Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 02

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 02
 
Anak rajawali Jilid 02
Sambil berkata begitu, Hok An telah menunjuk ke arah perkampungan di dekat mereka, sedangkan si pemuda pelajar telah mengikuti arah yang ditunjuk oleh Hok An.

“Kemudian bagaimana?!” tanya pemuda pelajar tersebut, yang jadi sangat tertarik mendengar cerita Hok An seperti itu. “Apakah wanita itu sudah tidak mencintaimu?!”

“Bukan..... bukan begitu!” menyahuti Hok An cepat dan dengan nada yang tergetar.

“Lalu bagaimana? Mengapa kau bisa mengatakan bahwa wanita itu akhirnya menghina dirimu?!”

Hok An menghela napas dalam-dalam.

“Wanita itu ternyata tidak mencintai aku, aku telah memperoleh buktinya.....!” menyahuti Hok An.

“Mengapa terjadi begitu?!” tanya pemuda pelajar tersebut.

“Karena waktu aku berhasil menemukan jejaknya, dia telah menjadi milik orang lain, telah menjadi isteri dari seorang hartawan, dia telah menjadi nyonya Bin, isteri dari Bin Wan-gwe...... Ooh, dia telah menipuku dengan semua pernyataannya bahwa dia sangat mencintaiku..... Oooh, dia telah begitu tega buat mendustaiku.....!” Dan Hok An menghela napas beberapa kali lagi.

Walaupun Hok An berusaha membendung dan mencegah mengucurnya air mata, akan tetapi dia tidak berhasil, karena butir-butir air mata itu telah berlinang turun di pipinya.

Sedangkan si pemuda pelajar tersebut jadi menghela napas dalam-dalam. Dia jadi menaruh rasa iba dan kasihan kepada Hok An.

“Sudahlah!” hiburnya. “Jika memang kau telah memperoleh bukti bahwa wanita itu tidak mencintaimu, terlebih lagi memang dia sekarang telah menjadi isteri orang lain, engkau pun tidak usah memikirkannya lagi, dan engkau pun tidak perlu untuk mengharapkan dirinya lagi..... Engkau boleh memilih wanita lain yang sekiranya bisa mencintai dirimu.....!”

Hok An cepat-cepat menggeleng waktu mendengar perkataan pemuda pelajar tersebut.

“Kau jangan kurang ajar!” katanya dengan sikap yang beringas dan sengit.

“Mengapa kau mengatakan aku berbuat kurang ajar? Bukankah aku berkata dengan benar, bahwa engkau tidak usah mengharapkan wanita yang telah menghianati cintamu itu dan kini telah menjadi isteri orang lain?!” tanya pemuda pelajar itu.

“Hemmm, apakah kau kira cinta itu mudah untuk dilupakan dan dibuang seperti itu? Hemmm, apakah engkau kira dengan mudah kita akan segera dapat mencintai wanita lain?!” kata Hok An bertambah sengit.

Pemuda pelajar itu jadi bungkam mendengar perkataan Hok An seperti itu.

Sedangkan Hok An seperti kalap telah berkata: “Ayo, kau katakan, tidakkah apa yang kubilang itu benar, bahwa cinta itu tidak bisa sembarangan diberikan kepada siapa saja? Aku telah mencintai wanita itu, walaupun dia telah menjadi isteri orang lain, akan tetapi aku tetap mencintainya..... Hanya saja dia telah menghina dan menyakiti hatiku!”

Pemuda pelajar tersebut menghela napas.

“Nah, jika memang wanita itu telah menjadi isteri orang lain, walaupun engkau tetap mencintainya, apa gunanya lagi? Atau memang engkau masih mengharapkan dirinya? Bukankah jika kau berusaha memperolehnya, sama saja engkau menghancurkan rumah tangganya?”

“Akan tetapi aku tetap mencintainya..... dan semula..... semula kukira dia mencintaiku!” kata Hok An kemudian dengan suara yang sember. “Walaupun apa yang terjadi, aku ingin mengajaknya buat ikut bersamaku, karena aku tetap mencintainya. Akan tetapi..... akan tetapi.....!”

Suara Hok An semakin sember dan dia tidak meneruskan perkataannya itu.

“Akan tetapi kenapa?!” tanya pemuda pelajar tersebut yang jadi semakin tertarik ingin mengetahui apa yang telah dialami oleh Hok An.

“Akan tetapi..... tadi..... tadi waktu untuk pertama kali bertemu setelah lima tahun lebih kami berpisah, dan sekarang dia telah menjadi milik orang lain, dia baru mengakui bahwa sejak dulu sampai kini..... dia..... dia tidak pernah mencintaiku..... tidak pernah mencintaiku.” Dan suara Hok An semakin sember, malah air matanya telah menitik turun deras sekali.

“Ohhh, jadi tadi dia menyatakan bahwa dulu dia tidak pernah mencintaimu?!” tanya pemuda pelajar itu.

Hok An mengangguk.

“Bahkan..... dia telah mengusir diriku!” kata Hok An kemudian.

Pemuda pelajar tersebut tertawa.

“Jika demikian, tidak ada harganya kau mencintai wanita seperti itu!” kata pemuda pelajar tersebut.

Tiba-tiba, bagaikan tersentak oleh gigitan kalajengking, tampak Hok An telah mengangkat kepalanya dan memandang pemuda pelajar itu dengan sorot mata yang sangat tajam dan beringas sekali.

“Apa kau bilang?!” tanyanya dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Aku mengatakan wanita itu tidak sepantasnya kau cintai!” menyahuti pemuda pelajar tersebut.

“Ohhh, pemuda terkutuk! Engkau jadi ingin mengejek diriku, heh?!” tanya Hok An dengan sengit.

“Sabar..... aku sama sekali tidak bermaksud mengejek dirimu..... akan tetapi memang sepantasnya saja aku memberitahukan kepadamu, bahwa wanita seperti itu sama sekali tidak ada harganya kau cintai..... Jika kau telah disakiti seperti itu, dan kau masih mencintainya, itulah perbuatan yang sangat tolol sekali.....!”

“Kau..... kau berani menyebut diriku tolol?!” teriak Hok An dengan sikap yang beringas dia telah menghampiri lebih dekat kepada pemuda itu tampaknya dia bersiap-siap hendak menyerang.

Sedangkan pemuda itu tetah berkata dengan sikap yang tenang:

“Kau tidak perlu marah-marah seperti itu. Mari kita bicara secara baik-baik, karena aku akan menjelaskan duduk persoalan ini, agar engkau tidak menjadi korban kekecewaan disebabkan cintamu yang gagal itu! Hemmm, engkau kulihat memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dengan demikian tidak sepantasnya engkau kecewa dan menjadi begitu lemah hanya disebabkan cintamu ditolak oleh seorang wanita.....!”

Hok An tampak tertegun, dan dia mengawasi pemuda pelajar itu dengan sorot mata yang bimbang, sampai akhirnya dia bilang: “Baiklah, lalu apa maksudmu dengan berkata begitu?!” tanyanya.

“Aku ingin mengartikan bahwa engkau masih dapat melakukan banyak perbuatan besar..... pekerjaan-pekerjaan penting yang bisa membawa kebahagiaan dan keuntungan buat orang banyak pada umumnya.....! Mengapa engkau harus selalu menangisi cintamu yang kandas dan gagal itu, terlebih lagi engkaupun mengetahui wanita yang kau cintai itu telah menjadi isteri orang lain.....?!”

“Diapun telah memperoleh seorang anak hasil dari perkawinannya dengan hartawan itu!” kata Hok An akhirnya dengan suara yang perlahan sekali, seperti juga dia menggumam kepada dirinya sendiri. “Dan walaupun demikian, aku sangat mencintainya..... mencintai Un Kim Hoa.....!”

Waktu berkata begitu, tampak Hok An tidak bisa menyembunyikan kedukaan hatinya.

“Un..... Un Kim Hoa?!” tanya pemuda pelajar tersebut seperti tersentak kaget. “Kau mengatakan wanita yang kau cintai itu adalah Un Kim Hoa?!”

Hok An mengangguk.

“Ya..... kan kini dia telah menjadi Bin Hujin, karena dia telah menikah dengan hartawan she Bin itu!” menyahuti Hok An.

Wajah pemuda pelajar tersebut semakin berobah memperlihatkan sikap sungguh-sungguh.

“Jadi...... jadi yang kau maksudkan adalah isteri dari orang yang bernama Bin Ciok Lang?” tanya pemuda pelajar tersebut.

Hok An tidak segera menyahuti, dia merasakan adanya sesuatu kelainan pada nada pertanyaan dari pemuda pelajar tersebut. Namun akhirnya dia menggeleng.

“Nama suaminya aku tidak mengetahui, aku hanya mengetahui shenya saja, dia she Bin.....!” kata Hok An akhirnya.

Pemuda berpakaian sebagai pelajar tersebut telah menghela napas, katanya dengan suara yang menggumam: “Aneh, mengapa bisa terjadi urusan yang kebetulan seperti ini? Mengapa bisa terjadi demikian kebetulan?!”

Hok An jadi mengawasi pemuda pelajar itu beberapa saat lamanya, dia tidak mengerti akan sikap pemuda pelajar tersebut. Sampai akhirnya dia bertanya: “Apa maksudmu dengan mengatakan semuanya terjadi begitu kebetulan!”

Pemuda pelajar ini telah mengawasi Hok An dengan sorot mata yang tajam, sikapnya telah berobah dibandingkan dengan tadi.

“Siapakah kau sebenarnya? Siapa she dan namamu?!” tanya pemuda pelajar itu.

“Aku? Aku Hok An.....!” menyahuti Hok An tanpa sangsi sedikitpun juga.

Pemuda pelajar itu termenung sejenak, sampai akhirnya tiba-tiba dia berkata dengan suara yang bersenandung:

“Langit dengan megah,
hujan dengan petir,
tanah dengan pohon.
Siapakah yang bisa merobah semua itu?!”

Dan kemudian dia menoleh kepada Hok An, tanyanya lagi: “Kau mengetahui di mana rumahnya Bin Wan-gwe itu?!”

Hok An mengangguk.

“Ya..... aku baru saja dari rumahnya.....!” menyahuti Hok An.

“Hemm, bisakah kau mengantarkan aku ke sana?!” tanya pemuda pelajar itu pula.

“Mengantarkan kau ke sana?!” tanya Hok An sambil mementang sepasang matanya lebar-lebar. “Apa maksudmu meminta aku mengantarkan engkau ke sana?!”

“Untuk menemui Bin Ciok Lang!” menyahuti pemuda pelajar tersebut.

“Untuk apa???!” tanya Hok An.

“Untuk membunuhnya! Dan jika memang dia telah kubunuh, berarti isterinya menjadi janda, kau boleh mengambilnya!” menyahuti pemuda pelajar tersebut.

Hok An jadi tersentak kaget, dia telah memandang pemuda pelajar tersebut dengan sorot mata yang sangat tajam, kemudian katanya:

“Ohhh, siapakah kau sebenarnya? Mengapa engkau ingin membunuh hartawan she Bin itu? Ada urusan apakah antara kau dengannya?!”

Pemuda pelajar itu memperdengarkan suara tertawa yang dingin.

“Hartawan busuk itu harus dibinasakan, dan kau tidak perlu banyak bertanya. Karena jika usahaku itu telah berhasil, bukankah kau bebas buat memiliki isterinya, wanita yang kau cintai itu?!”

Muka Hok An berobah jadi pucat, bola matanya memain tidak hentinya, dan akhirnya dia bilang: “Jika demkian..... jika demikian..... mari kuantarkan kau ke rumah hartawan she Bin itu!”

Pemuda pelajar itu mengangguk. Begitulah, dia telah mengikuti Hok An untuk memasuki kampung tersebut lagi.

Hok An telah mengajak pemuda pelajar itu ke depan rumah Bin Wan-gwe.

Waktu itu keadaan di rumah Bin Wan-gwe sangat sunyi sekali, tidak terlihat seorang manusiapun juga. Rupanya para tukang pukul dari Bin Wan-gwe tengah merawat diri dari luka-luka yang mereka derita.

“Kau ketuklah pintu...... dan nanti aku yang akan membunuh hartawan busuk itu!” kata pemuda pelajar tersebut.

Tanpa rewel Hok An mengiyakan dan telah menghampiri pintu, yang diketuknya dengan kuat. Dia mengetuk sampai pintu itu tergetar keras.

Tidak lama kemudian pintu terbuka, dari dalam melongok seseorang.

Hok An tidak sabar, dia mendorong terbuka daun pintu tersebut.

Karena ditolak dengan dorongan yang mengandung kekuatan sangat besar, daun pintu itu menjeblak dan telah membuat orang yang berada di balik daun pintu tersebut kena diterjang daun pintu itu, sampai dia terjengkang dan bergulingan di tanah beberapa kali.

Hok An kemudian dengan langkah lebar telah memasuki rumah tersebut. Sedangkan pemuda pelajar itu juga mengikuti di belakangnya

Dari dalam rumah tersebut, telah keluar dua orang tukang pukul Bin Wan-gwe.

Hanya saja, waktu mereka mengenali Hok An, tanpa menegur sepatah perkataan pun juga mereka telah memutar tubuhnya dan melarikan diri dengan segera masuk ke dalam lagi.

Pelayan yang tadi membukakan pintu, dan mukanya telah babak belur karena terhajar oleh daun pintu, dengan hidung berlumuran darah dan juga gigi yang pada rontok, telah berlari-lari masuk ke dalam, serta berteriak-teriak, “Ada rampok! Ada rampok!”

Tidak lama kemudian tampak beberapa orang keluar dari dalam rumah itu, yang ternyata adalah belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe.

Akan tetapi, walaupun mereka berjumlah belasan orang, namun mereka semuanya memperlihatkan sikap yang merasa takut-takut dan jeri kepada Hok An.

Sedangkan Hok An telah berseru: “Panggil Bin Wan-gwe keluar!”

Pemuda pelajar itu tetap berdiam diri saja, dia hanya mengawasi.

Tidak lama kemudian Bin Wan-gwe memang keluar dengan sikap takut-takut. Di sampingnya tampak isterinya Bin Hujin, yang wajahnya masih pucat dan matanya bengul, memperlihatkan bahwa wanita ini baru saja menangis cukup lama.

Waktu itu Bin Wan-gwe sambil keluar telah bertanya: “Kekacauan apa lagi yang ingin kau timbulkan disini.....?!”

Akan tetapi baru berkata sampai di situ, dia telah melibat si pemuda pelajar, dia tersentak kaget, wajahnya yang memang telah pucat itu semakin pucat saja.

“Kau.....?” serunya. “Kau juga datang kemari?”

Pemuda pelajar itu telah mendengus dingin.

“Hemmm, sekarang telah tiba waktunya buat kau menghadap Giam-lo-ong, membayar penasaran kedua orang tuaku!” kata pemuda pelajar itu.

Muka Bin Wan-gwe jadi semakin pucat. Dan dia telah berkata dengan suara tergetar: “Lung Hie, sebenarnya..... sebenarnya.....!”

“Sebenarnya apa?!” tanya pemuda pelajar itu, yang dipanggil dengan sebutan Lung Hie, tampaknya memang Bin Wan-gwe dengan pemuda pelajar itu telah saling kenal.

“Sebenarnya memang aku ingin menghubungimu..... hanya saja aku tidak mengetahui di mana kau akhir-akhir ini berada!” kata Bin Wan-gwe kemudian dengan sikap yang agak sulit.

“Hemm,” pemuda pelajar itu telah memperdengarkan suara tertawa dingin, “Buat apa kau mencoba menghubungiku? Untuk urusan apa?!!”

“Aku..... aku ingin memberikan kepadamu harta yang dititipkan ke dua orang tuamu kepadaku!” kata Bin Wan-gwe. “Kukira sekarang tentunya kau telah dewasa, sehingga pantas menerima harta warisan orang tuamu ini.”

Mendengar perkataan Bin Wan-gwe terakhir itu, tiba-tiba meledak suara tertawa pemuda pelajar itu,

“Hemm, kau terlalu licik, Bin Ciok Lang,” katanya dengan penuh kemarahan, “Sekarang, kau baru mengatakan ingin mengembalikan harta warisan ke dua orang tuaku! Tetapi dulu, kau telah begitu serakah buat memiliki harta warisan ke dua orang tuaku! Bahkan ibuku, juga beberapa orang adikku, telah kau binasakan.”

Muka Bin Wan-gwe jadi berobah tambah pucat, dia telah berkata dengan sikap yang gugup: “Jangan kau sampai berkata begitu, walaupun bagaimana, aku ini tetap pamanmu..... itu hanya fitnah belaka. Mana mungkin aku sebagai pamanmu sampai hati mencelakai ibu dan adik-adikmu.....?!”

Muka pemuda pelajar tersebut berobah merah padam. Dia membentak gusar: “Bin Giok Lang, dengarlah! Walaupun sekarang kau mengemukakan seribu macam alasan, tetap saja aku akan membunuhmu..... karena waktu belasan tahun yang lalu, dengan kejam dan tanpa perikemanusiaan sedikitpun juga, hanya sekedar buat menyerakahi harta warisan dari orang tuaku, kau telah begitu tega membinasakan ibu dan adik-adikku! Hemmm, sekarang kau bersiap-siaplah buat menerima kematianmu!”

“Lung Hie!” teriak Bin Wan-gwe dengan suara yang nyaring. “Tunggu dulu, kau dengar dulu penjelasanku.....!”

Akan tetapi pemuda pelajar itu sudah tidak memperdulikan perkataan Bin Wan-gwe. Dia melompat ke depan Bin Wan-gwe, dengan maksud buat menghajar binasa padanya.

Namun Bin Hujin waktu itu telah cepat-cepat menyelak ke depan suaminya, dia menghadapi pemuda pelajar itu dengan berani.

“Jangan kau ganggu suamiku!” katanya dengan wajahnya yang tetap pucat, akan tetapi nekad.

“Hemmm, engkau ingin melindungi suamimu?!” tanya pemuda pelajar itu.

Sedangkan Bin Wan-gwe sendiri telah memutar tubuhnya, tanpa kenal malu dia berusaha untuk melarikan diri ke dalam gedungnya.

Tetapi gerakan pemuda pelajar itu, Lung Hie, sangat cepat sekali. Dia telah melompat ke samping Bin Wan-gwe, kemudian menghantam dengan telapak tangan kanannya pada punggung Bin Wan-gwe.

Seketika Bin Wan-gwe jadi terjungkal di atas lantai bergulingan. Sedangkan Bin Hujin menjerit menyaksikan itu dan cepat-cepat menubruk suaminya yang dipeluknya kuat-kuat seakan juga nyonya tersebut melindungi suaminya dengan tubuhnya, jika saja ada sesuatu yang bisa mengganggu keselamatan suaminya.

Bin Wan-gwe sendiri telah memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali, darah yang menggenang di lantai begitu mengerikan sekali, mengiriskan hati. Muka Bin Wan-gwe pucat pias.

Walaupun hanya terhantam satu kali pada punggungnya, akan tetapi pukulan yang dilakukan oleh pemuda yang bernama Lung Hie itu memiliki tenaga yang kuat sekali, karena dia bukan sembarangan memukul belaka, dia memukul dengan disertai tenaga dalam pada kepalan tangannya. Tidak mengherankan jika Bin Wan-gwe telah tergempur bagian anggota tubuhnya.

“Jangan menganiaya suamiku! Jangan menganiaya suamiku!” teriak Bin Hujin di antara isak tangisnya.

Belasan orang kaki tangan Bin Wan-gwe melihat apa yang dialami oleh majikan mereka, segera meluruk akan mengurung Lung Hie, sebab mereka kuatir kalau-kalau Lung Hie akan menerjang maju buat menganiaya majikan mereka lagi.

Akan tetapi, walaupun mereka telah mengepung seperti itu, tetap saja mereka semuanya yang berjumlah belasan orang tersebut, yang di tangan masing-masing telah mencekal senjata tajam, telah memandang takut-takut kepada Lung Hie. Mereka menyadari bahwa pemuda inipun sama halnya dengan Hok An yang tangguh dan tampaknya memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena dari itu, belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe tidak berani sembarangan bergerak untuk menyerang Lung Hie.

Dengan muka yang merah padam tampak Lung Hie melangkah mendekati Bin Wan-gwe yang masih dipeluki isterinya. Sikapnya mengancam sekali.

“Lung Hie....., kau..... kau salah paham..... aku..... aku telah difitnah!” kata Bin Wan gwe bersusah payah, suaranya tidak begitu jelas, karena dia tengah menderita kesakitan yang hebat. Dan setelah berkata begitu, malah Bin Wan-gwe memuntahkan darah segar lagi.

Bin Hujin menangis terisak-isak.

“Jangan ganggu suamiku..... Mengapa kau hendak menganiaya suamiku?! Pergilah..... ohhh, apakah sudah kau tidak takut pada hamba-hamba negara? Aku akan segera melaporkannya kepada Tie-kwan (hakim) agar kau manusia jahat memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatanmu!”

Namun Lung Hie tidak menyahuti, dia melangkah maju terus dengan wajah yang bengis mengandung ancaman hendak membunuh Bin Wan-gwe.

Belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe masih ragu-ragu, tapi waktu melihat Lung Hie maju terus dan jaraknya dengan Bin Wan-gwe sudah tidak jauh lagi, belasan orang tersebut tidak bisa berdiam diri saja. Dengan mengeluarkan suara bentakan, dua orang di antara mereka mempergunakan golok masing-masing buat menyerang dari arah belakang Lung Hie.

Lung Hie melangkah dengan mata memandang tajam kepada Bin Wan-gwe, seperti juga ia tidak mengetahui datangnya serangan membokong dari arah belakangnya.

Waktu golok salah seorang ke dua penyerangnya itu hampir mengenai punggungnya, tiba-tiba Lung Hie mandek, dia telah menekuk sedikit kaki kirinya, tangan kirinya dikibaskan dan menjapit mata golok orang tersebut dengan ke dua jari tangannya, dan tangan yang satunya bergerak menyelonong masuk menghantam ulu hati orang itu.

Disertai suara jeritan kesakitan, tubuh orang itu melayang ke tengah udara, karena hebatnya tenaga pukulan yang dilakukan Lung Hie, sedangkan goloknya masih tetap terjepit di jari tangan Lung Hie, sehingga dia melepaskan cekalannya, tubuh orang itu ambruk di atas tanah sambil mengerang-erang memegangi ulu hatinya. Dia tak bisa segera berdiri lagi, mukanya pucat pias.

Tenang sekali Lung Hie menggerakkan golok yang dijepitnya buat menangkis golok yang satunya lagi, yang tengah menyambar ke arahnya. Benturan terjadi, golok Lung Hie, yang hanya dijepit saja oleh ke dua jari tangannya itu telah berhasil membuat golok lawannya patah menjadi dua. Kemudian Lung Hie mematahkan golok rampasannya.

“Siapa yang berani ikut campur urusanku?!” bentak Lung Hie dengan suara yang menyeramkan, dari matanya memancarkan sinar yang mengandung hawa pembunuhan.

Orang kedua yang tadi gagal menyerang punggung Lung Hie, malah goloknya telah patah, jadi kaget tidak terkira, namun tetap saja dia nekad menerjang dengan goloknya yang telah buntung, dia bermaksud akan menerjang tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.

Lung Hie menyaksikan sikap orang seperti itu, dia tertawa dingin. Satu kali kibaskan tangannya, tubuh orang itu terguling ke tempat yang jauh, sampai empat tombak lebih, dan kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, kemudian rebah tidak sadarkan diri.

Lima orang lainnya, tidak membuang-buang waktu menyerang juga, walaupun hati mereka gentar menghadapi pemuda yang tampaknya memiliki kepandaian yang tinggi itu, akan tetapi keselamatan majikan mereka tengah terancam, karena dari itu, mereka nekad menerjang maju.

Lung Hie mudah saja menghadapi mereka, setiap serangan dielakkannya dan setiap kali tangannya bergerak, dia berhasil merubuhkan lawannya.

Sisanya, tidak berani segera maju, namun mereka masih mengambil sikap mengurung.

Lung Hie setelah merubuhkan ke lima orang itu, melompat ke samping Bin Wan-gwe, mukanya bengis waktu berkata: “Jika kau tidak mau menyingkir meninggalkan manusia serakah yang kejam ini, aku akan membinasakan juga dirimu!”

Bin Hujin masih menangis terisak-isak. “Jika engkau hendak membunuh suamiku, bunuh aku dulu.....!”

“Perempuan keras kepala!” berseru Lung Hie naik darah, segera juga tangan kanannya diulurkan, dia mencengkeram lengan Bin Hujin, sampai nyonya itu menjerit kesakitan. Sekali menghentak tubuh Bin Hujin telah melambung ke tengah udara.

“Hei, kurang ajar kau!” tiba-tiba Hok An yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan apa yang dilakukan Lung Hie membentak gusar. Dan Hok An bukan hanya sekedar membentak, karena tubuhnya telah melayang ke tengah udara, tangannya menyanggahi Bin Hujin, sehingga wanita itu tidak sampai terbanting di tanah.

“Ohhh, Hok An, tolongilah suamiku! Tolongilah Hok An! Aku mohon kepadamu, tolongilah dia.....!” sesambatan Bin Hujin yang menyadari bahwa suaminya tengah terancam jiwanya.

Hok An tadi gusar waktu melihat Lung Hie melontarkan Bin Hujin, karena Hok An beranggapan Lung Hie berani berbuat lancang dan kurang ajar kepada wanita yang dicintainya. Akan tetapi sekarang mendengar sesambatan Bin Hujin yang meminta kepadanya agar segera menolongi Bin Wan-gwe, malah tampaknya dilihat dari sikapnya itu Bin Hujin sangat menguatirkan sekali keselamatan Bin Wan-gwe begitu besar perhatian dan kuatirnya, membuat tunuh Hok An lemas seperti tidak bertenaga, timbul sirik dan bencinya.

“Hemmm, kau tampaknya begitu mencintai suamimu, kau begitu memperhatikannya dan juga begitu menguatirkan keselamatannya, sehingga engkaupun mempertaruhkan dirimu sendiri demi keselamatan jiwa suamimu. Tetapi terhadapku, yang telah menderita dan bersengsara dari tahun ke tahun karena kau menghianati cinta kita, ternyata kau tidak memperlihatkan sedikitpun perhatianmu kepadaku! Ohhh, betapa aku memang tidak bisa menang dari hartawan she Bin itu! Betapa aku hanya manusia tidak berarti di matanya!”

Dan setelah berpikir begitu, rasa jelus dan siriknya timbul semakin besar, dengan muka yang merah padam dan suara yang ketus Hok An berkata:

“Jika kau mau menolongi suamimu, pergilah kau menolonginya sendiri......!”

“Hok An.....!” berseru Bin Hujin yang tangisnya semakin menjadi-jadi dan memandang kepada Hok An dengan mata yang digenangi air mata.

Setelah memandang beberapa saat lamanya akhirnya Bin Hujin berlari lagi menghampiri suaminya, dia masih berseru-seru: “Jangan mencelakai suamiku, jika memang kau bermaksud membunuhnya, bunuhlah aku sebagai gantinya, bunuhlah aku......!”

Akan tetapi belum lagi dia tiba di hadapan suaminya, Lung Hie telah menggerakkan tangan kanannya.

“Plakkk!” pundak Bin Hujin telah dihantam sampai wanita itu menjerit kesakitan. tubuhnya terjungkal di tanah, kemudian rebah tidak bergerak, pingsan dengan air mata masih menggenangi sepasang mata dan pipinya.....!

Hok An yang melihat keadaan Bin Hujin seperti itu kaget tidak terkira. Dengan mengeluarkan seruan tertahan, dia melompat ke depan Bin Hujin, dia berjongkok dan kemudian memeriksa keadaan Bin Hujin.

“Ohhh, kau....., kau telah menganiayanya! Kurang ajar! Kau telah menganiayanya!” menggeram Hok An sambil mengangkat kepala dongak mengawasi Lung Hie dengan sorot mata yang bengis sekali.

Lung Hie tertawa dingin.

“Aku sengaja membuatnya pingsan, agar dia tidak menimbulkan kerewelan dan juga jangan sampai nanti aku lupa diri dan membunuhnya juga! Kau boleh mengawasinya. Nanti setelah bangsat ini kubunuh, dia jelas menjadi janda dan akan menjadi milikmu!” Dingin sekali suara Lung Hie.

Hok An tertegun di tempatnya. Waktu itu terngiang-ngiang permintaan Bin Hujin yang sesambatan memohon agar dia menolongi Bin Wan-gwe.

Lung Hie waktu itu melangkah mendekati Bin Wan-gwe, yang berdiri dengan muka pucat dan mulut berlumuran darah dengan sikap ketakutan.

“Kini tibalah giliranmu untuk menghadap ke Giam-lo-ong, karena dulu waktu kau mengirim ibu dan adik-adikku ke Giam-lo-ong, kau tidak mempunyai rasa kasihan sedikitpun juga....., semua ini untuk menebus dosa-dosamu......!”

Sambil berkata bengis seperti itu, Lung Hie juga menghantam mempergunakan tangan kanannya.

Bin Wan-gwe memang sejak tadi telah melihatnya bahwa tidak mungkin dirinya dapat mengelakkan kematian di tangan Lung Hie, yang sangat mendendam padanya, maka dia hanya menghela napas dan menggumam perlahan: “Lung Hie, kau hanya diperalat orang.....!”

Waktu itu tangan Lung Hie meluncur ke arah kepalanya, jika saja pukulan tersebut mengenai sasarannya, maka Bin Wan-gwe niscaya akan binasa dengan kepala yang remuk. Dan Bin Wan-gwe yang melihat anak buahnya sudah tidak berdaya menghadapi Lung Hie buat melindunginya diapun memejamkan matanya hanya bibirnya yang bergerak-gerak perlahan seperti juga dia tengah bicarakan penasaran hatinya!

Disaat yang sangat kritis sekali buat keselamatan jiwa Bin Wan-gwe, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dengan gerakan yang lincah sekali, diiringi dengan bentakkannya: “Jangan ganggu dia......”

“Plakkk!” tangan Lung Hie juga kena ditangkis kuat sekali.

Sebenarnya waktu itu Lung Hie memukul dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya, itulah bukan pukulan yang ringan akan tetapi akibat tangkisan tangan orang itu, pukulan Lung Hie terhambat di tengah udara, tidak bisa meluncur terus mencapai sasarannya. Malah Lung Hie merasakan betapa pergelangan tangannya agak sakit.

Lung Hie mundur dua tindak ke belakang sepasang matanya dipentang Lebar-lebar mengawasi orang yang telah merintangi maksudnya.

Diwaktu itulah, dia segera mengenali orang tersebut, sampai Lung Hie berseru gusar: “Kau .....?!”

Orang yang menghalangi Lung Hie membunuh Bin Wan-gwe ternyata tidak lain dari Hok An. Dia berdiri di depan Lung Hie, melindungi Bin Wan-gwe.

“Sudahlah, kau tidak usah membunuh orang itu!” kata Hok An sambil menunjuk Bin Wan-gwe. “Akupun sudah tidak mengharapkan jandanya lagi.....!”

Lung Hie tertegun sejenak, kemudian tertawa dingin.

“Hemm, apa sangkut pautnya urusanku dengan dirimu?!” kata Lung Hie dengan suara yang dingin. “Jika memang engkau tidak menghendaki jandanya, dan juga tidak mau mencampuri urusan ini, engkau boleh cepat-cepat angkat kaki meninggalkan tempat ini, sedangkan aku tetap akan mengerjakan pekerjaanku, yaitu akan membinasakan bangsat itu......!” Waktu berkata begitu, muka Lung Hie merah padam memancarkan hawa pembunuhan dan nafsu hendak menganiaya Bin Wan-gwe.

Beberapa orang anak buah Bin Wan-gwe menghampiri majikan mereka, berdiri untuk bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu.

Sedangkan Hok An dengan suara mengandung kedukaan yang dalam berkata: “Sudahlah jangan banyak rewel lagi, mari tinggalkan tempat ini! Jika kau membunuh orang itu, berarti isterinya akan berduka sekali. Dan aku tidak mau jika dia berduka. Mari kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya membinasakan orang itu, hanya mengotori tanganmu saja!”

Tiba-tiba Lung Hie tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali: “Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku akan mengurus urusanku sendiri!”

Hok An membuka matanya lebar-lebar mengawasi Lung Hie, katanya kemudian. “Jika memang kau membuat dia berduka karena suaminya dibinasakan dirimu, berarti engkau berurusan juga dengan diriku!”

“Eh, mengapa begitu?!” tanya Lung Hie tambah gusar dan mendongkol sekali. “Aku tidak perduli dengan urusanmu, dan aku hanya akan mengurus urusanku sendiri......?!”

“Sudah kukatakan, jika kau membunuh suaminya dan dia berduka, maka aku akan berhitungan denganmu!” menyahuti Hok An dengan tegas.

Lung Hie tertawa bergelak-gelak, kemudian katanya dengan suara yang bengis:

“Bagus! Bagus! Kau sama hinanya seperti seekor anjing? Setelah wanita itu meninggalkanmu, menghianati cinta kalian, kemudian menikah dengan lelaki bangsat ini, dan sekarang malah engkau hendak menolonginya! Sungguh hina sekali! Seharusnya, engkau yang menghantam mampus bangsat ini dan juga menghantam mati perempuan tidak berbudi itu.....!”

Mendengar perkataan Lung Hie itu muka Hok An berobah pucat, tampak dia berduka dan bersusah hati.

“Jangan bicara sembarangan......!” bentak Hok An kemudian dengan suara parau. “Memang aku sangat mencintainya, terlalu mencintainya. Walaupun sekarang aku memperoleh kenyataan dia tidak mencintaiku, malah tampaknya begitu sayang dan menguatirkan sekali keselamatan suaminya, kupikir, jika suaminya bisa tetap hidup, dia tentu akan bahagia sekali! Maka demi kebahagiaannya aku rela melupakannya dan membiarkan diriku sendiri yang merana dan bersengsara. Tidak perlu ditanya lagi, demi kebahagiaannya, aku memang rela untuk hidup sendiri dan merana!”

Lung Hie tertawa bergelak-gelak.

“Oh, engkau manusia yang terlalu bodoh di dalam dunia ini, kukira tidak ada duanya manusia semacam engkau yang demikian bodoh!” kata Lung Hie.

“Biarlah! Biarlah aku hidup sendiri dan dia menikmati kebahagiaannya! Tokh, jika suaminya kau binasakan, dan dia berduka, aku tetap tidak akan memperoleh hatinya, tidak memperoleh kasih sayangnya dan cintanya, malah akan menambah kedukaanku saja. Buat apa semua itu? Untuk apa? Terlebih baik, biarlah aku hidup sendiri, biarkanlah aku hidup sendiri dengan kemeranaanku ini asal dia bisa bahagia.....!”

Lung Hie tertegun sejenak tidak disangkanya Hok An yang tampaknya begitu otak-otakan dan seperti orang sinting, ternyata memiliki perasaan yang begitu halus. Akan tetapi setelah lenyap tertegunnya Lung Hie tertawa dingin.

“Hemmm, aku justru tidak mau dihanyutkan oleh jiwa yang begitu lemah seperti kau! Walaupun bagaimana, tetap saja aku harus membinasakannya. Aku harus membunuh bangsat itu, untuk membalas sakit hati ibu dan adik-adikku yang telah dibunuhnya!”

Hok An menghela napas dalam-dalam, matanya memandang tajam bersinar kepada Lung Hie, karena ke dua matanya itu telah digenangi air mata. Walaupun Hok An berusaha menahan turunnya air mata, tetap saja dia tidak berhasil, dan air mata itu diluar kehendaknya telah menggenangi ke dua matanya itu.

“Apa gunanya kau membunuhnya? Jika kau membunuhnya, apakah ibumu, adik-adikmu itu bisa hidup kembali? Sudahlah! Mari kita pergi! Rupanya kita memang memiliki nasib buruk yang sama, hanya saja berbeda tempat dan kejadiannya, karena dari itu, alangkah baiknya jika kita menikmati kedukaan kita saja. Biarkanlah mereka itu mencicipi kebahagiaan mereka dari dasar penderitaan kita.....!”

“Tidak!” berseru Lung Hie dengan sengit dan gusar. “Walaupun ibuku dan adik-adikku tidak bisa kembali hidup, tetap saja dia harus dibinasakan, biarlah anaknya kelak merasakan, bagaimana jika orang tuanya dibinasakan orang lain..... biar dia sendiri juga menyadarinya, betapa dia telah dibunuh dan berpisah dengan orang-orang yang dikasihinya.....!”

Mendengar perkataan Lung Hie yang terakhir itu, Hok An menyusut air matanya.

“Kau hendak pergi atau tidak dan membebaskan orang itu dari tangan mautmu?” pertanyaan Hok An yang terakhir ini diucapkannya dengan angker dan bersungguh-sungguh.

“Hemm, tetap aku harus membunuhnya,” menyahuti Lung Hie, walaupun hatinya agak tergetar melihat keangkeran wajah Hok An.

Hok An tertawa dingin, katanya: “Baiklah! Jika kau tetap hendak membunuhnya, berarti kita harus bentrok satu dengan yang lainnya, karena aku harus melindunginya.....!”

Waktu itu Bin Hujin yang mendengar perkataan Hok An seperti itu, yang baru saja tersadar dari pingsannya, telah cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut dan memanggut-manggutkan kepalanya terus-menerus, diapun sesambatan:

“Terima kasih Hok An..... terima kasih Hok An, aku tentu tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini..... terima kasih Hok An......!”

Hok An melirik kepada nyonya itu, yang sesambatan sambil menangis dan juga mengucurkan air mata yang deras, dia bilang dengan suara yang tawar mengandung kedukaan yang dalam.

“Kim Hoa...... tidak perlu kau berlutut seperti itu..... sudahlah..... aku memang akan membiarkan kau mencicipi kebahagiaanmu! Tidak usah kau mengatakan akan mengingat budi kebaikanku....., karena dulu saja, kau berjanji lebih berat dari itu, di mana engkau mengatakan ingin sehidup dan semati denganku dengan cinta kasih yang manis di antara kita berdua. Engkau masih bisa melanggar dan menghianatinya!

“Apalagi sekarang, hanya untuk ingat budi kebaikanku? Ohhh, hanya waktu dalam sekejap mata saja kau akan melupakannya.

“Dan juga, aku melindungi suamimu, bukan karena hendak mengharapkan sesuatu darimu! Tidak! Tidak! Aku cinta padamu! Dan cinta tidak bisa ditawar atau diperjual belikan. Karena dari itu, aku tidak bisa merobah pula perkataanku, bahwa aku memang tetap mencintaimu! Karena aku mencintaimu, walaupun engkau mengkhianatiku, aku tetap hendak melihat engkau bahagia!

“Jika suamimu ini dibunuh oleh pemuda itu, berarti engkau akan berduka. Dan aku yang sangat mencintaimu, mengasihimu, pasti akan ikut berduka, dan hatiku lebih merana!

“Biarlah kau mencicipi kebahagiaanmumu itu, nikmatilah hidupmu yang bahagia bersama suamimu, dan biarkanlah aku hidup sendiri dengan penderitaan dan kemeranaanku ini......dan kau tidak perlu bertanya lagi kelak ke mana aku hendak pergi. Aku akan membawa diriku ke mana saja......!”

Sebal bukan main Lung Hie mendengar dan menyaksikan semua itu. Hatinya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sekali hantam membinasakan Bin Wan-gwe.

Maka tanpa menantikan lagi selesainya perkataan Hok An, dia melompat, tangan kanannya segera bergerak menghantam tukang pukul Bin Wan-gwe yang sebelah kiri. Kemudian dia mengibas dengan tangan yang lainnya kepada tukang pukul Bin Wan-gwe yang lainnya.

Ke dua orang tukang pukul Bin Wan-gwe itu terpelanting dengan keras ke belakang, mereka juga menjerit kesakitan.

Sedangkan tangan kanan Lung Hie masih terus bergerak menghantam ke arah dada Bin Wan-gwe. Gerakan yang dilakukannya merupakan pukulan yang sangat kuat sekali, karena Lung Hie merasakan bahwa inilah kesempatan satu-satunya, karena dari itu, jika saja dia gagal dengan serangannya kali ini, niscaya akan menyebabkan dia memperoleh kesulitan dari Hok An.

Dalam keadaan seperti itu, Hok An yang sesungguhnya masih banyak ingin memuntahkan perasaan dan kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya semua ini, telah melihat Lung Hie mengancam keselamatan Bin Wan-gwe. Cepat sekali dia berseru nyaring, dia telah menerjang dengan cepat, pundaknya dibenturkan kepada pundak Lung Hie.

Cara itu memang satu-satunya buat menggagalkan maksud Lung Hie menerjang Bin Wan-gwe. Dan memang ternyata serangan Lung Hie tidak mengenai sasarannya akibat tubuhnya jadi miring dibentur oleh pundak Hok An.

Dalam keadaan seperti itu, Bin Wan-gwe sendiri dengan lutut yang gemetaran, berusaha melarikan diri.

Lung Hie mengeluarkan jeritan penasaran karena pukulannya yang gagal disebabkan rintangan Hok An. Tanpa memperdulikan Hok An, Lung Hie menjejakkan kakinya, dia melompat mengejar Bin Wan-gwe.

Bin Wan-gwe tidak mengerti ilmu silat, mana mungkin dia bisa meloloskan diri dari kejaran Lung Hie, hanya beberapa kali jejakkan kakinya saja, di saat itu Lung Hie berhasil menyusul Bin Wan-gwe.

Waktu itulah terlihat betapa Lung Hie tidak membuang waktu lagi menghantam ke arah Bin Wan-gwe.

Hok An juga tidak tinggal diam, begitu dia membentur pundak Lung Hie, segera dilihatnya Lung Hie meluncur mengejar Bin Wan-gwe. Maka diapun telah melompat lagi, dia mengulurkan tangannya, dia telah menjambret pundak Lung Hie, kemudian dicengkeramnya dengan keras.

Akan tetapi Lung Hie yang telah diliputi rasa dendamnya pada Bin Wan-gwe, menyebabkan dia nekad tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Dia tetap mengayunkan tangannya buat menghantam kepala Bin Wan-gwe tanpa memperdulikan cengkeraman Hok An.

Semangat Hok An seperti terbang dari tubuhnya waktu melihat Lung Hie tetap dengan serangannya ke kepala Bin Wan-gwe. Dengan begitu jelas keselamatan Bin Wan-gwe sangat terancam, dan akan membuat dia gagal buat menolongi Bin Wan-gwe.

Dalam keadaan seperti itu, Hok An telah mengambil keputusan dengan cepat. Jika semula dia hanya ingin merintangi Lung Hie agar tidak melukai atau membinasakan Bin Wan-gwe, sekarang ini justru jadi lain.

Waktu itu tangannya telah mencengkeram baju di bagian pundak Lung Hie, dan tidak ada jalan lain buat Hok An, maka dia mengerahkan tangannya kepada ke lima jari tangannya, cepat luar biasa dia menggentak dengan kuat. Hentakan itu membuat Lung Hie jadi tertarik ke belakang dan juga kepalan tangannya pada kepala Bin Wan-gwe tidak berhasil mengenai sasarannya dengan tepat.

Malah, di saat Lung Hie kehilangan keseimbangan tubuhnya, cepat sekali Hok An telah membarengi dengan tangan kirinya yang menotok beberapa jalan darah tubuh Lung Hie.

Lung Hie merasa gusar, penasaran, mendongkol dan kecewa yang bercampur menjadi satu. Dia telah berusaha untuk meloloskan diri dari cengkeraman tangan Hok An, akan tetapi cengkeraman Hok An kuat sekali, tidak begitu mudah dia meloloskan diri sekehendak hatinya.

Yang lebih mengejutkan lagi, tangan kiri Hok An menyambar akan menotok beberapa jalan darah di tubuhnya, membuat Lung Hie mau atau tidak harus dapat mengelakkan diri dari totokan itu. Sekali saja dia tertotok, niscaya akan membuat dirinya tidak berdaya lagi melakukan perhitungan dengan Bin Wan-gwe.

Mati-matian Lung Hie telah menghindarkan diri dari dua totokan Hok An dengan meliukkan tubuhnya, sikut tangan kanannya mendorong ke belakang ke arah ulu hati Hok An, sedangkan tangan kirinya akan menotok ke arah ke dua biji mata Hok An.

Ancaman seperti itu memang bukan ancaman sembarangan buat Hok An dan tidak mudah buat dia menghindarkan diri dari serangan Lung Hie. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini Hok An telah bertekad hendak menolongi jiwa Bin Wan-gwe, maka cepat sekali dia mengempos semangatnya, pundak Lung Hie tetap dicengkeramnya dengan kuat. Cengkeraman mana telah membuat Lung Hie kesakitan, dan sikut tangan kanannya tidak bisa mengenai sasaran, karena tenaganya pada tangan kanannya itu seperti telah lenyap begitu saja.

Dalam keadaan seperti ini, segera juga terlihat Hok An mempergunakan kesempatan ini, mempergunakan kaki kanannya menendang Lung Hie.

Karena jarak mereka terlalu dekat, Lung Hie tidak bisa mengelakkan diri. Dia tertendang sampai tubuhnya terpelanting, karena Hok An juga membarengi melepaskan cengkeramannya pada pundak Lung Hie.

Dengan muka yang merah padam karena marah dan kecewa sebab dia tidak berhasil membinasakan Bin Wan-gwe, Lung Hie mendelik pada Hok An.

“Bagus! Rupanya kau benar-benar manusia hina? Orang she Bin itu telah mengambil dan merampas kekasihmu yang dijadikan isterinya..... sekarang malah engkau menolonginya! Engkaulah manusia yang paling rendah dan hina di dalam dunia ini.

“Kelak aku akan memperhitungkan segalanya dengan kau! Dan mengenai urusanku dengan orang she Bin tersebut, tetap akan kulanjutkan, walaupun bagaimana dia tetap harus kubinasakan.....!”

Setelah berkata begitu, Lung Hie menjejakkan kakinya, tubuhnya segera juga mencelat ke tengah udara, di mana dia berjumpalitan dua kali, tanpa menginjak tembok, di saat itu dia telah berada di luar gedung.

Hok An yang telah dimaki seperti itu oleh Lung Hie, jadi berdiri mematung di tempatnya. Dia berdiam bagaikan patung, sampai akhirnya dia telah mengeluarkan suara jeritan, menjejakkan kakinya meninggalkan gedungnya Bin Wan-gwe.

Bin Hujin yang melihat Hok An hendak berkata, telah berteriak: “Hok An.....!” tergetar suaranya, dan dia telah terlambat, sebab Hok An telah lenyap di balik tembok itu, malah tidak terdengar suaranya maupun terlihat bayangannya lagi.

Bin Hujin menutupi wajahnya dengan ke dua tangannya dan menangis terisak-isak, tubuhnya gemetaran. Akan tetapi setelah berhasil menguasai perasaan dan goncangan hatinya, dia berlari ke dalam gedung buat melihat keadaan suaminya.

Waktu Bin Hujin tengah berlari-lari memasuki ruangan di dalam gedung tersebut, dia berpapasan dengan puterinya, yang segera dirangkulnya.

“Mana ayahmu.....?” tanya Bin Hujin dengan suara tergetar di antara isak tangisnya.

“Tadi..... tadi ayah berlari masuk ke dalam kamar!” kata gadis cilik itu.

Bin Hujin mengajak puterinya pergi ke kamar Bin Wan-gwe. Waktu pintu kamar di buka, tampak sesosok tubuh menggeletak di lantai.

Bin Hujin menjerit keras dengan hati pilu, karena yang rebah di atas lantai tidak lain dari Bin Wan-gwe, yang rebah dengan muka pucat pias. Dia pingsan, karena tengah dalam ketakutan bukan main, setelah berhasil melarikan diri ke dalam kamarnya, pingsan..... terlebih lagi memang dia terluka di dalam yang cukup parah, di mana dia telah memuntahkan darah yang banyak sekali.

Setelah sadar apa yang terjadi, Bin Hujn menjerit-jerit memanggil para pelayan dan anak buah Bin Wan-gwe, buat mengangkat Bin Wan-gwe ke atas pembaringan. Kemudian memanggil tabib guna mengobati luka Bin Wan-gwe, luka di dalam tubuh yang parah sekali. Karena sepanjang hari itu Bin Wan-gwe tetap dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, Bin Hujin dan puterinya hanya menangis terisak-isak saja dengan segala macam perasaan menggoncangkan hatinya.....

◄Y►

Rembulan tergantung di langit dengan sinarnya yang sangat terang benderang, di samping itu juga terlihat jelas sekali pohon-pohon yang terhembus oleh siliran malam, bagaikan bayangan raksasa.

Di bawah sebatang pohon yang cukup besar di tepi jalan di luar pintu kampung sebelah barat, tampak duduk sesosok tubuh dengan bercakung diri, ke dua tanganya bertopang pada dagunya. Dia memandang dengan sikap yang muram sekali kepada rembulan, matanya yang kuyu tidak bersinar itu mengandung kepedihan yang mendalam.

“Cinta..... apakah cinta itu?!” menggumam orang tersebut dengan suara yang serak. Dia seperti juga tidak merasakan dinginnya angin malam yang menerpah tubuhnya.

“Dan apakah artinya semua perjalanan hidupku ini yang hanya dipermainkan oleh cinta belaka? Atau memang dia masih mencintai aku? Ohhh, aku benar-benar seperti juga orang sinting yang mengharapkan yang tidak-tidak! Dia sangat mencintai dan menyayangi suaminya, dan diapun begitu menguatirkan suaminya..... juga dari perkawinannya telah diperoleh anak.....

“Bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan yang tidak-tidak? Bukankah satu-satunya yang cukup bisa membahagiakan dan menghibur hatiku adalah membiarkan dia hidup bahagia di samping suami dan anaknya?!”

Sosok bayangan itu menghela napas lagi beberapa kali, angin malam berhembus semakin dingin.

Sosok tubuh yang tengah duduk terpekur di bawah sebatang pohon tersebut tidak lain dari Hok An, yang sikapnya bagaikan orang mabok cinta dan sinting. Dia selalu duduk terpekur begitu menangisi cintanya yang kandas.

Jika sebelumnya, selama bertahun-tahun, dia begitu giat mencari jejak kekasihnya, di mana dia berusaha menyelidiki di mana beradanya Un Kim Hoa. Akan tetapi sekarang, setelah dia memperoleh kenyataan Un Kim Hoa resmi sebagai Bin Hujin, dia jadi begitu putus asa dan kecewa. Apalagi memang dilihatnya Un Kim Hoa begitu sayang dan menguatirkan keselamatan suaminya, maka semakin tawar juga hati Hok An.

Dulu memang dia dengan Un Kim Hoa menjalin hubungan mesra dan juga masing-masing telah bersumpah akan tetap setia, walaupun apa yang terjadi, tidak ada suatu kekuatan apapun yang akan sanggup memisahkan mereka. Namun kenyataan yang ada, justru Un Kim Hoa melanggar sumpahnya sendiri, di mana Kim Hoa telah menjadi isteri orang lain, menjadi nyonya Bin, dan malah sekarang telah mempunyai anak hasil dari perkawinan mereka itu.

Hok An menghela napas. Di bawah sinar rembulan yang redup, tampak berkilauan butir-butir air mata yang mengenai dan mengalir di pipi Hok An.

Semua kenangan manis waktu ia bercinta dengan Un Kim Hoa terbayang kembali di pelupuk matanya. Akhir-akhir ini karena putus cinta ditinggal kekasih, yang kawin dengan orang lain, lagak Hok An sampai mirip-mirip orang sinting! Semua itu karena dia patah hati mengalami kegagalan cinta.

Dan sekarang, dalam malam yang demikian sunyi dan sepi, justru perasaan Hok An begitu kosong dan tawar, karena sekarang dia telah memperoleh kenyataan impian telah buyar, di mana dia tidak bisa mengharapkan lagi kasih dari orang yang telah menjadi milik orang lain.....

Tiba-tiba sekali, Hok An tersentak dari lamunannya, dia mendengar di kejauhan suara orang menjerit-jerit: “Kembalikan anakku! Kembalikan anakku! Ohh, biadab kau..... kembalikan anakku!”

Suara jeritan itu adalah suara jeritan wanita, di mana sambil menjerit-jerit, wanita itu berlari-lari dalam kegelapan malam.

Hati Hok An jadi berdebar keras sekali, tergoncang oleh peristiwa tersebut, dan bukan soal jeritan wanita itu, akan tetapi justeru dia mengenali suara wanita tersebut di samping memang diapun mengenali potongan tubuh wanita itu, yang tidak lain dari pada Un Kim Hoa!

Waktu itu Un Kim Hoa berlari-lari dengan pakaian yang tidak teratur letaknya, rambutnya juga tidak tersusun rapi, telah ada yang beriap sebagian. Akan tetapi wanita itu tidak memperdulikan keadaan dirinya, malah dengan isak tangis dan air mata yang bercucuran deras, dia telah berteriak-teriak dengan jeritan yang sangat mengenaskan hati.

“Kembalikan anakku! Kembalikan anakku! Oh, biadab sekali kau jika mengganggu anakku itu, terkutuklah kau.....!”

Dalam keadaan seperti itu, mata Hok An yang juga tengah digenangi air mata, sebenarnya tidak melihat jelas. Akan tetapi setelah agak berkurang rasa kagetnya, segera dia menghapus air matanya, maka dia segera melihat di kejauhan berlari-lari sesosok tubuh, yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan gerakan yang gesit sekali, tengah berlari-lari meninggalkan perkampungan itu. Di tangannya menggendong sesosok tubuh kecil.

Hok An segera juga tersadar! Dia mengetahui apa yang terjadi! Tentunya Lung Hie telah menculik puteri Bin Wan-gwe dan Bin Hujin mengetahuinya, sehingga nyonya itu mati-matian mengejar Lung Hie.

Akan tetapi Bin Hujin mana bisa mengejar Lung Hie, karena Lung Hie memiliki ginkang yang tinggi, walaupun di tangannya menggendong puteri Bin Wan-gwe, namun dia tetap bisa berlari cepat seperti itu. Bin Hujin semakin tertinggal jauh.

Bagaikan tersengat kalajengking, tampak Hok An melompat dari tempat duduknya, dia berlari seperti terbang saja.

“Kim Hoa, jangan kuatir, aku akan segera merebut kembali puterimu itu.....!” berseru Hok An waktu dia melampaui Bin Hujin buat menyusul Lung Hie.

Bin Hujin terkejut, namun kemudian berganti menjadi girang yang tidak kepalang bercampur haru.

“Hok An.....!” suaranya serak, dan dia telah berlari terus. “Tolonglah aku Hok An..... tolonglah puteriku itu.....!”

Hok An sudah tidak mendengar perkataan Bin Hujin, yang suaranya tergetar dan serak seperti itu, dia terus juga mengejarnya.

Sedangkan Lung Hie jadi mendongkol sekali. Semula dia girang, telah berhasil menculik puteri Bin Wan-gwe, yang kelak akan dipergunakan buat pancingan agar Bin Wan-gwe datang ke tempatnya dan nanti membinasakan hartawan itu guna membalas sakit hatinya.

Akan tetapi sekarang dia mengetahui dirinya tengah dikejar oleh seseorang, yang memiliki ginkang tidak berada di sebelah bawah ginkangnya, yang dapat mengejarnya dengan cepat sekali. Gerakan orang itu juga malah lebih cepat dari larinya, karena Lung Hie merasa terganggu dengan puteri Bin Wan-gwe yang digendongnya dan selalu meronta itu, sehingga memperlambat larinya.

Dalam keadaaan seperti itu, juga Lung Hie dapat mengenalinya bahwa orang tengah mengejarnya itu tidak lain dari Hok An, manusia yang seperti sinting karena mabok kepayang oleh kandasnya sang cinta..... Lung Hie mengempos semangatnya, berusaha berlari lebih cepat lagi.

Akan tetapi puteri Bin Wan-gwe masih saja meronta terus menerus, maka dia telah jengkel bukan main. Dengan gusar dia mengayunkan tangan kanannya menghantam kepala gadis cilik tersebut, maka puteri Bin Wan-gwe itu tidak bisa meronta lagi dia telah jatuh pingsan.

Sedangkan Hok An berlari cepat sekali, dia berlari sekuat tenaganya. Jarak antara dia dengan Lung Hie semakin dekat juga.

Mengetahui bahwa dirinya jika berlari terus menerus seperti itu, akhirnya akan dapat terkejar oleh Hok An, maka segera juga Lung Hie merobah arah larinya, dia menuju ke arah sebuah gunung yang terpisah cukup jauh dari perkampungan itu.

Namun Hok An tetap saja mengejarnya, mengejar dengan semakin cepat.

Dengan mengambil jalan di dalam hutan-hutan tidak gampang buat Hok An menemui jejak Lung Hie. Inilah yang akhirnya menguntungkan Lung Hie, yang bisa menjauhi diri dari Hok An.

Dengan panik Hok An mencari-cari ke sana ke mari, dia bingung bukan main, dan terus juga menerobos hutan-hutan yang terdapat di kaki gunung, sampai akhirnya dia menemui juga jejak Lung Hie.

Dilihatnya Lung Hie sedang mendaki gunung itu, rupanya pemuda itu bermaksud hendak menghindarkan diri dari kejarannya dengan mendaki gunung tersebut.

Hok An sambil berseru nyaring telah mengempos semangatnya. Dia mengejar dengan pesat sekali. Dia kuatir, kalau saja Lung Hie kurang begitu baik-baik menguasai dirinya, sehingga terjerumus ke dalam jurang, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami kecelakaan juga.

Semakin lama Hok An semakin kalap, mengejar semakin cepat juga, diapun berulang kali berseru dan membentak agar Lung Hie menghentikan larinya, di mana Hok An berjanji tidak akan menganggu, asal dia bersedia memulangkan puterinya Bin Wan-gwe itu.

Di waktu itu Lung Hie seperti kalap, sudah tidak memperdulikan suatu apapun, dia berlari terus mendaki gunung itu.

Setengah harian mereka lari saling kejar di gunung itu, dan akhirnya Lung Hie tiba di tepi jurang yang curam sekali. Dia memandang bingung sekelilingnya, karena sudah tidak ada jalan lain lagi buat dia meloloskan diri, sedangkan Hok An telah mengejarnya semakin dekat.

Muka Lung Hie agak pucat. Dia tidak jeri dengan Hok An, akan tetapi dia telah merasakan, betapa manusia yang otaknya seperti sinting disebabkan merana putus cintanya, sangat hebat tangannya. Maka dari itu terlebih lagi dia dalam keadaan menggendong puteri Bin Wan-gwe, jelas dia tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi Hok An.

Waktu itu Hok An telah tiba di dekat tempat itu. Dia berhenti berlari dan memandang Lung Hie dengan tajam, katanya: “Kembalikan puteri Bin Wan-gwe, dan kau boleh pergi, aku tidak akan mengganggumu......!”

“Hemmm, memulangkan kembali puteri si bangsat ini? Jika kau berani maju satu tindak lagi, tentu aku akan menghantam hancur batok kepala anak si bangsat ini..... Cepat kau tinggalkan tempat ini!”

Hok An mencilak-cilak matanya, dia memandang beberapa saat dengan bingung. Jika dia menerjang maju, di belakang Lung Hie terdapat jurang yang dalam. Dan jika Lung Hie terjerumus masuk ke dalam jurang itu, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami kecelakaan juga. Karena dari itu, Hok An tidak segera menyerbu maju.

“Ayo, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe.....!” kata Hok An berusaha membujuknya.

“Cisss, manusia hina dan rendah, setelah kau ditinggalkan kawin, dan juga engkau telah disakiti seperti itu, engkau masih mau menolongi hartawan bangsat itu, heh?!”

Sengaja Lung Hie mengeluarkan kata-kata yang pedas seperti itu, karena dia ingin mengingatkan kepada Hok An, bahwa Bin Wan-gwe itu seteru dan musuh Hok An yang telah mengambil kekasihnya, sehingga Hok An merana dan menderita dari tahun ke tahun.

Akan tetapi Hok An menggeleng cepat.

“Aku telah memutuskan, bahwa urusan yang lalu itu tidak perlu kuingat lagi! Aku ikut gembira dan bahagia melihat Kim Hoa hidup bahagia dengan suaminya, di mana mereka bisa merawat puteri mereka baik-baik.....! Nah, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe itu...... Bin Wan-gwe tentu akan berterima kasih sekali padamu!”

“Bin Wan-gwe berterima kasih kepadaku?” tanya Lung Hie tiba-tiba, dia tertawa dengan suara yang nyaring sekali, sampai tubuhnya tergoncang sangat keras.

“Bin Wan-gwe itu seorang bangsat yang tidak punya malu, bagaimana dia bisa berterima kasih atas kebaikanku? Hemmm, sedangkan harta warisanku saja telah dirampas dan diserakahinya di mana seperti juga dia sudah menjadi setan. Ibu dan adik-adikku dibunuhnya semua.....!” Dan Lung Hie tergelak-gelak nyaring sekali.

Hok An melangkah setindak-setindak mendekati Lung Hie waktu pemuda ita berkata-kata, karena jika memang terdapat kesempatan dia bermaksud hendak mempergunakannya untuk menyerbu dan merebut puteri Bin Wan-gwe.

Akan tetapi, dia tidak bisa melangkah lebih jauh sebab Lung Hie telah melihat sikapnya itu, di mana Lung Hie membentak bengis: “Berhenti! Jika kau berani melangkah maju satu tindak lagi, puteri si bangsat ini akan ku lemparkan ke dalam jurang itu.....”

Bingung bukan main hati Hok An, karena dia menyadari, jika Lung Hie terdesak, pemuda seperti Lung Hie tentu tidak segan-segan akan membuktikan ancamannya itu. Tentu dia akan melemparkan puteri Bin Wan-gwe itu ke dalam jurang. Itulah hebat, kalau sampai hal itu terjadi, tentu Un Kim Hoa akan berduka sekali.

Teringat kepada Un Kim Hoa, semangat Hok An terbangun.

“Baiklah, apa yang kau kehendaki?!” tanya Hok An kemudian.

“Hemm, anak ini tetap akan kutahan, sampai manusia she Bin itu datang sendiri ke mari agar dapat kubinasakan, puterinya baru kubebaskan! Dia harus menebus jiwa puterinya ini dengan jiwanya sendiri.....” menyahuti Lung Hie.

Hok An berdiri tertegun bengong di tempatnya, sampai akhirnya dia menghela napas dalam-dalam.

“Bin Wan-gwe hidup bahagia dengan isteri dan puterinya itu, biarkanlah mereka hidup bahagia seterusnya. Dan aku bersedia menggantikan Bin Wan-gwe, buat menebus jiwa puteri Bin Wan-gwe itu. Kau boleh membunuhku, dan selanjutnya engkau tidak boleh memusuhi keluarga Bin Wan-gwe.....”

Waktu berkata begitu, wajah Hok An tampak murung sekali.

“Cisss.....!” meludah Lung Hie. “Siapa yang menghendaki jiwamu?!”

Hok An menghela napas lagi.

“Tetapi aku rela berkorban demi kebahagiaan Un Kim Hoa!” kata Hok An dengan suara yang sayu.

“Cisss, laki-laki tidak memiliki harga diri!” bentak Lung Hie sengit. “Berkorban buat wanita yang telah menyakiti hatimu dan mengkhianati cintamu?!”

Diwaktu itu Hok An melangkah lagi maju setindak, dengan mata yang memandang tajam mencari kesempatan.

“Ingat, selangkah lagi engkau maju maka engkau akan menyesal seumur hidupmu, puteri Bin Wan-gwe akan kulemparkan ke jurang itu.....!” mengancam Lung Hie.

Namun Hok An nekad, dia melangkah maju terus. Dia yakin tentu Lung Hie akan gugup tidak akan membuktikan ancamannya dalam waktu yang singkat ini.

“Berhenti!” teriak Lung Hie dengan muka yang menyeringai bengis.

Tetapi Hok An masih melangkah juga maju.

Lung Hie mengangkat puteri Bin Wan-gwe.

“Kau maju selangkah lagi, anak ini akan kulemparkan ke dalam jurang.....!” mengancam Lung Hie dengan muka meringis seperti mau menangis, karena ancamannya seperti tidak diacuhkan oleh Hok An.

Hok An terpisah dua tombak lebih dengan Lung Hie. Dia melihat, jika waktu itu Lung Hie melemparkan puteri Bin Wan-gwe dia bisa melompat dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan menjambret tubuh puteri Bin Wan-gwe. Dengan begitu jelas dia masih bisa menolongi puteri Bin Wan-gwe.

Akan tetapi Hok An belum berani mengambil resiko seperti itu, dia masih melangkah maju satu tindak lagi, memperdekat jarak mereka.

“Ohh, kau memaksa aku membunuh anak ini?!” berseru Lung Hie.

Dan dia bukan hanya berseru saja, sebab tangannya bergerak, dia telah melontarkan puteri Bin Wan-gwe itu, yang meluncur ke tengah mulut jurang tersebut.

Hok An tidak menyangka Lung Hie akan melaksanakan ancamannya dalam waktu yang begitu cepat. Dengan mengeluarkan jeritan, segera juga dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat ke tengah udara, dia meluncur sambil mengulurkan ke dua tangannya buat menjambret baju puteri Bin Wan-gwe.

Lung Hie melihat Hok An bermaksud menolongi puteri Bin Wan-gwe dengan mempertaruhkan jiwanya, karena jika Hok An gagal menjambret tepi jurang, berarti diapun akan terjerumus masuk ke dalam jurang tersebut dan terbanting mati di dasar jurang itu.

Waktu itu tubuh Hok An tengah melayang di tengah udara, tangannya yang diulurkan itu hanya terpisah beberapa dim lagi dari baju puteri Bin Wan-gwe.

Lung Hie mana mau membiarkan Hok An menolongi puteri Bin Wan-gwe.

Mempergunakan kesempatan itu, Lung Hie telah menghantam dengan ke dua tangannya. Dia memukul dengan pukulan udara kosong, angin serangannya menghantam tubuh Hok An.

Merasakan menyambarnya angin serangan tersebut, Hok An mengeluh. Dirinya tengah melayang di tengah udara, dan jika saja dia gagal menjambret baju puteri Bin Wang- gwe karena harus menangkis serangan Lung Hie, berarti sudah habislah kesempatan baginya untuk menolongi gadis cilik itu.

Sedangkan waktu itu pukulan Lung Hie pun bukan pukulan yang perlahan, akan tetapi mengandung maut, mengincar ke arah punggungnya.

Karena ingin menolongi puteri Bin Wan-gwe, Hok An jadi nekad. Dia telah mengempos semangatnya, dan tenaganya dikerahkan pada pundaknya, dia menerima serangan itu tanpa menangkis. Dan juga tangannya tetap terjulurkan ke depan, dia ingin menjambret baju puteri Bin Wan-gwe.

Pukulan Lung Hie mengenai telak pundak Hok An, menyebabkan tubuh Hok An tergetar keras! Dan akibat gempuran itu justeru tubuh Hok An jadi mencong arah, tangannya yang diulurkan menjambret puteri Bin Wan-gwe gagal mengenai sasarannya, tubuh puteri Bin Wan-gwe terus juga meluncur masuk ke dalam jurang itu.

“Ohhh.....” Hok An mengeluh kecewa. Akibat pukulan dari Lung Hie, sehingga usahanya itu gagal buat menolongi puteri Bin Wan-gwe.

Hok An segera juga berjumpalitan di tengah udara, kemudian tangan kanannya menepuk tepi jurang itu, tubuhnya melentik ke tengah udara dan hinggap kembali di atas tepi jurang tersebut tanpa kurang suatu apapun juga, dia tidak sampai terjerumus masuk ke dalam jurang itu!”

Dengan muka yang merah padam karena gusar, Hok An berseru mendelik pada Lung Hie “Kau....., kau manusia kejam....., kau..... kau menyebabkan puteri Bin Wan-gwe tidak bisa tertolong.....”

Belum lagi habis perkataannya, Hok An telah melompat akan menghantam Lung Hie.

Namun Lung Hie tidak mau melayaninya, dia memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat sekali.

Hok An hendak mengejarnya, akan tetapi waktu itu, di bawah sana terdengar suara Un Kim Hoa: “Mana anakku? Ohhh Tuhan..... mana anakku yang dilarikan si biadab itu? Mana anakku......?”

Sambil menjerit-jerit dan menangis seperti itu, Bin Hujin terus mendaki gunung itu.

Hok An batal mengejar Lung Hie, dia menantikan kedatangan Bin Hujin. Wajah Hok An muram bukan main.

Tidak lama kemudian Bin Hujin tiba di dekat tempat Hok An. Segera juga wanita tersebut menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Hok An dan sesambatan:

“Hok..... Hok An bsgaimana dengan puteriku? Apakah engkau telah dapat menyelamatkannya?”

Hok An menghela napas perlahan.

“Aku gagal.....!” kata Hok An dengan suara tersendat di tenggorokannya.

“Kau..... kau gagal? Jadi..... puteriku itu?!” suara Bin Hujin tersendat seperti juga lehernya tercekik, mukanya pucat pias dengan di wajahnya dilumuri air matanya yang mengucur deras sekali. Keadaannya sudah tidak teratur, dengan rambutnya yang terurai dan juga pakaian yang tidak benar letaknya.

“Pemuda itu..... telah melemparkan puteri kalian ke dalam..... ke dalam.....!” Hok An tidak bisa meneruskan perkataannya itu.

“Maksudmu..... puteriku telah dilemparkan ke dalam jurang itu.....?!” menegasi Bin Hujin.

Hok An hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyahuti.

“Ohhh!” mengeluh Bin Hujin, yang seketika pingsan tidak sadarkan diri, di dekat kaki Hok An.

Cepat-cepat Hok An menolonginya buat menyadarkan Bin Hujin.

Tidak lama kemudian Bin Hujin tersadar dari pingsannya, akan tetapi begitu siuman segera juga nyonya tersebut berseru kalap: “Mana anakku?!” Dan Bin Hujin berlari ke jurang.

Hok An segera mencekal tangan Bin Hujin.

“Tenang..... tenang.....,” hibur Hok An dengan segera berusaha mengatasi Bin Hujin yang tengah kalap seperti itu.

Namun Bin Hujin sama sekali tidak memperdulikan Hok An, ia meronta dan menarik tangannya dari cekalan Hok An. Tidak disangka-sangka dia telah menjatuhkan dirinya duduk menangis menggerung-gerung sambil katanya: “Celakalah aku! Sungguh perempuan pembawa sial.....” sesambatan Bin Hujin.

“Tenanglah..... Kim Hoa..... tenanglah..... mengapa kau harus kalap seperti itu, tokh puterimu itu akan segera kucari kalau-kalau dia masih bisa tertolong......” hibur Hok An.

Bin Hujin masih menangis dengan kepala yang digelengkan tidak hentinya dan sikap tetap kalap.

“Suamiku.....! Suamiku telah meninggal dunia akibat pukulan manusia biadab itu, waktu siang itu..... di mana dia sudah tertolong walaupun aku telah memanggilkan tabib, dua jam sejak ia dilukai, ia menghela napas yg terakhir.

“Dan malam ini, manusia biadab itu telah datang kembali, buat mencari suamiku. Akan tetapi tidak disangka-sangka, dia bertemu dengan puteriku, sehingga segera juga dia menangkap dan menawannya, dibawa lari. Aku berusaha mengejarnya..... Ohhh, benar-benar aku perempuan pembawa celaka..... Sekarang puteriku telah terkubur di dasar jurang itu.....!”

Dan Bin Hujin menangis terisak-isak semakin hebat, dia mengucapkan beberapa patah perkataan lagi, akan tetapi Hok An tidak mendengarnya dengan jelas.

Hok An juga ikut berduka dan terharu, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, tidak disangkanya bahwa Bin Wan-gwe karena luka-lukanya itu, akhirnya telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan juga sekarang puteri Bin Wan-gwe, telah dilemparkan masuk ke dalam jurang itu.

Jurang tersebut sangat curam sekali, maka jika memang puteri Bin Wan-gwe itu telah terjatuh di dasar jurang tersebut, tidak mungkin puteri Bin Wan-gwe masih hidup dan dapat ditolong, karena tubuhnya pasti telah terbanting hancur dan remuk di dasar jurang itu.....!”

Tiba-tiba Hok An terkejut, karena Bin Hujin menjerit, “Anakku, tunggulah ibu......!”

Hok An dongak, dia memandang ke arah tempat duduk Bin Hujin. Semangat Hok An jadi terbang meninggalkan raganya, sebab waktu itu tubuh Bin Hujin tengah melompat ke dalam jurang itu. Rupanya Bin Hujin telah kalap, maka dia menjadi nekad begitu buat bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang tersebut.

“Kim Hoa.....” menjerit Hok An dengan suara tersendat di lehernya, dia melompat menjambret Kim Hoa.

Akan tetapi gagal, dia hanya berhasil menjambret ujung badju Un Kim Hoa dan tubuh Bin Hujin telah meluncur terus masuk ke dalam jurang.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pekiknya yang menyayatkan dari dasar jurang itu, pekik kematian.

Hok An menutupi mukanya dengan sepasang tangannya, dia menangis sejadi-jadinya.

“Kim Hoa! Kim Hoa! Mengapa engkau begitu nekad?!” menjerit Hok An dengan kalap.

Sampai akhirnya Hok An berdiri tertegun mematung di tepi jurang itu, mengawasi ke dalam jurang dengan butir-butir air mata berlinang, dari sepasang matanya.

Lama, lama sekali Hok An berdiri begitu dengan sikap seperti juga arwahnya sudah meninggalkan raganya, dan diapun tampaknya sudah tidak memiliki semangat. Waktu matahari fajar menampakkan diri, dia masih tetap berdiri mematung di tepi jurang tersebut.

Sama sekali Hok An tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya, tidak memperdulikan juga siliran angin yang begitu dingin menggigilkan tubuh. Dan hanya mulutnya yang selalu berkemak-kemik perlahan, berkata-kata dengan suara tidak jelas, hanya samar-samar terdengar.

“Kim Hoa....., Kim Hoa..... sekarang kau telah beristirahat dengan tenang di tempatmu..... Kim Hoa.....!”

Setelah matahari naik tinggi dan udara menjadi cerah dan terik, Hok An baru seperti tersadar dari tidurnya, dia menghela napas dalam dalam, kemudian duduk numprah di tepi jurang itu.

Hanya saja karena dia terlalu letih, jiwa dan raganya, akhirnya setelah mengeluh, Hok An pingsan tidak sadarkan diri.

Lama juga Hok An pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya dia tersadar juga dari pingsannya. Waktu itu tepat tengah hari dan matahari sangat terik sekali.

Dengan lesu, tampak Hok An telah bangkit dan berdiri di tepi jurang itu, berdiri bengong mengawasi ke arah dalam jurang itu, karena juga tidak puas untuk mengawasi jurang ini, di mana di dalam dasar jurang tersebut terdapat wanita yang sangat dicintainya, yang tentu rebah dengan sekujur tubuhnya yang remuk......

Bagaikan tersentak, tiba-tiba Hok An teringat sesuatu, segera juga dia mengangguk-angguk sambil katanya seorang diri: “Ya, mengapa aku tidak melihatnya saja ke bawah? Mengapa aku tidak turun ke dasar jurang itu?!”

Lama setelah berkata seperti itu Hok An berdiri termenung di tempatnya, sampai akhirnya dia telah menghela napas. Perlahan-lahan dia menuruni jurang itu. Dengan merambat dan mengandalkan ginkangnya, dia bisa menuruni jurang itu dengan mudah, dia telah dapat menuruninya sampai ke dasar jurang tersebut.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar