Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 33

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 33
 
Anak rajawali Jilid 33

Muka Ko Tie agak hitam gelap, karena bekerjanya racun, sedangkan ia memang masih belum bisa mengerahkan sin-kangnya menembusi tan-tiannya, pusarnya. Dengan begitu pertempuran antara Giok Hoa dengan ke lima orang pelayan itu seperti tidak memperhatikan Ko Tie.

Giok Hoa menyadari bahwa ia tidak boleh membuang-buang waktu. Kalau sampai pertempuran itu berlangsung lama, dan juga mengganggu pemusatan perhatian dan pikiran Ko Tie, sehingga perasaannya tergoncang, Ko Tie pasti mengalami kesulitan yang jauh lebih besar.

Dikala itu, dengan pedang yang berkelebat ke sana ke mari, tubuh Giok Hoa juga berkelebat-kelebat dengan lincah. Setiap kali dia menggerakkan pedangnya, dengan jurus Giok-lie-kiam-hoat, membuat lawannya mundur tidak bisa mendekatinya.

Malah, setelah lewat belasan jurus, Giok Hoa memiliki kesempatan, pedangnya telah menikam ke pundak salah seorang lawannya. Tikaman itu meluncurnya sangat cepat, sehingga lawanya yang berada di sebelah kanan, tidak keburu lagi untuk menghindar.

Dan pundaknya kena tikam. Dia menjerit, dan seketika terhuyung mundur, dengan darah, mengalir deras dari lukanya itu.

Pelayan tua dengan seorang kawannya yang lain segera maju memperdekat pengepungan mereka.

Namun sekali lagi Giok Hoa herhasil menikam lengan seorang lawannya, dan lawannya itu mundur dengan muka meringis, bahkan goloknya telah jatuh ke lantai dengan mengeluarkan suara berkerontongan.

Bukan main gusarnya pelayan tua itu. Berulang kali ia berseru menganjurkan kepada ke dua orang kawannya, yang belum terluka agar maju lebih ketat merangsek Giok Hoa. Ia sendiri pun menyerbu dengan goloknya bergerak sangat ganas sehingga membuat Giok Hoa harus memutar pedangnya beberapa kali menangkis serangan itu.

Cuma saja disebabkan pelayan tua itu berlaku nekad, dan juga geraknya berobah, tahu-tahu pedang Giok Hoa telah menyambar menabas kutung tangan kiri pelayan tua itu, sebatas siku tangannya.

Pelayan tua itu mengeluarkan jeritan menyayatkan hati, melompat mundur dan telah berseru: “Angin kencang……!” Ia telah melarikan diri, diikuti oleh ke empat orang kawannya.

Giok Hoa hendak mengejarnya, tapi segera ia teringat akan keselamatan Ko Tie, akhirnya ia batal mengejar dan telah menghampiri Ko Tie. Dilihatnya muka Ko Tie hitam dan pucat, gelap sekali, menunjukkan betapa pemuda itu memang keracunan hebat.

Dalam keadaan seperti itu terlihat jelas, betapapun juga, memang Ko Tie tengah berada dalam keadaan yang gawat sekali, karena ia tengah berusaha membendung bekerjanya racun. Dengan demikian ia mengerahkan seluruh sin- kangnya dan mati-matian mencegah beredarnya lebih jauh racun yang terlanjur tadi telah diminumnya.

Apa lagi memang tampaknya racun yang dipakai penjahat bukanlah racun sembarangan melainkan racun-racun yang dapat bekerja cepat dan juga sangat ganas. Biarpun Ko Tie memiliki sin-kang yang sangat tinggi, namun ia tidak bisa segera membendung beredarnya racun dalam waktu yang singkat.

Di waktu itu, Giok Hoa berdiri di samping Ko Tie. Ia bersiap siaga, karena ia kuatir kalau-kalau ada serangan mendadak dari pihak lawan.

Disamping itu, Giok Hoa juga tengah berpikir keras. Ia menduga entah siapa adanya pelayan-pelayan rumah penginapan ini yang mereka tampaknya memiliki kepandaian tidak rendah juga yang membuat dia curiga.

Sesungguhnya apa yang diucapkan oleh pelayan tua itu, bahwa mereka menginginkan uang dan barang milik Ko Tie dan Giok Hoa, hal itu tidak bisa di percaya penuh sebab tidak masuk dalam akal jika memang mereka cuma menghendaki barang dan uang. Sebab waktu beberapa waktu yang lalu, ternyata kamar mereka telah kemasukkan penjahat dan uang maupun barang mereka tidak ada yang hilang.

Kalau memang orang-orang itu menginginkan uang dan barang, niscaya mereka akan mengambilnya dengan mudah. Bukankah di waktu itu memang Ko Tie data Giok Hoa sedang tidak berada di rumah penginapan tersebut?

Maka Giok Hoa yakin, pelayan tua itu hanya memberikan alasan kosong belaka, bahwa mereka hanya sekedar menghendaki uang dan barang. Justeru melihat Ko Tie telah keracunan seperti itu, tentunya memang para pelayan rumah penginapan ini menghendaki jiwa mereka berdua. Bukankah Ko Tie dan dia oleh mereka?

Lalu, siapakah yang telah perintahkan mereka buat membunuh Giok Hoa dan Ko Tie? Inilah yang tengah dipikirkan oleh Giok Hoa. Malah ia segera berpikir, tentu antara para pelayan itu dengan Kiang-lung Hweshio terdapat hubungan yang erat.

Tetapi, Ko Tie sekarang berada dalam keadaan demikian, jiwa dan keselamatannya tengah terancam maka membuatnya benar-benar jadi harus melindunginya. Karena jika sekarang ia mengejar para pelayan itu dan memaksa mereka bicara, siapa tahu Kiang-lung Hweshio tahu-tahu muncul dan membunuh Ko Tie.

Bukankah Ko Tie sekarang tengah berada dalam keadaan tidak berdaya. Sebab ia telah dipengaruhi oleh bekerjanya racun, yang membuat ia selain tidak memiliki tenaga, juga memang belum pasti bisa melawan bekerjanya racun yang dimakannya itu, yang tentunya merupakan racun yang sangat berbahaya sekali.

Tengah Giok Hoa bingung dan panik, melihat muka Ko Tie yang semakin lama semakin gelap menghitam, ia mendengar suara langkah kaki beberapa orang yang tengah mendatangi. Segera juga Giok Hoa bersiap sedia.

Dikala itu tampak beberapa orang muncul di ambang pintu. Dan Giok Hoa waktu itu telah melihat mereka, seketika jadi mengeluh. Karena dilihatnya mereka tidak lain terdiri dari Kiang-lung Hweshio, yang muncul sambil menyeringai sinis dan mukanya bengis sekali.

Disampingnya berdiri Gorgo San dengan muka yang menyeramkan dan matanya memancarkan sinar bernafsu buat membunuh. Di belakang mereka tampak ke lima pelayan tadi yang telah dipukulnya mundur oleh Giok Hoa.

Tampak Kiang-lung Hweshio sambil tertawa bergelak-gelak telah berkata.

“Bagus! Jika kau nona manis tidak mau menyerahkan diri secara baik-baik, hemmmm, tentu kami akan membuat engkau mati dengan mata meram……!”

Dugaan Giok Hoa bahwa para pelayan itu adalah anak buah dari Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San, ternyata tidak meleset. Tapi, kini biarpun Giok Hoa tengah murka, ia berusaha menahan diri, mengingat akan keselamatan jiwa Ko Tie, yang keadaannya pada waktu itu sangat menguatirkan sekali.

Gorgo San pun tertawa dingin,

“Racun yang telah mengalir dalam peredaran darah kawanmu itu adalah racun nomor satu yang paling ganas di Tibet. Karena itu, tanpa memperoleh obat yang tepat, jangan harap kawanmu itu bisa tertolong jiwanya. Lewat besok pagi, maka jiwanya akan melayang……”

Dan setelah berkata begitu, Gorgo San tertawa bergelak-gelak. “Aku bersedia menolong kalian!” kata Gorgo San lagi kemudian, setelah puas tertawa. “Tapi ada syaratnya...... entah kau dapat memenuhi syaratnya itu atau tidak……!”

Giok Hoa dengan muka yang merah padam berusaha menahan dan membendung kemurkaannya. Ia memandang ragu kepada Gorgo San.

Dengan menindih kemarahannya, ia bertanya, “Syarat apa yang kalian inginkan dari kami ini?”

“Syarat yang tidak terlalu berat……!” menyahuti Gorgo San dengan suara yang tawar.

“Kau harus baik-baik ikut denganku dan menjadi kekasihku, barulah aku akan memberikan kepada kawanmu itu obat pemunahnya. Tapi jika engkau membangkang, aku ingin melihat dengan cara bagaimana engkau menghadapi dan memandangi kawanmu yang tidak lama lagi akan mampus……!”

Muka Giok Hoa merah padam.

“Hemmm, dia seorang pemuda hidung belang……!” pikir si gadis kemudian. “Tapi jika engkau melabrak mereka, tentu jiwa Ko Tie koko akan terancam sekali..... lebih baik aku menolongi dulu jiwa engkoh Tie..... nanti bisa diurus lagi……!”

Setelah berpikir begitu maka Giok Hoa mengangguk sambil tersenyum dingin.

“Baiklah, aku menerima syaratmu! Tapi sekarang cepat kau berikan obat pemunah racun itu……” pinta Giok Hoa sambil mengawasi tajam.

Gorgo San menggeleng perlahan, ia pun mengulapkan tangan kanannya.

“Tidak begitu mudah aku menyerahkan obat pemunah itu! Hemmm, apakah dengan begitu saja aku akan mempercayai kesediaanmu untuk menjadi kekasihku?

“Sekarang lemparkan pedangmu, dan kau biarkan kami menotok jalan darahmu, agar engkau tidak dapat melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan! Barulah nanti kami memberikan obat penawar racun kepada kawanmu itu ......!”

Giok Hoa cerdik dan ia pun tidak ceroboh. Mendengar perkataan Gorgo San seperti itu, ia bilang:

“Sekali mengucapkan tidak mungkin dapat ditarik kembali, tidak akan terkejar oleh selaksa kuda!” katanya, dan kemudian mendengus dua kali, barulah dia meneruskan perkataannya:

“Dan aku, tidak akan memungkiri janjiku, akan memenuhi syaratmu! Dan kau tidak perlu ragu-ragu, karena memang aku akan ikut bersama dengan kau, asal engkoh Tie bisa disembuhkan!”

Gorgo San tertawa besar, dia bilang: “Engkoh Tie itu akan sembuh. Percayalah! Tapi, tetap saja engkau harus membiarkan kami menotok jalan darahmu, agar selanjutnya engkau tidak menimbulkan kesulitan buat kami! Bagaimana, kau bersedia?”

Giok Hoa ragu-ragu. Inilah hebat. Kalau memang sampai ia membiarkan dirinya ditotok oleh Gorgo San, bukankah sama saja ia menyerahkan diri ke mulut harimau?

Bukankah kelak dalam keadaan tertotok dia tidak akan berdaya? Dengan mudah Gorgo San tentu akan menghina dirinya atau memperkosanya?

Inilah hebat, syarat yang didengarnya memang sangat ringan, tapi berat untuk dilaksanakannya, karena mengandung bahaya yang tidak kecil bagi dirinya sendiri.

Untuk beberapa saat lamanya Giok Hoa hanya berdiam diri saja dengan ragu-ragu. Mukanya sebentar berobah pucat, sebentar merah padam.

Jika menuruti adatnya, tentu dia akan menerjang buat menghajar Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio. Tapi ia memikirkan keselamatan Ko Tie, yang membutuhkan obat penawar racun yang tepat agar racun yang mengendap di dalam tubuh Ko Tie dapat dipunahkan.

Melihat Giok Hoa ragu-ragu, Kiang-lung Hweshio tertawa dingin, dia menoleh kepada Gorgo San, katanya dengan suara yang sinis:

“Sudahlah, dia tampaknya sulit memenuhi permintaanmu, syaratmu itu tampaknya memberatkan hatinya! Lebih baik mereka di“mampus”kan saja, agar tidak meninggalkan bibit penyakit di belakang hari!”

Gorgo San tersenyum mendengar perkataan kawannya, ia bilang: “Kawanmu itu terkena racun It-tok, racun tunggal, yang berasal dari Tibet. Jangan harap orang lain dapat menolonginya, karena hanya aku yang memiliki obat pemunahnya!

“Karena itu, biarpun orang yang menjadi korban racun itu memiliki sin-kang yang sempurna, sekali saja terkena racun tersebut, jangan harap ia bisa mempergunakan sin-kangnya buat mengusir racun yang mengendap di dalam tubuhnya! Hemmm, demikian juga dengan kawanmu itu, walaupun ia bersemedhi dan mengerahkan sin-kangnya untuk dapat mengusir racun, tetap saja tidak akan berhasil.”

Giok Hoa mengerutkam alisnya. Ia baru mengerti, mengapa sejauh itu Ko Tie masih belum berhasil mendesak racun yang mengendap di dalam tubuhnya.

Sedangkan Gorgo San meneruskan perkataannya:

“Hemmm, perlahan-lahan racun itu akan membuat sin-kang korbannya menjadi semakin lemah dan jangan harap akhirnya dapat berhasil menindih racun itu! Baiklah! Tampaknya kau memang berat buat memenuhi syaratku.

“Aku pun tidak akan memaksa, aku ingin melihat, apa yang hendak kau lakukan besok pagi di kala temanmu itu akan mampus! Batas waktunya cuma besok pagi saja, karena ia akan hilang nyawanya.....!”

Muka Giok Hoa merah padam, malah tahu-tahu cepat sekali pedangnya telah berkelebat menikam kepada Gorgo San. Giok Hoa bermaksud sekali menikam, ia akan dapat menikam mati Gorgo San.

Namun siapa tahu, justeru di waktu itu terlihat Gorgo San menyingkir ke belakang, dan Kiang-lung Hweshio yang maju memapaki dan menangkis serangan Giok Hoa. Hal ini memang disebabkan Gorgo San tengah terluka di dalam yang tidak ringan oleh pukulan Ko Tie beberapa waktu yang lalu. Dan Kiang-lung Hweshio yang telah mewakilinya menghadapi Giok Hoa.

Karena itu, segera terlihat Giok Hoa dan Kiang-lung Hweesio telah bertempur satu dengan yang lainnya. Mereka bertempur dengan hebat sekali.

Tampak tubuh Kiang-lung Hweshio berkelebat-kelebat dengan ringan, dan ia pun sudah mengerahkan sebagian besar tenaga lweekangnya untuk mendesak Giok Hoa. Terlebih lagi pedang si gadis bergulung-gulung dengan dahsyat karena dia mempergunakan ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat.

Dalam keadaan seperti itu, Kiang-lung Hweshio pun tidak bisa bertangan kosong. Ia mempergunakan kayu pemukul bok-hienya untuk menangkis dan menghalau setiap serangan yang dilakukan oleh Giok Hoa.

Sedangkan Giok Hoa semakin berkuatir. Sekarang ia tengah terlibat oleh Kiang-lung Hweshio. Dengan demikian, jelas ia sulit sekali buat melindungi Ko Tie.

Dengan adanya Gorgo San di tempat itu tentu saja keadaan diri Ko Tie semakin terancam bahaya. Karena jika Gorgo San mempergunakan kesempatan itu untuk menganiaya Ko Tie, niscaya si pemuda tidak bisa mengadakan perlawanan yang semestinya.

Jika tokh terpaksa ia menangkisnya, niscaya akan membuatnya jadi terluka di dalam yang lebih hebat. Disamping racun yang mengendap di dalam tubuhnya akan menjadi buyar dan menjalar ke jantungnya. Itulah merupakan ancaman yang tidak ringan.

Maka Giok Hoa hendak mendesak si pendeta dan juga ia bermaksud hendak melompat lagi ke tempatnya semula, yaitu melindungi kekasihnya.

Sedangkan Ko Tie walaupun ia tengah mengerahkan seluruh sin-kangnya buat menindih racun yang mengendap di dalam tubuhnya, toh memang ia merupakan seorang yang memiliki pendengaran yang tajam. Ia telah mendengar percakapan Gorgo San dengan Giok Hoa, juga ia mendengar suaranya Kiang-lung Hweshio sehingga ia menyadari bahwa jiwa dan keselamatannya terancam sekali. Demikian juga keselamatan Giok Hoa, gadis itu bisa terancam bahaya yang tidak kecil.

Dikala itu, Ko Tie sendiri telah gagal beberapa kali untuk mengerahkan tenaga dalamnya guna yang menindih racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Akhirnya Ko Tie pun jadi nekad.

Dia berpikir, percuma saja ia membuang waktu untuk memulihkan tubuhnya dari racun itu, dan memunahkan racun tersebut dengan sin-kangnya. Terlebih baik, ia membunuh Gorgo San dan lalu mengambil obat panawarnya dari orang tersebut.

Karena berpikir seperti itu, akhirnya Ko Tie mendadak sekali membentak nyaring, tubuhnya melompat berdiri dan tahu-tahu telah menyerang dengan sepasang tangannya kepada Gorgo San.

Gorgo San bukan main kagetnya, karena di waktu itu ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Ko Tie bisa melompat bangun dan tahu-tahu melesat kepadanya menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Dengan demikian telah membuatnya cepat-cepat menyingkir.

Tapi serangan yang dilakukan oleh Ko Tie memang benar-benar hebat. Karena begitu menyerang tempat kosong, ia tidak menarik pulang tenaga dalamnya, melainkan ia meneruskan serangannya ke arah di mana Gorgo San mengelak.

Begitulah, beruntun tiga tali Gorgo San menghindarkan diri dari serangan yang dilakukan oleh lawannya, dan Ko Tie juga menyerang semakin hebat. Kepandaian Ko Tie memang tinggi sekali, karena itu, sekarang dalam keadaan murka dan nekad, maka ia menyerang tidak tanggung-tanggung kepada lawannya.

Di dalam hatinya Ko Tie terpikir juga. Jika saja ia bisa merubuhkan Gorgo San, niscaya dia bisa mengambil obat penawar racun dari Gorgo San.

Di waktu itu, Gorgo San telah terluka di dalam tubuh dan ia belum lagi sembuh keseluruhannya, dengan demikian telah membuatnya jadi tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti.

Karena itu ia hanya bisa mengelakkan diri ke sana ke mari. Tapi untuk dapat membalas menyerang, tenaga dalamnya seperti sudah punah dan tidak memiliki kekuatan.

Jika tokh memang Gorgo San memaksakan diri buat menyerang kepada Ko Tie, itulah serangan yang kosong tidak memiliki tenaga yang berarti.

Dikala itu terlihat, napas Ko Tie pun memburu keras karena ia merasa lelah bukan main. Dalam keadaan murka, ia mengerahkan tenaga dalamnya yang berlebihan dan ia pun memang tengah keracunan. Sehingga semakin bergerak dan mengerahkan tenaga dalammya, jelas akan membuat darahnya itu beredar sangat cepat.

Dengan begitu, saat kematiannya pun akan semakin dekat juga. Karena darahnya yang beredar dengan cepat sekali, niscaya akan membuat racun yang telah terlanjur ikut dalam aliran darah, lebih cepat sampai ke jantung

Maka terlihat beberapa kali Ko Tie, sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menyerang lawannya. Ia tidak mempergunakan kesempatan itu.

Dia malah telah menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur jalan pernapasannya. Sehingga telah membuatnya jadi beberapa kali mensia-siakan kesempatan yang ada.

Kiang-lung Hweshio melihat keadaan kawannya terdesak hebat, segera dia menyerang dan mendesak Giok Hoa, agar dia cepat-cepat dapat menyudahi pertempuran tersebut dan menolongi Gorgo San.

Tapi Giok Hoa tidak mau memberikan kesempatan kepadanya. Tampak sinar pedangnya berkelebat-kelebat mengancam bagian-bagian yang mematikan di dalam tubuh dari lawannya.

Jika saja tikaman atau tabasan pedangnya itu mengenai sasaran, niscaya akan membuat lawannya itu seketika terbunuh tanpa bisa tertolong lagi.

Giok-lie-kiam-hoat memang ilmu pedang yang sempurna dan sangat hebat. Karena itu, Giok Hoa menang di atas angin, setelah lewat seratus jurus, Kiang-lung Hweshio jatuh di bawah angin.

Giok Hoa sendiri sebetulnya tengah berkuatir sekali. Ia mengerti, bahwa Ko Tie berhenti bersemedhi dan juga telah melompat menyerang Gorgo San, itulah cara yang memaksakan diri.

Karena dengan bergerak, bertempur dengan Gorgo San, akan membuatnya jadi mempercepat saat-saat kematian. Peredaran darahnya akan jadi kencang dan cepat, dengan demikian racun yang mengendap di dalam tubuhnya pun akan mengalir lebih cepat sampai ke jantung.

Di kala itu, lima orang pelayan rumah penginapan itu, yang tidak lain adalah anak buah Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San, ketika melihat Gorgo San tengah terdesak hebat oleh serangan Ko Tie, segera juga mereka maju dengan serentak, tampak mereka telah menggerakkan golok masing-masing.

Tiga orang di antara mereka memang telah terluka oleh Giok Hoa, akan tetapi luka mereka itu telah diobati, dan kini mereka bisa menyerang lagi dengan hebat kepada Ko Tie, untuk mengeroyok.

Cuma luka si pelayan tua yang memang agak berat, karena di waktu itu tangan kirinya, sebatas sikunya, telah kutung, oleh tabasan pedang Giok Hoa. Maka sekarang di waktu menyerang Ko Tie, ia berlaku sangat hati-hati sekali, karena ia kuatir akan dibikin bercacad pula oleh Ko Tie, sebab memang ia mengetahui Ko Tie memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kepandaian Giok Hoa.

Sedikit demi sedikit gerakan Ko Tie mulai lemah dan lambat. Sekarang maju lima pelayan itu. Walaupun kepandaian ke lima orang pelayan itu tidak setinggi dan selihay kepandaian dari Gorgo San, namun jumlah mereka banyak. Dengan demikian, tentu saja akan membuatnya berat sekali menghadapi mereka.

Giok Hoa yang menyaksikan Ko Tie dikeroyok seperti itu, jadi berkuatir sekali. Malah beberapa kali dia bermaksud melepaskan diri dari libatan Kiang-lung Hweshio tapi sebaliknya, sekarang ini Kiang-lung Hweshio malah bermaksud melibatnya, karena pendeta itu telah melihatnya, bahwa Ko Tie semakin lemah dan mulai kehabisan napas dan tenaga.

Jika memang bertempur lebih lama lagi, niscaya Ko Tie akhirnya pasti rubuh dengan sendirinya. Karenanya, jika sebelumnya memang dia bermaksud melepaskan diri dari libatan Giok Hoa, dan kemudian menolongi Gorgo San sekarang ini justeru dia telah sengaja melibat terus gadis itu, dengan jurus-jurus yang mematikan.

Di kala itu tampak jelas, Giok Hoa berulang kali menikam dan menabas dengan agak gugup, karena biar bagaimana memang dia mulai tidak tenang menyaksikan keadaan Ko Tie yang mulai terdesak dan kehabisan tenaga.

Si gadis menyadarinya, jika saja Ko Tie bertempur terus dengan cara seperti itu, niscaya akan membuatnya kehabisan tenaga dan akhirnya pasti akan dapat dirubuhkan oleh lawannya.

Ko Tie juga tengah berpikir keras. Ia merasakan tenaganya yang semakin berkurang banyak, berangsur-angsur membuat ia semakin lemah.

Karena itu, Ko Tie telah mengambil keputusan, untuk mengadu jiwa. Sebelum dia rubuh dan kehabisan tenaga, terlebih dulu ia hendak membunuh Gorgo San dan nanti merampas obat penawar racunnya.

Di kala itu, Giok Hoa menyaksikan dua bagian dari tubuh Ko Tie terluka dan pakaiannya robek. Darah yang berwarna merah kehitam-hitaman mengalir, membasahi baju dan tubuhnya.

Ngiris sekali hati Giok Hoa. Dia melihat sudah lima atau enam bacokan yang kena di tubuh Ko Tie oleh golok lawannya.

Tapi tidak lama kemudian Ko Tie pun telah dapat menghantam dengan telapak tangannya kepada ke dua orang lawannya, yang seketika terpental keras sekali, dan ambruk di lantai dengan mengeluarkan erangan. Kemudian diam dan tidak bergeming lagi, karena mereka telah pingsan.

Gorgo San dengan ke tiga pelayan rumah penginapan yang lainnya jadi terkejut. Mereka sejenak lamanya tidak menerjang lagi, hanya mengawasi Ko Tie beberapa saat buat mencari kelemahan pemuda itu.

Ko Tie dengan mengeluarkan erangan sudah tidak mau membuang-buang waktu, di mana ia telah menyerang dengan hebat dan beruntun.

Dua orang pelayan telah dapat dihantam rubuh pula dan pingsan tidak sadarkan diri, karena tulang dada mereka telah melesak hancur terkena hantaman telapak tangan Ko Tie.

Sekarang tinggallah Gorgo San dengan pelayan tua yang tangan kirinya sebatas siku telah kutung itu. Dan mereka gentar bukan main.

Jika dalam keadaan biasa dan tidak terluka, niscaya Gorgo San tidak akan gentar seperti itu, ia pasti bisa menghadapi Ko Tie sebaik-baiknya. Justeru sekarang ini ia tengah terluka di dalam dan memang luka di dalam tubuhnya itu belum lagi sembuh. Karenanya ia telah mengambil keputusan yang cepat, dia menoleh kepada pelayan tua itu:

“Kau layani dulu dia……!” Dan sambil berkata begitu, tampak Gorgo San menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat mundur ke belakang.

Sesungguhnya pelayan tua itu pun tengah gugup dan gentar, tapi atas perintah Gorgo San yang tidak berani dibantahnya, terpaksa juga ia melompat maju, membacok dengan goloknya beruntun tiga kali.

Ko Tie menghindarkan diri dari tiga bacokan itu, ia kemudian menghantam dengan telapak tangan kirinya.

Tubuh pelayan itu, yang pundaknya kena dihantam dengan kuat, terpental dan jatuh terguling-guling di lantai, namun ia segera dapat bangun. Di waktu itulah tangan kanan Ko Tie melayang menyambar lagi, dan lengan pelayan tua itu kena dihantamnya.

Seketika tulang lengannya patah dan hancur. Pelayan itu jadi mengerang-erang kesakitan, dan kemudian pingsan tidak sadarkan diri.

Karena akibat getaran dari kekuatan tenaga serangan itu, membuat ia terluka di dalam tubuh. Seluruh isi perutnya terasa jungkir balik.

Dan ia menderita kedinginan yang hebat sekali, juga sekujur tubuhnya seperti dibungkus oleh lapisan es yang menggigilkan tubuhnya. Dengan mengeluh, akhirnya ia pingsan tidak sadarkan diri.

Muka Gorgo San berobah. Ia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya segera melesat ingin melarikan diri meninggalkan kamar tersebut.

Ko Tie tidak mau membuang-buang waktu dan kesempatan ini. Karena dia mengerti, walaupun hanya satu detik, pada waktu itu sangat berguna sekali baginya. Tubuhnya segera bergerak berkelebat dan ia berhasil mengejar Gorgo San.

Tapi belum lagi Ko Tie menyerang, Gorgo San telah berlari ke arah lain.

Di saat itu Gorgo San seperti main petak kucing, dan dengan cara kucing-kucingan seperti itu ia selalu berusaha menjauhi dari Ko Tie. Iapun memang sengaja hendak membangkitkan kemarahan Ko Tie.

Sekali saja Ko Tie terbakar hatinya dan marah, niscaya racun yang mengendap di dalam tubuhnya akan segera bekerja lebih cepat. Berarti kematian yang diterima Ko Tie akan datang lebih cepat lagi.

Kiang-lung Hweshio jadi berkuatir menyaksikan Gorgo San diburu-buru oleh Ko Tie. Dengan mengeluarkan suara erangan bengis, ia pun seringkali mempergunakan kayu pemukul bok-hienya buat menimpuk kepada Giok Hoa.

Jika timpukan kayu pemukul bok-hie itu tidak mengenai sasarannya, maka kayu pemukul bok-hie itu akan terbang meluncur kembali kepada si pendeta.

Dengan berulang kali menimpuk mempergunakan cara seperti itu, telah membuat Giok Hoa tidak bisa mendesak si pendeta terlalu dekat, karena Giok Hoa pun jeri buat kepandaian menimpuk dari lawannya, yang bisa menimpuk dengan kayu pemukul bok-hie itu dengan baik dan juga arah sasarannya sulit sekali diterka.

Cuma saja, yang membuat Giok Hoa berkuatir, adalah keselamatan Ko Tie.

Waktu itu walaupun Ko Tie masih bisa mengejar Gorgo San dan berulang kali menyerang. Namun tetap saja mukanya semakin hitam.

Larinya yang semakin lambat itu membuktikan racun telah bekerja semakin berat. Dan tidak lama lagi Ko Tie akan roboh sendirinya, jika saja ia masih mengejar Gorgo San.

Gorgo San bukannya tidak melihat keadaan Ko Tie seperti itu. Dia girang bukan main, maka ia sengaja berlari terus, semakin lincah dan juga mengejek tidak hentinya, buat membangkitkan kemarahan Ko Tie.

Tetapi waktu itu Ko Tie yang merasakan matanya berkunang-kunang, segera juga terkejut dan menghentikan larinya. Ia pun di dalam hatinya berpikir:

“Celaka! Mengapa aku harus terpancing olehnya seperti ini? Jika memang darahku meluap dan aku mempergunakan tenaga, racun akan bekerja lebih cepat lagi, berarti kematianku akan lebih cepat pula!”

Karena berpikir seperti itu, Ko Tie telah menahan larinya. Dia berdiam diri saja dan mengawasi Gorgo San.

Sedangkan Gorgo San berdiri terpisah lima tombak lebih dengan bertolak pinggang.

“Ayo! Ayo maju! Mari! Mengapa berhenti? Atau memang engkau sudah ingin mampus, monyet?” ejeknya.

Di ejek seperti itu, bukan main murkanya Ko Tie. Tapi ia pun menyadari bahwa seseorang yang tengah terkena racun, jelas tidak boleh menuruti emosinya, dan ia harus dapat mengendalikan diri dan juga jika bisa tidak mempergunakan tenaganya.

Jika memang ia melanggar larangan tersebut, niscaya akan membuatnya jadi lebih cepat terancam kematian. Racun dapat bekerja lebih cepat lagi.

Akhirnya Ko Tie memutuskan, dia akan berdiam diri saja. Dia hanya akan menimpuk dengan mempergunakan senjata rahasianya.

Tiba-tiba tangannya bergerak, dia menimpukkan beberapa jarum bwee-hoa-ciam kepada Gorgo San.

Gorgo San mengeluarkan seruan kaget dan menyingkir lagi. Ia cuma bisa bergerak gesit, tanpa memiliki tenaga buat mengadakan perlawanan. Karena itu, ia cuma berhasil mengelakkan diri dari sambaran senjata rahasia tersebut, tanpa ia bisa untuk balas menimpuk.

Di kala itu Ko Tie gencar sekali menimpuk kepada lawannya. Gorgo San berpikir:

“Hemmmmm, tampaknya ia masih memiliki sedikit tenaga dan masih bisa bertahan. Jika memang aku meninggalkanya setengah harian dan nanti aku datang kembali ke mari, untuk membunuhnya, di waktu itu tentu dia sudah tidak berdaya lagi......!”

Karena berpikir seperti itu, tampak Gorgo San telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat keluar dari jendela. Dia pun sambil melompat berseru nyaring kepada Kiang-lung Hweshio. “Angin kencang!”

Kiang-lung Hweshio memang tengah berpikir sama seperti yang dipikirkan Gorgo San.

Sekarang mendengar kawannya menganjurkan ia angkat kaki, maka segera ia mendesak Giok Hoa.

Waktu Giok Hoa melompat mundur, segera juga ia menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke luar dari jendela. Dalam waktu yang singkat, segera juga ia menghilang di luar, menyusul Gorgo San.

Giok Hoa hendak mengejar, namun segera ia teringat kepada Ko Tie. Ia berlari menghampiri.

“Engkoh Tie…… bagaimana keadaanmu?” tanya si gadis dengan berkuatir sekali, karena dilihatnya muka Ko Tie telah gelap dan menghitam. Dia tahu racun yang mengendap di dalam tubuh Ko Tie telah semakin mengganas dan keadaan si pemuda semakin lemah.

Ko Tie menghela napas.

“Tampaknya memang sulit buat aku lolos dari kematian!” menggumam si pemuda itu, yang di saat itu merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing.

Hal itu disebabkan Ko Tie sudah terlalu banyak mengerahkan tenaga dalamnya, sahingga racun yang mengendap di dalam tubuhnya mulai bekerja mengganas, membuat pandangan mata Ko Tie jadi gelap, dan juga kepalanya pusing, seperti dunia berputar.

Dengan mengeluarkan suara keluhan, tubuhnya terhuyung-huyung. Ko Tie masih berusaha hendak mempertahan kuda-kuda ke dua kakinya, namun gagal. Tubuhnya ambruk di lantai. Untung Giok Hoa cepat sekali memegangi lengannya, malah gadis ini kemudian memayangnya naik ke pembaringan, merebahkan pemuda itu di situ.

Giok Hoa bingung bukan main, ia melihat Ko Tie pingsan tidak sadarkan diri.

Malah, dalam keadaan pingsan seperti itu, napasnya memburu keras dan panas. Dia juga terlihat, betapa mukanya hitam kehijau-hijauan menunjukkan bahwa racun yang mengganas di dalam tubuhnya memang sangat hebat sekali. Jika pemuda ini tidak memperoleh pengobatan yang tepat dan segera, niscaya ia akan membuang jiwa dengan cara yang mengecewakan.

Giok Hoa karena terlalu bingung dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya, menangis terisak-isak. Dan ia pun telah duduk di tepi pembaringan, buat menjagai dan melindungi Ko Tie, kalau-kalau sewaktu-waktu ada orang yang datang bermaksud mencelakainya, atau Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio datang kembali buat mengacau.

Lama juga Ko Tie pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya ketika ia tersadar, ia mengigau dengan suara yang sangat serak dan lemah, keadaannya semakin parah juga, karena racun telah bekerja hebat sekali.

Jika saja racun yang mengendap di dalam tubuhnya itu menjalar sampai ke jantungnya niscaya ia akan menemui ajalnya.

Dengan muka yang pucat dan bingung, Giok Hoa telah bertanya: “Mau..... maukah kau ku tolong dengan mempergunakan sin-kang?”

Tapi Ko Tie menggeleng perlahan suaranya serak: “Mana…... manusia keparat itu.....?”

Giok Hoa ragu-ragu, tapi kemudian dia memberitahukan juga Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio telah melarikan diri.

“Hemmm, sebelum aku membunuhnya, aku..... aku tidak mau mati!” berkata Ko Tie dengan suara yang serak dan tubuh menggigil.

Dikala itu, Giok Hoa segera memutuskan mungkin dengan menyalurkan lweekangnya, dia bisa membantu Ko Tie untuk menindih racun yang mengendap di dalam tubuh pemuda itu.

Akan tetapi itulah tindakan yang masih belum pasti di samping berbahaya, karena dikala ia mengerahkan tenaga lweekangnya, jika sampai musuh datang niscaya dia tidak akan dapat memberikan perlawanan, dan mudah sekali akan ia akan dapat dirubuhkan. Berarti mereka berdua akan kehabisan kesempatan untuk hidup lebih jauh, di mana mereka akan terbinasa.

Dikala Giok Hoa ragu-ragu, Ko Tie mendadak mengerang, ia bilang:

“Aku….. aku bisa menyembuhkan diri..... tapi aku membutuhkan tempat untuk tujuh hari lamanya. Selama tujuh hari aku tidak boleh pengerahan tenaga dalam itu terpecahkan..... sekali saja buyar, akan habislah jiwaku…..!”

Mendengar perkataan Ko Tie itu, bukan main girangnya Giok Hoa. Ia bertanya dengan segera: “Baik…… di mana tempat yang kiranya cocok untuk kau mengobati diri?!”

“Di tempat yang sunyi.....?” menyahuti Ko Tie dengan suara yang lemah.

“Aku akan membawamu mencari tempat yang cocok untuk kau!” kata Giok Hoa.

Si gadis bekerja cepat sekali. Dia telah memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, kemudian membereskan buntalannya, dan lalu menggendong Ko Tie.

Semua itu dilakukan Giok Hoa dengan cepat, sebab ia kuatir kalau sampai Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San datang kembali ke kamar mereka di rumah penginapan ini, di mana kedua orang itu tentu bisa mendesak mereka lebih hebat, di saat Ko Tie tengah berada dalam keadaan tidak berdaya seperti ini.

Waktu meninggalkan rumah penginapan itu, Giok Hoa melihat keadaan sangat sepi sekali. Dia telah melompat dengan gesit mengambil jalan di atas genting. Walaupun ia menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka yang cukup berat, namun ia bisa bergerak dengan lincah.

Ia berlari-lari keluar kota.

Tapi ketika ia menoleh ke belakang, ternyata mengikuti beberapa sosok tubuh, membuat Giok Hoa jadi terkejut.

Yang membuat dia jadi mengeluh, karena segera juga Giok Hoa mengenali, di antara sosok tubuh yang tengah mengikuti di belakangnya adalah Kiang Lung Hweshio dan Gorgo San. Dengan demikian benar-benar membuat si gadis jadi bingung.

Dalam keadaan seperti itu, di mana dia menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka, jika diserang oleh Kiang-lung Hweshio serta Gorgo San, niscaya si gadis tidak leluasa buat mengadakan perlawanan.

Karena itu, segera juga ia mempercepat larinya. Dia mengerahkan gin-kangnya, karena ia bermaksud menjauhi diri secepat mungkin menghindar dari pengejarnya.

Sesungguhnya, Kiang-lung Hwesio dan Gorgo San setelah keluar dari kamar si gadis dan Ko Tie, bukannya mereka pergi meninggalkan tempat itu. Mereka terus juga mengamati kalau-kalau Giok Hoa dan Ko Tie ingin melarikan diri.

Bahkan Kiang-lung Hweshio telah mengumpulkan beberapa orang anak buahnya. Mereka semuanya bersiap-siap untuk menerjang ke dalam rumah penginapan itu.

Di kala itulah, mereka melihat Giok Hoa dengan menggendong Ko Tie hendak meninggalkan rumah penginapan.

Sebetulnya anak buah Kiang-lung Hweshio hendak menerjang keluar buat mengepung si gadis dan membinasakannya, tetapi Kiang-lung Hweshio memberikan isyarat agar mereka tidak bergerak dulu, karena pendeta ini memang hendak melihat apa yang hendak dilakukan oleh Giok Hoa dan Ko Tie.

Juga Gorgo San. Walaupun merasa benci kepada Giok Hoa dan Ko Tie pun ia sangat menyukai si gadis yang begitu cantik. Disebabkan itu pula, jika memang si gadis masih bisa ditangkap hidup-hidup, itu jauh lebih baik dari pada dibunuh.

Itulah sebabnya mengapa mereka hanya mengikuti dari belakang saja. Sedangkan Giok Hoa yang diikuti, karena menyadari tidak mungkin bisa menghadapi mereka dengan keadaannya seperti sekarang ini, jadi bingung bukan main.

Walaupun dia telah mengerahkan gin-kangnya dan berlari secepat mungkin, tetap saja ia tidak berhasil menyingkirkan diri. Semua musuhnya masih dapat mengikuti di belakangnya.

Hal ini disebabkan Giok Hoa memang tengah menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka yang cukup berat, membuat gerakannya tidak leluasa dan tubuhnya tidak bisa berlari terlalu cepat.

Giok Hoa pun merasakan dengus napas Ko Tie yang panas sekali, menunjukkan keadaan pemuda itu sangat gawat sekali. Apa lagi setelah ia mengetahui bahwa Ko Tie telah pingsan tidak sadarkan diri dalam gendongannya.

Akhirnya si gadis mengambil keputusan nekad. Ketika sampai di depan sebuah permukaan hutan yang tidak begitu lebat, Giok Hoa menurunkan Ko Tie, di rebahkan di bawah sebatang pohon di atas rumput-rumput yang tebal.

Ia meletakkan juga ke dua buntalannya. Kemudian dia malah memapak para lawannya itu, dengan pedang yang terhunus.

Tanpa mengucapkan sepatah perkataan pun juga, pedangnya itu telah bekerja, di mana dia menikam dan menabas dengan hebat sekali kepada Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio. Apa yang dilakukannya benar-benar merupakan penyerangan yang nekad.

Giok Hoa bertekad, karena tidak bisa melarikan diri, dari pada ia akhirnya mati juga di tangan musuhnya. Karena dengan membawa beban seperti Ko Tie membuat gerakannya tidak leluasa. Di waktu itulah ia telah menyerang dengan pedangnya mati-matian agar sebelum mati ia bisa membunuh lawannya sebanyak-banyaknya.

Pedangnya berkelebat-kelebat. Giok Hoa mempergunakan ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat yang menjadi andalannya. Memang segera terdengar suara jerit kematian dari dua orang anak buah Kiang-lung Hweshio.

Akan tetapi, si gadis juga tidak urung telah kena dilukai oleh Kiang-lung Hweshio, di mana pundaknya telah kena diketok dengan keras sekali oleh kayu pemukul bok-hienya si pendeta, sehingga dia merasakan pundaknya itu seperti juga menjadi patah.

Untung saja itulah pundaknya yang sebelah kiri, dengan begitu dia masih bisa menyerang dengan pedang yang tercekal di tangan kanannya kalap sekali. Dia menikam dan melukai lengan Kiang-lung Hweshio.

Gorgo San tidak ikut menyerang Giok Hoa melainkan dengan berlari-lari gesit dia menuju ke tempat di mana Ko Tie tengah rebah tidak berdaya.

Menyaksikan itu, Giok Hoa menjerit kaget, dan hendak memutar tubuh mengejarnya. Namun Kiang-lung Hweshio dan anak buahnya segera melibatnya dengan serangan-serangan yang membuat si gadis tidak memiliki kesempatan untuk memutar tubuhnya mengejar Gorgo San.

Giok Hoa jadi panik, tubuhnya berkelebat ke sana ke mari dengan lincah, pedangnya juga telah menyambar bergulung-gulung.

Dengan cara menyerang seperti itu, si gadis benar-benar telah memperlihatkan kelihayan Giok-lie-kiam-hoat, apalagi memang dia tengah bingung dan menjadi kalap, maka setiap serangannya merupakan tikaman yang nekad.

Cuma saja, karena memang Kiang-lung Hweshio dan anak buahnya merupakan manusia-manusia licik, dengan sendirinya mereka selalu main menghindar. Mereka tidak mau melayani serangan si gadis, yang terpenting bagi mereka adalah mengepung terus gadis itu, agar Gorgo San memiliki kesempatan buat membunuh Ko Tie yang tengah rebah tidak berdaya di bawah sebatang pohon.

Di kala itu terlihat sepasang mata Gorgo San memancarkan sinar yang buas dan bengis sekali. Dia memang kejam, dan sekarang karena ia telah terluka di dalam akibat pukulan Ko Tie, dendamnya meluap.

Sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan ini buat membunuh Ko Tie, yang dalam keadaan tidak berdaya itu. Mulut Gorgo San tampak tersenyum mengejek dan menakutkan.

Jarak mereka terpisah tinggal dua tombak lagi. Gorgo San melihat Ko Tie dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri. Tentu dengan satu kali menggerakkan tangannya, dia bisa membunuhnya dengan mudah sekali tanpa memperoleh perlawanan.

Karena itu, dengan bernapsu dia berlari lebih cepat. Tiga kali lompatan dia telah berada di samping Ko Tie. Tanpa membuang waktu lagi dia mengangkat tangan kanannya, bermaksud menepuk batok kepala Ko Tie menjadi hancur dan remuk.

Tapi, begitu tangan Gorgo San tengah meluncur, dan Giok Hoa menjerit kalap melihat Ko Tie terancam keselamatannya di tangan Gorgo San. Sedangkan dia tidak berdaya melepaskan diri dari libatan lawannya, sehingga dia tidak bisa melindungi Ko Tie.

Di kala itulah, dari balik sebatang pohon telah berkelebat sesosok bayangan. Tangan sosok bayangan tersebut menyambar ke punggung Gorgo San.

“Dukkkk!” punggung Gorgo San telah kena dihantam dan tubuhnya terpental jumpalitan di tanah. Sambil mengeluh perlahan dia memuntahkan darah segar, tubuhnya kemudian lunglai dan lemas tidak bisa bergerak lagi, karena ia telah pingsan tidak sadarkan dirinya lagi.

Kiang-lung Hweshio dan kawan-kawannya kaget tidak terkira. Demikian juga Giok Hoa. Tapi si gadis kaget bercampur dengan perasaan girang luar biasa.

Orang yang telah menolongi Ko Tie, segera juga menyambar tubuh Ko Tie, yang dilarikan dengan gesit sekali lenyap ke dalam hutan.

Giok Hoa berseru kaget, tapi ia tidak bisa melihat jelas penolong Ko Tie, karena orang itu bergerak sangat cepat dan gesit sekali, sehingga hanya dalam waktu beberapa detik, tubuhnya telah lenyap lagi ke dalam hutan dengan membawa serta Ko Tie.

Sungguh hal itu membuat Giok Hoa jadi kalap. Tanpa memperdulikan Kiang-lung Hweshio dan lainnya, Giok Hoa berlari menyusul. Ia masih sempat menyambar ke dua buntalannya, kemudian menerobos masuk ke dalam hutan, buat menyusul orang yang telah membawa Ko Tie.

Tapi berlari sekian lama, tetap saja ia tidak berhasil menemukan jejak orang itu, yang tampaknya memang sangat lihay dan memiliki gin-kang yang mahir sekali, karena waktu ia muncul dari dalam hutan, menghantam punggung Gorgo San, kemudian mengangkat tubuh Ko Tie dan kembali lari masuk ke dalam hutan itu.

Semua itu berlangsung hanya dalam beberapa detik saja, malah karena cepat dan gesitnya gerakan orang tersebut, membuat Giok Hoa tidak bisa melihat jelas keadaan muka orang itu. Si gadis cuma bisa melihat gumpalan warna hijau, warna dari baju orang tersebut.

Mati-matian Giok Hoa mengejar terus masuk ke dalam hutan itu, ia mengerahkan seluruh gin-kangnya, buat berlari secepat mungkin, untuk menyusul orang yang menculik Ko Tie, agar dia dapat dengan segera merebut Ko Tie kembali.

Memang diakuinya, bahwa Ko Tie memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Tapi dia dalam keadaan tidak berdaya, di mana dia tengah keracunan dan juga sedang pingsan.

Orang yang telah menculiknya itu tidak diketahuinya dari pihak musuh atau kawan. Karena itu Giok Hoa mengejar seperti kalap, menerjang banyak pohon-pohon dan terus juga berlari dengan kaki yang terluka oleh tusukan duri.

Si gadis sudah tidak memperdulikan segala apapun juga, ia berlari terus dengan cepat. Cuma sayangnya orang yang menculik Ko Tie memang memiliki gin-kang yang tinggi luar biasa, sehingga dia sama sekali tidak meninggalkan jejak.

Giok Hoa mengejar terus, juga memanggil-manggil nama Ko Tie.

Tapi sampai suaranya serak dan ia pun lelah sekali, karena setengah harian berlari-lari terus, bahkan telah sampai di luar permukaan hutan di bagian lainnya, dia masih tidak berhasil menemui jejak dari orang yang menculik Ko Tie.

Keadaan di hutan itu sunyi sekali.

Sedangkan Kiang-lung Hweshio tidak mengejarnya, karena mereka telah menyaksikan bahwa orang yang melukai Gorgo San dan kemudian menculik Ko Tie adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Karena itu, mereka tidak mengejarnya.

Apa lagi di dalam rimba persilatan memang terdapat satu pantangan, yaitu siapapun adanya orang Kang-ouw, jika memang bertemu dengan hutan, sekali-kali tidak boleh menerobos masuk ke dalam hutan, karena akan membuat orang itu menghadapi bahaya yang tidak kecil. Alasan itu pula yang akhirnya membuat Kiang-lung Hweshio tidak mengejar dan perintahkan anak buahnya agar menggotong Gorgo San.

Mereka segera meninggalkan hutan tersebut, agar dapat cepat-cepat mengobati Gorgo San, yang keadaannya tampak sangat parah sekali, karena luka yang dideritanya itu pun tidak ringan.

Giok Hoa akhirnya menjatuhkan dirinya duduk di bawah sebatang pohon. Dia duduk termenung di situ, karena dia tidak berhasil untuk mencari jejak dari penculik Ko Tie, dan berarti Ko Tie tidak berhasil dicarinya pula.

Maka segera juga Giok Hoa berpikir untuk mengelilingi hutan itu beberapa saat lagi, dan setelah ia melakukannya, tetap saja tidak berhasil menemukan jejak si penculik dan Ko Tie. Ia pun meninggalkan hutan itu dengan hati yang berduka bukan main.

Tapi di dalam hati kecilnya, dia berharap bahwa orang yang telah menculik Ko Tie adalah seorang yang bermaksud hendak menolongi pemuda itu, agar dapat diobatinya. Dan siapa tahu nanti mereka bisa bertemu lagi.

Dengan hati yang gelisah dan bingung, akhirnya Giok Hoa telah melanjutkan perjalanannya, dan juga ia merasa berkuatir sekali, kalau-kalau Ko Tie tidak dapat ditolong dan menemui ajalnya.

Karena itu, disebabkan bingung dan juga tidak tahu ke mana dia harus pergi, akhirnya Giok Hoa memutuskan untuk pulang ke gurunya dan memberitahukan apa yang telah terjadi kepada gurunya dan Swat Tocu……

Y

Mari kita melihat keadaan Ko Tie. Waktu ia diangkat oleh orang yang menolonginya, ia tetap berada dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri.

Orang itu, yang telah menghantam Gorgo San sampai jungkir balik dan pingsan tidak sadarkan diri, merupakan seorang lelaki tua yang memelihara jenggot panjang sekali. Kopiahnya merupakan kopiah bulat. Dan juga jubah panjangnya itu, berwarna hijau.

Telapak tangannya memang hebat sekali, sekali hantam telah membuat tubuh Gorgo San terpental begitu jauh. Ia pun dapat bergerak sangat cepat luar biasa.

Begitu ia mengangkat tubuh Ko Tie, segera ia lenyap pula di dalam hutan.

Giok Hoa tidak melihat mukanya dengan jelas. Hal itu membuktikan betapa tingginya gin-kang orang tersebut.

Orang tua itu, yang memakai jubah warna hijau, terus juga berlari gesit sekali dengan menggendong Ko Tie. Tubuhnya seperti juga terbang saja, tanpa menginjak tanah, ke dua kakinya seperti juga melayang-layang, karena memang itu disebabkan terlalu cepatnya ia berlari.

Itulah sebabnya, mengapa Giok Hoa tidak berhasil mengejar dan mencari jejaknya. Sebab orang tua yang berjenggot panjang dan juga memakai jubah warna hijau tersebut, telah berlari dengan gesit keluar di bagian lainnya dari permukaan hutan itu, ia tidak menghentikan larinya, tubuhnya melesat terus menuju ke barat.

Dan akhirnya, orang tua itu bersama Ko Tie telah sampai di sebuah lamping gunung. Dengan lincah, lebih lincah dari gerakan seekor monyet, orang tua itu telah berlari naik ke atas lamping itu, di mana ia telah bergerak begitu gesit, walaupun ia menggendong Ko Tie.

Ko Tie yang berada dalam gendongannya, sama sekali tidak bergerak-gerak. Dia masih dalam keadaan pingsan, dan tidak mengalami goncangan, karena orang tua itu menggendongnya dan membawa lari seperti juga ia terbang saja, tanpa tubuhnya bergerak. Dengan demikian, membuat Ko Tie seperti tengah rebah di atas pembaringan.

Akhirnya, mereka tiba di hadapan sebuah goa yang cukup besar. Orang tua itu menghela napas.

Dia berhenti di depan goa tersebut, kemudian menurunkan Ko Tie, yang direbahkannya di depan mulut goa itu. Dia sendiri duduk memeriksa sekujur tubuh pemuda itu, dan akhirnya ia menghela napas dalam-dalam lagi.

“Racun yang sangat telengas dan ganas sekali……!” menggumam orang tua tersebut, yang segera merogoh sakunya.

Dia mengeluarkan beberapa butir pil yang berwarna merah darah. Kemudian memasukkan ke dalam mulut Ko Tie, dan dengan memijit rahang Ko Tie, pil itu tertelan oleh Ko Tie, walaupun dia dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri.

Lalu orang tua yang memakai jubah warna hijau tersebut telah menguruti dan menotok beberapa jalan darah terpenting di tubuh pemuda itu. Ia menguruti sekian lama, sampai akhirnya ia telah berhasil untuk mendesak racun yang semula sudah mendekati daerah jantung, sampai kepada tempat asalnya, yaitu di dekat leher.

Sekarang yang terpenting adalah cara mengeluarkan racun itu. Orang tua ini membalikkan tubuh Ko Tie, yang waktu itu masih dalam keadaan pingsan.

Dan kepalanya ditundukkan, kemudian orang tua itu memukul perlahan sekali tengkuk dari Ko Tie, maka dari mulut Ko Tie segera mengalir darah yang telah menghitam dan bau sekali.

Orang tua itu membalikkan tubuh Ko Tie rebah kembali, ia menghela napas dan menghapus keringatnya. Rupanya menolongi Ko Tie memang sangat melelahkan sekali.

Ia telah mandi keringat, sebab ia telah mengerahkan lweekangnya untuk menotok dan mengurut, guna mendesak racun itu. Dan semua itu memperlihatkan orang tua itu benar-benar memang memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Setelah itu, orang tua tersebut duduk di samping Ko Tie. Dia mengeluarkan seruling dari dalam saku jubahnya, kemudian meniup serulingnya itu perlahan dan lembut. Suara yang merdu dari seruling itu mengalun di sekitar tempat tersebut.

Sedangkan Ko Tie masih tetap pingsan, namun mukanya sudah tidak hitam kehijau-hijauan seperti tadi, sekarang sudah memerah, tampaknya berangsur ia mulai sehat kembali. Juga napasnya tidak memburu lagi, napasnya berjalan dengan lancar, ia seperti seseorang yang tengah tertidur nyenyak sekali.

Lama juga orang tua berpakaian serba hitam itu meniup serulingnya tersebut mengalun di sekitar tempat itu, membawakan lagu dari Kang-lam. Kemudian, ia memasukkan serulingnya, dan memeriksa lagi keadaan Ko Tie, ia tersenyum kecil.

“Tertolong.........!” menggumam orang tua tersebut.

Kemudian dia telah merogoh sakunya menggeluarkan kantong obatnya. Dia memasukkan lagi ke mulut Ko Tie beberapa butir pil, yang berwarna hijau.

Jika tadi, pil yang berwarna seperti merah darah itu, menyiarkan bau yang sangat harum, pil yang berwarna hijau ini menyiarkan bau yang busuk sekali. Empat butir pil yang berwarna hijau tersebut telah dimasukkan ke dalam mulut Ko Tie, dan orang tua itu memijit rahang Ko Tie lagi, sehingga pil itu dapat tertelan, dan masuk lewat leher Ko Tie.

Orang tua berjubah hijau itu kemudian menunggui beberapa saat, sampai akhirnya Ko Tie menggeliat dan mengerang perlahan. Sepasang matanya terbuka, ia telah tersadar.

Orang tua berjubah hijau tersebut tampak girang. Ia sampai melompat berdiri dan kemudian mengawasi pemuda ini, kepalanya mengangguk-anguk beberapa kali.

Ko Tie membuka matanya, yang pertama kali dilihatnya adalah rumput hijau yang berada di sekitar dirinya, dan ia rebah di muka sebuah goa. Pemuda ini jadi heran, baru saja ia hendak duduk bangun, orangtua berjubah hijau tersebut telah menekan pundaknya.

“Kau belum boleh banyak bergerak. Rebahlah dulu!” katanya.

Ko Tie menurut, tapi ia heran sekali.

“Locianpwe…… apakah locianpwe yang telah menolongi boanpwe?” tanya Ko Tie yang segera dapat menduga urusan yang sebenarnya.

Orang tua berjubah hijau tersebut tersenyum.

“Kau tengah terancam kematian, disamping itu engkau tengah pingsan dan juga keracunan, karenanya orang yang hendak membunuhmu ia telah kuhantam, sehingga aku bisa membawamu ke mari, untuk diobati!

“Sekarang engkau telah sembuh..... dan kesehatanmu dalam tiga hari lagi, tentu akan pulih sebagaimana biasa! Racun yang jahat itu telah kukeluarkan.............!”

Ko Tie mengeluh perlahan, lalu katanya: “Terima kasih atas pertolongan locianpwe?!”

“Kau jangan terlalu banyak peradatan, aku paling benci orang yang terlalu bermuka-muka dengan mempergunakan segala macam adat peradatan!”

Setelah berkata begitu, orang tua berjubah hijau tersebut mengeluarkan serulingnya dan meniup serulingnya.

Ko Tie terkejut. Segera ia teringat sesuatu mukanya berobah jadi girang. Ia mau menduga bahwa orang tua ini adalah seorang yang menjadi sahabat gurunya itu.

“Apakah…….! Apakah locianpwe bukannya Oey Yok Su Locianpwe?” tanya Ko Tie pula.

Orang tua itu tersenyum sambil berhenti meniup serulingnya. Ia menoleh dan katanya:

“Benar..... akulah Oey Yok Su, Oey Loshia…… Engkau tentunya sering mendengar cerita perihal diriku, si kakek baju hijau dengan serulingnya.”

“Ya, ya, memang boanpwe seringkali mendengar akan cerita tentang locianpwe dari guruku.......!” menyahuti Ko Tie. “Guru boanpwe seringkali menceritakan akan kehebatan locianpwe.....!”

“Siapa gurumu?” tanya orang tua berbaju hijau itu, yang memang tidak lain dari Oey Yok Su.

Keadaannya sekarang ini jauh lebih tua dari sebelumnya, karena jenggotnya sekarang telah tumbuh panjang dan telah memutih semuanya. Demikian juga dengan rambutnya, yang telah berobah menjadi putih.

Ko Tie segera memberitahukan bahwa gurunya adalah Swat Tocu.

Mata Oey Yok Su terbuka sejenak, kemudian mukanya berobah, dia bilang dengan sikap yang dingin: “Hu! Hu! Tidak tahunya si tua bangka keparat itu!”

Melihat sikap Oey Yok Su, bukan main kagetnya Ko Tie, dia mengawasi Oey Yok Su beberapa saat kemudian katanya: “Locianpwe!”

“Sudahlah jangan rewel! Jika aku tahu engkau muridnya si tua keparat itu, aku tentu tidak akan menolongi jiwamu! Lebih dari itu, aku anggap akulah yang buta dan bodoh, telah menolongi murid si tua bangka keparat itu!” Ketus sekali waktu Oey Yok Su berkata seperti itu.

Memang Oey Yok Su merupakan Oey Loshia. Si Sesat yang sangat aneh sekali perangainya, karenanya sekarang, melihat sikap Oey Yok Su yang luar biasa itu, benar-benar membuat Ko Tie tidak terlalu heran.

Cuma saja menyaksikan sikap Oey Yok Su seperti itu, tampaknya Oey Yok Su tidak menyukai gurunya, yaitu Swat Tocu.

Diam-diam Ko Tie jadi heran, entah ganjalan apa yang terdapat di antara mereka itu!

Tengah Ko Tie tertegun seperti itu, Oey Yok Su tiba-tiba memandangnya dengan sinar mata yang sangat tajam sekali.

“Di mana gurumu sekarang ini berada?”

Ko Tie ragu-ragu, namun akhirnya ia bilang juga: “Insu…… insu berada..... berada.....!”

Melihat Ko Tie ragu-ragu seperti itu, Oey Yok Su jadi tersinggung, meluap darahnya, ia bilang ketus sekali:

“Tidak usah kau memberitahukan akupun tidak ingin mendengarnya!”

“Boanpwe bersedia memberitahukannya, locianpwe!” kata Ko Tie terkejut dan menyesal telah berlaku ayal seperti itu. “Insu berada di.....!“

“Sudah! Hentikan! Aku tidak mau dengar lagi! Jika memang engkau menyebutkan juga tempat gurumu berada, aku akan menghantam mulutmu jadi hancur!” mengancam Oey Yok Su.

Ko Tie jadi serba salah.

“Sesungguhnya locianpwe……!”

“Masa bodoh! Aku tidak mau tahu!” bentak Oey Yok Su, “Kau tidak perlu membujuk aku! Aku tidak mau mendengar di mana beradanya gurumu itu!”

Benar-benar aneh perangai dari Oey Yok Su. Karena ia tadi yang menanyakan, di mana berdiamnya guru Ko Tie. Hanya disebabkan Ko Tie tidak menjawab dengan segera, membuat dia jadi tersinggung.

Dan malah mengancam kalau Ko Tie memberitahukannya tempat kediaman gurunya, dia yang akan dihajar mulutnya sampai remuk! Ini benar-benar merupakan suatu yang membingungkan Ko Tie.

“Benar-benar luar biasa adat si tua bangka ini!” berpikir Ko Tie di dalam hatinya.

Waktu ia berpikir seperti itu, tampak Oey Yok Su memutar tubuhnya, ia mengeluarkan serulingnya, sambil melangkah, ia meniup serulingnya, langkahnya perlahan-lahan.

Ko Tie terkejut.

“Locianpwe……!” panggilnya.

Oey Yok Su menahan langkah kakinya. Dia menoleh melihat kepada Ko Tie dengan sorot mata yang tajam, kemudian dia menghampiri.

“Ada apa?” tanyanya dengan tawar.

“Boanpwe…… apakah boanpwe akan ditinggal begini saja di sini?” tanya Ko Tie akhirnya.

Oey Yok Su tertawa dingin.

“Apa barangkali kau anggap aku ini pelayanmu yang harus mengurusi dirimu, heh?” jawab Oey Yok Su aseran.

Kaget Ko Tie. Memang luar biasa sekali perangai si tua ini, benar-benar sesat adatnya. Tapi cepat-cepat dia menyahuti: “Bukan begitu, locianpwe…….!”

“Bukan begitu bagaimana? Bukankah tadi engkau mengatakan apakah aku meninggalkan kau begitu saja dan juga menginginkan aku merawati dirimu?”

Ko Tie tersenyum pahit.

“Boanpwe sangat berhutang budi dan juga sangat berterima kasih sekali...... cuma saja…… cuma saja.....!” Ko Tie tidak meneruskan perkataannya.

“Cuma saja bagaimana? Hemmmm, jika kau berani bicara yang bukan-bukan, sungguh-sungguh aku akan menghantam mulutmu!” mengancam Oey Yok Su dengan sikap yang tetap aseran.

Waktu itu Ko Tie jadi serba salah, akhirnya dia bilang: “Boanpwe masih lemah dan...... jika ditinggal seorang diri di sini, tentu akan menghadapi bahaya yang tidak kecil, karena boanpwe tidak bisa melindungi diri dalam keadaan seperti sekarang.......!”

Oey Yok Su tertawa dingin, dia mengibaskan serulingnya. Kemudian dengan aseran dia bilang:

“Bagus! Dengan bicara mutar balik, engkau bicarakan yang itu-itu juga, yaitu engkau hendak agar aku merawatimu!”

“Bukan begitu, locianpwe..... tapi boanpwe menginginkan petunjuk locianpwe...!” berkata Ko Tie segera.

“Petunjuk? Bukankah si tua bangka bangkotan keparat itu adalah gurumu, tentu saja dia yang berhak memberikan petunjuk kepadamu. Atau memang dia merupakan si tua bangka keparat yang tidak punya guna, sehingga tidak bisa mengajari dan memberikan petunjuk kepada muridnya sendiri!”

Mendengar gurunya didamprat seperti itu, hati Ko Tie tidak senang juga. Namun saja, disebabkan ia mengetahui Oey Yok Su memang seorang yang berkepandaian tinggi, merupakan orang dari tingkatan tua dan tokoh sakti yang dihormati di dalam rimba persilatan, Ko Tie tidak berani memperlihatkan sikap tidak senangnya, ia malah tertawa, walaupun tertawa pahit.

“Baiklah!” katanya kemudian. “Jika memang locianpwe tidak punya petunjuk apa-apa buat boanpwe, boanpwe pun tidak akan memaksa!

Muka Oey Yok Su berobah merah padam. Dengan suara yang meninggi, ia bilang:

“Siapa yang bilang bahwa aku tidak memiliki petunjuk buat kau? Hemmmm, petunjuk apa yang kau inginkan? Jadi kau memandang rendah kepada ku, heh?!”

Ko Tie benar-benar kewalahan menghadapi tabiat Oey Yok Su yang aseran seperti itu. Segera ia bilang:

“Boanpwe sangat berterima kasih sekali atas pertolongan yang diberikan locianpwe!”

“Tidak perlu engkau berterima kasih! Aku menolongimu tidak dengan hati yang senang, malah sekarang aku menyesal, karena terbukti engkau adalah murid dari si tua bangka keparat itu.......!”

“Locianpwe, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Ko Tie setelah berpikir sejenak.

“Mengapa tidak boleh, bukankah engkau punya mulut? Atau memang mulutmu itu hendak dijahit agar tidak bisa bertanya apa-apa?!” menyahuti Oey Yok Su.

“Menurut penglihatan boanpwe, maafkanlah jika memang apa yang boanpwe lihat ini ternyata meleset dan tidak benar seperti yang sebenarnya. Tampaknya locianpwe memiliki ganjalan dengan guru boanpwe. Sesungguhnya ada urusan apakah antara locianpwe dengan guru boanpwe?!”

“Bocah cilik!” tiba-tiba Oey Yok Su membentak. “Engkau usil sekali! Ternyata engkau berani begitu lancang, menanyakan urusan orang-orang tua tanpa ingat kedudukanmu!”

Muka Ko Tie berobah memerah. Dia jengah sekali ditegur seperti itu oleh Oey Yok Su.

“Ya, ya, boanpwe bersalah……!” kata Ko Tie kemudian sambil menghela napas.

Oey Yok Su tidak bilang apa-apa, dia mendengus dan setelah mengawasi Ko Tie dengan kerlingan yang tajam, dia baru bilang: “Kau mengaku salah, tapi engkau menghela napas.

“Itu tandanya bahwa engkau mengaku bersalah dengan hati yang berat dan tidak senang……. Aku tahu, tentu engkau merasa dirimu tidak bersalah, namun karena engkau takut terhadapku, engkau mau mengaku bersalah dengan terpaksa sekali.........!”

Muka Ko Tie merah, karena ia malu, Oey Yok Su seperti bisa membaca isi hatinya.

“Itulah boanpwe tidak berani untuk memiliki perasaan seperti itu……!”

“Tidak berani? Tidak berani? Hemm, di depanku engkau mengatakan tidak berani, tapi di belakangku, hemm, hemm, engkau tentu akan menciwirkan bibir padaku!”

“Mana berani boanpwe memiliki pikiran seburuk itu?!” kata Ko Tie segera.

“Pikiran buruk? Hemm, engkau tidak sampai berpikir seburuk itu, tentu engkau hendak mengatakan bahwa justeru akulah yang memiliki pikiran buruk seperti itu, karena aku yang mengatakannya, bukan?!”

Benar-benar Ko Tie kewalahan. Ia baru saja siuman dari pingsannya, dan ia pun baru saja sembuh dari keracunan.

Dan tidak dapat dirasakannya, dikala ia bercakap-cakap dengan Oey Yok Su, kesehatannya semakin pulih membaik. Ia sudah bisa duduk. Maka cepat-cepat ia merangkapkan ke dua tangannya dengan berterima kasih dan bersyukur.

“Sungguh locianpwe sangat pandai sekali, telah dapat menyembuhkan boanpwe…… Terimalah penghormatan boanpwe sebagai pernyataan terima kasih boanpwe.....!”

Oey Yok Su mengelak dan menghindar tidak mau menerima pemberian hormat dari Ko Tie. Dia mendengus dingin, katanya:

“Hemmm, hemmm, engkau hendak bermuka-muka dengan pura-pura berlaku sopan! Tetap saja aku tidak bisa menyukai kau, karena engkau adalah murid si tua bangka keparat Swat Tocu!”

“Mengapa tampaknya locianpwe benci sekali kepada guru boanpwe?!” tanya Ko Tie yang jadi penasaran.

“Hemmm, jika bertemu dengannya, kami akan mengadu kepandaian dan aku akan mematahkan batang lehernya!”

Itulah jawaban Oey Yok Su, membuat Ko Tie jadi tertegun dan bengong tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Oey Yok Su memandang Ko Tie dengan biji mata mencilak-cilak. Kemudian katanya: “Hemmm, aku telah menyembuhkan engkau dari keracunan, malah jiwamu yang sekarat telah kutolong, sehingga kini kesehatanmu telah pulih kembali!

“Seharusnya engkau bersyukur karena engkau tidak jadi mampus. Tidak seharusnya engkau cerewet seperti ini! Hemmm, jika engkau masih rewel, aku tentu akan membunuhmu. Aku ingin melihat, apa yang dilakukan Swat Tocu, tua bangka keparat, jika muridnya dibunuh olehku!”

Kaget Ko Tie mendengar perkataan Oey Yok Su seperti itu, ia pun segera cepat-cepat bilang: “Oey Locianpwe..... bukannya boanpwe hendak rewel.”

“Sudah, aku tidak mau mendengar lagi perkataanmu. Jika kau masih rewel, aku tidak akan banyak bicara lagi menghajarmu agar engkau terluka lebih parah dari yang sebelumnya!

Dan setelah berkata begitu, Oey Yok Su memutar tubuhnya, dia melangkah meninggalkan Ko Tie dan tempat itu, dengan meniup serulingnya. Suara serulingnya itu semakin lama terdengar semakin jauh……

Ko Tie memandang tertegun, banyak sebenarnya yang ingin dikatakannya, tapi orang tua she Oey yang menjadi salah satu tokoh sakti dalam rimba persilatan itu telah melangkah pergi. Iapun begitu aseran, membuat Ko Tie tidak berani untuk banyak bicara lagi.

Setelah Oey Yok Su lenyap dari pandangan matanya, diam-diam Ko Tie berpikir: “Aneh sekali tabiat orang tua itu…… hemm, benar-benar tidak salah jika ia digelari sebagai Oey Loshia……!”

Sambil berpikir begitu, Ko Tie mencoba untuk bangkit. Ia berhasil.

Cuma saja tubuhnya masih lemas. Ia berdiri dan melangkah perlahan-lahan.

Ia teringat kepada Giok Hoa, entah di mana beradanya si gadis, dan ia segera bermaksud untuk mencarinya.

Tapi, Ko Tie merandek lagi.

“Apakah Giok Hoa telah jatuh ke dalam tangan Kiang-lung Hweshio dan kawan-kawannya?”

Karena berpikir seperti itu, Ko Tie melangkah lebar-lebar untuk mencari Giok Hoa. Dia belum bisa berlari cepat seperti biasanya, karena dia baru saja disembuhkan dari keracunan.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tibalah ia di kota itu, namun ia tidak berhasil menemui Giok Hoa. Rumah penginapan yang ditinggalkannya beberapa saat yang lalu, ternyata kosong, tidak terlihat seorang manusia pun juga.

Ko Tie segera juga menghampiri seseorang yang kebetulan berdiri di dekat rumah penginapan itu, ia menanyakan, apakah rumah penginapan itu sudah tidak ada pengurusnya.

“Ohhh, mereka tampaknya sedang keluar semuanya. Ada apakah kongcu menanyakan perihal mereka?” tanya orang itu sambil mengawasi Ko Tie dengan sorot mata menyelidik.

Ko Tie tersenyum.

“Bukan urusan yang penting, biarlah nanti siauw-te akan datang pula ke mari!” kata Ko Tie kemudian dan mengucapkan terima kasih kepada orang itu, kemudian ngeloyor pergi meninggalkan tempat tersebut.

Di waktu itu terlihat orang itu memperhatikan terus pada Ko Tie, malah waktu pemuda itu telah pergi cukup jauh, orang ini segera mengikuti dari jarak terpisah cukup jauh.

Ko Tie tidak mengetahui bahwa dirinya diikuti oleh orang itu. Ia mengelilingi kota tersebut.

Sampai akhirnya, ketika ia tengah berjalan di jalan raya yang cukup sepi, hanya sekali-sekali saja ia bertemu dengan orang yang tengah bergegas untuk pergi ke tempat masing-masing, maka dari samping tepi jalan itu, dari balik tembok-tembok rumah, telah bermunculan melompat belasan orang tentara kerajaan.

Dia heran, apa lagi belasan orang tentara kerajaan itu telah meringkusnya.

Ko Tie tidak bisa memberikan perlawanan karena memang ia belum lagi sembuh keseluruhannya. Jika dalam keadaan demikian ia mengerahkan dan mempergunakan tenaga dalamnya, niscaya ia akan celaka lagi dan terluka di dalam yang berat.

Itulah sebabnya Ko Tie membiarkan saja dirinya dibekuk oleh para tentara kerajaan. Dia membiarkan sepasang tangannya diikat oleh tali yang tebal. Diborgol.

Ko Tie pun hanya mengawasi para tentara kerajaan itu seorang demi seorang tanpa mengucapkan kata-kata lainnya.

Dikala itu tampak belasan orang tentara kerajaan, yang girang karena bisa menangkap Ko Tie begitu mudah, dengan kasar telah membawa Ko Tie ke gedung Tie-kwan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar