka serta
berkata pula tertawa: "Adik cilik, untung aku sudah siuman lebih dulu,
sebelum hiat-tomu yang kututup punah, ini berarti umurku memang panjang, maka
tak usah kau menyesali nasibmu ini."
Sekonyong-konyong terdengar
suara "Trang", entah dari mana datangnya sebutir krikil tiba-tiba
membentur goloknya sampai tak kuasa dia memegangnya lagi, jatuh berkerontangan
di tanah. Karuan Liong Seng-bu kaget setengah mati, waktu dia menegas, dilihatnya
Tan Ciok-sing sedang melompat bangun berdiri.
Ternyata menghadapi
detik-detik yang genting ini, Ki-king-pat-meh di tubuhnya yang belum lancar
karena tutukan hiat-to di tubuhnya mendadak jebol, seperti air bah yang tak
terbendung, hawa murninya lantas mengalir bagai arus kencangnya, sudah tentu
hiat-to yang tertutuk jadi terbuka karenanya.
Setelah menjatuhkan golok di
tangan orang Tan Ciok-sing lantas menudingnya serta mendamprat: "Liong
Seng-bu, sia-sialah kau membaca buku-buku kuno dari para Nabi, tapi sepak terjangmu
ternyata begini rendah dan hina, untung Tuhan memang maha pengasih, kau kurcaci
ini tak berhasil mencelakai jiwaku."
Pergelangan tangan Liong
Seng-bu kesemutan dia kira ilmu silat Tan Ciok-sing sudah pulih seperti sedia
kala, orang akan segera membunuh dirinya malah. Dia insaf luka-lukanya tidak
ringan, mana dia berani gebrak dengan Tan Ciok-sing.
"Adik cilik, sukalah kau
mengingat hubungan akrab kita beberapa hari ini, sukalah ampuni jiwaku,"
saking ketakutan Liong Seng-bu lupa memungut golok pusaka itu, sembari bicara
dia sudah putar badan lari sipat kuping. Entah dari mana dia peroleh tenaga, di
kala jiwa terancam, meski badan masih lemah, ternyata dia bisa merat begitu
cepat, cepat sekali dia sudah menggelundung turun ke lereng sana, kejap lain sudah
tak kelihatan lagi.
"Enyahlah kau,"
damprat Tan Ciok-sing, "siapa sudi bersaudara dengan tampangmu."
Setelah rasa penasaran terlampias, mendadak lututnya terasa lemas lagi, tanpa
kuasa dia meloso jatuh pula. Ternyata pada detik-detik yang kritis tadi,
kebetulan hiat-tonya yang tertutuk tiba-tiba bebas, maka dia menjemput krikil
terus dijentikkan merontokkan golok Liong Seng-bu, padahal kondisinya masih
teramat lemah, maka dia tidak kuat bertahan lama. Jikalau Liong Seng-bu cukup
tabah dan tidak lari ketakutan, susah dibayangkan bagaimana akibatnya.
Setelah tidur nyenyak, waktu
siuman haripun telah terang tanah. Melihat keadaan kedua mayat yang mengenaskan
ini, hatinya tidak tega, segera dia menggali liang lahat menggunakah goloknya
mengebumikan kedua mayat itu.
Sambil memasukkan golok
kedalam sarungnya dia berpikir: "Untung golok pusaka dan harpa ini tidak
hilang, sayang sekali kotak berisi Kiam-boh karya Thio Tayhiap itu terbawa lari
oleh keparat itu. Tapi hanya beberapa lembar tulisan tangan yang belum lengkap
itu, kukira dia takkan paham membaca dan mempelajarinya."
Menyongsong terbitnya
matahari, jagat raya ini penuh diliputi cahaya keemasan yang cemerlang, dengan
langkah lebar dan tegap Tan Ciok-sing memasuki Ciok-lin.
Tapi Tan Ciok-sing tiada selera
menikmati keanehan di sekitarnya, dia ingin buru-buru masuk kedalam dan ingin
tahu apakah Thio Tan-hong masih hidup dan semayam di Ciok-lin? Padahal kemana
dan bagaimana dia harus menemukan tempat tinggal Thio Tan-hong didalam hutan
batu yang berlapis-lapis seperti punya ribuan sampai laksaan pintu ini,
terpaksa dia asal mengayun langkah saja.
Setelah dia memasuki sebuah
jalanan sempit dan tiba pada sebuah celah batu yang bentuknya menyerupai pintu,
pandangannya tiba-tiba menjadi terang dan terbentang, tampak di bawah samping
gunung sana terdapat sebuah danau kecil, sepanjang pinggir danau penuh
ditumbuhi beraneka ragam kembang dan tetumbuhan liar, bau kembang yang wangi
semerbak merangsang hidung menyegarkan badan, di atas dinding gunung yang curam
tegak itu terdapat dua huruf besar yang berbunyi: "Kiam-hong" (puncak
pedang).
Tan Ciok-sing bersorak girang
dalam hati, dia ingat In Hou pernah menuturkan, bahwa setiap hari Thio Tan-hong
pasti berlatih pedang di Kiam-hong ini, mencuci pedang di danau kecil itu pula.
Coretan huruf di puncak dinding gunung itu juga hasil karya Thio Tan-hong.
Tanpa sengaja, secara kebetulan dirinya kesasar ke tempat yang ditujunya, danau
kecil itu dinamakan Kiam-ti (danau pedang). Tapi bayangan orang tidak kelihatan
disini, maka dia tarik suara berteriak sekeras-kerasnya: "Thio Tayhiap,
Wanpwe Tan Ciok-sing, atas permintaan In Hou In Tayhiap datang kemari mohon
bertemu," ditunggu-tunggu tiada reaksi, tak terdengar suara jawaban.
Karena kesal akhirnya Tan Ciok-sing duduk di atas batu di pinggir danau, waktu
menurunkan harpa, mendadak pikirannya tergerak: "Kenapa tidak kugunakan
irama harpa ini untuk menyatakan maksud kedatanganku?"
Tapi setelah sebuah lagu habis
dia bawakan, gema irama harpa seperti masih mengalun dalam hutan batu ini, tapi
setelah ditunggu sekian lama, keadaan tetap sunyi, hanya air danau saja yang
kelihatan bergelombang lembut tertiup angin lalu, puncak pedang tetap dalam
keheningan lelap.
"Mungkin Thio Tayhiap
tidak suka menemui orang-orang awam? Atau mungkin beliau sudah meninggal?"
demikian batin Tan Ciok-sing, hatinya risau dan masgul. Mengingat betapa
dirinya susah payah dan mengalami mara bahaya, jiwa hampir tamat lagi baru bisa
mencapai tempat tujuan, jikalau tidak berhasil menemukan Thio Tan-hong, bagaimana
dia dapat menuntut balas kematian kakeknya? Saking duka nestapa tak tertahan
air mata bercucuran, tanpa terasa pula jari jemarinya yang sudah ahli memetik
senar itu telah memetik lagu Khong-ling-san.
Bagian belakang dari
Khong-ling-san merupakan irama lagu yang paling menyedihkan di kolong langit
ini, kecuali Tan Ciok-sing, pada jaman ini rasanya tiada orang lain yang mampu
memetik lagu ini. Biasanya kicau burung didalam hutan begitu merdu pada setiap
pagi, kini entah karena terbuai oleh irama lagu yang sedih memilukan ini,
burung-burung itu seperti lupa terbang pergi mencari makan, malah tidak sedikit
yang berdatangan hinggap di dahan-dahan pohon.
Di kala dia memetik harpa
melimpahkan rasa dukanya, mendadak didengarnya langkah kaki orang yang bergema
didalam hutan batu. Tidak terhitung jumlah tonggak-tonggak batu yang berdiri
menjulang tinggi ke atas, maka dinamakan hutan batu. Berada didalam hutan,
orang bisa mondar-mandir kemari, tanpa bisa menemukan jalan keluarnya. Tapi
langkah kaki orang itu mendatangi semakin dekat, seolah-olah orangnya sudah
berada di depan mata, hakikatnya masih banyak pengkolan dan pintu-pintu yang
berlapis itu harus dilewati baru orang akan bisa berhadapan muka.
Begitu mendengar langkah kaki
orang, semula Tan Ciok-sing kaget dan senang, tapi setelah langkah kaki itu
semakin dekat dan jelas, hatinya bukan lagi girang tapi kaget dan was-was.
Karena yang datang terang tidak seorang saja, tapi dari langkah tiga orang.
Padahal In Hou memberitahu padanya, bahwa Thio Tan-hong seorang diri semayam di
hutan batu. Selama puluhan tahun ini, hanya In Hou seorang saja yang terkecuali
pernah masuk ke hutan batu. Tapi kini ada tiga orang yang mendatangi.
Kalau orang biasa jelas tidak
mungkin tanpa sebab mau memasuki hutan batu, apalagi perjalanan kedalam hutan
batu amat berbahaya. Oleh karena itu kalau hal ini dipikirkan secara sehat,
kalau yang datang bukan Thio Tan-hong sendiri, maka pendatang ini jelas adalah
musuh besarnya.
Di kala hatinya kebat-kebit
itu, walau jari-jarinya bergerak menyentil senar, tapi pandangan matanya
tertuju kearah datangnya suara langkah.
Tiba-tiba terdengar suara
serak seseorang tua berkata di belakangnya: "Sudahlah, hentikan permainan
harpamu."
Sudah tentu Tan Ciok-sing
kaget setengah mati, waktu dia menoleh, hatinya seketika bersorak girang. Yang
berdiri di belakangnya ternyata Hek-moko adanya.
Tapi tidak terbayang rasa
senang pada wajah Hek-moko, malah seperti mau menyalahkan dirinya. "Thio
Tayhiap sedang 'menutup diri latihan semadi', kau tahu tidak?"
Apa itu menutup diri latihan
semadi, hakikatnya Tan Ciok-sing tidak tahu. Tapi dari nada perkataan Hek-moko,
seakan-akan dia menyalahkan dirinya telah mengganggu ketenangan Thio Tan-hong
dengan irama musiknya yang menyedihkan tadi. Maka dengan hambar dia berkata:
"Aku, aku tidak tahu. Tapi, diluar, diluar..."
Langkah orang diluar sudah
semakin dekat lagi, sebuah suara yang sudah dikenalnya sedang berkata:
"Aneh, Thio Tan-hong masih senggang juga mendengarkan irama harpa?"
seorang yang tak dikenal menanggapi: "Mungkin dia ingin meniru Cukat Liang
yang mengundurkan musuh dengan petikan harpanya? Tapi aku tak percaya dia
sebanding dengan Khong Bing, memangnya kita ini bangsa kurcaci."
Prihatin sikap Hek-moko,
katanya di pinggir telinga Tan Ciok¬ sing: "Lekas sembunyi, beberapa orang
ini jauh lebih liehay dan jahat dibanding Ie Cun-hong, aku takkan kuasa
melindungimu."
Pernah mendapat pengalaman
sekali Tan Ciok-sing cukup tahu diri, maklum kalau kehadirannya disini bukan
saja tidak akan membantu Hek-moko, malah menjadikan beban orang, maka lekas dia
angkat harpanya, terus merambat naik ke Kiam-hong dan sembunyi di belakang
sebuah batu.
Baru saja dia menyembunyikan
diri, ketiga orang itupun telah tiba di pinggir danau. Salah seorang di
antaranya bukan lain adalah gembong iblis besar Le Khong-thian yang pernah
dilihatnya di Cit-sing-giam dulu. Dua orang lagi adalah seorang Tosu tua dan
seorang nenek uban menjinjing tongkat berkepala naga.
Bukan saja kaget Tan Ciok-sing
juga keheranan, pikirnya: "Hek-pek-moko kakak beradik laksana dwi-tunggal,
kenapa yang kelihatan sekarang hanya kakaknya, kemana adiknya? Celaka kalau
ketiga penyatron itu berkepandaian lebih liehay dari Ie Cun-hong, seorang diri
mana Hek-moko mampu menghadapi mereka? Thio Tayhiap sedang semadi, jelas dia
takkan bisa keluar menghadapi musuh-musuh ini."
Kedua belah pihak umpama busur
yang telah dipentang tinggal angkat senjata terus saling labrak, dengan
diliputi rasa was-was dan serba curiga, Tan Ciok-sing tidak sempat pikirkan
urusan tetek bengek lagi.
Le Khong-thian terloroh-loroh,
katanya: "Hek-moko, tentunya kau tidak kira bahwa akhirnya aku bisa
menemukan tempat ini, bukan. Hehe, tahukah kau, sebetulnya hari itu aku bisa
bantu le Cunhong membunuhmu, tapi aku justru hendak pinjam tenagamu untuk
menunjukkan jalan kemari, terpaksa kubiarkan kau hidup beberapa hari lagi.
Hehche, kini kau tiada gunanya, sekali kemplanganmu kepada Ie Cun-hong biar
sekarang kutagih padamu."
"Hek-moko,"
terdengar nenek uban itu berkata, "kalau ingin hidup, lekas kau panggil
Thio Tan-hong keluar."
Hek-moko tertawa dingin,
katanya: "Kau nenek gembel ini berani gebrak dengan Thio Tayhiap,
memangnya kau ini tahu diri tidak?"
"Kau ini terhitung barang
apa, berani menghina aku Kiu-poan-bo? Tahukah kau, Thio Tan-hong pun takkan
berani kurang ajar terhadapku," waktu mengucapkan "kurang ajar"
sengaja dia gedrukkan tongkatnya, batu di bawah kakinya seketika terketuk
hancur Hek-moko terbahak-bahak, katanya: "Kiu-poan-bo, puluhan tahun tak
bertemu, ternyata kulit mukamu semakin tebal saja. Dulu bersama Liok-yang
Cinjin, Jit-sia Tojin bukankah kau diusir dari Tiam-jong-san, apa pula yang
Thio Tayhiap pernah katakan kepadamu? Kalau kau tidak ingat boleh kuperingatkan
sekali lagi kepadamu."
Kira-kira tiga puluh tahun
yang lalu, di dunia ini ada empat gembong iblis, yang jadi pentolannya adalah
guru dari Le Khong-thian, yaitu Kiau Pak-bing, disusul Liok-yang Cinjin,
Jit-sia Tojin dan Kiu-poan-bo yang sekarang adu mulut dengan Hek-moko. Setelah
Kiau Pak-bing dikalahkan Thio Tan-hong, dia merat jauh ke lautan timur. Tiga
gembong iblis yang lain bergabung hendak menuntut balas kepada Thio Tan-hong,
pertempuran sengit terjadi di puncak Tiam-jong-san, akhirnya mereka bertiga
tetap bukan tandingan lawan, pada waktu itu mereka sudah bersumpah selama Thio
Tan-hong masih hidup tidak akan muncul di kalangan Kangouw, barulah Thio
Tan-hong mau mengampuni jiwa mereka.
Selama tiga puluh tahun ini,
Jit-sia Tojin sudah meninggal, sementara Kiau Pak-bing sembunyi di lautan
timur, hanya muridnya saja yang diutus kemari. Jadi empat gembong iblis yang
dulu menjagoi Tionggoan kini tinggal Kiu-poan-bo dan Liok Yang Cinjin. Liok
Yang Cinjin adalah Tosu tua yang berdiri di pinggir gelanggang sebelah sana.
Bahwa Hek-moko mengorek borok
mereka, karuan Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin naik pitam. Kata Liok Yang
Cinjin dengan suara berat: "Kau tahu apa, mumpung Thio Tan-hong belum
mampus, maka hari ini aku datang ke mari."
"Hek-moko," seru
Kiu-poan-bo, "kalau kau tidak ingin jadi setan gentayangan, "lekas
kau suruh Thio Tan-hong keluar."
Hek-moko tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Menyembelih ayam tak perlu menggunakan golok
kerbau, kalian bertiga boleh maju bersama, biar aku wakilkan Thio Tayhiap ajar
adat kepada kalian."
"Hek-moko, memangnya
berapa tinggi kepandaianmu? Kalau ingin mampus apa susahnya, cukup si nenek tua
ini berkelebihan untuk menamatkan riwayatmu?" begitu habis ucapannya
"Wut" pentungnya lantas menyapu tiba.
Liok Yang Cinjin sudah maju
beberapa langkah, mendengar perkataan Kiu-poan-bo, terpaksa dia mundur ke
tempatnya, dalam hati dia berpikir: "Betul, aku perlu menyimpan tenaga
untuk menghadapi Thio Tan-hong. Walau Thio Tan-hong sudah berusia lanjut,
betapapun dia tidak boleh dipandang remeh."
Hek-moko angkat juga
tongkatnya, terdengar dencing keras beruntun memekak telinga sampai Tan
Ciok-sing yang sembunyi di tempat ketinggian sana terasa mendengung kepalanya.
Waktu dia pentang mata, dilihatnya dua bayangan Hek-moko dan Kiu-poan-bo
tiba-tiba mundur terpisah, masing-masing pihak tergentak tiga langkah. Hek-moko
rasakan telapak tangannya kesemutan, tapi kepala naga di atas pentung
Kiu-poan-bo gumpil sedikit.
Diam-diam mencelos hati
Hek-moko, pikirnya: "Tak heran nenek reyot ini dulu bisa sejajar dengan
Kiau Pak-bing sebagai empat pentolan gembong iblis, lwekangnya ternyata memang
luar biasa. "Selama hidup ini entah berapa kali Hek-moko bertanding satu
lawan satu dengan musuh, kecuali Thio Tan-hong selamanya belum ada orang yang
berani mengadu kekuatan dengan dia, apalagi memungut keuntungan. Walau
Kiu-poan-bo kali ini tidak memungut keuntungan apapun, tapi hasil dari adu
kekuatan ini, ternyata sama-sama tergetar mundur tiga langkah, malah kalau dia
tidak lekas-lekas menggunakan Jian-kin-tui untuk memberati badan, hampir saja
dia kecundang di depan umum, jadi kalau dinilai secara adil, sebetulnya dia
sudah terhitung kalah setengah urat.
Liok-giok-cang miliknya itu
termasuk barang pusaka juga, tak heran barisan golok Ie Cun-hong tetap tak
mampu membekuk mereka kakak beradik.
Kalau Hek-moko setengah kaget,
Kiu-poan-bo juga tidak kalah kagetnya karena kepala, naga di atas pentungnya
gumpil. Biasanya saudara kembar ini selalu berdampingan, kelihatan sang engkoh
pasti ada sang adik, kenapa sekarang hanya Hek-moko yang menghadapi kami?
Agaknya kami diberi kesempatan untuk menamatkan jiwa Thio Tan-hong. Konon
kekuatan gabungan permainan sepasang tongkat mereka hebat luar biasa, jikalau
aku tidak menyelesaikan pertempuran ini dalam waktu singkat bila Pek-moko
keburu datang, mungkin kami bertigapun susah mengalahkan mereka kakak beradik,
bagaimana kita masih bisa menghadapi Thio Tan-hong?" karena otaknya memang
encer, kepengin menang dalam waktu singkat, maka dia tidak kepalang tanggung
lagi serangan bertubi-tubi dilancarkan dengan sengit.
Dalam detik-detik
pcrtcmpiii.in yang sengit ini, kembali bayangan mereka terpisah lalu saling
tubruk pula. Tongkat Kiu-poan-bo menjojoh ke Hiat-hay-hiat di bawah pusar
lawan, sementara bentuk permainan tongkat Hek-moko yang mencorong mirip
Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang sayap), dari samping mengetuk urat nadi
lawan.
Sinar coklat berkelebat,
mendadak membuat sebuah lingkaran, kepala naga di ujung pentung Kiu-poan-bo
seperti terbungkus didalamnya, dua gembong iblis yang menyaksikan dari samping
ikut kebat-kebit hatinya.
Mendadak Kiu poan-bo
menggertak sekali, pentung kepala naganya menekan turun ke bawah dengan jurus
Ping-sa-loh-yan (blibis hinggap di pasir datar) untuk memunahkan tekanan
tongkat Hek-moko sekaligus pentungnya itu mengetuk naik terus melintirnya pula.
"Kena" kembali mulutnya menghardik, begitu pentungnya berputar, mulut
dari kepala naga besi itu tahu-tahu sudah nyelonong ke muka Hek-moko. Serempak
Liok-yang Cinjin dan Le Khong-thian sama bersorak memuji, sebaliknya Tan
Ciok-sing mengucurkan keringat dingin, hatinya kuatir setengah mati.
Beberapa jurus permainan
pentung Kiu-poan-bo memang teramat liehay dan menakjubkan, tapi juga ganas dan
keji. Dengan gerakan kilat balas menyerang ini, dia yakin Hek-moko pasti sukar
lolos dari pentung besinya. Tak kira gerakannya sudah begitu cepat, tapi
Hek-moko masih lebih cepat lagi, terdengar "Trang" yang keras,
tongkat coklat Hek-moko ternyata sudah menutup gerakan pentung lawan
selanjutnya, jengeknya dingin: "Belum tentu," kembali sinar coklat
melingkar, pentung lawan seolah-olah terbungkus didalamnya.
Beberapa gerakan saling lomba
dan tubruk ini terjadi dalam sekejap mata, kedua pihak berlomba dahulu
mendahului merebut kesempatan, sehingga tiga orang penonton diluar gelanggang
sama silau dan terpukau. Terdengar Kiu-poan-bo berkaok-kaok gusar beberapa
kali, pentung kepala naganya menuding timur mengepruk ke barat mengemplang ke
utara menyapu ke selatan, tapi tetap tak kuasa membebaskan diri dari libatan
sinar coklat lawan.
Lwekang Kiu-poan-bo memang
setingkat lebih tinggi, namun permainan tongkat Hek-moko lebih liehay dan
hebat, apalagi tongkat coklat itu ternyata tahan dan kuat beradu dengan besi,
dalam hal senjata jelas dia memungut keuntungan, oleh karena itu, meski dalam
waktu singkat sukar dia mengalahkan lawan, namun sedikit banyak dia sudah
unggul di atas angin. Tak berapa lama kemudian, kepala naga di atas pentung
Kiu¬ poan-bo kembali gumpil pula.
Semakin dalam kerut kening
Liok-yang Cinjin melihat laju pertempuran ini, ingin maju membantu tapi kuatir
Thio Tan-hong mendadak muncul, kalau dirinya sudah menguras tenaga, jelas ini
bukan tindakan bijaksana yang bakal menguntungkan pribadinya.
Tiba-tiba, Le Khong-thian
berkata: "Yang memetik harpa tadi terang bukan Thio Tan-hong."
"Darimana kau tahu?"
tanya Liok-yang Cinjin.
"Walau Thio Tan-hong
serba mahir dalam bidang sastra, tapi dalam hal memetik harpa jelas dia tidak
lebih unggul dari satu orang ini. Dalam jaman ini, kecuali Ki Harpa dari
Kwi-lin tiada orang lain yang mahir memetik harpa semerdu itu, waktu di
Cit-sing-giam tempo hari pernah aku mendengar irama harpanya ini."
"Bukankah kau bilang
bahwa Ki Harpa telah mati?!" tanya Liok-yang Cinjin.
"Aku tahu kalau dia
terluka parah, hanya dugaanku saja dia telah mati, aku sendiri tidak melibat
jenazahnya."
"Bagaimana kepandaian Ki
Harpa?" tanya Liok-yang Cinjin.
"Petikan harpanya aku
yakin nomor satu di dunia ini, tapi dalam hal Kungfu, dia paling terhitung
kelas kambing."
Liok-yang Cinjin menepekur
sejenak, katanya: "Aneh, kenapa Thio Tan-hong belum juga keluar?"
"Thio Tan-hong sudah
lanjut usia, kemungkinan karena ingin cepat-cepat menyelesaikan latihan
Iwekangnya, sekarang dia sedang mengalami Jau-hwe-jip-mo."
Pengalaman Liok-yang Cinjin
jelas jauh lebih tinggi dari Le Khong-thian, diam-diam dia membatin:
"Ketangguhan lwekang Thio Tan-hong sudah teruji dan tiada bandingannya
sejak tiga puluh tahun yang lalu. Apalagi lwekang yang diyakinkan adalah ajaran
murni dari aliran lurus. Jau-hwe-jip-mo jelas tidak mungkin. Tapi Hek-pek-moko
adalah kawan yang paling setia terhadapnya, jikalan dia berada disini tak
mungkin dia berpeluk tangan saja? Em, kemungkinan dia sudah meninggalkan
Ciok-lin dan suruh Hek-moko menjaga tempat tinggalnya?"
Yang dikuatirkan Liok-yang
Cinjin adalah bila Thio Tan-hong tak jauh dari tempat ini, orang mendadak
muncul di saat-saat kritis. Kini setelah diketahui yang memetik harpa tadi
bukan Thio Tan-hong, maka dia pikir adalah patut kalau dia menyerempet bahaya.
Maka dia berkata: "Baiklah, pergilah kau eaii pemetik harpa itu, biar aku
membantu Kiu-poan-bo." Memang itulah yang diharapkan Le Khong-thian, sudah
tentu dengan senang hati dia menerima tugas enteng ini.
"Hek-moko," bentak
Liok-yang Cinjin, "kemana adikmu? Ingin aku merasakan betapa hebat
kekuatan gabungan permainan tongkat kalian kakak beradik."
Hek-moko tertawa dingin,
ejeknya: "Menghadapi hidung kerbau macam tampangmu ini, memangnya perlu
menggunakan ilmu tongkat gabungan? Sejak tadi toh sudah kusuruh kalian maju
bersama, hayolah maju jangan pura-pura cari alasan."
"Baik, kau sendiri yang
ingin mampus, jangan salahkan kalau aku main keroyok," sembari bicara, dia
sudah melangkah memasuki arena, senjata yang dikeluarkannya ternyata berbentuk
aneh.
Senjata tunggalnya itu adalah
seutas cambuk panjang berwarna merah darah, entah terbuat dari jenis barang
apa, di atas cambuknya ini digantung dua tengkorak manusia yang terbuat dari
besi, warnanya yang putih dengan bentuknya yang bagus pula, sekilas pandang
orang akan menyangka bahwa itu tengkorak asli.
"Tar", sekali sabet cambuk
Liok-yang Cinjin, kedua tengkorak itu ikut berputar dan menari mengikuti
kisaran cambuk, mendadak mulut kedua tengkorak meringis lalu terpentang hendak
menggigit ke arah Hek-moko."
Hek-moko menyengel dingin:
"Menggunakana senjata aneh semacam ini, memangnya kau kira dapat
menciutkan nyaliku?" sekali gentak dia ayun tangan, begitu tongkat coklat
menggetarkan pergi pentung Kiu-poan-bo, ujung tongkatnya tiha-tiba menyelonong
maju menusuk ke mulut tengkorak yang terpentang lebar.
Begitu Liok-yang Cinjin
memutar pergelangan tangan, kedua tengkorak itu tiba-tiba melejit terbang ke
atas, beruntun dia melancarkan tipu Lian-hoan-sam-pian, Wi-hong-sau-liu, dua
ilmu tunggal dari permainan cambuknva yang paling liehay. Hek-moko gunakan
Ih-sing-hoan-wi berkelit dari serangan pentung Kiu-poan-bo, sementara tongkat
coklatnya mengetuk pergi ujung cambuk lawan yang satunya pula, "Bret"
ternyata bajunya tergigit oleh tengkorak dan sobek sebagian besar. Mendapat
angin Liok-yang Cinjin menyeringai dingin, katanya: "Bagaimana, senjata
aneh dari kalangan sesat ini liehay bukan."
Hampir melonjak keluar jantung
Tan Ciok-sing menyaksikan pertempuran seru ini, dilihatnya Le Khong-thian sudah
tiba di kaki puncak, teriaknya: "Ki Harpa, tak usah sembunyilah. Asal kau
mau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, aku tidak akan mencabut
jiwamu, hayolah keluar."
Pada saat itulah, mendadak Tan
Ciok-sing merasa pundaknya kesemutan, tahu-tahu dia telah ditangkap seseorang
dari belakang. Karuan kejutnya bukan main, untung orang itu segera berbisik di
pinggir telinganya: "Jangan berisik, kubawa kau menemui Thio
Tayhiap," suaranya sudah dikenal, setelah tenangkan diri baru Tan
Ciok-sing tahu bahwa orang di belakangnya ini adalah Pek-moko.
Agaknya Pek-moko tahu seluk
beluk hutan batu ini, di tengah hutan batu dia putar kanan belok kiri, dengan
meminjam gugusan batu-batu besar kecil dia main sembunyi-sembunyi terus maju ke
depan, gerakannya begitu tangkas dan gesit, tujuannya adalah Kiam-hong. Le
Khong-thian yang berada di kaki bukit ternyata tidak tahu sama sekali. Lekas
sekali Tan Ciok-sing telah dibawa masuk ke sebuah lobang batu. Didalam lobang
batu besar inilah tampak duduk bersila seorang laki-laki berwajah bersih welas
asih berjenggot tiga baris, Tan Ciok-sing menduga laki-laki tua inilah pasti
Thio Tan-hong adanya.
Setelah mengalami berbagai
rintangan dan penderitaan, akhirnya keinginan bisa tercapai, sudah tentu bukan
kepalang rasa senang dan haru serta kaget Tan
Ciok-sing sesaat lamanya dia
sampai berdiri melenggong tak kuasa mengeluarkan suara.
Pek-moko menurunkan Tan
Ciok-sing serta berkata: "Yang memetik harpa tadi adalah bocah ini. Dia,
dia adalah..."
"Aku sudah tahu
asal-usulnya," tukas Thio Tan-hong, "jangan kau membuang waktu,
pergilah bantu engkohmu."
Tampak sikap ragu-ragu dan
serba susah pada wajah Pek-moko, katanya: "Thio Tayhiap, lalu kau..."
"Takkan lama lagi aku
sudah akan selesai dengan semadiku, kau tidak perlu kuatir, lekas, lekas
pergi," desak Thio Tan-hong.
Ternyata dalam latihan lwekang
tingkat tinggi setelah mencapai taraf yang paling top dinamakan
Pit-koan-lian-kang, untuk Pit-koan atau semadi paling lama tujuh hari paling
cepat tujuh hari, didalam jangka waktu latihan ini, tidak tidur, tidak makan,
tak boleh bergerak atau bicara, keadaannya mirip seperti kaum padri yang
semadi, maka apa yang terjadi di sekitarnya boleh melihat seperti tidak
melihat, mendengar tidak didengarkan, jikalau dalam saat-saat kritis ini sampai
ada musuh datang mencari setori, seorang biasa yang tidak belajar silatpun
mampu untuk membuatnya mati cukup dengan tonjokan sebuah jari tangannya saja.
Waktu Hek-pek-moko tiba di hutan batu, kebetulan Thio Tan-hong sedang
Pit-koan-lian-kang, maka begitu mereka tahu kedatangan ketiga gembong iblis
itu, salah satu di antara mereka perlu tinggal disini untuk menjaga keselamatan
Thio Tan-hong.
Tahu bahwa kakaknya kini
sedang terancam bahaya, apa boleh buat akhirnya Pek-moko berkata: "Thio
Tayhiap, sukalah kau berhati-hati dan jaga dirimu sendiri, tak perlu kau
buru-buru ikut melayani musuh-musuh itu," lalu dia lari keluar dari lobang
batu. Cepat sekali terdengarlah dering beradunya senjata yang ramai, gema
suaranya yang keras seperti mendengung di atas pegunungan batu, dapat diduga
bahwa Pek-moko tentu sedang melabrak Le Khong-thian.
"Anak bagus," kata
Thio Tan-hong dengan suara lembut dan ramah, "sudah lama aku menunggu
kedatanganmu, tapi tak tersangka baru kau tiba di saat aku Pit-koan-lian-kang,
tapi untuk sementara kau boleh tidak usah urus kejadian diluar."
Baru-buru Tan Ciok-sing berlutut
serta menyembah, katanya: "Wanpwe Tan Ciok-sing, mendapat pesan langsung
dari In Tayhiap..."
Belum habis dia bicara Thio
Tan-hong sudah membimbingnya bangun, katanya: "Kau tidak perlu banyak
hormat," lalu menghela napas, "nasib In Hou yang buruk sudah
kuketahui. Anak bagus, lagu apa yang kau petik dengan irama harpa tadi?"
Tan Ciok-sing melengak, dia
tidak habis mengerti kenapa pada situasi segenting ini Thio Tan-hong masih
sempat menanyakan hal-hal kecil ini. Tapi dengan laku hormat dia menjawab:
"Yang kupetik tadi adalah lagu Khong-ling-san."
"O, ternyata
Khong-ling-san," ujar Thio Tan-hong manggut sambil menghela napas,
"tak heran begitu memilukan, dengan latihan ketenanganku selama lima puluh
tahun, ternyata terpengaruh juga diriku."--Kiranya di waktu
Thio Tan-hong menjalani
Pit-koan-lian-kang, keadaannya tak ubahnya seperti padri sakti yang semadi,
tapi irama Khong-ling-san ternyata dapat menyentak konsentrasinya, sehingga dia
terjaga dari puncak semadinya.
"Thio Tayhiap," Tan
Ciok-sing berkata was-was, "aku tak sengaja mengganggumu, aku, aku tidak
tahu..."
Pelan-pelan Thio Tan-hong
mengusap kepalanya, katanya lembut: "Bukan saja aku tidak menyalahkan kau,
aku harus terima kasih padamu. Jikalau bukan irama harpamu yang membuatku
terjaga, hutan batu yang permai ini, pasti akan diinjak-injak oleh kawanan
iblis itu. Anak bagus, sekarang tolong kau petikkan pula lagu Khong-ling-san,
tapi bagian depannya saja."
Bagian depan Khong-ling-san
adalah mengisahkan dua sahabat yang sedang tamasya riang gembira di alam bebas
setelah sekian lama tidak bersua. Maka begitu irama lagu mulai berkumandang,
suasana lobang batu besar yang semula terasa redup kini mendadak tambah
semarak, tak ubahnya seperti alam semesta yang diliputi kehidupan subur dan
makmur di musim semi. Pelan-pelan Thio Tan-hong pejamkan mata menunduk kepala,
lekas sekali dia sudah tenggelam pula dalam latihan semadinya. Di kala Tan
Ciok-sing mencapai ritme terakhir dari lagu yang dibawakan, Thio Tan-hong sudah
mulai membuka mata serta angkat kepala, irama musik masih bergema dalam lobang
batu. Mendadak Thio Tan-hong bersuit panjang, suaranya seperti auman harimau
laksana pekik naga, Tan Ciok-sing yang berada di sampingnya sampai berjingkrak
girang dan melongo.
Suitan panjang dan menggelegar
ini sekaligus telah memamerkan betapa tangguh Iwekangnya, sebetulnya Tan
Ciok-sing masih terlalu cetek untuk bicara soal teori ilmu silat, tapi kini dia
tahu juga bahwa semadi yang sekejap di bawah iringan lagu petikan harpanya tadi
semangat dan tenaga Thio Tan-hong telah pulih seluruhnya, hawa murni seperti
bergolak dalam tubuhnya.
Betul juga dilihatnya Thio
Tan-hong sudah berdiri, katanya: "Anak bagus sekarang aku sudah boleh
berbuka semadi, marilah kau ikut aku luar."
000OOO000
Hek-pek-moko sedang memainkan
gabungan ilmu tongkatnya di bawah Kiam-hong menempur tiga gembong iblis, saat
mana keadaan telah mencapai saat-saat tegang yang terakhir. Mendadak suitan
panjang mengalun tinggi di angkasa, sudah tentu ketiga gembong iblis itu amat
kaget, sebaliknya Hek-pek-moko girang setengah mati.
Liok-yang Cinjin berlaku
nckad, hardiknya: "Biar aku adu jiwa dengan kau." Cambuk panjangnya
tiba-tiba menggulung seperti dari kiri tapi terbalik ke kanan, ujung cambuk
sudah membelit ujung kaki Pek-moko, sementara dua kerangka yang tergantol di
atas cambuk sudah mental terbang ke atas. yang satu menggigit ke pundak kanan
Hek-moko, yang lain menggigit pundak kiri Pek-moko. gerakan satu jurus tiga
serangan ini sungguh teramat keji dan telengas.
Dengan gerakan Yan cu coan hun
(burung walet menyelinap di mega) mendadak Hek-moko melambung setombak lebih,
tongkat coklat di tangannya dengan jurus Ing-kik-tiang-khong (burung elang
menyerang dari tengah udara) mengemplang turun ke bawah. Sementara Pek-moko
melancarkan jurus Ko-teng-jan-siok (akar menjalin membelit pohon), menyampuk
pergi kepala tengkorak yang hendak menggigit pundaknya. Maka terdengarlah suara
"Dar, dar", dua kali, begitu tersentuh tongkat kedua tengkorak itu
mendadak meledak, menyemburlah kembang api dan asap merah gelap.
Perlu diketahui bahwa cambuk
panjang yang dimainkan Liok-yang Cinjin ini dinamakan Ko-lo-liat-hwe-pian
(cambuk api tengkorak), didalam kepala tengkorak besi dipasang alat rahasia,
bukan saja dapat menggigit orang sampai urat nadi dan tulangnya putus, di
dalamnya pun dipasang alat rahasia yang dapat menyemburkan api yang bersuhu
tinggi. Bahwa hari itu Liok Yang Cinjin berani meluruk kesini mau menantang
Thio Tan-hong bersama Kiu-poan-bo dan Le Khong-thian lantaran dia kira Thio Tan-hong
sudah tua dan lemah badan, di samping dia memiliki cambuk api yang keji ini.
Kejadian sungguh tak terduga
sama sekali, saat mana Tan Ciok¬sing masih berada di lamping gunung, tampak
setelah ledakan keras tadi, Hek-pek-moko sama-sama terkurung didalam kobaran
api, pakaian dan rambut mereka yang uban telah dijilat api.
"Tosu iblis," hardik
Hek-moko murka, "biar aku adu jiwa dengan kau," tanpa hiraukan api
yang menjilat badan, mendadak dia ayun tongkatnya mengepruk ke arah Liok Yang
Cinjin. Lwekang Pek-moko lebih rendah, dia tidak kuat bertahan, lekas dia
jatuhkan diri menggelinding beberapa kali, pikirnya hendak memadamkan api yang
membakar pakaian tapi belum lagi dia melompat berdiri pula pentung kepala naga
Kiu-poan-bo tahu-tahu sudah mengemplang ke arah dirinya.
Kemplangan tongkat Hek-moko
berhasil menyampuk pergi Ko-lo-pian Liok Yang Cinjin, mendadak diapun
menjatuhkan diri berguling seraya berseru: "Lui-thian-kiau-hong"
belum lagi Pek-moko sempat melompat berdiri tahu-tahu Hek-moko sudah menggelinding
tiba hendak melancarkan gabungan ilmu tongkat mereka, maka dia urungkan niatnya
malah ikut merebahkan diri pula.
Begitu kedua tongkat mereka
terangkat, "Trang" keras sekali, kontan Kiu-poan-bo menyemburkan
darah segar, badanpun melejit jumpalitan beberapa tombak ke belakang. Ternyata
jurus Lui-tian-kiau-hong merupakan pusat gabungan lwekang kedua saudara kembar
yang dilandasi setaker lwekang mereka, meski Kungfu Kiu-poan-bo lebih hebat
lagi juga takkan kuat menghadapinya.
Tapi .erangan tongkat Hek-moko
inipun merupakan kekuatan terakhir saja, lekas dia bimbing adiknya berdiri
terus lari belasan langkah kesana, keduanya tampak sempoyongan, tak ubahnya
kembang lilin yang tertiup angin.
Le Khong-thian kegirangan,
teriaknya: "Mereka sudah tidak kuat lagi, lekas sikat mereka."
Belum habis dia bicara
mendadak terdengar sebuah bentakan menggelegar: "Kalian beberapa siluman
jahat ini berani menjilat ludah melanggar sumpah, hari ini Thio Tan-hong tak
bisa memberi ampun lagi pada kalian," hardikan Thio Tan-hong ini
menggunakan lwekang auman singa, begitu hebat tenaga getarannya sampai Le
Khong-thian berdiri memukau seperti patung yang kehilangan semangat,
To-kak-tong-jin yang sudah diangkatnya tinggi ke atas tak bergerak lagi,
agaknya dia jeri untuk memukulkan ke arah Hek-moko lagi.
Cepat sekali, sebelum gema
hardikan itu lenyap, tiba-tiba Thio
Tan-hong sudah melayang turun
seperti terjun dari tengah langit, orangnya masih puluhan langkah jauhnya, tapi
tenaga Pit-khong-ciang yang dia lancarkan ternyata mendampar hebat laksana
gugur gunung.
"Blum" kepala
tengkorak besi yang tercantol di ujung cambuk Liok-yang Cinjin terpukul hancur
menjadi bubuk oleh tenaga pukulan Thio Tan-hong, kobaran api yang menyala hebat
itu seperti dihembus angin lesus malah tertolak balik membakar badannya
sendiri, lekas sekali dia terguling-guling sambil menggerung, memekik dan
meraung minta tolong pula, tapi kobaran api itu memang hebat, cepat sekali dia
sudah mampus terbakar menjadi abu.
Thio Tan-hong membentak:
"Le Khong-thian, tidak setimpal kau mengotori pedangku, lekaslah punahkan
sendiri ilmu silatmu."
Le Khong-thian tetap berdiri
kaku seperti patung, Tong-jin tetap terangkat di atas kepalanya, badannya tidak
bergeming sama sekali. Thio Tan-hong mengerutkan kening, katanya: "Mengingat
rasa baktimu yang ingin menuntut balas bagi gurumu, maka boleh aku mengampuni
jiwamu, memangnya
kau masih tidak terima?"
Le Khong-thian tetap tidak bergerak atau menjawab pertanyaannya. Baru kini Thio
Tan-hong merasakan keganjilan ini, lekas dia memburu maju merebut Tong-jin di
tangan Le Khong-thian. Begitu tubuh orang tersentuh, seperti sebatang balok
pelan-pelan badan Le Khong-thian roboh berdentam. Ternyata jantungnya pecah
oleh getaran hardikan Thio Tan-hong, jiwapun melayang.
Kiu-poan-bo rebah di antara
genangan darahnya sendiri, setelah merintih-rintih dia berteriak: "Thio
Tayhiap, mohon sukalah kau bermurah hati, tamatkan saja jiwaku."
Jurus Lui-tian-kiau-hong yang
dilancarkan Hek-pek-moko memang dahsyat luar biasa, seorang diri Kiu-poan-bo
berani melawan jurus dahsyat ini secara kekerasan, karuan dia tergetar luka
parah sampai muntah darah, kini keadaannya sudah empas empis dan sekarat.
Thio Tan-hong jadi tidak tega,
katanya setelah menghela napas: "Inilah yang dinamakan orang jahat berbuat
jahat akhirnya pasti memperoleh ganjaran setimpal," segera jarinya
menjentik sebuah krikil dengan telak mengenai hiat-to mematikan di tubuh
Kiu-poan-bo, tujuannya memang untuk mengurangi penderitaannya, jiwapun melayang
seketika.
Api yang menjilat tubuh
Hek-pek-moko sudah padam, tapi keadaan mereka juga empas-empis. Mereka rebah
sejajar di tanah, kini keduanya berusaha meronta bangun.
"Kalian jangan
bergerak," kata Thio Tan-hong, "biar aku obati kalian."
Napas Pek-moko sudah lemah,
mulutnya megap-megap, bibirnya bergerak seperti ingin bicara, lekas Thio
Tan-hong dekatkan telinganya ke mulut orang, didengarnya Pek-moko berkata:
"Thio Tayhiap, kau sudah menuntut balas sakit hati kami, aku amat senang,
api yang membakar kami mengandung racun..." suaranya selembut bunyi
nyamuk, sebelum habis dia berpesan, jiwapun telah melayang.
Lekas kedua tangan Thio
Tan-hong bekerja, telapak tangan kiri mendempel punggung Pek-moko, tangan kanan
mendempel punggung Hek-moko, pelan-pelan dia salurkan hawa murninya ke tubuh
mereka. Tak lama kemudian, terasa badan Pek-moko semakin dingin dan kaku,
sementara Hek-moko tampak bergerak dan menggeliat, pelan-pelan dia membuka
mata.
Diam-diam Thio Tan-hong
menghela napas, pikirnya: "Ternyata aku sendiri juga seperti pelita yang sudah
hampir kehabisan minyak," tadi dengan hawa mumi sendiri dia bantu
Hek-pek-moko dengan saluran tenaga, tak nyana jiwa Pek-moko tetap tak berhasil
ditolongnya. Hek-moko memang sadar kembali, tapi keadaannya juga sudah payah
takkan bertahan lama lagi.
"Thio Tayhiap," kata
Hek-moko lemah, "seharusnya tidak secepat ini kau menyelesaikan samadimu,
kami berkorban tidak jadi soal kau justru harus menjaga kesehatanmu, bukankah
kau harus menamatkan karya ciptaan ilmu pedangmu untuk diwariskan murid didikmu
kelak?"
Seperti disayat hati Thio
Tan-hong, katanya pilu: "Jangan kau banyak pikiran, lekas pusatkan hawa
murni ke pusar, aku akan membantumu menjebol Ki-king-pat-meh."
"Bagaimana keadaan
adikku?" tanya Hek-moko.
"Sementara tak usah kau
pedulikan dia, dengarkan perkataanku. Setelah racun api yang mengenai badanmu
dapat dibersihkan kau masih bisa tetap hidup," kata Thio Tan-hong. Selama
hayatnya belum pernah Thio Tan-hong berbohong terhadap kawannya, kini karena
tidak tega memberi tahu kematian Pek-moko kepada kakaknya, terpaksa dia
berbohong, namun Hek-moko sudah tahu dari nada jawabannya.
"Thio Tayhiap," kata
Hek-moko, "syukurlah kau tidak apa-apa. Kami bersaudara dilahirkan pada
hari bulan dan tahun yang sama, adalah jamak kalau mati pada hari bulan dan tahun
yang sama pula. Tak usah kau membuang tenaga percuma untuk kami. Kedua tongkat
harap kau suka simpan untuk warisan muridku yang datang mengambilnya. Kalau
tiada yang mengambil, boleh serahkan saja kepada adik cilik ini."
"Jangan," teriak
Thio Tan-hong. Tapi kepala Hek-moko sudah tertekuk lemas didalam pelukannya,
ternyata dia menggetar putus urat nadi sendiri sehingga jiwa melayang.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
tiba di tempat kejadian, melihat kematian Hek-moko yang mengenaskan, tak
tertahan dia memekik panjang terus menubruk maju dan menangis tersedu-sedu.
Lengan baju Thio Tan-hong
mengebas enteng, seguiung tenaga lunak segera mendorong Tan Ciok-sing ke
samping, katanya: "Badannya sudah keracunan, Iwekangmu masih rendah,
jangan kau menyentuhnya."
Setelah pertempuran yang
berakhir korban beberapa jiwa ini, keadaan hutan batu kembali tenang dan sunyi,
namun Hek-pek-moko harus ikut berkorban bersama musuh-musuh penyatron Teringat
kebaikan dan budi pertolongan kedua cjanpwc ini, Tan Ciok-sing hampir tidak
berani percaya akan kenyataan ini, nangispun tak keluar air mata, sesaat dia
berdiri mematung.
Kata Thio Tan-hong: "Dari
sesat kedua saudara kembar ini telah kembali ke jalan lurus, apa yang ingin
mereka kerjakan sudah terlaksana. Aku tahu, sebelum ajal mereka hakikatnya tak
terasa derita apa-apa dalam sanubari mereka. Tapi nak, kalau mau menangis
lekaslah kau menangis sepuasmu," pelan-pelan rebahkan badan Hek-moko lalu
berlari naik ke Kiam-hong.
Agak lama Tan Ciok-sing
terlongong baru akhirnya meneteskan air mata. Di kala tangisnya sampai serak,
didengarnya di belakang ada orang berkata: "Anak bagus, kaupun tidak perlu
bersedih hati, hayolah kau bantu aku, biarlah mereka beristirahat dengan
tenang." Waktu Tan Ciok-sing berpaling dilihatnya Thio Tan-hong sudah
kembali sambil membawa sebuah sekop dan pacul.
Tan Ciok-sing tidak berbicara,
dia terima sekop itu lalu bantu menggali tanah. Setelah mengebumikan
Hek-pek-moko, Thio Tan-hong berkata: "Galilah lagi sebuah liang lahat,
ketiga mayat itupun perlu dikubur."
Dalam pada itu Thio Tan-hong
mencari sebuah batu yang dirasa cocok untuk dijadikan nisan. Pedang pendek
dikeluarkan, di atas batu nisan ini dia menulis beberapa huruf yang berbunyi:
"Sahabat dari Thian-tiok tempat beristirahat Hek-pek-moko."
Sementara itu Tan Ciok-sing
juga sudah selesai mengubur mayat ketiga gembong iblis itu, sambil menahan air
mata, sekarang ganti dia yang membujuk Thio Tan-hong: "Thio Tayhiap lebih
penting kau menjaga kesehatanmu sendiri. Kalau manusia hidup pasti mengalami
mati dan hidup, kaupun tidak perlulah menyesalinya," dilihatnya Thio
Tan-hong mendadak seperti menjadi tua dan loyo, setelah menegakkan batu nisan
itu, napasnya ternyata memburu, badanpun basah oleh keringat.
Thio Tan-hong seperti
tersentak sadar, katanya: "Betul, urusanku yang belum selesai, sudah
seharusnya lekas kuatur dengan baik."
Sudah tentu Tan Ciok-sing
tidak tahu "urusan" apa dan pesan apa yang akan diberikan kepada
siapa? Tapi lapat-lapat dia merasakan firasat yang tidak baik, dilihatnya sang
dewi malam sudah bercokol tinggi di angkasa, katanya: "Thio Tayhiap kau
harus lekas beristirahat, urusan yang harus di selesaikan biarlah dikerjakan
besok pagi saja?"
Thio Tan-hong tertawa,
ujarnya: "Kalau sudah suratan takdir mau apa, besok, besok matahari akan
tetap terbit dari timur, tapi aku sendiri mana kala entah telah berada
dimana?"
Mencelos hati Tan Ciok-sing
bulu kuduknya merinding, sesaat lamanya dia berdiri terpukau tak tahu apa yang
harus dilakukan dan dikatakan.
"Anak bagus," kata
Thio Tan-hong, "maksud kedatanganmu sudah kuketahui, bukankah kau ingin
mengangkat guru kepadaku?"
Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak
ingin membikin repot orang di kala Thio Tan-hong kesusahan, tapi Thio Tan-hong
sendiri sudah membeberkan urusannya, sudah tentu malah kebetulan, lekas dia
berlutut serta menyembah kepada Thio Tan-hong sebagai lazimnya murid bersujut
kepada sang guru katanya: "Memang Tecu ada maksud itu, entah Thio Tayhiap
sudi..."
"Meski aku baru saja
mengenalmu, aku tahu bahwa kau adalah pemuda jujur yang sederhana pula,
syukurlah kaupun orang yang tahu hutang budi, ini lebih mencocoki seleraku.
Sejak hari ini, kau adalah murid penutupku."
Sungguh girang dan sedih pula
hati Tan Ciok-sing, setelah menyeka air mata, lekas dia menyembah pula serta
memanggil: "Suhu."
Thio Tan-hong membimbingnya
bangun, katanya: "Ilmu golok ajaran In Hou coba mainkan sekali."
Sebenarnya tiada selera Tan
Ciok-sing memainkan ilmu goloknya lagi, tapi mengingat keadaan gurunya, baik
juga untuk mengalihkan perhatian beliau, oleh karena itu meski hati masih
dirundung kesedihan, segera dia melolos golok lalu
mendemontrasikan ilmu golok
keluarga In menurut apa yang dapat dia pelajari di hadapan Thio Tan-hong.
"Anak baik," ucap
Thio Tan-hong tertawa, "kau cukup pintar, dengan dasar yang sudah kau
pupuk ini, untuk meyakinkan lwekang taraf tinggi kukira tanpa bimbingan
langsung dari seorang guru pasti dapat juga kau belajar dan menyelaminya. Em,
legalah hatiku."
Tan Ciok-sing melengak. Thio
Tan-hong memujinya ini jelas menggirangkan hatinya, tapi kenapa suhu harus
berkata demikian, bahwa aku bisa belajar sendiri tanpa bimbingan guru,
beliaupun legalah.
Thio Tan-hong mengeluarkan
sejilid buku, katanya perlahan: "Inilah intisari latihan lwekang karyaku
sendiri, kau harus tekun membaca dan mempelajarinya dengan rajin, dalam jangka
tiga tahun yakin kau akan berhasil. Ada beberapa bagian yang sukar di mengerti,
mumpung sekarang ada kesempatan biar kujelaskan kepadamu."
Tan Ciok-sing buang segala
kerisauan hatinya, dengan seksama dia mendengarkan, untung Thio Tan-hong
menjelaskan panjang lebar dan mendetail, cara memberi penjelasan pun gampang di
mengerti. Kata Thio Tan-hong: "Kalau masih ada bagian-bagian yang masih
kurang jelas, asal kau sudah paham dan hapal teorinya, kelak kau pasti akan mengerti
sendiri."
Kembali Tan Ciok-sing melengak
dibuatnya, kenapa Thio Tan-hong mengharap kelak dia memahaminya sendiri?
"Apakah Suhu hendak meninggalkan Ciok-lin?"
Berkata Thio Tan-hong lebih
lanjut: "Aku berhasil menciptakan Bu-bingrkiam-hoat, kuukir di atas
dinding gua batu. Murid besarku Toh Thian-tok adalah Ciangbunjin Thian-san-pay,
tapi dia belum tahu kalau aku telah menciptakan ilmu pedang ini. Kelak kau
berhasil mempelajarinya, kalau ada kesempatan bertemu dengan Toa-suhengmu,
boleh kau wakilkan aku ajarkan ilmu pedang ini kepadanya Jikalau tiada
kesempatan bertemu, ya apa boleh buat. Ilmu silatnya kini merupakan suatu
aliran tersendiri, sukses yang dicapainya kelak jelas masih di atasku, akupun
tak perlu kuatir akan dirinya."
Lama Thio Tan-hong termenung
seperti mengenang sesuatu, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya: "Bulan
purnama malam ini sungguh amat indah, sayang tokoh-tokoh seangkatanku, peduli
dia musuh atau kawan, boleh dikata sebagian besar sudah mendahului aku, tiada
orang menemaniku menikmati keindahan bulan. Ai, begini sunyi dunia ini, aku
terang takkan lama di dunia ini lagi."
Bergidik Tan Ciok-sing
dibuatnya: "Suhu, selanjutnya Tecu kan bisa selalu menemanimu."
"Kau memang anak baik,
tapi usiamu masih teramat muda. Bagaimana perasaan seorang tua, yang sebatang
kara dan hidup terasing lagi, jelas kau takkan bisa menyelaminya," setelah
berkata kembali dia menepekur seperti tenggelam dalam kehidupan masa lalu,
tanpa berkesip dan tidak bergeming pandangannya lengang ke permukaan danau.
Waktu Tan Ciok-sing hendak
membujuknya lekas istirahat, mendadak Thio Tan-hong keluarkan sebatang pedang
panjang dan sebilah pedang pendek ditaruh di atas meja, katanya: "Aneh,
entah mengapa perasaanku kok terasa agak ganjil, banyak urusan yang ingin
kubicarakan dengan kau. Marilah kuceritakan riwayat dari sepasang pedang pusaka
ini."
Tak ingin mengganggu hasrat
orang, maka Tan Ciok-sing diam saja serta pasang kuping.
"Ibu gurumu bernama In
Lui, In Hou memanggilnya Kokoh (bibi), tentunya In Hou pernah bicara hal ini
kepadamu?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut,
Thio Tan-hong l.alu melanjutkan: "Kami adalah Suheng-moay, pedang
panjangku ini bernama Pek-hong (pelangi putih), pedang pendek miliknya ini
bernama Ceng-bing, bersama dia kami berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan,
adalah karena ilmu gabungan tongkat Hek-pek-moko terkalahkan oleh ilmu pedang
gabungan kami, maka dia kami tundukan dan selanjutnya terima diperintah."
"Ibu gurumu paling
menyukai alam permai didalam hutan batu ini," jari-jari Thio Tan-hong
memainkan air danau, seperti mengenang masa lalu, sesaat kemudian baru dia
melanjutkan: "Usianya lebih muda dari aku, tak nyana dia justeru pergi
mendahuluiku. Karena Bu-bing-kiam-hoat belum berhasil ku rampungkan, terpaksa
aku menepati pesannya, sehingga aku menetap belasan tahun didalam hutan batu
ini. Belakangan kudapati bahwa kesehatanku sudah banyak mundur, badanku sudah
loyo dimakan usia, kemungkinan Thian telah menentukan nasibku. Maka kira-kira
tiga hari yang lalu sengaja aku mulai Pit-koan-lian-kang pula, harapanku pada
latihan terakhir ini aku bisa hidup beberapa kejap lebih lama lagi demi
mencapai cita-citaku yang terakhir. Pit-koan yang kuperhitungkan tujuh hari
terpaksa hanya tercapai tiga hari karena kedatangan ketiga gembong iblis itu,
celakanya adalah Hek-pek-moko pun harus gugur karenanya."
"Suhu," ujar Tan
Ciok-sing pilu, "inikan bukan kesalahanmu..."
"Memang bukan
kesalahanku." tukas Thio Tan-hong, "yang benar mereka gugur karena
aku betapapun aku amat menyesal akan nasib buruk ini. Tapi untunglah aku telah
berhasil mendapat ilham tentang jurus terakhir dari Bu-bing-kiam-hoat itu, tadi
aku kembali ke gua batu adalah untuk mcngukii jurus terakhir ini di dinding
balu dalam gua itu," sampai disim tilu tiba Thio Tan-hong mcnycimgai
sedih, katanya: "Paling ifchvk aku tidak menyia-nyiakan harapku Ibu guru
dan Hek-pek-moko, dan sekarang segalanya boleh dikata sudah kucapai dengan
sukses besar."
"Suhu berhasil dan
sukses, memang patut diberi selamat"
"Lebih menyenangkan lagi
pada detik-detik ajalku terakhir ini, aku masih berkesempatan memperoleh
seorang murid penutup, tak perlu aku kuatir bahwa Bu-bing-kiam-hoat selanjutnya
tiada mendapat pewaris," sampai disini mendadak dia bertanya kepada Tan
Ciok-sing: "In Hou punya seorang anak gadis bernama In San, dia pernah
beritahu kepadamu?"
"Sebelum akhir hayatnya
In Tayhiap pernah berpesan supaya aku serahkan buku pelajaran ilmu golok, golok
pusaka dan lain-lain kepada putrinya."
"Baiklah, kelak setelah
kau berhasil mempelajari ilmu peninggalanku ini, aku masih ada sebuah pesan
supaya kau sampaikan."
"Silakan Suhu
katakan," ujar Tan Ciok-sing.
Thio Tan-hong jemput pedang
panjang, katanya: "Pek-hong-kiam ini kuberikan kepadamu, kuharap kau tidak
menyia-nyiakannya."
"Tecu, tecu mana mungkin
berani menerima pusaka yang tidak ternilai ini..."
"Anak bodoh, pusaka dari
perguruan kita, kecuali kau kepada siapa harus kuwariskan, memangnya harus
kubawa ke liang kubur? Toa-suhengmu kini adalah cikal bakal sebuah aliran
tersendiri, taraf kepandaian silatnya, kelak mungkin masih lebih unggul dari
aku, maka dia tidak perlu memakai pedang ini."
Kalau tetap menolak, itu
berarti aieman. Terpaksa Tan Ciok-sing terima Pek-hong-kiam yang diberikan
kepadanya.
Lalu Thio Tan-hong menjemput
pedang pendek katanya: "Ceng-bing-kiam ini, kelak tolong kau serahkan
kepada putri In Hou."
Tan Ciok-sing menerimanya
dengan hormat, sahutnya: "Tecu terima perintah."
Dengan wajah berseri Thio
Tan-hong berkata lebih lanjut: "Pedang ini memangnya pusaka warisan keluarga
In, In Hou sudah meninggal, kini tinggal putrinya saja yang masih hidup dari
keluarga ln, maka pedang ini adalah pantas kalau kembali ke tangannya. Kuharap
kau maklum kemana arah tujuan dan maksudku, jikalau kalian bisa juga bergabung
memainkan sepasang pedang ini, itu jauh lebih baik."
Ceng-bing dan Pek-hong adalah
sepasang pedang yang dipakai Thio Tan-hong suami istri, pedang gabungan mereka
suami isteri pernah menggemparkan Kangouw. Kini Thio Tan-hong mewariskan
pedang-pedang itu kepada Tan Ciok-sing dan putri In Hou, malah ditambah
serangkaian kata-kata lagi, karuan Tan Ciok-sing bingung dan bimbang. "Apa
maksud Suhu sebenarnya? Apakah, apakah dia ada maksud... em, baru saja aku
masuk perguruan, dendam sakit hati belum lagi kubalas, mana boleh berpikiran
tidak genah?"
Thio Tan-hong seperti sedang
memikirkan sesuatu, sesaat lamanya mendadak dia berkata: "Bulan purnama
malam ini sungguh bagus sekali Sing-ji, coba kau petikan lagi lagu
Khong-ling-san. Kali ini harus kau lagukan selengkapnya."
Tan Ciok-sing melengak,
pikirnya: "Bagian belakang Khong-ling-san yang mengenaskan, keadaan Suhu
kelihatan agak ganjil, kalau beliau mendengar lagu yang memilukan ini mungkin
tidak menguntungkan."
Agaknya Thio Tan-hong tahu
jalan pikirannya, katanya tersenyum: "Sudah lama Khong-ling-san putus
turunan, boleh dikata lagu ini merupakan ciptaan pujangga besar jaman dulu yang
tak mungkin dibanding oleh manusia kini, jikalau aku dapat mendengar lagu ini
selengkapnya, sungguh merupakan suatu keberuntungan yang paling besar semasa
hidupku ini. Syukurlah kau pandai memetik lagu ini selengkapnya, biarlah kau
anggap sebagai hadiah kepadaku yang baru saja kuangkat murid."
Merinding Tan Ciok-sing
mendengar kata-kata gurunya, seolah-olah dia dirambati firasat jelek yang bakal
menimpa gurunya. Tapi Thio Tan-hong sudah kebacut omong, jikalau dia tidak
memetik lagu itu, bukankah kelihatan belangnya malah? Apalagi Thio Tan-hong
menitik berat persoalan pada "hadiah masuk perguruan".
Apa boleh buat terpaksa Tan
Ciok-sing memetik lagu Khong-ling-san. Semula perasaannya memang seperti
dipaksakan, tapi begitu irama harpa mengalun, tanpa terasa dia pun harus
memusatkan seluruh semangat dan perhatiannya, lambat laun dia pun tenggelam
dalam alunan musik yang mengasyikan dan mengetuk sanubari. Lama kelamaan alam
sekelilingnya dirasakan seperti kosong dan hampa, malah seakan-akan dia sudah
melupakan bahwa Thio Tan-hong berada di depannya.
Kepala Thio Tan-hong
tertunduk, mata terpejam, pikirannya terbayang pada kenangan lama, entah itu
kehidupan yang riang gembira atau pengalaman yang meresahkan atau menyedihkan,
suka dan duka sama terbayang dalam benaknya... "Adik Lui, demi memenuhi
harapanmu, merampungkan Bu-bing-kiam-hoat, sehingga kau terlalu lama
menungguku. Sebetulnya tanpa kehadiranmu di sampingku, umpama aku berhasil
meyakinkan dan menciptakan Kungfu yang paling top di dunia ini, kesenangan apa
pula yang kuperoleh."
Akhirnya petikan lagu
Khong-ling-san berakhir, pelan-pelan Tan Ciok-sing angkat kepalanya, tampak
Thio Tan-hong duduk tenang seperti padri samadi, ditunggu sekian lama tetap
tidak bergerak. "Suhu," teriak Tan Ciok-sing, setelah tidak melihat
reaksi atau jawaban Thio Tan-hong baru dia terperanjat, dengan membesarkan
hati, dia maju mendekat maksudnya
memapahnya, didapatinya Thio
Tan-hong sudah meninggal.
Seorang maha guru besar
persilatan, ternyata telah mangkat dengan tenang setelah menikmati lagu petikan
harpa yang jarang bisa didengar oleh manusia siapa saja dalam dunia ini, begitu
wajar dan bebas Thio Tan-hong pulang menghadap Yang Kuasa. Tapi Tan Ciok-sing
justeru berduka sekali.
Kembang mekar musim semi telah
tiba, kembang rontok musim semipun telaTi berselang, tanpa terasa sudah tiga
tahun Tan Ciok-sing berdiam di Ciok-lin. Selama tiga tahun ini, dalam jangka
tiga bulan dia pasti turun gunung pergi ke kota yang berdekatan membeli rangsum
dan pakaian serta peralatan sehari-hari yang diperlukan, kota yang berjarak
tiga puluhan li ini semakin gampang ditempuh dalam waktu singkat.
penduduk kota kebanyakan
orang-orang gunung yang hidup sederhana dan jujur, kepada mereka dia membeli
rangsum dan keperluan lain, dari hubungan sekian lamanya akhirnya dia punya
beberapa teman.
Hari itu dia baru saja pulang
dari kota, entah mengapa hatinya amat gundah dan masgul. Dalam hati dia
berpikir: "Tempat ini memang terasing dari dunia ramai, entah apa saja
yang telah terjadi di dunia luar sana, patutkah aku mengasingkan diri tanpa
menghiraukan masyarakat umum? Pusara kakek mungkin sudah ditumbuhi rumput liar?
Ai, dendam kakek dan In Tayhiap masih menunggu diriku untuk membalasnya. Entah
sampai dimana taraf Kungfuku? Kapan aku baru tamat belajar?"
Maklum dia belajar tanpa
bimbingan, apakah sekarang Kungfunya sudah tamat, dia sendiri tidak tahu, tapi
semakin belajar dia semakin merasakan ilmu ciptaan Thio Tan-hong yang satu ini
ternyata memang mendalam, luas dan besar sekali artinya, belajar tiga tahun
ini, seakan-akan dia hanya baru mempelajari kulitnya belaka.
Tapi mengingat tugas menuntut
balas, betapa pun dia harus belajar Kungfu. Sejauh ini dia masih merasa hasil
yang dipelajarinya sekarang masih belum cukup mampu untuk menghadapi Lui Tin¬
gak, Siang Po-san dan le Cun-hong, maka dia merasa perlu untuk belajar lebih
tekun dan rajin. Maka selanjutnya dia menekunkan diri dalam pelajaran lwekang
murni sesuai karya Thio Tan-hong, berhasil juga dia mempelajari lwekang tingkat
tinggi.
Entah berapa lamanya, mendadak
dia merasa sekujur badan panas membara, rasanya amat tersiksa, tak lama lagi
segulung arus panas tiba-tiba timbul dari pusar, dalam sekejap saja lantas
merembes ke seluruh badan. Rasa mual di dada mendadak lenyap, badan segar dan
nyaman sekali. Berhasil meyakinkan ilmu lwekangnya, lekas Tan Ciok-sing
berdiri, hatinya kejut dan girang. Pikirnya: "Menurut uraian dalam
pelajaran, agaknya aku telah berhasil menjebol Ki-king-pat-meh. Memangnya,
Iwekangku telah berhasil kuyakinkan?"
Setelah menarik napas dalam
pelan-pelan dia berjalan keluar gua, coba-coba dia berlari turun gunung. Bentuk
Kiam-hong amat curam, biasanya dia harus
mengembangkan ginkang, toh
juga harus berpegang pada akar-akar rotan, tapi sekarang dia dapat lari
seringan burung dan tangkas seperti berlenggang di tanah datar tanpa banyak
ganti napas sekaligus dia lari tutun ke tanah datar di kaki bukit.
Sang dewi malam kebetulan
bertahta di angkasa raya, air danau tenang dan mengkilap bagai permukaan kaca.
Alunan gelombangnya yang lembut menggambarkan sinar bulan yang beraneka bentuk
dan warnanya. Keadaan ini tak ubannya seperti keadaan tiga tahun yang lalu
waktu gurunya meninggal di tempat ini pula. Di pinggir danau yang sama, suasana
dan waktu yang sama pula. Tapi perasaan Tan Ciok-sing sungguh berbeda sekali.
Lama dia termenung-menung,
lalu pelan-pelan dia cabut Pek-hong-kiam pemberian gurunya, sekali sendak
berpetalah ceplok cahaya pedang, mendadak dia jejak kaki badan melambung tinggi
ke angkasa. Di kala tubuhnya meluncur turun dan hinggap di tanah, tampak
ceplok-ceplok kembang sama rontok berjatuhan di permukaan danau. Ternyata pada
puluhan kuntum kembang yang tumbuh di pinggir danau dia telah mamapasnya
sekelopak setiap kuntumnya, pohon tidak bergoyang dahan tidak bergeming.
Saking girang Tan Ciok-sing
sampai berjingkrak-jingkrak, teriaknya: "Jurus terakhir dari
Bu-bing-kiam-hoat akhirnya berhasil kupelajari juga." "Besok aku
boleh pergi meninggalkan lembah ini, sekarang aku harus pamitan kepada
Suhu," baru saja dia berniat pergi ke pusara gurunya, memberi laporan
hasil yang telah dicapainya ini terhadap arwah sang guru, mendadak
pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu yang ganjil.
Ilmu silat Tan Ciok-sing
sekarang sudah jauh berbeda dari tiga tahun yang lampau, maka pendengaran dan
pandangannya jauh lebih tajam dari orang biasa. Begitu merasakan ada sesuatu
yang ganjil segera dia mendekam menempel telinga ke bumi mendengarkan dengan
seksama. Betul juga di kejauhan didengarnya langkah dua orang yang mendatangi.
Kedua orang ini belum lama
memasuki daerah hutan batu, jaraknya masih cukup jauh untuk mencapai danau
pedang. Tapi Iwekang kedua orang ini agaknya belum setingkat Tan Ciok-sing
bahwasanya mereka belum atau tidak mendengar suara tawa Tan Ciok-sing tadi,
sebaliknya Tan Ciok-sing sudah tahu akan kedatangan mereka.
Lekas sekali suara percakapan
kedua orang itupun telah terdengar. Suaranya seperti sudah amat dikenal,
sekilas Tan Ciok-sing melengak, akhirnya dia tahu siapa yang berbicara itu,
seketika hatinya berang.
Kedua orang yang baru datang
ini bukan lain adalah Liong Seng-bu yang mengatur tipu daya mencelakai Tan
Ciok-sing dan hendak merebut pusaka yang dimilikinya, seorang lagi adalah le
Cun-hong yang pernah bergabung dengan Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu
mengeroyok Hek-pek-moko.
Didengarnya Liong Seng-bu
tengah berkata: "le-cengcu, jikalau Thio Tan-hong belum mati, kita harus
bertindak hati-hati. Menurut pendapatmu, apakah perlu aku menyaru jadi Tan
Ciok-sing bocah ingusan itu saja?"
le Cun-hong berkata:
"Kalau Thio Tan-hong belum mati, bocah itu tentu sudah menjadi muridnya,
bagaimana kau bisa memalsukan dirinya?"
Liong Seng-bu tertawa kecil,
katanya: "Aku kan bisa memutar balik persoalan, yang benar kukatakan
palsu. Aku kan memiliki kotak kayu dan Kiam-boh karyanya itu."
"Usia Thio Tan-hong
memang sudah lanjut dan mungkin sudah jompo, kurasa sukar kau dapat ngapusi
dia."
"Ie-cengcu," ujar
Liong Seng-bu, "'kita kan tahu kalau bukan tandingan Thio Tan-hong, maka
akalku ini kurasa perlu dicoba, meski menyerempet bahayapun juga
setimpal."
Sesaat lamanya baru terdengar
le Cun-hong berkata: "Menurut apa yang kutahu, tiga tahun yang lalu, Le
Khong-thian bersama Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin pernah meluruk ke
Ciok-lin, tapi sampai sekarang tak pernah dengar kabar berita mereka. Entah
terbunuh oleh Thio Tan-hong, atau Thio Tan-hong yang berhasil dibunuh mereka?
Atau mungkin pula mereka gugur bersama? Akan tetapi, baiklah mereka kita
perhitungkan yang paling buruk, bila mereka yang terbunuh oleh Thio Tan-hong,
sekarang Thio Tan-hong sudah tua renta, setelah mengalami pertempuran sengit,
sedikit banyak pasti terluka dalam, yakin dengan golok cepatku, pasti takkan
terkalahkan olehnya?"
"Jadi kita putuskan untuk
menggunakan kekerasan?" kata Liong Seng-bu.
Ie Cun-hong berpikir sejenak,
katanya: "Tujuan kita hanya mencari tahu keadaan. Boleh kau masuk
memeriksa keadaan didalam, aku akan sembunyi..." sembari bicara merekapun
telah tiba di mulut jalanan yang menuju ke danau pedang.
Tan Ciok-sing tidak tahan
lagi, segera dia melompat keluar sambil membentak: "Kawanan tikus juga
berani mengganggu guruku."
Liong Seng-bu berjingkat,
teriaknya: "Saudara cilik, kau..." -"Sret" pedang Tan
Ciok-sing tahu-tahu sudah menusuk tiba.
"Trang" sekenanya
Liong Seng-bu menangkis, kembang api berpijar. Tahu-tahu pedang panjang di
tangan Liong Seng-bu sudah kutung menjadi dua. Dalam kerepotan untuk
menyelamatkan diri, lekas dia jumpalitan seperti burung dara jungkir balik di
udara, melompat jauh tiga tombak, seketika dia merasa kulit kepalanya silir dan
dingin. Waktu dia raba, ternyata sebagian rambut kepalanya tercukur sebagian.
Hanya segebrak bukan saja Tan
Ciok-sing mengutungi pedangnya, hampir saja kulit kepalanyapun dibeset oleh
pedang Tan Ciok-sing, karuan bukan main rasa kaget Liong Seng-bu. Tapi Tan
Ciok-sing sendiri juga merasa diluar dugaan.
Maklum jiwa Tan Ciok-sing
jujur dan bajik, tusukannya tidak bermaksud menamatkan jiwa Liong Seng-bu,
maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja. Tiga tahun yang lalu kepandaian Liong
Seng-bu memang lebih tinggi, tapi juga tidak terpaut banyak, oleh karena itu,
Tan Ciok-sing kali ini tidak menggunakan jurus mematikan dari Bu-bing-kiam-hoat
yang telah berhasil dipelajarinya. Walau demikian, dia yakin Liong Seng-bu
takkan mampu menahannya. Dia kira Liong Seng-bu pasti takkan mampu melawan atau
menangkis gerakan pedangnya yang cepat, hiat-to lawan pasti tertusuk dan
menggeletak tak bergerak.
Pedang Liong Seng-bu memang
tertabas kutung, tapi betapapun orang telah menangkis serangannya, meski hanya
segebrak saja, tapi Tan Ciok-singpun tak mampu menusuk hiat-to orang.
"Apakah latihan ilmu
pedangnya kini sudah jauh lebih tinggi? Atau ilmu pedang yang kupelajari
hakikatnya belum tamat dan sempurna?" demikian batin Tan Ciok-sing.
Saking kaget dan jeri seperti
copot arwah Liong Seng-bu, lekas dia berteriak ke belakang serakan batu,
teriaknya melengking: "Bocah ini liehay sekali, Ie-cengcu, le-cengcu,
lekas, lekas kau ke mari."
000OOO000
Bahwasanya Ie Cun-hong tidak
melihat gebrakan yang berlangsung di antara mereka barusan. Begitu dia memasuki
mulut jalanan yang menuju ke danau pedang, sorot matanya lantas ketumbuk pada
dua gundukan tanah di sebelah sana. Gundukan tanah yang pusara ini satu adalah
kuburan Hek-pek-moko kawan Thio Tan-hong dari bangsa India. Sebuah lagi adalah
kuburan Thio Tan-hong.
Melihat kedua kuburan ini,
girang Ie Cun-hong tak ubahnya rasa kaget Liong Seng-bu sekarang, keadaannya
sama-sama diluar dugaan. Di kala Liong Seng-bu berteriak-teriak minta tolong,
diapun bersorak seperti orang putus lotre: "Thio Tan-hong sudah mati,
sudah mati."
Thio Tan-hong yang paling
ditakuti sudah mati, pembantu utamanya yang amat diandalkan yaitu Hek-pek-moko
juga sama-sama mati, sudah tentu Ie Cun-hong tidak pandang sebelah mata
terhadap Tan Ciok-sing, bocah yang masih bau pupuk bawang ini? "Hehehe,
bocah ini mampu berbuat apa? Liong-siangkong, jikalau kau takut, silakan
menyingkir agak jauh, biar aku yang bereskan dia," demikian seru Ie
Cun-hong pongah sambil terloroh-loroh.
Sayang Tan Ciok-sing tidak
yakin akan diri sendiri, dia tahu Ie Cun-hong adalah gembong silat yang cukup
tinggi kepandaiannya, jauh lebih hebat dibanding Liong Seng- bu, pikirnya:
"Mungkin aku bukan tandingannya, tapi hari ini aku harus berani adu jiwa
dengan
dia."-"Sret"
pedangnya segera
melancarkan jurus yang
mematikan.
Ie Cun-hong luas pengalaman,
melihat serangan pedang Tan Ciok-sing mengambang, mirip jurus Hong-wi-loh-coan
dari Ceng-seng¬ pay, tapi juga mirip jurus Tui-jui-hu-ceng dari Siong-san-pay,
gaya pedangnya bergerak melingkar seperti bundaran gelang, dimana letak
kehebatannya sukar diraba, karuan dia tertegun, "Ilmu pedang macam apa
ini?" Cepat sekali ujung pedang Tan Ciok-sing sudah memantulkan setitik
sinar dingin, mendadak sudah menusuk tiba di depan matanya, cahayanya yang
terang menyilaukan mata.
Tiba-tiba Ie Cun-hong
menundukkan kepala, berbareng golok cepatnya membabat, balas menyerang dia berusaha
membela diri, pedang dan golok tidak kebentur, tapi terdengar suara
"Bret" lengan baju Ie Cun-hong terpapas sebagian, tapi kain ikat
pinggang Tan Ciok-sing juga putus oleh babatan golok lawan. Senjata tidak
beradu, masing-masing dirugikan sedikit, tapi hanya pakaiannya saja yang rusak,
maklum serangan kedua pihak sama cepat.
Sebetulnya jurus yang
dilancarkan Tan Ciok-sing dapat mengakibatkan Ie Cun-hong mati seketika atau
luka parah, sayang dia kurang yakin akan kehebatan ilmu pedang yang baru saja berhasil
diyakinkan, sedikit banyak dia masih gugup dan tegang, sehingga Ie Cun-hong
mendapat angin, gebrak permulaan ini boleh terhitung seri sama kuat.
Diam-diam le Cun-hong amat
kaget, "bocah ini ternyata sudah terlatih baik," bahwasanya dia belum
tahu bahwa Tan Ciok-sing belum lagi memboyong kemahiran yang sesungguhnya.
Karena lengan bajunya sobek dia naik pitam, bentaknya: "Anak keparat,
berani kau melawan aku. Dalam jangka sepuluh jurus, aku orang she Ie kalau
tidak mampu membunuhmu, bersumpah aku takkan bercokol di dunia ini. Setelah
kurenggut jiwamu, baru nanti kubongkar kuburan Thio Tan-hong."
Mendengar orang hendak
membongkar kuburan gurunya, Tan Ciok-sing betul-betul naik pitam, hardiknya:
"Berani kau?" di kala dia bicara dua patah kata ini, sekaligus Ie
Cun-hong telah melancarkan tiga puluh enam jurus bacokan golok, ada yang satu
jurus tiga gerakan, ada pula yang sejurus empat variasi, pendek kata, jumlah
serangannya jelas sudah melebihi sepuluh jurus, Tan Ciok-sing cuma balas
menyerang tujuh jurus, hanya sekali pedangnya beradu dengan golok lawan, tajam
golok le Cun-hong gumpil sebagian.
Tan Ciok-sing tenawa mengejek:
"Sudah lewat sepuluh jurus, bukankah tadi kau bersumpah? Memangnya kau ini
bukan manusia, tak peilu aku menuntut sumpahmu tadi."
Merah padam wajah Ic Cun¬
hong, sedapat mungkin dia menekan hawa nafsunya, pikirnya: "Bocah ini
memakai pedang pusaka, aku harus kembangkan ilmu golok cepat supaya dia tidak
bisa mengutungi golokku," maka sambil kertak gigi dia nekad melawan dengan
sengit, permainan goloknya dikembangkan semakin cepat, deru angin menimbulkan
lesus yang kencang.
Berpedoman pada petunjuk Thio
Tan-hong, di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh, dengan membekal keyakinan
ini dimana sorot matanya bekerja, yang dilihatnya hanya ujung golok lawan saja.
Musuh tangguh atau lemah sudah tidak menjadi perhatiannya lagi.
Bu-bing-kiam-hoat mengutamakan
gerakan enteng, menyesuaikan gelagat dan berubah menurut situasi, kegunaannya
serba lengkap. Begitu lawan membacok tiba, secara reflek akan merubah gerakan
melayani dan memunahkan serangan lawan dengan gerakan yang wajar dan tidak
menggunakan sistimatis, namun setiap gerak dan perubahan itu justru mencakup
berbagai Kungfu dari segala aliran. Semakin gencar Ie Cun-hong memberondong
semakin terasa bahwa permainan pedang bocah ini semakin menakjubkan dan sekokoh
dinding baja. Sebetulnya permainan ilmu goloknya sudah diakui oleh umum
merupakan ilmu golok yang paling ruwet dengan beraneka macam gerak perubahan
dan-variasi, tapi ilmu pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing sekarang justeru
beratus kali lebih luas dan rumit, bukan saja lebih ragam tapi juga hebat dan
lebih tinggi mutunya dibanding ilmu golok sendiri. Sehingga semakin lama
keadaan le Cun-hong makin payah, karuan tak kepalang kaget, bingung dan resah
hatinya.
Semula Tan Ciok-sing tidak
dilandasi keyakinan pada diri sendiri, tapi semakin lama, sikap tempurnya
semakin tenang dan mantap. Pikirnya: "Aneh, tiga tahun yang lalu, waktu
aku meyaksikan permainan ilmu goloknya tidak bisa kuikuti dengan jelas, tapi
kini terasa permainannya bukan saja jelas, tapi juga terasa sepele dan biasa
saja, agaknya permainannya mundur dan tidak lebih cepat dari tiga tahun yang
lalu?"
Yang benar bukan karena ilmu
silat Ie Cun-hong mundur, tapi kemajuan yang dicapai Tan Ciok-sing selama tiga
tahun ini yang melampaui lawannya, maka apa yang dibanggakan Ie Cun-hong
sebagai "golok cepat", dalam pandangannya sekarang hanya biasa saja.
Semakin tempur gerakan kedua
pihak semakin keras dan cepat, Tan Ciok-sing telah kembangkan Bu-bing-kiam-hoat
selengkapnya tanpa terasa permainannya sekarang betul-betul sudah mencapai
taraf yang dapat dibanggakan. Sinar pedang dan kilat golok saling samber,
laksana berpacu. Bagi Ie Cun-hong terasa bayangan Tan Ciok-sing berada di delapan
penjuru. Baru sekarang dia diam-diam merasa menyesal, kenapa memandang enteng
lawan cilik ini. Tapi menyesal pun sudah kasep, dalam keadaan yang sudah
kebacut seperti ini, ada hasratnya melarikan diri, tapi tak kuasa dia menerjang
lolos dari kepungan jaringan cahaya pedang.
Pada puncaknya mendadak
Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing memelintir balik dengan putaran kencang, kembang
cahaya yang tercipta dari pedang pusaka itu seperti bintang-bintang di langit
beterbangan di udara, sehingga gelombang golok yang digetarkan oleh permainan
golok le Cun-hong semua ditolak kembali. Sekonyong-konyong Ie Cun-hong
berteriak sekali, tubuhnya melambung jumpalitan sejauh tiga tombak.
Tan Ciok-sing melengak,
pikirnya: "Dia belum kalah, kenapa mau lari, mungkin mau menipu aku?"
bentaknya: "Kalau berani jangan lari, hayo lawan aku tiga ratus gebrak
lagi," sembari bicara dia melintangkan pedang sambil pasang kuda-kuda,
seluruh perhatiannya tertuju ke arah lawan, menunggu reaksinya.
Tapi terlihat olehnya Ie
Cun-hong berdiri sempoyongan, darah tampak meleleh dari ujung mulutnya,
tiba-tiba "Bluk" dia terjatuh dan menggeletak. Sudah tentu Tan
Ciok-sing tidak percaya bahwa Raja Golok yang kenamaan ini, betul-betul sudah
mati terbunuh oleh dirinya, sesaat kemudian Ie Cun-hong tetap tidak bergerak,
maka dia maju mendekat, sekali kaki bergerak dia bikin tubuh Ie Cun-hong
terguling dua kali, baru sekarang dia tahu bahwa Ie Cun-hong memang sudah mati.
.
Kaget dan senang hati Tan
Ciok-sing, batinnya: "Kalau tahu dia begini tidak becus, waktu bergebrak
tadi seharusnya aku tidak menggunakan sepenuh tenaga, supaya dia tetap hidup
dan tertawan untuk meminta keterangannya."
Maklum Tan Ciok-sing tidak
yakin akan kemampuan sendiri, kuatir bukan tandingan si "Raja Golok",
maka begitu ada peluang, secara reflek dia merangsak gencar sekuat tenaga.
Malah pada jurus serangan terakhir, ujung pedangnya berhasil menusuk Hiat to
mematikan tubuh lawan, lapi dia sendiri masih belum tahu.
Menyesal juga Tan Ciok sing,
kalau dirinya bisa mengalahkan lawan, seharusnya ditawan hidup-hidup. Ternyata
dia ingin mengompres keterangan dari mulut le Cun-hong untuk menjawab tanda
tanya yang selama ini masih mengganjel sanubarinya yaitu apakah
It-cu-king-thian Lui Tin-gak sekomplotan dengan mereka, kini Ie Cun-hong sudah
mati, tanda tanya ini mungkin akan selalu bersemayam dalam benaknya.
Ie Cun-hong sudah mati, kan
masih ada Liong Seng-bu. "Mungkin Liong Seng-bu juga tahu akan rahasia
komplotan mereka?" demikian batin Tan Ciok-sing. "Liong
Seng-bu," teriaknya, "keluar kau, aku tidak membunuhmu. Aku hanya
ingin kau berbicara jujur kepadaku." Suasana hutan batu hening lelap,
hanya suara air mengalir yang gemericik. Tapi bayangan Liong Seng-bu sudah
tidak kelihatan lagi. Tan Ciok-sing sudah jelajahi seluruh pelosok hutan batu
ini, namun jejak Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.
"Sudah tiba saatnya aku
harus meninggalkan hutan batu ini. Sebetulnya tak perlu aku mengompres
keterangan Ie Cun-hong, meskf kematian kakek bukan langsung di tangan Lui
Tin-gak, jelas pasti dialah biang keladinya. Kalau tidak masakah kebetulan
waktu itu dia berada di Cit-sing-giam pada peristiwa itu terjadi.
Liong Seng-bu keparat ini biar
kesempatan lain kubuat perhitungan sama dia, masih banyak urusan lain yang
perlu kubereskan," lalu Tan Ciok-sing kembali ke gua batu, dia benahi
bekalnya, sekilas dilihatnya sepasang pentung Hek-pek-moko, sesaat dia jadi
bingung, sudah tiga tahun lamanya, tapi tiada murid keturunan mereka yang
datang untuk mengambilnya.
Kedua tongkat coklat, bersama
Pek-hong dan Ceng-bing-kiam merupakan senjata pusaka yang jarang ada di dunia
ini, pedang sih gampang dibawa kemana-mana, tapi kedua tongkat itu agak
menyulitkan, dibawapun menarik perhatian orang, disimpan juga susah. Terpaksa
Tan Ciok-sing memendamnya didalam kamar batu, setelah keluar dia sumbat mulut
gua dengan batu besar. Dipandang dari bawah Kiam-hong, kalau orang tidak tahu
di atas puncak ada gua batu, orang takkan bisa menemukannya. Apalagi bentuk
Kiam-hong cukup curam dan tinggi laksana tonggak, tidak banyak orang yang mampu
manjat ke atas, maka yakin lebih jarang pula orang yang mampu manjat ke atas,
maka yakin lebih jarang pula orang yang bakal menemukan gua itu. Kalau
betul-betul sampai tercuri orang, ya apa boleh buat.
Di depan pusara gurunya dia
berdoa: "Hari ini Tecu mohon diri untuk berpisah dengan kau orang tua,
pesanmu pasti akan kulaksanakan. Semoga Suhu di alam baka melindungi Tecu
sehingga berhasil menuntut balas," lalu dia duduk bersimpuh serta memetik
lagu Khong-ling-san sebagai sesajen perpisahan.
Rasa sedih dan senang serta
terhibur sama menggelitik sanubari Tan Ciok-sing, pikirnya:
"Khong-ling-san pernah putus turunan selama ribuan tahun, tapi apakah ilmu
pedang guru tidak bisa menjadi Khong-ling-kiam? Kelak pasti kuserahkan kepada
Toa-suheng biar dia yang mengembangkan dan mewariskan kepada generasi
mendatang." Dia tahu angan-angan terbesar gurunya setelah menanjak lanjut
usia, yaitu menguatirkan Bu-bing-kiam-hoat hasil jerih payahnya akan putus
turunan seperti Khong-ling-san.
Keluar dari hutan batu, terasa
cahaya mentari terang benderang, cuaca cerah hawa sejuk. Tapi perasaan Tan
Ciok-sing justeru dirundung kekesalan. Dunia seluas ini, kemana sekarang dia
harus pergi, sesaat dia berdiri menjublek sukar mengambil keputusan.
"Mati dan perpisahan
adalah sesuatu yang menyedihkan. Kakek sudah lama mati, pulang ke kampung
halaman pun aku tetap takkan bertemu dengan beliau, hanya besar hasrat juga
untuk bersembahyang di depan pusaranya. Sebaliknya nona In menunggu selama tiga
tahun, selama itu sang ayah yang ditunggu-tunggu tak juga kunjung tiba. Ai,
mati hidup sang ayah masih merupakan teka-teki, menunggu sekian lama ini betapa
hatinya takkan rindu dan kuatir? Yakin penderitaan lahir batinnya pasti akan
lebih berat dari pada ia tahu kalau ayahnya sudah lama meninggal."
demikian batin Tan Ciok-sing.
"Penduduk kampung kemarin
dulu pernah memberi tahu bahwa pasukan Watsu telah menyerbu perbatasan dan kini
mengepung Gan-bun-koan. Kampung halaman In Tayhiap berada di Tay-tong, letaknya
persis di daerah Gan-bun-koan. Jikalau aku tidak lekas kesana mencari nona In,
kalau peperangan sudah berlangsung, pasti sukar menemukan dia. Apalagi dia
seorang gadis yatim-piatu, sebatangkara lagi, meski memiliki Kungfu, dalam masa
kekacauan yang berkecamuk ini, keselamatannya tentu selalu mengalami bahaya.
Jikalau terjadi sesuatu atas dirinya, bagaimana aku harus bertanggung jawab
kepada Suhu yang telah berpesan sebelum ajalnya? Bukankah mengecewakan In
Tayhiap pula yang telah mempercayakan putrinya padaku?"
"Barang warisan In
Tayhiap dan Ceng-bing-po-kiam milik Subo harus secepatnya kuserahkan kepada
nona In. Soal inilah yang harus kukerjakan lebih dulu. Tak boleh aku membuatnya
menunggu lagi lebih lama. Tentang dendam sakit hati kakek tertunda lagi
beberapa lama juga tidak jadi soal," setelah berpikir-pikir akhirnya Tan
Ciok-sing ambil putusan, soal menuntut balas boleh ditunda, lebih dulu ia harus
menuju ke Tay-tong mencari putri In Hou.
Dari Ciok-lin pergi ke
Tay-tong yang terletak di San-he, lebih jauh dari sini pergi ke kampung
halamannya. Setiba di dusun di bawah gunung, dia membeli seekor keledai sebagai
tunggangan, di tengah jalan sering dia ketemu rombongan pengungsi, dari mereka
dia tanya letak kota Tay-tong serta ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.
Tahu bahwa dia hendak pergi ke
Tay-tong, para pengungsi itu mengunjuk rasa heran dan curiga, tapi mereka
memberi keterangan juga. Jalan raya yang harus ditempuhnya sekarang adalah
menjurus ke selatan, lalu belok ke barat serta menuju ke utara pula, lewat Jwan-tang
masuk Ouw-pak menembus Ho-lam terus masuk ke San-he. Jalan yang ditempuh ini
jauh lebih aman, cuma jaraknya lebih jauh, untuk mencapai tujuan, sedikitnya
dia harus memakan waktu tiga bulan.
Jalan lain yang bisa juga
ditempuhnya menuju utara, dari Tayli masuk ke Jwan-se, menembus Han-tiong,
lewat Siam-pak lalu langsung menuju ke San-he. Jaraknya lebih dekat maka akan
lekas sampai ke tempat tujuan pula, tapi jalan yang harus ditempuhnya lebih
sukar karena kebanyakan jalan pegunungan. Sepanjang jalan ini sering diganggu
brandal atau penyamun. Kalau perjalanan ditempuh dengan cepat, kira-kira dua
bulan sudah bisa tiba di tempat tujuan.
Mengingat dia perlu segera
tiba di tempat tujuan, maka Tan Ciok-sing memilih jalan pendek. Dari Ciok-lin
dia menuju ke Tayli, perjalanan sejauh seribu li seluruhnya jalan pegunungan
yang berliku-liku, berbahaya lagi, terutama di lamping gunung yang jalannya
berbatu dan lenggang lenggok, turun naik pula. Untung keledai yang dibelinya
ini sudah biasa jalan .di atas pegunungan, sehingga perjalanannya tidak terlalu
banyak terganggu.
Sudah lima hari dia menempuh
perjalanan, dirinya masih di tengah pegunungan. Untung In-lan termasuk daerah
tropis, hawanya sejuk cuaca baik.
Hari itu Tan Ciok-sing
mencongklang keledainya melalui sebuah selat gunung yang jalannya merambat ke
atas secara melingkar, tiba-tiba di depan sana kumandang suara seorang yang
bersenandung dengan nada tinggi berisi. Belum selesai laki-laki ini
bersenandung tiba-tiba didengarnya pula suara gadis tertawa serta berkata:
"Piauko selamanya belum pernah aku melihat kau seriang sekarang. Soal apa
sih yang membuatmu senang?"
Laki-laki itu berkata:
"Aku kuatir kau menderita dalam perjalanan. Tadi bukankah kau masih juga
kangen akan kampung halaman?"
Pada waktu itu keledai Tan
Ciok-sing sudah turun dari pinggang gunung, dilihatnya di bawah pohon besar di
pinggir jalan sana tertambat dua ekor kuda putih, dengan pelananya serba putih
pula terbuat dari perak. Tan Ciok-sing tidak pandai menilai kuda, tapi melihat
bentuk kedua kuda putih ini, dia yakin pasti kuda jempolan.
Melihat ada orang lewat
mendekat, si gadis seperti malu bermanis madu di depan orang yang tidak
dikenal, cepat dia menunduk serta ajak bicara kepersoalan lain: "Orang
sering bilang Thian-cu-bio paling tinggi dan Ang-wa-poh paling berbahaya,
ternyata memang tidak bernama kosong."
"Kiranya aku kini sudah
tiba di daerah Ang-wa-poh," demikian batin Tan Ciok-sing. Dia tahu, dua
hari perjalanan lagi dirinya akan tiba di Tayli, perjalanan dua hari mendatang
jauh lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang, semangat yang semula
sudah luluh, seketika berkobar pula.
Didengarnya laki-laki itu
sedang berkata: "Orang sering berkata, panorama di Tayli paling memukau.
Setelah menempuh perjalanan jauh yang serba berbahaya ini baru terasakan
kebenarannya. Tuhan Yang Maha Kuasa memang adil menata semua ini, seseorang
harus mengalami derita kehidupan baru akhirnya menikmati kesenangan nan
tentram. Begitulah gelombang kehidupan manusia umumnya."
Seperti mendengar kotbah saja
Tan Ciok-sing manggut-manggut, diam-diam timbul keinginannya berkenalan dan
bersahabat dengan sepasang muda mudi ini, maka dia bedal keledainya ke bawah
serta membelokkannya ke bawah sebuah pohon besar lain yang tak jauh dari tempat
duduk sepasang muda mudi itu.
Melihat Tan Ciok-sing seperti
anak desa yang sederhana, pakaiannya penuh debu lagi, tapi menggendong sebuah
harpa kuno, diam-diam si gadis menaruh perhatian padanya, tapi hanya sekilas
dia melirik terus berpaling lagi bicara dengan sang pemuda yang dipanggilnya
Piauko. Ternyata sang Piauko lebih menaruh perhatian terhadap Tan Ciok-sing,
tapi diapun tidak menyapa. Malah sikapnya kelihatan sengaja dingin terhadap Tan
Ciok-sing.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
merasakan juga sikap dingin dan kaku kedua muda mudi ini.
Kalau mau sebetulnya dia bisa
turunkan harpanya serta memetik sebuah lagu untuk menarik perhatian sang pemuda
sehingga orang akan ajak bicara padanya, tapi dia berpikir: "Menilai
seseorang tak boleh dari sikap lahiriah dan tampangnya, bukankah Liong Seng-bu
kelihatan cakap, ramah tamah dan terpelajar? Sudah tentu muda mudi ini belum
tentu setype dengan Liong Seng-bu, tapi hanya mendengar beberapa patah
percakapan mereka lantas ingin bersahabat, bukankah aku ini terlalu Jenaka,
apalagi mereka sepasang kekasih, kehadiranku disini jelas mengganggu kesenangan
mereka?"
Benar juga pikirannya,
terdengar sang gadis berkata sambil berdiri: "Piauko, kita berangkat
yok."
"Betul," ucap si
pemuda, "lebih baik cepat-cepat menempuh perjalanan, mungkin besok tengah
hari kita sudah bisa tiba di Tayli," mereka mencemplak kuda putih terus
dicongklang dengan pesat.
Tak enak Tan Ciok-sing ikut
segera berangkat, dia tetap istirahat di bawah pohon. Dilihatnya waktu kedua
orang itu hampir membelok ke tikungan di depan sana, entah sengaja atau tidak
si pemuda menoleh ke arah dirinya. Dilihatnya pula si gadis mendekatkan kudanya
serta mengulur leher membisiki apa-apa di pinggir telinga si pemuda.
Sebetulnya pemuda itu seorang
ahli dan berpengalaman soal Kangouw, jauh lebih teliti dan cermat dari sang
Piaumoay, kalau sang Piaumoay hanya memperhatikan harpa kuno yang digendong Tan
Ciok-sing, tapi si pemuda juga telah menaruh perhatian pada dua bilah pedang
pusaka yang dibawanya. Belum lama dan tentunya belum begitu jauh kedua muda
mudi ini pergi, tiba-tiba didengarnya suara bunyi tanduk ditiup panjang seperti
terompet, disusul suara suitan nyaring bunyi dari bidikan panah bersiul. Bila
hembusan angin pegunungan tiba, sayup-sayup terdengar suara berisik dan gaduh dari
banyak orang yang sedang berkelahi.
Karuan Tan Ciok-sing kaget,
lekas dia melompat ke punggung keledainya terus dibedal ke depan sana, tampak
kira-kira tiga li di depan sana tepatnya di bawah sebuah lereng gunung,
sepasang muda mudi itu sedang dikeroyok kawanan brandal dan terkepung rapat.
Sepanjang pinggir jalan lereng
gunung itu penuh ditumbuhi rumput setinggi manusia, dalam semak-semak itulah
kawanan brandal menyembunyikan diri. Begitu mereka mencongklang tiba kudanya,
dari dalam semak-semak rumput sama bermunculan gantolan-gantolan panjang,
karena tidak menduga, kaki depan kudanya tergantol sehingga sang kuda
tersungkur ke depan, dan si gadis jatuh dari punggung kudanya. Tapi si pemuda
lebih tangkas, dalam saat-saat gawat itu, pecut di tangannya mendadak
menggeletar, ujung cambuk membelit naik dari bawah, belum lagi kaki si gadis
menyentuh tanah, tumitnya sudah terbelit cambuk, sekali sendai lagi tubuh si
gadis yang hampir ambruk itu tiba-tiba melejit mumbul pula dan tepat melayang
turun dan duduk di belakang sang Piauko. Tapi kuda putih tunggangannya sendiri
sudah dibekuk oleh pentolan brandal.
Cepat sekali kawanan brandal
itu sudah merubung maju. Si pemuda menghardik: "Bagus, biar kuberi sedikit
persen pada kalian bangsat kecil ini." Karena tidak membawa senjata
rahasia, terpaksa dia merogoh segenggam uang tembaga, Terdengar suara gerincing
yang ramai, tiga senjata musuh kena dipukul terbang, dua orang lagi tertimpuk
uang tembaga jatuh terguling-guling.
Tapi ada seorang laki-laki
perawakan gagah tampang bengis ternyata cukup liehay, hanya sekali tangan
meraih, lima keping uang tembaga kena ditangkapnya terus ditimpuk balik ke arah
si pemuda. Sekali pukul dengan Bik-khong-ciang si pemuda merontokkan uang-uang
tembaga yang hampir makan tuannya, tapi ada satu di antaranya menyerempet
pelipis si gadis. Dan sini dapatlah dinilai bahwa tenaga dalam laki-laki kasar
ini sesungguhnya tidak kalah dari si pemuda.
"Piauko," teriak si
gadis, "pedang pendekku ..." kiranya waktu dia terjungkel jatuh dari
punggung kuda, pedang pendek kesayangannya baru saja terlolos keluar, karena
tubuh kebacut terjerembab sehingga dia tak kuasa memegangnya dan jatuh ke
tanah.
Terpaksa si pemuda putar balik
tunggangannya, cambuk terayun ujung cambuknya menggulung pedang pendek yang
menggeletak di tanah, sekali sendai pula pedang pendek yang tergulung di ujung
cambuk yang panjang itu tiba-tiba meluncur ke depan sana menusuk ke tenggorokan
laki-laki kasar itu, karuan laki-laki gagah bertampang bengis itu terkejut dan
melompat mundur.
Tusukan pedang pendek itupun
hanya gertakan saja, lekas sekali si pemuda sudah tangkap pedang pendek sang
Piaumoay terus cemplak kuda kabur dari kepungan.
Agaknya si gadis masih tidak
terima, teriaknya: "Piauko, kuda tunggangan kita sebetulnya merupakan
pasangan juga..." jelas maksudnya merasa sayang kalau kudanya terampas
oleh kawanan brandal.
Si pemuda tertawa dan berkata
lirih: "Piaumoay, asal kita selalu berdampingan, apa halangannya kuda ini
kehilangan temannya, kelak kita masih bisa merebutnya kembali."
Merah muka si gadis, katanya:
"Piauko, memang kau yang betul hayo kita lekas pergi!" dia maklum
dalam keadaan seperti ini, meski Kungfu sang Piauko tinggi, jelas takkan kuat
menghadapi keroyokan kawanan brandal sebanyak itu, kehilangan seekor kuda tidak
jadi soal dari pada jiwa sang Piauko melayang, terpaksa dia merelakan kudanya.
Kuda yang memuat dua orang
ternyata larinya masih kencang. Pentolan berandal menimpuk tiga batang Piau
terbang, dua batang dipukul jatuh oleh cambuk si pemuda, piau ketiga jatuh
belasan langkah di belakang mereka.
"Sayang, sayang,"
ujar pentolan brandal, "bakpau yang sudah di depan mulut terlepas
lagi."
Seorang Thaubak segera
menghibur: "Untung kita berhasil merampas kudanya yang bagus ini, tidak
sia-sia perjalanan ini."
Seorang laki-laki yang menjadi
wakil pentolan brandal itu tengah menundukkan kuda putih yang berhasil mereka
rebut itu. Paha kuda teriuka oleh gantolan besi, darah meleleh, lehernya sudah
terjirat kencang, tapi dia masih bedal-bedal dan meronta-ronta. Wakil pentolan
brandal itu coba menungganginya serta dilarikan ke lereng sana, mendadak dia
berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, hampir saja dia terjungkal jatuh dari
punggung kuda.
Berkerut alis kepala brandal,
serunya: "Loji, kemarilah, biar aku yang mencoba."
Jengah selebar muka wakil
pentolan brandal, katanya: "Sifat liar kuda ini sukar di tundukkan,
mungkin hanya tenaga Toako yang hebat itu dapat menundukkan dia."
Baru saja pentolan brandal
maju menghampiri, tiba-tiba
didengarnya salah seorang anak
buahnya berteriak girang: "Eh, datang satu lagi."
Waktu kepala brandal ini
berpaling, dilihatnya seorang pemuda tanggung berpakaian orang desa tengah
mendatangi mencongklang keledai kurus kecil. Pemuda ini memanggul sebuah kotak
panjang, entah barang apa isinya. Tapi pinggangnya kelihatan menonjol, bagi
kepala brandal yang pengalaman ini sekilas pandang lantas tahu bahwa yang
disembunyikan dibalik baju tersebut terdapat dua bilah pedang panjang dan
pendek. "Bocah ini agak aneh kelihatannya," demikian pikirnya, segera
dia membentak: "Bocah keparat, siapa kau, untuk apa kau kemari?"
"Kalian siapa? Apa
kerjanya disini?" Tan Ciok-sing balas bertanya.
Kawanan brandal bergelak
tertawa, kata salah seorang: "Ah, kiranya bocah sinting, Toako, tak usah
dihiraukan, sikat saja sekalian."
Maka berhamburanlah anak panah
ke arah Tan Ciok-sing. Lengan baju Tan Ciok-sing yang longgar dan panjang
dikebutkan kian kemari menimbulkan deru angin kencang, anak panah rontok dan
bertaburan jatuh. Tapi hanya dia sendiri yang selamat, celaka adalah keledainya
yang terpanah beberapa batang, cepat Tan Ciok-sing lompat turun sebelum
keledainya ambruk binasa. Teriaknya: "Keledai ini adalah harta kekayaanku,
kalian
membunuhnya, hayo lekas
ganti."
Kawanan brandal sama bergelak geli,
serunya: "Kau ini pura-pura pikun atau memang goblok? Membunuh orang pun
kita tidak perlu ganti jiwa, apalagi membunuh seekor keledaimu, berani kau
minta ganti malah?"
Pentolan brandal membentak:
"Baiklah, kau ke mari, tunjukan beberapa gebrak permainanmu, bila
mencocoki seleraku nanti kuganti berlipat ganda."
Kata Tan Ciok-sing:
"Hidupku hanya menangkap burung memancing ikan, permainan apa pula yang
kubisa. Tapi aku tahu aturan, hutang jiwa bayar jiwa, hutang harta bayar uang,
kalau kau tidak mau ganti, aku akan gugat kalian," dengan mengembangkan
ginkang Pat-pou-kan-sian, dalam jarak yang dekat ini, larinya melebihi
kecepatan kuda kencang, cepat sekali dia sudah tiba di lereng dimana kawanan
brandal masih bergerombol.
Baru sekarang kawanan brandal
itu insaf bahwa bocah kampungan yang tidak terpandang ini ternyata memiliki
kepandaian yang liehay, tapi mengingat dia hanya bocah ingusan seorang diri
lagi, maka mereka tetap tidak memandangnya sebelah mata. Beramai-ramai mereka
merubung maju.
Kepala brandal tiba-tiba
berteriak: "Awas kalian," belum lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya
cahaya terang kemilau menyilau mata, kiranya pedang Tan Ciok-sing telah
terlolos keluar. Belum lagi kepala brandal ini melihat jelas, delapan brandal
yang merubung maju itu sekaligus roboh terkapar. Jumlah kawanan brandal ini
kira-kira belasan orang, kini separoh di antaranya dalam segebrak telah
dirobohkan. Tiada satupun yang kuasa bersuara atau bergerak, tapi tidak pula
tampak badan mereka cidera mengeluarkan darah.
"Celaka," teriak
kepala brandal, "bocah ini pandai ilmu siluman," sudah tentu kepala
brandal ini tidak tahu kalau anak buahnya sekaligus dalam segebrak itu telah
tertusuk hiat-tonya oleh kecepatan gerak pedang Tan Ciok-sing, maka dia kira
anak buahnya terbunuh oleh ilmu siluman bocah cilik ini."
Kaget dan marah pula kepala
brandal ini, tetap bercokol di punggung kuda putih dia ayun golok besar yang
berpunggung tebal itu terus membacok dengan Lat-pi-hoa-san mengincar batok
kepala Tan Ciok-sing. Cepat Tan Ciok-sing angkat pedangnya menangkis,
"Trang" lelatu api meletik, ujung golok berpunggung tebal milik
kepala brandal ternyata tertabas kutung. Tapi Tan Ciok-sing juga rasakan
pergelangan tangannya kesemutan, hanpir saja Pek-hong-kiam tak kuat dipegangnya
lagi.
Kepala brandal ini ternyata
kepala batu, golok sudah buntung tapi dia rebut sebatang toya baja, dari salah
seorang anak buahnya, dengan gaya Thay-san-ap-ting kembali mengepruk ke arah
Tan Ciok-sing, bentaknya: "Kau punya pedang pusaka aku juga tidak takut.
Kalau kau mampu hayo kutungi pula toya bajaku ini," toya merupakan senjata
berat, betapapun tajam pedang pusaka itu untuk memotongnya jelas tidak mudah.
Apalagi tenaga kepala brandal ini jelas lebih kuat dari Tan Ciok-sing, berada
di atas kuda lagi, Tan Ciok-sing yang ada di bawah jelas kalah posisi, maka
setelah dencing benturan mereda, batang toya itu memang gumpil dan tergores di
banyak tempat. Sementara Tan Ciok-sing tertolak jatuh terduduk di atas tanah.
Lekas kepala brandal menarik
kendali mengeprak kuda maju, toya di tangannya kembali terayun terus mengepruk
pula ke arah Tan Ciok-sing. Sementara lima brandal lagi yang juga menunggang
kuda mengeprak kudanya menerjang tiba, pikirnya hendak menginjak-injak Tan
Ciok-sing menjadi pergedel. Ternyata tidak sia-sia Tan Ciok-sing menggembleng
diri selama tiga tahun ini, dalam saat¬ saat kritis itu, mendadak dia meletik
bangun selincah ikan, kini tiba saatnya dia pamer kepandaian yang dipelajarinya
dari ajaran Thio Tan-hong.
Empat ekor kuda yang membedal
kencang menerjang tempat kosong. Cepat sekali dengan gerakan Di Tanah Kering
Mencabut Lobak Tan Ciok-sing sudah mencelat mumbul ke atas setinggi satu tombak
lebih, lebih tinggi dari kepala brandal yang bercokol di punggung kuda.
Bentaknya: "Hutang jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang, kau harus
mengganti keledaiku yang mati." Sret, dari tengah udara tiba-tiba
pedangnya menusuk turun. Jurus ini dinamakan Bing-poh-kiu-siau, bukan saja gaya
serangannya liehay dan ganas, perubahannya pun menakjubkan dan sukar diraba.
Meski tinggi kepandaian kepala brandal ini, namun kapan dia pernah menyaksikan
apa lagi melawan ilmu pedang tingkat tinggi yang liehay ini, belum lagi dia
sempat mengerjakan toya bajanya, pedang Tan Ciok-sing telah menusuk dirinya
dengan telak.
Kini posisi berganti, kepala
brandal tertusuk roboh dari punggung kuda, dan kebetulan tubuh Tan Ciok-sing
yang meluncur turun hinggap di punggung kuda, setelah duduk tegap di atas
pelana dia membentak dengan suara dingin: "Kalau tidak terima hayo kalian
maju pula."
Kepala brandal ternyata tahu
diri, jiwanya selamat karena si bocah menaruh belas kasihan, kalau tidak
jiwanya barusan sudah amblas di ujung pedang orang, umpama selamat, tulang
pundaknya pasti tertutuk putus, berarti kepandaian silatnya akan punah pula,
karuan ciut nyalinya, tanpa banyak bersuit lagi lekas dia mencemplak ke
punggung kuda yang lain terus dibedal lari turun gunung. Bahwa kepalanya lari
sudah tentu kawanan brandal lain yang segar lekas-lekas ngacir. Kini kecuali
delapan brandal yang tertutuk hiat-to nya dan tak mampu bergerak itu masih ada
seorang lagi, yaitu wakil kepala brandal, sebetulnya besar juga hasratnya
melarikan diri sayang kuda putih yang ditungganginya itu tidak mau tunduk akan
kehendaknya.
Berkata Tan Ciok-sing seorang
diri: "Kuda ini jelas tidak sepadan dengan keledaiku, aku tetap dirugikan.
Hehe, kuda putih yang gagah ini sih boleh juga, biarlah kuda putih ini yang
kupilih sebagai gantinya."
Melihat orang menghampiri,
sementara kuda yang ditunggangi tidak mau tunduk hanya terputar-putar saja di
tempat, kini mendadak berjingkrak dan mumbul kaki depannya, karena tidak
menyangka, wakil kepala brandal itu semakin gugup, dilihatnya Tan Ciok-sing memburu
datang pula, serasa terbang arwahnya, lekas dia berteriak: "Mohon ampun
Hoharl, biarlah kuda ini kuserahkan kepadamu," di kala dia bicara ini
kembali kuda putih melompat tinggi terus berjingkrak pula, sehingga
penunggangnya terlempar jatuh terguling.
"Kuda ini bukan milikmu,
memangnya aku berterima kasih, hayo enyah," bentak Tan Ciok-sing.
Babak belur dan benjut muka
wakil kepala berandal, tanpa hiraukan luka dan rasa sakit lekas dia
menggelundung ke bawah lereng tanpa berani bersuara.
Tan Ciok-sing lompat turun
mendekati kuda putih serta menepuknya perlahan, katanya tertawa: "Jangan
kau umbar adatmu kepadaku, mari kuantar kau menemui majikanmu," agaknya
kuda putih ini memang cerdik dan pandai mendengar ucapan manusia, sambil
meringkik perlahan dia menunduk dan mengelus kepalanya ke badan Tan Ciok-sing.
Segera Tan Ciok-sing membubuhi obat pada luka-luka di kaki depannya setelah itu
kuda putih menekuk kedua lutut depannya, lagaknya seperti menyuruh Tan
Ciok-sing lekas naik ke punggungnya.
Sebetulnya Tan Ciok-sing masih
kasihan untuk menunggang kuda yang terluka kakinya ini, tapi karena kuda ini
pandai menangkap ucapan manusia, mengingat lukanya juga tidak parah, maka
dengan tertawa dia berkata: "Baiklah aku tahu kau ingin lekas bertemu
dengan majikan, akupun tidak perlu sungkan lagi."
Jarak Ang-wa-poh sampai ke
Tayli kira-kira hanya tiga ratus li, dengan kekuatan lari kuda putih ini dalam
satu hari dapat ditempuhnya.
Tapi kuatir luka-luka kakinya
tambah berat, maka Tan Ciok-sing tidak membedalnya lari kencang dia biarkan
saja kuda ini lari seenaknya maka di tengah jalan dia perlu menginap semalam.
Hari kedua pagi-pagi sekali
Tan Ciok-sing sudah menempuh perjalanan, setelah melewati jalan pegunungan yaug
naik turun dan berbatu-batu, kira-kira tengah hari dia sudah keluar dari sebuah
selat dan nampak di depan nan jauh sana bayangan sebuah kota yang angker dan
megah.
Saat mana sudah mendekati
senja, mengingat dirinya harus menemukan orang di kota Tayli, terpaksa dia
abaikan kesempatan menikmati panorama alam semesta nan indah permai, kuda
dibedal kencang. Mendekati kota, orang yang berlalu di jalan raya semakin
banyak, banyak orang-orang di jalan sama memuji kuda putihnya yang gagah dan
berlari sekencang angin.
Hari sudah gelap Tan Ciok-sing
baru memasuki Tayli, setelah menemukan sebuah hotel dia menginap disini. Hari
kedua dia keluar menyirapi berita, namun karena dia tidak kenal siapa nama
kedua pasangan muda mudi itu, maka hasilnya nihil, sehari penuh dia keluntang
keluntung dalam kota tanpa berhasil menemukan jejak kedua orang yang dicarinya
itu.
Hari ketiga Tan Ciok-sing
mendapat akal, pikirnya: "Dari pada aku ubek-ubekan mencari mereka, kenapa
tidak berusaha supaya mereka yang mencari diriku. Jiang-san dan Ni-hay
merupakan dua obyek tamasya yang termashur di Tayli, setiba disini kenapa tidak
aku melancong kesana." Pagi-pagi benar dia sudah menunggang kuda putih,
sengaja dia belak belok melewati jalan raya yang ramai tanya orang-orang di
jalanan minta petunjuk ke arah mana dia harus pergi untuk menuju ke Jiang-san.
Bahwasanya dari pemilik hotel tadi dia sudah tanya arah dan letak Jiang-san,
maksudnya itu bukan lain hanyalah supaya menarik perhatian orang sehingga
terdengar oleh kedua muda mudi itu serta tahu dimana jejak dirinya.
Naik perahu mengarungi Ni¬hay,
tibalah dia di kaki Jiang-san, puncak gunung diselimuti salju, namun di antara
warna putih salju yang mengkilap itu tampak juga warna coklat kehitaman dari
batu-batu gunung serta dahan-dahan yang sudah gundul. Dari sinilah timbulnya
nama tambahan "Tiam-jong-san" yang kenamaan itu.
Hari itu kebetulan hari libur
di negeri Tayli, sehingga kaum pelancongan tidak sedikit yang membanjir datang
menikmati keindahan alam Tiam-jong-san nan molek dan berhawa sejuk. Setiap
pelancong yang melihat kuda tunggangan Tan Ciok-sing tiada yang mengunjuk
jempol memuji kegagahannya.
"Sudah dua hari aku putar
kayun mengelilingi kota dan tempat-tempat ramai yang di kunjungi pelancongan,
jikalau benar majikan kuda ini berada di Tayli, tentu dia sudah dengar akan
diriku, biarlah aku segera pulang saja," demikian batin Tan Ciok-sing
setelah setengah hari menjelajah pegunungan Tiam-jong-san.
Setiba di kaki gunung, di
antara lebatnya pepohonan daun welingi dia berteriak memanggil tukang perahu.
Tukang perahu menyambut kedatangannya dengan tertawa, katanya: "Siangkong,
cepat betul kau kembali,"
"Jong-san sebesar dan
seluas ini memangnya bisa kujelajahi dalam setengah hari ini," ujar Tan
Ciok-sing, "cukuplah asal bisa sekedar menikmati keindahan nan permai di
gunung ini."
Senja telah menjelang, sinar
surya yang hampir terbenam keperaduannya memancarkan cahaya keemasan nan
kemilau di permukaan air, menambah asri, perahu-perahu layar para nelayan yang
berdendang lagu menyambut datangnya senja kala mulai berlaju kembali ke pangkalan.
Di saat Tan Ciok-sing terpesona memandangi kesibukan para nelayan di tengah
danau ini tampak sebuah perahu pesiar jang dipajang molek dengan layar lempit
tengah berlaju ke arah sini mengikuti angin buritan.
Tukang perahu kelihatan
tercengang, katanya: "Siau-ongya memang suka melancong, hari sudah hampir
gelap, dia masih berada disini. Padahal, kau sudah menjelajah Jong-san dan
pingin pulang."
Tan Ciok-sing tercengang pula,
katanya: "Siau-ongya dari istana Toan maksudmu?"
"Kecuali istana Toan, di
negeri Tayli kita ini memangnya ada Siau-ongya kedua? Lo-ongya hanya mempunyai
seorang anak tunggal ini, namanya Kiam-ping."
"Jadi Siau-ongya ini suka
berdarmawisata?" tanya Tan Ciok-sing.
"Ya, Siau-ongya suka
pelesir.
Terhadap siapa saja dia ramah
tamah, terhadap rakyat jelata macam kamipun dia suka memberi hormat, tak pernah
dia jual tampang dan berlagak sebagai pangeran.
"O, apa ya, agaknya dia
seorang pemuda yang baik," ujar Tan Ciok-sing
"Memangnya Siau-ongya
kita ini laki-laki yang jarang ada bandingannya. Kabarnya ilmu sastra dan ilmu
silat sama-sama tinggi tingkatannya. Dalam Onghu betapa banyak guru-guru silat,
namun hanya beberapa saja yang mampu menandingi dia. Cuma ada satu hal
cirinya."
"Ciri apa?" tanya
Tan Ciok-sing. "Sebetulnya juga bukan ciri jelek. Kita kan rakyat jelata,
semua sama menyanjung dan mencintainya, sayang dia tidak pernah berbuat seperti
yang kita harapkan, karena itulah kita merasa sedikit masgul."
"Soal apa bikin kalian
masgul karenanya," tanya Tan Ciok-sing pula.
"Sampai sekarang dia
masih belum menikah," sahut tukang perahu.
"Mungkin Lo-ongya merasa
usianya masih kecil, maka belum mencarikan jodoh baginya. Memangnya soal jodoh
perlu dibuat heran."
"Kita sudah biasa
memanggilnya Siau-ongya sebetulnya usianya tidak kecil lagi, tahun ini dia
sudah dua puluh delapan tahun."
"Kalau dia pandai sastra
mahir silat, sepantasnya kalau istrinya itu seorang yang sepadan."
"Soal jodoh kan tidak
boleh dipaksakan" ujar Tan Ciok-sing tertawa.
"Ucapanmu memang tidak
salah Siangkong," ucap tukang perahu. "Lo-ongya sangat sayang
padanya, maka dia serahkan soal jodoh kepadanya. Entah berapa banyak comblang
yang hilir mudik keluar masuk istana, tapi semuanya ditampik
mentah-mentah."
Di kala mereka bercakap-cakap
ini, perahu hias yang megah itu jaraknya sudah semakin dekat. Tiba-tiba di
dengarnya dering suara senar harpa dipetik dari dalam perahu hias itu. Karuan
Tan Ciok-sing menoleh dengan tertegun.
"Sering Siau-ongnya di
kala pesiar di danau, main catur, melukis atau main musik di atas
perahunya," demikian kata tukang perahu geli melihat sikap dan mimik Tan
Ciok-sing yang lucu seperti orang kampungan.
Bahwasanya Tan Ciok-sing bukan
tertegun karena Siau-ongya ini mahir memetik harpa. Dia heran karena dia merasa
kenal betul akan irama harpa itu. Siapa saja bila dia pandai memetik harpa,
harpa macam apa saja tentu mudah dipetik, tapi bagi seorang ahli dia pasti bisa
membedakan perbedaan antara irama harpa yang satu dengan harpa yang lain,
apalagi orang macam Tan Ciok-sing cucu Ki Harpa yang sejak kecil sudah belajar
seni harpa. Sekali dengar lagu petikan harpa dari perahu hias Siau-ongya dia
lantas tahu, bahwa harpa yang dipetik itu adalah harpa warisan keluarganya itu.
Waktu meninggalkan hotel tadi
dia titipkan harpanya itu kepada pemilik hotel. Pemilik hotel kelihatan seorang
yang jujur dan dapat dipercaya, maka dia yakin harpanya itu tidak akan hilang,
apa lagi bentuk harpa antik itu sudah kelihatan usang. Tapi disini dia justru
mendengar petikan lagu dari harpa antik miliknya itu.
Apakah pemilik hotel
menghadiahkan harpa antik itu kepada Siau-ongya? Atau secara kebetulan di dunia
ini ada sebuah harpa lain milik Siau-ongya yang mirip harpa antik dirinya?
Melihat dia asyik mendengarkan lagu, tukang perahu berkata: "Tuan, kiranya
kaupun ahli musik juga? Bagus tidak petikan harpa Siau-ongya kita?"
"Bagus, petikan harpa
yang bagus," puji Tan Ciok-sing hambar. Padahal dalam hati dia
mereka-reka: "Jikalau betul harpa antik milikku itu, bagaimana aku harus
bersikap?"
Jilid 4
Sudah tentu dia segan mencari
perkara dengan keluarga istana, tapi harpa itu adalah warisan keluarganya,
betapapun tak boleh terjatuh ke tangan orang lain.
Kini perahu hias yang berlayar
itu berlaju kencang semakin dekat lagi, kerai tersingkap separoh, maka dari jarak
tertentu masih kelihatan keadaan didalam perahu. Tampak seorang pemuda
berdandan seperti pemuda bangsawan tengah duduk menghadapi meja pendek, di atas
meja inilah terletak harpa yang lagi dipetiknya itu. Begitu memandang kesana,
jantung Tan Ciok-sing serasa berdebur semakin keras, meski harpa itu terbakar
jadi abu juga tetap dikenalnya baik, dia yakin harpa di atas meja yang lagi
dipetik pemuda itu betul adalah harpa antik peninggalan kakeknya itu.
Dua gadis pelayan tampak
berdiri di kanan kiri si pemuda, seorang sedang sibuk membakar dupa wewangian,
seorang lagi tengah tertawa sedang berkata kepada si pemuda: "Siau-ongya,
sukalah kau petik sebuah lagu lagi yang bernada riang?"
"Lagu apa yang kau
gemari?" tanya Siau-ongya.
"Lagu kampung halaman
saja," sahut pelayan cilik itu.
"Agaknya kau sudah kangen
rumah, baiklah, aku yang petik harpa, kau yang bernyanyi," demikian kata
Siau-ongya.
Di kala suara harpa mengalun,
lekas tukang perahu mendorong Tan Ciok-sing ke samping. Sudah tentu Tan
Ciok-sing melenggong, tukang perahu berbisik di pinggir telinganya: "Tuan,
kau masuk saja ke kabin, jangan kau pandang pelayan orang begitu rupa."
Merah muka Tan Ciok-sing,
tanpa bicara lekas dia masuk ke kabin. Dalam hati masih bingung berpikir:
"Harpa antikku itu bagaimana? Bagaimana baiknya minta kembali harpa
itu."
Didengarnya pelayan cilik itu
sudah tarik suara berdendang dan berjoget dengan riang dan mengasyikkan. Di
kala sebuah lagu habis dinyanyikan perahu hias itupun kebetulan merapet dengan
perahu yang di naiki Tan Ciok-sing. Lama Tan Ciok-sing terlongong, bukan karena
petikan harpa Siau-ongya yang bagus, meski Siau-ongya ini pandai memetik harpa,
tapi bagi tingkatan seorang ahli harpa seperti Tan Ciok-sing, petikan harpa
Siau-ongya masih dianggapnya biasa adalah karena petikan harpa dan lagu kampung
halaman itulah yang membuatnya kangen pada kampung kelahirannya.
Percakapan merdu di atas
perahu hias itu menyadarkan lamunannya, di dengarnya pelayan itu berkata:
"Eh, Siau-ongya, lihatlah kuda putih itu." Kuda putih Tan Ciok-sing
memang ditambat di buritan.
Siau-ongya bersuara heran
juga, agaknya dia berbicara beberapa patah, cuma suaranya rendah tidak
terdengar oleh Tan Ciok-sing yang berada dalam kabin.
Kedua perahu sudah berendeng,
tukang perahu menghentikan perahunya. Tukang perahu di atas perahu hias
berkata: "To-toasiok, Siau-ongya suruh aku memberi salam kepadamu."
Tertawa lebar tukang perahu
saking senang, katanya: "Banyak terima kasih, tolong sampaikan juga salam
hormatku kepada Siau-ongya."
"To-toasiok," kata
tukang perahu hias, "siapakah tamu didalam perahumu?"
Jantung Tan Ciok-sing berdebur
keras, batinnya: "Nah, menyangkut diriku."
Tukang perahu menjawab:
"Seorang pemuda pelancongan."
Tukang perahu hias berkata
pula: "Siau-ongya suruh aku menyampaikan, katanya mohon dimaafkan atas
sebuah permintaannya..."
"Kenapa Siau-ongya begini
sungkan, ada perintah apa sudilah katakan saja," sahut tukang perahu.
Tukang perahu hias berkata:
"Siau-ongya ingin mengundang tamu di atas perahumu untuk berbincang-bincang
disini."
Kaget dan girang tukang
perahu, lekas dia menunduk kedalam kabin berkata lirih: "Tuan, apakah kau
kenal baik dengan Siau-ongya?"
"Jikalau aku kenal dia,
buat apa tadi aku tanya kau tentang dirinya?" sahut Tan Ciok-sing.
"Tapi Siau-ongya
mengundangmu ke atas perahunya..."
"Siau-ongya sudi memberi
muka, memangnya aku ini tidak tahu diri?" ujar Tan Ciok-sing.
"Memangnya, orang lain
menyembah lima kali pun takkan diluluskan permintaannya," ujar tukang
perahu, lekas dia mengambil lemparan papan panjang dipasang sebagai tangga
penyeberangan, lalu dia bantu Tan Ciok-sing menuntun dan menyebrangkan kuda
putih.
Anak buah Siau-ongya telah
memberi persen kepada tukang perahu, katanya: "Tuan tamu ini, nanti akan
kami antar dia pulang, kau tidak usah menunggunya." Tukang perahu
mengiakan sambil munduk-munduk, cepat-cepat dia kayuh perahunya pergi dengan
tertawa riang.
Dalam pada itu Siau-ongya yang
bernama Toan Kiam-ping sudah menyingkap kerai dan berdiri didalam kabin,
katanya: "Terlambat menyambut kedatangan tamu dari jauh, mohon dimaafkan
pelayanan yang kurang pantas ini."
Tan Ciok-sing menjura,
katanya: "Rakyat jelata kampungan seperti diriku sungguh berbesar hati
mendapat penghargaan untuk bertemu. Sebelum ini saling tidak kenal, entah sebab
apa gerangan Siau-ongya mengundangku ke mari?"
Waktu berbicara mata Tan
Ciok-sing tidak memandang Siau-ongya. Harpa antik itu terletak di hadapannya,
dengan seksama dia mengamat-amati memang betul, dia yakin harpa ini adalah
miliknya.
Pelayan cilik itu tertawa
cekikikan, katanya: "Siau-ongya, bicara dengan tamu kenapa begini kolokan,
memangnya tidak berkelebihan?"
"Betul," ujar Toan
Kiam-ping, "tamu agung berkunjung, banyak sungkan memang terlalu
berlebihan. Kali ini aku memberanikan diri mengundang anda, tentunya banyak
pertanyaan dan curiga, biarlah aku mulai saja dengan duduk persoalannya. Aku
bernama Toan Kiam-ping, harap tanya siapa nama mulia anda?"
Setelah Tan Ciok-sing
menyebutkan namanya, Toan Kiam-ping berkata: "Tan-heng, tanpa berkedip kau
mengawasi harpa kuno ini, apakah sebelum ini kau pernah melihatnya?"
Diam-diam Tan Ciok-sing sudah
berkeputusan, umpama dia harus berbuat salah terhadap Siau-ongya ini, betapapun
harpa ini harus diminta kembali, maka dia berkata: "Ya, aku merasa
heran."
"Apanya yang kau
herankan?" tanya Toan Kiam-ping.
"Bicara terus terang, di
rumahku terdapat pula sebuah harpa kuno seperti ini. Sungguh tak nyana bahwa di
dunia ada barang antik serupa ini," sembari bicara dia perhatikan mimik
dan reaksi Siau-ongya.
Tidak menjawab pertanyaannya,
Toan Kiam-ping malah tertawa, katanya: "Meski kami baru saling kenal,
kalau diusut mungkin sebelum ini kita sudah ada hubungan. Hubungan ini
kemungkinan menyangkut harpa kuno ini."
Heran dan tidak mengerti,
tanya Tan Ciok-sing: "Selamanya aku tak pernah datang ke Tayli. Entah
danmana datangnya hubungan ini?"
"Terdapatlah seorang guru
ahli harpa yang tiada bandingannya di kolong langit ini, dia she Tan menamakan
dirinya "Ki Harpa", orang banyak memanggilnya Dewa Harpa. Entah pernah
apa ahli harpa ini dengan Tan-heng?"
"Beliau adalah
kakekku," sahut Tan Ciok-sing.
"Nah, itulah betul,"
ucap Toan Kiam-ping, "Tan-heng, kau belum pernah datang ke Tayli tapi
kakekmu dulu pernah berkunjung ke Tayli."
"Kapan hal itu
terjadi?"
"Kira-kira sudah
berselang dua puluh tahun. Waktu itu aku baru berusia tujuh tahun,"
demikian tutur Toan Kiam-ping.
"Maklum aku tidak tahu,
itu waktu aku belum lahir," demikian batin Tan Ciok-sing.
Tutur Toan Kiam-ping lebih
lanjut: "Meski aku baru berusia tujuh tahun, tapi ingatanku tajam kesanku
mendalam. Begitu kakekmu mendemontrasikan kepandaiannya seluruh istana menjadi
gempar, semua mendengarkan dengan terlongong seperti orang mabuk. Waktu itu
sebetulnya aku sudah minta seorang busu menemaniku pergi Jong-san menangkap
burung, tapi mendengar irama harpa kakekmu, terasa begitu merdu melebihi
kicauan burung, sehingga aku lupa akan janji itu sehingga busu itu kecele.
Masih segar dalam ingatanku, harpa yang dimainkan kakekmu dulu adalah harpa
yang ini pula. Waktu itu pernah aku merabanya, kupikir kayu rongsokan yang
sudah rongsok begini ditambah beberapa senar, di tangan kakek tua ini kenapa
bisa memperdengarkan irama lagu semerdu ini?" lalu dia bergelak tawa,
"Tan-heng, tentunya kau sudah mengerti sekarang?"
Kaget dan senang hati Tan
Ciok-sing, katanya: "Jadi harpa ini adalah, adalah..."
"Betul, harpa ini adalah
milik keluargamu," ujar Toan Kiam-ping, "tapi legakan saja hatimu,
meski aku mengambilnya. Kini kuundang kau kemari, maksudku hendak mengembalikan
barang ini kepada pemiliknya."
"Kalau Siau-ongya suka
pada harpa ini, seharusnya boleh kuberikan kepada Siau-ongya...!" demikian
kata Tan Ciok-sing dengan ragu-ragu.
Belum habis dia bicara,
pelayan cilik tadi cekikikan, katanya: "Lho, kenapa begitu, kalau kau
tidak mengambilnya pulang, bukankah Siau-ongya menjadi pencuri malah?"
Toan Kiam-ping berkata:
"Aku tahu dalam hatimu pasti masih bertanya-tanya, bagaimana aku bisa
mengambil barangmu dari hotel? Haha, Tan heng, jikalau tadi kau tidak mendengar
petikan lagu harpaku tadi, belum tentu kau mau bertemu dengan aku?"
"Ini memang betul,"
demikian batin Tan Ciok-sing. Sudah tentu dia rikuh mengucapkan, tanyanya:
"Masih satu hal yang belum kumengerti, mohon dijelaskan. Darimana
Siau-ongya tahu aku punya harpa antik ini?"
"Sebelum datang ke hotel
penginapanmu, aku memang tidak tahu," sahut Toan Kiam-ping, "aku
memang sengaja mencarimu."
Tan Ciok-sing sudah membandek
beberapa bagian, katanya: 'Sungguh merupakan suatu kehormatan besar. Tapi untuk
keperluan apa Siau-ongya memerlukan datang ke hotel mencari diriku?"
"Tan-heng, jangan terlalu
sungkan. Kalau sungkan berlebihan, berarti kau tidak menganggapku sebagai
kawan. Panjang kalau diceritakan, tapi boleh secara ringkas kujelaskan,
persoalan terletak pada kuda putih itu."
"Kuda putih ini memang
bukan milikku," ujar Tan Ciok-sing tertawa.
"Aku tahu. Kuda ini milik
salah satu dari Kanglam Sianghiap yang bernama Ciong Bin-siu, betul
tidak?"
"Kanglam Sianghiap?"
Tan Ciok-sing menegas.
"Lho, kau belum tahu
asal-usul mereka? Di kota Hangciu terdapat dua keluarga besar persilatan.
Keluarga Kwe dan keluarga Ciong. Kedua keluarga memangnya punya hubungan
famili. Tuan muda keluarga Kwe bernama Kwe Bi-yang, dia punya Piaumoay yang
bernama Ciong Bin-siu, meski masih berusia muda, namun di daerah Kanglam sudah
angkat nama besar, maka mereka dijuluki Kanglam Sianghiap."
"Betul, kudengar mereka
saling membahasakan Piau-heng-moay. Tapi kuda ini berhasil kurebut dari kawanan
brandal, panjang juga kalau diceritakan..."
"Duduk persoalannya aku
sudah tahu," ujar Toan Kiam-ping.
"Darimana kau tahu?"
tanya Tan Ciok-sing heran.
"Dua hari yang lalu
Kanglam Sianghiap juga datang ke Tayli, mereka sudah bertemu dengan aku, mereka
ceritakan di Ang-wa-poh kehilangan seekor kuda tunggangan, hari ini ada orang
memberitahu kepadaku, katanya ada seorang pemuda pelancongan dari luar daerah
menunggang seekor kuda putih, menginap di sebuah hotel di sebelah barat kota.
Maka aku datang ke hotel itu mencarimu. Ciangkui bilang kau tamasya ke Jong-san,
mungkin karena dia ingin mengambil hatiku, maka barang titipanmu diperlihatkan
kepadaku. Aku kenal harpa antik ini, aku yakin anak keturunan Ki Harpa pasti
tidak sekomplotan dengan kawanan brandal dari Ang-wa-poh."
Toan Kiam-ping menaruh hormat
dan menghargai kakeknya, maka diapun yakin dan percaya bahwa dirinya pasti
bukan orang jahat, maka timbul rasa kagum dan simpatik Tan Ciok-sing pada
pangeran ini, maka dia lantas berkata: "Siau-ongya, ada sebuah hal mohon
kau suka membantu."
"Sekali bertemu seumpama
sahabat lama, Tan-heng tak usah sungkan, silakan katakan."
"Kuda putih ini harap
Siau-ongya suka merawatnya."
"Aku sudah berikan seekor
kuda lain yang jempolan juga kepada Ciong-lihap, meski tidak sebanding kuda
putih ini, kukira terpautnya juga tidak jauh. Kanglam Sianghiap sudah pergi
kuda putih tertinggal disini tiada gunanya, kau akan menempuh perjalanan, boleh
kau gunakan saja."
"Justru karena mereka
sudah meninggalkan tempat ini, entah kapan baru akan bertemu mereka di Tayli,
maka mohon bantuan Siau-ongya untuk menyerahkan kepada pemiliknya. Entah kapan
suatu ketika mereka toh akan kemari lagi."
"Itu belum tentu, mungkin
mereka kembali tanpa lewat Tayli. Umpama kembali mungkin sudah setahun
berselang," sejenak Toan Kiam-ping berpikir lalu bertanya: "Tan-heng,
maaf kalau aku kurang hormat, bolehkah aku tahu kemana tujuanmu?"
"Aku akan pergi ke
Tay-tong-hu di San-he," "Sungguh kebetulan, Kanglam Sianghiap justru
juga pergi ke Tay-tong-hu."
"Mereka juga kesana?
Konon tempat itu kini sedang berkecamuk peperangan?"
"Bukankah kau hendak
kesana?"
"Ada urusan pribadi yang
harus kuselesaikan, tidak bisa tidak aku harus kesana."
"Kecuali urusan mereka
sendiri, merekapun mengemban tugas penting, maka mereka harus pergi kesana
juga," lalu dia menjelaskan pula, tentunya kau sudah tahu, pasukan Watsu
sudah menduduki propinsi daerah barat negeri kita. Tapi yakin gerakan laskar
rakyat kita masih kuasa membendung mereka. Kini pasukan besar Watsu dipusatkan
diluar perbatasan Gan-bun-koan, segala saat siap menyerbu ke Tionggoan. Diluar
Gan-bun-koan ada juga laskar rakyat yang dipimpin oleh Kim-to Cecu Ciu San-bin.
Tujuan Kanglam Sianghiap adalah membantu mereka. Kamipun akan hubungan dengan
Kim-to Cecu untuk merancang cara bagaimana bergabung melawan penjajah."
Berpikir sebentar Tan
Ciok-sing lalu berkata: "Kalau demikian, terpaksa biar kuda ini tetap
kubawa ke Tay-tong-hu untuk mencari mereka. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya
Toan Kiam-ping.
"Terus terang, baru kali
ini aku berkecimpung di Kangouw, sama sekali tiada kenalan dengan kaum
persilatan, dengan Kim-to Cecu sama sekali tiada hubungan, umpama aku bisa
menghindari pasukan kuda musuh dan keluar dari Gan-bun-koan, mungkin tidak
gampang uutuk bertemu dengan Kim-to Cecu."
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Barisan Kim-to Cecu berada diluar Gan-bun-koan, konon sembarang
waktu hijrah ke lain tempat. Dimana letak markas pusat mereka yang pasti aku
dan Kanglam Sianghiap juga tidak tahu. Tapi, kau tidak perlu mencari Kim-to
Cecu, setiba di Tay-tong, yakin kau dapat mencari tahu berita mereka."
"Tay-tong-hu tentunya
merupakan kota besar dalam situasi genting bagaimana bisa mencari kabar?"
"Ada seorang pendekar
yang tersohor bernama In Hou, tentunya kau pernah mendengar nama
besarnya?" tanya Toan Kiam-ping.
Tan Ciok-sing terperanjat,
katanya: "Meski aku cetek pengalaman, namun nama besar In Tayhiap tentu
pernah kudengar."
Berkata Toan Kiam-ping lebih
lanjut: "Paman In Hou adalah jago pedang nomor satu yang diakui dunia
sejak tiga puluh tahun yang lain, namanya Thio Tan-hong. Thio
Tayhiap dulu ada hubungan
intim dengan kakekku, pernah menginap beberapa hari di rumahku. Oleh karena itu
setiap kali In Tayhiap berada di In-lam, beliau pasti berkunjung ke rumahku.
Terakhir kali kira-kira tiga tahun yang lalu, akhirnya entah kenapa sampai
sekarang tak pernah kudengar beritanya lagi, entah dia sudah pulang ke
rumahnya?"
Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu
bagaimana nasib yang menimpa In Hou. Tapi karena dia baru saja kenal Toan
Kiam-ping, maka rahasia kematian In Hou tak berani dia ceritakan.
Toan Kiam-ping berkata lebih
lanjut: "Tapi umpama In Tayhiap belum pulang, putrinya pasti ada di rumah.
Oh ya, aku lupa beritahu padamu, In Tayhiap hanya punya seorang putri, namanya
In San. Nona In pernah beberapa kali berkunjung ke rumah kami."
Sampai disini pelayan cilik
itu tiba-tiba cekikikan pula, timbrungnya: "Siau-ongya, tentunya kau tak
pernah melupakan nona manis itu."
Merah muka Toan Kiam-ping,
semprotnya: "Hus budak cilik campur bicara, kami sedang berunding
tahu!"
Pelayan itu melelet lidah
terus mendekap mulut menahan geli.
Toan Kiam-ping berkata pula:
"Setiba di Tay-tong. Kanglam Sianghiap pasti berkunjung dulu ke rumah
keluarga In. Syukur bila In Tayhiap ada di rumah, beliau pasti berusaha bantu
kalian menemukan Kim-to Cecu. Jikalau tiada, nona In pasti punya akal untuk
membantu. Hanya yang di kuatirkan bila disana sudah terjadi peperangan, nona In
terpaksa sudah pindah atau mengungsi. Tapi apapun yang terjadi, setiba kau di
Tay-tong boleh kau berusaha mencarinya. Kuharap kau dapat menemukan dia, dari
dia pasti kau memperoleh berita Kanglam Sianghiap."
"Baiklah, pasti
kuusahakan menemukan nona In, adakah pesanmu untuk kusampaikan kepadanya?"
tanya Tan Ciok-sing.
Pelayan cilik itu cekikikan
pula selanya: "Betul siapa tahu di tengah jalan Kanglam Sianghiap
mengalami sesuatu sehingga membatalkan keberangkatannya ke Tay-tong.
Siau-ongya, kau pun ada orang lain yang dapat mengirim berita padanya."
Jengah muka Toan Kiam-ping,
omelnya: "Kau semakin tidak tahu aturan, jangan menimbrung lagi,"
lalu dia berpaling katanya kepada Tan Ciok-sing: "Baiklah, Tan-heng, aku
titip sebuah pesan untuknya, bila dia ingin ngungsi kami akan menyambutnya di
Tayli."
Entah mengapa tiba-tiba hati
Tan Ciok-sing merasa kecut, batinnya: "O, kiranya Siau-ongya ini sejauh
ini tidak mau menikah karena diam-diam menaksir nona In itu."
Nona In atau putri In Hou
boleh dikata tidak pernah dikenalnya, gadis yang masih asing tapi seperti juga
familinya yang paling dekat. Sebelum ajal In Hou pernah berpesan supaya dirinya
mencari putrinya itu, beliau mengharap dirinya bisa bergaul rapat dan seintim
saudara sepupu sendiri, malah gurunya Thio Tan-hong mewariskan Pek-hong-kiam
dan Ceng-bing-kiam yang dulu merupakan senjata andalan mereka suami istri,
kepada dirinya dan putri In Hou, harapan beliau memang tidak diutarakan secara
gamblang, tapi Tan Ciok-sing maklum kemana juntrungan gurunya.
Tapi sekali-kali Tan Ciok-sing
tidak berani mempunyai pikiran yang tidak genah atau muluk-muluk, tapi kini
setelah tidak sengaja tahu bahwa Siau-ongya ini menaksir In San, mau tidak mau
hatinya menjadi hambar. Sukar menjelaskan perasaan ganjil ini, entah itu iri,
cemburu atau jelus, tapi terselip pula perasaan senang, kesadarannya lebih
menang memerangi batinnya. "Putri In Tayhiap merupakan pasangan setimpal
dengan Siau-ongya. Sepantasnya aku menghaturkan selamat pada mereka, jikalau
hal ini kelak betul-betul menjadi kenyataan, pasti di alam baka In Tayhiap akan
senang dan terhibur hatinya."
Melihat orang melongo, Toan
Kiam-ping bertanya: "Tan-heng, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, kupikir
tidak akan pulang ke hotel lagi. Siau-ongya, tolong kau bayarkan rekening
hotelku," sembari bicara dia merogoh kantong hendak mengambil uang.
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Sudah kulunasi seluruhnya, ongkos tidak seberapa, tidak usah kau
sungkan. Cuma kenapa kau begini tergesa-gesa meninggalkan Tayli? Marilah mampir
ke rumahku menginap barang dua malam."
"Tidak usahlah, perang
tengah berkecamuk di perbatasan, pesan Siau-ongya juga tidak boleh tertunda,
biarlah aku segera berangkat saja," maklum dia ingin selekasnya
merampungkan pesan In Hou dan gurunya.
"Begitupun baik,"
kata Toan Kiam-ping sesaat kemudian, "kuharap sekembalimu kelak, kau bisa
ngobrol beberapa hari denganku," laju perahu masih tetap kencang, daratan
sudah kelihatan tak jauh di depan sana Toan Kiam-ping berkata pula:
"Tan-heng, sebelum berpisah sudikah kiranya kau membawakan sebuah petikan
lagu supaya aku bisa menikmati petikan harpamu?"
"Kalau Siau-ongya suka mendengarkan,
baiklah aku pamer sedikit kebodohanku, mohon tidak ditertawakan," lalu Tan
Ciok-sing duduk bersimpuh dan mulai menyetem senar serta mulai memetik
harpanya.
Lagu yang dibawakan adalah
lagu perjuangan bangsa melawan penjajah, begitu asyik dan semangatnya dia
membawakan lagu dengan sepenuh hati dan pikiran. Baru saja habis petikan lagu
harpanya mendadak terasa dadanya kesemutan. Maklum di Ang-wa-poh dia melabrak
kawanan brandal, dia sendiri juga terkuras hawa murninya, sampai kini belum
pulih seluruhnya, karena tenggelam dalam petikan lagu perjuangannya sehingga
darah bergolak pikiran berkobar semangatpun menyala, hati dan irama lagu
berpadu, sehingga tanpa disadari darahnya mendidih dan menggumpal di rongga
dada sehingga napas menjadi sesak.
Tanda-tanda jelek ini harus
lekas diusahakan penyembuhannya, kalau terlambat mungkin membawa akibat yang
fatal kelak. Baru saja Tan Ciok-sing hendak bersemadi mengerahkan hawa murni,
mendadak terasa punggung leher, pundak dan dadanya sekaligus kesemutan. Jari
Toan Kiam-ping bergerak secepat angin dengan kemahiran ilmu tutuknya, tiga
hiat-to di tubuhnya dalam sekejap telah ditutuk. Toa-ciu-hiat di punggung
leher, Kin-gan-hiat di pundak dan Hian-ki-hiat di dada.
Bukan main kejut Tan
Ciok-sing, dia kira Siau-ongya membokong di kala dirinya dalam keadaan kritis.
Tak nyana rasa kesemutan tadi hanya sebentar saja, tahu-tahu dari hiat-to yang
tertutuk ini timbul arus hangat yang mengalir ke seluruh badan sehingga segar
dan nyaman.
"Maaf Tan-heng akan
tindakanku yang gegabah ini," kata Toan Kiam-ping, "kulihat hawa
murnimu seperti tersumbat, urat nadi harus segera diperlancar jalannya, maka
tak sempat memberitahu lebih dulu, aku memberanikan bantu kau menyembuhkan
luka-lukamu dengan It-ci-sian-kang. Tan-heng tak usah kuatir It-ci-sian-kang
ajaran keluargaku ini jauh berbeda dengan ilmu Tiam-hiat dari aliran umumnya,
kalau ilmu tutuk aliran lain peranti melukai orang, adalah It-ci-sian-kang
warisan keluargaku ini khusus untuk menyembuhkan penyakit, jelasnya untuk menolong
orang. Bermanfaat bagi kesehatan badan."
Sesaat lagi terasa oleh Tan
Ciok-sing badannya memang semakin fit, semangatnya berkobar lebih menyala dari
sebelumnya. Ternyata penjelasan Toan Kiam-ping memang bukan bualan belaka sudah
tentu hatinya amat senang dan berterima kasih. Diam-diam dia kagum juga akan
ilmu Tiam-hiat orang yang begini hebat. Bahwasanya dengan bekal kepandaian Tan
Ciok-sing, sekarang jikalau dia bersiaga, tak mungkin Toan Kiam-ping dapat
menutuk hiat-tonya, namun karena kejadian diluar dugaan, dalam sesingkat itu
Toan Kiam-ping mampu sekaligus menutuk tiga hiat-to, jelas kepandaiannya pun
boleh dibanggakan. "Tak heran didalam memberikan komentar dan analisanya
tentang berbagai aliran persilatan, Suhu menonjolkan ilmu Tiam-hiat dari keluarga
Toan di Tayli sebagai ilmu nomor satu yang tiada bandingannya memang tidak
bernama kosong," demikian batin Tan Ciok-sing.
It-ci-sian-kang ternyata
memang mujijat dan menakjubkan, bukan saja dirinya terhindar dari bahaya luka
dalam, semangat dan kesehatan badannya malah berlipat lebih meyakinkan. Maklum
setelah hawa murninya terganggu, meski dapat bersemadi mengerahkan Iwekang,
mengontrol pernapasan mengendalikan arus tenaga menembus urat nadi, maka
kesehatannya takkan banyak terganggu. Tapi dia sendiri tidak yakin apakah
dengan cara penyembuhan ini kesehatannya dapat pulih seluruhnya umpama dapat
disembuhkan takkan secepat ini. Saking kagum kembali Tan Ciok-sing menghaturkan
terima kasih.
"Tan-heng memang tidak
malu sebagai murid didik dari guru kenamaan, petikan harpamu ternyata tidak
asor dibanding kakekmu dulu. Meski badan kurang sehat kau masih sudi memetik
harpa untuk menghibur hatiku, justru akulah yang harus berterima kasih padamu.
Tiada sesuatu yang dapat kuberikan sebagai balasan, untuk ini harap Tan-heng
suka terima tanda kenang-kenangan yang tidak berarti ini," sembari bicara
dia mengeluarkan secarik kertas yang penuh ditulisi huruf-huruf kecil.
"Di atas kertas ini
ditulis cara bagaimana menyembuhkan luka atau penyakit dengan It-ci-sian-kang,
harap Tan-heng suka menerimanya. It-ci-sian-kang sebetulnya juga dapat untuk
melukai orang, tapi dengan bekal kepandaian Tan-heng tentunya takkan sudi
mempelajari kepandaian yang tidak berarti ini, maaf kalau aku tidak mencatatnya
di atas kertas ini."
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Mana berani aku terima tanda kenang-kenangan sebesar ini dari
Siau-ongya?"
"Banyak bahaya yang harus
kau hadapi dalam perjalanan ini Tan-heng," kata Toan Kiam-ping,
"umpama tidak diperlukan, untuk menolong orang juga baik. Tan-heng
pertemuan kita kali ini memang terlambat, sukalah kau dengar perkataanku,
apalagi kau mau terima titipan pesanku. Barang tak berarti begini sebagai tanda
penghargaanku kepadamu. Kalau kau tak mau terima, sungguh aku kurang enak hati
malah."
Melihat sikap tulus orang
terpaksa Tan Ciok-sing menerimanya. Sementara itu perahu sudah merapat dermaga.
"Seribu li mengantar
sahabat akhirnya berpisah juga," demikian ucap Toan Kiam-ping, "kini
biarlah aku pinjam harpamu untuk mengantar keberangkatan Tan-heng dengan sebuah
lagu perpisahan. Harap Tan-heng memberi petunjuk."
"Siau-Ongya terlalu
sungkan," kata Tan Ciok-sing.
Toan Kiam-ping mulai memetik
harpa, pelayan cilik itu bernyanyi.
Rawan dan masgul perasaan Tan
Ciok-sing menjelang perpisahan ini, meski baru beberapa jam berselang
persahabatan mereka, namun terasa betapa luhur dan tinggi budi pekerti
persahabatan sepasang pemuda yang sama-sama gagah perkasa berjiwa patriot ini.
Setelah naik di daratan Tan
Ciok-sing mohon diri terus cemplak kuda putih berpisah dengan Toan Kiam-ping.
Toan Kiam-ping berdiri mendelong mengawasi kepergian orang.
Perjalanan dari Tayli di
In-lam ke Tay-tong sungguh merupakan jarak yang tidak dekat, naik gunung
menyebrang sungai masuk selat keluar dari daerah rawa-rawa, kalau orang biasa
mungkin harus ditempuh setahun lamanya. Untung kuda putih ini memang kuda
jempolan, dalam jangka satu bulan dia sudah memasuki Jwan-se, lewat Han-tiong
masuk Siam-pak terus memasuki propinsi Sian-he. Setelah tiba di Gin-lin,
sepanjang jalan sering dia bertemu dengan kelompok-kelompok pengungsi.
Dari penjelasan para pengungsi
itu Tan Ciok-sing mendapat tahu bahwa pasukan besar Watsu sudah semakin
mendekati Gan-bun-koan, tapi Tay-tong-hu masih berada di tangan pemerintah,
legalah hati Tan Ciok-sing.
Beberapa hari perjalanan lagi,
kaum pengungsi yang ditemui semakin jarang, mungkin mereka yang bisa lari sudah
habis mengungsi ke tempat lain, tetap tinggal hanyalah nenek-nenek atau kakek
dan bocah-bocah kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menunggu nasib
yang bakal menimpa di rumah sendiri.
Hari itu dia mulai beranjak di
daerah Yan-ji-san,. Yan-ji-san terletak di barat daya Tan-hong, setelah
melewati gunung ini, kira-kira tujuh puluh li lagi akan tiba di tempat tujuan.
Karena ingin cepat-cepat sampai, sengaja Tan Ciok-sing menempuh jalan
pegunungan yang banyak menyingkat waktu dan memperpendek perjalanan, dengan
kekuatan lari kuda putih ini, yakin sebelum petang nanti dia sudah akan tiba di
Tay-tong. Di kala dia mencongklang kudanya di jalan pegunungan yang tidak rata
ini, tiba-tiba dilihatnya di kaki gunung sana ada sebaris tentara, jumlahnya
hanya belasan saja, semua menunggang kuda.
Barisan kuda ini mencongklang
kuda mereka di padang rumput nan luas dan lapang, mereka berdendang dan bernyanyi
lagu perjuangan yang terdengar gagah dan berpadu penuh semangat, namun Tan
Ciok-sing tak tahu lagu perjuangan apa yang mereka nyanyikan. Setelah agak
dekat baru kelihatan seragam pakaian dan bendera yang; berkibar. Ternyata
mereka bukan barisan tentara kerajaan Bing, tapi barisan tentara asing.
Tan Ciok-sing betul-betul
kaget, sungguh tak nyana disini kesampok dengan sepasukan kuda Watsu,
"Mungkinkah Tay-tong sudah diduduki musuh?" apakah kali ini dia dapat
menunaikan tugas dengan baik, hal ini membikin hatinya kebat-kebit.
Tak kira masih ada pula
kejadian yang lebih mengejutkau lagi. Mendadak barisan kuda itu menghentikan
kudanya serta berpencar, lagu tidak dinyanyikan lagi, ada beberapa orang
melompat turun dari punggung kuda.
Dari ketinggian Tan Ciok-sing
dapat saksikan kejadian di bawah sana dengan jelas, kini didapatinya bahwa
barisan Watsu ini ternyata tengah mengudak seorang Han, kini mereka sudah
mcnyandak yang dikejarnya, maka beberapa orang Watsu itu lompat turun hendak
membekuknya.
Orang itu berperawakan kecil
sedikit kurus, usianya kelihatan masih muda, dari kejauhan kurang jelas. Tapi
jelas keadaannya bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah, dia
lari sana trobos sini. Orang-orang Watsu itu berkaok dan membentak gusar, cepat
sekali mereka telah mengepungnya dan akan membekuknya hidup-hidup.
Disini kelihatan betapa besar
jiwa patriotik Tan Ciok-sing melihat bangsa sendiri terancam dan menjadi
bulan-bulanan kaum penjajah, darah terasa mendidih di dada, segera dia kempit
perut kuda serta membedalnya turun gunung. Kuda putih meringkik panjang,
laksana angin lesus cepat sekali sudah berpacu di tanah datar. Tapi dalam
jangka waktu singkat ini situasi di bawah sana ternyata sudah berbeda sekali.
Hampir Tan Ciok-sing tidak berani percaya akan apa yang dilihat matanya.
Orang Han itu adalah pemuda
bertubuh kecil agak kurus bermuka kotor, pakaiannya masih terhitung rapi.
Agaknya dia sengaja mengotori muka sendiri supaya tidak menjadi perhatian orang
sehingga mudah untuk lari atau mengungsi. Pemuda yang mirip pelajar ini
ternyata memegang golok dan kini sedang memutarnya kencang. Di waktu Tan
Ciok-sing tiba di kaki gunung, kebetulan dia melihat pemuda itu tengah membacok
roboh seorang tentara Watsu yang bertubuh kekar dan gagah. Di bawah kakinya
kelihatan dua sosok mayat pula tiga orang Watsu yang lain tampak berlari
menyingkir dengan membawa luka. Tampak oleh Tan Ciok-sing gerakan bacokan tadi
begitu lincah mantap dan tangkas sekali.
Tapi yang membikin Tan Ciok
sing heran bukan karena permainan golok si pemuda yang liehay seperti ini, tapi
ilmu golok yang di mainkan itu amat hapal dan dikenalnya dengan baik. Bacokan
golok si pemuda tadi didalam jurus sembunyi tipuan, didalam gerakan ketambah
variasi, tidak mengejar kemenangan dengan serangan membabi buta tapi lebih dulu
bertahan membela diri, jelas jurus yang dimainkan pemuda ini adalah salah satu
jurus dari ilmu golok keluarga In yang bernama Yan-can-pat-hong-ciang-to-sek,
jurus ini peranti menghadapi keroyokan musuh yang berjumlah banyak, tapi jurus
Ciang-to-sek yang berhasil dipelajari Tan Ciok-sing dari buku peninggalan In
Hou, ternyata sedikit berbeda dengan jurus yang dimainkan oleh si pemuda.
Ciang-to-sek didalam buku lebih keras dan merupakan serangan gencar, sebaliknya
permainan Ciang-to-sek si pemuda ini kelihatan lebih lembut dan kurang tenaga,
didalam permainan ilmu goloknya seperti dikombinasikan dengan gerakan jurus
pedang nan lincah dan gesit, jelas berbeda dari kemurnian ajaran ilmu golok
keluarga In.
Tan Ciok-sing hanya tahu bahwa
In Hou punya seorang putri, tanpa murid seorangpun. Kini mendapat melihat
pemuda ini pandai juga memainkan jurus yang amat dikenalnya ini, karuan dia
melongo keheranan. Diam-diam dia lantas membatin: "Mungkin pengetahuanku
ini yang masih cetek, dunia yang sebesar ini, bukan mustahil suatu aliran
persilatan memiliki ilmu golok yang hampir mirip dengan ilmu golok keluarga In,
atau kemungkinan pula merupakan kembangan yang berhasil dicangkok dari ilmu
golok keluarga In?" Maklum In Hou adalah pendekar besar yang tersohor di
segala penjuru angin, adalah logis kalau ilmu goloknya pernah disaksikan orang
banyak. Maka masuk di akal juga kalau Tan Ciok-sing mempunyai analisa begini.
Enam tentara Watsu yang
mengeroyok si pemuda sudah tiga mati luka-luka, dua orang lagi masih bercokol
di atas kuda melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, lekas mereka keprak
kuda berpencar arah, seorang memapak kedatangan Tan Ciok-sing, seorang lagi
menerjang ke arah pemuda. Di kala Tan Ciok-sing tertegun itulah, mendadak dirasakan
angin bersiur di belakang kepalanya, tahu-tahu Long-ge-pang perwira Watsu itu
sudah mengemplang tiba. Sekilas masih sempat dilihat oleh Tan Ciok-sing, sekali
membacok balik si pemuda kembali berhasil membacok roboh seorang musuh, sekali
raih dia rampas pula sebatang Ceng-tong-cian terus ditimpuk kc arah perwira
yang membokong Tan Ciok-sing, teriakny;i
memperingatkan: "Awas
saudara." Tujuan Tan Ciok-sing hendak menolong orang, kini bcrbalik orang
yang menolong diiinyj malah.
Meski takjub mengawasi
permainan ilmu golok ti pemuda sehingga perhatian Tan lok-sing terpecah, namun
bekal kepandaiannya sekarang sudah termasuk tinggi dibanding tokoh silat kelas
satu, meski dibokong secara reflek dia masih mampu bertahan dan balas
menyerang. Pada detik-detik yang gawat itu, terdengar "Trang" yang
nyaring diseling suara "Cras" pula. Suara "trang" yang
nyaring itu karena Seng-tong-cian timpukan si pemuda dengan tepat membentur
Long-ge-pang si perwira, sementara suara "Cras" itu adalah hasil
tabasan pedang Tan Ciok-sing yang memenggal kepala si perwira, darah menyembur
tinggi ke angkasa.
Kuda putih tunggangan Tan
Ciok-sing ternyata cerdik pandai gagah pula, dalam sekejap itu, Tan Cok-sing
menjepit perutnya pula, agaknya tahu maksud majikannya, kuda putih segera
menerjang maju dengan lompatan jauh ke depan laksana panah meluncur mengudak ke
arah si perwira yang menerjang ke arah si pemuda. Baru saja si pemuda berpaling
hendak memenggal kepala si perwira ini, dilihatnya bayangan putih berkelebat,
kuda putih sudah melesat di samping tubuhnya, tahu-tahu perwira itu pun sudah
terjungkal jatuh tanpa kepala lagi. Dua tentara Watsu yang masih selamat karuan
ketakutan setengah mati, lekas mereka angkat langkah seribu. Si pemuda tidak
hiraukan musuh yang melarikan diri, kedua mata menatap Tan Ciok-sing
lekat-lekat.
Tan Ciok-sing kira orang
memperhatikan kuda
tunggangannya, maka dia
melompat turun serta memberi hormat, katanya: "Kepandaian saudara sungguh
liehay, Siaute tidak tahu diri, bikin tertawaan saudara saja."
"Kepandaianmu juga
hebat," ujar si pemuda tawar, "pedangmu itu lebih hebat lagi."
sikapnya yang tawar serba kaku lagi, bukan saja tidak nyatakan terima kasih,
diapun tidak membalas hormat.
Heran Tan Ciok-sing dibuatnya,
katanya: "Maaf kalau aku kurang hormat, mohon tanya siapa nama besar
saudara, apakah kau lari dari Tay-tong?"
Tidak menjawab, si pemuda
malah balas bertanya: "Siapa kau?"
"Aku she Tan bernama
Ciok-sing, tolong tanya..."
Mendengar nama Tan Ciok-sing
seketika berobah air muka si pemuda, belum selesai dia bicara, tahu-tahu:
"Sret" golok si pemuda telah menabas dirinya.
Mimpipun Tan Ciok-sing tidak
mengira si pemuda malah membalas kebaikannya dengan serangan golok yang
mematikan ini, karena tidak menduga dan tiada siaga hampir saja lehernya tertabas.
Untung reaksinya cukup cekatan
dia masih sempat berkelit. Teriaknya dengan darah tersirap: "Sebelum ini
aku tidak pernah mengenalmu, umpama aku terlalu campur tangan, maksud kan baik
terhadapmu, kenapa kau hendak membunuhku?"
Sekali tabasannya luput,
menyusul si pemuda memberondong lagi tiga jurusan serangan terpaksa Tan
Ciok-sing kembangkan permainan Khong-jiu-jip-pek-to untuk melayaninya, namun
dia tidak pecah perhatian untuk ajak bicara lagi.
Sekejap mata mereka telah
saling labrak lima puluhan jurus, sejauh ini Tan Ciok-sing tidak mampu merebut
golok orang, pemuda itu juga tidak mampu melukai Tan Ciok-sing. Diam diam Tan
Ciok-sing menaruh perhatian, terasa permainan golok orang memang mirip ilmu
golok keluarga In.
Lama kelamaan tergerak hati Tan
Ciok-sing, tiba-tiba dia menyerempet bahaya menyelinap maju dengan gerakan
berani ujung jari tengahnya menyentik punggung golok si pemuda di kala gerakan
si pemuda belum dilancarkan cepat-cepat dia melompat keluar kalangan, katanya:
"Berhenti, berhenti. Pernah apa kau dengan In Tayhiap?"
Tapi si pemuda tidak mau
berhenti, mukanya tampak beringas, sorot matanya pun menyala bengis, bentaknya:
"Berani kau menyebut nama besar In Tayhiap, kalau hari ini bukan aku yang
gugur, kaulah yang mampus."
"Ke... kenapa?"
tanya Tan Ciok-sing gelagapan dan bingung, tahu-tahu sinar golok menyilaukan
mata, serangan golok si pemuda semakin ganas setiap serangan mengincar tempat
mematikan di tubuhnya.
Karena sibuk melayani
rangsakan di pemuda Tan Ciok-sing tidak sempat berusaha lagi.
"Perbuatanmu sendiri masa
kau tidak tahu," hardik si pemuda, badan berputar mengikuti gerakan golok,
"Cret" dimana goloknya menyamber pakaian Tan Ciok-sing kena
ditabasnya sobek memanjang. Diam-diam si pemuda merasa "Sayang",
tabasannya ini dia kira bisa melukai tulang pundak Tan Ciok-sing. Situasi
semakin gawat dan berbahaya bagi dirinya, terpaksa Tan Ciok-sing harus melolos
pedang untuk membela diri.
Setelah pedang di tangan,
lebih leluasa dan santai saja, Tan Ciok-sing melayani serbuan lawan, dengan
sejurus Sam-coan-hoat-lun, dengan mudah dia punahkan serangan berantai si
pemuda.
Tan Ciok-sing membawa dua
bilah pedang Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam, Pek-hong-kiam tadi sudah dia
gunakan menabas mati si perwira, kini entah sengaja atau karena keripuhan
menghadapi serangan golok lawan, dia mencabut Ceng-bing-kiam. Si pemuda tadi
sudah perhatikan Pek-hong-kiam yang dia pakai, kini melihat dia melolos
Ceng-bing-kiam, maka perhatiannya semakin besar, setelah lebih diteliti,
Ceng-bing-kiam ini seperti pedang yang sudah dikenalnya baik, karuan hatinya
semakin kejut dan gusar.
Kepandaian si pemuda ternyata
memang cukup tinggi, tapi cukup bagi Tan Ciok-sing.
mengembangkan
Bu-bing-kiam-hoat, adalah gampang kalau dia mau mengalahkan si pemuda. Tapi Tan
Ciok-sing masih bimbang, dia kuatir bila kurang hati-hati bisa melukai si
pemuda. Semula dia balas menyerang untuk mempertahankan diri maksudnya supaya
si pemuda tahu diri dan mundur teratur. Tak nyana si pemuda justru tidak
hiraukan lagi mara bahaya yang mengancam. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing
patahkan saja semua serangan lawan. Sedapat mungkin dia berusaha tidak melukai
lawan tapi juga harus berjaga supaya tidak dilukai, maka dapatlah dibayangkan
betapa sukar dan berat usahanya ini. Beberapa kejap lagi Tan Ciok-sing
berpikir: "Sebodoh-bodohnya mestinya dia tahu aku menaruh belas kasihan
padanya. Aneh, kenapa dia seperti mau adu jiwa dengan aku?"
Si pemuda tidak bodoh, diapun
tidak gegabah, dia pun sedang berpikir: "Aneh, kenapa bangsat ini menaruh
belas kasihan padaku? Ya, mungkin sengaja dia masih berpura-pura jadi orang
baik untuk menipuku."
Setelah punahkan serangan
orang Tan Ciok-sing berkata: "Saudara, aku tidak tahu kau pernah apa
dengan In Hou, tapi kalau kau memanggilnya In Tayhiap, umpama bukan murid
didiknya, tentunya kaupun seorang yang pengagumnya. Kenapa tidak kita bicara
blak-blakan saling menerangkan? Bicara terus terang, aku ada sedikit hubungan
dengan In Tayhiap."
"Kau ada hubungan apa
dengan dia?" jengek si pemuda.
"Beritahu dulu apa
hubunganmu dengan In Tayhiap, nanti kujelaskan apa yang aku tahu
kepadamu."
Pemuda itu menjengek:
"Apa yang pernah kau lakukan aku sudah tahu, tidak perlu kaujelaskan lagi
padaku."
"Kau tahu tentang
apa?" tanya Tan Ciok-sing heran.
Tiba-tiba si pemuda mencabut
keluar sebatang pedang, dengan pedang di tangan kanan golok di tangan kiri dia
menusuk dan menabas ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya: "Aku tahu kau adalah
keparat yang mencelakai In Tayhiap dengan racun."
Enteng gerakan pedang, golok
bergaya berat dan keras, dua tangan memainkan dua macam senjata yang berbeda
dengan jurus permainan yang berlainan pula, sebetulnya merupakan permainan
kombinasi yang amat sukar, tapi pemuda ini justru dapat menggabungkan keras dan
lunak dalam gerakan yang serasi. Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing memang peranti
untuk menghadapi serangan yang banyak perubahan dan variasinya, namun dia toh
hampir kecundang. Terpaksa dia tumplek perhatian, serangan lawan dia punahkan
secara enteng, katanya: "Bukan aku ingin mengagulkan diri, tapi apa yang
kulakukan justru terbalik dari tuduhanmu. In Tayhiap memang terbunuh oleh oYang
jahat yang licik, tapi akulah orang yang pernah menolongnya. Walau aku sudah
berusaha sekuat tenaga hendak menolong jiwanya, sayang usahaku tidak berhasil."
Mendengar Tan Ciok-sing
menyinggung kematian In Hou, amarah si pemuda memuncak sampai tidak kuasa
bicara, akhirnya dia mendamprat dengan suara gemetar: "Kau keparat ini,
kau bisa menipu orang lain, jangan harap kau bisa menipuku. Memang, dengan bekal
kepandaianmu secetek ini tak bakal dapat mencelakai jiwa ln Tayhiap, tapi kau
justru memungut keuntungan di kala dia dalam keadaan susah, membantu musuh
berbuat kejahatan, itu berarti pula yang mencelakai jiwanya," mulut bicara
tangan tak pernah kendor, pedang menusuk golok menabas, serangannya merabu
semakin keji.
"Aku membantu
kejahatan?" dengus Tan Ciok-sing gusar, "aku mencelakai In Tayhiap?
Siapa yang bilang kepadamu?" sedikit lena "Cret" kembali bajunya
tergores sobek, hampir saja pundaknya tertusuk pedang lawan. Melihat sedemikian
besar rasa permusuhan si pemuda terhadap dirinya, diam-diam dia mencari akal:
"Kujelaskan juga dia takkan mau percaya," tiba-tiba tergerak
pikirannya, golok pusaka milik In Hou segera dia keluarkan, katanya: "Baiklah
biar kugunakan ilmu golok keluarga In mohon pengajaranmu," dia meniru
permainan si pemuda, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, maka
terjadilah serang menyerang yang sengit.
Melihat golok pusaka itu,
mendelik membara bola mata si pemuda, bentaknya: "Bangsat keparat, katamu
bukan kau yang mencelakai In Tayhiap, bagaimana golok In Tayhiap bisa berada di
tanganmu?"
"Dia sendiri yang
menyerahkan kepadaku, dia titip supaya aku menyerahkan kepada sanak
keluarganya. Tentunya kau tahu seluk beluk keluarganya..."
"Siapa percaya
obrolanmu?" damprat si pemuda murka, sebelum Tan Ciok-sing bicara habis
kembali dia mendesak dengan serangan gencar pula.
Sejauh ini Tan Ciok-sing mulai
menduga bahwa pemuda ini pasti ada hubungan erat dengan keluarga ln, asal dia
bisa menyebut nama putri In Hou, tak jadi soal aku serahkan golok ini kepadanya
supaya disampaikan. Tak kira setelah melihat golok pusaka ini, si pemuda malah
semakin beringas dan memandangnya seperti musuh buyutan. Apa boleh buat
akhirnya Tan Ciok-sing berkeputusan untuk mengalahkan dia lebih dulu. Selama
tiga tahun menggembleng diri di Ciok-lin, Bu-bing-kiam-hoat tingkat terakhir
pun telah berhasil diyakinkan, adalah jamak kalau taraf permainan ilmu golok
keluarga In yang dipelajarinya juga sudah keliwat matang. Kalau diukur jelas
lebih unggul dari si pemuda.
Dengan golok melawan golok,
pedang menghadapi pedang, Tan Ciok-sing berhasil menekan rangsakan kedua
senjata lawan. Belasan jurus kembali telah lewat, si pemuda jelas sudah
ditekannya di bawah angin hanya mampu membela diri tak kuasa balas menyerang.
Mendapat angin Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Golok dapat kurebut
atau kucuri, tapi ilmu golok ini memangnya bisa kucuri. Ketahuilah, karena
ingin membalas budi kebaikanku yang telah menolong jiwanya, maka In Tayhiap
sudi mengajarkan ilmu golok ini kepadaku?"
"Ajaran ilmu golok memang
tidak bisa dicuri, memangnya buku ajaran ilmu goloknya itu tidak bisa kau curi?
Sayang, berdasar ajaran buku ilmu golok itu kau belajar sendiri tanpa izin,
memangnya kau kira permainan golokmu ini boleh dibanggakan," entah karena
terlalu banyak bicara, gerakan goloknya ternyata menunjukkan sebuah titik
lobang kelemahan.
Tan Ciok-sing sudah naik
pitam, punggung golok tiba-tiba membalik dengftn gerakan serupa dia merangsek
maju menekan turun golok perak si pemuda, jengeknya: "Cara bagaimana baru
terhitung mahir dan patut dibanggakan?"
Dalam jangka sepercikan api
ini, golok perak si pemuda tiba-tiba membalik turun, gerakan Siang-jiu-to yang
sebetulnya menjojoh ke atas tiba-tiba dia tabaskan ke bawah dalam tiga jalan
dengan tipu He-jiu¬ to, bentaknya: "Perubahan ini kau tidak mampu, masih
berani kau ngapusi aku bilang In Tayhiap mengajar langsung kepadamu?"
Tajam golok menabas secepat
kilat, tahu-tahu Tan Ciok-sing rasakan lututnya silir, ternyata celananya
terpapas sebesar mulut cangkir, kalau dia tidak menyurut mundur, hampir saja
lututnya tertabas kutung.
Dalam detik-detik berbahaya
ini, Tan Ciok-sing tidak sempat banyak pikir lagi, pedang di tangan kanan
segera balas menyerang, secara reflek dia lancarkan tipu pedang yang paling
liehay dari Bu-bing-kiam-hoat untuk mematahkan serangan lawan tanpa hiraukan
keselamatan lawan lagi. "Trang" golok perak si pemuda tahu-tahu
kutung jadi dua, gerakan pedang Tan Ciok-sing ternyata masih terus melaju,
sekali pelintir dan sendai Ceng-kong-kiam yang dipegang si pemuda kena
diketuknya lepas dan terbang ke tengah udara.
Kalau si pemuda amat kaget,
tak kalah kagetnya pula Tan Ciok-sing sendiri. Untung pemuda itu tidak terluka,
baru lega hati Tan Ciok-sing, lekas dia menarik golok dan pedang lantas
dimasukan ke sarungnya, bentaknya: "Siapa kau sebetulnya?"
Setelah mendapat warisan murni
ajaran Kungfu Thio Tan-hong baru Tan Ciok-sing berhasil mempelajari ilmu golok
keluarga In secara menyeluruh. Bicara soal kemahiran memang dia lebih unggul,
tapi dinilai kemurnian ajarannya, jelas pemuda ini lebih matang. Ini dapat
dibuktikan dari permainannya pada jurus terakhir barusan.
Tidak menjawab si pemuda
mendadak melejit tinggi, dengan gerakan Yan-cu-sam-jau-cui Tiga Kali Burung
Walet Menutul Air, beberapa kali lompatan berjangkit tahu-tahu dia mencemplak
ke punggung kuda putih. Semula Tan Ciok-sing kira orang hendak melarikan diri,
setelah melihat menunggang' kudanya baru dia terkejut, lekas dia bersiul
pikirnya hendak mengundangnya kembali. Biasanya kuda putih ini amat penurut
pada dirinya, kini entah mengapa, dia tidak lagi tunduk akan perintahnya. Tanpa
melawan dia diam saja si pemuda menunggang di punggungnya terus kabur secepat
angin malah.
Heran dan rasa curiga
berkecamuk dalam benak Tan Ciok-sing, pikirnya: "Pemuda ini pasti anak
didik langsung dari In Tayhiap. Tapi suhu pernah bilang bahwa dia hanya
mewariskan ilmu goloknya kepada putrinya saja, memangnya siapa dan darimana
pemuda ini mempelajari ilmu golok itu? Mungkinkah murid penutupnya? Hal ini
belum juga diketahui oleh Suhu? Aneh, biasanya kuda itu binal dan galak
terhadap orang lain, kenapa dia mau tunduk pada pemuda itu." Tan Ciok-sing
tetap tidak habis mengerti, sementara si pemuda sudah jauh mencongklang kuda
putih itu.
Untung kuda tunggangan tentara
Watsu yang jadi korban itu masih berada di sekitarnya. Tan Ciok-sing tangkap
salah satu di antaranya, pikirnya: "Apapun yang terjadi, umpama Tay-tong
sudah diduduki musuh, aku akan tetap kesana mencari kabar."
Karena kesampok barisan
tentara Watsu ini, maka selanjutnya Tan Ciok-sing tak berani lewat jalan raya.
Jalan di atas pegunungan bukan saja lebih selamat diapun dapat selalu mengamati
keadaan di padang rumput nan luas terbentang sunyi itu.
Sepanjang jalan ini dia tempuh
dengan perasaan kebat kebit, kira-kira dua jam perjalanan dia tetap tak
menjumpai seorang manusia. Memang aneh, pasukan musuh tidak pernah dilihatnya
lagi, di padang rumput nan jauh di bawah sana pun tiada gerakan apa-apa.
Tengah Tan Ciok-sing masgul,
mendadak didengarnya suara berisik agak jauh di semak-semak rumput di depan
sana. Jaraknya masih ratusan langkah, orang biasa tak mungkin mendengar
keresekan ini, tapi kepandaian Tan Ciok-sing sudah tinggi. Lwekangnya tangguh,
pendengarannya tajam, dia tahu di semak rumput sana ada orang sembunyi.
Tiba-tiba di dengarnya dari
semak-semak itu seorang berbisik-bisik: "Aneh, entah dari mana datangnya
bocah ini, seorang diri menunggang kuda, berani menuju ke utara, memangnya dia
hendak
pergi ke Tay-tong
malah?"-
seorang lagi berkata,
"Peduli siapa dia dari mana, kebetulan kita bisa merampas kudanya."
Tan Ciok-sing melengak,
pikirnya: "Aneh, kedua bangsa asing ini kok pandai berbahasa Han selancar
ini?" tengah berpikir, "ser, ser" dua batang panah tahu-tahu
sudah menyamber ke arah dirinya.
Kedua panah ini mana dapat
melukainya? Sekali raih Tan Ciok-sing tangkap sebatang, sebatang yang lain
sasarannya jauh menceng ke samping. Agaknya bidikan panah tentara Watsu ini
terlalu rendah.
Cepat Tan Ciok-sing keprak
kudanya, bentaknya: "Siapa itu yang membokong, hayo menggelinding
keluar."
Dua orang yang mendekam dalam
semak-semak itu segera melompat keluar, sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing,
mereka memang tentara, tapi bukan tentara Watsu, sebaliknya tentara kerajaan
Bing dari bangsa Han tulen.
Begitu melompat keluar kedua
tentara ini menjinjing tombak terus menusuk, seorang lagi mengayun golok besar
menghadang di depan terus membacok kepala kuda. Yang bersenjata golok ini tentara
yang sudah berusia lanjut, lekas Tan Ciok-sing tarik tali kekang sehingga
kepala kuda terhindar dari bacokan, karena terlalu bernafsu mengayun golok,
tentara tua ini sampai terjerembab jatuh bergulingan.
Sungguh geli dan jengkel pula
Tan Ciok-sing dibuatnya, sekenanya dia ayun dan sendai pecutnya, sekali gulung
dia rampas tombak panjang tentara muda itu, "pletak" langsung dia
putuskan tombak itu jadi dua, bentaknya: "Kalian tidak berani melawan
kepada musuh penjajah, tapi berani menindas rakyat jelata melulu?"
kutungan tombak dibuang segera dia melompat turun.
Saking ketakutan kedua tentara
itu berlutut dan menyembah sambil minta ampun.
"Aku bukan rampok, aku
adalah rakyat jelata. Hayo berdiri dan jawab pertanyaanku dengan betul, nanti
kuampuni jiwa kalian."
Kedua orang itu mengiakan
sambil munduk-munduk. Tanya Tan Ciok-sing: "Bagaimana keadaan
Tay-tong?"
"Sudah diduduki
musuh," jawab kedua orang seperti berlomba omong.
"Kalian baru lari dari
Tay-tong?"
"Betul, kita rombongan
terakhir yang meninggalkan Tay-tong."
Jauh hari sebelum ini Tan
Ciok-sing sudah menduga cepat atau lambat Tay-tong pasti direbut musuh, tapi
mendapat bukti dari mulut kedua tentara ini, mau tidak mau dia merasa merinding
dan dongkol pula. "Tak nyana dari laksaan li dirinya ke mari, Tay-tong
sudah di depan mata, namun kota yang dituju sudah terinjak-injak di bawah tapal
kuda musuh.
"Kenapa tidak kulihat
rombongan besar pasukan pemerintah yang melarikan diri?" tanya Tan
Ciok-sing.
"Komandan kita takut
mati, sebelum musuh tiba dia sudah melarikan diri diam-diam. Setelah musuh tiba
di bawah tembok wakil komandan kita bersama seluruh stafnya beramai-ramai lari,
sudah tentu kaum keroco seperti kita tak lagi berani bertahan menjaga kota.
Kita tak berani lari ke negeri sendiri, tak berpakaian seragam tentara pula,
terpaksa lari pura-pura sebagai pengungsi."
"Pasukan pemerintah takut
melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, tak heran kaum penjajah
bertingkah dan mengganas," demikian ujar Tan Ciok-sing
"Hohan," kata
tentara tua, "kau tidak akan ke Tay-tong bukan?!"
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Aku memang hendak ke Tay-tong."
Orang tua itu terkejut,
katanya: "Dalam situasi seperti ini, kau masih mau pergi ke Tay-tong?
Hohan, walau kau berkepandaian tinggi. Jangan seorang diri pergi ke sarang
harimau lho."
"Pepatah mengatakan tidak
masuk sarang harimau, mana dapat menangkap anak harimau? Kau tak usah
menguatirkan diriku. Semoga kalian selamat dan lekas sampai di rumah,"
habis bicara segera dia keprak kudanya berlari ke arah Utara.
Sehari penuh Tan Ciok-sing
menempuh perjalanan, heran selama ini tak pernah dia kesamplok lagi dengan
seorangpun, jejak musuh juga tidak kelihatan. "Mungkin setelah pasukan
besar musuh menduduki Tay-tong, mereka perlu istirahat beberapa lama, maka
tidak berlaju ke arah barat, pasukan kecil yang terbunuh di jalanan tadi
mungkin hanyalah barisan ronda yang bertugas menyirapi situasi musuh?"
Hari kedua menjelang tengah
hari, Tay-tong sudah kelihatan tak jauh di depan sana. Tan Ciok-sing berada
dipuncak gunung seberang mengawasi keadaan musuh dari tempat tinggi. Dilihatnya
tembok kota yang biasa ramai dan mengibarkan bendera kini kelihatan sepi dan
lenggang, jangan kata bayangan manusia, bayangan binatangpun tak kelihatan.
Lama dia mendekam mendengarkan suara apa-apa, tapi tiada terdengar derap kaki
kuda atau adanya tanda-tanda pertempuran. Diam-diam Tan Ciok-sing menaruh
curiga, pikirnya: "Memangnya kota dikosongkan sebagai muslihat menjebak
musuh?"
Semula dia bermaksud masuk ke
kota setelah malam tiba, kini melihat keadaan yang sepi ini timbul nyalinya,
maka dia bedal kudanya turun dari gunung langsung berpacu ke bawah kota.
Semakin dekat, keadaan tetap
sunyi, tiada tentara yang keluar menghalanginya, agaknya kota ini memang sudah
kosong. Pintu gerbang kota juga terbentang lebar, tiada seorangpun penjaga. Tan
Ciok-sing keprak kudanya masuk kedalam kota. Jalan raya sunyi senyap
rumah-rumah sama tutup pintu, entah ada tidak penghuninya.
Setelah putar kayun menyusuri
dua tiga jalan raya, barulah Tan Ciok-sing melihat sebuah warung teh yang
setengah menutup pintu, seorang bocah bemsia dua belasan tengah longok-longok
ke arah sini, lalu berpaling kedalam dan berkata: "Kek, bukan tentara
asing, seorang Han yang menunggang kuda."
Tan Ciok-sing baru paham,
pikirnya: "Kiranya mereka kira aku ini tentara Watsu," maka dia
mendekat dan turun terus mengetuk pintu katanya: "aku datang dari selatan,
mohon suka diberi air minum."
Bocah itu berkata: "Kek,
sudah lama kita tidak buka warung, kebetulan ada tamu datang. Perutku memang
sudah kelaparan, hayolah kita layani," maklum usianya masih kecil, dia
maklum kalau berdagang pasti mendapat uang, ada uang baru bisa beli nasi.
Seorang tua membuka daun pintu
yang sudah keropos, katanya dengan tawa getir: "Berdagang pula? Tuan ini,
terus terang, meski sebelum ini kami buka warung, tapi sekarang daun teh pun
kami tidak punya lagi. Kau minta minum, terpaksa aku hanya bisa menyuguh
segelas air putih saja."
"Sehari ini aku tidak
minum barang setetes air. Rasa dahaga tak tertahan lagi, terima kasih kalau
Lo-tiang sudi memberi segelas air minum."
Orang tua ini memang baik
hati, segera dia membawa keluar semangkok penuh air putih, katanya.
"Siau-ko, kenapa dalam keadaan seperti ini kau masih datang ke
Tay-tong?!"
"Hubungan putus berita
tidak sampai, waktu aku berangkat, tidak tahu kalau disini sudah perang. Tapi
masih untung, Tay-tong kan masih belum direbut musuh."
"Beberapa hari ini
sungguh berbahaya, musuh sudah berada di bawah tembok, pasukan pemerintah sudah
lari semua, pada detik kita menunggu serbuan musuh kedalam kota. Entah kenapa
dalam semalam saja, musuh yang berjejal di bawah tembok ternyata sudah pergi
semuanya. Ada yang bilang karena Kim-to Cecu turun gunung memutus jalan mundur
mereka, mereka tidak tahu kalau pasukan pemerintah sudah merat seluruhnya,
kuatir terkepung dan di tekan dari depan belakang, maka lekas-lekas mereka
mengundurkan diri. Ada pula yang bilang dalam negeri mereka terjadi perebutan
kekuasaan, entah mana yang betul."
"Peduli mana yang benar,
kenyataan nama besar Kim-to Cecu memang menggetar nyali musuh. Pasukan musuh
agaknya memang dipecah dalam jumlah banyak untuk mundur, ada juga yang terputus
jalan mundurnya maka main bunuh dan mengganas terhadap penduduk."
"Betul, pasukan kecil
musuh yang terpencar itu banyak yang mengganas didalam kota setelah tahu kota
ini tidak terjaga, rakyat jelata menjadi korban mereka, harta benda dan rangsum
mereka rampas seluruhnya," demikian tutur si kakek.
"O, kiranya begitu,
banyak terima kasih akan pelayanan kakek, tiada yang dapat kubuat balasan,
silahkan terima setengah karung rangsum kering ini," lalu dia buka kantong
rangsum dan berkata: "Adik cilik, nah cobalah kamu akan ini."
Bercahaya mata bocah yang
sudah kelaparan ini, teriaknya: "Waduh wanginya. Hore, aku dapat kue bolu,
aku dapat kue bolu Kek, kau pun makanlah setengah."
"Air semangkok terhitung
apa," ucap si kakek. "Siau-ko, mana berani aku terima kebaikanmu
ini?"
"Terus terang, rangsum
kering ini sebetulnya bukan milikku," ujar Tan Ciok-sing geli.
Si kakek melengak, hati curiga
tapi dia tidak berani tanya, adalah si bocah yang tidak tahu urusan segera
berdiri dan tanya: "Wah, jadi hasil rampasan? Kalau kau merampas milik
orang lain, tak berani aku memakannya."
"Bukan hasil
rampasan," kata Tan Ciok-sing, "di tengah jalan ada kesamplok pasukan
kecil musuh, tapi musuh yang sudah mati maka rangsum mereka aku ambil."
"Siapa yang membunuh
mereka?" tanya si bocah terbelalak.
"Entahlah, kulihat ada
delapan mayat musuh menggeletak di tanah berumput, kuda mereka berpencar makan
rumput. Setelah mengumpulkan rangsum mereka, aku ambil seekor kuda untuk
melanjutkan perjalanan."
Bocah itu berjingkrak sambil
tepuk tangan: "Pasti anak buah Kim-to Cecu yang mengganyang mereka."
"Jadi barang milik Watsu,
hayolah kita sikat saja," seru si bocah lalu mengganyang kue bolu itu
dengan lahapnya.
"Siau-ko, sungguh baik
hati, entah bagaimana aku harus membalas kebaikan ini. Adakah sesuatu yang
perlu kubantu? Oh, ya, aku belum sempat tanya, logatmu dari luar daerah, untuk
apa kau menempuh bahaya datang ke Tay-tong?"
"Aku mendapat pesan dan
titipan seorang kenalan untuk mencari seseorang disini."
"Entah siapa yang Siau-ko
cari?"
"Di kota Tay-tong ini ada
seorang In Tayhiap In Hou, apakah Lo-tiang kenal dia?"
"Mana mungkin kita tidak
kenal In Tayhiap," sela si bocah, "waktu kecil pernah aku melihatnya.
Rumah mereka tidak jauh dari sini, belok ke kiri di ujung jalan raya itu lalu
tiba di persimpangan jalan di depan pintunya terdapat sepasang batu singa besar,
nah itulah rumahnya. Aku bisa antar kau kesana."
"Jadi kau hendak mencari
In Tayhiap? Sayang sudah tiga tahun In Tayhiap tidak pulang."
"Apakah In-hujin tak di
rumah?"
"In-hujin?" si kakek
melengak, "In-hujin yang kau tanyakan? Masa kau belum tahu?"
"Tahu apa?" balas
tanya Tan Ciok-sing.
"Maaf akan kelancangan
Lo-han, siapa yang suruh kau kemari mencari In Tayhiap?!"
"Aku adalah salah seorang
pembantu yang bekerja di istana keluarga Toan di Tayli atas perintah
Siau-ongya, aku disuruh menyambut keluarga In Tayhiap untuk mengungsi ke
Tayli."
Kakek ini tahu bahwa keluarga
In memang ada hubungan keluarga dengan keluarga Toan di Tayli, tapi hubungan
tidak sering, maka dalam hati dia membatin: "Mungkin keburukan keluarga
pantang tersiar keluar, soal itu tentu tak pernah dibicarakan In Tayhiap dengan
keluarga Toan. Atau mungkin juga pernah dibicarakan, namun Siau-ongya itu tentu
takkan memberi penjelasan pada bawahannya. Setiba disini setelah tahu In
Tayhiap tiada di rumah, adalah jamak kalau dia menanyakan In-hujin."
"Jadi In-hujin juga tidak
di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.
"Sejak beberapa tahun
lalu In Tayhiap sudah berpisah dengan istrinya," demikian ujar kakek tua.
“Lho, kenapa?!" tanya Tan
Ciok-sing kaget.
Kakek itu geleng-geleng,
katanya: "Aku mana tahu. In Tayhiap sering minum-minum di warungku ini,
urusan pribadinya sudah tentu tidak aku tanyakan," seakan-akan dalam
persoalan ini ada rahasia tertentu yang pantang diucapkan.
Sebelum ajal In Hou berpesan
supaya Tan Ciok-sing pulang ke rumah memberi kabar kepada puterinya, sejauh itu
tidak pernah menyinggung isterinya. Demikian pula suhunya Thio Tan-hong juga
berpesan supaya Ceng-bing-kiam diserahkan pada putri In Hou, tidak membicarakan
isteri In Hou. Maklum hanya setengah hari Tan Ciok-sing kumpul dengan gurunya
yang sudah dekat ajal. Adalah logis, kalau dia tidak tahu apa-apa tentang seluk
beluk keluarga In. Kini melihat sikap dan tutur kata laki-laki tua ini ada
sesuatu yang kurang beres, maka dia tidak mendesak lebih lanjut. Tapi tujuan
kedatangannya ini adalah mencari In San, maka jejak dan berita mengenai In San
harus diselidiki.
"Kabarnya In Tayhiap
punya seorang putri, entah adakah dia di rumah?" tanya Tan Ciok-sing.
"Tak pernah kudengar
bahwa nona In pernah meninggalkan rumah, selama belasan hari ini semua penduduk
sama menutup pintu, mana berani mencampuri urusan orang lain. Apa dia masih ada
di rumah, kami juga tidak tahu."
"Apa susahnya untuk cari
tahu dia di rumah atau tidak," sela si bocah, "hayo kuantar kau ke
rumahnya kan beres."
"Terima kasih adik cilik
akan kebaikanmu, tak usah ikut repot-repot, alamat sudah kau jelaskan, aku bisa
mencarinya sendiri. Cuma titip kuda ini dan sukalah kalian merawatnya
baik-baik."
"Itu mudah," ujar si
kakek, "makanan untuk manusia memang kami tidak punya, tapi di kebun pun
banyak tumbuh sayuran dan rumput liar, soal makan untuk kuda tidak perlu
dikuatirkan."
Setelah pamitan Tan Ciok-sing
segera meninggalkan warung teh dan menuju ke alamat seperti yang diterangkan si
bocah. Pada persimpangan jalan di ujung jalan raya pada putaran kedua memang
terdapat sebuah rumah gedung dengan pintu gerbang lebar diluar pintu terdapat
sepasang batu singa besar. Cuma letak dan arah sepasang batu singa ini
kelihatan rada ganjil.
Umumnya sepasang singa ini
ditaruh dalam posisi yang sama dengan arah yang sama pula tapi sepasang singa
yang dilihat Tan Ciok-sing sekarang justeru agak aneh. Kepala batu singa
sebelah kanan tertuju ke tengah jalan, sebaliknya singa batu di sebelah kiri
justru terbalik, pantatnya yang terarah ke jalan raya, kepalanya terarah ke
pintu besar.
Tan Ciok-sing berjingkat,
pikirnya: "Siapa yang berbuat segila ini? Tapi tenaganya sungguh luar
biasa, bahwa dia berani unjuk kekuatan di depan rumah In Tayhiap, tentunya
bukan ingin melakukan tantangan belaka," lalu dengan seksama dia maju
memeriksa, singa batu sebelah kanan memang tetap pada letaknya, tapi pada badan
singa batu terdapat dekukan cap telapak tangan, memang tidak dalam tapi
kelihatan cukup jelas. Tan Ciok-sing curiga dan ragu-ragu, pikirnya pula: "Bahwa
orang ini berani pamer kepandaian di depan seorang ahli, pasti maksudnya tidak
baik. Apakah nona In kini sudah dikerjai musuh?"
Saat mana hari sudah menjelang
magrib. Tan Ciok-sing mendekati pintu menggedor cukup keras, tapi
ditunggu-tunggu tiada orang membuka pintu. Maka hati Tan Ciok-sing semakin
gelisah. "Nona In, aku mendapat titipan dari ayahmu. Kubawa golok pusaka
ayahmu sebagai bukti, harap kau suka buka pintu," demikian teriaknya
menggunakan Iwekang tinggi, suaranya tidak keras tapi dapat tersiar cukup jauh,
kalau didalam ada orang pasti mendengarnya. Tapi beruntun tiga kali
berkaok-kaok, didalam tetap sunyi dan tiada reaksi.
Kuatir putri In Hou mengalami
musibah, dia tidak hiraukan adat istiadat lagi, segera dia kembangkan ginkang
melompat ke atas tembok terus melayang kedalam hendak memeriksa keadaan
didalam.
Didalam sepi tak tampak
bayangan seorangpun, tapi tak kelihatan ada mayat disini, diam-diam lega juga
hati Tan Ciok-sing. Setelah memeriksa ruang tamu, kamar buku dan sebuah kamar
tidur yang mungkin di tempati I n Hou semasa masih hidupnya, keadaan rumah
dalam keadaan rapi dan teratur baik, tiada tanda-tanda keributan. Akhirnya dia
tiba di depan sebuah kamar yang mungkin di tempati oleh nona In. Daun pintu
hanya dirapatkan, masih tercium bau harum dari sisa-sisa asap dupa yang keluar
dari sela-sela pintu. Pikir Tan Ciok-sing: "Pasti inilah kamar tidur nona
In, pantaskah aku masuk kedalam?" pelan-pelan dia mengetuk pintu, tetap
tiada jawaban.
Tan Ciok-sing membesarkan
hati, pelan-pelan dia dorong daun pintu lalu melongok kedalam kerai di belakang
pintu setengah tergulung, kelambu menjuntai turun, seprei dan kemul serta
bantal guling tetap rapi, meja dan jendeia bersih mengkilat tiada debu. Meja
bundar di bawah jendela itu terbuat dari batu marmer hijau mulus, di atas meja
terdapat pedupaan, sisa api masih menyala. Melihat gelagatnya penghuni kamar
ini belum lama keluar dan sebentar lagi akan kembali.
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Kalau musuh In Tayhiap kemari, pasti ada tanda-tanda perkelahian
didalam rumah. Demikian pula bila nona In ketangkap musuh, sedikitnya dia pasti
melawan dan keadaan kamar tentu morat-marit."
Di kala Tan Ciok-sing
kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, mendadak didengarnya suara seorang
perempuan memanggil dengan tertahan: "San-ji, San-ji, San-ji."
Karuan Tan Ciok-sing
terperanjat, batinnya: "Mungkinkah ln-hujin telah kembali? Bila dia
melihat aku berada di kamar putrinya, wah, berabe..." sesaat dia jadi
melongo kebingungan, apakah dia harus lari keluar atau sembunyi saja.
Belum lagi dia berkeputusan,
didengarnya perempuan diluar itu menghela napas panjang, katanya rawan:
"San-ji, apa kau tidak hiraukan ibumu lagi aku datang minta
pengampunanmu," memang tidak salah dugaannya, yang datang memang ibu In
San. Setelah memasuki kamar In San, Tan Ciok¬ sing hanya merapatkan daun
pintunya saja. Langkah perempuan itu semakin dekat akhirnya berada di depan
kamar. Tapi dia tidak segera mendorong pintu.
"Kembali In-hujin berkata
dengan suara lirih: "San-ji, kau membenciku, aku tidak menyalahkan kau,
dulu memang aku yang salah. Tapi setiap detik aku selalu merindukan kau. Kini
sengaja aku kemari mencarimu, apa kau tidak sudi keluar menemuiku?"
Tan Ciok-sing memang belum
tahu akan seluk beluk kehidupan keluarga In, namun sedikit banyak dia tahu
adalah pantang dirinya mencari tahu rahasia keluarga orang lain. Jikalau sampai
konangan bahwa dirinya tahu liku-liku kehidupan keluarga lain bisa-bisa dirinya
celaka. "Tak heran kakek penjual teh itu ragu-ragu waktu membicarakan tentang
In-hujin, agaknya perpisahan antara In Tayhiap dengan isterinya, memang
berlatar belakang jelek." Demikian pikir Tan Ciok-sing karena itu dia
sadar dirinya tidak boleh keluar.
Tidak mendengar jawaban,
In-hujin berpikir: "Biar kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada
dia," maka dia berkata pula: "San-ji, aku membawa berita ayahmu,
terserah kau mau mengakui diriku atau tidak, kau akan kubawa pergi dari sini.
Karena ayahmu sudah tidak bisa merawatmu lagi," tiba-tiba dia kertak gigi
terus mendorong pintu.
Di saat In-hujin mengutarakan
isi hatinya ini, benak Tan Ciok-sing sudah berputar bolak-balik, semula dia
hendak sembunyi, tapi akhirnya dia berpikir: "Dia tahu berita apa tentang
suaminya? Aku harus tanya jelas kepadanya. Dan lagi tujuanku kemari adalah
mengembalikan barang peninggalan In Tayhiap, tidak ketemu putrinya kuserahkan
kepada isterinya kan juga sama saja. Walaupun dia sudah berpisah dengan In
Tayhiap, kenyataan kan dia tetap ibu In San," di kala dia hendak bersuara
itulah tiba-tiba daun pintu sudah didorong terbuka.
Mendadak melihat seorang
pemuda sembunyi di kamar putrinya, karuan In-hujin kaget. Baru saja Tan
Ciok-sing sempat berucap "aku", tiba-tiba dilihatnya cahaya kemilau
dingin sudah menyamber tiba, In-hujin telah menusuknya dengan pedang.
Sebat sekali Tan Ciok-sing
mengegos ke samping, di saat In-hujin melengak, sebat sekali dia berkelebat
lewat samping tubuhnya. Gerakannya boleh dikata cukup cepat sementara perasaan
In-hujin juga tergoncang, tapi dimana ujung pedang menyamber, lengan bajunya
tak urung terpapas sebagian, untung tidak melukai kulit dagingnya.
Tersipu-sipu Tan Ciok-sing
berseru: "Aku bukan orang jahat, aku kemari atas perintah In
Tayhiap."
Belum habis dia bicara bagai
bayangan mengikuti bentuk aslinya In-hujin sudah memburu tiba, "Sret"
kembali pedangnya menusuk, dampratnya:
"Memangnya In Hou suruh
kau masuk ke kamar putrinya? Sekarang waktu apa? Kau masuk ke rumah orang tanpa
permisi, kalau bukan rampok pasti pemerkosa," di kala bicara In-hujin
melancarkan delapan jurus serangan, sinar pedangnya menembus ke kanan
menyelinap ke kiri, sedikit lengah Tan Ciok-sing pasti dihiasi lobang pada
tubuhnya.
Apa boleh buat terpaksa Tan
Ciok-sing melolos golok pusaka In Hou: "Harap Pek-bo mendapat
tahu..."
"Siapa Pek-bomu?"
hardik In-hujin.
Tan Ciok-sing memutar golok
mengetuk pedang orang, katanya: "In-hujin, kau tidak percaya akan diriku,
tentunya kau percaya akan golok ini, inilah golok pusaka milik In Tayhiap,
tentunya Hujin mengenalnya baik. In Tayhiap suruh aku membawanya ke mari
sebagai tanda pengenal."
Mendengar perobahan panggilan
Tan Ciok-sing, seketika merah muka In-hujin, pikirnya: "Apa yang kuucapkan
tadi, tentunya sudah didengar seluruhnya oleh bocah ini," tiba-tiba
alisnya tegak matanya mendelik, hawa nafsu berkobar dalam benaknya, dengan
jurus Giok-li-coan-so, mendadak dia menusuk dari arah yang tak pernah diduga
oleh Tan Ciok-sing.
Bagaimana juga Tan Ciok-sing
takkan berani menggunakan golok pusaka untuk memapas pedang lawan, tapi jurus
serangan mendadak ini bukan saja keji tapi juga liehay, demi menyelamatkan
diri, tak sempat dia banyak pikir menguatirkan segala sesuatunya lagi. Untung
dia sudah meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, ilmu pedang yang khusus diciptakan
untuk menghadapi segala perubahan situasi. In-hujin melancarkan serangan
mematikan ini dia kira Tan Ciok-sing takkan mampu meloloskan diri, tak nyana
pada detik-detik ujung pedangnya hampir menusuk tubuh orang tahu-tahu
"Cret" Ceng-kong-kiam di tangannya telah kutung jadi dua, pada hal Tan
Ciok-sing hanya berputar sambil menggerakkan golok pusaka itu, maklum Tan
Ciok-sing telah melansir gerakan Bu-bing-kiam-hoat kedalam permainan golok.
"Harap Hujin suka
memaafkan," ucap Tan Ciok-sing. "Sesungguhnya memang In Tayhiap yang
menyuruhku kemari..."
"Nanti dulu, siapa
namamu?" tanya In-hujin.
Tan Ciok-sing kira orang sudah
mau mendengar laporannya, maka dia masukkan golok kedalam sarungaya, katanya:
"Wanpwe Tan Ciok-sing, bertempat di Kwi-lin..."
Berubah air muka In-hujin,
bentaknya: "Ternyata memang benar kau keparat ini."
"Wut" pedang kutung
di tangannya tahu-tahu ditimpuk dengan deru angin kencang menerjang ke dada Tan
Ciok-sing.
Untung Tan Ciok-sing cepat
berkelit, dengan gerakan Hong-tiam-thau, pedang kutung itu menyamber lewat
serambut di atas kepalanya. Teriaknya dengan tersirap: "In-hujin, aku
sudah bicara baik-baik, kenapa kau, kau..."
Beringas pucat wajah In-hujin,
beruntun dia batuk-batuk, sambil batuk sambil berkata putus-putus: "Kau
keparat ini, kau kira aku tidak tahu? Kau sudah membunuh In Hou, berani ke mari
hendak menipu aku. Hm, goloknya itu sudah kau curi dan kini kau gunakan pada
diriku, memangnya kau kira aku takut, nah rasakan kelihayanku."
Bingung dan heran Tan
Ciok-sing dibuatnya, batinnya: "Kemarin pemuda itu seketika naik pitam
setelah aku memperkenalkan diriku, menuduhku sebagai pembunuh In Tayhiap.
Sekarang demikian pula sikap In-hujin. Siapakah yang memfitnahku? Kenapa pula
mereka begitu percaya akan fitnah pada diriku, hakikatnya aku tidak diberi
kesempatan membela diri?"-Lekas sekali
dia pun sudah tahu duduk
perkaranya: "Agaknya In-hujin memperoleh kabar bahwa akulah yang
mencelakai jiwa In Tayhiap."
Batuk In-hujin tidak berhenti,
seperti orang yang sedang sakit umumnya, keadaannya sebetulnya lemah, tapi
gerakannya teramat cepat, di tengah batuknya itu dia mencopot kain ikat
pinggang, bagai ular sakti ikat pinggangnya ini berputar menari dan
bergulung-gulung, sambil memaki kain sutra merah di tangannya itu berusaha
membelit golok Tan Ciok-sing, maksudnya hendak merebutnya.
Jangan pandang enteng kain
lemas panjang ini, karena di bawah permainan In-hujin ternyata mengeluarkan
deru angin yang kencang bagai lesus, perbawanya tidak kalah dari sebatang
ruyung lemas, malah lebih lincah dan sukar dilayani. Dua jurus serangan dapat
dihindarkan, tapi jurus ketiga gerakan Tan Ciok-sing sedikit ayal, ujung kain
menyerempet ujung hidungnya, rasanya pedas dan panas. Apa boleh buat terpaksa
Tan Ciok-sing tarikan goloknya untuk menangkis. Tapi kain selendang lemas itu
justru bergerak mengikuti gerakan goloknya, naik turun seperti burung hong
terbang, sedikitpun tidak kuasa untuk membendung gerakannya. Bahwasanya golok
pusaka ini tajamnya dapat mengiris besi, tapi sekarang tak kuasa memapas
selendang sutra ini, lebih sulit dihadapi lagi karena permainan selendang sutra
In-hujin mengkombinasikan tenaga lunak dan keras, sesekali dia harus waspada
jikalau tidak mau kepalanya kena dikemplang.
Apa boleh buat Tan Ciok-sing
keluarkan pula Pek-hong-kiam pemberian Thio Tan-hong, dengan golok di tangan
kiri pedang di tangan kanan, dia melibat dirinya didalam cahaya pedang dan
sinar golok, kini keadaannya agak mending, tapi paling hanya mampu bertahan
membela diri, hakikatnya tak mampu balas menyerang.
In-hujin menjengek dingin:
"Kiranya kau keparat cilik ini juga berhasil menipu pedang pusaka Thio
Tan-hong."
Kecut tawa Tan Ciok-sing,
katanya: "Cara bagaimana baru kau mau percaya padaku? Ketahuilah Thio
Tayhiap adalah guruku, Pek-hong-kiam ini adalah pusaka perguruan yang
diwariskan padaku, masih ada sebatang Ceng-bing-kiam..."
"Untuk putrimu",
belum sempat dia ucapkan, tahu-tahu pergelangan tangan terasa kesemutan, golok
pusaka di tangan kiri sudah tergulung lepas dari cekalannya, sekali sendai dan
dorong golok yang tergulung di ujung selendangnya dia timpuk balik, karena
sibuk mempertahankan diri, Tan Ciok-sing tidak sempat berbicara lagi.
"Trang" golok dan
pedang beradu, sama-sama senjata pusaka maka meletiklah kembang api, untung
pedang dan golok tiada yang gumpil. Golok
berkerontangan jatuh di
lantai, selendang In-hujin kembali hendak membelit pedang pusakanya. Hanya
bersenjata pedang, meski ilmu pedangnya liehay, karena kurang pengalaman,
lambat laun Tan Ciok-sing semakin kerepotan.
Di tengah pergulatan antara
permainan pedang melawan selendang sutra lemas itu, Tan Ciok-sing mendengar
batuk In-hujin semakin keras dan memanjang, agaknya keadaannya juga semakin
payah.
Terpaksa Tan Ciok-sing boyong
seluruh kepandaiannya, beberapa jurus dia berhasil punahkan serangan In-hujin,
sedikit peluang segera dia berseru: "In-hujin, kau sedang sakit bukan?
Sukalah kau berhenti dulu, biar aku bicara beberapa patah? Jelas aku takkan
bisa lolos, kaupun bisa beristirahat."
Maksudnya baik, tak tahunya
mendadak In-hujin menyerang lebih gencar dan berantai, "Tang"
akhirnya Pek-hong-kiam di tangan kanan Tan Ciok-sing kena dibelit dan terlepas
dari cekalannya. Begitu pedang dikipatkan dan terlempar di pojok kamar, sekali
membalik pergelangan tangan pula, ujung selendang itu selincah ular tahu-tahu
membelit leher Tan Ciok-sing, seperti ular hidup saja lilitan selendang sutra
atas lehernya ini semakin mengencang, hanya sekejap Tan Ciok-sing sudah
megap-megap hampir putus napas.
Diam-diam Tan Ciok-sing
mengeluh: "Tak nyana hari ini jiwaku amblas di tangan In-hujin secara
penasaran," meski dia sudah dalam keadaan kepepet, secara reflek adalah
jamak kalau dia berusaha membebaskan diri.
Sekejap lagi pandangan Tan
Ciok-sing sudah mulai gelap, kepalanya berkunang-kunaang pusing tujuh keliling,
tenaga untuk merontapun sudah tiada lagi. Insaf bahwa jiwa sendiri bakal
melayang, tiba-tiba di dengarnya In-hujin batuk-batuk pula beberapa kali, entah
mengapa, selendang yang membelit lehernya perlahan-lahan mengendor.
Sukma Tan Ciok-sing boleh
dikata sudah putar balik dari sorga dunia pula, agak lama baru dia bisa
memulihkan kesadarannya, waktu dia membuka mata, dilihatnya In-hujin juga
mendeprok di lantai, wajahnya pucat pias, darah meleleh di ujung bibir, darah
tampak pula berceceran di lantai.
Lekas Tan Ciok-sing tenangkan
diri, hawa murni dikerahkan berputar tiga lingkaran, lekas sekali dia sudah
memulihkan beberapa bagian tenaga dan semangatnya, lalu perlahan-lahaan
menghampiri In-hujin.
"Kau, kau bunuh aku
saja," desis In-hujin geram.
"Aku kemari bukan untuk
membunuhmu," sahut Tan Ciok-sing.
"Barusan hampir saja aku
membunuhmu, kini aku sudah tiada tenaga melawan, kenapa tidak kau
membunuhku?"
"Hujin hendak membunuhku,
mungkin karena salah paham. Memangnya aku juga harus bertindak semberono tanpa
memandang baik buruk dan benar salahnya?"
Sudah tentu In-hujin tidak
percaya akan ketulusan hatinya, jengeknya: "Muslihat apa pula yang hendak
kau lakukan?"
Tan Ciok-sing tidak banyak
bicara lagi, dia pungut dulu golok dan pedang pusaka dimasukan ke sarung lalu
mengangsurkan golok pusaka itu ke tangan In-hujin, setelah orang menggenggam
gagang golok pelan-pelan dia menariknya bangun.
"Apa yang hendak kau
lakukan?" tanya In-hujin.
"Mari kubimbing Hujin
rebah di atas pembaringan, lantai ini lembab dan dingin, tidak baik untuk kesehatan."
Meski tidak percaya bahwa Tan
Ciok-sing ternyata sebaik ini hatinya, namun dia sendiri toh harus pikirkan
kesehatan, di luar sadarnya dia genggam gagang golok lebih erat lalu beranjak
ke pembaringan dengan golok sebagai tongkat.
In-hujin rebah di atas
pembaringan putrinya, katanya: "Baiklah, ada omongan apa boleh kau katakan
kepadaku sekarang," dalam hati dia membatin: "Biar kudengar obrolan
manis apa yang hendak dia sampaikan untuk menarik simpatikku?"
"Jangan tergesa-gesa,
sekarang kau belum boleh banyak pikir, setelah keadaanmu lebih baik saja.
In-hujin sukalah kau beritahu padaku, penyakit apakah yang kau idap? Apa kau
ada membawa obat?"
Melihat sikap orang jujur dan
bicara setulus hati, bukan pura-pura dan munafik, rasa curiganya dengan sendirinya
mulai berkurang, katanya setelah menghela napas: "Penyakitku ini tak kan
bisa diobati lagi, kau tidak perlu memeras keringat."
"Sukalah kau ulurkan
tanganmu," pinta Tan Ciok-sing.
"Untuk apa?" tanya
In-hujin melengak.
"Wanpwe pernah belajar ilmu
pengobatan, meski masih cetek, maksud Wanpwe hendak memeriksa nadi Hujin."
Pikir In-hujin: "Kalau
dia mau bunuh aku sejak tadi jiwaku sudah melayang, buat apa pakai main
sandiwara segala," maka dia ulurkan tangannya, tiga jari Tan Ciok-sing
segera menekan urat nadi pergelangan tangannya. Bagi kaum persilatan bila urat
nadi penting ini sampai tercengkeram oleh lawan, itu berarti menyerahkan jiwa
raga sendiri kepada musuh. Meski In-hujin yakin Tan Ciok-sing tidak bermaksud
jahat, namun hatinya kebat-kebit juga.
Agak lama Tan Ciok-sing
memeriksa urat nadi lalu memejam mata menepekur. In-hujin berkata: "Aku
tahu penyakitku ini takkan bisa sembuh dan tinggal menunggu waktu saja, untuk
ini boleh kau berterus terang kepadaku saja."
Tan Ciok-sing geleng-geleng,
katanya: "Kau adalah angkatan tuaku, untuk menyembuhkan penyakit ini, maaf
kalau aku tidak memakai peradatan lagi." Pelan-pelan dia membalikkan tubuh
In-hujin. Sudah tentu In-hujin kaget, serunya dengan suara berat: "Kau,
apa yang kau lakukan?"
Tan Ciok-sing tidak bicara,
tangan kanan diulurkan menempel di punggung orang terus menyalurkan Iwekang ke
tubuh orang, bantu melancarkan jalan darah yang terganggu dan tersumbat, Tan
Ciok-sing sudah memperoleh ajaran murni Iwekang Thio Tan-hong, meski terbatas waktu
sehingga latihannya belum sempurna, tapi Iwekang murni dari aliran lurus ini
sungguh luar biasa. Sebentar saja terasa oleh In-hujin segulung hawa panas
timbul dalam pusarnya. Sebagai ahli silat sudah tentu dia tahu babwa Tan
Ciok-sing sedang mengobati penyakitnya secara jujur dan bajik.
Diam-diam dia menyesal akan
kecurigaan dirinya terhadap kebaikannya. Pikirnya: "Baru saja dia
bertempur dengan aku, hampir tercekik mati pula, namun dia masih sudi menguras
hawa murninya untuk membantu aku menembus urat nadi yang buntu, sungguh
memalukan kalau aku curiga padanya malah," tanpa terasa air matanya
bercucuran, katanya sesenggukan: "Kau sudah berusaha sekuat tenaga, tapi
usahamu tak kan berhasil. Jangan kau menguras hawa murnimu demi diriku."
"In-hujin kau masih ada
harapan sembuh. Jangan banyak pikiran, lekas himpun hawa murni kedalam
pusar."
Beberapa kejap lagi
didengarnya, In-hujin merintih-rintih kesakitan, teriaknya: "Panas, panas,
mampus aku karena kepanasan, aku, aku tidak kuat lagi." Ternyata hawa murni
yang dihimpun In-hujin tidak bisa disalurkan secara semestinya sementara Tan
Ciok-sing hanya mengandalkan kekuatan Lwekang sendiri juga tak kuasa menembus
Ki-king-pat-meh. Pikiran In-hujin tidak tenang lagi, maka hanya hawa api
semakin membara dalam tubuh.
Setelah bertempur tadi Tan
Ciok-sing juga kehabisan tenaga, kini harus menguras lwekang untuk menyembuhkan
penyakit In-hujin pula, keadaannya boleh dikata sudah lunglai.
Di kala Tan Ciok-sing
kehabisan daya, tiba-tiba dia teringat cara kakeknya dulu waktu menyembuhkan In
Tayhiap pernah mempergunakan petikan lagu Khong-ling-san bagian pertama, meski
belakangan In Tayhiap mati karena serbuan kawanan penjahat, bahwasanya usaha
penyembuhan dengan irama musik itu semestinya berhasil, karena mendapat bantuan
petikan harpa itu In Hou berhasil memulihkan beberapa bagian tenaganya.
"Kenapa tidak
kucoba?" demikian batin Tan Ciok-sing, "walaupun kemampuanku belum
memadai kakek, mungkin, aku masih mampu menenangkan gejolak perasaannya."
Lekas Tan Ciok-sing menyulut dupa wangi, lalu menaruh harpa antik di atas
toilet, irama musik nan merdu seketika bergema seiring dengan jarinya yang
bergerak lincah di atas senar harpa.
Laksana hembusan angin sepoi
di musim panas, seperti menemukan air di tengah padang pasir nan panas terik.
Mendadak In-hujin merasa seperti diguyur air dingin, badannya kepanasan lekas
sekali terhembus lenyap oleh semilirnya alunan musik, bara didalam hatipun
seketika padam tersiram oleh sumber air nan dingin.
Bagian pertama Khong-ling-san mengisahkan
kenangan terhadap seorang sahabat baik. Tapi In-hujin justeru terkenang pada
masa lalu, masa remajanya nan riang dan gembira, terkenang pada malam pertama
dirinya menikah mengecap kebahagiaan rumah tangga. Waktu itu dia puas bahwa
sang suami adalah seorang gagah, meski sesewaktu dia pun teringat pada seorang
pemuda lain yang pernah juga mengetuk sanubarinya.
000OOO000
Layar kenangan mulai
tersingkap. Delapan belas tahun yang lalu, dirinya masih sebesar putrinya
sekarang. Ayahnya adalah wakil komandan dari pasukan bayangkari, sedang In Hou
adalah putra In Jong yang pernah merebut Bu-conggoan. Kedua keluarga sembabat
berhubungan intim 'agi, maka pada waktu dirinya berusia enam belas, atas
putusan kedua orang tuanya, mereka dinikahkan.
Tapi ada pula seorang
laki-laki lain yang memuja dan mengejar-ngejar dirinya. Dia bernama Liong
Bun-kong, putra tunggal Liong Yau-wa yang berpangkat sekretaris militer.
Seperti juga In Hou, Liong Bun-kong berperawakan gagah, tampan dan romantis,
ilmu silatnya memang bukan tandingan In Hou, tapi dia lebih pandai main aksi
dan merayu perempuan. Ayahnya sebagai sekreteris militer, pada hal dia lulusan
sekolah sastra.
Kedua laki-laki ini sama-sama
sudah dikenalnya baik sebelum pertunangan diresmikan. Tapi dinilai keadaan
waktu itu, dia lebih cenderung untuk mencintai In Hou. Pada usia delapan belas
dia menikah, betapa riang gembira pada hari-hari pertama sejak pernikahan itu,
sampai hari ini setelah delapan belas tahun berselang, hatinya masih merasakan
manis mesra.
Tahun kedua dia melahirkan
seorang orok mungil perempuan, bayangan Liong Bun-kong hakikatnya sudah tawar
dan lenyap dari benaknya. Dia sudah cukup puas hidup dalam ketenangan sebagai
nyonya muda yang diladeni, dengan sepenuh hati dia merawat dan mengasuh
putrinya yang masih kecil. Hanya ada satu hal yang kurang memuaskan hatinya,
yaitu suaminya tidak berusaha untuk mengejar kedudukan di kalangan
pemerintahan, meski ayahnya seorang Bu-conggoan, namun dia tidak sudi
memperjuangkan pangkat dan kedudukan di bawah naungan kebesaran nama ayahnya
atau dengan bekal kepandaian sendiri.
Sayang sekali kehidupan
romantis nan bahagia ini tidak berlangsung lama, terjadi suatu perubahan pada
keluarga In, sementara dia sendiripun mulai merasakan ujian nan berat didalam gelombang
perjalanan hidup yang penuh liku-liku ini.
Karena amat kecewa dan
menentang kemerosotan wibawa kerajaan, In Jong tidak mau menaruh dirinya
didalam kalangan dorna yang berkuasa di istana, sehingga suatu ketika dia
dianggap menyalahi Ong Tin, thaykam yang paling berkuasa pada waktu itu, insaf
bahwa dirinya sewaktu-waktu mungkin terancam bahaya In Jong tahu dirinya takkan
lama lagi berpijak di istana, maka dia meletakkan jabatan pulang ke kampung
halaman Karena selalu memikirkan keselamatan negara serta keselamatan keluarga,
di hari tuanya dia jatuh sakit sampai akhir hayat loyalitasnya terhadap
kerajaan tak pernah luntur.
In Hou suaminya setelah
kematian sang ayah, tiada minatnya meneruskan cara perjuangan ayahnya, dia
lebih senang menggunakan caranya sendiri bergaul dengan kaum pendekar dalam
kalangan Kangouw, lebih celaka lagi di antara sekian banyak kawan-kawan
Kangouwnya itu, ada seorang yang bernama Ciu-San-bin justru dicap
"pemberontak" dan menjadi buronan pemerintah.
Bahwa In Hou bergaul dengan
kaum persilatan, adalah jamak kalau dia sendiri harus berkecimpung di Kangouw
pula. Dia merupakan pembantu utama dari Kim-to Cecu Ciu San-bin, mengemban
tugas berat sebagai kurir untuk menarik simpatisan dan para patriot bangsa,
maka jarang dia berada di rumah, lebih banyak waktunya berada diluar menunaikan
tugas. Mengikuti perubahan kehidupan ini, hubungan mesra suami istripun mulai
renggang. Adalah logis kalau dia tidak senang hati karena suami jarang di
rumah. Meski dalam hati dia maklum bahwa sang suami masih amat mencintainya
seperti malam pertama pernikahan mereka dulu. Dan yang lebih penting lagi
adalah dia tidak suka hidup didalam suasana kebat-kebit yang selalu diburu dan
dibayangi ketakutan, sudah tentu dia lebih tidak suka ikut suami keluntang-keluntung
dalam kehidupan Kangouw. Hatinya selalu was-was, bila suatu ketika pihak
kerajaan tahu bahwa suaminya merupakan duta penting Kim-to Cecu, akan datang
suatu hari, mereka suami istri akan dipaksa mengembara di kalangan Kangouw.
Maka timbullah kenangan masa
lalu dimana kehidupan nan tenang di kota raja serba berkecukupan lagi, mau
tidak mau bayangan Liong Bun-kong yang romantis dan tampan itu kembali timbul
dalam benaknya, dalam impiannya pula.
Bahwa sebagai istri dia
menentang jalan hidup yang ditempuh suaminya, apalagi ayahnya yang semakin
berkuasa dan gila harta dan pangkat ini, dia lebih kurang senang mempunyai
seorang menantu yang tidak suka maju malah terima menjebloskan diri kedalam
lumpur kenistaan. Maka pada suatu hari waktu dia pulang ke kandang orang
tuanya, ayahnya tak mau melepasnya pulang ke rumah suaminya. Dan apa boleh buat
dia sendiripun suka rela menetap di rumah orang tuanya.
Selama ini Liong Bun-kong
masih membujang, mendapat tahu bahwa dia kembali ke rumah orang tua, dua tiga hari
dia pasti datang berkunjung. Kini ayahnya sudah naik pangkat lebih tinggi pula,
di kalangan militer Liong Bun-kong juga sudah memperoleh pangkat yang tidak
rendah di bawah naungan orang tuanya.
Ternyata ayah bundanya ketarik
dan sering memuji Liong Bun-kong di hadapan putrinya, sementara sikap
Liong-kongcu tak pernah luntur, dia tetap ramah dan menaruh hati serta
memperhatikan segala kebutuhannya.
Setelah meninggalkan suami
sudah tentu merasa kesepian, terhibur juga akhirnya setelah ada pemuda tampan
kaya raya dan romantis lagi selalu menghibur dirinya. Lambat laun hubungan
mereka semakin intim, pergi tamasya, berlatih silat bersama pula.
Walau hubungannya dengan Liong
Bun-kong semakin intim, tapi dia tidak pernah melupakan suaminya, dan tak
pernah dia melanggar tata susila atau melakukah sesuatu yang mendurhakai suami.
Bahwa ayah bundanya selalu memuji Liong-kongcu setinggi langit di hadapannya,
mereka tak pernah memaksa atau menganjurkan dirinya untuk menikah lagi.
Tanpa terasa dua tahun dia
hidup di rumah orang tuanya, kini putrinya sudah berusia tujuh tahun. Dalam dua
tahun ini pernah beberapa kali timbul niatnya untuk pulang ke rumah suaminya,
tapi ayah bundanya selalu menahannya dengan berbagai alasan. Ibunya berkata:
"Kalau suamimu masih mencintaimu, sepantasnya dia datang menjemput kau
pulang. Kenyataan dia tidak pernah datang, berarti dia tidak hiraukan dirimu
lagi."
Dipikir-pikir memang
beralasan, dia ingin menguji suami, maka dia berkeputusan menunggu suaminya
datang menjemput dirinya. Tapi dua tahun lamanya, suaminya tidak pernah datang
menjemput. Tapi dia juga pernah pikir, mungkin sang suami takut bila kerajaan
tahu akan hubungan dirinya dengan Kim-to Cecu, maka dia tidak berani masuk ke
kota raja? Sudah tentu tak pernah dia utarakan rahasia suaminya ini terhadap
kedua orang tuanya, pernah juga dia coba-coba mengorek keterangan ayahnya,
agaknya beliau belum tahu bahwa suaminya ada hubungan dengan Kim-to Cecu.
Namun dia berpikir pula, bila
suaminya masih mencintai dirinya, meski menempuh bahaya pasti juga datang.
Umpama kata amat berbahaya, paling tidak kan mengirim kabar atau surat. Maklum
kalau dia ngambek dan amat dongkol, akhirnya tak pernah terbetik pikiran lagi
untuk pulang ke rumah suaminya. Tapi sebab utama akan keputusannya ini adalah
karena dia tidak rela meninggalkan kehidupan yang serba makmur dan berkecukupan
di kota raja ini.
Akhirnya datang suatu hari.
Hari itu dia di ajak Liong Bun-kong menikmati pemandangan daun merah di
Say-san, sehari penuh mereka melancong dengan riang dan gembira. Malamnya
setelah dia pulang ke rumah baru diketahui bahwa putrinya sudah tiada.
Waktu dia tanyakan kepada sang
ibu, tanpa menjawab ibunya mengeluarkan sepucuk surat. Begitu melihat tulisan
di sampul surat seketika dia mengenal gaya tulisan sang suami. Tapi waktu dia
buka surat itu, kenyataan itu surat perceraian. Sungguh dongkol dan kaget pula,
hampir saja dia semaput. Apa yang sebetulnya terjadi? Setelah dia puas
menangis, baru ibunya datang dan memberi tahu: "Dia tadi kemari, Siau-san dibawanya
pergi!"
"Kenapa dia menceraikan
aku?" tanyanya hambar.
"Katanya, sifat kalian
berbeda. Dia lebih suka hidup kelana di Kangouw, kau takkan mau mengikuti
jejaknya. Setelah dipikir dua tahun ini, dia rasa lebih baik berpisah
saja."
"Dan lagi," tutur
ibunya dengan suara lirih, "ada sebuah hal selama ini memang kusembunyikan
terhadapmu, menurut berita yang berhasil kami serapi, dia kini sudah punya
simpanan. Konon perempuan itu she Ciu, adik perempuan seorang yang dinamakan
Cecu entah apa. Sudah tentu dia tidak mengaku, tapi aku yakin lantaran
perempuan inilah yang menjadi biang keladinya. Kamipun belum mencari tahu
dengan jelas, bila kau ingin tahu kami bisa menyuruh orang menyelidiki hal
ini."
Dia tahu Kim-to Cecu Ciu
San-bin memang punya seorang adik perempuan, katanya: "Ma, suruhlah ayah
tak usah repot. Kalau dia sudah menceraikan aku, memangnya aku masih mengharap
untuk rujuk kembali dengan dia? Peduli dia akan menikah lagi dengan
siapa?"
Ibunya menyeka air matanya,
katanya tersenyum: "Nah itu betul, kau memang putriku yang punya pendirian
teguh. Bicara terus terang, aku pun tidak senang punya mantu seperti itu. Kalau
dia sudah menceraikan kau, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia mau
mempersunting dirimu."
"Ma, jangan kau berkata
demikian? Meski aku tidak akan rujuk, tapi selama hidupku ini, aku tidak akan
menikah lagi," tanpa terasa dia menangis gerung-gerung lagi. Dia membenci
suami, dia dongkol pula bahwa sang ibu tak dapat menyelami perasaannya.
Diluar tahunya bahwa siang
tadi suaminya datang setulus dan penuh rasa rindu serta kecintaan yang tak
pernah luntur untuk menjemputnya pulang. Kalau dia tahu duduknya, persoalan,
pasti dia akan membenci ayah bundanya, takkan menyalahkan sang suami yang telah
menulis surat cerai ini. Persoalannya adalah, ayah bundanya sudah lama tahu
kalau mantunya ada hubungan dengan Kim-to Cecu. Selama dua tahun ini sering
suaminya mengirimi surat, tapi semuanya dirampas oleh ayah bundanya.
Waktu In Hou datang hari itu,
ayahnya lantas mengancamnya atas hubungan rahasia In Hou dengan Kim-to Cecu.
Ayahnya bilang bahwa putrinya yang memberitahu rahasia ini kepada dirinya.
Diluar tahu In Hou bahwa pihak
kerajaan sejak lama sudah menanam spionnya didalam markas Kim-to Cecu, maka
hubungan intimnya dengan Ciu San-bin sudah tentu diketahui jelas, mau tidak mau
In Hou percaya akan gertakannya ini.
"Jangan kau bawa anakku
kedalam lumpur kenistaan," demikian kata ayahnya kepada In Hou siang tadi,
"kalau kau ingin membawa putrimu, boleh kau bawa. Mengingat hubungan
sebelum ini sebagai mertua dan mantu, hal ini tidak akan kulaporkan. Tapi kau
harus menulis surat perceraian," akhirnya sang mertua memaksanya untuk
menceraikan isterinya.
Sudah tentu peristiwa buruk
ini merupakan pukulan berat bagi In Hou, dia tidak percaya kalau sang istri
sudah berubah terhadapnya, katanya: "Boleh, suruhlah anakmu keluar,
dihadapannya langsung akan kubuat surat cerai itu," dia ingin tahu
bagaimana reaksi istrinya.
"Kukira tidak
perlu," kata mertua, "seorang laki-laki harus berani berkeputusan
tanpa pamrih, urusan yang berbuntut kepanjangan takkan membawa untung kedua
pihak."
Kata In Hou menahan gejolak
perasaannya, "Umpama
selanjutnya harus putus
hubungan suami isteri, pertemuan terakhir toh harus diberi kesempatan."
Mertuanya menjengek: "Kuharap
kau jangan menemuinya saja. Disini kau tidak akan bisa melihatnya."
In Hou ragu-ragu, katanya:
"Dimana dia sekarang?"
"Baiklah kalau kau ingin
tahu, kuberitahu padamu," kalau suara sang mertua, "sejak pagi tadi
Liong-kongcu telah mengajaknya tamasya ke Say-san. Sekarang masih sempat kau
pergi kesana melihatnya. Tapi surat cerai itu harus kau tulis lebih dulu."
Seorang pelayan sudah
mempersiapkan tinta dan alat tulis serta kertas. Seorang pelayan lain keluar
membopong putrinya In San, In San yang baru berusia tujuh tahun amat senang
melihat sang ayah, segera dia minta turun terus berlari kedalam pelukan
ayahnya, teriaknya: "Yah, kau bawa aku pulang, aku tidak senang tinggal di
rumah nenek, ibu jarang mengajak aku bermain."
Seperti disayat perasaan In
Hou, tanyanya dengan suara tersendat: "Mana ibu?"
"Sejak pagi-pagi ibu
sudah pergi jalan-jalan bersama paman Liong, dia sering pergi sendiri, aku
tidak dihiraukan lagi."
Mendengar omelan putrinya,
sungguh jengkel dan penasaran serta sedih pula hati In Hou, menahan air mata
segera dia angkat pena terus menulis surat cerai itu. Tapi dia masih belum
putus asa, dia masih ingin melihat isterinya. Setelah menitipkan putrinya pada
seorang kenalan dia menyusul ke Say-san. Memang dia melihat isterinya, tapi dia
tidak berani unjuk diri untuk berpisahan dengan sang isteri. Apa yang dikatakan
sang mertua memang kenyataan isterinya ternyata bersama Liong Bun-kong.
Waktu itu mereka sedang jalan
berendeng turun gunung, isterinya tampak mekar bersemangat, senyum selalu
dikulum, kelihatannya lebih riang dan bahagia di waktu mereka baru menikah
dulu.
Perlukah dia bicara lagi
dengan isterinya? Maka dengan perasaan luluh dan kecewa, diam-diam dia
mengundurkan diri. Hari kedua dia bawa puterinya pulang ke rumah.
Sedikitpun In-hujin tidak tahu
bahwa suaminya pernah mengintip dirinya secara diam-diam.
Tidak sampai tiga bulan
In-hujin tahu-tahu sudah berubah jadi Liong-hujin, semula dia tidak ingin
menikah pula, sayang dia bukan perempuan yang punya tekad baja, di kala kesedihan
masih dirundung badan, akhirnya dia tak kuasa melawan bujuk rayu sang jejaka.
Duduk persoalan sesungguhnya
baru diketahui, setelah ayah bundanya meninggal. Ibu inangnya yang memberi tahu
padanya.
Bu inangnya berkata:
"Siocia, waktu Hujin masih hidup aku tidak berani bicara. Dia pernah
mengancam aku, bila aku bocorkan rahasia ini aku akan dibunuhnya. Hari itu
Lo-hujin suruh aku membawa Siau-san keluar dan diserahkan kepada Ko-ya (babah
mantu), pembicaraan mereka kudengar semuanya. Siocia, orang lain takkan ada
yang bisa menyelami isi hatimu, tapi aku tahu, kau masih merindukan Ko-ya.
Ko-ya memang orang baik, akupun ikut penasaran karena dia difitnah." Bu
inang ini mengasuhnya sejak kecil, hanya dia seorang yang simpatik terhadap
nasib In Hou, meski nona asuhannya ini kini sudah menjadi Nyonya Liong, tapi
dalam percakapan ini dia tetap memanggil In Hou sebagai babah mantu. Supaya
tidak membingungkan biar*selanjutnya kita tetap mengistilahkan In-hujin
terhadap Liong-hujin baru ini.
Panjang lebar bu inang
menceritakan apa yang didengarnya hari itu, ingin menangis tapi air mata tak
kuasa menetes, perasaan In-hujin memang sukar dilukiskan pada saat mana,
akhirnya dia mengertak gigi, tanyanya: "Bagaimana dengan perempuan she Ciu
itu? Apakah perempuan itu betul-betul sudah menikah dengan dia?"
"Tiada kejadian itu,
semua itu hanya cerita bohong Lo-hujin. Dua hari yang lalu seorang keponakanku
baru kembali dari desa, katanya selama ini Ko-ya tidak menikah lagi, seorang
diri dia rawat mengasuh dan mendidik Siau-san, meski tetap sehat tapi badannya
jauh lebih kurus. Selama beberapa tahun dia tidak pernah keluar rumah pula.
Kini Siau-san sudah menanjak besar, dia titipkan kepada salah seorang kakak
misannya untuk menjaganya, baru tahun ini dia boleh keluar rumah."
"Tahun ini Siau-san sudah
berusia tiga belas tahun bukan?" ucap In-hujin mengada-ada.
"Betul, memang berusia
tiga belas. Keponakanku pernah melihatnya, katanya Siau-san amat mirip dirimu,
orang' sama memuji dia sebagai kembangnya kota Tay-tong." demikian tutur
bu inang.
Kabar putrinya dan suami yang
dahulu sudah diperoleh, memangnya dia dapat berbuat apa? Kini statusnya adalah
Liong-hujin. Pangkat Liong Bun-kong ternyata menanjak terus, karirnya semakin
maju dalam kalangan pemerintah, selama enam tahun menikah dengan dirinya, kini
pangkatnya sudah sebagai Kiu-bun-te-tok yang menguasai keamanan kota raja.
Demi gengsi, martabat dan demi
kekuasaan dan jabatan sang suami, sudah tentu dia tidak ingin pecah hubungan
dengan suaminya sekarang, malah diapun merahasiakan diri bahwa dia telah tahu
akan berita suaminya dulu dan puterinya.
Adalah mending kalau soal-soal
yang menyedihkan bisa terlampias, kalau sampai mengganjel hati, itulah
merupakan siksa derita yang paling berat di dunia ini. Selama belasan hari sejak
dia berbincang-bincang dengan bu inang tak pernah dia tidur tenang, siang
seperti lazimnya dia ngobrol ala kadarnya dengan sang suami sebelum menunaikan
tugas, maka tak lama kemudian dia mulai terserang penyakit hati yang
memusingkan.
Kalau dulu dia mendambakan
kehidupan makmur dan serba kecukupan di kota raja ini, tapi kini dia sudah
bosan akan kehidupan sebagai nyonya agung yang dipuja. Kepada suaminya dia
memohon supaya diberi kesempatan pulang ke kampung halaman menyembuhkan
penyakit.
Sudah tentu Liong Bun-kong
juga tahu bahwa tidur seranjang dengan sang isteri tapi dia tidak pernah
memiliki hatinya, karirnya sedang menanjak, sebagai pejabat tinggi sudah tentu
dia lebih bernafsu mengejar harta dan pangkat dari pada mengejar nafsu birahi
terhadap isteri yang kaku dan semakin berpenyakitan ini. Maka dengan senang
hati dia meluluskan permintaan sang isteri, kini dia lebih bebas lagi diluar
pengawasan sang isteri.
"Kau pulang saja ke
desaku," demikian kata Liong Bun-kong, "disana aku punya seorang ponakan
bernama Seng-bu, dua tahun yang lalu waktu dia kemari kau pernah melihatnya.
Kepandaian sastra dan silatnya cukup lumayan, tahun lalu diapun sudah lulus
Ki-jin tapi dia lebih suka mengejar karir di kalangan militer. Di rumah kau
bisa wakilkan aku mengajar silat padanya. Kita tidak punya anak, sejak lama aku
ingin dia menjadi pelanjut dari keluarga kita. Tapi soal ini biar ditunda bila
kelak dia sudah betul-betul punya kedudukan tinggi."
Rumah keluarga Liong berada di
Hoa-gi di daerah Kui-yang, itulah sebuah desa yang hijau permai. Dia
meninggalkan kehidupan kota yang ramai dan gaduh, menetap di desa yang aman
tentram dan sejuk ini, maka kesehatannya lambat laun semakin baik. Ilmu silat
yang telah terlantar sekian tahun ini kembali dia latih lagi, bila senggang dia
mengajar juga pada ponakan suaminya. Liong Seng-bu memang anak cerdik, pandai
mengambil hatinya lagi, lama-kelamaan dia merasa senang juga hidup di desa ini.
Tapi terasa pula bahwa keponakan yang satu ini sering bermuka-muka melucu dan
ceriwis.
Kehidupan di desa memang lebih
sederhana lebih senggang pula, sehingga sering dia melamun mengenang dan
merindukan suami yang dahulu dan putrinya. Rasa rindu ini tambah mendalam
berikut berselangnya sang Waktu, di kala malam tiba seorang diri dia suka melamun:
"Hou-ko selama ini tak pernah menikah lagi, apakah dia masih merindukan
cinta kita dulu?
San-ji sudah dewasa, apakah
dia masih mengingatku?" Beberapa kali hampir dia tidak kuasa menahan
gejolak perasaannya, ingin pulang ke rumah suaminya yang secara diam-diam untuk
menengok putrinya. Hidup di desa ini jauh dari jangkauan kekuasaan suaminya
yang sekarang, dia memiliki kepandaian, kemana dia ingin pergi, siapapun takkan
bisa menghalangi. Tapi apakah dia boleh membawa keinginan hati secara serampangan?
Kini dia adalah isteri Liong Bun-kong, Kiu-bun-te-tok yang paling berkuasa di
kota raja, mana boleh dia rujuk kembali dengan suaminya yang dahulu? Kesalahan
di pihak sendiri, menyesal juga sudah kasep. Lebih merisaukan lagi, apakah In
Hou dan putrinya sudi memaafkan kesalahannya? Kalau ganjalan hati ini tak dapat
dilenyapkan, maka sakit hati inipun sukar disembuhkan. Ai, kini dia sudah
meninggalkan suami, keadaannya tetap tak berubah laksana burung kenari yang
terkurung didalam sangkar.
Suatu kejadian yang tak pernah
terpikir sebelumnya, suatu hari dia bertemu secara mendadak dengan suaminya
terdahulu In Hou. Dalam kehidupan di desa, secara pasti tiap pagi adalah
latihan silat di hutan cemara di belakang rumahnya. Ada kalanya sang keponakan
mengiringi dia latihan, tapi lebih banyak waktu dia latihan sendiri. Maklum
pemuda yang suka royal sudah biasa kehidupan malam. Liong Seng-bu selalu bangun
siang, bila ingin mencuri kesenangan hati sang bibi saja baru dia bangun pagi
menemaninya berlatih. Lambat laun dari seminggu tiga empat kali semakin
berkurang cuma satu kali dan akhirnya satu bulan dua tiga kali saja. Hari itu
dia hanya latihan sendiri.
Setelah dia berakhir berlatih
ilmu pedang, lapat-lapat seperti didengarnya seorang mengheia napas. Suara
lembut yang hampir tak terdengar oleh siapapun, tapi justru bagi pendengarannya
suara helaan ini sudah amat dikenalnya, malah helaan yang lirih ini laksana
bunyi guntur di pinggir telinganya.
Sekejap ini hatinya gundah,
risau dan resah, tapi sudah tiada kesempatan banyak pikir lagi, sekilas
tertegun lekas dia berlari ke arah datangnya suara. Di bilahan hutan sebelah
dalam, memang dia menemukan seseorang yang sudah amat dikenalnya. Sungguh mimpi
juga tak pernah dia bayangkan? Dia coba menggigit jari, tapi rasaaya sakit,
jelas ini bukan mimpi. Hampir dia tidak percaya akan apa yang disaksikan, orang
yang berdiri di depannya memang bukan lain adalah suaminya yang terdahulu, In
Hou. In Hou sendiri tampak melenggong juga karena jejaknya mendadak konangan
dan tidak sempat sembunyi.
"Hou-ko, sungguh tak kira
aku masih bisa bertemu dengan kau. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memang kasihan
padaku yang selalu merindukan dikau, sengaja kau diantarnya ke mari untuk
menemuiku? Tapi Hou-ko, aku, aku berdosa padamu, tiada muka aku menemuimu,"
lama baru In-hujin buka suara sambil sesenggukan.
Sudah tentu dia tidak tahu
bahwa bukan Tuhan yang pengasih terhadapnya juga bukan secara kebetulan, tapi
adalah usaha In Hou sendiri yang telah memeras keringat dan pikiran, sehingga
hari ini berhasil bersua disini.
In Hou sudah mencari tahu
bahwa dia sudah meninggalkan kota raja dan tinggal di desa Hoa-gi ini, selama
beberapa tahun terakhir ini tiga kali dia menempuh perjalanan lewat Kwi-yang,
tiga kali sengaja dia mampir ke Hoa-gi dan sembunyi di sekitar rumah keluarga
Liong, bukan harapannya ingin bertemu muka dan berbincang-bincang dengan bekas
isterinya, kalau bisa mengintipnya secara diam-diam sudah lebih dari cukup puas
untuknya. Tapi karena setiap kali dia disibukkan oleh tugas penting, tak
mungkin tinggal lama di Hoa-gi, apalagi sebagai orang asing di desa itu tak
enak dia selalu mundar-mandir di sekitar rumah keluarga Liong. Oleh karena itu
setiap kali datang paling dia hanya berdiam sehari, datang tergesa-gesa pergi
terburu-buru.
Pertama tidak ketemu, kedua
memang sudah melihatnya, dia berada sama ponakan Liong Bun-kong, sudah tentu In
Hou tidak berani unjuk diri. Ketiga kali yaitu sekarang ini dan yang terakhir,
tadi dia melihat bekas isterinya sedang berlatih pedang seorang diri. Melihat
wajahnya nan sayu dan kurus, tanpa terasa dia mengheia napas panjang.
"Tidak pantas aku
menemuimu," ujar In Hou, "kalau dilihat orang, mungkin kau akan
terlibat kesulitan. Aku hanya ingin tahu, selama beberapa tahun ini apakah kau
baik-baik saja? Jikalau kau hidup bahagia, hatikupun lega dan tiada yang
kupikirkan lagi."
Perasaan yang sekian lama tak
terlampias ini kini bagai air bah yang menjebol tanggul tak tertahankan lagi,
In-hujin memeluk suaminya, katanya sesenggukan: "Bicara soal bahagia segala?
Coba lihat penyakit kini meradang tubuhku, tinggal menunggu waktu saja untuk
berpulang ke alam baka. Hou-ko, kejadian dulu..."
"Kejadian dulu jangan
disinggung lagi. Katakan saja apa keinginanmu sekarang?"
"Tidak, betapapun aku
harus bicara soal dulu, Hou-ko bukan maksudku hendak mengingkari dirimu.
Soalnya aku ditipu oleh ayah bundaku."
"Bu inangmu sudah suruh
keponakannya menjelaskan kepadaku. Kini aku hanya ingin tahu isi hatimu."
In Hou mendesak jawabannya,
karuan hatinya gundah pikiran ruwet. Memang dalam keadaan sekarang dia ingin
kembali keharibaan suami dahulu, namun banyak pula soal-soal yang dia kuatirkan
dari akibat putusannya ini, meski hubungan boleh rujuk kembali, betapapun
hubungan sudah pernah retak, umpama keretakan dapat ditambal, betapapun pasti
ada bekas-bekasnya. Memangnya mudah soal rujuk ini diselesaikan?
Akhirnya In Hou menghela
napas, katanya: "Aku ini laki-laki yang sudah kebacut kelana di Kangouw,
sekarang kau adalah istri Kiu-bun-te-tok, sebetulnya tidak pantas, tidak pantas..."
Bercucuran air mata ln-hujin,
katanya terisak-isak: "Hou-ko, kau masih belum tahu perasaanku, tentang
kejadian dulu itu, sungguh aku amat menyesal, bahwa kau tidak menyalahkan aku,
aku sudah amat berterima kasih, memangnya aku harus menyalahkan kau
malah?"
"Segala persoalan masa
lalu anggaplah sudah himpas sama sekali. Kalau kau tidak merasakan kerendahan
diriku sekarang, apa pula yang harus kau ragukan, ayolah ikut aku."
In-hujin menunduk kepala,
katanya lirih: "Hou-ko, berilah kesempatan untuk kuberpikir?"
Terunjuk mimik kecewa pada
sorot mata ln Hou, katanya kemudian: "Ya, kini kau sudah menjadi milik
orang lain, memang tidak pantas kau pergi bersamaku. Waktu amat mendesak, tak
boleh aku lama-lama disini. Begini saja, setelah kau pikirkan masak-masak, bila
kau memang ingin ikut aku, boleh kau menyusulku di Kwi-lin."
In-hujin tertegun, katanya:
"Jadi kau tidak akan pulang, tujuanmu ke Kwi-lin dan sengaja mampir ke
mari? Belum pernah aku ke Kwi-lin, disana kepada siapa aku harus mencari tahu
jejakmu?"
Kata In Hou: "Aku sudah
berjanji untuk bertemu di Kwi-lin dengan Tam Pa-kun, setiba di Kwi-lin, boleh
kau mencari It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Bersama Tam-toako kemungkinan aku
menginap di rumahnya. Umpama tidak disana, pasti dia akan membantumu mencari
aku. It-cu-king-thian Lui Tin-gak cukup terkenal di Kwi-lin, gampang kau
menemukan alamatnya."
Ada dua sebab kenapa In Hou
menyuruh isterinya menyusul dia ke Kwi-lin. Pertama karena dia tidak tahu kapan
dirinya bisa kembali. Kedua, jikalau isterinya pulang ke rumah di Tay-tong
menunggu dirinya pulang, suaminya sekarang, yaitu Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong
tahu alamat rumahnya, bukan mustahil dia mengutus anak buahnya meluruk ke
rumahnya untuk membawanya pulang, hal ini akan menimbulkan banyak kesulitan.
Kwi-lin terletak jauh dari kota raja, kekuasaan Liong Bun-kong di kota raja
takkan menjangkau sejauh ini. Apalagi di Kwi-lin It-cu-king-thian Lui Tin-gak
bisa membantu dan melindunginya.
In Hou percaya pada bekas
isterinya ini, meski telah mengalami berbagai pertikaian, namun dia masih
berani membocorkan rahasia jejaknya kepada sang isteri. Malah dengan penuh
keyakinan dia sudah siap untuk rujuk kembali di Kwi-lin.
Siapa tahu kepergiannya ini
justeru merupakan perpisahan untuk selamanya. Inilah pertemuan mereka suami
isteri yang terakhir. Karena rahasia jejaknya ini dibocorkan tanpa sengaja,
sehingga mengakibatkan dirinya mengalami peristiwa fatal dan rahasia ini
bahwasanya bukan In-hujin yang membocorkan.
Baru saja In-hujin mau bicara,
tiba-tiba In Hou berkata lirih: "Seperti ada orang datang. Ingat pesanku,
pergilah ke Kwi-lin menemui aku, sekarang aku harus berlalu."
In-hujin tersentak sadar,
lekas dia manggut-manggut, katanya lirih: "Berangkatlah, pesanmu pasti
kuingat baik-baik," hakikatnya dia tidak memberi jawaban pasti kepada In
Hou, bahwa dia akan menyusul In Hou ke Kwi-lin. Sayang In Hou pergi
terburu-buru, tak mungkin dia menelaah nada perkataannya.
Gerakan In Hou sungguh amat
cepat dan tangkas, hanya sekejap saja dia sudah menghilang. Sungguh girang tapi
juga menyesal hati In-hujin. Senang karena: "Oh, kepandaiannya ternyata
sudah jauh lebih maju, dengan ginkangnya yang tinggi ini, seharusnya dia bisa
menghindari diriku, bahwa dia mau bertemu dengan aku, agaknya memang ada
maksudnya rujuk kembali denganku," diapun menyesal karena sampai detik ini
dia tidak atau belum berani ambil putusan entah kemana dirinya harus menentukan
arjh.
Dikala pikiran kalut inilah,
langkah orang itu pun sudah terdengar semakin dekat, waktu In-hujin menoleh,
dilihatnya keponakannya Liong Sc-bu tengah mendatangi. Seperti biasanya Liong
Se-bu cengar-cengir untuk senyum kepadanya, katanya memberi hormat: "Bibi,
hari ini aku terlambat bangun lagi, kebiasaan buruk bangun siang ini sungguh
sukar kuatasi, ai, agak rikuh aku."
Diam-diam In-hujin perhatikan
sikap dan mimiknya, agaknya dia belum tahu akan rahasia dirinya barusan.
Jantungnya yang kebat-kebit lambat laun tenang kembali. Pikirnya: "Tingkat
kepandaian Liong Seng-bu kutahu betul, dengan bekal lwekangnya sekarang, tak
mungkin dia bisa mencuri dengar pembicaraanku barusan dengan In Hou," maka
dia tekan gejolak perasaannya, katanya lembut: "Kau memang tidak biasa
bangun pagi, tidak usah dipaksakan. Yang benar, kalau kau ingin berjuang di
kalangan kemiliteran, dengan bekal kepandaianmu sekarang sudah lebih dari
cukup. Pamanmu juga akan membantu, memangnya apalagi yang kau kuatirkan?"
Liong Seng-bu mengunjuk sikap
hambar dan gugup, katanya: "Aku tahu paman pasti akan mengangkat diriku,
tapi aku ingin mengandal tenagaku sendiri untuk angkat nama. Walau pun aku
bukan dari kaum persilatan, tapi senang aku bergaul dengan mereka. Kalau banyak
bekal kumiliki, tentu diriku takkan dipandang rendah orang. Bibi, kuharap kau
tidak kecewa dan jangan karena aku terlalu malas sehingga tidak sudi mengajar
padaku."
"Kau suka belajar silat,
aku akan berdaya sekuat tenaga. Tapi, kenapa tadi kau bilang suka bergaul
dengan kaum persilatan?"
"Pertama kaum persilatan
umumnya orang-orang gagah, aku suka mereka. Kedua kelak bila aku sudah memperoleh
pangkat, toh aku bisa menarik bantuan mereka untuk bekerja bagi kerajaan."
"Jauh juga rencanamu. Tak
heran pamanmu sering memuji dikau. Katanya hanya kau kelak yang mampu mewarisi
kebesaran keluarga Liong."
"Terima kasih akan pujian
paman dan bibi, untuk ini mohon bibi suka membimbingku."
Terpaksa In Hu-jin mengajarkan
beberapa jurus ilmu pedang, melihat orang berlatih secara rajin dan patuh akan
petunjuknya, malah hasil yang dicapainya hari ini jauh lebih bagus dari
biasanya. Adalah hati In-hujin yang ruwet ini, beberapa kali bergebrak latihan
selalu dia yang melakukan kesalahan.
Bahwa Liong Seng-bu hari ini
berlatih dengan rajin dan tekun sekali, hal ini sudah melegakan hati In-hujin.
Begini dia berpikir, jikalau Liong Seng-bu sudah tahu pertemuan rahasia dirinya
dengan In Hou tadi, pasti dia tidak setenang dan sesabar ini sikapnya. Agaknya
In-hujin menilai orang lain
atas ukuran diri sendiri, diluar tahunya bahwa Liong Seng-bu yang masih berusia
muda ini ternyata berotak cerdik dan banyak muslihatnya. Yang betul
pembicaraannya dengan In Hou tadi sudah dicuri dengar seluruhnya. Sudah lama
Liong Seng-bu mendekam di semak-semak rumput, setelah mendengar habis
percakapan mereka, secara diam-diam dia menggeremet keluar ke tempat jauh, lalu
dengan langkah berat putar balik. Waktu mendekam di semak-semak rumput tadi
Liong Seng-bu tidak berani bernapas keras-keras, sementara In Hou dan In-hujin
sama-sama dibuai oleh curahan perasaan mereka, sudah tentu mereka tidak begitu
cermat untuk memeriksa keadaan sekelilingnya.
Setelah berlatih beberapa
jurus ilmu pedang. In-hujin berkata: "Belajar silat tidak boleh terlalu
rakus, hari ini cukup sampai disini saja."
"Bibi," tiba-tiba
Liong Seng-bu berkata, "ada apa sih kau hari ini?"
Mencelos hati In-hujin, katanya:
"Ah, tidak apa-apa. Kenapa kau bertanya begini padaku?"
"Hari ini agaknya bibi
tidak sesabar biasanya mengajarku, atau mungkin aku yang terlalu bodoh."
"Hari ini latihanmu cukup
baik, memang badanku yang rasanya kurang enak."
"Ooo, kiranya begitu.
Bibi, kau tiada persoalan, biarlah keponakan memberi sedikit berita
padamu!"
"Soal apa?"
"Besok aku ingin ke kota
raja. Ada pesan apa bila perlu biar kukerjakan?"
"Ah, pesan apa. Katakan
saja pada pamanmu, aku baik-baik saja di desa ini, tak usah dia kuatir akan
diriku."
"Ada pesan lainnya?"
"Tiada lagi."
Liong Seng-bu seperti tidak
mendengar omongannya, katanya seorang diri: "Jikalau ada apa-apa dan bibi
tidak leluasa suruh orang lain, keponakan bisa melakukan."
Berubah air muka In-hujin,
katanya: "Ada urusan apa yang perlu aku minta bantuan orang lain? Apa
maksudmu?"
"Bibi jangan salah paham,
paman dan bibi memandangku seperti anak kandung sendiri, bibi sudi membimbing
dan mendidik setekun ini, aku anggap kau sebagai ibu kandungku sendiri Untuk
ini harap bibi sudi menyelami ketulusan perasaanku."
"Pamanmu memang ada
maksud memungutmu sebagai anak. Aku sih tak punya rejeki sebesar ini."
Tersipu-sipu Liong Seng-bu
berlutut serta menyembah, katanya: "Paman dan bibi sudi mengambilku
sebagai anak, sungguh merupakan rejeki besar bagiku," setelah menyembah
dengan suara lembut dia memanggil "ibu".
"Setelah pamanmu
mengangkatmu secara resmi, boleh kau memanggilku demikian. Sudahlah, kalau
tiada urusan lain kau boleh pulang dulu."
"Bu, masih ada persoalan
yang akan anak sampaikan."
"Baru kukatakan, jangan
memanggilku demikian. Panggil bibi saja."
"Ya, ya, bibi, harap
tunggu sebentar."
"Masih ada urusan apa
yang hendak kau bicarakan?"
"Bi, meski ada sesuatu
yang tidak enak kau bicarakan dengan orang lain, tapi paman ada satu hal yang
tidak enak dibicarakan dengan kau, tapi dia pernah bicara dengan aku."
Berubah air muka In-hujin,
katanya: "Oo, ada kejadian itu? Apa perlu kau sampaikan kepadaku?"
"Paman memang ingin
supaya kau tahu, maka aku disuruh tanya kepada bibi."
"Baiklah, coba katakan
tentang soal apa?"
"Dua tahun yang lalu bibi
pulang ke kampung untuk menyembuhkan penyakit, paman tahu hatimu selalu murung.
Tempo hari waktu aku ke kota raja, paman bilang bila bibi suka membawa San-moay
kemari untuk tinggal bersamamu."
Pucat wajah ln-hujin, katanya
gemetar: "Apa betul dia punya maksud begitu?"
"Kuatir kau marah dan
menyinggung perasaanmu, maka paman tak berani buka suara. Kalau San-moay dibawa
ke kota raja memang berabe, tapi kalau diajak kemari, orang luar pasti tidak
tahu," lalu dia merendahkan suara dan berkata lebih lanjut: "Paman
bilang, terhadap In Tayhiap diapun amat mengagumi, sayang tabiat kalian
berbeda, sehingga perjodohan tidak terjalin abadi, hal ini tak boleh menyalahkan
dia, bahwasanya paman tidak pernah cemburu terhadap In Tayhiap."
"Tidak usah kau katakan
lagi," teriak In-hujin.
"Ya, paman hanya ingin
supaya kau tahu maksudnya, sebetulnya dia bukan orang berjiwa sempit atau suka
jelus. Keberangkatanku ke kota raja akan lewat Tay-tong, kalau bibi suka
menjemput San-moay kemari, sekembalinya nanti kuselesaikan juga soal ini."
Kalut pikiran In-hujin,
katanya sesaat kemudian: "Usianya sudah besar, terserah kepadanya
saja."
"Kalau begitu biar aku
menengoknya dulu, tanya dulu maksudnya. Bibi, sukalah kau menulis surat untuk
dia."
"Berapa lama kau
pergi?"
"Paling cepat empat puluh
hari, tapi takkan keliwat dua bulan."
"Surat tidak perlu
kutulis, kau bawa tusuk kundai ini, dia mengenal barang-barangku. Katakan bahwa
aku amat merindukan dia, kalau dia mau boleh kau membawanya kemari. Aku tahu
kau pandai putar lidah, jauh lebih baik dari pada tulis surat."
Seperti tertawa tidak tertawa
mimik Liong Seng-bu, katanya: "Bibi, jangan kau memujiku, semoga saja aku
tidak mengecewakan harapan bibi," segera dia terima tusuk kundai itu. Hari
kedua segera berangkat.
Di rumah In-hujin hidup sehari
bagai setahun pikir yang ini merisaukan yang itu. Hari-hari berlalu secara
berlarut-larut berkepanjangan, sejauh ini dia tetap sukar ambil keputusan. Di
gunting tidak putus, dibetulkan tetap tidak bisa. Perasaannya waktu ini sungguh
seruwet benang pintal yang sudah gubat menggubat tak mungkin diluruskan lagi.
Mungkinkah dia rebah kembali
keharibaan suami yang terdahulu? Walau dia tahu In Hou jujur, bijak dan setulus
hatinya ingin rujuk kembali. In Hou adalah pendekar gagah yang tersohor di
kalangan Kangouw, dirinya adalah wanita yang sudah hina dan nista, kalau dia
kembali kedalam kalangan keluarga In, apakah ada muka dia bertemu dengan
kawan-kawan In Hou yang simpatik? In Hou mungkin tidak takut ditertawakan
orang, tapi dirinyalah yang akan menjadi buah bibir orang banyak. Bagaimana dia
bisa angkat kepala ditatap oleh lirikan mata yang menghina dan mencemooh? Akan
tetapi dia sudah kenyang merana dalam kehidupan yang serba munafik dan kesepian
ini, hidup yang tiada arti ini, tidak mungkin berkumpul dengan orang yang
paling dekat dan dicintainya, meski makan tidur berkecukupan, tak ubahnya
dirinya seperti mayat hidup melulu. Perhitungan yang paling bijaksana adalah,
mengambil In San untuk kumpul bersama dirinya, dari sini dia akan leluasa
minggat bersama puterinya menjemput In Hou, sekeluarga hidup dalam pengasingan
yang tidak mungkin dikenal orang pula.
Apakah In Hou sudi berbuat
demikian? Dia tahu bagaimana watak suaminya, jelas In Hou takkan mau melakukan
perbuatan yang dianggapnya memalukan ini, biarlah, umpama rencana ini tak bisa
terlaksana, ada sang puteri tunggal didampingnya, hidupnya tidak akan menderita
dan tersiksa seperti ini.
Dilandasi oleh perasaan yang
serba kalut, ini, maka dia menyetujui maksud Liong Seng-bu yang akan pergi
menjemput puterinya. Bahwa putusan masih belum positip biarlah hal ini
diputuskan begini sementara, segala sesuatunya biar diputuskan setelah Liong
Seng-bu kembali saja.
In-hujin tidak pergi ke
Kwi-lin mencari suami, tapi dia mengutus seorang pelayan pribadinya, dengan
menyaru laki-laki mengantar suratnya ke rumah keluarga Lui di Kwi-lin, supaya
In Hou tahu tekad dan putusannya, tahu gejolak perasaannya.
Pelayan pribadi ini sudah
pulang sebelum Liong Seng-bu pulang. Kabar yang dibawa pulang adalah berita
buruk yang jauh berada diluar dugaannya. Rumah It-cu-king-thian terbakar ludes
secara aneh, kini sudah tinggal puing-puingnya saja, orang-orang Iceluarga Lui
entah sudah pindah kemana lagi. Bahwa It-cu-king-thian tidak ditemukan, sudah
tentu suaminya terdahulu In Hou juga tidak bisa ditemukan.
Tiga bulan lebih, jauh lebih
lama dari janjinya baru Liong Seng-bu pulang. Seperti berangkatnya tempo hari,
pergi seorang diri, pulang juga seorang diri, hakikatnya dia tidak membawa In
San pulang.
"Bibi, maaf kali ini aku
tak mampu menunaikan tugas yang kau bebankan padaku, sungguh aku merasa malu
dan menyesal," begitu sampai di rumah Liong Seng-bu segera lapor kepada
sang bibi.
In-hujin amat kecewa,
tanyanya: "Apa kau tidak bertemu dengan Siau-san?"
"Ketemu, tapi dia tidak
mau ikut kemari. Nah lihatlah tusuk kundai ini," tanda mata itu dia
kembalikan kepada sang bibi sambil menunduk kepala.
Tusuk kundai itu sedikit gumpil,
tanpa dijelaskan oleh Liong Seng-bu, In-hujin juga sudah maklum bahwa tusuk
kundai itu dibanting oleh puterinya.
"Ternyata begitu benci
Siau-san kepadaku," bagai disayat-sayat perasaan In-hujin, tanpa kuasa air
matanya bercucuran, tapi ada persoalan lain yang membuatnya lebih kaget, lebih
menyakitkan hati lagi.
"Bibi, harap kau
tenangkan diri, masih ada yang kusampaikan. Cuma agak sulit juga aku
membicarakan soal ini."
Bergetar pula perasaan
In-hujin, sekuatnya dia membendung air mata, katanya: "Boleh kau katakan
saja."
"Perjalanan kali ini
terlambat satu bulan dari waktu yang kurencanakan, karena aku mendengar kabar
yang agak aneh dan ganjil. Demi mencari tahu kebenaran dari berita itu, pernah
aku mencari beberapa orang yang punya sumber penyelidikan luas di kalangan
Kangouw."
"Berita aneh dan ganjil
apa?" tanya In-hujin.
"Tentunya kau tahu betapa
besar rasa kagum paman dan aku terhadap ln Tayhiap, meskipun terhadap paman
mungkin dia masih sirik dan tidak senang hati, tapi paman tetap memperhatikan dirinya."
"Adakah dia kena perkara
apa?" In-hujin mendesak.
"Betul," sahut Liong
Seng-bu manggut, "di Kwi-lin ada seorang pendekar besar yang berjuluk
It-cu-king-thian Lui Tin-gak, apakah bibi pernah mendengar namanya?"
"Pernah, dia
kenapa?"
"Konon beberapa bulan
yang lalu In Tayhiap pernah janji bertemu dengan dia di Kwi-lin, waktu dia
kesana, mungkin saatnya aku berangkat ke kota raja itu."
Timbul rasa curiga In-hujin:
"Dari mana dia bisa memperoleh kabar secepat ini? Mungkinkah pembicaraanku
dengan Hou-ko tempo hari dicuri dengar olehnya? Tapi melihat gelagatnya waktu
itu, tidak mungkin."
Liong Seng-bu seperti dapat
menebak isi hatinya, katanya lebih lanjut: "Bibi kan tahu ayah paman
sebagai sekretaris militer, maka kaum persilatan ternama diberbagai daerah
semuanya masuk dalam daftar hitamnya."
Penjelasan ini memang masuk
akal, untuk sementara In-hujin anggap obrolannya dapat dipercaya, tanyanya:
"Di kota raja, kabar apa yang kau dengar?"
"Tidak lama setelah aku
di kota raja, kebetulan ada sebuah surat laporan yang dibawa oleh kuda yang
dapat lari delapan ratus li sehari dari Kwi-lin, konon rumah It-cu-king-thian
Lui Tin-gak secara aneh terbakar habis, di kala rumah itu terbakar ada orang
melihat In Tayhiap lari keluar dengan luka parah."
Bahwa rumah keluarga Lui sudah
tinggal puing-puingnya saja, hal ini sudah diketahui oleh In-hujin. Tapi In Hou
terluka parah sejauh ini dia masih belum tahu, karuan dia kaget dan berubah air
mukanya, tanyanya: "Bagaimana akhirnya?"
"Berita itu singkat saja,
waktu aku tetap berada di kota raja, tiada surat laporan susulan lagi dari
Kwi-lin. Kejadian selanjutnya dapat kuberitahu setelah berada di kalangan
Kangouw, tapi apa kabar itu benar atau salah juga tidak berani aku
memastikan."
"Peduli benar atau salah,
lekas jelaskan." desak In-hujin.
"Konon It-cu-king-thian
Lui Tin-gak diagulkan sebagai pendekar besar, namun dia adalah manusia munafik
yang berhati keji dan telengas, entah karena apa dia berusaha mencelakai jiwa
ln Tayhiap. In Tayhiap lari keluar dengan luka parah dan sembunyi di rumah
seorang teman, tak nyana temannya ini juga sekongkol dengan Lui Tin-gak."
"Jadi dia dicelakai
orang? Bagaimana selanjutnya?"
Malam itu, rumah temannya itu
juga terbakar habis secara aneh. Ada orang melihat dia masuk, tapi tiada yang
melihat dia lari keluar."
"Siapa temannya
itu?"
"Kabarnya seorang kakek
she Tan guru musik harpa bersama cucunya. Malam itu hanya mereka berdua saja
yang kelihatan lari keluar, seperti juga keluarga Lui Tin-gak, entah kemana
jejak mereka berdua yang terang mereka lenyap dari Kwi-lin secara
misterius."
"In, In Hou bagaimana?
Adakah orang yang menemukan mayatnya?"
"Rumah keluarga Tan
tinggal puing-puingnya, tapi jenazah atau tulang belulang In Tayhiap sih tidak
ditemukan. Tapi sejak malam itu tiada orang pernah melihatnya lagi," dari
penuturan ini dapat diraba bahwa jiwa In Hou lebih banyak celaka dari pada
selamat. Gelap pandangan In-hujin, seketika dia semaput sayup-sayup masih
sempat didengarnya Liong Seng-bu berteriak-teriak memanggil "Bibi".
Sejak hari itu, In-hujin tidak
pernah menyinggung tentang In Hou lagi, penyakitnya bertambah parah, dua tiga
hari kumat sekali semakin lama semakin parah dan rumit. Untung dia masih
merindukan puteri tunggalnya, maka dia harus berontak untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu setiap hari dia tetap berlatih silat untuk menambah tenaga
kondisi badannya. Sejak itu pula Liong Seng-bu tak berani menyinggung tentang
In Hou juga, sampai kira-kira tiga tahun kemudian, kira-kira sebulan lebih yang
lalu suatu hari dia pulang tergesa-gesa. "Belakangan ini terjadi sesuatu
peristiwa aneh di Kangouw..." begitu masuk rumah, setelah memberi selamat
pada bibinya lantas dia bercerita panjang lebar.
"Kejadian aneh apa?"
tanya In-hujin, karena iseng ingin juga dia tahu berita apa yang terjadi
diluar.
"Di kalangan Kangouw baru
saja muncul seorang pemuda yang berusia belum genap 20 tahun, dia pandai
memainkan ilmu golok keluarga In."
In-hujin kaget katanya.
"Dia pandai main ilmu golok keluarga In," In-hujin tahu, ln Hou
hakikatnya tidak pernah menerima murid, ilmu golok itu hanya khusus dia ajarkan
kepada putri tunggalnya.
"Masih ada yang lebih
aneh lagi, pemuda ini pun memakai sebilah golok pusaka yang tajam sekali,
menurut orang-orang yang kenal baik dengan In Tayhiap, golok pusaka itu adalah
golok warisan keluarga In Tayhiap."
"Siapa nama dan she
pemuda itu? Bagaimana asal-usulnya?" tanya ln-hujin, seketika pucat pias
air mukanya.
"Semula tiada orang yang
tahu asal-usulnya, akhirnya seorang teman In Tayhiap yang suka membantu mencari
tahu kian kemari, syukur usahanya ternyata berhasil. Pemuda itu she Tan bernama
Ciok-sing, asal dari kota Kwi-lin."
Gemetar suara In-hujin,
katanya: "Kau, dulu kau pernah bilang, pada malam hilangnya In Hou tiga
tahun yang lalu, dia sembunyi di rumah seorang sahabatnya. Sahabatnya itu she
Tan. Pada malam itu juga rumah keluarga Tan juga terbakar habis, keluarga
mereka juga lenyap tak berbekas."
"Betul," ujar Liong
Seng-bu menghela napas, "Keluarga Tan itu terdiri kakek dan cucu, sang
kakek adalah ahli harpa, cucunya waktu itu berusia lima belasan. Pemuda yang
pandai main ilmu golok keluarga In muncul di Kangouw ini kecuali membawa golok
pusaka In Hou, diapun selalu membawa sebuah harpa, petikan harpanya juga cukup
ahli. Usianya kira-kira sebaya dengan cucu keluarga Tan itu. Ai, kukira nasib
In Tayhiap tentu celaka."
Sebetulnya In-hujin juga sudah
menduga ke arah ini, dalam hati dia menerka: Pasti It-cu-king-thian
bersekongkol dengan Tan Ciok-sing mencelakai In Hou, buku pelajaran ilmu golok
dan golok pusaka itu dirampas mereka. Bagaikan ribuan panah mencocok jantung,
tak terperikan sakit hati In-hujin, kedua matanya membelalak merah, desisnya
sambil mengolak gigi: "Baik, nama Tan Ciok-sing akan kuukir didalam
benakku," habis bicara diapun meloso roboh semaput.
000OOO000
Sungguh tak kira tiga bulan
kemudian, Tan Ciok-sing yang dianggapnya pembunuh bekas suaminya ini, kepergok
di rumah sang suami pada malam pertama dia tiba-tiba ada disini.
Meski sudah cerai selama
delapan belas tahun, namun selama ini dalam sanubari In-hujin masih tetap
pandang In Hou sebagai suaminya, maka dia harus menuntut balas atas kematian
suami, golok pusaka milik sang suami harus direbut kembali, dengan golok pusaka
milik suaminya itu itu dia akan membunuh Tan Ciok-sing.
Tak nyana pada detik-detik
yang menentukan itu mendadak penyakitnya kumat. Lebih diluar dugaannya lagi
bahwa Tan Ciok-sing yang semula dianggap sebagai pembunuh suami dan hampir dia
cekik sampai mati ini, sekarang berbalik menolong djiwanya dari renggutan
elmaut. Pemuda sejujur, bijak dan rela berkorban sendiri demi menolong orang
lain, mungkinkah dia sampai hati benar membunuh suaminya yang sedang celaka
serta merebut goloknya?
Kepada pihak mana dia harus
percaya? Percaya pada Liong Seng-bu atau percaya pada pemuda di hadapannya ini?
Hatinya yang rawan ini menjadi hambar, seakan-akan jalan pikirannya berhenti
sama sekali. Di tengah alunan irama harpa yang lembut ini, tanpa merasa dia
memejam mata, apapun tidak dipikir, dengan lelap dia pulas tanpa terasa.
Waktu dia siuman hari sudah
pagi pada hari kedua esok harinya, tampak Tan Ciok-sing masih menunggu di
pinggir pembaringan, "In-hujin, kau sudah baik?" tanya Tan Ciok-sing
melihat dia membuka mata.
Sungguh haru dan menyesal pula
hati In-hujin, katanya: "Lebih baik sedikit. Apa semalam suntuk ini kau
tidak tidur? Banyak terima kasih akan kebaikan dan jerih payahmu."
"Ini memang sudah menjadi
kewajiban Wanpwe," ucap Tan Ciok-sing, "sudah kumasakkan bubur, kau
tunggu sebentar, biar kuambil di dapur."
Semangat In-hujin sudah jauh
lebih segar, perutnya memang sedang lapar Tan Ciok-sing membawa semangkok bubur
yang masih mengepul panas, eh, masih menyediakan dua macam lauk pauk lagi.
Waktu makan bubur itu, tak urung berkaca-kaca kedua bola mata In-hujin.
"Bikin kau repot saja, hayolah kau pun makan." Kata In-hujin.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Dalam kota sudah sukar menemukan makanan, untung di dapur masih
ada disimpan segentong besar, kira-kira cukup untuk makan tiga hari. Aku
sendiri membawa rangsum kering, barusan aku sudah makan."
Pikiran kalut masih berkecamuk
dalam hati, terasa oleh In-hujin banyak persoalan yang dia ingin tanya kepada
pemuda ini, tapi tak tahu dari hal apa dia harus mulai bicara.
Dengan teliti Tan Ciok-sing
meladeni In-hujin sampai habis makan, katanya: "Semangatmu baru saja pulih
jangan terlalu banyak bicara, istirahatlah sebentar lagi,"
"Baiklah, ceritakan dulu
persoalanmu kepadaku," kata In-hujin.
"Memang akan kulaporkan
kepada Hujin tentang pertemuanku dengan In Tayhiap. Tiga tahun yang
lalu..."
"In-hujin tersenyum,
katanya ramah: "Aku tidak senang dipanggil Hujin, kau panggil bibi saja
kepadaku," pada hal semalam dia melarang Tan Ciok-sing memanggilnya
"bibi".
Tan Ciok-sing bercerita dari
sejak kakeknya menolong In Hou, sampai kematiannya secara mengenaskan, bicara
sampai pesan In Hou yang terakhir, lalu diceritakan pula pengalamannya di
Ciok-lin yang akhirnya diangkat jadi murid penutup Thio Tan-hong, sebelum sang
guru meninggal, Pek-hong-kiam dan Ceng-bing-kiam diwariskan padanya. Dari mulut
Tan Ciok-sing In-hujin memperoleh kepastian akan kematian suaminya, sungguh
bukan kepalang rasa pedih In-hujin. Untung hal ini sebelumnya sudah dia
ketahui, meski hati merasa perih, dia masih kuat menerima pukulan batin ini.
Tan Ciok-sing dapat menyelami
rasa sedih seperti ini takkan terbujuk dengan kata-kata manis apapun, maka
diapun diam saja berdiri di samping tanpa berbicara.
Sesaat kemudian, setelah
In-hujin menyeka air mata, katanya: "Wanpwe memang tidak punya rejeki, pada
hari aku diterima murid oleh Suhu, pada hari itu pula Suhu meninggal dunia,
hanya dua jam aku berkumpul dan bicara dengan beliau, hanya beberapa soal
penting saja yang dia bicarakan kepadaku."
"Dia suruh kau
menyerahkan Ceng-bing-kiam kepada putriku, adakah dia pesan apa-apa."
"Katanya pedang ini
semula memang milik keluarga In."
"Benar ini memang milik
Sunio (Ibu guru) atau bibi ayah San-ji yang dipakainya dulu. Lalu
Pek-hong-kiam?"
"Beliau menyerahkan
kepadaku, dipesan supaya aku menggunakan pedang ini secara baik-baik."
In-hujin seperti memikirkan
sesuatu, katanya sesaat kemudian: "Apa dia tidak menceritakan asal-usul
kedua pedang ini?"
"Aku hanya tahu bahwa
kedua bilah pedang dulu adalah senjata yang dipakai Suhu dan Sunio."
"Kecuali itu, seharusnya
gurumu memberitahu persoalan lain, apa dia tidak sempat berpesan padamu?"
Merah muka Tan Ciok-sing,
sahutnya tergagap: "Ya, beliau tidak bilang apa-apa."
Mendengar kata memperhatikan
mimik, segera In-hujin tahu karena malu Tan Ciok-sing tidak berani memberitahu,
pada hal dia sudah tahu kemana maksud tujuan gurunya, namun di hadapan In¬hujin
dia tidak berani berbincang terus terang.
Pek-hong-ceng-bing merupakan
dua pedang berpasangan, merupakan senjata pengikat perjodohan Thio Tan-hong
dengan isterinya di waktu muda. Dalam hati In-hujin berpikir: "Agaknya
Thio Tan-hong ada maksud menjodohkan San-ji kepada anak ini, waktu Thio
Tan-hong bertemu dia sebelumnya sudah tahu bahwa Hou-ko sudah meninggal,
sebagai sanak kadang tertua dari keluarga In, adalah menjadi kewajibannya untuk
memutuskan perjodohan anak San. Hou-ko menyuruhnya pulang menyerahkan golok dan
buku ajaran ilmu goloknya mungkin sebelumnya dia juga sudah punya maksud yang
sama?" tanpa terasa In-hujin memandangnya terlongong sekian lamanya, pikirnya
lagi: "Kungfu bocah ini amat baik, jujur, tulus dan bajik. Tapi soal lain
yang dikatakan Seng-bu itu entah betul atau tidak? Jikalau anak San sudah punya
simpanan dalam hatinya, perjodohan ini jelas tidak mungkin dibicarakan."
Dia teringat persoalan yang
pernah dibicarakan Liong Seng-bu. Waktu itu dia rebah di atas ranjang setelah
penyakitnya kumat, seperti anak kandung sendiri Liong Seng-bu dengan teliti
meladeninya, setiap hari masak obat dan mengajak ngobrol. Meski merasakan sang
keponakan ini agak bermuka-muka, namun dalam hati dia berterima kasih akan
kebaikannya yang sudi merawat dirinya.
Suatu hari kesehatannya jauh
lebih baik dari biasanya, tiba-tiba Liong Seng-bu datang dan berkata kepadanya:
"Bibi, sebetulnya masih ada sesuatu hal yang hari itu ingin kusampaikan
kepada kau orang tua, mengingat penyakit bibi masih berat, maka kutunda sampai
hari ini. Kupikir lebih baik kalau hal ini kubicarakan dengan kau orang
tua."
Bagai burung yang sudah
ketakutan melihat bidikan panah, jantung In-hujin berdetak pula, katanya dengan
rasa kaget: "Apakah kabar buruk?"
"Untuk ini bibi boleh
lega hati, meskipun bukan kabar baik, tapi juga bukan kabar buruk."
"Baik coba katakan. Soal
apa?"
"Waktu aku pulang dulu
pernah aku mampir ke Tay-tong. Untuk kedua kalinya aku bertemu dengan adik
San."
Menegang perasaan In-hujin,
tanyanya: "Dia bagaimana?"
"Adik San baik-baik
saja," ucap Liong Seng-bu tersenyum, "kini dia sudah tumbuh dewasa,
merupakan gadis cantik rupawan."
"Yang ingin kuketahui,
apa saja yang dia bicarakan dengan kau?"
"Kini dia sudah tahu
urusan.
Waktu aku memberitahu bahwa
kau amat merindukan dia, dia menunduk, katanya: "Akupun merindukan ibu,
tapi aku ingin menunggu ayah pulang, setelah mendapat izinnya baru aku mau
menemui dia."
Senang dan duka pula hati
In-hujin, katanya: "Bahwa dia masih menganggapku sebagai ibunya, matipun
aku bisa meram. Tapi dia ingin menunggu ayahnya pulang, harapan ini jelas
takkan terkabul selamanya."
"Kuatir dia tidak kuat
menghadapi pukulan batin, maka peristiwa yang menimpa In Tayhiap tak berani
kuceritakan padanya. Tentang pemuda yang muncul di kalangan Kangouw serta
pandai memainkan ilmu golok keluarga In kuketahui belakangan. Maka akupun tak
berani kasih tahu padanya."
In-hujin menghela napas,
katanya: "Aku tak berani mengharapkan lagi. Betapapun aku tidak tega
meninggalkan dia sebagai yatim piatu yang harus hidup sebatang kara."
"Memangnya, paman juga
berpikir demikian."
"Lho, apa pamanmu juga
menyinggung anak San terhadapmu?"
"Paman bilang, bila ayahnya
mengalami sesuatu, dia masih punya ibu, paman dengan senang hati menjadi ayah
tirinya. Paman juga bilang adalah jamak kalau kita memanggilnya pulang kesini,
kalau sudah saatnya dinikahkan supaya yang jadi orang tua tidak kapiran
memikirkan nasibnya kelak."
"Usianya masih kecil,
soal menikah boleh kelak dibicarakan. Syukur kalau dia mau berada di dampingku
saja."
"Mungkin bibi tidak tahu,
soal perjodohan adik San, paman memang punya cukup alasan untuk membicarakan
hal ini."
"Alasan apa?" tanya
In-hujin melengak.
"Paman ada mendengar
kabar, katakan ada sebuah keluarga yang akan meminang adik San, apakah adik San
mencintai orang itu, paman sendiri belum tahu, tapi kalau hal ini tidak lekas
dicegah, kemungkinan bisa menjadi kenyataan. Paman amat menguatirkan hal ini,
ai, orang itu, orang itu..."
Tak urung In-hujin ikut kaget
pula, tanyanya: "Siapakah orang itu? Bagaimana asal-usulnya?"
Liong Seng-bu menenggak habis
secangkir teh baru bicara pula: "Orang itu bernama Toan Kiam-ping,
asal-usulnya memang cukup tinggi dan agung, dia adalah pangeran dari keluarga
Toan di Tayli."
Lega hati In-hujin, pikirnya:
"Kenapa aku melupakan keluarga
Toan, selama ini keluarga Toan
dan In punya hubungan yang intim. Waktu aku berada' di rumah keluarga In,
pernah In Hou membicarakan pangeran raja ini terhadapku. Konon pangeran ini
amat cerdik pandai, baru berusia belasan tahun sudah mempunyai dasar Kungfu dan
ilmu sastra yang tinggi. Sayang aku tak pernah melihatnya. Dihitung-hitung
usianya mungkin 10 tahun lebih tua dari anak San, asal orangnya baik, 10 tahun
lebih tua dari sang isteri juga tidak jadi soal. Tapi kenapa paman Seng-bu
malah menguatirkan hal ini?"
Seperti merasakan kekuatiran
In-hujin, Liong Seng-bu bercerita lebih lanjut: "Toan Kiam-ping kenyataan
memang seorang pangeran raja, bahwa keluarga In dapat berbesanan dengan
keluarga agung ini sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak
terhingga..."
In-hujin mengerutkan kening,
katanya: "Ayah anak San bukan laki-laki yang kemaruk harta dan pangkat,
bilamana anak San memang mencintai orang itu, kupikir pasti bukan lantaran dia
itu seorang pangeran. Sejak kecil wataknya mirip sang ayah. Letak persoalannya
hanya pada Siau-ongya itu apakah dia seorang baik?"
"Omongan bibi memang
betul, persoalan justeru timbul pada sang pangeran ini."
"Apa pamanmu sudah
mengutus orang menyelidiki hal ini? Apa sepak terjangnya tidak genah?"
"Mungkin lebih parah dari
sepak terjang yang tidak genah."
"O, soal apakah yang
sedemikian gawatnya?"
"Bibi tidak usah gugup,
biar ku jelaskan dengan jelas, Pangeran ini tahun ini berusia 27, belum
menikah. Konon orangnya romantis dan suka main perempuan, di rumahnya banyak
pelayan perempuan cantik-cantik. Bagi keluarga bangsawan tidaklah dibuat heran
kalau dia punya tiga isteri lima gundik, tapi yang membuat paman kuatir adalah
persoalan lain."
"Persoalan apa
pula?" In-hujin, menegas. "Keluarga Toan menjadi raja di Tayli sejak
dinasti Song. Rakyat Tayli terdiri dari suku bangsa minoritet, bangsa Han kita
jarang yang bisa hidup disana. Keluarga Toan juga dari suku minoritet, karena
sudah bertahun-tahun mereka bergaul dan berhubungan dengan bangsa Han kita,
maka peradaban mereka lebih ' maju dan adat istiadatpun mengikuti perilaku
bangsa Han kita. Dan letak persoalannya justru keluarga Toan ini bukan suku
bangsa Han. Keluarga Toan memang punya wibawa besar di kalangan rakyat Tayli,
maka sejauh ini, Baginda Raja masih membiarkan mereka menjabat kedudukan tapi
tanpa kekuasaan berarti, jadi kedudukan mereka boleh dikata sudah senin kemis.
Jadi 'pangeran' inipun hanya nama kosong belaka."
Berkerut kening In-hujin,
katanya: "Untuk apa kau bicara soal ini padaku? Peduli Toan Kiam-ping itu
pangeran atau orang biasa, asal ayahnya setuju dan dia sendiri juga suka, tidak
jadi persoalan bagi aku."
Liong Seng-bu tertawa,
katanya: "Betul omongan bibi. Akupun tidak suka memandang tinggi jabatan
dan kekuasaan. Tapi lebih mending kalau dia seorang rakyat jelata, celaka
adalah kalau dia dicurigai sebagai kaum pemberontak, kalau adik San menikah
dengan dia bukankah dia bakal ketimpa mara bahaya?" sampai disini Liong
Seng-bu melirik In-hujin lalu meneruskan dengan merendahkan suara: "Kali
ini paman ada memberi kisikan sebuah rahasia kepadaku. Katanya kerajaan sedang
siap-siap turun tangan kepada keluarga Toan, waktunya tidak akan lama."
"Lebih celaka lagi, Toan
Kiam-ping sang pangeran ini tidak tahu diri, dia bergaul dengan berbagai aliran
kaum persilatan, malah secara diam-diam juga ada mengikat hubungan dengan
Kim-to Cecu yang bercokol diluar Gan-bun-koan. Baginda sedang memerintahkan
paman untuk mengutus jago-jagonya pergi kesana mengumpulkan data-data dan bukti
bahwa keluarga Toan memang nyata berkomplot dengan kaum pemberontak. Tapi
lantaran agresi Watsu sehingga situasi cukup genting di perbatasan, mungkin
persoalan ini tertunda untuk sementara waktu lagi.
"O, jadi karena perintah
rahasia Baginda itu, maka pamanmu kuatir mungkin aku juga bisa keserempet
perkara," demikian ujar In-hujin.
"Paman ada maksud untuk
menjemput adik San pulang saja dan cepat-cepat dinikahkan lebih baik. Dari
omongan paman dapat kurasakan bahwa dia sudah punya calon pilihannya."
"Siapa calon
pilihannya?" "Paman tidak jelaskan, aku tidak enak tanya. Tapi paman
ada menulis sepucuk surat untuk bibi, mungkin dalam surat dia ada menyinggung
soal ini. Apa bibi ada maksud untuk membaca surat itu?"
"Baiklah, mari serahkan
aku. Tolong suruhlah pelayan memasak kuah untukku, kau tak usah repot-repot
meladeniku lagi," tampak sikap kikuk dan risi Liong Seng-bu, dengan tawa
lucu segera dia mengiakan terus mengundurkan diri.
Waktu In-hujin buka surat itu
dan membacanya, isi surat memang membicarakan soal pernikahan In San, tapi
calon menantu yang dia penujui jusreru berada diluar dugaannya. Ternyata
suaminya atau paman Liong Seng-bu berpendapat supaya putrinya In San dikawinkan
dengan keponakannya Liong Seng-bu. Dikatakan dalam surat itu, bahwa In San
memang puterinya, dalam arti kedudukan sekarang terhitung adik Liong Seng-bu,
tapi betapapun mereka dari dua marga yang berbeda, jadi berikutnya mereka masih
boleh juga terikat sebagai suami isteri. Dikatakan pula bahwa sang ponakan yang
satu ini, kelak akan mewarisi kedudukannya, betapa baiknya kalau hubungan
famili ini lebih dekat lagi dengan ikatan pernikahan ini.
Tapi dalam pendapat In-hujin
justeru berbeda, dia tidak merasakan kebaikan dari pernikahan ini, bukan karena
dia kuatir melanggar peradatan atau tingkatan, tapi dari pengalaman hidupnya
sendiri yang serba merana ini, dia merasakan soal pernikahan ini tidak boleh
terjadi.
Didalam keluarga Liong, lahir
batinnya boleh dikata terpukul amat berat. Apalagi watak puterinya menuruni
sifat bapaknya, sebagai seorang ibu dia cukup tahu perangai puterinya ini.
Sungguh tak berani dia membayangkan apa jadinya bila puterinya betul-betul
menjadi nyonya muda keluarga Liong. Apalagi puterinya itu katanya sudah punya
idaman hati.
Setelah In-hujin sudah
menghabiskan semangkok bubur, dengan alasan memberi salam Liong Seng-bu datang
pula dan ajak ngobrol pula padanya. Tanyanya: "Apakah bibi sudah membaca
surat paman?"
"Sudah," sahut
in-hujin tawar, "tiada apa-apa hanya surat biasa."
Karena tadi bilang tidak tahu
apa isi surat itu, maka Liong Seng-bu hanya menyengir saja mendengar jawaban
In-hujin, sudah tentu dia tidak berani membongkar jawabannya yang bohong. Tapi
dasar mukanya tebal dia masih berkata: "Mengenai soal adik San, paman ada
memberi petunjuk kepadaku."
"Petunjuk apa?"
"Paman ada bilang, bila bibi mau pergi sendiri membawa adik San pulang,
diapun setuju. Beliau malah suruh aku menemani bibi. Kalau bibi merasa ripuh,
boleh tulis surat saja anak buah paman akan membawanya kesana bersamaku
menjemput adik San kemari."
"Aku masih sakit, tak
mungkin menempuh perjalanan, biarlah tunggu setelah penyakitku sembuh
saja."
Liong Seng-bu tidak berani terlalu
mendesak, katanya: "Setelah penyakit bibi sembuh juga baik, tapi... dua
tiga hari lagi keponakan akan keluar, paman memberi tugas kepadaku."
"Kau boleh pergi,
sekembalimu nanti mungkin penyakitku juga sudah sembuh."
Maka hari kedua, Liong Seng-bu
meninggalkan rumah. Sang waktu berselang dengan cepat tanpa terasa sebulan
telah lalu, kabar yang tersiar diluar semakin kalut, konon pasukan Watsu sudah
menduduki Gan-bun-koan, sementara Tay-tong sudah dikepung musuh.
Kini In-hujin membuang segala
kekuatiran, hatinya yang gugup malah menambah baik kesehatannya, entah itu
untuk sementara, tapi dia sudah bisa berjalan cepat, maka seorang diri dia
terjun pula di Kangouw, berangkat ke Tay-tong yang dilanda kecamuk peperangan.
Tak nyana di rumah In Hou dia tidak menemukan puterinya, tapi bersua dengan Tan
Ciok-sing yang membawa barang peninggalan dan warisan In Hou kepada puterinya.
Mengawasi golok dan pedang
pusaka yang ditaruh di meja oleh Tan Ciok-sing, pikiran In-hujin
melayang-layang terutama Ceng-bing pokiam, teringat akan cerita Liong Seng-bu
mengenai pangeran keluarga Toan, hatinya semakin risau.
"Terima kasih, kau telah
membawa barang peninggalan ayah San-ji kemari," ujar In-hujin,
"Akupun datang mencarinya. Sayang kita terlambat, entah kemana dia sekarang.
Lalu bagaimana sebaiknya?"
"Ingin aku mohon Pek-bo
wakilkan putrimu menerima golok pusaka, pedang pusaka dan buku pelajaran ilmu
golok ini. Pasukan musuh sudah mundur, Tay-tong boleh dikata untuk sementara
akan aman, cepat atau lambat putrimu pasti akan kembali," demikian
pendapat Tan Ciok-sing.
"Lalu kau mau
kemana?" tanya In-hujin.
"Kupikir hendak mencari
Kim-to Cecu."
"Kau mau mencari Kim to
Cecu? Apa kau kenal dia?"
"Ada seorang teman yang
kenal dia. Dia berpesan padaku, jikalau tidak berhasil menemukan puterimu,
boleh aku pergi ke markas Kim-to Cecu untuk berteduh disana sementara waktu.
Kemungkinan Kim-to Cecu bisa membantu untuk mencari tahu jejak putrimu."
"Siapakah temanmu
itu?" tanya In-hujin melenggong. "Darimana dia tahu kalau kau datang
ke Tay-tong hendak mencari putriku?"
"Bukan aku memberitahu
kepadanya, malah dia yang memberitahu kepadaku. Dia tahu aku bertujuan ke
Tay-tong, maka dia tanya padaku apakah tahu kalau di Tay-tong ada orang In
Tayhiap. Kukatakan aku tahu, tapi aku tidak ceritakan padanya bahwa aku pernah
bertemu dengan ln Tayhiap. Maka dia lantas titip pesan itu untuk
puterimu."
In-hujin menjadi heran,
pikirannya tergerak segera dia bertanya pula: "Apa dia teman anak San? Kau
belum kasih tahu siapa she dan namanya?"
"Dia bernama Toan
Kiam-ping, seorang pangeran dari keluarga Toan di Tayli. Dalam perjalanan aku
lewat Tayli, dalam suatu kesempatan yang kebetulan kami bertemu dan
berkenalan."
"Dia titip pesan apa
padamu? Boleh beri tahu kepadaku?"
"Sudah tentu boleh.
Katanya keluarganya punya hubungan intim dengan keluarga In, maka dia pikir
hendak mengundang puterimu ke rumahnya untuk mengungsi."
In-hujin manggut-manggut,
katanya: "Betul, keluarga Toan dan keluarga In memang sudah berhubungan
intim sejak beberapa generasi. Tapi aku tidak setuju kalau anak San ngungsi ke
rumah keluarga Toan."
Karena dia tidak menjelaskan
alasannya, meski Tan Ciok-sing merasa heran, tapi dia sungkan bertanya. Kata
ln-hujin lebih lanjut.
"Ketiga barang mustika
ini, kupikir tetap harus kau simpan saja untuk sementara."
"Mengapa?"
"Berkat bantuan dan
pertolonganmu sehingga untuk sementara penyakitku bisa sembuh. Tapi bibit
penyakitnya bila tidak dilenyapkan, penyakit ini suatu ketika pasti akan kumat
dan soal waktu belaka hidupku ini. Entah kapan anak San baru akan pulang, maka
tidak berani aku menyimpan ketiga barang mustika. Maka sukalah kau titip simpan
barang peninggalan ayahnya dan Ceng-bing-kiam ini, kelak bila ada kesempatan
kau bertemu dengan dia, boleh kau serahkan padanya."
"Pek-bo jangan banyak
pikiran, aku yakin penyakitmu akan lekas sembuh."
"Semoga seperti apa
katamu, sebelum bertemu dengan anak San, matipun aku tidak akan bisa meram.
Kapan kau akan berangkat, aku tidak ingin membikin repot kau lagi."
"Syukurlah bahwa Pek-bo
bisa mempercayai diriku, aku amat berterima kasih. Kuharap Pek-bo membuang
segala pikiran yang merisaukan hati, rawatlah penyakit ini dengan sabar dan
tekun. Setelah Pek-bo sembuh betul, baru aku berangkat juga belum
terlambat."
Sudah tentu In-hujin amat
terharu, terima kasih dan menyesal pula, katanya: "Kau memang pemuda yang
bajik, jujur dan tulus, hampir saja aku menuduh dan memfitnahmu tanpa
juntrungan."
"Tidak boleh menyalahkan
Pek-bo, adalah pantas kalau aku dicurigai. Aku membawa golok In Tayhiap, pandai
main ilmu goloknya lagi. Sebelum bertemu dengan Pek-bo, di tengah jalan, akupun
dicurigai orang sebagai pembunuh ln Tayhiap."
"Siapakah dia?"
tanya ln-hujin.
"Seorang pemuda sebaya
dengan aku, anehnya, diapun pandai menggunakan ilmu golok keluarga In,"
lalu dia ceritakan pengalaman dua hari yang lalu, dimana dia bertemu dengan
pemuda yang hendak ditolongnya oleh serbuan pasukan kuda Watsu, akhirnya
dirinya malah yang dilabrak.
Mendengar ceritanya In-hujin
malah terbeliak senang, namun sikapnya tetap biasa.
"Untuk ini aku ingin
tanya kepada Hujin, adakah In Tayhiap menerima seorang murid?"
Merah muka In-hujin, katanya
kikuk: "Sudah sekian tahun aku berpisah dengan dia, kejadian belakangan
ini, aku tidak tahu jelas."
"Baiklah kalau begitu.
Sudilah kiranya Pek-bo memberitahu siapa orang yang memfitnah diriku itu?"
"Adakah kau punya seorang
teman she Liong?"
Tan Ciok-sing keplok tangan,
baru sekarang dia sadar, katanya: "O, kiranya Liong Seng-bu?"
"Betul, memang Liong
Seng-bu. Bagaimana kau bisa kenal dia?"
Maka Tan Ciok-sing ceritakan
bagaimana dia berkenalan dengan Liong Seng-bu, belakangan bagaimana mereka
menempuh perjalanan dan akhirnya orang turun tangan keji atas dirinya karena
hendak merebut barang-barang pusaka yang dibawanja.
Lama In-hujin melongo akhirnya
geleng-geleng, sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa sang keponakan
ternyata adakah pemuda yang culas dan tamak pula. Lalu katanya: "Jadi
manusia harus bajik terhadap sesamanya, tapi kehidupan kaum persilatan memang
penuh liku-liku. Maka selanjutnya kau harus selalu ingat, jangan kau mengemban
keinginan hendak mencelakai orang, tapi embanlah kewaspadaan untuk menjaga
keculasan hati orang lain atas dirimu?"
"Ya, banyak terima kasih
akan petuah Pek-bo." Ucap Tan Ciok-sing, "sejauh ini aku masih belum
tahu orang macam apa sebenarnya Liong Seng-bu ini, dari sikap dan tutur
katanya, kelihatannya dia seorang sekolahan yang sudah mendalam dalam pelajaran
buku, namun tak terduga bahwa hatinya ternyata seburuk itu, bahwa dia memfitnah
diriku di hadapan Pek-bo, tentunya Pek-bo mengenalnya dengan baik? Bolehkah
Pek-bo memberitahu siapakah dia sebenarnya?"
Tak urung merah pula wajah
In-hujin, katanya samar-samar: "Dia seorang famili jauh, sifatnya memang
bangor, biasanya aku tidak menyukainya. Mungkin dia mengincar golok dan buku
pelajaran ilmu golok keluarga In itu, maka dia mencelakai kau."
"Pek-bo," ujar Tan
Ciok-sing, "waktu kau masuk kemari tadi, pernah kau perhatikan ke dua
singa batu yang aneh letaknya itu?"
Kata In-hujin: "Singa
batu di sebelah kiri dibalik arahnya, sementara singa batu sebelah kanan
ditinggali sebuah cap tangan, betul tidak?"
"Betul, dari cap tangan
di atas singa batu itu, ilmu silat orang itu memang teramat tinggi. Entah
apakah dia musuh besar keluarga In?" Maklum Tan Ciok-sing sedang
menguatirkan keselamatan In San yang belum pernah dilihatnya, di samping merasa
heran juga akan sikap In-hujin. Kenapa setelah melihat keganjilan atas kedua
singa batu itu, In-hujin agaknya tidak prihatin akan keselamatan putrinya?
In-hujin berkata dengan senyum manis: "Aku tahu siapa orang yang sengaja
main-main dengan singa batu itu, kau tidak usah kuatir, dia adalah seorang
teman baik anak San. Pernah kau dengar nama Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"
Tan Ciok-sing berjingkat,
katanya: "O, kiranya Tam Tayhiap? Aku pernah melihatnya."
"Dimana kau pernah
melihatnya?"
"Di malam In Tayhiap kena
musibah itulah. Terlalu banyak persoalan yang kukatakan tadi, maka hal ini
belum sempat kututurkan. Menurut cerita In Tayhiap, lantaran menepati janji
undangan dengan Tam Pa-kun sejak tiga tahun yang lalu, maka dia datang ke
Kwi-lin. Sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu di rumah
It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Sayang Tam Pa-kun terlambat datang tiga hari,
waktu aku bertemu dengan dia, In Tayhiap sudah meninggal. Semula aku masih
menaruh curiga, apakah dia sekongkol dengan Lui Ting-gak dan Le Khong-thian
untuk mencelakai In Tayhiap? Kalau tidak bagaimana mungkin Le Khong-thian bisa
tahu kemana arah tujuan dan kepergian In Tayhiap? Mereka sudah mengatur tipu
daya dan jebakan untuk mencelakai jiwanya secara keji."
In-hujin geleng-geleng,
katanya: "Tam Pa-kun adalah kenalan mati hidup In Hou, bagaimana
martabatnya aku tahu jelas, betapa juga dia tidak akan berbuat jahat mencelakai
In Hou. Tentang It-cu-king-thian Lui Tin-gak, memang sudah lama aku mendengar
kebesaran namanya sebagai pendekar, tapi belum pernah bertemu. Tapi aku yakin
dia pasti bukan biang keladi yang mencelakai In Hou."
"Belakangan aku bertemu
dengan Tam Pa-kun, aku juga tahu bahwa curigaku tidak berdasar dan kenyataan
memang keliru. Waktu aku bertemu dengan dia, diapun sedang dikejar dan dilukai
oleh kawanan penjahat yang mencelakai jiwa ln Tayhiap pula. Badannya terkena
beberapa panah beracun, kedua matanya juga buta. Dia memberitahu padaku,
katanya dia dijebak dan dicelakai musuh di tempat dimana seharusnya dia
berjanji pertemuan dengan In Tayhiap."
"Akhirnya
bagaimana?" tanya In-hujin tegang.
"Ternyata
It-cu-king-thian Lui Tin-gak ada di antara kawanan penjahat itu, langkah mereka
semakin dekat, tapi seperti juga keadaan Pek-bo sekarang, Tam Tayhiap yakin Lui
Tin-gak tidak akan mencelakai dirinya, dia suruh aku lekas melarikan diri,
katanya bukan dia kuatir It-cu-king-thian akan mencelakai jiwaku, tapi dia kuatir
aku terluka oleh anak buah musuh dalam keributan nanti, jelas dia tak mungkin
melindungi aku. Bekal kepandaianku pada tiga tahun yang lalu memang berbeda
jauh sekali, bukan saja tidak akan mampu menolong Tam Tayhiap, mungkin bisa
merupakan beban dirinya untuk melindungi aku malah. Apa boleh buat, terpaksa
aku lari secara diam-diam. Bagaimana akhir kejadian selanjutnya, aku tidak
tahu."
"Aku cukup kenal ilmu
pukulan besi yang diyakinkan Tam Pa-kun. Dari tanda tangan yang ada di atas
singa batu itu, jelas adalah peninggalannya. Kejadian selanjutnya tidak kau
saksikan, tapi aku bisa membayangkannya. Aku yakin pasti It-cu-king-thian
berbalik muka kerja sama dengan dia menyikat habis kawanan penjahat itu, malah
luka-luka di tubuh Tam Tayhiap pun berhasil dia sembuhkan."
Tan Ciok-sing berdiri termangu
mendengar analisa In-hujin, "Kau sedang pikir apa?" tanya In-hujin.
"Aku memikirkan dua
persoalan. Pertama untuk apa Tam Pa-kun meninggalkan telapak tangan di atas
singa batu itu? Sebagai seorang pendekar yang kenamaan, tentunya dia tidak
melakukan sesuatu tanpa sengaja?"
"Memang Tam Pa-kun
seorang yang tidak suka berkelakar, bahwa dia berbuat demikian pasti ada sebab
dan alasannya, tapi untuk apa sebenarnya, aku juga sukar menebak."
"Kedua siapa yang
membocorkan rahasia pertemuan In Tayhiap dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin? Yang
tahu rahasia ini hanya tiga orang In Tayhiap, Tam Pa-kun dan Lu Tin-gak, kini
sudah jelas bukan Tam Pa-kun, jadi kalau bukan Lui Tin-gak pula, lalu
siapa?"
Pucat muka In-hujin, suaranya
serak gemetar: "Aku berani tanggung juga bukan Lui Tin-gak, tapi kita
tidak usah main teka teki sendiri, perkara ini suatu ketika pasti akan jelas
duduk persoalannya, aku yakin akan datang suatu hari aku pasti dapat membekuk
orang yang mencelakai dan membocorkan rahasia itu," waktu mengatakan isi
hatinya ini, sanubarinya seperti ditusuk sembilu sakitnya.
Bahwasanya dia sudah tahu
siapa orang yang membocorkan rahasia itu, malah rahasia ini bocor lantaran
keteledoran dirinya pula sehingga dicuri dengar oleh orang ini. Jadi kalau
diusut secara kenyataan, secara tidak langsung diapun termasuk orang yang
membocorkan rahasia ini.
Melihat keganjilan air muka
In-hujin, Tan Ciok-sing kira orang terlalu banyak bicara, sehingga kehabisan
tenaga, katanya: "Pek¬ bo, kau beristirahat saja. Marilah kuhibur dengan
petikan sebuah lagu lagi."
Pandangan In-hujin tertuju
keluar jendela, seperti sedang memikirkan apa-apa, hakikatnya seperti
memperhatikan apa yang diucapkan Tan Ciok-sing. Keruan Tan Ciok-sing kaget, dia
kira penyakit orang kumat lagi, baru saja dia maju hendak tanya, tiba-tiba
In-hujin menoleh sambil menegakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi
syarat supaya dia tidak bersuara. Lalu dia berbisik: "Ada orang datang,
lekas kau sembunyi, aku bisa menghadapinya."
Tan Ciok-sing tidak tahu siapa
yang datang, memang dia merasa rikuh berada di kamar perempuan, tapi waktu
mendesak begini membuatnya bingung, keluar tidak mungkin, lalu dimana dia harus
menyembunyikan diri.
Lekas In-hujin menuding almari
pakaian, tanpa banyak pikir Tan Ciok-sing menyelinap masuk kedalam almari, baru
saja dia merapatkan almari, betul juga didengarnya suara lapat-Iapat datangnya
langkah kaki yang semakin dekat, kini menaiki undakan mendorong pintu besar
terus masuk kedalam rumah. Dari langkah kaki yang terdengar bisa di duga yang
datang ada tiga orang. Kaget dan malu hati Tan Ciok¬sing, pikirnya: "Dalam
keadaan sakit tapi pendengaran In-hujin masih setajam ini, dibandingkan dia
ternyata aku masih kalah jauh."
Begitu memasuki rumah, ketiga
orang itu bicara sambil bisik-bisik terus maju memeriksa dan menggeledah
tempat-tempat yang mereka lalui. Dengan cermat Tan Ciok-sing pasang kuping,
tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang sudah amat dikenalnya: "Entah
Kim-to-thi-ciang itu sudah pergi atau belum."
Tan Ciok-sing kaget, tapi
lantas naik pitam, orang yang bicara ternyata bukan lain adalah Liong Seng-bu.
Demikian pula In-hujin, dia ke tambahan jengkel dan benci. Diapun sudah
mendengar suara percakapan Liong Seng-bu diluar pintu, maka dia membatin:
"Agaknya Hou-ko di alam baka memang memberi kesempatan padaku untuk
menuntut balas, entah bagaimana bocah keparat ini diantar kemari untuk
mengantar kematian. Hm, hm, memang aku hendak membuat perhitungan kebetulan dia
kemari."
Lalu terdengar seorang
bersuara agak serak tua: "Hari itu dia sengaja pamer kepandaian, dikira
kita lari kena gertakannya, kini kuyakin dia takkan mengira kita bakal kemari
lagi. Lalu untuk apa dia berjaga-jaga pula disini?"
Orang ketiga ikut menimbrung:
"Tam Pa-kun hanya bernama
kosong, kalau ada kesempatan ingin aku menjajal Kim-to-thi-ciangnya itu."
"Hari itu hanya ada aku
bersama, Ciok-tuthau, sudah jamak kalau kami gentar menghadapinya. Kini bila
kalian bergabung mengeroyok dia, jelas tak usah takut padanya."
Mendengar sampai disini,
diam-diam In-hujin dan Tan Ciok-sing tahu duduknya perkara. Kiranya untuk
menakut-nakuti kawanan penjahat ini masuk ke rumah keluarga In, maka sengaja
Tam Pa-kun meninggalkan bekas telapak tangan itu di atas singa batu, itu berarti
dia melindungi keselamatan In San pula. Mendadak Tan Ciok-sing mengingat
sesuatu, didalam almari jari-jarinya menjentik beberapa kali.
Lekas In-hujin dekatkan
telinganya di samping almari, didengarnya suara Tan Ciok-sing selembut nyamuk,
mengatakan tentang "harpa antik"-nya yang terletak di atas meja.
Maklum Liong Seng-bu pernah
melihat harpa antik milik Tan Ciok-sing ini, dia kuatir orang mengenalinya,
maka dia memberi ingat kepada In-hujin. Pada hal langkah ketiga orang diluar
sudah berada di pekarangan dalam, tak mungkin mereka banyak bicara lagi.
In-hujin juga tersentak sadar,
pikirnya: "Harpa ini memang cukup antik, mungkin dia kuatir Liong Seng-bu
merusaknya nanti bila bergebrak disini. Sebetulnya hal ini tidak perlu dibuat
kuatir," dia yakin semudah membalik telapak tangan untuk membekuk Liong
Seng-bu tapi karena Tan Ciok-sing berkuatir, hati-hati sedikit memang juga
baik, maka dengan gerakan terburu-buru sekenanya dia menarik secarik kain sutra
merah terus dilampirkan di atas harpa antik itu. Sementara ketiga orang itupun
sudah dekat dan sedang menuju ke kamar In San ini.
Rebah di pembaringan, napas
In-hujin sengaja dibuat berat dan tersengal.
Kaget dan senang Liong-bu yang
berada diluar pintu, serunya: "Siapa didalam?"
In-hujin juga berpura-pura
senang dan kaget, katanya dengan napas memburu: "Apakah Seng-bu diluar?
Dengan siapa kau kemari?"
Liong Seng-bu amat kecewa,
katanya dengan laku hormat: "Betul, memang aku. Bibi, apakah penyakitmu
sudah sembuh. Kenapa tidak kau rawat penyakitmu di rumah..." ternyata dia
kira yang ada didalam kamar adalah In San.
Mendengar suara In-hujin,
kedua orang diluar itu juga merasa diluar dugaan, lekas mereka berdiri tegak
diluar, katanya: "Lapor Hujin, hamba Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay atas
perintah Te-tok datang kemari untuk menjemput Siocia pulang ke kota raja. Tidak
tahu bila Hujin ada disini, harap dimaafkan," kedua orang ini adalah dua
perwira dari anak buah suaminya J^iong Bun-kong yang berkepandaian paling
tinggi.
Dalam hati In-hujin berpikir:
"Jikalau aku tidak sakit, bukan soal aku menghadapi mereka. Tapi buat apa
aku merendahkan derajat bergebrak dengan mereka?" Maka dia berkata:
"Bu-ji, kau masuklah, Ciok-tuthau dan Sa-jongiing boleh tunggu diluar
saja, jangan biarkan orang lain masuk kemari." Kedua orang itu mengiakan
sambil munduk-munduk.
Pelan-pelan Liong Seng-bu
mendorong daun pintu, dilihatnya In-hujin sedang rebah di atas ranjang, mukanya
pucat bagai kertas, napasnya yang menderu terdengar berat, agaknya penyakitnya
kumat dan bertambah berat. Maka legalah hatinya, katanya: "Bibi, kenapa
kau begini menyiksa diri? Bukankah bibi sudah kukasih tahu, paman sudah
mempersiapkan segalanya untuk menjemput adik San pulang, kenapa bibi harus
kemari sendiri?"
Tan Ciok-sing yang sembunyi
didalam almari menjadi keheranan: "Bagaimana mungkin Liong Seng¬bu
ternyata adalah keponakan In-hujin? Memangnya siapa pula Te-tok Tayjin
itu?" dia yakin dalam hal ini pasti ada latar belakang yang cukup ruwet,
terpaksa dia menahan napas mendengarkan lebih lanjut.
In-hujin menghela napas,
katanya: "Aku tahu pamanmu pasti mengutus orang membawanya pulang. Tapi
dia adalah putri kandungku, sudah tentu aku amat prihatin akan dirinya. Situasi
di Tay-tong amat genting lagi, terpaksa aku nekad datang kemari. Tak nyana setiba
disini, San-ji tidak kuketemukan, penyakitku malah kumat lagi."
Liong Seng-bu amat kecewa,
katanya: "Untung bahaya sudah berselang disini, tak lama lagi adik San
mungkin pulang, bagaimana keadaan bibi sekarang, perlukah kupanggil tabib untuk
memeriksa?"
In-hujin pura-pura payah,
duduk bersandar di pinggir ranjang, tangannya menggapai ke arah Liong Seng-bu,
katanya terputus-putus: "Penyakitku ini mungkin, mungkin tak bisa sembuh
lagi. Kau, kemarilah kau, aku... aku hendak bicara dengan kau."
Liong Seng-bu mengiyakan
sambil menghampiri, tiba-tiba matanya melirik ke arah toilet, dilihatnya sebuah
harpa kuno yang ditutupi selembar kain merah sutra, harpa kuno itu sendiri
tidak dia lihat tapi dari bentuknya dia bisa memperkirakan barang apakah-di
bawah kain merah sutra itu, jelas bukan perabot yang biasa dibuat dandan anak
gadis, sekilas timbul rasa curiganya, tiba-tiba dia ulur tangan menyingkap kain
sutra merah itu, segera dia mengenali harpa kuno milik Tan Ciok-sing itu.
Tahu gelagat jelek tapi Liong
Seng-bu masih mampu menenangkan hati, katanya: "Kiranya juga bibi suka
main harpa? Selama ini belum pernah aku tahu."
"Aku kesepian dalam
menunggu sembuhnya penyakit ini, kadang-kadang timbul rasa isengku maka
kugunakan harpa ini untuk menghibur hati."
Pandangan Liong Seng-bu
menjelajah seluruh isi kamar, dirasakan tiada mungkin orang sembunyi di kamar
ini, pikirnya: "Kalau Tan Ciok-sing tidak pernah kemari, bagaimana mungkin
harpa miliknya berada disini? Entah dia sudah pergi? Lebih baik aku berhati-hati."
Lalu dia mundur beberapa langkah, katanya: "Ada sesuatu yang lupa kuberi
tahu kepada mereka, segera aku kembali."
Melihat sikap orang yang agak
ganjil sudah tentu In-hujin tidak membiarkan pergi, katanya: "Baiklah,
lekas kau kembali," menanti orang sudah putar tubuh dan berjalan hampir
mendekati pintu, mendadak dengan tenaga sikut menahan ranjang, In-hujin
mencelat bangun dan meluncur terapung, seperti burung elang menyambar kelinci,
sekali tangan terulur dia cengkram tulang pundak Liong Seng-bu.
Karuan Liong Seng-bu menjerit
kesakitan, teriaknya: "Bibi, kau." "Jangan bersuara," desis
In-hujin di pinggir telinganya, "berani kau berteriak, segera kucabut
nyawamu."
Sengaja In-hujin juga mengeluh
sekali, lalu katanya: "Papah aku berdiri, jangan takut, aku hanya kebentur
sedikit, tidak apa-apa," kata-katanya yang terakhir dia tujukan kepada dua
orang yang berjaga diluar.
Sesaat lagi In-hujin pasang
kuping, didengarnya kedua orang itu tidak putar balik, maka legalah hatinya.
Segera dia tekan urat nadi Liong Seng-bu, lalu menyeretnya mendekat ke ranjang.
"Bibi," kata Liong
Seng-bu suaranya lirih lembut, "keponakan tidak pernah berbuat salah
terhadapmu..."
"Ada urusan yang ingin
kutanya kepadamu, kau harus menjawab terus terang."
"Masak keponakan berani
menipu bibi?"
"Perkataanmu ini justru
telah menipuku. Perjanjian In Hou dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin bukankah kau
yang membocorkan kepada pamanmu, lalu mengatur tipu daya menjebak mereka serta
mencelakai jiwa mereka pula?"
Liong Seng-bu berjingkat
kaget, serunya: "Bibi, kau, apa katamu? Hakikatnya aku tidak tahu menahu
soal itu."
"Hari itu kau mencuri
dengar pembicaraan kami, kau kira aku tidak tahu? Tapi waktu itu aku masih
belum ada keputusan untuk meninggalkan keluarga Liong, tak pernah kuduga pula
bahwa kau akan berbuat sejahat ini, maka aku diam saja tidak bertindak padamu.
Aku paling benci bila ditipu orang, jikalau kau mau berterus terang, mungkin
aku bisa mengampuni jiwamu."
Terbetik setitik harapan, kata
Liong Seng-bu: "Harap bibi maklum, bukan keponakan berani ngapusi kau,
semua ini adalah putusan dan perintah paman sendiri."
"Baik, teruskan,"
desak In-hujin menahan amarah, "kau, kenapa kau mencelakai In Hou? Kenapa
pula kau memfitnah Tan Ciok-sing?"
"Bibi, bukan aku yang
mencelakai In Tayhiap, paman yang punya maksud jahat ini. Ai, yang benar paman
juga bermaksud baik terhadapmu. Sebagai Te-tok Hujin. kalau bibi masih ada
hubungan dengan In Hou..." Merah padam muka In-hujin, dampratnya melotot:
"Aku tidak pingin mendengar obrolannya, lebih penting kau bicara secara
jujur."
Tan Ciok-sing yang
mendengarkan sampai disini di tempatnya" sembunyinya berpikir: "Jadi
In-hujin sudah nikah lagi, jadi sekarang dia adalah nyonya besar. Coba saja dia
masih kemaruk kehidupan serba berkecukupan atau membela dan membalas kematian
In Hou."
"Keponakan sejak kecil
memperoleh banyak kebaikan paman, mana berani aku main sembunyi, apa yang
kudengar semuanya sudah kulaporkan padanya, tapi aku tidak mengira bila paman
bisa bertindak sejauh itu untuk mencelakai In Tayhiap."
"Tidak perlu kau membela
diri, aku tidak sabar lagi mendengar obrolanmu."
"Ya, baiklah kuperpendek
saja. Setelah paman tahu akan hal ini, segera dia mengutus orang memberitahu
kepada Hek-ciok-ceng Cengcu le Cun-hong."
"Ie Cun-hong yang
bergelar si Raja Golok itu? Ada sangkut paut apa dia dengan pamanmu?"
"Sudah lama dia ingin
bekerja demi kepentingan kerajaan, maka sering dia berhubungan dengan paman,
tapi bibi sendiri tidak pernah tahu. Paman menugaskan Ie Cun-hong mengatur
rencana untuk mencelakai jiwa In Tayhiap. Tapi Ie Cun-hong di samping licik dan
culas ternyata dia cukup licin pula, dalam melaksanakan tugasnya sendiri tidak
mengunjuk diri.
"Kebetulan waktu itu
datang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi bernama Le Khong-thian, konon
tokoh liehay ini ada bermusuhan dengan In Tayhiap, maka Ie Cun-hong lalu
mengatur muslihat serta mengundang seorang temannya yang lain bernama Siang
Po-san untuk membantu Le Khong-thian, di samping itu masih ada pula orang-orang
Tok-liong-pang semuanya meluruk ke Kwi-Iin disana mereka melaksanakan rencana
jahat itu. Semua ini baru kudengar laporan le Cun-hong kepada paman setelah
peristiwa itu berselang satu bulan. Bagaimana mereka turun tangan, secara
terperinci aku tidak bisa menjelaskan."
In-hujin teringat suatu hal,
tanyanya: "It-cu-king-thian tidak sekongkol dengan kalian?"
Liong Seng-bu melengak,
pikirnya: "Eh kenapa perempuan busuk ini menaruh curiga terhadap
It-cu-king-thian malah, atau sengaja hendak mengorek keteranganku? Berapa
banyak yang dia ketahui?"
"Ada atau tidak, kenapa
tidak bicara?" In-hujin mendesaknya pula.
Pada hal Tan Ciok-sing sedang
pasang kuping mendengarkan, tanpa terasa dia menghela napas enteng. Betapa
licik dan cerdik Liong Seng-bu mendengar suara helaan napas ini, otaknya yang
encer segera berputar, pikirnya: "Bocah itu pasti sembunyi dalam kamar
ini, meski aku tidak tahu dimana dia sembunyi. Pasti dia pula yang memberi tahu
kejadian yang mengakibatkan kematian In Hou. Betapa liehay dan sempurna rencana
yang diatur paman dengan Ie dan Le bertiga, tidak heran kalau bocah ini sampai
menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian, pertanyaan perempuan busuk ini
menitik beratkan ke persoalan ini, pasti bocah itulah yang ingin tahu. Baiklah,
kutipu mereka pula dengan melimpahkan kesalahan kepada orang," sengaja dia
ragu-ragu dan plegak pleguk, katanya: "Bibi, maksudmu...!"
"It-cu-king-thian Lui
Tin-gak, katamu suka bergaul dengan kaum persilatan, memangnya kau tidak pernah
mendengar nama besarnya?"
Liong Seng-bu pura-pura
teringat, katanya: "Oh, ya, teringat aku sekarang. It-cu-king-thian Lui
Tin-gak memang ikut merencanakan muslihat itu, malah dialah yang menjadi biang
keladinya."
"Siapa yang memberitahu
kau akan hal ini?"
"Secara kebetulan
kudengar pembicaraan paman dengan utusan Ie-cengcu."
"Apa yang mereka
bicarakan?"
"Paman berpesan pada
orang itu bahwa It-cu-king-thian Lui Tin-gak adalah orang kita sendiri. Supaya
mereka tidak usah takut dan jeri padanya, setiba di Kwi-lin boleh berunding
dengan dia. Kudengar orang itu berkata: "Kalau demikian, In Hou janji
bertemu dengan Tam Pa-kun di rumah Lui Tin-gak, bukankah berarti mereka masuk
jaring sendiri?"
"Apa betul kau mendengar
mereka bicara demikian? Aku tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sehaluan
dengan kalian."
'"Kalau bibi tidak
percaya aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi memang waktu itu aku dengar bicara
demikian."
"Dan akhirnya
bagaimana?" "Kebetulan aku lewat dan mendengar pembicaraan ini, tak
berani aku mencuri dengar lama-lama diluar kamar, bagaimana akhir pembicaraan
mereka, aku tidak tahu."
"In Tayhiap sudah jadi
korban, kalian masih belum puas, kenapa bocah she Tan itu juga kalian
kejar?"
"Karena hanya dia saja
yang tahu akan kematian In Tayhiap, golok dan buku pelajaran ilmu golok milik
In Tayhiap berada di tangannya. Aku ingin rebut kembali barang-barang itu dan
serahkan kepada adik San."
"Jadi kau ini agaknya
berbudi dan baik hati terhadap kami ibu dan anak?"
"Bibi, jangan salah paham
bila keponakan bicara terus terang. Tindakan paman kali ini memang agak kejam,
tapi kenyataan adalah demi kepentingan. Paman sekarang adalah Kiu-bun-te-tok,
tak lama lagi bakal naik pangkat, sebagai isterinya kedudukanmu akan ikut naik
setingkat pula. Bahwa paman menyingkirkan In Hou, adalah mengharap kau bisa
hidup tenang dan tenteram didalam keluarga Liong kita sampai hari tua."
Hampir meledak dada In-hujin,
dampratnya dengan kertak gigi: "Binatang, kalian paman dan keponakan
memang hewan. Aku telah salah melangkah, menyesal juga sudah terlambat, meski
jiwaku harus melayang, sakit hati ini harus kutuntut pada dirimu," tiga
jari tangan kanan menekan urat nadi, sementara telapak tangan kiri pelan
terangkat hendak menepuk batok kepala orang. Keruan serasa terbang arwah Liong
Seng-bu, ingin dia minta tolong, tapi dia insaf bila berteriak mungkin jiwanya
mati lebih cepat. Pada saat kepepet ini tiba-tiba timbul akalnya, serunya:
"Bibi, tidak jadi soal aku mati, kuatirnya adik San..."
Telapak tangan In-hujin
tinggal satu dim di atas kepalanya, mendengar kata-katanya segera dia berhenti,
tanyanya: "Anak San sudah tidak berada di Tay-tong, memangnya kalian bisa
berbuat apa atas dirinya?"
"Terus terang, paman
mengutus beberapa kelompok orang kemari. Dua hari yang lalu adik San menyamar
laki-laki keluar dari Tay-tong, orang kita sudah mengikuti jejaknya, untuk
membuktikan laporan ini, maka bersama Ciok dan San kedua anak buah paman aku
kemari memeriksa. Bibi, kau boleh membunuhku, kau sendiripun tak akan bisa
lolos. Adik San ketangkap orang kita, paman pasti akan membunuhnya juga untuk menuntut
balas sakit hatiku. Bibi, kau masih bisa berpikir secara sehat, kau harus
memikirkan untung ruginya. Kalau bibi tidak ingin pulang ke damping paman,
boleh kau lari ke tempat yang jauh, meski paman marah takkan bisa berbuat
apa-apa."
In-hujin menjadi ragu dan
merandek setelah mendengar bujukan Liong Seng-bu.
Urat nadi Liong Seng-bu
sebetulnya tertekan oleh tiga jari In-hujin, tiba-tiba dirasakan olehnya
jari-jari itu rada gemetar, tenaga tekanan juga rada mengendor, ini menandakan
bahwa hatinya terguncang. Pada detik menentukan mati hidup ini, tiba-tiba
timbul setitik harapan, sudah tentu Liong Seng-bu tidak sia-siakan kesempatan
ini! Segera dia merendahkan pundak sambil meronta sekuatnya sehinga terlepas
dari cengkraman In-hujin, malah dua jarinya balas menutuk.
Memang In-hujin sedikit
teledor sehingga berbalik kena kecundang. Dulu, dia pernah mengajar Kungfu
kepada Liong Seng-bu, dikiranya kepandaian Liong Seng-bu yang terbatas ini,
pasti takkan lolos dari tangannya. Diluar tahunya bahwa sejak tiga tahun yang
lalu Liong Seng-bu pernah merebut beberapa lembar tulisan pelajaran
Bu-bing-kiam-hoat karya Thio Tan-hong dari tangan Tan Ciok-sing. Walau yang
diperolehnya tidak lengkap, tapi berdasar kecerdikannya sendiri selama tiga
tahun ini dia pelajari dengan tekun, di kota raja dia sering ajak adu
kepandaian dengan jago-jago silat pamannya, maka kepandaiannya sekarang sudah
jauh lebih tinggi. Tapi dihadapan In-hujin dia berpura-pura rendah.
Perasaan In-hujin sedang
tergoncang, tak terpikir olehnya bahwa sang tawanan bakal berontak, karena
tidak siaga tahu-tahu jalan darah di dadanya kena ditonjok sekali, seketika dia
rasakan badannya kesemutan.
"Kunyuk kurang
ajar," hardik In-hujin, sekaligus telapak tangannya terbalik, telapak
tangannya mengiris keluar dengan sisa tenaganya, maka terdengar suara
"Brak" yang cukup keras, Liong Seng-bu kena digetar sungsang sumbel
oleh tenaga pukulan ini, badannya menumbuk daun pintu. "Biang"
tahu-tahu daun pintu ditendang terpentang dari luar. Baru saja Liong Seng-bu hendak
berteriak minta tolong, kedua perwira yang datang bersamanya itu sudah
menerjang masuk.
Ternyata kedua orang ini hanya
mengiakan saja atas perintah In-hujin, sengaja dengan langkah berat berjalan
pergi lalu ngeluyur balik dengan langkah ringan, serta mendekam diluar pintu
mencuri dengar pembicaraan didalam kamar, mereka maklum jiwa Liong Seng-bu
berada digenggaman In-hujin, maka tak berani mereka bertindak gegabah, baru
sekarang tanpa pikirkan akibatnya mereka menerjang masuk.
Meski dalam keadaan sakit,
betapapun kepandaian dan lwekang In-hujin masih lebih tinggi dibanding Liong
Seng-bu, cukup dia memutar tiga kali hawa murni dalam tubuh, hiat-to yang
tertutuk sudah lancar kembali. Namun karena ini dia cukup memeras tenaga, meski
hiat-to yang tertutuk sudah bebas, tapi badan bagian bawah masih dalam keadaan
lumpuh.
Sambil memapah Liong Seng-bu,
Ciok Khong-goan berkata: "Kongcu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa,"
seru Liong Seng-bu sengit, "lekas kalian bekuk perempuan busuk itu."
"Kurang ajar, siapa suruh
kalian masuk, lekas enyah dari sini," bentak In-hujin.
Tawar suara Sa Thong-hay:
"Hujin sedang sakit, jangan mengumbar amarah. Harap Hujin ikut kami
berangkat ke kota raja saja."
"Siapa Hujin kalian
itu?" damprat In-hujin, "pulanglah kalian dan beritahu kepada Liong
Bun-kong, aku tidak akan kembali pula ke rumah keluarga Liong."
Sa Thong-hay menyeringai,
katanya: "Kalau kau tidak sudi jadi Liong-hujin, maka jangan kau salahkan
kalau kami bertindak kepadamu," sembari bicara kakinya melangkah maju mendekat
di pinggir ranjang In-hujin.
Tiba-tiba Liong Seng bu
teringat, teriaknya: "Awas, dalam kamar ini ada sembunyi seorang
lagi."
Belum habis dia bicara Tan
Ciok-sing tendang almari terus melompat keluar. Sa Thong-hay sedang mengulur
tangan hendak mencengkeram In-hujin, tiba tiba dia rasakan angin kencang
282
menyerang dari belakang,
ternyata Tan Ciok-sing menyerang dengan sejurus tusukan pedang.
Memang tidak malu Sa Thong-hay
memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan genting ini dia masih sempat membalik
tangan menangkap ke belakang, ternyata dengan balas menyerang dia lawan
serangan musuh, dengan tangan kosong dia hendak merebut pedang pusaka Tan
Ciok-sing. Jurus Kim-na-jiu ini mencengkeram ke urat nadi di pergelangan tangan
Tan Ciok-sing, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan Tan Ciok-sing memang
khusus untuk menghadapi serangan secara mendadak serta dapat bergerak mengikuti
perubahan yang dihadapinya, segera langkah menggeser berganti posisi, ujung
pedangnya melingkar menggaris sebuah bundaran kecil memapas pergelangan tangan
lawan yaug terjulur tadi. Cengkeraman luput Sa Thong-hay sekaligus turunkan
telapak tangan kiri terus membelah ke sikut Tan Ciok-sing. Dengan jurus
jun-hun-ka-jan, cahaya pedangnya berderai melebar dengan getaran yang menyilaukan,
sehingga Sa Thong-hay kena didesaknya mundur dua langkah.
Betapapun didalam kamar
menghambat gerak-gerik, sukar untuk mengembangkan kepandaian sejati, sebagai
jago Tay-lik-ing-jiau-kang, dengan tangan kosong tak mungkin Sa Thong-hay kuat
melawan pedang pusaka Tan Ciok-sing. Lekas Ciok Khong-goan menubruk maju sambil
mencabut golok. Golok Tan Ciok-sing bergerak enteng dan lincah, jurus
hian-niau-hoat-sa yang kelihatan sepele ini tiba-tiba dilancarkan menyerang Sa
Thong-hay, tapi sasaran yang diincarnya justeru Ciok Khong-goan yang menyerang
tiba. Di tengah deru pukulan telapak tangan dan samberan kilat pedang, tampak
Tan Ciok-sing bergerak setangkas kera, badan bergerak mengikuti laju pedang,
secara mendadak pedangnya menusuk ke dada Ciok Khong-goan dari arah dan posisi
yang tak terpikir oleh lawan. Ciok Khong-goan juga termasuk jago dalam
memainkan golok cepat, tapi ilmu pedang Tan Ciok-sing jelas lebih rumit dan
liehay sukar dijajaki, bahwa kagetnya secara reflek dia tarik goloknya
menangkis "Trang" tahu-tahu ujung kepala goloknya terpapas kutung
oleh Ceng-bing-kiam. Sebagai ahli silat Sa dan Ciok cukup tahu bergebrak
didalam kamar bahayanya berlipat ganda bagi pihak mereka, apalagi lawan memakai
senjata pusaka, umpama mereka tidak sampai kalah, akhirnya mungkin bisa gugur
bersama. Adalah logis bila dua jagoan yang sedang bertempur memikirkan juga
jalan mundur keselamatan dirinya sesuai situasi yang ada. Maka tanpa berjanji
kedua orang ini berlari keluar dari kamar tidur In San, teriaknya: "Bangsat
cilik, kalau berani hayo keluar."
Lega hati Tan Ciok-sing,
katanya: "Pek-bo, kau?"
"Aku tidak apa-apa. Lekas
libat mereka supaya tidak melarikan diri," In-hujin yakin dalam jangka
setengah jam dia sudah cukup waktu untuk melancarkan seluruh jalan darahnya, bila
kedua kaki sudah leluasa bergerak, maka dia bisa membantu Tan Ciok-sing
melabrak musuh-musuh itu.
Terdengar Liong Seng-bu
menjengek diluar: "Perempuan busuk, anakmu sudah sebesar itu, ternyata
masih juga kau tidak malu main pat-gulipat disini, sungguh tidak tahu
malu."
Saking gusar In-hujin sampai
memuntah sekumur darah, bentaknya: "Bunuhlah anjing keparat itu. Sungguh
aku menyesal kenapa tadi tidak kucabut jiwanya."
"Memangnya, kalau mampu
hayo keluar dan bunuh kami bertiga," ejek Sa Thong-hay, "kalau kau
tidak keluar, biar kukubur kalian sepasang laki-laki perempuan anjing ini
hidup-hidup." "Wut" dengan kepalannya tiba-tiba dia menggempur
ke dinding. Yang diyakinkan adalah Tay-Iik-ing-jiau-kang, betapa dahsyat tenaga
pukulannya, seketika dinding jebol dan runtuh berhamburan, dua batu bata
mencelat kesana hampir saja menjatuhi harpa yang berada di atas toilet.
Tan Ciok-sing gusar, harpa itu
segera dia buntal dan digendong, katanya: "Pek-bo, aturlah pernapasan dan
kerahkan hawa murni tak usah pecah perhatian atas diriku. Kedua cakar alap-alap
ini aku mampu menghadapi mereka," tiba-tiba dia gerakkan tangannya, dengan
jurus Me-can-pat-hong seluruh tubuh terbungkus dalam libatan cahaya pedang
terus menerjang keluar pintu. Liong Seng-bu berjingkat kaget serta putar badan
menyingkir ke tempat jauh.
"Biar bocah keparat ini
tahu keliehayanku," bentak Sa Thong-hay, kini dia sudah memegang sebatang
kipas lempit yang terbuat dari besi baja. Dengan jurus Bek-hong-koan-jit pedang
Tan Ciok-sing menusuk lambung musuh. Dengan kipas lempitnya Sa Thong-hay
menangkis serta menuntunnya keluar, secara pas-pasan dia geser tenaga serangan
pedang Tan Ciok-sing ke samping sehingga pedang Tan Ciok-sing tersampuk
minggir.
Inilah tenaga lunak untuk
mengalahkan kekerasan yang meminjam tenaga untuk memunahkan tenaga. Umumnya
orang yang meyakinkan Tay-lik-ing-jiau-kang jarang yang memiliki landasan
latihan lwekang. Tan Ciok-sing tidak menduga bahwa lawan yang satu ini ternyata
mahir lwekang, hampir saja dia kena kecundang, untung Bu-bing-kiam-hoat yang
diyakinkan itu khusus memang untuk melayani segala perubahan mengikuti situasi
yang ada, maka meneruskan laju pedangnya tiba-tiba pedang panjang tadi
melingkar sekali memunahkan daya lengket dari kipas lawan begitu berubah permainan
pedangnya dari jurus Pek-hong-koan-jit dia rubah menjadi Kiau-hu-bun-Io
(pencari kayu tanya jalan), pedang menyapu bagian bawah Sa Thong-hay. Kipas Sa
Thong-hay ditarik melempit terus ditekan turun, "Trang" pedang dan
kipas beradu menimbulkan percikan lelatu api. Dalam jurus bentrokan ini walau
Sa Thong-hay tidak mampu mengeser pedang lawan, namun tenaganya sudah
terpunahkan sebagian besar, sehingga Tan Ciok-sing tidak mampu menusuk lobang
kipas besi orang.
Melihat kawan tidak kuasa
mengalahkan lawan cilik ini, sudah tentu Ciok Khong-goan tidak tinggal diam,
sambil menghardik sekali di bawah permainan goloknya dia selingi pukulan tangan
Tan Ciok-sing dirangsaknya dengan sengit. Menghadapi dua musuh dari dua jurusan
sedikitpun Tan Ciok-sing tidak merasa jeri pedang ditarikan turun naik dengan
gerak kecepatan luar biasa memainkan jurus-jurus pedang ciptaan gurunya lagi,
dengan leluasa dia masih mampu menghadapi keroyokan kedua orang ini. Malah
dirabu oleh gerakan pedang cepat Tan Ciok-sing, Sa Thong-hay tidak mampu lagi
mengembangkan gwakangnya, sementara Ciok Khong-goan paling juga hanya mampu
bertahan saja.
Kepandaian Ciok Khong-goan
memang tidak setingkat Sa Thong-hay yang mampu meyakinkan lwekang dan gwakang,
betapapun dia sudah termasuk jago liehay, sudah menjadi incaran Tan Ciok-sing
hendak memukul roboh dulu pada sasaran yang lemah ini, sejauh itu usahanya
tetap gagal. Permainan golok dicampur pukulan Ciok Khong-goan memang cocok
untuk menghadapi gerak pedang kilat Tan Ciok-sing, tapi untuk balas menyerang
jelas tidak mungkin, kalau untuk bertahan dalam jangka tertentu dia masih mampu
membela diri.
Liong Seng-bu sudah lari
puluhan langkah, waktu dia berpaling dilihatnya Sa dan Ciok berdua tidak
kelihatan lebih asor, maka dia tenangkan hati pelan-pelan dia putar balik
mendekati arena pertempuran.
Tan Ciok-sing mencegat di
pintu, bentaknya: "Liong Seng-bu, berani kau selangkah memasuki pintu ini,
biar kubunuh kau lebih dulu."
Tapi didalam In-hujin berkata
dingin: "Biarkan saja dia masuk, tak usah kau menghalanginya, silahkan
saja masuk kemari,"
Sudah tentu Liong Seng-bu tahu
betapa liehaynya In-hujin, meski dalam keadaan sakit, tadi kena tutukan jarinya
lagi, namun dia masih jeri untuk mendampinginya.
"Liong-kongcu," seru
Sa Thong-hay. "Lekas kau lari minta bantuan, balai kota kan tidak jauh
dari sini."
Liong Seng-bu tersentak sadar
oleh peringatan ini, pikirnya: "Ya kenapa tidak aku kerahkan tentara
kemari? Kurasa militer di Tay-tong kan pengagum paman."
In-hujin lebih terkejut
mendengar percakapan ini, dalam jangka setengah jam dengan taraf lwekang
In-hujin sekarang sebetulnya dia sudah mampu melancarkan hawa murninya, tapi
karena pikiran gundah hati risau, hawa murni sukar dihimpun, sehingga rasa linu
dan pati kedua kakinya bertambah parah.
Sementara Tan Ciok-sing yang
menghadapi kedua musuhnya di pekarangan lama kelamaan merasa payah, semangat
tempur masih gigih tapi tenaga semakin terkuras. Suatu ketika pedangnya menusuk
ke leher Ciok Khong-goan, lawan menegakkan golok menangkis "Trang"
pedangnya kena disampuk pergi, golok lawan ternyata tidak kurang suatu apa,
sebat sekali pedang Tan Ciok-sing sudah melintir balik, maksudnya hendak
menusuk hiat-to lawan dari arah yang tak terduga, hasilnya serambut lebih
lambat sehingga tusukannya gagal.
Padahal Ciok Khong-goan sudah
dibuat silau oleh cahaya pedang, untuk berkelit jelas tidak mungkin. Tak nyana
ujung pedang lawan tahu-tahu menyelonong ke samping, hanya terpaut serambut itu
hiat-tonya tidak sampai tertusuk. Begitu tenang perasaan dan pikiran Ciok Khong-goan
seketika berteriak girang: "Bocah ini sudah kepayahan."
Kipas Sa Thong-hay mengetuk
dan mengebas terbuka, beruntun dia bebaskan tiga jurus serangan rangkaian
pedang Tan Ciok-sing. Tiga serangan pedang berantai ini masih cukup kencang
gerakannya, tapi dibanding tadi jelas sudah jauh lebih lambat dan lemah. Karuan
Sa Thong-hay ikut senang, serunya: "Betul, tak perlu kita adu jiwa dengan
bocah ingusan ini, hayo kuras saja tenaganya, libat terus jangan sampai
melarikan diri."
Yang benar dengan bekal
ginkang dan kemahiran ilmu pedangnya yang liehay, walau saat itu dia sudah
hampir kehabisan tenaga, untuk melarikan dia masih cukup berlebihan. Tapi di
kamar masih ada In-hujin yang tidak mampu berjalan, bagaimana mungkin dia
melarikan diri tanpa memikirkan tentang keselamatan orang. Oleh karena itu
sekuatnya dia mengempos semangat untuk bertahan mati-matian. Jeri menghadapi
permainan pedangnya yang liehay sukar diraba, Sa dan Ciok berdua juga tidak
berani terlalu mendesak. Tanpa merasa pertempuran ini sudah berselang hampir
setengah jam, badan Tan Ciok-sing basah kuyup keringatnya gemerobyos, gerakan
pedangnya boleh dikata tanpa dilandasi kekuatan tenaga dalam lagi. Kiranya
untuk membantu penyembuhan penyakit In-hujin, dia harus menyalurkan Iwekangnya,
tidak sedikit hawa murninya yang terkuras, dalam kondisi yang semakin lemah
ini, akibatnya pihak musuh semakin mengganas dan pihak sendiri semakin payah
kehabisan tenaga.
Di saat-saat tegang ini,
tiba-tiba terdengar derap lari kuda yang kencang dari kejauhan. Derap kaki kuda
yang kacau balau dan gaduh suaranya, bagi yang berpengalaman sekali dengar akan
lantas tahu bahwa kuda yang dicongklang mendatangi sedikitnya ada belasan.
Ciok Khong-goan tertawa
tergelak-gelak, serunya: "Nah itu pasukan pemerintah sudah tiba, coba
bocah keparat kau ini mau lari kemana?" Padahal keadaan Tan Ciok-sing
sudah ibarat pelita yang sudah kekeringan minyak, umpama pasukan pemerintah
tidak datang, jelas diapun takkan bisa meloloskan diri lagi.
Belum lagi gelak tawa Ciok
Khong-goan lenyap, di atap rumah tiba-tiba didengarnya kesiuran angin lambaian
pakaian manusia. Mereka bertempur di pekarangan, Sa dan Ciok menghadap ke kamar
dimana In-hujin berada, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang seperti
elang menukik turun dari arah taman belakang sana terus meluncur lenyap kedalam
kamar. Bayangan itu lenyap di antara paya-paya di sebelah sana dimana merupakan
samping kamar yang terdapat sebuah jendela, mungkin orang itu sudah menerobos
masuk kedalam. Sa dan Ciok tidak tahu siapa pendatang ini, tapi Liong Seng-bu
sudah mengundang bala bantuan, mungkin orang itu adalah jago kosen yang
diundang Liong Seng-bu, meski hati merasa kaget, namun hati mereka tidak gugup.
Tan Ciok-sing yang membelakangi kamar sudah tentu tidak melihat berkelebatnya
bayangan hitam. Tapi kupingnya cukup tajam, diapun mendengar lambaian baju
seseorang yang melayang pesat di atap rumah. Seperti juga kedua lawannya, Tan
Ciok-sing menduga orang yang menerjang masuk ke kamar In-hujin adalah bala
bantuan yang diundang Liong Seng-bu untuk membekuk In-hujin. Karuan hatinya
gugup, permainannya pun kacau balau.
Mendadak didengarnya sebuah
suara yang seperti sudah amat dikenalnya tersiar dari kamar: "Te-moay, tak
usah gugup, mari kubawa kau keluar." Disusul suara In-hujin setengah
berteriak dengan nada kaget dan senang: "Tam-toako kaukah. Tam-toako, aku,
aku malu berhadapan dengan kau."
Mendengar panggilan
"Tam-toako" kedua pihak yang lagi berhantam di pekarangan sama-sama
melengak. Terutama Sa dan Ciok lantas berjingkat kaget, sebaliknya Tan
Ciok-sing kegirangan setengah mati. Orang yang setimpal dipanggil Tam-toako
oleh In-hujin, kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memangnya siapa lagi?
Sebetulnya kipas lempit Sa
Thong-hay sudah bergerak menutuk Ih-khi-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing di
kala yang diserang ini lagi tertegun, namun karena sedikit melengak ini,
tutukannya jadi menceng, meski menyentuh tubuh Tan Ciok-sing, namun yang kena
sisi hiat-to yang tidak berbahaya. Kontan Tan Ciok-sing merasa ketiaknya sakit
dan linu, namun gerak-geriknya tidak menjadi terhalang karenanya. Mendadak
pedangnya malah berputar balik menyampuk kipas lawan itu terus menggaris miring
kesana, baju Ciok Khong-goan kena ditabasnya sobek secuil. Karena kaget Ciok
Khong-goan lekas melompat mundur dengan gerakan gugup.
Dugaan Tan Ciok-sing memang
tidak meleset, orang yang baru datang dan masuk ke kamar tidur In San memang
bukan lain adalah Tam Pa-kun. Didengarnya Tam Pa-kun berkata dengan suara
lirih: "Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah, tahu salah bisa
merubah dan mengoreksi diri, betapa bajik hatinya itu. Te-moay, urusan yang
sudah lalu jangan kau singgung lagi, marilah lekas ikut aku ke markas Kim-to
Cecu, sebentar lagi pasukan pemerintah sudah akan kemari."
In-hujin tertawa kecut, katanya:
"Jangan kata aku tidak mampu bergerak, umpama mampu bergerak aku juga
tiada muka berhadapan dengan teman-teman Hou-ko."
Baru sekarang Tam Pa-kun
kaget, tanyanya: "Jadi Te-moay sudah terluka?"
"Lekaslah kau bantu
pemuda itu, tak usah kau hiraukan diriku," kata In-hujin.
Dengan cermat Tam Pa-kun
mengawasi dan memeriksa, didapatinya kaki orang yang lumpuh, katanya: "Ah,
tidak jadi soal," jari tengahnya terulur terus menutuk ke Hoan-tiau-hiat
di lutut In-hujin, seketika In-hujin merasa Siau-yang-king-meh di bagian
kakinya bergetar, maka hawa murni yang sejak tadi sudah terhimpun di pusar
seketika mengalir kencang ke bagian bawah tubuhnya, tanpa merasa segera dia
bergerak turun dan berdiri. Maklum Tam Pa-kun adalah ahli silat, sekali pandang
lantas dia tahu bahwa In-hujin tertutuk hiat-tonya, meski sudah berusaha
menghimpun hawa murni dan hiat-to sudah terbuka, namun hawa murni itu nyasar ke
arah yang berbeda, sehingga kedua kakinya menjadi lumpuh sementara. Bahwa
In-hujin sudah memiliki kepandaian silat yang bertaraf tinggi masih mengalami
kesalahan ini, dapatlah dibayangkan pasti karena pikirannya sedang kacau.
Tam Pa-kun keluarkan golok
emasnya yang masih bersarung, gagang golok dia angsurkan kepada In-hujin,
katanya: "Jangan kau banyak pikiran, urusan tidak boleh ditunda lagi,
lekas pergi bersamaku." Ilmu silat In-hujin belum pulih, tapi kedua
kakinya sudah bisa jalan. Diluar terdeagar ringkik kuda dan teriakan orang
banyak, ternyata pasukan kuda pemerintah telah datang dan mengepung rumah
keluarga In.
Terdengar suara Liong Seng-bu
sedang berteriak: "Jangan terburu-buru masuk ke rumah, kita tunggu saja
diluar, bila bangsat itu lari keluar, kita bidik dia dengan panah."
Pemimpin barisan kuda,
bertanya: "Kalau dia tidak lari keluar bagaimana?"
Liong Seng-bu tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Apa susahnya, kita bakar rumahnya." Lalu
dia berteriak lantang: "Sa-jongling, Ciok-tuthau, kalian sudah bekuk
bangsat kecil itu belum? Kalau belum boleh kalian keluar saja."
Tan Ciok-sing tahu Tam Pa-kun
sebentar akan keluar, sudah tentu dia tidak memberi peluang kepada kedua
lawannya untuk mengundurkan diri. Segera dia mengempos semangat dan labrak
kedua lawannya dengan sengit, "Sret, sret" beruntun dia lancarkan dua
jurus serangan pedang, ke kiri dia tusuk perut Sa Thong-hay, ke kanan dia
menusuk mata Ciok Khong-goan.
Karuan Sa Thong-hay naik
pitam, serunya: "Baiklah, kita bekuk dulu bocah keparat ini baru nanti
menempur Tam Pa-kun."
Belum habis dia bicara, tampak
Tam Pa-kun dengan memegang ujung golok emasnya sudah berjalan keluar menyeret
In-hujin.
Kata In-hujin:
"Tam-toako, jangan kau hiraukan aku, lekas kau bantu pemuda itu,"
dalam waktu yang mendesak begini tidak sempat dia menjelaskan siapa sebenarnya
Tan Ciok-sing, terpaksa dia desak Tam Pa-kun membantu Tan Ciok-sing untuk
sama-sama meloloskan diri.
Sebagai jago kelas wahid
sekilas pandang Tam Pa-kun lantas tahu, diam-diam hatinya heran, pikirnya:
"Ilmu pedang pemuda ini amat bagus dan menakjubkan, jauh berbeda dengan
ilmu pedang pada umumnya, sayang tenaganya sudah lemah, kalau tidak sejak tadi
dia sudah mampu mengalahkan kedua musuhnya. Aneh, ada angkatan muda seliehay
ini muncul di kalangan Kangouw, kenapa sejauh ini aku tidak tahu?"
Maklumlah pertemuan Tan
Ciok-sing dan Tam Pa-kun pada malam hari di Cit-sing-giam tempo dulu, Tam
Pa-kun sudah terluka cukup parah oleh panah beracun, racun sudah menjalar
sehingga kedua matanya hampir buta. Waktu itu Tan Ciok-sing memang bicara
dengan dia, tapi wajah orang dia belum pernah melihat. Hakikatnya dia juga
tidak pernah menduga, setelah berselang tiga tahun, bocah cilik yang dulu
berkepandaian cakar ayam kini memiliki ilmu pedang taraf tinggi seliehay ini.
Kuatir Kungfu In-hujin belum pulih, maka Tam Pa-kun tidak berani meninggalkan
In-hujin, katanya: "Apa susahnya menghadapi kedua bangsat busuk ini,"
habis kata-katanya sebelah tangannya segera menghantam dengan Bik-khong-ciang,
jaraknya masih tujuh langkah, namun damparaan angin pukulannya bikin golok Ciok
Khong-goan tertolak minggir, kontan dia rasakan dada seperti diterjang batu
raksasa, sebelum sempat berteriak, begitu mulut terpentang darah segar sudah
menyembur sebanyak-banyaknya, tubuhnya mencelat sempoyongan, untung dia masih
kuat menguasai tubuh hingga tidak sampai terjungkal roboh.
Sa Thong-hay memiliki lwekang
lebih tinggi toh limbung juga dibuatnya, lekas dia membentang kipas besi terus
mengiris ke pergelangan tangan Tam Pa-kun yang memegang ujung golok. Kipas
lempitnya pinggirnya tajam bagai pisau, bergerak dalam jarak dekat dapat
digunakan sebagai golok bergigi. Dia kira Tam Pa-kun hanya mampu bergebrak
dengan sebelah tangan kiri saja, maka dia berani menyerang titik kelemahan
orang.
Tak nyana gerak-gerik Tam
Pa-kun cepat luar biasa, begitu tumit menggeser sambil berputar, tangan kanan
tetap memegang ujung golok, sementara ke lima jari tangan kiri terangkap
telapak tangan melintang terus membabat laksana golok, kebetulan sasarannya
mengincar tetap ke arah kipas Sa Thong-hay. Tenaga dikerahkan di ujung jari
terus disodokan sekerasnya. Betapa pun liehay lwekang Sa Thong-hay yang bisa
lunak dapat keras itu, ternyata tak mampu memunahkan terjangan kekuatan
tangannya ini.
"Plak" telapak
tangan Tam Pa-kun yang terdiri darah daging itu ternyata tembus melobangi kipas
lempit Ciok Khong-goan yang terbuat dari baja murni, hebat memang tenaganya
yang masih tersisa cukup besar ini masih merenggut lengan orang, jari-jarinya
yang berkuku tajam melukai lengannya sampai kulit dagingnya cecel dowel, darah
bercucuran. Sudah tentu Sa Thong-hay tak kuasa menghadapi terjangan pukulan
tangan dahsyat ini, tubuhnya seperti bola yang ditendang mencelat terbang
melayang melampaui pintu luar. Untung ilmu silatnya cukup tinggi, di tengah
udara dia masih berusaha kendalikan tubuh sekali gerak dengan gaya burung dara
jumpalitan, dengan ringan kedua kakinya hinggap di tanah, namun lekas dia
menungging sambil berkaok-kaok kesakitan.
Melihat bola daging manusia
mendadak terlempar keluar, belum lagi tentara pemerintah diluar melihat jelas
siapa orang yang terlempar keluar, beberapa tentara yang beradat berangasan
segera pentang busur terus membidik. Pintu besar sudah terpentang lebar, dari
dalam tampak berlari sipat kuping seorang lagi, dia memutar golok bajanya
meruntuhkan panah-panah yang dibidikan ke arah Sa Thong-hay, bentaknya: "Kalian
sudah picak semua? Sembarang membidik orang."
Liong Seng-bu terperanjat,
lekas dia membentak: "Lekas berhenti, itulah Sa Tayjin dan Ciok
Tayjin." Yang ikut menerjang keluar di belakang Sa Thong-hay ternyata Ciok
Khong-goan adanya. Dadanya sesak setelah muntah darah diterjang angin pukulan
jarak jauh Tam Pa-kun, karuan pecah nyalinya terus lari sipat kuping. Tapi Sa
Thong-hay yang dilempar keluar larinya lebih cepat lagi.
Sungguh kejut dan girang hati
Ciok-sing yang masih berada di pekarangan, lekas dia memberi hormat kepada Tam
Pa-kun, Tam Pa-kun tak sempat banyak bicara, dia hanya berpesan: "Adik
cilik, tolong kau bantu membuka jalan lekas kita terjang keluar kepungan."
Pedang yang dibawa Tan Ciok-sing adalah pedang mustika dengan bekal kepandaian
ilmu pedangnya, pasti takkan terluka oleh serbuan hujan panah. Lalu dia menoleh
dan berkata pula: "Te-moay, apakah sekuatnya kau masih mampu mengembangkan
ginkang?" In-hujin manggut-manggut. Lwekangnya memang belum pulih, namun
ginkang tidak memerlukan banyak tenaga, sekuatnya dia masih mampu mengembangkan
kepandaiannya ini.
Tam Pa-kun mengangguk,
katanya: "Baiklah, mari ikut aku naik ke rumah," golok bersarung itu
dia anggap sebagai tongkat untuk menggandeng In-hujin, mereka berdua berbareng
menjejak bumi terus mengapung tinggi ke atas rumah, mendapat daya tuntunan dan
tarikan melalui golok yang dipegangnya, dengan enteng In-hujin dapat hinggap di
atas rumah.
Dalam pada itu dengan memutar
kencang pedang laksana baling-baling Tan Ciok-sing menerjang keluar secepat
angin Iesus. Baru saja Sa Thong-hay berdiri tegak belum lagi kakinya beranjak
tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah menerjang keluar di belakangnya.
Sudah tentu pasukan pemerintah
itu tak berani sembarangan membidik lagi. Lekas Ciok Khong¬goan gerakan golok menghadang,
kini tenaga kedua pihak sudah sama-sama lemah, kalau diukur malah kekuatan Tan
Ciok-sing sekarang lebih unggul. Begitu pedang dan golok beradu, ujung golok
tebal Ciok Khong-goan kembali terpapas kutung sebagian lagi. Sementara rasa
kaget dan jeri Sa Thong-hay belum lenyap maka dia timpukan kipas lempitnya yang
sudah rusak bagai besi rombeng ini ke arah Tan Ciok-sing. Dengan gaya Burung
Hong Mengangguk, Tan Ciok-sing menghindar, berbareng dengan sejurus gerakan
pedang dia balik menyerang lengan lawan, tapi tahu-tahu ujung pedang sudah
mengancam dada. Sa Thong-hay harus kerahkan setaker kemampuannya mengebut
dengan lengan bajunya. "Bret" lengan bajunya terpapas robek, tapi
pedang Tan Ciok-sing kena disampuk miring ke pinggir. Tan Ciok-sing tidak ingin
terlibat dalam pertempuran sengit pula, setelah berhasil membebaskan diri dari
libatan kedua musuh ini, dia menerjang ke barisan pasukan pemerintah yang
mengepung disekeliling pekarangan. Di kala perhatian pasukan pemerintah tertuju
ke arah Tan Ciok-sing itulah, Tam Pa-kun telah berlompatan bagai burung terbang
menubruk turun. Seorang perwira paling depan menjadi sasaran empuk baginya,
sekali tempeleng dia pukul jatuh perwira itu terus merebut kuda tunggangannya,
serta menyambut In-hujin yang ikut lompat turun di belakangnya, lekas dia telah
berhasil merebut seekor kuda untuk tunggangan In-hujin.
Ada seorang tentara tidak tahu
keliehayan Tam Pa-kun, dengan kencang dia berusaha mengudak. Tam Pa-kun
membentak: "Biar kau tahu keliehayan golok emasku," dimana sinar emas
berkelebat, batok kepala tentara yang mengudak datang ini seketika mencelat
tinggi ke udara, darah menyemprot dari lehernya yang sudah protol kepalanya.
Tam Pa-kun kembalikan golok kedalam sarungnya, bentaknya sambil tertawa dingin:
"Siapa lagi yang tidak takut mati, hayo maju," tentara yang
terpenggal terhitung salah seorang pemberani dan gagah perkasa di medan laga,
di kalangan tentara pemerintah dia cukup terpandang dan disanjung pula oleh
temannya. Kini hanya sekali ayun golok musuh telah membunuhnya, karuan ciut
nyali tentara yang lain, siapa lagi yang berani mengejar? Tam Pa-kun di
belakang dan melindungi In-hujin melarikan diri.
Liong Seng-bu gusar,
teriaknya: "Takut apa lepaskan panah."
Tam Pa-kun menyeringai dingin,
sekali raih dia pegang satu batang panah, dengan gerakan menyambit dia timpuk
balik panah ini dengan kekuatan jentikan jari, ini ternyata jauh lebih kuat
daya luncurnya dari bidikan panah berbusur, jarak padahal sudah mencapai
seratus langkah, namun panah ini masih melesat kencang ke arah Liong Seng-bu.
Kejut Liong Seng-bu bukan
kepalang, untung di sampingnya berdiri seorang perwira mengayun cambuk
menyampuk panah, panah melenceng ke samping tapi daya lemparnya yang kencang
membuat panah ini menyerempet dahi Liong Seng-bu dan menancap di pundak seorang
perwira lain yang berdiri di belakangnya. Liong Seng-bu gemorobyos oleh
keringat dingin, mulutnya tidak berani bercuit lagi.
"Tam-toako, pemuda
itu..." seru In-hujin gugup.
Tam Pa-kun tersentak sadar,
segera dia tarik suara berteriak: "Adik cilik, setelah lolos kepungan,
datanglah ke markas Kim-to Cecu untuk bertemu," dia kira Sa dan Ciok
berdua sudah terluka, di antara perwira-perwira pemerintah itu tiada jago kosen
lainnya, pasukan berkuda itu takkan dapat menahannya maka dia tidak ingin
In-hujin ikut menempuh bahaya, lebih penting dia melindungi keluar dari mara
bahaya. In-hujin pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing, diapun percaya
pemuda ini pasti dapat meloloskan diri. Tan Ciok-sing pernah bilang bahwa
tujuannya ke Tay-tong adalah mencari putrinya kalau tidak ketemu akan mampir ke
markas Kim-to Cecu, sayang dia lupa bahwa Tan Ciok-sing tidak tahu dimana letak
markas Kim-to Cecu itu. Tadi Tam Pa-kun menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang dilandasi lwekang yang tangguh, bicara pada kata terakhir
bayangan mereka berduapun sudah tidak kelihatan.
Pedang Tan Ciok-sing diputar
secepat kitiran, jelas dia sudah hampir menjebol kepungan mendadak dirasakan
angin tajam mengancam gitoknya, sebatang ruyung lemas tahu-tahu sudah melingkar
datang, sebagai seorang persilatan sekali pandang lantas Tan Ciok-sing tahu
penyerang ini merupakan ahli silat juga.
Secara reflek dia membalik
tangan dengan jurus Hing-hun-toan-hong pedang pusakanya menepis miring.
Gerakannya sudah cukup cepat, tapi penyerang inipun tidak kalah cepat, di
tengah deru angin kencang ruyung lemas itu tiba-tiba sudah menggulung balik
pula, gerakannya merupakan tipu permainan ruyung liehay yang dinamakan
Wi-hong-sau-liu. Ukuran ruyungnya ini lebih panjang dari ruyung umumnya, bila
Tan Ciok-sing tidak merubah permainan pedangnya, umpama ruyung itu terpapas
sebagian, tapi dia sendiri pasti juga kena terbelit. Oleh karena itu dia
dipaksa untuk mengerahkan tenaga mendemonstrasikan kelemasan pinggangnya,
dengan gaya Yan-cu-can-hun tiba-tiba dia melejit mumbul setombak tingginya.
Penyerang dengan senjata
ruyung ini ternyata bukan lain adalah perwira yang tadi berdiri di samping
Liong Seng-bu serta menyampuk miring panah yang ditimpukkan Tam Pa-kun. Orang
ini bernama Toh Liok-ki, salah seorang murid didik dari aliran Utti-pian-hoat.
Taraf Kungfunya meski tidak sebanding Sa Thong-hay, tapi menghadapi Tan
Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga ini, dia masih mampu bertahan sama kuat
alias setanding.
Baru saja beberapa gebrak Tan
Ciok-sing menghadapi ruyung Toh Liok-ki, Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan sudah
memburu tiba pula. Sa Thong-hay membentak: "Anak bagus, Tam Pa-kun takkan
membantumu lagi, coba saja apa kau mampu lolos dari genggamanku?"
"Wut" begitutiba
kontan dia menggenjot ke punggung Tan Ciok-sing. Walau Sa Thong-hay sudah
terluka, tapi di antara sekian banyak pasukan yang ada kepandaiannya masih
terhitung paling top. Menghadapi musuh di depan dan belakang, Tan Ciok-sing
tahu diri, bila dirinya sampai dilibat oleh Sa Thong-hay, untuk lolos pasti
sukar, tiba-tiba otaknya yang cerdik mendapat akal, pada detik-detik berbahaya
ini, dia tidak hiraukan pukulan Sa Thong-hay yang membokong dari belakang,
tiba-tiba dia menubruk sekuatnya ke arah Toh Liok-ki malah.
"Bocah keparat, ingin
mampus kau," hardik Toh Liok-ki kaget, ruyung disendai terus disapu ke
pinggang lawan. Pada detik-detik yang menentukan ini kembali Tan Ciok-sing
bertindak nekad dan untung-untungan, mendadak dia mendak tubuh sambil berputar
terus menjengkang tubuh sambil miring seperti petani bercocok tanam di tengah
ladang, ruyung lemas itu menyamber lewat di atas punggungnya, secara kebetulan
dia berhasil menghindar dari sapuan ruyung musuh.
Pandangan Toh Liok-ki mendadak
jadi silau, saking kaget, secara reflek dia berusaha melindungi badan tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya. Dalam seribu kesibukannya mendadak dia
menggunakan gerakan Ular Sanca Membalik Tubuh, tubuh bersama ruyung lemas itu
berputar laksana gangsingan terus menyapu pula ke arah bayangan yang menubruk
maju. Maka terdengar suara "Plak", orang itu membentak: "Lo-toh,
inilah aku."--Ternyata Tan
Ciok-sing sudah membresot
lewat dari sampingnya. Orang yang hampir dimakan ruyungnya itu kiranya Sa
Thong-hay. Cara menyelamatkan diri yang ditempuh Tan Ciok-sing memang amat
berbahaya, waktu yang digunakan juga tepat.
Sa Thong-hay menolak ruyung
kawan sendiri yang menyapu mukanya, meski lwekangnya tinggi, tak urung dia
tertolak berputar dua lingkaran, hampir saja dia saling tumbukan dengan Toh
Liok-ki. Toh Liok-ki sendiri juga terhuyung-huyung hampir jatuh, karuan mukanya
merah padam, lekas dia tarik ruyung lemasnya.
Begitu lolos dari kepungan
kedua musuh dari depan dan belakang, Tan Ciok-sing lantas kembangkan kelincahan
gerak tubuhnya, laksana burung walet yang menyusup kedalam hutan, laksana
burung camar bermain di antara gelombang samudra, tubuh bergerak mengikuti
gerakan pedang, pesat sekali tubuhnya berkelebat dan maju terus di antara
tentara-tentara pemerintah. Beberapa tentara yang berada dekat dirinya pasti
diberi persen goresan luka pedang atau kena ditempeleng pipinya, ada pula yang
ditusuk buta matanya dan ditendangnya jungkir balik sampai patah tangan atau
kaki, jerit kesakitan terdengar saling bersahutan. Jalan raya tidak seperti tanah
lapang, meski jumlah tentara pemerintah banyak, mereka toh tidak bisa berjubel
mengepung seorang musuh. Melihat beberapa temannya terluka sebagian besar yang
lain tanpa komando telah menyingkir menyelamatkan diri.
Tan Ciok-sing pura-pura hendak
memburu ke arah Liong Seng-bu, bentaknya: "Bangsat she Liong, meski jiwaku
harus berkorban, hari ini aku harus membunuhmu."
Saking ketakutan Liong Seng-bu
menjerit minta tolong. Lekas Ciok Khong-goan memburu tiba, dengan jurus
pek-hong-koan-jit Tan Ciok-sing menusuk lurus dengan pedang, di tengah jalan
pedangnya mendadak berubah sasaran menusuk pula dari posisi yang tidak terduga,
berbareng mulutnya menghardik: "Lepaskan golok."
Memangnya Ciok Khong-goan
bukan tandingan Tan Ciok-sing, hatinya sudah jeri dalam keadaan gugup lagi,
mana dia kuasa menghadapi ilmu pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini. Terpaksa
dia memang harus melepaskan senjata demi menyelamatkan diri pula, sementara
kaki menyurut mundur sambil berteriak gemetar: "Sa-toako, lekas ke mari."
Sekali ketuk Tan Ciok-sing
pukul golok lawan yang mencelat terbang itu, lalu tertawa tergelak¬gelak,
serunya: "Bangsat kecil she Liong, biar kau hidup beberapa hari lagi.
Maaf, tuan mudamu tidak mengiringi lebih lanjut."
Sebelum Sa Thong-hay memburu
datang, di tengah gelak tawa kemenangannya, Tan Ciok-sing sudah lompat naik ke
atas rumah penduduk.
Tiga jago kosen di antara
perwira-perwira tinggi itu, hanya Sa Thong-hay yang memiliki ginkang paling
tinggi. Seorang diri jelas dia tidak berani mengejar, karena dia yakin umpama
dirinya mampu menyandak juga tidak bakal memperoleh keuntungan, salah-salah
awak sendiri bisa celaka, maka dia hanya bisa perintahkan anak buahnya melepas
panah.
Dasar masih berjiwa anak-anak,
Tan Ciok-sing juga tidak mau mengalah, genteng rumah penduduk dibuat senjata
rahasia, karuan pasukan pemerintah menjadi kacau balau dijatuhi bom-bom genteng
yang berat dan keras itu. Kejap lain dia sudah lari pergi mengembangkan ginkang
dan tidak kelihatan lagi.
"Entah Tam Tayhiap
bersama In-hujin sudah keluar kota belum? Biar aku kembali mengambil kuda
tungganganku itu," demikian batin Tan Ciok-sing. Dilihatnya pasukan kuda
pemerintah tengah mengudak ke arah sini, sengaja dia berlari putar kayun di
tengah jalan raya dalam kota untuk mengaburkan jejaknya, lalu secara diam-diam
dia pulang ke rumah kakek bersama cucunya penjual teh itu.
Kakek pemilik warung teh belum
tidur, dian kecil tampak dipegang di tangannya, jendela setengah terbuka,
kepalanya longok-longok keluar sambil pasang kuping. Mendadak didengarnya
seseorang mengetuk bawah jendelanya tiga kali, karuan kagetnya seperti disengat
kalajengking, tanyanya gemetar: "Siapa?"
Cepat Tan Ciok-sing
menjawab". "Tamu yang semalam datang itu."
Pemilik kedai masih kenal
suara Tan Ciok-sing, lekas dia membuka pintu. Di bawah penerangan dian yang
remang-remang, dilihatnya sekujur tubuh Tan Ciok-sing berlumuran darah, karuan
kagetnya bukan main: "Siangkong, kau terluka?" tanyanya gemetar.
"Aku tidak terluka,
inilah darah tentara yang menyemprot tubuhku, pasukan pemerintah itu mau
mencelakai jiwa In-hujin, terpaksa aku labrak mereka. Aku bukan perampok, paman
tidak usah takut. Akupun tidak ingin kau kena perkara, aku datang mengambil
kudaku."
Pemilik warung tidak segelisah
tadi, katanya: "Tak perlu kau jelaskan lagi, aku percaya kau orang baik.
Bicaralah jujur, bila kau terluka, boleh sembunyi di rumahku, aku tidak takut
kena perkara."
"Terima kasih akan
kebaikan paman, aku betul-betul tidak terluka. Tolonglah kau bawa keluar kudaku
itu."
"Baiklah," sahut si
kakek, dia menoleh ke arah dipan, dimana cucunya sudah tidur nyenyak, sebelum
keluar dia mengemuli cucunya lalu membawa Tan Ciok-sing ke belakang. Anak itu
tampak tersenyum dalam mimpinya, kue pemberian Tan Ciok-sing tampak masih
dipegang di tangannya.
Sambil jalan kakek itu berkata
lirih: "Bukan lantaran siang tadi kau memberi rangsum pada kami maka
kukatakan kau orang baik. Aku tahu kau adalah sahabat Tam Tayhiap, betul
tidak?"
"Aku belum setimpal
menjadi sahabat baik Tam Tayhiap, tapi aku pernah mengenalnya saja. Apa kau
juga tahu Tam Tayhiap?"
"Dia adalah sahabat baik
In Tayhiap, beberapa tahun lalu sering minum-minum di kedaiku. Tadi aku mencuri
lihat dari celah-celah pintu, kulihat dia berlari pergi menunggang kuda bersama
In-hujin. Persoalan keluarga In sedikit banyak juga pernah kudengar, cuma aku
tidak tahu kapan In-hujin pulang. Pulangnya kali ini pasti secara diam-diam
diluar tahu suaminya yang sekarang, tak heran pasukan pemerintah itu hendak
menangkap dia. Siangkong, apa sekarang kau hendak menyusul mereka?"
"Betul, tahukah kau jalan
mana yang mereka tempuh?" tanya Tan Ciok-sing.
"Mereka lari lewat jalan
raya di seberang gang yang sana itu, agaknya mereka hendak keluar kota dari
pintu utara. Menurut apa yang kuketahui, penjagaan di pintu utara paling
lemah,"
"Terima kasih akan
petunjukmu paman."
Baru saja dia hendak pamitan,
kakek itu tiba-tiba berkata bisik-bisik: "Apa kau hendak mencari Kim-to
Cecu?"
Tan Ciok-sing kegirangan,
katanya: "Benar. Paman, apa kau tahu dimana letak markas Kim-to Cecu?"
Lirih suara kakek pemilik
kedai: "Terus terang, walau aku bukan anak buah Kim-to Cecu, tapi beberapa
Thaubak dari markasnya sering juga datang kemari minum-minum, berkat
kepercayaan mereka terhadapku, aku dipandang orang sendiri, ada kalanya mereka
bercerita tentang keadaan markas mereka. Berita apa saja yang pernah kudengar
dalam kota Tay-tong pasti juga kuberitahu mereka. Menurut cerita mereka, tiga
bulan yang lalu, markas besar mereka berada di Sip-jit-hong di atas
Tio¬yang-san. Sembarang waktu mereka sering berpindah tempat, cuma markas
pusatnya saja yang didirikan pada suatu tempat yang cukup strategis, yakin
sampai saat sekarang ini masih belum pindah ke lain tempat. Tapi tempat itu aku
sendiri juga belum pernah kesana, cara bagaimana untuk kesana, aku tidak bisa
menjelaskan. Tapi setiba di Tio-yang-san, boleh kau sebut nama Tam Tayhiap dan
mencari tahu dari mulut para pemburu setempat, mereka pasti mau menunjukkan
jalan padamu."
Setelah mengucapkan terima
kasih serta meninggalkan beberapa butir kacang emas, Tan Ciok-sing segera
pamitan terus cemplak kudanya keluar dari pintu belakang. Hari sudah menjelang
tengah malam, pasukan pemerintah juga sudah ditarik mundur. Tan Ciok-sing
keprak kudanya berlari sekencang angin menuju ke pintu utara. Sepanjang jalan
beberapa kali dia bersua dengan barisan ronda, dengan mudah dia robohkan mereka
semua.
Tiba di pintu utara dilihatnya
pintu gerbangnya terpentang lebar, ada beberapa tentara tua sedang sibuk
membetulkan daun pintu, melihat Tan Ciok-sing mencongklang kudanya secepat
mungkin, beramai-ramai tentara itu lari serabutan menyembunyikan diri. Maklum
pintu utara ini kebetulan menghadapi agresi pasukan Watsu, beberapa hari yang
lalu pasukan besar Watsu sudah berada di bawah tembok, pasukan penjaga kota sudah
lari menyelamatkan diri, kini yang masih ditinggal hanya beberapa orang yang
sudah berusia lanjut. Tadi Tam Pa-kun bersama In-hujin memang lari lewat pintu
utara, kunci pintu gerbang ini di tabas rusak oleh golok emas Tam Pa-kun, belum
lagi rasa takut tentara-tentara itu lenyap, kini dilihatnya Tan Ciok-sing
menerjang tiba pula, mana mereka berani merintangi?
Setelah jauh meninggalkan kota
baru Tan Ciok-sing mendengar suara trompet didalam kota, dia duga Liong Seng-bu
tahu dirinya lari dari pintu utara lalu mengerahkan pasukan mengejar ke arahnya
ini. Dengan kertak gigi Tan Ciok-sing berpikir: "Kelak meski kau tidak
mencariku, aku pasti mencari perkara padamu, sekarang tiada tempo aku
melayanimu."
Kudanya ini adalah kuda
rampasan dari pasukan Watsu, meski tidak sehebat kuda putih itu, tapi dibanding
kuda yang ditunggangi pasukan pemerintah di Tay-tong jelas lebih bagus. Entah
berapa jauh sudah Tan Ciok-sing membedal kudanya, menjelang fajar pasukan yang
mengejar di belakang sudah tidak kelihatan lagi. Pikirnya: "Untung bertemu
dengan kakek pemilik kedai, baru aku tahu cara bagaimana untuk menemui Kim-to
Cecu. Padahal kudaku ini lari secepat ini, kenapa masih belum menyandak Tam
Tayhiap dar In-hujin? Memangnya mereka menempuh jalan lain?"
Tan Ciok-sing terus menempuh
perjalanan, mendekati lohor baru dia bersua dengan orang yang menempuh
perjalanan, dia seorang laki-laki tua yang mengendalikan sebuah gerobak. Pada
laki-laki tua ini Tan Ciok-sing tanya jalan, ternyata Tio-yang-san tiga ratus
li di sebelah utara Tay-tong, perjalanan ditempuh lewat jalan pegunungan.
Kudanya ini memang lebih bagus dari kuda biasa, tapi sebelum hari petang takkan
sampai-di tujuan.
"Engkoh kecil,"
tanya laki-laki tua itu keheranan, "gunung itu belukar dan tiada penduduk
yang tinggal disana, untuk apa kau kesana?"
"Tujuanku mencari famili
di Tay-tong, kebetulan familiku itu sudah pergi jauh kearah Sin-kang berdagang
kuda, letak pasaran kuda konon di sebelah utara Tio-yang-san, bukankah aku
harus lewat dari bawah gunung itu?"
Setelah jelas akan jalan mana
yang harus di tempuhnya, Tan Ciok-sing terus melanjutkan perjalanan, dalam hati
dia merasa heran, kusir gerobak ini sudah tiga hari menempuh perjalanan di atas
pegunungan ini, kenapa dia tidak pernah melihat Tam Tayhiap dan In-hujin?
Kiranya Tan Ciok- sing masih terlalu hijau, kurang pengalaman, dalam tanya
jawab dengan kusir gerobak tadi, banyak dia menunjukkan hal-hal yang
mencurigakan, sudah tentu kusir gerobak itu mencurigai asal-usulnya, maka dia
tidak bicara sejujurnya.
Sepanjang jalan banyak juga
persoalan yang dipikirkan Tan Ciok-sing namun tiada satupun yang dapat dia
simpulkan jawabannya. Di kala pikiran masih terombang ambing itulah, tanpa
terasa dia tiba di tiga persimpangan jalan. Ke arah mana jalan yang harus dipilih.
Di saat Tan Ciok-sing ragu-ragu untuk menentukan pilihannya, tiba-tiba
didengarnya derap lari kuda yang dilarikan kencang, seekor kuda putih tampak
lari mendatangi dari jalanan kecil yang lain sana. Pesat sekali lari kuda ini,
hanya sekejap tahu-tahu sudah tiba di depan. Penunggang kuda putih ini ternyata
adalah pemuda itu, keduanya kesamptok secara tidak terduga, sesaat kedua sama
melenggong.
Kontan pemuda itu mencabut
golok sambil mendelik gusar ke arah Tan Ciok-sing, rasanya sekali bacok dia
ingin memotong tubuh Tan Ciok-sing menjadi dua, namun dia juga tahu bahwa
dirinya bukan tandingan lawan, maka dia hanya memaki: "Bangsat cilik, akan
datang suatu hari akan kubuat kau memperoleh ganjaran setimpal," tanpa
menghentikan kudanya dia mencongklangnya dari
sampingnya. Melihat Tan
Ciok-sing, kuda putih itu seperti melihat kenalan baiknya, sambil lari dia
meringkik panjang sambil berjingkrak.
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
lekas dia berteriak: "Bukankah kau sudah pulang ke rumah dan tahu apa yang
telah terjadi, baru saja kau keluar dari Tay-tong bukan? Tunggu sebentar,
jangan lari, ada omongan yang ingin kubicarakan dengan kau." "Kalau
dugaanku tidak meleset, dia pasti pernah pulang ke rumah," demikian pikir
Tan Ciok-sing. Betul juga dilihatnya pemuda itu menarik tali kekang dan memutar
balik kuda tunggangannya.
Tapi muka si pemuda masih
kelihatan murka, agaknya lebih benci dan marah dari sikapnya tadi. Begitu
kudanya dibedal datang dia terus menerjang tanpa buka suara, mendadak goloknya
terayun membacok ke arah Tan Ciok-sing, Karena tidak menduga hampir saja muka
Tan Ciok-sing kesercmpet bacokan.
Sejak mula pemuda ini sudah
anggap Tan Ciok-sing sebagai pembunuh ayahnya, mending kalau Tan Ciok-sing tak
bersuara memanggilnya, hawa marahnya seketika berkobar karena kira peristiwa
yang terjadi di rumahnya semalam di Tay-tong adalah gara-garanya lagi. Diapun
berpikir: "Kudaku larinya lebih cepat, kalau tidak kuat melawan, lari juga
bukan soal," karena diburu nafsu goloknya membacok gencar sekaligus dia
menyerang beberapa jurus untuk melampiaskan dendam. Betapa liehay dan cepat
gerakan ilmu golok keluarga In, karena didesak terpaksa Tan Ciok-sing keluarkan
juga goloknya untuk membela diri, "Ting" sekali ketuk dia bikin golok
orang menceng ke samping. Untung Tan Ciok-sing hanya mengetuk dengan punggung
golok, kalau tidak pasti golok si pemuda tertabas kutung.
Kuda berputar silih berganti
saling terjang, kedua orang bertempur di atas kuda karena kuda sendiri kalah
gagah dan garang, dia harus main bertahan atau membela diri saja, sudah tentu
keadaannya semakin payah.
Hanya beberapa gebrak kuda
tunggangan Tan Ciok-sing mendadak terpeleset, kaki depannya tertekuk sambil
meringkik kesakitan terus roboh di tanah. Maklum sehari ini dia sudah lari amat
jauh dengan kecepatan tinggi, tenaganya sudah habis dan terlalu lelah, sekarang
harus bertempur lagi, karuan tidak tahan lagi. Sebelum kudanya roboh Tan
Ciok-sing sudah melompat jauh kesana, tapi karena terlalu besar menggunakan
tenaga, hampir saja diapun terpeleset jatuh. Pemuda itu kegirangan, bentaknya:
"Bangsat cilik, rasakan golokku."
Diluar dugaannya, kuda putih
ini ternyata juga amat cerdik, Tan Ciok-sing pernah menyelamatkan jiwanya,
bergaul dan menunggangnya untuk beberapa lamanya, agaknya dia tahu pemuda yang
ada di punggungnya hendak membunuh tuan penolong jiwanya, sudah tentu dia tidak
mau dikendalikan lagi, mendadak dia menghentikan langkah, pemuda itu hampir
saja terjorok jatuh dari punggungnya. Karuan si pemuda terperanjat, makinya:
"Binatang, tidak tunduk padaku kubunuh kau."
Dalam pada itu Tan Ciok-sing
sudah berdiri tegak terus lompat maju, teriaknya: "Aku tidak tahu kau
pernah apa dengan In Tayhiap, tapi di Tay-tong aku sudah bertemu dengan
In-hujin maukah kau tahu berita dan jejaknya sekarang?"
Pemuda itu melongo, makinya:
"Kau mencelakai jiwa ayahku, membawa pasukan membakar rumahku lagi, aku
takkan sejajar denganmu dalam bumi ini, apa pula yang harus dibicarakan?"
Dugaan Tan Ciok-sing kini
tidak meleset lagi, pemuda ini adalah samaran putri In Hou yaitu (n San adanya.
Sungguh kejut dan senang pula hati Tan Ciok-sing, namun dalam waktu singkat ini
dia jadi gelagapan, bagaimana dia harus bertindak supaya tidak menambah curiga
orang terhadap dirinya.
Karena kuda putih tidak mau
tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa In San melompat turun, dampratnya:
"Bangsat cilik, ayahku sudah kau bunuh, nah sekarang bunuh sekalian aku
ini, akil akan adu jiwa dengan kau," keduanya kini bertanding di tanah
berumput, untuk menghindar dan meluputkan diri dari serangan golok orang kini
bukan menjadi persoalan bagi Tan Ciok-sing. Dengan gerakan Hong-biau-loh-yap
secara tangkas dia berkelit dari tiga serangan berantai In San, katanya:
"Nona In, kenapa tidak kau pikir, secara cermat, kalau benar aku membunuh
ayahmu, kini kau ingin adu jiwa denganku, kan kebetulan malah bagiku untuk
membabat rumput sampai keakar-akarnya, kenapa aku harus mengalah padamu."
"Betul, kepandaiannya
jauh lebih tinggi, memegang golok dan pedang mustika, jikalau dia ingin
membunuhku, sejak mula jiwaku sudah melayang," demikian batin In San,
namun rasa curiganya tetap belum hilang, jengeknya: "Siapa tahu tipu daya
apa yang sedang kau rencanakan atas diriku?"
"Terserah kau mau percaya
tidak. Dua hari yang lalu aku pun sudah bertemu dengan ibumu. Apapun yang
terjadi dia adalah ibu kandungmu, memangnya kau tidak ingin tahu keadaannya
sekarang?"
"Justru aku tidak percaya
kalau dia mau pulang ke rumah?" debat In San.
Tan Ciok-sing menghela napas,
katanya: "Meski ibumu salah langkah, namun sejak lama dia sudah bertobat,
sudah insaf akan kesalahan. Sejak kau diajak pulang oleh ayahmu dari rumah
kakek luarmu, malamnya setelah dia pulang tidak menemukan kau, pernah dia jatuh
sakit sampai parah, belakangan memang dia menikah lagi, namun dia ditipu
keluarganya, toh sejauh itu dia masih tetap merindukan kau. Tahun itu kau baru
berusia tujuh tahun bukan? Banyak kejadian yang belum kau ketahui, hakikatnya
ibumu adalah seorang yang bajik, karena tertipu sehingga dia berbuat kesalahan
diluar kesadarannya. Ayahmu sendiri sudah memaafkan kesalahannya, masa kau
tidak bisa memaafkan malah?"
Karuan In San terlongong
mendengar ocehan Tan Ciok-sing ini. Bahwa Tan Ciok-sing bisa bercerita sejelas
ini akan perpisahan dirinya dengan sang ibu di masa kecilnya itu, jikalau bukan
ibunya yang bercerita padanya, memangnya dari siapa dia bisa tahu liku-liku
rumah tangganya?
"Tiga tahun yang
lalu," ucap Tan Ciok-sing lebih lanjut, "ibumu suruh Liong Seng-bu
membawa tusuk kundai sebagai tanda kepercayaannya datang
mencarimu. Katanya kau
membantingnya patah, apa benar?"
In San melengak, tanpa sadar
tangannya meraba sanggul dan mencabut sepasang tusuk kundai, katanya:
"Siapa bilang aku membantingnya patah, nah bukankah tusuk kundai ini masih
baik?"
"Liong Seng-bu yang
laporan hal ini kepada ibumu. Kalau demikian dia sengaja mau menipu
ibumu," ujar Tan Ciok-sing.
Kata In San sedikit sengit:
"Memang aku agak membenci ibuku, tapi aku lebih membenci orang-orang dari
keluarga Liong, kau kira aku tidak tahu, segalanya aku sudah tahu dengan jelas,
ayah juga pernah bicara dengan aku, ibu ditipu oleh orang-orang keluarga
Liong."
"Syukurlah kalau kau
sudah tahu," kata Tan Ciok-sing lega.
"Keparat itu minta aku
pulang ikut dia," demikian tutur In San, "coba kau pikir patutkah aku
meluluskan perintahnya? Tusuk kundai memang sudah kuterima, tapi segera aku
gebah dia lari. Untung dia melarikan diri secepat setan, kalau tidak kedua
kakinya pasti sudah kupukul remuk."
"Yang membawa pasukan
membakar rumahmu semalam juga bocah she Liong itu."
In San melengak, seperti heran
dan diluar dugaan, katanya: "O, kiranya kau juga berani memaki dia."
"Bukan saja aku ingin
mendampratnya, aku malah ingin membunuhnya," demikian ucap Tan Ciok-sing
sengit, "semalam kalau jumlah mereka tidak banyak, aku pasti sudah membunuhnya."
"Kenapa kau begitu
membencinya?" tanya In San.
"Cukup parah dan payah
aku ditipu dan hampir saja celaka oleh muslihatnya. Lebih celaka lagi dia
memfitnah aku, katanya akulah pembunuh ayahmu."
"Dari mana kau tahu kalau
dia memfitnah kau?" tanya In San.
"Ibumu memberitahu
padaku. Semula seperti kau begitu melihat aku dia lantas melabrakku, katanya
hendak menuntut balas atas kematian suaminya. Dengan susah payah dan berbagai
cara akhirnya aku dapat meyakinkan ibumu sehingga dia percaya padaku, lalu aku
tuturkan duduk persoalan yang sebenarnya."
Tiba-tiba In San berkata:
"Kukira kau ini alap-alap kerajaan.
Bukankah ayahmu punya
kedudukan dalam kalangan Bhayangkari?"
Tan Ciok-sing tertegun,
tanyanya: "Siapa bilang? Ayahku sudah meninggal sejak aku berumur setahun,
beliau adalah guru harpa yang kelana di Kangouw, jangan kata tidak pernah
menjabat pangkat, melihat para pejabatpun dia sudah pusing tujuh keliling. Aku
hanya hidup bersama kakek, sejak kecil beliaulah yang mengasuhku sampai dewasa.
Kami bertempat tinggal di bawah Cit-sing-giam di daerah Kwi-lin, membajak sawah
menjala ikan adalah kehidupan kami sehari-hari. Tiga tahun yang lalu beliaupun
telah meninggal, ia, kematiannya..."
Ingin Tan Ciok-sing
menceritakan sebab musabab kematian kakeknya kepada In San, maklum kematian
kakeknya punya sangkut paut yang erat dengan kematian ln Hou. Ayah In San. Tapi
karena In San masih ragu terhadap dirinya kalau menceritakan kenyataan ini
padanya belum tentu orang mau percaya, dan lagi ada urusan lain yang lebih
penting harus segera dia bicarakan, terpaksa hal ini biar ditunda dulu.
Katanya: "Perihal kakekku kelak akan kututufkan lagi. Yang memfitnah
diriku pada kau ku yakin pasti bocah she Liong itu?"
In San mengangguk, katanya:
"Betul, memang dia yang katakan."
"Apa katanya?"
"Setelah kugebah lari
dulu, kira-kira setahun kemudian dia datang lagi, katanya dia tahu jejak-dan
berita ayah, dia minta supaya aku bersabar mendengar penjelasannya."
"Sudah lama ayah tidak
kunjung pulang, karena selama ini tidak pernah mendapat kabar dari ayah,
memangnya aku sudah kebingungan dan merindukannya. Walau membencinya terpaksa
aku menahan hati mendengarkan apa yang hendak dituturkan padaku."
"Dia bilang pihak
kerajaan sudah tahu bahwa ayahku ada berhubungan dengan Kim-to Cecu, kini ayah
menjadi buronan dan hendak ditangkap. Akhir-akhir ini pihak kerajaan mendapat
kabar, ayahmu akan ke Kwi-lin menyambangi Se-lam Tayhiap yang bergelar It
cu-king-thian Lui Tin-gak maka jaring jebakan sudah diatur disana, sekaligus akan
menjaring dan menangkap beberapa orang, di samping membeli atau menyogok Lui
Tin-gak, jago-jago istana juga dikerahkan kesana."
Dalam hati Tan Ciok-sing
membatin: "Kiranya It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang sudah dirangkul
pihak kerajaan."
"Dia bilang di antara
jago-jago kosen yang dikerahkan dari pasukan Bhayangkari itu, satu di antaranya
adalah ayahmu dan kau sendiri juga ikut."
Dongkol dan geli juga hati Tan
Ciok-sing, katanya: "Setan keparat. Ayahku sudah lama meninggal, bagaimana
bisa jadi anggota Bhayangkari segala? Tiga tahun yang lalu aku hanyalah anak
desa yang hanya memiliki kepandaian cakar ayam, memangnya kosen apa
segala?" sampai disini tiba-tiba hatinya tergerak pula, pikirnya:
"Kalau keparat itu bisa memfitnah aku, bukan mustahil dia juga memfitnah
orang lain, dia bilang It-eu-king-thian sudah dipelet kerajaan, kenapa aku
harus mempercayai obrolannya? Memang malam itu kakek keluar dari rumah keluarga
Lui dengan luka parah, tapi bukan mustahil dalam kejadian ini masih ada latar
belakang lainnya?"
"Dia bilang jago-jago
yang diutus kesana sudah tentu tak boleh berpakaian seragam, semua harus
menyamar jadi apa saja, selama perjalanan ayah ke Kwi-lin, jejaknya selalu
dikuntit dengan ketat. Ayahmu pandai main harpa, maka dia membawa kau sebagai guru
harpa yang kelana di Kangouw, sehingga ayahku tidak menaruh curiga,"
sampai disini serta merta dia melirik harpa yang digendong di punggung Tan
Ciok¬sing.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Memang aku bisa memetik harpa, tapi aku diajari kakek bukan
ayah. Kakekku memang seorang ahli harpa yang sudah punya nama, sebelum aku
dilahirkan beliau memang sudah sering kelana di Kangouw. Kalau tidak percaya,
boleh kau tanya temanmu, umpamanya Toan-siau-ongya dari Tayli."
In San melenggong, serunya:
"Kau kenal Toan Kiam-ping. Dia tahu perihal kakekmu?"
"Betul. Dia ada titip
pesan padaku supaya disampaikan kepadamu. Tapi panjang ceritanya."
"Kalau panjang ceritanya,
boleh kelak kau ceritakan. Sekarang biar aku selesaikan ceritaku," kata In
San lebih lanjut, "sebetulnya tidak segampang itu aku mau percaya obrolan
bocah itu, tapi dia mengeluarkan sebuah benda, mau tidak mau aku sedikit
percaya padanya."
"Barang apa?" tanya
Tan Ciok-sing.
In San keluarkan sebuah kotak
persegi, katanya: "Inilah barang mainan yang diberikan ayah oleh
Hek-pek-moko di dalamnya ada dipasang alat rahasia, bagi yang tidak tahu cara
membukanya, jari tangannya bisa terluka oleh pisau-pisau kecil yang terpasang
di dalamnya."
Dalam hati Tan Ciok-sing
tertawa geli, namun dia diam saja, katanya: "Kenapa pula dengan kotak
kecil ini?"
"Bocah itu bilang,
Bhayangkari adalah pasukan pribadi Baginda Raja, dia boleh bergerak leluasa
tanpa kendali oleh pihak militer. Meski tahu bahwa pihak kerajaan hendak
menangkap ayah, tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka secara diam-diam dia
menyusul ke Kwi-lin, dia harap disana bisa bertemu dengan ayah dan memberi tahu
berita buruk ini padanya."
"Tak nyana waktu dia
bertemu dengan ayah, beliau sudah terluka parah, napasnya sudah kempas
kempis."
"Maka ayahmu serahkan
kotak ini sebagai tanda kepercayaan dan suruh dia pulang memberi kabar
kepadamu?" demikian tukas Tan Ciok-sing.
In San mengangguk, katanya:
"Bocah itu bilang, ayah memberitahu padanya, dia salah minum arak beracun
pemberian It-cu-kin-thian, sehingga alap-alap kerajaan punya kesempatan
membokong dirinya. Dia juga membeber nama para musuhnya, kecuali
It-cu-king-thian, jago kosen Bhayangkari yang melukai dia sampai parah bernama
Tan Khim-ang, tapi Tan Khim-ang juga sudah dia pukul mampus pada saat itu.
Peristiwa itu terjadi setelah
dia meninggalkan rumah keluarga Lui, anak Tan Khim-ang mengira dia sudah mati,
golok pusaka dan buku pelajaran ilmu golok itu dirampasnya terus melarikan
diri, tanpa menghiraukan jenazah ayah kandungnya lagi. Anak bangsat itu juga
hendak membawa kotak ini — maaf, aku menggunakan istilah yang dipakai bocah she
Liong waktu dia bercerita tentang ayah — tapi dia tidak tahu cara membukanya,
jarinya tergores luka oleh pisau kecil di dalamnya, saking kaget dan kesakitan
dia buang kotak ini."
"Ayah suruh bocah keparat
itu membawa pulang kotak ini sebagai bukti, berpesan pula supaya aku berusaha
menuntut balas sakit hatinya. Bocah itu juga memberitahu padaku, katanya dia
sudah mencari tahu hingga jelas, orang yang membawa lari golok dan buku
pelajaran ilmu golok serta ikut mencelakai ayah itu adalah putra Tan Khim-ang,
namanya Tan Ciok-sing."
Tan Ciok-sing menyeringai
dingin, katanya: "Untuk mencari tahu memang dia cukup banyak membuang
tenaga dan pikiran, tapi persoalan justeru dia putar balik. Tan Khim-ang adalah
kakekku, bukan ayahku. Coba serahkan kotak itu padaku."
"Untuk apa?" In San
melengak, tapi dia sodorkan juga kotak itu.
"Coba kau saksikan aku
membukanya," dengan mudah dia tekan sini tarik sana sehingga kotak itu
terbuka tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.
"Bagaimana kau juga bisa
membuka kotak rahasia ini?" tanya In San heran.
"Didalam kotak ini semula
ada disimpan beberapa lembar kertas tulisan tangan Thio Tan-hong yang memuat
ajaran ilmu pedang karyanya, ayahmu serahkan kotak ini kepadaku, sayang aku
punya mata tidak bisa membedakan manusia baik dan jahat, akhirnya kotak ini
direbut oleh keparat she Liong itu." -lalu dia bercerita panjang lebar
tentang pengalamannya itu.
Bertambah rasa kepercayaan In
San kepadanya, pikirnya: "Kalau bukan ayah yang mengajarkan cara membuka
kotak ini, bagaimana dia mampu membuka kotak ini?"
Tan Ciok-sing berkata lebih
lanjut: "Waktu itu setelah berhasil merebut kotak ini, salah satu jari
bocah she Liong itu tergores luka cukup parah. Tapi dia toh memperoleh beberapa
lembar Kiam-boh itu, cukup setimpal juga luka yang dideritanya itu."
"Menurut ceritamu ini,
cara bagaimana pula ayah sampai dicelakai? Coba kau ceritakan
padaku."-Setelah persoalan menjadi jelas, tak tertahan In San menangis
sesenggukan, katanya terisak: "Ternyata kaulah tuan penolong ayahku, meski
ayah sudah mengalami nasibnya yang jelek, aku tetap akan berterima kasih
kepadamu."
"Bahwa kau sudi
mempercayai aku, itu sudah cukup. Nah inilah golok dan buku pelajaran ilmu
golok ayahmu yang titip padaku untuk diserahkan kembali padamu."
Mengingat kematian kakek Tan
Ciok-sing lantaran menolong ayahnya, hati In San ikut menyesal dan haru, sesaat
lamanya dia menjublek menerima barang-barang peninggalan ayahnya, tak tahu apa
yang harus dia katakan kepada Tan Ciok-sing.
"Dan pedang mustika
inipun harus kuserahkan kepadamu," kata Tan Ciok-sing.
In San melongo, katanya:
"Pedang mustika ini kan bukan milik ayah."
"Memang bukan milik
ayahmu, tapi boleh dianggap sebagai barang keluargamu."
In San melengak pula,
tanyanya: "Bagaimana bisa begitu?"
"Bukankah kau punya
seorang bibi yang menjadi isteri Thio Tan-hong Thio Tayhiap?"
"Ya, kenapa?" tapi
akhirnya In San mengerti, "o, jadi pedang mustika ini adalah senjata yang
dipakai bibi semasa hidupnya itu?"
"Betul, waktu aku memberi
kabar ke Ciok-lin kepada Thio Tayhiap, berkat kemurahan hatinya beliau sudi
mengangkat aku sebagai murid. Menjelang ajalnya, dia suruh aku menyerahkan
Ccng-bing-kiam ini kepadamu."
"Menurut apa yang kutahu,
Thio Tayhiap masih punya sebilah Pek-hong-po-kiam, pedang mustika itu..."
Mimik Tan Ciok-sing agak lucu,
katanya malu-malu: "Pedang itu diwariskan aku oleh Suhu."
In San belum pernah melihat
kedua bilah pedang mustika ini. Tapi asal-usulnya sudah sering dia dengar dari
cerita ayahnya, dia tahu bahwa kedua pedang ini merupakan sepasang pedang
jantan dan betina, pedang yang membawa kisah rumit dan berliku-liku sehingga
perjodohan Thio Tayhiap dengan bibinya bisa terangkap.
Karuan jengah muka In San,
katanya dalam hati: "Thio Tayhiap membagi pedang jantan dan betina ini
kepadaku dan dia, mungkin, mungkin..." kemana maksud dan tujuan Thio
Tan-hong sudah tentu sudah dimaklumi oleh In San, namun dia tidak tahu apakah
Tan Ciok-sing tahu tujuan yang tersembunyi ini. Sudah tentu dia malu untuk
tanya soal ini, namun demikian sanubarinya yang bersih dan tulus itu kini mulai
ruwet dan risau.
"Hari sudah hampir petang,
marilah kita melanjutkan perjalanan," demikian ajak Tan Ciok-sing.
"Ya, kita harus cepat
bertemu dengan Kim-to Cecu, kalau malam nanti ada rembulan, menempuh jalan di
tengah malam juga tidak jadi coal. Cuma kudamu ini, apakah masih mampu
jalan?" sampai disini dia menjadi kikuk sendiri, katanya menambahkan:
"Maaf ya hari itu aku merebut kudamu ini."
"Kuda putih ini
sebetulnya juga bukan milikku."
"Aku sudah tahu.
Kepunyaan Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu bukan? Hari itu aku juga heran, kenapa
kuda tunggangan Ciong-lihiap berada di tanganmu, kuda ini juga mau tunduk
padamu?"
"Akulah yang merebutnya
kembali dari tangan kawanan penjahat."
"Kudanya ini terjatuh
ketangan kawanan penjahat? Hari itu, aku kira, kukira...!"
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Hari itu kau kira akulah yang merebut kuda ini dari tangan
Ciong-lihiap?"
In San merasa kurang enak,
katanya: "Maka aku lebih yakin lagi bahwa kau orang jahat. Tapi belakangan
setelah ku pikir-pikir aku jadi ragu-ragu sendiri." "Kenapa?"
"Kuda ini cerdik pandai, kalau kau merebut dari sang majikan, dia pasti
takkan mau kau tunggangi."
"Tapi dia juga tunduk
pada perintahmu. Apa kau juga bersahabat dengan Kanglam Sianghiap?"
"Sahabat sih bukan. Tiga
tahun yang lalu bersama Toan Kiam-ping mereka pernah berkunjung ke rumahku, aku
pernah mencobanya dulu. Ingatannya ternyata amat baik, dia masih
mengenalku."
"Beberapa hari yang lalu
mereka sudah tiba di daerah sini, kukira bisa bertemu di rumahmu. Siau-ongya
juga bilang mereka pasti ke Tay-tong dan pasti mampir ke rumahmu."
"Mungkin mereka memang
pernah kemari tapi tiga hari yang lalu aku sudah meninggalkan rumah. Oh, ya
tadi kau bilang Toan Kiam-ping titip pesan padamu, ada urusan penting
apa?"
"Dia ingin mengundang
nona mengungsi ke Tayli saja."
"Banyak terima kasih akan
kebaikannya, kesulitan sudah kualami dan berhasil kuhindarkan. Selanjutnya aku
sudah berkeputusan untuk tinggal di markas Ciu-pepek, mungkin takkan ke Tayli
lagi."
"Siau-ongya amat
merindukan kau, dia kuatir Kanglam Sianghiap tidak berhasil menemukan kau, maka
dia juga titip pesan ini kepadaku."
"Keluarga Toan memang
sejak beberapa generasi aeja hubungan erat dengan keluarga In kami, Toan
Kiam-ping memang cukup baik tak pernah dia agulkan diri sebagai seorang
pangeran, selamanya aku pandang dia sebagai engkohku sendiri."
Mendengar In San memuji Toan
Kiam-ping, hati Tan Ciok-sing rada senang, tapi juga merasa kecut. Diam-diam
dia mentertawakan diri sendiri, pikirnya: "Kedua keluarga mereka memang
cocok dan serasi, adalah setimpal kalau putri In Tayhiap mendapat jodoh seorang
pangeran. Sepantasnya aku ikut senang bagi terangkapnya perjodohan ini."
Sudah tentu In San tidak tahu
perasaan rumitnya ini katanya: "Tan-toako, kudamu jelas takkan bisa lari
lagi, marilah cari tempat untuk istirahat."
"Memangnya hari sudah
hampir gelap, biar dia menempuh perjalanan sejauh mungkin, baru nanti kita cari
tempat untuk istirahat."
"Yang benar kuda ini kau
rampas kembali dari tangan penjahat, adalah jamak kalau kau saling tukar
tunggangan dengan aku."
"Ah, di antara kita
kenapa harus saling membedakan..." setelah tercetus ucapannya, mendadak
dia merasakan kata-katanya kurang pantas, seketika merah mukanya. In San
sendiri juga tertolong mendengar kata-katanya ini, sudah tentu mukanya lebih
jengah.
Lekas Tan Ciok-sing
menambahkan: "Kupikir tujuan kita kan sama-sama mau ke markas Kim-to Cecu,
lalu apa bedanya siapa yang menunggang kuda putih ini?"
Dalam hati In San membatin:
"Dia pasti tahu tujuan gurunya suruh dia menyerahkan Ceng-bing-kiam ini
kepadaku, kalau dibicarakan dia menanam budi terhadap ayah... tapi aku baru
saja mengenalnya, memangnya demi membalas budinya itu, aku lantas pasrah diriku
kepada dia? hatinya menjadi gundah dan rawan, tak tahu bagaimana harus
mengambil sikap. Lama-kelamaan tindak tanduknya menghadapi Tan Ciok-sing jadi
agak kikuk dan rikuh tidak sewajarnya tadi.
Semakin lama kuda tunggangan
rampasan Tan Ciok-sing semakin lambat jalannya, padahal mentari sudah terbenam
di kaki gunung. Kata Tan Ciok-sing: "Di depan ada sebidang hutan marilah
kita istirahat disana."
Sebesar ini belum pernah
bergaul berduaan dengan laki-laki yang belum dikenalnya betul, apa lagi harus
bermalam di hutan belukar macam ini? Walau dia tahu
Tan Ciok-sing adalah pemuda
baik-baik, betapa pun dia merasa malu dan rikuh. Setelah berpikir lalu dia
berkata: "Baiklah, kita boleh tidur bergiliran, kau boleh istirahat dulu,
aku yang jaga malam."
Tak keruan rasa hati Tan
Ciok-sing mendengar ucapan ini, pikirnya: '"Belum lagi tiba di hutan itu,
kenapa kau sudah bicara lebih dulu? Memangnya aku bakal menipumu? Hemm, kau
putri seorang pendekar besar, memangnya aku tidak setimpal bersama kau, biarlah
setelah sampai di markas Kim-to Cecu dan bertemu dengan Tam-toako, setelah
urusan kubereskan, aku akan segera berpisah dengan dia, kembali ke Kwi-lin
seorang diri. Supaya orang jangan menyangka aku sebagai kodok buduk ini
kepingin gegares daging bangau," sama-sama memikirkan
persoalannya sendiri sehingga
untuk sesaat lamanya mereka tidak banyak bicara lagi. Kalau In San seenaknya menjalankan
kudanya pelan-pelan, Tan Ciok-sing mengikutinya di belakang tanpa bersuara.
Baru saja mereka sampai di
hutan itu, dari arah belakang terdengar derap lari kuda yang gemuruh dan
kencang.
Tan Ciok-sing berkata:
"Agaknya pasukan pengejar telah menyusul. Nona In kudamu dapat lari
kencang, lekaslah kau lari lebih dulu."
Berkerut alis In San katanya:
"Kalau betul pasukan pengejar, kenapa aku harus lari lebih dulu? Kau kira
aku gentar menghadapi para pengejar ini?"
"Bukan itu maksudku. Dari
langkah kuda dapat kudengar yang mengejar hanya lima orang, kukira aku mampu
menggasak mereka, kau tak usah ikut campur."
"Memang, kenapa aku lupa
kepandaianmu jauh lebih tinggi dari aku, gagah dan perkasa, tak perlu aku harus
membantumu," demikian sindir ln San jengkel.
Pada saat itulah pengejar
itupun sudah mengudak datang, orang yang terdepan mendadak berteriak keras:
"Adik San, adik San, kenapa kau bergaul dengan pemuda bergajul ini.
Tahukah kau siapa dia? Dia itulah bangsat cilik Tan Ciok-sing yang sekongkol dengan
It-cu-king-thian membunuh ayahmu itu."
Karena dongkol semula In San
bermaksud tinggal lari seorang diri ke tempat Kim-to Cecu biar Tan Ciok-sing
sendirian menghadapi musuh, namun begitu mendengar dan melihat orang yang
mendatangi ini, niatnya seketika menjadi buyar. Rasa dongkolnya kepada Tan
Ciok-sing menjadi beralih kepada orang yang mencelakai ayah dan menyebabkan
keluarganya berantakan ini.
Ternyata orang yang
membedalkuda paling depan ini bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di belakang
Liong Seng-bu masih ada empat orang berpakaian busu, bukan saja seragam mereka
serupa, raut muka mereka pun hampir mirip satu dengan yang lain, seakan-akan
mereka saudara kembar dan sekandung.
Jarak cukup jauh, salah
seorang busu itu mendadak membidik terus melepas panah. Melihat musuh besar
mendatangi, keruan membara mata Tan Ciok-sing, hakikatnya dia tidak hiraukan
panah yang mengincar datang itu, dari punggung kuda dia melejit turun, bentaknya:
"Liong Seng-bu, kebetulan keparat kau ini datang." Pedang dilolos
terus memapak maju, panah itu mengenai kudanya sampai mati, namun ujung
pedangnya sudah mengancam muka Liong Seng-bu.
"Trang" seorang busu
di samping Liong Seng-bu ternyata amat cekatan, pada saat kritis itu dia angkat
pedangnya menyambut tusukan pedang Tan Ciok-sing sehingga senjata beradu keras,
dan tusukan ke muka Liong Seng-bu tertangkis. Begitu pedang beradu, lelatu api
berpijar, pedang yang digunakan busu ini adalah pedang panjang berpunggung
tebal, namun toh gumpil sebagian besar, namun tidak sampai patah. Namun
demikian busu ini menjadi kaget dan heran melihat permainan pedang Tan
Ciok-sing yang hebat ini.
Bahwa busu ini mampu menangkis
serangan pedang Tan Ciok-sing yang liehay, ini betul-betul diluar dugaan Tan
Ciok-sing. Tapi dia yakin keempat musuh ini hanya kaum kroco belaka, dalam tiga
gebrakan dia yakin dirinya masih mampu merobohkan mereka.
Gerakan pedang Tan Ciok-sing
laksana angin lesus, hakikatnya musuh tidak diberi kesempatan ganti napas.
"Sret, sret" beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan berantai.
Seorang busu telah melompat turun dari punggung kuda, lekas dia menubruk maju,
seorang busu yang terdepan dan sudah bergebrak duluan dengan Tan Ciok-sing tadipun
sudah putar balik memutar pedangnya menjadi garis bundar terus menyapu
menyilang dari kiri ke kanan, jadi kebetulan serasi dengan busu seorang lagi
yang menyerang dari arah lain, rasanya gerakan pedang mereka begitu rapat dan
sempurna tiada lobang sedikitpun, sehingga serangan pedang Tan Ciok-sing yang
liehay itu dapat dipunahkan dengan mudah.
Keruan bercekat hati Tan
Ciok-sing pikirnya: "Walau ilmu pedang mereka tidak terhitung tinggi,
tetapi juga tidak begitu hebat, entah kenapa begitu kedua orang bergabung kekuatannya
lantas berlipat ganda secara mendadak?" Maklum sekarang Tan Ciok-sing
sudah berhasil menyelami inti sari pelajaran Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio
Tan-hong, umpama berhadapan dengan ilmu pedang tingkat tinggi dan aliran
manapun dalam pandangannya tidak lebih juga hanya begitu saja, kalau di
bicarakan secara serius, ilmu pedang kedua orang ini belum terhitung tingkat
tinggi. Tapi anehnya justeru kelihatan biasa, tapi sejurus ilmu pedang itu
ternyata begitu rapat dan sempurna di bawah permainan dua orang ini. Akan
tetapi, meski seorang diri menghadapi dua orang, Tan Ciok-sing masih tetap
unggul.
Di sebelah sana Liong Seng-bu
berteriak: "Bocah ini liehay sekali, Toako dan Jiko kalian mungkin belum
mampu membekuk bocah itu, kalian tidak perlu hiraukan aturan Kangouw segala,
lekaslah keroyok dia saja."
Busu ketiga berkata:
"Site, majulah kau membantu Toako dan Jiko," lalu dia berpaling dan
berkata kepada Liong Seng-bu: "Kongcu tak usah kuatir, bila ketiga
saudaraku ini membentuk suatu barisan pedang, meski kepandaian bangsat cilik
ini setinggi langit juga pasti tidak akan bisa lolos. Biar aku disini menemani
Kongcu saja," dia kuatir bila ln San mendadak mengamuk, Liong Seng-bu tak
kuat melawannya.
Liong Seng-bu tahu maksud
orang, matanya menatap In San, sikapnya seperti temberang sambil mulut bersuara
dalam tenggorokan, lalu katanya: "Ya, begitu juga boleh."
In San sudah lompat turun pula
dari punggung kuda, dengan sepenuh perhatian dia menyaksikan ketiga busu itu
mengeroyok Tan Ciok-sing dengan sengit, hakikatnya dia tidak peduli dan tidak
hiraukan kehadiran Liong Seng-bu.
Busu ketiga masuk gelanggang,
Tan Ciok-sing semakin rasakan tekanan bertambah berat. Di tengah pertempuran
sengit itu mendadak dia gunakan jurus Sam-coan-hoat-un Pek-hong-kiam terayun ke
atas memetakan tiga kuntum cahaya pedang, seperti ke kiri tapi juga mirip ke
kanan, dalam sesingkat itu, ketiga lawannya sama-sama merasa kabur dan silau
pandangannya, hawa pedang yang dingin menyampuk muka, seakan-akan tajam pedang
yang kemilau itu sekaligus mengancam tenggorokan mereka bertiga. Tapi ketiga
saudara ini mempunyai tekad dan isi hati yang sama, serempak mereka membentak,
tiga pedang sekaligus terayun dalam gerakan dan posisi sama, satu di depan yang
lain di belakang melibatkan diri dalam selarik lingkaran pedang.
Jurus yang dilancarkan Tan
Ciok-sing adalah hasil kesimpulannya sendiri yang diperoleh dari kembangan
Bu-bing-kiam-hoat yang paling ganas, cepat, keji, telak dan berubah empat unsur
berkombinasi sehingga gaya pedangnya seperti mengambang tapi dilandasi tenaga
dalam sehingga perubahannya sukar diraba. Tapi gerak-gerik ketiga lawannya
selalu serempak dan bersatu padu, barisan pedang yang mereka ciptakan
betul-betul rapat dan kuat, maka sering terdengar dencing benturan senjata disertai
lelatu api. Bukan saja Tan Ciok-sing tidak mampu menjebol pertahanan lawan,
malah dia terkepung di tengah lingkaran sinar pedang ketiga lawannya, dalam
benturan barusan telapak tangan terasa sedikit pedas.
Kiranya empat busu yang dibawa
Liong Seng-bu kali ini adalah saudara kembar yang dilahirkan satu rahim, she
Huwan bernama Liong', Hou, Pau dan Kiau. Yang mengeroyok Tan Ciok-sing adalah
Lotoa Huwan Liong, Loji Huwan Hou dan Losi Huwan Kiau, yang melindungi Liong
Seng-bu adalah Losam Huwan Pau. Ke empat busu ini sebetulnya adalah pengawal
pribadi paman Liong Seng-bu, Liong Bun-kong yang menjabat Kiu-bun-te-tok di
kota raja, kalau dinilai kepandaian sejati mereka, bila satu lawan satu mereka
bukan tandingan Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan, namun keempat saudara kembar
ini meyakinkan suatu ilmu barisan pedang yang amat liehay dan ketat, jago kosen
kelas tinggi pun sukar meloloskan diri dari kepungan barisan pedang mereka.
Barisan pedang mereka ini
diciptakan oleh aliran Thian-liong-bun di Tibet, berbeda dengan aliran pedang
yang ada di daerah Tionggoan, kalau hanya seorang bertempur dengan musuh
permainan pedangnya kelihatan biasa dan sepele, tapi dua orang bergabung
kekuatannya bertambah satu lipat, tiga orang bekerja sama, kekuatannya akan
bertambah lipat ganda pula, bila empat orang sekaligus turun tangan,
kekuatannya sama dengan enam belas orang jago kosen sekaligus menyerang pada
titik sasaran yang sama.
Kini Tan Ciok-sing seorang
diri melawan tiga orang, berarti dia melawan delapan musuh kelas satu, meski
bersenjata pedang pusaka, namun pedangnya sering tertolak pergi oleh getaran
tenaga gabungan ketiga lawannya, sehingga sukar dia membentur putus senjata,
lawan, sejauh ini tak mungkin dia membuat keuntungan. Terpaksa Tan Ciok-sing
kembangkan kegesitan tubuhnya, gerakannya enteng dan lincah secara cekatan lagi
supaya tidak sampai terbokong dan kecundang. Lima puluh jurus kemudian,
lingkaran kepungan lawan semakin mengetat, gerakan cepat Tan Ciok-sing semakin
sukar dikembangkan. Bahna gugupnya lekas dia berteriak: "Nona In, lekas
kau pergi. Tolong sampaikan kabarku kepada Tam Tayhiap, tak usah kau menungguku
disini."
Anehnya bukan saja In San
tidak segera mengeluarkan senjata maju membantu, dia pun tidak segera tinggal
pergi. Tan Ciok-sing suruh dia lari, dia seakan-akan tidak mendengar
peringatannya itu.
Dasar kepincut paras ayu,
Liong Seng-bu berpikir: "Pasti dia sudah mendapat tahu duduknya persoalan
dari mulut bocah keparat itu. Tapi aku yakin dia masih setengah percaya."
Dilihatnya Tan Ciok-sing yang dikepung Huwan bersaudara tidak akan bisa lolos
lagi, maka legalah hatinya, segera dia maju dua langkah, katanya: "Adik
San, jangan kau kena kepelet bocah keparat itu, dia betul-betul adalah musuh
pembunuh ayahmu. Apa kau tidak ingin menuntut balas dan membunuhnya?"
In San bersikap pura-pura
bimbang, sorot matanya guram dan melirik kearah Liong Seng-bu, katanya:
"Liong kongcu, silakan kau kemari aku ingin bicara dengan kau."
Huwan Pau yang ada di samping
Liong Seng-bu berbisik: "Hati-hati Kongcu."
Liong Seng-bu tertawa,
katanya: "Apa tidak bisa kau katakan disini saja?"
In San mendengus, katanya:
"Persoalan ayah bundaku ingin kutanya supaya jelas, baru nanti aku percaya
padamu. Hmm, kau tidak percaya padaku, memangnya aku harus percaya padamu. Kau tidak
mau kemari, ya sudah."
Persoalan ayah bunda In San
menyangkut urusan keluarga, sebagai anak perempuan sudah tentu dia pantang
membicarakan keburukan keluarga di hadapan umum, hal ini memang jamak dan masuk
di akal. Mengingat hal ini diam-diam hati Liong Seng-bu senang, pikirnya:
"Asal timbul rasa curiganya terhadap bocah she Tan itu aku akan berhasil
membujuknya sehingga dia percaya padaku." Maka tanpa pedulikan peringatan
Huwan Pau, dia mengulap tangan sambil berkata: "Tak usah kau ikuti aku.
Nona In adalah adikku, kami bersaudara ingin omong urusan pribadi, memangnya
aku harus hati-hati apa," sembari bicara diam-diam dia memberi lirikan
kepada Huwan Pau terus melangkah ke arah In San.
Meski terkepung dan sedang
berhantam dengan sengit, tapi mata kuping Tan Ciok-sing selalu memperhatikan
keadaan
sekelilingnya, maka setiap
perkataan In San dapat juga didengarnya jelas. Karuan hatinya semakin gelisah,
teriaknya: "Nona In, jangan kau ketipu lagi oleh anak jadah itu."
Sedikit lena karena bicara,
pedang panjang Huwan Liong meluncur tiba menusuk lurus dari depan mengincar
dada, sementara kedua pedang Huwan Hou dan Huwan Kiau juga berendeng dalam satu
garis melingkar satu bundaran membendung gerakan pedang Tan Ciok-sing. Walau
secara lincah dan pas-pasan Tan Ciok-sing masih sempat menghindari tusukan
pedang Huwan Liong, tapi terdengar suara "Bret" pakaiannya bolong
oleh tusukan pedang Huwan Liong, untung tidak sampai melukai kulit dagingnya,
apa boleh buat menyelamatkan diri lebih penting, maka dia tidak hiraukan lagi
keadaan In San.
Mendekati In San, Liong
Seng-bu cengar-cengir, katanya: "Adik San, soal apa yang ingin kau
tanyakan?"
Pada saat itulah mendadak
tampak bintik-bintik sinar bintang kemilau sama meluruk datang, tahu-tahu In
San timpukkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Jarak sedemikian dekat, mana Liong
Scng-bu bisa meluputkan diri? Sebisa mungkin dia memutar tubuh sambil
menundukkan kepala, belum lagi dia angkat langkah melarikan diri, terdengarlah
suara berisik lembut, jarum-jarum lembut itu seluruhnya sudah menancap di
punggung Liong Seng-bu.
Girang hati In San, jengeknya
dingin: "Bangsat keparat, justru kaulah yang membantu mencelakai ayahku,
kau kira aku bisa kau tipu lagi?" "Sret" dia mencabut golok
terus maju hendak menggorok leher Liong Seng-bu.
Mendadak Liong Seng-bu
menoleh: "Adik San, kenapa kau berkelakar denganku?" wajahnya berseri
tawa, sedikitpun tidak tampak dia terluka.
Rasa girang In San berubah
jadi kaget, hatinya ragu-ragu: "Memangnya bocah ini sudah memiliki Iwekang
kebal senjata rahasia? Waktu dia menemui aku tempo hari kepandaiannya masih
keroco, memangnya tiga tahun ini kemajuan sepesat ini?" Tapi dendam
kematian orang tua sedalam lautan, meski hati merasa bimbang tangannya segera
bekerja cepat, dengan jurus Yan-loh-ping-sa, golok pusakanya segera membelah.
Dia cepat ternyata Liong
Seng-bu juga tidak lambat, lekas dia mengayun balik pedang, gaya pedangnya
ternyata cukup liehay dan ganas. Jurus ini mengincar balik musuh sehingga lawan
dipaksa melindungi tubuh sendiri lebih dulu sebelum melukai lawan. Secara
reflek In San sudah tentu harus menghindar, tapi gerakannya amat cekatan,
goloknya sudah merabu pula dengan jurus Pek-ho-liang-ji. "Trang"
kembang api berpijar, pedang Liong Seng-bu terketuk gumpil sedikit oleh golok
In San. Tapi Liong Seng-bu sempat melompat minggir sejauhnya, tetap segar tidak
terluka sedikitpun. Cepat sekali Huwan Pau sudah lompat maju menolong.
Ternyata Liong Seng-bu memakai
kaos kutang yang tidak mempan senjata, jarum-jarum itu tembus pakaian luarnya,
namun tidak kuasa menembusi kaos kutangnya itu. Di samping itu,
Bu-bing-kiam-hoat yang diperolehnya meski hanya petilan dan tidak lengkap,
namun selama tiga tahun belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini juga
memperoleh kemajuan. Tergantung kedua keuntungan inilah, maka dia berani maju
kedepan In San tanpa dikawal.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
sadar akan sikap In San yang pura-pura dungu tadi, maksudnya adalah memancing
Liong Seng-bu mendekatinya supaya leluasa membunuhnya. Walau usaha itu gagal,
namun rasa kuatir Tan Ciok-sing seketika tersapu bersih. Segera dia mengempos
semangat, beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan, kepungan ketat Huwan
bersaudara yang mengetat tadi kini didesaknya mundur melebar.
Disana In San sudah melabrak.
Huwan Pau seorang diri melawan In San. Huwan Pau jelas kalah setingkat, namun
karena hanya lebih rendah setingkat maka untuk mengalahkan lawannya agak sukar
juga bagi In San, malah dia kena dilibat sehingga tak kuasa terjang kesana
mengejar dan membunuh Liong Seng-bu.
"Nona In," teriak
Tan Ciok-sing, "selama gunung tetap menghijau, tak usah takut kehabisan
kayu bakar, lekaslah kau pergi ke markas Kim-to Cecu memberi kabar."
Tapi In San gertak gigi tanpa
bersuara, sekaligus dia kembangkan tiga puluh enam jurus ilmu goloknya, Huwan
Pau didesaknya mundur puluhan langkah. Memang tujuan Huwan Pau memancing
kemarahan In San dengan serangan gencar ini sehingga dia bisa mundur ke dekat
para saudaranya, meski hanya mampu menangkis dan membela diri, gerak pedang dan
langkah kakinya masih tetap tenang dan teratur.
Tan Ciok-sing sudah tahu bila
ke empat saudara ini bergabung jadi satu, maka barisan pedang ini akan
bertambah kokoh sukar ditembus lagi, bahwa In San mendesak maju ke arahnya ini
bukankah ibarat masuk jaring sendiri. Tapi dia tahu In San takkan mau mendengar
peringatannya, apa boleh buat dia hanya bisa menghela napas gegetun belaka.
Betul juga Huwan Liong yang
menjadi pimpinan barisan segera memberi aba-aba merubah posisi dari barisan
pedang ini, kini In Sanpun digulung dalam barisan. Empat orang bergabung
perbawanya berlipat pula. Empat batang pedang memetakan sebuah jaringan sinar
pedang, Tan Ciok-sing dan In San berdua seperti dibungkus di dalamnya, baru
sekarang In San merasakan gerak-geriknya seperti terkekang, ilmu goloknya tak
kuasa dikembangkan, beruntun dia terancam tusukan dan tabasan pedang musuh.
Melihat Tan Ciok-sing dan In
San berdua meski tumbuh sayap juga takkan bisa meloloskan diri, baru lega dan
lenyap rasa kaget Liong Seng-Bu, segera dia main tingkah lagi dengan mengudal
ocehan: "Kalau tidak bisa membekuk hidup-hidup bocah she Tan ini, yang
mati juga boleh. Tapi nona In adalah adikku, sekali-kali kalian jangan
melukainya."
Huwan Liong mengiakan, pedang
panjangnya tiba-tiba menusuk keluar dari urutan lingkar besar menusuk ke
Hian-ki-hiat di depan dada In San. Sebagai saudara tertua dari ke empat
bersaudara ini, ilmu pedangnya terhitung paling sempurna, dengan ujung pedang
dia mampu menusuk hiat-to lawan tanpa melukai seujung rambut si korban.
Kerja sama gerak pedang ke
empat bersaudara memang benar-benar rapat tanpa cacat sedikitpun di kala Huwan
Liong menusukkan pedangnya, tiga pedang yang lain serempak juga menyerang Tan
dan In berdua, bukan saja menekan dan menutup gaya permainan pedang Tan
Ciok-sing, golok pusaka In San juga kena ditindih.
Dalam menghadapi saat-saat
kritis ini Tan Ciok-sing menjadi nekat, tanpa hiraukan keselamatan awak sendiri
mendadak dia mendesak maju seraya lancarkan serangan mematikan, memangnya
Bu-bing-kiam-hoat yang dipelajari amat berguna untuk menghadapi segala
perubahan seperti ini, maka jurus Sing-han-hu-jay ini tahu-tahu menyelonong
masuk ke pusaran lingkaran sinar pedang lawan dan ternyata betul-betul membawa
akibat luar biasa. Maka terdengar suara bentrokan yang nyaring dan panjang,
tiga pedang musuh sekaligus kena dibentur pergi. Golok In San tegak kokoh di
depan dada berhasil membentur pergi pedang Huwan Liong yang menusuk datang.
Huwan bersaudara sekaligus
turun gelanggang, kekuatan mereka seumpama enam belas jago-jago silat kelas
tinggi turun tangan bersama meski Tan Ciok-sing dapat mengembangkan perbawa
Bu-bing-kiam-hoat mencapai taraf kejayaannya, namun kekuatannya masih belum
dapat melampaui rangsakan para musuhnya. Memang ketiga pedang lawan kena
dibentur pergi, namun demikian tidak urung pundak kirinya tergores luka oleh
pedang Huwan Kiau, untung hanya luka luar dikulit badannya saja.
"Nona In, bocah she Tan
ini laksana golekan lempung yang takkan mampu menyebrang sungai, jiwa sendiri
sedang terancam memangnya dia mampu melindungi dirimu," demikian bujuk
Huwan Liong, "tentunya kau juga tahu Liong-kongcu kami merasa kasihan dan
menaruh hati padamu, jelas dia tidak akan membikin susah padamu. Harap kau
letakan senjata dan mundurlah keluar gelanggang, supaya kami tidak sampai
melukai kau," untung mereka tidak berani melukai In San, sehingga sejauh
ini In San masih kuat bertahan.
Mendadak In San tertawa
dingin, jengeknya: "Terlalu pagi kalian takabur, nah lihatlah keliehayan
nonamu," di tengah jengek tawanya itu tiba-tiba Ceng-bing-kiam sudah
tcrlolos dari sarungnya, dengan tangan kiri pegang golok tangan kanan main
pedang, golok untuk menjaga badan sementara pedang panjang menyerang musuh
Memang aneh bin ajaib tusukan
pedang In San yang miring seperti sembarangan ini, ternyata serasi dan cocok
pula dengan gerakan jurus pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing, rangkaian sinar
pedang lawan laksana jala itu seketika tercerai berai.
Ternyata sekarang Tan
Ciok-sing dan In San sama menggunakan pedang jantan dan betina, dua permainan ilmu
pedang tergabung menjadi satu, kekuatannya ternyata dahsyat sekali. Dahulu Thio
Tan-hong suami istri tak lama setelah menikah, berdasar ajaran ilmu pedang
tingkat tinggi, berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan yang tiada bandingan
tarapnya. Siang-kiam-ho-bik (dua pedang gabungan) yang diciptakan ini bukan
melulu mengutamakan setiap jurus pedang bergerak secara serasi, namun gaya
pedangnya yang harus serasi, cukup asal kedua pihak sama-sama menghafal kunci
rahasianya cukup sebuah tusukan pedang biasa saja, namun dapat bergabung
mencapai puncak kehebatan dengan gerakan pedang kawan sendiri.
Hakikatnya In San belum pernah
melihat Thio Tan-hong begitulah menurut ingatannya tapi ilmu pedang yang
dimainkan ini secara tidak langsung memang Thio Tan-hong yang mengajarkan
padanya, dalam hal ini memang ada kisahnya tersendiri.
Dikatakan didalam ingatannya
selamanya belum pernah dia melihat Thio Tan-hong juga kurang tepat. Yang benar
dia dulu pernah melihatnya, tapi itu terjadi tiga hari setelah dia dilahirkan dari
rahim ibunya, sebagai orok yang belum tahu apa karena baru saja dilahirkan,
bahwa ayah bunda sendiripun belum bisa membedakan sudah tentu siapa saja yang
pernah dilihatnya di masa kecilnya dulu jelas tiada kesan apa-apa dalam
benaknya.