Kisah Si Bangau Putih Jilid 31-35

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Kisah Si Bangau Putih Jilid 31-35 Pada saat itu terjadi perubahan menarik pada pertempuran antara Ouwyang Sianseng dan Kam Hong. Mereka berdua kini lebih mengandalkan tenaga sakti mereka. Maklum,
Pada saat itu terjadi perubahan menarik pada pertempuran antara Ouwyang Sianseng dan Kam Hong. Mereka berdua kini lebih mengandalkan tenaga sakti mereka. Maklum, keduanya adalah tokoh-tokoh tua. Usia Ouwyang Sianseng telah mendekati tujuh puluh tahun, demikian pula dengan Kam Hong.

Betapa pun lihai dan kuatnya seseorang, tubuhnya hanya terbuat dari darah dan daging diperkuat oleh tulang belaka. Tulang-tulang tua dapat rapuh, daging pun mengendur, dan tubuh tak terhindarkan dari kelemahan dimakan usia dari dalam. Maka, jika orang-orang seusia mereka hendak mengandalkan tenaga, tentu mereka tidak akan mampu bertahan lama.

Mereka bertanding dengan gerakan yang lambat, tapi setiap gerakan itu mengandung tenaga dalam, tidak menggunakan tenaga luar yang dibutuhkan untuk bergerak cepat. Dan dalam hal tenaga dalam ini, ternyata tingkat mereka seimbang!

Jika keduanya masih muda, tentu kakek Kam Hong akan bisa mengalahkan lawannya tanpa banyak kesulitan, mengandalkan ilmunya yang sulit dicari bandingannya di dunia ini. Mungkin hanya ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sajalah yang dapat menandingi tingkat ilmu suling dan kipas dari Pendekar Suling Emas itu.

Betapa pun juga, karena memang kalah tinggi ilmunya, ketika kedua kipas bertemu di udara terdengar suara keras dan kipas di tangan Ouwyang Sianseng robek! Kam Hong mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak. Sulingnya menyambar, menotok ke arah pelipis, dan kipasnya juga menyambar, gagangnya menotok ke lambung.

Ouwyang Sianseng yang masih terkejut karena robeknya senjata kipas di tangannya, cepat mundur sambil mengelebatkan pedangnya untuk membalas, ditusukkan ke arah kipas lawan untuk membuat kipas itu robek. Akan tetapi, pada saat itu, sinar kuning emas menyambar dari atas, menghantam pedangnya.

"Tranggggg...!"

Keras sekali hantaman suling emas itu, membuat tangan Ouwyang Sianseng tergetar dan ujung pedangnya patah! Kakek itu terkejut sekali, lalu mencabut sebatang pedang dari balik jubahnya. Begitu pedang itu dicabut, Kam Hong terbelalak, lalu bergidik. Dia mengenal sebatang pedang yang ampuhnya menggiriskan hati. Baru hawanya saja sudah membuat orang menggigil, dan begitu pedang dicabut, dan digerakkan, tercium bau yang dapat membuat orang muntah. Pedang itu pun mengeluarkan sinar abu-abu kehitaman, sinar maut! Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!

Seperti diketahui, ketika menyerbu ke Istana Gurun Pasir, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya berhasil menewaskan tiga orang tua sakti di sana, walau pun mereka sendiri hampir habis terbasmi. Hanya Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin, dan Thian Kek Sianjin saja yang masih hidup walau pun menderita luka-luka. Dan Sin-kiam Mo-li yang cerdik dapat menyita dua batang pedang pusaka dari Istana Gurun Pasir, yaitu Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam.

Ketika ia dan kawan-kawannya bergabung dengan para pemberontak, melihat kesaktian Ouwyang Sianseng, Sin-kiam Mo-li lalu menyerahkan sebatang di antara dua batang pedang rampasan itu, yaitu Ban-tok-kiam. Ada pun pedang yang ke dua, Cui-beng-kiam, kemudian disimpannya sendiri.

Ouwyang Sianseng adalah orang yang amat cerdik, juga memiliki ambisi besar. Begitu melihat betapa dia dan kawan-kawannya tertipu, dan pasukan yang datang bukanlah pasukan pemerintah yang bersekutu melainkan pasukan yang menyerang dalam jumlah yang amat besar, dan melihat pula munculnya para pendekar yang sebagian memiliki kesaktian hebat, dia pun maklum bahwa dia sudah kalah dalam permainannya sendiri. Kini, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri.

Karena itu, melihat betapa kakek Kam Hong yang membuatnya jeri itu nampak gentar melihat dia mengeluarkan Ban-tok-kiam, Ouwyang Sianseng segera memutar pedang itu dan meloncat ke belakang, menyelinap di antara para anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang membantu para tokoh sesat menghadapi para pendekar.

Kam Hong tidak mengejarnya dan hanya menarik napas panjang. Dia masih tertegun melihat pedang tadi. Pendekar ini pun teringat akan pedang yang disebut Ban-tok-kiam, sebuah di antara pusaka Istana Gurun Pasir dan dia kagum bukan main, juga ngeri membayangkan kehebatan pedang itu.

Pada saat Ouwyang Sianseng melompat ke belakang dan melarikan diri menyelinap di antara para anggota Pek-lian-pai itulah yang menarik perhatian Siangkoan Liong. Pada saat itu, Sin Hong tengah berjungkir balik ke belakang sebab terkejut sekali menghadapi serangan pedang Koai-liong Po-kiam.

Siangkoan Liong tidak mendesak Sin Hong lebih jauh karena bagaimana pun juga, dia sudah merasa jeri menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Sekarang melihat gurunya melarikan diri, tanpa berpikir dua kali Siangkoan Liong juga melompat ke belakang dan menyelinap di antara para anggota Pat-kwa-pai dan menghilang.

Sin Hong juga tidak mengejar karena di situ terdapat banyak lawan. Dia menoleh ke arah Kao Hong Li yang bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan terkejutlah pemuda ini. Tadinya dia tidak khawatir akan keselamatan Hong Li melihat gadis ini cukup lihai untuk mengimbangi permainan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi kini Hong Li terdesak hebat sekali, bahkan sepasang pedangnya rusak-rusak, sedangkan Sin-kiam Mo-li dengan senyum menyeringai terus mendesak dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang sangat menyeramkan.

Itulah pedang pusaka Cui-beng-kiam! Pedang ini, seperti juga Ban-tok-kiam merupakan pusaka Istana Gurun Pasir dan sudah puluhan tahun tidak pernah dipergunakan orang. Sekarang, di tangan Sin-kiam Mo-li, pedang itu menjadi senjata iblis yang haus darah! Gulungan sinarnya mengandung hawa yang mukjijat, dan jelas nampak betapa Hong Li merasa ngeri dan jeri menghadapi desakan pedang yang tadi telah merusak sepasang pedangnya itu. Gadis ini terus main mundur sambil memutar kedua pedangnya sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya dari ancaman Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang menggiriskan itu.

"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba Sin Hong membentak.

Tubuh Sin Hong sudah melesat ke depan, langsung saja dia menyerang Sin-kiam Mo-li dengan jurus ampuh dari Pek-ho Sin-kun. Tenaga yang terkandung dalam sambaran tangan Sin Hong itu hebat bukan main, membuat Sin-kiam Mo-li menjadi gugup dan memaksa wanita ini menangkis dengan kebutannya.

"Plak! Pyarrr...!"

Kebutan itu rontok bulunya hingga berhamburan dan tubuh Sin-kiam Mo-li terjengkang. Namun, ia bergulingan dan memutar pedang Cui-beng-kiam. Pedang ini mengeluarkan sinar kilat bergulung-gulung sehingga Sin Hong tidak berani mendesak. Kesempatan ini kemudian digunakan oleh Sin-kiam Mo-li untuk cepat-cepat meloncat dan menyelinap di antara kawan-kawannya yang sedang berkelahi melawan para pendekar.

Sin Hong mencoba untuk mengejar, akan tetapi wanita itu sudah lenyap dan dia yang mengkhawatirkan keselamatan Hong Li segera mendekati gadis itu.

"Bagaimana denganmu? Engkau tidak terluka, bukan?"

Hong Li menggeleng kepala dan tersenyum. Bukan main gadis ini, pikir Sin Hong, baru saja terlepas dari ancaman maut, bahkan wajahnya masih basah dengan keringat, akan tetapi sudah mampu tersenyum demikian manisnya!

"Tidak, berkat pertolonganmu, Susiok."

Mereka tak sempat bicara banyak karena perkelahian masih berlangsung, lalu mereka segera terjun ke dalam kancah pertempuran, membantu para pendekar. Kini keadaan menjadi semakin berat sebelah setelah tiga orang terpenting di antara para pimpinan pemberontak itu melarikan diri.

Pertama-tama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang mendapat lawan berat sekali, yaitu nenek Bu Ci Sian. Tingkat kepandaian si raja pedang ini jauh berada di bawah tingkat kepandaian nenek itu. Sejak semula, dengan suling emasnya, nenek itu sudah menekan dan mengurung, membuat si raja pedang itu tidak mampu mengembangkan permainan pedangnya.

Akhirnya, kaki kiri nenek itu sempat menyentuh lututnya, membuat Toat-beng Kiam-ong setengah berlutut. Sebelum dia mampu bangkit kembali, ujung suling sudah mengetuk ubun-ubun kepalanya dan dia pun roboh tewas seketika karena isi kepalanya tergetar dan batok kepalanya retak!

Sungguh sayang sekali. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek sebenarnya bukan seorang penjahat. Tadinya dia pun pernah terkenal sebagai seorang pendekar yang lihai, pernah menjadi murid Bu-tong-pai yang patuh. Akan tetapi, dia mempunyai satu kelemahan, yaitu terhadap wanita cantik. Inilah yang menjerumuskannya ke lembah hitam.

Karena dia tergila-gila kepada wanita cantik dan selalu mengejar kesenangan ini, maka dia pun terjerumus, tidak pantang lagi melakukan kejahatan dan kekejaman demi untuk memenuhi keinginan hatinya. Makin lama dia pun semakin dalam terjerumus, apa lagi pergaulannya dengan para tokoh sesat makin menyelewengkannya dan akhirnya dia harus tewas secara menyedihkan.

Melihat betapa Suma Lian yang tengah memutar suling emasnya itu belum juga mampu menandingi kelihaian Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai yang memang bukan main lihai itu, Hong Li tidak membuang banyak waktu. Segera ia terjun dan sepasang pedangnya lalu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan sinar maut yang menyambar ke arah Thian Kong Cinjin.

Bukan main kagetnya kakek ini. Tadinya ia merasa lega bahwa ia hanya dilawan oleh seorang gadis muda yang biar pun lihai dengan suling emasnya, akan tetapi dalam hal pengalaman jauh kalah olehnya. Ketua Pat-kwa-pai ini sudah berusia tua sekali, hampir delapan puluh tahun. Akan tetapi sebagai seorang wakil ketua Pat-kwa-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi.

Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Suma Lian lebih lihai dari pada kakek ini, apa lagi mengingat bahwa kakek yang menjadi lawannya itu sudah tua sekali. Sepandai-pandainya orang, dan sekuat-kuatnya orang, takkan mungkin dapat melawan usianya sendiri. Usia tua akan menggerogotinya dari dalam, menghabiskan semua tenaga dan kesaktiannya.

Demikian pula keadaan Thian Kong Cinjin. Sesungguhnya lawan yang muda itu berat sekali baginya. Akan tetapi, berkat pengalamannya yang banyak, dia masih mampu bertahan, bahkan dengan permainan tongkatnya yang luar biasa dia tidak membiarkan gadis itu mendesaknya.

Begitu Kao Hong Li turut terjun membantu Suma Lian dengan permainan sepasang pedangnya yang hebat, tentu saja kakek Thian Kong Cinjin menjadi repot bukan main. Mengalahkan seorang Suma Lian saja dia belum juga mampu, kini ditambah lawan yang juga merupakan seorang gadis yang amat lihai, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir!

Permainan tongkatnya menjadi kacau dan ia tidak mampu menghindarkan diri lagi saat suling di tangan Suma Lian menyambar dan menotok dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terpelanting roboh, namun dia masih cukup kuat walau pun dadanya terasa nyeri dan napasnya terengah-engah. Pada waktu dia bergerak hendak meloncat bangun dengan muka pucat dan dada sesak, sinar pedang di tangan Hong Li menyambar dan tusukan pedangnya tepat menembus leher kakek wakil ketua Pat-kwa-pai itu.

Mata Thian Kong Cinjin melotot. Tongkatnya menyambar ke arah Hong Li dari bawah, dan ketika gadis itu dengan cekatan melompat ke belakang untuk mengelak, tongkat itu terus menyambar ke arah kepala kakek itu sendiri. Terdengar suara keras dan kakek itu pun roboh dan tak berkutik lagi, kepalanya pecah karena dipukulnya sendiri. Agaknya dia memilih mati di tangan sendiri dari pada di tangan lawan, setelah menderita luka parah karena totokan suling di dadanya dan tusukan pedang yang menembus lehernya.

Melihat lawannya telah tewas, Suma Lian dan Kao Hong Li mengamuk terus, membantu kawan-kawan lainnya menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Terutama sekali mereka berdua menghadapi para anggota Pek-lian-pai karena mereka itulah yang merupakan lawan-lawan lihai dari para pendekar.

Sementara itu, Sin Hong juga sudah membantu Gu Hong Beng yang nampak terdesak pula oleh Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-pai yang amat lihai itu. Memang Hong Beng belum kalah, akan tetapi pemuda itu kerepotan juga menghadapi tongkat naga hitam dari tokoh Pek-lian-pai itu.

Begitu Sin Hong berkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran membantu Hong Beng, kakek itu cepat menyambutnya dengan pukulan tongkat naga hitam, mengarah kepala Sin Hong. Dia maklum akan kehebatan pemuda ini, maka begitu menyerang, dia lantas mengerahkan segenap tenaganya. Tongkat berbentuk naga hitam itu berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi seberkas gulungan sinar hitam panjang yang mengeluarkan bunyi desir angin.

Namun Sin Hong tidak mengelak, bahkan mengangkat lengan kanannya ke atas untuk menangkis tongkat hitam, sedangkan tangan kirinya membentuk moncong bangau, lalu menotok ke depan sambil melangkahkan kaki maju mendekati lawan. Moncong bangau itu menotok ke arah ulu hati lawan.

"Takkk!"

Lengan pemuda itu bertemu tongkat, dan Thian Kek Sengjin merasa betapa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu telah menangkis tongkat dengan lengan begitu saja, dan membuat tongkatnya terpental serta lengannya tergetar dan telapak tangannya terasa panas.

Pada saat itu Hong Beng telah menyerang dari samping dengan sepasang pedangnya. Pedang kiri membacok kepala dan pedang kanan menyusul cepat menusuk dari bawah menuju lambung! Thian Kek Sengjin yang masih merasa amat kaget dan getaran akibat benturan lengan Sin Hong tadi masih belum lenyap, menggerakkan tongkatnya hendak menangkis sinar pedang yang membacok kepalanya, tapi dia terlambat menghindarkan diri dari tusukan pedang dari bawah.

Pedang di tangan Hong Beng itu menembus lambungnya. Darah muncrat dan kakek itu pun roboh dan tewas. Seperti juga Suma Lian dan Kao Hong Li, setelah melihat betapa tokoh Pat-kwa-pai itu roboh, Sin Hong dan Hong Beng lalu melanjutkan amukan mereka dengan membantu para pendekar menghadapi para tokoh sesat lainnya.

Perkelahian antara para pendekar dan para tokoh sesat kini tak berlangsung lama. Hok Yang Cu yang pendek botak itu mendapatkan lawan yang terlalu berat baginya yaitu pendekar wanita Kam Bi Eng yang sangat lihai ilmu silatnya dengan suling emasnya. Nyonya Suma Ceng Liong ini tanpa mengalami banyak kesulitan akhirnya merobohkan dan menewaskan Hok Yang Cu dengan totokan ujung suling emasnya pada beberapa jalan darah yang mematikan.

Juga nenek iblis Hek-sim Kui-bo tidak kuat melawan Pouw Li Sian. Gadis yang perkasa ini menggunakan senjata pedang rampasannya, mendesak terus dan akhirnya sebuah tusukan pada dada nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo roboh dan tewas.

Perkelahian antara Cu Kun Tek dan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi berjalan dengan seru dan seimbang. Tidak percuma Ciu Hok Kwi menjadi murid pertama Siangkoan Lohan dan berjuluk Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), karena ilmu pedangnya memang hebat dan tenaganya juga kuat sekali. Akan tetapi, walau pun dia tidak dapat dirobohkan oleh Cu Kun Tek, dia sendiri pun mengalami kesukaran untuk mengalahkan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman ini.

Cu Kun Tek memang sudah kehilangan pedang pusakanya, yaitu Koai-long Po-kiam yang dirampas oleh Siangkoan Liong. Tetapi ia tidak kehilangan ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, dan biar pun dia hanya mempergunakan sebatang pedang rampasan, namun permainan pedangnya masih sangat hebat dan membuat Ciu Hok Kwi terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat mengimbangi permainan pedang lawan.

Selagi kedua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba nampak berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu Sin Hong telah berdiri di antara mereka.

"Saudara Cu Kun Tek, harap berikan orang ini kepadaku, dia adalah musuh besarku!" kata Sin Hong.

Mendengar ini, Cu Kun Tek yang tadi bersama Pouw Li Sian dibebaskan oleh Sin Hong, mengangguk dan dia pun menggunakan pedangnya untuk membantu para pendekar lain, mengamuk di antara para tokoh sesat.

Ada pun Sin Hong kini berhadapan dengan Ciu Hok Kwi. Keduanya saling pandang dan sinar mata Sin Hong mengeluarkan sinar berkilat. Dia memang marah sekali, bukan hanya karena orang ini yang telah membunuh ayah kandungnya, melainkan terutama sekali karena dia juga telah membunuh pula Kwee Ci Hwa.’

Dia tahu bahwa orang ini hanya kaki tangan Tiat-liong-pang. Akan tetapi orang seperti Ciu Hok Kwi ini amat jahat dan berbahaya sekali karena pandai bersandiwara sehingga mendiang ayahnya sendiri kena dikelabui. Bahkan dia sendiri pun kena ditipu dan telah sempat menaruh kepercayaan kepada bekas ‘pembantu’ ayah kandungnya ini.

"Ciu Hok Kwi, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Kiranya semua pembunuhan itu engkaulah yang melakukannya, terhadap ayah kandungku, terhadap orang she Lay, dan juga Kwee Ci Hwa."

Mendengar ini, Ciu Hok Kwi yang sudah tahu bahwa dia pun tidak akan dapat melarikan diri dan terpaksa harus melawan sampai mati, tersenyum mengejek kemudian berkata, "Engkau baru tahu? Alangkah bodohnya! Memang aku yang telah mengatur semua itu, demi perjuangan Tiat-liongpang, membunuh ayahmu, anak buahnya, dan orang she Lay yang berkhianat. Akulah yang... ha-ha-ha, mempermainkan Kwee Ci Hwa sepuas hatiku lalu membunuhnya! Habis, engkau mau apa?"

Keterangan tambahan dari Ciu Hok Kwi bahwa dia pun telah mempermainkan Ci Hwa, menambah api yang waktu itu sedang berkobar di kepala Sin Hong. Kiranya sebelum membunuhnya, orang ini telah mempermainkan Ci Hwa! Kini baru dia mengerti.

Ci Hwa telah mengorbankan diri, dalam usahanya menyelamatkan Gu Hong Beng, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian. Gadis itu telah berhasil merayu Ciu Hok Kwi, menyerahkan diri, agaknya demikian melihat pengakuan Ciu Hok Kwi tadi, dan berhasil mencuri kunci dan membebaskan tiga orang tawanan itu sebelum ia kembali ke kamar dan berusaha membunuh Ciu Hok Kwi akan tetapi malah terluka parah dan biar pun akhirnya dapat dibebaskan, tetap saja tewas karena luka-luka itu.

"Jahanam, engkau memang jahat sekali!" kata Sin Hong.

Ia pun menerjang ke depan dengan kedua tangan digerakkan bagai leher dan moncong burung bangau. Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Pek-ho Sin-kun! Dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat bukan main.

Melihat ini, Ciu Hok Kwi cepat mengelebatkan pedangnya membacok ke arah lengan yang meluncur ke depan itu. Sin Hong sama sekali tidak menarik tangannya, bahkan sengaja menerima bacokan pedang itu dengan lengannya.

"Takkk!"

Bukan lengan itu yang putus, melainkan pedang itu yang terpental bahkan terlepas dari pegangan tangan Ciu Hok Kwi saking kerasnya pertemuan antara pedang dan lengan yang mengandung tenaga sinkang yang amat hebat itu!

Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pemuda berpakaian putih ini kalau diingat betapa mendiang kakek Kao Kok Cu, nenek Wan Ceng, dan kakek Tiong Khi Hwesio telah mengoperkan tenaga mereka kepadanya dan ia telah memiliki tenaga gabungan dari tiga orang sakti yang semuanya terkandung di dalam gerakan silat sakti Bangau Putih!

Ciu Hok Kwi terkejut bukan main, akan tetapi sebelum dia sempat mengelak, sebuah tendangan dari kaki Sin Hong mengenai pahanya. Tubuhnya terpelanting sampai empat lima meter jauhnya dan kebetulan sekali jatuh di dekat kaki Gu Hong Beng.

Melihat orang yang amat dibencinya ini terbanting keras dan merangkak hendak bangun Hong Beng mengelebatkan pedangnya dan leher Ciu Hok Kwi yang sedang merangkak seperti anjing itu terbabat pedang! Leher itu putus seketika dan kepalanya terpental, menggelinding sampai jauh.

Kini banyak di antara para pendekar yang melihat betapa para tokoh sesat yang terlihai sudah roboh, berdiri menonton perkelahian yang berlangsung dengan amat hebatnya dan amat menarik, yaitu perkelahian antara Suma Ceng Liong dan Siangkoan Lohan! Memang hebat sekali perkelahian antara dua orang gagah perkasa ini!

Siangkoan Lohan atau yang bernama Siangkoan Tek, ketua Tiat-long-pang memang seorang yang amat gagah perkasa. Tubuhnya tinggi kurus akan tetapi mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dada dan matanya mencorong seperti mata naga. Dia memiliki tenaga raksasa, bukan saja tenaga luar dengan otot-ototnya, melainkan juga memiliki sinkang yang amat kuat.

Banyak ilmu silat aneh dan lihai dikuasainya, bahkan dia menguasai pula ilmu gulat dari utara. Tendangan mautnya Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) amat berbahaya, dan dia juga mempunyai ilmu silat Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Ekor Besi) yang dimainkan dengan menggunakan tenaga dalam Liong-jiauw-kang (Tangan Cakar Naga) yang amat dahsyat. Semua ini masih ditambah lagi dengan Kim-hun-cwe (Pipa Tembakau Emas) sebagai senjata, maka lengkaplah Siangkoan Lohan sebagai seorang lawan yang amat tangguh. Dia pun memiliki pengalaman berkelahi yang sudah puluhun tahun.

Akan tetapi, lawannya bukan pula orang sembarangan. Sungguh sial sekali bagi ketua Tiat-liong-pang itu bahwa sekali ini dia mendapatkan lawan seorang pendekar besar, yaitu Suma Ceng Liong! Pendekar ini adalah seorang cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, cucu yang paling pandai di antara semua cucu pendekar sakti itu.

Sejak kecilnya, Suma Ceng Liong berbakat sekali dan selain ilmu-ilmu yang tinggi dari keluarga Pulau Es, juga dia menguasai dengan amat baiknya beberapa macam ilmu aneh, di antaranya Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) semacam ilmu totokan yang amat dahsyat dari mendiang Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang pernah menjadi gurunya. Juga dia mahir ilmu sihir yang dipelajarinya dari ibunya.

Karena telah memiliki ilmu-ilmu yang demikian tingginya, juga karena seluruh tubuhnya telah dilindungi tenaga sinkang yang membuatnya kebal, Suma Ceng Liong melawan Siangkoan Lohan hanya dengan kedua tangan kosong saja!

Perkelahian antara kedua orang ini merupakan pertandingan yang paling menarik dan hebat. Semua pendekar yang tak merasa perlu lagi membantu kawan-kawannya yang sedang membabat sisa orang-orang sesat, kini menonton dan tidak seorang pun di antara mereka berani membantu Suma Ceng Liong. Sebagai seorang pendekar besar, tentu Suma Ceng Liong akan merasa tersinggung kalau perkelahiannya melawan ketua Tiat-liong-pang ini dibantu orang lain.

Sin Hong sendiri yang sudah merasa gatal tangan untuk menghajar dan menundukkan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini, bahkan yang menjadi biang keladi kehancuran keluarga ayahnya, juga hanya menonton saja seperti yang lain. Apa lagi dia, bahkan Kam Hong dan Bu Ci Sian sendiri, sepasang suami isteri sakti yang menjadi mertua dari Suma Ceng Liong, juga hanya menonton, demikian pula isterinya, Kam Bi Eng.

Ketika melihat betapa tempat itu dikelilingi para pendekar yang menonton, diam-diam hal ini mengecilkan hati Siangkoan Lohan. Kalau para pendekar itu sudah duduk enak-enakan menonton, hal itu hanya berarti bahwa semua pembantunya telah gagal dan telah roboh.

Dia tadi sudah merasa marah dan penasaran, juga menyesal dan kecewa melihat betapa Ouwyang Sianseng melarikan diri, demikian pula Sin-kiam Mo-li dan puteranya sendiri. Diam-diam dia memaki mereka sebagai pengecut-pengecut yang curang, yang ingin mendapatkan enaknya saja, dan tidak bertanggung jawab kalau ada mala petaka menimpa, tidak setia kawan. Perasan ini, ditambah perasaan gentar menghadapi para pendekar yang sudah mengurung tempat itu, setidaknya mempengaruhi permainan kaki tangan ketua Tiat-liong-pang ini.

“Haiiiiittttt...!”

Melihat betapa semua pembantu utamanya telah roboh, Siangkoan Lohan yang sudah hampir putus asa kini mengirim hantaman dengan hun-cwe mautnya. Dia menggunakan seluruh tenaganya karena dia ingin mengakhiri perkelahian itu secepatnya, kalah atau menang, maka dia hendak mengadu tenaganya. Hun-cwe menyambar menjadi sinar keemasan ke arah kepala Suma Ceng Liong.

Suma Ceng Liong juga percaya akan kekuatan sendiri, akan tetapi dia belum nekat seperti lawannya. Kalau dia mengadu tenaga secara langsung, belum tentu dia kalah kuat, akan tetapi karena dia pun tahu bahwa lawannya bertenaga besar, maka kalah menang akan membawa akibat yang merugikan dirinya, setidaknya dia akan terguncang hebat.

Dia tidak sebodoh itu, maka dia pun menangkis sambaran hun-cwe itu bukan secara langsung dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak mengadu tenaga dengan langsung. Pada saat itu, tangan kiri ketua Tiat-liong-pang itu memukul dengan telapak tangan terbuka. Melihat hal ini, terpaksa Suma Ceng Liong menyambut dengan telapak tangan kanannya sambil mendorong.

“Dukkk! Plakkk!”

Pertemuan telapak tangan itu membuat keduanya terpental ke belakang dan mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba Siangkoan Lohan kembali mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya lalu meloncat tinggi ke depan. Dari atas dia lalu menyerang dengan hun-cwe dan tangan kirinya.

Inilah jurus terakhir dari kakek itu setelah tadi berkali-kali dia menggunakan tendangan Ban-kin-twi tanpa hasil apa pun karena lawannya selalu dapat mengelak, bahkan kalau menangkis dari samping, kakinya terasa nyeri dan tergetar hebat. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam satu serangan saja sambil meloncat setengah terbang ini.

Suma Ceng Liong menyambutnya dengan loncatan yang sama, dan pendekar ini tanpa ragu-ragu lagi mempergunakan ilmu Coan-kut-ci dari mendiang Hek I Mo-ong, ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan. Begitu dia meloncat dan menggerakkan kedua tangan dengan jari-jari terpentang lurus ke depan, segera terdengar suara bercuitan.

Orang-orang hanya melihat betapa dua tubuh yang meloncat itu seperti saling terkam, dan melihat betapa kedua orang gagah perkasa itu dapat meloncat turun pula ke atas tanah, saling membelakangi. Kalau Suma Ceng Liong dengan cepat membalikkan tubuh menghadap lawan, adalah tubuh Siangkoan Lohan yang diam saja, tetap membelakangi lawan.

Kam Bi Eng melihat betapa baju di dada suaminya terobek dan nampak ada tanda menghitam pada dada itu, maka cepat dia menghampiri suaminya. Suma Ceng Liong tersenyum menggeleng kepala tanda bahwa luka di dadanya tidak berbahaya sehingga Kam Bi Eng menjadi lega, lalu mereka menoleh dan memandang kepada Siangkoan Lohan.

Semua mata kini ditujukan kepada ketua Tiat-liong-pang itu. Tubuhnya masih berdiri tegak, dan kini perlahan-lahan tubuh itu membalik kaku. Semua orang melihat betapa kakek itu masih memegang senjata hun-cwe emasnya, tubuhnya tidak nampak terluka, akan tetapi dari bawah kain penutup rambut itu menetes darah yang berjatuhan ke atas dahi, pipi dan dagunya!

Dia memandang kepada Suma Ceng Liong, kemudian terdengar dia berkata, “Mereka, pengecut-pengecut itu berada di rumah Ouwyang Sianseng di lereng di balik bukit ini.”

Setelah berkata demikian, tubuhnya lalu jatuh kaku seperti sebatang balok dan ketika diperiksa, ternyata dia telah tewas karena luka-luka di kepalanya, di balik kain penutup kepala! Kiranya, ilmu Coan-kut-ci (Jari. Penembus Tulang) dari Suma Ceng Liong tadi telah membuat jari-jari tangan pendekar itu menembus kepala!

Mendengar ucapan ketua Tiat-liong-pang sebelum tewas, Sin Hong maklum siapa yang dimaksudkan oleh Siangkoan Lohan.

“Ban-tok-kiam, bahkan Koai-liong Po-kiam mereka bawa, aku harus mengejar mereka!” katanya kepada Kao Hong Li dan dia pun cepat melompat dan lari.

“Susiok, tunggu, aku akan membantumu!” teriak Hong Li yang melompat mengejar pula.

Dia maklum pula bahwa susiok-nya itu akan mengejar Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li, tiga orang yang lolos dari situ dan yang melarikan pusaka-pusaka dari Istana Gurun Pasir, juga pusaka dari Lembah Naga Siluman yang mereka rampas dari tangan Cu Kun Tek.

“Ahhh, berbahaya sekali membiarkan mereka berdua menghadapi Ouwyang Sianseng yang amat lihai,” kata Kam Hong dan dia pun mengejar ke arah balik puncak bukit itu.

Ketika mereka tiba di luar sarang Tiat-liong-pang, ternyata pertempuran juga sudah tinggal sedikit. Semua pasukan pemberontak dapat dirobohkan, tewas atau terluka, dan sisanya hanya melawan untuk mempertahankan diri saja. Jumlah pasukan pemerintah memang jauh lebih banyak sehingga perlawanan pasukan yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang, pasukan Mongol, anggota Ang-I Mo-pang beserta anak buah beberapa orang tokoh sesat itu tidak ada artinya sama sekali.....

********************

Rumah itu merupakan sebuah gedung yang tidak berapa besar akan tetapi kokoh kuat dan nampak menyeramkan, dilindungi oleh pohon-pohon dan hampir tidak nampak dari luar. Sin Hong dan para pendekar lainnya berdiri di depan rumah itu, di pekarangan depan, memandang ke arah pintu dan jendela yang tertutup. Cuaca senja itu muram, seolah-olah sang matahari lebih siang menyembunyikan diri di balik awan tebal karena merasa ngeri menyaksikan ulah manusia yang saling bunuh di bukit itu.

Beberapa kali Sin Hong berteriak sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya bergema sampai jauh, memanggil nama-nama Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li yang ditantangnya keluar. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu.

“Biar aku menerjang masuk!” kata Sin Hong.

Tetapi sebelum dia bergerak, Kam Hong mencegahnya. “Berbahaya sekali memasuki sarang seorang seperti Ouwyang Sianseng. Rumah itu pasti penuh dengan alat rahasia dan jebakan. Dia licik dan curang, sebaiknya memaksa mereka keluar dengan api.”

Sin Hong mengangguk kagum. “Pendapat Locianpwe benar sekali, terima kasih!”

Dia melinat betapa di bagian belakang rumah itu terdapat bagian kecil, mungkin dapur atau gudang, yang atapnya terbuat dari daun kering. Dia lalu membuat api, menyalakan sebatang ranting kayu kering dan dengan pengerahan tenaga dia melemparkan kayu yang menyala itu ke atas atap daun kering di bagian belakang rumah itu.

Api itu cepat sekali menyambar daun kering dan sebentar saja atap itu pun terbakar. Api menyala dengan cepatnya, menjadi semakin besar dan mulai membakar rumah induk. Para pendekar sudah siap dan mereka pun tanpa berunding dulu sudah mengepung rumah itu agar mereka yang berada di dalam rumah itu tidak mampu melarikan diri, atau setidaknya akan ketahuan ke arah mana larinya.

Akan tetapi, ternyata mereka yang berada di dalam rumah itu dapat melihat pula bahwa melarikan diri agaknya tidak mungkin lagi, maka tiba-tiba saja pintu depan terbuka dari dalam. Belum nampak ada orang muncul keluar, akan tetapi dengan jelas terdengar suara Ouwyang Sianseng yang tenang dan dingin.

“Heiii, anjing-anjing Mancu! Kami akan keluar, hendak kami lihat apakah kalian cukup berani untuk menghadapi kami satu lawan satu, tidak keroyokan macam segerombolan anjing peliharaan orang Mancu!”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang marah dan muka mereka berubah merah. Sungguh keji ucapan itu, juga amat memanaskan hati, terutama sekali Cu Kun Tek yang memang berdarah panas.

“Keparat!” bentaknya nyaring. “Kalian yang pengecut seperti anjing-anjing takut digebuk, berani membalikkan kenyataan dan memaki kami!”

Pendekar ini marah sekali mengingat betapa pedang pusakanya dirampas dan dilarikan mereka yang berada di rumah itu. Kam Hong yang tahu bagaimana untuk menghadapi seorang tokoh jahat, lihai dan cerdik macam Ouwyang Sianseng, berkedip kepada Kun Tek agar pemuda ini bersabar dan menahan diri tidak bicara lagi. Melihat sikap Li Sian, Kun Tek cepat mengangguk patuh!

“Ouwyang Sianseng,” terdengar kini suara Kam Hong, juga tenang dan perlahan saja, namun suaranya terdengar jelas sekali dari dalam rumah itu. “Keluarlah kalian dan kami siap untuk menghadapi kalian satu lawan satu seperti lajimnya pertandingan di antara orang-orang gagah!”

Mendengar jawaban Kam Hong ini, muncullah tiga orang dari pintu depan itu. Mereka itu bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li! Ouwyang Sianseng nampak tenang-tenang saja, bahkan mulutnya terhias senyuman, seakan-akan dia merasa bangga dan gagah, akan tetapi Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li jelas nampak gugup dan gelisah melihat demikian banyaknya pendekar sudah menanti di pekarangan.

Karena ia pun tahu bahwa tiada jalan keluar lagi kecuali melawan mati-matian, Sin-kiam Mo-li sudah mendahului Ouwyang Sianseng. Dia melompat ke depan menghadapi para pendekar, kemudian berteriak dengan suara dibikin gagah dan penuh keberanian untuk menutupi keadaan hatinya yang terguncang takut.

“Tan Sin Hong, aku tantang padamu untuk maju mengadu ilmu dan nyawa dengan aku! Engkaulah biang keladi semua kegagalan kami!”

Memang di dalam hatinya, wanita iblis ini merasa marah sekali kepada Sin Hong. Telah beberapa kali pemuda itu menjadi penghalang baginya, dan dia masih tetap merasa menyesal mengapa ketika dia dan kawan-kawannya dahulu menyerbu Istana Gurun Pasir, dibiarkannya pemuda itu terlepas dan selamat dari cengkeramannya. Padahal, ketika itu, Sin Hong sama sekali tidak berdaya dan belum memiliki ilmu kepandaian sehebat sekarang ini.

Setelah berteriak seperti itu, Sin-kiam Mo-li lantas mengeluarkan sepasang senjata yang menyeramkan, yaitu pedang pusaka Cui-beng-kiam dan kebutan merah yang tadi dia peroleh dari dalam rumah Ouwyang Sianseng. Pedang Cui-beng-kiam (Pengejar Arwah) itulah yang mendatangkan pengaruh amat menyeramkan.

Sin Hong mengenal pedang pusaka Istana Gurun Pasir ini dan dia pun maklum bahwa sekali kena gurat saja oleh pedang Cui-beng-kiam atau Ban-tok-kiam, sudah cukup untuk membuat seorang yang betapa pun kuat tubuhnya, roboh dan mungkin tewas seketika atau menderita luka beracun yang sukar dicarikan obat penawarnya.

Untung bahwa kakek dan nenek sakti penghuni Istana Gurun Pasir sudah memberi tahu dengan jelas tentang asal-usul kedua pedang pusaka itu, bahkan juga memberi tahu rahasia penawar racun-racun yang terkandung dalam pedang-pedang pusaka itu. Oleh karena itu, tadi ketika melakukan pengejaran, dia sudah bersiap-sedia, sudah menelan tiga butir pil putih yang menjadi obat penawar racun pedang Cui-beng-kiam.

Kini menghadapi Sin-kiam Mo-li yang menggunakan Cui-beng-kiam, tentu saja dia tidak merasa gentar. Pedang itu dahulu adalah milik seorang di antara ketiga orang gurunya, yaitu Tiong Khi Hwesio, dan bahkan obat pil putih itu juga pemberian Tiong Khi Hwesio kepadanya, dan dia pun sudah mempelajari cara pembuatannya.

“Sin-kiam Mo-li, agaknya takaran kejahatan yang kau lakukan sudah melampaui batas sehingga sekarang ini saatnya engkau harus menebus semua kejahatanmu itu. Lekas majulah!” tantangnya dan dengan tangan kosong saja Sin Hong melangkah maju.

“Susiok, kau pakailah pedang ini!” tiba-tiba Hong Li berseru sambil kedua tangannya menyodorkan sepasang pedangnya, pedang rampasan yang cukup baik, bahkan tadi ia gunakan untuk melawan iblis betina itu. Sin Hong menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menggelengkan kepala.

Pada saat itu, Hong Li menahan jeritnya dan semua orang pun menahan napas ketika melihat betapa selagi Sin Hong menoleh kepada Hong Li, Sin-kiam Mo-li telah dengan amat cepatnya menyerang dengan tusukan pedang Cui-beng-kiam!

Memang pedang ini hebat sekali. Ketika ditusukkan, bukan saja mengeluarkan suara mengaung yang aneh, namun juga mendatangkan hawa dingin yang membuat orang bergidik karena seram. Tusukan Cui-beng-kiam itu masih disusul dengan totokan maut yang dilakukan dengan kebutan merah yang beracun itu!

Namun, Sin Hong bukan seorang pemuda yang ceroboh atau lengah. Biar pun tadi dia menanggapi usul Hong Li dan menolak pemberian pedang sambil menoleh ke arah Hong Li, tetapi seluruh perhatiannya masih tertuju kepada calon lawannya sehingga tentu saja serangan dahsyat itu telah dapat diketahuinya. Cepat sekali tubuhnya sudah bergerak dengan amat lincahnya, membuat langkah-langkah gesit yang aneh, tubuhnya meliuk ke sana sini dan dia pun sudah dapat mengelak dari semua serangan pedang dan cambuk itu.

Sin Hong bukan saja mampu menghindarkan semua serangan lawan, bahkan dia juga mampu membalas dengan dahsyat. Perlu diketahui bahwa pada saat itu Sin Hong telah menguasai banyak sekali ilmu silat yang tinggi, dan tingkatnya tidak kalah oleh para pendekar lainnya. Bahkan mungkin orang seperti Ouwyang Sianseng takkan mampu mengalahkannya dengan mudah. Ilmu-ilmunya bahkan lebih tinggi dari pada Ouwyang Sianseng, hanya tentu saja masih belum matang dibandingkan orang tua ini.

Dari tiga orang gurunya yang sakti, Sin Hong sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat. Dari mendiang Tiong Khi Hwesio atau ketika mudanya terkenal dengan nama Wan Tek Hoat berjuluk Si Jari Maut, dia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), juga melatih diri untuk menghimpun sinkang dengan ilmu Tenaga Inti Bumi.

Dari Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dia menerima ilmu hebat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Sakti), dan dari nenek Wan Ceng dia pun mempelajari Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Bahkan lebih dari itu, tiga orang tua sakti itu lalu menggabungkan ilmu-ilmu mereka dan mengambil inti sarinya untuk dimasukkan ke dalam sebuah ilmu silat tangan kosong yang mereka ciptakan bersama yang mereka beri nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).

Ilmu inilah yang sekarang digunakan oleh Sin Hong untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li yang amat lihai dengan senjata cambuk beracun dan pedang pusaka Cui-beng-kiam!

Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah mempunyai tingkat kepandaian tinggi. Wanita ini demikian lihainya sehingga dengan bantuan belasan orang datuk dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ia berhasil menyerbu ke Istana Gurun Pasir dan berhasil menewaskan kakek dan nenek sakti penghuni istana tua itu dan juga Tiong Khi Hwesio yang tinggal bersama mereka, walau pun untuk itu ia harus kehilangan belasan orang kawan, bahkan yang hidup hanya ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang juga masih menderita luka-luka yang cukup berat.

Kebutannya amat terkenal kehebatannya, dengan gagangnya yang terbuat dari emas, dan bulu kebutan yang mengandung racun jahat. Juga ilmu pedangnya cukup tinggi, ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun kalau ia sudah mainkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).

Namun, sekali ini kembali Sin-kiam Mo-li harus mengakui keunggulan lawannya yang biar pun masih muda, namun telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa itu. Biar pun bertangan kosong, namun kedua lengan tangan Sin Hong merupakan dua benda yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata mana pun juga, bahkan lebih hidup dan mempunyai banyak perubahan, baik pada tekukan siku, pergelangan tangan, mau pun jari-jarinya, tidak seperti senjata tajam yang kaku dan mati.

Kedua lengan itu bergerak-gerak seperti hidup, kadang-kadang membentuk leher dan kepala bangau, kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap, dan jari-jari tangan itu dapat membentuk moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu, dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat kuat! Kedua lengan pemuda itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi bahkan kadang-kadang dapat digunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah keras kaku seperti baja!

Hanya terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan tangannya karena dia cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang itu menyambar, dia hanya mengelak atau kadang-kadang menangkis dari samping dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya tidak beradu langsung dengan mata pedang.

Perkelahian itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum bahwa ia tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat dan karena kenekatannya ini, maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menyerang dan merobohkan lawan!

Sebaliknya, tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya. Dia memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela diri. Biar pun demikian, karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan lahan dia mulai mendesak iblis betina itu.

Pada suatu kesempatan yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut sambaran kebutan dengan pukulan tangannya yang lalu dilanjutkan dengan cengkeraman! Hebat sekali sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika nampak bulu kebutan berhamburan. Ternyata bulu-bulu kebutan itu telah rontok semua, tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li.

Wanita ini terkejut bukan main, apa lagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan totokan-totokan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk merampas pedang Cui-beng-kiam! Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar karena kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia terhuyung dan terus mundur.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat menyeramkan meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah menusuk ke arah dada Sin Hong!

“Curang, keparat!” teriak Kao Hong Li.

Semua orang memandang kaget, melihat betapa Sin Hong diserang secara mendadak oleh Ouwyang Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li. Sin Hong berusaha untuk mengelak dengan membuang diri ke samping.

Tetapi Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Meski lawannya sudah mengelak cepat, dia masih sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin Hong terserempet pedang Ban-tok-kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya lalu roboh terguling!

“Siancai...! Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!” Kam Hong membentak dan kakek ini sudah mencabut suling emas beserta kipasnya, lalu menyerang Ouwyang Sianseng yang bersenjata kipas pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di tangan kanan!

“Jangan sentuh aku...!” Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li hendak menubruk dan menolongnya.

Hong Li terkejut dan menghentikan gerakannya. Sebagai cucu dari pasangan kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir, tentu saja ia telah pernah mendengar dari ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam. Sekali saja kena goresan pedang pusaka itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus!

Racunnya amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Memang berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, yaitu ibu kandung Suma Ceng Liong, mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es, begitu terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh ke tangan Sai-cu Lama yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas!

Dan sekarang Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka pundaknya! Tentu saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali.

Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan tanah sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu dengan tangan kanannya, merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia menggosok dengan keras sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia berhenti, lalu sekali melompat, dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil tersenyum.....

“Sin-kiam Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!” kata Sin Hong.

Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya.

Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang kembali walau pun dia masih amat khawatir. Tentu saja dia tidak tahu bahwa satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam memang hanya tanah itulah! Tentu saja hal ini tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya diberi tahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri tidak tahu akan hal ini!

Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini sangat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka dari pada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, ia pun sudah lebih dulu maju menantangnya.

“Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul antara kita, dari pada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng yang melakukan pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, jika engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!”

Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi dia pun telah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengitnya. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.

Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dia yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dan bahwa kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!

Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!

Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu, maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya. Apa lagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya.

Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak mau pun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya. Maka dari itu dia pun menyerang dengan membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.

Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan pula.

Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua hal itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hati untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali jika dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha kembali untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat lagi untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan.

Biar pun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, namun sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, yang banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.

Ouwyang Sianseng yang semenjak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak menjadi repot sekali. Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mukjijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.

“Desss...! Prakkk...!”

Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya segera berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan.

Namun kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sinkang, tidak terpengaruh. Dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar.

Perlahan-lahan sinar kuning emas itu mulai menggulung dan melibat sinar hitam hingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Ruang gerak pedang Ban-tok-kiam semakin lama semakin sempit, dan selagi Ouwyang Sianseng kerepotan setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.

“Tukkk...!”

Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung, lantas dia terpelanting jatuh. Separuh badannya yang sebelah kiri lumpuh tanpa mampu digerakkan. Sesudah melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya!

Anehnya, biar pun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan perlahan-lahan warna hitam itu menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!

Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.

Setelah melihat Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li serta Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main. Wajah mereka berubah pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian sehingga permainan pedang mereka menjadi kacau!

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil ‘mematuk’ pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong!

Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biar pun kini dia bertangan kosong, dia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman dan mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!

“Cappp!”

Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Pedang itu hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua dari pada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.

Siangkoan Liong semakin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li. Agaknya dalam hati Suma Ceng Liong timbul perasaan ragu untuk merobohkan pemuda itu. Ia merasa tak pantas baginya yang tingkat, kedudukan mau pun usianya lebih tinggi dari pada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimana pun juga, dia menyayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong yang telah mempunyai kepandaian cukup tinggi itu.

Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring, “Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”

Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apa lagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Ia pun cepat meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong.

Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.

“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.

Siangkoan Liong tersenyum mengejek, “Tak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Selama ini aku sudah berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”

Sin Hong memandang dengan mata mencorong. “Masih ingatkah apa yang telah kau lakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”

Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Ia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal, dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.

“Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”

“Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”

Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong Po-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya.

Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian serta disaksikan oleh semua orang yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya.

Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang bersenjata pedang pusaka, sekarang Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah, bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.

Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut. Meski pun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, tapi dengan Cui-beng-kiam sekali pun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik.

Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun di dalam suatu perkelahian, tidak mungkin orang hanya selalu menangkis dan mengelak terus tanpa mampu membalas serangan. Dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya.

Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak dan Siangkoan Liong yang langsung melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long Po-kiam dan di lain saat, lehernya telah terbabat putus oleh pedang Koai-liong Po-kiam!

Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong serta membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang, lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam yang masih terselip di pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, Sin Hong lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.

Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontak ini tewas, selesai sudah pertempuran itu. Para pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang, di mana masih berlangsung pertempuran berat sebelah antara sisa pasukan kaum pemberontak melawan pasukan pemerintah.

Sebenarnya tiada seorang pun di antara para pendekar yang ingin membantu pasukan pemerintah. Jika tadi mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, namun dengan pamrih untuk berkuasa. Dan selain itu, Tiat-liong-pang juga tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.

Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, kemudian mereka saling berpisah untuk kembali ke tempat asal masing-masing.

Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya. Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walau pun ia sudah berterus terang bahwa dirinya sudah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga, hidup sebatang kara di dunia ini.

Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun, di mana Sin Hong menitipkan Yo Han.

Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu telah dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.

Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.

Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walau pun dia juga menyesal harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota raja.....

********************

Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apa lagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Pada saat Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya menerima pedang Ban-tok-kiam saja.

“Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin Hong, “Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhu-mu pula.”

Sin Hong menghaturkan rasa terima kasihnya kepada Kao Cin Liong, kemudian dia pun berpamit dari keluarga itu. Walau pun sudah berusaha, Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak berhasil menahannya.

Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong yang masih terhitung suheng-nya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh.

Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.

“Kau... kau… hendak pergi… Su... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.

Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk. “Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab atas anak ini dan harus mendidiknya.”

“Tapi... engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!

Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya sebab dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.

“Ke mana sajalah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, kemudian mengikuti tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan.”

“Tapi... tapi engkau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Bagaimana jika engkau... dan Yo Han tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian...”

Diam-diam Sin Hong merasa terharu. Dia pun merasa betapa sangat menggirangkan hatinya dan betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar pada keluarga Kao. Dan dia masih membawa seorang murid lagi!

“Terima kasih, Hong Li. Engkau... sungguh baik sekali. Percayalah, aku akan merasa berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan memiliki seorang murid, aku tentu akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari kedudukan yang cukup pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap...“

“Tapi... tapi... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu kalau... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.

Jika Yo Han yang sekecil itu sudah dapat mengerti akan perasaan Hong Li, tentu saja Sin Hong pun bisa merasakan isi hati gadis itu melalui getaran-getaran yang terkandung di balik ucapan dan isak tangis yang tertahan itu. Namun pemuda ini segera sadar dan ingat akan keadaan dirinya, karena itu dia hanya menjawab sesuai keadaannya itu pula.

“Terus terang saja, sampai saat ini aku belum tahu ke mana aku akan pergi bersama Yo Han. Akan tetapi, di bumi yang begitu lebar ini, aku tidak percaya kalau kami sampai tak kebagian tempat untuk dapat sekedar berpijak dan berteduh. Kami akan pergi ke mana pun kaki ini ingin melangkah, Hong Li…”

“Ahh, Susiok…, lalu kapan… kapan kita akan bertemu lagi?” Hong Li bertanya di tengah air matanya yang kini mulai dibiarkannya turun.

Gadis ini sudah tahu bahwa saat perpisahan telah diambang waktu. Karena itu tanpa malu-malu lagi dia melepaskan tangisnya di depan Sin Hong, sebab dia memang tidak akan mampu lagi menahan air mata itu lebih lama.

“Entahlah, Hong Li… entahlah…”

Itulah kata-kata terakhir yang terdengar oleh Hong Li, kata-kata yang keluar dari bibir Sin Hong dengan lirih sekali, sebab setelah itu Sin Hong menggandeng tangan Yo Han dan berlalu dengan langkah gontai, tanpa tahu tujuan perginya.....

********************

Sambil tetap menggandeng tangan Yo Han, Sin Hong terus melangkah tanpa menoleh sampai mereka keluar dari Pao-teng. Pemuda ini tidak ingin melihat cucuran air mata di pipi murid keponakannya yang nampak penuh duka. Tanpa perlu sepatah kata pun, dia sudah mengerti isi hati puteri suheng-nya itu.

“Ahh, langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa sama-sama melangkah beriringan….,” bisik hatinya.

Sin Hong benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah saja, yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han berjalan mengikuti suhu-nya, mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah dilepaskan oleh Sin Hong. Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana seorang diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya mengembara mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.

Pertama terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka ini merupakan gadis pertama yang dekat dengannya. Sekian lama mereka melakukan perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda gurau, sehingga hubungan keduanya sudah bagaikan sahabat lama.

Lalu muncul wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa, puteri dari Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu belum sedekat seperti dengan Suma Lian, namun secara hubungan justru Hong Li lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya, cucu dari dua di antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.

Alangkah mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu. Keduanya sama cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan sangat baik dan manis budi, juga sama-sama keturunan pendekar sakti paling terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang satunya lagi bahkan keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua kepandaiannya.

Lalu dia membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu, bahkan sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari seorang piauwsu yang tak terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki apa pun. Ahhh…

Apa lagi sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan oleh neneknya dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan yang gagah perkasa. Keadaan Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara guru-gurunya di Istana Gurun Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!

“Suhu, kita hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.

Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.

“Ehhh… ohhh… ke… luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita merantau kemana pun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tak memiliki tempat tinggal tetap, aku miskin tiada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Apakah engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”

“Mengapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.

“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia pun amat sayang kepada Suhu.”

Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.

“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”

“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal saja di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?”

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”

Yo Han menggeleng kepala. “Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di mana pun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”

“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”

“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”

Sin Hong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong hidup baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”

“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” berkata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!

Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”

Melihat sikap suhu-nya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon, sedangkan Sin Hong ikut duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya, hatinya penuh rasa iba. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini supaya dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.

“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”

“Untuk menjadi seorang yang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu.”

“Hemm, tahukah engkau bahwa seorang gagah pertama-tama harus bisa mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”

Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik. “Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”

Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk. “Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!”

Dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa para pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.

“Muridku, seorang pendekar memang tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”

Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu. Sin Hong membiarkannya saja, hanya mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, dia sudah membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.

Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce yang besar.

Sin Hong tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apa lagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi. Dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang ia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya.

Selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han sudah berumur kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan.

Karena dia bukanlah orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat. Ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan bahkan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!

Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu sebab hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biar pun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.

Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, di ruangan samping kiri. Tanpa diperintah Yo Han kemudian membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri.

Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkan uang itu kepada muridnya. “Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan serta sedikit arak.”

“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”

Sin Hong tersenyum. Sama sekali tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tak pernah sedikit pun dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur sebab anak itu amat pandai memancing kegembiraannya.

Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.

“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan.”

Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari sana. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari sana dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.

Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhu-nya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya amat sayang padanya dan bahwa suhu-nya adalah seorang pendekar yang budiman. Jika suhu-nya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya.

Suhu-nya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhu-nya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa makin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik padanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!

Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya!

Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya sedang bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya!

Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Sekarang ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.

“Hukkk! Kaing... kaing...!”

Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Saat itu barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!

“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”

Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.

“Tapi... tapi... ia tadi akan menggigit kakiku...,“ dia membela diri.

“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu bermain-main. Ia tak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini telah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus-elus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.

“Maaf... aku... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”

Dia teringat akan nasehat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekali pun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.

“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” seorang di antara mereka yang paling besar membentak sambil bertolak pinggang, usianya kurang lebih dua belas tahun.

Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.

“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali sudah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.

“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”

Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasehat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.

“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.

“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar. “Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!”

Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebus kesalahannya, memejamkan kedua matanya dan bersiap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.

“Plakkk! Dukkk! Desss...!”

Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang!

Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu sangat keterlaluan, pikirnya. Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.

“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang,” katanya.

Dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.

“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”

Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut, sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu. “Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apa lagi dan mengapa menahan aku?”

“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”

“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.

“Engkau tak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan, dan kau sudah bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”

Wajah Yo Han berubah merah. Suhu-nya selalu menekankan bahwa dia harus rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.

“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andai kata sudah mengenal sekali pun, aku tak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi sehingga tak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.

“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar.

Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi kali ini Yo Han sudah marah sekali. Dia cepat meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.

“Uukkk!”

Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok.

Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya sudah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia bisa menang, apa lagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka.

Akan tetapi Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biar pun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!

Hal ini membuat ketiga orang lawannya menjadi bingung dan sedikit gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apa lagi minta ampun, mengeluh pun tidak pernah!

Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubuhnya. Ia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan kepalanya terus dibentur-benturkannya di atas tanah.

Tiba-tiba anak terbesar menolong sute-nya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah.

Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Gigitan Yo Han baru terlepas sesudah anak yang ketiga menghantam pelipisnya sehingga membuatnya pening.

Anak yang digigit pergelangan tangannya tadi meloncat bangun dan menangis sambil memegang lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, tetapi karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sute-nya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.

Yo Han berusaha membereskan pakaiannya, akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu memang sudah compang-camping, maka akhirnya dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja.

Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu, namun sia-sia. Karena tidak berhasil menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhu-nya menanti di kuil tua.

Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena alangkah cepatnya anak itu kembali. Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur.

Akan tetapi, Sin Hong tetap bersikap tenang-tenang saja ketika dia bertanya, “Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”

Yo Han duduk di atas lantai, tepat di hadapan gurunya. “Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”

“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur...“

“Teecu... telah berkelahi, Suhu.”

Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia telah berulang kali memberi nasehat supaya muridnya itu menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap kereng.

“Ceritakan semua!”

“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat ada tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Mendadak ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu adalah pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka lalu marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu sudah menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai satu kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, kemudian mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”

“Dan kau kalah?”

“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”

Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya. “Mereka lari sambil menangis? Bagai mana engkau menghajar mereka?”

“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah. Ketika datang seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka lalu melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”

Sin Hong menahan ketawanya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh-sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biar pun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.

“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”

Dibentak demikian, Yo Han cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”

Sin Hong tersenyum dalam hatinya. Anak ini memang hebat, pikirnya.

“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Jika tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, namun dia menggunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”

“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasehat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andai kata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”

Sin Hong tersenyum. “Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri hanya merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi jika tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”

Bukan main girang hati Yo Han. Dia cepat memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima kasihnya.....

Pada saat itu, terdengar suara orang di luar kuil. “Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam kuil ini?” demikian terdengar suara seorang wanita.

“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,” terdengar jawaban seorang anak-anak.

“Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.

“Wah, itu adalah suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.

“Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.

“Entahlah, Suhu. Mungkin dia minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri. “Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka.”

“Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki.”

Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat.

Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat. Rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias oleh bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa dia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.

Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka.

Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru, “Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk itu!”

Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sute-nya ini! Memalukan sekali, pikirnya.

Dia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, tapi juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah membayangkan kehalusan watak.

Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat dua tangan ke depan dada untuk memberi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.

“Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong bertanya dengan sikap yang halus dan sopan.

Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak bisa turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah?

Dia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan! Bahkan kini dialah yang setiap hari membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!

Dia lalu mengalihkan pandang matanya dan memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan pemuda itu. “Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?”

Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja sebab ia takut kepada gurunya. Akan tetapi ia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Ia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.

“Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”

Mendengar bahwa pemuda itu adalah guru dari anak nakal itu, legalah rasa hati Siang Cun. Setidaknya ia akan dapat berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.

“Bagus!” katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau pula yang bertanggung jawab atas kejahatannya! Biar pun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap sute-ku ini. Dia ini sute-ku, akan tetapi akulah yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka. Ketiga orang sute-ku ini telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini. Lihat pergelangan tangan sute-ku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang.”

Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung kegagahan biar pun ada keangkuhan membayanginya. “Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri...”

“Dia telah menendang anjing peliharaan dan kesayangan kami!” Gadis itu memotong. “Sudah sepatutnya jika dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau ia melawan secara gagah dan benar, kami pun tidak akan ribut lagi. Kalau ketiga orang sute-ku kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid ini. Akan tetapi muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”

Sin Hong kini tersenyum. “Muridku ini sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing itu karena kaget ketika diserbu oleh anjing itu, akan tetapi ketiga orang anak itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak pandai silat, mana mungkin menggunakan ilmu silat untuk membela diri? Ia hanya bisa menggigit, mencakar, hanya untuk membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah babak belur. Tentu dia lebih banyak menerima pukulan dari pada para sute-mu, dan dia lebih banyak menderita kesakitan.”

Diam-diam Sin Hong merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biar pun lebih banyak menerima hantaman, tapi tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang lengannya dibalut itu, kelihatan cengeng.

“Tidak bisa!” Siang Cun membantah. “Jika tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur bocah bengal ini. Namun setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau sebagai gurunya harus berani menghadapi akibat perbuatan muridmu dan bertanggung jawab sepenuhnya!”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja, pikirnya. Akan tetapi dia masih tersenyum.

“Lalu apa yang harus kulakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan muridku, Nona? Tentu saja aku suka bertanggung jawab.”

“Para sute-ku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang menggunakan kecurangan. Kini, kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul! Aku tantang kamu untuk mengadu ilmu silat secara adil dan jujur, tidak menggunakan kecurangan.” Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda ilmu silat perguruan ayahnya.

Ayahnya adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini memiliki banyak sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan senjata apa pun juga. Sesuai namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga saling membantu.

Ayah Siang Cun yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang menciptakan Ngo-heng-kun seperti yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai mau pun Bu-tong-pai, akan tetapi yang mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya.

Ketika memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki terpentang, yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk agak menyerong. Tubuhnya tegak, kedua lengannya melingkar di depan dada, membentuk tanda Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng. Sikapnya gagah dan kuda-kuda itu amat indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik.

Tentu saja sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apa lagi bermusuhan dengan gadis itu atau siapa saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau melayani gadis itu.

“Nona, maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku mengaku kalah padamu!”

Mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang yang amat gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa gurunya menerima saja sikap gadis ini yang demikian angkuh dan memandang rendah? Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang banyak akalnya ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!

“Bibi yang baik...“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.

“Aku bukan bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang anak berusia sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru berusia sembilan belas tahun.

Yo Han yang memang sengaja, segera melanjutkan. “Ah, Enci yang baik, harap jangan melanjutkan sikap Enci menantang Suhu-ku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu menanggapi dan menyambut tantanganmu, dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah...“

“Yo Han...!” Sin Hong berseru, alisnya berkerut. Ia terkejut mendengar ucapan muridnya itu yang demikian menyombongkan diri.

Yo Han membungkam dan melangkah mundur, tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu berhasil, karena wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah menjadi marah sekali.

“Bagus, kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak aku lihat apakah benar dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu cepat bertubi-tubi datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sinkang yang sudah lumayan hebatnya.

“Plak-plak! Wuuuuuttt...! Plak-wuuut-wuuuttt!”

Lima kali berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang didesak itu hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia menyimpan tenaganya karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Akan tetapi dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena gadis itu ternyata memiliki sinkang yang kuat! Dan setiap serangan yang dilakukan gadis itu pun dahsyat, cepat dan amat kuat sehingga dalam gebrakan pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan seorang ahli silat sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat tinggi.

Di lain pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dia memandang rendah pemuda berpakaian putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat pasaran saja. Tetapi, sungguh mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk jurus-jurus cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup lincah! Dan biar pun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda itu menangkis, namun pemuda itu pun tidak nampak terhuyung atau terdorong mundur.

Ia menjadi amat penasaran. Sekarang Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan serangkaian jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya!

Sin Hong semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat, selain cepat dan kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang berbahaya. Terpaksa dia mulai menggunakan sinkang-nya jika dia tidak ingin celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini!

Kini Sin Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio. Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia pergunakan kalau terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh.

Begitu dia mainkan gabungan kedua ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sinkang-nya, beberapa kali Siang Cun mengeluarkan seruan kaget. Barulah ia tahu bahwa pemuda berpakaian putih ini benar-benar lihai sekali dan ia pun kini merasa betapa pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas serangannya, bahkan main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti hampir lumpuh disebabkan getaran hebat yang terkandung dalam lengan pemuda itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa adanya pemuda yang amat lihai ini.

Sementara itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis, mengelak, dan selalu main mundur, diam-diam Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhu-nya, yakin akan kelihaian suhu-nya. Akan tetapi agaknya suhu-nya tidak mau bersungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang membuatnya khawatir.

Ada pun anak laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira sekali. Anak itu lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.

“Gurumu itu sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Suci!”

Yo Han mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu. “Belum tentu! Suhu-ku bukan orang yang mudah dikalahkan!”

“Hemmm, kita lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang telah terkenal di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”

Diam-diam Yo Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja, akan tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah. “Apa anehnya Naga Betina? Suhu-ku sama dengan Naga Emas!”

Mendengar Yo Han menyebut Kim-liong (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya berubah kaget dan agak pucat. “Dia... dia... dari Kim-liong?”

Tentu saja Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah terlanjur membual, dia pun mengangguk. “Tentu saja dia adalah Kim-liong. Kau kira siapa?”

Sungguh mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya yang sedang bertanding dan dia pun berteriak, “Suci, awas! Dia itu dari Kim-liong-pang!”

Mendengar ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang yang semenjak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin mengadu ilmu dengan Sin Hong, akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah menggunakan senjata.

Akan tetapi kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget, lalu seketika mencabut sepasang pedangnya dan membentak. “Keparat, kiranya engkau jahanam dari Kim-liong-pang!”

Dan tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang mempunyai keahlian memainkan sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dengan bantuan ayahnya yang ahli, gadis ini telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang diberi nama Ngo-heng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.

Sin Hong terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena memang ia sama sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi melihat permainan sepasang pedang yang indah dan ampuh itu, dia pun tertarik.

Seperti para pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya, keseniannya, bahkan pelindung dirinya. Maka, tiap kali mendapat kesempatan bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Apa lagi kalau melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu itu, atau juga untuk menguji kepandaian sendiri, apakah akan mampu melawan orang yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu.

Karena itu, begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati Sin Hong untuk menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!

Terjadilah perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya amat berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, dibarengi suara berdesing.

Tubuh Sin Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua lengan ditelusuri tenaga sinkang yang amat hebat, yaitu sinkang gabungan yang diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusia-manusia sakti di Istana Gurun Pasir.

Dengan tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau senjata apa pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu kadang-kadang membentuk moncong atau paruh burung bangau putih, lengan menjadi leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk berupa totokan-totokan pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu juga dapat menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya.

Kadang-kadang kedua lengan itu menjadi seperti sepasang sayap burung dan gerakan tubuh pemuda itu indah bukan main. Kadang-kadang, kedua kakinya membuat langkah yang lebar, kadang-kadang pula geseran kakinya halus dan pendek-pendek, dan ada kalanya tubuhnya itu meloncat tinggi seperti bangau terbang, dan dalam keadaan tubuh melayang ini keempat buah kaki dan tangannya dapat melakukan serangan yang amat dahsyat dari atas!

Akan tetapi, seperti juga tadi, Sin Hong yang hanya ingin menguji ilmu pedang gadis itu tidak bertindak sungguh-sungguh dalam serangannya, lebih banyak membela diri saja. Jika dia menghendaki, mengingat bahwa tingkat ilmu kepandaiannya masih jauh di atas Siang Cun, tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama dia akan dapat merobohkan gadis itu, atau setidaknya merampas sepasang pedangnya.

Namun, dia tidak mau melakukan hal itu, karena kalau dia berbuat demikian, tentu akan semakin besar kemarahan dan dendam gadis itu kepadanya dan permusuhan antara mereka tentu akan menjadi-jadi. Dia kini dapat menduga bahwa selain marah karena para sute-nya tadi dijambak dan digigit Yo Han, juga dalam urusan antara dia dan gadis ini timbul suatu kesalah pahaman mengenai Kim-liong-pang yang belum dikenalnya.

Sementara itu, Bhe Siang Cun kini benar-benar terkejut. Bukan hanya karena seruan sute-nya yang mengatakan bahwa pemuda berpakaian putih ini dari Kim-liong-pang, akan tetapi kenyataan bahwa betapa dengan kedua tangan kosong, pemuda itu mampu menghindarkan semua serangannya! Dan hebatnya, pemuda itu berani menangkis dua pedangnya dengan tangan dan lengan begitu saja tanpa terluka atau lecet sedikit pun!

Tak disangkanya bahwa lawan ini demikian lihainya dan ia pun mulai merasa khawatir. Jika lawannya ini dari Kim-liong-pang, maka ia tak mungkin bisa keluar dari perkelahian itu dalam keadaan hidup! Tinggal dua pilihan, yaitu membunuh atau terbunuh! Maka ia pun semakin nekat memutar pedangnya dengan cepat dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Melihat kenekatan gadis itu, Sin Hong merasa semakin khawatir. Perkelahian ini harus dihentikan secepatnya, pikirnya. Maka, ketika pedang kanan dari gadis itu menyambar dari atas ke bawah, dia menggeser kaki mundur dan ketika pedang itu lewat, tangan kanannya menyambar bagaikan paruh bangau putih, dan tahu-tahu dua jari tangannya ditekuk, yaitu telunjuk dan jari tengah, dan dua jari itu telah menjepit pedang itu!

Bhe Siang Cun sekuat tenaga menarik pedangnya, namun sia-sia. Pedang itu seperti terjepit catut baja yang amat kuat!

“Sudahlah, Nona. Hentikan pertandingan ini dan mari kita bicara!”

“Tutup mulutmu! Aku tidak takut mati dan aku tidak sudi berunding dengan orang-orang Kim-liong-pang!” Gadis itu menarik-narik lagi tanpa hasil.

“Nona, aku bukan orang Kim-liong-pang!”

“Tak perlu berbohong!”

Siang Cun merasa gemas sekali karena pedangnya dijepit dua jari dan ia tidak mampu menarik kembali, merasa terhina dan dipermainkan. Hampir tidak masuk di akal kalau pedangnya dapat dijepit dua buah jari lawan tanpa ia mampu melepaskannya kembali! Ia dianggap anak kecil yang tidak berdaya saja! Sambil membentak, kini pedang di tangan kirinya membuat gerakan memutar dan membacok ke arah kepala Sin Hong.

“Tranggg...!”

Gadis itu terkejut karena pedang kirinya tertangkis oleh pedang kanannya sendiri, yang terbawa oleh dua buah jari tangan yang membetotnya! Beberapa kali pedang kirinya coba membacok, selalu ditangkis oleh pedangnya sendiri. Ia demikian jengkel dan malu sehingga mukanya merah dan matanya panas. Hampir ia menangis!

Tiba-tiba terdengar lagi suara anak yang dibalut lengannya itu berseru, “Suhu, dia orang Kim-liong-pang!”

Dan pria yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bhe Gun Ek, melihat betapa puterinya dipermainkan oleh seorang pemuda yang amat lihai. Melihat betapa dengan sepasang pedang di tangan Siang Cun masih dapat dipermainkan, tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Orang Kim-liong-pang banyak lagak!” serunya dan dia pun meloncat ke dekat dua orang yang sedang tarik menarik pedang itu, dan dengan kedua tangan didorongkan, Bhe-kauwsu (guru silat Bhe) menyerang Sin Hong.

Sin Hong mendengar suara angin pukulan itu dan terkejut sekali. Itulah pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat dan amat berbahaya. Terpaksa dia lalu mendorong sehingga tubuh Siang Cun terhuyung ke belakang, dan dia pun cepat-cepat menyambut dorongan kedua tangan lawan baru itu dengan kedua tangannya sendiri. Namun karena dia tidak bermaksud untuk mencari musuh, maka dia tidak mau menyambut dengan perlawanan keras, melainkan menyambut dan mengatur tenaganya untuk menyedot dan melumpuhkan tenaga dorongan lawan.

“Wuuuuuttt...! Plak! Ahhh...!”

Bhe Gun Ek terkejut bukan main sehingga mengeluarkan seruan sambil melompat jauh ke samping ketika dia merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang lembut, dan merasa betapa tenaga sinkang-nya bagaikan amblas masuk atau bertemu dengan benda yang lembut. Dia merasa khawatir kalau sekali pukul dia mencelakai lawan yang belum dikenalnya siapa, walau pun tadi anak itu mengatakan dia dari Kim-liong-pang, dan untuk menarik kembali pukulannya sudah tak mungkin, maka jalan satu-satunya adalah melompat jauh ke samping sehingga hal ini akan mengurangi daya pukulannya.

Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika dia melihat pemuda itu tidak apa-apa, bergeming sedikit pun tidak, masih berdiri tegak bahkan tersenyum kepadanya. Dia pun tahu bahwa pemuda itu memang lihai, maka dia lalu menghampiri.

“Orang muda dari Kim-liong-pang, katakan dulu siapa namamu sebelum kita bertanding mati-matian di tempat ini!” tantangnya.

Sin Hong memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang gagah, berusia sekitar empat puluh lima tahun. Tubuhnya sedang namun kokoh kuat membayangkan adanya tenaga besar. Pakaiannya sederhana saja, seperti umumnya pakaian seorang guru silat yang ringkas. Di pinggangnya nampak sebuah sabuk rantai dari baja sehingga Sin Hong dapat menduga bahwa tentu orang ini ahli pula memainkan rantai baja yang dipakai sebagai sabuk itu sebagai sebuah senjata yang ampuh. Ia lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paman suka memaafkan saya. Sesungguhnya, saya sama sekali bukan orang Kim-liong-pang, bahkan nama perkumpulan itu pun baru sekali ini saya dengar. Saya adalah seorang perantau yang kebetulan saja hari ini tiba di sini dan memilih kuil tua ini sebagai tempat tinggal sementara.”

Melihat sikap sopan pemuda itu dan mendengar kata-katanya, Bhe Gun Ek menjadi heran. Dia pun menoleh kepada puterinya. “Benarkah dia seorang dari Kim-liong-pang?” tanyanya.

“Ayah, aku pun hanya mendengar dari Ceng Ki!” jawab gadis itu sambil menoleh kepada sute-nya yang lengannya dibalut. Kini Bhe Gun Ek memandang muridnya itu dengan sikap kereng.

“Ceng Ki, bagaimana engkau berani mengatakan bahwa dia ini orang Kim-liong-pang?”

Anak itu nampak ketakutan berhadapan dengan Bhe Kauwsu yang memang terkenal galak terhadap para muridnya dan mengharuskan para muridnya memegang peraturan dan tidak melanggar. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab pertanyaan gurunya.

“Teecu... teecu hanya mendengar keterangan muridnya itu...“

Sekarang Sin Hong yang menjadi terkejut. “Yo Han, keterangan apakah yang telah kau berikan?” tanyanya kereng.

“Teecu tidak memberi keterangan bahwa Suhu adalah orang Kim-liong-pang,” Yo Han membantah sambil memandang kepada Ceng Ki dengan mata melotot marah, “tadi dia mengatakan bahwa suci-nya adalah Naga Betina, dan karena tak mau kalah teecu lalu mengatakan bahwa Suhu tak akan kalah karena Suhu adalah Kim Liong (Naga Emas). Teecu tidak tahu mengapa mereka lalu menganggap Suhu orang dari Kim-liong-pang!”

Mendengar ini, Sin Hong dan Bhe Gun Ek saling pandang. Guru silat itu mengangguk-angguk, menarik napas panjang dan bertanya kepada puterinya. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri, semua ini hanya kesalah pahaman saja karena mulut anak-anak. Lalu kenapa engkau menyerangnya mati-matian?”

“Begini, Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sute-nya pulang dalam keadaan luka-luka. Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan tangannya luka karena digigit sehingga harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang banyak keluar. Dan menurut cerita mereka, mereka baru berkelahi dengan seorang anak jahat yang menjambak dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan ternyata dia berada di sini dan anak itu adalah murid orang ini. Kami berdebat, berselisih dan berkelahi.”

Bhe Gun Ek mengerutkan alisnya. “Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak lalu engkau membela sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukanlah itu keterlaluan namanya?”

“Aku menjadi marah melihat para sute itu, apa lagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka berkelahi biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi digigit!”

Sin Hong melangkah maju dan memberi hormat. “Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil saja dan harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari kesalahannya, juga saya minta maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau yang tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, karena itu, sekali lagi, harap urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”

Bhe Gun Ek tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat. Dengan tangan kosong ia mampu menghadapi sepasang pedang puterinya, bahkan dia juga melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan dipakai menangkisi pedang yang lain!

Bukan itu saja. Dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, tetapi secara aneh dan mengejutkan dapat disambut oleh pemuda itu sebab tenaga pukulannya bagai mengenai benda lunak yang membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya.

Mendengar semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.

“Orang muda yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari Ngo-heng Bu-koan yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga puteri kami tadi terhadap engkau dan muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah, orang muda, dan tentu saja dengan senang hati kami menghabiskan urusan kecil itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek, juga puteri kami ini, Bhe Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”

Sin Hong merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan, mengingat bahwa dia dan muridnya tidak mempunyai pakaian yang pantas untuk bertamu.

Akan tetapi sebelum dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata, “Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang Suhu nasehatkan kepada teecu bahwa seorang gagah lebih dahulu akan mencari kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain! Dan bersikap ramah terhadap siapa pun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu, teecu senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”

Mendengar ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun, Bhe Gun Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi hanya mampu menampar dan menggigit, bisa menjadi murid seorang pemuda yang berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima gemblengan batin yang lebih dulu ditanamkan oleh gurunya sehingga sekecil itu sudah mempunyai jiwa yang amat gagah perkasa!

Sedangkan Sin Hong diam-diam mendongkol, tetapi juga hatinya merasa geli terhadap muridnya. Dia tahu bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena anak itu masih menyesal sesudah menghilangkan uang dari gurunya tadi, dan kini gurunya diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak kemarin belum makan dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!

Bhe Gun Ek tersenyum girang. “Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi guru dan murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada puterinya dan Ceng Ki ia berkata, “Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada Taihiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf kepada saudara kecil yang gagah ini!”

Siang Cun memang sudah tidak marah lagi setelah mendengar bahwa lawannya itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Kim-liong-pang, bahkan ia merasa kagum bukan main. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu tanding seorang pemuda yang selihai ini. Maka, mendengar ucapan ayahnya, ia pun cepat memberi hormat kepada Sin Hong.

“Saudara yang gagah, harap maafkan kesalahanku tadi karena kurang pengertian.”

Sin Hong cepat membalas penghormatan itu.

“Akan tetapi, engkau sudah mengenal nama kami semua sedangkan kami sama sekali belum mengenal namamu dan muridmu,” kata Siang Cun.

Sin Hong tersenyum. “Nona, aku dan muridku hanyalah orang-orang pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya, nama kami pun sama sekali tidak terkenal.”

“Enci yang gagah, jangan percaya kata-kata Suhu. Dia dijuluki orang Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)...“

“Yo Han! Berapa kali kularang engkau menyombongkan diri?” Sin Hong membentak dengan muka merah.

Muridnya itu memang kadang-kadang nakal sekali, dan dia cepat menjura kepada Bhe Gun Ek dan Bhe Siang Cun, berkata dengan sikap merendah. “Namaku Tan Sin Hong, dan muridku yang bodoh dan bandel ini bernama Yo Han.”

Sementara itu, ketika Ceng Ki memberi hormat dan minta maaf kepadanya, Yo Han cepat berkata, “Sudahlah, jangan meminta maaf kepadaku, akan tetapi mintalah maaf kepada suhu-mu karena engkau telah melanggar ajarannya yang baik.”

Kemudian, kontan Yo Han berlutut di depan suhu-nya sendiri dan berkata, “Harap Suhu sudi memaafkan kenakalan dan kebandelan teecu.”

Yo Han memang cerdik sekali. Dia maklum bahwa dia telah membuat gurunya rikuh, maka kini setelah memberi nasehat kepada Ceng Ki, dia pun cepat mendahului minta maaf kepada gurunya sendiri.

Mendengar ucapan Yo Han tadi, dan melihat anak itu minta maaf kepada gurunya, tentu saja Ceng Ki merasa malu dan cepat-cepat dia pun menjatuhkan dirinya di depan kaki gurunya dan mohon maaf atas kesalahannya. “Harap Suhu sudi memaafkan teecu yang telah membuat keributan.”

Melihat ini, Bhe Gun Ek tertawa bergelak dengan girang sekali. “Ha-ha-ha-ha! Memang banyak untungnya bergaul dengan orang-orang bijaksana. Tan Taihiap, kami merasa amat gembira dan beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan engkau dan muridmu. Yo Han, terima kasih atas pelajaran yang telah kau berikan kepada Ceng Ki! Marilah, Tan Taihiap, mari kita bercakap-cakap di rumah kami agar lebih leluasa!”

Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan dia berjalan seiring dengan Bhe Gun Ek dan puterinya. Yo Han mengiringkan di belakangnya, bersama Ceng Ki yang kini bersikap manis kepadanya.

Sin Hong dan muridnya disambut sebagai seorang tamu kehormatan. Pihak tuan rumah, dari Bhe Kauwsu, puterinya sampai para murid utama yang ikut menyambut, bersikap hormat kepada Sin Hong dan muridnya walau pun pakaian guru dan murid ini dihias tambalan. Hal ini membuat Sin Hong amat tertarik dan juga kagum. Tahulah dia bahwa dia berada di antara orang gagah sehingga hatinya merasa senang.

Dalam perjamuan yang meriah, ketika mereka makan minum bersama di sebuah meja besar yang terbuat dari meja disambung-sambung, yang duduk mengelilingi meja itu ada belasan orang banyaknya termasuk murid-murid kepala, Sin Hong bertanya kepada tuan rumah tentang Kim-liong-pang.

“Bhe Kauwsu, aku masih merasa heran sekali ketika disangka aku adalah orang dari Kim-liong-pang. Aku menduga agaknya ada permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu. Perkumpulan apakah Kim-liong-pang itu dan jika boleh aku bertanya, mengapa terjadi permusuhan?”

Ditanya demikian, wajah tuan rumah dan para muridnya mendadak menjadi muram. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Bhe Gun Ek lalu berkata, “Kalau dipikir memang membuat orang menjadi penasaran dan sakit hati, Tan Taihiap. Bayangkan saja, Kim-liong-pang yang sarangnya berada di puncak bukit Kim-liong-san di luar kota Lu-jiang ini, di pimpin oleh seorang sahabat baik, bahkan puteranya menjadi tunangan puteriku Siang Cun ini. Akan tetapi, kini kami kedua pihak telah menjadi musuh besar dan terjadi perkelahian yang mengorbankan banyak murid-murid kami dan para anggota Kim-liong-pang sendiri.”

Tiba-tiba seorang di antara para murid kepala bangkit berdiri dan sambil mengepal tinju dia berkata, “Suhu, maafkan teecu! Membicarakan Kim-liong-pang telah membuat teecu kehilangan nafsu makan dan sebaiknya kalau teecu tidak ikut mendengarkan. Maka dari itu, perkenankan teecu mengundurkan diri, Suhu!”

Bhe Kauwsu memandang kepada murid itu dan menarik napas panjang. “Aku dapat mengerti perasaanmu, Hok Ci. Kuperkenankan engkau mengundurkan diri.”

Murid Ngo-heng Bu-koan itu kemudian menjura ke arah Sin Hong. “Tan Taihiap, harap maafkan saya.” Dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.

Sin Hong memperhatikan murid itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang saja namun nampak kuat dan gesit. Wajahnya tampan namun ia melihat keganasan membayang pada pandang matanya, sedangkan mulutnya selalu tersenyum agak sinis.

“Kasihan dia...!” kata Bhe Kauwsu. “Harap maafkan dia, Tan Taihiap. Di antara kami, mungkin dia yang paling menderita akibat permusuhan dengan Kim-liong-pang. Bahkan dialah yang mula-mula kehilangan seorang tunangannya yang mati terbunuh oleh pihak Kim-liong-pang.”

Sin Hong memandang tajam penuh selidik. “Apakah Kim-liong-pang perkumpulan orang jahat?”

“Sama sekali tidak. Bahkan ketuanya, Ciok Kam Heng adalah bekas sahabat baikku, seorang gagah yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Puteranya, Ciok Lim, tadinya bahkan bertunangan dengan puteri kami Siang Cun. Sekarang tentu saja pertunangan itu putus dan mereka menjadi musuh besar kami.”

“Tapi... mengapa begitu?” Sin Hong penasaran.

“Engkau sudah kami anggap sebagai seorang sahabat baik, Tan Taihiap, maka kami takkan menyimpan rahasia. Baiklah, kami akan bercerita mengenai permusuhan itu.”

Bhe Gun Ek lalu bercerita dengan singkat namun jelas. Dia adalah seorang ahli silat yang banyak mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan berhasil menggabungkan ilmu kedua partai persilatan itu dan menciptakan beberapa macam ilmu silat sendiri, di antaranya yang paling hebat adalah Ngo-heng-kun.

Pada saat dia membuka rumah perguruan silat, dia memakai nama Ngo-heng Bu-koan karena memang inti pelajaran yang dia berikan adalah Ngo-heng-kun. Bhe Gun Ek dan isterinya hanya memiliki seorang anak, yaitu Bhe Siang Cun yang sudah mewarisi ilmu ilmunya, bahkan gadis ini sudah membantu para suheng-nya, yaitu murid-murid tertua dan utama dari ayahnya, untuk membimbing kepada para murid muda.

Pada waktu Siang Cun berusia delapan belas tahun, setahun yang lalu, Bhe Gun Ek menerima pinangan seorang sahabatnya, yaitu Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang di puncak bukit Kim-liong-san yang nampak dari kota Lu-jiang. Sudah lama dia bersahabat dengan Ciok Kam Heng sehingga pinangan itu lalu diterima dengan senang hati. Juga Siang Cu tidak membantah.

Putera tunggal ketua Kim-liong-pang itu bernama Ciok Lim, kini berusia dua puluh lima tahun. Dia seorang pemuda yang cukup ganteng dan memiliki ilmu silat yang tinggi pula, bahkan dalam suatu pesta tahun baru, iseng-iseng kedua orang tua mereka menguji ilmu kepandaian pemuda dan gadis ini.

Mereka yang sudah ditunangkan itu mengadu ilmu, dan harus diakui oleh Siang Cun bahwa tingkat kepandaian tunangannya itu sedikit lebih tinggi darinya. Hal ini membuat hatinya senang, apa lagi dalam adu ilmu itu, Ciok Lim selalu mengalah sehingga tidak membikin malu padanya.

Akan tetapi, pada suatu malam, ketika Ciok Lim yang dijamu oleh Bhe-kauwsu pulang dalam keadaan setengah mabuk, terjadilah hal yang amat mengerikan. Seorang murid perempuan dari Ngo-heng Bu-koan yang bernama Bong Siok Cin, seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun, kedapatan tewas dalam keadaan telanjang bulat di dalam hutan kecil di kaki bukit Kim-liong-san! Jelas bahwa gadis itu telah diperkosa orang lalu dibunuh! Dan di antara pakaiannya yang berserakan akibat direnggut dengan paksa dan robek-robek, para murid Ngo-heng Bu-koan menemukan sebuah topi merah. Topi yang biasa dipakai oleh Ciok Lim!

Tentu saja terjadi geger di kalangan murid Ngo-heng Bu-koan! Yang paling berduka dan marah adalah Phoa Hok Ci, sebab Bong Siok Cin yang terbunuh dalam keadaan terhina dan menyedihkan itu bukan lain adalah tunangannya! Meski Bhe Kauwsu membujuknya supaya bersabar dan kematian murid itu perlu diselidiki dengan seksama, namun Phoa Hok Ci tidak dapat menahan dendam sakit hatinya. Bersama tiga orang sute yang ikut berbela sungkawa dan bersetia kawan ia kemudian pergi ke Kim-liong-san, mendatangi perkumpulan Kim-liong-pang dan lantas menantang Ciok Lim yang dituduhnya sebagai pemerkosa dan pembunuh!

Ciok Lim yang keluar menemui empat orang murid Ngo-heng Bu-koan itu terkejut bukan main dan tentu saja dia menyangkal keras.

Akan tetapi, dengan sikap menantang dan dengan senyumnya yang sinis, Phoa Hok Ci yang menaruh dendam hebat atas kematian tunangannya itu, segera bertanya. “Ciok Lim, kami tidak menuduh membuta-tuli! Coba katakan, ke mana semalam engkau pergi sampai larut malam?”

Ciok Lim mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengenal Phoa Hok Ci, sebagai suheng dari tunangannya, yaitu puteri Bhe Kauwsu. “Kukira semua murid Ngo-heng Bu-koan tadi malam juga melihatku. Aku mendapat kehormatan dijamu minum arak oleh calon ayah mertuaku, yaitu guru kalian. Menjelang tengah malam, aku pulang.”

“Dalam keadaan mabuk, bukan?” Phoa Hok Ci mendesak.

“Aku tidak pernah mabuk, dalam arti kata sampai tidak sadar. Memang aku telah minum banyak, akan tetapi aku masih sadar dan dapat pulang, setibanya di rumah langsung tidur.”

“Hemmm, bagus sekali cerita karanganmu itu! Engkau dalam keadaan setengah mabuk, bertemu dengan sumoi Bong Siok Cin di jalan. Engkau menggodanya dan tentu saja ia bukan lawanmu. Engkau lalu menangkapnya dan membawanya sampai ke hutan di kaki bukit Kim-liong-san, kemudian engkau memperkosanya! Dan oleh karena takut gadis itu membuka rahasia kejahatanmu, engkau lalu membunuhnya!”

“Tidak benar! Itu fitnah belaka!” bantah Ciok Lim dan ketika itu sudah banyak anggota Kim-liong-pang yang keluar menyaksikan percekcokan itu. “Aku tidak bertemu siapa pun dan dan tidak melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kau tuduhkan.”

“Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Semua bukti-bukti telah lengkap, maka aku nasehatkan engkau supaya menyerah saja untuk kami tangkap dan kami bawa menghadap suhu kami!” kata pula Phoa Hok Ci dengan muka merah dan mencorong marah.

“Tidak! Apa buktinya bahwa aku melakukan perbuatan jahat itu?” tantang Ciok Lim.

“Hemmm, engkau masih hendak menyangkal dan mau melihat buktinya?” Phoa Hok Ci mengeluarkan sebuah topi merah yang sejak tadi disimpannya di dalam saku bajunya. Itulah topi yang ditemukan di antara pakaian Bong Siok Cin yang berserakan. “Nah, lihat, topi siapakah ini?”

Sepasang mata Ciok Lim terbelalak memandang kepada topi di tangan murid Ngo-heng Bu-koan itu, dan wajahnya berubah. “Itu... itu memang topiku... semalam aku kehilangan topiku itu! Ah, aku berada dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum sehingga aku lupa lagi di mana kutaruh topiku. Akan tetapi... bagaimana topiku itu dapat berada di tanganmu?”

Mulut Phoa Hok Ci semakin sinis menyeringai. “Hemmm, pandai berpura-pura pula! Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Topi ini kami temukan di dekat mayat sumoi Bong Siok Cin!”

“Suheng, tangkap saja dia. Untuk apa banyak cakap lagi terhadap seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat keji?” teriak seorang murid Ngo-heng Bu-koan.

Phoa Hok Ci lalu maju menyerang dengan pedangnya. Ciok Lim terpaksa membela diri dan mencabut pedang pula. Ketika tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan maju, mereka disambut oleh banyak murid atau anggota Kim-liong-pang.

Terjadilah perkelahian dengan kekalahan di pihak empat orang murid-murid Ngo-heng Bu-koan! Mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sambil mengeluh mereka mengadu kepada guru mereka.

Bhe Kauwsu menjadi bingung. Memang murid perempuan dari perguruannya diperkosa dan dibunuh orang, akan tetapi dia masih meragukan apakah benar calon menantunya yang melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana pun juga, topi merah itu ditemukan di antara pakaian mendiang Siok Cin yang berserakan, dan semalam, ketika dia menjamu minum arak kepada calon mantunya ltu, memang Ciok Lim memakai topi merah itu.....

Kakek bermuka singa ini memang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian dan berjuluk Hoan Saikong, dan baru beberapa tahun saja dia meninggalkan tempat pertapaannya di Pegunungan Thai-san di mana selama puluhan tahun dia bertapa dan mematangkan ilmu-ilmunya. Dia turun gunung dan hidup sebagai seorang pertapa yang mengharapkan makanan dari sedekah para dermawan.

Tapi agaknya puluhan tahun bertapa itu sama sekali tidak mengubah dasar wataknya, dan ternyata setelah berada di dunia ramai, sebentar saja dia sudah kembali menjadi hamba nafsu-nafsunya seperti sebelum dia bertapa. Memang pada waktu muda dahulu Hoan Saikong terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang amat kejam.

Phoa Hok Ci secara kebetulan saja bertemu dengan Hoan Saikong empat tahun yang lalu. Dia melihat betapa saktinya kakek ini, maka segera didekatinya dan dengan royal dia memberi pakaian dan makan minum kepada kakek itu, bahkan melihat betapa kakek itu tidak pantang bermain dengan wanita, Phoa Hok Ci lalu mencarikan gadis panggilan untuk menyenangkan hatinya.

Hoan Saikong merasa senang dan dia mau menerima Phoa Hok Ci sebagai muridnya, asal Phoa Hok Ci dapat mencukupi semua kebutuhannya. Kemudian, setelah pergaulan mereka sebagai guru dan murid semakin akrab, mereka merencanakan sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya.

Phoa Hok Ci tergila-gila kepada Siang Cun, puteri gurunya sendiri, akan tetapi gurunya tidak suka menerimanya sebagai calon mantu, bahkan sudah menerima pinangan pihak Kim-liong-pang. Hal ini membuat Phoa Hok Ci penasaran dan dia lalu berunding dengan gurunya yang baru, gurunya yang dia rahasiakan dari siapa pun juga.

Di dalam perundingan inilah keduanya merencanakan siasat mereka mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Kalau mereka berhasil, maka pertalian jodoh antara Siang Cun dan Ciok Lim akan putus, dan ada harapan Siang Cun akan menjadi isteri Phoa Hok Ci. Dan harapan lain bagi Hoan Saikong adalah untuk merebut dan menguasai Kim-liong-pang di mana dia akan menjadi ketua yang baru sehingga namanya akan terangkat tinggi dan dia akan menjadi seorang pangcu yang terhormat.

Hal ini tidak akan sukar dilakukan kalau Kim-liong-pang sudah menjadi lemah karena permusuhannya dengan Ngo-heng Bu-koan. Tentu saja dengan bantuan Hoan Saikong yang lihai, mudah bagi Phoa Hok Ci untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan pada ke dua pihak dan mengadu domba mereka. Dan sebagai awal siasat keji itu, dengan kejam sekali dia memperkosa dan membunuh sumoi-nya sendiri, Bong Siok Cin, setelah berhasil mencuri topi dari Ciok Lim yang baru saja dijamu oleh calon mertuanya sampai setengah mabuk. Dalam keadaan setengah mabuk itu, mudah saja bagi Phoa Hok Ci dan Hoan Saikong untuk mencuri topinya tanpa dia ketahui.

Demikianlah sedikit mengenai Hoan Saikong yang kini berhadapan dengan Sin Hong. Ketika Phoa Hok Ci melihat bahwa Sin Hong mendengarkan percakapannya dengan sute-nya sebelum sute itu dibunuhnya, dia menjadi kaget dan juga khawatir sekali. Maka dia pun teringat kepada gurunya itu dan dia sengaja memancing Sin Hong ke kuil tua itu di mana terdapat Hoan Saikong yang segera siap untuk membantu muridnya.

Kini, dia berhadapan dengan Sin Hong, dan karena kesombongannya, dia menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong, mengira bahwa dengan mudah saja dia akan dapat membunuh lawan yang agaknya ditakuti muridnya itu.

Namun dia kecelik! Tubrukan dengan kedua lengan mencengkeram dari kanan kiri itu hanya mengenai angin saja. Tiba-tiba kaki Sin Hong menggeser ke samping dan tangan kirinya cepat menotok ke arah lambung lawan. Gerakan pemuda itu demikian cepatnya, merupakan serangan balasan yang serentak sehingga Hoan Saikong juga cepat-cepat harus menarik tangannya dan menangkis sambil mencoba untuk mencengkeram lengan Sin Hong.

“Dukkk!”

Tangkisan itu membuat tubuh Hoan Saikong tergetar hebat dan tentu saja dia tidak jadi mencengkeram karena lengannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya melihat betapa lawan yang amat muda itu memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya. Dari pertemuan lengan itu Hoan Saikong dapat menduga bahwa meski lawannya itu masih amat muda, akan tetapi tidak seperti yang diduganya, bukan seorang lawan yang boleh dipandang ringan.

Hoan Saikong kemudian mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan kini dia menyerang lagi dengan dahsyat, sambil mengerahkan semua tenaganya. Dan tahulah Sin Hong ketika melihat gerakan kaki tangan lawan bahwa kakek itu adalah seorang ahli silat dengan gaya harimau. Akan tetapi bukan sembarang Hauw-kun (Silat Harimau).

Memang banyak macamnya silat harimau diciptakan oleh perguruan silat yang berbeda aliran, walau pun pada dasarnya ada persamaan yaitu dengan meniru ketangkasan dan kegesitan harimau. Akan tetapi gaya silat harimau yang dimainkan oleh kakek bermuka singa ini sungguh dahsyat sekali, bahkan jauh lebih berbahaya dari pada melawan seekor harimau tulen!

Kedua tangan kakek itu membentuk cakar harimau yang amat kuat, dan walau pun kuku-kuku jari tangannya tidak panjang melengkung dan kokoh seperti kuku harimau, namun jari-jari tangannya itu mengandung sinkang kuat sekali dan cengkeraman kedua tangannya dapat menembus batang pohon, bahkan batu karang. Dapat dibayangkan betapa kulit daging akan koyak-koyak, tulang akan remuk kalau terkena cengkeraman kedua tangan yang membentuk cakar itu!

Akan tetapi sekali lagi kakek itu kecelik. Yang dilawannya sekarang bukanlah seorang pendekar biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi yang sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari para penghuni Istana Gurun Pasir!

Ketika Sin Hong melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat harimau yang sangat dahsyat, yang sambaran angin dari kedua tangan itu saja sudah mendatangkan hawa panas dan sangat berbahaya, dia pun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti. Maka, dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun, yaitu ilmu gabungan dari ketiga orang gurunya.

Ilmu silat ini memang hebat bukan main, bukannya seperti ilmu-ilmu silat Ho-kun (Silat Bangau) biasa saja. Biar pun gaya dasarnya meniru gerakan burung bangau putih yang indah dan lemas di samping kekuatan dan kecepatan burung itu, akan tetapi intinya mengandung perasan dari ilmu-ilmu yang dikuasai tiga orang tua sakti itu! Bahkan untuk mempelajari ilmu silat sakti ini, Sin Hong terlebih dahulu menerima pengoperan sinkang gabungan dari tiga orang gurunya, dan untuk bisa berhasil menguasai ilmu itu dengan sempurna, dia bahkan harus bertapa selama setahun, tidak boleh mengerahkan tenaga sedikit pun karena hal ini akan dapat menewaskannya.

Begitu Sin Hong menghadapi Houw-kun yang amat hebat dari kakek itu dengan Pek-ho Sin-kun, kakek itu kembali terkejut. Gerakan dua lengan pemuda itu yang mirip dengan gerakan leher dan kepala burung bangau, mengandung hawa pukulan yang kuat sekali. Setiap kali mereka beradu lengan, Hoan Saikong lantas terdorong ke belakang seperti diserang angin taufan!

“Haaauuuwww...!”

Tiba-tiba Hoan Saikong mengeluarkan suara gerengan yang sangat dahsyat. Gerengan ini mengandung khikang yang kuat dan kalau lawannya bukan Sin Hong, sedikit banyak tentu akan terpengaruh oleh getaran suara menggereng ini. Dan sambil menggereng, kakek itu menubruk ke depan, cakar kanannya mencakar ke arah ubun-ubun kepala Sin Hong, cakar kiri dari samping mencakar perut. Gerakannya cepat dan amat kuat, kedua cakar itu ketika menyambar mendatangkan angin keras.

Sin Hong maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia pun melangkah ke belakang. Tubuhnya ditarik ke belakang dan kedua tangannya menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua lengan yang dikembangkan dari tengah, yang kiri mendorong ke atas dan yang kanan mendorong ke bawah.

“Dukkk! Dukkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan kembali tubuh kakek itu terdorong ke belakang. Tetapi dengan cepat Hoan Saikong kini menubruk ke depan, bukan hanya kedua tangan yang bergerak seperti sepasang kaki depan harimau untuk mencakar, juga mulutnya dibuka lebar seperti harimau yang hendak menggigit. Namun kakek ini tidak menggigit karena giginya pun sudah banyak yang ompong, melainkan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk ke arah dada lawan! Serangan kedua tangan dan kepala ini memang lebih dahsyat dari pada tadi, dan tubuhnya meluncur seperti harimau meloncat.

Dengan ringan sekali, tiba-tiba tubuh Sin Hong meloncat ke atas seperti seekor burung terbang. Tubrukan Hoan Saikong lewat di bawahnya dan kini tubuh Sin Hong berjungkir balik membuat salto, kemudian dengan kepala di bawah, tubuhnya meluncur ke bawah, tangannya membentuk paruh burung yang menotok ke arah tengkuk dan pundak Hoan Saikong!

Hoan Saikong mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa serangannya yang dilakukan dengan seluruh tenaganya itu selain gagal sama sekali, juga berbalik, bahkan kini lawan yang menyerangnya dari atas. Dan serangan dua totokan dari atas itu hebat bukan main. Hoan Saikong melempar tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan menjauh sehingga serangan Sin Hong itu pun luput.

Ketika melihat lawannya menyambar tombak dan kini menyerangnya dengan tombak, Sin Hong cepat mengatur langkah dan mengelak ke sana-sini dengan ringannya. Kedua kakinya bagai kaki burung bangau, melangkah ringan tanpa mengeluarkan suara namun selalu dapat menghindarkan sambaran ujung mata tombak yang berkelebatan.

Namun kini Phoa Hok Ci sudah maju mengeroyok dengan menggunakan pedangnya. Sebagai murid pertama dari Ngo-heng Bu-koan, apa lagi telah menerima gemblengan selama empat tahun dari Hoan Saikong, tingkat kepandaian Phoa Hok Ci ini tidak boleh dipandang ringan dan begitu dia maju mengeroyok, Sin Hong dihujani serangan tombak dan pedang.

Jika saja Si Bangau Putih, demikian julukan Sin Hong, menghendaki, agaknya dia akan mampu merobohkan dua orang pengeroyoknya itu dengan ilmunya yang tinggi. Namun, dia tidak bermaksud membunuh mereka, bahkan dia harus dapat menangkap Phoa Hok Ci hidup-hidup, oleh karena orang inilah yang dapat dijadikan kunci perdamaian antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan dan melenyapkan kesalah pahaman yang timbul karena fitnah yang disebarkan oleh Phoa Hok Ci. Karena hendak menangkap Phoa Hok Ci, maka Sin Hong tidak mau melakukan serangan mautnya. Ia menunggu kesempatan untuk dapat menangkap pengkhianat itu.

Setelah menghadapi serangan dua orang bersenjata itu dengan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya, sambil menunggu kesempatan baik, akhirnya Sin Hong melihat terbukanya kesempatan. Dia berhasil menangkap tombak di tangan Hoan Saikong, lalu mengerahkan tenaga menarik sehingga lawannya itu ikut tertarik, dan dengan gagang tombak yang masih dipegangnya itu, Sin Hong menangkis pedang Phoa Hok Ci yang menyambar, berbareng dia mengirim tendangan kilat ke arah lutut kaki kiri Phoa Hok Ci.

Orang ini terkejut, namun masih sempat meloncat ke samping sehingga yang terkena tendangan hanya betisnya, namun cukup membuat dia terpelanting dan Sin Hong yang menarik tombak, lalu membalikkan tubuhnya sambil tangan kirinya menampar ke arah kepala Saikong itu.

Hoan Saikong cepat memutar tombaknya terlepas dari pegangan Sin Hong, dan sambil mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, Hoan Saikong menggerakkan tombaknya untuk menusuk perut lawannya! Tusukan yang sangat cepat datangnya itu dielakkan oleh Sin Hong yang memiringkan tubuhnya dan ketika tombak meluncur lewat dekat pinggang, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan miring ke arah gagang tombak.

“Krekkk!” Tombak itu pun patah menjadi dua potong!

Hoan Saikong terkejut dan melompat ke dalam kuil, menyusul muridnya yang sudah lebih dulu melarikan diri setelah tadi betisnya kena ditendang oleh Sin Hong.

“Phoa Hok Ci, hendak lari ke mana kau?” Sin Hong membentak dan cepat melompat ke dalam kuil melakukan pengejaran.

Setelah mencari-cari, dia melihat Hoan Saikong berdiri menantinya di ruang belakang, sebuah ruangan kecil yang cukup terang karena di sudut dinding tergantung sebuah lampu dinding yang cukup terang. Melihat ini, Sin Hong merasa curiga. Dia bukan orang bodoh.

Jika musuh yang telah melarikan diri dan dikejarnya kini menantinya di sebuah ruangan yang diterangi lampu, maka hal ini patut dicurigakan. Mungkin ada sebuah perangkap, pikirnya, maka dia pun melangkah masuk dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mungkin Phoa Hok Ci yang tidak nampak akan menyerangnya dengan senjata rahasia.

Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika dia melangkah masuk dan dia pun berkata kepada kakek itu, “Locianpwe, di antara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengenal Locianpwe dan sebaliknya Locianpwe pun tidak mengenalku. Aku hanya ingin mengajak Phoa Hok Ci untuk pulang ke Ngo-heng Bu-koan untuk membuat pengakuan tentang semua perbuatannya mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Serahkan Phoa Hok Ci dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu Locianpwe lebih lama lagi.”

Akan tetapi, sebagai jawaban, Hoan Saikong mengelebatkan pedangnya dan langsung menyerang Sin Hong dengan permainan pedang yang amat dahsyat dan cepat. Kiranya kakek ini tadi melarikan diri karena tombaknya patah, dan kini sudah berganti senjata pedang yang juga dapat dimainkannya dengan cepat sekali.

Sin Hong menjadi amat penasaran dan marah. Orang ini agaknya hendak mati-matian membela muridnya yang jelas telah melakukan perbuatan yang amat keji! Kalau dia tidak lebih dulu merobohkan orang ini dengan cepat, tentu akan sukar untuk menangkap Phoa Hok Ci.

Karena itu, begitu lawan menyerangnya, Sin Hong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan cepat dan dahsyat sekali. Totokan demi totokan yang amat cepat dia lancarkan ke arah lengan yang memegang pedang dan bagian anggota lain sehingga Hoan Saikong yang menggunakan pedang itu sebaliknya malah terdesak hebat oleh Sin Hong. Dan karena selama perkelahian itu tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, tidak ada senjata rahasia dilepaskan dari temat gelap, maka Sin Hong menjadi agak lengah dan kecurigaannya tadi menipis.

Pada saat dia mendesak terus dan perkelahian itu terjadi dengan sengitnya di tengah ruangan yang tidak luas itu, mendadak Hoan Saikong mengeluarkan teriakan nyaring sekali, tetapi teriakan ini bukan untuk melakukan serangan, melainkan untuk melompat pergi dari ruangan itu! Dan teriakan itu juga merupakan isyarat kepada Phoa Hok Ci untuk bertindak karena tiba-tiba saja lantai ruangan yang diinjak oleh kaki Sin Hong terbuka ke bawah!

Sin Hong terkejut sekali. Cepat tangannya meraih dan dia masih dapat menangkap kaki Hoan Saikong yang hendak meloncat pergi dari ruangan itu. Kalau saja Hoan Saikong melanjutkan loncatannya, tentu dia dan juga Sin Hong akan dapat keluar dari ruangan itu.

Akan tetapi, Hoan Saikong agaknya terkejut dan tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu masih sempat menangkap kakinya. Dengan marah dia kemudian menusukkan pedangnya ke arah leher Sin Hong. Melihat ini, Sin Hong mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan dengan tangan miring dia menyampok dan memukul ke arah pedang yang melakukan serangan maut itu.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dari pegangan Hoan Saikong, akan tetapi karena gerakan-gerakan itu, loncatannya kehilangan tenaga dan tubuh mereka berdua tanpa dapat dicegah lagi meluncur jatuh ke dalam lubang di ruangan itu!

Melihat betapa dia bersama lawannya terjeblos ke bawah, Sin Hong cepat melepaskan pegangannya pada kaki lawan. Dia pun segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk meringankan tubuhnya. Biar pun Hoan Saikong juga melakukan ini, namun karena dia nampak ketakutan sekali, maka ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikerahkannya menjadi berantakan dan tubuhnya meluncur lebih cepat dari pada Sin Hong ke dalam lubang yang dalam dan gelap itu.

Diam-diam Sin Hong merasa kaget juga melihat betapa lamanya dia tiba di dasar lubang jebakan itu, tanda bahwa lubang itu cukup dalam! Terdengar jerit mengerikan dari Hoan Saikong di sebelah bawah ketika tubuh kakek itu lebih dulu tiba di dasar lubang, teriakan kematian!

Sin Hong mengerahkan ginkang-nya dan ia memandang ke bawah, melihat garis bentuk tubuh Hoan Saikong rebah meringkuk ke bawah. Dengan hati-hati sekali Sin Hong lalu mengarahkan kedua kakinya menginjak tubuh itu. Untung dia melakukan hal ini karena ternyata bahwa dasar lubang yang sempit itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya! Tubuh mayat Hoan Saikong telah menyelamatkannya! Dia dapat hinggap di atas tubuh itu dan terbebas dari tusukan tombak-tombak itu.

Pantas saja Hoan Saikong tadi mengeluarkan teriakan ketakutan saat terjatuh. Agaknya dia sudah tahu akan keadaan sumur maut ini, dan begitu terjatuh, tubuhnya diterima tombak-tombak itu hingga tewas seketika.

Sin Hong meraba ke kanan kiri. Kedua tangannya menyentuh dinding sumur yang licin sekali, penuh lumut. Tidak mungkin merangkak ke atas menggunakan sinkang karena dinding itu licin bukan main. Meloncat ke atas? Sama sekali tidak mungkin!

Ketika dia melihat ke atas, nampak lubang itu, lubang di tengah ruangan yang nampak samar-samar diterangi lampu di dinding ruangan itu. Lalu nampak kepala orang di tepi sumur. Dari bawah pun dia dapat melihat bahwa itu adalah kepala Phoa Hok Ci!

Dia menahan napas dan tidak bergerak. Biarlah dia disangka mati seperti kakek itu, karena kalau Phoa Hok Ci mengetahui bahwa dia masih hidup, mungkin orang itu akan menyerangnya dengan melemparkan sesuatu dan hal ini berbahaya sekali. Kemudian, dia mendengar suara Phoa Hok Ci tertawa. Agaknya orang itu girang dan mengira dia telah mati. Murid itu agaknya sama sekali tidak merasa berduka biar pun gurunya juga mati di dalam lubang jebakan ini. Hal ini saja menunjukkan betapa buruknya watak laki-laki itu. Kepala Phoa Hok Ci lenyap dan penerangan di atas padam. Suasana kembali menjadi gelap gulita.

Sin Hong masih berdiri di atas mayat Hoan Saikong yang tertusuk tombak-tombak itu. Meloncat ke atas tidak mungkin. Merayap melalui dinding lubang itu pun tidak mungkin. Tanpa bantuan orang dari atas, tidak mungkin dia naik ke atas! Dalam keadaan gelap gulita itu, menyelidiki keadaan di dasar lubang itu pun tidak mungkin. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti sampai malam itu lewat dan ada sinar matahari menerangi dasar lubang itu agar dia bisa menyelidiki dan mencari jalan keluar. Terpaksa dia harus menanti.

“Locianpwe, maafkan aku.” bisiknya kepada mayat di bawahnya dan dia pun dengan hati-hati duduk bersila di atas tubuh mayat yang masih hangat itu.....

********************

Sementara itu, Yo Han mencari-cari gurunya. Setelah keluar masuk hutan kecil, dia menjadi bingung. Dia tidak tahu ke mana harus mencari gurunya, dan untuk kembali ke tempat tadi dia pun tidak mampu lagi. Malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal daerah itu.

Biar pun hatinya bingung sekali namun Yo Han tidak berani memanggil nama gurunya. Dia tahu bahwa gurunya sedang mengejar orang, dan mungkin orang itu bersembunyi dan gurunya sedang mencari-cari. Kalau dia membuat gaduh, mungkin akan dapat menggagalkan usaha gurunya itu. Dia mencari terus, keluar masuk hutan dan semalam suntuk dia tidak pernah berhenti.

Sampai keesokan harinya, setelah sinar matahari mengusir kegelapan malam, Yo Han memasuki sebuah hutan dan dia melihat sebuah kuil tua. Dimasukinya pekarangan kuil itu. Anak yang cerdik ini melihat adanya jejak-jejak kaki di tanah pekarangan. Hatinya menjadi tegang, apa lagi pada waktu dia tiba di ruangan depan kuil tua itu dan melihat lantainya. Jelas di tempat itu ada tanda-tanda bahwa baru saja terjadi perkelahian di situ.

Dengan hati-hati dia masuk ke dalam. Kuil itu sunyi dan tidak nampak seorang pun, juga tak terdengar ada suara orang. Hatinya terasa kecut dan mulailah ia khawatir. Gurunya sudah semalam suntuk mengejar orang, kenapa belum juga kembali? Ataukah mungkin sudah kembali dan tidak bertemu dengan dia? Ah, bagaimana kalau sampai dia tersesat dan tidak akan berjumpa kembali dengan gurunya? Mungkin sekarang gurunya, seperti dia, juga sedang mencari-cari dia.

“Suhuuuuu...!“ Akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan berteriak memanggil gurunya sambil menjenguk ke dalam kuil. Suaranya nyaring dan karena kuil itu merupakan bangunan yang cukup besar dan kosong, suaranya bergema.

“Suhuuuuu...!” Sekali lagi dia memanggil, lebih kuat karena dia seperti mendapat firasat bahwa gurunya berada di sekitar tempat itu.

Tiba-tiba terdengar jawaban yang membuat Yo Han hampir meloncat saking kaget dan girangnya. “Yo Han...! Engkaukah itu...?”

Suara ini jelas sekali, akan tetapi terdengar dengan bunyi gaung yang aneh sehingga dia tak mengenal apakah itu suara gurunya atau bukan dan datangnya dari arah dalam kuil!

“Suhuuuuu...! Suhu, di manakah engkau?” Yo Han masuk ke dalam kuil itu sampai ke ruangan dalam.

“Di ruangan belakang, Yo Han. Masuklah terus ke belakang sampai ada ruangan yang lantainya terbuka. Hati-hati, jangan sampai terjatuh ke bawah. Aku terjebak di bawah sini!”

Yo Han merasa girang bukan main menemukan gurunya. Cepat ia maju dan ketika tiba di ruangan yang dimaksudkan, ia melihat betapa lantai ruangan ini memang terbuka ke bawah. Ia mendekat sampai di tepi lubang dan melongok ke dalam. Akan tetapi karena ruangan itu terang dengan cahaya matahari sedangkan lubang itu sempit dan dalam, yang nampak hanyalah kegelapan menghitam saja.

Akan tetapi Sin Hong dapat melihat kepala muridnya dan hatinya girang bukan main. Girang dan juga kagum. Bagaimana anak itu bisa menemukannya? Dia sejak tadi sudah mencari-cari jalan keluar, akan tetapi agaknya tidak ada jalan keluar dari tempat itu kecuali kalau ada yang datang menolongnya! Dan kuil tua itu tentu jarang didatangi orang, dalam sebuah hutan sunyi lagi. Diam-diam dia bergidik. Haruskah dia mati di tempat itu? Dan, sebelum mati, dia akan tersiksa oleh bau mayat membusuk!

“Suhu, apakah Suhu berada di bawah sana?” Yo Han berteriak. Dia berusaha keras menggunakan penglihatannya menembus kegelapan di bawah.

“Yo Han, dengarkan baik-baik. Aku terjeblos di sini dan tidak akan dapat naik tanpa bantuanmu. Kau pergilah cari tali yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak. Kumpulkan akar-akar gantung dan sambung-sambung sampai panjang, lalu turunkan ke sini. Cepat!”

“Baik, Suhu. Teecu pergi mencari!” kata Yo Han.

Anak yang cerdik ini tak mau banyak cakap lagi, kemudian keluar dari ruangan itu dan sebelum mencari keluar kuil untuk mengumpulkan akar gantung, dia lebih dulu mencari-cari di dalam kuil dan di belakang.

Usahanya berhasil. Dia menemukan tali yang panjangnya ada lima tombak. Karena permintaan suhu-nya harus yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak, Yo Han lalu keluar dan mulai mengumpulkan akar gantung dari pohon-pohon besar.

Untunglah bahwa selama menjadi murid Sin Hong, biar pun dia belum dilatih ilmu silat, namun jasmaninya sudah digembleng sehingga dia memiliki tubuh yang kuat, tenaga besar dan juga tahan uji sehingga biar pun pekerjaan ini amat berat bagi seorang anak kecil seperti dia, akan tetapi akhirnya setelah matahari naik tinggi, berhasillah Yo Han menyambung-nyambung akar gantung yang kuat sampai sepanjang lima belas tombak lebih.

Sementara itu, dapat dibayangkan betapa tegang rasa hati Sin Hong. Setelah melihat munculnya Yo Han yang akan menolongnya, hati tegang bukan main, jauh lebih tegang dan bahkan mulai khawatir kalau-kalau muridnya itu gagal menolongnya. Akan tetapi dia percaya kepada Yo Han.

Anak itu cerdik sekali, dan andai kata dia sendiri tidak mampu menolong, tentu Yo Han akan memperoleh akal untuk minta bantuan orang-orang dusun. Kepercayaan ini dapat menenteramkan hatinya.

Dia sudah merasa tidak enak sekali harus duduk bersila di atas tubuh mayat itu. Setelah ada cahaya terang remang-remang memasuki lubang, dia mendapat kenyataan bahwa lubang yang di bagian dasarnya sempit ini memang tidak ada tempat baginya untuk berdiri atau duduk!

Dasar itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang ditanam dengan ujung runcingnya menghadap ke atas! Maka boleh dikatakan bahwa Hoan Saikong telah menyelamatkan dirinya! Kalau tidak ada mayat Hoan Saikong di atas tombak-tombak itu, entah bagai mana dia akan dapat terbebas dari maut di dasar lubang jebakan ini!

Terkutuk Phoa Hok Ci yang kejam. Teringat akan orang itu tiba-tiba Sin Hong merasa khawatir sekali. Orang itu telah ketahuan rahasianya. Walau pun menyangka dia tentu telah tewas di dalam lubang jebakan, mungkin orang itu akan melakukan rencananya yang terakhir! Menghancurkan kedua perkumpulan itu dan merampas Bhe Siang Cun sebagai isterinya! Dan orang itu sudah berkeliaran selama semalam dan setengah hari ini!

“Suhuuuuu...!”

Panggilan itu membuat Sin Hong yang sedang melamun tersentak dan dia memandang ke atas. Nampak kepala muridnya di sana.

“Yo Han, apakan engkau sudah mendapatkan tali itu?”

“Sudah, Suhu, akan teecu turunkan perlahan-lahan!”

“Baik, muridku. Turunkanlah dan ikatkan ujung yang di atas pada tiang yang kuat.”

Yo Han sudah mengikatkan ujung tali itu pada tiang yang kokoh dan sekarang dia menurunkan ujung yang lain perlahan-lahan ke bawah. Perkiraan Sin Hong memang tepat. Ujung tali itu menyentuhnya dan hanya kelebihan panjang satu meter saja! Sin Hong mencoba kekuatan tali itu dengan menarik-nariknya dari bawah. Tahulah dia bahwa tali itu memang kokoh kuat dan dia semakin kagum saja kepada Yo Han.

“Sudah habis, Suhu! Apakah ujungnya sampai di sana?”

“Sudah. Aku siap untuk memanjat naik, Yo Han!”

Sin Hong lalu memanjat tali itu dengan mudahnya dan akhirnya dia meloncat naik. Yo Han girang sekali dan memegang lengan suhu-nya, sebaliknya Sin Hong merangkulnya.

“Untung engkau datang, Yo Han. Sekarang mari, jangan membuang waktu di sini. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Phoa Hok Ci yang jahat itu!” berkata Sin Hong dan dia pun melongok ke dalam lubang sambil berkata, “Locianpwe, terima kasih atas pertolongan jenazahmu, beristirahatlah dengan tenang!”

Sin Hong kemudian memondong tubuh Yo Han. Digendongnya anak itu dan dia pun menggunakan ilmunya berlari cepat meninggalkan kuil. Di sepanjang perjalanan dengan singkat Sin Hong menceritakan apa yang telah terjadi sejak dia meninggalkan muridnya. Mendengar cerita suhu-nya, Yo Han terkejut.

“Wah, kiranya Phoa Hok Ci itu jahat sekali dan dialah orang ke tiga yang mengadu domba. Wah, kalau Suhu terlambat, mungkin terjadi mala petaka di kedua pihak.”

“Karena itu, kita harus cepat berkunjung ke Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang!”

Yo Han tak berkata-kata lagi. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan suhu-nya. Pantas tadi setelah keluar dari lubang jebakan itu, gurunya membawa tali yang menyelamatkannya dan membuang tali itu di dalam jurang di tengah perjalanan. Hal itu memang perlu. Phoa Hok Ci tentu menyangka bahwa gurunya sudah tewas di dalam lubang jebakan, maka tempat itu mungkin sekali akan menjadi tempat persembunyiannya kelak, dan kalau tali itu nampak di situ, tentu Phoa Hok Ci dapat mengetahui bahwa Sin Hong telah lolos.

Apa yang dikhawatirkan Sin Hong dan Yo Han memang terjadi. Pagi hari tadi, para murid Kim-liong-pang menemukan mayat Ciok Lim, putera ketua mereka yang dadanya masih tertusuk golok yang pada gagangnya ada ukiran Ngo-heng Bu-koan, sedangkan di sisinya menggeletak mayat seorang murid Ngo-heng Bu-koan yang tewas dengan pedang milik Ciok Lim menembus dadanya! Kedua orang itu agaknya sudah berkelahi dan akhirnya mati bersama!

Melihat puteranya tewas, tentu saja Kim-liong-Pangcu Ciok Kam Heng menjadi marah sekali. Kalau permusuhan antara murid-muridnya dengan para murid Ngo-heng Bu-koan masih ditahannya dengan sabar mengingat bahwa sebetulnya antara dia pribadi dan Bhe Gun Ek terdapat tali persahabatan yang baik, sekarang dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

Putera kandungnya, putera tunggalnya, tewas dan tak mungkin dia tinggal diam saja. Ditulisnya selembar surat tantangan kepada Bhe Gun Ek untuk membereskan semua perhitungan dengan mengadu nyawa di Bukit Bambu!

Ketika Sin Hong yang menggendong Yo Han tiba di luar kota Lu-jiang, seorang murid Ngo-heng Bu-koan yang baru keluar dari pintu gerbang kota mengenalnya dan berseru, “Tan Taihiap!”

Sin Hong berhenti dan murid itu dengan sikap gugup berkata, “Suhu sedang menuju ke Bukit Bambu di sana untuk memenuhi tantangan Kim-liong Pangcu.”

Sin Hong terkejut. “Di mana?”

“Di bukit itu, di puncaknya terdapat hutan bambu.”

Mendengar hal ini, tanpa membuang waktu lagi, Sin Hong membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali menuju ke bukit itu. Mudah-mudahan belum terlambat, pikirnya dengan hati tegang.

Akan tetapi, ketika dia tiba di puncak bukit itu, di atas padang rumput di tengah hutan bambu, dia melihat perkelahian sudah dimulai antara Bhe Gun Ek dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan bermata sipit. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang yang bersenjatakan sebatang pedang, sedang mati-matian saling serang dengan Bhe Gun Ek yang bersenjata sebatang sabuk rantai baja.

Ada belasan orang murid dari kedua pihak berdiri tegak saling berhadapan, akan tetapi agaknya guru masing-masing pihak melarang mereka mencampuri perkelahian mati-matian adu nyawa untuk mempertahankan kebenaran dan kehormatan masing-masing itu! Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa kalau satu di antara dua orang itu roboh, tentu akan terjadi pertempuran mati-matian antara kedua pihak.

Permainan sabuk rantai baja di tangan Bhe Gun Ek yang beberapa tahun lebih muda dari lawannya itu memang hebat. Sabuk rantai diputar sedemikian rupa sehingga nampak gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesing. Namun agaknya dia menemui tanding yang setingkat. Pedang di tangan ketua Kim-liong-pang itu pun cepat dan kuat sekali sehingga berkali-kali terdengar suara berdenting disusul berpijarnya bunga api kalau kedua senjata itu bertemu.

Keduanya saling serang dan keadaan mereka masih seimbang. Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa justru karena mereka seimbang, maka akhirnya tentu akan ada seorang di antara mereka yang roboh tewas. Tanpa mengeluarkan serangan-serangan maut, tidak mungkin di antara mereka ada yang akan keluar sebagai pemenang.

Sin Hong menyuruh Yo Han meloncat turun dan dia pun cepat meloncat ke depan, langsung memasuki medan perkelahian antara kedua orang pimpinan perkumpulan itu sambil berseru, “Kedua Loenghiong harap berhenti dulu!”

Ciok Kam Heng, pangcu dari Kim-liong-pang masih belum mengenal Sin Hong. Karena itu dia menganggap bahwa pemuda ini tentulah orang Ngo-heng Bu-koan yang hendak membantu Bhe Gun Ek, maka dia tidak peduli akan ucapan itu, bahkan pedangnya menyambar ke arah dada Sin Hong! Melihat ini, Bhe Kauwsu juga menggerakkan rantai bajanya menyerang lawannya!

Sin Hong miringkan tubuhnya dan dengan tangan kanan dia menangkap pedang yang menusuk tubuhnya itu dari samping, sedangkan tangan kirinya menangkap pula rantai baja yang menyambar ke arah tubuh ketua Kim-liong-pang! Ciok Kam Heng terkejut dan berusaha menarik pedangnya yang dicengkeram Sin Hong, namun dia gagal. Pedang itu seperti dicengkeram penjepit baja yang amat kuat!

“Harap Ji-wi suka berhenti dulu, aku mau bicara penting sekali, mengenai permusuhan Ji-wi yang menjadi akibat adu domba dan fitnah!”

Mendengar ucapan ini, kedua orang itu terkejut. Ketika Sin Hong melepaskan senjata mereka, keduanya meloncat ke belakang dan memandang kepada Sin Hong dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.

“Tan Taihiap, apa yang kau maksudkan?” Bhe Gun Ek bertanya kaget dan heran.

Sementara itu, Ciok Kam Heng memandang dengan alis berkerut. Dia melihat bahwa lawannya telah mengenal baik pemuda pakaian putih yang amat lihai itu.

“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Apa pula maksudmu dengan fitnah dan adu domba tadi?” tanyanya dengan suara kereng.

Sin Hong menghadapi ketua Kim-liong-pang dan sekelebatan saja dia dapat melihat bahwa orang ini memiliki sikap gagah dan juga matanya menyinarkan kejujuran.

“Maaf, Pangcu. Aku bernama Tan Sin Hong dan kebetulan saja aku berkenalan dengan pihak Ngo-heng Bu-koan serta mendengar pula akan permusuhan yang timbul di antara perkumpulan Ji-wi.”

“Hemmm! Sudah lama terjadi permusunan dan aku masih menahan sabar. Akan tetapi semalam, puteraku, anakku satu-satunya, tewas pula di tangan Ngo-heng Bu-koan. Bagaimana mungkin aku mendiamkan saja? Hari ini aku harus mengadu jiwa dengan Bhe Gun Ek. Dia atau aku yang akan mati di sini demi mempertahankan kehormatan Kim-liong-pang dan membalas kematian anakku!”

“Aku mengerti, Ciok Pangcu. Aku mengerti akan semua hal itu, bahkan aku menjadi saksi utama dan pertama ketika puteramu dibunuh orang!”

“Apa? Tan Taihiap! Putera Ciok Pangcu mati dalam perkelahian melawan salah seorang muridku, dan mereka berdua itu berkelahi sampai keduanya tewas!” Bhe Kauwsu membantah.

Sin Hong tersenyum. “Tidak, Bhe Kauwsu. Mereka tidak berkelahi sampai keduanya tewas, akan tetapi mereka berdua itu dibunuh orang secara keji dan orang itulah yang mengatur agar mereka kelihatan seperti berkelahi sampai keduanya mati bersama. Aku menyaksikannya dalam hutan itu! Dan bukan hanya itu, juga semua pembunuhan yang bukan merupakan perkelahian terbuka antara kedua pihak, dilakukan oleh orang yang sama! Semenjak semula, orang itu yang telah mengatur supaya terjadi pembunuhan-pembunuhan di kedua pihak dan membuat kedua pihak saling bermusuhan, tepat seperti yang diduga oleh muridku, Yo Han. Ada orang ketiga yang mengadu domba dan melempar fitnah.”

“Ahhh...!” Ciok Pangcu berseru.

“Apa... apa maksudmu?” Bhe Kauwsu juga berseru kaget. “Dan… peristiwa pertama kali itu, ketika seorang murid perempuan perguruan kami diperkosa dan dibunuh, ketika Bong Siok Cin mati dalam keadaan menyedihkan...”

“Itu pun dilakukan oleh orang yang sama, Bhe Kauwsu! Ketika itu, mendiang Ciok Lim engkau jamu makan minum, bukan? Nah, dalam keadaan setengah mabuk ketika dia pulang, dia tidak tahu bahwa topinya dicuri orang. Pencuri topi itulah yang memperkosa dan membunuh muridmu itu, lalu sengaja meninggalkan topi Ciok Lim untuk melempar fitnah.”

“Juga atas semua pembunuhan yang dilakukan terhadap murid-murid kami?” tanya Ciok Pangcu.

“Dan juga semua pembunuhan terhadap murid Ngo-heng Bu-koan?” Bhe Kauwsu juga bertanya, hampir tidak percaya.

Sin Hong mengangguk. “Benar, semua itu dilakukan oleh orang yang sama. Aku sudah mendengar sendiri pengakuannya kepada muridmu yang akhirnya mati bersama putera Ciok Pangcu itu, Bhe Kauwsu.”

“Tapi... siapakah orang terkutuk itu?” tanya Bhe Kauwsu.

“Ya, siapa dia? Kalau memang benar seperti yang kau katakan, Tan Taihiap, kami akan mengerahkan semua kekuatan kami untuk membekuk dan menghukumnya!” teriak Ciok Pangcu pula.

Kini Sin Hong menghadapi Bhe Kauwsu dan dengan senyum sedih pemuda berpakaian putih ini berkata, suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ.

“Bhe Kauwsu, bersiap-siaplah dan jangan terkejut. Orang ke tiga itu, yang melakukan pembunuhan dan menyebar fitnah untuk mengadu domba Ngo-heng Bu-koan dengan Kim-liong-pang, bukan lain adalah Phoa Hok Ci!”

“Ahhhh...!” Bhe Kauwsu berseru, juga para murid Ngo-heng Bu-koan berseru kaget dan tidak percaya. “Dia... dia... ahhh, betapa mungkin...”

“Bhe Kauwsu, aku melihat dengan mata sendiri dan mendengar dengan telinga sendiri. Bahkan semalam, setelah dia membunuh putera Ciok Pangcu dan muridmu, aku lalu mengejarnya. Akan tetapi di sebuah kuil tua, dia lalu dibantu oleh seorang kakek yang disebut gurunya. Kakek itu lihai sekali, dan ketika aku berkelahi dengan gurunya itu, aku terjebak ke dalam lubang bersama gurunya itu. Gurunya tewas dan aku pun nyaris tewas kalau tidak muncul Yo Han yang menolongku. Bhe Kauwsu, Phoa Hok Ci yang menjadi muridmu itu telah berkhianat dan menjadi ular berkepala dua yang berbahaya sekali.”

“Tapi... tapi… sungguh sukar dapat dipercaya. Dia selalu baik sekali, dan mengapa... mengapa dia melakukan hal terkutuk itu?” Bhe Kauwsu berseru.

“Biarlah lain kali saja kuceritakan, Bhe Kauwsu. Sekarang yang paling penting kita cepat kembali ke perguruan Ngo-heng Bu-koan untuk mencari dan menangkapnya!” kata Sin Hong.

“Engkau benar! Aku sendiri yang akan membekuk batang leher keparat itu, dan akan kudengar sendiri pengakuannya!” bentak Bhe Kauwsu dengan muka merah sekali.

“Aku pun akan ikut menangkap jahanam itu!” bentak Ciok Pangcu.

Kedua orang ketua itu saling pandang, akan tetapi kini permusuhan sudah lenyap dari pandang mata mereka.

“Sebaiknya kita pergi bersama-sama dan menangkap orang itu beramai-ramai, akan tetapi kuminta agar jangan ada yang membunuhnya. Kita membutuhkan pengakuannya sendiri agar permusuhan antara kedua pihak dapat dibersihkan,” kata Sin Hong.

Mereka pun berlari-lari menuju ke kota Lu-jiang. Kembali Yo Han digendong oleh Sin Hong dan sekarang belasan orang Kim-liong-pang itu berlari-lari bersama belasan murid kepala Ngo-heng Bu-koan seolah-olah mereka adalah sekutu yang hendak menyerbu musuh mereka bersama.

Tentu saja para penduduk kota Lu-jiang menjadi heran dan kaget melihat banyak orang berlarian itu. Apa lagi ketika mereka mengenal orang-orang Ngo-heng Bu-koan dan orang-orang Kim-liong-pang yang tadinya bermusuhan, tetapi kini berlari bersama-sama menuju ke Ngo-heng Bu-koan.

Di perguruan silat ini, Bhe Kauwsu disambut oleh para murid yang nampak bingung dan cemas. “Celaka, Suhu! Phoa Hok Ci mengamuk, menawan Nona Bhe dan ketika kami mencegah, dia mengamuk. Dua orang murid tewas oleh pedangnya dan kini dia telah melarikan puteri Suhu...!”

Tentu saja semua terkejut bukan main dan kini yakinlah sudah hati Bhe Kauwsu bahwa muridnya yang bernama Phoa Hok Ci itu memang jahat dan keji, bukan saja melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan melempar fitnah mengadu domba, bahkan kini telah menangkap dan melarikan puterinya!

“Keparat jahanam! Dia lari ke mana?” bentaknya.

“Kami... kami tidak tahu, Suhu. Dia memondong Nona Bhe yang agaknya tertotok atau pingsan, dan dia lari dengan cepat tanpa kami mampu mencegah atau mengejarnya.”

“Celaka! Keparat jahanam itu... Sungguh celaka puteriku...!” Bhe Kauwsu nampak amat kebingungan. “Ke mana aku harus mengejar jahanam itu?”

Yo Han menyentuh lengan suhu-nya. “Suhu, kalau tidak salah dugaanku, dia pasti lari ke sana...“

Sin Hong mengangguk. “Kau benar, Yo Han, aku pun menduga demikian. Bhe Kauwsu, aku yakin bahwa keparat itu tentu melarikan puterimu ke kuil tua itu. Biar Yo Han tinggal di sini, aku akan mengejarnya!” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi, Sin Hong meloncat keluar dan sebentar saja bayangannya lenyap dari situ.

“Aku pun ingin mengejarnya!” kata Ciok Pangcu.

“Nanti dulu, Pangcu. Engkau takkan dapat menyusul Tan Taihiap. Marilah kita bersama mencari kuil itu. Anak baik, engkau sudah pernah ke sana, tentu engkau tahu di mana kuil tua itu, bukan?”

Yo Han mengangguk. “Di dalam sebuah hutan, di bukit nomor lima dari kiri di antara jajaran bukit di luar kota itu, kalau aku tidak keliru.”

“Mari kita mengejar ke sana!”

Bhe Kauwsu kemudian menyuruh para muridnya menyediakan kuda dan mereka pun berangkat melakukan pengejaran. Ciok Pangcu bersama sebelas orang murid kepala, juga Bhe Kauwsu dengan belasan orang murid kepala, sedang Yo Han membonceng Bhe Kauwsu dan dia menjadi penunjuk jalan menuju ke kuil dalam hutan di atas bukit itu.....

********************

Memang sikap Phoa Hok Ci hari itu sangat mengejutkan dan mengherankan bagi para murid Ngo-heng Bu-koan. Pada saat Bhe Kauwsu menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang, ia tidak berada di perguruan sehingga ia tidak ikut dengan rombongan Bhe Gun Ek yang pergi menyambut tantangan musuh besar itu bersama belasan orang murid kepala. Dan Bhe Kauwsu melarang puterinya untuk ikut, karena guru silat ini maklum bahwa kalau puterinya ikut, tentu puterinya itu tidak akan mau tinggal diam saja kalau dia mulai mengadu kepandaian melawan Ciok Pangcu.

“Engkau tinggallah di rumah dan menjaga keamanan di sini,” demikian katanya kepada Siang Cun. “Kalau kita pergi semua kemudian terjadi sesuatu di sini, siapa yang akan mewakili aku?”

Demikianlah, Siang Cun tetap tinggal di perguruan ketika ayahnya dan para suheng-nya berangkat. Tak lama kemudian, muncul Phoa Hok Ci. Ketika dia mendengar dari para murid bahwa suhu-nya menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang dan bahwa suhu-nya pergi menyambut tantangan itu bersama semua murid kepala, Phoa Hok Ci segera mendatangi Siang Cun.

“Sumoi, suhu serta para suheng dan sute pergi menghadapi musuh besar kita, kenapa engkau malah tenang saja tinggal di sini? Kenapa engkau tidak ikut membantu suhu?” Sambil berkata demikian, sepasang matanya yang ganas dan tajam itu memandang wajah yang cantik manis dari sumoi-nya.

Siang Cun mengerutkan alisnya dan menjawab sambil cemberut, “Tadi aku pun ingin sekali ikut dan menghadapi orang-orang Kim-liong-pang, Phoa-suheng, akan tetapi ayah melarangku dan menyuruh aku menjaga keamanan rumah.”

Sepasang mata Phoa Hok Ci semakin terpikat melihat mulut gadis cantik itu cemberut dan sekarang pandang matanya seperti meraba-raba seluruh tubuh yang telah selama bertahun-tahun menjadi idaman hatinya, membuatnya tergila-gila itu.

“Hemmm, katakan saja bahwa engkau takut, Sumoi!”

Siang Cun terbelalak dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut. “Phoa Suheng! Bagaimana kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku tidak berani? Aku takut? Jangan kau menghinaku, Suheng!”

Phoa Hok Ci yang selalu tersenyum sinis itu, kini memperlebar senyumnya sehingga mulutnya menyeringai. “Hehheh-heh, kalau engkau tidak takut, tentu kau sudah berada di sana! Kalau engkau tidak takut, mari bersama aku menyusul ke sana dan membantu suhu!”

Siang Cun bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata berapi.

“Phoa-suheng, mengapa engkau bersikap begini? Mulutmu lancang sekali dan sikapmu mengejek. Apakah engkau sudah gila?” Memang di samping kemarahannya ia merasa heran bukan main melihat sikap Phoa Hok Ci dan mendengar kata-katanya, karena biasanya suheng-nya bersikap sopan dan ramah.

“Ha-ha-ha, mungkin aku sudah gila oleh kecantikanmu, Sumoi. Marilah, mari kau ikut dengan aku pergi menyusul suhu!”

“Tidak! Kalau aku akan menyusul, aku pergi sendiri, bukan karena kau suruh. Sudah, pergilah sebelum aku habis kesabaranku!”

“Sumoi, mau tidak engkau harus ikut denganku sekarang juga!” Dan tiba-tiba saja Phoa Hok Ci menubruk dan mengirim serangan dahsyat dengan cengkeraman ke arah muka Siang Cun!

Gadis ini terkejut bukan main, sama sekali tidak pernah mengira bahwa suheng-nya ini akan menyerangnya sehebat itu, serangan yang dahsyat dan berbahaya. Suheng-nya itu tentu telah mendadak menjadi gila.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar