Anak rajawali Jilid 38
Akhirnya dia berpikir sesuatu.
Dari berdiam diri saja di situ, bukankah lebih baik dia meminta burung rajawali
tersebut agar membawa terbang ke sebuah tempat, yang sekiranya ada manusianya
dan di sana nanti bisa dimintai pertolongannya?
Karena berpikir begitu, segera
juga Ko Tie bersiul, yang berarti dia meminta agar burung rajawali itu
membawanya terbang di punggungnya.
Burung rajawali itu mengerti
maksud siulan tersebut. Akan tetapi burung rajawali itu pun tengah terluka
sayapnya, tulang sayapnya patah.
Dengan demikian tentu saja
telah membuat dia bimbang. Dia tidak mengetahui apakah dia akan sanggup membawa
terbang pemuda itu.
Karenanya burung rajawali
tersebut telah berdiam diri saja, dengan mengeluarkan suara pekikan perlahan.
Di waktu itu terlihat Ko Tie
bersiul satu kali lagi, karena dia menduga burung rajawali itu tidak mengerti
maksudnya.
Burung rajawali itu telah
bimbang sejenak, akhirnya dia menekukkan ke dua kakinya, dia mengambil sikap
siap untuk membawa Ko Tie terbang pergi meninggalkan tempat itu.
Ko Tie berusaha untuk
membalikkan tubuhnya, kemudian merangkak bangun.
Usahanya itu sakit bukan main
bagi tubuhnya, karena dadanya seperti akan pecah, demikian juga halnya dengan
isi perutnya, seperti terbalik.
Penderitaan pemuda itu luar
biasa hebatnya, akan tetapi dia masih dapat mempertahankan. Mati-matian dia
berusaha merangkak. Untuk bangun saja, agar dapat merangkak mendekati burung
tersebut, yang tidak terpisah jauh dari dia, sulitnya tak terkira, dan hanya
dapat bergerak sedikit demi sedikit.
Burung rajawali itu tetap
mendekam di atas tanah dengan sabar, sama sekali dia tidak berusaha untuk
berdiri. Dia menantikan sampai Ko Tie berhasil menaiki punggungnya.
Seperti biasanya, untuk naik
ke atas punggung rajawali bukanlah pekerjaan yang sulit buat Ko Tie. Tapi
sekarang ini, di mana dia terluka dengan parah sekali, membuat dia sulit untuk
naik ke atas punggung burung itu.
Akhirnya, dengan mengerahkan
seluruh tenaga dan kemampuannya, dengan menahan rasa sakit yang sangat pada
tubuhnya. Dia berhasil untuk merangkak naik sampai di punggung burung rajawali
itu.
Cuma saja dia dalam keadaan
rebah, dengan ke dua tangannya melingkari leher burung tersebut, kemudian
pingsan tidak sadarkan diri lagi........
Burung rajawali itu, setelah
merasakan bahwa Ko Tie berhasil menempatkan dirinya di punggungnya dengan baik,
barulah dia berdiri di atas ke dua kakinya. Lalu perlahan-lahan dia
menggerakkan sayapnya.
Sakit bukan main.
Namun burung rajawali itu
berusaha melawan rasa sakit itu, dia terus juga mengibaskan ke dua sayapnya.
Dan perlahan-lahan tubuhnya telah melambung ke angkasa.
Dia terbang perlahan-lahan,
seakan juga dia mengetahui bahwa Ko Tie dalam keadaan pingsan dan jika dia
terbang terlalu keras dan cepat, niscaya akan membuat Ko Tie kemungkinan
terjatuh dari atas punggungnya.
Karena itu, semakin lambat dia
terbang, burung rajawali itu memperoleh kesulitan yang semakin besar. Karena di
waktu itu segera juga dia merasakan bobot berat tubuhnya ditambah dengan berat
bobot tubuh Ko Tie.
Hal ini membuat ia sulit
sekali terbang, dan harus mengeluarkan tenaga yang lebih kuat lagi pada ke dua
sayapnya itu, membuat sayap kanannya yang terluka dan tulangnya patah pada
ujungnya itu mendatangkan rasa sakit yang tidak terkira……
Tapi burung rajawali itu
menahan rasa sakitnya, dia terbang terus dan di waktu itu, dia telah terbang
semakin tinggi di udara. Tujuannya adalah perkampungan di sebelah barat dari
tempat itu.
Tentu saja burung rajawali
yang memang jinak dan telah terdidik itu mengetahui, di dalam kampung itu
tentunya Ko Tie akan memperoleh pertolongan dari penduduk kampung itu.
Hanya saja bagi Ko Tie
sendiri, belum berarti dia akan tertolong dengan dia dibawa ke kampung itu.
Sebagai sebuah kampung yang tidak begitu besar, tentunya perkampungan tersebut
tidak memiliki tabib yang pandai.
Tapi Ko Tie sendiri sudah
tidak sadarkan diri, dan semuanya keputusan itu diambil oleh burung rajawali
tersebut, tanpa diperintah lagi oleh Ko Tie.
Setelah terbang beberapa saat,
dengan menahan sakit pada sayapnya, burung rajawali itu telah terbang cukup
jauh.
Dan samar-samar sudah terlihat
perkampungan yang ditujunya, di waktu mana burung rajawali tersebut jadi girang
dan terbangun semangatnya, dia terbang agak lebih cepat dari sebelumnya.
Dikala itu terlihat
perkampungan yang tidak begitu besar dan penduduk tidak begitu padat, karena
waktu burung rajawali ini tengah terbang di atas perkampungan tersebut, hanya
terlihat beberapa orang saja yang berlalu lalang.
Segera juga burung rajawali
itu terbang meluncur turun perlahan-lahan di tengah-tengah perkampungan itu.
Dia hinggap di tengah jalan
raya.
Beberapa orang penduduk
kampung yang berada di situ, jadi mengeluarkan seruan kaget karena melihat
seekor burung rajawali yang begitu besar dan tahu-tahu telah menukik turun dan
hinggap di jalan raya tersebut.
Akan tetapi burung itu tidak
memperlihatkan tanda-tanda ganas, juga sama sekali tidak berusaha untuk
menyerang, mereka jadi agak tenang.
Dan di saat itu burung
rajawali itu mengeluarkan suara pekik perlahan yang lirih, seakan memohon
pertolongan orang-orang itu.
Waktu orang-orang itu
menegasi, segera juga mereka melihat sesosok tubuh yang rebah di punggung
burung rajawali itu.
Malah sosok tubuh itu tidak
bergerak, mungkin dalam keadaan pingsan.
Cepat-cepat beberapa orang
penduduk kampung itu berlari untuk menghampirinya, dan setelah mereka melihat
jelas seorang pemuda yang pingsan tidak sadarkan diri berada di punggung burung
rajawali itu, dan burung rajawali itu mendekam di atas tanah, seakan juga
mempersilahkan orang-orang itu menurunkan Ko Tie, rasa takut penduduk kampung
itu berkurang.
Merekapun segera mendekati,
selangkah demi selangkah, dalam keadaan bersiap dan waspada, karena mereka
kuatir kalau-kalau burung rajawali itu akan menerjang mereka.
Namun setelah mereka mendekati
lebih jauh, burung itu tetap saja mendekam di tanah tanpa berusaha menyerang
mereka, penduduk kampung itu semakin berani, dan mereka segera menurunkan Ko
Tie dari punggung rajawali itu.
Burung rajawali tersebut
segera berdiri dan mengembangkan sayapnya, kepalanya dianggukkan beberapa kali,
seakan juga dia tengah memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, sehingga
membuat beberapa orang penduduk kampung itu jadi merasa lucu dan tertarik
sekali. Bahkan mereka jadi menyukai burung rajawali.
Di kala itu tampak orang-orang
kampung itu telah membawa Ko Tie, yang dalam keadaan tetap pingsan tidak
sadarkan diri, ke sebuah rumah.
Burung rajawali itu tidak
terbang pula ke tengah udara. Dia hanya berdiam diri saja di samping dekat
rumah itu.
Ko Tie direbahkan di
pembaringan, dan telah coba untuk ditolong, agar dia tersadar dari pingsannya.
Tapi usaha dari beberapa
penduduk kampung itu sama sekali tidak berhasil, sebab Ko Tie tetap saja dalam
keadaan pingsan tidak ingat orang. Mukanya pucat pias, malah pada ujung
mulutnya, tampak bekas-bekas darah yang telah mengering dan berubah warnanya
kehitam-hitaman.
Salah seorang dari penduduk
kampung itu telah berlari-lari buat pergi memanggil tabib.
Tidak lama kemudian, datang
seorang tabib yang berusia lanjut sekali. Dialah tabib di kampung itu, yang
sangat diandalkan sekali. Pengetahuannya tentang pengobatan sesungguhnya tidak
terlalu hebat, karena dia hanya mengerti penyakit-penyakit biasa.
Melihat keadaan Ko Tie seperti
itu, tabib tua itu telah menghela napas berulang kali sambil ia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Keadaannya terluka parah
demikian, sulit buat menyelamatkan jiwanya……!” menggumam tabib itu ketika dia
mencekal dan memegang nadi di pergelangan tangan si pemuda.
Tabib itu merasakan betapa
ketukan atau denyutan nadi di pergelangan tangan Ko Tie demikian kacaunya.
Sebentar cepat dan sekejap mata berobah jadi perlahan sekali, lemah.
Juga muka pemuda itu pucat
pias. Dengan melihat keadaan si pemuda seperti itu, segera juga tabib tersebut
mengambil kesimpulan bahwa ia memang sulit menyembuhkan pemuda ini.
Di waktu itu, tampak dua orang
penduduk telah menjura kepada tabib itu.
“Tolonglah Sin-se
mengobatinya…… tampak dia bukan sebangsa manusia tidak baik-baik. Dia seorang
pemuda yang mungkin telah mengalami sesuatu di tangan para begal.....” kata
penduduk itu.
Malah yang seorang pun telah
menyambungi: “Diapun dibawa ke mari oleh rajawali yang besar, yang ada di luar
itu, tentunya pemuda ini bukan sebangsa pemuda sembarangan.
Tabib itu menghela napas
beberapa kali, kemudian memeriksa lagi tubuh Ko Tie.
“Baiklah, aku akan berusaha
menolongi dengan memberikan obat, tapi aku tidak bisa memastikan bahwa jiwa
pemuda ini akan dapat ditolong!”
Setelah berkata begitu, tabib
tersebut meminta peralatan tulis, ia membuat resep. Seorang penduduk segera
berlari-lari pergi ke rumah obat untuk membeli obat itu.
Sedangkan tabib itu setelah
menerima bayaran lima bun dan tiga cie, dia kemudian pergi. Dia memang melihat
bahwa Ko Tie tipis sekali harapan bisa diselamatkan. Diam-diam tabib itu pun
berpikir, siapakah pemuda ini, yang tampaknya terluka di dalam tubuh demikian
parah dan hebat?
Malah tabib itu segera hendak
berpikir, bahwa mungkin juga pemuda ini adalah sebangsa begal yang memiliki
kepandaian tinggi dan kebetulan telah bertemu dengan lawan yang tangguh,
membuatnya benar-benar jadi terluka begitu parah.
Tapi akhirnya tabib itu tidak
mau dipusingkan lagi urusan itu, karena yang terpenting baginya dia telah
menerima bayaran, dan tadi dia telah membuka resep dengan obat yang benar,
untuk berusaha menolongi pemuda itu.
Walaupun berulang kali dia
berusaha meyakinkan penduduk bahwa pemuda itu tidak mungkin dapat ditolonginya,
tapi penduduk mendesak buat menolonginya. Karena itu dia segera juga membuka
resep obat.
Dia tidak tahu apakah obatnya
itu akan manjur dan menyembuhkan pemuda itu, karena yang diketahuinya justeru
bahwa pemuda itu tidak akan hidup lebih lama dari tiga hari……
Ko Tie telah diminumkan obat
yang dibuka resepnya oleh tabib itu. Obat itu dimasak dengan cara digodok,
kemudian airnya diminumkan kepada Ko Tie sesendok demi sesendok.
Ko Tie masih dalam keadaan
pingsan, namun dengan sabar penduduk kampung yang berusia lanjut, pemilik rumah
itu, telah meminumkan obat itu. Dengan sekali memasukan sesendok obat itu dia
memijit rahang Ko Tie, sehingga obat itu dapat mengalir masuk lewat tenggorokan
Ko Tie.
Dan akhirnya satu mangkok obat
itu telah habis diminumkan buat Ko Tie.
Tapi Ko Tie masih tetap dalam
keadaan pingsan tidak ingat orang......
Sedangkan di saat itu
terlihat, beberapa orang penduduk kampung tengah berunding.
Mereka bermaksud menemui Yang
Sin-se, untuk meminta dan mendesaknya, berusaha menolongi pemuda itu.
“Tapi Yang Sin-se sendiri yang
mengatakan bahwa harapan pemuda itu tertolong jiwanya sangat tipis sekali.....
bagaimana kita bisa mendesaknya lagi? Bukankah akan percuma saja? Dengan
berkata begitu Yang Sin-se juga seakan ingin mengatakan.bahwa ia sudah tidak
memiliki daya buat menolongi pemuda ini, yang lukanya demikian parah!”
Yang lainnya terdiam, mereka
tampaknya memang membenarkan juga kata-kata kawannya.
Waktu itu salah seorang di
antara mereka berkata: “Atau kita mencari tabib lainnya?”
“Tabib lain?” tanya kawannya.
Orang itu mengangguk.
“Ya!” sahutnya.
“Tabib mana lagi? Sedangkan
Yang Sin-se merupakan tabib yang paling pandai di kampung ini!”
“Tapi kita bisa mencari tabib
lain di tempat lain!”
“Di tempat lain di mana?”
tanya kawannya sambil mengawasi dengan tidak percaya.
“Ke kota yang terdekat
misalnya?!”
“Hu! Pemuda itu tentu sudah
keburu mati!” kata kawannya. “Pergi ke kota Tiang-an, yang terdekat, yang hanya
limapuluh lie, untuk pulang pergi hampir memakan waktu dua hari. Lalu siapa
yang bersedia untuk pergi?
“Jika memang di kota itu
terdapat tabib itu yang pandai, kalau tidak? Juga kesulitan lainnya, apakah
tabib itu mau diundang ke mari? Berapa biayanya?!”
Mendengar perkataan kawannya seperti
itu, orang tersebut jadi terdiam.
Memang benar apa yang dibilang
kawannya, banyak kesulitan yang mereka hadapi jika saja bermaksud mengundang
tabib lainnya dari tempat lain.
Di waktu itu tampak penduduk
kampung ini memang berusaha menolongi Ko Tie sekuat kemampuan mereka. Terlebih
lagi mereka menduganya bahwa Ko Tie tentunya bukanlah sebangsa pemuda biasa.
Setidak-tidaknya tentu
merupakan pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, juga memang ia pun memiliki
rajawali yang begitu besar dan tampaknya luar biasa sekali.
Tapi penduduk kampung itu
tidak berdaya untuk melakukan sesuatu apa-apa lagi.
Ko Tie masih pingsan tidak
sadarkan diri
Burung rajawali di luar rumah
itu masih berdiri diam dengan sabar.
Seorang penduduk yang tertarik
sekali melihat burung rajawali yang besar seperti burung raksasa itu, jinak
sekali dan tidak ganas, memberanikan diri.
Dia mengawasi burung itu,
sampai akhirnya ketika burung itu merintih perlahan dengan pekikan lirih, dan
mengeluarkan sayap kanannya, maka orang itu melihat sayap burung itu terluka,
tulangnya patah.
Burung rajawali itu bersikap
demikian karena dia mengharapkan orang itu dapat mengobati luka pada sayapnya
tersebut.
Orang itu memang benar-benar
mengobatinya, karena dia telah mengambil sebatang kayu dan mengikatkan pada
sayap burung rajawali itu. Dia juga mengurutinya dengan arak gosok.
Burung rajawali itu memekik
perlahan dan lirih, bagaikan dia mengucapkan terima kasih atas pengobatan yang
diberikan oleh orang tersebut.
Segera juga tersiar di dalam
kampung itu perihal burung rajawali yang besar seperti burung raksasa, namun
tidak ganas dan jinak sekali, seperti mengerti akan perkataan manusia.
Banyak penduduk yang
berdatangan buat melihat burung rajawali itu, malah ada beberapa orang di
antara mereka yang berani, telah mengulurkan tangannya buat mengusap-usap
burung rajawali itu.
Tiauw-jie atau burung rajawali
itu berdiam diri saja, dia tampak begitu jinak. Setiap kali diusap oleh tangan
penduduk kampung itu, ia mengeluarkan suara yang lirih dan tampak sama sekali
tidak ada tanda-tanda bahwa dia ganas.
Penduduk kampung itu segera
mengetahui bahwa burung rajawali ini memang bukan sejenis rajawali yang ganas.
Mereka jadi semakin berani. Malah ada beberapa orang anak laki-laki penduduk
kampung itu yang naiki punggung burung itu.
“Melihat burung rajawali ini,
yang tampaknya memang tidak ganas, rupanya pemuda itu memang seorang pemuda
baik-baik……!” begitulah menggumam beberapa orang penduduk kampung itu.
“Cuma saja anehnya, mengapa
justeru dia bisa terluka begitu hebat? Dan burung rajawali ini pun sudah
membela pemuda itu, sehingga diapun terluka pada sayapnya itu.....!”
Pandangan penduduk pada burung
rajawali itu segera berubah jadi baik. Merekapun yakin bahwa Ko Tie seorang
pemuda yang memiliki sifat baik bukan sebangsa manusia telur busuk.
Hari sudah mendekati sore,
waktu itu Ko Tie masih juga pingsan tidak sadarkan diri.
Penduduk kampung itu mulai
panik, mereka kuatir pemuda itu tidak tertolong.
Orang tua pemilik rumah itupun
telah menghela napas berulang kali.
“Tampaknya memang ia terluka
berat sekali, bukankah Yang Sin-se (tabib Yang) telah mengatakan bahwa ia tidak
menjamin bahwa pemuda ini akan dapat ditolongnya?!”
Sambil berkata begitu, orang
tua pemilik rumah tersebut menghela napas berulang kali, lalu melanjutkan lagi
kata-katanya: “Tampaknya nasib pemuda ini buruk sekali, jika sampai dia
meninggal dunia, harus dibuat sayang, karena dia mati muda dan tentunya diapun
bukan pemuda sembarangan, dia pasti memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi!
Diapun sangat tampan sekali…… Hai, hai, hai……!”
Rupanya penduduk kampung itu
memang menyukai Ko Tie, mereka menyayangkan sekali bahwa Ko Tie terluka begitu
berat dan juga tampaknya sulit untuk ditolong.
Tapi menjelang tengah malam ia
tersadar, dia mengeluh dan kemudian pingsan lagi.
Baru mendekati fajar, Ko Tie
tersadar lagi.
Pemilik rumah itu, si orang
tua, yang melihat Ko Tie telah tersadar dari pingsannya, jadi girang bukan
main. Dengan siumannya si pemuda, jelas hal ini memiliki harapan bahwa pemuda
itu akan tertolong jiwanya.
Akan tetapi kenyataan yang ada
justeru pemuda itu pingsan pula. Dua kali siuman, tapi dua kali pula ia jatuh
pingsan tidak sadarkan diri.
Keadaannya tidak menjadi lebih
baik, malah semakin memburuk, karena ia jadi begitu lemah, dan waktu ia sempat
berkata-kata, suaranya tidak keras, terlalu perlahan, kata-katanya juga tidak
jelas.
Dengan sabar pemilik rumah
tersebut telah mengompres kening Ko Tie dengan air dingin agar pemuda itu
berkurang panas pada tubuhnya. Tapi Ko Tie tetap saja pingsan.
Barulah setelah matahari naik
tinggi, Ko Tie tersadar benar-benar. Ia tidak pingsan lagi.
Pertama kali yang dilihatnya
adalah orang tua pemilik rumah tersebut, ia segera berusaha tersenyum.
Orang tua itu juga tersenyum,
dia telah satu malaman menggadangi Ko Tie.
“Tenanglah, kau berada di
tempat yang cukup baik dan aman, Kongcu!” kata orang tua itu.
“Di mana….. di mana aku
sekarang ini?!” tanya Ko Tie dengan suata yang serak.
Orang tua itu tidak segera
menyahuti, dengan perlahan-lahan dan sabar ia memakai sendok untuk meminumkan
pemuda itu.
“Kongcu berada di kampung
Pu-an-cung, sebuah kampung yang kecil tapi aman..... di sini tidak ada orang
jahat. Kongcu bisa beristirahat dengan tenang jangan terlalu banyak bergerak
dan bicara dulu, keadaanmu masih lemah! Obat yang diberikan Yang Sin-se
tampaknya pun membawa kebaikan juga.....!”
“Terima kasih atas pertolongan
Lopeh!” kata Ko Tie dengan suara yang lemah.
“Bukan aku yang menolongimu,
Kongcu, tapi penduduk kampung ini, mereka melihat kau dibawa oleh seekor burung
rajawali..... !” kata orang tua itu.
Mendengar disebutnya perihal
burung rajawali, segera juga Ko Tie teringat kepada Tiauw-jie,
“Di.....di mana Tiauw-jie?!”
tanya Ko Tie kemudian dengan suara lemah dan serak.
“Tiauw-jie? Siapa Tiauw-jie?!”
tanya orang tua itu heran dan tidak mengerti.
“Burung…… rajawali itu!”
menyahuti Ko Tie dengan suara yang tetap lemah.
Orang tua itu tersenyum, dia
baru mengerti, dia pun mengangguk.
“Tenanglah, burung rajawali
pun dalam keadaan selamat…… Kau jangan gelisah, dia berada di luar, diapun
memperoleh perawatan yang baik dari kawan-kawanku…… luka pada sayapnya telah
diobati……!”
Ko Tie mengangguk perlahan.
Waktu ia ingin berkata-kata lagi, orang tua itu telah mengulap-ngulapkan
tangannya, mencegah Ko Tie berkata-kata.
Di kala itu, di luar rumah
terdengar suara langkah kaki yang cukup ramai, bukti bahwa beberapa orang
tengah mendatangi dan memasuki rumah tersebut.
Orang tua itu menoleh, Ko Tie
juga telah ikut melirik ke arah pintu. Ternyata telah masuk delapan orang
penduduk kampung.
“Bagaimana keadaannya, Ang
Lotoa?!” tanya salah seorang di antara mereka kepada pemilik rumah itu.
Orang tua itu telah
mengangguk.
“Jangan berisik, Kongcu ini
telah siuman, tapi dia perlu istirahat, tampaknya keadaannya membaik juga……!”
kata Ang Lotoa kemudian.
Penduduk kampung itu segera
mendekat ke pembaringan. Mereka melihat Ko Tie memang telah tersadar.
Mereka segera mengangguk
sambil tersenyum.
Ko Tie pun membalas senyum
mereka, senyuman yang lemah sekali, karena ia memang masih dalam keadaan yang
lemah bukan main. Dadanya pun dirasakan sakit sekali.
Ini karena dia telah dipukuli
oleh kera bulu kuning dan tenaga dalamnya yang baru disembuhkan oleh kakek tua
Bun Siang Cuan, telah berbalik kembali menggempur dirinya sendiri ketika dia
mempergunakan tenaganya yang melebihi takaran.
“Terima kasih atas pertolongan
kalian!” kata Ko Tie kemudian dengan suara yang lemah. “Aku..... aku tidak tahu
dengan cara apa membalas kebaikan kalian......!”
“Jangan Kongcu berkata begitu,
kami senang jika bisa menolongimu……!” kata orang-orang kampung itu.
Ko Tie mengucapkan terima
kasih satu kali lagi, dan ia kemudian memejamkan matanya.
Sedangkan penduduk kampung itu
yang melihat Ko Tie memejamkan matanya dan mereka menyadari bahwa keadaan Ko
Tie masih lemah sekali, maka merekapun segera meninggalkan ruangan itu dan
keluar.
“Obat yang diberikan Yang
Sin-se ternyata memang manjur!” kata salah seorang di antara mereka setelah
berada di ruang luar.
Kawan-kawannya mengangguk.
“Ya…… maka kita tidak perlu
tergesa-gesa, karena obat itu bekerja perlahan. Buktinya saja sekarang, ia
telah siuman! Hemmm, jika kita sembarangan memanggil tabib, bukankah jadi
berbalik dari apa yang kita harapkan, yaitu bisa membahayakan jiwa pemuda itu?
“Memang kita sudah mengetahui
Yang Sin-se memang seorang tabib yang pandai dan obatnya pun sangat manjur.
Maka, nanti sore kita undang lagi Sin-se itu buat mengobati kongcu itu pula…..
Siapa tahu Yang Sin-se berhasil menyembuhkannya dan menyelamatkan jiwanya……!”
Yang lainnya mengangguk.
Ko Tie terharu mendengar
percakapan mereka. Ia sangat berterima kasih sekali, karena penduduk kampung
itu ternyata memang seorang yang baik dan juga mau menolonginya dengan
bersungguh-sungguh hati.
Dia pun tidak menguatirkan
burung rajawalinya, dengan melihat penduduk kampung itu yang semuanya ramah dan
baik hati. Dia tidak menguatirkan Tiauw-jie akan menerima perlakuan yang tidak
baik.
Karena itu, Ko Tie telah
memejamkan matanya untuk mengasoh.
Diam-diam dia mengerahkan
sin-kangnya, karena dia bermaksud untuk menyalurkan tenaga dalamnya,
menyembuhkan sendiri luka di dalam tubuhnya.
Begitu Ko Tie mengerahkan
tenaga dalamnya, dia jadi tercekat, karena di waktu itu segera juga dia
merasakan dadanya sakit, sampai dia mengeluh.
Orang tua pemilik rumah itu,
Ang Lotoa, jadi kaget tidak terkira. Dia memang masih mendampingi Ko Tie dengan
sabar. Mendengar keluhan pemuda itu, tanyanya dengan sabar:
“Apakah ada sesuatu yang
Kongcu rasakan?!”
“Dada..... dadaku sangat sakit
sekali……!” kata Ko Tie dengan suara perlahan dan tubuhnya pun tampak agak
merengkat, mukanya juga meringis seperti menahan sakit.
“Diamlah dulu,
beristirahat……!” kata orang tua itu. “Mungkin tadi Kongcu terlalu banyak bicara
dan bergerak. Kongcu belum boleh terlalu banyak bergerak..... kau harus
beristirahat dulu baik-baik.....!”
Ko Tie cuma mengangguk. Dia
tidak bermaksud menjelaskan sebab-sebabnya kepada Ang Lotoa tersebut, karena
dia yakin, jika tokh dia menjelaskannya, tokh orang tua itu tidak akan
mengerti.
Kembali Ko Tie berusaha
mencoba sekali lagi menyalurkan tenaga dalamnya. Dia berhasil mengalirkan
pernapasannya dan juga sin-kangnya lewat pintu Kong, Cun dan Tan.
Tapi ketika hawa murni di
tubuhnya akan melewati pintu Bun, waktu itulah dia merasakan perutnya seperti
mau terbalik-balik dan seakan juga isi perutnya akan digores-gores oleh pisau
yang tajam, ngilu dan sakit sekali.
Dia menahan tenaga dalamnya
dan tidak berusaha menyalurkannya menerobos pintu Bun, dia telah berdiam diri.
Keringat dingin mengalir keluar dari sekujur tubuhnya.
Diwaktu itu juga terlihat
betapa Ang Lotoa dengan telaten sekali telah merawatnya. Dia masih mengompres
kepala Ko Tie, karena tubuh pemuda itu masih menguap panas sekali.
Ko Tie memejamkan matanya
sejenak lamanya, barulah dia meneruskan lagi mengerahkan tenaga dalamnya. Kali
ini dia berhasil menembusi jalan darah yang disebut Pintu Bun.
Dia juga telah menyedot udara
dalam-dalam, dan ingin menyalurkan tenaga dalamnya itu kepada pintu Sie, dan
dia telah berhasil menembusi.
Tapi begitu pintu Sie
ditembusi tenaga dalamnya, pandangan mata Ko Tie berkunang-kunang. Dia
merasakan kepalanya seperti dihantami oleh martil, di samping itu juga dia
mengeluh kesakitan.
Orang tua itu jadi
kebingungan, terlebih lagi kemudian dia melihat Ko Tie jatuh pingsan tidak
sadarkan diri.
Cepat-cepat Ang Lotoa
memanggil beberapa orang penduduk kampung buat membantuinya.
Juga dua orang di antara
mereka berlari-lari pergi ke rumah Yang Sin-se.
Tidak lama kemudian Yang
Sin-se telah tiba, dan segera memeriksa keadaan Ko Tie.
Dia menghela napas, katanya:
“Tampaknya pemuda ini semakin lemah dan parah.....!” kata Sin-se itu.
“Tapi Sin-se, tadi dia telah
siuman, namun akhirnya mengeluh dan kemudian tidak sadarkan diri lagi..... tadi
dia malah sempat bercakap-cakap dengan kami, dia mengutarakan perasaan terima
kasihnya!” kata Ang Lotoa.
Yang Sin-se menghela napas,
kemudian katanya: “Sayangnya lukanya memang benar-benar sangat parah sekali,
sehingga sulit buat menyembuhkannya.....
“Coba, aku ganti saja obat
yang kuberikan kepadanya dengan obat yang lebih keras daya kerjanya. Siapa tahu
obat itu baru cocok buat dia mempertahankan diri dalam beberapa hari!
“Terus terang saja kukatakan
kepada kalian, obat yang akan kuberikan itu tidak mungkin bisa menyembuhkannya,
dan hanya bisa memperpanjang umurnya beberapa hari saja, mencegah sakit pada
tubuhnya. Agar begitu dia siuman, dia tidak terlalu menderita kesakitan......!”
Muka semua penduduk kampung
itu jadi muram, mereka menyesal sekali bahwa Ko Tie tidak bisa ditolong
jiwanya.
Dan obat yang diberikan oleh
Yang Sin-se hanya merupakan obat yang memperpanjang umur si pemuda selama
beberapa hari saja. Dengan begitu, mereka jadi putus asa, karena toh akhirnya
pemuda itu akan mati juga......!
Yang Sin-se telah menulis
resep obatnya lagi, dan seorang penduduk cepat-cepat membelinya di rumah obat.
Begitu pulang membawa obat,
segera ia memasaknya. Dan setelah hangat-hangat, diberikan kepada Ko Tie, untuk
meminumnya.
Cara meminumkannya sama
seperti tadi, yaitu mempergunakan sendok dan setiap sesendok obat itu
dimasukkan ke dalam mulut Ko Tie, rahangnya dipijit, sehingga obat itu
tertelan.
Semua penduduk kampung segera
juga bisik-bisik, karena mereka menyayangkan sekali kalau sampai Ko Tie
benar-benar tidak tertolong.
Pemuda itu tampak demikian
tampan, juga tubuhnya tegap dan gagah. Dia merupakan seorang pemuda yang jarang
sekali terlihat di kampung ini.
Hanya sayang menurut Yang
Sin-se umurnya hanya beberapa hari lagi.
Dengan begitu, penduduk
kampung jadi membicarakan perihalnya, malah beberapa orang gadis kampung itu
juga membicarakan perihal ketampanan pemuda tersebut.
Burung rajawali yang masih
berada di luar rumah menerima perawatan yang baik.
Selain sayapnya yang luka itu
diobati juga dia selalu diberi makan.
Di waktu itu, burung rajawali
itu tampak gelisah sekali, karena telah dua hari dia tidak melihat Ko Tie.
Justeru dia ingin mengetahui
juga, bagaimana keadaan Ko Tie, sayang tubuhnya sangat besar, sehingga dia
tidak bisa masuk ke dalam rumah penduduk itu.
Hanya penduduk yang mengerti
akan perasaan burung rajawali itu, telah menghiburnya dan burung rajawali
seperti juga mengerti kata-kata manusia itu, dan tampak jauh lebih tenang dari
sebelumnya.
Pada pagi hari ke tiga,
kembali Yang Sin-se datang pula ke situ untuk memeriksa keadaan Ko Tie.
Keadaan Ko Tie sangat payah
dan lemah sekali, karena sejak kemarin di mana dia telah pingsan pula, dia
tidak sadarkan diri terus sampai sekarang, karenanya melihat keadaan demikian.
Yang Sin-se yakin tidak lama lagi tentu pemuda ini akan menghembuskan napasnya
mati, di mana keadaannya memang semakin lemah itu.
Penduduk kampung pun tampak
berduka, wajah mereka muram. Walaupun mereka memang tidak kenal dan tidak mengetahui
siapa adanya Ko Tie, akan tetapi merekapun memang ingin sekali dapat
menyelamatkan dan menolong Ko Tie.
Di waktu itu terlihat
betapapun juga, memang Ko Tie dalam keadaan sekarat.
Sejak waktu kemarin dia
pingsan terus sampai satu hari satu malam itu ia tidak sadarkan diri. Namun
ketika Yang Sin-se tengah memeriksa hong-menya, di waktu itulah Ko Tie membuka
pelupuk matanya, dia siuman.
Yang Sin-se mengawasinya
sesaat, memeriksa matanya, yang agak kuning. Yang Sin-se menghela napas,
kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
Waktu itu Ko Tie bersuara
perlahan. “Aku..... aku..... di mana?!” seakan juga ia mengigau.
Yang Sin-se menoleh kepada Ang
Lotoa dan para penduduk kampung lainnya yang telah berkumpul di kamar itu
dengan berkuatir.
“Dia sudah tidak dapat
ditolong lagi!” Kata Yang Sin-se kemudian, sambil memutar tubuhnya, bermaksud
hendak berlalu.
Para penduduk kampung itu
mengerubungi Sin-se tersebut.
“Apakah Sin-se tidak bisa
usahakan agar ia dapat ditolong dan diselamatkan?!” tanya mereka dengan sikap
yang sangat berkuatir sekali.
Yang Sin-se menggeleng.
“Sayang sekali keadaannya
sudah tidak memungkinkan untuk ditolong lagi!” kata Sin-se itu kemudian. Dan
katanya lagi penuh penyesalan. “Maafkanlah..... aku benar-benar tidak dapat
mengusahakan lebih dari apa yang sanggup kulakukan!”
Setelah berkata begitu, dia
memutar tubuhnya dan berlalu.
Seketika itu juga para
penduduk kampung jadi bisik-bisik, karena mereka benar-benar menguatirkan
sekali keselamatan Ko Tie. Mereka menyesal sekali bahwa Yang Sin-se mengatakan
bahwa ia tidak sanggup menyembuhkan dan menyelamatkan jiwa pemuda itu.
Sedangkan muka Ang Lotoa
murung sekali, ia sangat berduka. Selama tiga hari dia merawat Ko Tie, entah
mengapa dia memiliki perasaan senang padanya.
Disaat itu tampak Ang Lotoa
telah menghampiri pembaringan, mengawasi Ko Tie yang dalam keadaan sadar,
tengah diam dengan mata terbuka:
“Bagaimana keadaanku......,
apakah dapat disembuhkan?!”
Tampak Ang Lotoa tersenyum,
senyum yang pahit sekali, diapun bilang. “Maafkanlah..... kami telah berusaha
sekuat tenaga. Tapi Kongcu tidak perlu kuatir, karena kami akan berusaha
mencari tabib lainnya.....!” menghibur Ang Lotoa.
Dia berkata begitu, karena dia
yakin bahwa Ko Tie tentunya telah mendengar apa yang dikatakan oleh Yang
Sin-se.
Penduduk kampung lainnya telah
menghampiri juga, mereka telah mengawasi Ko Tie, yang keadaannya begitu lemah,
dengan wajah yang sangat pucat pias.
“Aku..... aku..... memang
tampaknya sudah sulit untuk diselamatkan.....” kata si pemuda kemudian dengan
suara yang lemah sekali!
Ang Lotoa memaksakan dirinya
buat tersenyum, dia menghibur lagi.
Tapi Ko Tie mengetahui bahwa
dia tentunya memang sulit buat diselamatkan, karena lukanya yang memang
demikian parah.
Dia masih berusaha mengerahkan
sin-kangnya, untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya itu dengan mempergunakan
sin-kangnya.
Akan tetapi kenyataannya, dia
tidak berhasil juga menembusi pintu Sie.
Malah ketika dia mengerahkan
sin-kangnya ke jalan pintu Sie, pada jalan darah di tubuhnya, dia merasakan
kesakitan yang bukan main. Dan dia mengeluh, setengah menjerit, lalu pingsan
lagi.
Ang Lotoa dan yang lainnya
tampak begitu bingung. Mereka tidak mengetahui, entah apa yang harus mereka
lakukan.
Dikala itu, di luar terdengar
seara keliningan, yang terdengarnya begitu nyaring!
Menyusul dengan itu terdengar
juga suara orang berseru: “Tabib dari Sorga..... penyakit apapun dapat
disembuhkan. Walaupun orang yang arwahnya hampir meninggalkan tubuhnya akan
dapat disembuhkan…… Siapa yang sakit, boleh berobat, siapa yang sakit boleh
berobat.
Teriakan orang itu sangat
nyaring sekali.
Ang Lotoa dan kawan-kawannya
jadi tertegun. Mereka saling pandang.
Kemudian beramai-ramai mereka
berlari keluar.
Ternyata di depan rumah Ang
Lotoa lewat seorang laki-laki tua sekali. Jenggot dan kumisnya telah memutih,
memakai baju warna hijau dengan kopiah warna hijau juga.
Di tangan kanannya memegang
tongkat kayu cendana, sedangkan tangan kirinya memegang pelakat yang besar
sekali yang bertulisan:
“Tabib dari Sorga, dapat
mengobati berbagai penyakit yang paling sukar sekalipun! Ada jaminan. Jika
tidak sembuh. uang akan dikembalikan menjadi tiga kali lipat……!”
Di punggungnya tampak
bergemblok sebuah kotak kayu, mungkin berisikan obat-obatan.
Semua orang kampung itu saling
pandang. Siapakah tabib dari Sorga itu? Mereka belum pernah melihatnya, dan
mereka memang tidak mengenalnya.
Namun melihat pelakat yang
dibawa Tabib itu, dan juga teriakannya, yang begitu tekebur, bukankah tabib ini
merupakan tabib yang sangat pandai? Dan bukankah sangat kebetulan sekali Ko Tie
dalam keadaan sekarat?
Mereka melihat, tabib itu
tampaknya buta karena dia berjalan dengan mata terpejamkan cuma tongkatnya yang
mengetuk-ngetuk jalanan, karena tongkat itu sebagai penunjuk jalannya, yang
menuntunnya.
Segera juga Ang Lotoa tanpa
membuang-buang waktu lagi telah menghampiri.
“Sin-se.....!” panggilnya.
Tabib itu berhenti melangkah.
“Ada yang memanggilku?!”
tanyanya kemudian, matanya masih tetap terpejam, dan mereka yakin bahwa tabib
ini tentunya seorang tabib yang buta.
Seorang tabib yang buta,
bagaimana bisa mengobati orang yang terluka atau sakit?
Tapi dari kata-katanya dan
pelakat yang dibawanya, tampaknya tabib ini memang sangat mengandalkan sekali
ilmu pengobatannya, sehingga dia berani menjanjikan, jika memang tidak sembuh
uang akan dikembalikan dengan berlipat kali lebih besar.
“Sin-se! kami ingin meminta
pertolongan kepada Sin-se, untuk mengobati seseorang!” kata Ang Lotoa kemudian.
Tabib itu berdiam diri
beberapa saat, kemudian mengangguk.
“Boleh! Siapa yang sakit?!”
tanyanya kemudian. “Sakit apa? Atau sudah lama sakitnya itu? Apa memang masih
penyakit baru yang beberapa hari ini saja?!”
Ang Lotoa segera menyahuti:
“Kawan kami tampaknya terluka pada tubuhnya, sakitnya berat sekali, dia sudah
pingsan beberapa kali dalam tiga hari ini! Itulah luka baru..... harap Sin-se
mau menolonginya!”
Tabib itu mengangguk-angguk
perlahan.
“Hemmm, dia terluka baru tiga
hari? Dan selalu jatuh pingsan tidak sadarkan diri, sudah tua atau masih
mudakah orang itu?!” tanya tabib tersebut.
“Dia mungkin baru berusia
duapuluh lima tahun.....!”
“Hemmm, ya, ya, aku akan dapat
mengobatinya. Pasti akan dapat menyembuhkannya. Tapi, sebelumnya aku ingin
memberitahukan, bahwa setiap kali aku menolongi orang, menyembuhkan sakit
seseorang, aku meminta imbalan yang cukup tinggi, untuk sekali pengobatan
sampai sembuh, aku meminta seratus tail.
Mendengar jumlah uang
pengobatan itu, Ang Lotoa jadi tertegun. Itulah jumlah yang sangat besar
sekali, dari mana dia bisa memiliki uang sebanyak itu.
“Bagaimana?” tanya tabib itu
ketika mengetahui lawan bicaranya berdiam diri saja dan tidak mendengar
penyahutannya. “Apakah kau sanggupi akan ongkos pengobatan itu?”
Ang Lotoa tampak berdiri tertegun.
Sedangkan orang-orang lainnya
telah mendekati.
“Bagaimana Ang Lotoa?” tanya
beberapa orang penduduk kampung tersebut, ketika melihat Ang Lotoa berdiri
tertegun begitu di tempatnya.
Ang Lotoa menghela napas.
“Sin-se ini memang menyanggupi
untuk menyembuhkan Kongcu itu, tapi ongkos pengobatan yang dimintanya sangat
tinggi dan mahal sekali…..!”
“Sangat mahal? Berapa yang
dimintanya?” tanya dua orang penduduk kampung serentak.
“Ia meminta seratus
tail.....!” kata Ang Lotoa kemudian sambil menghela napas lagi.
Muka orang-orang itu jadi
berobah.
“Itulah permintaan yang tidak
layak, bagaimana mungkin bisa meminta biaya pengobatan semahal itu,” kata
mereka yang jadi mendongkol kepada tabib buta itu, “Belum lagi pasti bahwa ia
akan dapat mengobati orang itu!”
Tabib itu tampak tersenyum.
“Aku pasti akan dapat
menyembuhkannya jika memang kalian berani menyediakan pembayaran seratus tail.
Jika memang aku gagal, berarti aku harus mengembalikannya kepada kalian tiga
ratus tail.....!”
Itulah tantangan yang
benar-benar sangat berani dari tabib buta ini.
Atau memang dia memiliki ilmu
pengobatan yang sangat mahir sekali dan pandai, sehingga dia berani bicara
tekebur itu. Bukankah tabib buta itu belum lagi mengetahui bagaimana keadaan si
sakit? Dan juga, bukankah Ko Tie dalam keadaan sakit yang parah sekali?
Tapi tabib buta itu malah
telah berkata lagi:
“Bagaimana? Apakah kalian
setuju? Jika memang kalian keberatan buat memberikan biaya pengobatan sebesar
yang kuminta, maka aku tidak bisa membuang waktu di sini terlalu lama.”
Ang Lotoa dan kawan-kawannya
jadi bingung, mereka saling pandang beberapa saat lamanya.
“Bagaimana? Baiklah, kalian
tampaknya memang keberatan memberikan biaya pengobatan seperti yang kuminta
maka aku pun tidak akan memaksa!”
Setelah berkata begitu, tabib
tersebut segera juga melangkah meninggalkan tempat itu sambil berseru dengan
suara yang nyaring sekali:
“Tabib dari Sorga, dapat
menyembuhkan segala macam penyakit yang sudah payah dan sakitnya berat, pasti
dapat diobati sembuh..... jika tidak berhasil, uang akan dikembalikan tiga kali
lipat?!”
Waktu itu ada salah seorang
penduduk kampung itu yang berkata kepada Ang Lotoa: “Bagaimana jika kita
bersama-sama menyediakan biaya itu? Bukankah jika dia tidak berhasil kita tidak
perlu membayarnya?
“Dan juga malah dia berjanji
akan membayar kembali kepada kita sebesar tiga kali lipat? Bukankah itu untung?
Jika memang dia berhasil, kita boleh bersenang hati, karena pemuda itu yang
keadaannya sudah begitu sekarat ternyata masih bisa diobati!”
Mendengar perkataan orang
tersebut, yang lainnya segera menyatakan persetujuan mereka.
Ang Lotoa jadi girang bukan
main, karena dengan begitu berarti mereka tidak perlu terlalu banyak
mengeluarkan biaya pengobatan buat Ko Tie, mereka bisa bersama-sama
menanggungnya.
Karena itu, cepat-cepat Ang
Lotoa telah mengangguk mengiakan.
“Baiklah!” katanya kemudian
kepada tabib itu. “Tolonglah Sin-se mengobati pemuda itu, kawan kami.!”
Tabib itu yang belum begitu
jauh melangkah pergi, telah merandek, dia menahan langkah kakinya.
“Kalian setuju dengan harga
pengobatan yang kuminta?!” tanyanya.
Ang Lotoa mengiakan. “Mari
Sin-se ikut dengan kami!” katanya sambil mengulurkan tangannya buat menuntun
tongkat si tabib buta itu.
Tabib itu tersenyum.
“Walaupun bagaimana beratnya
penyakit kawan kalian, tentu aku akan dapat mengobatinya!” kata tabib itu.
Tapi Ang Lotoa tidak melayani
kata-kata tabib itu, karena dia telah membawa tabib tersebut ke dalam rumahnya,
memberitahukan di mana Ko Tie berada.
“Tunggu dulu!” kata tabib itu
kemudian.
“Apalagi?!” tanya Ang Lotoa
melihat tabib itu bukannya memeriksa Ko Tie, malah telah berdiri dengan tegak.
“Bukankah telah kukatakan
tadi, bahwa aku meminta pembayaran sebesar seratus tail?” Kata tabib itu.
Ang Lotoa jadi mendongkol.
“Sin-se, apakah Sin-se
beranggapan bahwa kami ini terlalu miskin sehingga tidak memiliki kemampuan
buat membayar ongkos pengobatan itu? Apakah memang Sin-se tidak mempercayai
kami?” tanya Ang Lotoa dalam keadaan gusar dan mendongkol.
Sebab keadaan Ko Tie sudah
demikian parah, akan tetapi tabib itu bukannya segera menolonginya, malah
membicarakan soal tetek bengek. Karena itu, Ang Lotoa sesungguhnya hendak
memaki tabib tersebut.
Di waktu itu tampak tabib
tersebut mengulap-ulapkan tangannya. Dia bilang: “Bukan begitu. Kalian jangan
marah dulu! Dengarkan dulu kata-kataku.....!
“Sudah menjadi kebiasaanku,
bahwa sebelum aku mengobati si sakit, maka aku harus menerima dulu uangnya! Ini
sudah menjadi peraturanku dan tidak bisa ditawar menawar.
Ang Lotoa dan kawan-kawannya
jadi bimbang. Tapi Mereka yakin, walaupun tabib itu gagal mengobati Ko Tie,
tidak mungkin tabib itu bisa melarikan uang mereka. Bukankah mereka berjumlah
banyak? Maka sibuklah mereka pada pulang ke rumah masing-masing buat mengambil
uang.
Setelah uang itu dikumpulkan,
dan jumlahnya genap 100 tail, lalu diberikan kepada si tabib.
Demikian telitinya tabib itu,
karena dia segera menghitungnya dengan baik.
Barulah dia memasukkan ke
dalam sakunya setelah menghitung bahwa jumlah yang diterimanya itu seratus
tail.
“Baiklah! Kalian telah
membayar kepadaku ongkos pengobatan, dan aku harus berusaha sekuat kemampuanku
buat mengobati kawan kalian itu! Ayo tunjukkan, di mana beradanya kawanmu itu!”
kata tabib tersebut.
Ang Lotoa menuntun tabib itu
mendekati pembaringan.
Waktu itu Ko Tie masih dalam
keadaan pingsan tidak sadarkan diri, dan tabib itu telah mengulurkan tangannya
perlahan-lahan. Dia merabah-rabah tubuh Ko Tie.
Tapi setelah merabah-rabah
sekian lama, tiba-tiba dia berseru nyaring, seakan juga tabib itu terkejut.
“Ihhh, lukanya begitu berat
dan parah sekali?!” kata tabib tersebut dengan suara yang mengandung
kekuatiran.
Ang Lotoa mendongkol bukan
main.
“Bukankah Sin-se sendiri yang
mengatakan luka dan penyakit yang berat bagaimana pun juga engkau akan sanggup
buat mengobatinya!” katanya.
Tabib itu telah tersenyum,
wajahnya telah pulih sebagaimana biasa, dia juga mengangguk-anggukkan
kepalanya, tenang kembali sikapnya.
“Ya, ya…… memang luka dan
penyakit yang bagaimana berat sekalipun aku pasti akan dapat menyembuhkannya……
kalian tidak perlu kuatir. Hanya saja tadi aku terkejut sekali setelah
mengetahui bahwa kawan kalian ini terluka demikian parah, karena jika memang
dalam dua hari dia tidak diobati dengan baik dan benar, niscaya dia akan
mati......!”
Ang Lotoa mengangguk-angguk,
berkurang perasaan mendongkolnya. Demikian juga halnya dengan para penduduk
kampung lainnya.
Jika sebelumnya mereka kurang
mempercayai bahwa tabib itu memiliki ilmu pengobatan yang lihay dan ampuh. Sekarang
justeru mereka mulai mempercayainya bahwa memang tabib itu memiliki pengetahuan
yang sangat luas sekali dalam ilmu pengobatan.
Karena dengan memegang saja
dia segera mengetahui bahwa keadaan Ko Tie sangat parah sekali dan hanya
memiliki kesempatan buat hidup dua hari saja
“Apakah...... apakah pemuda
itu dapat ditolong, Sin-se?!” tanya Ang Lotoa ketika melihat Sin-se itu berdiri
termenung lagi, seperti tengah memikirkan sesuatu.
Tabib itu mengangguk.
“Ya..... dia pasti akan dapat
tertolong, tapi aku harus mengerahkan seluruh pengetahuanku buat
mengobatinya..... sama sekali tidak boleh gagal..... dalam satu hari dia sudah
harus tersadar!”
Mendengar perkataan tabib itu,
Ang Lo-toa dan kawan-kawannya beranggapan bahwa tabib itu bicara terlalu besar
dan terkebur, karena itu, mereka memandang tidak mempercayainya. Keadaan Ko Tie
demikian parah sekali, bagaimana mungkin dia bisa membuat si pemuda tersadar
hanya dalam satu hari?
Tapi mereka tidak ada yang
memberikan komentar, sedangkan waktu itu si tabib mulai bekerja.
Pertama-tama dia memeriksa
sekujur tubuh Ko Tie, dia memeriksanya dengan teliti sekali. Setelah memeriksa
sekian lama, tiba-tiba ia melakukan penotokan di beberapa tempat.
Semuanya dilakukan begitu
sebat dan juga setiap totokannya mengenai setiap jalan darah dan tepat sekali,
dengan begitu telah membuat orang yang melihatnya akan kagum sekali, kalau saja
orang itu memang memiliki ilmu silat.
Hanya saja penduduk kampung
itu dan Ang Lotoa tidak mengerti ilmu silat, namun mereka tetap saja kagum
karena melihat tangan si tabib yang bergerak begitu lincah dan juga sebat
sekali. Keringat pun telah mengucur deras di sekujur tubuh tabib itu.
Keadaan pada waktu itu sangat
tegang sekali, karena semua penduduk kampung itu mengawasi apa yang dilakukan
oleh si tabib dengan mata terbuka lebar-lebar.
Tampak tabib ini telah
menguruti berbagai anggota tubuh Ko Tie. Dia melakukannya dengan sikap yang
bersungguh-sungguh, dan dia bekerja tanpa mengeluarkan sepatah perkataan pun
juga.
Setelah lewat setengah jam,
barulah tabib itu berhenti mengurut.
“Selesai tingkat pertama!”
kata tabib itu kemudian sambil mengeluarkan sehelai kain dan menghapus
keringatnya.
Di waktu itu juga terlihat dia
telah berkata kepada Ang Lotoa, buat meminta air minum.
Ang Lotoa kaget, dia segera
juga menyediakan air minum buat tabib itu.
Tabib itu walaupun buta, akan
tetapi dia dapat menotok dan mengurut dengan baik dan tangannya dapat bergerak
begitu sebat. Inilah yang tidak pernah diduga oleh semua orang.
Setelah minum, tabib itu mulai
menguruti lagi sekujur tubuh Ko Tie. Sedangkan Ko Tie masih tetap dalam keadaan
pingsan tidak sadarkan diri, di waktu mana dia memiliki paras yang pucat dan
sepasang matanya terpejamkan rapat-rapat.
Dikala itu terlihat bahwa
tabib itu telah berkata dengan suara perlahan, dia juga telah membuka kotak
obatnya, mengeluarkan beberapa macam obat.
Dia memaksa memasukkan ke
dalam mulut si pemuda.
Ang Lotoa dan beberapa orang
penduduk kampung itu coba membantunya, tapi tabib itu membentak: “Jangan mencampuri…..!”
Dan semuanya jadi melompat mundur.
Tabib ini dengan tangannya
yang sebat telah berulang kali memasukkan obat ke mulut Ko Tie. Dan barulah dia
duduk beristirahat, sambil mengipas-ngipas.
“Jiwa pemuda ini jika tidak
memperoleh pengobatan yang baik, niscaya akan mati.....! Jika saja terlambat
satu hari, besok kalian meminta aku mengobati, walaupun aku memiliki obat dewa,
tentu aku tak akan dapat mengobatinya, berarti aku akan rugi……!”
Setelah berkata begitu, tabib
tersebut menghela napas berulang kali.
“Mengapa sin-se mengatakan
Sin-se akan rugi jika memang besok kami meminta pertolongan Sin-se?!” tanya Ang
Lotoa yang heran dan tidak mengerti maksud perkataan Sin-se itu.
“Karena aku akan gagal
mengobatinya dan berarti aku akan mengganti uang kalian tiga kali lipat.
Bukankah itu suatu kerugian yang sangat besar sekali?!” menyahuti tabib buta
itu.
Ang Lotoa jadi heran dan
takjub, diapun berdebar-debar, tanyanya: “Kalau begitu...... maksud Sin-se.....
pemuda itu akan dapat diselamatkan jiwanya?!”
Tabib itu mengangguk.
“Itu sudah pasti.....!” dia
menyahuti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Jika tidak, mengapa aku harus
mengatakan dapat mengobatinya.
“Jika memang tidak dapat
mengobatinya, dengan hanya memegang tubuhnya saja aku sudah dapat mengetahui
apakah dia akan dapat diobati atau tidak..... Aku tentu akan memberitahukan
kepada kalian jika memang aku tidak memiliki kesanggupan buat mengobatinya
lagi……!”
Bukan main girangnya Ang Lotoa
dan yang lainnya, segera timbul harapan mereka.
“Terima kasih Sin-se, jika
memang benar Sin-se dapat mengobatinya, biarpun kami harus mengeluarkan uang
sejumlah banyak itu, kami tidak akan menyesal. Kami puas sekali, karena telah
berhasil menyelamatkan jiwa seseorang...... seorang manusia..... berarti kami telah
sempat melakukan suatu kebaikan!”
Tabib itu mengangguk-angguk.
“Seharusnya aku meminta
duaratus tail mengingat bahwa lukanya demikian berat dan hebat!” kata tabib
itu. “Tapi memang aku sudah terlanjur dengan permintaanku, sudahlah, aku juga
tidak akan meminta tambah lagi!”
Sambil berkata begitu, segera
dia mulai menguruti lagi tubuh Ko Tie, dan juga telah menotok beberapa jalan
darah di tubuh pemuda itu.
Telah terjadi suatu perobahan
yang menggembirakan hati semua orang.
Wajah Ko Tie yang semula pucat
pias itu perlahan-lahan telah berobah menjadi memerah.
Tentu saja hal ini membuat
mereka sangat bersyukur dan harapan mereka jadi besar bahwa tabib ini memang
akan berhasil menolongi Ko Tie dan menyelamatkan jiwanya.
Mereka juga melihatnya, betapa
napas Ko Tie berjalan teratur dan tidak lemah seperti tadi.
Di waktu itu si tabib terus
juga bekerja, sama sekali dia tidak berhenti, walaupun tampaknya dia sangat
letih dan sekujur tubuhnya telah mengucur keringat yang deras.
Setelah menguruti lagi sekian
lama tubuh Ko Tie, barulah dia berhenti. Dia menghela napas.
“Krisisnya telah dilewatkan,
sekarang tinggal menyadarkannya dari keadaannya ini…… membuat dia siuman!”
bilang tabib itu perlahan.
Tapi dia tidak melakukan
sesuatu, karena dia telah duduk mengasoh dulu, dia beristirahat.
Ang Lotoa mengawasi Ko Tie
yang telah berubah pipinya memerah, menandakan pemuda itu memang telah
mengalami kemajuan dalam kesehatannya. Dan dengan adanya kemajuan seperti itu
menunjukkan bahwa pemuda ini memang akan berhasil di tolong.
Sedangkan tabib buta itu telah
duduk mengasoh beberapa saat, barulah kemudian dia mulai menotoki lagi sekujur
tubuh Ko Tie.
Setiap totokannya ternyata
memiliki sin-kang yang dahsyat sekali.
Hanya saja semua orang kampung
itu tak mengerti ilmu silat, mereka cuma kagum terhadap kesebatan jari tangan
tabib itu yang menotok ke sana ke mari.
Tapi kemudian, terlihat betapa
Ko Tie telah mengeliat, dan mengeluarkan suara keluhan.
Disusul lagi, setelah ditotok
beberapa kali, pelupuk matanya terbuka!
Ko Tie telah siuman!
Bukan main girangnya semua
penduduk kampung itu, mereka telah mengucapkan syukur atas kebesaran Thian,
karena lewat tabib buta ini Ko Tie telah dapat diselamatkan.
Di waktu itu terlihat si tabib
telah menghela napas.
“Akh, akhirnya engkau telah
terssdar juga……!” halus suaranya.
Ko Tie memandang kepada tabib
itu.
“Kau..... locianpwe.....?!”
katanya kemudian ketika melihat tabib itu.
“Jika memang engkau ingin
sembuh, engkau tidak boleh bicara dulu!” kata tabib buta itu. “Engkau harus
menuruti nasehatku!”
Ko Tie mematuhi pesan tabib
itu, dia tidak berkata-kata lebih jauh lagi. Sedangkan pada waktu itu, tabib
itu terus juga menotoki sekujur tubuh Ko Tie. Setelah menotoki beberapa puluh
kali, barulah dia berhenti.
Ang Lotoa dan kawan-kawannya
jadi memuji betapa hebatnya tabib ini.
Sedangkan di waktu itu
terlihat betapa Ko Tie telah bisa tersenyum, pipinya memerah dan matanya mulai
bersinar.
“Jika memang nanti engkau
telah kukirimi lweekang, yang pada puncaknya engkau akan memuntahkan darah
segar..... Kau jangan terkejut, karena jika memang berhasil kau memuntahkan
darah itu, berarti selanjutnya engkau tidak mengalami ancaman maut lagi, engkau
dapat tertolong.....!”
Ko Tie hanya mengangguk saja.
Penduduk kampung itu memandang
girang bukan main, malah Ang Lotoa telah menghampiri tepi pembaringan. Dia
bermaksud akan menyeka keringat di kening Ko Tie.
Tapi tabib buta itu telah
membentak: “Jangan mencampuri dulu..... atau aku tidak akan mau
mengobatinya.....!”
Ang Lotoa terkejut, dia
cepat-cepat segera mundur beberapa langkah. Dia pun segera meminta maaf.
Tabib itu tanpa berkata
apa-apa lagi, telah membuka kopiahnya yang berwarna hijau, sehingga terlibat
rambutnya yang berwarna putih semuanya. Dia duduk di tepi pembaringan, kemudian
dia meletakkan telapak tangannya di dada Ko Tie.
Seketika Ko Tie merasakan
betapa dari telapak tangan tabib itu telah mengalir keluar hawa yang hangat
sekali, yang menyelusup masuk sampai ke dalam dadanya.
Hawa hangat itu dalam bentuk
seperti bola dan berputar-putar, dan terus juga menuju ke perutnya, ke
Tan-tiannya.
Ko Tie memejamkan matanya.
Dengan adanya hawa hangat itu,
Ko Tie merasakan betapa tubuhnya jadi jauh lebih segar.
Sedangkan waktu itu si tabib
juga telah memejamkan matanya, dia mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga
dalamnya yang disalurkan lewat telapak tangannya.
Ternyata tabib ini memiliki
sin-kang yang luar biasa mahirnya. Jika seseorang yang sin-kangnya belum mahir,
tentu tidak akan dapat mengirimkan hawa murni dengan cara seperti itu.
Sedangkan waktu itu Ko Tie
semakin lama semakin segar. Namun bersamaan dengan dirasakannya rasa segar itu,
dia pun merasakan dadanya sakit sekali.
Dia membuka matanya, hendak
menanyakan sesuatu pada tabib itu, akan tetapi segera juga dia teringat kapada
pesan tabib itu yang melarang dia bicara.
Maka Ko Tie segera memejamkan
matanya lagi, dia telah menahan sakit itu, karena dia tahu bahwa tabib ini
memang bermaksud hendak menyembuhkannya.
Perasaan sakit itu semakin
lama semakin sakit, malah dia merasakan napasnya seperti tersumbat, karena
dadanya jadi sesak sekali.
Dan karena tidak kuat menahan
rasa sakit itu, Ko Tie hendak menanyakan sesuatu dia membuka mulutnya, buat
menyatakan kepada tabib itu bahwa dia menderita kesakitan yang hebat. Namun
begitu dia membuka mulutnya, seketika dia telah memuntahkan darah yang
kehitam-hitaman banyak sekali.
Si Tabib telah tersenyum.
“Berhasil.....!” katanya
kemudian.
Sedangkan Ko Tie telah pingsan
lagi tidak sadarkan diri, dia rebah dengan mata yang terpejamkan.
Sedangkan Ang Lotoa dan
kawan-kawannya ketika melihat keadaan Ko Tie seperti itu, jadi kaget tidak
terkira.
“Sin-se.....!” kata mereka
serentak dengan hati yang berkuatir sekali.
“Tidak apa-apa..... kalian
jangan gugup.....!” katanya kemudian.
Di waktu itu terlihat betapa
Ko Tie rebah dengan napasnya yang perlahan sekali, dadanya bergerak lemah, juga
mulutnya dilumuri oleh darah yang menghitam itu.
Si tabib dengan gesit telah
membuka kotak obatnya.
Memang dia tampaknya buta,
akan tetapi segalanya dilakukannya dengan cepat sekali. Dia telah mengambil
beberapa macam obat, lalu memberikannya kepada Ko Tie, dipaksa masuk ke dalam
mulutnya.
Dikala itu, Ko Tie telah
dipijit rahangnya, sehingga mulutnya terbuka dan obat itu tertelan.
Setelah meminumkan obat
tersebut, tabib ini kemudian berkata kepada Ang Lotoa dan penduduk kampung
lainnya.
“Kalian semua keluar dulu,
berikan kesempatan kepadanya buat bernapas dan memperoleh udara yang segar,
karena dia pengap sekali dengan kalian memenuhi kamar ini.....!”
Ang Lotoa mengiyakan, bersama
dengan kawan-kawannya mereka keluar.
Tampak si tabib menotoki lagi
beberapa jalan darah di tubuh Ko Tie.
Lewat beberapa saat, napas Ko
Tie lancar kembali dan juga mukanya telah memerah kembali.
Tabib itu berhenti sejenak,
dia menghela napas.
“Bakat yang sangat memuaskan,
tulang yang benar-benar sangat baik!” menggumam tabib itu dengan suara yang
perlahan.
Kemudian dia duduk mengasoh,
menyenderkan tubuhnya di dinding seakan tengah tertidur.
Hening sekali keadaan di dalam
kamar itu.
Ang Lotoa dan kawan-kawannya
jadi tegang sendirinya, telah lama mereka mendengarkan, dan hening terus.
Mereka kuatir kalau-kalau tabib itu gagal menolongi Ko Tie.
Tapi, ketika Ang Lotoa
beranikan diri buat mengintip ke dalam, dia melihat tabib itu tengah duduk
menyenderkan tubuhnya di dinding, seakan tengah tidur. Sedangkan Ko Tie tampak
rebah dengan pipi yang telah memerah sehat. Tampaknya juga seperti tengah
tertidur nyenyak.
“Dia..... dia sudah tidak pingsan.....
dia telah disembuhkan……!” kata Ang Lotoa memberitahukan kepada kawan-kawannya
dengan kegembiraan yang meluap.
Sedangkan kawan-kawannya juga
girang. Bergantian mereka telah silih berganti mengintip ke dalam kamar.
Dan di waktu itu juga terlihat
betapa mereka bermaksud untuk masuk ke dalam kamar.
Tapi Ang Lotoa telah mencegah.
“Ingat Sin-se itu belum lagi
memanggil kita……!” kata Ang Lotoa. “Kita tidak boleh terlalu ceroboh, karena
Sin-se itu tampaknya juga seorang tabib yang aneh, karenanya kita tidak bisa
sembarangan masuk ke dalam kamar……!”
Yang lainnya telah mengangguk.
Di waktu itu terlihat Ko Tie
perlahan-lahan telah menggerakkan pelupuk matanya, tampaknya dia telah sadar.
Dan juga, dia mengeluarkan suara keluhan, begitu matanya terbuka.
Dia telah memanggil:
“Locianpwe.....!”
Tajam sekali pendengaran tabib
itu, karena segera juga dia telah bangun berada di sisi pembaringan.
“Telah sehat?!” tanyanya.
Ko Tie mengangguk.
“Tadi aku telah mencoba
menyalurkan tenaga dalamku dan sin-kangku itu dapat disalurkan dengan
lancar.....!” kata Ko Tie sambil tersenyum.
“Bagus..... karenanya, di lain
waktu, engkau tidak perlu membawa sikap kepala besar.....!” kata tabib itu.
“Jika tidak, tentu siang-siang aku telah mengobati kau sembuh dari lukamu itu.....!”
Muka Ko Tie bertambah memerah,
dia tersenyum, tidak marah atau menjadi tidak senang oleh kata-kata tabib itu.
“Ya locianpwe, memang apa yang
dikatakan locianpwe benar..... maafkanlah kelakuan boanpwe.... karena boanpwe
kurang pengalaman dan pengetahuan.....!” kata Ko Tie.
Tabib itu mengangguk.
“Ya, urusan yang telah lalu
sudahlah....... bukankah sekarang aku berhasil mengobatimu?!”
Ko Tie mengangguk.
“Apakah sekarang aku sudah
boleh bangun, Locianpwe?!” tanya Ko Tie.
“Tunggu beberapa saat lagi
engkau masih perlu rebah dulu di situ. Nanti aku beritahukan jika memang engkau
telah boleh duduk buat menyalurkan tenaga dalammu.....!”
“Locianpwe.....!”
“Ya?!”
“Apakah boanpwe boleh
bertanya?!”
“Apa yang ingin kau
tanyakan?!”
“Jika memang boanpwe telah
disembuhkan, apakah kepandaian boanpwe tidak akan punah atau menjadi cacad?!”
tanya Ko Tie lagi sambil mengawasi tabib itu.
Tabib itu menggeleng.
“Sudah tentu tidak..... kau
telah sembuh keseluruhannya.....!” kata si Tabib.
Setelah berdiam sejenak, dia
berkata lagi: “Ada sesuatu yang hendak kuberitahukan kepadamu.....!”
“Apa itu locianpwe?!”
“Kau memiliki bakat dan tulang
yang sangat bagus..... karena itu, jika memang engkau berhasil melatih diri
dengan sebaik-baiknya, tentu engkau akan berhasil menguasai ilmu silatmu dengan
sempurna……!”
“Terima kasih locianpwe dan
boanpwe mengharapkan sekali petunjuk dari locianpwe!”
“Itu urusan nanti, jika engkau
telah sembuh barulah kita membicarakan lagi.....!” kata tabib tersebut.
Ko Tie mengangguk.
Dia memejamkan matanya lagi,
sedangkan tabib itu duduk di tepi pembaringan, dia menotok beberapa jalan darah
terpenting di tubuh Ko Tie dengan totokan yang diperhitungkan kekuatan tenaga
dalamnya, setiap totokan memiliki kekuatan lweekang tersendiri.
Sedangkan Ko Tie sendiri,
setiap kali ditotok dia merasakan betapa darahnya beredar lebih baik lagi,
napasnya lebih lurus dan lancar, membuat dia girang, karena pemuda ini
menyadarinya bahwa dia tengah diberikan bantuan tenaga dalam.
Jika kelak telah sembuh, dia tentu
bisa melatih lweekangnya lebih mudah, karena memang dia telah memperoleh
kekuatan lweekang yang diberikan oleh tabib itu dengan cara terselubung oleh
totokannya.
Sedangkan tabib itu terus juga
menotok sekujur tubuh Ko Tie, pada beberapa bagian jalan darahnya.
Siapakah tabib buta itu?
Tidak lain adalah Oey Yok Su.
Pada hari itu dia lewat di
kampung ini. Dia melihat rajawali yang besar itu. Tiauw-jie.
Seketika dia teringat kepada
Ko Tie, karena dia memang pernah mendengar bahwa Ko Tie memiliki hubungan yang
intim dengan Giok Hoa. Dengan demikian dia menduga Ko Tie niscaya dalam keadaan
terluka parah.
Dia segera dengan mudah
mengintai. Benar saja, Ko Tie dalam keadaan sekarat.
Kemudian dia menulis
pelakatnya dan pura-pura menjadi seorang tabib buta. Dia ingin mengetahui
apakah penduduk kampung itu menolongi Ko Tie dengan kesungguhan hati.
Dan ternyata memang semua
penduduk kampung itu bermaksud menolong Ko Tie dengan kesungguhan hati, membuat
Oey Yok Su jadi terharu sekali. Hatinya tergerak.
Sedangkan beberapa waktu yang
lalu, walaupun dia bermaksud menolongi Ko Tie, tapi dia pun sama seperti hendak
mempermainkan Ko Tie, yang akhirnya telah ditinggalkannya.
Maka sekarang, setelah melihat
kebaikan penduduk kampung yang begitu bersungguh-sungguh dan rela untuk
mengeluarkan uang mereka dalam jumlah yang tidak kecil, buat pembayaran biaya
pengobatan itu, hati Oey Yok Su tergerak dan diapun jadi bersikap lembut kepada
Ko Tie. Lenyap juga sifat ku-koaynya.
Di waktu itu tampak dia pun
telah berusaha menyalurkan sin-kangnya, untuk membantu Ko Tie agar kelak dapat
mengerahkan sin-kangnya dengan mudah.
Oey Yok Su pun telah berusaha
membuka beberapa bagian jalan darah terpenting di tubuh Ko Tie. Dan dia
bermaksud untuk menggembleng pemuda ini, karenanya bahwa pemuda ini selain
memiliki bakat yang sangat baik juga tulang yang bagus.
Sikapnya kali inipun terhadap
Ko Tie sangat benar, dia sama sekali tidak membawa sikap ku-koaynya.
Semua ini berlangsung dengan
cepat dan dia telah selesai menotok sebanyak seratusdelapan jalan darah di
tubuh si pemuda, dan juga dia telah mengurutinya beberapa kali.
Barulah kemudian Oey Yok Su
mengasoh lagi. Dia beristirahat beberapa saat lamanya, sampai akhirnya dia
telah menghela napas.
Ia teringat kepada Oey Yong,
puterinya, kepada mendiang isterinya, teringat juga kepada cucunya. Namun di
saat-saat hari tuanya seperti ini, dia bagaikan sebatang kara, karena dia hidup
sendiri, tidak memiliki isteri dan jauh dari anak.
Dengan begitu dia berkelana ke
mana ke dua kakinya membawanya, dia pergi ke tempat-tempat yang disenanginya.
Karena itu, walaupun usianya
telah lanjut benar, namun Oey Yok Su memang memiliki pengalaman yang luas
sekali. Dia telah mendatangi tempat-tempat yang terpencil sekalipun. Dia
melewati hari tuanya dengan berkelana ke sana ke mari.
Di waktu itu, Ko Tie
sesungguhnya beruntung sekali bertemu dengan Oey Yok Su. Sebab selain kebetulan
luka yang dideritanya bisa disembuhkan, diapun telah diberikan hawa murni dari
Oey Yok Su, dibantu juga dengan dibukanya beberapa jalan darah terpenting di
tubuhnya yang membantu banyak kepadanya buat melatih sin-kangnya kelak mencapai
kesempurnaan.
Sekarang kita kembali dulu
kepada Kam Lian Cu yang telah kita tinggalkan cukup lama.
Gadis itu rebah di dalam
keadaan lemah di dalam goa. Dia telah membuka matanya perlahan-lahan. Yang
dirasakannya pada waktu itu adalah tubuhnya yang sangat lemah sekali.
Dia mengeluh.
Tapi kemudian Kam Lian Cu
tercekat hatinya, dia teringat apa yang telah terjadi.
Dia menjerit keras ketika dia
menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya dalam keadaan telanjang tanpa ada
penutupnya, tak sehelai benangpun menempel di tubuhnya.
Bagaikan sinting, dia telah
menjerit-jerit, menjambaki rambutnya dan menangis sejadi-jadinya. Apa yang
telah dilihatnya merupakan kenyataan yang benar-benar sangat pahit, karena
segalanya telah terjadi.
Dengan mata jelalatan liar dia
memandang sekeliling goa itu. Dia tidak melihat Kim Go. Juga dia tidak melihat
Bun Siang Cuan.
Hanya dilihatnya, di atas
tanah dalam goa itu, pakaiannya yang berserakan di sana-sini. Dengan tangis
terisak-isak dia mengambili pakaiannya dan mengenakan kembali.
Sebetulnya, setelah mengetahui
segala apa telah terjadi dengan kera bulu kuning itu, Kam Lian Cu bermaksud
membunuh diri, menghabisi jiwanya.
Dengan sekali menabaskan
pedangnya, yang menggeletak di luar goa itu, tentu dia bisa menghabisi jiwanya
sendiri. Namun ketika dia mengambil pedang itu dan menghunusnya, tiba-tiba
terpikir sesuatu olehnya.
Jika memang dia membunuh diri,
niscaya sakit hatinya yang sedalam lautan ini tidak akan dapat dibalas.
Juga dia tidak mungkin akan
dapat membunuh kera bulu kuning itu, yang telah menjerumuskan dirinya, demikian
juga Bun Siang Cuan.
Karenanya pedang yang telah
terhunus itu akhirnya dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Gadis ini menangis
terisak-isak menyedihkan sekali. Hatinya hancur sekali. Betapa dia membahayakan
dirinya telah melakukan hubungan bathin dengan seekor kera!
Dan urusan ini jika tersiar di
dalam rimba persilatan, akan ditaruh dimana mukanya?
Tangis Kam Lian Cu terus juga
tidak berhenti sampai lama sekali. Dia kaget ketika tiba-tiba ada sesosok
bayangan di mulut goa diiringi tertawa yang dikenalnya dan dibencinya sekali.
“Mengapa harus menangis?
Apakah engkau menyesal menjadi mantuku?!” suara Bun Siang Cuan dingin sekali,
seperti juga mengejek si gadis.
Kam Lian Cu menoleh dengan
mata yang liar. Tiba-tiba dengan diiringi suara bentakan bengis dan mengandung
kekecewaan serta kebencian yang sangat, Kam Lian Cu telah menghunus pedangnya,
yang dipergunakan buat menikam kepada perut Bun Siang Cuan.
Kepandaian Kam Lian Cu memang
masih beberapa tingkat di bawah kepandaian Bun Siang Cuan. Karena itu, mana
mungkin dia bisa berhasil dengan serangannya itu, walaupun telah melakukannya
dengan sekuat tenaga dan secepat kilat.
Pedangnya itu meluncur dengan
cepat sekali, tapi menikam tempat kosong, karena Bun Siang Cuan telah berkelit
ke belakang beberapa tombak jauhnya.
“Bangsat keparat, akan kubunuh
kau!” teriak Kam Lian Cu dengan suara yang mengandung kebencian yang
meluap-luap.
Dia menyerbu keluar goa itu.
Bun Siang Cuan tertawa dingin.
“Kau ingin membunuhku?
Bisakah?” tanyanya dengan mengejek dan dia mengelak.
Begitu gesit gerakan dari Bun
Siang Cuan, sehingga tahu-tahu dia seperti telah lenyap dari hadapan Kam Lian
Cu.
Kam Lian Cu menangis
terisak-isak dan mengawasi sekelilingnya mencari kakek tua yang telah
menjerumuskannya itu.
“Sebagai seorang mantu tidak
boleh berlaku dan bersikap kurang ajar kepada mertuanya!” terdengar lagi suara
dari Bun Siang Cuan yang dingin dari belakangnya.