Tetapi Agung Sedayu tetap
membisu. Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka
naik ke pendapa.
Demikian mereka naik ke
pendapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam. Dilihatnya di pendapa itu,
terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Di bawah cahaya
lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa
orang di antaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat di wajah-wajah
mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar di atas tikar selapis. Namun tampaklah
betapa nyenyak mereka itu. Sedang di sudut pendapa Agung Sedayu melihat
beberapa tangkai tombak dan di dinding-dinding tersangkut pedang perisai dan
keris.
Pemandangan yang bagi Agung
Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.
Dan tiba-tiba saja teringat
pula olehnya, bahwa di pinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu,
apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi
kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.
Dengan tidak berkata-kata lagi
mereka menyeberangi pendapa, menuju ke pringgitan. Di pringgitan itu dilihatnya
sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Di ruangan kecil itulah
Widura sedang tidur pula.
“Di situlah Adi Widura sedang
beristirahat” berkata Demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi
berdebar-debar. Apakah kata Paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang di
saat-saat yang begini.
Demang itupun berbisik pula,
“Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya.”
Namun Widura adalah seorang
prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya
dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga Demang Sangkal Putung itu sebenarnya
tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan
itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun
ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang ke pringgitan itu.
Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur
kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa kecuali Ki Demang ada orang lain.
Bukan dari anak buahnya.
Ketika Ki Demang itu berjalan
perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang yang dibangunkannya,
dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu tersenyum asam. “Hem,”
desisnya, “ternyata aku tidak perlu membangunkan Adi.”
Widura sudah duduk di sisi
ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya. “Apakah ada seorang
tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.
“Ya Adi” jawab Demang Sangkal
Putung. “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok.”
“Siapa?” bertanya Widura.
“Angger Agung Sedayu” jawab
Demang.
“Agung Sedayu?” Widura
terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu.
Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk
terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya, “Kau, Sedayu”.
Sedayu mengangguk. Jawabnya,
“Ya paman.”
“Sendiri?” pertanyaan itulah
yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman” jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan
di wajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang
diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.
Widurapun segera duduk di
hadapan anak itu dengan penuh pertanyaan di dalam dadanya. Dan Sedayupun tidak
menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya, “Paman, aku disuruh Kakang
Untara untuk menemui Paman sebelum fajar.”
“Untara?” bertanya Widura
dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga
Agung Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak itu
baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Di mana kakakmu?”
“Nantilah aku ceritakan Paman”
jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam menanggapi
setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari Kakang Untara.”
“Oh,” sahut pamannya, “apakah
itu?”
Maka Agung Sedayu menyampaikan
berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum menceritakan
apa-apa tentang orang bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu
dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut
Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari?
Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”
“Belum paman,” sahut Sedayu,
“Kakang Untara masih akan tinggal di rumah. Tugasnya di sekitar Jati Anom belum
selesai.” Dan dengan serba singkat diceritakannya bagaimana mereka berdua
dicegat oleh Pande Besi Sendang Gabus, Alap-Alap Jalatunda dan dua orang
kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya, “Kau dan kakakmu bertempur
berpasangan?”
Agung Sedayu menggerutu di
dalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia
menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan
dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya di hadapan orang
lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya, “Adakah Untara
akan segera menyusul?”
“Aku tidak tahu Paman,” jawab
Sedayu, “luka itu agaknya parah juga.”
“Baiklah,” berkata Widura itu
kemudian, “kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita
tinggal sedikit. Lain kali kau dapat bercerita tentang perjalananmu itu lebih
panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang
aku menghadapi pekerjaan yang berat.”
Lalu kepada Demang Sangkal
Putung itu Widura berkata, “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut
kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus
kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi
sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah Kakang Demang bersedia
menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama
mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu Adi,” jawab Demang itu.
“Sebab apabila lumbung itu lenyap, kamipun akan kelaparan, Istri-istri kami dan
anak-anak kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat membantu
perbekalan untuk Pajang.”
“Terima kasih Kakang,” sahut
Widura. “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap
dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita.
Tempatkan mereka di halaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku.
Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita
jalankan.”
Sangkal Putung yang diam itu,
kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki
bersenjata di jalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari
jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung
itu telah dicengkam oleh kegelisahan.
Sesaat kemudian beberapa orang
laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul di
pringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain,
rambutnya yang panjang dibiarkan terurai di bawah ikat kepalanya. Namun
beberapa orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.
Melihat beberapa orang yang
keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang
adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak
disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada diantaranya orang-orang yang
mirip bentuknya seperti Pande Besi Sendang Gabus.
Widura dengan tenang
mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada
mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu
menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa
yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang
yang sudah setengah umur duduk disudut ruang itu. Katanya “Adakah Ki Lurah
sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa
hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya,” Widura mengangguk, “aku
sependapat.”
“Kalau demikian,” orang itu
meneruskan, “laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang.”
Semua orang serentak menoleh
kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.
Widurapun kemudian menjawab,
”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan
Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun.”
Terdengar beberapa orang
menggeram, dan berkata salah seorang, “Laskar di Karang Anom telah bergerak ke
timur. Tidak ke barat.”
“Sekarang ternyata, gerakan
itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya
hampir-hampir saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di
Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada
kita.”
Semua matapun kemudian
memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan
membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.
“Kalau Angger Untara sekarang
ada disini” desis orang setengar umur di sudut itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Macan itu tidak akan
berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan
bergelang akar di pergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung
Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian adalah
Widura. “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka di prapatan
Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar
mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran
kita.”
Orang-orang itupun
mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu, “Meskipun
Angger Untara tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan
Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung Sedayu seperti akan
meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian
berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu
belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan,
namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau
ia harus melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi
gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam, “Tak ada
bedanya. Untara atau adiknya.”
Dengan tidak disadarinya,
Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta
perlindungan pada induknya.
Widura melihat tatapan mata
Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya
ia berkata, “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi
permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan
kehadiranmu ini.”
Kemudian kepada orang-orangnya
Widura berkata, “Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua
dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan Pande Besi Sendang Gabus dan
Alap-Alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah
ia beristirahat.”
Orang setengah umur itu
menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang
diantara mereka berkata, “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang
garang itu?”
Kata-kata itu adalah suatu
pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas
karenanya.
Yang menjawab pertanyaan itu
adalah Widura. “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini,
maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu.”
“Tetapi kalau kakang Widura
terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin
kami?” bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya
sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang
berwajah tampan dan bergelang akar ditangannya itu berkata, “Apakah aku
diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”
Semua orang memandang
kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda
umurnya, namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang
yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang di beberapa pertempuran tampaklah
ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak
itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam
laskar Widura itu.
Widurapun tidak segera
menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda
yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari
lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera
menjawab, Sidanti itu mendesaknya. Katanya, “Kakang Widura, berilah aku ijin.
Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan
kesaktiannya.”
Widura menatap mata anak muda itu.
Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat
keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak
ragu-ragu ia berkata, “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian.
Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat
bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam,
benar-benar segarang harimau belang.”
“Ya,” jawab Sidanti, “aku
pernah mendengar cerita itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan
bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk
menangkapnya.”
Widura mengangguk-angguk.
Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa
pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap
angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?
Kemudian berkata Widura itu,
“Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan.”
Meskipun demikian Widura tidak
sampai hati melepaskannya sendiri. Maka katanya kepada dua orang lain, “Hudaya
dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan
kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak
menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah bertempur
tidak terlalu jauh daripadanya.”
Hudaya, laki-laki yang hampir
diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam,
memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi anak
muda, jangan bermain-main dengan harimau itu.”
“Baiklah Kakang” jawab
Sidanti.
Citra Gati, orang setengah
umur yang mengharap kehadiran Untara itupun tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku
sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan Angger Sidanti
dapat menyelesaikan pekerjaannya.”
Sidanti tersenyum. Namun wajah
yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin
terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu
sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan menyebut nama
Tohpati itupun ia tak berani.
Ia terkejut ketika Sidanti itu
tiba-tiba saja berkata kepadanya, “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan
pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat
melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menjadi bingung,
namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang dapat
diucapkan.
Sidanti menarik keningnya. Ia
kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya
kemudian, “Jangan tersinggung Adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur
melawan Pande Besi Sendang Gabus dan Alap-Alap yang cengeng itu. Nah, sekarang
biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat
menelan lebih dari sepuluh Alap-Alap macam Pratanda itu.”
Kembali dada Sedayu berdesir.
Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud
apa-apa.
Dengan demikian Agung Sedayu
menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa
yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu.
Maka katanya, “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam.
Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak
bermaksud menyombongkan diri.”
Tetapi Sidanti masih belum
puas. Jawabnya, “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban
dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai
Sidanti sama harganya dengan Alap-Alap Jalatunda.”
Semua yang mendengar kata-kata
itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut, “Sudahlah Sidanti,
tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham.”
“Aku tidak mulai” jawab
Sidanti.
Sedayu menjadi semakin
gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum
itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung perasaannya.
Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang
sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.
Orang-orang yang hadir di
ruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu,
menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak
melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum
karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan
kata-katanya, “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada.”
Sedayu mendengar kata-kata
itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun
ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang
setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya
perlahan-lahan, “Sidanti, kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu.
Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan.”
Sidanti mengerling kepada
Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak
kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh.
Karena di balik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada
Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan
keadaan itu berlarut-larut segera berkata, “Adakah kita akan menyergap laskar
Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti?
Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing.
Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu.”
Widura tidak menunggu lebih
lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu
ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata,
“Beristirahatlah di pembaringanku Sedayu.”
Orang-orang lainpun segera
mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah
Demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik,
“Terima kasih Ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan
jasa Angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman
Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu
Anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan
kepadamu, apakah ada di antara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu.
Kalau tak seorangpun yang mampu melawannya, jangan Angger biarkan kami. Kami
masih mohon perlindunganmu.”
Agung Sedayu tidak tahu,
apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya
dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itupun
akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena
itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata, “Ya, ya, Bapak Demang.”
Agaknya jawaban itu telah
cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia
mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Anakmas.”
Maka pergilah Demang itu
dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya
Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan bersiaplah kemudian
anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan
desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka dari
sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka
untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik.
Yang berdiri di paling depan
adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang
berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya. Sebuah pedang bertangkai gading.
Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda
itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
“Ayah,” ia bertanya kepada
ayahnya, “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah seorang yang sangat
sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru tertawa. Memang anak
itu selalu tertawa, sedang di dadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita
yang tanpa batas. Katanya, “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan
Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya.”
Demang Sangkal Putung
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Dalam laskar Adi Widura, seseorang telah
menempati dirinya sebagai lawannya.”
“Siapa?” bertanya anak muda
itu.
“Angger Sidanti” jawab
ayahnya.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan
anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba
saja tangannya telah terpilin ke belakang. Sidanti dapat bergerak secepat
tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas
dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti
kepadanya.
“Sidanti lebih tua beberapa
tahun dari aku,” pikirnya. “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus
sudah melampauinya.”
Dan Swandaru ternyata tidak
tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak
muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidantipun dengan pesatnya maju.
Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak
Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar
Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran
Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunyapun akan
masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari
ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang
melampaui, bahkan menyamaipun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian,
Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu
tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia
berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu
besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal
Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan
laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut
perbekalan mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok
untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal
Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti
rencana semula, maka laskar itupun segera menyembunyikan diri di belakang
puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.
Sidanti duduk bersandar
sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya,
sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Nanggala. Dan
dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama
ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor
ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak
belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala
yang bernama Kiai Muncar itu.
Anak muda itupun menunggu
dengan hati yang tegang. Yang berada di dalam kepalanya adalah Macan Kepatihan
yang namanya ditakuti hampir di seluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali
dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya, “Apakah kau akan
mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya Sidanti pernah
mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah
tongkat baja putih. Di ujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya
besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya
telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan
senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi
itu pernah berkata kepada muridnya “Sidanti, di Jipang, sepeninggal Arya
Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena
itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera
ditempatkan tepat di bawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah
seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera Adipati Pajang itu sendiri.
Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran
keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk
menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani kelak
menjadi urusanku.”
Sidanti tersenyum. Terbayang
di dalam angan-angannya sebuah jalan lurus ke istana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut
ketika ia mendengar gemerisik di belakangnya. Ketika menoleh dilihatnya
Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.
“Apa kerjamu?” bertanya
Sidanti berbisik.
Swandaru duduk di sampingnya,
dan dijawabnya lirih, “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti mengangguk.
“Sendiri?”
Kembali Sidanti mengangguk.
“Aku ikut” minta Swandaru.
“Jangan gila!” desis Sidanti.
“Kenapa?”
“Kita tidak sedang bermain
kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung.”
“Aku tahu, karena itu Tohpati
harus mati. Kita keroyok berdua.”
“Jangan mengigau. Kembali ke
kelompokmu.”
“Aku disini” bantah Swandaru.
Sidanti menjadi tidak senang.
Karena itu ia membentak perlahan-lahan, “Kembali. Atau aku tampar mulutmu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu iapun diam.
Tiba-tiba mereka terkejut
ketika mereka mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan
Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.
“Kembali ke kelompokmu!”
Sidanti mengulangi, dan Swandarupun segera merangkak ke kelompoknya.
Widura telah berdiri di balik
sebatang pohon yang berdiri di dekat perapatan. Dari kelokan jalan di ujung
bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung.
Namun mereka tidak melewati
jalan di simpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan menyusur
pematang, memotong langsung menuju Sangkal Putung.
“Mereka menyusuri pematang”
bisik Ki Demang.
Widura tidak segera menjawab.
Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik
untuk kedua kalinya. Karena itu katanya, “Bukan induk pasukan. Itulah cara
Macan Kepatihan memancing lawannya ke arah yang keliru.”
Demang Sangkal Putung
mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Macan yang cerdik.”
“Macan itu memang berotak
terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka
menyangka bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila kemudian
laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya ke utara, maka induk
pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan ini.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Tetapi timbullah persoalan didalam dadanya, karena itu ia bertanya, “Kita
menunggu induk pasukan?”
“Ya “ jawab Widura.
”Bagaimanakah dengan orang-orang
yang memintas di atas pematang itu?”
Widura berpikir sejenak.
“Sedang aku pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang
anak buahnya.
“Sonya!” katanya.
Ketika yang dipanggil telah
berdiri di sampingnya, “Adakah kau masih jagoan lari?”
Sonya memandang Widura dengan
penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan.
“Pancinglah orang-orang itu.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
bertanya orang itu.
Widura mengerutkan alisnya.
Kemudian katanya “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian
dilanjutkannya, “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka
seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti,
beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk menyerang
Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan
mengatakan kepada mereka hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah
membagi kekuatannya. Yang memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain
akan menyusul. Seterusnya kau harus berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda
bahaya.”
Sonya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka.
“Apa selanjutnya?” ia bertanya.
“Serahkan kepada kami” jawab
Widura.
Sonya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia
hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian,
apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.
“Sekarang?” bertanya orang
itu.
“Ya, cepat, sebelum mereka
terlampau jauh ke tengah persawahan” sahut Widura.
Sonya itupun kemudian
merangkak, dan melompat ke dalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa
puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring, “Hei, siapa
itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”
Di dalam kesepian ujung malam
suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan
di pematang itupun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti dan memandang
ke arah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil
mengulangi pertanyaannya.
Rombongan yang tak begitu
besar itupun berhenti. Mereka tegak berjajar di pematang seperti wayang sedang
disimping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika mereka
mendengar suara Sonya berteriak, “Hei dengar, desa kalian akan mendapat
serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang.”
Orang-orang dalam rombongan
itupun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah
ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu
telah melihat induk pasukannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba
itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka
masih tegak diatas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang diantara mereka
bergumam sesama, “Siapakah dia?”
Kawannya menggeleng, jawabnya,
“Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan.”
“Berbahaya” sahut yang lain.
“Ya,” akhirnya pemimpin
pasukan itupun berkata, “tangkap orang gila itu!”
Dua orang dari rombongan itu
kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain
masih diam mematung.
Widura melihat pertunjukan itu
dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk
pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka
rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil
kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan
rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.
Ketika Sonya melihat dua orang
datang kepadanya, maka katanya di dalam hati, “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku
harus berlomba lari.”
Tetapi Sonya tidak menunggu
orang itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak, “Hei, ternyata kalian
bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan
mencoba memancing pertempuran di sebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar
yang datang kemudian adalah induk pasukan.”
“Siapa kau?” tiba-tiba
terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak menjawab. Tetapi
dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari
kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itupun mengejarnya.
Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya
terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.
Pemimpin rombongan itu menjadi
heran. Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya
itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan perapatan.
Kawan-kawan merekapun melihat
kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.
Sedang Sonya yang sedang
berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak
dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain,
maka iapun berlari terus ke Sangkal Putung.
Pada saat itu, cahaya yang
merah telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan
lain dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak di mata Widura,
demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem,” geramnya, “itulah induk pasukan
mereka.”
Demang Sangkal Putung itupun
mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur, seperti
habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit
Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena
kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami Adipatinya, sehingga gugur,
maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.
Pemimpin rombongan itu,
seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar, terkejut
ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak dipematang. Dan dengan serta
merta ia berteriak, “Hei, kenapa kalian masih disana?”
Pemimpin rombongan itupun
menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema di
Kademangan Sangkal Putung. Kentong titir.
“Gila!” umpat anak muda itu.
“Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami.”
“Mereka telah melihat kita.
Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk
pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.
Anak muda yang jangkung itu
berpikir sejenak .“Dari mana kau tahu?”
“Baru saja ia berlari ke
Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan induk
pasukan” sahut yang di pematang.
“Gila. Kenapa tidak kalian
tangkap?”
“Kami sudah berusaha. Tetapi
gagal.”
Rombongan itu tiba-tiba
berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan Patih Jipang
Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan
keningnya.
“Berhenti di tempat kalian!”
teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang di
hadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan
adalah seorang yang cerdas dan cermat di setiap garis peperangan. Karena itu
tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih tegak dipematang “Jalan terus,
kamipun akan mengikuti jalanmu itu.”
“Bukan main” desis Widura
sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit.”
Demang Sangkal Putung itupun
menggeleng-geleng pula. Katanya, “Apakah yang akan kita lakukan?”
Widura sadar bahwa ia harus
bertindak cepat. Karena itu ia berkata, “Kita harus cepat mulai, sebelum jarak
di antara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian
rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat
mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat di muka hidung kita.”
Widura segera mencabut
pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di
sampingnya sebagai perintah. Kemudian terdengarlah bunyi burung tuhu
berturut-turut tiga kali.
Semua anak buahnya menjadi
tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan
itu, masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan
Kepatihan itu tidak akan lewat di simpang empat.
Kepada Ki Demang, Widura
berkata, “Bapak Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong
laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu
induk pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya
dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali
terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Sindanti tersenyum. Iapun
telah tegak di belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua
kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang
itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari
langsung ke arah Macan Kepatihan.
Tohpati terkejut mendengar
bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya
itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu iapun segera
berteriak nyaring, “Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak
menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira
bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba
saja di hadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari balik-balik pohon
dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka
adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri
mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka.
Macan Kepatihan itu menjadi
sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh
lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya, “Bagus! Kalian
ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Kedua laskar itupun menjadi
semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah
lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan
diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan
terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya, “Jangan kembali,
langsung kejantung Sangkal Putung! Bakar setiap rumah yang ada disana dan bunuh
semua orang!”
Widura sadar bahwa itu adalah
suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu iapun berteriak pula,
“Swandaru, cegah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain
tetap pada rencana!”
Swandarupun segera meloncat
dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading di
tangannya. Terdengarlah anak itu berkata, “Ayah, apa yang harus aku lakukan
sekarang?”
“Kau dengar perintah pamanmu
Widura?” sahut ayahnya.
“Adakah Macan Kepatihan itu di
sana?” bertanya anak itu pula.
“Tak ada waktu untuk
meributkannya,” potong ayahnya, “pergilah segera!”
Swandaru yang gemuk itupun
kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding di tanah-tanah yang becek.
Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang
menghalau burung pipit yang mencuri padi di sawah. Kawan-kawannya yang melihat
Swandaru itupun segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka
berteriak-teriak pula memekakkan telinga.
Meskipun demikian, namun
anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai
berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk,
mereka telah menentukan sikap. Di bawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin
Kademangan, mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang
Widura berserta laskarnya. Anak-anak itupun menjadi semakin bernafsu melatih
diri. Karena itu, maka merekapun mempunyai cukup kemampuan untuk
menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka.
Namun demikian, Widura tidak
melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian
Demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang
yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan.
Karena itu, maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk membantu mereka,
serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena
kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang mendengar
aba-aba Widura itupun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura
tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu,
ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir,
mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh
pengaruh kata-kata Widura itu.
Karena itu, maka kesempatan
yang pendek itupun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu
garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itupun
laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena
kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan
antara mereka. Beberapa orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis
yang akan dibuat oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari
lambung.
Tetapi Tohpati tidak pula
kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya ke satu sisi, dan dibuatnya
sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.
Widura masih menyaksikan
aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya. “Apakah
kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun, dimasa hidupnya?”
Kemudian Widura itupun
melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup di antara kesibukan laskar kedua
belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
Anak muda itu langsung
menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia
mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan kedudukan laskar
lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya di tengah-tengah sawah yang juga
sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda
mereka itu seperti banjir.
Dengan semangat yang
menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus
berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar
berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan.
Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu
terpental jatuh.
Tohpati terkejut ketika ia
melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar
orang itu berkata, “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama Tohpati dan
bergelar Macan Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Apa maumu?”
“Aneh,” sahut orang itu, yang
tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada di dalam pertempuran.”
“Bagus,” seru Tohpati. “Mana
Paman Widura?”
“Aku akan mewakilinya,” jawab
Sidanti.
Tohpati masih tetap acuh tak
acuh. Ia mencoba mencari Widura di antara laskar lawannya. Sebelum pecah
perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin
mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa lampaunya.
“Siapa yang kau cari?”
tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
“Pergilah!” bentak Tohpati.
“Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah Paman Widura. Aku tidak ada
waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri
Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya.
“Selesaikan anak ini!” katanya.
Orang itu tak menunggu
perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar mereka tak
banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itupun segera
menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang.
Tetapi tiba-tiba mata Tohpati
itupun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak
oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak
terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan
senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya
terbanting ditanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan”
desis Sidanti.
Wajah Macan Kepatihan itupun
menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.
Sementara itu langitpun telah
menjadi semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan
berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka kemudian
Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya di tangan Sidanti itu.
Tohpati itupun terkejut.
Terdengarlah ia menggeram parau, “Tambak Wedi.”
Sidanti masih tersenyum.
Jawabnya, “Kau kenal nama itu?”
“Ya” sahut Macan Kepatihan.
“Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya.”
Sidanti mengangguk. “Kau
benar” katanya.
“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak
Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat Paman Mantahun. Namun
ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari
persahabatannya. Bahkan kini muridnya ditempatkannya di pihak Pajang.”
“Jangan merajuk” jawab
Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang
pasti akan hancur.”
“Pamankupun berkata demikian”
potong Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai
kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? Nah, itulah dia.
Bila angin bertiup ke utara, maka tunduklah ia ke arah angin itu. Bila angin
kemudian berputar ke selatan, batang ilalang itupun berputar pula.”
“Cukup!” teriak Sidanti.
Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu iapun segera bersiap
dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.
“Senjata itu ada di tanganmu
sekarang” berkata Tohpati pula. “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat
mempergunakannya.”
Sidanti tidak menunggu lebih
lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.
Tetapi yang diserang kini
adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itupun terkejut pula melihat
kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang
berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan.
Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang
itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar
dapat memanfaatkan kedua tajam senjatanya di ujung dan pangkalnya itu. Nanggala
itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular
naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan
sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya.
Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Tohpati tidak
kalah mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan di bawah cahaya matahari pagi,
seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur
di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang putih mengkilap itu
tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang
berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap ditubuh lawannya, maka
akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi
kuning berbentuk tengkorak kecil.
Tohpati dan Sidanti adalah dua
anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai
nafsu yang sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing.
Di sekitar merekapun
pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak
buahnya hampir di semua tempat. Orang itu dapat menyusup di segala titik
pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab
setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada di sampingnya.
Di tengah sawah, laskar
pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itupun bertempur dengan
sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadi-jadinya.
Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya
sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk
seterusnya mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari
kehancuran kampung halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan,
kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung mereka akan habis
dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu mereka,
istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula karenanya.
Meskipun demikian, lawan-lawan
mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah sebabnya maka
kadang-kadang mereka menjumpai perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga.
Untunglah bahwa di antara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula.
Jagabaya Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia
adalah bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung
jawab ada pula di antara mereka. Meskipun batapa berat hati Demang itu melihat
darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat
pedang di tangannya harus diayunkan, apabila kebenaran dan haknya telah
terancam. Apalagi ada pula diantara mereka, beberapa orang anak buah Widura
yang dapat memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit.
Tohpati yang terikat dalam
pertempuran dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan
keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan
kian kemari hampir diseluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat
mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga
kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan
lawannya. Sidantipun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan
Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya
ditakuti oleh hampir setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat
tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya
belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun tidak, atas Macan yang garang itu.
Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama
semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin
yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak
itu.
“Setan!” Sidanti menggeram. Ia
mengumpat tak habis-habisnya di dalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu
benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak demikian
cepatnya, sehingga orang menyebut Tohpati dapat berubah menjadi asap.
Meskipun demikian, betapapun
garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan
Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas
berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap
melawan Macan Kepatihan itu betapapun berbahayanya.
Tetapi ia tidak akan dapat
memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja
putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang
berputar-putar di telinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa
beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam di belakang garis
semula.
Widura melihat kesulitan
Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab disamping anak muda itu
bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk
setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi
itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar di sepanjang garis pertempuran.
Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan
yang lebih baik dari lawannya. Hudayapun kemudian melihat kesulitan Sidanti.
Adalah menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu
segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada
beberapa orang lain.
Dengan garangnya orang yang
hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran
pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia menyerang
sambil berteriak “Sudah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak
bermain-main.”
Melihat lawan yang baru itu
Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan
geramnya ia memjawab, “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta.”
Hudaya tertawa. Laki-laki itu
sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun di dalam hatinya tumbuhlah
kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia berusaha
mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu,
namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata
didalam hatinya, “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan
senjatanya terasa seperti membekukan segenap urat darah.”
Walaupun demikian, Hudaya
adalah seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia
harus berjuang.
Melihat Hudaya telah
melibatkan diri dalam perkelahian itu,Citra Gati tersenyum. “Hem,” desisnya,
“alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga
harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada diantara kita.”
Tetapi Citra Gatipun tidak
sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera
menyelinap di antara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya. “Kita yakin
atas kemenangan kita, majulah.”
Kemudian Citra Gati itupun
berdiri di dalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkatnya ia berloncatan di
sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk melawan
Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.
Tetapi anak buah Macan
Kepatihan itupun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera karena
beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu dengan serta
merta dua orang lainpun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan
demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum
berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan
setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan
untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang diharapkan. Demikian
agaknya orang-orang Jipang itupun telah bersiap pula apabila pemimpinnya
mengalami peristiwa semacam itu.
Keadaan Sidantipun semakin
lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat
diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan
Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru.
Tetapi sementara itu, laskar
Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung ke ujung pertempuran.
Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung
itupun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri
yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri di
sekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada
kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.
Ketika Widura melihat Sidanti
semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama
sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widurapun menjadi cemas.
Karena itu segera ia meloncat, menyusup di antara pertempuran itu mendekati
Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu,
telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya.
Lawan yang bukan saja ditemuinya di garis pertempuran ini, namun dendam gurunya
kepada guru anak itupun telah memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga.
Tetapi Widura datang tepat
pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta
tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin
lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura
telah berada di sampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya di hadapan
dadanya, “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”
“He!” teriak Tohpati dengan
marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya
kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan
tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya
bahwa pedang yang bersilang di muka dada Widura itu terayun dengan cepatnya
memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah.
Sidanti terhindar dari maut
yang menerkamnya.
Namun meskipun demikian,
tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti
terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan
pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang
dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa
darahnya meleleh dari luka.
“Setan!” desisnya dengan
geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya
kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan itu
dengan lemahnya tergantung di sisinya tanpa dapat digerakkannya.
Sidanti menggeram. Terdengar
giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tanaganya telah susut lebih dari
separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka
pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan
kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu.
Mau tidak mau Sidanti harus
menerima kenyataan yang berluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya,
bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap
untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan demikian
maut telah berkisar dari dirinya.
Meskipun demikian, Sidanti
masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya di
tangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang
mendekatinya. Walaupun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya
bagi lawan-lawannya.
Tohpati, yang kehilangan
korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya, “Paman Widura, kau telah
menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi
kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh.”
“Angger Macan Kepatihan,”
sahut Widura, “adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan
lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau
kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku di sini. Nah, jangan cari yang
tidak ada.”
“Bagus!” teriak Tohpati,
“memang sejak semula aku ingin bertemu dengan Paman Widura. Dan kini Paman
telah datang menyambut aku.”
Widura tidak menjawab. Tetapi
ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab
Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini
sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus
melawan, betapapun sakti musuhnya itu.
Dalam pertempuran itu, Widura
kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya
berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit
laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau
pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.
Widura dan Tohpati itu segera
terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat
seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang
berpengalaman.
Telah berpuluh bahkan beratus
kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia
masih tetap hidup. Karena itu maka walaupun Tohpati adalah seorang yang sakti,
namun Widurapun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian
pertempuran itu menjadi semakin seru.
Tongkat baja putih Tohpati
berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi
dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan
korbannya. Namun pedang Widurapun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura
bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat
dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung
pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu
tidak tajam di punggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
Disudut-sudut pertempuran yang
lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dalam
keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya dan
berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar
Tohpati yang bertempur di tengah-tengah sawah itupun kemudian semakin bergeser
mendekati induk pasukannya.
Mereka kemudian menjadi ngeri
melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan
setan. Sedang diantara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki
pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara
tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan
anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan.
Namun keadaan Widura tidak
sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa
mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa di atas segala orang
yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia
adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apapun
yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widurapun
segera mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia
berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah
benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka
keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.
Ternyata perhitungan Widura
yang berpengalaman itupun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik
kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit
demi sedikit, satu demi satu anak buahnyapun rontoklah.
Betapa sakit hati Macan yang
ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak
menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak.
Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula.
Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya
memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka
anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu diperhitungkan.
Karena itulah maka Tohpati
itupun segera mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi betapapun juga, Tohpati
tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya atas
peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi di antara laskarnya. Ia tahu
benar, bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan iapun
telah berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai.
Tetapi setiap kali ia
mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting di
tanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai
seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak
anak buahnya untuk hasil yang belum pasti.
Dalam waktu yang pendek Macan
yang cerdik itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila
ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih
cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah
orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain
lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok
yang besar bersama-sama.
Akhirnya Tohpati tidak dapat
mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu.
Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri.
Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya
mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap
kemampuan yang ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih.
Bayangan putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang
mengandung di dalamnya nafas maut.
Widurapun berusaha melawan
dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin
membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu semakin
lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah.
Karena itu ia masih tetap tenang apapun yang terjadi.
Pada saat-saat terkhir, maka
Tohpati itupun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang
terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung
disekitarnya.
Betapa heran hati macan
Kepatihan itu. Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya
itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah
sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik
benturan, dan terlepas dari genggaman.
Namun Macan kepatihan itupun
terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka
Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba
mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu
nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh kecemasan
ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan menyerangnya.
Ketika Widura melihat anak
muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak “Swandaru, jangan
gila. Pergilah!”
Tetapi Swandaru yang sedang
mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah
bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan
menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpasa melawan pedang yang
terjulur langsung ke dadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru.
Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk
membinasakan Widura.
Swandaru kini melihat
pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapapun
besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang
lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari
itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu.
Tetapi ia tidak tahu, bahwa
disamping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati maupun Widura telah mempergunakan ilmu
yang dapat mengungkap kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh mereka
masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar
biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih
Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti.
Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan
sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?
Tetapi bagaimanapun juga,
perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan
demikian korban di kedua belah pihakpun semakin bertambah-tambah. Apalagi di
pihak laskar Tohpati.
Karena itu maka Tohpatipun
segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali
tidak melihat keuntungan apapun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana
yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian
dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari
ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak “Tinggalkan
pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang itupun adalah
laskar yang terlatih. Merekapun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan
pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil ke depan melindungi
anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itupun kemudian meloncat kian
kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan
tangkasnya ia memotong laskar Pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang
melarikan diri.
Dari antara laskar Jipang itu
kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan
panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan,
sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali
Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan
Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha
menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin.
Laskar Widura sudah pasti
tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah
mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itupun tidak berlari
bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali
tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus,
sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya.
Sekali lagi Widura
menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin
yang baik. “Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya.
“Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa.”
Laskar Tohpati itupun kemudian
mencapai sebuah desa di belakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka
melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran di antara
pohon-pohon yang tumbuh disana-sini. Di antara pohon-pohon liar dihalaman yang
kurang terpelihara dan di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Sehingga laskar Widura itupun
segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus
berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada disekitar
mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila
mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka.
Dengan demikian, maka kedua
bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke
rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka
menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya,
kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan serangan
tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.
Widura segera melihat keadaan
itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan
terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa
kedua laskar itu bertempur kembali di tempat yang terbuka, namun korban akan
menjadi sangat besar.
Karena itu segera Widura
berteriak memerintah “Hentikan pengejaran!” Dan perintahnya itu kemudian
beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.
Demikianlah maka laskar Widura
itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali di luar desa
itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari
telah berada di atas kepala mereka.
Widurapun kemudian
mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cedera di
antara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas
mereka.
Hari itu adalah hari berkabung
bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal
Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan maupun lawan. Sebab bagi
perawatan perikemanusiaan, tak ada batas di antara kawan dan lawan. Apalagi
diantara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka
adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di
jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah
permainan senjata yang berbahaya.
Ketika iring-iringan laskar
itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata
perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa
laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga di
halaman dengan senjata apa saja di tangan mereka.
Ketika mereka mengetahui bahwa
iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka
regol yang mereka kancing dengan palang kayu.
Beberapa orang laki-laki
dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong
kawan-kawan yang terluka.
“Adakah Sangkal Putung
baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan” jawab yang
ditanya. “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari.”
“Bagus” sahut Widura.
“Siapakah yang berada di kademangan?”
“Setiap laki-laki yang tak
ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. “Sebagian di
kademangan dan sebagian di lumbung desa.”
“Bagus” berkata Widura sambil
mengangguk-angguk. “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan.”
Orang itu tersenyum-senyum.
Lalu ia bertanya pula, “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah meninggalkan
kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang
kembali.”
“Mampuslah mereka” geram orang
itu.
Widura tersenyum, namun ia
tidak menjawab.
Ketika laskarnya memasuki
halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan
berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan di dada
mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka
jatuh menjadi banten kampung halaman.
“Alangkah biadabnya
orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat
mengelus dada.
Beberapa orang tetangga mereka
berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak
membayangkan, bahwa istri-istri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itupun
akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis “Alangkah kejamnya orang-orang
Pajang.”
Memang sebenarnyalah
peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, di pendapa kademangan
itu, di atas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang
terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.
Sedayu, yang berada di
kademangan itu pula, ketika di dengarnya pamannya kembali dari peperangan,
segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya
masuk ke pringgitan. Terbata-bata ia bertanya, “Bagaimanakah dengan laskar
Jipang itu Paman?”
Widura tersenyum. “Duduklah
Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu kemudian duduk dengan
gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan ke sudut ruangan, meraih gendi dari
gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya.
Di tangga pendapa kademangan,
Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap
pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan berkata
kepada Citra Gati yang duduk disampingnya, “Untunglah, bukan kumisku yang
terkelupas.”
“Lain kali kepalamu” sahut
Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia
berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan.
Tiba-tiba teringatlah olehnya
betapa tengkorak kuning di ujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya.
“Ngeri” gumamnya.
“Apa yang ngeri?” bertanya
Hudaya dengan heran.
“Tengkorak itu” jawab Citra
Gati.
Kembali Hudaya tertawa.
“Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi
gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau” desah Citra
Gati. Dan kemudian keduanyapun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian,
apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.
Sidanti tidak tampak duduk
diantara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya di sana
seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi
ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan
tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda
itu.
“Kau terluka?” gadis itu
bertanya dengan cemas.
Sidanti mengangguk. “Tidak
seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan
kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.
Sementara itu dari dalam
gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil, “Mirah, Sekar Mirah?”
Sidanti tersenyum mendengar
suara itu. Katanya, “Kakakmu memanggil.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. “Biarlah. Kakang terlalu manja.”
Dan dari gandok itu terdengar
kembali suara Swandaru. “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri” sahut adiknya
berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan” bentak kakaknya.
“Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi.”
Sekar Mirah tidak menjawab,
namun terdengar suara Sindanti “Jangan terlalu manja Swandaru.”
Mendengar suara Sidanti,
Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu, “Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah
masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya.”
Tetapi ia tidak berani
memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama
Sidanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya
setumpuk kain di gelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain
parangnya.
Ketika ia berlari-lari keluar
gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar
Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, di bawah rimbun daun
kemuning.
“Gila” geramnya
perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali masuk ke
dapur dan berlari ke pendapa sambil menyambar sepotong paha ayam.
Di pringgitan, Widura kini
sudah duduk di muka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi di
garis pertempuran.
Akhirnya Widura itu berkata,
“Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan
demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak.”
Keduanya kemudian berdiam
diri. Namun di hati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya,
“Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu
datang kembali?”
“Mungkin” sahut pamannya.
Sebenarnya iapun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan
laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.
“Lalu, bagaimanakah kalau
mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah disini ada Sedayu?”
sahut Widura sambil tertawa.
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widura iba juga melihat Sedayu
menunduk. Karena itu ia segera bertanya, “Adakah kau sempat beristirahat?”
Sedayu menggeleng. “Tidak”
jawabnya.
Ia tidak perlu malu-malu
kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi
gelisah” Sedayu meneruskan. “Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak
dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring.”
Widurapun kemudian terdiam ketika
mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah di antara mereka
Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat di wajah
itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah
oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua Kademangan Sangkal
Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata
dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan
lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa
anakmas ini.”
Sedayu menjadi bingung. Namun
diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal Putung.
Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiripun gemetar pula. Tetapi
ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung
ketika Demang itu berkata, “Ternyata anggerpun tidak sampai hati membiarkan
laki-laki yang berada di kademangan ini menjadi gelisah. Ternyata Angger tidak
mau beristirahat betapapun lelahnya. Bahkan Angger telah hilir mudik di pendapa
dan di halaman, sehingga dengan demikian setiap orang yang berada di kademangan
ini, baik perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, maupun mereka yang
berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada di antara mereka yang sudah
mendengar, siapakah Angger ini.”
Sedayu tidak tahu, bagaimana
ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan
demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui
keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung.
Widura melihat Agung Sedayu
dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah.
Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya
didalam hati, “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun
jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut
di hadapannya, agaknya tak berkenan dihatinya.”
Tetapi Widura itupun kemudian
menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur
mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat
menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat
mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya
untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widurapun
kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti
kepada anak itu.
Sebentar kemudian, sampailah
saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang bertempur
di simpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada di kademangan itu
mendapat bagiannya.
Widurapun kemudian
melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan
segumpal demi segumpal nasi ke dalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa
orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.
“Makanlah” bisik Widura kepada
mereka yang terluka. “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh.”
Orang-orang yang terluka itu
menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan
sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.
Meskipun menurut perhitungan
Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau
kehilangan kewaspadaan. Ditempatkannya beberapa orang pengawas di luar
Kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya,
supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan
tidur di malam hari.
Demikianlah, malam hari itu,
Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur di pringgitan bersama Widura,
meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur
dengan tenteram di atas tikar pandan di dekat pamannya.
Malam itu Sedayu benar-benar
dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat
beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang
mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya
masih saja duduk di sampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan
kelopak bunga keluwih.
Memang malam itu Widura tidak
segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar
Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.
Tiba-tiba Widura itupun
bergumam, “Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada di tempat ini.
Di sini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan
sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi.”
Widura itupun kemudian
mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan dibawanya
menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat
perawatan yang lebih baik. Dan di tempat ini, keamanannyapun akan lebih baik
pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan
tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.
Widura mengangguk-angguk
seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup
angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas.
Alangkah jauh bedanya. Agung
Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula
lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki Sadewa itu.
“Aneh” gumamnya. Dan tanpa
dikehendakinya sendiri Widura itupun hanyut ke dalam masa lampaunya. Selagi ia
masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu.
Untara adalah anak yang
sulung. Ia lahir dan besar di dalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia
bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi di
antara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya.
Di samping itu, anak itu dengan
tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang
dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah
dikunjunginya. Ke rumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja di daerah Demak, namun
ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik
dan Banyuwangi. Dari ujung sampai ke ujung yang lain dari pulau ini.
Sudah banyak yang dilihatnya,
dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah tentu di perjalanan banyak pula
pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan penyamun-penyamun,
dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah paham.
Ayahnya adalah seorang sakti
yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk
melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri
hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itupun
terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya.
Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata.
Sehingga akhirnya, setelah
puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya,
maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih
senang merendam dirinya di rumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan
bekerja di kebunnya. Menanam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.
Sedang Sedayu mengalami masa
yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan
yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut
telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang
kembali. Apalagi didesak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak
perempuan. Namun yang lahir terakhir itupun laki-laki pula. Agung Sedayu.
Pada saat itu pula, Ki Sadewa
telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap
pertentangan yang timbul. Di dalam pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu
kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup diantara
gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan.
Diusahakannya pula
mengembalikan hidupnya kedalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih
Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada
manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka
manusia dijauhkan daripadaNya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan
dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.
Maka yang dilakukan Ki Sadewa
itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa
mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada
sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri
sendiri.
Tetapi Sedayu tidak pernah
mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya
dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan
ditemuinya sedikit lecet di lututnya, maka Untara harus menerima akibatnya.
Sedayu itu dipelihara oleh
ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak
untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan.
Hanya kadang-kadang saja
ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itupun mainan
yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih
dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap
hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah
dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan.
Tetapi daerah perburuan Sedayu
tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki
kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung
dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap
beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas
kekhususan anak-anaknya itupun telah mencoba mengembangkannya.
Meskipun Untara, yang
memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian,
kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu
yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit
demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat
terbatas. Meskipun demikian berkembang pula.
Tetapi daerah hidupnya tak
terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya
sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan
dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak
mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Angan-angan Widura tentang
masa lampau itupun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika
anak itu membuka matanya, dan dilihatnya Widura masih duduk di sampingnya, maka
terdengar ia bertanya, “Mengapa Paman belum tidur?”
Widura menggeleng, “Belum
Sedayu.”
“Apakah masih ada bahaya yang
mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi Widura menggeleng.
“Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah
malam.”
Sedayu tidak bertanya lagi,
sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.
Ketika Widura mendengar ayam
jantan berkokok di pertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia
melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang
beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga di regol depan.
“Bukankah kalian tidak
kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab orang itu.
“Bagus” sahut Widura. Kemudian
kepada yang lain ia berkata, “Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah
malam kedua telah siap”.
“Kami sudah siap menunggu”
jawab mereka.
Widura tersenyum, lalu
ditinggalkannya orang-orang di regol halaman itu. Di pendapa dilihatnya
beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada
di antaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka.
Meraba dahi mereka dan berkata, “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh.”
Kemudian ia berjalan di antara
anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Di sudut dilihatnya
Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura
tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang
sedang tidur.
Ketika ia melangkah masuk ke
pringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan
melintasi halaman. Agaknya orang itupun belum tidur juga. Baru saat kemudian
Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat di pembaringannya.
Malam itu serasa berjalan
dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu
ke dalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh
bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan
nyenyaknya.
Keesokan harinya, Widura telah
bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin
baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat.
Demikianlah Widura pagi itu
segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan
mereka. Sebab di perjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu
dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-Alap Jalatunda dan kawan-kawannya,
mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.
Setelah memberikan beberapa
pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan ditangan Citra Gati, maka
Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lainpun segera
meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan
pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera
mengirim orang untuk menjemputnya.
Kali ini Widura dan
rombongannya berjalan ke arah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka
kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya.
Di sepanjang perjalanan mereka
hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang
berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal.
Agung Sedayu melihat
jalan-jalan di bawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan
berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa,
terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan
terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat,
meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian mereka
telah sampai di padukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan
yang penuh dengan kericuhan itu.
Meskipun matahari telah
tinggi, namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak
berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi
kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka
pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itupun menjadi terkatub kembali.
Orang-orang yang tinggal dipinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah
yang sedang lewat itu. Namun tak seorangpun dari mereka yang mengenalnya.
Widura melihat desa-desa yang
terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan di
padukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat di desa-desa itupun
tak akan dapat memberikan perlawanan apapun seandainya orang-orang dalam satu
gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka
memberikan segala barang miliknya.
Daerah itu dilalui dengan
kesan yang khusus di hati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat
tikungan di hadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut
pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun
terasa tengkuknya meremang.
Kuda mereka masih berpacu
terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka di bulak yang panjang. Dan
teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang
menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu
berkata, “Di ujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing.”
“Kiai Gringsing?” Widura
mengulang.
“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia
menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh di belakang, maka
diceritakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain
gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.
“Aku belum pernah mendengar
nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya.”
“Orang itu bertempur melawan
Alap-Alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah
cambuk kuda.”
Widura mengangkat alisnya.
Seseorang yang bersenjata cambuk kudapun belum pernah didengarnya. “Orang aneh”
desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah
semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya
tanpa senjata apapun.”
Sedayu tidak menjawab. Dan
kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan di ujung bulak,
sedang kuda mereka masih berpacu terus.
Ketika Agung Sedayu melihat desa
di hadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka
segera mereka akan sampai ke persawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan
akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwon. Sebuah padukuhan kecil yang tak banyak
disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya di
dalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir.
Dengan demikian, maka hasrat
Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia
ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya
yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan Paman Widura akan dapat menjadi
saksi.
Karena itu kudanya dipacu
semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.
Akhirnya desa di hadapan
mereka itupun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka
memasuki dukuh Pakuwon yang sepi.
Agung Sedayu segera menuju ke
rumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah
mereka di sebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir.
Namun alangkah terkejutnya
Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah,
halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang sedemikian
kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah
terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya
menganga lebar-lebar, namun sepi.
Maka Agung Sedayupun menjadi
cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil “Ki Tanu. Ki Tanu
Metir.”
Namun panggilan itu tak ada
jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja
meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya, “Sedayu, jangan masuk!”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Kau belum tahu pasti, apa dan
siapakah yang ada didalamnya;”
“Oh” dan tiba-tiba Agung
Sedayupun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya menjadi
berdebar-debar, namun ia menjawab, “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir,
Paman. Dan Kakang Untara ada di dalamnya.”
Namun Widura tidak menjawab.
Ditebarkannya pandangannya berkeliling.
Mencurigakan.
“Kau lihat telapak-telapak
kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa
aku datang berkuda bersama-sama Kakang Untara.”
Widura mengangguk-angguk.
Tetapi katanya kemudian, “Juga kebelakang rumah?”
Agung Sedayu menggeleng. Dan
diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari
belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang ke
rumah ini sesudah aku.”
Widura kemudian berpaling
kepada kawan-kawannya. Katanya, “Lihatlah ke belakang.”
Dua orang dari merekapun
segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati ke belakang rumah. Tak
ada sesuatu yang mereka lihat. Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kandang
kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itupun
dilaporkannya kepada Widura.
Widura mengangguk-angguk.
“Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri”
gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak?”
Kemudian kepada Agung Sedayu Widura
bertanya, “Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”
“Aku sangka tidak Paman.
Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu
menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.
Widura mengangguk-angguk.
Iapun tak melihat bekas-bekas kaki kuda di antara tanaman yang rusak itu.
Karena itu Widurapun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari
kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir.
“Kita lihat rumah itu”
katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata, “Awasi keadaan.”
Dengan penuh kewaspadaan
Widura menuju ke pintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang ke
dalam. Sepi, dan telinganyapun tidak mendengar sesuatu.
“Ki Tanu” ia memanggil
perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat
masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya
berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apapun di dalam rumah itu.
“Hem,” geramnya, “kosong.”
Sedayu yang selalu
mengikutinyapun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah
bantal-bantal yang berserakan diamben tengah.
“Itulah” katanya.
“Apa?” Widura terkejut.
“Bantal” jawabnya.
“Ah” Widura menarik nafas.
“Kenapa bantal?”
“Di situlah kemarin lusa
Kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab
Sedayu dengan cemas.
Widura mengangguk-angguk.
Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara?
Karena itu Widurapun segera
memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi
juga tak ditemuinya sesuatu di dalam sentong-sentong itu. Di sentong kiri
Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok ke
dalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir.
Ia melihat noda-noda merah di
dalamnya. Darah yang kering.
Dengan cepat Widura
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah
disembunyikan di dalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu
telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi
semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut
anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya.
Ketika Widura sudah pasti
bahwa di dalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka iapun segera melangkah
keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah
Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya,
apakah yang kira-kira sudah terjadi.
Ketika Widura sedang sibuk
berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan di lorong desa itu. Tetapi
orang itupun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang di halaman
rumah Ki Tanu Metir.
Tetapi Widura tak membiarkan
orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin
orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa
pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya.
Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menolehpun tidak.
“Bawa orang itu kemari”
perintah Widura kepada orang-orangnya.
Ketika orang yang berjalan
menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka iapun segera berlari. Tetapi
kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itupun segera dapat
disusulnya.
“Kenapa kau berlari Ki Sanak?”
bertanya salah seorang daripadanya.
Orang itu menggigil ketakutan.
Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia
menjawab, “Aku….. aku tidak berlari Tuan.”
“Jangan takut” berkata
orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin
bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah.”
Orang itu tidak dapat
menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua
orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan
merunduk-runduk. Di dalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi
patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu
pernah mendengar, bahwa Kriyapun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak
dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya.
Karena itu, maka demikian
orang itu sampai di hadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar
tergantung di pinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil
merengek, “Ampun Tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan.”
Widura memandang wajah orang
itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa Ki Sanak menjadi
ketakutan?”
“Aku tidak akan berbuat
sesuatu, Tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan
Widura.
Widura memandang orang itu
dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih. “Aneh”
katanya dalam hati.
Dan tiba-tiba saja, Widura
memandang daerah di sekitarnya. Sepi. Memang jalan-jalan desa yang kecil ini
tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru
seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera menghubungkan,
halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang
mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap
aneh terhadapnya.
Karena itu maka dengan
perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya, “Ki Sanak. Kenapa kau menjadi
ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami inginkan hanyalah
beberapa keterangan tentang rumah ini.”
“Oh, ampun Tuan. Ampun. Aku
tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.
Widura menjadi semakin heran.
“Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang setengah umur itu
menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat
pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya. Kemudian
oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri dihapannya
itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah.
Karena itu orang setengah umur
itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan. Widura
akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak, “Diam! Jawab
pertanyaanku!”
Orang itupun terdiam. Tetapi
tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi
terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk di tanah
dengan hati yang dicengkam kekawatiran.
“Siapa namamu?” bertanya
Widura.
“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi”
jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang aneh. Widura sempat
bertanya, “Kenapa Sepi?”
Orang itu menjadi heran. Ia
sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu,
pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya, “Aku
tidak senang ramai-ramai Tuan. Aku senang pada sepi”
Widura mengangguk-angguk.
Kemudian ia bertanya pula, “Dimana rumahmu?”
“Di sebelah Tuan. Berantara
kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman Widura. Karena
itu ia bertanya kembali, “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya
aku bersikap baik juga kepadamu.”
“Ya Tuan” jawab orang yang
ketakutan itu.
Widurapun bertanya pula.
Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut
kepadanya. Katanya, “Kau kenal penghuni rumah ini?”
“Kenal Tuan” jawab orang itu.
“Namanya?” bertanya Widura.
“Ki Tanu Metir.”
“Bagus” sahut Widura. “Nah,
katakanlah Ki Sanak, di manakah orang itu sekarang? Ke sawah barangkali? Atau
ke sungai?”
Orang itu menggeleng,
jawabnya, “Aku tidak tahu Tuan.”
Widura mengangkat alisnya.
Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan, “Ki Sanak, kau akan menjawab
pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau mendengar,
kemana Ki Tanu Metir pergi?”
Sekali lagi orang itu
menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab, “Aku tidak tahu Tuan.”
Widura menjadi gelisah. Tetapi
ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya
“Berdirilah Ki Sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan
baik.”
Dengan susah payah orang
itupun berusaha berdiri dan tegak di atas kedua kakinya. Namun lututnya masih
juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa di sekitarnya berdiri beberapa
orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang di pinggang masing-masing.
Meskipun demikian orang itu
masih mendengar Widura berkata dengan sareh, “Ki Sanak. Aku melihat
ketidakwajaran di desa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak
menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah
terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat
mendatang.”
Orang itu menjadi heran
mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya, “Siapakah Tuan-Tuan
ini?”
“Kami adalah laskar Pajang”
jawab Widura.
“Oh” desis orang itu. “Apakah
kalian bukan kawan-kawan Alap-Alap yang muda itu?”
Widura menarik nafas. Orang
itu telah menyebut nama Alalp-Alap Jalatunda.
Sedayupun terkejut pula
mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong, “Apakah Alap-Alap
Jalatunda datang kemari?”
Orang itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.
“Jawablah” minta Widura.
Orang itu mengangguk. “Ya”
katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Di
antaranya bernama Plasa.”
“Plasa Ireng” sahut Widura
terkejut.
“Ya. Agaknya demikian. Aku
hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.
Widura menarik nafas. Kemudian
ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya sendiri, “Setan Ireng
itu sampai juga disini”. Maka katanya seterusnya, “Apakah yang sudah mereka
lakukan disini?”
Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu sama sekali bukan
kawan-kawan Alap-Aap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka jawabnya
kemudian, “Tuan, Alap-Alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang
kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang ke rumah Ki Tanu Metir.”
Widura menjadi berdebar-debar
dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya, “Adakah mereka
diketemukan?”
“Kami tidak tahu pasti Tuan.
Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan di
mana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka, disembunyikan”
jawabnya.
Widura mengerutkan alisnya.
Sesaat ia berpikir, kemudian katanya “Dimanakah rumah Kriya itu?”
“Di sudut jalan itu Tuan”
jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami ke sana. Apakah
Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah Tuan” sahut Wangsa
Sepi.
Maka pergilah mereka, diantar
oleh Wangsa Sepi kerumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang di siku jalan.
Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata
setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk kedalamnya.
“Siapakah orang itu?” bertanya
Widura.
“Istrinya tuan” jawab Wangsa
Sepi. “Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang yang
memukul suaminya kemarin datang kembali.”
Widura mengangguk-angguk.
Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak menjadi semakin
ketakutan. “Masukkah Ki Sanak,” berkata Widura, “latakan kepadanya, bahwa aku
bukan orang-orang yang pernah datang kemari.”
Wangsa Sepi mengangguk.
Kemudian iapun berjalan dahulu, masuk ke rumah Kriya yang bungkik. Orang itu
masih berbaring di amben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut di sampingnya
sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba
melihat seseorang begitu saja sudah berdiri di sampingnya.
“Aku, Nyai” berkata Wangsa
Sepi.
“Oh” istri Kriya itu menarik
nafas, kemudian ia bertanya, “Kakang, siapakah orang-orang yang memasuki
halaman ini? Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?”
Wangsa Sepi memandangnya
dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata, “Jangan takut
Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata, “jangan
takut Adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-Alap Jalatunda. Mereka ingin
bertemu dengan Adi, justru untuk mencari Alap-Alap Jalatunda.”
Mata Kriya yang kecil itupun
terbelalak, “Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Wangsa Sepi.
“Karena itu jangan takut.”
Namun mata Kriya masih
memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya mengingat
peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti,
mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila
benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-Alap Jalatunda, maka ia
dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya
punggung merekapun dipatahkan seperti punggungnya.
Maka katanya kemudian,
“Silakan mereka masuk.”
Widura dan Sedayupun kemudian
masuk ke gubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Kriya.
Beberapa luka-luka kecil di hampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru pengab
dan sakit yang amat sangat di punggungnya, sehingga orang itu tidak dapat
bangkit dari pembaringannya.
“Jangan bangun,” berkata
Widura, “supaya sakitmu tidak bertambah parah.”
Kata-kata yang pertama itu
telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-kawan
Alap-Alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata “Silakan
Tuan-Tuan. Aku tidak dapat menyambut Tuan-Tuan dengan baik.”
“Jangan diributkan” sahut
Widura. “Aku hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa
yang telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-Alap Jalatunda?”
Kriya yang kecil itu
menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang yang
datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang
Alap-Alap Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi.
Akhirnya ia berkata, “Mereka
telah mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu.
Namun Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itupun menjadi marah.
Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku
terasa sesak, dan aku menjadi pingsan.”
Widura mendengarkan semuanya
itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas.
Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya, “Jadi kemanakah Ki Tanu Metir
kemudian?”
“Tak seorangpun yang tahu”
jawab Kriya. “Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka
disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng.”
Sedayu menjadi semakin cemas.
Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk menghubungkan
keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya.
“Hem” ia menarik nafas.
Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan di dalam bakul dengan
meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?
Ruangan itu untuk sejenak
menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi dada Agung
Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh
pamannya.
“Ki Sanak “ bertanya Widura
kemudian. “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-Alap
Jalatunda itu tinggal?”
Kriya menggeleng lemah.
Jawabnya, “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti.”
Widura itupun kemudian
terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu. Di luar,
sinar matahari dengan cerahnya bermain-main di atas daun-daun di halaman.
Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-Alap Jalatunda itu tidak berada
di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari
gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura sadar,
bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu tak akan banyak
memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka dilihatnya wajah Sedayu
yang pucat dan tegang.
“Bagaimana dengan Kakang
Untara, Paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman yang rusak di halaman Ki
Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda sekalipun.
Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi
pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu.
Ki Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah
gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu
untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak
akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan itu. Namun Widura juga
tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah mampu mempertahankan
dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi perkelahian
di antara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka harapan untuk dapat
bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya,
apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara di dalam persembunyiannya.
Karena itu maka Widurapun menjadi gelisah dan cemas.
Widura tidak segera membuat
kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah kemungkinan yang
terbesar terjadi atas Untara.
“Mudah-mudahan Untara tidak
mati muda” Widura berkata di dalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi
demikian, maka anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan
seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari
perselisihan antara Pajang dan Jipang itupun harus menderita karenanya.”
Sedayu yang menunggu jawaban
pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan
menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia
mendesak, “Bagaimanakah dengan Kakang Untara itu Paman?”
“Aku belum dapat mengambil
kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.
Sedayu menjadi semakin cemas.
Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian Widura itupun
berkata “Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama disini. Barangkali aku kelak
mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari
bekas-bekasnya disekitar padukuhan ini.”
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu
tidak akan terlalu berbahaya.
Karena itu dengan tergesa-gesa
ia berkata, “Apakah daerah sekitar padukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir sejenak.
Kemudian jawabnya, “Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku
untuk mencari keterangan tentang Untara.”
“Tetapi, bagaimanakah kalau
tiba-tiba Paman disergap oleh Alap-Alap jalatunda?” bertanya Sedayu.
“Sedayu. Alap-alap jalatunda
itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya
apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu.
“Tetapi ia tidak sendiri.
Mungkin dengan yang Paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.
“Bukankah aku tidak sendiri?”
“Paman hanya membawa beberapa
orang. Mungkin Alap-Alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu
pasukan.”
“Di antara kita ada kau,
Sedayu”
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widurapun mengeluh di dalam
hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat merupakan
tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa
terpaksa terluka di pundaknya.
“Untara pasti sedang
melindungi anak ini” pikir Widura. “Kalau tidak, apakah empat orang yang
dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?”
Tetapi Widura tidak akan dapat
melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapapun anak ini pernah
berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.
Meskipun demikian Widura
mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali lagi ia melihat
akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-Alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini
masih berbaring di pembaringannya.
Namun tiba-tiba pula ia
menjadi heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya
telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya, “Ki Sanak, apakah
luka-lukamu tak pernah diobati?”
“Pernah Tuan” jawab Kriya
sambil menyeringai.
“Bukankah biasanya Ki Tanu
Metirlah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu
telah tidak ada di rumahnya” bertanya Widura.
“Ya” jawab Kriya. “Tetapi
semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat
tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya
aku obat.”
Oh” Widura mengangguk-angguk.
“Siapakah namanya?”
Kriya menggeleng. Jawabnya
“Ketika aku bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab
sambil menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing.”
Widura terkejut mendengar
jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia bertanya, “Adakah Kiai
Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi Kriya menggeleng,
“Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilis di
dahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu di malam hari seorang diri.”
Widura mengerutkan keningnya.
Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula, “Apakah
yang dilakukan oleh orang itu kemudian?”
“Tidak apa-apa” jawab Kriya.
“Setelah diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat,
maka iapun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki
Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula.”
“Tanu Metir ditangkap dalam
hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi
orang tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan
dukun-dukun untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu
Metir telah mereka bawa untuk keperluan itu.”
Widura menarik keningnya.
Keterangan itu masuk akal juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing itu
mungkin ada juga gunanya, maka Widura itupun berkata, “Apakah kau melihat tanda-tanda
yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut Kriya. “Selain
bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok.”
“Adakah kau tanyakan
rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak
diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah
tahu, siapakah dirinya.”
Widura menarik nafas. Tak ada
yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat suatu
kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung
Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum
terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga
buah lubang, di arah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata
cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-Alap Jalatunda.
Sedang orang yang menamakan
Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok.
Tetapi satu hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah keduanya
bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itupun berwajah aneh dan
menakutkan, bahkan memakai pilis didahinya. Bukankah itu juga suatu usaha untuk
menyembunyikan diri?
Tetapi Widura tidak mau
tenggelam dalam persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih
penting dari orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu.
Karena itu maka sekali lagi ia
minta diri. “Terima kasih atas semua keteranganmu, Ki Sanak” berkata Widura
kepada Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi, “Ki Sanak, ingat-ingatlah apa yang
terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan
datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi penjelasan atas hilangnya Ki
Tanu Metir.”
“Baiklah Tuan” jawab Wangsa
Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung Sedayu dan
kawan-kawannya yang menunggu di luar segera meninggalkan rumah Kriya Bungkik.
Mereka kembali ke halaman
rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda di
halaman itu. Kemudian katanya, “Kita coba mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki
Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang mengambilnya.”
Kembali Agung Sedayu menjadi
gelisah. Katanya berbisik, “Bagaimanakah kalau kita akan sampai ke sarang
Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu kebetulan” sahut
Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir.”
“Tetapi bagaimanakah dengan
nasib kita sendiri?”
Widura menarik nafas. Katanya,
“Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara
hilang?”
“Tidak” jawab Sedayu. “Kita
harus mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung
dahulu, dan Paman membawa laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan banyak kehilangan
waktu, Sedayu” jawab pamannya. “Sedang laskarkupun sangat terbatas. Kalau
sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya Sangkal
Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?”
Seayupun terdiam. Namun
hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati datang
kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-Alap
Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut
saja kemana pamannya pergi.
Widura kemudian seakan-akan
tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat
telapak-telapak kaki kuda di halaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya
mendekat, dan terdengar ia berkata, “Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini.”
Kawan-kawannyapun
memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan
dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat
mengikuti ke mana kuda itu pergi.
“Mudah-mudahan kita menemukan
tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar
mendengarnya.
Sejenak kemudian, merekapun
telah siap di atas punggung kuda masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan
menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan di bawah kaki-kaki
kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak.
“Tiga ekor kuda” geram Widura.
“Ya” sahut kawannya. Selain
itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun telapak-telapak
kaki itu mengarah ke arah yang berlawanan. Di antaranya telapak-telapak kaki
kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.
“Dua diantaranya adalah
telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-Alap Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal
Putung” gumam Widura. “Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari
jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah
seorang daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya.”
Kawan-kawannya itupun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun di dalam hati mereka terbersit
pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai di sarang Alap-alap itu,
maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar
Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat.
Namun hati mereka menjadi
tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda di depan mereka. Widura
dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka di dalam
hati.
Karena itu mereka menjadi
tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-hulu pedang
mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka,
bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.
Di sepanjang jalan hampir
mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki
kuda di bawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas
panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya ingin
juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya
orang-orang yang kasar dan keras menghadang di tengah-tengah jalan dengan
senjata-senjata di lambung.
Meskipun demikian ia tidak
berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang berkuda
di belakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan ketika
mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan mereka
tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayupun mengangguk. Tetapi
ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu,
kenapa ia mengangguk pula.
Semakin jauh mereka dari
padukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu
tidak terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung.
“Aneh” desis Widura. “Apakah
salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung
selain Alap-Alap Jalatunda?”
Namun Widura tidak dapat
menjawab pertanyaan itu.
Demikianlah mereka tetap
mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik perpisahan dari
jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan
jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung.
Widura juga sedang
mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apakah
kita tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang keliru Paman?” bertanya
Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura memandangi
jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi. “Apakah ada
jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan Widura, Widurapun
bertanya kepada mereka, “Adakah kalian melihat salah satu di antaranya
memisahkan diri?”
Orang-orang itu menggeleng.
“Tidak” jawab salah seorang dari mereka. “Kami telah mencoba mengawasi dengan
seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat
dilihat lagi.”
Widura mengangguk-angguk.
Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. Apalagi kuda
atau gerobag. Maka katanya, “Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita
tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan
mencarinya.”
Ketiga orang itupun
mengangguk, dan Sedayupun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun demikian,
ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini,
bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.
Pada saat-saat dirinya
mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu datang
menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan
kepentingannya sendiri untuknya.
Kini kakaknya itu mengalami
bencana. Apakah yang dapat dilakukannya?
Jiwa Agung Sedayu itupun
menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk ke dalam sarang
orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus di tangan. Ingin
ia menolong dan menyelamatkannya.
Tetapi kemudian Agung Sedayu
hanya dapat menggigit bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan
disadarinya bahwa apa yang dapat dilakukan hanyalah berangan-angan.
Mereka masih saja berkuda
mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu
Agung Sedayu meremang juga ketika mereka lewat di bawah randu alas yang besar
di tikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia
teringat cerita tentang genderuwo bermata satu.
Tetapi Widura sama sekali
tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang
dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi
sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian
sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan
lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada
hal-hal yang dapat memberinya petunjuk.
Maka dengan kecemasan yang
mencengkam dadanya, akhirnya Widura terpaksa membawa rombongannya kembali ke
Sangkal Putung. Meskipun demikian Widura itu menggeram, “Suatu ketika aku harus
menemukan jawaban atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu hanya dapat
menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan di jantungnya seperti
akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu tidak dapat berbuat
apapun selain meratap dengan sedihnya.
Ketika mereka sampai di
halaman kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. Citra Gati,
Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk ke
pringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan orang-orang itupun
menjadi kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada di antara mereka, namun
ternyata orang itu telah lenyap.
Hanya Sidantilah yang sama
sekali tidak menaruh minat akan hilangnya Untara. “Biarlah anak itu hilang. Dan
biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan Untaralah orang
yang paling sakti diantara kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak denganku.
Apabila guru datang kemari, aku akan mendapat petunjuk bagaimana harus
mengalahkannya” katanya di dalam hati.
Tetapi ketika terlihat pula
olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata pula, “Apakah
anak ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?”
Sindanti menarik bibirnya ke
sisi. Kemudian ia berjalan di samping pendapa dan sama sekali tak mengacuhkan
lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.
Di samping pendapa Sidanti
berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan ke arahnya.
“Siapa yang datang?” gadis itu
bertanya.
“Kakang Widura” jawab Sidanti.
“Dengan anak muda yang bernama
Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.
Sidanti menarik alisnya.
Katanya, “Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”
“Tidak. Tetapi aku ingin
melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan Sangkal Putung.”
“Omong kosong” sahut Sidanti.
“Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama kakaknya, mengabarkan
bahwa laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang terluka oleh
senjata Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan
hidupnya seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya.
Namun yang dicarinya telah
tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke pringgitan. Di
pringgitan, Demang Sangkal Putung telah duduk menunggunya.
“Marilah Adi” Ki Demang
mempersilakan.
Kemudian merekapun duduk melingkar
di atas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi mengulangi, apa yang
dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku
tidak berhasil menemukannya.”
Demang Sangkal Putung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang” desisnya.
Ruangan itu sejenak menjadi
sepi. Masing-masing tenggelam di dalam angan-angannya. Kadang-kadang Sedayu
masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan kecewa yang merayapi
dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir, dan kecewa akan
kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan yang akan
dihadapinya. Tohpati yang pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung, Untara dan
Ki Tanu Metir yang harus diketemukan hidup atau mati, dan Agung Sedayu di
lingkungan anak buahnya. Widura yang telah banyak menghayati berbagai
pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-sangka menempatkan
sebuah persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan
dan harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Sedang apa yang dilakukan oleh
Agung Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali
tidak berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.
Sekar Mirah, ketika tidak
berhasil melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari ke belakang. Ketika ia
masuk ke dapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan mangkuk-mangkuk
minuman ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil
berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan.”
Pembantunya tidak dapat
menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang mengantarkan minuman
itu. Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak muda yang bernama
Agung Sedayu dengan jelas.
Agung Sedayu yang selalu
menundukkan wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah mengawasinya
dengan cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu
menatap wajah anak muda itu dari balik pintu.
“Nama yang baik” desis Sekat
Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.
“Ah” desisnya. “Kau
mengejutkan aku Kakang Sidanti.”
“Apakah yang kau intip?”
bertanya Sidanti.
“Ayah” jawab Sekar Mirah
tergagap.
“Kenapa dengan Ki Demang?”
desak anak muda itu.
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin
tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian ganti bertanya, “apa
kerjamu disini?”
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin
tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.
“Ah” desis Sekar Mirah.
“Keluarlah. Kau mengganggu aku disini.”
Sidanti menggeleng. Jawabnya
“Marilah kita keluar bersama-sama.”
Sekar Mirah tidak menjawab,
tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti mengikutinya di
belakang.
“Apakah kau sudah melihat anak
itu?” bertanya Sidanti kemudian.
“Ya” jawab Sekar Mirah. “Baru
sekarang aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat tengah malam. Dan
kemarin hampir sehari penuh aku membantu di dapur. Baru kemarin sore aku
mendengar nama itu. Nama yang bagus.”
Sekar Mirah berhenti sejenak
ketika ia melihat dahi Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan, “Seperti
namamu.”
Sidanti tersenyum. Namun
senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri, sehingga Sekar
Mirah berkata terus, “Tadi pagi aku melihatnya. Ketika hampir setiap orang
menyebut namanya karena keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat
wajahnya. Dan wajahnyapun baik sebaik namanya.”
Sekali lagi sidanti
mengerutkan keningnya. Sahutnya “Huh, wajah itu tak akan langgeng. Lihat,
hampir setiap wajah laki-laki di sini pasti ditandai goresan-goresan luka.
Hudaya di kening dan pipinya. Citra Gati di belakang telinga kiri dan
hidungnya. Sonya di pelipis kanan dan dahinya. Patra di bahunya. Belum lagi
yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa telah kehilangan
sebelah matanya.”
Hampir segenap bulu Sekar
Mirah berdiri. “Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan
terluka? Wajahmu juga?”
“Itulah sebabnya aku berusaha
untuk dapat melindungi tubuhnya dengan kesaktian. Meskipun demikian pundakku
telah terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa Sedayu
itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi Tohpati
datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh, bahwa ia akan
menjadi cacat.”
Sekar Mirah mendengar
kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang dilihatnya,
hampir setiap laki-laki di pendapa rumahnya menderita cacat di tubuhnya,
meskipun hanya goresan-goresan di kulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Apakah kalau orang yang menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung
Sedayu harus melawannya?”
“Itu adalah kehendaknya
sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita di sini, bahwa kita di sini adalah
orang-orang yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika aku minta
untuk menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit hati.”
Kini Sekar Mirah tidak
bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata, “Kembalilah kepada kawan-kawanmu. Aku
akan membantu orang-orang yang bekerja di dapur.”
“Sekehendakmulah” sahut
Sidanti. “Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal disini.”
“Ini rumahku” bantah Sekar
Mirah sambil bertolak pinggang.
Sidanti tertawa. Katanya,
“Baiklah. Aku harap bahwa aku akan tinggal di rumah ini pula.”
“Huh” jawab Sekar Mirah sambil
mencibirkan bibirnya. “Apakah hakmu?”
“Tidak ada” sahut Sidanti.
Sekar Mirah tidak berkata-kata
lagi. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju ke dapur.
Sidanti mengawasi gadis itu
sampai hilang di balik pintu. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu menarik
keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam, “Sedayu harus disingkirkan
dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Tetapi aku tak punya alasan untuk
melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera datang kembali. Aku ingin melihat,
apakah aku berada di bawahnya atau setidak-tidaknya menyamainya”.
Sidanti menarik nafas, dan
terdengar bergumam terus, “Sayang ia kemenakan Kakang Widura. Tetapi Kakang
Widura itu sendiri tidak lebih daripada aku.”
Sidanti itupun kemudian
perlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok wetan, kemudian
sampailah ia di sisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang
berbaring dengan nyamannya di bawah pohon sawo.
Tetapi ia tidak pergi ke sana.
Anak muda itu langsung naik ke pendapa, berjalan ke sudut dan diraihnya
senjatanya yang terbungkus kain putih dan tersangkut di dinding. Kemudian
sambil duduk di sudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai senjatanya dengan
angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda membelai rambut kekasihnya.
Demikianlah maka sejak hari
itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. Beberapa orang
bersikap sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi sangat
canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada
anak muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia
membelai neggalanya, Kiai Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu. Apalagi
sikap canggung Agung Sedayu benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu
dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang sombong.
Sore itu ketika Agung Sedayu
pergi ke perigi di belakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing
kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia menyapa,
“Selamat sore Tuan.”
Agung Sedayu mengangguk pula
sambil menjawab singkat, “Selamat sore.” Tetapi kemudian ia berjalan terus.
Sekar Mirah mengawasinya pada
punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam, “Benar juga kata orang,
anak muda itu sangat pendiam.”
Meskipun demikian Sekar Mirah
yang baru saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang aneh. Gadis itu,
sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada orang lain yang
lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu. Namun tak
pernah ia merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari ia
bertemu, bercakap bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar
Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti itu benar-benar menarik
hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.
“Kenapa aku ributkan anak muda
itu” katanya didalam hati. “Biarlah ia berbuat sesuka hatinya. Pendiam,
pemurung atau apa saja.” Dan Sekar Mirah kemudian mencoba melupakan kesan itu
sedapat-dapatnya.
Pada malam itu, setelah
Kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum juga tertidur,
membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan disampaikan
kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain.
Sikap anak buahnya kepada
Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru. Dengan demikian kedudukan Agung
Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka menganggap Agung Sedayu, adik Untara
itu, setidak-tidaknya akan dapat menentramkan hati mereka, apabila Tohpati
datang kembali. Karena itu, apabila benar demikian, apakah jadinya Agung Sedayu
itu? Sebelum ia bertemu dengan Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan.
Ketika Agung Sedayu membuka
matanya, maka dilihatnya pamannya duduk di sampingnya. Sambil menggosok
matanya, Agung Sedayu bangkit duduk di muka pamannya.
“Sedayu” bisik Widura,
“Marilah ikut aku.”
“Kemana Paman?” bertanya
Sedayu terkejut.
“Marilah. Setiap malam aku
berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda.”
“Apakah Paman ingin aku ikut
berkeliling?” Sedayu menjelaskan.
Widura mengangguk, “Ya, kita
berdua.”
“Berdua?” Sedayu semakin
terkejut.
“Jangan takut Sedayu. Kita
berada dalam lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini sedemikian
ketatnya, sehingga seorang asingpun tak akan dapat memasuki.”
“Kalau demikian, apa gunanya
Paman berkeliling?”
“Melihat, apakah tugas-tugas
itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang, bahkan seluruh
laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui.”
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. Pekerjaan itu sama
sekali tidak menarik hatinya. Dalam malam yang sedemikian gelapnya, berjalan
menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi setiap
saat mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat menolak ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian
berdiri dan membenahi pakaiannya.
“Bawalah kerismu, Sedayu” kata
pamannya.
Agung Sedayu terkejut.
Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati Anom,
kakaknya itu berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu.
Dan tiba-tiba saja Sedayu
bertanya, “Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”
Pamannya tersenyum, namun
hatinya mengeluh melihat kecemasan di wajah kemenakannya. Jawabnya, “Kita
adalah laki-laki. Di daerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki
harus bersenjata.”
Agung Sedayu tidak menjawab,
hanya debar jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-ragu diraihnya
kerisnya dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya di ikat
pinggangnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan
dapat menggunakannya.
Mereka berduapun segera
melangkah keluar. Di pendapa mereka melihat beberapa orang berbaring tidur
dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur di sudut, sudah tidak gelisah lagi.
Agaknya lukanya telah berangsur baik.
Widura melihat anak muda itu
sambil mengerutkan keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun
sifat-sifatnya agak kurang menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan
kurang patuh pada perintah-perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di
Sangkal Putung itu tak seorangpun yang dapat menyamai kesaktiannya. Bahkan
Widura sendiri agaknya tidak melebihinya.
Mereka berdua kemudian
melintas di halaman. Ketika mereka sampai di regol, beberapa orang penjaga
menganggukkan kepalanya sambil bertanya, “Apakah Kakang Widura akan pergi
berkeliling?”
“Ya” sahut Widura.
“Siapakah di antara kami yang
akan Kakang bawa?” bertanya mereka pula.
Widura menggeleng, sahutnya,
“Tidak ada. Kami akan pergi berdua.”
Agung Sedayu menjadi heran.
Kenapa pamannya tidak membawa serta beberapa orang teman? Apakah itu tidak
terlalu berbahaya?
Tetapi ia tidak bertanya.
Betapapun Sedayu masih juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui
betapa kecil jiwanya.
Ketika Widura dan Agung Sedayu
telah hilang tenggelam dalam malam yang gelap, terdengar salah seorang penjaga
regol itu bergumam, “Kakang Widura telah membawa kemenakannya. Itu berarti,
bahwa ia telah pergi bersama lima enam orang dari antara kita. Bahkan lebih.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata,
“Anak muda itu sangat pendiam.”
“Demikianlah agaknya” sahut
yang lain. “Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan
banyak bicara.”
Orang di regol itupun kemudian
berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
Widura dan Agung Sedayu
berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya malam. Ketika
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap mentakbiri
langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat ujung-ujung
pepohonan di kejauhan.
Widura dan Agung Sedayu
singgah dari satu gardu ke gardu yang lain. Mereka melihat betapa anak buah
Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari,
bangkit atau tenggelam, Kademangan Sangkal Putung itu berada di tangan mereka.
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah tidak mungkin
seorang, dua orang atau lebih, mengendap di parit-parit atau di belakang
gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak berani
bertanya kepada pamannya.
Sampai di ujung desa, Widura
masih berjalan terus. Mereka kini lewat di jalan di antara bentangan sawah yang
luas. Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat menembus malam
yang kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun.
Hati Agung Sedayu semakin lama
menjadi semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang semakin jauh dari induk
desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat menahan
kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya, “Kemanakah kita ini Paman?”
“Jangan takut Sedayu. Desa di
depan, masih di rondai oleh kawan sendiri “ jawab pamannya.
Agung Sedayu terdiam, namun
detak jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang menggerakkan
batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang merintih-rintih.
Agung Sedayu terkejut ketika
pamannya berkata, “Kita belok ke kanan Sedayu, lewat pematang.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
Widura telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat dilakukan oleh anak
muda itu selain mengikutinya di belakang.
Sesaat kemudian mereka berdua
sampai pada suatu bentangan tanah lapang yang sempit. Sebuah puntuk kecil yang
ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit. Bulu-bulu
tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi. Terlalu sepi dan
menakutkan.
“Sedayu” berkata Widura
perlahan-lahan. “Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok.”
Seluruh wajah kulit Agung
Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya kepada sebuah
cerita tentang Kiai Gowok.
Kiai Gowok menurut
pendengarannya adalah semacam hantu yang berparas tampan. Meskipun ia tidak
suka mengganggu orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali menemui
gadis-gadis cantik. Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya.
Pamannya melihat, batapa Agung
Sedayu menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka katanya, “Jangan hiraukan
cerita tetek bengek tentang puntuk itu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Sedang pamannya berkata terus, “Sedayu, bersiaplah. Kita mengadakan latihan
untukmu”
Agung Sedayu menjadi heran.
Latihan apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus melatih diri, untuk
tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya
meneruskan, “Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di
Sangkal Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa
kau memiliki kesaktian dan ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati
kakakmu Untara. Aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi seandainya pada suatu
kali kau terpaksa terlibat dalam suatu perkelahian dengan siapapun. Apalagi
kalau Tohpati itu datang kembali. Sedang orang-orang di Sangkal Putung
menyangka kau pasti akan mampu melawannya. Karena itu, belajarlah berbuat,
berpikir dan bersikap seperti seorang laki-laki.”
Terasa denyut nadi Agung
Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-benar mendebarkan
jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya.
Ketika ia tidak segera
menjawab, pamannya berkata terus, “Apa yang akan aku lakukan, adalah mencoba
menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita berlatih. Untuk seterusnya
setiap malam kita berlatih di sini. Supaya apabila suatu ketika, kau harus
berbuat seperti laki-laki sewajarnya, ada bekalmu meskipun sedikit. Seterusnya,
kalah atau menang, tidak menjadi soal. Kalau kita mati dalam pertempuran nama
kita akan tetap dikenang. Tatapi kalau kita lari daripadanya, maka nama kita
akan senilai dengan daun-daun kering yang diterbangkan angin.”
Debar di dada Agung Sedayu
menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa kedatangannya di
Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus ke daerah yang sama sekali
tak menyenangkan.
“Kalau Kakang Untara malam itu
tidak menjerumuskan aku ke neraka ini” gumamnya didalam hati. “Kenapa Kakang
Untara meributkan laskar Paman Widura di sini? Apakah kalau aku tidak datang
kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh Macan Kepatihan?”
Tetapi Agung Sedayu tidak
sempat berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya menyingsingkan
lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan disisipkannya ke belakang.
“Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar
latihan. Sekarang kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya.”
Dengan segannya, Agung Sedayu
pun mempersiapkan diri. Sebenarnya ia pernah menerima beberapa pengetahuan tata
bela diri dari kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus mempergunakannya.
Pamannya agaknya akan mempergunakan cara yang langsung dalam latihan ini.
Dan ternyata dugaan itu benar.
Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur, namun Widura itu
langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.
“Awas Sedayu” berkata
pamannya. Dalam pada itu Widura pun telah meloncat sambil menyerang dada.
Agung Sedayu terkejut. Cepat
ia mengendapkan diri. Tangan Widura itupun melayang beberapa jengkal diatas
kepalanya.
“Paman!” teriak Sedayu,
”jangan terlalu keras.”
Langkah Widura terhenti.
Dengan heran ia bertanya, “Apa yang terlalu keras?”
“Paman menyerang
bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu.
Pamannya menarik nafas.
Jawabnya, “Tidak. Tetapi aku harus berbuat seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab
dalam perkelahian kau tak akan dapat dengan rendah hati mohon agar
lawan-lawanmu tidak bersungguh-sungguh.”
Sekali lagi debar di jantung
Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada
menuruti perintah pamannya itu.
Karena itu kembali ia bersiap.
Melakukan latihan adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika
pamannya menyerang sekali lagi, Agung Sedayu pun mengelak pula, dengan satu
loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia
berputar, dan serangannya beruntun menyambar Agung Sedayu.
Gerakan itu tidak begitu sulit
untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti pamannya itu. Satu kali
Agung Sedayu melangkah kesamping, kemudian dengan menarik satu kakinya terbebas
dari serangan tangan pamannya yang mengarah pundaknya. Ketika kemudian Widura
memutar kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayupun mencondongkan tubuhnya ke belakang
sehingga kaki pamannya itu lewat beberapa jengkal dari tubuhnya.
Tetapi Widura tidak berhenti
menyerang. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Namun Agung
Sedayu masih juga mampu mengelak. Selangkah demi selangkah ia melangkah surut
untuk menghindarkan serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya terdengar
pamannya berkata, “Apakah kau hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana
kakakmu mengajarmu menyerang.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya . Keduanya bersumber
dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit melayani pamannya. Kini
pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan itupun
dipenuhinya.
Karena itu latihan itu menjadi
semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar mengherankan pamannya. Ternyata
gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah gerakan-gerakan yang sederhana seperti
anak-anak muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung
Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang penggunaannya,
maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan beberapa
unsur yang bagus sekali.
“Hem” desah pamannya di dalam
hati. “Anak ini bukan anak yang bodoh. Sayang, lingkungannya pada masa
kanak-kanak telah membentuknya menjadi seorang pengecut”.
Tetapi angan-angan itu patah,
ketika Widura mendengar suara tertawa di samping mereka. Suara yang bernada
tinggi melengking, meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu terkejut bukan
kepalang. Yang mulai melintas di kepalanya adalah Macan Kepatihan. Karena itu,
ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh, segera ia
meloncat berlindung di belakangnya.
Ketika mereka berdua memandang
ke arah suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa
sawit di atas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.
Widura masih tegak seperti
patung. Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit itu dengan wajah
yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah maju sambil
bertanya, “Siapakah kau?”
Agung Sedayu yang juga dengan
berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik dengan suara gemetar,
“Apakah itu Macan Kepatihan?”
Widura tidak mendengar
pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejappun ia tidak
meninggalkan kewaspadaan.
Orang yang bersandar itu masih
juga bersandar. Widura yang melangkah mendekatinya itu sama sekali tak
diperhatikannya. Suara tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan terdengar
kembali.
“Siapakah kau?” Widura mengulangi
pertanyaannya.
Suara tertawa itupun kemudian
menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata, “Latihan yang
bagus.”
Widura menjadi semakin
bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah melekat di
hulu pedangnya. Katanya, “Jangan menggangu kami. Katakanlah siapakah kau supaya
aku dapat mengambil sikap.”
Orang itupun kemudian berdiri
tegak. Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga akhirnya mereka
dapat saling melihat wajah masing-masing.
Ketika Widura melihat wajah
orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. Namun
kemudian Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan
sebuah topeng yang berwarna kekuning-kuningan.