Kisah Si Bangau Putih Jilid 21-25

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Kisah Si Bangau Putih Jilid 21-25 “Liong-ko, kalau begitu… Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?”
“Liong-ko, kalau begitu… Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?”

Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan...“

“Tapi... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat menemukannya?”

Siangkoan Liong tersenyum tenang.

“Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?”

Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ahh, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko.”

Namun Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan Sin-kiam Mo-li, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau Es!

Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan pada waktu yang lampau sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.

“Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Lalu bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?” Dia memancing.

Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang pemerintahan dan jika sekali waktu aku bertanya dia tak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”

“Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhu-mu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.

Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian bisa mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan.

Laki-laki itu nampak bersikap gagah walau pun langkahnya tak menunjukkan dia pandai ilmu silat. Sedangkan wanita itu cantik manis, berusia mendekati empat puluh tahun, sebaya dengan laki-laki itu. Tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.

Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah rombongan mereka sampai di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, di antaranya nampak ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.

Melihat mereka diam-diam Bi-kwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai tokoh sesat, dia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan pura-pura tidak mengenal mereka.

Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang sambil membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.

“Mo-li, siapakah dua orang saudara yang barusan datang ini?” tanya Siangkoan Liong sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan wanita ini pun menarik hatinya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena dia merasa betapa usahanya telah berhasil baik. “Siangkoan-kongcu, dia inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, dia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera dari pimpinan kami bernama Siangkoan Liong.”

Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah lembut ini mempunyai kepandaian tinggi. Juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut, dia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati.

Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun bisa menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, di sini banyak terdapat orang pandai, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat-beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.

Siangkoan Liong mengerutkan alisnya. Agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya. Betapa pun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li. Orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walau pun sempat hatinya terguncang dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!

“Bawalah mereka menghadap ayah,” katanya. Dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan.

Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”

“Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.

“Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.

“Kau tunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhu-ku.”

“Gurumu?” Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja. “Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?”

Pemuda itu tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru padanya. Ilmu kepandaian guruku itu sulit diukur sampai bagaimana tingginya!”

Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru kini dia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Dia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.

“Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan padanya?”

“Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kelak jika dia kebetulan datang berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau kepadanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang sangat penting, bahkan menjadi penasehat raja di Kerajaan Birma.”

Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum pernah dia menyaksikannya. Selama belasan hari ini mereka bergaul cukup rapat hingga dia seolah-olah diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya, akan tetapi juga keadaan dan wataknya. Akan tetapi dia belum melihat sampai di mana tingkat kepandaiannya, dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tentulah tidak lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?

“Liong-ko, setelah engkau menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Semenjak kecil kita sudah saling mengenal, bahkan kini ayahmu juga menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku sebagai keponakannya sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan. Oleh karena itu, aku ingin sekali melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar supaya aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”

Siangkoan Liong tersenyum, apa lagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, tentunya dengan maksud baik, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.

“Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pada waktu engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”

“Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagai mana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan terlalu pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”

“Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!” pemuda itu berkata sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.

Li Sian yang memang ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isyarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangan awalnya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) ke dalam telapak tangannya sehingga hawa panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong.

Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk melindungi pundaknya. Karena dia maklum bahwa gadis manis itu menggunakan sinkang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang dalam lengan yang menangkis itu.

“Dukkk!”

Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan loncat ke belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu.

Li Sian tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu, karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang, dia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).

Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sinkang-nya karena dia tahu bahwa gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan mereka bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat mundur, tidak lagi sambil menahan seruannya.

“Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sinkang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sinkang?” tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.

Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sinkang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.

“Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah lagi seranganku ini!” katanya gembira.

Kini tubuhnya bergerak cepat karena dia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Mengacau Langit) yang juga merupakan salah satu ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).

Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan Liong berseru, “Bagus sekali!”

Dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan kelihaian gadis ini, dan tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang sangat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang lebih banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat Sakti Burung Merak) yang pernah dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu andalannya.

Memang hebat sekali ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu sangat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya.

Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama semakin menambah tenaganya. Sampai akhirnya dia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak mampu menjadi semakin hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biar pun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi.

Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan. Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liong-kun (Ilmu Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sinkang yang istimewa dan semenjak tadi dipergunakannya untuk menandingi sinkang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga).

Sinkang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal sinkang, dia malah lebih kuat dari pada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu untuk menangkap dan membanting. Juga terdapat cara-cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi. Inilah yang akan digunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.

Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari kebudayaan sejak kecil. Dia tahu bahwa jika dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti itu terhadap Li Sian, tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan ‘kesempatan’ untuk memeluk dan menangkap gadis itu.

Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walau pun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu!

Mendadak Siangkoan Liong mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!”

Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, yang selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya.

Melihat tendangan kedua kaki yang menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat mainkan San-po Cin-keng. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur rapi dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kali kakinya meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan, aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian pun tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.

“Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan.

Li Sian menghadapi serangan-serangan ini dengan kembali mainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan sehingga keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.

Pada waktu Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, seperti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.

Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian.

Siku itu dapat dicengkeram dan seketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh ke kiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian.

Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu!

“Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!” katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian.

Ia pun cepat melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu.”

Sampai beberapa lamanya Li Sian tak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia sudah dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu!

Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, tidak bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan oleh lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan oleh lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.

“Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat hingga membuat hatimu kecewa,” kata Siangkoan Liong sambil memandang khawatir.

Li Sian tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepala. “Ahh, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku, Toako.”

“Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba, marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”

Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, “Ahhh, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!”

Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya. Akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi.....


********************

Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya digunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.

Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia berbicara dengan beberapa orang anak buahnya. “Kita tunggu di sini sebentar, Sian-moi. Tak lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu.”

Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih. Jantungnya berdebar penuh ketegangan sebab akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya dapat mengangguk. Tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu.

Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat. Akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.

“Toako, di mana engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”

Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.

“Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suheng-ku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”

Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biar pun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu.

Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.

“Li Sian… engkau Li Sian...,“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian.

Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat serta diampuni, dan bahkan kemudian masuk menjadi tentara. Mengingat bahwa dia adalah putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun sekarang menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.

“Kakak Pouw Ciang Hin...“ Li Sian juga berkata lirih.

Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena telah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing sudah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biar pun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.

Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap. Sian-moi, biarlah kami pergi dulu, dan Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu.”

Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong lalu menjura kepada mereka berdua, kemudian dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suheng-nya yang sejak tadi diam saja.

Suheng-nya itu juga adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utama yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang). Memang ia sangat berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan sudah dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Oleh karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!

Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.

“Koko...!” Li Sian berseru sambil berlari, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.

“Siauwmoi...!”

Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tak mampu mengeluarkan kata-kata sebab keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah oleh mereka semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang tersisa hidup.

Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai mampu lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.

“Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang.” Ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.

Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.

“Adikku, engkau sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa! Ahhh, sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?”

Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung dia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan dia kemudian mendengar bahwa semua anggota keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.

“Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?”

“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kau dengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah seluruh keluarga kita dibasmi. Akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sri Baginda berkenan mengampuniku, bahkan untuk membuktikan darma baktiku kepada kerajaan aku dianjurkan untuk masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”

“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.

“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”

Li Sian mengerutkan alis. Ia memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan semenjak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”

“Siauwmoi...!”

“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Oleh karena itu, aku telah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita...”

“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...“

Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.

Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ahh, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu kalian karena baru saja aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga.”

Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan apakah itu, Kongcu?”

Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu supaya surat yang sangat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting.”

Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun lalu mengangguk.

“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bisa bercakap-cakap.”

“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya.

Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim?

Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah jika sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya sama sekali tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapa pun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung lagi dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.

Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita mengenai hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu.

Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar.

Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung pada saat itu Bu Beng Lokai sedang menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri.

Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, serta rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.

Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong sudah menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,

“Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”

Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”

“Dia dibunuh orang...“

“Ahhhh!” Betapa pun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.

“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku supaya keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”

Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata,

“Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”

Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian langsung dapat melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, dia melihat belasan orang anggota perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua.

Ketika telah mendekat, ia melihat bahwa di antara anggota Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang ikut membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia bisa melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi berada di situ, sekali ini tanpa suaminya.

Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena dia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya sudah tewas, tidak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.

“Siapakah orang ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.

“Kami tidak tahu,” berkata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin juga memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”

Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat dia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh?

Dia mengepal tinju dan di dalam hatinya dia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini sudah dibunuh pula.

“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.

Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Jenazah Pouw-ciangkun dipanggul, sedangkan jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dimakamkan dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan satu upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun turut pula hadir dan memberi penghormatan.

Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarganya yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, semua hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum lagi sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidak sesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan kini ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.

Sejak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Setelah jenazah itu dimakamkan, dia duduk terkulai di depan makam. Semua orang sudah pergi meninggalkan kuburan kakaknya, kecuali dia sendiri dan Siangkoan Liong yang selalu menemaninya dengan penuh perhatian dan mencoba untuk menghiburnya.

Melihat gadis itu masih bersimpuh dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut sekali tangannya menyentuh pundak gadis itu dan terdengar suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, “Sian-moi... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”

Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia... dia ini adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki... satu-satunya keluargaku...“

“Aihhh, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Sampai sekarang aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu terus, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...“

Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, “Liong-ko...“

Ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik dari pada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya. Bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan dia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.

“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong dengan suara halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.

Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab. Memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.

Mereka masih duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian penuh kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut dia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.

“Ahhh, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Kita bersenang-senang di depan makam kakakku yang masih baru...!” katanya agak menyesal.

“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”

Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu dia menjura sebagai penghormatan terakhir sambil berkata, “Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini yang akan membalaskan kematianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim...!”

“Bagus... bagus...!” Terdengar suara yang dalam dan lantang.

Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang mendadak muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.

“Paman Siangkoan...!” Li Sian memberi hormat.

“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah yang lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu sudah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”

“Ayah, masih ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”

“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”

“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”

Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh-sungguh merupakan berita yang sangat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali. Biarlah nanti jika sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”

Siangkoan Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.”

Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.....


********************
Pada waktu mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ sudah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, serta beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedang makan minum, atau baru saja selesai. Pada waktu melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian, mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, kemudian mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.

“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan dari sekarang,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira.

Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira. Ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.

“Ahh, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.

Wanita ini kemudian menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan. Bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah dua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li kemudian membawanya dan menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri. Dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.

“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya.

Semua orang telah mengisi cawan arak mereka masing-masing, kemudian mereka pun ramai-ramai mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”

Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi dia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa dia menerimanya pula. Mereka semua lalu minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.

“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua saja dengan asyik.” Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.

Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang pelayan datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, kemudian menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.

Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.

Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.

Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.

Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang yang berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.

Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin, tokoh besar dari perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua sekarang membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.

Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia kini berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah. Kemudian dia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan juga keputusan Siangkoan Lohan di kuburan kakaknya, bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.

Dalam makan minum lagi, sebelumnya dia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.

Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Akan tetapi, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong amat pandai menghiburnya, apa lagi karena pemuda itu adalah calon suaminya sendiri, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya. Sama sekali dia tidak sadar bahwa dia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang telah diatur oleh Siangkoan Liong bersama para sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.

Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.....

********************

Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walau pun rapi dan bersih.

Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Ia hidup menyendiri, bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan semedhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan segala urusan dunia yang baginya selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.

Tidak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin, bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Akan tetapi tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri.

Tempat yang sunyi dan tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda yang memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata.

Biar pun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biar pun orangnya berada di tempat yang sunyi
.

Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak memiliki pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan yang menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Ada banyak orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini sering kali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan.

Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena jika demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari sesuatu yang diinginkan.

Pada saat perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari semedhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat semedhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang semenjak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.

Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan menghampirinya dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam.

Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.

“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku adalah Suma Lian!”

Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu. “Aihhh, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Dan siapakah mereka itu?”

Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, tapi sebetulnya juga tunangan dari muridnya. Semenjak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini telah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya itu.

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. “Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata antara dirinya dengan keluarga kita masih ada hubungan dekat, Paman. Dan tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu telah menggemblengnya di Istana Gurun Pasir.”

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. “Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?”

Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.

“Aihhh, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.

“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi...“

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

“Ciong Siu Kwi...,“ katanya perlahan.

Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah dia menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?

“Apakah dia yang berjuluk Bi-kwi...?”

Suma Lian mengangguk. “Benar sekali, Paman.”

Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak laki-laki ini adalah putera bekas iblis betina itu?

“Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi...?”

“Panjang ceritanya, Paman...”

“Ahh, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam,” ajaknya sambil mendahului ketiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih.

Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat lapisan jerami kering yang tebal.

Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya. “Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apa bila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali supaya Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, dari pada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”

Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum.

“Ahhh, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukannya tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”

Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka Suma Lian lalu berceritalah tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas jika tidak ditolong oleh Sin Hong. Ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.

“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan dulu anak ini di sini, Paman. Tentu saja jika Paman tak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”

Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.

“Baiklah, biarlah dia berada di sini saja selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.

Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak makin cerah dan jelita. “Aih, Paman. Bagaimana mungkin aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Tidak akan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.”

Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA).

Mendengar jawaban itu, Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apa lagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti.

Melihat pergaulan yang nampak akrab di antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran dalam hatinya walau pun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, merupakan hal yang biasa bergaul dengan seorang pemuda karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.

“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia besar bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu. “Paman, rahasia apakah itu?”

“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu Teng Siang In. Atau barang kali engkau sudah mendengarnya dari orang tuamu?”

“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”

“Bukan kepadamu, akan tetapi justru pesan itu mengenai dirimu, atau lebih tepatnya mengenai perjodohanmu.”

Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan.

“Apa... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.

Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Hal ini sudah pernah kuceritakan pada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suheng-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam...“

“Ban-tok-kiam...?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.

Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”

Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat.

Bagaimana pun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam. Dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak boleh disalah gunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau para tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.

“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.

“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng, sedangkan engkau lalu dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Tapi nenekmu tak tertolong lagi, dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu telah meninggalkan pesan kepada Hong Beng.” Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.

“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”

Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sebetulnya pesan ini bukan kepadamu, namun kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapa pun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun telah berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu...” Kembali dia berhenti.

“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, kenapa Paman nampak ragu-ragu?” Suma Lian mendesak.

“Hong Beng diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu...“

Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali.

“Ahhhhh...“ Suma Lian menahan seruannya.

Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu. “Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapa pun, apa lagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”

Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga Suma Lian tidak dapat mengetahui bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.

“Dan mereka... ayah ibuku..., bagaimana pendapat mereka, Paman?”

Dia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng.

Akan tetapi, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja dia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, serta berwajah cerah dan tampan.

“Ayah dan ibumu, hemmm... mereka tak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”

Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang amat bijaksana dan sangat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.

Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.

“Aku tidak tahu, Paman...“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu sungguh bijaksana sekali. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali. “Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan segera aku akan membicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”

“Aihhh, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu...“

“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”

“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan kini aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku...“

“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu.”

Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar hal ini karena dia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak dia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!

“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”

Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh, lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan pula untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk.

Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu menceritakan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa ia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Pada waktu Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa ketiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga ketiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah ia tak percaya mendengar berita mengejutkan itu.

“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu bisa tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”

“Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw,” kata Sin Hong.

Dia selanjutnya menceritakan betapa di antara ketujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya ada tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya sudah tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.

“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?” Suma Ciang Bun bertanya.

Hati Suma Ciang Bun diliputi rasa penasaran besar mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kepandaian yang sulit dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.

Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dirinya merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia kemudian menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu.

Dia ceritakan pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia berhasil lolos dan menyelamatkan dirinya, sesudah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalamnya dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa saat itu keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika mara bahaya itu tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tak berdaya. Andai kata pemuda ini telah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.

“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian dengan penasaran. “Bukankah mereka semua adalah orang-orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun hanya mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan suara lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini dapat mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma tidak akan terelakkan oleh siapa pun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapa pun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahannya. Dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Kalau kita mengingat akan Hukum Karma, hal itu sama sekali tidak aneh, bukan?”

“Tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biar pun para guru saya itu merupakan ahli ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, akan tetapi, bukankah mereka itu adalah pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”

Suma Ciang Bun tersenyum. Dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukannya tidak tahu mengenai masalah itu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.

“Orang muda yang gagah, pendapatmu itu mewakili pendapat umum, tetapi hendaknya dimengerti benar bahwa pendapat umum bukanlah merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan. Masih terdapat banyak rahasia yang tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampak tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi yang begitu dilahirkan sudah harus menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau dikarenakan cacad badan, atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada pula orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!”

“Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati penasaran.

Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. “Ha-ha-ha-ha, Suma Lian, pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukanlah keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Jika kita membela kebenaran dan keadilan serta menentang kejahatan dengan pamrih hasil yang menguntungkan, apakah hal itu bisa disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia seutuhnya berada di dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Tapi bagaimana mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah agar selalu harus menjauhkan segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan.”

Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu.

Bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang lemah sekali. Biar pun kebanyakan manusia merasa dirinya besar dan berkuasa, akan tetapi sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.

“Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, dan juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan orang-orang sesat.”

Kembali Suma Ciang Bun tersenyum. “Watak orang muda memang selalu penasaran dan ingin tahu. Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Janganlah mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku juga dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan dari pada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, bukannya mati sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran Hukum Karma tadi. Prajurit mati dalam perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.”

“Semua keterangan Locianpwe sungguh-sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya. Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata amat kagum. “Tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?”

Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali dia renungkan ketika mulai menyendiri dalam pertapaan!

“Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri pula dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita rasakan. Kini kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita dilahirkan, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan menjadi tidak ada lagi! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak mau pun kewajiban kita untuk menyelidikinya, lagi pula, bagaimana kita mampu menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi hidup ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Ada pun semua penilaian tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”

Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dahulu, pernah beberapa kali dia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di dalam semedhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu.

Dari ayah dan ibunya ia telah banyak mendengar mengenai Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.

Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka, yaitu melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu.

Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di samping juga kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apa lagi karena Sin Hong sudah berjanji bahwa setelah selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.....

********************
Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggota baru. Bahkan orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, sedikit demi sedikit mulai menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.

Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang sekarang sudah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Dia masih dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya meski di situ masih terdapat banyak orang pandai, tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapat sebuah kamar yang cukup luas, walau pun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.

Ketika Bi-kwi pada suatu malam hari memberi tahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar sudah dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya, Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu menjadi marah.

“Huh, orang-orang macam apa yang kau bantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberi tahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau hal itu tidak kau lakukan, sama saja halnya dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”

Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian, yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu.”

Li Sian baru mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberi tahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, saat Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, dia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.

“Apakah yang hendak kau bicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian.

Setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia bisa melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.

“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting dan menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”

Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.

“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”

“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu itu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan juga melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu binasa sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”

“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walau pun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.

“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga buah luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang telah menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung, dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil dan hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”

Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan dia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena dia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.

“Lalu... kalau menurut pendapatmu… bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.

“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya telah bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi kakakmu kemudian terdesak dan menderita tiga luka itu. Lalu, kalau tidak keliru dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu langsung merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan.“

“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”

Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya mengenai itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”

“Akan tetapi... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur muslihat supaya kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walau pun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.

“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuimu, nona Pouw.”

“Apa? Untuk mengelabui aku? Mengapa?”

“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kau kuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin saja akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itulah, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula itu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuimu agar supaya engkau tak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian di dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”

“Ahhh...!”

Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Kakaknya sempat berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang...”

“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”

“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak aku kecil dahulu, mendiang ayahku telah bersahabat erat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa Mancu, dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan ini!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan, maka kakakku dibunuh.”

“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar demikian halnya, lalu dari mana pula datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh dan...”

“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan Bi-kwi.

Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimana pun juga, dia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan.

Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukan menentang penjajah, melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan para kaum sesat. Dan ia pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat-cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.

Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, serta dada terasa panas, Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.

Ketika itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan dia menjadi sangat penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong.

Hatinya bagaikan ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalu memang benar Siangkoan Liong sedang menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu!

Bagaimana jika benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!

Pada saat dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Cepat dia mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam Mo-li!

"Sudahlah, Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk..." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.

"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suara yang direndahkan supaya lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, engkau kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu..."

"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau pun lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi..."

"Sibuk apa lagi? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang sudah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"

"Ssttt... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar aku berjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"

"Hi-hi-hik-hik, begitu barulah pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu," kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong.

Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa di antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li, nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tak enak melihat betapa wajah gadis itu nampak marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!

“Sian-moi, kau...“ Dia maju sambil mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.

“Siangkoan Liong!” bentak gadis itu, dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”

“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa pula yang kau inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.

Sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang gadis itu dengan bibirnya tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana pun juga, gadis itu sudah ternoda, dan berarti sudah mampu ditundukkan. Dia tidak percaya bahwa gadis yang sudah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau masih ingin memberontak.

“Mo-li, sebaiknya engkau keluar dahulu dan biarkan aku berbicara empat mata dengan Sian-moi.”

“Tidak perlu! Boleh saja ia ikut menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggota komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.

“Sian-moi, aku tidak mengerti...“

“Katakanlah terus terang, siapakah yang sudah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?!” bentak Li Sian sambil menatap tajam.

Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran, lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas kau lihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)...“

“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabui aku mengenai kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”

Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ahh, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”

“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabui aku?”

Mendadak muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”

“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!”

Dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.

Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa tidak lama lagi badai akan segera datang menyerang.”

“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimana pun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”

Bi-kwi merasa amat terharu melihat kegagahan suaminya. Ia kemudian maju merangkul suaminya, merasa bahwa kali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.

“Engkau memang benar, dan aku merasa amat berbahagia berada di sampingmu sebab sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita sudah tertipu. Mereka sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, tetapi sekelompok orang-orang jahat yang sedang bersekutu untuk memberontak, demi diri mereka sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar supaya kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa dan bangsa dari belenggu penjajahan.”

Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tak boleh sama sekali!”

“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”

“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih dari pada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”

Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang sekali! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!

Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.

“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan Liong dengan sikap, marah biar pun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak.”

Bi-kwi masih tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Kenapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw itu terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau turut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanyalah untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”

“Ihhh...!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.

Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, di dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, cepatlah berlutut mengaku salah, dan nyawamu juga nyawa suamimu mungkin takkan kucabut.”

“Keparat kau!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”

Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.

“Wuuuttttt... klukkk!”

Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu pula Toat-beng Kiam-ong telah maju menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa mengelak cepat ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.

Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan terus mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, tapi ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.

Siangkoan Liong yang masih marah, sekarang menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.

“Desss...!”

Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika oleh karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang bukan main lihai itu.

Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris saja membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Walau pun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

“Kau... kau... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian telah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.

“Sian-moi, tenanglah, sabarlah...”

“Manusia iblis...!” Li Sian menyerang terus, dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.

“Sian-moi, ingatlah, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku... bahkan engkau... sudah menjadi isteriku...” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya.

Akan tetapi sebaliknya dari pada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena telah terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!

“Kalian... kalian... iblis-iblis busuk...!” Li Sian menjerit dan pedangnya langsung diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.

Melihat hal ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan mempunyai kekuatan sakti yang menggiriskan. Apa lagi kini gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah.

Maka, Siangkoan Liong segera memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu hingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin, dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.

Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jeri dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau pun mengelak, tetapi mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh sehingga dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.

Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang sangat tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia bahkan sedang terdesak hebat karena ia tidak bersenjata, sedangkan lawannya itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apa lagi kini Sin-kiam Mo-li juga maju mengeroyoknya.

Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang sangat berbahaya. Namun Bi-kwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jeri menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!

Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan dia lalu mengamuk seperti seekor naga betina. Walau pun dia tidak bersenjata lagi, akan tetapi serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawannya yang lebih kuat karena memegang senjata itu sama sekali belum juga mampu menundukkannya.

Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tak mungkin bisa dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah sekarang suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong. “Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini supaya kelak di kemudian hari tidak membikin repot!”

Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan meski pun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”

Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Akan tetapi, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.

Walau pun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan itu menggunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam).

Selain tendangan-tendangan bertubi Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru sesudah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan serta lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.

“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.

Seperti telah kita ketahui, sesudah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, maka Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya.

Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia sudah diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasehat-nasehat. Keduanya kemudian bersahabat dan bersama-sama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang, karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu setelah cuaca mulai gelap, dan atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, keduanya pun berhasil menyelundup masuk sampai ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.

Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati. Namun, Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya, maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.

Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka meski pun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa serta melakukan serangan secara nekat sekali!

Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi bisa mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.

Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, ia telah menyiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apa lagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.

Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, yang bakatnya tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, biar pun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan jika dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang saja.

Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga. Dia lantas memutar sepasang pedangnya dengan ganas.

Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang dahulu pernah membuat ia tergila-gila. Pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika dua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya.

Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng!”

Dan wanita ini kemudian menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng maju bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa.

Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Walau pun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak.

Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biar pun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Akan tetapi, kenekatan dua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apa lagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walau pun dengan paksaan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”

Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa bagai tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.

“Kakak Cu Kun Tek...!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”

Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!

Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua dari partai Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang sudah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.

Andai pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong.

Dalam percakapan itulah Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun segera berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.

Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan mereka bertiga tadi dengan Siangkoan Liong. Dua orang tua itu masih bercakap-cakap setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam, terus mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Saat bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.

Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.

“Ahhh, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya.

Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!

Cu Kun Tek ialah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjulukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apa lagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.

Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.

“Hyaaaaattt...!”

Ia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan serta mengeluarkan suara mengaung bagaikan binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya.

Ia menarik kembali dua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya sekitar tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu.

Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek. “Orang muda, apa hubunganmu dengan keluarga Cu yang tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman?!” bentaknya.

Kun Tek maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi ia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.

“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...”

“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku, maka engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”

“Simpan saja bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”

“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”

Siangkoan Lohan telah menyerang dengan hun-cwenya. Nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang segera memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.

Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan dua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya.

Untung bagi Kun Tek bahwa ia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jeri, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.

Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan mempunyai demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.

Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Tiat-liong-pang memang besar dan sangat kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, di sana berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.

Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sulit untuk menundukkan mereka, apa lagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.

Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri terlihat jeri menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat bukan main itu. Dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.

“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini...!” katanya, seperti kepada diri sendiri.

Dia mengembangkan kipasnya, kemudian dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali. Mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.

Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka. Tiba-tiba saja kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka pun sudah terkulai dan roboh dengan lemas!

Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.

Pemuda perkasa ini terkejut sekali. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan yang berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepatnya, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.

Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, kemudian sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.

“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.

Melihat berkelebatnya bayangan kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Tapi Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.

Dalam sedetik saja pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh.....

Ketika itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang. Maka mendadak ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong, dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), mengarah ke tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaga dengan tujuan membalas kekalahan kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.

“Desss...!”

Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.

“Suamiku, tunggu... aku menyusulmu...,” katanya.

Dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi sudah mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. Dia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!

Meski hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang Siangkoan Lohan terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.

“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada murid utamanya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.

Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama dengan para pembantunya yang berada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, sekarang sudah tiba waktunya untuk segera melakukan gerakan.

Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan untuk menghubungi para sekutunya, terutama Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas ke luar, dipanggil agar segera pulang.....

********************

Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biar pun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas.

Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu, dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa sama sekali tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak.

Dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri sering kali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk lolos.

Ketika Ci Hwa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya ada sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar.

Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggota Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggota Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.

“Kasihan Beng-ko...” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ahh, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekali pun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.”

Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa ketiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu terlebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan di dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.

Meski pun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar supaya gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga.

Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada lagi tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat. Kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun.

Tadi, ketika ia dan ketiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu, akan tetapi lupa lagi di mana.

Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka yang agak pucat. Pedangnya tergantung di punggung dan pandang matanya yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat.

Ciu Piauwsu! Ya, telah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia adalah seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya. Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu Piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya saat Ciu Piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!

Ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, lalu menyambut tantangan Ciu Piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu Piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu Piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggota Tiat-liong-pang!

Mengingat hal ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu Piauwsu! Bagai mana pun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.

Dia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati bisa Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekedar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan kedua orang tawanan lainnya, namun juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu dari Ban-goan yang kini berada di antara orang-orang Tiat-liong-pang!

Seseorang yang sudah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa kekhawatiran, sakit hati, putus asa, dan duka yang melanda hatinya semenjak dia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.

Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.

“Ciu Piauwsu...!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.

Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Sekarang, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebuah sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu!

Dia memandang tajam dan heran, lalu melangkah mendekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.

Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tiada hubungan sesuatu dan amat jarang berjumpa.

Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja dia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.

“Aihh, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah tidak ingat kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, dan oleh karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku...!” di dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan.

Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukanlah seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak pula. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.

“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu...!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu. Matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”

Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih. Matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.

“Ahh, engkau she Kwee... dari Ban-goan Piauwkiok?”

“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauwkiok!”

Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi. “Ahhh, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”

Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi wanita yang amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air matanya mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan padaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu...“

Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.

“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”

“Tidak usah membebaskan aku, asal aku... jangan sampai terbunuh... katakan kepada mereka bahwa aku ini adalah calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut...“

Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!

“Akan tetapi ceritakan lebih dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”

“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako, dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan,” Ci Hwa berbisik-bisik.

Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab.

“Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan...“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan untuk bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.

Dan usahanya berhasil. Mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya sebab piauwsu muda itu lalu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.

“Lalu bagaimana...? Lanjutkan ceritamu...!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu sekarang menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.

“Aku sudah putus asa, hendak menjerit namun mulutku dibungkam. Aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, akan tetapi sia-sia karena keempat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka terbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian...”

Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera dan menambah rasa lapar.

“Kemudian... bagaimana...?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.

“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti... engkau ini, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku lalu menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh kelima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apa lagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”

“Lalu... lalu bagaimana...?”

Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan. “Akan tetapi dia... dia mengingkari janji... aku lalu pergi, hendak membunuh diri... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji...! Ketika sedang membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasehati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan...“

“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”

“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu...“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.

Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, sekarang tersenyum dan kembali mengelus dagunya, “Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?” Pertanyaannya ini disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.

“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku pasti akan mau melakukan apa saja yang kau kehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.

“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi.

Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjadi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.

“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampaknya jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu.”

“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”

Ci Hwa tersenyum semakin cerah. “Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”

Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!

“Kalau begitu, marilah ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu.

Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandangi oleh Ciu Hok Kwi, bahkan dia pun dengan sikap malu-malu melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.

“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang lalu berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, atau bahkan membunuh tahanan!

Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi.

Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, dia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, sebab melihat piauwsu ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya.

Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk bisa hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng.

Pemuda itu telah menolongnya, bahkan sudah memberi penerangan batin kepadanya. Dan sekarang pemuda itu, karena hendak membelanya telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya mau pun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!

Setelah memperoleh bukti berulang kali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggapnya sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga adalah pembantu utama Siangkoan Lohan!

“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik...,” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bisa bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan...?”

Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu, “Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, supaya lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan Piauwkiok.”

“Tapi… bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”

“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Itulah siasatku yang sangat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar...”

“Ahh, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium meski di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini. “Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu...”

“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.

Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilin itu cukup tampan, akan tetapi juga menyeramkan. “Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe...”

“Aku juga orangnya! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu...? Ah, kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung saat itu hanya kutendang lututmu…!”

Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa, kemudian merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji. “Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa amat kagum karena kelihaiannya! Dan engkau pernah pula menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya jika ternyata engkau selihai itu?”

Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium. “Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura pura mengalah supaya tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”

“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama baik ayahku dengan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”

Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, dia pun tidur pulas kelelahan.

Ci Hwa yang tadinya sudah pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu.

Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya.

Rasanya tangannya telah gatal hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini. Apa lagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tidak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana pun juga.

Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya. Dengan hati-hati dia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari jari tangannya gemetar pada saat ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar.

Dia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, kemudian turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.

Ci Hwa menyelinap di balik dinding yang gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan. Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran.

Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Jika hanya tiga orang, tentu saja tak berat baginya untuk membunuh mereka, apa lagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.

Ci Hwa kemudian memungut batu kerikil yang dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat salah seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh.

Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, mendadak nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget. Dua matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.

Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mata mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan.

Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan dua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, bersiap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya. Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu.

Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.

Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, ia telah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khikang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk.

Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek telah berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek bertugas menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa.

Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya!

Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apa lagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding.

Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia pun ‘mengirim’ suaranya dengan kekuatan khikang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun semua usahanya itu sia-sia belaka.

Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tak mendengar ada suatu gerakan. Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.

Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.

“Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, dan datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Jika tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?”

Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khikang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.

“Namaku Pouw Li Sian,” dia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khikang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa. “Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka.”

Kun Tek mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biar pun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.

“Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”

“Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”

“Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggota keluarga Pulau Es yang terkenal.”

“Ahhh...!”

Mendengar seruan Li Sian, Cu Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.

“Kenapakah, Nona?”

“Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”

“Ahhh...!” Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. “Kalau begitu, tentu engkau mengenal Gu Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona.”

“Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”

“Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apa bila kesempatan tiba. Meski pun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”

Mereka menghentikan percakapan, kemudian duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu. Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat.

Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Yo Jin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walau pun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya.

Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walau pun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekat dan agaknya sangat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apa antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga, dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korban rayuan Siangkoan Liong.

Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri jika teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan suka rela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta pada pemuda tampan itu, tak tahu bahwa pemuda itu selain menggunakan rayuan maut, juga menggunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!

“Keparat! Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan juga akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.

Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.

“Adik Ci Hwa...! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu...?”

“Sssttttt...!” Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu.

Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan amat girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng.

Namun hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, “Cepat bebaskan teman-teman yang lainnya. Ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi masih ada kesempatan!” Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng, kemudian melompat keluar.

“Hwa-moi...!” Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam.

Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi. Akan tetapi dia segera melangkah keluar dari dalam kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu ia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.

“Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.

“Kita sudah ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Dialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.

“Di manakah dia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.

Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. “Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”

“Ah, berbahaya sekali jika begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek.

Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga kemudian berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.

Akan tetapi, pada saat itu para penjaga telah menemukan mayat ketiga orang kawan mereka. Begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah langsung mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk hanya dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.

Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini dia memasuki kamar itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Oleh karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh.

Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!

Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan. Ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biar pun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri, lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melemparkan tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya bisa melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.

“Heh, apakah engkau mendadak menjadi gila?!” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi.

Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya, tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.

“Ci Hwa, mengapa engkau melakukan semua ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau...”

“Tutup mulutmu yang bau busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus.

Ciu Hok Kwi mulai marah, apa lagi pada waktu dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, lalu mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu.

Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.

“Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!”

Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, yang disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan, dan terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka dia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.

Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa.

Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.....

Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.

“Di mana Ciu Hok Kwi...?” Siangkoan Lohan berseru.

“Mana Kwee Ci Hwa?” Siangkoan Liong juga berseru heran.

Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedangnya masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi mereka bertiga segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu juga sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu huncwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.

“Tangkap mereka kembali, jangan dibunuh!” terdengar Ouwyang Sianseng berseru.

Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan. Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.

Sementara itu, dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Meski Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi. Setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu.

Ci Hwa berteriak kesakitan. Pedangnya terlepas, di lain saat pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangannya, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.

“Wuuuttt...!”

Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali.

Ci Hwa meloncat ke belakang, tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka!

Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, dia sudah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuhnya. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.

“Akan kubunuh engkau, perempuan setan!” desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya mengenai sasaran.

Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi baru melakukan serangan yang sesungguhnya.

“Cappp...!” Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.

“Mampuslah kau...!” Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, namun mendadak sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.

“Dukkk! Ahhhhh...!”

Ciu Hok Kwi terkejut sekali, seketika tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!

“Paman Ciu Hok Kwi! Apa… apa yang kau lakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?” tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!

Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap, “Aku... aku...,” dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!

“Biar kukejar dia!” kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.

“Jangan,” kata Sin Hong. “Gadis ini terluka parah, kita harus menyelamatkan dia dan keluar dulu dari sini.”

Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada waktu itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang dengan aman.

Sementara itu, dengan amat ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang. Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng.

Apa lagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya menggunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya ketika bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka.

Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan kembali dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, sekali ini disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi!

Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.

“Hok Kwi, apa yang telah terjadi?” Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan kereng. “Bagaimana mereka bisa keluar?”

Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

“Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai.”

Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.

“Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau yang memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?”

“Maaf, Suhu. Memang teecu sudah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada si keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenali teecu. Teecu... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, Kwee Ci Hwa lalu teecu lalu bunuh. Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak mampu menandingi mereka. Dan ternyata dia sudah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa.”

Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan. “Sudahlah, sekarang jagalah baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu tadi membuat kita kehilangan belasan anak buah!”

“Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa,” kata Ciu Hok Kwi.

Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput.

Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah sangat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah.

Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya. “Hong-ko... syukurlah... aku dapat bertemu denganmu...”

“Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu...“

Ci Hwa menggelengkan kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, juga dari Ciu Hok Kwi.

“Hong-ko, dengarlah baik-baik. Ciu Hok Kwi itu..., dialah yang mengatur semua... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu... dan dia pulalah orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu...“

Sin Hong terkejut bukan main. Dia memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah berbicara tidak karuan.

“Tapi, Hwa-moi, dia... dia itu pembantu mendiang ayahku...“

Ci Hwa menggeleng kepalanya. “Dia murid pertama Siangkoan Lohan..., mereka ingin memberontak, mereka menguasai Piauwkiok ayahmu... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai Piauwkiok milik ayahmu... dia telah mengaku semua ini kepadaku...“

“Keparat...!” Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dibunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan.

Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!

“Hong-ko... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku... aku...“

Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, dan telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.

“Siangkoan Liong! Keparat busuk kau...! Engkau sudah menodaiku... engkau... kubunuh engkau... ahhhhh...!” Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.

Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, kemudian meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.

“Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?” Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya.

Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Ia menoleh, memandang wajah Suma Lian kemudian menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.

“Namanya Kwee Ci Hwa,” katanya menjelaskan. “Dia adalah puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku sudah terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya Ci Hwa lalu menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata setelah sampai di sini dia justru mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walau pun dia sudah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku.”

“Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong adalah putera Siangkoan Lohan, pemimpin pemberontak seperti keterangan yang kita dapatkan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!”

“Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana kini berkumpul banyak sekali orang pandai, apa lagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh, baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang-I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?”

Suma Lian bisa membenarkan pendapat Sin Hong. “Lalu, bagaimana baiknya sekarang, apa yang harus kita lakukan?”

“Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah yang tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan mampu menolong mereka, alangkah baiknya.”

Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana akan tetapi cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu.

Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.....

********************

Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, serta Cu Kun Tek kini ditahan di dalam sebuah kamar tahanan yang baru, kamar tahanan yang luas sekali. Kaki mereka bertiga dirantai pada besi di dinding yang kuat sekali. Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan.

Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak di antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.

“Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,” kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.

“Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!” Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin akibat dendamnya terhadap Siangkoan Liong yang sedalam lautan dan setinggi langit!

“Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walau pun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Jika saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,” kata pula Hong Beng.

Sekarang Pouw Li Sian mamandang kepada Hong Beng, dan ia pun bertanya, “Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?”

Biar pun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati. “Suhu bernama Suma Ciang Bun.”

Li Sian mengangguk-angguk. “Pernah aku mendengar nama besar suhu-mu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti...“

“Aihhh...! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng...?”

“Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai.”

“Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?”

“Benar sekali! Engkau mengenal suci-ku? Ahh, sungguh semakin sempit saja dunia ini!” Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali.

Kun Tek ikut gembira melihat hal ini. “Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang sangat dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini.”

Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Kini ia tahu betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu.

Ada bahaya yang lebih mengerikan dari pada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.

“Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati dari pada sampai tertawan kembali!” Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.

“Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati,” tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap.

Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu dan keduanya saling pandang. Sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah.

Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran di dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang bahkan membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol. Bagaimana pun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai dari pada mereka.

“Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimana pun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Kalian harus ingat, kalau aku menggunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya supaya kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, jika perlu dengan bala bantuan.”

“Menggunakan akal? Apa yang kau maksudkan, Hong Beng?” tanya Kun Tek.

“Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita tidak akan mampu lolos dan akan mati konyol di sini.”

“Aku tidak takut, apa lagi untuk melindungi nona Li Sian!” kata Kun Tek dengan sikap gagah.

Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!

“Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, namun perbuatan yang bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk...“

“Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!” teriak Kun Tek.

“Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang dengan menggunakan kekerasan, kenapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?”

Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata, “Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng.”

Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.

“Begini. Mereka itu jelas musuh kita. Akan tetapi, setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, dan setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka.”

“Tidak sudi! Aku...“ Kun Tek langsung menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menolehkan kepala dan memandang padanya dengan alis berkerut. “Teruskan, Hong Beng...,“ akhirnya dia berkata lirih.

Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik. “Tentu saja kita takkan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tak ada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seakan-akan kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagai mana pun juga, bukankah kita sendiri juga tidak senang melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Jadi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau untuk bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?”

Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!

Mereka bertiga sekarang terpaksa menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu, dan ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini datang mengunjungi mereka! Apa lagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama?

Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tidak dapat menipu, yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?

Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya sangat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang hingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu!

Mereka itu bagai segerombolan orang hutan. Mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka lebar menyeringai. Nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal.

Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar. Akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan serigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.

Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang menonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding.

Cu Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya ia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, sekarang menundukkan pandang matanya karena ia tidak sudi lagi memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.

“Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau sudah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?”

Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seakan-akan api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan dia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang sudah ternoda oleh pemuda perayu ini.

Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang mata Li Sian berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian. “Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dicuci dan dihapus dengan darah!”

Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.

Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau berbicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.

“Tidak perlu berbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan.”

Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.

“Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?” tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.

“Ia telah mengkhianati perjuangan kami! Ia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka.”

“Bohong! Aku tidak percaya!” kata Li Sian, walau pun di sudut hatinya dia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? “Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?”

“Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Oleh karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw.”

Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.

“Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!” katanya.

“Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami,” kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu.

Terdengar suara gaduh, dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.

“Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik? Kalau engkau ingin agar kami dapat mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!” kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun kereng.

Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah memiliki seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!

Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani. “Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukanlah seorang pengkhianat...“

“Bohong!” bentak Siangkoan Liong marah. “Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dan dia mengkhianati gerakan perjuangan kami. Dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!”

“Kongcu... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat... Ahhh, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku...“ Wanita itu menangis.

Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng kemudian mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. “Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!”

Pada saat pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun segera diam, lalu seorang di antara mereka yang paling besar, dengan tubuh yang berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk. Dua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut itu, dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.

Raksasa itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar pada saat dia bertanya, “Kongcu, apakah yang harus saya lakukan?” Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.

“Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!”

Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin. “Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?”

“Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!” kata pula Siangkoan Liong.

Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati yang tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik jeruji. Mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka sangat iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu.

Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.

“Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu,” terdengar Siangkoan Liong berkata.

Mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walau pun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan kedua orang pemuda tawanan itu menjadi jeri dan tunduk.

Nyonya itu menggelengkan kepala berkali-kali. “Tidak... tidak... ohhh… jangan lakukan ini, Kongcu... ahhh, bunuh sajalah aku...”

Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu lalu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.

“Ahhh... lepaskan kakiku... Lepaskan aku...! Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi.

Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.

Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Dia sudah marah sekali dan kalau saja dia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu dia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat.

Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak. “Jahanam busuk, lepaskan ia!”

Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak mau memperdulikan semua itu.

“Brettttt! Brettttt...!”

Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu.

Okatou dan kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong, datang dari luar Tembok Besar. Mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan penyiksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.

Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua. Akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.

“Aughhh...!”

Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi. Kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.

“He-he-heh...“ dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita yang telanjang itu. Sinar matanya penuh ancaman mengerikan.

“He-he-heh, engkau kuda betina binal... he-he-heh, mari sini manis...“ Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.

“Dukkk...!”

Tubuh Okatou langsung terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Bi, “So-so (Kakak Ipar), engkau bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu.”

Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, kali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu.

Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sinkang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerang itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.

“Creppp...!”

Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan sebuah tendangan maut.

“Desssss...!”

Sekarang tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Jika tusukan dua jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi sudah menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!

“Soso, jangan takut, aku melindungimu,” kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya.

Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang. “Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau malah menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!”

Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik, “Cui Bi, ke sini engkau!”

Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.

“Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku,” ratapnya.

Ketika menyaksikan semua peristiwa yang tidak diduganya itu, Ouwyang Sianseng lalu mengerutkan alisnya. “Hemmm, Siangkoan Kongcu, apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini?” tanyanya kepada Siangkoan Liong.

Pemuda itu menggelengkan kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina. “Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya.”

“Kalau begitu, suruh bunuh saja ia supaya jangan mendatangkan keributan lagi,” kata Ouwyang Sianseng.

Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti serigala-serigala kelaparan, lalu dia pun berkata, “Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, dia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!”

Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar, dua belas orang itu telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh.

Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan yang berbulu dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis. Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.

Sementara itu, Kun Tek sudah duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini telah mengambil keputusan untuk kelak membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk menebus perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!

Setelah anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang kemudian berkata, “Ahhh, perang memang kejam. Di dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus menggunakan kekerasan terhadap musuh. Apa lagi kaum pengkhianat memang harusnya dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti, yang sudah tentu mempunyai jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha untuk menumbangkan penjajah, dan membebaskan rakyat dari penjajahan. Oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang biasa membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang sangat berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi.”

Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.

Dengan cerdik Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa batin Kun Tek dan Li Sian masih terguncang menyaksikan kekejaman yang tak berperi kemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apa lagi kakek itu memberi waktu sampai besok. Masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar