Pusaka Pulau Es Jilid 11-15

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Pusaka Pulau Es Jilid 11-15 Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok.
Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar bagi dia untuk berpikir.

Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat.

Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal, lalu dia pun tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok.

Ia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu bisa ia punahkan dengan mudah. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka ia pun diam saja dan terus rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.

Tidak terlalu lama dia menunggu. Dia mendengar daun pintu besi itu dibuka orang dan nampaklah tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia.

Dulu dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Niocu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi.

Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan, tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.

“Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?

Gadis yang datang bersama kakek itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.

“Dia kelihatan seperti orang dusun, Ayah,” kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.”

“Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi,” berkata pemuda yang datang bersama mereka.

Pemuda ini tubuhnya tinggi besar dan berwajah gagah, akan tetapi pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah pada Keng Han yang menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu.

“Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!”

Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.”

“Biarlah saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.

Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han segera mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.

“Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?” tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan serta muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.

Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. “Ha-ha-ha, tempo hari engkau mampu menahan sepuluh jurus seranganku, sebab itu hatiku amat tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!”

“Aku tak ingin bertanding dengan siapa pun tanpa sebab yang jelas. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?”

“Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu,” kata Bu Tong yang memandang rendah.

Keng Han mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!”

“Aku memang sengaja menghinamu, habis engkau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut!”

Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani!

“Siapa yang takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!”

“Ha-ha-ha, bagus. Itu barulah suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu,” berkata Toat-beng Kiam-sian.

Makin senang hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan juga dapat menangkis Pukulan Halilintar darinya.

Oleh karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggota Kwi-kiam-pang mempergunakan obat peledak dan pembius untuk menangkap pemuda itu. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suheng-nya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!

Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia pun mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan ini merupakan tempat para anggota Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggota perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, dia juga harus menghadapi para anggota Kwi-kiam-pang. Maka, dia hendak menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh.

“Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong.

“Nanti dulu,” kata Keng Han, lalu dia menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?”

Lo Cit membelalakkan mata. Kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. “Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!”

“Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?”

“Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau juga harus dapat mengalahkan puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu pula bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi, bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha!”

Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dirinya hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri pun tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!

“Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi.”

“Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit sambil tertawa senang.

Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. “Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.”

“Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.”

“Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!”

“Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang,” pikir Keng Han. “Agaknya mereka ini bukan orang-orang yang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.”

“Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri,” katanya sambil memamerkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.

“Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.

Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. “Si Keng Han, pedang Suheng-ku itu merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apa bila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!”

Melihat pedang itu melayang ke arah dirinya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia bahkan berkata kepada gadis itu. “Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!” Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. “Aku sudah siap menghadapi seranganmu!”

Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoi-nya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoi-nya agaknya berpihak kepada pemuda ini!

“Lihat serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai menyerang dengan bacokan pedangnya.

Akan tetapi dengan gesit Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat, Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengelak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh.

Pada saat pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu lantas terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan.

Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri. Setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.

Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suheng-nya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan dia pun berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya.

Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu. Dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.

“Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan membiarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.”

Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, “Siapa yang hendak bermusuhan? Kami cuma ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Jika engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.”

Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suheng-nya.

“Nona, sudah kukatakan sejak tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka apa bila Nona tetap memaksaku untuk bertanding, gunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.”

“Bagus, engkau memang seorang pemuda yang pemberani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!” Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar.

Begitu dia melakukan penyerangan, terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja Keng Han sudah tahu bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suheng-nya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang.

Gadis itu mendesak terus. Pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang mengarah dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus dan baru pada jurus ke sebelas dia membalas.

Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyambar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu.

Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biar pun dia berusaha untuk menariknya, akan tetapi pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi amat penasaran dan tangan kirinya telah meluncur untuk menghantam dada lawan.

Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini sedang menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia pun mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ini telah menyerang dengan pukulan Halilintar.

“Desssss...!”

Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan.

Siu Lan cepat mengambil napas panjang untuk menjaga supaya bagian dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah, maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya. Muka gadis itu menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu.

Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang juga engkau harus menjadi suaminya!”

Keng Han terkejut sekali dan dia memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut. “Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapa pun juga!”

“Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena dia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang mampu mengalahkan dirinya. Dan kini engkaulah yang mampu mengalahkannya.”

“Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locianpwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!”

“Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa saja menghinaku dia harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Apa bila selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempatku ini!”

Mendadak terdengar bentakan halus. “Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!”

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.

“Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan dapat memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia menghampiri Cu In.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan makin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru pada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Niocu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun adalah seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Niocu.

“Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya.

“Tidak salah, Pangcu. Aku memang murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus pula. Bukankah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?”

Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya juga telah mendengarkan semua percakapan tadi. Hal ini saja sudah menunjukkan kehebatan ilmu ginkang-nya sehingga tidak ada seorang pun yang tahu akan kehadirannya.

“Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo Cit mencoba mengangkat namanya.

“Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu, dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!”

“Memang sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku bisa menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?”

“Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat. Tentu Kwi-kiam Pangcu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi Souw Cu In.

Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Meski pun mereka mengaku sebagai murid keponakan dan bibi guru, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita serta tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!

“Perempuan hina! Cepat buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau sudah berani mencampuri urusan kami!” Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.

Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. “Dan engkau, sungguh tidak tahu malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!”

“Keparat!” Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.

“Siapa yang keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.

Meski marah sekali, akan tetapi Siu Lan tidak berani lagi sembarangan bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas!

Lo Cit juga kaget sekali melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.

“Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu...”

“Sepuluh jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan tentunya sangat berpengalaman!”

Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.

“Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya biar pun hanya lima jurus saja!” Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang sangat cerdik dari Souw Cu In.

Gadis ini telah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tak mungkin dia dikalahkan, apa lagi hanya dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak, “Baiklah, sepuluh jurus! Kalau selama sepuluh jurus pedangku masih belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!”

“Keng Han, engkau berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu In berseru.

“Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang di dalamnya terisi pedang.

“Lo-pangcu! Keng Han tak pernah menggunakan senjata, maka bila kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!”

“Dia boleh memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau tidak!”

“Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!”

Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Tetapi, mendengar nasehat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa.

“Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek.

“Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.

Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu.

“Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.

“Singgggg...!”

Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat dari pada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan tetapi dia sudah siap. Dengan gerakan sangat tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.

“Tranggg...!”

Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar.

“Jurus pertama...!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.

Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dengan kecepatan bagaikan kilat. Memang julukan Dewa Pedang bukan julukan kosong belaka karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

“Jurus ke dua... ke tiga... ke empat...!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

“Jurus ke delapan...!”

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat akan tetapi lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

“Hyaaaaattttt...!”

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

“Jurus ke sembilan...!” Cu In berseru girang, akan tetapi mendadak wajahnya menjadi pucat dan ia memandang dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh.

Sekarang Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini, sedangkan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, ketika melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han segera menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis, sedangkan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.

“Tranggg... desss...!”

Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi masih lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Dan akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

“Jurus ke sepuluh!” bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya termasuk Gan Bu Tong, juga hendak melakukan pengeroyokan.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

“Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit cepat menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali Cu In menggerakkan tangan ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

“Tahan semua senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.

“Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak.

Cu In mendorong Siu Lan agar berjalan di depan, sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.

Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan yang terdapat di lereng bukit.

Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, “Su-i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”

“Curang katamu? Lalu bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Jumlah mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kau kira kita bisa keluar dengan selamat?”

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. “Ahhh, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?”

“Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapa pun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang dari pada yang jujur, lebih banyak yang jahat dari pada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.”

“Su-i,” Keng Han berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?”

“Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”

“Aihh, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau telah celaka di tangan Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan kini ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya.

“Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”

“Akan tetapi ilmu silatmu itu... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang yang disebut Hong-in Bun-hoat. Tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?”

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. “Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.”

“Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah goa di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.”

“Ilmu apa saja? Ahh, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”

“Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, juga ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang.”

Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bintang kembar yang bercahaya terang.

“Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”

“Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun.”

“Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin dapat menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han.”

Keng Han tersipu. “Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja pergi meninggalkan sarangnya. Aku tak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak.”

“Tidak bisa! Jika subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu dia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”

“Akan tetapi, Su-i...” Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.

“Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!”

“Su-i...! kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.”

Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas sehingga segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan.

Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.

Tiba-tiba dia menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. Huh! Mengapa engkau menjadi cengeng seperti itu? Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.

“Tolol! Cengeng!” Keng Han memaki dirinya sendiri sambil bangkit berdiri, dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.

Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han. Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apa lagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria.

Tekanan yang diberikan subo-nya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria adalah palsu dan jahat. Apa lagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di mana pun. Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya.

Akan tetapi kini dia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang sering kali dia bayangkan dan yang pernah dia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan pemuda itu amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, hatinya merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.

Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh.

Di dalam kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu dia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun dia tidak mempedulikan itu semua dan memesan makanannya kepada pelayan yang menghampirinya.

Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian mewah dan berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Salah seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.

“Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat mukanya,” kata seorang di antara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.

“Aku yakin ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.

“Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain,” kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar, nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.

“Akan tetapi, Kongcu, yang satu ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar,” kata orang pertama.

Orang yang disebut kongcu itu mencela, “Bila orang menutupi mukanya, apa lagi kalau dia wanita, tentu dia itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!”

Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.

Ketika berjalan keluar dari dusun itu, Cu In pun tahu bahwa tiga orang itu membayangi dirinya. Dia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.

“Tahan dulu, Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.

Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Dia melihat bahwa dua diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.

“Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan,” kata orang kedua yang hidungnya pesek.

“Lalu, mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.

“Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menentukan siapa yang menang bertaruh.”

“Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata Cu In dengan suara ketus dan marah.

“Aih, Nona. Mengapa Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, kenapa keberatan? Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menyingkap cadar itu!” kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.

“Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.

Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap gertakan Cu In ini kosong belaka. Bahkan si hidung pesek tertawa.

“Ha-ha-ha, Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat membuka cadar Nona ini!”

Si jenggot kambing tertawa. “Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!”

Keduanya lalu menerjang maju. Tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Leaki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.

Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun. Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar, melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding!

Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.

“Kalian mundurlah!” bentaknya, dan sekarang dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.

Cu In terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis Tangan Beracunnya, bahkan setiap kali tertangkis dia merasa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga mempunyai tenaga sinkang yang amat kuatnya.

Cu In yang maklum bahwa lawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk suteranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil mencoba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal.

Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar, lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han.

“Bibi guru, harap minggir, biar aku yang menghadapinya!”

Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ? Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh dia melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena siapa lagi wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu kalau bukan Souw Cu In?

Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apa lagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya!

Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia sudah berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya supaya minggir.

Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah menjadi lawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.

“Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.

“Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han sambil membalas pandang mata mencorong itu.

Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu. “Siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?”

Keng Han melihat betapa keterkejutan pemuda tinggi besar itu agak dibuat-buat karena suaranya masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.

“Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya.”

Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya. “Kawan-kawanku ini yang usil, maka terjadilah perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”

Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.

“Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku,” kata Keng Han sambil menoleh.

Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.

“Ehhh, ke mana bibi guru?”

Si jenggot kambing yang menjawab. “Ia sudah pergi sejak tadi.”

Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah. “Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!”

Kedua orang itu memandang kepada Golam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, “Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi.”

“Saudara yang baik, siapa namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”

“Namaku Si Keng Han dan semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun.”

“Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walau pun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?”

“Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”

“Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan supaya kita leluasa bicara.”

Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andai kata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhu-nya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti. Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakanlah apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”

“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik.

“Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku...”

Ia berhenti dan meragu. Haruskah dia mengatakan rahasia tentang ayahnya.....? 

“Dan ayahmu tentu bukan orang Khitan!” kata Golam Sang.

“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Ahhh...!” Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”

“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao bernama Keng Han.”

“Ahhh...!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dua puluh tahun lalu dihukum buang itu?”

“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”

“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”

“Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?”

“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin juga masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu mempunyai hubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberi tahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia sudah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe, tentu dengan mudah engkau akan dapat menemukannya.”

“Ahh, terima kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”

“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”

“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.

“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”

“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”

“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia adalah seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”

“Siapakah pangeran jahat itu?”

“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itu. Bagaimana pun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena mereka yang telah mencelakakan dan menghukum ayahmu.”

“Kalau benar ayahku terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.

“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita akan sama-sama berjuang untuk menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak dipegang oleh Pangeran Tao Kuang itu! Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama dengan mereka?”

“Nah, di sini letak kesalah pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita sungguh-sungguh hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak mana pun. Karena itu kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama menghadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”

“Ahh, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”

“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han mulai meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun sudah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalaman itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia bekerja sama dengan Gulam Sang…..

********************

Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.

“Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pengalaman di dunia kang-ouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw? Juga Ayah mendapat julukan Pendekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kang-ouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mengejar nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar tak terpancing dalam permusuhan.”

Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu justru dalam perantauannya itu puteri mereka akan bertemu dengan jodohnya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan tingkat ibunya, sudah cukup kuat untuk menjaga diri.

“Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari satu tahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang,” kata Yo Han. “Di dunia kang-ouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak melihat suasana.”

“Aku berjanji, Ayah,” kata Han Li.

“Hati-hatilah, anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapa pun. Meski pun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kang-ouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walau pun tidak perlu tinggi hati. Jika sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”

“Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasehat Ayah dan Ibu.”

Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantauannya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.

Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimana pun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justru kecantikan gadis itu yang akan banyak memberikan gangguan pada puteri mereka.

Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur dan kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung. Mulutnya selalu tersenyum agak mengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri.

Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning. Sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.

Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah Han Li di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk seperti tubuh seekor naga, dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.

Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia dapat melewatkan malam, tiba-tiba muncullah dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya.

Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?”

Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi dia sudah mendengar banyak cerita dari ayah ibunya mengenai orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok. Maka kini dia pun dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi.”

“Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutlah bersama kami dan kita bersenang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami pun telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!” kata si codet yang menjadi pimpinan gerombolan perampok itu.

Tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu, tapi dengan cepat Han Li sudah melangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.

“Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!”

“Ehhh? Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu!”

“Hemmm, sombongnya! Boleh kau coba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.

“Heiii, kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”

Semua anak buahnya juga tertawa. “Jangan sampai dia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!”

“Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”

“Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”

Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.

Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Begitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menendang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!

Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka tertendang roboh oleh gadis itu hanya dalam segebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu.

Dia merangkak bangun, lalu menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi sekarang dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau.

Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga mudah sekali baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!

Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.

Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tak mau mencabut pedangnya. Dia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.

“Bocah setan, mampuslah kau sekarang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li.

Dengan menundukkan kepala Han Li sudah mengelak. Golok lewat menyambar di atas kepalanya, kemudian membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang, kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.

Setelah dua kali bacokannya dengan mudah dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran.

“Hyaaaattt...!” Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.

Han Li menggeser kaki ke kiri. Ketika golok itu lewat di dekat perutnya, dia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga yang lebih besar dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.

“Plakkk... ughhhhh...!”

Tubuh itu terbanting keras dan tak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.

Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan dengan teriakan-teriakan dahsyat mereka serentak menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main.

Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh.

Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tamparan tangannya yang ampuh dan tendangan. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.

Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan dua tangannya, mengebutkan bajunya supaya bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan namun tidak sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.

Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mendengar mengenai keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya.

Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami isteri petani yang sederhana dengan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya…..

********************

Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking.

Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sangat sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. Dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.

Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya.


Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas supaya pancing dapat menusuk mulut ikan!

Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?”

Kakek yang sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya serta melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.

“Apakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?!” kakek itu membentak tanpa menoleh.

Han Li sangat terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, dari pada susah payah memancing.”

Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi. “Aku tidak butuh ikannya! Aku membutuhkan ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah membeli. Dan kalau hanya menangkap ikan, apa sih sukarnya? Kau lihat!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak. Ketika dia mengangkat tangkai pancing itu... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.

Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”

“Enak saja mengganggu ketenanganku, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku memancing!”

Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air, lalu membalikkan tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali, bahkan masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.

Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini?”

Dalam ucapan dan pandang mata kakek itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan baru melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.

“Ho-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”

“Locianpwe, atas kesalahan itu aku tadi telah minta maaf dan bersedia untuk mengganti kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku pergi melanjutkan perjalananku.”

“Ha-ha-ha, enak saja! Orang yang telah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah. Engkau tidak akan kuhukum mati, tetapi harus menjadi pelayanku selama satu minggu!”

“Engkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apa lagi seminggu.”

“Hemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama seminggu.”

“Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah.

Han Li lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu kembali telah berada di depannya, mengembangkan kedua lengannya sambil menyeringai.

“Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu!” katanya.

Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya dia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi betapa terkejutnya Han Li ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan dorongannya!

“Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi?” Kakek itu mengejek.

Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan tenaga sinkang.

“Wuuuuuttt...plakkk!”

Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi demikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya itu tidak berarti sama sekali, tenaga sinkang-nya bagaikan tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!

Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. “Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?”

Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. “Beliau adalah ibu kandungku!”

“Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakili ibunya. Nah, kini hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Sama sekali tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!”

“Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!”

“Ha-ha-ha, itu aku sudah tahu karena aku pernah mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka. Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!”

“Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku?”

“Dulu, pada waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri satu urusanku dan membikin malu diriku sehingga belasan tahun aku tak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar dia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!”

“Aku tidak sudi!” jawab Han Li.

“Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut!”

Kakek itu kemudian menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.

“Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”

“Ha-ha-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu hendak kau pakai untuk menakut-nakuti aku? Ha-ha-ha-ho-ho!”

Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia kemudian memainkan ilmu silat Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. Ilmu pedang ini hebat bukan main. Saat ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat.

Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.

Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling, maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Walau pun dengan pedang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman, namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.

Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Walau pun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula.

Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apa lagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi.

Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya. Akan tetapi dia lalu dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Karena itu, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.

Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga. Setelah berloncatan mundur dan kadang ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia lalu melakukan perlawanan.

Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.

Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan, bahkan mendesak dirinya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu terus berputar-putar bagai dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.

Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang sudah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!”

Mendengar suara tawa ini, kakek itu segera menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang.

Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun. Tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walau pun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.

Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut dan segera mengenalnya.

“Lu Tong Ki, gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan, maka perlu kuberi hukuman. Bukankah itu sudah adil?”

“Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kau berikan kepadanya?”

“Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.”

“Dia bohong, Kek!” Han Li cepat berkata. “Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!”

“Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kau berikan kepada Nona ini, Koai-jin?”

“Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari...”

“Tidak begitu, Kek. Tadi dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan!” kata pula Han Li dengan suara nyaring.

“Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?”

“Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!”

Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. “He-he-heh! Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan seperti itu? Dan bagaimana caranya engkau hendak menghajarku? Dengan apa?”

“Tentunya dengan ini!” Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya.

Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li. Sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing yang berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong.

Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.

“Trakkk!”

Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja.

Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, karena itu ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu menggunakan kecepatan gerakan mereka untuk mendapat kemenangan dan agaknya dalam hal ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Nampaklah sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing, sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya.

Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin kemudian memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sinkang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pepohonan di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran.

Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya, dan kini tubuhnya berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah. Dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara nyaring sekali.

“Kok-kok-kok!”

Han Li merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.

Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.

Jarak di antara mereka ada sekitar dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sinkang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin kemudian terpental dan bergulingan ke belakang, sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyang-goyang saja.

Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur, kemudian tubuhnya lenyap ditelan air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.

“Ahh, dia mati Kek...?” tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.

“He-he-heh, dia mati? Hemmm, agaknya engkau masih belum mengenal siapa adanya Lam-hai Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!”

“Ahhh...!” Gadis itu berseru kagum. “Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe!”

Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata sangat sakti itu.

“Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku. Jelek-jelek aku ini raja lho, walau pun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!”

“Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku merasa berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.”

Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara berdecak, baru kemudian da berkata, “Engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong Kiam-sut. Benarkah demikian?”

“Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan jurus-jurus dari Koai-liong Kiam-sut.”

“Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?”

“Beliau adalah kakek buyutku, Kek.”

Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. “Kalau begitu sudah tentu engkau puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?”

“Benar sekali.”

“He-he-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah dikalahkan oleh ibumu.”

“Dia tadi juga mengatakan demikian, Kek.”

“Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu?”

“Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.”

“Wah, kebetulan sekali jika begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku kemudian melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?”

“Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi...” Ia memandang pakaian kakek itu. “Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.”

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biar pun pengemis, tetapi aku ini rajanya, tahu? Mana ada seorang raja yang pekerjaannya mengemis?”

“Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.”

“Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekali pun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!”

Wajah Han Li berubah kemerahan. “Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.”

Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. “Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.”

“Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.”

“Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.”

Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyebut ‘suhu’. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.

“Sudahlah, tak perlu memakai banyak peradatan. Aku memang suka menerima engkau menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, dari semua ilmuku yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.”

"Terima kasih, Suhu.”

“Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.

Kiranya kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat ke dalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal ginkang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.

Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, dialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu.

Perahu itu pun meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu…..

********************

Ketika perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan bagaikan seekor burung bangau putih.

Namun, belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaan cukup berbahaya. Ke mana pun dia bergerak, selalu dia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah mengepung dirinya dengan barisan yang teratur rapi.

Kai-ong Lu Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang akan kau lakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”

Han Li berdiri di perahu dan memandang sejenak.

“Aku akan melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu. Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”

“Engkau benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.

Mendengar ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan berlari menghampiri mereka yang sedang bertanding. Setelah mencabut pedangnya, Han Li menerjang para pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!”

Dua orang pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu.

“Berhenti dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”

“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

“Tidak peduli aku siapa, akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur tangan.”

“Perempuan ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka.

Kembali mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan tetapi sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, melainkan juga Han Li.

Han Li menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan dua orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi kacau.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincang-pincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang.

Melihat kakek itu, Cu In amat terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.

Tadi ketika menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal dirinya yang pernah bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap engkau akan dapat lolos dari tanganku!”

Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya.

Serangan Lo Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang mernbentuk barisan, kini telah terdesak pula.

Tiba-tiba terdengar suara tawa orang. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”

Mendengar ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia lalu menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak, “Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri urusan pribadiku?!”

“Heh-heh-heh, tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”

Lo Cit sebetulnya merasa jeri terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.

“Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya.

Dia pun langsung menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Kedua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka masing-masing dan bekerja sama melakukan perlawanan.

Pertempuran antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong mempunyai kecepatan yang lebih dari lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biar pun ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat, dialah yang terdesak.

Sementara itu, setelah kini dibantu Han Li, Cu In mengamuk dan dapat mendesak para pengeroyoknya. Anak buah Kwi-kiam-pang yang membentuk kiam-tin (barisan pedang) mulai kacau dan kocar-kacir diamuk dua orang gadis perkasa itu.

Akan tetapi Kai-ong agaknya maklum bahwa apa bila datang lebih banyak anak buah Kwi-kiam-pang, tentu keadaan mereka akan menjadi berbahaya sekali. Juga dia pun maklum bahwa Dewa Pedang itu mempunyai anak perempuan dan murid yang lihai. Kalau mereka datang mengeroyok, kekuatan mereka bertambah dan tentu dia bersama dua orang gadis itu menjadi repot.

Kai-ong memutar tongkatnya dengan cepat, membuat Lo Cit terkejut dan mundur.....

“Lo Cit, biarlah lain kali saja kita lanjutkan perkelahian ini, aku masih mempunyai banyak urusan. Han Li dan engkau Nona, mari kita pergi!”

Sebetulnya Han Li dan Cu In merasa heran mengapa orang tua itu mengajak mereka pergi, padahal keadaan mereka tidak kalah, bahkan sedang mendesak lawan. Akan tetapi Han Li tidak berani membantah perintah gurunya.

“Enci, mari kita pergi!” ajaknya kepada Cu In.

Cu In sendiri maklum bahwa tanpa bantuan gadis dan gurunya itu, tentu ia akan celaka di tangan musuh. Maka ia pun melompat keluar dari gelanggang perkelahian dan pergi mengikuti Han Li yang sudah melarikan diri bersama gurunya.

Melihat tiga orang itu melarikan diri, Lo Cit yang tahu diri tidak mengejar. Keadaannya tadi sudah sangat terdesak, jelas kekuatan musuh lebih besar. Mengejar berarti mencari penyakit, maka dia pun tidak mau mengejar, dan mengajak anak buahnya untuk kembali ke bukit Kwi-san.

Setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, Kai-ong berhenti berlari dan dua orang gadis itu pun berhenti. Kai-ong tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, baru sekali ini aku berlari-larian seperti orang dikejar anjing!”

“Akan tetapi, Suhu. Kita sama sekali tidak kalah, malah kita mendesak lawan, kenapa Suhu mengajak kami melarikan diri?”

“Benar, Locianpwe, orang-orang Kwi-kiam-pang itu adalah orang-orang jahat yang perlu dihajar. Kenapa Locianpwe mengajak kami melarikan diri?” bertanya pula Cu In dengan hati penasaran.

“Heh-heh-heh, kalian tahu? Kalau aku mengajak kalian melarikan diri itu adalah untuk keselamatan kalian! Aku mengenal Kwi-kiam-pang. Selain mereka itu lihai, juga mereka licik dan curang sekali, suka menggunakan alat-alat rahasia dan jumlah mereka banyak. Kalau yang lain-lain berdatangan, bagaimana aku akan mampu menyelamatkan kalian. Lebih baik kita pergi selagi mereka terdesak sehingga mereka tidak berani mengejar, heh-heh-heh!”

“Sudah lama aku mendengar kecerdikan Kai-ong, dan ternyata memang Locianpwe cerdik sekali!” puji Cu In.

“Ehhh? Engkau mengenal nama julukanku?”

“Sudah lama aku mengenalnya, Locianpwe dan hari ini aku beruntung sekali mendapat pertolongan Locianpwe dan Adik ini.”

“Enci, tak ada kata tolong-menolong. Sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan menentang yang jahat. Enci, namaku Yo Han Li, dan bolehkah kami tahu siapa nama Enci?”

“Hemmm, melihat ilmu pedangmu tadi, engkau tentu puteri dari Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan Si Bangau Merah, bukan?”

“Ahh, Enci ternyata berpandangan luas dan mempunyai banyak pengalaman sehingga mengenal pula ilmu pedangku. Siapakah engkau, Enci yang baik?”

“Namaku Souw Cu In dari Beng-san.”

“He-he-heh, engkau dari Beng-san? Melihat sepak terjangmu yang hebat dengan sabuk suteramu, tentu engkau ini murid Ang Hwa Nio-nio. Benarkah?”

Cu In memberi hormat. “Locianpwe berpandangan luas dan tentu mengenal Subo.”

Kai-ong mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa yang tidak mengenal Ang Hwa Nio-nio dan muridnya Bi-kiam Niocu yang tanpa berkedip suka membunuhi orang? Nama mereka terkenal sekali!”

Mendengar ini, Cu In juga mengerutkan alis. Ia sendiri harus mengakui bahwa subo-nya dan suci-nya sangat kejam terhadap kaum pria. Salah sedikit saja tentu akan mereka bunuh! Ia sendiri tidak demikian dan selalu menentang perbuatan yang kejam itu, dan karena ini pula ia selalu menyembunyikan mukanya agar tidak dilihat pria dan tidak ada pria yang tertarik kepadanya, agar dia tidak usah menyakiti atau membunuh pria itu.

“Subo dan suci memang tersohor, aku lebih suka tidak dikenal orang,“ katanya perlahan dan suaranya mengandung penyesalan besar. “Sekarang aku harus pergi, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Kalian)!” Setelah berkata demikian, gadis berpakaian putih itu lalu berkelebat lenyap dari situ.

Han Li menghela napas panjang. “Sayang sekali ia pergi. Padahal aku ingin berkenalan lebih lanjut dan ingin melihat wajahnya, Suhu.”

“Ah, sudahlah. Lebih baik ia lekas pergi dan tidak bersama kita agar kita tidak berurusan dengannya. Ia menyembunyikan mukanya tentu bukannya tanpa sebab, apa lagi kalau mengingat watak suci dan subo-nya.”

“Kenapa suci dan subo-nya, Suhu?”

“Mereka adalah pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada laki-laki berani menegur atau memuji, atau bahkan hanya memandang mereka terlalu lama, laki-laki itu tentu akan dibunuhnya! Mereka itu pembenci kaum pria yang sudah hampir gila barangkali!”

“Ahhh...! Akan tetapi aku melihat enci Souw Cu In tadi begitu lemah lembut dan aku yakin dia pasti memiliki wajah yang cantik sekali.”

“Hemmm, siapa tahu? Menurut pengalamanku, wanita yang memiliki wajah cantik tentu selalu ingin memamerkan kecantikannya itu, bukan malah disembunyikan di balik cadar. Aku ragu apakah ia memiliki wajah cantik seperti yang kau duga!”

“Akan tetapi, wajahnya bagian atas demikian indahnya, terutama sepasang matanya. Tidak mungkin kalau dari hidung ke bawah tidak sempurna.”

“Sudahlah, bagaimana pun juga, ia hendak menyembunyikan dirinya di balik cadar. Itu adalah haknya. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Guru dan murid ini melanjutkan perjalanan dan makin lama Han Li semakin sayang kepada gurunya. Gurunya bersikap manis budi, lemah lembut dan mengajarkan ilmu tongkat dengan sungguh-sungguh. Dia merasa seolah melakukan perjalanan bersama kakeknya sendiri…..

********************

Para pendekar serta ketua-ketua perkumpulan persilatan besar semacam Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain merasa heran sekali melihat sikap Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang secara mendadak begitu bersemangat untuk memberontak terhadap kerajaan Ceng. Dan yang lebih mengherankan mereka lagi adalah betapa ketua ini kini tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

Bahkan banyak tokoh Bu-tong-pai sendiri merasa heran akan sikap ketua mereka ini. Akan tetapi karena Thian It Tosu memiliki alasan yang kuat, yaitu untuk berjuang harus menyatukan segala kekuatan, mereka pun tidak berani membantah.

Pada suatu hari Thian It Tosu memanggil para sute dan muridnya dalam suatu rapat. Ketua Bu-tong-pai ini masih merasa badannya kurang enak dan kurang sehat sehingga suaranya juga masih parau.

"Pinto merasa tidak sehat, maka untuk memulihkan kesehatan, pinto harus beristirahat dan bersemedhi. Selama pinto bersemedhi, tidak ada seorang pun boleh mengganggu pinto.”

Para sute dan murid menyatakan setuju dan tidak akan melanggar perintah ketua itu. Thian It Tosu yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas lega.

“Masih ada satu pesanan lagi. Kalau dalam beberapa hari ini datang seorang pemuda bernama Gulam Sang, harap kalian menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan dan melayaninya sebaik-baiknya. Dia adalah seorang tokoh Lama Jubah Kuning yang berilmu tinggi dan dia sudah menjanjikan kerja sama dengan pinto. Para Lama Jubah Kuning akan menjadi sekutu kita dalam perjuangan.”

Kembali semua orang menyatakan taat akan pesan itu. Dan sejak hari itu Thian It Tosu mengurung diri di dalam sebuah ruangan tertutup untuk bersemedhi.

Pesan Thian It Tosu benar terjadi. Tiga hari kemudian di Bu-tong-pai muncullah seorang pemuda yang gagah dan tampan, bermuka bundar dengan mata lebar, dan mengaku bernama Gulam Sang.

“Aku bernama Gulam Sang berasal dari Tibet. Aku sudah menerima pesan dari Thian It Tosu untuk bergabung di sini. Dapatkah aku bertemu dengan Thian It Tosu?”

“Saat ini ketua kami sedang bersemedhi dan sama sekali tidak boleh diganggu. Akan tetapi beliau sudah memesan kepada kami agar supaya menerima Kongcu (Tuan Muda) sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”

“Ah, tidak mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang bersemedhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar. Aku bisa melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan Pegunungan Bu-tong-san.”

Para tosu dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan makan daging.

Ketika Gulam Sang melihat keheranan mereka, dia lalu tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta lagi, maka pantangan itu pun sudah aku tinggalkan.”

Setiap hari Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, dan setelah hari mulai gelap baru dia kembali. Tak ada seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh ini.

Tiga hari kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan semedhinya. Selama tiga hari itu hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan semedhi, yaitu Thian Tan Tosu, seorang sute-nya yang bertugas untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu keluar dari ruangan semedhinya, Thian It Tosu menerima laporan tentang kunjungan Gulam Sang.

“Biarkan saja kalau dia pergi setiap hari, karena tentu ada hubungannya dengan usaha perjuangan kita. Kalau dia pulang, suruh Thian Tan Tosu mengantarnya masuk kamar semedhiku. Pinto akan menemuinya di sana.”

Tidak lama Thian It Tosu keluar, setelah menerima laporan-laporan, dia pun masuk lagi ke dalam kamar semedhi itu.

Sore harinya, Gulam Sang pulang ke Bu-tong-pai. Para tosu memberi tahu kepadanya bahwa Thian It Tosu tadi memesan agar dia diajak masuk ke ruangan semedhi. Gulam Sang menjadi gembira. Dengan diantar oleh Thian Tan Tosu, dia pun masuk ke dalam ruangan semedhi itu.

Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bahkan Thian Tan Tosu juga tidak tahu karena setelah membawa Gulam Sang masuk, dia pun disuruh keluar lagi. Sampai jauh malam barulah Gulam Sang keluar dari ruangan itu, kemudian memasuki kamarnya sendiri.

Pada keesokan harinya, Gulam Sang berpamit dari para tosu karena dia hendak pergi ke kota raja untuk mengadakan kontak hubungan dengan sekutunya di sana.

“Malam tadi hal itu sudah kubicarakan dengan Thian It Tosu dan aku sudah berpamit kepadanya. Kalau beliau keluar, katakan saja bahwa aku sudah berangkat ke kota raja,” demikian pesannya kepada para tosu Bu-tong-pai.”

Dan setelah Gulam Sang berangkat pergi, pada keesokan harinya Thian It Tosu sudah keluar dari kamar semedhinya dan memimpin Bu-tong-pai seperti biasa. Akan tetapi banyak terjadi hal yang membingungkan para tosu yang lain.

Thian It Tosu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan bahkan tokoh-tokoh dari dunia sesat! Mereka tidak diijinkan hadir dalam pertemuan itu sehingga tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketua mereka dengan tokoh-tokoh sesat itu. Dan para tosu Bu-tong-pai hanya dapat merasa heran dan khawatir.

Pada suatu hari, terjadilah hal yang menggemparkan para tokoh dan murid Bu-tong-pai. Hari itu kembali Thian It Tosu menerima beberapa orang Pek-lian-pai. Menjelang rapat, terdengar suara gaduh. Para tosu yang berlari menuju ke ruangan sidang yang tertutup itu melihat tubuh seorang tosu terlempar keluar, dan ketika mereka semua melihat, ternyata tubuh itu adalah Beng An Tosu yang telah tewas!

Selagi mereka ramai membicarakan hal itu, Thian It Tosu muncul dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, “Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sungguh-sungguh sehingga dia tewas. Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang mendengarkan atau mengintai kami!”

Semua anggota Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya sudah terlalu dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan?

Pada suatu hari, terlihat banyak tamu yang berdatangan dan berkunjung ke Bu-tong-pai. Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Dan kepada para anggota Bu-tong-pai yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu kemudian memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang para tamu yang berdatangan di waktu itu sangat istimewa.

Thian Yang Cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan hanya menjadi penonton dari jauh saja.

Tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggota Pat-kwa-pai datang lebih dulu. Lalu Thian Yang Ji tokoh Pek-lian-pai juga datang bersama belasan orang kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan semua rambutnya sudah putih itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang tak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk sesat dari selatan itu juga muncul.

Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh rahasia sehingga para anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh mendengarkan.

Thian It Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat serta gembira sekali, dan dengan berapi-api dia berkata, “Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan para pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan kita. Setidaknya mereka itu pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu.”

“Pangcu kapan kita mulai bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya kerajaan Ceng!” kata Swat-hai Lo-kwi.

“Benar, aku pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang kawanku untuk mulai bergerak menyerang musuh!” kata Tung-hai Lo-mo.

“Harap saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitungan yang masak,“ kata Thian It Tosu. “Kalian masih ingat ketika pertemuan dulu itu? Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!”

“Ahhh...!” Semua orang berseru kaget.

“Jangan panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kini kita bergerak, baru mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak, tentu kita akan dipukul lebih dulu. Dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan pemerintah amat besar.”

“Lalu bagaimana kita akan bergerak dan mulai berjuang?” tanya Ban-tok Kwi-ong.

“Sabar! Kita harus mempergunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara kita yang memiliki ilmu tinggi, seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota! Kalau hal itu terjadi, kaisar dan Putera Mahkota dibinasakan, tentu di istana akan terjadi kekacauan. Kita akan berusaha supaya yang menjadi pengganti kaisar adalah orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang.”

“Ahh, Lama Jubah Kuning itu?” terdengar beberapa orang bertanya.

“Benar, akan tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dialah yang akan berhubungan dengan para pangeran di istana. Apa bila pangeran pilihan kita yang menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatur selanjutnya.”

“Akan tetapi, tidak mudah untuk menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya sekali dan nyawa taruhannya,” kata Swat-hai Lo-kwi.

“Harap Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa dicurigai. Misalnya menjadi guru silat salah seorang pangeran, atau ahli pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita selanjutnya dari kami…..”

********************

Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang dulu telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka hendak membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang dapat ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.

Bagaimana dengan kedua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, meski mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup!

Pada suatu hari, mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka sudah habis. Keluarga kaisar tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kembalinya dua pangeran itu. Akan tetapi, lingkungan istana bersikap tidak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.

Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka, kemudian menjadi pedagang yang berhasil sehingga mereka menjadi kaya raya.

Untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San.

Karena saat dihukum buang mereka masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru.

Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.

Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Pada saat itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang!

Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.

Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia kemudian mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu-ragu untuk menerimanya, karena walau pun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan!

Tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Ia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia telah berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.

Demikianlah, setelah hukuman buang mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang bernama Tai Lam Sang.

Pada suatu hari, di rumah tempat kediamannya, Tao Seng mengajak Gulam Sang dan Tao San bercakap-cakap tentang rencananya.

“Kita mempunyai cita-cita yang besar,” demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja untuk membuat cita-cita kita dapat menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau sudah mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk sungguh-sungguh bisa berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, barulah kita turun tangan.”

Semua rencana diatur oleh Tao Seng, sedangkan pelaksananya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan sangat mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia mampu mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.

Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari kelompok Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.

“Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang-orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam, tetapi mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu yang ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Jika dipersatukan, mereka itu merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki banyak pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana cara untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak.”

Kembali Tao Seng membuat rencana. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Ia melakukan penyelidikan terhadap semua perkumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat.

Kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap kata-katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai. Lebih dari itu, Bu-tong-pai amat terkenal di antara semua partai dan sangat dihormati. Betapa besar pengaruh orang yang menjadi ketua Bu-tong-pai, tidak hanya di dalam perguruan itu sendiri, melainkan juga di dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!

Dengan pikiran ini dia kemudian mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya, caranya berbicara, dan sebagainya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, amat mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.

Setelah mempelajari semua dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga wajahnya berubah menjadi wajah Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu sedemikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada orang yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu.

Pada suatu senja, dalam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Pada waktu melihat dia, serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.

Dia pun menirukan suara Thiat It Tosu. “Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?”

“Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu,” jawab kelima orang murid itu.

Gulam Sang merasa gembira sekali. Ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.

Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu sedang pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini.

Thian Tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian Yang Cu adalah salah seorang murid utama dari Thian It Tosu. Dia juga telah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa ia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat mau pun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.

Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu segera memberi hormat.

“Suheng...!”

“Suhu...!”

“Hemmm, Sute dan Thian Yang Cu, kalian hendak pergi ke mana?” tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.

Kedua orang itu memandang heran. “Apakah Suheng sudah lupa lagi? Tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua.”

“Oh, benar juga, pinto yang lupa. Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian Yang Cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.”

“Saya mohon petunjuk, Suheng,” kata Thian Tan Tosu.

“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian Yang Cu.

“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto supaya pinto dapat melihat di mana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”

“Teecu tidak berani, Suhu.”

“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”

“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian Tan Tosu juga mencegah.

“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.

Akan tetapi Thian Yang Cu dan Thian Tan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua.

Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu hanya mengenai angin saja. Kemudian terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian Tan Tosu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Yang Cu terpental beberapa meter jauhnya!

Dua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh yang dilakukan dengan dua kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main. Thian Yang Cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi langsung merasa sesak dadanya, sedangkan Thian Tan Tosu merasa kepalanya pening.

Thian Yang Cu segera memberi hormat, kemudian berkata dengan malu-malu. “Teecu memang bodoh dan lemah.”

Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhu-nya masih menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua sudah tidak mampu bangkit lagi.

“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang hebat bukan main!” kata pula Thian Tan Tosu dengan kagum.

“Hemm, pinto tidak menciptakan jurus baru, tapi kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”

“Suhu...!”

“Suheng...!”

“Diam! Kalian membuatku kecewa. Bila kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian merupakan dua orang terpenting di Bu-tong-pai sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”

“Baik, Suheng.”

“Baik, Suhu.”

Thian It Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya, lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan tutur sapanya halus lembut itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah-olah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.

“Thian Yang Cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”

“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar kita diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”

“Kalau dia marah?”

“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”

“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarkkan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”

Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian Tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalan itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat, “Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”

Kedua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.

“Siancai-siancai-siancai...! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”

Ketika dua orang menoleh, mereka terkejut melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, bahkan suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah.

Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?

“Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian Tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.

“Benar, Suhu! Harap Suhu suka memberi hajaran padanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian Yang Cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.

Thian It Tosu yang pertama tercengang. “Ehhh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”

“Siancai...! Inilah yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian Yang Cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”

Biar pun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama.

Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu dia berseru, “Sute! Thian Yang Cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”

“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.

Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundak kanannya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang sangat kuat ke dadanya.

“Bukkk...!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.

“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.

Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tahanan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.

Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.

“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian Tan Tosu.

Thian Yang Cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susiok-nya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis serta jenggot Thian It Tosu yang palsu. Akan tetapi, betapa pun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai kedok apa pun.

Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.

“Dia asli!” kata Thian Tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang palsu!”

Thian It Tosu palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku telah selesai semua, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!”

“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian Yang Cu marah.

“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”

“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian Tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang ke arah ketua palsu itu.

Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar sehingga tubuh Thian Tan Tosu terlempar dan roboh. Thian Yang Cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok sehingga dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.

Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia sedang menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang sudah ditotoknya itu.

“Dengar baik-baik, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu! Nyawa ketua kalian sudah berada di tanganku. Dia sudah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”

Walau pun berada di bawah pengaruh sihir, Thian Tan Tosu masih dapat membantah, “Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”

“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukanlah penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tong-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”

Thian Tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik ia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini sangat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sulit dicari kawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.

“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susiok-nya, Thian Yang Cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.

Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.

Gulam Sang lalu memulihkan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka telah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.

“Gosokkan minyak ini pada gambar telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkannya dan sesudah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.”

Gulam Sang segera mengeluarkan obat yang berupa minyak itu, dan Thian Tan Tosu lalu mengobati suheng-nya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sute-nya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.

“Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It Tosu, aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Apa bila niatku itu sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi jika engkau mencoba untuk menghalangiku, maka engkau akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai juga akan kuhancurkan!”

“Siancai...! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil...” kata Thian It Tosu lemah.

“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!”

Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya semenjak tadi mereka melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.

“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang di antara lima orang itu.

“Kalian berjagalah di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”

“Baik, Kongcu.”

“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”

Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diakuinya sebagai sute-nya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.

Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai ialah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang berperan sebagai Thian It Tosu, selalu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat sehingga harus beristirahat dan bersemedhi dalam kamarnya. Kalau sudah berada di kamar semedhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai ‘tamu terhormat’ dari Bu-tong-pai.

Dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai serta para tokoh dan datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.

Akan tetapi tepat seperti yang diramalkan Thian It tosu, pertemuan itu akhirnya gagal karena penolakan Yo Han, ketua Thian-li-pang. Apa lagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka, dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.

Pada saat Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan antara Bu-tong-pai dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan dia lalu menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri!

Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena ia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan dia sudah memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng.

Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang sedang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng, yang diakui oleh pemuda itu sebagai ayah kandungnya. Juga ia memberi tahu bahwa Keng Han mempunyai ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.

Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian Yang Cu beserta Thian Tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu betul akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya, yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.....

********************
Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar.

Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.

Kepada para penjaga pintu ini ia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam, dan tidak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar amat tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu.

Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga.

Puteranya! Akan tetapi di dalam hati yang sudah mengeras itu tidak ada rasa keharuan, hanya ada perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

“Maafkan, Tuan...”

“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman,” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”

“Ahh, tidak mengapa. Silakan duduk dan perkenalkan siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”

Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki.

“Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”

“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”

Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini. “Apa bila begitu, semua keterangannya mengenai Paman tentu benar semua.”

“Keterangan apakah tentang diriku?”

“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”

“Siapakah ayah kandungmu?”

“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”

“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han dan nama margamu Si?”

“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”

Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia dapat mengerti. “Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?”

”Saya hendak mencari ayah kandung saya, akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, sedikit pun dia tidak pernah memberi kabar.”

Ji Wan-gwe sekarang merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani bahwa jika isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han!

Akan tetapi, kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia pun menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”

“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”

“Semua itu terjadi akibat iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah dan menuduh ayahmu hendak memberontak serta membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti-bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Oleh karena dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka ayahmu lalu dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”

“Ahh, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”

Hartawan Ji menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Ia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”

“Ahhh...!” Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka.

Sampai lama keduanya terdiam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”

“Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”

“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang, kita sudah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekali pun.”

“Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”

“Atas permintaannya sendiri sebelum meninggal, jenazahnya sudah diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu atau pun mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu.”

Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah. Mereka sampai di sebuah ruangan di mana terdapat sebuah meja dan abu itu yang tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti oleh Keng Han karena hartawan itu tentunya tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng.

Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang pada ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu dengan ayahnya. Siapa sangka sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

“Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat, yang membuat Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.

Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.

"Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit sekali karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang memiliki seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saja, Paman Ji!"

"Bagus! Kalau begitu sebaiknya engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."

Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Walau pun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas sekali. Tentu hal ini juga akan menjadi hiburan bagi ibunya sesudah kelak mendengar tentang kematian ayah kandungnya…..

********************

Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Semenjak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biar pun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uhhh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Yang diingat oleh gurunya ini hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya dan berapa lamanya memasak, semuanya itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan dapat mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka melewati sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong lalu berjalan di dekat rumah makan itu, dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya telah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Di sepanjang jalan bebek panggang itu dilahapnya sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu.

Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Jika sekarang dia sudah memuji setinggi langit sebelum merasakan hidangan istana, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentulah benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti. "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat dari pada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua, tentu giginya pun sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat prajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok, apa lagi kemudian ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagai sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menunggu. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tidak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang.

Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru sekejap saja Han Li bersembunyi di balik tembok, dia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Kalau terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampaknya menggapai-gapai kepadaku," Kai-ong berbisik dan dia menjilat bibirnya sendiri.

Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Han Li baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li.

Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.

Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya sedang mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

"Heiii!! Udangku ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkaulah orangnya yang makan udang-udangku. Kenapa bisa tinggal setengahnya?"

"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana aku ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apa lagi mencurinya dan memakannya."

"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau?"

"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

"Tidak ada kucing yang masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.

Sementara itu, di dalam keributan itu, selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang sudah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii...! Mana ayamku?" tiba-tiba koki ayam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

"Ayam apa lagi?!" tanya teman-temannya.

"Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"

"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku sudah mencuri udang-udangmu. Agaknya engkau kini hendak membalas dendam, kemudian engkau menyembunyikan ayamku!"

"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.

Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu pun mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam, "Wah, enak... lezat...!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini," bisik Han Li.

"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau telah mengajak pulang? Nanti dulu ah!"

Kai-ong mematahkan ujung genting, diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui.

Acui menjadi marah lagi. "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

Dengan cekatan Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li supaya meniru perbuatannya.

Tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dia membuka sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"

"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!"

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

"Hayo kita tangkap pencuri itu!"

Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li cepat melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

"He-he-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang yang amat dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah, sedangkan di luar istananya banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya kakek raja pengemis ini sudah mulai mabuk.

"Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

Kai-ong tidak mau pergi, malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kakinya dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki berlari ke tempat itu.

"Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"

"Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

"Akan tetapi, Suhu...!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang.

Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan.

"Pencuri busuk, engkau berani mengacau di dapur istana pangeran?"

"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

"Keparat, berani engkau...!"

"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik mau pun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu adalah ibunya. Mereka tadi telah bersiap hendak makan siang saat mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia lalu melarang para pengawal turun tangan.

Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.

"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau memang begitu, biar kami mengundang Locianpwe dan Nona ini untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap yang lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" Kai-ong berkata sambil tertawa girang. "Sudah sejak lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan kini terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, tentu saja kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Dia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya kemudian menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

"Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang dari kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya.

Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya, lalu bertanya, "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"He-he-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki, hanya orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

"Lu Tong Ki...? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" mendadak Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

"Mendiang ayahku Liang Cun sering bicara tentang Locianpwe," kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ahhh, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini?"

"Benar, aku adalah murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah acara makan selesai, di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa sambil mengelus perutnya. "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengakui saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang..."

"Ahhh...!!"

Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang.

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya bersiap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan dahulu pernah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika dia melirik ke arah gurunya, dia melihat Kai-ong tersenyum-senyum padanya. Dia pun bisa menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji hingga di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!

Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andai kata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran terlebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, di dalam suaranya mengandung perasaan heran.

"Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang pernah menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Padahal semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!"

"Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.

"He-he-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran," berkata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.

"Berjuang untuk menegakkan kebenaran serta keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa," kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa," Pangeran Mahkota Tao Kuang membantah.

"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin," kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Tapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti yang dikatakan murid saya Han Li tadi."

"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tiada kebencian atau permusuhan. Anak kami pernah diselamatkan oleh ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari. Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Akan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Seorang raja pengemis bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota…..

********************

Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan ketika memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih dari pada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!

Sejak bayi dia dipelihara oleh subo-nya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subo-nya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cu In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cu In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cu In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali.

Ia melompat turun ke sebelah dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cu In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cu In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban.

Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi dalam sinar matanya mengandung duka.

Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan, dan berulang kali pula dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara

Semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa
kita berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!


Cu In tertegun. Dia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama!

Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biar pun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu sudah memutar tubuhnya dan terdengar suaranya yang lantang,

"Sobat, tiada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

"Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

"Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek sama sekali tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu, bahkan dia nampak begitu tenang. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya, terutama untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh jika ada yang mendendam kepadanya.

Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru kali ini usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Dan kenapa engkau hendak membunuhku? Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"

"Kita memang tidak pernah bertemu, akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang dahulu sudah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukan dirinya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah dahulu ayah bundamu itu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"

"Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

"Guruku yang memberi tahu."

"Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, kemudian wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

"Ahhh, Hong Bwe... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu terhadap diriku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku."

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

"Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti melihat gurumu ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Dia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Dia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya. Subo-nya bercerita demikian mungkin hanya supaya dia membenci orang ini.

"Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja terhadap keteranganmu."

"Percaya atau tidak terserah padamu. Terima kasih jika engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."

The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk. Gadis ini pun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali nanti aku akan terbunuh olehmu, oleh karena itu aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberi tahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku menjadi marah. ‘Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak!’ katanya. Karena aku telah memiliki tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, berasal dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku, maka terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya.

Dia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya untuk membunuh musuh besarnya ini.....

"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subo-nya. Akan tetapi subo-nya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subo-nya tidak mempunyai anak!

"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia membenciku dan kini mengutusmu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

Cu In menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."

Ia tidak menceritakan betapa subo-nya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.

"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!

Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"

Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.

Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"

"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.

"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.

"Akan tetapi, Su... bo...!"

"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"

"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"

"Kau... kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.

"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."

"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.

"Tranggg...!"

Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam genggaman tangan The Sun Tek.

"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah, inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"

Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.

"Kau... kau... ahhhhh...!"

Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan panglima ini.

Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.

Dendam ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

"Cu In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.

Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku ini, Hong Bwe."

Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."

"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."

"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.

Ketika itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.

The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

The Kong dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’, kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

"Hong Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."

"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

"Hong Bwe...!"

Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.

Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.

Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya…..

********************

Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.

"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."

Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.

Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.

Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.

Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.

Namun karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja.

Mula-mula seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.

"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.

Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"

"Saya memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.

Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"

"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."

"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.

"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.

"Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"

Gadis itu mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.

Akan tetapi, bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.

Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.

Tiba-tiba seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.

"Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"

Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.

"Dia sudah beranak-isteri!"

"Tidak pantas kalau dia ikut!"

Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"

Si Macan Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.

Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."

"Apa kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"

"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."

"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"

Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.

Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.

"Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"

Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.

"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"

Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."

Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang, usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia bukan lawan yang lemah."

Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"

Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."

Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu.

Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali. Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.

Ia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.

“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.

“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan golok pemotong ayammu itu!”

Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.

"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.

Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.

Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.

Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”

Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.

Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya.

Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.

“Wuuuttt... dukkk!”

Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.

“Bukkkkk...!”

Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.

Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.

Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.

Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”

Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”

“Ahh, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu.”

“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”

“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”

Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.

“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.

Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.

Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.

Hal ini membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.

Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik.

Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.

Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.

“Haiiittt...!”

Siok Hwa membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!

“Bagus!” Lam Sang memuji.

Ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji.

Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.

Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”

Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”

Dia lalu mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.

Liong Biauw segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”

Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”

Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.

“Ji Kongcu, tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”

Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”

“Kongcu tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”

Lam Sang pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”

Liong Biauw mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?”

“Aku tadi hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”

“Ji Kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”

“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”

“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”

“Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”

“Kalau begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”

“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.

Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.

“Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali memberikan keputusannya.”

Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.

Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpesona oleh kecantikan wanita.

Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!

Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.

Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!”

“Mudah-mudahan begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.

Dan keduanya pun kembali ke dalam rumah penginapan…..

********************

Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.

Tiba-tiba kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi sinar terang itu hanya sebentar.

Sesosok tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di tengah kamarnya.

Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.

“Ssttt... ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.

Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.

Bayangan itu mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”

Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”

“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”

Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.

“Tidak... ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang tuamu, Ji Kongcu?”

“Sudah kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”

“Tidak... tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan...”

Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.

Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!

Kurang lebih tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!

Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.

“Siapa di luar...?” tanya Liong Biauw.

“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat...!”

Daun pintu terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan sedang menangis terisak-isak.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.

Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia kembali...”

“Apa...? Siapa...?”

“Ji Kongcu! Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali menangis.

Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”

“Tertidur di kamarku...”

Liong Biauw berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.

Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.

Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.

Liong Siok Hwa melompat masuk.

”Ayah...!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.

Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!

Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak berdaya.

“Engkau hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.

"Kau... jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.

Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.

“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang tercinta.”

Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”

“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”

“Kau... kau jahat...!”

“Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.

Mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.

“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat kepadaku!”

Siok Hwa menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.

Gulam Sang merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.

“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!”

Gulam Sang lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!

Mulai saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis.

Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar