Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 7

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 7
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 7

Tiba-tiba tergerak hati In San, segera dia keluarkan tusuk kondai perak. Tusuk kondai ini biasanya dia tusukan di atas sanggul rambutnya kiri, karena menyamar laki-laki maka tusuk kondai dia simpan didalam baju. Tusuk kondai ini satu persatu dia masukan kedalam masakan, ternyata warnanya tidak berubah, maka dia berkata tertawa: “Kuasa hotel ternyata tunduk akan perintah orang itu, makanan ini tidak diberi racun."

Habis mendengar cerita Ciok-sing, Kwik Ing-yang berkata: "Entah siapa yang mengundang kalian untuk bertemu di Ham-san-si. Bahwa yang diundang adalah kalian bertiga saja, aku dan Bin-siu lebih baik tidak usah ikut kesana."

"Lalu kalian mau kemana?" tanya In San.

"Dengan Bin-siu kami sudah berencana akan ke Thay-ouw dan naik ke Tong-thing-san barat. Pengalaman kalian disini akan kulaporkan kepada Ong Goan-tin. Umpama Kek-jithiap mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, semoga Ong Goan-tin bisa mencari akal membantunya."

"Ya, begitupun baik. Sekarang juga kami akan berangkat dulu," ujar Ciok-sing.

Kwik Ing-yang teringat satu hal, katanya: "Seharusnya kita sudah meninggalkan hotel ini, tapi bila kita sudah meninggalkan tempat ini, suatu tugas yang amat penting jadi sukar diselesaikan."

"Tugas apa?" tanya In San.

"Say-cu-lim memang tempat berbahaya, tapi boleh juga dianggap sebagai arena pertempuran, cuma bukan pertempuran adu senjata atau pukulan."

Ciok-sing sadar, katanya: "Betul, keluar dari tempat berbahaya ini, memang dapat menghindari serangan musuh, namun untuk menyelidik gerak gerik musuh jadi lebih sukar."

"Cekak aos saja. Mana yang baik, kita tetap tinggal disini, atau segera meninggalkan tfimpat ini."

"Tiada jarum yang runcing dua ujungnya," ujar Tan Ciok-sing, "menurut situasi yang kita hadapi sekarang, lebih baik untuk sementara kita meninggalkan tempat ini."

"Maksudmu suatu ketika kita akan kembali?" In San menegas.

"Urusan kelak, bicarakan kelak. Sekarang kau harus segera berangkat bersamamu."

"Betul, sebelum tengah liari kalian harus tiba di Ham-san-si memenuhi undangan itu, dari pada terlambat lebih baik datang lebih dini. Biar kugambarkan letak Ham-san-si sekedarnya, supaya kalian tidak perlu mencarinya ubek-ubekan."



oooOOOooo



Sebelum Tan Ciok-sing dan In San keluar pintu besar dari kehon raya ini tiba-tiba tampak kuasa hotel menyongsong mereka sambil tertawa seri. "Tuan berdua kenapa sepagi ini sudah keluar?" tanya kuasa hotel.

Tergerak hati Ciok-sing, katanya: "Benar. Tadi aku mencarimu ke kantor tidak ketemu, kebetulan bersua disini."

Diam-diam kuasa hotel terkejut, pikirnya: "Apakah Kek Lam-wi menuturkan kejadian semalam kepada mereka?" tapi dengan sikap tenang dan wajar dia bertanya: "Ada urusan apa?"

"Kami akan keluar menyambangi seorang teman, malam nanti akan kembali pula. Kemarin kami hanya membayar sewa kamar dua hari, kupikir akan kutambah dua hari lagi," sembari bicara dia merogoh keluar sebutir kacang emas langsung diserahkan kepada kuasa hotel, katanya pula: "Sebutir kacang emas ini untuk melunasi sewa kamar, coba diperiksa, apakah bobotnya sudah cukup?"

Lega hati kuasa hotel, batinnya: "Kiranya mencariku mau membayar sewa kamar, bikin hatiku dag dig dug saja," segera dia goyang tangan, katanya: "Uang sewa pemberian Kek-ya kemarin masih banyak kelebihannya."

"Anggaplah sebagai pembayaran sewa kamar kemarin. Berapa yang dia berikan adalah urusannya, kami tidak ingin nginap dan kamar gratis disini."

"Betul. Biar dia membayar ongkosnya sendiri, kamipun membayar pengeluaran kami. Ciangkui, kalau kau tidak mau terima artinya kau memandang rendah kami berdua," In San menimbrung.

Diam-diam senang hati kuasa hotel, pikirnya: "Kedengarannya mereka agak sirik terhadap Kek Lam-wi, biar kucoba korek keterangan mereka," lalu dia berkata: "Kalian begini terbuka tangan, biarlah hamba menerima kebaikan ini," sembari bicara dia terima kacang emas itu terus dimasukkan kedalam kantong lalu bertanya dengan sikap adem ayem: "Apakah Kek-ya tidak keluar bersama kalian?" -dia kuatir bila uang emas tidak diterima, salah-salah bisa menimbulkan rasa curiga orang. Oleh karena itu terpaksa dia merelakan diri dianggap laki-laki tamak yang suka terima sogok.

"Kek-ya tadi bilang katanya mau tinggal di rumah familinya, tidak mau tinggal bersama kami lagi," sahut Tan Ciok-sing.

Semakin senang hati kuasa hotel, pikirnya: "Kiranya Kek Lam-wi menggunakan alasannya untuk memencar diri dengan mereka. Perhitungan In-toaya memang tepat dan sempurna, dia yakin Kek Lam-wi pasti terjeblos kedalam permainannya." Maka dia berkata: "O, kiranya begitu. Baiklah aku tidak berani menunda waktu kalian untuk menyambangi teman, dua nomor tembaga ini harap kalian suka menyimpannya. Meski larut malam baru pulang, dengan menunjukan tembaga ini kalian bisa keluar masuk dengan leluasa."

Sambil bercakap-cakap mereka keluar dari Say-cu-lim, cukup jauh mereka meninggalkan kebon raya, keduanya lantas celingukan, setelah yakin tiada orang memperhatikan, In San lantas berkata: "Toako, kenapa kau memberi keuntungan sebesar itu kepada kuasa hotel, melihat tampangnya aku sudah sebal."

"Berdagang siapapun harus keluar modal. Kaukan anak pintar, memangnya kau tidak bisa meraba maksud tujuanku."

"Baik, coba biar kuterka," kata In San lalu menepekur, akhirnya dia tersenyum, katanya: "Kuduga, kau sedang mengatur tipu daya supaya pihak musuh merasa bimbang dan serba curiga?"

"Betul. Kau memang cerdik, sekali tebak kena sasaran. Tujuanku justru supaya mereka tidak bisa meraba sepak terjang kita sesungguhnya. Bukan saja membuat mereka serba curiga, kitapun bisa bertindak secara isi kosong serba berlawanan."

"Betul Dengan membuang sebutir uang emas kita masih punya hak untuk kembali dan menginap pula di hotel itu."

Tiada habis bahan pembicaraan mereka, sepanjang jalan tidak pernah merasa kesepian, tanpa merasa sebelum tengah hari mereka tiba di Ham-san-si terletak di atas sebuah bukit di seberang Hong-kio, empat puluh li diluar kota Soh-ciu ke arah barat. Bukit ini dipenuhi pohon beringin. Merupakan salah satu daerah pariwisata yang terkenal juga di bilangan Soh-ciu.

Kala itu permulaan bulan delapan saatnya kembang mekar semerbak pemandangan nan molek dan permai disini sungguh amat mempesona. Lama In San terpukau di atas jembatan, katanya kemudian setelah menghela napas: "Sayang baru hari ini aku sempat bertamasya disini!"

Walau Ham-san-si merupakan salah satu obyek pariwisata, namun pengunjung yang suka sembahyang di biara ini amal jarang, hari itu kebetulan bukan hari raya maka kecuali mereka berdua tiada orang lain yang keluyuran di tempat ini. Cukup lama mereka mondar-mandir di bilangan biara yang sudah tua dan kurang terurus ini, jangan kata seorang Hwesio keluar menyambut, seorang kacungpun tidak kelihatan.

Untung keadaan dalam biara cukup memuaskan untuk ditonton, dinikmati serta diresapi. In San tertawa, katanya lirih: "Kenapa tidak kelihatan orang itu keluar? Apa tidak perlu mengundang Hwesio disini mencari tahu padanya?"

"Siapa nama orang itu dan bagaimana asal-usulnya kan kita tidak tahu, bagaimana kau akan tanya kepada Hwesio disini. Yang terang waktunya belum tiba, masih beberapa kejap lagi baru tepat tengah hari, kau tidak usah gugup, tunggu saja dengan sabar," demikian bujuk Tan Ciok-sing.

In San tertawa geli sendiri, katanya: "Benar, salah kita datang terlalu dini."

Tengah bicara mereka terus maju ke depan, tiba-tiba didengarnya dua kali suara "Tok-tok".

In San berbisik: "Seperti ada orang main catur."

"Benar, itulah suara buah catur yang dijatuhkan di atas papan catur, agaknya pertandingan sedang mencapai puncak yang paling menegangkan," ujar Tan Ciok-sing tertawa.

"Bagaimana kau tahu?"

"Buah catur mengetuk berat di atas papan, ini menandakan orang yang pegang buah catur teramat tegang perasaannya."

Betul juga, suara serak seorang terdengar berkata: "Hwesio tua ini tidak suka main caplok. Ai naga-naganya permainanku kali ini pasti kau kalahkan."

Suara seorang lain berkata juga dengan tertawa: "Aku sih apa boleh buat kalau aku tidak mau 'caplok' salah-salah pionku yang kau lalap malah."

Tan Ciok-sing melenggong, sontak dia berjingkrak girang, serunya: "Ha, kiranya Tam Tayhiap."

Di kala dia bicara dengan In San, didengarnya orang itu sedang berkata kepada Hwesio tua. "Betapapun Taysu memang lebih unggul, sungguh tak nyana kau masih punya akal seliehay itu untuk menyudutkan raja dan merebut kedudukan penting. Nah, tamuku sudah datang, biarlah aku mengaku kalah saja."

Kini In San juga sudah mendengar suaranya, kontan dia berteriak girang: "Paman Tam, paman Tam." -Saking girang mereka tidak hiraukan tata tertib lagi, seperti lomba lari saja sama memburu ke arah datangnya suara. Tampak di kamar semadi sana seorang hwesio tua sedang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki, siapa lagi kalau bukan Kim¬ to-thi-ciang Tam Pa-kun. Tam Pa-kun tertawa, katanya: "Maaf ya, aku tidak duga kalian datang sepagi ini, maka tidak menyambut kalian diluar. Inilah Hong-tiang biara ini Kiau-jan Taysu."

Kiau-jan Taysu berkata: "Kalian tidak usah rikuh dan banyak peradatan, hwesio tua akan menunaikan tugas sembahyang, maaf aku harus mengundurkan diri."

Tam Pa-kun adalah teman karib ayah In San semasa hidupnya, melihat dia In San seperti berhadapan dengan famili sendiri, saking senang air mata berkaca-kaca, katanya dengan lidah agak kelu: "Sungguh tidak diduga, kiranya kau paman Tam. Dua hari yang lalu, Seng Toa-jan bilang kau sudah menuju ke Thay-ouw. Kukira sebelum pesta ulang tahun Ong Goan-tin aku tidak akan bisa bertemu dengan kau."

"Aku malah tahu kau pasti datang bersama Ciok-sing," ujar Tam Pa-kun tertawa, "tapi bila di tempat lain bersua dengan kau, mungkin aku tidak berani mengenalimu. Sejak kapan kau belajar merias diri, dandananmu sungguh mirip dan tampan sekali."

"Seng Toa-jan bilang kalian datang bersama Kek Lam-wi, salah satu dari Pat-sian. Dan menginap di Soh-ciu, kenapa tidak kelihatan?

Apa ada urusan penting sehingga dia harus ke tempat lain?"

"Betul," ujar Ciok-sing, "dia kebentur suatu kejadian yang tak terduga, pergi memenuhi undangan lain."

"Memenuhi undangan siapa?" tanya Tam Pa-kun.

"Undangan dari majikan Say-cu-lim In Kip."

Tam Pa-kun kaget serunya: "Memenuhi undangan In Kip? Apa yang terjadi?"

Terlebih dulu Tan Ciok-sing tuturkan pengalaman Kek Lam-wi.

Sesaat Tam Pa-kun berpikir, katanya kemudian. "Kurasa persoalan ini agak ganjil."

"Dalam hal apa paman merasa curiga?" tanya In San.

"Tiga hari yang lalu putri Ong Goan-tin yang bernama Ong Kui-ih pernah melihat Toh So-so di Yang-ciu, baru kemarin Ong Kui-ih kembali ke Tong-thing-san. Berita tentang hijrahnya kawanan Bu-san-pang ke Kanglam, Ong Goan-tin juga sudah memperoleh laporan rahasia. Setelah mereka menyeberang sungai besar dan berada di selat sungai, sepanjang jalan jejak mereka sudah diawasi oleh anak buah Ong Goan-tiw. Kemarin sore aku sudah turun gunung. Menurut laporan yang diterima sore itu kawanan Bii-s.in pang langsung menuju ke S"h cin jadi jelas tidak pernah lx-rpnt:ii kf

Yang-ciu. Diperhitungkan dari kecepatan perjalanan mereka tidak mungkin dalam dua hari ini Bu-san-pang mempunyai kesempatan untuk menculik Toh So-so di Yang-ciu. Maka aku yakin di belakang kejadian ini pasti ada muslihat keji."

"Tapi Kek-toako yakin bahwa tusuk kondai itu memang milik Toh-cici. In Kip menyerahkan tusuk kondai itu bersama senjata rahasia tunggal milik Bu-sam Niocu kepada Kek-toako, mana mungkin dia tidak percaya bila Toh-cici sudah terjatuh ke tangan kawanan Bu-san-pang."

"Bagaimana duduk persoalannya, aku sendiri juga belum bisa memberi kesimpulan. Tapi dari keadaan menurut cerita kalian, aku yakin In Kip dan Bu-san-pang belum ada niat mencelakai jiwa Kek Lam-wi."

"Aku justru kuatir mereka sedang mengatur suatu rencana yang lebih keji."

"Undangan itu jelas bukan bermaksud baik, ini tidak perlu diragukan. Tapi asal Kek-jithiap sementara tidak akan mengalami bahaya, kita akan berusaha menolongnya. Coba kalian bicarakan persoalan lain."

"Di Soh-ciu, kami bertemu dengan seseorang, kurasa orang ini justeru lebih penting dan harus diperhatikan dari pada Bu-sam Niocu."

"Siapa dia?" tanya Tam Pa-kun.

"Seorang Busu Watsu yang terkenal."

"Em ya, maksudmu adalah Poyang Gun-ngo?"

"Betul ternyata paman Tam juga sudah tahu."

"Ya. Jejak Poyang Gun-ngo, waktu aku masih berada di markas Ong Goan-tin sudah kuketahui. Salah satu sebab kenapa aku harus buru-buru datang ke Soh-ciu lebih dini dari rencana semula juga lantaran keparat ini."

"Kami kira setiba di Soh-ciu, dia akan menginap di hotel dalam Say-cu-lim, tapi semalam tidak kelihatan batang hidungnya."

"Aku malah sudah tahu dimana dia sekarang."

"Dia sembunyi dimana?" tanya Ciok-sing girang.

Seperti Bu-sam Niocu, diapun sembunyi di rumah In Kip."

"O mereka memang berintrik, syukur kita bisa bereskan dua persoalan ini sekaligus, kita akan tuntut kepada In Kip."

"Kita memang harus membuat perhitungan dengan In Kip. Tapi untuk menuntut orang kepadanya, kita harus mencari daya dan akal yang tepat, kalau tidak salah-salah kita bakal menggagalkan urusan besar."

"Sudah pasti. Mana boleh kita main serampangan. Lalu dengan cara apa paling tepat? Paman sudah memikirkannya?"

"Kupikir malam nanti akan bertandang ke tempat kediaman In Kip, dengan cara apa untuk menghadapi dia, biarlah kita bertindak melihat gelagat saja. Kalian tidak boleh ikut, tapi boleh membantuku secara diam-diam."

Sudah tentu Tan Ciok-sing dan In San kegirangan, katanya: "Maksud kami memang malam nanti akan menyatroni rumah In Kip, kalau paman mau bertindak, lebih baik."

"Tadi . kalian ceritakan pertemuanmu dengan Bak Bu-wi di Say-cu-lim agaknya belum jelas dan menyeluruh, akhirnya bagaimana?"

"Memang hal itu akan kuberitahukan kepada paman, Bak Bu-wi sih tidak perlu kita buat kuatir tapi seorang yang bersama dia itulah, kepandaiannya ternyata luar biasa."

"O, macam apa orang itu?"

Secara terperinci Ciok-sing ceritakan pertempuran singkat malam itu dengan orang tak dikenal itu, Tam Pa-kun terperanjat, katanya: "Kedatangan orang ini di Soh-ciu ternyata belum kita ketahui. Tak heran kau hampir kecundang. Kungfu orang ini memang jauh lebih unggul dari Poyang Gun-ngo kira-kira setaraf dengan Koksu dari negeri Watsu Milo Hoatsu."

Ciok-sing girang, tanyanya:

"Paman tahu siapa dia?"

"Orang itu punya she rangkap Tang-bun bernama tunggal Cong. Konon ayahnya orang Han, ibunya orang Mongol. Sejak kecil dia dibesarkan di Mongol, jejaknya tidak pernah menginjak Tionggoan. Kungfu orang ini memang terlalu aneh, membekal kombinasi aliran barat dan Tionggoan, namun bentuk kepandaiannya justeru berbeda dengan perguruan silat manapun. Konon dia pingin mendirikan aliran tersendiri, tujuan semula hendak membantu Khan agung dari negeri Watsu, tapi di Watsu sudah ada Milo Hoatsu, dirinya kemungkinan kurang dihargai, maka terpaksa dia kembali ke Holin tapi belakangan dia meninggalkan negeri itu. Suatu ketika aku bertemu dengan dia di bawah Ki-lian-san, waktu itu dia tahu siapa aku, aku tidak tahu siapa dia. Dia paksa aku bertanding, beruntung aku tidak sampai kalah tapi juga hanya setanding alias seri."

Lalu Tan Ciok-sing tuturkan laporan yang diperoleh dari si kacung. Tam Pa-kun menepekur, katanya, kemudian: "Kalau demikian, orang itu sudah memperoleh kepercayaan Sri Baginda, kedatangannya ke Soh-ciu ini kemungkinan bukan hanya menyelidik siapa-apa orang-orang yang ada hubungannya dengan Ong Goan-tin."

Sebetulnya Tan Ciok-sing cenderung mencurigai suatu hal lain, namun bila hal ini dia utarakan salah-salah dirinya bisa disangka mengumpak harga diri sendiri maka dia batalkan niatnya itu, katanya: "Lebih baik dia diperalat oleh Sri Baginda, dari pada dia bekerja demi kepentingan Khan agung bangsa Watsu. Firman apa yang sedang diembannya sekarang, kitapun tidak perlu pusing memikirkannya."

In San menyela: "Tapi orang ini tidak bisa membedakan salah benar, tidak punya pendirian lagi. Peduli dia bekerja untuk siapa. Pendek kata aku yakin apa yang dia lakukan pasti perbuatan jahat?"

"Itu sudah jelas. Ada orang ini di pihakmusuh kita perlu hati-hati," Tam Pa-kun memperingatkan.

"Paman tadi bilang kedatanganmu ke Soh-ciu lebih dini untuk mencari tahu jejak Poyang Gun-ngo, itu hanya salah satu sebab, lalu apa pula sebab yang lain?"

"Aku akan menyambut kedatangan seorang teman dan melindunginya ke Tong-thing-san. Kalian tentu ingin tahu siapa orang itu?"

"Kalau boleh beritahu kepada kami, aku ingin tahu," ujar Ciok-sing.

Tam Pa-kun tertawa lebar: "Dia sekampung halaman dengan kau, kaupun pernah bergebrak dengan dia. Dia amat menghargaimu, aku tahu dia pun ingin sekali bertemu dengan kau."

Tan Ciok-sing kegirangan, serunya tepuk paha: "Maksud paman adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap."

"Betul. Lui Tayhiap Lui Tin-gak. Karena dia ibarat pohon besar mendatangkan angin, maka terhadap Seng Toa-coan akupun tidak jelaskan tentang dirinya."

"Entah kapan Lui Tayhiap bakal datang?"

"Semula sudah dijanjikan akan bertemu disini besok. Tapi kini urusan ada sedikit perobahan."

"Perobahan apa?"

"Semalam setiba aku di Soh-ciu, aku menerima kabar yang dititipkan kepada seorang murid Kaypang, supaya aku menemuinya di Hay-ling pada tanggal delapan belas bulan delapan. Pihak Kaypang mengirim kabar ini melalui burung pos, hanya kabar-kabar sepatah kata saja. Entah karena apa dia mendadak merobah waktu dan tempat pertemuan itu?"

"Hay-ling bukankah berada di muara Ci-tong-kang? Konon Hay-ling adalah tempat tamasya, disana kita bisa menyaksikan pasang surutnya air laut?"

"Betul. Tanggal enam belas sampai delapan belas bulan delapan, justeru saatnya air laut pasang. Terutama tanggal delapan belas, kabarnya adalah hari ulang tahun malaikat laut, damparan air pasang di Ci-tong-kang pada hari itu konon merupakan tontonan yang menakjubkan, dan daerah yang tepat untuk menyaksikan tontonan hebat itu adalah Hay-ling."

"Lui Tayhiap justru memilih hari itu untuk bertemu dengan paman disana, mungkinkah mau ajak paman menyaksikan tontonan disana?" In San bertanya heran.

"Lui Tayhiap memang suka tamasya. Tapi kupikir menjelang hari ulang tahun Ong-lo-cecu, sebelumnya dia sudah menjanjikan supaya aku menemani dia kemari menyampaikan selamat ulang tahun, kurasa tidak mungkin dia seiseng itu mau ajak aku kesana menonton kebesaran alam."

"Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan bukan?" Tanya ln San.

"Ya, dalam jangka empat hari setelah pulang dari Hay-ling masih sempat pergi ke Thay-ouw memberi selamat ulang tahun kepada Ong-lo-cecu. Tapi perjalanan akan tergesa-gesa. Biasanya tindak tanduk Lui Tayhiap penuh perhitungan, kukira mungkin ada Suatu urusan penting lainnya yang perlu dibereskan disana."

In San termenung sejenak, katanya kemudian: "Mumpung malaikat laut ulang tahun, mestinya merupakan tontonan gratis yang menyenangkan. Aku ingin ikut paman kesana, tapi setelah memperoleh berita tentang perjamuan In Kip yang dihadiri Kek-toako."

Tan Ciok-sing juga ingin pergi, tanyanya: "Kau kuatir Kek-toako..."

"Bila Kek-toako dapat menemukan Toh-cici disini, sudah jelas kita bisa berangkat bersama ke Hay-ling. Tapi apa yang diucapkan paman Tam, pertemuan itu pasti bukan bermaksud baik, maka kurasa biarlah hal itu ditunda saja."

"Benar, bila Kek-toako tidak berhasil menemukan Toh-cici, kita menemaninya ke Yang-ciu, kala itu jelas tidak sempat pergi ke Hay-ling pula."

Tam Pa-kun tertawa, katanya: "Akupun ingin pergi sama kalian, hari ini baru tanggal tiga, masih setengah bulan lagi, soal ini tidak usah dipikirkan. Tugas utama sekarang adalah membantu Kck Lam-wi secara diam-diam. Kalian tahu alamat In Kip?"

"Sudah kuselidiki dengan jelas." sahut Ciok-sing.

"Bagus, pergilah ke rumah keluarga In dan siap-siap bertindak. Nanti ikut aku menemui In Kip "

Tan Ciok-sing dan In San mengiakan bersama. Baru mereka hendak berlalu Tam Pa-kun berseru: "Nanti dulu."

"Masih ada pesan lain paman?" tanya In San.

"Aku teringat satu hal. Kau sudah belajar tata rias dari Han Cin bukan?"

"Ya, sudah lumayan yang kupelajari. Apa paman juga ingin menyamar?" tanya ln San.

"In Kip memang tidak pernah melihat aku, tapi tamu-tamunya bukan mustahil ada yang mengenal aku."

"Paman ingin nyamar jadi apa?"

"Terserah, apa saja boleh. Lebih mirip orang biasa lebih baik."

"Baiklah, paman menyamar tabib kelilingan saja."

"Baik juga. Tampangku ini memang mirip gelandangan, tanpa menyamar juga sudah mirip."

Setelah bantu Tam Pa-kun menyamar, bersama Tan Ciok-sing berdua mereka meninggalkan Ham-san-si. Waktu itu mentari sudah doyong ke ufuk barat, senja sudah hampir jelang.



000OOO000



Waktu itu Kek Lam-wi sudah berada di rumah keluarga In, tapi bukan rumah kediaman In Kip sehari-hari, tapi di sebuah villa In Kip yang 1 ain. Kuasa hotel itu yang mengiringi dan menunjukkan jalannya.

Di tengah perjalanan baru Kek Lam-wi tahu she dan nama aslinya. Di kala Kek Lam-wi tanya namanya, dia serahkan setangkai kipas lempit kepada Kek Lam-wi, katanya tersenyum: "Hari ini cuaca luar biasa, permulaan bulan delapan memang panas. Kek-jitya silakan kau pakai kipas ini, nanti kujelaskan perlahan-lahan."

Kek Lam-wi menduga kipas lempit ini pasti kurang beres, setelah dia tarik dan dibentang, di tengah kertas kipas itu memang berukir sebuah tengkorak dengan mulutnya yang terbuka lebar, kelihatan seram dan menakutkan.

Kek Lam-wi kaget, katanya: "Kiranya kau anggota Giam-ong-pang?"

Giam-ong-pang adalah sindikat gelap yang beroperasi di utara Su-jwan, biasa merampok kaum pedagang dan main bunuh semena-mena. Ketuanya bernama Giam Cong-po, wakilnya bernama Ong Cong-king dan Koan Cong-yau, bila ketiga she mereka digabung menjadi Giam Ong Koan, maka golongan hitam sama menyebut mereka sebagai Giam-ong-pang. Dua puluh tahun yang lalu mereka merajalela di utara Su-jwan, entah kenapa belakangan jejak mereka tahu-tahu lenyap. Kabar yang tersiar diluar mengatakan mereka ditumpas oleh seorang pendekar besar yang tidak bernama sehingga orang-orang Giam-ong-pang lari pontang panting ke empat penjuru. Tapi apakah cerita ini betul dan dapat dipercaya, tidak seorangpun yang tahu kecuali mereka yang bersangkutan.

Setelah asal-usul orang tahu, sikap Kek Lam-wi menjadi dingin hatinya muak, katanya dingin: "Ternyata kau ini salah satu pimpinan Giam-ong-pang, entah kau ini she Ong atau she Koan?"

Kuasa hotel ini berusia lima puluhan, menurut yang diketahui usia Toa-thau-ling Coan Cong-po sudah enam puluh lebih, maka Kek Lam-wi yakin bahwa dia bukan pimpinan tertinggi dari Giam-ong-pang.

Kuasa hotel tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kek-jithiap memang luar biasa pengetahuan dan pengalamannya, sekali pandang lantas tahu asal-usulku. Aku memang she Koan, dua puluh tahun yang lalu namaku tercantum paling bawah didalam Giam-ong-pang."

Kek Lam-wi berpikir: "Giam-ong-pang dan Bu-san-pang sama-sama bercokol di Sujwan, tak heran setelah Bu-sam Niocu berintrik dengan In Kip, sekalian dia menarik orang-orang Giam-ong-pang ini," maka dengan tawar dia berkata: "Kiranya kau ini Sam-thauling dari Giam-ong-pang, orang she Kek berlaku kurang hormat, harap suka dimaafkan."

Koan Cong-yau terima kembali kipas lempitnya, katanya tersenyum lebar: "Aku tahu Kek-jithiap tidak pandang sebelah mata terhadap orang-orang Giam-ong-pang kita, tapi itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah bertobat dan kembali ke jalan lurus, justru karena aku tidak berani anggap Kek-jithiap sebagai orang luar, maka aku rasa tidak perlu main sembunyi terhadap kau."

Sudah tentu Kek Lam-wi tidak mau percaya akan ocehannya, tapi demi keselamatan Toh So-so terpaksa dia harus bermuka-muka meski merasa sebal terhadap manusia yang satu ini. Katanya tawar: "Terima kasih akan maksud baik Koan-siansing. Bicara soal lurus dan sesat, sayang aku terlambat dilahirkan, di kala pang kalian angkat nama dan berkecimpung dalam percaturan Kangouw, aku masih bocah yang ingusan, tidak berani aku memberi penilaian."

Koan Cong-yau jalan di depan menunjukkan jalan, lekas sekali mereka menuju ke sebuah bukit. Di depan mereka dihadang sebuah batu gunung raksasa, tengah batu besar ini merekah berdinding rata seperti diiris saja. Tergerak hati Kek Lam-wi tiba-tiba terasa adanya sesuatu yang ganjil, katanya:

"Bukankah batu ini adalah batu pedang dimana dahulu Go-ong mencoba pedangnya?"

"Betul, ini juga merupakan salah satu obyek pariwisita di Soh-ciu ini, Kek-jithiap dulu pernah bertamasya kemari bukan?" kata Koan Cong-yau.

"Waktu kecil pernah kemari satu kali," ujar Kek Lam-wi, "gunung ini dinamakan Thian-ping-san bukan?"

"Kek-jithiap dapat berada di tempat yang pernah dikunjungi pula, yakin hatimu pasti amat gembira."

Namun sikap Kek Lam-wi sama sekali tidak memperlihatkan rasa gembira, rona mukanya malah berubah, katanya: "In-toacengcu majikanmu itu apakah berada diatas gunung ini?" –Seperti diketahui alamat rumah In Kip sudah dia selidiki, jelas bukan di atas gunung ini.

Koan Cong-yau tertawa lebar, katanya: "Kek-jithiap tidak usah curiga, aku tidak akan kesasar. Di atas gunung ada villa majikan. Cukong bilang mengadakan pertemuan di atas gunung didalam villanya agak tenang dan nyaman. Villa itu konon dahulu adalah tempat pelesir Go-ong di jaman Sam-kok, kali ini cukong sengaja menggunakan tempat bersejarah ini untuk menyambut tamu agungnya."

Kek Lam-wi berpikir: "Dia mengundangku ke villanya, jelas kuatir aku mengajak bantuan. Hm, permainan ini ternyata terduga juga oleh dia. Tan-toako hanya tahu alamat rumahnya, takkan mungkin menyusul kemari."

Dalam keadaan kepepet begini, bila dia tetap memenuhi undangan, itu berarti seorang diri dia harus berani menghadapi banyak resiko berhadapan dengan In Kip dan kawan-kawannya, bantuan yang diharapkan juga sukar kemari. Mundur atau maju? Urusan sudah terlanjur sejauh ini, maka dia jelas tidak mau mengalah dan mengunjuk kelemahan sendiri, akhirnya dia nekad, pikirnya: "Demi keselamatan So-so, peduli sarang naga atau gua harimau, hari ini aku harus mengobrak-abrik tempat ini bila perlu."

Dengan langkah enteng dia ikuti terus kemana Koan Cong-yau membawanya, setelah menyelusuri jalanan kecil berbatu yang bulak belok kian kemari melampaui beberapa gundukan bukit kecil, akhirnya tiba juga di villa In Kip.

Villa ini dibangun tepat di tengah kebon, tumbuh-tumbuhan disini terawat dan teratur rapi, keindahan alamnya tidak asor dibanding Say-cu-lim. Kek Lam-wi mengikuti Koan Cong-yau, menyusuri lagi sebuah lorong panjang memasuki taman

kembang, didalam taman gunung-gunungan tersebar, serambi berpagar, ada air mancur, empang teratai dan sangkar burung besar. Di gundukan tanah tinggi sana, dibangun sebuah gardu pemandangan yang cukup besar. Didalam gardu itu tiga orang tengah menunggu.

Seorang laki-laki dengan tubuh buntak bundar berdandan seorang hartawan, seorang perempuan setengah baya berpotongan tinggi kurus, dan seorang lagi laki-laki blasteran yang tampangnya lebih mirip orang asing, sorot matanya tampak berkilat tajam, Thay-yang-hiat di kedua pelipisnya tampak menonjol .keluar, selintas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli Lwekeh yang kosen.

Kek Lam-wi kenal perempuan kurus tinggi itu dia bukan lain adalah Bu-san-pang Pangcu, Bu-sam Niocu adanya.

Dari kejauhan Koan Cong-yau sudah berseru: "Tamu agung kita telah tiba."

Laki-laki buntak bundar seperti hartawan itu segera berdiri dan menyongsong keluar, katanya dengan gelak tertawa: "Kek-jithiap memang dapat dipercaya. Mohon maaf orang she In menyambut kurang hormat."

Kek Lam-wi balas menghormat, katanya tawar: "Tuan ini tentu In-toa-cengcu adanya."

"Ya, benar. Cayhe memang In Kip," sahut laki-laki buntak itu, "kapan Kek-jithiap pernah berkunjung ke tempat kediamanku, silahkan masuk, sebagai tuan rumah akan kuperkenalkan dua sahabat lain kepada kau. Nah, inilah Bu-sam Niocu yang datang dari Sujwan barat."

Tawar suara Kek Lam-wi, sapanya: "Bu-pangcu, kemarin agaknya kita pernah bertemu?"

Dengan mimik tertawa tidak tertawa, mulut Bu-sam Niocu ngakak dua kali, katanya: "Pandangan Kek Tayhiap memang tajam. Maaf ya akan kelancanganku kemarin tapi tentunya Kek-jithiap juga tahu bila aku tidak bermaksud jahat, kemarin aku hanya bantu In Cengcu mengundangmu kemari."

"Terima kasih akan bantuanmu mengundangku kemari," ujar Kek Lam-wi, "orang she Kek merasa beruntung dapat menghadiri pertemuan disini."

In Kip dan Bu-sam Niocu merasakan nada ucapannya yang mengandung sindiran, namun In Kip pura-pura bodoh, katanya tertawa: "Kita sesama kaum persilatan yang mencari nafkah di Kangouw kurasa tidak perlu banyak basa-basi. Mari kuperkenalkan seorang sahabat lagi kepada Kek-jithiap, inilah Tang bun-siansing yang baru datang dari kota raja."

Laki-laki blasteran seperti peranakan orang Han campur Mongol ini segera berdiri sambil ulur telapak tangannya segede kipas berjabatan tangan dengan Kek Lam-wi, katanya: "Sudah lama aku dengar dan kagum akan kebesaran nama Pat-sian, selamat bertemu."

Diam-diam Kek Lam-wi bersiaga, ternyata dia kecele, karena Tang-bun Cong ternyata tidak kerahkan tenaga menjajalnya. Di waktu berjabatan tangan, diam-diam Kek Lam-wi perhatikan pergelangan tangan orang seperti ada sebuah goresan kuku.

Mendengar nama orang ini Tang-bun Cong, tergerak hati Kek Lam-wi, pikirnya: "Pasti orang inilah yang semalam bentrok dengan Tan-toako," maklum jarang ada orang menggunakan she rangkap "Tang-bun", kacung cilik yang ditanam oleh Seng Toa-coan di Say-cu-lim hanya berhasil mencuri dengar bahwa laki-laki ini she Tang-bun, namun siapa namanya tidak diketahui. Waktu bentrok dengan lawannya semalam, Tan Ciok-sing gunakan jari tangan sebagai pedang berhasil menjojoh pergelangan tangan orang. Semua kejadian itu sudah diceritakan Tan Ciok-sing kepada Kek Lam-wi.

Meski Kek Lam-wi sudah menduga asal-usul orang ini, namun dia pura-pura tidak tahu. Ala kadarnya dia basa-basi lalu berkata kepada In Kip: "Entah untuk keperluan apa In Cengcu mengundangku kemari?"

"Sudah lama aku mengagumi nama besar Kek-jithiap, selalu aku berangan-angan untuk bisa bersahabat dengan kau."

Kek Lam-wi menyambut dingin basa-basi orang, katanya: "Terima kasih penghargaan In Cengcu padaku. Kurasa perhatian In Cengcu tidak sesuai dengan maksud sebenarnya?"

Sikap In Kip tetap sopan dan hormat, katanya ramah: "Kenapa Kek-jithiap bilang demikian? Orang she Jn betul-betul amat mengagumimu dan ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Ya mumpung Kek-jithiap sudi memenuhi undanganku, sekalian memang ingin kurundingkan suatu urusan kepada Kek-jithiap."

Kek Lam-wi terbahak-bahak, katanya: "Nah kan begitu. Lantaran ada urusan maka kau mencariku, tanpa ada persoalan akupun tak akan berkunjung kemari, lebih baik kita bicara secara blak-blakan saja. Tentang bersahabat segala, terus terang orang she Kek tidak berani."

"Kek Tayhiap ternyata amat supel dan suka terus terang, baiklah kita bicara secara gamblang saja, dua benda yang kuberikan kepada Kek-jithiap itu, tentunya sudah kau terima dengan betul, aku hanya pinjam tangan untuk menyampaikan pemberian orang saja, harap tidak berkecil hati. Tapi untuk itu tidak sedikit juga memeras keringatku baru kedua benda itu bisa sampai ke tangan Kek-jithiap. Kek-jithiap amat pintar, tentunya kau sudah meraba kemana maksud tujuanku."

"Betul. Lantaran kedua benda itu maka aku sudi datang kemari. Akan tetapi, In Cengcu perkataanmu kurasa hanya benar separo saja."

In Kip melengak, tanyanya: "Tentang hal apa yang dimaksud Kek-jithiap? Apa bisa diterangkan?"

Terlebih dulu Kek Lam-wi keluarkan piau beracun itu, katanya: "Kado yang ini tentunya kau pinjam dari Bu-pangcu bukan? Aku tahu inilah senjata rahasia tunggal Bu-pangcu, kado bernilai sebesar ini aku tidak berani menerimanya, baiklah sekalian kukembalikan bersama yang kuterima kemarin siang itu," lalu dia timpukan piau beracun itu ke arah Bu-sam Niocu.

Kuatir lawan menimpuk dengan gerakan aneh, Bu-sam Niocu tidak berani menyambut dengan tangan telanjang, baru saja dia angkat tangan hendak mengebas dengan lengan baju, didengarnya "klotak".

tahu-tahu piau beracun miliknya itu sudah jatuh di meja, amblas kira setengah senti. Tidak susah untuk menimpuk piau amblas ke permukaan meja, yang susah adalah tenaga yang digunakan ternyata tepat dan pas-pasan, Bu-sam Niocu kira piau beracun itu akan melesat ke mukanya, tak nyana di tengah jalan tahu-tahu anjlok jatuh ke bawah.

Tanpa berhenti Kek Lam-wi keluarkan pula sebuah senjata rahasia milik Bu-sam Niocu yang tidak beracun, kali ini dia menjentik dengan jari telunjuk sehingga piau itu melesat seperti kilat, yang diincar adalah piau yang menancap di permukaan meja itu, sehingga piau itu mencelat mumbul. Tenaga jentikan yang dikerahkan kali ini ternyata lebih sukar dan menakjubkan lagi. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, mau tidak mau dia memuji keliehayan Kek Lam-wi. Seperti tertawa tidak tertawa, dia berkata: "Kepandaian bagus, Kek-jithiap. Kedua senjata rahasiaku ini hanya merupakan undangan belaka, bahwa Kek-jithiap sudah memenuhi undangan, baiklah kuterima kemhali undanganku ini."

Kini Kek Lam-wi keluarkan tusuk kondai milik Toh So-so itu, katanya: "Piau beracun tadi, In Cengcu boleh bilang kado yang dipinjam dari orang lain tapi tusuk kondai ini, aku tahu siapa pemiliknya, kukira tak mungkin kau bisa meminjamnya?"

"O, jadi Kek-jithiap tadi bilang omonganku betul separo, yang kau maksud tentang ini? Tapi peduli tusuk kondai itu kupinjam atau hasil rampasan, sekarang sudah kuserahkan kepada Kek-jithiap maksudkukan baik."

"Terima kasih akan kebaikanmu," jengek Kek Lam-wi, "terhadap pemilik barang ini kurasa kalian tidak bermaksud baik. Cekak aos saja. Pertama aku tanya kepada Bu-pangcu, pemilik tusuk kondai ini apakah sudah terjatuh ke tanganmu? Apa yang kau lakukan atas dirinya?"

"Urusan semakin gamblang, tidak usah melantur jauh-jauh, biarlah aku terus terang saja. Memang betul Toh So-so terjatuh di tanganku tapi boleh kau tidak usah kuatir, meski aku punya piau beracun yang mematikan, namun tidak kugunakan terhadapnya, sedikitpun dia tidak kurang suatu apa."

Bercahaya pandangan Kek Lam-wi, desisnya: "Baiklah, sementara aku percaya akan omonganmu, sekarang tolong beri kesempatan kepadaku untuk menemuinya."

kembali Bu-sam Niocu ngakak dengan mimik muka kaku, katanya: "Kek-jithiap kau ini kan laki-laki pintar, betapa jerih payah kami baru berhasil mengundang Toh-lihiap kemari, setelah itu baru berhasil pula mengundangmu kemari. Tidak perlu banyak bicara lagi, kami memang ingin memohon sesuatu kepadamu. Soal apa, marilah sekarang bicarakan; permintaan itu kurasa masih terlalu pagi."

"Baik, apa kehendak kalian, lekas utarakan saja."

"Tentang persoalan itu, baiklah In-cengcu saja yang bicara."

In Kip batuk kering dua kali lalu berdiri dan berkata sopan. "Seperti yang telah kukatakan tadi kami ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Tapi perlu diingat, aku ini orang dagang, bersahabat dan berdagang adalah dua soal yang berbeda. Tidak sedikit modal yang sudah kukeluarkan, tentunya Kek-jithiap tidak membiarkan aku dirugikan."

"Asal kau tidak menarik keuntungan dari pribadiku, aku sudah amat berterima kasih. Boleh kau sebutkan berapa nilainya."

"Kek-jithiap bukan orang dagang, perkataanmu ini apa tidak berkelebihan. Berdagang harus cari untung dan menghitung rentennya pula, bagi pembeli mungkin merasa dikibuli, sebaliknya si penjual merasa telah memperoleh sedikit keuntungan sepantasnya."

"Tapi harus dikalkulasi dulu apakah aku mampu membayar sekalian rentennya tidak."

"Kau pasti mampu membayarnya. Karena bila kau tidak mampu melunasinya, kami sudah siap membantumu."

Kek Lam-wi ragu-ragu, pikirnya: 'Mungkinkah mereka mengincar serulingku?" katanya: "Kalau begitu, tolong In Cengcu jelaskan saja, berapa sih rentennya yang harus kubayar sekalian?"

"Sepantasnya cukup satu ganti satu, barter secara adil, tapi bila dikenakan rentennya pula, maka aku menuntut satu ditukar dua."

Kek Lam-wi kaget, baru sekarang dia sadar, yang mereka tuntut adalah manusia bukan barang mustika, tanyanya: "Siapa yang kalian inginkan?"

Kalem suara In Kip: "Tan Ciok-sing dan In San. Mereka menginap satu villa dengan kau bukan?"

"Makanya mereka suruh aku mengelabui Tan-toako, ternyata hendak meminjam tanganku mencelakai Tan-toako dan nona In. Agaknya bukan saja mereka tahu asal-usul Tan-toako berdua, penyamaran ln San juga sudah mereka ketahui. Biar aku bersabar dulu, dengar apa pula tuntutan mereka," lalu dia berkata: "Benar, mereka adalah kawanku tinggal sevilla pula dengan aku. Entah untuk apa In Cengcu menginginkan mereka berdua?"

Pelan In Kip berkata: "Usia Kek-jithiap masih muda, muagkin kau tidak tahu peristiwa Bulim masa lalu. Tapi Lim Tayhiap dan Loh-jihiap dari Pat-sian kalian adalah tokoh-tokoh angkatan tua yang tahu seluk beluk kaum persilatan, yakin mereka tahu akan hal itu. Bukan mustahil Kek-jithiap pernah dengar cerita mereka," secara tidak langsung dia bilang bahwa Kek Lam-wi hanya pura-pura bodoh saja.

Kek Lam-wi justeru membodoh, katanya: "Terlalu banyak yang pernah diceritakan Lim-toako dan Loh-jiko tentang peristiwa besar kaum persilatan masa lampau, entah peristiwa mana yang dimaksud In Cengcu?"

"Peristiwa memalukan dan merupakan penghinaan bagi diriku," ujar In Kip ketus. "Sebetulnya aku tidak ingin menyinggung soal ini, kini supaya barter itu tercapai, terpaksa aku membeber sejarah. Empat puluh tahun yang lalu, kakekku Thian-cian-kong mati lantaran ulah Thio Tan-hong."

"Oo, peristiwa itu agaknya pernah kudengar," ucap Kek Lam-wi.

In Kip melanjutkan: "Sudah kuselidiki, Tan Ciok-sing adalah murid Thio Tan-hong. Dan kau adalah kawannya, malah hubungan kalian teramat intim, yakin k.m p.i-.u tahu akan hal itu."

"Apa pula sangkut paut persoalan ini dengan nona In?"

vKeluarga Thio dan In punya hubungan karib turun temurun, kalau Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, sementara In San adalah satu-satunya keturunan keluarga In yang masih hidup. Apalagi menurut apa yang kuketahui mereka adalah calon suami istri, kenapa dikatakan tiada sangkut pautnya?"

Kalau menuruti adat Kek Lam-wi sebelum ini, mungkin emosinya sudah meledak. Tetapi setelah peristiwa di kota raja karena kecerobohannya hampir saja dia kecundang, hal itu merupakan pelajaran yang berharga, sehingga sikapnya kini jauh berbeda, lebih tabah dan mantap. Diam-diam dia berpikir: "Thio Tan-hong memang musuh besar keluarga In, tapi setelah empat puluh tahun baru akan menuntut balas terhadap murid penutupnya, perkara ini rasanya terlalu dipaksakan. Kuduga urusan bukan melulu soal menuntut balas sakit hati leluhurnya saja."

In Kip berkata pula: "Aku tahu Kek-jithiap dan Coh-lihiap adalah calon suami istri pula. Betapapun baik hubungan sesama sahabat, kurasa calon isteri lebih penting? Bagaimana pendapat Kek-jithiap tentang barter ini?"

Kek Lam-wi pura-pura terpekur, katanya sesaat kemudian: "Mereka punya tangan punya kaki.

Kungfunya juga lebih tinggi dari aku, cara bagaimana aku harus serahkan mereka kepadamu?"

Seketika cerah rona muka In Kip, senyumnya lebar, dia kira Kek Lam-wi sudah terbujuk, katanya: "Pepatah ada bilang tusukan tombak mudah di kelit, bidikan panah sukar diduga. Kalau Kek-jithiap mau membokong mereka, apa susahnya? Bu-sam Niocu adalah ahli dalam racun, dia punya obat bius yang tidak berwarna, tiada rasanya. Sebagai teman baik mereka yakin kau tidak akan dicurigai."

"Menaruh racun secara diam-diam adalah perbuatan rendah kaum kotor, apakah tidak menurunkan derajat kita sebagai jagoan kosen?" jengek Kek Lam-wi.

"Bernyali kecil bukan laki-laki, tidak berani bertindak keji bukan seorang jago silat. Sebagai cucu dan menuntut balas sakit hati leluhurnya, memangnya aku harus pikirkan sebanyak itu? Apalagi aku toh hanya hubungan dagang dengan Kek-jithiap saja, yang kuharapkan hanya kontrak dagang ini sama disepakati, peduli amat bagaimana barang itu akan diperoleh. Kek-jithiap, bila kau mau meneken kontrak dagang ini, kurasa kaupun tidak usah pikirkan tetek bengek, setia kawan atau budi pekerti segala.

"Baiklah," ujar Kek Lam-wi, "kalau toh In-cengcu menginginkan aku bicara soal dagang, biarlah aku belajar bagaimana untuk menjadi seorang pedagang yang baik."

In Kip kegirangan, serunya: "Betul. Bila harga sudah disetujui, bayar lunas seketika. Kek-jithiap boleh membuka harga, kan masih bisa dirundingkan."

"Dua tukar satu, apalagi yang bakal kuperoleh adalah calon isteriku, kurasa kontrak dagang ini aku tetap di pihak yang dirugikan."

"Keuntungan apa pula yang ingin Kek-jithiap peroleh, boleh kau katakan saja."

"Orang berdagang memang boleh tawar menawar dan bayar lunas seketika. Bila kedua pihak ada niat menyelesaikan jual beli ini sepantasnya kedua pihak harus blak-blakan supaya salah satu pihak tiada yang dirugikan."

"Betul, betul. Barang tulen harga pas, sama untung sama dirasakan. Itulah prinsip dagang yang kuanut. Memangnya sejak tadi aku sudah ingin blak-blakan dengan Kek-jithiap, berdagang secara adil dengan nilai harga yang pantas," yang diharapkan mengejar keinginan, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perkataan sendiri serba kontras.

"Kau berdagang adalah pantas kalau ingin untung tapi keuntungan itu juga harus pantas, maka ingin aku tahu lebih dulu, dari jual beli ini berapa keuntungan yang bakal kau dapatkan, baru aku mau teken kontrak dagang ini secara adil."

"Bukankah tadi sudah kujelaskan. Keuntungan yang kutuntut adalah dapat menuntut balas kematian leluhurku saja."

"Kurasa In Cengcu tidak jujur. Menurut apa yang kuketahui meski Tan Ciok-sing dan In San boleh dipaksakan sebagai musuh besar keluargamu, tapi dibicarakan dari segi dagang, ibarat nota lama yang tidak pernah ditagih sejak leluhurmu dulu, kukira tidak usah kau berjerih payah hendak menuntut balas lagi, Tapi, untung juga aku tahu akan satu hal, mereka terhitung buronan, dari mereka In Cengcu bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi."

In Kip tertawa tergelak-gelak, serunya: "Kek-jithiap bilang tidak pandai berdagang, kau justru seorang ahli dagang. Baiklah, agaknya kau ada minat menyelesaikan jual beli ini, aku boleh tak usah pura-pura dan main sembunyi-sembunyi dengan kau. Biarlah kuperkenalkan pula seorang teman kepada kau." lalu dia panggil kuasa hotel itu berbisik-bisik kepadanya, Koan Cong-yau segera mengundurkan diri.

Tidak lama, tampak seorang Busu Watsu beranjak datang, serunya sambil melangkah masuk kedalam gardu: "Kek-jithiap, tanpa berkelahi kita tidak akan pernah kenal. Sungguh tak nyana bakal

bertemu kau disini." –Busu Watsu ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo.

"Dulu kalian berjuang demi kepentingan pihak masing-masing, hakikatnya tidak pernah bermusuhan pribadi. Bahwa Kek-jithiap mau melaksanakan jual beli ini, maka selanjutnya kalian boleh terhitung orang sendiri," demikian In Kip mengumpak.

"Sebelum jual beli ini positip, hubungan sesama kawanpun belum boleh terjalin. In Cengcu, kau belum menjawab persoalanku tadi."

"Berarti aku sudah menjawabnya bukan. Setelah kau berhadapan dengan Poyang-siansing, masakah masih tidak mengerti kenapa aku begitu getol membekuk Tan Ciok-sing dan In San?"

"Maaf, otakku memang tumpul, kuharap kau menjelaskan lebih terperinci."

Poyang Gun-ngo menyela: "Bicara terus terang istilah yang digunakan In Cengcu tentang berjuang untuk masing-masing pihak juga hanya benar separo."

"Dan yang separo lagi?" Kek Lam-wi menegas.

"Aku memang demi Khan Agung kita, tapi bila kau bekerja demi rajamu yang goblok itu, maka kau akan menyesal tujuh turunan. Raja kalian sedang marah-marah karena perbuatan yang kalian lakukan justru tidak dia sukai."

"Tolong diterangkan lebih jelas," pinta Kek Lam-wi.

"Memangnya apa yang belum jelas?" seru Poyang Gun-ngo aseran, "Tan Ciok-sing dan In San adalah manusia yang diincar raja kalian, hubungan jual belimu dengan In Cengcu ini, hakikatnya adalah In Cengcu mewakili raja kalian. Tidak percaya boleh kau tanyakan kepada Tang-bun-siansing ini dialah yang diutus rajanya untuk menyelesaikan perkara ini."

Tang-bun Cong yang sejak tadi diam saja kini menyela, katanya setelah tertawa. "Tidak berkelahi tidak akan berkenalan. Kita kini adalah sesama kawan, akupun tidak perlu bermuka-muka di hadapan Kek-jithiap. Temanmu Tan Ciok-sing berani menyelundup ke istana, mengancam dan menyakiti Baginda, ini perbuatan durhaka yang patut dihukum mati. Aku mendapat perintah rahasia Baginda menguntitnya sampai ke Kanglam, buronan Tan Ciok-sing dan In San akan kubekuk dan digusur ke kota raja."

Poyang Gun-ngo menyambung:

"Oleh karena itu meski kita bekerja demi kepentingan masing-masing, tujuannya adalah sehaluan. Bila Kek-jithiap sudi membantu kita, bukan saja raja kalian akan berterima kasih kepada kau. Khan Agung kita juga akan menaruh simpatik kepada kau. Bila jual beli ini sudah jadi, keuntungan akan berlipat ganda."

Sekarang sudah jelas duduk persoalannya, Kek Lam-wi membatin: "Ternyata raja goblok itu masih ada niat melanjutkan perjanjian damai itu dengan pihak Watsu. Padahal konsep perjanjian damai itu terampas oleh Tan Ciok-sing, maka tidak heran bila mereka berdaya upaya hendak membekuk Tan Ciok-sing ke kota raja, dikiranya surat perjanjian damai itu bisa direbut kembali dari Tan Ciok-sing," sebab utama ini memang terduga oleh Kek Lam-wi, tapi masih ada pula sebab sampingan, sebelum meninggalkan istana, Tan Ciok-sing meninggalkan

peringatan darah yang ditulisnya di kain sutra dengan darah, peringatan itu selalu mengganjal perasaan sang raja sehingga susah tidur dan tidak doyan makan.

Pura-pura serius Kek Lam-wi menunduk seperti memeras otak, agak lama kemudian baru dia berkata: "Banyak terima kasih, kalian sudah bicara panjang lebar, kini tiba saatnya akupun harus bicara dengan sejujurnya, kita berjuang demi kepentingan masing-masing, itu memang istilah yang tepat, tapi..." seperti tidak sengaja dia mendekati In Kip sambil melirihkan suaranya.

In Kip kira dia punya rahasia, katanya: "Tapi apa, bila Kek-jithiap ada kesulitan, boleh bicarakan saja terus terang untuk dirundingkan beramai. Kalau tidak boleh juga kau beri tahukan kepadaku seorang," karena ingin mendengar penjelasan Kek Lam-wi tanpa sadar diapun maju ke depan lebih dekat.

"Yang hadir disini semua adalah teman baikmu tidak jadi soal kujelaskan. Berjuang demi kepentingan masing-masing? Kalau Poyang Gun-ngo berjuang demi Khan Agung yang dijunjungnya, sebaliknya aku berjuang demi kepentingan rakyat jelata."

Baru saja In Kip tertegun, "apa maksudmu", belum sempat dia tanya kepada Kek Lam-wi, mendadak Kek Lam-wi sudah menyergapnya, secepat kilat dirinya telah dicengkeramnya.

Ilmu silat In Kip sebetulnya tidak lemah, tapi Kek Lam-wi menggunakan jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio, begitu berhasil mencengkramnya kontan dia persen lagi dengan tutukan King-sin-pit-hoat, mana In Kip mampu berkutik? Sementara ujung pedang Poyang Gun-ngo sudah mengincar punggung, demikian pula Ouw-tiap-piau beracun Bu-sam Niocu juga meluncur ke bawah ketiaknya yang terbuka.

Gerakan ketiga pihak sama-sama cepat. "Trang" Kek Lam-wi memang sudah siaga, serulingnya terayun ke belakang menyampuk pergi pedang Poyang Gun-ngo, belakang kepalanya seperti tumbuh mata saja, dengan telak dia patahkan serangan pedang lawan. Karuan Poyang Gun-ngo mencelos, pikirnya: "Baru berselang satu bulan lebih. Kungfu bocah keparat ini ternyata maju sepesat ini."

Bersamaan dengan gerakan serulingnya menangkis tusukan pedang Poyang Gun-ngo, sekalian tubuh Kek Lam-wi berputar setengah lingkar, kebetulan dia tarik dan putar badan In Kip yang gede bundar itu ke kiri sebagai tameng untuk menutup lobang di ketiaknya, secara langsung dia sambut timpukkan senjata rahasia Bu-sam Niocu dengan tubuh In Kip. Bentaknya: "Berapa banyak senjata rahasiamu boleh timpukan seluruhnya."

Senjata rahasia Bu-sam Niocu dapat disambitkan tidak bisa ditarik balik, di kala jiwa ln Kip terancam oleh timpukan Ouw-tiap-piau, tiba-tiba terdengar "Tring" tahu-tahu senjata rahasia beracun itu jatuh di atas tanah. Ternyata kena dijentik pergi oleh Koan Cong-yau yang menyamar sebagai kuasa hotel. Dia berdiri dalam jarak paling dekat dengan In Kip, dengan dua jari dia menjentik, padahal ujung jarinya tidak menyentuh senjata rahasia, tenaga jentikan jarinya sudah cukup mampu menjatuhkan senjata rahasia itu. Jentikan jari rangkap ini kira-kira setaraf dengan Bik-khong-ciang. Cuma dengan jari sebagai telapak tangan apalagi bekerja tepat pada waktunya dengan tenaga yang diperhitungkan pula, kungfu ini jauh lebih susah diyakinkan dari Bik-khong-ciang.

Walau In Kip tidak terluka, kawan-kawannya itu jadi ragu-ragu, tiada yang bertindak secara gegabah untuk menolongnya. Kek Lam-wi menyeringai tawa, desisnya: "Marilah kita bicarakan jual beli lainnya. In Toa-cengcu tolong kau antar aku keluar, siapapun kularang ikut. Setiba di bawah bukit, aku akan bebaskan kau."

Hiat-to di tengkuk In Kip dicengkramnya, sedikit dia kerahkan tenaga, kontan In Kip menjerit kesakitan, serunya: "Baik, baik, terserah kehendakmu."

"Minggir," bentak Kek Lam-wi, sambil menenteng seruling, dia gusur In Kip keluar dari gardu. Sedangkan Bu-sam Niocu, Poyang Gun-ngo dan Koan Cong-yau menyurut mundur, tiada satupun di antara mereka yang berani bertindak.

Tapi waktu Kek Lam-wi gusur In Kip lewat di depan Tang-bun Cong, mendadak Tang-bun Cong menghardik sekali sambil layangkan kepalannya menjotos perut In Kip. Bila yang dijotos Kek Lam-wi, secara reflek dia akan menangkis. Tapi yang dijotos justeru perut In Kip yang gendut itu, hal ini diluar dugaan Kek Lam-wi. Memangnya dia gusur In Kip di depan sebagai tameng, mana dia tahu bukan saja Tang-bun Cong tidak kuatir, yang dijotos malah tawanannya.

Yang dijotos memang perut In Kip, tapi yang terkena akibat dari jotosan itu secara langsung justru Kek Lam-wi. Mendadak Kek Lam-wi merasakan diterjang oleh segulung tenaga hebat sedahsyat gugur gunung tanpa kuasa cengkraman jarinya mengendor, maka In Kip lolos dari cengkramannya. Ternyata Tang-bun Cong meyakinkan sejenis ilmu yang dinamakan Kek-bu-thoan-kang (menyalur tenaga melalui benda), meski jotosannya mengenai perut In Kip, padahal perut In Kip itu hanya dipinjam untuk menyalurkan tenaga pukulannya ke sasaran yang diincarnya, hakikatnya ln Kip tidak terluka sedikitpun juga.

Begitu In Kip lolos dari cengkraman Kek Lam-wi, kontan Bu-sam Niocu menjentik jari kelingkingnya, serunya dengan cekikik genit: "Kek-jithiap, aku bermaksud baik menahanmu disini, lekas kau istirahat saja."

Hidung Kek Lam-wi dirangsang serangkum bau wangi, tubuhnya seketika limbung, kepala pusing, kaki enteng, kontan dia jatuh semaput.

In Kip mengelus dada, katanya: "Tang-bun-siansing, Bu-sam Niocu, terima kasih akan bantuan kalian membekuk bocah ini. Cuma Bu-sam Niocu harap kau tidak meracunnya sampai mati."

Bu-sam Niocu tertawa, katanya: "In Cengcu tak usah kuatir, masa aku akan membuatmu rugi? Aku hanya menggunakan obat bius saja, tanpa menggunakan obat penawarku, dua belas jam kemudian, meski dia bisa siuman sendiri, paling cepat tiga hari lagi baru dia pulih kesehatannya."

In Kip tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bagus sekali. Dalam jangka tiga hari ini, kita bisa menggunakan dia untuk memancing dagangan besar lainnya."

"Maksud Cengcu hendak memancing Tan Ciok-sing dan In San?" tanya Koan Cong-yau.

"Betul," sahut In Kip.

"Kemungkinan dia memberitahukan pertemuan rahasia dengan kita ini kepada Tan Ciok-sing, bocah itu tidak gampang dipancing dan ditipu."

In Kip berkata: "Anak-anak muda yang mengagulkan diri sebagai kaum pendekar itu paling mengutamakan setia kawan. Meski tahu disini ada perangkap kukira bocah she In dan keparat she Tan itu tetap akan meluruk kemari."

Kek Lam-wi hanya sedikit menghirup Bit-hun-san, kalau tiga bulan yang lalu, mungkin dia sudah tidak ingat diri lagi. Tapi setelah memperoleh ajaran tambahan

Lwekang dari Susioknya-Ti

Nio, Lwekangnya sekarang sudah jauh lebih maju. Kini meski kesadarannya makin pudar, namun keadaannya tidak pati rasa sama sekali. Mendengar percakapan mereka, dalam hati diam-diam dia mengeluh. Kehilangan seruling bukan jadi soal, yang dia kuatirkan adalah kawan yang mungkin ikut terperangkap musuh.

Maklum bila Tan dan In datang tepat pada waktunya, dengan gabungan mereka bertiga, situasi mungkin bisa mereka robah. Kini Kek Lam-wi sudah jadi tawanan, umpama mereka sempat menyusul kemari juga tidak akan mampu menolong dirinya lagi, celaka bila dirinya dijadikan sandera.

Kek Lam-wi sudah duga bahwa ln Kip akan memancing Tan Ciok-sing dan In San kemari seperti memancing dirinya dengan Toh So-so. "semoga mereka tidak senasib aku," demikian batin Kek Lam-wi. Tapi dia sendiri yakin bahwa Tan dan In demi menolong dirinya, pasti bertindak seperti yang diduga In Kip, meski tahu ada perangkap, mereka tetap akan menerjang datang.

Kek Lam-wi jadi putus asa dan kecewa pula, ingin rasanya kerahkan Lwekang memutus urat nadi hingga mati supaya tidak tersiksa oleh musuh, supaya tidak membuat kapiran teman pula. Untuk memutus urat nadi diperlukan Lwekang yang tangguh, padahal tenaga untuk bergerak saja dia tiada mana mampu bunuh diri?

Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba didengarnya langkah gugup datang, lalu didengarnya In Kip bertanya: "Ong-koankeh, ada apa kau datang tergopoh-gopoh?"

Dengan napas tersengal orang itu berkata: "Ada dua orang anak muda menerjang kedalam rumah mengobrak-abrik, katanya mau mencari Kek Lam-wi dari Kanglam-pat-sian."

Hal itu sudah dalam dugaan In Kip, katanya tertawa: "Kurasa bukan dua laki-laki? Kalau dugaanku tidak keliru, salah seorang adalah seorang cewek jelita."

"Betul, semula aku tidak bisa membedakan, tapi setelah bergebrak beberapa jurus, akupun sudah tahu. Budak itu mahir memainkan ilmu golok keluarga In yang dikombinasikan dengan permainan pedang, kuduga dia adalah putrinya In Hou."

"Jadi seorang yang lain sudah pasti adalah Tan Ciok-sing bocah keparat itu."

Koankeh atau pengurus rumah tangga ini belum pernah melihat Tan Ciok-sing, namun pernah dengar tentang ilmu pedang Tan Ciok-sing yang luar biasa itu, maka dia mengangguk: "Betul, walau dia tidak menyebutkan nama, kurasa memang dia adanya."

"Untung sebelumnya sudah kuperhitungkan," ujar In Kip tertawa riang, "dia mengobrak-abrik rumahku mencari Kek Lam-wi, itu berarti dia di pihak yang dirugikan. Kalian sudah membekuknya belum?"

"Amat menyesal, mereka berhasil meloloskan diri."

Lega hati Kek Lam-wi. "Untung mereka tidak masuk perangkap," demikian batinnya, pengaruh obat bius mulai bekerja didalam tubuhnya, karena perasaan lega seketika dia tak kuat benahan lagi, pikiran gelap diapun jatuh pulas, sayang dia tidak sempat mendengar pembicaraan selanjutnya.

In Kip berkata: "Disana ada Bak-pangcu dan beberapa Thaubak, ada pula Kun-lun-kiam-khek Kwik Tiang-ceng yang dia undang mewakili aku, ditambah kau pula kenapa masih tidak mampu melayani kedua muda-mudi itu?"

Perlu diketahui Ong-koankeh ini bukan lain adalah Ong Cong-king alias Ji-pangcu dari Giam-ong-pang, sejak Giam-ong-pang bubar belasan tahun yang lalu, pemimpin besar mereka Giam Cong-po tidak karuan paran jejaknya. Sementara Ong Cong-king dan Koan Cong-yau demi menyambung hidup, terpaksa terima menjadi pembantu In Kip.

Ong Cong-king diangkat jadi Koankeh, sementara Koan Cong-yau diangkat sebagai kuasa perhotelan di Say-cu-lim. Walau kedua orang ini sudah menemui jalan buntu dan akhirnya terima diperbudak. Tetapi lantaran di kalangan hitam dulu mereka mempunyai kedududukan baik, maka In Kip tidak berani main-main dan menghargainya. Sementara Kwik Tiang-ceng adalah jago pedang kenamaan dari Kun-lun-pay, kenal baik dengan Bak Bu-wi, kebetulan dia bertamu di Hoay-yang-pang, maka Bak Bu-wi menariknya untuk membantu kerja di rumah keluarga In.

Kemarin malam Bak Bu-wi memang terluka, namun lukanya tidak terlalu parah. Sementara Ong Cong-king dan Kwik Tiang-ceng terhitung jago kelas tinggi di kalangan Kangouw. In Kip kira dengan tenaga beberapa orang ini dia tidak usah kuatir bakal terjadi sesuatu yang merugikan di rumahnya. Diluar tahunya, kejadian justru diluar dugaannya. Setelah mengatur napas dan menyeka keringat Ong Cong-king berkata pula: "Bocah she Tan dan budak she In itu memang liehay, pedang mereka bergabung hanya tiga jurus Kwik Tiang-ceng sudah terluka oleh pedang mereka. Untung jumlah orang kita banyak, semua melabraknya beramai-ramai sehingga kedua bocah itu digebah lari."

Diam-diam In Kip kaget, pikirnya: "Tak heran semalam Tang-bun-siansing kena dirugikan oleh Tan Ciok-sing," kejadian yang merugikan dirinya semalam, sudah tentu tidak pernah diceritakan oleh Tang-bun Cong sendiri, tapi Koan Cong-yau tahu akan kejadian itu.


Ong Cong-king berkata lebih lanjut: "Cukong harap dimaafkan. Majikan muda, dia..."

In Kip hanya punya seorang putra tunggal bernama In Hou, mendengar Ong Cong-king menyinggung putranya, dia terperanjat.

"Apa anak Hou, dia kenapa?" tanyanya kaget. '"Tuan muda terluka sedikit," sahut Ong Cong¬king.

"Luka apa?"

"Terluka oleh Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat she Tan keparat itu. Setelah melukainya, bocah itu masih menutuk Hiat-tonya pula, untung dia tidak tahu kalau dia tuan muda, kalau tidak..."

Sudah tentu In Kip tidak sabar mendengar ocehannya, tanyanya gugup: "Apakah sekarang dia sudah cacat?"

"Tulangnya yang patah sudah kusambung dan kuobati, kurasa tidak sampai cacat, cuma Kungfunya mungkin harus dilatih ulang."

Lega hati In Kip, katanya: "Aku punya kekayaan sebanyak ini, umpama dia tidak pandai main silat juga hidupnya tidak akan kapiran."

"Tapi, tapi..."

Berkerut alis In Kip. "Tapi apa lagi?"

"Tuan muda ditutuk jalan darah pelemas tubuhnya, kami tidak mampu membukanya."

Jalan darah pelemas tidak segenting jalan darah mematikan, tapi bila kelamaan dan tidak mampu membukanya tutukan itu bakal menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan tubuh. Karuan In Kip gugup lagi, serunya: "Kenapa kalian tidak lekas menggotong kemari?"

"Tuan muda sudah kubawa kemari. Soalnya luka-luka Hun¬ kin-joh-kut itu pantang mengalami getaran luar. Maka aku tidak berani membawanya menunggang kuda atau menggendongnya. Kini di perjalanan, dia naik kereta yang dilampiri kasur empuk. Yang pegang kendali adalah Thio Tiang-tui, si Kaki Panjang, cukong tidak usah kuatir," si Kaki Panjang adalah kusir In Kip yang paling pandai.

In Kip tekan amarahnya supaya dia tidak marah-marah terhadap Ong Cong-king, betapapun hatinya tidak bisa lega. Berulang dia membanting kaki, serta berkaok-kaok suruh anak buahnya keluar menyambut putranya telah tiba. Merah padam muka Ong Cong-king saking malu, dia minggir ke samping, berdiri mematung seperti ayam jago yang kalah di arena.

Untung mereka tidak menunggu lama, yang diharappun telah tiba. Tampak empat Keh-ting memanggul sebuah usungan, putranya yang terluka itu diturunkan di hadapannya.

Melihat muka putranya pucat hijau, noda darah yang mengotori pakaiannya masih belum dibersihkan, sungguh perih dan kaget hatinya, katanya gelisah: "Tang-bun-siansing, mohon kau suka menolongnya. Aku yakin kau pasti dapat membebaskan tutukan Hiat-to putraku."

Tang-bun Cong memang ahli Tiam-hiat, mahir membuka tutukan

Hiat-to dari berbagai aliran. Ong Cong-king tahu akan keahliannya maka buru-buru membawa majikan mudanya kemari.

Dengan tenang Tang-bun Cong berkata: "Baiklah biar kucoba." — — Perlahan dia menepuk punggung dan kedua ketiak In Hou masing-masing tiga kali. "Hauuaaah" kontan In Hou memuntahkan sekumur riak kental, mulutnya mampu bersuara dan bicara.

"Ayah, anak dianiaya keparat itu, kau harus membalaskan sakit hatiku."

"Siauya tidak usah kuatir," ucap Koan Cong-yau, "Tan Ciok-sing adalah buronan baginda, kita beramai memang hendak menangkapnya."

"Ayah," kata In Hou pula, "kau sudah berterima kasih kepada Ong-koankeh belum, kali ini berkat pertolongannya, kalau tidak akibatnya sungguh sukar dibayangkan."

In Kip melengak, pikirnya: "Sebagai Koankeh dia tidak mampu mengatasi kesulitan sehingga kedua bocah itu membuat keributan, sudah untung kalau aku tidak menyalahkan dia, kenapa aku harus berterima kasih kepadanya malah," tapi demi memberi muka kepada Ong Cong-king, dengan tawar dia berkata. "Oh, ya, beikai usaha Ong-koankeh gvhingga musuh digebah pergi, aku memang harus berterima kasih kepadamu."

"Bukan soal itu yang kumaksud," kata In Hou, "Ong-koankeh, apa kau belum jelaskan kepada ayah?"

Ong Cong-king tersenyum, katanya: "Itu sudah kewajibanku, buat apa siauya menyinggungnya."

Karena ingin tahu, terpaksa In Kip mendesak tanya. Tapi Ong Cong-king mandah tertawa saja tanpa mau buka suara.

"Ayah," kata In Hou, "tiila kukatakan kau akan lebih marah lagi. Keparat itu bukan saja menganiaya aku, juga Sam Ih-nio." Sam Ih-nio yang dikatakan In Hou adalah gundik In Kip yang ketiga, In Kip punya seorang istri dengan empat gundik, yang paling disayang justru adalah gundik yang ketiga ini.

Kejut dan gugup In Kip dibuatnya, serunya gusar: "Tan Ciok-sing keparat itu memang kurang ajar, bagaimana dia bisa menganiaya Sam Ih-nio?"

"Dia menerobos masuk ke kamar Sam Ih-nio, entah apa yang dilakukan, kudengar Sam Ih-nio menjerit-jerit minta tolong, segera aku memburu kedalam, sayang Kungfu anak kurang becus, bukan saja tidak mampu menolong Sam Ih-nio, jiwa sendiri hampir saja melayang. Untung Ong-koankeh datang tepat pada saatnya, sehingga anak dapat diselamatkan. Pakaian Sam Ih-nio sudah tidak karuan, tapi untung juga karena kenekatanku, dia tidak sampai mengalami ga"ngguan lebih buruk."

Legalah hati In Kip, lekas dia menyatakan terima kasih kepada Ong Cong-king, dan mencaci maki Tan Ciok-sing.

Ternyata diluar tahunya bahwa peristiwa itu justru tidak pada tempatnya. Hakikatnya peristiwa itu hanya bualan putranya belaka. Cuma dalam bualan itu ada beberapa patah kata yang benar, namun istilah "aniaya" terhadap gundik ketiga itu bukan Tan Ciok-sing yang melakukan, tapi justru putranya sendiri.

Diluar tahu In Kip, In Hou putra tunggalnya sejak lama sudah main serong dengan gundik ketiga itu. Di waktu Tan Ciok-sing dan In San mengobrak-abrik rumahnya mencari jejak Kek Lam-wi, kebetulan dia kepergok sedang tidur seranjang di kamar gundik ketiga itu. Memang secara kebetulan saja, tujuan utama hendak membekuk In Kip, justru putranya yang lagi main serong ini ketangkap basah. Karena In Kip tidak ketemu, terpaksa Tan Ciok-sing memberi sedikit tanda mata kepada In Hou baru meninggalkan tempat itu.



000OOO000



Ong Cong-king pandai menjilat, dia merangkul majikan muda ini demi kepentingannya, sudah logis kalau dia bantu menutupi peristiwa memalukan ini. In Hou amat berterima kasih akan bantuannya ini, maka berhadapan langsung dia bicara akan kebaikan Ong Cong-king.

Sudab tentu In Kip juga seekor rase yang licin, namun tak berani dia menduga bahwa putranya ini mencuri gundiknya, setelah mendengar cerita bohong dia anggap kejadian sesungguhnya, maka wajahnya tampak merah padam.

Ong Cong-king berkata: "Setelah tidak menemukan Cengcu, keparat Tan Ciok-sing itu mungkin mengompres keterangan salah seorang anak buah kita, bukan mustahil sudah tahu Cengcu disini, sebentar mungkin menyusul kemari."

Seperti api disiram minyak, amarah In Kip makin berkobar, serunya: "Aku justru kuatir keparat itu tidak kemari. Disini kita banyak orang, Kek Lam-wi sudah tergenggam di tangan kita, apa pula yang harus ditakuti? Bila dia berani datang, biar kupatahkan tulangnya dan kubeset kulitnya."

Ong Cong-king tertawa, katanya: "Harap Cukong tidak marah. Jelas kita tidak akan mendiamkan keparat itu, tapi jangan lupa dia adalah buronan yang diminta oleh Baginda."

Seketika padam amarah In Kip, katanya: "Bila tidak kupatahkan tulangnya dan membeset kulitnya, aku akan menyiksanya juga sampai puas baru akan kuserahkan kepada Baginda. Hm, aku justru kuatir dia tidak berani kemari."

Tengah bicara, mendadak dari kejauhan berkumandang sebuah suara, itulah suara tabib kelilingan yang berkaok-kaok tentang kemahirannya mengobati berbagai penyakit, suaranya sengaja ditarik panjang: "Khusus menyembuhkan berbagai penyakit aneh dan sukar disembuhkan, terutama

menyambung tulang memulihkan otot dari urat, tanggung sekali diobati sembuh seperti sedia kala, tidak cacat tiada bekas."

Mendengar suara tabib kelilingan ini, semua orang jadi melenggong dan saling pandang.

Perlu diketahui villa In Kip ini terletak di tengah-tengah bukit didalam kebon yang luas arenanya, tabib kelilingan itu terang tidak boleh sembarang masuk kedalam kebonnya itu berarti dia mengumandangkan suaranya jauh diluar pintu besar. Padahal villa dimana sekarang mereka berada ada setengah li dari pintu besar, melewati berlapis pintu dan hutan yang tersebar lagi.

Habis tertegun Tang-bun Cong segera berkata: "Tabib kelilingan ini kurang beres suaranya menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang."

In Kip bercekat, katanya: "Mungkin keparat itu yang datang?"

In Hou mandengarkan seksama, katanya: "Tidak mirip, suara keparat itu aku dapat mengenalinya."

"Suara orang ini serak tua," timbrung Koan Cong-yau, "kukira bukan samaran bocah itu."

Sebetulnya In Kip juga seorang Kangouw yang pengalaman, dia pun dapat membedakan suara serak dan muda. Tapi kejadian amat mendadak, mau tidak mau perasaan yang masih gundah dan kebat kebit itu belum hilang, maka dia tidak memikirkan sejauh itu. Kini mendengar Koan Cong-yau yang sudah tahu dari dekat tentang pribadi Tan Ciok-sing, rasa curiganya lenyap seketika.

In Hou berkata: "Ayah, bila dia betul seorang tabib tulen dan bukan membual, coba kita panggil dia masuk, biarlah anak menjadi percobaan untuk menguji kepandaiannya."

Seperti diketahui In Hou dipelintir lengannya oleh Tan Ciok-sing dengan Hun-kin-joh-kut sehingga tulang-tulang patah urat keseleo, tulangnya sudah dibetulkan Ong Cong-king, sehingga tidak sampai cacat, namun selanjutnya dia tidak akan bisa bermain silat lagi. Tabib kelilingan ini mengagulkan diri pandai menyambung tulang segala, karuan In Hou mengharap luka-lukanya bisa sembuh cepat dan pulih seperti sedia kala.

Hobby Tang-bun Cong belajar silat, maka dia berkata: "Mendengar ilmu mengirim suara gelombang panjangnya itu, aku jadi ingin menjajalnya. Bukankah kita ingin membekuk keparat itu? Umpama betul tabib kelilingan ini adalah komplotannya, dia berani mengantar jiwanya kemari, kita tidak usah takut menghadapinya. Bila dia bukan komplotan bocah itu, bukan mustahil kita bisa merangkul seorang tenaga yang dapat diandalkan."

Bu-sam Niocu tertawa, katanya: "Kekuatiran In-cengcu juga harus dipikirkan, begini saja aku punya akal," lalu dia berbisik-bisik di pinggir telinga In Kip.

In Kip girang, wajahnya berseri, serunya: "Bagus, bagus, dengan akal itu legalah hatiku, boleh segera kau siapkan. Ong-koankeh, tolong kau undang tabib kelilingan itu kemari."

Tang-bun Cong berdarah campuran Han dan Mongol, Poyang Gun-ngo orang Watsu, wajah mereka mudah dilihat sebagai orang asing. Karena itu sebelum tahu seluk beluk tabib kelilingan ini, menurut rencana mereka, untuk sementara tidak unjuk diri saja, maka mereka sembunyi di belakang pintu angin.

Tidak lama kemudian Ong Cong-king membawa seorang tabib kelilingan itu masuk, usianya kira-kira lima puluhan, perawakannya kurus tinggi, mukanya kuning kering, tampangnya biasa tiada yang istimewa. Justru tiada keistimewaannya, maka dia lebih mirip pemain akrobatik yang suka kelilingan di Kangouw mencari nafkah.

Melihat tampang orang biasa saja, selintas pandang In Kip amat kecewa, namun lekas dia berpikir: "Manusia tidak boleh dinilai dari wajahnya, air tidak bisa diukur dengan gantang. Bukan mustahil tabib keliling ini benar-benar memiliki kepandaian," maka dia persilakan tabib itu duduk dan memberi hormat, katanya: "Tolong tanya siapa she dan nama Siangsing?"

Tabib itu bersuara sumbang: "Hamba she Koan, bernama Put-ping."

She Koan (mengurus) bernama Put-ping (tidak adil) jadi kalau digabung menjadi Koan Put-ping (mengurus yang tidak adil). Bercekat hati In Kip, batinnya: "Aneh juga nama tabib kelilingan ini," tapi mengingat orang-orang yang hidupnya mengembara di Kangouw kebanyakan memang nyentrik, maka tidak perlu dibuat heran bila dia menggunakan nama-nama yang aneh pula.

"Entah siapa yang sakit disini, sakit apa?" tanya tabib kelilingan, agaknya dia tidak suka ngobrol.

"Putraku kurang hati-hati jatuh dari punggung kuda sehingga tulang patah otot keseleo, kudengar Siansing ahli menyambung tulang dan otot, entah Siangsing bisa menyembuhkannya seperti sedia kala?"

Tabib kelilingan itu tertawa lebar, katanya: "Bukan aku suka mengagulkan diri, jangan kata tulang patah, umpama lengan putus atau paha patah juga aku bisa menyambungnya pula sampai sembuh tanpa meninggalkan bekas. Dalam jangka sebulan dia sudah akan mampu mengangkat barang berat."

"Bagus sekali," seru In Kip senang, "bila putraku sembuh seperti apa yang Siangsing katakan, berapa saja ongkosnya pasti kubayar."

Tawar suara tabib kelilingan: "Soal bayaran boleh tidak usah dirisaukan. In-toacengcu, nama besarmu sebagai hartawan nomor satu di Kanglam terkenal di seluruh jagat, memangnya aku kira kau tidak akan membayar mahal padaku? Biarlah aku periksa dulu luka-luka putramu."

"Baiklah, biar kusuruh putraku keluar. Silakan kau minum teh sambil menunggunya sebentar," lalu dia tuangkan secangkir teh dan disuguhkan sendiri kepada tabib kelilingan, lalu diapun isi cangkir sendiri mengiringi orang minum.

Tabib kelilingan seperti tidak menaruh curiga sedikitpun, angkat cangkir terus ditenggaknya habis. Dengan mulut berkecek-kecek lidah menjulur keluar dia memuji: "Wah, teh harum dan sedap."

Legalah hati In Kip, diam-diam dia tertawa dalam hati: "Dugaan Bu-sam Niocu memang tidak meleset, mungkin kepandaian mengobati tabib kelilingan ini amat liehay. Kenyataan dia bakal kecundang juga oleh akalnya."

Ternyata dalam air teh itu sudah dicampur Hap-kut-san oleh Bu-sam Niocu. Supaya tabib kelilingan ini tidak curiga, sebelumnya In Kip sudah minum obat penawarnya, maka dia berani mengajak tamunya ini minum bersama.

Hap-kut-san bikinan Bu-sam Niocu ini daya kerjanya lambat, masuk mulut tidak terasa, namun dalam jangka setengah jam orang tanpa sadar akan lunglai tak mampu mengeluarkan tenaga. Jangan kata berjalan, mengangkat tangan atau kakipun rasanya berat.

Begini rencana mereka, bila tabib ini betul-betul baik hati mau menyembuhkan luka-luka In Hou, setengah jam kiranya cukup untuk menyambung tulang dan membetulkan otot. Jadi sebelum dia menyadari dirinya keracunan, obat penawar yang sudah disiapkan dalam air teh di cangkir lain akan disuguhkan pula, hakikatnya dia tidak tahu bahwa dirinya pernah keracunan. Bila tabib keliling ini melakukan sesuatu sampai harus bergebrak dan turun tangan, khasiat obat bius itu akan kumat dan bekerja lebih dini dari waktunya, umpama ln Hou dia tangkap untuk sandera juga tidak perlu dibuat kuatir lagi.

Adanya akal bulus yang diatur Bu-sam Niocu ini, dijaga pula oleh Ong Cong-king dan Koan Cong-yau dua jago yang dapat diandalkan, maka In Kip yakin segalanya akan berjalan lancar sesuai rencana, tanpa menguatirkan apa-apa dia serahkan putranya untuk diperiksa.

Melihat si tabib setelah minum teh malah memuji teh wangi dan enak, diam-diam dia tertawa senang, katanya: "Itulah Liong-kin-teh yang diseduh dengan air embun, agaknya Siansing memang penggemar teh, silahkan minum secangkir lagi."

Tabib kelilingan berkata: "Teh baik jangan minum banyak-banyak, lebih bagus disimpan saja.

Nanti setelah menyembuhkan putramu, pelan-pelan akan kunikmatinya lagi."

In Kip tahu sampai dimana khasiat Hap-kut-san buatan Bu-sam Niocu, sebetulnya secangkir juga cukup untuk melumpuhkan tabib ini, supaya tidak menimbulkan rasa curiganya, maka dia berkata dengan tertawa: "Siansing agaknya ahli dalam soal minum, baiklah setelah mengobati putraku nanti, akan kusuguh pula Siansing beberapa cangkir."

Mana dia tahu, padahal Tabib kelilingan juga tengah tertawa dalam hati. Tabib kelilingan yang memperkenalkan diri dengan nama Koan Put-ping ini, tanpa kami jelaskan tentu para pembaca sudah menduga siapa dia sebenarnya. Dia bukan lain adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun.

Setelah Tan Ciok-sing dan In San pergi, tiba-tiba dia teringat: "In Kip adalah rase tua yang licin, walau dia berpesan kepada kuasa hotel supaya Kek Lam-wi merahasiakan pertemuan hari itu terhadap Tan Ciok-sing, tidak mungkin dia tidak siaga bila Kek Lam-wi membocorkan pertemuan itu. Maka alamat pertemuan itupun sudah diatur sedemikian rupa di tempat lainnya."

Dari mulut Kiau-jan Taysu dia mendapat tahu bahwa In Kip punya sebuah villa di atas Thian-ping-san, maka setelah menyamar jadi tabib kelilingan segera dia menuju ke Thian-ping-san. Dan secara kebetulan In Hou terluka, diluar dugaan klop dengan rencananya menyamar tabib kelilingan. ln Kip ternyata ketipu dan

mengundangnya masuk.

Saat mana kedua pihak sama tertawa dalam hati, In Kip kira Tam Pa-kun betul sudah masuk perangkap, diluar tahunya, berkepandaian tinggi nyali Tam Pa-kun memang keliwat besar, meski tahu di atas gunung ada harimau, dia justru naik ke gunung dan lewat disana.

Diam-diam Tam Pa-kun kerahkan Lwekangnya untuk mencegah Hap-kut-san bekerja dalam tubuhnya, kedua pihak punya perhitungan sendiri, sementara itu Ong Cong-king sudah memapah In Hou keluar dari dalam.

Sengaja Tam Pa-kun bermain sandiwara, sebagaimana lazimnya seorang tabib dia periksa urat nadi serta memeriksa lengan yang terluka katanya: "In-toacengcu, ingin aku bicara, tapi mungkin kedengarannya kurang pantas, entah perlu tidak kuucapkan?"

Yang dipikir In Kip adalali putranya lekas sembuh, maka katanya: "Silakan katakan noja Siansing."

"In-toacengcu, untuk menolong putramu, maka tidak sepantasnya kau berbohong kepadaku," secara blak-blakan dia membongkar kebohongan In Kip.

In Kip justru kaget dan gembira, pikirnya: "Agaknya tabib kelilingan ini memang membekal kepandaian tulen," namun dia pura-pura bodoh, tanyanya: "Kenapa Siansing bilang begitu. Orang she In yakin tidak menipumu, harap Siansing memberi petunjuk."

"In-cengcu," ujar Tam Pa-kun kalem, "tadi kau bilang putramu jatuh dari punggung kuda sehingga tulang patah urat keseleo. Tapi menurut pemeriksaanku, kukira kejadian tidak demikian?"

"Waktu putraku jatuh, aku tak ada di rumah, aku hanya mendengar laporannya saja."

"Kalau begitu putramu ini yang bohong?"

Lekas In Hou berkata: "Siansing, tak usah kau peduli apakah aku ini bohong atau tidak, coba katakan menurut pemeriksaanmu, apa kau tahu kenapa aku terluka?"

"Baiklah biar kuterangkan, coba cocokan apakah analisaku betul. Luka-lukamu ini bukan lantaran jatuh, tapi lenganmu dipelintir patah dengan Hun-kin-joh-kut oleh seorang ahli silat yang liehay. Orang yang melukai kau, kalau tidak salah seorang pemuda yang berusia belum genap dua puluh."

In Hou ayah beranak betul-betul kaget, teriaknya bersama tanpa berjanji: "Dari mana kau tahu?"

"Hun-kin-joh-kut adalah ilmu yang sukar diyakinkan, setiap turun tangan harus diperhitungkan baru hasilnya akan dapat diagulkan. Oleh karena itu bila ilmu ini dilatih sampai taraf yang sempurna, kebanyakan adalah jago silat yang usianya sudah mencapai setengah baya, seorang jago silat seusia itu dengan bekal kepandaiannya yang liehay, kebanyakan pula mempunyai ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dia tidak akan semau gue turun tangan melukai orang dengan ilmu yang ganas ini, tapi sekali turun tangan dia tidak akan kenal kasihan lagi. Dari hasil pemeriksaaan luka-luka di lengan putramu ini, meski latihan Hun-kin-joh-kut orang itu sudah termasuk taraf tinggi, namun waktu turun tangan dia diburu oleh emosi sehingga tenaga yang dikerahkan terlalu dipaksakan, ini jelas menandakan bahwa hatinya saat itu sedang marah atau tidak sabar lagi. Dan lagi, bagi orang yang sudah tua, tenaga dalamnya lebih condong agak lunak, terutama di waktu melukai lawan dengan gerakan Hun-kin-joh-kut, karena itu gerakan ini tidak memerlukan tenaga yang besar. Tapi orang itu bukan saja menggunakan tenaga yang diburu nafsu, tenaganya teramat kasar pula, maka aku berani memastikan bahwa penyerang itu usianya masih muda meski sudah memiliki Kungfu yang tinggi. Entah betul tidak uraianku?"

"Betul," teriak In Hou, "betul sekali. Siansing, kau seperti menyaksikan sendiri, bangsat itu usianya mungkin memang belum genap dua puluh tahun."

Tam Pa-kun berkata sungguh-sungguh: "Seorang tabib harus tahu sebab musabab datangnya penyakit, barulah dia bisa membuat resep dan memberikan obat yang tepat. Untung aku tahu akar asal mula luka-luka ini berdasarkan pengalaman puluhan tahun, kalau aku percaya begitu saja bahwa tulang ini patah lantaran jatuh dari punggung kuda, bukankah aku akan memberikan obat yang salah? Akibatnya kau sendiri yang akan mengalaminya."

Lekas Ong Cong-king melerai, katanya: "Siansing tidak usah marah, begitulah kejadiannya, Siauya tidak ingin bila Loya tahu dia berkelahi dengan orang, maka dia berbohong., Untuk ini Loya memang benar-benar tidak tahu."

Segera In Kip pura-pura memaki putranya, katanya kemudian: "Koan-siansing ternyata memiliki Kungfu dan kepandaian mengobati yang liehay, uraianmu tadi sungguh membuka mata kami. Sungguh harus dipuji, yakin Siansing pasti dapat menyembuhkan putraku. Untuk itu Siansing tidak usah kuatir berapa .imbalan yang kau pinta, sesenpun tidak kurang akan kubayar. Siansing mau uang tunai atau..."

Setelah tahu berita dan jejak Tan Ciok-sing lega hati Tam Pa-kun, katanya tersenyum: "Emas aku emoh, perak juga tidak mau, aku hanya menuntut satu orang untuk menukar jiwa putramu," sampai disini mendadak dia mencengkram In Hou serta dijinjingnya ke atas. Ong Cong-king yang berdiri tidak jauh sudah siap merebut maju, tapi sudah terlambat. Sekali mengebas lengan bajunya, angin kencang seketika menerpa muka, tanpa kuasa Ong Cong-king tergentak mundur dua langkah. Kagetnya bukan main, "Tabib ini sudah minum teh yang dicampur Hap-kut-san, kenapa tenaga dalamnya masih sehebat ini?"

Mendadak didengarnya Tam Pa-kun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Dengan maksud baik aku kemari mau mengobati, kalian justru mau meracuni aku, adakah aturan macam ini? Hehe, memangnya Hap-kut-san mampu berbuat apa terhadapku, kalian ingin mencelakai aku, memangnya siapa aku ini, begitu rendah kalian menilaiku."

Di tengah gelak tawanya mendadak dia acungkan jari lengah tangan kirinya, sejalur air segera menyembur keluar dari jari tengah itu, tampak uap mengepul, lekas In Kip dan Ong Cong-king melompat minggir takut kecipratan. Koan Cong-yau yang berdiri di samping sana juga melongo ketakutan.

Ternyata Tam Pa-kun menyimpan Bik-ling-tan pemberian In Hou yang dibuat dari Thian-san-soat-lian, khasiatnya dapat memunahkan berbagai racun, sejak tadi Tam Pa-kun sudah meminumnya setengah butir, ketambah Lwekangnya tangguh, meski minum secangkir teh beracun, dia kerahkan Lwekang memusatkannya ke ujung jari serta menyemburkannya.

In Kip tenangkan hati, serunya gugup: "Siansing harap kau tidak salah paham. Soalnya musuhku terlalu banyak, setiap urusan harus bertindak hati-hati. Kupikir setelah Siansing menyembuhkan putraku, segera akan kuberikan obat penawarnya. Tak kira Lwekang Siansing begitu tangguh, kini tidak mengalami cidra apa-apa, biarlah aku mohon maaf dan memberi hormat kepadamu. Cuma siapa yang Siansing tuntut untuk menukar putraku?"

"Kek Lam-wi, salah satu dari Kanglam-pat-sian."

Sudah kaget In Kip masih mau mungkir: "Koan-siansing, tuntutanmu ini sungguh membuatku heran dan tidak habis mengerti, apa itu Kanglam-pat-sian..."

"In-toacengcu," tukas Tam Pa-kun menyeringai dingin. "Kau bersimalaraja di Kanglam, kalangan hitam golongan putih kau punya kenalan, memangnya kau tidak tahu apa itu Kanglam-pat-sian?"

"Kanglam-pat-sian" aku sih tahu, tapi dengan mereka hakikatnya aku tidak punya hubungan. Kau mencari Kek Lam-wi dari Kanglam-pat-sian koh di tempatku, apa tidak salah alamat?" ,

"Apa betul kau tidak tahu dimana sekarang Kek Lam-wi berada?"

Diam-diam In Kip memperhitungkan waktunya, dia yakin tabib kelilingan ini tidak mungkin bersua dengan Tan Ciok-sing lalu baru-baru menyusul kemari, maka dia tetap mengeraskan kepala, tetap mungkir: "Aku benar-benar tidak tahu."

"Kalau kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Aku tahu sekarang dia berada didalam villamu ini."

"Siansing berkelakar, selamanya aku tiada hubungan dengan Kek-jithiap, bagaimana mungkin dia bisa berada di rumahku?"

"In-toacengcu," jengek Tam Pa-kun, "benda apa yang kau sembunyikan didalam bajumu?

Agaknya kau memang pandai membual?"

Seruling pualam hangat milik Kek Lam-wi tadi dirampas Bu-sam Niocu dan diberikan kepada In Kip, In Kip belum sempat menyimpannya kedalam. terpaksa dia sembunyikan didalam jubahnya. Mendadak Tam Pa-kun membongkar bualannya, tanpa sadar dia menyurut mundur, sebelah tangan serta merta menekan ke tempat dimana seruling itu disembunyikan.

Berkata Tam Pa-kun lebih lanjut: "Kepandaian lain aku tidak punya, tapi mataku ini amat tajam untuk mengenali benda pusaka, sinar mustika tampak cemerlang dari badanmu, sekali pandang aku lantas tahu seruling warisan leluhur Kek Lam-wi itu berada dalam bajumu, masih berani kau katakan dia tidak berada di rumahmu?" — — Hakikatnya kata-kata sinar mustika cemerlang dari badan hanyalah istilah berkelebihan yang digunakan Tam Pa-kun. Tapi sebagai ahli silat, senjata apa yang disimpan dalam baju orang, sekali pandang dia lantas dapat menebaknya.

"In-toacengcu, kuharap kau tahu diri. Kalau tidak, jangan menyesal bila aku bertindak kasar. Tabib yang ahli mengobati ini juga bisa jadi jagal manusia. Sekarang aku hanya menunggu jawabanmu, lekas keluarkan Kek Lam-wi untuk menukar jiwa raga putramu, jual beli secara banter ini kau mau terima tidak?" demikian ancaman Tam Pa-kun.

"Nanti dulu Siansing, aku, aku, aku..." beruntun In Kip menyurut mundur.

Sekonyong-konyong terdengar suara "Biang" yang keras, pintu angin di depan Tam Pa-kun tiba-tiba jebol dan berlobang besar, segulung angin kencang langsung menerpa ke arahnya.

Kembali Tang-bun Cong mendemonstrasikan kepandaian Kek-bu-thoan kang membokong Tam Pa-kun. Dengan Bik-khong-ciang dia menjebol pecah pintu angin, bila Tam Pa-kun jinjing In Hou menangkis pukulan jarak jauh ini, maka pukulan dahsyat itu akan tersalur seluruhnya ke tubuh Tam Pa-kun. Itu berarti mereka ada kesempatan untuk menolong In Hou.

Tapi Tam Pa-kun bukan Kek Lam-wi, sejak tadi juga sudah dia ketahui bahwa di belakang pintu angin ada jago kosen yang menyembunyikan diri? Maka sergapan Tang-bun Cong boleh dikata sudah dia duga sejak tadi. Tampak dengan tangan kiri dia seret In Hou, telapak tangan kanan menekan miring dan sekali dorong ke samping, maka terdengarlah "Blam" pintu angin di sebelah sana kembali jebol berantakan diterjang angin kencang. Suara hancurnya daun pintu malah jauh lebih keras dari pukulan Bik-khong-ciang Tang-bun Cong tadi. Ternyata Tam Pa-kun tidak mau adu kekerasan, maka dia gunakan tenaga 'tuntun', damparan angin pukulan Tang-bun Cong yang dahysat itu dia tuntun ke samping sehingga pintu angin yang lain hancur berkeping-keping.

Tang-bun Cong juga seorang jago silat kosen, melihat lawan memiliki Kungfu meminjam tenaga memunahkan tenaga, maka dia tahu kalau lawan tidak menuntun tenaga pukulannya ke arah lain, dia cukup mampu memanfaatkan kekuatan pukulannya ditambah tenaga sendiri untuk dialihkan ke tubuh In Hou. Bila hal ini terjadi, umpama jiwa In Hou rangkap dua belas juga akan amblas seluruhnya seketika itu juga, sementara Tam Pa-kun tidak akan cidra sedikitpun. Tahu akan liku-liku ini, sudah tentu Tang-bun Cong tidak berani pula bertindak gegabah untuk menyerang kedua kalinya. Bukan saja dia tidak berani menyerang pula, diapun tidak berani menampilkan dirinya. Di kala pintu angin rohoh berantakan, cepat-cepat bersama Poyang Gun-ngo dia melompat sembunyi ke ruang belakang. Bukan lantaran dia takut menghadapi Tam Pa-kun, soalnya dia dan Poyang Gun-ngo sekarang sedang mengemban tugas lain yang penting dan berat, membantu In Kip hanya kerja samben. Bahwa sergapannya tidak berhasil, berarti dia tidak akan mampu membantu In Kip, dalam situasi yang tidak menguntungkan pihaknya, buat apa pula dia harus mengunjukkan dirinya.

Satu pintu angin bolong, pintu angin yang lain roboh berantakan. Meski In Kip selicin rase dan banyak akal muslihat, setelah kejadian ini, berdiri dan melongo, lututnya bergetar keras.

Di tengah kegaduhan robohnya pintu angin, Tam Pa-kun menjejak lantai, tubuhnya mumbul, meski dia menjinjing In Hou, Ginkangnya ternyata tidak kena korting. Secepat kilat, seperti elang menubruk kelinci saja, tahu-tahu dia sudah menubruk ke depan In Kip.

Koan Cong-yau dan Ong Cong-king kira dia hendak melukai In Kip, tanpa pikir serempak mereka menubruk bersama. Gaman Koan Cong-yau adalah Boan-koan-pit, menusuk ke Hong-hu-hiat di punggung Tam Pa-kun, sementara Ong Cong-king adalah ahli Tay-lik-eng-jiau-kang jari-jarinya mencengkram tulang pundak kirinya. Tam Pa-kun mengempit In Hou di bawah ketiaknya, tangan kiri jelas tidak mungkin bergerak, berarti pundak dan punggungnya terbuka lebar. Pimpinan Giam-ong-pang dulu ini cara turun tangannya ternyata amat keji, sekali turun tangan sudah paksa lawan untuk menyelamatkan diri lebih dulu.

Gerakan tiga orang sama-sama cepat, sebat sekali Tam Pa-kun memutar tubuh, "Cret" jubah In Kip sudah terobek, dengan memutar tubuh itu secara langsung dia angsurkan In Hou kemuka Koan Cong-yau, Koan Cong-yau tidak memiliki ilmu Kek-bu-thoan-kang, mana dia berani melanjutkan serangannya? Untung permainan Boan-koan-pit yang dilatihnya cukup mahir hingga sudah terkendali oleh jalan pikirannya, dalam seribu kesibukannya dia tarik tusukan potlot besinya yang dilandasi seluruh tenaganya, syukur ujung potlotnya tidak sampai melukai In Hou.

Dalam pada itu Ong Cong-king merasa pandangannya silau, sinar kehijauan yang gemeredep tahu-tahu menyambar ke mukanya, tampak Tam Pa-kun sudah memegang sebatang seruling, itulah seruling pualam milik Kek Lam-wi. Kiranya tubrukan Tam Pa-kun menyergap In Kip bukan bermaksud mencelakai jiwanya, tapi hendak merampas balik seruling mustika itu.

Pada hal In Kip memiliki ilmu silat cukup baik, meski dia melompat mundur secepatnya, tak urung mukanya yang tambun itu terasa panas dan pedas tersampuk oleh tenaga lengan baju Tam Pa-kun.

Yang paling kaget dan ketakutan sudah tentu adalah In Hou yang menjadi sandera musuh, dalam gebrakan kilat ini, saking ketakutan muka pucat mulut megap-megap tidak mampu keluar suara, sekarang baru kuasa dia berteriak-teriak: "Tolong, tolong."

Tam Pa-kun tertawa dingin, jengeknya: "In-toasiauya, bila aku menghendaki nyawamu, sejak tadi sudah kubiarkan tubuhmu dimakan oleh pukulan Bik-khong-ciang tadi, memangnya aku perlu turun tangan sendiri?"

In Kip suka bergaul, tidak sedikit tamu-tamunya

berkepandaian tinggi, maka pengetahuannya dalam hal ini cukup matang. Pukulan Kek-bu-thoa-kang yang dilontarkan Tang-bun Cong berhasil dipunahkan oleh Tam Pa-kun, hal ini dia ketahui betul, insaf pakai kekerasan pihak sendiri mungkin bakal menderita rugi lebih besar, sebelum Koan dan Ong kedua anak buahnya bertindak pula, lekas dia berseru: "Semuanya berhenti, urusan baik dirundingkan saja."

"Nah kan begitu," ujar Tam Pa kun tertawa. "Marilah duduk dan bicarakan jual beli ini In toacengcu, seruling Kek Lam-wi sudah kurebut kembali, sekarang kutunggu kau membawanya keluar, supaya aku kembalikan serulingnya ini kepada dia."

"Silakan Siansing duduk," ucap In Kip, "kalau jual beli harus dibicarakan, harap tanya siapa she dan nama besar Siansing?"

Ong Cong-king sudah berdiri terpaku sejak tadi, kini mendadak menyela: "Maaf, maaf, ternyata Siansing adalah Kim-to-thi-ciang (telapak besi golok emas) Tam Tayhiap."

Tam Pa-kun tertawa gelak, katanya: "Pandangan Ong-jipangcu memang lebih tajam, kawan-kawan Kangouw memang menempel emas di mukaku, menjuluki aku Kim-to-thi-ciang. In-toacengcu, kini kau sudah tahu siapa aku, yakin kau juga sudah mengerti kenapa aku ingin menjual beli ini? Selama hidup orang she Tam memang suka mencampuri urusan orang lain apalagi kau menawan temanku Kek Lam-wi. Bahwa aku mau jual beli dengan kau secara adil, ini sudah menguntungkan dan memberi muka kepada kau,"

Merah, pucat dan menghijau wajah In Kip, sesaat dia menghela napas lega, katanya: "Aku sudah mengerti, harap kau tidak mempersulit putraku, mari kita rundingkan persoalan dengan baik."

Tam Pa-kun berpaling, berkata kepada Ong Cong-king dan Koan Cong-yau: "Dua puluh tahun yang lalu sudah ada niatku untuk mohon pengajaran dari tiga pimpinan Giam-ong-pang, sayang waktu itu tak bisa terlaksana. Hari ini baru kubuktikan kepandaian kalian memang mengagumkan, tapi aku jadi gegetun dan merasa sayang bagi kalian. Dengan kedudukan kalian dulu dan bekal kepandaian setinggi itu, kenapa terima diperbudak orang? Hehe, perlu kuperingatkan, harap kalian tidak mengingkari sumpah kalian dulu di hadapan I n Tayhiap. Meski penghidupan selanjutnya akan sepi dan tawar, tapi lebih berharga dari pada menjadi anjing penjaga pintu orang lain."

Merah padam muka Ong dan Koan, mereka tertunduk tanpa berani bersuara. Dua puluh tahun yang lalu, penyebab utama sehingga Giam-ong-pang kocar kacir dan bubar, maka ketiga pimpinannya menghilang dan tidak pernah mengunjukkan dirinya pula, bukan lain adalah teman baik Tam Pa-kun, yaitu In Hou ayah kandung In San.

Waktu menumpas kejahatan orang-orang Giam-ong-pang dulu, pernah In Hou mengajak Tam Pa-kun untuk membantunya. Sayang waktu itu Tam Pa-kun sedang sibuk menyelesaikan tugasnya sehingga tidak bisa memenuhi undangannya, belakangan karena tanpa memperoleh bantuan Tam Pa-kun yang amat diandalkan, In Hou hanya kuasa mengalahkan ketiga pimpinan Giam-ong-pang dan tak berhasil membunuhnya.

Sesaat kemudian baru Ong Cong-king buka suara: "Bukan kami ingkar janji, soalnya In Tayhiap sudah mati, disini kami sebagai tamu In-cengcu, di rumah kawan kami hanya membantu sekedarnya, kan tidak terhitung berkecimpung pula di Kangouw."

Tam Pa-kun tidak suka urusan berlarut-larut, jengeknya dingin: "Masing-masing orang punya jalan hidupnya sendiri, kau suka menjadi anjing penjaga pintu orang lain, ya terserah. In-toacengcu, perlu kita balik bicarakan persoalan jual beli itu, sebetulnya kau mau menyelesaikan jual beli ini tidak?"

Apa boleh buat, terpaksa In Kip memberi kedipan mata kepada Ong Cong-king, katanya: "Ong-koankeh, kau undang Kek-jithiap kemari."

Ong Cong-king maklum segera dia berlalu, setelah menemukan Bu-sam Niocu, berdua mereka ke belakang masuk ke penjara. Kek Lam-wi dijebloskan di penjara bawah tanah, walau harus melewati beberapa pintu, sepatutnya lekas sekali sudah bisa digusur keluar, tapi setelah ditunggu hampir setengah sulutan dupa masih juga belum kelihatan Ong Cong-king keluar membawa Kek Lam-wi.

Peristiwa tak terduga ternyata terjadi di penjara bawah tanah, bukan saja Tam Pa-kun tidak pernah duga bakal terjadi hal itu. In Kip dan orang-orangnyapun tidak habis mengerti.



000OOO000



Entah berapa lama Kek Lam-wi tidak ingat diri, dalam pulasnya dia bermimpi berada di Ji-si-kio di kota Yang-ciu, dalam mimpinya itu dia bersua dengan Toh So-so yang berdiri di bawah pohon di pinggir sungai tengah meniup seruling. Baru saja dia mau keluarkan serulingnya juga, tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi, bayangan Toh So-so lenyap seketika, tapi dia jelas merasakan ada sebuah tangan halus lembut tengah mengelus jidatnya. Lapat-lapat dalam pulasnya itu

Kek Lam wi mendadak seperti memperoleh kesadarannya.

Dia masih kuatir dirinya terbuai di alam mimpi, waktu dia angkat tangan menangkap, tidak salah, terasa dia menggenggam jari-jari tangan seorang gadis, itulah tangan manusia tulen, bukan di alam mimpi. Tapi kulit tangan si gadis begitu lembut dan halus laksana sutra sehingga pegangannya beberapa kali ter lepas, tapi sekarang dia yakin, dirinya tidak mimpi lagi.

Kejut dan girang Kek Lam-wi, tanpa sadar dia berteriak: "So-moay, So-moay, apa betul kau?"

Cepat gadis itu mendekap mulutnya sambil mendesis lirih di pinggir telinganya, katanya lirih: "Jangan keras-keras, lekas ikut aku keluar."

Itu bukan suara Toh So-so. Kek Lam-wi masih dalam keadaan setengah sadar, tanpa merasa jari-jari tangannya merogoh kedalam baju, maksudnya hendak meraba serulingnya. Menyadari

serulingnya telah lenyap, barulah Kek Lam-wi sadar kembali. Seketika dia ingat dirinya memenuhi undangan In Kip dan terbius oleh bau wangi Bu-sam Niocu. Kenapa sekarang dirinya tiba-tiba bisa bergerak? Pandangannya serba gelap, tempat apakah ini?

Tangan gadis itu terulur lagi menggenggam tangannya terus menuntunnya pergi. Tapi tetap bungkam seribu bahasa. Dengan tangan kirinya Kek Lam-wi meraba-raba dinding batu di sampingnya, kesadarannya bertambah terang, dengan bekal pengalamannya, dia menyadari dirinya sekarang mungkin berada di penjara bawah tanah, jadi belum keluar dari lingkungan villa keluarga In.

Dia sudah mulai curiga bahwa gadis yang menuntunnya ini bukan Toh So-so, tapi bahwa dia lekas sadar dan mampu berjalan terang berkat bantuan gadis ini peduli Toh So-so atau bukan, pendek kata gadis ini telah menolongnya, jelas tidak mengandung maksud jahat terhadap dirinya.

Mereka seperti berjalan di lorong bawah tanah, di kala Kek Lam-wi masih bimbang, tiba-tiba sayup-sayup didengarnya suara percakapan orang. Dia kenal itulah suara Ong Cong-king. Ong Cong-king sedang berteriak: "Celaka, penjara bobol, lekas masuk Kek Lam-wi masih ada didalam?"

Mendengar teriakan Ong Cong-king, gadis yang menarik tangannya segera berjalan lebih cepat. Dia tahu gadis ini berusaha menolong dirinya, tapi dirinya dilarang bersuara, maksudnya sudah tentu supaya jejak mereka tidak konangan orang. Dalam keadaan demikian, meski besar hasratnya ingin tahu siapa gerangan gadis ini, terpaksa dia tekan perasaannya, diapun percepat langkahnya.

Agaknya gadis ini amat hapal segala seluk beluk dan rahasia di bawah lorong ini, entah berapa jauh telah mereka tempuh dengan belak belok kian kemari di bawah tanah, akhirnya dia dibawa merangkak keluar dari sebuah mulut lobang.

Pandangannya kini terasa benderang, malam itu putri malam memancarkan cahayanya yang cemerlang, dikala rembulan tepat bercokol di tengah cakrawala.

Kek Lam-wi kucek-kucek matanya, di bawah penerangan sinar bulan, baru sekarang Kek Lam-wi sempat mengawasi gadis yang menolongnya. Ternyata dia mengenakan cadar sehingga tak kelihatan wajahnya.



000OO000



Tam Pa-kun sudah tidak sabar menunggu. In Houpun gugup setengah mati.

"Kenapa begini lama, ayah lekas suruh orang lain menyusulnya," pinta In Hou.

Waktu In Kip suruh Koan Cong-yau menyusul, tampak Ong Cong-king sudah berlari keluar, tapi hanya seorang diri tanpa membawa Kek Lam-wi. In Hou kaget setengah mati, tanyanya lebih dulu: "Ong-koankeh, kenapa hanya kau seorang diri?"

Setelah mengatur napas, Ong Cong-king berkata tergagap: "In-cengcu, ce... celaka."

Tahu gelagat tidak baik, lekas In Kip bertanya: "Apa yang celaka?"

"Kek Lam-wi, dia, dia sudah pergi," sahut Ong Cong-king.

Sudah tentu Tam Pa-kun tidak mau percaya, katanya: "Kalian masih bersandiwara apa? Baiklah, kalian tidak mau membebaskan Kek Lam-wi boleh terserah, In-toakongcu ini biar kubawa pergi saja."

"Ayah," teriak In Hou ketakutan, "Ong-koankeh, tolonglah tuntutannya, tukarlah diriku dengan apa yang dimintanya."

Ong Cong-king tertawa getir, katanya meringis: "Kongcu, Tam Tayhiap tidak percaya kepadaku, kenapa kaupun tidak percaya pula?"

"Tam Tayhiap, sabar, jangan marah dulu," lekas In Kip tampil kemuka, "biar kutanya dulu persoalannya? Ong-koankeh, bagaimana Kek Tayhiap bisa hilang?"

"Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa pergi? Penjaga semaput semua diluar pintu. Aku tidak sempat periksa mereka, apakah tertutuk Hiat-tonya atau terkena racun?"

Tergerak hati In Kip, tanyanya: "Dimana Bu-sam Niocu?" maklum dalam keadaan gugup dan gelisah, tanpa sadar dia sudah membongkar sendiri bahwa Bu-sam Niocu ada di rumahnya.

"Bu-sam Niocu sedang mengejar dan menyelidiki kejadian ini. Dia suruh aku kembali memberi laporan kepada Cengcu."

Melihat sikap In Kip yang gelisah dan kuatir, jelas bukan pura-pura, menurut pengalaman dia berpikir: "Agaknya mereka bukan sedang main sandiwara. Tapi siapa yang bisa menolong Kek Lam-wi?" Padahal Tan Ciok-sing dan In San belum menyusul kemari, orang lain jelas tidak akan mampu melakukannya.

"Tam Tayhiap, persoalannya sudah jelas, seseorang telah membawa Kek-jithiap pergi, tujuanmu sudah tercapai, boleh kau membebaskan putraku, bukan?"

Tam Pa-kun masih setengah percaya, tiba-tiba dia ingat sesuatu, katanya: "Tentang Kek Lam-wi apakah kalian sedang main sandiwara, aku tidak peduli lagi, tapi aku tidak sudi melakukan jual beli yang merugikan."

"Baik, asal kau membebaskan putraku, apa kehendakmu, bila bisa kulaksanakan semua tuntutanmu kuterima."

"Kek Lam-wi tidak bisa kalian keluarkan, baiklah ditukar seorang lain saja."

In Kip melenggong, katanya: "Tam Tayhiap, siapa pula yang kau kehendaki?"

"Barusan Bu-sam Niocu mengejar seorang diri bukan."

In Kip mengiakan.

"Baiklah. Aku tahu calon istri Kek Lam-wi yaitu Toh So-so tertawan oleh Bu-sam Niocu, bahwa Bu-sam Niocu ada disini, yakin Toh So-so juga disekap di rumahmu. Kalau dia tidak membawa Toh So-so, maka sekarang lekas keluarkan Toh Lihiap."

In Kip tampak bingung, katanya kemudian: "Bahwasanya aku tidak tahu menahu soal itu."

"Dia berlindung disini, apa yang dia lakukan mana mungkin kau tidak tahu?" damprat Tam Pa-kun, "hm, kalau kau tidak tahu kenapa kaupun pancing Kek Lam-wi kemari? Ketahuilah bagaimana pesanmu kepada Koan Cong-yau untuk mengundangnya kemari semua sudah kuketahui dengan jelas. Bila kalian tidak gunakan Toh So-so untuk memancing kedatangannya, memangnya Kek Lam-wi sudi memenuhi undanganmu?"

In Kip masih bingung, In Hou sudah tidak sabar lagi, teriaknya: "Tam Tayhiap, biar aku yang bicara sejujurnya. Bahwasanya tiada kejadian itu."

Tam Pa-kun melenggong, tanyanya: "Jadi bukan sesungguhnya?"

"Itu hanya akal bulus Bu-sam Niocu untuk menipu dan menjebak Kek Lam-wi. Yang benar Toh So-so tidak pernah terjatuh di tangannya. Tam Tayhiap, aku bicara sejujurnya, harap kau membebaskan aku."

"Kalian ayah dan arak bicaranya berbeda, aku tidak mau percaya obrolan kalian," dengus Tam Pa-kun.

"Tam Tayhiap, kali ini aku bicara sesungguhnya," teriak In Hou.

Lekas In Kip juga berkata: "Omongan putraku memang bukan bualan. Tam Tayhiap, maafkan kecerobohanku, tidak pantas aku menuruti kemauan Bu-sam Niocu, aku membantunya mengatur muslihatnya itu."

Karena ingin menolong putranya, apa boleh buat terpaksa In Kip membeberkan seluruh persoalannya. Meski ayah beranak bersumpah pada bumi dan langit, Tam Pa-kun masih ragu-ragu. Di kala kedua pihak masih bersitegang leher, tiba-tiba terjadi keributan diluar.

Suara seorang gadis melengking: "In Kip keparat tua bangka itu dimana, lekas suruh dia keluar menemui aku."

Mendengar suara gadis ini, Tam Pa-kun dan In Kip sama-sama tertegun. Gadis ini bukan lain adalah calon isteri Kek Lam-wi, yaitu Toh So-so. Setelah kaget, sikap In Kip tenang malah, teriaknya: "Jangan kalian merintanginya, biarkan dia masuk menemui aku."

Tanpa dipesan oleh In Kip, anak buahnya memang tidak mampu merintangi Toh So-so. Dua Busu yang berjaga di pintu kena disapu jungkir balik dengan Sau-tong-tui oleh Toh So-so. Begitu melangkah ke ruang tamu, sudah tentu Toh So-so lantas melihat Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun. Kejut campur girang. Toh So-so berjingkrak: "Tam-sioksiok, kaupun datang?"

"Nona Toh, kau selesaikan dulu urusanmu, nanti kita bicara lebih lanjut," sapa Tam Pa-kun tersenyum.

Toh So-so berpaling dengan tawa mengejek, katanya kepada In Kip: "Kenapa aku meluruk kemari, tentunya kau sudah mengerti sendiri. Mana Kek Lam-wi? Apa yang kalian lakukan atas dirinya?"

In Kip berkata: "Tam Tayhiap sedang bicarakan soal itu dengan aku. Kek-jithiap sudah pergi masa kau tidak tahu?"

Seorang pesuruh masuk, katanya: "Nona ini sudah pergi memeriksa ke penjara bawah tanah. Tapi dia tidak mau percaya bahwa Kek-jithiap sudah pergi, tanpa banyak bicara langsung dia melabrak kita sampai disini."

In Kip tertawa getir, katanya: "Kau sudah memeriksa ke penjara, tentu melihat juga orang-orangku semaput di tanah. Kami juga tidak tahu kau bakal datang kemari, percayalah bukan kami sengaja mengatur muslihat lagi."

"Siapa tidak tahu kau banyak akal bulus, aku sendiri sudah merasakan kelicikanmu," jengek Toh So-so, "kalau ingin aku percaya, kecuali..."

"Kecuali apa?" In Kip menegas.

"Kecuali aku melihat sendiri dan bertemu dengan Kek Lam-wj, atau beri kesempatan aku berbicara dengan putri angkatmu."

"Putri angkatku? Em, ya, aku memang punya putri angkat, tapi entah yang mana yang ingin kau temui aku punya belasan putri angkat."

Toh So-so menjengek: "Bu-san-pang Pangcu Bu-sam Niocu punya seorang putri, tiga bulan yang lalu kau mengangkatnya menjadi putri angkatmu, betul tidak?"

Tahu tak mungkin mungkir lagi, In Kip berkata: "Toh Lihiap, kau pandai memperoleh berita, kagum sungguh kagum, memang dia adalah putri angkatku yang terbaru, apa kau mau menemui dia?"

"Jangan banyak ngomong, lekas suruh dia keluar," sentak Toh So-so.

In Kip tahu gelagat tak menguntungkan, katanya dengan menyengir: "Toh Lihiap, kalau kau tidak mencarinya, akupun ingin memanggilnya."

Tak lama kemudian, kacung yang disuruh memanggil putri angkatnya itu sudah kembali memberi laporan: "Lapor Loya, Kan-siocia (putri angkat) sudah tiada lagi."

Berubah air muka Toh So-so, bentaknya: "Sudah tidak ada? Kapan dia pergi? Kemana?"

Pesuruh itu menyengir, katanya: "Kami sudah memeriksa tempat kediamannya. Orang-orang disana tiada satupun yang tahu kapan dan kemana dia pergi.'

Toh So-so menjengek dingin: "Siapa mau percaya obrolanmu. Kalau kalian tidak bebaskan Kek Lam-wi, Bu Siu-hoa harus kalian serahkan kepadaku, kalau tidak, hm..." tiba-tiba matanya melirik mengawasi In Hou yang masih dicengkram Tam Pa-kun, katanya: "Paman Tam, pinjamkan putra kesayangan In-cengcu ini kepadaku, boleh?"

Tam Pa-kun tertawa, katanya: "In-toacengcu, kau dengar, bila kau masih ingin main-main mengapusi aku, maaf bila aku berlaku kasar pada putramu. Akan kubuat enam lobang dan tiga bacokan di tubuhnya baru mencabut nyawanya. Nah, boleh kau pilih, putramu atau putri angkatmu?"

Serasa terbang arwah ln Hou, ratapnya ketakutan: "Ayah lekas kau cari Bu Siu-hoa dan serahkan kepada mereka."

"Toh Lihiap," kata In Kip gopoh, "sabar, jangan marah, dengar dulu penjelasanku."

"Aku hanya menuntut orangnya, siapa sudi mendengar ocehanmu," sindir Toh So-so.

"Toh Lihiap, sekarang aku sendiri lebih gugup untuk mencarinya, dengar dulu penjelasanku."

"Baiklah, lekas katakan," sentak Toh So-so sambil bertolak pinggang.

"Kek-jithiap memang sudah melarikan diri, bukan kami sengaja mengatur tipu daya untuk ngapusi kau, untuk ini harap kau percaya padaku. Siapa yang membantu Kek-jithiap melarikan diri, sekarang juga sudah kuketahui."

"Siapa?" sentak Toh So-so.

"Yaitu putri angkatku Bu Siu-hoa yang ingin kau temui. Karena kecuali dia, siapapun tiada yang bisa keluar masuk secara leluasa dan menolong Kek-jithiap yang masih semaput tanpa konangan orang, dia membawa Kek-jithiap keluar dari lorong penjara."

Toh So-so masih setengah percaya, katanya dingin: "Dia kan putri angkatmu, mungkinkah dia menolong tawananmu dan mengajaknya lari? Kau kira aku mau percaya obrolanmu? Hm, yang jelas dia membantu kau untuk memancing Kek Lam-wi dan menangkapnya, benar tidak?"

"Maklum kalau kau tidak percaya," ujar In Kip, "aku juga tidak tahu kenapa dia mau berbuat demikian. Tapi semua ini kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kecuali dia, aku yakin tiada orang lain yang mampu menolong Kek-jithiap dari tempat kediamanku ini."

Sejak tadi Tam Pa-kun mendengarkan dari samping, tiba-tiba dia menyela: "Baik, untuk ini sementara biar aku percaya. So-so mari kita keluar mencari Lam-wi, bila tidak bisa ketemu, nanti kita kembali membuat perhitungan dengan mereka."

Saat mana sayup-sayup Toh So-so mendengar irama seruling di tempat jauh yang terbawa angin, lagu tiupan seruling Kek Lam-wi boleh dikata sudah teramat hapal bagi Toh So-so. Meski tidak mendengar jelas, namun dia yakin peniup seruling itu pasti Kek Lam-wi adanya.

Lekas In Kip berkata: "Biar kubantu kalian mencarinya, tapi sudilah kau bebaskan dulu putraku."

Irama seruling itu hanya sayup-sayup sampai dan terputus-putus sekejap saja, agaknya In Kip dan Ong Cong-king tidak ada yang ambil perhatian.

"Tak usah kalian bantu mencarinya..."

"Lalu putraku..."

Tam Pa-kun tertawa tergelak gelak, katanya: "Buat apa gugup, putra mustikamu ini kau berikan kepadakupun aku emoh. Sel iba diluar pintu, aku akan membebaskan. Kalian satupun kularang beranjak dari tempat ini”

Lega hati In Kip, dia yakin Tam Pa-kun tidak akan ingkar janji, maka dia berkata: "Baiklah, kita patuh kehendak Tam Tayhiap, bila kalian juga berhasil menangkap Bu Siu-hoa tolong serahkan kepadaku, biar kuhukum dia."

"Apa betul ocehanmu aku belum tahu, setelah kutemukan orangnya baru akan kupertimbangkan bagaimana mengurusnya, kami tidak akan menerima segala usulmu."

Setelah keluar dari lingkungan villa, sesuai janji Tam Pa-kun bebaskan In Hou, katanya sinis: "In-toasiauya, menguntungkan kau saja, lekas enyah."

Toh So-so berkata: "Barusan aku seperti mendengar seruling Lam-wi, tapi dari mana arahnya sukar ditentukan. Paman Tam, apa kau juga dengar?"

"Karena mendengar suara seruling itu maka aku mau beri kelonggaran kepada mereka. Kedengarannya dari balik gunung di sebelah timur sana. Mari kita periksa kesana."

Cepat sekali mereka berdua sudah berada di balik gunung sebelah sana, tapi jejak Kek Lam-wi sudah tidak ketemu lagi. Tam Pa-kun berkata: "Kemarin aku sudah janji dengan Lam-wi dan Tan Ciok-sing serta In San untuk berkumpul di Ham-san-si, walau dia tidak datang, dia juga tidak tahu bahwa yang mengundang mereka adalah aku, tapi setelah lolos dari rumah keluarga In, bukan mustahil dia akan mencari kita ke Ham-san-si. Marilah kita kembali dulu ke Ham-san-si."

Di tengah perjalanan pulang ke Ham-san-si ini baru Toh So-so sempat ceritakan pengalamannya.

Sejak dia pulang dari Pakkhia dengan perasaan kecewa dan putus asa, hari itu dia tiba Yang-ciu, sebelum masuk kota di tengah jalan kebentur suatu peristiwa, serombongan perampok merampas secara kekerasan seorang gadis. Maka dia turun tangan, dua rampok dipukulnya roboh, kawanan rampok itu baru lari tunggang langgang. Tak pedulikan kawanan rampok yang melarikan diri, dia tolong si gadis lebih dulu, untung gadis itu hanya terluka sedikit.

Paras gadis iui memang lumayan, dia mengaku sebagai tukang ngamen bersama ayahnya hidupnya terlunta-lunta di Kangouw, ayahnya telah dibunuh oleh kawanan rampok, melihat parasnya yang cukup ayu, kawanan rampok itu hendak menculiknya pula, terpaksa dia melarikan diri dan hampir memasuki kota Yang-ciu dicandak, di jalan raya banyak orang lalu lalang, tapi tiada seorangpun yang berani menolongnya.

Siang hari bolong, diluar kota Yang-ciu terjadi pembunuhan dan penculikan, seharusnya merupakan peristiwa yang patut dicurigai akan kebenarannya, tapi Toh So-so percaya saja akan cerita gadis itu.

Tam Pa-kun berkata: "Gadis itu pastilah Bu Siu-hoa, putri Bu-sam Niocu itu?"

"Betul," ujar Toh So-so.

Tam Pa-kun tertawa, katauya: "Karangan ceritanya ternyata tidak begitu baik, kenapa waktu itu sedikitpun kau tidak curiga?"

"Sebetulnya aku juga merasa kawanan rampok itu terlalu besar nyalinya, agak curiga, kutanya apa dia tahu asal-usul kawanan rampok itu? Dia bilang dari logat percakapan kawanan rampok itu, kelihatannya orang-orang dari Hoay-yang-pang, dia akan diculik dan dipersembahkan menjadi isteri Pangcu mereka. Kekuasaan Hoay-yang-pang cukup besar di Kanglam, Bak Bu-wi sang Pangcu adalah laki-laki kemaruk paras ayu, itu sudah lama kuketahui. Bahwa yang melakukan kejahatan orang-orang Hoay-yang-pang, mau tidak mau aku jadi percaya."

"Mengingat dia kini sebatangkara, terluka lagi, maka kuterima dia ke rumahku dan mengobati luka-lukanya. Dia pandai membaca bisa tulis, mengenal not-not lagu pula, aku jadi berat berpisah dengan dia, lekas sekali luka-lukanya, sudah kusembuhkan, ternyata diapun berat berpisah dengan aku, selalu dia bilang supaya aku sudi menerima dia sebagai pelayannya. Aku bersyukur mendapat teman, apalagi mengingat seorang diri bila berkelana di Kangouw salah-salah diincar orang Hoay-yang-pang pula, maka aku mengikat persaudaraan sebagai kakak adik."

"Suatu malam bulan purnama, aku duduk menikmati bulan sambil minum-minum sama dia, hanya dua cangkir, entah kenapa secara tak terduga aku jatuh mabuk. Malam itu aku pulas sampai'esok hari. Setelah terang tanah, ternyata dia telah menghilang."

"Pasti dia mencampur obat bius dalam minuman itu," kata Tam Pa-kun, "Aneh, dia tidak mencelakai kau dalam kesempatan sebaik itu. Apakah kau merasakan dirimu keracunan?"

"Setelah bangun tiada tanda-tanda yang mencurigakan. Kini sudah hari kelima, aku tetap sama seperti sedia kala, aku yakin tidak pernah keracunan."

"Dari sini dapat kita simpulkan, meski Bu Siu-hoa adalah putri Bu-sam Niocu, namun hatinya tidak jahat, tindak tanduknya belum menunjukan kekejaman hatinya. Tapi apakah kau tidak kehilangan apa-apa?"

Toh So-so melengak, katanya: "Betul, aku kehilangan sebatang tusuk kondai, aku ingat malam itu tusuk kondai kuselipkan di atas sanggul, Paman Tam dari mana kau tahu?"

"Dengan tusuk kondai itulah dia menipu Kek Lam-wi sehingga dia terjebak," ujar Tam Pa-kun. Lalu dia ceritakan apa yang dia dengar dari penuturan Tan Ciok-sing, lalu bagaimana In Kip bersekongkol dengan Bu-sam Niocu mengundang Kek Lam-wi setelah menyerahkan tusuk kondai itu.

"Aku sudah mendapat firasat, dengan tusuk kondai itu pasti dia akan "melakukan sesuatu, sungguh tidak nyana bahwa Lam-ko akan ketipu mereka."

"Lalu kapan kau tahu asal-usulnya?"

"Karena hanya kehilangan tusuk kondai, semula aku tidak menarik persoalan. Tapi hatiku amat heran, setelah kami angkat saudara, umpama dia memintanya juga akan kuberikan, kenapa dia justeru mencekok arak dan mencuri tusuk kondai itu? Apalagi dia bilang hidup sebatangkara, tiada sanak tiada kadang, hanya karena sebatang tusuk kondai apakah setimpal bila dia harus hidup terlunta-lunta di luaran? Aku tahu dia cukup cerdik, kenapa mau juga melakukan perbuatan kotor dan memalukan itu, kupikir-pikir tidak masuk akal?"

"Tak nyana secara kebetulan, di kala aku berusaha mencari tahu asal-usulnya, seseorang yang tahu asal-usulnya sudah datang mencariku dulu," "Siapa dia?"

"Ma-thocu dari Kaypang cabang Yang-ciu. Sepulang di Yang-ciu, sepantasnya aku pergi menyambangi dia, karena hatiku gundah gulana, aku jadi malas keluar pintu. Tak nyana hari kejadian itu, dia suruh seorang murid Kaypang mengundangku ke markas cabangnya."

"Begitu berhadapan dia lantas bilang: 'Sepantasnya aku bertandang ke rumahmu, tahukah kau kenapa justru kau yang

kuundang kemari?'-Tergerak

hatiku, diam-diam sudah kuduga dalam hati, betul juga dia lantas berkata lebih lanjut: 'Kabarnya kau berkenalan dengan seseorang teman baru, gadis itu masih berada di rumahmu bukan?'"

"Aku maklum, aku dipanggil kemari lantaran kuatir pembicaraan diketahui Bu Siu-hoa. Maka aku tanya: 'Bagaimana asal-usul gadis itu?'"

"Setelah mendengar penjelasanku bagainana aku sampai berkenalan dengan dia. Ma-thocu menghela napas, katanya: 'Nona Toh, kau ketipu. Gadis itu bukan tukang ngamen yang tidak pandai main silat, asal-usul yang sebenarnya adalah putri Bu-sam Niocu. Pangcu dari Bu-san-pang, nama aslinya adalah Bu Siu-hoa. Kemarin baru kuketahui dia datang ke Yang-ciu dan sembunyi di rumahmu. Tapi aku tidak habis mengerti bagaimana dia bisa berkenalan dengan kau, untuk menjaga sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi, maka kuundang kau kemari untuk membicarakan hal itu.'"

Toh So-so bercerita lebih lanjut. "Kujelaskan kepadanya, semalam Bu Siu-hoa sudah minggat mencuri sebatang tusuk kondaiku. Ma-thocu juga heran kenapa Bu Siu-hoa tidak gunakan racun mencelakai jiwaku?"

"Lalu dia memberitahu dua berita kepadaku. Berita pertama ialah, jejak Bu-sam Niocu diketahui berada di Kanglam. Berita kedua, kabarnya Kek Lam-wi sudah berada di Soh-ciu."

"Diapun memberitahu kepadaku, Bu-sam Niocu sejak jauh-jauh hari sudah mengutus putrinya ke Soh-ciu langsung ke rumah In Kip. Hal itu terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, setelah berada di rumah keluarga ln, Bu Siu-hoa segera angkat In Kip sebagai ayah angkat."

"Menurut dugaan Ma-thocu, Bu-sam Niocu mengutus putrinya sebagai kurir untuk mengikat hubungan lebih intim dengan ln Kip, maka dia berani datang ke

Kanglam. Agaknya Bu-sam Niocu bermaksud memindah pangkalan Bu-san-pang di Kanglam, atau mungkin juga ada muslihat atau rencana keji lainnya."

"Bu-sam Niocu bersama Kek Lam-wi hampir bersamaan tiba di Soh-ciu, secara kebetulan putri Bu-sam Niocu mencuri tusuk kondaiku, apakah beberapa kejadian ini tiada sangkut pautnya satu dengan yang lain? Mau tidak mau Ma-thocu merasa curiga."

"Mendengar Lam-ko datang ke Kanglam dan tiba di Soh-ciu, aku tidak peduli apakah beberapa kejadian itu ada sangkut pautnya, aku harus menyusulnya ke Soh-ciu menemuinya."

Tiba-tiba Tam Pa-kun ingat sesuatu, katanya: "Maaf, sementara kuputus ceritamu. Berapa usia Bu Siu-hoa?"

"Kira-kira sebaya dengan aku, lebih kurang berusia likuran tahun."

"Walau aku tidak pernah bertemu dengan Bu-sam Niocu, tapi kudengar dia berusia kira-kira lebih dari tiga puluh tahun belum genap empat puluh, mungkinkah dia punya putri sebesar itu?"

"Hal itu pernah juga Ma-thocu bicarakan dengan aku. Menurut yang dia ketahui Bu Siu-hoa bukan putri kandungnya. Ayahnya Bu San-hun setelah kematian islnnva sejak belasan tahun yang lalu. lalu mempersunting Bu-sam Niocu. Ternyata Bu-sam Niocu cerdik pandai, dua tahun sejak dia menikah dengan Bu San-hun, kekuasaan terbesar dalam Bu-san-pang sudah tergenggam di tangannya. Tahun ketiga secara aneh tahu-tahu Bu San-hun juga mati, sejak itu secara resmi dia mengangkat diri sebagai Pangcu perempuan. Tapi meski Bu Siu-hoa bukan anak kandungnya, kabarnya mereka ibu beranak bisa hidup akur."

"O, kiranya begitu, pantas."

"Apanya yang pantas."

"Hubungan mereka ibu beranak, kukira tidak sebaik yang diperlihatkan di hadapan umum. Maka bila sang ibu bersekongkol dengan In Kip menjebak Kek Lam-wi, sang putri justru menolong tawanan ibunya diluar tahu orang lain."

"Paman Tam, apa kau percaya Bu Siu-hoa betul-betul mau menolong Kek Lam-wi? Kenapa pula dia mencuri tusuk kondaiku, bukankah langsung atau tidak langsung dia telah membantu ibunya melakukan kejahatan?"

"Aku hanya merasa sedikit curiga, sekarang aku belum yakin bahwa Bu Siu-hoa benar bermaksud baik menolong Kek Lam-wi. Nah, teruskan ceritamu."

"Kemarin kira-kira menjelang kentongan ketiga, aku baru tiba di Soh-ciu, langsung aku ke rumah seorang familiku. Ternyata kemarin Lam-ko pernah mencariku ke rumah familiku itu. Dari mulutnya aku tahu Lam-ko menginap di Say-cu-Iim. Hotel didalam Say-cu-lim juga milik In Kip, aku kuatir Lam-ko mengalami sesuatu, sebelum terang tanah langsung aku menyusulnya ke Say-cu-lim. Tak kira tiba di Say-cu-lim, aku bertemu dengan kenalan baik."

"Apakah Kanglam Sianghiap."

"Ya, Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu. Mereka sedang siap berangkat keTong-thing-san di Thay-ouw barat. Karena kedatanganku, mereka menunda kira-kira satu jam baru mereka berangkat.

"Dari cerita mereka baru aku tahu Lam-ko pergi memenuhi undangan In Kip. Mereka membujuk aku supaya tidak usah pergi ke Say-cu-lim, aku dianjurkan langsung ke rumah In Kip menemui Lam-ko serta membongkar muslihat mereka. Diberitahu juga bahwa Tan Ciok-sing dan In San sudah siap membantu Lam-ko secara diam-diam. Tapi mereka belum tahu bahwa kaulah yang mengundang Lam-ko dan lain-lain untuk bertemu di Ham-san-si."

Cerita Toh So-so amat jelas dan terperinci tapi ada juga satu hal yang dia sembunyikan dan tidak diceritakan kepada Tam Pa-kun.

Pertunangan Toan Kiam-ping dengan Han Cin dan kini sudah pulang ke negeri Tayli telah diceritakan oleh Kanglam Sianghiap kepada Toh So-so. Ditegaskan pula oleh Kanglam Sianghiap bahwa Kek Lam-wi sengaja minta tugas kepada Lim Ih-su sebagai wakil Kanglam Pat-hiap untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, sekaligus untuk pulang ke kampung halaman mencari dia. Setelah tahu betapa murni dan suci cinta Kek Lam-wi terhadap dirinya, ganjalan hati selama beberapa hari seketika sirna tak berbekas.

Setelah habis mendengar ceritanya, Tam Pa-kun segera berkata: "Ternyata urusan berbelit-belit, lalu dari mana kau tahu letak villa In Kip dan menyusulnya kesana?"

"Aku sendiri yang menduga. Aku tahu bahwa In Kip punya villa disini, kupikir In Kip adalah rase tua yang licin kemungkinan pertemuan tidak diadakan di rumahnya."

Toh So-so menutur lebih lanjut: "Aku juga berpikir, jikalau dugaanku meleset dan Kek Lam-wi memenenuhi undangan itu di rumah ln Kip, disana ada Tan Ciok-sing dan In San yang membantunya, tanpa bantuanku juga tidak usah dibuat kuatir. Kurasa membagi tugas menyelesaikannya dengan baik adalah paling tepat, maka aku berkeputusan kemari dengan mengadu nasib."

Jalan pikirannya ini ternyata sama dengan dugaan Kiau-jan Taysu. Tam Pa-kun berkata dengan tertawa: "Kau memang pintar, sekali tebak ternyata tepat."

Toh So-so berkata rawan: "Tapi aku belum menemukan Kek-toako."

Tam Pa-kun menghiburnya: "Sedikitnya kau sudah mendapat tahu duduk persoalannya. Lam-wi lolos dari cengkeraman In Kip peduli apa rencana dan maksud Bu Siu-hoa menolongnya, yang terang kini dia sudah tidak mengalami bahaya." Tanpa terasa mereka sudah berada di Hong-kio. Ham-san-si sudah kelihatan di kejauhan di atas bukit.

Tam Pa-kun tertawa, katanya: "Kau begini pintar, nah sekarang coba kau terka, apakah Lam-wi dan Bu Siu-hoa sudah berada didalam biara?"

Toh So-so berpikir sejenak, katanya: "Sulit aku menerkanya, paman?"

"Kukira mereka sudah berada didalam biara?" ujar Tam Pa-kun tertawa.

Toh So-so geleng-geleng, katanya: "Kukira perempuan siluman itu takkan sebaik itu hatinya. Lam-ko tentu ditipunya ke tempat lain."

"Baik, bagaimana kalau kita bertaruh?"

"Aku tidak mau bertaruh, karena aku lebih suka kau kalahkan."

Dengan perasaan kebat-kebit Toh So-so manjat ke atas memasuki Ham-san-si. Tebakan siapa yang betul?



000OOO000



Sekarang mari kita ikuti pengalaman Kek Lam-wi setelah keluar dari lobang gua, di bawah terang bulan, dia kucek mata, kini dia melihat jelas gadis yang menuntunnya keluar dan menyelamatkan dirinya. Tapi gadis ini mengenakan cadar. Walau mukanya tertutup rapat, namun dia dapat merasakan bahwa gadis ini jelas bukan Toh So-so. Karuan Lam-wi kaget, tanyanya: "Siapa kau? Kenapa kau berani menolongku?"

Kedengaran rawan suara si gadis: "Kek-siangkong, lebih baik jangan kau tanya siapa she dan namaku."

"Lho, kenapa?"

Gadis itu tidak menjawab, tapi berkata lebih lanjut: "Aku menolong kau lantaran demi diriku sendiri, kaupun tidak usah berterima kasih kepadaku."

Gadis itu menggandeng tangannya serta menyeretnya pergi, tanpa kuasa Kek Lam-wi terseret lari begitu saja. Dia coba kerahkan hawa mumi terasa tenaganya kira-kira sudah mulai pulih tiga puluhan persen, dengan tenaga yang ada sekarang, walau dapat berlari namun masih belum mampu mengembangkan Ginkang untuk berlari di pegunungan yang tidak rata. Maka terpaksa dia mandah saja diseret oleh gadis penolongnya itu.

Kira-kira setengah sulutan dupa kemudian si gadis telah menyeretnya sampai di atas gunung. Kira-kira ada beberapa li dari villa In Kip, baru si gadis menghentikan langkah, katanya dengan tersenyum: "Kek-siangkong, semangatmu belum pulih tentunya kau teramat letih, sementara boleh kau istirahat."

Kek Lam-wi duduk di sampingnya, katanya: "Nona, kau menolongku dengan menyerempet bahaya, entah bagaimana aku harus membalas budimu. Walau kemungkinan kau tidak meagharap balas budiku, tapi aku, aku jadi..."

Gadis itu tertawa cekikikan, katanya: "Kek-siangkong, kau ingin membalas kebaikanku bukan? Baiklah, aku mohon sesuatu kepada kau."

"Nona ada pesan apa, boleh lekas katakan terjun ke air mendidih atau gunung berapi sekalipun akan kulakukan."

"Kenapa harus terjun ke air mendidih atau menerjang gunung berapi segala, aku hanya ingin mendengar lagu serulingmu. Aku tahu kau adalah peniup seruling terbaik pada masa ini, maka aku ingin menikmati lagu serulingmu."

Tanpa merasa Kek Lam-wi lantas merogoh kedalam bajunya, namun lekas dia teringat bahwa serulingnya sudah dirampas oleh Bu-sam Niocu dan diberikan kepada In Kip. Seketika dia duduk mematung dengan perasaan hambar.

Gadis itu tertawa, katanya: "Nah sudah kusiapkan sebatang seruling yang lain. Walau tidak sebagus serulingmu itu, namun bisa juga kau tiup."

Belum habis Kek Lam-wi meniup serulingnya, tiba-tiba lapat-lapat kedengaran ada orang berjalan naik ke atas bukit. Gadis itu segera berkata: "Seperti ada orang datang. Kek-siangkong, coba kau sembunyi dulu, peduli siapa yang datang biar aku yang menghadapinya. Jangan kau unjukkan dirimu."

Sudah tentu Kek Lam-wi tidak menurut, katanya: "Kau telah menolong jiwaku, kini tenagaku sudah pulih beberapa bagian, mana boleh aku berpeluk tangan. Betapapun kita harus senasib sepenanggungan."

"Senasib sepenanggungan" sebetulnya adalah kata umum yang sering digunakan bagi kaum persilatan, tanpa sadar Kek Lam-wi mengucapkannya, hakikatnya dia tidak pikir apakah perkataannya itu tepat dalam keadaan seperti ini, karuan si gadis menjadi merah jengah mukanya.

"Tidak. Kau harus dengar nasehatku, lekas kau sembunyi," desak si gadis.

Pada saat itulah, orang yang tengah berlari naik di lereng bukit sana sudah memperdengarkan tawa panjang yang bernada sinis. Orangnya belum kelihatan, tapi dari suaranya Kek Lam-wi sudah tahu bahwa yang datang adalah Bu-sam Niocu.

"Perempuan siluman ini liehay betul, aku begini juga lantaran gara-garanya. Lekas kau sembunyi saja, biar aku adu jiwa dengan dia," demikian kata Kek Lam-wi. Tahu yang datang adalah Bu-sam Niocu, sudah tentu dia tidak akan membiarkan gadis ini mengalami bahaya.

"Baiklah..." mendadak jari tengahnya menjulur. Hiat-to pelemas Kek Lam-wi ditutuknya. Si gadis adalah penolongnya, nada perkataannya seperti sudah setuju akan saran Kek Lam-wi, umpama dia sendiri tidak mau sembunyi, Kek Lam-wi juga tidak akan dipaksa sembunyi. Sudah tentu tak pernah terpikir dalam benak Kek Lam-wi bahwa dirinya bakal dikerjain, seketika dia tidak mampu berkutik lagi.

Setelah menutuk Hiat-tonya, buru-buru si gadis mendorong tubuh Lam-wi kedalam semak rumput, lalu berbisik di pinggir telinganya: "Maaf, kau rebah sebentar. Semoga kau bisa selamat dari mara bahaya di depan mata, kesalahan apapun yang kau limpahkan kepadaku akan kuterima dengan senang hati."

Kek Lam-wi rebah miring di belakang batu yang teraling semak-semak rumput tinggi, terdengar tawa Bu-sam Niocu yang dibuat-buat, katanya: "Kukira siapa yang mampu menawarkan obat biusku menolong tawanan, ternyata adalah putri kesayanganku sendiri."

Mendengar ucapan Bu-sam Niocu, sungguh bukan kepalang kaget Kek Lam-wi.

"Ternyata gadis ini adalah putri Bu-sam Niocu. Kenapa dia mau menolongku, apakah ada jebakan lainnya pula?"

Maka didengarnya gadis itu berkata: "Bu, maaf bila anak tidak berbakti, tapi apa yang anak lakukan juga demi kebaikan ibu."

Bu-sam Niocu tertawa dingin, katanya: "Demi kebaikanku, kebaikan apa? Coba jelaskan."

"Bu, umpama betul Bu-san-pang kita tidak mampu lagi bercokol di Sujwan, dunia seluas ini masakah tiada tempat lain untuk berteduh. Untuk apa kita berlaku sejauh ini hingga menanam permusuhan dengan musuh tangguh? Coba kau pikir, Kek Lam-wi adalah salah satu dari Kanglam-pat-sian, bila kau serahkan dia kepada In Kip, dan In Kip serahkan dia kepada Tang-bun Cong terus digusur ke kota raja. Sebagai buronan raja, apakah dia bisa tetap hidup? Apakah Pat-sian yang lain tidak akan menuntut balas kepada kau?"

Bu-sam Niocu tertawa dingin, katanya: "Ternyata pembicaraanku dengan mereka sudah kau curi dengar semua. Apa betul kau sudi memikirkan diriku?"

"Benar, justru aku tahu rencana kalian, aku tidak ingin kalian mencelakai orang baik terutama aku tidak ingin kau ditipu orang lain, maka pikiranku berobah."

"Memangnya berapa sih pengetahuanmu, berani kau turun rembuk segala kepadaku. Baik buruk adalah tanggunganku, tak usah kau turut campur dan bertindak diluar tahuku. Hm, kalau menurut rekaanku, mungkin kau sudah kepincut tampang bocah itu."

Malu dan dongkol Bu Siu-hoa sambil membanting kaki, katanya: "Bu, kenapa kau bilang demikian? Coba pikir, bila benar seperti apa yang kau katakan, kenapa aku tidak membawanya minggat ke tempat yang jauh, kusuruh dia meniup seruling supaya kedengaran olehmu?"

Diam-diam Kek Lam-wi berpikir: "Tak heran dia suruh aku meniup seruling, ternyata untuk didengar ibunya dan menyusul kemari. Tapi kenapa dia tidak mau menyerahkan aku kepada ibunya?"

Timbul sepercik harapan dalam benak Bu-sam Niocu katanya: "Baiklah, bahwa kau memanggilku kemari dengan tiupan seruling itu maka serahkan dia kepadaku."

"Bu, kuundang kau kemari, maksudku bukan seperti apa yang kau duga."

"Lalu apa kehendakmu, lekas katakan saja."

"Aku harap kau meninggalkan In Kip, Tang-bun Cong dan lain-lain."

"Jadi Bu-san-pang yang didirikan ayahmu harus dibuang begitu saja?"

"Maaf bila anak berkata blak-blakan, beberapa tahun belakangan ini, sepak terjang Bu-san-pang sudah menimbulkan'rasa kurang senang kaum persilatan umumnya, dibubarkan juga tidak perlu dibuat sayang."

Yang benar kejahatan yarg dilakukan orang-orang Bu-san-pang memang sudah keliwat takaran, perkataan Bu Siu-hoa boleh dikata sudah terlalu lunak.

Tapi Bu-sam Niocu justru naik pitam, serunya: "Kurang ajar, berani kau memberi pelajaran kepadaku. Sejak bapakmu mati, aku yang jadi Pangcu, jadi menurut pandanganmu, tidak benar aku menjabat kedudukan Pangcu ini?"

"Anak tidak berani berpikir begitu. Tapi soal benar atau salah, biar sementara dikesampingkan saja. Dalam situasi seperti sekarang bila Bu-san-pang dibubarkan, kurasa akan lebih menguntungkan para anggota dan membawa manfaat bagi dirimu."

"Manfaat apa?" desak Bu-sam Niocu.

"Orang-orang yang hendak menuntut balas kepada kita, kebanyakan adalah kaum pendekar dan orang-orang gagah, bila mereka tidak menemukan kau, coba pikir bukankah anak buah kita yang berkepandaian rendah itu akan mendapat ganjaran."

"Lalu bagaimana dengan diriku?"

"Selanjutnya kau boleh cuci tangan mengundurkan diri dari percaturan Kangouw, hidup tentram dan bahagia, bukankah begitu lebih baik?"

"Hidup tentram dan bahagia? Memangnya orang lain mau membiarkan aku hidup aman dan tentram?"

"Hal itu sudah kupikirkan. Kanglam-pat-sian adalah tokoh¬ tokoh yang kenamaan dan disegani di dunia persilatan, bila Lim lh-su mau tampil memberikan pengampunan, semua musuh yang lain pasti juga akan memaafkan kau. Setelah aku menolong Kek Lam-wi, aku akan berikhtiar mohon bantuan Lim Ih-su, aku yakin dia akan setuju dan menerima permohonanku."

Kini Kek Lam-wi sudah paham beberapa bagian, pikirnya: "Kiranya lantaran itu. Gadis ini memang pandai menggunakan akal, tujuannya juga boleh dipuji, terang hatinya jauh lebih luhur dari sang ibu, Entah Bu-sam Niocu apakah sudi menerima bujukannya?"

Maka didengarnya Bu-sam Niucu berkata: "Kenapa aku harus memohon kepada orang lain, kau takut terhadap Kanglam-pat-sian, aku tidak. Tulang punggungku jauh lebih kuat dari Kanglam-pat-sian."

"Bu, aku tahu kemana kiblat hatimu, kau kira di belakang In Kip adalah Sri Baginda yang berkuasa sekarang, maka tulang punggung ini pasti kokoh dan tak tergoyahkan dan kau bakal memperoleh apa yang kau inginkan? Tapi apakah Sri Baginda mau menerimamu ke istana supaya kau bisa menyembunyikan dirimu disana? Umpama kau bisa sembunyi di istana, bila Pat-sian tetap akan membuat perhitungan dengan kau, kukira Sri Baginda tetap takkan bisa melindungi kau. Apakah kau tidak dengar, kira-kira dua bulan yang lalu, keributan yang dilakukan Kanglam-pat-sian beserta orang-orang Kaypang di istana terlarang?"

"Tak usah aku mengambil contoh jauh-jauh, katakan saja yang di depan mata. Sekarang In Kip sendiri sulit menyelamatkan jiwanya, putranya terjatuh ke tangan Tam Tayhiap, dia toh kewalahan dan munduk-munduk tak mampu berbuat apa-apa? Jangan kata bila Kanglam-pat-sian meluruk bersama, seorang Tam Pa-kun saja kalian sudah kocar kacir."

"Biar aku berterus terang kepadamu. Kuminta Kek Lam-wi meniup seruling juga supaya didengar oleh Tam Tayhiap. Bila dia mendengar, sementara mungkin dia tidak akan membuat kesulitan dan memperpanjang perkara dengan kalian. Walau aku tidak menunjang perbuatan In Kip, betapapun aku pernah memanggilnya 'ayah angkat', semoga seperti apa yang kuharapkan, Tam Tayhiap membebaskan putranya, terhitung aku telah membalas budinya."

Mendengar perkataannya panjang lebar ini, sungguh kejut dan girang hati Kek Lam-wi bukan main.

"Kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, siapa pula yang disebut Tam Tayhiap di kalangan Bulim? Tam Tayhiap yang dimaksud pasti adalah paman Tam. Agaknya paman Tam juga meluruk ke villa In Kip, kalau tidak putra In Kip mana mungkin terjatuh ke tangannya?" setelah reda rasa senangnya. Lam-wi berpikir pula: "Sayang sekali, umpama benar Tam Tayhiap telah datang, air jauh takkan bisa menolong kebakaran. Naga-naganya Bu-sam Niocu tidak akan terpengaruh oleh bujukan putrinya, bila mereka ibu beranak bentrok dan berkelahi, tak mungkin Tam Tayhiap bisa menyusul kemari tepat pada saatnya. Aku sendiri tidak mampu bergerak, mana bisa membantunya?"

Betul juga didengarnya Bu-sam Niocu tertawa dingin, jengeknya: "Sempurna juga akal sehatmu memikirkan diriku, sayang aku tidak terpengaruh oleh bujukanmu. Kejadian hari ini kaulah yang harus tunduk kepadaku."

"Bu, rejeki atau bahaya tiada pintu, hanya kau sendirilah yang bisa meraihnya. Kuharap berpikir lagi dengan tenang."

"Sudah kupikir jelas. Kau bilang demi kebaikanku, anggapmu aku ini sebodoh yang kau kira? Genta di depan mata tidak kupukul, kenapa aku harus memukul kelintingan di tempat lain?"

"Bu Siu-hoa melenggong, tanyanya: "Bu, apa maksud perkataanmu?"

"Apa maksudnya? Kau begitu pintar, memangnya tidak paham? Coba pikir kau adalah putriku, kaupun menentang diriku, Lim Ih-su dan lain-lain mengagulkan diri sebagai kaum pendekar, apakah mereka bisa memaafkan aku? Ya, aku tahu diri, setelah aku mewarisi jabatan Pangcu, nama Bu-san-pang memang sudah buruk dan dicap sebagai golongan hitam, memangnya aku harus munduk-munduk kepada aliran ksatria supaya diampuni?"

"Bu. pepatah kuno ada bilang, manusia siapa tidak pernah salah, tahu salah bisa merubah adalah budi pekerti yang paling luhur. Anak percaya, bila kau mau meninggalkan In Kip dan komplotannya, membina diri menjadi manusia baik, kaum ksatria pasti akan memaafkan dan menerimamu. Apalagi Kek-jithiap akan bantu memberi penjelasan kepada mereka."

Bu-sam Niocu mendengus, katanya tertawa dingin: "Kau boleh percaya, aku tidak mau percaya. Tam Pa-kun dan Kanglam-pat-sian adalah orang-orang yang tidak boleh diganggu, memangnya In Kip, Tang-bun Cong, Poyang Gun-ngo boleh diabaikan?"

"Bu," teriak Bu Siu-hoa, masih ingin dia membujuk ibunya.

kembali Bu-sam Niocu mendengus geram, serunya: "Katamu demi kebaikanku, akupun punya perhitungan untuk dirimu."

Apa boleh buat, terpaksa Bu Siu-hoa berkata: "Bu, apa kehendakmu atas diriku?"

"Demi masa depanmu, aku akan kawinkan kau dengan In Hou."

"Apa? Kau hendak kawinkan aku dengan putra mustika In Kip itu?"

"Memangnya In Hou jelek? Memang Kungfunya bukan tandingan Kek Lam-wi, tampangnya juga tak seganteng Kek Lam-wi, tapi kau harus tahu. Kek Lam-wi sudah punya simpanan, umpama kau menyerahkan dirimu, dia juga tidak akan mempersunting dirimu. Kan lebih baik kau kawin dengan In Hou, keluarganya adalah hartawan terkaya di Kanglam, setelah kau menjadi menantunya, hidupmu tidak akan kapiran seumur hidupmu."

Malu dan dongkol bukan main Bu Siu-hoa dibuatnya, terisaknya: "Siapa bilang aku mau menikah dengan Kek Lam-wi? Kau ini, kau... ai, kau kira siapa putrimu ini, aku hanya tidak senang melihat sepak terjang kalian, baru aku berusaha menolongnya. Untuk melicinkan jalan mundur bagi kau pula."--Sebetulnya dia mau bilang kau mengukur jiwa seorang Kuncu dengan hati seorang rendah, untung dia masih kuasa mengekang emosi, kata-kata yang hampir dilontarkan ditelan kembali.

Tapi Bu-sam Niocu sudab berkobar amarahnya, jengeknya: "O, jadi kau ingin jadi pendekar perempuan yang menegakkan keadilan? Tapi jangan kau lupa kau ini adalah putri Bu-san-pang Pangcu, di pandangan orang lain, kau tetap adalah perempuan siluman."

"Tidak peduli bagaimana anggapan orang terhadapku, aku hanya mengejar ketentraman batin sendiri."

"Apa itu ketentraman batin sendiri, sementara aku tak usah berdebat dengau kau. Baiklah jawab pertanyaanku, apa betul kau tidak ingin kawin dengan Kek Lam-wi?"

"Aku tidak akan menikah dengan Kek Lam-wi. Tapi aku juga tidak akan tunduk padamu, apalagi menikah dengan putra mustika In Kip."

"Baik, asal kau tidak ingin kawin dengan Kek Lam-wi. Sekarang kau serahkan Kek Lam-wi kepadaku."

"Bu, apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?"

"Kau tidak perlu tahu. Bahwa kau masih memanggilku 'ibu', maka kau harus tunduk kepadaku, urusan lain kau tak usah turut campur. Nah sekarang buktikan bahwa kau tunduk kepadaku."

Bu Siu-hoa menghela napas, bentrok ibu dan anak jelas tidak mungkin didamaikan lagi. Terpaksa dia bilang: "Aku menolong Kek Lam-wi, tentu sudah lepas dia pergi. Bagaimana aku harus mencarinya pula untuk kuserahkan kepada kau?"

"Orang lain bisa kau tipu dengan obrolanmu, memangnya kau mau menipu ibumu juga? Kek Lam-wi terkena obat biusku, meski kau bisa menawarkan kadar racunnya, tenaganya juga tidak akan pulih selekas itu. Berani kau melepasnya pergi seorang diri tanpa melindunginya. Dia pasti kau sembunyikan dimana, lekas serahkan dia kepadaku."

"Ada orang melindunginya. Dia betul-betul sudah pergi. Bu, kau tidak percaya, apa boleh buat."

"Aku justru tidak percaya, kini biar kutegaskan walau kau bukan anak kandungku jelek-jelek sejak kecil kau kuasuh dan kubimbing sebesar ini, apakah kau masih pandang aku ini ibumu?"

"Bu, terlalu berat kata-katamu. Sejak kecil aku sudah kematian ibu, mana berani aku melupakan budi bimbinganmu?"

Di tempat sembunyinya diam-diam Kek Lam-wi membatin: "Ternyata perempuan siluman ini adalah ibu tirinya, tak heran mereka tidak mirip ibu beranak."

"Bagus, bila kau masih punya rasa cinta kasih terhadap orang tua, lekas serahkan dia. Sampai disini saja perkataanku."

Bu Siu-hoa kertak gigi, katanya: "Jangan kata dia benar-benar sudah pergi, umpama belum pergi, anak juga takkan tunduk akan perintahmu."

"Kau tidak mau serahkan, memangnya aku tidak bisa menemukan?" mulut bicara, diam-diam dia sudah genggam Bwe-hoa-ciam terus ditimpukkan. Senjata rahasia sekecil itu tersebar luas melesat ke semak rumput-rumput. Untung tempat persembunyian Kek Lam-wi dialangi batu besar, jaraknya juga jauh tak mungkin tercapai oleh daya luncuran jarum kecil itu.

Tiba-tiba Bu-sam Niocu tertawa dingin, katanya: "Lantaran Kek Lam-wi, kau terima membangkang perintahku aku jadi ingin tahu apakah dia juga punya hati terhadap kau? Kek Lam-wi, kau dengar kalau tidak segera kau keluar, biar kubunuh dia."

Tersirap darah Bu Siu-hoa serunya: "Bu, kau hendak membunuhku?"

"Tadi sudah kukatakan, kau tidak tunduk pada perintahku, hubungan ibu dan anak sudah putus, Seharusnya kau tahu, bila aku tidak bertangan gegebah dan berhati kejam, memangnya sejauh ini aku mampu menjadi Pangcu?" di tengah tawa dinginnya, kembali dia ayun tangannya, tapi arahnya ditujukan kepada Bu Siu-hoa. Sebatang paku menyamber lewat di pelipis Bu Siu-hoa.

Habis menimpuk senjata rahasia Bu-sam Niocu menubruk maju pula, bentaknya: "Hubungan sudah putus, hayo lawan aku."

Sembari menghindar Bu Siu-hoa berteriak: "Bu, boleh kau bunuh aku, tapi lepaskan Kek Lam-wi."

"Sundel, karena cinta kau tidak setia lagi terhadapku sayang Kek Lam-wi justeru tidak mau keluar menolong jiwamu. Hm, apa yang telah kuucapkan tak pernah kujilat kembali, kecuali Kek Lam-wi berhasil kutangkap, aku boleh mengampuni jiwamu. Kalau tidak kalian akan sama-sama kubunuh, pertama kubunuh kau baru kubunuh Kek Lam-wi. Memangnya aku tidak bisa menemukan dia?"

"Cret" baju Bu Siu-hoa tercengkram robek oleh jari Bu-sam Niocu, pundaknya sampai terluka lecet, untung tulang pundaknya tidak cidera. Pada hal dia sudah nekad mau adu jiwa, tak urung dia menjerit kaget.

Pada saat itulah, mendadak seorang membentak: "Kek Lam-wi disini, perempuan siluman, kemarilah."

Baru saja Bu-sam Niocu menoleh, tiba-tiba terasa kesiur angin menerjang tiba. "Plok" dadanya telak tertimpuk sebutir batu, sakitnya seperti ditusuk pisau.

Walau Kek Lam-wi tertutuk jalan darah pelemasnya oleh Bu Siu-hoa, tapi karena dia takut mengganggu kesehatan Kek Lam-wi, maka tutukannya tidak menggunakan Jong-jiu-hoat. Tenaga Kek Lam-wi sudah mulai pulih, dengan bekal tenaga yang sedikit ini ternyata cukup untuk kerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to. Kebetulan di saat genting itu, tutukan Hiat-tonya bebas dan dapat bergerak dan bersuara.

Bu-sam Niocu kira Kek Lam-wi tidak punya tenaga untuk melawannya, siapa sangka orang masih mampu melancarkan Tam-ci-sin-thong dari Kungfu tingkat tinggi.

Melihat Kek Lam-wi menerjang keluar, kejut Bu Siu-hoa melebihi waktu jiwanya terancam cengkraman ibunya. Untuk melindungi Kek Lam-wi juga demi keselamatan diri sendiri, dia tidak pikir lagi, di waktu Kek Lam-wi menjentik sebutir batu, diapun menimpukkan sebuah senjata rahasia.

Begitu menerjang keluar, baru saja Kek Lam-wi hendak memburu kearah Bu Siu-hoa, tiba-tiba "BUM" terjadi sebuah ledakan, pandangan menjadi gelap, asap mengepul api menjilat, kontan dia jatuh semaput.

Bila Kek Lam-wi siuman pula didapati dirinya rebah didalam sebuah gua. Bu Siu-hoa duduk di sampingnya, membelakangi dinding, pakaiaan bagian atas tersingkap, tangannya memegang sebuah benda seperti kepingan besi ditekan di dada. Melihat Kek Lam-wi membuka mata lekas dia melengos sambil memutar tubuh, tersipu-sipu dia membetulkan pakaiannya.

Kek Lam-wi kaget, katanya: "Nona Bu kau terluka?"

Getir tawa Bu Siu-hoa, katanya: "Syukur aku hanya terkena jarum beracun, jarumnya sudah kusedot keluar. Bagaimana kau?"

Kek Lam-wi menarik napas, pelan-pelan dia bergerak hendak berdiri, namun terasa tubuh lemas lungfai, mulut getir dada mual ingin muntah. Katanya: "Tidak apa, cuma rasanya mual seperti keracunan, tapi tidak terluka bagian dalam."

Melihat orang bicara seperti biasa, lega hati Bu Siu-hoa, katanya: "Kau terkena tiga batang jarum beracun, semua sudah kukeluarkan dengan besi semberani. Kau sedikit menghirup asap beracun, kukira tidak jadi soal. Tadi kau pingsan setengah hari."

"Terima kasih, kembali nona menolong jiwaku."

"Berkat Lwekangmu sendiri yang tangguh, aku punya jasa apa? Kalau dibicarakan sepantasnya aku harus minta maaf kepadamu. Karena menimpuk pelor asap itu, sehingga kau terkena racun berganda."

Keluarga Bu memiliki sejenis senjata rahasia yang dinamakan Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam, untuk melindungi Kek Lam-wi melarikan diri, walau tidak berani menimpukkan Bwe-hoa-ciam melukai ibunya di tengah kepulan asap, tapi asap tebal itu memang beracun. Di kala Bu Siu-hoa menimpukkan pelor asapnya diapun tersambit oleh jarum beracun Bu-sam Niocu.

"Mana ibu tirimu?" tanya Lam-wi.

"Kupanggul kau dan lari terbirit-birit, untung dia tidak mengejar, mungkin dia juga terluka. Sungguh berbahaya, jikalau jentikan batumu itu tidak tepat mengenai sasarannya, mungkin kita sukar lolos dari renggutan elmaut?"

"Tempat apakah ini?"

"Lobang batu di atas Thian-ping-san. Siang tadi waktu aku keluyuran di atas gunung, tanpa sengaja kutemukan lobang ini Di depan lobang penuh ditumbuhi semak berduri, yakin mereka takkan menemui tempat ini"

Kek Lam-wi diam saja, coba-coba dia kerahkan hawa murni, betapapun tenaganya tak mampu dikerahkan. Kiranya beberapa bagian tenaganya yang berhasil dipulihkan setelah ia berhasil menjebol tutukan Hiat-to, karena dia harus mengembangkan Tam-ci-sin-thong, tenaga sedikit yang telah pulih itu seketika ludes pula, maka dia harus mulai dari permulaan pula.

Bu Siu-hoa tertawa pahit, katanya: "Sekarang tentunya kau maklum, kenapa semula aku tidak mau memberi tahu namaku kepada kau? Kau membenciku tidak?"

"Teratai tumbuh dalam lumpur tapi tidak kotor, apalagi kau bukan anak kandungnya. Kau menolong jiwaku, berterima kasih juga belum sempat, kenapa aku harus membencimu."

Melihat sikap bicaranya tulus dan sungguh-sungguh, seketika cerah wajah Bu Siu-hoa, senyum manis menghias mukanya. Tapi hanya sekejap saja, tiba-tiba dia menghela napas rawan. Kata Bu Siu-hoa setelah menghela napas: "Ada satu hal belum kau ketahui, bila sudah tahu, mungkin kau bisa membenciku setengah mati."

Bercekat hati Kek Lam-wi, katanya: "Ada sebuah hal memang ingin kutanya kepadamu. Toh So-so apakah sudah jatuh ke tangan ibu tirimu, apa pula yang dilakukan atas dirinya? Kurasa kau tahu jelas tentang hal ini?"

"Yang ingin kubicarakan dengan kau memang urusan ini?" kata Bu Siu-hoa.

Jantung Kek Lam-wi jadi deg-degan, pikirnya: "Mungkin So-so mengalami nasib jelek, kalau tidak kenapa Bu Siu-hoa kuatir untuk membicarakan hal ini dan takut aku membencinya?"

Seperti meraba isi hatinya, Bu Siu-hoa berkata: "Kek-jithiap, kau tidak usah kuatir, nona Toh itu tidak terjatuh ke tangan ibu tiriku, mereka hanya menipu kau."

Terbelalak girang Kek Lam-wi, katanya: "Apa betul? Lalu dimana dia sekarang?"

"Tiga hari yang lalu dia masih di Yang-ciu, tapi sekarang dimana, aku tidak tahu," yang benar Bu Siu-hoa tahu, namun dia tidak ingin segera memberi tahu kepada Kek Lam-wi.

Lega hati Kek Lam-wi, tanyanya: "Lalu dari mana In Kip bisa memperoleh tusuk kondai itu sehingga dia memancing aku untuk memenuhi undangannya bersama Ouw-tiap-piau milik ibu tirimu. Sikap dan perkataan mereka membuat aku mau tidak mau percaya, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

"Tusuk kondai itu akulah yang mencurinya. Akulah yang membantu mereka sehingga kau ketipu. Kau sudah jelas?" Setelah kejadian sesungguhnya dia ceritakan kepada Kek Lam-wi, Siu-hoa menambahkan: "Setelah mereka tahu Toh So-so juga sudah pulang ke kampung halamannya, sebetulnya ada maksud Iri Kip hendak mencelakainya. Dia suruh orang Hoay-yang-pang membantu aku mengatur tipu daya sehingga Toh So-so tertipu olehku, In Kip bilang nona Toh adalah putri seorang saingannya, dia suruh aku meringkus pulang setelah mencekok dia dengan racun, kalau tidak bisa hidup matipun boleh. Tapi umpama nona Toh sampai mati, aku harus membawa suatu benda sebagai tanda bukti, kalau tidak mereka tidak mau percaya kepadaku."

"Lalu kenapa kau tidak turuti kehendak mereka? Apakah setelah kau bertemu dengan So-so, kau lantas tahu asal-usulnya?"

"Bukan begitu. Kungfu nona Toh amat tinggi, sudah tentu sejak lama aku tahu dia bukan perempuan sembarangan. Tapi sampai kemarin baru aku tahu, dia dan kau adalah sepasang kekasih didalam Pat-sian."

Kek Lam-wi berpikir: "Jadi bukan karena dia jeri terhadap Pat-sian maka dia tidak berani mencelakai So-so. Walau berbuat salah, betapapun dia masih memiliki benih-benih kebaikan."

Bu Siu-hoa bicara lebih lanjut: "Kanglam-pat-sian baru saja menimbulkan keributan besar di kota raja, sudah tentu nona Toh tidak mau menerangkan asal-usulnya kepadaku. Tapi sikapnya terhadapku justru seperti kakak beradik baiknya, kumpul beberapa hari, sungguh aku jadi tidak tega turun tangan kepadanya. Akhirnya kucuri tusuk kondainya dan pulang memberi tahu In Kip, kukatakan lantaran Kungfunya teramat tinggi, aku jauh bukan tandingannya. Begitu minum arak yang kucampur obat bius segera tahu perbuatanku. Aku bukan lawannya, terpaksa hanya berhasil merebut sebatang tusuk kondai saja."

"Apa mereka tidak curiga akan cerita bohongmu?"

"Yang kuceritakan bukan semuanya bohong, Toh-cici berkepan-daian tinggi, memangnya In Kip tidak tahu? Kalau ceritaku lima puluh persen bohong, tapi tusuk kondai itu barang tulen."

"Waktu itu kau berada di Soh-ciu, In Kip tahu kau menginap di hotel dalam Say-cu-lim miliknya sendiri. Segera dia mengatur tipu daya, menggunakan tusuk kondai itu dia hendak menipumu masuk perangkap, bahwa kau ternyata kena ditipu terbukti bahwa tusuk kondai itu memang bukan palsu, sudah tentu obrolanku tidak dicurigai lagi."

"Setelah percaya kepadaku. Baru mereka membiarkan aku tahu rahasia mereka. Semalam otakku bekerja hingga terang tanah, hatiku amat menyesal, tidak sepantasnya aku mencelakakan engkau, kuharapkan pula lantaran peristiwa ini bisa memperoleh imbalan, supaya ibu tiriku sadar akan kesalahannya dan bertobat untuk kembali ke jalan lurus, karena itu aku berkeputusan untuk menolong kau."

"Percakapanmu dengan ibu tirimu tadi, aku mendengar semuanya, tahu salah dapat merubahnya adalah perbuatan bijaksana, aku tidak menyalahkan kau."

"Kau tidak salahkan aku, aku sudah amat berterima kasih, bila kau bicara sungkan lagi, hatiku akan lebih tak tenteram lagi. Tapi, apakah dalam hatimu tiada ganjalan sedikitpun?"

Seperti terkorek isi hati Kek Lam-wi, katanya dengan suara guram: "Yang kukuatirkan adalah So-so, dia tidak menemukan aku, entah betapa gelisah batinnya. Aku mati tidak jadi soal, tapi sebelum melihat dia, si..." ternyata hati kecilnya kira-kira sudah menerka, apa sebab Toh So-so minggat meninggalkan dirinya tanpa pamit, kemungkinan karena sedikit salah paham. Bila dia tidak bisa bertemu dengan So-so, salah paham itu akan selalu bersemayam dalam sanubarinya, bukankah akan menimbulkan penyesalan seumur hidup?

Tapi Bu Siu-hoa memang ada budi pertolongan terhadap dirinya, betapapun gadis yang baru dikenalnya, bagaimana isi hatinya, rikuh untuk dituangkan kepada Bu Siu-hoa.

Walau dia tidak menuangkan perasaan hatinya, namun sebagai gadis perasa, tanpa dijelaskan lagi Bu Siu-hoa sudah tahu apa yang dia pikirkan. Dengan tawa paksa dia berkata: "Aku sedang berpikir ke arah yang paling buruk, namun urusan kukira tidak sampai sefatal itu. Orang baik pasti dikaruniai oleh Thian. Kek-jithiap, aku percaya suatu ketika kau pasti bisa bertemu lagi dengan Toh-cici."

Kek Lam-wi juga tertawa dipaksakan, katanya: "Ya, semoga seperti yang kau doakan."

Bu Siu-hoa menghela napas panjang sambil melengos kesana. Dalam keadaan sama mengalami kesulitan ini, sepantasnya keduanya memerlukan hiburan. Tak tahan Kek Lam-wi bertanya: "Nona Bu, kaupun ada ganjalan hati apa, boleh beritahu kepada aku?"

"Ah tidak, aku hanya iri terhadap Toh-cici."

Kek Lam-wi melengak, tiba-tiba dia teringat olok-olok Bu-sam Niocu kepada putrinya tadi. "Benarkah dia menaksir aku, jatuh cin..."

Belum lanjut pikiran Lam-wi, tiba-tiba didengarnya Bu Siu-hoa berkata: "Aku iri terhadap Toh-cici karena ada orang yang mau memperhatikan dia. Tapi aku kini sebatang kara. Bila kau tidak merasa..." tegak alis Bu Siu-hoa.

"Usiaku lebih tua, bila kau sudi, boleh kita angkat saudara, bagaimana?" "

Sejenak Bu Siu-hoa terpaku, mendadak dia terkial-kial sambil menengadah, serunya: "Bagus, bagus sekali. Kau tidak anggap diriku rendah, itulah rejekiku. Pada hal aku ini dianggap perempuan siluman oleh orang lain, hari ini bisa memperoleh seorang kakak segagah kau umpama aku gugur nanti juga aku akan mati dengan meram," nada tawanya kedengaran agak getir dan pilu.

Melihat tawanya kurang normal, cepat Kek Lam-wi berkata: "Jangan ngomong yang kurafg baik, seperti apa yang kau katakan tadi, orang baik pasti dikaruniai Thian, yakin kita akan bisa lolos. Oh, belum aku memberitahu kepada kau, aku punya dua teman yang berkepandaian tinggi..."

"Maksudmu Tan Ciok-sing dan In San?"

"Ya, benar, ternyata kau sudah tahu."

"Dari cerita In Kip aku tahu, Tang-bun Cong dan lain-lain sedang mengikuti jejaknya, maka merekapun menguntit sampai di Soh-ciu."

"Kemarin mereka sudah berjanji hendak membantu aku, di rumah kediaman In Kip mereka tidak menemukan aku, pasti masih terus mencari jejakku. Karena itu kemungkinan kita bisa kepergok orang In Kip, tapi juga mungkin ketemu mereka."

"Biarlah kita mengadu nasib. Tapi peduli bagaimana nasib kita, sekarang aku tidak merasa kuatir lagi. Aku sudah menjadi adikmu, apa yang kuinginkan sudah terkabul, Thian Yang Maha Kuasa cukup banyak memberi kepadaku, apa lagi yang kuharapkan?"

Maka didalam lobang batu itu mereka jongkok berjajar, menyembah dua belas kali kepada langit dan bumi mengangkat saudara sebagai kakak adik.



000OOO000



Tan Ciok-sing dan In San sudah pulang ke Ham-san-si.

Begitu Tam Pa-kun dan Toh So so melangkah masuk, mereka lantas berlari keluar menyongsong dengan tawa riang.

Kata Tan Ciok-sing " Taim Tayhiap, aku memang ingin menyusulmu ke villa In Kip tapi ternyata kau sudah pulang, mana Kek-toako."

Sementara In San memeluk Toh So-so kencang-kencang dengan perasaan haru, sesaat dia pegang lengan So-so serta bertanya: “Toh-cici, akhirnya kita bertemu lagi. Kau bertemu Kek-toako tidak? Lantaran kau Kek-toako ditipu In Kip untuk memenuhi undangannya, kau sudah tahu akan hal ini bukan?"

"Aku sudah tahu," sahut Toh So-so, "tapi aku belum bertemu dengan dia. Dia digondol pergi seorang perempuan siluman," sampai disini dia berpaling ke arah Tam Pa-kun dan menyengir, "Paman Tam, tidak nyana akulah yang menang taruhan."

Tan Ciok-sing saling pandang, tanyanya bersama: "Apa yang telah terjadi?"

"Panjang ceritanya, mari bicara didalam," ujar Toh So-so.

Waktu itu baru saja terang tanah, Toh So-so menyatakan ingin menghadap Kiau-jan Taysu. Tan Ciok-sing berkata: "Kiau-jan Taysu sedang sembahyang pagi."

Terpaksa Toh So-so batalkan niatnya setelah diberi penjelasan oleh Tam Pa-kun pula. Lalu Toh So-so ceritakan pengalaman dan apa yang dia ketahui kepada Ciok-sing dan In San.

Dengan tertawa In San berkata: "Paman Tam, taruhanmu dengan

Toh-cici, menurut pendapatku hanya kalah separo."

Toh So-so melengak. "Lho, koh begitu?"

"Walau nona Bu tidak membawa Kek-toako ke Ham-san-si, jelas dia tidak bermaksud jahat kepadanya."

"Ya, aku percaya. Walau dia mencuri tusuk kondaiku dan mengatur tipu daya membantu In Kip sehingga Kek-toako tertipu. Tapi dia tidak mencelakaiku mumpung ada kesempatan, dari sini dapat kusimpulkan bahwa hatinya memang tidak jahat."

"Apalagi menurut ceritamu tadi, pertolongannya terhadap Kek-toako dari penjara bawah tanah jelas bukan permainan sandiwara yang sekongkol dengan In Kip. Asal dia punya maksud baik menolong orang, jadi tanpa ada muslihat, cepat atau lambat Kek-toako pasti dapat pulang mencari kau."

Toh So-so bilang, "Yang tidak kumengerti justru kenapa dia berbuat demikian? Bu-sam Niocu memang bukan ibu kandungnya, tapi mereka kan segolongan. Kenapa lantaran Lam-wi, dia rela mengkhianati mereka?"

In San cekikikan, katanya: "Toh-cici, jadi lantaran itu kau masih tidak lega hatimu? Pada hal cinta kalian tumbuh sejak masih kecil, seharusnya kau percaya padanya bahwa dia tidak akan mengalihkan cintanya kepada perempuan lain."

Merah wajah Toh So-so, katanya: "Siapa pingin, kalau aku kuatir, kali ini memangnya aku tak bisa meninggalkan dia."

"Sesama manusia logis bila terjadi kesalahan paham. Sampaipun manusia yang paling dekat sekalipun, suatu ketika juga demikian. Oh, ya, ada berita gembira belum sempat kuberitahu kepadamu. Toan Kiam-ping dan Han Cin cici sudah bertunangan, tak lama setelah kau meninggalkan Pakkhia, merekapun pulang ke Tayli."

Mendadak ln San menyinggung pertunangan Toan Kiam-ping dengan Han Cin, dua persoalan ini tiada sangkut pautnya satu dengan yang lain, tapi Toh So-so maklum kemana arah tujuan perkataannya. Tak urung jengah mukanya, katanya: "Kemarin aku sudah mendengar berita ini dari Kwik Ing-yang dan Ciong Bin Siu," dalam hati dia membatin: "Salah pahamku terhadap Han Cin memang kekeliruanku. Tapi putri Bu-sam Niocu mana bisa dibanding Han Cin keturunan genah dari keluarga ternama." Namun setelah mendengar penjelasan In San, paling tidak mau percaya bahwa Bu Siu-hoa tidak punya maksud mencelakai Kek Lam-wi. Kek Lam-wi pun takkan mengalihkan cintanya, tentramlah hatinya.

Tam Pa-kun berkata: "Untuk sementara yakin Lam-wi tidak akan mengalami bahaya, yang kukuatirkan justeru persoalan lain."

"Persoalan apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Tang-bun Cong dan Poyang Gun-ngo jelas berada di Soh-ciu, tadi mereka juga berada di rumah In Kip, tapi tidak pernah menunjukkan diri."

Toh So-so berkata: "Mungkin karena kau telah membekuk In Hou, mereka keluar juga tidak akan merubah situasi."

"Mungkin itu salah satu sebab, tapi kukira urusan tidak semudah itu."

Toh So-so tersentak sadar, "Betul?" katanya, "waktu aku menerjang ke rumah keluarga In mereka juga tiada yang merintangi. Paman Tam tidak perlu heran bahwa mereka jeri padamu, tapi terhadapku sebetulnya mereka tidak perlu kuatir, hal ini jadi membingungkan."

"Kedua orang itu punya latar belakang yang luar biasa, agaknya mengemban suatu tugas khusus yang serba rahasia, maka mereka tidak mau unjuk diri di muka umum. Walau kita tidak tahu apa rencana dan muslihat mereka, lapi kita harus berusaha memberitahu hal ini kepada Ong Cecu "

"Paman Tam," kata Toh So-so, "bukankah kau hendak ke Tong-thing-san barat memberi selamat ulang tahun Ong Cecu?"

"Sebetulnya kami dan Kek Lam-wi juga akan kesana memberi selamat ulang tahun kepada Ong Cecu," demikian timbrung Tan Ciok-sing, "tapi ulang tahun Ong Cecu pada tanggal dua puluh dua bulan ini, masih ada sepuluh hari lagi."

"Kalian bisa berangkat dini, kan tidak jadi soal. Biar aku tinggal disini mencari Kek-toako, kalian tidak usah menguatirkan diriku."

"Tam Tayhiap ada sebuah janji lain, waktunya sudah ditentukan tanggal delapan belas bulan ini, alamatnya di Hay-ling," kata Tan Ciok-sing.

"Aku justru sedang menguatirkan hal ini, yang mengundang aku adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak maka aku harus memenuhi undangannya itu. Walau kali ini In Kip menderita rugi yang berakibat cukup fatal dari kita, kukira nyalinya sudah pecah dan jera. Tapi kita tidak boleh puas diri, harus tetap siaga dan waspada. Lalu siapa yang harus diutus ke markas Ong Cecu memberitahukan hal ini, calonnya harus kita pikirkan dengan baik dan tepat."

Sampai disini pembicaraan mereka, seorang hwesio cilik datang memberitahu: "Cong-piauthau Ceng-lam Piaukiok Seng

Tay-coan dengan seorang pengemis tua datang minta bertemu dengan Tam Pa-kun."

Tam Pa-kun berkata: "Yang datang bersama Seng Tay-coan, pasti adalah sahabat dari Kaypang." Lekas dia suruh hwesio cilik menyilakan tamunya masuk.

Dugaan Tam Pa-kun memang tidak meleset yang datang bersama dengan Seng Tay-coan bukan saja orang Kaypang malah sebagai Thocu cabang Soh-ciu bernama Kiau Tiong. Kiau Tiong sudah kenal baik dengan Tam Pa-kun dan Toh So-so. Tapi baru pertama kali ini bertemu dengan Tan Ciok-sing dan In San.

Setelah sama memberi hormat. Kiau Tiong berkata dengan tertawa: "Toh Lihiap, kiranya kau juga ada disini sungguh kebetulan. Aku memang sedang mencarimu. Sebetulnya apa yang terjadi dengan penculikan dan pencurian, itu, apakah tusuk kondaimu sudah kau temukan?" ternyata Kaypang cabang Yang-ciu telah mengirim kabar kepadanya, maka dia tahu bahwa Toh So-so kehilangan tusuk kondai di Yang-ciu kini kedatangannya ke Soh-ciu adalah untuk menyelidiki kejadian ini. Sebagai penduduk setempat, adalah menjadi kewajibannya untuk bantu memecahkan persoalan pelik ini.

Sementara Seng Tay-coan sudah memperoleh laporan muridnya yang menyaru jadi kacung di perhotelan dalam Say-cu-lim, begitu ada kesempatan segera dia tanya kepada Tan Ciok-sing: "Kabarnya, Kek-jithiap kemarin telah memenuhi undangan In Kip, apakah dia sudah pulang?"

"Tam Tayhiap dan nona Toh justru baru pulang dari villa In Kip itu," sahut Tan Ciok-sing.

Tahu gelagat jelek, lekas Seng Tay-coan bertanya: "Jadi kalian belum menemukan Kek-jithiap??"

Toh So-so tertawa getir, katanya: "Orangnya belum pulang, barangnya juga belum ketemu."

Habis mendengar cerita, Kiau Tiong berkata: "Toh Lihiap tidak usah kuatjr, asal Kek-jithiap masih di Soh-ciu, orang-orang Kaypang kita pasti dapat menemukan dia. Tam Tayhiap, tugas mengirim kabar kepada Ong Cecu boleh serahkan kepadaku?"

"Begitu memang lebih baik," ujar Tam Pa-kun tertawa. "Sesama kawan sendiri, akupun tak perlu sungkan terhadapmu."

"In Lihiap," kata Kiau Tiong pula, "dan Toh Lihiap kurang leluasa tinggal di Ham-san-si, bagaimana kalau kalian pindah ke tempat kediamanku?"

"Aku ada perjanjian lain, sebentar juga akan berangkat ke Hay-ling," kata Tam Pa-kun. Tan Ciok-sing, In San dan Toh So-so terima undangan Kiau Tiong.

Sebelum hari menjadi petang merekapun berpencar menuju ke arah tujuan masing-masing.

Orang-orang Kaypang tersebar luas, mereka bisa mengirimkan kabar secara kilat ke berbagai penjuru, setelah mendapat bantuan Kiau Tiong, legalah hati Toh So-so. Tapi apakah bisa menemukan Kek Lam-wi masih jadi persoalan, sehari sebelum Kek Lam-wi ditemukan, betapapun hatinya tidak bisa tentram.



000OOO000



Bagaimana keadaan Kek Lam-wi?

Setelah tidur nyenyak, begitu dia siuman, mentari ternyata sudah doyong ke sebelah barat. Sambil kucek-kucek mata dia berteriak: "Nona Bu."

Setelah diulang tiga kali tetap tidak mendengar jawaban Bu Siu-hoa, seketika hatinya bercekat. Sejenak dia tentramkan hati, lobang batu itu remang-remang karena hanya memperoleh secercah cahaya dari celah-celah batu, dengan seksama dia perhatikan sekitarnya, bayangan Bu Siu-hoa memang tidak kelihatan, tapi di sampingnya terdapat sebuah tempurung yang berisi air jernih Tempurung ini ternyata jauh lebih besar dari tempurung yang biasa pernah dia lihat, agaknya Bu Siu-hoa memperolehnya secara darurat.

Dalam hati Kek Lam-wi berpikir: "Batu besar itu semula tidak ada, mungkin Siu-hoa takut orang menemukan lobang batu ini maka dia ambil batu besar menyumbat mulut lobang. Kalau begitu, luka-lukanya ternyata sudah sembuh dan lebih baik dari aku. Air dalam tempurung ini juga dia yang menyiapkan. Entah karena dia merasa rendah diri sehingga menyingkir dari depanku? Atau sedang keluar mencari makanan?"

Begitulah dengan menahan sabar Kek Lam-wi menunggu sampai hari menjadi gelap, dalam gua tak bisa melihat ke lima jari sendiri, namun Bu Siu-hoa yang ditunggu-tunggu masih juga belum pulang.

Tanpa merasa Kek Lam-wi jadi mereka-reka dan bimbang, apakah dirinya harus keluar mencari makan, atau tetap tinggal dalam lobang batu saja menunggu Siu-hoa pulang?



000OOO000



Tatkala itu Bu Siu-hoa sendiri juga sedang gundah gulana sukar mengambil keputusan.

Rekaan Lam-wi akan dua hal itu boleh dikata tepat sekali. Memang Siu-hoa merasa rendah diri, secara diam-diam tadi dia sudah siap tinggal pergi. Tapi selama hidup sampai sebesar ini belum pernah dia mendapat teman sejati, apalagi dia tahu bahwa Kek Lam-wi tidak mungkin mencintai dirinya, namun dia merasa berat untuk meninggalkan teman lelaki ini. Dan lagi belum lama mereka baru saja angkat saudara.

"Cepat atau lambat Kek-toako kan akan rujuk kembali dengan Toh So-so, bila aku selalu mengikuti dia, berarti aku menyusup di tengah mereka, lalu apa artinya? Umpama Kek-toako tidak membenciku, lama kelamaan Toh So-so pasti bosan dan sebal melihat tampangku."

"Tadi aku sudah memeriksa urat nadinya, besok pagi sedikitnya Lwekangnya sudah bisa pulih lima puluh persen. Aku sudah mendapatkan makanan untuk dia, semoga dia masih belum siuman, setelah meninggalkan makanan ini, baru aku pergi masih belum terlambat," dia tidak berani turun gunung, pegunungan ini banyak ditanami pohon-pohon teh, di sekitarnya pasti petani yang tinggal di atas gunung, kepada mereka dia akan membeli penganan apa saja yang bisa dibuat mengisi perut.

Apakah di atas Thian-ping-san dia bisa menemukan petani yang diharapkan, dia tidak tahu. Walau Thian-ping-san bukan gunung tinggi dan berbahaya, namun bukan soal gampang untuk menemukan rumah petani di pegunungan ini.

Tiba-tiba dia menemukan jejak manusia.

Didengarnya seorang berkata: "Toako, kau melihat pengemis itu tidak?" suaranya seperti sudah amat dikenal. Ternyata dia bukan lain adalah pengurus rumah tangga In Kip, yaitu Ong Cong-king.

Sudah tentu kagetnya bukan main, lekas dia sembunyi di semak-semak. Suara Ong Cong-king tidak jauh dari tempat dimana dia berada, untung di antara mereka teraling batu gunung raksasa. Bu Siu-hoa lekas sembunyi pula sehingga jejaknya tidak konangan mereka. Namun tak urung keringat dingin membasahi jidatnya. "Ong Cong-king tentu ditugaskan mencari aku, entah siapa yang dia panggil 'toako' itu?"

Tengah dia menduga-duga, orang yang dipanggil Toako sudah berkata: "Sudah kulihat, kenapa sih?"

"Di atas pegunungan yang belukar ini, masa pengemis kemari mau minta sedekah, apakah tidak aneh dan mencurigakan?" apa yang dia curigai tepat seperti apa yang dipikirkan Bu Siu-hoa.

Toako itu berkata tawar: "Kita urus tugas kita, jangan mencampuri orang lain."

Maka terdengar Ong Cong-king dengan seorang lagi bertanya bersama: "Lho, kenapa? Kukira pengemis yang satu ini bukan pengemis sembarangan," suara orang ketiga ternyata juga dikenal baik oleh Bu Siu-hoa, dia bukan lain adalah kuasa hotel di Say-cu-lim-Koan Cong-yau.

Toako itu berkata: "Kalau hanya pengemis biasa tidak ambil perhatian. Jikalau murid Kaypang, pada hal Kaypang dengan Giam-ong-pang kita umpama air sungai dengan air sumur, buat apa kita cari permusuhan dengan mereka? Kecuali mereka berani mengusik kita. Kalau tidak menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah peduli pada seorang pengemis."

Mendengar penjelasan masuk akal, Ong dan Koan berkata: "Pendapat Toako memang benar dia sudah turun gunung, agaknya belum tahu akan jejak kita disini."

Mendengar pembicaraan mereka sampai disini, Bu Siu-hoa lantas sadar dan tahu siapa 'Toako' yang ajak mereka bicara. Dengan kaget Bu Siu-hoa berpikir: "Agaknya orang ini adalah Giam Cong-po, Pangcu dari Giam-ong-pang, tak heran mereka memanggilnya 'Toako', sejak tadi seharusnya aku sudah menduga akan dirinya."

Sejak Giam-ong-pang bubai secara misterius dua puluh tahun yang lalu, tiada orang tahu dimana jejak Giam Cong-po selanjutnya.

Tak nyana mendadak dia muncul disini bersama kedua wakilnya, karena itu semula Bu Siu-hoa tidak berani menduga akan dirinya.

Giam Cong-po berkata: "Bicara soal tugas, tadi belum dibicarakan sampai selesai, apa yang telah kalian persiapkan?"

Koan Cong-yau menghela napas katanya: "Bu Siu-hoa budak keparat itu bikin kapiran orang saja. Aku dan Jiko kali ini ketimpa sial gara-gara perbuatannya."

Tidak meleset dari dugaan Bu Siu-hoa, ternyata mereka sedang mencari dirinya. Siu-hoa sendiri mendengar jantungnya berdegup keras.

Giam Cong-po berkata: "Budak yang kau maksud apakah putri Bu-sam Niocu?"

"Betul," ucap Koan Cong-yau, "toako belum pernah melihat budak itu, masih muda jelita lagi, tapi ternyata amat licin. Sebelum kejadian kami tiada yang menduga, sebesar itu nyalinya berani menolong Kek Lam-wi."

"Memangnya Bu-sam Niocu tidak bisa ngurus putrinya itu?" jengek Giam Cong-po.

"Walau Bu-sam Niocu marah-marah, tapi sekarang dia tinggal minggat begitu saja, celaka adalah kita yang harus menanggung akibatnya," demikian kata Ong Cong-king.

"Akibatnya justru sukar dibereskan," kata Koan Cong-yau, "walau dia tidak memberi pernyataan jelas, terserah bagaimana kita akan membereskan budak itu, tapi mau tidak mau kita harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak."

"Kenapa harus berpikir dua belas kali?" tanya Giam Cong-po.

"Nyali In Kip sudah pecah karena kedatangan Tam Pa-kun, Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian, kini budak itu sudah sehaluan dengan Kek Lam-wi, bila ketemu mereka, kita jadi serba salah, main kasar atau menggunakan akal."

"Oo, jadi kalian jeri terhadap Tam Pa-kun dan Kanglam-pat-sian?" tanya Giam Cong-po.

Ong Cong-king menghela napas, katanya: "Bila Giam-ong-pang kita belum bubar, kukira tak perlu takut terhadap mereka, sekarang jelas takkan mampu menandingi mereka."

"Hiante jangan mengagulkan orang lain merendah diri sendiri. Kedatanganku kali ini adalah untuk membangkitkan kembali Giam-ong-pang kita. Aku sih ingin membekuk budak itu dan akan kuserahkan kepada Bu-sam Niocu."

"Begitupun baik, biar Bu-sam Niocu memberikan hukumannya sendiri, kita tidak usah mencampuri urusan rumah tangganya," kata Ong Cong-king.

"Bukan begitu maksudku, tujuanku adalah merangkul Bu-san-pang. Bu-sam Niocu kini sudah kehilangan tulang punggung, kini saatnya untuk mencaplok Bu-san-pang. Coba katakan betul tidak?"

"Benar," Koan Cong-yau menyokong. "Tang-bun Cong dan Poyang Gun-ngo sudah ke tempat lain. In Kip sudah jera menghadapi Tam Pa-kun dan orang Pat-sian, kini putri angkatnya sehaluan pula dengan Kek Lam-wi. maka Bu-sam Niocu kuatir In Kip takkan bisa melindungi keselamatan jiwanya pula."

Giam Cong-po tertawa gelak, katanya: "Biar In Kip takut Tam Pa-kun. aku tidak takut, In Kip tak mampu melindungi dia, akulah yang akan melindunginya. Bila Kek Lam-wi berhasil kubekuk, aku bisa mengadakan kontak jual beli dengan Tang-bun Cong, bila kejadian ini tercapai, Bu-sam Niocu tak usah kuatir disalahkan karena gara-gara putrinya buronan raja sampai terlepas."

Ong Cong-king berpikir: "Terlalu muluk perhitungan Toako," tapi dia tidak berani utarakan pendapatnya ini, terpaksa secara lunak dia berkata: "Bu-sam Niocu sekarang memang kepepet, sudah tentu dia mengharapkan bantuan, cuma Giam-ong-pang kita sekarang juga hanya tinggal namanya saja..."

Sebelum dia bicara habis Giam Cong-po sudah tertawa, katanya: "Kalian kira perhitunganku terlalu muluk? Aku kan belum menjelaskan, kau kira selama dua puluh tahun ini aku hanya makan tidur melulu? Sejak lama anggota kita yang bubar sudah kukumpulkan, yang belum kumpul juga sudah kuhubungi dan sering mengadakan kontak, sekarang hanya tunggu saatnya saja, sekali mendapat kabar mereka akan datang, bangkitlah Giam-ong-pang setelah tidur selama dua puluh tahun."

"Apa betul?" teriak Ong dan Koan bersama, "Sungguh menyenangkan."

Giam Cong-po berkata tawar: "Kukira kalian sudah kemaruk harta dan kedudukan, suka rela menjadi pegawai hartawan besar di Kanglam ini, berat untuk meninggalkan kedudukan yang sekarang."

"Kenapa Toako bilang demikian, meski hidup serba berkecukupan juga tetap sebagai yang terima gaji. Aku hanya kuai u Toako tidak mau menerimaku lagi "

Lekas Koan Cong-yau juga bilang: "Toako sudah turun gunung dan hendak membangkitkan Giam ong-pang kita pula, Siante |Ha» akan tetap setia kepadamu "

Giam Cong-po tertawa tergelak-gelak, katanya: "Hanya waktunya yang belum menguntungkan, tapi aku yakin usaha kita pasti berhasil, tinggal bagaimana aku menggarap Bu-sam Niocu sehingga dia terpelet olehku."

Timbul ingin tahu Koan Cong-yau. tanyanya: "Dengan cara apa, Toako boleh memberi tahu."

"Kita kan masih sesama saudara,' apa halangannya kuberitahu kalian, tapi kalian harus simpan rahasia."

Ong dan Koan menjawab bersama: "Itu sudah tentu. Memangnya Toako tidak percaya pada kami."

"Sudah tentu aku percaya, soalnya hal ini menyangkut rahasia pribadi orang lain, aku kuatir akibatnya cukup fatal maka aku tegaskan hal ini kepada kalian. Hal apa yang dapat menyebabkan Bu-sam Niocu tunduk kepadaku? Karena dia punya suatu kesalahan yang hanya diketahui olehku."

Ong Cong-king agak teliti, dia tidak berani tanya lagi, tapi Koan Cong-yau agak bodoh, dia tanya: "Kesalahan apa?”

"Kalian tahu bagaimana kematian Bu San-hun?" kata Giam Cong-po.

Bu San-hun adalah pejabat Pangcu Bu-san-pang yang terdahulu, yaitu ayah kandung Bu Siu-hoa. Bu Siu-hoa sembunyi di semak-semak, mendengar

percakapan menyinggung ayahnya hatinya amat kaget, segera pusatkan perhatian mendengarkan dengan seksama. Ong dan Koan sama kaget, Ong Cong-king berkata: "Tidak tahu,"-Koan

Cong-yau berkata: "Apakah Bu-sam Niocu yang membunuhnya?"

"Betul," kata Giam Cong-po, "dialah yang sekongkol dengan orang luar membunuh suami sendiri."

Saking kaget keringat dingin membasahi tubuh Bu Siu-hoa, pikirnya: "Dari perkataan Giam Cong-po, kematian ayah agaknya ada sangkut pautnya dengan ibu tiri, kalau bukan dia pembunuhnya, pasti dia biang keladinya. Selama belasan tahun ini, sikapnya terhadapku ternyata munafik, baik di lahir benci di batin, hakikatnya aku tidak tahu kalau dialah pembunuh ayahku, sungguh amat berbahaya."

Keadaan diluar tiba-tiba menjadi sunyi.

Bu Siu-hoa tidak bisa melihat keadaan diluar, mendadak suasana menjadi senyap, hatinya menjadi heran, pikirnya: "Kenapa mereka tidak bicara lagi?" lalu dia mendekam menempelkan telinga ke tanah, mendengarkan dengan seksama.

Didengarnya di lekuk bukit sebelah sana sayup-sayup seperti ada dua orang sedang bicara, suaranya tidak keras, tapi mendengar dengan mendekam di tanah, percakapan mereka bisa terdengar jelas.

"Gua yang kau katakan tadi kenapa tidak ketemu juga, apakah kesasar?"

"Aku masih ingat tempat itu, pasti tidak salah."

"Tapi tempat yang kau katakan itu hanya batu-batu gunung yang berserakan, lobang kecil juga tidak ditemukan."

"Tak usah kau mendesakku, coba biar kupikir. Ha, kutemukan sesuatu yang mencurigakan."

"Apa yang kau temukan?"

"Batu besar itu. Batu besar itu agak aneh."

"Batu itu jauh lebih besar dari batu lain yang ada disini, tapi batu itu bentuknya ya begitu, apanya yang aneh, kenapa kau katakan batu itu aneh?"

"Batu besar itu seperti pintu angin. Masih segar dalam ingatanku, waktu aku kemari kemarin aku pernah melihatnya dan duduk istirahat di atas batu besar itu."

"Kalau memang sudah ada disini, apanya, lagi yang kau buat heran."

"Kau tidak tahu, aku masih ingat kemarin batu besar itu tidak berada disini. Itu berarti letak batu itu telah tergeser dari tempatnya semula."

"O, itu berarti perbuatan manusia, entah siapa yang memindahkan-nya kemari."

"Memangnya, tanpa sebab buat apa orang itu memindah batu besar ini? Jikalau bukan untuk menjadi aling-aling atau penutup, memangnya dia mau memeras keringat menggeser batu?"

Sudah tentu Bu Siu-hoa amat kaget dan kuatir karena entah siapa telah menemukan lobang batu yang dia tutup dengan batu besar, tengah dia memeras otak, tiba-tiba didengarnya Giam Cong-po tertawa lirih, katanya berbisik: "Dicari susah payah tidak ketemu, diperoleh tanpa membuang tenaga. Hehe, biarkan pengemis itu menemukan persembunyian Kek Lam-wi dan budak itu, baru nanti gasak mereka."

Karuan jantung Bu Siu-hoa berdebar-debar, dengan cara apa dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi?

Agaknya pengemis itu menghadapi kesulitan, setelah istirahat seorang berkata: "Tapi dengan kekuatan kita berdua, belum tentu mampu menggeser batu besar ini."

Pengemis yang lain tiba-tiba tertawa.

"Toako, kenapa kau tertawa?"

"Kau kuatir tidak mampu menggeser batu ini memangnya kita tidak bisa mengundang bala bantuan!"

"Betul, kalau begitu begini saja, aku pulang mengundang bantuan, kau berjaga di mulut lobang, kuatirnya bila perempuan siluman itu membawa lari Kek-jithiap, tentunya kau juga maklum ke arah mana mereka akan pergi."

Terdengar Koan Cong-yau berkata lirih di persembunyiannya: "Bagaimana kita?"

"Jite," kata Giam Cong-po, "kau sikat pengemis yang pulang memanggil bantuan, bersama Samte, aku akan kuntit pengemis yang satu pergi ke tempat sembunyi Kek Lam-wi."

Gugup, gelisah dan bingung hati Bu Siu-hoa, bagaimana dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi? Tiba saatnya dia harus lekas bertindak. Begitu dia bergerak Giam Cong-po segera mengetahui jejaknya, dua jarinya segera menjentik "WUT" sekeping mata uang segera melesat dengan kencang. Untung Bu Siu-hoa mendengar deru angin dan sempat berkelit, mata uang itu mengenai batu di sampingnya, menimbulkan cipratan batu dan letupan api.

Cuma Bu Siu-hoa memang sengaja menampilkan diri, sambil berbatuk dia menerobos keluar dari semak belukar di belakang batu.

Melihat dirinya, Ong dan Koan sama melengak malah.

"Paman Ong dan paman Koan, kalian baik-baik saja. Siapakah paman tua ini..." Bu Siu-hoa bersikap wajar seperti tidak terjadi apa-apa, begitu berhadapan dia lantas menyapa lebih dulu.

Giam Cong-po mendengus, katanya: "Budak ini kenal kalian, memangnya dia..."

"Lapor Toako," ujar Koan Cong-yau sambil menjura, "Budak ini memang putri Bu-sam Niocu itu."

Bu Siu-hoa pura-pura kaget, katanya: "Lho, kiranya Toako kalian, jadi kau ini tentu adalah Giam-pangcu dari Giam-ong-pang,

maaf, aku kurang hormat."-

sengaja dia meninggikan suaranya supaya kedua pengemis di lekuk gunung sana mendengar dan iari.

Sebagai kawakan Kangouw sudah tentu Giam Cong-po tahu maksud tujuan Siu-hoa. Tapi setelah Bu Siu-hoa muncul disini kedua pengemis itu boleh tidak usah dihiraukan lagi. "Budak ini ada disini Kek Lam-wi tentu juga berada di sekitar sini," demikian batin Giam Cong-po. "Dari pada mencari perkara dengan pihak Kaypang, biarkan saja mereka pergi. Meski mereka akan pulang memanggil bantuan, markas mereka toh didalam kota, untuk pulang pergi kemari sedikitnya memerlukan waktu cukup lama, saat mana kita yakin sudah menggusur Kek Lam-wi dari sini."

Giam Cong-po membentak: "Jangan cerewet, dimana Kek Lam¬ wi?"

"Sudah dibawa pergi oleh Tam Pa-kun," kata Bu Siu-hoa.

Giam Cong-po ngakak sambil mendongak, katanya: "Pintar juga kau budak ini bila membual, sayang di hadapanku kau takkan bisa menipu orang lain."

Bu Siu-hoa melengak, katanya mengeraskan kepala: "Aku bicara sesungguhnya, kalau kau tak percaya ya terserah."

"Masih berani bilang tidak menipu aku," jengek Giam Cong-po. "Mungkin kau memang belum tahu biar aku menjelaskan. Kemarin Tam Pa-kun sudah meninggalkan Soh-ciu, dia pergi seorang diri."

Diam-diam Bu Siu-hoa mengeluh dalam hati: "Bila Tam Pa-kun sudah pergi, Toh So-so dan teman-teman Kek-toako lainnya, mungkin tidak akan mampu melawan Giam Cong-po dan kamrat-kamratnya. Kek-toako akan lebih berbahaya. Tapi dalam situasi seperti sekarang, mengulur waktu adalah jalan terbaik sambil menunggu kedatangan orang Kaypang, sekali-kali Kek-toako tidak boleh jatuh ke tangan mereka," demikian Bu Siu-hoa sudah berketetapan dalam hati.

Pada hal Giam Cong-po kuatir bila mengulur waktu bakal tidak menguntungkan pihaknya karena bukan mustahil orang Kaypang datang lebih cepat dari dugaannya. Karena tidak ingin menambah kesulitan, segera dia membentak:, "Kami sudah tahu kau sembunyikan dia didalam sebuah gua, lekas tunjukan tempatnya biar kami menjinjing-keluar."

"Hal itu tidak benar," seru Bu Siu-hoa, kalau kau minta aku menunjukan tempatnya, akan kuajak kalian ke sembarang tempat."

"Budak busuk," damprat Giam Cong-po marah, "berani kau membangkang, kuputuskan dulu kedua kakimu."

Bu Siu-hoa tertawa: "Kalau kakiku putus mana bisa aku menunjukkan tempat itu."

"Coba saja asal kau berani," jengek Giam'Cong-po, "aku punya delapan belas cara untuk menyiksa orang, akan kupilih satu di antaranya yang cocok untuk dirimu," di tengah tawa dinginnya mendadak dia melompat maju sambil pentang jari-jari tangannya mencengkram ke arah Bu Siu-hoa.

Bu Siu-hoa menyurut sambil berteriak: "Baiklah, aku tunjukkan tempatnya, tapi kau jangan menakuti aku bila hatiku takut, kakiku jadi lemas tak mampu jalan."

Terpaksa Giam Cong-po menarik tangan, bentaknya: "Hayo jalan."

Mendadak Bu Siu-hoa menjejak kaki dengan gerakan Sik-hiong-kiau-hoan-in tubuhnya bersalto ke belakang sejauh beberapa tombak, belum lagi kakinya menyentuh bumi tangannya sudah terayun. Maka terdengarlah suara "BUNG" yang tidak begitu keras, di tengah ledakan itu asap tebal seperti dilempar ke empat penjuru, dari dalam asap tebal itu menyamber pula bintik-bintik sinar kemilau yang lembut dari jarum-jarum halus sekecil bulu kerbau, itulah senjata rahasia tunggal warisan keluarganya yang dinamakan Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam.

Giam Cong-po menghardik: "Mutiara sebesar beras juga memancarkan sinarnya," begitu dia kebaskan lengan baju, asap tebal yang menerjang ke arahnya seketika seperti disapu angin lesus tersibak balik ke empat penjuru, lebih celaka lagi sebagian besar dari bintik-bintik sinar disertai asap tebal itu tertolak balik. Untung Bu Siu-hoa berlari pergi dengan cepat, maka dia tidak sampai terbakar oleh asap berapi itu.

Kembali Giam Cong-po menggentak lengan bajunya, jarum-jarum kecil yang menancap di lengan bajunya sama rontok berjatuhan. Kungfu yang dipamerkan ini, boleh dikata sudah mencapai taraf yang cukup sempurna. Bahwa sebagai ketua Giam-ong-pang terang amat liehay.

Ini sudah dalam dugaan Bu Siu-hoa namun dia tidak menduga seliehay itu tingkat Kungfunya.

Lekas sekali asap buyar, jarum-jarumnyapun tidak berhasil melukai musuh, cepat sekali Giam Cong-po telah mengudak kencang kesana, sekali raih, "Bret" pakaian Bu Siu-hoa terjambret sobek. Detik lain Bu Siu-hoa jelas tidak akan bisa lolos lagi, mendadak "Wut" segulung angin pukulan disertai tubrukan seorang dari atas mendadak menindih ke bawah.

"Awas Toako bocah itu adalah Tan Ciok-sing," terdengar Ong Cong-king yang ikut mengudak di sebelah belakang berteriak.

Dari atas batu cadas yang tinggi tahu-tahu Tan Ciok-sing menukik turun laksana malaikat dewata layaknya. Betapa hebat daya terjangannya dari atas ini, meski Giam Cong-po sudah mempersiapkan diri, tak urung dia kaget setengah mati. Dengan jurus Ing-kik-tiang-khong pedang Tan Ciok-sing menusuk dari atas udara. Giam Cong-po mengandal lengan bajunya, dengan kebutan keras, dia pikir hendak menggulung pedang orang, tapi terdengar "Bret" kali ini yang robek adalah lengan bajunya sendiri, sementara dengan gaya burung dara membalik Tan Ciok-sing sudah melambung ke belakang dan hinggap di atas tanah dengan enteng. Waktu Giam Cong-po menunduk mengawasi lengan bajunya, lengan bajunya sudah tergores robek satu kaki panjangnya.

Gebrak sekali cukup membuat kedua pihak sama-sama kaget. Tan Ciok-sing menyerang dari atas dengan tukikan burung elang, betapa hebat tenaga yang digunakan, tak nyana lawan mampu mengebut lengan baju untuk mematahkan jurus pedangnya malah hampir saja dia tidak kuat memegang kencang pedang, maklum kalau dia kaget. Tapi Giam Cong-po kini mengagulkan diri diantara jago-jago kosen yang bisa dihitung dengan jari, Thi-siu-kang (lengan besi) yang dilatihnya selama dua puluh tahun ternyata bukan saja tidak mampu merebut pedang Tan Ciok-sing, malah lengan baju sendiri robek, ini jelas diluar dugaannya, mau tidak mau mencelos hatinya.

Cepat sekali In San juga sudah melompat turun dari atas batu cadas. Jengeknya dingin: "Kebetulan, kami memang ingin mengirim raja akhirat dunia ini ke akhirat di alam baka, hayolah maju biar kami memproses lebih cepat keberangkatanmu."

Kekuatan Siang-kiam-hap-pik jelas berlipat ganda. Giam Cong-po juga menggunakan kedua lengan bajunya, perbawa Thi-siu-sin-kang dengan sendirinya seratus persen lebih hebat pula. Tampak dimana sinar pedang berseliweran, maka terdengarlah rentetan suara yang keras, tahu-tahu kupu-kupu berterbangan di sekeliling arena tersibak keluar dari cahaya pedang yang kemilau, itulah kain kecil-kecil dari lengan baju Giam Cong-po yang hancur luluh oleh tabasan pedang sakti. Untung Giam Cong-po sempat menarik tangan, kalau tidak kedua tangannya pasti sudah berpisah dengan tubuhnya, kini seluruh lengannya jadi telanjang, jelas Thi-siu-sin-kang tidak mampu dikembangkan lagi.

Bu Siu-hoa yang menyaksikan di sebelah sana sampai melongo, tak pernah terbayang olehnya bahwa kekuatan gabungan pedang ternyata begitu hebat, karuan hatinya senang bukan main. Diam-diam dia membatin: "Kukira umpama mereka tidak mampu mengalahkan tiga lawan Giam-ong-pang, untuk menyelamatkan diri jelas cukup berkelebihan. Biarlah sekarang aku tinggal pergi saja."

Dengan Siang-kiam-hap-pik, Tan Ciok-sing dan In San layani tabrakan tiga pentolan Giam-ong-pang dengan sengit, tanpa terasa sesulutan dupa telah berselang, pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, namun ketiga lawannya satupun belum ada yang dirobohkan, Giam Cong-po sendiri juga sudah tidak tetap hatinya.

Tiba-tiba didengarnya seorang berteriak-teriak di puncak bukit sebelah sana : "Ma-thocu, Kiau-thocu, lekas kemari," itulah suara Bu Siu-hoa.

Dalam pertempuran sengit itu, kedua pihak tumplek perhatian pada lawannya, maka tiada yang tahu kapan Bu Siu-hoa melarikan diri.

Karuan Giam Cong-po kaget, pikirnya: "Agaknya budak itu pergi mengundang bantuan, Ma-thocu pasti adalah Ma Tay-yu ketua Kaypang cabang Yang-ciu, sedang Kiau-thocu adalah Riau Hun ketua Kaypang cabang Soh-ciu. Kepandaian kedua orang ini meski tidak begitu libay, namun kedatangan dua bantuan ini, jelas pihak kita jadi asor, apalagi Kaypang tidak boleh dimusuhi bila tidak terpaksa, baiklah aku menyingkir saja," maka diam-diam dia memberi lirikan mata kepada kedua saudaranya, beruntun dia menggempur tiga kali pukulan sehingga Tan dan In terdesak bertahan, begitu ada kesempatan cepat-cepat dia putar tubuh terus kabur dari tempat itu.

Sambil lari mulutnya mengoceh: "Bocah keparat dan kau budak busuk, biar kalian hidup beberapa hari lagi, akan datang saatnya aku membuat perhitungan dengan kalian," begitu memperoleh lirikan mata sang Toako, Ong dan Koan berdua sudah siap-siap dan begitu tiga pukulan dilontarkan, mereka sudah ngacir lebih dulu.

Dengan tertawa dingin Tan Ciok-sing membentak:

"Memangnya kami juga akan membuat perhitungan dengan kau. Kapan saja kusambut kedatangan kalian."

In San sudah buka mulut ingin memaki pula, tapi setelah pertempuran sengit sekian lama, terasa jantungnya berdebar teramat cepat, meski mulut sudah terbuka, namun napas masih sengal-sengal sehingga suara tidak keluar. Lekas sekali ketiga pentolan Giam-ong-pang itu sudah pergi jauh. Setelah istirahat sejenak baru In San menghela napas lega, Katanya: "Liehay betul," setelah ditunggu lagi sejenak In San berkata pula: "Lho, kenapa mereka belum juga tiba."

Sementara itu Tan Ciok-sing juga sudah mengatur napas, menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang dia berteriak: "Ma-thocu, Kiau-thocu, Nona Bu," beruntun tiga kali tetap tiada reaksi atau penyahutan mereka.

Puncak dimana tadi Bu Siu-hoa berteriak-teriak memanggil Ma-thocu dan Kiau-thocu jaraknya hanya beberapa li, setelah berselang sekian lama ini, sepantasnya mereka sudah lari kemari, namun mereka belum kunjung tiba.

Akhirnya tergerak pikiran Tan Ciok-sing katanya: "Kukira urusan agak ganjil."

"Apanya yang ganjil?"

"Di lereng bukit kita ketemu kedua murid Kaypang tadi, mana mungkin secepat itu mereka mengundang Ma-thocu dan Kiau-thocu kemari?"

"Iya." In San sadar, "waktu kita keluar belum ada kabar bahwa Ma-thocu dari Yang-ciu sudah berada di Soh-ciu. Agaknya nona Bu itu sengaja mau menipu dan menakuti mereka, bantu kami memukul mundur ketiga pentolan Giam-ong-pang."

"Kukira memang demikian," ujar Tan Ciok-sing, "tapi anehnya, kenapa nona ini tidak kembali juga?"

In San berpikir sejenak, akhirnya dia cekikikan, katanya: "Pikiran anak perempuan kau laki-laki mana bisa menyelaminya."

"Jadi kau mengerti, lalu menurut pendapatmu, dia..."

"Kukira dia jatuh cinta kepada Kek-toako."

"Cinta ya cinta, kenapa harus menyingkir."

"Nah itulah sebabnya kenapa aku katakan kau tidak memahami hati perempuan. Karena jelus, cemburu maka Toh-cici tinggal minggat."

"Tapi paling tidak nona Bu ini mengunjukkan dimana tempat sembunyi Kek-toako."

"Aku yakin dia tidak akan meninggalkan Kek-toako begitu saja, marilah kita mencarinya."

Mereka menuju ke bukit dimana Bu Siu-hoa tadi berada, hanya puluhan langkah, In San lantas menemukan sesuatu. "Toako, coba lihat, ternyata dugaanku tidak meleset," teriak In San kegirangan.

Di atas dahan sebuah pohon besar yang terletak di depan lekukan gunung dan mudah terlihat orang, arahnya kebetulan menuju kemari, dahan pohon itu dikorek kulitnya, walau di keremangan magrib, namun mereka masih bisa melihat jelas, di dahan pohon yang dikorek kulitnya itu ada goresan huruf-huruf dengan ujung pedang. Huruf-huruf itu terdiri dua baris dan berbunyi:

"Kek-jithiap berada di sebuah gua yang terletak tiga l i dari sini ke arah selatan, mulut gua tertutup batu yang bentuknya mirip pintu angin. "

Jarak tiga li cepat sekali telah dicapai oleh Tan dan In yang mengembangkan Ginkang. Betul juga dari kejauhan sudah kelihatan batu besar mirip pintu angin itu. In San lebih gugup begitu mclihai balu besar itu, belum lagi berada di depan gua dia sudah berteriak lebih dulu: "Kek-toako."

Kek Lam-wi memang sedang menunggu dengan perasaan gundah, In San berteriak dari jarak yang masih cukup jauh, teraling oleh batu besar pula, maka pendengarannya kurang jelas, maka dia sangka yang kembali Bu Siu-hoa.

"Siu-moay, apa kau sudah kembali? Kukira kau tidak akan kem..." belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah mendorong minggir batu besar itu. Dengan tenaga Tan Ciok-sing tidak sukar dia menggeser batu besar ini, tapi dia merasa terlalu mudah dan enteng. Ternyata dari dalam gua Kek Lam-wi juga membantu menggeser batu besar itu.

Setelah batu tersingkir, Kek Lam-wi melihat yang berdiri di hadapannya adalah Ciok-sing dan In San, sesaat dia melongo, namun hatinya kaget dan senang.

In San tertawa geli, katanya menggoda: "Kek-toako, kau tidak menduga akan kami bukan? Bikin kau kecewa ya?"

Kek Lam-wi tenangkan hati, katanya: "Memang kalian yang kuharapkan, tapi bagaimana kalian bisa menemukan tempat ini?"

"Panjang ceritanya, nanti kuceritakan. Bagaimana luka-lukamu?"

"Racun sudah tuntas, tenagaku kini juga sudah pulih separo," ujar Kek Lam-wi.

"Baiklah, kau jangan banyak bicara," kata Tan Ciok-sing, dia genggam kedua tangan Kek Lam-wi, terasa sejalur tenaga angin merembes masuk dari telapak tangannya, terus mengalir ke Say-yang-meh mumbul ke atas meresap ke seluruh tubuh. Lam-wi tahu Ciok-sing sedang salurkan hawa murninya membantu dirinya melancarkan jalan darah memulihkan Lwekang. Maka diapun kerahkan hawa murni sendiri menyambut bantuan dari luar mempercepat proses pemulihan tenaga sendiri. Mereka sama meyakinkan Lwekang dari aliran murni, seumpama air tercampur dengan susu lekas sekali sudah terbaur jadi satu, tak lama kemudian uap putih merembes beserta keringat dari seluruh pori-porinya, dan terakhir hawa murni kumpul di pusar dan menghembuskan napas panjang.

Kek Lam-wi tersenyum, katanya: "Sudah cukup Tan-toako. Kionghi, kionghi."

"Lho, koh malah kau memberi Kionghi (selamat) padanya?" tanya In San.

"Tingkatan Lwekang Tan-toako sudah jauh lebih maju dari dahulu, begitu cepat kemajuan yang dicapainya, bukankah patut diberi selamat. Kini Lwekangku sudah pulih tujuh puluh persen."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kemajuanmu lebih cepat dari apa yang kucapai. Baik mari kita lekas pulang, supaya Kiau-thocu dan nona Toh tidak menunggu terlalu lama." --dengan Lwekang yang sudah pulih tujuh puluh persen, sudah tentu tidak susah lagi Kek Lam-wi mengembangkan Ginkang.

Sambil lari mereka mengobrol. Iri San tahu Kek Lam-wi menguatirkan keselamatan Bu Siu-hoa, maka dia berkata: "Kek-toako, biarlah kubuka suatu masalah. Lantaran bantuan dan petunjuk nona Bu itulah maka kami bisa menemukan kau."

"O, jadi kalian sudah melihat dia. Jadi dia, dia dimana?"

"Dia sudah pergi, Mungkin takkan kembali menemui kau," baru sekarang In San sempat menceritakan kejadian tadi.

Mendengar mereka berdua berhasil mengalahkan tiga pentolan Giam-ong-pang, Kek Lam-wi ikut girang. Tapi mengingat tidak sedikit pengorbanan Bu Siu-hoa lantaran dirinya, pada hal dia belum membalas sedikitpun kebaikan orang, diam-diam dia jadi masgul dan menyesal.

"Kek-toako," kata In San, "kau sudah kenyang membaca buku, tentunya pengetahuanmu cukup luas, kenapa kau harus mereras diri, biarkanlah nona Bu pergi, tahukah kau masih ada seorang sedang menanti kedatanganmu," dia merasa kebetulan malah bila Bu Siu-hoa menyingkir, karena bagi diri sendiri dan bagi orang lain sama-sama ada faedahnya."

Kek Lam-wi menghela napas, katanya: "Betul ucapanmu, hidup manusia memang tiada yang abadi. Tapi ada beberapa hal yang belum kau ketahui."

Lalu Lam-wi tuturkan bagaimana Bu Siu-hoa menolong dirinya sehingga bertengkar dengan sang ibu, hampir saja jiwa mereka tamat oleh jarum beracun itu, lalu menambahkan: "Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, tiada fikiran lain bersemayam dalam benakku. Tapi dia pergi begitu saja, bukan mustahil bisa ketangkap oleh ibu tirinya yang jahat itu. Sepantasnya aku membalas budi kebaikannya, memangnya aku tega membiarkan dia terlunta-lunta seorang diri di Kangouw?"

Berubah sikap In San, timbul rasa simpatiknya, katanya: "Kalau demikian, nona Bu ternyata adalah gadis suci berhati baik, meski dibesarkan dalam keluarga kotor, namun hatinya tetap bajik dan bersih Aku yakin bila Toh-cici tahu akan hal ini, diapun pasti merasa sayang dan melindunginya seperti adik sendiri. Cuma untuk mencarinya kukira bukan soal gampang, biar nanti kita minta tolong Kiau-thocu untuk bantu mencarikan. Umpama dia tetap tidak mau kumpul bersama kau, biar pihak Kaypang yang melindunginya secara diam-diam."

"Apakah So-so juga bersama kalian, tinggal di markas Kaypang?" tanya Lam-wi.

"Ya, walau di kota Soh-ciu dia punya famili, tapi Kiau-thocu merasa lebih aman dia tinggal di markas Kaypang," ucap In San.

Kek Lam-wi jadi haru tapi juga lega, katanya: "Syukurlah, setiba disana, aku akan segera bertemu dengan dia," tanpa terasa langkahnya dipercepat.

In San menyusulnya, katanya tertawa: "Kek-toako, kau tahu hari ini hari apa?"

Kek Lam-wi melenggong, sesaat dia masih belum menangkap arti perkataan In San, tanyanya bingung: "Apa yang istimewa pada hari ini."

In San tertawa, katanya: "Didalam gua itu kau disekap dua hari, memangnya sudah lupa akan hari? Nanti setelah rembulan terbit, kau akan tahu sendiri."

Kek Lam-wi jadi sadar, katanya: "Ya, kenapa aku seceroboh ini, kiranya hari ini tanggal lima belas bulan delapan."

"Betul, hari ini adalah hari raya Tiong-jiu, manusia didunia dan malaikat dewata di atas langit sama merayakan hari raya ini. Malam ini kau bakal berkumpul lagi dengan Toh-cici, patut kau rayakan pertemuan nanti."

Tak nyana setiba mereka di markas cabang Soh-ciu, mereka tidak menemukan Toh So-so.

Kiau Hun yang menyambut mereka bilang: "Sejak siang tadi nona Toh keluar kota, sampai sekarang belum kunjung pulang."

Terpaksa Lam-wi menyusul ke rumah famili Toh So-so, waktu itu rembulan sudah menongol dari peraduannya. Yang membuka pintu adalah bibi misan Toh So-so, melihat Kek Lam-wi seketika dia terbelalak, namun segera berjingkrak senang, serunya: "Kek-siangkong kau sudah pulang, tahukah kau So-so sedang mencarimu kian kemari, syukurlah kau telah pulang."

Mendengar ucapan terakhir sang bibi misan, legalah hati Kek Lam-wi, dia kira dugaannya tidak meleset, lekas dia berteriak: "So-so, So-so..." tapi tiada jawaban.

"Kek-siangkong," kata nyonya itu, "kalau dua jam kau datang lebih dini, pasti disini kau bisa bertemu dengan dia. Sekarang lekas kau susul dia ke markas cabang Kaypang. Alamatnya di..."

Kek Lam-wi terperanjat, katanya: "Lho, kami baru saja datang dari sana. Sebelum So-so pergi, apakah dia bilang mau mampir ke tempat lain?"

Nyonya itu berpikir, katanya: "Dia tidak bilang mau mampir kemana-mana tapi dia bercerita katanya orang Kaypang disebar untuk mencari jejakmu, hatinya amat kuatir, meski kau sudah bebas dari cengkraman orang-orang keluarga In, sebelum berhadapan dengan kau, betapapun hatinya tidak akan tentram, maka dia berniat keluar mencarimu sendiri, cuma aku tidak tanya kemana dia hendak mencari kau."

Kek Lam-wi pikir: "Ternyata dia sudah tahu bahwa aku sudah ditolong orang, entah dia tahu atau belum bahwa nona itu adalah putri Bu-sam Niocu? Tapi dia yakin aku tidak akan mengalami bahaya, itu berarti bahwa dia mempercayai orang yang telah menolongku keluar dari penjara keluarga In, terhadapku jelas tidak akan merasa jelus lagi."

Bibi misan Toh So-so berkata pula: "Kek-siangkong, coba kau pikir, kecuali markas Kaypang, ke tempat mana pula kemungkinan So-so akan pergi?"

Kek Lam-wi menepuk paha, serunya: "Betul, aku tahu kemana dia akan pergi."

"Kemana?" tanya Tan Ciok-sing.

"Ham-saii-si," sahut Kek Lam-wi. Tanpa pamit dia terus putar tubuh berlari seperti mengejar angin, lekas sekali mereka sudah tiba di pinggir kali, di kejauhan Hong-kio sudah kelihatan, Hongkio terletak di seberang Ham-san-si.

Bulan purnama di malam Tiong-jiu ini memang bulat „dan benderang, malam purnama di Hong-kio memang mengasyikan, terutama bagi muda mudi yang sedang memadu cinta, disinilah tempat yang serasi untuk melimpahkan isi" hati dengan mendambakan cinta abadi.

"Hong-kio tidak kalah dengan Ji-si-kip di Yang-ciu- Sayang di malam purnama nan permai dan sejuk ini, tiada orang yang meniup seruling," demikian pikir Kek Lam-wi sambil melambatkan langkahnya.

Setelah lebih dekat lagi, tiba-tiba didengarnya suara irama seruling sayup-sayup sampai.

Sebagai ahli musik sekali dengar Lam-wi lantas tahu, lagu yang ditiup itu adalah lagu kenangan terhadap masa lalu di saat-saat memadu cinta. Dari volume suaranya Lam-wi merasakan pula bahwa seruling yang digunakan meniup lagu kenangan adalah seruling warisan keluarganya itu.

Hampir Lam-wi tidak percaya akan pendengaran sendiri, seketika dia berdiri menjublek. "Apakah betul yang meniup seruling adalah dia?" demikian dia menerka-nerka dalam hati.

Habis meniup seruling orang itu lantas bersenandung membawakan puisi ciptaan pujangga Bong Ki-to di jaman dynasti Song, meresapi makna dari puisi itu, setelah menjublek sesaat lamanya, Lam-wi angkat langkahnya pula berlari bagai terbang ke arah Hong-kio.

Tan Ciok-sing dan In San juga mendengar senandung Toh So-so, merekapun ikut girang hampir saja bersuara memanggil. Baru saja Ciok-sing memburu hendak menyusul Kek Lam-wi lekas In San menariknya, katanya berbisik: "Engkoh bodoh, sepasang kekasih sedang bertemu untuk apa kau ikut kesana? Jangan ganggu mereka, biar mereka asyik."

Tanpa bersuara Kek Lam-wi lari ke belakang pepohonan, didengarnya Toh So-so sedang mengakhiri senandungnya, lalu menghela napas mengulangi bait terakhir dari puisi itu:

"Meroboh hatimu, demi hatiku, baru dimaklumi betapa mendalam rindu ini. "

Tak kuat Kek Lam-wi menahan tawa, segera dia keluar dan berkata: "So-so, kau salah, tak usah rherobah hati, aku sudah tahu betapa mendalam cintamu terhadapku."

Toh So-so terbeliak sambil mematung sesaat lamanya, katanya: "Kek-toako, apa betul kau? Ini, ini bukan dalam mimpi bukan?'

"Sudah tentu bukan, coba kau gigit jarimu, sakit tidak? So-so, aku tahu kau pasti mencariku ke Ham-san-si, maka sengaja kususul kemari."

Bukan kepalang rasa senang Toh So-so, tanpa terasa air matanya berlinang-linang di kelopak matanya, katanya sesaat kemudian: "Toako, aku tahu pasti kau akan mencariku. Tapi sungguh tak kuduga secepat ini kau bakal muncul di hadapanku, di Ham-san-si aku tidak menemukan kau, hatiku amat kecewa, terbayang semasa di Ji-si-ko di Yang-ciu dulu, tanpa merasa aku lantas meniup seruling seorang diri."

"Bagus sekali tiupanmu," puji Kek Lam-wi, "jauh lebih maju dari dulu. Tapi tidak sepantasnya kau anggap diriku ini seperti awan mengembang yang tidak punya arah tertentu."

Jengah muka Toh So-so katanya menunduk: "Toako, sebelum ini sering aku merasa jelus cemburu dan banyak kesalahan, tapi setiba di Soh-ciu aku lantas tahu kau tidak akan meninggalkan aku dan menyia-nyiakan cintaku.

Kunyanyikan lagu tadi bukan lantaran aku tidak percaya padamu, soalnya hatiku risau sebelum menemukan kau, entah kapan baru akan bertemu kembali, maka kunyanyi lagu itu hanya untuk melampiaskan rasa masgul ini."

Kek Lam-wi genggam kencang tangannya, katanya: "So-so, syukurlah kau mau percaya padaku."

Mekar seperti kembang tawa Toh So-so, tapi tiba-tiba dia bertanya: "Mana nona Bu? Kenapa tidak datang bersamamu, apa dia tidak sudi bertemu dengan aku."

"Kau sudah tahu? Aku memang hendak jelaskan kepada kau, dia..."

Toh So-so terkikik lirih, katanya: "Tak usah kau jelaskan kepadaku, aku tahu dan yakin cintamu terhadapku takkan berobah. Nona Bu teramat baik terhadapmu bukan? Dimana dia sekarang? Kau belum menjelaskan."

"Ya, dia menolongku dari penjara bawah tanah, menyembuhkan luka-lukaku lagi. Tapi dia sudah pergi, entah kemana dan dimana dia sekarang?"

"Lho dia sudah pergi?" seru Toh So-so tertegun, "Kenapa kau tidak menahannya?"

"Dia pergi diluar tahuku," tutur Kek Lam-wi, "aku sudah angkat saudara dengan dia, So-so, kau tidak bercemburu lagi bukan?"

"Kemana sih jalan pikiranmu, untuk berterima kasih kepadanya rasanya juga sudah terlambat, kenapa aku cemburu kepadanya. Satu hal mungkin kau belum tahu, sebelum ini aku sudah kenal dia lebih dulu, meski belum angkat saudara hubungan kami sudah seperti saudara kandung layaknya. Adikmu adalah adikku, syukur aku punya adik seperti dia. Pengorbanannya untuk kau terlalu besar, betapapun kita harus berusaha menemukan dia."

Lega hati Kek Lam-wi, katanya: "Perkenalanmu dengan dia sudah diceritakan kepadaku. Dia pernah menipu kau, dia kuatir kau masih membencinya."

"Memang sebelum ini aku membencinya dan curiga ada maksud jelek terhadapmu, tapi sekarang aku sudah tahu bahwa pandanganku menganggap sebagai 'perempuan siluman' adalah salah. Mana aku membencinya lagi? Aku jadi ingin bertemu dengan dia, supaya dia tidak ragu terhadapku."

"Akan kuminta bantuan Kiau-thocu mencarinya," ucap Kek Lam-wi, mendadak dia teringat dan tanya: "So-so, seruling ini bagaimana bisa berada di tanganmu?"

"Paman Tam telah merebutnya dari tangan In Kip, dia titip kepadaku supaya dikembalikan kepada kau. Em, sekarang tiba saatnya barang kembali pada pemiliknya."

Jilid 14



Menerima seruling Kek Lam-wi bertanya: "Dimana Tam Tayhiap? Apakah dia tinggal di Ham-san-si?"

Ternyata persoalan mengenai Tam Pa-kun, Tan Ciok-sing belum sempat ceritakan kepadanya.

"Dia sudah pergi ke Hay-ling."

"Untuk apa dia ke Hay-ling?"

"Aku tidak tahu. Tanya kepada Tan Ciok-sing," sampai disini mendadak Toh So-so teringat, tanyanya: "Toako, bukankah tadi kau bilang kemari bersama Tan-toako dan adik In, kenapa tidak kelihatan bayangan mereka?"

Kek Lam-wi jadi sadar, katanya tertawa: "Iya, hampir aku melupakan mereka." lalu dia mengeraskan suaranya berteriak: "Kalian main sembunyi segala, hayo lekas keluar."

In San muncul dengan cekikikan, katanya: "Kionghi, kionghi. Kalian kumpul dan bahagia di bawah bulan purnama. Toh-cici, jangan kau kira aku tadi mencuri dengar pembicaraanmu."

Jengah muka Toh So-so, katanya: "Jangan berkelakar, ada urusan yang ingin kami tanya kepada kau,"

"Urusan apa? Memangnya yang kuucapkan barusan bukan urusan?"

"Tan-toako," kata Kek Lam-wi, "orang yang mengundangmu ke Ham-san-si tempo hari tentu adalah Tam Tayhiap?"

"Betul," sahut Ciok-sing, "tapi sekarang dia sudah pergi ke Hay-ling."

"Hal itulah yang ingin kutanyakan kepada kau, untuk apa Tam Tayhiap pergi ke Hay-ling, kukira bukan melulu hendak menonton air pasang?"

"Seorang teman

mengundangnya kesana, tapi janji pertemuan mereka pada tanggal 18 bulan delapan ini, tepat hari lahir dari malaikat air pasang, sekaligus dia bisa menonton air pasang disana."

"Air pasang di Hay-ling pada tanggal delapan belas bulan delapan tiap tahun memang merupakan tontonan aneh yan*1 jarang ada di dunia ini, sayang kami tak bisa kesana." Demikian ucap Toh So-so.

"Siapakah Lo-cianpwe yang mengundang Tam Tayhiap kesana, apa aku boleh tahu?" tanya Kek Lam-wi.

"Sudah tentu boleh," ucap Tan Ciok-sing, "kau pernah bertemu dengan beliau. Yaitu It-cu-king-thian Lui Tin-gak Lui Tayhiap yang menggetarkan daerah Lam-ciang."

Kek Lam-wi tahu bagaimana hubungan keluarga Tan Ciok-sing dengan Lui Tin-gak, maka timbul rasa menyesal dalam hatinya, katanya: "Lui Tayhiap berada di Hay-ling. Tan-toako, seharusnya kau mesti pergi bersama Tam Tayhiap. Lantaran aku sehingga kau menunda perjalananmu."

"Jangan berkata begitu Kek-toako," tukas Tan Ciok-sing, "bahwa Lui Tayhiap sudah berada di Hay-ling, cepat atau lambat aku pasti bisa bertemu dengan beliau. Yang penting kau sudah kembali dengan selamat, itulah yang kukehendaki."

"Sekarang aku sudah kembali dengan selamat, kau boleh tidak usah kuatir. Besok juga kalian boleh berangkat, tepat saatnya kalian akan saksikan air pasang yang serba ajaib di Hay-ling itu."

"Mungkin kami tidak sempat pulang untuk memberi selamat hari ulang tahun kepada Ong Goan-tin di Thay-ouw," kata In San bimbang.

"Hal itu sudah kupikirkan," ucap Kek Lam-wi, "Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal 22, setelah kalian menonton air pasang di Hay-ling masih ada empat hari, bila tanpa menghadapi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka empat hari itu, kalian masih sempat tiba di Thay-ouw tepat waktunya. Lewat hari raya Tiong-jiu, udara selalu cerah dan hawa sejuk, berperahu di Thay-ouw bisa berlaju mengikuti arah angin, kemungkinan tanggal 21 malam kalian sudah akan tiba di tujuan."

"Perhitungan waktunya amat mendesak bukan? Bila kita datang terlambat, bukankah rikuh jadinya?"

"Jangan pikirkan hal itu, pertama kami sudah wakilkan kalian memberi penjelasan. Kedua Tam Tayhiap adalah kenalan baik Ong Goan-tin, setiba kalian di Hay-ling, pulangnya pasfi bersama mereka. Bila Ong Goan-tin tahu kalian datang mengajak It-cu-king-thian, tentu dia akan kegirangan dan berterima kasih kepada kalian malah."

"Begitupun baik. Biar sekarang juga kami pulang pamitan kepada Kiau-thocu," ucap In San.

Kira-kira kentongan ketiga baru mereka tiba di markas Kaypang

Cabang Soh-ciu, kiau-thocu dan orang-orangnya sedang menunggu gelisah, legalah hati mereka setelah melihat Ciok-sing pulang bersama Kek Lam-wi.

Kiau Hun berkata: "Ada sebuah kabar gembira perlu kuberitahu kepada kalian. Tiga pentolan Giam-ong-pang dan ln Kip ayah beranak sudah ketakutan, maka mereka tidak berani bercokol di Soh-ciu lagi, sudah kabur dari kota ini. Tapi mereka lari berpencar, kami hanya tahu keluarga In di bawah lindungan Bak Bu-wi dari Hoay-yang-pang lari ke kota raja minta perlindungan yang berwajib Sementara ketiga pentolan Giam ong-pang itu entah lari kemana!"

"Syukurlah kalau kawanan jahat itu meninggalkan Soh-ciu. Tan-toako, boleh kau segera berangkat saja." lalu Lam-wi jelaskan rencana mereka kepada Kiau Hun. Kiau Hun nyatakan persetujuannya.

Tan dan In menempuh perjalanan siang malam, tepat tanggal delapan belas mereka tiba di Hay-ling, satu jam menjelang lohor. Hay-ling terletak seratus dua puluh li di sebelah utara Hangciu, tepatnya berada di teluk Wan-pak, berada di muara Ci-tong-kang. Air pasang di Ci-tong-kang inilah merupakan pemandangan ajaib yang tiada keduanya di dunia ini, merupakan tontonan aneh dan menakjupkan, hari yang dinamakan ulang tahun malaikat air adalah tepat datangnya air pasang yang paling tinggi pada setiap tahun. Pada hari itu, entah berapa laksaan manusia yang berbondong-bondong datang ke Hay-ling menyaksikan air pasang di Ci-tong-kang itu.

Ternyata ada sebabnya kenapa orang-orang suka menyaksikan air pasang di Hay-ling. Ternyata bentuk mulut muara Ci-tong-kang mirip terompet, pesisir selatan penuh bertumpuk pasir, maka air pasang menyerbu ke sebelah utara, sehingga ke residenan Hay-ling ini yang menjadi sasaran damparan air pasang yang utama. Karena terdesak oleh bentuk mulut muara Ci-tong kang yang seperti terompet itu sehingga air pasang yang mulai bergelombang itu setiba di daerah Kan-bo (tujuh puluhan li dari Hay-ling), damparan ombak semakin bergolak tinggi karena mengikuti bentuk dari teluk yang semakin menyempit itu, hingga setiba di Hay-ling, karena air pasang itu terbendung oleh bukit-bukit karang yang kokoh tinggi, airnya berpusar ke selatan tapi dipukul gelombang di sebelah belakang lagi, sehingga arus pusaran air semakin dahsyat, saling hantam dan bergelombang semakin keras, sehingga air seperti sengaja diaduk menjadi gelombang pasang yang tidak terbendung lagi.

Tanggul kokoh panjang telah dibangun di selatan kota Hay-ling menjurus ke arah barat, tujuan pembangunan tanggul ini untuk menahan damparan air pasang. Setiap tanggal delapan belas, manusia berjubel di atas tanggul yang menyerupai panggung tontonan menyaksikan damparan ombak yang sambung menyambung laksana laksaan tentara sudah berbaris rapi.

Ciok-sing dan In San tidak tahu, dimana tempat pertemuan Tam Pa-kun dengan It-cu-king-thian, namun mereka duga bila pertemuan itu tepat diadakan di Hay-ling pada hari ini, umpama bukan menonton air pasang, paling tidak juga ikut meramaikan suasana. Karena tak bisa menemukan Tam Pa-kun, terpaksa Tan dan In ikut berjubel di tengah ribuan manusia yang menonton di atas tanggul.

"Nah, itu sudah datang, sudah datang," orang-orang yang berdiri di deretan paling depan mulai berteriak-teriak sambil tepuk tangan.

Tampak selarik warna putih mulai tampak di permukaan air laut di kejauhan sana, arus gelombang datangnya ternyata laksana ribuan pasukan kuda yang berderap laju bersama, lekas sekali suara gegap gempita dari gelombang ombak besar menerjang batu-batu karang, sementara gelombang yang bergulung-gulung dari belakang saling susul terus mendampar tiba.

Gelombang pasang ini kira-kira berlangsung setengah jam baru mulai mereda, tapi ini baru permulaan dari tontonan yang menakjubkan, gelombang pasang kedua akan segera menyusul tiba pula lebih dahsyat. Mengikuti arus manusia yang mulai mundur karena takut terbawa arus, In San berkata kepada Ciok-sing: "Tan-toako, kukira disini takkan bisa menemukan Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap."

"Lalu kemana kita harus mencari mereka?" tanya Ciok-sing.

"Entahlah, tapi menurut pendapatku, mereka tidak akan berjubel di tempat banyak orang ini, umpama mereka ingin menyaksikan air pasang juga pasti disuatu tempat yang sepi dan sukar diinjak manusia," demikian ucap In San, tiba-tiba dia teringat sesuatu, baru saja dia menoleh hendak bicara pula, tiba-tiba Tan Ciok-sing menoleh kesana dengan bersuara heran.

"Ada apa, kau melihat mereka..."

"Lihat kesana, kedua orang itu?"

In San menoleh kearah yang ditunjuk, dilihatnya dua orang meninggalkan tanggul menuju ke timur laut, langkahnya cepat dan tangkas. In San melenggong katanya: "Bayangan punggung orang di sebelah belakang itu seperti pernah kulihat, kau tahu siapa dia?"

"Lapat-lapat kudengar dia bilang kepada temannya maksudnya tengah hari sudah hampir tiba, dia mendesak temannya supaya tidak terlena karena menonton air pasang disini sehingga melalaikan tugas. O, ya, aku ingat sekarang, dia adalah Thi Khong."

"Thi Khong?" In San kaget, "maksudmu Thi Khong dari Tok-liong-pang?"

Seperti diketahui In Hou ayah In San dahulu terjebak di Jit-sing-giam di daerah Kwi-lin sehingga luka-lukanya tidak tersembuhkan d.in akhirnya meninggal. Yang melukainya secara langsung memang adalah Le Khong-thian dan Siang Po-san, tapi Le dan Siang bersekongkol dengan seorang lagi, orang ketiga ini adalah Thi Ou Tok-liong-pangcu! Yaitu kakak tertua dari Thi Khong yang mereka lihat ini.

Setelah Thi Ou mati, adiknya Thi Khong mengambil alih pimpinan sebagai Tok-liong-pangcu. Dua tahun yang lalu, waktu Tan Ciok-sing dan In San pulang ke kampung halaman bersembahyang di makam In Hou ayah In San, kebetulan kepergok oleh Thi Khong dan Siang Po-san serta orang-orangnya. Thi Khong dan Siang Po-san akhirnya lari dikalahkan oleh gabungan sepasang pedang mereka. Oleh karena itu meski Thi Khong bukan musuh pembunuh ayah In San, tapi permusuhan mereka dengan manusia yang satu ini boleh dikata cukup mendalam juga.

"Betul, kuingat lagi, bayangan punggung seorang yang lain juga sudah kukenal."

"Apakah Siang Po-san?"

"Bukan. Dari gaya orang itu berlari, aku curiga dia adalah seorang perempuan."

"Perempuan? Dalam Tok-liong-pang atau orang-orang komplotan Thi Khong, agaknya tiada perempuan yang memiliki kepandaian tinggi. Bila dia berada bersama Thi Khong, yakin dia bukan orang baik-baik. Jangan kita abaikan kedua orang ini."

"Baik. Mari kita kuntit mereka. Terpaksa kita kesampingkan dulu mencari Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap."

In San berpikir lalu bertanya: "Mereka lari kearah mana, kau melihat jelas tidak?"

"Agaknya ke timur laut."

"Kebetulan, ingin kuusulkan, kita pergi ke Siau-po-toh saja, coba mencari paman Tam dan paman Lui. Letak Siau-po-toh kebetulan berada, di sebelah timur laut kira-kira lima li jauhnya."

"Hayolah lekas kesana." Setelah keluar dari desakan orang banyak, segera mereka angkat langkah berlari-lari kencang. Perhatian orang banyak tertuju ke air pasang, maka tiada yang perhatikan mereka tengah mengembangkan lari cepat. Mungkin mereka agak terlambat, bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi jarak lima li cepat sekali telah mereka capai, kira-kira setengah sulutan dupa, Siang-po-toh sudah kelihatan di kejauhan.

Karena ingin lekas sampai tujuan, dilihatnya sekeliling tiada orang tanpa ragu lagi mereka segera kembangkan Ginkang melambung tinggi ke dinding karang. Arus gelombang seperti mengamuk di bawah mereka, untung gelombang pasang kedua belum tiba, namun demikian pakaian mereka toh basah kuyup keciprat air, mereka memiliki ilmu tinggi, tanpa takut sedikitpun, mereka terus berlari-lari di atas karang yang licin dan curam itu.

In San berlari sambil berkata: "Biang keladi pembunuh ayah adalah bangsat she Liong, untuk mereka kita perlu mencari kesempatan untuk menggasaknya. Demikian pula orang-orang lain yang bersangkutan langsung umpamanya Le Khong-thian telah mati di tangan Suhumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi yang tidak ikut turun tangan secara langsung, tapi perancang muslihat yaitu raja golok le Cun-hong sudah mampus di bawah pedangmu, seorang lagi sebagai pembantu adalah Thi Ou telah dibunuh oleh Lui Tayhiap, kini yang masih ketinggalan hidup hanya ketinggalan Siang Po-san saja. Aku mengharap semoga keparat ini ikut Thi Khong datang juga kemari." — — Belum habis In San bicara, tiba-tiba suara "Crang-creng" dari petikan senar gitar yang dipetik.

Puncak karang yang runcing seperti berlomba ingin menembus angkasa, deburan ombak sedahsyat itu dengan suaranya yang gemuruh tapi petikan senar gitar tadi masih terdengar jelas di tengah deburan gemuruh ombak yang mengamuk. Karuan In San kaget, katanya:

"Toako, kau dengar petikan senar gitar itu, mungkin orang yang kita bicarakan betul-betul berada disini?"

"Tidak benar," kata Tan Ciok-sing.

In San melongo, tanyanya: "Maksudmu orang itu bukan Siang Po-san?"

"Ya, Siang Po-san tidak memiliki Lwekang setangguh itu."

In San maklum, Siang Po-san pernah mereka kalahkan di bawah gabungan sepasang pedang peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu, dalam jangka sekian lama ini, yakin Siang Po-san tidak mungkin memperoleh kemajuan sepesat itu. Tapi bila bukan Siang Po-san, lalu siapa? Mau tidak mau In San bercekat hatinya.

Tengah berpikir sambil berlari, tiba-tiba didengarnya seorang berkata lantang: "Siang-locianpwc, silakan katakan pertandingan apa kehendakmu," itulah suara It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

Karuan girang bukan main hati In San, pikirnya: "Kedudukan Lui Tayhiap di Bulim cukup tinggi, namun dia panggil orang itu Locianpwe, pada hal Siang Po-san paling-paling setingkat dengan dirinya, lalu siapakah orang slip Siang ini, mungkinkah..."

Baru saja dia teringat pada mang ini, Tan Ciok-sing juga terlugti pada orang yang sama, kalanya

"O, kiranya iblis tua itu masih hidup. Adik San, dia adalah..."

"Aku sudah tahu," tukas In San, dia bukan lain adalah cikal bakal Bi-ba-bun, yaitu paman Siang Pe¬san, namanya Siang Ho-yang."

Siang Ho-yang adalah tokoh seangkatan dengan Thio Tan-hong, dia menciptakan permainan senjata gitar yang aneh dan menyendiri dari ilmu silat kebanyakan, dulu pernah juga dia malang melintang dengan kebolehannya itu. Suatu ketika dikalahkan oleh pedang Thio Tan-hong, sejak itu jejaknya menghilang tak karuan paran. Setelah Keponakannya Siang Po-san muncul di Kangouw, khalayak ramai baru tahu ilmu permainan senjata gitar besinya ternyata telah diwariskan kepada Siang Po-san, namun kejadian ini sudah dua puluh tahun sejak dia mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan. Tapi Siang Po-san belum pernah bercerita kepada siapapun, apakah pamannya masih hidup atau sudah mati. Kaum Bulim sama mengira bahwa Siang Ho-yang telah lama meninggal dunia.

Waktu Tan dan In berdua memandang ke arah datangnya suara, tampak di sebelah kiri atas di tengah-tengah lamping gunung yang curam menjulur keluar sebuah tonggak karang raksasa yang bentuknya mirip panggung, di atas panggung karang itu berdiri empat orang. Yang berdiri di sebelah timur adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, yang berdiri di sebelah barat bukan lain adalah Tang-bun Cong yang beberapa hari lalu pernah gebrak dengan mereka, seorang lagi kakek berambut uban dengan alis jenggot yang memutih pula. Kakek tua ini tidak mereka kenal, tapi mereka duga pasti dia ini adalah Siang Ho-yang itu. Tempat dimana Tan dan In sekarang berada, kebetulan teraling oleh dinding karang, mereka mengintip kesana dari celah batu, dari sini bisa jelas melihat kesana, sebaliknya dari sana tidak bisa melihat kesini.

In San mengerti, katanya: "Kiranya iblis tua ini yang mengajak Lui Tayhiap bertanding disini, paman Tam Pa-kun mungkin menjadi wasit dan saksi pihak Lui Tayhiap," lalu dia menambahkan, "bagaimana, apa perlu kita manjat ke atas juga?"

"Sementara tidak usah muncul saja," ujar Tan Ciok-sing. Maklum menurut aturan Kangouw, bila kedua pihak sudah berjanji akan bertanding menentukan kalah menang bila perlu sampai gugur, itu berarti pertandingan harus dilakukan satu lawan satu, orang luar dilarang ikut campur. Bila dalam situasi seperti itu Tan dan In mengunjuk diri, meski tiada maksud turut campur, itu sudah termasuk melanggar pantangan.

Maka terdengar kakek alis putih itu berkata kalem: "Kau serahkan cara pertandingan kepadaku, apa nanti kau tidak menyesal?"

Kuatir Lui Tin-gak segera menjawab secara gegabah, lekas Tam Pa-kun mendahului bicara: "Lui-heng, lebih baik kau dengar dulu cara pertandingan apa yang dikehendaki Siang-locianpwe, nanti dirundingkan lebih lanjut."

Kakek tua itu seketika menarik muka, katanya kurang senang: "Aku Siang Ho-yang orang apa, memangnya kau kuatir aku bakal memungut keuntungan dari temanmu?"

Dugaan Tan Ciok-sing tidak meleset, kakek ubanan ini memang bukan lain adalah cikal bakal Thi-bi-ba-bun Siang Ho-yang.

Lui Tin-gak tertawa gelak, katanya: "Siang-locianpwe tidak usah marah, hari ini Wanpwe memperoleh kesempatan untuk bertanding, entah rejeki apa yang bakal nomplok padaku, apa kehendak Locianpwe boleh silakan katakan saja, orang she Lui akan mengiringi segala kehendakmu."

Tang-bun Cong tertawa, katanya: "Ternyata Lui Tayhiap lebih lapang dada dan berjiwa besar, coba pikir Siang-losiansing adalah seorang maha guru silat, seorang cikal bakal, cara pertandingan yang diusulkan pasti cukup adil dan masuk diakal. Kalau Lui Tayhiap mau percaya, kenapa kau berkuatir malah."

Yang berkepentingan sudah setuju, sebagai seorang saksi meski Tam Pa-kun tahu pihak lawan pasti menggunakan muslihat, terpaksa dia bungkam saja.

Siang Ho-yang menoleh ke tengah laut, dilihatnya gelombang samudera yang di belakang mendorong yang di depan terus melandai tiba dengan kecepatan luar biasa, diam-diam dia berpikir: "Nah tiba saatnya," katanya: "Lui Tayhiap, hari ini mari kita bertanding secara luar hiasa, belum pernah terjadi pertandingan seperti yang kuusulkan ini selama ratusan tahun, marilah kita bertanding di atas panggung batu ini di tengah damparan gelombang pasang nanti."

Perlu diketahui panggung batu karang yang menjulur ke tengah laut itu dinamakan Hay-sin-tai (panggung malaikat laut), merupakan tempat paling berbahaya untuk menyaksikan air pasang dari dekat. Gelombang ombak paling besar dan dahsyat di tempat ini, sekali terpeleset dan dibawa arus, maka tamatlah riwayatnya.

Diam-diam In San membatin: "Bila bertanding menurut kebiasaan, yakin Lui Tayhiap tidak akan terkalahkan. Tapi bertanding di Hay-sin-tay, Lwekang Siang Ho-yang jelas lebih kokoh karena dia berlatih dua puluh tahun lebih lama, maka siapa bakal kalah dan menang sukar diramalkan."

Terdengar Lui Tin-gak sedang berkata: "Tolong tanya Siang-locianpwe pertandingan luar biasa yang jarang terjadi bagaimana?"

"Tang-bun-heng," kata Siang Ho-yang, "terangkan tata tertib pertandingan kepada mereka."

Tang-bun Cong segera membuat sebuah garis lintang tepat di tengah panggung karang, katanya: "Kedua pihak hanya boleh berhantam di bagian luar yang menjorok ke laut, siapa dipukul jatuh atau yang melampaui garis lintang ini, dia dianggap kalah."

"Berhantam saling tutul dan jamah saja, atau berkelahi sampai ada yang mati?" tanya Tam Pa-kun.

Siang Ho-yang ngakak, katanya: "Sudah tiga puluh tahun Losiu tidak pernah berkecimpung di Kangouw, kalau bukan untuk menuntut balas sakit hati keponakan, hari ini aku tidak akan berada disini. Jikalau hanya saling tutul dan jamah, buat apa jauh-jauh aku mengajak Lui Tayhiap bertanding di Hay-sin-tay ini."

Tan Ciok-sing berpikir: "O, waktu Siang Po-siang kukalahkan bersama adik San di Kwi-lin dahulu ternyata dia tidak segera melarikan diri. Mungkin akhirnya dia kebentur oleh paman Lui, di bawah tangan besinya dia terkalahkan pula sekali pukulan."

Tawar suara Lui Tin-gak, katanya: "Kalau Siang-locianpwe ingin menjajal kepandaianku terpaksa Wanpwe mengiringi saja kehendakmu."

"Baiklah," seru Tang-bun Cong, "kalau kedua pihak sudah setuju, maka pertempuran ini bebas berhantam sampai ada yang mati. Pihak mana yang kalah dan sampai mati, teman famili, anak atau muridnya tidak boleh mendendam dan menuntut balas? Biarlah aku menjadi saksi dari pihak Siang-losiansing." --"bebas berhantam" artinya pihak mana setelah dipukul roboh tidak berkutik meski sudah mengaku kalah, pihak lawan masih punya hak untuk menamatkan jiwanya.

"Bagus, aku saksi dari pihak Lui Tayhiap bolehlah segera dilaksanakan menurut kehendak kalian. Tapi perlu aku tanya satu hal supaya jelas."

"Silakan katakan," kata Tang-bun Cong.

"Bila mereka sama-sama tfdak mampu merobohkan lawannya?"

"Lama kelamaan, pasti akan tiba saatnya satu pihak yang mundur keluar garis, itupun sudah termasuk kalah."

"Yang kalah bagaimana?"

Siang Ho-yang tertawa tergelak¬ gelak, katanya: "Selama hidup Lohu hanya pernah kalah sekali, dikalahkan oleh jago pedang nomor satu di dunia ini yaitu Thio Tan-hong. Thio Tan-hong adalah tokoh besar, kekalahanku itupun sudah kuanggap sebagai hal yang memalukan dan penghinaan, sehingga aku menyepi tiga puluh tahun lamanya. Hehe bila Lui Tayhiap mampu mengalahkan aku, sekarang usiaku sudah tujuh puluh tahun, memangnya mukaku setebal itu tetap takut mati? Tidak usah Lui Tayhiap menjatuhkan fonisnya, aku akan terjun sendiri ke Ci-tong-kang."--kata-katanya mengandung sindiran yang cukup pedas, "meski kau Lui Tin-gak pernah menggetarkan daerah Thian-lam, tapi bila dibanding dengan Thio Tan-hong dulu kau masih belum apa-apa." Secara langsung menandakan pula bahwa dia amat yakin akan dirinya, dalam pertempuran kali ini dia pasti berada di pihak yang menang.

Lui Tin-gak berkata tawar: "Kukira tidak perlu demikian."

Siang Ho-yang mendengus, wajahnya tampak bersungut gusar, katanya: "Setelah kau mengalahkan aku boleh kau berbuat sesukamu. Tapi apa yang telah kuucapkan takkan kujilat kembali?"

"Baiklah, biar aku menurut saja apa kehendak Siang-locianpwe, bila aku kalah, segera aku kutungi kedua tanganku, selanjutnya tiada nama Lui Tin-gak dalam percaturan Kangouw. Bila aku beruntung dapat mengalahkan Siang-locianpwe, apa kehendak Locianpwe untuk membereskan diri sendiri, boleh terserah, aku tidak akan memaksa."

"Bagus, ucapan seorang Kuncu laksana kuda lari susah dikejar," ucap Tang-bun Cong, "setelah kedua pihak sama setuju akan cara itu, maka tidak perlu banyak omong lagi, nah boleh silakan mulai saja."

Siang Ho-yang melangkah masuk ke garis lintang yang dibuat Tang-bun Cong, secara enteng dia memetik senar gitarnya, katanya: "Silahkan, Lui Tayhiap."

Di kala kedua pihak sudah mulai pasang kuda-kuda siap bertempur, mendadak terdengar Tam Pa-kun membentak: "Siapa disana?"

Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya bersama In San konangan, cuma Tam Pa-kun tidak tahu akan mereka. Baru saja dia hendak tarik tangan In San diajak melompat keluar, dilihatnya dua orang telah melompat ke atas dari lekuk batu karang sebelah belakang Lui-sin-tay. Dua orang yang tadi mereka lihat bayangan punggungnya waktu di tanggul panjang mclihal gelombang pasang tadi.

Kini mereka melihat jelas, kedua orang itu satu laki satu perempuan.

yang laki memang Thi Khong, pejabat Pangcu deri Tok-liong-pang sekarang. Diluar dugaan Tan Ciok-sing, walau tadi dia sudah menduga bayangan punggungnya

menyerupai perempuan, tapi tidak pernah dia sangka bahwa perempuan ini adalah pimpinan Bu-san-pang yaitu Bu-sam Niocu.

Tam Pa-kun seketika mengerutkan alis, katanya: "Tang-bun-siansing, menurut tata tertib pertandingan yang sudah kita gariskan tadi, pertandingan ini hanya dilakukan oleh Lui Tayhiap melawan Siang-locianpwe, orang luar dilarang turut campur atau menonton pertempuran ini dari dekat, lalu untuk apa kedatangan kedua orang ini? Siapa yang memberitahu mereka supaya kemari?"

"Betul," ujar Tang-bun Cong, "tapi kedua orang ini bukan orang luar. Pertama, Thi-pangcu adalah orang utama sebagai penuntut keadilan."

Belum habis Tang-bun Cong bicara, Thi Khong sudah berkaok-kaok. "Lui Tin-gak, kau membunuh engkohku, sakit hati ini nanti akan kuperhitungkan dengan kau."

Lui Tin-gak lintangkan goloknya katanya menyeringai dingin: "Bagus sekali. Lalu kau yang maju dulu atau Siang-locianpwe? Atau boleh juga kalian maju bersama?"

"Lui Tin-gak," damprat Siang Ho-yang naik pitam, "berarti kau memandang rendah diriku. Kau kira aku sudi minta bantuan orang, sontoloyo kau," lalu dia menoleh dan membentak: "Thi Khong, lekas kau bicarakan supaya jelas, jangan sampai orang salah paham."

Thi Khong mengiakan, katanya: "Memang aku ingin menuntut balas sakit hati engkohku, yakin hari ini orang she Lui takkan lolos dari hukuman Siang-locianpwe, sakit hati ini jelas aku tidak usah turun tangan sendiri. Kedatanganku ini untuk menyaksikan musuhku terpenggal kepalanya."

"Kalian sudah dengar?" teriak Siang Ho-yang, "aku menuntut balas sakit hati keponakan, dua persoalan yang berlainan dengan persoalan orang lain, aku larang siapapun mencampuri urusanku. Kini aku akan bertanding dengan Lui Tayhiap, dia hanya penonton saja, kalian boleh legakan hati saja."

Dengan goloknya Lui Tin-gak memang pernah membunuh engkoh Thi Khong, sebagai salah seorang yang ikut menuntut pembalasan kepada musuhnya, menurut aturan Kangouw dia diperbolehkan hadir dan menyaksikan pertempuran ini. Tapi bila mau bertindak tegas sesuai aturan pertandingannya, sebagai Pa-kun masih punya hak untuk mengusir mereka dari arena pertandingan. Tapi tindakan itu justru memperlihatkan kesempitan jiwa mereka, Lui Tin-gak yang bersangkutan secara langsung tidak menentang, maka Tam Pa-kun menjadi rikuh kalau mengusir Thi Khong dari tempat itu.

Siang Ho-yang berkata lebih lanjut: "Satu hal mungkin Lui Tayhiap dan Tam Tayhiap belum tahu, ayah Thi Ou dan Thi Khong dahulu adalah saudara angkatku, maka persoalan hari ini aku akan cangking juga sakit hati putra-putra saudara angkatku itu. Keponakanku tak bisa menyaksikan pertempuran disini, biarlah Thi Khong mewakilinya, kan tidak melanggar peraturan Kangouw?" »

"Bagus sekali," ujar Lui Tin-gak tenang, "bila perhitungan dilakukan satu persatu akan makan waktu dan membuang tenaga, kebetulan bila Thi-pangcu ingin menyelesaikan dua persoalan sekaligus, aku tidak menentang."

Thi Khong berdiri ke samping, katanya: "Orang she Lui, tak usah bermulut besar, bila kau selamat di tangan Siang-locianpwe, belum terlambat aku membuat perhitungan dengan kau. Kuatirnya hari ini kau takkan lolos, hanya dalam mimpi kau bisa melarikan diri."

Tam Pa-kun tiba-tiba menghardik: "Dan yang seorang lagi?"

Bu-sam Niocu terkikik tawa, katanya: "Aku maksudmu? Aku juga sebagai penonton saja."

"Apa sangkut pautmu dengan persoalan ini? Apakah Lui Tayhiap juga membunuh anak familimu?" Dia tahu Lui Tin-gak tidak pernah kenal Bu-sam Niocu, maka pertanyaannya mengandung olok-olok.

Tak nyana Bu-sam Niocu berkata: "Ya, dia membunuh sanak familiku."

"Bapakmu atau suamimu?"

"Dia termasuk kakakku," ujar Bu-sam Niocu tawar, "perempuan setelah menikah ikut suami, engkoh suami bukankah termasuk familiku juga?"

Tam Pa-kun melengak, katanya: "Menurut tahuku, Bu San-hun tidak punya saudara, dari mana datangnya engkohmu itu?"

"Tam Pa-kun," seru Thi Khong, "kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua."

"Apanya yang kedua?" Tam Pa-kun menegas.

"Dia sebetulnya adalah Sumoayku, dahulu lantaran tunduk kepada perintah ibunya dan menikah dengan Bu San-hun, sc|ak lama pasti aku sudah mengawininya."

Tam Pa-kun kaget katanya: "Jadi sekarang dia jadi binimu?"

Thi Khong membusung dada, katanya: "Sekarang dia sudah jadi isteriku. Siang-locianpwe-lah yang menjadi saksi pernikahan kami, boleh kau percaya kepada beliau."

Siang Ho-yang manggut-manggut membuktikan bahwa perkataannya memang benar. Lalu katanya: "Sebagai isterinya kalau Thi Khong boleh menonton disini, sepantasnya isterinya juga boleh ikut."

Bahwa Bu-sam Niocu mendadak jadi bini Thi Khong, bukan saja hal ini diluar dugaan Tam Pa-kun. Tan dan In juga merasa diluar dugaan. Tanpa merasa Tan Ciok-sing membayangkan cerita Kek Lam-wi yang diketahuinya dari mulut Bu Siu-hoa, bahwa ayah kandung Bu Siu-hoa yaitu Bu San-hun mati secara mendadak dalam sehat walafiat, bukan mustahil kematiannya dulu memang perbuatan ibu tirinya ini yang sekongkol dengan Thi Khong.

Tam Pa-kun sendiri terang merasa curiga juga, tapi dalam keadaan di tempat seperti ini pula, dia tidak ingin urusan berkepanjangan, apa lagi kematian Bu san-hun yang misterius itu tiada sangkut pautnya dengan pihak sendiri.

Lui Tin-gak berkata: "Jangan hiraukan dia, kalau dia suka menonton, biarkan."

"Nah, kan begitu, waktu sudah berlarut-larut, jangan diulur-ulur lagi. Lui Tayhiap, boleh kau mulai dulu."

"Mana Cayhe berani kurang ajar, boleh silahkan Locianpwe mulai dulu."

"Baiklah, aku tidak perlu sungkan," kata Siang Ho-yang mengayun gitar dengan jurus Heng-sau-jian-kun.

"Tang" gitar besi Siang Ho-yang beradu dengan golok Lui Tin-gak, kembang api berpijar. Lui Tin-gak berdiri tegak di tempatnya, Siang Ho-yang kelihatan limbung, tapi kalau tidak diperhatikan orang tidak tahu.

Melihat sekali bentrokan ini, legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Agaknya Lwekang Lui Tayhiap tidak lebih asor dari bangsat tua itu." Tam Pa-kun belum tahu kedatangan Tan Ciok-sing berdua, kalau Ciok-sing sudah merasa lega, dia justeru was-was, yang dikuatirkan bukan Lui Tiu-gak bukan tandingan Siang Ho-yang, yang dia kuatirkan adalah situasi tidak menguntungkan pihaknya.

Diam-diam Tam Pa-kun berpikir: "Lwekang kedua orang ini kira-kira setanding; Lui Toako lebih muda tenaganya kuat dan kekar, tapi permainan senjata Siang Ho¬ yang juga liehay, tapi bila pertempuran berjalan seru dan lama, yakin Lui Toako tidak mudah dirugikan. Kuatirnya bila Thi Khong tidak mematuhi aturan Kangouw, bila mereka membokong aku sukar mencegah."

Maklum, secara diam-diam dia menerawang, dirinya yakin tidak kalah melawan Tang-bun Cong, tapi untuk mengalahkan Tang-bun Cong sedikitnya dia harus melabraknya sampai ratusan jurus, Bu-sam Niocu adalah seorang ahli racun, Thi Khong seorang ahli menggunakan senjata rahasia lagi, di kala dia bersama Lui Tin-gak harus menghadapi lawan-lawan tangguh, bila kedua orang ini membokong, susah mereka menjaganya, cukup satu senjata rahasia beracun mengenai badan, mereka harus kerahkan tenaga untuk mencegah menjalarnya racun dalam tubuh, dalam keadaan demikian, mana mampu dia menghadapi lawan tangguhnya pula?

Di sebelah sana Siang Ho-yang sudah menyerang maju pula, pertempuran sengit berlangsung pula lebih seru, Tam Pa-kun perhatikan pertempuran, maka dia tidak sempat pikirkan urusan lain.

Setelah jajal sejurus, diam-diam Siang Ho-yang berpikir: "It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang tidak bernama kosong. Gelombang pasang kedua akan segera tiba, lebih baik aku menyimpan tenaga, tak usah melawannya secara keras," maka gitarnya sekarang ditarikan dengan kencang dengan senarnya berbunyi crang-creng, senar gitarnya itu mendadak bisa copot dan menyabet ke urat nadi Lui Tin-gak. Serangan senar gitar yang tidak terduga ini adalah hasil ciptaannya dari perobahan Kim-kiong-cap-pwe-ta, padahal senar gitarnya ini jauh lebih ulet dan punya daya mulur yang keras dibanding senar gendewa, bila urat nadi lawan terbaret luka, ilmu silatnya akan dikorting lima puluh persen.

Lui Tin-gak sudah punya persiapan, namun melihat permainan lawan yang aneh dan liehay ini bercekat juga hatinya. "Sebagai cikal bakal suatu aliran, memang dia tidak boleh dipandang remeh." Segera dia membalas dengan serangan golok cepat, menyerang sekaligus membela diri, dia paksa Siang Ho-yang bertempur dari jarak dekat. "Tang, creng" kembali golok dan gitar beradu beberapa kali. Karena Lui Tin-gak membungkus tubuhnya dengan cahaya golok yang diputarnya sekencang kitiran, maka serangan goloknya kali ini tidak sekuat jurus pertama tadi, begitu senjata kedua pihak beradu, tenaga murni kedua pihak dengan sendirinya terkuras lebih banyak.

Tapi dinilai secara lahirnya, kelihatannya Siang Ho-yang berada di atas angin. Mendadak terdengar gemuruh gelombang pasang mulai mendarrrp.ir tiba, waktu Tan Ciok-sing menoleh ke laut, tampak gelombang ombak satu susun lebih tinggi dari susun yang lain secara berduyun-duyun mengalun datang dengan gemuruh suaranya yang menggetar bumi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing tersirap melihat pemandangan yang dahsyat ini. Mereka sembunyi di belakang karang, tapi mereka harus berpegang kencang batu karang supaya tidak terseret arus, napas menjadi sesak rasanya. Dari sini dapatlah dibayangkan, Lui Tin-gak dan Siang Ho-yang yang lagi berhantam di panggung batu karang yang menjorok ke tengah laut betapa hebat tekanan gelombang ombak yang menerjang mereka.

Amukan ombak kali ini memang jauh lebih besar dan dahsyat dari yang pertama, pemandangan jadi kabur, namun mereka tetap mendengar suara senar gitar. In San mengerutkan alis, katanya di pinggir telinga Tan Ciok-sing. "Lagu apa yang dia mainkan, kenapa jelek sekali."

Terdengar suara gitar seperti pekik kokok beluk, anjing menggonggong, kera memekik serigala melolong, pokoknya berbagai suara binatang-binatang liar sehingga siapa mendengarnya perasaan menjadi risih, alat musik manapun di dunia ini yakin tiada yang bisa menirukan suara binatang-binatang itu.

Semakin dipetik senar gitar itu mengeluarkan suara yang aneh-aneh, aneka ragam, nadanyapun turun naik berbeda-beda, betapapun dahsyat gemuruh ombak, tetap tidak kuasa menekan suara petikan senar gitar itu. Terpaksa In San mendekap telinga sambil mendongak kesana, kebetulan gelombang mereda, maka dia melihat keadaan di atas panggung, Thi Khong dan Bu-sam Niocu tidak kelihatan, tapi mendekam jauh di bawah karang sana. Merekapun menekap kuping masing-masing.

Mau tidak mau Tan Ciok-sing berkuatir akan keselamatan Lui Tin-gak, pikirnya: "Gitar besi Siang Ho-yang ternyata seliehay ini, suara gitarnya ternyata juga dapat melukai lawan. Jarak sejauh ini aku masih tetap tidak kuat menahannya, Lui Tayhiap sedang melabraknya dalam jarak dekat, di bawah tekanan damparan ombak lagi, mana mungkin dia bisa mengkonsentrasikan lahir dan batinnya."

Gelombang pasang kali ini datang lebih dahsyat dan susun bersusun, saat-saat berakhirnya gelombang pasang hampir tiba, namun amukan ombak justru lebih hebat lagi. Semula pada setiap kesempatan ombak mereda Siang Ho-yang masih bisa memetik senarnya, kini agak lama kemudian baru terdengar senar gitarnya berbunyi.

Namun lega juga hati Tan Ciok-sing berdua melihat Lui Tin-gak tetap berdiri sekokoh gunung di tempatnya walau tidak jelas bagaimana jalan pertempuran mereka, karena percikan ombak yang mengamuk, namun kelihatannya dia masih kuat .bertahan untuk beberapa waktu lamanya.

Tan Ciok-sing tidak pernah lena, pandangannya tetap diarahkan ke Hay-sin-tay meski panggung batu itu seperti sudah ditelan ombak besar, suatu ketika di saat ombak sedikit mereda tampak oleh Tan Ciok-sing golok Lui Tin-gak membacok dan membelah beberapa kali, gerakan goloknya itu seperti sudah amat hapal dan dikenalnya. Tiba-tiba tergerak pikirannya, akhirnya dia teringat: "Ha, bukankah ilmu golok itu hasil perobahan dari Bu-bing-kiam-hoat yang diajarkan oleh oleh suhu? Perobahan yang dimainkan Lui Tayhiap barusan sungguh amat menakjubkan."

Mata Ciok-sing memang tajam, serangan yang dilancarkan It-cu-king-thian Lui Tin-gak barusan memang benar adalah hasil cangkokan dari Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong.

Kekalahan Siang Ho-yang di tangan Thio Tan-hong, walau sekarang Lui Tin-gak tidak setaraf Thio Tan-hong dahulu namun melihat lawannya mendadak bisa melancarkan serangan pedang ciptaan Thio Tan-hong dulu, mau tidak mau mencelos juga hati Siang Ho-yang.

Semula waktu mendengar suara ribut dari bunyi berbagai suara binatang oleh petikan senar gitar tadi, perasaan Lui Tin-gak memang terpengaruh dan hampir saja dia tidak kuat bertahan. Di saat-saat kritis itulah, mendadak pikiran sehatnya bekerja, tanpa merasa ilmu golok hasil cangkokannya dari ilmu golok ciptaan Thio Tan-hong segera dilancarkan. Begitu damparan ombak mereda, kontan dia merangsak dengan serangan golok kilat, setiap jurus permainan goloknya menyerang dari posisi, arah dan letak yang tak pernah diduga oleh Siang Ho-yang. Pertama Siang Ho-yang sudah dibikin jera oleh ilmu pedang Thio Tan-hong, maka permainannya menjadi keripuhan, untuk membendung serangan golok ini dia sudah kelabakan, maka tidak sempat pula dia memetik senar gitarnya.

Diam-diam Lui Tin-gak bersyukur delam hati, pikirnya: "Bila Tan Ciok-sing tidak mendemonstrasikan seluruh rangkaian Bu-bing-kiam-hoat di hadapanku dulu, hari ini mungkin aku tidak akan mampu menghadapi iblis ini."

Tapi bahaya masih tetap mengintip, bahaya datang dari damparan ombak yang semakin deras, panggung batu karang itu rasanya mau ditelan bulat-bulat dan diseret ke tengah laut saja. Dengan kekuatan Lwekang mereka, sedapat mungkin memperkokoh kuda-kuda, sehingga tidak terseret air, namun tak urung mereka tetap tertarik mundur ke belakang. Beberapa langkah lagi mereka bakal keluar dari garis yang telah ditetapkan.

Siang Ho-yang mundur selangkah lebih banyak, jelas kakinya hampir menginjak garis pemisah itu, kebetulan ombak besar mendampar pula, dengan kertak gigi, tiba-tiba timbul nafsu jahatnya, maka dilancarkannya sejurus serangan yang teramat keji secara licik. Ternyata perut gitarnya itu kosong, di dalamnya dia simpan beberapa jenis senjata rahasia beracun, bila dia menekan tombol, tiga Toh-kut-ting segera melesat keluar.

Sebetulnya Lui Tin-gak tahu akan serangan keji lawan ini, maka sejak tadi dia sudah waspada dan perhatikan setiap gerak-gerik lawan. Tapi kali ini Siang Ho-yang menyerang bersama datangnya ombak, sudah tentu sukar dijaga dan diduga. Suara gemuruh menelan desiran senjata rahasia, tahu-tahu ketiga batang paku telah melesat di depan matanya.

Di saat-saat kritis ini, memperlihatkan betapa liehay ilmu silat Lui Tin-gak, dalam seribu kesibukannya, lekas dia gunakan gerakan keledai malas menggelinding, dia jatuhkan tubuh ke atas karang, golok emas melindungi kepala, "Tring" beruntun tiga kali paku itu masih sempat dia tangkis jatuh. Agaknya Siang Ho-yang tidak menduga lawannya mampu menangkis senjata rahasianya, namun dia juga sudah mempersiapkan serangan susulan, di kala lawan masih rebah di tanah, kontan dia layangkan kakinya menendang dengan serangan berantai. Dia pikir umpama tidak berhasil mencopot nyawa Lui Tin-gak, cukup asal mendesaknya keluar garis, berarti dia sudah kalah.

Diluar tahunya perhitungannya meleset, di kala kedua kakinya beterbangan itulah, sebuah ombak besar melanda tiba pula, itulah ombak besar terakhir dari gelombang pasang ini, tapi ombak yang paling keras dan kuat pula. Siang Ho-yang sedang menendang dengan sepenuh kekuatannya, sudah tentu pertahanan kakinya tidak begitu kuat, kontan dia tersungkur kesana terdorong arus.

Sebat sekali Lui Tin-gak sudah membalik memegang pergelangan tangannya, Siang Ho-yang merontakan kedua tangannya, namun tak kuasa dia melepas pegangan telapak besi Lui Tin-gak, sekalian diapun pegang lengan atas Lui Tin-gak. Lwekang kedua orang kira-kira setaraf, cepat sekali setelah saling berkutet dan bergumul akhirnya kedua orang pelan-pelan sama berdiri, kebetulan keduanya tetap berdiri di atas garis. Kini Siang Ho-yang berhasil meronta lepas dari pegangan lawannya, sambil kerahkan tenaga dia ingin mendorong Lui Tin-gak keluar garis.

"Pyaaaar" di tengah gemuruh ombak terdengar gempuran keras seperti guntur menggelegar, empat telapak tangan bertemu, kedua orang lantas lengket berhadapan tidak bergerak lagi.

Kini pertempuran meningkat pada adu Lwekang, yang tenaganya besar dialah yang bakal menang, jelas adu tenaga tidak mungkin menggunakan akal atau memungut keuntungan secara licik. Namun bahayanya jauh melebihi damparan ombak besar tadi.

Dinilai tenaga dalamnya, kedua lawan ini kira-kira sebanding, cuma Siang Ho-yang kelebihan dua puluh tahun latihan, namun Lui Tin-gak masih muda dan tenaga kuat, seharusnya dia lebih kuat benahan lama dibanding lawannya, tapi pada gebrak terakhir tadi Siang Ho-yang mendapat rugi lebih besar, sehingga keadaan sekarang terbalik, Lui Tin-gak berada di atas angin. Namun sedikit unggul inipun susah diketahui meski seorang maha guru silat yang liehay sekalipun dalam waktu dekat ini.

Diam-diam Tam Pa-kun berkuatir bagi Lui Tin-gak, demikian pulaTang-bun Cong juga kuatir akan nasib Siang Ho-yang. Tiba-tiba kedua orang berkata tanpa berjanji: "Dua harimau bertempur pasti ada satu yang terluka. Kukira pertempuran cukup diakhiri sampai disini saja."

Siang Ho-yang tahu bila adu tenaga dilanjutkan lebih lama, dirinya jelas pasti kalah, tapi dia tidak mungkin pecah perhatian untuk bicara, terpaksa dia mengangguk saja. Maka Tam Pa-kun berkata: "Siang-losiansing mau berdamai dan anggap seri, Lui-toako, kaupun akhiri saja bagaimana?" - secara tidak langsung dia memberi kisikan kepada temannya, meski Siang Ho-yang dikalahkan, pihak lawan masih ada tiga orang lagi. Tang-bun Cong juga tahu keadaan Siang Ho-yang agak kepepet, maka dia tidak banyak berkomentar lagi.

Maka Tam Pa-kun maju menarik Lui Tin-gak sementara Tang-bun Cong menarik Siang Ho-yang. Lui dan Siang sama-sama mengendorkan tenaganya baru mereka dapat dipisahkan. Padahal Lwekang mereka amat tangguh, namun setelah mengalami pertempuran sengit, napas merekapun tersengal, badan lemas lunglai.

Tam Pa-kun berkata: "Pertempuran diakhiri dengan seri, maka permusuhan ini bolehlah dianggap himpas sampai disini saja."

Hampir saja dirinya kecundang, beruntung nama baik dan pamornya tidak sampai runtuh sudah tentu dia setuju saja tanpa bersuara dia mengangguk. Tak kira Thi Khong dan Bu-sam Niocu malah tampil ke muka, katanya: "Permusuhan Siang-locianpwe dengan Lui Tin-gak boleh dianggap himpas, tapi permusuhan kami dengan Lui Tin-gak kan belum diselesaikan."

"Apa?" hardik Tam Pa-kun, "kalian menantang Lui Tayhiap?"

"Betul. Sakit hati engkohku, memangnya tidak boleh kutuntut padanya," seru Thi Khong.

Dengan tawa genit Bu-sam Niocu menimbrung: "Aku tahu tidak setimpal menantang Lui Tayhiap, tapi isteri harus ikut suami, terpaksa aku mengiringi kehendak suami saja."

*'Lui Tayhiap baru saja habis bertempur, bila kalian hendak menuntut balas, biar aku wakili dia menyambut tantangan kalian," damprat Tam Pa-kun.

Tang-bun Cong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tam Tayhiap omonganmu apa tidak salah."

"Kenapa salah? Coba terangkan."

"Thi-pangcu mau membalas sakit hati engkohnya, itu urusan lain. Bila Tam Tayhiap ada minat boleh kau menjadi saksi lagi, tapi bukan tempatnya kau ikut campur urusan orang lain."

"Jadi menurut pendapatmu, mereka menggunakan akal licik ini malah boleh dibenarkan?"

"Berdasar apa kau katakan aku berbuat licik?" damprat Thi Khong.

"Bila kalian menuntut balas secara terang-terangan, boleh tentukan waktunya dan tantanglah Lui Tayhiap untuk bertanding lain kesempatan,"

Bu-sam Niocu menimbrung pula: "Mumpung hari ini ketemu dan ada kesempatan. Kenapa susah-susah cari waktu dan tempat lain segala, biar hari ini juga kami menyelesaikan permusuhan kita."

Tang-bun Cong terbahak-bahak, katanya: "Menuntut balas memang boleh menggunakan cara apapun, apakah ucapan Tam Tayhiap tadi tidak terlalu mengada-ada? Apalagi sebagai kaum persilatan, mereka adalah Pangcu dari suatu perkumpulan, tapi kedudukan mereka masih terlalu jauh dibanding Lui Tayhiap. Walau barusan Lui Tayhiap habis bertempur, kukira dia sendiri tidak ambil pusing soal tetek bengek ini."

Sudah tentu Lui Tin-gak naik pitam, bentaknya: "Kawanan tikus juga berani bertingkah, baik, biarkan mereka kemari."

Melihat betapa garang dan angker sikap dan tampang Lui Tin-gak, ciut juga nyali Thi Khong. Tapi Bu-sam Niocu justru lebih cermat, dari suara Lui Tin-gak dia dapat meraba bahwa tenaga murninya sudah hampir ludes. Maka dia memberi lirikan mata kepada Thi Khong, katanya: "Betul, sang waktu tidak boleh dilewatkan begini saja. Lui Tayhiap sendiri sudah menantang, marilah kita maju bersama."

Thi Khong cukup cerdik, dia tahu kemana arah perkataan Bu-sam Niocu, pikirnya: "Ya, mumpung tenaga Lui Tin-gak belum pulih, lekas turun tangan lebih menguntungkan," segera dia keluarkan senjatanya, bentaknya: "Orang she Lui, hari ini kalau bukan kau mampus, biar aku yang mati. Kami tidak akan memungut keuntungan, boleh silakan kau mulai dulu."

Pertempuran babak kedua sudah bakal berlangsung pula, mendadak seorang membentak: "Nanti dulu."

Bentakan ini membuat Thi Khong suami isteri sama tersentak, kontan berobah air muka mereka. Lui Tin-gak justru berseru girang: "Ciok-sing Hiantit, kau, bagaimana kau bisa datang kemari?"

Tampak Tan Ciok-sing bergandeng tangan dengan In San melompat naik ke panggung karang. Tam Pa-kun berseru memuji: "Ginkang bagus."

Bertepatan saatnya tiba-tiba Siang Ho-yang menghardik: "Siapa berani kemari membuat onar." Gitar diangkat terus terayun ke belakang memapak kedatangan Tan Ciok-sing dan In San.

Bukan Siang Ho-yang tidak tahu siapa Tan Ciok-sing, karena dia dengar Lui Tin-gak memanggil nama Tan Ciok-sing, maka sengaja dia pura-pura sambil menyergap. Maklum selama dua tahun ini nama besar Tan Ciok-sing sudah cukup terkenal di Kangouw, walau belum pernah melihatnya, pernah dia mendengar dari cerita Thi Khong. Kini melihat kedatangan mereka begitu cepat dan tangkas selintas pandang lantas dia tahu bahwa kepandaian Thi Khong suami istei i bukan tandingan mereka. Maka tidak segan-segan dia gunakan sisa tenaganya yang tidak seberapa, mumpung kedua muda-mudi ini belum berdiri tegak lantas menyergapnya.

Jurus ini dinamakan Oh-ka-cap-pwe-bak, serangan tunggal mematikan yang paling sukar dan rumit perobahannya dalam ilmu permainan gitar besinya itu, senar gitar dapat digunakan mengiris urat nadi, sementara badan gitarnya dapat dibuat mengemplang, sementara petikan senarnya menimbulkan suara ribut yang memekak dan mengganggu konsentrasi pikiran lawan, seluruh kekuatan perbawa dari ilmu gitar yang diciptakannya dikembangkan semaksimal mungkin meski hanya dengan landasan sisa tenaga belaka.

Tam Pa-kun memaki: "Tidak tahu malu," baru saja dia hendak menubruk maju, namun Tang-bun Cong telah menghadang di depannya. Semula Lui Tin-gak juga tersirap, tapi lekas sekali dia sudah berseru dengan tertawa lega: "Tidak jadi soal."

Tan Ciok-sing dan In San dua tingkat lebih rendah dari Siang Ho-yang, boleh dikata Siang Ho-yang telah boyong segala

kemampuannya untuk menyergap mereka, dia kira meski Tan Ciok-sing memiliki Kungfu tinggi, tapi usia masih muda,, betapapun tangguh Lwekangnya juga masih ada batasnya, maka dia yakin serangan liehaynya ini pasti akan membuat Tan dan In bila tidak mampus juga terluka parah.

Tak nyana kesudahannya justru jauh diluar perhitungannya.

Mendadak Tan Ciok-sing memekik panjang, suaranya melengking tinggi memekak telinga. Di tengah pekik suaranya itu, tampak sinar pedang berkembang. Bersama In San mereka melancarkan gabungan sepasang pedang, sehingga bayangan tubuh Siang Ho-yang seketika seperti terbungkus didalam libatan cahaya pedang mereka.

Bukan main gembira Lui Tin-gak, pikirnya: "Gelombang sungai yang di belakang memang mendorong yang di depan, pepatah ini cocok untuk mengibaratkan Kungfu Ciok-sing saat ini," belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara ribut tak karuan dari senar gitar, cahaya pedang yang kemilau menyilaukan matapun mendadak kuncup tak berbekas.

Terdengar Tan Ciok-sing berkata lantang: "Maaf, kami terpaksa merusak alat musik Locianpwe, rasanya jadi tidak enak."

Tampak Siang Ho-yang berdiri menjublek di samping sana seperti patung. Tangannya masih memeluk gitarnya, tapi senar gitarnya sudah putus seluruhnya. Demikian pula perut gitarnya sudah bolong. Karang di sekitar kakinya tercecer puluhan keping besi-besi tak berguna lagi, ada Toh-kut-ting, Thi-lian-cu, Ouw-tiap-piau, ada pula Bwe-hoa-ciam yang remuk menjadi bubuk oleh gilasan sinar pedang sakti Tan dan In berdua. Ternyata berbagai senjata rahasia yang puluhan buah jumlahnya itu seluruhnya telah dibabat remuk berkeping-keping oleh sepasang pedang Ciok-sing dan In San. Perlu diketahui, didalam melancarkan serangan jurus yang hebat tadi Siang Ho-yang masih bermain licik sekaligus menekan tombol sehingga berbagai macam senjata rahasia yang tersimpan di perut gitar melesat keluar seluruhnya

Diluar perhitungannya, perbawa gabungan sepasang pedang Tan dan In ternyata amat hebat. Bukan saja serangan gelap senjata rahasia tidak membawa hasil, gitar besinya yang dipandangnya sebagai mustika itupun telah tertusuk bolong. Seperti diketahui pedang Tan Ciok-sing adalah Ceng-bing Pokiam, sedang yang digunakan In San adalah Pek-hong Pokiam, sepasang pedang mustika peninggalan Thio Tan-hong suami istri dan diwariskan kepada mereka. Gitar besi Siang Ho-yang boleh terhitung senjata antik pula, golok atau pedang biasa jangan harap mampu merusaknya tapi sekarang kenyataan telah dirusak oleh sepasang pedang mustika.

Siang -Ho-yang sudah pertaruhkan seluruh

kemampuannya, meski dia habis mengalami pertempuran sengit, tenaganya jauh berkurang, tapi hanya segebrak dirinya telah terkalahkan oleh dua muda mudi yang boleh termasuk cucunya, betapa mengenaskan kekalahan ini, bukan saja diluar dugaan orang lain, dia sendiri juga ragu-ragu, menyangka dirinya berada di alam mimpi. Maka, dia berdiri mematung di samping sana, wajahnya kelihatan hambar, pandangannya kosong. Tiada yang tahu apa yang sedang dipikir dalam benaknya, tapi dapat diduga betapa rawan perasaan hatinya.

Tam Pa-kun sudah hampir memakinya "Hina" serta melihat keadaan orang, kata-kata yang sudah hampir terlontar di ujung lidahnya lekas ditelannya kembali.

Setelah mengalahkan Siang Ho-yang, baru Tan Ciok-sing berkata: "Lui-pepek, pertandingan babak selanjutnya boleh serahkan kepada kami saja, kami berdua melawan mereka berdua, pihak mana tiada yang memungut keuntungan."

Tang-bun Cong coba menempatkan dirinya scbaj-ai wasit, katanya: "Kalian tahu tidak aturan kaum persilatan, Thi Khong suami istri hendak menuntut balas kepada Lui Tin-gak, berdasarkan apa kalian berani menampilkan diri?"

In San tertawa dingin, katanya: "Kau ini saksi macam apa, memangnya Thi Khong yang boleh menuntut sakit hati kematian engkohnya, aku tak boleh menuntut balas kematian ayahku? Orang-orang yang dulu membunuh ayahku, engkohnya adalah salah satu diantaranya. Belakangan Lui Tayhiap berhasil membunuh engkohnya, bila dia ingin menuntut balas, boleh kau membuat perhitungan kepadaku saja."

"Baik, dan kau?" tanya Tang-bun Cong menuding Tan Ciok-sing.

Tam Pa-kun mendahului bicara: "Ibu nona In pernah berpesan kepadaku, supaya aku jadi comblang menjodohkan putrinya dengan Tan Ciok-sing, mereka adalah calon suami isteri."

Hal ini baru pertama kali ini In San mendengarnya. Tam Pa-kun membeber persoalan pribadinya di muka umum, sudah tentu merah jengah selebar mukanya.

Tan Ciok-sing berkata: "Hubungan soal ini boleh dikesampingkan, dengan Tok-liong-pang akupun punya permusuhan yang mendalam. Kakekku dulu dibokong dan dilukai oleh orang Tok-liong-pang, karena luka-lukanya beliau akhirnya meninggal. Rumah leluhurku juga dibakar habis oleh kawanan Tok-liong-pang, aku tidak tahu siapa yang turun tangan, tapi Thi Khong sekarang adalah pejabat Pangcu Tok-liong-pang, maka aku wajib menuntut balas kepadanya."

Kalau tadi Tang-bun Cong berkukuh memperbolehkan Thi Khong suami isteri menuntut balas kepada Lui Tin-gak, maka sekarang tiada alasan dia menentang usaha Tan Ciok-sing berdua menuntut balas kepada Thi Khong suami isteri.

"Baiklah, urusan tidak perlu dibicarakan lagi," ucap Tam Pa-kun, "biar aku dan Tang-bun-siansing menjadi saksi. Tang-bun-siansing bila kau ingin bertanding dengan aku, boleh dilaksanakan di babak terakhir saja? Atau sekarang juga boleh? Jadi tidak perlu pakai saksi segala."

Situasi berobah seratus delapan puluh derajat, sudah tentu Tang-bun Cong tidak berani mencari perkara, katanya: "Tam Tayhiap, soalnya perdebatan tadi takkan berakhir begitu saja, maka aku usulkan untuk diselesaikan dengan pertandingan. Sebetulnya tiada hasratku untuk bertanding dengan kau," secara tidak langsung dia mau bilang, bahwa persoalan sudah jelas juntrungannya, maka dia setuju saja bila Thi Khong suami isteri membuat penyelesaian langsung dengan Tan Ciok-sing secara adil.

Sudah tentu tanpa memperoleh dukungan Tang-bun Cong, Thi Khong suami isteri tidak berani melawan Ciok-sing berdua. Diam-diam Bu-sam Niocu memberi kerlingan mata kepada suaminya, maka mereka berkata bersama: "Baik, bertanding ya bertanding, memangnya kami takut menghadapi bocah keparat ini."

"Bagus, kalau tidak takut, hayo maju."

Tak nyana di mulut Thi Khong suami isteri masih bersikap garang, tapi perbuatan mereka justru teramat licik dan nakal. Bu-sam Niocu maju melangkah, mendadak dia menimpukkan senjata rahasia. Itulah senjata rahasia tunggal perguruannya, Tok-bu-kim-cian-Iiat-yam-tam.

"BUM" senjata rahasia meledak di tengah udara, asap tebal seketika bergulung ke empat penjuru, gumpalan api tampak menerjang ke arah Tan dan In berdua. Di tengah kepulan asap gelap masih menyamber pula bintik-bintik emas yang tak terhitung banyaknya, itulah Bwe-hoa-ciam yang selembut bulu kerbau. Berbareng Thi Khong juga menimpukkan senjata rahasia beracun perguruannya, Tok-liong-piau. Habis menimpuk senjata rahasia mereka lantas melompat mundur bersama.

Tok-bu-kim-cian-liat-yam-tam yang ditimpukkan Bu-sam Niocu boleh dikata merupakan senjata rahasia dahsyat yang bisa mengakibatkan kematian yang paling mengerikan, meski sasarannya adalah Tan Ciok-sing, tapi asap beracun mengepul jarum emas juga menyamber kian kemari di tengah kepulan asap tebal lagi, sehingga semua orang yang berdiri di Hay-sin-tay ini tiada yang tak terkena serangan.

Oleh karena itu, begitu senjata rahasia meledak di tengah udara, semua orang yang berada di atas panggung karangpun serempak turun tangan. Tam Pa-kun menghardik sekali, beruntun dia memukul tiga kali. Julukannya Kim-to-thi-ciang, kekuatan pukulan telapak tangannya ternyata hebat luar biasa. Asap beracun kontan tersapu pergi seperti terserap oleh angin lesus.

Sementara Tan dan ln kembali mengembangkan permainan gabungan sepasang pedang dengan jurus Pek-hong-koan-jit, dua batang pedang bersatu padu sehingga cahayanya menjadi dwi tunggal seperti lembayung. Jarum berbisa Bu-sam Niocu, Tok-liong-piau Thi Khong hakikatnya tidak mampu mendekati mereka, semua terpukul rontok menjadi berkeping-keping.

Tapi setelah asap tebal lenyap terbawa angin laut, bayangan Thi Khong dan Bu-sam Niocu telah lenyap.

Segera Tan Ciok-sing memeriksa keadaan sekitarnya, dilihatnya dua bayangan orang sedang berlari kesana melampaui jalur pemisah dan berada di tepi karang yang menjorok ke tengah laut.

Tan Ciok-sing gusar, dampratnya: "Melukai orang dengan senjata rahasia keji, memangnya kalian masih bisa lari?" baru saja dia hendak ajak In San mengudak kesana, tiba-tiba Thi Khong dan Bu-sam Niocu sudah terjun ke Ci-tong-kang.

Agaknya mereka juga insaf, senjata rahasia berbisa paling hanya merintangi musuh sekejap, Tan Ciok-sing dan lain-lain tidak mungkin bisa kecundang. Senjata rahasia yang digunakan Bu-sam Niocu hanya untuk melicinkan jalan mundur mereka, di kala asap tebal masih merintangi pandangan mata orang, bersama Thi Khong mereka akan menyingkir leluasa.

Tok-liong-pang adalah kumpulan perampok yang sering beroperasi di lautan, Thi Khong adalah Pangcu, maka kepandaiannya bermain dalam air teramat mahir. Sementara sejak kecil Bu-sam Niocu dibesarkan di pinggir Tiangkang, di tiga selat yang paling berbahaya sepanjang sungai besar itu maka diapun mahir berenang, kali ini mereka terpaksa terjun ke Ci-tong-kang untuk menyelamatkan diri. Memang untung bagi mereka karena gelombang pasang saat mana sudah reda, kalau ombak masih mengamuk, betapapun liehay ilmu berenang mereka juga pasti mampus menjadi hidangan ikan.

In San berkata gegetun: "Menguntungkan mereka saja."

"Ombak masih sebesar ini, belum tentu mereka bisa selamat, biarlah mereka menentukan mati hidupnya sendiri," demikian ujar Tan Ciok-sing. Baru saja dia melangkah hendak menghampiri Lui Tin-gak ajak berbincang-bincang, tiba-tiba didengarnya Lui Tin-gak berteriak kaget: "Aduh celaka."

Karuan Tan Ciok-sing kaget: "Apanya celaka?" dilihatnya bola mata Lui Tin-gak terbeliak, berdiri mematung seperti orang pikun. Tan Ciok-sing menoleh kesana menurut arah pandangan Lui Tin-gak, tampak Siang Ho-yang entah sejak kapan secara diam-diam sudah berdiri di pinggir karang sana.

Begitu menoleh kesana kontan Tan Ciok-sing merinding di buatnya, rona muka Siang Ho-yang tampak amat mengerikan. Ternyata waktu menghadapi serangan senjata gelap Thi Khong suami isteri, siapapun sibuk pada keselamatan diri sendiri sehingga tiada yang teringat untuk melindungi Siang Ho-yang. Setelah menghadapi gempuran sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San, hakikatnya Siang Ho-yang sudah tidak mampu lagi menolak atau menangkis serangan senjata rahasia itu. Apalagi dia tidak mengira bahwa Thi Khong suami isteri bakal menggunakan senjata rahasia keji ini tanpa perdulikan keselamatan orang sendiri.

Usianya sudah selanjut itu, hari ini sudah terjungkel di tangan muda mudi yang pantas menjadi cucunya, jangan kata dia sudah tidak punya tenaga bertahan diri lagi, umpama tenaga masih kuat juga dia tidak akan bisa berkelit lagi. Bukan saja dia menyedot asap beracun, Thay-yang-hiat, lng-hiang-hiat dan tepat di tengah alisnya terkena tiga batang Bwe-hoa-ciam beracun timpukan Bu-sam Niocu, sementara pundaknya terkena Tok-liong-piau begitu racun menyentuh darah, kontan tenggorokan tersumbat.

Padahal Lwekangnya sudah ludes, umpama masih tangguh, setelah terkena senjata rahasia beracun di banyak tempat lagi, jelas jiwanya juga susah diselamatkan.

Setelah lenyap rasa kagetnya, lekas Lui Tin-gak memburu maju.

teriaknya: "Siang-locianpwe, jangan kau bergerak, biar kubantu kau mengobati."

Siang Ho-yang tertawa perih, katanya: "Usiaku sudah setua ini, memangnya harus bertahan hidup tiga puluh tahun pula? Sungguh aku menyesal kenapa aku melanggar sumpahku terhadap Thio Tan-hong dulu, kini aku terkalahkan pula oleh murid Thio Tan-hong, mungkin Thian Yang Maha Kuasa telah menjatuhkan vonisnya kepadaku. Memangnya aku harus ingkar janji?" sebelum Lui Tin-gak tiba di depannya, Siang Ho-yang sudah menerjunkan dirinya kedalam laut mengikuti jejak Thi Khong suami isteri.

Kalau Thi Khong suami isteri mahir berenang, tidak terluka apa-apa, kemungkinan mereka masih bisa menyelamatkan diri. Tapi Siang Ho-yang dalam keadaan serba payah, ombak Ci-tong-kang masih sederas itu, jelas jiwanya susah diselamatkan lagi.

Lui Tin-gak menghela napas, katanya: "Jelek-jelek Siang Ho-yang adalah seorang cikal bakal suatu aliran, siapa nyana nasibnya sejelek ini."

Waktu Thi Khong suami isteri menimpukkan senjata rahasianya, diam-diam Tang-bun Cong sudah yakin bahwa sergapan licik ini takkan membawa hasil maka sebelum asap tebal itu sirna, diapun sudah kabur dari tempat itu.

Lui Tin-gak tertawa, katanya: "Hari ini dia sebagai saksi, menurut aturan Kangouw, dari pada kita cari perkara dengan dia, biar dia yang cari perkara terhadap kita saja, tapi aku yakin dia tidak seberani itu. Tapi ada satu hal aku belum jelas, perlu aku tanya kepada Tan-hiantit."

"Entah paman ingin tahu soal apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Kabarnya kalian akan tinggal di Soh-ciu saja, kenapa mendadak berada disini?" tanya Lui Tin-gak.

Tan Ciok-sing berkata: "Ada sebuah kabar gembira perlu kusampaikan kepada paman berdua."

Lekas Tam Pa-kun berkata: "Apakah kalian sudah memperoleh berita Kek Lam-wi?"

"Bukan hanya beritanya saja," ujar In San tertawa, "orangnyapun sudah kami temukan."

Tam Pa-kun kegirangan, tanyanya: "Bagaimana kalian menemukan dia?"

"Paman Tam, pandanganmu tajam, dugaanmu ternyata benar," ujar In San?"

"Memang nona Bu itulah yang menolongnya, belakangan secara diam-diam dia membantu kami pula sehingga Kek Lam-wi ditemukan," lalu dia bercerita secara ringkas.

"Memang sudah kuduga bahwa nona Bu itu tidak bermaksud jahat kepada Kek Lam-wi, syukur aku tidak salah menilai orang. Sekarang Lam-wi..."

"Waktu kami meninggalkan Soh-ciu, dengan Kiau-thocu dari Kaypang dia sudah berangkat lebih dulu ke Thay-ouw."

Lui Tin-gak memotong: "Ya. Ong Goan-tin Cong Cecu dari tiga puluh enam markas perairan di Thay-ouw akan merayakan hari ulang tahunnya ke enam puluh, hari ulang tahunnya jatuh pada tanggal dua puluh satu bukan?"

"Betul," ujar Tam Pa-kun, "aku memang ingin mengajakmu kesana."

"Sebenarnya akupun punya maksud. Cuma sebelum hari ini, aku sendiri tidak tahu apakah aku bakal berumur panjang untuk menikmati arak perjamuan ulang tahunnya itu. Sekarang boleh aku ikut kalian kesana."

Dua hari kemudian, sebuah perahu sedang berlaju di tengah Thay-ouw. Tiada angin tiada ombak, cuaca cerah, selepas mata memandang permukaan air berpadu dengan langit di kejauhan sana.

Berada di tengah keindahan alam permai bak sebuah lukisan ini, ln San yang berdiri di ujung perahu sampai terpesona. Timbul gairah mereka bersenandung, In San segera tarik suara, sementara Tan Ciok-sing keluarkan harpanya.

Yang dibawakan adalah puisi ciptaan Thio It-ouw, pujangga dynasti Song yang pernah memperoleh pangkat tinggi dalam kalangan pemerintahan.

Begitu lagu habis dan suara harpa berhenti, mendadak kumandang suara seorang berseru memuji: "Nyanyian bagus, petikan harpa juga bagus."

Mendengar pujian ini, Tam Pa-kun dan Lui Tin-gak sama-sama kaget. Padahal di perairan sekitar perahu mereka tidak kelihatan ada perahu lain. Selepas mata memandang, kelihatan di kejauhan sana ada setitik bayangan layar berkembang. Bila orang yang berseru memuji di atas kapal itu, dalam jarak sejauh itu namun suaranya tetap terdengar sejelas tadi, maka betapa tangguh Lwekangnya, dapatlah dibayangkan.

Tan Ciok-sing juga kaget, katanya: "Agaknya orang itu menggunakan Lwekang tingkat tinggi mengirim suaranya dengan gelombang panjang."

"Betul," ucap Lui Tin-gak menghela napas. "Di atas langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai lagi. Kata-kata ini memang patut diresapi. Betapa tangguh dan murni Lwekang orang itu, sungguh belum pernah kulihat selama hidup ini. Siapa nyana di tempat ini aku bakal bertemu dengan tokoh seliehay ini. Tam-heng, kau lebih hapal mengenai seluk beluk benggolan Bulim, tahukah kau siapa dia?"

Bahwa It-cu-king-thian Lui Tin-gak yang sudah punya kedudukan setinggi itu di kalangan Bulim, masih berkata demikian, sudah tentu Tan Ciok-sing dan In San sama tersirap. Maka pandangan mereka tertuju ke arah Tam Pa-kun serta menanti penjelasannya.

Tam Pa-kun- berpikir sebentar, katanya kemudian: "Thio Tan-hong Thio Tayhiap beruntung aku pernah melihatnya, jikalau Thio Tayhiap belum meninggal pasti aku duga dia adanya. Tapi Thio Tayhiap sudah meninggal empat tahun yang lalu, aku jadi tak habis pikir siapa gerangan yang memiliki Lwekang setangguh itu?"

"Apakah Lwekangnya mampu menandingi maha guru silat seperti Thio Tan-hong Thio Tayhiap?" tanya Lui Tin-gak.

"Dibanding Thio Tayhiap jelas belum memadai, tapi di antara Bulim Cianpwe yang kukenal dan masih hidup sekarang, kurasa tiada yang mampu menandingi dia," ucap Tam Pa-kun.

"Tam-heng, pengetahuan dan pengalamanmu luas, coba kau pikir-pikir lebih cermat, umpama kau tidak mengenalnya, mungkin pernah mendengar namanya?"

"Suhu Le Khong-thian yaitu Kiau Pak-bing dulu adalah gembong iblis besar yang sejajar dengan Thio Tayhiap. Konon sejak lama dia sudah mati diluar lautan."

"Benar," timbrung Tan Ciok-sing, "Le Khong-thian mati di tangan guruku, aku mendengar sendiri dia menantang guruku, katanya mau menuntut balas, ini sudah jelas bahwa kematian Kiau Pak-bing tidak pertu diragukan lagi"

"Kalau tidak bisa mengingatnya, ya sudahlah. Diterawang dari situasi sekarang ini, ada seorang setangguh ini berada di Thay-ouw, hari ini adalah ulang tahun Ong Goan-tin lagi, kedatangannya sudah tentu akan memberi selamat kepadanya. Setiba kita di Tong-ting-ouw barat, pasti akan segera diketahui siapa dia adanya."

Tiba-tiba Tam Pa-kun berkata: "Sekarang kuingat seseorang."

"Siapa?" tanya Lui Tin-gak.

"Tang-hay-liong-ong."

"Siapa itu Tang-hay-liong-ong?"

"Dia, dia adalah..." tengah bicara tampak kapal di sebelah belakang itu sudah berlaju kencang mendekati perahu mereka, jaraknya sudah terjangkau oleh pandangan mata. Kapal itu memang besar sekali, panjangnya ada tiga puluhan tombak, bersusun tiga. Lebih tepat kalau dinamakan kapal loteng.

Lui Tin-gak berkata: "Kapal loteng macam ini agaknya jarang berlayar di sungai?"

"Betul," ucap Tam Pa-kun, "memang kapal loteng yang khusus berlayar di lautan teduh. Nah, kalian melihat bendera di puncak tiang itu tidak?"

Lekas Tan Ciok-sing memandang kesana, tampak sebuah bendera besar sedang melambai-lambai ditiup angin di ketinggian tiangnya. Di tengah bendera bergambar seekor naga hitam yang membuka mulut lebar dan pentang cakarnya.

Naga merupakan lambang kebesaran seorang raja, kapal ini ternyata berani menggunakan naga sebagai lambang benderanya, tak usah ditanya siapa pemiliknya, yang terang keberaniannya cukup mengejutkan.

Tam Pa-kun menghela napas, katanya: "Dugaanku ternyata tidak meleset, memang Tang-hay-liong-ong adanya."

Kapal loteng itu melebarkan layarnya sehingga berlaju pesat ditiup angin buritan, lekas sekali kapal besar itu sudah jauh semakin mengecil dan lenyap dari pandangan mata. Diperhitungkan dari perjalanan air, kini kapal besar itu tentu sudah berlabuh di kaki Tong-thing-san, penumpang kapal kemungkinan juga sudah sama mendarat.

"Kapal itu berlabuh di Tong¬ thing-san barat, naga-naganya mereka memang hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong-goan-tin. Tam-heng, orang macam apa sebenarnya Tang-hay-liong-ong ini? Tadi belum sempat kau jelaskan."

"Dia orang baik atau orang jahat?" In San mendesak juga tidak sabaran.

"Aku juga tidak tahu apakah dia orang baik atau orang jahat. Malah siapa she dan namanya akupun tidak tahu."

"Aku hanya tahu dia adalah pentolan kawanan perampok yang mengganas di lautan timur, membunuh orang merampok barang adalah kerja rutin mereka, tanpa pandang bulu lagi. Karena dia mengerek bendera naga sebagai pelambang, maka orang banyak sama menjulukinya Tang-hay-liong-ong. Konon ilmu silatnya teramat tangguh, namun jarang berkecimpung di Kangouw, di lautan orang pun tiada yang pernah melihat tampangnya. Oleh karena itu kaum persilatan di Tionggoan hanya beberapa orang saja tahu akan dirinya."

Lui Tin-gak mengerutkan kening, katanya:. "Orang seperti itu, walau Ong Goan-tin mempunyai kedudukan tinggi dan disegani orang, mungkin masih tidak dipandang sebelah mata olehnya, lalu apa sebabnya hari ini dia sudi datang memberi selamat kepada Ong Goan-tin, urusan rasanya agak ganjil? Tam-heng, tahukah kau apakah dia teman baik Ong Goan-tin."

"Pernah kudengar Ong Goan-tin membicarakan tentang dia, tapi Ong Goan-tin sendiri juga bilang, dia belum pernah melihat Tang-hay-liong-ong, apa lagi hubungan intim segala jelas tidak mungkin. Sudahlah tidak perlu menduga-duga, setiba di Tong-thing-san, kitapun akan tahu sendiri."

Perahu kecil mereka jelas kalah cepat dibanding kapal loteng tadi, namun lajunya juga tidak lambat. Kira-kira setengah jam setelah mereka kehilangan bayangan kapal loteng di depan sana merekapun telah tiba di Tong-thing-san.

Berempat mereka segera mendarat.

Tong-thing-san memang tidak setinggi dan sebesar Ngo-gak yang terkenal itu, tapi mempunyai bentuk dan wajah yang tersendiri pula. Sejak dari pinggir danau mereka terus memanjat gunung, pemandangan permai sepanjang jalan sawah ladang bertangga telah menghijau, pohon-pohon buah nan rimbun serta beraneka ragam jenis bunga yang indah dan semerbak Tam Pa-kun memberitahu orang banyak: "Ong Goan-tin memang pemimpin serba bisa, pandai perang juga mahir bercocok tanam, rangsum keperluan pasukan airnya diperoleh dari hasil perkebunan dan sawah ladang dan subur di samping juga perikanan yang tidak kunjung habis dikeduk setiap hari di danau. Kecuali harta tidak halal dari pembesar dorna, pedagang biasa yang sering mondar-mandir mencari nafkah secara semestinya mereka lindungi."

Tan Ciok-sing berpikir: "Ong Goan-tin memang pemimpin sejati, tak heran Kim-to Cecu menaruh penghargaan dan perhatian khusus kepadanya."

Setiba mereka di lamping gunung, dua Thaubak telah turun menyambut mereka. Mereka kenal Tam Pa-kun, begitu melihat kedatangannya mereka berjingkrak girang serta berseru: "Tam Tayhiap, syukurlah kau telah datang, kami kuatir hari ini kau belum akan datang."

"Ada urusan apa?" tanya Tam Pa-kun.

Seorang Thaubak menjawab: "Barusan kedatangan seorang tamu luar biasa."

"Aku sudah tahu. Tang-hay-liong-ong bukan?" ucap Tam Pa-kun.

"Betul, Tang-hay-liong-ong membawa banyak orang, biasanya dia tidak pernah berhubungan dengan kami."

"Kau kira kedatangan mereka tidak bermaksud baik?"

"Kecuali rombongan Tang-hay-liong-ong, masih ada juga orang-orang lain yang punya hubungan biasa dan masing-masing tidak pernah kontak kerja, ada pula orang-orang dari golongan hitam. Dan orang-orang ini agaknya kenal baik dengan Tang-hay-liong-ong, begitu ketemu lantas bicara dan kelakar seperti di rumah sendiri. Aku jadi curiga bukan mustahil kedatangan mereka memang ada maksud-maksud jahat," demikian tutur Thaubak itu.

"Baiklah, mari kita jalan lebih cepat, untuk menemui Cecu kalian, tidak usah kalian menunjukkan jalan," ucap Tam Pa-kun. Berempat mengembangkan Ginkang menuju ke markas pusat Ong Goan-tin yang terletak di Biau-biau-hong di puncak utama Tong-thing-san.

Ong Goan-tin menyambut para tamunya di Kik-gi-ting, dimana para tamu memberi selamat ulang tahun kepadanya. Begitu mereka memasuki pintu markas, Thaubak yang menyambut kedatangan mereka kelihatan rona mukanya agak ganjil seperti tertekan perasaannya. Begitu tiba di Kik-gi-ting, lantas terdengar suara ribut-ribut didalam, suaranya seperti laksaan nyamuk berpadu menjadi suara guntur layaknya, terlalu banyak orang bicara, saling debat dan cerca sehingga keadaan menjadi kacau dan susah dibedakan persoalan apa yang tengah diributkan.

Tam Pa-kun tidak tanya lagi kepada petugas penyambut tamu, langsung dia masuk ke Kik-gi-ting. Tepat dia tiba di ambang pintu, didengarnya Ong Goan-tin sedang berteriak keras: "Usiaku sudah tua, mulai' hari ini aku akan mencuci tangan di baskom emas. Cong Cecu di kawasan Thay-ouw ini aku tidak berani menjabatnya lagi, apalagi Bu-lim-beng-cu dari wilayah Kanglam segala? Terus terang tidak pernah timbul angan-anganku ke arah itu."

Disusul seorang berkata: "Apakah betul kita memerlukan seorang Bu-lim-beng-cu, pendapat masih simpang siur. Ong Cecu, apakah perkataanmu ini tidak terlalu pagi diucapkan?"

Seorang lagi berteriak lebih keras, "Ong Cecu, semangatmu umpama naga dan kuda, enam puluh tahun mumpung masih jaya-jayanya, kenapa kau main cuci tangan di baskom emas segala?"

Seorang lagi berseru: "Urusan besar harus segera dibicarakan dan diputuskan, umpama Ong Cecu ingin mencuci tangan di baskom emas juga bukan sekarang saatnya."

Mendengar ribut-ribut ini diam-diam. Tam Pa-kun merasa kesal, pikirnya: "Entah kenapa timbul akal pemilihan Bu-lim-beng-cu segala? Mungkin hasutan anasir-anasir pihak Tang-hay-liong-ong, tujuan yang utama adalah supaya Tang-hay-liong-ong berhasil menguasai seluruh Kangouw? Urusan besar harus segera dibereskan, urusan besar apakah itu? Ada satu hal yang mengherankan adalah, biasanya Ong Goan-tin berjiwa patriot, gagah berani pantang mundur, baru belasan hari aku berpisah dengan dia, selama ini belum pernah dia mengutarakan maksudnya hendak mengundurkan diri segala? Kenapa sekarang bilang mau mencuci tangan di baskom emas, kedengarannya urusan teramat mendesak sikapnya pesimis dan putus asa."

Maka terdengar suara ribut-ribut pula: "Bila Ong Cecu ingin dipensiun, kita juga tidak usah memaksanya."--"Untuk membereskan urusan luar biasa, harus dipimpin seorang yang luar biasa pula. Agaknya tugas ini teramat berat, Ong Cecu tidak mau memikulnya, marilah kita pilih seorang lain yang mampu memikul tugas berat dan bertanggung jawab dalam segala persoalan?"--

"Omong kosong, Thay-ouw kita selama ini hidup berdikari, selama puluhan tahun tentram, hidup sejahtera dan sentosa, buat apa memilih Bu-lim-beng-cu segala? Yang kita dukung dan junjung hanyalah Ong Cong Cecu saja." — — "Persoalan jangan bilang demikian, sekarang kita mulai memperoleh tekanan oleh pihak penguasa, tiba saatnya kita bersatu padu, kalau dipimpin seorang Bu-lim-beng-cu, apa salahnya."

Pembicara terdiri dari dua pihak yang bertentangan, banyak suara lebih mendukung diadakannya pemilihan Bu-lim-beng-cu, tidak sedikit pula yang berpendapat tidak usah memaksa Ong Goan-tin untuk memikul tugas berat ini. Celakanya pembicara tidak sedikit dari para Cecu yang termasuk diantara tiga puluh enam Cecil dari Thay-ouw sendiri.

Pada saat itulah Tam Pa-kun berempat sudah melangkah masuk ke Kik-gi-tiang, orang didalam sudah ada yang melihat kedatangan mereka. Tidak sedikit hadirin yang kenal Tam Pa-kun, maka banyak di antaranya berteriak: "Hadirin supaya tidak ribut, Tam Tayhiap sudah datang," disusul seorang berteriak juga, "Nah itu dia It-cu-king-thian Lui Tin-gak Tayhiap yang menggetarkan Thian-lam juga datang."

Tan Ciok-sing dan In San berjalan di belakang kedua orang ini, namun hadirin jarang yang memperhatikan mereka.

Girang Ong Goan-tin seperti kejatuhan rejeki nomplok, katanya: "Lui Tayhiap, sungguh tidak nyana akan kehadiranmu disini, maaf aku terlambat menyambut. Tam-toako, kenapa tidak kau memberi kabar lebih dulu?"

Tam Pa-kun berkata: "Beberapa hari yang lalu baru aku tahu Lui-toako berada di Kanglam. Sengaja aku pergi ke Hay-ling menyambutnya kemari."

Lui Tin-gak berkata: "Sengaja aku hendak menyampaikan selamat ulang tahun kepada Ong-cecu. Ong Cong-cecu tidak usah sungkan."

Setelah basa-basi ala kadarnya, Ong Goan-tin berkata: "Hari ini kedatangan Tang-hay-liong-ong, disusul kehadiran It-cu-king-thian pula, sungguh orang she Ong hari ini betul-betul amat bahagia dan bangga. Mari, mari aku perkenalkan kalian berdua."

Seorang laki-laki yang duduk berhadapan dengan Ong Goan-tin berperawakan tinggi tujuh kaki berjambang lebat, usianya sekitar lima puluh, sorot matanya berkilat walau pandangannya tidak tertuju ke arah Lui dan Tam yang baru datang, sikapnya kelihatan angkuh.

Diam-diam In San berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Tentu orang itulah Tang-hay-liong-ong, jumawa benar, melihat tampangnya aku jadi sebal dibuatnya."

Sorot mata laki-laki berjambang itu tiba-tiba beralih ke arah Tan Ciok-sing berdua, entah karena dia mendengar suara bisikan In San. Diam-diam Tin Ciok-sing menggenggam telapak tangan In San, maksudnya supaya dia tidak sembarang omong. Lekas mereka mundur ke gerombolan orang banyak.

Tatkala itu suara keributan itu tanpa merasa menjadi terhenti karena kedatangan Tam dan Lui dua tokoh kenamaan yang disegani, perhatian hadirin ditujukan ke arah Tang-hay-liong-ong yang bakal diperkenalkan dengan dua pendekar besar yang telah menggetar Bulim.

Terdengar Ong Goan-tin mulai memperkenalkan: "Inilah Tang-hay-liong Sugong-thocu yang kenamaan di lautan," sesuai dugaan In San, laki-laki jambang bauk ini memang adalah Tang-hay-liong-ong.

"Inilah It-cu-king-thian Lui Tin-gak Lui Tayhiap yang menggetarkan Thian-lam."

Habis diperkenalkan tampak Tang-hay-liong-ong sedikit menggerakkan tubuhnya, katanya tawar: "Cayhe Sugong Go, sudah lama kudengar nama besar Lui Tayhiap."

Banyak hadirin tidak tahu siapa nama asli Tang-hay-liong-ong, baru sekarang mereka tahu namanya adalah Sugong Go.

Di mulut Sugong Go berkata

"mengaguminya" tapi badannya hanya sedikit bergerak ke depan belaka, sikap jumawanya ternyata terlalu ditonjolkan, seolah-olah dia tidak pandang sebelah mata kepada It-cu-king-thian Lui Tin-gak.

Banyak hadirin merasa penasaran dan keki, namun Lui Tin-gak bersikap wajar dan tenang, sesuai kebiasaan kaum persilatan dia merangkap kedua tangan sambil menjura, suaranyapun tawar: "Maaf bila orang she Lui tinggal di daerah belukar di selatan, baru hari ini aku tahu akan kebesaran nama Tang-hay-liong-ong, mohon dimaafkan," kata-katanya cukup pedas, agaknya dia sengaja hendak menjatuhkan sikap jumawa Tang-hay-liong-ong, namun lekas sekali dia sudah tertawa lebar, dengan tertawa tergelak-gelak dia berkata: "Sugong Go tinggal di lautan, sejak lama hidup di pengasingan, tidah pernah berhubungan dengan orang gagah di Tionggoan, mungkin aku berlaku kurang hormat, harap Lui Tayhiap suka maafkan," sembari tertawa dia membungkuk membalas hormat. Serangkum tenaga dahsyat laksana damparan amukan ombak tiba-tiba melanda tanpa bersuara. Lui Tin-gak seperti diterjang kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, dadanya terasa sesak.

Bagi tokoh silat yang memiliki Kungfu tinggi, bila mendadak menghadapi bokongan, secara reflek akan timbul reaksinya mempertahankan diri. Lui Tin-gak tidak banyak pikir, lekas dia menjura pula membalas hormat orang.

Dua jalur pukulan Bik-khong-ciang saling tumbuk di tengah udara "Pyaaar" seperti balon pecah, tanpa kuasa ternyata Lui Tin-gak tergentak mundur selangkah.

Maklum Tang-hay-liong-ong menyerang lebih dulu, Lui tin-gak tidak menduga dan menangkis secara tergesa-gesa, logis kalau dia sedikit kecundang, walau mundur selangkah, dia masih belum terhitung kalah.

Cuma kedua pihak saling jajal kepandaian meminjam saling hormat dengan merangkap kedua tangan, Lui Tin-gak tahu bahwa lawan mengambil keuntungan, namun tak mungkin dia membalas secara membabi buta di hadapan sekian banyak orang, secara lahirnya, karena dia mundur selangkah, bagaimana juga dia tetap kalah.

Tang-hay-liong-ong terbahak-bahak serunya: "Lui Tayhiap, jangan terlalu hormat," habis bicara dia langsung duduk pula dengan merenggang kedua kaki tanpa hiraukan orang.

"Inilah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun Tam Tayhiap," Ong Goan-tin memperkenalkan Tam Pa-kun.

Tam Pa-kun maju selangkah, katanya sambil «Iur tangan: "Sudah lama aku mendengar kebesaran Tang-hay-liong-ong, beruntung hari ini dapat berkenalan."

Sudah menjadi kebiasaan kaum persilatan untuk saling menghormat pada setiap pertemuan, kecuali saling menjura, mereka saling berjabatan tangan. Karena Lui Tin-gak menderita rugi dalam adu Bik-khong-ciang, maka Tam Pa-kun sengaja ajak orang berjabatan tangan. Jelas maksudnya hendak bantu melampiaskan penasaran Lui Tin-gak.

Suasana menjadi hening, seluruh hadirin tumplek perhatiannya, banyak yang membatin: "Tam Tayhiap berjuluk Kim-to-thi-ciang, ilmu pukulan telapak tangannya tentu amat liehay. Kemungkinan kali ini Tang-hay-liong-ong akan dirugikan."

Tak nyana begitu telapak tangan kedua orang saling jabat, mau tidak mau Tam Pa-kun amat kaget dibuatnya. Terasa oleh Tam Pa-kun telapak tangan lawan ternyata lemas dan empuk seperti kapas, tiada suatu tempat yang mampu untuk dirinya mengerahkan tenaga meremasnya. Tapi Tam Pa-kun menambah tenaga remasannya, namun sikap lawan tetap wajar dan biasa. Lekas sekali Tam Pa-kun sudah kerahkan Lwekangnya sampai puncak kematangannya. Julukannya Kim-fo-thi-ciang, biasanya cukup dia mengerahkan setengah tenaganya, batu pilarpun akan pecah berhamburan, namun sekarang dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, tapi lawan tetap adem ayem tidak kurang suatu apapun.

Kekuatan telapak tangannya terus dilontarkan namun seperti batu kecemplung laut, lenyap tidak ada bekasnya, Tam Pa-kun yang pengalaman menghadapi musuh mau tidak mau mencelos hatinya. "Orang bilang Kungfu Tang-hay-liong-ong susah diukur, ternyata memang tidak bernama kosong," sebagai seorang ahli silat, dia maklum bila saat ini dia lepas tangan, tenaga dalam Tang-hay-liong-ong akan balik menyerang dirinya, terpaksa dia kertak gigi terus menyalurkan kekuatannya. Rona muka Tang-hay-liong-ong hakikatnya tidak pernah berubah, namun bila hadirin mau memperhatikan orang akan melihat jidatnya mulai berkeringat. Tapi sikap Tam Pa-kun memang kelihatan jauh lebih tegang.

Ong Goan-tin kuatir bila dua harimau bertarung salah satu pasti terluka, baru saja dia hendak ajak Lui Tin-gak maju bersana memisah, tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong bergelak tertawa, katanya: "Tam Tayhiap bergelar

Kim-to-thi-ciang, memang tidak bernama kosong, kagum, sungguh kagum," di tengah gelak tawanya dia lepas pegangannya langsung duduk kembali di tempatnya. Setelah kedua orang sama melangkah berpindah tempat, maka tampak dimana tadi Tam Pa-kun berdiri, lantainya dekuk berbentuk telapak kakinya. Sedang lantai dimana Tang-hay-liong-ong berdiri tetap utuh tidak kurang suatu apa.

Tam Pa-kun meninggalkan bekas telapak kakinya di batu hijau yang keras, betapa hebat Kungfunya dapatlah dibayangkan. Tapi dalam pandangan para ahli, bahwa Tang-hay-liong-ong tidak meninggalkan bekas apapun setelah mengadu kekuatan sedahsyat itu, ilmunya jelas lebih mengejutkan lagi. Orang-orang pihak Ong Goan-tin mau tidak mau sama kaget, "Tak nyana kekuatan telapak tangan Kim-to-thi-ciang ternyata tetap dikalahkan pula oleh Tang-hay-liong-ong."

Perlu diketahui pukulan telapak tangan yang diyakinkan Tam Pa-kun adalah ilmu Gwakeh, sebaliknya Tang-hay-liong-ong meyakinkan pukulan yang dilandasi tenaga Lwekeh. Bila Lwekang dan Gwakang sama diyakinkan sampai taraf yang paling top sebetulnya sukai dibanding mana lebih unggul Cuma dipandang lahirnya, bila Lwekang diyakinkan sampai puncaknya, orang lain akan sukar mengukur tinggi rendah ilmunya. Lain lagi yang meyakinkan Gwakang, selintas pandang orang akan dapat mengukur taraf kepandaiannya. Umpamanya Tam Pa-kun, setelah dia kerahkan seluruh kekuatannya, tak heran bila dia meninggalkan bekas tapak kakinya.

Dua jagoan kosen yang paling diandalkan sama-sama dirugikan setelah bertanding dengan Tang-hay-liong-ong. Hadirin sama pucat dan saling pandang dengan perasaan tidak karuan. Setelah batuk sekali Ong Goan-tin berkata: "Nah, kalian sudah sama-sama kenal, silakan duduk, kita bicarakan persoalan semula."

Tak nyana begitu Lui dan Tam mengambil tempat duduknya, Tang-hay-liong-ong malah berdiri. Katanya: "Masih ada dua pendekar muda, Ong Cecu, kenapa tidak kau perkenalkan mereka kepadaku."

Perhatian hadirin tadi ditujukan kepada Tam dan Lui berdua, sehingga Tan Ciok-sing dan in San yang mengintil di belakang mereka tidak diperhatikan, sampaipun Ong Goan-tin juga mengira kedua muda-mudi ini hanyalah angkatan muda yang mana saja dan datang mumpung ada kesempatan bersama Tam dan Lui berdua. Apakah mereka kenal baik dengan kedua pendekar besar ini, Ong Goan-tin juga tidak tahu. Oleh karena itu umpama benar mereka adalah tunas harapan, didalam pertemuan besar seperti ini, belum setimpal untuk diperhatikan oleh Ong Goan-tin, apa lagi diperkenalkan kepada para tamu.

Tam Pa-kun segera berseru: "Tan-heng, In-hiantit, mari kemari."

Di sebelah sana Tan Ciok-sing berkata: "Aku inikan pupuk bawang mana berani..."

Belum habis dia bicara, In San sudah tertawa ringan, selanya: "Walau kita ini anak muda kaum keroco, tapi mumpung ada kesempatan sebaik ini, apa salahnya kita berkenalan dengan Tang-hay-liong-ong?" terpaksa Tan Ciok-sing yang diseret melangkah maju.

Baru saja mereka keluar dari gerombolan orang banyak Tang-hay-liong-ong segera menyongsong maju, dengan tertawa dia berkata kepada Tan Ciok-sing: "Tan-heng, aku belum tahu siapa kau, tapi kau adalah orang yang paling kukagumi di antara hadirin ini."

Terhadap dua pendekar besar yang kenamaan Tang-hay-liong-ong bersikap jumawa dan tidak memandang sebelah mata, siapapun tiada yang menyangka terhadap seorang pemuda ternyata dia bersikap hormat dan sopan malah, karuan hadirin melongo dan saling pandang.

Tan Ciok-sing sendiri juga tertegun, katanya: "Sugong-thocu berkelakar saja, Wanpwe mana berani menerima penghargaan ini."

Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya: "Selama hidupku aku tidak sembarang memuji apalagi menghargai orang lain, bagaimana Kungfumu, tinggi atau rendah aku tidak tahu. Tapi aku tahu sedikitnya kau memiliki semacam kepandaian, tiada orang dalam jagat ini yang bisa menandingi kepandaianmu itu."

Mendengar pujian Tang-hay-liong-ong, baru hadirin percaya dan sikap serta pandangannya terhadap Tan Ciok-sing berobah 180 derajat, semua pasang kuping mendengarkan dengan seksama.

"Di atas danau tadi, aku menikmati petikan harpamu yang memukau, aku yakin dalam jagat ini tiada orang yang mampu menandingi petikan Tan-heng tadi. Entah pernah apa kau dengan Khim-sian Tan Khim-ang yang pernah menggemparkan dunia pada tiga puluh tahun yang lampau?"

"Beliau adalah kakekku," sahut Tan Ciok-sing.

Mendengar jawaban ini, tidak sedikit hadirin yang sudah menduga akan asal-usul Tan Ciok¬sing. Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tak heranlah. Hehe, bicara soal Kungfu semua yang hadir hari ini termasuk diriku, mungkin tidak ada yang berani diagulkan nomor satu di dunia ini? Ilmu macam apapun bila nomor satu di dunia ini pasti kukagumi. Yakin Tan-heng percaya bahwa aku bicara setulus hatiku?"

"Terima kasih akan pujian Thocu, sesungguhnya tak berani Wanpwe menerima pujian setinggi ini."

"Kenapa sungkan?" ujar Tang-hay-liong-ong tertawa, "hayolah kemari, kita bicara disana," sembari bicara dia menarik tangan Tan Ciok-sing.

Barusan hadirin mendapat sajian yang menegangkan dalam pertandingan adu tenaga dalam antara Tang-hay-liong-ong melawan Lui Tin-gak lalu Tam Pa-kun, Lui Tin-gak kecundang, Tam Pa-kun juga dirugikan. Kini melihat dia menarik tangan Tan Ciok-sing, hadirin sama kaget. Tan Ciok-sing juga kuatir lawan menggunakan cara serupa, maka dia sudah siaga. Diam-diam dia kerahkan ajaran Lwekang karya Thio Tan-hong, serangkum tenaga seperti ada tapi tiada, seperti kosong tapi juga tidak berisi dikerahkan ke telapak tangannya.

Tang-hay-liong-ong memang gembong iblis besar dari kalangan sesat, namun dia punya watak menyendiri suka menjalin hubungan baik dan senang membimbing tunas-tunas muda yang berbakat. Semula dia tidak ingin menjajal ilmu silat Tan Ciok-sing, tapi sebagai maha guru silat tiba-tiba dirasakannya Lwekang Tan Ciok-sing ternyata aneh bin ajaib, terasa bahwa Ciok-sing bersikap hati-hati dan waspada kuatir dirinya membokongnya, tapi tenaga dalamnya seperti ada tapi tiada, ingin melawan tapi juga menyambut. Padahal

pengalamannya cukup luas, tapi dia sukar meraba Lwekang aliran mana yang diyakinkan Tan Ciok-sing, Karena timbul rasa ingin tahunya, tanpa sadar Tang-hay-liong-ong ingin mencoba Lwekang Ciok-sing.

Bahwa Tan Ciok-sing tidak kerahkan Lwekangnya menyerang, maka dia mendahului kerahkan tenaga dalamnya memancing. Situasi justru terbalik dari pada waktu dia melawan Tam Pa-kun tadi, kini dia berada di pihak yang menyerang seperti Tam Pa-kun menyerang dirinya tadi.

Perlahan-lahan, Tang-hay-liong-ong menambah tenaganya, tetap dia tidak berhasil menjajaki taraf kepandaiannya, setelah dia kerahkan tujuh puluh persen tenaganya baru terasa sedikit perlawanan tenaga Tan Ciok-sing. Terasa olehnya meski tenaga perlawanan Tan Ciok-sing ini tidak sekokoh dan sekuat tenaganya, namun mutunya jelas seperti lebih unggul dari ilmu yang dipelajarinya. Apalagi sejauh ini dia belum berhasil meraba asal-usul ilmu Tan Ciok-sing, entah dari golongan atau aliran mana. Tang-hay-liong-ong tidak ingin melukai Tan Ciok-sing, tapi dia juga tidak mau kalah, setelah lenyap rasa kagetnya, dia berpikir: "Asal-usul pemuda ini pasti luar biasa, sepantasnya aku harus tahu diri," maka segera dia melepas tangan Tan Ciok-sing, lalu bergelak tawa pula.

Serunya: "Gelombang sungai memang saling dorong mendorong patah tumbuh hilang berganti. Pepatah itu memang tidak keliru. Sungguh tidak kira Tan-heng mahir memetik harpa juga pandai bermain silat, Kungfumu juga bukan kepalang hebatnya."

Mendengar pujian ini, mereka yang tidak tahu asal-usul Tan Ciok-sing sama kaget dan heran, yang tahu siapa sebenarnya Tan Ciok-sing juga amat kagum dan terharu pula.

Di tengah tepuk tangan hadirin, diam-diam Tan Ciok-sing mencucurkan keringat dingin, hatinya mengucap "syukur". Ternyata waktu Tang-hay-liong-ong kerahkan tenaganya pada taraf tujuh puluh persen Tan Ciok-sing sudah gunakan seluruh kekuatannya. Bila percobaan itu dilanjutkan lebih lama sedikit, jelas Tan Ciok-sing tidak tahan dan bakal mengalami luka-luka yang parah.

Tam Pa-kun lantas berdiri, di hadapan hadirin dia

memperkenalkan: "Tan Ciok-sing Lote ini adalah murid penutup dari Thio Tan-hong Thio Tayhiap."

Ong Goan-tin tersentak kaget, serunya: "Jadi kau inilah Tan-siauhiap yang pernah menggetarkan istana raja beberapa bulan yang lalu?"

"Betul," ucap Tam Pa-kun. "Nona In bernama tunggal San, dia..."

Ong Goan-tin tertawa tergelak-gelak, tukasnya: "Tak usah kau perkenalkan lagi aku sudah tahu. Nona In adalah cucu tunggal In-conggoan In Jong, putri kesayangan In Tayhiap In Hou, betul tidak? Gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dan In-lihiap sudah terkenal di jagat ini."

In San menjura hormat, katanya: "Sugong-thocu, paman Tam adalah sahabat baik ayahku, memandang muka ayahku, paman Tam dan Ong Cecu memuji belaka, mana berani aku menerimanya. Untuk itu semoga kau tidak menjajal Kungfuku juga."

Dengan laku sopan lekas Tang-hay-liong-ong membalas hormat, katanya: "Ayahmu dulu adalah orang yang kupuja, sayang tiada kesempatan bertemu. Dari keturunan keluarga besar, bagaimana kepandaian Lihiap, tidak usah dijajal juga sudah cukup kukagumi."

Sejak Thio Tan-hong mengasingkan diri ke Ciok-lim, In Hou adalah pendekar besar yang paling tenar di kalangan Kangouw. Walau beliau sudah meningal beberapa tahun lalu, kaum persilatan masih menaruh hormat kepadanya. Seperti apa yang dikatakan Tang-hay-liong-ong, tanpa dia mendemontrasikan ilmu silatnya, hadirin sudah bersikap lain terhadapnya

Tiba-tiba seseorang batuk-batuk ringan sambil berdiri, katanya: "Para tamu sudah hadir lengkap, nah tiba saatnya kita membicarakan persoalan utama tadi."

Usia orang ini kira-kira empat . puluhan, mengenakan topi persegi, memelihara tiga jenggot kambing, berpakaian seperti sastrawan. Tapi sepasang matanya besar kecil siapa melihat tampangnya akan merasa sebal.

Tam Pa-kun kenal siapa orang ini, dalam hati dia berpikir: "Tiada angin orang ini suka menimbulkan gelombang, dia ditampilkan untuk bicara di pihak Tang-hay-liong-ong, pasti mengandung maksud yang tidak baik."

Orang ini she rangkap Cim ih bernama tunggal Thong. Selama hidup tidak punya tempat tinggal tetap, hidupnya terlunta-lunta dan melanglang buana, hubungannya teramat luas, entah golongan hitam atau aliran putih, kaum lurus atau gerombolan sesat, asal dia seorang Bulim yang kenamaan, dia suka menjilat dan bermuka-muka. Pandai omong bersilat lidah, juga mengadu biru senang memfitnah lagi. Tapi lantaran hubungannya luas, pengetahuanpun mendalam, apa saja dapat dikerjakan, maka tidak sedikit yang mau berhubungan dengan dia.

Setelah dia membuka kata, melihat Ong Goan-tin tidak menunjukkan sikap tertentu, segera dia lanjutkan perkataannya: "Lui Tayhiap, Tam Tayhiap, mungkin kalian belum tahu urusan apa yang hendak dirundingkan bukan?"

"Tahu sedikit, ingin aku mendengar penjelasan," kata Tam Pa-kun.

Cun-ih Thong berkata: "Baiklah akan kuulang dari permulaan, bagaimana?" matanya yang besar kecil mengerling ke arah Ong Goan-tin.

Ong Goan-tin berkata tawar: "Cun-ih-heng, bermulut tajam dan pandai bersilat lidah, boleh kau saja yang menjelaskan."

Cun-ih Tong menelan ludah lalu batuk-batuk menarik suara, katanya: Persoalan yang dibicarakan hari ini bakal mendatangkan keuntungan besar bagi kaum persilatan di Kanglam ini. Pertama Tang-hay-liong-ong ada maksud mengikat ikrar bersama Ong Goan-tin Loenghiong Cong-cecu dari tiga puluh enam markas perairan di Thay-ouw melawan tindakan sewenang wenang dari penguasa, sejauh melangkah diharapkan pula sambutan baik seluruh warga persilatan di Kanglam ini untuk mendukung perserikatan ini."

"Nanti dulu," seru Tam Pa-kun. "Kau bilang Sugong-thocu akan berdampingan dengan Ong-cecu melawan tindakan sewenang-wenang, entah tindakan sewenang-wenang apa?"

"Memangnya perlu dijelaskan lagi?" ujar Cun-ih Thong, "sudah tentu melawan tindakan sewenang-wenang pasukan negeri yang memeras rakyat jelata. Aku tahu pihak kerajaan telah mengirim armadanya ke Thay-ouw, dalam waktu dekat pasti akan melancarkan serangan besar-besaran. Demikian pula Tang-hay-liong-ong memperoleh tekanan pula di lautan teduh, di samping harus hati-hati menghadapi sergapan kaum cebol (bangsa Jepang), susah untuk bercokol di lautan timur sana. Mengingat kepentingan bersama, menurut hematku, apa salahnya kalau dua kekuatan digabung menjadi satu, lalu pusatkan seluruh perhatian dan kekuatan untuk melawan pasukan negeri, yakin akan membawa manfaat besar bagi kedua pihak..."

Belum habis Cun-ih Thong mengoceh mendadak seseorang berseru lantang: "Han-cecu dari Cau-ouw tiba"

Ong Goan-tin kenal baik orang yang datang terlambat ini, yaitu orang kedua dari Cau-ouw-siang-kiat Han King-hong, tampak wajahnya berlepotan darah, pakaiannya compang-camping, matanya mendelik gusar melangkah masuk setengah berlari.

Sudah tentu Ong Goan-tin kaget, teriaknya: "Han-lote, kenapa kau?"

Han King-hong berkata: "Dua kapal kita bentrok dengan armada kerajaan, Engkohku dan para saudara sama luka-luka dan mati, Engkohku tertawan, hanya aku seorang beruntung meloloskan diri, syukur masih sempat menghaturkan selamat ulang tahun kepadamu."

Han King-kang engkoh Han King-hong memiliki Kungfu yang tinggi, sifatnya terbuka, gagah perkasa dan terbuka tangan, supel lagi, namanya hanya di bawah Ong Goan-tin di antara semua Pang dan Hwe atau markas perairan dibilangan Thay-ouw ini, mendengar dia ditawan pasukan kerajaan, hadirin menjadi ribut dan marah.

Berlinang air mata Ong Goan-cin, katanya: "Gara-gara ulang tahunku sehingga banyak kawan gugur di medan laga, apakah aku tidak malu menerima ucapan selamat kalian? Biarlah perjamuan ulang tahun ini dibatalkan saja."

"Ong-cecu, jangan kau bilang demikian," seru Han King-hong lantang. "Pepatah bilang adalah logis seorang panglima gugur di medan laga. Orang-orang yang punya kerja seperti kita, siapa tidak siap menerima akibat apapun yang paling buruk. Umpama kami tidak datang memberi selamat ulang tahunmu, pasukan kerajaan memang bermaksud menindas kami. Sekarang yang terpenting kita harus segera bersiap, cara bagaimana untuk menghadapi serbuan pasukan kerajaan. Kecuali itu, apa pula yang harus disesalkan. Ong-cecu, tidak usah kau menyalahkan pihak sendiri. Hari ini adalah hari ulang tahunmu, kita harus tetap merayakan secara meriah. Besok juga kita gempur pasukan kerajaan."

"Bagus," seru Cun-ih Thong sambil angkat jempolnya tinggi-tinggi, "beralasan sekali apa yang diucapkan Han-cecu, sekarang sudah terbukti bagaimana tindakan pasukan kerajaan terhadap kita? Mungkinkah kita tidak bersaiu padu? Han-cecu kau tidak perlu sedih, Tang-hay-liong-ong sudah punya rencana yang sempurna untuk menuntut balas sakit hatimu yakin engkohmu juga pasti dapat dibebaskan."

Han King-hong terkejut, katanya: "O, jadi tuan inilah Tang-hay-liong-ong Sugong-thocu? Selamat bertemu, selamat bertemu. Entah rencana apa?" mulutnya bicara hormat, namun kelihatan sikapnya hambar. Seolah-olah mimpi juga dia tidak duga bahwa Tang-hay-liong-ong muncul disini, maka dia tidak begitu percaya.

"Sugong-thocu," ujar Cun-ih Thong, "soal rencana itu, lebih baik kau sendiri yang menjelaskan,” sikapnya tampak dibuat-buat.

"Baiklah," ujar Tang-hay-liong-ong berdiri, "pepatah bilang, tentara datang kita lawan, air bah melanda kita bendung. Pasukan kerajaan, berani menindas kita, memangnya kita tidak berani balas menggempurnya?"

"Maksud Sugong-thocu, kita akan melawan secara terbuka?1' tanya Han King-hong.

"Betul. Sekarang adalah saat yang paling baik. Mumpung Ong-locecu mengadakan perjamuan ulang tahun ini, orang-orang gagah dari seluruh pelosok hadir disini, bila kita bisa berikrar minum darah sebagai janji setia dan perserikatan, bersatu padu melawan kekerasan, jangan kata armada kerajaan, meski seluruh pasukan negeri dikerahkan juga kita mampu menandinginya. Bukan mustahil kita masih bisa melakukan kerja besar demi kepentingan kita bersama."

"Entah kerja besar apa yang bakal direncanakan Sugong-thocu?" tanya Tam Pa-kun, "tentunya rencana sudah kau rangkai dengan baik, coba terangkan di hadapan umum?"

"Memang akan kurundingkan hal ini di hadapan hadirin," ujar Tang-hay-liong-ong, "bila hadirin mau sumpah setia minum darah, sekalian kita akan bekerja tidak tanggung-tanggung, umpama seluruh orang-orang gagah yang hadir setuju, sebelumnya kita harus memilih seorang Bu-lim-beng-cu untuk mengepalai gerakan kita"

"Soal besar dan luas sangkut pautnya, maaf bila aku tidak bisa segera memberi jawaban," kata Ong Goan-tin.

"Waktu amat mendesak," Cun-ih Thong mengoceh pula, "harap Ong-locecu bisa mengambil posisi dan lekas memberi putusan."

Ong Goan-tin berkata: "Usiaku genap enam puluh, usia tua tenaga kurang, untuk memikul tugas berat, mungkin aku tidak becus lagi."

"Ong-locecu, kau terlalu rendah hati. Orang kuno pada usia tujuh puluh masih giat dalam kepemimpinan, Ong Cecu baru enam puluh? Untuk cuci tangan menggantung golok segala, bukankah terlalu pagi?"

"Ah, mana berani aku dibanding orang-orang kuno," tukas Ong Goan-tin kurang senang.

"Jangan sungkan Ong Cecu," ucap Cun-ih Thong, "tapi, bila Ong Cecu tidak mau mencalonkan diri, apa salahnya kita mencalonkan orang lain sebagai Bu-lim-bcng-cu," habis bicara pandangannya ditujukan kearah Tang-hay-liong-ong.

"Nanti dulu," kembali Tam Pa-kun tampil bicara.

"Tam Tayhiap ada usul apa?" tanya Cun-ih Thong.

"Pemilihan Bu-lim-beng-cu ditunda saja. Coba tanyakan dulu kepada hadirin, apakah mereka setuju memberontak. Sugong-thocu, rencanamu itu lebih tepat bila kukatakan sebagai pemberontak kepada kerajaan yang berkuasa. Betul tidak?"

Tang-hay-liong-ong terkial-kial, katanya: "Betul memangnya kami perompak, memangnya perompak takut memberontak?"

Cun-ih Thong segera menimpali: "Betul, tujuh delapan puluh persen yang hadir disini semua adalah kaum begal yang mendirikan pangkalan, peduli apa sebab kalian bergerak dalam bidang ini, pendek kata siapapun harus mengaku sebagai kaum perampok. Sugong-thocu memang pandai bicara. Kalau perampok takut memberontak, bukankah menggelikan malah? Tapi Tam Tayhiap, kau jelas bukan perampok, bila kau menjaga gengsi dan demi mempertahankan martabat, tidak sudi bergabung dalam perserikatan kita, boleh terserah apa kehendakmu."

Maklum calon Bu-lim-beng-cu yang bisa sejajar menandangi Tang-hay-liong-ong yang hadir sekarang hanya beberapa orang saja, Tam Pa-kun adalah salah satu di antaranya. Tujuan perkataan Cun-ih Thong justru untuk melicinkan jalan Tang-hay-liong-ong, dengan menyerang Tam Pa-kun sehingga membuatnya marah dan ada alasan untuk menyingkirkan dia dari sini.

"Cun-ih Siansing," jengek Tam Pa-kun. "terlampau jauh kau mengoceh. Urusan besar yang sekarang dibicarakan adalah apakah pantas kita memberontak, apa tujuannya dan bagaimana gerakannya. Soal kehadiranku disini, kemana aku berkiblat, kukira tidak penting dan tidak perlu hadirin membicarakannya."

Cun-ih Thong tidak berani membantah dengan Tam Pa-kun, dengan sikap munafik segera dia berkata menyeringai: "Baiklah. Mari kita dengarkan pendapat Tam Tayhiap yang berharga," sehabis berkata dia maju kesana, duduk di samping Tang-hay-liong-ong.

Lantang suara Tam Pa-kun: "Rampok pun punya haluan dan tujuan, seperti Ong Cecu umpamanya, dia tidak pernah mengambil harta yang tidak halal, malah melindungi rakyat, jauh lebih baik dan sempurna dari pada pihak kerajaan membina rakyatnya. Sepak terjangnya berbeda dengan kawanan rampok umumnya. Hadirin tidak sedikit yang mendirikan pangkalan mengangkat diri sebagai kepala rampok, aku yakin kebanyakan kalian pun termasuk golongan perampok seperti Ong Cecu. Demikian pula Kim-to Cecu yang mendirikan pangkalannya diluar perbatasan. Meski dia melawan pasukan negeri, tapi berapa kali dia menggagalkan pasukan bangsa asing menyerbu ke negeri kita, sehingga kerajaan yang berkuasa sekarang tetap kokoh berdiri, gerakan mereka hanya boleh dinamakan laskar gerilya, jadi bukan kawanan rampok lagi, betul tidak?"

"Betul," hadirin banyak yang sepaham, "rampok harus punya tujuan dan haluan, tepat sekali."

Tam Pa-kun meneruskan pidatonya: "Memberontak pun ada beberapa macam, dengan kekuatan senjata merebut pasaran dagang, menjatuhkan raja membebaskan rakyat dari tekanan pajak. Karena dipaksa keadaan sehingga angkat senjata demi menunaikan darma baktinya kepada Thian yang berkuasa. Mendirikan pangkalan angkat diri sendiri sebagai raja. Memperebutkan tanah perdikan, ingin merebut tahta kerajaan, jadi ada empat macam pemberontakan. Sugong-thocu tolong tanya termasuk macam mana yang kau rencanakan?"

Tang-hay-liong-ong mendengus jumawa, katanya: "Orang kuno bilang, menjadi raja harus giliran, besok tiba giliranku. Kerajaan lalim pemerintahan rapuh, seluruh rakyat wajib menentangnya, siapapun boleh saja menjadi raja, kenapa tidak boleh?"

"Bagus," sorak Cun-ih Thong, "omongan Sugong-thocu memang betul, bukan orang she Cu saja yang ditakdirkan untuk jadi raja seterusnya. Bukankah Bing-thay-co Cu Goan-ciang dahulu juga memberontak baru dia angkat diri menjadi raja?"

Lui Tin-gak tidak punya hubungan luas dengan kaum persilatan di Kanglam, sejak tadi sungkan dia buka suara, tapi sekarang tidak tahan lagi, pelan-pelan dia berdiri dan berkata: "Tapi Cu Goan-ciang memberontak terhadap kaum penjajah serta merebut kembali tanah air kita sendiri."

Cun-in Thong mengelus jenggot kambingnya sambil mengerling ejek, katanya: "Tapi raja Bing dynasti yang sekarang bukan lagi Cu Goan-ciang, Cu Goan-ciang berjasa besar, memangnya anak cucu Cu Goan-ciang juga harus menjadi raja seterusnya?"

Lui Tin-gak tahu ambisi Tang-hay-liong-ong teramat besar, lapat-lapat terasa olehnya, antara Tang-hay-liong-ong dengan Cun-ih Thong sudah ada kata sepakat didalam permainan kotor, dengan main silat lidahnya yang manis, untuk menghasut hadirin memberontak, yakin di belakang semua ini pasti ada suatu rencana jahat yang keji. Tapi dia seorang lugu, tidak pandai bicara, sesaat dia jadi kelakep oleh debat Cun-ih Thong, sesaat dia jadi mati kutu dan susah membantah perkataan Cun-ih Thong.

Maka hadirin mulai ribut pula, satu sama lain saling debat dan memberi usul. Seorang dengan muka berlepotan darah dan keringat berteriak: "Pasukan negeri sudah menekan kita sampai menemui jalan buntu, sanak famili kita ditawan, dijadikan sandera, dibunuh lagi, sabar, sampai kapan kita harus bersabar dan terima nasib sejelek ini, tapi kalian masih juga berunding soal memberontak dengan aneka ragamnya? Aku ini orang kasar, tidak tahu aturan, aku hanya tahu angkat senjata dan menuntut balas bagi kematian Toh Toako dari Tiau-ma-kian kita.

Siapapun yang sudi memimpin, bila disuruh kami menyerbu ke kota raja, meski tubuhnya tercacah hancurpun aku akan berjuang di paling depan," pembicara ini adalah seorang Cecu dari Tiau-ma-kian bernama Hou Pong, Toa Cecu atau saudara tuanya bernama Toh Bo kemarin tertawan oleh pasukan negeri di perairan Thay-ouw.

Kontan Cun-ih Thong acungkan jempol, serunya: "Betul, itulah seorang gagah perkasa."

"Ong Cecu," kata Tang-hay-liong-ong, "Toh Bo adalah tamu undanganmu, sekarang Hou-hcng menuntut pembalasan sakit hati Toh-toako, sepantasnya kau angkat bicara demi kepentingan orang banyak?"

Ong Goan-tin tampak amat sedih, katanya: "Membalas dendam aku tidak akan menentang, tapi..."

"Tapi apa?" desak Cun-ih Thong.

"Aku tidak akan menentang siapapun menuntut balas, tapi cara bagaimana akan menuntut balas, kurasa harus dirundingkan bersama."

Tang-hay-liong-ong memicing mata dengan lirikan tajam: "Cekak aos saja, kau setuju tidak memberontak?"

Ong Goan-tin sudah merasa kurang benar akan perdebatan ini. namun dia sendiri masih belum jelas tentang duduk persoalannya, pada hal Tang-hay-liong-ong dan Cun-ih Thong yang jelas sekongkol ini justru memojokkan dirinya, terpaksa akhirnya dia menghela napas, katanya: "Aku sih terserah kepada keputusan umum, bila hadirin banyak yang setuju aku sih tidak banyak komentar."

Menuding Han King-hong, Cun-ih Thong berkata: "Bagus, lalu kau? Coba katakan, bagaimana baiknya?"

Engkoh Han King-hong menjadi tawanan pasukan negeri, Cun-ih Thong kira dia akan setuju secara spontan. Tapi Han King-hong justru kebingungan, sesaat baru dia buka suara: "Aku tidak tahu. Aku hanya tunduk atas kepemimpinan Ong Cecu saja," maksudnya diapun terserah kepada keputusan umum.

Salah satu dari tiga puluh enam Cecu di Thay-ouw Ha It-seng berkata: "Walau kita ini tidak pingin jadi raja, tapi bila kita mau bergabung menjadi satu, biar pihak kerajaan tahu bahwa kita tidak boleh dipandang remeh. Marilah kita contoh perjuangan Kim-to Cecu, dia berkuasa di daerah utara, Ong Cecu kenapa kau tidak berkuasa di selatan?"

Ong Goan-tin tertawa pahit, katanya: "Aku mana berani dibanding Kim-to Cecu?"

Ha It-seng berkata: "Kalau dia bisa kenapa kita tidak? Maka menurut pendapatku, apa salahnya diantara kita ada seorang Bu-lim-beng-cu," sengaja dia menggunakan "kita" jelas maksudnya bukan melulu orang-orang pihak Ong-cecu saja, secara tidak langsung dia mau bilang bila Tang-hay-liong-ong mau menjadi Bu-lim-beng-cu, diapun tidak menentang.

Hadirin ribut lagi, disana sini menggerombol kasak kusuk dan bisik-bisik, suasana menjadi kacau. Mendadak Tan Ciok-sing berdiri, katanya lantang: "Hadirin diharap tenang sejenak, aku ingin bicara," dia bicara sambil mengerahkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, suaranya tidak keras namun suara keributan dalam pendopo itu kelelap oleh kata-katanya, suaranya seperti gembreng ditabuh, yang berkepandaian rendah merasa pendengarannya pekak.

Kaget juga hadirin akan pameran tenaga dalam yang hebat ini, suara ribut seketika sirap. Hanya Cun-ih Tong saja yang terkecuali. Dia pikir hendak turun tangan lebih dulu maka segera merebut bicara: "Belum lama ini Tan-siauhiap pernah membuat geger kota raja bersama orang-orang gagah, bersama nona In masuk ke istana terlarang menemui raja lagi, perbuatannya itu sudah layak diangggap memberontak, tentunya kau setuju akan rencana pemberontakan Sugong-thocu betul tidak?" agaknya sengaja dia mengumpak Tan Ciok-sing supaya dia rikuh dan tidak membantah serta menentang rencana mereka.

Tak nyana Tan Ciok-sing tidak mempan diagulkan, apalagi dihasut, katanya tawar: "Aku belum bicara dari mana kau tahu bahwa aku setuju memberontak?"

Untung Cun-ih Thong tebal kulit mukanya, meski meringis malu seperti kera makan sambal tapi dia masih berani menebalkan muka membantah: "Aku pengagum Tan-siauhiap yang sudah membuat lembaran sejarah keperwiraan, maka ingin aku mengikuti nadamu didalam perjuangan yang sama. Kalau Tan-siauhiap anggap aku cerewet, baiklah, silakan Tan-siauhiap angkat bicara saja."

Melirikpun Tan Ciok-sing tidak sudi, katanya kalem: "Tidak benar, suaraku tidak senada dengan ocehanmu. Pendek kata, aku tidak setuju dengan pemberontakan yang kalian rencanakan."

Sudah tentu Tang-hay-liong-ong dan Cun-ih Thong merasa kecewa akan pernyataan ini, tapi mereka sih tidak merasa diluar dugaan. Adalah orang-orang Ong Goan-tin malah merasa bingung dan tidak habis mengerti.

Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Selama puluhan tahun, Kim-to Cecu bercokol diluar perbatasan, entah berapa kali dia bekerja demi keselamatan negara memukul mundur serbuan kaum penjajah, ini suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri oleh siapapun. Hadirin berusia lebih tua dari aku, apa yang kalian tahu tentu juga lebih banyak dai i pengalaman dan pengetahuanku yang masih cetek ini."

"Memang berapa kali diapun pernah menggempur pasukan negeri, tapi mereka terpaksa membela diri karena terdesak oleh keadaan, hal ini tidak boleh disejajarkan dengan

perlawanannya terhadap serbuan bangsa Watsu."

"Kalian bilang mau menelad perbuatan Kim-to Cecu, maka yang harus kalian telad adalah semboyan perjuangannya "Demi nusa dan bangsa, sebagai kaum pendekar wajib kita memiliki jiwa ksatria."

Ha It-seng tampak agak malu, namun dia masih berusaha mendebat: "Tan-siauhiap, teorimu memang betul. Tapi Watsu kan tidak memukul kita di Kanglam ini, mana bisa kita melawan Watsu disini? Saat ini pasukan negeri yang menekan dan menindas kami, kenapa tidak kami pukul dulu pasukan negeri."

"Betul," teriak Hou Pong, "menurut pandapatku, Watsu patut dilawan, tapi raja lalim itupun harus dijatuhkan."

Tan Ciok-sing bertanya: "Dua tinju memukul sekaligus lebih kuat atau pukulan satu tinju lebih kuat."

"Sudah tentu pukulan dua tinju sekaligus lebih kuat," sahut Hou Pong.

"Tapi bila satu tinju sekaligus harus menghadapi dua musuh lalu bagaimana?"

"Tan-siauhiap, memangnya kau kira aku ini anak kecil? Siapapun tahu, kalau berkelahi dengan cara demikian, dia pasti kalah total."

"Maka itu. Kalau Hou Cecu maklum akan hal ini, seharusnya kaupun mengerti kenapa kami tidak menyerukan kalian untuk menjatuhkan raja lalim sekarang ini."

"Setiap urusan ada perbedaan, yang penting dan yang perlu ditunda, kini pihak Watsu sedang kerahkan pasukan besarnya, mereka sudah siap menyerbu ke negara kita, maka kita perlu siap-siap melawan serbuan mereka. Bila kita bisa merangkul pihak kerajaan berjuang bersama membendung serbuan dari luar, itulah cara yang paling baik, betul tidak?"

Ternyata Hou Pong masih belum kapok, bantahnya: "Tapi pasukan negeri menindas kita, memangnya kita berpeluk tangan membiarkan mereka bertingkah?"

"Sudah tentu harus dihadapi. Tapi yang terpenting sekarang harus bersatu padu melawan penjajah. Persoalan kalian itu masih bisa dibereskan secara damai melalui cara tersendiri. Asal kita angkat senjata bersama, seluruh kekuatan laskar rakyat mampu membendung serbuan musuh dan menjadikan tonggak negara, yakin pasukan negeri tidak akan berani meremehkan kekuatan kita."

Reda juga emosi Hou Pong, katanya: "Tapi masih ada satu hal aku tidak mengerti, tolong Tan-siauhiap memberi'petunjuk."

"Mana berani aku memberi petunjuk dengan bekal pengetahuanku yang cetek ini. Untunglah aku sendiri pernah memperoleh petunjuk langsung dari utusan Kim-to Cecu, persoalan apa yang Hou-heng belum jelas, coba katakan, mungkin persoalanmu itu sudah pernah dipikirkan oleh Kim-to Cecu, boleh nanti umumkan pernyataannya."

"Terus terang, aku sudah tidak percaya pada raja lalim. Kau kira apakah dia mau berjuang berdampingan bersama kita melawan musuh?"

"Pertanyaanmu memang bagus, bicara terus terang, aku sendiri juga tidak percaya, bila raja yang sekarang berkuasa punya niat baik untuk berjuang bersama kita."

Hou Pong kebingungan, katanya: "Kalau Tan-siauhiap sendiri tidak percaya pada raja lalim, kenapa pula kau anjurkan kita bergandeng tangan sama dia melawan penjajah?"

"Bagi seorang raja apa yang paling penting bagi kedudukannya? Yaitu mempertahankan tahta"

kerajaannya, dijunjung oleh seluruh rakyat. Bila dia tunduk dan minta damai kepada Watsu, tidak lain juga demi mempertahankan kedudukan dan tahtanya belaka, betul tidak?"

Hou Pong manggut-manggut, "betul," sahutnya.

"Kenapa tidak kita beritahu kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan kita melawan penjajah, kita akan gerakkan perlawanan di berbagai tempat, mengundang orang-orang gagah di seluruh jagat ini untuk menentang dia dan memukul mundur penjajah. Kalau hal ini sampai terjadi, siapa yang bakal dijunjung dan didukung oleh rakyat?"

"Sekarang aku mulai mengerti," kata Hou Pong. "Benar, karena itu raja kehilangan kepercayaan dari rakyat, itu berarti tahta kerajaannyapun mulai goyah."

"Bila dia mau bergabung dengan kita melawan penjajah, kita akan tetap mendukungnya jadi raja, yakin dia cukup pintar memilih arah angin, demi kepentingan pribadi pula, coba katakan, beranikah dia menentang kehendak kita?"

Kini lenyap keraguan Hou Pong, katanya: "Tan-siauhiap penjelasanmu memang menyeluruh, sekarang aku sudah paham betul."

"Bukan pengetahuanku mendalam, aku hanya menyambung lidah Kim-to Cecu saja."

Hou Pong bertanya: "Tujuanmu masuk ke istana terlarang menemui raja adalah untuk menyampaikan rencana kita dan memaksanya setuju bukan?"

"Betul. Aku sudah bertemu dengan baginda, memang sesuai dugaan Kim-to Cecu, terpaksa dia setuju rencana kita," dengan secara ringkas Tan Ciok-sing lalu ceritakan kejadian kala dia menyelundup ke istana menemui Baginda, sudah tentu hal-hal yang perlu dirahasiakan tidak dia beberkan di depan umum. Waktu mendengar Tan Ciok-sing meninggalkan peringatan berdarah yang berbunyi:

"Ingkar janji membuang kebenaran, Thian tidak akan mengampunimu "

Hadirin sama tepuk tangan dan berseru memuji.

Pelan-pelan Ong Goan-tin berdiri, katanya sambil menjelaskan kepada Tan Ciok-sing: "Tam siauhiap, terima kasih atas uraianmu yang penuh arti itu sehingga terbuka pikiranku.

Tersipu-sipu Tan Ciok-sing balas menghormat, katanya: "Locecu terlalu memuji, aku hanya menyampaikan keinginan Kim-to Cecu saja."

Ha It-teng angkat bicara lagi: "Soal memberontak baiklah ditunda dulu. Tapi Sugong-thocu adalah orang gagah jaman ini, dia mau bergabung dengan kita, sepantasnya kita terima uluran tangannya," beberapa Cecu segera mendukung suaranya, tapi tidak sedikit pula suara yang menentang, walau secara gamblang mereka tidak mengusir Tang-hay-liong-ong tapi jelas banyak yang tidak setuju bergabung sama dia. Perdebatan kembali terulang, yang terang hadirin terpecah menjadi dua, keributan semakin memuncak.

Tiba-tiba Cun-ih Thong berkata dingin: "Bukan aku mencurigai Tan-siauhiap, kalau Tan-siauhiap selalu bilang hanya menyampaikan suara Kim-to Cecu hanya Tan-siauhiap saja yang meneruskan pesan utusan Kim-to Cecu, kita kan tiada yang tahu akan kebenarannya. Apakah Tan-siauhiap punya bukti supaya kita percaya babwa pernyataanmu tadi betul adalah suara Kim-to Cecu?"

Pertanyaan yang tidak terduga ini, memang membuat Tan Ciok-sing serba salah. Untunglah di kala Tan Ciok-sing kebingungan, mendadak Kek Lam-wi berdiri, katanya: "Aku punya bukti," lalu dia keluarkan serulingnya, sekali tekan ujung seruling lalu ditiupnya, sebutir bola malam menggelinding keluar, bila bola malam itu dipecah di dalamnya terdapat lempitan kertas tipis yang banyak tulisan kecil-kecil, langsung dia serahkan lempitan kertas itu kepada Ong Goan-tin.

"Inilah surat dari Lim-toako yang titip kepadaku supaya disampaikan kepada Ong Cecu, kehadiranku disini mewakili Pat-sian, dalam suratnya juga diterangkan perihal Tan Ciok-sing mewakili Kim-to Cecu, silahkan Ong Cecu baca, persoalannya akan jadi terang," demikian ujar Kek Lam-wi.

Seperti diketahui Kek Lam-wi terlambat dua hari setelah Tan Ciok-sing dan In San berangkat. Lim Ih-su sebagai tertua dari Pat-sian orangnya tabah, pikiran matang dan bekerja amat teliti, setiap urusan selalu dia rencanakan dengan baik, mengingat urusan cukup penting, maka dia sendiri menulis sepucuk surat sebagai tanda bukti. Maka dia tulis surat rahasia ini, menerangkan bahwa Pat-sian menyetujui usul Kim-to Cecu, sekaligus membuktikan bahwa Tan Ciok-sing hadir sebagai wakil Kim-to Cecu."

Gaya tulisan Lim Ih-su banyak dikenal hadirin, setelah membaca surat itu, tiada yang curiga pula akan kehadiran Tan Ciok-sing.

Ong Goan-tin berkata: "Tan-siauhiap telah menyampaikan pesan Kim-to Cecu, bahwa hadirin tiada yang curiga dan membantah, apakah kalian masih ada yang merasa kurang setuju akan maksud Kim-to Cecu?"

Han King-hong menyeletuk lebih dulu: "Kim-to Cecu adalah orang yang amat kukagumi, dia bilang bagaimana, akupun begitu."

Hou Pong ikut menimbrung: "Semula aku tidak setuju, tapi setelah mendengar penjelasan Tan-siauhiap yang tidak bosan-bosan tadi, menilai untung ruginya, aku jadi tahu diri bahwa aku hanyalah gentong nasi saja. Apalagi sekarang bukan saatnya kita memberontak, kalau itu sudah menjadi kehendak Kim-to Cecu apapula yang harus kukatakan," hadirin menjadi tertawa riuh mendengar banyolannya.

Maka hadirin serempak menyatakan sikapnya menjunjung Ong Goan-tin, walau rombongan yang datang bersama Tang-hay-liong-ong tiada yang mau terima kalah, tapi mereka tak berani menentang kehendak umum, terpaksa sementara tinggal diam.

Ong Goan-tin berseru lantang: "Bahwa hadirin tiada yang menentang pula, maka perundingan hari ini anggap selesai sampai disini. Terima kasih akan kehadiran para sahabat dalam pesta ulang tahunku ini, kini sebagai tuan rumah, kusuguh hadirin secangkir arak, mari kita habiskan satu cangkir ini."

"Tunggu sebentar," tiba-tiba Cun-ih Thong berseru sambil berdiri.

"Entah Cun-ih Siansing ada petunjuk apa?"

"Kedatangan kita memang khusus hendak memberi selamat ulang tahun kepada Locecu, perjamuan ini jelas tidak boleh terganggu. Tapi mumpung ada pertemuan sebesar ini, maka persoalan yang belum diselesaikan tadi kurasa perlu dibicarakan sekalian."

Berkerut alis Ong Goan-tin, katanya: "Masih ada urusan besar apa yang belum diselesaikan?"

Kalem suara Cun-ih Thong: "Kim-to Cecu ingin supaya sekarang kita tidak usah bentrok dengan pasukan negeri, hal ini sebetulnya kurang kusetujui tapi setelah hadirin banyak yang mendukungnya, akupun tunduk saja akan putusan umum."

Hou Pong orangnya kasar dan suka blak-blakan, segera dia menukas dengan sentakan: "Mau bicara lekas berkata, kalau mau kentut lekas lepaskan."

Untung muka Cun-ih Thong tebal, dia anggap tidak mendengar, katanya lebih lanjut: “Tam Tayhiap, Lui Tayhiap pernah bilang kita harus bersatu padu menjadi satu kekuatan besar, betul tidak?"

"Benar," timbrung Tan Ciok-sing. "Tapi bersatu demi kepentingan umum, kalau tidak mana bisa membendung serbuan musuh."

"Membendung serbuan musuh sudah menjadikan ikrar kita bersama, hal itu tak perlu diperbincangkan lagi, pendek kata, apapun kita harus bersatu, betul tidak?" ini soal prinsip, meski Ciok-sing merasa mual menghadapi manusia tengik ini, terpaksa dia mengangguk.

"Dua orang satu hati, tekadnya dapat memutus emas. Bila ribuan orang bersatu padu, kekuatannya dapat membendung laut. Maka aku mengajukan usul, kita harus memilih seorang Bu-lim-beng-cu sebagai pemimpin kita," sambutan anak buah Tang-hay-liong-ong amat meriah, tidak sedikit pula anak buah Ong Goan-tin memberi aplus.

Salah satu Cecu dari tiga puluh enam Cecu di Thay-ouw bernama Su Kian berdiri, katanya: "Usul Cun-ih Siansing memang masuk akal, kapan ada kesempatan para orang-orang gagah sebanyak ini kumpul disini, memang tepat saatnya kita memilih seorang Bu-lim-beng-cu."

Ha It-seng menimbrung: "Benar, di bawah pimpinan Bu-lim-beng-cu, selanjutnya langkah kita seirama, peduli melawan penjajah atau menentang tindasan pasukan negeri, urusan akan lebih mudah dibereskan,"—kebanyakan hadirin sama setuju adanya seorang Bu-lim-beng-cu, meski ada beberapa orang merasa kemungkinan hal ini adalah muslihat Tang-hay-liong-ong, tapi keadaan sudah terlanjur sejauh ini, maka merekapun tidak menentang.

Cun-ih Thong berkata lantang: "Kalau hadirin tiada usul lainnya, baiklah sekarang kita mulai pemilihan. Aku memberanikan diri, mencalonkan seorang Enghiong besar yang namanya sudah tersohor di kawasan ini, yakin hadirin akan setuju memilihnya sebagai Bu-lim-beng-cu."

Hadirin kira calon yang diusulkan adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go, tak kira dia ternyata bilang: "Bu-lim-beng-cu pilihanku bukan lain adalah tuan rumah disini, Ong Goan-tin Ong Locecu, Cong-cecu dari tiga puluh enam Cecu di Thay-ouw ini."

Pernyataan diluar dugaan, membuat hadirin melongo, akhirnya pecah sorak sorai gegap gempita disertai tepuk tangan riuh.

Cun-ih Thong berpidato lebih lanjut: "Ong-locecu memiliki Kungfu tinggi, hal ini tidak perlu kujelaskan. Apalagi sebagai Cong-cecu dari tiga puluh enam Cecu yang lain, boleh dikata dia menguasai keadaan, memperoleh dukungan banyak orang lagi. Bijaksana dalam kepemimpinan, tidaklah berkelebihan bila Bu-lim-beng-cu harus dijabatnya."

Kedengarannya omongan Cun-ih Thong mengagulkan dan menyanjung Ong Goan-tin, tapi bila mau ditelusuri secara cermat, dibalik pidatonya ini mengandung arti lain. Yaitu lantaran adanya jabatan yang diduduki Ong Goan-tin sekarang barulah dia mendukung pencalonannya, seperti pepatah mengatakan, sekuat-kuatnya naga juga tidak lebih menang dari ular tunggon.

Segera Ong Goan-tin angkat bicara: "Tadi sudah kukatakan, setelah merayakan hari ulang tahunku ke enam puluh ini, aku sudah berkeputusan hendak cuci tangan menggantung golok. Jangan kata aku tidak berani menerima sanjung puji Cun-ih Siansing, umpama topi kebesaran itu kukenakan juga aku tidak mampu menjadi Bu-lim-beng-cu segala."

Memang tujuan Cun-ih Thong memancing jawabannya ini segera dia mengoceh pula. "Bahwa Ong-locecu menampik pencalonan dirinya, akupun tidak akan memaksa. Tapi kawanan naga tidak boleh tanpa pimpinan, baiklah aku usulkan Sugong-thocu menjadi Beng-cu kita."

Su Kian segera memberi suara: "Betul, Tang-hay-liong-ong bermaharaja di lautan teduh menggetarkan dunia, ilmu silatnya juga tangguh, kira-kira sepadan untuk berjajar dengan Kim-to Cecu. Usianya mumpung kekar kuat pula, hanya dia mungkin yang dapat memimpin kita melakukan usaha besar yang menggemparkan. Bila Ong-locecu benar-benar mengundurkan diri, pilihan yakin hanya akan terjatuh di tangannya."

--Su Kian adalah salah satu Cecu dari tiga puluh enam Cecu bawahan Ong Goan-tin yang punya kedudukan baik dan disegani, bahwa dia mendahului rekan-rekannya mendukung pencalonan Tang-hay-liong-ong, hal ini benar-benar diluar dugaan banyak orang.

Mendapat dukungan Su Kian sudah tentu rombongan Tang-hay-liong-ong semakin bangga, senang setengah mati, sontak mereka tempik sorak dengan ramai, ternyata orang-orang Ong Goan-tin ada juga yang memberi aplus ala kadarnya.

Ih Ti-bin Cecu Tong-thing-san timur adalah tangan kanan Ong Goan-tin yang terpercaya, dia melirik kearah Su Kian, pikirnya "Keparat ini bersama Ha It-seng entah kenapa beberapa kali memberi suara kepada Tang hay liong-ong memihak orang luar, agaknya mereka sudah kena sogok dan dihasut untuk menentang kebijaksanaan Cong-cecu. Namun memilih Bengcu sudah menjadi kata sepakat para hadirin, meski Ih Ti-bin merasa kurang senang terhadap sikap Su dan Ha malah menaruh curiga pula, namun dia merasa kurang tepat dan belum saatnya untuk membongkar kesalahan Su Kian. Sebetulnya ingin dia menentang pencalonon Tang-hay-liong-ong, tapi sukar dia memperoleh alasan tepat. Di kala dia peras keringat mencari calon, dilihatnya Tang-hay-liong-ong sudah berdiri.

Dengan senyum lebar dan senang Tang-hay-liong-ong berkata: "Terima kasih akan dukungan kalian, cuma aku baru pulang dari luar lautan betapapun tak berani menerima jabatan berat ini. Kalau Ong-locecu tetap menolak pencalonan ini baiklah aku mencalonkan It-cu-king-thian Lui Tayhiap saja."

Lekas Ih Thi-bin menyeletuk: "Betul, Lui Tayhiap berbudi luhur dan memperoleh simpatik banyak orang, ketenaran namanya sudah menggetar utara dan selatan sungai besar. Pada pertemuan di Lian-hoa-hong tahun yang lalu tiada orang-orang gagah yang hadir pada waktu itu yang tidak memuji-muji dan mengaguminya. Aku dukung Lui

Tayhiap menjadi Bengcu kita."

Ha It-seng tiba-tiba berdiri, serunya: "Akupun mengagumi Lui Tayhiap, tapi dia tidak sebanding Sugong-thocu dengan

rombongannya, hubungannyapun tidak intim dengan para saudara didalam Pang atau Hwe yang ada di Kanglam ini. Menurut pendapatku biarlah Lui Tayhiap menjadi wakil Bengcu saja."

Seorang lagi lebih tegas lagi, dia bukan lain pembantu Tang-hay-liong-ong yang berjuluk Tay-lik-sin Lamkiong King, setelah mendengus dia berkata dingin: "Berapa sih bobot nama besar Lui Tin-gak, bila dibanding dengan Sugong-thocu kami, kurasa jauh ketinggalan."

"Jangan kurang ajar terhadap Lui Tayhiap," sentak Tang-hay-liong-ong, lahirnya dia memaki pembantunya, tapi orang banyak maklum bahwa sikapnya ini hanya pura-pura belaka.

"Lamkiong King," seru Ih Ti-bin gusar, "berani kau meremehkan pimpinan Bulim kami, memangnya apa sih yang kau andalkan?"

Serak kasar suara Lamkiong King, dampratnya: "Ih Ti-bin kalau tidak terima, nanti bila ada kesempatan, ingin kujajal kau."

"Jajal boleh saja, kapan saja aku bersedia, memangnya aku takut?"

Ong Goan-tin mengerutkan kening, katanya: "Jangan ribut dulu, marilah bicarakan urusan itu."

"Tidak karuan, tidak karuan," seru Hou Pong, meski tidak langsung dia sebut nama orang yang tidak karuan, tapi hadirin tahu kata-katanya ditujukan kepada Lamkiong King.

Lui Tin-gak segera berdiri, katanya goyang tangan: "Apa yang dikatakan Hu-cecu memang tidak salah, seorang tamu mana boleh mendahului tuan rumah, baru kali ini aku datang ke Kanglam, tidak kenal orang tidak hapal jalan, entah jadi Bengcu atau wakil Bengcu, terus terang aku tidak berani terima."

Tang-hay-liong-ong pura-pura menghela napas, katanya: "Ai, Ong-locecu tidak mau terima, Lui Tayhiap juga menampik, yah, apa boleh buat, terpaksa biarlah aku menerima pencalonan ini."

"Nanti dulu," tiba-tiba Ih Ti-bin berteriak lantang.

"Ada petunjuk apa lh-cecu?" tanya Tang-hay-liong-ong kalem.

"Saatnya belum tiba terpaksa menerima pencalonan. Aku mencalonkan Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap menjadi Bengcu kita, harap hadirin memutuskan."

"Betul," seru Ong Goan-tin, "bukan aku menentang pencalonan Sugong-thocu, tapi Tam Tayhiap adalah teman baik Kim-to Cecu, bila dia sudi menjabat Bu-lim-beng-cu dari Kanglam utara dan selatan terjalin satu ikatan kerja sama, hasilnya tentu jauh lebih baik dari yang kita harapkan."

Pelan-pelan Cun-ih Thong berdiri sambil mengelus jenggot, katanya: "Benar, sudah tentu, akupun amat mengagumi Tam Tayhiap. Justru lantaran dia teman baik Kim-to Cecu, bila dia yang jadi Kanglam Bu-lim-beng-cu, diluar mungkin orang bisa iseng bicara kaum persilatan di Kanglam ini dianggap sebagai anak buah dan tunduk perintah Kim-to Cecu melulu. Memang Kim-to Cecu adalah tokoh yang diagulkan banyak orang, bila ada kata-kata iseng yang memanaskan kuping, lalu mau ditaruh dimana muka kita ini."

Tam Pa-kun tertawa ngakak, katanya: "Sebetulnya aku tidak ingin menjadi Bu-lim-beng-cu segala, memang beralasan juga bahwa Cun-ih Siansing menguatirkan pencalonan diriku. Tapi aku jadi ingin mencalonkan seorang pendekar muda untuk menjadi Bu-lim-beng-cu di Kanglam ini."

Sebetulnya Cun-ih Thong sudah menduga, namun sengaja dia bertanya: "Siapakah pendekar muda yang kau calonkan?"

"Tan Ciok-sing Tan-siauhiap," seru Tam Pa-kun kalem; "Dia adalah murid maha guru silat Ihio Tan-hong Thio Tayhiap, tunas muda yang punya harapan nomor satu di antara generasi mendatang. Bulan yang lalu bersama In Lihiap mereka membuat geger di istana terlarang, menundukkan dan menjumpai Baginda Raja, tiada orang gagah di dunia ini yang tidak mengacungkan jempol untuknya. Jabatan Bu-lim-beng-cu kukira tepat sekali bila diserahkan kepadanya."

Tan Ciok-sing amat kaget, serunya: "Tam Tayhiap jangan kau berkelakar dengan aku. Siautit masih muda dan cetek pengalaman, jabatan Bengcu teramat berat untuk dipikul, mana aku mampu mendudukinya?"

"Ada cita-cita tidak diukur dari usia," seru Hou Pong lantang, "Tiada akal sia-sia hidup seratus tahun. Tan-siauhiap punya akal ada cita-cita luhur, dari peristiwa geger di istana raja itu sudah merupakan bukti nyata. Uraian yang panjang lebar tadi merupakan bukti pula akan pengetahuan dan kecerdikan otaknya. Bila dia yang menjadi Bu-lim-beng-cu aku orang she Hou pertama yang mendukungnya."

Tan Ciok-sing goyang tangan, katanya: "Hou-cecu, jangan menempel emas di mukaku, betapapun, Bu-lim-beng-cu aku tidak berani menerimanya."

"Kenapa tidak berani terima?" seru Hou Pong sengit, "menurut pendapatku, kau jadi Bengcu dan

In Lihiap menjadi wakil Bengcu, begitu lebih baik."

In San tertawa, katanya: "Hou-cecu, kau memang suka berkelakar, jangan kau menyeret aku."

"Aku tidak berkelakar, gabungan sepasang pedang kalian sudah terkenal di kolong langit, sepantasnya kalian menduduki jabatan yang sejajar."

Merah muka ln San, dia tidak berkomentar lagi.

Ong Goan-tin berkata: "Ucapan Tam Tayhiap memang betul, jabatan Bu-lim-beng-cu adalah pantas kalau diserahkan kepada angkatan muda. lan-siauhiap, kau adalah pendekar muda, gagah perwira yang dipuji orang banyak..."

"Ong-cecu," teriak Lamkiong King kurang senang, "kau kan belum tanya aku, memangnya kau tahu bila aku mengaguminya?"

Ong Goan-tin tersenyum, katanya: "Sugong-thocu sendiri tadi bilang amat mengaguminya, hadirin metyfldi saksi. Kau sendiri juga sudah menyatakan tunduk akan kehendak pemimpinmu, betul tidak? Oleh karena itu, maaf bila aku kelu u udak tanya dulu kepada kau, aku sudah anggap kaupun mengaguminya."

Lamkiong King tidak menduga bakal didebat sekonyol itu, karuan mulutnya kelakep.

Tapi Cun-ih Thong yang pandai silat lidah segera membantah: "Tan-siauhiap adalah jagoan top dari generasi muda, hal ini sudah diakui oleh umum. Tapi Tan-siauhiap sendiri bilang, untuk menjadi Bu-lim-beng-cu, usianya masih terlalu muda. Maka untuk menjadi Bu-lim-beng-cu harus dicalonkan seorang yang sudah ternama, punya pengalaman luas, disegani dan menggetarkan dunia. Apa yang dikatakan Sugong-thocu tadi tidak lain hanyalah pujian dan dorongan semangat bagi angkatan muda, bukan berarti bahwa dia pasti boleh menjadi Bu-lim-beng-cu."

Kek Lam-wi berdiri, katanya perlahan: "Cun-ih Siansing, agaknya ada satu hal tidak kau utarakan."

"O, soal apa yang tidak kuutarakan, harap Kek-jithiap mengoreksi."

"Demi nusa dan bangsa, pendekar berjiwa besar diutamakan. Seorang yang menjadi Bu-lim-beng-cu, kecuali harus berilmu silat tinggi, pengetahuan dan pergaulannya harus luas, kecuali harus pula menggetar dunia, yang penting adalah jiwa kependekarannya. Bila dia sudah memiliki bekal 'pendekar', soal syarat-syarat lain meski masih kurang sedikit juga kurasa tidak jadi soal."

Kontan Hou Pong bersorak sambil keplok, teriaknya keras:

"Betul, yang diutamakan adalah jiwa pendekar. Walau Tan-siauhiap masih muda, namun dia cukup setimpal menjadi seorang pendekar. Aku dukung dia menjadi Bu-lim-beng-cu."

Lamkiong King marah-marah, serunya: "Memangnya kau kira Thocu kita tidak setimpal sebagai pendekar?"

"Kapan aku bilang demikian," semprot Hou Pong, "tapi tidak banyak yang kuketahui tentang Thocu kalian, bagaimana dia mendarma baktikan diri kepada kepentingan umum aku tidak tahu."

Lekas Cun-ih Thong menengahi, katanya: "Harap jangan ribut dulu, dengarkan dulu penjelasanku."

"Oho, kau punya penjelasan apa?" jengek Hou Pong.

Cun-ih Thong mengalah untuk maju, katanya pertahan: "Hou-cecu, agaknya kau merasa benci kepadaku. Bila kau tidak memberi kesempatan aku bicara, baiklah aku tidak usah banyak mulut."

"Kalau orang tidak boleh bicara, memangnya itu yang dinamakan adil?" teriak Lamkiong King.

Hou Pong membantah: "Kapan aku melarang dia bicara, tapi aku tidak percaya obrolannya kau pun tidak berhak memaksa aku percaya Sudah Cun-ih Thong, kau mau omong apa boleh silahkan, mau kentut juga lekas keluarkan "

Sudah menjadi kebiasaannya setiap habis berkata mengutarakan pendapatnya Hou Pong pasti mengolok-olok lawannya, karuan Cun-ih Thong jengkel dan naik pitam, mukanya sampai menguning.

"Cun-ih Siansing," kata Lamkiong King, "jangan kau hiraukan salakan anjing itu, katakan saja pendapatmu."

Hou Pong sudah berjingkrak berdiri hendak melabrak Lamkiong King, untung Han King-hong menekannya dan membujuknya perlahan: "Demi kepentingan umum sementara tidak usah ribut mulut."

Cun-ih Thong memang bermuka tebal, setelah reda amarahnya seperti tidak terjadi apa-apa dia berkata: "Apa yang dikatakan Kek-jithiap memang benar, untuk menjadi seorang Bu-lim-beng-cu, punya jiwa pendekar memang amat penting, tapi apa itu pendekar dan bagaimana serta apa syaratnya seorang dinamakan pendekar, masing-masing orang yakin punya pendapat yang berbeda. Apalagi tidak sedikit orang yang telah melakukan kerja besar tapi tidak mau disiarkan, sehingga jarang orang tahu, itu sering terjadi. Pendek kata kalau hanya berdasar seorang yang punya jiwa pendekar baru boleh dipilih jadi Bu-lim-beng-cu kurasa juga belum tepat, itu akan gampang menimbulkan perdebatan pula. Oleh karena itu, kurasa lebih baik kita gunakan cara umum yang sering berlaku di kalangan Kangouw saja."

"Betul, yang kuat menang, si lemah kalah," teriak Lamkiong King. "Siapa saja yang menentang Sugong-thocu menjadi Bengcu kita, boleh silakan keluar melawannya."

Orang-orang pihak Tang-hay-liong-ong kembali bertempik sorak menyambut pertanyaan Lamkiong King. Sebaliknya orang-orang di pihak Ong Goan-tin saling pandang dengan melongo, sesaat mereka kclakep tak tahu bagaimana mengatasi situasi yang mendesak ini.

Akhirnya Ong Goan-tin angkat bicara, "Kalau hadirin menganggap syarat seorang pendekar susah ditentukan, memilih Beng-cu melalui pertandingan juga salah satu cara yang sering berlaku. Tapi, kusarankan lebih baik cukup saling tutul dan jamah saja, jangan sampai ada pihak yang luka parah atau mati."

Ong Goan-tin memang cukup pengalamanan dan pandai melihat gelagat, perkataannya cukup dipertimbangkan sebelumnya. Maklum meski selama setahun ke belakang ini Tan Ciok-sing sudah menjulang namanya, tapi bila dibanding Tang-hay-liong-ong betapapun masih terpaut cukup jauh. Bila pemilihan diambil suara, jelas yang mendukung Tang-hay-liong-ong masih lebih banyak. Kaum persilatan yang tidak diundang banyak yang hadir disini, bukan mustahil mereka adalah komplotan Tang-hay-liong. Meski sukar mencapai kemenangan didalam pertandingan, betapapun mereka masih harus bertaruh dan membuktikan kemampuan masing-masing.

Pada hal orang-orang pihak Tang-hay-liong-ong juga kuatir bila pemimpin mereka tidak terpilih, kalau bertanding mereka yakin pihaknya pasti menang, mendengar pernyataan Ong Goan-tin setuju menempuh cara ini, kontan mereka berjingkrak dan bersorak: "Betul bertanding menentukan Bengcu memang tepat. Siapa yang menentang Sugong-thocu jadi Bengcu silakan keluar, akulah yang akan menghadapinya lebih dulu."

Menurut peraturan pertandingan dalam permilihan Bengcu, seseorang yang mendukung orang lain menjadi Bengcu, dia punya hak untuk bertanding melawan pendukung pihak lawan.

Tan Ciok-sing berkata: "Usiaku masih muda, tidak becus lagi, sebetulnya aku tidak berani menjadi Bu-lim-beng-cu..."

Sebelum orang habis bicara Ong Goan-tin sudah menekannya duduk, katanya perlahan: "Jikalau kau menolak, bukankah berarti menyerahkan kedudukan penting itu kepada Tang-hay-liong-ong begitu saja? Apa kau rela dia menjadi Bu-lim-beng-cu?"

Terpaksa Tan Ciok-sing diam saja tidak banyak komentar lagi.

Siapapun tahu Kungfu Tang-hay-liong-ong merupakan yang paling top di antara hadirin, berulang kali Lamkiong King mendesak dan menantang orang-orang yang tidak setuju Tang-hay-liong-ong jadi bengcu keluar untuk bertanding, siapa berani menampilkan diri?

Hening sejenak, melihat tiada orang keluar Hou Pong tidak tahan lagi, segera dia berlari keluar, teriaknya: "Sugong-thocu aku tahu ilmu silatmu tinggi, tapi aku tetap tidak tahu diri, mohon kau memberi petunjuk beberapa jurus," meski tahu dirinya bakal kalah, tapi dia tetap tampil menantang perang, maksudnya tidak lain bahwa ada juga orang yang menentang dan tidak tunduk kepada Tang-hay-liong-ong.

Tang-hay-liong-ong mendongak, pandangannya ke atas langit-langit, sikapnya jumawa seperti tidak mendengar teriakan Hou Pong, melirikpun tidak. Lamkiong King tertawa tergelak-gelak, katanya: "Hou-cecu, hari ini kau sudah banyak bicara hanya kata-katamu terakhir kali tadi yang kurasa benar, kau memang tidak tahu diri, memangnya kau setimpal bergebrak dengan Thocu kita. Marilah biar aku saja yang layani kau beberapa gebrak."

Hou Pong gusar, mereka segera berhantam.

Hou Pong meyakinkan Thi-sa-ciang, permainannya keras dan deras, kedua orang saling jotos dan tendang, suara gedebukan dari tinju dan kaki mengenai sasaran jadi membuat hadirin geli tercampur kuatir.

Suatu ketika empat telapak tangan mereka beradu berhadapan. "Biang" Hou Pong tergentak mundur dua langkah, Lamkiong King hanya tergeliat, kelihatannya tenaga Lamkiong King lebih besar. Karena berada di atas angin Lamkiong King tertawa tergelak-gelak, langkahnya beruntun mendesak maju kakinyapun menendang berantai. Dengan telapak tangan Hou Pong gunakan Hou-te-jan-hou, dia lancarkan pukulan Thi-sa-ciang. Ternyata Lamkiong King juga perkasa, meski tahu Thi-sa-ciang lawan liehay namun dia tidak mau mengalah, sebat sekali dia tarik kaki kanan, hampir waktu yang sama kaki kiri melayang pula, tendangannya deras dan kuat. Diam-diam Ong Goan-tin bertaut alisnya melihat cara pertempuran kasar ini. Lekas dia berseru: "Pertandingan terbatas saling tutul dan jamah, pantang melukai lawan." Syarat ini sudah disetujui kedua pihak sebelum pertandingan dimulai, Ong Goan-tin hanya memberi ingat dan ketegasan. Tapi memperoleh angin Lamkiong King tidak memberi kesempatan kepada lawannya, serangannya itu makin gencar dan menggebu. Akibat dari serangannya itu bila mendarat di tubuh lawannya jelas tidak mungkin menjamah atau menutul, hakikatnya lebih mendekati adu jiwa.

Begitu Hou Pong merobah menjotos lekas Lamkiong King melintangkan telapak tangan menangkis, namun Hou Pong merobah jotosan menjadi sampukan, sebelum tenaga lawan disalurkan lekas sekali dia sudah merobah posisi merobah serangan dengan pukulan lengket jarak dekat, sasaran ke atas menggenjot muka musuh. Jotosannya ini dinamakan Jong-thian-bau liehay luar biasa. Tapi Lamkiong King juga tidak lemah, dia yakin tenaganya lebih kuat, maka cukup mengibas tangan dia gunakan daya cantel menjadi pukulan gempur terus digenjot keluar, kembali dia punahkan jotosan dekat Hou Pong serta balas menyerang.

Diluar tahunya tujuan Hou Pong memang memancing dirinya demikian, setelah dirabu serangan Hou Pong, nafsu berkelahi sudah membara memperoleh kesempatan baik balas menyerang sudah tentu tanpa pikir segera dia ingin menggasak lawannya ini. Tanpa disadari bahwa balas menyerang saat itu belum tiba waktunya, begitu dia balas menyerang penjagaan menjadi kosong. Sekonyong-konyong Hou Pong membalik tubuh dengan kaki menyapu, hardiknya: "Kena," berbareng kedua telapak tangan memukul pula, telapak tangan kiri menggunakan Hun-kin-joh-kut sementara telapak tangan kanan memukul dengan Thi-sa-ciang.

Sebetulnya Lamkiong King bisa meluputkan diri dari salah satu serangan itu, namun serangan kedua jelas pasti mendarat di tubuhnya, bila dia nekad juga melancarkan serangan balasan, kemungkinan pertempuran bakal seri dengan akibat kedua lawan sama-sama roboh terluka. Cuma didalam keadaan terdesak serupa itu, luka-lukanya pasti lebih parah dari Hou Pong.

Baru saja Hou Pong melancarkan serangan keji, tiba-tiba dia sadar akan seruan Ong Goan-tin bahwa pertandingan ini hanya terbatas saling tutul dan jamah saja, maka Thi-sa-ciang batal dia lancarkan, dia pikir hanya akan menggunakan Hun-kin-joh-kut saja, cukup bila lawan tak mampu berkutik terhitung dirinya di pihak yang menang.

Siapa tahu pikiran bajiknya ini justeru mendatangkan akibat yang fatal bagi dirinya. Lamkiong King tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini untuk merobah posisinya dari pihak yang terdesak ke pihak yang menang. Lamkiong King meyakinkan ilmu kekebalan, Hun-kin-joh-kut mengutamakan kekuatan jari, begitu menyentuh tubuhnya seperti mencengkram batu, hanya dengan kekuatan jarinya tidak mungkin bisa menyebabkan dirinya keseleo tulang dan urat. Kontan dia menelikung lengan serta ditariknya sekali, "krak" tulang lengan Hou Pong malah dipelintirnya putus.

Perobahan tak pernah diduga oleh hadirin, banyak yang menjerit kaget dan ngeri. Tang-hay-liong-ong pura-pura kaget dan marah sambil berdiri, segera dia keluarkan sebotol obat terus dilempar ke arah Lamkiong King, bentaknya: "Kenapa kau tidak hati-hati. Hou-cecu sampai kau lukai, lekas berikan obat penyambung tulang ini kepada Hou-cecu," lahirnya memarahi Lamkiong King, yang benar tujuannya ingin memberi obat menanam budi, sehingg.i orang-orang pihak Ong Goan-tin menaruh simpatik padanya.

Ih Ti-bin segera berdiri dan memburu kesana memapah Hou Pong.-Jengeknya: "Tak perlu kalian pura-pura bajik, kalau hanya menyambung tulang mengurut urat memangnya kami tidak bisa." Sembari membubuhi obat dan menyambung tulang Hou Pong dia menjengek pula: "Sudah dijanjikan hanya terbatas saling tutul dan jamah Hou-cecu tidak ingin melukai kau, kau justru turun tangan sekeji ini, memangnya apa sih maksudmu?"

Dari malu Lamkiong King jadi gusar, bentaknya: "Pertandingan kaum persilatan siapa kuat dia menang. Ih Ti-bin, memangnya Hou Pong benar-benar mengalah kepadaku, aku malah mau bilang aku telah berbelas kasihan kepadanya. Kalau tidak sekali pukul tadi aku sudah bisa membunuhnya. Hehe, Ih-cecu jikalau kau tidak terima boleh silahkan turun gelanggang, mari bertanding melawan."

"Baik aku memang ingin mengukur kemampuan," jengek Ih Ti-bin.

"Baik, aku tidak peduli akan tata tertib pertandingan, mati atau hidup adalah jamak di medan laga." "Wut" kontan dia menjotos lebih dulu.

Ong Goan-tin ingin bicara tidak keburu lagi.

Mengikuti arus angin pukulan lawan Ih Ti-bin berkelit ke pinggir. Lamkiong King menjengek kaki melompat ke atas, kedua tangan merangsek bersama telapak tangan kiri mengepruk batok kepala, jari-jari tangan kanan mencengkram tulang pundak, Ih Ti-bin gunakan gerakan tubuh Hong-biau-loh-hoa, tampak pakaiannya melambai-lambai kembali dia meluputkan diri dari serangan lawan. Beberapa teman Ih Ti-bin terdengar berteriak: "Ih-cecu, hayo balas, dia menghendaki nyawamu, kenapa kau sungkan terhadapnya?"

Tam Pa-kun menghela napas lega, katanya kepada Ong Goan-tin. "Kelincahan dapat menundukan tenaga, Ih-cecu tidak akan kalah. Keparat itu memang liar dan buas biar nanti dia mendapat ganjaran setimpal."

Sebetulnya Ong Goan-tin mau menyerukan pula tata tertib pertandingan supaya ditaati, namun setelah melihat Hou Pong terluka parah hatinya agak marah, apalagi setelah dibujuk Tam Pa-kun, akhirnya dia berpikir: "Benar mereka memang perlu dihajar biar kapok," maka dia bungkam dan duduk kembali.

Dalam pada itu Lamkiong King beruntun telah melancarkan tiga jurus, kaki menginjak Hong-bun (berhadapan muka dengan lawan) tinjunya menjotos pula ke rusuk kiri Ih Ti-bin. Jurus ini dinamakan Hing-sin-bak-hou (melintang badan memukul harimau), gaya jotosannya teramat kuat dan ganas; namun pada detik-detik yang gawat selalu dapat dihindarkan oleh Ih Ti-bin. Baru sekarang dia buka suara, bentaknya: "Nah, tadi kau sudah bertanding satu babak, maka aku mengalah tiga jurus, jangan nanti kau anggap aku memungut keuntungan. Hati-hati serangan balasan," pelan dia mengeluarkan sebatang kipas lempit, begitu jotosan lawan mendera tiba, kipasnya terbuka terus dikebas ke samping, gaya permainan ternyata mengikuti ajaran pedang dan golok, ujung kipasnya yang tajam mengiris ke jari-jari tangan Lamkiong King.

Kelihatannya kipas lempitnya itu hitam gelap mengkilap, merupakan senjata luar biasa yang jarang terlihat, namanya kipas lempit besi tetapi tulang kerangkanya terbuat dari baja murni, ujung kipasnya yang runcing ternyata kemilau setajam pisau.

Cun-ih Thong memuji: "Bagus," katanya: "Sudah sering kudengar kipas lempit menutuk Hiat-to yang diyakinkan Ih-cecu merupakan ilmu tunggal di Bulim. Kipas besinya ini dapat pula digunakan sebagai Ngo-hing-kiam, jurus permainannya rumit dan beraneka ragam, beruntung hari ini dapat menyaksikan, ternyata memang tidak bernama kosong," kedengarannya dia memuji Ih Ti-bin, yang benar tujuannya memberi peringatan kepada Lamkiong King bahwa ilmu kipas lawan cukup liehay supaya dia hati-hati.

Sayang peringatannya terlambat. Sengaja Ih Ti-bin memancing lawan dengan suatu gerak pancingan, di kala Lamkiong King menubruk seperti harimau kelaparan menerkam mangsanya, dengan gerak kecepatan kipasnya telah menutuk Jian-kin-hiat. Menyusul dengan Hun-kin-joh-kut-hoat, dia tebas putus ke sepuluh tulang-tulang jari Lamkiong King serta memelintir tulang lengan kirinya hingga keseleo.

Tulang-tulang jari tangan remuk sakitnya bukan kepalang, ditambah lagi tulang lengan keseleo di atas pundak, karuan sakitnya bukan kepalang. Lamkiong King meraung sekeras-kerasnya, orang segede itu ternyata tidak tahan sakit, kontan dia jatuh semaput.

Ih Ti-bin berkata dingin: "Maaf Lamkiong King hendak membunuhku, terpaksa aku melukainya. Sugong-thocu, yakin kau tidak menyalahkan aku."

Tulang lengan Hou Pong bani saja disambung, luka-lukanya habis dibalut, saking senang dia tertawa gelak dengan meringis kesakitan "Pembalasan kontan yann tidak tanggung-tanggung, Ih-toako, banyak terima kasih, kau telah melampiaskan penasaranku."

Orang kedua pihak membawa para korban ke ruang belakang untuk istirahat, pertandingan tetap berlangsung. Beberapa babak selanjutnya masing-masing pihak ada kalah ada menang tapi jumlah total pihak Tan Ciok-sing masih unggul satu babak.

Tang-hay-liong-ong sedang putar otak untuk memilih jagonya, tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda dalam rombongannya

menampilkan diri, pemuda yang memberi minyak rambutnya dengan wewangian dan memupur muka pula. Walau bukan calon pilihan yang diharapkan, namun Tang-hay-liong-ong berpikir: "Biarlah dia keluar sekedar membuat kegaduhan juga baik."

Pamuda perlente yang pakai wewangian ini bernama Liu Yau-hong, ayahnya Liu Pek-cong adalah seorang ahli pedang, selama hidupnya menekuni pelajaran ilmu pedang, jarang dia mencampuri urusan Kangouw, namun di kalangan Kangouw dia punya nama yang disegani.

Lain bapak lain anak, putranya yang satu ini justru sering membuat onar diluar, pemuda yang suka berpelesiran dan suka berfoya-foya, konon beberapa peristiwa perkosaan yang menggemparkan adalah perbuatannya, namun karena tidak tertangkap basah dia tetap mungkir.

Liu Yau-hong bukan anak buah Tang-hay-liong-ong, hanya karena suatu hubungan tidak langsung, orang pihaknya berhasil menariknya untuk membuat ramai-ramai disini, jadi secara formil dia bukan "orang sendiri" dari pihak Tang-hay-liong-ong. Bahwasanya Tang-hay-liong-ong juga tidak menduga bahwa dia berani dan mau menampilkan dirinya.

Justru karena dia bukan orang sendiri mumpung juga bagi Tang-hay-liong-ong untuk melonggarkan situasi yang tidak menguntungkan pihaknya. Ilmu pedang Liu Yau-hong memperoleh didikan ' langsung ayahnya, jelek-jelek dia keturunan dari seorang ahli pedang yang ternama. Tang-hay-liong-ong pikir pihak lawan tidak sedikit Bu-lim-cianpwe, sedikit banyak pasti memberi muka, umpama akan memberi hukuman setimpal pasti juga diperhitungkan dan tidak di saat-saat seperti ini. Apalagi dengan bekal ilmu silatnya, bila lawan jago kosen kelas wahid dia menaruh harapan untuk menambal kekalahannya.

Setelah tampil di arena, Liu Yau-hong berkata ke arah Tan Ciok-sing dan In San. "Aku kagum akan ilmu pedang Tan-siauhiap. Cayhe tidak becus, namun pernah juga belajar pedang selama dua puluh tahun, melihat ahli sejenis tanganku jadi gatal..."

Belum habis dia omong Kek Lam-wi sudah menuding dan mendamprat: "Tampangmu ini juga setimpal bertanding dengan Tan-siauhiap, apa tidak bikin kotor pedang pusakanya?"

Numpang ketenaran ayahnya, meski Liu Yau-hong tidak setimpal berhubungan dengan kaum pendekar, namun setiap kehadirannya dimanapun, tidak sedikit orang yang bermuka-muka di depannya, ketambah bekal ilmu pedangnya memang cukup liehay, sehingga menjadi kebiasaannya bersikap jumawa. Kali ini diluar dugaan dia tidak marah meski dimaki Kek Lam-wi, malah dia tertawa dingin dan berkata lebih lanjut. "Aku belum bicara habis, Kek-jithiap, tolong kau bersabar sebentar."

"Kau memang benar, Tan-siauhiap adalah calon Bu-lim-beng-cu, sebetulnya aku ingin mohon pengajaran pedangnya, namun aku juga tahu belum tiba saatnya dia turun gelanggang. Tapi aku ini sudah terlanjur masuk gelanggang, bila Tan-siauhiap tidak mau melayaniku, aku jadi rikuh kembali ke romborfgan," sampai disini dia berpaling kearah In San, sambungnya; "Gabungan sepasang ilmu pedang In Lihiap dan Tan¬siauhiap terkenal di kolong langit, ilmu pedangnya tentu juga amat tinggi. Maaf bila aku memberanikan diri, entah sudikah In Lihiap memberi petunjuk

beberapa jurus kepadaku?"-

ternyata dia kepincut keayuan In San, karena kesengsem sampai lupa daratan, meski tahu bukan tandingan orang dia nekat juga menampilkan diri. Jadi bukan ingin membantu pihak Tang-hay-liong-ong, tapi dia ingin pamer kepandaian, syukur karena bertanding kali ini, dia bisa berkenalan dengan In San. Dalam pertandingan silat, biasanya tidak ada aturan harus menantang seseorang, tapi bila ada juga orang yang menantang seseorang, jarang ada orang yang ditantang tidak berani melawannya.

Berdiri alis In San, baru hendak berdiri, seorang lain tiba-tiba mendahului berdiri. Orang inipun seorang galis belia, dia bukan lain adalah salah satu dari Pat-sian, Toh So-so yang berusia paling muda. Toh So-so menjengek dingin: "Kau ingin bertanding pedang, aku juga gatal tanganku, mari biar kuiringi kau beberapa jurus."

Liu Yan-hong melirik dengan sikap tengik, melihat Toh So-so berwajah cantik pula, senang hatinya, segera dia tertawa cengar-cengir, katanya: "Terima kasih akan kemurahan hati Toh Lihiap sudi mengiringi pertandingan ini lega hatiku."

Kualir Toh So-so tidak tahu asal-usul orang sengaja Ong Goan-tin bertanya kepada Liu Yau-hong: "Liu-heng, pedang yang kau gunakan itu bukankah Thian-liong-pokiam milik ayahmu itu."

Thian.-liong-kiam adalah salah satu pedang yang terkenal di Kangouw. Liu Pek-cong ayah Liu Yau-hong memang memiliki ilmu yang luar biasa, tapi tanpa membekal Thian-liong-pokiam namanya tidak akan setenar itu.

Dengan tertawa Liu Yau-hong berkata: "Betul. Dalam pertandingan ini siapapun tidak dilarang menggunakan gaman apapun bukan?"

In San berkata: "Toh-cici, pakailah pedangku," pedang In San adalah Ceng-bing-kiam warisan isteri Thio Tan-hong, In Lui. Ceng-bing-kiam jelas masih lebih unggul dibanding Thian-liong-kiam.

Toh So-so berkata: "Tidak usah. Bila aku kalahkan dia dengan pedang Thio Tayhiap, mungkin dia tidak akan menyerah lahir batin."

Liu Yau-hong tertawa lebar, katanya: "Kalian tidak usah kuatir, aku hanya berlatih pedang dengan Toh Lihiap, cukup asal sentuh saja, terserah dia mau pakai pokiam atau pedang biasa, aku tidak akan memanfaatkan pokiamku ini untuk mengalahkan dia."

"Sret" Toh So-so mencabut pedangnya, bentakuya: "Jangan cerewet, awas pedangku ini tidak punya mata."

Sikap Liu Yau-hong tetap tak acuh, katanya menyengir: "Toh Lihiap, boleh kau pamer seluruh kemampuanmu. Pepatah bilang dapat mati di bawah kembang, jadi setan juga tidak penasaran. Bila aku terluka oleh pedangmu, matipun aku rela."

Meski tahu lawan salah satu dari Pat-sian, ilmu pedangnya jelas bukan kelas sembarangan. Tapi mengingat usia Toh So-so lebih muda, cetek pengalaman, perempuan lagi, tenaga jelas dirinya lebih unggul. Apalagi Toh So-so tidak mau pakai pedang mustika, dalam hal senjata dia lebih unggul, maka pertandingan ini dia yakin pasti berada di pihak pemenang.

Sudah tentu Toh So-so sebal mendengar ocehannya, bentaknya dengan tawa dingin: "Baik memang omongannu ini yang kutunggu. Lihat pedang."

Dimana pedang berkelebat dengan jurus Liong-li-joan-ciam, "Sret" pedangnya menusuk pundak kiri Liu Yau-hong. Kelihatan serangan ini hanya gertakan namun kenyataan bisa dirobah jadi sungguhan atau sebaliknya pula, disinilah letak inti sari dari Ya-li-kiam-hoat yang diyakinkan.

Hanya segebrak tapi Liu Yau¬ hong sudah tahu akan keliehayan serangan pedang ini, dengan tergesa-gesa dia memuji "bagus", namun tubuhnya tidak bergeming, bila ujung pedangnya sudah hampir menusuk pundak, baru dia memutar pergelangan tangan membalas dengan jurus Kim-beng-jan-ci, pedangnya terayun keluar.

Jurus serangan ini memang diperhitungkan pada waktu yang tepat. Tidak sedikit di antara hadirin adalah ahli-ahli ilmu pedang, meski mereka memandang rendah martabatnya, melihat dia mampu bersilat dengan ilmu pedang sebagus itu mau tidak mau mereka berseru memuji.

Namun meski ilmu pedang yang dilancarkan ini termasuk tingkat kelas atas, kalau senjatanya bukan mustika dia tidak akan seberani itu menahan pedang lawan dengan tekanan melintang, apalagi pedangnya lebih panjang, menurut teori pedang dalam serang menyerang seperti itu, jelas pedang Toh So-so takkan luput saling bentur dengan pedang mustika lawan.

Hadirin berkuatir bagi Toh So-so, maklum Thian-liong-kiam adalah pedang tajam luar biasa, mengiris besi seperti merajang sayur, Toh So-so menggunakan Ceng-kong-kiam biasa, mana kuat melawannya? Bila pedangnya putus, berarti dia di pihak yang kalah.

Tak nyana dalam detik-detik yang menentukan itu, situasi justru berobah, pelayanan gerak pedang Toh So-so justru tidak seperti yang diduga lawan, juga diluar dugaan hadirin. Terdengar Toh So-so menjengek dingin, katanya: "Pedangmu memang tajam, memangnya kau bisa apa terhadapku?" sembari tawa dingin mendadak tubuhnya berputar secara gemulai, begitu cepat sehingga orang-orang tidak melihat jelas. Tahu-tahu pedangnya itu telah putar balik satu lingkar dengan jurus Ceng-hun-ka-kan menusuk ke arah Liu Yau-hong. Ujung pedang mengincar tempat yang tidak terduga oleh Liu Yau-hong.

Tidak malu Liu Yau-hong jadi putra seorang ahli silat kenamaan. Kungfunya sudah mendapat warisan ayahnya, permainan ilmu pedangnya nyata memang liehay juga. Di kala situasi berobah sehingga dirinya terdesak ini sikapnya tetap tenang-tenang saja, mendadak dia gunakan Hong-tiam-thau, berbareng pedangnya melintang balik pula sehingga gerakannya berobah Heng-ka-kim-liang, secara tepat dalam saat-saat kritis itu dia tekan dan punahkan serangan pedang Toh So-so Gerakan indah tepat waktunya, jelas pedang Toh So-so bakal membenturnya pula. Tapi gerakan cepat itu masih diungguli kecepatan Toh So-so pula, permainan pedangnya ternyata lebih menakjubkan lagi, hadirin dibikin kabur pandangannva oleh kelincahan tubuhnya. Heng-ka-kim-liang yang dilancarkan Liu Yau-hong bukan saja tidak berhasil membentur pedang lawan, malah tiga kali bacokan saling susul yang dilancarkan selanjutnya juga tidak mampu menyentuh ujung baju lawan.

Tampak Toh So-so menggoyang pundak, pakaian berkibar, selincah kecapung menutul air, atau kupu-kupu menari di pucuk bunga, dimana pedangnya berkelebat, dengan jurus Ciok-li-toh-so, disusul Kim-ke-toh-siok, satu jurus dua gerakan, membabat pinggang menjojoh rusuk, karena serangan mengenai tempat kosong, meski menggunakan pedang mustika, sia-sia belaka usaha Liu Yau-hong, malah dirinya terdesak mundur beberapa langkah. Gebrakan ini terjadi dalam waktu singkat, kelihatan kedua orang seperti ayam jago yang disabung di tengah arena, belum lagi hadirin melihat jelas jalannya pertempuran, mendadak didengarnya Toh So-so menghardik: "Lepas pedang." Dimana sinar pedang berkelebat, kontan Liu Yau-hong menjerit kesakitan, bukan saja pedang mustika jatuh berkerontang, orangnya juga tersungkur di atas lantai.

Karuan Ong Goan-tin amat kaget, teriaknya: "Toh Lihiap, beri ampun padanya, jangan..." maksudnya supaya Toh So-so tidak membunuh Liu Yau-hong, namun dilihatnya Liu Yau-hong sudah roboh, maka perkataannya ditelannya lagi.

Dalam hati diam-diam Ong Goan-tin mengeluh. Maklum perbuatan Liu Yau-hong memang brutal, cabul dan sudah rusak martabatnya, namun ayahnya adalah seorang jago silat yang punya nama harum, dengan Ong goan tin juga kenal baik. Dikala dirinya merayakan ulang tahun, putra kenalannya mati di markasnya, jelas dia tidak akan terima dan pasti akan membuat perhitungan kepadanya.

Toh So-so tahu maksud Ong Goan-tin, katanya tertawa: "Ong-cecu tidak usah kuatir, keparat ini masih hidup," habis bicara dia angkat sebelah kakinya menendang tubuh Liu Yau-hong sehingga terbalik celentang. Kontan Liu Yau-hong menjerit pula. Kini hadirin melihat jelas, selebar mukanya ternyata berlepotan darah, wajah yang semula ganteng putih dan sering dipupuri itu, kini sudah penuh goresan pedang yang malang melintang, itulah hasil karya Toh So-so.

Dalam sejurus ternyata dia mampu menggores luka malang melintang sebanyak itu di muka Liu Yau-hong, hadirin tiada yang melihat jelas betapa cepat gerakan pedangnya, sungguh amat mengejutkan. Kaum pendekar sama bersorak dan memuji, sebaliknya orang-orang pihak Tang-hay-liong-ong sama pucat dan saling pandang tak bersuara.

Setelah menendang Liu Yau-hong, Toh So-so berkata dingin: "Bukankah tadi kau bilang rela mati di bawah pedangku? Menilai perbuatan kotormu selama ini, sepantasnya aku membunuhmu, namun kupandang muka Ong locecu, hari ini adalah ulang tahunnya, dalam suasana gembira tidak pantas membunuh orang maka nonamu mengampuni jiwamu, hayo enyah, memangnya ingin kutendang pula"

Liu Yau-hong keras kepala, saking kesakitan dia siuman dari pingsannya, pelan-pelan dia meronta bangun sempoyongan, katanya gemetaran: "Toh So-so, kau, kau memang kejam, akan kuingat hadiahmu hari ini... selama hayat masih dikandung badan aku..." sampai disini dia tidak kuat melanjutkan perkataannya lagi. Tapi siapapun tahu apa maksud perkataannya, yaitu bersumpah akan menuntut balas sakit hati hari ini.

Toh So-so tertawa dingin, "Boleh, kau mau menuntut balas, kapan saja kutunggu."

Dua orangnya Tang-hay-liong-ong keluar menggotong Liu Yau-hong mengundurkan diri.

Tang-hay-liong-ong segera berdiri. Gerak-geriknya menarik perhatian seluruh hadirin.

Toh So-so tertawa menyeringai, katanya: "Sugong-thocu apakah kau ingin menuntut balas sakit hati orang she Liu?"

Tawar suara Tang-hay-liong-ong. "Tinju dan senjata tajam tidak bermata, salahnya sendiri tidak becus belajar silat, Toh Lihiap tidak boleh disalahkan. Mati hidup di medan laga sudah menjadi suratan takdir, apalagi gugur dalam pertandingan seperti ini, tidak usah bicara soal balas dendam segala. Toh Lihiap, silahkan kau mundur saja, Sugong Go tidak sudi bergebrak dengan seorang angkatan muda."

Toh So-so tahu kepandaiannya terlalu jauh dibanding lawan, maka dia berkata: "Baiklah, agaknya Sugong-thocu tidak ingin cari perkara dengan aku, maaf bila perkataanku tadi salah," segera dia mengundurkan diri.

"Sugong-thocu," kata Ong Goan-tin, "bagaimana selanjutnya?"

Kaku tidak menunjukan perasaan hatinya, pelan-pelan Tang-hay-liong-ong menoleh kesana dan berkata dengan lantang kepada Tan Ciok-sing dan In San. "Hadirin sudah setuju untuk memilih seorang Bu-lim-beng-cu, tujuannya supaya ada seorang pemimpin sehingga kekuatan kita terpadu dan sehaluan. Tak nyana terjadilah pertandingan babak demi babak untuk memperebutkan Bengcu itu. Beberapa babak pertandingan telah terjadi kericuhan, kejadian jadi menyeleweng dari tujuan semula, bukankah demikian Tan-siauhiap?"

"Betul," sahut Tan Ciok-sing, "lalu bagaimana penyelesaiannya, harap Sugong-thocu memberi saran."

"Menurut pendapatku, lebih baik kita saja yang mengakhiri babak terakhir ini, siapa menang atau kalah, mati hidup biarlah ditentukan dalam babak terakhir ini supaya banjir darah tidak berlarut-larut."

Cun-ih Thong bertepuk tangan lebih dulu, serunya: "Betul, jumlah orang kedua pihak cukup banyak, bila pertandingan tidak habis-habis, entah kapan baru akan berakhir? Biarlah dua calon Bengcu menentukan pertandingan babak terakhir ini saja."

"Sugong-thocu," seru Ong Goan-tin, "sebagai seorang tokoh yang sudah ternama di Kangouw, walau Tan-siauhiap kini juga telah menggetarkan dunia, paling juga baru dua tahun."

"Nanti dulu, aku belum habis bicara," tukas Tang-hay-liong-ong terbahak-bahak, "memang benar pendapat Ong-cecu, aku tahu Tan-siauhiap berkepandaian tinggi, betapapun dia masih muda dari aku, aku sendiri juga tidak ingin ditertawakan kaum persilatan sedunia..." sampai disini sengaja dia merandek. Hadirin bingung, dia yang menantang tapi bilang tidak mau menindas yang muda, memangnya apa maksudnya?"

Pelan-pelan Tang-hay-liong-ong melanjutkan. "Maksudku aku ingin menjajal gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dengan In Lihiap. Dengan cara ini yakin hadirin tidak akan katakan aku yang tua ini menindas yang muda bukan?"

Cun-ih Thong tiba-tiba bertanya: "Gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dan In Lihiap tiada bandingan di dunia, bukankah tadi Han-heng yang berkata demikian."

Han King-hong orang kasar, tanpa pikir segera dia menjawab: "Banyak kawan-kawan Kangouw semua bilang demikian, memangnya kenapa?"

Cun-ih Thong ngakak, katanya: "Tidak apa-apa aku merasa bersyukur hari ini bakal memperoleh kesempatan melihat saja. Hehe, apa benar pujian tadi sebentar juga akan terang dan terbukti. Tapi kalau sudah tersiar luas di Kangouw bila gabungan sepasang pedang mereka menempur Sugong-thocu tidak bisa dikatakan yang tua menekan yang muda lagi. Betul tidak?"

Baru sekarang hadirin maklum, sengaja dia putar kayun dengan ocehan panjang lebar, tujuan tidak lain bantu menarik keuntungan pihak Tang-hay-liong-ong.

Berkerut alis Tan Ciok-sing, hampir meledak amarahnya, namun dia dibujuk oleh Tam Pa-kun. "Ucapan Cun-ih Thong memang benar, bertanding cara begitu memang tiada yang mengambil keuntungan. Kalian bergabung melawan musuh dijumlah usia kalian juga masih muda lawan. Maka menurut pendapatku, pertandingan ini cukup adil."

Maksud Tan Ciok-sing adalah tidak mau memungut keuntungan ini, tapi setelah dipikir lagi sekarang bukan saatnya adu mulut dan bertengkar, maka dia tidak banyak bicara. .

Tapi In San malah berkata: "Siang-kiam-hap-pik sudah merupakan kebiasaan, menghadapi satu lawan kami berdua, menghadapi sepuluh lawan, kami tetap berdua. Bila Cun-ih Siansing anggap kita mengambil keuntungan boleh silahkan Cun-ih

Siansing maju bersama Sugong-thocu."

Cun-ih Thong cengar-cengir katanya: "In Lihiap, kenapa kaupun menyeret diriku."

Tang-hay-liong-ong menarik muka katanya: "Jangan cerewet. Had irin sudah akur bahwa pertandingan ini cukup adil, marilah segera kita mulai. Tapi perlu aku bicara di depan."

Lekas Cun-ih Thong menjilat pantat pula. "Betul peduli apapun akhir pertandingan ini akibatnya harus dibicarakan lebih dulu."

Perlahan Tang-hay-liong-ong berkata: "Kalau aku yang beruntung menang dalam pertandingan ini, kalian bagaimana?"

"Sudah tentu terserah kepadamu, hukuman apa terserah."

Tang-hay-liong-ong geleng-geleng, katanya: "Aku tidak punya maksud menyakiti kalian."

Tam Pa-kun tiba-tiba berdiri, katanya lantang. "Bahwa pertandingan ini menentukan kalah menang bila Sugong-thocu dapat mengalahkan mereka berarti pertandingan memilih Bengcu inipun berakhir. Selanjutnya Sugong-thocu adalah Bengcu kita."

"Kalau kami kalah boleh terserah Sugong-thocu men¬jatuhkan vonisnya..."

"Sugong-thocu barusan bilang tidak akan menyakitkan kalian," tukas Cun-ih Thong.

Tan Ciok-sing tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: "Sekarang kita nyatakan pula bila kami yang kalah, umpama Sugong-thocu tidak sudi menjatuhkan vonisnya. Kami sudah berkeputusan untuk memunahkan ilmu silat sendiri tapi kami tidak akan mendukungnya menjadi Bengcu."

Cun-ih Thong mengerutkan kening, katanya: "Lho, apa tidak mencari gara-gara?"

"Kami lebih suka memunahkan ilmu silat sendiri dan tidak sudi mendukungnya adalah urusan pribadi kami, tiada sangkut pautnya dengan orang lain." Ciok-sing mempertegas.

Tujuan Tang-hay-liong-ong adalah menjadi Bengcu, dia tidak peduli apakah mereka berdua mau atau tidak mendukung dirinya, bila mereka memunahkan ilmu silat sendiri juga kebetulan malah bagi dirinya. Maka dia tertawa, katanya: "Urusan sebetulnya tidak sefatal itu. Tapi setiap manusia punya keinginan sendiri-sendiri, bila Tan-siauhiap sudah berkeputusan demikian, ya boleh terserahlah."

Tan Ciok-sing bertanya: "Tapi bila kami yang beruntung dan kau yang kalah, bagaimana?"

Tang-hay-liong-ong tertawa lebar, katanya: "Kalau aku kalah, jelas malu bercokol di dunia persilatan. Tan-siauhiap apapun keputusannmu aku akan meniru janjimu," jadi pertandingan ini bukan melulu memperebutkan Bengcu, malah pihak mana yang kalah dia harus memunahkan ilmu silat sendiri.

Ong Goan-tin kaget, dia menoleh ke arah Tam Pa-kun, agaknya dia kuatir bila gabungan sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San bukan tandingan Tang-hay-liong-ong. Tam Pa-kun tahu kekuatirannya, dia hanya memberi senyum simpul tanpa bersuara. Tapi dari sorot mata dan rona mukanya, Ong Goan-tin tahu bahwa Tam Pa-kun yakin gabungan sepasang pedang Tan dan In pasti akan menang, maka lega juga hati Ong Goan-tin.

Tan Ciok-sing dan In San sudah berdiri jajar di tengah gelanggang, pedang masing-masing sudah terlolos. Pedang mereka adalah warisan pedang Thio Tan-hong, begitu keluai sarungnya pedang pusaka itu memancarkan cahaya terang gemerlap menyilaukan mata.

Dengan lagak jumawa pelan-pelan Tan-hay-liong-ong bersuara: "Bawa kemari senjataku."

Sebagian besar yang hadir hanya tahu bahwa Kungfu Tang-hay-liong-ong amat tinggi, namun gaman apa yang dia gunakan tiada satupun yang tahu, maka perhatian hadirin ditujukan kepadanya, mereka ingin tahu apakah senjatanya mampu menandingi sepasang pedang pusaka Tan Ciok-sing dan In San yang sudah terkenal sejak puluhan tahun.

Tampak empat laki-laki memanggul keluar sepasang tombak mengkilap gelap, dikata tombak juga bukan tombak, tidak mirip ruyung atau trisula, namun ujungnya berbentuk tombak, di sisi kiri kanan terdapat lekuk bulan sabit yang tajam dan runcing, lebih bawah lagi merupakan pedang sampai di gagang ada besi melengkung sebagai pelindung jari-jari tangan. Ada yang tahu bahwa gaman ini dinamakan Ban-ci-toh, senjata dari garis luar gaman yang jarang digunakan oleh insan persilatan, namun kasiat senjata ini dapat digunakan merampas senjata lawan.

Dalam hati Ong Goan-tin berpikir: "Ban-ci-toh memang dapat merampas pedang, tapi menghadapi pedang pusaka peninggalan Thio Tan-hong, yakin tidak akan mampu berbuat banyak."

Ban-ci-toh panjang seluruhnya ada tujuh kaki, besarnya kira-kira sama dengan gagang tumbak umumnya, tapi dua lelaki yang memanggul sebatang kelihatan keberatan, sungguh hadirin sama heran dan kaget. "Betulkah Ban-ci-toh ini berbobot seberat itu?"

Han King-hong menjadi sebal, kontan dia mengolok: "Ah, pura-pura belaka, memangnya siapa yang takut digertak."

Tengah bicara, dilihatnya ke empat lelaki itu sudah melemparkan Ban-ci-toh itu ke arah Tang-hay-liong-ong. Entah mereka mendengar olok-olok H an King-hong, yang terang salah satu dari Ban-ci-toh itu ternyata meleset ke depan Han King-hong.

Lekas Han King-hong lolos golok besar yang berpunggung tebal terus membacok, "Traaang" kembang api berpijar, golok besar tak kuat lagi dipegang, jatuh berkerontang bersama tubuhnya yang kekar.

Lekas teman-teman memapahnya bangun, tampak darah meleleh dari ujung mulutnya, untung tidak terluka dalam, namun golok punggung tebalnya itu patah jadi dua. Setelah membentur patah golok besar Han King-hong, Ban-ci-toh itu masih meleset ke depan ke arah majikannya. Dengan enteng Tang-hay-liong-ong gerakan kedua tangan meraih kedua gamannya, berdiri santai seperti tidak terjadi apa-apa.

Han King-hong terkenal sebagai jagoan yang punya tenaga raksasa, golok tebalnya itu berat 64 kali ternyata tidak kuat menghadapi benturan Ban-ci-toh, golok patah pemiliknya juga terjungkal meski tidak terluka parah, tapi hadirin sama kaget.

Tapi Han King-hong sendiri memang berjiwa polos dan jujur, meski dia terbentur jatuh oleh gaman Tang-hay-liong-ong, diam-diam dia kagum malah terhadap berat gaman orang, sambil merangkak tapi mulutnya menggumam: "Kukira dia hanya pura-pura saja, ternyata memang berat sekali, tak heran dua orang memikulnya dengan payah. Aneh, gaman terbuat dari logam apakah, hanya sebatang senjata macam tombak, aku ternyata tidak kuat menyambutnya."

Cun-ih Thong ingin pamer kepintarannya di samping ingin menunjukkan bahwa dirinya punya hubungan intim dengan Tang-hay-liong-ong, dari samping segera dia mengoceh pula sambil membusung dada: "Sepasang Ban-ci-toh milik Sugong-thocu ini memang bukan sembarangan senjata, pada setiap pertempuran jarang dipakai. Maka maklum bila kaum persilatan jarang yang tahu asal-usul senjatanya. Perlu diketahui bahwa sepasang gaman Sugong-thocu ini dibuat dari Hian-tiat (besi murni). Apa itu Hian-tiat? Dalam bentuk dan besar yang sama bobot Hian-tiat sepuluh kali lipat dari besi biasa"

Sejak melihat Tan dan In mengeluarkan sepasang pedang pusaka, timbul harapan orang¬orang gagah, namun setelah tahu gaman Tang-hay-liong-ong ternyata terbikin dari Hian-tiat, goyah pula keyakinan mereka. Apakah Hian-tiat itu hadirin banyak yang belum pernah lihat, tapi banyak juga yang tahu bahwa Hian-tiat itu merupakan sari gabungan dari lima unsur logam, konon hanya di puncak Sing-siok-hay di Kun-lun-san baru kedapatan ada Hian-tiat namun Hian-tiat itu sendiri juga sukar ditemukan disana. Apakah pedang mustika Tan dan In mampu melawan senjata yang terbuat dari Hian-tiat?

Tampak dengan menggenggam kencang senjatanya Tan-hay-liong-ong sudah berdiri tegak di tengah arena, katanya kepada Tan dan In. "Aku lebih tua, di hadapan sekian banyak orang-orang gagah, aku pantang memungut keuntungan dari kalian. Tidak lekas kalian turun tangan, masih tunggu apa lagi?" sikap jumawa nadanya mengejek.

In San berdarah panas, tanpa bicara segera dia gerakan Ceng-bing-kiam, sinar pedang gemerlap ujung pedangnya langsung menusuk ke ulu hati di dada kiri Tang-hay-liong-ong. Dalam keluarga persilatan ada sebuah pameo. "Golok menempuh jalan putih, pedang jalan hitam" maksudnya bahwa pedang kebanyakan dimulai dari sebelah kiri, jarang membuka serangan dari tengah. Begitu turun tangan In San langsung menusuk dada, meski bukan bermaksud merendahkan lawan, namun didalam kebiasaan adu kekuatan di Bu-lim, sikapnya ini sudah dianggap kurang hormat terhadap seorang Cianpwe.

Karuan Tang-hay-liong-ong naik pitam, bentaknya: "Biar budak kecil macammu ini tahu keliehayanku," serempak dia mengembangkan kedua lengan atasnya kesamping, "Trak" sepasang gamannya serempak menjepit ke kedua kuping In San. Jurus ini dinamakan Siang-hong-koan-hi (sepasang angin mengunci telinga). Melihat kedua pihak mulai pertempuran dengan serangan keji yang mematikan, tak urung hadirin sama menjerit kaget. Maklum bobot senjata lawan seberat itu, bila kepala In San tergencet sungguhan, kepalanya pasti remuk dan gepeng. Tujuan Tang-hay-liong-ong hendak membendung gerakan In San didalam jangkauan sepasang gamannya, tak nyana In San memiliki gerak tubuh lincah, belum lagi sepasang senjata lawan menggencet tiba dengan langkah Lou-kik-hou-pou dia berkisar ke samping kanan Tang-hay-liong-ong. Cepat sekali Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing juga sudah bergerak laksana lembayung perak terjun ke tengah pertempuran.

Jurus ini dinamakan Sin-liong¬jip-hay (naga sakti masuk laut), kelihatannya amat keji dan berbahaya, namun tujuannya untuk mematahkan serangan Tang-hay-liong-ong yang mematikan sekaligus membantu In San untuk melontarkan serangan mematikan selanjutnya. Dimana ujang pedang bergetar, tiba-tiba timbul tiga ceplok kuntum sinar pedang, hanya dalam jangka kilatan dalam satu jurus dia telah menyerang tiga Hiat-to mematikan tubuh Tang-hay-liong-ong, serangan ganas yang memaksa lawaan menyelamatkan diri lebih dulu. Betapa tinggi ilmu silat Tang-hay-liong-ong, tak urung bercekat juga hatinya. "Thio Tan-hong memang seorang maha guru silat besar, Siang-kiam-hap-pik yang diwariskan sepasang muda mudi ini memang luar biasa. Aku tak boleh memandang enteng mereka."

Begitu mundur cepat sekali In San sudah merangsak pula. Ceng-bing-kiam bergerak dengan jurus Hian-niau-hoat-sa, secara membalik menyontek lengan kiri musuh, lekas Tang-hay-liong-ong memperbesar lingkaran gerak senjatanya, Tan Ciok-sing bergerak mengikuti permainan pedangnya, sebat sekali dia melayang keluar dari lingkaran benturan sepasang gaman lawan tadi secara enteng. Malah di antara maju dan mundui itu, secepat kilat dia tambahi pula dua jurus serangan, Tang-hay-liong-ong dipaksa berlaku hati-haati sehingga tidak berani menyerang In San dengan segala tenaganya. Maklum Lwekang In San memang lebih rendah, walau dirinya tidak kebentur gaman lawan namun ketindih tekanan angin keras, tak urung dia merasa sesak napasnya.

Tang-hay-liong-ong tahu titik kelemahan berada di gadis yang satu ini, mendadak dia menghardik sekali, gaman kiri menyontek ke atas mematahkan serangan pedang Tan Ciok-sing, berbareng gaman kanan disapukan miring agak rendah menyerampang bagian bawah In San. Mendadak In San menjejak lantai tubuhnya melejit tinggi, "Sret" berbareng pedangnya menusuk dari posisi yang tidak terduga, lekas Tang-hay-liong-ong memutar miring Ban-ci-toh, lalu mendadak didorong ke depan serta ditekan pula ke bawah, agaknya dia nekad biar dirinya tertusuk pedang In San, lawan juga pasti terluka oleh senjatanya. Kebentur deru angin senjata lawan saja pedang In San sudah tersampuk pergi, meski gerak susulan sudah siap dilancarkan dalam keadaan seperti itu, tenaganya juga sudah ludes umpama pedang berhasil melukai lawan, Tang-hay-liong-ong juga hanya terluka ringan saja. Gebrak berlangsung cepat dan singkat, gaman Tang-hay-liong-ong kelihatan hampir menutul ke pusar In San. Hadirin sama mencelos kaget, ada di antaranya malah menjerit ngeri. Namun pada detik gawat itu mendadak terdengar suara "Tang" begitu kerasnya sehingga kuping hadirin pekak rasanya.

Untuk menyelamatkan In San terpaksa Tan Ciok-sing menolongnya membentur gaman lawan secara kekerasan, dengan pedangnya dia mendorong pergi Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong yang hampir mengenai In San. Bertempur selama puluhan jurus, baru sekali ini gaman mereka saling beradu.

Bentrokan senjata menimbulkan percikan kembang api. Seluruh hadirin terbelalak diam hingga sunyi senyap, semua ingin tahu bagaimana akibat dari benturan keras ini.

Tampak gerak Tan Ciok-sing melenting terus berkelebat miring kesana. Pek-hong-kiam tetap dipegang sedikitpun tidak kurang suatu apa, hadirin baru merasa lega

Di tengah percikan api tadi, mau tidak mau Tang-hay-liong-ong juga kaget dan mundur selangkah. Tersipu-sipu dia melirik ke bawah melihat gamannya tidak kurang suatu apa, maka lega juga hatinya.

Masing-masing pihak tidak dirugikan, Tang-hay-liong-ong berseru: "Bagus," dua gaman menjulur bersama, mumpung Tan Ciok-sing belum berdiri tegak dia sudah mendesaknya pula.

Gebrak selanjutnya jauh lebih hebat dan menegangkan, kini tiada rasa memandang enteng kedua lawannya dalam benak Tang-hay-liong-ong, dia himpun semangat dan kerahkan tenaga mengembangkan kemahiran permainan sepasang senjatanya yang lain dari pada yang lain. Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In San ternyata dihadapinya dengan gagah berani. Bobot senjata sudah berat, dilandasi tenaga raksasa dengan Lwekang tinggi lagi, maka gerak gaman itu sendiri sudah merupakan tenaga raksasa yang luar biasa, lawan dapat memainkan secara lincah dan enteng lagi hingga kelihatannya seperti dua ekor naga yang mengikuti gerak-gerik serangan Tan dan In berdua

Lama kelamaan hadirin menjadi kabur pandangannya, hati kebat kebit lagi, Ong Goan-tin Congcecu dari tiga puluh enam Cecu di perairan Thay-ouw tak urung merasa kuatir dan berkeringat dingin, dengan suara perlahan dia tanya kepada Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun: "Tam-toako, menurut pandanganmu, mereka, apakah mereka kuat bertahan..."

Belum habis dia bertanya, Tam Pa-kun juga belum menjawab, mendadak didengarnya Tan Ciok-sing dan In San berkata dua patah.

Hadirin tidak tahu apa arti dua patah kata yang diucapkan, tapi Tam Pa-kun dan Ong Goan-tin maklum dua patah kata itu adalah inti sari ilmu tingkat tinggi yang mendalam artinya, seketika mereka tertawa saling pandang, yang satu tidak perlu tanya lagi, yang ditanya juga tidak perlu menjawab. Tampak permainan pedang Tan Ciok-sing semakin lambat, ujung pedang seperti diganduli benda ribuan kaki beratnya, menuding timur menggaris ke barat, gerak-geriknya seperti tidak aturan malah.

Hadirin kaget, tapi rona muka Tang-hay-liong-ong sendiri kelihatan prihatin dan makin gelap, meski gerak pedang Tan Ciok-sing makin lambat, seperti terbuka lobang serangan, namun dia tetap tidak berani merangsak maju menyerang, sikapnya malah amat hati-hati.

Lain lagi permainan In San, pedangnya diputar makin kencang disertai kelincahan tubuhnya yang tangkas dan sebat, mendesak maju mencelat mundur, mencelat ke atas mendak ke bawah. Semula dia hanya bertahan saja, kini terbalik dia yang melancarkan serangan menggebu malah.

Latihan Tan Ciok-sing berdua memang belum mencapai tingkat paling tinggi, namun dia meyakinkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong, ajaran yang telah diresapinya diluar kepala itu memang mandraguna, meski baru beberapa tahun tapi bekal ilmunya sudah cukup setimpal mengangkat dirinya ke taraf jago kelas wahid demikian pula kali ini, mau tidak mau Tang-hay-liong-ong harus numplek seluruh perhatiannya untuk menghadapinya.

Setiap kali Tang-hay-liong-ong lancarkan serangan dengan tenaga raksasa, selalu Ciok-sing gunakan tenaga lunak dengan gerakan pedangnya menuntun dan memunahkannya, meminjam tenaga untuk balas menggempur lawan pula. Bila serangan dianggap kosong mendadak gelombang tenaga besar justru melanda tiba. Oleh karena itu meski taraf Kungfu Tang-hay-liong-ong lebih tinggi dari kedua lawan mudanya ini mau tidak mau bercekat juga hatinya.

Taraf latihan In San setingkat di bawah Tan Ciok-sing, permainannya belum memadai ke taraf yang lebih tinggi sehingga sukar baginya mengembangkan permainan yang lebih ampuh. Namun dasar otaknya cerdas dia cukup pintar menyesuaikan diri, syarat yang tidak tercapai dia ganti dengan cara lain, terpaksa dia mengembangkan ilmu "dengan sentuhan mematahkan tenaga"

Lwekangnya jauh ketinggalan dibanding Tang-hay-liong-ong namun Ginkang dan kelincahan tubuhnya jelas lebih unggul, maka dengan kombinasi permainan ini, dia gunakan kemahiran sendiri untuk menyerang titik lemah musuh. Begitu dia kembangkan ilmu pedangnya menusuk, menyontek, mengetuk, membelah, dan mengikis, semua ini dilaksanakan secara tepat dan bagus gerakannya, boleh digambarkan lambat di tengah kecepatan, lincah di saat enteng, gerak-gerik berkembang lembut laksana air mengalir dan mega mengembang mantap dan tegap penuh keyakinan.

Jikalau satu lawan satu jelas Tang-hay-liong-ong tidak mudah dicecar sehebat ini, namun permainan Siang-kiam-hap-pik mereka memang amat serasi, kerja sama mereka amat ketat dan sembabat, walau yang satu lambat yang lain cepat, kelihatannya seperti bertempur sendiri-sendiri, namun dari berlainan ini justru timbul perpaduan yang terjalin amat ampuh, kombinasi permainan sepasang pedang mereka semakin memuncak kesempurnaannya.

Tapi hanya beberapa orang saja di antara hadirin yang melihat kehebatan dari Siang-kiam-hap-pik itu. Ong Goan-tin sudah tentu satu di antaranya, kini baru dia melihat titik terang hingga lega hatinya, katanya setengah berbisik kepada Tam Pa-kun: "Tam-toako, pandanganmu memang lebih tajam."

Perkataannya amat lirih, tapi Tang-hay-liong-ong yang lagi berhantam di tengah arena mendengarnya. Mau tidak mau gundah hatinya, pikirnya: "Jikalau bertempur seperti ini dilanjutkan, sedikit lena salah-salah aku bakal konyol. Kalau aku tidak kuasa menjatuhkan dua muda mudi, umpama ingkar janji, memangnya masih ada muka aku berkecimpung di Kangouw."

Maklum sebelum bertanding tadi mereka sudah berjanji pihak yang kalah secara suka rela akan punahkan ilmu silat sendiri. Dalam posisi Tang-hay-liong-ong sekarang dituntut untuk menang, karena terdesak oleh keadaan akhirnya timbul nafsu jahatnya, dia bertekad akan mengadu jiwa.

Mendadak dia menghardik, suaranya sekeras guntur, tanpa hiraukan tusukan pedang Tan Ciok-sing sepasang gamannya mendadak mengepruk ke batok kepala In San. Kala itu Tan Ciok-sing sedang melancarkan jurus Pek-hou-liang-ci ujung pedangnya menepis lengan kiri Tang-hay-liong-ong. Bila jurus serangan kedua pihak ini dilancarkan sesungguhnya Batok kepala In San jelas bakal remuk terketuk gaman lawan, tapi lengan kiri Tang-hay-liong-ong juga akan tertabas kutung dari badannya.

Kepala pecah jiwa melayang, sebaliknya lengan buntung tetap hidup, agaknya Tang-hay-liong-ong merelakan sebelah lengannya untuk menuntut jiwa In San

Perkembangan tidak terduga ini menimbulkan kagemparan orang-orang kedua pihak, semua sama menjerit kuatir.

Namun hanya dalam waktu sekejap itu sebelum hadirin melihat jelas apa yang terjadi, mendadak cahaya kemilau di tengah gelanggang kuncup seluruhnya, sepasang gaman Tang-hay-liong-ong menjulur lurus ke depan, sementara Tan dan In menyanggah dengan kedua pedang, tiga orang sama tidak berani bergerak.

Agaknya Tang-hay-liong-ong sudah memperhitungan di kala melancarkan keprukan sepasang gamannya ke batok kepala In San dia yakin Tan Ciok-sing takkan berani mempertaruhkan jiwa In San dengan membabat kutung lengannya, sesuai dugaannya, baru saja otaknya menduga tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah merobah permainan. Begitu cepat gerak perobahannya dan

perkembangannya pun sama-sama dirasakan kedua pihak, dua pihak sama-sama menyerempet bahaya, tapi perkembangan ini justru sudah merupakan rencana Tang-hay-liong-ong yang licik.

Dengan kekuatan Lwekang dan bobot sepasang senjatanya yang kuat, dia salurkan tenaganya secara bergelombang seperti air bah mengalir tidak putus-putus tenaganya terus disalurkan pada sepasang gamannya menindih ke arah musuh. Dalam keadaan seperti itu Tan dan In sudah tidak mungkin menangkis atau menggeser senjatanya pula, sehingga terjadilah adu kekuatan tenaga dalam.

Kelihatannya memang tenang-tenang, senjata kedua pihak seperti lengket menjadi satu tanpa bergerak. Tapi dalam ketenangan ini bagi seorang jago silat kelas tinggi justru merupakan babak yang paling tegang dan mengejutkan.

Maklum adu tenaga, Lwekang siapa kuat dia bakal menang, dalam adu kekuatan ini hakikatnya orang tidak bisa main curang. Walau Tan dan In melawan satu, namun mereka baru berusia dua puluhan. In San perempuan yang bertenaga jauh lebih lemah lagi, sementara Tang-hay-liong-ong dibekali latihan Lwekang puluhan tahun, mana mereka mampu melawannya?

Di kala hadirin mencucurkan keringat dingin dan menyaksikan dengan kuatir, tampak uap putih mulai mengepul dari ubun-ubun kepala Tang-hay-liong-ong.

Kiranya Lwekang Tan Ciok-sing memang agak lemah dibanding Tang-hay-liong-ong, tapi Lwekang yang diyakinkan dari aliran lurus dan murni memperoleh ajaran tingkat tinggi dari ciptaan Thio Tan-hong, kemurniannya jelas lebih unggul dibanding bekal Lwekang Tang-hay-liong-ong, ketahanannya juga lebih lama dan kuat.

Tang-hay-liong-ong terus menggempur dengan menambah tenaganya, laksana gugur gunung layaknya menindih kedua lawannya, gelombang pertama disusul gelombang kedua yang lebih dahsyat. Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing sudah melengkung, tapi aneh, keadaan seolah batu karang di tengah sungai yang tidak bergeming meski diterjang gelombang badai.. Bukan begitu saja, di tengah rangsakan membadai lawannya, ada kalanya diapun balas menyerang. Meski hanya kadang kala, namun hal itu cukup membuat rasa kejut Tang-hay-liong-ong makin besar.

Sudah delapan puluh persen Tang-hay-liong-ong meningkatkan tekanan tenaganya, terpikir dalam benaknya sisa dua puluh persen kekuatannya hendak dia gunakan menggempur In San, tiba-tiba terasa Ki-ti-hiat di lengan kanannya kesakitan luar biasa seperti ditusuk jarum, rasa sakit yang meresap tulang sumsum. Ternyata Tan Ciok-sing gunakan cara memusatkan tenaga dalam menyerang satu titik sasaran dari ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong. Cara mengerahkan Lwekang

menggunakan tenaga dari ilmu tingkat tinggi seperti ini. Tang-hay-liong-ong sendiripun belum tahu.

Lwekang Tan Ciok-sing memang bukan tandingan Tang-hay-liong-ong, tapi dia justru menyerang ke titik sasaran yang tidak terduga, karuan Tang-hay-liong-ong kelabakan dan tidak berani menguras seluruh tenaganya. Karena itu dia tidak berani menambah kekuatannya menekan In San, cukup asal tenaga perlawanan In San dapat dibendungnya saja, maka tujuh puluh persen tenaganya dia gunakan menggempur Tan Ciok-sing.

Lwekangnya memang tangguh, namun setelah berkutet setengah sulutan dupa, tak urung uap putih mulai mengepul dari kepalanya, itulah pertanda Lwekang telah disalurkan mencapai puncaknya.

Di bawah tekanan kekuatan berat lawan, keringat sudah membasahi jidat Tan Ciok-sing napasnyapun mulai berat, keadaan In San lebih payah lagi, napasnya sudah sengal-sengal muka pucat, keringat gemerobios.

Dari pertandingan senjata berganti adu kekuatan tenaga dalam, hal ini tidak terduga pula oleh Tam Pa-kun.

Sejauh ini Siang-kiam-hap-pik merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah mencapai taraf tinggi di kalangan Bulim. Tam Pa-kun menaruh harapan besar, dia berpendapat hanya Siang-kiam-hap-pik inilah yang mampu menundukkan musuh tangguh ini. Tapi keadaan justru berobah adu tenaga dalam, bagaimana akhir pertempuran nanti susah diramalkan. Walau dia sudah melihat keadaan Tang-hay-liong-ong yang menunjukkan tanda-tanda akan kehabisan tenaga, namun keadaan Tan Ciok-sing berdua juga tidak kalah payahnya, apakah mereka kuat bertahan lebih lama dari Tang-hay-liong-ong?

Ong Goan-tin kebat-kebit, tak tahan dia berdiri, katanya: "Dua harimau berkelahi pasti ada satu yang luka, kukira pertandingan ini biarlah dianggap seri bagaimana?"

Tang-hay-liong-ong tidak berani memberi komentar, dia perlu meningkatkan kewaspadaan dan ketahanannya untuk menjaga sergapan tenaga dalam Tan Ciok-sing yang menyerang satu titik sasaran, jelas dia tidak mampu buka suara. Tapi Cun-ih Thong yang telah disogoknya itu pandai bersilat lidah, tanpa diminta dia akan tahu diri bagaimana dia harus bertindak, terdengar sebelum buka suara beruntun tiga kali tertawa dingin.

Han King-hong membentak: "Kau keparat ini tertawa apa?"

"Kukira pernyataan Ong-Iocecu kurang bijaksana dan tidak adil."

Ong Goan-tin gusar, dampratnya: "Dalam hal apa yang tidak adil?"

"Babak pertandingan terakhir ini bakal menentukan siapa.menang dia jadi Bengcu, mana boleh dianggap seri? Kalau seri lalu siapa yang harus jadi Bengcu?"

"Keduanya bukan Bengcu," seru Han King-hong

"Jawaban yang tidak kenal aturan," cemooh Cun-ih Thong, "pertandingan menentukan Bengcu sudah disetujui khalayak ramai, mungkinkah pertandingan ini boleh tidak usah menentukan seorang Bengcu."

Ong Goan-tin menahan amarah, katanya: "Maksudku supaya mereka tidak perlu gugur bersama, maka aku serukan supaya urusan ditempuh jalan damai. Tentang siapa bakal merebut jabatan Bengcu, setelah pertandingan selesai, masih bisa kita bicarakan lagi."

"Menurut pendapatku," jengek Cun-ih Thong, "Sugong-thocu kini jelas berada di atas angin, kurasa tidak mungkin akhirnya bakal gugur bersama."

Ong Goan-tin menguatirkan keselamatan jiwa Tan Ciok-sing dan In San, demi mempertahankan jiwa mereka apa salahnya terima kalah dan tunduk di bawah perintahnya. Tak nyana di kala mulutnya sudah terbuka belum sempat bersuara, tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata: "Ong-locecu, menurut pendapatku perkataan Cun-ih Siansing memang beralasan, babak terakhir ini harus ditentukan siapa kalah dan menang."

Dalam saat-saat kritis mengadu tenaga dalam ternyata Tan Ciok-sing mampu bersuara, bukan saja hadirin kaget. Tang-hay-liong-ong sendiripun tidak kurang kejutnya. Dimakluminya bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan tandingannya, kalau dia pantang bersuara Tan Ciok-sing justru buka suara. Ternyata aliran Lwekang yang mereka pelajari memang jauh berbeda.

Tang-hay-liong-ong meyakinkan Lwekang yang ganas tapi sekali bertempur harus kerahkan seluruh tenaga, tumplek perhatian tidak boleh bicara. Tan Ciok-sing justru meyakinkan Lwekang lunak berpupuk dasar kuat, berbicara hakikatnya tidak mempengaruhi pengerahan tenaganya, namun sedikit akibat memang ada. Begitu Tang-hay-liong-ong tambah tekanan tenaganya, Pek-hong-kiam di tangan Tan Ciok-sing melengkung lebih rendah lagi.

Melihat dan mendengar Tan-Ciok-sing mampu bicara, hadirin bertempik sorak riuh rendah. Han King-hong berkata dengan tawa lebar: "Bagus, Cun-ih Thong, hayo bertaruh coba nanti buktikan pandangan siapa lebih tajam."

Dingin muka Cun-ih Thong, diam saja tidak memberi tanggapan, kini tiba gilirannya menguatirkan keadaan Tang-hay-liong-ong.

Meski sedikit lega tapi Ong Goan-tin masih berkuatir juga. Dia tahu, Tan Ciok-sing bisa bicara, itu pertanda dia kuat bertahan lebih lama dari dugaannya semula, tapi dia tidak yakin apakah Ciok-sing berdua mampu mengalahkan Tang-hay-liong-ong.

Di kala hadirin tumplek seluruh perhatian ke tengah gelanggang, ada seorang perempuan menggeremet masuk secara diam-diam. Tiada orang memperhatikan kedatangannya, namun Kek Lam-wi justru melihat kedatangannya. Lam-wi tidak percaya akan pandangan mata sendiri, tak terasa dia bersuara heran. Toh So-so mendengar suara heran Lam-wi, lekas dia angkat kepala. Begitu dia melihat gadis itu, sesaat diapun melongo, tapi hatinya kaget dan senang. Lekas dia memburu kesana menyambutnya.

Gadis ini bukan lain adalah Bu Siu-hoa yang sedang dicari oleh Kek Lam-wi. Mereka tidak tahu entah sembunyi di tempat sepi mana Bu Siu-hoa sekarang, sungguh tidak nyana sekarang dia muncul sendiri, malah muncul di hadapan orang-orang gagah sebanyak ini.

"Bu-cici, betapa payah kami mencarimu," seru Toh So-so menyongsong maju serta menarik lengan Bu Siu-hoa.

Sikap Bu Siu-hoa agak kikuk dan risi katanya tergagap: "Toh-cici, aku berbuat salah terhadap kau, aku menipumu."

"Kau telah menolong Lam-ko, belum sempat aku berterima kasih kepadamu, urusan sudah lalu tidak usah disinggung lagi. Tapi bagaimana kau bisa datang kemari."

Belum lagi Bu Siu-hoa menjawab, tiba-tiba didengarnya Kek Lam-wi berteriak: "Awas serangan gelap."

Toh So-so bertindak lebih cepat. "Tring" sebutir pelor duri yang terbuat dari besi telah dipukulnya jatuh. Gerakan membalik melolos pedang serta memukul jatuh senjata rahasia dilakukau secara mahir dan cepat seperti belakang kepalanya tumbuh mata saja.

Kek Lam-wi berteriak pula "Si pendek yang duduk di pojok timur itulah penyerangnya, lekas gusur dia keluar."

Belum habis dia berteriak tiba-tiba didengarnya si pendek itu sudah menjerit dan terguling di lantai.

Bu Siu-hoa tertawa dingin, jengeknya: "Memberi tidak dibalas kurang hormat, biar keparat itu juga rasakan senjata rahasia." Ternyata orang itu tersambit Bwe-hoa-ciam di lutut, tepatnya di Hoan-tiau-hiat. Didalam kelompok orang-orang sebanyak ini dia mampu menyambitkan jarum sekecil itu tepat kesasarannya, mau tidak mau hadirin merasa kagum dan heran, tidak sedikit orang yang bisik-bisik, saling tanya: "Siapa gadis ini?"

Si pendek yang membokong tadi merangkak duduk terus berteriak: "Perempuan siluman ini adalah putri Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang, ln Kip adalah ayah angkatnya, pasti • In Kip mengutusnya kemari jadi mata-mata."

In Kip punya hubungan rahasia dengan pihak kerajaan, hal ini sudah terbongkar dan diketahui banyak orang. Beberapa orang yang berangasan kontan memaki: "Bagus, perempuan siluman ini berani bertingkah melukai orang disini, lekas bekuk dia."

Bu Siu-hoa bertolak pinggang, katanya dingin menuding si pendek: "Aku pernah melihatnya, walau aku tidak tahu namanya, tapi aku tahu dia salah satu tamu kepercayaan In Kip."

"Betul," timbrung Toh So-so teringat, "di rumah keluarga In, hari itu akupun pernah melihatnya. Kini dia pura-pura menjadi kaum pendekar dan menyelundup kemari."

Beberapa lelaki kasar berangasan itu sudah memburu keluar hendak membekuk Bu Siu-hoa mendengar perkataan Toh So-so, mereka sama melenggong saling pandang.

Si pendek berkata: "Jangan percaya obrolan perempuan siluman itu. Apapun dia adalah putri Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang yang sudah rusak namanya, putri angkat ln Kip yang jahat dan kemaruk harta itu, coba kalian tanya dia berani tidak dia mengaku?"

Tam Pa-kun berdiri, katanya: "Aku percaya perkataan nona Bu ini. Tapi dia memang benar putri Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang, tapi sekarang dia sudah insyaf dan kembali ke jalan lurus, aku bisa menjadi saksi."

Bahwa Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun angkat bicara menjadi saksi kebenaran asal-usul Bu Siu-hoa, sudah tentu hadirin lebih percaya kepada keterangannya.

Kek Lam-wi berdiri ikut bicara: "Akupun berani menjadi saksi, dia pernah menolong jiwaku. Menurut apa yang kuketahui akhir kali ini, dia sudah meninggalkan Bu-san-pang dan putus hubungan dengan ibunya."

Lenyap kecurigaan hadirin terhadap Bu Siu-hoa, maka perhatian kini ditujukan kepada lelaki pendek itu, tanpa banyak bicara dua orang telah mencengkramnya keluar dan hendak mengompresnya.

Tapi Tam Pa-kun berkata: "Gusur keluar dan sekap dulu keparat ini, nanti kita minta keterangannya."

Dalam pada itu adu kekuatan tenaga dalam antara Tan Ciok-sing bersama In San kontra Tang-hay-liong-ong tetap tertahan, keadaan tetap seperti tadi, sama-sama tegak kaku seperti patung. Pertandingan seperti ini sudah tentu tidak lebih mengasyikkan dari adu pukulan dan tipu menipu, bagi mereka yang rendah kepandaiannya, malah bosan dan gerah rasanya. Tapi bagi para ahli silat, adu kekuatan seperti ini justru lebih menegangkan, karena babak akhir dari adu kekuatan ini sebentar lagi bakal mencapai klimaknya.

Mendengar seruan Tam Pa-kun baru hadirin sadar, karena kedatangan Bu Siu-hoa tadi perhatian mereka jadi terpecah, kini kembali mereka memperhatikan adu kekuatan di tengah arena pula.

Sudah tentu lebih banyak hadirin yang tidak bisa menyelami kehebatan adu kekuatan, namun mereka bisa menduga ketenangan yang kelihatannya bertahan ini, suatu ketika bakal meledak kesudahan yang menggemparkan. Maka mereka tidak mau pedulikan urusan lain pula. Laki-laki berangasan tadipun maju minta maaf kepada Bu Siu-hoa lalu si pendek itu diseret keluar.

Bu Siu-hoa berkata: "Tam Tayhiap, ada urusan penting perlu kulaporkan kepada Ong-locecu."

"Baik, mari ikut aku," ujar Tam Pa-kun.

Bu Siu-hoa menjura kepada Ong Goan-tiri, katanya: "Siau-li datang tanpa diundang, mohon maaf akan kehadiranku yang serampangan ini."

"Nona Bu jangan sungkan, entah ada urusan penting apa yang ingin kau sampaikan kepada Lohu?"

"Soal ini kurasa harus kubeber di hadapan umum," kata Bu Siu-hoa. Nadanya seperti urusan ini amat penting, sebelum meneruskan perkataannya dia bertanya pula kepada Ong Goan-tin: "Tolong tanya, apakah orang yang bertanding melawan Tan-siauhiap dan In Lihiap adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go?"

"Benar, dia memang Sugong thocu," sahut Ong Goan-tin

"Baiklah, syukur kedatanganku belum terlambat," ujar Bu Siu-hoa.

Belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar Tang-hay-liong-ong menggeram rendah dan serak, suaranya seperti dengus sapi yang hendak disembelih. Maka tampak Tang-hay-liong-ong melangkah maju setapak.

Ong Goan-tin tidak perhatikan lagi apa yang diucapkan Bu Siu-hoa kepadanya, lekas dia menoleh kesana menatap arena pertempuran.

Setelah Tang-hay-liong-ong maju setapak keadaan kembali bertahan sama kuat. Tapi tapak kaki tampak membekas di atas lantai yang keras itu sedalam tiga senti. Pada hal lantai balairung ini dilandasi batu hijau yang keras sekali, tapi kekuatan Tang-hay-liong-ong mampu membuat bekas tapak kaki di atas lantai yang keras itu. Tan Ciok-sing dan In San memang belum kalah, tapi melihat bekas tapak kaki itu mau tidak mau hadirin sama tersirap dan berkuatir bagi mereka.

Toh So-so lebih gelisah dari Ong Goan-tin, katanya: "Bu-cici, ada urusan apa, lekas kau katakan saja."

Bu Siu-hoa berkata: "Ong-locecu kumohon kau membaca sepucuk surat."

Ong Goan-tin melenggong, katanya: "Surat siapa?" tapi dia sudah tidak sempat banyak pikir, karena dia menduga surat ini pasti amat besar artinya bagi situasi yang dihadapinya sekarang, kalau tidak Bu Siu-hoa tidak akan suruh dirinya melihat surat dalam keadaan segawat ini.

Maka Bu Siu-hoa berkata: "Yaitu surat Tang-hay-liong-ong ini ditujukan kepada In Kip."

Hadirin kaget dan heran, tanpa sadar mereka tujukan perhatian pada surat yang berada di tangan Ong Goan-tin.

Ong Goan-tin langsung melolos sepucuk surat dari sampulnya terus dibeber dan dibaca, mimik mukanya tampak kaget dan terbelalak girang. Sekilas matanya melirik ke arah Tang-hay-liong-ong, dilihatnya rona muka Tang-hay-liong-ong berubah hebat, tapi sepasang senjatanya masih menekan keras dan berat, sedikitpun tidak menjadi kendor meski keadaan gawat mulai mengancam pihaknya, keringat sebesar kacang telah berketes di jidat Tan Ciok-sing dan In San terasa tekanan tenaga lawan bertambah lebih keras lagi.

Akhirnya Toh So-so yang tidak sabaran bertanya: "Apa yang ditulis dalam surat itu?"

"Nona Bu," tanya Ong Goan-tin, "apakah surat ini. boleh kubacakan di muka umum?"

"Memang tujuanku supaya seluruh orang-orang gagah yang hadir disini tahu siapa sebenarnya dan bagaimana karakter Tang-hay-liong-ong ini," demikian sahut Bu Siu-hoa.

Makin buruk rona muka Tang-hay-liong-ong, sayang dia tidak berani memecah perhatian untuk bersuara, terpaksa dia biarkan Ong Goan-tin membaca suratnya itu.

Perlahan suara Ong Goan-tin: "Surat Sugong-thocu ini ditujukan kepada In Kip, dia memperkenalkan dua orang sahabatnya, seorang ialah Tang-bun Cong dan seorang lagi adalah Poyang Gun-ngo. Kedua orang ini sudah datang ke Soh-ciu, diaa minta kepada In Kip supaya menerima mereka secara rahasia dan di tempatkan ke suatu tempat yang tersembunyi pula, dengan suatu tugas besar yang akan diserahkan kepada mereka."

Tang-bun Cong adalah salah satu jago kosen di dunia persilatan, bahwa diam-diam dia sudah menjadi antek kerajaan, jarang kaum persilatan yang tahu, tapi ada juga orang yang sudah tahu akan rahasianya. Tapi siapa Poyang Gun-ngo jarang orang tahu. Seperti diketahui Poyang Gun-ngo adalah salah satu Busu negeri Watsu yang terkenal tapi kaum persilatan di Kanglam hanya beberapa gelintir saja yang pernah mendengar nama dan tahu asal-usulnya.

Banyak hadirin yang kasak-kusuk tanya sini tanya sana: "Siapakah sebetulnya Poyang Gun-ngo?"

Maka Kek Lam-wi berdiri dan berkata dengan lantang: "Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari empat jago pedang kepercayaan Khan agung negeri Watsu. Waktu negeri Watsu mengutus Duta rahasianya ke Pakkhia tempo hari, Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari pengawal Duta rahasia itu. Setelah Duta rahasia itu^ menyelesaikan tugasnya dan kembali ke negerinya, seorang diri ternyata dia tetap berada di Pakkhia, tahu-tahu sekarang sudah berada di daerah Kanglam di I uar tahu orang banyak. Kali itu aku kecundang dan terluka di bawah tangannya. Tan Ciok-sing juga pernah bertemu dangan dia di hotel milik In Kip."

Keterangan Kek Lam-wi sekaligus membongkar asal-usul Poyang Gun-ngo juga membeber isi surat Tang-hay-liong-ong yang ditujukan kepada In Kip. Bahwa setelah berada di Soh-ciu Poyang Gun-ngo memang bersekongkol dengan In Kip.

Karuan hadirin menjadi gempar. Han King-hong yang berangasan lantas berteriak: "Bagus ya, Sugong-thocu tadi menyerukan orang-orang gagah seluruh pelosok tanah air supaya angkat senjatanya melawan serbuan bangsa Watsu, diluar tahu kita dia justru berintrik dengan pihak musuh."

Ih Ti-bin ikut menjengek dingin, serunya: "Bukan hanya sekongkol dengan seorang Busu dari Watsu saja, apa tujuan Poyang Gun-ngo datang ke Kanglam, kita sudah tahu. Agaknya hanya di mulut saja Sugong-thocu bilang kita harus seia sekata membendung serbuan bangsa asing, secara diam-diam dia justru bekerja demi kepentingan musuh."

Perhatian hadirin terpencar karena kejadian yang tidak terduga ini, kini baru mereka sadar duduknya perkara, maka perhatian kembali ditujukan ke arena pertempuran.

Tampak perawakan Tang-hay-liong-ong seperti mengkerat, ternyata saking besar tenaga yang dia kerahkan, tanpa terasa kedua kakinya amblas kedalam tanah. Sebaliknya Tan dan In masih berusaha bertahan dengan susah payah, sepasang pedang mustika sudah melengkung seperti gendewa yang ditarik. Walau hadirin kaget dan berkuatir bagi mereka, tapi kelihatannya sikap mereka masih lebih segar dari pada Tang-hay-liong-ong yang sudah kelihatan runyam.

Kuatir Tan dan ln tidak kuat benahan lagi, lekas Ong Goan-tin berseru: "Cun-ih Siansing, menurut pendapatmu bagaimana?"

Cun-ih Thong sengaja bersikap tak acuh dan adem ayem, katanya: "Nona Bu ini dulu memang pernah menjadi putri angkat In Kip, tapi bagaimana juga surat rahasia ini tidak mungkin In Kip mau menyerahkan kepada dia? Maka tolong tanya kepada nona Bu dari mana kau peroleh surat ini?"

"Aku pernah menjadi sekretaris pribadi In Kip, dimana dia menyimpan surat-surat penting aku tahu dengan jelas, surat ini sengaja kucuri."

Kalem perkataan Cun-ih Thong: "Maaf bila aku menilai dirimu dengan sikap seorang rendah, apakah kau punya bukti bahwa surat rahasia ini memang benar tulisan tangan langsung dari Sugong-thocu? Maka menurut pendapatku, biarlah kita tunda dulu urusan ini setelah pertandingan usai, nanti kita dengar pembelaan langsung Sugong-thocu di hadapan umum. Kalau sekarang juga membuat kesimpulan kurasa masih belum saatnya."

Tiba-tiba Ong Goan-tin berkata: "Segera aku bisa memberikan buktinya."

Lalu dia keluarkan kartu nama Sugong-thocu, menurut lazimnya sebelum naik ke atas gunung Tang-hay-liong-ong memang sudah suruh anak buahnya mengirim kartu namanya ke markas Ong Goan-tin. Katanya: "Cun-ih Siansing silahkan kau periksa kartu namanya ini coba periksa gaya tulisan Sugong-thocu di atas kartu nama ini, apakah mirip dengan tanda tangan di bawah surat rahasia ini?"

"Ah, gaya tulisan atau tanda tangan kan bisa dipalsu," demikian debat Cun-ih Thong.

"Mana mungkin nona Bu pernah melihat gaya tulisan Tang-hay-liong-ong serta memalsunya?" bantah Ong Goan-tin.

"Bagaimana juga, urusan harus diselesaikan setelah pertan-dingan ini usai, biar mereka yang bersangkutannya."

"Persoalan surat ini tulen atau palsu jauh lebih penting dari pemilihan Bengcu itu sendiri. Kalau Sugong-thocu ingin membela diri, pertandingan boleh ditunda sementara." Pada hal kedua pihak sudah mengerahkan seluruh kekuatan dalamnya, sudah tiba saat-saat paling genting. Ong Goan-tin kuatir'Tan dan In tidak kuat benahan lagi.

Kalau Ong Goan-tin bicara dengan suara lantang berpegang kebenaran. Cun-ih Thong sebaliknya kelihatan bimbang. Otaknya tengah menerawang, bagaimana dia harus bersikap supaya waktu bisa terulur lebih lama sehingga Tang-hay-liong-ong bisa menggunakan waktu dengan baik mencapai kemenangan pertandingan babak terakhir Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tang-hay-liong-ong meraung rendah. Pandangan hadirin serempak tertuju ke tengah arena pertempuran.

Di tengah raungan Tang-hay-liong-ong itu tampak tubuhnya tiba-tiba mencelat mumbul ke atas, jubin di sekitar kakinya tampak retak berantakan. Sebaliknya Tan dan ln berdua berputar laksana gangsingan, beruntun mereka mundur berkisar beberapa putaran.

Karuan hadirin berjingkat kaget dan kuatir semua melongo.

It-cu-king-thian Lui Ting-gak bersuara lebih dulu dengan nada riang dan senang: "Bagus. Syukurlah. Tan-siauhiap dan In Lihiap memenangkan pertandingan babak terakhir ini."

Belum lenyap suara kejut para hadirin baru sekarang mereka melihat jelas setelah mencelat turun dan berdiri tegak, tampak pakaian di depan dada Tang-hay-liong-ong koyak silang bersilang seperti palang merah jelas itu hasil goresan ujung pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San. Setelah berkisar beberapa bundaran, beruntun Tan dan In mundur tujuh delapan langkah baru berhasil menegakkan pula tubuh mereka. Agaknya Tang hay-liong-ong menjadi kacau pikirannya sejak Bu Siu-hoa muncul membeber surat rahasianya kepada In Kip, maka akhirnya dia berkeputusan untuk secepatnya mengakhiri pertempuran ini dengan seluruh sisa kekuatan tenaga dalamnya.

Hasilnya meski dia berhasil memukul mundur kedua lawannya, tapi dia tetap tidak berhasil melukai mereka. Sebaliknya hampir saja dadanya koyak oleh permainan sepasang pedang lawan.

Sayang sekali Tan dan In berdua tergetar mundur oleh getaran keras senjata berat lawan, meskipun dalam keadaan sekejap itu mereka sempat memanfaatkan kesempatan dengan kecepatan gerak pedang mereka, paling juga hanya berhasil menggores koyak baju di depan Tang-hay-liong-ong, tak urung mereka sendiri tertolak mundur oleh getaran tenaga lawan yang dahsyat. Bila getaran tenaga senjata berat Tang-hay-liong-ong sedikit lemah lagi, sepasang pedang mustika mereka pasti sudah membelah dada Tang-hay-liong-ong.

Diam-diam hadirin merasa sayang, namun walau tidak berhasil melukai Tang-hay-liong-ong betapapun Tan dan In sudah merebut kemenangan. Surat itu tulen atau palsu tidak penting lagi artinya, apapun sekarang Tang-hay-liong-ong tidak berhak lagi merebut kedudukan Bengcu. Karuan hadirin banyak yang berjingkrak senang dan bersorak sorai. Lekas Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memburu maju memapah Tan Ciok-sing, sebelah telapak tangannya menekan punggung, diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya ke tubuh orang supaya tenaganya lekas pulih, katanya: "Hianti syukurlah jerih payahmu berhasil."

Getaran yang dialami In San tidak sekeras yang diterima Tan Ciok-sing, lekas dia memapak ke arah Bu Siu-hoa, katanya pegang lengan orang: "Bu-cici, kali ini beruntung dapat bantuanmu. Hari itu kau telah membantu kami, belum sempat kami mengucapkan terima kasih kepadamu. Betapa rindu kami kepada kau, kali ini kuharap kau tidak pergi pula secara diam-diam lho."

Panas muka Bu Siu-hoa, hatinya haru dan tentram, sesaat lamanya matanya berkedip-kedip tak mampu mengeluarkan suara.

Kejut dan gembira agak mereda, sementara itu terjadi pula keributan antara dua rombongan orang yang berada di dua pihak. Tang-hay-liong-ong mencak-mencak gusar bentaknya. "Kalian sengaja menyuruh budak she Bu ini mengacau untuk memecah perhatianku, apakah pertandingan ini boleh dikata adil?"

Pihak orang-orang gagah menjadi geger, Han King-hong segera menanggapi: "Sugong Go, belum lagi kami mengusut persekongkolanmu dengan pihak Watsu, serta dosa besarmu menipu seluruh orang-orang gagah yang hadir disini, berani kau mencak-mencak mencari perkara disini."

Ih Ti-bin ikut mencemooh: "Muslihatmu sudah terbongkar, masih berani kau mau angkat diri menjadi Bengcu, apakah tidak menggelikan. Hm, kau tamak harta dan gila pangkat, rela menjual bangsa dan negara, kenapa tidak kau beset saja mukamu di hadapan umum. Nah bukalah kedokmu, jangan pura-pura mengagulkan diri-sebagai orang gagah segala, lekas ngacir saja ke negeri Watsu, pintalah kepada Khan Agung Watsu untuk mengangkatmu menjadi menteri atau pembesar apa saja menurut keinginanmu sendiri."

Dari malu Tang-hay-liong-ong naik pitam bentaknya gusar. "Hari ini aku datang untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ong-cecu aku tidak sudi mendengar kotbah kalian. Bulim Bengcu dapat tidak kuraih tidak jadi soal, tapi jangan sekali-sekali kau berani bertingkah pula di depanku. Menurut aturan Kangouw, siapa kuat dia menang, memangnya kalian mau apa sekarang?"

Anak buah Tang-hay-liong-ong segera ikut-ikutan berkaok-kaok: "Memangnya, bila mereka mau cari gara-gara menghina Thocu kita hayolah gasak saja."

Sudah tentu pihak orang-orang gagah semakin mendidih, serempak mereka telah melolos senjata siap melabrak musuh, kebanyakan berpendapat untuk menahan mereka disini sehingga situasi menjadi tegang.

Ih Ti-bin berteriak: "Kalian ingin main kekerasan, kamipun sudah siap, memangnya kami takut?"

Tang-hay-liong-ong menyeringai sadis: "Baiklah boleh kalian maju, coba saja apa kalian mampu menahan diriku disini?"

"Kungfumu memang tinggi, mungkin kami tidak mampu menahan disini," demikian debat Ih Ti-bin, "tapi jangan kau kira bisa keluar dari bilangan Thay-ouw dengan masih hidup. Ketahuilah bila pertempuran terjadi disini, perahu kalianpun sudah berada di tangan kami, sekali ledakan cukup menghancurkan kapal itu. Umpama kalian tidak mati dalam pertempuran juga akan mati kelaparan di atas gunung."

Anak buah Tang-hay-liong-ong memang tidak sedikit jumlahnya tapi apapun mereka berada di markas Ong Goan-tin, situasi jelas tidak menguntungkan mereka Umpama ancaman Ih Thi-bin menjadi kenyataan mereka tidak berhasil lolos dari Thay-ouw, meski memiliki Kungfu tinggi juga tiada harapan hidup lagi. Oleh karena itu lahirnya saja mulut anak buah Tang-hay-liong-ong masih garang, pada hal dalam hati sudah jeri dan kebat-kebit.

Ong Goan-tin diam-diam menerawang keadaan di pihak Tang-hay-liong-ong, Lamkiong King dan Liu Yau-hong sudah terluka, tapi masih ada Tong-pck-siang-ki, Hiap-tiong-sam-koay dan Sat-to begal kuda kelahiran Kwan-tiong dan jago-jago tangguh lainnya, bila pertempuran besar terjadi, umpama musuh berhasil dibabat habis, korban di pihak sendiri juga pasti cukup berat. Maka mumpung Tang-hay-liong-ong kelihatan bimbang dan lembek semangatnya, segera dia berdiri membuka suara.

"Hadirin diharap tenang," Ong Goan-tin tampil ke depan, suaranya lantang. "Hari ini adalah hari kelahiranku, banyak terima kasih kalian sudi datang menghadiri perjamuan sederhana ini, apapun maksud kedatangan kalian, betapapun hari ini kalian adalah tamu-tamuku. Sebagai mana lazimnya sebagai tuan rumah tidaklah pantas aku berlaku kurang hormat terhadap para tamunya, tapi akupun mengharap para tamu suka memberi muka kepadaku, jangan sampai terjadi keributan yang tiada gunanya disini. Akan tetapi Sugong-thocu tadi bilang hendak menyampaikan selamat kepadaku, terus terang aku tidak berani menerimanya. Kalau sudi kau memberi muka kepadaku, silahkan minum secangkir arak suguhanku ini dan silahkan berlalu saja."

Pidatonya mengandung beberapa maksud. Pertama, dia bilang sebagai mana lazimnya, secara tidak langsung dia mau bilang, bila Tang-hay-liong-ong ingin menggunakan kekerasan dia pasti "mengiringi". Kedua bahwasanya Tang-hay-liong-ong belum mengeluarkan pernyataan mohon diri, tapi Ong Goan-tin menyuguhnya secangkir arak baru menyilakan tamunya berlalu seolah-olah Tang-hay-liong-ong sudah berpamitan kepadanya, ini jelas sudah mengusirnya secara halus. Tapi dia pandai merangkai pidatonya sehingga Tang-hay-liong-ong tidak merasa malu karena pamornya tidak dibikin jatuh di muka umum. Ketiga ucapannya hanya ditujukan kepada mereka yang mengandung maksud jahat, maka dia menggunakan istilah hari ini betapapun kalian adalah tamuku, jadi maksudnya setelah hari ini, orang-orang tertentu bukan lagi tamunya, kalau bukan tamunya sudah tentu bukan teman atau sahabatnya lagi.

Pidatonya memang masuk akal dan dapat diterima oleh segala pihak, maka hadirin tiada yang membantah, Han King-hong berseru: "Baiklah, demi memberi muka kepada Ong-cecu biarlah hari ini kita memberi kelonggaran kepada mereka."

Tang-hay-liong-ong memang pandai kendalikan biduk sesuai arah angin, dirinya tidak dibuat malu di muka umum, maka diapun tidak berani membuat keributan lagi meski sikapnya kelihatan kikuk dan runyam, tapi dia masih bisa tertawa lebar, katanya lantang. "Kedatanganku bermaksud baik, kalian justru salah paham dan mencurigai aku. Baiklah untuk memberi muka kepada Ong-cecu kejadian hari ini tidak akan kuambil dalam hati, tapi kekalahanku hari ini tidak akan dilupakan, kelak masih ada waktu untuk membuat perhitungan dengan kalian. Suguhan arak ini biar tidak usah kuminum, mohon pamit saja." Lekas sekali orang-orang Tang-hay-liong-ong sudah meninggalkan ruang perjamuan ini. Ki-gi-ting kembali dalam suasana pesta pora yang riang gembira, banyak orang berjingkrak menari dan menyanyi.

Di kala perjamuan berlangsung, tiba-tiba Ih Ti-bin memberi laporan kepada Ong Goan-tin: "Ha It-seng dan Su Kian entah kemana perginya sudah kusuruh orang mencari mereka tidak ketemu."

Han King-hong berjingkrak gusar, serunya: "Melihat kelakuan mereka hari ini, aku jadi curiga mungkin mereka ikut ngacir bersama Tang-hay-liong-ong."

"Jangan menuduh mereka yang bukan-bukan," ujar Ong Goan-tin, "selidiki dulu persoalannya baru ambil kesimpulan. Bila mereka memang benar sudah pergi, biarkan saja."

"Betul," ujar lh Ti-bin, "bila mereka musuh dalam selimut, tak ubahnya bisul dalam perut, lebih baik sebelum saatnya dia sudah ngacir lebih dulu."

Mendengar orang banyak membicarakan Ha It-seng dan Su Kian yang melarikan diri, tiba-tiba Toh So-so teriak kepada In San dan Tan Ciok-sing, katanya: "In-cici, Tan-toako kalian melihat Bu Siu-hoa tidak?"

In San sadar dan terkejut, katanya: "Sesudah kami mengalahkan Tang-hay-liong-ong tadi aku sempat bicara beberapa patah kata dengan dia, belakangan suasana agak ribut, entah kemana dia pergi?"

"Memangnya, akupun akan menyatakan terima kasih kepadanya tahu-tahu orangnya sudah tak kelihatan lagi," demikian timbrung Tan Ciok-sing.

Lenyapnya Bu Siu-hoa tidak boleh dibanding menghilangnya Ha It-seng dan Su Kian maka Ong Goan-tin suruh anak buahnya berpencar mercarinya, tak nyana setelah perjamuan usai Bu Siu-hoa tetap tidak ditemukan jejaknya.

Kek Lam-wi tidak tega, hidangan-hidangan tidak tertelan lagi, katanya: "Dia dilahirkan dari golongan sesat, mungkin dia kuatir dihina dan dipandang rendah, maka diam-diam meninggalkan kita?"

Ong Goan-tin berkata: "Jasanya hari ini paling besar, kukira dia sendiri maklum akan hal ini, lalu siapa berani memandang rendah kepadanya. Tak mungkin hanya karena soal sepele ini dia pergi dari sini?"

"Ya kukuatirkan justru dia tidak punya pikiran sejernih kita," ucap Lam-wi. Ong Goan-tin segera menghibur: "Menurut analisa, tidak mungkin Bu Siu-hoa ikut naik kapal Tang-hay-liong-ong, kalau dia mau meninggalkan Thay-ouw, pasti menggunakan perahu kita. Ada petugas khusus yang menyambut dan mengantar para tamu keluar masuk, umpama ada tamu yang datang naik perahunya sendiri, setelah mereka mendarat, orang kita juga yang mengurus perahunya, bila tahu siapa saja meninggalkan pangkalan, orang-orangku pasti tahu. Kenyataan mereka tiada yang memberi laporan, kuduga nona Bu belum meninggalkan tempat ini. Cepat atau lambat jejaknya pasti ketemu."

Toh So-so lebih gelisah dari Kek Lam-wi katanya: "Kek-toako, mari kau menemani aku mencarinya."

"Sudah banyak orang yang mencarinya," bujuk Ong Goan-tin.

Toh So-so berkata: "Aku pernah mendapat budi pertolongannya, kali ini dia kemari juga lantaran kami pula, tahu-tahu dia menghilang, jikalau kami tidak kcluai tenaga ikut mencarinya betapapun perasaan takkan bisa tcntram."

Tan Ciok-sing dan In San juga mcny.H.ikan: "Marilah kita mencarinya beramai-ramai."

Waktu ini putri malam baru saja keluar dan peraduannya. In San berkata dengan tertawa: "Hayolah kita temukan tidak jejaknya, mari naik ke puncak Tong-thing-san barat, menikmati panorama Thay-ouw di waktu malam. Tolong kalian tunggu sebentar," bergegas dia pulang ke penginapan mengambil harpa kuno milik Tan Ciok-sing. Tan Ciok-sing tahu maksudnya maka dia tidak memberi komentar, berempat mereka keluar mencari jejak Bu Siu-hoa. Sayang perhatian mereka tertuju untuk mencari jejak Bu Siu-hoa, sehingga kurang selera menikmati panorama malam di puncak gunung. Tiba-tiba In San berkata: "Kek-toako, aku ingin mendengar tiupan lagu serulingmu."

Kek Lam-wi tertawa katanya: "Harpa Tan-toako sudah kau bawa juga, aku sudah tahu maksudmu, akupun ingin mendengar petikan harpa Tan-toako."

Betapa cerdik otak Toh So-so, lekas sekali diapun maklum, katanya tertawa. "Adik San, bukan maksudmu ingin mendengar tiupan seruling Kek-toako, tapi kau ingin supaya tiupan seruling Kek-toako terdengar oleh nona Bu bukan?"

"Betul," ujar In San terus terang, "bukan mustahil, setelah mendengar tiupan seruling Kek-toako, dia akan muncul sendiri."

"Baiklah," ucap Kek Lam-wi, "Tan-toako, harap kau petik dulu harpamu nanti kulanjutkan tiupan serulingku."

"Lebih baik kita bawakan sebuah lagu intrumental, perpaduan suara harpa dan seruling suaranya akan terdengar lebih jauh," demikian ujar Tan Ciok-sing.

"Begitupun baik?" ujar Kek Lam-wi.

"Lagu apa yang akan kita bawakan?" tanya Ciok-sing.

"Aku punya pendapat coba kalian menilainya?" tiba-tiba In San menyela.

"Sebelum kau jelaskan, bagaimana aku bisa menilainya?" Tan Ciok-sing berkelakar.

Kek Lam-wi ikut tertawa geli, katanya: "Adik ln jangan kau mengajukan persoalan rumit kepada kami lho?"

"Ini bukan soal sulit, aku hanya ingin mendengar lagu baru dengan nada yang menyegarkan, intrumental kalian ini ada kalanya harus dibawakan secara tunggal bergantian."

"Otakku ini tumpul, aku tidak paham apa yang kau artikan secara tunggal bergantian."

In San menjelaskan: "Kalian boleh sama-sama meniup seruling dan memetik harpa tapi tak usah mencocokkan nada, kalian boleh membawakan lagu apapun yang kalian senangi."

"Lho, mana bisa nada dan lagunya berpadu?" tanya Tan Ciok-sing.

"Sebelumnya kalian boleh menentukan pilihan lagu apa yang akan kalian bawakan serta menentukan nadanya pula, tapi matnya harus sama, sehingga temponya sama pula. Seruling dan harpa adalah alat musik khusus yang mempunyai keistimewaannya sendiri, dalam perpaduan suaranya tidak perlu harus senada."

"Usulmu memang menarik, baiklah biar kami mencobanya. Tan-toako, kau membawakan lagu apa?" tanya Kek Lam-wi.

"Aku akan membawakan lagu 'Kisah pertemuan' dengan nada E," sahut Tan Ciok-sing.

"Baik, aku akan meniup lagu 'Kenangan sahabat' dengan nada B."

Nada lagu yang mereka bawakan memang berbeda, namun suasana diliputi rasa riang gembira dan manis madu. Sebelum mereka habis membawakan lagunya, memang seorang telah berlari mendatangi seperti yang mereka duga. Tapi yang muncul bukan Bu Siu-hoa, ternyata seorang pemuda tanggung berpakaian sederhana dengan perawakan kekar.

Melihat pemuda ini sesaat Tan Ciok-sing melenggong, tiba-tiba dia berjingkrak berdiri seraya berteriak: "Lau-toako tak nyana bisa bertemu kau disini."

In San tidak kalah senangnya, teriaknya: "Lau-toako, kiranya engkau."

Walau bukan Bu Siu-hoa yang muncul tapi rasa senang mereka tidak ubahnya seperti bertemu dengan Bu Siu-hoa.

Pemuda tanggung itu tergelak-gelak, katanya: "Siau-ciok-cu kiranya kau. Mendengar petikan harpa aku sudah duga pasti kau. Nona In, aku sudah tahu, kecuali bukan Siau-ciok-cu kalau dia berada disini, kau mesti disini pula. Cuma aku belum tahu apakah sekarang aku sudah boleh panggil kau In So-so?"

"Siau-cucu, jangan kau menggoda aku," ujar In San tertawa, "ada urusan penting ingin aku bicara dengan kau."

Pemuda tanggung itu jadi sadar katanya: "Oh, iya kedua saudara ini..."

Setelah Ciok-sing perkenalkan Kek Lam-wi dan Toh So-so, lalu dia berkata: "Lau-toako bernama Thi-cu teman kecilku yang dulu sering bermain-main di sungai, sudah biasa kami saling memanggil nama kecil. Dia panggil aku Siau-ciok-cu, aku panggil dia Siau-cucu." Lalu Tan Ciok-sing tanya: "Siau-cucu, kenapa kau tidak berada di Kwilin, kok tahu-tahu berada disini?"

"In-suheng menjadi buronan pihak penguasa, maka dia pergi dari Kwilin. Dia tahu aku pandai berenang, maka dia tulis sepucuk surat suruh aku mencari perlindungan di tempat Ong-cecu disini."

Lau Thi-cu melanjutkan ceritanya: "Sudah setahun lebih aku disini. Syukurlah Cecu sudi menerima aku dan mengangkat aku jadi Siau-thaubak, bila ada waktu diapun suka memberi petunjuk main silat kepadaku, senang juga aku hidup dalam lingkungan ini, sayang aku tidak tahu jejak kalian, meski hati amat rindu tak tahu kemana aku harus cari kalian, syukur hari ini bisa bertemu pula."

"Kedatangan kami untuk memberi selamat ulang tahun kepada Cecu kalian. Siau-cucu apa kau tahu bahwa gurumu juga telah datang."

Lau Thi-cu kegirangan katanya: "Apa betul? Sayang sekarang aku belum bisa menemui beliau."

Tiba-tiba tergerak hati In San tanyanya: "Ada sebuah hal penting ingin aku tanya kepada kau. Urusan lain nanti dibicarakan lagi."

"Urusan penting apa? Lekas katakan," ujar Siau-cu-cu.

"Pernahkah kau melihat seorang gadis begini." Lalu dia gambarkan perawakan dan muka Bu Siu-hoa, kepada Lau Thi-cu.

Semula In San hanya ingin mencoba adu untung, pada hal sekian banyak orang telah disebar untuk mencari jejaknya, diapun tidak berani menaruh harapan kepada Lau Thi-cu.

Tak nyana setelah mendengar penjelasannya, Lau Thi-cu lantas berkata: "Ya, pernah, pernah kulihat, tapi gadis ini tidak berjalan seorang diri."

Lekas Tan Ciok-sing bertanya: "Siapa berjalan dengan dia?"

"Siapa dia aku tidak kenal, dari kejauhan tampak dia seorang perempuan setengah umur."

In San kaget, katanya: "Mungkinkah ibu tirinya," tanyanya: "Siau-cu-cu kau tahu kearah mana mereka pergi?"

"Mereka lari ke puncak gunung yang menjadi pusat pertemuan aliran-aliran sungai, kalian tak usah kuatir dia bisa lari dari sana."

"Kenapa?"

"Karena air tempuran di bawah gunung itu. amat deras lajunya seperti air terjun saja, air dituang ke bawah langsung masuk ke Thay-ouw. Selamanya belum pernah ada orang berani naik perahu keluar dari sana."

Semakin kejut hati Tan Ciok-sing, teriaknya: "Celaka."

"Apanya celaka?" tanya Lau Thi-cu kaget.

Ciok-sing tarik tangan Lau Thi-cu lalu diseret lari, dia disuruh menunjukkan arahnya, sambil lari Ciok-sing berkata: "Perempuan setengah umur itu adalah Pangcu Bu-san-pang, namanya Bu-sam Niocu. Bu-san-pang adalah salah satu sindikat gelap di daerah Sujwan. Di bawah Bu-san ada tiga selat berbahaya, merupakan daerah paling berbahaya sepanjang sungai Tiangkang. Bu-sam Niocu sudah bisa kendalikan perahu di tiga selat sempit dengan arus yang deras itu, diapun pandai berenang, kepandaiannya mungkin jauh lebih liehay dari kemampuanku dan kemampuanmu."

In San tanya: "Apakah disana tidak disediakan perahu?"

"Perahu sih ada satu tapi hanya sebagai persiapan dan jarang digunakan."

"Celaka, Bu-sam Niocu pasti tahu adanya jalan rahasia ini, dari sana dia bisa naik perahu langsung memasuki perairan Thay-ouw, maka dia menculik Bu Siu-hoa dibawa lari lewat tempat berbahaya itu."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar