Anak rajawali Jilid 29
Waktu tengah berjalan untuk
pulang ke rumah penginapan, mereka lewat di muka sebuah rumah pelesiran. Rumah
yang diterangi oleh teng-to-leng memancarkan sinarnya yang merah itu, dengan
suara musik terdengar dari dalam, juga suara tertawa cekikikkan dari para
wanita pelesiran di dalam, genit dan centil, membuat muka Giok Hoa jadi berobah
merah dan merasa panas sekali.
“Jika kelak engkau sebagai
seorang suami, tentunya engkau pun tidak akan berbeda dengan para pria-pria
lainnya, sering mengisi waktu senggang dengan mendatangi tempat-tempat
pelesiran seperti ini? Bukankah begitu, engko Tie??” kata Giok Hoa sambil
melirik.
“Hemmmmm, itu masih belum bisa
kupastikan!” menjawab Ko Tie, tertawa.
Muka Giok Hoa semakin merah,
tapi sekarang terlihat sikap tidak puasnya.
“Mengapa belum bisa
dipastikan? Jika demikian jelas memang kelak engkau pun termasuk seorang
laki-laki bedodoran yang tidak punya malu! Tentu suatu saat kelak engkau pun
akan datang di rumah-rumah pelesiran ini!”
Ko Tie tertawa, dia bilang:
“Adikku yang manis, engkau jangan cepat cemburu seperti itu! Jika memang aku
memperoleh seorang isteri yang buruk sekali, yang tidak cantik, yang cerewet
dan senang sekali mengomel, mengapa aku tidak mungkin datang ke rumah pelesiran
ini buat menghibur diri? Tentu saja aku bisa datang ke rumah-rumah pelesiran
ini!
“Tapi jika andaikata aku
memperoleh isteri secantik engkau, semanis engkau, mana mungkin aku datang ke
tempat-tempat pelesiran, sedangkan isteriku itu seorang yang cantik, seorang
yang sangat manis, yang sangat kucintai! Di rumah-rumah pelesiran seperti itu
mana ada yang menang dengan kecantikan isteriku?” Dan Ko Tie tertawa, lagi.
Muka Giok Hoa berobah merah.
“Boleh aku tahu siapa calon
isterimu yang cantik itu?” tanyanya sambil mengerling.
“Ya, aku sendiri belum tahu.
Tapi aku pasti tidak akan datang ke rumah-rumah pelesiran seperti ini. Jika
saja aku bisa memperoleh seorang isteri secantik engkau, misalnya!”
Pipi Giok Hoa berobah semakin
merah, dia menunduk, namun tangannya meluncur mencubit lengan Ko Tie.
“Kau laki-laki buaya!” kata
Giok Hoa. “Cissss siapa yang kesudian menjadi isterimu? Aku seorang gadis
bermuka buruk, memiliki adat yang jelek, mana mungkin cocok menjadi isterimu,
seperti yang kau idam-idamkan!”
“Justeru aku mengatakannya
kalau saja aku bisa memperoleh isteri seperti engkau, betapa bahagianya aku,
dan tentu tidak akan pernah datang ke rumah-rumah pelesiran.....” kata Ko Tie
setelah menjerit dan menggosok-gosok tangannya yang terasa sakit karena cubitan
si gadis.
“Aku buruk dan juga tabiatku
jelek. Jika aku menjadi isterimu, tentu aku akan menderita dan juga berduka
sepanjang hari!” kata Giok Hoa, suaranya halus, ia juga bilang dengan perlahan
sekali, kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Mengapa begitu?!”tanya Ko Tie
sambil senyum lebar.
“Karena aku tidak cocok dengan
idaman kau!”menyahuti Giok Hoa. “Aku telah mendengarnya, engkau mengharapkan
seorang isteri yang cantik, yang manis yang memiliki perangai sangat baik, baru
engkau tidak akan datang ke tempat-tempat pelesiran ini.
“Tapi jika aku yang buruk dan
bertabiat jelek ini menjadi isterimu, bukankah engkau akan menjadi si pemuda
bedodoran, yang setiap malam mendatangi rumah-rumah pelesiran, sedangkan aku
hanya sepanjang malam menangis seorang diri……!?”
Ko Tie tertawa, ia tahu-tahu
memegang ke dua lengan si gadis, kemudian ia mendekapnya.
“Justeru engkau yang ku
idam-idamkan. Engkau cantik seperti seorang bidadari, engkau pun memiliki hati
yang lembut dan juga baik sekali. Aku bersedia bersumpah tidak akan pernah
menginjakkan kaki walaupun hanya setengah langkah ke tempat-tempat seperti itu,
jika saja engkau bersedia kelak menjadi isteriku!”
Bahagia sekali Giok Hoa, ia
membiarkan tangan Ko Tie mengusap-usap lembut rambutnya. Malah, tangan kanan Ko
Tie tahu-tahu telah memegang dagunya, mengangkatnya, sehingga si gadis
menengadah dan Ko Tie menundukkan kepalanya mencium bibir si gadis.
Untuk sementara Giok Hoa
merasakan dirinya seperti melayang-layang hangat sekali. Baru pertama kali ini
ia dicium oleh lawan sejenisnya. Ia merasakan betapa nikmat dan hangat
membahagiakan sekali.
Tapi, mendadak sekali, seperti
tersentak, Giok Hoa mempergunakan ke dua tangannya mendorong dada Ko Tie,
sampai pemuda itu terhuyung mundur ke belakang.
“Adik Hoa……!?” Ko Tie
terkejut.
“Laki-laki buaya tidak tahu
malu…… Apakah engkau tidak takut nanti jadi tontonan orang ramai? Ini tokh
jalan raya?”
Kata si gadis sambil
menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu, dan di
waktu itu juga terlihat ia tersenyum malu, tapi bahagia sekali hatinya.
Walaupun ia tadi berkata
dengan sikap marah, namun hatinya sesungguhnya bahagia bukan main. Malah ia
mengharapkan lagi, di suatu saat kelak, ia bisa dicium seperti itu lagi oleh Ko
Tie!
Ko Tie tersenyum, ia
mengetahui bahwa Giok Hoa sesungguhnya tidak marah oleh perbuatannya. Ia
mengejar sambil memanggil-manggil si gadis.
Akhirnya ia bisa mengejar
sampai di sisi si gadis.
“Adik Hoa, kau marah?!” tanya
Ko Tie kemudian, dengan suara yang halus.
Giok Hoa memperlahankan
larinya, dia mengerling sambil katanya: “Aku takut berteman dengan laki-laki
buaya seperti kau!”
“Aku tidak akan melakukan
perbuatan itu lagi, adik Hoa. Tentunya engkau tidak marah bukan?” Ko Tie
bilang.
“Cissss, jika lain kali engkau
melakukannya lagi, aku akan menampar mulutmu itu agar gigimu rontok!” kata si
gadis dengan pipi berobah merah.
Tapi Ko Tie melihat, gadis itu
memang tidak marah. Sambil tersenyum si pemuda telah berlari terus mengikuti
Giok Hoa di sisinya!
Giok Hoa telah berlari terus,
kembali ke rumah penginapan. Waktu akan tidur, tampak Ko Tie masih sempat
bilang: “Selamat tidur adikku yang manis, semoga engkau bermimpi.”
“Mimpi apa?” bentak Giok Hoa
sambil cemberut marah. Padahal hatinya waktu itu senang dan bahagia sekali.
Dan Ko Tie melihat si gadis
tengah cemberut seperti itu jadi tertegun. Karena dilihatnya, di bawah cahaya
api lilin, yang redup-redup di dalam kamar mereka, waktu cemberut seperti itu
Giok Hoa benar-benar cantik menawan hati.
Dan jika ia tidak kuatir nanti
si gadis memiliki prasangka yang tidak-tidak dan salah, tentu dia akan
menubruk, untuk mencium dan menggigit bibir si gadis yang tengah cemberut itu.
Dan Ko Tie cuma menahan liurnya.
“Bermimpi indah tentunya.....”
kata Ko Tie pada akhirnya, suaranya serak dan perlahan hampir lenyap tidak
terdengar. “Dan akupun memohon kepada Thian, agar diberikan impian yang indah,
impian yang memberikan kesempatan kepadaku mencium..... mencium.....”
“Mencium apa?” bentak Giok
Hoa, pipinya telah berobah merah.
“Mencium gulingku!”menyahuti
Ko Tie akhirnya.
Si gadis tahu, bahwa ia tengah
diperolok-olok. Namun ia girang. Walaupun mukanya sengaja semakin cemberut,
sedangkan bantalnya telah dilontarkan kepada Ko Tie, sambil makinya seperti
marah:
“Cissss, laki-laki-buaya tidak
tahu malu..... Jikalau bersikap kurang ajar sekali lagi saja, untuk selamanya
aku tidak mau tidur sekamar lagi denganmu..... Biarlah aku akan pindah kamar
saja.”
“Ohhhhh, jangan! Tidak! Aku
berjanji, aku bersumpah, tidak akan berlaku kurang ajar lagi kepadamu..... aku
akan menjadi laki-laki yang alim, jika memang buaya, buaya yang alim dan tenang
mengapung di permukaan air……!”
Sambil berkata begitu Ko Tie
menyambuti bantal si gadis. Ia tertawa keras! Kemudian dengan sikap yang disengaja
seperti tengah memperlihatkan sikap yang menghormat sekali, Ko Tie
mengembalikan bantal si gadis.
Pipi Giok Hoa berobah merah,
tapi senang sekali hatinya. Ia menyambuti bantal itu, namun tangan kirinya
telah meluncur, mencubit lengan Ko Tie, sampat Ko Tie berseru kesakitan.
Di waktu itu, Ko Tie kembali
ke pembaringannya, ia telah tertidur dengan bibir tersenyum lebar.
Giok Hoa tidak segera tidur.
Pengalamannya hari ini benar-benar luar biasa.
Ia bahagia sekali. Ia malu
bukan main. Tapi ia pun mengharapkan bisa mengalaminya satu kali lagi, Ko Tie
menciumnya.
Pemuda itu memang dicintainya.
Ko Tie seorang pemuda sejati. Ia sangat dihormatinya karena sikapnya yang halus
dan tidak pernah berlaku kurang ajar. Dan Giok Hoa memang menyukainya.
Oleh karena itu, iapun telah
melirik berulang kali kepada Ko Tie yang telah tidur di pembaringan di
seberangnya. Si gadis jadi tersenyum beberapa kali dengan sendirinya.
Dilihatnya Ko Tie tertidur
dengan tubuh yang merengket dan juga muka yang berseri-seri, bibirnya tersenyum.
Dilihat juga oleh Giok Hoa, betapa kelopak mata Ko Tie yang tertutup rapat itu
bergerak-gerak.
Dan si gadis jadi tersenyum
sendiri! Tentu Ko Tie pun sama seperti dia, tidak bisa segera tidur pulas,
hanya saja pemuda itu sengaja menutup rapat matanya, untuk pura-pura tidur.
Giok Hoa sengaja membalikkan
tubuhnya ke arah lain, memunggungi Ko Tie. Dan ia tertidur dengan bibir
tersenyum manis sekali......
Iapun memang bermimpi indah
sekali, bermimpi bergurau dengan Ko Tie, bercumbu dan berciuman. Sampai gadis
itu kaget sendirinya terbangun dari tidurnya. Karena dalam mimpinya justeru ia
yang merangsek Ko Tie, ia merangkul kuat-kuat dan geregetan, dia yang melumat
bibir pemuda itu.
Tapi waktu tersadar dari
tidurnya, keadaan di dalam kamar tetap sunyi, gelap gulita, api penerangan di
dalam kamar telah dipadamkan. Dan ketika ia melirik ke pembaringan Ko Tie,
dilihatnya pemuda itu tengah tidur nyenyak dengan mendengkur.
Gadis ini jadi tenang hatinya,
walaupun pipinya berobah merah panas, hatinya senang karena itu hanya impian
belaka, yang tidak mungkin diketahui oleh Ko Tie. Ia pun telah memejamkan
matanya lagi buat tidur..... bibirnya tersenyum bahagia.
Begitu fajar menyingsing, Giok
Hoa terbangun dari tidurnya. Waktu ia menoleh, dilihatnya Ko Tie masih tertidur
nyenyak sekali.
Perlahan-lahan si gadis turun
dari pembaringannya. Agar tidak menimbulkan suara, ia keluar dari kamar,
memanggil pelayan, buat mempersiapkan santapan pagi. Ia telah salin pakaian
dikala ia menantikan tibanya santapan pagi itu.
Setelah pelayan mengantarkan
santapan yang dipesannya, Giok Hoa yang mengatur sendiri di atas meja. Ia
memesan cukup banyak makanan, dan juga ia telah menyusunnya dengan rapi.
Kemudian si gadis duduk di kursi mengawasi Ko Tie yang masih tertidur lelap.
Dipandangi seperti itu,
walaupun semula Ko Tie tertidur nyenyak, tiba-tiba ia seperti tersentak,
perasaan halusnya telah menyatakan bahwa ada seseorang tengah mengawasinya. Ia
terbangun dari tidurnya, dan menoleh kepada si gadis. Justeru dilihatnya Giok Hoa
tengah duduk di depan meja, dekat pembaringannya, tengah mengawasi sambil
tersenyum manis sekali.
Ko Tie jadi malu. Cepat-cepat
ia mengucek-ucek matanya, katanya sambil turun dari pembaringan: “Maafkan adik
Hoa, aku tertidur terlampau nyenyak sekali……”
Segera juga Ko Tie pergi ke
kamar mandi untuk salin pakaian, barulah kemudian setelah cuci muka ia duduk di
depan si gadis.
“Sudah lama kau bangun, adik
Hoa?” tanya Ko Tie.
Giok Hoa mengangguk.
“Ya, sudah cukup lama aku
menantikan kau bangun,” menyahuti si gadis. “Mimpi apa kau tadi malam?”
Muka Ko Tie jadi berobah
merah, tapi ia tertawa.
“Aku memang bermimpi, tapi
jika aku memberitahukan kepadamu, tentu engkau akan marah.....” menyahuti Ko
Tie.
“Ayoh beritahukan padaku mimpi
itu!” desak Giok Hoa ingin mengetahui.
Ko Tie mennggeleng.
“Jangan ahh, nanti engkau
marah!”
“Tidak! Kau harus
memberitahukannya kepadaku!” desak si gadis.
“Kau mau berjanji tidak marah
jika aku menceritakan mimpiku itu?” tanya Ko Tie sambil tetap tersenyum.
Si gadis jadi cemberut.
“Kau mau memberitahukan atau
tidak?”
“Jika kau tidak mau berjanji
bahwa engkau tidak marah mendengar mimpiku itu, barulah aku menceritakannya!”
“Baiklah!” mengangguk Giok
Hoa, “Aku berjanji tidak akan marah. Nah, sekarang kau ceritakanlah mimpimu
itu!”
“Aku semalam bermimpi……”
berkata sampai di situ Ko Tie berhenti dulu, ia tersenyum.
“Ayo katakan!” desak Giok Hoa
tak sabar.
“Aku bermimpi mencium kau adik
Hoa!” menjelaskan Ko Tie pada akhirnya.
“Cisssssss! Tidak tahu malu!”
berkata Giok Hoa yang mukanya seketika berobah merah.
Ko Tie tertawa.
“Tapi kau berjanji tidak akan
marah bukan?” kata Ko Tie kemudian. “Justeru dalam mimpiku itu, engkau tidak
marah dicium malah minta lagi……”
Tiba-tiba tangan kanan si
gadis meluncur, dia mencubit tangan Ko Tie kuat-kuat.
“Aouwwwww!” menjerit Ko Tie
kesakitan tapi tertawa. “Tadi kau berjanji tidak akan marah?!”
“Engkau laki-laki tidak tahu
malu!” kata Giok Hoa dengan pipi berobah merah. Ia jadi malu sekali.
Diam-diam dia jadi bingung
juga, mengapa si pemuda bisa bermimpi yang sama seperti yang dimimpikannya
semalam. Di mana ia yang merangsek si pemuda, yang melumat lahap bibir si
pemuda itu.
Karena itu, Giok Hoa jadi malu
bukan main. Dia menunduk dalam-dalam, dan masih menggumam: “Selanjutnya aku tidak
ingin bicara lagi dengan kau!”
“Ihhhhh, kok begitu?” kata Ko
Tie cepat dan agak gugup. “Bukankah engkau telah mendesak agar aku menceritakan
mimpiku itu?!”
“Tapi engkau memiliki pikiran
yang kotor!” kata Giok Hoa kemudian cemberut.
“Mengapa pikiranku kotor,
bukankah mimpi datang tidak bisa ditolak. Jika memang bisa ditolak, tapi jika
mimpi bisa mencium engkau, adikku manis, tentu aku seribu kali tidak akan
menolaknya!”
Tangan Giok Hoa ingin bergerak
mencubit Ko Tie lagi, tapi pemuda itu telah mendoyong tubuhnya ke belakang,
bersiap-siap menghindar.
“Adikku yang manis.....!” kata
pemuda itu sambil tertawa. “Tentunya engkau..... engkau juga senang sekali jika
saja kita bisa berhubungan lebih intim. Aku sangat mencintaimu..... aku sangat
mencintaimu.....!”
Pipi Giok Hoa semakin berobah
merah.
“Sudah, jangan ngoceh terus!”
katanya kemudian. “Aku tidak mau bicara dengan kau!”
Ko Tie tertawa. Mereka
bersantap. Tapi, namun akhirnya dia sendiri yang banyak bicara, bercerita
perihal pengalamannya yang telah dialaminya beberapa waktu yang lalu, di mana
ia mengatakan dia senang sekali bisa mencoba kepandaiannya dengan membasmi
penjahat.
Ko Tie juga sudah tidak
menyinggung-nyinggung lagi, walaupun Giok Hoa mengancam tidak mau bicara lagi
dengan Ko Tie, dan berpikir, soal “Cium-ciuman” itu, karena ia kuatir nanti si
gadis akan marah. Karena itu, diapun tidak pernah menyinggung-nyinggung atau
menggoda si gadis lagi.
Dia telah bersantap dengan
lahap sekali. Demikian juga si gadis yang makan dengan gembira, merekapun
bermaksud untuk keluar pesiar ke tempat-tempat yang indah di Bu-ciu.
Dan Ko Tie menyetujuinya
karena dengan pesiar ke tempat-tempat yang indah, mereka jelas memiliki waktu
yang cukup banyak untuk menjalin kemesraan mereka berdua.
Begitulah, setelah berpakaian
rapi, ke duanya keluar meninggalkan rumah penginapan. Di depan rumah penginapan
Ko Tie bertanya kepada seorang pelayan, tempat mana yang indah di Bu-ciu ini.
Pelayan itu mengawasi ke dua
tamunya ini. Ia kagum melihat tampannya Ko Tie dan Giok Hoa yang masih tetap
menyamar sebagai seorang pemuda. Sampai akhirnya pelayan itu bilang:
“Jika memang tuan berdua ingin
mencari tempat yang indah, kebetulan sekali hari ini Ang-kie-pay (Perkumpulan
Bendera Merah) tengah mengadakan pesta di telaga Bie-ouw, duapuluh lie dari
Bu-ciu..... Hari ini di sana berkumpul kurang lebih ratusan orang-orang rimba
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.
“Mereka akan bertanding
bermacam cara untuk memeriahkan pesta itu. Di sana ada juga musik-musik yang
akan diperdengarkan oleh para pemain musik terkenal di Bu-ciu!
“Cuma nasibku dasar sial. Aku
sebagai pelayan rumah penginapan ini, aku tidak ijinkan oleh majikanku buat
pergi menyaksikan keramaian, karena majikanku kuatir banyak tamu yang perlu
dilayani! Hai! Hai! Jika saja memang aku bisa menyaksikan keramaian itu…….”
Ko Tie tidak menanti sampai
ocehan dari pelayan itu habis, ia telah menarik tangan Giok Hoa, diajaknya
pergi.
“Ang-kie-pay mengadakan pesta,
tentu memang meriah! Perkumpulan apakah Ang-kie-pay itu? Tentunya merupakan
lintah darat dan buaya-buaya darat di kota ini….. Para jagoan kota!
“Hemmm, tampaknya, Ang-kie-pay
merupakan perkumpulan yang tidak kecil. Karena menurut pelayan itu, yang akan
berkumpul di tempat pesta mereka itu, jumlahnya lebih dari ratusan orang-orang
rimba persilatan, yang semuanya berasal dari kalangan Kang-ouw.
“Tentunya memang di sana akan
ramai. Karena dari itu, ada baiknya kita pergi ke sana untuk menyaksikan
keramaian.……!”
Giok Hoa setuju.
“Ya, memang kita perlu
keramaian!” katanya kemudian mengangguk beberapa kali.
“Adikku, cuma saja, ada
sesuatu yang membuat aku menyesal jika kita pergi ke sana……!” kata Ko Tie
bersungguh-sungguh.
Giok Hoa kaget.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Karena di sana sangat ramai
sekali, tentu aku tidak memiliki kesempatan walaupun satu detik buat
menciummu!” menggoda Ko Tie,
Muka si gadis berubah merah,
dia malu sekali. Dia juga berkata galak sambil mengayunkan tangannya: “Akan
kutampar mulutmu, engko Ko Tie.”
Tapi Ko Tie memang tahu
penyakit, dia telah berlari sambil tertawa. Si gadis mengejarnya.
Namun akhirnya Ko Tie
membiarkan pundaknya dipukul oleh Giok Hoa. Tentu saja bukan pukulan yang
keras, hanya pukulan yang lunak. Ko Tie sengaja mengaduh-aduh.
“Kalau mulutmu kurang ajar
lagi, aku akan memukul sampai kau berlutut minta ampun!” mengancam si gadis
dengan muka yang berubah merah.
Ko Tie merangkapkan ke dua
tangannya, sambil menahan senyum, ia bilang: “Siauw-jin akan mematuhi perintah
Toa-ya.”
Mau atau tidak Giok Hoa
tertawa juga. Dan mereka melanjutkan perjalanan pula dengan hati yang bahagia.
Sepanjang perjalanan, memang
mereka seringkali bertemu dengan orang-orang yang berpakaian sebagai orang
Kang-ouw, dengan berbagai senjata tajam terlihat berada di punggung dan di
pinggang mereka.
Semua orang Kang-ouw yang
bertemu dengan mereka, tidak memperhatikan mereka. Karena mereka berdua adalah
pemuda-pemuda tampan, yang tidak mirip-miripnya sebagai seorang rimba
persilatan.
Tampaknya sebagai
kutubuku-kutubuku belaka. Dan jika ada yang tertarik juga memperhatikan mereka,
karena ke dua pemuda itu sangat tampan sekali.
Waktu itu mereka telah tiba di
dekat telaga, di mana mereka semakin banyak bertemu dengan orang rimba
persilatan. Bermacam-macam orang rimba persilatan itu.
Ada yang tua, ada yang muda,
ada yang kejam dan bengis, tapi ada juga yang mukanya memancarkan sikap
penyabar. Tapi yang terbanyak umumnya mereka merupakan orang-orang dengan
tampang menyeramkan.
Ko Tie dan Giok Hoa segera
dapat menduga, bahwa Ang-kie-pay tentunya merupakan perkumpulan dari aliran
hitam. Melihat tamu-tamunya yang sebagian terbesar terdiri dari orang-orang
Kang-ouw aliran hitam, tentunya Ang-kie-pay memang merupakan perkumpulan yang
tidak baik.
Karena itu, sambil menoleh
kepada Giok Hoa, Ko Tie berbisik, “Jika memang perlu, kita turun tangan. Karena
tampaknya Ang-kie-pay bukan perkumpulan manusia-manusia baik!”
Giok Hoa mengangguk
mengiyakan.
Di waktu itu, orang Kang-ouw
yang berkumpul di tepi telaga tersebut, ramai sekali. Mereka tengah
bercakap-cakap dengan gembira dan berisik sekali.
Di tepi telaga Bie-ouw telah
ramai bukan main, di sebelah barat telaga itu dibangun sebuah panggung yang
cukup tinggi dan mewah. Sedangkan di pinggir kiri kanannya terdapat tetarap
yang dibangun untuk menampung para tamu yang berdatangan.
Ko Tie dan Giok Hoa mengambil
tempat di belakang di sebelah kanan dari panggung. Mereka duduk dengan tenang
sambil memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu, mengawasi semua orang yang
berkumpul di situ.
Banyak orang-orang yang bekerja
sebagai pelayan Ang-kie-pay, melayani tamu-tamu. Mereka sibuk menyediakan
minuman dan makanan.
Waktu itu, di tengah telaga,
terdapat sebuah kapal yang cukup besar dan angker sekali dengan segala hiasan.
Rupanya, pemimpin-pemimpin
Ang-kie-pay berada di dalam kapal itu. Maka Ko Tie dan Giok Hoa
memperhatikannya ke arah kapal itu, yang rupanya di dalam kapal tersebut
terdapat tidak sedikit orang-orang lihay.
Apa yang diduga oleh Ko Tie
dan Giok Hoa memang tidak meleset, sebab waktu itu tampak sesosok tubuh telah
melayang keluar dari kapal, dan telah menuju ke panggung. Gin-kang yang
diperlihatkannya memang mahir dan tinggi.
Ko Tie yang melihat gerakan
orang itu, hanya tersenyum saja. Giok Hoa bilang dengan suara tawar: “Hemmm,
mereka mulai menjual lagak!”
“Ya!” Ko Tie mengangguk.
Orang yang hinggap di atas
punggung itu, ternyata seorang lelaki tua berusia kurang lebih enampuluh tahun,
dengan kumis dan jenggot yang telah memutih dan kulit muka yang keriputan.
Matanya yang sipit itu memancarkan sinar yang sangat tajam, seakan juga ingin
menembusi semua orang yang berkumpul di situ karena sebelum berbicara, ia telah
menyapu memandang semua orang yang berada di situ, barulah kemudian dia telah
merangkapkan sepasang tangannya, dia menjurah sambil katanya dengan suara yang
parau keras:
“Saudara-saudara sekalian,
juga para Ho-han yang berkumpul di sini, yang telah meringankan kaki hadir
dalam pesta yang kami adakan! Atas nama Pang-cu, aku menyampaikan syukur dan
terima kasih kami……!”
Setelah berkata begita orang
tua tersebut menjurah tiga kali. Ia mengawasi sekelilingnya, di mana semua
orang yang hadir, di sebelah kanan maupun sebelah kiri panggung itu bertepuk
tangan ramai sekali.
Setelah keadaan meredah
kembali, barulah orang tua itu meneruskan perkataannya:
“Sebenarnya, maksud kami
menyelenggarakan pesta ini, hanyalah untuk memperingati perkumpulan kami telah
berusia lima tahun! Berkat dari kesetiaan kawan-kawan Kang-ouw, kami dapat
hidup terus dengan subur dan juga dapat menancapkan kaki di dalam kalangan Kang-ouw.
“Karena itu, tidak lupa, untuk
menyatakan terima kasih kami dengan menyelenggarakan pesta ini! Dan juga di
samping untuk ucapan terima kasih, Pang-cu kami memiliki maksud satu lagi,
yaitu ingin memperkenalkan diri kepada kawan-kawan Kang-ouw di Bu-ciu ini
tentang perkumpulan kami, yaitu Ang-kie-pay!”
Setelah berkata begitu, orang
tua itu mementangkan ke dua tangannya, disambut oleh tepuk tangan yang riuh dan
ramai.
Sedangkan Ko Tie dan Giok Hoa
segera dapat menduga, tentunya Ang-kie-pay, memang bermaksud hendak
mementangkan sayap dan kekuasaannya di Bu-ciu ini, di mana mereka hendak
mengunjukkan gigi dan juga bermaksud hendak menanamkan kekuasaannya di Bu-ciu.
Dengan demikian, sengaja
mereka membangun panggung. Jelas Ang-kie-pay akan memajukan orang-orangnya,
untuk dapat memperlihatkan betapa anggota Ang-kie-pay memang semuanya memiliki
kepandaian yang lihay dan juga akan dapat merubuhkan dan menghadapi jago Bu-ciu
yang mana saja!
Itulah suatu maksud untuk
kepentingan kekuasaan dari orang-orang Ang-kie-pay belaka maka telah membuat Ko
Tie dan Giok Hoa semakin memiliki kesan tidak baik pada perkumpulan tersebut.
Sedangkan orang tua itu
setelah mementangkan ke dua tangannya, dan tepuk tangan maupun pujian meredah,
mereka semua telah berdiam diri, barulah ia berkata dengan suara yang lebih
nyaring lagi:
“Untuk menambah meriah pesta
kami ini, karena itu kami akan menampilkan dua orang anggota muda kami, untuk
dapat main-main di panggung, guna memperlihatkan kejelekan mereka…… Harap para
tamu tidak menertawainya……!”
Menyelesaikan perkataannya
itu, tampak orang tua ini telah menepuk ke dua tangannya, di mana dia telah
menepuknya sebanyak tiga kali, dan suaranya juga sangat nyaring sekali.
Segera tampak dari kapal itu
melesat dua sosok tubuh. Sama halnya seperti yang dilakukan oleh orang tua itu,
ke dua sosok tubuh itu juga berjumpalitan di tengah udara.
Dan mereka melompat enam kali
untuk dapat tiba di lantai panggung tersebut. Ke dua orang itu adalah dua orang
pemuda berusia duapuluh tahun lebih, ke duanya memakai baju warna merah yang
singsat, dengan pedang tergemblok di tubuh masing-masing.
Mereka memberi hormat kepada
orang tua itu, lalu memutar tubuh memberi hormat kepada para tamu.
“Harap cianpwe dan juga
tuan-tuan tidak mentertawai keburukan kami.....!” kata mereka hampir berbareng.
“Sekarang kami hendak meramaikan pesta pangcu Ang-kie-pay, agar para Cianpwe
dan tuan-tuan tidak menjadi kesepian karenanya.....!”
Setelah berkata begitu, dengan
gesit ke dua pemuda itu memisahkan diri. mereka telah berdiri berhadapan dan
juga tangan mereka dengan sebat telah mancabut pedang masing-masing, yang
berkilauan terkena sinar matahari pagi.
Segera juga di sekitar tempat
itu ramai oleh tepuk tangan dan suara memuji, karena orang-orang kagum dengan
gerakan dan kesebatan tangan ke dua pemuda itu.
Semangat ke dua pemuda
tersebut terbangun dan mereka segera juga melompat dengan gesit dimana mereka
telah menyerang satu dengan yang lainnya.
Gerakan yang dilakukannya
sebenarnya hanya merupakan kembang ilmu pedang belaka, karena biarpun tampaknya
mereka gesit dan menyerang dengan hebat, namun tidak mungkin akan dapat
mencelakai lawan masing-masing.
Ko Tie yang menyaksikan cara
bertanding ke dua pemuda itu, jadi tidak tertarik. Demikian juga Giok Hoa.
Karena ke dua pemuda itu memang benar-benar hanya memperlihatkan permainan yang
tidak berarti, cuma hendak meramaikan pesta tersebut.
Setelah lewat duapuluh jurus,
ke dua pemuda itu melompat mundur memisahkan diri.
Orang tua enampuluhan tahun
yang tadi telah maju pula ke depan, ia merangkapkan ke dua tangannya, kemudian
katanya:
“Siapakah di antara tuan-tuan
yang hendak memanaskan darah untuk main-main dengan gembira di atas panggung?
Mereka merupakan anggota muda kami yang memiliki kepandaian belum berarti, karena
itu, mereka telah memperlihatkan permainan ilmu yang kurang baik!”
Setelah berkata begitu, dengan
sikap mempersilakan, tampak tangan orang tua itu telah diacungkan. Dia
mempersilakan jika di antara tamu-tamu itu ada yang bersedia uutuk maju ke atas
panggung, untuk pibu.
Tiba-tiba Ko Tie dan Giok Hoa
melihat, seorang pemuda berusia hampir tigapuluh tahun telah melompat naik ke
atas panggung. Gerakan tubuhnya begitu ringan waktu ke dua kakinya hinggap di
atas panggung. Sama sekali tidak mengeluarkan suara dan juga mereka melihat
bahwa mata pemuda itu memiliki sinar tajam.
Di kala itu terlihat pemuda
itu merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat, sambil katanya,
“Maaf, boanpwe Tie Koay Cie
ingin sekali main-main untuk menambah kegembiraan. Dan siapakah di antara
tuan-tuan yang bersedia menemani?!”
Terdengar suara tertawa tawar,
disusul dengan melesatnya sesosok bayangan ke atas panggung.
“Aku yang rendah Wu Cie Lin
ingin sekali main-main untuk menambah pengalaman!”
Dan orang itu ternyata seorang
pemuda berusia duapuluh lima tahun, memakai baju di sebelah atas berwarna
putih, sedangkan celananya warna coklat. Ia membawa sepasang pedang di
punggungnya.
Demikianlah, ke dua pemuda itu
setelah basa-basi, segera mulai bergerak.
Semua orang menyaksikan
pertempuran kali ini lebih tertarik, karena ke dua pemuda yang tengah mengukur
ilmu tersebut merupakan orang-orang yang jauh lebih lihay dibandingkan dengan
ke dua orang anggota muda dari Ang-kie-pay.
Ko Tie dari Giok Hoa yang
tengah menyaksikan pertempuran itu, tiba-tiba mendengar orang di samping mereka
berkata perlahan kepada kawannya: “Kita sudah boleh mulai bertindak!?”
“Tunggu dulu, sabar, kita
tidak boleh ceroboh! Sekarang mereka berkumpul semuanya, yang terdiri dari
orang-orang yang kepandaiannya tidak rendah! Jika kita meleset dalam
perhitungan, niscaya kita yang celaka……!”
Ko Tie melirik. Dia melihat
orang yang tengah bercakap-cakap itu adalah dua orang laki-laki setengah baya,
yang masing-masing memiliki wajah yang kejam dan bengis. Mata mereka tengah
memandang tajam sekali ke panggung.
Pakaian orang yang satunya,
yang berada di samping Ko Tie berwarna hijau, sedangkan yang seorang lagi
berwarna kuning. Di saat itu yang berpakaian hijau telah berkata perlahan
sekali:
“Walaupun bagaimana usaha kita
kali ini harus berhasil. Jika gagal berarti untuk selanjutnya tidak ada
kesempatan buat kita menancapkan kaki di Bu-ciu……!”
Yang memakai baju warna kuning
cuma mengangguk.
Ko Tie jadi tertarik. Entah
apa yang hendak dilakukan ke dua orang ini.
Tapi melihat cara berkata-kata
mereka, tampaknya mereka memang bukan hendak melakukan sesuatu yang baik.
Karenanya diam-diam Ko Tie jadi memperhatikan gerak gerik mereka.
Ko Tie dan Giok Hoa memakai
baju warna abu-abu sebagai anak sekolahan. Karena itu, orang yang memakai haju
hijau dan kawannya yang memakai baju kuning, sama sekali tidak mencurigai Ko
Tie maupun Giok Hoa. Mereka bicara walaupun bisik-bisik, tampaknya mereka
leluasa sekali dan sangat berani.
Ko Tie masih memperhatikan
beberapa saat, akhirnya ia mendengar yang memakai baju warna hijau itu telah
berkata perlahan kepada kawannya: “Mari kita mulai……!”
Kawannya cuma mendengus saja,
dan ikut bangun berdiri. Mereka meninggalkan tempat duduk mereka, untuk
menyelusup ke tempat lain.
Ko Tie pesan kepada Giok Hoa,
agar kawannya tetap berdiam di situ, sedangkan dia sendiri telah mengikuti ke
dua orang itu.
Giok Hoa mengangguk sambil
tersenyum.
Ternyata ke dua orang yang
diikuti oleh Ko Tie menuju ke tepi telaga sebelah utara di mana keadaan di situ
sepi, tidak terdapat seorang manusiapun juga. Orang-orang Ang-kie-pay pun
justeru berkumpul di sekitar panggung.
Ko Tie menjejakkan ke dua
kakinya, tubuhnya melesat ke atas sebatang pohon. Dia menyembunyikan diri di
situ, mengawasi gerak-gerik ke dua orang tersebut.
Orang yang memakai baju hijau
telah mendekatkan tangannya pada bibirnya, maka terdengarlah suara siulan yang
nyaring dan disusul kemudian dari tempat yang rimbun, melesat keluar beberapa
orang. Gerakan mereka sangat gesit sekali, dan telah sampai pada ke dua orang
itu, yang segera berkata:
“Kita akan gembira bekerja……
waktunya telah tiba.....!”
“Ya Tong-cu……!” menyahuti
orang-orang yang baru keluar, yang semuanya mengenakan baju singsat dan usia
mereka rata-rata pertengahan umur.
Ko Tie semakin heran, entah
apa yang hendak dilakukan mereka, karena mereka seperti juga telah merencanakan
untuk melakukan sesuatu yang diperhitungkan benar.
Waktu itu orang yang memakai
baju warna hijau telah berkata dengan sikap sungguh-sungguh,
“Jika sekali ini kita gagal,
maka habislah kita…… karena Ang-kie-pay memang bermaksud menelan perkumpulan
kita. Karena itu, kalian harus bekerja sebaik-baiknya!”
“Ya…… kami mengerti!”
menyahuti beberapa orang itu.
“Nah, pergilah kalian
melaksanakan perintah!” kata orang yang memakai baju warna kuning.
Orang-orang yang berjumlah
delapan orang itu telah berlari ke tepi telaga, lalu mereka menyelam ke dalam
air, lenyap tidak terlihat lagi. Hanya terlihat air yang bergerak perlahan.
Rupanya mereka berdelapan telah menyelam sambil berenang menghampiri kapal
besar itu.
Orang yang memakai baju hijau
dan kuning memperdengarkan tertawa dingin mereka. Keduanya segera pergi ke
balik sebatang pohon untuk menempatkan diri mereka di situ.
Baru saja Ko Tie hendak
berlalu, pergi ke atas kapal besar itu, guna melihat, siapakah sebenarnya
orang-orang yang berkumpul di dalam kapal itu, mendadak sekali terdengar suara
orang tertawa dingin.
“Hemmm, kami tidak pernah
menyangka sama sekali bahwa Houw-sim-pay (Perkumpulan Hati Harimau) ternyata
hanya terdiri dari manusia-manusia rendah dan tidak tahu malu!”
Ko Tie melirik ke arah
datangnya suara itu. Tampak seorang Tojin tua berusia hampir tujuhpuluh tahun,
melangkah keluar dengan langkah yang ringan. Mukanya lancip seperti muka
burung. Matanya bersinar sangat tajam sekali.
Di waktu itu orang yang
memakai baju hijau dan kuning kaget bukan main. Namun mereka cepat bisa
menguasai diri, karena mereka telah melompat berdiri dan menghadapi si Tojin.
“Ohhhhh, tidak tahunya Oey
Tojin!” kata yang memakai baju hijau. “Tidak kami sangka bahwa Oey Tojin yang
memiliki nama sangat terkenal di dalam rimba persilatan, tidak hanya seorang
manusia rendah tukang mengintip dan mencuri dengar percakapan orang lain……”
Muka Tojin itu berobah bengis.
Memang mukanya sudah bengis, sekarang dia dalam keadaan gusar, maka dia
tampaknya jadi lebih bengis, sedangkan matanya juga memancarkan sinar yang
sangat tajam.
“Jangan bicara sembarangan
ngaco balau!” bentak Tojin itu dengan suara mengandung kemarahan. “Siapa yang mencuri
dengar percakapan kalian? Hemmm, memang beruntung pinto mengetahui kalian
memiliki maksud buruk, maka pinto telah menguntit kalian.
“Benar saja kecurigaan kami
itu memperoleh kenyataan, bahwa kalian merupakan manusia-manusia rendah! Apa
maksud kalian untuk menghancurkan kami?
“Hemm, beruntung saja kami
telah menduga sebelumnya. Kami telah mengadakan persiapan! Nah, sekarang coba
kalian berpaling. Lihatlah! Apa yang terjadi itu.....!”
Sambil berkata begitu, Tojin
tersebut memperdengarkan suara tertawanya, tertawa mangejek.
Sedangkan orang berbaju hijau
dan kuning itu telah mendatangi ke tengah telaga. Benar saja air telaga telah
berubah menjadi merah, disusul dengan mengambangnya beberapa sosok tubuh.
Tidak lain yang mengambang
sosok mayat di tengah-tengah telaga itu adalah kawan-kawan mereka. Saling susul
satu demi satu telah mengambang, akhirnya jumlahnya genap delapan orang, yang
telah mati…… mengambang menjadi mayat!”
“Hemmm!” Tojin itu mendengus
mengejek, waktu melihat muka orang berbaju hijau dan kuning itu memandang
tertegun dengan wajah yang berobah memucat. “Sekarang kalian telah menyaksikan,
betapapun juga Ang-kie-pay bukanlah sebangsa perkumpulan yang mudah untuk
dipermainkannya.....!”
Dan Tojin tersebut segera
memperdengarkan suara tertawanya yang sangat nyaring sekali. Suara tertawanya
itu seperti juga menggema di sekitar tempat tersebut.
Sedangkan dari dalam telaga
telah bermunculan beberapa orang yang berpakaian serba merah. Mereka berjumlah
lima orang.
Di tangan masing-masing tergenggam
pedang, yang waktu itu berkilauan, karena darah di pedang itu telah tercuci
oleh air telaga. Dan pedang-pedang itulah yang telah menghabisi jiwa dari
delapan orang anak buah orang yang memakai baju hijau dan kuning itu.
“Oey Tojin, betapa rendahnya
kalian!” bentak orang yang memakai baju hijau dengan sengit sekali. “Engkau
telah memasang jaring buat kami!”
“Menghadapi manusia-manusia
rendah seperti kalian, mengapa harus sungkan?!” menyahuti Tojin itu dengan
suara yang tawar. “Hemm, bukankah kalian justeru bermaksud buruk terhadap kami?
Jika kami tidak mengadakan penjagaan yang ketat, niscaya kalian dapat
melaksanakan maksud buruk kalian……!”
Setelah berkata begitu, Tojin
tersebut telah tertawa bergelak-gelak.
Orang yang memakai baju hijau
dan kuning tidak bisa menahan kemarahan mereka lagi. Seperti juga mereka berdua
telah berjanji, dengan gesit sekali dan sangat cepat, ke duanya telah
menjejakkan kaki mereka masing-masing dan tubuh mereka telah melesat ke depan
Tojin itu.
Tangan mereka buat menghantam.
Kuat sekali tenaga pukulan mereka, yang datang dari sebelah samping kanan dan
kiri Tojin itu, karena orang yang memakai baju hijau dan kuning itu telah
memperhitungkan serangan mereka tersebut, di mana memang mereka bermaksud buat
menyerang serentak, agar Tojin itu tidak memiliki kesempatan lagi buat
mengelakkan diri dari serangan mereka.
Tapi Tojin itu memang tabah
dan lihay. Ia tidak gentar menghadapi pukulan ke dua orang lawannya tersebut,
karena dengan segera ia telah mengeluarkan tertawanya yang panjang, tahu-tahu
ke dua tangannya diputar.
Akibat tangannya yang diputar
cepat seperti itu, menimbulkan angin yang berkesiuran dan juga telah membuat
pukulan ke dua lawannya terbendung. Dan dikala orang yang memakai baju hijau
dan juga yang memakai baju kuning, tengah terkejut. Mereka hendak menarik
pulang tenaga mereka ketika melihat serangan mereka gagal.
Di waktu itulah dengan cepat
sekali terlihat betapa Oey Tojin telah menghantam dengan kedua tangannya lagi,
maka seketika terlihat tubuh orang yang berbaju hijau dan kuning itu terpental,
sebab mereka tidak bisa menangkis. Juga datangnya pukulan itu sangat cepat, di
samping ilmu pukulan Tojin tersebut memang merupakan ilmu pukulan yang lihay.
Ko Tie yang tengah mengintai,
diam-diam, terkejut.
“Telengas sekali tangan Tojin
itu!” pikir Ko Tie yang segera dapat mengenali ilmu pukulan Tojin tersebut
adalah ilmu pukulan yang dinamakan “Menghancurkan Jantung Memutuskan Otot”
semacam ilmu pukulan sesat yang sangat ganas sekali.
Sedangkan orang yang memakai
baju hijau dan kuning, terpental cukup jauh. Dan mereka berusaha untuk berdiri.
Memang berhasil mereka berdiri kembali, namun dari mulut mereka segera
memuntahkan darah segar……!
Melihat muka orang yang
memakai baju hijau dan kuning itu pucat pias, tampak Oey Tojin tertawa
bergelak-gelak.
“Hemmm, seperti delapan orang
kawan kalian, maka kalian berdua juga tidak dapat meloloskan diri dari tangan
kami, Ang-kie-pay!”
Mengetahui bahwa Tojin ini
sebagai anggota dari Ang-kie-pay memiliki tangan yang begitu telengas, dan hati
yang sangat kejam, seketika Ko Tie memperoleh kesan yang pasti, bahwa
Ang-kie-pay pasti sebuah perkumpulan yang kejam dan jahat, yang termasuk dalam
golongan hitam!
Di waktu itu, Oey Tojin telah
melangkah setindak demi setindak menghampiri ke dua orang lawannya. Orang yang
memakai baju hijau dan baju kuning jadi panik juga.
Mereka gentar setelah
mengetahui bahwa Tojin itu sangat lihay, dan juga mereka memang bukan jadi
tandingannya. Apa lagi dikala itu mereka telah terluka di dalam yang tidak
ringan.
Melihat Oey Tojin menghampiri
mereka, ke dua orang ini, yang memakai baju hijau dan kuning mundur setindak
demi setindak ke belakang. Dan mereka bermaksud untuk meloloskan diri saja.
Hanya, ke lima orang pemuda
yang memakai baju berwana merah, telah menghampiri dan mengurung mereka,
berusaha buat mencegah mereka melarikan diri. Pedang mereka telah melintang,
siap dipergunakan sembarang waktu yang diperlukan.
Orang yang memakai baju warna
hijau dan kuning itu menyadari, bahwa mereka sulit ingin meloloskan diri, maka
yang memakai baju hijau segera jadi nekad, katanya dengan suara yang bengis:
“Hemmm, Oey Tojin, jika memang
engkau memiliki kepandaian yang tinggi, bunuhlah kami! Memang kami tidak
berdaya kali ini terhadapmu, tapi kau jangan gembira dulu!
“Kami tidak takut buat mati,
tapi kematian kami tidak akan sudah sampai di sini saja. Pangcu kami tentu akan
mengadakan pembalasan yang jauh lebih hebat lagi kepada kalian.”
Waktu berkata begitu, muka si
baju hijau yang memang telah pucat itu, tampak bengis mengandung kekecewaan,
putus asa dan nekad.
Sedangkan yang berpakaian
warna kuning, juga jadi nekad. Namun ia tidak banyak bicara, karena tahu-tahu
tubuhnya telah melesat menerjang kepada Oey Tojin.
Dia menerjang sambil
mengulurkan ke dua tangannya, karena ia bermaksud hendak mencengkeram batok
kepala imam itu.
Belum lagi kakinya terpisah
jauh dari tanah, orang yang memakai baju kuning itu telah menjerit, jerit
kematian. Dia kemudian rubuh di tanah, karena dia telah ditabas oleh pedang
salah seorang anak buah Ang-kie-pay.
Waktu melihat orang memakai
baju kuning hendak maju, dengan segera pedangnya itu bergerak menabas punggung
orang berbaju kuning. Dia rubuh di tanah, dan hanya menggeliat satu kali,
kemudian diam tidak herkutik lagi, karena memang napasnya telah putus.
Sedangkan kawannya yang
memakai baju warna hijau, jadi berdiri menjublek.
Dia menyadari, kalau saja
memang hendak melakukan pembalasan, berarti diapun akan menemui ajal seperti
kawannya. Karena memang di waktu itu diapun tengah terluka parah dan tidak
berdaya.
Dengan muka yang pucat pias,
dikala si imam telah tertawa bergelak-gelak, orang yang memakai baju hijau itu
bilang:
“Bunuhlah aku..... jangan
harap kalian bisa menghina kami! Aku tidak akan gentar menghadapi kematian!”
Oey Tojin tertawa mengejek.
“Kau ingin mampus? Justeru aku
tidak bermaksud kau mati cepat-cepat. Aku menginginkan engkau berangkat ke
akherat tidak terburu-buru, perlahan-lahan. Itulah kematian yang paling
menyenangkan!
“Hemm, sekarang engkau harus
menjelaskan dulu, apa maksudmu datang untuk mengacaukan pesta yang
diselenggarakan Ang-kie-pay?!” Waktu bertanya seperti itu, muka Oey Tojin
bengis bukan main, matanya mendelik memancarkan sinar yang tajam.
Sebetulnya, Ko Tie melihat
orang yang memakai baju kuning telah dibunuh mati, hendak turun tangan, guna
melindungi orang yang memakai baju hijau. Namun, ia jadi tertarik mendengar Oey
Tojin itu menanyakan apa maksud dari orang berbaju hijau itu mengacau di situ.
Segera juga Ko Tie tersadar,
walaupun bagaimana memang dia belum lagi mengetahui, urusan apa yang
sesungguhnya terjadi antara Ang-kie-pay dengan perkumpulan dari orang berbaju
hijau itu. Maka dari itu, Ko Tie batal melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Dia berdiam diri saja, ingin menantikan jawaban dari orang
berbaju hijau tersebut.
Sedangkan orang berbaju hijau
itu tertawa dingin,
“Jika ingin bunuh, bunuhlah!
Mengapa harus banyak bicara lagi? Tidak sepatah katapun juga aku akan
memberikan keterangan kepada kalian!”
Melihat ketegasan sikap dari
orang berbaju hijau itu, Oey Tojin mengangguk-angguk dengan wajah yang bengis.
Dia melangkah dua tindak menghampiri.
“Baiklah, rupanya engkau
memang mencari mampus!”
Sambil berkata begitu, tangan
kirinya bergerak. Tangan kanannya membarengi menyambar. Itulah merupakan
pukulan mengandung maut, telengas sekali.
Tapi, waktu orang berpakaian
serba hijau itu putus asa dan memejamkan matanya, tahu-tahu berkelebat sesosok
bayangan, yang menyampok dengan tangan kanannya buat menangkis pukulan yang
dilakukan Oey Tojin.
Tubuh Oey Tojin terhuyung
sampai tiga tindak. Karena terlalu kaget, dia sampai menjerit.
Sedangkan orang berpakaian
baju hijau segera membuka matanya. Dia jadi heran. Penolongnya adalah pemuda
pelajar yang saat itu duduk di sebelahnya, yang sebelumnya dipandang ringan dan
tidak sebelah mata olehnya.
Siapa tahu, pemuda pelajar
yang semula diduganya lemah itu, kini telah memperlihatkan bahwa ia memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, juga dia telah menolongnya.
Belum lagi orang berbaju hijau
tersebut mengucapkan terima kasihnya, waktu itu, dengan sebat Tojin tersebut
telah menghantam lagi kepada Ko Tie.
Rupanya Oey Tojin penasaran
sekali. Dia kaget waktu serangannya ditangkis dan telah membuat tubuhnya sampai
terpental seperti itu. Segera juga dia mengawasi orang yang telah menangkis
serangannya tersebut.
Dan dia tambah heran, karena
itulah seorang pemuda remaja yang mungkin usianya baru duapuluh tahun lebih,
dan ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Maka segera juga tampak
Oey Tojin telah melesat dengan lincah dia menghantam kepada Ko Tie.
Pukulan yang dilakukannya jauh
lebih hebat dibandingkan dengan pukulannya yang tadi. Angin pukulan itu juga
berkesiuran menderu-deru.
Ko Tie tertawa dingin, dia
bilang: “Hemm, engkau mencari mampus……!” Dan sambil berkata begitu, segera juga
ia menangkis. Kali ini ia menangkis dengan mempergunakan Pukulan Inti Esnya.
Karena itu, begitu tangannya
saling bentur dengan tangan Oey Tojin, seketika imam itu terhuyung mundur empat
langkah ke belakang, dan mukanya pucat. Tubuhnya menggigil keras, karena ia
merasakan tubuhnya seperti juga direndam di dalam kolam es!
Ke lima orang anak buahnya
yang menyaksikan keadaan Oey Tojin seperti itu, segera juga membentak bengis.
Mereka menggerakkan pedang masing-masing.
Lima batang pedang telah
menyambar berseliweran, mengancam bagian-bagian yang mematikan di tubuh Ko Tie.
Tapi Ko Tie memang sangat
lihay. Dia mana memandang sebelah mata terhadap penyerangan dari ke lima orang
itu.
Sambil tertawa dingin, dia
telah melesat ke sana ke mari, tahu-tahu ke lima batang pedang itu telah pindah
tangan.
Tapi ke lima orang anggota
Ang-kie-pay itu benar-benar manusia kepala batu.
Setelah mereka tertegun
sejenak, dan tersadar, mereka cepat sekali melompat sambil mengayunkan ke dua
tangan masing-masing, yang menyerang dengan sekuat tenaga mereka. Dengan
demikian, mereka bermaksud untuk merubuhkan pemuda yang tidak mereka kenal ini.
Ko Tie jadi mendongkol melihat
kepala batu ke lima anggota Ang-kie-pay, terlebih lagi ia menyaksikan sendiri,
betapa semua anggota Ang-kie-pay memiliki tangan telengas.
Cepat luar biasa dia
melontarkan ke lima batang pedang rampasannya. Ke lima batang pedang itu
meluncur dengan mengeluarkan suara mendengung, karena kuatnya timpukan Ko Tie
dan ke lima pedang itu menancap serentak di batang pohon, melesak dalam sekali.
Membarengi dengan itu, tubuh
Ko Tie juga berkelebat-kelebat menangkis pukulan ke lima orang anggota
Ang-kie-pay tersebut. Tangan mereka saling bentur, disusul dengan terdengarnya
suara hancur dan patahnya tulang tangan ke lima orang itu, yang menjerit
kesakitan dan telah melompat mundur dengan muka yang pucat dan tubuh menggigil
keras.
Masing-masing ke dua tangan
mereka telah hancur dan lunglai tidak bertenaga serta sudah tidak dapat
dipergunakan lagi!
Ko Tie tertawa dingin.
“Hemmm, manusia bertangan
telengas dan berhati kejam seperti kalian tidak perlu diampuni……!” dingin
sekali suaranya
Waktu itu Oey Tojin tengah
berusaha menahan hawa dingin yang menyerang dirinya, dan tangan kanannya
dipakai bersiul nyaring dengan ditempelkan pada bibirnya. Suara siulan itu
bergema di sekitar tempat itu.
Ko Tie tertawa, katanya:
“Hemm, engkau memang hendak memanggil kawanmu, bala bantuanmu?”
Dan dia telah berkata begitu
sambil tubuhnya dengan cepat sekali bergerak, di mana tangannya melayang
menghantam lagi. Maka seketika tubuh dari orang tua itu, imam yang lanjut usia
tersebut, seperti juga daun kering yang tidak berbobot lagi, terpental dan
ambruk di tanah, dengan tubuh yang menggigil keras.
Tubuhnya juga telah dibungkus
oleh selapisan salju yang tipis sekali, di waktu mana dia menggigil keras
dengan gigi yang bercatrukan satu dengan yang lainnya. Akhirnya karena menahan
hawa dingin yang luar biasa hebatnya membuat dia pingsan tidak sadarkan diri.
Dalam keadaan seperti itulah,
dia juga telah menggeletak diam dengan napas yang tidak berhembus lagi, karena
begitu ia pingsan, begitu jantungnya tidak bekerja lagi, dan telah menutup mata
buat selama-lamanya.
Ko Tie memang telah menurunkan
tangan yang keras seperti itu, karena memang dia melihatnya betapa Oey Tojin
seorang pendeta yang bertangan telengas sekali.
Karena itu, dalam turun tangan
dia tidak tanggung-tanggung. Dia telah membunuhnya tidak mengenal kasihan lagi.
Di waktu itu juga tampak dari
kejauhan berlari-lari beberapa orang. Gerakan orang-orang itu sangat gesit
sekali. Dalam waktu yang singkat, mereka telah sampai di tempat tersebut.
Mereka adalah lima orang tua
yang jenggot dan juga kumisnya telah memutih semuanya. Disamping itu, mereka
semuanya memakai jubah warna merah.
Ke lima orang tua itu kaget
bukan kepalang melihat Oey Tojin menggeletak tidak bernapas lagi, tubuhnya
telah terbungkus oleh salju yang tipis.
Mereka memandang kepada Ko Tie
dengat sorot mata yang tajam. Karena di waktu itu mereka juga melihat ke lima
orang anggota Ang-kie-pay menggeletak tidak bernapas lagi.
“Tuan……!” kata salah seorang
di antara mereka sambil merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat kepada
Ko Tie. “Sesungguhnya, apa kesalahan mereka, sehingga kau turunkan tangan
begitu keras kepada mereka?!”
Ko Tie tertawa dingin.
“Mereka merupakan
manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan! Mereka memang memiliki muka
manusia, tapi berhati binatang!”
Ke lima orang tua itu berobah
mukanya jadi merah padam, dan mereka murka bukan main. Tapi orang tua yang tadi
berkata-kata itu telah bilang lagi, sambil menindih kegusarannya: “Siapakah kau
sebenarnya tuan?”
“Kalian tidak berderajat buat
menanyakan namaku.....” kata Ko Tie dengan suara yang dingin: “Hemmm, kalian
dari Ang-kie-pay, ternyata kalian hanya dapat menyelenggarakan pesta untuk
banjir darah dari orang-orang yang tidak berdaya!
“Berusaha menancapkan kaki di
Bu-ciu, hanyalah untuk memperluas kekuasaan kalian belaka, tanpa memikirkan
lagi korban yang akan jatuh karenanya.....! Sekarang tuan mudamu ingin melihat,
sesungguhnya perkumpulan macam apakah itu yang disebut Ang-kie-pay?”
Setelah berkata begitu, Ko Tie
berdiri sambil memperlihatkan sikap mengejek.
Muka ke lima orang tua itu
berobah hebat. Inilah baru pertama kali mereka alami, seorang pemuda, yang
usianya baru duapuluh tahun lebih, telah menantang mereka dengan sikap kurang
ajar seperti itu.
Seumur mereka, belum pernah
mereka menghadapi sikap seperti itu walaupun seorang tokoh rimba persilatan,
mereka dihormati, dan tidak ada yang berani bersikap kurang ajar seperti itu.
Karenanya, tampak mereka telah memandang dengan sikap yang bengis sekali, yang
seorang itu telah berkata dengan suaranya yang tawar:
“Baik, engkau tidak mau
menyebutkan namamu dan tidak mau menjelaskan siapa adanya kau. Inipun tidak
menjadi persoalan buat kami! Tetapi yang jelas, memang kau yang telah membunuh
Oey Tojin dan ke lima orang anggota Ang-kie-pay kami itu bukan?”
“Benar..... memang aku yang
telah mengirim mereka ke neraka!” menyahuti Ko Tie berani sekali, bahkan sambil
menyahuti seperti itu, dia telah memperdengarkan suara tertawa mengejek,
sikapnya tidak memandang sebelah mata kepada lawan-lawannya itu.
Orang yang memakai baju hijau,
yang telah ditolongi jiwanya oleh Ko Tie, jadi memandang dengan mata terbuka
lebar-lebar. Dia telah menyaksikan sendiri betapa lihaynya pemuda ini.
Tapi, dia juga berkuatir
sekali, karena ke lima orang tua itu adalah jago-jago tertinggi dari
Ang-kie-pay, yang bergelar Kim-hong-ngo-sian (Lima Dewa Dari Puncak Emas), di
mana kepandaian mereka sulit dijajaki dan juga memang mereka itu merupakan
manusia-manusia aneh di dalam rimba persilatan.
Mereka memiliki kedudukan
tertinggi di Ang-kie-pay, setelah Pangcu mereka. Dan kepandaian mereka memang
menggetarkan rimba persilatan. Karena itu, orang berbaju hijau tersebut
berkuatir kalau-kalau nanti pemuda penolongnya itu tidak sanggup menghadapi ke
lima tokoh Ang-kie-pay tersebut.
Dengan sorot mata mengandung
kekuatiran yang sangat, orang yang memakai baju hijau tersebut hanya mengawasi
saja.
Sedangkan orang Ang-kie-pay,
yang tadi telah menanyakan halnya kematian Oey Tojin kepada Ko Tie, melangkah
perlahan-lahan, ia menghampiri Ko Tie dengan sikapnya yang mengancam.
Namun Ko Tie tetap berdiri
tegak di tempatnya dengan tenang, sama sekali dia tidak memperlihatkan perasaan
gentar sedikit pun juga. Dia telah melihatnya, betapa empat orang tua lainnya
pun telah melangkah maju serentak berlima.
Ko Tie diam-diam telah
memusatkan tenaga dalamya. Dia mengetahui, ke lima orang tokoh dari Ang-kie-pay
bukanlah sebangsa manusia baik-baik. Ilmu silat mereka walaupun ilmu silat
tersesat, namun mereka lihay sekali.
Karenanya, Ko Tie juga
bermaksud ingin melihatnya, berapa tinggi kepandaian ke lima orang itu.
Sedangkan orang tua yang
seorang itu telah berkata dengan suara yang dingin menahan kemurkaannya. “Tuan,
baiklah, aku ingin sekali minta pengajaran dari kau..........!”
Dan menyusul dengan
perkataannya itu, cepat bukan main dia telah melompat dan menyerang dengan
dahsyat sekali. Tenaga pukulannya itu mengandung kekuatan yang bisa merubuhkan
sebatang pohon yang cukup besar.
Ko Tie juga memang merasakan,
sambaran angin pukulan itu memang kuat sekali, tapi dia tidak gentar. Sedangkan
orang tua itu, karena mengetahui pemuda ini yang telah membinasakan Oey Tojin
dan ke lima anak buah Ang-kie-pay lainnya.
Sedangkan kepandaian Oey Tojin
sesungguhnya tinggi sekali, maka dapat menduganya bahwa Ko Tie tentunya
memiliki kepandaian yang hebat. Maka begitu dia turun tangan, seketika dia
menyerang dengan dahsyat.
Pukulan yang dilakukannya itu
disertai delapan bagian tenaga dalamnya. Waktu itulah dia melihatnya, betapa Ko
Tie sama sekali tak menangkis pukulannya tersebut, hanya berdiri tersenyum-senyum
dengan tenang.
Dia jadi girang, dia yakin,
begitu pemuda ini berusaha menangkis, tentu sudah terlambat. Karena jarak
pukulan itu sudah terlalu dekat. Karena itu, dia memperhebat pukulannya, dia
bermaksud dapat merubuhkan Ko Tie dalam sekali hantam saja.
Waktu pukulan itu menyambar
lebih dekat, di saat itulah tahu-tahu tubuh Ko Tie telah lenyap dari
penglihatan orang tua tersebut. Gerakannya begitu gesit, sehingga si orang tua
itupun jadi kabur matanya, karena dia tidak bisa melihat jelas gerakan Ko Tie.
Tahu-tahu Ko Tie telah berada
di belakangnya, dengan tangan kanannya dia menepuk pundak orang tua itu.
Perlahan tepukannya, tapi akibatnya memang luar biasa buat orang tua itu
Sambil menjerit keras,
tubuhnya terjerunuk ke depan. Hampir saja dia ambruk rebah di tanah, kalau saja
dia tidak cepat-cepat mengendalikan kuda-kuda ke dua kakinya.
Di saat itu ke empat orang tua
lainnya, yang kaget melihat kawan mereka telah ditepuk terjerunuk seperti itu,
segera juga menjejakkan ke dua kaki mereka, menerjang serentak. Ilmu pukulan
mereka merupakan pukulan yang telengas sekali, yang bisa mematikan.
Tubuh Ko Tie
berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan lincah, dan setiap pukulan lawannya
dapat dihindarkan dengan mudah.
Malah, setiap kali ada
kesempatan dia telah membalas menyerang. Serangan Ko Tie bukan berupa pukulan,
dia cuma menepuk, dan selalu berhasil.
Serangan demi serangan. Ke
empat orang tua itupun telah kena ditepuk pundaknya, dan mereka telah
dimusnahkan ilmu silat dan tenaga dalam mereka, seperti orang tua yang pertama
itu!
Ke lima orang tua itu berdiri
dengan wajah yang pucat dan tubuh yang menggigil. Tampak mereka berdiam diri
dengan mata yang memandang penuh dendam.
Ko Tie juga telah berdiri di
depan mereka sambil tertawa mengejek.
“Hanya sebegitu sajakah
kepandaian dari anggota-anggota Ang-kie-pay?” ejeknya.
Sedangkan orang yang memakai
baju hijau itu memandang tertegun mematung. Karena dia tidak menyangka betapa
hebatnya Ko Tie. Ke lima tokoh dari Ang-kie-pay, yang diketahuinya memiliki kepandaian
yang sangat tinggi, hanya dalam beberapa gebrakan saja. Dia telah berhasil
merubuhkannya.
Malah, bukan sekedar
merubuhkannya, juga telah memusnahkan kepandaian dan tenaga dalam mereka.
Dengan demikian, tentu saja membuat orang yang memakai baju hijau itu seperti
juga tidak mempercayai apa yang dilihatnya, seakan juga tidak mempercayai apa
yang disaksikannya.
Semua itu seperti berada dalam
dongeng saja. Dia hampir tidak bisa mempercayainya, bahwa di dalam rimba
persilatan terdapat seorang pemuda yang memiliki kepandaian dan ilmu silat
sehebat itu.
Sedangkan Ko Tie telah
berkata: “Kali ini aku masih berlaku murah hati, karena kalian belum pernah
berbuat salah kepadaku! Tapi di lain kali, jika aku bertemu dengan kalian dan
masih tidak meninggalkan dunia hitam, kalian hemmm, hemmm, hemmm, di waktu itu
sudah tidak ada tawar menawar lagi dan kalian harus pulang ke neraka!
“Sekarang kalian pergilah
menggelinding dari tuan muda kalian!” Sambil berkata begitu, Ko Tie
memperlihatkan sikap yang bengis dan juga bersungguh-sungguh angker.
Ke lima jago dari Ang-kie-pay
itu menghela napas dalam. Mereka merasakan betapa sekujur tubuh mereka lemas
tidak memiliki tenaga apa-apa.
“Tuan, apakah tuan adalah
seorang dari ke dua pelajar yang belakangan ini muncul di, dalam rimba
persilatan?” tanya orang tua yang seorang itu. “Yaitu pelajar she Bie dan she
Un itu?!”
“Sudah kukatakan tadi bahwa
kalian tidak sederajat buat menanyakan diriku! Jika kalian tidak mau
cepat-cepat angkat kaki menggelinding meninggalkan tempat ini, tuan mudamu
tidak akan sungkan-sungkan lagi dan akan mengirim kalian ke neraka.....!”
Setelah berkata begitu, segera juga ia telah melangkah maju.
Muka ke lima orang tokoh
Ang-kie-pay yang memang telah pucat itu jadi semakin pucat, dan mereka tanpa berani
menanyakan sesuatu lagi telah memutar tubuh dan berlari.
Tapi gin-kang mereka telah
lenyap, tubuh mereka tidak bisa diringankan kembali, dengan begitu lari mereka
sangat lambat sekali.
Orang yang memakai baju warna
hijau tersebut berdiri tertegun beberapa saat lamanya, sampai akhirnya ia
menghampiri Ko Tie dengan merangkapkan ke dua tangannya. Dia membungkukkan
tubuhnya memberi hormat, menyatakan terima kasihnya.
“Syukur Siauw-hiap telah
menolongiku, jika tidak, niscaya jiwaku telah melayang.....!” katanya dengan
penuh rasa syukur.
Melihat wajah orang, dan apa
yang dilakukannya, Ko Tie mengetahuinya, tentunya orang yang berpakaian serba
hijau ini pun bukanlah sebangsa manusia baik-baik, karena itu dia kurang
memiliki kesan baik buat orang tersebut. Walaupun demikian, ia tersenyum tawar,
katanya:
“Bangunlah, jangan terlalu
banyak peradatan......! Dan dapatkah kau menjelaskan kepadaku, mengapa kalian
saling bermusuhan?”
Orang yang berpakaian baju
hijau tersebut, telah menceritakannya. Ia menjelaskan bahwa ia sesungguhnya
berasal dari Hauw-sim-pay, di mana dia memang merupakan orang-orang yang
menjagoi di Bu-ciu ini, selama puluhan tahun.
Akan tetapi disebabkan memang
di saat belakangan ini pihak Ang-kie-pay hendak mengembangkan sayap dan
pengaruh di Bu-ciu, karena itu, mereka berusaha menentangnya. Mereka
menyadarinya, jika saja pihak Ang-kie-pay berhasil mengembangkan sayap dan
kekuasaan di Bu-ciu, niscaya akhirnya Hauw-sim-pay akan terdesak.
Itulah sebabnya, Pangcu
Hauw-sim-pay telah perintahkan kepada anak buahnya, untuk menggagalkan
pertemuan dalam bentuk pesta yang diselenggarakan oleh pihak Ang-kie-pay,
karena dengan menyelenggarakan pestanya itu, Ang-kie-pay memang bermaksud
hendak mengunjukkan gigi dan pengaruh.
Tapi sayangnya, orang-orang Ang-kie-pay
justeru merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu
juga memang mereka telah mengadakan penjagaan yang kuat.
Dengan demikian telah membuat
orang-orang Hauw-sim-pay jadi dapat dirontokan. Maksud mereka yang semula hendak
membobolkan kapal di mana terdapat para tokoh dari Ang-kie-pay, dapat
digagalkan, bahkan mereka telah dibinasakan, yang tinggal hanyalah orang yang
mangenakan baju hijau tersebut.
Beruntung saja Ko Tie telah
turun tangan menolonginya. Jika tidak, tentu diapun telah dikirim ke neraka
oleh orang-orang Ang-kie-pay. Itulah sebabnya, betapa ia sangat bersyukur
sekali kepada Ko Tie yang telah menyelamatkan dirinya.
Di waktu itu Ko Tie sambil
mendengarkan cerita orang berpakaian serba hijau tersebut, juga berpikir:
“Hemm, baik Ang-kie-pay maupun Hauw-sim-pay, ke duanya merupakan perkumpulan
manusia-manusia tidak benar. Kare¬na itu, aku tidak boleh berdiri di
tengah-tengah mereka membela salah satu pihak.....
“Walaupun bagaimana, memang
aku justeru harus membubarkan mereka, ke dua golongan itu. Cuma saja,
Ang-kie-pay tampaknya memiliki orang-orang yang berkepandaian tinggi dalam
jumlah tidak sedikit. Rupanya lebih sulit untuk menghancurkannya dibandingkan
dengan Hauw-sim-pay.”
Sambil berpikir begitu,
terlihat betapa Ko Tie telah mengangguk-angguk beberapa kali. Kemudian dengan
sikap yang angker, dia bilang:
“Baiklah! Kau boleh pulang ke
markasmu. Katakan kepada ketuamu bahwa aku akan datang menemuinya! Aku harap
kalian membubarkan diri dan selanjutnya tidak mengunjuk gigi lagi di Bu-ciu
ini! Siapa yang membandel, hemmm, hemmm, aku tidak akan segan-segan membasmi
kalian……!”
Sambil berkata begitu, Ko Tie
berdiri tegak dengan sikap yang angker sekali. Dengan demikian membuat orang
berbaju hijau tersebut tidak berani menantang tatapannya, dia hanya menunduk
dan mengiyakan beberapa kali.
Semula orang berpakaian hijau
dari Hauw-sim-pay tersebut girang bukan main. Ia menyangka bahwa Ko Tie akan
membela pihaknya.
Siapa sangka justeru pemuda
itu perintahkan kepadanya agar menyampaikan kepada ketuanya bahwa Hauw-sim-pay
harus dibubarkan, karena itu dia jadi kecele. Namun dia mengetahui bahwa pemuda
itu memang memiliki kepandaian yang tinggi dan sangat lihay, maka ia tidak
berani membantah sepatah perkataan pun juga, biarpun ia tidak puas.
Dikala itu, dari kejauhan
mendatangi tiga sosok tubuh, yang gerakannya sangat ringan. Begitu cepat mereka
mendatangi, dan malah salah seorang di antara mereka telah membentak bengis
sekali: “Mana pemuda she Bie itu……!”
Rupanya, ke lima orang tokoh
dari Ang-kie-pay telah kembali di tengah-tengah kawan mereka dan menceritakan
apa yang mereka alami. Juga mereka menyampaikan dugaan mereka bahwa Ko Tie
adalah salah seorang dari ke dua pemuda yang menggemparkan rimba persilatan
sebagai Bie Siauw-hiap dan Un Siauw-hiap itu. Dan dugaan jatuh bahwa Ko Tie
adalah yang disebut Bie Siauw-hiap itu.
Karena itu, Pangcu dari
Ang-kie-pay segera mengutus tiga orang tokoh Ang-kie-pay buat mengurus Ko Tie.
Ia tidak leluasa pergi sendiri, karena dia tengah pesta dan juga mendampingi
banyak sekali tamu-tamunya, yang terdiri dari para tokoh rimba persilatan.
Ke tiga orang itu dengan cepat
sekali telah sampai di depan Ko Tie. Orang dari Hauw-sim-pay yang belum lagi
angkat kaki, jadi batal buat pergi, karena dia sangat ingin buat menyaksikan
pertempuran antara orang-orang Ang-kie-pay dengan Ko Tie, yang pasti terjadi.
Di waktu itu Ko Tie berdiri
tenang di tempatnya. Dia hanya mengeluarkan suara mendengusnya beberapa kali:
“Hemmm! Hemmm! Hemmm!!”
Dilihatnya ke tiga orang tokoh
Ang-kie-pay yang baru datang adalah tiga orang Tojin, yang berpakaian sangat
rapih dan bersih. Usia mereka telah lanjut sekali, mungkin tujuhpuluh tahun
lebih. Merekalah kakak-kakak seperguruan dari Oey Tojin.
“Hemmm jadi engkau yang telah
membunuh Oey sute kami?” kata salah seorang Tojin, yang usianya paling tua,
dengan suara dan sikap yang bengis.
Dengan berani Ko Tie
mengangguk.
“Apakah yang kalian maksudkan
adalah tosu bau ini?!” Sambil Ko Tie menunjuk kepada mayat Oey Tojin.
Bola mata ke tiga orang tosu
itu mencilak-cilak memain tidak hentinya, betapa murkanya mereka. Dan segera
juga terlibat bahwa salah seorang di antara mereka berkata: “Kau terlalu
tekabur, bocah busuk……”
Sambil berkata begitu, cepat
sekali ke dua tangannya bergerak.
Kagum juga Ko Tie menyaksikan
cepatnya gerakan tangan tosu yang seorang ini, terlebih lagi ia menyerang
dengan mempergunakan lweekang yang dahsyat, sehingga angin serangannya halus
sekali, namun tajam dan kuat sekali, berkesiuran kepada Ko Tie.
Ko Tie dengan sigap telah
mengelak. Sedangkan ke dua tosu lainnya tidak tinggal berdiam diri saja. Mereka
segera juga telah bergerak buat membantu saudara seperguruan mereka dan
mendesak Ko Tie.
Benar-benar Ko Tie lihay
karena biarpun dia dikepung oleh ke tiga orang Tojin yang masing-masing
memiliki kepandaian tinggi, namun dia bisa menghadapinya dengan baik. Dia telah
mengelakkan diri ke sana ke mari.
Selama itu Ko Tie tidak
membalas menyerang, karena memang dia sengaja mengelak saja untuk bisa melihat
berapa tinggi kepandaian ke tiga Tojin ini.
Setelah bergerak lima kali,
melewati enam jurus dari ke tiga orang lawannya, di waktu itulah segera Ko Tie
dapat mengambil kesimpulan bahwa kepandaian dari ke tiga orang lawannya ini
yang berada di atas Oey Tojin, karena itu tidak terlalu mengherankan jika ke
tiga orang lawan ini memang jauh lebih hebat, dan juga jauh lebih sulit untuk
dirubuhkan dalam waktu yang singkat.
Terlihat betapa ke tiga Tojin
itu bernafsu sekali untuk menyerang kepada Ko Tie. Setiap kali tangan mereka
itu menyambar, maka berkesiuran angin yang hebat sekali!
Di kala itu, Ko Tie dengan
segera merobah cara bertempurnya. Dia memutar ke dua tangannya, yang segera
memancarkan angin serangan yang mengandung hawa dingin luar biasa, yang
menyelubungi tubuhnya.