Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 51-55 (Tamat)

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 51-55 Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.
Anonim
Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.

“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar dari pada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”

“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tidak kusangka akan bertemu denganmu pada saat tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkaulah yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”

Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu dia teringat kepada gadis yang telah meninggalkannya itu, dia pun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.

“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”

Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bun-toako, hal itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”

“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang lalu mengakibatkan tewasnya kakek dan dua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”

“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dahulu keteranganku tentang hal itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, serta melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”

Ceng Liong lalu menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai menjadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri, karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya hingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.

Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang mendengarkan sejak tadi dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.

“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid oleh Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.

Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Sekarang dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya, meski tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke wilayah barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.

“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....,” katanya memandang tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.

“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahhh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu....”

“Liong-te, engkau kenal padanya?”

“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”

Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”

“Ha-ha-ha, dia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang sungguh bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”

“Ahhh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali.

Kenapa gadis Bhutan itu tak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es. Dia pun telah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.

Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, biar pun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa dia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tidak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”

Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara.

Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat, aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan mala petaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas panjang.

Ceng Liong mengangguk-anggukkan kepala. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan pada saat itu aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”

“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang. Biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”

Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat sekali sehingga seperti orang kebingungan. Maka dia pun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”

“Hong Bwee....?”

“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”

Ciang Bun menggelengkan kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja....”

“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau kini gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak peduli segala hal lain yang terjadi?”

Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat pula dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.

“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”

“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.

“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak boleh disalahkan, bahkan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali.

Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sekarang menangis, karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita.

Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.

“Bun-toako, apa yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”

Sampai lama Ciang Bun menundukkan mukanya, lalu ia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantunya dan mencari jalan yang terbaik untuknya.

“Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.

Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya begitu serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya.

Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita akibat hawa dingin. Pada saat mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.

Kemudian terdengar suara lirih Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.

Meski Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, di samping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.

Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila. “Ahhh, betapa pun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak dalam hatiku, kesadaranku seolah-olah sudah membutakan diri, tidak mau peduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tidak mungkin dapat dibendung lagi….”

Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.

Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan dia pun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”

“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”

Suma Ciang Bun kemudian melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andai kata Ganggananda kemudian menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.

“Betapa terkejut dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku saat Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walau pun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja....”

“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”

Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang ini dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan dengan sepasang mata bersinar memandang kepadanya.

“Bun-toako, bagaimana pun juga, apa pun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, akan tetapi bagaimana pun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”

Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tiada artinya lagi. Akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.

“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”

“Toako, aku bukan gurumu dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pada pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkau sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang bisa mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya yang ternyata tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya dan cacat celanya. Dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!

“Ahh, terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Selama ini aku bersikap terlalu lemah dan baru nampak olehku sekarang!”

“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidak perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu birahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”

Ciang Bun merangkul adik misannya itu kemudian memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum. “Ahh, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa dari pada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu birahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu birahi belaka karena aku pun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih-milih. Tetapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tidak peduli dia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ahh, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat dia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”

Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.

“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”

“Cocok! Dan aku tidaklah begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.

“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya mampu membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.

“Aku merantau tanpa tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka aku pun segera pergi ke sini.”

“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”

Ciang Bun menggeleng kepala dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”

“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan untuk memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”

Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”

“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya ini mengenai pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.

“Kenapa pula tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”

“Kenapa, toako?”

“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”

Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri saat untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.

“Mula-mula aku pun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu. Setelah bercakap-cakap, aku pun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”

Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang ingin membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.

“Boleh jadi kaisar sekarang, walau pun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimana pun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukannya berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”

“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, berarti ikut pula merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.

Ceng Liong tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, aku pun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah para pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian mendadak. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Tetapi engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau aku pun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”

“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggota keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimana pun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan memiliki darah keluarga kaisar Mancu! Kenyataan ini tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”

Ciang Bun mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita akan berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”

Dua orang kakak beradik misan ini kemudian saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.....


********************


“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”

Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.

Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan saja potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.

Sepatunya dari bahan kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Namun tidak nampak sebuah pun senjata menempel di tubuhnya.

Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Cuping hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa dia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali bagaikan diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga bibirnya.

Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Biar dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu.

Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras. Dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.

“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.

“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekar pun suka bermain cinta, hi-hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.

“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekar pun lelaki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.

“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha-ha!”

Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.

“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.

Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggota gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.

“Kalian mau apa?!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tidak dapat dia pertahankan lagi.

“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamah pun tidak, mengganggu pun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”

“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”

“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.

Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”

“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.

Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”

“Dan aku pun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh-heh!”

“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali.

“Plak! Plak! Plak!” terdengar suara beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka.

Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itu pun menjadi marah.

“Berani kau memukul kami?”

Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu, kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju. Dari serangan mereka dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki niat kotor sebab serangan mereka itu bukan pukulan, tapi cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya!

Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut. Untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.

Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan ketiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka, yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.

“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.

Tiga orang itu kini telah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Sekarang yang ada di dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.

“Haiiiittt....!”

Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri mereka pun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tidak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.

Tapi gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka. Maka mereka lalu menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi.

Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, mendadak dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas.

Tiga kali dia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk. Tentu saja lengan itu langsung menjadi lumpuh seketika.

“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.

Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lantas mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.

“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya. Sikapnya tenang dan angkuh, seakan-akan sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatannya lebih muda dan rendah.

Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi jika tidak salah, ji-wi adalah orang-orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggota-anggota Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap bagaikan penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”

Wajah dua orang kakek itu berubah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah.

“Siancai, nona muda bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”

Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”

Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.

“Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga adalah pembohong-pembohong besar dan pengecut, yang tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”

Si tosu gendut itu marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, pinto hendak melihat sampai di mana kelihaianmu.”

Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimana pun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya. Ketika menyerang pun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.

Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat.

Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu telah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua. Kakinya menendang ke arah lutut, dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!

Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan sangat baiknya dan tiga serangan beruntun itu pun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena dia pun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.

Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, dia pun segera mengerahkan tenaga sinkang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.

“Dukkk....!”

Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya membuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.

“Totiang, apakah engkau masih juga hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah.

Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sinking pun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak menyambar ke arah kepala gadis itu!

“Wuuuuttt....!”

Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka ia pun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!

“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang.

Dua orang kakek itu pun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa saat menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk bisa mengalahkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.

“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.

Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”

“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”

“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”

“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukanlah orang jahat, melainkan puteri dari pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Dia adalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”

Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biar pun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa, akan tetapi nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.....



“Akan tetapi, nona ini sudah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.

“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimana pun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”

Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak karena membela tiga orang murid mabok.

“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.

“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.

Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu.

Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu. Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka. Tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.

“Bi Eng....!”

“Ceng Liong....!”

Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan dia berdiri memandang dengan muka berubah merah sekali. Teringat dia bahwa yang kini berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!

Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya.

Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.

“Bi Eng.... ahh, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”

Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dari jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!

“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”

Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan barulah aku teringat pada waktu engkau mengeluarkan suling emas itu.”

Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkau pun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”

“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”

“Yang berubah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”

“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkau pun juga datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”

“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”

Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Hampir saja dia tadi menyebut ‘mertuaku’, bukan ‘guruku’.

Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau ini adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar sekali dicari tandingannya. Dan ternyata engkau masih mempunyai seorang guru lain dari pada ayah bundamu?”

Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”

Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan dia pun menarik napas panjang.

“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”

“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”

“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”

“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah, padahal saat itu dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.

Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimana pun juga, andai kata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmu pun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab mala petaka yang melenyapkan Pulau Es....”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa?! Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.

Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan sangat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”

“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”

“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimana pun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”

Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.

“Dan engkau dahulu ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.

Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”

“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”

Tiba-tiba wajah Bi Eng berubah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkaulah yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”

Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”

Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, tetapi mana mungkin aku mau berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan dari orang tuaku saja....”

“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walau pun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dahulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekali pun.”

Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan dia lalu melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.

“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”

“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapa pun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”

“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”

Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang!

Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh, “Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”

Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.

“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”

Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga-duga oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu menjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... ehhh, memang ada, ya, ada memang....”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”

“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.

“Hemm.... dan.... dan ia pun cinta padamu?”

Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....”

Karena pertanyaan-pertanyaan itu makin lama makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka dia pun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.

“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”

“Aku.... aku takut, Bi Eng.”

“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”

“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasehat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”

Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasehat dariku? Ahh, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”

Ceng Liong mengangguk.

“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”

Ceng Liong menggeleng.

“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”

Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”

“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.

“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”

“Kalau itu sih belum pernah!”

Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Ehh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”

“Aku kan wanita dan yang kau cinta itu pun wanita, bukan?”

Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasehatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia juga mencintaku. Dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”

“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, jika pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tak menyatakan cintamu, mana dia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah dia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasehatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”

“Begitukah nasehatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”

“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”

“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu....”

Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong. Mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.

“Apa....? Apa yang kau katakan itu....?”

“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”

“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berubah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.

Melihat ini, Ceng Liong lalu menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang tadi menasehatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”

“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”

“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”

“Tapi.... kita baru saja berjumpa lagi dan kau menyatakan cinta....?”

“Bi Eng, semenjak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan lalu melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau pun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”

Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan dia pun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.

“Bi Eng.... ahhh, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi mati pun aku tidak akan membalas.”

Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.

Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”

Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dahulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan meski pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.

“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”

Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berubah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.

“Tetapi…., bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”

Gadis itu makin terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”

“Ahhh, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”

Gadis itu menggeleng kepala. “Dia pun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua. Kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”

Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!

“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”

“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”

Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”

“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”

“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”

“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”

“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku yang tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.

“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah.

Kaki Ceng Liong bagai tertahan. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.

“Ceng Liong.... jangan.... jangan kau pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.

“Bi Eng.... apa artinya ini....?”

Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan dia pun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya.

Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya, membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambut pun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarang pun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.

Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.

“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.

Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Meski dia belum berpengalaman, dan walau pun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.

Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang semenjak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercayai kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, lalu terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”

Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng cepat melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berubah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.

“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”

“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu akan marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulu pun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Lagi pula, aku sangat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi perusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”

“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”

“Tentu saja!”

“Sebesar aku mencintamu?”

“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”

“Kalau begitu, mengapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”

“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”

“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”

“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu supaya mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”

“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak akan takut menghadapi apa pun juga. Bersamamu aku berani menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”

Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Aku pun tidak takut, Eng-moi....”

Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”

“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”

“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”

“Bagaimana pun juga, selain lebih tua darimu, aku pun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”

“Liong-koko.... ihh, lucu juga!”

Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini telah tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tidak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itu pun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.

Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan dia pun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan mereka pun berciuman, canggung namun mesra.

“Eng-moi, aku cinta padamu. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”

“Tidak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungan lebih dulu, tanpa mempedulikan isi hati antara yang bersangkutan.”

“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”

“Aku datang ke tempat ini bersama-sama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku lalu bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”

Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Aku pun heran mengapa orang-orang seperti mereka itu turut hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”

“Menurut suhu, Pek-lian-pai ialah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.

“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”

“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”

Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya.

Mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.


********************


Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walau pun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.

Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar pemerintah oleh karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa.

Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan.

Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga sering kali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan banyak pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.

Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggota yang puluhan orang banyaknya dan nampak bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.

Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng.

Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur. Mereka nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.

Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning bagai pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara. Dia diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam dari pada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.

Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang tiba dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggungnya. Sikapnya pendiam dan gagah. Juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.

Oleh karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju dari kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu, pria ini menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang.

“Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”

Suaranya yang mengandung getaran khikang yang kuat itu mengatasi suara berisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.

Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andai kata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya perkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”

“Setuju....!” terdengar teriakan dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini. Mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.

Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu pun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.

“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan dahulu sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, pernah mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin hanya tinggal diam saja. Maka saya pun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, serta mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”

“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.

Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakana, bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita akan mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”

“Setuju….!” Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.

Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas. Dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.

“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa-pai. Teriakan ini pun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.

“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak-sorai teman-temannya.

Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat supaya suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia pun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya akan mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi sudah diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”

Sim Hong Bu telah tahu siapa adanya tosu kurus yang sekarang memimpin rombongan Pek-lian-pai itu. Dia tahu bahwa biar pun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.

Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu mempunyai pengetahuan yang luas, di samping itu kepandaiannya tinggi, dan terutama sekali di samping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”

“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar pula suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”

“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.

Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.

Sementara itu, semenjak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut-ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia sibuk mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya serta merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.

Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka dia pun segera menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya kemudian bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan bersama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.

“Suhu-mu memang gagah perkasa,” Ceng Liong memuji lirih.

“Ya, dan kalau menurut aku, tak ada yang lebih baik dari pada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.

“Kalau begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”

“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”

Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi meski tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada. Dengan pengerahan khikang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”

Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng dibandingkan dengan kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.

Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang hendak mengajukan calon?”

Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang akan memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!

“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.

“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”

Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah berbuat kejahatan, walau pun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar!

Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar. Sebelum yang lain-lain sempat mengemukakan pendapatnya dan juga sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian-li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!

“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Sekarang lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.

Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.

“Heh, engkau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.

“Dukkk....!”

Pertemuan dua lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerang pun terjadilah dengan serunya.

Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan selalu keduanya terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa-pai.

“Plakk! Plakk!”

Kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu. Demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itu pun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.

“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.

Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja mereka pun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jeri, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.

Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa yang menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau-balau. Dan pertama ingin kami mendengar, apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon, dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”

“Siancai....! Itulah jalan yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking hingga terdengar jelas sebab memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khikangnya.

Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang sudah dicalonkan tadi menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu.....

Ceng Liong sejak tadi merasa tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan pemilihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan dia pun melihat sesuatu yang menarik hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu. Bi Eng menoleh, dan ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali.

“Itulah putera suhu....,” katanya lirih.

Jantung di dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan malah memilih dia!

Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu.

Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang kesemuanya cantik-cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya.

Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada mengejek.

“Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang pukul yang hanya hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.

“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”

“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.

“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah diambil dan sekarang tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”

“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru.

Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan saat ini, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.

Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas, meminta agar semua orang tenang. Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”

Giam San-jin tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang yang semenjak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”

Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.

“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”

Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong. Sejenak dia memandang tajam, lalu dia mengangguk. “Silakan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil mundur.

Giam San-jin mengerutkan alis, memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak bicara itu, tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini lalu menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. “Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”

Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang sangat hebat, yang terasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khikang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandang kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.

Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan di dalam pertemuan ini. Maka dengan sikap tenang namun tegas dia pun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.

“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi sekalian untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh-jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan bengcu, kita tak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan untuk saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang digunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”

Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.

“Cara apa pun yang kita adakan adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik pula. Tujuan kita adalah memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap dirinya pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga ia telah mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.

“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan sangat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apa lagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini dapat memecah-belah persatuan antara kita. Pula harus diingat bahwa, seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu perang, walau pun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”

Semua orang yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama bagi yang tadi menyetujui diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu. Akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, mereka pun ingin sekali jika pibu diadakan supaya mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu.

Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka dia pun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.

“Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimana pun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasehat-nasehat seorang bocah hijau seperti engkau!”

Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia tetap menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berubah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.

“Locianpwe,” katanya dengan sikap hormat. “Bagimana pun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali.

Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itu pun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.

Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya!

“Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, atau apakah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”

Ceng Liong menggeleng kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”

“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjutkan pemilihan pibu ini, apakah engkau tetap berani menentangku?”

“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapa pun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.

“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, lebih dahulu katakan siapa namamu?”

“Nama saya Suma Ceng Liong.”

“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.

“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya.

Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.

“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”

Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong berubah menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, sebab memang banyak di antara para pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.

“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.

Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang tadi dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya runcing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata Mancu atau bukan, engkau sudah berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”

Ceng Liong tersenyum pahit. Tidak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang semacam ini dan harus mengalami hal sepahit ini. Tetapi dia pun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini yang mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri mau pun gerombolannya. Maka, dia pun harus memberantasnya!

“Giam San-jin, aku pun sejak dulu sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apa lagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tak pernah menggunakan senjata. Majulah, bukan pribadimu yang kulawan, tapi sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”

“Bocah sombong! Engkau sendiri yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu.

Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!

Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biar pun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.

Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang datang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itu pun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kali pun totokan-totokannya menemui sasaran!

Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan anggota keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar.

Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) serta Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangan lawan yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.

Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang semuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan saja. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimana pun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.

Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalah artikan oleh Giam San-jin. Biar pun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biar pun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Ceng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka dia pun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.

Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Meski dia masih segan untuk membikin malu, tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.

Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, dia pun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.

“Hyaaaat....!”

Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini.

Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biar pun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong!

Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sinkang-nya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.

Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu dia pun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan.

Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.

“Plakkkk....!”

Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.

“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yang tidak diharapkan itu.

Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi gelap mata dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh.

Dia berseru. “Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya.

Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.

Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata.

Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.

Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek ini pun paham bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah pula membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Tetapi betapa kaget hatinya pada saat pemuda itu menyambut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!

“Braaakkkk....!”

Begitu tongkatnya bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan ia pun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang dalam kemarahannya tadi Ceng Liong telah menggunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.

Pada saat itu, terdengar suara halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!”

Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendak memasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia adalah seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar supaya semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!

Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mukjijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan dia pun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu.

Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.

Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara bagaikan anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itu pun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan!

Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!

Ceng Liong sendiri pun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa sekarang mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya?

Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!

Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walau pun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, tapi masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.

“Bagaimana pun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walau pun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Lagi pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”

Isterinya setuju. “Memang, aku pun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dahulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”

Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.

“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiri pun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapa pun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walau pun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan, bahkan enci Milana sudah tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biar pun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”

Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana dan suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang usianya kini sudah hampir tujuh puluh tahun, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.

Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah Jenderal Kao Cin Liong. Dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara yang merencanakan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.

Jenderal muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu, bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagai mana menghadapi berita ini.”

“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”

Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu kemudian bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggota keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Namun dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air dari pada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”

Setelah mengadakan perundingan serta mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.

Demikianlah, dengan jalan menyelinap di antara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini kemudian menggunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua orang memandang sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara pemerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!

Bagaimanakah tempat itu mendadak saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka segera terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaannya seperti anjing tadi.

“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”

Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar jadi tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar.

Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Tetapi, bagaimana mendadak pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu sudah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biar pun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi dia pun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.

Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.

Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggota para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sute-nya sendiri itu, dan lalu menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng!

Setelah berhasil mengelabui para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu. Pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja. Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil dihadapkan kepada kaisar dan ia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar.

Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa kaget dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya! Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lantas memerintahkan pengawal untuk pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja saat mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!

Kaisar lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.

“Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Lekas panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.

“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa tidaklah tepat menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak, sri baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut.

Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang tidak menjadi marah, hanya merasa heran.

“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong ialah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”

“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba ini atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari salah seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang bertugas memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah jika paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Ada pun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiri pun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”

Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Ia langsung teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengundurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon supaya diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!

“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”

Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.

“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”

Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.

“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!”

Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya, langsung mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka dia pun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang barusan melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.

“Ciangkun, maafkanlah saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakan ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.

“Plakkk!”

Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikit pun tak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main.

Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, namun kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikit pun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal ini pun diketahui oleh Cao-goanswe, maka dia pun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.

“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini sangat boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”

Kaisar Kian Liong juga bukanlah seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walau pun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.

Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberi tahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Mendengar ini, keluarga ini pun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi kalau diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu dari pada para prajurit pemerintah.

Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga.

Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”

Ucapan ini segera disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan bersiap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.

“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka serta membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru. Ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang.

“Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!”

Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.

“Siapakah mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya.

Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.

“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”

“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.

“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”

“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”

“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula....”

“Ahhh....!” Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dan kagum. Dia sudah pernah mendengar nama-nama itu yang disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.

Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggota keluarga itu. Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan sudah mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka.

Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka itu adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Tentu merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?”

Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.

“Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang waktunya tidak tepat. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang akan tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian supaya menyerah dan jangan melawan!”

“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!”

“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”

“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.

“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus kita akui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Lagi pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.”

“Engkau penjilat orang Mancu! Huhh, tidak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.

Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita mau bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan meraja lelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amat kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andai kata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Dan seandainya menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”

“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lantas tindakan kami seperti apakah yang akan kau anggap gagah? Apakah kita harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha-ha, itukah yang akan kau anggap sebagai perbuatan gagah?”

Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap.....

Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. “Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, tetapi untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.”

“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini telah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”

Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorang pun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiri pun mengerti tentang jiwa patriot yang kini berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini aku pun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang amat masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingatlah, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”

“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.

“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.

“Aku pun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini. Bagaimana pun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan jika cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru dengan suaranya yang amat keras. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”

Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dan dapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini lalu menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.

“Kita lawan sampai mati....!” Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.

Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan dia pun berteriak. “Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!”

Sikap Sim Hong Bu ini segera menambah semangat mereka. Kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini, Sim Houw putera Sim Hong Bu juga lalu melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.

“Eng-moi....!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan dia pun sudah melolos suling emasnya.

Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar.

Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini. Maka dia memberi waktu selama habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan sekarang terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!

Melihat ini, Puteri Milana cepat berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”

Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungan. Ada pun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka berpencaran untuk menyambut serbuan para prajurit pemerintah.

“Liong-ji....!” Teng Siang In berseru keras pada waktu melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!

“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong.

Ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Dia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu.

Diam-diam dia merasa gelisah sekali, tetapi karena dia pun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu. Lagi pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya?

Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rombongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”

Para prajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar prajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu!

Biar pun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!

Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini telah berubah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para prajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan keempat orang isterinya. Segera mayat para prajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka.

Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berubah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya.

Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya dan walau pun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi.

Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh lebih banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan walau pun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya.

Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidaklah sedahsyat pedang Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang ini pun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.

Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong!

“Eng-moi, jangan....!” kata pemuda itu.

Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.

“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tidak disangkanya bahwa terjadi perpecahan di antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!

“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan kau lanjutkan....!” Ceng Liong berkeras menahannya.

Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng. Ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.

“Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!”

“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang mau menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihatlah, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kami pun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut pergi denganku, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihatlah, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.

Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.

“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”

“Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak pernah diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita berdua pergi saja dari sini, Eng-moi....”

“Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.

“Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi, jika memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kau bunuhlah aku lebih dulu dari pada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan membuat aku menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu.

Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali. Suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!

“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong.

Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka dia pun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.

Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biar pun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!

Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali. Cepat dia pun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.

Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimana pun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan.

Maka, biar pun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

“Brettttt....!”

Biar pun kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.

“Tringgg....!”

Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.

“Nona Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng.

Biar pun gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan ‘nona’. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu malah menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!

“Sim-koko, jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata.

Pada saat itu empat orang prajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang prajurit itu tanpa dapat bangun mau pun bergerak lagi.

“Eng-moi, mari kita pergi....!” kata Ceng Liong.

Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.

Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan prajurit pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang lelaki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-sut!

Ayahnya bukan hanya terdesak, tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biar pun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya terhuyung-huyung.

Kiranya, betapa pun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga serta kecepatannya berkurang sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.

“Ayah....!” Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat itu.

Dia pun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak prajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadi pun ia telah mengenal Kai-liong Kiam-sut.

Sebagai murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan menantu durhaka dari keluarga Cu itu. Maka ketika tadi dia mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk membunuhnya.

Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan sekarang dia pun mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi sesudah dia dan kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda yang amat lihai itu.

“Ayahhh....!” Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya kocar-kacir.

“Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak boleh mati.... kelak engkau harus melanjutkan perjuanganku.... menyusun tenaga baru....” Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di depan dada.

“Tidak, ayah.... aku harus melindungimu....”

Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara Sim Houw dan Tek Ciang.

Sim Houw terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh, bukan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu membalasnya pula dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini sangat mirip dengan Koai-liong Kiam-sut!

Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkan dirinya akan suara tiupan suling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.

Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu makin payah. Oleh karena sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biar pun dia masih berbahaya dan dapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin terhuyun-huyung.

Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas, membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang bersama kawan-kawannya datang menyerbu.

Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini, pergunakan Pek-kong Po-kiam....”

Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya. Begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya sangat hebat. Empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat mundur sampai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong ayahnya yang sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.

“Pemberontak, hendak lari ke mana kau?” Louw Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu melakukan pengejaran.

Akan tetapi Sim Houw bersama ayahnya sudah menghilang di antara banyak prajurit yang masih bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para prajurit yang masih mengepung para pendekar.

Keluarga Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biar pun sudah berusia enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itu pun mengamuk di samping suaminya.

Puteri Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang sejak dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali prajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek ini pun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri dari lima orang ini telah merobohkan puluhan orang prajurit pemerintah.

Selain keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para pendekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dulu memang merupakan musuh-musuh lama pemerintah.

Perang kecil itu terjadi di Hutan Cemara dan biar pun ratusan orang prajurit pemerintah roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.

Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka itu pun mulai menyelinap dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari pembantaian para prajurit.

Akan tetapi Bu-taihiap bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkah pun! Bu-taihiap yang sudah tua itu agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa. Agaknya keempat orang isterinya itu sangat setia kepadanya dan juga berpendirian sama, maka mereka pun mengamuk di samping suami mereka itu, sedikit pun tidak ingin mundur.

Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada batasnya. Biar pun banyak sekali prajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi saking banyaknya jumlah lawan, mereka pun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena senjata lawan sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri Bu-taihiap itu pun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnya pun roboh. Dia dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa.

Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu akan selalu dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang akhirnya berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang kemudian bercerita tentang kegagahan keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.

Di antara seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan orang saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang prajurit Mancu!

Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es telah berhasil menyadarkan cukup banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan mukanya di depan keluarga Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.

Pada saat keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama para pendekar yang urung memberontak, barulah Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima menghadap kaisar, mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga Pendekar Pulau Es ini pun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianat sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya.

Akan tetapi keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis itu memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya.

Pada waktu berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesempatan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susiok-nya sendiri. Ketika dia bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah kitab pelajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.

Ketika keluarga Pulau Es muncul dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima orang sute-nya dari Kong-thong-pai juga ikut sadar. Mereka menggabung dengan keluarga Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh oleh berita tentang kematian kekasihnya.

Wakil-wakil Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut di dalam rombongan keluarga Pulau Es pula. Saat berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang sempat melihat Louw Tek Ciang di antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.

Oleh karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang itulah yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat memberi keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiri pun merasa sungkan untuk mendesak.

Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya, bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, turut pula menjadi pemberontak dan tewas oleh pasukannya.

“Penasaran! Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah amat murung. “Kenapa mereka memberontak? Kenapa para pendekar yang dulu selalu melindungiku, kini malah memberontak dan memusuhi aku?”

“Maaf, sri baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sesudah memberi hormat kepada kaisar. “Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara pribadi.”

Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. “Bibi Milana, engkau yang termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi panglima kerajaan, jelaskanlah apakah yang menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak membenci dan memusuhi aku?”

Wanita itu kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi keadilan dan memuji dengan kagum kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu merasa tidak senang melihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah sebabnya mengapa mereka memberontak.”

Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para pendekar itu. Dan apa yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari bangsanya, Bangsa Mancu, terhadap seluruh Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tidak mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para pendekar.

“Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?” tanya kaisar kemudian, dengan sinar mata kesal memandang kepada mereka yang menghadap, berlutut di situ dan menundukkan muka.

“Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah kepada paduka,” kata Puteri Milana.

Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah menyadarkan sebagian para pendekar dan karena itu maka pertempuran tidaklah sehebat kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan betapa banyaknya prajurit yang akan tewas sekiranya keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula memberontak!

“Bagaimana, Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”

Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, sedikit pun tidak terlihat takut. “Harap sri baginda maafkan kalau hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali belum melakukan perbuatan memberontak. Pendekar-pendekar itu hanya ingin mengadakan pertemuan untuk memilih seorang bengcu di antara mereka. Memang, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan. Akan tetapi, pada waktu mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada rencana pemberontakan apa lagi gerakan memberontak.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, tetapi mereka telah bersekongkol dengan Jenderal Gan!”

“Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar tentang persekutuan dengan Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluarga Pulau Es segera pergi ke Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau dibujuk sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara yang sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”

“Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.

Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni mereka, akan tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka lagi.” Para pendekar lalu menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan keluar dari istana.

Peristiwa di Hutan Cemara itu tak habis sampai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa betapa semenjak itu sikap kaisar berubah terhadap dirinya, dan karena dia sendiri pun merasa betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada para pendekar dan patriot, tidak lama kemudian lalu mengajukan permintaan untuk mengundurkan diri.

Permohonan yang kedua kalinya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar dengan diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!

“Si keparat itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju. Wajahnya nampak membayangkan kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pemberontak.”

Demikian antara lain isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan kepada kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, ia bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum orang itu memegang jabatannya di utara.....


********************

“Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih.

Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Sekarang dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh hutan.

“Ayah, bagaimana keadaanmu?”

Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itu pun telah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.

“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”

Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es.

“Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi dia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?

“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?”

“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu....”

“Dia.... dia cucu Pendekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian....”

“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”

“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa ternyata engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng....?”

Sim Houw menjadi makin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berubah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?

“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biar pun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”

Anehnya, mendengar ucapan itu, wajah orang tua itu nampak girang! “Bagus, bagus.... ahhh, senang hatiku mendengar hal ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi....”

Sim Houw membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?”

Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu.

Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku telah melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... Ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-kali.... kau menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.

“Ayaaaahhh....!” Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu.

Baru pada detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang sangat dicintanya. Ibunya tidak pernah mempedulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu.

Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.

“Ayah....!” Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.

Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam kebingungan dan keraguan.

“Suhu....!”

Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungannya sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan dia pun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.

“Suhu....!” Sekali lagi Bi Eng berseru.

Kini gadis itu pun lari menghampiri, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya. Dia tidak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak dia terisak. Gurunya adalah seorang yang sangat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.

Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”

“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah sudah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!” Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Liong. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.

“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.

Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih terus berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kau bela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”

Wajah gadis itu berubah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apa pun resikonya ia berani menghadapinya. Maka ia pun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu sekarang berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka dia pun menyebut suheng kepadanya.

“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”

Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.

“Kam-sumoi, bagaimana pun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan. Sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”

“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.

“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”

Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini sangat mengejutkan Bi Eng. Tidak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka, dia menjadi terkejut dan sejenak dia bungkam tanpa mampu mengeluarkan jawaban!

“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.

Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia pun mengangguk. “Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.

Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah bersiap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya sama sekali, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.

“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”

Ceng Liong mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”

Sim Houw menarik napas panjang. “Bagus, aku menghargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah....” dan dia pun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.

“Sim-suheng.... kau.... kau maafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.

Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggelengkan kepala. “Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Aku pun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang-orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, oleh karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah lebih dulu, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”

Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”

Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku....”

“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.

“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”

“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas.

Gurunya amat sayang kepadanya. Hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya. Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.

“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang juga sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak tak akan mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”

“Ahhh, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....,” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhu-nya.

“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”

“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”

“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahhh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah....!”

Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak, membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.

Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya dari pada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, berpisah dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.

Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.

Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak peduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain
.....

********************
Rombongan itu jelas sekali dapat dikenal sebagai rombongan pembesar. Kereta-kereta yang megah itu diberi tanda pangkat dan tiga buah kereta yang tertutup itu dikawal oleh pasukan yang jumlahnya tiga losin. Meski hanya tiga losin orang prajurit yang mengawal tiga buah kereta itu, namun para prajurit itu nampak tegap-tegap dan memang mereka adalah prajurit-prajurit pilihan dari kota raja yang sekarang sedang bertugas mengawal Louw-ciangkun, pembesar militer yang baru saja diangkat oleh kaisar dan kini sedang menuju ke tempat dia bertugas, yaitu di kota Shen-yang, jauh di utara.

Louw Tek Ciang, pembesar militer itu, adalah orang amat cerdik. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya setelah dia mengkhianati para pendekar di Gunung Cemara. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke tempat tugasnya, dia telah membuat persiapan yang dianggapnya cukup matang. Dia mengutus seorang prajurit untuk mengundang keluarga Cu ke kota raja. Sambil menanti kedatangan guru-gurunya, diam-diam dia juga sudah mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi persekutuan untuk mencari kedudukan.

Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang pernah bersekutu dengan Yong Ki Pok, gubernur di Sin-kiang yang memberontak. Gerombolan orang ini masih selalu menanti-nanti saat yang baik dan akhirnya mereka dapat berhubungan dengan Louw Tek Ciang yang sudah memperoleh kedudukan baik itu. Pembesar muda ini dapat mereka pergunakan sebagai tangga atau batu loncatan ke arah kedudukan yang lebih menguntungkan.

Di lain pihak, Tek Ciang yang cerdik itu dapat mempergunakan kepandaian mereka untuk melindungi dirinya. Yang berhasil dihubungi oleh Tek Ciang dan sudah menanti di luar kota raja untuk bergabung dengannya adalah Thai-hong Lama, yaitu Lama jubah merah dari Tibet yang lihai sekali itu. Juga Pek-bin Tok-ong, tokoh Go-bi yang tidak kalah lihainya.

Bahkan dua orang asing yang merupakan tokoh-tokoh pula dalam persekutuan itu, yaitu Siwananda bekas Koksu Nepal, dan Tai-lu-cin raksasa Mongol, juga ikut serta dalam persekutuan bekerja sama dengan Tek Ciang. Empat orang tokoh lihai ini menyelundup ke dalam pasukan pengawal karena Tek Ciang cukup cerdik untuk menyembunyikan mereka, bukan hanya dari mata orang luar yang akan menaruh curiga, akan tetapi juga dari mata Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In yang datang memenuhi undangannya ke kota raja.

Keluarga Cu itu merasa gembira dan bangga sekali melihat kemajuan yang dicapai Louw Tek Ciang. Dua orang tokoh keluarga Cu itu biar pun agak kecewa mendengar bahwa Tek Ciang belum sempat membalaskan kekalahan mereka kepada pendekar Kam Hong, juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa murid baru mereka yang ke dua, yaitu Pouw Kui Lok, telah tewas.

Akan tetapi kekecewaan ini terobati ketika Tek Ciang menjanjikan bahwa kelak dia tentu akan dapat membalas kekalahan itu karena dia sedang menyempurnakan ilmu Sin-liong Ho-kang untuk melawan lengkingan suara suling dari keluarga Pendekar Suling Emas itu. Juga hati dua orang kakek ini terhibur ketika mereka diajak oleh Tek Ciang untuk ikut pergi ke Shen-yang, tempat di mana dia akan bertugas sebagai seorang panglima baru.

Tentu saja Cu Pek In juga gembira bukan main dan tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi wanita ini memperlihatkan kemesraannya terhadap Tek Ciang, kini berterang di depan ayah dan pamannya. Di antara kedua orang ini memang sudah ada hubungan cinta ketika Tek Ciang belajar ilmu di Lembah Naga Siluman. Kini, setelah Tek Ciang menjadi seorang panglima, tentu saja Cu Pek In mengharapkan untuk menjadi isteri yang sah dari pria yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu.

Demikianlah, pada suatu pagi yang amat cerah, berangkatlah Louw Tek Ciang bersama rombongannya. Dia duduk di sebuah kereta bersama Cu Pek In dan biar pun hal ini sesungguhnya amat janggal, namun Cu Han Bu yang sudah prihatin melihat hubungan puterinya putus dengan menantunya, dan diam-diam mengharapkan puterinya itu akan dapat menjadi isteri murid barunya yang kini menjadi panglima, pura-pura tidak tahu dan diam saja.

Cu Han Bu sendiri bersama adiknya, Cu Seng Bu, duduk di kereta ke dua sedangkan barang-barang mereka ditaruh di dalam kereta ke tiga. Tiga buah kereta ini dikawal oleh tiga losin pasukan pilihan yang sengaja dipilih oleh Tek Ciang dari pasukan keamanan di kota raja.

Ketika rombongan tiba di luar tembok kota raja muncullah empat orang tokoh petualang itu di tempat yang dijanjikan. Tek Ciang keluar sebentar dari kereta untuk menyambut mereka. Empat orang itu lalu diberi kuda-kuda pilihan yang sudah disediakan, kemudian mereka berempat turut pula dalam pasukan pengawal, diterima sebagai empat orang ‘pengawal-pengawal pribadi’ Louw-ciangkun!

Lewat tengah hari, rombongan ini melalui sebuah bukit yang sunyi. Ketika mereka tiba di tanah datar yang diapit hutan, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang yang berdiri di tengah jalan dan mereka mengangkat tangan ke atas memberi isyarat agar rombongan itu berhenti.

Ketika para pengawal yang berada di depan mengenal seorang di antara mereka yang berdiri menghadang, mereka terkejut, lalu menghentikan kuda dan memberi isyarat ke belakang agar rombongan berhenti. Seorang perwira pasukan pengawal segera turun dari atas kudanya dan memberi hormat kepada orang yang dikenalnya itu.

Orang itu adalah Kao Cin Liong! Biar pun dia kini sudah tidak menjadi panglima lagi, sudah mengundurkan diri dan berpakaian biasa, tetapi para prajurit itu mengenalnya. Nama Kao Cin Liong ini amat populer di antara prajurit sebagai seorang panglima yang disegani dan dikagumi. Maka, begitu melihat bahwa yang menghadang dan menyuruh mereka berhenti itu adalah bekas jenderal itu dan beberapa orang tua yang nampak gagah, pasukan pengawal itu segera berhenti.

Ketika kereta terpaksa dihentikan oleh kusirnya karena para pengawal di depan juga menghentikan kuda, Tek Ciang merasa heran. Dia pun menjenguk keluar dari jendela. Dapat dibayangkan alangkah kaget rasa hatinya ketika dia melihat orang-orang yang menghadang di depan itu. Kao Cin Liong, Suma Hui, Suma Kian Lee dan isterinya, Kao Kok Cu dan isterinya, dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda itu adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai, kekasih Can Kui Eng.

Celaka, pikirnya. Biar pun dia sendiri mempunyai kepandaian tinggi, juga dua orang gurunya she Cu yang lihai berada di situ, bersama Cu Pek In, dan masih dibantu oleh empat orang tokoh yang sakti, akan tetapi dia merasa gentar juga menghadapi para penghadang itu, terutama sekali terhadap Suma Kian Lee bersama isteri dan Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri.

Maka dia lalu menoleh ke belakang, memikirkan jalan lari atau kembali ke kota raja untuk melapor dan mengerahkan bala tentara menghadapi mereka itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat jalan mundur sudah dipotong pula. Di situ berkumpul banyak sekali pendekar, agaknya para pendekar yang lolos dari pengepungan di Hutan Cemara!

“Pemberontakan! Serbu mereka....!” Bentak Tek Ciang kepada pasukan pengawalnya.

Teriakan ini mengejutkan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang segera berloncatan keluar. Juga Cu Pek In meloncat keluar mencabut sulingnya, sedangkan empat orang kakek yang menyelinap di antara para pengawal sudah bersiap-siap pula. Akan tetapi, perwira dan para prajurit pengawal itu sendiri diam saja tidak bergerak!

“Pasukan pengawal, serbu para pemberontak yang menghadang di depan!” Tek Ciang mengulangi perintahnya.

Akan tetapi para prajurit itu tidak bergerak, dan perwiranya pun tidak memberi aba-aba menyerang, bahkan dia yang sudah turun dari kuda itu lari menghampiri Tek Ciang, lalu berkata.

“Ciangkun, mereka bukan pemberontak, melainkan Kao-goanswe dan beberapa orang locianpwe yang hendak bicara dengan Louw-ciangkun!”

Dua orang she Cu itu juga sudah menghampiri Tek Ciang dan mendengar pelaporan perwira itu. Cu Han Bu berkata kepada muridnya. “Kalau mereka ada urusan, lebih baik kita temui saja dan dengarkan apa kehendak mereka menghadang perjalanan kita.”

Tek Ciang merasa serba salah dan karena di situ terdapat keluarga Cu, dia pun tidak dapat berbuat lain kecuali menurut, akan tetapi lebih dahulu dia membakar hati kedua orang gurunya.

“Harap suhu ketahui bahwa kita sudah terkurung dari depan dan belakang. Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah dan mereka tentu akan mengganggu teecu yang baru saja diangkat menjadi panglima.”

“Jangan takut, kalau memang mereka pemberontak, kita hancurkan di sini bersama pasukan pengawal!” kata Cu Han Bu.

“Akan tetapi suhu tidak tahu siapa mereka! Mereka adalah komplotan keluarga yang hendak mencelakakan teecu. Seperti pernah teecu ceritakan kepada ji-wi suhu, isteri teecu dirampas oleh Jenderal Kao Cin Liong dan sekarang dialah yang menghadang di sana bersama bekas isteri teecu, bekas kedua mertua teecu dan juga orang tua jenderal itu. Mereka tentu akan mencelakai teecu.”

Cu Han Bu mengerutkan alisnya. Memang pernah Tek Ciang bercerita bahwa ia pernah menikah akan tetapi isterinya itu dirampas oleh seorang jenderal muda. Isterinya, juga kedua orang mertuanya memilih jenderal itu yang berkedudukan tinggi. Karena Tek Ciang sebagai muridnya yang berbakat itu telah menjadi seorang duda, maka diam-diam mengharapkan agar murid ini dapat berjodoh dengan puterinya yang juga dapat dibilang sudah menjadi janda karena sudah berpisah dari suaminya. Maka, kini mendengar bahwa keluarga bekas isteri dan jenderal yang merampas isteri muridnya itu yang menghadang, tentu saja hatinya sudah diliputi rasa tidak senang.

“Jangan takut, aku akan membantumu!” katanya membesarkan hati dan mereka bertiga, diikuti pula oleh Cu Pek In, segera berjalan menuju ke depan di mana tujuh orang itu berdiri di tengah jalan.

Diam-diam, empat orang pembantu Tek Ciang juga sudah mendekati tempat itu, bersiap untuk membantu kalau diperlukan. Di antara mereka dan Tek Ciang, memang sudah ada persetujuan bahwa mereka tak akan sembarangan keluar memperlihatkan diri kalau tidak dimintai bantuan. Hal ini untuk mencegah adanya kecurigaan dari siapa pun juga datangnya.

Sejak tadi Suma Hui hanya memandang pada Tek Ciang seorang, tidak mempedulikan lain orang yang datang bersama musuh besarnya ini. Begitu Tek Ciang bersama rombongannya tiba di situ, Suma Hui sudah mencabut keluar sepasang pedangnya dan dengan sikap gagah wanita ini berdiri melintangkan sepasang pedang di depan dada, sambil membentak. “Louw Tek Ciang, kami datang untuk mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah!”

Menghadapi Suma Hui, tentu saja Tek Ciang tak merasa takut sedikit pun juga. Tapi dia merasa gentar menghadapi yang lain-lain, maka ia berusaha menarik sikap angkuh dan membentak. “Keluarga pemberontak! Berani kau menghadang perjalananku? Tahukah kalian bahwa aku adalah seorang pembesar pemerintah, seorang pejabat militer yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat tugas?”

“Louw Tek Ciang, tidak perlu banyak cerewet. Engkau tahu bahwa urusan antara kita adalah urusan pribadi, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!” Suma Hui membentak dan kelihatannya wanita ini sudah marah sekali, penuh dendam yang ditahan-tahan sejak bertahun-tahun.

Diam-diam keluarga Cu merasa heran sekali. Wanita ini, kalau benar bekas isteri Tek Ciang, telah melakukan perbuatan tidak mengenal malu, lari dari suami untuk menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi wanita itu kini kelihatannya begitu marah dan penuh dendam kepada Tek Ciang, bekas suaminya yang ditinggalkan!

Tek Ciang merasa tersudut, akan tetapi dia tersenyum mengejek sambil memandang wajah Suma Hui yang belum pernah menjadi isterinya yang sesungguhnya itu. “Hemm, Suma Hui, jangan dikira aku takut melawanmu. Akan tetapi apakah hanya engkau yang akan maju menandingiku, ataukah engkau hendak mengandalkan pengeroyokan orang-orang lain?”

“Keparat Louw Tek Ciang! Fitnah yang dahulu pernah kau jatuhkan kepada diriku sudah patut kau tebus dengan nyawamu!” bentak Kao Cin Liong sambil mengepal tinjunya dan memandang marah.

“Iblis busuk, aku pun sudah terlalu lama menitipkan nyawamu kepadamu, sekarang harus kucabut nyawamu untuk perbuatanmu yang terkutuk terhadap keluarga kami!” Tiba-tiba Suma Kian Lee membentak pula dan sepasang mata pendekar ini mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

“Biarkan aku yang akan menghancur-lumatkan kepala iblis jahanam ini!” Kim Hwee Li membanting kakinya dengan marah.

Melihat betapa semua orang memusuhi dan hendak membunuh muridnya, tentu saja Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In menjadi penasaran dan marah. Dua orang kakek Cu sudah melangkah maju dan Cu Han Bu dengan alis berkerut lalu berkata, suaranya lantang berwibawa.

“Bagus! Sudah lama kami mendengar bahwa keluarga Pulau Es adalah orang-orang gagah dan pendekar-pendekar sejati, akan tetapi kiranya hanyalah orang-orang yang mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok orang lain! Sungguh mengherankan sekali!”

“Siapa mau mengeroyok dan siapa mengandalkan jumlah banyak? Cih, tak tahu malu! Lihat saja, siapa yang lebih banyak membawa kawan? Boleh kalian maju satu demi satu, semua akan kami tandingi satu lawan satu!” Kim Hwee Li sudah membentak dan melangkah maju.

Akan tetapi Suma Kian Lee dapat menduga bahwa dua orang kakek itu tentu bukan orang sembarangan. Dia sudah mengenal kelicikan Tek Ciang dan dia khawatir kalau-kalau Tek Ciang mengelabui tokoh sakti untuk diadu domba dengan pihaknya. Maka dengan tenang dia meraba lengan isterinya dan memberi isyarat agar supaya isterinya bersabar, kemudian dia sendiri menjura kepada dua orang kakek itu.

“Maaf, saya Suma Kian Lee adalah keturunan Pulau Es. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman, saya ingin tahu siapakah ji-wi dan hendaknya ji-wi ketahui bahwa antara kami dan iblis busuk Louw Tek Ciang ini terdapat urusan pribadi yang tidak mungkin dapat dicampuri orang lain.”

Mendengar bahwa pria yang gagah dan bersikap tenang itu adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti yang terkenal, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memandang penuh perhatian. Mereka berdua sudah mendengar cerita murid mereka Louw Tek Ciang, bahwa Tek Ciang menjadi murid dan kemudian menjadi mantu pendekar ini, akan tetapi betapa kemudian isterinya itu, dengan persetujuan ayahnya, menyeleweng, bahkan lalu menjadi isteri jenderal Kao Cin Liong. Oleh karena itu, biar pun diam-diam mereka kagum kepada putera Pendekar Super Sakti ini, namun di dalam hati mereka sudah terkandung rasa tidak suka. Karena itu, Cu Han Bu tersenyum pahit.

“Ahhh, kiranya kami berhadapan dengan pendekar Suma yang terkenal? Maaf, kami berdua hanya orang-orang biasa saja, namaku Cu Han Bu dan ini adikku Cu Seng Bu. Biar pun antara kalian dan Louw Tek Ciang terdapat urusan pribadi, tetapi mengingat bahwa Tek Ciang telah menjadi murid kami, maka urusan pribadinya berarti juga urusan kami.”

Suma Kian Lee yang tidak pernah atau jarang sekali merantau, tidak mendengar nama keluarga Cu. Akan tetapi dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa dua orang she Cu ini tentu memiliki kepandaian tinggi dan bukan golongan orang jahat. Besar sekali kemungkinannya mereka berdua ini dikelabui pula oleh Tek Ciang sehingga mereka sampai mengambil murid seorang jahat macam Tek Ciang.

“Biarkan mereka membantu murid mereka yang jahat, kami tidak takut!” Kim Hwee Li sudah membentak marah, akan tetapi kembali suaminya menyentuh lengan isterinya agar isterinya bersabar.

“Pendapat ji-wi kami hormati, bahwa urusan pribadi murid berarti juga urusan pribadi gurunya. Akan tetapi kami kira para pendekar bijaksana tidak akan ada yang membela muridnya kalau mengetahui bahwa muridnya itu menyeleweng dan jahat, sebaliknya mereka tentu akan menghukum muridnya. Dan kami percaya bahwa ji-wi termasuk pendekar bijaksana, bukan golongan sesat yang saling membantu dalam kejahatan.”

Dua orang kakek Cu itu saling pandang, lalu mereka menoleh dan memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. “Tek Ciang, katakanlah, ada urusan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan keluarga Suma ini? Mengapa mereka menganggap engkau jahat? Hayo ceritakan semua sejujurnya. Kalau engkau benar, sampai mati pun akan kami bela.”

Tek Ciang memandang kepada dua orang gurunya dan jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan perubahan dan dia masih merasa yakin bahwa dua orang she Cu itu tentu akan membantu dan membelanya karena selain dia adalah murid mereka yang mereka andalkan, juga dia tahu sekali bahwa Cu Han Bu mengharapkan dia menjadi suami puterinya yang janda itu.

“Ji-wi suhu, tentu saja mereka menjelek-jelekkan teecu, hal itu tidaklah mengherankan sama sekali. Seperti yang pernah teecu beri tahukan kepada suhu berdua, teecu pernah diterima menjadi murid Suma Kian Lee, bahkan diambil menantu, dijodohkan dengan Suma Hui, yaitu wanita itu. Akan tetapi, setelah muncul Jenderal Kao Cin Liong yang sekarang sudah bukan jenderal lagi, tali perjodohan kami diputuskan dan isteri teecu itu dirampas oleh Kao Cin Liong dengan persetujuan isteri dan mertua teecu sendiri. Agaknya mereka hendak membunuh teecu karena tidak ingin rahasia busuk mereka tersiar dan merusak nama besar keluarga para pendekar Pulau Es!” Dengan senyum mengejek Tek Ciang memandang kepada Suma Hui, Cin Liong dan yang lain-lain, lalu disambungnya. “Coba kalian bantah kebenaran ceritaku tadi. Bukankah Suma Hui telah dijodohkan dengan aku? Bukankah ia kini malah menjadi isteri Kao Cin Liong?”

Tek Ciang yang cerdik ini merasa yakin bahwa keluarga Suma itu tak akan mempunyai alasan lagi untuk membantahnya. Alasan satu-satunya hanyalah menceritakan tentang peristiwa memalukan yang terjadi antara Suma Hui dan dia, dan dia yakin bahwa aib itu sampai mati sekali pun pasti tidak akan diceritakan mereka kepada orang lain.

Kini dua orang kakek Cu itu kembali menghadapi Suma Kian Lee. Dengan hati lega mereka melihat betapa keluarga itu nampak diam saja, seolah-olah menandakan bahwa keterangan murid mereka tadi benar. “Bagaimana sekarang, saudara Suma? Setelah mendengar keterangan murid kami, beranikah kalian menyangkal kebenarannya? Dan kalau semua keterangannya tadi benar, berarti kalianlah yang jahat, bukan murid kami!” demikian kata Cu Han Bu dengan sikap kereng.

Suma Kian Lee sekeluarga saling pandang, juga Kao Kok Cu yang biasanya tenang sekali itu pun kini kelihatan merah mukanya.

Tiba-tiba Suma Hui melangkah maju. Dengan sikap gagah ia berkata lantang. “Kalian hanya baru mendengarkan keterangan sepihak. Dengarlah keteranganku akan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Iblis busuk ini, jahanam keji ini, telah....”

“Hui-ji....!” Suma Kian Lee berseru untuk mencegah puterinya.

“Biarlah, ayah. Tidak tahukah ayah bahwa jahanam ini sengaja menceritakan semua itu karena dia mengira bahwa kita tak akan berani membuka rahasia itu?” Setelah berkata demikian Suma Hui melanjutkan lagi sambil memandang dua orang kakek Cu. “Kalian orang-orang tua yang mudah dikelabui jahanam ini, dengarkanlah baik-baik. Mula-mula jahanam ini mengelabui ayah, memikat hati ayah sedemikian rupa hingga ayah percaya kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid. Ayah telah mengorbankan semua ilmu dari Pulau Es untuk diberikan kepada jahanam ini. Akan tetapi tahukah kalian apa yang diperbuat jahanam ini? Ayah demikian terpikat dan tertipu sehingga ayah mengikat tali perjodahan antara aku dan dia. Ayah berniat memungut menantu kepadanya! Akan tetapi, aku tidak mencintanya karena aku sudah mencinta Kao Cin Liong. Dan pada suatu malam.... dengan bantuan tokoh sesat Jai-hwa Siauw-ok yang juga menjadi gurunya, jahanam busuk yang menjadi murid kalian ini membiusku dengan asap beracun, kemudian dia.... memperkosa diriku dan sengaja membisikkan nama Kao Cin Liong kepadaku yang berada dalam keadaan setengah sadar.”

“Suhu, jangan percaya obrolan perempuan ini. Seorang isteri yang sudah menyeleweng meninggalkan suami dan kemudian menikah lagi dengan pria lain, mana bisa dipercaya omongannya?” Tek Ciang membantah.

“Diam!” Bentak Cu Han Bu kepada muridnya. “Biarkan dia melanjutkan penuturannya, benar mau pun tidak!”

“Kami sekeluarga terkena tipunya,” Suma Hui melanjutkan. “Sehingga kami sekeluarga memusuhi Kao Cin Liong dan hampir terjadi kesalah-pahaman antara keluarga kami. Aku sendiri bertahun-tahun memusuhi dan mendendam kepada Kao Cin Liong yang merupakan satu-satunya pria yang kucinta. Baru rahasia kebusukannya terbuka ketika kami dinikahkan. Aku melihat tonjolan daging berambut di punggungnya, sama seperti yang terdapat pada punggung orang yang memperkosa diriku! Dia pun sudah mengaku, akan tetapi dia dapat melarikan diri karena bantuan Jai-hwa Siauw-ok, gurunya....”

“Suhu, jangan percaya! Mereka ini adalah pemberontak-pemberontak, Jenderal Kao Cin Liong telah berhenti dari jabatannya sebab dia bersekongkol pula dengan pemberontak-pemberontak! Keluarga Pulau Es adalah pemberontak-pemberontak! Prajurit pengawal, tangkap mereka!”

“Para prajurit yang gagah, kalian mundurlah!” Tiba-tiba dengan suara lantang Kao Cin Liong membentak. “Kalian sudah mengenal siapa aku, sebaliknya baru kini mengenal manusia jahanam ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan pribadi, karena tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!”

Mendengar bentakan Kao Cin Liong dan melihat bekas jenderal muda itu, para prajurit pengawal menjadi bimbang. Mereka tak berani menentang bekas jenderal yang mereka kagumi itu.

“Ji-wi locianpwe,” kata Kao Cin Liong kepada dua orang kakek she Cu. “Kami sekalian bukanlah pemberontak....”

“Kalau bukan pemberontak, mereka tentu pengkhianat-pengkhianat yang menyebabkan matinya para pendekar yang mengadakan pertemuan di Gunung Hutan Cemara!” Tek Ciang berseru lantang. “Ji-wi suhu, ketahuilah bahwa ratusan orang pendekar dan para patriot yang sedang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara telah dikhianati oleh keluarga Pulau Es yang menentang mereka, sehingga mereka terbasmi oleh pasukan pemerintah....”

“Bohong! Ahhh, manusia keji, penyebar kejahatan dan kebohongan. Tuhan pasti akan menjatuhkan hukuman kepadamu!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan majulah seorang pemuda gagah perkasa. Pemuda ini adalah Kwee Cin Koan. Dia segera menghampiri kelompok orang yang sedang bersitegang itu.

Tek Ciang mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Kwee Cin Koan, pemuda kekasih Can Kui Eng yang menyerahkan surat rahasia kepada mendiang gadis murid Kun-lun-pai itu. Dia mulai merasa khawatir, namun semua perbuatannya di Kun-lun-pai tidak diketahui pemuda ini, takut apa?

Cin Koan memberi homat kepada mereka semua. “Cu-wi locianpwe yang terhormat, saya adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai yang telah menyelidiki dengan seksama dan tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Cu-locianpwe, saya tahu bahwa ji-wi adalah tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman di barat, dan agaknya, seperti juga halnya Suma-locianpwe, ji-wi telah dikelabui oleh iblis Louw Tek Ciang ini. Dia pun dapat pula mengelabui para tosu Kun-lun-pai sehingga dia diberi pinjam untuk mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang. Cu-wi locianpwe, dengarlah ceritaku....”

“Engkau seorang di antara pemberontak yang dapat melarikan diri. Pengawal, tangkap dia!”

“Diam!” Bentak Cu Han Bu dengan marah, lalu memandang kepada para prajurit. “Siapa berani mengganggu dia akan berhadapan dengan aku!” Lalu katanya kepada Kwee Cin Koan. “Orang muda, teruskan ceritamu!”

“Saya berterus terang saja bahwa saya adalah seorang di antara para pendekar dan patriot yang berkumpul di Hutan Cemara. Beberapa pekan yang lalu saya membawa sepucuk surat dari kawan-kawan kami yang ditujukan kepada Gan-ciangkun di kota raja, yang maksudnya mohon petunjuk dan kerja sama dengan panglima itu untuk dapat menentang pemerintah penjajah. Surat itu saya serahkan kepada.... kekasih saya yang bernama Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai dengan pesan agar ia yang membawa surat itu ke kota raja dan menyampaikan kepada Gan-ciangkun setelah ia selesai menjaga Louw Tek Ciang yang sedang mempelajari kitab Kun-lun-pai itu tanpa meninggalkan kuil.” Pemuda itu berhenti sebentar karena apa yang hendak diceritakan masih amat menyakitkan hatinya.

Pemuda ini sudah melakukan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan bersama para tosu dari Kun-lun-pai, akhirnya dia dapat menduga apa yang telah terjadi ketika melihat betapa Louw Tek Ciang membantu pasukan yang menyergap para pendekar. Mudah saja diduga apa yang telah terjadi dan pemuda itu menjadi marah bukan main, mati-matian dan nekat dia hendak menghadang Louw Tek Ciang untuk membalas dendam. Dan kebetulan dia bertemu dan bergabung dengan rombongan keluarga Pulau Es!

“Tidak ada kabar ceritanya kekasih saya itu sampai terjadinya pertemuan di Hutan Cemara dan penyergapan pasukan pemerintah di mana saya melihat jahanam ini ikut membantu pasukan pemerintah. Saya yang ikut menyerah bersama keluarga Pulau Es lalu mengadakan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan.... saya mendengar bahwa kekasih saya itu tewas dan diperkosa oleh paman gurunya sendiri bernama Pouw Kui Lok yang kemudian dibunuh oleh Louw Tek Ciang....”

“Apa? Kui Lok kau bunuh....?” Cu Han Bu membentak, kaget bukan main mendengar cerita ini.

Wajah Tek Ciang berubah pucat, lalu merah kembali. “Suhu, dia memperkosa gadis murid Kun-lun-pai itu, maka teecu menjadi marah. Kemudian kami berkelahi sampai dia terbunuh oleh teecu....”

“Bohong....!” bentak Cin Koan. “Jahanam ini memang pandai berbohong sehingga para tosu Kun-lun-pai sendiri juga telah tertipu olehnya. Setelah dia muncul dengan pasukan pemerintah, barulah kami semua tahu karena dapat menduga apa yang telah terjadi. Surat buat Gan-ciangkun itu berada pada Kui Eng, bagaimana bisa terjatuh ke tangan jahanam ini dan digunakannya untuk mengkhianati para pendekar? Dia membawa surat itu ke kota raja, menghadap kaisar dan melapor. Setelah penyergapan berhasil, dia lalu mendapat anugerah pangkat. Dialah yang memperkosa kekasih saya, dan dia pula yang membunuhnya, merampas surat rahasia itu. Mungkin perbuatannya itu ketahuan oleh Pouw Kui Lok, maka dibunuhnya orang itu, dan kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang juga dicurinya!”

Wajah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi pucat, dan wajah Cu Pek In merah sekali bahkan kedua matanya menjadi basah.

“Benarkah semua itu? Louw Tek Ciang, benarkah semua yang kudengar itu? Benarkah cerita keluarga Pulau Es dan benarkah cerita pemuda Kong-thong-pai ini?”

“Tidak, orang ini pembohong besar dan harus kubunuh sekarang juga!”

Tek Ciang sudah menerjang ke depan, menyerang Kwee Cin Koan dengan hebatnya. Terdengar suara mencicit karena ia telah menyerang dengan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang dahsyat, ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Agaknya dia ingin sekali membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Serangan ini dahsyat bukan main dan agaknya betapa pun lihainya, Kwee Cin Koan tentu akan roboh kalau saja Cin Liong tidak cepat bergerak ke depan dan menangkis.

“Dukkk....!”

Cin Liong merasa betapa lengannya tergetar hebat. Ia terkejut. Ia sudah menggunakan Sin-liong-ciang-hoat yang ampuh untuk menangkis, akan tetapi lengannya masih juga tergetar. Memang pada saat itu, kepandaian Tek Ciang sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dia pernah digembleng oleh Suma Kian Lee, menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok, kemudian malah digembleng oleh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, bahkan akhir-akhir ini dia mempelajari ilmu sakti Sin- liong Ho-kang dari Kun-lun-pai.

Melihat majunya Kao Cin Liong, hati Cu Han Bu tidak senang. Muridnya itu, bagaimana pun salahnya, tadi menyerang pemuda yang membeberkan kebusukan, dan majunya Kao Cin Liong dianggapnya sebagai pengeroyokan.

“Mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok sungguh tidak bisa kudiamkan saja!” katanya.

Kakek ini pun menggerakkan tangannya menyerang ke arah Cin Liong. Angin kebutan lengan bajunya menyambar dahsyat ke depan dan tahulah Cin Liong bahwa kakek yang menyerangnya ini memiliki kepandaian hebat. Maka dia pun sudah bersiap-siap. Akan tetapi pada saat itu terdengar angin menyambar pula dari belakangnya.

“Perlahan dulu!” Kiranya Kao Kok Cu sudah pula menggerakkan tangan tunggalnya ke depan.

Angin pukulan yang amat kuat menyambar dan bertemu dengan angin pukulan yang dilancarkan Cu Han Bu. Akibatnya, tokoh Lembah Naga Siluman itu merasa betapa hawa pukulannya membalik sehingga dia terkejut bukan main. Dipandangnya laki-laki gagah berlengan buntung itu. Dia tahu betapa lihainya orang berlengan satu, ayah Jenderal Kao Cin Liong ini, akan tetapi dia berkata dengan suara lantang, penuh ejekan.

“Ayah membela anak tanpa melihat kebenaran lagi. Apakah itu gagah namanya?”

Dengan sebelah tangannya, Kao Kok Cu memberi hormat. “Sobat she Cu, perlahan dulu bicara dan pergunakanlah kesadaran dan kewaspadaanmu. Semua cerita tentang muridmu seperti yang kau dengar tadi adalah benar belaka. Perbuatannya atas diri Suma Hui juga benar. Jika tidak benar, tidak mungkin puteraku mengawininya. Muridmu adalah seorang yang berhati busuk dan licik, banyak orang menjadi korban tipuannya. Apakah engkau juga membiarkan dirimu tertipu dan terbawa-bawa oleh kejahatan dan kebusukannya?”

Wajah Cu Han Bu berubah merah sekali. Memang dia sudah merasa bimbang ragu atas diri muridnya setelah mendengar cerita-cerita tadi, akan tetapi kekecewaan membuat dia masih berusaha untuk menghilangkan keraguan itu dan membela muridnya. Kini dia membalikkan tubuh, melotot memandang muridnya.

“Louw Tek Ciang, demi Tuhan, mengakulah sejujurnya! Benarkah semua cerita yang kudengar tadi?”

Tek Ciang menjadi pucat mukanya, sebentar berubah merah lalu pucat lagi. Dia merasa tersudut. Walau pun dia tidak takut karena mengandalkan pasukannya dan empat orang tokoh sakti yang berada di dalam pasukan itu, akan tetapi tentu saja dia sangat mengharapkan bantuan dua orang gurunya ini untuk menghadapi keluarga Pulau Es yang demikian tangguhnya, apalagi pihak lawan dibantu oleh Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya.

Selagi Tek Ciang kebingungan dan belum menjawab pertanyaan Cu Han Bu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan di antara para prajurit pengawal terjadilah perkelahian yang hebat. Yang sedang berkelahi adalah Kao Cin Liong yang dikeroyok oleh empat orang pembantu Tek Ciang yang menyelundup di antara para pasukan dan menutupi pakaian mereka dengan pakaian seragam pasukan.

Kiranya tadi Cin Liong telah mempergunakan kesempatan untuk mendekati para perwira pasukan dan meminta kepada mereka agar jangan bergerak dan jangan mencampuri urusan pribadinya. Dalam kesempatan itulah sang perwira yang masih kagum dan hormat terhadap bekas jenderal muda ini membisikkan adanya empat orang aneh yang diselundupkan pembesar baru itu di dalam pasukan. Kao Cin Liong merasa curiga lalu mencarinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati jenderal muda ini ketika dia melihat empat orang itu. Tentu saja dia mengenal mereka, bekas komplotan pemberontak yang pernah digagalkan pasukan pemerintah. Maka sambil berseru keras dia pun maju menerjang dan disambut oleh empat orang itu. Karena keempat orang itu memang lihai sekali, dikeroyok empat Cin Liong kewalahan dan mundur terus mendekati kelompok keluarga Pulau Es.

Dia meloncat ke depan Cu Han Bu sambil berkata. “Lihatlah, locianpwe. Siapa yang bersembunyi di dalam pasukan pengawal itu? Mereka adalah Thai-hong Lama, Pek-bin Tok-ong, Siwananda, dan Tai-lu-cin, empat orang yang pernah bersekongkol dengan pemberontak! Jahanam Louw Tek Ciang ini telah bersekongkol dengan pemberontak-pemberontak yang terdiri dari golongan sesat!”

Tentu saja semua orang terkejut, akan tetapi yang lebih kaget dan marah adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Bagaimana pun juga, mereka adalah pendekar-pendekar yang tentu saja tidak suka kepada golongan hitam dan kini murid mereka, bahkan yang diharapkan menjadi suami Cu Pek In, telah bersekongkol dengan tokoh-tokoh jahat itu! Kenyataan ini melenyapkan keraguan mereka bahwa memang mereka telah tertipu, mereka telah keliru mengambil murid!

“Pasukan pengawal, maju dan serbu mereka ini....!” Tek Ciang yang sudah terpojok itu memberi aba-aba dengan keras.

Akan tetapi, perwira pemimpin pasukan itu diam saja seperti patung dan para prajurit yang melihat komandan mereka diam saja, juga tak ada yang berani bergerak. Memang hati mereka sudah condong memihak Kao Cin Liong, maka diamnya komandan mereka itu membuat mereka lega. Mereka tidak suka menentang bekas jenderal itu, segan dan takut.

“Louw Tek Ciang, segera berlututlah engkau di depan kami dan sebagai murid kami, mengakulah terus terang!” Cu Han Bu membentak.

Akan tetapi Tek Ciang yang sudah melihat betapa keadaannya terhimpit dan hanya mengandalkan empat orang pembantunya yang kini sudah berdiri di situ dengan sikap siap berkelahi, tentu saja tidak sudi untuk berlutut dan menyerah begitu saja.

“Ji-wi suhu, kalau tidak mau membantuku, persetan dengan kalian!”

“Louw Tek Ciang, engkau sungguh jahat!” Terdengar teriakan Cu Pek In dengan suara mengandung isak.

Wanita ini tiba-tiba saja menyerang Tek Ciang dari belakang, menggunakan sulingnya menotok ke arah tengkuk. Akan tetapi, biar pun Pek In merupakan puteri tunggal Cu Han Bu, dalam hal ilmu kepandaian ia masih jauh di bawah tingkat Tek Ciang. Serangan berupa totokan maut dengan suling ke arah tengkuk itu dihadapi Tek Ciang dengan tenang saja.

Dia memutar tubuh sambil menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari terpentang. Terdengar suara bercuitan dan tiba-tiba saja tubuh Cu Pek In terpelanting dan wanita ini tewas seketika karena dia telah menjadi korban serangan Kiam-ci yang amat hebat, dilakukan dengan kedua tangan dari jarak dekat sekali. Semua orang terkejut dan tidak dapat mencegah karena peristiwa ini begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Sepasang mata Cu Han Bu terbelalak dan wajahnya pucat sekali memandang tubuh puterinya yang kini menggeletak tak bernyawa, dari lehernya mengucur darah, juga dari dadanya!

“Kau.... kau.... keparat.... kau membunuh puteriku?” Cu Han Bu mengeluarkan teriakan marah lalu menerjang dan menyerang muridnya itu.

Cu Seng Bu yang semenjak tadi juga sudah marah sekali, melihat kakaknya maju menyerang bekas murid itu, dia pun lalu menyerang dengan sengit.

Cu Han Bu terkenal dengan julukan Kim-kong-sian dan dia mempergunakan senjatanya yang berupa sabuk emas. Sabuk itu berubah menjadi segulungan sinar emas yang lihai sekali dan karena inilah dia dijuluki Dewa Sinar Emas. Sedangkan adiknya, Cu Seng Bu dijuluki Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) karena memiliki ginkang yang amat hebat sehingga ketika dia menyerang maju, tubuhnya lenyap, hanya nampak berkelebatnya bayangannya saja.

Akan tetapi, Tek Ciang sama sekali tidak gentar menghadapi serangan kedua orang gurunya ini. Dia mengelak cepat dari sambaran sabuk emas di tangan Cu Han Bu dan pedang lemas di tangan Cu Seng Bu. Bagaimana pun juga, dia sudah mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu. Dan ketika dia membalas, dia mempergunakan ilmu-ilmu pukulan dari Pulau Es yang sama sekali tidak dikenal oleh kakak beradik she Cu itu sehingga mereka berdua terdesak!

Karena maklum betapa lihainya dua orang lawan ini, Tek Ciang juga sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan kanan itu bergerak cepat dan lihai sekali karena dia telah menggunakan ilmu silat pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dulu dipelajarinya dari Suma Kian Lee. Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) ini seharusnya dimainkan dengan sepasang pedang. Akan tetapi karena Tek Ciang hanya memegang sebatang pedang, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengimbangi dengan Ilmu Kiam-ci, yaitu Jari Pedang dan tangan kirinya itu pun tidak kalah lihainya dari pada tangan kanan yang memegang pedang!

Tek Ciang memang amat pandai mengombinasikan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari bermacam aliran. Maka, karena dia sudah mengenal gerakan kedua orang she Cu yang mengeroyoknya sebaliknya dua orang itu tidak mengenal gerakan-gerakannya, biar pun dikeroyok dua, Tek Ciang sebaliknya malah mendesak bekas guru-gurunya itu.

Ketika Cin Liong dan Suma Hui hendak maju, Kao Kok Cu memberi isyarat kepada putera dan menantunya itu untuk menahan diri. Dan Cin Liong mengerti akan isyarat ayahnya. Tentu ayahnya mengingat bahwa Tek Ciang telah diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh kaisar dan kini ada banyak saksi, yaitu pasukan pengawal yang berada di situ. Biarkanlah pejabat baru itu kini berkelahi melawan dua orang bekas gurunya sehingga para saksi itu akan melihat sendiri sehingga kelak keluarga Pulau Es tidak akan disalahkan sebagai pemberontak-pemberontak yang membunuh pejabat pemerintah!

Akan tetapi, Suma Hui yang menaruh dendam yang amat besar terhadap Tek Ciang, orang yang nyaris membuat hidupnya berantakan dan rusak, memandang dengan sinar mata berapi-api. Hatinya menjadi semakin panas melihat betapa Tek Ciang menghadapi kedua orang lawannya dengan menggunakan ilmu pedang dari Pulau Es.

Serang-menyerang terjadi dengan amat serunya. Melihat betapa dua orang kakek Cu itu semakin terdesak, bahkan Cu Seng Bu terluka pangkal lengan kirinya, robek bajunya dan berdarah karena sambaran Kiam-ci, hati Suma Hui menjadi semakin marah. Dua orang kakek itu biar pun lihai tidak mengenal gerakan pedang Tek Ciang. Akan tetapi ia tentu saja sudah mengenal baik Siang-mo Kiam-hoat itu dan bahkan dia dapat melihat kelemahan-kelemahannya.

Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke udara, dan ketika tubuhnya tiba di atas Tek Ciang, ia membalikkan tubuh meluncur ke bawah dan pedangnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Tek Ciang!

Pada saat itu, Tek Ciang sedang menghadapi serangan lawan dan memang ubun-ubun kepalanya merupakan satu-satunya daerah yang terbuka. Terkejutlah Tek Ciang. Jika ia berusaha menangkis atau mengelak dari serangan di atas itu, tentu dia akan terancam oleh senjata dua orang she Cu.

Ia teringat akan ilmu barunya. Tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara melengking yang amat hebat. Menggetarkan jantung semua orang yang hadir. Bahkan Suma Hui yang sedang menyerang itu terkejut dan serangannya menyeleweng, tidak mengenai ubun-ubun kepala melainkan mengenai pundak, dan itu pun hanya menyerempet saja sehingga merobek baju dan melukai kulit.

Akan tetapi lengkingan suara yang mengandung Ilmu Sin-liong Ho-kang itu memang dahsyat sekali, demikian hebatnya terasa oleh dua orang kakek Cu sehingga mereka tertegun dan tubuh mereka bagaikan dimasuki getaran kuat yang membuat mereka lumpuh selama beberapa detik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Ciang sebaik- baiknya. Dia telah dapat miringkan tubuh sehingga pedang Suma Hui hanya melukai pundaknya, dan melihat dua orang kakek itu masih tertegun, pedang di tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya menyambar seperti kilat.

Dua orang kakek Cu mengeluarkan teriakan keras. Pedang di tangan kanan Tek Ciang telah menembus perut Cu Han Bu, sedangkan Cu Seng Bu terkena pukulan Kiam-ci tepat pada dadanya. Keduanya merupakan serangan mematikan dan kalau bukan dua orang kakek Cu itu yang terkena, tentu roboh seketika.

Akan tetapi dua orang kakek itu hanya berteriak dan dengan mata melotot keduanya menubruk ke depan, dari kanan kiri Tek Ciang. Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Tek Ciang dan dia tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak sama sekali. Tahu-tahu dua pasang tangan dengan jari-jari mencengkeram telah menerkam kepalanya dan dua puluh buah jari tangan menancap ke dalam kepala!

Tek Ciang mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya terguling, membawa dua tubuh lain itu dan tubuhnya berkelojotan, dengan kaki dan tangan meregang. Akan tetapi tubuh dua orang kakek itu tidak bergerak, kaku dan kedua tangan mereka masih mencengkeram kepala, dua pasang mata itu masih melotot mengerikan! Akhirnya tubuh Tek Ciang pun diam tak bergerak lagi setelah nyawanya melayang bersama dua orang kakek yang masih terus mencengkeram kepalanya itu.

Suma Hui yang berdiri dekat suaminya berbisik. “Puas sudah hatiku....!”

Kao Cin Liong menarik napas panjang. Dia tahu akan perasaan hati isterinya. Dan dia merasa girang bahwa isterinya tadi hanya membantu saja robohnya Tek Ciang, tidak langsung menjadi pembunuh Tek Ciang. Betapa pun juga, harus diakui bahwa robohnya Tek Ciang diawali dengan serangan Suma Hui tadi.

Melihat Tek Ciang roboh, empat orang pembantunya itu menjadi gentar. Mereka tadi sudah melihat betapa pasukan itu tidak taat lagi kepada Tek Ciang dan tidak berani melawan bekas Jenderal Kao Cin Liong. Kini, melihat Tek Ciang tewas, mereka pun merasa tiada gunanya melawan lagi dan mereka saling pandang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Cin Liong sudah menghadang mereka.

“Perlahan dulu, sobat. Kalian tidak boleh pergi dan harus menjadi tawanan pasukan!”

Empat orang itu terkejut dan maklum bahwa mereka takkan mungkin lolos kalau tidak menggunakan kekerasan, maka mereka pun segera mencabut senjata masing-masing dan menerjang bekas jenderal itu. Akan tetapi Suma Hui, Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng sudah maju. Menghadapi keluarga yang sakti itu, empat orang tokoh sesat itu tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu tiga puluh jurus lebih saja, mereka berempat sudah dapat dirobohkan, dibelenggu oleh pasukan dan dibawa kembali ke kota raja.

Atas permintaan Kao Cin Liong, komandan pasukan melapor kepada atasannya yang melanjutkan kepada kaisar bahwa Panglima Louw Tek Ciang di tengah jalan bertengkar dengan dua orang gurunya dan dalam perkelahian itu dia tewas, demikian pula kedua orang gurunya. Ditambahkan pula bahwa ternyata pembesar baru itu telah bersekongkol dengan empat orang pemberontak yang dapat ditawan.....

********************

Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw.

Mula-mula Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong, yang mengerutkan alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah karena harus memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.

“Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar janji terhadap seorang sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya dengan nada lebih banyak menegur dari pada bertanya.

“Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim Houw suheng.”

“Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau aku sudah mendengar sendiri penuturan Sim Houw!”

Biar pun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu. Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali, akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng, dia pun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya.

Akhirnya, saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tidak dapat menahan cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa terharu sekali.

“Kami telah mendengar tentang kematian ayahmu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam perjuangan yang patut. Tidak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah saja mencucurkan air matanya.”

“Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.

Seperti yang sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing. “Sim Houw, setelah ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mempercepat pelaksanaan pernikahanmu dengan Bi Eng....”

“Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan....”

Kam Hong pura-pura kaget dan marah. “Sim Houw! Omongan apa yang kau keluarkan ini? Apa maksudmu?”

“Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu menghadap suhu dan menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar diputuskan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jika begitu puterinya tidak berbohong. “Apa alasannya mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”

“Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud teecu.... ehhh, sumoi dan teecu tidak saling mencinta....”

Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya. “Sim Houw, katakan sekali lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.

Sim Houw merasa bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat manis itu? Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa duka atau marah.

“Subo, maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai saudara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”

Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berubah pucat. Dahulu, dahulu sekali, pada waktu Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi seorang pemuda, Hong Bu pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak membalas cintanya dan dia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Ia pun menarik napas panjang dan tenggelam dalam kenangan.

Kam Hong merasa lega sekali mendengar penjelasan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu dalam Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan Sim Houw ini pun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw sendiri.

“Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng.”

“Ahh, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo? Dan pemuda itu.... ehhh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong....”

“Dia pun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami, akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim Houw.”

Wajah pemuda itu berseri gembira. “Ahhh, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira. Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur, menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”

Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari hidangan hasil buruan sepasang muda mudi itu, dia pun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu beserta subo-nya yang merasa terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.

Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tak mengalami banyak kesulitan. Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak Bukit Nelayan setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan dan diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itu pun dirayakan dengan amat meriah, dihadiri pula oleh orang-orang gagah dari segenap penjuru dan di dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga para pendekar Pulau Es dengan lengkap.

Kam Hong dan isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan dengan keluarga Pulau Es apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.

Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng.

Dan biar pun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, tetapi dia semakin matang dan makin dapat mengenal diri sendiri. Perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berubah melalui kewaspadaan.....

Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, akan tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri, perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.

Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, pengarang mengharapkan mudah-mudahan di samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang, juga cerita ini mengandung manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa kembali di kisah SULING NAGA!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar