Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 7
Tiba-tiba tergerak hati In
San, segera dia keluarkan tusuk kondai perak. Tusuk kondai ini biasanya dia
tusukan di atas sanggul rambutnya kiri, karena menyamar laki-laki maka tusuk
kondai dia simpan didalam baju. Tusuk kondai ini satu persatu dia masukan
kedalam masakan, ternyata warnanya tidak berubah, maka dia berkata tertawa:
“Kuasa hotel ternyata tunduk akan perintah orang itu, makanan ini tidak diberi
racun."
Habis mendengar cerita
Ciok-sing, Kwik Ing-yang berkata: "Entah siapa yang mengundang kalian
untuk bertemu di Ham-san-si. Bahwa yang diundang adalah kalian bertiga saja,
aku dan Bin-siu lebih baik tidak usah ikut kesana."
"Lalu kalian mau
kemana?" tanya In San.
"Dengan Bin-siu kami
sudah berencana akan ke Thay-ouw dan naik ke Tong-thing-san barat. Pengalaman
kalian disini akan kulaporkan kepada Ong Goan-tin. Umpama Kek-jithiap mengalami
sesuatu yang tidak diinginkan, semoga Ong Goan-tin bisa mencari akal
membantunya."
"Ya, begitupun baik.
Sekarang juga kami akan berangkat dulu," ujar Ciok-sing.
Kwik Ing-yang teringat satu
hal, katanya: "Seharusnya kita sudah meninggalkan hotel ini, tapi bila
kita sudah meninggalkan tempat ini, suatu tugas yang amat penting jadi sukar
diselesaikan."
"Tugas apa?" tanya
In San.
"Say-cu-lim memang tempat
berbahaya, tapi boleh juga dianggap sebagai arena pertempuran, cuma bukan
pertempuran adu senjata atau pukulan."
Ciok-sing sadar, katanya:
"Betul, keluar dari tempat berbahaya ini, memang dapat menghindari
serangan musuh, namun untuk menyelidik gerak gerik musuh jadi lebih
sukar."
"Cekak aos saja. Mana
yang baik, kita tetap tinggal disini, atau segera meninggalkan tfimpat
ini."
"Tiada jarum yang runcing
dua ujungnya," ujar Tan Ciok-sing, "menurut situasi yang kita hadapi
sekarang, lebih baik untuk sementara kita meninggalkan tempat ini."
"Maksudmu suatu ketika
kita akan kembali?" In San menegas.
"Urusan kelak, bicarakan
kelak. Sekarang kau harus segera berangkat bersamamu."
"Betul, sebelum tengah
liari kalian harus tiba di Ham-san-si memenuhi undangan itu, dari pada
terlambat lebih baik datang lebih dini. Biar kugambarkan letak Ham-san-si
sekedarnya, supaya kalian tidak perlu mencarinya ubek-ubekan."
oooOOOooo
Sebelum Tan Ciok-sing dan In
San keluar pintu besar dari kehon raya ini tiba-tiba tampak kuasa hotel
menyongsong mereka sambil tertawa seri. "Tuan berdua kenapa sepagi ini
sudah keluar?" tanya kuasa hotel.
Tergerak hati Ciok-sing,
katanya: "Benar. Tadi aku mencarimu ke kantor tidak ketemu, kebetulan
bersua disini."
Diam-diam kuasa hotel
terkejut, pikirnya: "Apakah Kek Lam-wi menuturkan kejadian semalam kepada
mereka?" tapi dengan sikap tenang dan wajar dia bertanya: "Ada urusan
apa?"
"Kami akan keluar
menyambangi seorang teman, malam nanti akan kembali pula. Kemarin kami hanya membayar
sewa kamar dua hari, kupikir akan kutambah dua hari lagi," sembari bicara
dia merogoh keluar sebutir kacang emas langsung diserahkan kepada kuasa hotel,
katanya pula: "Sebutir kacang emas ini untuk melunasi sewa kamar, coba
diperiksa, apakah bobotnya sudah cukup?"
Lega hati kuasa hotel,
batinnya: "Kiranya mencariku mau membayar sewa kamar, bikin hatiku dag dig
dug saja," segera dia goyang tangan, katanya: "Uang sewa pemberian
Kek-ya kemarin masih banyak kelebihannya."
"Anggaplah sebagai
pembayaran sewa kamar kemarin. Berapa yang dia berikan adalah urusannya, kami
tidak ingin nginap dan kamar gratis disini."
"Betul. Biar dia membayar
ongkosnya sendiri, kamipun membayar pengeluaran kami. Ciangkui, kalau kau tidak
mau terima artinya kau memandang rendah kami berdua," In San menimbrung.
Diam-diam senang hati kuasa
hotel, pikirnya: "Kedengarannya mereka agak sirik terhadap Kek Lam-wi,
biar kucoba korek keterangan mereka," lalu dia berkata: "Kalian
begini terbuka tangan, biarlah hamba menerima kebaikan ini," sembari
bicara dia terima kacang emas itu terus dimasukkan kedalam kantong lalu
bertanya dengan sikap adem ayem: "Apakah Kek-ya tidak keluar bersama
kalian?" -dia kuatir bila uang emas tidak diterima, salah-salah bisa
menimbulkan rasa curiga orang. Oleh karena itu terpaksa dia merelakan diri
dianggap laki-laki tamak yang suka terima sogok.
"Kek-ya tadi bilang
katanya mau tinggal di rumah familinya, tidak mau tinggal bersama kami
lagi," sahut Tan Ciok-sing.
Semakin senang hati kuasa
hotel, pikirnya: "Kiranya Kek Lam-wi menggunakan alasannya untuk memencar
diri dengan mereka. Perhitungan In-toaya memang tepat dan sempurna, dia yakin
Kek Lam-wi pasti terjeblos kedalam permainannya." Maka dia berkata:
"O, kiranya begitu. Baiklah aku tidak berani menunda waktu kalian untuk
menyambangi teman, dua nomor tembaga ini harap kalian suka menyimpannya. Meski
larut malam baru pulang, dengan menunjukan tembaga ini kalian bisa keluar masuk
dengan leluasa."
Sambil bercakap-cakap mereka
keluar dari Say-cu-lim, cukup jauh mereka meninggalkan kebon raya, keduanya
lantas celingukan, setelah yakin tiada orang memperhatikan, In San lantas
berkata: "Toako, kenapa kau memberi keuntungan sebesar itu kepada kuasa
hotel, melihat tampangnya aku sudah sebal."
"Berdagang siapapun harus
keluar modal. Kaukan anak pintar, memangnya kau tidak bisa meraba maksud
tujuanku."
"Baik, coba biar
kuterka," kata In San lalu menepekur, akhirnya dia tersenyum, katanya:
"Kuduga, kau sedang mengatur tipu daya supaya pihak musuh merasa bimbang
dan serba curiga?"
"Betul. Kau memang
cerdik, sekali tebak kena sasaran. Tujuanku justru supaya mereka tidak bisa
meraba sepak terjang kita sesungguhnya. Bukan saja membuat mereka serba curiga,
kitapun bisa bertindak secara isi kosong serba berlawanan."
"Betul Dengan membuang
sebutir uang emas kita masih punya hak untuk kembali dan menginap pula di hotel
itu."
Tiada habis bahan pembicaraan
mereka, sepanjang jalan tidak pernah merasa kesepian, tanpa merasa sebelum
tengah hari mereka tiba di Ham-san-si terletak di atas sebuah bukit di seberang
Hong-kio, empat puluh li diluar kota Soh-ciu ke arah barat. Bukit ini dipenuhi
pohon beringin. Merupakan salah satu daerah pariwisata yang terkenal juga di
bilangan Soh-ciu.
Kala itu permulaan bulan
delapan saatnya kembang mekar semerbak pemandangan nan molek dan permai disini
sungguh amat mempesona. Lama In San terpukau di atas jembatan, katanya kemudian
setelah menghela napas: "Sayang baru hari ini aku sempat bertamasya
disini!"
Walau Ham-san-si merupakan
salah satu obyek pariwisata, namun pengunjung yang suka sembahyang di biara ini
amal jarang, hari itu kebetulan bukan hari raya maka kecuali mereka berdua
tiada orang lain yang keluyuran di tempat ini. Cukup lama mereka mondar-mandir
di bilangan biara yang sudah tua dan kurang terurus ini, jangan kata seorang
Hwesio keluar menyambut, seorang kacungpun tidak kelihatan.
Untung keadaan dalam biara
cukup memuaskan untuk ditonton, dinikmati serta diresapi. In San tertawa,
katanya lirih: "Kenapa tidak kelihatan orang itu keluar? Apa tidak perlu
mengundang Hwesio disini mencari tahu padanya?"
"Siapa nama orang itu dan
bagaimana asal-usulnya kan kita tidak tahu, bagaimana kau akan tanya kepada
Hwesio disini. Yang terang waktunya belum tiba, masih beberapa kejap lagi baru
tepat tengah hari, kau tidak usah gugup, tunggu saja dengan sabar,"
demikian bujuk Tan Ciok-sing.
In San tertawa geli sendiri,
katanya: "Benar, salah kita datang terlalu dini."
Tengah bicara mereka terus
maju ke depan, tiba-tiba didengarnya dua kali suara "Tok-tok".
In San berbisik: "Seperti
ada orang main catur."
"Benar, itulah suara buah
catur yang dijatuhkan di atas papan catur, agaknya pertandingan sedang mencapai
puncak yang paling menegangkan," ujar Tan Ciok-sing tertawa.
"Bagaimana kau
tahu?"
"Buah catur mengetuk
berat di atas papan, ini menandakan orang yang pegang buah catur teramat tegang
perasaannya."
Betul juga, suara serak
seorang terdengar berkata: "Hwesio tua ini tidak suka main caplok. Ai
naga-naganya permainanku kali ini pasti kau kalahkan."
Suara seorang lain berkata
juga dengan tertawa: "Aku sih apa boleh buat kalau aku tidak mau 'caplok'
salah-salah pionku yang kau lalap malah."
Tan Ciok-sing melenggong,
sontak dia berjingkrak girang, serunya: "Ha, kiranya Tam Tayhiap."
Di kala dia bicara dengan In
San, didengarnya orang itu sedang berkata kepada Hwesio tua. "Betapapun
Taysu memang lebih unggul, sungguh tak nyana kau masih punya akal seliehay itu
untuk menyudutkan raja dan merebut kedudukan penting. Nah, tamuku sudah datang,
biarlah aku mengaku kalah saja."
Kini In San juga sudah
mendengar suaranya, kontan dia berteriak girang: "Paman Tam, paman
Tam." -Saking girang mereka tidak hiraukan tata tertib lagi, seperti lomba
lari saja sama memburu ke arah datangnya suara. Tampak di kamar semadi sana
seorang hwesio tua sedang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki, siapa lagi
kalau bukan Kim¬ to-thi-ciang Tam Pa-kun. Tam Pa-kun tertawa, katanya:
"Maaf ya, aku tidak duga kalian datang sepagi ini, maka tidak menyambut
kalian diluar. Inilah Hong-tiang biara ini Kiau-jan Taysu."
Kiau-jan Taysu berkata:
"Kalian tidak usah rikuh dan banyak peradatan, hwesio tua akan menunaikan
tugas sembahyang, maaf aku harus mengundurkan diri."
Tam Pa-kun adalah teman karib
ayah In San semasa hidupnya, melihat dia In San seperti berhadapan dengan
famili sendiri, saking senang air mata berkaca-kaca, katanya dengan lidah agak
kelu: "Sungguh tidak diduga, kiranya kau paman Tam. Dua hari yang lalu,
Seng Toa-jan bilang kau sudah menuju ke Thay-ouw. Kukira sebelum pesta ulang
tahun Ong Goan-tin aku tidak akan bisa bertemu dengan kau."
"Aku malah tahu kau pasti
datang bersama Ciok-sing," ujar Tam Pa-kun tertawa, "tapi bila di
tempat lain bersua dengan kau, mungkin aku tidak berani mengenalimu. Sejak
kapan kau belajar merias diri, dandananmu sungguh mirip dan tampan
sekali."
"Seng Toa-jan bilang
kalian datang bersama Kek Lam-wi, salah satu dari Pat-sian. Dan menginap di
Soh-ciu, kenapa tidak kelihatan?
Apa ada urusan penting
sehingga dia harus ke tempat lain?"
"Betul," ujar
Ciok-sing, "dia kebentur suatu kejadian yang tak terduga, pergi memenuhi
undangan lain."
"Memenuhi undangan
siapa?" tanya Tam Pa-kun.
"Undangan dari majikan
Say-cu-lim In Kip."
Tam Pa-kun kaget serunya:
"Memenuhi undangan In Kip? Apa yang terjadi?"
Terlebih dulu Tan Ciok-sing
tuturkan pengalaman Kek Lam-wi.
Sesaat Tam Pa-kun berpikir,
katanya kemudian. "Kurasa persoalan ini agak ganjil."
"Dalam hal apa paman
merasa curiga?" tanya In San.
"Tiga hari yang lalu
putri Ong Goan-tin yang bernama Ong Kui-ih pernah melihat Toh So-so di
Yang-ciu, baru kemarin Ong Kui-ih kembali ke Tong-thing-san. Berita tentang
hijrahnya kawanan Bu-san-pang ke Kanglam, Ong Goan-tin juga sudah memperoleh
laporan rahasia. Setelah mereka menyeberang sungai besar dan berada di selat
sungai, sepanjang jalan jejak mereka sudah diawasi oleh anak buah Ong Goan-tiw.
Kemarin sore aku sudah turun gunung. Menurut laporan yang diterima sore itu
kawanan Bii-s.in pang langsung menuju ke S"h cin jadi jelas tidak pernah
lx-rpnt:ii kf
Yang-ciu. Diperhitungkan dari
kecepatan perjalanan mereka tidak mungkin dalam dua hari ini Bu-san-pang
mempunyai kesempatan untuk menculik Toh So-so di Yang-ciu. Maka aku yakin di
belakang kejadian ini pasti ada muslihat keji."
"Tapi Kek-toako yakin bahwa
tusuk kondai itu memang milik Toh-cici. In Kip menyerahkan tusuk kondai itu
bersama senjata rahasia tunggal milik Bu-sam Niocu kepada Kek-toako, mana
mungkin dia tidak percaya bila Toh-cici sudah terjatuh ke tangan kawanan
Bu-san-pang."
"Bagaimana duduk
persoalannya, aku sendiri juga belum bisa memberi kesimpulan. Tapi dari keadaan
menurut cerita kalian, aku yakin In Kip dan Bu-san-pang belum ada niat
mencelakai jiwa Kek Lam-wi."
"Aku justru kuatir mereka
sedang mengatur suatu rencana yang lebih keji."
"Undangan itu jelas bukan
bermaksud baik, ini tidak perlu diragukan. Tapi asal Kek-jithiap sementara
tidak akan mengalami bahaya, kita akan berusaha menolongnya. Coba kalian
bicarakan persoalan lain."
"Di Soh-ciu, kami bertemu
dengan seseorang, kurasa orang ini justeru lebih penting dan harus diperhatikan
dari pada Bu-sam Niocu."
"Siapa dia?" tanya
Tam Pa-kun.
"Seorang Busu Watsu yang
terkenal."
"Em ya, maksudmu adalah
Poyang Gun-ngo?"
"Betul ternyata paman Tam
juga sudah tahu."
"Ya. Jejak Poyang
Gun-ngo, waktu aku masih berada di markas Ong Goan-tin sudah kuketahui. Salah
satu sebab kenapa aku harus buru-buru datang ke Soh-ciu lebih dini dari rencana
semula juga lantaran keparat ini."
"Kami kira setiba di
Soh-ciu, dia akan menginap di hotel dalam Say-cu-lim, tapi semalam tidak
kelihatan batang hidungnya."
"Aku malah sudah tahu
dimana dia sekarang."
"Dia sembunyi
dimana?" tanya Ciok-sing girang.
Seperti Bu-sam Niocu, diapun
sembunyi di rumah In Kip."
"O mereka memang
berintrik, syukur kita bisa bereskan dua persoalan ini sekaligus, kita akan
tuntut kepada In Kip."
"Kita memang harus
membuat perhitungan dengan In Kip. Tapi untuk menuntut orang kepadanya, kita
harus mencari daya dan akal yang tepat, kalau tidak salah-salah kita bakal
menggagalkan urusan besar."
"Sudah pasti. Mana boleh
kita main serampangan. Lalu dengan cara apa paling tepat? Paman sudah
memikirkannya?"
"Kupikir malam nanti akan
bertandang ke tempat kediaman In Kip, dengan cara apa untuk menghadapi dia,
biarlah kita bertindak melihat gelagat saja. Kalian tidak boleh ikut, tapi
boleh membantuku secara diam-diam."
Sudah tentu Tan Ciok-sing dan
In San kegirangan, katanya: "Maksud kami memang malam nanti akan
menyatroni rumah In Kip, kalau paman mau bertindak, lebih baik."
"Tadi . kalian ceritakan
pertemuanmu dengan Bak Bu-wi di Say-cu-lim agaknya belum jelas dan menyeluruh,
akhirnya bagaimana?"
"Memang hal itu akan
kuberitahukan kepada paman, Bak Bu-wi sih tidak perlu kita buat kuatir tapi
seorang yang bersama dia itulah, kepandaiannya ternyata luar biasa."
"O, macam apa orang
itu?"
Secara terperinci Ciok-sing
ceritakan pertempuran singkat malam itu dengan orang tak dikenal itu, Tam
Pa-kun terperanjat, katanya: "Kedatangan orang ini di Soh-ciu ternyata
belum kita ketahui. Tak heran kau hampir kecundang. Kungfu orang ini memang
jauh lebih unggul dari Poyang Gun-ngo kira-kira setaraf dengan Koksu dari
negeri Watsu Milo Hoatsu."
Ciok-sing girang, tanyanya:
"Paman tahu siapa
dia?"
"Orang itu punya she
rangkap Tang-bun bernama tunggal Cong. Konon ayahnya orang Han, ibunya orang
Mongol. Sejak kecil dia dibesarkan di Mongol, jejaknya tidak pernah menginjak
Tionggoan. Kungfu orang ini memang terlalu aneh, membekal kombinasi aliran
barat dan Tionggoan, namun bentuk kepandaiannya justeru berbeda dengan
perguruan silat manapun. Konon dia pingin mendirikan aliran tersendiri, tujuan
semula hendak membantu Khan agung dari negeri Watsu, tapi di Watsu sudah ada
Milo Hoatsu, dirinya kemungkinan kurang dihargai, maka terpaksa dia kembali ke
Holin tapi belakangan dia meninggalkan negeri itu. Suatu ketika aku bertemu
dengan dia di bawah Ki-lian-san, waktu itu dia tahu siapa aku, aku tidak tahu
siapa dia. Dia paksa aku bertanding, beruntung aku tidak sampai kalah tapi juga
hanya setanding alias seri."
Lalu Tan Ciok-sing tuturkan
laporan yang diperoleh dari si kacung. Tam Pa-kun menepekur, katanya, kemudian:
"Kalau demikian, orang itu sudah memperoleh kepercayaan Sri Baginda,
kedatangannya ke Soh-ciu ini kemungkinan bukan hanya menyelidik siapa-apa
orang-orang yang ada hubungannya dengan Ong Goan-tin."
Sebetulnya Tan Ciok-sing
cenderung mencurigai suatu hal lain, namun bila hal ini dia utarakan
salah-salah dirinya bisa disangka mengumpak harga diri sendiri maka dia
batalkan niatnya itu, katanya: "Lebih baik dia diperalat oleh Sri Baginda,
dari pada dia bekerja demi kepentingan Khan agung bangsa Watsu. Firman apa yang
sedang diembannya sekarang, kitapun tidak perlu pusing memikirkannya."
In San menyela: "Tapi
orang ini tidak bisa membedakan salah benar, tidak punya pendirian lagi. Peduli
dia bekerja untuk siapa. Pendek kata aku yakin apa yang dia lakukan pasti
perbuatan jahat?"
"Itu sudah jelas. Ada
orang ini di pihakmusuh kita perlu hati-hati," Tam Pa-kun memperingatkan.
"Paman tadi bilang kedatanganmu
ke Soh-ciu lebih dini untuk mencari tahu jejak Poyang Gun-ngo, itu hanya salah
satu sebab, lalu apa pula sebab yang lain?"
"Aku akan menyambut
kedatangan seorang teman dan melindunginya ke Tong-thing-san. Kalian tentu
ingin tahu siapa orang itu?"
"Kalau boleh beritahu
kepada kami, aku ingin tahu," ujar Ciok-sing.
Tam Pa-kun tertawa lebar:
"Dia sekampung halaman dengan kau, kaupun pernah bergebrak dengan dia. Dia
amat menghargaimu, aku tahu dia pun ingin sekali bertemu dengan kau."
Tan Ciok-sing kegirangan,
serunya tepuk paha: "Maksud paman adalah It-cu-king-thian Lui
Tayhiap."
"Betul. Lui Tayhiap Lui
Tin-gak. Karena dia ibarat pohon besar mendatangkan angin, maka terhadap Seng
Toa-coan akupun tidak jelaskan tentang dirinya."
"Entah kapan Lui Tayhiap
bakal datang?"
"Semula sudah dijanjikan
akan bertemu disini besok. Tapi kini urusan ada sedikit perobahan."
"Perobahan apa?"
"Semalam setiba aku di
Soh-ciu, aku menerima kabar yang dititipkan kepada seorang murid Kaypang,
supaya aku menemuinya di Hay-ling pada tanggal delapan belas bulan delapan.
Pihak Kaypang mengirim kabar ini melalui burung pos, hanya kabar-kabar sepatah
kata saja. Entah karena apa dia mendadak merobah waktu dan tempat pertemuan
itu?"
"Hay-ling bukankah berada
di muara Ci-tong-kang? Konon Hay-ling adalah tempat tamasya, disana kita bisa
menyaksikan pasang surutnya air laut?"
"Betul. Tanggal enam
belas sampai delapan belas bulan delapan, justeru saatnya air laut pasang.
Terutama tanggal delapan belas, kabarnya adalah hari ulang tahun malaikat laut,
damparan air pasang di Ci-tong-kang pada hari itu konon merupakan tontonan yang
menakjubkan, dan daerah yang tepat untuk menyaksikan tontonan hebat itu adalah
Hay-ling."
"Lui Tayhiap justru
memilih hari itu untuk bertemu dengan paman disana, mungkinkah mau ajak paman
menyaksikan tontonan disana?" In San bertanya heran.
"Lui Tayhiap memang suka
tamasya. Tapi kupikir menjelang hari ulang tahun Ong-lo-cecu, sebelumnya dia
sudah menjanjikan supaya aku menemani dia kemari menyampaikan selamat ulang
tahun, kurasa tidak mungkin dia seiseng itu mau ajak aku kesana menonton
kebesaran alam."
"Ulang tahun Ong Goan-tin
adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan bukan?" Tanya ln San.
"Ya, dalam jangka empat
hari setelah pulang dari Hay-ling masih sempat pergi ke Thay-ouw memberi
selamat ulang tahun kepada Ong-lo-cecu. Tapi perjalanan akan tergesa-gesa.
Biasanya tindak tanduk Lui Tayhiap penuh perhitungan, kukira mungkin ada Suatu
urusan penting lainnya yang perlu dibereskan disana."
In San termenung sejenak,
katanya kemudian: "Mumpung malaikat laut ulang tahun, mestinya merupakan
tontonan gratis yang menyenangkan. Aku ingin ikut paman kesana, tapi setelah
memperoleh berita tentang perjamuan In Kip yang dihadiri Kek-toako."
Tan Ciok-sing juga ingin
pergi, tanyanya: "Kau kuatir Kek-toako..."
"Bila Kek-toako dapat
menemukan Toh-cici disini, sudah jelas kita bisa berangkat bersama ke Hay-ling.
Tapi apa yang diucapkan paman Tam, pertemuan itu pasti bukan bermaksud baik,
maka kurasa biarlah hal itu ditunda saja."
"Benar, bila Kek-toako
tidak berhasil menemukan Toh-cici, kita menemaninya ke Yang-ciu, kala itu jelas
tidak sempat pergi ke Hay-ling pula."
Tam Pa-kun tertawa, katanya:
"Akupun ingin pergi sama kalian, hari ini baru tanggal tiga, masih
setengah bulan lagi, soal ini tidak usah dipikirkan. Tugas utama sekarang
adalah membantu Kck Lam-wi secara diam-diam. Kalian tahu alamat In Kip?"
"Sudah kuselidiki dengan
jelas." sahut Ciok-sing.
"Bagus, pergilah ke rumah
keluarga In dan siap-siap bertindak. Nanti ikut aku menemui In Kip "
Tan Ciok-sing dan In San
mengiakan bersama. Baru mereka hendak berlalu Tam Pa-kun berseru: "Nanti
dulu."
"Masih ada pesan lain
paman?" tanya In San.
"Aku teringat satu hal.
Kau sudah belajar tata rias dari Han Cin bukan?"
"Ya, sudah lumayan yang
kupelajari. Apa paman juga ingin menyamar?" tanya ln San.
"In Kip memang tidak
pernah melihat aku, tapi tamu-tamunya bukan mustahil ada yang mengenal
aku."
"Paman ingin nyamar jadi
apa?"
"Terserah, apa saja
boleh. Lebih mirip orang biasa lebih baik."
"Baiklah, paman menyamar
tabib kelilingan saja."
"Baik juga. Tampangku ini
memang mirip gelandangan, tanpa menyamar juga sudah mirip."
Setelah bantu Tam Pa-kun
menyamar, bersama Tan Ciok-sing berdua mereka meninggalkan Ham-san-si. Waktu
itu mentari sudah doyong ke ufuk barat, senja sudah hampir jelang.
000OOO000
Waktu itu Kek Lam-wi sudah
berada di rumah keluarga In, tapi bukan rumah kediaman In Kip sehari-hari, tapi
di sebuah villa In Kip yang 1 ain. Kuasa hotel itu yang mengiringi dan
menunjukkan jalannya.
Di tengah perjalanan baru Kek
Lam-wi tahu she dan nama aslinya. Di kala Kek Lam-wi tanya namanya, dia
serahkan setangkai kipas lempit kepada Kek Lam-wi, katanya tersenyum:
"Hari ini cuaca luar biasa, permulaan bulan delapan memang panas.
Kek-jitya silakan kau pakai kipas ini, nanti kujelaskan perlahan-lahan."
Kek Lam-wi menduga kipas
lempit ini pasti kurang beres, setelah dia tarik dan dibentang, di tengah
kertas kipas itu memang berukir sebuah tengkorak dengan mulutnya yang terbuka
lebar, kelihatan seram dan menakutkan.
Kek Lam-wi kaget, katanya:
"Kiranya kau anggota Giam-ong-pang?"
Giam-ong-pang adalah sindikat
gelap yang beroperasi di utara Su-jwan, biasa merampok kaum pedagang dan main
bunuh semena-mena. Ketuanya bernama Giam Cong-po, wakilnya bernama Ong
Cong-king dan Koan Cong-yau, bila ketiga she mereka digabung menjadi Giam Ong
Koan, maka golongan hitam sama menyebut mereka sebagai Giam-ong-pang. Dua puluh
tahun yang lalu mereka merajalela di utara Su-jwan, entah kenapa belakangan
jejak mereka tahu-tahu lenyap. Kabar yang tersiar diluar mengatakan mereka
ditumpas oleh seorang pendekar besar yang tidak bernama sehingga orang-orang
Giam-ong-pang lari pontang panting ke empat penjuru. Tapi apakah cerita ini
betul dan dapat dipercaya, tidak seorangpun yang tahu kecuali mereka yang
bersangkutan.
Setelah asal-usul orang tahu,
sikap Kek Lam-wi menjadi dingin hatinya muak, katanya dingin: "Ternyata
kau ini salah satu pimpinan Giam-ong-pang, entah kau ini she Ong atau she
Koan?"
Kuasa hotel ini berusia lima
puluhan, menurut yang diketahui usia Toa-thau-ling Coan Cong-po sudah enam
puluh lebih, maka Kek Lam-wi yakin bahwa dia bukan pimpinan tertinggi dari
Giam-ong-pang.
Kuasa hotel tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Kek-jithiap memang luar biasa pengetahuan dan pengalamannya,
sekali pandang lantas tahu asal-usulku. Aku memang she Koan, dua puluh tahun
yang lalu namaku tercantum paling bawah didalam Giam-ong-pang."
Kek Lam-wi berpikir:
"Giam-ong-pang dan Bu-san-pang sama-sama bercokol di Sujwan, tak heran
setelah Bu-sam Niocu berintrik dengan In Kip, sekalian dia menarik orang-orang
Giam-ong-pang ini," maka dengan tawar dia berkata: "Kiranya kau ini
Sam-thauling dari Giam-ong-pang, orang she Kek berlaku kurang hormat, harap
suka dimaafkan."
Koan Cong-yau terima kembali
kipas lempitnya, katanya tersenyum lebar: "Aku tahu Kek-jithiap tidak
pandang sebelah mata terhadap orang-orang Giam-ong-pang kita, tapi itu sudah
dua puluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah bertobat dan kembali ke jalan
lurus, justru karena aku tidak berani anggap Kek-jithiap sebagai orang luar,
maka aku rasa tidak perlu main sembunyi terhadap kau."
Sudah tentu Kek Lam-wi tidak
mau percaya akan ocehannya, tapi demi keselamatan Toh So-so terpaksa dia harus
bermuka-muka meski merasa sebal terhadap manusia yang satu ini. Katanya tawar:
"Terima kasih akan maksud baik Koan-siansing. Bicara soal lurus dan sesat,
sayang aku terlambat dilahirkan, di kala pang kalian angkat nama dan berkecimpung
dalam percaturan Kangouw, aku masih bocah yang ingusan, tidak berani aku
memberi penilaian."
Koan Cong-yau jalan di depan
menunjukkan jalan, lekas sekali mereka menuju ke sebuah bukit. Di depan mereka
dihadang sebuah batu gunung raksasa, tengah batu besar ini merekah berdinding
rata seperti diiris saja. Tergerak hati Kek Lam-wi tiba-tiba terasa adanya
sesuatu yang ganjil, katanya:
"Bukankah batu ini adalah
batu pedang dimana dahulu Go-ong mencoba pedangnya?"
"Betul, ini juga
merupakan salah satu obyek pariwisita di Soh-ciu ini, Kek-jithiap dulu pernah
bertamasya kemari bukan?" kata Koan Cong-yau.
"Waktu kecil pernah
kemari satu kali," ujar Kek Lam-wi, "gunung ini dinamakan
Thian-ping-san bukan?"
"Kek-jithiap dapat berada
di tempat yang pernah dikunjungi pula, yakin hatimu pasti amat gembira."
Namun sikap Kek Lam-wi sama
sekali tidak memperlihatkan rasa gembira, rona mukanya malah berubah, katanya:
"In-toacengcu majikanmu itu apakah berada diatas gunung ini?"
–Seperti diketahui alamat rumah In Kip sudah dia selidiki, jelas bukan di atas
gunung ini.
Koan Cong-yau tertawa lebar,
katanya: "Kek-jithiap tidak usah curiga, aku tidak akan kesasar. Di atas
gunung ada villa majikan. Cukong bilang mengadakan pertemuan di atas gunung
didalam villanya agak tenang dan nyaman. Villa itu konon dahulu adalah tempat
pelesir Go-ong di jaman Sam-kok, kali ini cukong sengaja menggunakan tempat
bersejarah ini untuk menyambut tamu agungnya."
Kek Lam-wi berpikir: "Dia
mengundangku ke villanya, jelas kuatir aku mengajak bantuan. Hm, permainan ini
ternyata terduga juga oleh dia. Tan-toako hanya tahu alamat rumahnya, takkan
mungkin menyusul kemari."
Dalam keadaan kepepet begini,
bila dia tetap memenuhi undangan, itu berarti seorang diri dia harus berani
menghadapi banyak resiko berhadapan dengan In Kip dan kawan-kawannya, bantuan
yang diharapkan juga sukar kemari. Mundur atau maju? Urusan sudah terlanjur
sejauh ini, maka dia jelas tidak mau mengalah dan mengunjuk kelemahan sendiri,
akhirnya dia nekad, pikirnya: "Demi keselamatan So-so, peduli sarang naga
atau gua harimau, hari ini aku harus mengobrak-abrik tempat ini bila
perlu."
Dengan langkah enteng dia
ikuti terus kemana Koan Cong-yau membawanya, setelah menyelusuri jalanan kecil
berbatu yang bulak belok kian kemari melampaui beberapa gundukan bukit kecil,
akhirnya tiba juga di villa In Kip.
Villa ini dibangun tepat di
tengah kebon, tumbuh-tumbuhan disini terawat dan teratur rapi, keindahan
alamnya tidak asor dibanding Say-cu-lim. Kek Lam-wi mengikuti Koan Cong-yau,
menyusuri lagi sebuah lorong panjang memasuki taman
kembang, didalam taman
gunung-gunungan tersebar, serambi berpagar, ada air mancur, empang teratai dan
sangkar burung besar. Di gundukan tanah tinggi sana, dibangun sebuah gardu
pemandangan yang cukup besar. Didalam gardu itu tiga orang tengah menunggu.
Seorang laki-laki dengan tubuh
buntak bundar berdandan seorang hartawan, seorang perempuan setengah baya
berpotongan tinggi kurus, dan seorang lagi laki-laki blasteran yang tampangnya
lebih mirip orang asing, sorot matanya tampak berkilat tajam, Thay-yang-hiat di
kedua pelipisnya tampak menonjol .keluar, selintas pandang orang akan tahu
bahwa dia seorang ahli Lwekeh yang kosen.
Kek Lam-wi kenal perempuan
kurus tinggi itu dia bukan lain adalah Bu-san-pang Pangcu, Bu-sam Niocu adanya.
Dari kejauhan Koan Cong-yau
sudah berseru: "Tamu agung kita telah tiba."
Laki-laki buntak bundar
seperti hartawan itu segera berdiri dan menyongsong keluar, katanya dengan
gelak tertawa: "Kek-jithiap memang dapat dipercaya. Mohon maaf orang she
In menyambut kurang hormat."
Kek Lam-wi balas menghormat,
katanya tawar: "Tuan ini tentu In-toa-cengcu adanya."
"Ya, benar. Cayhe memang
In Kip," sahut laki-laki buntak itu, "kapan Kek-jithiap pernah
berkunjung ke tempat kediamanku, silahkan masuk, sebagai tuan rumah akan
kuperkenalkan dua sahabat lain kepada kau. Nah, inilah Bu-sam Niocu yang datang
dari Sujwan barat."
Tawar suara Kek Lam-wi,
sapanya: "Bu-pangcu, kemarin agaknya kita pernah bertemu?"
Dengan mimik tertawa tidak
tertawa, mulut Bu-sam Niocu ngakak dua kali, katanya: "Pandangan Kek
Tayhiap memang tajam. Maaf ya akan kelancanganku kemarin tapi tentunya
Kek-jithiap juga tahu bila aku tidak bermaksud jahat, kemarin aku hanya bantu
In Cengcu mengundangmu kemari."
"Terima kasih akan
bantuanmu mengundangku kemari," ujar Kek Lam-wi, "orang she Kek
merasa beruntung dapat menghadiri pertemuan disini."
In Kip dan Bu-sam Niocu
merasakan nada ucapannya yang mengandung sindiran, namun In Kip pura-pura
bodoh, katanya tertawa: "Kita sesama kaum persilatan yang mencari nafkah
di Kangouw kurasa tidak perlu banyak basa-basi. Mari kuperkenalkan seorang
sahabat lagi kepada Kek-jithiap, inilah Tang bun-siansing yang baru datang dari
kota raja."
Laki-laki blasteran seperti
peranakan orang Han campur Mongol ini segera berdiri sambil ulur telapak
tangannya segede kipas berjabatan tangan dengan Kek Lam-wi, katanya:
"Sudah lama aku dengar dan kagum akan kebesaran nama Pat-sian, selamat
bertemu."
Diam-diam Kek Lam-wi bersiaga,
ternyata dia kecele, karena Tang-bun Cong ternyata tidak kerahkan tenaga
menjajalnya. Di waktu berjabatan tangan, diam-diam Kek Lam-wi perhatikan
pergelangan tangan orang seperti ada sebuah goresan kuku.
Mendengar nama orang ini
Tang-bun Cong, tergerak hati Kek Lam-wi, pikirnya: "Pasti orang inilah
yang semalam bentrok dengan Tan-toako," maklum jarang ada orang
menggunakan she rangkap "Tang-bun", kacung cilik yang ditanam oleh
Seng Toa-coan di Say-cu-lim hanya berhasil mencuri dengar bahwa laki-laki ini
she Tang-bun, namun siapa namanya tidak diketahui. Waktu bentrok dengan
lawannya semalam, Tan Ciok-sing gunakan jari tangan sebagai pedang berhasil
menjojoh pergelangan tangan orang. Semua kejadian itu sudah diceritakan Tan
Ciok-sing kepada Kek Lam-wi.
Meski Kek Lam-wi sudah menduga
asal-usul orang ini, namun dia pura-pura tidak tahu. Ala kadarnya dia basa-basi
lalu berkata kepada In Kip: "Entah untuk keperluan apa In Cengcu
mengundangku kemari?"
"Sudah lama aku mengagumi
nama besar Kek-jithiap, selalu aku berangan-angan untuk bisa bersahabat dengan
kau."
Kek Lam-wi menyambut dingin
basa-basi orang, katanya: "Terima kasih penghargaan In Cengcu padaku.
Kurasa perhatian In Cengcu tidak sesuai dengan maksud sebenarnya?"
Sikap In Kip tetap sopan dan
hormat, katanya ramah: "Kenapa Kek-jithiap bilang demikian? Orang she Jn
betul-betul amat mengagumimu dan ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Ya
mumpung Kek-jithiap sudi memenuhi undanganku, sekalian memang ingin
kurundingkan suatu urusan kepada Kek-jithiap."
Kek Lam-wi terbahak-bahak,
katanya: "Nah kan begitu. Lantaran ada urusan maka kau mencariku, tanpa
ada persoalan akupun tak akan berkunjung kemari, lebih baik kita bicara secara
blak-blakan saja. Tentang bersahabat segala, terus terang orang she Kek tidak
berani."
"Kek Tayhiap ternyata
amat supel dan suka terus terang, baiklah kita bicara secara gamblang saja, dua
benda yang kuberikan kepada Kek-jithiap itu, tentunya sudah kau terima dengan
betul, aku hanya pinjam tangan untuk menyampaikan pemberian orang saja, harap
tidak berkecil hati. Tapi untuk itu tidak sedikit juga memeras keringatku baru
kedua benda itu bisa sampai ke tangan Kek-jithiap. Kek-jithiap amat pintar,
tentunya kau sudah meraba kemana maksud tujuanku."
"Betul. Lantaran kedua
benda itu maka aku sudi datang kemari. Akan tetapi, In Cengcu perkataanmu
kurasa hanya benar separo saja."
In Kip melengak, tanyanya:
"Tentang hal apa yang dimaksud Kek-jithiap? Apa bisa diterangkan?"
Terlebih dulu Kek Lam-wi
keluarkan piau beracun itu, katanya: "Kado yang ini tentunya kau pinjam
dari Bu-pangcu bukan? Aku tahu inilah senjata rahasia tunggal Bu-pangcu, kado
bernilai sebesar ini aku tidak berani menerimanya, baiklah sekalian
kukembalikan bersama yang kuterima kemarin siang itu," lalu dia timpukan
piau beracun itu ke arah Bu-sam Niocu.
Kuatir lawan menimpuk dengan
gerakan aneh, Bu-sam Niocu tidak berani menyambut dengan tangan telanjang, baru
saja dia angkat tangan hendak mengebas dengan lengan baju, didengarnya
"klotak".
tahu-tahu piau beracun
miliknya itu sudah jatuh di meja, amblas kira setengah senti. Tidak susah untuk
menimpuk piau amblas ke permukaan meja, yang susah adalah tenaga yang digunakan
ternyata tepat dan pas-pasan, Bu-sam Niocu kira piau beracun itu akan melesat
ke mukanya, tak nyana di tengah jalan tahu-tahu anjlok jatuh ke bawah.
Tanpa berhenti Kek Lam-wi
keluarkan pula sebuah senjata rahasia milik Bu-sam Niocu yang tidak beracun,
kali ini dia menjentik dengan jari telunjuk sehingga piau itu melesat seperti
kilat, yang diincar adalah piau yang menancap di permukaan meja itu, sehingga
piau itu mencelat mumbul. Tenaga jentikan yang dikerahkan kali ini ternyata
lebih sukar dan menakjubkan lagi. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, mau
tidak mau dia memuji keliehayan Kek Lam-wi. Seperti tertawa tidak tertawa, dia berkata:
"Kepandaian bagus, Kek-jithiap. Kedua senjata rahasiaku ini hanya
merupakan undangan belaka, bahwa Kek-jithiap sudah memenuhi undangan, baiklah
kuterima kemhali undanganku ini."
Kini Kek Lam-wi keluarkan
tusuk kondai milik Toh So-so itu, katanya: "Piau beracun tadi, In Cengcu
boleh bilang kado yang dipinjam dari orang lain tapi tusuk kondai ini, aku tahu
siapa pemiliknya, kukira tak mungkin kau bisa meminjamnya?"
"O, jadi Kek-jithiap tadi
bilang omonganku betul separo, yang kau maksud tentang ini? Tapi peduli tusuk
kondai itu kupinjam atau hasil rampasan, sekarang sudah kuserahkan kepada
Kek-jithiap maksudkukan baik."
"Terima kasih akan
kebaikanmu," jengek Kek Lam-wi, "terhadap pemilik barang ini kurasa
kalian tidak bermaksud baik. Cekak aos saja. Pertama aku tanya kepada
Bu-pangcu, pemilik tusuk kondai ini apakah sudah terjatuh ke tanganmu? Apa yang
kau lakukan atas dirinya?"
"Urusan semakin gamblang,
tidak usah melantur jauh-jauh, biarlah aku terus terang saja. Memang betul Toh
So-so terjatuh di tanganku tapi boleh kau tidak usah kuatir, meski aku punya
piau beracun yang mematikan, namun tidak kugunakan terhadapnya, sedikitpun dia
tidak kurang suatu apa."
Bercahaya pandangan Kek
Lam-wi, desisnya: "Baiklah, sementara aku percaya akan omonganmu, sekarang
tolong beri kesempatan kepadaku untuk menemuinya."
kembali Bu-sam Niocu ngakak
dengan mimik muka kaku, katanya: "Kek-jithiap kau ini kan laki-laki
pintar, betapa jerih payah kami baru berhasil mengundang Toh-lihiap kemari,
setelah itu baru berhasil pula mengundangmu kemari. Tidak perlu banyak bicara
lagi, kami memang ingin memohon sesuatu kepadamu. Soal apa, marilah sekarang
bicarakan; permintaan itu kurasa masih terlalu pagi."
"Baik, apa kehendak
kalian, lekas utarakan saja."
"Tentang persoalan itu,
baiklah In-cengcu saja yang bicara."
In Kip batuk kering dua kali
lalu berdiri dan berkata sopan. "Seperti yang telah kukatakan tadi kami
ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Tapi perlu diingat, aku ini orang dagang,
bersahabat dan berdagang adalah dua soal yang berbeda. Tidak sedikit modal yang
sudah kukeluarkan, tentunya Kek-jithiap tidak membiarkan aku dirugikan."
"Asal kau tidak menarik
keuntungan dari pribadiku, aku sudah amat berterima kasih. Boleh kau sebutkan
berapa nilainya."
"Kek-jithiap bukan orang
dagang, perkataanmu ini apa tidak berkelebihan. Berdagang harus cari untung dan
menghitung rentennya pula, bagi pembeli mungkin merasa dikibuli, sebaliknya si
penjual merasa telah memperoleh sedikit keuntungan sepantasnya."
"Tapi harus dikalkulasi
dulu apakah aku mampu membayar sekalian rentennya tidak."
"Kau pasti mampu
membayarnya. Karena bila kau tidak mampu melunasinya, kami sudah siap
membantumu."
Kek Lam-wi ragu-ragu,
pikirnya: 'Mungkinkah mereka mengincar serulingku?" katanya: "Kalau begitu,
tolong In Cengcu jelaskan saja, berapa sih rentennya yang harus kubayar
sekalian?"
"Sepantasnya cukup satu
ganti satu, barter secara adil, tapi bila dikenakan rentennya pula, maka aku
menuntut satu ditukar dua."
Kek Lam-wi kaget, baru
sekarang dia sadar, yang mereka tuntut adalah manusia bukan barang mustika,
tanyanya: "Siapa yang kalian inginkan?"
Kalem suara In Kip: "Tan
Ciok-sing dan In San. Mereka menginap satu villa dengan kau bukan?"
"Makanya mereka suruh aku
mengelabui Tan-toako, ternyata hendak meminjam tanganku mencelakai Tan-toako
dan nona In. Agaknya bukan saja mereka tahu asal-usul Tan-toako berdua,
penyamaran ln San juga sudah mereka ketahui. Biar aku bersabar dulu, dengar apa
pula tuntutan mereka," lalu dia berkata: "Benar, mereka adalah
kawanku tinggal sevilla pula dengan aku. Entah untuk apa In Cengcu menginginkan
mereka berdua?"
Pelan In Kip berkata:
"Usia Kek-jithiap masih muda, muagkin kau tidak tahu peristiwa Bulim masa
lalu. Tapi Lim Tayhiap dan Loh-jihiap dari Pat-sian kalian adalah tokoh-tokoh
angkatan tua yang tahu seluk beluk kaum persilatan, yakin mereka tahu akan hal
itu. Bukan mustahil Kek-jithiap pernah dengar cerita mereka," secara tidak
langsung dia bilang bahwa Kek Lam-wi hanya pura-pura bodoh saja.
Kek Lam-wi justeru membodoh,
katanya: "Terlalu banyak yang pernah diceritakan Lim-toako dan Loh-jiko
tentang peristiwa besar kaum persilatan masa lampau, entah peristiwa mana yang
dimaksud In Cengcu?"
"Peristiwa memalukan dan
merupakan penghinaan bagi diriku," ujar In Kip ketus. "Sebetulnya aku
tidak ingin menyinggung soal ini, kini supaya barter itu tercapai, terpaksa aku
membeber sejarah. Empat puluh tahun yang lalu, kakekku Thian-cian-kong mati
lantaran ulah Thio Tan-hong."
"Oo, peristiwa itu
agaknya pernah kudengar," ucap Kek Lam-wi.
In Kip melanjutkan:
"Sudah kuselidiki, Tan Ciok-sing adalah murid Thio Tan-hong. Dan kau
adalah kawannya, malah hubungan kalian teramat intim, yakin k.m p.i-.u tahu
akan hal itu."
"Apa pula sangkut paut
persoalan ini dengan nona In?"
vKeluarga Thio dan In punya
hubungan karib turun temurun, kalau Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio
Tan-hong, sementara In San adalah satu-satunya keturunan keluarga In yang masih
hidup. Apalagi menurut apa yang kuketahui mereka adalah calon suami istri,
kenapa dikatakan tiada sangkut pautnya?"
Kalau menuruti adat Kek Lam-wi
sebelum ini, mungkin emosinya sudah meledak. Tetapi setelah peristiwa di kota
raja karena kecerobohannya hampir saja dia kecundang, hal itu merupakan
pelajaran yang berharga, sehingga sikapnya kini jauh berbeda, lebih tabah dan
mantap. Diam-diam dia berpikir: "Thio Tan-hong memang musuh besar keluarga
In, tapi setelah empat puluh tahun baru akan menuntut balas terhadap murid
penutupnya, perkara ini rasanya terlalu dipaksakan. Kuduga urusan bukan melulu
soal menuntut balas sakit hati leluhurnya saja."
In Kip berkata pula: "Aku
tahu Kek-jithiap dan Coh-lihiap adalah calon suami istri pula. Betapapun baik
hubungan sesama sahabat, kurasa calon isteri lebih penting? Bagaimana pendapat
Kek-jithiap tentang barter ini?"
Kek Lam-wi pura-pura terpekur,
katanya sesaat kemudian: "Mereka punya tangan punya kaki.
Kungfunya juga lebih tinggi
dari aku, cara bagaimana aku harus serahkan mereka kepadamu?"
Seketika cerah rona muka In
Kip, senyumnya lebar, dia kira Kek Lam-wi sudah terbujuk, katanya:
"Pepatah ada bilang tusukan tombak mudah di kelit, bidikan panah sukar
diduga. Kalau Kek-jithiap mau membokong mereka, apa susahnya? Bu-sam Niocu
adalah ahli dalam racun, dia punya obat bius yang tidak berwarna, tiada
rasanya. Sebagai teman baik mereka yakin kau tidak akan dicurigai."
"Menaruh racun secara
diam-diam adalah perbuatan rendah kaum kotor, apakah tidak menurunkan derajat
kita sebagai jagoan kosen?" jengek Kek Lam-wi.
"Bernyali kecil bukan
laki-laki, tidak berani bertindak keji bukan seorang jago silat. Sebagai cucu
dan menuntut balas sakit hati leluhurnya, memangnya aku harus pikirkan sebanyak
itu? Apalagi aku toh hanya hubungan dagang dengan Kek-jithiap saja, yang
kuharapkan hanya kontrak dagang ini sama disepakati, peduli amat bagaimana
barang itu akan diperoleh. Kek-jithiap, bila kau mau meneken kontrak dagang
ini, kurasa kaupun tidak usah pikirkan tetek bengek, setia kawan atau budi
pekerti segala.
"Baiklah," ujar Kek
Lam-wi, "kalau toh In-cengcu menginginkan aku bicara soal dagang, biarlah
aku belajar bagaimana untuk menjadi seorang pedagang yang baik."
In Kip kegirangan, serunya:
"Betul. Bila harga sudah disetujui, bayar lunas seketika. Kek-jithiap
boleh membuka harga, kan masih bisa dirundingkan."
"Dua tukar satu, apalagi
yang bakal kuperoleh adalah calon isteriku, kurasa kontrak dagang ini aku tetap
di pihak yang dirugikan."
"Keuntungan apa pula yang
ingin Kek-jithiap peroleh, boleh kau katakan saja."
"Orang berdagang memang
boleh tawar menawar dan bayar lunas seketika. Bila kedua pihak ada niat
menyelesaikan jual beli ini sepantasnya kedua pihak harus blak-blakan supaya
salah satu pihak tiada yang dirugikan."
"Betul, betul. Barang
tulen harga pas, sama untung sama dirasakan. Itulah prinsip dagang yang kuanut.
Memangnya sejak tadi aku sudah ingin blak-blakan dengan Kek-jithiap, berdagang
secara adil dengan nilai harga yang pantas," yang diharapkan mengejar
keinginan, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perkataan sendiri serba kontras.
"Kau berdagang adalah
pantas kalau ingin untung tapi keuntungan itu juga harus pantas, maka ingin aku
tahu lebih dulu, dari jual beli ini berapa keuntungan yang bakal kau dapatkan,
baru aku mau teken kontrak dagang ini secara adil."
"Bukankah tadi sudah
kujelaskan. Keuntungan yang kutuntut adalah dapat menuntut balas kematian
leluhurku saja."
"Kurasa In Cengcu tidak
jujur. Menurut apa yang kuketahui meski Tan Ciok-sing dan In San boleh
dipaksakan sebagai musuh besar keluargamu, tapi dibicarakan dari segi dagang,
ibarat nota lama yang tidak pernah ditagih sejak leluhurmu dulu, kukira tidak
usah kau berjerih payah hendak menuntut balas lagi, Tapi, untung juga aku tahu
akan satu hal, mereka terhitung buronan, dari mereka In Cengcu bisa memperoleh
keuntungan yang lebih besar lagi."
In Kip tertawa tergelak-gelak,
serunya: "Kek-jithiap bilang tidak pandai berdagang, kau justru seorang
ahli dagang. Baiklah, agaknya kau ada minat menyelesaikan jual beli ini, aku
boleh tak usah pura-pura dan main sembunyi-sembunyi dengan kau. Biarlah
kuperkenalkan pula seorang teman kepada kau." lalu dia panggil kuasa hotel
itu berbisik-bisik kepadanya, Koan Cong-yau segera mengundurkan diri.
Tidak lama, tampak seorang
Busu Watsu beranjak datang, serunya sambil melangkah masuk kedalam gardu:
"Kek-jithiap, tanpa berkelahi kita tidak akan pernah kenal. Sungguh tak
nyana bakal
bertemu kau disini."
–Busu Watsu ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo.
"Dulu kalian berjuang
demi kepentingan pihak masing-masing, hakikatnya tidak pernah bermusuhan
pribadi. Bahwa Kek-jithiap mau melaksanakan jual beli ini, maka selanjutnya
kalian boleh terhitung orang sendiri," demikian In Kip mengumpak.
"Sebelum jual beli ini
positip, hubungan sesama kawanpun belum boleh terjalin. In Cengcu, kau belum
menjawab persoalanku tadi."
"Berarti aku sudah
menjawabnya bukan. Setelah kau berhadapan dengan Poyang-siansing, masakah masih
tidak mengerti kenapa aku begitu getol membekuk Tan Ciok-sing dan In San?"
"Maaf, otakku memang
tumpul, kuharap kau menjelaskan lebih terperinci."
Poyang Gun-ngo menyela:
"Bicara terus terang istilah yang digunakan In Cengcu tentang berjuang
untuk masing-masing pihak juga hanya benar separo."
"Dan yang separo
lagi?" Kek Lam-wi menegas.
"Aku memang demi Khan
Agung kita, tapi bila kau bekerja demi rajamu yang goblok itu, maka kau akan
menyesal tujuh turunan. Raja kalian sedang marah-marah karena perbuatan yang
kalian lakukan justru tidak dia sukai."
"Tolong diterangkan lebih
jelas," pinta Kek Lam-wi.
"Memangnya apa yang belum
jelas?" seru Poyang Gun-ngo aseran, "Tan Ciok-sing dan In San adalah
manusia yang diincar raja kalian, hubungan jual belimu dengan In Cengcu ini,
hakikatnya adalah In Cengcu mewakili raja kalian. Tidak percaya boleh kau
tanyakan kepada Tang-bun-siansing ini dialah yang diutus rajanya untuk
menyelesaikan perkara ini."
Tang-bun Cong yang sejak tadi
diam saja kini menyela, katanya setelah tertawa. "Tidak berkelahi tidak
akan berkenalan. Kita kini adalah sesama kawan, akupun tidak perlu bermuka-muka
di hadapan Kek-jithiap. Temanmu Tan Ciok-sing berani menyelundup ke istana,
mengancam dan menyakiti Baginda, ini perbuatan durhaka yang patut dihukum mati.
Aku mendapat perintah rahasia Baginda menguntitnya sampai ke Kanglam, buronan
Tan Ciok-sing dan In San akan kubekuk dan digusur ke kota raja."
Poyang Gun-ngo menyambung:
"Oleh karena itu meski
kita bekerja demi kepentingan masing-masing, tujuannya adalah sehaluan. Bila
Kek-jithiap sudi membantu kita, bukan saja raja kalian akan berterima kasih
kepada kau. Khan Agung kita juga akan menaruh simpatik kepada kau. Bila jual
beli ini sudah jadi, keuntungan akan berlipat ganda."
Sekarang sudah jelas duduk
persoalannya, Kek Lam-wi membatin: "Ternyata raja goblok itu masih ada
niat melanjutkan perjanjian damai itu dengan pihak Watsu. Padahal konsep
perjanjian damai itu terampas oleh Tan Ciok-sing, maka tidak heran bila mereka
berdaya upaya hendak membekuk Tan Ciok-sing ke kota raja, dikiranya surat
perjanjian damai itu bisa direbut kembali dari Tan Ciok-sing," sebab utama
ini memang terduga oleh Kek Lam-wi, tapi masih ada pula sebab sampingan,
sebelum meninggalkan istana, Tan Ciok-sing meninggalkan
peringatan darah yang
ditulisnya di kain sutra dengan darah, peringatan itu selalu mengganjal
perasaan sang raja sehingga susah tidur dan tidak doyan makan.
Pura-pura serius Kek Lam-wi
menunduk seperti memeras otak, agak lama kemudian baru dia berkata:
"Banyak terima kasih, kalian sudah bicara panjang lebar, kini tiba saatnya
akupun harus bicara dengan sejujurnya, kita berjuang demi kepentingan
masing-masing, itu memang istilah yang tepat, tapi..." seperti tidak
sengaja dia mendekati In Kip sambil melirihkan suaranya.
In Kip kira dia punya rahasia,
katanya: "Tapi apa, bila Kek-jithiap ada kesulitan, boleh bicarakan saja
terus terang untuk dirundingkan beramai. Kalau tidak boleh juga kau beri
tahukan kepadaku seorang," karena ingin mendengar penjelasan Kek Lam-wi
tanpa sadar diapun maju ke depan lebih dekat.
"Yang hadir disini semua
adalah teman baikmu tidak jadi soal kujelaskan. Berjuang demi kepentingan
masing-masing? Kalau Poyang Gun-ngo berjuang demi Khan Agung yang dijunjungnya,
sebaliknya aku berjuang demi kepentingan rakyat jelata."
Baru saja In Kip tertegun,
"apa maksudmu", belum sempat dia tanya kepada Kek Lam-wi, mendadak
Kek Lam-wi sudah menyergapnya, secepat kilat dirinya telah dicengkeramnya.
Ilmu silat In Kip sebetulnya
tidak lemah, tapi Kek Lam-wi menggunakan jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio,
begitu berhasil mencengkramnya kontan dia persen lagi dengan tutukan
King-sin-pit-hoat, mana In Kip mampu berkutik? Sementara ujung pedang Poyang
Gun-ngo sudah mengincar punggung, demikian pula Ouw-tiap-piau beracun Bu-sam
Niocu juga meluncur ke bawah ketiaknya yang terbuka.
Gerakan ketiga pihak sama-sama
cepat. "Trang" Kek Lam-wi memang sudah siaga, serulingnya terayun ke
belakang menyampuk pergi pedang Poyang Gun-ngo, belakang kepalanya seperti
tumbuh mata saja, dengan telak dia patahkan serangan pedang lawan. Karuan
Poyang Gun-ngo mencelos, pikirnya: "Baru berselang satu bulan lebih.
Kungfu bocah keparat ini ternyata maju sepesat ini."
Bersamaan dengan gerakan
serulingnya menangkis tusukan pedang Poyang Gun-ngo, sekalian tubuh Kek Lam-wi
berputar setengah lingkar, kebetulan dia tarik dan putar badan In Kip yang gede
bundar itu ke kiri sebagai tameng untuk menutup lobang di ketiaknya, secara
langsung dia sambut timpukkan senjata rahasia Bu-sam Niocu dengan tubuh In Kip.
Bentaknya: "Berapa banyak senjata rahasiamu boleh timpukan
seluruhnya."
Senjata rahasia Bu-sam Niocu
dapat disambitkan tidak bisa ditarik balik, di kala jiwa ln Kip terancam oleh
timpukan Ouw-tiap-piau, tiba-tiba terdengar "Tring" tahu-tahu senjata
rahasia beracun itu jatuh di atas tanah. Ternyata kena dijentik pergi oleh Koan
Cong-yau yang menyamar sebagai kuasa hotel. Dia berdiri dalam jarak paling
dekat dengan In Kip, dengan dua jari dia menjentik, padahal ujung jarinya tidak
menyentuh senjata rahasia, tenaga jentikan jarinya sudah cukup mampu
menjatuhkan senjata rahasia itu. Jentikan jari rangkap ini kira-kira setaraf
dengan Bik-khong-ciang. Cuma dengan jari sebagai telapak tangan apalagi bekerja
tepat pada waktunya dengan tenaga yang diperhitungkan pula, kungfu ini jauh
lebih susah diyakinkan dari Bik-khong-ciang.
Walau In Kip tidak terluka, kawan-kawannya
itu jadi ragu-ragu, tiada yang bertindak secara gegabah untuk menolongnya. Kek
Lam-wi menyeringai tawa, desisnya: "Marilah kita bicarakan jual beli
lainnya. In Toa-cengcu tolong kau antar aku keluar, siapapun kularang ikut.
Setiba di bawah bukit, aku akan bebaskan kau."
Hiat-to di tengkuk In Kip
dicengkramnya, sedikit dia kerahkan tenaga, kontan In Kip menjerit kesakitan,
serunya: "Baik, baik, terserah kehendakmu."
"Minggir," bentak
Kek Lam-wi, sambil menenteng seruling, dia gusur In Kip keluar dari gardu.
Sedangkan Bu-sam Niocu, Poyang Gun-ngo dan Koan Cong-yau menyurut mundur, tiada
satupun di antara mereka yang berani bertindak.
Tapi waktu Kek Lam-wi gusur In
Kip lewat di depan Tang-bun Cong, mendadak Tang-bun Cong menghardik sekali
sambil layangkan kepalannya menjotos perut In Kip. Bila yang dijotos Kek
Lam-wi, secara reflek dia akan menangkis. Tapi yang dijotos justeru perut In
Kip yang gendut itu, hal ini diluar dugaan Kek Lam-wi. Memangnya dia gusur In
Kip di depan sebagai tameng, mana dia tahu bukan saja Tang-bun Cong tidak
kuatir, yang dijotos malah tawanannya.
Yang dijotos memang perut In
Kip, tapi yang terkena akibat dari jotosan itu secara langsung justru Kek
Lam-wi. Mendadak Kek Lam-wi merasakan diterjang oleh segulung tenaga hebat
sedahsyat gugur gunung tanpa kuasa cengkraman jarinya mengendor, maka In Kip
lolos dari cengkramannya. Ternyata Tang-bun Cong meyakinkan sejenis ilmu yang
dinamakan Kek-bu-thoan-kang (menyalur tenaga melalui benda), meski jotosannya
mengenai perut In Kip, padahal perut In Kip itu hanya dipinjam untuk
menyalurkan tenaga pukulannya ke sasaran yang diincarnya, hakikatnya ln Kip
tidak terluka sedikitpun juga.
Begitu In Kip lolos dari
cengkraman Kek Lam-wi, kontan Bu-sam Niocu menjentik jari kelingkingnya, serunya
dengan cekikik genit: "Kek-jithiap, aku bermaksud baik menahanmu disini,
lekas kau istirahat saja."
Hidung Kek Lam-wi dirangsang
serangkum bau wangi, tubuhnya seketika limbung, kepala pusing, kaki enteng,
kontan dia jatuh semaput.
In Kip mengelus dada, katanya:
"Tang-bun-siansing, Bu-sam Niocu, terima kasih akan bantuan kalian
membekuk bocah ini. Cuma Bu-sam Niocu harap kau tidak meracunnya sampai
mati."
Bu-sam Niocu tertawa, katanya:
"In Cengcu tak usah kuatir, masa aku akan membuatmu rugi? Aku hanya
menggunakan obat bius saja, tanpa menggunakan obat penawarku, dua belas jam
kemudian, meski dia bisa siuman sendiri, paling cepat tiga hari lagi baru dia
pulih kesehatannya."
In Kip tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Bagus sekali. Dalam jangka tiga hari ini, kita bisa menggunakan
dia untuk memancing dagangan besar lainnya."
"Maksud Cengcu hendak
memancing Tan Ciok-sing dan In San?" tanya Koan Cong-yau.
"Betul," sahut In
Kip.
"Kemungkinan dia
memberitahukan pertemuan rahasia dengan kita ini kepada Tan Ciok-sing, bocah
itu tidak gampang dipancing dan ditipu."
In Kip berkata:
"Anak-anak muda yang mengagulkan diri sebagai kaum pendekar itu paling
mengutamakan setia kawan. Meski tahu disini ada perangkap kukira bocah she In
dan keparat she Tan itu tetap akan meluruk kemari."
Kek Lam-wi hanya sedikit
menghirup Bit-hun-san, kalau tiga bulan yang lalu, mungkin dia sudah tidak
ingat diri lagi. Tapi setelah memperoleh ajaran tambahan
Lwekang dari Susioknya-Ti
Nio, Lwekangnya sekarang sudah
jauh lebih maju. Kini meski kesadarannya makin pudar, namun keadaannya tidak
pati rasa sama sekali. Mendengar percakapan mereka, dalam hati diam-diam dia
mengeluh. Kehilangan seruling bukan jadi soal, yang dia kuatirkan adalah kawan
yang mungkin ikut terperangkap musuh.
Maklum bila Tan dan In datang
tepat pada waktunya, dengan gabungan mereka bertiga, situasi mungkin bisa
mereka robah. Kini Kek Lam-wi sudah jadi tawanan, umpama mereka sempat menyusul
kemari juga tidak akan mampu menolong dirinya lagi, celaka bila dirinya dijadikan
sandera.
Kek Lam-wi sudah duga bahwa ln
Kip akan memancing Tan Ciok-sing dan In San kemari seperti memancing dirinya
dengan Toh So-so. "semoga mereka tidak senasib aku," demikian batin
Kek Lam-wi. Tapi dia sendiri yakin bahwa Tan dan In demi menolong dirinya,
pasti bertindak seperti yang diduga In Kip, meski tahu ada perangkap, mereka
tetap akan menerjang datang.
Kek Lam-wi jadi putus asa dan
kecewa pula, ingin rasanya kerahkan Lwekang memutus urat nadi hingga mati
supaya tidak tersiksa oleh musuh, supaya tidak membuat kapiran teman pula.
Untuk memutus urat nadi diperlukan Lwekang yang tangguh, padahal tenaga untuk
bergerak saja dia tiada mana mampu bunuh diri?
Tengah pikirannya melayang,
tiba-tiba didengarnya langkah gugup datang, lalu didengarnya In Kip bertanya:
"Ong-koankeh, ada apa kau datang tergopoh-gopoh?"
Dengan napas tersengal orang
itu berkata: "Ada dua orang anak muda menerjang kedalam rumah
mengobrak-abrik, katanya mau mencari Kek Lam-wi dari Kanglam-pat-sian."
Hal itu sudah dalam dugaan In
Kip, katanya tertawa: "Kurasa bukan dua laki-laki? Kalau dugaanku tidak
keliru, salah seorang adalah seorang cewek jelita."
"Betul, semula aku tidak
bisa membedakan, tapi setelah bergebrak beberapa jurus, akupun sudah tahu.
Budak itu mahir memainkan ilmu golok keluarga In yang dikombinasikan dengan
permainan pedang, kuduga dia adalah putrinya In Hou."
"Jadi seorang yang lain
sudah pasti adalah Tan Ciok-sing bocah keparat itu."
Koankeh atau pengurus rumah
tangga ini belum pernah melihat Tan Ciok-sing, namun pernah dengar tentang ilmu
pedang Tan Ciok-sing yang luar biasa itu, maka dia mengangguk: "Betul,
walau dia tidak menyebutkan nama, kurasa memang dia adanya."
"Untung sebelumnya sudah
kuperhitungkan," ujar In Kip tertawa riang, "dia mengobrak-abrik
rumahku mencari Kek Lam-wi, itu berarti dia di pihak yang dirugikan. Kalian
sudah membekuknya belum?"
"Amat menyesal, mereka
berhasil meloloskan diri."
Lega hati Kek Lam-wi.
"Untung mereka tidak masuk perangkap," demikian batinnya, pengaruh
obat bius mulai bekerja didalam tubuhnya, karena perasaan lega seketika dia tak
kuat benahan lagi, pikiran gelap diapun jatuh pulas, sayang dia tidak sempat
mendengar pembicaraan selanjutnya.
In Kip berkata: "Disana
ada Bak-pangcu dan beberapa Thaubak, ada pula Kun-lun-kiam-khek Kwik Tiang-ceng
yang dia undang mewakili aku, ditambah kau pula kenapa masih tidak mampu
melayani kedua muda-mudi itu?"
Perlu diketahui Ong-koankeh
ini bukan lain adalah Ong Cong-king alias Ji-pangcu dari Giam-ong-pang, sejak
Giam-ong-pang bubar belasan tahun yang lalu, pemimpin besar mereka Giam Cong-po
tidak karuan paran jejaknya. Sementara Ong Cong-king dan Koan Cong-yau demi
menyambung hidup, terpaksa terima menjadi pembantu In Kip.
Ong Cong-king diangkat jadi
Koankeh, sementara Koan Cong-yau diangkat sebagai kuasa perhotelan di
Say-cu-lim. Walau kedua orang ini sudah menemui jalan buntu dan akhirnya terima
diperbudak. Tetapi lantaran di kalangan hitam dulu mereka mempunyai kedududukan
baik, maka In Kip tidak berani main-main dan menghargainya. Sementara Kwik
Tiang-ceng adalah jago pedang kenamaan dari Kun-lun-pay, kenal baik dengan Bak
Bu-wi, kebetulan dia bertamu di Hoay-yang-pang, maka Bak Bu-wi menariknya untuk
membantu kerja di rumah keluarga In.
Kemarin malam Bak Bu-wi memang
terluka, namun lukanya tidak terlalu parah. Sementara Ong Cong-king dan Kwik
Tiang-ceng terhitung jago kelas tinggi di kalangan Kangouw. In Kip kira dengan
tenaga beberapa orang ini dia tidak usah kuatir bakal terjadi sesuatu yang
merugikan di rumahnya. Diluar tahunya, kejadian justru diluar dugaannya.
Setelah mengatur napas dan menyeka keringat Ong Cong-king berkata pula:
"Bocah she Tan dan budak she In itu memang liehay, pedang mereka bergabung
hanya tiga jurus Kwik Tiang-ceng sudah terluka oleh pedang mereka. Untung
jumlah orang kita banyak, semua melabraknya beramai-ramai sehingga kedua bocah
itu digebah lari."
Diam-diam In Kip kaget,
pikirnya: "Tak heran semalam Tang-bun-siansing kena dirugikan oleh Tan
Ciok-sing," kejadian yang merugikan dirinya semalam, sudah tentu tidak
pernah diceritakan oleh Tang-bun Cong sendiri, tapi Koan Cong-yau tahu akan
kejadian itu.
Ong Cong-king berkata lebih
lanjut: "Cukong harap dimaafkan. Majikan muda, dia..."
In Kip hanya punya seorang
putra tunggal bernama In Hou, mendengar Ong Cong-king menyinggung putranya, dia
terperanjat.
"Apa anak Hou, dia
kenapa?" tanyanya kaget. '"Tuan muda terluka sedikit," sahut Ong
Cong¬king.
"Luka apa?"
"Terluka oleh
Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat she Tan keparat itu. Setelah melukainya, bocah itu
masih menutuk Hiat-tonya pula, untung dia tidak tahu kalau dia tuan muda, kalau
tidak..."
Sudah tentu In Kip tidak sabar
mendengar ocehannya, tanyanya gugup: "Apakah sekarang dia sudah
cacat?"
"Tulangnya yang patah
sudah kusambung dan kuobati, kurasa tidak sampai cacat, cuma Kungfunya mungkin
harus dilatih ulang."
Lega hati In Kip, katanya:
"Aku punya kekayaan sebanyak ini, umpama dia tidak pandai main silat juga
hidupnya tidak akan kapiran."
"Tapi, tapi..."
Berkerut alis In Kip.
"Tapi apa lagi?"
"Tuan muda ditutuk jalan
darah pelemas tubuhnya, kami tidak mampu membukanya."
Jalan darah pelemas tidak
segenting jalan darah mematikan, tapi bila kelamaan dan tidak mampu membukanya
tutukan itu bakal menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan tubuh. Karuan In Kip
gugup lagi, serunya: "Kenapa kalian tidak lekas menggotong kemari?"
"Tuan muda sudah kubawa
kemari. Soalnya luka-luka Hun¬ kin-joh-kut itu pantang mengalami getaran luar.
Maka aku tidak berani membawanya menunggang kuda atau menggendongnya. Kini di
perjalanan, dia naik kereta yang dilampiri kasur empuk. Yang pegang kendali
adalah Thio Tiang-tui, si Kaki Panjang, cukong tidak usah kuatir," si Kaki
Panjang adalah kusir In Kip yang paling pandai.
In Kip tekan amarahnya supaya
dia tidak marah-marah terhadap Ong Cong-king, betapapun hatinya tidak bisa
lega. Berulang dia membanting kaki, serta berkaok-kaok suruh anak buahnya
keluar menyambut putranya telah tiba. Merah padam muka Ong Cong-king saking
malu, dia minggir ke samping, berdiri mematung seperti ayam jago yang kalah di
arena.
Untung mereka tidak menunggu
lama, yang diharappun telah tiba. Tampak empat Keh-ting memanggul sebuah
usungan, putranya yang terluka itu diturunkan di hadapannya.
Melihat muka putranya pucat
hijau, noda darah yang mengotori pakaiannya masih belum dibersihkan, sungguh
perih dan kaget hatinya, katanya gelisah: "Tang-bun-siansing, mohon kau
suka menolongnya. Aku yakin kau pasti dapat membebaskan tutukan Hiat-to
putraku."
Tang-bun Cong memang ahli
Tiam-hiat, mahir membuka tutukan
Hiat-to dari berbagai aliran.
Ong Cong-king tahu akan keahliannya maka buru-buru membawa majikan mudanya
kemari.
Dengan tenang Tang-bun Cong
berkata: "Baiklah biar kucoba." — — Perlahan dia menepuk punggung dan
kedua ketiak In Hou masing-masing tiga kali. "Hauuaaah" kontan In Hou
memuntahkan sekumur riak kental, mulutnya mampu bersuara dan bicara.
"Ayah, anak dianiaya
keparat itu, kau harus membalaskan sakit hatiku."
"Siauya tidak usah
kuatir," ucap Koan Cong-yau, "Tan Ciok-sing adalah buronan baginda,
kita beramai memang hendak menangkapnya."
"Ayah," kata In Hou
pula, "kau sudah berterima kasih kepada Ong-koankeh belum, kali ini berkat
pertolongannya, kalau tidak akibatnya sungguh sukar dibayangkan."
In Kip melengak, pikirnya:
"Sebagai Koankeh dia tidak mampu mengatasi kesulitan sehingga kedua bocah
itu membuat keributan, sudah untung kalau aku tidak menyalahkan dia, kenapa aku
harus berterima kasih kepadanya malah," tapi demi memberi muka kepada Ong
Cong-king, dengan tawar dia berkata. "Oh, ya, beikai usaha Ong-koankeh
gvhingga musuh digebah pergi, aku memang harus berterima kasih kepadamu."
"Bukan soal itu yang
kumaksud," kata In Hou, "Ong-koankeh, apa kau belum jelaskan kepada
ayah?"
Ong Cong-king tersenyum,
katanya: "Itu sudah kewajibanku, buat apa siauya menyinggungnya."
Karena ingin tahu, terpaksa In
Kip mendesak tanya. Tapi Ong Cong-king mandah tertawa saja tanpa mau buka
suara.
"Ayah," kata In Hou,
"tiila kukatakan kau akan lebih marah lagi. Keparat itu bukan saja
menganiaya aku, juga Sam Ih-nio." Sam Ih-nio yang dikatakan In Hou adalah
gundik In Kip yang ketiga, In Kip punya seorang istri dengan empat gundik, yang
paling disayang justru adalah gundik yang ketiga ini.
Kejut dan gugup In Kip
dibuatnya, serunya gusar: "Tan Ciok-sing keparat itu memang kurang ajar,
bagaimana dia bisa menganiaya Sam Ih-nio?"
"Dia menerobos masuk ke
kamar Sam Ih-nio, entah apa yang dilakukan, kudengar Sam Ih-nio menjerit-jerit
minta tolong, segera aku memburu kedalam, sayang Kungfu anak kurang becus, bukan
saja tidak mampu menolong Sam Ih-nio, jiwa sendiri hampir saja melayang. Untung
Ong-koankeh datang tepat pada saatnya, sehingga anak dapat diselamatkan.
Pakaian Sam Ih-nio sudah tidak karuan, tapi untung juga karena kenekatanku, dia
tidak sampai mengalami ga"ngguan lebih buruk."
Legalah hati In Kip, lekas dia
menyatakan terima kasih kepada Ong Cong-king, dan mencaci maki Tan Ciok-sing.
Ternyata diluar tahunya bahwa
peristiwa itu justru tidak pada tempatnya. Hakikatnya peristiwa itu hanya
bualan putranya belaka. Cuma dalam bualan itu ada beberapa patah kata yang
benar, namun istilah "aniaya" terhadap gundik ketiga itu bukan Tan
Ciok-sing yang melakukan, tapi justru putranya sendiri.
Diluar tahu In Kip, In Hou
putra tunggalnya sejak lama sudah main serong dengan gundik ketiga itu. Di
waktu Tan Ciok-sing dan In San mengobrak-abrik rumahnya mencari jejak Kek
Lam-wi, kebetulan dia kepergok sedang tidur seranjang di kamar gundik ketiga
itu. Memang secara kebetulan saja, tujuan utama hendak membekuk In Kip, justru
putranya yang lagi main serong ini ketangkap basah. Karena In Kip tidak ketemu,
terpaksa Tan Ciok-sing memberi sedikit tanda mata kepada In Hou baru
meninggalkan tempat itu.
000OOO000
Ong Cong-king pandai menjilat,
dia merangkul majikan muda ini demi kepentingannya, sudah logis kalau dia bantu
menutupi peristiwa memalukan ini. In Hou amat berterima kasih akan bantuannya
ini, maka berhadapan langsung dia bicara akan kebaikan Ong Cong-king.
Sudab tentu In Kip juga seekor
rase yang licin, namun tak berani dia menduga bahwa putranya ini mencuri
gundiknya, setelah mendengar cerita bohong dia anggap kejadian sesungguhnya,
maka wajahnya tampak merah padam.
Ong Cong-king berkata:
"Setelah tidak menemukan Cengcu, keparat Tan Ciok-sing itu mungkin mengompres
keterangan salah seorang anak buah kita, bukan mustahil sudah tahu Cengcu
disini, sebentar mungkin menyusul kemari."
Seperti api disiram minyak,
amarah In Kip makin berkobar, serunya: "Aku justru kuatir keparat itu
tidak kemari. Disini kita banyak orang, Kek Lam-wi sudah tergenggam di tangan
kita, apa pula yang harus ditakuti? Bila dia berani datang, biar kupatahkan
tulangnya dan kubeset kulitnya."
Ong Cong-king tertawa,
katanya: "Harap Cukong tidak marah. Jelas kita tidak akan mendiamkan
keparat itu, tapi jangan lupa dia adalah buronan yang diminta oleh
Baginda."
Seketika padam amarah In Kip,
katanya: "Bila tidak kupatahkan tulangnya dan membeset kulitnya, aku akan
menyiksanya juga sampai puas baru akan kuserahkan kepada Baginda. Hm, aku
justru kuatir dia tidak berani kemari."
Tengah bicara, mendadak dari
kejauhan berkumandang sebuah suara, itulah suara tabib kelilingan yang
berkaok-kaok tentang kemahirannya mengobati berbagai penyakit, suaranya sengaja
ditarik panjang: "Khusus menyembuhkan berbagai penyakit aneh dan sukar
disembuhkan, terutama
menyambung tulang memulihkan
otot dari urat, tanggung sekali diobati sembuh seperti sedia kala, tidak cacat
tiada bekas."
Mendengar suara tabib
kelilingan ini, semua orang jadi melenggong dan saling pandang.
Perlu diketahui villa In Kip
ini terletak di tengah-tengah bukit didalam kebon yang luas arenanya, tabib
kelilingan itu terang tidak boleh sembarang masuk kedalam kebonnya itu berarti
dia mengumandangkan suaranya jauh diluar pintu besar. Padahal villa dimana
sekarang mereka berada ada setengah li dari pintu besar, melewati berlapis
pintu dan hutan yang tersebar lagi.
Habis tertegun Tang-bun Cong
segera berkata: "Tabib kelilingan ini kurang beres suaranya menggunakan
ilmu mengirim suara gelombang panjang."
In Kip bercekat, katanya:
"Mungkin keparat itu yang datang?"
In Hou mandengarkan seksama,
katanya: "Tidak mirip, suara keparat itu aku dapat mengenalinya."
"Suara orang ini serak
tua," timbrung Koan Cong-yau, "kukira bukan samaran bocah itu."
Sebetulnya In Kip juga seorang
Kangouw yang pengalaman, dia pun dapat membedakan suara serak dan muda. Tapi
kejadian amat mendadak, mau tidak mau perasaan yang masih gundah dan kebat
kebit itu belum hilang, maka dia tidak memikirkan sejauh itu. Kini mendengar Koan
Cong-yau yang sudah tahu dari dekat tentang pribadi Tan Ciok-sing, rasa
curiganya lenyap seketika.
In Hou berkata: "Ayah,
bila dia betul seorang tabib tulen dan bukan membual, coba kita panggil dia
masuk, biarlah anak menjadi percobaan untuk menguji kepandaiannya."
Seperti diketahui In Hou
dipelintir lengannya oleh Tan Ciok-sing dengan Hun-kin-joh-kut sehingga
tulang-tulang patah urat keseleo, tulangnya sudah dibetulkan Ong Cong-king,
sehingga tidak sampai cacat, namun selanjutnya dia tidak akan bisa bermain
silat lagi. Tabib kelilingan ini mengagulkan diri pandai menyambung tulang
segala, karuan In Hou mengharap luka-lukanya bisa sembuh cepat dan pulih
seperti sedia kala.
Hobby Tang-bun Cong belajar
silat, maka dia berkata: "Mendengar ilmu mengirim suara gelombang
panjangnya itu, aku jadi ingin menjajalnya. Bukankah kita ingin membekuk
keparat itu? Umpama betul tabib kelilingan ini adalah komplotannya, dia berani
mengantar jiwanya kemari, kita tidak usah takut menghadapinya. Bila dia bukan
komplotan bocah itu, bukan mustahil kita bisa merangkul seorang tenaga yang
dapat diandalkan."
Bu-sam Niocu tertawa, katanya:
"Kekuatiran In-cengcu juga harus dipikirkan, begini saja aku punya
akal," lalu dia berbisik-bisik di pinggir telinga In Kip.
In Kip girang, wajahnya
berseri, serunya: "Bagus, bagus, dengan akal itu legalah hatiku, boleh
segera kau siapkan. Ong-koankeh, tolong kau undang tabib kelilingan itu
kemari."
Tang-bun Cong berdarah
campuran Han dan Mongol, Poyang Gun-ngo orang Watsu, wajah mereka mudah dilihat
sebagai orang asing. Karena itu sebelum tahu seluk beluk tabib kelilingan ini,
menurut rencana mereka, untuk sementara tidak unjuk diri saja, maka mereka
sembunyi di belakang pintu angin.
Tidak lama kemudian Ong
Cong-king membawa seorang tabib kelilingan itu masuk, usianya kira-kira lima
puluhan, perawakannya kurus tinggi, mukanya kuning kering, tampangnya biasa
tiada yang istimewa. Justru tiada keistimewaannya, maka dia lebih mirip pemain
akrobatik yang suka kelilingan di Kangouw mencari nafkah.
Melihat tampang orang biasa
saja, selintas pandang In Kip amat kecewa, namun lekas dia berpikir:
"Manusia tidak boleh dinilai dari wajahnya, air tidak bisa diukur dengan
gantang. Bukan mustahil tabib keliling ini benar-benar memiliki kepandaian,"
maka dia persilakan tabib itu duduk dan memberi hormat, katanya: "Tolong
tanya siapa she dan nama Siangsing?"
Tabib itu bersuara sumbang:
"Hamba she Koan, bernama Put-ping."
She Koan (mengurus) bernama
Put-ping (tidak adil) jadi kalau digabung menjadi Koan Put-ping (mengurus yang
tidak adil). Bercekat hati In Kip, batinnya: "Aneh juga nama tabib
kelilingan ini," tapi mengingat orang-orang yang hidupnya mengembara di
Kangouw kebanyakan memang nyentrik, maka tidak perlu dibuat heran bila dia
menggunakan nama-nama yang aneh pula.
"Entah siapa yang sakit
disini, sakit apa?" tanya tabib kelilingan, agaknya dia tidak suka
ngobrol.
"Putraku kurang hati-hati
jatuh dari punggung kuda sehingga tulang patah otot keseleo, kudengar Siansing
ahli menyambung tulang dan otot, entah Siangsing bisa menyembuhkannya seperti
sedia kala?"
Tabib kelilingan itu tertawa
lebar, katanya: "Bukan aku suka mengagulkan diri, jangan kata tulang
patah, umpama lengan putus atau paha patah juga aku bisa menyambungnya pula
sampai sembuh tanpa meninggalkan bekas. Dalam jangka sebulan dia sudah akan
mampu mengangkat barang berat."
"Bagus sekali," seru
In Kip senang, "bila putraku sembuh seperti apa yang Siangsing katakan,
berapa saja ongkosnya pasti kubayar."
Tawar suara tabib kelilingan:
"Soal bayaran boleh tidak usah dirisaukan. In-toacengcu, nama besarmu
sebagai hartawan nomor satu di Kanglam terkenal di seluruh jagat, memangnya aku
kira kau tidak akan membayar mahal padaku? Biarlah aku periksa dulu luka-luka
putramu."
"Baiklah, biar kusuruh
putraku keluar. Silakan kau minum teh sambil menunggunya sebentar," lalu
dia tuangkan secangkir teh dan disuguhkan sendiri kepada tabib kelilingan, lalu
diapun isi cangkir sendiri mengiringi orang minum.
Tabib kelilingan seperti tidak
menaruh curiga sedikitpun, angkat cangkir terus ditenggaknya habis. Dengan
mulut berkecek-kecek lidah menjulur keluar dia memuji: "Wah, teh harum dan
sedap."
Legalah hati In Kip, diam-diam
dia tertawa dalam hati: "Dugaan Bu-sam Niocu memang tidak meleset, mungkin
kepandaian mengobati tabib kelilingan ini amat liehay. Kenyataan dia bakal
kecundang juga oleh akalnya."
Ternyata dalam air teh itu
sudah dicampur Hap-kut-san oleh Bu-sam Niocu. Supaya tabib kelilingan ini tidak
curiga, sebelumnya In Kip sudah minum obat penawarnya, maka dia berani mengajak
tamunya ini minum bersama.
Hap-kut-san bikinan Bu-sam
Niocu ini daya kerjanya lambat, masuk mulut tidak terasa, namun dalam jangka
setengah jam orang tanpa sadar akan lunglai tak mampu mengeluarkan tenaga.
Jangan kata berjalan, mengangkat tangan atau kakipun rasanya berat.
Begini rencana mereka, bila
tabib ini betul-betul baik hati mau menyembuhkan luka-luka In Hou, setengah jam
kiranya cukup untuk menyambung tulang dan membetulkan otot. Jadi sebelum dia
menyadari dirinya keracunan, obat penawar yang sudah disiapkan dalam air teh di
cangkir lain akan disuguhkan pula, hakikatnya dia tidak tahu bahwa dirinya
pernah keracunan. Bila tabib keliling ini melakukan sesuatu sampai harus
bergebrak dan turun tangan, khasiat obat bius itu akan kumat dan bekerja lebih
dini dari waktunya, umpama ln Hou dia tangkap untuk sandera juga tidak perlu
dibuat kuatir lagi.
Adanya akal bulus yang diatur
Bu-sam Niocu ini, dijaga pula oleh Ong Cong-king dan Koan Cong-yau dua jago
yang dapat diandalkan, maka In Kip yakin segalanya akan berjalan lancar sesuai
rencana, tanpa menguatirkan apa-apa dia serahkan putranya untuk diperiksa.
Melihat si tabib setelah minum
teh malah memuji teh wangi dan enak, diam-diam dia tertawa senang, katanya:
"Itulah Liong-kin-teh yang diseduh dengan air embun, agaknya Siansing
memang penggemar teh, silahkan minum secangkir lagi."
Tabib kelilingan berkata:
"Teh baik jangan minum banyak-banyak, lebih bagus disimpan saja.
Nanti setelah menyembuhkan
putramu, pelan-pelan akan kunikmatinya lagi."
In Kip tahu sampai dimana
khasiat Hap-kut-san buatan Bu-sam Niocu, sebetulnya secangkir juga cukup untuk
melumpuhkan tabib ini, supaya tidak menimbulkan rasa curiganya, maka dia
berkata dengan tertawa: "Siansing agaknya ahli dalam soal minum, baiklah
setelah mengobati putraku nanti, akan kusuguh pula Siansing beberapa
cangkir."
Mana dia tahu, padahal Tabib
kelilingan juga tengah tertawa dalam hati. Tabib kelilingan yang memperkenalkan
diri dengan nama Koan Put-ping ini, tanpa kami jelaskan tentu para pembaca
sudah menduga siapa dia sebenarnya. Dia bukan lain adalah Kim-to-thi-ciang Tam
Pa-kun.
Setelah Tan Ciok-sing dan In
San pergi, tiba-tiba dia teringat: "In Kip adalah rase tua yang licin,
walau dia berpesan kepada kuasa hotel supaya Kek Lam-wi merahasiakan pertemuan
hari itu terhadap Tan Ciok-sing, tidak mungkin dia tidak siaga bila Kek Lam-wi
membocorkan pertemuan itu. Maka alamat pertemuan itupun sudah diatur sedemikian
rupa di tempat lainnya."
Dari mulut Kiau-jan Taysu dia mendapat
tahu bahwa In Kip punya sebuah villa di atas Thian-ping-san, maka setelah
menyamar jadi tabib kelilingan segera dia menuju ke Thian-ping-san. Dan secara
kebetulan In Hou terluka, diluar dugaan klop dengan rencananya menyamar tabib
kelilingan. ln Kip ternyata ketipu dan
mengundangnya masuk.
Saat mana kedua pihak sama
tertawa dalam hati, In Kip kira Tam Pa-kun betul sudah masuk perangkap, diluar
tahunya, berkepandaian tinggi nyali Tam Pa-kun memang keliwat besar, meski tahu
di atas gunung ada harimau, dia justru naik ke gunung dan lewat disana.
Diam-diam Tam Pa-kun kerahkan
Lwekangnya untuk mencegah Hap-kut-san bekerja dalam tubuhnya, kedua pihak punya
perhitungan sendiri, sementara itu Ong Cong-king sudah memapah In Hou keluar
dari dalam.
Sengaja Tam Pa-kun bermain
sandiwara, sebagaimana lazimnya seorang tabib dia periksa urat nadi serta
memeriksa lengan yang terluka katanya: "In-toacengcu, ingin aku bicara,
tapi mungkin kedengarannya kurang pantas, entah perlu tidak kuucapkan?"
Yang dipikir In Kip adalali
putranya lekas sembuh, maka katanya: "Silakan katakan noja Siansing."
"In-toacengcu, untuk
menolong putramu, maka tidak sepantasnya kau berbohong kepadaku," secara
blak-blakan dia membongkar kebohongan In Kip.
In Kip justru kaget dan
gembira, pikirnya: "Agaknya tabib kelilingan ini memang membekal
kepandaian tulen," namun dia pura-pura bodoh, tanyanya: "Kenapa
Siansing bilang begitu. Orang she In yakin tidak menipumu, harap Siansing
memberi petunjuk."
"In-cengcu," ujar
Tam Pa-kun kalem, "tadi kau bilang putramu jatuh dari punggung kuda
sehingga tulang patah urat keseleo. Tapi menurut pemeriksaanku, kukira kejadian
tidak demikian?"
"Waktu putraku jatuh, aku
tak ada di rumah, aku hanya mendengar laporannya saja."
"Kalau begitu putramu ini
yang bohong?"
Lekas In Hou berkata:
"Siansing, tak usah kau peduli apakah aku ini bohong atau tidak, coba
katakan menurut pemeriksaanmu, apa kau tahu kenapa aku terluka?"
"Baiklah biar
kuterangkan, coba cocokan apakah analisaku betul. Luka-lukamu ini bukan lantaran
jatuh, tapi lenganmu dipelintir patah dengan Hun-kin-joh-kut oleh seorang ahli
silat yang liehay. Orang yang melukai kau, kalau tidak salah seorang pemuda
yang berusia belum genap dua puluh."
In Hou ayah beranak
betul-betul kaget, teriaknya bersama tanpa berjanji: "Dari mana kau
tahu?"
"Hun-kin-joh-kut adalah
ilmu yang sukar diyakinkan, setiap turun tangan harus diperhitungkan baru
hasilnya akan dapat diagulkan. Oleh karena itu bila ilmu ini dilatih sampai
taraf yang sempurna, kebanyakan adalah jago silat yang usianya sudah mencapai
setengah baya, seorang jago silat seusia itu dengan bekal kepandaiannya yang
liehay, kebanyakan pula mempunyai ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dia
tidak akan semau gue turun tangan melukai orang dengan ilmu yang ganas ini,
tapi sekali turun tangan dia tidak akan kenal kasihan lagi. Dari hasil
pemeriksaaan luka-luka di lengan putramu ini, meski latihan Hun-kin-joh-kut
orang itu sudah termasuk taraf tinggi, namun waktu turun tangan dia diburu oleh
emosi sehingga tenaga yang dikerahkan terlalu dipaksakan, ini jelas menandakan
bahwa hatinya saat itu sedang marah atau tidak sabar lagi. Dan lagi, bagi orang
yang sudah tua, tenaga dalamnya lebih condong agak lunak, terutama di waktu
melukai lawan dengan gerakan Hun-kin-joh-kut, karena itu gerakan ini tidak
memerlukan tenaga yang besar. Tapi orang itu bukan saja menggunakan tenaga yang
diburu nafsu, tenaganya teramat kasar pula, maka aku berani memastikan bahwa
penyerang itu usianya masih muda meski sudah memiliki Kungfu yang tinggi. Entah
betul tidak uraianku?"
"Betul," teriak In
Hou, "betul sekali. Siansing, kau seperti menyaksikan sendiri, bangsat itu
usianya mungkin memang belum genap dua puluh tahun."
Tam Pa-kun berkata
sungguh-sungguh: "Seorang tabib harus tahu sebab musabab datangnya
penyakit, barulah dia bisa membuat resep dan memberikan obat yang tepat. Untung
aku tahu akar asal mula luka-luka ini berdasarkan pengalaman puluhan tahun,
kalau aku percaya begitu saja bahwa tulang ini patah lantaran jatuh dari punggung
kuda, bukankah aku akan memberikan obat yang salah? Akibatnya kau sendiri yang
akan mengalaminya."
Lekas Ong Cong-king melerai,
katanya: "Siansing tidak usah marah, begitulah kejadiannya, Siauya tidak
ingin bila Loya tahu dia berkelahi dengan orang, maka dia berbohong., Untuk ini
Loya memang benar-benar tidak tahu."
Segera In Kip pura-pura memaki
putranya, katanya kemudian: "Koan-siansing ternyata memiliki Kungfu dan
kepandaian mengobati yang liehay, uraianmu tadi sungguh membuka mata kami.
Sungguh harus dipuji, yakin Siansing pasti dapat menyembuhkan putraku. Untuk
itu Siansing tidak usah kuatir berapa .imbalan yang kau pinta, sesenpun tidak
kurang akan kubayar. Siansing mau uang tunai atau..."
Setelah tahu berita dan jejak
Tan Ciok-sing lega hati Tam Pa-kun, katanya tersenyum: "Emas aku emoh,
perak juga tidak mau, aku hanya menuntut satu orang untuk menukar jiwa
putramu," sampai disini mendadak dia mencengkram In Hou serta dijinjingnya
ke atas. Ong Cong-king yang berdiri tidak jauh sudah siap merebut maju, tapi
sudah terlambat. Sekali mengebas lengan bajunya, angin kencang seketika menerpa
muka, tanpa kuasa Ong Cong-king tergentak mundur dua langkah. Kagetnya bukan
main, "Tabib ini sudah minum teh yang dicampur Hap-kut-san, kenapa tenaga
dalamnya masih sehebat ini?"
Mendadak didengarnya Tam
Pa-kun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Dengan maksud baik aku kemari mau
mengobati, kalian justru mau meracuni aku, adakah aturan macam ini? Hehe,
memangnya Hap-kut-san mampu berbuat apa terhadapku, kalian ingin mencelakai
aku, memangnya siapa aku ini, begitu rendah kalian menilaiku."
Di tengah gelak tawanya
mendadak dia acungkan jari lengah tangan kirinya, sejalur air segera menyembur
keluar dari jari tengah itu, tampak uap mengepul, lekas In Kip dan Ong
Cong-king melompat minggir takut kecipratan. Koan Cong-yau yang berdiri di
samping sana juga melongo ketakutan.
Ternyata Tam Pa-kun menyimpan
Bik-ling-tan pemberian In Hou yang dibuat dari Thian-san-soat-lian, khasiatnya
dapat memunahkan berbagai racun, sejak tadi Tam Pa-kun sudah meminumnya
setengah butir, ketambah Lwekangnya tangguh, meski minum secangkir teh beracun,
dia kerahkan Lwekang memusatkannya ke ujung jari serta menyemburkannya.
In Kip tenangkan hati, serunya
gugup: "Siansing harap kau tidak salah paham. Soalnya musuhku terlalu
banyak, setiap urusan harus bertindak hati-hati. Kupikir setelah Siansing
menyembuhkan putraku, segera akan kuberikan obat penawarnya. Tak kira Lwekang
Siansing begitu tangguh, kini tidak mengalami cidra apa-apa, biarlah aku mohon
maaf dan memberi hormat kepadamu. Cuma siapa yang Siansing tuntut untuk menukar
putraku?"
"Kek Lam-wi, salah satu
dari Kanglam-pat-sian."
Sudah kaget In Kip masih mau
mungkir: "Koan-siansing, tuntutanmu ini sungguh membuatku heran dan tidak
habis mengerti, apa itu Kanglam-pat-sian..."
"In-toacengcu,"
tukas Tam Pa-kun menyeringai dingin. "Kau bersimalaraja di Kanglam,
kalangan hitam golongan putih kau punya kenalan, memangnya kau tidak tahu apa
itu Kanglam-pat-sian?"
"Kanglam-pat-sian"
aku sih tahu, tapi dengan mereka hakikatnya aku tidak punya hubungan. Kau
mencari Kek Lam-wi dari Kanglam-pat-sian koh di tempatku, apa tidak salah
alamat?" ,
"Apa betul kau tidak tahu
dimana sekarang Kek Lam-wi berada?"
Diam-diam In Kip
memperhitungkan waktunya, dia yakin tabib kelilingan ini tidak mungkin bersua
dengan Tan Ciok-sing lalu baru-baru menyusul kemari, maka dia tetap mengeraskan
kepala, tetap mungkir: "Aku benar-benar tidak tahu."
"Kalau kau tidak tahu,
aku justru sudah tahu. Aku tahu sekarang dia berada didalam villamu ini."
"Siansing berkelakar,
selamanya aku tiada hubungan dengan Kek-jithiap, bagaimana mungkin dia bisa
berada di rumahku?"
"In-toacengcu,"
jengek Tam Pa-kun, "benda apa yang kau sembunyikan didalam bajumu?
Agaknya kau memang pandai
membual?"
Seruling pualam hangat milik
Kek Lam-wi tadi dirampas Bu-sam Niocu dan diberikan kepada In Kip, In Kip belum
sempat menyimpannya kedalam. terpaksa dia sembunyikan didalam jubahnya.
Mendadak Tam Pa-kun membongkar bualannya, tanpa sadar dia menyurut mundur,
sebelah tangan serta merta menekan ke tempat dimana seruling itu disembunyikan.
Berkata Tam Pa-kun lebih
lanjut: "Kepandaian lain aku tidak punya, tapi mataku ini amat tajam untuk
mengenali benda pusaka, sinar mustika tampak cemerlang dari badanmu, sekali
pandang aku lantas tahu seruling warisan leluhur Kek Lam-wi itu berada dalam
bajumu, masih berani kau katakan dia tidak berada di rumahmu?" — —
Hakikatnya kata-kata sinar mustika cemerlang dari badan hanyalah istilah
berkelebihan yang digunakan Tam Pa-kun. Tapi sebagai ahli silat, senjata apa
yang disimpan dalam baju orang, sekali pandang dia lantas dapat menebaknya.
"In-toacengcu, kuharap
kau tahu diri. Kalau tidak, jangan menyesal bila aku bertindak kasar. Tabib
yang ahli mengobati ini juga bisa jadi jagal manusia. Sekarang aku hanya
menunggu jawabanmu, lekas keluarkan Kek Lam-wi untuk menukar jiwa raga putramu,
jual beli secara banter ini kau mau terima tidak?" demikian ancaman Tam
Pa-kun.
"Nanti dulu Siansing,
aku, aku, aku..." beruntun In Kip menyurut mundur.
Sekonyong-konyong terdengar
suara "Biang" yang keras, pintu angin di depan Tam Pa-kun tiba-tiba
jebol dan berlobang besar, segulung angin kencang langsung menerpa ke arahnya.
Kembali Tang-bun Cong
mendemonstrasikan kepandaian Kek-bu-thoan kang membokong Tam Pa-kun. Dengan
Bik-khong-ciang dia menjebol pecah pintu angin, bila Tam Pa-kun jinjing In Hou
menangkis pukulan jarak jauh ini, maka pukulan dahsyat itu akan tersalur
seluruhnya ke tubuh Tam Pa-kun. Itu berarti mereka ada kesempatan untuk
menolong In Hou.
Tapi Tam Pa-kun bukan Kek
Lam-wi, sejak tadi juga sudah dia ketahui bahwa di belakang pintu angin ada
jago kosen yang menyembunyikan diri? Maka sergapan Tang-bun Cong boleh dikata
sudah dia duga sejak tadi. Tampak dengan tangan kiri dia seret In Hou, telapak
tangan kanan menekan miring dan sekali dorong ke samping, maka terdengarlah
"Blam" pintu angin di sebelah sana kembali jebol berantakan diterjang
angin kencang. Suara hancurnya daun pintu malah jauh lebih keras dari pukulan
Bik-khong-ciang Tang-bun Cong tadi. Ternyata Tam Pa-kun tidak mau adu
kekerasan, maka dia gunakan tenaga 'tuntun', damparan angin pukulan Tang-bun
Cong yang dahysat itu dia tuntun ke samping sehingga pintu angin yang lain
hancur berkeping-keping.
Tang-bun Cong juga seorang
jago silat kosen, melihat lawan memiliki Kungfu meminjam tenaga memunahkan
tenaga, maka dia tahu kalau lawan tidak menuntun tenaga pukulannya ke arah
lain, dia cukup mampu memanfaatkan kekuatan pukulannya ditambah tenaga sendiri
untuk dialihkan ke tubuh In Hou. Bila hal ini terjadi, umpama jiwa In Hou
rangkap dua belas juga akan amblas seluruhnya seketika itu juga, sementara Tam
Pa-kun tidak akan cidra sedikitpun. Tahu akan liku-liku ini, sudah tentu
Tang-bun Cong tidak berani pula bertindak gegabah untuk menyerang kedua
kalinya. Bukan saja dia tidak berani menyerang pula, diapun tidak berani
menampilkan dirinya. Di kala pintu angin rohoh berantakan, cepat-cepat bersama
Poyang Gun-ngo dia melompat sembunyi ke ruang belakang. Bukan lantaran dia takut
menghadapi Tam Pa-kun, soalnya dia dan Poyang Gun-ngo sekarang sedang mengemban
tugas lain yang penting dan berat, membantu In Kip hanya kerja samben. Bahwa
sergapannya tidak berhasil, berarti dia tidak akan mampu membantu In Kip, dalam
situasi yang tidak menguntungkan pihaknya, buat apa pula dia harus mengunjukkan
dirinya.
Satu pintu angin bolong, pintu
angin yang lain roboh berantakan. Meski In Kip selicin rase dan banyak akal
muslihat, setelah kejadian ini, berdiri dan melongo, lututnya bergetar keras.
Di tengah kegaduhan robohnya
pintu angin, Tam Pa-kun menjejak lantai, tubuhnya mumbul, meski dia menjinjing
In Hou, Ginkangnya ternyata tidak kena korting. Secepat kilat, seperti elang
menubruk kelinci saja, tahu-tahu dia sudah menubruk ke depan In Kip.
Koan Cong-yau dan Ong
Cong-king kira dia hendak melukai In Kip, tanpa pikir serempak mereka menubruk
bersama. Gaman Koan Cong-yau adalah Boan-koan-pit, menusuk ke Hong-hu-hiat di
punggung Tam Pa-kun, sementara Ong Cong-king adalah ahli Tay-lik-eng-jiau-kang
jari-jarinya mencengkram tulang pundak kirinya. Tam Pa-kun mengempit In Hou di
bawah ketiaknya, tangan kiri jelas tidak mungkin bergerak, berarti pundak dan
punggungnya terbuka lebar. Pimpinan Giam-ong-pang dulu ini cara turun tangannya
ternyata amat keji, sekali turun tangan sudah paksa lawan untuk menyelamatkan
diri lebih dulu.
Gerakan tiga orang sama-sama
cepat, sebat sekali Tam Pa-kun memutar tubuh, "Cret" jubah In Kip
sudah terobek, dengan memutar tubuh itu secara langsung dia angsurkan In Hou kemuka
Koan Cong-yau, Koan Cong-yau tidak memiliki ilmu Kek-bu-thoan-kang, mana dia
berani melanjutkan serangannya? Untung permainan Boan-koan-pit yang dilatihnya
cukup mahir hingga sudah terkendali oleh jalan pikirannya, dalam seribu
kesibukannya dia tarik tusukan potlot besinya yang dilandasi seluruh tenaganya,
syukur ujung potlotnya tidak sampai melukai In Hou.
Dalam pada itu Ong Cong-king
merasa pandangannya silau, sinar kehijauan yang gemeredep tahu-tahu menyambar
ke mukanya, tampak Tam Pa-kun sudah memegang sebatang seruling, itulah seruling
pualam milik Kek Lam-wi. Kiranya tubrukan Tam Pa-kun menyergap In Kip bukan
bermaksud mencelakai jiwanya, tapi hendak merampas balik seruling mustika itu.
Pada hal In Kip memiliki ilmu
silat cukup baik, meski dia melompat mundur secepatnya, tak urung mukanya yang
tambun itu terasa panas dan pedas tersampuk oleh tenaga lengan baju Tam Pa-kun.
Yang paling kaget dan
ketakutan sudah tentu adalah In Hou yang menjadi sandera musuh, dalam gebrakan
kilat ini, saking ketakutan muka pucat mulut megap-megap tidak mampu keluar
suara, sekarang baru kuasa dia berteriak-teriak: "Tolong, tolong."
Tam Pa-kun tertawa dingin,
jengeknya: "In-toasiauya, bila aku menghendaki nyawamu, sejak tadi sudah
kubiarkan tubuhmu dimakan oleh pukulan Bik-khong-ciang tadi, memangnya aku
perlu turun tangan sendiri?"
In Kip suka bergaul, tidak
sedikit tamu-tamunya
berkepandaian tinggi, maka
pengetahuannya dalam hal ini cukup matang. Pukulan Kek-bu-thoa-kang yang
dilontarkan Tang-bun Cong berhasil dipunahkan oleh Tam Pa-kun, hal ini dia
ketahui betul, insaf pakai kekerasan pihak sendiri mungkin bakal menderita rugi
lebih besar, sebelum Koan dan Ong kedua anak buahnya bertindak pula, lekas dia
berseru: "Semuanya berhenti, urusan baik dirundingkan saja."
"Nah kan begitu,"
ujar Tam Pa kun tertawa. "Marilah duduk dan bicarakan jual beli ini In
toacengcu, seruling Kek Lam-wi sudah kurebut kembali, sekarang kutunggu kau
membawanya keluar, supaya aku kembalikan serulingnya ini kepada dia."
"Silakan Siansing
duduk," ucap In Kip, "kalau jual beli harus dibicarakan, harap tanya
siapa she dan nama besar Siansing?"
Ong Cong-king sudah berdiri
terpaku sejak tadi, kini mendadak menyela: "Maaf, maaf, ternyata Siansing
adalah Kim-to-thi-ciang (telapak besi golok emas) Tam Tayhiap."
Tam Pa-kun tertawa gelak,
katanya: "Pandangan Ong-jipangcu memang lebih tajam, kawan-kawan Kangouw
memang menempel emas di mukaku, menjuluki aku Kim-to-thi-ciang. In-toacengcu,
kini kau sudah tahu siapa aku, yakin kau juga sudah mengerti kenapa aku ingin
menjual beli ini? Selama hidup orang she Tam memang suka mencampuri urusan
orang lain apalagi kau menawan temanku Kek Lam-wi. Bahwa aku mau jual beli
dengan kau secara adil, ini sudah menguntungkan dan memberi muka kepada
kau,"
Merah, pucat dan menghijau
wajah In Kip, sesaat dia menghela napas lega, katanya: "Aku sudah
mengerti, harap kau tidak mempersulit putraku, mari kita rundingkan persoalan
dengan baik."
Tam Pa-kun berpaling, berkata
kepada Ong Cong-king dan Koan Cong-yau: "Dua puluh tahun yang lalu sudah
ada niatku untuk mohon pengajaran dari tiga pimpinan Giam-ong-pang, sayang
waktu itu tak bisa terlaksana. Hari ini baru kubuktikan kepandaian kalian
memang mengagumkan, tapi aku jadi gegetun dan merasa sayang bagi kalian. Dengan
kedudukan kalian dulu dan bekal kepandaian setinggi itu, kenapa terima
diperbudak orang? Hehe, perlu kuperingatkan, harap kalian tidak mengingkari
sumpah kalian dulu di hadapan I n Tayhiap. Meski penghidupan selanjutnya akan
sepi dan tawar, tapi lebih berharga dari pada menjadi anjing penjaga pintu
orang lain."
Merah padam muka Ong dan Koan,
mereka tertunduk tanpa berani bersuara. Dua puluh tahun yang lalu, penyebab
utama sehingga Giam-ong-pang kocar kacir dan bubar, maka ketiga pimpinannya
menghilang dan tidak pernah mengunjukkan dirinya pula, bukan lain adalah teman
baik Tam Pa-kun, yaitu In Hou ayah kandung In San.
Waktu menumpas kejahatan
orang-orang Giam-ong-pang dulu, pernah In Hou mengajak Tam Pa-kun untuk
membantunya. Sayang waktu itu Tam Pa-kun sedang sibuk menyelesaikan tugasnya
sehingga tidak bisa memenuhi undangannya, belakangan karena tanpa memperoleh
bantuan Tam Pa-kun yang amat diandalkan, In Hou hanya kuasa mengalahkan ketiga
pimpinan Giam-ong-pang dan tak berhasil membunuhnya.
Sesaat kemudian baru Ong
Cong-king buka suara: "Bukan kami ingkar janji, soalnya In Tayhiap sudah
mati, disini kami sebagai tamu In-cengcu, di rumah kawan kami hanya membantu
sekedarnya, kan tidak terhitung berkecimpung pula di Kangouw."
Tam Pa-kun tidak suka urusan
berlarut-larut, jengeknya dingin: "Masing-masing orang punya jalan
hidupnya sendiri, kau suka menjadi anjing penjaga pintu orang lain, ya
terserah. In-toacengcu, perlu kita balik bicarakan persoalan jual beli itu,
sebetulnya kau mau menyelesaikan jual beli ini tidak?"
Apa boleh buat, terpaksa In
Kip memberi kedipan mata kepada Ong Cong-king, katanya: "Ong-koankeh, kau
undang Kek-jithiap kemari."
Ong Cong-king maklum segera
dia berlalu, setelah menemukan Bu-sam Niocu, berdua mereka ke belakang masuk ke
penjara. Kek Lam-wi dijebloskan di penjara bawah tanah, walau harus melewati
beberapa pintu, sepatutnya lekas sekali sudah bisa digusur keluar, tapi setelah
ditunggu hampir setengah sulutan dupa masih juga belum kelihatan Ong Cong-king
keluar membawa Kek Lam-wi.
Peristiwa tak terduga ternyata
terjadi di penjara bawah tanah, bukan saja Tam Pa-kun tidak pernah duga bakal
terjadi hal itu. In Kip dan orang-orangnyapun tidak habis mengerti.
000OOO000
Entah berapa lama Kek Lam-wi
tidak ingat diri, dalam pulasnya dia bermimpi berada di Ji-si-kio di kota
Yang-ciu, dalam mimpinya itu dia bersua dengan Toh So-so yang berdiri di bawah
pohon di pinggir sungai tengah meniup seruling. Baru saja dia mau keluarkan
serulingnya juga, tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi, bayangan Toh So-so
lenyap seketika, tapi dia jelas merasakan ada sebuah tangan halus lembut tengah
mengelus jidatnya. Lapat-lapat dalam pulasnya itu
Kek Lam wi mendadak seperti
memperoleh kesadarannya.
Dia masih kuatir dirinya
terbuai di alam mimpi, waktu dia angkat tangan menangkap, tidak salah, terasa
dia menggenggam jari-jari tangan seorang gadis, itulah tangan manusia tulen,
bukan di alam mimpi. Tapi kulit tangan si gadis begitu lembut dan halus laksana
sutra sehingga pegangannya beberapa kali ter lepas, tapi sekarang dia yakin,
dirinya tidak mimpi lagi.
Kejut dan girang Kek Lam-wi,
tanpa sadar dia berteriak: "So-moay, So-moay, apa betul kau?"
Cepat gadis itu mendekap
mulutnya sambil mendesis lirih di pinggir telinganya, katanya lirih:
"Jangan keras-keras, lekas ikut aku keluar."
Itu bukan suara Toh So-so. Kek
Lam-wi masih dalam keadaan setengah sadar, tanpa merasa jari-jari tangannya
merogoh kedalam baju, maksudnya hendak meraba serulingnya. Menyadari
serulingnya telah lenyap,
barulah Kek Lam-wi sadar kembali. Seketika dia ingat dirinya memenuhi undangan
In Kip dan terbius oleh bau wangi Bu-sam Niocu. Kenapa sekarang dirinya
tiba-tiba bisa bergerak? Pandangannya serba gelap, tempat apakah ini?
Tangan gadis itu terulur lagi
menggenggam tangannya terus menuntunnya pergi. Tapi tetap bungkam seribu
bahasa. Dengan tangan kirinya Kek Lam-wi meraba-raba dinding batu di
sampingnya, kesadarannya bertambah terang, dengan bekal pengalamannya, dia
menyadari dirinya sekarang mungkin berada di penjara bawah tanah, jadi belum
keluar dari lingkungan villa keluarga In.
Dia sudah mulai curiga bahwa
gadis yang menuntunnya ini bukan Toh So-so, tapi bahwa dia lekas sadar dan
mampu berjalan terang berkat bantuan gadis ini peduli Toh So-so atau bukan,
pendek kata gadis ini telah menolongnya, jelas tidak mengandung maksud jahat
terhadap dirinya.
Mereka seperti berjalan di
lorong bawah tanah, di kala Kek Lam-wi masih bimbang, tiba-tiba sayup-sayup
didengarnya suara percakapan orang. Dia kenal itulah suara Ong Cong-king. Ong
Cong-king sedang berteriak: "Celaka, penjara bobol, lekas masuk Kek Lam-wi
masih ada didalam?"
Mendengar teriakan Ong
Cong-king, gadis yang menarik tangannya segera berjalan lebih cepat. Dia tahu
gadis ini berusaha menolong dirinya, tapi dirinya dilarang bersuara, maksudnya
sudah tentu supaya jejak mereka tidak konangan orang. Dalam keadaan demikian,
meski besar hasratnya ingin tahu siapa gerangan gadis ini, terpaksa dia tekan
perasaannya, diapun percepat langkahnya.
Agaknya gadis ini amat hapal segala
seluk beluk dan rahasia di bawah lorong ini, entah berapa jauh telah mereka
tempuh dengan belak belok kian kemari di bawah tanah, akhirnya dia dibawa
merangkak keluar dari sebuah mulut lobang.
Pandangannya kini terasa
benderang, malam itu putri malam memancarkan cahayanya yang cemerlang, dikala
rembulan tepat bercokol di tengah cakrawala.
Kek Lam-wi kucek-kucek
matanya, di bawah penerangan sinar bulan, baru sekarang Kek Lam-wi sempat
mengawasi gadis yang menolongnya. Ternyata dia mengenakan cadar sehingga tak
kelihatan wajahnya.
000OO000
Tam Pa-kun sudah tidak sabar
menunggu. In Houpun gugup setengah mati.
"Kenapa begini lama, ayah
lekas suruh orang lain menyusulnya," pinta In Hou.
Waktu In Kip suruh Koan
Cong-yau menyusul, tampak Ong Cong-king sudah berlari keluar, tapi hanya
seorang diri tanpa membawa Kek Lam-wi. In Hou kaget setengah mati, tanyanya
lebih dulu: "Ong-koankeh, kenapa hanya kau seorang diri?"
Setelah mengatur napas, Ong
Cong-king berkata tergagap: "In-cengcu, ce... celaka."
Tahu gelagat tidak baik, lekas
In Kip bertanya: "Apa yang celaka?"
"Kek Lam-wi, dia, dia
sudah pergi," sahut Ong Cong-king.
Sudah tentu Tam Pa-kun tidak
mau percaya, katanya: "Kalian masih bersandiwara apa? Baiklah, kalian
tidak mau membebaskan Kek Lam-wi boleh terserah, In-toakongcu ini biar kubawa
pergi saja."
"Ayah," teriak In
Hou ketakutan, "Ong-koankeh, tolonglah tuntutannya, tukarlah diriku dengan
apa yang dimintanya."
Ong Cong-king tertawa getir,
katanya meringis: "Kongcu, Tam Tayhiap tidak percaya kepadaku, kenapa
kaupun tidak percaya pula?"
"Tam Tayhiap, sabar,
jangan marah dulu," lekas In Kip tampil kemuka, "biar kutanya dulu
persoalannya? Ong-koankeh, bagaimana Kek Tayhiap bisa hilang?"
"Aku juga tidak tahu
bagaimana dia bisa pergi? Penjaga semaput semua diluar pintu. Aku tidak sempat
periksa mereka, apakah tertutuk Hiat-tonya atau terkena racun?"
Tergerak hati In Kip,
tanyanya: "Dimana Bu-sam Niocu?" maklum dalam keadaan gugup dan
gelisah, tanpa sadar dia sudah membongkar sendiri bahwa Bu-sam Niocu ada di
rumahnya.
"Bu-sam Niocu sedang
mengejar dan menyelidiki kejadian ini. Dia suruh aku kembali memberi laporan
kepada Cengcu."
Melihat sikap In Kip yang
gelisah dan kuatir, jelas bukan pura-pura, menurut pengalaman dia berpikir:
"Agaknya mereka bukan sedang main sandiwara. Tapi siapa yang bisa menolong
Kek Lam-wi?" Padahal Tan Ciok-sing dan In San belum menyusul kemari, orang
lain jelas tidak akan mampu melakukannya.
"Tam Tayhiap,
persoalannya sudah jelas, seseorang telah membawa Kek-jithiap pergi, tujuanmu
sudah tercapai, boleh kau membebaskan putraku, bukan?"
Tam Pa-kun masih setengah
percaya, tiba-tiba dia ingat sesuatu, katanya: "Tentang Kek Lam-wi apakah
kalian sedang main sandiwara, aku tidak peduli lagi, tapi aku tidak sudi melakukan
jual beli yang merugikan."
"Baik, asal kau
membebaskan putraku, apa kehendakmu, bila bisa kulaksanakan semua tuntutanmu
kuterima."
"Kek Lam-wi tidak bisa
kalian keluarkan, baiklah ditukar seorang lain saja."
In Kip melenggong, katanya:
"Tam Tayhiap, siapa pula yang kau kehendaki?"
"Barusan Bu-sam Niocu
mengejar seorang diri bukan."
In Kip mengiakan.
"Baiklah. Aku tahu calon
istri Kek Lam-wi yaitu Toh So-so tertawan oleh Bu-sam Niocu, bahwa Bu-sam Niocu
ada disini, yakin Toh So-so juga disekap di rumahmu. Kalau dia tidak membawa
Toh So-so, maka sekarang lekas keluarkan Toh Lihiap."
In Kip tampak bingung, katanya
kemudian: "Bahwasanya aku tidak tahu menahu soal itu."
"Dia berlindung disini,
apa yang dia lakukan mana mungkin kau tidak tahu?" damprat Tam Pa-kun,
"hm, kalau kau tidak tahu kenapa kaupun pancing Kek Lam-wi kemari?
Ketahuilah bagaimana pesanmu kepada Koan Cong-yau untuk mengundangnya kemari
semua sudah kuketahui dengan jelas. Bila kalian tidak gunakan Toh So-so untuk
memancing kedatangannya, memangnya Kek Lam-wi sudi memenuhi undanganmu?"
In Kip masih bingung, In Hou
sudah tidak sabar lagi, teriaknya: "Tam Tayhiap, biar aku yang bicara
sejujurnya. Bahwasanya tiada kejadian itu."
Tam Pa-kun melenggong,
tanyanya: "Jadi bukan sesungguhnya?"
"Itu hanya akal bulus
Bu-sam Niocu untuk menipu dan menjebak Kek Lam-wi. Yang benar Toh So-so tidak
pernah terjatuh di tangannya. Tam Tayhiap, aku bicara sejujurnya, harap kau
membebaskan aku."
"Kalian ayah dan arak
bicaranya berbeda, aku tidak mau percaya obrolan kalian," dengus Tam
Pa-kun.
"Tam Tayhiap, kali ini
aku bicara sesungguhnya," teriak In Hou.
Lekas In Kip juga berkata:
"Omongan putraku memang bukan bualan. Tam Tayhiap, maafkan kecerobohanku,
tidak pantas aku menuruti kemauan Bu-sam Niocu, aku membantunya mengatur
muslihatnya itu."
Karena ingin menolong
putranya, apa boleh buat terpaksa In Kip membeberkan seluruh persoalannya.
Meski ayah beranak bersumpah pada bumi dan langit, Tam Pa-kun masih ragu-ragu.
Di kala kedua pihak masih bersitegang leher, tiba-tiba terjadi keributan
diluar.
Suara seorang gadis
melengking: "In Kip keparat tua bangka itu dimana, lekas suruh dia keluar
menemui aku."
Mendengar suara gadis ini, Tam
Pa-kun dan In Kip sama-sama tertegun. Gadis ini bukan lain adalah calon isteri
Kek Lam-wi, yaitu Toh So-so. Setelah kaget, sikap In Kip tenang malah,
teriaknya: "Jangan kalian merintanginya, biarkan dia masuk menemui
aku."
Tanpa dipesan oleh In Kip,
anak buahnya memang tidak mampu merintangi Toh So-so. Dua Busu yang berjaga di
pintu kena disapu jungkir balik dengan Sau-tong-tui oleh Toh So-so. Begitu
melangkah ke ruang tamu, sudah tentu Toh So-so lantas melihat Kim-to-thi-ciang
Tam Pa-kun. Kejut campur girang. Toh So-so berjingkrak: "Tam-sioksiok,
kaupun datang?"
"Nona Toh, kau selesaikan
dulu urusanmu, nanti kita bicara lebih lanjut," sapa Tam Pa-kun tersenyum.
Toh So-so berpaling dengan
tawa mengejek, katanya kepada In Kip: "Kenapa aku meluruk kemari, tentunya
kau sudah mengerti sendiri. Mana Kek Lam-wi? Apa yang kalian lakukan atas
dirinya?"
In Kip berkata: "Tam
Tayhiap sedang bicarakan soal itu dengan aku. Kek-jithiap sudah pergi masa kau
tidak tahu?"
Seorang pesuruh masuk,
katanya: "Nona ini sudah pergi memeriksa ke penjara bawah tanah. Tapi dia
tidak mau percaya bahwa Kek-jithiap sudah pergi, tanpa banyak bicara langsung
dia melabrak kita sampai disini."
In Kip tertawa getir, katanya:
"Kau sudah memeriksa ke penjara, tentu melihat juga orang-orangku semaput
di tanah. Kami juga tidak tahu kau bakal datang kemari, percayalah bukan kami
sengaja mengatur muslihat lagi."
"Siapa tidak tahu kau
banyak akal bulus, aku sendiri sudah merasakan kelicikanmu," jengek Toh
So-so, "kalau ingin aku percaya, kecuali..."
"Kecuali apa?" In
Kip menegas.
"Kecuali aku melihat
sendiri dan bertemu dengan Kek Lam-wj, atau beri kesempatan aku berbicara
dengan putri angkatmu."
"Putri angkatku? Em, ya,
aku memang punya putri angkat, tapi entah yang mana yang ingin kau temui aku
punya belasan putri angkat."
Toh So-so menjengek:
"Bu-san-pang Pangcu Bu-sam Niocu punya seorang putri, tiga bulan yang lalu
kau mengangkatnya menjadi putri angkatmu, betul tidak?"
Tahu tak mungkin mungkir lagi,
In Kip berkata: "Toh Lihiap, kau pandai memperoleh berita, kagum sungguh
kagum, memang dia adalah putri angkatku yang terbaru, apa kau mau menemui
dia?"
"Jangan banyak ngomong,
lekas suruh dia keluar," sentak Toh So-so.
In Kip tahu gelagat tak
menguntungkan, katanya dengan menyengir: "Toh Lihiap, kalau kau tidak
mencarinya, akupun ingin memanggilnya."
Tak lama kemudian, kacung yang
disuruh memanggil putri angkatnya itu sudah kembali memberi laporan:
"Lapor Loya, Kan-siocia (putri angkat) sudah tiada lagi."
Berubah air muka Toh So-so,
bentaknya: "Sudah tidak ada? Kapan dia pergi? Kemana?"
Pesuruh itu menyengir,
katanya: "Kami sudah memeriksa tempat kediamannya. Orang-orang disana
tiada satupun yang tahu kapan dan kemana dia pergi.'
Toh So-so menjengek dingin:
"Siapa mau percaya obrolanmu. Kalau kalian tidak bebaskan Kek Lam-wi, Bu
Siu-hoa harus kalian serahkan kepadaku, kalau tidak, hm..." tiba-tiba
matanya melirik mengawasi In Hou yang masih dicengkram Tam Pa-kun, katanya:
"Paman Tam, pinjamkan putra kesayangan In-cengcu ini kepadaku,
boleh?"
Tam Pa-kun tertawa, katanya:
"In-toacengcu, kau dengar, bila kau masih ingin main-main mengapusi aku,
maaf bila aku berlaku kasar pada putramu. Akan kubuat enam lobang dan tiga
bacokan di tubuhnya baru mencabut nyawanya. Nah, boleh kau pilih, putramu atau
putri angkatmu?"
Serasa terbang arwah ln Hou,
ratapnya ketakutan: "Ayah lekas kau cari Bu Siu-hoa dan serahkan kepada
mereka."
"Toh Lihiap," kata
In Kip gopoh, "sabar, jangan marah, dengar dulu penjelasanku."
"Aku hanya menuntut
orangnya, siapa sudi mendengar ocehanmu," sindir Toh So-so.
"Toh Lihiap, sekarang aku
sendiri lebih gugup untuk mencarinya, dengar dulu penjelasanku."
"Baiklah, lekas
katakan," sentak Toh So-so sambil bertolak pinggang.
"Kek-jithiap memang sudah
melarikan diri, bukan kami sengaja mengatur tipu daya untuk ngapusi kau, untuk
ini harap kau percaya padaku. Siapa yang membantu Kek-jithiap melarikan diri,
sekarang juga sudah kuketahui."
"Siapa?" sentak Toh
So-so.
"Yaitu putri angkatku Bu
Siu-hoa yang ingin kau temui. Karena kecuali dia, siapapun tiada yang bisa
keluar masuk secara leluasa dan menolong Kek-jithiap yang masih semaput tanpa
konangan orang, dia membawa Kek-jithiap keluar dari lorong penjara."
Toh So-so masih setengah
percaya, katanya dingin: "Dia kan putri angkatmu, mungkinkah dia menolong
tawananmu dan mengajaknya lari? Kau kira aku mau percaya obrolanmu? Hm, yang
jelas dia membantu kau untuk memancing Kek Lam-wi dan menangkapnya, benar
tidak?"
"Maklum kalau kau tidak
percaya," ujar In Kip, "aku juga tidak tahu kenapa dia mau berbuat
demikian. Tapi semua ini kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kecuali dia, aku
yakin tiada orang lain yang mampu menolong Kek-jithiap dari tempat kediamanku
ini."
Sejak tadi Tam Pa-kun
mendengarkan dari samping, tiba-tiba dia menyela: "Baik, untuk ini
sementara biar aku percaya. So-so mari kita keluar mencari Lam-wi, bila tidak
bisa ketemu, nanti kita kembali membuat perhitungan dengan mereka."
Saat mana sayup-sayup Toh
So-so mendengar irama seruling di tempat jauh yang terbawa angin, lagu tiupan
seruling Kek Lam-wi boleh dikata sudah teramat hapal bagi Toh So-so. Meski
tidak mendengar jelas, namun dia yakin peniup seruling itu pasti Kek Lam-wi
adanya.
Lekas In Kip berkata:
"Biar kubantu kalian mencarinya, tapi sudilah kau bebaskan dulu
putraku."
Irama seruling itu hanya
sayup-sayup sampai dan terputus-putus sekejap saja, agaknya In Kip dan Ong
Cong-king tidak ada yang ambil perhatian.
"Tak usah kalian bantu
mencarinya..."
"Lalu putraku..."
Tam Pa-kun tertawa tergelak
gelak, katanya: "Buat apa gugup, putra mustikamu ini kau berikan kepadakupun
aku emoh. Sel iba diluar pintu, aku akan membebaskan. Kalian satupun kularang
beranjak dari tempat ini”
Lega hati In Kip, dia yakin
Tam Pa-kun tidak akan ingkar janji, maka dia berkata: "Baiklah, kita patuh
kehendak Tam Tayhiap, bila kalian juga berhasil menangkap Bu Siu-hoa tolong
serahkan kepadaku, biar kuhukum dia."
"Apa betul ocehanmu aku
belum tahu, setelah kutemukan orangnya baru akan kupertimbangkan bagaimana
mengurusnya, kami tidak akan menerima segala usulmu."
Setelah keluar dari lingkungan
villa, sesuai janji Tam Pa-kun bebaskan In Hou, katanya sinis:
"In-toasiauya, menguntungkan kau saja, lekas enyah."
Toh So-so berkata:
"Barusan aku seperti mendengar seruling Lam-wi, tapi dari mana arahnya
sukar ditentukan. Paman Tam, apa kau juga dengar?"
"Karena mendengar suara
seruling itu maka aku mau beri kelonggaran kepada mereka. Kedengarannya dari
balik gunung di sebelah timur sana. Mari kita periksa kesana."
Cepat sekali mereka berdua
sudah berada di balik gunung sebelah sana, tapi jejak Kek Lam-wi sudah tidak
ketemu lagi. Tam Pa-kun berkata: "Kemarin aku sudah janji dengan Lam-wi
dan Tan Ciok-sing serta In San untuk berkumpul di Ham-san-si, walau dia tidak
datang, dia juga tidak tahu bahwa yang mengundang mereka adalah aku, tapi
setelah lolos dari rumah keluarga In, bukan mustahil dia akan mencari kita ke
Ham-san-si. Marilah kita kembali dulu ke Ham-san-si."
Di tengah perjalanan pulang ke
Ham-san-si ini baru Toh So-so sempat ceritakan pengalamannya.
Sejak dia pulang dari Pakkhia
dengan perasaan kecewa dan putus asa, hari itu dia tiba Yang-ciu, sebelum masuk
kota di tengah jalan kebentur suatu peristiwa, serombongan perampok merampas
secara kekerasan seorang gadis. Maka dia turun tangan, dua rampok dipukulnya
roboh, kawanan rampok itu baru lari tunggang langgang. Tak pedulikan kawanan
rampok yang melarikan diri, dia tolong si gadis lebih dulu, untung gadis itu
hanya terluka sedikit.
Paras gadis iui memang
lumayan, dia mengaku sebagai tukang ngamen bersama ayahnya hidupnya
terlunta-lunta di Kangouw, ayahnya telah dibunuh oleh kawanan rampok, melihat
parasnya yang cukup ayu, kawanan rampok itu hendak menculiknya pula, terpaksa
dia melarikan diri dan hampir memasuki kota Yang-ciu dicandak, di jalan raya
banyak orang lalu lalang, tapi tiada seorangpun yang berani menolongnya.
Siang hari bolong, diluar kota
Yang-ciu terjadi pembunuhan dan penculikan, seharusnya merupakan peristiwa yang
patut dicurigai akan kebenarannya, tapi Toh So-so percaya saja akan cerita
gadis itu.
Tam Pa-kun berkata: "Gadis
itu pastilah Bu Siu-hoa, putri Bu-sam Niocu itu?"
"Betul," ujar Toh
So-so.
Tam Pa-kun tertawa, katauya:
"Karangan ceritanya ternyata tidak begitu baik, kenapa waktu itu
sedikitpun kau tidak curiga?"
"Sebetulnya aku juga
merasa kawanan rampok itu terlalu besar nyalinya, agak curiga, kutanya apa dia
tahu asal-usul kawanan rampok itu? Dia bilang dari logat percakapan kawanan
rampok itu, kelihatannya orang-orang dari Hoay-yang-pang, dia akan diculik dan
dipersembahkan menjadi isteri Pangcu mereka. Kekuasaan Hoay-yang-pang cukup
besar di Kanglam, Bak Bu-wi sang Pangcu adalah laki-laki kemaruk paras ayu, itu
sudah lama kuketahui. Bahwa yang melakukan kejahatan orang-orang
Hoay-yang-pang, mau tidak mau aku jadi percaya."
"Mengingat dia kini
sebatangkara, terluka lagi, maka kuterima dia ke rumahku dan mengobati
luka-lukanya. Dia pandai membaca bisa tulis, mengenal not-not lagu pula, aku
jadi berat berpisah dengan dia, lekas sekali luka-lukanya, sudah kusembuhkan,
ternyata diapun berat berpisah dengan aku, selalu dia bilang supaya aku sudi
menerima dia sebagai pelayannya. Aku bersyukur mendapat teman, apalagi
mengingat seorang diri bila berkelana di Kangouw salah-salah diincar orang
Hoay-yang-pang pula, maka aku mengikat persaudaraan sebagai kakak adik."
"Suatu malam bulan
purnama, aku duduk menikmati bulan sambil minum-minum sama dia, hanya dua
cangkir, entah kenapa secara tak terduga aku jatuh mabuk. Malam itu aku pulas
sampai'esok hari. Setelah terang tanah, ternyata dia telah menghilang."
"Pasti dia mencampur obat
bius dalam minuman itu," kata Tam Pa-kun, "Aneh, dia tidak mencelakai
kau dalam kesempatan sebaik itu. Apakah kau merasakan dirimu keracunan?"
"Setelah bangun tiada
tanda-tanda yang mencurigakan. Kini sudah hari kelima, aku tetap sama seperti
sedia kala, aku yakin tidak pernah keracunan."
"Dari sini dapat kita
simpulkan, meski Bu Siu-hoa adalah putri Bu-sam Niocu, namun hatinya tidak
jahat, tindak tanduknya belum menunjukan kekejaman hatinya. Tapi apakah kau
tidak kehilangan apa-apa?"
Toh So-so melengak, katanya:
"Betul, aku kehilangan sebatang tusuk kondai, aku ingat malam itu tusuk
kondai kuselipkan di atas sanggul, Paman Tam dari mana kau tahu?"
"Dengan tusuk kondai
itulah dia menipu Kek Lam-wi sehingga dia terjebak," ujar Tam Pa-kun. Lalu
dia ceritakan apa yang dia dengar dari penuturan Tan Ciok-sing, lalu bagaimana
In Kip bersekongkol dengan Bu-sam Niocu mengundang Kek Lam-wi setelah
menyerahkan tusuk kondai itu.
"Aku sudah mendapat
firasat, dengan tusuk kondai itu pasti dia akan "melakukan sesuatu,
sungguh tidak nyana bahwa Lam-ko akan ketipu mereka."
"Lalu kapan kau tahu
asal-usulnya?"
"Karena hanya kehilangan
tusuk kondai, semula aku tidak menarik persoalan. Tapi hatiku amat heran,
setelah kami angkat saudara, umpama dia memintanya juga akan kuberikan, kenapa
dia justeru mencekok arak dan mencuri tusuk kondai itu? Apalagi dia bilang
hidup sebatangkara, tiada sanak tiada kadang, hanya karena sebatang tusuk
kondai apakah setimpal bila dia harus hidup terlunta-lunta di luaran? Aku tahu
dia cukup cerdik, kenapa mau juga melakukan perbuatan kotor dan memalukan itu,
kupikir-pikir tidak masuk akal?"
"Tak nyana secara
kebetulan, di kala aku berusaha mencari tahu asal-usulnya, seseorang yang tahu
asal-usulnya sudah datang mencariku dulu," "Siapa dia?"
"Ma-thocu dari Kaypang
cabang Yang-ciu. Sepulang di Yang-ciu, sepantasnya aku pergi menyambangi dia,
karena hatiku gundah gulana, aku jadi malas keluar pintu. Tak nyana hari
kejadian itu, dia suruh seorang murid Kaypang mengundangku ke markas cabangnya."
"Begitu berhadapan dia
lantas bilang: 'Sepantasnya aku bertandang ke rumahmu, tahukah kau kenapa
justru kau yang
kuundang kemari?'-Tergerak
hatiku, diam-diam sudah kuduga
dalam hati, betul juga dia lantas berkata lebih lanjut: 'Kabarnya kau berkenalan
dengan seseorang teman baru, gadis itu masih berada di rumahmu bukan?'"
"Aku maklum, aku
dipanggil kemari lantaran kuatir pembicaraan diketahui Bu Siu-hoa. Maka aku
tanya: 'Bagaimana asal-usul gadis itu?'"
"Setelah mendengar
penjelasanku bagainana aku sampai berkenalan dengan dia. Ma-thocu menghela
napas, katanya: 'Nona Toh, kau ketipu. Gadis itu bukan tukang ngamen yang tidak
pandai main silat, asal-usul yang sebenarnya adalah putri Bu-sam Niocu. Pangcu
dari Bu-san-pang, nama aslinya adalah Bu Siu-hoa. Kemarin baru kuketahui dia
datang ke Yang-ciu dan sembunyi di rumahmu. Tapi aku tidak habis mengerti
bagaimana dia bisa berkenalan dengan kau, untuk menjaga sesuatu yang tidak kita
inginkan terjadi, maka kuundang kau kemari untuk membicarakan hal itu.'"
Toh So-so bercerita lebih
lanjut. "Kujelaskan kepadanya, semalam Bu Siu-hoa sudah minggat mencuri
sebatang tusuk kondaiku. Ma-thocu juga heran kenapa Bu Siu-hoa tidak gunakan
racun mencelakai jiwaku?"
"Lalu dia memberitahu dua
berita kepadaku. Berita pertama ialah, jejak Bu-sam Niocu diketahui berada di
Kanglam. Berita kedua, kabarnya Kek Lam-wi sudah berada di Soh-ciu."
"Diapun memberitahu
kepadaku, Bu-sam Niocu sejak jauh-jauh hari sudah mengutus putrinya ke Soh-ciu
langsung ke rumah In Kip. Hal itu terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu,
setelah berada di rumah keluarga ln, Bu Siu-hoa segera angkat In Kip sebagai
ayah angkat."
"Menurut dugaan Ma-thocu,
Bu-sam Niocu mengutus putrinya sebagai kurir untuk mengikat hubungan lebih
intim dengan ln Kip, maka dia berani datang ke
Kanglam. Agaknya Bu-sam Niocu
bermaksud memindah pangkalan Bu-san-pang di Kanglam, atau mungkin juga ada
muslihat atau rencana keji lainnya."
"Bu-sam Niocu bersama Kek
Lam-wi hampir bersamaan tiba di Soh-ciu, secara kebetulan putri Bu-sam Niocu
mencuri tusuk kondaiku, apakah beberapa kejadian ini tiada sangkut pautnya satu
dengan yang lain? Mau tidak mau Ma-thocu merasa curiga."
"Mendengar Lam-ko datang
ke Kanglam dan tiba di Soh-ciu, aku tidak peduli apakah beberapa kejadian itu ada
sangkut pautnya, aku harus menyusulnya ke Soh-ciu menemuinya."
Tiba-tiba Tam Pa-kun ingat
sesuatu, katanya: "Maaf, sementara kuputus ceritamu. Berapa usia Bu
Siu-hoa?"
"Kira-kira sebaya dengan
aku, lebih kurang berusia likuran tahun."
"Walau aku tidak pernah
bertemu dengan Bu-sam Niocu, tapi kudengar dia berusia kira-kira lebih dari
tiga puluh tahun belum genap empat puluh, mungkinkah dia punya putri sebesar
itu?"
"Hal itu pernah juga
Ma-thocu bicarakan dengan aku. Menurut yang dia ketahui Bu Siu-hoa bukan putri
kandungnya. Ayahnya Bu San-hun setelah kematian islnnva sejak belasan tahun
yang lalu. lalu mempersunting Bu-sam Niocu. Ternyata Bu-sam Niocu cerdik
pandai, dua tahun sejak dia menikah dengan Bu San-hun, kekuasaan terbesar dalam
Bu-san-pang sudah tergenggam di tangannya. Tahun ketiga secara aneh tahu-tahu
Bu San-hun juga mati, sejak itu secara resmi dia mengangkat diri sebagai Pangcu
perempuan. Tapi meski Bu Siu-hoa bukan anak kandungnya, kabarnya mereka ibu
beranak bisa hidup akur."
"O, kiranya begitu,
pantas."
"Apanya yang
pantas."
"Hubungan mereka ibu
beranak, kukira tidak sebaik yang diperlihatkan di hadapan umum. Maka bila sang
ibu bersekongkol dengan In Kip menjebak Kek Lam-wi, sang putri justru menolong
tawanan ibunya diluar tahu orang lain."
"Paman Tam, apa kau
percaya Bu Siu-hoa betul-betul mau menolong Kek Lam-wi? Kenapa pula dia mencuri
tusuk kondaiku, bukankah langsung atau tidak langsung dia telah membantu ibunya
melakukan kejahatan?"
"Aku hanya merasa sedikit
curiga, sekarang aku belum yakin bahwa Bu Siu-hoa benar bermaksud baik menolong
Kek Lam-wi. Nah, teruskan ceritamu."
"Kemarin kira-kira
menjelang kentongan ketiga, aku baru tiba di Soh-ciu, langsung aku ke rumah
seorang familiku. Ternyata kemarin Lam-ko pernah mencariku ke rumah familiku
itu. Dari mulutnya aku tahu Lam-ko menginap di Say-cu-Iim. Hotel didalam
Say-cu-lim juga milik In Kip, aku kuatir Lam-ko mengalami sesuatu, sebelum
terang tanah langsung aku menyusulnya ke Say-cu-lim. Tak kira tiba di
Say-cu-lim, aku bertemu dengan kenalan baik."
"Apakah Kanglam
Sianghiap."
"Ya, Kwik Ing-yang dan
Ciong Bin-siu. Mereka sedang siap berangkat keTong-thing-san di Thay-ouw barat.
Karena kedatanganku, mereka menunda kira-kira satu jam baru mereka berangkat.
"Dari cerita mereka baru
aku tahu Lam-ko pergi memenuhi undangan In Kip. Mereka membujuk aku supaya
tidak usah pergi ke Say-cu-lim, aku dianjurkan langsung ke rumah In Kip menemui
Lam-ko serta membongkar muslihat mereka. Diberitahu juga bahwa Tan Ciok-sing
dan In San sudah siap membantu Lam-ko secara diam-diam. Tapi mereka belum tahu
bahwa kaulah yang mengundang Lam-ko dan lain-lain untuk bertemu di
Ham-san-si."
Cerita Toh So-so amat jelas
dan terperinci tapi ada juga satu hal yang dia sembunyikan dan tidak
diceritakan kepada Tam Pa-kun.
Pertunangan Toan Kiam-ping
dengan Han Cin dan kini sudah pulang ke negeri Tayli telah diceritakan oleh
Kanglam Sianghiap kepada Toh So-so. Ditegaskan pula oleh Kanglam Sianghiap
bahwa Kek Lam-wi sengaja minta tugas kepada Lim Ih-su sebagai wakil Kanglam
Pat-hiap untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, sekaligus untuk
pulang ke kampung halaman mencari dia. Setelah tahu betapa murni dan suci cinta
Kek Lam-wi terhadap dirinya, ganjalan hati selama beberapa hari seketika sirna
tak berbekas.
Setelah habis mendengar
ceritanya, Tam Pa-kun segera berkata: "Ternyata urusan berbelit-belit,
lalu dari mana kau tahu letak villa In Kip dan menyusulnya kesana?"
"Aku sendiri yang
menduga. Aku tahu bahwa In Kip punya villa disini, kupikir In Kip adalah rase
tua yang licin kemungkinan pertemuan tidak diadakan di rumahnya."
Toh So-so menutur lebih
lanjut: "Aku juga berpikir, jikalau dugaanku meleset dan Kek Lam-wi
memenenuhi undangan itu di rumah ln Kip, disana ada Tan Ciok-sing dan In San
yang membantunya, tanpa bantuanku juga tidak usah dibuat kuatir. Kurasa membagi
tugas menyelesaikannya dengan baik adalah paling tepat, maka aku berkeputusan
kemari dengan mengadu nasib."
Jalan pikirannya ini ternyata
sama dengan dugaan Kiau-jan Taysu. Tam Pa-kun berkata dengan tertawa: "Kau
memang pintar, sekali tebak ternyata tepat."
Toh So-so berkata rawan:
"Tapi aku belum menemukan Kek-toako."
Tam Pa-kun menghiburnya:
"Sedikitnya kau sudah mendapat tahu duduk persoalannya. Lam-wi lolos dari
cengkeraman In Kip peduli apa rencana dan maksud Bu Siu-hoa menolongnya, yang
terang kini dia sudah tidak mengalami bahaya." Tanpa terasa mereka sudah
berada di Hong-kio. Ham-san-si sudah kelihatan di kejauhan di atas bukit.
Tam Pa-kun tertawa, katanya:
"Kau begini pintar, nah sekarang coba kau terka, apakah Lam-wi dan Bu
Siu-hoa sudah berada didalam biara?"
Toh So-so berpikir sejenak,
katanya: "Sulit aku menerkanya, paman?"
"Kukira mereka sudah
berada didalam biara?" ujar Tam Pa-kun tertawa.
Toh So-so geleng-geleng, katanya:
"Kukira perempuan siluman itu takkan sebaik itu hatinya. Lam-ko tentu
ditipunya ke tempat lain."
"Baik, bagaimana kalau
kita bertaruh?"
"Aku tidak mau bertaruh,
karena aku lebih suka kau kalahkan."
Dengan perasaan kebat-kebit
Toh So-so manjat ke atas memasuki Ham-san-si. Tebakan siapa yang betul?
000OOO000
Sekarang mari kita ikuti
pengalaman Kek Lam-wi setelah keluar dari lobang gua, di bawah terang bulan,
dia kucek mata, kini dia melihat jelas gadis yang menuntunnya keluar dan
menyelamatkan dirinya. Tapi gadis ini mengenakan cadar. Walau mukanya tertutup
rapat, namun dia dapat merasakan bahwa gadis ini jelas bukan Toh So-so. Karuan
Lam-wi kaget, tanyanya: "Siapa kau? Kenapa kau berani menolongku?"
Kedengaran rawan suara si
gadis: "Kek-siangkong, lebih baik jangan kau tanya siapa she dan
namaku."
"Lho, kenapa?"
Gadis itu tidak menjawab, tapi
berkata lebih lanjut: "Aku menolong kau lantaran demi diriku sendiri,
kaupun tidak usah berterima kasih kepadaku."
Gadis itu menggandeng tangannya
serta menyeretnya pergi, tanpa kuasa Kek Lam-wi terseret lari begitu saja. Dia
coba kerahkan hawa mumi terasa tenaganya kira-kira sudah mulai pulih tiga
puluhan persen, dengan tenaga yang ada sekarang, walau dapat berlari namun
masih belum mampu mengembangkan Ginkang untuk berlari di pegunungan yang tidak
rata. Maka terpaksa dia mandah saja diseret oleh gadis penolongnya itu.
Kira-kira setengah sulutan
dupa kemudian si gadis telah menyeretnya sampai di atas gunung. Kira-kira ada
beberapa li dari villa In Kip, baru si gadis menghentikan langkah, katanya
dengan tersenyum: "Kek-siangkong, semangatmu belum pulih tentunya kau
teramat letih, sementara boleh kau istirahat."
Kek Lam-wi duduk di
sampingnya, katanya: "Nona, kau menolongku dengan menyerempet bahaya,
entah bagaimana aku harus membalas budimu. Walau kemungkinan kau tidak
meagharap balas budiku, tapi aku, aku jadi..."
Gadis itu tertawa cekikikan,
katanya: "Kek-siangkong, kau ingin membalas kebaikanku bukan? Baiklah, aku
mohon sesuatu kepada kau."
"Nona ada pesan apa,
boleh lekas katakan terjun ke air mendidih atau gunung berapi sekalipun akan
kulakukan."
"Kenapa harus terjun ke
air mendidih atau menerjang gunung berapi segala, aku hanya ingin mendengar
lagu serulingmu. Aku tahu kau adalah peniup seruling terbaik pada masa ini,
maka aku ingin menikmati lagu serulingmu."
Tanpa merasa Kek Lam-wi lantas
merogoh kedalam bajunya, namun lekas dia teringat bahwa serulingnya sudah
dirampas oleh Bu-sam Niocu dan diberikan kepada In Kip. Seketika dia duduk mematung
dengan perasaan hambar.
Gadis itu tertawa, katanya:
"Nah sudah kusiapkan sebatang seruling yang lain. Walau tidak sebagus
serulingmu itu, namun bisa juga kau tiup."
Belum habis Kek Lam-wi meniup
serulingnya, tiba-tiba lapat-lapat kedengaran ada orang berjalan naik ke atas
bukit. Gadis itu segera berkata: "Seperti ada orang datang. Kek-siangkong,
coba kau sembunyi dulu, peduli siapa yang datang biar aku yang menghadapinya.
Jangan kau unjukkan dirimu."
Sudah tentu Kek Lam-wi tidak
menurut, katanya: "Kau telah menolong jiwaku, kini tenagaku sudah pulih
beberapa bagian, mana boleh aku berpeluk tangan. Betapapun kita harus senasib
sepenanggungan."
"Senasib
sepenanggungan" sebetulnya adalah kata umum yang sering digunakan bagi
kaum persilatan, tanpa sadar Kek Lam-wi mengucapkannya, hakikatnya dia tidak
pikir apakah perkataannya itu tepat dalam keadaan seperti ini, karuan si gadis
menjadi merah jengah mukanya.
"Tidak. Kau harus dengar
nasehatku, lekas kau sembunyi," desak si gadis.
Pada saat itulah, orang yang
tengah berlari naik di lereng bukit sana sudah memperdengarkan tawa panjang
yang bernada sinis. Orangnya belum kelihatan, tapi dari suaranya Kek Lam-wi
sudah tahu bahwa yang datang adalah Bu-sam Niocu.
"Perempuan siluman ini
liehay betul, aku begini juga lantaran gara-garanya. Lekas kau sembunyi saja,
biar aku adu jiwa dengan dia," demikian kata Kek Lam-wi. Tahu yang datang
adalah Bu-sam Niocu, sudah tentu dia tidak akan membiarkan gadis ini mengalami
bahaya.
"Baiklah..."
mendadak jari tengahnya menjulur. Hiat-to pelemas Kek Lam-wi ditutuknya. Si
gadis adalah penolongnya, nada perkataannya seperti sudah setuju akan saran Kek
Lam-wi, umpama dia sendiri tidak mau sembunyi, Kek Lam-wi juga tidak akan
dipaksa sembunyi. Sudah tentu tak pernah terpikir dalam benak Kek Lam-wi bahwa
dirinya bakal dikerjain, seketika dia tidak mampu berkutik lagi.
Setelah menutuk Hiat-tonya,
buru-buru si gadis mendorong tubuh Lam-wi kedalam semak rumput, lalu berbisik
di pinggir telinganya: "Maaf, kau rebah sebentar. Semoga kau bisa selamat
dari mara bahaya di depan mata, kesalahan apapun yang kau limpahkan kepadaku
akan kuterima dengan senang hati."
Kek Lam-wi rebah miring di
belakang batu yang teraling semak-semak rumput tinggi, terdengar tawa Bu-sam
Niocu yang dibuat-buat, katanya: "Kukira siapa yang mampu menawarkan obat
biusku menolong tawanan, ternyata adalah putri kesayanganku sendiri."
Mendengar ucapan Bu-sam Niocu,
sungguh bukan kepalang kaget Kek Lam-wi.
"Ternyata gadis ini
adalah putri Bu-sam Niocu. Kenapa dia mau menolongku, apakah ada jebakan
lainnya pula?"
Maka didengarnya gadis itu
berkata: "Bu, maaf bila anak tidak berbakti, tapi apa yang anak lakukan
juga demi kebaikan ibu."
Bu-sam Niocu tertawa dingin,
katanya: "Demi kebaikanku, kebaikan apa? Coba jelaskan."
"Bu, umpama betul
Bu-san-pang kita tidak mampu lagi bercokol di Sujwan, dunia seluas ini masakah
tiada tempat lain untuk berteduh. Untuk apa kita berlaku sejauh ini hingga
menanam permusuhan dengan musuh tangguh? Coba kau pikir, Kek Lam-wi adalah
salah satu dari Kanglam-pat-sian, bila kau serahkan dia kepada In Kip, dan In
Kip serahkan dia kepada Tang-bun Cong terus digusur ke kota raja. Sebagai
buronan raja, apakah dia bisa tetap hidup? Apakah Pat-sian yang lain tidak akan
menuntut balas kepada kau?"
Bu-sam Niocu tertawa dingin,
katanya: "Ternyata pembicaraanku dengan mereka sudah kau curi dengar
semua. Apa betul kau sudi memikirkan diriku?"
"Benar, justru aku tahu
rencana kalian, aku tidak ingin kalian mencelakai orang baik terutama aku tidak
ingin kau ditipu orang lain, maka pikiranku berobah."
"Memangnya berapa sih
pengetahuanmu, berani kau turun rembuk segala kepadaku. Baik buruk adalah
tanggunganku, tak usah kau turut campur dan bertindak diluar tahuku. Hm, kalau
menurut rekaanku, mungkin kau sudah kepincut tampang bocah itu."
Malu dan dongkol Bu Siu-hoa
sambil membanting kaki, katanya: "Bu, kenapa kau bilang demikian? Coba
pikir, bila benar seperti apa yang kau katakan, kenapa aku tidak membawanya
minggat ke tempat yang jauh, kusuruh dia meniup seruling supaya kedengaran
olehmu?"
Diam-diam Kek Lam-wi berpikir:
"Tak heran dia suruh aku meniup seruling, ternyata untuk didengar ibunya
dan menyusul kemari. Tapi kenapa dia tidak mau menyerahkan aku kepada
ibunya?"
Timbul sepercik harapan dalam
benak Bu-sam Niocu katanya: "Baiklah, bahwa kau memanggilku kemari dengan
tiupan seruling itu maka serahkan dia kepadaku."
"Bu, kuundang kau kemari,
maksudku bukan seperti apa yang kau duga."
"Lalu apa kehendakmu,
lekas katakan saja."
"Aku harap kau meninggalkan
In Kip, Tang-bun Cong dan lain-lain."
"Jadi Bu-san-pang yang
didirikan ayahmu harus dibuang begitu saja?"
"Maaf bila anak berkata
blak-blakan, beberapa tahun belakangan ini, sepak terjang Bu-san-pang sudah
menimbulkan'rasa kurang senang kaum persilatan umumnya, dibubarkan juga tidak
perlu dibuat sayang."
Yang benar kejahatan yarg
dilakukan orang-orang Bu-san-pang memang sudah keliwat takaran, perkataan Bu
Siu-hoa boleh dikata sudah terlalu lunak.
Tapi Bu-sam Niocu justru naik
pitam, serunya: "Kurang ajar, berani kau memberi pelajaran kepadaku. Sejak
bapakmu mati, aku yang jadi Pangcu, jadi menurut pandanganmu, tidak benar aku
menjabat kedudukan Pangcu ini?"
"Anak tidak berani
berpikir begitu. Tapi soal benar atau salah, biar sementara dikesampingkan
saja. Dalam situasi seperti sekarang bila Bu-san-pang dibubarkan, kurasa akan
lebih menguntungkan para anggota dan membawa manfaat bagi dirimu."
"Manfaat apa?" desak
Bu-sam Niocu.
"Orang-orang yang hendak
menuntut balas kepada kita, kebanyakan adalah kaum pendekar dan orang-orang
gagah, bila mereka tidak menemukan kau, coba pikir bukankah anak buah kita yang
berkepandaian rendah itu akan mendapat ganjaran."
"Lalu bagaimana dengan
diriku?"
"Selanjutnya kau boleh
cuci tangan mengundurkan diri dari percaturan Kangouw, hidup tentram dan
bahagia, bukankah begitu lebih baik?"
"Hidup tentram dan
bahagia? Memangnya orang lain mau membiarkan aku hidup aman dan tentram?"
"Hal itu sudah
kupikirkan. Kanglam-pat-sian adalah tokoh¬ tokoh yang kenamaan dan disegani di
dunia persilatan, bila Lim lh-su mau tampil memberikan pengampunan, semua musuh
yang lain pasti juga akan memaafkan kau. Setelah aku menolong Kek Lam-wi, aku
akan berikhtiar mohon bantuan Lim Ih-su, aku yakin dia akan setuju dan menerima
permohonanku."
Kini Kek Lam-wi sudah paham
beberapa bagian, pikirnya: "Kiranya lantaran itu. Gadis ini memang pandai
menggunakan akal, tujuannya juga boleh dipuji, terang hatinya jauh lebih luhur
dari sang ibu, Entah Bu-sam Niocu apakah sudi menerima bujukannya?"
Maka didengarnya Bu-sam Niucu
berkata: "Kenapa aku harus memohon kepada orang lain, kau takut terhadap
Kanglam-pat-sian, aku tidak. Tulang punggungku jauh lebih kuat dari
Kanglam-pat-sian."
"Bu, aku tahu kemana
kiblat hatimu, kau kira di belakang In Kip adalah Sri Baginda yang berkuasa
sekarang, maka tulang punggung ini pasti kokoh dan tak tergoyahkan dan kau
bakal memperoleh apa yang kau inginkan? Tapi apakah Sri Baginda mau menerimamu
ke istana supaya kau bisa menyembunyikan dirimu disana? Umpama kau bisa
sembunyi di istana, bila Pat-sian tetap akan membuat perhitungan dengan kau,
kukira Sri Baginda tetap takkan bisa melindungi kau. Apakah kau tidak dengar,
kira-kira dua bulan yang lalu, keributan yang dilakukan Kanglam-pat-sian
beserta orang-orang Kaypang di istana terlarang?"
"Tak usah aku mengambil
contoh jauh-jauh, katakan saja yang di depan mata. Sekarang In Kip sendiri
sulit menyelamatkan jiwanya, putranya terjatuh ke tangan Tam Tayhiap, dia toh
kewalahan dan munduk-munduk tak mampu berbuat apa-apa? Jangan kata bila
Kanglam-pat-sian meluruk bersama, seorang Tam Pa-kun saja kalian sudah kocar
kacir."
"Biar aku berterus terang
kepadamu. Kuminta Kek Lam-wi meniup seruling juga supaya didengar oleh Tam
Tayhiap. Bila dia mendengar, sementara mungkin dia tidak akan membuat kesulitan
dan memperpanjang perkara dengan kalian. Walau aku tidak menunjang perbuatan In
Kip, betapapun aku pernah memanggilnya 'ayah angkat', semoga seperti apa yang
kuharapkan, Tam Tayhiap membebaskan putranya, terhitung aku telah membalas
budinya."
Mendengar perkataannya panjang
lebar ini, sungguh kejut dan girang hati Kek Lam-wi bukan main.
"Kecuali Kim-to-thi-ciang
Tam Pa-kun, siapa pula yang disebut Tam Tayhiap di kalangan Bulim? Tam Tayhiap
yang dimaksud pasti adalah paman Tam. Agaknya paman Tam juga meluruk ke villa
In Kip, kalau tidak putra In Kip mana mungkin terjatuh ke tangannya?"
setelah reda rasa senangnya. Lam-wi berpikir pula: "Sayang sekali, umpama
benar Tam Tayhiap telah datang, air jauh takkan bisa menolong kebakaran.
Naga-naganya Bu-sam Niocu tidak akan terpengaruh oleh bujukan putrinya, bila
mereka ibu beranak bentrok dan berkelahi, tak mungkin Tam Tayhiap bisa menyusul
kemari tepat pada saatnya. Aku sendiri tidak mampu bergerak, mana bisa
membantunya?"
Betul juga didengarnya Bu-sam
Niocu tertawa dingin, jengeknya: "Sempurna juga akal sehatmu memikirkan
diriku, sayang aku tidak terpengaruh oleh bujukanmu. Kejadian hari ini kaulah
yang harus tunduk kepadaku."
"Bu, rejeki atau bahaya
tiada pintu, hanya kau sendirilah yang bisa meraihnya. Kuharap berpikir lagi
dengan tenang."
"Sudah kupikir jelas. Kau
bilang demi kebaikanku, anggapmu aku ini sebodoh yang kau kira? Genta di depan
mata tidak kupukul, kenapa aku harus memukul kelintingan di tempat lain?"
"Bu Siu-hoa melenggong,
tanyanya: "Bu, apa maksud perkataanmu?"
"Apa maksudnya? Kau
begitu pintar, memangnya tidak paham? Coba pikir kau adalah putriku, kaupun
menentang diriku, Lim Ih-su dan lain-lain mengagulkan diri sebagai kaum
pendekar, apakah mereka bisa memaafkan aku? Ya, aku tahu diri, setelah aku
mewarisi jabatan Pangcu, nama Bu-san-pang memang sudah buruk dan dicap sebagai
golongan hitam, memangnya aku harus munduk-munduk kepada aliran ksatria supaya
diampuni?"
"Bu. pepatah kuno ada
bilang, manusia siapa tidak pernah salah, tahu salah bisa merubah adalah budi
pekerti yang paling luhur. Anak percaya, bila kau mau meninggalkan In Kip dan
komplotannya, membina diri menjadi manusia baik, kaum ksatria pasti akan
memaafkan dan menerimamu. Apalagi Kek-jithiap akan bantu memberi penjelasan
kepada mereka."
Bu-sam Niocu mendengus,
katanya tertawa dingin: "Kau boleh percaya, aku tidak mau percaya. Tam
Pa-kun dan Kanglam-pat-sian adalah orang-orang yang tidak boleh diganggu,
memangnya In Kip, Tang-bun Cong, Poyang Gun-ngo boleh diabaikan?"
"Bu," teriak Bu
Siu-hoa, masih ingin dia membujuk ibunya.
kembali Bu-sam Niocu mendengus
geram, serunya: "Katamu demi kebaikanku, akupun punya perhitungan untuk
dirimu."
Apa boleh buat, terpaksa Bu
Siu-hoa berkata: "Bu, apa kehendakmu atas diriku?"
"Demi masa depanmu, aku
akan kawinkan kau dengan In Hou."
"Apa? Kau hendak kawinkan
aku dengan putra mustika In Kip itu?"
"Memangnya In Hou jelek?
Memang Kungfunya bukan tandingan Kek Lam-wi, tampangnya juga tak seganteng Kek Lam-wi,
tapi kau harus tahu. Kek Lam-wi sudah punya simpanan, umpama kau menyerahkan
dirimu, dia juga tidak akan mempersunting dirimu. Kan lebih baik kau kawin
dengan In Hou, keluarganya adalah hartawan terkaya di Kanglam, setelah kau
menjadi menantunya, hidupmu tidak akan kapiran seumur hidupmu."
Malu dan dongkol bukan main Bu
Siu-hoa dibuatnya, terisaknya: "Siapa bilang aku mau menikah dengan Kek
Lam-wi? Kau ini, kau... ai, kau kira siapa putrimu ini, aku hanya tidak senang
melihat sepak terjang kalian, baru aku berusaha menolongnya. Untuk melicinkan
jalan mundur bagi kau pula."--Sebetulnya dia mau bilang kau mengukur jiwa
seorang Kuncu dengan hati seorang rendah, untung dia masih kuasa mengekang
emosi, kata-kata yang hampir dilontarkan ditelan kembali.
Tapi Bu-sam Niocu sudab
berkobar amarahnya, jengeknya: "O, jadi kau ingin jadi pendekar perempuan
yang menegakkan keadilan? Tapi jangan kau lupa kau ini adalah putri Bu-san-pang
Pangcu, di pandangan orang lain, kau tetap adalah perempuan siluman."
"Tidak peduli bagaimana
anggapan orang terhadapku, aku hanya mengejar ketentraman batin sendiri."
"Apa itu ketentraman
batin sendiri, sementara aku tak usah berdebat dengau kau. Baiklah jawab
pertanyaanku, apa betul kau tidak ingin kawin dengan Kek Lam-wi?"
"Aku tidak akan menikah
dengan Kek Lam-wi. Tapi aku juga tidak akan tunduk padamu, apalagi menikah
dengan putra mustika In Kip."
"Baik, asal kau tidak
ingin kawin dengan Kek Lam-wi. Sekarang kau serahkan Kek Lam-wi kepadaku."
"Bu, apa yang hendak kau
lakukan terhadap dirinya?"
"Kau tidak perlu tahu.
Bahwa kau masih memanggilku 'ibu', maka kau harus tunduk kepadaku, urusan lain
kau tak usah turut campur. Nah sekarang buktikan bahwa kau tunduk
kepadaku."
Bu Siu-hoa menghela napas,
bentrok ibu dan anak jelas tidak mungkin didamaikan lagi. Terpaksa dia bilang:
"Aku menolong Kek Lam-wi, tentu sudah lepas dia pergi. Bagaimana aku harus
mencarinya pula untuk kuserahkan kepada kau?"
"Orang lain bisa kau tipu
dengan obrolanmu, memangnya kau mau menipu ibumu juga? Kek Lam-wi terkena obat
biusku, meski kau bisa menawarkan kadar racunnya, tenaganya juga tidak akan
pulih selekas itu. Berani kau melepasnya pergi seorang diri tanpa
melindunginya. Dia pasti kau sembunyikan dimana, lekas serahkan dia
kepadaku."
"Ada orang melindunginya.
Dia betul-betul sudah pergi. Bu, kau tidak percaya, apa boleh buat."
"Aku justru tidak
percaya, kini biar kutegaskan walau kau bukan anak kandungku jelek-jelek sejak
kecil kau kuasuh dan kubimbing sebesar ini, apakah kau masih pandang aku ini
ibumu?"
"Bu, terlalu berat
kata-katamu. Sejak kecil aku sudah kematian ibu, mana berani aku melupakan budi
bimbinganmu?"
Di tempat sembunyinya
diam-diam Kek Lam-wi membatin: "Ternyata perempuan siluman ini adalah ibu
tirinya, tak heran mereka tidak mirip ibu beranak."
"Bagus, bila kau masih
punya rasa cinta kasih terhadap orang tua, lekas serahkan dia. Sampai disini
saja perkataanku."
Bu Siu-hoa kertak gigi,
katanya: "Jangan kata dia benar-benar sudah pergi, umpama belum pergi,
anak juga takkan tunduk akan perintahmu."
"Kau tidak mau serahkan,
memangnya aku tidak bisa menemukan?" mulut bicara, diam-diam dia sudah
genggam Bwe-hoa-ciam terus ditimpukkan. Senjata rahasia sekecil itu tersebar
luas melesat ke semak rumput-rumput. Untung tempat persembunyian Kek Lam-wi
dialangi batu besar, jaraknya juga jauh tak mungkin tercapai oleh daya luncuran
jarum kecil itu.
Tiba-tiba Bu-sam Niocu tertawa
dingin, katanya: "Lantaran Kek Lam-wi, kau terima membangkang perintahku
aku jadi ingin tahu apakah dia juga punya hati terhadap kau? Kek Lam-wi, kau
dengar kalau tidak segera kau keluar, biar kubunuh dia."
Tersirap darah Bu Siu-hoa
serunya: "Bu, kau hendak membunuhku?"
"Tadi sudah kukatakan,
kau tidak tunduk pada perintahku, hubungan ibu dan anak sudah putus, Seharusnya
kau tahu, bila aku tidak bertangan gegebah dan berhati kejam, memangnya sejauh
ini aku mampu menjadi Pangcu?" di tengah tawa dinginnya, kembali dia ayun
tangannya, tapi arahnya ditujukan kepada Bu Siu-hoa. Sebatang paku menyamber
lewat di pelipis Bu Siu-hoa.
Habis menimpuk senjata rahasia
Bu-sam Niocu menubruk maju pula, bentaknya: "Hubungan sudah putus, hayo
lawan aku."
Sembari menghindar Bu Siu-hoa
berteriak: "Bu, boleh kau bunuh aku, tapi lepaskan Kek Lam-wi."
"Sundel, karena cinta kau
tidak setia lagi terhadapku sayang Kek Lam-wi justeru tidak mau keluar menolong
jiwamu. Hm, apa yang telah kuucapkan tak pernah kujilat kembali, kecuali Kek
Lam-wi berhasil kutangkap, aku boleh mengampuni jiwamu. Kalau tidak kalian akan
sama-sama kubunuh, pertama kubunuh kau baru kubunuh Kek Lam-wi. Memangnya aku
tidak bisa menemukan dia?"
"Cret" baju Bu
Siu-hoa tercengkram robek oleh jari Bu-sam Niocu, pundaknya sampai terluka
lecet, untung tulang pundaknya tidak cidera. Pada hal dia sudah nekad mau adu
jiwa, tak urung dia menjerit kaget.
Pada saat itulah, mendadak
seorang membentak: "Kek Lam-wi disini, perempuan siluman, kemarilah."
Baru saja Bu-sam Niocu
menoleh, tiba-tiba terasa kesiur angin menerjang tiba. "Plok" dadanya
telak tertimpuk sebutir batu, sakitnya seperti ditusuk pisau.
Walau Kek Lam-wi tertutuk
jalan darah pelemasnya oleh Bu Siu-hoa, tapi karena dia takut mengganggu
kesehatan Kek Lam-wi, maka tutukannya tidak menggunakan Jong-jiu-hoat. Tenaga
Kek Lam-wi sudah mulai pulih, dengan bekal tenaga yang sedikit ini ternyata
cukup untuk kerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to. Kebetulan di saat
genting itu, tutukan Hiat-tonya bebas dan dapat bergerak dan bersuara.
Bu-sam Niocu kira Kek Lam-wi
tidak punya tenaga untuk melawannya, siapa sangka orang masih mampu melancarkan
Tam-ci-sin-thong dari Kungfu tingkat tinggi.
Melihat Kek Lam-wi menerjang
keluar, kejut Bu Siu-hoa melebihi waktu jiwanya terancam cengkraman ibunya.
Untuk melindungi Kek Lam-wi juga demi keselamatan diri sendiri, dia tidak pikir
lagi, di waktu Kek Lam-wi menjentik sebutir batu, diapun menimpukkan sebuah
senjata rahasia.
Begitu menerjang keluar, baru
saja Kek Lam-wi hendak memburu kearah Bu Siu-hoa, tiba-tiba "BUM"
terjadi sebuah ledakan, pandangan menjadi gelap, asap mengepul api menjilat,
kontan dia jatuh semaput.
Bila Kek Lam-wi siuman pula
didapati dirinya rebah didalam sebuah gua. Bu Siu-hoa duduk di sampingnya,
membelakangi dinding, pakaiaan bagian atas tersingkap, tangannya memegang
sebuah benda seperti kepingan besi ditekan di dada. Melihat Kek Lam-wi membuka
mata lekas dia melengos sambil memutar tubuh, tersipu-sipu dia membetulkan
pakaiannya.
Kek Lam-wi kaget, katanya:
"Nona Bu kau terluka?"
Getir tawa Bu Siu-hoa,
katanya: "Syukur aku hanya terkena jarum beracun, jarumnya sudah kusedot
keluar. Bagaimana kau?"
Kek Lam-wi menarik napas,
pelan-pelan dia bergerak hendak berdiri, namun terasa tubuh lemas lungfai,
mulut getir dada mual ingin muntah. Katanya: "Tidak apa, cuma rasanya mual
seperti keracunan, tapi tidak terluka bagian dalam."
Melihat orang bicara seperti
biasa, lega hati Bu Siu-hoa, katanya: "Kau terkena tiga batang jarum
beracun, semua sudah kukeluarkan dengan besi semberani. Kau sedikit menghirup
asap beracun, kukira tidak jadi soal. Tadi kau pingsan setengah hari."
"Terima kasih, kembali
nona menolong jiwaku."
"Berkat Lwekangmu sendiri
yang tangguh, aku punya jasa apa? Kalau dibicarakan sepantasnya aku harus minta
maaf kepadamu. Karena menimpuk pelor asap itu, sehingga kau terkena racun
berganda."
Keluarga Bu memiliki sejenis
senjata rahasia yang dinamakan Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam, untuk melindungi
Kek Lam-wi melarikan diri, walau tidak berani menimpukkan Bwe-hoa-ciam melukai
ibunya di tengah kepulan asap, tapi asap tebal itu memang beracun. Di kala Bu
Siu-hoa menimpukkan pelor asapnya diapun tersambit oleh jarum beracun Bu-sam
Niocu.
"Mana ibu tirimu?"
tanya Lam-wi.
"Kupanggul kau dan lari
terbirit-birit, untung dia tidak mengejar, mungkin dia juga terluka. Sungguh
berbahaya, jikalau jentikan batumu itu tidak tepat mengenai sasarannya, mungkin
kita sukar lolos dari renggutan elmaut?"
"Tempat apakah ini?"
"Lobang batu di atas
Thian-ping-san. Siang tadi waktu aku keluyuran di atas gunung, tanpa sengaja
kutemukan lobang ini Di depan lobang penuh ditumbuhi semak berduri, yakin
mereka takkan menemui tempat ini"
Kek Lam-wi diam saja,
coba-coba dia kerahkan hawa murni, betapapun tenaganya tak mampu dikerahkan.
Kiranya beberapa bagian tenaganya yang berhasil dipulihkan setelah ia berhasil
menjebol tutukan Hiat-to, karena dia harus mengembangkan Tam-ci-sin-thong,
tenaga sedikit yang telah pulih itu seketika ludes pula, maka dia harus mulai
dari permulaan pula.
Bu Siu-hoa tertawa pahit,
katanya: "Sekarang tentunya kau maklum, kenapa semula aku tidak mau
memberi tahu namaku kepada kau? Kau membenciku tidak?"
"Teratai tumbuh dalam
lumpur tapi tidak kotor, apalagi kau bukan anak kandungnya. Kau menolong
jiwaku, berterima kasih juga belum sempat, kenapa aku harus membencimu."
Melihat sikap bicaranya tulus dan
sungguh-sungguh, seketika cerah wajah Bu Siu-hoa, senyum manis menghias
mukanya. Tapi hanya sekejap saja, tiba-tiba dia menghela napas rawan. Kata Bu
Siu-hoa setelah menghela napas: "Ada satu hal belum kau ketahui, bila
sudah tahu, mungkin kau bisa membenciku setengah mati."
Bercekat hati Kek Lam-wi,
katanya: "Ada sebuah hal memang ingin kutanya kepadamu. Toh So-so apakah
sudah jatuh ke tangan ibu tirimu, apa pula yang dilakukan atas dirinya? Kurasa
kau tahu jelas tentang hal ini?"
"Yang ingin kubicarakan
dengan kau memang urusan ini?" kata Bu Siu-hoa.
Jantung Kek Lam-wi jadi
deg-degan, pikirnya: "Mungkin So-so mengalami nasib jelek, kalau tidak
kenapa Bu Siu-hoa kuatir untuk membicarakan hal ini dan takut aku
membencinya?"
Seperti meraba isi hatinya, Bu
Siu-hoa berkata: "Kek-jithiap, kau tidak usah kuatir, nona Toh itu tidak
terjatuh ke tangan ibu tiriku, mereka hanya menipu kau."
Terbelalak girang Kek Lam-wi,
katanya: "Apa betul? Lalu dimana dia sekarang?"
"Tiga hari yang lalu dia
masih di Yang-ciu, tapi sekarang dimana, aku tidak tahu," yang benar Bu
Siu-hoa tahu, namun dia tidak ingin segera memberi tahu kepada Kek Lam-wi.
Lega hati Kek Lam-wi,
tanyanya: "Lalu dari mana In Kip bisa memperoleh tusuk kondai itu sehingga
dia memancing aku untuk memenuhi undangannya bersama Ouw-tiap-piau milik ibu
tirimu. Sikap dan perkataan mereka membuat aku mau tidak mau percaya,
sebetulnya apakah yang telah terjadi?"
"Tusuk kondai itu akulah
yang mencurinya. Akulah yang membantu mereka sehingga kau ketipu. Kau sudah
jelas?" Setelah kejadian sesungguhnya dia ceritakan kepada Kek Lam-wi,
Siu-hoa menambahkan: "Setelah mereka tahu Toh So-so juga sudah pulang ke
kampung halamannya, sebetulnya ada maksud Iri Kip hendak mencelakainya. Dia
suruh orang Hoay-yang-pang membantu aku mengatur tipu daya sehingga Toh So-so
tertipu olehku, In Kip bilang nona Toh adalah putri seorang saingannya, dia
suruh aku meringkus pulang setelah mencekok dia dengan racun, kalau tidak bisa
hidup matipun boleh. Tapi umpama nona Toh sampai mati, aku harus membawa suatu
benda sebagai tanda bukti, kalau tidak mereka tidak mau percaya kepadaku."
"Lalu kenapa kau tidak
turuti kehendak mereka? Apakah setelah kau bertemu dengan So-so, kau lantas
tahu asal-usulnya?"
"Bukan begitu. Kungfu
nona Toh amat tinggi, sudah tentu sejak lama aku tahu dia bukan perempuan
sembarangan. Tapi sampai kemarin baru aku tahu, dia dan kau adalah sepasang
kekasih didalam Pat-sian."
Kek Lam-wi berpikir:
"Jadi bukan karena dia jeri terhadap Pat-sian maka dia tidak berani mencelakai
So-so. Walau berbuat salah, betapapun dia masih memiliki benih-benih
kebaikan."
Bu Siu-hoa bicara lebih
lanjut: "Kanglam-pat-sian baru saja menimbulkan keributan besar di kota
raja, sudah tentu nona Toh tidak mau menerangkan asal-usulnya kepadaku. Tapi
sikapnya terhadapku justru seperti kakak beradik baiknya, kumpul beberapa hari,
sungguh aku jadi tidak tega turun tangan kepadanya. Akhirnya kucuri tusuk
kondainya dan pulang memberi tahu In Kip, kukatakan lantaran Kungfunya teramat
tinggi, aku jauh bukan tandingannya. Begitu minum arak yang kucampur obat bius
segera tahu perbuatanku. Aku bukan lawannya, terpaksa hanya berhasil merebut
sebatang tusuk kondai saja."
"Apa mereka tidak curiga
akan cerita bohongmu?"
"Yang kuceritakan bukan
semuanya bohong, Toh-cici berkepan-daian tinggi, memangnya In Kip tidak tahu?
Kalau ceritaku lima puluh persen bohong, tapi tusuk kondai itu barang
tulen."
"Waktu itu kau berada di
Soh-ciu, In Kip tahu kau menginap di hotel dalam Say-cu-lim miliknya sendiri.
Segera dia mengatur tipu daya, menggunakan tusuk kondai itu dia hendak menipumu
masuk perangkap, bahwa kau ternyata kena ditipu terbukti bahwa tusuk kondai itu
memang bukan palsu, sudah tentu obrolanku tidak dicurigai lagi."
"Setelah percaya
kepadaku. Baru mereka membiarkan aku tahu rahasia mereka. Semalam otakku
bekerja hingga terang tanah, hatiku amat menyesal, tidak sepantasnya aku
mencelakakan engkau, kuharapkan pula lantaran peristiwa ini bisa memperoleh
imbalan, supaya ibu tiriku sadar akan kesalahannya dan bertobat untuk kembali
ke jalan lurus, karena itu aku berkeputusan untuk menolong kau."
"Percakapanmu dengan ibu
tirimu tadi, aku mendengar semuanya, tahu salah dapat merubahnya adalah
perbuatan bijaksana, aku tidak menyalahkan kau."
"Kau tidak salahkan aku,
aku sudah amat berterima kasih, bila kau bicara sungkan lagi, hatiku akan lebih
tak tenteram lagi. Tapi, apakah dalam hatimu tiada ganjalan sedikitpun?"
Seperti terkorek isi hati Kek
Lam-wi, katanya dengan suara guram: "Yang kukuatirkan adalah So-so, dia
tidak menemukan aku, entah betapa gelisah batinnya. Aku mati tidak jadi soal,
tapi sebelum melihat dia, si..." ternyata hati kecilnya kira-kira sudah
menerka, apa sebab Toh So-so minggat meninggalkan dirinya tanpa pamit,
kemungkinan karena sedikit salah paham. Bila dia tidak bisa bertemu dengan
So-so, salah paham itu akan selalu bersemayam dalam sanubarinya, bukankah akan
menimbulkan penyesalan seumur hidup?
Tapi Bu Siu-hoa memang ada
budi pertolongan terhadap dirinya, betapapun gadis yang baru dikenalnya,
bagaimana isi hatinya, rikuh untuk dituangkan kepada Bu Siu-hoa.
Walau dia tidak menuangkan
perasaan hatinya, namun sebagai gadis perasa, tanpa dijelaskan lagi Bu Siu-hoa
sudah tahu apa yang dia pikirkan. Dengan tawa paksa dia berkata: "Aku
sedang berpikir ke arah yang paling buruk, namun urusan kukira tidak sampai
sefatal itu. Orang baik pasti dikaruniai oleh Thian. Kek-jithiap, aku percaya
suatu ketika kau pasti bisa bertemu lagi dengan Toh-cici."
Kek Lam-wi juga tertawa
dipaksakan, katanya: "Ya, semoga seperti yang kau doakan."
Bu Siu-hoa menghela napas
panjang sambil melengos kesana. Dalam keadaan sama mengalami kesulitan ini,
sepantasnya keduanya memerlukan hiburan. Tak tahan Kek Lam-wi bertanya:
"Nona Bu, kaupun ada ganjalan hati apa, boleh beritahu kepada aku?"
"Ah tidak, aku hanya iri
terhadap Toh-cici."
Kek Lam-wi melengak, tiba-tiba
dia teringat olok-olok Bu-sam Niocu kepada putrinya tadi. "Benarkah dia
menaksir aku, jatuh cin..."
Belum lanjut pikiran Lam-wi,
tiba-tiba didengarnya Bu Siu-hoa berkata: "Aku iri terhadap Toh-cici
karena ada orang yang mau memperhatikan dia. Tapi aku kini sebatang kara. Bila
kau tidak merasa..." tegak alis Bu Siu-hoa.
"Usiaku lebih tua, bila
kau sudi, boleh kita angkat saudara, bagaimana?" "
Sejenak Bu Siu-hoa terpaku,
mendadak dia terkial-kial sambil menengadah, serunya: "Bagus, bagus
sekali. Kau tidak anggap diriku rendah, itulah rejekiku. Pada hal aku ini
dianggap perempuan siluman oleh orang lain, hari ini bisa memperoleh seorang
kakak segagah kau umpama aku gugur nanti juga aku akan mati dengan meram,"
nada tawanya kedengaran agak getir dan pilu.
Melihat tawanya kurang normal,
cepat Kek Lam-wi berkata: "Jangan ngomong yang kurafg baik, seperti apa
yang kau katakan tadi, orang baik pasti dikaruniai Thian, yakin kita akan bisa
lolos. Oh, belum aku memberitahu kepada kau, aku punya dua teman yang
berkepandaian tinggi..."
"Maksudmu Tan Ciok-sing
dan In San?"
"Ya, benar, ternyata kau
sudah tahu."
"Dari cerita In Kip aku
tahu, Tang-bun Cong dan lain-lain sedang mengikuti jejaknya, maka merekapun
menguntit sampai di Soh-ciu."
"Kemarin mereka sudah
berjanji hendak membantu aku, di rumah kediaman In Kip mereka tidak menemukan
aku, pasti masih terus mencari jejakku. Karena itu kemungkinan kita bisa
kepergok orang In Kip, tapi juga mungkin ketemu mereka."
"Biarlah kita mengadu
nasib. Tapi peduli bagaimana nasib kita, sekarang aku tidak merasa kuatir lagi.
Aku sudah menjadi adikmu, apa yang kuinginkan sudah terkabul, Thian Yang Maha
Kuasa cukup banyak memberi kepadaku, apa lagi yang kuharapkan?"
Maka didalam lobang batu itu
mereka jongkok berjajar, menyembah dua belas kali kepada langit dan bumi
mengangkat saudara sebagai kakak adik.
000OOO000
Tan Ciok-sing dan In San sudah
pulang ke Ham-san-si.
Begitu Tam Pa-kun dan Toh So
so melangkah masuk, mereka lantas berlari keluar menyongsong dengan tawa riang.
Kata Tan Ciok-sing " Taim
Tayhiap, aku memang ingin menyusulmu ke villa In Kip tapi ternyata kau sudah
pulang, mana Kek-toako."
Sementara In San memeluk Toh
So-so kencang-kencang dengan perasaan haru, sesaat dia pegang lengan So-so
serta bertanya: “Toh-cici, akhirnya kita bertemu lagi. Kau bertemu Kek-toako
tidak? Lantaran kau Kek-toako ditipu In Kip untuk memenuhi undangannya, kau
sudah tahu akan hal ini bukan?"
"Aku sudah tahu,"
sahut Toh So-so, "tapi aku belum bertemu dengan dia. Dia digondol pergi
seorang perempuan siluman," sampai disini dia berpaling ke arah Tam Pa-kun
dan menyengir, "Paman Tam, tidak nyana akulah yang menang taruhan."
Tan Ciok-sing saling pandang,
tanyanya bersama: "Apa yang telah terjadi?"
"Panjang ceritanya, mari
bicara didalam," ujar Toh So-so.
Waktu itu baru saja terang
tanah, Toh So-so menyatakan ingin menghadap Kiau-jan Taysu. Tan Ciok-sing
berkata: "Kiau-jan Taysu sedang sembahyang pagi."
Terpaksa Toh So-so batalkan
niatnya setelah diberi penjelasan oleh Tam Pa-kun pula. Lalu Toh So-so
ceritakan pengalaman dan apa yang dia ketahui kepada Ciok-sing dan In San.
Dengan tertawa In San berkata:
"Paman Tam, taruhanmu dengan
Toh-cici, menurut pendapatku
hanya kalah separo."
Toh So-so melengak. "Lho,
koh begitu?"
"Walau nona Bu tidak
membawa Kek-toako ke Ham-san-si, jelas dia tidak bermaksud jahat
kepadanya."
"Ya, aku percaya. Walau
dia mencuri tusuk kondaiku dan mengatur tipu daya membantu In Kip sehingga
Kek-toako tertipu. Tapi dia tidak mencelakaiku mumpung ada kesempatan, dari
sini dapat kusimpulkan bahwa hatinya memang tidak jahat."
"Apalagi menurut ceritamu
tadi, pertolongannya terhadap Kek-toako dari penjara bawah tanah jelas bukan
permainan sandiwara yang sekongkol dengan In Kip. Asal dia punya maksud baik
menolong orang, jadi tanpa ada muslihat, cepat atau lambat Kek-toako pasti
dapat pulang mencari kau."
Toh So-so bilang, "Yang
tidak kumengerti justru kenapa dia berbuat demikian? Bu-sam Niocu memang bukan
ibu kandungnya, tapi mereka kan segolongan. Kenapa lantaran Lam-wi, dia rela
mengkhianati mereka?"
In San cekikikan, katanya:
"Toh-cici, jadi lantaran itu kau masih tidak lega hatimu? Pada hal cinta
kalian tumbuh sejak masih kecil, seharusnya kau percaya padanya bahwa dia tidak
akan mengalihkan cintanya kepada perempuan lain."
Merah wajah Toh So-so,
katanya: "Siapa pingin, kalau aku kuatir, kali ini memangnya aku tak bisa
meninggalkan dia."
"Sesama manusia logis
bila terjadi kesalahan paham. Sampaipun manusia yang paling dekat sekalipun,
suatu ketika juga demikian. Oh, ya, ada berita gembira belum sempat kuberitahu
kepadamu. Toan Kiam-ping dan Han Cin cici sudah bertunangan, tak lama setelah
kau meninggalkan Pakkhia, merekapun pulang ke Tayli."
Mendadak ln San menyinggung
pertunangan Toan Kiam-ping dengan Han Cin, dua persoalan ini tiada sangkut
pautnya satu dengan yang lain, tapi Toh So-so maklum kemana arah tujuan
perkataannya. Tak urung jengah mukanya, katanya: "Kemarin aku sudah
mendengar berita ini dari Kwik Ing-yang dan Ciong Bin Siu," dalam hati dia
membatin: "Salah pahamku terhadap Han Cin memang kekeliruanku. Tapi putri
Bu-sam Niocu mana bisa dibanding Han Cin keturunan genah dari keluarga ternama."
Namun setelah mendengar penjelasan In San, paling tidak mau percaya bahwa Bu
Siu-hoa tidak punya maksud mencelakai Kek Lam-wi. Kek Lam-wi pun takkan
mengalihkan cintanya, tentramlah hatinya.
Tam Pa-kun berkata:
"Untuk sementara yakin Lam-wi tidak akan mengalami bahaya, yang
kukuatirkan justeru persoalan lain."
"Persoalan apa?"
tanya Tan Ciok-sing.
"Tang-bun Cong dan Poyang
Gun-ngo jelas berada di Soh-ciu, tadi mereka juga berada di rumah In Kip, tapi
tidak pernah menunjukkan diri."
Toh So-so berkata:
"Mungkin karena kau telah membekuk In Hou, mereka keluar juga tidak akan
merubah situasi."
"Mungkin itu salah satu
sebab, tapi kukira urusan tidak semudah itu."
Toh So-so tersentak sadar,
"Betul?" katanya, "waktu aku menerjang ke rumah keluarga In mereka
juga tiada yang merintangi. Paman Tam tidak perlu heran bahwa mereka jeri
padamu, tapi terhadapku sebetulnya mereka tidak perlu kuatir, hal ini jadi
membingungkan."
"Kedua orang itu punya
latar belakang yang luar biasa, agaknya mengemban suatu tugas khusus yang serba
rahasia, maka mereka tidak mau unjuk diri di muka umum. Walau kita tidak tahu
apa rencana dan muslihat mereka, lapi kita harus berusaha memberitahu hal ini
kepada Ong Cecu "
"Paman Tam," kata
Toh So-so, "bukankah kau hendak ke Tong-thing-san barat memberi selamat
ulang tahun Ong Cecu?"
"Sebetulnya kami dan Kek
Lam-wi juga akan kesana memberi selamat ulang tahun kepada Ong Cecu,"
demikian timbrung Tan Ciok-sing, "tapi ulang tahun Ong Cecu pada tanggal
dua puluh dua bulan ini, masih ada sepuluh hari lagi."
"Kalian bisa berangkat
dini, kan tidak jadi soal. Biar aku tinggal disini mencari Kek-toako, kalian
tidak usah menguatirkan diriku."
"Tam Tayhiap ada sebuah
janji lain, waktunya sudah ditentukan tanggal delapan belas bulan ini,
alamatnya di Hay-ling," kata Tan Ciok-sing.
"Aku justru sedang
menguatirkan hal ini, yang mengundang aku adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak
maka aku harus memenuhi undangannya itu. Walau kali ini In Kip menderita rugi
yang berakibat cukup fatal dari kita, kukira nyalinya sudah pecah dan jera.
Tapi kita tidak boleh puas diri, harus tetap siaga dan waspada. Lalu siapa yang
harus diutus ke markas Ong Cecu memberitahukan hal ini, calonnya harus kita
pikirkan dengan baik dan tepat."
Sampai disini pembicaraan
mereka, seorang hwesio cilik datang memberitahu: "Cong-piauthau Ceng-lam
Piaukiok Seng
Tay-coan dengan seorang
pengemis tua datang minta bertemu dengan Tam Pa-kun."
Tam Pa-kun berkata: "Yang
datang bersama Seng Tay-coan, pasti adalah sahabat dari Kaypang." Lekas
dia suruh hwesio cilik menyilakan tamunya masuk.
Dugaan Tam Pa-kun memang tidak
meleset yang datang bersama dengan Seng Tay-coan bukan saja orang Kaypang malah
sebagai Thocu cabang Soh-ciu bernama Kiau Tiong. Kiau Tiong sudah kenal baik
dengan Tam Pa-kun dan Toh So-so. Tapi baru pertama kali ini bertemu dengan Tan
Ciok-sing dan In San.
Setelah sama memberi hormat.
Kiau Tiong berkata dengan tertawa: "Toh Lihiap, kiranya kau juga ada
disini sungguh kebetulan. Aku memang sedang mencarimu. Sebetulnya apa yang
terjadi dengan penculikan dan pencurian, itu, apakah tusuk kondaimu sudah kau
temukan?" ternyata Kaypang cabang Yang-ciu telah mengirim kabar kepadanya,
maka dia tahu bahwa Toh So-so kehilangan tusuk kondai di Yang-ciu kini
kedatangannya ke Soh-ciu adalah untuk menyelidiki kejadian ini. Sebagai
penduduk setempat, adalah menjadi kewajibannya untuk bantu memecahkan persoalan
pelik ini.
Sementara Seng Tay-coan sudah
memperoleh laporan muridnya yang menyaru jadi kacung di perhotelan dalam
Say-cu-lim, begitu ada kesempatan segera dia tanya kepada Tan Ciok-sing:
"Kabarnya, Kek-jithiap kemarin telah memenuhi undangan In Kip, apakah dia
sudah pulang?"
"Tam Tayhiap dan nona Toh
justru baru pulang dari villa In Kip itu," sahut Tan Ciok-sing.
Tahu gelagat jelek, lekas Seng
Tay-coan bertanya: "Jadi kalian belum menemukan Kek-jithiap??"
Toh So-so tertawa getir,
katanya: "Orangnya belum pulang, barangnya juga belum ketemu."
Habis mendengar cerita, Kiau
Tiong berkata: "Toh Lihiap tidak usah kuatjr, asal Kek-jithiap masih di
Soh-ciu, orang-orang Kaypang kita pasti dapat menemukan dia. Tam Tayhiap, tugas
mengirim kabar kepada Ong Cecu boleh serahkan kepadaku?"
"Begitu memang lebih
baik," ujar Tam Pa-kun tertawa. "Sesama kawan sendiri, akupun tak
perlu sungkan terhadapmu."
"In Lihiap," kata
Kiau Tiong pula, "dan Toh Lihiap kurang leluasa tinggal di Ham-san-si,
bagaimana kalau kalian pindah ke tempat kediamanku?"
"Aku ada perjanjian lain,
sebentar juga akan berangkat ke Hay-ling," kata Tam Pa-kun. Tan Ciok-sing,
In San dan Toh So-so terima undangan Kiau Tiong.
Sebelum hari menjadi petang
merekapun berpencar menuju ke arah tujuan masing-masing.
Orang-orang Kaypang tersebar
luas, mereka bisa mengirimkan kabar secara kilat ke berbagai penjuru, setelah
mendapat bantuan Kiau Tiong, legalah hati Toh So-so. Tapi apakah bisa menemukan
Kek Lam-wi masih jadi persoalan, sehari sebelum Kek Lam-wi ditemukan, betapapun
hatinya tidak bisa tentram.
000OOO000
Bagaimana keadaan Kek Lam-wi?
Setelah tidur nyenyak, begitu
dia siuman, mentari ternyata sudah doyong ke sebelah barat. Sambil kucek-kucek
mata dia berteriak: "Nona Bu."
Setelah diulang tiga kali
tetap tidak mendengar jawaban Bu Siu-hoa, seketika hatinya bercekat. Sejenak
dia tentramkan hati, lobang batu itu remang-remang karena hanya memperoleh
secercah cahaya dari celah-celah batu, dengan seksama dia perhatikan
sekitarnya, bayangan Bu Siu-hoa memang tidak kelihatan, tapi di sampingnya
terdapat sebuah tempurung yang berisi air jernih Tempurung ini ternyata jauh
lebih besar dari tempurung yang biasa pernah dia lihat, agaknya Bu Siu-hoa
memperolehnya secara darurat.
Dalam hati Kek Lam-wi
berpikir: "Batu besar itu semula tidak ada, mungkin Siu-hoa takut orang
menemukan lobang batu ini maka dia ambil batu besar menyumbat mulut lobang.
Kalau begitu, luka-lukanya ternyata sudah sembuh dan lebih baik dari aku. Air
dalam tempurung ini juga dia yang menyiapkan. Entah karena dia merasa rendah
diri sehingga menyingkir dari depanku? Atau sedang keluar mencari makanan?"
Begitulah dengan menahan sabar
Kek Lam-wi menunggu sampai hari menjadi gelap, dalam gua tak bisa melihat ke
lima jari sendiri, namun Bu Siu-hoa yang ditunggu-tunggu masih juga belum
pulang.
Tanpa merasa Kek Lam-wi jadi
mereka-reka dan bimbang, apakah dirinya harus keluar mencari makan, atau tetap
tinggal dalam lobang batu saja menunggu Siu-hoa pulang?
000OOO000
Tatkala itu Bu Siu-hoa sendiri
juga sedang gundah gulana sukar mengambil keputusan.
Rekaan Lam-wi akan dua hal itu
boleh dikata tepat sekali. Memang Siu-hoa merasa rendah diri, secara diam-diam
tadi dia sudah siap tinggal pergi. Tapi selama hidup sampai sebesar ini belum
pernah dia mendapat teman sejati, apalagi dia tahu bahwa Kek Lam-wi tidak
mungkin mencintai dirinya, namun dia merasa berat untuk meninggalkan teman
lelaki ini. Dan lagi belum lama mereka baru saja angkat saudara.
"Cepat atau lambat
Kek-toako kan akan rujuk kembali dengan Toh So-so, bila aku selalu mengikuti
dia, berarti aku menyusup di tengah mereka, lalu apa artinya? Umpama Kek-toako
tidak membenciku, lama kelamaan Toh So-so pasti bosan dan sebal melihat
tampangku."
"Tadi aku sudah memeriksa
urat nadinya, besok pagi sedikitnya Lwekangnya sudah bisa pulih lima puluh
persen. Aku sudah mendapatkan makanan untuk dia, semoga dia masih belum siuman,
setelah meninggalkan makanan ini, baru aku pergi masih belum terlambat,"
dia tidak berani turun gunung, pegunungan ini banyak ditanami pohon-pohon teh,
di sekitarnya pasti petani yang tinggal di atas gunung, kepada mereka dia akan
membeli penganan apa saja yang bisa dibuat mengisi perut.
Apakah di atas Thian-ping-san
dia bisa menemukan petani yang diharapkan, dia tidak tahu. Walau Thian-ping-san
bukan gunung tinggi dan berbahaya, namun bukan soal gampang untuk menemukan
rumah petani di pegunungan ini.
Tiba-tiba dia menemukan jejak
manusia.
Didengarnya seorang berkata:
"Toako, kau melihat pengemis itu tidak?" suaranya seperti sudah amat
dikenal. Ternyata dia bukan lain adalah pengurus rumah tangga In Kip, yaitu Ong
Cong-king.
Sudah tentu kagetnya bukan
main, lekas dia sembunyi di semak-semak. Suara Ong Cong-king tidak jauh dari
tempat dimana dia berada, untung di antara mereka teraling batu gunung raksasa.
Bu Siu-hoa lekas sembunyi pula sehingga jejaknya tidak konangan mereka. Namun
tak urung keringat dingin membasahi jidatnya. "Ong Cong-king tentu
ditugaskan mencari aku, entah siapa yang dia panggil 'toako' itu?"
Tengah dia menduga-duga, orang
yang dipanggil Toako sudah berkata: "Sudah kulihat, kenapa sih?"
"Di atas pegunungan yang
belukar ini, masa pengemis kemari mau minta sedekah, apakah tidak aneh dan
mencurigakan?" apa yang dia curigai tepat seperti apa yang dipikirkan Bu
Siu-hoa.
Toako itu berkata tawar:
"Kita urus tugas kita, jangan mencampuri orang lain."
Maka terdengar Ong Cong-king
dengan seorang lagi bertanya bersama: "Lho, kenapa? Kukira pengemis yang
satu ini bukan pengemis sembarangan," suara orang ketiga ternyata juga
dikenal baik oleh Bu Siu-hoa, dia bukan lain adalah kuasa hotel di
Say-cu-lim-Koan Cong-yau.
Toako itu berkata: "Kalau
hanya pengemis biasa tidak ambil perhatian. Jikalau murid Kaypang, pada hal
Kaypang dengan Giam-ong-pang kita umpama air sungai dengan air sumur, buat apa
kita cari permusuhan dengan mereka? Kecuali mereka berani mengusik kita. Kalau
tidak menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah peduli pada seorang
pengemis."
Mendengar penjelasan masuk
akal, Ong dan Koan berkata: "Pendapat Toako memang benar dia sudah turun
gunung, agaknya belum tahu akan jejak kita disini."
Mendengar pembicaraan mereka
sampai disini, Bu Siu-hoa lantas sadar dan tahu siapa 'Toako' yang ajak mereka
bicara. Dengan kaget Bu Siu-hoa berpikir: "Agaknya orang ini adalah Giam
Cong-po, Pangcu dari Giam-ong-pang, tak heran mereka memanggilnya 'Toako',
sejak tadi seharusnya aku sudah menduga akan dirinya."
Sejak Giam-ong-pang bubai
secara misterius dua puluh tahun yang lalu, tiada orang tahu dimana jejak Giam
Cong-po selanjutnya.
Tak nyana mendadak dia muncul
disini bersama kedua wakilnya, karena itu semula Bu Siu-hoa tidak berani
menduga akan dirinya.
Giam Cong-po berkata:
"Bicara soal tugas, tadi belum dibicarakan sampai selesai, apa yang telah
kalian persiapkan?"
Koan Cong-yau menghela napas
katanya: "Bu Siu-hoa budak keparat itu bikin kapiran orang saja. Aku dan Jiko
kali ini ketimpa sial gara-gara perbuatannya."
Tidak meleset dari dugaan Bu
Siu-hoa, ternyata mereka sedang mencari dirinya. Siu-hoa sendiri mendengar
jantungnya berdegup keras.
Giam Cong-po berkata:
"Budak yang kau maksud apakah putri Bu-sam Niocu?"
"Betul," ucap Koan
Cong-yau, "toako belum pernah melihat budak itu, masih muda jelita lagi,
tapi ternyata amat licin. Sebelum kejadian kami tiada yang menduga, sebesar itu
nyalinya berani menolong Kek Lam-wi."
"Memangnya Bu-sam Niocu
tidak bisa ngurus putrinya itu?" jengek Giam Cong-po.
"Walau Bu-sam Niocu
marah-marah, tapi sekarang dia tinggal minggat begitu saja, celaka adalah kita
yang harus menanggung akibatnya," demikian kata Ong Cong-king.
"Akibatnya justru sukar
dibereskan," kata Koan Cong-yau, "walau dia tidak memberi pernyataan
jelas, terserah bagaimana kita akan membereskan budak itu, tapi mau tidak mau
kita harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak."
"Kenapa harus berpikir
dua belas kali?" tanya Giam Cong-po.
"Nyali In Kip sudah pecah
karena kedatangan Tam Pa-kun, Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian, kini
budak itu sudah sehaluan dengan Kek Lam-wi, bila ketemu mereka, kita jadi serba
salah, main kasar atau menggunakan akal."
"Oo, jadi kalian jeri
terhadap Tam Pa-kun dan Kanglam-pat-sian?" tanya Giam Cong-po.
Ong Cong-king menghela napas,
katanya: "Bila Giam-ong-pang kita belum bubar, kukira tak perlu takut
terhadap mereka, sekarang jelas takkan mampu menandingi mereka."
"Hiante jangan
mengagulkan orang lain merendah diri sendiri. Kedatanganku kali ini adalah
untuk membangkitkan kembali Giam-ong-pang kita. Aku sih ingin membekuk budak
itu dan akan kuserahkan kepada Bu-sam Niocu."
"Begitupun baik, biar
Bu-sam Niocu memberikan hukumannya sendiri, kita tidak usah mencampuri urusan
rumah tangganya," kata Ong Cong-king.
"Bukan begitu maksudku,
tujuanku adalah merangkul Bu-san-pang. Bu-sam Niocu kini sudah kehilangan
tulang punggung, kini saatnya untuk mencaplok Bu-san-pang. Coba katakan betul
tidak?"
"Benar," Koan
Cong-yau menyokong. "Tang-bun Cong dan Poyang Gun-ngo sudah ke tempat
lain. In Kip sudah jera menghadapi Tam Pa-kun dan orang Pat-sian, kini putri
angkatnya sehaluan pula dengan Kek Lam-wi. maka Bu-sam Niocu kuatir In Kip
takkan bisa melindungi keselamatan jiwanya pula."
Giam Cong-po tertawa gelak,
katanya: "Biar In Kip takut Tam Pa-kun. aku tidak takut, In Kip tak mampu
melindungi dia, akulah yang akan melindunginya. Bila Kek Lam-wi berhasil
kubekuk, aku bisa mengadakan kontak jual beli dengan Tang-bun Cong, bila kejadian
ini tercapai, Bu-sam Niocu tak usah kuatir disalahkan karena gara-gara putrinya
buronan raja sampai terlepas."
Ong Cong-king berpikir:
"Terlalu muluk perhitungan Toako," tapi dia tidak berani utarakan
pendapatnya ini, terpaksa secara lunak dia berkata: "Bu-sam Niocu sekarang
memang kepepet, sudah tentu dia mengharapkan bantuan, cuma Giam-ong-pang kita
sekarang juga hanya tinggal namanya saja..."
Sebelum dia bicara habis Giam
Cong-po sudah tertawa, katanya: "Kalian kira perhitunganku terlalu muluk?
Aku kan belum menjelaskan, kau kira selama dua puluh tahun ini aku hanya makan
tidur melulu? Sejak lama anggota kita yang bubar sudah kukumpulkan, yang belum
kumpul juga sudah kuhubungi dan sering mengadakan kontak, sekarang hanya tunggu
saatnya saja, sekali mendapat kabar mereka akan datang, bangkitlah
Giam-ong-pang setelah tidur selama dua puluh tahun."
"Apa betul?" teriak
Ong dan Koan bersama, "Sungguh menyenangkan."
Giam Cong-po berkata tawar:
"Kukira kalian sudah kemaruk harta dan kedudukan, suka rela menjadi
pegawai hartawan besar di Kanglam ini, berat untuk meninggalkan kedudukan yang
sekarang."
"Kenapa Toako bilang
demikian, meski hidup serba berkecukupan juga tetap sebagai yang terima gaji.
Aku hanya kuai u Toako tidak mau menerimaku lagi "
Lekas Koan Cong-yau juga
bilang: "Toako sudah turun gunung dan hendak membangkitkan Giam ong-pang
kita pula, Siante |Ha» akan tetap setia kepadamu "
Giam Cong-po tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Hanya waktunya yang belum menguntungkan, tapi
aku yakin usaha kita pasti berhasil, tinggal bagaimana aku menggarap Bu-sam
Niocu sehingga dia terpelet olehku."
Timbul ingin tahu Koan
Cong-yau. tanyanya: "Dengan cara apa, Toako boleh memberi tahu."
"Kita kan masih sesama
saudara,' apa halangannya kuberitahu kalian, tapi kalian harus simpan
rahasia."
Ong dan Koan menjawab bersama:
"Itu sudah tentu. Memangnya Toako tidak percaya pada kami."
"Sudah tentu aku percaya,
soalnya hal ini menyangkut rahasia pribadi orang lain, aku kuatir akibatnya
cukup fatal maka aku tegaskan hal ini kepada kalian. Hal apa yang dapat
menyebabkan Bu-sam Niocu tunduk kepadaku? Karena dia punya suatu kesalahan yang
hanya diketahui olehku."
Ong Cong-king agak teliti, dia
tidak berani tanya lagi, tapi Koan Cong-yau agak bodoh, dia tanya:
"Kesalahan apa?”
"Kalian tahu bagaimana
kematian Bu San-hun?" kata Giam Cong-po.
Bu San-hun adalah pejabat
Pangcu Bu-san-pang yang terdahulu, yaitu ayah kandung Bu Siu-hoa. Bu Siu-hoa
sembunyi di semak-semak, mendengar
percakapan menyinggung ayahnya
hatinya amat kaget, segera pusatkan perhatian mendengarkan dengan seksama. Ong
dan Koan sama kaget, Ong Cong-king berkata: "Tidak tahu,"-Koan
Cong-yau berkata: "Apakah
Bu-sam Niocu yang membunuhnya?"
"Betul," kata Giam
Cong-po, "dialah yang sekongkol dengan orang luar membunuh suami
sendiri."
Saking kaget keringat dingin
membasahi tubuh Bu Siu-hoa, pikirnya: "Dari perkataan Giam Cong-po,
kematian ayah agaknya ada sangkut pautnya dengan ibu tiri, kalau bukan dia
pembunuhnya, pasti dia biang keladinya. Selama belasan tahun ini, sikapnya
terhadapku ternyata munafik, baik di lahir benci di batin, hakikatnya aku tidak
tahu kalau dialah pembunuh ayahku, sungguh amat berbahaya."
Keadaan diluar tiba-tiba
menjadi sunyi.
Bu Siu-hoa tidak bisa melihat
keadaan diluar, mendadak suasana menjadi senyap, hatinya menjadi heran,
pikirnya: "Kenapa mereka tidak bicara lagi?" lalu dia mendekam
menempelkan telinga ke tanah, mendengarkan dengan seksama.
Didengarnya di lekuk bukit
sebelah sana sayup-sayup seperti ada dua orang sedang bicara, suaranya tidak
keras, tapi mendengar dengan mendekam di tanah, percakapan mereka bisa
terdengar jelas.
"Gua yang kau katakan
tadi kenapa tidak ketemu juga, apakah kesasar?"
"Aku masih ingat tempat
itu, pasti tidak salah."
"Tapi tempat yang kau
katakan itu hanya batu-batu gunung yang berserakan, lobang kecil juga tidak
ditemukan."
"Tak usah kau mendesakku,
coba biar kupikir. Ha, kutemukan sesuatu yang mencurigakan."
"Apa yang kau
temukan?"
"Batu besar itu. Batu
besar itu agak aneh."
"Batu itu jauh lebih
besar dari batu lain yang ada disini, tapi batu itu bentuknya ya begitu, apanya
yang aneh, kenapa kau katakan batu itu aneh?"
"Batu besar itu seperti
pintu angin. Masih segar dalam ingatanku, waktu aku kemari kemarin aku pernah
melihatnya dan duduk istirahat di atas batu besar itu."
"Kalau memang sudah ada
disini, apanya, lagi yang kau buat heran."
"Kau tidak tahu, aku
masih ingat kemarin batu besar itu tidak berada disini. Itu berarti letak batu
itu telah tergeser dari tempatnya semula."
"O, itu berarti perbuatan
manusia, entah siapa yang memindahkan-nya kemari."
"Memangnya, tanpa sebab
buat apa orang itu memindah batu besar ini? Jikalau bukan untuk menjadi
aling-aling atau penutup, memangnya dia mau memeras keringat menggeser
batu?"
Sudah tentu Bu Siu-hoa amat
kaget dan kuatir karena entah siapa telah menemukan lobang batu yang dia tutup
dengan batu besar, tengah dia memeras otak, tiba-tiba didengarnya Giam Cong-po
tertawa lirih, katanya berbisik: "Dicari susah payah tidak ketemu, diperoleh
tanpa membuang tenaga. Hehe, biarkan pengemis itu menemukan persembunyian Kek
Lam-wi dan budak itu, baru nanti gasak mereka."
Karuan jantung Bu Siu-hoa
berdebar-debar, dengan cara apa dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi?
Agaknya pengemis itu menghadapi
kesulitan, setelah istirahat seorang berkata: "Tapi dengan kekuatan kita
berdua, belum tentu mampu menggeser batu besar ini."
Pengemis yang lain tiba-tiba
tertawa.
"Toako, kenapa kau
tertawa?"
"Kau kuatir tidak mampu
menggeser batu ini memangnya kita tidak bisa mengundang bala bantuan!"
"Betul, kalau begitu
begini saja, aku pulang mengundang bantuan, kau berjaga di mulut lobang,
kuatirnya bila perempuan siluman itu membawa lari Kek-jithiap, tentunya kau
juga maklum ke arah mana mereka akan pergi."
Terdengar Koan Cong-yau
berkata lirih di persembunyiannya: "Bagaimana kita?"
"Jite," kata Giam
Cong-po, "kau sikat pengemis yang pulang memanggil bantuan, bersama Samte,
aku akan kuntit pengemis yang satu pergi ke tempat sembunyi Kek Lam-wi."
Gugup, gelisah dan bingung
hati Bu Siu-hoa, bagaimana dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi? Tiba
saatnya dia harus lekas bertindak. Begitu dia bergerak Giam Cong-po segera
mengetahui jejaknya, dua jarinya segera menjentik "WUT" sekeping mata
uang segera melesat dengan kencang. Untung Bu Siu-hoa mendengar deru angin dan
sempat berkelit, mata uang itu mengenai batu di sampingnya, menimbulkan
cipratan batu dan letupan api.
Cuma Bu Siu-hoa memang sengaja
menampilkan diri, sambil berbatuk dia menerobos keluar dari semak belukar di
belakang batu.
Melihat dirinya, Ong dan Koan
sama melengak malah.
"Paman Ong dan paman
Koan, kalian baik-baik saja. Siapakah paman tua ini..." Bu Siu-hoa
bersikap wajar seperti tidak terjadi apa-apa, begitu berhadapan dia lantas
menyapa lebih dulu.
Giam Cong-po mendengus,
katanya: "Budak ini kenal kalian, memangnya dia..."
"Lapor Toako," ujar
Koan Cong-yau sambil menjura, "Budak ini memang putri Bu-sam Niocu
itu."
Bu Siu-hoa pura-pura kaget,
katanya: "Lho, kiranya Toako kalian, jadi kau ini tentu adalah Giam-pangcu
dari Giam-ong-pang,
maaf, aku kurang
hormat."-
sengaja dia meninggikan
suaranya supaya kedua pengemis di lekuk gunung sana mendengar dan iari.
Sebagai kawakan Kangouw sudah
tentu Giam Cong-po tahu maksud tujuan Siu-hoa. Tapi setelah Bu Siu-hoa muncul
disini kedua pengemis itu boleh tidak usah dihiraukan lagi. "Budak ini ada
disini Kek Lam-wi tentu juga berada di sekitar sini," demikian batin Giam
Cong-po. "Dari pada mencari perkara dengan pihak Kaypang, biarkan saja
mereka pergi. Meski mereka akan pulang memanggil bantuan, markas mereka toh
didalam kota, untuk pulang pergi kemari sedikitnya memerlukan waktu cukup lama,
saat mana kita yakin sudah menggusur Kek Lam-wi dari sini."
Giam Cong-po membentak:
"Jangan cerewet, dimana Kek Lam¬ wi?"
"Sudah dibawa pergi oleh
Tam Pa-kun," kata Bu Siu-hoa.
Giam Cong-po ngakak sambil
mendongak, katanya: "Pintar juga kau budak ini bila membual, sayang di
hadapanku kau takkan bisa menipu orang lain."
Bu Siu-hoa melengak, katanya
mengeraskan kepala: "Aku bicara sesungguhnya, kalau kau tak percaya ya
terserah."
"Masih berani bilang
tidak menipu aku," jengek Giam Cong-po. "Mungkin kau memang belum
tahu biar aku menjelaskan. Kemarin Tam Pa-kun sudah meninggalkan Soh-ciu, dia
pergi seorang diri."
Diam-diam Bu Siu-hoa mengeluh
dalam hati: "Bila Tam Pa-kun sudah pergi, Toh So-so dan teman-teman
Kek-toako lainnya, mungkin tidak akan mampu melawan Giam Cong-po dan
kamrat-kamratnya. Kek-toako akan lebih berbahaya. Tapi dalam situasi seperti
sekarang, mengulur waktu adalah jalan terbaik sambil menunggu kedatangan orang
Kaypang, sekali-kali Kek-toako tidak boleh jatuh ke tangan mereka,"
demikian Bu Siu-hoa sudah berketetapan dalam hati.
Pada hal Giam Cong-po kuatir
bila mengulur waktu bakal tidak menguntungkan pihaknya karena bukan mustahil
orang Kaypang datang lebih cepat dari dugaannya. Karena tidak ingin menambah
kesulitan, segera dia membentak:, "Kami sudah tahu kau sembunyikan dia
didalam sebuah gua, lekas tunjukan tempatnya biar kami menjinjing-keluar."
"Hal itu tidak
benar," seru Bu Siu-hoa, kalau kau minta aku menunjukan tempatnya, akan
kuajak kalian ke sembarang tempat."
"Budak busuk,"
damprat Giam Cong-po marah, "berani kau membangkang, kuputuskan dulu kedua
kakimu."
Bu Siu-hoa tertawa: "Kalau
kakiku putus mana bisa aku menunjukkan tempat itu."
"Coba saja asal kau
berani," jengek Giam'Cong-po, "aku punya delapan belas cara untuk
menyiksa orang, akan kupilih satu di antaranya yang cocok untuk dirimu,"
di tengah tawa dinginnya mendadak dia melompat maju sambil pentang jari-jari
tangannya mencengkram ke arah Bu Siu-hoa.
Bu Siu-hoa menyurut sambil
berteriak: "Baiklah, aku tunjukkan tempatnya, tapi kau jangan menakuti aku
bila hatiku takut, kakiku jadi lemas tak mampu jalan."
Terpaksa Giam Cong-po menarik
tangan, bentaknya: "Hayo jalan."
Mendadak Bu Siu-hoa menjejak
kaki dengan gerakan Sik-hiong-kiau-hoan-in tubuhnya bersalto ke belakang sejauh
beberapa tombak, belum lagi kakinya menyentuh bumi tangannya sudah terayun.
Maka terdengarlah suara "BUNG" yang tidak begitu keras, di tengah
ledakan itu asap tebal seperti dilempar ke empat penjuru, dari dalam asap tebal
itu menyamber pula bintik-bintik sinar kemilau yang lembut dari jarum-jarum
halus sekecil bulu kerbau, itulah senjata rahasia tunggal warisan keluarganya
yang dinamakan Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tam.
Giam Cong-po menghardik:
"Mutiara sebesar beras juga memancarkan sinarnya," begitu dia
kebaskan lengan baju, asap tebal yang menerjang ke arahnya seketika seperti
disapu angin lesus tersibak balik ke empat penjuru, lebih celaka lagi sebagian
besar dari bintik-bintik sinar disertai asap tebal itu tertolak balik. Untung
Bu Siu-hoa berlari pergi dengan cepat, maka dia tidak sampai terbakar oleh asap
berapi itu.
Kembali Giam Cong-po
menggentak lengan bajunya, jarum-jarum kecil yang menancap di lengan bajunya
sama rontok berjatuhan. Kungfu yang dipamerkan ini, boleh dikata sudah mencapai
taraf yang cukup sempurna. Bahwa sebagai ketua Giam-ong-pang terang amat
liehay.
Ini sudah dalam dugaan Bu Siu-hoa
namun dia tidak menduga seliehay itu tingkat Kungfunya.
Lekas sekali asap buyar,
jarum-jarumnyapun tidak berhasil melukai musuh, cepat sekali Giam Cong-po telah
mengudak kencang kesana, sekali raih, "Bret" pakaian Bu Siu-hoa
terjambret sobek. Detik lain Bu Siu-hoa jelas tidak akan bisa lolos lagi,
mendadak "Wut" segulung angin pukulan disertai tubrukan seorang dari
atas mendadak menindih ke bawah.
"Awas Toako bocah itu
adalah Tan Ciok-sing," terdengar Ong Cong-king yang ikut mengudak di
sebelah belakang berteriak.
Dari atas batu cadas yang
tinggi tahu-tahu Tan Ciok-sing menukik turun laksana malaikat dewata layaknya.
Betapa hebat daya terjangannya dari atas ini, meski Giam Cong-po sudah
mempersiapkan diri, tak urung dia kaget setengah mati. Dengan jurus
Ing-kik-tiang-khong pedang Tan Ciok-sing menusuk dari atas udara. Giam Cong-po
mengandal lengan bajunya, dengan kebutan keras, dia pikir hendak menggulung
pedang orang, tapi terdengar "Bret" kali ini yang robek adalah lengan
bajunya sendiri, sementara dengan gaya burung dara membalik Tan Ciok-sing sudah
melambung ke belakang dan hinggap di atas tanah dengan enteng. Waktu Giam
Cong-po menunduk mengawasi lengan bajunya, lengan bajunya sudah tergores robek
satu kaki panjangnya.
Gebrak sekali cukup membuat
kedua pihak sama-sama kaget. Tan Ciok-sing menyerang dari atas dengan tukikan
burung elang, betapa hebat tenaga yang digunakan, tak nyana lawan mampu
mengebut lengan baju untuk mematahkan jurus pedangnya malah hampir saja dia
tidak kuat memegang kencang pedang, maklum kalau dia kaget. Tapi Giam Cong-po
kini mengagulkan diri diantara jago-jago kosen yang bisa dihitung dengan jari,
Thi-siu-kang (lengan besi) yang dilatihnya selama dua puluh tahun ternyata
bukan saja tidak mampu merebut pedang Tan Ciok-sing, malah lengan baju sendiri
robek, ini jelas diluar dugaannya, mau tidak mau mencelos hatinya.
Cepat sekali In San juga sudah
melompat turun dari atas batu cadas. Jengeknya dingin: "Kebetulan, kami
memang ingin mengirim raja akhirat dunia ini ke akhirat di alam baka, hayolah
maju biar kami memproses lebih cepat keberangkatanmu."
Kekuatan Siang-kiam-hap-pik
jelas berlipat ganda. Giam Cong-po juga menggunakan kedua lengan bajunya,
perbawa Thi-siu-sin-kang dengan sendirinya seratus persen lebih hebat pula. Tampak
dimana sinar pedang berseliweran, maka terdengarlah rentetan suara yang keras,
tahu-tahu kupu-kupu berterbangan di sekeliling arena tersibak keluar dari
cahaya pedang yang kemilau, itulah kain kecil-kecil dari lengan baju Giam
Cong-po yang hancur luluh oleh tabasan pedang sakti. Untung Giam Cong-po sempat
menarik tangan, kalau tidak kedua tangannya pasti sudah berpisah dengan
tubuhnya, kini seluruh lengannya jadi telanjang, jelas Thi-siu-sin-kang tidak
mampu dikembangkan lagi.
Bu Siu-hoa yang menyaksikan di
sebelah sana sampai melongo, tak pernah terbayang olehnya bahwa kekuatan
gabungan pedang ternyata begitu hebat, karuan hatinya senang bukan main.
Diam-diam dia membatin: "Kukira umpama mereka tidak mampu mengalahkan tiga
lawan Giam-ong-pang, untuk menyelamatkan diri jelas cukup berkelebihan. Biarlah
sekarang aku tinggal pergi saja."
Dengan Siang-kiam-hap-pik, Tan
Ciok-sing dan In San layani tabrakan tiga pentolan Giam-ong-pang dengan sengit,
tanpa terasa sesulutan dupa telah berselang, pertempuran sudah berjalan ratusan
jurus, namun ketiga lawannya satupun belum ada yang dirobohkan, Giam Cong-po
sendiri juga sudah tidak tetap hatinya.
Tiba-tiba didengarnya seorang
berteriak-teriak di puncak bukit sebelah sana : "Ma-thocu, Kiau-thocu,
lekas kemari," itulah suara Bu Siu-hoa.
Dalam pertempuran sengit itu,
kedua pihak tumplek perhatian pada lawannya, maka tiada yang tahu kapan Bu
Siu-hoa melarikan diri.
Karuan Giam Cong-po kaget,
pikirnya: "Agaknya budak itu pergi mengundang bantuan, Ma-thocu pasti adalah
Ma Tay-yu ketua Kaypang cabang Yang-ciu, sedang Kiau-thocu adalah Riau Hun
ketua Kaypang cabang Soh-ciu. Kepandaian kedua orang ini meski tidak begitu
libay, namun kedatangan dua bantuan ini, jelas pihak kita jadi asor, apalagi
Kaypang tidak boleh dimusuhi bila tidak terpaksa, baiklah aku menyingkir
saja," maka diam-diam dia memberi lirikan mata kepada kedua saudaranya,
beruntun dia menggempur tiga kali pukulan sehingga Tan dan In terdesak
bertahan, begitu ada kesempatan cepat-cepat dia putar tubuh terus kabur dari
tempat itu.
Sambil lari mulutnya mengoceh:
"Bocah keparat dan kau budak busuk, biar kalian hidup beberapa hari lagi,
akan datang saatnya aku membuat perhitungan dengan kalian," begitu
memperoleh lirikan mata sang Toako, Ong dan Koan berdua sudah siap-siap dan
begitu tiga pukulan dilontarkan, mereka sudah ngacir lebih dulu.
Dengan tertawa dingin Tan
Ciok-sing membentak:
"Memangnya kami juga akan
membuat perhitungan dengan kau. Kapan saja kusambut kedatangan kalian."
In San sudah buka mulut ingin
memaki pula, tapi setelah pertempuran sengit sekian lama, terasa jantungnya
berdebar teramat cepat, meski mulut sudah terbuka, namun napas masih
sengal-sengal sehingga suara tidak keluar. Lekas sekali ketiga pentolan
Giam-ong-pang itu sudah pergi jauh. Setelah istirahat sejenak baru In San
menghela napas lega, Katanya: "Liehay betul," setelah ditunggu lagi
sejenak In San berkata pula: "Lho, kenapa mereka belum juga tiba."
Sementara itu Tan Ciok-sing
juga sudah mengatur napas, menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang
dia berteriak: "Ma-thocu, Kiau-thocu, Nona Bu," beruntun tiga kali
tetap tiada reaksi atau penyahutan mereka.
Puncak dimana tadi Bu Siu-hoa
berteriak-teriak memanggil Ma-thocu dan Kiau-thocu jaraknya hanya beberapa li,
setelah berselang sekian lama ini, sepantasnya mereka sudah lari kemari, namun
mereka belum kunjung tiba.
Akhirnya tergerak pikiran Tan
Ciok-sing katanya: "Kukira urusan agak ganjil."
"Apanya yang
ganjil?"
"Di lereng bukit kita
ketemu kedua murid Kaypang tadi, mana mungkin secepat itu mereka mengundang
Ma-thocu dan Kiau-thocu kemari?"
"Iya." In San sadar,
"waktu kita keluar belum ada kabar bahwa Ma-thocu dari Yang-ciu sudah
berada di Soh-ciu. Agaknya nona Bu itu sengaja mau menipu dan menakuti mereka,
bantu kami memukul mundur ketiga pentolan Giam-ong-pang."
"Kukira memang
demikian," ujar Tan Ciok-sing, "tapi anehnya, kenapa nona ini tidak
kembali juga?"
In San berpikir sejenak,
akhirnya dia cekikikan, katanya: "Pikiran anak perempuan kau laki-laki
mana bisa menyelaminya."
"Jadi kau mengerti, lalu
menurut pendapatmu, dia..."
"Kukira dia jatuh cinta
kepada Kek-toako."
"Cinta ya cinta, kenapa
harus menyingkir."
"Nah itulah sebabnya
kenapa aku katakan kau tidak memahami hati perempuan. Karena jelus, cemburu maka
Toh-cici tinggal minggat."
"Tapi paling tidak nona
Bu ini mengunjukkan dimana tempat sembunyi Kek-toako."
"Aku yakin dia tidak akan
meninggalkan Kek-toako begitu saja, marilah kita mencarinya."
Mereka menuju ke bukit dimana
Bu Siu-hoa tadi berada, hanya puluhan langkah, In San lantas menemukan sesuatu.
"Toako, coba lihat, ternyata dugaanku tidak meleset," teriak In San
kegirangan.
Di atas dahan sebuah pohon
besar yang terletak di depan lekukan gunung dan mudah terlihat orang, arahnya
kebetulan menuju kemari, dahan pohon itu dikorek kulitnya, walau di keremangan
magrib, namun mereka masih bisa melihat jelas, di dahan pohon yang dikorek
kulitnya itu ada goresan huruf-huruf dengan ujung pedang. Huruf-huruf itu
terdiri dua baris dan berbunyi:
"Kek-jithiap berada di
sebuah gua yang terletak tiga l i dari sini ke arah selatan, mulut gua tertutup
batu yang bentuknya mirip pintu angin. "
Jarak tiga li cepat sekali
telah dicapai oleh Tan dan In yang mengembangkan Ginkang. Betul juga dari
kejauhan sudah kelihatan batu besar mirip pintu angin itu. In San lebih gugup
begitu mclihai balu besar itu, belum lagi berada di depan gua dia sudah
berteriak lebih dulu: "Kek-toako."
Kek Lam-wi memang sedang
menunggu dengan perasaan gundah, In San berteriak dari jarak yang masih cukup
jauh, teraling oleh batu besar pula, maka pendengarannya kurang jelas, maka dia
sangka yang kembali Bu Siu-hoa.
"Siu-moay, apa kau sudah
kembali? Kukira kau tidak akan kem..." belum habis dia bicara, Tan
Ciok-sing sudah mendorong minggir batu besar itu. Dengan tenaga Tan Ciok-sing
tidak sukar dia menggeser batu besar ini, tapi dia merasa terlalu mudah dan
enteng. Ternyata dari dalam gua Kek Lam-wi juga membantu menggeser batu besar
itu.
Setelah batu tersingkir, Kek
Lam-wi melihat yang berdiri di hadapannya adalah Ciok-sing dan In San, sesaat
dia melongo, namun hatinya kaget dan senang.
In San tertawa geli, katanya
menggoda: "Kek-toako, kau tidak menduga akan kami bukan? Bikin kau kecewa
ya?"
Kek Lam-wi tenangkan hati,
katanya: "Memang kalian yang kuharapkan, tapi bagaimana kalian bisa
menemukan tempat ini?"
"Panjang ceritanya, nanti
kuceritakan. Bagaimana luka-lukamu?"
"Racun sudah tuntas,
tenagaku kini juga sudah pulih separo," ujar Kek Lam-wi.
"Baiklah, kau jangan
banyak bicara," kata Tan Ciok-sing, dia genggam kedua tangan Kek Lam-wi,
terasa sejalur tenaga angin merembes masuk dari telapak tangannya, terus
mengalir ke Say-yang-meh mumbul ke atas meresap ke seluruh tubuh. Lam-wi tahu
Ciok-sing sedang salurkan hawa murninya membantu dirinya melancarkan jalan
darah memulihkan Lwekang. Maka diapun kerahkan hawa murni sendiri menyambut
bantuan dari luar mempercepat proses pemulihan tenaga sendiri. Mereka sama
meyakinkan Lwekang dari aliran murni, seumpama air tercampur dengan susu lekas
sekali sudah terbaur jadi satu, tak lama kemudian uap putih merembes beserta
keringat dari seluruh pori-porinya, dan terakhir hawa murni kumpul di pusar dan
menghembuskan napas panjang.
Kek Lam-wi tersenyum, katanya:
"Sudah cukup Tan-toako. Kionghi, kionghi."
"Lho, koh malah kau
memberi Kionghi (selamat) padanya?" tanya In San.
"Tingkatan Lwekang
Tan-toako sudah jauh lebih maju dari dahulu, begitu cepat kemajuan yang
dicapainya, bukankah patut diberi selamat. Kini Lwekangku sudah pulih tujuh
puluh persen."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Kemajuanmu lebih cepat dari apa yang kucapai. Baik mari kita
lekas pulang, supaya Kiau-thocu dan nona Toh tidak menunggu terlalu lama."
--dengan Lwekang yang sudah pulih tujuh puluh persen, sudah tentu tidak susah lagi
Kek Lam-wi mengembangkan Ginkang.
Sambil lari mereka mengobrol.
Iri San tahu Kek Lam-wi menguatirkan keselamatan Bu Siu-hoa, maka dia berkata:
"Kek-toako, biarlah kubuka suatu masalah. Lantaran bantuan dan petunjuk
nona Bu itulah maka kami bisa menemukan kau."
"O, jadi kalian sudah
melihat dia. Jadi dia, dia dimana?"
"Dia sudah pergi, Mungkin
takkan kembali menemui kau," baru sekarang In San sempat menceritakan
kejadian tadi.
Mendengar mereka berdua
berhasil mengalahkan tiga pentolan Giam-ong-pang, Kek Lam-wi ikut girang. Tapi
mengingat tidak sedikit pengorbanan Bu Siu-hoa lantaran dirinya, pada hal dia
belum membalas sedikitpun kebaikan orang, diam-diam dia jadi masgul dan
menyesal.
"Kek-toako," kata In
San, "kau sudah kenyang membaca buku, tentunya pengetahuanmu cukup luas,
kenapa kau harus mereras diri, biarkanlah nona Bu pergi, tahukah kau masih ada
seorang sedang menanti kedatanganmu," dia merasa kebetulan malah bila Bu
Siu-hoa menyingkir, karena bagi diri sendiri dan bagi orang lain sama-sama ada
faedahnya."
Kek Lam-wi menghela napas,
katanya: "Betul ucapanmu, hidup manusia memang tiada yang abadi. Tapi ada
beberapa hal yang belum kau ketahui."
Lalu Lam-wi tuturkan bagaimana
Bu Siu-hoa menolong dirinya sehingga bertengkar dengan sang ibu, hampir saja
jiwa mereka tamat oleh jarum beracun itu, lalu menambahkan: "Aku sudah
menganggapnya seperti adikku sendiri, tiada fikiran lain bersemayam dalam
benakku. Tapi dia pergi begitu saja, bukan mustahil bisa ketangkap oleh ibu
tirinya yang jahat itu. Sepantasnya aku membalas budi kebaikannya, memangnya
aku tega membiarkan dia terlunta-lunta seorang diri di Kangouw?"
Berubah sikap In San, timbul
rasa simpatiknya, katanya: "Kalau demikian, nona Bu ternyata adalah gadis
suci berhati baik, meski dibesarkan dalam keluarga kotor, namun hatinya tetap
bajik dan bersih Aku yakin bila Toh-cici tahu akan hal ini, diapun pasti merasa
sayang dan melindunginya seperti adik sendiri. Cuma untuk mencarinya kukira
bukan soal gampang, biar nanti kita minta tolong Kiau-thocu untuk bantu
mencarikan. Umpama dia tetap tidak mau kumpul bersama kau, biar pihak Kaypang
yang melindunginya secara diam-diam."
"Apakah So-so juga
bersama kalian, tinggal di markas Kaypang?" tanya Lam-wi.
"Ya, walau di kota
Soh-ciu dia punya famili, tapi Kiau-thocu merasa lebih aman dia tinggal di
markas Kaypang," ucap In San.
Kek Lam-wi jadi haru tapi juga
lega, katanya: "Syukurlah, setiba disana, aku akan segera bertemu dengan
dia," tanpa terasa langkahnya dipercepat.
In San menyusulnya, katanya
tertawa: "Kek-toako, kau tahu hari ini hari apa?"
Kek Lam-wi melenggong, sesaat
dia masih belum menangkap arti perkataan In San, tanyanya bingung: "Apa
yang istimewa pada hari ini."
In San tertawa, katanya:
"Didalam gua itu kau disekap dua hari, memangnya sudah lupa akan hari?
Nanti setelah rembulan terbit, kau akan tahu sendiri."
Kek Lam-wi jadi sadar,
katanya: "Ya, kenapa aku seceroboh ini, kiranya hari ini tanggal lima
belas bulan delapan."
"Betul, hari ini adalah
hari raya Tiong-jiu, manusia didunia dan malaikat dewata di atas langit sama
merayakan hari raya ini. Malam ini kau bakal berkumpul lagi dengan Toh-cici,
patut kau rayakan pertemuan nanti."
Tak nyana setiba mereka di
markas cabang Soh-ciu, mereka tidak menemukan Toh So-so.
Kiau Hun yang menyambut mereka
bilang: "Sejak siang tadi nona Toh keluar kota, sampai sekarang belum
kunjung pulang."
Terpaksa Lam-wi menyusul ke
rumah famili Toh So-so, waktu itu rembulan sudah menongol dari peraduannya.
Yang membuka pintu adalah bibi misan Toh So-so, melihat Kek Lam-wi seketika dia
terbelalak, namun segera berjingkrak senang, serunya: "Kek-siangkong kau
sudah pulang, tahukah kau So-so sedang mencarimu kian kemari, syukurlah kau
telah pulang."
Mendengar ucapan terakhir sang
bibi misan, legalah hati Kek Lam-wi, dia kira dugaannya tidak meleset, lekas
dia berteriak: "So-so, So-so..." tapi tiada jawaban.
"Kek-siangkong,"
kata nyonya itu, "kalau dua jam kau datang lebih dini, pasti disini kau
bisa bertemu dengan dia. Sekarang lekas kau susul dia ke markas cabang Kaypang.
Alamatnya di..."
Kek Lam-wi terperanjat,
katanya: "Lho, kami baru saja datang dari sana. Sebelum So-so pergi,
apakah dia bilang mau mampir ke tempat lain?"
Nyonya itu berpikir, katanya:
"Dia tidak bilang mau mampir kemana-mana tapi dia bercerita katanya orang
Kaypang disebar untuk mencari jejakmu, hatinya amat kuatir, meski kau sudah
bebas dari cengkraman orang-orang keluarga In, sebelum berhadapan dengan kau,
betapapun hatinya tidak akan tentram, maka dia berniat keluar mencarimu
sendiri, cuma aku tidak tanya kemana dia hendak mencari kau."
Kek Lam-wi pikir:
"Ternyata dia sudah tahu bahwa aku sudah ditolong orang, entah dia tahu
atau belum bahwa nona itu adalah putri Bu-sam Niocu? Tapi dia yakin aku tidak
akan mengalami bahaya, itu berarti bahwa dia mempercayai orang yang telah
menolongku keluar dari penjara keluarga In, terhadapku jelas tidak akan merasa
jelus lagi."
Bibi misan Toh So-so berkata
pula: "Kek-siangkong, coba kau pikir, kecuali markas Kaypang, ke tempat
mana pula kemungkinan So-so akan pergi?"
Kek Lam-wi menepuk paha,
serunya: "Betul, aku tahu kemana dia akan pergi."
"Kemana?" tanya Tan
Ciok-sing.
"Ham-saii-si," sahut
Kek Lam-wi. Tanpa pamit dia terus putar tubuh berlari seperti mengejar angin,
lekas sekali mereka sudah tiba di pinggir kali, di kejauhan Hong-kio sudah
kelihatan, Hongkio terletak di seberang Ham-san-si.
Bulan purnama di malam
Tiong-jiu ini memang bulat „dan benderang, malam purnama di Hong-kio memang
mengasyikan, terutama bagi muda mudi yang sedang memadu cinta, disinilah tempat
yang serasi untuk melimpahkan isi" hati dengan mendambakan cinta abadi.
"Hong-kio tidak kalah
dengan Ji-si-kip di Yang-ciu- Sayang di malam purnama nan permai dan sejuk ini,
tiada orang yang meniup seruling," demikian pikir Kek Lam-wi sambil melambatkan
langkahnya.
Setelah lebih dekat lagi,
tiba-tiba didengarnya suara irama seruling sayup-sayup sampai.
Sebagai ahli musik sekali
dengar Lam-wi lantas tahu, lagu yang ditiup itu adalah lagu kenangan terhadap
masa lalu di saat-saat memadu cinta. Dari volume suaranya Lam-wi merasakan pula
bahwa seruling yang digunakan meniup lagu kenangan adalah seruling warisan
keluarganya itu.
Hampir Lam-wi tidak percaya
akan pendengaran sendiri, seketika dia berdiri menjublek. "Apakah betul
yang meniup seruling adalah dia?" demikian dia menerka-nerka dalam hati.
Habis meniup seruling orang
itu lantas bersenandung membawakan puisi ciptaan pujangga Bong Ki-to di jaman
dynasti Song, meresapi makna dari puisi itu, setelah menjublek sesaat lamanya,
Lam-wi angkat langkahnya pula berlari bagai terbang ke arah Hong-kio.
Tan Ciok-sing dan In San juga
mendengar senandung Toh So-so, merekapun ikut girang hampir saja bersuara
memanggil. Baru saja Ciok-sing memburu hendak menyusul Kek Lam-wi lekas In San
menariknya, katanya berbisik: "Engkoh bodoh, sepasang kekasih sedang
bertemu untuk apa kau ikut kesana? Jangan ganggu mereka, biar mereka
asyik."
Tanpa bersuara Kek Lam-wi lari
ke belakang pepohonan, didengarnya Toh So-so sedang mengakhiri senandungnya,
lalu menghela napas mengulangi bait terakhir dari puisi itu:
"Meroboh hatimu, demi
hatiku, baru dimaklumi betapa mendalam rindu ini. "
Tak kuat Kek Lam-wi menahan
tawa, segera dia keluar dan berkata: "So-so, kau salah, tak usah rherobah
hati, aku sudah tahu betapa mendalam cintamu terhadapku."
Toh So-so terbeliak sambil
mematung sesaat lamanya, katanya: "Kek-toako, apa betul kau? Ini, ini
bukan dalam mimpi bukan?'
"Sudah tentu bukan, coba
kau gigit jarimu, sakit tidak? So-so, aku tahu kau pasti mencariku ke
Ham-san-si, maka sengaja kususul kemari."
Bukan kepalang rasa senang Toh
So-so, tanpa terasa air matanya berlinang-linang di kelopak matanya, katanya
sesaat kemudian: "Toako, aku tahu pasti kau akan mencariku. Tapi sungguh
tak kuduga secepat ini kau bakal muncul di hadapanku, di Ham-san-si aku tidak
menemukan kau, hatiku amat kecewa, terbayang semasa di Ji-si-ko di Yang-ciu
dulu, tanpa merasa aku lantas meniup seruling seorang diri."
"Bagus sekali
tiupanmu," puji Kek Lam-wi, "jauh lebih maju dari dulu. Tapi tidak
sepantasnya kau anggap diriku ini seperti awan mengembang yang tidak punya arah
tertentu."
Jengah muka Toh So-so katanya
menunduk: "Toako, sebelum ini sering aku merasa jelus cemburu dan banyak
kesalahan, tapi setiba di Soh-ciu aku lantas tahu kau tidak akan meninggalkan
aku dan menyia-nyiakan cintaku.
Kunyanyikan lagu tadi bukan
lantaran aku tidak percaya padamu, soalnya hatiku risau sebelum menemukan kau,
entah kapan baru akan bertemu kembali, maka kunyanyi lagu itu hanya untuk
melampiaskan rasa masgul ini."
Kek Lam-wi genggam kencang
tangannya, katanya: "So-so, syukurlah kau mau percaya padaku."
Mekar seperti kembang tawa Toh
So-so, tapi tiba-tiba dia bertanya: "Mana nona Bu? Kenapa tidak datang
bersamamu, apa dia tidak sudi bertemu dengan aku."
"Kau sudah tahu? Aku
memang hendak jelaskan kepada kau, dia..."
Toh So-so terkikik lirih,
katanya: "Tak usah kau jelaskan kepadaku, aku tahu dan yakin cintamu
terhadapku takkan berobah. Nona Bu teramat baik terhadapmu bukan? Dimana dia
sekarang? Kau belum menjelaskan."
"Ya, dia menolongku dari
penjara bawah tanah, menyembuhkan luka-lukaku lagi. Tapi dia sudah pergi, entah
kemana dan dimana dia sekarang?"
"Lho dia sudah
pergi?" seru Toh So-so tertegun, "Kenapa kau tidak menahannya?"
"Dia pergi diluar
tahuku," tutur Kek Lam-wi, "aku sudah angkat saudara dengan dia,
So-so, kau tidak bercemburu lagi bukan?"
"Kemana sih jalan
pikiranmu, untuk berterima kasih kepadanya rasanya juga sudah terlambat, kenapa
aku cemburu kepadanya. Satu hal mungkin kau belum tahu, sebelum ini aku sudah
kenal dia lebih dulu, meski belum angkat saudara hubungan kami sudah seperti
saudara kandung layaknya. Adikmu adalah adikku, syukur aku punya adik seperti
dia. Pengorbanannya untuk kau terlalu besar, betapapun kita harus berusaha
menemukan dia."
Lega hati Kek Lam-wi, katanya:
"Perkenalanmu dengan dia sudah diceritakan kepadaku. Dia pernah menipu
kau, dia kuatir kau masih membencinya."
"Memang sebelum ini aku
membencinya dan curiga ada maksud jelek terhadapmu, tapi sekarang aku sudah
tahu bahwa pandanganku menganggap sebagai 'perempuan siluman' adalah salah.
Mana aku membencinya lagi? Aku jadi ingin bertemu dengan dia, supaya dia tidak
ragu terhadapku."
"Akan kuminta bantuan
Kiau-thocu mencarinya," ucap Kek Lam-wi, mendadak dia teringat dan tanya:
"So-so, seruling ini bagaimana bisa berada di tanganmu?"
"Paman Tam telah
merebutnya dari tangan In Kip, dia titip kepadaku supaya dikembalikan kepada
kau. Em, sekarang tiba saatnya barang kembali pada pemiliknya."
Jilid 14
Menerima seruling Kek Lam-wi
bertanya: "Dimana Tam Tayhiap? Apakah dia tinggal di Ham-san-si?"
Ternyata persoalan mengenai
Tam Pa-kun, Tan Ciok-sing belum sempat ceritakan kepadanya.
"Dia sudah pergi ke
Hay-ling."
"Untuk apa dia ke
Hay-ling?"
"Aku tidak tahu. Tanya
kepada Tan Ciok-sing," sampai disini mendadak Toh So-so teringat,
tanyanya: "Toako, bukankah tadi kau bilang kemari bersama Tan-toako dan
adik In, kenapa tidak kelihatan bayangan mereka?"
Kek Lam-wi jadi sadar, katanya
tertawa: "Iya, hampir aku melupakan mereka." lalu dia mengeraskan
suaranya berteriak: "Kalian main sembunyi segala, hayo lekas keluar."
In San muncul dengan
cekikikan, katanya: "Kionghi, kionghi. Kalian kumpul dan bahagia di bawah
bulan purnama. Toh-cici, jangan kau kira aku tadi mencuri dengar pembicaraanmu."
Jengah muka Toh So-so,
katanya: "Jangan berkelakar, ada urusan yang ingin kami tanya kepada
kau,"
"Urusan apa? Memangnya
yang kuucapkan barusan bukan urusan?"
"Tan-toako," kata
Kek Lam-wi, "orang yang mengundangmu ke Ham-san-si tempo hari tentu adalah
Tam Tayhiap?"
"Betul," sahut
Ciok-sing, "tapi sekarang dia sudah pergi ke Hay-ling."
"Hal itulah yang ingin
kutanyakan kepada kau, untuk apa Tam Tayhiap pergi ke Hay-ling, kukira bukan
melulu hendak menonton air pasang?"
"Seorang teman
mengundangnya kesana, tapi
janji pertemuan mereka pada tanggal 18 bulan delapan ini, tepat hari lahir dari
malaikat air pasang, sekaligus dia bisa menonton air pasang disana."
"Air pasang di Hay-ling
pada tanggal delapan belas bulan delapan tiap tahun memang merupakan tontonan
aneh yan*1 jarang ada di dunia ini, sayang kami tak bisa kesana." Demikian
ucap Toh So-so.
"Siapakah Lo-cianpwe yang
mengundang Tam Tayhiap kesana, apa aku boleh tahu?" tanya Kek Lam-wi.
"Sudah tentu boleh,"
ucap Tan Ciok-sing, "kau pernah bertemu dengan beliau. Yaitu
It-cu-king-thian Lui Tin-gak Lui Tayhiap yang menggetarkan daerah
Lam-ciang."
Kek Lam-wi tahu bagaimana
hubungan keluarga Tan Ciok-sing dengan Lui Tin-gak, maka timbul rasa menyesal
dalam hatinya, katanya: "Lui Tayhiap berada di Hay-ling. Tan-toako,
seharusnya kau mesti pergi bersama Tam Tayhiap. Lantaran aku sehingga kau
menunda perjalananmu."
"Jangan berkata begitu
Kek-toako," tukas Tan Ciok-sing, "bahwa Lui Tayhiap sudah berada di
Hay-ling, cepat atau lambat aku pasti bisa bertemu dengan beliau. Yang penting
kau sudah kembali dengan selamat, itulah yang kukehendaki."
"Sekarang aku sudah
kembali dengan selamat, kau boleh tidak usah kuatir. Besok juga kalian boleh
berangkat, tepat saatnya kalian akan saksikan air pasang yang serba ajaib di
Hay-ling itu."
"Mungkin kami tidak
sempat pulang untuk memberi selamat hari ulang tahun kepada Ong Goan-tin di
Thay-ouw," kata In San bimbang.
"Hal itu sudah
kupikirkan," ucap Kek Lam-wi, "Ulang tahun Ong Goan-tin adalah
tanggal 22, setelah kalian menonton air pasang di Hay-ling masih ada empat
hari, bila tanpa menghadapi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka empat hari itu,
kalian masih sempat tiba di Thay-ouw tepat waktunya. Lewat hari raya Tiong-jiu,
udara selalu cerah dan hawa sejuk, berperahu di Thay-ouw bisa berlaju mengikuti
arah angin, kemungkinan tanggal 21 malam kalian sudah akan tiba di
tujuan."
"Perhitungan waktunya
amat mendesak bukan? Bila kita datang terlambat, bukankah rikuh jadinya?"
"Jangan pikirkan hal itu,
pertama kami sudah wakilkan kalian memberi penjelasan. Kedua Tam Tayhiap adalah
kenalan baik Ong Goan-tin, setiba kalian di Hay-ling, pulangnya pasfi bersama
mereka. Bila Ong Goan-tin tahu kalian datang mengajak It-cu-king-thian, tentu
dia akan kegirangan dan berterima kasih kepada kalian malah."
"Begitupun baik. Biar
sekarang juga kami pulang pamitan kepada Kiau-thocu," ucap In San.
Kira-kira kentongan ketiga
baru mereka tiba di markas Kaypang
Cabang Soh-ciu, kiau-thocu dan
orang-orangnya sedang menunggu gelisah, legalah hati mereka setelah melihat
Ciok-sing pulang bersama Kek Lam-wi.
Kiau Hun berkata: "Ada
sebuah kabar gembira perlu kuberitahu kepada kalian. Tiga pentolan
Giam-ong-pang dan ln Kip ayah beranak sudah ketakutan, maka mereka tidak berani
bercokol di Soh-ciu lagi, sudah kabur dari kota ini. Tapi mereka lari
berpencar, kami hanya tahu keluarga In di bawah lindungan Bak Bu-wi dari
Hoay-yang-pang lari ke kota raja minta perlindungan yang berwajib Sementara
ketiga pentolan Giam ong-pang itu entah lari kemana!"
"Syukurlah kalau kawanan
jahat itu meninggalkan Soh-ciu. Tan-toako, boleh kau segera berangkat
saja." lalu Lam-wi jelaskan rencana mereka kepada Kiau Hun. Kiau Hun
nyatakan persetujuannya.
Tan dan In menempuh perjalanan
siang malam, tepat tanggal delapan belas mereka tiba di Hay-ling, satu jam
menjelang lohor. Hay-ling terletak seratus dua puluh li di sebelah utara
Hangciu, tepatnya berada di teluk Wan-pak, berada di muara Ci-tong-kang. Air
pasang di Ci-tong-kang inilah merupakan pemandangan ajaib yang tiada keduanya
di dunia ini, merupakan tontonan aneh dan menakjupkan, hari yang dinamakan
ulang tahun malaikat air adalah tepat datangnya air pasang yang paling tinggi
pada setiap tahun. Pada hari itu, entah berapa laksaan manusia yang
berbondong-bondong datang ke Hay-ling menyaksikan air pasang di Ci-tong-kang
itu.
Ternyata ada sebabnya kenapa
orang-orang suka menyaksikan air pasang di Hay-ling. Ternyata bentuk mulut
muara Ci-tong-kang mirip terompet, pesisir selatan penuh bertumpuk pasir, maka
air pasang menyerbu ke sebelah utara, sehingga ke residenan Hay-ling ini yang
menjadi sasaran damparan air pasang yang utama. Karena terdesak oleh bentuk
mulut muara Ci-tong kang yang seperti terompet itu sehingga air pasang yang
mulai bergelombang itu setiba di daerah Kan-bo (tujuh puluhan li dari
Hay-ling), damparan ombak semakin bergolak tinggi karena mengikuti bentuk dari
teluk yang semakin menyempit itu, hingga setiba di Hay-ling, karena air pasang
itu terbendung oleh bukit-bukit karang yang kokoh tinggi, airnya berpusar ke
selatan tapi dipukul gelombang di sebelah belakang lagi, sehingga arus pusaran
air semakin dahsyat, saling hantam dan bergelombang semakin keras, sehingga air
seperti sengaja diaduk menjadi gelombang pasang yang tidak terbendung lagi.
Tanggul kokoh panjang telah
dibangun di selatan kota Hay-ling menjurus ke arah barat, tujuan pembangunan
tanggul ini untuk menahan damparan air pasang. Setiap tanggal delapan belas,
manusia berjubel di atas tanggul yang menyerupai panggung tontonan menyaksikan
damparan ombak yang sambung menyambung laksana laksaan tentara sudah berbaris
rapi.
Ciok-sing dan In San tidak
tahu, dimana tempat pertemuan Tam Pa-kun dengan It-cu-king-thian, namun mereka
duga bila pertemuan itu tepat diadakan di Hay-ling pada hari ini, umpama bukan
menonton air pasang, paling tidak juga ikut meramaikan suasana. Karena tak bisa
menemukan Tam Pa-kun, terpaksa Tan dan In ikut berjubel di tengah ribuan
manusia yang menonton di atas tanggul.
"Nah, itu sudah datang,
sudah datang," orang-orang yang berdiri di deretan paling depan mulai
berteriak-teriak sambil tepuk tangan.
Tampak selarik warna putih
mulai tampak di permukaan air laut di kejauhan sana, arus gelombang datangnya
ternyata laksana ribuan pasukan kuda yang berderap laju bersama, lekas sekali
suara gegap gempita dari gelombang ombak besar menerjang batu-batu karang,
sementara gelombang yang bergulung-gulung dari belakang saling susul terus
mendampar tiba.
Gelombang pasang ini kira-kira
berlangsung setengah jam baru mulai mereda, tapi ini baru permulaan dari
tontonan yang menakjubkan, gelombang pasang kedua akan segera menyusul tiba
pula lebih dahsyat. Mengikuti arus manusia yang mulai mundur karena takut
terbawa arus, In San berkata kepada Ciok-sing: "Tan-toako, kukira disini
takkan bisa menemukan Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap."
"Lalu kemana kita harus
mencari mereka?" tanya Ciok-sing.
"Entahlah, tapi menurut
pendapatku, mereka tidak akan berjubel di tempat banyak orang ini, umpama
mereka ingin menyaksikan air pasang juga pasti disuatu tempat yang sepi dan
sukar diinjak manusia," demikian ucap In San, tiba-tiba dia teringat
sesuatu, baru saja dia menoleh hendak bicara pula, tiba-tiba Tan Ciok-sing
menoleh kesana dengan bersuara heran.
"Ada apa, kau melihat
mereka..."
"Lihat kesana, kedua
orang itu?"
In San menoleh kearah yang
ditunjuk, dilihatnya dua orang meninggalkan tanggul menuju ke timur laut,
langkahnya cepat dan tangkas. In San melenggong katanya: "Bayangan
punggung orang di sebelah belakang itu seperti pernah kulihat, kau tahu siapa
dia?"
"Lapat-lapat kudengar dia
bilang kepada temannya maksudnya tengah hari sudah hampir tiba, dia mendesak
temannya supaya tidak terlena karena menonton air pasang disini sehingga
melalaikan tugas. O, ya, aku ingat sekarang, dia adalah Thi Khong."
"Thi Khong?" In San
kaget, "maksudmu Thi Khong dari Tok-liong-pang?"
Seperti diketahui In Hou ayah
In San dahulu terjebak di Jit-sing-giam di daerah Kwi-lin sehingga luka-lukanya
tidak tersembuhkan d.in akhirnya meninggal. Yang melukainya secara langsung
memang adalah Le Khong-thian dan Siang Po-san, tapi Le dan Siang bersekongkol
dengan seorang lagi, orang ketiga ini adalah Thi Ou Tok-liong-pangcu! Yaitu
kakak tertua dari Thi Khong yang mereka lihat ini.
Setelah Thi Ou mati, adiknya
Thi Khong mengambil alih pimpinan sebagai Tok-liong-pangcu. Dua tahun yang
lalu, waktu Tan Ciok-sing dan In San pulang ke kampung halaman bersembahyang di
makam In Hou ayah In San, kebetulan kepergok oleh Thi Khong dan Siang Po-san
serta orang-orangnya. Thi Khong dan Siang Po-san akhirnya lari dikalahkan oleh
gabungan sepasang pedang mereka. Oleh karena itu meski Thi Khong bukan musuh
pembunuh ayah In San, tapi permusuhan mereka dengan manusia yang satu ini boleh
dikata cukup mendalam juga.
"Betul, kuingat lagi,
bayangan punggung seorang yang lain juga sudah kukenal."
"Apakah Siang
Po-san?"
"Bukan. Dari gaya orang
itu berlari, aku curiga dia adalah seorang perempuan."
"Perempuan? Dalam
Tok-liong-pang atau orang-orang komplotan Thi Khong, agaknya tiada perempuan
yang memiliki kepandaian tinggi. Bila dia berada bersama Thi Khong, yakin dia
bukan orang baik-baik. Jangan kita abaikan kedua orang ini."
"Baik. Mari kita kuntit
mereka. Terpaksa kita kesampingkan dulu mencari Tam Tayhiap dan Lui
Tayhiap."
In San berpikir lalu bertanya:
"Mereka lari kearah mana, kau melihat jelas tidak?"
"Agaknya ke timur
laut."
"Kebetulan, ingin
kuusulkan, kita pergi ke Siau-po-toh saja, coba mencari paman Tam dan paman
Lui. Letak Siau-po-toh kebetulan berada, di sebelah timur laut kira-kira lima
li jauhnya."
"Hayolah lekas
kesana." Setelah keluar dari desakan orang banyak, segera mereka angkat
langkah berlari-lari kencang. Perhatian orang banyak tertuju ke air pasang,
maka tiada yang perhatikan mereka tengah mengembangkan lari cepat. Mungkin
mereka agak terlambat, bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi
jarak lima li cepat sekali telah mereka capai, kira-kira setengah sulutan dupa,
Siang-po-toh sudah kelihatan di kejauhan.
Karena ingin lekas sampai
tujuan, dilihatnya sekeliling tiada orang tanpa ragu lagi mereka segera
kembangkan Ginkang melambung tinggi ke dinding karang. Arus gelombang seperti
mengamuk di bawah mereka, untung gelombang pasang kedua belum tiba, namun
demikian pakaian mereka toh basah kuyup keciprat air, mereka memiliki ilmu
tinggi, tanpa takut sedikitpun, mereka terus berlari-lari di atas karang yang
licin dan curam itu.
In San berlari sambil berkata:
"Biang keladi pembunuh ayah adalah bangsat she Liong, untuk mereka kita
perlu mencari kesempatan untuk menggasaknya. Demikian pula orang-orang lain
yang bersangkutan langsung umpamanya Le Khong-thian telah mati di tangan Suhumu
Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi yang tidak ikut turun tangan secara
langsung, tapi perancang muslihat yaitu raja golok le Cun-hong sudah mampus di
bawah pedangmu, seorang lagi sebagai pembantu adalah Thi Ou telah dibunuh oleh
Lui Tayhiap, kini yang masih ketinggalan hidup hanya ketinggalan Siang Po-san
saja. Aku mengharap semoga keparat ini ikut Thi Khong datang juga kemari."
— — Belum habis In San bicara, tiba-tiba suara "Crang-creng" dari
petikan senar gitar yang dipetik.
Puncak karang yang runcing
seperti berlomba ingin menembus angkasa, deburan ombak sedahsyat itu dengan
suaranya yang gemuruh tapi petikan senar gitar tadi masih terdengar jelas di
tengah deburan gemuruh ombak yang mengamuk. Karuan In San kaget, katanya:
"Toako, kau dengar
petikan senar gitar itu, mungkin orang yang kita bicarakan betul-betul berada
disini?"
"Tidak benar," kata
Tan Ciok-sing.
In San melongo, tanyanya:
"Maksudmu orang itu bukan Siang Po-san?"
"Ya, Siang Po-san tidak
memiliki Lwekang setangguh itu."
In San maklum, Siang Po-san
pernah mereka kalahkan di bawah gabungan sepasang pedang peristiwa itu terjadi
dua tahun yang lalu, dalam jangka sekian lama ini, yakin Siang Po-san tidak
mungkin memperoleh kemajuan sepesat itu. Tapi bila bukan Siang Po-san, lalu
siapa? Mau tidak mau In San bercekat hatinya.
Tengah berpikir sambil
berlari, tiba-tiba didengarnya seorang berkata lantang: "Siang-locianpwc,
silakan katakan pertandingan apa kehendakmu," itulah suara
It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Karuan girang bukan main hati
In San, pikirnya: "Kedudukan Lui Tayhiap di Bulim cukup tinggi, namun dia
panggil orang itu Locianpwe, pada hal Siang Po-san paling-paling setingkat
dengan dirinya, lalu siapakah orang slip Siang ini, mungkinkah..."
Baru saja dia teringat pada
mang ini, Tan Ciok-sing juga terlugti pada orang yang sama, kalanya
"O, kiranya iblis tua itu
masih hidup. Adik San, dia adalah..."
"Aku sudah tahu,"
tukas In San, dia bukan lain adalah cikal bakal Bi-ba-bun, yaitu paman Siang
Pe¬san, namanya Siang Ho-yang."
Siang Ho-yang adalah tokoh
seangkatan dengan Thio Tan-hong, dia menciptakan permainan senjata gitar yang
aneh dan menyendiri dari ilmu silat kebanyakan, dulu pernah juga dia malang
melintang dengan kebolehannya itu. Suatu ketika dikalahkan oleh pedang Thio
Tan-hong, sejak itu jejaknya menghilang tak karuan paran. Setelah Keponakannya
Siang Po-san muncul di Kangouw, khalayak ramai baru tahu ilmu permainan senjata
gitar besinya ternyata telah diwariskan kepada Siang Po-san, namun kejadian ini
sudah dua puluh tahun sejak dia mengundurkan diri dari percaturan dunia
persilatan. Tapi Siang Po-san belum pernah bercerita kepada siapapun, apakah pamannya
masih hidup atau sudah mati. Kaum Bulim sama mengira bahwa Siang Ho-yang telah
lama meninggal dunia.
Waktu Tan dan In berdua
memandang ke arah datangnya suara, tampak di sebelah kiri atas di tengah-tengah
lamping gunung yang curam menjulur keluar sebuah tonggak karang raksasa yang
bentuknya mirip panggung, di atas panggung karang itu berdiri empat orang. Yang
berdiri di sebelah timur adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan
Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, yang berdiri di sebelah barat bukan lain adalah Tang-bun
Cong yang beberapa hari lalu pernah gebrak dengan mereka, seorang lagi kakek
berambut uban dengan alis jenggot yang memutih pula. Kakek tua ini tidak mereka
kenal, tapi mereka duga pasti dia ini adalah Siang Ho-yang itu. Tempat dimana
Tan dan In sekarang berada, kebetulan teraling oleh dinding karang, mereka
mengintip kesana dari celah batu, dari sini bisa jelas melihat kesana,
sebaliknya dari sana tidak bisa melihat kesini.
In San mengerti, katanya:
"Kiranya iblis tua ini yang mengajak Lui Tayhiap bertanding disini, paman
Tam Pa-kun mungkin menjadi wasit dan saksi pihak Lui Tayhiap," lalu dia
menambahkan, "bagaimana, apa perlu kita manjat ke atas juga?"
"Sementara tidak usah
muncul saja," ujar Tan Ciok-sing. Maklum menurut aturan Kangouw, bila kedua
pihak sudah berjanji akan bertanding menentukan kalah menang bila perlu sampai
gugur, itu berarti pertandingan harus dilakukan satu lawan satu, orang luar
dilarang ikut campur. Bila dalam situasi seperti itu Tan dan In mengunjuk diri,
meski tiada maksud turut campur, itu sudah termasuk melanggar pantangan.
Maka terdengar kakek alis
putih itu berkata kalem: "Kau serahkan cara pertandingan kepadaku, apa
nanti kau tidak menyesal?"
Kuatir Lui Tin-gak segera
menjawab secara gegabah, lekas Tam Pa-kun mendahului bicara: "Lui-heng,
lebih baik kau dengar dulu cara pertandingan apa yang dikehendaki
Siang-locianpwe, nanti dirundingkan lebih lanjut."
Kakek tua itu seketika menarik
muka, katanya kurang senang: "Aku Siang Ho-yang orang apa, memangnya kau
kuatir aku bakal memungut keuntungan dari temanmu?"
Dugaan Tan Ciok-sing tidak
meleset, kakek ubanan ini memang bukan lain adalah cikal bakal Thi-bi-ba-bun
Siang Ho-yang.
Lui Tin-gak tertawa gelak,
katanya: "Siang-locianpwe tidak usah marah, hari ini Wanpwe memperoleh
kesempatan untuk bertanding, entah rejeki apa yang bakal nomplok padaku, apa
kehendak Locianpwe boleh silakan katakan saja, orang she Lui akan mengiringi
segala kehendakmu."
Tang-bun Cong tertawa,
katanya: "Ternyata Lui Tayhiap lebih lapang dada dan berjiwa besar, coba
pikir Siang-losiansing adalah seorang maha guru silat, seorang cikal bakal,
cara pertandingan yang diusulkan pasti cukup adil dan masuk diakal. Kalau Lui
Tayhiap mau percaya, kenapa kau berkuatir malah."
Yang berkepentingan sudah setuju,
sebagai seorang saksi meski Tam Pa-kun tahu pihak lawan pasti menggunakan
muslihat, terpaksa dia bungkam saja.
Siang Ho-yang menoleh ke
tengah laut, dilihatnya gelombang samudera yang di belakang mendorong yang di
depan terus melandai tiba dengan kecepatan luar biasa, diam-diam dia berpikir:
"Nah tiba saatnya," katanya: "Lui Tayhiap, hari ini mari kita
bertanding secara luar hiasa, belum pernah terjadi pertandingan seperti yang
kuusulkan ini selama ratusan tahun, marilah kita bertanding di atas panggung
batu ini di tengah damparan gelombang pasang nanti."
Perlu diketahui panggung batu
karang yang menjulur ke tengah laut itu dinamakan Hay-sin-tai (panggung
malaikat laut), merupakan tempat paling berbahaya untuk menyaksikan air pasang
dari dekat. Gelombang ombak paling besar dan dahsyat di tempat ini, sekali
terpeleset dan dibawa arus, maka tamatlah riwayatnya.
Diam-diam In San membatin:
"Bila bertanding menurut kebiasaan, yakin Lui Tayhiap tidak akan
terkalahkan. Tapi bertanding di Hay-sin-tay, Lwekang Siang Ho-yang jelas lebih
kokoh karena dia berlatih dua puluh tahun lebih lama, maka siapa bakal kalah
dan menang sukar diramalkan."
Terdengar Lui Tin-gak sedang
berkata: "Tolong tanya Siang-locianpwe pertandingan luar biasa yang jarang
terjadi bagaimana?"
"Tang-bun-heng,"
kata Siang Ho-yang, "terangkan tata tertib pertandingan kepada
mereka."
Tang-bun Cong segera membuat
sebuah garis lintang tepat di tengah panggung karang, katanya: "Kedua
pihak hanya boleh berhantam di bagian luar yang menjorok ke laut, siapa dipukul
jatuh atau yang melampaui garis lintang ini, dia dianggap kalah."
"Berhantam saling tutul
dan jamah saja, atau berkelahi sampai ada yang mati?" tanya Tam Pa-kun.
Siang Ho-yang ngakak, katanya:
"Sudah tiga puluh tahun Losiu tidak pernah berkecimpung di Kangouw, kalau
bukan untuk menuntut balas sakit hati keponakan, hari ini aku tidak akan berada
disini. Jikalau hanya saling tutul dan jamah, buat apa jauh-jauh aku mengajak
Lui Tayhiap bertanding di Hay-sin-tay ini."
Tan Ciok-sing berpikir:
"O, waktu Siang Po-siang kukalahkan bersama adik San di Kwi-lin dahulu
ternyata dia tidak segera melarikan diri. Mungkin akhirnya dia kebentur oleh
paman Lui, di bawah tangan besinya dia terkalahkan pula sekali pukulan."
Tawar suara Lui Tin-gak,
katanya: "Kalau Siang-locianpwe ingin menjajal kepandaianku terpaksa
Wanpwe mengiringi saja kehendakmu."
"Baiklah," seru
Tang-bun Cong, "kalau kedua pihak sudah setuju, maka pertempuran ini bebas
berhantam sampai ada yang mati. Pihak mana yang kalah dan sampai mati, teman
famili, anak atau muridnya tidak boleh mendendam dan menuntut balas? Biarlah
aku menjadi saksi dari pihak Siang-losiansing." --"bebas
berhantam" artinya pihak mana setelah dipukul roboh tidak berkutik meski
sudah mengaku kalah, pihak lawan masih punya hak untuk menamatkan jiwanya.
"Bagus, aku saksi dari
pihak Lui Tayhiap bolehlah segera dilaksanakan menurut kehendak kalian. Tapi
perlu aku tanya satu hal supaya jelas."
"Silakan katakan,"
kata Tang-bun Cong.
"Bila mereka sama-sama
tfdak mampu merobohkan lawannya?"
"Lama kelamaan, pasti
akan tiba saatnya satu pihak yang mundur keluar garis, itupun sudah termasuk
kalah."
"Yang kalah
bagaimana?"
Siang Ho-yang tertawa
tergelak¬ gelak, katanya: "Selama hidup Lohu hanya pernah kalah sekali,
dikalahkan oleh jago pedang nomor satu di dunia ini yaitu Thio Tan-hong. Thio
Tan-hong adalah tokoh besar, kekalahanku itupun sudah kuanggap sebagai hal yang
memalukan dan penghinaan, sehingga aku menyepi tiga puluh tahun lamanya. Hehe
bila Lui Tayhiap mampu mengalahkan aku, sekarang usiaku sudah tujuh puluh
tahun, memangnya mukaku setebal itu tetap takut mati? Tidak usah Lui Tayhiap
menjatuhkan fonisnya, aku akan terjun sendiri ke
Ci-tong-kang."--kata-katanya mengandung sindiran yang cukup pedas,
"meski kau Lui Tin-gak pernah menggetarkan daerah Thian-lam, tapi bila
dibanding dengan Thio Tan-hong dulu kau masih belum apa-apa." Secara
langsung menandakan pula bahwa dia amat yakin akan dirinya, dalam pertempuran
kali ini dia pasti berada di pihak yang menang.
Lui Tin-gak berkata tawar:
"Kukira tidak perlu demikian."
Siang Ho-yang mendengus,
wajahnya tampak bersungut gusar, katanya: "Setelah kau mengalahkan aku
boleh kau berbuat sesukamu. Tapi apa yang telah kuucapkan takkan kujilat
kembali?"
"Baiklah, biar aku menurut
saja apa kehendak Siang-locianpwe, bila aku kalah, segera aku kutungi kedua
tanganku, selanjutnya tiada nama Lui Tin-gak dalam percaturan Kangouw. Bila aku
beruntung dapat mengalahkan Siang-locianpwe, apa kehendak Locianpwe untuk
membereskan diri sendiri, boleh terserah, aku tidak akan memaksa."
"Bagus, ucapan seorang
Kuncu laksana kuda lari susah dikejar," ucap Tang-bun Cong, "setelah
kedua pihak sama setuju akan cara itu, maka tidak perlu banyak omong lagi, nah
boleh silakan mulai saja."
Siang Ho-yang melangkah masuk
ke garis lintang yang dibuat Tang-bun Cong, secara enteng dia memetik senar
gitarnya, katanya: "Silahkan, Lui Tayhiap."
Di kala kedua pihak sudah
mulai pasang kuda-kuda siap bertempur, mendadak terdengar Tam Pa-kun membentak:
"Siapa disana?"
Tan Ciok-sing kaget, dia kira
jejaknya bersama In San konangan, cuma Tam Pa-kun tidak tahu akan mereka. Baru
saja dia hendak tarik tangan In San diajak melompat keluar, dilihatnya dua
orang telah melompat ke atas dari lekuk batu karang sebelah belakang
Lui-sin-tay. Dua orang yang tadi mereka lihat bayangan punggungnya waktu di
tanggul panjang mclihal gelombang pasang tadi.
Kini mereka melihat jelas,
kedua orang itu satu laki satu perempuan.
yang laki memang Thi Khong,
pejabat Pangcu deri Tok-liong-pang sekarang. Diluar dugaan Tan Ciok-sing, walau
tadi dia sudah menduga bayangan punggungnya
menyerupai perempuan, tapi
tidak pernah dia sangka bahwa perempuan ini adalah pimpinan Bu-san-pang yaitu
Bu-sam Niocu.
Tam Pa-kun seketika
mengerutkan alis, katanya: "Tang-bun-siansing, menurut tata tertib
pertandingan yang sudah kita gariskan tadi, pertandingan ini hanya dilakukan
oleh Lui Tayhiap melawan Siang-locianpwe, orang luar dilarang turut campur atau
menonton pertempuran ini dari dekat, lalu untuk apa kedatangan kedua orang ini?
Siapa yang memberitahu mereka supaya kemari?"
"Betul," ujar
Tang-bun Cong, "tapi kedua orang ini bukan orang luar. Pertama, Thi-pangcu
adalah orang utama sebagai penuntut keadilan."
Belum habis Tang-bun Cong
bicara, Thi Khong sudah berkaok-kaok. "Lui Tin-gak, kau membunuh engkohku,
sakit hati ini nanti akan kuperhitungkan dengan kau."
Lui Tin-gak lintangkan
goloknya katanya menyeringai dingin: "Bagus sekali. Lalu kau yang maju
dulu atau Siang-locianpwe? Atau boleh juga kalian maju bersama?"
"Lui Tin-gak,"
damprat Siang Ho-yang naik pitam, "berarti kau memandang rendah diriku.
Kau kira aku sudi minta bantuan orang, sontoloyo kau," lalu dia menoleh
dan membentak: "Thi Khong, lekas kau bicarakan supaya jelas, jangan sampai
orang salah paham."
Thi Khong mengiakan, katanya:
"Memang aku ingin menuntut balas sakit hati engkohku, yakin hari ini orang
she Lui takkan lolos dari hukuman Siang-locianpwe, sakit hati ini jelas aku
tidak usah turun tangan sendiri. Kedatanganku ini untuk menyaksikan musuhku
terpenggal kepalanya."
"Kalian sudah
dengar?" teriak Siang Ho-yang, "aku menuntut balas sakit hati
keponakan, dua persoalan yang berlainan dengan persoalan orang lain, aku larang
siapapun mencampuri urusanku. Kini aku akan bertanding dengan Lui Tayhiap, dia
hanya penonton saja, kalian boleh legakan hati saja."
Dengan goloknya Lui Tin-gak
memang pernah membunuh engkoh Thi Khong, sebagai salah seorang yang ikut
menuntut pembalasan kepada musuhnya, menurut aturan Kangouw dia diperbolehkan
hadir dan menyaksikan pertempuran ini. Tapi bila mau bertindak tegas sesuai
aturan pertandingannya, sebagai Pa-kun masih punya hak untuk mengusir mereka
dari arena pertandingan. Tapi tindakan itu justru memperlihatkan kesempitan
jiwa mereka, Lui Tin-gak yang bersangkutan secara langsung tidak menentang,
maka Tam Pa-kun menjadi rikuh kalau mengusir Thi Khong dari tempat itu.
Siang Ho-yang berkata lebih
lanjut: "Satu hal mungkin Lui Tayhiap dan Tam Tayhiap belum tahu, ayah Thi
Ou dan Thi Khong dahulu adalah saudara angkatku, maka persoalan hari ini aku
akan cangking juga sakit hati putra-putra saudara angkatku itu. Keponakanku tak
bisa menyaksikan pertempuran disini, biarlah Thi Khong mewakilinya, kan tidak
melanggar peraturan Kangouw?" »
"Bagus sekali," ujar
Lui Tin-gak tenang, "bila perhitungan dilakukan satu persatu akan makan
waktu dan membuang tenaga, kebetulan bila Thi-pangcu ingin menyelesaikan dua
persoalan sekaligus, aku tidak menentang."
Thi Khong berdiri ke samping,
katanya: "Orang she Lui, tak usah bermulut besar, bila kau selamat di
tangan Siang-locianpwe, belum terlambat aku membuat perhitungan dengan kau.
Kuatirnya hari ini kau takkan lolos, hanya dalam mimpi kau bisa melarikan
diri."
Tam Pa-kun tiba-tiba
menghardik: "Dan yang seorang lagi?"
Bu-sam Niocu terkikik tawa,
katanya: "Aku maksudmu? Aku juga sebagai penonton saja."
"Apa sangkut pautmu
dengan persoalan ini? Apakah Lui Tayhiap juga membunuh anak familimu?" Dia
tahu Lui Tin-gak tidak pernah kenal Bu-sam Niocu, maka pertanyaannya mengandung
olok-olok.
Tak nyana Bu-sam Niocu
berkata: "Ya, dia membunuh sanak familiku."
"Bapakmu atau
suamimu?"
"Dia termasuk
kakakku," ujar Bu-sam Niocu tawar, "perempuan setelah menikah ikut
suami, engkoh suami bukankah termasuk familiku juga?"
Tam Pa-kun melengak, katanya:
"Menurut tahuku, Bu San-hun tidak punya saudara, dari mana datangnya
engkohmu itu?"
"Tam Pa-kun," seru
Thi Khong, "kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua."
"Apanya yang kedua?"
Tam Pa-kun menegas.
"Dia sebetulnya adalah
Sumoayku, dahulu lantaran tunduk kepada perintah ibunya dan menikah dengan Bu
San-hun, sc|ak lama pasti aku sudah mengawininya."
Tam Pa-kun kaget katanya:
"Jadi sekarang dia jadi binimu?"
Thi Khong membusung dada,
katanya: "Sekarang dia sudah jadi isteriku. Siang-locianpwe-lah yang
menjadi saksi pernikahan kami, boleh kau percaya kepada beliau."
Siang Ho-yang manggut-manggut
membuktikan bahwa perkataannya memang benar. Lalu katanya: "Sebagai
isterinya kalau Thi Khong boleh menonton disini, sepantasnya isterinya juga
boleh ikut."
Bahwa Bu-sam Niocu mendadak
jadi bini Thi Khong, bukan saja hal ini diluar dugaan Tam Pa-kun. Tan dan In
juga merasa diluar dugaan. Tanpa merasa Tan Ciok-sing membayangkan cerita Kek
Lam-wi yang diketahuinya dari mulut Bu Siu-hoa, bahwa ayah kandung Bu Siu-hoa
yaitu Bu San-hun mati secara mendadak dalam sehat walafiat, bukan mustahil
kematiannya dulu memang perbuatan ibu tirinya ini yang sekongkol dengan Thi
Khong.
Tam Pa-kun sendiri terang
merasa curiga juga, tapi dalam keadaan di tempat seperti ini pula, dia tidak
ingin urusan berkepanjangan, apa lagi kematian Bu san-hun yang misterius itu
tiada sangkut pautnya dengan pihak sendiri.
Lui Tin-gak berkata:
"Jangan hiraukan dia, kalau dia suka menonton, biarkan."
"Nah, kan begitu, waktu
sudah berlarut-larut, jangan diulur-ulur lagi. Lui Tayhiap, boleh kau mulai
dulu."
"Mana Cayhe berani kurang
ajar, boleh silahkan Locianpwe mulai dulu."
"Baiklah, aku tidak perlu
sungkan," kata Siang Ho-yang mengayun gitar dengan jurus Heng-sau-jian-kun.
"Tang" gitar besi
Siang Ho-yang beradu dengan golok Lui Tin-gak, kembang api berpijar. Lui
Tin-gak berdiri tegak di tempatnya, Siang Ho-yang kelihatan limbung, tapi kalau
tidak diperhatikan orang tidak tahu.
Melihat sekali bentrokan ini,
legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Agaknya Lwekang Lui Tayhiap tidak
lebih asor dari bangsat tua itu." Tam Pa-kun belum tahu kedatangan Tan
Ciok-sing berdua, kalau Ciok-sing sudah merasa lega, dia justeru was-was, yang
dikuatirkan bukan Lui Tiu-gak bukan tandingan Siang Ho-yang, yang dia kuatirkan
adalah situasi tidak menguntungkan pihaknya.
Diam-diam Tam Pa-kun berpikir:
"Lwekang kedua orang ini kira-kira setanding; Lui Toako lebih muda
tenaganya kuat dan kekar, tapi permainan senjata Siang Ho¬ yang juga liehay, tapi
bila pertempuran berjalan seru dan lama, yakin Lui Toako tidak mudah dirugikan.
Kuatirnya bila Thi Khong tidak mematuhi aturan Kangouw, bila mereka membokong
aku sukar mencegah."
Maklum, secara diam-diam dia
menerawang, dirinya yakin tidak kalah melawan Tang-bun Cong, tapi untuk
mengalahkan Tang-bun Cong sedikitnya dia harus melabraknya sampai ratusan
jurus, Bu-sam Niocu adalah seorang ahli racun, Thi Khong seorang ahli
menggunakan senjata rahasia lagi, di kala dia bersama Lui Tin-gak harus
menghadapi lawan-lawan tangguh, bila kedua orang ini membokong, susah mereka
menjaganya, cukup satu senjata rahasia beracun mengenai badan, mereka harus
kerahkan tenaga untuk mencegah menjalarnya racun dalam tubuh, dalam keadaan
demikian, mana mampu dia menghadapi lawan tangguhnya pula?
Di sebelah sana Siang Ho-yang
sudah menyerang maju pula, pertempuran sengit berlangsung pula lebih seru, Tam
Pa-kun perhatikan pertempuran, maka dia tidak sempat pikirkan urusan lain.
Setelah jajal sejurus,
diam-diam Siang Ho-yang berpikir: "It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang
tidak bernama kosong. Gelombang pasang kedua akan segera tiba, lebih baik aku
menyimpan tenaga, tak usah melawannya secara keras," maka gitarnya
sekarang ditarikan dengan kencang dengan senarnya berbunyi crang-creng, senar
gitarnya itu mendadak bisa copot dan menyabet ke urat nadi Lui Tin-gak.
Serangan senar gitar yang tidak terduga ini adalah hasil ciptaannya dari
perobahan Kim-kiong-cap-pwe-ta, padahal senar gitarnya ini jauh lebih ulet dan
punya daya mulur yang keras dibanding senar gendewa, bila urat nadi lawan
terbaret luka, ilmu silatnya akan dikorting lima puluh persen.
Lui Tin-gak sudah punya
persiapan, namun melihat permainan lawan yang aneh dan liehay ini bercekat juga
hatinya. "Sebagai cikal bakal suatu aliran, memang dia tidak boleh
dipandang remeh." Segera dia membalas dengan serangan golok cepat,
menyerang sekaligus membela diri, dia paksa Siang Ho-yang bertempur dari jarak
dekat. "Tang, creng" kembali golok dan gitar beradu beberapa kali.
Karena Lui Tin-gak membungkus tubuhnya dengan cahaya golok yang diputarnya
sekencang kitiran, maka serangan goloknya kali ini tidak sekuat jurus pertama
tadi, begitu senjata kedua pihak beradu, tenaga murni kedua pihak dengan
sendirinya terkuras lebih banyak.
Tapi dinilai secara lahirnya,
kelihatannya Siang Ho-yang berada di atas angin. Mendadak terdengar gemuruh
gelombang pasang mulai mendarrrp.ir tiba, waktu Tan Ciok-sing menoleh ke laut,
tampak gelombang ombak satu susun lebih tinggi dari susun yang lain secara
berduyun-duyun mengalun datang dengan gemuruh suaranya yang menggetar bumi. Mau
tidak mau Tan Ciok-sing tersirap melihat pemandangan yang dahsyat ini. Mereka
sembunyi di belakang karang, tapi mereka harus berpegang kencang batu karang
supaya tidak terseret arus, napas menjadi sesak rasanya. Dari sini dapatlah
dibayangkan, Lui Tin-gak dan Siang Ho-yang yang lagi berhantam di panggung batu
karang yang menjorok ke tengah laut betapa hebat tekanan gelombang ombak yang
menerjang mereka.
Amukan ombak kali ini memang
jauh lebih besar dan dahsyat dari yang pertama, pemandangan jadi kabur, namun
mereka tetap mendengar suara senar gitar. In San mengerutkan alis, katanya di
pinggir telinga Tan Ciok-sing. "Lagu apa yang dia mainkan, kenapa jelek
sekali."
Terdengar suara gitar seperti
pekik kokok beluk, anjing menggonggong, kera memekik serigala melolong,
pokoknya berbagai suara binatang-binatang liar sehingga siapa mendengarnya
perasaan menjadi risih, alat musik manapun di dunia ini yakin tiada yang bisa
menirukan suara binatang-binatang itu.
Semakin dipetik senar gitar
itu mengeluarkan suara yang aneh-aneh, aneka ragam, nadanyapun turun naik
berbeda-beda, betapapun dahsyat gemuruh ombak, tetap tidak kuasa menekan suara
petikan senar gitar itu. Terpaksa In San mendekap telinga sambil mendongak
kesana, kebetulan gelombang mereda, maka dia melihat keadaan di atas panggung,
Thi Khong dan Bu-sam Niocu tidak kelihatan, tapi mendekam jauh di bawah karang
sana. Merekapun menekap kuping masing-masing.
Mau tidak mau Tan Ciok-sing
berkuatir akan keselamatan Lui Tin-gak, pikirnya: "Gitar besi Siang
Ho-yang ternyata seliehay ini, suara gitarnya ternyata juga dapat melukai
lawan. Jarak sejauh ini aku masih tetap tidak kuat menahannya, Lui Tayhiap
sedang melabraknya dalam jarak dekat, di bawah tekanan damparan ombak lagi,
mana mungkin dia bisa mengkonsentrasikan lahir dan batinnya."
Gelombang pasang kali ini
datang lebih dahsyat dan susun bersusun, saat-saat berakhirnya gelombang pasang
hampir tiba, namun amukan ombak justru lebih hebat lagi. Semula pada setiap
kesempatan ombak mereda Siang Ho-yang masih bisa memetik senarnya, kini agak
lama kemudian baru terdengar senar gitarnya berbunyi.
Namun lega juga hati Tan
Ciok-sing berdua melihat Lui Tin-gak tetap berdiri sekokoh gunung di tempatnya
walau tidak jelas bagaimana jalan pertempuran mereka, karena percikan ombak
yang mengamuk, namun kelihatannya dia masih kuat .bertahan untuk beberapa waktu
lamanya.
Tan Ciok-sing tidak pernah
lena, pandangannya tetap diarahkan ke Hay-sin-tay meski panggung batu itu
seperti sudah ditelan ombak besar, suatu ketika di saat ombak sedikit mereda
tampak oleh Tan Ciok-sing golok Lui Tin-gak membacok dan membelah beberapa
kali, gerakan goloknya itu seperti sudah amat hapal dan dikenalnya. Tiba-tiba
tergerak pikirannya, akhirnya dia teringat: "Ha, bukankah ilmu golok itu
hasil perobahan dari Bu-bing-kiam-hoat yang diajarkan oleh oleh suhu? Perobahan
yang dimainkan Lui Tayhiap barusan sungguh amat menakjubkan."
Mata Ciok-sing memang tajam,
serangan yang dilancarkan It-cu-king-thian Lui Tin-gak barusan memang benar
adalah hasil cangkokan dari Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong.
Kekalahan Siang Ho-yang di
tangan Thio Tan-hong, walau sekarang Lui Tin-gak tidak setaraf Thio Tan-hong
dahulu namun melihat lawannya mendadak bisa melancarkan serangan pedang ciptaan
Thio Tan-hong dulu, mau tidak mau mencelos juga hati Siang Ho-yang.
Semula waktu mendengar suara
ribut dari bunyi berbagai suara binatang oleh petikan senar gitar tadi,
perasaan Lui Tin-gak memang terpengaruh dan hampir saja dia tidak kuat
bertahan. Di saat-saat kritis itulah, mendadak pikiran sehatnya bekerja, tanpa
merasa ilmu golok hasil cangkokannya dari ilmu golok ciptaan Thio Tan-hong
segera dilancarkan. Begitu damparan ombak mereda, kontan dia merangsak dengan
serangan golok kilat, setiap jurus permainan goloknya menyerang dari posisi,
arah dan letak yang tak pernah diduga oleh Siang Ho-yang. Pertama Siang Ho-yang
sudah dibikin jera oleh ilmu pedang Thio Tan-hong, maka permainannya menjadi keripuhan,
untuk membendung serangan golok ini dia sudah kelabakan, maka tidak sempat pula
dia memetik senar gitarnya.
Diam-diam Lui Tin-gak
bersyukur delam hati, pikirnya: "Bila Tan Ciok-sing tidak
mendemonstrasikan seluruh rangkaian Bu-bing-kiam-hoat di hadapanku dulu, hari
ini mungkin aku tidak akan mampu menghadapi iblis ini."
Tapi bahaya masih tetap
mengintip, bahaya datang dari damparan ombak yang semakin deras, panggung batu
karang itu rasanya mau ditelan bulat-bulat dan diseret ke tengah laut saja. Dengan
kekuatan Lwekang mereka, sedapat mungkin memperkokoh kuda-kuda, sehingga tidak
terseret air, namun tak urung mereka tetap tertarik mundur ke belakang.
Beberapa langkah lagi mereka bakal keluar dari garis yang telah ditetapkan.
Siang Ho-yang mundur selangkah
lebih banyak, jelas kakinya hampir menginjak garis pemisah itu, kebetulan ombak
besar mendampar pula, dengan kertak gigi, tiba-tiba timbul nafsu jahatnya, maka
dilancarkannya sejurus serangan yang teramat keji secara licik. Ternyata perut
gitarnya itu kosong, di dalamnya dia simpan beberapa jenis senjata rahasia
beracun, bila dia menekan tombol, tiga Toh-kut-ting segera melesat keluar.
Sebetulnya Lui Tin-gak tahu
akan serangan keji lawan ini, maka sejak tadi dia sudah waspada dan perhatikan
setiap gerak-gerik lawan. Tapi kali ini Siang Ho-yang menyerang bersama
datangnya ombak, sudah tentu sukar dijaga dan diduga. Suara gemuruh menelan
desiran senjata rahasia, tahu-tahu ketiga batang paku telah melesat di depan
matanya.
Di saat-saat kritis ini, memperlihatkan
betapa liehay ilmu silat Lui Tin-gak, dalam seribu kesibukannya, lekas dia
gunakan gerakan keledai malas menggelinding, dia jatuhkan tubuh ke atas karang,
golok emas melindungi kepala, "Tring" beruntun tiga kali paku itu
masih sempat dia tangkis jatuh. Agaknya Siang Ho-yang tidak menduga lawannya
mampu menangkis senjata rahasianya, namun dia juga sudah mempersiapkan serangan
susulan, di kala lawan masih rebah di tanah, kontan dia layangkan kakinya
menendang dengan serangan berantai. Dia pikir umpama tidak berhasil mencopot
nyawa Lui Tin-gak, cukup asal mendesaknya keluar garis, berarti dia sudah
kalah.
Diluar tahunya perhitungannya
meleset, di kala kedua kakinya beterbangan itulah, sebuah ombak besar melanda
tiba pula, itulah ombak besar terakhir dari gelombang pasang ini, tapi ombak
yang paling keras dan kuat pula. Siang Ho-yang sedang menendang dengan sepenuh
kekuatannya, sudah tentu pertahanan kakinya tidak begitu kuat, kontan dia
tersungkur kesana terdorong arus.
Sebat sekali Lui Tin-gak sudah
membalik memegang pergelangan tangannya, Siang Ho-yang merontakan kedua
tangannya, namun tak kuasa dia melepas pegangan telapak besi Lui Tin-gak,
sekalian diapun pegang lengan atas Lui Tin-gak. Lwekang kedua orang kira-kira
setaraf, cepat sekali setelah saling berkutet dan bergumul akhirnya kedua orang
pelan-pelan sama berdiri, kebetulan keduanya tetap berdiri di atas garis. Kini
Siang Ho-yang berhasil meronta lepas dari pegangan lawannya, sambil kerahkan
tenaga dia ingin mendorong Lui Tin-gak keluar garis.
"Pyaaaar" di tengah
gemuruh ombak terdengar gempuran keras seperti guntur menggelegar, empat
telapak tangan bertemu, kedua orang lantas lengket berhadapan tidak bergerak
lagi.
Kini pertempuran meningkat
pada adu Lwekang, yang tenaganya besar dialah yang bakal menang, jelas adu
tenaga tidak mungkin menggunakan akal atau memungut keuntungan secara licik.
Namun bahayanya jauh melebihi damparan ombak besar tadi.
Dinilai tenaga dalamnya, kedua
lawan ini kira-kira sebanding, cuma Siang Ho-yang kelebihan dua puluh tahun
latihan, namun Lui Tin-gak masih muda dan tenaga kuat, seharusnya dia lebih
kuat benahan lama dibanding lawannya, tapi pada gebrak terakhir tadi Siang
Ho-yang mendapat rugi lebih besar, sehingga keadaan sekarang terbalik, Lui
Tin-gak berada di atas angin. Namun sedikit unggul inipun susah diketahui meski
seorang maha guru silat yang liehay sekalipun dalam waktu dekat ini.
Diam-diam Tam Pa-kun berkuatir
bagi Lui Tin-gak, demikian pulaTang-bun Cong juga kuatir akan nasib Siang
Ho-yang. Tiba-tiba kedua orang berkata tanpa berjanji: "Dua harimau
bertempur pasti ada satu yang terluka. Kukira pertempuran cukup diakhiri sampai
disini saja."
Siang Ho-yang tahu bila adu
tenaga dilanjutkan lebih lama, dirinya jelas pasti kalah, tapi dia tidak
mungkin pecah perhatian untuk bicara, terpaksa dia mengangguk saja. Maka Tam
Pa-kun berkata: "Siang-losiansing mau berdamai dan anggap seri, Lui-toako,
kaupun akhiri saja bagaimana?" - secara tidak langsung dia memberi kisikan
kepada temannya, meski Siang Ho-yang dikalahkan, pihak lawan masih ada tiga
orang lagi. Tang-bun Cong juga tahu keadaan Siang Ho-yang agak kepepet, maka
dia tidak banyak berkomentar lagi.
Maka Tam Pa-kun maju menarik
Lui Tin-gak sementara Tang-bun Cong menarik Siang Ho-yang. Lui dan Siang sama-sama
mengendorkan tenaganya baru mereka dapat dipisahkan. Padahal Lwekang mereka
amat tangguh, namun setelah mengalami pertempuran sengit, napas merekapun
tersengal, badan lemas lunglai.
Tam Pa-kun berkata:
"Pertempuran diakhiri dengan seri, maka permusuhan ini bolehlah dianggap
himpas sampai disini saja."
Hampir saja dirinya kecundang,
beruntung nama baik dan pamornya tidak sampai runtuh sudah tentu dia setuju
saja tanpa bersuara dia mengangguk. Tak kira Thi Khong dan Bu-sam Niocu malah
tampil ke muka, katanya: "Permusuhan Siang-locianpwe dengan Lui Tin-gak
boleh dianggap himpas, tapi permusuhan kami dengan Lui Tin-gak kan belum
diselesaikan."
"Apa?" hardik Tam
Pa-kun, "kalian menantang Lui Tayhiap?"
"Betul. Sakit hati
engkohku, memangnya tidak boleh kutuntut padanya," seru Thi Khong.
Dengan tawa genit Bu-sam Niocu
menimbrung: "Aku tahu tidak setimpal menantang Lui Tayhiap, tapi isteri
harus ikut suami, terpaksa aku mengiringi kehendak suami saja."
*'Lui Tayhiap baru saja habis
bertempur, bila kalian hendak menuntut balas, biar aku wakili dia menyambut
tantangan kalian," damprat Tam Pa-kun.
Tang-bun Cong tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Tam Tayhiap omonganmu apa tidak salah."
"Kenapa salah? Coba
terangkan."
"Thi-pangcu mau membalas
sakit hati engkohnya, itu urusan lain. Bila Tam Tayhiap ada minat boleh kau
menjadi saksi lagi, tapi bukan tempatnya kau ikut campur urusan orang
lain."
"Jadi menurut pendapatmu,
mereka menggunakan akal licik ini malah boleh dibenarkan?"
"Berdasar apa kau katakan
aku berbuat licik?" damprat Thi Khong.
"Bila kalian menuntut
balas secara terang-terangan, boleh tentukan waktunya dan tantanglah Lui
Tayhiap untuk bertanding lain kesempatan,"
Bu-sam Niocu menimbrung pula:
"Mumpung hari ini ketemu dan ada kesempatan. Kenapa susah-susah cari waktu
dan tempat lain segala, biar hari ini juga kami menyelesaikan permusuhan
kita."
Tang-bun Cong terbahak-bahak,
katanya: "Menuntut balas memang boleh menggunakan cara apapun, apakah
ucapan Tam Tayhiap tadi tidak terlalu mengada-ada? Apalagi sebagai kaum
persilatan, mereka adalah Pangcu dari suatu perkumpulan, tapi kedudukan mereka
masih terlalu jauh dibanding Lui Tayhiap. Walau barusan Lui Tayhiap habis
bertempur, kukira dia sendiri tidak ambil pusing soal tetek bengek ini."
Sudah tentu Lui Tin-gak naik
pitam, bentaknya: "Kawanan tikus juga berani bertingkah, baik, biarkan
mereka kemari."
Melihat betapa garang dan
angker sikap dan tampang Lui Tin-gak, ciut juga nyali Thi Khong. Tapi Bu-sam
Niocu justru lebih cermat, dari suara Lui Tin-gak dia dapat meraba bahwa tenaga
murninya sudah hampir ludes. Maka dia memberi lirikan mata kepada Thi Khong,
katanya: "Betul, sang waktu tidak boleh dilewatkan begini saja. Lui
Tayhiap sendiri sudah menantang, marilah kita maju bersama."
Thi Khong cukup cerdik, dia
tahu kemana arah perkataan Bu-sam Niocu, pikirnya: "Ya, mumpung tenaga Lui
Tin-gak belum pulih, lekas turun tangan lebih menguntungkan," segera dia
keluarkan senjatanya, bentaknya: "Orang she Lui, hari ini kalau bukan kau
mampus, biar aku yang mati. Kami tidak akan memungut keuntungan, boleh silakan
kau mulai dulu."
Pertempuran babak kedua sudah
bakal berlangsung pula, mendadak seorang membentak: "Nanti dulu."
Bentakan ini membuat Thi Khong
suami isteri sama tersentak, kontan berobah air muka mereka. Lui Tin-gak justru
berseru girang: "Ciok-sing Hiantit, kau, bagaimana kau bisa datang
kemari?"
Tampak Tan Ciok-sing
bergandeng tangan dengan In San melompat naik ke panggung karang. Tam Pa-kun
berseru memuji: "Ginkang bagus."
Bertepatan saatnya tiba-tiba
Siang Ho-yang menghardik: "Siapa berani kemari membuat onar." Gitar
diangkat terus terayun ke belakang memapak kedatangan Tan Ciok-sing dan In San.
Bukan Siang Ho-yang tidak tahu
siapa Tan Ciok-sing, karena dia dengar Lui Tin-gak memanggil nama Tan
Ciok-sing, maka sengaja dia pura-pura sambil menyergap. Maklum selama dua tahun
ini nama besar Tan Ciok-sing sudah cukup terkenal di Kangouw, walau belum
pernah melihatnya, pernah dia mendengar dari cerita Thi Khong. Kini melihat
kedatangan mereka begitu cepat dan tangkas selintas pandang lantas dia tahu
bahwa kepandaian Thi Khong suami istei i bukan tandingan mereka. Maka tidak
segan-segan dia gunakan sisa tenaganya yang tidak seberapa, mumpung kedua
muda-mudi ini belum berdiri tegak lantas menyergapnya.
Jurus ini dinamakan
Oh-ka-cap-pwe-bak, serangan tunggal mematikan yang paling sukar dan rumit
perobahannya dalam ilmu permainan gitar besinya itu, senar gitar dapat
digunakan mengiris urat nadi, sementara badan gitarnya dapat dibuat mengemplang,
sementara petikan senarnya menimbulkan suara ribut yang memekak dan mengganggu
konsentrasi pikiran lawan, seluruh kekuatan perbawa dari ilmu gitar yang
diciptakannya dikembangkan semaksimal mungkin meski hanya dengan landasan sisa
tenaga belaka.
Tam Pa-kun memaki: "Tidak
tahu malu," baru saja dia hendak menubruk maju, namun Tang-bun Cong telah
menghadang di depannya. Semula Lui Tin-gak juga tersirap, tapi lekas sekali dia
sudah berseru dengan tertawa lega: "Tidak jadi soal."
Tan Ciok-sing dan In San dua
tingkat lebih rendah dari Siang Ho-yang, boleh dikata Siang Ho-yang telah
boyong segala
kemampuannya untuk menyergap
mereka, dia kira meski Tan Ciok-sing memiliki Kungfu tinggi, tapi usia masih
muda,, betapapun tangguh Lwekangnya juga masih ada batasnya, maka dia yakin
serangan liehaynya ini pasti akan membuat Tan dan In bila tidak mampus juga
terluka parah.
Tak nyana kesudahannya justru
jauh diluar perhitungannya.
Mendadak Tan Ciok-sing memekik
panjang, suaranya melengking tinggi memekak telinga. Di tengah pekik suaranya
itu, tampak sinar pedang berkembang. Bersama In San mereka melancarkan gabungan
sepasang pedang, sehingga bayangan tubuh Siang Ho-yang seketika seperti
terbungkus didalam libatan cahaya pedang mereka.
Bukan main gembira Lui
Tin-gak, pikirnya: "Gelombang sungai yang di belakang memang mendorong
yang di depan, pepatah ini cocok untuk mengibaratkan Kungfu Ciok-sing saat
ini," belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara ribut tak
karuan dari senar gitar, cahaya pedang yang kemilau menyilaukan matapun
mendadak kuncup tak berbekas.
Terdengar Tan Ciok-sing
berkata lantang: "Maaf, kami terpaksa merusak alat musik Locianpwe,
rasanya jadi tidak enak."
Tampak Siang Ho-yang berdiri
menjublek di samping sana seperti patung. Tangannya masih memeluk gitarnya,
tapi senar gitarnya sudah putus seluruhnya. Demikian pula perut gitarnya sudah
bolong. Karang di sekitar kakinya tercecer puluhan keping besi-besi tak berguna
lagi, ada Toh-kut-ting, Thi-lian-cu, Ouw-tiap-piau, ada pula Bwe-hoa-ciam yang
remuk menjadi bubuk oleh gilasan sinar pedang sakti Tan dan In berdua. Ternyata
berbagai senjata rahasia yang puluhan buah jumlahnya itu seluruhnya telah
dibabat remuk berkeping-keping oleh sepasang pedang Ciok-sing dan In San. Perlu
diketahui, didalam melancarkan serangan jurus yang hebat tadi Siang Ho-yang
masih bermain licik sekaligus menekan tombol sehingga berbagai macam senjata
rahasia yang tersimpan di perut gitar melesat keluar seluruhnya
Diluar perhitungannya, perbawa
gabungan sepasang pedang Tan dan In ternyata amat hebat. Bukan saja serangan
gelap senjata rahasia tidak membawa hasil, gitar besinya yang dipandangnya
sebagai mustika itupun telah tertusuk bolong. Seperti diketahui pedang Tan
Ciok-sing adalah Ceng-bing Pokiam, sedang yang digunakan In San adalah Pek-hong
Pokiam, sepasang pedang mustika peninggalan Thio Tan-hong suami istri dan
diwariskan kepada mereka. Gitar besi Siang Ho-yang boleh terhitung senjata
antik pula, golok atau pedang biasa jangan harap mampu merusaknya tapi sekarang
kenyataan telah dirusak oleh sepasang pedang mustika.
Siang -Ho-yang sudah
pertaruhkan seluruh
kemampuannya, meski dia habis
mengalami pertempuran sengit, tenaganya jauh berkurang, tapi hanya segebrak
dirinya telah terkalahkan oleh dua muda mudi yang boleh termasuk cucunya,
betapa mengenaskan kekalahan ini, bukan saja diluar dugaan orang lain, dia
sendiri juga ragu-ragu, menyangka dirinya berada di alam mimpi. Maka, dia
berdiri mematung di samping sana, wajahnya kelihatan hambar, pandangannya
kosong. Tiada yang tahu apa yang sedang dipikir dalam benaknya, tapi dapat
diduga betapa rawan perasaan hatinya.
Tam Pa-kun sudah hampir
memakinya "Hina" serta melihat keadaan orang, kata-kata yang sudah
hampir terlontar di ujung lidahnya lekas ditelannya kembali.
Setelah mengalahkan Siang
Ho-yang, baru Tan Ciok-sing berkata: "Lui-pepek, pertandingan babak
selanjutnya boleh serahkan kepada kami saja, kami berdua melawan mereka berdua,
pihak mana tiada yang memungut keuntungan."
Tang-bun Cong coba menempatkan
dirinya scbaj-ai wasit, katanya: "Kalian tahu tidak aturan kaum
persilatan, Thi Khong suami istri hendak menuntut balas kepada Lui Tin-gak,
berdasarkan apa kalian berani menampilkan diri?"
In San tertawa dingin,
katanya: "Kau ini saksi macam apa, memangnya Thi Khong yang boleh menuntut
sakit hati kematian engkohnya, aku tak boleh menuntut balas kematian ayahku?
Orang-orang yang dulu membunuh ayahku, engkohnya adalah salah satu diantaranya.
Belakangan Lui Tayhiap berhasil membunuh engkohnya, bila dia ingin menuntut
balas, boleh kau membuat perhitungan kepadaku saja."
"Baik, dan kau?"
tanya Tang-bun Cong menuding Tan Ciok-sing.
Tam Pa-kun mendahului bicara:
"Ibu nona In pernah berpesan kepadaku, supaya aku jadi comblang
menjodohkan putrinya dengan Tan Ciok-sing, mereka adalah calon suami
isteri."
Hal ini baru pertama kali ini
In San mendengarnya. Tam Pa-kun membeber persoalan pribadinya di muka umum,
sudah tentu merah jengah selebar mukanya.
Tan Ciok-sing berkata:
"Hubungan soal ini boleh dikesampingkan, dengan Tok-liong-pang akupun
punya permusuhan yang mendalam. Kakekku dulu dibokong dan dilukai oleh orang
Tok-liong-pang, karena luka-lukanya beliau akhirnya meninggal. Rumah leluhurku
juga dibakar habis oleh kawanan Tok-liong-pang, aku tidak tahu siapa yang turun
tangan, tapi Thi Khong sekarang adalah pejabat Pangcu Tok-liong-pang, maka aku
wajib menuntut balas kepadanya."
Kalau tadi Tang-bun Cong
berkukuh memperbolehkan Thi Khong suami isteri menuntut balas kepada Lui
Tin-gak, maka sekarang tiada alasan dia menentang usaha Tan Ciok-sing berdua
menuntut balas kepada Thi Khong suami isteri.
"Baiklah, urusan tidak
perlu dibicarakan lagi," ucap Tam Pa-kun, "biar aku dan
Tang-bun-siansing menjadi saksi. Tang-bun-siansing bila kau ingin bertanding
dengan aku, boleh dilaksanakan di babak terakhir saja? Atau sekarang juga
boleh? Jadi tidak perlu pakai saksi segala."
Situasi berobah seratus
delapan puluh derajat, sudah tentu Tang-bun Cong tidak berani mencari perkara,
katanya: "Tam Tayhiap, soalnya perdebatan tadi takkan berakhir begitu
saja, maka aku usulkan untuk diselesaikan dengan pertandingan. Sebetulnya tiada
hasratku untuk bertanding dengan kau," secara tidak langsung dia mau
bilang, bahwa persoalan sudah jelas juntrungannya, maka dia setuju saja bila Thi
Khong suami isteri membuat penyelesaian langsung dengan Tan Ciok-sing secara
adil.
Sudah tentu tanpa memperoleh
dukungan Tang-bun Cong, Thi Khong suami isteri tidak berani melawan Ciok-sing
berdua. Diam-diam Bu-sam Niocu memberi kerlingan mata kepada suaminya, maka
mereka berkata bersama: "Baik, bertanding ya bertanding, memangnya kami
takut menghadapi bocah keparat ini."
"Bagus, kalau tidak
takut, hayo maju."
Tak nyana di mulut Thi Khong
suami isteri masih bersikap garang, tapi perbuatan mereka justru teramat licik
dan nakal. Bu-sam Niocu maju melangkah, mendadak dia menimpukkan senjata
rahasia. Itulah senjata rahasia tunggal perguruannya,
Tok-bu-kim-cian-Iiat-yam-tam.
"BUM" senjata
rahasia meledak di tengah udara, asap tebal seketika bergulung ke empat penjuru,
gumpalan api tampak menerjang ke arah Tan dan In berdua. Di tengah kepulan asap
gelap masih menyamber pula bintik-bintik emas yang tak terhitung banyaknya,
itulah Bwe-hoa-ciam yang selembut bulu kerbau. Berbareng Thi Khong juga
menimpukkan senjata rahasia beracun perguruannya, Tok-liong-piau. Habis
menimpuk senjata rahasia mereka lantas melompat mundur bersama.
Tok-bu-kim-cian-liat-yam-tam
yang ditimpukkan Bu-sam Niocu boleh dikata merupakan senjata rahasia dahsyat
yang bisa mengakibatkan kematian yang paling mengerikan, meski sasarannya
adalah Tan Ciok-sing, tapi asap beracun mengepul jarum emas juga menyamber kian
kemari di tengah kepulan asap tebal lagi, sehingga semua orang yang berdiri di
Hay-sin-tay ini tiada yang tak terkena serangan.
Oleh karena itu, begitu
senjata rahasia meledak di tengah udara, semua orang yang berada di atas
panggung karangpun serempak turun tangan. Tam Pa-kun menghardik sekali,
beruntun dia memukul tiga kali. Julukannya Kim-to-thi-ciang, kekuatan pukulan
telapak tangannya ternyata hebat luar biasa. Asap beracun kontan tersapu pergi
seperti terserap oleh angin lesus.
Sementara Tan dan ln kembali
mengembangkan permainan gabungan sepasang pedang dengan jurus
Pek-hong-koan-jit, dua batang pedang bersatu padu sehingga cahayanya menjadi
dwi tunggal seperti lembayung. Jarum berbisa Bu-sam Niocu, Tok-liong-piau Thi
Khong hakikatnya tidak mampu mendekati mereka, semua terpukul rontok menjadi
berkeping-keping.
Tapi setelah asap tebal lenyap
terbawa angin laut, bayangan Thi Khong dan Bu-sam Niocu telah lenyap.
Segera Tan Ciok-sing memeriksa
keadaan sekitarnya, dilihatnya dua bayangan orang sedang berlari kesana
melampaui jalur pemisah dan berada di tepi karang yang menjorok ke tengah laut.
Tan Ciok-sing gusar,
dampratnya: "Melukai orang dengan senjata rahasia keji, memangnya kalian
masih bisa lari?" baru saja dia hendak ajak In San mengudak kesana,
tiba-tiba Thi Khong dan Bu-sam Niocu sudah terjun ke Ci-tong-kang.
Agaknya mereka juga insaf,
senjata rahasia berbisa paling hanya merintangi musuh sekejap, Tan Ciok-sing
dan lain-lain tidak mungkin bisa kecundang. Senjata rahasia yang digunakan
Bu-sam Niocu hanya untuk melicinkan jalan mundur mereka, di kala asap tebal
masih merintangi pandangan mata orang, bersama Thi Khong mereka akan menyingkir
leluasa.
Tok-liong-pang adalah kumpulan
perampok yang sering beroperasi di lautan, Thi Khong adalah Pangcu, maka
kepandaiannya bermain dalam air teramat mahir. Sementara sejak kecil Bu-sam
Niocu dibesarkan di pinggir Tiangkang, di tiga selat yang paling berbahaya
sepanjang sungai besar itu maka diapun mahir berenang, kali ini mereka terpaksa
terjun ke Ci-tong-kang untuk menyelamatkan diri. Memang untung bagi mereka
karena gelombang pasang saat mana sudah reda, kalau ombak masih mengamuk, betapapun
liehay ilmu berenang mereka juga pasti mampus menjadi hidangan ikan.
In San berkata gegetun:
"Menguntungkan mereka saja."
"Ombak masih sebesar ini,
belum tentu mereka bisa selamat, biarlah mereka menentukan mati hidupnya
sendiri," demikian ujar Tan Ciok-sing. Baru saja dia melangkah hendak
menghampiri Lui Tin-gak ajak berbincang-bincang, tiba-tiba didengarnya Lui
Tin-gak berteriak kaget: "Aduh celaka."
Karuan Tan Ciok-sing kaget:
"Apanya celaka?" dilihatnya bola mata Lui Tin-gak terbeliak, berdiri
mematung seperti orang pikun. Tan Ciok-sing menoleh kesana menurut arah
pandangan Lui Tin-gak, tampak Siang Ho-yang entah sejak kapan secara diam-diam
sudah berdiri di pinggir karang sana.
Begitu menoleh kesana kontan
Tan Ciok-sing merinding di buatnya, rona muka Siang Ho-yang tampak amat
mengerikan. Ternyata waktu menghadapi serangan senjata gelap Thi Khong suami
isteri, siapapun sibuk pada keselamatan diri sendiri sehingga tiada yang
teringat untuk melindungi Siang Ho-yang. Setelah menghadapi gempuran sepasang
pedang Tan Ciok-sing dan In San, hakikatnya Siang Ho-yang sudah tidak mampu
lagi menolak atau menangkis serangan senjata rahasia itu. Apalagi dia tidak
mengira bahwa Thi Khong suami isteri bakal menggunakan senjata rahasia keji ini
tanpa perdulikan keselamatan orang sendiri.
Usianya sudah selanjut itu,
hari ini sudah terjungkel di tangan muda mudi yang pantas menjadi cucunya,
jangan kata dia sudah tidak punya tenaga bertahan diri lagi, umpama tenaga
masih kuat juga dia tidak akan bisa berkelit lagi. Bukan saja dia menyedot asap
beracun, Thay-yang-hiat, lng-hiang-hiat dan tepat di tengah alisnya terkena
tiga batang Bwe-hoa-ciam beracun timpukan Bu-sam Niocu, sementara pundaknya
terkena Tok-liong-piau begitu racun menyentuh darah, kontan tenggorokan tersumbat.
Padahal Lwekangnya sudah
ludes, umpama masih tangguh, setelah terkena senjata rahasia beracun di banyak
tempat lagi, jelas jiwanya juga susah diselamatkan.
Setelah lenyap rasa kagetnya,
lekas Lui Tin-gak memburu maju.
teriaknya:
"Siang-locianpwe, jangan kau bergerak, biar kubantu kau mengobati."
Siang Ho-yang tertawa perih,
katanya: "Usiaku sudah setua ini, memangnya harus bertahan hidup tiga
puluh tahun pula? Sungguh aku menyesal kenapa aku melanggar sumpahku terhadap
Thio Tan-hong dulu, kini aku terkalahkan pula oleh murid Thio Tan-hong, mungkin
Thian Yang Maha Kuasa telah menjatuhkan vonisnya kepadaku. Memangnya aku harus
ingkar janji?" sebelum Lui Tin-gak tiba di depannya, Siang Ho-yang sudah
menerjunkan dirinya kedalam laut mengikuti jejak Thi Khong suami isteri.
Kalau Thi Khong suami isteri
mahir berenang, tidak terluka apa-apa, kemungkinan mereka masih bisa
menyelamatkan diri. Tapi Siang Ho-yang dalam keadaan serba payah, ombak
Ci-tong-kang masih sederas itu, jelas jiwanya susah diselamatkan lagi.
Lui Tin-gak menghela napas,
katanya: "Jelek-jelek Siang Ho-yang adalah seorang cikal bakal suatu
aliran, siapa nyana nasibnya sejelek ini."
Waktu Thi Khong suami isteri
menimpukkan senjata rahasianya, diam-diam Tang-bun Cong sudah yakin bahwa sergapan
licik ini takkan membawa hasil maka sebelum asap tebal itu sirna, diapun sudah
kabur dari tempat itu.
Lui Tin-gak tertawa, katanya:
"Hari ini dia sebagai saksi, menurut aturan Kangouw, dari pada kita cari
perkara dengan dia, biar dia yang cari perkara terhadap kita saja, tapi aku
yakin dia tidak seberani itu. Tapi ada satu hal aku belum jelas, perlu aku
tanya kepada Tan-hiantit."
"Entah paman ingin tahu
soal apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Kabarnya kalian akan
tinggal di Soh-ciu saja, kenapa mendadak berada disini?" tanya Lui
Tin-gak.
Tan Ciok-sing berkata:
"Ada sebuah kabar gembira perlu kusampaikan kepada paman berdua."
Lekas Tam Pa-kun berkata:
"Apakah kalian sudah memperoleh berita Kek Lam-wi?"
"Bukan hanya beritanya
saja," ujar In San tertawa, "orangnyapun sudah kami temukan."
Tam Pa-kun kegirangan,
tanyanya: "Bagaimana kalian menemukan dia?"
"Paman Tam, pandanganmu
tajam, dugaanmu ternyata benar," ujar In San?"
"Memang nona Bu itulah
yang menolongnya, belakangan secara diam-diam dia membantu kami pula sehingga
Kek Lam-wi ditemukan," lalu dia bercerita secara ringkas.
"Memang sudah kuduga
bahwa nona Bu itu tidak bermaksud jahat kepada Kek Lam-wi, syukur aku tidak
salah menilai orang. Sekarang Lam-wi..."
"Waktu kami meninggalkan
Soh-ciu, dengan Kiau-thocu dari Kaypang dia sudah berangkat lebih dulu ke
Thay-ouw."
Lui Tin-gak memotong:
"Ya. Ong Goan-tin Cong Cecu dari tiga puluh enam markas perairan di
Thay-ouw akan merayakan hari ulang tahunnya ke enam puluh, hari ulang tahunnya
jatuh pada tanggal dua puluh satu bukan?"
"Betul," ujar Tam
Pa-kun, "aku memang ingin mengajakmu kesana."
"Sebenarnya akupun punya
maksud. Cuma sebelum hari ini, aku sendiri tidak tahu apakah aku bakal berumur
panjang untuk menikmati arak perjamuan ulang tahunnya itu. Sekarang boleh aku
ikut kalian kesana."
Dua hari kemudian, sebuah
perahu sedang berlaju di tengah Thay-ouw. Tiada angin tiada ombak, cuaca cerah,
selepas mata memandang permukaan air berpadu dengan langit di kejauhan sana.
Berada di tengah keindahan alam
permai bak sebuah lukisan ini, ln San yang berdiri di ujung perahu sampai
terpesona. Timbul gairah mereka bersenandung, In San segera tarik suara,
sementara Tan Ciok-sing keluarkan harpanya.
Yang dibawakan adalah puisi
ciptaan Thio It-ouw, pujangga dynasti Song yang pernah memperoleh pangkat
tinggi dalam kalangan pemerintahan.
Begitu lagu habis dan suara
harpa berhenti, mendadak kumandang suara seorang berseru memuji: "Nyanyian
bagus, petikan harpa juga bagus."
Mendengar pujian ini, Tam
Pa-kun dan Lui Tin-gak sama-sama kaget. Padahal di perairan sekitar perahu
mereka tidak kelihatan ada perahu lain. Selepas mata memandang, kelihatan di
kejauhan sana ada setitik bayangan layar berkembang. Bila orang yang berseru
memuji di atas kapal itu, dalam jarak sejauh itu namun suaranya tetap terdengar
sejelas tadi, maka betapa tangguh Lwekangnya, dapatlah dibayangkan.
Tan Ciok-sing juga kaget,
katanya: "Agaknya orang itu menggunakan Lwekang tingkat tinggi mengirim
suaranya dengan gelombang panjang."
"Betul," ucap Lui
Tin-gak menghela napas. "Di atas langit masih ada langit, orang pandai ada
yang lebih pandai lagi. Kata-kata ini memang patut diresapi. Betapa tangguh dan
murni Lwekang orang itu, sungguh belum pernah kulihat selama hidup ini. Siapa
nyana di tempat ini aku bakal bertemu dengan tokoh seliehay ini. Tam-heng, kau
lebih hapal mengenai seluk beluk benggolan Bulim, tahukah kau siapa dia?"
Bahwa It-cu-king-thian Lui
Tin-gak yang sudah punya kedudukan setinggi itu di kalangan Bulim, masih
berkata demikian, sudah tentu Tan Ciok-sing dan In San sama tersirap. Maka
pandangan mereka tertuju ke arah Tam Pa-kun serta menanti penjelasannya.
Tam Pa-kun- berpikir sebentar,
katanya kemudian: "Thio Tan-hong Thio Tayhiap beruntung aku pernah
melihatnya, jikalau Thio Tayhiap belum meninggal pasti aku duga dia adanya.
Tapi Thio Tayhiap sudah meninggal empat tahun yang lalu, aku jadi tak habis
pikir siapa gerangan yang memiliki Lwekang setangguh itu?"
"Apakah Lwekangnya mampu
menandingi maha guru silat seperti Thio Tan-hong Thio Tayhiap?" tanya Lui
Tin-gak.
"Dibanding Thio Tayhiap
jelas belum memadai, tapi di antara Bulim Cianpwe yang kukenal dan masih hidup
sekarang, kurasa tiada yang mampu menandingi dia," ucap Tam Pa-kun.
"Tam-heng, pengetahuan
dan pengalamanmu luas, coba kau pikir-pikir lebih cermat, umpama kau tidak
mengenalnya, mungkin pernah mendengar namanya?"
"Suhu Le Khong-thian
yaitu Kiau Pak-bing dulu adalah gembong iblis besar yang sejajar dengan Thio
Tayhiap. Konon sejak lama dia sudah mati diluar lautan."
"Benar," timbrung
Tan Ciok-sing, "Le Khong-thian mati di tangan guruku, aku mendengar
sendiri dia menantang guruku, katanya mau menuntut balas, ini sudah jelas bahwa
kematian Kiau Pak-bing tidak pertu diragukan lagi"
"Kalau tidak bisa
mengingatnya, ya sudahlah. Diterawang dari situasi sekarang ini, ada seorang
setangguh ini berada di Thay-ouw, hari ini adalah ulang tahun Ong Goan-tin
lagi, kedatangannya sudah tentu akan memberi selamat kepadanya. Setiba kita di
Tong-ting-ouw barat, pasti akan segera diketahui siapa dia adanya."
Tiba-tiba Tam Pa-kun berkata:
"Sekarang kuingat seseorang."
"Siapa?" tanya Lui
Tin-gak.
"Tang-hay-liong-ong."
"Siapa itu
Tang-hay-liong-ong?"
"Dia, dia adalah..."
tengah bicara tampak kapal di sebelah belakang itu sudah berlaju kencang
mendekati perahu mereka, jaraknya sudah terjangkau oleh pandangan mata. Kapal
itu memang besar sekali, panjangnya ada tiga puluhan tombak, bersusun tiga.
Lebih tepat kalau dinamakan kapal loteng.
Lui Tin-gak berkata:
"Kapal loteng macam ini agaknya jarang berlayar di sungai?"
"Betul," ucap Tam
Pa-kun, "memang kapal loteng yang khusus berlayar di lautan teduh. Nah,
kalian melihat bendera di puncak tiang itu tidak?"
Lekas Tan Ciok-sing memandang
kesana, tampak sebuah bendera besar sedang melambai-lambai ditiup angin di
ketinggian tiangnya. Di tengah bendera bergambar seekor naga hitam yang membuka
mulut lebar dan pentang cakarnya.
Naga merupakan lambang
kebesaran seorang raja, kapal ini ternyata berani menggunakan naga sebagai
lambang benderanya, tak usah ditanya siapa pemiliknya, yang terang
keberaniannya cukup mengejutkan.
Tam Pa-kun menghela napas,
katanya: "Dugaanku ternyata tidak meleset, memang Tang-hay-liong-ong
adanya."
Kapal loteng itu melebarkan
layarnya sehingga berlaju pesat ditiup angin buritan, lekas sekali kapal besar
itu sudah jauh semakin mengecil dan lenyap dari pandangan mata. Diperhitungkan
dari perjalanan air, kini kapal besar itu tentu sudah berlabuh di kaki
Tong-thing-san, penumpang kapal kemungkinan juga sudah sama mendarat.
"Kapal itu berlabuh di
Tong¬ thing-san barat, naga-naganya mereka memang hendak memberi selamat ulang
tahun kepada Ong-goan-tin. Tam-heng, orang macam apa sebenarnya
Tang-hay-liong-ong ini? Tadi belum sempat kau jelaskan."
"Dia orang baik atau
orang jahat?" In San mendesak juga tidak sabaran.
"Aku juga tidak tahu
apakah dia orang baik atau orang jahat. Malah siapa she dan namanya akupun
tidak tahu."
"Aku hanya tahu dia
adalah pentolan kawanan perampok yang mengganas di lautan timur, membunuh orang
merampok barang adalah kerja rutin mereka, tanpa pandang bulu lagi. Karena dia
mengerek bendera naga sebagai pelambang, maka orang banyak sama menjulukinya
Tang-hay-liong-ong. Konon ilmu silatnya teramat tangguh, namun jarang
berkecimpung di Kangouw, di lautan orang pun tiada yang pernah melihat
tampangnya. Oleh karena itu kaum persilatan di Tionggoan hanya beberapa orang
saja tahu akan dirinya."
Lui Tin-gak mengerutkan
kening, katanya:. "Orang seperti itu, walau Ong Goan-tin mempunyai
kedudukan tinggi dan disegani orang, mungkin masih tidak dipandang sebelah mata
olehnya, lalu apa sebabnya hari ini dia sudi datang memberi selamat kepada Ong
Goan-tin, urusan rasanya agak ganjil? Tam-heng, tahukah kau apakah dia teman
baik Ong Goan-tin."
"Pernah kudengar Ong Goan-tin
membicarakan tentang dia, tapi Ong Goan-tin sendiri juga bilang, dia belum
pernah melihat Tang-hay-liong-ong, apa lagi hubungan intim segala jelas tidak
mungkin. Sudahlah tidak perlu menduga-duga, setiba di Tong-thing-san, kitapun
akan tahu sendiri."
Perahu kecil mereka jelas
kalah cepat dibanding kapal loteng tadi, namun lajunya juga tidak lambat.
Kira-kira setengah jam setelah mereka kehilangan bayangan kapal loteng di depan
sana merekapun telah tiba di Tong-thing-san.
Berempat mereka segera mendarat.
Tong-thing-san memang tidak
setinggi dan sebesar Ngo-gak yang terkenal itu, tapi mempunyai bentuk dan wajah
yang tersendiri pula. Sejak dari pinggir danau mereka terus memanjat gunung,
pemandangan permai sepanjang jalan sawah ladang bertangga telah menghijau,
pohon-pohon buah nan rimbun serta beraneka ragam jenis bunga yang indah dan
semerbak Tam Pa-kun memberitahu orang banyak: "Ong Goan-tin memang
pemimpin serba bisa, pandai perang juga mahir bercocok tanam, rangsum keperluan
pasukan airnya diperoleh dari hasil perkebunan dan sawah ladang dan subur di
samping juga perikanan yang tidak kunjung habis dikeduk setiap hari di danau.
Kecuali harta tidak halal dari pembesar dorna, pedagang biasa yang sering
mondar-mandir mencari nafkah secara semestinya mereka lindungi."
Tan Ciok-sing berpikir:
"Ong Goan-tin memang pemimpin sejati, tak heran Kim-to Cecu menaruh
penghargaan dan perhatian khusus kepadanya."
Setiba mereka di lamping
gunung, dua Thaubak telah turun menyambut mereka. Mereka kenal Tam Pa-kun,
begitu melihat kedatangannya mereka berjingkrak girang serta berseru: "Tam
Tayhiap, syukurlah kau telah datang, kami kuatir hari ini kau belum akan
datang."
"Ada urusan apa?"
tanya Tam Pa-kun.
Seorang Thaubak menjawab:
"Barusan kedatangan seorang tamu luar biasa."
"Aku sudah tahu.
Tang-hay-liong-ong bukan?" ucap Tam Pa-kun.
"Betul,
Tang-hay-liong-ong membawa banyak orang, biasanya dia tidak pernah berhubungan
dengan kami."
"Kau kira kedatangan
mereka tidak bermaksud baik?"
"Kecuali rombongan
Tang-hay-liong-ong, masih ada juga orang-orang lain yang punya hubungan biasa
dan masing-masing tidak pernah kontak kerja, ada pula orang-orang dari golongan
hitam. Dan orang-orang ini agaknya kenal baik dengan Tang-hay-liong-ong, begitu
ketemu lantas bicara dan kelakar seperti di rumah sendiri. Aku jadi curiga
bukan mustahil kedatangan mereka memang ada maksud-maksud jahat," demikian
tutur Thaubak itu.
"Baiklah, mari kita jalan
lebih cepat, untuk menemui Cecu kalian, tidak usah kalian menunjukkan
jalan," ucap Tam Pa-kun. Berempat mengembangkan Ginkang menuju ke markas
pusat Ong Goan-tin yang terletak di Biau-biau-hong di puncak utama
Tong-thing-san.
Ong Goan-tin menyambut para
tamunya di Kik-gi-ting, dimana para tamu memberi selamat ulang tahun kepadanya.
Begitu mereka memasuki pintu markas, Thaubak yang menyambut kedatangan mereka
kelihatan rona mukanya agak ganjil seperti tertekan perasaannya. Begitu tiba di
Kik-gi-ting, lantas terdengar suara ribut-ribut didalam, suaranya seperti
laksaan nyamuk berpadu menjadi suara guntur layaknya, terlalu banyak orang
bicara, saling debat dan cerca sehingga keadaan menjadi kacau dan susah
dibedakan persoalan apa yang tengah diributkan.
Tam Pa-kun tidak tanya lagi
kepada petugas penyambut tamu, langsung dia masuk ke Kik-gi-ting. Tepat dia
tiba di ambang pintu, didengarnya Ong Goan-tin sedang berteriak keras:
"Usiaku sudah tua, mulai' hari ini aku akan mencuci tangan di baskom emas.
Cong Cecu di kawasan Thay-ouw ini aku tidak berani menjabatnya lagi, apalagi
Bu-lim-beng-cu dari wilayah Kanglam segala? Terus terang tidak pernah timbul
angan-anganku ke arah itu."
Disusul seorang berkata:
"Apakah betul kita memerlukan seorang Bu-lim-beng-cu, pendapat masih
simpang siur. Ong Cecu, apakah perkataanmu ini tidak terlalu pagi diucapkan?"
Seorang lagi berteriak lebih
keras, "Ong Cecu, semangatmu umpama naga dan kuda, enam puluh tahun
mumpung masih jaya-jayanya, kenapa kau main cuci tangan di baskom emas
segala?"
Seorang lagi berseru:
"Urusan besar harus segera dibicarakan dan diputuskan, umpama Ong Cecu
ingin mencuci tangan di baskom emas juga bukan sekarang saatnya."
Mendengar ribut-ribut ini
diam-diam. Tam Pa-kun merasa kesal, pikirnya: "Entah kenapa timbul akal
pemilihan Bu-lim-beng-cu segala? Mungkin hasutan anasir-anasir pihak
Tang-hay-liong-ong, tujuan yang utama adalah supaya Tang-hay-liong-ong berhasil
menguasai seluruh Kangouw? Urusan besar harus segera dibereskan, urusan besar
apakah itu? Ada satu hal yang mengherankan adalah, biasanya Ong Goan-tin
berjiwa patriot, gagah berani pantang mundur, baru belasan hari aku berpisah
dengan dia, selama ini belum pernah dia mengutarakan maksudnya hendak
mengundurkan diri segala? Kenapa sekarang bilang mau mencuci tangan di baskom
emas, kedengarannya urusan teramat mendesak sikapnya pesimis dan putus
asa."
Maka terdengar suara
ribut-ribut pula: "Bila Ong Cecu ingin dipensiun, kita juga tidak usah
memaksanya."--"Untuk membereskan urusan luar biasa, harus dipimpin
seorang yang luar biasa pula. Agaknya tugas ini teramat berat, Ong Cecu tidak
mau memikulnya, marilah kita pilih seorang lain yang mampu memikul tugas berat
dan bertanggung jawab dalam segala persoalan?"--
"Omong kosong, Thay-ouw
kita selama ini hidup berdikari, selama puluhan tahun tentram, hidup sejahtera
dan sentosa, buat apa memilih Bu-lim-beng-cu segala? Yang kita dukung dan
junjung hanyalah Ong Cong Cecu saja." — — "Persoalan jangan bilang
demikian, sekarang kita mulai memperoleh tekanan oleh pihak penguasa, tiba
saatnya kita bersatu padu, kalau dipimpin seorang Bu-lim-beng-cu, apa
salahnya."
Pembicara terdiri dari dua
pihak yang bertentangan, banyak suara lebih mendukung diadakannya pemilihan
Bu-lim-beng-cu, tidak sedikit pula yang berpendapat tidak usah memaksa Ong
Goan-tin untuk memikul tugas berat ini. Celakanya pembicara tidak sedikit dari
para Cecu yang termasuk diantara tiga puluh enam Cecil dari Thay-ouw sendiri.
Pada saat itulah Tam Pa-kun
berempat sudah melangkah masuk ke Kik-gi-tiang, orang didalam sudah ada yang
melihat kedatangan mereka. Tidak sedikit hadirin yang kenal Tam Pa-kun, maka
banyak di antaranya berteriak: "Hadirin supaya tidak ribut, Tam Tayhiap
sudah datang," disusul seorang berteriak juga, "Nah itu dia
It-cu-king-thian Lui Tin-gak Tayhiap yang menggetarkan Thian-lam juga datang."
Tan Ciok-sing dan In San
berjalan di belakang kedua orang ini, namun hadirin jarang yang memperhatikan
mereka.
Girang Ong Goan-tin seperti
kejatuhan rejeki nomplok, katanya: "Lui Tayhiap, sungguh tidak nyana akan
kehadiranmu disini, maaf aku terlambat menyambut. Tam-toako, kenapa tidak kau
memberi kabar lebih dulu?"
Tam Pa-kun berkata:
"Beberapa hari yang lalu baru aku tahu Lui-toako berada di Kanglam.
Sengaja aku pergi ke Hay-ling menyambutnya kemari."
Lui Tin-gak berkata:
"Sengaja aku hendak menyampaikan selamat ulang tahun kepada Ong-cecu. Ong
Cong-cecu tidak usah sungkan."
Setelah basa-basi ala
kadarnya, Ong Goan-tin berkata: "Hari ini kedatangan Tang-hay-liong-ong,
disusul kehadiran It-cu-king-thian pula, sungguh orang she Ong hari ini
betul-betul amat bahagia dan bangga. Mari, mari aku perkenalkan kalian
berdua."
Seorang laki-laki yang duduk
berhadapan dengan Ong Goan-tin berperawakan tinggi tujuh kaki berjambang lebat,
usianya sekitar lima puluh, sorot matanya berkilat walau pandangannya tidak
tertuju ke arah Lui dan Tam yang baru datang, sikapnya kelihatan angkuh.
Diam-diam In San berbisik di
pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Tentu orang itulah Tang-hay-liong-ong,
jumawa benar, melihat tampangnya aku jadi sebal dibuatnya."
Sorot mata laki-laki
berjambang itu tiba-tiba beralih ke arah Tan Ciok-sing berdua, entah karena dia
mendengar suara bisikan In San. Diam-diam Tin Ciok-sing menggenggam telapak
tangan In San, maksudnya supaya dia tidak sembarang omong. Lekas mereka mundur
ke gerombolan orang banyak.
Tatkala itu suara keributan
itu tanpa merasa menjadi terhenti karena kedatangan Tam dan Lui dua tokoh
kenamaan yang disegani, perhatian hadirin ditujukan ke arah Tang-hay-liong-ong
yang bakal diperkenalkan dengan dua pendekar besar yang telah menggetar Bulim.
Terdengar Ong Goan-tin mulai
memperkenalkan: "Inilah Tang-hay-liong Sugong-thocu yang kenamaan di
lautan," sesuai dugaan In San, laki-laki jambang bauk ini memang adalah
Tang-hay-liong-ong.
"Inilah It-cu-king-thian
Lui Tin-gak Lui Tayhiap yang menggetarkan Thian-lam."
Habis diperkenalkan tampak
Tang-hay-liong-ong sedikit menggerakkan tubuhnya, katanya tawar: "Cayhe
Sugong Go, sudah lama kudengar nama besar Lui Tayhiap."
Banyak hadirin tidak tahu
siapa nama asli Tang-hay-liong-ong, baru sekarang mereka tahu namanya adalah
Sugong Go.
Di mulut Sugong Go berkata
"mengaguminya" tapi
badannya hanya sedikit bergerak ke depan belaka, sikap jumawanya ternyata
terlalu ditonjolkan, seolah-olah dia tidak pandang sebelah mata kepada
It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Banyak hadirin merasa
penasaran dan keki, namun Lui Tin-gak bersikap wajar dan tenang, sesuai
kebiasaan kaum persilatan dia merangkap kedua tangan sambil menjura,
suaranyapun tawar: "Maaf bila orang she Lui tinggal di daerah belukar di
selatan, baru hari ini aku tahu akan kebesaran nama Tang-hay-liong-ong, mohon
dimaafkan," kata-katanya cukup pedas, agaknya dia sengaja hendak
menjatuhkan sikap jumawa Tang-hay-liong-ong, namun lekas sekali dia sudah
tertawa lebar, dengan tertawa tergelak-gelak dia berkata: "Sugong Go
tinggal di lautan, sejak lama hidup di pengasingan, tidah pernah berhubungan
dengan orang gagah di Tionggoan, mungkin aku berlaku kurang hormat, harap Lui
Tayhiap suka maafkan," sembari tertawa dia membungkuk membalas hormat.
Serangkum tenaga dahsyat laksana damparan amukan ombak tiba-tiba melanda tanpa
bersuara. Lui Tin-gak seperti diterjang kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan,
dadanya terasa sesak.
Bagi tokoh silat yang memiliki
Kungfu tinggi, bila mendadak menghadapi bokongan, secara reflek akan timbul
reaksinya mempertahankan diri. Lui Tin-gak tidak banyak pikir, lekas dia
menjura pula membalas hormat orang.
Dua jalur pukulan
Bik-khong-ciang saling tumbuk di tengah udara "Pyaaar" seperti balon
pecah, tanpa kuasa ternyata Lui Tin-gak tergentak mundur selangkah.
Maklum Tang-hay-liong-ong
menyerang lebih dulu, Lui tin-gak tidak menduga dan menangkis secara
tergesa-gesa, logis kalau dia sedikit kecundang, walau mundur selangkah, dia
masih belum terhitung kalah.
Cuma kedua pihak saling jajal kepandaian
meminjam saling hormat dengan merangkap kedua tangan, Lui Tin-gak tahu bahwa
lawan mengambil keuntungan, namun tak mungkin dia membalas secara membabi buta
di hadapan sekian banyak orang, secara lahirnya, karena dia mundur selangkah,
bagaimana juga dia tetap kalah.
Tang-hay-liong-ong
terbahak-bahak serunya: "Lui Tayhiap, jangan terlalu hormat," habis
bicara dia langsung duduk pula dengan merenggang kedua kaki tanpa hiraukan
orang.
"Inilah Kim-to-thi-ciang
Tam Pa-kun Tam Tayhiap," Ong Goan-tin memperkenalkan Tam Pa-kun.
Tam Pa-kun maju selangkah,
katanya sambil «Iur tangan: "Sudah lama aku mendengar kebesaran
Tang-hay-liong-ong, beruntung hari ini dapat berkenalan."
Sudah menjadi kebiasaan kaum
persilatan untuk saling menghormat pada setiap pertemuan, kecuali saling
menjura, mereka saling berjabatan tangan. Karena Lui Tin-gak menderita rugi
dalam adu Bik-khong-ciang, maka Tam Pa-kun sengaja ajak orang berjabatan
tangan. Jelas maksudnya hendak bantu melampiaskan penasaran Lui Tin-gak.
Suasana menjadi hening,
seluruh hadirin tumplek perhatiannya, banyak yang membatin: "Tam Tayhiap
berjuluk Kim-to-thi-ciang, ilmu pukulan telapak tangannya tentu amat liehay.
Kemungkinan kali ini Tang-hay-liong-ong akan dirugikan."
Tak nyana begitu telapak
tangan kedua orang saling jabat, mau tidak mau Tam Pa-kun amat kaget dibuatnya.
Terasa oleh Tam Pa-kun telapak tangan lawan ternyata lemas dan empuk seperti
kapas, tiada suatu tempat yang mampu untuk dirinya mengerahkan tenaga
meremasnya. Tapi Tam Pa-kun menambah tenaga remasannya, namun sikap lawan tetap
wajar dan biasa. Lekas sekali Tam Pa-kun sudah kerahkan Lwekangnya sampai
puncak kematangannya. Julukannya Kim-fo-thi-ciang, biasanya cukup dia
mengerahkan setengah tenaganya, batu pilarpun akan pecah berhamburan, namun
sekarang dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, tapi lawan tetap adem ayem
tidak kurang suatu apapun.
Kekuatan telapak tangannya
terus dilontarkan namun seperti batu kecemplung laut, lenyap tidak ada
bekasnya, Tam Pa-kun yang pengalaman menghadapi musuh mau tidak mau mencelos
hatinya. "Orang bilang Kungfu Tang-hay-liong-ong susah diukur, ternyata
memang tidak bernama kosong," sebagai seorang ahli silat, dia maklum bila
saat ini dia lepas tangan, tenaga dalam Tang-hay-liong-ong akan balik menyerang
dirinya, terpaksa dia kertak gigi terus menyalurkan kekuatannya. Rona muka
Tang-hay-liong-ong hakikatnya tidak pernah berubah, namun bila hadirin mau
memperhatikan orang akan melihat jidatnya mulai berkeringat. Tapi sikap Tam
Pa-kun memang kelihatan jauh lebih tegang.
Ong Goan-tin kuatir bila dua
harimau bertarung salah satu pasti terluka, baru saja dia hendak ajak Lui
Tin-gak maju bersana memisah, tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong bergelak
tertawa, katanya: "Tam Tayhiap bergelar
Kim-to-thi-ciang, memang tidak
bernama kosong, kagum, sungguh kagum," di tengah gelak tawanya dia lepas
pegangannya langsung duduk kembali di tempatnya. Setelah kedua orang sama
melangkah berpindah tempat, maka tampak dimana tadi Tam Pa-kun berdiri,
lantainya dekuk berbentuk telapak kakinya. Sedang lantai dimana
Tang-hay-liong-ong berdiri tetap utuh tidak kurang suatu apa.
Tam Pa-kun meninggalkan bekas
telapak kakinya di batu hijau yang keras, betapa hebat Kungfunya dapatlah
dibayangkan. Tapi dalam pandangan para ahli, bahwa Tang-hay-liong-ong tidak
meninggalkan bekas apapun setelah mengadu kekuatan sedahsyat itu, ilmunya jelas
lebih mengejutkan lagi. Orang-orang pihak Ong Goan-tin mau tidak mau sama
kaget, "Tak nyana kekuatan telapak tangan Kim-to-thi-ciang ternyata tetap
dikalahkan pula oleh Tang-hay-liong-ong."
Perlu diketahui pukulan
telapak tangan yang diyakinkan Tam Pa-kun adalah ilmu Gwakeh, sebaliknya
Tang-hay-liong-ong meyakinkan pukulan yang dilandasi tenaga Lwekeh. Bila
Lwekang dan Gwakang sama diyakinkan sampai taraf yang paling top sebetulnya
sukai dibanding mana lebih unggul Cuma dipandang lahirnya, bila Lwekang
diyakinkan sampai puncaknya, orang lain akan sukar mengukur tinggi rendah
ilmunya. Lain lagi yang meyakinkan Gwakang, selintas pandang orang akan dapat mengukur
taraf kepandaiannya. Umpamanya Tam Pa-kun, setelah dia kerahkan seluruh
kekuatannya, tak heran bila dia meninggalkan bekas tapak kakinya.
Dua jagoan kosen yang paling
diandalkan sama-sama dirugikan setelah bertanding dengan Tang-hay-liong-ong.
Hadirin sama pucat dan saling pandang dengan perasaan tidak karuan. Setelah
batuk sekali Ong Goan-tin berkata: "Nah, kalian sudah sama-sama kenal,
silakan duduk, kita bicarakan persoalan semula."
Tak nyana begitu Lui dan Tam
mengambil tempat duduknya, Tang-hay-liong-ong malah berdiri. Katanya:
"Masih ada dua pendekar muda, Ong Cecu, kenapa tidak kau perkenalkan
mereka kepadaku."
Perhatian hadirin tadi
ditujukan kepada Tam dan Lui berdua, sehingga Tan Ciok-sing dan in San yang
mengintil di belakang mereka tidak diperhatikan, sampaipun Ong Goan-tin juga
mengira kedua muda-mudi ini hanyalah angkatan muda yang mana saja dan datang
mumpung ada kesempatan bersama Tam dan Lui berdua. Apakah mereka kenal baik
dengan kedua pendekar besar ini, Ong Goan-tin juga tidak tahu. Oleh karena itu
umpama benar mereka adalah tunas harapan, didalam pertemuan besar seperti ini,
belum setimpal untuk diperhatikan oleh Ong Goan-tin, apa lagi diperkenalkan
kepada para tamu.
Tam Pa-kun segera berseru:
"Tan-heng, In-hiantit, mari kemari."
Di sebelah sana Tan Ciok-sing
berkata: "Aku inikan pupuk bawang mana berani..."
Belum habis dia bicara, In San
sudah tertawa ringan, selanya: "Walau kita ini anak muda kaum keroco, tapi
mumpung ada kesempatan sebaik ini, apa salahnya kita berkenalan dengan
Tang-hay-liong-ong?" terpaksa Tan Ciok-sing yang diseret melangkah maju.
Baru saja mereka keluar dari
gerombolan orang banyak Tang-hay-liong-ong segera menyongsong maju, dengan
tertawa dia berkata kepada Tan Ciok-sing: "Tan-heng, aku belum tahu siapa
kau, tapi kau adalah orang yang paling kukagumi di antara hadirin ini."
Terhadap dua pendekar besar
yang kenamaan Tang-hay-liong-ong bersikap jumawa dan tidak memandang sebelah
mata, siapapun tiada yang menyangka terhadap seorang pemuda ternyata dia bersikap
hormat dan sopan malah, karuan hadirin melongo dan saling pandang.
Tan Ciok-sing sendiri juga
tertegun, katanya: "Sugong-thocu berkelakar saja, Wanpwe mana berani
menerima penghargaan ini."
Tang-hay-liong-ong tertawa,
katanya: "Selama hidupku aku tidak sembarang memuji apalagi menghargai
orang lain, bagaimana Kungfumu, tinggi atau rendah aku tidak tahu. Tapi aku
tahu sedikitnya kau memiliki semacam kepandaian, tiada orang dalam jagat ini
yang bisa menandingi kepandaianmu itu."
Mendengar pujian Tang-hay-liong-ong,
baru hadirin percaya dan sikap serta pandangannya terhadap Tan Ciok-sing
berobah 180 derajat, semua pasang kuping mendengarkan dengan seksama.
"Di atas danau tadi, aku
menikmati petikan harpamu yang memukau, aku yakin dalam jagat ini tiada orang
yang mampu menandingi petikan Tan-heng tadi. Entah pernah apa kau dengan
Khim-sian Tan Khim-ang yang pernah menggemparkan dunia pada tiga puluh tahun
yang lampau?"
"Beliau adalah
kakekku," sahut Tan Ciok-sing.
Mendengar jawaban ini, tidak
sedikit hadirin yang sudah menduga akan asal-usul Tan Ciok¬sing.
Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tak heranlah. Hehe,
bicara soal Kungfu semua yang hadir hari ini termasuk diriku, mungkin tidak ada
yang berani diagulkan nomor satu di dunia ini? Ilmu macam apapun bila nomor
satu di dunia ini pasti kukagumi. Yakin Tan-heng percaya bahwa aku bicara
setulus hatiku?"
"Terima kasih akan pujian
Thocu, sesungguhnya tak berani Wanpwe menerima pujian setinggi ini."
"Kenapa sungkan?"
ujar Tang-hay-liong-ong tertawa, "hayolah kemari, kita bicara
disana," sembari bicara dia menarik tangan Tan Ciok-sing.
Barusan hadirin mendapat
sajian yang menegangkan dalam pertandingan adu tenaga dalam antara
Tang-hay-liong-ong melawan Lui Tin-gak lalu Tam Pa-kun, Lui Tin-gak kecundang,
Tam Pa-kun juga dirugikan. Kini melihat dia menarik tangan Tan Ciok-sing,
hadirin sama kaget. Tan Ciok-sing juga kuatir lawan menggunakan cara serupa,
maka dia sudah siaga. Diam-diam dia kerahkan ajaran Lwekang karya Thio
Tan-hong, serangkum tenaga seperti ada tapi tiada, seperti kosong tapi juga
tidak berisi dikerahkan ke telapak tangannya.
Tang-hay-liong-ong memang
gembong iblis besar dari kalangan sesat, namun dia punya watak menyendiri suka
menjalin hubungan baik dan senang membimbing tunas-tunas muda yang berbakat.
Semula dia tidak ingin menjajal ilmu silat Tan Ciok-sing, tapi sebagai maha
guru silat tiba-tiba dirasakannya Lwekang Tan Ciok-sing ternyata aneh bin
ajaib, terasa bahwa Ciok-sing bersikap hati-hati dan waspada kuatir dirinya
membokongnya, tapi tenaga dalamnya seperti ada tapi tiada, ingin melawan tapi
juga menyambut. Padahal
pengalamannya cukup luas, tapi
dia sukar meraba Lwekang aliran mana yang diyakinkan Tan Ciok-sing, Karena
timbul rasa ingin tahunya, tanpa sadar Tang-hay-liong-ong ingin mencoba Lwekang
Ciok-sing.
Bahwa Tan Ciok-sing tidak
kerahkan Lwekangnya menyerang, maka dia mendahului kerahkan tenaga dalamnya
memancing. Situasi justru terbalik dari pada waktu dia melawan Tam Pa-kun tadi,
kini dia berada di pihak yang menyerang seperti Tam Pa-kun menyerang dirinya
tadi.
Perlahan-lahan,
Tang-hay-liong-ong menambah tenaganya, tetap dia tidak berhasil menjajaki taraf
kepandaiannya, setelah dia kerahkan tujuh puluh persen tenaganya baru terasa
sedikit perlawanan tenaga Tan Ciok-sing. Terasa olehnya meski tenaga perlawanan
Tan Ciok-sing ini tidak sekokoh dan sekuat tenaganya, namun mutunya jelas
seperti lebih unggul dari ilmu yang dipelajarinya. Apalagi sejauh ini dia belum
berhasil meraba asal-usul ilmu Tan Ciok-sing, entah dari golongan atau aliran
mana. Tang-hay-liong-ong tidak ingin melukai Tan Ciok-sing, tapi dia juga tidak
mau kalah, setelah lenyap rasa kagetnya, dia berpikir: "Asal-usul pemuda
ini pasti luar biasa, sepantasnya aku harus tahu diri," maka segera dia
melepas tangan Tan Ciok-sing, lalu bergelak tawa pula.
Serunya: "Gelombang
sungai memang saling dorong mendorong patah tumbuh hilang berganti. Pepatah itu
memang tidak keliru. Sungguh tidak kira Tan-heng mahir memetik harpa juga
pandai bermain silat, Kungfumu juga bukan kepalang hebatnya."
Mendengar pujian ini, mereka
yang tidak tahu asal-usul Tan Ciok-sing sama kaget dan heran, yang tahu siapa
sebenarnya Tan Ciok-sing juga amat kagum dan terharu pula.
Di tengah tepuk tangan
hadirin, diam-diam Tan Ciok-sing mencucurkan keringat dingin, hatinya mengucap
"syukur". Ternyata waktu Tang-hay-liong-ong kerahkan tenaganya pada
taraf tujuh puluh persen Tan Ciok-sing sudah gunakan seluruh kekuatannya. Bila
percobaan itu dilanjutkan lebih lama sedikit, jelas Tan Ciok-sing tidak tahan
dan bakal mengalami luka-luka yang parah.
Tam Pa-kun lantas berdiri, di
hadapan hadirin dia
memperkenalkan: "Tan
Ciok-sing Lote ini adalah murid penutup dari Thio Tan-hong Thio Tayhiap."
Ong Goan-tin tersentak kaget,
serunya: "Jadi kau inilah Tan-siauhiap yang pernah menggetarkan istana
raja beberapa bulan yang lalu?"
"Betul," ucap Tam
Pa-kun. "Nona In bernama tunggal San, dia..."
Ong Goan-tin tertawa
tergelak-gelak, tukasnya: "Tak usah kau perkenalkan lagi aku sudah tahu.
Nona In adalah cucu tunggal In-conggoan In Jong, putri kesayangan In Tayhiap In
Hou, betul tidak? Gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dan In-lihiap sudah
terkenal di jagat ini."
In San menjura hormat,
katanya: "Sugong-thocu, paman Tam adalah sahabat baik ayahku, memandang
muka ayahku, paman Tam dan Ong Cecu memuji belaka, mana berani aku menerimanya.
Untuk itu semoga kau tidak menjajal Kungfuku juga."
Dengan laku sopan lekas
Tang-hay-liong-ong membalas hormat, katanya: "Ayahmu dulu adalah orang
yang kupuja, sayang tiada kesempatan bertemu. Dari keturunan keluarga besar,
bagaimana kepandaian Lihiap, tidak usah dijajal juga sudah cukup
kukagumi."
Sejak Thio Tan-hong
mengasingkan diri ke Ciok-lim, In Hou adalah pendekar besar yang paling tenar
di kalangan Kangouw. Walau beliau sudah meningal beberapa tahun lalu, kaum
persilatan masih menaruh hormat kepadanya. Seperti apa yang dikatakan
Tang-hay-liong-ong, tanpa dia mendemontrasikan ilmu silatnya, hadirin sudah
bersikap lain terhadapnya
Tiba-tiba seseorang batuk-batuk
ringan sambil berdiri, katanya: "Para tamu sudah hadir lengkap, nah tiba
saatnya kita membicarakan persoalan utama tadi."
Usia orang ini kira-kira empat
. puluhan, mengenakan topi persegi, memelihara tiga jenggot kambing, berpakaian
seperti sastrawan. Tapi sepasang matanya besar kecil siapa melihat tampangnya
akan merasa sebal.
Tam Pa-kun kenal siapa orang
ini, dalam hati dia berpikir: "Tiada angin orang ini suka menimbulkan
gelombang, dia ditampilkan untuk bicara di pihak Tang-hay-liong-ong, pasti
mengandung maksud yang tidak baik."
Orang ini she rangkap Cim ih
bernama tunggal Thong. Selama hidup tidak punya tempat tinggal tetap, hidupnya
terlunta-lunta dan melanglang buana, hubungannya teramat luas, entah golongan
hitam atau aliran putih, kaum lurus atau gerombolan sesat, asal dia seorang
Bulim yang kenamaan, dia suka menjilat dan bermuka-muka. Pandai omong bersilat
lidah, juga mengadu biru senang memfitnah lagi. Tapi lantaran hubungannya luas,
pengetahuanpun mendalam, apa saja dapat dikerjakan, maka tidak sedikit yang mau
berhubungan dengan dia.
Setelah dia membuka kata,
melihat Ong Goan-tin tidak menunjukkan sikap tertentu, segera dia lanjutkan
perkataannya: "Lui Tayhiap, Tam Tayhiap, mungkin kalian belum tahu urusan
apa yang hendak dirundingkan bukan?"
"Tahu sedikit, ingin aku
mendengar penjelasan," kata Tam Pa-kun.
Cun-ih Thong berkata:
"Baiklah akan kuulang dari permulaan, bagaimana?" matanya yang besar
kecil mengerling ke arah Ong Goan-tin.
Ong Goan-tin berkata tawar:
"Cun-ih-heng, bermulut tajam dan pandai bersilat lidah, boleh kau saja
yang menjelaskan."
Cun-ih Tong menelan ludah lalu
batuk-batuk menarik suara, katanya: Persoalan yang dibicarakan hari ini bakal
mendatangkan keuntungan besar bagi kaum persilatan di Kanglam ini. Pertama Tang-hay-liong-ong
ada maksud mengikat ikrar bersama Ong Goan-tin Loenghiong Cong-cecu dari tiga
puluh enam markas perairan di Thay-ouw melawan tindakan sewenang wenang dari
penguasa, sejauh melangkah diharapkan pula sambutan baik seluruh warga
persilatan di Kanglam ini untuk mendukung perserikatan ini."
"Nanti dulu," seru
Tam Pa-kun. "Kau bilang Sugong-thocu akan berdampingan dengan Ong-cecu
melawan tindakan sewenang-wenang, entah tindakan sewenang-wenang apa?"
"Memangnya perlu
dijelaskan lagi?" ujar Cun-ih Thong, "sudah tentu melawan tindakan
sewenang-wenang pasukan negeri yang memeras rakyat jelata. Aku tahu pihak
kerajaan telah mengirim armadanya ke Thay-ouw, dalam waktu dekat pasti akan
melancarkan serangan besar-besaran. Demikian pula Tang-hay-liong-ong memperoleh
tekanan pula di lautan teduh, di samping harus hati-hati menghadapi sergapan
kaum cebol (bangsa Jepang), susah untuk bercokol di lautan timur sana.
Mengingat kepentingan bersama, menurut hematku, apa salahnya kalau dua kekuatan
digabung menjadi satu, lalu pusatkan seluruh perhatian dan kekuatan untuk
melawan pasukan negeri, yakin akan membawa manfaat besar bagi kedua
pihak..."
Belum habis Cun-ih Thong
mengoceh mendadak seseorang berseru lantang: "Han-cecu dari Cau-ouw
tiba"
Ong Goan-tin kenal baik orang
yang datang terlambat ini, yaitu orang kedua dari Cau-ouw-siang-kiat Han
King-hong, tampak wajahnya berlepotan darah, pakaiannya compang-camping,
matanya mendelik gusar melangkah masuk setengah berlari.
Sudah tentu Ong Goan-tin
kaget, teriaknya: "Han-lote, kenapa kau?"
Han King-hong berkata:
"Dua kapal kita bentrok dengan armada kerajaan, Engkohku dan para saudara
sama luka-luka dan mati, Engkohku tertawan, hanya aku seorang beruntung
meloloskan diri, syukur masih sempat menghaturkan selamat ulang tahun
kepadamu."
Han King-kang engkoh Han
King-hong memiliki Kungfu yang tinggi, sifatnya terbuka, gagah perkasa dan
terbuka tangan, supel lagi, namanya hanya di bawah Ong Goan-tin di antara semua
Pang dan Hwe atau markas perairan dibilangan Thay-ouw ini, mendengar dia
ditawan pasukan kerajaan, hadirin menjadi ribut dan marah.
Berlinang air mata Ong
Goan-cin, katanya: "Gara-gara ulang tahunku sehingga banyak kawan gugur di
medan laga, apakah aku tidak malu menerima ucapan selamat kalian? Biarlah perjamuan
ulang tahun ini dibatalkan saja."
"Ong-cecu, jangan kau
bilang demikian," seru Han King-hong lantang. "Pepatah bilang adalah
logis seorang panglima gugur di medan laga. Orang-orang yang punya kerja
seperti kita, siapa tidak siap menerima akibat apapun yang paling buruk. Umpama
kami tidak datang memberi selamat ulang tahunmu, pasukan kerajaan memang
bermaksud menindas kami. Sekarang yang terpenting kita harus segera bersiap,
cara bagaimana untuk menghadapi serbuan pasukan kerajaan. Kecuali itu, apa pula
yang harus disesalkan. Ong-cecu, tidak usah kau menyalahkan pihak sendiri. Hari
ini adalah hari ulang tahunmu, kita harus tetap merayakan secara meriah. Besok
juga kita gempur pasukan kerajaan."
"Bagus," seru Cun-ih
Thong sambil angkat jempolnya tinggi-tinggi, "beralasan sekali apa yang
diucapkan Han-cecu, sekarang sudah terbukti bagaimana tindakan pasukan kerajaan
terhadap kita? Mungkinkah kita tidak bersaiu padu? Han-cecu kau tidak perlu
sedih, Tang-hay-liong-ong sudah punya rencana yang sempurna untuk menuntut
balas sakit hatimu yakin engkohmu juga pasti dapat dibebaskan."
Han King-hong terkejut,
katanya: "O, jadi tuan inilah Tang-hay-liong-ong Sugong-thocu? Selamat
bertemu, selamat bertemu. Entah rencana apa?" mulutnya bicara hormat,
namun kelihatan sikapnya hambar. Seolah-olah mimpi juga dia tidak duga bahwa
Tang-hay-liong-ong muncul disini, maka dia tidak begitu percaya.
"Sugong-thocu," ujar
Cun-ih Thong, "soal rencana itu, lebih baik kau sendiri yang menjelaskan,”
sikapnya tampak dibuat-buat.
"Baiklah," ujar
Tang-hay-liong-ong berdiri, "pepatah bilang, tentara datang kita lawan,
air bah melanda kita bendung. Pasukan kerajaan, berani menindas kita, memangnya
kita tidak berani balas menggempurnya?"
"Maksud Sugong-thocu,
kita akan melawan secara terbuka?1' tanya Han King-hong.
"Betul. Sekarang adalah
saat yang paling baik. Mumpung Ong-locecu mengadakan perjamuan ulang tahun ini,
orang-orang gagah dari seluruh pelosok hadir disini, bila kita bisa berikrar
minum darah sebagai janji setia dan perserikatan, bersatu padu melawan
kekerasan, jangan kata armada kerajaan, meski seluruh pasukan negeri dikerahkan
juga kita mampu menandinginya. Bukan mustahil kita masih bisa melakukan kerja
besar demi kepentingan kita bersama."
"Entah kerja besar apa
yang bakal direncanakan Sugong-thocu?" tanya Tam Pa-kun, "tentunya
rencana sudah kau rangkai dengan baik, coba terangkan di hadapan umum?"
"Memang akan kurundingkan
hal ini di hadapan hadirin," ujar Tang-hay-liong-ong, "bila hadirin
mau sumpah setia minum darah, sekalian kita akan bekerja tidak
tanggung-tanggung, umpama seluruh orang-orang gagah yang hadir setuju,
sebelumnya kita harus memilih seorang Bu-lim-beng-cu untuk mengepalai gerakan
kita"
"Soal besar dan luas
sangkut pautnya, maaf bila aku tidak bisa segera memberi jawaban," kata
Ong Goan-tin.
"Waktu amat
mendesak," Cun-ih Thong mengoceh pula, "harap Ong-locecu bisa
mengambil posisi dan lekas memberi putusan."
Ong Goan-tin berkata:
"Usiaku genap enam puluh, usia tua tenaga kurang, untuk memikul tugas
berat, mungkin aku tidak becus lagi."
"Ong-locecu, kau terlalu
rendah hati. Orang kuno pada usia tujuh puluh masih giat dalam kepemimpinan,
Ong Cecu baru enam puluh? Untuk cuci tangan menggantung golok segala, bukankah
terlalu pagi?"
"Ah, mana berani aku
dibanding orang-orang kuno," tukas Ong Goan-tin kurang senang.
"Jangan sungkan Ong
Cecu," ucap Cun-ih Thong, "tapi, bila Ong Cecu tidak mau mencalonkan
diri, apa salahnya kita mencalonkan orang lain sebagai Bu-lim-bcng-cu,"
habis bicara pandangannya ditujukan kearah Tang-hay-liong-ong.
"Nanti dulu,"
kembali Tam Pa-kun tampil bicara.
"Tam Tayhiap ada usul
apa?" tanya Cun-ih Thong.
"Pemilihan Bu-lim-beng-cu
ditunda saja. Coba tanyakan dulu kepada hadirin, apakah mereka setuju
memberontak. Sugong-thocu, rencanamu itu lebih tepat bila kukatakan sebagai
pemberontak kepada kerajaan yang berkuasa. Betul tidak?"
Tang-hay-liong-ong
terkial-kial, katanya: "Betul memangnya kami perompak, memangnya perompak
takut memberontak?"
Cun-ih Thong segera menimpali:
"Betul, tujuh delapan puluh persen yang hadir disini semua adalah kaum
begal yang mendirikan pangkalan, peduli apa sebab kalian bergerak dalam bidang
ini, pendek kata siapapun harus mengaku sebagai kaum perampok. Sugong-thocu
memang pandai bicara. Kalau perampok takut memberontak, bukankah menggelikan
malah? Tapi Tam Tayhiap, kau jelas bukan perampok, bila kau menjaga gengsi dan
demi mempertahankan martabat, tidak sudi bergabung dalam perserikatan kita,
boleh terserah apa kehendakmu."
Maklum calon Bu-lim-beng-cu
yang bisa sejajar menandangi Tang-hay-liong-ong yang hadir sekarang hanya
beberapa orang saja, Tam Pa-kun adalah salah satu di antaranya. Tujuan
perkataan Cun-ih Thong justru untuk melicinkan jalan Tang-hay-liong-ong, dengan
menyerang Tam Pa-kun sehingga membuatnya marah dan ada alasan untuk
menyingkirkan dia dari sini.
"Cun-ih Siansing,"
jengek Tam Pa-kun. "terlampau jauh kau mengoceh. Urusan besar yang
sekarang dibicarakan adalah apakah pantas kita memberontak, apa tujuannya dan
bagaimana gerakannya. Soal kehadiranku disini, kemana aku berkiblat, kukira
tidak penting dan tidak perlu hadirin membicarakannya."
Cun-ih Thong tidak berani
membantah dengan Tam Pa-kun, dengan sikap munafik segera dia berkata
menyeringai: "Baiklah. Mari kita dengarkan pendapat Tam Tayhiap yang
berharga," sehabis berkata dia maju kesana, duduk di samping
Tang-hay-liong-ong.
Lantang suara Tam Pa-kun:
"Rampok pun punya haluan dan tujuan, seperti Ong Cecu umpamanya, dia tidak
pernah mengambil harta yang tidak halal, malah melindungi rakyat, jauh lebih
baik dan sempurna dari pada pihak kerajaan membina rakyatnya. Sepak terjangnya
berbeda dengan kawanan rampok umumnya. Hadirin tidak sedikit yang mendirikan
pangkalan mengangkat diri sebagai kepala rampok, aku yakin kebanyakan kalian
pun termasuk golongan perampok seperti Ong Cecu. Demikian pula Kim-to Cecu yang
mendirikan pangkalannya diluar perbatasan. Meski dia melawan pasukan negeri,
tapi berapa kali dia menggagalkan pasukan bangsa asing menyerbu ke negeri kita,
sehingga kerajaan yang berkuasa sekarang tetap kokoh berdiri, gerakan mereka
hanya boleh dinamakan laskar gerilya, jadi bukan kawanan rampok lagi, betul
tidak?"
"Betul," hadirin
banyak yang sepaham, "rampok harus punya tujuan dan haluan, tepat
sekali."
Tam Pa-kun meneruskan
pidatonya: "Memberontak pun ada beberapa macam, dengan kekuatan senjata
merebut pasaran dagang, menjatuhkan raja membebaskan rakyat dari tekanan pajak.
Karena dipaksa keadaan sehingga angkat senjata demi menunaikan darma baktinya
kepada Thian yang berkuasa. Mendirikan pangkalan angkat diri sendiri sebagai
raja. Memperebutkan tanah perdikan, ingin merebut tahta kerajaan, jadi ada
empat macam pemberontakan. Sugong-thocu tolong tanya termasuk macam mana yang
kau rencanakan?"
Tang-hay-liong-ong mendengus
jumawa, katanya: "Orang kuno bilang, menjadi raja harus giliran, besok
tiba giliranku. Kerajaan lalim pemerintahan rapuh, seluruh rakyat wajib
menentangnya, siapapun boleh saja menjadi raja, kenapa tidak boleh?"
"Bagus," sorak
Cun-ih Thong, "omongan Sugong-thocu memang betul, bukan orang she Cu saja
yang ditakdirkan untuk jadi raja seterusnya. Bukankah Bing-thay-co Cu
Goan-ciang dahulu juga memberontak baru dia angkat diri menjadi raja?"
Lui Tin-gak tidak punya
hubungan luas dengan kaum persilatan di Kanglam, sejak tadi sungkan dia buka
suara, tapi sekarang tidak tahan lagi, pelan-pelan dia berdiri dan berkata:
"Tapi Cu Goan-ciang memberontak terhadap kaum penjajah serta merebut
kembali tanah air kita sendiri."
Cun-in Thong mengelus jenggot
kambingnya sambil mengerling ejek, katanya: "Tapi raja Bing dynasti yang
sekarang bukan lagi Cu Goan-ciang, Cu Goan-ciang berjasa besar, memangnya anak
cucu Cu Goan-ciang juga harus menjadi raja seterusnya?"
Lui Tin-gak tahu ambisi
Tang-hay-liong-ong teramat besar, lapat-lapat terasa olehnya, antara
Tang-hay-liong-ong dengan Cun-ih Thong sudah ada kata sepakat didalam permainan
kotor, dengan main silat lidahnya yang manis, untuk menghasut hadirin
memberontak, yakin di belakang semua ini pasti ada suatu rencana jahat yang
keji. Tapi dia seorang lugu, tidak pandai bicara, sesaat dia jadi kelakep oleh
debat Cun-ih Thong, sesaat dia jadi mati kutu dan susah membantah perkataan
Cun-ih Thong.
Maka hadirin mulai ribut pula,
satu sama lain saling debat dan memberi usul. Seorang dengan muka berlepotan
darah dan keringat berteriak: "Pasukan negeri sudah menekan kita sampai
menemui jalan buntu, sanak famili kita ditawan, dijadikan sandera, dibunuh
lagi, sabar, sampai kapan kita harus bersabar dan terima nasib sejelek ini,
tapi kalian masih juga berunding soal memberontak dengan aneka ragamnya? Aku
ini orang kasar, tidak tahu aturan, aku hanya tahu angkat senjata dan menuntut
balas bagi kematian Toh Toako dari Tiau-ma-kian kita.
Siapapun yang sudi memimpin,
bila disuruh kami menyerbu ke kota raja, meski tubuhnya tercacah hancurpun aku
akan berjuang di paling depan," pembicara ini adalah seorang Cecu dari
Tiau-ma-kian bernama Hou Pong, Toa Cecu atau saudara tuanya bernama Toh Bo
kemarin tertawan oleh pasukan negeri di perairan Thay-ouw.
Kontan Cun-ih Thong acungkan
jempol, serunya: "Betul, itulah seorang gagah perkasa."
"Ong Cecu," kata
Tang-hay-liong-ong, "Toh Bo adalah tamu undanganmu, sekarang Hou-hcng
menuntut pembalasan sakit hati Toh-toako, sepantasnya kau angkat bicara demi
kepentingan orang banyak?"
Ong Goan-tin tampak amat
sedih, katanya: "Membalas dendam aku tidak akan menentang, tapi..."
"Tapi apa?" desak
Cun-ih Thong.
"Aku tidak akan menentang
siapapun menuntut balas, tapi cara bagaimana akan menuntut balas, kurasa harus
dirundingkan bersama."
Tang-hay-liong-ong memicing
mata dengan lirikan tajam: "Cekak aos saja, kau setuju tidak
memberontak?"
Ong Goan-tin sudah merasa
kurang benar akan perdebatan ini. namun dia sendiri masih belum jelas tentang
duduk persoalannya, pada hal Tang-hay-liong-ong dan Cun-ih Thong yang jelas
sekongkol ini justru memojokkan dirinya, terpaksa akhirnya dia menghela napas,
katanya: "Aku sih terserah kepada keputusan umum, bila hadirin banyak yang
setuju aku sih tidak banyak komentar."
Menuding Han King-hong, Cun-ih
Thong berkata: "Bagus, lalu kau? Coba katakan, bagaimana baiknya?"
Engkoh Han King-hong menjadi
tawanan pasukan negeri, Cun-ih Thong kira dia akan setuju secara spontan. Tapi
Han King-hong justru kebingungan, sesaat baru dia buka suara: "Aku tidak
tahu. Aku hanya tunduk atas kepemimpinan Ong Cecu saja," maksudnya diapun
terserah kepada keputusan umum.
Salah satu dari tiga puluh
enam Cecu di Thay-ouw Ha It-seng berkata: "Walau kita ini tidak pingin
jadi raja, tapi bila kita mau bergabung menjadi satu, biar pihak kerajaan tahu
bahwa kita tidak boleh dipandang remeh. Marilah kita contoh perjuangan Kim-to
Cecu, dia berkuasa di daerah utara, Ong Cecu kenapa kau tidak berkuasa di
selatan?"
Ong Goan-tin tertawa pahit,
katanya: "Aku mana berani dibanding Kim-to Cecu?"
Ha It-seng berkata:
"Kalau dia bisa kenapa kita tidak? Maka menurut pendapatku, apa salahnya
diantara kita ada seorang Bu-lim-beng-cu," sengaja dia menggunakan
"kita" jelas maksudnya bukan melulu orang-orang pihak Ong-cecu saja,
secara tidak langsung dia mau bilang bila Tang-hay-liong-ong mau menjadi
Bu-lim-beng-cu, diapun tidak menentang.
Hadirin ribut lagi, disana
sini menggerombol kasak kusuk dan bisik-bisik, suasana menjadi kacau. Mendadak
Tan Ciok-sing berdiri, katanya lantang: "Hadirin diharap tenang sejenak,
aku ingin bicara," dia bicara sambil mengerahkan Lwekang ajaran Thio
Tan-hong, suaranya tidak keras namun suara keributan dalam pendopo itu kelelap
oleh kata-katanya, suaranya seperti gembreng ditabuh, yang berkepandaian rendah
merasa pendengarannya pekak.
Kaget juga hadirin akan
pameran tenaga dalam yang hebat ini, suara ribut seketika sirap. Hanya Cun-ih
Tong saja yang terkecuali. Dia pikir hendak turun tangan lebih dulu maka segera
merebut bicara: "Belum lama ini Tan-siauhiap pernah membuat geger kota
raja bersama orang-orang gagah, bersama nona In masuk ke istana terlarang
menemui raja lagi, perbuatannya itu sudah layak diangggap memberontak, tentunya
kau setuju akan rencana pemberontakan Sugong-thocu betul tidak?" agaknya
sengaja dia mengumpak Tan Ciok-sing supaya dia rikuh dan tidak membantah serta
menentang rencana mereka.
Tak nyana Tan Ciok-sing tidak
mempan diagulkan, apalagi dihasut, katanya tawar: "Aku belum bicara dari
mana kau tahu bahwa aku setuju memberontak?"
Untung Cun-ih Thong tebal
kulit mukanya, meski meringis malu seperti kera makan sambal tapi dia masih
berani menebalkan muka membantah: "Aku pengagum Tan-siauhiap yang sudah
membuat lembaran sejarah keperwiraan, maka ingin aku mengikuti nadamu didalam
perjuangan yang sama. Kalau Tan-siauhiap anggap aku cerewet, baiklah, silakan
Tan-siauhiap angkat bicara saja."
Melirikpun Tan Ciok-sing tidak
sudi, katanya kalem: "Tidak benar, suaraku tidak senada dengan ocehanmu.
Pendek kata, aku tidak setuju dengan pemberontakan yang kalian
rencanakan."
Sudah tentu Tang-hay-liong-ong
dan Cun-ih Thong merasa kecewa akan pernyataan ini, tapi mereka sih tidak
merasa diluar dugaan. Adalah orang-orang Ong Goan-tin malah merasa bingung dan
tidak habis mengerti.
Tan Ciok-sing berkata lebih
lanjut: "Selama puluhan tahun, Kim-to Cecu bercokol diluar perbatasan,
entah berapa kali dia bekerja demi keselamatan negara memukul mundur serbuan
kaum penjajah, ini suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri oleh siapapun.
Hadirin berusia lebih tua dari aku, apa yang kalian tahu tentu juga lebih
banyak dai i pengalaman dan pengetahuanku yang masih cetek ini."
"Memang berapa kali
diapun pernah menggempur pasukan negeri, tapi mereka terpaksa membela diri
karena terdesak oleh keadaan, hal ini tidak boleh disejajarkan dengan
perlawanannya terhadap serbuan
bangsa Watsu."
"Kalian bilang mau
menelad perbuatan Kim-to Cecu, maka yang harus kalian telad adalah semboyan
perjuangannya "Demi nusa dan bangsa, sebagai kaum pendekar wajib kita
memiliki jiwa ksatria."
Ha It-seng tampak agak malu,
namun dia masih berusaha mendebat: "Tan-siauhiap, teorimu memang betul.
Tapi Watsu kan tidak memukul kita di Kanglam ini, mana bisa kita melawan Watsu
disini? Saat ini pasukan negeri yang menekan dan menindas kami, kenapa tidak
kami pukul dulu pasukan negeri."
"Betul," teriak Hou
Pong, "menurut pandapatku, Watsu patut dilawan, tapi raja lalim itupun
harus dijatuhkan."
Tan Ciok-sing bertanya:
"Dua tinju memukul sekaligus lebih kuat atau pukulan satu tinju lebih
kuat."
"Sudah tentu pukulan dua
tinju sekaligus lebih kuat," sahut Hou Pong.
"Tapi bila satu tinju
sekaligus harus menghadapi dua musuh lalu bagaimana?"
"Tan-siauhiap, memangnya
kau kira aku ini anak kecil? Siapapun tahu, kalau berkelahi dengan cara
demikian, dia pasti kalah total."
"Maka itu. Kalau Hou Cecu
maklum akan hal ini, seharusnya kaupun mengerti kenapa kami tidak menyerukan
kalian untuk menjatuhkan raja lalim sekarang ini."
"Setiap urusan ada
perbedaan, yang penting dan yang perlu ditunda, kini pihak Watsu sedang
kerahkan pasukan besarnya, mereka sudah siap menyerbu ke negara kita, maka kita
perlu siap-siap melawan serbuan mereka. Bila kita bisa merangkul pihak kerajaan
berjuang bersama membendung serbuan dari luar, itulah cara yang paling baik,
betul tidak?"
Ternyata Hou Pong masih belum
kapok, bantahnya: "Tapi pasukan negeri menindas kita, memangnya kita
berpeluk tangan membiarkan mereka bertingkah?"
"Sudah tentu harus
dihadapi. Tapi yang terpenting sekarang harus bersatu padu melawan penjajah.
Persoalan kalian itu masih bisa dibereskan secara damai melalui cara
tersendiri. Asal kita angkat senjata bersama, seluruh kekuatan laskar rakyat
mampu membendung serbuan musuh dan menjadikan tonggak negara, yakin pasukan
negeri tidak akan berani meremehkan kekuatan kita."
Reda juga emosi Hou Pong,
katanya: "Tapi masih ada satu hal aku tidak mengerti, tolong Tan-siauhiap
memberi'petunjuk."
"Mana berani aku memberi
petunjuk dengan bekal pengetahuanku yang cetek ini. Untunglah aku sendiri pernah
memperoleh petunjuk langsung dari utusan Kim-to Cecu, persoalan apa yang
Hou-heng belum jelas, coba katakan, mungkin persoalanmu itu sudah pernah
dipikirkan oleh Kim-to Cecu, boleh nanti umumkan pernyataannya."
"Terus terang, aku sudah
tidak percaya pada raja lalim. Kau kira apakah dia mau berjuang berdampingan
bersama kita melawan musuh?"
"Pertanyaanmu memang
bagus, bicara terus terang, aku sendiri juga tidak percaya, bila raja yang
sekarang berkuasa punya niat baik untuk berjuang bersama kita."
Hou Pong kebingungan, katanya:
"Kalau Tan-siauhiap sendiri tidak percaya pada raja lalim, kenapa pula kau
anjurkan kita bergandeng tangan sama dia melawan penjajah?"
"Bagi seorang raja apa
yang paling penting bagi kedudukannya? Yaitu mempertahankan tahta"
kerajaannya, dijunjung oleh
seluruh rakyat. Bila dia tunduk dan minta damai kepada Watsu, tidak lain juga
demi mempertahankan kedudukan dan tahtanya belaka, betul tidak?"
Hou Pong manggut-manggut,
"betul," sahutnya.
"Kenapa tidak kita
beritahu kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan kita melawan penjajah,
kita akan gerakkan perlawanan di berbagai tempat, mengundang orang-orang gagah
di seluruh jagat ini untuk menentang dia dan memukul mundur penjajah. Kalau hal
ini sampai terjadi, siapa yang bakal dijunjung dan didukung oleh rakyat?"
"Sekarang aku mulai
mengerti," kata Hou Pong. "Benar, karena itu raja kehilangan
kepercayaan dari rakyat, itu berarti tahta kerajaannyapun mulai goyah."
"Bila dia mau bergabung
dengan kita melawan penjajah, kita akan tetap mendukungnya jadi raja, yakin dia
cukup pintar memilih arah angin, demi kepentingan pribadi pula, coba katakan,
beranikah dia menentang kehendak kita?"
Kini lenyap keraguan Hou Pong,
katanya: "Tan-siauhiap penjelasanmu memang menyeluruh, sekarang aku sudah
paham betul."
"Bukan pengetahuanku
mendalam, aku hanya menyambung lidah Kim-to Cecu saja."
Hou Pong bertanya:
"Tujuanmu masuk ke istana terlarang menemui raja adalah untuk menyampaikan
rencana kita dan memaksanya setuju bukan?"
"Betul. Aku sudah bertemu
dengan baginda, memang sesuai dugaan Kim-to Cecu, terpaksa dia setuju rencana
kita," dengan secara ringkas Tan Ciok-sing lalu ceritakan kejadian kala
dia menyelundup ke istana menemui Baginda, sudah tentu hal-hal yang perlu
dirahasiakan tidak dia beberkan di depan umum. Waktu mendengar Tan Ciok-sing
meninggalkan peringatan berdarah yang berbunyi:
"Ingkar janji membuang
kebenaran, Thian tidak akan mengampunimu "
Hadirin sama tepuk tangan dan
berseru memuji.
Pelan-pelan Ong Goan-tin
berdiri, katanya sambil menjelaskan kepada Tan Ciok-sing: "Tam siauhiap,
terima kasih atas uraianmu yang penuh arti itu sehingga terbuka pikiranku.
Tersipu-sipu Tan Ciok-sing
balas menghormat, katanya: "Locecu terlalu memuji, aku hanya menyampaikan
keinginan Kim-to Cecu saja."
Ha It-teng angkat bicara lagi:
"Soal memberontak baiklah ditunda dulu. Tapi Sugong-thocu adalah orang
gagah jaman ini, dia mau bergabung dengan kita, sepantasnya kita terima uluran
tangannya," beberapa Cecu segera mendukung suaranya, tapi tidak sedikit
pula suara yang menentang, walau secara gamblang mereka tidak mengusir
Tang-hay-liong-ong tapi jelas banyak yang tidak setuju bergabung sama dia.
Perdebatan kembali terulang, yang terang hadirin terpecah menjadi dua,
keributan semakin memuncak.
Tiba-tiba Cun-ih Thong berkata
dingin: "Bukan aku mencurigai Tan-siauhiap, kalau Tan-siauhiap selalu
bilang hanya menyampaikan suara Kim-to Cecu hanya Tan-siauhiap saja yang
meneruskan pesan utusan Kim-to Cecu, kita kan tiada yang tahu akan kebenarannya.
Apakah Tan-siauhiap punya bukti supaya kita percaya babwa pernyataanmu tadi
betul adalah suara Kim-to Cecu?"
Pertanyaan yang tidak terduga
ini, memang membuat Tan Ciok-sing serba salah. Untunglah di kala Tan Ciok-sing
kebingungan, mendadak Kek Lam-wi berdiri, katanya: "Aku punya bukti,"
lalu dia keluarkan serulingnya, sekali tekan ujung seruling lalu ditiupnya,
sebutir bola malam menggelinding keluar, bila bola malam itu dipecah di
dalamnya terdapat lempitan kertas tipis yang banyak tulisan kecil-kecil, langsung
dia serahkan lempitan kertas itu kepada Ong Goan-tin.
"Inilah surat dari
Lim-toako yang titip kepadaku supaya disampaikan kepada Ong Cecu, kehadiranku
disini mewakili Pat-sian, dalam suratnya juga diterangkan perihal Tan Ciok-sing
mewakili Kim-to Cecu, silahkan Ong Cecu baca, persoalannya akan jadi
terang," demikian ujar Kek Lam-wi.
Seperti diketahui Kek Lam-wi
terlambat dua hari setelah Tan Ciok-sing dan In San berangkat. Lim Ih-su
sebagai tertua dari Pat-sian orangnya tabah, pikiran matang dan bekerja amat
teliti, setiap urusan selalu dia rencanakan dengan baik, mengingat urusan cukup
penting, maka dia sendiri menulis sepucuk surat sebagai tanda bukti. Maka dia
tulis surat rahasia ini, menerangkan bahwa Pat-sian menyetujui usul Kim-to
Cecu, sekaligus membuktikan bahwa Tan Ciok-sing hadir sebagai wakil Kim-to
Cecu."
Gaya tulisan Lim Ih-su banyak
dikenal hadirin, setelah membaca surat itu, tiada yang curiga pula akan
kehadiran Tan Ciok-sing.
Ong Goan-tin berkata:
"Tan-siauhiap telah menyampaikan pesan Kim-to Cecu, bahwa hadirin tiada
yang curiga dan membantah, apakah kalian masih ada yang merasa kurang setuju
akan maksud Kim-to Cecu?"
Han King-hong menyeletuk lebih
dulu: "Kim-to Cecu adalah orang yang amat kukagumi, dia bilang bagaimana,
akupun begitu."
Hou Pong ikut menimbrung:
"Semula aku tidak setuju, tapi setelah mendengar penjelasan Tan-siauhiap
yang tidak bosan-bosan tadi, menilai untung ruginya, aku jadi tahu diri bahwa
aku hanyalah gentong nasi saja. Apalagi sekarang bukan saatnya kita memberontak,
kalau itu sudah menjadi kehendak Kim-to Cecu apapula yang harus
kukatakan," hadirin menjadi tertawa riuh mendengar banyolannya.
Maka hadirin serempak
menyatakan sikapnya menjunjung Ong Goan-tin, walau rombongan yang datang
bersama Tang-hay-liong-ong tiada yang mau terima kalah, tapi mereka tak berani
menentang kehendak umum, terpaksa sementara tinggal diam.
Ong Goan-tin berseru lantang:
"Bahwa hadirin tiada yang menentang pula, maka perundingan hari ini anggap
selesai sampai disini. Terima kasih akan kehadiran para sahabat dalam pesta
ulang tahunku ini, kini sebagai tuan rumah, kusuguh hadirin secangkir arak,
mari kita habiskan satu cangkir ini."
"Tunggu sebentar,"
tiba-tiba Cun-ih Thong berseru sambil berdiri.
"Entah Cun-ih Siansing
ada petunjuk apa?"
"Kedatangan kita memang
khusus hendak memberi selamat ulang tahun kepada Locecu, perjamuan ini jelas
tidak boleh terganggu. Tapi mumpung ada pertemuan sebesar ini, maka persoalan
yang belum diselesaikan tadi kurasa perlu dibicarakan sekalian."
Berkerut alis Ong Goan-tin,
katanya: "Masih ada urusan besar apa yang belum diselesaikan?"
Kalem suara Cun-ih Thong:
"Kim-to Cecu ingin supaya sekarang kita tidak usah bentrok dengan pasukan
negeri, hal ini sebetulnya kurang kusetujui tapi setelah hadirin banyak yang
mendukungnya, akupun tunduk saja akan putusan umum."
Hou Pong orangnya kasar dan
suka blak-blakan, segera dia menukas dengan sentakan: "Mau bicara lekas
berkata, kalau mau kentut lekas lepaskan."
Untung muka Cun-ih Thong
tebal, dia anggap tidak mendengar, katanya lebih lanjut: “Tam Tayhiap, Lui
Tayhiap pernah bilang kita harus bersatu padu menjadi satu kekuatan besar,
betul tidak?"
"Benar," timbrung
Tan Ciok-sing. "Tapi bersatu demi kepentingan umum, kalau tidak mana bisa
membendung serbuan musuh."
"Membendung serbuan musuh
sudah menjadikan ikrar kita bersama, hal itu tak perlu diperbincangkan lagi,
pendek kata, apapun kita harus bersatu, betul tidak?" ini soal prinsip,
meski Ciok-sing merasa mual menghadapi manusia tengik ini, terpaksa dia
mengangguk.
"Dua orang satu hati,
tekadnya dapat memutus emas. Bila ribuan orang bersatu padu, kekuatannya dapat
membendung laut. Maka aku mengajukan usul, kita harus memilih seorang
Bu-lim-beng-cu sebagai pemimpin kita," sambutan anak buah Tang-hay-liong-ong
amat meriah, tidak sedikit pula anak buah Ong Goan-tin memberi aplus.
Salah satu Cecu dari tiga
puluh enam Cecu di Thay-ouw bernama Su Kian berdiri, katanya: "Usul Cun-ih
Siansing memang masuk akal, kapan ada kesempatan para orang-orang gagah
sebanyak ini kumpul disini, memang tepat saatnya kita memilih seorang
Bu-lim-beng-cu."
Ha It-seng menimbrung:
"Benar, di bawah pimpinan Bu-lim-beng-cu, selanjutnya langkah kita
seirama, peduli melawan penjajah atau menentang tindasan pasukan negeri, urusan
akan lebih mudah dibereskan,"—kebanyakan hadirin sama setuju adanya
seorang Bu-lim-beng-cu, meski ada beberapa orang merasa kemungkinan hal ini
adalah muslihat Tang-hay-liong-ong, tapi keadaan sudah terlanjur sejauh ini,
maka merekapun tidak menentang.
Cun-ih Thong berkata lantang:
"Kalau hadirin tiada usul lainnya, baiklah sekarang kita mulai pemilihan.
Aku memberanikan diri, mencalonkan seorang Enghiong besar yang namanya sudah
tersohor di kawasan ini, yakin hadirin akan setuju memilihnya sebagai
Bu-lim-beng-cu."
Hadirin kira calon yang
diusulkan adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go, tak kira dia ternyata bilang:
"Bu-lim-beng-cu pilihanku bukan lain adalah tuan rumah disini, Ong
Goan-tin Ong Locecu, Cong-cecu dari tiga puluh enam Cecu di Thay-ouw ini."
Pernyataan diluar dugaan,
membuat hadirin melongo, akhirnya pecah sorak sorai gegap gempita disertai
tepuk tangan riuh.
Cun-ih Thong berpidato lebih
lanjut: "Ong-locecu memiliki Kungfu tinggi, hal ini tidak perlu
kujelaskan. Apalagi sebagai Cong-cecu dari tiga puluh enam Cecu yang lain,
boleh dikata dia menguasai keadaan, memperoleh dukungan banyak orang lagi.
Bijaksana dalam kepemimpinan, tidaklah berkelebihan bila Bu-lim-beng-cu harus
dijabatnya."
Kedengarannya omongan Cun-ih
Thong mengagulkan dan menyanjung Ong Goan-tin, tapi bila mau ditelusuri secara
cermat, dibalik pidatonya ini mengandung arti lain. Yaitu lantaran adanya
jabatan yang diduduki Ong Goan-tin sekarang barulah dia mendukung
pencalonannya, seperti pepatah mengatakan, sekuat-kuatnya naga juga tidak lebih
menang dari ular tunggon.
Segera Ong Goan-tin angkat
bicara: "Tadi sudah kukatakan, setelah merayakan hari ulang tahunku ke
enam puluh ini, aku sudah berkeputusan hendak cuci tangan menggantung golok.
Jangan kata aku tidak berani menerima sanjung puji Cun-ih Siansing, umpama topi
kebesaran itu kukenakan juga aku tidak mampu menjadi Bu-lim-beng-cu
segala."
Memang tujuan Cun-ih Thong
memancing jawabannya ini segera dia mengoceh pula. "Bahwa Ong-locecu
menampik pencalonan dirinya, akupun tidak akan memaksa. Tapi kawanan naga tidak
boleh tanpa pimpinan, baiklah aku usulkan Sugong-thocu menjadi Beng-cu
kita."
Su Kian segera memberi suara:
"Betul, Tang-hay-liong-ong bermaharaja di lautan teduh menggetarkan dunia,
ilmu silatnya juga tangguh, kira-kira sepadan untuk berjajar dengan Kim-to
Cecu. Usianya mumpung kekar kuat pula, hanya dia mungkin yang dapat memimpin
kita melakukan usaha besar yang menggemparkan. Bila Ong-locecu benar-benar
mengundurkan diri, pilihan yakin hanya akan terjatuh di tangannya."
--Su Kian adalah salah satu
Cecu dari tiga puluh enam Cecu bawahan Ong Goan-tin yang punya kedudukan baik
dan disegani, bahwa dia mendahului rekan-rekannya mendukung pencalonan
Tang-hay-liong-ong, hal ini benar-benar diluar dugaan banyak orang.
Mendapat dukungan Su Kian
sudah tentu rombongan Tang-hay-liong-ong semakin bangga, senang setengah mati,
sontak mereka tempik sorak dengan ramai, ternyata orang-orang Ong Goan-tin ada
juga yang memberi aplus ala kadarnya.
Ih Ti-bin Cecu Tong-thing-san
timur adalah tangan kanan Ong Goan-tin yang terpercaya, dia melirik kearah Su
Kian, pikirnya "Keparat ini bersama Ha It-seng entah kenapa beberapa kali
memberi suara kepada Tang hay liong-ong memihak orang luar, agaknya mereka
sudah kena sogok dan dihasut untuk menentang kebijaksanaan Cong-cecu. Namun
memilih Bengcu sudah menjadi kata sepakat para hadirin, meski Ih Ti-bin merasa
kurang senang terhadap sikap Su dan Ha malah menaruh curiga pula, namun dia
merasa kurang tepat dan belum saatnya untuk membongkar kesalahan Su Kian.
Sebetulnya ingin dia menentang pencalonon Tang-hay-liong-ong, tapi sukar dia
memperoleh alasan tepat. Di kala dia peras keringat mencari calon, dilihatnya
Tang-hay-liong-ong sudah berdiri.
Dengan senyum lebar dan senang
Tang-hay-liong-ong berkata: "Terima kasih akan dukungan kalian, cuma aku
baru pulang dari luar lautan betapapun tak berani menerima jabatan berat ini.
Kalau Ong-locecu tetap menolak pencalonan ini baiklah aku mencalonkan
It-cu-king-thian Lui Tayhiap saja."
Lekas Ih Thi-bin menyeletuk:
"Betul, Lui Tayhiap berbudi luhur dan memperoleh simpatik banyak orang,
ketenaran namanya sudah menggetar utara dan selatan sungai besar. Pada
pertemuan di Lian-hoa-hong tahun yang lalu tiada orang-orang gagah yang hadir
pada waktu itu yang tidak memuji-muji dan mengaguminya. Aku dukung Lui
Tayhiap menjadi Bengcu
kita."
Ha It-seng tiba-tiba berdiri,
serunya: "Akupun mengagumi Lui Tayhiap, tapi dia tidak sebanding
Sugong-thocu dengan
rombongannya, hubungannyapun
tidak intim dengan para saudara didalam Pang atau Hwe yang ada di Kanglam ini.
Menurut pendapatku biarlah Lui Tayhiap menjadi wakil Bengcu saja."
Seorang lagi lebih tegas lagi,
dia bukan lain pembantu Tang-hay-liong-ong yang berjuluk Tay-lik-sin Lamkiong
King, setelah mendengus dia berkata dingin: "Berapa sih bobot nama besar
Lui Tin-gak, bila dibanding dengan Sugong-thocu kami, kurasa jauh
ketinggalan."
"Jangan kurang ajar
terhadap Lui Tayhiap," sentak Tang-hay-liong-ong, lahirnya dia memaki
pembantunya, tapi orang banyak maklum bahwa sikapnya ini hanya pura-pura
belaka.
"Lamkiong King,"
seru Ih Ti-bin gusar, "berani kau meremehkan pimpinan Bulim kami,
memangnya apa sih yang kau andalkan?"
Serak kasar suara Lamkiong
King, dampratnya: "Ih Ti-bin kalau tidak terima, nanti bila ada
kesempatan, ingin kujajal kau."
"Jajal boleh saja, kapan
saja aku bersedia, memangnya aku takut?"
Ong Goan-tin mengerutkan
kening, katanya: "Jangan ribut dulu, marilah bicarakan urusan itu."
"Tidak karuan, tidak
karuan," seru Hou Pong, meski tidak langsung dia sebut nama orang yang
tidak karuan, tapi hadirin tahu kata-katanya ditujukan kepada Lamkiong King.
Lui Tin-gak segera berdiri,
katanya goyang tangan: "Apa yang dikatakan Hu-cecu memang tidak salah,
seorang tamu mana boleh mendahului tuan rumah, baru kali ini aku datang ke
Kanglam, tidak kenal orang tidak hapal jalan, entah jadi Bengcu atau wakil
Bengcu, terus terang aku tidak berani terima."
Tang-hay-liong-ong pura-pura
menghela napas, katanya: "Ai, Ong-locecu tidak mau terima, Lui Tayhiap
juga menampik, yah, apa boleh buat, terpaksa biarlah aku menerima pencalonan
ini."
"Nanti dulu,"
tiba-tiba Ih Ti-bin berteriak lantang.
"Ada petunjuk apa
lh-cecu?" tanya Tang-hay-liong-ong kalem.
"Saatnya belum tiba
terpaksa menerima pencalonan. Aku mencalonkan Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap
menjadi Bengcu kita, harap hadirin memutuskan."
"Betul," seru Ong
Goan-tin, "bukan aku menentang pencalonan Sugong-thocu, tapi Tam Tayhiap
adalah teman baik Kim-to Cecu, bila dia sudi menjabat Bu-lim-beng-cu dari
Kanglam utara dan selatan terjalin satu ikatan kerja sama, hasilnya tentu jauh
lebih baik dari yang kita harapkan."
Pelan-pelan Cun-ih Thong
berdiri sambil mengelus jenggot, katanya: "Benar, sudah tentu, akupun amat
mengagumi Tam Tayhiap. Justru lantaran dia teman baik Kim-to Cecu, bila dia
yang jadi Kanglam Bu-lim-beng-cu, diluar mungkin orang bisa iseng bicara kaum
persilatan di Kanglam ini dianggap sebagai anak buah dan tunduk perintah Kim-to
Cecu melulu. Memang Kim-to Cecu adalah tokoh yang diagulkan banyak orang, bila
ada kata-kata iseng yang memanaskan kuping, lalu mau ditaruh dimana muka kita
ini."
Tam Pa-kun tertawa ngakak,
katanya: "Sebetulnya aku tidak ingin menjadi Bu-lim-beng-cu segala, memang
beralasan juga bahwa Cun-ih Siansing menguatirkan pencalonan diriku. Tapi aku
jadi ingin mencalonkan seorang pendekar muda untuk menjadi Bu-lim-beng-cu di
Kanglam ini."
Sebetulnya Cun-ih Thong sudah
menduga, namun sengaja dia bertanya: "Siapakah pendekar muda yang kau
calonkan?"
"Tan Ciok-sing
Tan-siauhiap," seru Tam Pa-kun kalem; "Dia adalah murid maha guru
silat Ihio Tan-hong Thio Tayhiap, tunas muda yang punya harapan nomor satu di
antara generasi mendatang. Bulan yang lalu bersama In Lihiap mereka membuat
geger di istana terlarang, menundukkan dan menjumpai Baginda Raja, tiada orang
gagah di dunia ini yang tidak mengacungkan jempol untuknya. Jabatan
Bu-lim-beng-cu kukira tepat sekali bila diserahkan kepadanya."
Tan Ciok-sing amat kaget,
serunya: "Tam Tayhiap jangan kau berkelakar dengan aku. Siautit masih muda
dan cetek pengalaman, jabatan Bengcu teramat berat untuk dipikul, mana aku
mampu mendudukinya?"
"Ada cita-cita tidak
diukur dari usia," seru Hou Pong lantang, "Tiada akal sia-sia hidup
seratus tahun. Tan-siauhiap punya akal ada cita-cita luhur, dari peristiwa
geger di istana raja itu sudah merupakan bukti nyata. Uraian yang panjang lebar
tadi merupakan bukti pula akan pengetahuan dan kecerdikan otaknya. Bila dia
yang menjadi Bu-lim-beng-cu aku orang she Hou pertama yang mendukungnya."
Tan Ciok-sing goyang tangan,
katanya: "Hou-cecu, jangan menempel emas di mukaku, betapapun,
Bu-lim-beng-cu aku tidak berani menerimanya."
"Kenapa tidak berani
terima?" seru Hou Pong sengit, "menurut pendapatku, kau jadi Bengcu
dan
In Lihiap menjadi wakil
Bengcu, begitu lebih baik."
In San tertawa, katanya:
"Hou-cecu, kau memang suka berkelakar, jangan kau menyeret aku."
"Aku tidak berkelakar,
gabungan sepasang pedang kalian sudah terkenal di kolong langit, sepantasnya
kalian menduduki jabatan yang sejajar."
Merah muka ln San, dia tidak
berkomentar lagi.
Ong Goan-tin berkata:
"Ucapan Tam Tayhiap memang betul, jabatan Bu-lim-beng-cu adalah pantas
kalau diserahkan kepada angkatan muda. lan-siauhiap, kau adalah pendekar muda,
gagah perwira yang dipuji orang banyak..."
"Ong-cecu," teriak
Lamkiong King kurang senang, "kau kan belum tanya aku, memangnya kau tahu
bila aku mengaguminya?"
Ong Goan-tin tersenyum,
katanya: "Sugong-thocu sendiri tadi bilang amat mengaguminya, hadirin
metyfldi saksi. Kau sendiri juga sudah menyatakan tunduk akan kehendak
pemimpinmu, betul tidak? Oleh karena itu, maaf bila aku kelu u udak tanya dulu
kepada kau, aku sudah anggap kaupun mengaguminya."
Lamkiong King tidak menduga
bakal didebat sekonyol itu, karuan mulutnya kelakep.
Tapi Cun-ih Thong yang pandai
silat lidah segera membantah: "Tan-siauhiap adalah jagoan top dari
generasi muda, hal ini sudah diakui oleh umum. Tapi Tan-siauhiap sendiri
bilang, untuk menjadi Bu-lim-beng-cu, usianya masih terlalu muda. Maka untuk
menjadi Bu-lim-beng-cu harus dicalonkan seorang yang sudah ternama, punya
pengalaman luas, disegani dan menggetarkan dunia. Apa yang dikatakan
Sugong-thocu tadi tidak lain hanyalah pujian dan dorongan semangat bagi
angkatan muda, bukan berarti bahwa dia pasti boleh menjadi Bu-lim-beng-cu."
Kek Lam-wi berdiri, katanya
perlahan: "Cun-ih Siansing, agaknya ada satu hal tidak kau utarakan."
"O, soal apa yang tidak
kuutarakan, harap Kek-jithiap mengoreksi."
"Demi nusa dan bangsa,
pendekar berjiwa besar diutamakan. Seorang yang menjadi Bu-lim-beng-cu, kecuali
harus berilmu silat tinggi, pengetahuan dan pergaulannya harus luas, kecuali
harus pula menggetar dunia, yang penting adalah jiwa kependekarannya. Bila dia
sudah memiliki bekal 'pendekar', soal syarat-syarat lain meski masih kurang
sedikit juga kurasa tidak jadi soal."
Kontan Hou Pong bersorak
sambil keplok, teriaknya keras:
"Betul, yang diutamakan
adalah jiwa pendekar. Walau Tan-siauhiap masih muda, namun dia cukup setimpal
menjadi seorang pendekar. Aku dukung dia menjadi Bu-lim-beng-cu."
Lamkiong King marah-marah,
serunya: "Memangnya kau kira Thocu kita tidak setimpal sebagai
pendekar?"
"Kapan aku bilang
demikian," semprot Hou Pong, "tapi tidak banyak yang kuketahui
tentang Thocu kalian, bagaimana dia mendarma baktikan diri kepada kepentingan
umum aku tidak tahu."
Lekas Cun-ih Thong menengahi,
katanya: "Harap jangan ribut dulu, dengarkan dulu penjelasanku."
"Oho, kau punya
penjelasan apa?" jengek Hou Pong.
Cun-ih Thong mengalah untuk
maju, katanya pertahan: "Hou-cecu, agaknya kau merasa benci kepadaku. Bila
kau tidak memberi kesempatan aku bicara, baiklah aku tidak usah banyak
mulut."
"Kalau orang tidak boleh
bicara, memangnya itu yang dinamakan adil?" teriak Lamkiong King.
Hou Pong membantah:
"Kapan aku melarang dia bicara, tapi aku tidak percaya obrolannya kau pun
tidak berhak memaksa aku percaya Sudah Cun-ih Thong, kau mau omong apa boleh
silahkan, mau kentut juga lekas keluarkan "
Sudah menjadi kebiasaannya
setiap habis berkata mengutarakan pendapatnya Hou Pong pasti mengolok-olok
lawannya, karuan Cun-ih Thong jengkel dan naik pitam, mukanya sampai menguning.
"Cun-ih Siansing,"
kata Lamkiong King, "jangan kau hiraukan salakan anjing itu, katakan saja
pendapatmu."
Hou Pong sudah berjingkrak
berdiri hendak melabrak Lamkiong King, untung Han King-hong menekannya dan
membujuknya perlahan: "Demi kepentingan umum sementara tidak usah ribut
mulut."
Cun-ih Thong memang bermuka
tebal, setelah reda amarahnya seperti tidak terjadi apa-apa dia berkata:
"Apa yang dikatakan Kek-jithiap memang benar, untuk menjadi seorang
Bu-lim-beng-cu, punya jiwa pendekar memang amat penting, tapi apa itu pendekar
dan bagaimana serta apa syaratnya seorang dinamakan pendekar, masing-masing
orang yakin punya pendapat yang berbeda. Apalagi tidak sedikit orang yang telah
melakukan kerja besar tapi tidak mau disiarkan, sehingga jarang orang tahu, itu
sering terjadi. Pendek kata kalau hanya berdasar seorang yang punya jiwa
pendekar baru boleh dipilih jadi Bu-lim-beng-cu kurasa juga belum tepat, itu
akan gampang menimbulkan perdebatan pula. Oleh karena itu, kurasa lebih baik
kita gunakan cara umum yang sering berlaku di kalangan Kangouw saja."
"Betul, yang kuat menang,
si lemah kalah," teriak Lamkiong King. "Siapa saja yang menentang
Sugong-thocu menjadi Bengcu kita, boleh silakan keluar melawannya."
Orang-orang pihak
Tang-hay-liong-ong kembali bertempik sorak menyambut pertanyaan Lamkiong King.
Sebaliknya orang-orang di pihak Ong Goan-tin saling pandang dengan melongo,
sesaat mereka kclakep tak tahu bagaimana mengatasi situasi yang mendesak ini.
Akhirnya Ong Goan-tin angkat
bicara, "Kalau hadirin menganggap syarat seorang pendekar susah
ditentukan, memilih Beng-cu melalui pertandingan juga salah satu cara yang
sering berlaku. Tapi, kusarankan lebih baik cukup saling tutul dan jamah saja,
jangan sampai ada pihak yang luka parah atau mati."
Ong Goan-tin memang cukup
pengalamanan dan pandai melihat gelagat, perkataannya cukup dipertimbangkan
sebelumnya. Maklum meski selama setahun ke belakang ini Tan Ciok-sing sudah
menjulang namanya, tapi bila dibanding Tang-hay-liong-ong betapapun masih
terpaut cukup jauh. Bila pemilihan diambil suara, jelas yang mendukung
Tang-hay-liong-ong masih lebih banyak. Kaum persilatan yang tidak diundang
banyak yang hadir disini, bukan mustahil mereka adalah komplotan
Tang-hay-liong. Meski sukar mencapai kemenangan didalam pertandingan, betapapun
mereka masih harus bertaruh dan membuktikan kemampuan masing-masing.
Pada hal orang-orang pihak
Tang-hay-liong-ong juga kuatir bila pemimpin mereka tidak terpilih, kalau
bertanding mereka yakin pihaknya pasti menang, mendengar pernyataan Ong
Goan-tin setuju menempuh cara ini, kontan mereka berjingkrak dan bersorak:
"Betul bertanding menentukan Bengcu memang tepat. Siapa yang menentang Sugong-thocu
jadi Bengcu silakan keluar, akulah yang akan menghadapinya lebih dulu."
Menurut peraturan pertandingan
dalam permilihan Bengcu, seseorang yang mendukung orang lain menjadi Bengcu,
dia punya hak untuk bertanding melawan pendukung pihak lawan.
Tan Ciok-sing berkata:
"Usiaku masih muda, tidak becus lagi, sebetulnya aku tidak berani menjadi
Bu-lim-beng-cu..."
Sebelum orang habis bicara Ong
Goan-tin sudah menekannya duduk, katanya perlahan: "Jikalau kau menolak,
bukankah berarti menyerahkan kedudukan penting itu kepada Tang-hay-liong-ong
begitu saja? Apa kau rela dia menjadi Bu-lim-beng-cu?"
Terpaksa Tan Ciok-sing diam
saja tidak banyak komentar lagi.
Siapapun tahu Kungfu
Tang-hay-liong-ong merupakan yang paling top di antara hadirin, berulang kali Lamkiong
King mendesak dan menantang orang-orang yang tidak setuju Tang-hay-liong-ong
jadi bengcu keluar untuk bertanding, siapa berani menampilkan diri?
Hening sejenak, melihat tiada
orang keluar Hou Pong tidak tahan lagi, segera dia berlari keluar, teriaknya:
"Sugong-thocu aku tahu ilmu silatmu tinggi, tapi aku tetap tidak tahu
diri, mohon kau memberi petunjuk beberapa jurus," meski tahu dirinya bakal
kalah, tapi dia tetap tampil menantang perang, maksudnya tidak lain bahwa ada
juga orang yang menentang dan tidak tunduk kepada Tang-hay-liong-ong.
Tang-hay-liong-ong mendongak,
pandangannya ke atas langit-langit, sikapnya jumawa seperti tidak mendengar
teriakan Hou Pong, melirikpun tidak. Lamkiong King tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Hou-cecu, hari ini kau sudah banyak bicara hanya kata-katamu
terakhir kali tadi yang kurasa benar, kau memang tidak tahu diri, memangnya kau
setimpal bergebrak dengan Thocu kita. Marilah biar aku saja yang layani kau
beberapa gebrak."
Hou Pong gusar, mereka segera
berhantam.
Hou Pong meyakinkan
Thi-sa-ciang, permainannya keras dan deras, kedua orang saling jotos dan
tendang, suara gedebukan dari tinju dan kaki mengenai sasaran jadi membuat
hadirin geli tercampur kuatir.
Suatu ketika empat telapak
tangan mereka beradu berhadapan. "Biang" Hou Pong tergentak mundur
dua langkah, Lamkiong King hanya tergeliat, kelihatannya tenaga Lamkiong King
lebih besar. Karena berada di atas angin Lamkiong King tertawa tergelak-gelak,
langkahnya beruntun mendesak maju kakinyapun menendang berantai. Dengan telapak
tangan Hou Pong gunakan Hou-te-jan-hou, dia lancarkan pukulan Thi-sa-ciang.
Ternyata Lamkiong King juga perkasa, meski tahu Thi-sa-ciang lawan liehay namun
dia tidak mau mengalah, sebat sekali dia tarik kaki kanan, hampir waktu yang sama
kaki kiri melayang pula, tendangannya deras dan kuat. Diam-diam Ong Goan-tin
bertaut alisnya melihat cara pertempuran kasar ini. Lekas dia berseru:
"Pertandingan terbatas saling tutul dan jamah, pantang melukai
lawan." Syarat ini sudah disetujui kedua pihak sebelum pertandingan
dimulai, Ong Goan-tin hanya memberi ingat dan ketegasan. Tapi memperoleh angin
Lamkiong King tidak memberi kesempatan kepada lawannya, serangannya itu makin
gencar dan menggebu. Akibat dari serangannya itu bila mendarat di tubuh lawannya
jelas tidak mungkin menjamah atau menutul, hakikatnya lebih mendekati adu jiwa.
Begitu Hou Pong merobah
menjotos lekas Lamkiong King melintangkan telapak tangan menangkis, namun Hou
Pong merobah jotosan menjadi sampukan, sebelum tenaga lawan disalurkan lekas
sekali dia sudah merobah posisi merobah serangan dengan pukulan lengket jarak
dekat, sasaran ke atas menggenjot muka musuh. Jotosannya ini dinamakan
Jong-thian-bau liehay luar biasa. Tapi Lamkiong King juga tidak lemah, dia
yakin tenaganya lebih kuat, maka cukup mengibas tangan dia gunakan daya cantel
menjadi pukulan gempur terus digenjot keluar, kembali dia punahkan jotosan
dekat Hou Pong serta balas menyerang.
Diluar tahunya tujuan Hou Pong
memang memancing dirinya demikian, setelah dirabu serangan Hou Pong, nafsu
berkelahi sudah membara memperoleh kesempatan baik balas menyerang sudah tentu
tanpa pikir segera dia ingin menggasak lawannya ini. Tanpa disadari bahwa balas
menyerang saat itu belum tiba waktunya, begitu dia balas menyerang penjagaan
menjadi kosong. Sekonyong-konyong Hou Pong membalik tubuh dengan kaki menyapu,
hardiknya: "Kena," berbareng kedua telapak tangan memukul pula,
telapak tangan kiri menggunakan Hun-kin-joh-kut sementara telapak tangan kanan
memukul dengan Thi-sa-ciang.
Sebetulnya Lamkiong King bisa
meluputkan diri dari salah satu serangan itu, namun serangan kedua jelas pasti
mendarat di tubuhnya, bila dia nekad juga melancarkan serangan balasan,
kemungkinan pertempuran bakal seri dengan akibat kedua lawan sama-sama roboh
terluka. Cuma didalam keadaan terdesak serupa itu, luka-lukanya pasti lebih
parah dari Hou Pong.
Baru saja Hou Pong melancarkan
serangan keji, tiba-tiba dia sadar akan seruan Ong Goan-tin bahwa pertandingan
ini hanya terbatas saling tutul dan jamah saja, maka Thi-sa-ciang batal dia
lancarkan, dia pikir hanya akan menggunakan Hun-kin-joh-kut saja, cukup bila
lawan tak mampu berkutik terhitung dirinya di pihak yang menang.
Siapa tahu pikiran bajiknya
ini justeru mendatangkan akibat yang fatal bagi dirinya. Lamkiong King tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini untuk merobah posisinya dari pihak yang
terdesak ke pihak yang menang. Lamkiong King meyakinkan ilmu kekebalan,
Hun-kin-joh-kut mengutamakan kekuatan jari, begitu menyentuh tubuhnya seperti
mencengkram batu, hanya dengan kekuatan jarinya tidak mungkin bisa menyebabkan
dirinya keseleo tulang dan urat. Kontan dia menelikung lengan serta ditariknya
sekali, "krak" tulang lengan Hou Pong malah dipelintirnya putus.
Perobahan tak pernah diduga
oleh hadirin, banyak yang menjerit kaget dan ngeri. Tang-hay-liong-ong
pura-pura kaget dan marah sambil berdiri, segera dia keluarkan sebotol obat
terus dilempar ke arah Lamkiong King, bentaknya: "Kenapa kau tidak
hati-hati. Hou-cecu sampai kau lukai, lekas berikan obat penyambung tulang ini
kepada Hou-cecu," lahirnya memarahi Lamkiong King, yang benar tujuannya
ingin memberi obat menanam budi, sehingg.i orang-orang pihak Ong Goan-tin
menaruh simpatik padanya.
Ih Ti-bin segera berdiri dan
memburu kesana memapah Hou Pong.-Jengeknya: "Tak perlu kalian pura-pura
bajik, kalau hanya menyambung tulang mengurut urat memangnya kami tidak
bisa." Sembari membubuhi obat dan menyambung tulang Hou Pong dia menjengek
pula: "Sudah dijanjikan hanya terbatas saling tutul dan jamah Hou-cecu
tidak ingin melukai kau, kau justru turun tangan sekeji ini, memangnya apa sih
maksudmu?"
Dari malu Lamkiong King jadi
gusar, bentaknya: "Pertandingan kaum persilatan siapa kuat dia menang. Ih
Ti-bin, memangnya Hou Pong benar-benar mengalah kepadaku, aku malah mau bilang
aku telah berbelas kasihan kepadanya. Kalau tidak sekali pukul tadi aku sudah
bisa membunuhnya. Hehe, Ih-cecu jikalau kau tidak terima boleh silahkan turun
gelanggang, mari bertanding melawan."
"Baik aku memang ingin
mengukur kemampuan," jengek Ih Ti-bin.
"Baik, aku tidak peduli
akan tata tertib pertandingan, mati atau hidup adalah jamak di medan
laga." "Wut" kontan dia menjotos lebih dulu.
Ong Goan-tin ingin bicara
tidak keburu lagi.
Mengikuti arus angin pukulan
lawan Ih Ti-bin berkelit ke pinggir. Lamkiong King menjengek kaki melompat ke
atas, kedua tangan merangsek bersama telapak tangan kiri mengepruk batok
kepala, jari-jari tangan kanan mencengkram tulang pundak, Ih Ti-bin gunakan
gerakan tubuh Hong-biau-loh-hoa, tampak pakaiannya melambai-lambai kembali dia
meluputkan diri dari serangan lawan. Beberapa teman Ih Ti-bin terdengar
berteriak: "Ih-cecu, hayo balas, dia menghendaki nyawamu, kenapa kau
sungkan terhadapnya?"
Tam Pa-kun menghela napas
lega, katanya kepada Ong Goan-tin. "Kelincahan dapat menundukan tenaga,
Ih-cecu tidak akan kalah. Keparat itu memang liar dan buas biar nanti dia
mendapat ganjaran setimpal."
Sebetulnya Ong Goan-tin mau
menyerukan pula tata tertib pertandingan supaya ditaati, namun setelah melihat
Hou Pong terluka parah hatinya agak marah, apalagi setelah dibujuk Tam Pa-kun,
akhirnya dia berpikir: "Benar mereka memang perlu dihajar biar
kapok," maka dia bungkam dan duduk kembali.
Dalam pada itu Lamkiong King
beruntun telah melancarkan tiga jurus, kaki menginjak Hong-bun (berhadapan muka
dengan lawan) tinjunya menjotos pula ke rusuk kiri Ih Ti-bin. Jurus ini
dinamakan Hing-sin-bak-hou (melintang badan memukul harimau), gaya jotosannya
teramat kuat dan ganas; namun pada detik-detik yang gawat selalu dapat
dihindarkan oleh Ih Ti-bin. Baru sekarang dia buka suara, bentaknya: "Nah,
tadi kau sudah bertanding satu babak, maka aku mengalah tiga jurus, jangan
nanti kau anggap aku memungut keuntungan. Hati-hati serangan balasan,"
pelan dia mengeluarkan sebatang kipas lempit, begitu jotosan lawan mendera
tiba, kipasnya terbuka terus dikebas ke samping, gaya permainan ternyata
mengikuti ajaran pedang dan golok, ujung kipasnya yang tajam mengiris ke
jari-jari tangan Lamkiong King.
Kelihatannya kipas lempitnya itu
hitam gelap mengkilap, merupakan senjata luar biasa yang jarang terlihat,
namanya kipas lempit besi tetapi tulang kerangkanya terbuat dari baja murni,
ujung kipasnya yang runcing ternyata kemilau setajam pisau.
Cun-ih Thong memuji:
"Bagus," katanya: "Sudah sering kudengar kipas lempit menutuk
Hiat-to yang diyakinkan Ih-cecu merupakan ilmu tunggal di Bulim. Kipas besinya
ini dapat pula digunakan sebagai Ngo-hing-kiam, jurus permainannya rumit dan
beraneka ragam, beruntung hari ini dapat menyaksikan, ternyata memang tidak
bernama kosong," kedengarannya dia memuji Ih Ti-bin, yang benar tujuannya
memberi peringatan kepada Lamkiong King bahwa ilmu kipas lawan cukup liehay
supaya dia hati-hati.
Sayang peringatannya
terlambat. Sengaja Ih Ti-bin memancing lawan dengan suatu gerak pancingan, di
kala Lamkiong King menubruk seperti harimau kelaparan menerkam mangsanya,
dengan gerak kecepatan kipasnya telah menutuk Jian-kin-hiat. Menyusul dengan
Hun-kin-joh-kut-hoat, dia tebas putus ke sepuluh tulang-tulang jari Lamkiong
King serta memelintir tulang lengan kirinya hingga keseleo.
Tulang-tulang jari tangan
remuk sakitnya bukan kepalang, ditambah lagi tulang lengan keseleo di atas
pundak, karuan sakitnya bukan kepalang. Lamkiong King meraung sekeras-kerasnya,
orang segede itu ternyata tidak tahan sakit, kontan dia jatuh semaput.
Ih Ti-bin berkata dingin:
"Maaf Lamkiong King hendak membunuhku, terpaksa aku melukainya.
Sugong-thocu, yakin kau tidak menyalahkan aku."
Tulang lengan Hou Pong bani
saja disambung, luka-lukanya habis dibalut, saking senang dia tertawa gelak
dengan meringis kesakitan "Pembalasan kontan yann tidak tanggung-tanggung,
Ih-toako, banyak terima kasih, kau telah melampiaskan penasaranku."
Orang kedua pihak membawa para
korban ke ruang belakang untuk istirahat, pertandingan tetap berlangsung.
Beberapa babak selanjutnya masing-masing pihak ada kalah ada menang tapi jumlah
total pihak Tan Ciok-sing masih unggul satu babak.
Tang-hay-liong-ong sedang
putar otak untuk memilih jagonya, tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda dalam
rombongannya
menampilkan diri, pemuda yang
memberi minyak rambutnya dengan wewangian dan memupur muka pula. Walau bukan
calon pilihan yang diharapkan, namun Tang-hay-liong-ong berpikir: "Biarlah
dia keluar sekedar membuat kegaduhan juga baik."
Pamuda perlente yang pakai
wewangian ini bernama Liu Yau-hong, ayahnya Liu Pek-cong adalah seorang ahli
pedang, selama hidupnya menekuni pelajaran ilmu pedang, jarang dia mencampuri
urusan Kangouw, namun di kalangan Kangouw dia punya nama yang disegani.
Lain bapak lain anak, putranya
yang satu ini justru sering membuat onar diluar, pemuda yang suka berpelesiran
dan suka berfoya-foya, konon beberapa peristiwa perkosaan yang menggemparkan
adalah perbuatannya, namun karena tidak tertangkap basah dia tetap mungkir.
Liu Yau-hong bukan anak buah
Tang-hay-liong-ong, hanya karena suatu hubungan tidak langsung, orang pihaknya
berhasil menariknya untuk membuat ramai-ramai disini, jadi secara formil dia
bukan "orang sendiri" dari pihak Tang-hay-liong-ong. Bahwasanya
Tang-hay-liong-ong juga tidak menduga bahwa dia berani dan mau menampilkan
dirinya.
Justru karena dia bukan orang
sendiri mumpung juga bagi Tang-hay-liong-ong untuk melonggarkan situasi yang
tidak menguntungkan pihaknya. Ilmu pedang Liu Yau-hong memperoleh didikan '
langsung ayahnya, jelek-jelek dia keturunan dari seorang ahli pedang yang
ternama. Tang-hay-liong-ong pikir pihak lawan tidak sedikit Bu-lim-cianpwe,
sedikit banyak pasti memberi muka, umpama akan memberi hukuman setimpal pasti
juga diperhitungkan dan tidak di saat-saat seperti ini. Apalagi dengan bekal
ilmu silatnya, bila lawan jago kosen kelas wahid dia menaruh harapan untuk
menambal kekalahannya.
Setelah tampil di arena, Liu
Yau-hong berkata ke arah Tan Ciok-sing dan In San. "Aku kagum akan ilmu
pedang Tan-siauhiap. Cayhe tidak becus, namun pernah juga belajar pedang selama
dua puluh tahun, melihat ahli sejenis tanganku jadi gatal..."
Belum habis dia omong Kek
Lam-wi sudah menuding dan mendamprat: "Tampangmu ini juga setimpal bertanding
dengan Tan-siauhiap, apa tidak bikin kotor pedang pusakanya?"
Numpang ketenaran ayahnya,
meski Liu Yau-hong tidak setimpal berhubungan dengan kaum pendekar, namun
setiap kehadirannya dimanapun, tidak sedikit orang yang bermuka-muka di
depannya, ketambah bekal ilmu pedangnya memang cukup liehay, sehingga menjadi
kebiasaannya bersikap jumawa. Kali ini diluar dugaan dia tidak marah meski
dimaki Kek Lam-wi, malah dia tertawa dingin dan berkata lebih lanjut. "Aku
belum bicara habis, Kek-jithiap, tolong kau bersabar sebentar."
"Kau memang benar,
Tan-siauhiap adalah calon Bu-lim-beng-cu, sebetulnya aku ingin mohon pengajaran
pedangnya, namun aku juga tahu belum tiba saatnya dia turun gelanggang. Tapi
aku ini sudah terlanjur masuk gelanggang, bila Tan-siauhiap tidak mau
melayaniku, aku jadi rikuh kembali ke romborfgan," sampai disini dia
berpaling kearah In San, sambungnya; "Gabungan sepasang ilmu pedang In
Lihiap dan Tan¬siauhiap terkenal di kolong langit, ilmu pedangnya tentu juga
amat tinggi. Maaf bila aku memberanikan diri, entah sudikah In Lihiap memberi
petunjuk
beberapa jurus
kepadaku?"-
ternyata dia kepincut keayuan
In San, karena kesengsem sampai lupa daratan, meski tahu bukan tandingan orang
dia nekat juga menampilkan diri. Jadi bukan ingin membantu pihak
Tang-hay-liong-ong, tapi dia ingin pamer kepandaian, syukur karena bertanding
kali ini, dia bisa berkenalan dengan In San. Dalam pertandingan silat, biasanya
tidak ada aturan harus menantang seseorang, tapi bila ada juga orang yang
menantang seseorang, jarang ada orang yang ditantang tidak berani melawannya.
Berdiri alis In San, baru
hendak berdiri, seorang lain tiba-tiba mendahului berdiri. Orang inipun seorang
galis belia, dia bukan lain adalah salah satu dari Pat-sian, Toh So-so yang
berusia paling muda. Toh So-so menjengek dingin: "Kau ingin bertanding
pedang, aku juga gatal tanganku, mari biar kuiringi kau beberapa jurus."
Liu Yan-hong melirik dengan
sikap tengik, melihat Toh So-so berwajah cantik pula, senang hatinya, segera
dia tertawa cengar-cengir, katanya: "Terima kasih akan kemurahan hati Toh
Lihiap sudi mengiringi pertandingan ini lega hatiku."
Kualir Toh So-so tidak tahu
asal-usul orang sengaja Ong Goan-tin bertanya kepada Liu Yau-hong:
"Liu-heng, pedang yang kau gunakan itu bukankah Thian-liong-pokiam milik
ayahmu itu."
Thian.-liong-kiam adalah salah
satu pedang yang terkenal di Kangouw. Liu Pek-cong ayah Liu Yau-hong memang
memiliki ilmu yang luar biasa, tapi tanpa membekal Thian-liong-pokiam namanya
tidak akan setenar itu.
Dengan tertawa Liu Yau-hong
berkata: "Betul. Dalam pertandingan ini siapapun tidak dilarang
menggunakan gaman apapun bukan?"
In San berkata:
"Toh-cici, pakailah pedangku," pedang In San adalah Ceng-bing-kiam
warisan isteri Thio Tan-hong, In Lui. Ceng-bing-kiam jelas masih lebih unggul
dibanding Thian-liong-kiam.
Toh So-so berkata: "Tidak
usah. Bila aku kalahkan dia dengan pedang Thio Tayhiap, mungkin dia tidak akan
menyerah lahir batin."
Liu Yau-hong tertawa lebar,
katanya: "Kalian tidak usah kuatir, aku hanya berlatih pedang dengan Toh
Lihiap, cukup asal sentuh saja, terserah dia mau pakai pokiam atau pedang
biasa, aku tidak akan memanfaatkan pokiamku ini untuk mengalahkan dia."
"Sret" Toh So-so
mencabut pedangnya, bentakuya: "Jangan cerewet, awas pedangku ini tidak
punya mata."
Sikap Liu Yau-hong tetap tak
acuh, katanya menyengir: "Toh Lihiap, boleh kau pamer seluruh kemampuanmu.
Pepatah bilang dapat mati di bawah kembang, jadi setan juga tidak penasaran.
Bila aku terluka oleh pedangmu, matipun aku rela."
Meski tahu lawan salah satu
dari Pat-sian, ilmu pedangnya jelas bukan kelas sembarangan. Tapi mengingat
usia Toh So-so lebih muda, cetek pengalaman, perempuan lagi, tenaga jelas
dirinya lebih unggul. Apalagi Toh So-so tidak mau pakai pedang mustika, dalam
hal senjata dia lebih unggul, maka pertandingan ini dia yakin pasti berada di
pihak pemenang.
Sudah tentu Toh So-so sebal
mendengar ocehannya, bentaknya dengan tawa dingin: "Baik memang omongannu
ini yang kutunggu. Lihat pedang."
Dimana pedang berkelebat
dengan jurus Liong-li-joan-ciam, "Sret" pedangnya menusuk pundak kiri
Liu Yau-hong. Kelihatan serangan ini hanya gertakan namun kenyataan bisa
dirobah jadi sungguhan atau sebaliknya pula, disinilah letak inti sari dari
Ya-li-kiam-hoat yang diyakinkan.
Hanya segebrak tapi Liu Yau¬
hong sudah tahu akan keliehayan serangan pedang ini, dengan tergesa-gesa dia
memuji "bagus", namun tubuhnya tidak bergeming, bila ujung pedangnya
sudah hampir menusuk pundak, baru dia memutar pergelangan tangan membalas
dengan jurus Kim-beng-jan-ci, pedangnya terayun keluar.
Jurus serangan ini memang
diperhitungkan pada waktu yang tepat. Tidak sedikit di antara hadirin adalah
ahli-ahli ilmu pedang, meski mereka memandang rendah martabatnya, melihat dia
mampu bersilat dengan ilmu pedang sebagus itu mau tidak mau mereka berseru
memuji.
Namun meski ilmu pedang yang
dilancarkan ini termasuk tingkat kelas atas, kalau senjatanya bukan mustika dia
tidak akan seberani itu menahan pedang lawan dengan tekanan melintang, apalagi
pedangnya lebih panjang, menurut teori pedang dalam serang menyerang seperti
itu, jelas pedang Toh So-so takkan luput saling bentur dengan pedang mustika
lawan.
Hadirin berkuatir bagi Toh
So-so, maklum Thian-liong-kiam adalah pedang tajam luar biasa, mengiris besi
seperti merajang sayur, Toh So-so menggunakan Ceng-kong-kiam biasa, mana kuat
melawannya? Bila pedangnya putus, berarti dia di pihak yang kalah.
Tak nyana dalam detik-detik
yang menentukan itu, situasi justru berobah, pelayanan gerak pedang Toh So-so
justru tidak seperti yang diduga lawan, juga diluar dugaan hadirin. Terdengar
Toh So-so menjengek dingin, katanya: "Pedangmu memang tajam, memangnya kau
bisa apa terhadapku?" sembari tawa dingin mendadak tubuhnya berputar
secara gemulai, begitu cepat sehingga orang-orang tidak melihat jelas.
Tahu-tahu pedangnya itu telah putar balik satu lingkar dengan jurus
Ceng-hun-ka-kan menusuk ke arah Liu Yau-hong. Ujung pedang mengincar tempat
yang tidak terduga oleh Liu Yau-hong.
Tidak malu Liu Yau-hong jadi
putra seorang ahli silat kenamaan. Kungfunya sudah mendapat warisan ayahnya,
permainan ilmu pedangnya nyata memang liehay juga. Di kala situasi berobah
sehingga dirinya terdesak ini sikapnya tetap tenang-tenang saja, mendadak dia
gunakan Hong-tiam-thau, berbareng pedangnya melintang balik pula sehingga
gerakannya berobah Heng-ka-kim-liang, secara tepat dalam saat-saat kritis itu
dia tekan dan punahkan serangan pedang Toh So-so Gerakan indah tepat waktunya,
jelas pedang Toh So-so bakal membenturnya pula. Tapi gerakan cepat itu masih
diungguli kecepatan Toh So-so pula, permainan pedangnya ternyata lebih
menakjubkan lagi, hadirin dibikin kabur pandangannva oleh kelincahan tubuhnya.
Heng-ka-kim-liang yang dilancarkan Liu Yau-hong bukan saja tidak berhasil
membentur pedang lawan, malah tiga kali bacokan saling susul yang dilancarkan
selanjutnya juga tidak mampu menyentuh ujung baju lawan.
Tampak Toh So-so menggoyang
pundak, pakaian berkibar, selincah kecapung menutul air, atau kupu-kupu menari
di pucuk bunga, dimana pedangnya berkelebat, dengan jurus Ciok-li-toh-so,
disusul Kim-ke-toh-siok, satu jurus dua gerakan, membabat pinggang menjojoh
rusuk, karena serangan mengenai tempat kosong, meski menggunakan pedang
mustika, sia-sia belaka usaha Liu Yau-hong, malah dirinya terdesak mundur
beberapa langkah. Gebrakan ini terjadi dalam waktu singkat, kelihatan kedua
orang seperti ayam jago yang disabung di tengah arena, belum lagi hadirin
melihat jelas jalannya pertempuran, mendadak didengarnya Toh So-so menghardik:
"Lepas pedang." Dimana sinar pedang berkelebat, kontan Liu Yau-hong
menjerit kesakitan, bukan saja pedang mustika jatuh berkerontang, orangnya juga
tersungkur di atas lantai.
Karuan Ong Goan-tin amat
kaget, teriaknya: "Toh Lihiap, beri ampun padanya, jangan..."
maksudnya supaya Toh So-so tidak membunuh Liu Yau-hong, namun dilihatnya Liu
Yau-hong sudah roboh, maka perkataannya ditelannya lagi.
Dalam hati diam-diam Ong
Goan-tin mengeluh. Maklum perbuatan Liu Yau-hong memang brutal, cabul dan sudah
rusak martabatnya, namun ayahnya adalah seorang jago silat yang punya nama
harum, dengan Ong goan tin juga kenal baik. Dikala dirinya merayakan ulang
tahun, putra kenalannya mati di markasnya, jelas dia tidak akan terima dan
pasti akan membuat perhitungan kepadanya.
Toh So-so tahu maksud Ong
Goan-tin, katanya tertawa: "Ong-cecu tidak usah kuatir, keparat ini masih
hidup," habis bicara dia angkat sebelah kakinya menendang tubuh Liu
Yau-hong sehingga terbalik celentang. Kontan Liu Yau-hong menjerit pula. Kini
hadirin melihat jelas, selebar mukanya ternyata berlepotan darah, wajah yang
semula ganteng putih dan sering dipupuri itu, kini sudah penuh goresan pedang
yang malang melintang, itulah hasil karya Toh So-so.
Dalam sejurus ternyata dia
mampu menggores luka malang melintang sebanyak itu di muka Liu Yau-hong,
hadirin tiada yang melihat jelas betapa cepat gerakan pedangnya, sungguh amat
mengejutkan. Kaum pendekar sama bersorak dan memuji, sebaliknya orang-orang
pihak Tang-hay-liong-ong sama pucat dan saling pandang tak bersuara.
Setelah menendang Liu
Yau-hong, Toh So-so berkata dingin: "Bukankah tadi kau bilang rela mati di
bawah pedangku? Menilai perbuatan kotormu selama ini, sepantasnya aku
membunuhmu, namun kupandang muka Ong locecu, hari ini adalah ulang tahunnya,
dalam suasana gembira tidak pantas membunuh orang maka nonamu mengampuni
jiwamu, hayo enyah, memangnya ingin kutendang pula"
Liu Yau-hong keras kepala,
saking kesakitan dia siuman dari pingsannya, pelan-pelan dia meronta bangun
sempoyongan, katanya gemetaran: "Toh So-so, kau, kau memang kejam, akan
kuingat hadiahmu hari ini... selama hayat masih dikandung badan aku..."
sampai disini dia tidak kuat melanjutkan perkataannya lagi. Tapi siapapun tahu
apa maksud perkataannya, yaitu bersumpah akan menuntut balas sakit hati hari
ini.
Toh So-so tertawa dingin,
"Boleh, kau mau menuntut balas, kapan saja kutunggu."
Dua orangnya
Tang-hay-liong-ong keluar menggotong Liu Yau-hong mengundurkan diri.
Tang-hay-liong-ong segera
berdiri. Gerak-geriknya menarik perhatian seluruh hadirin.
Toh So-so tertawa menyeringai,
katanya: "Sugong-thocu apakah kau ingin menuntut balas sakit hati orang
she Liu?"
Tawar suara
Tang-hay-liong-ong. "Tinju dan senjata tajam tidak bermata, salahnya
sendiri tidak becus belajar silat, Toh Lihiap tidak boleh disalahkan. Mati
hidup di medan laga sudah menjadi suratan takdir, apalagi gugur dalam
pertandingan seperti ini, tidak usah bicara soal balas dendam segala. Toh
Lihiap, silahkan kau mundur saja, Sugong Go tidak sudi bergebrak dengan seorang
angkatan muda."
Toh So-so tahu kepandaiannya
terlalu jauh dibanding lawan, maka dia berkata: "Baiklah, agaknya
Sugong-thocu tidak ingin cari perkara dengan aku, maaf bila perkataanku tadi
salah," segera dia mengundurkan diri.
"Sugong-thocu," kata
Ong Goan-tin, "bagaimana selanjutnya?"
Kaku tidak menunjukan perasaan
hatinya, pelan-pelan Tang-hay-liong-ong menoleh kesana dan berkata dengan
lantang kepada Tan Ciok-sing dan In San. "Hadirin sudah setuju untuk
memilih seorang Bu-lim-beng-cu, tujuannya supaya ada seorang pemimpin sehingga
kekuatan kita terpadu dan sehaluan. Tak nyana terjadilah pertandingan babak
demi babak untuk memperebutkan Bengcu itu. Beberapa babak pertandingan telah
terjadi kericuhan, kejadian jadi menyeleweng dari tujuan semula, bukankah
demikian Tan-siauhiap?"
"Betul," sahut Tan
Ciok-sing, "lalu bagaimana penyelesaiannya, harap Sugong-thocu memberi
saran."
"Menurut pendapatku,
lebih baik kita saja yang mengakhiri babak terakhir ini, siapa menang atau
kalah, mati hidup biarlah ditentukan dalam babak terakhir ini supaya banjir
darah tidak berlarut-larut."
Cun-ih Thong bertepuk tangan
lebih dulu, serunya: "Betul, jumlah orang kedua pihak cukup banyak, bila
pertandingan tidak habis-habis, entah kapan baru akan berakhir? Biarlah dua
calon Bengcu menentukan pertandingan babak terakhir ini saja."
"Sugong-thocu," seru
Ong Goan-tin, "sebagai seorang tokoh yang sudah ternama di Kangouw, walau
Tan-siauhiap kini juga telah menggetarkan dunia, paling juga baru dua
tahun."
"Nanti dulu, aku belum
habis bicara," tukas Tang-hay-liong-ong terbahak-bahak, "memang benar
pendapat Ong-cecu, aku tahu Tan-siauhiap berkepandaian tinggi, betapapun dia
masih muda dari aku, aku sendiri juga tidak ingin ditertawakan kaum persilatan
sedunia..." sampai disini sengaja dia merandek. Hadirin bingung, dia yang
menantang tapi bilang tidak mau menindas yang muda, memangnya apa
maksudnya?"
Pelan-pelan Tang-hay-liong-ong
melanjutkan. "Maksudku aku ingin menjajal gabungan sepasang pedang
Tan-siauhiap dengan In Lihiap. Dengan cara ini yakin hadirin tidak akan katakan
aku yang tua ini menindas yang muda bukan?"
Cun-ih Thong tiba-tiba
bertanya: "Gabungan sepasang pedang Tan-siauhiap dan In Lihiap tiada
bandingan di dunia, bukankah tadi Han-heng yang berkata demikian."
Han King-hong orang kasar,
tanpa pikir segera dia menjawab: "Banyak kawan-kawan Kangouw semua bilang
demikian, memangnya kenapa?"
Cun-ih Thong ngakak, katanya:
"Tidak apa-apa aku merasa bersyukur hari ini bakal memperoleh kesempatan
melihat saja. Hehe, apa benar pujian tadi sebentar juga akan terang dan
terbukti. Tapi kalau sudah tersiar luas di Kangouw bila gabungan sepasang
pedang mereka menempur Sugong-thocu tidak bisa dikatakan yang tua menekan yang
muda lagi. Betul tidak?"
Baru sekarang hadirin maklum,
sengaja dia putar kayun dengan ocehan panjang lebar, tujuan tidak lain bantu
menarik keuntungan pihak Tang-hay-liong-ong.
Berkerut alis Tan Ciok-sing,
hampir meledak amarahnya, namun dia dibujuk oleh Tam Pa-kun. "Ucapan
Cun-ih Thong memang benar, bertanding cara begitu memang tiada yang mengambil
keuntungan. Kalian bergabung melawan musuh dijumlah usia kalian juga masih muda
lawan. Maka menurut pendapatku, pertandingan ini cukup adil."
Maksud Tan Ciok-sing adalah
tidak mau memungut keuntungan ini, tapi setelah dipikir lagi sekarang bukan
saatnya adu mulut dan bertengkar, maka dia tidak banyak bicara. .
Tapi In San malah berkata:
"Siang-kiam-hap-pik sudah merupakan kebiasaan, menghadapi satu lawan kami
berdua, menghadapi sepuluh lawan, kami tetap berdua. Bila Cun-ih Siansing
anggap kita mengambil keuntungan boleh silahkan Cun-ih
Siansing maju bersama
Sugong-thocu."
Cun-ih Thong cengar-cengir
katanya: "In Lihiap, kenapa kaupun menyeret diriku."
Tang-hay-liong-ong menarik
muka katanya: "Jangan cerewet. Had irin sudah akur bahwa pertandingan ini
cukup adil, marilah segera kita mulai. Tapi perlu aku bicara di depan."
Lekas Cun-ih Thong menjilat
pantat pula. "Betul peduli apapun akhir pertandingan ini akibatnya harus
dibicarakan lebih dulu."
Perlahan Tang-hay-liong-ong
berkata: "Kalau aku yang beruntung menang dalam pertandingan ini, kalian
bagaimana?"
"Sudah tentu terserah
kepadamu, hukuman apa terserah."
Tang-hay-liong-ong
geleng-geleng, katanya: "Aku tidak punya maksud menyakiti kalian."
Tam Pa-kun tiba-tiba berdiri,
katanya lantang. "Bahwa pertandingan ini menentukan kalah menang bila
Sugong-thocu dapat mengalahkan mereka berarti pertandingan memilih Bengcu
inipun berakhir. Selanjutnya Sugong-thocu adalah Bengcu kita."
"Kalau kami kalah boleh
terserah Sugong-thocu men¬jatuhkan vonisnya..."
"Sugong-thocu barusan
bilang tidak akan menyakitkan kalian," tukas Cun-ih Thong.
Tan Ciok-sing tidak hiraukan
ocehannya, katanya lebih lanjut: "Sekarang kita nyatakan pula bila kami
yang kalah, umpama Sugong-thocu tidak sudi menjatuhkan vonisnya. Kami sudah
berkeputusan untuk memunahkan ilmu silat sendiri tapi kami tidak akan
mendukungnya menjadi Bengcu."
Cun-ih Thong mengerutkan
kening, katanya: "Lho, apa tidak mencari gara-gara?"
"Kami lebih suka
memunahkan ilmu silat sendiri dan tidak sudi mendukungnya adalah urusan pribadi
kami, tiada sangkut pautnya dengan orang lain." Ciok-sing mempertegas.
Tujuan Tang-hay-liong-ong
adalah menjadi Bengcu, dia tidak peduli apakah mereka berdua mau atau tidak
mendukung dirinya, bila mereka memunahkan ilmu silat sendiri juga kebetulan
malah bagi dirinya. Maka dia tertawa, katanya: "Urusan sebetulnya tidak
sefatal itu. Tapi setiap manusia punya keinginan sendiri-sendiri, bila
Tan-siauhiap sudah berkeputusan demikian, ya boleh terserahlah."
Tan Ciok-sing bertanya:
"Tapi bila kami yang beruntung dan kau yang kalah, bagaimana?"
Tang-hay-liong-ong tertawa
lebar, katanya: "Kalau aku kalah, jelas malu bercokol di dunia persilatan.
Tan-siauhiap apapun keputusannmu aku akan meniru janjimu," jadi pertandingan
ini bukan melulu memperebutkan Bengcu, malah pihak mana yang kalah dia harus
memunahkan ilmu silat sendiri.
Ong Goan-tin kaget, dia
menoleh ke arah Tam Pa-kun, agaknya dia kuatir bila gabungan sepasang pedang
Tan Ciok-sing dan In San bukan tandingan Tang-hay-liong-ong. Tam Pa-kun tahu
kekuatirannya, dia hanya memberi senyum simpul tanpa bersuara. Tapi dari sorot
mata dan rona mukanya, Ong Goan-tin tahu bahwa Tam Pa-kun yakin gabungan
sepasang pedang Tan dan In pasti akan menang, maka lega juga hati Ong Goan-tin.
Tan Ciok-sing dan In San sudah
berdiri jajar di tengah gelanggang, pedang masing-masing sudah terlolos. Pedang
mereka adalah warisan pedang Thio Tan-hong, begitu keluai sarungnya pedang
pusaka itu memancarkan cahaya terang gemerlap menyilaukan mata.
Dengan lagak jumawa
pelan-pelan Tan-hay-liong-ong bersuara: "Bawa kemari senjataku."
Sebagian besar yang hadir
hanya tahu bahwa Kungfu Tang-hay-liong-ong amat tinggi, namun gaman apa yang
dia gunakan tiada satupun yang tahu, maka perhatian hadirin ditujukan
kepadanya, mereka ingin tahu apakah senjatanya mampu menandingi sepasang pedang
pusaka Tan Ciok-sing dan In San yang sudah terkenal sejak puluhan tahun.
Tampak empat laki-laki
memanggul keluar sepasang tombak mengkilap gelap, dikata tombak juga bukan
tombak, tidak mirip ruyung atau trisula, namun ujungnya berbentuk tombak, di
sisi kiri kanan terdapat lekuk bulan sabit yang tajam dan runcing, lebih bawah
lagi merupakan pedang sampai di gagang ada besi melengkung sebagai pelindung
jari-jari tangan. Ada yang tahu bahwa gaman ini dinamakan Ban-ci-toh, senjata
dari garis luar gaman yang jarang digunakan oleh insan persilatan, namun kasiat
senjata ini dapat digunakan merampas senjata lawan.
Dalam hati Ong Goan-tin
berpikir: "Ban-ci-toh memang dapat merampas pedang, tapi menghadapi pedang
pusaka peninggalan Thio Tan-hong, yakin tidak akan mampu berbuat banyak."
Ban-ci-toh panjang seluruhnya
ada tujuh kaki, besarnya kira-kira sama dengan gagang tumbak umumnya, tapi dua
lelaki yang memanggul sebatang kelihatan keberatan, sungguh hadirin sama heran
dan kaget. "Betulkah Ban-ci-toh ini berbobot seberat itu?"
Han King-hong menjadi sebal,
kontan dia mengolok: "Ah, pura-pura belaka, memangnya siapa yang takut
digertak."
Tengah bicara, dilihatnya ke empat
lelaki itu sudah melemparkan Ban-ci-toh itu ke arah Tang-hay-liong-ong. Entah
mereka mendengar olok-olok H an King-hong, yang terang salah satu dari
Ban-ci-toh itu ternyata meleset ke depan Han King-hong.
Lekas Han King-hong lolos
golok besar yang berpunggung tebal terus membacok, "Traaang" kembang
api berpijar, golok besar tak kuat lagi dipegang, jatuh berkerontang bersama
tubuhnya yang kekar.
Lekas teman-teman memapahnya
bangun, tampak darah meleleh dari ujung mulutnya, untung tidak terluka dalam,
namun golok punggung tebalnya itu patah jadi dua. Setelah membentur patah golok
besar Han King-hong, Ban-ci-toh itu masih meleset ke depan ke arah majikannya.
Dengan enteng Tang-hay-liong-ong gerakan kedua tangan meraih kedua gamannya,
berdiri santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Han King-hong terkenal sebagai
jagoan yang punya tenaga raksasa, golok tebalnya itu berat 64 kali ternyata
tidak kuat menghadapi benturan Ban-ci-toh, golok patah pemiliknya juga
terjungkal meski tidak terluka parah, tapi hadirin sama kaget.
Tapi Han King-hong sendiri
memang berjiwa polos dan jujur, meski dia terbentur jatuh oleh gaman
Tang-hay-liong-ong, diam-diam dia kagum malah terhadap berat gaman orang,
sambil merangkak tapi mulutnya menggumam: "Kukira dia hanya pura-pura saja,
ternyata memang berat sekali, tak heran dua orang memikulnya dengan payah.
Aneh, gaman terbuat dari logam apakah, hanya sebatang senjata macam tombak, aku
ternyata tidak kuat menyambutnya."
Cun-ih Thong ingin pamer
kepintarannya di samping ingin menunjukkan bahwa dirinya punya hubungan intim
dengan Tang-hay-liong-ong, dari samping segera dia mengoceh pula sambil
membusung dada: "Sepasang Ban-ci-toh milik Sugong-thocu ini memang bukan
sembarangan senjata, pada setiap pertempuran jarang dipakai. Maka maklum bila
kaum persilatan jarang yang tahu asal-usul senjatanya. Perlu diketahui bahwa
sepasang gaman Sugong-thocu ini dibuat dari Hian-tiat (besi murni). Apa itu
Hian-tiat? Dalam bentuk dan besar yang sama bobot Hian-tiat sepuluh kali lipat
dari besi biasa"
Sejak melihat Tan dan In
mengeluarkan sepasang pedang pusaka, timbul harapan orang¬orang gagah, namun
setelah tahu gaman Tang-hay-liong-ong ternyata terbikin dari Hian-tiat, goyah
pula keyakinan mereka. Apakah Hian-tiat itu hadirin banyak yang belum pernah
lihat, tapi banyak juga yang tahu bahwa Hian-tiat itu merupakan sari gabungan
dari lima unsur logam, konon hanya di puncak Sing-siok-hay di Kun-lun-san baru
kedapatan ada Hian-tiat namun Hian-tiat itu sendiri juga sukar ditemukan
disana. Apakah pedang mustika Tan dan In mampu melawan senjata yang terbuat
dari Hian-tiat?
Tampak dengan menggenggam
kencang senjatanya Tan-hay-liong-ong sudah berdiri tegak di tengah arena,
katanya kepada Tan dan In. "Aku lebih tua, di hadapan sekian banyak
orang-orang gagah, aku pantang memungut keuntungan dari kalian. Tidak lekas
kalian turun tangan, masih tunggu apa lagi?" sikap jumawa nadanya
mengejek.
In San berdarah panas, tanpa
bicara segera dia gerakan Ceng-bing-kiam, sinar pedang gemerlap ujung pedangnya
langsung menusuk ke ulu hati di dada kiri Tang-hay-liong-ong. Dalam keluarga
persilatan ada sebuah pameo. "Golok menempuh jalan putih, pedang jalan
hitam" maksudnya bahwa pedang kebanyakan dimulai dari sebelah kiri, jarang
membuka serangan dari tengah. Begitu turun tangan In San langsung menusuk dada,
meski bukan bermaksud merendahkan lawan, namun didalam kebiasaan adu kekuatan
di Bu-lim, sikapnya ini sudah dianggap kurang hormat terhadap seorang Cianpwe.
Karuan Tang-hay-liong-ong naik
pitam, bentaknya: "Biar budak kecil macammu ini tahu keliehayanku,"
serempak dia mengembangkan kedua lengan atasnya kesamping, "Trak"
sepasang gamannya serempak menjepit ke kedua kuping In San. Jurus ini dinamakan
Siang-hong-koan-hi (sepasang angin mengunci telinga). Melihat kedua pihak mulai
pertempuran dengan serangan keji yang mematikan, tak urung hadirin sama
menjerit kaget. Maklum bobot senjata lawan seberat itu, bila kepala In San
tergencet sungguhan, kepalanya pasti remuk dan gepeng. Tujuan
Tang-hay-liong-ong hendak membendung gerakan In San didalam jangkauan sepasang
gamannya, tak nyana In San memiliki gerak tubuh lincah, belum lagi sepasang
senjata lawan menggencet tiba dengan langkah Lou-kik-hou-pou dia berkisar ke
samping kanan Tang-hay-liong-ong. Cepat sekali Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing juga
sudah bergerak laksana lembayung perak terjun ke tengah pertempuran.
Jurus ini dinamakan
Sin-liong¬jip-hay (naga sakti masuk laut), kelihatannya amat keji dan
berbahaya, namun tujuannya untuk mematahkan serangan Tang-hay-liong-ong yang
mematikan sekaligus membantu In San untuk melontarkan serangan mematikan
selanjutnya. Dimana ujang pedang bergetar, tiba-tiba timbul tiga ceplok kuntum
sinar pedang, hanya dalam jangka kilatan dalam satu jurus dia telah menyerang
tiga Hiat-to mematikan tubuh Tang-hay-liong-ong, serangan ganas yang memaksa
lawaan menyelamatkan diri lebih dulu. Betapa tinggi ilmu silat
Tang-hay-liong-ong, tak urung bercekat juga hatinya. "Thio Tan-hong memang
seorang maha guru silat besar, Siang-kiam-hap-pik yang diwariskan sepasang muda
mudi ini memang luar biasa. Aku tak boleh memandang enteng mereka."
Begitu mundur cepat sekali In
San sudah merangsak pula. Ceng-bing-kiam bergerak dengan jurus
Hian-niau-hoat-sa, secara membalik menyontek lengan kiri musuh, lekas
Tang-hay-liong-ong memperbesar lingkaran gerak senjatanya, Tan Ciok-sing
bergerak mengikuti permainan pedangnya, sebat sekali dia melayang keluar dari
lingkaran benturan sepasang gaman lawan tadi secara enteng. Malah di antara
maju dan mundui itu, secepat kilat dia tambahi pula dua jurus serangan,
Tang-hay-liong-ong dipaksa berlaku hati-haati sehingga tidak berani menyerang
In San dengan segala tenaganya. Maklum Lwekang In San memang lebih rendah,
walau dirinya tidak kebentur gaman lawan namun ketindih tekanan angin keras,
tak urung dia merasa sesak napasnya.
Tang-hay-liong-ong tahu titik
kelemahan berada di gadis yang satu ini, mendadak dia menghardik sekali, gaman
kiri menyontek ke atas mematahkan serangan pedang Tan Ciok-sing, berbareng
gaman kanan disapukan miring agak rendah menyerampang bagian bawah In San.
Mendadak In San menjejak lantai tubuhnya melejit tinggi, "Sret"
berbareng pedangnya menusuk dari posisi yang tidak terduga, lekas
Tang-hay-liong-ong memutar miring Ban-ci-toh, lalu mendadak didorong ke depan
serta ditekan pula ke bawah, agaknya dia nekad biar dirinya tertusuk pedang In
San, lawan juga pasti terluka oleh senjatanya. Kebentur deru angin senjata
lawan saja pedang In San sudah tersampuk pergi, meski gerak susulan sudah siap
dilancarkan dalam keadaan seperti itu, tenaganya juga sudah ludes umpama pedang
berhasil melukai lawan, Tang-hay-liong-ong juga hanya terluka ringan saja.
Gebrak berlangsung cepat dan singkat, gaman Tang-hay-liong-ong kelihatan hampir
menutul ke pusar In San. Hadirin sama mencelos kaget, ada di antaranya malah
menjerit ngeri. Namun pada detik gawat itu mendadak terdengar suara
"Tang" begitu kerasnya sehingga kuping hadirin pekak rasanya.
Untuk menyelamatkan In San
terpaksa Tan Ciok-sing menolongnya membentur gaman lawan secara kekerasan,
dengan pedangnya dia mendorong pergi Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong yang hampir
mengenai In San. Bertempur selama puluhan jurus, baru sekali ini gaman mereka
saling beradu.
Bentrokan senjata menimbulkan
percikan kembang api. Seluruh hadirin terbelalak diam hingga sunyi senyap,
semua ingin tahu bagaimana akibat dari benturan keras ini.
Tampak gerak Tan Ciok-sing
melenting terus berkelebat miring kesana. Pek-hong-kiam tetap dipegang
sedikitpun tidak kurang suatu apa, hadirin baru merasa lega
Di tengah percikan api tadi,
mau tidak mau Tang-hay-liong-ong juga kaget dan mundur selangkah. Tersipu-sipu
dia melirik ke bawah melihat gamannya tidak kurang suatu apa, maka lega juga
hatinya.
Masing-masing pihak tidak
dirugikan, Tang-hay-liong-ong berseru: "Bagus," dua gaman menjulur
bersama, mumpung Tan Ciok-sing belum berdiri tegak dia sudah mendesaknya pula.
Gebrak selanjutnya jauh lebih
hebat dan menegangkan, kini tiada rasa memandang enteng kedua lawannya dalam
benak Tang-hay-liong-ong, dia himpun semangat dan kerahkan tenaga mengembangkan
kemahiran permainan sepasang senjatanya yang lain dari pada yang lain.
Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In San ternyata dihadapinya dengan gagah
berani. Bobot senjata sudah berat, dilandasi tenaga raksasa dengan Lwekang
tinggi lagi, maka gerak gaman itu sendiri sudah merupakan tenaga raksasa yang
luar biasa, lawan dapat memainkan secara lincah dan enteng lagi hingga
kelihatannya seperti dua ekor naga yang mengikuti gerak-gerik serangan Tan dan
In berdua
Lama kelamaan hadirin menjadi
kabur pandangannya, hati kebat kebit lagi, Ong Goan-tin Congcecu dari tiga
puluh enam Cecu di perairan Thay-ouw tak urung merasa kuatir dan berkeringat
dingin, dengan suara perlahan dia tanya kepada Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun: "Tam-toako,
menurut pandanganmu, mereka, apakah mereka kuat bertahan..."
Belum habis dia bertanya, Tam
Pa-kun juga belum menjawab, mendadak didengarnya Tan Ciok-sing dan In San
berkata dua patah.
Hadirin tidak tahu apa arti
dua patah kata yang diucapkan, tapi Tam Pa-kun dan Ong Goan-tin maklum dua
patah kata itu adalah inti sari ilmu tingkat tinggi yang mendalam artinya,
seketika mereka tertawa saling pandang, yang satu tidak perlu tanya lagi, yang
ditanya juga tidak perlu menjawab. Tampak permainan pedang Tan Ciok-sing
semakin lambat, ujung pedang seperti diganduli benda ribuan kaki beratnya,
menuding timur menggaris ke barat, gerak-geriknya seperti tidak aturan malah.
Hadirin kaget, tapi rona muka
Tang-hay-liong-ong sendiri kelihatan prihatin dan makin gelap, meski gerak
pedang Tan Ciok-sing makin lambat, seperti terbuka lobang serangan, namun dia
tetap tidak berani merangsak maju menyerang, sikapnya malah amat hati-hati.
Lain lagi permainan In San,
pedangnya diputar makin kencang disertai kelincahan tubuhnya yang tangkas dan
sebat, mendesak maju mencelat mundur, mencelat ke atas mendak ke bawah. Semula
dia hanya bertahan saja, kini terbalik dia yang melancarkan serangan menggebu
malah.
Latihan Tan Ciok-sing berdua
memang belum mencapai tingkat paling tinggi, namun dia meyakinkan ajaran
Lwekang Thio Tan-hong, ajaran yang telah diresapinya diluar kepala itu memang
mandraguna, meski baru beberapa tahun tapi bekal ilmunya sudah cukup setimpal
mengangkat dirinya ke taraf jago kelas wahid demikian pula kali ini, mau tidak
mau Tang-hay-liong-ong harus numplek seluruh perhatiannya untuk menghadapinya.
Setiap kali Tang-hay-liong-ong
lancarkan serangan dengan tenaga raksasa, selalu Ciok-sing gunakan tenaga lunak
dengan gerakan pedangnya menuntun dan memunahkannya, meminjam tenaga untuk
balas menggempur lawan pula. Bila serangan dianggap kosong mendadak gelombang
tenaga besar justru melanda tiba. Oleh karena itu meski taraf Kungfu
Tang-hay-liong-ong lebih tinggi dari kedua lawan mudanya ini mau tidak mau
bercekat juga hatinya.
Taraf latihan In San setingkat
di bawah Tan Ciok-sing, permainannya belum memadai ke taraf yang lebih tinggi
sehingga sukar baginya mengembangkan permainan yang lebih ampuh. Namun dasar
otaknya cerdas dia cukup pintar menyesuaikan diri, syarat yang tidak tercapai
dia ganti dengan cara lain, terpaksa dia mengembangkan ilmu "dengan
sentuhan mematahkan tenaga"
Lwekangnya jauh ketinggalan
dibanding Tang-hay-liong-ong namun Ginkang dan kelincahan tubuhnya jelas lebih
unggul, maka dengan kombinasi permainan ini, dia gunakan kemahiran sendiri
untuk menyerang titik lemah musuh. Begitu dia kembangkan ilmu pedangnya
menusuk, menyontek, mengetuk, membelah, dan mengikis, semua ini dilaksanakan
secara tepat dan bagus gerakannya, boleh digambarkan lambat di tengah
kecepatan, lincah di saat enteng, gerak-gerik berkembang lembut laksana air
mengalir dan mega mengembang mantap dan tegap penuh keyakinan.
Jikalau satu lawan satu jelas
Tang-hay-liong-ong tidak mudah dicecar sehebat ini, namun permainan
Siang-kiam-hap-pik mereka memang amat serasi, kerja sama mereka amat ketat dan
sembabat, walau yang satu lambat yang lain cepat, kelihatannya seperti bertempur
sendiri-sendiri, namun dari berlainan ini justru timbul perpaduan yang terjalin
amat ampuh, kombinasi permainan sepasang pedang mereka semakin memuncak
kesempurnaannya.
Tapi hanya beberapa orang saja
di antara hadirin yang melihat kehebatan dari Siang-kiam-hap-pik itu. Ong
Goan-tin sudah tentu satu di antaranya, kini baru dia melihat titik terang
hingga lega hatinya, katanya setengah berbisik kepada Tam Pa-kun:
"Tam-toako, pandanganmu memang lebih tajam."
Perkataannya amat lirih, tapi
Tang-hay-liong-ong yang lagi berhantam di tengah arena mendengarnya. Mau tidak
mau gundah hatinya, pikirnya: "Jikalau bertempur seperti ini dilanjutkan,
sedikit lena salah-salah aku bakal konyol. Kalau aku tidak kuasa menjatuhkan
dua muda mudi, umpama ingkar janji, memangnya masih ada muka aku berkecimpung
di Kangouw."
Maklum sebelum bertanding tadi
mereka sudah berjanji pihak yang kalah secara suka rela akan punahkan ilmu
silat sendiri. Dalam posisi Tang-hay-liong-ong sekarang dituntut untuk menang,
karena terdesak oleh keadaan akhirnya timbul nafsu jahatnya, dia bertekad akan
mengadu jiwa.
Mendadak dia menghardik,
suaranya sekeras guntur, tanpa hiraukan tusukan pedang Tan Ciok-sing sepasang
gamannya mendadak mengepruk ke batok kepala In San. Kala itu Tan Ciok-sing
sedang melancarkan jurus Pek-hou-liang-ci ujung pedangnya menepis lengan kiri
Tang-hay-liong-ong. Bila jurus serangan kedua pihak ini dilancarkan
sesungguhnya Batok kepala In San jelas bakal remuk terketuk gaman lawan, tapi
lengan kiri Tang-hay-liong-ong juga akan tertabas kutung dari badannya.
Kepala pecah jiwa melayang,
sebaliknya lengan buntung tetap hidup, agaknya Tang-hay-liong-ong merelakan
sebelah lengannya untuk menuntut jiwa In San
Perkembangan tidak terduga ini
menimbulkan kagemparan orang-orang kedua pihak, semua sama menjerit kuatir.
Namun hanya dalam waktu
sekejap itu sebelum hadirin melihat jelas apa yang terjadi, mendadak cahaya
kemilau di tengah gelanggang kuncup seluruhnya, sepasang gaman
Tang-hay-liong-ong menjulur lurus ke depan, sementara Tan dan In menyanggah
dengan kedua pedang, tiga orang sama tidak berani bergerak.
Agaknya Tang-hay-liong-ong
sudah memperhitungan di kala melancarkan keprukan sepasang gamannya ke batok
kepala In San dia yakin Tan Ciok-sing takkan berani mempertaruhkan jiwa In San
dengan membabat kutung lengannya, sesuai dugaannya, baru saja otaknya menduga
tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah merobah permainan. Begitu cepat gerak
perobahannya dan
perkembangannya pun sama-sama
dirasakan kedua pihak, dua pihak sama-sama menyerempet bahaya, tapi
perkembangan ini justru sudah merupakan rencana Tang-hay-liong-ong yang licik.
Dengan kekuatan Lwekang dan
bobot sepasang senjatanya yang kuat, dia salurkan tenaganya secara bergelombang
seperti air bah mengalir tidak putus-putus tenaganya terus disalurkan pada
sepasang gamannya menindih ke arah musuh. Dalam keadaan seperti itu Tan dan In
sudah tidak mungkin menangkis atau menggeser senjatanya pula, sehingga
terjadilah adu kekuatan tenaga dalam.
Kelihatannya memang
tenang-tenang, senjata kedua pihak seperti lengket menjadi satu tanpa bergerak.
Tapi dalam ketenangan ini bagi seorang jago silat kelas tinggi justru merupakan
babak yang paling tegang dan mengejutkan.
Maklum adu tenaga, Lwekang
siapa kuat dia bakal menang, dalam adu kekuatan ini hakikatnya orang tidak bisa
main curang. Walau Tan dan In melawan satu, namun mereka baru berusia dua
puluhan. In San perempuan yang bertenaga jauh lebih lemah lagi, sementara
Tang-hay-liong-ong dibekali latihan Lwekang puluhan tahun, mana mereka mampu melawannya?
Di kala hadirin mencucurkan
keringat dingin dan menyaksikan dengan kuatir, tampak uap putih mulai mengepul
dari ubun-ubun kepala Tang-hay-liong-ong.
Kiranya Lwekang Tan Ciok-sing
memang agak lemah dibanding Tang-hay-liong-ong, tapi Lwekang yang diyakinkan
dari aliran lurus dan murni memperoleh ajaran tingkat tinggi dari ciptaan Thio
Tan-hong, kemurniannya jelas lebih unggul dibanding bekal Lwekang
Tang-hay-liong-ong, ketahanannya juga lebih lama dan kuat.
Tang-hay-liong-ong terus
menggempur dengan menambah tenaganya, laksana gugur gunung layaknya menindih
kedua lawannya, gelombang pertama disusul gelombang kedua yang lebih dahsyat.
Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing sudah melengkung, tapi aneh, keadaan seolah batu
karang di tengah sungai yang tidak bergeming meski diterjang gelombang badai..
Bukan begitu saja, di tengah rangsakan membadai lawannya, ada kalanya diapun
balas menyerang. Meski hanya kadang kala, namun hal itu cukup membuat rasa
kejut Tang-hay-liong-ong makin besar.
Sudah delapan puluh persen
Tang-hay-liong-ong meningkatkan tekanan tenaganya, terpikir dalam benaknya sisa
dua puluh persen kekuatannya hendak dia gunakan menggempur In San, tiba-tiba
terasa Ki-ti-hiat di lengan kanannya kesakitan luar biasa seperti ditusuk
jarum, rasa sakit yang meresap tulang sumsum. Ternyata Tan Ciok-sing gunakan
cara memusatkan tenaga dalam menyerang satu titik sasaran dari ajaran Lwekang
ciptaan Thio Tan-hong. Cara mengerahkan Lwekang
menggunakan tenaga dari ilmu
tingkat tinggi seperti ini. Tang-hay-liong-ong sendiripun belum tahu.
Lwekang Tan Ciok-sing memang
bukan tandingan Tang-hay-liong-ong, tapi dia justru menyerang ke titik sasaran
yang tidak terduga, karuan Tang-hay-liong-ong kelabakan dan tidak berani
menguras seluruh tenaganya. Karena itu dia tidak berani menambah kekuatannya
menekan In San, cukup asal tenaga perlawanan In San dapat dibendungnya saja,
maka tujuh puluh persen tenaganya dia gunakan menggempur Tan Ciok-sing.
Lwekangnya memang tangguh,
namun setelah berkutet setengah sulutan dupa, tak urung uap putih mulai
mengepul dari kepalanya, itulah pertanda Lwekang telah disalurkan mencapai
puncaknya.
Di bawah tekanan kekuatan
berat lawan, keringat sudah membasahi jidat Tan Ciok-sing napasnyapun mulai
berat, keadaan In San lebih payah lagi, napasnya sudah sengal-sengal muka
pucat, keringat gemerobios.
Dari pertandingan senjata
berganti adu kekuatan tenaga dalam, hal ini tidak terduga pula oleh Tam Pa-kun.
Sejauh ini Siang-kiam-hap-pik
merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah mencapai taraf tinggi di
kalangan Bulim. Tam Pa-kun menaruh harapan besar, dia berpendapat hanya
Siang-kiam-hap-pik inilah yang mampu menundukkan musuh tangguh ini. Tapi
keadaan justru berobah adu tenaga dalam, bagaimana akhir pertempuran nanti
susah diramalkan. Walau dia sudah melihat keadaan Tang-hay-liong-ong yang
menunjukkan tanda-tanda akan kehabisan tenaga, namun keadaan Tan Ciok-sing
berdua juga tidak kalah payahnya, apakah mereka kuat bertahan lebih lama dari
Tang-hay-liong-ong?
Ong Goan-tin kebat-kebit, tak
tahan dia berdiri, katanya: "Dua harimau berkelahi pasti ada satu yang
luka, kukira pertandingan ini biarlah dianggap seri bagaimana?"
Tang-hay-liong-ong tidak
berani memberi komentar, dia perlu meningkatkan kewaspadaan dan ketahanannya
untuk menjaga sergapan tenaga dalam Tan Ciok-sing yang menyerang satu titik
sasaran, jelas dia tidak mampu buka suara. Tapi Cun-ih Thong yang telah
disogoknya itu pandai bersilat lidah, tanpa diminta dia akan tahu diri
bagaimana dia harus bertindak, terdengar sebelum buka suara beruntun tiga kali
tertawa dingin.
Han King-hong membentak:
"Kau keparat ini tertawa apa?"
"Kukira pernyataan
Ong-Iocecu kurang bijaksana dan tidak adil."
Ong Goan-tin gusar,
dampratnya: "Dalam hal apa yang tidak adil?"
"Babak pertandingan
terakhir ini bakal menentukan siapa.menang dia jadi Bengcu, mana boleh dianggap
seri? Kalau seri lalu siapa yang harus jadi Bengcu?"
"Keduanya bukan
Bengcu," seru Han King-hong
"Jawaban yang tidak kenal
aturan," cemooh Cun-ih Thong, "pertandingan menentukan Bengcu sudah
disetujui khalayak ramai, mungkinkah pertandingan ini boleh tidak usah
menentukan seorang Bengcu."
Ong Goan-tin menahan amarah,
katanya: "Maksudku supaya mereka tidak perlu gugur bersama, maka aku
serukan supaya urusan ditempuh jalan damai. Tentang siapa bakal merebut jabatan
Bengcu, setelah pertandingan selesai, masih bisa kita bicarakan lagi."
"Menurut
pendapatku," jengek Cun-ih Thong, "Sugong-thocu kini jelas berada di
atas angin, kurasa tidak mungkin akhirnya bakal gugur bersama."
Ong Goan-tin menguatirkan
keselamatan jiwa Tan Ciok-sing dan In San, demi mempertahankan jiwa mereka apa
salahnya terima kalah dan tunduk di bawah perintahnya. Tak nyana di kala
mulutnya sudah terbuka belum sempat bersuara, tiba-tiba didengarnya Tan
Ciok-sing berkata: "Ong-locecu, menurut pendapatku perkataan Cun-ih
Siansing memang beralasan, babak terakhir ini harus ditentukan siapa kalah dan
menang."
Dalam saat-saat kritis mengadu
tenaga dalam ternyata Tan Ciok-sing mampu bersuara, bukan saja hadirin kaget.
Tang-hay-liong-ong sendiripun tidak kurang kejutnya. Dimakluminya bahwa Lwekang
Tan Ciok-sing bukan tandingannya, kalau dia pantang bersuara Tan Ciok-sing
justru buka suara. Ternyata aliran Lwekang yang mereka pelajari memang jauh
berbeda.
Tang-hay-liong-ong meyakinkan
Lwekang yang ganas tapi sekali bertempur harus kerahkan seluruh tenaga, tumplek
perhatian tidak boleh bicara. Tan Ciok-sing justru meyakinkan Lwekang lunak
berpupuk dasar kuat, berbicara hakikatnya tidak mempengaruhi pengerahan
tenaganya, namun sedikit akibat memang ada. Begitu Tang-hay-liong-ong tambah
tekanan tenaganya, Pek-hong-kiam di tangan Tan Ciok-sing melengkung lebih
rendah lagi.
Melihat dan mendengar
Tan-Ciok-sing mampu bicara, hadirin bertempik sorak riuh rendah. Han King-hong
berkata dengan tawa lebar: "Bagus, Cun-ih Thong, hayo bertaruh coba nanti
buktikan pandangan siapa lebih tajam."
Dingin muka Cun-ih Thong, diam
saja tidak memberi tanggapan, kini tiba gilirannya menguatirkan keadaan
Tang-hay-liong-ong.
Meski sedikit lega tapi Ong Goan-tin
masih berkuatir juga. Dia tahu, Tan Ciok-sing bisa bicara, itu pertanda dia
kuat bertahan lebih lama dari dugaannya semula, tapi dia tidak yakin apakah
Ciok-sing berdua mampu mengalahkan Tang-hay-liong-ong.
Di kala hadirin tumplek
seluruh perhatian ke tengah gelanggang, ada seorang perempuan menggeremet masuk
secara diam-diam. Tiada orang memperhatikan kedatangannya, namun Kek Lam-wi
justru melihat kedatangannya. Lam-wi tidak percaya akan pandangan mata sendiri,
tak terasa dia bersuara heran. Toh So-so mendengar suara heran Lam-wi, lekas
dia angkat kepala. Begitu dia melihat gadis itu, sesaat diapun melongo, tapi
hatinya kaget dan senang. Lekas dia memburu kesana menyambutnya.
Gadis ini bukan lain adalah Bu
Siu-hoa yang sedang dicari oleh Kek Lam-wi. Mereka tidak tahu entah sembunyi di
tempat sepi mana Bu Siu-hoa sekarang, sungguh tidak nyana sekarang dia muncul
sendiri, malah muncul di hadapan orang-orang gagah sebanyak ini.
"Bu-cici, betapa payah
kami mencarimu," seru Toh So-so menyongsong maju serta menarik lengan Bu
Siu-hoa.
Sikap Bu Siu-hoa agak kikuk
dan risi katanya tergagap: "Toh-cici, aku berbuat salah terhadap kau, aku
menipumu."
"Kau telah menolong
Lam-ko, belum sempat aku berterima kasih kepadamu, urusan sudah lalu tidak usah
disinggung lagi. Tapi bagaimana kau bisa datang kemari."
Belum lagi Bu Siu-hoa
menjawab, tiba-tiba didengarnya Kek Lam-wi berteriak: "Awas serangan
gelap."
Toh So-so bertindak lebih
cepat. "Tring" sebutir pelor duri yang terbuat dari besi telah
dipukulnya jatuh. Gerakan membalik melolos pedang serta memukul jatuh senjata
rahasia dilakukau secara mahir dan cepat seperti belakang kepalanya tumbuh mata
saja.
Kek Lam-wi berteriak pula
"Si pendek yang duduk di pojok timur itulah penyerangnya, lekas gusur dia keluar."
Belum habis dia berteriak
tiba-tiba didengarnya si pendek itu sudah menjerit dan terguling di lantai.
Bu Siu-hoa tertawa dingin,
jengeknya: "Memberi tidak dibalas kurang hormat, biar keparat itu juga
rasakan senjata rahasia." Ternyata orang itu tersambit Bwe-hoa-ciam di
lutut, tepatnya di Hoan-tiau-hiat. Didalam kelompok orang-orang sebanyak ini
dia mampu menyambitkan jarum sekecil itu tepat kesasarannya, mau tidak mau
hadirin merasa kagum dan heran, tidak sedikit orang yang bisik-bisik, saling tanya:
"Siapa gadis ini?"
Si pendek yang membokong tadi
merangkak duduk terus berteriak: "Perempuan siluman ini adalah putri
Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang, ln Kip adalah ayah angkatnya, pasti • In Kip
mengutusnya kemari jadi mata-mata."
In Kip punya hubungan rahasia
dengan pihak kerajaan, hal ini sudah terbongkar dan diketahui banyak orang.
Beberapa orang yang berangasan kontan memaki: "Bagus, perempuan siluman
ini berani bertingkah melukai orang disini, lekas bekuk dia."
Bu Siu-hoa bertolak pinggang,
katanya dingin menuding si pendek: "Aku pernah melihatnya, walau aku tidak
tahu namanya, tapi aku tahu dia salah satu tamu kepercayaan In Kip."
"Betul," timbrung
Toh So-so teringat, "di rumah keluarga In, hari itu akupun pernah
melihatnya. Kini dia pura-pura menjadi kaum pendekar dan menyelundup
kemari."
Beberapa lelaki kasar
berangasan itu sudah memburu keluar hendak membekuk Bu Siu-hoa mendengar
perkataan Toh So-so, mereka sama melenggong saling pandang.
Si pendek berkata:
"Jangan percaya obrolan perempuan siluman itu. Apapun dia adalah putri
Bu-sam Niocu dari Bu-san-pang yang sudah rusak namanya, putri angkat ln Kip
yang jahat dan kemaruk harta itu, coba kalian tanya dia berani tidak dia
mengaku?"
Tam Pa-kun berdiri, katanya:
"Aku percaya perkataan nona Bu ini. Tapi dia memang benar putri Bu-sam
Niocu dari Bu-san-pang, tapi sekarang dia sudah insyaf dan kembali ke jalan
lurus, aku bisa menjadi saksi."
Bahwa Kim-to-thi-ciang Tam
Pa-kun angkat bicara menjadi saksi kebenaran asal-usul Bu Siu-hoa, sudah tentu
hadirin lebih percaya kepada keterangannya.
Kek Lam-wi berdiri ikut
bicara: "Akupun berani menjadi saksi, dia pernah menolong jiwaku. Menurut
apa yang kuketahui akhir kali ini, dia sudah meninggalkan Bu-san-pang dan putus
hubungan dengan ibunya."
Lenyap kecurigaan hadirin
terhadap Bu Siu-hoa, maka perhatian kini ditujukan kepada lelaki pendek itu,
tanpa banyak bicara dua orang telah mencengkramnya keluar dan hendak
mengompresnya.
Tapi Tam Pa-kun berkata:
"Gusur keluar dan sekap dulu keparat ini, nanti kita minta
keterangannya."
Dalam pada itu adu kekuatan
tenaga dalam antara Tan Ciok-sing bersama In San kontra Tang-hay-liong-ong
tetap tertahan, keadaan tetap seperti tadi, sama-sama tegak kaku seperti
patung. Pertandingan seperti ini sudah tentu tidak lebih mengasyikkan dari adu
pukulan dan tipu menipu, bagi mereka yang rendah kepandaiannya, malah bosan dan
gerah rasanya. Tapi bagi para ahli silat, adu kekuatan seperti ini justru lebih
menegangkan, karena babak akhir dari adu kekuatan ini sebentar lagi bakal
mencapai klimaknya.
Mendengar seruan Tam Pa-kun
baru hadirin sadar, karena kedatangan Bu Siu-hoa tadi perhatian mereka jadi
terpecah, kini kembali mereka memperhatikan adu kekuatan di tengah arena pula.
Sudah tentu lebih banyak
hadirin yang tidak bisa menyelami kehebatan adu kekuatan, namun mereka bisa
menduga ketenangan yang kelihatannya bertahan ini, suatu ketika bakal meledak
kesudahan yang menggemparkan. Maka mereka tidak mau pedulikan urusan lain pula.
Laki-laki berangasan tadipun maju minta maaf kepada Bu Siu-hoa lalu si pendek
itu diseret keluar.
Bu Siu-hoa berkata: "Tam
Tayhiap, ada urusan penting perlu kulaporkan kepada Ong-locecu."
"Baik, mari ikut
aku," ujar Tam Pa-kun.
Bu Siu-hoa menjura kepada Ong
Goan-tiri, katanya: "Siau-li datang tanpa diundang, mohon maaf akan
kehadiranku yang serampangan ini."
"Nona Bu jangan sungkan,
entah ada urusan penting apa yang ingin kau sampaikan kepada Lohu?"
"Soal ini kurasa harus
kubeber di hadapan umum," kata Bu Siu-hoa. Nadanya seperti urusan ini amat
penting, sebelum meneruskan perkataannya dia bertanya pula kepada Ong Goan-tin:
"Tolong tanya, apakah orang yang bertanding melawan Tan-siauhiap dan In
Lihiap adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go?"
"Benar, dia memang Sugong
thocu," sahut Ong Goan-tin
"Baiklah, syukur
kedatanganku belum terlambat," ujar Bu Siu-hoa.
Belum habis dia bicara,
tiba-tiba terdengar Tang-hay-liong-ong menggeram rendah dan serak, suaranya
seperti dengus sapi yang hendak disembelih. Maka tampak Tang-hay-liong-ong
melangkah maju setapak.
Ong Goan-tin tidak perhatikan
lagi apa yang diucapkan Bu Siu-hoa kepadanya, lekas dia menoleh kesana menatap
arena pertempuran.
Setelah Tang-hay-liong-ong
maju setapak keadaan kembali bertahan sama kuat. Tapi tapak kaki tampak
membekas di atas lantai yang keras itu sedalam tiga senti. Pada hal lantai
balairung ini dilandasi batu hijau yang keras sekali, tapi kekuatan
Tang-hay-liong-ong mampu membuat bekas tapak kaki di atas lantai yang keras
itu. Tan Ciok-sing dan In San memang belum kalah, tapi melihat bekas tapak kaki
itu mau tidak mau hadirin sama tersirap dan berkuatir bagi mereka.
Toh So-so lebih gelisah dari
Ong Goan-tin, katanya: "Bu-cici, ada urusan apa, lekas kau katakan
saja."
Bu Siu-hoa berkata:
"Ong-locecu kumohon kau membaca sepucuk surat."
Ong Goan-tin melenggong,
katanya: "Surat siapa?" tapi dia sudah tidak sempat banyak pikir,
karena dia menduga surat ini pasti amat besar artinya bagi situasi yang
dihadapinya sekarang, kalau tidak Bu Siu-hoa tidak akan suruh dirinya melihat surat
dalam keadaan segawat ini.
Maka Bu Siu-hoa berkata:
"Yaitu surat Tang-hay-liong-ong ini ditujukan kepada In Kip."
Hadirin kaget dan heran, tanpa
sadar mereka tujukan perhatian pada surat yang berada di tangan Ong Goan-tin.
Ong Goan-tin langsung melolos
sepucuk surat dari sampulnya terus dibeber dan dibaca, mimik mukanya tampak
kaget dan terbelalak girang. Sekilas matanya melirik ke arah
Tang-hay-liong-ong, dilihatnya rona muka Tang-hay-liong-ong berubah hebat, tapi
sepasang senjatanya masih menekan keras dan berat, sedikitpun tidak menjadi
kendor meski keadaan gawat mulai mengancam pihaknya, keringat sebesar kacang
telah berketes di jidat Tan Ciok-sing dan In San terasa tekanan tenaga lawan
bertambah lebih keras lagi.
Akhirnya Toh So-so yang tidak sabaran
bertanya: "Apa yang ditulis dalam surat itu?"
"Nona Bu," tanya Ong
Goan-tin, "apakah surat ini. boleh kubacakan di muka umum?"
"Memang tujuanku supaya
seluruh orang-orang gagah yang hadir disini tahu siapa sebenarnya dan bagaimana
karakter Tang-hay-liong-ong ini," demikian sahut Bu Siu-hoa.
Makin buruk rona muka
Tang-hay-liong-ong, sayang dia tidak berani memecah perhatian untuk bersuara,
terpaksa dia biarkan Ong Goan-tin membaca suratnya itu.
Perlahan suara Ong Goan-tin:
"Surat Sugong-thocu ini ditujukan kepada In Kip, dia memperkenalkan dua
orang sahabatnya, seorang ialah Tang-bun Cong dan seorang lagi adalah Poyang
Gun-ngo. Kedua orang ini sudah datang ke Soh-ciu, diaa minta kepada In Kip
supaya menerima mereka secara rahasia dan di tempatkan ke suatu tempat yang
tersembunyi pula, dengan suatu tugas besar yang akan diserahkan kepada
mereka."
Tang-bun Cong adalah salah
satu jago kosen di dunia persilatan, bahwa diam-diam dia sudah menjadi antek
kerajaan, jarang kaum persilatan yang tahu, tapi ada juga orang yang sudah tahu
akan rahasianya. Tapi siapa Poyang Gun-ngo jarang orang tahu. Seperti diketahui
Poyang Gun-ngo adalah salah satu Busu negeri Watsu yang terkenal tapi kaum
persilatan di Kanglam hanya beberapa gelintir saja yang pernah mendengar nama
dan tahu asal-usulnya.
Banyak hadirin yang
kasak-kusuk tanya sini tanya sana: "Siapakah sebetulnya Poyang
Gun-ngo?"
Maka Kek Lam-wi berdiri dan
berkata dengan lantang: "Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari empat jago
pedang kepercayaan Khan agung negeri Watsu. Waktu negeri Watsu mengutus Duta
rahasianya ke Pakkhia tempo hari, Poyang Gun-ngo adalah salah satu dari
pengawal Duta rahasia itu. Setelah Duta rahasia itu^ menyelesaikan tugasnya dan
kembali ke negerinya, seorang diri ternyata dia tetap berada di Pakkhia,
tahu-tahu sekarang sudah berada di daerah Kanglam di I uar tahu orang banyak.
Kali itu aku kecundang dan terluka di bawah tangannya. Tan Ciok-sing juga
pernah bertemu dangan dia di hotel milik In Kip."
Keterangan Kek Lam-wi
sekaligus membongkar asal-usul Poyang Gun-ngo juga membeber isi surat
Tang-hay-liong-ong yang ditujukan kepada In Kip. Bahwa setelah berada di
Soh-ciu Poyang Gun-ngo memang bersekongkol dengan In Kip.
Karuan hadirin menjadi gempar.
Han King-hong yang berangasan lantas berteriak: "Bagus ya, Sugong-thocu
tadi menyerukan orang-orang gagah seluruh pelosok tanah air supaya angkat
senjatanya melawan serbuan bangsa Watsu, diluar tahu kita dia justru berintrik
dengan pihak musuh."
Ih Ti-bin ikut menjengek
dingin, serunya: "Bukan hanya sekongkol dengan seorang Busu dari Watsu
saja, apa tujuan Poyang Gun-ngo datang ke Kanglam, kita sudah tahu. Agaknya
hanya di mulut saja Sugong-thocu bilang kita harus seia sekata membendung
serbuan bangsa asing, secara diam-diam dia justru bekerja demi kepentingan
musuh."
Perhatian hadirin terpencar
karena kejadian yang tidak terduga ini, kini baru mereka sadar duduknya
perkara, maka perhatian kembali ditujukan ke arena pertempuran.
Tampak perawakan
Tang-hay-liong-ong seperti mengkerat, ternyata saking besar tenaga yang dia
kerahkan, tanpa terasa kedua kakinya amblas kedalam tanah. Sebaliknya Tan dan
In masih berusaha bertahan dengan susah payah, sepasang pedang mustika sudah
melengkung seperti gendewa yang ditarik. Walau hadirin kaget dan berkuatir bagi
mereka, tapi kelihatannya sikap mereka masih lebih segar dari pada
Tang-hay-liong-ong yang sudah kelihatan runyam.
Kuatir Tan dan ln tidak kuat
benahan lagi, lekas Ong Goan-tin berseru: "Cun-ih Siansing, menurut
pendapatmu bagaimana?"
Cun-ih Thong sengaja bersikap
tak acuh dan adem ayem, katanya: "Nona Bu ini dulu memang pernah menjadi
putri angkat In Kip, tapi bagaimana juga surat rahasia ini tidak mungkin In Kip
mau menyerahkan kepada dia? Maka tolong tanya kepada nona Bu dari mana kau peroleh
surat ini?"
"Aku pernah menjadi
sekretaris pribadi In Kip, dimana dia menyimpan surat-surat penting aku tahu
dengan jelas, surat ini sengaja kucuri."
Kalem perkataan Cun-ih Thong:
"Maaf bila aku menilai dirimu dengan sikap seorang rendah, apakah kau punya
bukti bahwa surat rahasia ini memang benar tulisan tangan langsung dari
Sugong-thocu? Maka menurut pendapatku, biarlah kita tunda dulu urusan ini
setelah pertandingan usai, nanti kita dengar pembelaan langsung Sugong-thocu di
hadapan umum. Kalau sekarang juga membuat kesimpulan kurasa masih belum
saatnya."
Tiba-tiba Ong Goan-tin
berkata: "Segera aku bisa memberikan buktinya."
Lalu dia keluarkan kartu nama
Sugong-thocu, menurut lazimnya sebelum naik ke atas gunung Tang-hay-liong-ong
memang sudah suruh anak buahnya mengirim kartu namanya ke markas Ong Goan-tin.
Katanya: "Cun-ih Siansing silahkan kau periksa kartu namanya ini coba
periksa gaya tulisan Sugong-thocu di atas kartu nama ini, apakah mirip dengan
tanda tangan di bawah surat rahasia ini?"
"Ah, gaya tulisan atau
tanda tangan kan bisa dipalsu," demikian debat Cun-ih Thong.
"Mana mungkin nona Bu
pernah melihat gaya tulisan Tang-hay-liong-ong serta memalsunya?" bantah
Ong Goan-tin.
"Bagaimana juga, urusan
harus diselesaikan setelah pertan-dingan ini usai, biar mereka yang
bersangkutannya."
"Persoalan surat ini
tulen atau palsu jauh lebih penting dari pemilihan Bengcu itu sendiri. Kalau
Sugong-thocu ingin membela diri, pertandingan boleh ditunda sementara."
Pada hal kedua pihak sudah mengerahkan seluruh kekuatan dalamnya, sudah tiba
saat-saat paling genting. Ong Goan-tin kuatir'Tan dan In tidak kuat benahan
lagi.
Kalau Ong Goan-tin bicara
dengan suara lantang berpegang kebenaran. Cun-ih Thong sebaliknya kelihatan
bimbang. Otaknya tengah menerawang, bagaimana dia harus bersikap supaya waktu
bisa terulur lebih lama sehingga Tang-hay-liong-ong bisa menggunakan waktu
dengan baik mencapai kemenangan pertandingan babak terakhir Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar Tang-hay-liong-ong meraung rendah. Pandangan hadirin
serempak tertuju ke tengah arena pertempuran.
Di tengah raungan
Tang-hay-liong-ong itu tampak tubuhnya tiba-tiba mencelat mumbul ke atas, jubin
di sekitar kakinya tampak retak berantakan. Sebaliknya Tan dan ln berdua
berputar laksana gangsingan, beruntun mereka mundur berkisar beberapa putaran.
Karuan hadirin berjingkat
kaget dan kuatir semua melongo.
It-cu-king-thian Lui Ting-gak
bersuara lebih dulu dengan nada riang dan senang: "Bagus. Syukurlah.
Tan-siauhiap dan In Lihiap memenangkan pertandingan babak terakhir ini."
Belum lenyap suara kejut para
hadirin baru sekarang mereka melihat jelas setelah mencelat turun dan berdiri
tegak, tampak pakaian di depan dada Tang-hay-liong-ong koyak silang bersilang
seperti palang merah jelas itu hasil goresan ujung pedang mustika Tan Ciok-sing
dan In San. Setelah berkisar beberapa bundaran, beruntun Tan dan In mundur
tujuh delapan langkah baru berhasil menegakkan pula tubuh mereka. Agaknya Tang
hay-liong-ong menjadi kacau pikirannya sejak Bu Siu-hoa muncul membeber surat
rahasianya kepada In Kip, maka akhirnya dia berkeputusan untuk secepatnya
mengakhiri pertempuran ini dengan seluruh sisa kekuatan tenaga dalamnya.
Hasilnya meski dia berhasil
memukul mundur kedua lawannya, tapi dia tetap tidak berhasil melukai mereka.
Sebaliknya hampir saja dadanya koyak oleh permainan sepasang pedang lawan.
Sayang sekali Tan dan In
berdua tergetar mundur oleh getaran keras senjata berat lawan, meskipun dalam
keadaan sekejap itu mereka sempat memanfaatkan kesempatan dengan kecepatan
gerak pedang mereka, paling juga hanya berhasil menggores koyak baju di depan
Tang-hay-liong-ong, tak urung mereka sendiri tertolak mundur oleh getaran
tenaga lawan yang dahsyat. Bila getaran tenaga senjata berat Tang-hay-liong-ong
sedikit lemah lagi, sepasang pedang mustika mereka pasti sudah membelah dada
Tang-hay-liong-ong.
Diam-diam hadirin merasa
sayang, namun walau tidak berhasil melukai Tang-hay-liong-ong betapapun Tan dan
In sudah merebut kemenangan. Surat itu tulen atau palsu tidak penting lagi
artinya, apapun sekarang Tang-hay-liong-ong tidak berhak lagi merebut kedudukan
Bengcu. Karuan hadirin banyak yang berjingkrak senang dan bersorak sorai. Lekas
Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun memburu maju memapah Tan Ciok-sing, sebelah telapak
tangannya menekan punggung, diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya ke tubuh
orang supaya tenaganya lekas pulih, katanya: "Hianti syukurlah jerih
payahmu berhasil."
Getaran yang dialami In San
tidak sekeras yang diterima Tan Ciok-sing, lekas dia memapak ke arah Bu
Siu-hoa, katanya pegang lengan orang: "Bu-cici, kali ini beruntung dapat
bantuanmu. Hari itu kau telah membantu kami, belum sempat kami mengucapkan
terima kasih kepadamu. Betapa rindu kami kepada kau, kali ini kuharap kau tidak
pergi pula secara diam-diam lho."
Panas muka Bu Siu-hoa, hatinya
haru dan tentram, sesaat lamanya matanya berkedip-kedip tak mampu mengeluarkan
suara.
Kejut dan gembira agak mereda,
sementara itu terjadi pula keributan antara dua rombongan orang yang berada di
dua pihak. Tang-hay-liong-ong mencak-mencak gusar bentaknya. "Kalian
sengaja menyuruh budak she Bu ini mengacau untuk memecah perhatianku, apakah
pertandingan ini boleh dikata adil?"
Pihak orang-orang gagah
menjadi geger, Han King-hong segera menanggapi: "Sugong Go, belum lagi
kami mengusut persekongkolanmu dengan pihak Watsu, serta dosa besarmu menipu
seluruh orang-orang gagah yang hadir disini, berani kau mencak-mencak mencari
perkara disini."
Ih Ti-bin ikut mencemooh:
"Muslihatmu sudah terbongkar, masih berani kau mau angkat diri menjadi
Bengcu, apakah tidak menggelikan. Hm, kau tamak harta dan gila pangkat, rela
menjual bangsa dan negara, kenapa tidak kau beset saja mukamu di hadapan umum.
Nah bukalah kedokmu, jangan pura-pura mengagulkan diri-sebagai orang gagah
segala, lekas ngacir saja ke negeri Watsu, pintalah kepada Khan Agung Watsu
untuk mengangkatmu menjadi menteri atau pembesar apa saja menurut keinginanmu
sendiri."
Dari malu Tang-hay-liong-ong
naik pitam bentaknya gusar. "Hari ini aku datang untuk memberi selamat
ulang tahun kepada Ong-cecu aku tidak sudi mendengar kotbah kalian. Bulim
Bengcu dapat tidak kuraih tidak jadi soal, tapi jangan sekali-sekali kau berani
bertingkah pula di depanku. Menurut aturan Kangouw, siapa kuat dia menang,
memangnya kalian mau apa sekarang?"
Anak buah Tang-hay-liong-ong
segera ikut-ikutan berkaok-kaok: "Memangnya, bila mereka mau cari
gara-gara menghina Thocu kita hayolah gasak saja."
Sudah tentu pihak orang-orang
gagah semakin mendidih, serempak mereka telah melolos senjata siap melabrak
musuh, kebanyakan berpendapat untuk menahan mereka disini sehingga situasi
menjadi tegang.
Ih Ti-bin berteriak:
"Kalian ingin main kekerasan, kamipun sudah siap, memangnya kami
takut?"
Tang-hay-liong-ong menyeringai
sadis: "Baiklah boleh kalian maju, coba saja apa kalian mampu menahan
diriku disini?"
"Kungfumu memang tinggi,
mungkin kami tidak mampu menahan disini," demikian debat Ih Ti-bin,
"tapi jangan kau kira bisa keluar dari bilangan Thay-ouw dengan masih
hidup. Ketahuilah bila pertempuran terjadi disini, perahu kalianpun sudah
berada di tangan kami, sekali ledakan cukup menghancurkan kapal itu. Umpama
kalian tidak mati dalam pertempuran juga akan mati kelaparan di atas
gunung."
Anak buah Tang-hay-liong-ong
memang tidak sedikit jumlahnya tapi apapun mereka berada di markas Ong
Goan-tin, situasi jelas tidak menguntungkan mereka Umpama ancaman Ih Thi-bin
menjadi kenyataan mereka tidak berhasil lolos dari Thay-ouw, meski memiliki
Kungfu tinggi juga tiada harapan hidup lagi. Oleh karena itu lahirnya saja
mulut anak buah Tang-hay-liong-ong masih garang, pada hal dalam hati sudah jeri
dan kebat-kebit.
Ong Goan-tin diam-diam
menerawang keadaan di pihak Tang-hay-liong-ong, Lamkiong King dan Liu Yau-hong
sudah terluka, tapi masih ada Tong-pck-siang-ki, Hiap-tiong-sam-koay dan Sat-to
begal kuda kelahiran Kwan-tiong dan jago-jago tangguh lainnya, bila pertempuran
besar terjadi, umpama musuh berhasil dibabat habis, korban di pihak sendiri
juga pasti cukup berat. Maka mumpung Tang-hay-liong-ong kelihatan bimbang dan
lembek semangatnya, segera dia berdiri membuka suara.
"Hadirin diharap
tenang," Ong Goan-tin tampil ke depan, suaranya lantang. "Hari ini
adalah hari kelahiranku, banyak terima kasih kalian sudi datang menghadiri
perjamuan sederhana ini, apapun maksud kedatangan kalian, betapapun hari ini
kalian adalah tamu-tamuku. Sebagai mana lazimnya sebagai tuan rumah tidaklah
pantas aku berlaku kurang hormat terhadap para tamunya, tapi akupun mengharap
para tamu suka memberi muka kepadaku, jangan sampai terjadi keributan yang
tiada gunanya disini. Akan tetapi Sugong-thocu tadi bilang hendak menyampaikan
selamat kepadaku, terus terang aku tidak berani menerimanya. Kalau sudi kau
memberi muka kepadaku, silahkan minum secangkir arak suguhanku ini dan silahkan
berlalu saja."
Pidatonya mengandung beberapa
maksud. Pertama, dia bilang sebagai mana lazimnya, secara tidak langsung dia
mau bilang, bila Tang-hay-liong-ong ingin menggunakan kekerasan dia pasti
"mengiringi". Kedua bahwasanya Tang-hay-liong-ong belum mengeluarkan
pernyataan mohon diri, tapi Ong Goan-tin menyuguhnya secangkir arak baru
menyilakan tamunya berlalu seolah-olah Tang-hay-liong-ong sudah berpamitan
kepadanya, ini jelas sudah mengusirnya secara halus. Tapi dia pandai merangkai
pidatonya sehingga Tang-hay-liong-ong tidak merasa malu karena pamornya tidak
dibikin jatuh di muka umum. Ketiga ucapannya hanya ditujukan kepada mereka yang
mengandung maksud jahat, maka dia menggunakan istilah hari ini betapapun kalian
adalah tamuku, jadi maksudnya setelah hari ini, orang-orang tertentu bukan lagi
tamunya, kalau bukan tamunya sudah tentu bukan teman atau sahabatnya lagi.
Pidatonya memang masuk akal
dan dapat diterima oleh segala pihak, maka hadirin tiada yang membantah, Han
King-hong berseru: "Baiklah, demi memberi muka kepada Ong-cecu biarlah
hari ini kita memberi kelonggaran kepada mereka."
Tang-hay-liong-ong memang
pandai kendalikan biduk sesuai arah angin, dirinya tidak dibuat malu di muka
umum, maka diapun tidak berani membuat keributan lagi meski sikapnya kelihatan
kikuk dan runyam, tapi dia masih bisa tertawa lebar, katanya lantang.
"Kedatanganku bermaksud baik, kalian justru salah paham dan mencurigai
aku. Baiklah untuk memberi muka kepada Ong-cecu kejadian hari ini tidak akan
kuambil dalam hati, tapi kekalahanku hari ini tidak akan dilupakan, kelak masih
ada waktu untuk membuat perhitungan dengan kalian. Suguhan arak ini biar tidak
usah kuminum, mohon pamit saja." Lekas sekali orang-orang
Tang-hay-liong-ong sudah meninggalkan ruang perjamuan ini. Ki-gi-ting kembali
dalam suasana pesta pora yang riang gembira, banyak orang berjingkrak menari
dan menyanyi.
Di kala perjamuan berlangsung,
tiba-tiba Ih Ti-bin memberi laporan kepada Ong Goan-tin: "Ha It-seng dan
Su Kian entah kemana perginya sudah kusuruh orang mencari mereka tidak
ketemu."
Han King-hong berjingkrak
gusar, serunya: "Melihat kelakuan mereka hari ini, aku jadi curiga mungkin
mereka ikut ngacir bersama Tang-hay-liong-ong."
"Jangan menuduh mereka
yang bukan-bukan," ujar Ong Goan-tin, "selidiki dulu persoalannya
baru ambil kesimpulan. Bila mereka memang benar sudah pergi, biarkan
saja."
"Betul," ujar lh
Ti-bin, "bila mereka musuh dalam selimut, tak ubahnya bisul dalam perut,
lebih baik sebelum saatnya dia sudah ngacir lebih dulu."
Mendengar orang banyak
membicarakan Ha It-seng dan Su Kian yang melarikan diri, tiba-tiba Toh So-so
teriak kepada In San dan Tan Ciok-sing, katanya: "In-cici, Tan-toako
kalian melihat Bu Siu-hoa tidak?"
In San sadar dan terkejut,
katanya: "Sesudah kami mengalahkan Tang-hay-liong-ong tadi aku sempat
bicara beberapa patah kata dengan dia, belakangan suasana agak ribut, entah
kemana dia pergi?"
"Memangnya, akupun akan
menyatakan terima kasih kepadanya tahu-tahu orangnya sudah tak kelihatan
lagi," demikian timbrung Tan Ciok-sing.
Lenyapnya Bu Siu-hoa tidak
boleh dibanding menghilangnya Ha It-seng dan Su Kian maka Ong Goan-tin suruh
anak buahnya berpencar mercarinya, tak nyana setelah perjamuan usai Bu Siu-hoa
tetap tidak ditemukan jejaknya.
Kek Lam-wi tidak tega,
hidangan-hidangan tidak tertelan lagi, katanya: "Dia dilahirkan dari
golongan sesat, mungkin dia kuatir dihina dan dipandang rendah, maka diam-diam
meninggalkan kita?"
Ong Goan-tin berkata:
"Jasanya hari ini paling besar, kukira dia sendiri maklum akan hal ini,
lalu siapa berani memandang rendah kepadanya. Tak mungkin hanya karena soal
sepele ini dia pergi dari sini?"
"Ya kukuatirkan justru
dia tidak punya pikiran sejernih kita," ucap Lam-wi. Ong Goan-tin segera
menghibur: "Menurut analisa, tidak mungkin Bu Siu-hoa ikut naik kapal
Tang-hay-liong-ong, kalau dia mau meninggalkan Thay-ouw, pasti menggunakan
perahu kita. Ada petugas khusus yang menyambut dan mengantar para tamu keluar
masuk, umpama ada tamu yang datang naik perahunya sendiri, setelah mereka
mendarat, orang kita juga yang mengurus perahunya, bila tahu siapa saja
meninggalkan pangkalan, orang-orangku pasti tahu. Kenyataan mereka tiada yang
memberi laporan, kuduga nona Bu belum meninggalkan tempat ini. Cepat atau
lambat jejaknya pasti ketemu."
Toh So-so lebih gelisah dari
Kek Lam-wi katanya: "Kek-toako, mari kau menemani aku mencarinya."
"Sudah banyak orang yang
mencarinya," bujuk Ong Goan-tin.
Toh So-so berkata: "Aku
pernah mendapat budi pertolongannya, kali ini dia kemari juga lantaran kami
pula, tahu-tahu dia menghilang, jikalau kami tidak kcluai tenaga ikut
mencarinya betapapun perasaan takkan bisa tcntram."
Tan Ciok-sing dan In San juga
mcny.H.ikan: "Marilah kita mencarinya beramai-ramai."
Waktu ini putri malam baru
saja keluar dan peraduannya. In San berkata dengan tertawa: "Hayolah kita
temukan tidak jejaknya, mari naik ke puncak Tong-thing-san barat, menikmati
panorama Thay-ouw di waktu malam. Tolong kalian tunggu sebentar," bergegas
dia pulang ke penginapan mengambil harpa kuno milik Tan Ciok-sing. Tan
Ciok-sing tahu maksudnya maka dia tidak memberi komentar, berempat mereka
keluar mencari jejak Bu Siu-hoa. Sayang perhatian mereka tertuju untuk mencari
jejak Bu Siu-hoa, sehingga kurang selera menikmati panorama malam di puncak gunung.
Tiba-tiba In San berkata: "Kek-toako, aku ingin mendengar tiupan lagu
serulingmu."
Kek Lam-wi tertawa katanya:
"Harpa Tan-toako sudah kau bawa juga, aku sudah tahu maksudmu, akupun
ingin mendengar petikan harpa Tan-toako."
Betapa cerdik otak Toh So-so,
lekas sekali diapun maklum, katanya tertawa. "Adik San, bukan maksudmu
ingin mendengar tiupan seruling Kek-toako, tapi kau ingin supaya tiupan
seruling Kek-toako terdengar oleh nona Bu bukan?"
"Betul," ujar In San
terus terang, "bukan mustahil, setelah mendengar tiupan seruling
Kek-toako, dia akan muncul sendiri."
"Baiklah," ucap Kek
Lam-wi, "Tan-toako, harap kau petik dulu harpamu nanti kulanjutkan tiupan
serulingku."
"Lebih baik kita bawakan
sebuah lagu intrumental, perpaduan suara harpa dan seruling suaranya akan
terdengar lebih jauh," demikian ujar Tan Ciok-sing.
"Begitupun baik?"
ujar Kek Lam-wi.
"Lagu apa yang akan kita
bawakan?" tanya Ciok-sing.
"Aku punya pendapat coba
kalian menilainya?" tiba-tiba In San menyela.
"Sebelum kau jelaskan, bagaimana
aku bisa menilainya?" Tan Ciok-sing berkelakar.
Kek Lam-wi ikut tertawa geli,
katanya: "Adik ln jangan kau mengajukan persoalan rumit kepada kami
lho?"
"Ini bukan soal sulit,
aku hanya ingin mendengar lagu baru dengan nada yang menyegarkan, intrumental
kalian ini ada kalanya harus dibawakan secara tunggal bergantian."
"Otakku ini tumpul, aku
tidak paham apa yang kau artikan secara tunggal bergantian."
In San menjelaskan:
"Kalian boleh sama-sama meniup seruling dan memetik harpa tapi tak usah mencocokkan
nada, kalian boleh membawakan lagu apapun yang kalian senangi."
"Lho, mana bisa nada dan
lagunya berpadu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Sebelumnya kalian boleh
menentukan pilihan lagu apa yang akan kalian bawakan serta menentukan nadanya
pula, tapi matnya harus sama, sehingga temponya sama pula. Seruling dan harpa
adalah alat musik khusus yang mempunyai keistimewaannya sendiri, dalam
perpaduan suaranya tidak perlu harus senada."
"Usulmu memang menarik,
baiklah biar kami mencobanya. Tan-toako, kau membawakan lagu apa?" tanya
Kek Lam-wi.
"Aku akan membawakan lagu
'Kisah pertemuan' dengan nada E," sahut Tan Ciok-sing.
"Baik, aku akan meniup
lagu 'Kenangan sahabat' dengan nada B."
Nada lagu yang mereka bawakan
memang berbeda, namun suasana diliputi rasa riang gembira dan manis madu.
Sebelum mereka habis membawakan lagunya, memang seorang telah berlari
mendatangi seperti yang mereka duga. Tapi yang muncul bukan Bu Siu-hoa,
ternyata seorang pemuda tanggung berpakaian sederhana dengan perawakan kekar.
Melihat pemuda ini sesaat Tan
Ciok-sing melenggong, tiba-tiba dia berjingkrak berdiri seraya berteriak:
"Lau-toako tak nyana bisa bertemu kau disini."
In San tidak kalah senangnya,
teriaknya: "Lau-toako, kiranya engkau."
Walau bukan Bu Siu-hoa yang
muncul tapi rasa senang mereka tidak ubahnya seperti bertemu dengan Bu Siu-hoa.
Pemuda tanggung itu
tergelak-gelak, katanya: "Siau-ciok-cu kiranya kau. Mendengar petikan
harpa aku sudah duga pasti kau. Nona In, aku sudah tahu, kecuali bukan
Siau-ciok-cu kalau dia berada disini, kau mesti disini pula. Cuma aku belum
tahu apakah sekarang aku sudah boleh panggil kau In So-so?"
"Siau-cucu, jangan kau
menggoda aku," ujar In San tertawa, "ada urusan penting ingin aku
bicara dengan kau."
Pemuda tanggung itu jadi sadar
katanya: "Oh, iya kedua saudara ini..."
Setelah Ciok-sing perkenalkan
Kek Lam-wi dan Toh So-so, lalu dia berkata: "Lau-toako bernama Thi-cu
teman kecilku yang dulu sering bermain-main di sungai, sudah biasa kami saling
memanggil nama kecil. Dia panggil aku Siau-ciok-cu, aku panggil dia
Siau-cucu." Lalu Tan Ciok-sing tanya: "Siau-cucu, kenapa kau tidak
berada di Kwilin, kok tahu-tahu berada disini?"
"In-suheng menjadi
buronan pihak penguasa, maka dia pergi dari Kwilin. Dia tahu aku pandai
berenang, maka dia tulis sepucuk surat suruh aku mencari perlindungan di tempat
Ong-cecu disini."
Lau Thi-cu melanjutkan
ceritanya: "Sudah setahun lebih aku disini. Syukurlah Cecu sudi menerima
aku dan mengangkat aku jadi Siau-thaubak, bila ada waktu diapun suka memberi
petunjuk main silat kepadaku, senang juga aku hidup dalam lingkungan ini,
sayang aku tidak tahu jejak kalian, meski hati amat rindu tak tahu kemana aku
harus cari kalian, syukur hari ini bisa bertemu pula."
"Kedatangan kami untuk
memberi selamat ulang tahun kepada Cecu kalian. Siau-cucu apa kau tahu bahwa
gurumu juga telah datang."
Lau Thi-cu kegirangan katanya:
"Apa betul? Sayang sekarang aku belum bisa menemui beliau."
Tiba-tiba tergerak hati In San
tanyanya: "Ada sebuah hal penting ingin aku tanya kepada kau. Urusan lain
nanti dibicarakan lagi."
"Urusan penting apa?
Lekas katakan," ujar Siau-cu-cu.
"Pernahkah kau melihat
seorang gadis begini." Lalu dia gambarkan perawakan dan muka Bu Siu-hoa,
kepada Lau Thi-cu.
Semula In San hanya ingin
mencoba adu untung, pada hal sekian banyak orang telah disebar untuk mencari
jejaknya, diapun tidak berani menaruh harapan kepada Lau Thi-cu.
Tak nyana setelah mendengar
penjelasannya, Lau Thi-cu lantas berkata: "Ya, pernah, pernah kulihat,
tapi gadis ini tidak berjalan seorang diri."
Lekas Tan Ciok-sing bertanya:
"Siapa berjalan dengan dia?"
"Siapa dia aku tidak
kenal, dari kejauhan tampak dia seorang perempuan setengah umur."
In San kaget, katanya:
"Mungkinkah ibu tirinya," tanyanya: "Siau-cu-cu kau tahu kearah mana
mereka pergi?"
"Mereka lari ke puncak
gunung yang menjadi pusat pertemuan aliran-aliran sungai, kalian tak usah
kuatir dia bisa lari dari sana."
"Kenapa?"
"Karena air tempuran di
bawah gunung itu. amat deras lajunya seperti air terjun saja, air dituang ke
bawah langsung masuk ke Thay-ouw. Selamanya belum pernah ada orang berani naik
perahu keluar dari sana."
Semakin kejut hati Tan
Ciok-sing, teriaknya: "Celaka."
"Apanya celaka?"
tanya Lau Thi-cu kaget.
Ciok-sing tarik tangan Lau
Thi-cu lalu diseret lari, dia disuruh menunjukkan arahnya, sambil lari
Ciok-sing berkata: "Perempuan setengah umur itu adalah Pangcu Bu-san-pang,
namanya Bu-sam Niocu. Bu-san-pang adalah salah satu sindikat gelap di daerah
Sujwan. Di bawah Bu-san ada tiga selat berbahaya, merupakan daerah paling
berbahaya sepanjang sungai Tiangkang. Bu-sam Niocu sudah bisa kendalikan perahu
di tiga selat sempit dengan arus yang deras itu, diapun pandai berenang,
kepandaiannya mungkin jauh lebih liehay dari kemampuanku dan kemampuanmu."
In San tanya: "Apakah
disana tidak disediakan perahu?"
"Perahu sih ada satu tapi
hanya sebagai persiapan dan jarang digunakan."
"Celaka, Bu-sam Niocu
pasti tahu adanya jalan rahasia ini, dari sana dia bisa naik perahu langsung
memasuki perairan Thay-ouw, maka dia menculik Bu Siu-hoa dibawa lari lewat
tempat berbahaya itu."