Pusaka Pulau Es Jilid 1-5

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Pusaka Pulau Es Jilid 1-5 Pria penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main.
Pria penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap sebab matahari baru muncul mengintai dari balik punggung mereka. Akan tetapi bukit-bukit di sisi barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning keemasan.

Nampaklah kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati dari pada di dalam mata.

Burung-burung mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam.

Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali. Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.

Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani oleh banyak orang.

Laki-laki itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum.

Dahinya lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.

Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula?

Pangeran Tao Seng memang seorang petualang besar. Semenjak kecil dia bukan saja mempelajari ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Agaknya dia tertarik dengan riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini.

Sering kali dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi dirinya. Dia sudah sering menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!

Pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang dikuasai orang-orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut. Apa lagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih memiliki darah Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah sering kali menghadapi bahaya, namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang petualang besar.

Tiba-tiba dia melihat ada seorang penunggang kuda mendaki bukit itu dengan cepat. Kudanya bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan keseimbangan tubuhnya mantap. Dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon, kemudian menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.

Pangeran Tao Seng tersenyum. Dia sudah melihat bahwa penunggang kuda itu seorang gadis yang berpakaian seperti gadis Khitan dan cantik sekali, membawa busur dan anak panah. Tentu seorang gadis yang sedang memburu binatang hutan dan agaknya gadis itu melihat binatang buruan di dalam hutan itu.

Dia merasa gembira, lalu menggerakkan kudanya turun dari puncak bukit itu menuju ke hutan. Setelah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon itu, dia pun turun dari atas kudanya, menambatkan kudanya tidak jauh dari kuda gadis itu dan dia pun menyusup masuk ke dalam hutan, hendak mencari gadis pemburu tadi.

Akhirnya dia melihat gadis pemburu tadi berindap-indap di bawah sebatang pohon dan ternyata yang diincarnya adalah seekor kijang jantan muda yang sedang makan daun muda. Gadis itu sudah menarik tali busurnya dan siap melepaskan anak panah ke arah dada binatang itu. Akan tetapi perhatian Pangeran Tao Seng segera tertarik ke atas pohon, di bawah mana gadis itu berdiri.

“Awas...!” Tiba-tiba Pangeran Tao Seng berteriak nyaring.

Tepat pada saat itu, sang ular besar yang tadi bergantung di pohon itu melepaskan diri dan jatuh ke atas tubuh gadis itu yang sedang melepas anak panah. Karena kaget oleh teriakan, bidikannya terguncang dan anak panah itu luput dari sasaran. Dan selagi ia membalikkan tubuh hendak marah kepada orang yang berteriak, tiba-tiba saja ular itu menjatuhi dirinya dan membelit tubuhnya.

Saking kagetnya gadis itu menjerit. Tangan kanannya sudah ikut terbelit dan tak mampu bergerak. Akan tetapi ketika ular itu mendekatkan moncongnya dan hendak menggigit, dia menahan leher ular itu dengan tangan kirinya. Ular sebesar paha seorang pria itu memperkuat libatan dan menggerak-gerakkan lehernya yang dicekik oleh tangan kiri yang kecil namun kuat itu. Sekali tangan itu terlepas, moncong yang terbuka lebar itu tentu akan menelan kepala gadis itu dengan mudah!

Akan tetapi, Pangeran Tao Seng sudah lompat mendekat dengan pedang terhunus di tangan kanan. Sekali pedangnya berkelebat cepat, kepala ular itu putus dan darahnya muncrat mengenai pipi kiri gadis itu. Belitannya mengendur sehingga gadis itu dapat melepaskan dirinya. Saking ngeri dan kagetnya, dia terhuyung dan tentu sudah jatuh terpelanting kalau saja Pangeran Tao Seng tidak cepat menyambar pinggangnya dan merangkulnya.

“Bahaya sudah lewat, jangan takut,” katanya dalam bahasa Khitan dengan suara amat lembut.

Gadis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti seekor kelinci. “Kau... kau... telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya maut...”

Pangeran Tao Seng tersenyum, menyimpan pedangnya dengan tangan kirinya masih merangkul pinggang. Kemudian tangan kanannya mengambil sehelai sapu tangan dan berbisik, “Pipimu bernoda darah...!”

Dia lalu mengusap pipi kiri itu dengan sapu tangan dan membersihkan darah itu, dan dia terpesona! Setelah muka itu menjadi bersih dari darah, baru nampak betapa cantiknya wajah itu! Cantik segar bagaikan setangkai mawar hutan tersiram embun pagi. Kedua pipi yang segar kemerahan dan halus mulus. Sepasang mata yang lebar dengan sinar yang jernih. Hidung kecil mancung dan mulut yang setengah terbuka itu nampak indah, dengan deretan gigi mengintai dari balik bibir yang merah basah.

“Aduh, engkau cantik sekali, Nona. Bidadari dari sorgakah engkau?”

Gadis itu tiba-tiba tertawa. Lenyaplah semua rasa kaget dan ngeri tadi, dan dia merasa lucu dan senang. Pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut itu adalah seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, dan bicaranya lucu, pandai berbahasa Khitan pula.

“Kalau aku seorang dewi dari sorga, tentunya engkau seorang dewa dari kahyangan,” katanya sambil melepaskan rangkulan pemuda itu.

Pangeran Tao Seng tertawa dan nampaklah deretan giginya yang bersih dan kuat. Dia nampak semakin tampan kalau tertawa dan agaknya hal ini diketahuinya benar, maka dia pun tertawa dengan bebas dan lepas.

“Ha-ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Nona. Aku beruntung sekali hanya manusia biasa seperti engkau, manusia yang bisa jatuh cinta! Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa berada seorang diri di hutan liar ini? Melihat pakaian dan kudamu, tentu engkau bukan gadis Khitan sembarangan, sedikitnya tentu puteri kepala suku!”

“Hemm, selain gagah perkasa ternyata engkau juga amat pandai mengenal orang. Aku Silani, puteri kepala suku Khitan di daerah ini. Dan engkau sendiri, siapakah? Engkau seperti bukan orang Khitan, akan tetapi engkau pandai bahasa kami dan pakaianmu sangatlah indahnya. Engkau seorang bangsawan, ya? Aku pernah melihat bangsawan-bangsawan yang datang berkunjung kepada ayahku. Ayahku adalah Khalaban, kepala suku yang terkenal gagah perkasa.”

“Engkau pun pandai menduga. Aku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng, namaku Pangeran Tao Seng.”

Gadis itu nampak terkejut. “Ahhh, seorang pangeran?” Matanya bersinar-sinar. “Betapa gagahnya!”

“Ahaa, benarkah itu? Benarkah engkau menganggap aku tampan dan gagah? Aku pun melihat engkau sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan amat gagah, Silani. Betapa akan amat mudahnya bagiku untuk jatuh cinta padamu.”

Mendengar ucapan itu, Silani tersenyum lebar. Bagi seorang gadis suku Khitan seperti dia, tidaklah aneh mendengar pernyataan cinta seorang pria secara demikian terbuka.

“Ahh, benarkah?”

“Kenapa tidak benar? Aku berani bersumpah, Silani!”

Mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak satu meter, saling pandang, dan sinar mata mereka saling bertemu dan bertaut, penuh ketegangan dan kebahagiaan.

Betapa anehnya cinta antara pria dan wanita. Pria pada umumnya akan jatuh cinta karena kecantikan atau kepribadian si wanita. Akan tetapi wanita lain lagi. Ia dapat saja jatuh cinta karena kagum, karena iba, karena hutang budi, atau karena rayuan walau pun ketampanan wajah dan kepribadian juga memegang peran penting.

Silani merasa berhutang budi, sudah diselamatkan dari ancaman maut, ini saja sudah merupakan penolong baginya untuk jatuh hati. Apa lagi ditambah pengetahuan bahwa pria itu adalah seorang pangeran besar dari kerajaan yang besar, seorang pria yang tampan dan gagah perkasa yang dapat membunuh ular besar dengan sekali bacokan pedangnya, pria yang pandai pula merayu. Maka anehkah kalau ia seketika jatuh cinta kepada Pangeran Tao Seng?

Cinta pertama pada pandangan pertama memang berkesan dalam di hati. Tentu saja gadis Khitan yang sederhana jalan pikirannya ini sama sekali tidak tahu bahwa pria di depannya itu akan jatuh cinta kepada wanita mana pun asalkan wanita itu cantik jelita dan dapat dirayunya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan Silani bagaikan sadar dari mimpi.

“Ah, itu ayahku dan para pengawal datang ke sini!” katanya sambil melangkah beberapa tindak mundur menjauhi Pangeran Tao Seng.

Sepuluh orang penunggang kuda, dikepalai oleh seorang kepala suku Khitan yang tinggi kurus datang dan berlompatan turun dari kuda masing-masing. Kepala suku Khitan yang tinggi kurus itu adalan Khalaban, ayah Silani. Melihat puterinya bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing dan di situ terdapat seekor bangkai ular besar, Khalaban segera lari menghampiri puterinya dan menegur.

“Silani, kenapa engkau mendahului kami masuk hutan ini? Dan ular itu, apa yang telah terjadi? Siapa pula pemuda ini?” tanyanya dengan tak sabar.

“Ayah, tadi aku mengejar seekor kijang. Akan tetapi mendadak aku diserang ular besar ini yang menjatuhkan diri dari atas pohon. Kalau tidak ada pemuda ini yang menolongku membunuh ular, tentu sekarang ini anakmu sudah berada di dalam perut ular itu!”

Khalaban yang berusia lima puluh tahun ini tentu saja terkejut bukan main mendengar kata-kata puterinya, akan tetapi juga gembira bahwa puterinya dapat diselamatkan.

“Ahhh, syukur bahwa engkau selamat, Silani. Lalu, siapakah pemuda gagah yang telah menolongmu ini?”

“Ayah tentu tIdak akan pernah dapat menduganya! Ayah, pemuda ini adalah seorang pangeran kerajaan Ceng. Namanya Pangeran Tao Seng!”

Mendengar hal ini, Khalaban lebih terkejut lagi dan cepat-cepat ia membungkuk dengan sikap hormat.

“Pangeran, sungguh kami berterima kasih sekali bahwa Paduka telah menyelamatkan puteri kami, dan maafkan, karena tidak tahu maka kami bersikap kurang hormat.”

Tao Seng tertawa. “Ha-ha-ha, Paman, kenapa menggunakan banyak peraturan? Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan puterimu yang cantik dan gagah, dan kebetulan pula aku dapat menolongnya ketika ular itu menyerangnya. Tidak perlu berterima kasih, Paman.”

“Khalaban nama saya, Pangeran. Dan kami persilakan Paduka untuk singgah di tempat perkampungan kami agar kami dapat menjamu Paduka menjadi tamu kehormatan kami dan juga untuk menghaturkan terima kasih kami.”

“Baik, Paman. Memang aku pun ingin berkenalan lebih jauh dengan Silani.”

“Jadi engkau mau berkunjung ke kampung kami, Pangeran? Aihh, aku gembira sekali!” kata Silani dengan sikap akrab.

Melihat sikap ini, Khalaban merasa gembira sekali, akan tetapi ada seorang pemuda Khitan di antara rombongan itu yang memandang dengan alis berkerut dan mata jalang bersinar tak senang.

Pemuda ini seorang pemuda Khitan yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah serta penampilannya nampak kokoh dan kuat. Seorang jantan dan memang dia merupakan jagoan di antara para muda Khitan, mahir ilmu bela diri terutama sekali ilmu gulat.

Di antara para muda, pemuda bernama Kalucin ini memang dianggap sebagai seorang yang memiliki harapan besar untuk mempersunting Silani, puteri kepala suku dan juga menjadi kembangnya para dara di antara mereka. Kini, melihat Silani nampak akrab dengan seorang pemuda asing, pangeran pula, tentu saja timbul perasaan tidak senang dan cemburu besar di dalam hati Kalucin.

Kata orang, cemburu adalah kembangnya cinta. Hal ini memang tidak dapat disangkal selama cinta kasih itu berdasarkan nafsu. Cinta nafsu selalu membuat yang mencinta ingin memiliki, ingin menguasai yang dicintai, seperti seseorang yang menyukai sebuah benda yang amat berharga. Tidak ingin disentuh orang lain, apa lagi dimiliki orang lain.

Itulah cemburu yang mendorong agar orang yang dicinta menjadi miliknya pribadi, tanpa diganggu orang lain. Dan cinta kita pada umumnya seperti itu. Cinta kasih yang hanya berdasarkan nafsu!


Demikian pula cinta dalam hati Kalucin terhadap Silani. Dia ingin Silani menjadi miliknya sendiri. Sekarang melihat ada pria lain mendekati gadis itu, bahkan ada kecenderungan berhubungan akrab, hatinya dipenuhi perasaan cemburu yang mendalam.

Bagi Khalaban sendiri, tentu saja dia merasa girang sekali kalau puterinya bergaul akrab dengan seorang pangeran. Pangeran kerajaan Ceng yang besar dan jaya, tampan dan gagah pula. Bahkan lebih dari itu, pangeran itu telah menyelamatkan nyawa puterinya. Kalau saja puterinya dapat menjadi isteri seorang pangeran, alangkah senang hatinya!

Pangeran Tao Seng dijamu dengan hormat dalam sebuah pesta yang meriah. Tentu saja Tao Seng gembira sekali, apa lagi disuguhi tari-tarian Khitan yang menggairahkan. Ketika Silani sendiri tampil sebagai seorang primadona dalam tarian itu, kekagumannya terhadap Silani semakin bertambah.

Di tengah makan minum itu, dengan beraninya Tao Seng bertanya kepada Khalaban, “Paman, kalau boleh aku mengetahui, apakah Silani telah bersuami?”

“Ah, belum, Pangeran. Sudah banyak yang datang meminang, akan tetapi anak saya itu memang keras kepala. Ia selalu menolak sehingga kini usianya sudah sembilan belas tahun dan ia belum menikah.”

“Ahhh... apakah sudah ada calon suaminya?”

Sejenak Khalaban teringat akan Kalucin, akan tetapi segera dilupakannya pemuda itu. Kalau saja dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, tentu saja Kalucin kalah dalam segala-galanya. Kalucin memang seorang pemuda hebat, dan tentu dia akan memilih Kalucin di antara para pemuda Khitan. Akan tetapi dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, Kalucin laksana seekor burung merak dibandingkan dengan burung Hong! Kalah segala-galanya!

“Belum, Pangeran. Silani belum memiliki calon suami. Mengapa Paduka menanyakan hal itu?” Dia memancing.

“Ehemmm... jika sekiranya Paman setuju, aku suka sekali kepada Silani dan aku ingin mengawini dia.”

“Tentu saja kami setuju sekali, tentu saja kalau Silani juga mau. Dan saya kira ia juga setuju, lihat saja sikapnya terhadap Paduka.”

Mereka memandang ke arah Silani yang masih menari dan benar saja, pandang mata Silani ditujukan kepada Tao Seng dan gadis itu tersenyum-senyum kepadanya, senyum yang manis sekali!

“Akan tetapi, Paman. Karena aku adalah seorang pangeran putera mahkota yang kelak akan menggantikan ayah menjadi kaisar, aku tidak boleh menikah begitu saja. Oleh karena itu, aku ingin menikah dengan Silani di sini. Apakah Paman setuju?”

Mendengar bahwa pangeran ini adalah seorang pangeran mahkota yang nantinya akan menjadi kaisar, Khalaban nyaris berjingkrak menari saking girangnya. Puterinya menjadi permaisuri kaisar dan dia menjadi ayah mertua kaisar!

“Setuju, Pangeran. Kami setuju sekali. Dan pernikahan itu dilangsungkan lebih cepat lebih baik. Oya, sekarang ini semua rakyat saya sedang berkumpul, sebaiknya kalau saya menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan pertunangan itu!”

Tao Seng tersenyum. “Paman lupa untuk bertanya dulu kepada Silani, apakah ia setuju ataukah tidak?”

“Baik, akan saya tanyakan sekarang juga, Pangeran!”

Khalaban lalu menggapai ke arah puterinya yang sedang menari. Silani menghentikan tariannya dan menghampiri ayahnya.

“Silani, dengar baik-baik. Pangeran Tao Seng ini seorang putera mahkota calon kaisar, dan beliau ini meminang engkau untuk menjadi isterinya. Bersediakah engkau menikah dengannya?”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan mulutnya tersenyum malu-malu. “Aihh, Ayah...! Bagaimana Ayah sajalah, aku hanya menurut saja!” katanya sambil berlari dan duduk di belakang ayahnya.

Khalaban tertawa bergelak, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar para penari menghentikan tarian mereka dan juga musik dihentikan. Dan setelah suasana menjadi tenang, Khalaban lalu berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat bahwa dia hendak mengumumkan sesuatu dan supaya semua orang mendengarkan dengan tenang.

“Saudaraku semua, aku hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting sekali. Pada malam hari ini, Pangeran Mahkota Tao Seng dari kerajaan Ceng telah meminang puteriku Silani dan kami pun sudah menerima pinangan itu. Mulai saat ini mereka telah bertunangan, sedangkan pesta pernikahan akan dilaksanakan secepat mungkin dalam beberapa hari ini!”

Rakyat Khitan yang berkumpul dalam pesta itu serentak bersorak dan bertepuk tangan menyambut pengumuman itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan berseru dengan suara mengguntur. “Kami protes...!”

Melihat bahwa pemuda itu adalah Kalucin, Khalaban mengerutkan alis. Dengan marah dia membentak, “Kalucin apa maksudmu dengan protes itu?” katanya mengancam.

“Maaf, paman Khalaban. Sudah menjadi adat kebiasaan bangsa kita semenjak turun menurun bahwa seorang calon suami harus mampu melindungi calon isterinya, maka setiap calon suami harus menunjukkan kegagahannya. Apa lagi sekarang yang dipinang adalah puteri paman Khalaban sendiri sebagai ketua suku kita. Jika Pangeran Tao Seng meminang Silani, dia harus membuktikan bahwa dia cukup berharga untuk menjadi pelindung Silani dan mampu mengalahkan aku dalam kegagahan! Pangeran Tao Seng, aku menantangmu untuk mengadu kekuatan dan kepandaian membela diri!”

“Kalucin! Berani engkau bersikap seperti ini?!” bentak Khalaban.

Akan tetapi Tao Seng segera bangkit sambil tersenyum, lalu berkata kepada Khalaban. “Paman, ucapannya tadi memang benar sekali. Baiklah, aku akan melayaninya, harap Paman menjadi saksi saja.”

Lalu Tao Seng melangkah lebar menuju ke tengah ruangan di mana tadi dipergunakan untuk menari. Di situ memang dibangun sebuah panggung yang agak tinggi sehingga tadi semua orang dapat melihat para penari. Tao Seng menggapai kepada Kalucin.

“Namamu Kalucin? Ke sinilah, aku memenuhi tantanganmu!”

Semua orang terheran-heran dan menjadi tegang. Mereka semua mengenal Kalucin sebagai seorang pemuda yang amat kuat dan pandai berkelahi, terutama sekali pandai dalam ilmu gulat. Kalau hanya dikeroyok tiga empat orang saja, sukarlah mengalahkan pemuda ini. Dan pangeran yang kelihatan halus itu kini menerima tantangan Kalucin!

Kalucin sendiri merasa kagum saat pangeran itu menerima tantangannya. Sikap ini saja sudah mendatangkan kekaguman dan membuat dia menghormatinya. Dia melompat ke atas panggung dan melangkah menghampiri. Setelah berhadapan Kalucin lalu memberi hormat.

“Maafkan sikap saya ini, Pangeran. Oleh karena ini merupakan tradisi lama kami, maka saya berani menantang Paduka.”

“Sudahlah, Kalucin. Katakan saja bagaimana kita hendak mengadu kepandaian, dengan senjata atau dengan tangan kosong?”

“Ini hanya sekedar mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih kuat, bukan saling membunuh, Pangeran. Maka cukup dengan tangan kosong saja. Dan siapa pun yang terbanting roboh, dia dinyatakan kalah. Bagaimana, apakah Paduka setuju?”

“Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa orang Khitan ahli gulat, maka engkau mengajak aku untuk saling banting. Bagaimana kalau engkau roboh bukan karena terbanting namun terkena pukulan atau tendangan? Apakah itu juga dianggap kalah?” Tao Seng bertanya sambil terus tersenyum.

“Tentu saja. Roboh terbanting atau karena terkena tendangan dan pukulan sama saja, tetap dianggap kalah!” jawab Kalucin tegas

“Baik kalau begitu, nah, aku sudah siap. Engkau boleh mulai.”

Menghadapi pangeran yang sikapnya begini tabah, sudah ada rasa hormat dan suka di hati Kalucin. Sikap orang ini begitu gagah. Kalau tenaganya kuat dan pandai berkelahi, memang dia pantas untuk menjadi suami Silani, pikirnya.

“Pangeran, Paduka adalah seorang tamu, sebaiknya kalau Paduka menyerang terlebih dahulu,” kata Kalucin dengan sikap merendah.

Tao Seng juga suka kepada pemuda ini. Tahulah dia bahwa pemuda ini mencinta Silani maka berani bersikap seperti itu. Akan tetapi pada dasarnya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik budi.

“Baiklah, aku akan menyerangmu. Lihat tendangan!”

Tao Seng melakukan tendangan dengan kaki kiri. Akan tetapi dengan sigapnya Kalucin mengelak ke kanan, kemudian tangannya meluncur cepat hendak menangkap kaki yang menendang itu. Sekali saja kaki itu tertangkap tentu dengan mudah Pangeran Tao Seng akan dapat dijatuhkan.

Akan tetapi Tao Seng adalah seorang ahli silat yang lihai. Dia maklum akan maksud lawan, maka dia sudah cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kini tangannya yang mengirim tamparan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan.

Dan Kalucin segera terdesak hebat. Pemuda ini harus menangkis dan mengelak ke sana sini kalau tidak mau terkena tamparan kedua tangan pangeran itu. Dia membalas dengan usaha menangkap tangan itu, dan kalau ada kesempatan, dia menubruk untuk menyergap tubuh sang pangeran, akan tetapi gerakan Tao Seng terlalu lincah baginya. Sebaliknya, beberapa kali tamparan pangeran itu mengenai sasaran. Akan tetapi tubuh Kalucin memang kuat bukan main dan kebal sehingga tamparan-tamparan itu seperti tidak terasa olehnya.

Pertandingan itu sudah berjalan hampir seperempat jam. Sekarang Pangeran Tao Seng menganggap sudah cukup lama untuk memberi muka kepada lawannya. Dia tidak ingin cepat menjatuhkan lawan. Dia ingin mengawini Silani, akan tetapi tak ingin bermusuhan dengan Kalucin. Setelah menganggap cukup, dia membiarkan tangan kirinya ditangkap Kalucin!

Kalucin girang sekali dan semua orang memandang tegang karena maklum bahwa jika Kalucin sudah dapat menangkap tangan lawan, maka di saat lain tentu lawan itu akan terbanting keras ke atas lantai! Kalucin sudah membalik dan memutar tubuhnya untuk membuat tangan Tao Seng terpuntir dan dibanting.

Namun tiba-tiba jari tangan Tao Seng bergerak menyentuh pundaknya dengan totokan dan seketika juga Kalucin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Dan pada saat itu, Tao Seng memutar tubuhnya dan kakinya menyabet kedua kaki Kalucin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kalucin lalu ambruk dan jatuh ke atas lantai dalam keadaan telentang!

Tao Seng membangunkan Kalucin sambil membebaskan totokannya. Setelah kembali berdiri, Kalucin segera membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat dan mengakui kekalahannya di bawah sorak sorai dan tepuk tangan para penonton.

Yang agak menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani juga bertepuk tangan penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani sudah jatuh cinta kepada Tao Seng dan hal ini mengobati hatinya. Jika Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu, mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui kekalahannya. Ahh, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur hatinya.

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekali pun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.

Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa buruk pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan, karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini akan membebaskan kita dari belenggu duka
.

Beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan selama sehari semalam. Akan tetapi yang paling merasa berberbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada kebahagiaan melebihi dua orang yang paling mencinta dipertemukan dalam sebuah pernikahan.

Pangeran Tao Seng adalah seorang pemuda yang amat berpengalaman dalam merayu wanita. Maka setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan pengantin baru. Mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Ke mana pun mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.

Silani bukan hanya berbahagia karena mempunyai suami yang tampan gagah dan amat mencintanya, akan tetapi juga berbahagia karena dia membayangkan betapa kelak dia menjadi seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?

Sebetulnya tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, tapi sama sekali bukan putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena baru saja dia menjadi kaisar.

Juga andaikan kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah putera seorang selir dan berketurunan Khitan pula. Tao Seng mengaku demikian hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal, andai kata dia tidak berbohong sekali pun tentu dia akan diterima pula karena mempunyai mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.

Selama tiga bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang kala mereka ditemani oleh Kalucin yang dianggap sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri lagi. Dia menganggap Silani sebagai adiknya sendiri dan dia ikut merasa gembira betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.

Setelah tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut suami tercinta.

“Jangan sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tak baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, apa bila aku sudah melapor kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”

Oleh karena alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.

“Kalucin, selama aku pergi, harap kau jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.”

“Jangan khawatir, Paduka,” jawab Kalucin dengan tulus.

“Akan tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin terlebih dulu engkau memenuhi janjimu untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera luas!” Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.

Mereka bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin segera berangkat ke pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta supaya dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang mengandung dua bulan.

Setelah tiba di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani. Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi samudera yang amat luas itu.

Mereka telah cukup jauh meninggalkan pantai. Selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya. Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tiada badai, angin pun biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?

Untuk menjaga agar supaya perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan mengemudikan perahu sedapat mungkin. Kemudian terdengar suara menggelegar dan mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap panas.

Air bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba, di depan mata mereka, kurang lebih satu mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang lahir begitu saja dari permukaan laut. Mungkin terjadi di letusan gunung berapi di bawah laut, mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung yang akhirnya melahirkan sebuah pulau!

Gelombang lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu segera memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang layar agar tidak terlontar keluar.

Tao Seng mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu mengikat pinggangnya sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih tetap memegang kemudi. Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke atas. Seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu mereka sudah terlempar keluar dari perahu.

Mereka merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah. Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Suara menggelegar bagaikan letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.

Akhirnya gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan pun tidak terdengar lagi. Gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau itu baru lahir itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman.

Tukang perahu melepas ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao Seng melepaskan pula ikatan di pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.

“Ya Tuhan, pulau itu...!” Tukang perahu tiba-tiba berseru.

Tao Seng menoleh. Ia melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak memandang pulau itu. Mulutnya berkemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.

“Paman, kenapakah dengan pulau itu?”

“Itu... seperti Pulau Es.... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar, hanya ini tidak ditimbuni es!”

Tao Seng sudah pernah mendengar akan dongeng mengenai Pulau Es, bahkan sudah mendengar pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan menyuruh tukang perahu agar cepat mengembangkan layar dan kembali ke pantai.

Baru setelah perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi, Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu, didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.

“Kalau melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada, Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang yang tajam, juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas, dan ada kabar desas-desus mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau larangan. Sudahlah, tak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.

Pangeran Tao Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya, diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.

Setelah pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap sebatang pedang bengkok yang berbalut emas. Pedang bengkok ini adalah pemberian suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang rampasan bangsa Kazak pada waktu pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang membuat kerusuhan di Barat Laut.

Malam itu, suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil berkata kepadanya.

“Isteriku, pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han. Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”

Demikianlah pesan suaminya, maka Silani tidak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya. Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan suaminya…..

********************

Kembalinya Pangeran Tao Seng disambut dengan sangat gembira oleh keluarga istana. Pangeran itu sudah merantau selama setahun, maka ketika dia kembali dalam keadaan sehat, bahkan nampak lebih dewasa dalam penampilan, keluarganya, terutama ibunya tentu saja menjadi gembira dan bangga sekali.

Dan Pangeran Tao Seng sendiri merasa semakin yakin bahwa dia tentu akan diangkat menjadi putera mahkota oleh Ayahnya, Kaisar Cia Cing. Meski dia seorang putera selir, akan tetapi di antara putera kaisar dialah yang merupakan putera sulung, sedangkan yang lebih tua darinya semua adalah puteri. Dan dia pun mendengar dari ibunya bahwa ayahnya memang sudah mengambil keputusan untuk mengangkat seorang putera mahkota dalam waktu dekat ini.

Kerajaan Ceng-tiauw kini mengalami penurunan. Banyak pemberontak yang tadinya sudah ditundukkan oleh Kaisar Kian Liong, sekarang mulai bangkit lagi. Kerajaan Ceng tidaklah begitu jaya seperti di jaman kakeknya, yaitu Kaisar Kang Hsi (1663-1722).

Walau pun selama pemerintahannya, Kaisar Kiang Liong (1736-1796) selalu sibuk untuk memadamkan pemberontakan, namun dia sudah berhasil dengan baik dan kekuasaan kerajaan Ceng bersinar sampai jauh ke barat dan utara. Tetapi semenjak pemerintahan dipegang oleh Kaisar Cia Cing, pemberontakan banyak bermunculan, terutama sekali pemberontakan di dalam negeri.

Para pemberontak yang paling gigih antara lain ialah Pek-lian-pai (Partai Teratai Putih), Pat-kwa-pai (Partai Segi Delapan) dan masih banyak lagi. Thian-li-pang yang terkenal pula sebagai partai atau perkumpulan para pendekar perkasa mulai bergerak karena para pendekar ini pun merasa tidak senang dengan pemerintahan Ceng yang mereka anggap sebagai pemerintahan bangsa Mancu yang menjajah negeri dan bangsanya.

Dalam keadaan seperti itu, Kaisar Cia Cing lalu mulai memilih seorang putera mahkota dengan maksud agar jangan terjadi perebutan di dalam istana antara keluarga sendiri. Dan dia memilih pangeran urutan ke tiga, yaitu putera permaisuri. Pangeran Tao Kuang, sebagai putera mahkota.

Begitu hal ini diumumkan, para pangeran lain segera menerimanya, kecuali dua orang pangeran. Yang pertama adalah Pangeran Tao Seng sebagai putera pertama dan yang kedua adalah Pangeran Tao San sebagai putera ke dua. Kedua pangeran ini kemudian mengadakan pertemuan dan mereka memaki-maki ayah mereka sendiri yang dikatakan tidak adil dan pilih kasih.

“Si Tao Kuang itu bisa apakah? Mentang-mentang dia putera permaisuri, dia diangkat menjadi putera mahkota. Akan tetapi ibunya juga seorang wanita biasa, dari rakyat jelata, hanya putera seorang panglima saja. Dia lebih muda dariku, sepatutnya sebagai putera sulung akulah yang diangkat menjadi putera mahkota!” Tao Seng memaki-maki dengan marah ketika dia bersama Tao San mengadakan pertemuan di kamar rahasia.

“Benar tidak adil! Dia melangkahi engkau dan juga aku, Toako!” kata Tao San dengan nada suara penasaran. “Bagaimana pun kita harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini!”

“San-te, apa yang mampu kita lakukan untuk menentang keputusan ayahanda Kaisar? Menentang kehendak beliau sama saja dengan pemberontakan yang akan membuat kita celaka. Satu-satunya jalan hanyalah menyingkirkan Tao Kuang dari muka bumi, akan tetapi hal ini jangan sampai ada yang menduga bahwa kita yang melakukannya.”

“Pikiran yang bagus!” kata Tao San girang. “Apa rencanamu, Toako?”

Pada saat itu muncul seorang thaikam (lelaki kebiri) utusan kaisar yang mempersilakan mereka berdua menghadap kaisar yang memanggil semua puteranya. Ketika dua orang pangeran itu mendengar perintah ini, tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka baru saja membicarakan tentang rencana mereka menyingkirkan Pangeran Tao Kuang dan tahu-tahu kaisar memanggil mereka. Akan tetapi dengan wajah tenang saja mereka mengikuti thaikam itu pergi ke dalam dan menghadap kaisar. Ternyata para pangeran lain juga sudah berkumpul di situ, termasuk Pangeran Tao Kuang.

“Aku mengumpulkan kalian semua untuk memberi penjelasan mengenai diangkatnya Pangeran Tao Kuang menjadi putera mahkota,” Kaisar mulai berkata.

Semua pangeran mendengarkan sambil menundukkan muka dengan sikap hormat dan taat. Mereka itu seolah mengenakan sebuah topeng menutupi muka masing-masing, topeng ketaatan yang menyembunyikan apa sebenarnya yang menjadi isi hati mereka. Terutama sekali Tao Seng dan Tao San yang saling lirik.

“Aku mengangkat Tao Kuang dengan perhitungan masak. Kulihat para pangeran lain tidak memiliki kebijaksanaan dan bakat untuk kelak menjadi kaisar. Pangeran Tao Seng biar pun sulung, akan tetapi dia suka bertualang dan mengejar kesenangan, maka tidak dapat diharapkan dia menjadi kaisar yang baik. Juga Pangeran Tao San agak pemalas, padahal mengurus negara dibutuhkan orang yang amat rajin. Sebaliknya Pangeran Tao Kuang rajin dan sejak kecil dia suka memperhatikan urusan pemerintahan, maka dialah yang cocok untuk kelak menggantikan aku menjadi kaisar. Nah, kalian semua sudah mengerti?”

Seperti sekelompok burung para, pangeran itu mengangguk dan menyatakan mengerti.

“Dan kuharap tidak akan ada yang merasa iri hati. Kelak kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian.”

Pertemuan itu dibubarkan. Tao Seng bersama Tao San dengan sengaja mendampingi Pangeran Tao Kuang ketika keluar dari ruangan itu.

“Ehh, Kuang-te, kami harap setelah menjadi putera mahkota engkau tidak mengubah sikapmu terhadap kami,” kata Tao Seng sambil tersenyum.

“Benar! Jangan-jangan Kuang-te akan memandang remeh kepada kami!” kata Tao San.

“Aihh, mengapa kalian dapat berkata demikian?” kata Pangeran Tao Kuang. “Kita tetap bersaudara dan selamanya aku tidak akan mengubah sikap. Bagiku sama saja menjadi putera mahkota atau tidak. Semua ini hanya mentaati kehendak ayahanda Kaisar.”

“Bagus, kami pun hanya bercanda. Ehh, Kuang-te, kami bermaksud untuk pergi berburu ke hutan buatan di luar kota raja. Engkau tentu suka ikut dengan kami seperti biasa, bukan?”

“Tentu saja!” kata Pangeran Tao Kuang gembira. Dia memang suka sekali pergi berburu binatang-binatang di hutan buatan di mana memang dilepas banyak binatang buruan. “Kapan kita berangkat?”

“Aku belum membuat persiapan. Nanti tiga hari lagi kita berangkat. Menurut hitungan, tiga hari lagi cuacanya baik, tidak turun hujan yang akan mengganggu kita,” kata Tao Seng.

Mereka berpisah dan Tao Seng mengajak Tao San berbicara di kamar rahasia. Mereka mengatur siasat untuk menyingkirkan Pangeran Tao Kuang atau membunuhnya dalam perburuan itu. Akan diusahakan supaya pembunuhan itu terjadi secara wajar, dilakukan oleh para pemberontak yang sengaja menyerang mereka di dalam hutan itu.

Mereka akan mempersiapkan satu regu pasukan, tidak terlalu banyak, cukup dua belas orang saja dari pasukan pengawal kepercayaan mereka.....

Kekuasaan didambakan setiap orang, baik di dalam rumah tangga, di antara saudara, di antara kawan, di dalam masyarakat, sampai dalam ketatanegaraan. Setiap orang ingin berkuasa karena tahu benar bahwa di dalam kekuasaan terletak segala keinginan yang mungkin terpenuhi. Maka tidaklah mengherankan jika dunia ini terus bergolak. Manusia terus menerus menciptakan pertentangan, mulai dari permusuhan hingga perang, hanya untuk merebutkan kemenangan yang berarti kekuasaan!

Saling jegal di antara pejabat, pemberontakan-pemberontakan terhadap yang berkuasa, semula dengan dalih mengakhiri kekuasaan yang semena-mena, tetapi berakhir dengan timbulnya kekuasaan baru yang seperti biasanya selalu ingin memaksakan kehendak. Siapa menang dialah berkuasa, dan siapa berkuasa dia selalu benar dan kehendaknya harus ditaati! Ini sudah menjadi watak manusia, maka herankah kita bila melihat perang lalu terjadi di mana-mana? Perang antar bangsa, antar golongan, antar kelompok, antar negara
.

Tiga hari kemudian, saat masih pagi-pagi benar, berangkatlah tiga orang pangeran yang hendak pergi berburu itu. Selosin pasukan pengawal yang berpakaian indah mengawal mereka. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi besar dan taat, dan di sepanjang perjalanan menuju keluar pintu gerbang mereka menjadi tontonan yang menarik. Semua orang merasa kagum kepada tiga orang pangeran ini.

Mereka bertiga memang amat menarik untuk ditonton. Bukan saja karena kuda mereka merupakan kuda pilihan, atau pakaian mereka yang sangat mentereng, akan tetapi juga karena mereka adalah tiga orang pangeran muda yang berwajah tampan sekali.

Juga mereka membawa perlengkapan yang tidak biasa mereka bawa. Sebatang busur besar dikalungkan di pundak, dan di punggung mereka terdapat belasan batang anak panah dengan bulu beraneka warna. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang panjang dan terselip pula beberapa batang belati pendek. Pokoknya mereka membawa perlengkapan yang serba cukup. Perlengkapan lain dibawa oleh para pengawal.

Pangeran Tao Seng yang kini berusia dua puluh enam tahun itu jelas merupakan yang paling tampan dan gagah di antara mereka bertiga. Kuncirnya yang hitam lebat itu dikalungkan di lehernya, ujungnya terikat sutera kuning dan rambut di atas kepala disisir rapi dan halus licin.

Dahinya lebar dan alis matanya tebal. Kedua matanya yang seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar. Hidungnya mancung dan bibirnya terus tersenyum-senyum mengejek. Dandanannya juga mewah sekali. Apa lagi duduk di atas kuda yang tinggi besar itu, dia nampak gagah bukan main.

Pangeran Tao San, putera kedua dari Kaisar Cia Cing, juga nampak tampan dan gagah. Pangeran ini agak gemuk, dengan wajah yang bulat dan berkilauan. Bentuk tubuhnya agak pendek sehingga dia kelihatan semakin gemuk. Hidungnya tidak begitu mancung dan matanya sipit sekali. Akan tetapi karena pakaiannya juga mentereng, dia kelihatan tampan juga. Pangeran ini, seperti yang dinilai oleh ayahnya sendiri, memang pemalas dan suka pelisir, akan tetapi dia sangat berambisi dan ingin berkuasa.

Orang ke tiga adalah Pangeran Tao Kuang. Usianya dua puluh tiga tahun, setahun lebih muda dari Pangeran Tao San. Dibandingkan dua orang kakaknya, dandanan Pangeran Tao Kuang tidaklah demikian mewah, biar pun tentu saja bagi orang awam pakaiannya itu sudah sangat indah. Wajahnya tampan dan anggun. Sepasang matanya cerdik dan biar pun dia lebih sederhana, namun pakaiannya rapi dan kuncirnya juga dijalin dengan rapi dan bagus.

Di sepanjang jalan kota raja, mereka bertiga menjadi perhatian semua orang, terutama para wanita muda yang terpesona melihat ketiga orang pangeran ini menunggang kuda sambil melempar pandang dan tersenyum ke kanan kiri untuk membalas penghormatan orang-orang yang membungkuk dengan hormat.

Setelah keluar dari pintu gerbang sebelah utara, rombongan itu baru mempercepat lari kuda mereka. Tiga orang pangeran itu berada di depan, diiringkan oleh dua belas orang pasukan pengawal yang bersenjata lengkap.

Akhirnya mereka tiba di hutan buatan itu. Mereka segera memasuki hutan untuk terus masuk ke bagian tengah hutan yang lebat.

“Kenapa terus masuk? Lihat itu, di sana ada serombongan kijang, Toako!” berkata Tao Kuang dengan heran. “Bukankah di situ juga terdapat banyak binatang buruan? Kenapa harus masuk ke dalam hutan yang lebat?”

Tiba-tiba sikap kedua orang pangeran itu berubah. Tao Seng mencabut pedangnya dan berkata, “Bocah sombong, engkaulah yang menjadi buruan kami!”

Pangeran Tao San juga mencabut pedangnya. “Bocah tak tahu diri, engkau akan mati di tempat ini!”

Tentu saja Pangeran Tao Kuang terbelalak memandang kedua orang kakaknya itu. “Eh, Toako, San-ko, harap jangan main-main!”

“Siapa main-main? Kami memang hendak membunuhmu!”

Toa Kuang baru tahu bahwa mereka itu bersungguh-sungguh. Ia menoleh kepada para pengawal untuk minta perlindungan, akan tetapi para pengawal itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Segera dia menyadari bahwa memang semua sudah diatur oleh kedua orang kakaknya untuk membunuhnya dan para pengawal itu tentulah orang-orang kepercayaan mereka. Begitu mendapat kenyataan ini, dia segera memutar dan membedal kudanya melompat ke depan untuk melarikan diri!

“Ehh, dia lari! Kejar!” Teriak Tao Seng.

“Kejar, jangan sampai lolos!” teriak pula Tao San.

Dua pangeran itu, juga selosin orang pengawal, segera membedal kuda masing-masing dan cepat melakukan pengejaran. Pangeran Tao Kuang yang maklum bahwa nyawanya sedang terancam maut, lalu membalapkan kudanya tanpa mempedulikan arah sehingga kudanya menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar. Para pengejarnya semakin dekat dengannya dan dalam kegugupannya, ketika kudanya berlari menyusup semak berduri, dia pun tersangkut dan tak dapat dicegah lagi dia pun terlempar jatuh dari atas kudanya!

Pangeran Tao Kuang yang jatuh itu merangkak berdiri dan mencabut pedangnya untuk membela diri. Akan tetapi Pangeran Tao Seng yang berkepandaian tinggi sudah tiba di situ, melompat turun dari atas kudanya sambil tertawa mengejek, kemudian mengayun pedangnya ke arah leher adiknya.

“Tranggg...!”

Pangeran Tao Kuang menangkis dan pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Bahkan saking kerasnya pertemuan kedua pedang tadi dia hampir jatuh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini langsung dipergunakan oleh Pangeran Tao San untuk mengayun pedang membacok.

“Trakkk!”

Tiba-tiba pedang yang menuju ke leher Pangeran Tao Kuang itu terhenti di tengah jalan. Ternyata pedang itu telah tertangkis sebatang kayu ranting yang dipegang oleh seorang gadis yang entah dari mana tahu-tahu muncul di situ. Di samping gadis itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang tongkat bambu.

“Ehhh, apa kesalahan Kongcu ini maka dia akan dibunuh?” tanya kakek itu, sementara Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang berada di tangan gadis yang bertubuh ramping dan berwajah ayu.

Tao Seng membentak. “Orang tua, jangan kau mencampuri urusan kami. Kami adalah pangeran-pangeran dari istana! Pergilah atau kalian berdua akan kami bunuh pula!”

“Hemmm, mana ada pangeran bersikap seperti ini?” Gadis itu membentak. “Sikap kalian bukan seperti pangeran melainkan seperti orang-orang jahat!”

Tao Seng menjadi marah bukan main. “Bunuh mereka bertiga!” teriaknya kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tongkat itu.

“Singgggg...!”

Pedang di tangan Tao Seng menyambar dahsyat dan menusuk ke arah dada kakek itu. Akan tetapi dengan tenang sekali kakek itu menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Tranggggg...!”

Pedang itu hampir saja terpental dari tangan Tao Seng saat ditangkis tongkat itu. Tentu saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main. Dia memperkuat serangannya, namun serangannya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main itu.

Melihat ini, Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara membabi buta. Kakek itu dikeroyok dua, akan tetapi dia masih tenang saja dan semua serangan kedua orang pangeran itu dapat selalu dihindarkan.

Sementara itu, gadis berpakaian serba hijau itu kini melindungi Pangeran Tao Kuang dari serbuan para pengawal. Pangeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar dan gadis itu berdiri di depan pohon, menghalau semua penyerang.

Tidak seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas. Setiap pengawal yang berani mendekat tentu ditotoknya dengan tongkatnya. Semua serangan pedang dapat dihalau dengan putaran ranting itu dan hebatnya, tiap kali rantingnya bergerak menotok, seorang pengawal tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali!

Tao Kuang juga melihat betapa hebatnya gadis itu menghajar para pengawal. Ketika dia melihat dua orang kakaknya mengeroyok kakek yang memegang tongkat, dia berteriak.

“Locianpwe, harap jangan membunuh mereka berdua! Mereka adalah kakak-kakakku sendiri!”

Tentu saja kakek itu menjadi terkejut dan heran bukan main. Mengapa ada dua orang kakak hendak membunuh adiknya? Akan tetapi timbul rasa kagum dan suka di dalam hatinya terhadap Tao Kuang. Sudah akan dibunuh, tapi kini malah minta agar dia tidak membunuh dua orang kakak pemuda itu!

Dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dua orang pangeran yang dikeroyoknya itu pun roboh tertotok. Pedang mereka terlepas dan terpental dan berdua juga tidak dapat bergerak kembali!

Setelah merobohkan dua orang lawannya, kakek itu lalu membantu gadis berbaju hijau yang masih dikeroyok, dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan selosin pengawal itu. Mereka semua roboh tertotok dan tak mampu lagi menggerakkan tubuh. Ternyata ayah dan anak ini adalah ahli-ahli totok yang amat lihai, menggunakan tongkat mereka.

Setelah mereka semua dibuat tidak berdaya, Tao Kuang cepat memberi hormat sambil mengangkat kedua tangan di depan dada kepada mereka berdua dan berkata, “Terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda berdua). Kalau tidak ada Ji-wi, tentu sekarang aku sudah menjadi mayat.”

“Ahh, Kongcu. Tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban kami ayah dan anak untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Akan tetapi mengapa Kongcu hendak dibunuh oleh mereka ini? Siapakah Kongcu?” Ia bertanya dengan ragu karena sekarang ia melihat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang amat mewah, tidak seperti seorang kongcu (tuan muda) biasa, melainkan bagaikan seorang pemuda bangsawan tinggi.

“Aku adalah Pangeran Tao Kuang, putera mahkota, Locianpwe.”

Mendengar ini, kakek itu dan puterinya segera menjatuhkan diri berlutut.

“Ahhh, mohon maaf bahwa hamba berdua tidak mengetahui siapa Paduka sehingga tadi bersikap kurang hormat.”

“Ah, Locianpwe, harap jangan begitu. Kalian sudah menolongku, bangkitlah dan jangan melakukan banyak peradatan di tempat seperti ini.”

“Dan kedua orang muda itu...?” si kakek bertanya sambil memandang kepada Tao Seng dan Tao San.

“Mereka adalah kedua orang kakakku dan selosin orang ini adalah anak buah mereka. Sekarang harap Locianpwe dan Nona suka membantuku, membawa mereka ke kota raja. Biarlah ayahanda Kaisar sendiri yang mengadili mereka.”

Tao Seng dan Tao San menjadi ketakutan. Tao Seng segera berkata dengan suara memohon tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya.

“Adikku, Kuang-te, kami hanya main-main. Harap maafkan kami dan kami berjanji tidak akan melakukan lagi. Bebaskanlah kami.”

“Hemmm, aku tahu kenapa engkau dan San-ko hendak membunuhku, Seng-ko. Kalian iri hati karena aku diangkat sebagai putera mahkota maka kalian hendak membunuhku. Aku tidak dapat membebaskanmu, biarlah ayahanda Kaisar yang memutuskan.”

Karena kedua orang pangeran ini masih terus membujuk dan merayu, gadis itu lantas menggerakkan rantingnya ke arah leher mereka sehingga kedua orang pangeran itu tak mampu mengeluarkan suara lagi. Kemudian, dengan dibantu oleh anaknya, kakek itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka dengan tali yang memang telah disiapkan oleh para pengawal untuk mengikat binatang buruan. Kini semua orang terikat sudah di atas kuda masing-masing.

Setelah pekerjaan itu selesai, Pangeran Tao Kuang merasa girang sekali.

“Locianpwe, siapakah nama Locianpwe dan siapa Nona ini? Aku harus mengenal para penolongku.”

“Hamba bernama Liang Cun, dan ini adalah puteri hamba bernama Liang Siok Cu. Kami tinggal di satu dusun yang berada di kaki Pegunungan Thian-san dan sekarang sedang dalam perjalanan merantau. Kebetulan kami berada di sini dan melihat peristiwa tadi.”

“Aku bersyukur sekali, Paman Liang Cun. Sebaiknya kusebut paman saja padamu, dan engkau Nona Liang, sungguh engkau seorang gadis yang hebat, memiliki ilmu silat yang demikian tinggi.”

“Aihh, Paduka terlalu memuji, Pangeran,” kata Siok Cu tersipu.

“Sekarang harap Paman dan Nona suka mengawalku membawa semua tawanan ini ke istana.”

“Baik, Pangeran. Kami siap melakukannya.”

Demikianlah, dua belas orang tawanan yang terikat di atas kuda itu lalu digiring keluar dari hutan, diikuti oleh Pangeran Tao Kuang yang menunggang kuda dan diikuti pula oleh ayah dan anak itu yang berjalan kaki.

Tentu saja mereka menjadi tontonan orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika mereka berangkat tadi, saat menjadi tontonan yang mengagumkan, kini menjadi tontonan yang menggegerkan dan membingungkan.

Orang-orang bertanya-tanya, mengapa kedua orang pangeran dan dua belas pengawal itu diikat di atas kuda, akan tetapi tidak ada seorang pun dapat menjawabnya. Dan tak seorang pun berani bertanya kepada Pangeran Tao Kuang atau kepada Liang Cun dan puterinya yang mengawal di belakang para tawanan sambil menggiring rombongan kuda itu.

Para pengawal istana juga gempar melihat Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San diikat di atas kuda. Akan tetapi ketika mereka menghampiri dan bertanya-tanya, mereka dibentak oleh Pangeran Tao Kuang.

“Cepat laporkan kepada ayahanda Kaisar bahwa aku mohon menghadap karena ada urusan yang penting sekali!”

Para pengawal dalam dan para thaikam juga menjadi gempar. Segera Kaisar Cia Cing mendengar akan permohonan putera mahkota. Dia segera menyatakan akan menerima puteranya menghadap. Saat melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan seorang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.

“Tao Kuang, apa artinya semua ini?!” seru kaisar sambil mengerutkan alisnya.

Dengan tenang dan panjang lebar, Pangeran Tao Kuang lalu bercerita tentang semua peristiwa yang terjadi, betapa dia hampir saja dibunuh oleh Tao Seng dan Tao San bersama dua belas orang pengawal mereka, dan betapa dia diselamatkan oleh Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu.

Mendengar laporan ini wajah Kaisar Cia Cing menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Hampir dia tidak dapat mempercayai cerita putera mahkota itu dan dia menghardik dua belas orang pengawal itu.

“Benarkah kalian para pengawal ini hendak membunuh putera mahkota Pangeran Tao Kuang? Kenapa kalian melakukan hal itu?”

Dengan suara serempak dan berlutut ketakutan dua belas orang itu menjawab, “Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Hamba semua hanyalah menjalankan perintah dari kedua pangeran...!”

Kini hati kaisar itu tidak ragu lagi bahwa dua orang puteranya memang mempunyai maksud jahat terhadap adik mereka sendiri.

“Tangkap kedua belas orang pengawal ini dan penggal kepala mereka. Tangkap pula keluarga mereka dan jebloskan ke dalam penjara!” perintahnya dan para pengawalnya segera turun tangan melaksanakan perintah, menggusur kedua belas orang pengawal para pangeran itu keluar dari persidangan.

Kaisar Cia Cing memandang kepada dua orang puteranya dan membentak, “Nah, apa yang hendak kalian katakan sekarang? Kalian telah begitu tega untuk membunuh adik sendiri. Tentu kalian lakukan itu karena iri hati, karena dia kami angkat menjadi putera mahkota, bukan?”

“Ampun beribu ampun, Paduka Ayahanda. Hamba berdua merasa bersalah dan hanya dapat mengharapkan pengampunan,” kata mereka berdua sambil membentur-benturkan dahi ke lantai. Bahkan Pangeran Tao Seng menangis dengan sedihnya.

“Hemmm, bagaimana mungkin kami dapat mengampuni anak-anak yang murtad dan jahat macam kalian?”

Pada saat itu, Pangeran Tao Kuang yang sejak tadi menyaksikan semua itu, berlutut pula. “Mohon Paduka mengampuni mereka, Ayah. Mereka melakukan karena terdorong nafsu iri hati. Mereka tentu akan bertobat dan tidak akan mengulang perbuatan mereka lagi.”

Melihat sikap ini, Liang Cun dan puterinya merasa kagum sekali. Benar-benar seorang pangeran yang berbudi mulia, pikir mereka.

“Apa? Engkau nyaris dibunuh dan kini malah memintakan ampun untuk mereka?” tanya kaisar dengan heran dan penasaran.

“Ayah, bagaimana pun juga, mereka adalah kakak-kakak hamba sendiri. Bagaimana hamba tega melihat mereka dihukum mati?” kata Pangeran Tao Kuang.

“Nah, dengarkah kalian berdua? Pangeran Tao Kuang malah memintakan ampun untuk kalian! Baiklah, melihat permohonan Tao Kuang, kalian tidak dihukum mati melainkan dihukum buang ke Sin-kiang selama dua puluh tahun!”

Dua orang pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk lagi untuk mengubah keputusan itu. Segera petugas diteriaki dan mereka datang untuk menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan.

Demikianlah peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang pangeran itu. Seperti biasa, kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar, maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya.

Sementara itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang kini menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi dirinya sendiri kalau-kalau terjadi mala petaka seperti yang pernah dialaminya itu.

Liang Cun sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja. Dia adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai-san, dan Liang Siok Cu sudah mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka dalam menotok jalan darah lawan.

Setelah bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh semenjak ia ditolong gadis itu dari tangan para calon pembunuhnya. Dan ternyata perasaan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang.

Demikianlah, Liang Siok Cu lalu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu. Tentu saja kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan selirnya sendiri…..

********************

Waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walau pun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.

Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani.

Akan tetapi, suaminya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Dia merasa disia-siakan.

Juga Khalaban, kepala suku Khitan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Jika Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.

Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.

Khalaban yang tak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, kemudian memanggil seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.

Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncullah seorang kakek yang pandai dan sakti. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan kemudian merantau sampai ke daerah itu.

Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini adalah seorang yang sakti, Khalaban lalu menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan kemudian mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Ia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala keperluannya dicukupi.

Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja. Dia hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.

Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia menjadi terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.

Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat sehingga dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri mau pun ilmu gulat.

Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil puteranya itu ke dalam kamarnya.

“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”

“Ya, mengapa, Ibu? Mengapa Ibu seolah-olah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hidup?”

“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau sudah boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”

“Ahhh...! Aku... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.

Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!

“Benar, anakku. Engkau memang keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Sudah selama lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, dan mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya.”

Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu dan Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah bukan main. Gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Saat ia mencabut pedang itu, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.

Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga?

Akan tetapi, di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyong mereka ke istana?

Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya masih tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!

Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, mendadak Kalucin muncul dan berkata, “Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”

Keng Han segera meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.

“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah pula dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.

“Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”

Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak. “Ehh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”

“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”

“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang amat menyayangi gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.

“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”

Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tak berani membantah lagi. Terpaksa dia membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian serta sekantung emas pemberian kakeknya untuk bekal di jalan. Biar pun Gosang Lama menolaknya, namun Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga.

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin hingga ke luar dari daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke arah selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.

Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya ketiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.

Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah, “Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”

Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama?”

“Ahhh, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.

“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.

Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju. “Mengapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.

Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata, “Hemmm, engkau muridnya? Jika sekarang dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”

“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.

“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”

“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.

Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.

“Bukkk...!”

Keras sekali pukulan Keng Han. Akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia sempat mengelak, pendeta itu sudah mendorongnya sehingga tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.

Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.

“Harap maafkan cucu kami ini. Biar pun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu di mana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”

Mendengar kata-kata kepala suku itu, dan melihat pula betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.

Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia sudah kehilangan gurunya, dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata tak banyak gunanya. Hanya melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!

Gosang Lama memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru yang pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!

Keng Han pernah mendengar cerita dari ibunya mengenai lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.

“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”

Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya di dalam hatinya.

Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya. Dia sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.

Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya. Dia hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.

Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasehat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya pergi merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.

“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri,” bantahnya.

Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.

Tao Keng Han berangkat dengan diantar oleh kakeknya serta Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali.

Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan yang tinggi. Bagi dirinya sendiri, dia sudah menerima nasib. Biarlah dia tidak dijemput ke istana, asal puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini, maka hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi agak terhibur.

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan bisa menimbulkan gairah hidup. Bila masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya, karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!

Karena itu, orang tidak boleh putus harapan. Akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekali pun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik
.

Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput oleh suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan supaya puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran…..

********************

Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.

Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.

Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.

Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam dongeng.

Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.

Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!

Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.

Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.

Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka
.

Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.

Keramaian yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana.

Ia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan orang nelayan yang ribut mulut.

“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”

“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”

“Kamu berani membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. “Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”

“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”

Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.

“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”

“Ahhh, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”

Tiga orang itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.

“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”

“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.

Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.

“Juragan Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”

Mendengar ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”

“Hemmm, kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.

“Keparat, berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.

Akan tetapi dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.

Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.

“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka.

Mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.

Meski pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak ke sana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.

“Trang-tranggg...!”

Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pemegang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui justeru terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong, dan tiba-tiba saja ujung huncwe telah menyodok dadanya.....

“Dukkk...!”

Orang itu mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak amat kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka. Setelah mengelak, huncwe itu berkelebat dua kali. Dua orang pengeroyok itu pun roboh tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka.

Tiga orang itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lui membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memuji-muji kegagahan Juragan Lui yang menjadi sangat bangga.

Sambil menyedot huncwe-nya kemudian mengepulkan asap dari mulutnya, Juragan Lui berkata bangga, “Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku. Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarang! Hayo kalian berkemas dan bekerja!”

Para nelayan lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng Han yang semenjak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik, melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya merasa khawatir.

Tak lama kemudian, lima orang telah tiba di situ, dipimpin seorang yang mukanya hitam seperti dilumuri arang dan tubuhnya tinggi besar. Orang ini membawa sebatang golok besar telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Empat orang kawannya membawa golok juga yang masih tergantung di pinggang masing-masing. Si muka hitam berteriak dengan suara lantang.

“Siapa yang bernama Juragan Lui?”

Para nelayan yang tadinya sibuk bekerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu. Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis berkerut dia pun menegur.

“Siapakan kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya yang bernama Juragan Lui!” Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya.

Si muka hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya. “Jadi engkau ini yang bernama Juragan Lui? Engkau sudah berani memukul tiga orang anak buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!”

“Hemmm, bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wllayahku dan engkau justru hendak membela mereka? Huncwe-ku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah engkau hendak melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau hendak main keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana layaknya orang gagah?”

“Ha-ha-ha, si lintah darat Lui masih juga dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!”

“Hemmm, kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?”

“Aku Si Harimau Hitam, kalah olehmu? Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.”

“Bagus! Mari kita mulai!”

Dua orang itu lalu memasang kuda-kuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikap yang tenang melintangkan huncwe-nya di depan dada.

“Lihat seranganku!” bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya. Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang cepat-cepat menggerakkan huncwe-nya menangkis.

“Tranggggg...!”

Pertemuan antara dua tenaga dahsyat itu hebat sekali. Nampak api berpercikan keluar dari tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.

Agaknya Hek Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam diri seorang juragan nelayan! Karena marah bukan main, dia lalu menyerang lagi dan menggerakkan goloknya dengan sangat hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya.

Akhirnya, Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu. Senjatanya yang berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakai untuk menotok saja, sedangkan golok lawan dapat digunakan untuk membacok dan menusuk.

“Sing-sing-singgg...!”

Golok itu menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus terus berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.

“Trakkk...!”

Mendadak golok itu tertahan di udara oleh sebatang ranting kayu. Si Harimau Hitam merasa betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya, kemudian melangkah mundur.

Ternyata yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah. Pemuda yang usianya paling banyak lima belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya tersenyum-senyum.

Pemuda itu adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya menonton saja perkelahian yang terjadi itu. Akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tak dapat tinggal diam saja, lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.

“Keparat! Engkau bocah tak tahu diri, siapa engkau yang berani menangkis golokku?”

Keng Han tersenyum. “Tidaklah penting siapa adanya aku, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendak supaya ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja dan mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka mengantarmu berlayar?”

“Anak kecil, kau tahu apa?! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu!”

“Hemmm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau akan memenggal batang leherku, sebaliknya aku akan mematahkan batang hidungmu!” kata Keng Han.

Dia tadi sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui dan melihat betapa dangkal permainannya. Gerakan kepala perampok itu hanyalah mengandalkan tenaga luar saja dan amat lamban baginya, maka dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya.

Mendengar ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia pun mengayun goloknya dengan penuh tenaga sambil membentak.

“Hyaaaaattt...!”

Akan tetapi bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han bisa mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.

“Prattt-prattt!”

Dua kali ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan kini mengamuk seperti harimau terluka. Akan tetapi, semakin hebat dia mengamuk semakin sering pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan berdarah!

Melihat kepala perampok itu tidak menjadi jera, bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut! Empat orang anak buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka, mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.

Para nelayan pun menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui segera menghampiri Keng Han, kemudian memberi hormat sambil berkata, “Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai dan mengagumkan sekali. Terima kasih atas pertolonganmu tadi.”

Namun, Keng Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya, “Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!”

Mendengar ini, mata Juragan Lui terbelalak dan berseru, “Engkau keliru, orang muda! Aku adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada mereka untuk memperbaiki jala dan perahu? Aku! Siapa yang memberi mereka makan dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku! Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!”

“Hemmm, memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil tangkapan ikan kepadamu. Engkau lalu memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai hutang dengan bunga yang berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan! Engkau tak ubahnya seperti lintah darat, tidak lebih baik dari pada kepala perampok tadi!”

“Itu filtnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda!” Juragan Lui berkata dengan marah sekali.

“Benarkah? Aku atau engkau yang perlu dihajar?” Keng Han mengejek.

Karena merasa dihina di depan banyak orang, Juragan Lui segera menyerang dengan huncwe-nya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui.

Para tukang pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang banyaknya sudah siap membantu juragan mereka. Akan tetapi Keng Han menodongkan ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak,

“Mundur kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dahulu, baru membunuh kalian!”

Juragan Lui yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok maka dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.

“Ampunkan aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.”

Keng Han menarik tongkatnya. “Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman, mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan berkesempatan untuk menaikkan taraf hidup mereka. Mereka itu manusia, sama dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka, aku akan membunuhmu!”

“Baik, Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.”

“Sekarang aku hendak menyewa sebuah perahu berikut tukang perahu yang dapat mengantar aku ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.”

Wajah Juragan Lui menjadi pucat. “Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang berani ke sana, Siauw-hiap.”

“Mengapa tidak berani?” tanya Keng Han dengan heran.

“Karena... karena pulau itu berhantu!”

“Berhantu? Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?”

“Melihat sih belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana menyatakan bahwa pulau itu berhantu. Sudah ada beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat dengan pulau itu kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami... maafkan, Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani...”

“Aku yang menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan penelitian di sana, dia boleh mengantar aku kembali, dan untuk itu aku mau membayar sewa perahu dan upah yang memadai.”

Mendengar ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan. Kemudian dia bertanya, “Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada di antara kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?”

Para nelayan itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggelengkan kepala. Akan tetapi, seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan berkata, “Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima kasih biar saya mengantar dia ke sana!”

Orang-orang bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.

“Terima kasih, Paman,” kata Keng Han. “Siapakah nama Paman?”

“Namaku Ji Koan, Siauw-hiap.”

“Paman Ji, berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.”

“Tidak usah, Siauw-hiap. Soal sewanya mudah, nanti saja jika Siauw-hiap telah berhasil tiba ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?”

“Sekarang juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.”

“Baiklah, Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning,” kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu. Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik.

Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar. Semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar mata penuh ketegangan dan juga kekhawatiran. Tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak memiliki keluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.

Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau ada orang bicara tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Karena itu, begitu perahu yang dikemudikan oleh Ji Koan hilang dari pandangan, semua orang yang ada di sana segera bergegas pulang dan menutup pintu rumah mereka rapat-rapat.

Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, mala petaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut.

Takut dan khawatir hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita. Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi.

Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba. Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita pada masa depan. Memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri.

Seperti orang takut akan hantu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau bertemu benar-benar. Andai kita sudah bertemu dengan iblis seperti kita melihat makhluk-makhluk lainnya, pasti tidak ada lagi rasa takut itu.

Kalau kita tidak membayangkan hal-hal yang belum datang, tidak membayangkan masa depan, maka kita hanya akan menghadapi saat ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas dari pada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia.

Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang terjadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka.

Namun bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk bisa mendapatkan yang terbaik, tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan kegagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kita harus mencari kesalahannya dalam sepak terjang kita sendiri!


Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang sementara angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han bisa meluncur dengan sempurna.

Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya pada saat bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ahhh, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya?

Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong. Hidungnya mancung dengan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya.

Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu lahir! Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya saja sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau yang aneh itu, apa lagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan.

Cerita ini tak membuatnya takut, malah menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?

Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru.

“Itulah dia... Pulau Hantu...” saat menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.

Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget. Ia cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ.

Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali muncul dari dalam lautan.

Dia tidak bisa mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu. Mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.

“Ahhh, kelihatannya pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat.”

“Tao-kongcu... saya... saya takut...!”

“Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!” katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan.

Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah mampu menguasai kepandaian itu. Sekarang dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon-pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.

Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya. Dia pun melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.

“Kongcu, lihat...!” Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil.

Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki. Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali.

Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, namun Keng Han menggunakan dayungnya menghantam sehingga dua ekor ular itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat.

Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.

“Kongcu... mari kita kembali saja...,” dia mengeluh ketakutan.

Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han justru menambah keinginan tahunya. “Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, kita mendarat!” katanya sambil menggerakkan dayungnya dengan penuh tenaga.

Ji Koan tak dapat membantah lagi. Dia terpaksa ikut pula mendayung, biar pun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.

“Lihat itu, Paman!” tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.

Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.

“Saya takut mendarat, Kongcu.”

“Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini di dekat pantai, biar nanti aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi Paman harus menunggu, jangan pergi sebelum aku kembali.”

“Baik, Kongcu,” kata Ji Koan yang masih ketakutan.

Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan pada punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terdapat di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tadi tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.

Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih bagai kapas, tengah mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka.

Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar!

Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan amat nekat, namun satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu. Akan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.

“Ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah ini berani melawanku. Aku Swat-hai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!”

Keng Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam, dengan begitu saja membunuhi tiga puluh orang. Dia tak dapat menahan kemarahan hatinya dan Keng Han pun segera melompat keluar dari balik batu besar sambil berseru, “Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!”

Kakek itu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya kejam seperti iblis, dia tidak menjadi marah, bahkan lalu tertawa bergelak.

“Bagus, aku memang kejam bagaikan iblis, dan memang aku ini Iblis Tua Lautan Salju. Karena engkau telah memujiku, maka aku mengampunimu dan tak akan membunuhmu, ha-ha-ha!”

Akan tetapi Keng Han menjadi semakin marah. “Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhku, melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!”

Keng Han meloncat ke depan dan menghampiri kakek raksasa berambut putih itu. Dia seperti seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut terhadap apa pun. Dia menganggap ilmu silatnya sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai bukan main.

Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau pun menangkis.

“Bukkk...!”

Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.

“Ha-ha-ha-ha, engkau berani melawan aku? Baiklah, kalau begitu engkau sudah bosan hidup, mampuslah!” Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya.

Melihat ini, Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh itu, maka dia tahu alangkah berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput.

Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu.

“Ihhh...!”

Kakek itu mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini ditangkis dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.

Kakek itu merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat dielakkan. Dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali dia melancarkan pukulan jarak jauh.

Kini, biar pun Keng Han sudah melompat ke kiri untuk menghindar, tetap saja tubuhnya dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras. Hawa yang amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir.

Pada saat itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit terhuyung ke arah barisan ular, menyongsongnya di luar kesadarannya, langsung saja tiga ekor ular menyerangnya. Dia tidak mampu mengelak atau menangkis sehingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangannya dan seekor lagi menggigit kakinya!

Digigit tiga ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Matanya terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang menggigit lehernya lalu... membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil berlari ke tengah pulau, masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih bergantung kepada tangan dan kakinya.

Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncatan ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.

“Hwe-hiat-coa (ular darah api)...?! Banyak sekali...! Wah, sungguh-sungguh berbahaya. Benar-benar Pulau Hantu...!”

Kakek itu lalu melarikan diri, melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main!

Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan cepat-cepat pergi dari pulau itu dengan wajah membayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan ular yang disebutnya Hwe-hiat-coa itu.

Keng Han seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah. Tetapi dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.

“Panas...! Panas...!” teriaknya.

Akan tetapi tak lama kemudian teriakannya berubah.

“Dingin...! Dingin...!”

Dia berlari terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak tahu dan tak menyadari apa yang sedang dilakukannya. Setelah seekor ular habis dimakannya, dia mengambil lagi ular yang masih bergantung menggigit tangannya dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya!

Keadaan pemuda remaja itu benar-benar mengerikan sekali. Wajahnya kadang menjadi pucat, kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar, napasnya kadang memburu dan terengah-engah. Akan tetapi ular itu terus dimakannya. Setelah ular kedua habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantungan di kakinya sehingga akhirnya tiga ekor ular itu habis dimakannya. Kini dia tiba di sebuah goa, tetapi dia sudah tidak kuat bertahan lagi. Keng Han pun terguling roboh ke dalam goa itu, pingsan!

Keadaan Keng Han sangat mengerikan dan mencemaskan. Tetapi yang jelas, pukulan yang mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang tadi telah membunuh tiga puluh orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya. Padahal biasanya, sekali saja tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar!

Memang kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andai kata orang itu bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula menjemputnya. Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biar pun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya, dia tetap akan dapat lolos dari maut dan selamat.

Banyak orang yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang dan bertempur, tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua dan pensiun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia!

Demikianlah, mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah mengetahui akan kenyataan ini orang lalu boleh bersikap masa bodoh terhadap keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk mengaturnya? Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah mempunyai kewajiban semenjak dilahirkan untuk menjaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau pun tidak senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi kekuasaan Tuhan
.

Keadaan Keng Han yang mengherankan itu pun bukannya tanpa sebab.

Keng Han tentu sudah tewas akibat menerima pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lo-kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang anak itu belum mampu melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah!

Dan dia tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang mengandung racun panas, yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus, bila saja dia tidak terpukul oleh Swat-hai Lo-kwi. Dan karena ia tergigit oleh tiga ekor ular sekaligus, maka racun ketiga ekor ular itu sebenarnya masih terlalu kuat bagi hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han.

Akan tetapi dalam keadaan seperti gila karena diombang-ambingkan antara dua hawa dingin dan hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular itu, hal ini justru merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya.

Keng Han tergelimpang di dalam goa, pingsan sampai hari berubah malam. Semalam suntuk dia seperti telah mati, di dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, maka seluruh tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.

Akhirnya, pada esok harinya, setelah matahari mulai memandikan permukaan pulau itu dengan cahayanya yang keemasan, Keng Han mengeluh dan membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan mata, silau karena kebetulan mukanya menghadap ke matahari, lalu menggosok-gosok kedua matanya.

Kemudian dia teringat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit duduk. Ketika membuat gerakan ini, dia terkejut sendiri karena tubuhnya terasa demikian ringan seolah tidak berbobot! Dia lalu duduk bersila dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

Dia naik perahu bersama Paman Ji Koan nelayan tua itu, menuju ke pulau kosong yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Dia telah tiba di pulau dan nampak ada tujuh buah perahu di tepi dekat batu-batu. Lalu ada ular-ular merah menyerangnya. Kemudian dia melompat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang kakek raksasa berambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa. Dia keluar dari balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu. Dan dia digigit ular-ular merah!

Hanya itulah yang diingatnya. Dia tidak tahu bagaimana kini dia berada di tempat itu, di sebuah goa yang menganga besar bagai mulut seekor naga raksasa. Mengingat bahwa ia telah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lo-kwi yang membuat tubuhnya terasa dingin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular merah, dia terkejut sekali. Kenapa dia tidak mati seperti yang lain?

Dia kemudian memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan dalam. Ternyata tubuhnya tidak mengalami luka dalam. Dia menyalurkan hawa dari tantian untuk melihat apakah tenaga sinkang-nya masih ada. Dan dia terkejut.

Saat ia mulai mengerahkan tenaga, ada tenaga yang amat dahsyat bangkit membubung ke atas dari tantian dan hampir saja dia tidak dapat mengendalikannya dan tubuhnya terjengkang! Untung dia segera menghentikan pengerahan tenaganya sehingga dia tak sampai terguncang dan terluka oleh hawa sakti itu sendiri.

Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan, lalu berubah menjadi kepanasan. Ada dua hawa yang berlawanan berada di dalam tubuhnya dan kedua hawa itu demikian kuatnya mempengaruhi tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa hawa dingin akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi itu menjadi berlipat ganda kuatnya setelah dia makan tiga ekor ular itu, perbuatan yang tidak diingatnya lagi.

Sekarang di tubuhnya ada dua tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Hal ini mulai dia rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah. Keng Han adalah seorang pemuda yang cerdik, karena itu dia sudah dapat menduga akan hal ini. Tentu saja dia merasa girang sekali.

Dia lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam goa itu dan menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dia memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sinkang-nya, kemudian memukul dengan kedua telapak tangan ke depan. Serangkum tenaga yang tadi membuatnya terjengkang keluar melalui kedua tangannya, menghantam batu besar itu dan... batu besar itu meledak-ledak pecah lalu menggelinding sampai jauh!

Keng Han cepat menyimpan kembali tenaganya dan dia memandang kagum. Ahhh, dia harus berhati-hati sekali dan tidak boleh bermain-main dengan tenaganya itu. Dia harus melatih diri untuk dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya sehingga dapat dia gunakan seperlunya.

Kemudian dia teringat kepada Ji Koan. Paman itu masih dia tinggalkan di dalam perahu! Teringat akan ini, dia lalu melompat dan berlari turun. Hampir saja dia bergulingan jatuh kalau tidak cepat dia menyimpan tenaganya. Ketika dia mengerahkan tenaganya berlari, tubuhnya terdorong oleh kekuatan yang demikian hebat sehingga dia seolah terbang!

Dia telah lupa lagi! Dia belum menguasai benar tenaga itu sehingga seolah-olah masih liar. Tenaga liar yang menguasai tubuhnya sangatlah berbahaya kalau tidak mampu dia kendalikan. Dia lalu berjalan biasa saja menuruni bukit itu, menuju ke tepi di mana dia mendarat kemarin. Dia pun tidak tahu bahwa semalam telah lewat, disangkanya hari itu masih hari kemarin ketika dia datang.

Pada saat tiba di tempat itu, dia masih melihat tiga puluh orang perampok itu malang melintang dan sudah tewas semua, dan banyak barang berceceran di tempat itu. Golok dan pedang, peti-peti terisi barang berharga, mungkin barang rampokan, segala macam perabot masak dan lain-lain. Akan tetapi raksasa rambut putih itu sudah tidak berada di situ. Hal ini melegakan hatinya dan cepat dia naik ke atas batu-batu di tepi pantai.

Hatinya berdebar penuh ketegangan dan kekecewaan. Bukan saja dia tidak melihat Ji Koan, akan tetapi juga dia tidak melihat sebuah pun perahu di situ! Dan melihat bekas-bekasnya, agaknya, air laut pernah pasang dan menyapu pergi semua perahu yang berada di situ. Bekas air laut sampai naik ke dekat tempat orang-orang itu bertempur dan beberapa buah peti agaknya terbawa air karena dia melihat beberapa buah peti itu terapung di laut.

Tentu perahu-perahu itu telah hanyut oleh air pasang. Atau ada yang membawa pergi? Dia tidak tahu benar dan apa pun yang telah terjadi, kenyataannya bahwa dia ditinggal di situ tanpa perahu! Bagaimana dia akan dapat meninggalkan pulau itu?

Keng Han merasa lemas hatinya dan dia duduk termenung di atas batu, memandang jauh ke laut yang tidak bertepi. Dia tidak percaya kalau Ji Koan, paman nelayan yang baik hati itu, sengaja meninggalkannya! Kakek raksasa yang amat kejam itu! Dan dia mengkhawatirkan nasib Ji Koan.

“Tenangkan hati dan pikiranmu, Keng Han!” katanya kepada diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia harus bersikap tenang. Harus dapat menentukan apa yang lebih baik dan lebih dulu harus dia lakukan.

Mayat-mayat itu! Kalau dia dipaksa harus tinggal di tempat itu, lebih dulu mayat-mayat itu harus dikubur dengan baik. Kalau tidak mereka akan membusuk dan menimbulkan penyakit yang membahayakan dirinya. Setelah berpikir demikian, dia segera memilih tempat yang tanahnya agak lunak, menggunakan golok yang banyak terdapat di situ dan menggali beberapa buah lubang yang besar.

Enam buah lubang besar dia gali dan ketika melakukan pekerjaan ini, dirasakan mudah sekali. Tenaganya amat besar dan menggali lubang itu dirasakan ringan saja. Setelah menggali lubang-lubang itu, dia lalu mengubur tiga puluh mayat itu. Lima buah dalam satu liang dan setelah semua dikubur, dia menimbuni liang-liang itu dengan tanah. Setelah selesai, dia mencuci kedua tangan dan kakinya dengan air laut sampai bersih benar. Kemudian kembali dia duduk berpikir. Apa yang harus dikerjakan sekarang?

Mengumpulkan barang-barang yang akan berguna baginya. Kalau dia terpaksa hidup di pulau itu, dia harus memiliki barang-barang yang berguna. Mulailah dia memilih-milih di antara barang yang berserakan, milik para perampok itu.

Dia mengambil dua batang golok yang terbaik, lalu mengambil perabot-perabot masak. Lalu dia mengangkut barang-barang berharga seperti kain dan perhiasan-perhiasan dan mengumpulkan semua itu ke dalam goa di atas bukit. Goa itulah satu-satunya tempat yang baik baginya untuk dijadikan tempat tinggal.

Pekerjaan ini dilakukan sampai malam tiba. Perutnya terasa lapar sekali, akan tetapi karena malam telah tiba dia tidak dapat pergi mencari makanan. Dia membuat api dan membakar api unggun di mulut goa, lalu tertidur beralaskan sehelai permadani yang dia temukan di antara banyak kain dan barang berharga tadi.

Dia merasa heran, mengapa tadi dia tidak melihat ada seekor pun ular merah. Agaknya ular-ular itu pergi bersembunyi ketika air laut pasang, pikirnya. Akhirnya dia pun tertidur saking lelahnya dan lapar di perutnya tidak dirasakannya lagi.

Pada esok harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, pertama-tama yang dilakukan Keng Han adalah mencari sumber air di pulau itu. Hal ini amatlah penting sebab tanpa adanya air tawar, bagaimana dia dapat hidup? Dan dia yakin bahwa di pulau di mana terdapat begitu banyak pohon, tentu ada sumber airnya dan dia pun benar.

Dia menemukan sumber air di lereng belakang bukit di mana terdapat hutan. Dengan gembiranya dia membersihkan diri dan minum sepuasnya, baru dia mencari makanan. Akan tetapi ternyata di tempat itu tidak terdapat binatang buruan kecuali burung-burung yang sukar ditangkap.

Dia lalu pergi ke pantai untuk mencari ikan dan sekali ini dia melihat banyak ular merah berenang di pantai, dan ada pula yang berkeliaran di pantai. Dia menjauhi ular-ular yang ganas itu dan ketika itu pula dia melihat banyak tumbuh-tumbuhan semacam jamur di antara bebatuan. Agaknya jamur-jamur itu tumbuh akibat terkena siraman air laut yang kadang-kadang pasang dan terkena sinar matahari. Jamur itu berwarna kecoklatan.

Keng Han sudah mempelajari dari bangsanya cara memilih bahan makanan yang tidak beracun, yaitu dengan cara merasakan bahan itu dengan lidahnya. Kalau terasa keras, menyengat dan berbau keras, janganlah dimakan.

Dia lalu mencoba jamur itu, digigitnya sedikit. Rasanya lunak dan enak! Baunya pun sedap. Dia girang sekali dan mengambil jamur-jamur itu secukupnya, kemudian dia baru mencari ikan dengan goloknya. Banyak terdapat ikan di situ dan ketika melihat ada ular merah berenang di dekatnya, sekali sabet dia membuat kepala ular itu terpisah dari tubuhnya.

Dari pengalaman di dusunnya dia tahu cara memasak daging ular berbisa. Yang berbisa itu adalah kepalanya karena bisa ular berkumpul di kepalanya. Jika kepalanya dibuang, dagingnya dapat dimasak dan dimakan.

Demikianlah, dia mendapat bahan makanan berupa jamur serta daging ular dan ikan. Di daratan dia mendapatkan pula daun-daun muda yang dapat dipakai untuk membuat masakan sayuran. Dan hari itu Keng Han makan masakan yang luar biasa.

Ternyata rasanya enak, terutama jamur itu yang bisa mengenyangkan perutnya. Hatinya girang bukan main. Dua kebutuhan yang paling mutlak sudah ditemukan, yaitu sumber makanan dan sumber air.....

Setelah perutnya kenyang, barulah Keng Han merasa tertarik oleh keadaan goa itu. Sebuah goa yang lebar dan dalam, tidak kurang dari lima meter lebarnya dan dalamnya ada sepuluh meter.

Dia mencoba memasuki goa itu lebih dalam. Ternyata dia menemukan sebuah lorong yang tadinya tertutup batu besar. Setelah dengan mudah dia menggeser batu yang menutupi lorong itu, terbukalah sebuah lorong dalam tanah. Karena lorong itu gelap, dia lalu membuat obor memasuki lorong itu.

Panjang lorong itu kira-kira dua puluh meter dan ketika tiba di ujung lorong, ada sinar menerangi ujung itu. Ternyata ujung itu merupakan ruangan yang lebarnya ada empat meter persegi dan di atasnya ada lubang, maka ada sinar matahari yang masuk. Jadi ruangan itu seperti sebuah dasar sumur yang besar.

Dengan obornya Keng Han memeriksa dinding ruangan itu dan dia terbelalak! Keempat dinding itu penuh dengan huruf-huruf terukir, indah dan masih dapat dibaca jelas. Dan ternyata huruf-huruf itu adalah pelajaran ilmu silat!

Keng Han merasa beruntung sekali bahwa dia pernah mendapat pelajaran dari Gosang Lama mengenai sastra sehingga pengetahuannya cukup mendalam dan dia mampu membaca semua tulisan itu dengan jelas. Mengingat betapa pulau ini pernah tenggelam selama puluhan tahun, dan kalau tulisan itu hanya digurat di tanah liat saja tentu kini telah terhapus habis.

Akan tetapi hebatnya, guratan itu dilakukan orang pada batu yang keras! Ini berarti bahwa penulisnya tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan hanya seorang saja. Melihat bentuk tulisannya, Keng Han dapat membedakan dan mengetahui bahwa tulisan itu dibuat oleh tiga orang.

Dugaan Keng Han memang benar. Pulau yang sekarang menjadi pulau yang subur itu dahulunya memang Pulau Es. Dahulu, di situ terdapat Istana Pulau Es yang kemudian telah terbakar rata dengan bumi, dan ketika pulau itu tenggelam, maka segala sisa dari istana itu hilang sama sekali. Akan tetapi di dalam istana itu terdapat sebuah lorong bawah tanah dan lorong itu adalah yang ditemukan Keng Han sekarang ini. Istana itu sendiri kini hanya tinggal sebagai goa itulah.

Dahulu, penghuni Pulau Es ada tiga orang, yaitu seorang pendekar sakti bersama dua orang isterinya. Pendekar itu adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau juga ada yang menyebut Pendekar Siluman karena dia pandai ilmu sihir. Ada pun dua orang isterinya adalah Puteri Nirahai dan yang ke dua adalah Puteri Lulu. Kedua orang isterinya itu adalah keturunan Mancu.

Tulisan itu dibuat oleh ketiga orang ini walau pun ilmu-ilmu mereka sudah diwariskan kepada anak cucu. Maksud mereka adalah bahwa mereka hendak bersikap adil, yaitu tidak hanya menurunkan kepada anak cucu sendiri, akan tetapi kalau ada orang luar yang menemukan tulisan itu dan mempelajarinya, maka hal itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang dinamakan jodoh. Mereka masing-masing menuliskan inti sari ilmu mereka yang sebetulnya tidak akan mudah dipelajari orang.

Ketika Keng Han secara kebetulan menemukan tempat itu, berarti dialah yang berjodoh mendapatkan Pusaka Pulau Es itu. Memang kebetulan sekali.

Andai kata dia tidak mendapatkan dua tenaga dahsyat yang berlawanan akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi dan gigitan ular-ular darah api, belum tentu dia mampu mempelajari dua macam ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) dan Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang dituliskan oleh Pendekar Super Sakti di dinding pertama dan kedua!

Pada dinding ke tiga terdapat pelajaran Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Tangan Lembut Pencabut Nyawa) yang hanya dapat dilatih oleh orang yang telah memillki sinkang kuat sekali. Dan pada dinding ke empat terdapat goresan tulisan pelajaran ilmu silat Hong-In Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), yaitu semacam ilmu silat yang sangat hebat, berdasarkan tulisan huruf-huruf yang dapat dilakukan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang.

Setelah membaca semua tulisan itu, Keng Han yang cerdik berpendapat bahwa dia menemukan tiga orang guru yang dia tidak tahu siapa, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu dan berkata dengan lantang, “Sam-wi Suhu (Ketiga Guru), teecu menghaturkan terima kasih atas peninggalan ilmu-ilmu ini dan teecu berjanji akan mempelajarinya sampai sempurna!”

Dia tahu bahwa penghimpunan tenaga dalam merupakan inti ilmu silat, maka sebelum mempelajari yang lain, dia lebih dulu mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang. Sebetulnya, pelajaran ini amatlah sukar bagi orang lain dan biar pun Keng Han pernah digembleng oleh Gosang Lama, agaknya dia tidak akan mampu menguasai kedua ilmu ini kalau saja dia tidak memiliki dua tenaga yang sudah menjadi inti dari kedua ilmu itu. Dengan mempelajari kedua ilmu itu, berarti dia akan mampu menguasai kedua tenaga mujijat yang terkandung di dalam tubuhnya secara kebetulan sekali itu.

Keng Han sudah bersumpah dalam hatinya akan mempelajari semua ilmu itu dengan sungguh-sungguh sampai sempurna. Ia takkan meninggalkan pulau itu sebelum mampu menguasai semua ilmu itu dengan baik. Pula, bagaimana dia dapat meninggalkan pulau itu kalau tidak ada perahu di situ?

Demikianlah, mulai hari itu Keng Han menjadi penghuni tunggal pulau kosong itu, setiap hari mempelajari ilmu dengan amat tekunnya. Setiap hari dia makan jamur laut, ikan dan daging ular serta daun-daun muda dan buah yang tumbuh di pulau itu dan yang dapat dimakannya.

Tanpa disadari oleh Keng Han, dari makanan itu, terutama jamur laut dan daging ular merah, sudah mendatangkan kekuatan yang semakin hebat dalam tubuhnya. Sekarang tubuhnya telah terbiasa menerima racun, sehingga dia tidak perlu takut lagi akan segala macam racun, betapa pun hebatnya racun itu. Tubuhnya telah menjadi kebal racun!

Untuk berganti pakaian, dia juga tidak kekurangan karena para perampok itu membawa bahan kain yang serba mahal, hasil perampokan mereka. Dia membuat pakaian dari kain, sejadi-jadinya asal dapat membungkus tubuhnya dan tidak menjadi telanjang.

Bertahun-tahun Keng Han tekun belajar. Ternyata ilmu-ilmu itu amat sukarnya sehingga semacam ilmu saja harus dipelajari dan dilatihnya sedikitnya satu tahun…..

********************

Kita tinggalkan dulu Keng Han yang terkurung di dalam pulau kosong mempelajari ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang kebetulan ditemukannya dan kita menengok bagian lain dari kisah ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Mahkota Tao Kuang selamat dari pengkhianatan saudara-saudaranya sendiri, yaitu kedua kakaknya, Tao Seng dan Tao San. Ia telah diselamatkan oleh seorang datuk yang berjuluk Sin-tung Koai-jin bernama Liang Cun bersama puterinya yang bernama Liang Siok Cu. Kemudian, Liang Siok Cu yang memang cantik manis itu menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang tercinta.

Setahun kemudian selir ini melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Tao Kwi Hong. Dan sebagai puteri pangeran mahkota, tentu saja sejak kecli Kwi Hong amat dimanja oleh ayah ibunya. Terutama sekali kakeknya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun amat memanjakan cucunya.

Sejak masih kecil, Sin-tung Koai-jin menggembleng anak itu dengan dasar-dasar ilmu silat. Ayahnya juga tidak melupakan pendidikan ilmu surat kepada puterinya sehingga Kwi Hong menjadi seorang anak perempuan yang cerdik dan juga gagah.

Semenjak lancar membaca, Kwi Hong yang baru berusia lima belas tahun itu gemar sekali membaca dan perpustakaan istana menjadi langganannya. Perpustakaan istana itu lengkap sekali, bahkan banyak terdapat kitab-kitab kuno yang sudah sulit dimengerti oleh pembaca di jaman itu. Hanya sedikit saja ahli-ahli sastra kuno yang akan mampu membacanya. Dan anehnya, gadis remaja ini bahkan paling suka memeriksa kitab-kitab kuno ini yang kebanyakan berupa kitab-kitab agama dan filsafat, juga catatan-catatan sejarah oleh para sastrawan jaman dahulu.

Suatu hari, Puteri Tao Kwi Hong menemukan sebuah kitab kuno yang sudah berdebu. Dia tertarik sekali karena pada sampulnya terdapat gambar segi lima dengan gambar Im-yang di dalamnya dan ada sepasang pedang bersilang di atasnya. Gambar pedang itulah yang menarik perhatiannya dan ketika ia membukanya, ternyata itu merupakan sebuah kitab kuno ilmu pedang! Akan tetapi bahasanya kuno dan banyak sekali huruf yang tidak dikenalnya.

Ia lalu mengatakan kepada penjaga perpustakaan bahwa ia hendak meminjam kitab itu untuk dibacanya. Para penjaga perpustakaan tak berani menolak permintaan puteri dari Pangeran Mahkota, mereka hanya berpesan agar setelah selesai dibaca, kitab itu harus dikembalikan, kemudian mencatatnya dalam buku catatannya.

Kwi Hong membawa pulang kitab itu dan memperlihatkannya kepada kakeknya.

“Ah, aku pernah mendengar tentang adanya ilmu pedang Ngo-heng Sin-kiam yang telah hilang dari peredaran dan tidak ada lagi yang mampu memainkannya. Agaknya inilah kitabnya! Ahh, engkau beruntung sekali dapat menemukan kitab ini, Kwi Hong!”

“Akan tetapi isinya amat sukar dimengerti, Kong-kong. Banyak huruf yang tidak kukenal. Bagaimana dapat mempelajarinya kalau banyak huruf tidak dapat diketahui artinya?”

Sin-tung Koai-jin sendiri bukan seorang ahli sastra yang pandai. Ketika dia membuka-buka kitab itu, alisnya berkerut dan harus dia akui bahwa dia bahkan hampir tidak dapat membaca kitab itu.

“Kita tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada sembarang orang, Kwi Hong. Tetapi untuk dapat membaca ini, engkau harus menanyakan kepada ahli-ahli sastra kuno yang banyak terdapat di kota raja. Lalu bagaimana baiknya?”

Kwi Hong adalah seorang gadis yang sangat cerdik. Setelah berpikir sejenak, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri.

“Aku mempunyai akal, Kong-kong. Aku akan menuliskan semua huruf yang tidak aku kenal dan hanya huruf-huruf itu saja yang akan kutanyakan artinya kepada ahli sastra kuno. Dengan demikian dia tidak akan dapat membaca kitab ini, hanya beberapa huruf kuno saja.”

“Bagus! Akalmu itu sungguh cemerlang. Aku akan mencari ahli sastra kuno dan engkau boleh mulai menuliskan huruf-huruf yang tidak kau kenal itu!”

Demikianlah, dengan akal itu, akhirnya Kwi Hong bisa membaca semua isi kitab itu dan dapat mempelajari ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Dalam melatih gerakannya yang kadang terasa sukar, dia diberi petunjuk oleh kakeknya dan akhirnya, dalam waktu dua tahun, dara ini berhasil menguasai Ngo-heng Sin-kiam dengan baik.

Dengan menguasai ilmu pedang pasangan itu, kakeknya sendiri akan kewalahan untuk dapat menandinginya! Memang demikian hebatnya ilmu pedang itu! Untuk mengimbangi ilmu pedang itu, kakeknya membuatkan sepasang pedang yang indah dan baik.

Kwi Hong memang manja dan sifatnya agak bengal. Sering kali, setelah menguasai ilmu silat yang cukup mendalam, ia minggat dari istana untuk merantau di dalam bahkan luar kota raja, jauh dari jangkauan para pengawal. Ia merasa tidak leluasa dan tidak senang bila setiap kali keluar selalu harus diikuti pengawal yang menjaga keselamatannya!

Tentu saja sebagai seorang gadis yang cantik jelita, ketika keluar seorang diri, banyak pula yang tidak tahu bahwa dia puteri pangeran, berani kurang ajar dan menggodanya. Akan tetapi Kwi Hong merobohkan mereka satu demi satu sehingga namanya menjadi terkenal di kota raja dan daerahnya. Karena ia selalu memakai hiasan burung bangau dari emas di sanggul rambutnya, Ia mendapat julukan Si Nona Bangau Emas!

Setelah Kwi Hong berusia tujuh belas tahun dan ia telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam, ia mulai minggat lagi dari istana dan kini ia merantau sampai jauh dari kota raja. Bukan saja namanya yang terkenal membuat pria yang hendak mengganggunya menjadi jeri, akan tetapi kini ke mana pun ia pergi ada sepasang pedang bersilang di punggungnya, membuat laki-laki yang hendak kurang ajar kepadanya menjadi lebih gentar lagi.

Agaknya cerita yang sering didengar dari kakeknya sebagai seorang pendekar, sudah menumbuhkan jiwa pendekar dalam diri gadis ini. Biar pun ia seorang gadis bangsawan yang seharusnya berada di dalam istana, dihormati dan dilayani, gerak-geriknya lembut dan halus, namun jiwa pendekar bergejolak dalam dirinya dan ia suka pergi tanpa pamit sampai berpekan-pekan. Selama berada di luaran ia selalu bertindak sebagai pendekar wanita, menentang para penjahat dan membela yang lemah!

Pada suatu hari, Kwi Hong memasuki kota Tung-san, yaitu sebuah kota kecil di sebelah selatan kota raja. Karena merasa perutnya lapar, gadis ini lalu memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar.

Pada siang hari itu, rumah makan sudah dipenuhi para tamu dan hampir semua orang menengok memandang kepada gadis yang baru masuk itu, terutama para tamu pria. Siapa yang tidak akan menoleh dan terpesona memandang gadis itu.

Di usianya yang tujuh belas tahun, Kwi Hong memang merupakan seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali. Rambutnya hitam sekali, panjang dan halus lebat. Rambut itu digelung tinggi ke atas dan dihias burung bangau emas, pada bagian belakang diikat dengan pita merah.

Di atas dahinya yang halus mulus itu terdapat anak-anak rambut yang melingkar-lingkar, terutama di depan kedua telinganya. Alisnya seperti dilukis, hitam melengkung, panjang dan kecil. Anggun sekali.

Sepasang matanya dihias bulu mata yang lentik. Mata itu sendiri bersinar tajam serta jeli dan jernih, dengan ujung kedua mata itu agak sipit menjungkat ke atas sehingga kalau dia mengerling nampak manis bukan main. Hidungnya kecil mancung, setimpal sekali dengan mulutnya.

Mulut itu memang mempesonakan. Mulut yang kecil dengan sepasang bibir yang selalu kemerahan, merah basah dan berkulit tipis tetapi penuh. Di kanan kiri mulut itu terdapat lesung pipit yang membuat mulut itu makin menarik. Sukar dikatakan mana yang lebih mempesonakan. Matanya ataukah mulutnya. Di kedua anggota muka itulah letak inti daya tarik Kwi Hong.

Dagunya runcing dan lehernya panjang, putih mulus. Sepasang pipinya selalu berwarna kemerahan seperti buah tomat walau pun tidak memakai pemerah pipi. Wajah cantik itu hanya dipolesi bedak tipis-tipis saja karena Kwi Hong bukan seorang gadis pesolek. Pakaiannya juga tidak terlalu mewah bagi seorang puteri istana, walau pun cukup indah. Celana sutera biru tua dan bajunya biru muda, dengan sabuk kuning emas, sepatunya hitam mengkilap.

Seorang gadis yang sangat menarik hati, namun juga gagah karena terdapat sepasang pedang melintang di punggungnya. Pedang itulah yang membuat semua mata pria yang memandang, tidak memandang langsung melainkan melirik karena mereka agak gentar melihat pedang di punggung itu. Jelas bahwa gadis jelita itu adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat.

Seorang pelayan rumah makan tergopoh menyambut. Hatinya gembira bukan main. Dia mendapat kesempatan menyambut tamu yang demikian cantiknya hingga semua tamu yang lain menaruh perhatian. Dia membungkuk sebagai tanda menghormat dan berkata dengan suara hormat pula,

“Selamat siang, Nona. Silakan, di sudut sana masih ada meja kosong.”

Kwi Hong mengangguk. Tanpa mempedulikan lirikan mata begitu banyak orang, dia pun melangkah mengikuti pelayan itu menuju ke meja kosong, di sudut kiri rumah makan itu. Selama dia melakukan perjalanan merantau keluar dari istana, sudah terlalu sering dia melihat pandang mata laki-laki seperti itu.

Memang tadinya hal ini amat mengganggu dan membuat ia marah, akan tetapi akhirnya dia mengetahui bahwa hampir semua laki-laki adalah mata keranjang dan tidak dapat melewatkan seorang gadis cantik. Kalau hanya pandang mata saja, dara ini tidak lagi mengambil peduli dan pura-pura tidak melihatnya, asal tidak ada yang mengganggunya dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar.

Bahkan sedikit banyak timbul perasaan bangga di hatinya karena diperhatikan banyak pria. Itu berarti bahwa dirinya memang cantik jelita dan menarik! Hanya bangga akan diri sendiri, sama sekali bukan senang karena ia tahu bahwa sebagian besar dari mereka itu pandang matanya penuh gairah dan nafsu.

“Nona hendak memesan makanan apa?”

“Beri aku nasi dan panggang ayam, juga masak sayur jamur dan lidah bebek.”

“Minumnya, Nona? Arak?”

“Tidak, cukup air teh saja.”

“Baik, Nona.” Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong.

Tiba-tiba dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia melihat ada tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap kurang ajar, pikir Kwi Hong. Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan berpura-pura tidak melihatnya.

Akhirnya, benar seperti yang diduganya, salah seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, bangkit berdiri dan menghampiri, lalu berdiri di depannya dan berkata sambil sedikit membungkuk,

“Nona, makan seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan bersama kami? Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima seorang lagi. Silakan, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tak dikenal menegur seorang gadis, apa lagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Namun karena laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.

“Tidak, terima kasih. Aku ingin makan sendiri saja dan harap jangan mengganggu aku.”

Mendengar jawaban ini, lelaki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena penolakan itu didengar pula oleh para tamu yang lainnya. Akan tetapi seorang di antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah akibat telah terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek,

“Aih, nona manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!”

Mendengar ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si gendut itu.

“Apa yang kau katakan?!” bentaknya.

Laki-laki gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk. “Ha-ha-ha, aku bilang jangan jual mahal, nona manis, aku...”

Tiba-tiba tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu, kemudian membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.

“Haepp...haeppppp...!”

Laki-laki itu gelagapan. Setelah Kwi Hong melepaskan jambakannya, laki-laki itu lantas melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya terasa seperti dibakar. Sepasang matanya pun tidak dapat dibuka.

Kwi Hong telah duduk kembali di depan mejanya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa dua orang laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperlakukan seperti itu oleh Kwi Hong.

Mula-mula kedua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang menjadi semakin merah seperti udang direbus. Ketika dia sudah mampu membuka matanya, kedua matanya itu menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.

“Nona, engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami? Kami adalah murid-murid dari Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!”

Melihat kedua orang itu kini nampaknya marah kepadanya, Kwi Hong hanya tersenyum mengejek. “Tak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang, siapa pun berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung tadi aku tidak menghancurkan mulutnya sekalian!”

“Engkau sombong!” kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun tangannya untuk menampar muka Kwi Hong.

Akan tetapi, sambil duduk Kwi Hong sudah mengelak dan sekali kakinya menendang, orang itu pun langsung terjengkang dan mengaduh karena perutnya mendadak menjadi mulas terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu.

Si tinggi kurus sekarang menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya dia hendak menangkap Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursinya dan ketika kedua tangan itu datang dia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan.

Si tinggi kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya. Dia pun terjengkang ke belakang seperti si pendek besar.

Kini si gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja. Akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong telah menyambar sebatang sumpit dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu!

Dua orang kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong menggertak,

“Jika kalian nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian!” Berkata demikian, dia melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai setengahnya lebih ke dalam tembok!

Melihat hal ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka. Mereka lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan lari dari rumah makan itu. Terdengarlah teriakan si gendut.

“Nona kejam, kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!”

Akan tetapi Kwi Hong duduk kembali, seolah-olah tidak ada terjadi sesuatu. Pada saat hidangan yang dipesannya tiba, dia segera makan dengan sikap tenang sekali. Para tamu lainnya yang menyaksikan peristiwa itu segera bicara sendiri membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu.

Semua orang di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka bersikap ugal-ugalan karena mengandalkan perguruan mereka yang mempunyai banyak murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar Harimau Putih)? Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu sebenarnya bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka yang menguasai kota Tung-san.

Tidak jauh dari situ, di tengah-tengah ruangan rumah makan itu, semenjak tadi seorang pemuda memperhatikan peristiwa itu. Melihat betapa gadis itu menghajar ketiga orang tadi, dia tersenyum-senyum puas.

Pemuda itu seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang-sedang saja, terbalut pakaiannya yang sederhana, namun wajahnya tampan dan gagah. Matanya lebar, hidung mancung dan mulutnya ramah selalu dihias senyum. Dagunya agak sedikit berlekuk sehingga menambah kejantanannya. Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini? Dia bukan lain adalah Tao Keng Han.

Seperti yang kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada dinding sebuah ruangan di bawah tanah.

Dia melatih diri dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, dua tenaga sakti yang sifatnya panas dan dingin. Dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuhnya sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu. Dengan menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti dalam tubuhnya.

Hampir tiga tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini. Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun mengandung kekuatan dahsyat sekali dan yang kedua adalah Hong-in Bun-hoat yang halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dia menghabiskan waktu dua tahun untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.

Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dengan menggunakan sebatang golok dia lalu merusak dinding itu sehingga coretan huruf-huruf itu lenyap dan rusak. Dia tidak ingin ilmu itu kelak dipelajari orang lain, apa lagi dipelajari orang jahat. Ilmu itu terlalu hebat dan kalau terjatuh ke tangan orang jahat tentu akan membahayakan dunia.

Selama lima tahun, dia hanya makan jamur laut, ikan laut, dan daging ular serta sayur-sayuran aneh dan buah-buahan aneh pula. Tanpa disadarinya sendiri, makanan yang dimakannya selama lima tahun itu memberinya kekuatan yang hebat pula. Dia tidak menyadari bahwa dia kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki kekuatan yang amat dahsyat!

Kini, setelah semua ilmu habis dipelajari timbul keinginannya untuk meninggalkan pulau itu. Dia lalu menggunakan golok menebang pohon yang cukup besar, dan membuat perahu sedapatnya sehingga jadilah sebuah perahu kecil yang sederhana sekali. Untuk layarnya, dia menggunakan kain-kain sutera yang dahulu dia kumpulkan dari milik para perampok. Juga dia membuat dayung dari kayu.

Setelah perahu itu jadi, Keng Han lalu membawa pakaian yang dibuatnya sendiri, dan mulailah dia berlayar meninggalkan pulau itu. Ketika dia mendorong perahu itu ke air, beberapa ekor ular merah menyerangnya, akan tetapi sambil tertawa dia menggunakan tangannya menyampok ular-ular itu yang baginya kini sama sekali tidak berbahaya lagi. Bahkan biasanya ular-ular itu dia tangkapi untuk dimasak dagingnya!

Demikianlah, setelah berhasil mendarat di pantai daratan besar, meninggalkan pulau itu dengan selamat, maka mulailah Keng Han melakukan perjalanan menuju ke kota raja. Dia hendak mencari ayahnya!

Dan dalam perjalanan inilah dia tiba di kota Tung-san. Ketika dia mendarat, dia segera membuat pakaian yang biasa, membelinya dari toko. Dan untuk itu dia memiliki banyak emas dan perak peninggalan para perampok yang dulu dia kumpulkan di Pulau Hantu. Segera dia berganti pakaian dan membuang semua pakaian buatan sendiri yang amat sederhana seperti jubah pendeta itu. Selama dalam perjalanannya itu, dia tidak pernah mengalami gangguan karena penampilannya sebagai pemuda biasa dan sederhana.

Ketika dia lapar dan memasuki rumah makan di Tung-san itu, dia menyaksikan peristiwa waktu gadis cantik jelita itu menghajar tiga orang pemuda berandalan. Dia tersenyum kagum. Jarang ada gadis yang demikian pemberani dan lihai pula, apa lagi melihat dari pakaiannya, gadis itu agaknya puteri seorang bangsawan atau hartawan.

Keng Han menjadi kagum. Akan tetapi tidak seperti para pria lain, dia menyembunyikan kekagumannya dan dengan hati geli mendengar betapa orang-orang di beberapa meja itu saling berbisik memuji-muji kelihaian dan kecantikan gadis itu.

Akan tetapi pemilik rumah makan merasa khawatir sekali. Bukan hanya khawatir akan keselamatan gadis itu, juga terutama sekali khawatir kalau-kalau rumah makannya akan menjadi medan pertempuran sehingga akan merugikan isi rumah makan dan membikin takut para langganannya. Ia tak ingin terjadi pertempuran besar di situ, apa lagi sampai terjadi pembunuhan. Maka dia segera menghampiri Kwi Hong yang sedang makan dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

“Maafkan kalau saya mengganggu Nona yang sedang makan,” katanya dengan jeri.

Kwi Hong yang sedang makan itu mengerutkan alisnya dan menoleh sedikit ke arah orang itu. “Engkau mau apa?” tanyanya tak senang.

“Maafkan, Nona. Akan tetapi Nona agaknya tidak tahu. Pek-houw Bu-koan itu adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang besar dan berpengaruh sekali di kota ini. Nona telah memukul tiga orang murid mereka. Tentu mereka itu akan datang membalas dendam kepadamu. Oleh sebab itu saya anjurkan Nona segera meninggalkan tempat ini dan pergi sebelum terlambat.”

“Aku tidak takut! Biar mereka semua datang, kalau berani menggangguku, akan kuberi hajaran satu demi satu!” kata Kwi Hong.

“Akan tetapi, Nona. Kalau terjadi perkelahian di sini bagaimana dengan rumah makanku ini? Tentu akan hancur berantakan dan para langgananku akan berlarian meninggalkan rumah makanku. Aku akan menderita kerugian besar sekali...” Pemilik rumah makan itu hampir menangis. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan rumah makannya.

“Hemmm, jadi engkau adalah pemilik rumah makan ini? Jangan khawatir, kalau terjadi kerusakan, aku akan memaksa mereka untuk mengganti semua kerugianmu, atau aku sendiri yang akan menggantinya. Sekarang, pergilah dan jangan mengganggu aku yang sedang makan!” Kwi Hong melanjutkan makannya dan pemilik rumah makan itu tidak berani bicara lagi, melainkan pergi dengan muka pucat dan wajah penuh kekhawatiran.

Kembali Keng Han yang mendengarkan semua itu tersenyum kagum. Gadis yang tabah luar biasa, juga bertanggung jawab. Sungguh seorang gadis yang memiliki kepribadian yang kuat dan berwibawa. Ingin dia melihat kelanjutan peristiwa itu dan kalau memang diperlukan, dia siap membantu gadis itu.

Kwi Hong makan dengan tenang saja. Padahal tentu saja ia tahu bahwa ucapan pemilik rumah makan itu bukan hanya kosong belaka dan memang besar sekali kemungkinan ketiga orang tadi akan mengundang kawan-kawan mereka, bahkan guru mereka. Akan tetapi sedikit pun ia tidak merasa gentar, bahkan ia sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada Pek-houw Bu-koan jika benar mereka itu hendak membela tiga orang muda yang kurang ajar tadi.

Kekhawatiran pemilik rumah itu ternyata terbukti benar. Serombongan orang terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi rumah makan itu, dipimpin oleh seorang laki-laki yang berusia empat puluhan tahun serta mengenakan pakaian serba putih. Itulah guru silat Pek-houw Bu-koan yang berjuluk Pendekar Harimau Putih!

Melihat ini, pemilik rumah makan cepat berlari keluar dan berlutut di depan kaki orang berpakaian putih itu. “Teng-kauwsu (Guru Silat Teng), mohon dikasihani, harap jangan berkelahi di dalam rumah makan kami sehingga menghancurkan segalanya. Kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi dan kami sama sekali tidak bersalah...”

Guru silat yang berjuluk Pek-houw-eng dan menjadi kepala dari Pek-houw Bu-koan itu. mendengus. “Hemmm, mana perempuan yang telah menghina murid-murid kami itu?”

“Ia masih makan di dalam, Teng-kauwsu. Akan tetapi harap Kauwsu suka bersabar dan menanti sampai ia keluar. Kasihanilah tamu-tamu lain yang tidak bersalah dan jangan merusak rumah makan kami.”

“Hemmm, baiklah. Hei, kalian jaga di empat sudut, jangan biarkan perempuan itu dapat meloloskan diri!” perintahnya kepada anak buahnya dan dia sendiri menjaga di depan pintu pekarangan rumah makan itu.

Para tamu lainnya yang melihat kedatangan rombongan itu menjadi ketakutan. Mereka segera membayar harga makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu karena takut terlibat.

Kwi Hong melihat hal ini, akan tetapi dia tetap tenang dan melanjutkan makannya. Dia melihat semua tamu telah pergi, kecuali seorang pemuda berpakaian sederhana yang duduk di meja tengah ruangan itu. Dia tidak peduli. Setelah selesai makan, dia menyeka mulutnya dan memanggil pelayan. Dengan sikap seenaknya dia lalu membayar harga makanan, barulah ia melenggang keluar dari rumah makan itu.

Keng Han mengikutinya dengan pandang matanya. Akhirnya dia membayar pula harga makanan dan menyelinap keluar.

Karena memang sudah dinanti, begitu keluar dari rumah makan yang sudah sunyi itu, Kwi Hong langsung dihadang oleh Pek-houw-eng Teng Coan bersama tiga puluh orang muridnya! Guru silat itu tercengang juga. Tidak disangkanya bahwa perempuan yang sudah menghina dan menghajar ketiga orang muridnya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan masih remaja! Paling banyak tujuh belas tahun usianya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia harus tetap menjaga nama baik dan kehormatan Pek-houw Bu-koan!

“Nona, berhenti dulu!” bentak Teng Coan saat melihat Kwi Hong melangkah terus tanpa mempedulikan dia dan para muridnya, dan sengaja dia menghadang di depan gadis itu.

Kwi Hong mengangkat muka memandang, seolah baru sekarang dia melihat ada orang menghadangnya. “Hemm, siapa engkau dan mau apa engkau menahan perjalananku?” tanyanya dengan sikap acuh tak acuh.

“Nona, apakah benar engkau yang tadi telah menghina dan memukuli tiga orang murid kami?”

“Hemmm, kalau memang betul, mengapa?”

“Nona, engkau ini terlalu kejam. Tanpa alasan yang kuat engkau melukai murid-murid kami, akan tetapi melihat bahwa engkau hanya seorang gadis remaja, maka biarlah aku akan habiskan urusan itu kalau saja engkau suka mohon maaf sambil berlutut di depan kakiku!”

Guru silat itu merasa tidak enak sendiri kalau harus berkelahi dengan seorang gadis remaja, maka dia hendak menghapus penghinaan itu dengan balas menghina dara itu. Kalau dara itu mau berlutut dan minta maaf, dia pun sudah akan puas dan semua orang tentu akan melihat dan membicarakannya.

Akan tetapi Kwi Hong mengerutkan alisnya. “Apa katamu? Aku berlutut minta maaf kepadamu? Jadi engkau guru mereka? Sepatutnya engkau yang mintakan maaf bagi mereka kepadaku. Tahukah engkau apa sebabnya aku menghajar tiga orang muridmu? Semua orang melihat betapa mereka bertiga itu bersikap kurang ajar kepadaku, maka aku mewakilimu untuk menghajarnya! Sepatutnya engkau menghaturkan terima kasih dan mohon maaf kepadaku!”

Keng Han yang menonton pertemuan itu hampir tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Gadis itu benar-benar hebat. Selain tabah dan berani, ternyata juga amat pandai bicara dan bicaranya tidak ngawur!

Akan tetapi kepala perguruan silat itu menjadi merah mukanya dan dia pun menggertak, “Nona, engkau masih tidak mau minta maaf? Lihatlah, tiga puluh orang muridku siap untuk membalaskan dendam saudara mereka. Apakah engkau tidak takut? Cepatlah minta maaf agar urusan ini segera beres dan habis.”

“Kalau engkau dan mereka itu datang untuk membela orang-orang yang bersalah, aku sama sekali tidak takut, bahkan kalian semua ini patut dihajar karena membela yang salah!” Kwi Hong marah.

“Bagus, engkau ternyata keras kepala dan sombong sekali, maka sudah sepatutnya aku menghajarmu!” teriak guru silat itu agar semua orang mendengar bahwa dia terpaksa melawan seorang gadis remaja karena gadis itu sombong dan tidak mau minta maaf.

Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan saja tangannya menampar ke arah pundak gadis itu. Betapa pun juga Teng Coan bukan penjahat, bahkan julukannya adalah Pendekar Harimau Putih, maka ia menganggap dirinya seorang pendekar sejati. Dia tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, maksudnya cukup asal menjatuhkan gadis itu saja untuk menghukumnya.

Akan tetapi dia kecelik kalau mengira dengan satu tamparan dapat mengalahkan Kwi Hong. Dengan amat mudahnya Kwi Hong menarik pundaknya ke belakang sehingga tamparan itu hanya mengenai angin kosong saja. Melihat tamparannya dapat dielakkan dengan mudah, Teng Coan menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menampar, kini lebih cepat serta kuat dan ditujukan ke arah muka gadis itu.

“Wuuuttttt...!”

Kembali tamparannya mengenai tempat kosong karena dengan mudah dielakkan oleh Kwi Hong yang menggeser kakinya ke kanan lalu tangannya bergerak cepat membalas serangan lawan dengan tonjokan ke arah dada guru silat itu. Karena Kwi Hong tidak memandang rendah lawan, maka tonjokannya tidak dilakukan dengan setengah tenaga melainkan dengan cepat dan amat kuat.

Melihat tonjokan ini, Teng Coan cepat menarik tangannya dan sambil miring ke kiri dia mempergunakan tangan kanan untuk menangkis pukulan Kwi Hong. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud membuat pukulan itu bukan hanya tertangkis, akan tetapi supaya gadis itu terdorong dan lengannya terasa sakit bertemu dengan lengannya sendiri.

“Dukkkkk...!”

Dua buah lengan tangan bertemu, yaitu lengan tangan yang bertulang besar dan berotot kekar melawan lengan tangan yang bertulang kecil dan berkulit putih halus seolah tidak berotot. Akan tetapi akibatnya benar-benar sangat mengherankan. Tubuh guru silat itu terhuyung ke belakang, sedangkan Kwi Hong tetap berdiri tegak sambil tersenyum!

Kini anak buah atau murid-murid Teng Coan sudah tidak sabar lagi. Dengan senjata golok dan pedang di tangan, mereka maju mengeroyok.

Melihat hal ini, Teng Coan tidak melerai bahkan dia pun menghunus pedangnya. Karena menghadapi banyak orang yang memegang senjata tajam, Kwi Hong melompat jauh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya ke punggung dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Para penonton menjadi panik melihat mereka semua sudah memegang senjata tajam. Banyak yang segera menjauhkan diri dan memandang dengan ngeri, dan khawatir akan keselamatan gadis cantik itu.

Akan tetapi, begitu Kwi Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut serbuan para murid Pek-houw-bukoan, terdengar jerit-jerit kesakitan dan tiga orang sudah roboh dan terluka. Ada yang pundaknya, ada yang pangkal lengannya, ada pula yang pahanya terserempet pedang di tangan Kwi Hong yang amat lihai itu.

Keng Han yang melihat gerakan itu, tidak mengkhawatirkan Kwi Hong. Melihat gerakan sepasang pedang itu, maklumlah dia bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tidak akan kalah walau pun dikeroyok banyak orang. Akan tetapi karena pengeroyoknya terlampau banyak, mungkin saja gadis itu akan melakukan banyak pembunuhan dan hal inilah yang dikhawatirkannya.

“Nona, jangan membunuh orang!” teriaknya.

Keng Han melompat maju. Kaki tangannya bergerak dan para pengeroyok itu langsung berpelantingan bagaikan diamuk badai. Mereka hanya merasa ada hawa yang tiba-tiba mendatangkan angin demikian kuatnya sehingga mereka semua terdorong ke belakang dan terjengkang bergulingan!

Sementara itu, Kwi Hong sudah bertanding melawan guru silat Teng Coan. Akan tetapi baru sekarang Pek-hou-eng Teng Coan menyadari betapa lihainya gadis itu. Sepasang pedang itu menutup semua lubang dan sebaliknya dapat menyerang dari arah mana pun sehingga dia yang menjadi repot harus melindungi dirinya dari serangan sepasang pedang yang baginya seolah-olah telah berubah menjadi lima buah banyaknya itu! Dan bayangan pedang-pedang yang menyerangnya itu saling mendukung, susul menyusul datangnya seperti rangkaian yang tidak pernah putus!

Belum sampai dua puluh jurus, setelah dengan susah payah dia melindungi tubuhnya, akhirnya pedang kiri Kwi Hong mengenai pundak kanannya sehingga tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan.

“Singgg...!”

Tahu-tahu sepasang pedang di tangan Kwi Hong telah menyilang di lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak karena bergerak berarti lehernya akan terluka.

“Nah, cepat perintahkan semua muridmu untuk mundur!” bentak Kwi Hong kepada Teng Coan.

Guru silat ini dengan muka sebentar pucat sebentar merah saking malunya, melirik dan melihat betapa para muridnya itu sedang diamuk seorang pemuda dengan tamparan dan tendangan.

“Semua murid, hentikan serangan!” bentaknya.

Para murid Pek-houw Bu-koan segera berlompatan ke belakang. Mereka memang telah jeri melihat sepak terjang pemuda yang tiba-tiba muncul membantu Kwi Hong itu. Dan kini mereka melihat betapa guru mereka sudah dikalahkan gadis itu, maka semangat mereka langsung menjadi hilang.

Keng Han menghampiri guru silat itu dan berkata dengan suara halus tapi mengandung teguran, “Engkau adalah pemimpin perguruan, sepatutnya engkau dapat mengajarkan kesusilaan dan sopan santun kepada para muridmu di samping ilmu silat. Ilmu silat bukan untuk main ugal-ugalan dan menang-menangan sendiri. Tiga orang muridmu itu tadi bersikap kurang ajar terhadap Nona ini dan akulah seorang di antara para saksi yang berada di dalam rumah makan. Engkau baru dapat disebut orang gagah kalau mau mengakul kesalahanmu, maka suruhlah murid-muridmu tadi minta ampun kepada Nona ini!”

Pek-houw-eng Teng Coan menyadari kesalahannya. Dia terburu nafsu mendengarkan laporan tiga orang muridnya. Sekarang baru dia bertemu batunya, menghadapi gadis remaja saja dia kalah.

“Hayo kalian bertiga cepat maju ke sini!” bentaknya kepada para muridnya.

Tiga orang murid yang tadi membuat kekacauan di rumah makan maju dengan sikap takut. Kwi Hong sendiri sudah menyimpan pedang dan ia memandang kepada pemuda sederhana itu dengan heran dan kagum. Ia tadi juga sempat melihat betapa pemuda itu dengan tangan kosong telah merobohkan belasan orang murid tanpa melukai mereka. Tentu pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

Setelah tiga orang murid itu mendekat, Teng Coan lalu menggerakkan tangannya, tiga kali menampar dan tiga orang muridnya itu terpelanting.

“Hayo cepat berlutut dan minta maaf kepada Nona ini!” kata Teng Coan.

Kini kemarahannya sepenuhnya ditujukan kepada tiga orang murid yang menimbulkan gara-gara itu sehingga dia mendapat malu di depan banyak orang. Kalau bukan karena ulah tiga orang muridnya itu tentu dia tidak sampai terlihat orang-orang dikalahkan oleh seorang gadis remaja!

Tiga orang murid itu merangkak ke depan kaki Kwi Hong dan memberi hormat sambil berlutut. “Nona, kami mohon maaf atas kesalahan kami,” kata mereka.

Kwi Hong tersenyum. “Sudah, bangkitlah. Aku pun tahu bahwa kebanyakan orang muda memang sering kali ugal-ugalan. Akan tetapi kalian jangan sekali-kali menggoda wanita. Sepatutnya orang-orang yang belajar silat seperti kalian malah menjadi pelindung dan pembela wanita dari gangguan orang jahat. Apakah kalian memang ingin menjadi orang jahat yang suka mengganggu wanita?”

“Tidak, tidak..., Nona,” kata mereka serempak.

“Bagus, kalian harus menjadi pendekar-pendekar yang sejati, yang menghormati wanita dan membela mereka sebagaimana patutnya seorang pendekar yang menentang orang jahat dan melindungi si lemah. Nah, sudahlah, kuhabiskan urusan sampai di sini!”

“Terima kasih, Nona.” Tiga orang itu bangkit berdiri kemudian mundur ke tempat kawan-kawannya.

Pek-houw-eng Teng Coan juga memberi hormat kepada Kwi Hong dan Keng Han. “Hari ini aku Teng Coan menerima pelajaran dari Ji-wi, untuk itu kami menghaturkan terima kasih. Mulai hari ini aku akan meneliti kelakuan murid-murid perguruan kami dan akan bertindak sesuai dengan nasehat Ji-wi (Kalian berdua).”

Setelah berkata demikian, dengan sikap bengis dia membentak para muridnya untuk kembali ke perguruan sehingga tempat itu kembali sepi. Para penonton juga bubaran dan tentu saja Kwi Hong menjadi bahan pembicaraan mereka. Setelah melihat tindakan Kwi Hong yang gagah, beberapa orang di antara mereka teringat akan pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Emas.

Dan memang gadis itu memakai perhiasan bangau emas di rambutnya.....

“Si Bangau Emas, ia tentulah Si Bangau Emas yang terkenal gagah dan pemberantas kejahatan!” demikian segera tersiar berita itu sehingga nama Si Bangau Emas semakin dikagumi orang.

Sementara itu, Kwi Hong tengah memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya, dan sangat sederhana. Kebetulan Keng Han juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam itu saling bertemu dan bertaut sejenak.

Kwi Hong lalu membungkuk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!”

“Tak perlu berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekali pun Nona akan mampu menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku bisa tinggal diam? Terpaksa tadi aku harus mencampuri, Nona.”

“Ahh, tidak mengapa. Aku tadi melihat ilmu silatmu sangat hebat, Sobat. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?”

Keng Han tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran mahkota!. Ia akan merahasiakan keadaan dirinya itu hingga ia dapat bertemu ayahnya. “Aku bernama Keng Han... Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Nona? Dan siapa pula gurumu? Ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu demikian hebat, tentu suhu-mu seorang yang amat terkenal pula.”

Seperti juga Keng Han, Kwi Hong tak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong dan nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga.

“Namaku Kwi Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat dibandingkan dengan ilmu kepandaianmu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku menyebutmu Han-koko saja? Lagi pula, bukankah sekarang kita telah menjadi kenalan dan sahabat?”

Girang sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, bicaranya pun lihai pula, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan sekali.

“Tentu saja boleh dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa engkau jauh lebih muda dari padaku.”

“Hik-hik-hik, Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini sudah menjadi kakek-kakek saja. Memang aku lebih muda darimu, akan tetapi aku yakin kalau selisihnya tidak seberapa banyaknya. Berapa usiamu sekarang?”

“Sudah hampir dua puluh satu tahun, Nona... ehhh, Hong-moi.”

“Nah, dan kini aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga tahun. Ehh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?”

Pertanyaan ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini dia hendak pergi mencari ayahnya, Pangeran Mahkota.

“Aku hanyalah seorang perantau, Hong-moi, dan aku sedang menuju ke kota raja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku mendengar bahwa kota raja amat besar dan indah.”

“Ahhh, kebetulan sekali, aku pun kini sedang pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, Han-ko.”

“Aih, apakah engkau tidak merasa... janggal, Hong-moi? Melakukan perjalanan bersama seorang pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu? Apa akan kata orang nanti?”

“Peduli amat dengan pendapat orang, Han-ko. Jika aku terlalu mempedulikan pendapat orang lain, tak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu meneliti langkah sendiri, kalau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimana pun sesuka perut mereka, aku tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita pun telah menjadi sahabat, sama-sama menghadapi orang-orang yang sesat jalan. Nah, bukankah kita tidak asing lagi satu sama lain? Atau... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku, Han-ko?”

Keng Han menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu!

“Hong-moi, bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Tentu saja aku suka sekali, apa lagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang.”

“Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan wajar, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?”

Bukan main kagumnya hati Keng Han. Seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan sudah sedemikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.

“Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu-ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?”

“Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat.”

Mereka lalu berangkat, meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata perjalanan itu harus melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, mendadak dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan.

Keng Han segera menghadang dan bertanya. “Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?”

“Ahh, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok satu orang dan agaknya mereka itu hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan. Ahh, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula...!” Orang itu berlari lagi ketakutan.

Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang dahulu pernah mencari gurunya, Gosang Lama. Mereka berkepandaian sangat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka dapat merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!

“Mari kita ke sana!” katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.

“Tunggu aku, Han-ko!” teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnya sehingga ia dapat menyusul Keng Han.

Tidak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Pada saat mereka tiba di situ, kakek yang dikeroyok itu agaknya telah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.

“Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!”

Dia menyerang pendeta yang terdekat. Pendeta itu pun menangkis serangannya.

“Dukkk...!”

Tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Dia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong langsung mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam.

Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang. Dia menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sambil mundur.

Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama. Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.

“Suhu...!” teriaknya.

“Keng Han..., pergilah... mereka lihai sekali. Larilah!” kata Gosang Lama ketika melihat muridnya.

Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan cepat meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lainnya hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.

“Pendeta-pendeta keparat dan kejam!” bentaknya.

Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali, maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya memukul dengan kandungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin.

Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.

“Wuuuuuttt... desssss...!”

Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting. Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak terluka parah, akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali!

Mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya dimiliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jeri dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil temannya yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tangguh, apa lagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka.

Keng Han hendak mengejar, akan tetapi ia mendengar suara gurunya mengeluh, “Keng Han, jangan...!”

Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya.

Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau mendadak ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah?

“Ahhh, Suhu. Bagaimana keadaanmu?” Keng Han mengguncang pundak kakek berusia sudah tujuh puluh tahun itu.

Gosang Lama hanya menggelengkan kepala dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu.

“Semua ini... gara-gara... Dalai Lama..., Keng Han. Kau… kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai... itu juga musuh besarku. Ada puteraku...Gulam Sang temui dia, ajak kerja sama... aku... aku...”

Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.

“Suhu...!” Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. “Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhu-mu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya.”

Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati. Kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menangis.

Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi. “Engkau benar, Hong-moi. Aku tadi terlalu lemah.”

Dengan dibantu Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji, “Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika mendengar ucapan Keng Han ini. “Han-ko, pesan terakhir suhu-mu itu sungguh luar biasa sekali.”

Keng Han menoleh kepada gadis itu. “Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu hanya menyuruh aku membasmi musuh-musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya.”

“Pertama, agaknya suhu-mu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta tapi memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Pada umumnya seorang pendeta justru melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kau lakukan, Han-ko.”

“Tidak mungkin?” Keng Han mengerutkan alisnya. “Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?”

Dia merasa penasaran sekali walau pun alasan pertama tadi kini juga menjadi bahan pemikirannya. Dia pun telah banyak membaca kitab-kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi kenapa suhu-nya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhu-nya sendiri!

“Tidak mungkin karena permintaan suhu-mu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?”

Keng Han menggelengkan kepalanya. Memang dia belum pernah mendengar atau pun membaca tentang Dalai Lama.

“Belum pernah. Siapa sih dia?”

“Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang sangat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?”

“Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!” kata Keng Han dengan suara tegas.

“Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi.”

“Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh besar suhu, memang harus dibasmi!”

“Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?”

“Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal...”

“Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh aku merasa heran sekali. Kalau gurumu itu musuh besar Bu-tong-pai, maka...” Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.

“Maka bagaimana, Hong-moi? Apakah engkau hendak bilang bahwa gurukulah yang berada di pihak yang salah?”

“Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan.”

“Apa pun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!” kata Keng Han berkeras.

“Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!”

“Bukankah sudah sepatutnya budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?”

“Han-ko...”

Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apa lagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat!

“Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja...!”

“Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!”

“Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko.”

“Aku tidak peduli,” Keng Han bangkit berdiri. “Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat sekarang juga.” Dia lalu melompat pergi.

“Han-ko... tunggu...!” Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti. Gadis itu mengejar dan menyusulnya.

“Ada apa, Hong-moi?”

“Han-ko, aku ikut denganmu!” katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri Pangeran Mahkota! “Aku akan ikut ke Tibet!”

Benar-benar Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama pemuda itu, tidak ingin berpisah.

Akan tetapi Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis itu? Juga ini di luar kepantasan.

“Tidak, Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tak ingin engkau terbawa-bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!”

Dia menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi basah! Dia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat dan seaneh itu. Dia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.

“Hemmm, aku sangsi apakah dia ini seorang baik-baik,” gumamnya, kemudian dia pun pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja…..

********************

Kita tinggalkan dulu Kwi Hong yang kembali ke kota raja dan Keng Han yang pergi ke Tibet dan mari kita menengok keadaan perkumpulan Thian-li-pang.

Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar dan patriot yang diam-diam menghendaki kemerdekaan bagi nusa dan bangsanya, terbebas dari penjajahan bangsa Mancu. Perkumpulan Thian-li-pang tadinya dibawa menyeleweng oleh seorang sesat, akan tetapi kemudian setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, kembali ke jalan benar. Biar pun sama-sama menentang kekuasaan Mancu, tapi Thian-li-pang tidak sudi bekerja sama dengan dua perkumpulan lain yang dianggap sesat, yaitu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

Setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, yaitu Yo Han, seorang pendekar yang terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Sakti, perkumpulan itu menjadi makin besar dan maju. Pusat perkumpulan ini berada di puncak Bukit Naga.

Ada satu peraturan yang dipegang keras oleh para murid Thian-li-pang, yaitu tidak boleh sembarangan membunuh, biar yang dibunuh pejabat pemerintah kerajaan Mancu sekali pun. Sasaran mereka bukan para pembesar yang baik, akan tetapi para pembesar yang melakukan penindasan terhadap rakyat jelata.

Yo Han benar-benar mengerti bahwa belum tiba saatnya untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu. Keadaan pemerintah Mancu masih terlampau kuat. Bahkan banyak pula bangsa Han yang mendukungnya, termasuk perkumpulan-perkumpulan besar dan pendekar-pendekar sakti.

Yo Han hanya memimpin para murid untuk bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si jahat dan melindungi si lemah yang tertindas. Oleh karena itu, pemerintah pun tidak melakukan usaha untuk membasminya sebagai pemberontak, karena tindakan para murid Thian-li-pang seperti para pendekar, bukan seperti pemberontak.

Yo Han, sang ketua Thian-li-pang, adalah seorang pendekar besar yang namanya amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Selain terkenal amat lihai, dia juga bijaksana sekali. Pendekar yang satu ini pantang membunuh lawan, bahkan para penjahat yang ditundukkannya selalu diberi nasehat agar kembali ke jalan benar dan tidak dibunuh. Oleh karena itu, banyak sekali penjahat besar yang berhutang budi kepadanya, telah kembali ke jalan benar karena sikap pendekar ini.

Yo Han telah berusia hampir lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak tampan dengan matanya yang bersinar tajam dan cerdik. Wajahnya berbentuk lonjong dengan dagu runcing berlekuk, kini ditumbuhi jenggot sedang yang sebagian sudah berwarna putih.

Rambutnya yang panjang juga bercampur sedikit uban, tetapi alisnya yang menghias dahinya yang lebar masih tetap hitam tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya ramah sekali, selalu dihias senyum. Tubuhnya sedang-sedang saja, namun tegap berisi. Inilah pendekar sakti Yo Han yang menjadi ketua Thian-li-pang di Bukit Naga.

Isterinya juga bukan orang sembarangan. Isterinya yang bernama Tan Sian Li, dahulu ketika masih menjadi gadis sudah terkenal pula sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Merah. Julukan ini karena pakaiannya yang selalu berwarna merah dan karena ilmu silatnya yang khas, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).

Walau pun tingkat ilmu kepandaiannya tidak sehebat suaminya, akan tetapi Tan Sian Li merupakan seorang wanita yang sukar dicari tandingnya. Wanita ini adalah campuran keturunan dari para Pendekar Gurun Pasir dan Pendekar Pulau Es, bahkan juga pernah mempelajari ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga). Tidak heran jika wanita ini amat mahir menggunakan sebatang suling yang berselaput emas sebagai senjata.

Akan tetapi ilmunya yang paling diandalkan adalah Angho Sin-kun yang ia pelajari dari ayahnya. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih yang namanya juga amat terkenal di dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Sekarang usia Tan Sian Li sudah empat puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dalam usianya yang empat puluh tahun, ia masih nampak cantik jelita.

Wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu senyum mengejek dengan dihias lesung pipit di kanan kiri. Wataknya keras dan agak galak. Selain pandai ilmu silat, Tan Sian Li ini juga pernah belajar ilmu pengobatan tusuk jarum dari mendiang Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat).

Suami isteri ini hanya memiliki seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan belas tahun. Puteri mereka ini diberi nama Yo Han Li, yaitu gabungan dari nama Yo Han dan Tan Sian Li. Dengan ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Han Li amat cantik manis. Sejak kecil ia juga sudah digembleng ilmu silat sehingga setelah berusia delapan belas tahun ilmu kepandaiannya sudah setingkat dengan ibunya! Namun, Han Li yang cantik ini berwatak pendiam dan anggun, tidak seperti ibunya yang dahulu lincah dan galak.

Yo Han dan isterinya memimpin Thian-li-pang dengan bijaksana dan keras memegang peraturan sehingga para murid semuanya patuh dan tunduk. Tak ada di antara mereka yang berani melanggar pantangan perkumpulan. Mereka tidak boleh mencari perkara, tak boleh mengganggu rakyat, tidak boleh bermain judi, dan kalau bertemu lawan, tidak boleh membunuh.

“Kita memang membenci kaum penjajah dan sudah menjadi cita-cita kita bersama untuk membebaskan rakyat kita dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi kini belum saatnya. Kekuatan kita tiada artinya dibandingkan kekuatan kerajaan Mancu. Kalau saatnya telah tiba, dan hanya dalam pertempuran dengan bangsa Mancu, maka larangan membunuh dengan sendirinya dihapus. Demi membela bangsa serta memerdekakan tanah air dari cengkeraman penjajah, kita harus berjuang mati-matian, kita dibunuh atau membunuh,” demikianlah antara lain Yo Han memberi peringatan kepada para murid atau anggota Thian-li-pang.

Perguruan-perguruan lain sangat menghormati Thian-li-pang sehingga terjalin hubungan baik antara Thian-li-pang dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Sudah beberapa kali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai mencoba untuk menghubungi Thian-li-pang untuk bekerja sama memberontak, namun Thian-li-pang selalu mengelak dan tidak bersedia bekerja sama dengan mereka.

Yo Han mengenal benar mereka yang memimpin kedua partai ini. Mereka adalah orang-orang golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan untuk keuntungan mereka sendiri.

Untuk membiayai perkumpulan mereka, Yo Han lalu menyuruh para muridnya bekerja. Mereka membuka piauw-kiok (pengawal barang kiriman), juga menjadi penjaga-penjaga keamanan. Oleh karena barang kiriman yang dikawal Thian-lipang selalu aman dan tak pernah diganggu oleh penjahat, maka usaha mereka itu maju sekali dan hasilnya dapat untuk biaya perkumpulan mereka. Di samping itu, ada pula para murid yang bekerja sendiri, ada yang berdagang, ada yang menjadi karyawan, ada pula yang bertani. Yo Han sendiri membuka sebuah toko rempah-rempah dan isterinya suka menolong orang sakit dengan pengobatan tusuk jarum.

Pada suatu hari, sebuah kereta mewah berhenti di depan rumah ketua Thian-li-pang ini. Para murid Thian-li-pang merasa heran karena kereta seperti itu tentulah milik seorang bangsawan tinggi. Segera mereka melapor kepada ketua mereka dan mendengar ada kereta bangsawan datang, Yo Han bersama isterinya segera keluar menyambut karena mereka sudah dapat menduga siapa yang datang berkunjung.

Dari kereta itu turun seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia empat puluh tiga tahun. Leaki ini bermuka bundar berkulit putih dengan mata tajam dan hidungnya agak besar. Alisnya tebal dan mulutnya tersenyum-senyum.

Di sampingnya turun pula seorang wanita yang usianya sebaya, anggun serta cantik. Tubuhnya masih ramping, juga wajahnya nampak berseri ketika melihat Yo Han dan Tan Sian Li keluar menyambut. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari emas permata. Wajahnya yang cantik dan anggun itu agak dingin, akan tetapi senyumnya begitu manis sehingga dapat mengusir kesan dingin itu. Paling akhir keluar seorang pemuda bangsawan yang gagah dan tampan.

Siapakah mereka ini yang menjadi tamu-tamu Thian-li-pang? Mereka memang keluarga bangsawan tinggi karena laki-laki setengah tua itu bukan lain adalah Pangeran Cia Sun, seorang pangeran yang tidak penting kedudukannya di kota raja, karena ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan hanya menjadi anak angkat mendiang Kaisar Kiang Liong.

Pangeran Cia Sun ini juga agaknya tidak terlalu membanggakan kedudukannya sebagai pangeran, bahkan di waktu mudanya dia suka pergi berkelana di dunia kang-ouw. Dia memang pandai ilmu silat dan mengenal banyak pendekar dan tokoh kang-ouw. Bahkan ia pernah bersahabat baik dan mengangkat saudara dengan Yo Han. Di waktu mudanya pernah ia melakukan perjalanan petualangan dengan Yo Han hingga hubungan mereka akrab sekali, pernah mengalami suka duka bersama dan menghadapi ancaman maut bersama!

Wanita cantik anggun dingin itu adalah isterinya yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini juga bukan wanita sembarangan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi puteri angkat ketua Lembah Ban-kwi-kok, yaitu ketua Pao-beng-pai, juga sebuah perkumpulan sesat yang berkedok perjuangan melawan penjajah.

Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Sim Hui Eng ini adalah puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan, sepasang suami isteri pendekar sakti. Wanita ini hilang diculik orang ketika berusia tiga tahun. Baru setelah gadis, ia bertemu kembali dengan ayah bundanya dan kini ia menjadi isteri Pangeran Cia Sun, hidup berbahagia dengan suaminya tercinta di kota raja.

Pemuda itu adalah putera mereka, anak tunggal yang diberi nama Cia Kun. Sebagai putera dari ayah dan ibu yang pandai, tentu saja dia tidak asing dengan ilmu silat. Selain mempelajari sastra seperti layaknya pemuda keluarga bangsawan tinggi, Cia Kun juga digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya sendiri. Bahkan oleh ibunya dia telah diajar ilmu yang sangat tangguh dari ibunya, yaitu Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi)! Dan sebagai anak tunggal, watak Cia Kun agak manja dan tinggi hati, walau pun watak itu agak tertutup oleh ketampanan wajahnya yang menimbulkan rasa suka di hati orang yang bertemu dengannya.

“Yo-twako...!” Cia Sun lari menghampiri Yo Han dan merangkulnya.

“Cia-te...!” Yo Han juga memeluknya dengan terharu.

Mereka memang seperti kakak adik saja. Setelah bertahun-tahun tidak saling berjumpa, mereka merasa saling rindu. Sim Hui Eng juga segera saling memberi hormat dengan Tan Sian Li.

Pada waktu melihat Han Li, Sim Hui Eng memandang dan tersenyum manis. “Ini tentu puterimu Han Li itu! Aihhh, sudah begini besar, sudah dewasa dan cantik jelita seperti ibunya!”

“Aihh, engkau terlalu memuji. Han Li ini bodoh seperti ibunya. Hayo, Han Li, beri hormat kepada Paman Cia Sun dan Bibi Sim Hui Eng!” kata Tan Sian Li kepada puterinya yang berada di belakangnya.

Han Li cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, akan tetapi ia hanya memandang saja sejenak kepada Cia Kun.

“Dan ini tentu putera kalian, bukan? Siapa namanya? Cia Kun, bukan? Ahh, sudah lama tidak berjumpa, sekarang tahu-tahu sudah menjadi seorang perjaka dewasa yang gagah dan tampan seperti ayahnya!” kata Yo Han memuji.

“Cia Kun, hayo cepat engkau memberi hormat kepada pamanmu Yo Han yang sering aku ceritakan padamu itu, dan juga kepada bibimu Tan Sian Li.”

Cia Kun mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada suami isteri itu.

“Aih, kenapa kalian berdua hanya saling pandang saja?” tiba-tiba Sim Hui Eng menegur puteranya dan juga Han Li. “Cia Kun, gadis ini adalah Yo Han Li, puteri paman dan bibimu, engkau harus menyebutnya adik. Dan Han Li, jangan malu-malu terhadap Cia Kun, ini adalah putera kami atau kakakmu!”

Mendapat teguran itu, Han Li segera mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat yang segera disambut oleh Cia Kun dengan hormat pula.

“Mari, silakan masuk!” Tan Sian Li mempersilakan tamu-tamunya masuk dan duduk di ruangan dalam.

Sebuah pesta kecil segera diadakan oleh tuan rumah untuk menjamu para tamu yang mereka sayangi dan hormati itu. Para anak buah Thian-li-pang hanya saling pandang dan saling berbisik saja melihat ketua mereka menyambut tamu keluarga bangsawan dari istana demikian akrabnya. Akan tetapi, tidak seorang pun di antara mereka berani menyatakan ketidak senangan hati mereka dan hanya memendam di dalam hati saja.

Di tengah makan minum, Yo Han berkata, “Cia-te kunjunganmu sekeluarga ini sangat menggembirakan hati kami sekeluarga. Akan tetapi di balik itu juga mengherankan. Ada suatu keperluan penting apakah yang kalian bawa dengan kunjungan ini?”

Cia Sun saling pandang dengan isterinya, lalu tersenyum dan menjawab. “Memang ada, Yo-toako. Akan tetapi sebaiknya urusan itu kita bicarakan setelah selesai makan agar lebih santai dan leluasa.”

Demikianlah, setelah makan, mereka pindah duduk di ruang tamu di samping yang lebih luas dan setelah semua pelayan meninggalkan ruangan, baru Cia Sun bicara.

“Sebetulnya, Yo-toako, kunjungan kami ini selain karena merasa rindu kepada kalian, juga kami membawa niat yang amat baik untuk mempererat tali kekeluargaan di antara kita. Melihat kenyataan bahwa anak-anak kita sudah dewasa, dan kebetulan anakmu wanita dan anak kami pria, maka kami mengusulkan supaya di antara mereka diikat tali perjodohan. Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, Toako dan Toaso?”

Mendengar ucapan itu, Yo Han Li bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang itu dengan muka kemerahan. Melihat ini keempat orang tua itu hanya tersenyum, maklum bahwa sudah wajar kalau seorang gadis merasa malu saat mendengar dirinya dibicarakan untuk urusan perjodohan!

Sementara itu, Cia Kun juga merasa tidak enak. Melihat ini, Yo Han berkata kepadanya, “Cia Kun, kalau engkau ingin menemani adikmu, pergi ke taman bunga di sebelah. Biar kami orang-orang tua dapat berbicara dengan leluasa.”

Cia Kun berterima kasih sekali. Dia pun cepat-cepat bangkit, lalu melangkah ke taman bunga yang berada di pinggir bangunan itu.

“Yo-toako, tentu saja kami tidak minta keputusan yang tergesa-gesa dan kalau engkau hendak membicarakan lebih dulu dengan Toaso (Kakak ipar), silakan. Kami akan sabar menunggu.”

“Tidak perlu, Cia-te. Apa yang akan menjadi keputusan kami adalah sama dan dapat kami jawab sekarang juga. Sebelumnya kami mengharapkan maaf kalau kami hendak bicara terus terang dan sejujurnya.”

“Mengapa minta maaf? Bicara terus terang dan sejujurnya, itulah yang kami harapkan. Nah, utarakan pendapatmu itu, Yo-toako.”

“Begini, Cia-te berdua. Andai Cia-te bukan seorang Pangeran Mancu, tentu pinangan itu akan kami terima dengan kedua tangan dan hati terbuka. Akan tetapi sungguh sayang, Cia-te adalah seorang Pangeran Mancu. Sedangkan kami, Cia-te tentu maklum sendiri bahwa kami adalah orang-orang yang berjuang dan bercita-cita memerdekakan bangsa dari tangan kaum penjajah. Kami berjiwa patriot yang mendambakan kemerdekaan bangsa. Bagaimana mungkin kami berbesan dengan Pangeran Mancu? Nah, Cia-te tentu dapat memaklumi alasan kami yang berkeberatan untuk menerima usul itu.”

“Akan tetapi, Yo-toako!” Sim Hui Eng membantah. “Suamiku bukan orang yang berjiwa penjajah. Hal ini aku yakin Toako telah mengetahui sendiri!”

“Aku tahu. Cia-te adalah orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa. Akan tetapi aku juga yakin dia bukan seorang pengkhianat keluarga dan bangsanya. Kita berdua berdiri di seberang yang berlawanan. Kalau kelak terjadi perang antara para pejuang dan para penjajah, lalu bagaimana anak-anak kita akan bersikap? Aku tentu tidak suka apa bila melihat menantuku membantu penjajah memerangi pejuang, sebaliknya aku pun tidak suka melihat menantuku menjadi seorang pengkhianat bagi keluarga dan bangsanya sendiri. Tidak, Cia-te berdua. Ikatan perjodohan ini tidak mungkin kita lakukan. Biarlah mereka berdua menjadi sahabat saja seperti halnya kita.”

“Ahh, Yo-toako, engkau membuat semua harapanku terbanting dan hancur berantakan. Semula aku datang dengan penuh harapan untuk bisa mengekalkan persaudaraan kita, siapa kira engkau menolaknya dengan keras,” kata Cia Sun menyesal sekali.

“Maafkan kami, Cia-te. Ada suatu saat di mana kita harus mengambil sikap tegas agar kelak di kemudian hari tak akan menderita akibat keputusan yang diambil tergesa-gesa.”

“Aku mengerti maksudmu, Toako. Dan aku tidak menyalahkan engkau. Aku mendengar bahwa Thian-li-pang di bawah pimpinanmu menunjukkan sikap sebagai para pendekar, bukan pemberontak, karena itu aku datang penuh harapan. Siapa tahu...”

“Kami memang bukan pemberontak, Cia-te, namun cita-cita kami untuk kemerdekaan bangsa tidak pernah padam. Apa bila sudah tiba waktunya, tentu kami akan bergerak dengan rakyat jelata untuk menuntut kemerdekaan kami.”

“Sudahlah, dasar nasib kami yang tak baik. Kalau begitu, kami mohon pamit, Yo-toako. Harap suruh orang memanggil putera kami.”

Dengan sikap tenang walau pun hatinya merasa tidak enak sekali, Yo Han mengutus seorang pelayan untuk memanggil Cia Kongcu yang berada di taman bunga. Ketika itu, Cia Kun sudah dapat bertemu dengan Han Li di taman.

Ketika pemuda itu memasuki taman bunga, dia melihat gadis itu sedang duduk di antara banyak bunga yang sedang berkembang dengan indahnya. Bermacam bunga ditanam di dalam taman itu dan kebetulan sekali waktu itu musim bunga sedang berkembang. Keharuman bunga semerbak di mana-mana dan pemandangan di taman itu sungguh indah. Tentu saja kalau dibandingkan dengan taman bunga di istana, taman bunga di Thian-li-pang itu bukan apa-apanya, bahkan tidak ada artinya.

“Li-moi, engkau di sini?” tegur pemuda itu setelah menghampiri Han Li.

Han Li membalikkan tubuhnya, memandang pada pemuda itu dengan kedua pipi agak kemerahan. Ia merasa tersipu-sipu karena baru saja orang tua mereka membicarakan tentang perjodohan mereka. Ia merasa heran akan keberanian pemuda itu menyusulnya ke taman bunga.

“Ah, kiranya engkau, Kun-ko. Aku di sini sedang menikmati bunga-bunga yang sedang mekar. Indah sekali bunga-bunga di taman ini, bukan?”

Cia Kun mempunyai watak yang tinggi hati. Mendengar ucapan itu, dia memandang ke sekeliling, lalu katanya, “Ahhh, tidak artinya apa bila dibandingkan dengan taman bunga kami di istana, Li-moi. Datanglah ke taman bunga kami dan engkau akan takjub melihat keindahan bunga-bunga yang ratusan macam di sana!”

Han Li mengerutkan alisnya. Tentu saja hatinya tidak senang mendengar ini. Pemuda itu meremehkan keindahan taman bunganya!

“Hemmm, tentu saja di istana segalanya serba lebih besar dan lebih indah. Akan tetapi aku tidak ingin melihatnya!” katanya agak ketus karena hatinya tersinggung.

Agaknya Cia Kun menyadari kesalahannya dan dia segera berkata, “Akan tetapi di sini ada setangkai bunga yang tidak ada duanya, bahkan di istana juga tidak ada, Li-moi. Bunga itu amat cantik jelita, membuat hatiku terkagum-kagum, Li-moi.”

“Ahh, benarkah itu?” Han Li kelihatan girang dan memandang ke sekelilingnya. “Bunga mana yang kau maksudkan itu, Toako?”

“Bunga itu adalah engkau, Li-moi. Dirimu yang amat mengagumkan hatiku! Dan orang tua kita sedang membicarakan urusan perjodohan kita, Li-moi. Tidakkah hatimu senang sekali, seperti juga perasaan hatiku?”

Han Li mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan tajam. “Kun-ko aku tidak suka mendengar omonganmu ini! Pergilah dan jangan ganggu aku lebih lama lagi!”

Cia Kun hendak membantah, akan tetapi pada saat itu datang pelayan berlarian yang melapor bahwa Cia Kongcu dipanggil oleh orang tuanya, karena hendak diajak pulang. Cia Kun merasa heran, akan tetapi dia segera memberi hormat kepada Han Li sambil berkata, “Maafkan aku, Limoi. Kita berpisah dulu, sampai bertemu kembali.”

Han Li hanya mengangguk dan tidak mempedulikan lagi pemuda itu yang meninggalkan taman. Cara pemuda itu membandingkan taman bunganya dengan taman istana, lalu cara pemuda itu menyatakan perasaan hatinya, sungguh mendatangkan kesan yang tak menyenangkan di dalam hatinya. Ia akan membantah ayah bundanya kalau sampai dia dijodohkan dengan pemuda itu.

Akan tetapi hatinya merasa sangat lega karena ayah bundanya ternyata tidak pernah menyinggung-nyinggung soal perjodohan itu dalam percakapan mereka…..

********************

Tiga hari setelah kunjungan Pangeran Cia Sun sekeluarga, datang dua orang tosu dari Bu-tong-pai berkunjung ke Thian-li-pang. Karena Thian-li-pang di bawah bimbingan Yo Han memang memiliki hubungan baik dengan semua partai dan perguruan silat besar termasuk Bu-tong-pai, maka Yo Han sendiri yang menyambut kunjungan kedua orang tosu utusan Bu-tong-pai itu dan mempersilakan mereka berdua masuk ruangan tamu.

Yo Han menyambut dua orang tamu itu bersama isterinya dan ketika mempersilakan mereka duduk, dia mengamati kedua orang itu. Dua orang tosu yang nampak gagah dan bertubuh tegap.

Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang kedua lebih muda beberapa tahun. Yang pertama bertubuh jangkung kurus dengan sepasang mata yang sipit sekali, sedangkan yang lebih muda bertubuh tinggi besar dan memiliki mata yang tajam dan agak liar. Terutama sekali mata itu seperti hendak menelan bulat-bulat nyonya rumah yang cantik jelita itu. Diam-diam Yo Han merasa tidak senang dengan sikap tosu yang lebih muda itu.

“Yo-pangcu (ketua Yo),” kata yang lebih tua sambil mengangkat dua tangan ke depan dada, “Pinto (saya) bernama Thian Yang Cu dan ini adalah sute pinto bernama Bhok Im Cu. Pinto berdua mendapat perintah dari suhu Thian It Tosu untuk datang berkunjung ke sini dan menyampaikan salam suhu kepada Yo-pangcu sekeluarga.”

Yo Han tersenyum dan membalas penghormatan itu. “Totiang berdua, terima kasih atas kunjungan Ji-wi To-tiang (totiang berdua) dan salam dari Thian It Tosu telah kami terima dengan baik. Sampaikan juga salam hormat kami kepada beliau kalau Ji-wi pulang nanti. Dan selain menyampaikan salam, ada kepentingan lain apa pula yang membawa Ji-wi datang berkunjung ini?”

“Memang ada keperluan lainnya, Pangcu. Kami membawa sepucuk surat dari guru kami untuk disampaikan kepada Pangcu,” kata Thian Yang Cu sambil mengeluarkan sepucuk sampul surat yang dia berikan kepada Yo Han.

Sementara itu, Tan Sian Li mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia memergoki Bhok Im Cu memandang kepadanya dengan mata lahap sekali. Dia merasakan benar betapa mata tosu itu mengaguminya dan hal ini dianggapnya sama sekali tidak pantas, apa lagi tamu itu seorang tosu.

Setelah menerima surat itu, Yo Han lantas membacanya. Alisnya berkerut dan pandang matanya mengandung keheranan ketika dia menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Juga Tan Sian Li merasa heran setelah membaca surat itu.

Di dalam surat yang ditulis sendiri oleh Thian It Tosu, dinyatakan bahwa Bu-tong-pai mengajak Thian-li-pang untuk memberontak dan bergerak. Waktunya sudah tiba dan untuk apa menunda dan menanti lagi, demikian isi surat itu. Nadanya keras dan penuh kebencian kepada pemerintah Mancu.

Yang membuat suami isteri itu heran adalah bahwa biasanya Thian It Tosu bersikap lunak dan biar pun berjiwa patriot seperti mereka, akan tetapi tosu tua itu tidak pernah menyatakan keinginannya untuk memberontak sekarang. Kekuatan pihak pemerintah masih terlampau besar sedangkan para pejuang belum bersatu, bahkan masih banyak golongan pendekar yang mendukung pemerintah Mancu.

Bergerak dan memberontak pada saat sekarang sukar diharapkan hasilnya dan sama dengan bunuh diri. Itulah sebabnya mereka terheran-heran membaca surat yang keras itu, yang mengajak mereka untuk memberontak dan bergerak sekarang juga.

Setelah isterinya selesai membaca surat dan mengembalikannya kepadanya, Yo Han menyimpan surat itu dan memandang kepada kedua orang utusan itu.

“Apakah Ji-wi Totiang telah diberitahu akan isi surat ini?”

“Tentu saja sudah, Pangcu!” berkata Bhok Im Cu dengan suara lantang dan mulutnya tersenyum. Matanya kembali mengerling genit ke arah nyonya rumah. “Kami berdua adalah murid-murid utama yang dipercaya oleh suhu, maka selain mengirimkan surat, kami juga diberi kuasa untuk membicarakan urusan dalam surat itu dengan Pangcu.”

“Hemmm, begitukah? Nah, kalau begitu, ingin kami bertanya, dengan alasan apakah Bu-tong-pai hendak mengajak kami untuk bergerak sekarang?”

Kini Thian Yang Cu yang menjawab. “Menurut suhu, alasannya adalah bahwa sekarang tiba saatnya yang amat baik. Kaisar Cia Cing yang sekarang ini tidak dapat disamakan dengan mendiang Kaisar Kian Liong. Kedudukannya kini lemah, apa lagi di mana-mana terjadi pemberontakan dan perlawanan dari suku-suku bangsa liar mau pun dari bajak laut. Kalau sekarang kita menyerbu dan dapat membunuh kaisar, maka pemberontakan kita akan berhasil baik.”

Yo Han menggeleng kepalanya. “Aku sangsikan betul akan keberhasilan itu. Jika hanya dengan menyerbu istana dan membunuh kaisar saja lalu berarti sudah memenangkan perang dan menggulingkan pemerintah Mancu, ahhh, hal itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kita harus ingat akan ratusan ribu bala tentara pemerintah yang berada di luar istana. Mereka itu dapat menyerbu dan menghancurkan kita, kemudian dalam sehari saja mereka dapat mengangkat seorang kaisar baru. Lalu pengorbanan kita apa artinya? Tidak semudah itu, Totiang!”

Bhok Im Cu mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri. “Apakah itu berarti bahwa Pangcu tidak menyetujui niat guru kami yang berjiwa patriot? Demi kemerdekaan bangsa, kami rela mempertaruhkan nyawa. Kalau Pangcu merasa takut, Pangcu boleh membantu di belakang saja dan biarkan kami yang maju di depan!”

Biar pun ucapan itu memanaskan hati, Yo Han tetap tersenyum dan bersikap tenang. “Totiang, ingatlah bahwa perjuangan kita bukan sekedar hendak menjatuhkan seorang kaisar untuk diganti kaisar baru, melainkan mengusir penjajah dari tanah air. Untuk itu, kita harus mampu menggerakkan seluruh kekuatan para pejuang dan bukan hanya membunuh kaisarnya, melainkan mengalahkan semua kekuatan mereka dan mengusir mereka dari tanah air. Dan untuk itu, kami rasa waktunya belum tepat. Kita masih belum bersatu, dan di belakang kita rakyat juga belum siap.”

“Kalau menanti seperti yang Pangcu katakan itu, sampai mati pun kita tidak akan pernah bergerak. Membunuh kaisar berarti mengacaukan keadaan mereka. Sekali lagi, kalau Pangcu takut...”

“Bhok Im Cu Totiang!” bentak Yo Han memotong kata-kata orang itu. “Mengapa aku mesti takut? Kalau Totiang tidak takut, aku pun tidak takut. Apa yang dapat Totiang lakukan, aku pun tentu dapat! Aku bukan takut, hanya menggunakan perhitungan akal, bukan hanya ingin mati konyol seperti seorang laki-laki yang tolol!”

Bhok Im Cu menjadi merah mukanya. “Bagus! Sudah lama pinto mendengar kehebatan Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Pinto hanya mempunyai sedikit saja kepandaian, akan tetapi kalau Yo-pangcu dapat menyamainya, biarlah pinto mengaku kalah!”

Bhok Im Cu sudah mencabut sebatang golok. Melihat ini, Thian Yang Cu terkejut dan hendak mencegah sutenya.

“Sute, jangan bersikap kasar!” celanya.

“Suheng, aku hanya ingin minta petunjuk dari Yo-pangcu saja. Jangan khawatir!” jawab Bhok Im Cu.

Di sudut ruangan itu, terpisah sedikitnya dua puluh meter dari sana, terdapat sebuah orang-orangan dari kayu. Patung ini gunanya untuk belajar ilmu totok bagi murid-murid Thian-li-pang. Sekali Bhok Im Cu menggerakkan tangannya, goloknya sudah meluncur dengan cepat sekali dan tahu-tahu golok itu sudah menancap di ulu hati patung itu, menancap sampai setengahnya!

Melihat hal ini, Yo Han tersenyum. Harus diakuinya bahwa tosu itu selain pandai sekali menyambit dengan golok, semacam ilmu yang disebut hui-to (golok terbang), juga tosu itu memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga dalam jarak sejauh itu goloknya mampu menancap sampai setengahnya pada patung kayu yang keras itu.

“Pinjam pedangmu!” kata Yo Han kepada isterinya.

Tan Sian Li yang berjuluk Si Bangau Merah ini memang selalu membawa dua macam senjata, yaitu sebatang pedang dan suling yang berselaput emas. Dia mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada suaminya.

Yo Han menerima pedang itu. Tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan, melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang itu meluncur bagaikan sebatang anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar