Kisah Si Bangau Putih Jilid 11-15

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Kisah Si Bangau Putih Jilid 11-15 Belum satu jam mereka berlatih semedhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.

Belum satu jam mereka berlatih semedhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.

“Kongkong...! Sumoi...! Aku datang...!”

Suara suci-nya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan.

Li Sian cepat memandang dan ia melihat suci-nya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah. Selain dua orang kakek yang wajah dan tubuhnya sangat serupa itu, nampak pula seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.

“Kongkong, mereka telah datang!”

Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar karena nampaknya masih lelah. Dia hanya memandang ke arah rombongan yang kini sedang menghampiri tempat itu.

Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tidak berbaju duduk di atas batu datar, nampak tua dan lelah serta lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk-tusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.

“Ayah... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil,“ kata Gak Jit Kong.

“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah...“ kata pula Gak Goat Kong.

Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya. Matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata, “Anak-anakku... anak-anakku... mana dia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”

Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tidak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis semenjak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.

“Ayah... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami...”

Gak Bun Beng memandang mereka. “Anak baik, engkau telah membahagiakan kedua anak-anakku... terima kasih… dan cucuku... ke sinilah, cucuku...“

Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jeri. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.

“Cucuku... ahh, sudah begini besar, cucuku...!” Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung.

Suma Lian, juga dua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,

“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!” Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali.

Suma Lian dan Li Sian hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, tetapi terutama karena usia tua.

Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng telah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.

Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya, “Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”

Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya.

Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biar pun tidak mempunyai bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak tingkatnya dapat lebih tinggi dari pada orang tuanya kalau rajin berlatih.

“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu. Dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”

Ciang Hun merasa heran akan tetapi tak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa amat khawatir.

“Kongkong...!” Mereka berdua berseru lirih.

Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. “Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.”

“Akan tetapi, Kongkong sedang sakit...,“ bantah Suma Lian.

“Dan Kongkong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah...,“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan suci-nya.

“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Jika tidak sekarang saatnya, mau kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!”

Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua tapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.

“Kendurkan seluruh urat-urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan. Terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu,” kakek itu berbisik dan dia pun segera mengerahkan sinkang-nya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya!

Biar pun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang sedang dilakukan oleh kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sinkang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang bukan main walau pun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan semedhi.

Tidak lama kemudian anak itu merasakan betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu makin lama makin panas, masuk makin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.

Namun Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama makin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan.

Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari semedhinya. Kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya yang kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.

“Kongkong...!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.

“Ayah...!” Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat.

Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan tentu dia sudah terguling roboh jika saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu dan anak itu berangkulan memandang pada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!

“Kongkong... ahhh, mengapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.

“Kongkong, kenapa engkau memaksa diri...?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun telah tahu bahwa ayah mereka tadi sudah memindahkan sinkang ke tubuh putera mereka. Akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.

“Ayah... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja,” kata Goat Kong menyesal.

“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sinkang kepada Ciang Hun dengan mengorbankan diri...!” kata pula Gak Jit Kong.

Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya. Dengan napas terengah-engah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.

“Aku puas... aku tak dapat meninggalkan apa-apa... latihlah ia dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang... dia... dia akan kuat sekali... ahh, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang... tapi... ahhh, lihat itu... ibu kalian datang... Milana... tungguuu...!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.

Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.

“Ahhh, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami...“

Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka.

Suma Lian memandang mereka dengan mata basah. “Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kongkong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi kongkong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sinkang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semuanya sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”

Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, menantu pertama dari Pendekar Super Sakti. Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana.

Sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia serta diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan dua orang muridnya, di tempat yang amat sunyi itu.

Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh akibat tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.

Tinggallah dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapa pun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.

Juga mereka merasa terharu dan sangat berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh dua orang kembar Gak yang lebih berhak.

Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu. Barang-barang yang dipakai Bu Beng Lokai sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih tersisa hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersemedhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersemedhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.

Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimana pun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoi-nya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu. “Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini.”

“Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.

“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”

“Aku...? Aku... entah akan pergi ke mana...?” kata Li Sian dan melihat wajah sumoi-nya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.

“Ahh, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Nah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya...!”

Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan...”

“Ahh, mereka pasti akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”

Kini Li Sian yang merangkul suci-nya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada suci-nya. “Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biar pun ayah bundaku sudah tidak ada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada di antara mereka yang dapat kutemukan. Mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu ke dusun Hong-cun, Su-ci.”

Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah mereka saling rangkul sampai sekian lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.....

********************

Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan terlihat sebagai pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya telah lima puluh delapan tahun tetapi masih nampak gagah perkasa itu. Juga siapa kira isterinya sendiri yang telah mendekati usia lima puluh tahun namun masih nampak lincah dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping, dulu adalah seorang wanita kang-ouw pula.

Tidaklah mengherankan kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami isteri pendekar yang sesungguhnya mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan jarang dapat menemukan tandingan di masa itu!

Kao Cin Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Ada pun isterinya, Suma Hui, juga bukanlah wanita sembarangan. Dari nama keturunannya juga dapat diduga bahwa dia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.

Sebetulnya, dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang sangat tinggi dan lihai, mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan, meski mereka tetap memberikan gemblengan ilmu silat tingkat tinggi.

Karena itu, setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis dewasa yang sangat tangguh. Walau pun tingkat kepandaiannya tidak setinggi ayahnya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian ibunya!

Kao Hong Li merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik terbesar di antara semua kecantikannya. Mata itu lebar dan jeli, dengan bulu mata yang panjang dan lentik, serta dihiasi sepasang alis yang hitam lebat, kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. Ia lincah dan galak seperti ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak mengenal takut seperti ayahnya.

Ada satu hal yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat, yaitu bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu masih belum mau juga dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis itu lalu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam kamarnya. Jika Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya, Kao Hong Li akan mencela ibunya.

“Mengapa Ibu dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti suami?”

Ibunya segera merangkul dan tersenyum. “Hushhh! Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tak suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat, usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu...”

“Ibu sendiri, berapa umur Ibu pada waktu menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang digunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.

Suma Hui hanya menarik napas panjang. “Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah dengan ayahmu ketika sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan tetapi...”

“Nah, aku pun tidak tergesa-gesa. Bagaimana pun juga, aku tidak mau menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”

“Hemmm, kau maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”

Wajah Hong Li berubah merah, tetapi dia menjawab juga, “Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”

Suma Hui menghela napas lagi dan mengangguk. “Yah, memang demikian sebaiknya. Tetapi, kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kau cinta? Atau... apakah sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.

Wajah itu menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, tukang jual lagak, pamer kekayaan dan pangkat ayahnya, menyebalkan!”

“Hemmm, jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat menundukkan hatimu?”

“Dia harus seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Ia harus pula gagah perkasa, pembela kebenaran, dan harus... harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa suka di dalam hatiku!”

Diam-diam Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap gadis juga menginginkan hal seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?

“Akan tetapi Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”

“Tentu ada, Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat mengalah...“

Suma Hui tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah dia. Ketinggian ilmu itu bukan merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!

“Aihhh, Hong Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu. Ingatlah, kini ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang cucu darimu.”

“Ihhh, Ibu!” kata Hong Li dan dia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.

Meski demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat. Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa besar, bagaimana mungkin dia bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi calon jodohnya?

“Aihh, kalau aku teringat kepada murid adikmu itu, rasanya aku akan suka kalau dia menjadi calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.

“Kau maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini dan tak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”

Kao Cin Liong kembali menarik napas panjang. “Sebaiknya kalau aku membawa dia melakukan perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”

“Di gurun pasir?”

“Ya, ayah dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”

“Habis toko kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan para langganan.”

“Karena itu, biarlah aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus toko, isteriku.”

Sebetulnya Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi dia merasa sayang meninggalkan tokonya yang mulai maju, maka ia pun akhirnya setuju. “Asal kalian pergi jangan terlalu lama.”

Akan tetapi, sebelum mereka memberi tahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih, berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.

“Suheng, saya datang menghadap...”

Tentu saja Cin Liong kaget dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong yang pernah dilihatnya ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.

“Engkau Tan Sin Hong?”

“Benar, Suheng.”

“Ah, kau telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini isteriku.”

Sin Hong segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga telah pernah diceritakan oleh suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute suaminya itu sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan diri walau pun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Wajah pemuda itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan. Mata yang bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu sangat menarik, juga sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar yang mencorong, tanda bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.

Pemuda itu dipersilakan duduk di ruangan dalam. Pada saat itu, muncullah Kao Hong Li. Melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, dia hanya menjenguk keluar pintu dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.

“Hong Li, ke sinilah dan bertemu dengan Susiok-mu!”

Mendengar kata-kata ayahnya ini, Hong Li lalu memandang heran. Ia memang pernah mendengar dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir, bahwa ayahnya mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan tetapi, tidak disangkanya bahwa susiok-nya (paman guru) itu adalah seorang laki-laki yang masih demikian mudanya, kiranya tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.

Melihat ada seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Hong Li segera memberi hormat dan berkata dengan jujur, “Inikah Susiok dari gurun pasir? Tak kusangka masih begini muda!”

Sin Hong membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang yang seusia, dan menjawab, “Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi susiok-mu, Nona.”

Kao Cin Liong tersenyum. “Duduklah, Hong Li. Susiok-mu Tan Sin Hong ini baru saja datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun Pasir.”

Sin Hong menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia melihat betapa kegembiraan telah membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menjura kepada suheng-nya.

“Suheng, sungguh saya merasa sangat menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka.” Dia menahan diri agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.

Namun, ayah ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin Hong dan ketiganya terkejut bukan main.

“Sute, berita buruk apakah yang kau bawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.

“Ketiga orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah... tiada lagi, Suheng.”

“Apa... apa maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak, mukanya pucat.

Dengan kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan. “Mereka telah meninggal dunia.”

“Ahhh...!” Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.

“Tan Sin Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” berkata Kao Cin Liong. Suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang jelas dibayangi duka itu.

Sungguh merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun dia mengeraskan hatinya.

“Maafkan saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. Peristiwa itu telah terjadi setahun yang lalu...”

“Setahun? Mereka telah meninggal dunia selama satu tahun dan baru hari ini engkau datang mengabarkan? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”

“Sekali lagi maafkan saya, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah terjadi, Suheng.”

Dengan jelas Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!

“Lalu untuk apa engkau berada di sana?!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya seperti hendak menyerang Sin Hong.

Pemuda itu memandang wajah Suma Hui. “Maafkan saya. Pada waktu itu, saya sama sekali tidak mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan menyalurkan sinkang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun, saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sinking. Kalau pelanggaran itu saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam! Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”

Kao Cin Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun halus, dia berkata, “Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”

“Ketiga orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin tokoh dari Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam saja.”

Suma Hui mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan ceritamu, Sute.”

“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan tiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya lalu menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam harinya, saya mendapat kesempatan melarikan diri dan bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersemedhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sinkang.”

Kembali Suma Hui dan puterinya menangis.

Kao Cin Liong menghela napas panjang berkali-kali. “Aihh, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”

“Akan tetapi, Suheng. Sudah sering kali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walau pun dalam usia yang sudah sangat tua, akan tetapi tetap sebagai pendekar-pendekar sakti seperti yang selalu mereka inginkan. Mereka sama sekali tak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andai kata saat itu saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekali pun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.”

“Sudahlah, Sute. Engkau tak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”

“Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.”

Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah oleh air mata. Dia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin beserta Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!”

“Tenanglah, Hong Li. Mereka bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apa lagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kau lakukan sebelum engkau datang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.

Sin Hong lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka. Diceritakannya mengenai penyelidikannya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia bisa memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang.

“Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimana pun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.”

Keluarga Kao merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh aneh. Menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang telah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan jika tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas jasanya terhadap pemerintah.”

“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti di sana ada apa-apanya. Saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”

“Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari telah mulai malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir. Kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”

Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suheng-nya. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum mala petaka itu datang menimpa.

Dalam kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh ketiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui bahwa ilmu-ilmu mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum meninggal, mereka telah menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sinkang mereka kepada Sin Hong untuk digunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu.

Kao Cin Liong berhasil pula membujuk sute-nya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu amat mengagumi ilmu silat yang sangat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan gagah.

Setelah pada keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suheng-nya, Hong Li menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!”

Ayah bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian.

“Ehhh, apa maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya.

“Susiok itu telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu mereka. Dia berhutang budi yang tidak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua itu. Akan tetapi, ternyata ia terlalu mementingkan diri sendiri. Setelah keluar dari gurun pasir dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”

“Aih, jangan berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri, anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biar pun dia melihat sendiri betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.”

“Dia boleh saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi meski aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu, Ayah!”

Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri mereka merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya.

“Dengar baik-baik, anakku! Kami takkan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama ini memang dengan harapan supaya engkau menjadi seorang pendekar wanita yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya telah berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Mereka mati dalam tugas mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat, nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan. Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan. Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua orang kakek nenekmu, melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka yang jahat. Mengertikah engkau?”

Hong Li mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”

“Akan tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak menentang Sin-kiam Mo-li? Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimana pun juga, di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan menjadi ibu angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?”

Gadis itu tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Ketika masih berusia tiga belas tahun, pernah dia diculik seorang pendeta Lama yang sebetulnya ialah penyamaran Sin-kiam Mo-li. Kemudian di tengah perjalanan, Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari tangan pendeta Lama itu sehingga dia diambil menjadi anak angkat dan murid! Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw, dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan dia pun tahu akan tipu muslihat Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan para pendekar itu.....

“Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar dahulu aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!”

“Tapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.”

“Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”

“Maksud ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.

“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”

Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.

Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai.

Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!

Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!

Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!

Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.

Terimalah anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat SI ANAK itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!

Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.

Anak kita adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!

Jadi, meski dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan?

Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?

Kewajiban kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat DIA berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?


Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.

Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.

“Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.

“Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.

Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya.”

Memang, lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.....

********************

Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.

Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, tetapi memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar. Dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.

Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya.
Kini, dua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.

Memang agak mengherankan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, bisa membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia kurang dari tiga belas tahun, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai.

Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti sepasang suami isteri ini agak berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.

Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main terhadap puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya untuk menikah!

Maka, dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, secara tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal dengan baik.

“Lian-ji...!” teriak suami isteri itu hampir berbareng.

Suma Lian segera menubruk ibunya.

“Aihh, anakku...!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh keharuan dan kebahagiaan.

“Ayah...!” Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. Akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu memegang kedua pundaknya.

“Biarkan aku melihat wajah anakku...!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira dan terharu bukan main. Ayah dan anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau... engkau persis ibumu di waktu masih gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”

“Dan engkau pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma Lian yang juga tertawa.

Ayah yang merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.

Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam waktu yang amat lama. Apa lagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama tujuh delapan tahun!

Dan kini, tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam keadaan sehat selamat, tetapi lebih dari pada itu, telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat tinggi pula.

Tentu saja Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali. Ia menceritakan dengan gaya dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan saja, tetapi tidak pernah meminta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang.

Diceritakannya pula tentang sumoi-nya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua saat mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya Suma Lian bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali, dengan wajah amat berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.

Ketika ayah dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka pun diliputi kedukaan.

“Ahhh, tak kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak kembarnya.

Suma Ceng Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup menderita kesepian, apa lagi karena merasa kecewa akan keadaan dua orang putera kembarnya. Karena itulah, dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya, aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”

“Ayah dan Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup bahagia dengan seorang isteri dan seorang putera mereka. Kenapa mendiang kongkong tadinya merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang wanita?”

“Aih, Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita. Kalau pun ada pria menikah dengan dua orang wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”

“Tapi mereka itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya, bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal dunia, kongkong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya, bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”

“Sudahlah, kita memang tak berhak untuk membicarakan dan menilai akan hal itu,” kata Suma Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”

Untuk melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Pukulan Pengacau Lautan (Lo-thian Sin-kun) beserta ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan di samping tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, juga mempelajari ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.

Melihat gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun.

Akan tetapi, tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka. Karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.....

********************

Kita tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti perjalanan sumoi-nya, yaitu Pouw Li Sian.

Setelah meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun dia tinggal bersama gurunya dan suci-nya, kemudian berpisah dari suci-nya, hati Li Sian terasa berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ia seperti mengalami suatu kehidupan baru.

Sebelum itu dia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup terhormat dan mulia, berenang di dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak sekali, timbul mala petaka menghantam keluarganya. Dia lalu hidup terlunta lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan suci-nya, Suma Lian.

Namun, akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka, menganggap mereka berdua seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya yang telah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali kini terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan lain yang mencemaskan hatinya.

Ia seorang diri! Kehilangan gurunya yang sangat disayangnya, kemudian berpisah dari suci-nya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya dia menangis ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di tempat sunyi itu.

Keadaan yang bagaimana pun juga dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan. Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan.

Semua ini terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan. Selalu menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi karena suatu perubahan!

Hidup dari saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa pun yang terjadi SAAT INI seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak, tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan
.

Li Sian menuju ke kota raja, di mana dulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan, tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Oleh karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong oleh Bu Beng Lokai. Ada pun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan dan dimasukkan penjara.

Li Sian memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang tuanya. Dia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskan ke penjara.

Dia lalu menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan kemungkinan besar sudah tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan sekarang telah menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, hati Li Sian menjadi girang. Segera dia pergi meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke perbatasan dekat Tembok Besar.

Akan tetapi, tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali. Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar, sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.

Kemudian teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek, dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu datang berkunjung kepada ayahnya dan sempat berjumpa dengannya. Ia teringat betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya.

Kalau ia berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, dia pun segera melakukan perjalanan menuju ke sana.....

********************

Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Dia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagai setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang sedikit jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi. Langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari.

Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan. Bibir yang penuh dan membuat dirinya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran meski sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.

Dia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar. Namun Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga dia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau digunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh dari pada mencukupi.

Memang, bila menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.

Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia.

Dia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Dia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan dia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.

Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.

Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat.

Akan tetapi, biar pun pria yang tak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka didampingi teman! Kekurang ajarannya akan menonjol dan akan timbul keberaniannya untuk melakukan gangguan, mungkin karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup ‘jantan’.

Demikian pula dengan lima orang itu. Begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kurang ajar pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.

“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”

“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”

“Tentu lunak sekali dagingnya!”

“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”

“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang sedang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus dia pun menunduk.

“Aku adalah seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.

Tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.

“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”

“Mari kita berkenalan lebih dulu.”

“Siapakah nama nona manis?”

“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”

“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”

Ci Hwa mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.

“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggota-anggota Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”

Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,

“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”

“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari perkumpulan itu.”

“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.

Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.

“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.

Akan tetapi salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.

“He-he-he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he-he-he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.

Namun, Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.

“Dukkkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.

“Aughhh...!”

Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.

Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.

“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.

“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.

Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.

“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.

“Aduhhh...!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.

“Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.

Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.

“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta ampun!”

Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.

“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak.

Kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu dia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.

“Tukkk!”

Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.

“Gadis liar!” bentak si brewok.

Mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!

Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.

Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!

Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.

Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.

“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, mengapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.

“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.

Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak. Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.

Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka tiba-tiba muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.

Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum ramah.

“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”

Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.

“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”

Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.

“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”

“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.

“Aih, ini? Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia menjadi milik kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.

“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan? Katakan, atas ijin siapa?!”

“Kami...kami memburu di tempat bebas...“

“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan.

Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk dapat menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.

Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!

Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.

Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dia lalu memberi hormat.

“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.

Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”

Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu engkau hendak membalas budi kami?”

Ci Hwa terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.

“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Ehh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”

“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”

“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“

Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.

“Apakah Nona mengenal ketua kami?”

Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”

Kembali kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”

“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin menyelidiki tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”

Kembali kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.

“Aha, kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.

Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.

“Aku... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”

“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.

Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.....

Ci Hwa dikeroyok dua. Gadis ini coba untuk mempertahankan diri, mengirimkan pukulan dan tendangan. Tapi, dua orang anggota Tiat-liong-pang itu adalah anggota yang sudah agak tinggi tingkatnya, ilmu kepandaian mereka pun sudah cukup kuat. Sedangkan Ci Hwa sudah kehilangan sabuk rantai yang diandalkannya.

“Brettttt!!”

Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju dalamnya terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu. Sebaliknya, Ci Hwa dibuat malu dan canggung karena tubuh atasnya telanjang sehingga gerakannya menjadi kacau. Akhirnya, sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Kedua orang itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak pada saat mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua pakaiannya.

“Tahan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Kedua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri. Kini mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.

“Kiranya Kongcu yang datang...!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang menunggu perintah.

Ci Hwa merasa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya. Pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya, baju atasnya robek. Dia mengeluh, kemudian bangkit duduk sambil berusaha keras menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalu memandang.

Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya seperti seorang pemuda terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap dua orang anggota Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun kereng.

Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu terdengar gemetar. “Begini, Kongcu... mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa seijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami lalu turun tangan membunuh mereka berlima.”

“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”

Kedua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum menyeringai. “Hemm, Kongcu, setelah tadi kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas budi kami berdua...”

Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Meski pun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang mendekati para anggota Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggota itu dari pada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tidak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah. Sekarang, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa, hanya melirik saja.

Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.

“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang dia benar bahwa tadi aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor serigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.

Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya. “Benarkah itu?”

Dua orang itu saling lirik, tak berani berbohong lagi, tetapi mereka masih menyeringai. “Ehh... begini, Kongcu... ehh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya.“

“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”

Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!

Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor kelinci bertemu harimau.

“Tapi...tapi...,“ kata yang seorang.

“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.

Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika! Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum, juga agak takut.

Pemuda tampan itu demikian lihainya. Gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik serta tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!

Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.

Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kali pun. Ci Hwa cepat mengejarnya.

“Kongcu... nanti dulu...!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.

Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, kemudian agaknya baru sekarang dia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke alas kaki dan agaknya dia harus membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.

“Ada apa lagikah, Nona? Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”

Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah. “Aku... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”

Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah berjungkir balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu bagaikan menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.

“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”

“Akan tetapi... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”

Siangkoan Liong jadi tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya. “Siapakah engkau, Nona? Apa pula keperluanmu datang berkunjung kepada Tiat-long-pang?”

Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa makin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak geriknya.

Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedang pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, bagaikan pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberi tahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang.

Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.

“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu, dan saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauwkiok di kota kami. Ada pun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberi tahukan kepentinganku.”

Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, cara memandangnya tidak acuh lagi seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang sangat menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan sebagai alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah.

Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong bukan seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita. Akan tetapi, matanya tajam sekali untuk bisa menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li.

Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria. Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman.

Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li sudah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.

“Aihhh, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Aku heran sekali, kenapa ada puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”

Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, pemuda ini begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, dia tidak meragukannya lagi, walau pun dia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!

“Aihh, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran...“

“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”

Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang. Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, pada waktu berbicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.

Dia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakannya betapa di Ban-goan terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.

“Keluarga Tan menuduh ayahku sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku membenci karena persaingan di dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia menyebutkan nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itu maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Tapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul pula dua orang anggota Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah menyelamatkan aku.”

Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali. “Aih, nona yang baik, kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan Piauwkiok? Akan tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan perkumpulan kami. Kami sudah cukup kaya dan tak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”

Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, tetapi sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Jika saja para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan dan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!

Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggota mau pun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.

Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apa lagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, bagaikan sebuah istana seorang pembesar saja. Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu.

Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak seberapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu.

Pemuda ini memang merasa derajatnya lebih tinggi dari pada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar itu. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya jika tidak sedang menjamu tamu.

“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”

Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu merasa sungkan dan hanya menggelengkan kepalanya.

“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”

Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah dan tidak dapat menjawab.

“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut.”

Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.

“Cepat kalian keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat.

“Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”

Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu.

Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu sudah dengan sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.

“Aih, celaka...!” Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.

“Ehh, ada apakah nona Ci Hwa?”

Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal dia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong!

Sekarang, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab. “Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orang yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun sudah mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!”

Siangkoan Kongcu hanya tersenyum. “Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”

“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia... Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini...“

Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.

“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Mengapa engkau mengkhawatirkan dia padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”

Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!

“Ahhh, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”

“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”

“Ihh...! Kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta... ahh... tidak sama sekali!” Tentu saja dia menyangkal walau pun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini dia sendiri pun belum pernah bertanya kepada dirinya sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.

Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.

“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”

“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”

“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Tapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya yang tidak akan menjadi baik?”

Sudah semenjak sejarah dicatat orang, wanita merupakan makhluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan.

Hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap makhluk betina, termasuk wanita. Sudah sejak mulanya, wanita atau semua makhluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi makhluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.

Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan jika sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja akan mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan semenjak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya sebagai sarana perkembang biakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembang biakan?


Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya. Siangkoan Liong, biar pun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walau pun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, tapi dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya yang lihai.

Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya dari pada kalau dirinya dirayu. Andai kata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apa lagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ci Hwa bukanlah wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, serta pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.

Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara kemudian disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya warna merah dan berbau harum sekali.

Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.

“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”

Biar pun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan dia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apa lagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai dia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka dia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.

“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang sekali dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”

Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, mungkin juga oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.

“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Jika bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”

Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang jika ia menolak. Maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Kini senyumnya agak lebar, lebih lepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat.

Keduanya mengangkat cawan, kemudian saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih, “Selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.

Begitu anggur memasuki mulut, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidup ia minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya.

Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya. Dia pun menuangkan seluruh isi cawan itu ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti jika minum arak.

Mereka saling berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Wajah pemuda itu nampak lebih cerah dan lebih tampan saja.

“Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”

“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidup baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”

“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”

Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong kembali menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.

Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka. “Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”

“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”

Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi dia tidak marah. Bagaimana dia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biar pun agak malu-malu, dia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh.

Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang. Tubuhnya seperti tak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah.

Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indah seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh.

Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya? Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya bagai pelangi, akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya. Bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas. Seperti ia bisa mendengar suara beraneka macam, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tanpa terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!

Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali. “Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”

Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, mengapa dia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!

“Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah… enaknya rasanya...“

“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat...“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.

Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?

“Ya-ya-ya, istirahat…, aku seperti melayang-layang...,“ katanya seperti dalam mimpi.

Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya, kemudian memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.

Pada waktu Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Dia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.

Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apa lagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.

“Aaaahhh... alangkah senangnya… alangkah enaknya...“

Dia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga dia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!

Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.

Dan akhirnya, api birahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanya keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.

Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walau pun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, dia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian!

Ia terkejut, memiringkan tubuhnya. Ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan yang sama! Teringat ia akan semuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!

“Ihhh...!” Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.

Rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, kedua matanya terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong. Siangkoan Liong juga terbangun oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biar pun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang pria yang jantan dan menarik.

“Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium.

Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak. “Kongcu! Engkau... kita...?” bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya.

Melihat ini Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan dia menyentuh lengan gadis itu sambil tersenyum. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.

“Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Sejak kemarin siang kita sudah tidur di sini. Kita memang telah berkasih-kasihan, dan kita... kita sudah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat...!”

“Tidak! Oohhhh... tidak...!” Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.

“Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan dengan suka rela, karena kita saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa berbahagia sekali.”

“Tidak...! Engkau... engkau tentu telah menjebakku...“

“Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”

Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan dia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.

“Aku... aku agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku... tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah engkau cinta padaku?”

Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta saja.

“Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”

Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul. “Aihh, Kongcu, terima kasih. Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku pergi ke Ban-goan.”

“Ehhh?” Siangkoan Kongcu mengerutkan alis dan memandang heran. “Ikut denganmu ke Ban-goan?” tanyanya ragu. “Mau apa?”

Kini Ci Hwa yang terbelalak. “Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah menyerahkan diriku padamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apa lagi!”

“Ahhh, ini tidak mungkin!”

Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling berhadapan.

“Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam...“

“Engkau juga, bukan aku sendiri!”

“Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan bahwa engkau tak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”

Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah olah dia terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus.

“Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku sudah menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggota perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau sebagai isteri!”

“Bukankah itu sudah pantasnya dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.

Siangkoan Liong menggeleng kepala. “Tak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”

Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar. “Kongcu, setelah apa yang kau lakukan, setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku... ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat dari pada kematian!”

Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum. “Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti sekarang, dan aku akan melindungimu.”

“Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak...“

“Hemmm, kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang matanya mencorong marah.

“Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!” Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu.

Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.

Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkan dirinya menjadi isteri, melainkan mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, dia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan dahsyat walau pun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur.

Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, lalu dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul.

Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalam pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.

“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.

Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biar pun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang sangat mesra, sama sekali dia tidak merasa senang. Sebaliknya dia merasa tersiksa, tanpa mampu menolak dan tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dan dipatah-patahkan.

Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apa bila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru!

Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis makhluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan jika sudah disimpan dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan!

Alangkah jauh beda antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu juga, tanpa adanya aku yang mengecamnya, dan tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan ialah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Jika sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!

Cinta kasih bukanlah sex semata, walau pun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Jika sex telah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus!

Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya dari pada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan. Hmmm.....

Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa saat ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walau pun pemuda itu telah berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran membasahi bantal.

Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan dia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

“Kwee Ci Hwa, engkau sungguh seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan telah menyelamatkanmu. Aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kau pilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”

Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.

“Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, langsung melarikan diri keluar.

Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, kini satu-satunya keinginannya hanyalah menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.

Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Dia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah, juga kakinya menendang-nendang tanah.

Penyesalan demi penyesalan datang bagai gelombang samudera yang maha dahsyat melanda dirinya, menyeretnya sehingga dia gelagapan di dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah sekali terbujuk rayu sampai-sampai mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya sama sekali.

Andai kata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya. Dia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.

“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua.

Dia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh. Tapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, bahkan lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi dia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa dia dipermainkan orang!

“Aku harus mampus…! Aku harus mampus…!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, lalu mengalungkan ujung yang lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!

Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan bersiap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.

“Anak bodoh!”

Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal.

Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua dari pada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.

Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana. Mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Matanya bersinar lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu.

Sepasang mata itu sekarang mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya tak akan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?

Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat dia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!

Pertama kali dia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk akan memperkosa dirinya. Kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggota Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosa dirinya. Dan terakhir kali terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap.

Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apa lagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?

“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa.

Tiba-tiba saja dia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.

“Dukkk...!”

Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
“Eih, Nona... kenapa... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.

“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kubunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!

Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bukan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu.

Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh jika gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.

Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangan yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali.

Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia mendapat akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.

“Bukkk!”

Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan yang menerima kedua pundaknya dengan lembut. Saat Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.

“Kau... kau berani menghalangiku!” bentaknya.

Kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang lagi marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu.

Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.

“Nona, tadi engkau telah bersikap keliru sama sekali. Mengapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah hidup ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”

Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara sehingga ia membentak ketus, “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku mau hidup atau mampus?”

“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu sudah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau langsung menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya tentang hal itu saja belum pernah ia lakukan!

“Ibuku sudah tidak ada.”

“Ahh, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, pada saat engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya. “Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?”

Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa. “Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan cara bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kau rasakan? Bukankah pernapasanmu juga berjalan sendiri tanpa kau sengaja? Dan setiap anggota tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya tumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan menjadi milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimana pun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”

Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia kini menjadi bingung.

“Apakah kau kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan apakah kau kira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”

Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas “...aku tidak tahu... ahhh, aku tidak tahu...“

Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lantas teringat akan nasibnya dan dia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan.

Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundak Ci Hwa, beberapa kali mengguncangnya keras-keras sampai kepala Ci Hwa pun terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.

“Plak! Plakkk!”

Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali ke dunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.

“Kau... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan dia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.

“Plak! Plakkk!”

Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.

“Nah, kini engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga-jaga di dalam hidupku agar tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, jangan kau takut kepadaku, Nona. Aku tak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”

Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah melalui matanya hendak menjenguk isi hati orang ini.

Orang itu kembali tersenyum sambil mengembangkan kedua lengannya. “Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”

Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri.

Pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.

“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itulah cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.

Para pembaca SULING NAGA tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, yang dahulu tinggal di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian ia beruntung diambil murid oleh seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun!

Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu.

Juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat, Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian!

Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini sangat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua kejadian ini diceritakan dalam kisah SULING NAGA!

Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang dahulu pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong?

Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah Suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun. Bagai mana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andai kata pun dia mau, bagai mana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!

Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi di dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si.

Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam. Tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.

Pada saat Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini telah tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena dia sendiri dulu pernah merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering.

Dia mendekap kepala itu, mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa dirinya berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.

“Menangislah... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu...,“ bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri dari pada gadis yang tidak dikenalnya itu.

Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenang keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan dari pada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan.

Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, dimana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat. Ada hakku dan hakmu, punyaku dan punyamu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya.

Ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang jika mendapatkan, dan susah jika kehilangan. Senang jika merasa diuntungkan, dan susah jika dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dan dapatkah batin ini bebas dari pada kepemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Tidak akan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber dari akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan untung rugi. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat
.

Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi.

Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa hidupnya tidak penting lagi, dia tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan dia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, dia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!

Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas dia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang.

Mukanya pucat sekali. Pipinya masih basah, namun matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong.

Bukan hanya bentuknya yang berbeda, tapi bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi sembrani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.

“Maafkan aku... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.

Hong Beng tersenyum. “Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.”

Jawaban Ci Hwa yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.

“Aku tak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi...“

“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak sendiri. Benarkah?”

“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah mempunyai seorang adik perempuan.”

“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku memanggilmu Beng-ko (kakak Beng)?”

“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” berkata Hong Beng.

“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku memiliki seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”

“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”

Gadis itu mengangguk. Keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, sudah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, seorang piauwsu lain, dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.

“Oleh karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun kemudian pergi hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang pernah disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”

Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tidak mau menduga-duga mengapa hal itu menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.

“Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”

“Sudah. Tiat-liong-pang terletak di atas bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat berpengaruh dan sangat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”

“Hemmm, siapa tahu ada rahasia yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”

“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana adalah gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”

Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari, maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja.

“Aku seorang yang sebatang kara, sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, semenjak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itulah aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena semenjak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”

Wajah Ci Hwa agak berseri. “Ahh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”

Hong Beng mengangguk. “Apakah barangkali dari engkau aku bisa mendengar sesuatu tentang Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”

Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput, menggigit-gigit ujung tangkai kembang rumput itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Dia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.

“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa ada lima orang pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, lalu dibunuh begitu saja oleh dua orang anggota Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam waktu sebentar saja kelima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah yang pandai, juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dulu beristeri seorang puteri istana...“

Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, lalu disambungnya, “…selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”

Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis ini hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan sudah melakukan penyelidikan, mendadak saja dia hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.

“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik hatiku, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku semenjak bertahun-tahun yang lalu, bersama dengan para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kekacauan dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”

Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Dia sudah membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya sedikit pun. Dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.

“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa gerangan gurumu?”

Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab sederhana, “Suhu-ku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es.”

“Aihhh...!”

“Kenapa?”

“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.

“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”

“Biar pun aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”

“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau lebih dulu harus sudah dapat mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”

Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi dia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar untuk mencuci nama baik ayahnya, tetapi yang lebih penting juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!

“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan Tiat-liong-pang.

Setiap orang manusia hidup takkan terluput dari pada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang sudah dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu mala petaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan juga dapat membuat orang menjadi mata gelap. Ada pula yang ingin menghentikan semua derita dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!

Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang timbul dari kenangan.

Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, dan duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan saja peristiwa itu lenyap, seperti sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik mau pun buruk.

Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik mau pun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka, tanpa kebencian.

Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung dari pada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi
.....

********************

Cin-sa-pang ialah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa. Kita telah mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan bersemangat baja.

Perkumpulan ini sekarang memiliki anggota tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Mereka bekerja sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang melakukan pelayaran di sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya.

Seperti banyak perkumpulan orang gagah di jaman itu, mereka merasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka pun tidak berdaya. Mereka tidak memberontak terhadap pemerintah yang teramat kuat, tapi mereka pun enggan menjadi kaki tangan penjajah, dan hidup sebagai kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari penindasan atau kejahatan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula diundang dan menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk sesat sehingga hampir saja dia menjadi korban. Sejak lama dia memang telah bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li, maka melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw segera dia menentang dan akibatnya, hampir saja dia terbunuh ketika dalam perjalanan pulang dia dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya.

Untung ketika itu muncul seorang pemuda sakti yang tak dikenalnya akan tetapi berhasil menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa sangat menyesal mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya dan mengobati lukanya, terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa di antara semua tamu yang tidak menyetujui persekutuan itu, hanya dia seoranglah yang selamat!

Ciok Kim Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam bagai tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah menggunakan senjata golok besarnya. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng.

Pemuda ini memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya. Wajahnya tidak berkulit hitam, bahkan tampan gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan. Sejak kecil dia digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh lima tahun, dia sudah mewarisi semua ilmu ayahnya dan menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.

Ketika Ciok Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung bertanya. Ciok Kim Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.

“Tiat-liong-pang kini telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak meja. “Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis iblis semacam Sin-kiam Mo-li, para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-wa-kauw, kini menjadi sekutunya!”

“Ahhh...!” Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.

“Bukan mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan hitam menjadi sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu pasti dimusuhi. Aku terang-terangan menyatakan tidak setuju dan aku dihina di depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai. Bahkan ketika aku pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris saja aku tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku namanya, tentu aku tidak dapat pulang dan sudah mati konyol di sana.” Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada puteranya, juga kepada para pembantunya yang setia.

“Brakkk!” Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.

“Tiat-liong-pang menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku menggerakkan teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”

Ayahnya mengangkat tangan ke atas. “Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil yang hanya menurutkan dorongan hati yang marah. Tiat-liong-pang itu kuat sekali, Siangkoan Lohan amat sakti, puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi. Belum lagi diingat betapa para anak buah mereka mungkin lebih banyak dari pada jumlah teman-teman kita. Jika engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama artinya dengan segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus menentangnya, namun dengan cara halus, bukan menggunakan kekerasan dan untuk itu kita harus berunding dan mengadakan kontak dengan para pendekar.”

Ciok Heng mengangguk-angguk membenarkan ayahnya. “Kalau begitu, aku dan kawan kawan akan menyebarkan berita itu pada para pendekar, Ayah, dan mengajak mereka untuk turun tangan karena persekutuan itu akan berbahaya sekali jika didiamkan saja.”

Ciok Kim Bouw menyetujui. “Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk mengadakan perundingan di sini.”

Ciok Heng segera menyiapkan teman-temannya. Mereka pun lalu menyebar, memberi tahukan kepada para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia kaum sesat yang kini sedang mengadakan persekutuan dengan para pimpinan Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan penyelewengan itu.

Memang tidak ada perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan. Namun, di antara para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan berkunjung untuk bercakap-cakap bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang.

Sementara itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah mereka dengan tekun agar supaya mereka memperoleh kemajuan sehingga sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok segera dibentuk dan tiap hari mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.

Dua bulan sudah lewat dengan cepatnya. Sementara itu berita mengenai persekutuan Tiat-liong-pang yang disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah terdengar pula sampai ke beberapa propinsi. Berita itu disambut dengan sikap yang bermacam-macam oleh para orang gagah di dunia persilatan.

Ada pula yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya jika orang gagah mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula yang merasa tidak senang karena mereka mendengar betapa persekutuan Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat, apa lagi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai disebut dalam persekutuan itu. Biar niatnya baik, yaitu menentang penjajah, akan tetapi jika harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak di antara para pendekar yang tidak mau.

Pendeknya, berita yang disebar luaskan oleh Cin-sa-pang di dunia persilatan akhirnya menimbulkan kegemparan. Banyak di antara para pendekar meragukan kepatriotannya, apa lagi kalau mereka mendengar dan mengingat bahwa Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tangan pemerintah penjajah! Betapa pun juga, peristiwa ini lalu menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk meninggalkan tempat mereka dan berangkat menuju ke selatan untuk melakukan penyelidikan sendiri.

Pada suatu pagi yang amat cerah, nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan Cin-sa-pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan pemuda ini pasti menengok dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, mukanya agak hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam dan mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian.

Sikapnya pendiam. Dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke depan sambil melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Pada saat melangkah, tubuhnya bergerak seperti seekor harimau berjalan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain yang tebal, dan di balik jubahnya terdapat sebatang pedang yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak tersembul di bawah jubah.

Tanpa melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat karena dia adalah Cu Kun Tek, jago silat muda dari Lembah Naga Siluman yang terletak di Pegunungan Himalaya.

Orang tua pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang sangat lihai. Ayahnya bernama Cu Kang Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat tinggi, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Ada pun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-liong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya.

Cu Kun Tek meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang disebar oleh Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan dia tidak akan tinggal diam begitu saja. Maka dia pun pergi dan berkunjung ke tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri kebenaran berita itu. Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya seorang yang cukup gagah. Perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang gagah.....

Pada saat para anggota Cin-sa-pang melaporkan kepada ketua mereka akan datangnya seorang tamu dan Ciok Kim Bouw cepat keluar, dia menjadi gembira sekali melihat pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.

“Aihh, kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil dia membalas penghormatan pemuda itu.

“Bagaimana kabarnya, Ciok Pangcu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”

“Terima kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan dalam dan bercakap-cakap.

Dalam kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya mengenai berita yang dia dengar tentang Tiat-liong-pang. Ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semua pengalaman dirinya ketika dia menghadiri undangan Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.

“Bayangkan saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu kehormatan itu terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan sesuatu pemberontakan!”

Cu Kun Tek mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun lalu berkata, “Akan tetapi, bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha mengusir pemerintah penjajah dari tanah air, Pangcu?”

Ciok Kim Bouw menghela napas panjang. “Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para patriot sejati dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, percayalah, kami seluruh anggota Cin-sa-pang akan berdiri di belakangnya. Kami akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa untuk membantu gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang dapat merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah Mancu, bahkan Siangkoan Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan dengan para pemberontak, tetapi pemberontak semacam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan orang-orang dari kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu bisa mengandung niat bersih dan gagah untuk membebaskan rakyat jelata?”

Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi di dalam pesta itu, tentang kecabulan dan lain-lain, kemudian menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan tidak senangnya dengan kehadiran tokoh-tokoh sesat sehingga dia dianggap menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan.

“Ketika aku pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau apa yang terjadi setelah aku pergi meninggalkan tempat itu? Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong dan mereka itu sengaja hendak membunuhku!”

Lalu diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai yang berhasil mengusir kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari ancaman racun di lengannya akibat serangan Siangkoan Liong.

“Nah, melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Puteraku, Ciok Heng, tadinya berkeras ingin memimpin anak buah menyerbu ke Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu sama dengan membunuh diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah menyusun kekuatan. Maka, kami lalu menyebarkan berita itu supaya terdengar oleh para pendekar dan orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari Tiat-liong-pang dapat dicegah.”

Cu Kun Tek diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia pun sudah mendengar perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, yaitu suatu perkumpulan yang pernah membuat jasa terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi kenapa kini mendadak saja perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai begitu saja keterangan Ciok Pangcu.

Hanya satu hari Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua Cin-sa-pang dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta diri karena dia hendak melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan penyelidikan pada perkumpulan yang katanya bersekutu dengan para golongan sesat dan hendak memberontak itu.

Di dalam perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun lalu ketika dia baru berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan, Sim Houw dan yang lain-lain menghadapi musuh musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, dan Sam Kwi yang amat lihai itu. Mereka menjadi kaki tangan Thaikam Hou Seng yang menjadi kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian, para datuk sesat itu seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah dan membantu pemerintah, sehingga kadang-kadang para pendekar berhadapan dengan pasukan pemerintah.

Tapi kini keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya menjadi perkumpulan yang pro pemerintah penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak. Akan tetapi, melihat betapa perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha pemberontakan mereka itu. Tentu mereka tak bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kaum penjajah, namun hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat diri sendiri menjadi golongan pimpinan baru!

Kalau benar demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu perjuangan yang benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan kaum penjajah. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Long yang sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana dari pada kaisar-kaisar Mancu yang lalu, dan dia tak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan kejam melebihi iblis itu.

Teringat akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah jatuh cinta pada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah dengan Sim Houw, yang masih keponakannya sendiri biar pun usia Sim Houw lebih tua empat belas tahun darinya. Sejak itu dia kembali ke Lembah Naga Siluman dan tidak pernah memasuki dunia ramai.

Dia tidak merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan cintanya itu membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang selalu dianjurkan kedua orang tuanya.

Sekarang, setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat membayangkan betapa selama ini ia telah mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa membuat mereka berduka dan kecewa merupakan suatu perbuatan yang tidak berbakti. Pula, kenapa dia seolah-olah menjadi putus asa dan tidak pernah mempunyai keinginan untuk berumah tangga?

Ah, siapa tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia dengan jodohnya. Atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang pendekar ketika menyelidiki Tiat-liong-pang. Bagaimana nanti sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa depan, aku siap menghadapimu, demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan gagah.

Kun Tek memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga Siluman sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki ilmu silat keluarga yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama besar keluarga Cu telah dikenal oleh hampir semua tokoh dunia persilatan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam.

Dan sekarang, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek moyangnya, dia keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, siap untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa!

Juga diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan kali ini dia akan bertemu dengan jodohnya karena bagaimana pun juga ia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya yang sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu dan terutama sekali menimang cucu.....

********************

Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggota Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggota Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah atasan. Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan peristiwa itu dan dia sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.

“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka tak akan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus tunduk dan takut, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka dengan baik. Apa lagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”

Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi girang sekali.

Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya. Puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan.

Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Siangkoan Lohan bahkan kadang-kadang turun tangan sendiri dan memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!

Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Mo-li dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang, sedangkan yang dipimpin Sin-kiam Mo-li bertugas mempertahankan benteng perkumpulan itu.

Penjagaan dilakukan dengan amat ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan ‘musuh’ datang menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang itu dianggap sebagai benteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada pula disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.

Latihan itu memang dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk bisa berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai sehingga dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!

Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong, sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk bisa menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawannya yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ke dalam benteng kota raja sehingga dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.

Pagi hari itu nampak sunyi saja di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, semua mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.

Tiba-tiba muncullah seorang gadis dari kaki bukit. Pada waktu gadis itu tadi melewati San-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun gadis itu acuh saja walau pun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya.

Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apa lagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apa lagi melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.

Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liong-pang. Ada seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari mana pun juga?

Tiba-tiba muncullah lima orang anggota pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Jika pasukan penyerbu mengenakan seragam warna kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam warna biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.

“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapakah engkau dan menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”

Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka dia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggota keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara.

Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan sangat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka dia pun ingin meminta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.

Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang prajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya, “Apakah kalian ini prajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas utara?”

Lima orang prajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng ‘kota raja’. Oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka prajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.

“Kalau benar kami prajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang prajurit itu memandang kagum.

Mereka adalah orang-orang kasar yang biasa bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apa lagi secantik ini. akan tetapi sejak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.

Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata, “Aku bernama Pouw Li Sian dan datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara...“

Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima orang itu. Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak, “Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Walau pun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang menjadi suci-nya.

Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang prajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka dia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.

“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara dengan dia.”

Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apa lagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!

Tidak lama kemudian, di dalam hutan yang kini menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang harus mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira di dalam pasukan itu. Jumlah perwira itu ada lima orang dan mereka tengah merundingkan siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya lima orang prajurit sambil menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.

Kelima orang prajurit itu memberi hormat, dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li dengan sikap seperti seorang prajurit yang melapor kepada atasannya. “Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”

Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li semakin dalam. Sinar matanya membayangkan kemarahan.

Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Laki-laki semacam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu.

Memang, sejak dia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang amat cocok. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biar pun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.

“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.

Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang memandangnya dan juga duduk di situ, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu. Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu.

Teringat dia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang terkenal sekali, bernama Panglima Milana, yang kabarnya dahulu memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana.

Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu? Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya itu, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.

“Harap Li-ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya, seperti yang dilaporkan oleh para prajurit tadi, saya datang ke sini untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung saya yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya, dan sekarang saya mencarinya.”

Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena dia masih curiga. “Kalau kau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li.

Walau pun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa sikap seorang panglima perang memang harus tegas seperti itu!

“Maaf, Li-ciangkun. Saya sudah tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya, barang kali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”

Sin-kiam Mo-li menjadi makin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?

“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong! Mengakulah saja!”

Li Sian terkejut, dan cepat dia menggeleng kepala. “Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”

Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”

Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget. Mulailah ia merasa curiga dan penasaran. Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tetapi, mengapa kakaknya sudah diampuni dan bahkan dijadikan perwira?

“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang prajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”

Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong. “Apa? Engkau seorang mata-mata biasa berani membantah? Kalau begitu tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.

Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!

“Baik, Li-ciangkun!” katanya.

Dia pun menubruk ke depan. Agaknya dengan dua lengannya yang panjang dan besar itu dia hendak sekali tubruk sudah bisa menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!

“Hemmm...!” Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran.

Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja baginya gerakan A Sam itu terlalu lambat. Dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan.

“Ngekkk!” ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan bunyi. Orang itu pun terengah-engah sehingga sukar bernapas!

Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu yang tidak becus itu. Juga dia tahu bahwa gadis ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah. Sepintar-pintarnya seorang mata-mata dari Toat-beng Kiam-ong, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Pikiran ini membuat Sin-kiam Mo-li merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata!

Memang dalam latihan perang-perangan ini, tentu saja tak boleh saling membunuh atau melukai dengan berat karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan juga sudah direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya boleh menggunakan kaki tangan saja. Ini pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah.

Melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.

“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain.

Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun.

Li Sian tidak merasa gentar. Dia hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beri tahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”

“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau engkau dapat mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya.

Sekarang mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulurkan tangan hendak menangkap gadis yang cantik manis itu. Ada yang coba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya. Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan murid-murid atau anggota Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu.

Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.

“Berhenti!” bentaknya.

Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa makin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.

“Hemmm, Li-ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?” tanyanya, sekarang sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong.

Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Mo-li juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biar pun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran.

Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu!

Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh pada waktu itu dan kini dia datang untuk mencari dan menyelidiki!

“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”

Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walau pun dia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”

Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman.

“Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu. Coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali.

Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai. Akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh.

Karena itu kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku itu saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apa lagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang. Kini, begitu maju menyerang, ia telah mengerahkan Hek-tok-ciang!

Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sinkang yang tinggi seperti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya.

Pula, ia sudah banyak mendengar nasehat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu ilmu yang dikuasai para datuk sesat. Maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.

Sin-kiam Mo-li merasa amat penasaran saat serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan.

Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik.

Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Pada waktu sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.

“Dukkk!” Keduanya tergetar dan melangkah mundur.

Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan juga membuat lengannya tergetar hebat! Ia menyerang lagi, sekali ini dengan serangan yang lebih dahsyat.

Namun sekarang Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena dia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu.

Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya. Jangankan merobohkan, baru mendesak pun tak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggota Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi.

Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi dia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, dan jika perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuatnya malu ini.

“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya.

Tiba-tiba saja kedua tangannya telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kirinya sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh. Selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya dari pada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.

Setelah membentak demikian, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya tanpa malu-malu lagi meski melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong.

Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat-cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan).

Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indahnya dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Meski pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya!

Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam. Kadang-kadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang di tangan kanan dan Swat-im Sinkang di tangan kiri.

Kembali Sin-kiam Mo-li kaget bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.

“Bocah setan! Apakah engkau seorang murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya. Kebutannya membabat ke arah muka, sedangkan pedangnya menusuk dada.

Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sinkang. Hawa amat panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.

“Tidak ada hubungannya denganmu!” jawab Li Sian.

Gadis ini melihat sebatang ranting tidak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh dan dia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang. Kini dia pun memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut menghadapi sepasang senjata lawan!

Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya. Akan tetapi karena maklum akan kelihaian sepasang senjata lawan, tetap saja dia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan lantas membalas dengan tusukan ranting yang dia mainkan sebagai pedang!

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiat-liong-pang yang menjadi penonton memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.

Tiba-tiba terdengar suara orang melerai. “Tahan senjata!”

Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga cepat melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Dia melihat munculnya seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau seorang pemuda bangsawan.

Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.

“Apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.

“Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu sempat melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.

Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, kemudian ia bertanya, “Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”

Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu. Ia memberi hormat setelah melepaskan ranting dari tangannya, kemudian berkata, “Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang?”

Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.

“Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Memang benar aku adalah Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau?”

“Paman Siangkoan, sudah lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”

“Pouw...?” Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.

“Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”

“Ahhhhh...! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya? Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah...“

“Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya menyusul ke utara, dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberi tahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, maka terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”

Siangkoan Lohan memandang penuh kagum. “Ahh, sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang pernah ikut dengan Pouw Taijin dahulu itu. Aihh, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!”

Siangkoan Lohan mengepal tinju, lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!”

Walau pun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk.

“Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi mempergunakan sinkang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es?”

“Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian sejujurnya.

Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimana pun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka membantunya.

“Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ahh, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini? Bukankah pada saat engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan? Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw?”

Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. “Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biar pun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini,” katanya.

Li Sian juga teringat, walau pun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun cepat balas menjura.

“Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”

Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak.

Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalau sinar matanya mencorong gembira. Benar! Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka!

Dia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong. Dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak akan dapat ditundukkan oleh Siangkoan Liong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar