Kisah Si Bangau Putih Jilid 26-30

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Kisah Si Bangau Putih Jilid 26-30 Suma Ceng Liong dan isterinya, biar pun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan,
Suma Ceng Liong dan isterinya, biar pun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, tapi ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka. Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat pula mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.

“Sungguh mengherankan sekali berita itu,” kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. “Padahal, sudah lama nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana sekarang tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh.”

“Hal seperti itu mungkin saja terjadi,” berkata isterinya. “Bagaimana pun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa kurang puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu?”

“Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajahan Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan untuk bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam dari pada pemerintah penjajah sendiri.”

Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. “Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala turut memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah mempunyai pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji? Engkau tahu, watak anak itu masih sangat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya.”

Suma Ceng Liong mengangguk. “Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, namun kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia turut menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi, belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya. Apa lagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar.”

Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. “Lalu bagamana baiknya? Kita harus menyusulnya dan melindunginya!”

Suaminya mengangguk-angguk. “Tapi tidaklah mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu dia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya.”

Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san di mana Suma Ciang Bun bertapa, untuk mulai mencari jejak puteri mereka.

Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apa lagi ikut mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Dan kini, begitu meninggalkan rumah, apa lagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka.

Jiwa petualangan mereka bangkit kembali. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu jelas nampak pada wajah mereka yang berubah cerah.

Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil, menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah dan ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.

Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang, nampak ada beberapa orang manusia bergerak-gerak. Dari tempat jauh mereka itu nampak kecil sekali, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.

“Di sana ada orang-orang berkelahi!” berkata Kam Bi Eng kepada suaminya. “Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!”

“Benar,” kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. “Yang seorang itu agaknya wanita, sedangkan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan.

“Hayo cepat kita ke sana!” teriak wanita sakti itu.

Tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru.

Nampak seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.

Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. “Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!”

Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh lebih menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain.

Sesungguhnya, tidak mengherankan jika para pengeroyok itu amat lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain yaitu kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Ada pun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!

Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.

Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjulukan Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu dengan wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan berusaha menundukkannya, mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan menggunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.

Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apa lagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan ia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang.

“Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja supaya tidak kesepian?” demkian tegur Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.

Wajah yang bulat telur itu menjadi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, dia pasti turun tangan menghajar pria yang sama sekali tidak menyangka bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.

“Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin?”

Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya makin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.

“Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke mana pun aku pergi. Lihat!” Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya.

Melihat betapa ucapannya tadi itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.

“Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?”

Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini hanya dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa pun tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!” Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.

Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan makin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.

Giam San Ek sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, maka ia cepat mengelak. Akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walau pun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang sangat kuat, maka dia pun melangkah mundur sambil memandang dengan alis berkerut.

“Ehh? Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?” bentaknya, kini kurang ramah.

“Keramahanmu hanyalah kekurang ajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kau permainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!” Dan sekarang Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.

“Dukkk! Plak!”

Pertemuan dua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sinkang yang amat kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget sekali karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, dan baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.

“Ahh, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!” bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.

Akan tetapi, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tidak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun).

Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya. Maka, tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.

“Singgg...!”

Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang itu di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku sama sekali tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek, terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sangat disayangkan bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!”

“Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!” bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.

“Haaaiiitt!”

Dengan lagak mengejek Giam San Ek menangkis serangan, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga dia sangat lihai dengan pedangnya. Dia memainkan Ban-tok Kiam-sut dan biar pun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, akan tetapi dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat.

Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi makin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apa lagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.

Selagi Giam San Ek semakin kebingungan, muncullah bala bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggota Ang-I Mo-pang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang semuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan.

Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu ikut terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh!

Akan tetapi, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar meski pun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sinkang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang sangat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.

Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga Pulau Es, anggota dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari enci-nya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apa lagi karena bertahun-tahun tidak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimana pun juga akan dikenalnya dengan baik!

“Jangan takut, kami datang membantumu!” kata Ceng Liong yang semenjak tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok.

Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan, dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek-I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang dahulu amat terkenal.

Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat.

Ia membalas dengan tusukan pedang, namun didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia kemudian berkemak-kemik sambil menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.

“Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!”

Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong!

Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan dua tangannya silih berganti, yang kanan dengan Hwi-yang Sinkang mengeluarkan hawa panas, dan yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sinkang.

Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main karena melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang kemudian bergulingan saja, wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.

Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.

Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya. Akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya sehingga mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!

Meski ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, akan tetapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apa lagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.

“Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian sudah datang membantuku!” teriaknya dan tendangan-tendangannya langsung membuat kelima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.

Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kao Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya.

“Musuh yang lari jangan dikejar!” kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.

Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya, tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, “Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!” Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, “Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!”

“Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li,” kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.

“Hong Li, siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...”

“Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!”

“Ahhh!” Suami isteri itu terkejut.

“Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!” kata gadis itu penuh semangat.

Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diakui sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka.

Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran kenapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.

“Hong Li, kenapa engkau ingin membunuhnya dan nampaknya engkau amat membenci wanita itu? Apakah karena ia dahulu menculikmu?” tanya Ceng Liong tak puas.

Hong Li menarik napas panjang. “Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu ke rumah kakek dan nenek di Gurun Pasir. Mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir.”

“Ihhh...!” Kam Bi Eng berseru kaget.

Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. “Apa?! Bagaimana mungkin ia dapat membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?” Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apa lagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.

“Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa amat terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari ketiga orang tua sakti itu sendiri.” Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong.

Suami isteri perkasa itu mendengar dengan penuh perhatian. Wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua yang sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.

“Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?”

“Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong. Dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Oleh karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol.”

Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang. “Aihh, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimana pun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku paham. Tentu setelah mengoper tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga orang locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimana pun juga, hampir semua penyerbu itu tewas, dan ini membuktikan bahwa ketiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih luar biasa hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan sudah menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!”

“Beruntung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini?”

“Kami memang sengaja meninggalkan rumah karena sudah mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian juga sedang merantau, maka kami merasa sangat khawatir dan ingin mencarinya.”

“Ahh, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!”

Hong Li segera bercerita mengenai pertemuan dirinya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalah pahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.

“Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami lalu berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman, sedangkan adik Lian terus melanjutkan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu.”

“Di mana terjadi peristiwa itu?”

“Di kota Ban-koan.”

“Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana,” kata Ceng Liong.

Mereka kemudian berpisah. Ceng Liong dan Bi Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap lebih berhati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tiada seorang pun tahu tentang Suma Lian, apa lagi mengenai penculik anak-anak, oleh karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula.

Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun. Sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatang kara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.

Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia telah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.

“Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar.”

“Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu ini juga semakin gagah dan cantik!” kata Suma Ciang Bun.

Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. “Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?”

Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu mempunyai wajah yang tampan dengan sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan.

“Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko...”

Suma Ciang Bun tersenyum. “Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. “Suma Lian, anak kami?” keduanya hampir berbareng bertanya.

Suma Ciang Bun mengangguk, kemudian dia mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.

“Bun-ko, apakah yang kau maksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?” tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.

“Benar, engkau sudah mendengar akan mala petaka yang terjadi di sana?”

“Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan.”

“Dan tahukah engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin,” kata Suma Ciang Bun.

“Ciong Siu Kwi...? Bi...” Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu.

Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.

Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, lalu dia menghela napas panjang. “Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Jika ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justru amat mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya jika dia menentang Tiat-liong-pang.”

Suma Ciang Bun lalu mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol.”

Suami isteri itu lalu berpamit. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sang-cia-kou di utara.....

********************

Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadi peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu ini sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara mendadak saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah.

Karena sebuah pasukan tidak mungkin tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Coa Tai-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk memimpin pasukan-pasukan yang telah kehilangan pemimpinnya.

Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat ada beberapa rekan-rekan mereka yang lenyap dan kini kekuasaan Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar.

Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.

Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, sehingga membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.

Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, meski kadang-kadang mencorong penuh wibawa.

Sementara nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih. Bentuk tubuhnya masih ramping, serta gerak-geriknya masih lincah dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira.

Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Oleh karena itu, walau pun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan Negara, sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam.

Dan setelah manusia jenuh dari pada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di tepi samudera atau di puncak bukit, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang amat menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin.

Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu: Dapatkah kita bebas dari pada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?


Biar pun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi!

Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu ia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang sangat tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang juga berjuluk Suling Emas. (baca kisah Suling Emas Naga Siluman).

Ada pun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suaminya itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sinkang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.

Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang dulu pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu bisa berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?

Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang sudah menjadi isteri Suma Ceng Liong. Juga dia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja.

Ia lalu mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah sampai di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumahnya dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.

Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat.

Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan menantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu.

Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.

“Eh, lihat di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”

Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. “Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”

“Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!” sambung Bu Ci Sian.

“Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu.”

“He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”

“Siancai...! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong. “Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!”

Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.

Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih terus melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, keempat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan-serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang, tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.

Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan. Dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri.

Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkatnya di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga dia tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta.

Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.

“Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!”

Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, bersiap untuk membela diri sedapat mungkin biar pun dia tahu bahwa bela dirinya tidak akan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.

“Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang sudah dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau sudah bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat.”

Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. “Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun. Sekarang bahkan tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”

“Tahan...!” Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat.

Tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas.

Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya.

Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.....

Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya, “Tahukah engkau siapa mereka ini?”

Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, kemudian dia menggeleng kepala sebagai jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman.

Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.

“Selamat berjumpa, Sobat,” katanya dengan suara yang halus, “boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu?”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia tengah berhadapan dengan orang yang sama sekali tak boleh dipandang ringan. Apa lagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seakan-akan orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah!

Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.

“Maaf, Sobat,” jawabnya dengan halus pula. “Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air semenjak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apa lagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab.”

Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar. “Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!”

Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam. Juga pemuda yang berdiri di sampingnya, yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.

“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula. Oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali jika Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik, “Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ini ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang?” Kemudian disambungnya, “Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua dari Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah.”

“Dia adalah ayah saya!” kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.

Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, kemudian berkata, seolah-olah bicara pada isterinya, “Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang sedang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagai mana bisa begitu?”

Bu Ci Sian mendengus. “Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tak bisa percaya dengan gerakan macam itu!”

“Maaf, maaf...!” kata Ouwyang Sianseng. “Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk bersama-sama menentang pemerintah penjajah. Dan yang paling penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, ada pun caranya dapat menggunakan cara apa saja agar berhasil.”

Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. “Ha! Sobat yang baik, bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Jikalau caranya kotor, maka kami pun tidak ingin mengotorkan tangan untuk membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Jika kalian telah bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!”

Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu, dan kalau mungkin dapat menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk ikut bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.

“Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan sebab itu layak mati di tanganku!” berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya.

Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang semenjak tadi memandang penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya telah memegang sebatang suling emas, tak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang dapat digerakkan seperti pedang.

Siangkoan Liong terkejut ketika mendadak saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendengung mengerikan, dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.

“Trang…! Cringgg...!”

Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu telah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sinkang panas ini, dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat.

Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung!

Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan yang berbahaya ini. Ia hanya mampu menghindarkan diri dengan keadaan terhimpit dan terdesak, lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.

Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, mendadak saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng amat terkejut, akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata!

Ouwyang Sianseng kemudian mengeluarkan kepandaiannya. Kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup. Dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, dan kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut!

Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.

Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka ia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuatnya, tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan.

Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka ia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng.

Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, ia terhuyung-huyung! Ia segera meloncat ke belakang.

“Tahan!” serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian.

Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, suling emas di tangan kanan sedangkan kipas di tangan kiri, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.

“Kau… kau… Pendekar Suling Emas...?” Ouwyang Sianseng bertanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.

Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, tetapi merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!

“Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini.”

Biar pun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai.

Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak, “Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!”

Mendengar bentakan suhu-nya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah.

Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang sekarang telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum sambil berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!

Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi, “Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah amat terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa.”

Lalu dia pun menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.

“Saudara yang perkasa,” berkata Ouwyang Sianseng, “kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa. Oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa...”

“Cukup,” kata Kam Hong dengan alis berkerut. “Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya.”

Ouwyang Sianseng tersenyum pahit. “Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!” katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap. Demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.

Kam Hong menarik napas panjang. “Hebat sekali kepandaian orang itu!”

“Orang muda itu pun lihai sekali!” kata pula isterinya.

Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, sekarang menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu.

“Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang belakangan ini terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara.”

Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimana pun juga, mereka berdua tidak memiliki perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang kini bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.

“Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang sudah terjadi? Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh?” tanya Kam Hong.

“Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian besar pasukan di utara. Menurut laporan yang baru kami terima, Coa-ciangkun dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami pun sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang sudah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri supaya pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan.”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Meski dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, namun gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya. Bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.

“Kalau begitu berbahaya sekali. Biar pun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh.”

Panglima Liu mengangguk-angguk, lalu saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi sudah mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.

“Baiklah, kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami hendak mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang terbaik, sementara keempat orang pengawalku ini biar mengubur jenazah belasan orang anggota pasukan pengawal itu.”

Panglima besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon, sedangkan keempat orang pengawal itu mulai menggali sebuah lubang besar untuk mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.

Sambil duduk di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar itu, minta pendapat dan nasehat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan dilindungi oleh Bu Ci Sian.

Sedangkan Kam Hong sendiri akan membawa surat dari panglima itu untuk menemui Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang sudah mengirimkan laporan kepada para pembesar di kota raja. Kam Hong lalu akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun, dan kemudian baru akan diatur rencana sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar supaya bisa memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka dapat melakukan gerakan.

Setelah penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah goa. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Kam Hong untuk menyelundup ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar tembok benteng dan mencari perwira Pouw!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur dalam kamarnya seorang diri ketika tiba-tiba saja ada orang yang mengguncang tubuhnya. Pada waktu ia terbangun, ia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara.

“Tenanglah, Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari panglima besar yang datang dari kota raja.”

Wajah Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak kemerahan kembali. Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya.

Kam Hong maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.

“Nah, inilah surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun.”

Perwira itu menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga bertangan besi terhadap para pemberontak.

“Akan tetapi, mengapa Liu Tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan pengawalnya ke sini? Kenapa harus mengutus Locianpwe?”

Pouw-ciangkun menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba saja muncul di dalam kamarnya bagaikan setan. Bagaimana pun juga, dia masih sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.

Kam Hong maklum akan keraguan perwira itu. “Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya sudah dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan keempat orang pengawal pribadinya yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian.”

Mendengar ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan surat itu cepat dibuka dan dibacanya. Ternyata Liu Tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut dengan kakek yang sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia kepada pemerintah.

Tiga orang perwira itu pun amat terkejut melihat Kam Hong. Akan tetapi ketika mereka mendengar keterangan dari Pouw-ciangkun, mereka kemudian mengatur siasat dengan Pouw-ciangkun.

“Malam ini aku akan pergi menghadap Liu Tai-ciangkun bersama Locianpwe ini. Kalian harus dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan mungkin besok malam aku baru kembali.” kata Pouw-ciangkun.

Para rekannya dapat menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam Hong, melalui jalan rahasia yang ada di belakang benteng. Tanpa diketahui orang lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka tiba di dalam hutan di mana Liu Tai-ciangkun bersembunyi di dalam goa dijaga oleh empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.

Pouw-ciangkun cepat memberi hormat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa Tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Ada tak kurang dari dua puluh orang perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuan dengan Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira setia yang diculik.

“Bagaimana dengan pasukannya sendiri?” tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan hal itu.

“Sudah saya selidiki, Tai-ciangkun. Para anggota pasukan agaknya belum tahu akan niat Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan tanpa banyak bertanya. Jadi, jika para perwiranya telah dapat dikuasai Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala perintahnya. Mereka takkan mundur walau pun diperintah untuk menyerbu pasukan pemerintah sendiri!”

“Berapa jumlah seluruh pasukan yang berjaga di tapal batas utara?”

“Yang sudah siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, tetapi mereka itu biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak seperti pasukan inti yang berada di tapal batas.”

“Dan berapa banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun?”

“Melihat jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, dan ada pula sebagian yang bimbang dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu.”

Liu-ciangkun mengangguk-angguk. “Kembalilah engkau ke benteng dan hubungi para rekan yang setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apa lagi adanya kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan. Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan para panglima untuk berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itu pulalah aku akan mengumumkan penangkapan terhadap mereka. Juga engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia. Semua gerakan ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur lagi nanti.” Demikianlah Liu Tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci Sian.

Untuk menjaga keselamatannya supaya semua rencana dapat berjalan dengan lancar, ketika kembali ke benteng Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong, juga melalui jalan rahasia di belakang benteng. Setelah melihat betapa Pouw ciangkun telah kembali dengan selamat tanpa diketahui siapa pun, Kam Hong lalu kembali dan mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.

Pouw-ciangkun berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu Tai-ciangkun akan datang berkunjung ke banteng. Maka ia beserta para rekannya lalu mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng dan melakukan penyambutan.

Tentu saja diam-diam Coa Tai-ciangkun sudah mendengar dari para sekutunya akan datangnya Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya untuk menghalangi kunjungan ini.

Akan tetapi karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng sangat besar, dia tidak merasa khawatir. Bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota raja itu di dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap Liu Tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng.

Andai kata pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa Tai-ciangkun dan para rekannya akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut serta membunuh utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!

Ketika pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap siaga, menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi, penyambutan itu berjalan lancar dan dengan kehormatan, Liu Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki benteng.

Begitu memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, dengan suara lantang Liu Tai-ciangkun berkata, “Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak ada seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi supaya dibagi dan melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang, kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat pusat!”

Karena utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak ada tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun memberi isyarat rahasia kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu, untuk terlebih dahulu melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil keputusan untuk bergerak.

Semua perwira kemudian berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu. Diam-diam pasukan khusus yang sudah disiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya seperti yang telah direncanakan oleh Liu Tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan rapat itu.

Ada lima ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa keributan seperti yang diperintahkan Liu Tai-ciangkun sehingga tidak ada seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu Tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat itu.

Suasana dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada lebih dari tiga puluh orang perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi diatur menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu Tai-ciangkun yang hanya dikawal oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tak ada anggota pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa senjata.

Setelah menghitung jumlah perwira. Liu Tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan pertanyaan. “Mengapa yang hadir hanya ini? Di mana lagi yang lain? Bukankah di sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang?” Lalu dia memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan. “Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainnya tak hadir, maka engkaulah perwira yang pangkatnya paling tinggi di sini. Nah, sekarang aku ingin mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan mengapa pula mereka tidak hadir!”

Wajah Coa Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke kota raja dan tentu di dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura bodoh dan bertanya kepadanya?

Namun, dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan melapor dengan suaranya yang lantang. “Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, sudah lenyap dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan walau pun kami sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada, sudah mati ataukah masih hidup!”

Liu Tai-ciangkun mengerutkan alis. “Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira bisa lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke mana perginya?”

“Kami semua sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini.”

“Hemmm, sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa dapat diketahui ke mana mereka pergi, ini hanya menunjukkan kelemahan para pemimpin yang menguasai benteng ini. Karena itu harus segera diadakan perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!”

Mendengar suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir di sana saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak enak. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang memanggil namanya!

“Panglima Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!”

Tentu saja Coa Tai-ciangkun semakin kaget. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang ke sekeliling, kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu. Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah, kemudian duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.

“Perwira Song Pun Ki!”

Disebutnya nama yang ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Mengapa kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun, perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya dengan pihak Tiat-liong-pang? Apakah ini hanya kebetulan saja?

Akan tetapi, seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit, kemudian berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk bicara.

Nama demi nama dipanggil dan keadaan menjadi makin menegangkan karena ternyata bahwa nama-nama yang dipanggil oleh Liu Tai-ciangkun berikutnya adalah nama-nama para perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah setuju untuk melakukan pemberontakan bersama Tiat-liong-pang!

Setelah dua puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu, panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah kiri, dengan suara lantang Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas.

“Panglima Coa Seng dan semua perwira yang sudah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami selaku utusan yang berkuasa penuh, maka kami menangkap dan menahan kalian dengan tuduhan memberontak!”

Coa-ciangkun, Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, bahkan ada pula yang mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu.

Pada saat itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun bersama rekan-rekannya sudah siap memberontak dan memberi tanda kepada para anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan beberapa di antara mereka sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, tiba-tiba saja Coa-ciangkun roboh terkulai karena panglima ini sudah terkena totokan jari tangan kakek Kam Hong. Sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok oleh nenek Bu Ci Sian!

Para perwira lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu, pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan dengan mudahnya, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apa lagi karena dibantu oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat dilumpuhkan, kedua tangan mereka diborgol dan dijadikan tawanan! Semua ini berlangsung tanpa diketahui orang luar.

Liu Tai-ciangkun lalu memerintahkan supaya menjaga ketat benteng itu dan melarang semua anggota pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira rendah yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan hendak melarikan diri untuk melapor kepada Tiat-liong-pang.

Namun, berkat kesiap siagaan sesuai dengan perintah Liu Tai-ciangkun, mereka semua tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!

Liu-ciangkun segera mengangkat perwira-perwira baru yang setia terhadap pemerintah untuk menggantikan para pemegang pimpinan di dalam benteng itu dan membersihkan semua unsur pemberontakan. Para tawanan dikawal dengan sangat ketat oleh pasukan khusus, kemudian dikirim ke kota raja untuk diadili. Semua ini terjadi tanpa kebocoran sehingga pihak Tiat-liong-pang sama sekali tidak mengetahuinya.

Setelah penumpasan para perwira pemberontak dalam benteng itu selesai, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, segera meninggalkan benteng untuk melakukan penyelidikan ke Tiat-liong-pang. Mereka kini menduga bahwa besar sekali kemungkinan puteri mereka juga berada di antara para pendekar yang kabarnya juga bergerak untuk menentang para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-long-pang untuk melakukan pemberontakan, seperti yang mereka dengar dari para penyelidik pasukan yang masih setia kepada pemerintah.

Liu-ciangkun mengucapkan terima kasih. Ketika panglima ini hendak memberi hadiah berupa barang berharga dan emas, tentu saja kakek dan nenek itu menolak secara halus dan sekali berkelebat keduanya pergi tanpa pamit lagi.....

********************

Pengalamannya yang pahit ketika bertemu dengan kakek sakti Kam Hong dan isterinya itulah yang membuat Ouwyang Sianseng tidak mau membunuh tiga orang pendekar yang tertawan itu begitu saja. Dia tahu betapa di antara para pendekar terdapat banyak sekali orang sakti, dan bahwa dia harus bisa mendapatkan lebih banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi, karena jika tidak, hanya mengandalkan pasukan saja, akan sukarlah gerakan mereka itu akan berhasil dengan baik.

Para pendekar yang menentang gerakannya harus dapat dihadapi dengan kekuatan yang memiliki ilmu silat tinggi pula. Maka, melihat betapa Hong Beng, Kun Tek dan Li Sian ketiganya adalah orang-orang muda yang mempunyai ilmu silat tinggi, Ouwyang Sianseng merasa sayang jika harus membunuh mereka begitu saja. Oleh karena itu, dia berusaha sedapat mungkin untuk membuat mereka bertiga tunduk dan takluk, kemudian suka membantu gerakan ‘perjuangan’ mereka menjatuhkan pemerintah Mancu.

Setelah memperlihatkan hukuman yang amat mengerikan terhadap Cui Bi atau Nyonya Pouw Ciang Hin untuk membuat hati mereka bertiga itu ngeri, Ouwyang Sianseng pergi meninggalkan mereka dan memberi waktu sehari semalam untuk memilih, yaitu mereka bertiga menakluk dan membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, atau dibunuh!

Setelah Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong meninggalkan mereka bertiga, ketiga orang muda itu saling pandang. Pouw Li Sian bergidik mengenang nasib yang menimpa diri bekas kakak iparnya tadi. Akan tetapi dia dapat membayangkan apa yang terjadi pada diri kakak iparnya itu setelah kakaknya terbunuh.

Agaknya Siangkoan Liong sudah menyuruh tangkap wanita itu. Dengan kepandaiannya merayu dan ditambah ketampanan dan kegagahannya, Siangkoan Liong telah berhasil menundukkan wanita yang agaknya tidak mampu mempertahankan kehormatannya dan menyerahkan diri menjadi kekasih atau permainan Siangkoan Liong! Tadi hal ini mudah dilihat ketika kakak iparnya itu mencela dan memakinya, dan sikap wanita itu terhadap Siangkoan Liong.

Sungguh pemuda berhati iblis! Ia sendiri telah menjadi korban rayuan pemuda jahat itu! Li Sian merasa menyesal sekali dan diam-diam ia bersumpah untuk membunuh pemuda itu sebelum ia mati.

Tiba-tiba terdengar suara Gu Hong Beng, halus namun penuh kesungguhan, ditujukan kepada dirinya dan Kun Tek. “Bagaimana pendapat kalian dengan pilihan yang mereka ajukan tadi?”

Mendengar pertanyaan ini, Li Sian meragu untuk menjawab, akan tetapi Cu Kun Tek, dengan suaranya yang besar dan lantang, segera menjawab tanpa banyak pikir lagi. “Pilihan yang mana? Bagiku tidak ada pilihan lain! Lebih baik mati dari pada harus takluk kepada mereka! Menyerah dan membantu pemberontakan mereka? Huh, biar mereka membunuh aku seratus kali, aku tetap tidak akan sudi untuk menakluk!”

“Hemmm, jadi engkau memilih mati konyol di tangan mereka, Kun Tek? Lalu bagaimana dengan pendapatmu, nona Pouw?”

Diam-diam Li Sian merasa kagum sekali melihat sikap Kun Tek. Pemuda tinggi besar ini tidak hanya gagah wajah dan tubuhnya, akan tetapi juga wataknya amat gagah perkasa. Sungguh seorang pendekar perkasa sejati! Ia memandang kagum kepada pemuda itu dan mendengar pertanyaan Hong Beng, ia pun menoleh kepadanya.

“Bagi aku pun tidak ada pilihan lain. Aku tidak sudi menyerah dan menakluk kepada mereka!”

“Bagus sekali! Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona. Kita berdua tidak sudi menakluk, biarlah kalau Hong Beng takut mati dan ingin menakluk. Aku akan menemanimu sampai kita berdua dibunuh, kemudian nyawaku akan menemani nyawamu sampai selamanya. Jangan khawatir, nona Pouw, sekali bicara, aku akan selalu memegang teguh janjiku, disaksikan Langit dan Bumi!”

Mendengar ini, wajah Pouw Li Sian menjadi agak pucat dan ia memandang kepada Kun Tek dengan mata terbelalak. Hatinya seperti ditusuk dan merasa terharu sekali.

“Saudara Cu Kun Tek... engkau... mengapa engkau berkata demikian? Mengapa...?”

Dia bertanya agak gagap karena dia benar-benar merasa terkejut, heran dan bingung mendengar ucapan Kun Tek tadi. Akan tetapi Hong Beng hanya menahan senyumnya, karena pemuda ini sudah dapat menjenguk isi hati Kun Tek dan tahu bahwa Kun Tek telah jatuh hati kepada Pouw Li Sian.

Kun Tek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur dan dalam hal cinta mencinta, dia dapat dikatakan masih hijau. Selama hidupnya, pernah dia satu kali jatuh cinta, yaitu kepada seorang gadis bernama Can Bi Lan yang kini sudah menjadi isteri Pendekar Suling Naga.

Ketika cintanya gagal karena ternyata dia hanya bertepuk tangan sebelah, dia merasa jera untuk mendekati gadis lagi sehingga sampai sekarang dia tidak pernah lagi mau bergaul dengan seorang gadis, sampai kini dia bertemu dengan Li Sian dan tergila-gila karena jatuh cinta! Saking jujurnya, maka di depan Hong Beng dia pun tidak merasa ragu-ragu lagi untuk membuat pengakuan itu, apa lagi kalau mengingat bahwa mereka menghadapi ancaman maut yang agaknya takkan terelakkan lagi itu.

“Nona Pouw Li Sian, aku kagum padamu, aku kasihan kepadamu, dan aku... aku cinta padamu! Nah, legalah rasanya hatiku setelah pengakuan ini. Kita akan mati bersama-sama, dan memang sebaiknya sebelum aku mati engkau mengetahui bahwa aku cinta padamu dan bersedia mati untukmu. Apa lagi dapat mati bersamamu, merupakan suatu kebahagiaan bagiku, Nona. Dan jangan khawatir, sampai mati pun, nyawaku pasti akan tetap mendampingimu, karena kata orang-orang bijaksana, cinta kasih tidak akan mati bersama badan!”

Kini wajah Li Sian berubah merah sekali, lalu berubah pucat lagi, dan merah lagi. Dia merasa begitu terharu sampai tak dapat membendung lagi turunnya air matanya yang deras. Betapa luhur budi pemuda ini, pikirnya, dan betapa jauh dibandingkan Siangkoan Liong! Cinta pemuda ini demikian murni dan agung, bukan sekedar nafsu terselubung kata-kata manis penuh rayuan, melainkan pernyataan cinta yang tulus dan bersih.

Melihat gadis itu mendadak menangis dengan air mata bercucuran, seketika wajah Kun Tek menjadi pucat sekali. Dia khawatir kalau pernyataan cintanya yang terang-terangan itu malah menyinggung hati gadis ini yang ternyata tidak cinta padanya! Ingin rasanya dia memukul kepalanya sendiri!

Dengan suara gemetar ia lalu berkata, “Aih, nona Pouw mohon kau maafkan aku... ahh, mulutku lancang sekali, aku sudah membuatmu menangis. Tentu engkau tersinggung. Barangkali aku sudah gila, bagaimana mungkin seorang kasar seperti aku berani mati mengaku cinta kepada seorang gadis seperti engkau? Maafkanlah aku, Nona...”

“Tidak, bukan begitu maksud tangisanku, saudara Cu Kun Tek! Ah, aku berterima kasih sekali, aku terharu sekali. Aku menangis karena... karena terharu dan bahagia. Seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, Cu-taihiap (Pendekar Besar Cu), mencinta seorang gadis seperti aku? Aih, Taihiap, apakah engkau tidak keliru pilih?”

Kalau tadi wajah Kun Tek keruh dan berduka, kini seolah-olah ada sinar mencorong dari dalam, terutama sekali sepasang matanya yang bersinar-sinar.....

Kun Tek tertawa-tawa, suara ketawanya bebas lepas dan keluar langsung dari dalam perutnya, melepaskan semua keraguan dan kedukaan, dan menjadikannya gembira luar biasa sehingga segala sesuatu nampak indah.

“Ha-ha-ha, ahh, nona Pouw, pertama-tama kumohon padamu, janganlah menyebut aku taihiap! Selain itu, jangan engkau merendahkan dirimu. Engkau sendiri seorang gadis perkasa dan tentang ilmu silat, belum tentu aku akan mampu menang darimu! Engkau membuat aku malu saja dengan menyebutku taihiap. Aku tidak keliru, Nona, karena aku mengenal suara hatiku sendiri. Aku cinta padamu!”

“Tetapi... Toako (Kakak), aku tidak berharga mendapatkan cintamu. Aku... aku adalah seorang gadis yang hina, yang ternoda... aku... aku telah...” Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena duka telah menyergap perasaannya lagi ketika ia teringat betapa ia telah menjadi korban kebiadaban Siangkoan Liong.

“Aku sudah tahu, Nona,” kata Kun Tek, suaranya tenang saja seolah-olah yang mereka bicarakan itu tak ada artinya baginya. “Aku telah mendengar apa yang dikatakan wanita itu, dan aku dapat menduga bahwa engkau tentu sudah menjadi korban dari pemuda yang bernama Siangkoan Liong itu.”

Li Sian kini mengusap air matanya, memandang kepada Kun Tek.

“Benar...!” katanya tegas. “Biarlah engkau mendengarnya, Cu-toako, dan juga saudara Gu Hong Beng ini mendengarnya. Tak perlu aku menutupi lagi peristiwa itu karena kita semua akan mati. Dengarlah baik-baik pengakuanku. Ketika aku tiba di sini, aku telah terbujuk oleh mereka untuk dapat menemui kakak kandungku yang kemudian mereka bunuh tanpa sepengetahuanku. Dan pada saat aku berduka karena kematian kakakku, kesempatan itu dipergunakan oleh manusia iblis Siangkoan Liong itu, untuk merayuku. Terdorong oleh kelemahanku saat itu, juga dengan bantuan obat-obat, kekuatan sihir, dan rayuannya, akhirnya aku menyerah. Aku menyerahkan diriku kepadanya, kemudian akhirnya aku dapat melihat kepalsuannya, bahwa dia menyuruh bunuh kakakku, bahwa dia hanya mempermainkan aku... nah, engkau telah tahu sekarang, Toako, bahwa aku memang gadis yang sudah ternoda, bukan perawan lagi, aku seorang gadis hina yang tidak berharga untuk mendapatkan cintamu...” Li Sian menangis lagi.

Kalau saja tidak ada rantai yang menghalanginya, tentu Kun Tek sudah menghampiri untuk merangkul dan menghibur gadis itu. Dia menggerak-gerakkan rantai panjang itu sehingga mengeluarkan bunyi berkerontangan, lalu berkata dengan suara tegas.

“Nona Pouw Li Sian, jangan berkata demikian! Aku cinta padamu, aku semakin kasihan padamu. Dan yang kucinta adalah engkau seluruhnya, bukan keperawananmu! Engkau sekarang inilah yang kucinta, bukan engkau sebelum engkau menjadi korban kejahatan pemuda itu karena ketika itu aku belum mengenalmu. Akulah yang akan membalas sakit hatimu, Nona. Meski pun andai kata aku dibunuh, nyawaku masih akan berusaha untuk membalas kejahatan pemuda itu!”

Kata-kata ini seperti sebuah nyanyian merdu bagi Li Sian. Bukan sekedar menghibur, akan tetapi juga mengangkatnya, dan juga membersihkannya! Ia tidak lagi merasa kotor dan hina rendah dalam pandangan pemuda itu atau bahkan orang lain!

“Terima kasih, Cu-koko..., terima kasih! Aku akan berbohong kalau sekarang mendadak mengaku cinta padamu. Akan tetapi aku kagum padamu, aku berterima kasih padamu, dan aku berjanji bahwa kalau kita berhasil lolos dari maut, kelak aku akan siap untuk menjadi isterimu yang setia, atau kalau kita mati, aku ingin mati bersamamu, dan aku akan girang kalau nyawamu mendampingi nyawaku...”

Cu Kun Tek terbelalak. Ingin rasanya dia bersorak, ingin dia berjingkrak-jingkrak saking girang hatinya. Akan tetapi karena tidak mungkin hal itu dia lakukan, kini matanya yang lebar itu hanya mengamati wajah Li Sian, dan perlahan-lahan ada dua butir air mata besar menggelinding keluar dari kedua matanya, menuruni pipinya!

Melihat ini Li Sian terharu sekali. Bahkan Hong Beng juga merasa terharu dan maklum bahwa cinta pemuda itu memang murni dan hebat! Dia membiarkan saja kedua orang itu saling mencurahkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, seperti kepada diri sendiri.

“Ah, betapa anehnya kalian ini. Saling mencinta dalam menghadapi maut, dan rela mati konyol...! Sungguh, ke manakah larinya kegagahan kalian?”

Mendengar ucapan ini, Kun Tek memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata marah. “Gu Hong Beng, sudahlah engkau jangan mengeluarkan suara karena tiap kali engkau bicara, engkau hanya membuat hatiku muak saja! Sepantasnya pertanyaanmu itu kau ajukan pada dirimu sendiri, bukan kepada kami. Ke mana larinya kegagahanmu? Aku dulu mengenalmu sebagai seorang pendekar gagah perkasa, akan tetapi sekarang engkau hanya seorang pengecut yang takut mati!”

“Kun Tek, engkau bicara tanpa dipikir lebih dahulu. Aku bukan pengecut, bukan pula takut mati. Akan tetapi aku bukan orang tolol yang ingin mati seperti seekor babi, mati konyol tanpa melawan. Kalau toh kita harus mati, sepatutnya kita mati sebagai harimau, mati dalam perlawanan. Akan tetapi, kalau kita dibelenggu seperti ini, bagaimana kita mampu melawan? Kita mati konyol begitu saja!”

“Karena tidak ada pilihan, perlu apa takut mati? Jauh lebih baik mati dibunuh lawan dari pada harus menyerah dan takluk! Dan engkau ingin takluk kepada lawan? Bukankah itu hanya untuk menyelamatkan nyawamu dan itu berarti engkau seorang pengecut?” tanya Kun Tek penasaran.

“Hemmm, nekat dan mati konyol bukan perbuatan gagah perkasa, melainkan perbuatan tolol! Dan menyerah karena keadaan belum tentu pengecut, melainkan perbuatan yang cerdik dan mempergunakan perhitungan.”

“Sudahlah, aku tak sudi mendengar omonganmu lagi. Terserah engkau mau takluk, mau menjilati sepatu para pemberontak itu, mau masuk menjadi anggota golongan sesat. Akan tetapi, aku dan Pouw-moi lebih suka memilih mati!” kata Kun Tek.

Semenjak tadi Li Sian hanya mendengarkan saja. Kini, melihat percekcokan dua orang gagah yang tadinya menjadi sahabat itu, ia lalu berkata, “Cu-koko, kurasa ada benarnya juga apa yang dikatakan saudara Gu Hong Beng. Biarkan dia bicara mengemukakan pendapatnya dan jangan dibantah dulu sebelum dia selesai bicara.”

Kun Tek mengerutkan alisnya, akan tetapi melihat sinar mata Li Sian yang lembut dan senyum manis ditujukan kepadanya, dia pun mengangguk dan menoleh kepada Hong Beng sambil berkata, “Nah, bicaralah!”

Gu Hong Beng menahan senyumnya karena baginya, sikap Kun Tek itu nampak lucu sekali. “Begini, Kun Tek dan nona Pouw. Memang sepintas lalu tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mati sebagai orang-orang gagah yang tidak sudi menyerah. Namun, kurasa jalan itu amat bodoh karena apa untungnya kalau kita mati konyol? Mereka itu akan melanjutkan gerakan pemberontakan mereka, sehingga rakyat banyak yang akan menderita dan mati pula, juga sakit hati nona Pouw takkan dapat dibalas sama sekali! Dan mereka itu memberi kesempatan kepada kita, sebab mereka membutuhkan tenaga kita. Nah, kenapa kita tidak mau berlaku cerdik? Tentu saja aku sendiri tidak sudi untuk benar-benar membantu mereka! Akan tetapi, kenapa kita tak menggunakan kelemahan mereka, yaitu membutuhkan tenaga kita, untuk berusaha meloloskan diri? Kita boleh pura-pura menyerah, dan kita melihat perkembangan selanjutnya. Yang penting, kalau kita dapat bebas dari belenggu-belenggu ini, kita dapat bergerak leluasa. Andai kata kita akan mengamuk juga, sebelum kita mati, kita akan dapat menewaskan banyak lawan sebelum kita mati konyol! Bukankah itu jauh lebih baik dari pada mati konyol seperti babi-babi dalam kandang?”

Kun Tek bukan seorang bodoh. Mendengar pendapat Hong Beng ini, dia pun mulai mengangguk-angguk dan melihat kebenarannya. Dia tadi terlalu terburu nafsu menduga bahwa kawannya itu ketakutan lalu ingin menyerah agar selamat. Kini dia tahu bahwa kalau mereka menakluk, hal itu hanya sebagai siasat untuk mencari kesempatan agar dapat memberontak dan menghantam musuh dengan leluasa. Dan tentu saja dia setuju sekali!

“Cu-koko, kurasa pendapat saudara Gu Hong Beng ini ada benarnya juga. Kalau aku diberi kesempatan, tentu akan kukerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk bisa menyerang dan membunuh si keparat Siangkoan Liong!” kata Li Sian.

Kun Tek mengangguk-angguk. “Memang benar juga. Aku pun setuju jika kita menyerah pura-pura saja, hanya untuk mencari kesempatan lolos dan menghantam mereka. Akan tetapi terserah kalian yang bicara, kalau aku yang disuruh berbicara dengan mereka, kiranya aku hanya dapat memaki dan mencaci mereka!”

“Serahkan saja kepadaku,” kata Hong Beng gembira.

“Aku akan membantu saudara Gu Hong Beng,” sambung Li Sian dan Kun Tek diam saja, namun setuju sepenuhnya.

Jika mereka dapat berhasil lolos, kemudian menghajar para pemberontak, dan akhirnya mereka dapat bebas, dan dia bersama Li Sian tidak mati, alangkah akan bahagianya. Ia akan dapat hidup berdua dengan gadis pujaannya itu, menjadi suami isteri! Bayangan ini saja mendatangkan semangat kepada Kun Tek!

“Sekarang lebih baik kita memperkuat tubuh. Kita menerima hidangan yang mereka suguhkan dan makan sekenyangnya, kemudian malam ini kita bersemedhi menghimpun tenaga baru. Besok, barulah kita menghadapi mereka dan aku sudah mengatur siasat untuk menghadapi mereka. Harap kalian jangan heran dan menyangka yang bukan-bukan kalau aku bersikap ramah kepada mereka. Mengertikah kalian, terutama engkau, saudara Kun Tek?”

Kun Tek mengangguk, setelah melihat Li Sian mengangguk.

“Aku akan sekuat tenaga menahan kemarahanku kalau melihat muka mereka!” katanya.

Li Sian menghadiahinya dengan sebuah senyuman manis. “Aku percaya engkau akan kuat, Cu-koko. Seorang gagah harus kuat segala-galanya, terutama sekali menekan perasaannya sendiri, bukan?”

Senyum itu cukup sudah bagi Kun Tek. Dia mau menebus apa saja untuk memperoleh senyuman seperti itu.

“Jangan khawatir, Moi-moi, demi engkau, aku mampu melakukan apa saja!” katanya bangga dan sekali ini kedua pipi Li Sian menjadi agak merah karena ia melihat betapa ada senyum mengembang di bibir Hong Beng.

Demikianlah, ketiga orang muda ini mulai memperlihatkan sikapnya yang suka bekerja sama ketika mereka menerima hidangan yang disuguhkan, dan mereka melihat bahwa pihak lawan memang agaknya ingin sekali menarik mereka sebagai pembantu. Sebagai bukti, hidangan yang disuguhkan selain banyak, juga masih panas dan cukup mewah, seperti hidangan di rumah makan besar saja!

Mereka bertiga lalu makan sampai kenyang, akan tetapi hanya minum arak sedikit saja. Mereka lebih banyak minum air teh yang mereka minta dari petugas yang menyuguhkan makanan dan minuman. Sesudah itu, semalaman suntuk mereka duduk bersila sambil bersemedhi, menghimpun tenaga murni untuk memulihkan kekuatan dan melenyapkan kelelahan mereka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ouwyang Sianseng sudah datang berkunjung. Dia datang tanpa diikuti oleh Siangkoan Liong. Ouwyang Sianseng cukup cerdik untuk lebih dulu menjauhkan pemuda itu, mengingat betapa Li Sian mendendam kepadanya. Sebaliknya, dia datang bersama Siangkoan Lohan!

Dua orang paling tinggi kedudukannya dalam persekutuan pemberontakan itu, datang mengunjungi tiga orang tawanan muda itu! Hal ini saja sudah meyakinkan hati Hong Beng bahwa mereka itu benar-benar mengharapkan kerja sama, dan hal ini amat baik.

Setelah mengucapkan selamat pagi dengan sikap lembut seperti biasanya, Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan kemudian duduk di atas bangku yang berada di kamar tahanan itu, menghadapi tiga orang tawanan yang masih duduk bersila. Kun Tek dan Li Sian hanya mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi Hong Beng membalas ucapan selamat pagi itu dengan suara yang cukup ramah.

“Bagaimana, orang-orang muda yang gagah. Apakah Sam-wi (Kalian bertiga) sudah mengambil keputusan dan pilihan yang tepat?”

Hong Beng menjawab dengan suara yang cukup tenang. “Ouwyang Sianseng, aku telah mendapat kepercayaan dua orang kawanku ini untuk menjadi wakil pembicara mereka. Sebelum kami menjawab, harap jelaskan lagi apakah pilihan yang harus kami pilih itu?”

Ouwyang Sianseng tersenyum. Sikap pemuda itu saja sudah melegakan hatinya, tidak seperti kemarin di mana mereka bertiga itu memperlihatkan sikap bermusuhan dan tidak ada kompromi.

“Hanya ada dua pilihan sederhana saja. Kalian sanggup bekerja sama dengan kami dan membantu kami berjuang melawan pemerintahan penjajah Mancu, atau kalian menolak, dan terpaksa kami akan membunuh kalian sebagai musuh yang berbahaya. Nah, bagai mana keputusan kalian bertiga...?”

“Nanti dulu, Locianpwe,” kata Hong Beng, kini menyebut locianpwe untuk menghormati orang tua yang memang sakti itu. “Jika kami menolak, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi, kalau kami menerima, lalu bagaimana? Apakah yang harus kami lakukan? Bukankah sekarang belum terjadi perang antara pasukan yang Locianpwe pimpin dan pasukan pemerintah?”

“Lohan, coba jelaskan mengenai kedudukan dan rencana kita kepada mereka ini,” kata Ouwyang Sianseng, suaranya ramah dan halus akan tetapi jelas bernada memerintah dan hal ini saja menunjukkan bahwa kedudukan kakek ini masih lebih tinggi dari pada ketua Tiatliong-pang itu.

Siangkoan Lohan yang dulunya ialah seorang yang terkenal sebagai ketua perkumpulan orang gagah yang pernah membantu Kerajaan Mancu sehingga dia dihadiahi seorang puteri, dapat mengerti akan siasat rekannya untuk membujuk orang-orang muda berilmu tinggi ini supaya mau bekerja sama membantu mereka. Maka dia pun menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang setelah mengisap hun-cwe emasnya dan mengepulkan asap yang berbau tembakau harum.

“Memang menggemaskan sekali kalau mengingat betapa penjajah Mancu yang dulunya kita semua harapkan akan mampu memimpin bangsa kita ke arah kemakmuran, kini ternyata malah menindas bangsa kita dan mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat, sedangkan mereka sendiri hidup serba berkelebihan! Hal inilah yang membuat kami semua merasa penasaran untuk berjuang menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Kalian tiga orang muda yang perkasa, tentu mempunyai jiwa patriot, siap untuk mengusir penjajah dan menyelamatkan bangsa dan tanah air kita. Dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan Mancu yang besar, tentu saja kita membutuhkan bantuan semua tenaga para patriot dan terus terang saja, kami terpaksa menerima pula uluran tangan dari dunia hitam. Kita membutuhkan tenaga mereka, dan karena itu, kami tidak pedulikan perasaan pribadi, yang terpenting menghimpun tenaga untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Tentu saja, kami akan merasa gembira sekali kalau para pendekar dan patriot, seperti kalian, suka membantu perjuangan ini.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksi dari tiga orang muda itu.

Kun Tek yang diam-diam tidak percaya, kalau menurutkan gairah hatinya, ingin memaki-maki dan mengatakan bohong, akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, demi Li Sian tentu saja, dan dia hanya menundukkan mukanya agar jangan nampak isi hatinya melalui sikap dan pandangan matanya. Li Sian lebih mampu menguasai perasaannya, maka dia pun mendengarkan seolah-olah merasa tertarik.

“Akan tetapi, Pangcu.” kata Hong Beng dengan sikap hormat. “Walau pun semua yang Pangcu katakan itu benar belaka, akan tetapi bagaimana Pangcu akan bisa melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan yang mempunyai banyak bala tentara? Baru pasukan yang berjaga di tapal batas utara ini saja sudah banyak sekali! Dan tiga orang seperti kami ini, dapat berbuat apakah terhadap pasukan pemerintah yang besar jumlahnya?”

Siangkoan Lohan tersenyum bangga. Ia dan Ouwyang Sianseng memang telah sepakat untuk menceritakan segalanya kepada tiga orang muda itu. Andai kata mereka menolak, bukankah mereka akan dibunuh dan semua rahasia itu akan terkubur bersama mereka? Dan jika mereka suka bersekutu, berarti mereka adalah orang-orang sendiri yang layak mengetahui keadaan mereka.

“Hemmm, tentu kalian memandang rendah kepada kami. Akan tetapi ketahuilah, kami sudah lama mengadakan persiapan untuk gerakan perjuangan ini. Kami sendiri sudah mengumpulkan orang-orang yang menjadi anggota kami, yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus orang. Selain itu, kami mengadakan kontak dengan pimpinan bangsa Mongol, bahkan keturunan Jenghis Khan yang perkasa. Mereka sudah bersiap dengan pasukan yang akan dapat melintasi perbatasan dengan mudah berkat kekuasaan kami yang telah memungkinkan penyeberangan itu tanpa terhalang. Selain itu, kami tak takut menghadapi pasukan penjaga perbatasan ini, karena mereka itu pun akan membantu kami!”

“Ehhh...?” Hong Beng pura-pura kaget walau pun sudah dapat menduga bahwa tentu orang-orang cerdik ini berhasil pula mengadakan persekutuan dengan para pimpinan pasukan yang berkhianat terhadap negaranya. “Ahhh, kalau seperti itu keadaannya, sungguh membesarkan hati. Akan tetapi, kami ingin sekali tahu, kalau kami menerima uluran tangan Pangcu dan mau bekerja sama, lalu apakah tugas kami? Terus terang saja, kami bertiga sama sekali tidak mempunyai kepandaian untuk memimpin pasukan dalam peperangan.”

Ouwyang Sianseng tertawa lembut. Hatinya gembira karena sikap tiga orang muda itu agaknya sudah condong untuk mau bekerja sama. Bagaimana pun juga, ketiga orang muda itu agaknya merasa ngeri dengan terjadinya peristiwa kemarin. Mereka tidak ingin mati konyol dan tersiksa, melainkan memilih hidup dan bekerja sama!

“Ha-ha-ha, orang muda yang gagah. Tentu saja untuk memimpin pasukan, kami sudah mempunyai ahli-ahlinya. Tugas kalian sama dengan tugas para orang gagah yang akan membantu kami, yaitu menghadapi pihak lawan yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi sebab pihak pasukan juga tentu mempunyai banyak jagoan. Akan tetapi, sebelum kami menerima penyerahan diri dari kalian, terpaksa kami harus menguji kalian lebih dahulu. Apakah kalian bertiga ini benar-benar jujur untuk bekerja sama menentang pemerintah penjajah, atau hanya siasat saja dan mencari kesempatan untuk kemudian melarikan diri atau membalik mengkhianati kami.”

Diam-diam tiga orang muda perkasa itu terkejut, dan Hong Beng memuji dalam hatinya. Kakek ini selain lihai sekali ilmu silatnya, juga ternyata amat cerdik. Dia harus sangat berhati-hati menghadapi kakek ini. Seketika wajah Hong Beng menjadi merah dan sinar matanya mencorong karena marah.

“Locianpwe terlalu memandang rendah pada kami orang-orang muda!” katanya dengan nada suara marah, “Kami bukanlah pengkhianat bangsa, kami bukan penjilat penjajah asing. Kami berani bersumpah bahwa di dalam hati kami selalu menentang penjajahan! Kalau gerakan perjuangan yang Ji-wi pimpin ini bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi membebaskan rakyat jelata dari penindasan penjajah asing, maka kami akan rela membela dengan pertaruhan nyawa sekali pun!”

Hong Beng memang cerdik sekali. Seperti tanpa disengaja, dia menyinggung cita-cita perjuangan itu. Siapakah orangnya yang mau berterus terang mengemukakan cita-cita pribadinya? Setiap pemimpin penggerak perjuangan atau pemberontakan sudah pasti menyembunyikan tujuan pribadi, dan menonjolkan cita-cita yang mulia demi bangsa dan tanah air. Demikian pula dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan.

Mendengar ucapan itu, Siangkoan Lohan yang sebenarnya memberontak karena ingin mengangkat puteranya menjadi kaisar, cepat berseru. “Ahhh, tentu saja! Sudah pasti perjuangan ini demi kepentingan rakyat!”

Ouwyang Sianseng yang cerdik lalu berkata, “Bagaimana pun juga kami harus melihat bukti kejujuran kalian. Gu Hong Beng, dari beberapa orang pembantu kami, kami sudah mendengar bahwa semenjak dulu engkau adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa, dan sekarang kami ingin melihat bukti kegagahanmu itu. Kami mempunyai tugas untukmu. Dua orang temanmu ini akan tetap menjadi sandera, walau pun mereka akan diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan sebagai tawanan. Nah, kalau tugasmu itu berhasil kau lakukan dengan baik, barulah kami percaya dan kalian bertiga akan kami terima sebagai pembantu-pembantu yang kami hargai. Dan sebaliknya, kalau engkau bermain curang, ingat bahwa dua orang temanmu masih berada di sini sebagai sandera.”

Ouwyang Sianseng tentu saja sudah mendengar banyak tentang ketiga orang muda itu dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, karena mereka itu merupakan musuh-musuh lama, terutama sekali Hong Beng dan Kun Tek.

Hong Beng saling pandang dengan dua orang temannya, lalu berkata kepada mereka, “Kalian berdua tenanglah menjadi sandera di sini, karena sudah pasti aku akan mampu melaksanakan tugas itu dengan baik.”

Kemudian dia menghadapi lagi Ouwyang Sianseng dan berkata, “Baiklah, Locianpwe. Tugas apa yang diserahkan kepadaku? Akan kulaksanakan dengan baik!”

Hong Beng merasa perlu untuk menenangkan hati dua orang temannya, terutama Kun Tek yang keras hati itu, agar Kun Tek mengerti bahwa tentu ia akan bisa mencari akal dan jalan yang baik untuk menghadapi tugas itu! Padahal, tentu saja Hong Beng sendiri belum mengerti bagaimana dia akan dapat keluar dari ujian ini, karena macam ujian itu pun dia belum tahu.

“Begini, orang muda. Seperti telah kukatakan tadi, kami mempunyai hubungan dengan panglima tinggi pemimpin pasukan yang berjaga di tapal batas. Komandan itu adalah Coa Tai-ciangkun sedangkan wakilnya ialah Song-ciangkun. Mereka berdua itulah yang kini memimpin puluhan orang perwira yang mengepalai pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan! Dan mereka sudah siap membantu kami. Oleh karena itu, engkau kuberi tugas untuk pergi menyelundup ke dalam benteng itu sambil membawa surat kami untuk disampaikan kepada komandan Coa.”

“Akan tetapi, Locianpwe, jika memang Locianpwe sudah mempunyai hubungan dengan mereka, apa perlunya lagi aku harus menyelundup ke dalam benteng? Bukankah masuk lewat pintu gerbang pun tak mengapa? Jika mereka tahu bahwa aku adalah utusan dari Tiat-liong-pang, tentu akan diterima sebagai sahabat,” bantah Hong Beng yang cerdik.

“Ah, engkau sungguh bodoh, orang muda. Memang komandannya dan para perwiranya sudah bersekutu dengan kita, akan tetapi karena hal itu berbahaya tentu saja mereka tidak terang-terangan, dan tidak semua anak buah pasukan tahu akan hal itu. Pasukan hanya mentaati perintah komandannya, maka tidak perlu mengetahui semua hal, takut kalau-kalau hal itu dibocorkan mereka sebelum gerakan kita berhasil. Sudahlah, engkau bawalah surat dari kami, malam-malam menyelundup masuk ke dalam benteng dan menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Sanggupkah?”

Hong Beng tersenyum. “Tugas itu tidak berat, tentu saja aku sanggup!”

“Masih ada kelanjutannya. Jika engkau telah menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song, engkau harus siap melaksanakan semua tugas yang diserahkan mereka kepadamu! Ingat, membantah mereka berarti membantah kami pula.”

Hong Beng diam-diam merasa gentar juga, akan tetapi dengan tenang dia mengangguk, “Bagaimana andai kata aku ketahuan orang di dalam benteng dan aku diserang dan hendak ditangkap? Apakah aku harus melarikan diri ataukah...”

“Kalau yang melihatmu hanya beberapa orang saja, bunuh mereka. Kalau banyak orang larilah. Akan tetapi kalau mungkin yakinkan hati mereka bahwa engkau adalah sahabat Panglima Coa. Nah, ini suratnya sudah kami persiapkan, sekarang juga berangkatlah, dan ini peta petunjuk di mana adanya benteng itu.”

Hong Beng menerima surat dan peta itu, lalu sebelum berangkat dia menoleh kepada dua orang temannya. “Harap kalian bersabar dan percayalah kepadaku.”

Li Sian merasa terharu. Tentu saja ia percaya kepada pemuda itu. Dia merasa betapa beratnya tugas Hong Beng, bukan hanya tugas menyerahkan surat itu, terutama sekali karena pemuda itu bertanggung jawab atas nyawa mereka berdua, seolah-olah nyawa mereka berdua di dalam genggaman tangan Hong Beng.

“Berangkatlah dan harap hati-hati, saudara Gu Hong Beng,” katanya.

Kun Tek memandang kepada Hong Beng dan terdengar suaranya yang lantang. “Hong Beng, semenjak dahulu aku selalu percaya kepadamu, dan sekarang pun kami percaya penuh kepadamu!”

Hong Beng mengangguk. Setelah semua rantai yang membelenggunya dilepas dia pun segera berangkat meninggalkan sarang pemberontak itu, menuju ke benteng pasukan pemerintah seperti yang ditunjukkan di dalam peta.

Setelah Hong Beng berangkat, Ouwyang Sianseng memegang janji. Dia pun bersama Siangkoan Lohan membebaskan belenggu yang mengikat Kun Tek dan Li Sian, lalu mengantar mereka, dikawal oleh pasukan penjaga, menuju ke dua buah kamar di mana mereka berdua menjadi sandera. Hidup bebas seperti tamu, akan tetapi selalu dikawal dan dijaga ketat.

Ouwyang Sianseng tidak bodoh, maka yang bertugas menjaga kedua orang sandera ini adalah tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin, Thian Kek Sengjin, Ciu Hok Kwi, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit bahkan Siangkoan Liong sendiri selalu berada di tempat dekat sehingga selalu siap kalau kedua orang sandera itu mencoba untuk memberontak dan melarikan diri.

Akan tetapi dengan cerdik Siangkoan Liong tidak pernah lagi mencoba untuk menggoda Li Sian, bahkan dia tidak pernah memperlihatkan diri agar gadis itu tidak menjadi marah. Dia pun tahu akan siasat gurunya, dan memang dia harus mengakui perlunya banyak tenaga bantuan para ahli silat.

Dia masih ngeri kalau membayangkan kelihaian kakek dan nenek yang telah menolong rombongan utusan kota raja itu. Dia pun mengerti bahwa kini gurunya mengutus Hong Beng pergi mengunjungi Panglima Coa juga untuk melihat apa yang sudah terjadi di dalam benteng itu, karena sudah beberapa hari Panglima Coa tidak pernah mengirim utusan.....

********************

Hong Beng yang melakukan perjalanan seorang diri, dengan hati-hati sekali menyusup-nyusup ke dalam hutan. Beberapa kali dia berhenti dan menyelinap untuk bersembunyi, kemudian memanjat pohon untuk meneliti apakah perjalanannya itu diikuti orang atau tidak. Akhirnya dia merasa yakin bahwa pihak pemberontak tidak mengutus orang untuk membayanginya, maka hatinya menjadi lega.

Dengan hati-hati Hong Beng lalu membuka sampul surat yang diserahkan kepadanya oleh Ouwyang Sianseng untuk diberikan kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Di dalam keadaan seperti itu, ia tidak rikuh lagi membuka surat orang, dan dibacanya surat itu. Isinya memang penting sekali.

Dalam surat itu, terang-terangan Ouwyang Sianseng memperkenalkan dirinya sebagai pembantu baru yang sedang diuji kesetiaannya! Dan Ouwyang Sianseng menanyakan tentang utusan kota raja kepada Panglima Coa, dan bahwa kalau tidak ada suatu hal yang menjadi penghalang, supaya panglima Coa mempersiapkan pasukannya karena pasukan mereka akan mulai bergerak ke selatan!

Disebutkan pula bahwa sekarang Tiat-liong-pang telah siap, dengan anak buahnya yang berjumlah hampir lima ratus orang banyaknya, dengan Ang-I Mo-pang lima puluh orang, dan agaknya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Agakai sudah terkumpul seribu orang! Jika Panglima Coa telah siap, harap membawa pasukannya berkumpul di sarang Tiat-liong-pang agar supaya pasukan itu dapat dibagi-bagi untuk melakukan gerakan ke berbagai jurusan!

Hong Beng termenung. Surat ini penting sekali! Dan dia yang menjadi utusan. Bagai mana pun juga, dia tak dapat mundur, karena di sana ada nyawa dua orang sahabatnya menjadi tanggungan. Dia harus menyampaikan surat ini, dan kembali. Jika Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek sudah dibebaskan, baru mereka akan melihat perkembangannya. Sekarang, dia tidak dapat melakukan sesuatu kecuali menyampaikan surat itu kepada Panglima Coa atau Perwira Song.....

********************

Sin Hong termenung. Malam itu dia dan Suma Lian terpaksa bermalam di hutan lebat, tidak jauh dari sarang Tiat-liong-pang. Mereka telah melakukan penyelidikan semenjak mengubur jenazah Kwee Ci Hwa, dan mereka berdua terkejut melihat betapa kekuatan para pemberontak memang besar.

Sekarang, agaknya pasukan Mongol sudah pula berkumpul di tempat itu, dan jumlah orang-orang Mongol ini banyak sekali, bahkan jauh lebih banyak dari pada orang-orang Tiat-liong-pang sendiri. Pasukan Mongol yang kelihatan buas ini berkumpul di lapangan luas yang terdapat di sebelah timur sarang Tiat-liong-pang. Mereka membuat banyak sekali tenda-tenda sementara.

Melihat kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka berdua takkan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya banyak berkumpul di situ, untuk menentang para tokoh sesat supaya mereka dapat melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan.

Malam itu terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan. Karena melihat Suma Lian kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering, Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.

Sin Hong melamun setelah melihat gadis itu rebah sambil berkerudung jubah luar yang lebar di dekat api unggun. Ia terkenang pada Ci Hwa dan keterangan yang dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju.

Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa pembunuhan terhadap ayahnya itu benar-benar didalangi oleh Tiat-liong-pang. Sedangkan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang dulu pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur segalanya.

Dia telah terkecoh. Pada waktu Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu, semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi dia.

Tiat-liong-pang memang amat membutuhkan perusahan Piauwkiok itu. Dengan adanya perusahaan itu, mudah saja bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya, yaitu orang-orang Mongol di luar Tembok Besar. Tanpa dicurigai pasukan pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil karena buktinya sekarang pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah.

Dan dia tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Mo-li berada di sana, tentu dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir! Dan dua batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam, berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali.

Dengan demikian, semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang. Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, dan juga urusan umum! Bagaimana pun juga ia harus bangkit menentang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi guru-gurunya dan demi rakyat karena jika pemberontakan yang dipimpin para tokoh sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.

Terdengar Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini tidur terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula! Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu dia bertemu Suma Lian.

Ia merasa kagum bukan main. Dengan mudah sekali ia akan dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma Lian dan paman gadis itu, yaitu Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini sudah ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong Beng!

Tidak, dia sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia tidak akan mengorbankan orang lain, apa lagi keluarga para pendekar terhormat itu, demi kesenangan dirinya sendiri! Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian, secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab, sebab ia melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap sangat baik dan manis kepadanya. Hal ini harus dia cegah!

“Hong-ko, apakah yang kau pikirkan?”

Sin Hong terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat menoleh. Ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.

“Apa? Aku… aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”

Suma Lian bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak. Akan tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak terus melihat pemandangan yang menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap dipandang!

"Hong-ko, tidak perlu kau menyangkal. Semenjak tadi aku melihat engkau melamun, kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu seperti orang berduka. Ada pakah Hong-ko?" Suma Lian selesai menyanggul rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas.

Sin Hong melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti wajah bidadari. Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk menjauhkan jarak di antara hati mereka.

Dia menghela napas panjang. "Ahhh, hati siapa yang takkan berduka kalau kehilangan orang yang amat disayangnya? Lenyapnya orang yang dikasihi agaknya melenyapkan pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat..."

Suma Lian tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut di alisnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!

"Siapakah orang yang kau sayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan mengapa engkau kehilangan? Kemanakah ia pergi?"

"Baru saja dia meninggal dunia secara amat menyedihkan, Lian-moi."

Sepasang mata Suma Lan memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika dia teringat.

"Ohhh! Kau maksudkan... gadis yang tewas itu, yang bernama... Kwee Ci Hwa...?"

Sin Hong memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia mengangguk. Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian, mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan baru saja.

Suma Lian merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat dia heran sekali. Mengapa dia merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai Sin Hong itu telah tiada!

"Aih, sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."

Sin Hong menarik napas panjang. "Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee Piauwsu yang tadinya kusangka menjadi biang keladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa amat penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia lalu meninggalkan rumah untuk membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku, akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan dia berhasil! Dia berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dahulu pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup. Dia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan pelakunya, tapi dengan tebusan nyawanya!"

Sin Hong tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.

"Ahh, kalau begitu pantas dia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan tetapi, dia sudah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan Ci Hwa di dalam hatimu."

Sin Hong menggelengkan kepala. "Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa telah membuat aku merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin dengan wanita lain sampai entah kapan."

Kembali Suma Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang membuatnya heran. Ucapan pemuda itu sekaligus mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang telah dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.

Mendadak Sin Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah menaruh telunjuk di depan mulutnya.

"Shhhhh, lihat di sana...," bisiknya.

Suma Lian yang juga sudah meloncat berdiri itu cepat membalikkan tubuh memandang ke arah yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi matanya yang berpenglihatan tajam sehingga ia mampu pula melihat adanya bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.

"Aku mau kejar dia!" kata Sin Hong.

Tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran. Sejenak Suma Lian tertegun dan kagum, kemudian dia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.

Bayangan yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di perbatasan utara. Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu, mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih ditahan dan menjadi sandera.

Selagi dia berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak, "Sobat, berhenti dahulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"

Mendengar bentakan ini, dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan kesalah pahaman, dia pun langsung saja mengaku.

"Sobat, harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang melakukan. tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"

Tetapi sungguh di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya, untuk merobohkannya. Hong Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya. Mungkin saja para pimpinan pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua Tiat-liong-pang.

"Dukkk!”

Kedua lengan mereka bertemu dan keduanya terkejut. Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang amat kuat, merasa terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya. Sebaliknya, Sin Hong juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga sakti itu.

Hong Beng yang maklum bahwa lawannya walau pun di bawah sinar bulan redup itu nampak masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau kalau tugasnya terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji kesetiaannya!

Maka, begitu menyerang lagi, dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sinkang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang amat dingin menyambar dahsyat.

Ketika ia menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia menghindar dengan loncatan ke kiri.

"Haiiiii! Apakah itu bukan Swat-im Sinkang?" tanyanya heran.

Mendengar pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya ini sedemikian lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu, nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah seorang gadis cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.

Sejenak Hong Beng menjadi bengong. Meski sudah bertahun-tahun tak saling bertemu dan pada saat dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia.

Apa lagi setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw, maka wajah Suma Lian selalu terbayang di dalam hatinya. Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik jelita ini adalah Suma Lian!

Di lain pihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia merasa tidak asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.

"Bukankah... bukankah… Nona ini adalah Sumoi Suma Lian...?" Akhirnya Hong Beng berseru, sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.

"Ahhh, suheng Gu Hong Beng kiranya...!"

Suma Lian baru teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi dan seketika wajahnya berubah kemerahan. Dia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid pamannya ini telah dijodohkan dengannya.....

"Sumoi, sungguh tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan... dan... saudara ini siapakah?" Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum.

Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas jika menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.

"Lian-moi, hati-hati, bagaimana pun juga dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, yang sedang membawa tugas rahasia yang penting!"

Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan. "Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini sudah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"

Hong Beng menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. "Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."

"Mari ikut denganku," berkata Sin Hong yang lalu mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi sudah membuat api unggun. Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat yang agak tinggi sehingga bisa melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.

"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.

Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena girang membayangkan gadis ini telah ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biar pun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.

"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku tengah menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian...”

“Aihh...!" Tentu saja Suma Lian amat kaget mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi sekarang dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"

Hong Beng kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.

"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana..."

"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.

Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang. "Ahh, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu..."

Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan. "Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu di antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan kedua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."

"Gu-suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan bahkan juga Sian-sumoi ditawan di sana."

Mendadak Sin Hong berkata, "Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Hong-ko...!" Suma Lian memanggil, tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.

"Dia amat lihai...," katanya.

"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."

"Ahhh...!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi dapat mengenal Swat-im Sinkang begitu aku mempergunakan ilmu itu."

"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."

"Kwee Ci Hwa...?"

"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"

Hong Beng menjawab ragu. "Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuh kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."

Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng lalu memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.

"Sebaiknya kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu jika engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."

Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seseorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.

"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau akan berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata benar saja, engkau menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"

Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.

"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.

Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang sedang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat.

Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.

"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang.

Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang-I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka ketiga belas orang itu langsung mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian.

Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali. "Suheng, kau hadapi barisan siluman ini dan aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"

Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.

"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.

Tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang ini memang ahli dalam pembentukan barisan yang aneh-aneh. Walau pun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang bisa bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!

Barisan itu mulai menyerang sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas telah memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian telah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.

Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggota barisan Ang-I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.

Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Dia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggota barisan yang berlari di sebelah kiri cepat-cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.

Namun Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu sambil tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggota barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi.

Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu. Sepasang pedangnya lantas menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut pula oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.

Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya lalu berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorong tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sinkang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan itu menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, Suma Lian langsung menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.

"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian.

Liok Cit yang menjadi ketakutan cepat menyambut dengan pedangnya. Ia mengerahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.

Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu telah kacau karena enam orang di antara mereka sudah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang dari Suma Lian tadi. Kini Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.

Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Ia pun tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur.

Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja jika dia menggunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.

Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah dan ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali.

Liok Cit melawan mati-matian sambil terus mundur. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!

Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang-I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggota barisan yang tadi roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar.

Namun, sepasang pendekar itu agaknya tak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng segera diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.

Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia belaka. Akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, ketiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang di antara darah yang membasahi tanah.

"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan ilmu kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"

Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu. Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa.

Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Ada pun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun. Wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.

"Kongkong dan Bobo (Kakek dan Nenek)...!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu.

Mereka berdua itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintah setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!

"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"

"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.

Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya kemudian berkata dengan lagak manja, "Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku, bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kongkong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoi-ku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"

"Ehhh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"

"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suheng-ku sendiri, namanya Gu Hong Beng. Ia murid dari paman Suma Ciang Bun."

Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.

"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.

Gu Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.

"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoi-mu dan seorang pendekar lain akan melayang?"

Suma Lian, dibantu oleh Hong Beng, kemudian menceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang masih menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang-I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah sempat dibacanya.

Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya, "Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"

"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukannya she Liu," bantah Hong Beng.

Kakek itu tersenyum, "Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Beruntunglah bahwa engkau bertemu dengan kami, jika tidak, begitu memasuki benteng tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa Tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang oleh pemerintah.

Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu. "Wah, jika sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"

"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tiada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."

Mereka berempat lalu kembali ke banteng. Karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka keempat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.

"...Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah. Dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian. "Siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"

Kam Hong segera menjawab. "Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang betul bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda bernama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia bersedia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."

Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang, kemudian dia menyerahkan pula surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun lantas mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.

Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan bahwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap ‘sekutu’ pemberontak untuk bergabung. Kesempatan ini akan digunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan serangan mereka kalau saatnya tiba. Sedangkan kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.

"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"

Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian.

Hatinya lega jika mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tak perlu mengkhawatirkan ‘tunangannya’ yang kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.

Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu pergi meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendahului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.....

********************

Kao Hong Li terus melakukan pengejaran dan mencari jejak Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Tapi, sampai di pegunungan dekat dengan sarang gerombolan pemberontak Tiat-liong-pang, gadis ini kehilangan jejak mereka. Ia pun memasuki hutan, mengambil keputusan untuk menyelidiki Tiat-liong-pang karena ia tahu bahwa musuh besarnya itu, Sin-kiam Mo-li yang dahulu memimpin rombongan penyerbu ke Istana Gurun Pasir dan membunuh kakek beserta neneknya, tentu bersekutu dengan para pemberontak seperti yang telah didengarnya. Pemberontak Tiat-liong-pang itu kabarnya telah mengumpulkan banyak tokoh sesat sehingga keadaan mereka kuat sekali.

Karena belum mengenal keadaan daerah itu, Kao Hong Li bersikap hati-hati sekali. Ia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, maka ia lalu melewatkan malam di dalam hutan, di atas pohon besar. Ia mengisi perutnya dengan roti dan daging kering yang dibawanya sebagai bekal, minum air putih jernih yang dibawanya dalam botol.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kao Hong Li sudah membersihkan tubuhnya di sebuah sumber air kecil di tengan hutan. Ia merasa segar dan tenaganya pulih kembali. Setelah berganti pakaian yang ringkas, ia melanjutkan penyelidikannya. Dengan hati-hati ia hendak keluar dari dalam hutan itu, menuju ke bukit di mana sore kemarin dia sudah melihat perkampungan Tiat-liong-pang.

Ketika ia tiba di pinggir hutan, tiba-tiba nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu ia telah dikepung lima orang laki-laki yang nampaknya gagah.

"Hemm, engkau tentu kaki tangan pemberontak!" seorang di antara mereka membentak dengan sikap mengancam. "Hayo menyerah untuk kami tawan dari pada kami harus menggunakan kekerasan!"

"Lebih baik menyerah sajalah, Nona. Kami adalah orang-orang gagah yang segan untuk menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita lemah!" kata orang ke dua.

Kao Hong Li adalah seorang gadis yang galak, cerdik dan pandai bicara. Dari sikap dan ucapan mereka, ia dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah penjahat, bukan pula anak buah pemberontak. Kalau bukan mata-mata pasukan pemerintah, tentu mereka ini pendekar-pendekar yang menentang gerakan pemberontakan Tiat-liong-pang.

Akan tetapi, ucapan mereka yang memandang rendah padanya memanaskan perutnya dan mendorongnya untuk menguji kepandaian mereka. Maka ia lalu tersenyum sindir, menghadapi mereka yang mengepungnya itu dengan sikap tenang saja.

"Hemmm, andai kata, benar aku ini kaki tangan pemberontak dan tidak mau menyerah, lalu kalian ini mau apakah? Kalian ini mirip lima ekor anjing hutan yang menggonggong mengancam seekor kucing hutan, akan tetapi tidak berani menyerang!"

Kucing hutan adalah harimau, maka dengan menyebut dirinya kucing hutan dan mereka itu anjing hutan, berarti Hong Li meninggikan dirinya dan merendahkan mereka. Salah seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, mengerutkan alisnya.

"Nona, jangan disangka kami hanya menggertak saja. Kami adalah para pendekar yang siap menggempur para pemberontak, dan kalau engkau mata-mata pemberontak, kami tidak segan-segan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerah dengan baik-baik."

Hong Li tersenyum mengejek dan melirik kepadanya, "Hemmm, ingin sekali aku melihat kekerasan yang bagaimana yang hendak kalian lakukan? Apakah kalian ini lima orang laki-laki hendak mengeroyok aku? Pendekar macam apa kalau beraninya hanya main keroyokan?"

Muka si kumis tebal menjadi merah. "Kawan-kawan, mundurlah dan biarkan aku yang menangkap wanita yang sombong ini!"

Teman-temannya yang sudah maklum akan kelihaian jagoan muda murid Kun-lun-pai ini, mundur dan membiarkan si kumis tebal untuk menghadapi Hong Li. Namun, sebagai seorang pendekar, agaknya si kumis tebal masih saja sungkan untuk melawan seorang wanita muda.

Dia lalu memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kuda-kuda dari silat Kun-lun-pai yang terkenal indah gerakannya itu, akan tetapi tidak segera menyerang, melainkan berkata kepada Hong Li. "Nona, silakan mulai menyerang!"

Hong Li tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri santai saja, bahkan mentertawakan lawannya. "Ehh, kenapa? Bukankah yang hendak menggunakan kekerasan itu engkau? Kenapa aku yang disuruh menyerang? Aku tidak bisa menggunakan kekerasan!"

Teman-temannya tertawa sehingga si kumis tebal menjadi semakin kikuk. "Kalau begitu, biarlah aku yang mulai dulu. Awas, Nona, aku akan bergerak menangkapmu, maaf!"

Dan orang itu, dengan kedua lengan bergerak cepat, menubruk ke depan, maksudnya hendak menangkap kedua pergelangan tangan Hong Li supaya dia dapat menangkap gadis itu tanpa banyak pergulatan.

"Ihhh...!" Hong Li berseru dan dengan gerakan kaku yang disengaja, ia mengelak, akan tetapi cukup untuk membuat tubrukan lawan itu mengenai tempat kosong belaka!

"Wah, sayang luput, ya?" Hong Li mentertawakannya sambil melenggang-lenggokkan tubuhnya yang ramping padat. Kembali terdengar suara ketawa teman-teman si kumis tebal.

"Awas, aku akan menotok dan membuat engkau tidak mampu bergerak, Nona. Maaf!"

Kini si kumis tebal kembali menyerang, bukan sembarangan lagi menubruk, melainkan mengirimkan totokan dengan dua jari tangan kanan kiri, yang kanan menotok pundak kiri, yang kiri menotok pinggang. Hong Li yang melihat bahwa tingkat kepandaian lawan ini masih jauh berada di bawah tingkatnya, menyambut totokan-totokan itu dengan dua pasang jari tangannya pula, jari telunjuk dan jari tengah dipergunakan untuk menangkap atau menjepit totokan lawan.

"Cuppp! Cappp!"

Si kumis tebal itu terbelalak melihat betapa totokannya itu disambut jepitan jari tangan lawan. Dia berusaha menarik kembali jarinya, namun sia-sia dan terasa nyeri, seolah-olah jari tangannya telah terjapit oleh jepitan besi! Tentu saja nampaknya lucu sekali perkelahian itu dan teman-teman si kumis kembali tertawa. Kaki Hong Li bergerak dan tubuh si kumis tebal itu terpelanting, tidak begitu keras karena Hong Li memang tidak mempergunakan tenaga besar.

Empat orang kawan si kumis tebal kini menghentikan suara ketawa mereka dan baru mereka sadar bahwa gadis cantik itu ternyata bukan orang sembarangan, buktinya si kumis tebal yang mereka kenal sebagai murid Kun-lun-pai yang cukup kuat, dalam satu gebrakan saja roboh secara aneh! Kini mereka berempat berloncatan menghadapi Hong Li dan seorang di antara mereka membentak.

"Nona, siapakah engkau? Harap jangan main-main dengan kami dan mengaku terus terang, apakah engkau seorang mata-mata pemberontak?" Mereka sudah mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang tinggi ilmunya.

"Siapakah main-main dengan kalian?" Hong Li menjawab. "Siapa adanya aku tidak ada hubungannya dengan kalian. Aku berjalan seorang diri tanpa mengganggu siapa pun juga. Adalah kalian yang menghadang perjalananku dan andai kata aku benar mata-mata pemberontak, habis kalian mau apa?"

"Tangkap mata-mata ini!" bentak si kumis tebal yang sudah meloncat bangun kembali dan kini lima orang itu sudah menerjang untuk menangkap Hong Li.

Gadis ini dengan lincah sekali lalu berloncatan mengelak. Gadis ini adalah cucu dalam dari Naga Sakti Gurun Pasir, juga cucu luar dari Pendekar Super Sakti Pulau Es. Dari ayahnya ia mewarisi ilmu-ilmu dari Gurun Pasir, dan dari ibunya ia mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, tentu saja ia lihai bukan main.

Diserang oleh lima orang pendekar yang tingkatnya masih tengah-tengah tentu saja ia seperti menghadapi pengeroyokan lima orang anak kecil saja. Dengan mudah dia dapat menghindarkan setiap serangan dengan elakan dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang ditangkisnya tentu terpelanting!

Sungguh mereka itu seperti sekumpulan semut yang mengeroyok jangkrik, beberapa kali terpelanting dan bangkit kembali. Kalau saja Hong Li menghendaki, tentu dengan mudah ia akan membuat mereka roboh untuk tidak dapat bangun kembali. Akan tetapi gadis ini pun tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang baik-baik, dan dia pun hanya ingin main-main saja, menghajar mereka karena mereka memandang rendah padanya!

Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang, bayangan putih dan seorang pemuda berpakaian serba putih tiba di situ.

"Tahan...!" serunya kepada kelima orang itu yang segera menghentikan pengeroyokan mereka.

Mereka terengah-engah, dengan tubuh basah oleh keringat dan babak belur. Sedikitnya setiap orang sudah terpelanting dua kali dalam pengeroyokan itu.

Melihat kehadiran si baju putih, si kumis tebal cepat berseru girang, "Tan Taihiap, cepat bantu kami menangkap mata-mata musuh yang lihai ini!"

Akan tetapi lima orang itu tertegun ketika melihat betapa orang yang mereka harapkan akan membantu mereka itu kini berdiri berhadapan dengan gadis itu, saling pandang dan akhirnya pemuda berpakaian putih itu berseru girang.

"Nona Kao Hong Li...!"

"Ehhh, engkau... ehhh… Susiok...!”

Pemuda berpakaian putih itu bukan lain adalah Tan Sin Hong. Baru kemarin ia bertemu dengan para pendekar, ketika para pendekar yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu dikepung dan dikeroyok, bahkan terancam oleh orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai yang bersekutu dengan para pemberontak. Sin Hong lantas turun tangan membantu mereka sehingga mereka berhasil mengusir musuh dari dalam hutan. Dan semua pendekar mengagumi Tan Sin Hong yang mereka sebut Tan Taihiap (Pendekar Besar Tan).

Para pendekar itu adalah mereka yang berdatangan karena merasa penasaran ketika mendengar bahwa Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan dan bersekutu dengan kaum sesat. Pada waktu itu masih banyak lagi para pendekar yang berpencaran di sekitar daerah yang dijadikan sarang Tiat-liong-pang, bersiap untuk menggempur kaum sesat yang berkumpul di atas apa bila saatnya tiba.

Mendengar betapa gadis itu menyebut susiok (paman guru) kepada Sin Hong, tentu saja para pendekar itu terkejut dan melongo. Sin Hong lalu menoleh kepada mereka. “Aihh, sobat-sobat sungguh kurang cermat. Nona ini adalah nona Kao Hong Li, seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bagaimana kalian sangka ia seorang mata-mata pemberontak?"

Kao Hong Li mengerling ke arah si kumis tebal dan kawan-kawannya sambil tersenyum. "Habis, kalian tidak memberi kesempatan kepadaku, datang-datang kalian menuduh aku mata-mata musuh sih, jadi aku menjadi marah dan ingin menguji kalian!"

Si kumis tebal dan teman-temannya menjadi malu, dan dengan muka merah mereka memberi hormat, dipimpin oleh si kumis tebal yang berkata. "Maaf, maaf, karena tidak mengenal Lihiap (Pendekar Wanita) maka kami berlaku kurang hormat. Maklumlah, baru kemarin kami diserang oleh gerombolan pemberontak, maka tadi kami menyangka Lihiap seorang di antara mereka. Maaf!"

"Sudahlah," berkata Hong Li. "Aku yang minta maaf. Susiok, bagaimara engkau bisa berada di sini?"

Sin Hong memandang kepada lima orang itu dan berkata. "Harap kalian suka memberi kesempatan kepada kami untuk bicara berdua."

Lima orang itu mengangguk maklum. Mereka pun berloncatan masuk ke dalam hutan dan menghilang di balik batang-batang pohon. Sin Hong lalu menghampiri Hong Li.

"Bagaimana, Nona, apakah selama ini engkau baik-baik saja? Aku harap kedua orang tuamu juga berada dalam keadaan selamat dan sehat," katanya dengan sikap sopan.

Kao Hong Li cemberut. "Susiok, bagaimana sih engkau ini? Bukankah engkau ini murid kongkong, jadi engkau adalah sute dari ayahku dan karena itu, engkau ini susiok-ku dan aku masih terhitung keponakanmu sendiri, murid keponakan! Mengapa engkau masih menyebut aku nona-nona segala? Lupakah engkau bahwa namaku Hong Li? Kao Hong Li?"

Menghadapi berondongan serangan ini, Sin Hong jadi tersipu. Bagaimana pun juga, ia seorang pemuda yang tidak biasa berhadapan dengan wanita, apa lagi yang galak dan lincah seperti Hong Li ini. Dalam hal kelincahan, kejenakaan dan kegalakan, gadis ini rupanya menjadi saingan berat dari Suma Lian!

"Habis, aku harus menyebut apa kalau bukan nona?"

"Memangnya seorang susiok hendak dijadikan bujang maka menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku!"

"Mana aku berani?"

"Kalau tidak berani, sudahlah. Kita tidak usah bicara. Aku tidak sudi kau sebut nona!" Gadis itu membalikkan tubuhnya dan cemberut.

Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat ke depan gadis itu. "Baiklah, Hong Li. Sebenarnya, aku sendiri pun merasa tidak enak kalau kau sebut susiok. Usia kita sebaya, dan paling banyak aku lebih tua satu dua tahun darimu, akan tetapi kau sebut paman guru!"

"Itu kan keharusan! Kalau aku tidak menyebut susiok padamu, tentu ayah akan marah. Sudahlah. Susiok, engkau belum menjawab. Bagaimana engkau bisa berada di sini?"

"Aku pun heran menjumpaimu di sini, Hong Li. Bukankah engkau berada di rumah orang tuamu ketika aku pergi dari sana?"

"Kau dulu bercerita, baru aku akan menceritakan pengalamanku," kata Hong Li sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah.

Sin Hong lalu mengambil tempat duduk di atas batu besar. Keduanya berhadapan dan saling pandang.

Sin Hong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan pertemuannya yang terakhir dengan Suma Lian. Betapa dia dan gadis itu sudah pernah memasuki sarang Tiat-liong-pang dan berhasil menolong Kwee Ci Hwa, akan tetapi gadis itu tewas oleh luka-lukanya. Dia pun menceritakan tentang kemunculan Gu Hong Beng yang kemudian dibantu oleh Suma Lian untuk menyampaikan tugas dari pimpinan pemberontakan yang terpaksa harus dilakukannya demi menyelamatkan dua orang kawannya yang menjadi sandera.

"Aku sendiri ingin menyelundup ke dalam sarang gerombolan itu. Aku hendak mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu. Di tengah hutan ini, kemarin, aku melihat para pendekar diserbu para anggota gerombolan yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang pandai. Kami berhasil mengusir mereka dan aku lalu bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Nah, demikianlah pengalamanku sampai aku melihat engkau sedang mempermainkan beberapa orang teman pendekar itu."

Hong Li menarik napas panjang. "Ah, kiranya semua telah berada di sini! Gu Hong Beng masih suheng-ku sendiri karena gurunya, paman Suma Ciang Bun adalah adik ibuku. Suma Lian adalah adik misanku sendiri. Akan ramai nanti di sini kalau begitu dan aku gembira sekali mendengar mereka semua turun tangan hendak menentang kaum sesat yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sendiri, setelah engkau pergi, Susiok, masih merasa penasaran. Aku lalu pergi dari rumah dengan maksud mencari para penyerbu Istana Gurun Pasir seperti yang Paman ceritakan itu, terutama Sin-kiam Mo-li. Jejaknya menuju ke sarang Tiat-liong-pang ini, maka aku sampai pula di tempat ini."

“Memang benar dia merupakan seorang di antara tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang."

Sin Hong lalu menceritakan keadaan Tiat-liong-pang yang sangat kuat, terutama sekali karena ternyata gerombolan pemberontak itu telah bersekutu dengan panglima pasukan pemerintah yang bertugas jaga di benteng utara tidak jauh dari situ.

"Ahhh, kalau begitu kebetulan sekali. Aku dapat membantu para pendekar menentang kaum sesat yang membantu pemberontakan, juga sekalian dapat menuntut balas atas kematian kakek dan nenekku dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya!" kata Hong Li penuh semangat sambil mengepal tinju.

Sin Hong menarik napas panjang. "Hong Li, jangan engkau mengira bahwa aku tidak berduka karena kematian ketiga orang guruku, akan tetapi justru dari merekalah aku menerima pelajaran, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi gemblengan batin sehingga aku berhasil melenyapkan dendam dari hatiku. Kalau sekarang aku menentang Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, bukan karena aku mendendam kepada mereka, melainkan karena mereka adalah orang-orang jahat yang sudah selayaknya ditentang agar tidak banyak jatuh korban keganasan mereka. Dan juga aku harus dapat merampas kembali Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam, dua buah pedang pusaka milik Istana Gurun Pasir yang dirampas mereka, karena selama pedang-pedang itu berada di tangan mereka, maka kejahatan mereka akan meningkat dan dua buah pusaka itu tentu hanya akan dipergunakan untuk kejahatan."

Hong Li mengangguk. "Tadinya aku memang merasa penasaran sekali, Susiok. Kedua orang kakek dan nenekku, juga kakek Wan Tek Hoat tewas di Gurun Pasir, akan tetapi Susiok sebagai murid tunggal dan terakhir mereka, tetap hidup dan agaknya tidak hendak membalas dendam. Akan tetapi sekarang aku mengerti, dan aku setuju dengan pendirianmu. Memang aku pun sudah sering kali mendengar dari ayah dan ibu betapa buruknya membiarkan dendam meracuni batin kita sendiri. Akan tetapi bagi aku, kalau mengingat betapa jahatnya mereka dan betapa kakek dan nenek yang sudah tua itu mereka serbu dan mereka bunuh, betapa sukarnya untuk tidak menjadi sakit hati dan membebaskan hati dari dendam."

Sin Hong mengangguk pula. "Aku tidak menyalahkanmu, Hong Li. Memang kelemahan seperti itu adalah manusiawi, akan tetapi jika kita sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu kelemahan dan kekeliruan, maka sudah selayaknya kalau kita menghilangkannya, bukan? Aku sendiri kehilangan orang tuaku yang menjadi korban kejahatan orang lain, dan ternyata pembunuh ayahku juga berada di sini karena pembunuhan itu dilakukan sebagai akibat dari usaha pemberontakan Tiat-liong-pang pula."

Sin Hong kemudian menceritakan tentang keterangan terakhir Kwee Ci Hwa yang telah dapat membongkar rahasia pembunuhan Tan-piauwsu. Dua orang muda itu terus saja bercakap-cakap dengan asyik sekali, seperti dua orang sahabat lama yang baru saja saling bertemu setelah lama berpisah. Barulah mereka terkejut ketika ada dua orang gagah berlari-larian dari dalam hutan dengan wajah agak pucat dan napas mereka yang memburu.

"Celaka, Tan Taihiap! Kami diserbu dari arah selatan. Musuh kami lihai bukan main sehingga ada beberapa orang saudara kita yang sudah roboh! Cepat, harap bantu kami, Tan Taihiap dan Lihiap, kalau tidak, kami semua akan celaka!"

Tanpa menanti keterangan lainnya lagi, tubuh Sin Hong berkelebat diikuti oleh Hong Li. Keduanya berlari cepat sekali memasuki hutan dan Hong Li hanya mengikuti Sin Hong karena dia masih belum mengenal jalan sama sekali. Sin Hong berlari cepat menuju ke perkampungan darurat yang dibuat oleh para pendekar di dalam hutan itu.

Banyak para pendekar dari berbagai kalangan yang berdatangan ke arah daerah utara, tempat pemberontakan Tiat-liong-pang terjadi. Mereka tertarik bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimana pun juga, tak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan untuk menentang kaum sesat yang kabarnya memimpin pemberontakan, karena mereka semua maklum bahwa jika kaum sesat yang memberontak dan berhasil berkuasa, maka rakyat akan lebih celaka lagi, lebih sengsara dari pada kalau kekuasaan dipegang penjajah Mancu.

Bukan hanya di hutan itu saja terdapat para pendekar yang membuka perkampungan darurat. Di situ hanya berkumpul belasan orang pendekar. Di tempat-tempat lain bahkan terdapat lebih banyak persembunyian para pendekar yang juga saling menggabung dan siap menghadapi para tokoh sesat.

Ketika Sin Hong dan Hong Li yang jauh mendahului kedua orang pendekar itu tiba di perkampungan di dalam hutan, mereka melihat bahwa belasan orang pendekar sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang dilihat dari pakaian mereka adalah orang-orang Mongol yang tinggi besar, dan mereka di pimpin oleh seorang tosu dan seorang nenek bongkok. Kedua orang inilah yang amat lihai.

Tosu itu bertubuh pendek berkepala botak, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dia memainkan sehelai sabuk kain yang ujungnya dipasangi pisau. Ada pun nenek itu bertubuh bongkok kurus, kulitnya hitam dengan muka buruk berkeriputan. Usianya juga enam puluh tahun lebih, tangannya memegang sebuah tongkat hitam butut. Nenek ini tak kalah lihainya dibandingkan tosu itu, dan sepak terjangnya ganas sekali, membuat para pendekar kocar-kacir dan terdesak hebat.

Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi maklum bahwa kedua orang itu memang lihai sekali, dan agaknya, melihat bahwa mereka memimpin orang-orang Mongol yang ganas dan kasar menyerang para pendekar, mudah diduga bahwa mereka tentulah kaki tangan pemberontak. Memang dugaan mereka sungguh tepat karena mereka adalah orang-orang yang menjadi pembantu Tiat-liong-pang, sedangkan pasukan kecil Mongol itu adalah sebagian dari lima ratus lebih orang pasukan Mongol yang dipimpin oleh Agakai dan sudah berkumpul di sarang Tiat-liong-pang.

Kakek itu bernama Hok Yang Cu, seorang tokoh Pat-kwa-pai yang banyak melakukan kejahatan, satu di antara para tokoh Pat-kwa-pai yang membantu pemberontakan itu. Ada pun nenek itu adalah Hek-sim Kui-bo, seorang datuk sesat yang lihai pula. Dua orang ini memang bersahabat dan pernah kita jumpai mereka ketika mereka melakukan serangan terhadap keluarga Beng-san Siang-eng di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san.

Untunglah pada waktu itu muncul Suma Lian yang lalu membantu keluarga pendekar itu mengusir dua orang kakek dan nenek ini. Pada waktu itu mereka berdua menyerang keluarga Beng-san Siang-eng bukan saja untuk mengganggu keturunan keluarga Pulau Es itu, juga karena Hek-sim Kui-bo hendak menculik Gak Ciang Hun, putera Beng-san Siang-eng yang baru berusia sepuluh tahun.....

Melihat kelihaian kakek dan nenek ini, tanpa berunding Sin Hong dan Kao Hong Li telah maklum apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat sudah ada empat orang pendekar roboh, maka Sin Hong lalu meloncat ke tengah medan pertempuran, langsung saja dia menghadapi tosu yang amat lihai itu.

Pada saat itu, Hok Yang Cu sedang menggunakan sabuknya untuk mendesak seorang pendekar yang bersenjata pedang. Sabuk itu berhasil melibat pedang sehingga tidak dapat digerakkan lagi, mereka saling betot dan saat itu dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menggunakan tangan kirinya menghantam. Hantaman ini amat dahsyat karena dia mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga kepala lawannya terancam.

"Dukkk!"

Tangan terbuka yang dihantamkan ke arah kepala lawan itu bertemu dengan tangan lain dari samping yang menangkisnya, dan akibatnya, tubuh Hok Yang Cu terhuyung dan sabuknya terpaksa melepaskan pedang. Pendekar itu pun terhuyung ke belakang, girang bukan main melihat munculnya Sin Hong yang menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut tadi.

Sebaliknya, Hok Yang Cu terkejut sekali, cepat memandang dan ternyata orang yang menangkisnya dan membuat ia terhuyung tadi hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, berpakaian putih sederhana! Dia merasa penasaran bukan main dan cepat dia memutar sabuknya.

Terdengar suara mendesir saat ujung sabuk yang ada pisaunya itu terbang menyambar ke arah kepala Sin Hong. Akan tetapi dengan mudahnya, Sin Hong mengelak dan dia mencium bau amis keluar dari pisau di ujung sabuk. Maka tahulah dia bahwa pisau itu beracun!

Seorang tosu yang keji, pikirnya. Ia pun membalas dengan desakan pukulan jarak jauh, dengan kedua telapak tangan terbuka yang membuat kakek itu gelagapan sehingga terus menerus mundur karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang telapak tangan pemuda itu bukan main kuatnya!

Sementara itu, Kao Hong Li juga sudah terjun ke dalam kalangan pertempuran dan langsung saja gadis itu menerjang nenek buruk rupa dan yang lihai sekali permainan tongkatnya itu. Nenek Hek-sim Kui-bo kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan ada hawa pukulan yang sangat dahsyat serta mengandung tenaga sakti yang panas menyambar ke arahnya dari kiri. Dia cepat membalikkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya sengaja menangkis, karena nenek ini memang biasa memandang ringan semua lawannya.

"Desss...!"

Lengan kiri nenek itu yang hanya tulang terbungkus kulit bertemu dengan lengan kanan Hong Li yang padat lembut dan berkulit halus. Akibatnya, nenek itu mengeluarkan pekik melengking karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya terasa nyeri. Hong Li juga terhuyung, maka tahulah gadis ini bahwa lawannya sungguh tak bisa dipandang ringan.

Ketika Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam) melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis muda yang cantik, dia marah dan penasaran sekali. Tongkatnya segera diputar dan nampaklah sinar hitam yang mengerikan, datang bergulung-gulung dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar hitam itu menyambar ujung tongkat, menotok ke arah dada Hong Li, merupakan serangan maut!

Namun, Hong Li sudah siap siaga karena dia pun dapat menduga akan kelihaian lawan. Begitu melihat ada sinar hitam mencuat dan menotok ke arah dadanya, dengan sikap tenang akan tetapi cepat sekali, tubuhnya miring mengelak. Kakinya membuat gerakan melangkah maju dari samping, tangan kiri menjaga kemungkinan serangan selanjutnya, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka membalas dengan tamparan ke arah kepala nenek itu, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang yang dipelajarinya dari ibunya.

Hwi-yang Sinkang adalah tenaga sakti milik keluarga Pulau Es. Baru hawa pukulannya saja sudah mengandung panas yang luar biasa. Nenek itu merasa adanya hawa panas ini, maka ia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkat bututnya untuk melindungi dirinya. Diam-diam dia kaget dan dapat menduga bahwa lawannya tentulah seorang murid atau keturunan keluarga Pulau Es.

Selain kaget dan penasaran, ia pun girang karena keluarga Pulau Es dianggap musuh besarnya, maka kalau ia dapat merobohkan gadis ini, berarti ia melenyapkan seorang di antara musuh-musuh yang dibencinya. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking lagi dan tongkatnya menyambar-nyambar ganas, namun dengan sikap tenang, Hong Li dapat mengatasi desakan tongkat itu dengan kecepatan gerakan badannya dan dapat pula membalas dengan tak kalah dahsyatnya sehingga membuat nenek itu tak mampu mengembangkan permainan tongkatnya.

Para pendekar juga berkelahi dengan serunya melawan pasukan Mongol. Orang-orang Mongol itu bertenaga besar dan berkelahi dengan nekat, juga jumlah mereka lebih banyak sehingga para pendekar yang tiga belas orang itu harus melawan mati-matian.

Sin Hong mulai mendesak lawannya. Ketika pisau di ujung sabuk Hok Yang Cu untuk ke sekian kalinya menyambar, Sin Hong meloncat ke atas, tinggi dan dari atas, bagaikan seekor burung bangau, tubuhnya meluncur turun.

Kembali sabuk itu berkelebat menyambar. Tangan kiri Sin Hong, seperti paruh seekor burung bangau, meluncur ke bawah dan menangkap sabuk di belakang pisau. Demikian cepatnya gerakan jari tangannya, seperti gerakan leher burung bangau mematuk leher ular. Sabuk itu tidak dapat dipergunakan lagi, dan tangan kanan Sin Hong menampar ke bawah, ke arah tengkuk lawan. Karena sabuk itu tidak dapat ditariknya, dan tamparan orang muda itu amat dahsyatnya mengarah tengkuk, Hok Yang Cu terkejut dan cepat dia menangkis dengan lengannya.

"Dukkk!"

Pertemuan antara kedua lengan itu sedemikian hebatnya dan akibatnya, Hok Yang Cu terpelanting ke tanah. Sabuk yang dipegangnya itu pun putus, dengan bagian yang ada pisaunya tertinggal di tangan Sin Hong! Dia terbanting keras dan cepat menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan.

Pada saat itu, Kao Hong Li juga berhasil menendang paha Hek-sim Kui-bo sehingga nenek ini terjengkang. Namun, dengan bantuan tongkatnya, nenek itu dapat meloncat bangun lagi dan agak terpincang sebab pahanya terasa nyeri walau pun tulangnya tidak patah serta daging dan kulitnya tidak terluka parah.

Pada saat itu juga, muncullah dua orang tosu. Yang seorang adalah Thian Kong Cinjin, kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bertubuh tinggi kurus, dengan sebuah tongkat setinggi badan berada di tangan kanannya. Thian Kong Cinjin adalah wakil ketua Pat-kwa-pai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Orang ke dua juga seorang kakek yang usianya sebaya dengan Thian Kong Cinjin, yaitu mendekati delapan puluh tahun. Dia adalah Thian Kek Sengjin, seorang tokoh besar dari Pek-lian-pai, kakek kurus kering dengan muka merah darah. Dia pun membawa sebatang tongkat naga hitam, dan kakek yang pandai sihir ini memiliki sepasang mata mencorong seperti mata kucing!

Dengan sudut matanya Sin Hong melihat munculnya dua orang kakek ini. Tentu saja dia mengenal mereka dengan baik karena kedua orang kakek itu adalah dua di antara tiga orang yang berhasil keluar dengan selamat dari penyerbuan di Istana Gurun Pasir, yaitu bersama Sin-kiam Mo-li, sedangkan belasan orang lainnya telah tewas ketika mereka itu mengeroyok tiga orang gurunya. Karena itu, Sin Hong maklum bahwa di pihak musuh datang dua orang lawan tangguh, maka dia pun cepat meloncat, meninggalkan Hok Yang Cu dan langsung menerjang dan orang kakek yang baru datang itu tanpa banyak cakap lagi!

Melihat seorang pemuda tahu-tahu berada di depan mereka dan menyerang dengan totokan jari tangan yang amat dansyat ke arah leher mereka secara bertubi-tubi, kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan dan cepat berloncatan ke belakang. Mereka telah lupa kepada Sin Hong dan biar pun tadi mereka melihat betapa berbahayanya serangan pemuda itu, mereka masih memandang rendah kepada Sin Hong.

Thian Kek Sengjin yang melihat betapa Hek-sim Kui-bo sedang didesak oleh seorang gadis yang sangat cantik, segera meloncat ke sana dan menghadapi Hong Li. Begitu Thian Kek Sengjin memutar tongkat naga hitam menyerang, Hong Li cepat berloncatan ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi tongkat itu mendesak terus, dan terdengar suara ketawa kakek itu.

"Heh-heh-heh, nona cantik, lebih baik engkau menyerah dan menjadi muridku, tanggung engkau akan mengalami kesenangan, heh-heh-heh!"

Hong Li mendengus marah, lalu menerjang maju dengan nekat. Karena ia tahu bahwa kakek itu sangat lihai, maka ia pun memainkan Sin-liong Ciang-hoat yang dahsyat dari Gurun Pasir.

Begitu gadis itu mendesak, kakek itu terbelalak heran karena dia mengenal ilmu silat yang aneh dengan tubuh kadang-kadang direndahkan dan jurus seperti mau bertiarap ini adalah ciri khas ilmu silat dari Istana Gurun Pasir. Nyaris dia celaka ketika tiba-tiba tubuh gadis itu meluncur dari bawah dengan tangan kiri menangkis tongkat dan tangan kanannya menusuk ke arah ulu hatinya.

Untung bahwa ia masih sempat melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir balik dibantu tongkatnya, dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kalau tidak, tentu gadis itu akan terus mendesak dan melukainya dengan serangan-serangan dahsyat itu. Kini dia tidak berani main-main lagi, dengan sekuat tenaga dia memainkan tongkatnya sehingga gadis itu pun tidak dapat mendesaknya lagi. Sebaliknya, perlahan-lahan Thian Kek Sengjin mulai membuat Hong Li terpaksa harus main mundur, karena tongkat hitam yang berbentuk naga itu sungguh berbahaya.

Di lain pihak, Sin Hong yang tadi mulai mendesak Hok Yang Cu, kini mendapatkan lawan tangguh, yaitu Thian Kong Cinjin. Wakil ketua Pat-kwa-pai ini memang lihai, lebih lihai dari pada Thian Kek Sengjin, dan jauh lebih lihai dari Hok Yang Cu. Dan sekarang, kakek lihai dengan tongkatnya yang ampuh ini masih dibantu oleh Hok Yang Cu!

Namun, Sin Hong tidak gentar. Dengan ilmu silatnya yang hebat, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih), dan dengan landasan tenaga saktinya yang amat kuat, dia mampu menandingi pengeroyokan kedua orang ini, bahkan membalas setiap serangan mereka dengan tamparan-tamparan atau tendangan, juga totokan-totokan yang tidak kalah dahsyatnya, sehingga membuat kedua orang pengeroyoknya sama sekali tidak mampu mendesaknya.

Akan tetapi, dengan munculnya dua orang kakek itu, keadaan pertempuran berubah. Kini nenek Hek-sim Kui-bo berani meninggalkan Hong Li untuk dilayani oleh Thian Kek Sengjin sendiri, dan ia pun membantu para anggota pasukan Mongol untuk mengeroyok para pendekar yang sudah kewalahan. Kini, pihak para pendekarlah yang terdesak dan kembali ada dua orang yang roboh.

Pada saat yang amat berbahaya bagi para pendekar itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hong Li, jangan takut, aku membantumu!"

Terdengar bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup ketika sinar kuning emas itu menyambar dan langsung menyambut tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang sedang mendesak Hong Li.

"Takkkkk!"

Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan kaget karena dua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat ketika bertemu dengan suling emas di tangan wanita cantik dan gagah itu. Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong segera turun tangan membantu Hong Li dan Sin Hong. Tentu saja Hong Li girang bukan main melihat betapa bibinya datang membantunya. Dia dan bibinya lantas mendesak Thian Kek Sengjin yang menjadi sibuk setengah mati.

"Pergilah kau bantu mereka menghadapi orang-orang Mongol," kata Kam Bi Eng.

Hong Li menjawab gembira, "Baiklah, Bibi. Hajar kakek siluman ini, Bibi!"

Hong Li lalu meloncat pergi meninggalkan Thian Kek Sengjin. Langsung dia menerjang Hek-sim Kui-bo lagi yang sedang mengamuk di antara para pendekar dengan tongkat hitamnya.

Sementara itu, melihat betapa Sin Hong dikeroyok oleh dua orang tosu yang berilmu tinggi, diam-diam Suma Ceng Liong menjadi kagum sekali. Pemuda berpakaian putih itu sungguh lihai bukan main! Walau pun dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian hebat permainan tongkatnya, namun pemuda yang bertangan kosong itu sama sekali tidak terdesak.

Gaya permainannya pun amat menarik, dengan gerak dan sikap seperti seekor burung bangau namun tidak seperti ilmu silat bangau pada umumnya. Gerakan itu aneh dan kadang-kadang lucu serta sukar sekali, akan tetapi jelas bahwa pada setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat sehingga pemuda itu berani menangkis tongkat-tongkat lawan dengan lengan tangannya!

"Paman Ceng Liong, dialah susiok Tan Sin Hong, harap suka bantu dia!" tiba-tiba Hong Li berteriak kepadanya.

Ceng Liong semakin kagum. Kiranya inilah pemuda yang bemama Tan Sin Hong itu, murid dari istana Gurun Pasir! Pantas demikian lihainya. Akan tetapi bukankah pemuda bernama Tan Sin Hong itu yang datang bersama puterinya dan menyerahkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun?

Menurut penuturan Suma Ciang Bun, puterinya dan pemuda itu melakukan penyelidikan ke sarang pemberontak, tetapi kenapa sekarang pemuda itu berada di sini dan ke mana perginya Suma Lian? Karena sekarang tidak mungkin menanyakan semua itu, Ceng Liong segera terjun ke dalam pertempuran dan langsung saja dia menyerang kakek Thian Kong Cinjin yang dia lihat lebih lihai dari pada yang ke dua, yaitu Hok Yang Cu.

Begitu menerjang maju, dia sudah memainkan ilmu silat Coan-kut-ci, yaitu ilmu totokan penembus tulang yang dahulu dipelajarinya dari Hek I Mo-ong. Tusukan jari tangannya mengeluarkan suara mencicit dan terkejutlah Thian Kong Cinjin karena ketika dia coba menangkis, tongkatnya tertusuk jari telunjuk pendekar itu dan langsung berlubang! Sin Hong girang mendapatkan bantuan ini, dan dia pun lalu mendesak Hok Yang Cu yang kembali menjadi sibuk bukan main.

Sekarang keadaannya kembali membalik dengan cepatnya. Pihak pemberontak menjadi terdesak, dan para tokoh sesat yang kini memperoleh tanding menjadi bingung. Thian Kong Cinjin menemukan tanding yang amat kuat, yaitu Suma Ceng Liong. Thian Kek Sengjin juga sibuk menghadapi gulungan sinar emas dari suling di tangan Kam Bi Eng. Hek-sim Kui-bo terdesak hebat oleh Hong Li, sedangkan Hok Yang Cu hampir tak dapat menahan serangan Sin Hong. Dan pasukan Mongol itu pun repot menghadapi amukan para pendekar sehingga sudah banyak di antara mereka yang roboh dan terluka.

Melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak terdengar Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan keras, "Lariiiii...!"

Dia pun melontarkan sebuah benda hitam yang mengeluarkan ledakan keras sehingga nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal, menggelapkan tempat yang menjadi medan perkelahian itu. Sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, tentu saja kakek ini memiliki bahan peledak yang suka digunakan orang-orang Pek-lian-pai dalam pertempuran, juga merupakan alat untuk mengelabui rakyat.

Suma Ceng Liong sudah mengenal senjata-senjata gelap orang-orang Pek-lian-pai. Ada bahan peledak yang mengandung asap beracun, maka dia pun cepat berseru supaya semua orang mundur menjauhi asap. Maka, semua orang segera berloncatan mundur.

Setelah asap hitam itu menipis, ternyata tokoh-tokoh sesat itu sudah lenyap, agaknya sudah melarikan diri. Juga orang-orang Mongol yang masih belum terluka, sudah lari. Kini hanya tinggal orang-orang Mongol yang terluka, yang nampak dengan susah-payah menyeret tubuh mereka untuk pergi dari tempat itu.

"Biarkan mereka pergi!" berkata Sin Hong ketika melihat ada di antara pendekar yang hendak mengejar. "Lawan yang sudah terluka jangan didesak!"

Kembali Ceng Liong kagum sekali melihat sikap Sin Hong ini. Mereka lalu berkumpul dan Hong Li memperkenalkan Sin Hong kepada paman dan bibinya.

"Susiok, ini adalah paman Suma Ceng Liong beserta bibi Kam Bi Eng. Paman dan Bibi, pemuda ini adalah susiok Tan Sin Hong, murid terakhir dari mendiang kakek dan nenek di Gurun Pasir."

Sin Hong cepat-cepat memberi hormat kepada suami isteri sakti itu. "Sudah lama saya mendengar nama besar Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), maka hari ini saya merasa bangga dapat bertemu dengan Ji-wi, bahkan mendapat bantuan Ji-wi."

Hati Ceng Liong semakin suka kepada pemuda ini. "Orang muda, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kami pun sudah mendengar namamu dan ternyata engkau memang pantas menjadi murid orang-orang sakti penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, kami juga mendengar dari toako Suma Ciang Bun bahwa puteri kami, Suma Lian, melakukan perjalanan bersamamu. Di mana ia sekarang? Mengapa kami tidak melihat ia di sini?"

Sin Hong lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Suma Lian masuk ke dalam sarang Tiat-liong-pang dan menolong Ci Hwa yang akhirnya tewas pula. Kemudian dia bercerita tentang perjumpaan mereka dengan Gu Hong Beng yang terpaksa menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menghubungi Panglima Coa yang bersekutu dengan para pemberontak karena ada dua orang kawan yang dijadikan sandera.

"Karena saya ingin mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu, maka saya minta kepada Lian-moi untuk membantu saudara Gu Hong Beng, sedangkan saya sendiri lalu berusaha menyelundup ke Tiat-liong-pang, akan tetapi bertemu dengan para pendekar di sini, dan tadi bertemu pula dengan nona Kao Hong Li."

Mendengar bahwa puteri mereka membantu Gu Hong Beng, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa lega dan girang. Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pendekar yang baru saja datang berlari menghampiri Sin Hong. Melihat di situ terdapat banyak orang-orang baru yang tidak dikenalnya, pendekar ini pun menjadi ragu-ragu.

"Yang berada di sini adalah kawan sendiri," kata Tan Sin Hong, maklum akan keraguan orang itu, "Kedua Locianpwe ini adalah Locianpwe Suma Ceng Liong dan isterinya."

Mendengar disebutnya nama keluarga Suma, pendekar itu memberi hormat, lalu dia menyampaikan berita yang amat penting.

"Dalam pengamatanku, malam tadi aku melihat ada ribuan orang pasukan pemerintah meninggalkan benteng menuju ke Tiat-liong-pang dan kini mereka agaknya mengepung Tiat-liong-pang dari empat penjuru!"

Mendengar hal ini, semua orang terkejut dan Sin Hong menarik napas panjang. "Wah, jangan-jangan saudara Gu Hong Beng terpaksa menyampaikan surat rahasia itu dan kini pasukan yang berkhianat mulai bergabung dengan pemberontak. Tentu tidak lama lagi mereka akan melakukan gerakan."

"Sebaiknya kita menyelundup ke dalam, kita bebaskan mereka yang tertawan dan kita kacaukan sarang mereka. Kita serbu para tokoh sesat itu. Jika memang benar pasukan pemerintah itu adalah yang berkhianat dan akan bergabung dengan para pemberontak, belum terlambat bagi kita untuk menyelamatkan diri. Sebaiknya yang menyelundup ke dalam hanya yang memiliki ilmu kepandaian cukup saja," kata Suma Ceng Liong yang merasa khawatir kalau-kalau puterinya yang menemani Gu Hong Beng itu berada di dalam sarang Tiat-liong-pang pula dan terancam bahaya.

Sin Hong menyetujui saran ini. Jika mereka tidak beramai-ramai dengan bekerja sama menyelundup ke dalam, akan sukarlah Gu Hong Beng dan teman-temannya itu dapat diselamatkan. Dan jika sudah berhasil menyelamatkan mereka yang tertawan, barulah mereka kelak akan membantu pasukan pemerintah yang akan membasmi gerombolan pemberontak.

Lalu dipilih di antara para pendekar yang berkumpul di situ dan hanya ada empat orang yang dianggap cukup kuat untuk melakukan penyusupan. Tentu saja selain mereka juga Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Kao Hong Li, dan Tan Sin Hong. Empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini ikut pula menyelundup.....

********************

Gu Hong Beng diterima oleh para penjaga pintu gerbang Tiat-liong-pang. Dia muncul seorang diri di waktu pagi sekali itu, dan para penjaga yang sudah mengenalnya lalu membiarkan dia masuk. Gu Hong Beng segera diterima oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan, serta beberapa orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka yang diandalkan. Dan di antara mereka, tentu saja nampak Siangkoan Liong.

Dengan matanya yang cerdik serta tajam, Hong Beng melihat bahwa tidak ada sinar kecurigaan dalam pandang mata mereka itu, maka hatinya menjadi lega. Untung bahwa dia dan Suma Lian telah berhasil membunuh belasan musuh yang menghadangnya itu, karena kalau ada seorang saja yang lolos, tentu dia tidak akan berani kembali ke sarang ini dan tentu akan celaka nasib Li Sian dan Kun Tek.

"Gu-taihiap, engkau sudah kembali?" Siangkoan Lohan menyambut dengan sikap yang ramah. "Dan berhasilkah tugasmu?"

Hong Beng mengangguk dan tersenyum. "Berhasil dengan baik, Pangcu."

"Apakah ada balasan surat dari Coa Tai-ciangkun?" tanya Ouwyang Sianseng.

Hong Beng maklum bahwa mereka ini masih bersikap pura-pura, karena mata-mata mereka tentu sudah menyelidiki dan mereka pun pasti sudah tahu bahwa dia datang bersama pasukan pemerintah! Dia bersikap seperti yang sudah direncanakan bersama Liu-ciangkun, kakek Kam Hong dan isterinya.

"Coa Tai-ciangkun mengirim salam. Karena beliau masih harus menyelesaikan urusan di dalam benteng, maka beliau mengirim Pouw-ciangkun dengan pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Pangcu, siap untuk melakukan gerakan menurut petunjuk Pangcu."

"Pouw-ciangkun? Yang mana...?" Siangkoan Lohan bertanya sambil memandang heran karena sepanjang pengetahuannya, di antara anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang ikut dalam persekutuan itu, tidak terdapat seorang Pouw-ciangkun.

"Bukankah Pouw-ciangkun termasuk seorang di antara para perwira yang setia kepada kerajaan?" Tiba-tiba Siangkoan Liong berkata. Pemuda ini juga hafal akan para perwira di benteng, mana yang berpihak kepada pemberontak dan mana yang setia kepada kerajaan.

Diam-diam Gu Hong Beng terkejut mendengar ini, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu. Dengan tenang dia berkata, "Menurut keterangan yang aku peroleh dari Coa Tai-ciangkun, Pouw-ciangkun adalah seorang bawahannya yang sangat baik dan dapat dipercaya. Mungkin saja sudah terjadi perubahan dan akhir-akhir ini Pouw-ciangkun telah menjadi orang kepercayaannya."

"Suruh Pouw-ciangkun masuk!" tiba-tiba Ouwyang Sianseng berseru kepada pengawal.

Beberapa orang pengawal memberi hormat, kemudian lari keluar. Hong Beng menanti dengan jantung berdebar. Inilah saatnya yang amat kritis dan dia sudah memperhatikan hal ini dengan teman-temannya ketika mereka berunding di dalam benteng.

Tidak disangkanya bahwa Ouwyang Sianseng demikian cerdiknya, jauh lebih cerdik dari pada para pemimpin pemberontak yang lain. Dan dia pun tahu bahwa Pendekar Suling Emas, kakek Kam Hong dan isterinya, tentu sudah bersiap siaga pula karena mereka berdua yang bertugas menjadi pengawal Pouw-ciangkun. Demikian pula Suma Lian. Mereka bertiga sekarang tentu sudah menyelundup masuk ke dalam sarang itu karena kesempatan untuk itu besar sekali dengan adanya pasukan pemerintah yang sangat banyak berada di sekitar sarang pemberontak.

Tidak lama kemudian dua orang penjaga yang tadi disuruh memanggil Pouw-ciangkun, telah kembali bersama Pouw-ciangkun yang diiringkan oleh dua belas orang pengawal. Para pengawal ini adalah pendekar-pendekar yang menyamar.

Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan para pembantunya bersiap untuk menyambut sekutu yang sangat diandalkan ini. Akan tetapi tiba-tiba Ouwyang Sianseng meloncat ke depan dan menudingkan telunjuknya pada Pouw-ciangkun sambil membentak nyaring, "Tangkap dia!"

Tentu saja kejadian ini amat mengejutkan Hong Beng, juga Pouw-ciangkun sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa Ouwyang Sianseng akan dapat mengetahui sandiwara mereka!

Padahal, sesungguhnya Ouwyang Sianseng juga belum yakin bahwa Hong Beng telah membohonginya, tak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar di dalam benteng. Kalau mendadak dia menyuruh tangkap Pouw-ciangkun, hal ini adalah karena kecerdikannya yang luar biasa. Perintah ini sebetulnya hanya gertakan dan pancingan saja. Di dalam hatinya, dia merasa heran mengapa yang disuruh memimpin pasukan kerajaan oleh Coa Tai-ciangkun adalah Pouw-ciangkun. Maka ia pun menggertak untuk melihat reaksi dari pihak Pouw-ciangkun. Gertakan atau pancingannya ini memang berhasil baik.

Pouw-ciangkun yang telah menerima perintah Liu Tai-ciangkun, telah memperhitungkan kemungkinan kecil bahwa mereka akan dicurigai dan ditangkap, maka begitu Ouwyang Sianseng memerintahkan penangkapan, Pouw-ciangkun langsung loncat ke belakang, berlindung di balik dua belas orang pengawalnya yang semua telah mencabut pedang.

Juga Hong Beng yang mengira bahwa perintah Ouwyang Sianseng tadi merupakan bukti bahwa rahasianya sudah diketahui pihak lawan, cepat meloncat ke dalam untuk menyelamatkan Li Sian dan Kun Tek. Akan tetapi Thian Kek Sianjin, tokoh besar dari Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di tempat paling dekat dengan Hong Beng, sudah memalangkan tongkat naga hitamya lalu menyambut pemuda itu dengan hantaman tongkat!

Melihat reaksi ini, Ouwyang Sianseng terbelalak dan mukanya berubah. Tahulah dia bahwa benar seperti yang dikhawatirkannya, telah terjadi pengkhianatan!

"Bunuh mereka semua! Semua pasukan siap untuk melawan musuh di luar...!"

Akan tetapi, Pouw-ciangkun, tepat seperti yang sudah diatur sebelumnya, sudah berlari keluar dan memberi isyarat kepada para perwira di luar untuk memulai penyerbuan! Dua belas orang pendekar yang menyamar sebagai pengawal melindunginya dan langsung menyerang kaki tangan pemberontak yang hendak mengejar Pouw-ciangkun. Namun tentu saja mereka ini bukanlah lawan orang-orang seperti Siangkoan Liong, Siangkoan Lohan dan para pembantunya. Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang pengawal itu roboh seorang demi seorang!

"Bunuh pengkhianat ini, aku akan membunuh dua orang kawannya!" teriak Ouwyang Sianseng.

Akan tetapi pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh dibarengi suara terompet dan tambur, tanda bahwa pasukan pemerintah mulai menyerbu dari luar, dari empat penjuru! Dan sebelum Ouwyang Sianseng sempat melompat ke dalam, dari dalam justru muncul beberapa orang yang langsung membuat wajah Ouwyang Sianseng dan para pimpinan pemberontak berubah pucat!

Dari dalam, dengan sikap gagah dan tenang, nampak kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong, Kao Hong Li, Suma Lian, dan dua orang muda yang tadinya menjadi tawanan, yaitu Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian!

Kiranya, kedua rombongan pendekar itu sudah berhasil menyelundup ke dalam sarang pemberontak. Pertama adalah rombongan yang terdiri dari Tan Sin Hong, Kao Hong Li, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Ada pun rombongan ke dua adalah rombongan kakek Kam Hong, Bu Ci Sian dan Suma Lian.

Mereka bertemu di dalam sarang pemberotak, dan tentu saja pertemuan itu sangat menggembirakan hati mereka walau pun dilakukan secara bersembunyi. Tan Sin Hong lalu berhasil membebaskan Kun Tek dan Li Sian. Kedua orang muda yang tadinya menjadi tawanan itu lalu bergabung dengan mereka dan begitu mendengar ribut-ribut di luar, tanda bahwa pasukan mulai bergerak, mereka pun ramai-ramai menerjang keluar dan berhadapan dengan seluruh pimpinan pemberontak dan para pembantu mereka!

Melihat betapa Hong Beng sudah berkelahi melawan Thian Kek Sengjin yang amat lihai dengan tongkat naga hitamnya, Suma Lian segera meloncat dan membantunya. Suling emas kecil di tangannya langsung berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang menyambar-nyambar ke arah Thian Kek Sengjin. Kakek Pek-lian-pai ini menjadi terkejut dan juga repot sekali karena Hong Beng yang amat girang melihat betapa ‘tunangannya’ membantunya, juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan.

Kakek Kam Hong berhadapan dengan Ouwyang Sianseng.

"Saudara Ouwyang Sianseng, petualanganmu agaknya hanya akan beraknir sampai di sini saja. Sarang pemberontak ini sudah terkepung oleh pasukan besar!"

Wajah Ouwyang Sianseng pucat, akan tetapi sikapnya masih tenang, bahkan dia masih bisa tersenyum sambil memandang kakek sastrawan sederhana di depannya itu dengan pandang mata penuh kagum. Tentu Pendekar Suling Emas ini yang sudah membuat semua rencananya gagal, pikirnya.

"Sungguh membuat orang amat penasaran," katanya lirih, akan tetapi karena suaranya mengandung khikang yang sangat kuat, maka dapat terdengar jelas oleh semua orang. "Seorang pendekar besar seperti Pendekar Suling Emas yang konon kabarnya pembela rakyat, penegak kebenaran dan keadilan, kiranya tidak lain hanyalah seorang budak penjajah Mancu yang tidak segan-segan mengkhianati bangsa sendiri!"

Ejekan yang amat menghina ini diterima oleh kakek Kam Hong dengan senyum. Tangan kiri kakek ini bergerak, cepat sekali dan hanya lengan kirinya yang bergerak karena seluruh tubuhnya tetap diam, dan nampaklah bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu, seperti orang bermain sulap saja, tangan kiri kakek itu telah memegang sebuah kipas, mengebutkan kipas yang terpentang itu perlahan-lahan mengipasi lehernya seolah-olah dia merasa kegerahan.

Ouwyang Sianseng melihat kipas yang terpentang lebar ini dan dapat membaca tulisan indah dan gagah pada permukaan kipas yang digerakkan perlahan-lahan.

Hanya yang kosong
dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut
mampu menerobos antara yang kasar
Yang merasa cukup
adalah yang sesungguhnya kaya raya!


Tulisan itu sebenarnya adalah motto dari Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Guru kakek Kam Hong, salah satu di antaranya, adalah Sai-cu Kai-ong, keturunan dari pendiri Khong-sim Kai-pang, maka sajak ini disukai oleh Kam Hong dan dijadikan hiasan kipasnya yang merupakan senjatanya yang ampuh pula, di samping senjata suling emas.

Agaknya, dengan membeberkan kipas dan memperlihatkan sajak itu, kakek Kam Hong sudah menjawab ucapan Ouwyang Sianseng tadi. Ia menyindirnya sebagai orang yang sombong dan kasar yang tak pernah mengenal puas hingga mengadakan persekutuan pemberontakan.

Akan tetapi, benarlah ujar-ujar kuno yang mengatakan bahwa mengenal kelemahan dan keburukan diri sendiri merupakan perbuatan yang teramat sukar. Bahkan orang sesakti Ouwyang Sianseng rupanya masih sukar untuk dapat melakukan pemawasan diri ini. Dia, seperti kebanyakan dari kita, selalu menganggap diri sendiri paling baik, paling pintar, paling benar dan tanpa cacat.

"Tak perlu mengejek, orang she Kam!" katanya dan sinar matanya mengeluarkan kilatan marah. "Aku memang memimpin perjuangan melawan penjajah ini, lalu apa salahnya?"

Kini terpaksa Kam Hong berkata, "Ouwyang Sianseng, lupakah engkau ketika engkau memimpin pasukan Birma melawan pasukan dari tanah air sendiri walau pun pasukan itu adalah pasukan Mancu? Lupakah betapa engkau melarikan diri dengan membawa banyak harta benda, kembali ke tanah air dan kini mengadakan pemberontakan? Siapa percaya akan kemurnian gerakan pemberontakan ini jika engkau malah mengumpulkan tokoh-tokoh sesat untuk membantumu? Bolehlah engkau mengelabui orang lain, akan tetapi kami para pendekar sudah dapat melihat kebusukan yang tersembunyi di balik pemberontakan ini!"

"Hemmm, bagus! Ada saja alasanmu untuk membantu pemerintah penjajah Mancu. Nah, sekarang bersiaplah untuk menandingi aku!" kata Ouwyang Sianseng yang juga mengeluarkan sebuah kipas dengan tangan kirinya untuk mengipasi badan, sedangkan tangan kanannya menghunus sebatang pedang!

Ouwyang Sianseng tidak tahu bahwa sejak tadi Kam Hong telah siap siaga. Sikapnya berdiri tegak dengan kipas terpentang mengipasi leher ini adalah gerak pembukaan dari ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Namun bagaimana pun juga, hati Ouwyang Sianseng sudah merasa gentar, apa lagi ketika melihat betapa di luar telah terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak.

Maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi. Walau pun mulutnya menantang agar lawan bersiap, namun pedangnya sudah menyambar, diikuti serangan kipasnya yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan gerakan pedangnya.

Namun Kam Hong dengan gerakan tenang mengebutkan kipasnya. Angin yang aneh berputaran meniup ke arah lawan, dan disusul gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara melengking bagai suling ditiup dan dimainkan seorang ahli. Dari gulungan sinar keemasan itu mencuat sinar yang menyambar ke arah Ouwyang Sianseng, sedangkan putaran kipas tadi merupakan perisai putih yang telah menangkis dua serangan bekas pembesar di Birma itu.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara dua orang tua itu. Hebat dan aneh, dan biar pun mereka bergerak kadang-kadang amat lambat, akan tetapi angin pukulan yang keluar dari kedua buah kipas, sebatang pedang dan sebatang suling itu amat kuatnya sehingga orang-orang lain tidak berani mendekati dua orang jago tua itu.

Melihat betapa Thian Kek Sianjin amat repot menghadapi pengeroyokan Gu Hong Beng dan Suma Lian, maka Thian Kok Cinjin cepat bergerak maju dengan tongkatnya. Suma Lian menyambut kakek ini dan membiarkan Gu Hong Beng menghadapi Thian Kek Sengjin. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara gadis perkasa itu dengan ketua Pat-kwa-pai, tidak jauh dari perkelahian antara Hong Beng dan tokoh Pek-lian-pai, yaitu Thian Kek Sengjin.

Sementara itu, melihat Sin-kiam Mo-li, Kao Hong Li sudah tidak sabar lagi. Itulah iblis betina yang dahulu melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir dan bersama kawan-kawannya menyebabkan kematian kakek dan neneknya.

"Sin-kiam Mo-li, lihat baik-baik, siapa aku! Akulah yang akan mencabut nyawamu agar engkau dapat bertemu dengan roh kakek dan nenekku di sana!" bentaknya sambil melompat ke depan wanita itu.

Sin-kiam Mo-li memandang tajam dan ia mengenal Hong Li sebagai gadis yang pernah dikeroyoknya bersama Toat-beng Kiam-ong dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka kemudian terpaksa melarikan diri saat muncul Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Akan tetapi, mendengar bentakan Hong Li, ia memandang lebih teliti.

“Aku adalah Kao Hong Li, lupakah engkau kepadaku, iblis busuk?" Hong Li kembali membentak.

"Ahhh...!" Sin-kiam Mo-li terkejut dan baru ia mengenal gadis itu.

Pada waktu Hong Li masih berusia tiga belas tahun, pernah dia menculik gadis ini dan mengambilnya sebagai murid, bahkan ia mulai merasa suka dan sayang kepada gadis itu. Sekarang gadis itu telah dewasa dan bahkan harus berhadapan dengannya sebagai seorang musuh.

Ia tidak sempat banyak bicara karena Hong Li telah menyerangnya dengan sepasang pedang. Untuk penyerbuan itu dan menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Hong Li sudah mempersiapkan diri dan kini membawa sepasang pedang, langsung menyerang lawan tangguh itu dengan permainan ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dipelajari dari ibunya.

Sin-kiam Mo-li sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka dia pun cepat mencabut pedang dan kebutannya, menangkis serangan Hong Li dan balas menyerang dengan ganasnya. Segera terjadi perkelahian sengit antara kedua orang wanita ini.

Seperti halnya Ouwyang Sianseng, Siangkoan Lohan juga bingung melihat penyerbuan pasukan pemerintah secara mendadak dan pihaknya harus berhadapan dengan banyak pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kini ia dihadapi oleh Suma Ceng Liong, keluarga Pulau Es paling lihai pada jaman itu.

Pendekar ini maklum bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu, yang paling lihai adalah Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Oleh karena Ouwyang Sianseng kini sudah dilawan oleh ayah mertuanya, maka dia pun cepat maju menghadapi Siangkoan Lohan yang segera menyerang dengan hun-cwe emasnya.

Sin Hong juga tak mau tinggal diam. Melihat betapa kedua orang pimpinan pemberontak yang paling lihai itu sudah dihadapi dua orang locianpwe yang dia tahu amat sakti, dia pun segera menerjang Siangkoan Liong, orang ke tiga yang paling lihai di antara pihak musuh.

Siangkoan Liong menyambut serangan Sin Hong dengan pedangnya, dan putera ketua Tiat-liong-pang yang juga adalah murid tunggal Ouwyang Sianseng ini berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan pedangnya. Akan tetapi biar pun bertangan kosong, ternyata Sin Hong merupakan lawan yang sangat tangguh sehingga perkelahian antara mereka tak kalah serunya dengan perkelahian lain yang terjadi di tempat itu.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mendapatkan lawan yang amat berat baginya, yaitu nenek Bu Ci Sian yang mempergunakan sebatang suling emas, persis seperti yang kini sedang dimainkan oleh suaminya, Kam Hong, hanya ukurannya yang lebih kecil sedikit.

Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang pendek botak dan menggunakan senjata sabuk yang ujungnya dipasangi pisau beracun, senjata yang baru dibuatnya karena yang lama telah putus ketika dia mengeroyok Sin Hong dan Hong Li, kini dihadapi oleh seorang lawan yang juga sangat berat baginya, yaitu Kam Bi Eng yang juga seperti ayah dan ibunya, mempergunakan senjata sebatang suling emas!

Nenek Hek-sim Kui-bo, seorang di antara kaki tangan pemberontak yang lihai, dihadapi oleh Pouw Li Sian. Gadis ini baru saja dibebaskan oleh Sin Hong dan telah merampas sebatang pedang dari para penjaga yang mereka robohkan. Kini gadis itu dengan sengit menyerang nenek bongkok kurus hitam itu, yang segera menangkis dengan tongkatnya dan membalas pula dengan tak kalah serunya.

Ada pun Cu Kun Tek, ketika dibebaskan mendengar dari Sin Hong bahwa Ci Hwa tewas karena luka-lukanya yang diperoleh ketika gadis itu bertempur melawan Ciu Hok Kwi yang berjuluk Tiat-liong Kiam-eng, yang juga pernah menjadi piauwsu, murid utama dari Siangkoan Lohan. Kini Kun Tek telah menerjang dengan sengitnya, menyerang Ciu Hok Kwi. Tadi pendekar ini juga merampas pedang dari seorang penjaga karena pedangnya sendiri yaitu Koai-liong Po-kiam, telah dirampas oleh Ouwyang Sianseng.

Masih banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan pemberontak dan kini dihadapi oleh para pendekar. Bahkan sekarang para pendekar yang tadinya menanti kesempatan di beberapa tempat persembunyian di daerah itu, setelah mendengar ribut-ribut penyerbuan pasukan ke sarang Tiat-liong-pang sudah berdatangan dan membantu pasukan menggempur para pemberontak. Di antara mereka terdapat pula Ciok Heng, putera Ciok Kim Bouw dengan banyak anggota Cin-sa-pang yang dipimpinnya.

Pertempuran antara para tokoh sesat melawan para pendekar ini seru bukan main, mati-matian dan satu lawan satu, tidak seperti pertempuran yang terjadi di luar sarang. Pertempuran di luar itu adalah perang antara pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak yang terdiri dari pasukan Mongol pimpinan Agakai sebanyak lima ratus orang lebih, anak buah Tiat-liong-pang sendiri tidak kurang dari tiga ratus orang, anak buah Ang-I Mo-pang antara lima puluh orang dan anak buah para tokoh sesat yang juga membantu pemberontak.

Akan tetapi, jumlah mereka tidak lebih dari seribu orang, sedangkan Liu Tai-ciangkun sudah mengerahkan pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu orang! Tentu saja gelombang besar pasukan penyerbu yang melakukan serangan tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah diduga oleh pasukan pemberontak, membuat para pemberontak itu kewalahan dan mereka terus didesak mundur dan terhimpit karena sarang pemberontak itu sudah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan pemerintah.

Apa lagi para pimpinan pemberontak sendiri sibuk di sebelah dalam sarang menghadapi penyerbuan para pendekar yang berilmu tinggi sehingga mereka tidak sempat lagi untuk memimpin pasukan mereka. Hal ini tentu saja membuat pasukan pemberontak menjadi semakin panik akibat kehilangan komando.

Pada setiap pertempuran antara para pendekar melawan para tokoh sesat juga jelas memperlihatkan bahwa pihak para pendekar rata-rata mulai bisa mendesak musuhnya. Hanya Kao Hong Li yang belum mampu mendesak Sin-kiam Mo-li. Memang wanita iblis itu lihai bukan main dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya.

Masih untung bagi Kao Hong Li bahwa ia berhasil merampas sepasang pedang dari penjaga sehingga kini ia dapat menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan permainan Siang-mo Kiam-sut. Akan tetapi, sepasang pedangnya adalah pedang biasa, maka gadis ini yang dapat menduga bahwa pedang di tangan Sin-kiam Mo-li tentulah pedang pusaka, tidak berani mengadu pedang secara langsung, khawatir kalau pedangnya akan rusak atau patah.

Dan kebutan di tangan kiri wanita iblis itu amat berbahaya, menyambar-nyambar ganas dengan setiap bulu kebutan yang mengandung racun jahat. Maka dari itu, Hong Li sama sekali tidak mampu mendesak Sin-kiam Mo-li dan untuk melindungi tubuhnya, gadis itu memainkan Siang-mo Kiam-sut sebaik mungkin, mengerahkan pada bagian pertahanan dengan memutar dua pedangnya bersilang yang merupakan benteng kuat atau perisai yang melindungi tubuhnya dengan ketat. Tak mudah bagi pedang dan kebutan Sin-kiam Mo-li membobol gulungan sinar kedua pedang yang menjadi perisai itu.

Siangkoan Liong repot sekali menghadapi Sin Hong. Meski dia menggunakan sebatang pedang dan lawannya itu bertangan kosong, namun tingkat kepandaian Sin Hong masih jauh berada di atasnya sehingga biar hanya bertangan kosong, Sin Hong selalu dalam posisi mendesaknya. Serangan pedang Siangkoan Liong selalu bisa dielakkan oleh Sin Hong dengan baiknya, bahkan beberapa kali hampir saja pedang itu dapat dirampas.

Dengan ilmu silatnya yang bermacam-macam dan kesemuanya adalah ilmu silat tingkat tinggi, Sin Hong terus mendesak Siangkoan Liong. Sepasang tangan kosong Sin Hong tiada bedanya dengan dua buah senjata yang ampuh. Dengan tamparan-tamparannya yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, Sin Hong terus membuat Siangkoan Liong hanya dapat mengelak sambil berlompatan mundur, dan mengelebatkan pedang untuk mencoba membacok lengan Sin Hong. Akhirnya sebuah tendangan dari Sin Hong yang ditujukan ke arah perut dan dielakkan oleh Siangkoan Liong, masih mengenai pinggir pinggangnya, membuat tubuh Siangkoan Liong terpelanting keras!

Sin Hong yang teringat akan sikap Ci Hwa sebelum gadis itu meninggal, betapa gadis itu memaki Siangkoan Liong yang telah menodainya, kini menerjang ke depan. Orang seperti pemuda itu berbahaya sekali, pikirnya, amat jahat, maka sudah sepatutnya kalau diakhiri saja hidupnya. Melihat lawannya terpelanting, Sin Hong berniat untuk mengirim pukulan susulan yang mematikan.

Akan tetapi tiba-tiba nampak sinar terang dan terdengar bunyi seperti auman binatang buas. Sinar itu menyambar ke arah Sin Hong bagaikan seekor naga yang menubruk. Sin Hong terkejut sekali dan berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang yang luar biasa ampuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa itulah pedang Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) milik Cu Kun Tek yang dirampas oleh Ouwyang Sianseng dan telah diberikan kepada muridnya.

Dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan dirinya, setelah terpelanting, Siangkoan Liong lalu mencabut pedang pusaka rampasan itu dan menusuk dari bawah. Berkat keampuhan Koai-liong Po-kiam, maka terhindarlah dirinya dari bahaya maut karena Sin Hong yang terkejut mengurungkan serangannya dan berjungkir balik ke belakang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar