Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 25

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 25
 
Anak rajawali Jilid 25

Si gadis menghela napas. Memang inilah pengalaman pertama kali buat Giok Hoa, kehilangan Pauw-hoknya karena dipancing oleh maling itu dengan cara yang licik.

Sedangkan Ko Tie kemudian menghibur si gadis. Dan katanya, masih bagus barang-barang seperti itu mudah dibeli lagi, seperti pakaian dan barang-barang perhiasan lainnya.

Dan juga, sebagai seorang yang berhati besar, Giok Hoa dapat menerima bujukan Ko Tie, hanya perasaan mendongkol belaka yang masih berada di dasar hatinya.

Begitulah, Ko Tie telah kembali ke kamarnya, sedangkan si gadis tidak bisa segera tidur, karena dia masih resah diliputi kemendongkolannya!

Menjelang fajar, barulah si gadis dapat memejamkan matanya. Tidur tidak terlalu nyenyak, sebab tidak lama kemudian dia telah terbangun.

Di waktu itu Ko Tie pun telah memesan makanan kepada pelayan, ia menemani si gadis bercakap-cakap. Dan setelah santapan pagi mereka berkeliling di kota itu, karena mereka bermaksud ingin menyelidiki juga, kalau-kalau saja mereka beruntung masih dapat mencari jejak si pencuri.

Tipis sekali harapan buat dapat membekuk pencuri tangan panjang itu, namun mereka tokh menghabisi waktu mereka sampai sore berkeliling di kota tersebut. Mereka juga berusaha menyelidiki di antara para pelayan rumah penginapan maupun rumah makan yang mereka singgahi, bertanya-tanya, siapakah sekiranya maling yang paling pandai di kota ini.

Tapi para pelayan dari rumah makan maupun rumah penginapan tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka hanya mengatakan tidak tahu. Rupanya mereka memang tidak mau cari penyakit, karena jika memang mereka menyebutkan, dikuatirkan justeru mereka akan kerembet-rembet.

Sore hari barulah mereka kembali ke rumah penginapan dan merasa letih sekali. Giok Hoa telah kembali ke kamarnya buat beristirahat.

Ko Tie sendiri karena iseng, akhirnya telah keluar pula dari rumah penginapan, buat melihat-lihat keramaian di Lam-yang menjelang malam. Memang cukup ramai, di mana banyak para pedagang menjajakan barang-barang mereka. Dari berbagai tempat terdengar irama musik dan tertawa wanita-wanita pelesiran.

Dan Ko Tie tidak tertarik dengan semua keramaian itu, karena hatinya waktu itu tengah berpikir hendak mengetahui entah siapa maling yang telah mengambil buntalan Giok Hoa.

Memang jika dilihat bahwa mereka berada di kota yang cukup ramai seperti Lam-yang. Dan tentu di kota yang ramai seperti itu tentu saja berkeliaran banyak sekali buaya darat dan maling-maling bertangan panjang.

Karenanya jika memang buntalan Giok Hoa diambil oleh maling bertangan panjang, niscaya caranya bukan demikian. Maling-maling bekerja bukan dengan cara memancing terlebih dulu Giok Hoa sampai keluar kota, kemudian baru mengambil pauw-hok si gadis.

Dan juga menurut Giok Hoa walaupun ia telah mengerahkan seluruh gin-kangnya, tetap saja ia tidak berhasil mengejar maling itu, yang tampaknya memiliki gin-kang sangat tinggi sekali. Sedangkan kepandaian Giok Hoa juga tidak rendah. Dia seorang gadis yang memiliki kepandaian tidak bisa diremehkan.

Lalu siapa orang liehay itu, yang mengambil pauw-hok Giok Hoa? Melihat kepandaiannya yang tinggi seperti itu, jelas maling itu bukan maling biasa, dan tentu ia pun memiliki maksud-maksud tertentu.

Karena berpikir dan memiliki dugaan seperti itu, penasaran sekali hati Ko Tie ingin mengetahui siapa sebenarnya orang yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.

Memang maksudnya keluar dari rumah penginapan buat mencari angin karena iseng dan menyaksikan keramaian di waktu malam di kota Lam-yang ini. Tapi ia sendiri, tanpa disadarinya, sambil menyelidiki juga, menyerap-nyerapi siapakah orang yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.

Waktu itu Ko Tie sedang berjalan di tengah keramaian kota Lam-yang tersebut. Tiba-tiba dia merasakan pundaknya dibentur seseorang.

Bukan benturan sembarangan. Benturan yang memiliki lweekang yang kuat, karena Ko Tie merasakan tubuhnya seperti juga ditubruk sesuatu yang keras sekali, membuat tubuhnya hampir saja terhuyung mundur kalau saja memang diwaktu itu ia tidak segera memperkuat kuda-kuda ke dua kakinya.

Segera Ko Tie menoleh kepada yang membenturnya. Orang itu gesit sekali menyelusup di antara orang ramai. Namun Ko Tie tidak mau berayal, segera mengejarnya.

Cepat sekali orang buruannya itu menyelinap ke sana ke mari. Dia telah meninggalkan Ko Tie cukup jauh.

Di tempat ramai seperti itu memang agak sulit buat Ko Tie melakukan pengejaran. Dan juga, disaat itu memang tampaknya merupakan hal yang menambah kecurigaan buat Ko Tie, orang yang tengah dikejarnya memiliki gin-kang yang tinggi, karena ia dapat berlari sangat cepat.

Cuma saja, yang membuat Ko Tie jadi tambah curiga, justeru orang itu memakai pakaian yang bertambal sulam, yang memang jelas dia merupakan seorang pengemis. Sedangkan menurut Giok Hoa, orang yang pernah memancingnya keluar kota dan memiliki gin-kang yang tinggi tampaknya seperti pengemis!

Teringat akan hal itu, hati Ko Tie jadi girang, mungkin pengemis ini yang telah mencuri Pauw-hok Giok Hoa. Segera juga si pemuda mengerahkan gin-kangnya, mengempos semangatnya dan dia berlari secepat kilat.

Ko Tie tidak memperdulikan ia menubruk beberapa orang yang hampir terpelanting dan memaki-makinya, karena Ko Tie bermaksud untuk dapat mengejar pengemis itu, yang kecurigaannya semakin kuat juga, bahwa pengemis itulah yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.

Sedangkan pengemis yang tadi sengaja membentur pundak Ko Tie, telah berlari semakin cepat, dia menuju keluar kota.

Ko Tie kuatir jika ia lambat-lambat akan kehilangan jejak orang buruannya, karena ia mengejar semakin cepat. Di waktu itu dia telah membentur pundak seorang gadis yang telah terhuyung satu langkah dan memaki:

“Manusia tidak tahu aturan...... berhenti kau!” Dan gadis itu menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya melesat sambil tangan kanannya bergerak menghantam ke punggung Ko Tie.

Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik, berusia duapuluh tahun lebih sedikit. Rambutnya disanggul besar, dengan pakaian ringkas terbuat dari bahan sutera berwarna hijau daun, dan tubuhnya sangat lincah sekali, dengan di pundaknya tersembul gagang pedang.

Dilihatnya dari cara berpakaiannya itu, jelas gadis itu merupakan seorang yang memiliki kepandaian tidak rendah dan pengembara di dalam rimba persilatan.

Ko Tie sendiri waktu membentur pundak gadis itu, ia sama sekali tidak memperhatikan, karena memang ia tengah berlari secepat-cepatnya. Ia bermaksud hendak mengejar dan menyandak pengemis buruannya itu. Dan ia pun berusaha membekuknya nanti, guna mendesaknya agar mengembalikan pauw-hok Giok Hoa.

Tahu-tahu ia merasakan dari belakangnya menyambar kesiuran angin yang kuat sekali, membuatnya kaget dan heran. Namun sebagai pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan terlatih dengan baik, segera juga ia dapat mengatasi keadaan. Segera tangan kanannya menyampok ke belakang buat menangkis serangan membokong dari belakangnya itu.

“Dukkk!” tangan Ko Tie menyampok tangan si gadis itu, kuat sekali.

Dan juga telah membuat Ko Tie jadi terhuyung satu langkah, sedangkan si gadis itu juga telah terlempar sampai dua langkah. Mereka jadi berdiri berhadapan.

“Kau......?!” Ko Tie berseru keras, karena dia tidak mengenali siapa adanya gadis ini, yang tahu-tahu telah menyerangnya dengan pukulan yang kuat itu. Kalau saja orang yang diserangnya tadi seorang yang tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, niscaya akan membuat orang itu terlempar dan terluka di dalam yang parah sekali.

“Mengapa kau menyerangku sekeji itu?!”

Gadis itu berdiri dengan mata mendelik dan mulut monyong cemberut marah! Matanya itu juga memancarkan sinar yang tajam mengandung kemarahan.

“Kau masih bertanya mengapa aku menyerangmu? Hemmmm, aturan mana yang kau pergunakan berlari-lari seperti babi buta menubruki orang-orang di tempat keramaian ini?!” Bengis pertanyaan si gadis.

Ko Tie segera tersadar, walaupun hatinya masih mendongkol, namun cepat dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat, katanya:

“Maafkanlah, aku tadi tengah mengejar penjahat...... mungkin tanpa disengaja telah menabrak nona……!”

Melihat Ko Tie meminta maaf dan mendengar pemuda ini tengah mengejar penjahat, wajah si gadis yang semula memancarkan sinar yang penuh kemarahan, sekarang berobah berangsur menjadi biasa lagi, walaupun dia memang masih mendongkol.

“Kau tengah mengejar penjahat? Penjahat mana? Apa yang dilakukannya?” tanya gadis itu.

Mendengar pertanyaan gadis tersebut. Ko Tie tersadar cepat sekali, dia telah menoleh memandang sekelilingnya. Pengemis yang dikejarnya tadi telah hilang tanpa jejak!

“Aiiii!” berseru Ko Tie terkejut dan kecewa sekali.

“Kenapa?” tanya si gadis melihat sikap Ko Tie seperti itu.

“Dia telah hilang…..!” kata Ko Tie, “Hai, aku terlambat buat mengejarnya…..!”

Melihat sinar mata Ko Tie yang melirik kepadanya, gadis itu menyadari bahwa dirinya disesali pemuda ini, yang tentu merasa dirinya terganggu dengan adanya si gadis, karena seperti telah menghalang-halanginya si pemuda, membuat dia gagal mengejar penjahat yang menjadi buruannya.

“Hemmm, engkau ingin mempersalahkan diriku, karena aku, engkau gagal mengejar penjahat itu?” tanya si gadis sambil mendengus.

Ko Tie nyengir, dia bilang: “Mana berani….. mana berani! Cuma saja, karena memang aku harus berurusan dengan nona, membuat aku kehilangan jejak.......!”

“Jika demikian, sekarang kau katakan. Engkau tidak puas bukan karena perbuatanku?” kata si gadis. “Engkau merasa dirugikan karena aku menyerangmu?”

Ko Tie tertawa.

“Tidak, tidak…..!” katanya. “Nah, selamat tinggal nona..........!”

Sambil berkata demikian, Ko Tie menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya berkelebat ringan sekali meninggalkan si gadis, karena ia yakin percuma saja ia melayani gadis tersebut.

Si gadis hendak mencegah, namun akhirnya dia membatalkannya sendiri. Dia hanya mendengus saja sambil mengawasi Ko Tie yang akhirnya lenyap dari pandangannya. Dan dia sendiri di dalam hatinya berpikir, entah siapa pemuda itu adanya, yang tampaknya lihay dan memiliki kepandaian tidak rendah disamping memang tampan?!

Ko Tie yang berlari-lari pesat sekali berusaha mengejar mencari jejak si pengemis. Ia telah memandang sekeliling tempat yang dilaluinya.

Tapi si pengemis yang tadi dikejarnya sudah tidak terlihat bayangannya. Waktu sampai di pintu kota, di mana keadaan di tempat itu tidak seramai di tengah-tengah pusat kota Lam-yang, Ko Tie tetap tidak melihat bayangan si pengemis.

Ia jadi mendongkol dan jengkel, dia sampai banting-banting kaki, karena ia sangat menyesali tadi, yang telah membuat dia gagal mengejar pengemis itu.

Tapi begitu dia menyesali si gadis, seketika ia teringat bahwa gadis itu sesungguhnya seorang gadis yang cantik, mulutnya yang dimonyongkan cemberut marah, matanya mendelik lebar karena gusar dan sikapnya yang gagah, wajahnya yang cantik dengan pipi kemerah-merahan disebabkan marah. Sungguh seorang gadis yang cantik sekali!

Dan tadi Ko Tie tidak sempat memperhatikan keadaan si gadis. Sekarang dia baru teringat, bahwa tadi dia sampai lupa menanyakan nama si gadis. Dan dia tidak mengetahui juga, siapa yang tampaknya memiliki kepandaian tidak rendah itu?

Di waktu itulah dia telah berpikir, ingin kembali ke tempat tadi di mana dia bertemu dengan gadis itu, guna bercakap-cakap dengannya.

Waktu Ko Tie memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin.

“Dasar pemuda mata keranjang, begitu melihat gadis cantik, segera juga matanya jadi panjang.....!” tiba-tiba terdengar orang yang mengejeknya dari tempat gelap.

Kaget Ko Tie oleh teguran dan ejekan tersebut, dia memutar tubuhnya, dengan mata yang tajam dia mengawasi ke tempat di mana datangnya suara ejekan itu.

Tampak berkelebat sesosok bayangan yang berlari cepat sekali meninggalkan tempat tersebut. Ko Tie menjejakkan ke dua kakinya sekali gus dan dia mengejarnya dengan segera.

“Siapa kau? Berhenti!” berseru Ko Tie sambil mengempos semangatnya.

Tapi sosok tubuh itu, dalam kegelapan malam di tempat tersebut terus juga berlari ke arah luar kota dengan lincah dan gesit sekali, tubuhnya seperti terbang dan ke dua kakinya seperti tidak menginjak tanah.

Ko Tie yang memiliki mata awas, segera melihat pakaian orang itu penuh tambalan. Dialah si pengemis yang tengah dikejarnya! Dan segera juga Ko Tie mengempos semangatnya dia mengejar dengan secepat-cepatnya.

Cuma saja di hatinya segera timbul kecurigaan, apa maksud pengemis itu, sengaja membentur pundaknya kemudian melarikan diri, dan lalu, setelah Ko Tie tidak berhasil mengejarnya, di waktu dia ke hilangan jejak, justeru pengemis itu telah memperlihatkan diri lagi dan berlari buat menyingkirkan diri dari dia!

Dan Ko Tie bukannya pemuda yang tolol. Dia segera dapat menduga pasti ini merupakan pancingan pula dari pengemis itu.

Siapakah pengemis itu? Apa maksudnya memancingnya seperti ini? Apa pula yang telah disiapkan buat mencelakai Ko Tie? Atau di suatu tempat telah berkumpul kawan-kawan si pengemis dalam jumlah yang banyak?

Banyak pikiran dan dugaan yang berkecamuk di dalam benak Ko Tie, waktu dia tengah mengejar. Dia semakin mencurigai si pengemis. Tapi biarpun Ko Tie telah mengejar dengan mengempos seluruh gin-kang yang dimilikinya, tetap saja dia tidak berhasil mengejar pengemis itu, jarak mereka masih terpisah cukup jauh.

Hal ini membuat Ko Tie penasaran, dengan segera ia mempergunakan ilmu berlari tunggalnya, yaitu ilmu lari di atas es! Dia mengejar dengan tubuh seperti terbang di udara, di mana tubuhnya itu melesat sangat cepat dan gesit sekali, dalam waktu yang singkat Ko Tie telah berhasil memperpendek jarak pisah mereka.

Pengemis yang tengah dikejarnya itu terdengar berseru tertahan, rupanya dia kaget tahu Ko Tie telah berhasil mengejarnya semakin dekat.

Segera juga si pengemis mengempos semangatnya berlari semakin cepat. Dan dia berusaha menjauhi diri lagi dari Ko Tie.

Namun dia tidak berhasil, sebab Ko Tie mengejarnya semakin dekat. Dengan mempergunakan ilmu berlari tunggalnya, yang memang menjadi andalan dari Swat Tocu dan telah diwarisi kepada Ko Tie, membuat pemuda itu dapat mengejar dengan cepat sekali. Ilmu andalan ini jika memang tidak diperlukan sekali tentu tidak dipergunakan oleh Ko Tie.

Si pengemis akhirnya menyadari bahwa dia tokh akan tercandak juga. Karenanya dia tidak bermaksud menyingkirkan diri lagi, dia telah berhenti dan menantikan Ko Tie tiba.

Cepat sekali Ko Tie tiba dihadapan pengemis itu, dan pemuda ini juga dengan bantuan sinar rembulan, telah bisa melibat jelas muka tersebut, dia pun segera mengenali siapa adanya jadi terkejut dan heran.

“Ihhh, kiranya Thio Kim Beng Locianpwe. Apakah..... apakah selama ini dalam keadaan baik-baik saja, Thio Locianpwee?” tanya Ko Tie sambil segera merangkapkan sepasang tangannya, memberi hormat kepada tokoh Kay-pang itu, karena pemuda ini menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi dan tidak bisa ia bersikap kurang ajar.

Pengemis tua itu, Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak,

“Memang tidak salah Swat Tocu memiliki nama besar, dan ia memang memiliki rejeki yang baik sekali, ia bisa memiliki murid sepandai engkau! Ha, rupanya kata-kata tua yang bilang: “Guru emas muridpun permata!” merupakan kata-kata yang tepat! Nah, Kongcu, apa maksudmu sejak tadi kau mengejar-ngejar diriku?!”

Ditegur seperti itu, muka Ko Tie berobah memerah, dia jadi malu, karena itu cepat-cepat ia menjawab: “Jika….. jika memang tidak salah, bukankah tadi locianpwe yang telah membentur pundak boanpwe?”

Thio Kim Beng memperlibatkan sikap seperti heran.

“Membentur pundakmu? Kapan?!” tanya Thio Kim Beng sambil memperlihatkan sikap tidak mengerti dan sepasang matanya terbuka lebar-lebar.

Ko Tie segera menceritakan apa yang dialaminya.

Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak.

“Kongcu, jika memang benar aku yang membentur pundakmu, dan sekarang setelah engkau berhasil mengejarku, apakah engkau ingin menghajar habis-habisan aku si pengemis tua yang melarat ini?” tanyanya.

Ditegur seperti itu, muka Ko Tie berobah marah lagi.

“Bukan begitu, cuma saja memang boanpwe ingin mengetahui siapakah sebenarnya yang telah membentur begitu keras kepada boanpwe dan juga dalam hal ini tentu saja merupakan urusan di luar dugaan.

“Sama sekali boanpwe tidak menyangka bahwa orang yang telah membentur boanpwe tidak lain dari locianpwe. Dengan demikian..... maafkan locianpwe dan boanpwe juga hendak kembali ke rumah penginapan......!”

“Tunggu dulu......!” cegah Thio Kim Beng segera. “Kau telah turun gunung, dan tampaknya, gurumu tidak bersama-sama dengan kau….. benarkah itu?”

Ko Tie jadi batal memutar tubuhnya, dia menoleh kepada si pengemis sambil mengangguk.

“Benar locianpwe...... memang benar suhu berada di Heng-san dan boanpwe saja yang telah turun gunung!” menyahuti Ko Tie.

“Lalu gadis itu….. yang jika tidak salah adalah muridnya Yo Kouw-nio. Bukankah dia melakukan perjalanan bersama kau?”tanya Thio Kim Beng pula.

Pipi Ko Tie seketika berobah memerah karena diwaktu itu ia merasa likat sekali. Sedangkan si pengemis tua tertawa bergelak-gelak.

“Mengapa harus malu. Bukankan memang hubungan guru kalian sangat baik? Dan juga kalian tampaknya sebabat sekali, di mana cocok yang satu tampan, yang seorang cantik jelita!

“Hanya saja, kukira, engkau memang seorang pemuda mata keranjang. Begitu melihat gadis lain yang parasnya cantik, matamu seketika jadi panjang……!”

Muka Ko Tie jadi berobah semakin merah. Dia segera menjura memberi hormat kepada si pengemis: “Locianpwe bergurau,” katanya.

Thio Kim Beng memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh, dia bilang:

“Aku bukan tengah bergurau. Dan juga aku bicara dari hal yang sebenarnya! Aku paling benci pemuda-pemuda ceriwis. Karena dari itu, jika memang aku mengetahui engkau pemuda ceriwis, cisssss, aku tentu tidak akan memandang lagi muka gurumu, akan kuhajar habis-habisan……!”

Muka Ko Tie berobah semakin memerah.

“Boanpwe mana berani buat berlaku ceriwis? Locianpwe hanya bergurau!” katanya kemudian dengan pipi yang berobah semakin merah.

Memang gadis yang ditemuinya tadi sangat cantik. Namun juga merupakan seorang gadis yang agak galak dengan muka yang cemberut marah, di mana hati Ko Tie sesungguhnya cuma tertarik saja, tapi dia tidak memiliki pikiran lainnya.

Waktu itu tampak si pengemis tua Thio Kim Beng telah berkata lagi, setelah tertawa bergelak-gelak:

“Baiklah, jika memang engkau bukan seorang pemuda ceriwis, aku bersedia untuk bicara dengan engkau! Mengapa di malam ini engkau berkeliaran di dalam kota, tanpa mengajak kawanmu itu?”

“Dia….. dia telah tidur, locianpwee!” kata Ko Tie dengan suara tidak lancar karena malu, di mana memang yang dimaksudkannya dengan dia, tidak lain Giok Hoa. “Karena iseng boanpwe telah keluar dari rumah penginapan buat menyaksikan keramaian di kota Lam-yang ini……!”

“Hemmmmm, tentunya engkau hendak mencari gadis-gadis yang cantik, bukan?!” mengejek Thio Kim Beng, yang tetap menggoda Ko Tie.

Muka si pemuda tambah merah, dia menggeleng cepat sambil katanya: “Locianpwe hanya bergurau saja, sama sekali boanpwe tidak memiliki pikiran seburuk itu!”

“Baiklah! Lalu, apa acaramu? Mau engkau hendak mencari hiburan?! Jangan memandang rendah padaku, walaupun aku si pengemis tua miskin, tapi aku bisa mengajakmu ke tempat-tempat hiburan kelas satu jika memang engkau menghendaki!”

Ko Tie menggeleng perlahan.

“Terima kasih locianpwe….. terima kasih!” katanya berulang kali. “Terima kasih atas kebaikan hati locianpwee, tapi sungguh sayang sekali, boanpwe hendak kembali ke rumah penginapan!”

“Akh, engkau menolak tawaran yang mengembirakan itu!” kata si pengemis sambil tertawa. “Atau memang engkau menyangka aku tidak memiliki uang buat menjamumu?!” Dan setelah berkata begitu, Thio Kim Beng merogoh sakunya, mengeluarkan serenceng uang.

“Lihatlah, uang ini bukannya berjumlah sedikit?”

Ko Tie tersenyum.

“Ya, memang boanpwe juga telah memaklumi bahwa locianpwe memiliki uang tidak sedikit. Tapi seperti tadi boanpwe katakan bahwa boanpwe hendak kembali ke rumah penginapan!”

Mendadak sekali si pengemis tua itu tertawa bergelak-gelak sambil memasukkan uangnya ke dalam sakunya.

“Hemmmmm, rupanya memang engkau ingin cepat-cepat bertemu dengan gadis pujaanmu itu? Oho.......... engkau rupanya sudah sangat rindu, meninggalkannya sejenak saja, engkau sudah sibuk sekali ingin cepat-cepat kembali agar dapat selalu di sisinya!”

Setelah berkata begitu, kembali pengemis tua ini tertawa bergelak.

Di waktu itu Ko Tie jadi kurang senang melihat pengemis tua ini selalu menggodanya, bahkan godaannya itu menjurus kepada sindiran belaka. Maka ia berpikir buat tidak melayani pengemis tua itu lebih lama lagi, dia merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat sambil katanya:

“Baiklah locianpwe, boanpwe ingin pergi dulu……!” Dan tanpa menantikan jawaban si pengemis tua itu, Ko Tie memutar tubuhnya buat berlalu.

Thio Kim Beng berhenti tertawa melihat pemuda itu ingin pergi, dia bilang: “Tunggu dulu! Apakah engkau tidak mau mengambil kembali pauw-hok kawanmu itu!”

Ko Tie tercekat hatinya, segera timbul kecurigaannya, segera dia memutar tubuhnya.

“Jadi….. jadi locianpwe..... mengetahui hal itu?” tanya Ko Tie sambit memandang tajam sekali, sesungguhnya dia ingin bertanya, “Sesungguhnya locianpwe yang mengambil pauw-hok itu!”

Hanya dia menggantinya dengan “mengetahui hal itu” karena dianggapnya tidak sopan dan kurang pantas kepada pengemis itu hal tersebut ditanyakan langsung olehnya.

Thio Kim Beng tertawa bergelak, dan kemudian katanya:

“Tentu….. tentu saja aku mengetahui! Memang aku yang mengetahui sebenar-benarnya urusan itu! Malah pauw-hok itu berada di tanganku! Bukankah ini pauw-hok milik kawanmu?” Sambil berkata demikian si pengemis mengeluarkan buntalan Giok Hoa dari balik bajunya.

Ko Tie memang mengenali pauw-hok itu adalah milik Giok Hoa. Ia telah memandang sejenak kepada pauw-hok itu, kemudian Thio Kim Beng, dia bilang:

“Kalau begitu, sudikah kiranya locianpwe mengembalikan pauw-hok itu, agar nanti aku yang menyampaikannya kepada nona Giok Hoa!”

Thio Kim Beng memperlihatkan sikap serius, dia menggelengkan kepalanya beberapa kali, katanya:

“Tidak! Tidak! Tidak bisa kuserahkan kepadamu…… Aku harus menyerahkannya langsung kepada gadis itu! Dan jika engkau menginginkan pauw-hok ini, agar dapat nama di mata gadismu, hemmm, hemmm, engkau boleh mengambilnya dari tanganku!”

“Jadi...... jadi locianpwe yang telah mengambil pauw-hok tersebut, dengan memancing nona Giok Hoa ke luar kota, dan kemudian pauw-hoknya disambar?” menegaskan Ko Tie.

Thio Kim Beng mengangguk, katanya: “Benar...... memang aku yang melakukannya!”

Muka Ko Tie jadi memancarkan sikap tidak senang, dia bilang: “Hemmmm, apakah locianpwe tidak merasakan bahwa tindakan seperti itu adalah tindakan seorang Siauw-cut?!”

Thio Kim Beng tidak tertawa lagi, matanya bersinar tajam.

“Aku kau anggap sebagai Siauw-cut?!” tegurnya dengan suara tidak senang.

“Ya, jika memang locianpwe melakukan hal seperti itu, tentu saja tindakan seperti itu merupakan tindakan seorang Siauw-cut! Seorang manusia, akan memperoleh nama baik atau nama buruk, tergantung dari tindakannya, dari perbuatannya.....!”

Menyahuti Ko Tie tegas dan berani, karena sekarang pemuda ini merasa kurang senang pada pengemis tua itu, yang telah mengambil pauw-hok Giok Hoa.

Waktu itu tampak Thio Kim Beng tertawa dingin katanya: “Engkau bocah yang masih bau kencur ingin menasehati aku? Ohhh, sombongnya! Hemmmm, seperti gurumu yang congkak itu, engkaupun tampaknya murid yang berkepala besar.

“Guru dengan murid sama seperti setali tiga uang…..! Dan juga, aku memang ingin melihat, berapa tinggi kepandaian yang engkau miliki, sehingga engkau berani berkepala besar seperti itu?”

Sambil berkata begitu, tampak Thio Kim Beng telah memasukkan buntalannya itu ke dalam bajunya. Ia memandang kepada Ko Tie dengan sorot mata yang mengandung tantangan.

Sedangkan Ko Tie sendiri waktu itu bertekad, walaupun bagaimana ia harus dapat merebut pauw-hok dari tangan Thio Kim Beng. Maka ia telah memutuskan.

Ia harus menempur pengemis itu, dan juga berusaha merebutnya, dengan kekerasan kalau saja Thio Kim Beng tidak mau menyerahkan dan mengembalikan pauw-hok tersebut. Memang Ko Tie juga tidak senang waktu memperoleh kenyataan Thio Kim Beng lah yang menjadi malingnya yang mengambil pauw-hok Giok Hoa.

“Baik-baik locianpwe, maafkanlah boanpwe yang akan bertindak kurang ajar, di mana boanpwe akan berusaha merampas pulang buntalan kawan boanpwe!” Sambil berkata begitu Ko Tie bersiap-siap buat menyerang.

“Ya, silahkan engkau menyerang!” kata Thio Kim Beng dengan suara nyaring. “Mari...... mari, memang aku hendak melihat, berapa tinggi kepandaian yang engkau miliki!”

Setelah berkata begitu, si pengemis tua Thio Kim Beng mengibaskan tangannya. Dari telapak tangannya berkesiuran angin yang kuat.

Melihat itu, Ko Tie segera juga menyadari bahwa si pengemis juga akan bersungguh-sungguh, di mana ia akan mengeluarkan kepandaiannya untuk mempertahankan buntalan itu. Dan Ko Tie juga yakin, bahwa ia harus dapat merebutnya dengan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Setelah menjura satu kali lagi, Ko Tie tahu-tahu melompat sambil mengayunkan ke dua tangannya. Dia mempergunakan sekaligus ilmu pukulan Inti Es sehingga angin berkesiuran bercampur hawa dingin.

“Bagus!” berseru Thio Kim Beng, yang cepat sekali melesat ke samping, di mana ia dapat mengelakkannya dengan mudah.

Cuma saja hatinya terkejut, karena ia tidak menyangka bahwa Ko Tie, telah berhasil mewarisi kepandaian gurunya. Ilmu pukulan andalan Swat Tocu adalah Inti Esnya.

Dan sekarang justeru Ko Tie menyerangnya dengan ilmu pukulan tersebut. Dengan demikian, membuat si pengemis tua merasa kagum.

Usia Ko Tie belumlah lebih dari duapuluh lima tahun, dan juga dia merupakan pemuda remaja karenanya, dengan demikian tenaga dalam seperti yang sekarang dipergunakannya, merupakan hal yang menakjubkan, kuat dan juga lihay sekali.

Ko Tie tidak menghentikan pukulannya, karena melihat pukulan pertamanya gagal, dia membarengi dengan pukulan berikutnya, di mana berulang kali dia menyerang kepada si pengemis tua.

Thio Kim Beng mengelak ke sana ke mari, dan juga dia berhasil untuk mengejek si pemuda memanaskan hatinya, sehingga Ko Tie semakin lama menyerangnya semakin gencar.

Satu kali, dengan cepat sekali telapak tangan Ko Tie menyambar ke pundak lawannya. Si pengemis tua itu malah tidak mengelak. Dia berdiri tegak di tempatnya, dan menangkis dengan tangannya.

“Bukkkk!” terdengar suara benturan yang dahsyat, sehingga tubuh ke dua orang itu terhuyung. Tubuh Ko Tie terhuyung dua langkah.

Ko Tie segera tersadar bahwa tenaga dalam Thio Kim Beng masih berada di atasnya satu tingkat. Dengan demikian ia harus lebih hati-hati menghadapinya. Dan dia pun harus mengerahkan seluruh sin-kang yang dimilikinya.

Demikian juga halnya dengan Thio Kim Beng, dia telah menyadari. Biarpun usia pemuda ini masih remaja, namun kepandaiannya tidak lemah, hanya terpaut satu tingkat di bawah sin-kangnya.

Juga pemuda itu memiliki ilmu yang aneh dan sulit sekali diterka, karena merupakan ilmu-ilmu warisan Swat Tocu yang liehay. Sebab itu, kemungkinan Ko Tie akan dapat menambal kelemahan pada sin-kangnya yang kalah kuat dibandingkan dengan sin-kang Thio Kim Beng, dia pasti akan dapat menjadi lawan yang sulit dirubuhkan oleh Thio Kim Beng.

Thio Kim Beng segera mengempos semangatnya, ia berseru nyaring dan tampak lengan kanannya telah menyerang, disusul dengan tangan kirinya yang menyambar cepat sekali. Begitu kuatnya tenaga serangan dari Thio Kim Beng, angin pukulannya menderu-deru dahsyat menyerang kepada Ko Tie.

Ko Tie sendiri tidak berani berayal, tubuhnya bergerak ringan sekali seperti juga bayangan. Sepasang tangannya meluncur ke sana ke mari mengandung sin-kang yang dahsyat dan juga hawa yang dingin sekali.

Sedangkan waktu itu Thio Kim Beng tengah penasaran, tadinya dia bermaksud mempermainkan Ko Tie. Dia yakin kepandaian pemuda ini tentunya tidaklah terlalu tinggi dan mudah saja dia mempermainkannya.

Siapa tahu, setelah mereka mengadu tenaga bertempur dengan seru, semakin lama Thio Kim Beng merasakan bahwa tidak mudah buat merubuhkan Ko Tie, karena memang dia merupakan pemuda yang tangguh.

Maka segera Thio Kim Beng mengempos semangatnya. Di iringi dengan bentakan nyaring, dia berusaha mendesak Ko Tie.

Ko Tie mempertahankan diri dengan kuat sampai akhirnya tenaga mereka saling bentur berulang kali.

“Dukkk, dukkk, dukkk!” Dan tubuh mereka berdua tampak sering terpisah dalam jarak tertentu dan kemudian merapat kembali.

Mengadu kekuatan sin-kang di antara ke dua orang itu memang bukan cara mengadu ringan, karenanya telah meminta tenaga yang tidak sedikit dan melelahkan. Thio Kim Beng sendiri merasakan betapa tubuhnya telah mengeluarkan asap tipis, dan keringat juga membanjiri tubuh maupun mukanya.

Ko Tie tidak terkecuali, dia merasakan tubuhnya lelah dan napasnya memburu. Ia menyadari jika saja mereka bertempur lebih lama pula tentu dirinya yang akan jatuh di bawah angin.

Karenanya, sambil bertempur Ko Tie telah memutar otak, berusaha mencari jalan keluar, agar cepat-cepat dapat merubuhkan Thio Kim Beng. Dia pun telah mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimilikinya, berusaha untuk dapat mendesak pengemis itu, dan sin-kang yang dipergunakannya merupakan sin-kang kelas satu.

Mereka telah dua kali terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Namun ke duanya tidak memiliki kesempatan buat beristirahat atau mengatur pernapasan, karena mereka telah merapat lagi saling menyerang!

Ko Tie waktu berusaha menghindar dari telapak tangan kiri Thio Kim Beng. Mendadak saja tenaga serangan dari Thio Kim Beng telah lenyap, dan menyusul dengan tangan kanan dari pengemis itu menyambar cepat sekali.

“Tukkkkk!” Pundak Ko Tie telah kena di hantam dengan hebat oleh tangan kanan si pengemis sehingga tubuh Ko Tie terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, dan dia telah merasakan matanya berkunang-kunang.

Belum lagi Ko Tie berhasil buat menguasai diri, dia telah diserang pula. Tangan Thio Kim Beng telah menyambar dengan pukulan yang mengandung maut.

Ko Tie merasakan sambaran angin pukulan lawannya, biarpun dia masih merasakan matanya berkunang-kunang, dia tidak mau berayal, dia membungkukkan tubuhnya berkelit dengan segera.

“Dukkkk!” kembali terdengar pundak Ko Tie kena dihantam telapak tangan si pengemis lagi.

Tubuh Ko Tie terhuyung sampai empat langkah, dan dia mengeluh juga, karena dia merasakan tenaga pada tangan kanannya telah punah, akibat pukulan tersebut. Dengan demikian membuat dia harus berusaha mengempos semangatnya buat menyingkirkan diri cukup jauh dari Thio Kim Beng.

Apa yang dilakukannya itu ternyata sama sekali tidak banyak membantu. Thio Kim Beng membarengi menyusulnya dan menghantam lagi karena Thio Kim Beng tidak mau memberikan kesempatan kepada Ko Tie mengumpulkan tenaga dan meluruskan pernapasannya.

Waktu itu Ko Tie merasakan sambaran angin pukulan Thio Kim Beng. Dia sendiri juga tengah merasakan pundaknya sakit bukan main, pakaian di bagian pundaknya telah robek akibat pukulan yang kuat itu.

Dia mencelos hatinya waktu telapak tangan lawannya menyambar ke arah batok kepalanya.

“Hemm, aku tidak sangka dia seorang pengemis yang bertangan keji.....” berpikir Ko Tie, karena dia menyadari, jika saja telapak tangan lawannya itu berhasil mengenai batok kepalanya, niscaya dia akan menemui kematian dengan batok kepala yang hancur remuk.

Maka Ko Tie tidak berani berayal, dia berseru nyaring, seperti mengamuk, dia menghantam kuat sekali ke depan dengan tangan kirinya berulang kali, sehingga terdengar suara “…..derrr….!”

Angin pukulannya menghantam batang pohon maupun bumi, dan membuat sementara itu Thio Kim Beng tidak bisa bergerak lebih dekat padanya, karena iapun harus berkelit dari pukulan Inti Es yang dilakukan Ko Tie dengan nekad.

Di waktu itu Ko Tie sendiri juga mempergunakan kesempatan itu buat melompat mundur menjauhi diri dari Thio Kim Beng. Tangan kanannya seperti kehilangan tenaga, karena pundaknya telah terkena hantaman telapak tangan Thio Kim Beng. Dan ia bermaksud akan menyingkirkan diri saja dari si pengemis, buat merawat luka pada pundaknya dan nanti baru mencari pengemis itu pula.

Namun Thio Kim Beng yang hendak menguji pemuda itu, tidak ingin memberikan kesempatan padanya bernapas lebih jauh. Dia melompat dan menyerang dengan gencar sekali, memaksa Ko Tie melayaninya terus.

Semakin lama Ko Tie semakin jatuh di bawah angin. Lawannya memang merupakan salah seorang tokoh Kay-pang, dengan demikian dia harus menyerahkan seluruh tenaganya. Dalam keadaan terluka seperti itu, membuatnya harus dapat melayani musuh sebaik-baiknya.

Satu kali saja ia terserang hebat, niscaya akan membuatnya terluka berat atau terbinasa.

Di waktu itu, Ko Tie juga telah berusaha untuk berseru: “Locianpwe….. dengar dulu!”

Tapi si pengemis Thio Kim Beng sama sekali tidak mengacuhkan perkataan Ko Tie. Melihat pemuda itu terdesak hebat, dia tidak membuang-buang waktu lagi, menyerang dengan gencar dan dahsyat.

Karena dari itu, Ko Tie semakin terdesak dan juga telah membuat hal itu jadi berlangsung dengan menegangkan karena Ko Tie tengah terancam bahaya yang tidak kecil. Jika saja Thio Kim Beng bersungguh-sungguh buat mencelakai Ko Tie, mempergunakan kesempatan Ko Tie mulai tidak berdaya dan jatuh di bawah angin, jelas akan membuat dia bisa melakukan pembunuhan yang mudah terhadap diri Ko Tie.

Ko Tie sendiri menyadarinya, bahwa ia tengah menghadapi lawan yang tangguh, dimana dia memang telah jatuh di bawah angin dan tidak mungkin akan dapat menghadapi terus lawannya ini.

Tengah Ko Tie terdesak seperti itu, tahu-tahu dari tempat gelap berkelebat sesosok bayangan disertai sinar putih keperak-perakkan yang menyilaukan mata, karena terlihat betapa sinar keperak-perakan itu terpantul oleh cahaya rembulan bergulung-gulung menyambar kepada Thio Kim Beng.

Sedangkan Thio Kim Beng sendiri tidak menyangka betapa di waktu itu ada seseorang yang akan menyerangnya dengan pedang. Dan ia telah menduga tentunya penyerangnya ini adalah Giok Hoa, yang ingin membantui Ko Tie. Pedang itu tampak bergulung-gulung menerjang sangat kuat dan liehay sekali mengandung maut kepada Thio Kim Beng.

Thio Kim Beng yang mengetahui tikaman tersebut, yang datang bergulung-gulung begitu rapat tentunya bukan tikaman sembarangan, segera menghindarkan diri, karena memang di waktu itu dia tak mungkin menangkis dengan tangannya.

Gulungan pedang itu menyambar terus dengan cepat dan hebat tidak henti-henti mengikuti ke mana saja tubuh si pengemis bergerak.

Sekarang Thio Kim Beng telah menyambar sebatang ranting, yang dipergunakan menangkis pedang itu. Ranting itu memang akan terbabat putus, kalau saja dipergunakan oleh orang lain, yang memiliki lweekang yang rendah.

Tapi berbeda sekali di tangan Thio Kim Beng, yang memang memiliki sin-kang sangat kuat sekali, karenanya dia bisa menyalurkan kekuatan lweekangnya kepada ranting itu, yang berobah jadi keras seperti juga baja.

“Tranggg.........!” pedang itu seketika tertangkis kuat sekali. Dan juga pedang di tangan si gadis telah terpental, dan tersampok hampir saja terlepas dari cekalannya.

Di saat seperti itulah segera juga terlihat betapa gadis yang menolongi Ko Tie tidak lain adalah gadis yang bertemu dengan Ko Tie tadi di dalam kota Lam-yang, si gadis yang terbentur pundaknya oleh si pemuda.

Dia berdiri gagah sekali, dengan wajahnya yang cantik, dan rambutnya tergulung besar serta bajunya yang terbuat dari sutera hijau.

Dikala itu Thio Kim Beng berkata mengejek: “Hu, tidak tahunya kau? Hemmm, tentunya engkau telah jatuh hati pada pemuda tampan itu, bukan?

“Baiklah, mari, mari! Engkau maju bersama pemuda itu…… Aku akan memperlihatkan kepadamu, bahwa Thio Kim Beng bukan sembarangan orang yang bisa diserang begitu saja oleh orang tidak ternama seperti kau.”

Si gadis memperlihatkan sikap kurang senang, bentaknya: “Pengemis busuk, engkau terlalu memandang rendah kepada nona besarmu! Lihatlah! Kam Lian Cu akan memperlihatkan kepadamu, bahwa ilmu pedang keluarga Kam, Kam-liong-kiam-hwat (ilmu Pedang Naga keluarga Kam) bukanlah ilmu pedang yang bisa diremehkan!”

Belum lagi kata-katanya itu selesai diucapkannya, tampak tubuh gadis itu bergerak sangat gesit dengan pedang yang menyambar-nyambar dengan hebat dan cepat sekali. Dalam keadaan seperti itu, terlihat juga bahwa pedangnya itu bergulung-gulung dalam bentuk sinar putih yang menyilaukan mata.

Dengan cepat Thio Kim Beng telah memutar ranting di tangannya. Ia menangkis beberapa kali, bahkan dengan mempergunakan ranting di tangannya, dia berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh si gadis.

Kam Lian Cu bergerak sangat lincah sekali karena dia mempergunakan pedangnya dengan jurus yang tidak bisa diremehkan. Pedang di tangannya tergetar dan berobah menjadi seperti puluhan batang pedang yang mengancam di sekujur tubuh lawannya. Thio Kim Beng sendiri jadi heran.

“Gadis ini masih berusia muda, dan ilmu pedangnya demikian liehay, sesungguhnya dia puteri tokoh persilatan mana?!” berpikir Thio Kim Beng di dalam hatinya.

Dia juga tidak bisa berayal lagi bersilat dengan gin-kang yang menakjubkan, karena jika ia berlaku lambat sedikit saja, dia bisa menjadi korban tikaman pedang lawannya. Karena dari itu, dia mempergunakan rantingnya yang bergerak dengan cepat sekali.

Setiap jurus yang dipergunakannya mengandung sin-kang yang bisa membuat si gadis terdesak mundur. Atau jika saling bentur dengan pedang gadis itu dan si gadis kurang mengerahkan tenaga lweekangnya, niscaya akan menyebabkan pedang si gadis bisa terlepas dari cekalannya.

Waktu itu Kam Lian Cu pun menyadari, dia tengah menghadapi pengemis tangguh. Maka dia mempergunakan ilmu pedang andalannya yang benar-benar paling tangguh.

Dalam waktu yang singkat sekali, telah limapuluh jurus yang mereka lewati, dan mereka masih tidak memperlihatkan tanda-tanda di salah satu pihak akan rubuh.

Di antara berkesiurannya angin serangan ranting di tangan Thio Kim Beng dan pedang si gadis menderu-deru itu, Ko Tie berdiri di pinggiran menyaksikan jalannya pertempuran yang seru itu. Iapun merasa sangat kagum atas kepandaian gadis itu, ilmu pedangnya yang tidak rendah.

“Entah siapa adanya dia..... tadi dia menyebutkan namanya sebagai Kam Lian Cu..... dialah seorang gadis yang cantik sekali, dan diapun berusaha menolongi aku dengan bertempur hebat pada Thio Kim Beng……!”

Dan Ko Tie jadi mengawasi terus tanpa berkedip kepada jalannya pertempuran itu.

Dikala itu tampak bahwa Thio Kim Beng sendiri mulai ragu-ragu dan bimbang buat menghadapi terus gadis ini. Malah satu kali, setelah memutar ranting di tangannya dengan cepat, sehingga ranting itu bergulung-gulung mengelilingi dirinya, membuat gadis itu tidak bisa mendesaknya lebih jauh.

Dia membarengi melompat ke belakang dengan ringan sekali. Kemudian katanya: “Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, selamat tinggal, nanti kita akan bertemu pula…..!”

Dan Thio Kim Beng tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya melesat sangat cepat. Dia telah berlari-lari seperti terbang meninggalkan tempat itu.

Kam Lian Cu bermaksud mengejarnya, tetapi melihat kegesitan si pengemis dia kira percuma saja dia mengejar. Jika tokh dia mengejar, akan memakan waktu yang cukup lama buat dapat menyandak pengemis itu.

“Pengemis tidak tahu malu!” memaki si gadis kemudian sambil memasukkan pedangnya ke dalam sarung.

Ko Tie menghampirinya, karena tangan kanannya seperti tidak bertenaga. Ko Tie hanya menjura dengan tangan kirinya, mengucapkan terima kasihnya atas pertolongan si gadis.

“Jika nona terlambat datang, tentu aku telah celaka di tangan pengemis tua itu…..!” kata Ko Tie.

“Ya, kebetulan saja aku lewat di tempat ini dan menyaksikan kalian bertempur…..!” menyahuti si gadis sambil tersenyum.

Waktu pertemuannya di dalam kota Lam-yang, si gadis tidak pernah bersenyum. Sekali ini dia tersenyum, membuat wajahnya yang memang cantik semakin cantik saja.

“Siapakah engkau Kongcu!!” tanya gadis itu lagi waktu melihat Ko Tie memandang bengong kepadanya mengagumi akan kecantikan wajah si gadis.

Ko Tie tersadar dari tertegunnya, mukanya seketika berobah memerah, dia merasa malu bukan main, cepat-cepat dia bilang:

“Siauwte she Lie bernama Ko Tie……! Dan jika memang Kouw-nio tidak keberatan, dapatkah Kouw-nio memberitahukan siapa guru Kouw-nio?”

Si gadis memain bola matanya, dia bilang, “Guruku ialah ayahku!” menyahuti dia kemudian.

“Kam Kouw-nio….. tampaknya ilmu pedang keluarga Kam merupakan ilmu pedang yang hebat sekali dan memang jelas bahwa keluarga Kam tentunya merupakan tokoh-tokoh persilatan ahli kiam-hoat…... Siauwte benar-benar merasa kagum sekali tadi telah sempat menyaksikan ilmu pedang yang sangat hebat itu!”

Si gadis tersenyum pula katanya: “Engkau terlalu memuji! Sesungguhnya ilmu pedangku biasa saja. Cuma kepandaian pengemis itulah merupakan kepandaian yang buruk...... Mengapa kau bertempur dengannya?”

Ko Tie memandang ragu pada si gadis, tapi kemudian dia bilang: “Sesungguhnya dia seorang pencuri yang telah berhasil membawa pauw-hok kawanku! Dialah yang telah kukejar sehingga membentur pundak nona…… dan Kam kouw-nio, ke manakah tujuanmu?”

“Aku tengah singgah di Lam-yang, dan bermaksud akan berdiam di kota ini selama empat hari! Dan kau, Lie Kongcu?!”

“Akupun hersama kawanku tengah singgah di Lam-yang beberapa hari.....!” menjelaskan Ko Tie.

Begitulah, ke duanya sambil bercakap-cakap telah kembali ke Lam-yang. Ko Tie juga bermaksud memperkenalkan Lian Cu kepada Giok Hoa.

Mereka bercakap-cakap seperti juga pasangan sahabat yang telah lama tidak bertemu dan sekarang mereka telah saling jumpa. Gadis she Kam itu ternyata seorang gadis yang periang dan pandai bicara. Tidak terlihat kecanggungan padanya, karena dia telah biasa dalam pergaulan antara lelaki dan wanita, sehingga sikapnya agak bebas.

Sedangkan Ko Tie pun memang menyukai sikap gadis ini yang tampaknya selalu bicara dengan bebas, polos, dan tidak pernah menutup-nutupi segala sesuatu dalam percakapan mereka. Malah tampaknya gadis inipun sangat lincah dan agak licik!

Kam Lian Cu memang puteri seorang ahli pedang yang ternama sekali di dalam rimba persilatan. Kam-liong-kiam-hwat merupakan ilmu pedang yang sangat langkah sekali di dalam rimba persilatan, yang telah menjagoi rimba persilatan seratus tahun yang lalu. Namun, keluarga Kam itu akhirnya menghilang dari dunia persilatan, hidup mengasingkan diri.

Dengan demikian ilmu pedang itupun seperti dilupakan orang. Jago-jago muda tidak ada yang mengetahui bahwa Kam-liong-kiam-hwat merupakan ilmu pedang yang hebat, karenanya mereka itu sama sekali menganggap ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang biasa.

Sekarang justeru Kam Lian Cu, sebagai puteri dari keluarga Kam itu, yang telah mewarisi kepandaian ilmu pedang keluarganya, telah merantau. Dan Ko Tie telah sempat menyaksikan, ilmu pedang si gadis merupakan ilmu pedang yang liehay sekali.

Cuma saja, biarpun tangguh, gadis itu masih kurang pengalaman dan latihan! Jika latihan si gadis telah cukup, tentu dia akan dapat mempergunakan ilmu pedangnya itu lebih sempurna.

Waktu sampai di dalam kota Lam-yang, Ko Tie mengajak si gadis buat singgah di rumah penginapannya. Tapi Giok Hoa ternyata tidak ada. Akhirnya Lian Cu mengatakan ia tidak dapat menanti lebih lama lagi, karena ia harus melanjutkan perjalanannya. Mereka pun berpisah.

Y

Mengapa Giok Hoa sampai tidak ada di rumah penginapan. Marilah kita tengok keadaan Giok Hoa sepeninggal Ko Tie.

Giok Hoa sejak tadi gulak-gulik di pembaringannya. Hatinya resah sekali. Walaupun dia memang merasa lelah sekali, tokh dia tidak tertidur.

Setelah rebah sekian lama di pembaringannya, dia turun dari pembaringannya. Dia memasang pendengarannya pada dinding kamar pemisah kamarnya dengan kamar Ko Tie.

Hening dan sunyi sekali, tidak terdengar suara apapun juga. Tampaknya Ko Tie telah tidur

Karena dari itu, perlahan-lahan si gadis telah mengulurkan tangannya membuka jendela kamarnya. Hari telah malam, dan dia melompat keluar dari kamarnya dengan gesit, lalu menutup kembali jendela kamarnya, dan dia berlari-lari ringan sekali di genting-genting rumah penduduk.

Maksudnya dia hendak menyelidiki lagi siapa maling yang menggondol pauw-hoknya. Ia tidak mau merepotkan Ko Tie.

Jika ia memberitahukan pada Ko Tie tentang maksudnya ingin menyelidiki lagi siapa maling pauw-hoknya itu, dia merasa malu. Sebab waktu diketahui dia telah terkena pancingan si maling meninggalkan kamarnya, membuat maling itu dapat menggondol pauw-hoknya, membuat si gadis merasa malu sekali kepada Ko Tie.

Itulah sebabnya malam ini dia ingin berusaha menyelidiki jejak maling itu. Jika dia bisa mengambil pulang pauw-hoknya tentu dia tidak akan hilang muka di hadapan Ko Tie. Rasa penasaran itu juga membuat dia tidak bisa tidur dan akhirnya meninggalkan kamarnya dengan mengambil jalan di atas genting rumah penduduk.

Dia memang lihay, dia bisa berlari-lari dengan lincah. Rembulan diwaktu itu telah tergantung di atas langit. Keadaan di kota Lam-yang cukup ramai.

Namun Giok Hoa tidak tertarik buat menyaksikan keramaian itu. Dia telah berlari-lari terus di atas genting rumah penduduk, berkelebat-kelebat seperti sesosok bayangan.

Orang-orang yang ada dijalan raya tidak bisa melihat dengan jelas. Dia hanya merupakan bayangan yang berkelebat-kelebat ke sana ke mari begitu gesit.

Setelah berlari-lari sekian lama, tetap saja si gadis tidak mengetahui, ke mana dia harus mencari jejak maling itu. Hanya terpikir olehnya, bahwa dia hendak mencari pengemis, buat menangkap dan menanyai keterangan darinya.

Karena seperti yang telah dilihatnya, bahwa orang yang memancingnya keluar meninggalkan kamarnya itu, mengenakan pakaian penuh tambalan, tentunya dia dari kalangan pengemis.

Tengah si gadis berlari-lari di atas genting rumah penduduk, hari telah semakin larut malam. Sampai akhirnya, baru saja Giok Hoa hendak melompat turun ke jalan raya, mendadak saja dia melihat di seberang sana, di atas genting rumah penduduk, berkelebat sesosok bayangan hitam yang cepat sekali.

Giok Hoa merasa heran, entah siapa sosok bayangan itu, yang melakukan jalan malam dan juga telah bergerak begitu gesit. Dia tentunya memiliki gin-kang yang tidak rendah. Cepat-cepat Giok Hoa mendekam di atas genting mengawasi sosok bayangan itu.

Sosok bayangan hitam tersebut berlari-lari sangat lincah ke sebelah barat kota Lam- yang. Si gadis hati-hati sekali mengikutinya.

Melihat gerak-gerik sosok bayangan tersebut, benar-benar Giok Hoa bercuriga. Dia menduga orang tersebut jelas bukan orang baik-baik.

Malah gadis ini segera juga berpikir, apakah tidak mungkin orang yang telah menggondol pauw-hoknya adalah sosok bayangan ini? Bukankah diapun memiliki kepandaian yang sangat tinggi sehingga di atas genting rumah penduduk dia bisa berlari-lari begitu lincah dan gesit?

Karena berpikir seperti itu, semangat Giok Hoa terbangun dan dia mengikuti semakin dekat pada sosok bayangan itu. Tidak ada kesulitan buat Giok Hoa. Dia bisa mengikuti orang itu dengan baik-baik dan hati-hati sekali tanpa orang yang diikutinya itu mengetahui dirinya tengah dibuntuti.

Setelah sampai di sebuah rumah yang cukup besar, di mana sosok bayangan hitam itu berhenti dan berdiri tegak di atas genting rumah tersebut. Dia mengawasi sekelilingnya dengan sikap berwaspada sekali.

Ia rupanya tengah memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu, kalau-kalau ada seseorang yang membuntutinya, juga tengah mempelajari sekitar tempat tersebut.

Giok Hoa mendekam di atas genting sebuah rumah penduduk di seberang rumah tempat beradanya sosok tubuh itu. Di bawah sorot sinar rembulan, dia melihat itulah seorang pemuda berusia duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun, dengan tubuh yang tegap, mengenakan pakaian serba hitam, dan juga pada pundaknya terlihat tersembul dua gagang pedang yang berkilauan keperak-perakan terkena sinar rembulan.

Setelah mengawasi sekelilingnya tampak pemuda berpakaian serba hitam tersebut telah tersenyum kecil, tampaknya dia puas bahwa keadaan di sekitar tempat itu sangat sepi.

Melihat sikap dan gerak-gerik orang tersebut, segera juga Giok Hoa dapat menduga bahwa pemuda itu niscaya bukan seorang baik-baik dan jujur.

Wajahnya yang tampan, matanya yang bersinar tajam memperlihatkan kelicikan, demikian juga dengan senyumnya itu, yang mengandung kelicikan bukan main.

Di waktu itu Giok Hoa menyaksikan dengan tubuh yang ringan, pemuda berpakaian serba hitam itu melompat turun ke dalam gedung tersebut.

Giok Hoa cepat-cepat keluar dari balik genting rumah penduduk tempat ia bersembunyi. Cepat sekali dia melesat menghampiri rumah di mana pemuda berbaju hitam itu berada.

Dengan menggantungkan kakinya pada payon rumah tersebut, Giok Hoa leluasa bisa mengikuti gerak-gerik pemuda itu, karena Giok Hoa ingin mengetahui apa yang dilakukan pemuda tersebut.

Pemuda tersebut menghampiri ke arah jendela kamar yang berada di tengah ruangan, yang api penerangan kamar itu telah dipadamkan. Dia sama sekali tidak mengintai, malainkan dia mengeluarkan sehelai kertas, kemudian melemparkannya masuk ke dalam kamar itu.

Terdengar suara seruan perlahan dari dalam kamar, seruan seorang wanita.

Giok Hoa jadi semakin heran. Dugaannya ternyata meleset.

Tadinya dia menduga bahwa pemuda berpakaian serba hitam itu adalah pemuda Jai-hwa-cat, seorang pemetik bunga, yang selalu memperkosa isteri maupun anak gadis penduduk, dengan cara mempergunakan asap obat tidur, sehingga korbannya tidak sadarkan diri.

Tapi dugaannya itu melesat sama sekali, dan pemuda itu bukannya mengeluarkan asap obat tidurnya, malah telah melemparkan secarik kertas ke dalam kamar lewat jendela itu.

Dia juga tampaknya tidak melakukan sesuatu usaha, seperti mengintai ke dalam kamar atau membongkar jendela kamar tersebut. Dan dari dalam kamar itu justeru terdengar suara seruan tertahan dari seorang wanita.

Apa yang tengah dilakukan pemuda itu?

Benar-benar Giok Hoa jadi bingung dan menduga-duga. Dia sampai ingin menduga, atau pemuda berpakaian hitam itu tengah mengunjungi kekasihnya?

Apakah orang di dalam kamar itu, si wanita yang mengeluarkan seruan itu adalah kekasih pemuda tersebut? Mungkin hubungan mereka ditentang ke dua orang tua si gadis, sehingga pemuda ini perlu mendatangi kekasihnya secara bergelap seperti itu?

Tengah Giok Hoa menduga-duga sambil memasang mata dengan tajam, daun jendela kamar terbuka. Dari dalam kamar itu melompat sesosok tubuh, yang sama gesitnya.

Giok Hoa jadi semakin heran, wanita itu adalah seorang wanita berusia antara empatpuluh tahun lebih, namun pada wajahnya itu masih terdapat sisa-sisa kecantikan yang dimilikinya.

“Akh.......!” berseru pemuda itu dengan suara tertahan, tampaknya terkejut. “Kau.....!”

Wanita setengah baya baru keluar dari dalam kamar tertawa dingin.

“Ya, memang aku! Kau terkejut? Mengapa harus kaget seperti itu?!” tanya wanita setengah baya tersebut, dengan sikap mengejek.

Pemuda itu cepat sekali dapat menenangkan goncangan hatinya. Dia merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat kepada wanita setengah baya tersebut. Katanya: “Maafkan..... apakah kau baik-baik saja, locianpwe?!”

“Hemmmm, kau masih menanyakan kesehatanku? Bagus! Bagus! Tapi kukira, perhatianmu itu tidak menyebabkan engkau lolos dari hukuman yang akan kujatuhi padamu!”

Muka pemuda itu berobah memerah, kemudian pucat, tapi dengan suara yang tenang dan juga ia berusaha buat bersikap biasa saja, tanpa memperlihatkan kemendongkolan dan kemarahan hatinya, pada saat itu bilangnya dengan sabar.

“Locianpwe, mengapa locianpwe hendak menghukumku? Bukankah di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi?”

“Murid murtad?” teriak si wanita setengah baya itu. “Aku justeru hendak mewakili gurumu untuk menghukum kau!”

Sambil berkata begitu, dengan gerakan yang sangat gesit sekali, tubuhnya tahu-tahu telah berada di depan si pemuda. Dia mengulurkan tangannya hendak mencekal pergelangan tangan kanan pemuda itu.

Tapi pemuda berpakaian serba hitam itu telah menarik tangannya terlepas dari cekalan si nenek, dia bilang:

“Kau jangan terlalu mendesakku, locianpwe…… Antara aku dengan bekas guruku itu sudah tidak terdapat hubungan apa-apa lagi!” Sambil berkata begitu tampak si pemuda juga hendak memutar tubuhnya ingin berlalu.

Tapi wanita setengah baya itu semakin gusar, bentaknya nyaring: “Murid murtad seperti engkau harus dihajar mampus! Terimalah kematianmu!”

Sambil membentak begitu, cepat sekali tubuhnya melesat ke samping si pemuda. Dia memang memiliki gin-kangnya yang sangat tinggi.

Karena dari itu, dia dapat bergerak dengan lincah sekali. Dia telah berhasil berada di dekat si pemuda sambil tangan kanannya dipergunakan untuk menghantam kepala si pemuda itu.

Pemuda itu merasakan sambaran angin pukulan. Dia memiringkan kepalanya, dia berhasil menghindar dari pukulan wanita setengah baya tersebut.

Cepat sekali, tanpa berani berayal pula pemuda itu telah melompat buat melarikan diri.

“Ingin kabur ke mana kau?” bentak wanita setengah baya tersebut, segera juga tubuhnya telah bergerak menyusul.

Tapi pemuda itu menggerakkan gin-kangnya dia berusaha berlari menjauhi diri dari wanita setengah baya yang galak itu. Dan wanita setengah baya itu tetap mengejarnya.

Giok Hoa semakin tertarik menyaksikan urusan ini, dia menduga itulah urusan dalam sebuah pintu perguruan silat. Sesungguhnya, memang diketahuinya di dalam rimba persilatan ada peraturan, orang dari luar pintu perguruan yang tengah timbul gelombang, tidak boleh mencampurinya, akan tetapi Giok Hoa tertarik sekali, sehingga dia pun segera mengikutinya dengan hati-hati.

Waktu itu pemuda berpakaian hitam tersebut telah berlari kurang lebih puluhan lie, dan hampir tiba di pintu kota. Namun wanita setengah baya itu, yang sejak tadi tengah mengejarnya dan berlari dengan gin-kang yang tinggi sekali, dalam waktu yang singkat telah bisa memperdekat jarak pisah mereka.

Tiba-tiba tubuhnya seperti seekor burung elang, menyambar kepada si pemuda. Tangan kanannya bergerak memukul dengan lweekang yang dahsyat.

Angin pukulan itu berkesiuran sangat kuat sekali, dan juga menyambar mendatangkan maut, yang bisa merenggut nyawa pemuda itu kalau saja si pemuda terkena serangan tersebut.

Tapi si pemuda yang menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, tidak mau berdiam diri saja. Dia berusaha buat menangkisnya sambil menahan larinya.

“Dukkkkk!” kuat sekali tangan mereka saling bentur, tampak tubuh si pemuda tergetar dan terpental tiga langkah, tapi tidak sampai terguling.

Sedangkan pada saat si nenek yang tubuhnya hanya tergoncang, kemudian melompat buat menyerang lagi! Pukulan yang kali ini dilakukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan pukulan sebelumnya.

Dengan demikian membuat pemuda itu berusaha hendak menangkis lagi dengan memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

Dikala itu, si nenek menarik pulang tangannya, dia batal buat menyerang lebih jauh, dan tahu-tahu tangan kirinya yang telah menyambar lagi, menerjang kepada dada pemuda itu.

“Ihhhh!” pemuda tersebut berseru tertahan, dia berusaha mengelakkan pukulan itu sambil menarik pulang tangannya yang tadi ingin menangkis, tubuhnya mengelak ke samping.

Namun gerakannya itu kalah cepat dibandingkan tibanya tangan si wanita setengah baya, sebab dia telah kena terserempet, dadanya sakit bukan main, dia sampai menjerit dan tubuhnya terhuyung mundur.

“Hemmmm, murid murtad, sekarang tiba waktumu untuk dibinasakan, guna menebus dosamu!” berseru wanita setengah baya itu, dengan sorot mata yang mengandung hawa pembunuhan, sikapnya mengancam sekali.

Sedangkan pemuda berpakaian serba hitam tersebut segera juga sambil meringis menahan sakit, melompat buat melarikan diri. Namun nenek itu juga telah melompat sebat, tangan kanannya diulurkan, untuk menghantam lagi.

Si pemuda menyadari bahwa dia sudah tidak berdaya buat menghadapi tenaga pukulan wanita itu. Ke dua tangannya bergerak ke punggungnya, cepat sekali dia telah mencabut keluar ke dua pedangnya, di mana sepasang pedang tersebut bergerak secepat kilat dalam bentuk gulungan, sinar keperak-perakan.

Si nenek juga mengetahui, tidak bisa ia menyerang terus, karena dia pun tidak mau tangannya jika kena ditabas pedang lawannya, yang akan membuat tangannya itu bisa buntung.

Di waktu itu, si pemuda merangsek terus, sepasang pedangnya bergerak-gerak sangat cepat sekali, angin berkesiuran menderu-deru. Dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dalamnya dan juga jurus-jurus yang liehay sekali, karena mengetahui lawan yang tengah dihadapinya adalah seorang lawan yang tangguh luar biasa.

Terlihat tubuh si pemuda berulang kali melompat untuk melarikan diri, acapkali setelah berhasil mendesak lawannya dengan sepasang pedangnya, dia melompat menjauhi diri, dan berusaha memutar tubuhnya untuk melarikan diri.

Sayangnya wanita setengah baya itu justeru memiliki gin-kang yang tinggi sekali, sehingga dia selalu dapat mengejarnya dan menyerang dengan sepasang tangannya. Dengan demikian sama sekali dia tidak memberikan kesempatan sedikitpun juga kepada pemuda itu buat melarikan diri.

Pemuda itu rupanya jadi naik darah juga. Dia jadi nekad, karena menyadari wanita setengah baya seorang yang sangat tangguh, sehingga sulit buat dia melarikan diri.

Disebabkan itulah, dia telah berusaha untuk menyerang bertubi-tubi dengan pedangnya, di mana ke dua pedang itu beruntun menikam dan menabas tidak hentinya, mendesak wanita setengah baya itu.

Biarpun menghadapi sepasang pedang pemuda itu dengan bertangan kosong, dan setiap kali didesak wanita setengah baya itu melompat mundur menghindarkan diri, tetap saja dia berada di bawah angin. Karena begitu si pemuda selesai menyerangnya, diapun akan balas menyerang dengan sepasang tangannya, yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan sepasang pedang pemuda tersebut.

Di waktu itu terlihat jelas sekali, si pemuda mulai gugup. Dia mempergunakan seluruh tenaganya pada pedangnya itu yang berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan lincah dan penuh hawa pembunuhan, namun tetap saja dia tidak bisa mendesak wanita setengah baya itu.

“Hemmmmmmm, murid murtad, walaupun bagaimana hari ini adalah hari kematian mu......... Aku akan mewakili gurumu, buat mengambil jiwa murtadmu.....!”

Sambil berseru begitu, tiba-tiba gerakan tubuh wanita setengah baya itu berobah, tubuhnya seperti bayangan mengelilingi pemuda tersebut, sehingga pemuda itu tambah bingung.

Jika tadi dia masih bisa mempergunakan sepasang pedangnya buat menyerang dahsyat kepada wanita setengah baya itu, tapi sekarang justeru dia jadi bingung kehilangan sasaran. Dia tidak bisa mengetahui dengan pasti di arah mana si wanita setengah baya itu berada.

Hal ini disebabkan wanita setengah baya itu yang tengah mengelilinginya bergerak terlalu cepat, sehingga tubuhnya jadi seperti bertambah menjadi lima atau enam orang.

Sebentar berada di sebelah kiri, sebentar di sebelah kanan atau di samping lalu di belakang. Dengan begitu, si pemuda tambah bingung.

Buat sementara dia hanya membuka matanya lebar-lebar, mengawasi dengan hati yang berdebar, tanpa menyerang, karena dia ingin melihat dulu sesungguhnya di mana arah yang tepat beradanya si wanita setengah baya itu.

Giok Hoa yang mendekam di atas genting menyaksikan hal itu segera dapat menduga bahwa pemuda itu dalam duapuluh jurus lagi akan dapat dirubuhkan oleh lawannya.

Dan dugaan Giok Hoa ternyata tidak meleset, karena setelah lewat tujuh jurus pula tahu-tahu tubuh wanita setengah baya itu berkelebat sambil mengulurkan tangan kanannya bentaknya: “Lepaskan…….!”

Muka pemuda itu jadi pucat, karena ke dua pedangnya tahu-tahu telah lenyap dari cekalannya, dimana dia berdiri mematung, karena sepasang pedangnya telah dirampas wanita setengah baya itu, dengan cara yang sangat menakjubkan sekali, atas kelihayan tangan wanita setengah baya tersebut.

Wanita setengah baya itu tertawa mengejek, dia mengerahkan tenaganya. Sepasang pedang itu telah patah menjadi empat potong.

“Hemmm, sudah kukatakan bahwa hari ini adalah hari kematianmu…..!” berkata wanita setengah baya itu dengan suara yang menyeramkan. “Murid murtad, sekarang kau bersiap-siaplah buat menerima kematian……!”

Sambil berkata begitu, tampak wanita setengah baya itu melangkah perlahan-lahan menghampiri si pemuda dengan sikap mengancam memancarkan hawa pembunuhan.

Pemuda itu menyadari bahwa dia sudah tidak berdaya buat menghadapi wanita setengah baya itu. Dia berusaha untuk memutar tubuhnya, dia masih ingin angkat kaki.

Wanita setengah baya itu mengeluarkan tertawa dingin, tubuhnya melompat gesit sekali. Dia berhasil mengejar pemuda tersebut.

Habislah tenaga pemuda itu. Karena jambakan tangan wanita setengah baya yang disertai dengan lweekang yang tinggi, memijit jalan darah Kie-kiat si pemuda, sehingga begitu jalan darahnya kena dicekal, seketika punahlah tenaga pemuda itu. Dia tidak bisa meronta lagi.

Wanita setengah baya itu tertawa mengejek,

“Hemmmmm…… kemana engkau hendak melarikan?!” mengejek si wanita setengah tua itu. “Jika aku telah turun tangan, hemmmmm, hemmmmm, murid murtad seperti engkau memang sudah tidak bisa diberikan kesempatan buat hidup terus di dalam dunia ini.....!”

Pemuda itu lemah dan pecah nyalinya. Dia menyadari, sekarang sulit sekali buat dia melarikan diri, lolos dari tangan si wanita setengah baya. Karena dari itu, dia bermaksud untuk meminta pengampunan saja dari wanita setengah baya itu

“Jangan…… jangan membunuhku...... aku bersumpah akan merobah kelakuanku……!” sesambatan pemuda itu.

Tapi wanita setengah baya itu tertawa dingin.

“Hemm, murid murtad seperti engkau mana pantas diampuni? Engkau harus mampus dan juga engkau tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama lagi di dalam dunia ini, karena hanya akan menimbulkan malapetaka bagi orang orang lainnya…… Gurumu telah memberikan mandatnya, agar aku mewakilinya memusnahkan engkau, seorang murid murtad yang paling kurang ajar……!”

Si pemuda mengeluh di dalam hatinya, karena dia menyadari bahwa wanita setengah baya itu akan turun tangan bersungguh-sungguh, apa lagi di waktu itu tampak wanita setengah baya tersebut telah mengangkat tangan kanannya. Dia bersiap hendak menghajar batok kepala pemuda itu.

Sekali saja telapak tangan itu singgah di batok kepala pemuda itu, niscaya si pemuda akan kehilangan jiwanya dengan kepala yang remuk hancur.

Dikala itu Giok Hoa sendiri melihat wanita setengah baya yang tangguh itu ingin membunuh si pemuda, yang sudah tidak berdaya itu, hatinya tidak senang. Dia pikir, jika tokh wanita setengah baya itu hendak menghukum si pemuda, yang mungkin telah melakukan perbuatan yang mendurhakai pintu perguruannya, bisa saja ia menjatuhi hukuman dengan membuat bercacat si pemuda, agar kelak dikemudian hari dia tidak bisa melakukan kejahatan lagi.

Tapi justeru dalam keadaan seperti itu, di saat Giok Hoa hendak melompat keluar dari tempatnya bersembunyi, tampak sesosok bayangan melesat keluar dari tempat yang gelap di atas rumah penduduk.

“Jangan mencelakai dia……!” terdengar teriakan seorang gadis.

Orang yang baru muncul itu memang seorang, dengan baju berwarna kuning gading, wajahnya cantik sekali. Usianya mungkin baru tujuhbelas tahun.

“Jangan mencelakai dia Locianpwe…… aku mohon, janganlah mencelakai dia.......!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar