Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 08

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 08
 
Anak rajawali Jilid 08
Tabib tersebut pun rupanya menyadari bahwa Yo Him bukan seorang pemuda yang bisa dipermainkannya. Segera ia mengobati Hok An.

Waktu ia mengobati luka-luka Hok An, berulang kali ia menggumam, seperti juga ia merasa kesal sekali. Dan juga luka-luka yang diderita oleh Hok An menjengkelkan dia juga, sebab itulah luka yang sangat parah sekali. Beberapa macam obat telah dipergunakannya, sampai akhirnya.

“Selesai, kawanmu ini tentu bisa sembuh secepatnya!”

“Hemm, kami akan tinggal di sini beberapa waktu, sampai kawanku itu sembuh! Uang itu boleh kau ambil!” kata Yo Him.

“Apa? Kalian akan tinggal di rumahku ini?!” tanyanya tambah tidak senang.

“Bukankah kami telah membayarnya dengan harga yang tinggi sekali biaya pengobatan itu?!” balik tanya Yo Him. “Dan juga aku menginginkan bukti. Jika memang kawanku ini berangsur sembuh, kami akan meninggalkan tempat ini secepatnya. Tetapi jika tidak, hemmm, hemmm, tentu saja uang itu akan kuambil kembali!”

“Mana ada aturan seperti itu!” teriak tabib itu mendongkol.

“Ya, itulah aturanku!” menyahuti Yo Him sambil tertawa tawar, kemudian tanpa memperdulikan tabib itu yang menggumam mendongkol, ia telah meninggalkannya. Yo Him keluar untuk bercakap-cakap dengan Sasana dan Giok Hoa.

Melihat Yo Him keluar, Giok Hoa menanyakan keadaan paman Hok nya. Dan Yo Him menghiburnya agar gadis cilik itu bersikap tenang.

Sedangkan Sasana menghela napas berulang kali.

“Yo Him, apakah memang tabib itu bisa diandalkan buat menyembuhkan luka dari paman Hok itu?!” tanya Sasana kemudian kepada suaminya.

Yo Him mengangguk, katanya: “Kita lihat saja, mudah-mudahan saja obatnya memang manjur dan mujarab!”

Begitulah, mereka kemudian membicarakan hal-hal yang lainnya. Sampai akhirnya, setelah lewat sekian lama, Yo Him masuk untuk melihat keadaan Hok An.

Ketika ia memasuki ruang dalam, dilihatnya tabib itu tengah duduk di belakang mejanya sambil menumbuk perlahan-lahan pemukul lumpang kecilnya, buat meramu obat.

Ketika melihat Yo Him masuk tabib itu hanya melirik saja tanpa menegurnya, kemudian asyik dengan pekerjaannya. Rupanya dia masih mendongkol.

Sedangkan Yo Him juga tidak memperdulikan sikap tabib itu, dia telah menuju ke pembaringan kecil di mana Hok An berada. Memang Hok An sudah tidak menggumam, ia telah telah tertidur nyenyak sekali.

Girang hati Yo Him melihat keadaan Hok An seperti itu. Namun ia berusaha tidak memperlihatkan perasaan girangnya di hadapan tabib itu. Dia melangkah keluar meninggalkan tabib itu, dan memberitahukan berita gembira itu kepada Giok Hoa dan Sasana, betapa Hok An tampaknya memang akan memperoleh kesembuhannya, karena rupanya obat tabib itu cukup mujarab.

Girang Giok Hoa mendengar perihal keadaan paman Hok tersebut, dia meminta ijin kepada Yo Him dan Sasana, agar ia diperbolehkan masuk melihat keadaan paman Hoknya. Dan setelah melihat keadaan Hok An yang waktu itu masih tertidur, dia keluar dengan wajah berseri-seri gembira. “Mudah-mudahan paman Hok dapat tertolong jiwanya!” katanya.

Yo Him dan Sasana hanya tersenyum dan mengangguk saja melihat kegembiraan gadis cilik tersebut.

Malam telah datang, dan keadaan Hok An memang lebih baik dibandingkan dengan keadaannya beberapa saat yang lalu. Dan di waktu itu juga memang Yo Him telah berusaha memeriksa keadaan lukanya, dengan teliti sekali, karena biarpun bagaimana dia masih meragukan kemujaraban obat si tabib.

Luka-luka di jari-jari tangan Hok An mulai mengering. Hanya yang membuat Yo Him tidak mengerti, semua ujung jari Hok An membengkak besar sekali.

Kelainan seperti itu membuat Yo Him jadi berpikir keras dan berkuatir. Cuma saja kekuatirannya itu tidak diutarakan di hadapan Sasana maupun Giok Hoa. Dia telah menghampiri si tabib ketika Giok Hoa dan Sasana keluar.

“Sin-se, bagaimana keadaan kawanku itu?” tanya Yo Him kemudian pada tabib itu.

Tabib tersebut masih juga sibuk meramu obat-obatan, ia berhenti dengan pemukul lumpangnya dan menoleh kepada Yo Him dengan lirikan mata yang licik sekali. Lama ia bersikap seperti itu, bagaikan tengah berpikir, sampai akhirnya dia tertawa-tawa, tanyanya,

“Kau melihatnya keadaan kawanmu itu bagaimana?!”

“Menguatirkan!” menyahuti Yo Him.

“Menguatirkan?!” si tabib tersentak. “Bukankah keadaannya sudah jauh lebih baik di bandingkan dengan keadaannya di waktu lalu? Dan juga, dia telah dapat tidur dengan nyenyak. Mengapa kau mengatakan keadaannya justeru menguatirkan?”

Dan sambil berkata begitu, tabib she Ho tersebut telah bangkit dari duduknya, dia melongok ke arah pembaringan kayu itu melihat keadaan Hok An, kemudian katanya:

“Lihatlah, betapa ia masih tidur nyenyak. Ini menunjukkan bahwa perasaan sakit yang semula sangat menyiksanya, telah berkurang banyak, membuat ia bisa tidur.....!”

“Tetapi pada ujung-ujung jari tangannya itu.....!” kata Yo Him sambil mengerutkan alisnya.

Tabib itu mengawasi ke arah jari-jari tangan Hok An, sepasang alisnya naik dan kemudian mulutnya menggumam perlahan, mukanya berobah agak memucat.

“Ini..... ini..... mengapa jari-jari tangannya bisa membengkak seperti itu?!” menggumam tabib itu kemudian dan ia telah menghampiri lebih dekat untuk memeriksa keadaan jari-jari tangan Hok An, tampaknya dia jadi sibuk sekali.

Ternyata ujung jari-jari tangan Hok An memang membengkak sangat besar, keadaannya sangat mengerikan, karena kulit ujung jari tangan itu yang membengkak seperti jadi tipis sekali.

“Ini..... ini tentu disebabkan dia terluka terkena racun..... Jika tidak, tidak akan membengkak seperti itu!” kata tabib itu kemudian.

“Aku sendiri tidak mengetahui, karena aku telah membayar kau! Sebagai tabib, justeru merupakan pekerjaanmu buat menyembuhkan kawanku itu! Jika terjadi sesuatu padanya, maka engkau harus bertanggung jawab.....!” Dingin sekali suara Yo Him.

Sedangkan tabib itu jadi panik sendirinya, dia jadi begitu sibuk, sampai akhirnya dia telah menghampiri lemari obatnya dan memilih beberapa macam obat.

Yo Him sendiri jadi ragu-ragu. Dia segera menghampiri tabib tersebut, katanya: “Kau jangan sembarangan mempergunakan obatmu itu! Karena tadi sebelum engkau mempergunakan obatmu itu, keadaan ujung jari-jari tangannya tidak membengkak seperti itu.

“Setelah kau mengobatinya, bukannya jadi baik, tetapi sekarang justeru membengkak besar! Nah, apa lagi yang ingin kau lakukan? Obat apa yang hendak dipergunakan itu?!”

Tabib itu memang tidak bisa menyembunyikan perasaan paniknya, karena mukanya agak pucat dan tampak agak gugup. Malah waktu menyahuti pertanyaan Yo Him, kegugupannya itu tidak juga berkurang.

“Aku..... aku akan memakaikan obat penawar racun! Dengan dikenakan obat ini pada ujung-ujung jari tangannya, tentu lukanya itu akan mengempis kembali!”

“Benarkah itu? Kau berani menjaminnya?” tanya Yo Him menegasi.

Tabib itu ragu-ragu sebelum menyahuti, sampai akhirnya ia mengangguk.

“Ya, mudah-mudahan ia akan sembuh dan bengkak-bengkak pada ujung-ujung jari tangannya itu akan mengempis kembali......!”

Yo Him tambah ragu-ragu.

“Ramuan obat itu kau buat dari bahan-bahan apa saja?” tanya Yo Him kemudian sambil melirik botol obat yang masih tercekal di tangan tabib tersebut.

“Aku..... aku membuatnya..... oooh, bagaimana mungkin aku bisa memberitahukan resep obat ini kepadamu. Ini merupakan rahasia resep turunanku..... tidak bisa kau mendengarnya!”

Yo Him mencekal lengan tabib itu, kemudian katanya decgan suara yang tegas: “Katakan bahan obat itu terdiri dari ramuan apa saja?”

“Ini..... ini dibuat dari bisa ular, kalajengking dan bisa landak,” kata tabib tersebut kemudian, “Dicampur dengan nyalinya harimau, dan juga hatinya burung merak!”

Menyahuti begitu, muka tabib itu kemudian memperlihatkan perasaan tidak senang, karena dia pun melanjutkan pula perkataannya: “Kau..... kau telah mendengar ramuan obat ini, tentu engkau telah berhasil memiliki salah satu resep obatku! Celaka sungguh! Celaka sungguh, sudah engkau tidak menghormati diriku, malah engkau memancing resep obatku itu.......”

Sambil berkata begitu, tabib ini membanting-banting kakinya, sedangkan Yo Him kembali memandang kepada Hok An dengan hati yang agak berdebar. Ia mencurigai tabib ini tidak memiliki keahlian apa-apa dan hanya menduga-duga saja mengenai obat yang akan dipakainya.

Memang Yo Him yakin, jika hanya mengobati luka biasa saja, tentu tabib itu bisa melakukannya dan menyembuhkannya. Tetapi luka yang diderita oleh Hok An bukanlah luka sembarangan yang harus memperoleh pengobatan yang khusus. Sedangkan obat milik Yo Him yang terbuat dari ramuan bahan-bahannya Soat-lian dan beberapa macam bahan lainnya yang langka dan mahal harganya, masih tidak memberikan hasil apa-apa, terlebih lagi jika obat tabib itu dibuat dari bahan ramuan biasa saja.

Yang menguatirkan Yo Him justeru obat yang akan dipergunakan tabib tersebut terdiri dari racun-racun binatang berbisa, terutama sekali luka yang hendak diobati itu adalah luka di luar kulit. Jika obat yang terdiri dari ramuan racun binatang berbisa itu ditaburkannya pada luka tersebut, pasti luka itu akan keracunan. Ketidak yakinannya Yo Him membuat dia masih memegang keras-keras lengan tabib tersebut.

“Lepaskan tanganku, bukankah engkau menghendaki agar aku segera dapat mengobati kawanmu itu?!” bentak tabib itu tidak senang, dengan suara mengandung berang.

Sedangkan Yo Him telah mengawasi tabib ini dengan mata tajam sekali dan ragu-ragu, kemudian setelah berpikir sejenak, barulah dia bilang: “Ho Sin-se aku bukan meragukan kepandaianmu, tetapi engkau harus bicara terus terang! Sesungguhnya, engkau sanggup mengobati luka-luka kawanku ini atau tidak?

“Ingat, engkau harus bicara terus terang, jika memang engkau sanggup buat mengobatinya, maka kau obatlah! Tetapi jika engkau merasa tidak sanggup mengobatinya dan ragu-ragu untuk berhasil dengan pengobatanmu itu, jangan kau coba-coba dengan obat sembarangan, karena jika kawanku itu mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, jiwamu sebagai tanggungannya!”

Tabib itu jadi berjingkrak.

“Oh, kau terlalu menghinaku! Seluruh penduduk kampung ini telah menganggapku sebagai tabib dewa, bagaimana engkau sendiri begini kurang ajar berani meremehkan kepandaian ilmu pengobatanku!

“Tidak mudah untuk seorang penduduk kampung bisa memperoleh pertolonganku untuk mengobati berbagai macam penyakit mereka. Jika memang mereka tidak memiliki sejumlah uang yang kuminta!

“Hmm sudahlah! Sudahlah! Jika memang engkau tidak mempercayaiku, dan juga tidak yakin kawanmu itu dapat kusembuhkan lukanya, pergilah kau bawa kawanmu itu..... Janganlah engkau mengancamku!”

Yo Him tertawa dingin,

“Jadi engkau memang sanggup buat mengobati kawanku itu?” menegasi Yo Him.

Tetapi ditegasi seperti itu, kembali tabib tersebut ragu-ragu, akhirnya ia bilang: “Sudahlah aku akan kembalikan uangmu, cepat kau angkat dan bawa pergi kawanmu itu!”

Yo Him tertawa dingin.

“Enak sekali bicaramu itu..... tadinya jika memang engkau tidak sanggup mengobati luka kawanku itu, engkau harus bicarakan terus terang. Janganlah engkau terlalu mengulur-ngulur waktu dan pura-pura sebagai tabib pandai, dan berani mempermainkan jiwa kawanku itu!

“Hemm, sekarang saja lihat, itu sudah sebagai buktinya, betapa ujung-ujung jari tangannya dan juga pipinya telah membengkak begitu besar.....! Sekarang seenakmu saja engkau meminta agar aku membawa pergi kawanku itu!

“Bagus! Bagus! Bagus! Sebelum aku pergi membawa kawanku itu, aku akan membunuhmu! Aku mau lihat. Apakah sebagai Tabib Dewa engkau bisa menyelamatkan jiwamu sendiri......!”

Muka tabib itu jadi pucat pias, tubuhnya gemetar ketakutan, Walaupun dia mendongkol dan marah, namun dia tidak berani mengumbar kemarahan hatinya. Dia bilang: “Kau..... kau mengancamku?”

“Bukan mengancam kau..... tetapi akan kubuktikan.....!” menyahuti Yo Him dengan suara yang dingin, dan telah mengerahkan tenaga dalamnya, mencengkeram lebih kuat pada lengan tabib itu, sehingga tabib itu merasakan lengannya seperti dicengkeram oleh jari-jari tangan yang terdiri dari besi jepitan. Dengan demikian membuat dia merasakan tulangnya seakan ingin diremas hancur!

“Aduh, aduhhhh, aduhhhhh……!” teriak tabib itu berulang kali. “Jangan kau persakiti diriku! Jangan kau sakiti aku!”

Tetapi Yo Him tidak mau membiarkan tabib itu menjerit-jerit terus seperti itu. Dia telah memijit lebih keras lagi, sehingga tabib tersebut telah bungkam, karena terlalu kesakitan yang tidak tertahankan. Dia jatuh pingsan.

Yo Him sendiri merasa gelisah sekali di dalam hatinya karena walaupun ia mengerti ilmu pengobatan sedikit-sedikit, namun tidak mengetahui sampai ke dasarnya ilmu pengobatan. Tentang tabib ini juga ia meragukan kejujurannya. Karenanya ia bermaksud hendak memaksa tabib itu agar bicara sejujurnya.

Setelah tabib tersebut tersadar dari pingsannya, Yo Him telah bilang dengan suara yang dingin: “Hemm, lebih baik kau bicara terus terang..... Sesungguhnya engkau memahami betul ilmu pengobatan atau memang tidak?”

Tabib itu masih kesakitan juga ketakutan akan disiksa Yo Him Iebih jauh.

“Jangan sakiti aku! Jangan sakiti aku! Jangan menyiksaku..... ohh, akan kuadukan pada yang berwajib.....!” teriak tabib itu.

Tetapi Yo Him tak menghiraukan.

“Jangan harap engkau bisa terlepas dari tanganku! Juga engkau jangan harapkan ada orang yang bisa menolongi dirimu! Jika engkau tidak mau bicara yang jujur maka biarlah aku akan membinasakan kau!”

“Aku..... aku bicara jujur, aku tidak pernah mendustai!” teriak tabib itu tambah ketakutan. “Ohh, jangan kau bunuh aku! Jangan..... Memang apa salahku?”

Yo Him tertawa mengejek.

“Engkau telah mendustai aku! Kau sesungguhnya kurang ahli dalam ilmu pengobatan, tetapi engkau pura-pura pandai! Hemm, dan juga terhadap luka kawanku itu sebetulnya engkau tidak begitu mengetahui dengan pasti apakah dapat mengobatinya atau tidak, namun engkau, telah coba-coba. Namun sikapmu yang angkuh itu menyebabkan engkau tidak mau menanyakan sesungguhnya kawanku itu terluka oleh sebab apa......!”

Tabib itu jadi menunduk dengan wajah yang pucat kemudian dengan suara yang perlahan tersendat dia bilang: “Baiklah, baiklah aku akan bicara dari hal yang sebenarnya...... tetapi kau harus berjanji tidak akan membunuhku!”

Yo Him mengangguk,

“Itu lebih baik lagi! Engkau memang harus bicara sejujur mungkin! Itulah yang kuinginkan, karena jika memang aku mengetahui engkau tidak sanggup mengobati luka dan keadaan kawanku itu, aku bisa mencari tabib lain. Dengan demikian engkau tidak perlu mempermainkan jiwa dan keselamatan kawanku!”

“Baik! Baik! Aku akan bicara sejujurnya! Sesungguhnya aku..... aku hanya mengerti sedikit ilmu pengobatan terhadap penyakit-penyakit umum, sebenarnya..... sebenarnya luka yang diderita oleh kawanmu itu terlalu parah, aku tidak bisa mengobatinya..... aku tidak sanggup untuk menyembuhkannya!

“Hanya saja disebabkan aku takut padamu, kuatir bahwa engkau menduga aku tidak mau mengobati kawanmu itu, sehingga engkau menyiksaku, aku telah mencobanya mengobati kawanmu dengan beberapa macam obat. Dan siapa tahu, lukanya itu justeru semakin parah dan jari-jari tangannya, serta mukanya telah membengkak.”

“Lalu mengapa kawanku itu tidak merintih kesakitan lagi dan bisa tertidur nyenyak?” tanya Yo Him masih diliputi tanda tanya dan heran.

“Tadi aku telah memberikan obat penawar sakit, agar sakitnya berkurang, karena itu dia tampaknya tidak menderita sakit lagi. Sesungguhnya..... ooooh, aku tidak menyangka bahwa obatku bisa memiliki reaksi seperti ini, di mana lukanya itu jadi semakin membengkak.”

Yo Him melepaskan cekalannya, segera ia memeriksa keadaan Hok An. Bengkak pada ke sepuluh jari tangan Hok An masih besar dan juga berair. Tampaknya luka pada ujung jari tangan Hok An kian parah juga.

Melihat keadaan Hok An seperti itu, bukan main berkuatirnya Yo Him. Dia menoleh kepada tabib itu, yang juga berdiri dengan muka yang pucat.

“Bagaimana mengobatinya.....?!” tanya Yo Him kemudian. “Apakah engkau tidak memiliki cara lain untuk mengempiskan bengkak pada ke sepuluh jari tangannya dan mukanya itu?”

Tabib itu tidak menyahuti. dia telah memandangi pada jari-jari tangan Hok An, kemudian menghela napas dengan bingung.

“Aku sendiri tidak memiliki obat yang bisa menyembuhkan lukanya itu...... Aku benar-benar heran, mengapa lukanya itu bisa membengkak begitu besar dan obatku malah membuat jari-jari tangannya itu jadi membengkak seperti itu?!”

Kemudian tabib tersebut mengawasi botol obatnya, tanyanya: “Bagaimana jika kucoba dengan obat ini. Siapa tahu aku bisa memperkecil bengkak pada ke sepuluh jari tangannya itu? Bukankah ini lebih baik, dari pada kita berdiam diri saja membiarkan bengkaknya yang kini telah berair seperti itu?!”

Yo Him tambah ragu-ragu, katanya: “Jika ini..... jika ini..... hemmm, aku tidak berani mencoba-coba, karena siapa tahu obatmu itu malah membawa akibat yang jauh lebih hebat lagi!?”

Di waktu itu tabib tersebut jadi salah tingkah, gugup sekali, malah dia telah bilang: “Aku..... aku tidak berani memastikan tetapi..... jika memang kita mencobanya dulu, tokh tidak ada salahnya, karena ramuan obat ini memang unuk memunahkan racun, dengan cara racun dilawan dengan racun pula.....”

Yo Him menghela napas dalam-dalam. “Aku sesungguhnya mencari tabib yang pandai untuk mengobati luka kawanku ini. Tidak kusangka justeru bertemu dengan kau, yang seenaknya saja mencoba segala obatmu yang belum lagi diketahui khasiatnya.....! Lihatlah akibatnya..... kawanku ini semacam terancam jiwanya!”

Waktu itu tabib tersebut telah menghela napas beberapa kali, tampaknya dia sangat ketakutan. Tetapi akhirnya dia berkata: “Sesungguhnya..... sesungguhnya aku ingin memberitahukan seseorang kepadamu..... dia..... dia pasti akan dapat memyembuhkan luka kawanmu ini.”

Mendengar perkataan tabib itu, Yo Him terlompat, kemudian katanya: “Siapa orang itu? Cepat katakan! Apakah orang itu memang dapat mengobati luka-luka yang berat?”

Tabib itu menghela napas dalam-dalam, dia murung dan gugup sekali, katanya: “Sesungguhnya..... kepandaian orang itu puluhan kali lipat lebih pandai dari diriku..... dia benar-benar seorang tabib yang pandai, tentu ia akan dapat mengobati luka kawanmu ini...... Tetapi......”

“Cepat katakan, siapa orang itu? Apakah dia tinggal di kampung ini juga?” tanya Yo Him.

Tabib itu menggeleng.

“Tidak..... dia tidak tinggal diam di kampung ini, melainkan terpisah belasan lie, hanya dalam satu jam kita sudah bisa mencapai tempatnya. Hanya saja orang itu sangat aneh sekali, belum tentu dia mau menolongi kawanmu ini......!”

“Cukup kau beritahukan kepadaku di mana tinggalnya orang ini dan siapa orang itu sebenarnya?” kata Yo Him, timbul harapan baru di hatinya.

Tabib itu ragu-ragu lagi, kemudian baru berkata: “Dia tidak dikenal oleh penduduk ini, tidak seorangpun penduduk di kampung ini mengetahui namanya, begitu juga halnya denganku. Telah lima tahun lebih orang itu menetap di tempatnya tersebut. Sebelumnya entah dia datang dari mana.

“Dan selama itu cukup banyak juga orang yang disembuhkannya. Umumnya penyakit dari orang-orang yang datang mencarinya adalah penyakit-penyakit yang berat dan parah, juga terdiri dari orang-orang rimba persilatan.....!”

“Jadi..... jadi siapa tabib itu?!” tanya Yo Him semakin tidak sabar. “Ayo cepat kau antarkan kami kepadanya?!”

“Tunggu dulu!” kata Ho Sin-se itu. “Dia orang yang aneh sekali..... perangainya sulit di terka, dan juga dia akan mau menolongi seseorang begitu saja!”

Dan setelah berkata begitu, Ho Sin-se berkata lagi diiringi helaan napasnya, “Sesungguhnya, sebelum kedatangannya itu di tempat ini, aku bersedia mengobati setiap orang yang membutuhkan pertolonganku. Memang kuakui, aku hanya mengerti kulit ilmu pengobatan.

“Tetapi suatu hari kami bertemu, dia telah menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadaku, yaitu ilmu pengobatan untuk luka di dalam. Namun selanjutnya, ia memberikan syarat-syarat kepadaku. Setiap orang yang hendak berobat kepadaku, harus dimintai biaya pengobatan yang tinggi sekali.... dan aku tidak bisa menolak syaratnya itu......!”

“Jadi semua yang kau lakukan ini adalah atas perintahnya?!” tanya Yo Him.

Ho Sin-se mengangguk, kemudian katanya, “Benar, dan juga ia telah melarang aku menceritakan apa yang telah kualami kepada siapapun juga, namun..... aku..... aku merasa bersalah.... kukira..... orang itu tentu dapat mengobati luka kawanmu ini..... karena aku mengetahui benar bahwa dia memiliki ilmu pengobatan yang tinggi sekali!”

Setelah berkata begitu, Ho Sin-se menoleh kepada Hok An yang masih rebah di pembaringan kayu dalam keadaan tertidur, sedangkan waktu itu terlihat bahwa Yo Him sudah tidak sabar, dia mencekal tangan tabib itu, menggoncang-goncangkannya, katanya:

“Katakanlah di mana tempat berdiamnya orang itu? Dan kuharap engkau mau mengantar kami ke tempat kediamannya itu!”

Tabib she Ho tersebut terdiam sejenak.

“Waktu itu.....!” katanya setelah lewat beberapa saat. “Aku kebetulan tengah mencari akar-akar pohon untuk ramuan obat, siapa sangka, aku menyaksikan pengobatan dengan cara yang aneh sekali dilakukan orang itu. Dua orang yang dalam keadaan terluka parah, yang keadaannya sudah seperti mayat saja dan boleh dibilang sudah tidak ada harapan untuk tertolong hidup lagi, tengah diobatinya.....

“Dia bekerja cepat sekali. Obat-obatnya juga sangat istimewa..... dan aku telah kepergok olehnya. Memang semula dia marah, dan hendak membunuhku, namun setelah kujelaskan bahwa aku kebetulan saja berada di tempat itu dan juga tengah mencari akar-akar pohon untuk ramuan obatku, diapun tidak marah pula.

“Malah telah menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadaku. Itulah pertemuanku yang pertama kali dengannya. Dan aku sempat tinggal bersamanya lima hari, aku sempat menyaksikan ke dua orang yang semula keadaannya begitu parah dan hampir tidak mirip sebagai manusia lagi dan aku sendiri yakin orang itu pasti akan mati, ternyata sembuh di tangannya.

“Ke dua orang itu malah meninggalkan tempat dalam keadaan sehat kembali..... Itulah suatu peristiwa yang menakjubkan sekali, dan aku menyadari bahwa orang itu merupakan tabib yang pandai sekali, aku sangat mengaguminya......!”

“Sudahlah, engkau tidak perlu banyak bercerita lagi. Kau harus segera mengantarkan aku kepadanya?!” kata Yo Him.

“Namun orang itu sangat aneh sekali, belum tentu dia bersedia menolongi kawanmu itu?” kata Ho Sin-se.

“Itu urusanku..... biarlah nanti aku yang bicara dengannya.....!” kata Yo Him.

Ho Sin-se menghela napas dalam-dalam, kemudian katanya: “Aku mengungkapkan semua ini juga karena aku merasa bersalah telah menyebabkan kawanmu itu bukannya sembuh malah semakin parah juga lukanya..... Baiklah aku akan mengantarkan kalian kepadanya.

“Tetapi ingat, aku hanya akan menunjukkan tempat kediamannya, namun aku akan segera berlalu..... Nanti terserah nasib dan keberuntungan kawanmu itu, apakah orang itu bersedia menolongnya atau tidak?”

Yo Him mengangguk tidak sabar, segera juga dia menggendong Hok An. Sedangkan Ho Sin-se setelah menyimpan botol obatnya, mengikuti Yo Him keluar. Dan dia mengajak Yo Him ke arah utara dari perkampungan tersebut.

Sasana waktu melihat Yo Him muncul dari dalam rumah dengan menggendong Hok An jadi memandang heran, segera Yo Him menjelaskan kepadanya dengan singkat. Begitulah, mereka telah mengikuti si tabib she Ho untuk menemui orang yang memang benar-benar pandai ilmu pengobatannya.

Yo Him juga ingin menduga, tentunya orang yang dimaksudkan oleh Ho Sin-se merupakan seorang yang memiliki keahlian ilmu pengobatan yang tinggi, dengan demikian ia tentu akan dapat menolongi Hok An. Jika orang itu berada di tempatnya yang sepi di kaki gunung ini justeru karena dia ingin menyendiri atau mengasingkan diri.

Setelah berjalan belasan lie, akhirnya tibalah mereka di mulut sebuah lembah.

“Orang yang kumaksudkan itu tinggal di dalam lembah itu.....!” menunjuk Ho Sin-se ke dalam lembah.

Yo Him mengangguk mengerti, dengan langkah lebar ia memasuki lembah itu bersama Sasana dan Giok Hoa yang mengikuti di belakangnya.

Tetapi tabib she Ho yang ingin memutar tubuhnya buat kembali ke rumahnya, tiba-tiba menjerit kaget, tubuhnya gemetar keras.

Yo Him yang mendengar jeritan Ho Sin-se cepat sekali melompat, ke dekatnya.

“Kenapa?!” tanya Yo Him sambil memperhatikan sekelilingnya, tidak satu apapun juga juga dilihatnya, selain tempat yang sunyi dan sepi itu.

Muka Ho Sin-se pucat pias, tubuhnya menggigil, dia menunjuk ke arah semak belukar. Yo Him memandang ke arah yang ditunjuk Ho Sin-se, barulah dia melihat sesosok tubuh menggeletak di balik semak belukar dengan berlumuran darah, telah mengejang kaku dan tidak bernapas.

“Mayat?” mengeluh Ho Sin-se dengan suara tertahan.

Sasana dan Giok Hoa tiba di situ. Sedangkan Giok Hoa waktu melihat mayat itu menjerit ketakutan, telah memeluk Sasana.

Sasana segera menghiburnya, dan memperhatikan keadaan mayat tersebut, yang tidak lain mayat dari seorang lelaki berpakaian sederhana, dan rambutnya yang tergulung itu memberikan kesan dia seorang yang cukup rapi. Hanya saja pada bagian lehernya terkuak luka yang cukup besar, darah menyembur dari situ. Rupanya lehernya itu terkena serangan senjata tajam, menyebabkan ia putus napas dan meninggal dengan sepasang mata mendelik.

“Lihatlah..... tempat ini agak mengerikan!” kata Ho Sin-se setelah dia berhasil mengendalikan dirinya lagi.

Yo Him menghampiri mayat itu lebih dekat memperhatikan dan memeriksa keadaan mayat tersebut, sampai akhirnya ia menghela napas.

“Luka yang tidak terlalu dalam, tetapi melihat cara menyambarnya senjata tajam yang telah membuat leher itu tergorok seperti ini, tentunya orang yang membunuhnya memiliki kepandaian yang tinggi. Mari kita masuk ke dalam lembah itu, tentu di dalam lembah itu tengah terjadi sesuatu!”

Setelah berkata begitu, Yo Him melompat berdiri sambil menoleh kepada Ho Sin-se katanya: “Dan kau juga ikut bersama kami......”

“Ohh..... tidak...... tidak, bukankah tadi telah kukatakan bahwa aku hanya akan menunjukkan tempat ini dan segera akan pulang kembali, membiarkan kalian sendiri menemui orang itu?”

“Tetapi engkau harus ikut bersama kami!” kata Yo Him dengan sikap pasti, tidak ada tawar menawar lagi. “Atau memang perlu kami yang memaksa engkau untuk masuk ke dalam lembah itu?!”

Sin-se itu mengetahui bahwa Yo Him tidak bicara main-main dan juga akan membuktikan ancaman, yaitu menyeretnya ke dalam lembah itu.

Karenanya Ho Sin-se akhirnya dengan sikap takut-takut telah mengangguk: “Baiklah..... aku akan ikut bersama kalian.....” Waktu dia mengatakan begitu, terlihat jelas ia sangat terpaksa dan ketakutan sekali.

Tampak Yo Him dengan bergegas menggendong Hok An memasuki lembah tersebut, diikuti Sasana, Giok Hoa dan Sin-se itu, dan juga, ia telah berjalan dengan langkah yang lebar, karena Yo Him sudah tidak sabar ingin bertemu dengan orang yang menurut Ho Sin-se memiliki ilmu pengobatan yang tinggi.

Di tengah udara terbang Tiauw-jie sambil sekali-kali memperdengarkan suara pekiknya yang perlahan dan panjang. Rupanya burung rajawali putih itu mengetahui keadaan Hok An yang kian parah, membuat burung itu ikut bersedih.

Lembah itu merupakan lembah yang tidak begitu luas, di pinggir kiri kanannya berdiri lamping gunung yang tinggi. Dan di sudut kanannya terbentang sebuah jurang yang cukup dalam, yang tertutup oleh semak belukar yang lebat sekali. Berjalan belum begitu jauh, tiba-tiba Yo Him menghentikan langkah kakinya, ia memandang lurus ke depannya dengan mata terbuka agak lebar.

Begitu Sasana dan Giok Hoa tiba di dekat Yo Him, mereka juga bisa melihat apa yang dilihat Yo Him, ke duanya jadi mengeluarlan seruan kaget. Sedangkan Ho Sin-se yang tiba paling belakang, mengeluarkan jerit ketakutan dan menutupi mukanya dengan ke dua tangannya.

Ternyata melintang di depan mereka dua sosok tubuh lagi, dan dua sosok tubuh itu tidak bergerak, berlumuran darah, karena telah menjadi mayat. Sama kematiannya dengan leher yang tersayat dan juga sepasang mata masing-masing terbuka lebar-lebar. Menyatakan mereka mati dalam keadaan penasaran.

Di waktu itu Yo Him setelah berhasil menenangkan hatinya, menghampiri ke dua mayat itu, memeriksa keadaannya.

“Aneh! Siapa yang telah membunuh ke tiga orang ini?” menggumam Yo Him.

Telah tiga korban jiwa yang mati di lembah itu. Dan sejak mereka memasuki lembah ini mereka telah melihat tiga sosok mayat menggeletak mengerikan seperti itu.

Ho Sin-se memandang ke dua mayat itu dengan muka yang pucat pias serta yang menggigil keras, tampaknya ketakutan sekali. Ia telah menggumam perlahan:

“Apakah..... apakah dia yang telah membunuhnya?!”

Suaranya itu gemetar, menunjukkan dia sangat ketakutan. Dan yang dimaksudkan oleh Ho Sin-se dengan perkataan “dia” ditujukan pada orang yang dikatakannya memiliki ilmu pengobatan luar biasa tingginya.

Yo Him menoleh kepadanya.

“Apakah orang yang kau maksudkan itu seorang yang ganas?!” tanyanya kemudian.

Ho Sin-se tidak segera menyahuti, dia memandang kepada Sasana dan Giok Hoa, sedangkan Tiauw-jie telah terbang rendah sekali, karena burung rajawali putih itu melihat dua sosok mayat tersebut. Ia mengeluarkan suara pekik perlahan, seperti juga burung inipun diliputi tanda tanya, sampai akhirnya burung itu telah terbang tinggi lagi.

Setelah menghela napas, dengan muka yang masih pucat pias, Ho Sin-se berkata ragu-ragu:

“Kulihat..... kulihat dia seorang yang cukup baik dan ramah...... tetapi memang agak tegas dan memiliki kepandaian silat yang tinggi..... tetapi..... apakah mungkin orang-orang itu merupakan korban keganasannya karena ke tiga orang itu mencoba akan memasuki lembah tempat tinggalnya ini?!”

Setelah berkata begitu, Ho Sin-se memandang Yo Him dengan sikap minta dikasihani, katanya: “Aku..... aku mohon agar aku diperbolehkan pulang..... aku kuatir kalau-kalau orang itu nanti mempersalahkan diriku telah membawa kau ke lembah ini..... Ini memang suatu perbuatan yang lancang, karena dia telah berpesan kepadaku agar tidak memberitahukan kepada siapapun perihal dirinya!”

Yo Him menggelengkan kepalanya perlahan kemudian katanya: “Jangan, kau harus ikut serta dengan kami. Jika engkau tidak ikut serta, bagaimana kami mengetahui siapakah orang yang engkau maksudkan itu!”

Ho Sin-se memandang dengan sikap ketakutan, tetapi dia pun tidak berani membantah perintah Yo Him. Waktu pemuda itu berjalan maju lagi, diikuti Sasana dan Giok Hoa, maka Ho Sin-se juga telah mengikuti memasuki lembah itu lebih jauh.

Berjalan belum begitu jauh, telah ada tiga sosok mayat yang menggeletak lagi dengan kematian yang mengerikan, dua mata dari ke tiga mayat itu mendelik menyeramkan.

Ho Sin-se benar-benar sudah ketakutan setengah mati, sedangkan Yo Him dan Sasana semakin diliputi tanda tanya. Mereka sesungguhnya pasangan suami isteri yang tabah dan cerdik, tetapi melihat mayat-mayat menggeletak di sepanjang jalan di lembah ini, mereka jadi berpikir keras, ingin menduga apa sesungguhnya yang terjadi di lembah ini.

Terlebih lagi lembah itu merupakan suatu tempat yang sepi dan jarang sekali didatangi manusia. Akan tetapi mengapa sekarang ini justeru mayat-mayat malang melintang di lembah ini.

Yo Him menoleh kepada Ho Sin-se, kemudian tekadnya semakin bulat hendak menemui orang yang dimaksudkan Ho Sin-se. Sedangkan keadaan Hok An memang semakin menguatirkan, ujung-ujung jari tangannya yang membengkak itu mengeluarkan air, karena sebagian telah ada yang pecah, akibat bengkak itu semakin besar juga.

Giok Hoa pun telah menangis tidak hentinya. Gadis cilik itu di samping menguatirkan keselamatan paman Hok nya, iapun sangat ketakutan melihat mayat-mayat yang malang melintang seperti itu.

Setelah memasuki lembah itu lebih jauh, mereka sudah tidak menemui lagi mayat-mayat. Tetapi keadaan di dalam lembah tersebut sangat sunyi sekali.

“Di mana tempat kediaman orang itu?!” tanya Yo Him kepada Ho Sin-se, karena dia belum juga melihat sebuah rumah atau goa tempat dari orang yang mereka cari.

“Dia..... dia berdiam di dalam goa yang berada di dalam lembah ini..... masih terus..... kita harus masuk terus ke dalam lembah ini.....!” kata Ho Sin-se dengan tubuh gemetar ketakutan.

Dia benar-benar dicekam oleh perasaan takut dan ngeri yang bukan main. Jika dia tidak malu, tentu Ho Sin-se telah menangis.

Sedangkan Yo Him cepat-cepat melanjutkan perjalanannya, dia melihat keadaan di dalam lembah itu semakin luas juga, dan banyak sekali semak belukar yang tumbuh subur di situ. Keadaan sunyi sekali.

Mendadak sekali, dalam kesunyian yang ada seperti itu, Yo Him seperti mendengar sesuatu, seperti juga suara menderu-derunya angin.

Segera juga Yo Him menghentikan langkah kakinya. Dia memberi isyarat kepada Sasana dan yang lainnya agar berhenti. Kemudian Yo Him memasang pendengarannya lebih baik lagi untuk mendengarkan.

Benar saja, suara menderu-deru yang samar-samar itu tidak lain dari menderunya senjata tajam, dari suara orang yang tengah bertempur.

“Di sebelah depan ada orang yang tengah bertempur, mari cepat kita ke sana.....!” kata Yo Him kemudian.

Ho Sin-se mendengar itu jadi semakin ketakutan.

“Kongcu..... ohhh, Kongcu..... aku..... aku tidak ikut saja..... biarpun engkau mengupahkan aku seribu tail lagi, aku tidak berani untuk masuk lebih jauh.....!”

Sasana yang berada di belakang Ho Sin-se mendorong punggung tabib itu.

“Jika kau ingin menolong kami, engkau tidak boleh setengah jalan seperti ini. Ayo maju terus..... kita lihat siapa yang tengah bertempur!”

Di waktu itu memang Sasana juga telah mendengar suara menderu-deru yang samar dan terpisah cukup jauh.

Didorong oleh Sasana seperti itu, tubuh Ho Sin-se jadi terjerunuk ke depan. Diapun tidak berani membangkang, dia telah melangkah maju lagi, mengikut di belakang Yo Him dengan ketakutan.

Giok Hoa menghapus air matanya, tanyanya kepada Sasana. “Cie-cie..... siapa yang tengah bertempur?!”

“Entahlah..... kita lihat saja nanti, aku sendiri tidak mengetahuinya.....!” menyahuti Sasana.

Yo Him sendiri mempercepat jalannya, dengan menggendong Hok An ia telah memasuki terus lembah itu. Dua sosok mayat dijumpai Yo Him pula.

Tetapi dia sudah tidak memperdulikan mayat-mayat itu, dan berjalan terus dengan cepat. Sampai akhirnya suara menderu-deru dari orang yang tengah bertempur itu, terdengar semakin jelas.

Dan tiba-tiba, waktu Yo Him tengah berjalan, dengan cepat sesosok bayangan putih dengan gerakan yang ringan dan lincah melompat keluar dari balik batang pohon di samping kanan.

“Berhenti!” bentak sosok bayangan putih itu dengan suara yang aseran sekali, juga sebatang pedang berwarna putih telah dilintangkan di dadanya. “Kalian siapa dan ingin ke mana?!”

Yo Him menghentikan langkah kakinya. Dia memandang tajam kepada penghadangnya itu. Dialah seorang gadis berusia tujuhbelas tahun, yang seluruh pakaiannya berwarna putih.

Wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya elok, ramping. Hanya matanya tajam bersinar dengan sikap yang tidak simpatik. Rambutnya yang digelung dua, menambah kecantikan gadis itu.

Setelah mengawasi gadis itu, Yo Him tersenyum katanya: “Kami orang-orang yang kebetulan tersesat di tempat ini, maka jika nona tidak keberatan buat memberitahukan kepada kami jalan keluar dari lembah ini, kami tentu sangat herterima kasih sekali!”

Gadis itu tertawa dingin, mukanya tidak berperasaan.

“Hemmm, kalian orang-orang tersesat?!” katanya tawar, matanya memandang tajam. “Mengapa kalian tidak mengambil jalan di mulut lembah itu, jika benar-benar kalian ingin keluar meninggalkan lembah ini, malah kalian pun telah mengambil arah sebaliknya, memasuki lembah ini!”

Setelah berkata begitu, gadis berpakaian serba putih itu telah memandang kepada Hok An yang berada dalam gendongan Yo Him, yang dalam keadaan terluka parah. Dia mendengus beberapa kali, wajahnya tawar sekali tidak memperlihatkan apapun juga.

Sedangkan Yo Him telah berkata lagi: “Memang kami tersesat di tempat ini, kami sedang mencari seseorang, namun kami tidak mengetahui di mana tempat tinggal orang itu..... karenanya kami telah berputar-putar di lembah ini! Entah nona bisa menunjukkan kepada kami atau tidak mengenai orang yang kami maksudkan itu?!”

“Siapa?!” tanya gadis berpakaian serba putih itu dengan sikap yang tawar.

“Orang itu kabarnya memiliki ilmu pengobatan yang pandai sekali dan juga menjadi pemilik lembah ini. Karena itu, kami telah datang ke mari untuk memohon pertolongannya. Kawan kami terluka berat dan mungkin orang yang tengah kami cari itu bisa menolong mengobatinya sampai sembuh.......!”

Bola mata gadis berbaju serba putih itu telah mencilak-cilak memain tidak hentinya. Dia mengawasi kepada Hok An yang masih tertidur di dalam gendongan Yo Him, kemudian diapun berkata dengan suara yang tawar, pedangnya dikibaskan seperti mengusir: “Lebih baik kalian cepat-cepat angkat kaki meninggalkan lembah ini sebelum terlambat......!”

“Terlambat? Apa maksud nona?!” tanya Yo Him, sambil meneliti keadaan gadis itu. Dilihat dari gerak geriknya tentu dialah seorang gadis yang lincah dan memiliki kepandaian yang lumayan, tampaknya dia memiliki kiam-hoat atau ilmu pedang yang cukup ampuh dan tinggi.

“Karena jika memang penghuni lembah ini melihat kau, biarpun kau hendak pergi, di waktu itu sudah terlambat! Juga kawan-kawanmu itu tidak ada seorangpun yang akan dibiarkannya meninggalkan lembah ini dalam keadaan masih bernapas.....!”

Yo Him mengawasi dengan mata menyelidik, kemudian katanya, “Baiklah nona, jika memang menasehati kami dari hati yang tulus, demi kebaikan kami, itulah merupakan kebaikan yang tidak mungkin kami lupakan. Tetapi, sesungguhnya. memang kami sangat membutuhkan sekali pertolongannya, maka tolonglah nona memberikan petunjuk, bagaimana caranya kami bisa menemui orang itu......?”

Gadis itu tertawa tawar, wajahnya tetap tidak memperlihatkan perasaan apapun juga. Tahu-tahu pedangnya telah berkelebat.

“Wuttt, wuttt!” beberapa kali pedangnya itu menderu-deru, menabas cabang ranting pohon, dengan gerakan tubuh yang lincah sekali. Kemudian waktu tubuh gadis berpakaian serba putih itu telah meluncur turun, seketika cabang ranting yang telah ditabasnya itu meluruk jatuh di dekatnya.

“Nah, kalian telah melihatnya, jika memang kalian memaksa memasuki lembah ini, berarti kalian akan menghadapi bahaya tidak kecil..... lebih baik kalian membatalkan maksud kalian dan cepat-cepat angkat kaki meninggalkan tempat ini! Atau memang aku perlu memaksa kalian agar segera meninggalkan tempat ini?!”

Yo Him mengawasi tajam kepada gadis itu, kemudian tanyanya: “Jadi, nona yang tidak mengijinkan kami masuk?!”

Gadis berpakaian serba putih itu mengangguk: “Ya, demi kebaikan kalian juga.....!”

Yo Him menghela napas dalam-dalam, kemudian katanya: “Menyesal sekali, kami hanya bisa maju ke depan, tetapi sudah tidak bisa mundur..... karena kawanku ini yang tengah terluka parah, membutuhkan pertolongan dari orang yang tengah kami cari itu!”

Bola mata gadis itu memain tidak hentinya. Sedangkan Ho Sin-se yang tadi telah menyaksikan betapa pedang si gadis berkelebat menabas ranting dan cabang pohon begitu mudah, tanpa dikehendaki dia telah memegang lehernya, karena dia membayangkan jika pedang itu digerakkan untuk menyerang lehernya tentu lehernya itu akan putus, sama putusnya seperti cabang dan ranting pohon yang kena ditabas oleh pedang si gadis.

Waktu itu, diapun telah menghampiri ke dekat Yo Him. Sin-se menarik ujung baju Yo Him, berbisik: “Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini..... berbahaya sekali.....mari Kongcu..... aku..... aku takut sekali!”

Yo Him tidak memperdulikan sikap Ho Sin-se. Hanya saja, belum lagi Ho Sin-se merengek terus dan Yo Him belum sempat berbicara kepada gadis berbaju serba putih itu, justeru Sasana telah melompat ke depan Yo Him. Dia menghadapi gadis berpakaian serba putih itu, katanya dengan sikap yang tawar juga,

“Siapakah nona, mengapa merintangi perjalanan kami?!”

Muka gadis berpakaian serba putih itu jadi berobah tidak enak dilihat. Walaupun wajahnya cantik, namun dari mukanya itu memancarkan sedikit kesesatan.

Dia kemudian tertawa dingin, katanya: “Siapakah yang ingin merintangi kalian? Aku hanya mengatakan, jika kalian meneruskan perjalanan memasuki lembah ini, maka kalian akan mengalami bahaya yang tidak kecil, karena itu aku meminta agar kalian pergi meninggalkan lembah ini!”

“Lalu jika memang kami bermaksud hendak memasuki lembah ini terus, apa yang hendak nona lakukan?” tanya Sasana, yang tidak jeri, malah mengawasi perempuan berpakaian serba putih itu dengan sorot mata tidak kalah tajamnya.

“Ohhh, kalian hendak memaksa masuk terus ke dalam lembah ini?!” tanya gadis serba putih itu, kemadian ia tertawa bergelak-gelak. Lama sekali ia tertawa seperti itu, sampai akhirnya dia bilang,

“Baik! Baik! Kulihat kalian bukan orang-orang sembarangan seperti kambing yang mudah dituntun, aku akan memperlihatkan kepada kalian, siapa sebenarnya aku, sehingga kalian berani tidak mematuhi kata-kataku.....!” Membarengi dengan perkataannya itu, tampak gadis berbaju putih itu menerjang dengan pedangnya.

Pedang itu berkelebat sangat dekat dengan dada Sasana, akan tetapi Sasana sama sekali tidak terkejut. Dia telah mengulurkan tangannya menyentil pedang tersebut.

Akibat benturan sentilan jari telunjuk Sasana pada pedang itu membuat gadis berbaju serba putih itu kaget tidak terkira. Ia merasakan telapak tangannya panas sekali, pedangnya juga telah miring ke samping. Getaran tenaga sentilan itu membuat hampir saja dia melepaskan cekalan pedangnya itu.

Tetapi dia juga tidak tinggal diam, setelah melompat mundur satu tindak dia telah melompat maju lagi. Pedangnya menikam cepat ke arah leher Sasana.

Kali ini Sasana bergerak gesit sekali, tahu-tahu dia telah menjepit pedang gadis berpakaian serba putih itu, sehingga membuat pedang itu tidak bisa meluncur lebih jauh.

Mati-matian gadis berbaju serba putih itu berusaha menarik pedangnya dari jepitan tangan Sasana, akan tetapi dia gagal. Bukan main kagetnya melihat kuatnya jari tangan Sasana yang bisa menjepit pedangnya sampai tidak bergerak sama sekali, dan dia telah berseru nyaring dan galak, karena dia marah sekali. Dia mendorong pedangnya dengan kuat, tetapi tetap saja gagal.

“Hemmm, dengan hanya memiliki kepandaian seperti ini saja, engkau hendak jual lagak di hadapanku?” kata Sasana, dan menggerakkan tangannya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya, seketika pedang itu menjadi patah tiga!

Yo Him hanya berdiam diri saja mengawasi Sasana “memberi” pelajaran kepada gadis berpakaian serba putih itu. Dia sama sekali tidak mempersalahkan Sasana, karena jika memang Sasana tidak melakukan tindakan seperti itu, akan menimbulkau kerewelan yang tidak berkesudahan.

Ho Sin-se bengong memandang betapa Sasana sesungguhnya seorang wanita yang tangguh sekali. Hatinya kini agak tenang, karena dia dapat menduganya, Yo Him tentunya seorang pemuda yang memiliki kepandaian sangat liehay. Namun perasaan tegang tetap saja menguasai hati Ho Sin-se.

Sedangkan Giok Hoa hanya mengawasi saja, ia tidak tertarik terhadap apa yang tengah dilakukan Sasana, karena perhatian Giok Hoa lebih tercurah pada Hok An, yang masih berada dalam gendongan Yo Him. Malah Giok Hoa telah mendekat pada Yo Him, agar dapat melihat keadaan paman Hok nya lebih jelas.

Ketika melihat keadaan Hok An, walaupun Hok An seperti dalam keadaan tertidur atau pingsan dan tidak merintih namun sepuluh jarinya telah membengkak seperti itu, malah sebagian dari jari tangannya telah pecah dan mengeluarkan air, membuat hati Giok Hoa sangat berduka. Terlebih pula dia melihat muka Hok An yang membengkak juga, dia menangis sedih sekali.

Yo Him berusaha membujuk si gadis cilik, katanya: “Segera kita akan bertemu dengan tabib yang pandai, tenanglah...... tenanglah..... jangan menangis terus!!”

Ho Sin-se masih berdiri bengong di tempatnya, dia mengawasi tertegun dan kagum apa yang dilakukan Sasana. Sebab setelah mematahkan pedang gadis cilik itu menjadi tiga, dengan gerakan yang gesit sekali, tubuh Sasana telah bergerak ke samping gadis berbaju putih itu, lalu dengan gerakan tangan yang sulit diikuti oleh mata Ho Sin-se, tahu-tahu Sasana telah berhasil mencengkeram ikat pinggang gadis berpakaian serba putih, sekali berseru, tubuh gadis berbaju putih itu telah dilemparkannya jauh sekali, tiga tombak lebih.

Gadis berbaju putih itu juga tampaknya kaget bukan main, dia merasakan semangatnya seperti terbang meninggalkan raganya ketika tubuhnya melayang di tengah udara tanpa dia dapat mengimbangi luncuran tubuhnya. Hanya saja, sebelum tubuh gadis berbaju putih itu terbanting di tanah, telah berkelebat sesosok bayangan putih lainnya.

Tahu-tahu tubuh gadis berbaju putih yang pertama itu telah berhasil ditahan oleh sebatang tongkat panjang, terbuat dari bambu yang ujungnya telah menyelip diikat pinggang gadis baju putih itu, sehingga tubuhnya seperti tergantung tidak sampai jatuh terbanting.

Orang yang menolongi gadis berbaju putih itu ternyata seorang wanita berbaju putih juga, hanya saja usianya mungkin telah limapuluh tahun lebih. Matanya bersinar tajam sekali, dia juga telah menurunkan gadis baju putih itu, kemudian sambil mengibaskan tongkat bambunya dia telah bilang:

“Hmmm, siapa yang berani malang melintang menghina cucuku!”

Sasana tersenyum tawar.

“Kita tidak saling kenal satu dengan lainnya, tetapi entah mengapa, cucumu itu bermaksud merintangi perjalanan kami, bahkan tidak segan-segan dia telah menyerang kami dengan mempergunakan tikaman pedang. Jika saja kami tidak memiliki sedikit kebisaan, bukankah kami akan dicelakainya?”

Muka wanita setengah baya itu, yang sama seperti cucunya mengenakan baju serba putih, telah memperlihatkan sikap tidak simpatik. Dia tersenyum mengejek, matanya memandang dengan sorot yang dingin.

“Ya, ya, mungkin juga cucuku itu melakukan suatu kesalahan, namun tidak seharusnya orang luar yang mengajar adat padanya, karena masih ada neneknya yang bisa mendidik dan mengajar adat padanya! Nah, karena engkau merasa yakin, memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga tidak memandang sebelah mata pada cucuku, dan juga tidak mau memandang mata kepadaku, aku justeru ingin melihat berapa tinggikah kepandaianmu. Hiaaaat!”

Membarengi bentakannya itu, ganas luar biasa tongkat wanita setengah baya itu, telah meluncur melintang ke arah perut Sasana. Gerakan wanita setengah baya itu begitu cepat, tongkatnya seperti juga sambaran petir, membuat Sasana jadi terkejut juga, karena tahu-tahu ujung tongkat yang runcing itu telah menyambar tiba pada perutnya.

Untung saja Sasana telah digembleng Yo Him dan berlatih dengan tekun, sehingga Sasana sekarang bukan Sasana yang dulu, di mana dia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan memperoleh kemajuan yang pesat.

Melihat cara menyerang wanita setengah baya itu, cepat sekali Sasana menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat ke belakang sambil berjumpalitan dua kali. Dengan cara mengelakkan diri seperti itu, serangan tongkat wanita setengah baya itu bisa dihindarkannya. `

Yo Him juga kaget tidak terkira melihat cara menyerang dari wanita setengah baya tersebut, walaupun bagaimana serangan itu merupakan tipu yang bisa mematikan, karena bisa memecahkan dan merobek kulit perut Sasana.

Sedangkan Yo Him pun teringat kepada mayat-mayat yang ditemuinya beberapa saat yang lalu, di mana leher dari mayat-mayat itu robek terluka seperti sayatan. Boleh jadi leher dari mayat-mayat itu robek oleh tabasan ujung tongkat dari wanita setengah baya yang aseran dan berpakaian serba putih itu.

“Bagus!” berseru wanita setengah baya itu. “Kau ternyata gesit sekali!” dan sehabis memuji begitu, malah tongkatnya mendengung, menyambar kepada pundak, dada, perut Sasana dengan sambaran yang beruntun.

“Sasana, hati-hati!” teriak Yo Him yang menguatirkan juga keselamatan isterinya. Sedangkan untuk melompat mewakili Sasana menerima serangan wanita serba putih itu, dia tidak bisa, dia tengah menggendong Hok An, yang tengah terluka parah.

Dan wanita setengah baya yang berpakaian serba putih itu juga menyerang dengan cara yang aneh. Dalam waktu yang singkat sekaligus telah bisa menyerang tiga jurusan.

Sasana waktu itu baru saja hinggap di tanah, dia merasakan angin serangan yang menyambar beruntun ke arah pundak, dada dan perutnya. Bukan main mendongkolnya Sasana, karena dilihatnya cara bergerak tongkat wanita setengah baya itu sangat ganas sekali.

Sasana tidak tinggal diam. Cepat sekali dia berseru, lalu mengibaskan lengan bajunya, berusaha menggulung tongkat lawannya.

Cara yang dilakukan oleh Sasana sebetulnya merupakan cara memunahkan serangan lawannya yang terlalu berani sekali. Kalau memang libatan lengan bajunya gagal, berarti Sasana akan terluka oleh serangan dari lawannya itu.

Karena itu Yo Him menyaksikan dengan hati yang berdebar berkuatir.

Ho Sin-se juga mementang matanya lebar-lebar. Dia kagum tidak terkira melihat Sasana demikian liehay dan lincah. Semula dia tidak menyangka bahwa Sasana ternyata pendekar wanita berkepandaian tinggi. Tadinya dia hanya menduga bahwa Sasana hanya wanita yang lemah belaka.

Libatan lengan baju Sasana ternyata berhasil. Tongkat wanita setengah baya dengan pakaian serba putih itu telah berhasil dilibatnya ujungnya, dengan demikian tongkat itu tidak bisa bergerak lebih jauh buat menyerang ke arah perut Sasana. Bahkan libatan lengan baju itu dilakukan dengan disertai kerahan tenaga dalam, maka biarpun wanita setengah baya itu bermaksud hendak menusuk dengan mendorong tongkatnya ke depan, tokh dia tidak berhasil.

Cucunya, gadis berpakaian serba putih, yang tadi nyaris terbanting, tampaknya gusar sekali. Dengan mata memancarkan sinar yang bengis, dia melompat ke dekat Sasana.

Cepat sekali pedangnya yang telah buntung menjadi pendek itu dipakai buat menikam punggung Sasana. Cara menyerangnya licik sekali.

Pertama-tama dia menikam dengan perlahan-lahan, sehingga tidak menimbulkan desiran angin serangan. Waktu pedang buntung itu hampir tiba di pundak Sasana, barulah dia memusatkan dan mengerahkan tenaga dalamnya, dia menikam dengan sekuat-kuatnya.

Sasana kaget, dia tidak menyangka akan serangan itu, sebab dia tengah memusatkan perhatiannya pada wanita setengah baya itu.

Tapi Yo Him yang melihat ini rupanya tidak tinggal diam, belum lagi mata pedang itu bisa melukai punggung isterinya, kaki Yo Him telah melayang menendang punggung gadis berbaju putih itu sampai dia terguling-guling di tanah dan mengeluarkan jerit kesakitan, karena gadis berpakaian serba putih itu merasakan tulang punggungnya seperti menjadi patah!

Bukan main marahnya wanita setengah baya berpakaian serba putih itu melihat cucunya terguling-guling akibat tendangan Yo Him. Dalam kemarahan, tongkatnya itu disodokkan ke depan dengan harapan dapat mendorong Sasana.

Akan tetapi dorongan tongkat itu sama sekali tidak memberikan hasil, karena libatan lengan baju Sasana benar-benar kuat, sehingga tongkat itu hanya dapat tergeser sedikit, dan tidak bisa meluncur ke depan terus.

Waktu itu Sasana juga tidak tinggal diam. Ketika wanita setengah baya itu menusukkan tongkatnya begitu kuat, ia segera juga mengimbangi dengan tenaga dalamnya.

Setelah berhasil membuat tongkat itu tidak bisa meluncur ke depan, ia membarengi dengan menghentak mempergunakan kibasan tangan yang satunya. Lenyaplah keseimbangan tubuh wanita setengah baya berbaju putih itu, tubuhnya terjerunuk.

Namun ia liehay, karena cepat sekali ia dapat mengatur keseimbangan ke dua kakinya yang menjadi kokoh kembali, sehingga ia tidak sampai terjerunuk. Dengan muka yang merah padam ia memandang Sasana,

“Hemmm, bagus, bagus rupanya kau ingin melihat keliehayanku, heh?”

Kemudian selesai berkata ke dua jari tangannya, jari telunjuk dan ibu jarinya didekatkan pada mulutnya, dia segera bersiul nyaring. Tidak lama terdengarnya suara siulan tersebut, berkelebat mendatangi lima sosok bayangan putih, cepat sekali mengurung Sasana. Di tangan masing-masing ke lima orang berpakaian serba putih itu mencekal sebatang tongkat yang sama ukuran maupun bentuknya dengan tongkat yang dicekal oleh wanita setengah baya itu.

Muka wanita setengah baya berpakaian putih itu masih merah padam, katanya: “Binasakan mereka, termasuk setan kecil itu!”

Perintah itu disertai dengan jari telunjuknya yang menunjuk kepada Giok Hoa. Wajahnya bengis dan matanya memancarkan sinar tajam mengandung nafsu membunuh!

Ke lima orang yang baru datang dan semuanya berpakaian putih itu adalah lima orang gadis berusia antara duapuluh tahun dengan paras muka yang semuanya cantik dan bentuk tubuh yang langsing menarik. Mereka tidak ada yang mengeluarkan sepatah perkataan pun juga, hanya saja tubuh mereka mulai bergerak hendak mengepung dan menyerang Sasana.

Yo Him yang menyaksikan keadaan seperti itu segera memaklumi bahwa ia tidak boleh berdiam diri, segera ia melompat ke pinggir meletakkan Hok An di bawah sebatang pohon, dan menoleh kepada Ho Sin-se, katanya:

“Kau jaga dan lindungi paman Hok ini!”

Ho Sin-se waktu itu tengah ketakutan setengah mati, keringat mengucur deras sekali dari sekujur tubuh dan mukanya yang pucat, juga tubuhnya tengah menggigil menahan rasa takut, namun ia mengangguk mengiakan juga.

Giok Hoa pun melompat ke samping Hok An, menjagai paman Hok nya itu dengan hati yang gelisah sekali. Gadis cilik itu kuatir kalau-kalau Yo Him bersama Sasana tidak sanggup menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar dari mereka, di samping tampaknya memiliki kepandaian yang tinggi, dengan tongkatnya yang berbahaya itu.

Tubuh Yo Him melesat ke samping Sasana.

Waktu itu seorang gadis berpakaian serba putih yang berada di tempat yang akan diterobos oleh Yo Him, menggerakkan tongkatnya, akan menabas tenggorokan dari Yo Him. Namun Yo Him bisa mengelakkan dengan hanya memiringkan sedikit kepalannya. Malah tangannya cepat sekali menyambar ke lengan gadis berbaju putih itu, gerakan mana dibarengi dengan pengerahan tenaga dalamnya.

“Pergilah kau!” ia menghentak akan melontarkan tubuh gadis berpakaian serba putih itu.

Namun hati Yo Him segera terkesiap, ia menarik cukup kuat disertai tenaga dalam, tetapi ia seperti menarik pohon yang berakar di dalam tanah, kokoh sekali.

Tubuh gadis berpakaian putih yang seorang itu jangankan terlempar ke tengah udara, malah bergemingpun tidak, ia berdiri tegak di tempatnya. Malah tongkatnya telah bergerak lagi menyambar ke arah tenggorokan Yo Him.

Keadaan ini benar-benar tidak pernah disangka oleh Yo Him, di samping kaget iapun heran, melihat usianya gadis berpakaian serba putih itu tentunya ia tidak mungkin memiliki lweekang yang begitu tangguh, sehingga dapat berdiri dengan ke dua kaki yang begitu kokoh. Dengan demikian, ia jadi tidak mengerti untuk keliehayan gadis ini.

Namun Yo Him tidak bisa berpikir terlalu lama, karena ujung tongkat yang tajam itu meluncur ke arahnya dengan gerakan yang cepat sekali. Beruntung memang Yo Him memiliki kepandaian yang sangat tinggi, walaupun tengah berada dalam keadaan kaget dan heran, namun ia dapat hersikap lebih tenang dan mengelakkan diri dari sambaran ujung tongkat.

Sekarang hanya berbeda dengan tadi, Yo Him tidak berusaha mencekal tangan gadis berbaju putih itu. Ia hanya mengelak ke samping, kemudian tangan kanannya meluncur akan menotok jalan darah yang melumpuhkan di punggung gadis itu.

Gerakan itu bukan gerakan yang terlalu luar biasa, namun buat gadis berbaju putih itu ternyata sangat cepat. Jika ia tidak membatalkan serangan ujung tongkatnya dan melompat mundur ke samping, niscaya pundaknya kena ditotok Yo Him.

Dan beruntung juga baginya bahwa wanita setengah baya itu telah berusaha menotok tenggorokan Yo Him dengan ujung tongkatnya yang tajam. Sehingga membuat Yo Him tidak bisa meruntuni dengan totokan lainnya waktu sasarannya itu pindah tempat, ia harus melayani wanita setengah baya itu.

Sasana waktu itupun tidak kurang sibuknya. Empat orang wanita berpakaian yang serba putih, dibantu juga dengan cucu si wanita setengah baya itu, menyerang serentak kepada Sasana. Berlima mereka menyerang mempergunakan tongkat yang sangat liehay sekali mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh Sasana.

Sebagai seorang pendekar wanita yang telah banyak menerima petunjuk dari mertuanya, dari Siauw Liong Lie dan Yo Ko, dengan sendirinya ia bisa memiliki perhitungan yang matang dan dapat menemukan tindakan apa yang harus dilakukannya dalam keadaan terkepung seperti itu. Tahu-tahu ia melompat ke tengah udara, sepasang kakinya ditekuknya, lalu ia menyentil berulang kali dengan ke dua tangannya di mana ia masing-masing mempergunakan jari telunjuknya.

Hebat kesudahannya. Tanpa menyentuh tongkat dari lawan-lawannya, dari setiap ujung jari telunjuknya seperti juga mengalir kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali, yang telah membuat ujung tongkat lawannya mencong tidak mengenai sasaran, sehingga membuat ke lima lawannya kaget tidak terhingga, karena telapak tangan mereka sakit dan panas sekali oleh getaran yang menerjang dari tongkat mereka masing-masing yang terkena hawa dan tenaga sentilan telunjuk jari Sasana.

Rupanya dalam keadaan seperti itu Sasana telah mempergunakan ilmu jari tunggal yang sakti ajaran Yo Ko, yaitu It-yang-cie. Itu masih untung buat ke lima lawannya, bahwa Sasana baru bisa menguasai ilmu tersebut tiga bagian saja.

Jika sudah mencapai tujuh atau delapan bagian yang berhasil dikuasainya jangan harap ke lima orangnya masih hidup sampai detik itu terkena getaran tenaga sakti dari jari-jari telunjuk Sasana.

Adanya pengalaman pahit seperti itu, membuat ke lima wanita berpakaian serba putih tersebut tidak berani menyerang serampangan lagi. Waktu tubuh Sasana telah meluncur turun dan hinggap di tanah, dan perasaan sakit pada telapak tangan mereka masing-masing berkurang, barulah ke lima wanita berpakaian serba putih itu menyerang lagi.

Namun penyerangan mereka dilakukan selalu dengan jurus-jurus gertakan belaka. Mereka belum berani terlalu mendesak Sasana lagi, rupanya mereka kuatir akan mengalami keadaan seperti tadi di mana telapak tangan mereka pedih dan sakit!

Sasana tertawa tawar. Ia melihat ke lima lawannya sesungguhnya memiliki kepandaian yang lumayan. Hanya saja tongkat mereka bergerak mengandung hawa sesat, di mana setiap kali menyerang jurus serangan tongkat itu selalu sulit diterka. Dengan begitu membuat Sasana pun berhati-hati.

Yang membuat Sasana jadi heran juga justeru dilihatnya bahwa ke dua kaki dari ke lima orang itu memiliki kuda-kuda yang kuat sekali. Pernah Sasana menyerang dengan mengerahkan delapan bagian tenaga dalamnya, namun ia gagal merubuhkan lawannya yang berdiri tetap di tempatnya tanpa bergeming sama sekali.

Sedangkan ke lima wanita itu mengepung Sasana kian merapat. Walaupun mereka tidak berani untuk terlalu mendesak, namun mereka pun berusaha tidak memberikan kesempatan sedikitpun pada Sasana buat bernapas atau mengadakan persiapan membalas menyerang.

Salah seorang di antara ke lima lawan Sasana telah membentak: “Monyet betina tidak tahu diri, jika kami tidak bisa sembelih tubuhmu, jangan harap kami mau sudah!”

“Ya, kita harus gorok lehernya menjadi lima potong, jiwanya harus dikirim ke neraka dengan cara yang istimewa!” berseru yang lain.

“Benar! Mari kita buat tubuhnya seperti juga patung yang tidak utuh, kita bagi-bagi anggota tubuhnya menjadi lima bagian?” teriak yang lain.

Walaupun mereka satu dengan yang lainnya saling memaki tidak hentinya, serangan mereka tetap gencar dan penuh perhitungan. Rupanya makian-makian mereka hanya sekedar untuk memecahkan perhatian Sasana belaka, agar jauh lebih mudah mereka rubuhkan atau serang.
Karenanya, mereka berusaha mengacaukan perhatian Sasana dengan berbagai makian yang kotor dan lain-lainnya.

Sasana menanggapi semua itu dengan sikap yang tenang. Walaupun hatinya sangat panas sekali, ia mencari-cari kesempatan untuk dapat merubuhkan salah seorang dari ke lima lawannya.

Namun setiap kali Sasana selalu gagal buat mendesak salah seorang lawannya, mereka berlima ternyata sangat kompak sekali. Jika seorang di antara mereka hendak didesak oleh pukulan yang gencar oleh Sasana, maka yang empat telah bergerak buat menerjang Sasana dengan ancaman yang dahsyat.

Karena mereka seperti juga memusatkan seluruh tenaga mereka. Empat ujung mata tongkat itu yang demikian runcing serentak menyambar ke arah satu sasaran di tubuh Sasana, memaksa ia harus dapat menghindarkannya dengan segera dan membatalkan maksudnya untuk mendesak lawannya yang seorang.

Yo Him yang waktu itu dikeroyok oleh wanita setengah baya berpakaian putih dan gadis berbaju putih yang tadi hendak dilontarkan oleh Yo Him, ternyata tidak mengalami kesulitan. Walaupun ke dua orang itu menyerang kepadanya cukup ganas mempergunakan tongkat masing-masing, namun Yo Him selalu dapat menghadapinya dengan sebaik mungkin.

Giok Hoa menyaksikan keadaan pertempuran itu, hatinya takut dan berkuatir sekali, ia menangis. Karena disamping kuatir kalau-kalau Yo Him dan Sasana tidak bisa menghadapi lawan-lawan mereka, juga iapun berkuatir sekali untuk keselamatan jiwa Hok An, yang tampaknya keadaan paman Hok ini semakin gawat sekali, sebab selain mukanya yang membengkak agak besar, tubuhnya, lengan maupun kakinya nampak mulai membengkak pula.

Ho Sin-se yang ditanya mengenai keadaan paman Hok ini oleh Giok Hoa, hanya menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jika perutnya telah membengkak besar, walaupun turun dewa yang bermaksud menolongnya, jangan harap jiwanya itu dapat ditolong lagi!”

Giok Hoa menangis mendengar keterangan seperti itu, dia menyusut air matanya dan memperhatikan jalan pertempuran antara Yo Him dan Sasana dengan wanita-wanita yang berpakaian putih.

Memang cara menyerang dari Yo Him dan Sasana semakin lama jadi semakin cepat dan tenaga dalam yang mereka pergunakan itu semakin kuat.

Wanita-wanita itu telah mulai menggerakkan tongkat mereka dengan gerakan yang luar biasa. Terkadang tongkat menyambar lurus, dipergunakan buat menikam bagaikan gerakan sebatang pedang, atau di lain saat tongkat-tongkat itu melintang dan telah menyerampang ke kaki Yo Him atau Sasana.

Dengan begitu membuat Yo Him dan Sasana harus melompat tinggi sekali, karena tongkat itu menyambar bertingkat. Tongkat yang pertama menyambar kaki mereka, kemudian tongkat yang lainnya menyambar lebih tinggi, sedangkan tongkat yang pertama itu telah menyambar pula menyusul di sebelah atas.

Dengan begitu, cara menyerang tongkat itu seperti juga tongkat anak tangga yang saling susun, yang membuat Yo Him dan Sasana harus menghindar dengan melompat tinggi sekali. Malah Yo Him yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari kepandaian Sasana, dapat mempergunakan ujung kakinya buat menendang ujung tongkat itu, sehingga jadi terpental. Berbareng tubuh Yo Him yang berada di tengah udara, telah meluncur turun menyambar kepada salah seorang wanita itu, sambil menghantam dengan tenaga lweekangnya.

Hantaman mana membuat tubuh wanita itu, kembali terpental bergulingan di tanah. Dan dia telah memandang dengan muka yang pucat pias, karena dia telah memuntahkan darah segar dan terluka di dalam yang cukup berat. Dengan demikian Yo Him telah berhasil mengurangi seorang lawannya.

Wanita tua itu telah menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti alap-alap telah menyambar kepada wanita yang terluka itu. Dan dia telah menggendongnya sambil melarikan diri dengan mengerahkan ginkangnya. Dia juga berseru nyaring sekali: “Angin keras......!”

Seruan itu membuat kawan-kawannya segera memutar tubuh dan telah meninggalkan tempat itu, karena mereka pun segera ingin menyingkirkan diri dari Yo Him dan Sasana.

Yo Him bermaksud mengejar terus, namun Sasana telah memanggilnya: “Yo Him..... jangan dikejar!”

Yo Him batal mengejar, dia telah memutar tubuhnya dan menghampiri Sasana.

“Apakah kau tidak terluka?!” tanya Yo Him.

Sasana menggeleng sambil menghela napas.

“Aneh sekali, wanita tua itu dengan kawan-kawannya ternyata memiliki ilmu tongkat yang cukup aneh. Tampaknya ilma tongkat mereka merupakan ilmu tongkat Su-coan-tung-hoat, yaitu ilmu tongkat dari Su-coan, dari keluarga Lam yang sangat terkenal sekali di dalam rimba persilatan.....!”

Yo Him mengangguk.

“Akupun menduga begitu, mungkin ilmu tongkat itu memiliki seratusdelapan jurus, hanya saja yang mengherankan aku, para wanita itu hanya mempergunakan delapanbelas jurus, di mana mereka telah mengulangi lagi jurus demi jurus setiap kali mereka telah gagal menyerang sebanyak delapanbelas jurus.”

Sasana mengangguk.

“Ya akupun memperhatikan begitu!” katanya. “Tetapi memang jurus-jurus yang mereka pergunakan itu tidak salah lagi ilmu tongkat adalah dari keluarga Lam di Su-coan. Aku telah melihatnya bahwa setiap gerakan-gerakan dari tongkat itu dia mempergunakan jurus-jurus yang banyak terdapat di dalam ilmu pedang, juga di samping itu, tentunya mereka hanya baru memiliki dan menguasai belasan jurus belaka. Jika demikian halnya, baiklah kita akan berusaha untuk menyelidiki siapa mereka.....!”

“Tetapi itu tidak bisa kita lakukan..... ingat, bahwa kita tengah berusaha menolongi Hok Lopeh.....!” mengingatkan Yo Him.

Sasana seperti baru tersadar, dia menepuk keningnya, katanya:

“Hai! mengapa aku pikun seperti ini, sehingga lupa pada apa yang baru kita lakukan!”

Setelah berkata begitu, segera juga Sasana melompat mendekati Hok An dan Giok Hoa, untuk memeriksa keadaan Hok An. Melihat keadaan Hok An seperti itu membuat Sasana tambah berkuatir, sedangkan Giok Hoa tengah menangis tidak hentinya.

Yo Him pun menghela napas berulang kali melihat keadaan Hok An yang semakin parah.

Ho Sin-se waktu itu telah menjelaskan kepada Yo Him: “Kalau sampai perutnya ini membesar, maka biarpun dewa yang turun hendak mengobatinya, jangan harap dapat menyembuhkan penyakit dan luka-lukanya ini.....!”

Yo Him menghela napas.

“Karena itu, kita harus mempercepat perjalanan kita, agar segera dapat tiba di tempat orang yang kau sebutkan itu!” kata Yo Him.

Ho Sin-se mengangguk saja.

Giok Hoa masih menangis, Sasana menghiburnya.

“Jika engkau menangis saja, hal itu tidak akan membawa manfaat apa-apa buat kau maka alangkah baiknya jika saja engkau dapat segera membantu kami untuk mengangkat paman Hok mu itu, agar dapat melakukan perjalanan lebih cepat?”

Giok Hoa mengangguk dan menyusut air mata. Dia berusaha membantu mengangkat Hok An.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar