Anak rajawali Jilid 39
Kam Lian Cu memutar tubuhnya
dibarengi dengan tikaman pedangnya, karena dia menduga kakek tua itu berada di
situ.
Tapi dia menikam tempat
kosong, kakek tua itu berdiri cukup jauh.
“Hentikan segala kelakuanmu
itu, jika memang engkau tidak mau kubuat tidak berdaya!” bentak Bun Siang Cuan
mengancam.
Sambil berkata begitu, tangan
kiri dari Bun Siang Cuan menggenggam gagang pedang itu, sedangkan dua jari
tangannya yang lain telah menjepit pedang itu, sehingga seketika dia mengerahkan
tenaga dalamnya, maka pedang itu telah menjadi patah.
Di waktu itu terlihat kakek
itu telah membuang patahan pedang tersebut. Dan dia pun telah berkata lagi
dengan suara yang dingin: “Hemmm, dengan adanya peristiwa ini, engkau baru
mengetahui siapa adanya Bun Siang Cuan……!”
Kam Lian Cu menangis
terisak-isak dengan hati yang hancur bukan main, dia juga telah mengawasi kakek
tua itu dengan sorot mata penuh kebencian.
“Kam Lian Cu……! Jika memang
engkau tidak bisa membunuh kakek keparat itu dan kera keparat itu, engkau tidak
boleh mati dulu!”
Begitulah bisik hatinya.
“Ingatlah baik-baik?! Namanya adalah Bun Siang Cuan! Bun Siang Cuan! Bun Siang
Cuan.....!”
Setelah berdiam sesaat, kakek
tua itu bersiul dengan suara yang nyaring sekali.
Dari kejauhan tampak
berlari-lari sesosok bayangan kuning. Dan setelah mendekat, Kam Lian Cu bisa
melihat dengan jelas, itulah si kera bulu kuning Kim Go!
Dengan penuh kebencian, dan
mata yang memancarkan sinar bagaikan mata pedang ataupun berapi, dia mengawasi
Kim Go.
Kim Go telah berdiri di
samping kakek tua she Bun itu, dengan mengeluarkan suara pekik perlahan.
Dengan mengeluarkan suara
jeritan mengandung kebencian dan dendam yang mendalam, bercampur baur dengan
sakit hati dan kehancuran hatinya, ke dua tangannya meluncur mencekik leher Kim
Go.
Kera itu kelejatan kaget,
karena tahu-tahu napasnya tersumbat. Ke dua tangannya bergerak-gerak, dia
mencakar ke sana kemari dan mengeluarkan suara pekikan.
Kam Lian Cu tidak
memperdulikan tubuhnya sebagian telah kena dicakar oleh kuku-kuku jari tangan
Kera itu. Malah mukanya juga kena tercakar sampai mukanya itu terluka dan
mengalirkan darah merah yang sangat deras sekali.
Dia mencekik terus dengan
sekuat tenaganya, malah dia bermaksud untuk mencekik terus kera itu sampai mati.
Dan kelak setelah dia berhasil
membunuh kakek tua Bun Siang Cuan juga, barulah dia akan membunuh diri. Karena
dia tidak sanggup dengan aib dan malu yang telah dideritanya, berhubungan
dengan seekor kera.....
Ketika menyaksikan apa yang
dilakukan oleh si gadis, si kakek jadi marah bukan main.
“Perempuan hina dina……!”
makinya, dan dia mengulurkan tangannya untuk menjambak baju di punggung si
gadis. Dia telah menghentaknya dan melontarkan tubuh si gadis dengan kuat
sekali.
Tubuh Kam Lian Cu terbanting bergulingan
di atas tanah. Sedangkan Kim Go mengerang-erang kesakitan sambil memegangi
lehernya.
Si kakek Bun Siang Cuan segera
berjongkok buat menguruti leher kera itu.
“Tidak apa-apa..... memang
seorang isteri terkadang galak dan ganas..... Nanti dia juga akan tunduk dan
patuh kepadamu……!” kata Bun Siang Cuan.
Kera itu mengeluarkan suatu
yang aneh sekali, seperti sikap seorang anak yang manja terhadap ayahnya.
Waktu itu Kam Lian Cu telah
bangun berdiri, seperti orang yang berobah pikiran dan menjadi sinting, sambil
menangis keras dan kalap dia berlari-lari ke sana ke mari.
Sedangkan waktu itu si kakek
telah mengejarnya.
“Berhenti!” bentaknya.
Tapi Kam Lian Cu tidak juga
mau berhenti.
Dia mengejarnya dan ketika
dapat mengejar telah dekat, dia menggunakan tenaga jari telunjuknya untuk
menotok.
Si gadis terjungkel.
Walaupun tubuhnya tidak dapat
digerakkan, tapi dia jadi menangis sedih sekali.
Di waktu itu, si kera bulu
kuning pun telah mengejar tiba, dia mengeluarkan suara “ngukkk, ngukkk” berulang
kali sambil menunjuk-nunjuk kepada si gadis.
Bun Siang Cuan telah bilang:
“Kau jangan kuatir, aku tidak akan mencelakai isterimu! Tapi sayang sekali,
mukanya telah rusak sebagian karena engkau cakar……!” Sambil berkata begitu, si
kakek telah berjongkok.
Dilihatnya muka Kam Lian Cu
penuh oleh bekas cakaran, luka yang agak dalam dan juga mengeluarkan darah
segar yang merah membasahi wajahnya.
“Hemmm, penyakit yang dicari
sendiri!” menggumam si kakek tua she Bun itu.
Kemudian dia mengajak kera itu
buat meninggalkan tempat tersebut.
Namun kera itu mengeluarkan
suara “ngukk, ngukk” beberapa kali, kemudian menunjuk-nunjuk kepada Kam Lian
Cu, seakan juga dia hendak memberitahukan kepada Bun Siang Cuan, bahwa dia
tidak mau meninggalkan “isteri” nya.
Bun Siang Cuan tersenyum.
“Jangan kuatir, aku ingin
pergi mengambil obat-obatan buat mengobati mukanya itu.....!” kata Bun Siang
Cuan. “Dia dalam keadaan tertotok, tidak mungkin dia bisa melarikan diri!”
Kera itu baru mau ikut
dengannya.
Kam Lian Cu rebah sendiri di
atas tanah dengan isak tangisnya yang kalap.
“Ohhhhhh Thian....... mengapa
nasibku demikian buruk ?!” sesambatan si gadis.
Dia terus juga sesambatan, di
antara tangisnya.
Tidak lama kemudian dia
mendengar suara berkerisik rumput tidak jauh dari tempatnya berada.
Dia tidak bisa menggerakkan
tubuhnya, dia hanya menoleh ke arah datangnya suara itu. Karena dia menduga
bahwa yang datang tentunya si kakek tua itu bersama keranya yang katanya
diangkat menjadi anaknya.
Tapi kemudian dia jadi kaget
sendirinya.
Orang yang tengah mendatangi
adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, berpakaian seorang pendeta
yang alim dan wajahnya welas asih.
Pendeta itu kaget tidak
terkira ketika melihat seorang wanita yang mukanya berlumuran darah rebah di
tanah. Dia menduga itulah semacam Yauw-koay, yaitu siluman, yang hendak
menggodanya.
“Omitohud.....!” Segera juga
pendeta itu memuji akan kebesaran sang Buddha.
Tapi ketika ia melihat wanita
itu dalam keadaan tertotok dan dalam keadaan tidak bisa bergerak, menangis
terisak-isak dia jadi memandang lagi beberapa saat. Kemudian hatinya tergerak.
Dia berpikir: “Apakah wanita
ini bukan korban dari begal yang telah menganiaya dan meninggalkannya dalam
keadaan tertotok?”
Setelah berpikir begitu,
pendeta itu menghampiri Kam Lian Cu lebih dekat. Dia segera bertanya:
“Omitohud! Siancai! Siancai! Apakah kau bukan Yauw-koay?”
Kam Lian Cu menangis
terisak-isak. Dia kaget dan malu.
Kaget karena telah ada orang
asing di tempat itu, yang jika mengetahui urusannya tentu sangat memalukan
sekali, di mana dia telah “dikerjakan” oleh seekor kera. Hanya saja dia
bersyukur bahwa orang itu adalah seorang pendeta.
“Taysu..... tolonglah aku.....
tolonglah aku..... aku benar-benar manusia yang paling sengsara dan menderita
menerima beban percobaan yang berat sekali di dunia ini……!”
“Siapa kau sebenarnya?” tanya
si pendeta itu sambil mengawasi Kam Lian Cu dalam-dalam.
“Nanti akan kuceritakan,
sekarang kau tolonglah aku, karena jika terlambat, penjahat itu akan kembali,
celakalah aku dan kau juga Taysu, akan celaka?!”
“Ohhhhh, kau telah dianiaya
oleh penjahat?” tanya pendeta itu lagi.
“Ya…… tolonglah aku, Taysu……!”
“Mari...... mari bangun!” kata
pendeta itu sambil mengulurkan tangannya.
“Aku dalam keadaan
tertotok……!” berkata Kam Lian Cu dengan isak tangisnya.
Hanya satu-satunya harapannya,
yaitu si pendeta. Karena jika si pendeta mau membawanya kabur meninggalkan
tempat itu dan jejak mereka tidak dapat dicari oleh si kakek Bun Siang Cuan,
maka si gadis akan terhindar dari perbuatan mesum terkutuk kera bulu kuning
itu.
“Gotonglah Taysu......
gotonglah aku…… aku dalam keadaan tertotok!” berseru ia kepada pendeta itu.
“Omitohud! Betapa jahatnya
penjahat itu mukamu pun telah rusak!” kata pendeta itu.
Dia memang seorang ahli silat
juga, seorang pendeta pengelana yang berilmu tinggi. Setelah memuji lagi akan
kebesaran sang Buddha, dia membuka totokan pada tubuh Kam Lian Cu.
Pendeta itu mengikuti sambil
bertanya-tanya kepadanya, apa sesungguhnya telah terjadi.
Tapi Kam Lian Cu tidak mau
menceritakannya, dia hanya bilang: “Nanti jika telah tiba di tempat aman, aku
akan menceritakannya, sekarang yang terpenting kita mencari tempat yang aman
buat menyingkirkan diri dari kejaran si penjahat.....!”
“Kau beritahukan kepada Lolap,
siapakah sebenarnya penjahat itu. Biarlah Lolap nanti pergi membasminya!” kata
pendeta itu gusar.
“Jangan Taysu, Taysu bukan
tandingannya, dia sangat lihay sekali.....!” kata Kam Lian Cu masih terus
berlari sekuat tenaganya.
Si pendeta tampak jadi
penasaran.
“Tapi lolap rela mengorbankan
jiwa untuk menumpas kebathilan dan kejahatan!” katanya kepada si gadis.
Kam Lian Cu tidak melayani,
dia berlari terus. Setelah berlari belasan lie, dilihatnya sebuah mulut lembah.
Tanpa pikir panjang lagi Kam Lian Cu berlari-lari masuk ke dalam lembah itu.
Si pendeta juga telah ikut
masuk ke dalam lembah. Masih Kam Lian Cu berlari terus, karena dia masih ingin
mencari tempat yang benar-benar terlindung dengan aman, tidak meninggalkan
jejak, sehingga Bun Siang Cuan tidak dapat mencarinya.
Jika dia terjatuh ke dalam
tangan Bun Siang Cuan lagi, tentunya Kam Lian Cu menjadi permainan dari si kera
bulu kuning itu. Dengan begitu pula akan membuatnya jadi bulan-bulanan
permainan hina dina!”
Jika menuruti hati kecilnya,
sesungguhnya Kam Lian Cu sudah tidak mau hidup.
Penderitaan malu yang
diperolehnya dari apa yang dilakukan oleh si kakek Bun Siang Cuan berdua dengan
kera bulu kuning itu, benar-benar membuat jiwa si gadis hancur.
Namun justeru dendamnya yang
membara kepada Bun Siang Cuan, kakek tua keparat yang dianggapnya sebagai
sumber dari bencana itu, dan biang keladinya juga, membuat dia tidak mau mati
dulu.
Dia bermaksud dan bertekad,
walaupun bagaimana hendak menuntut balas dan membunuh kakek tua itu dengan
tangannya sendiri. Juga dia ingin membunuh kera bulu kuning itu, Kim Go.
Karena itu, walaupun bagaimana
si gadis masih mau hidup, dia masih mau hidup, dia masih akan mempertahankan
jiwanya.
Ketika sampai di sebuah
lekukan tebing yang dalam sekali, merupakan tempat yang sangat baik buat
menyembunyikan diri, Kam Lian Cu akhirnya berhenti berlari dan merebahkan
dirinya di situ.
Napas Kam Lian Cu tampak
memburu keras, ia letih bukan main, karena tadi dia telah berlari sekuat
tenaganya.
Pendeta itu pun telah duduk di
dekatnya, tapi napasnya sama sekali tidak memburu. Sikapnya tetap tenang, dan
dia hanya tersenyum mengawasi si gadis.
Di kala itu Kam Lian Cu
kebetulan menoleh kepadanya, dia melihat keadaan si pendeta, jadi terkejut dan
bercampur dengan perasaan kagum.
Dengan keadaannya seperti itu
menunjukkan bahwa pendeta ini memang memiliki kepandaian yang tinggi.
Kam Lian Cu tadi telah berlari
begitu cepat dan juga telah berusaha untuk menggunakan seluruh tenaganya,
sampai ia begitu letih dan napasnya memburu keras.
Tapi kenyataannya pendeta itu
sama sekali tidak memburu sedikitpun juga napasnya. Dia malah tampak
tenang-tenang saja.
Dengan demikian seperti itu,
segera juga Kam Lian Cu dapat menarik kesimpulan bahwa pendeta ini tentunya
seorang yang memiliki kepandaian yang tidak ringan dan tidak mau menonjolkan
diri.
Sebagai seorang rimba
persilatan, si gadis yang juga mengerti, tentunya pendeta ini bukan orang
sembarangan. Cepat-cepat Kam Lian Cu bangun berdiri, dia menjatuhkan dirinya
dihadapan si pendeta. Sambil menangis menggerung-gerung dan katanya:
“Locianpwe, terima kasih atas
pertolongan locianpwe……!”
Pendeta itu memintanya agar
dia bangun dan tidak melakukan peradatan. Pendeta itu kemudian bilang:
“Sekarang maukah kau nona
menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi?!”
Pipi Kam Lian Cu berobah
merah. Dia malu bukan main mengingat lagi akan peristiwa yang membawa aib luar
biasa buat dirinya. Namun di antara isak tangisnya, dengan suara yang
tersendat-sendat, dia menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpah dirinya.
Mendengar cerita Kam Lian Cu
seperti itu, maka pendeta tersebut jadi merah padam, dia tampaknya murka bukan
main. Malah tangan kanannya telah menepuk batu di sampingnya.
“Plakkk!” batu itu kena
dihantamnya sampai sempal dan sebagian hancur menjadi bubuk. Malah dengan suara
mengandung kemurkaan dia bilang:
“Sungguh biadab sekali manusia
she Bun itu…..! Bun Siang Cuan. Itulah nama baru buat rimba persilatan. Tapi
perbuatannya ini, suatu perbuatan yang biadab yang selama ini belum pernah
Lolap dengar.......!”
Waktu berkata begitu, tubuh si
pendeta tampak menggigil keras karena menahan kemarahan yang sangat hebat.
Sedangkan Kam Lian Cu jadi
menangis tambah sedih terisak-isak.
“Sebetulnya Locianpwe.......
boanpwe tadinya bermaksud hendak membunuh diri. Tapi akhirnya boanpwe bertekad
buat hidup terus. Karena boanpwe bermaksud membalas sakit hati yang sedalam
lautan ini.....!” kata Kam Lian Cu kemudian.
Pendeta itu menghela napas
lagi.
“Kau jangan berputus asa dalam
usia semuda ini, karena masih banyak yang perlu engkau lakukan untuk dapat
melakukan perbuatan besar.....!” dan si pendeta telah mengawasi si gadis,
akhirnya dia menghela napas lagi.
“Nasibmu memang malang
benar.....!”
Tiba-tiba Kam Lian Cu telah
berlutut di hadapan si pendeta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa
kali. Dia menangis sesambatan.
Kemudian katanya di antara
isak tangisnya:
“Locianpwe, tolong boanpwe!
Terimalah boanpwe sebagai murid, karena boanpwe kelak hendak membalas sakit
hati dengan membunuh Bun Siang Cuan dengan tangan boanpwe sendiri, begitu juga
si..... si..... si kera..... kera bulu kuning itu.....!”
Pendeta itu tampak tertegun
sejenak. Sulit baginya buat menerima seorang murid wanita. Dia adalah seorang
pendeta, dengan demikian tidak pantas dilihat umum kalau saja memang dia
menerima seorang murid wanita.
Akhirnya pendeta itu menghela
napas.
“Baiklah.....!” katanya
kemudian dengan suara yang terharu. “Aku bersedia menerima engkau, tapi bukan
sebagai murid, hanya sebagai sesama manusia yang tengah dalam kesulitan dan
ditimpah bencana, di mana Lolap akan mewarisi seluruh kepandaian dan ilmu
Lolap..... Namun tidak bisa di antara kita diadakan sebutan Suhu atau murid.
Mengertikah kau?!”
Bukan kepalang girangnya Kam
Lian Cu, ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali.
“Terima kasih Locianpwe…..
terima kasih locianpwe..... boanpwe sangat bersyukur sekali!” kata Kam Lian Cu,
karena kini muncul setitik harapan di dalam hatinya.
Walaupun kepandaian Bun Siang
Cuan sangat tinggi sekali, tapi dengan mempelajari ilmu silat si pendeta yang
tampaknya juga tidak rendah, dan juga mengharapkan dengan latihan yang tekun,
Kam Lian Cu bisa memperoleh kepandaian yang tinggi. Dan dengan bertambah tuanya
usia dari kakek Bun Siang Cuan tentu tenaganya agak berkurang, maka ada harapan
bahwa ia kelak akan berhasil membalas sakit hatinya itu.
Si pendeta telah memimpin Kam
Lian Cu buat bangun berdiri. Dia pun telah bilang:
“Lolap harap kau belajar
dengan tekun dan giat. Karena dengan mempelajari seluruh kepandaian lolap, tapi
tanpa berlatih dengan sebaik mungkin, tidak mungkin kau akan dapat menguasai
seluruh ilmu silat itu dengan baik. Mengertikah kau?!”
Kam Lian Cu mengangguk
beberapa kali mengiyakan.
Begitulah, mereka berdua telah
memasuki lembah itu lebih dalam lagi. Mereka mencari tempat yang sekiranya
cocok buat menjadi tempat tinggal mereka.
Di dalam lembah itu memang
terdapat banyak sekali goa-goa, dan juga banyak tebing-tebing yang bertonjolan.
Dengan demikian tidak sedikit tempat yang bisa dipergunakan sebagai tempat
tinggal atau berteduh.
Tapi Kam Lian Cu dan si
pendeta mencari tempat yang benar-benar tersembunyi yang sekiranya sulit
ditemukan orang yang kebetulan lewat di tempat itu.
Akhirnya mereka memilih sebuah
goa yang tidak jauh dari lekukan batu tebing. Dengan demikian goa ini berada di
belakang lekukan batu tebing. Jika memang orang tidak memperhatikan dengan
teliti dan baik-baik, tentu tidak mengetahui di belakang tebing itu ada goa
yang tersembunyi.......
Demikianlah, Kam Lian Cu mulai
melatih diri di bawah bimbingan pendeta itu.
Ia memang telah memiliki
kepandaian yang tinggi. Sekarang memperoleh petunjuk dari guru tak resminya
itu, kepandaian dari tingkat atas, membuat Kam Lian Cu memperoleh kemajuan yang
pesat.
Yang membuat pendeta itu jadi
girang, justeru setiap jurus yang diturunkannya, dapat dicernakan oleh Kam Lian
Cu dengan mudah dan cepat.
Di samping tekadnya yang kuat,
Kam Lian Cu memang memiliki bakat dan tulang yang bagus. Karenanya, semakin
lama si pendeta semakin tertarik pada Kam Lian Cu. Hanya disayangkan olehnya
bahwa Kam Lian Cu adalah seorang wanita, dengan demikian, tentu saja sulit buat
dia menerimanya dengan resmi sebagai muridnya.
Tapi si pendeta
bersungguh-sungguh sekali dalam mewarisi kepandaiannya. Dia telah menurunkan
ilmu silat yang hebat dan cara melatih lweekang yang benar-benar ampuh sekali
dari tingkat tinggi.
Kam Lian Cu giat sekali
berlatih diri. Dia tidak mengenal lelah dan berlatih terus dengan rajin,
sehingga dia memperoleh kemajuan yang sangat pesat.
Namun jika dia tengah duduk
termenung seorang diri, air matanya sering menitik berlinang, karena dia
berduka bukan main mengingat akan nasibnya yang sangat buruk itu.
Dia masih berusia muda sekali.
Cantik jelita. Juga memiliki bentuk tubuh yang menarik. Dia pun telah mencintai
Ko Tie, dan tampaknya Ko Tie pun mencintainya.
Tapi sekarang, justeru dia
telah berpisah dengan Ko Tie dan akhirnya mengalami peristiwa yang biadab dan
menyedihkan sekali itu. Benar-benar membuat hati si gadis jadi hancur.
Terlebih lagi sekarang
wajahnya pun terdapat cacad bekas cakaran kuku dari kera bulu kuning itu,
sehingga wajahnya, walaupun memang masih tampak sisa-sisa kecantikannya, tokh
mukanya itu tampak jadi menyeramkan.
Dan setiap kali teringat akan
semua itu, Kam Lian Cu jadi berduka. Hatinya hancur dan air matanya telah
menitik turun.
Tanpa disadarinya, dia telah
belajar ilmu silat kepada si pendeta selama empat bulan.......
Di waktu itu, tubuhnya pun
mengalami perobahan, karena perutnya dari pertama, bulan ke dua dan ke tiga,
lalu memasuki bulan ke empat, berobah menjadi besar.
Semula Kam Lian Cu menduga
bahwa ia bertambah gemuk. Akan tetapi seketika ia memberitahukan keadaannya
kepada si pendeta.
Dan juga memang belakangan ini
si pendeta sering memperhatikan perobahan perut Kam Lian Cu, jadi memeriksa
dengan memegang nadi dipergelangan tangan Kam Lian Cu.
Wajah si pendeta berobah.
“Oohh, inilah urusan yang
benar-benar ajaib sekali!” mengeluh si pendeta yang mukanya segera
memperlihatkan perasaan tegang sekali.
“Siancai! Siancai! Kau dalam
keadaan mengandung.....!”
Bukan kepalang kagetnya Kam
Lian Cu. Dia mengandung? Apakah hubungan dengan kera kuning itu bisa membuahi
rahimnya? Benar-benar tidak masuk akal!
Si gadis jadi menangis
menggerung-gerung. Dia tidak bisa membayangkannya, entah bagaimana kelak jika
anaknya ini telah dilahirkan. Dan dia tidak berani membayangkan juga, entah
bagaimana bentuk dari anaknya itu kelak.
Bukankah ia yang mengetahui
dengan pasti, bahwa ia “diperkosa” oleh kera berbulu kuning. Apakah hubungan
tersebut justeru dapat membuahi seorang anak?
Apakah antara kera dengan
manusia bisa terjadi sesuatu kehamilan? Betul-betul membuat hati Kam Lian Cu
tambah berduka saja.
Ia menangis menggerung-gerung
dan hampir jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Si pendeta telah menghiburnya.
Begitulah tiga hari tiga malam
Kam Lian Cu menangis tidak hentinya menyesali akan nasibnya. Bahkan dia pun
telah bermaksud untuk membunuh diri saja.
Betapa memalukan sekali!
Bagaimana kelak jika ia telah melahirkan
dan yang dilahirkannya itu adalah seorang bayi, yang keadaannya mirip dengan
seekor kera? Atau memang benar-benar dia melahirkan bayi seekor kera?
Dan Kam Lian Cu tidak bisa
membayangkan apa yang harus dilakukannya di waktu itu. Membunuh bayi itu? Atau
pun memeliharanya? Apakah bayinya itu akan bisa bicara?
Sebetulnya, Kam Lian Cu sudah
tidak kuat menanggung semua penderitaan ini. Terlebih lagi setelah dia
mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan mengandung.
Hanya saja disebabkan
dendamnya yang besar terhadap Bun Siang Cuan, telah membuat dia menguatkan
hatinya untuk hidup terus. Dan juga memang si pendeta selalu menghiburnya,
meminta agar Kam Lian Cu menguatkan hatinya.
Karena dari itu, akhirnya dia
bisa menguatkan hatinya dan dia pun telah berhasil untuk dapat menetapkan
pendiriannya, bahwa dia siap menantikan kelahiran bayinya itu.
Walau bagaimana bentuk bayi
itu, tokh tetap saja anaknya. Hanya saja kedatangan anak itu di permukaan bumi
ini, akan mendatangkan linangan air mata calon sang ibu tersebut.
Si pendeta semakin sayang dan
berkasihan terhadap nasib si gadis. Dia bisa membayangkan betapa hebatnya
penderitaan bathin dari Kam Lian Cu, karena memang di waktu itu bisa
dibayangkan, bagaimana perasaan dari Kam Lian Cu yang menantikan kelahiran
bayinya, akibat dari benih yang disebarkan oleh seekor kera di dalam rahimnya?
Dan urusan ini memang
merupakan peristiwa yang jarang sekali terjadi. Peristiwa yang benar-benar
sangat hebat sekali, peristiwa yang mungkin akan mencengangkan setiap orang yang
mendengarnya.
Dan Kam Lian Cu sebagai orang
yang bersangkutan, tentu saja menerima percobaan hidupnya ini dengan hati yang
terluka dan hancur sekali diliputi oleh kesedihan yang tidak terkira……
Di waktu itu si pendeta telah
menasehati si gadis, karena sekarang telah diketahui bahwa Kam Lian Cu tengah
hamil, maka dia tidak boleh melatih ilmu silat yang berat-berat. Juga tidak
boleh melatih ilmu sin-kang yang terlalu tinggi.
Jika setiap hari dia melatih
sin-kangnya, karena ilmu tenaga dalamnya merupakan hawa murni yang mengelilingi
perutnya, tentu akan membuat gangguan yang tidak kecil buat kandungannya itu.
Kam Lian Cu mematuhi akan
nasehat si pendeta. Dia pun terus banyak beristirahat.
Dan yang luar biasa tabahnya
gadis ini, ia pun bersedia dengan penuh tekad dan kesabaran menantikan
kelahiran bayinya. Walaupun bagaimana, yang berada dalam kandungannya adalah
bayinya.
Cuma saja yang dikuatirkannya,
begitu ia melahirkan, yang dilahirkannya adalah bayi dalam bentuk seratus
prosen seekor kera..... Dan dia pun tidak bisa membayangkan, entah dengan cara
bagaimana kelak dia melatih anaknya itu, kalau memang bayi itu dalam bentuk
kera.
Tentunya pun tidak akan
secerdik manusia..... tapi jelek, bagus atau pun juga bodoh atau pintarnya bayi
itu, tetap saja bayi tersebut anaknya. Dan ia memang akan mencintainya, cinta
seorang ibu.......
Giok Hoa telah kita tinggalkan
cukup lama, marilah sekarang kita melihat keadaannya.
Giok Hoa telah berkelana dari
kota yang satu ke kota lainnya. Diapun berusaha menyelidiki di mana jejak Ko
Tie, karena iapun sangat menguatirkan sekali kalau-kalau terjadi sesuatu pada
diri pemuda itu.
Ia mengakui, memang ia sangat
mencintai Ko Tie. Jika sebelumnya dia tidak merasakan terlalu keras perasaannya
itu, dan ia pun kurang begitu yakin dia mencintai Ko Tie.
Tapi setelah ia berpisah
dengan Ko Tie dan kehilangan jejak pemuda itu, barulah dia merasakan betapa pun
juga ia sangat membutuhkan sekali pemuda itu. Ia sangat merindukannya.
Seringkali jika malam hari dia
tengah berada di kamar rumah penginapan yang disinggahinya, si gadis jadi duduk
termenung dengan hati yang sangat rindu sekali kepada Ko Tie.
Dan dia mengharapkan dapat
bertemu dengan Ko Tie secepat mungkin.
Tapi usahanya itu, yang
berusaha menyelidiki jejak Ko Tie tetap saja tidak berhasil. Karena dia tidak
pernah mendengar perihal si pemuda.
Keadaan seperti ini telah
membuat Giok Hoa jadi berduka bukan main. Tubuhnya juga agak kurus, karena
selalu memikirkan pemuda pujaan hatinya itu.
Demikianlah, dia menyesali
juga tindakannya, yang telah meninggalkan rumah penginapan dan dari Ko Tie
begitu saja. Dia telah membawakan adatnya begitu dan memisahkan diri dengan Ko
Tie.
Dia telah meninggalkan surat
buat Ko Tie, di mana dia menjelaskan bahwa dia telah pergi hendak berkelana seorang
diri.
Namun setelah dia mengetahui
bahwa dirinya sangat merindukan Ko Tie, segalanya telah terlambat. Dia telah
demikian rindunya walaupun dia berpisah dengan Ko Tie belum lagi begitu lama.
Juga diapun segera berobah
haluan, dia mencari Ko Tie lagi. Justeru sekarang tidak mudah baginya buat
mencari Ko Tie, karena Ko Tie seperti juga telah lenyap begitu saja dari
tempatnya, dan tidak meninggalkan jejak.
Giok Hoa mencarinya ke sana ke
mari, dengan perasaan rindu yang semakin mencekam dirinya. Sayangnya Giok Hoa
tetap saja tidak berhasil dengan usahanya tersebut.
Akhirnya Giok Hoa berusaha
mengendalikan perasaan rindunya itu. Dia mengalihkan perhatiannya dengan
berusaha turun tangan membantu orang-orang yang tengah dalam kesulitan dan juga
terancam bahaya oleh perbuatan si jahat tapi kuat.
Karena itu, sedikitnya, Giok
Hoa bisa mengalihkan perhatiannya dan setiap hari tidak memikirkan Ko Tie
selalu.
Memang terkadang sulit sekali
menduga hati wanita. Jika sebelumnya Giok Hoa yang meninggalkan Ko Tie. Dia
hanya meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan bahwa dia telah berangkat
lebih dulu dan melanjutkannya seorang diri.
Namun setelah berpisah, justru
timbul rindunya dan Giok Hoa menyadarinya bahwa dia sangat membutuhkan dan
mencintai Ko Tie. Tapi justeru belakangan dia sulit sekali buat mencari jejak
Ko Tie.
Dengan begitu, akhirnya si
gadis hanya mengharap kelak dia bisa bertemu lagi dengan Ko Tie. Dia telah tiba
di kota yang cukup ramai dalam bilangan propinsi Hu-nan.
Kota itu dikenal sebagai kota
yang berpenduduk rapat sekali, karena merupakan simpang lintas dari
kampung-kampung yang ada di sekitarnya dan tempat ditumpahkannya barang-barang
kebutuhan dari penduduk kampung di sekitarnya. Kota itu bernama Yun-cie-kwan.
Dan memang Yun-cie-kwan merupakan
sebuah kota yang luas sekali. Semakin lama kota itu semakin melebar juga. Jika
sebelumnya kota itu hanya memiliki empat pintu kota, maka sekarang jadi delapan
pintu kota.
Sebuah kota dengan pintu kota
sejumlah delapan buah itu, menunjukkan bahwa kota tersebut memang merupakan
kota yang terhitung besar. Terlebih lagi penduduknya juga sangat padat dan
ramai sekali.
Giok Hoa tiba di kota tersebut
di waktu mendekati sore hari. Dia segera memasuki sebuah rumah makan yang cukup
besar dan bertingkat dua.
Dia telah pergi ke tingkat
dua, pelayan melayaninya dengan ramah sekali. Dan Giok Hoa itu berpakaian
sebagai seorang pria dengan demikian membuat orang-orang di dalam rumah makan
itu sama sekali tidak memperhatikannya.
Giok Hoa bersantap dengan
cepat. Kemudian ia membayar harga makanan, dan menanyakan kepada pelayan, di
mana dia bisa memperoleh rumah penginapan yang cukup baik dan bersih.
Pelayan itu mengawasi Giok Hoa
beberapa saat. Dilihatnya si “pemuda” adalah seorang yang putih dan tampan
sekali, sehingga tentunya dia adalah pemuda dari keluarga kaya. Dia tentu juga
menginginkan sebuah rumah penginapan yang besar dan bersih.
“Mungkin di Tian-men terdapat
kamar kosong, coba saja Kongcu lihat ke sana..... Tapi menurut kabar yang kami
dengar, di Tian-men justeru tengah diadakan pesta buat para pembesar setempat,
yang menerima kunjungan para pembesar ibu kota.....
“Karena itu, mungkin tidak ada
kamar kosong. Rumah penginapan itu satu-satunya merupakan rumah penginapan yang
termewah dan terbesar.”
Giok Hoa mengangguk. Setelah
mendengar keterangan di mana letak rumah penginapan tersebut, diapun segera
meninggalkan rumah makan itu.
Ketika dia tiba di depan rumah
penginapan Tian-men, benar saja, rumah penginapan itu ramai bukan main. Juga
tampaknya banyak sekali pembesar kerajaan.
Mereka rupanya tengah berpesta
dan seluruh kamar telah dipakai oleh para pembesar kerajaan, karena waktu Giok
Hoa, hendak memasuki rumah penginapan itu, dia telah dihadang oleh seorang
pelayan, yang memberitahukan kepadanya, orang luar tidak boleh masuk, karena
rumah penginapan Tian-men hari ini tidak melayani tamu umum, telah diborong
oleh pembesar kerajaan.
Giok Hoa akhirnya meninggalkan
rumah penginapan itu. Dia berjalan mengelilingi kota karena dia bermaksud
hendak mencari sebuah rumah penginapan lainnya.
Tapi, ia melihat sebuah rumah
penginapan yang tidak begitu besar dan agak kotor. Si gadis tidak menyukai
tempat seperti itu.
Terlebih kemudian dia melihat
di dalam rumah penginapan itu seperti juga berkumpul cukup banyak buaya-buaya
darat. Maka dia telah batal memasuki rumah penginapan tersebut dan mencari
rumah penginapan lainnya.
Setelah menilai dan
mempertimbangkan di antara empat rumah penginapan, akhirnya Giok Hoa memilih
rumah penginapan yang memasang merek Kuo-men, di jalan Cing-lu, di mana rumah
penginapan itu memang cukup bersih dan besar. Tapi yang mengherankan rumah
penginapan ini sepi sekali, hanya tampak satu-dua orang tamu belaka.
Para pelayan di rumah
penginapan ini tampak menganggur karena tidak ada kesibukan buat mereka.
Giok Hoa disambut oleh dua
orang pelayan dengan ramah dan sopan, menghormat sekali. Mereka telah
menanyakan apakah tamu ini membutuhkan kamar.
Giok Hoa meminta sebuah kamar
yang bersih, kemudian dia dibawa oleh pelayan itu ke tingkat dua, di sebuah
kamar yang bersih dan teratur baik. Dia bisa beristirahat dengan tenang.
Ketika Giok Hoa merebahkan
dirinya di pembaringannya, pikirannya jadi melayang-layang. Dia teringat Ko Tie
lagi.
Betapa tidak, perasaan
rindunya demikian kuat sekali mendesak Ko Tie.
Justeru sekarang di saat dia
berpisah dengan Ko Tie, dia baru menyadarinya, betapapun dia sesungguhnya
memang sangat membutuhkan Ko Tie, sangat mencintainya. Dengan adanya Ko Tie,
dia tidak pernah merasa kesepian seperti itu.
Giok Hoa pun teringat kepada
gurunya! Kepada Swat Tocu, entah apa yang mereka lakukan. Dan juga gurunya
tentu bergaul dengan baik bersama Swat Tocu, tokoh sakti itu. Dan tentunya
gurunya tidak akan kesepian.
Tapi, menurut pengamatan Giok
Hoa selama menjadi murid gurunya, dia memperoleh kenyataan gurunya itu lebih
senang buat mengurung diri mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Entah Swat
Tocu mau meluluskan permintaan gurunya yang bermaksud untuk minta agar Swat
Tocu mengajarkan kepadanya ilmu sin-kangnya yang istimewa, yaitu ilmu Inti
Esnya.
Sebelum Giok Hoa berangkat
bersama Ko Tie, memang guru Giok Hoa pernah memberitahukan kepadanya, bahwa
gurunya itu bermaksud meminta kepada Swat Tocu untuk mengajarkan kepadanya ilmu
Pukulan Inti Es nya. Tapi Giok Hoa sendiri tidak yakin bahwa Swat Tocu bersedia
mengajarkan ilmu andalannya itu.
Tengah rebah di pembaringan
seperti itu pikiran Giok Hoa jadi menerawang ke sana ke mari. Dan akhirnya dia
memutuskan untuk keliling kota melihat-lihat keramaian di kota itu, karena ia
belum lagi bisa tidur. Karenanya Giok Hoa turun dari pembaringan dan dia
mengenakan baju luarnya.
Tapi ketika dia mengenakan
baju luarnya tiba-tiba dia merandek. Karena dia merasakan ada sesuatu yang
dicurigakannya, dia merasakan, seperti juga ada seseorang yang tengah mengintai
dirinya.
Dengan segera Giok Hoa
memperhatikan keadaan di kamarnya itu, dan dia yakin ada orang mengintai dari
lobang kunci di pintu kamarnya.
Tahu-tahu dengan gerakan yang
sebat sekali seperti terbang, ia melesat ke pintu. Pintu itu dibukanya dengan
mendadak sekali, digentaknya. Dan di hadapannya berdiri si pelayan dengan wajah
yang sangat pucat pias.
“Apa kerjamu mengintai di
situ?” bentak Giok Hoa marah.
Pelayan itu yang ketangkap
basah atas perbuatannya itu, jadi meringis salah tingkah.
“Aku…… aku….. aku ingin
menanyakan kepada kau, Kongcu. Apa yang ingin kongcu pesan, apakah air teh atau
makanan kecil?”
Giok Hoa menjambak baju di
dada pelayan itu, katanya dengan suara yang bengis: “Katakan terus terang, apa
maksudmu mengintai di situ?”
Pelayan itu kesakitan.
“Lepaskan…… oooohhhhh,
lepaskan……!” katanya ketakutan sekali. Mukanya juga pucat pias seperti mayat!
“Jika memang engkau tidak mau
mengatakan yang sebenarnya, hemmmm akan kuhajar kau!” kata Giok Hoa dengan
sikap mengancam dan matanya memandang tajam.
Pelayan itu jadi ketakutan,
terlebih lagi dia merasakan cengkeraman tangan Giok Hoa semakin kuat dan keras,
menyebabkan dia menderita kesakitan.
“Aku..... aku mohon maaf.....
memang aku…… aku sengaja mengintai..... karena……!” Dan pelayan itu tidak
meneruskan perkataannya.
“Katakan terus, karena apa?”
bentak Giok Hoa dengan suara yang bengis.
“Karena…… karena aku melihat……
Kongcu mirip…… mirip seorang wanita, dan aku ingin mengetahui apakah Kongcu
memang sesungguhnya seorang wanita yang tengah menyamar!” mengaku si pelayan.
Seketika juga Giok Hoa
menyadari bahwa pelayan itu seorang yang ceriwis. Rupanya penyamarannya sebagai
seorang pria tidak sempurna, sehingga pelayan ini dapat menduga dia adalah
seorang wanita yang tengah menyamar.
Dan memang pada dasarnya
pelayan itu yang ceriwis, yang mungkin memiliki kegemaran mengintip, maka
dengan segera tangan Giok Hoa digerakkan. Dia melemparkan tubuh si pelayan,
sehingga pelayan itu terbanting di lantai lebih beberapa tombak dan
menggelinding bergulingan sambil menjerit-jerit.
Pelayan-pelayan lain yang
mendengar suara ribut-ribut itu, segera juga berlari menghampiri.
Mereka berdiri tertegun
menyaksikan apa yang terjadi, dan muka mereka pun berobah. Tampaknya mereka
jadi tidak senang ketika memandang kepada Giok Hoa.
Giok Hoa tidak memperdulikan
sikap para pelayan itu, dengan suara yang bengis dia bilang: “Jika dilain kali
aku mengamproki kau masih mengintip juga, maka di waktu itu tidak ada tawar
menawar, tentu aku akan membunuhmu……!”
Setelah berada di dalam
kamarnya, Giok Hoa memasang pendengarannya. Dia tidak mendengar sesuatu yang
mencurigakan.
Dibukanya pakaian baju
luarnya, kemudian dia pun telah membuka juga bajunya untuk salin dengan baju
tidurnya.
Tanpa setahu Giok Hoa,
sesungguhnya beberapa orang pelayan yang tadi di luar rumah penginapan itu,
sebetulnya telah bersiap-siap hendak mengintainya lagi.
Ketika Giok Hoa telah masuk ke
dalam kamarnya, lima orang pelayan itu berindap-indap menuju ke belakang rumah
penginapan, bagian taman bunga. Ternyata tembok kamar Giok Hoa memang
menghadapi taman bunga itu.
Dengan hati-hati sekali ke
lima pelayan tersebut telah menghampiri jendela. Merekapun telah mengintai dari
lobang-lobang yang sebelumnya telah mereka bikin.
Seketika ke lima pelayan itu
jadi terbelalak matanya. Karena mereka segera juga melihat bahwa Giok Hoa
memang bukan seorang pemuda, melainkan seorang gadis.
Karena waktu itu Giok Hoa
telah membuka baju luarnya kemudian baju dalamnya, tampak dadanya yang kulitnya
begitu putih seperti salju.
Jantung ke lima pelayan itu
berdebar keras. Karena mereka jadi mengawasi dengan perasaan yang bergolak di
dalam hatinya masing-masing melihat seorang gadis cantik jelita yang tengah
salin pakaian.
Dan waktu itu Giok Hoapun
telah membuka kopiahnya, sehingga rambutnya yang panjang dan hitam lemas itu
tergerai di bahunya, menambah kecantikannya.
Benar-benar para pelayan itu
tidak menyangka bahwa “pemuda” tersebut adalah seorang gadis yang demikian
jelita.
Mereka jadi mengintip terus,
dan mereka melihat Giok Hoa telah merebahkan dirinya di pembaringan. Tangan
kanannya dikebaskan, api lilin segera padam.
Menyaksikan hebatnya tenaga
dalam gadis itu, ke lima pelayan tersebut jadi meleletkan lidahnya dan mereka
saling pandang beberapa saat, mereka kagum dan juga jeri,
Kemudian dengan berindap-indap
hati-hati sekali merekapun meninggalkan tempat mengintai mereka, karena kamar
itu sudah gelap dan mereka tidak bisa melihat sesuatu apapun juga.
Salah seorang di antara
mereka, ketika telah berada di ruang depan rumah penginapan itu, segera
berkata: “Kita harus segera melapor kepada Lo-ya.....!”
“Ya, tentu Lo-ya akan girang
bukan main, kita akan diberi hadiah!” menyahuti yang lain.
Segera juga tiga orang dari ke
lima pelayan itu pergi ke ruang tengah penginapan tersebut! Tiba di depan
sebuah kamar, salah seorang di antara mereka telah mengetuk pintu.
“Mau apa?” terdengar orang di
dalam kamar itu menegur, rupanya dia telah dapat menduga siapa yang mengetuk
kamar tersebut!
“Ada berita bagus,
Lo-ya.....!” menyahuti ke tiga pelayan itu serentak, namun dengan suara yang
perlahan.
“Berita bagus? Masuk!”
perintah orang di dalam kamar itu.
Pelayan-pelayan itu segera
mendorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci.
Di atas pembaringan tampak
rebah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun. wajahnya keren, di mana dia
memiliki sepasang alis yang tebal. Bibir yang tebal dan hidung yang tebal.
Gagah sekali tampaknya. Dia mengawasi ke tiga orang pelayan yang baru masuk
itu!
“Kabar bagus apa yang kalian
bawa?” tanya orang itu, yang dipanggil Lo-ya.
Kedua pelayan itu
masing-masing memperlihatkan sikap girang, sambil mengacungkan ibu jari mereka.
“Kabar yang benar-benar
menggembirakan! Ada ikan kakap yang masuk jaring.....!” kata mereka hampir
berbareng.
“Gadis yang cantik luar biasa
Lo-ya.....!” kata yang lainnya kemudian.
“Cantik luar biasa.....!”
nimbrung yang lainnya lagi, untuk meyakinkan si Lo-ya itu.
Lo-ya itu duduk dan mengawasi
ke tiga pelayan itu.
“Kalian apakah bukan tengah
mempermainkan aku?” tanya Lo-ya itu tersenyum,
“Mana berani! Mana berani!”
menyahuti ke tiga pelayan itu yang tersenyum juga. “Memang gadis itu cantik
bukan main. Mungkin selama ini, baru kali ini rumah penginapan kita menerima
kunjungan tamu seorang gadis secantik dia........!”
“Di kamar berapa?” tanya si
Lo-ya.
“Kamar duapuluh empat......!”
“Seorang diri?”
“Ya, dia seorang diri……!”
“Sudah tidur?”
“Kami baru saja mengintainya……
Api penerangan kamarnya telah dipadamkan setelah dia naik ke pembaringan.
Diapun telah salin pakaian. Kami telah melihatnya semua, Lo-ya, ohhhh, betapa
putihnya kulitnya……”
Mata Lo-ya itu mencilak memain
sejenak, wajahnya tampak berseri-seri.
“Hemmmm, jika memang berita
kalian ini bukan kabar bohong, aku akan menghadiahkan kepada kalian sejumlah
besar uang……!” janjinya.
“Terima kasih Lo-ya…… memang
itu yang kami harapkan……!” kata ke tiga pelayan itu.
“Tapi Lo-ya.....!” Dan berkata
sampai di situ, salah seorang dari ke tiga pelayan itu telah berhenti sejenak,
tampaknya dia ragu-ragu.
“Kenapa?!”
“Tampaknya gadis itu memiliki
ilmu silat yang tidak ringan!” menyahuti si pelayan.
Dia menceritakan juga, waktu
sore tadi justeru salah seorang kawan mereka telah mengintai dari pintu dan
diketahui si gadis yang telah menghantamnya. Untung saja dia diampuni.
Lo-ya itu tersenyum.
“Jadi dia gadis dari kalangan
Kang-ouw?” tanyanya dengan suara yang tawar.
Pelayan-pelayan itu mengangguk
serentak.
“Tampaknya memang
demikian.....!” kata mereka serentak juga.
Lo-ya itu tersenyum.
“Jangan kuatir. Bagaimana
tingginya kepandaian gadis itu, aku akan dapat menghadapinya.....!” katanya
kemudian sambil tertawa tawar, seperti juga dia tidak memandang sebelah mata
terhadap cerita para pelayan itu.
Kemudian Lo-ya itu telah turun
dari pembaringan, dia mengenakan baju luarnya.
“Kalian boleh pergi, nanti
jika sudah berhasil, aku akan memberikan hadiahnya.......!” kata Lo-ya itu.
Ke tiga pelayan itu nyengir.
“Jika bisa sekarang saja
diberikan sebagian, Lo-ya. Kami ingin minum arak……!” kata salah seorang di
antara mereka.
“Tapi jika kalian mendustai
aku?!” tanya si Lo-ya itu sambil senyum dan mengawasi dengan pandangan
menyelidik kepada ke tiga pelayan tersebut.
“Mana berani kami memperdaya
Lo-ya....., kami telah memberitahukan apa yang sebenarnya!”
“Hemmm, baiklah!” kata Lo-ya
itu, dia merogoh sakunya, memberikan duapuluh tail.
Pelayan-pelayan itu
kegirangan, mereka mengucapkan terima kasihnya berulang kali.
Setelah pelayan itu pergi, si
Lo-ya kemudian pergi ke belakang rumah penginapan itu, ke taman bunga.
Dia mengetahui, jendela mana
yang merupakan jendela kamar dari nomor duapuluh empat itu.
Dia pun menghampiri dengan
langkah kaki yang ringan, tidak memperdengarkan suara.
Ketika sampai di samping
jendela, dia merogoh sakunya, mengeluarkan semacam obat bubuk, yang kemudian
dibakarnya.
Asap yang keluar dari obat
bubuk yang dibakarnya itu, telah melambung tinggi. Dia meniupnya
perlahan-lahan, sehingga asap itu menyelusup masuk ke dalam kamar.
Rupanya si Lo-ya tengah
membakar semacam obat bius, untuk membuat Giok Hoa di dalam kamar itu tidak
sadarkan diri, dan dia akan mudah melakukan apa yang diinginkannya.
Asap itu memang menyelusup
masuk ke dalam kamar tersebut melewati kisi-kisi jendela.
Setelah menantikan sekian
lamanya, akhirnya si Lo-ya beranggapan telah cukup dia menghembuskan asap obat
pulasnya itu. Dengan gembira dia mengulurkan tangannya, berani sekali dia
mencongkel jendela, daun jendela itu terbuka. Keadaan di dalam kamar gelap
sekali, tapi dia melompat masuk.
“Bukkk! Aduhhh!” Tiba-tiba
dalam kegelapan itu terdengar suara yang nyaring di susul jeritan si Lo-ya.
Malah tidak lama kemudian
tampak si Lo-ya telah melompat keluar lewat jendela itu. Mukanya meringis
menahan sakit.
Menyusul dengan melompatnya si
Lo-ya, juga menyusul sesosok bayangan yang melompat keluar jendela.
Dialah Giok Hoa, yang mukanya
merah padam karena murka bukan main.
“Hemmm……!” dia mendengus
dengan suara yang dingin sekali. “Kau Cay-hoa-cat yang tidak tahu mampus!”
Setelah berkata begitu, pedang di tangannya menikam berulang kali.
Tapi Lo-ya itu telah mengelak
ke sana ke mari, dia ripuh sekali. Rupanya usahanya kali ini telah gagal, malah
dia kena terpancing oleh Giok Hoa.
Mengapa Giok Hoa tidak
terpengaruh oleh obat bius tersebut?
Rupanya Giok Hoa memang
menaruh kecurigaan bahwa di rumah penginapan ini memiliki pelayan-pelayan yang
tidak baik. Walaupun sesungguhnya dia mengantuk, namun dia tidak segera
tertidur.
Pendengarannya yang tajam
segera mendengar suara langkah kaki mendekati jendela kamarnya. Waktu itu
keadaan malam hening sekali, sehingga dia bisa mendengar jelas suara langkah
kaki itu.
Jika memang orang biasa, tentu
tidak akan dapat mendengar suara langkah kaki yang perlahan sekali. Tapi bagi
Giok Hoa yang memang memiliki pendengaran yang tajam, segera mengetahui ada
seseorang yang tengah mendekati jendela kamarnya.
Malah menyusul kemudian
didengarnya suara dinyalakannya bibit api.
Diapun segera mencium bau
harum. Seketika Giok Hoa menyadari tentunya ada seorang Cay-hoa-cat yang hendak
mengganggunya dengan mempergunakan obat bius.
Dia segera mengeluarkan tempat
simpanan obatnya. Dia pun telah menelan sebutir obat sehingga dia tidak
terpengaruh oleh obat bius tersebut.
Kemudian Giok Hoa pun
bersiap-siap di sudut ruangan itu dekat jendela. Dia menantikan sampai si
maling pemetik bunga itu hendak bekerja dan masuk ke dalam kamarnya.
Benar saja, setelah asap itu
berkurang, daun jendela dicongkel oleh seseorang, dari luar. Giok Hoa tetap
menantikan dengan sabar. Keadaan di dalam kamarnya memang gelap gulita,
karenanya Giok Hoa tidak perlu kuatir.
Dia memiliki mata yang tajam,
yang bisa melihat dalam kegelapan. Karena dari itu, seketika juga dia telah
melihat Lo-ya itu melompat masuk ke kamarnya lewat jendela.
Secepat kilat pedangnya
bekerja menikam. Namun si Lo-ya bisa mengelakkan dari tikaman pedang itu. Cuma
saja hantaman tangan kiri Giok Hoa telah mengenai dada si Lo-ya.
Suara “Bukkk!” itulah yang
terdengar akibat terpukulnya si Lo-ya, di susul dengan jerit kesakitan dari si
Lo-ya itu sendiri.
Tapi memang Lo-ya itupun
tampaknya memiliki kepandaian tidak rendah. Dia telah dapat melompat keluar
dari kamar itu lewat jendela yang tadi dibukanya.
Giok Hoa mengejarnya.
Sekarang mereka telah
berhadapan dan Giok Hoa pun mulai menyerang dengan pedangnya. Si Lo-ya mengelak
ke sana ke mari dengan lincah sekali.
Giok Hoa tambah penasaran.
“Hemmm, tidak tahunya di
daerah ini berkeliaran seorang pemetik bunga! Jika aku tidak dapat membunuhmu
hari ini, tentu di belakang hari engkau akan menyebabkan jatuhnya korban yang
cukup banyak! Karena itu engkau harus dimampusi!”
Sambil berseru begitu, tampak
dia telah menikam berulang kali mempergunakan pedangnya.
Si Lo-ya tampaknya jadi ripuh
sekali, karena si gadis telah menikamnya dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu
pedang Giok-lie-kiam-hoat, yang hebat itu.
Si Lo-ya berusaha mati-matian
mengelakan diri dari setiap tikaman si gadis, sampai akhirnya dia baru memiliki
kesempatan buat mencabut senjatanya, sebatang golok berukuran kecil.
Dia mempergunakan golok
kecilnya itu buat menangkis salah satu tikaman yang dilakukan Giok Hoa.
“Tranggggg......!” terdengar
pedang dan golok itu telah saling bentur.
Benturan yang terjadi begitu
keras dan kuat, sehingga golok dan pedang sama-sama tergetar. Rupanya memang si
Lo-ya ini telah mengerahkan tenaga lweekangnya waktu menangkis.
Giok Hoa tercekat juga
hatinya, diam-diam dia berpikir: “Hemmm, tidak kusangka dia memiliki kepandaian
yang lumayan…… Jika demikian dialah bukan seorang pemetik bunga sembarangan……!”
Karena berpikir begitu, Giok
Hoa bersikap jauh lebih hati-hati. Dia selalu memperhitungkan setiap
serangannya.
Pedangnya itu
berkelebat-kelebat semakin cepat. Tubuh Giok Hoa juga mencelat ke sana ke mari
seperti sesosok bayangan belaka sulit diikuti oleh mata si Lo-ya, membuat dia
mulai bingung.
Permainan ilmu goloknya juga
mulai kacau, karena dia tidak jarang jadi terdesak hebat sekali dan hampir saja
tidak bisa memunahkan serangan Giok Hoa.
Melihat lawannya telah
terdesak seperti itu, semangat Giok Hoa terbangun..... Pedangnya
berkelebat-kelebat seperti mengelilingi si Lo-ya itu.
Semakin lama si Lo-ya semakin
kebingungan. Dia juga mengeluh, karena tidak menyangka bahwa lawannya ini
demikian tinggi ilmu pedangnya.
Tampak Giok Hoa berhasil
menikam dan melukai beberapa bagian anggota tubuh dari lawannya, membuat si
Lo-ya benar-benar jadi panik karena berulang kali dia harus menyelamatkan diri.
Si Lo-ya telah mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, akan tetapi tetap saja dia tidak bisa mengelakkan diri
dari desakan Giok Hoa.
Malah semakin lama tampak
jelas sekali dia semakin terdesak hebat.
Dua kali dia telah kena
dilukai lagi, dan mengeluarkan suara jeritan kesakitan.
Menyusul dengan itu, juga
terlihat bahwa memang pada saat itu Giok Hoa tengah mendesak dia semakin hebat,
dan ketika goloknya kena disampok oleh tabasan pedang si gadis, tidak ampun
lagi golok pendek itu telah terbang terlepas dari cekalannya.
Muka si Lo-ya berobah pucat,
dia berdiri kaku, dengan ujung pedang Giok Hoa telah menempel di lehernya.
“Jangan..... jangan
membunuhku.....!” Dia sesambatan dengan tubuh menggigil ketakutan.
Giok Hoa tertawa dingin. Dia
segera juga menjejakkan kakinya, tubuhnya melayang ke tengah udara, pedangnya
bergerak sebat sekali.
“Sreeettttt!” muka si Lo-ya
telah kena digores oleh mata pedangnya, melintang panjang sekali, juga di waktu
itu muka si Lo-ya telah dilumuri oleh darah merah yang kental……
Lo-ya itu menutupi mukanya
sambil menjerit, lemaslah sepasang lututnya. Dia pun segera berlutut sambil
sesambatan……
Giok Hoa yang telah turun pula
hinggap di tanah, tertawa dingin.
“Hemmm, penjahat pemetik bunga
seperti engkau harus dimampusi, untuk menghilangkan bencana buat umum……!” kata
Giok Hoa dengan suara yang dingin sekali.
Di kala itu tampak si Lo-ya
telah menggigil ketakutan dan menangis: “Ampunilah aku…… aku tidak akan
melakukannya lagi……!”
Dan tanpa memperdulikan rasa
malu lagi dia pun berlutut sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Giok Hoa tertawa dingin,
pedangnya bergerak.
“Sreeettt……!” punggung si
Lo-ya kena digores lagi dengan mata pedangnya.
Lo-ya itu menjerit kesakitan,
tubuhnya terjengkit karena goresan mata pedang itu.
“Ampuuuuun……!!” dia menjerit.
Giok Hoa berdiri dengan gagah.
“Hemmm, rupanya engkau yang
menjadi penjahat pemetik bunga, jika memang aku tidak salah, bukankah engkau
ini si pemilik rumah penginapan ini?!”
Si Lo-ya ketakutan, dia tidak
berani berdusta.
“Benar..... benar….. ampunilah
aku....... Aku akan merobah kelakuanku...... dan kuberikan kau menginap gratis
sesuka hatimu……!”
Muka Giok Hoa berobah merah
padam karena murka.
“Atau kau kira aku ini sebagai
wanita rendah yang silau oleh sejumlah uang?!” tanyanya dengan suara bengis.
“Hemmmm, akupun memiliki uang yang jumlahnya tidak sedikit.....!”
Muka si Lo-ya berobah pucat,
dia mengerti bahwa dia kembali telah salah bicara lagi.
Maka cepat-cepat dia segera
berkata: “Ampunilah aku..... Aku bersungguh-sungguh tidak akan melakukan
perbuatan buruk itu lagi?”
“Aku tidak bisa mempercayai
janjimu.....!” kata Giok Hoa. “Penjahat busuk seperti engkau ini adalah
kematian merupakan bagianmu!”
Menggigil tubuh si Lo-ya. Dia
segera juga mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ampunilah aku Lihiap……, aku
benar-benar tidak akan melakukan sesuatu yang buruk lagi.......!” Dan dengan
tidak tahu malu, malah si Lo-ya ini telah menangis terisak-isak.
Giok Hoa mendongkol bukan main
melihat sikap pengecut dari penjahat pemetik bunga ini. Dialah merupakan
penjahat yang berbahaya sekali, yang tentunya akan merusak kehormatan anak dan
isteri orang. Karena itu, Giok Hoa telah memutuskan, bahwa dia akan
membinasakan si Lo-ya itu.
“Baiklah, karena engkau
merupakan penjahat yang paling rendah, yang tidak kenal malu dan paling busuk,
yang tentunya telah banyak mengganggu isteri dan anak gadis orang, maka engkau
harus di kirim ke neraka, agar kelak di kemudian hari tidak ada yang
mempersulit penduduk setempat......!”
Bukan main ketakutan si Lo-ya,
dia sampai menggigil keras sekali. Karena saking ketakutan dan mengetahui Giok
Hoa tidak akan mengampuni jiwanya, dia jadi nekad.
Tiba-tiba saja si Lo-ya telah
melompat bangun untuk membarengi melarikan diri.
Cuma saja, baru dua langkah
dia berdiri, pedang Giok Hoa telah bekerja. Mata pedang itu tepat sekali
menghujam punggung si Lo-ya tersebut dalam sekali.
Waktu Giok Hoa menarik
pedangnya, seketika darah memancur deras dari luka di punggung si Lo-ya.
Dia pun tidak bisa menjerit
lagi, cuma matanya mendelik, mulutnya terbuka, dan dia tampaknya menderita
kesakitan yang hebat. Kemudian rubuh terguling rebah tidak bergerak lagi.
karena jiwanya telah melayang ke neraka.....!
Giok Hoa menyusut pedangnya
yang berlumuran darah di baju si Lo-ya, kemudian memasukkan ke dalam sarungnya.
Dengan mendengus dingin, dan
memandang jijik kepada mayat si Lo-ya. Giok Hoa telah melompat masuk kembali ke
dalam kamarnya.
Dia telah mengunci jendela
kamarnya. Lalu merebahkan dirinya di pembaringan untuk tidur……
Besok paginya, pintu kamar
Giok Hoa digedor keras sekali dari luar, terdengar juga suara yang ramai-ramai,
sehinggga membuat Giok Hoa terbangun dengan terkejut.
“Buka! Ayo buka pintu,
penjahat!” teriak orang-orang di luar kamarnya.
Muka Giok Hoa berobah,
seketika dia menduga bahwa yang telah menggedor pintu kamarnya tentunya adalah
polisi setempat.
Tapi dengan tenang kemudian
Giok Hoa turun dari pembaringan.
“Tunggu!” bentaknya dengan
suara yang nyaring. Kemudian dia mengenakan pakaiannya, merapihkan juga
buntalannya, lalu pauw-hoknya itu telah disandangkan di pundaknya.
Sedangkan di luar masih ramai
juga orang yang menggedor pintu. Ketika Giok Hoa membuka pintu kamarnya, semua
orang jadi berdiri tertegun.
Di hadapan mereka berdiri
gagah sekali seorang wanita, dengan pedang tergenggam di tangannya. Wajahnya
cantik luar biasa. Beberapa orang polisi yang berada di situ jadi saling
pandang, mereka heran rupanya.
“Ada apa?!” tanya Giok Hoa
kemudian dengan suara yang tawar kepada mereka.
Para pelayan yang berdiri di
belakang para polisi itu telah menunjuk sambil berseru- seru.
“Dialah pembunuhnya! Dialah pembunuhnya!”
Rupanya para pelayan itu telah
melihat majikannya mereka terbunuh mati.
Seketika mereka menyadari apa
yang terjadi. Rupanya gadis yang hendak dijadikan calon korban dari si Lo-ya
itu memang memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga dia bisa membunuh si
Lo-ya.
Pagi-pagi sekali para pelayan
itu segera melaporkan peristiwa pembunuhan tersebut kepada para pembesar yang
berwenang di kota itu. Terlebih lagi memang si Lo-ya memiliki hubungan dengan
beberapa orang pembesar tinggi.
Kemudian, Tie-kwan juga telah
perintahkan beberapa orang polisi buat menangkap si pembunuh.
Hanya saja mereka tidak
menyangka, bahwa yang disebut sebagai pembunuh si Lo-ya tidak lain seorang
wanita cantik.
Padahal mereka mengetahui
bahwa si Lo-ya sesungguhnya memiliki ilmu golok yang cukup lihay.
Polisi-polisi itu memandang
Giok Hoa seakan juga tidak mempercayai bahwa gadis inilah sebagai pembunuhnya.
Sedangkan para pelayan itu
masih terus berseru-seru: “Dialah pembunuhnya! Siluman wanita itulah
pembunuhnya!”
Muka Giok Hoa berobah merah
karena mendongkol.
“Benar, memang aku yang
membunuh majikan kalian! Dan kalian semuanya pun perlu dihajar, karena kalian
pun bukan sebangsa manusia baik-baik!
“Aku baru mengerti mengapa
rumah penginapan ini sangat sepi. Karena tampaknya orang-orang telah mengetahui
pemiliknya adalah manusia tidak tahu malu.....!!”
Sambil berkata begitu, Giok
Hoa menghunus pedangnya dan melangkah akan keluar dari kamarnya.
Para pelayan itu jadi
ketakutan, mereka berhamburan melarikan diri.
Tapi para polisi itu segera
menghadang di depan Giok Hoa.
“Serahkan pedangmu, atau
engkau hendak membangkang kepada kami!!” kata salah seorang di antara polisi
itu. “Dan kau sebagai pembunuh, dengan ini kami tahan untuk diperiksa!”
Giok Hoa tertawa dingin. Mana
mau dia membiarkan dirinya ditangkap oleh polisi-polisi itu.
Segera juga dia menggerakkan
pedangnya, polisi itu yang tidak menyangka dirinya akan ditikam seperti itu,
seketika menjerit, sebab pundaknya tertikam.
Dia terhuyung mundur.
Mempergunakan kesempatan itu Giok Hoa menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke
tengah udara. Dia pun memutar pedangnya.
Para polisi yang lainnya
segera mencabut golok mereka, ramai-ramai mereka menyerang.
Akan tetapi Giok Hoa bisa
menangkis semua serangan itu, dia memutar pedangnya melindungi dirinya.
Dengan mengandalkan
gin-kangnya, Giok Hoa bisa meninggalkan rumah penginapan itu, melepaskan diri
dari kepungan para polisi tersebut. Dia berlari pesat sekali keluar kota.
Para polisi itu mengejar
sambil berteriak- teriak: “Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh……!”
Tapi mereka mana bisa mengejar
Giok Hoa, yang memiliki gin-kang yang tinggi dan dalam waktu yang singkat saja
telah lenyap dari pandangan mereka.
Giok Hoa sendiri memang sudah
mengetahui bahwa dia tentu akan menghadapi kesulitan, karenanya tadi dia telah
mengenakan pakaian baju luarnya, dia pun telah membawa pauw-hoknya, maka dia
bisa berlari dengan pesat sekali meninggalkan kota tersebut..... sedangkan para
pengejarnya tertinggal jauh sekali, mereka tidak berhasil mengejarnya.
Setelah berada di luar kota,
Giok Hoa masih berlari terus dengan cepat sekali..... karena dia masih kuatir
kalau-kalau tentara kerajaaan dikerahkan buat menangkap dirinya, sehingga
biarpun dia memiliki kepandaian tinggi, jika memang dikeroyok dalam jumlah yang
besar, niscaya dia akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.
Karena itu Giok Hoa terus juga
berlari. Semakin lama semakin jauh meninggalkan kota tersebut. Dia mengambil
arah ke Barat, karena memang dia tidak mengetahui, ke arah mana dia harus
pergi.....
◄Y►
Kita kembali kepada Ko Tie,
dimana keadaannya berangsur memang mulai membaik.
Karena Oey Yok Su telah
berhasil untuk menyalurkan sin-kangnya, membuat Ko Tie dapat mempergunakan
bantuan itu buat menyalurkan lweekangnya sendiri.
Diapun telah berhasil untuk
menyalurkan sin-kangnya pada beberapa jalan darah besarnya, karena jalan darah
terpenting di tubuhnya telah dibuka oleh Oey Yok Su. Dengan demikian, pesat
sekali Ko Tie pulih kesehatannya.
Karena itu, Ko Tie dapat segera
duduk pada hari ke duanya. Dia pun sudah dapat bercakap-cakap dengan Oey Yok Su
maupun penduduk kampung itu.
Pada sorenya, Ko Tie telah
menanyakan burung rajawalinya itu, Tiauw-jie, bagaimana keadaannya.
“Aku telah mengobati luka pada
sayapnya. Dia mengalami patah tulang pada sayap kanannya!” menjelaskan Oey Yok
Su.
Dan kemudian Oey Yok Su keluar
buat memeriksa keadaan rajawali itu. Tidak lama kemudian dia kembali.
“Dia telah sembuh, dan bisa
terbang kembali dengan leluasa!” kata Oey Yok Su kemudian menjelaskan kepada Ko
Tie, membuat pemuda itu girang bukan main.
Setelah beberapa saat, Oey Yok
Su memandangi si pemuda, dia pun bilang: “Ada yang hendak kutanyakan, apakah
engkau bersedia menjawabnya?”
Ko Tie terkejut.
“Silahkan locianpwe, mengapa
harus sungkan begitu? Setiap pertanyaan locianpwe, pertanyaan apa saja. Jika
memang aku mengetahuinya tentu saja boanpwe harus menjelaskannya.....!” kata Ko
Tie kemudian dengan sikap hormat sekali!
Oey Yok Su menghela napas
panjang!
“Melihat burung rajawalimu
itu, maka aku jadi teringat kepada Sin-tiauw, rajawali-rajawali yang dipelihara
puteriku itu, dan yang hendak kutanyakan, dari mana engkau memperoleh burung
rajawali itu?!”
Sambil bertanya begitu Oey Yok
Su mengawasi Ko Tie dalam-dalam. Dia memperoleh kenyataan pemuda itu memang
tidak bimbang lagi telah menyahuti, menjelaskan bahwa burung itu sebetulnya
burung peliharaan Giok Hoa.
“Oh, murid dari puterinya Yo
Ko?!” tanya Oey Yok Su setelah mendengar habis cerita Ko Tie.
Ko Tie mengangguk.
“Benar Locianpwe……!”
“Sekarang dia berada di
mana?!”
“Entahlah, dia telah
meninggalkan boanpwe, sehingga boanpwe tidak mengetahui di mana sekarang dia
berada!” menyahuti Ko Tie sejujurnya.
Oey Yok Su menghela napas.
“Hai! Hai! Memang begitulah
adat-adat orang muda!” kata Oey Yok Su kemudian. “Mungkin juga kawan wanitamu
itu membawa adatnya!”
Ko Tie jadi jengah, dia likat
sekali, sampai dia tersenyum saja dengan pipi yang berobah memerah.
Di waktu itu Oey Yok Su telah
bilang lagi dengan suara yang perlahan: “Mengapa engkau tidak berusaha
mencarinya?!”
Ko Tie terkejut ditegur
seperti itu.
“Boanpwe telah berusaha
mencari dirinya akan tetapi boanpwe tidak berhasil menemukan jejaknya.....!”
menjelaskan Ko Tie dengan memperlihatkan sikap menyesal.
Betapapun juga memang Ko Tie
pun menyesali dirinya, mengapa dia tidak berusaha mencari si gadis. Bukankah
apa yang dikatakan oleh Oey Yok Su memang benar, yaitu bahwa si gadis mungkin
membawa adatnya dan mungkin juga di mata si gadis, Ko Tie telah melakukan suatu
yang kurang menyenangkan hatinya.
Karena itu, Ko Tie teringat
kepada Kam Lian Cu.
Mungkin pula, di saat dia
tengah bercakap-cakap dengan Kam Lian Cu, justeru Giok Hoa telah melihatnya,
sehingga membuat gadis itu akhirnya angkat kaki meninggalkannya dan jika memang
demikian, seharusaya Ko Tie mesti mencarinya.
Karena berpikir begitu,
akhirnya Ko Tie memutuskan, begitu dia telah sembuh dari lukanya ini, dia akan
segera berusaha mencari jejak si gadis.
Sedangkan di waktu itu Oey Yok
Su telah berkata lagi: “Dalam waktu empat hari lagi, lukamu telah sembuh
keseluruhannya, dan engkau boleh melakukan perjalanan dan kita berpisah, karena
aku tidak mungkin buat menemani engkau terus menerus..... Akupun ingin pergi
melanjutkan perjalanan!”
Ko Tie mengiakan.
Pada waktu itu penduduk
kampung juga telah mengetahui bahwa Oey Yok Su sesungguhnya bukanlah seorang
tabib, dan juga tidak buta matanya. Malah uang mereka telah dikembalikan oleh
Oey Yok Su, dan tokoh sakti rimba persilatan ini telah memuji semua penduduk
kampung itu sebagai orang-orang yang berbudi tinggi, dan mereka telah berusaha
menolongi Ko Tie dengan bersungguh-sungguh hati.
Oey Yok Su pun telah
memberitahukan kepada penduduk kampung itu. Jika memang di antara penduduk
kampung itu ada yang menderita penyakit aneh, dia boleh berobat kepadanya,
tentu Oey Yok Su bersedia menolonginya.
Tentu saja penduduk kampung
itu jadi girang. Memang beberapa orang di antara mereka ada yang menderita
sakit yang aneh dan selama bertahun-tahun tidak pernah juga sembuh, walaupun telah
berobat terus kepada Yang Sin-se.
Setelah memeriksa mereka, Oey
Yok Su memberikan mereka semacam obat. Ketika mereka menelan obat itu,
dirasakan obat itu harum semerbak dan menyegarkan.
Lalu Oey Yok Su membagikan
setiap orangnya tiga butir dengan pesan setiap harinya harus menelan satu
butir. Dan penyakit mereka dalam waktu tiga hari akan sembuh keseluruhannya.
Bukan main gembiranya penduduk
kampung tersebut. Terlebih lagi Oey Yok Su pun telah mengajarkannya mereka
untuk berlatih beberapa jurus gerakan ilmu silat yang dapat membuat tubuh
mereka jadi sehat.
Rajin sekali para pemuda dan
laki-laki yang berusia agak lanjut penduduk kampung itu berlatih diri dengan
ajaran yang diberikan Oey Yok Su.
Ko Tie pun berangsur-angsur
telah sembuh dan ia sudah dapat turun dari pembaringan setelah lewat beberapa
hari lagi di bawah pengobatan yang diberikan oleh Oey Yok Su.
Sebagai seorang yang memang
semula memiliki sin-kang dan kepandaian yang tinggi tentu saja Ko Tie pun dapat
mempergunakan sin-kangnya untuk lebih mempersehat tubuhnya. Terlebih lagi
memang setiap harinya dua kali menerima kiriman sin-kang dari Oey Yok Su lewat
dari pundak dan perutnya.
Setelah lewat beberapa hari
lagi, benar-benar Ko Tie telah sembuh keseluruhannya. Malah sin-kangnya pun
bertambah kuat.
Juga telah memperoleh beberapa
jurus ilmu silat yang telah diwariskan oleh Oey Yok Su. Sebuah ilmu silat itu
adalah ilmu silat hasil ciptaan tocu dari To-hoa-to, yang merupakan ilmu silat
yang diciptakannya belum lagi begitu lama.
Justeru setelah puluhan tahun
tidak memperoleh tandingan dengan sepak terjangnya yang aneh, akhirnya ketika
semua orang gagah mengasingkan diri, dan Oey Yok Su sendiri telah mengambil
tempat di pulaunya, untuk melewati hari tuanya, dia merenungkan seluruh ilmu
silatnya.
Kemudian dia menciptakan ilmu
baru, yang merupakan inti dari seluruh ilmu silat yang dimilikinya. Tentu saja
setiap ilmu silatnya, dari bermacam ragam itu, telah diperkecil dan juga
dipersedikit gerakannya, melainkan diambil intinya saja.
Dengan begitu, dia telah
berhasil untuk menciptakan ilmu silat yang hebat luar biasa, ilmu silatnya dari
gabungan seluruh ilmu silatnya. yang dapat dipersusut hanya menjadi enam jurus.
Setiap jurus dari ilmu silat
yang baru diciptakannya tersebut, dia telah bisa membuat gerakan yang banyak
sekali, sekehendak hati. Dan yang lebih menakjubkan, setiap gerakannya itu
memiliki tenaga sin-kang yang jauh lebih sempurna pengerahannya, karena dengan
ilmu ciptaannya yang baru, Oey Yok Su telah mengatur segala-galanya lebih cermat
dan teliti.
Di samping juga memperhatikan
faktor-faktor manfaat dari setiap pengerahan tenaga sin-kangnya, walaupun
pengerahan yang paling sedikit ataupun yang terkecil sekalipun.
Di waktu itu, Oey Yok Su
memberikan nama pada ilmu silat ciptaannya yang baru itu dengan “Cap-lak-kun”,
enam belas macam ilmu pukulan.
Nama yang sangat sederhana
sekali buat ilmu pukulan tersebut, akan tetapi ilmu pukulan itu mungkin yang
terhebat di dalam rimba persilatan.
Sekarang ini justeru Ko Tie
tampaknya sangat beruntung sekali. Ia berhasil menerima ilmu silat pukulan
“Cap-lak-kun” tersebut yang diwarisi oleh Oey Yok Su.