Anak rajawali Jilid 26
Wanita setengah baya itu
melirik gusar kepada gadis tersebut, kemudian katanya: “Gadis tidak tahu malu!
Pergi kau!”
Dibentak begitu, gadis
tersebut tidak juga meninggalkan tempat itu, dia malah merangkapkan ke dua
tangannya menjura dalam-dalam kepada si wanita setengah baya itu:
“Ampunilah dia.......
janganlah dia dibinasakan jika memang engkau hendak membunuhnya juga, bunuhlah
aku terlebih dulu!” Dan setelah berkata begitu dengan suara yang gemetar,
tampak gadis itu menggigil diiringi tangisnya.
Giok Hoa jadi berkasihan
melihat gadis itu yang tentu mencintai pemuda tersebut. Iapun jadi teringat
akan hubungannya dengan Ko Tie yang juga disukai dan disenanginya. Diwaktu itu
telah timbul niat di hati Giok Hoa, walaupun bagaimana dia akan membantu gadis
itu menolongi si pemuda dari tangan si wanita setengah baya tersebut.
Sedangkan wanita setengah baya
itu telah berkata dengan suara yang dingin:
“Hemmm….. engkau jadi
menyediakan dirimu sebagai pengganti jiwa murid durhaka ini? Dia seorang pemuda
yang paling buruk di dunia jika tokh memang menyatakan suka padamu dan
mengambil engkau sebagai isterinya, engkau akan menderita! Sebagai murid pintu
perguruan kami, orang luar tidak berhak mencampuri urusan di dalam pintu
perguruan kami, terlebih lagi kau….. pergilah…..!”
Gadis itu menggeleng perlahan
sambil menyusut air matanya.
“Tidak…… tidak..... apapun
yang dikatakan locianpwe, akan tetap dengan keputusanku, bahwa aku memang harus
dapat menolonginya..... aku rela jika sampai harus mengorbankan jiwa buat
dia……!”
“Hemmmm, sedemikian cintakah
engkau kepada manusia busuk ini?!” kata wanita setengah baya.
Bola matanya memain,
setidaknya hatinya jadi mengiri juga melihat akan kebetulan cinta gadis itu
kepada pemuda yang tidak berdaya di dalam tangannya dan akan dibinasakan itu.
“Apakah engkau telah
memikirkannya masak-masak buat membela mati-matian manusia busuk ini?!”
Gadis itu mengangkat kepalanya
memandang wanita setengah baya itu, air matanya tetap mengucur deras sekali,
dia merangkapkan tangannya, dia bilang.
“Benar..... jika memang
locianpwe masih menghadapi jiwanya, lebih dulu locianpwe bunuhlah aku! Aku
tidak sanggup menyaksikan dia mati di tangan locianpwe.”
Wanita setengah baya itu
tertawa bergelak-gelak mendengar perkataan si gadis, yang seperti memelas
meminta belas kasihan darinya.
Giok Hoa jadi terharu bukan
main, dia melihat ketulusan hati akan cinta si gadis terhadap pemuda itu, yang
rela mengorbankan jiwanya, asalkan pemuda yang dicintainya itu bisa
diselamatkan jiwanya dari maut.
Dan Giok Hoa diam-diam semakin
bertekad, walaupun bagaimana dia harus menolongi pemuda itu. Dia memang ingin
membantu gadis itu menyelamatkan si pemuda.
Setelah puas ia tertawa
bergelak-gelak seperti itu, tampak muka wanita setengah baya tersebut berobah
menjadi keras dan bengis. Bola matanya memain tidak hentinya, memancarkan sinar
yang tajam sekali, katanya:
“Hemm, jika tetap engkau ingin
membela manusia busuk ini! Sayang sekali aku tidak bisa kesakitan kepada
dirimu! Terserahlah kepada dirimu sendiri, engkau mau mampus atau tidak, tetapi
yang pasti, orang busuk ini harus dihukum mati. Dia merupakan murid murtad dari
pintu perguruannya……!”
Sambil berkata begitu, si
wanita setengah baya tersebut mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dia menyedot
hawa udara, karena dia mengerahkan sin-kangnya dan dia bermaksud akan
menghantam batok kepala pemuda yang sudah tidak berdaya di dalam cengkeraman
tangan kanannya.
“Jangan…… oooohhhh, ampunilah
dia!” menjerit si gadis dengan suara memelas sekali, bahkan dia menubruk nekad
hendak memeluk pemuda itu dan menghalangi maksud wanita setengah baya tersebut.
Tapi wanita setengah baya itu
sama sekali tidak memperdulikan sikap si gadis, karena tangan kirinya itu
dibatalkan buat menghantam kepala si pemuda yang telah jadi tawanannya itu,
hanya saja tangan kiri itu dikibaskan kepada si gadis.
“Bukkk!” seketika tubuh gadis
itu terpental sangat keras sekali, karena kibasan tangan wanita setengah baya
itu memang sangat kuat.
Sambil mengeluarkan jeritan
nyaring, tubuh si gadis terpelanting akan rubuh dari atas genting rumah
penduduk.
Giok Hoa kaget, dia melihat si
wanita setengah baya itu memang memiliki tangan yang agak telengas.
Segera juga Giok Hoa bermaksud
hendak keluar dari tempat bersembunyinya, karena ia ingin memberikan
pertolongan kepada gadis itu dan menyelamatkan si pemuda yang tidak berdaya
berada dalam cengkeraman tangan si wanita setengah baya.
Cuma saja, belum lagi, Giok
Hoa keluar dari tempat persembunyiannya itu, justeru telah terlihat tiga sosok tubuh
dengan gerakan yang gesit sekali diiringi dengan seruannya:
“Ohhh, wanita kejam! Sungguh
telengas! Gadis yang tidak berdaya seperti itu telah kau hantam sedemikian kuat
tanpa mengenal kasihan!”
Bukan hanya berkata saja,
salah seorang dari ke tiga sosok tubuh itu, telah melompat dengan sebat, dia
berhasil menahan tubuh gadis itu, agar tidak terpelanting jatuh di bawah
genting rumah penduduk.
Muka gadis itu pucat sekali,
dia menangis terisak-isak, karena dia merasakan dadanya sakit bukan main akibat
hantaman tangan kiri si wanita setengah baya yang disertai sin-kangnya. Tentu
saja gadis itu itu terluka di dalam yang tidak ringan, malah dirasakan nyeri
sampai ke ulu hati.
Orang yang telah menolongnya,
ternyata seorang pengemis berusia empatpuluh tahun lebih, dengan tubuh tinggi
tegap, memelihara berewokan yang kasar, telah menghiburnya.
“Nona berdiri di sana saja……
biar kami yang mengurus wanita bertangan telengas dan berhati iblis itu!”
katanya dengan suara yang sangat sabar sekali, di mana dia telah membiarkan si
gadis duduk di atas genting rumah penduduk. Tubuhnya kembali melompat ke dekat
si wanita setengah baya.
Ke dua orang kawannya, yang
juga dua orang pengemis, telah melompat menghampiri wanita setengah baya itu.
Bola mata wanita setengah baya tersebut telah memain tidak hentinya memancarkan
kemarahan hatinya.
“Siapa kau sebenarnya!” bentak
si wanita setengah baya dengan hati yang gusar bukan main, karena melihat ke
tiga orang pengemis ini tampaknya hendak mencampuri urusannya.
Pengemis yang tadi telah
menahan tubuh si gadis jatuh dari atas genting rumah penduduk segera berkata:
“Kami adalah manusia-manusia yang tidak punya harganya di matamu, tapi kami
memberanikan diri buat memohon agar pemuda itu dibebaskan……!”
Si wanita setengah baya itu
tertawa dingin katanya: “Aku telah menerima mandat dari gurunya, buat
mewakilinya, agar membunuh dan memusnahkan muridnya yang murtad ini….....
Karena itu, sebagai orang-orang Kang-ouw tentu kalian menyadari tidak bisa
kalian mencampuri urusan ini, urusan di dalam pintu perguruan yang tengah
mengurus orang-orangnya……”
Pengemis itu mengangguk.
“Tepat! Memang kami tidak
berhak buat mencampuri urusan di dalam sebuah pintu perguruan, jika memang
pintu perguruan itu tidak ingin urusan rumah tangganya dicampuri orang luar!
“Tapi kamipun tidak bisa
menyaksikan begitu saja, betapa engkau dengan tangan telengas dan kejam sekali,
ingin membunuh pemuda yang tidak berdaya. Dan juga menurunkan tangan begitu
kejam terhadap seorang gadis yang lemah!
“Apakah engkau tidak sadari
bahwa itulah tindakan dan perbuatan pengecut? Dan kami juga tidak bisa tinggal
diam menyaksikan tindakan pengecut seperti itu!”
Tegas sekali si pengemis
berkata-kata seperti itu, sikapnya juga sangat gagah sekali.
Bola mata wanita setengah baya
itu mencilak tidak hentinya, dia mendengus, lalu katanya: “Hemmm, aku Siangkoan
Lo Sian tidak akan gentar menghadapi siapapun juga, apa lagi hanya menghadapi
kalian yang tentunya merupakan tiga ekor tikus kurcaci dari Kay-pang!”
Pengemis yang seorang itu
tertawa tawar, katanya: “Memang kami adalah anggota Kay-pang, yang tentu tidak
bisa menyaksikan seseorang bertindak sewenang-wenang….. terlebih lagi di depan
mata kami!
“Seperti kau juga tentunya
telah mengetahui, bahwa Kay-pang tidak akan membiarkan suatu perbuatan yang di
luar batas keadilan berlaku di permukaan bumi ini!
“Siangkoan Lo Sian, engkau
merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki nama sangat terkenal dan
juga engkau dihormati oleh orang-orang rimba persilatan dengan kepandaiaa yang
tinggi! Tapi…… mengapa hari ini justeru engkau bersikap begitu rendah, menghina
kaum muda!”
Kata-kata pengemis itu rupanya
telah dapat memanasi hati Siangkoan Lo Sian, karena tahu-tahu dia melepaskan
cengkeraman pada pundak pemuda. Dia bilang: “Baik, baik, aku justeru ingin
melihat berapa tinggi kepandaian orang-orang Kay-pang yang merupakan
manusia-manusia pendekar gagah itu?!”
Sambil berkata begitu,
Siangkoan Lo Sian, wanita setengah baya tersebut, berdiri dengan sikap seperti
tengah menantikan penyerangan dari ke tiga orang pengemis itu, katanya
menantang: “Ayo...... ayo majulah, mari kita melihat, siapa yang bicara
besar….. Kay-pang yang benar-benar gagah atau memang aku Siangkoan Lo Sian
merupakan manusia yang gampang dihina?!”
Ke tiga pengemis itu saling
pandang, lalu pengemis yang seorang, yang bertubuh gagah dan tadi telah
menolongi si gadis sehingga ia tidak sampai terbanting dari atas genting. telah
melangkah maju setindak, sedangkan ke dua kawannya telah menyingkir ke samping,
buat menyaksikan.
“Baiklah! Kami tidak pernah
bertempur main koroyok, terlebih lagi terhadap seorang wanita! Biarlah aku Kie
Pa Kay yang akan menghadapi engkau buat main-main seratus jurus!” Dan dia pun
bersiap-siap untuk menyerang.
Siangkoan Lo Sian menyadari
bahwa pengemis bertubuh tinggi besar ini memiliki kepandaian tidak rendah dan
tidak boleh dipandang remeh, karena tadi waktu dia bergerak begitu gesit
menolongi gadis yang akan rubuh dari atas genting, juga sinar matanya yang
tajam membuktikan bahwa dia memiliki kepandaian.
Di waktu itu terlihat betapa
Siangkoan Lo Sian sudah tidak bisa menahan diri, dia bilang, “Mengapa masih
tidak menyerang, apakah memang kebiasaan Kay-pang buat main saling pandang
saja?!”
Siangkoan Lo Sian tidak mau
memperlihatkan kelemahan dirinya, biarpun dia mengetahui lawannya tentu seorang
yang liehay, tokh dia memperlihatkan sikap seperti dia tidak memandang sebelah
mata kepada lawannya.
Tiba-tiba Kie Pa Kay berseru:
“Maaf!” tahu-tahu tubuhnya mencelat sangat gesit sekali, tangan kirinya diulur
buat mencengkeram, sedangkan tangan kanannya menghantam.
Siangkoan Lo Sian menangkis
dengan tangan kanannya menghalau tangan kiri lawan. Tangan kanan lawan yang
meluncur disertai tenaga yang kuat, telah dihadapinya dengan kelitan yang manis
sekali.
Malah Siangkoan Lo Sian tidak
berhenti sampai di situ saja, berhasil memusnahkan serangan lawannya, dia balas
menyerang dengan hebat. Beruntun enam kali saling susul ke dua tangannya
menyerang kepada si pengemis.
Apa yang dilakukannya semuanya
merupakan jurus-jurus yang bisa membinasakan lawan. Karena selain tenaga dalam
yang dipergunakannya sangat kuat, juga setiap sasaran yang diincar merupakan
tempat kematian dari lawan.
Kie Pa Kay tertawa dingin,
empat kali beruntun dia mengelakkan diri. Kemudian dua serangan lawannya
ditangkis dengan kekerasan pula.
“Bukkk!” terdengar nyaring
sekali. Disusul “Tukkk” yang tidak begitu nyaring. Pukulan ke lima dari
Siangkoan Lo Sian yang telah ditangkis, membuat tubuh Siangkoan Lo Sian
tergoncang hebat, dan pukulan ke enamnya tiba tidak begitu keras, sehingga
waktu Kie Pa Kay menangkis pukulan ke enam itu, suara benturan tangan mereka
tidak terlalu nyaring.
Sedangkan muka Siangkoan Lo
Sian merah padam karena marah, ia berseru nyaring dan melompat pula dengan
sepasang tangan bergerak sangat sebat sekali.
Kie Pa Kay juga tidak mau
membuang-buang waktu, dia menangkis dan balas menyerang. Duapuluh jurus
dilewatkan dengan sangat cepat.
Mereka memiliki kepandaian
yang tampaknya sama tingginya, sehingga di waktu itu belum terlihat siapa di
antara mereka yang terdesak di bawah angin atau siapa yang menang di atas
angin.
Giok Hoa yang masih mendekam
bersembunyi di tempatnya, menyaksikan pertempuran dengan tertarik. Tetapi
ketika melihat munculnya tiga orang pengemis itu segera juga timbul perasaan
tidak senangnya pada pengemis itu, karena ia teringat bahwa orang yang telah
mengambil pauw-hoknya berpakaian sebagai pengemis!
Tapi setelah mendengar
percakapan yang berlangsung antara Kie Pa Kay dengan Siangkoan Lo Sian, pandangan
Giok Hoa terhadap pengemis-pengemis itu berobah. Dia memperoleh kenyataan para
pengemis itu merupakan Ho-han atau orang gagah yang mementingkan keadilan. Dan
tidak mungkin pengemis-pengemis seperti itu mau melakukan perbuatan rendah
mencuri pauw-hok si gadis.
Tengah Giok Hoa menyaksikan
dengan hati ragu-ragu terhadap ke tiga pengemis itu, dia melihat gadis yang
tadi hampir saja dibikin terpelanting oleh kibasan tangan Siangkoan Lo Sian,
telah menghampiri si pemuda, yang dipeluknya.
“Tang Koko...... kau tidak
apa-apa?!” tanyanya dengan penuh perhatian dan kekuatiran.
Si pemuda menggeleng.
“Kui-moay…… kau jangan
mencampuri urusan ini. Tidak seharusnya kau menempuh bahaya.....!” kata si
pemuda.
Si gadis menggelengkan
kepalanya, air matanya menitik turun.
“Bagaimana mungkin aku bisa
tenang, jika menyaksikan engkau terancam bahaya maut?!” kata gadis itu yang
menghapus air matanya.
“Sudahlah Kui-moay.....
bukankah aku tidak apa-apa?!” kata si pemuda dengan suara yang menghibur dan
diiringi senyumnya.
“Lebih baik kau mempergunakan
kesempatan buat melarikan diri, karena jika para pengemis itu telah dirubuhkan
Siangkoan Lo Sian, niscaya engkau terancam bahaya yang tidak kecil! Ayo, kau
cepat menyingkirkan diri.....!” menganjurkan si gadis.
Pemuda itu tidak segera
menyahuti. Dia memandang ke arah pertempuran yang tengah berlangsung.
Dia melihat Kie Pa Kay tengah
bertempur seru sekali dengan Siangkoan Lo Sian, sehingga tubuh mereka
berkelebat-kelebat cepat sekali. Disebabkan terlalu gesit, tnbuh mereka menyerupai
bayangan belaka, yang bergerak ke sana ke mari tidak bisa dilihat dengan jelas.
“Aku tidak boleh pergi dari
tempat ini……!” Akhirnya pemuda itu berkata perlahan kepada si gadis. “Aku bisa
ditolong oleh para pengemis itu. Bagaimana mungkin aku bisa melarikan diri
begitu saja, sedangkan dia tengah mempertaruhkan jiwanya bertempur dengan
perempuan celaka itu?!”
Si gadis tampak gelisah
sekali, tapi dia tidak memaksa lebih jauh.
Sedangkan ke dua orang
pengemis yang menjadi kawan Kie Pa Kay telah memandang pertandingan dengan
penuh perhatian. Sebab mereka melihat Siangkoan Lo Sian memang memiliki
kepandaian yang tinggi. Jika saja Kie Pa Kay terancam bahaya dan jatuh di bawah
angin, mereka berdua akan turun tangan buat membantunya.
Pemuda itu tampaknya memang
memiliki hati yang baik, di mana dia tidak bisa melupakan budi orang, dan tidak
bisa menjadi manusia rendah, meninggalkan para penolongnya di saat para
penolongnya itu tengah menghadapi pertempuran yang hebat.
Dia tidak mau menyingkirkan
diri. Si gadis yang mendengar pernyataan si pemuda, menduga bahwa Tang Kokonya
ini bersungguh-sungguh. Dan ia jadi tambah mencintainya, karena beranggapan
Tang kokonya ini seorang jantan sejati.
Tetapi sebetulnya, dibalik
ucapannya yang gagah perkasa itu, terselip maksud yang licik sekali.
Si pemuda berbaju hitam itu
melihat bahwa kepandaian Kie Pa Kay sangat tinggi sekali. Dalam pertempuran
menghadapi Siangkoan Lo Sian, tidak terlihat tanda-tanda bahwa Kie Pa Kay
terdesak atau jatuh di bawah angin. Dengan demikian terbukti bahwa kepandaian
Kie Pa Kay akan dapat diandalkannya.
Dan kepandaian ke dua kawan
Kie Pa Kay itupun merupakan dua orang pengemis yang sangat tangguh, karena
mereka tentunya sama tingginya memiliki kepandaian seperti Kie Pa Kay. Karena
dari itu, si pemuda berbaju hitam itu telah yakin, jika sampai Kie Pa Kay
terdesak, tentu ke dua kawannya akan maju buat membantui. Dikeroyok bertiga
dengan pengemis itu, jelas Siangkoan Lo Sian tidak akan sanggup menghadapinya.
Maka pemuda ini yang
sebenarnya bernama Sam Lu Tang, tenang-tenang untuk menyaksikan jalannya
pertempuran tersebut, dia tidak gentar lagi. Diapun merasa kagum dengan
kepandaian ke tiga pengemis tersebut.
Jika memang Siangkoan Lo Sian
dapat diusir dari tempat itu atau dirubuhkan, maka ia akan membujuk ke tiga
orang pengemis itu, agar menerima dirinya sebagai murid mereka! Atau
setidak-tidaknya, Sam Lu Tang berharap bisa diajarkan ilmu yang hebat dari ke
tiga pengemis tersebut.
Kie Pa Kay telah berulang kali
mengempos semangatnya, menyerang semakin hebat. Serangan, yang dilakukan
merupakan pukulan bertubi-tubi, yang selalu mengincar bagian yang berbahaya di
tubuh Siangkoan Lo Sian.
Sedangkan Siangkoan Lo Sian
juga berusaha buat menghalau pukulan tersebut dengan sebaik-baiknya, yang
setelah menangkis dan memunahkan pukulan lawannya, dia akan membalas menyerang.
Karena tampaknya kepandaian mereka memang berimbang, sehingga mereka dapat
bertempur terus tanpa memperlihatkan tanda-tanda siapa di antara mereka yang
akan rubuh.
Dikala itu jelas sekali ke dua
kawan Kie Pa Kay sudah tidak sabar, karena tampaknya mereka sudah ingin
cepat-cepat menyelesaikan pertempuran tersebut.
Siangkoan Lo Sian berpikir
diam-diam di hatinya: “Hemmmm, pengemis Kay-pang ini tampaknya bukan lawan yang
mudah kurubuhkan. Biarpun seratus jurus lagi kami bertempur, belum tentu kami
akan dapat menyudahi pertempuran ini dan aku tidak mungkin dapat merubuhkannya!
“Apa lagi jika ke dua kawannya
itu ikut maju mengeroyok! Hemmmm, hemm…… dilihat demikian, lebih baik-baik aku
mendahului menurunkan tangan maut padanya……!”
Karena telah berpikir seperti
itu, segera juga terlihat tubuh Siangkoan Lo Sian mengalami perobahan dalam
gerakannya. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari seperti juga bayangan, yang sulit
diikuti oleh pandangan mata manusia biasa.
Dia bergerak begitu lincah,
setiap kali menghantam dengan pukulan yang mematikan. Karena Siangkoan Lo Sian
telah mempergunakan ilmu pukulan andalannya, yang selain memang hebat dan
setiap jurusnya mengalami perobahan yang aneh dan sulit sekali buat diterka,
dengan sendirinya telah membuat lawanmya, yaitu Kie Pa Kay terdesak juga.
Selama belasan jurus, Kie Pa
Kay hanya main mundur dan mengelak saja, karena dia belum bisa memecahkan ilmu
pukulan Siangkoan Lo Sian. Dia mempelajarinya, di mana letak kelemahan dari
ilmu pukulan wanita setengah baya tersebut.
Kemudian setelah lewat lagi
lima jurus, cepat sekali dia menyerang ke arah perut Siangkoan Lo Sian. Biarpun
Siangkoan Lo Sian bisa mengelakkannya, tokh dia terus juga merangsek, selalu
mengincar bagian perut dari wanita setengah baya itu, di bagian tengah itulah
kelemahan dari ilmu pukulan Siangkoan Lo Sian.
Bukan main gusarnya Siangkoan
Lo Sian karena penyerangan yang gencar dari Kie Pa Kay selalu menuju kepada
arah tengah bagian tubuhnya. Dengan demikian gerakannya jadi memperoleh
kesulitan, tidak bisa terlalu lincah dan juga disaat ia selalu harus dapat
menjaga pertahanan dirinya sebaik mungkin.
Hati Kie Pa Kay jadi girang
sebab ia melihat bahwa dugaannya memang benar, di mana dia telah berhasil
mendesak lawannya, sehingga Siangkoan Lo Sian tidak bisa mempergunakan secara
leluasa ilmu pukulan andalannya itu.
Ke dua kawan Kie Pa Kay
menyaksikan hal itu, ikut girang. Mereka telah berseru agar kawannya itu dapat
menyudahi pertempuran tersebut secepat mungkin.
Kie Pa Kay tertawa bergelak,
dia memperhebat rangsekannya.
Siangkoan Lo Sian walaupun
tengah terdesak, dia bukanlah seorang berkepandaian rendah, karena dari itu,
dia tidak menjadi gugup. Dia telah menghadapi serangan dan rangsekan lawannya
sebaik-baiknya.
Mereka bertempur terus, lebih
dari empatpuluh jurus. Sedangkan Kie Pa Kay berulang kali telah berusaha untuk
memukul bagian yang menentukan, menyerang bagian anggota tubuh yang mematikan.
Juga di waktu itu, Siangkoan
Lo Sian sendiri mulai letih, napasnya memburu dan tenaganya berkurang, di mana
wanita setengah baya itu jika harus bertempur seratus atau duaratus jurus lagi,
niscaya akan menyebabkan dia kehabisan napas dan akhirnya rubuh sendirinya,
walaupun andaikata tidak terkena pukulan lawan, karena kehabisan tenaga!
Rupanya Siangkoan Lo Sian
menyadari akan kelemahannya itu. Dia mengetahui jika ia kehabisan napas,
niscaya dirinya akan dapat dirubuhkan dengan mudah oleh lawannya. Atau jika
memang dia telah letih, ke dua kawan Kie Pa Kay ikut menerjang maju, niscaya
dia tidak berdaya buat menghadapinya.
Karena menghadapi kenyataan
seperti itu sambil bertempur, Siangkoan Lo Sian juga berpikir untuk mencari
jalan keluar meloloskan diri. Jika mungkin, ia ingin melepaskan diri dari
libatan Kie Pa Kay dan kemudian meninggalkan tempat tersebut……
Hanya saja kesempatan yang
dikehendakinya itu tidak kunjung datang. Tidak ada lowongan buat dia melepaskan
diri dari libatan pukulan Kie Pa Kay.
Karena pengemis itu menyerang
dia dengan beruntun. Dan setiap serangan yang dilakukan oleh Kie Pa Kay
merupakan rangkaian jurus-jurus yang melibatnya terus, sama sekali tidak
memberikan sedikitpun kesempatan kepadanya buat mengelakkan diri.
Siangkoan Lo Sian karena sudah
tidak memiliki kesempatan buat meloloskan diri, maka ia telah mengeluarkan
bentakan penuh amarah, ke dua tangannya pun telah berkelebat-kelebat. Ia pun
berusaha buat menyerang berangkai kepada Kie Pa Kay.
Ke dua orang itu terlibat
dalam pertempuran yang semakin lama semakin seru, sedangkan ke dua orang kawan
Kie Pa Kay telah mengawasi jalannya pertempuran itu dengan mata yang terpentang
lebar-lebar dan mereka berwaspada.
Jika memang Kie Pa Kay
mengalami ancaman dari Siangkoan Lo Sian, mereka segera akan turun tangan buat
membantuinya. Hanya saja, disebabkan sejak semula mereka melihat Kie Pa Kay
menang di atas angin, malah tampaknya Siangkoan Lo Sian terdesak.
Disamping itu, memang karena
usianya yang telah lanjut itu membuat Lo Sian tentu tidak bisa bertahan terlalu
lama, dan akan membuatnya letih, berarti ia akhirnya akan kehabisan tenaga,
membuat ke dua kawan Kie Pa Kay jadi tenang. Walaupun demikian mereka tetap
saja bersikap waspada.
Sam Lu Tang telah memandang
dengan sorot mata bersinar. Ia girang sekali, karena ia yakin bahwa Siangkoan
Lo Sian akan dapat dirubuhkan oleh Kie Pa Kay, sedangkan ia memang mengharapkan
sekali pengemis itu, tuan penolongnya, yang memperoleh kemenangan, agar kelak
ia bisa memohon kepadanya buat minta diterima menjadi murid atau
setidak-tidaknya diajarkan ilmu silat yang tinggi.
Dikala itu Siangkoan Lo Sian
merasakan tenaganya semakin menyusut dan berkurang, karena itu ia juga berpikir
keras, ia harus meloloskan diri. Tidak bisa ia bertempur terus dengan cara
seperti ini.
Setelah mengetahui bahwa Kie
Pa Kay sengaja melibatnya dalam pertempuran yang panjang, yang akan menghabisi
tenagaaya, membuat Siangkoan Lo Sian berlaku nekad. Dengan berani, ia
menjejakkan ke dua kakinya, ia mencelat ke tengah udara, dan waktu terapung di
tengah udara, ke dua tangannya menghantam.
Sesungguhnya, jika seseorang
tidak dalam keadaan terpaksa begitu, tentu jarang ada yang mau memakai gerakan
terapung seperti itu. Karena dengan terapung di tengah udara, berarti orang
tersebut “kosong” dan akan dapat diserang dengan mudah oleh lawannya.
Cuma saja, karena Siangkoan Lo
Sian memang memiliki kepandaian yang tinggi. Dia juga membarengi disaat
tubuhnya tengah terapung seperti itu dengan serangan mempergunakan jurus ilmu
silatnya yang ampuh, memaksa Kie Pa Kay melesat mundur ke belakang buat
mengelakkan diri.
Dan mempergunakan kesempatan
itulah Siangkoan Lo Sian tahu-tahu melesat ke kanan. Gerakannya cepat sekali,
tubuhnya seperti kapas ringannya, dan dia telah menjauhi diri dari Kie Pa Kay,
malah ia telah menjejak lagi kakinya begitu kakinya tersebut menyentuh tanah,
sehingga tubuhnya telah melesat lebih jauh, dia bermaksud menjauhi diri dari
lawannya.
Ke dua kawan Kie Pa Kay
bermaksud hendak menghalangi, namun gerakan mereka terlambat, karena Siangkoan
Lo Sian telah melesat jauh, dan malah ia telah berlari terus dengan
mempergunakan gin-kangnya menjauhi tempat tersebut.
Hanya samar-samar terdengar
suara teriakannya itu:
“Suatu waktu nanti Siangkoan
Lo Sian akan mencari kalian! Hemmm, Siangkoan Lo Sian tidak akan menghabisi persoalan
ini sampai di sini saja!”
Dan suara Siangkoan Lo Sian
semakin menjauh, sedangkan tubuhnya akhirnya lenyap dari penglihatan.
Kie Pa Kay tidak mengejarnya,
karena memang ia tidak bermaksud mendesak Siang- koan Lo Sian. Ia beranggapan,
antara dirinya dengan Siangkoan Lo Sian tidak ada hubungan apapun juga, tidak
ada permusuhan. Karena ia hanya bermaksud hendak menolongi orang belaka, maka
Kie Pa Kay tidak bermaksud menanam permusuhan dengan Siangkoan Lo Sian.
Sam Lu Tang telah menghampiri
dengan segera, ia menekuk ke dua kakinya memberi hormat kepada Kie Pa Kay
sambil katanya.
“Terima kasih atas pertolongan
locianpwe, jika tidak ada locianpwe tentu boanpwe telah dibunuh orang she
Siangkoan itu!”
Sambil berkata begitu, tampak
Sam Lu Tang telah menganggukkan kepalanya beberapa kali, untuk menyatakan
terima kasihnya. Sedangkan si pengemis cepat-cepat membangunkan si pemuda, di
mana ia telah perintahkan Sam Lu Tang agar berdiri dan jangan memakai adat
peradatan.
“Sudahlah! Sekarang kau sudah
tidak terancam bahaya lagi, pergilah..........!”
Sambil berkata begitu, tampak
Kie Pa Kay melirik kepada si gadis. Sampai akhirnya ia berpikir sesuatu,
karenanya ia bertanya lagi, “Mengapa kau hendak dibunuh oleh orang she
Siangkoan itu?”
Pemuda itu menghela napas, ia
berkata:
“Sebetulnya, Siangkoan Lo Sian
adalah seorang yang berpengaruh di tempat ini, di mana ia menjagoi. Tidak boleh
ada seorangpun yang dapat membantah perintahnya!
“Aku kebetulan berhubungan
rapat dengan nona ini, dan ia melarangnya, karena memang Siangkoan Lo Sian
bermaksud menjodohkan keponakannya dengan nona tersebut…….
“Kami masih berhubungan
diam-diam. Karena dari itu, ia bermaksud membunuhku, dianggapnya bahwa aku
telah meremehkan larangannya…… Untung saja ada locianpwe yang telah menolongi.
Jika tidak tentu aku telah membuang jiwa dengan konyol!”
Lebih jauh pemuda itu telah
menjelaskan, sebetulnya ia bernama Sam Lu Tang, dan si gadis yang bernama Thio
Lin Kui. Mereka itu memang telah berhubungan dengan rapat selama setahun lebih.
Tapi justeru Siangkoan Lo Sian yang memiliki seorang keponakan laki-laki, yang
berusia duapuluh lima tahun dan memiliki kepandaian yang cukup tinggi,
bermaksud hendak menjodohkan keponakannya dengan Thio Lin Kui.
“Hanya saja sayangnya
keponakan Siangkoan Bu itu seorang yang ceriwis dan tidak boleh melihat pipi
licin, selalu mengganggu wanita. Mengetahui tabiat buruk dari pemuda itu, tentu
saja Thio Lin Kui telah menolaknya, terlebih lagi memang ia pun telah mencintai
Sam Lu Tang itu.
Demikianlah, disebabkan
Siangkoan Lo Sian merupakan orang yang sangat berpengaruh di kota mereka,
karena itu pula membuat Sam Lu Tang dan Thio Lin Kui, jadi ketakutan.
Mereka tidak berani
terang-terangan untuk menjalin hubungan mereka. Maka Sam Lu Tang selalu
mengunjungi kekasihnya secara diam-diam di kelarutan malam.
Giok Hoa yang mendengar
keterangan seperti itu baru mengerti, diam-diam dia mengangguk-anggukan
kepalanya beberapa kali.
Kie Pa Kay dan ke dua orang
pengemis lainnya juga mengangguk, lalu Kie Pa Kay berkata: “Siangkoan Lo Sian
hendak mementangkan pengaruhnya dengan sewenang-wenang. Sungguh tidak memandang
semua orang rimba persilatan lainnya!
“Bagaimana mungkin dia bisa
mempergunakan cara memaksa seperti itu untuk menjodohkan keponakannya! Hemm,
dia memang pantas jika dihajar!”
“Sayang kepandaian boanpwe
sangat rendah sekali. Jika tidak, tentu boanpwe akan dapat menghadapinya dengan
baik!” berkata Sam Lu Tang kemudian dengan suara memelas.
“Dan juga, jika saja Boanpwe
memperoleh seorang guru yang pandai, sehingga bisa mendidik boanpwe mempelajari
ilmu silat yang tinggi, tentu boanpwe tidak akan dihina seperti sekarang
ini……!” Setelah berkata begitu, tampak Sam Lu Tang menghela napas beberapa
kali, mukanya sangat guram.
Sedangkan Kie Pa Kay tertawa,
ia bilang: “Engkau bisa memiliki kepandaian yang tinggi jika saja engkau rajin
dan tekun mempelajari ilmu silatmu! Sekarang ini aku lihat kepandaian yang kau
miliki juga tidak terlalu rendah……!”
Sam Lu Tang telah mengangkat
kepalanya, dia berkata dengan suara yang memelas: “Jika memang locianpwe tidak
keberatan, boanpwe ingin sekali menerima petunjuk dari locianpwe!”
Kie Pa Kay tertawa
terbahak-bahak.
“Kau ingin agar aku mengajari
engkau beberapa jurus ilmu silat?”
“Ya!” mengangguk Sam Lu Tang.
“Hemmm, untuk itu mudah saja!”
kata Kie Pa Kay, “Memang aku melihat engkau memiliki bakat yang baik dan juga
tampaknya semangatmu tinggi. Aku bersedia buat menurunkan beberapa jurus
kepandaian kepadamu…….”
“Tunggu dulu! Kau tertipu oleh
kentut busuk bocah setan itu!”
Tiba-tiba terdengar suara
bentakan, diiringi dengan tertawa yang nyaring sekali, membuat sesama orang
yang berada di tempat itu, termasuk Kie Pa Kay, terkejut bukan main. Malah di
waktu itu disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan yang gesit sekali, sehingga
tidak bisa dilihat dengan jelas, dan tahu-tahu telah berada di depan Kie Pa
Kay.
Tentu saja semua orang kaget,
itulah ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, di mana orang itu dapat
bergerak begitu ringan dan cepat sekali, membuat ia seperti juga gumpalan awan
saja, dan malah tahu-tahu, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga, ia telah
berada di depan Kie Pa Kay.
Sedangkan Kie Pa Kay dan ke
dua pengemis lainnya, waktu melihat jelas orang di depan mereka, tambah kaget
tidak terkira, sepasang mata mereka terpentang lebar-lebar, dan muka mereka
berobah. Orang itu, seorang pengemis tua dengan bambu hijau di tangannya
berdiri sambil memperdengarkan suara tertawa dingin.
Cepat-cepat, tanpa berayal
lagi, Kie Pa Kay dan ke dua orang pengemis lainnya telah menekuk ke dua kaki
mereka, memberi hormat dengan berlutut kepada pengemis tua itu.
“Thio Tiang-lo……!” kata mereka
bertiga hampir berbareng. “Kami menanyakan kesehatan Tiang-lo!”
Pengemis tua itu ternyata
bukan lain dari Thio Kim Beng. Ia tertawa bergelak-gelak.
Sedangkan Giok Hoa dari tempat
persembunyiannya, jadi panas hatinya. Itulah pengemis tua yang telah memancing
keluar dari kamarnya, bahkan telah menggondol buntalannya, karena di waktu itu,
setelah mengawasi sekian lama, Giok Hoa bisa terlihat di punggung Thio Kim
Beng, tergemblok buntalannya!
Belum lagi Gok Hoa melompat
keluar buat mendamprat pengemis tua itu, di saat itu Thio Kim Beng justeru
telah menoleh ke arah tempat di mana Giok Hoa bersembunyi, malah disusul dengan
tertawanya dan kata-katanya:
“Nona, mengapa kau masih tidak
mau keluar? Apakah sampai mau diseret keluar baru akan memperlihatkan diri?”
Kie Pa Kay dan yang lainnya
jadi saling pandang dengan heran, karena mereka tidak mengetahui bahwa di
tempat itu bersembunyi seorang lainnya.
Giok Hoa yang memang tengah
bersiap-siap hendak melompat keluar dari tempat bersembunyinya itu, telah
menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya melesat dengan cepat sekali.
Belum lagi kedua kakinya
hinggap dan berdiri tetap, ia sudah mementang mulutnya: “Pengemis tua yang
busuk! Mengapa engkau mencuri barang-barangku? Cepat kau kembalikan?”
Thio Kim Beng tertawa bergelak
lagi, ia bilang dengan suara yang sabar: “Sabar! Sabar!! Mengapa begitu muncul
engkau telah menuduhku sebagai pencuri? Dengarkanlah dulu baik-baik…… Jangan
terburu napsu……!”
Giok Hoa menuding kepada Thio
Kim Beng dengan muka yang merah padam, dia pun telah mencabut keluar pedangnya
karena ia benar-benar mendongkol sekali, di mana ia bersiap-siap hendak
menerjang kepada Thio Kim Beng yang dianggapnya sebagai pengemis tua yang telah
mempermainkannya. Justeru Giok Hoa kuatir ia akan kehilangan jejak pengemis tua
itu lagi.
“Kau pengemis busuk, yang
tidak tahu malu. Engkau telah memancing aku meninggalkan kamar, kemudian engkau
menggasak barang-barangku……
“Sekarang kau hendak memutar
lidah dan tidak mau mengembalikan cepat-cepat barang nona mudamu…… Apakah
engkau mau menunggu sampai lehermu itu kutabas putus?!”
Sambil berkata begitu, tampak
Giok Hoa mengibaskan pedangnya, sampai memperdengarkan suara mendengung. Di
samping itu berkelebat sinar putih keperak-perakkan, di mana pedangnya itu
merupakan sebatang pedang mustika yang baik sekali.
Kie Pe Kay melihat Tiang-lonya
dibentak-bentak seperti, jadi tidak senang. Ia melangkah maju ke depan, dan
telah membentak kepada Giok Hoa dengan sepasang mata yang dipentang lebar, ia
bilang:
“Hemmm, hati-hati dengan
mulutmu, nona....... inilah Thio Tiang-lo kami, yang sangat kami hormati, di
mana jika memang Tiang-lo menghendaki jiwamu itu sama mudahnya dengan membalik
telapak tangannya!”
Sambil berkata begitu, tampak
Kie Pa Kay bersiap-siap hendak maju ke depan, guna mewakili Tiang-lonya
menghadapi si gadis.
Tapi Thio Kim Beng sambil
tertawa tawar, dia memberikan isyarat kepada Kie Pa Kay dan ke dua pengemis
lainnya agar tidak mencampuri urusan itu. Ia juga mengibaskan bambu hijau di
tangannya sehingga berkelebat sinar hijau.
“Nona yang tidak berbudi!”
katanya kemudian dengan suara yang tawar. “Hemm, aku si pengemis tua yang belum
lagi mau mampus ini bersusah payah telah menolongi engkau, tetapi engkau
ternyata bukannya berterima kasih malah telah menuduhku sebagai pencuri!
Baiklah! Aku akan membuka kartunya!”
Berkata sampai di situ,
tahu-tahu tubuh Thio Kim Beng melesat gesit sekali dia juga menyambungi
perkataannya: “Hendak kabur ke mana kau?”
Giok Hoa menduga pengemis tua
ini hendak menyerangnya. Dia bersiap-siap menyambutnya dengan pedang di
lintangkan di depan dadanya.
Tapi ternyata Thio Kim Beng
bukan menyerang kepadanya, hanya saja tampak ia telah melesat ke samping,
kepada Sam Lu Tang, di mana tangan kanan dari Thio Kim Beng mudah sekali
menjambak baju di punggung pemuda itu. Dan ia menghentaknya, sampai tubuh Sam
Lu Tang terlempar ke tengah udara, lalu terbanting di atas tanah dengan keras!
Ternyata Sam Lu Tang bermaksud
melarikan diri, di kala pengemis tua she Thio itu bercakap-cakap dengan Giok
Hoa. Ia hendak mempergunakan kesempatan tersebut untuk menyingkir secara
diam-diam.
Tadi waktu melihat datangnya
Thio Kim Beng, muka Sam Lu Tang berobah hebat. Sedangkan waktu itu ia memang
sudah berpikir untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Dia melirik kepada si gadis,
Kui-moy atau adik Kui nya, ia tidak mengatakan apa-apa, karena si gadis waktu
itu tengah mengawasi Thio Kim Beng penuh perhatian. Ia kagum dan takjub melihat
gin-kang Thio Kim Beng yang begitu sempurna.
Di waktu itu tampak Giok Hoa
telah muncul, membuat muka Sam Lu Tang berobah semakin pucat, dan tubuhnya agak
menggigil, rupanya ia ketakutan bukan main. Ia semakin cepat bergerak untuk
menyingkirkan dirinya dengan diam-diam meninggalkan tempat tersebut.
Siapa tahu bahwa Thio Kim Beng
telah mengawasi setiap gerak-gerik pemuda itu. Dan dikala Sam Lu Tang hendak
angkat kaki, di waktu itulah ia bergerak untuk membekuk¬nya. Malah dia telah
melemparkan pemuda itu sampai terbanting di tanah, membuat mata Sam Lu Tang
berkunang-kunang dan kepalanya pusing, sementara waktu ia tidak bisa segera
bangkit berdiri.
Giok Hoa dan yang lainnya
tidak mengerti apa yang tengah terjadi ini. Karena mereka tidak mengerti
mengapa Thio Kim Beng justeru mencekuk pemuda she Sam itu dan telah
membantingnya, sedangkan waktu itu mereka telah membicarakan urusan pencurian
buntalan Giok Hoa, yang dituduh oleh si gadis dilakukan oleh Tiang-lo Kay-pang
she Thio tersebut.
Thio Lin Kui menjerit dan
melompat turun berusaha membantui Sam Lu Tang untuk bangun.
“Tang Koko…… kau…… kau tidak
apa-apa?!” tanya si gadis dengan suara mengandung kekuatiran yang sangat.
Sam Lu Tang
menggeleng-gelengkan kepalanya yang pusing bukan main, matanya juga
berkunang-kunang masih gelap. Ia telah bilang perlahan tidak lancar: “Dia…..
dia….. pengemis jahat, cepat kau pergi meninggalkan aku di sini, cepat kau
loloskan diri!”
Tapi Thio Lin Kui menggeleng.
“Tidak!” katanya. Malah si gadis
telah bangun dan bertolak pinggang, berdiri dengan mata mendelik menghadapi
Thio Kim Beng.
“Pengemis busuk, mengapa kau
menganiaya Tang Koko?!” bentaknya berani dan nekad, walaupun ia mengetahui
bahwa pengemis tua ini sangat dihormati oleh Kie Pa Kay dan ke dua pengemis
lainnya itu........ “Tidak hujan tidak angin engkau telah melontarkan dan
menganiaya Tang Koko! Di manakah keadilan?”
Thio Kim Beng tersenyum, dia
bilang: “Nona, selama ini engkau telah menjadi korban kelicikannya pemuda busuk
itu!”
“Menjadi korkan kelicikan Tang
Koko? Apa maksudmu? Hemmmm, engkau jangan bicara sembarangan!” bentak Thio Lin
Kui bertambah marah.
Waktu itu Thio Kim Beng
menoleh kepada Giok Hoa, ia bilang: “Inilah penjahat yang malam itu kuhajar……
hemmm, dia bukan pemuda baik-baik, dia seorang Jai-hwa-cat, seorsng pemetik
bunga……!”
Semua orang kaget. Termasuk
Kie Pa Kay sampai pengemis ini dan ke dua pengemis Kay-pang lainnya menatap
kepada Sam Lu Tang dengan tertegun.
Pemuda itu telah dapat
merangkak berdiri, ia cepat-cepat bilang: “Bohong….. apa yang dikatakannya
dusta besar.......... semua itu bohong belaka!”
Kie Pa Kay menyadari, yang
bicara adalah Tiang-lo mereka, dan tidak mungkin Tiang-lo mereka, dengan
kedudukannya yang begitu terhormat, akan menuduh tanpa bukti dan sembarangan
memfttnah.
Karenanya Kie Pa Kay jadi
marah mendengar perkataan Sam Lu Tang tahu-tahu tubuhnya telah melesat berada
di samping Sam Lu Tang, tangan kanannya, bergerak, terdengar suara “Ploookkk,”
yang nyaring sekali.
Muka Sam Lu Tang bengap, dia
terjungkal bergulingan di tanah. Waktu dia merangkak bangun, mulutnya pecah
mengeluarkan darah, sedangkan giginya telah rontok tiga.
“Mulutmu jangan kurang ajar,
bocah!” bentak Kie Pa Kay dengan suara bengis.
“Aduhhh........ aduhhh…..!”
merintih Sam Lu Tang kesakitan.
Sedangkan Thio Lin Kui jadi
bingung dan berkuatir sekali, dia telah menubruk Tang Kokonya itu dan juga
memaki kalang kabutan: “Kalian kaum pengemis, kalian bertindak
sewenang-wenang…… kalian bukan manusia-manusia baik….. Kalian manusia-manusia
busuk…….!”
Thio Kim Beng menghela napas,
dia bilang, “Nona, tahukah engkau, bahwa dia sesungguhnya hendak memperkosamu
pada malam itu? Dia ingin mempergunakan asap pulas untuk membuat engkau tidak
sadarkan diri.
“Untung saja aku telah
menyaksikan perbuatannya, sehingga aku dapat menghajarnya dan menggagalkan niat
busuknya itu! Hemmmm........ jika saja memang engkau tidak mengucapkan terima
kasih, berarti engkau seorang yang tidak kenal budi!”
Giok Hoa memandang bingung
sejenak. Namun akhirnya ia bimbang, ia menoleh kepada Sam Lu Tang.
“Benarkah apa yang
dikatakannya itu?!” bertanya Giok Hoa.
“Bohong…… semua itu
bohong..........?!” Sam Lu Tang berusaha untuk menyangkalnya.
Muka Thio Kim Beng berobah,
dia bilang: “Bagus bocah, kau masih berani menyangkal! Baik! Aku ingin melihat,
sampai di mana nyalimu itu, sehingga engkau berani menyangkal atas perbuatan
busukmu itu!”
Setelah berkata begitu, dengan
muka bengis, Thio Kim Beng menghampiri, setelah dekat, tahu-tahu tangan
kanannya bergerak menotok jalan darah Kie-bun di dekat ketiak dari pemuda she
Sam tersebut.
Segera Sam Lu Tang menderita
kesakitan luar biasa. Totokan itu membuat sekujur tubuhnya sakit seperti
ditusuki ribuan jarum.
Dia merintih, keringat telah
mengucur deras dari sekujur tubuhnya.
Di saat itulah, Thio Kim Beng
telah berkata dengan suara yang dingin: “Hemmm, sekarang engkau hendak
mengakuinya atau tidak!?”
Sedangkan Thio Lin Kui
menjerit-jerit menangis dengan marah: “Kau…… kau pengemis tua yang busuk,
mengapa engkau menyiksa Tang Koko demikian rupa……?”
Tapi waktu Thio Lin Kui
berkata begitu, justeru Sam Lu Tang sudah tidak dapat lagi menahan
penderitaannya, siksaan yang menderanya hebat sekali. Dengan menotok jalan
darah Kie-bun seperti itu, Thio Kim Beng membuat pemuda itu menderita kesakitan
yang jauh lebih hebat dibandingkan disayat-sayat dengan pisau.
Muka pemuda itu berobah pucat,
tubuhnya menggigil keras, ia pun sudah berkata dengan suara terbata-bata: “Ya,
ya.......... aku mengakuinya……!”
“Apa yang kau akui!?” tanya Thio
Kim Beng sambil memperdengarkan suara tertawa dingin.
“Aku…… aku bermaksud hendak……
hendak menodai kesucian nona itu……!” menyahuti Sam Lu Tang dengan suara
terbata-bata tidak lancar. “Tolong…… tolong kau bebaskan aku dari
totokanmu..... aku….. aduhhhh..... aku tidak kuat........!”
“Bagus!” berseru Thio Kim
Beng. “Sekarang engkau telah mengakui apa yang hendak kau perbuat. Sekarang kau
jawab lagi pertanyaanku, jika memang engkau mengakuinya dengan jujur, aku akan
segera membebaskan engkau dari totokan itu!”
“Ya, ya....... aku akan
menjawabnya dengan jujur!” jawab Sam Lu Tang.
“Apa pekerjaanmu selama ini?!”
“Aku….. aku.......... aku
hanya seorang pemuda pelajar dan mengerti ilmu silat sedikit- sedikit. Aku
berusaha bekerja sebagai seorang piauw-su…….!”
Mata Thio Kim Beng mendelik.
“Pemuda tidak kenal mampus,
bocah busuk berlidah bercambang! Engkau masih hendak berdusta?!”
Dia setelah berkata begitu,
segera tangan kanan Thio Kim Beng menotok lagi beberapa jalan darah di tubuh
pemuda she Sam tersebut, maka seketika tubuh pemuda itu menggelinjang sambil
meraung-raung.
Menyaksikan penderitaan Sam Lu
Tang itu, rupanya Thio Lin Kui, tidak bisa menahan diri. Sambil menangis dia
menjerit-jerit ia telah berusaha menerjang kepada Thio Kim Beng.
Dia berteriak-teriak:
“Pengemis busuk, ayo kau bebaskan Tang Koko dari siksaanmu…… apakah engkau
sudah tidak takut pada undang-undang negara?!”
Tetapi Thio Kim Beng tidak mau
diganggu oleh gadis itu. Ia mengibaskan tangannya, jalan darah si gadis
tertotok, tepatnya jalan darah yang membuatnya tidak bisa bergeming lagi,
tubuhnya telah terjungkal dan rebah diam di atas tanah.
Thio Kim Beng dengan muka yang
bengis bertanya kepada Sam Lu Tang: “Aku memberikan kesempatan kepadamu hanya
beberapa detik. Jika engkau masih tidak mau mengakui terus terang apa yang
selama ini kau lakukan, hemmm, hemmm, aku akan mengirim engkau ke
akherat.....!”
Sam Lu Tang ketakutan, ia
mengetahui bahwa si pengemis tua ini tegas dan ancamannya itu bukan ancaman
kosong belaka. Karenanya ia ketakutan sekali ia berkata:
“Baik! Baik! Aku akan
mengakuinya! Aku memang sering melakukan perbuatan mesum itu, aku sering
merusak kehormatan gadis-gadis dan wanita...... dan aku..... aku seorang pemuda
bejat.....!”
Mendengar pengakuan pemuda she
Sam sampai di situ, segera juga Giok Hoa menggerakkan pedangnya. Ia ingin
menabas putus batang leher pemuda itu.
Dalam keadaan seperti itu,
Thio Kim Beng yang memang memiliki mata sangat tajam, telah dapat melihatnya.
Dengan gerakan yang sangat cepat ia mencekal tangan si gadis, sehingga pedang
itu tidak dapat meluncur terus.
“Jangan......! Biarkan dia
hidup!” kata Thio Kim Beng kemudian.
Sesungguhnya Kie Pa Kay waktu
itu bertiga dengan ke dua pengemis lainnya, jadi murka bukan main. Mereka
mengetahui bahwa Sam Lu Tang yang baru saja mereka tolongi dari Siangkoan Lo
Sian, ternyata merupakan seorang pemuda bejat yang tidak tahu malu, yang
seringkali merusak kehormatan seorang wanita.
Karena dari itu, merekapun
menyesal dan malu, bahwa mereka telah diakali dan ditipu oleh pemuda itu.
Karenanya merekapun bermaksud hendak menghajarnya.
Tapi melihat Tiang-lo mereka
telah menahan si gadis, Giok Hoa, agar tidak menabaskan pedangnya, mereka
tersadar bahwa persoalan pemuda she Sam tersebut sekarang memang telah berada
di tangan Tiang-lo mereka. Maka ke tiga pengemis itu berdiam diri saja, cuma
mata mereka yang memandang mendelik kepada Sam Lu Tang, dengan pancaran sinar
mata mengandung kemarahan yang sangat.
Sam Lu Tang ketakutan bukan
main, dengan menangis ia menghiba-hiba: “Ampunilah aku…… aku berjanji bahwa
kelak aku akan merobah kelakuan burukku ini. Aku tidak akan melakukan pekerjaan
hina itu lagi.......!”
Sambil berkata begitu, ia
mengerang kesakitan karena totokan pada beberapa jalan darahnya belum lagi dibuka
oleh Thio Kim Beng.
Sedangkan Thio Kim Beng
tertawa dingin katanya: “Hemmm, pemuda bejat seperti engkau jika dibiarkan
tentu merupakan ancaman yang tidak kecil buat kaum wanita, juga akan
mendatangkan malapetaka bagi gadis-gadis yang lemah…….!”
“Tapi aku bersumpah
locianpwe..... aku akan merobah kelakuanku!” menangis Sam Lu Tang dan ia juga
kemudian merintih.
Muka Giok Hoa merah padam,
karena ia marah sekali mendengar dirinya hampir saja diasap pulasan oleh pemuda
itu, yang mengandung maksud hendak memperkosanya.
Thio Kim Beng telah tertawa
dia bilang, “Baiklah, aku bersedia buat mengampuni kau!”
“Manusia seperti dia tidak
perlu dibiarkan hidup terus!” berkata Giok Hoa dengan marah.
Thio Kim Beng tersenyum.
“Ya, memang dia seharusnya
tidak perlu dibiarkan hidup terus. Biarlah kali ini, aku akan mengampuninya!”
Setelah berkata begitu, tampak
tangan kanan si pemuda tua she Thio tersebut telah bergerak, mencengkeram
pundak kiri dan kanan pemuda itu.
Sam Lu Tang meraung kesakitan,
tubuhnya bergulingan, dan sepasang tangannya seketika lemas dan tidak memiliki
tenaga, karena dia selanjutnya menjadi manusia bercacad, di mana dia sudah
tidak memiliki tenaga dalam. Sebab seluruh kepandaiannya telah dipunahkan.
Dengan demikian membuat dia
selanjutnya hanyalah merupakan pemuda yang lemah. Dan jika ia mempelajari lagi
ilmu silat, tentu dia tidak akan berhasil, karena ke dua tulang piepenya telah
dihancurkan. Jelas, seorang manusia tanpa tulang piepe yang utuh, ia tidak
punya lagi……!”
Di waktu ita tampak Thio Kim
Beng sambil tertawa tawar berkata: “Baiklah, sekarang kau boleh pergi……!”
Sambil berkata begitu, tongkat
bambu hijaunya bergerak, dimana dia telah membuka totokan pada tubuh Sam Lu
Tang, dan pemuda itu terjungkal. Dengan terseok-seok kemudian dia meninggalkan
tempat tersebut.
Sedangkan Thio Lin Kui juga
telah dibuka totokan pada jalan darahnya, sambil menangis gadis itupun telah
pergi! Betapa kecewa hatinya setelah mendengar sendiri pengakuan dari Tang
Kokonya yang sesungguhnya sangat dicintainya.
Dikala itu Giok Hoa menghela
napas, dia bilang: “Locianpwe, kalau begitu maafkanlah..... karena memang
boanpwe yang telah salah menduga yang benar tentang locianpwe!”
“Kau tidak perlu meminta maaf
kepadaku!” kata si pengemis tua itu. “Karena memang sesungguhya aku
mempermainkan engkau! Namun, karena sifat jailku itu, telah membuat akupun
memiliki kesempatan buat menolongi engkau, menggagalkan maksud busuk dari
pemuda she Sam itu!”
“Sesungguhnya, apa yang
terjadi?” tanya si gadis itu kemudian.
Thio Kim Beng tidak keberatan
menceritakannya. Sedangkan Kie Pa Kay bersama ke dua pengemis Kay-pang yang
lainnya telah mendengarkan juga.
◄Y►
Sebetulnya, memang Thio Kim
Beng telah mendengarnya, bahwa di kota tersebut sering kali terjadi gangguan
yang sangat mengerikan di mana seorang Jai-hwa-cat berkeliaran. Banyak sekali
merusak kehormatan gadis-gadis dan wanita isteri orang. Dengan demikian
penduduk seringkali diliputi perasaaa takut yang bukan main.
Jai-hwa-cat itu juga seorang
yang memiliki gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, karena
dia bisa bergerak dengan lincah di atas genting rumah penduduk. Di samping itu
juga, setiap kali ingin mencelakai korbannya, mempergunakan semacam obat asap
hio pulas, sehingga dia bisa dapat melaksanakan maksud buruknya itu dengan
mudah.
Dan juga, di malam itu, Thio
Kim Beng bermaksud hendak mencari Jai-hwa-cat itu. Namun ia tidak mengetahui,
di mana tempat berdiamnya manusia busuk itu.
Kebetulan sekali, dikala ia
hendak mempermainkan si gadis, ia melihat seorang pemuda tengah berlari-lari
dengan gesit di atas genting rumah penduduk. Pemuda itu mendatangkan kecurigaan
di hati pengemis tua itu, yang segera mengikutinya secara diam-diam.
Pemuda itu telah hinggap di
sisi kamar rumah penginapan Giok Hoa. Setelah mengintai ia juga telah
mengeluarkan sesuatu, lalu membakarnya, sehingga tersiar asap yang menyiarkan
harum semerbak.
Thio Kim Beng seketika
tersadar, bahwa Jai-hwa-cat yang hendak dicarinya, tidak lain adalah si pemuda.
Sungguh sangat kebetulan sekali, pemuda itu telah menampakkan dirinya. Maka
dengan segera ia mengambil sebutir batu, dan menimpuknya, sehingga hio di
tangan pemuda itu jatuh dan apinya padam.
Tangan pemuda itu kesemutan
dan cepat-cepat karena kaget, dia melarikan diri. Dia berusaha meninggalkan
tempat itu.
Namun, tampak Thio Kim Beng
mengejarnya, membuat dia panik sekali, apa lagi memang di waktu itu Thio Kim
Beng dapat mengejarnya dengan pesat sekali.
Sayangnya Thio Kim Beng
melihat jendela kamar Giok Hoa terbuka dan melesat keluar sesosok bayangan.
Itulah si gadis sendiri, yang malah telah mengejar Thio Kim Beng, membuat
pengemis tua ini segera merobah pikirannya.
Dia tidak mengejar terus
Jai-hwa-cat itu, malah Thio Kim Beng telah mengalihkan arah larinya. Dia
memancing si gadis mengejarnya jauh sekali di luar kota.
Kemudian si pengemis telah
merobah arah larinya, dia meninggalkan Giok Hoa, berlari ke rumah penginapan
dan mengambil buntalan si gadis. Dia melakukan semua ini, selain hendak
mempermainkan Giok Hoa, iapun hendak memberikan pelajaran kepada gadis itu,
agar di lain waktu ia bersikap hati-hati.
Dengan terkena pancingan itu
dan main keluar dari kamar dan mengejar lawan, tanpa memperdulikan keadaan di
dalam kamarnya, tentu akan dapat mempermudah penjahat mengambil barangnya.
Tetapi siapa sangka, justeru
Giok Hoa menduga bahwa Thio Kim Beng memang sengaja memancingnya untuk dapat
mencuri barang-barangnya.
Pada malam itu, Thio Kim Beng
pun telah melihat si gadis keluar dari rumah penginapan. Ia mengintai dan
mengikuti diam-diam saja. Di dalam hati Thio Kim Beng mentertawai gadis
tersebut.
Waktu itu, kebetulan pula Thio
Kim Beng melihat pemuda yang diduga adalah si Jai- hwa-cat, dia jadi girang,
terlebih lagi memang Giok Hoa telah mengikuti pemuda itu terus, maka pengemis
tua ini berpikir, jika telah tiba waktunya, dia hendak turun tangan buat
membekuk dan memberikan hajaran kepada maling pemetik bunga itu.
Sedangkan ketika Siangkoan Lo
Sian bertempur dengan Kie Pa Kay, dia sudah bermaksud hendak keluar dari tempat
persembunyiannya, dia ingin menyelesaikan persoalan tersebut. Siapa sangka,
justeru di waktu itu memang rupanya Siangkoan Lo Sian tidak bisa bertahan terus
buat menghadapi lawannya, dia telah meninggalkan tempat itu!
Waktu melihat pemuda itu
pandai mengambil hati dan membuat Kie Pa Kay malah bersedia hendak
mengajarkannya beberapa jurus ilmu silatnya Thio Kim Beng segera merasa bahwa
dia tidak boleh berlaku ayal dan terlambat. Karena jika sampai pemuda itu
diajarkan ilmu kepandaian Kie Pa Kay, niscaya akan membuat segalanya terlanjur.
Diapun kuatir kalau-kalau
pemuda itu akan terlepas dari tangannya lagi. Maka dia segera menampakkan
dirinya.
Maka semua urusan yang
menyangkut dengan diri Sam Lu Tang telah dapat dibereskan.
Giok Hoa setelah mendengar
cerita Thio Kim Beng, jadi menghela napas dalam-dalam. Dia membungkukkan
tubuhnya memberi hormat waktu menyambuti buntalannya yang dikembalikan oleh
Thio Kim Beng, diapun mengucapkan terima kasihnya.
Sedangkan Thio Kim Beng telah
bilang. “Jika di lain saat, engkau harus lebih berhati-hati nona……!” kata Thio
Kim Beng menasehatinya.
Si gadis mengiyakan dan
mengucapkan terima kasihnya lagi.
Di waktu itu, Kie Pa Kay
bertiga telah meminta pengampunan dari Tiang-lo mereka, karena justeru mereka
telah salah dalam membantu dan menolongi orang. Rupanya orang yang mereka
tolongi itu tidak lain dari seorang pemuda bejad yang tidak bermoral! Dan
mereka bertiga berjanji akan mencari Siangkoan Lo Sian, guna meminta maaf
padanya.
Senang dan puas Thio Kim Beng
mendengar ke tiga pengemis itu berjanji seperti itu dan dia tidak menegurnya
lagi. Begitulah, mereka telah berpisah.
Dan Thio Kim Beng mengirim
salam buat Ko Tie, agar Giok Hoa menyampaikan pesannya, supaya pemuda itu
bersikap lebih hati-hati, walaupun kepandaian Ko Tie tinggi, tokh ia masih
kurang pengalaman.
Giok Hoa tertawa melihat sikap
jenaka Kim Beng, ia bilang: “Locianpwe, kau menguatirkan kami, tapi engkau
mempermainkan kami! Tentunya dalam perjalanan kami ini lebih baik lagi jika
saja locianpwe mau mencampurinya!” Maksud Giok Hoa ialah Thio Kim Beng
melindungi mereka secara diam-diam.
Thio Kim Beng mengerti maksud
si gadis, dia tertawa.
“Budak setan, engkau mungkin
menyangka aku kebanyakan waktu buat kalian, heh?” Dan setelah berkata begitu,
Thio Kim Beng menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat, dalam sekejap mata
saja telah lenyap dari pandangan mata.
Giok Hoa masih berdiri
tertegun melihat kepandaian pengemis tua itu.
Sedangkan Kie Pa Kay bertiga
juga sudah berlalu.
Giok Hoa kembali ke rumah
penginapan, ia menceritakan kepada Ko Tie apa yang telah dialaminya.
Dan Ko Tie tertawa sambil
katanya: “Anak nakal, kau mencari penyakit sendiri! Beruntung ada Thio
locianpwe, jika tidak?”
“Jika tidak kenapa?” kata Giok
Hoa manja, timbul sikap alemannya.
“Jika tidak, tentu engkau
tidak akan memperoleh kembali buntalanmu itu,” menyahuti Ko Tie.
Giok Hoa cemberut, namun dia
bilang: “Engkau yang tidak bisa melindungi aku!”
“He, he, he, aku melindungi
kau sebaik mungkin!” kata Ko Tie. “Tentunya akupun akan melindungimu, asal
engkau tidak menjadi anak yang nakal!”
Mulut Giok Hoa dimonyongkan,
ia tampaknya manja sekali dan aleman, dia bilang tidak mau kalah: “Sudah!
Sudah! Beruntung aku memperoleh kembali buntalanku ini….. hemmmm, engkau hanya
bisa mempermainkan aku!”
Ko Tie hanya tertawa.
“Walaupun bagaimana, semua ini
ada baiknya juga, di mana sebagai pelajaran yang berharga buat kita, agar
dilain waktu kita bersikap lebih hati-hati dan waspada.....!”
Giok Hoa berdiam diri saja,
kemudian ia bilang, hari telah malam dan ia kembali ke kamarnya, buat tidur.
◄Y►
Keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan, di mana mereka mengambil arah ke Utara.
Wakta itu hujan salju turun
cukup lebat karena sudah memasuki musim dingin dan hampir tiba harian Tahun
Baru.
Ko Tie dan Giok Hoa
masing-masing menunggang kuda mereka perlahan-lahan. Yang satu berpakaian
sebagai seorang pelajar, tampan sekali, sedangkan yang seorangnya adalah
searang gadis yang cantik jelita.
Mereka berpakaian sebagai
pemuda dan pemudi dari golongan hartawan. Dengan melintasi jalan kecil, mereka
telah sampai di jalan besar.
Sudah dua hari salju berhenti
turun, hawa udara tetap dingin. Dan hanya sekali-sekali masih turun salju,
dalam waktu yang tidak begitu lama. Jalanan pun basah, dari itu sepatu dan kaus
kaki mereka jadi demak.
Terlebih lagi, dikala mereka
melanjutkan perjalanan ini, salju telah turun, sehingga pakaian mereka pun
basah. Mereka melanjutkan perjalanan, karena waktu di rumah penginapan salju
sudah berhenti turun, dan mereka menduga bahwa hujan salju memang telah
berhenti dan tidak akan turun hujan lagi.
Ko Tie dan Giok Hoa menuju
kecamatan Kie-koan. Di sepanjang jalan mereka menemui orang-orang yang pergi
menjenguk sanak famili, guna memberi ucapan selamat tahun baru, dari itu
jalanan ramai karenanya. Itulah disaatnya tahun baru yang dirayakan oleh
seluruh rakyat di daratan Tiong-goan.
Terkadang juga, lewat orang
rimba persilatan, yang melarikan kudanya keras-keras, akan tetapi tidak ada
yang menduga atau mencurigai Ko Tie dan Giok Hoa.
Jika tokh mereka menarik
perhatian juga, itulah disebabkan mereka tampan dan cantik, mereka merupakan
pasangan yang setimpal. Di tempat mereka berada, masih termasuk di dalam
wilayah Shoa-say, memang jarang sekali ada pasangan muda-mudi yang tampan dan
cantik seperti Ko Tie dan Giok Hoa.
Akhirnya mereka telah tiba di
Chin-su dan mereka mencari sebuah rumah penginapan.
Pelayan rumah penginapan
menyangka mereka adalah pengantin baru, mereka di antar ke sebuah kamar.
Seberlalunya pelayan, Ko Tie
tertawa, sampai muka Giok Hoa berubah jadi merah sendirinya, sehingga ia
mendelik kepada engko Tie nya tersebut.
Walaupun ia polos dan bebas
merdeka, tidak urung Giok Hoa likat juga. Ia bermaksud keluar dari kamar itu,
untuk meminta pelayan menyediakan kamar lainnya buat dia, tapi ia kuatir akan
menarik perhatian orang.
Dan memang, biasanya ia selalu
pisah kamar dengan Ko Tie, baru kali ini, ia diantar ke sebuah kamar oleh
pelayan rumah penginapan, membuat ia canggung untuk meminta kamar lainnya. Dan
ia mengharapkan Ko Tie yang pergi meminta sebuah kamar lain kepada pelayan.
Ko Tie kuatir kalau-kalau Giok
Hoa keliru sangka, maka ia bilang: “Adik Hoa, sebenarnya aku gembira sekali, di
mana kita telah lebih dari tiga bulan berkelana. Dan selama ini, kitapun telah
banyak melakukan perbuatan mulia menoloagi orang-orang yang dalam kesulitan!
“Kitapun bisa bersahabat
demikian rapat, dan dapat menikmati keindahan tempat-tempat yang indah!
Bukankah itu sangat menyenangkan sekali? Aku jadi girang bukan main!”
Giok Hoa mengerti, maka ia
bilang di dalam hatinya; “Dasar aku curiga tidak karuan juntrungannya. Memang
kalau ia bermaksud buruk, tidak usah ia menunggu sampai hari ini!”
Si gadis segera mengawasi
pemuda tersebut yang sebaliknya mendelong mengawasi keluar jendela itu, tangannya
digendongkan.
“Engko Tie,” katanya kemudian.
“Selama dalam perjalanan berkelana di dalam rimba persilatan, telah banyak yang
kita lihat! Memang benar, apa yang dikatakan oleh orang-orang tua tidak
meleset, betapa buruknya dunia Kang-ouw!”
“Mengapa begitu, adik Hoa?”
tanya Ko Tie kemudian.
“Karena, kita telah
menyaksikan banyak sekali peristiwa yang di luar dari kepantasan.”
Ko Tie hanya mengangguk.
“Benar!” sahutnya. “Justeru
itu, mempergunakan kesempatan kita diberikan waktu untuk berkelana, harus dapat
melakukan perbuatan mulia menolong orang-orang yang dalam kesukaran.”
Si gadis menghela napas
dalam-dalam.
“Tapi kepandaianku masih belum
berarti apa-apa, banyak yang telah kulihat, bahwa sebenarnya ilmu silat itu
tidak ada batasnya! Seperti dengan kau, kepandaianmu jauh berada di atas
kepandaianku!”
Ko Tie tersenyum, ia menatap
si gadis beberapa saat lamanya. Barulah dia kemudian berkata:
“Itulah disebabkan tenaga
dalammu belum cukup! Kau berlatih terus, nanti kau akan memperoleh tenaga tambahan
yang lebih baik lagi! Kaupun harus rajin bersemedhi. Aku tanggung tidak sampai
tiga bulan, kau akan berhasil”
Giok Hoa berdiam, tapi matanya
menatap dan wajah tersenyum.
Ko Tie juga balas mengawasi.
Dan ia sampai tersengsem. Di matanya, pada waktu itu, Giok Hoa cantik luar
biasa. Gadis itu memakai baju warna serba hijau, hanya mantelnya yang berwarna
hitam, Dia memang elok sekali, dandanannya itu menambah kementerengan parasnya
yang cantik.
Menyaksikan sikap si pemuda,
Giok Hoa kian menatap. Dan mereka baru tersadar waktu terdengar pintu kamar
dibuka, disusul munculnya seorang pelayan, yang telah mengantar minuman buat
mereka itu.
Setelah pelayan itu berlalu
mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Barulah ke duanya tidur.
Di kamar itu terdapat dua
pembaringan karena mereka adalah orang-orang Kang-ouw yang bebas dan merdeka,
walaupun memang Giok Hoa selalu teringat pada pesan gurunya, agar ia
pandai-pandai membawa diri dan menjaga kesuciannya sebagai seorang gadis, tokh
ia melihat pemuda ini adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya, baik
jiwanya.
Karena itu ia tidak bercuriga
lebih jauh, ia melihat Ko Tie adalah seorang pemuda yang jiwanya sangat besar
dan tidak akan melakukan perbuatan rendah dan hina. Mereka walaupun belum
secara resmi mengeluarkan dan memuntahkan isi hati dan perasaan mereka, bahwa
saling mencintai, namun di hati kecil masing-masing telah merasakan, betapapun
mereka berdua memang saling mencintai.
Malam telah larut, angin
meniupkan hawanya yang dingin dan bersuara di kertas jendela. Ko Tie dan Giok
Hoa di dalam kamar di rumah penginapan sudah tertidur nyenyak. Tapi segera juga
mereka terbangun dan tersadar dari tidur masing-masing oleh suara berkeresek
perlahan di atas genting. Mereka segera menduga jelek.
Memang mereka tidur tanpa
menukar pakaian lagi, karenanya, mereka dapat segera turun dari pembaringan,
pergi ke sudut kamar. Di situ mereka berdiam sambil memasang mata.
Umumnya jendela rumah di
propinsi Shoa-say terdiri dari dua lembar, ukuran daun jendelanya yang panjang
itu dibuka keluar, ke atas dan ke bawah. Sekarang daun jendela rumah penginapan
terdengar berkeresek.
Lantas terlihat yang sebelah
atas diangkat, rupanya untuk ditunjang. Ko Tie melihat bergerak-geraknya sebuah
tangan. Giok Hoa segera mempersiapkan sebutir biji uang tembaga.
Dengan terbukanya daun
jendela, angin menerobos masuk ke dalam, dingin sekali, Ko Tie dan Giok Hoa
merasakan siliran angin, tapi mereka berdiam diri saja.
Penjahat di luar tidak
mendengar suara sesuatu di dalam kamar walaupun daun jendela dibukanya, hati
mereka jadi besar, segera juga terlihat mereka masuk. Mereka berdua, tangan
mereka masing-masing mencekal pedang, mukanya ditutup topeng.
Dengan perlahan mereka
menghampiri pembaringan, lalu dari dekat, mereka melompat untuk menotok,
mungkin mereka bermaksud membikin korbannya tidak berdaya dan tidak bergerak
akibat totokan.
Tapi tangan mereka, jari
tangan itu, menotok pembaringan yang kosong. Mereka kaget. Mereka bukan menotok
tubuh manusia!
Ke duanya segera juga melompat
mundur, untuk melarikan diri dari jendela atau di waktu itu segera terdengar
jeritan mereka, yang seorang telah rubuh terguling di lantai.
Giok Hoa telah menimpuk tepat
pada kaki penjahat yang seorang itu, membuat dia jadi terguling rubuh di
lantai.
Orang yang ke dua kaget dan
bingung sekali, tapi ia menyadari bahaya, terus juga tanpa menghiraukan
kawannya. Dia pun melompat ke jendela.
“Kembali!” dia mendengar
seruan nyaring.
Segera terasa kakinya terjepit
sakit, lantas tubuhnya tertarik keras, sampai dia membentur tembok. Setelah
merasakan matanya berkunang-kunang, kepalanya yang pusing bukan main, dia rubuh
tidak sadarkan diri!
Berbareng dengan itu, lilin
menyala. Giok Hoa menghampiri ke dua penjahat itu. Dengan ujung sepatunya ia
mencongkel topeng muka orang itu, secarik kain berwarna merah. Ia juga telah
melihat wajah orang itu bengis dan menakutkan.
Penjahat yang terluka kakinya,
matanya mendelik, terus dia tertawa dingin.
“Bocah, kau ternyata mengerti
ilmu silat. Kami ternyata telah terlanjur berbuat salah, kami kurang teliti,
sehingga tidak mempergunakan asap pembius……!” berkata penjahat itu. “Hemmm,
jika kau berani mengganggu kami seujung rambut saja, tentu kalian tidak akan
dapat meninggalkan kota ini besok paginya!”
Itulah ancaman. Dan Giok Hoa
bersama Ko Tie menduga bahwa mereka adalah maling-maling yang menginginkan
harta mereka.
Namun Ko Tie yang memang lebih
cerdas dan juga memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam rimba persilatan,
akhirnya dapat menduga lain. Ia tadi menyaksikan betapa ke dua orang itu
menyergap ke pembaringan dan bermaksud menotok. Tentunya mereka ini adalah
penjahat-penjahat pemetik bunga!
“Kalian tentunya jai-hoa-cat
busuk yang harus dibikin mampus!” kata Ko Tie bengis, memancing.
“Hemmm, siapa yang suruh kawanmu
itu terlalu cantik?!” menyahuti penjahat itu berani sekali. “Dan jika memang
kalian berani mengganggu seujung rambut kami saja kalian tentu tidak akan dapat
meninggalkan tempat ini……!”
Mengetahui bahwa penjahat ini
adalah jai-hoa-cat, bukan kepalang marahnya Giok Hoa. Tubuhnya sampai menggigil
menahan amarah yang serasa ingin meledakkan dadanya.
“Manusia hina dina!” makinya
kemudian, “Baiklah malam ini aku memberikan kepada kalian kematian utuh, agar
selanjutnya kalian tidak perlu lagi meninggalkan bencana buat khalayak ramai!”
Setelah berkata begitu, gadis
ini hendak menotok jalan darah kematian di tubuh si penjahat.
“Tahan dulu!” cegah Ko Tie. Ia
mendengar bahwa penjahat ini adalah Jai-hoa-cat, penjahat pemetik bunga,
berarti tukang pemerkosa gadis dan isteri penduduk, dan inilah penjahat yang
paling hina. Ia pun sangat marah sekali, dan ia tahu, memang penjahat seperti
ini tidak layak dibiarkan hidup.
Tapi, mereka berada di rumah
penginapan. Ia bilang lagi: “Di sini tidak dapat kita sembarangan membunuh
orang……!”
Dan Ko Tie telah menghampiri.
Pundak penjahat ditepuknya perlahan sambil katanya:
“Sahabat, kau pergilah! Dilain
waktu, tidak nantinya engkau akan, mendapat kebaikan seperti sekarang kalau
sampai kita bertemu lagi!”