Pusaka Pulau Es Jilid 16-20

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Pusaka Pulau Es Jilid 16-20 Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau.
Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan anak yatim piatu. Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain.

Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.

Sebuah kereta meluncur berpapasan dengan Cu In. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.

“Enci Cu In...! Enci Cu In...!”

Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan dia segera dapat mengenali gadis yang memanggil dirinya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu beserta gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya.

Dan dia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa dia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biar pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In. Maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya, ia pun segera menghampiri kereta itu.

Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti oleh seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.

“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, dia adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.”

Mendengar bahwa gadis itu adalah puterinya Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.

“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”

“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.

Biar pun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.

“Enci Cu In, apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.

“Ahh, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.

“Cadarmu itu meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kulihat,” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.

Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya dianggap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar semenjak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta padanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh!

Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria yang jatuh cinta kepadanya, maka ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti suci-nya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Dan ketika teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!

Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya akibat hatinya pernah disakiti oleh seorang laki-laki. Selama ini dia tidak pernah merasa benci terhadap laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik.

Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan suci-nya, ketika suci-nya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Setelah mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta suci-nya, sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah suci-nya membunuh Keng Han.

Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam goa, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu. Namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanamkan oleh gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.

Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur. Ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!

“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li melihat betapa pandang mata Cu In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.

Cu In tersentak kaget dan baru sadar. Ia teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Ah, cadarku ini... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu...,” jawabnya terpaksa sekali.

“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, tetapi malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.

“Aku... sama sekali tidak cantik, aku... mukaku buruk sekali...,” berkata Cu In dengan terpatah-patah.

Melihat sikap yang gugup dari Cu In, Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tak akan memaksa dirimu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”

Kwi Hong juga seorang gadis yang meski pun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, meski aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”

“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya,” kata Cu In.

Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang datang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kai-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi putera mahkota itu.

Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biar pun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.

Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.

“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong.

Mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak. Ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa bahwa kedatangannya hanya mengganggu saja.

“Hai, bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama-sama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buahnya.

“Ayah, ini nona Souw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke mari. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”

“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong,” kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.

Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang. “Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu,” katanya lembut.

“Ahh sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami pun mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami karena malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”

“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.

“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.

"Kali ini engkau tidak boleh menolak, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.

Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”

Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan di dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang dipesiapkan untuk Cu In tinggal semalam itu.

Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bunga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan di dalam taman.

Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorang tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.

Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka pun mulai diayani para pelayan yang menghidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.

Karena sudah terbiasa, maka dia tidak canggung ketika makan, walau pun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang. Cadarnya ikut bergerak-gerak saat mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.

Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, dan tahu-tahu tidak jauh dari sana berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok yang terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.

“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.

Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang. Pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.

Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun. Melihat serangan mendadak ini, maka dia pun cepat-cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang tadi digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.

Ketika serangan pertamanya gagal, Keng Han terpaksa melompati meja. Ia juga merasa terkejut sekali ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakaian pengemis!

Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum.

Baru sekarang dia sempat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.

“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.

Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biar pun tidak begitu lama, meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberi tahukan alasannya yang kuat?

“Dulu Pangeran Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”

“Keterangan itu bohong!” Mendadak Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dan dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selosin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”

“Aku tidak percaya…!” suara Keng Han sangat lantang, nyaris seperti berteriak.

“Anak muda…” Kai-ong ikut bicara. “Apa alasanmu tidak mempercayai keterangan Tao Toanio tadi?”

“Aku telah mendengar keterangan yang berbeda!” jawab Keng Han, masih dengan nada keras.

“Aha!” Kai-ong kembali bicara. “Jadi ada dua keterangan berlainan yang sudah engkau dengar. Kalau engkau hanya percaya kepada salah satu pihak tanpa mau mendengar pihak lain, itu berarti engkau tidak mau mencari kebenaran, melainkan berpihak dengan dasar penilaianmu sendiri, anak muda.”

Kwi Hong merasa kecewa bahwa keterangan ibunya tidak dipercaya, karena itu ia lalu berkata, “Han-ko, ibuku tidak pernah berbohong, dan kali ini pun ia berkata jujur.”

Sejak tadi Cu In diam tak bergerak, akan tetapi otaknya bekerja keras. Dia memikirkan beberapa hal yang dialaminya sendiri, juga yang sudah dijalaninya bersama Keng Han. Entah apa sebabnya, dalam hatinya ada perasaan aneh terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. Dia tidak ingin melihat pemuda itu celaka!

Sekarang di tempat ini terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Ada Kai-ong Lu Tong Ki yang tadi jelas sudah menangkis pedang bengkok Keng Han untuk melindungi Pangeran Mahkota. Bersama raja pengemis ini hadir pula muridnya, yang juga adalah puterinya Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau merah, yang kepandaiaannya sudah pernah dilihatnya begitu lihai.

Melawan dua orang ini saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk mendapat kemenangan. Apa lagi di situ masih ada Tao Kwi Hong yang memiliki ilmu silat aneh, juga Liang Siok Cu, ibu dara itu yang merupakan puteri Sin-tung Koai-jin Liang Cun, seorang datuk yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Sukar bagi Cu In membayangkan murid keponakannya bisa lolos dari empat orang ini, belum lagi jika diingat adanya puluhan orang pasukan penjaga gedung ini yang tentu akan ikut mengepung dan menyerbu pemuda itu. Nasib Keng Han lebih banyak celaka dari pada selamat!

Selain itu, tiba-tiba dia teringat kepada Ang Hwa Nio-nio. Gurunya ini, yang kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, juga pernah memberi keterangan yang salah, menanamkan kebencian terhadap ayah kandungnya, bahkan menyuruhnya membunuh ayahnya sendiri.

Untung pada saat terakhir dia dapat menyadari bahwa semua yang telah didengarnya adalah kebohongan belaka, sebelum terlanjur ia melakukan tindakan yang keliru. Maka, ia pun tidak ingin Keng Han terlanjur melakukan kesalahan karena pernah mendengar keterangan yang tidak benar.

Sementara itu hati Keng Han sedang diliputi oleh kemarahan setinggi langit dan dendam sedalam lautan. Pandangannya seperti dibutakan oleh rasa penasaran. Sekian lama waktu telah dilaluinya serta sekian jauh jarak telah ditempuhnya, dan akhirnya ia hanya menerima keterangan bahwa ayahnya yang bersalah, bahkan sudah tewas pula!

“Aku tetap akan membunuh Pangeran Tao Kuang, apa pun kata kalian. Siapa pun yang menghalangiku, akan kubunuh juga,” katanya. Mata pemuda ini menyorot bengis, penuh nafsu membunuh.

Dengan pedang bengkok yang terhunus, Keng Han melangkah maju ke arah Pangeran Tao Kuang yang berdiri di belakang tiga orang yang melindunginya, yaitu Liang Siok Cu, Kwi Hong dan Kai-ong Lu Tong Ki. Akan tetapi, baru dua tindak dia melangkah, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Cu In sudah berdiri di hadapannya, menghalangi dia untuk melangkah lebih jauh.

Walau pun Keng Han tadi sudah sempat melihat keberadaan Cu In di tempat ini, tak urung ia terkejut bukan main melihat bibi gurunya telah berdiri di depannya, seolah-olah hendak menentangnya pula. Sebelum ia sempat bicara, gadis berpakaian putih ini telah mendahuluinya.

“Keng Han, cepatlah engkau pergi dari sini. Jangan melakukan perbuatan bodoh yang kelak akan kau sesali,” Cu In langsung memperingatkan pemuda itu. Kata-kata yang dia ucapkan ini setengah ditujukan kepada Keng Han, separuh lagi bagi dirinya sendiri.

“Su-i, kau… kau…” suara pemuda itu tergagap saking bingungnya.

“Keng Han, pergilah…” kembali Cu In memperingatkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut dan halus, nyaris seperti bisikan lirih.

Keng Han merasa sudah kepalang basah, karena itu dengan nekat dia berkata, “Su-i, aku tetap harus membunuh Pangeran Mahkota.”

“Aku melarangmu, Keng Han. Jika engkau tetap hendak berbuat nekat, maka engkau harus melawanku!” kali ini Cu In berkata dengan nada tegas.

Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan hanya tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup dan dalam keadaan segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe.“

Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak... tidak… tidak benar...!”

“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan Ji itu? Dua bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda?” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya sudah dibohongi dan dipermainkan orang.

Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya.

Kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.

“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.

"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengan seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau ini puteranya! Akan tetapi aku jelaskan bahwa engkau sudah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”

Melihat semua orang kini berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana jika semua keterangan ini benar?

Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang berdiri di dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sulit baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula, dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan Pangeran itu bahwa ayahnyalah yang jahat!

Dan hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahwa ayah kandungnya sendiri menipunya supaya dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa sangat kecewa dan menyesal sekali.

“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.

“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran, bukan karena mendengar omongan orang!” Kai-ong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ.

Pangeran Tao kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang kini menjadi mata gelap setelah mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”

“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong.

Tidak ada seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi, pada saat mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ahh, betapa ia sudah tergila-gila dan amat mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!

“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya,” kata Pangeran Tao Kuang. ”Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”

“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han, ayah enci Han Li ini, dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”

“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beri tahukan aku dan Ibumu?”

"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberi tahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”

“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi hanya karena ia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur orang untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”

“Mungkin dia jeri melihat kehadiran kita semua,” kata Han Li.

“Ahh, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”

“Aihhh..., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia memang murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.

“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia telah menjadi murid suci-ku. Dia pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu? Tapi ibu yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”

“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han adalah seorang yang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”

“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.

Tidak ada seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!

Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang lalu mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa amat khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.

Cu In juga berpamitan kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimana pun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini. Aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”

Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah dijaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.

Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah. Ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya…..

********************

Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang sebesar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi ia tidak tahu di mana rumah Hartawan Ji. Tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.

Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah betul Pangeran Tao Seng difitnah oleh Pangeran Tao Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang?

Juga ayah kandungnya itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu akan pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu mengenai kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.

Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.

“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin menghadap dan bicara dengannya.”

Para penjaga itu terheran-heran melihat ada seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima. Akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.

Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan akan mengusir Cu In.

“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”

Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu. Akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.

“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.

“Tapi, Ayah. Jangan-jangan ia akan menyerang Ayah...” kata The Kong khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.

“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”

Tidak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In.

“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”

Cu In duduk di atas bangku, berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu dia bertanya, suaranya terdengar masih dingin, “Mengapa engkau hendak mencariku?”

Biar pun ia sudah tahu bahwa pria ini adalah ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.

“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Lagi pula ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah padanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”

“Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.

Cu In menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”

“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.

“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng dijatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”

“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”

“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”

“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun bersama puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan oleh Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”

Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang sudah diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.

“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”

The-ciangkun menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Tak ada yang membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang ia masih hidup!”

“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji di kota raja ini?”

The-ciangkun membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”

“Di mana rumahnya?”

“Rumahnya amat mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”

Cu In bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Maaf, aku harus pergi sekarang.”

The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana? Tinggallah saja di sini dan kalau engkau ada urusan, beri tahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”

Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri tanpa bantuan siapa pun.”

“Tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”

“Benar, enci Cu In. Atau, jika engkau tidak mau tinggal di sini dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.

“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”

“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau tadi bertanya-tanya mengenai Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, aku harap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng adalah seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biar pun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”

“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu.

Ayah dan anak itu terus mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Melihat gadis itu keluar diantar langsung oleh The-ciangkun sendiri, para penjaga diam saja tidak berani mengganggunya…..

********************

Hati Keng Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?

Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa pula dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji?

Lalu dia teringat bahwa Hartawan Ji, menurut Gulam Sang, adalah sekutu pemuda Tibet itu. Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja apa bila Hartawan Ji menghasut dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apa lagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya sangat mendendam kepada Pangeran Tao Kuang.

Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa harus berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya.

Sepatutnya Pangeran Tao Seng tak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andai kata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.

Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, ia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama seorang pemuda yang telah dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.

Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang sudah dikuasai oleh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa pergi meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja.

Kedatangannya disambut hangat oleh Hartawan Ji yang langsung menceritakan tentang kunjungan Keng Han. Dia juga menceritakan mengenai siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Mendengar cerita ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri segera keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang.

Ia melihat apa yang terjadi, mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota.

Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, siap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Ketiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding bersama Gulam Sang.

“Kenapa mesti repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata, “Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”

“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu adalah ayah kandungnya, dia akan menaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Jika semua itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”

“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan oleh Gulam Sang,” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.

Meski pun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar telah membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.

Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan oleh setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan sebab sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan bisa tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tak segan menggunakan segala macam cara.

Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang sekarang memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapatkan kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya.

Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut.

Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata, “Ah, kiranya engkau sudah kembali, Tao kongcu? Silakan duduk!”

Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.

“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silakan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”

Akan tetapi Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak, kemudian memberikan kepada Keng Han.

“Ahh, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silakan, Kongcu!”

Bagaimana pun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, juga baginya persoalannya belum jelas siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang. Keng Han mengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Melihat ini, mata Gulam Sang mencorong serta mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.

Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu? Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?”

“Tidak. Akan tetapi kini aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang,” kata Keng Han, matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga pangeran itu menjadi resah juga.

“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”

“Bila aku katakan bahwa Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng, benarkah dugaanku ini? Engkau adalah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan Ji! Nah, jawab sejujurnya, benarkah demikian?”

Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberi tahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar hal ini dan bertanya dengan suara heran.

“Ehh, sebetulnya hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Tao Kongcu?”

“Sudahlah, tak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangecan Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku pun sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”

“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”

“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasutku supaya aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu mempunyai ayah sepertimu!”

“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku, maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, mengapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota? Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil? Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera. Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun!”

Keng Han diam saja. Walau pun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, akan tetapi kalau mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.

“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Jika mereka berdua tewas, sebagai pangeran tertua aku berhak atas tahta kerajaan! Dan kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu supaya engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”

“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.

“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”

“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis. “Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”

“Aku minta kepadamu supaya engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak mempedulikannya sama sekali!”

“Bodoh kau! Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.

“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga ikut denganku ke Khitan menemui ibu!”

“Kalau aku tidak mau?”

“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.

Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap menantang. “Enak saja engkau bicara, Keng Han! Engkau hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”

Keng Han tercengang. “Ayahmu...?”

“Ya, aku adalah anak angkat dari Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti padanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka karena hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya.

Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya.

Hebat dan luar biasa dahsyat serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han.....

Keng Han mengelak mundur. Karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, kemudian segera menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.

"Trang... trang...!”

Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat. Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu.

Pangeran Tao Seng sudah bangkit dan mundur sampai mepet dinding. Demikian pula Liong Siok Hwa mundur dan gentar menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat sekali. Gulam Sang adalah seorang murid dari Dalai Lama yang selain mempelajari ilmu silat tinggi juga telah memiliki tenaga sakti yang ampuh, diperkuat pula oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi, berhadapan dengan Keng Han, dia tidak dapat menggunakan ilmu sihirnya. Orang yang sudah memiliki tenaga sinkang sekuat Keng Han tidak dapat dipengaruhi sihir lagi. Oleh karena itu, Gulam Sang hanya mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan aneh gerakannya.

“Heiiiiittttt...!”

Pedang Gulam Sang menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Keng Han.

“Hemmm...!”

Keng Han mengelak ke kanan sambil menorehkan pedang bengkoknya ke arah lengan lawan yang memegang pedang. Namun Gulam Sang sudah menarik lengannya, lantas tubuhnya merendah dan pedangnya membabat ke arah kedua kaki Keng Han.

“Hiaaaaattt...!”

Gulam Sang berteriak dengan pengaruh sihir, “Robohlah engkau!”

Keng Han merasa jantungnya tergetar, akan tetapi tidak terpengaruh oleh teriakan itu. Dia meloncat tinggi ke udara untuk menghindarkan kedua kakinya yang dibabat pedang, lalu berjungkir balik dan menukik dengan kepala ke bawah, pedangnya menikam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Gulam Sang.

“Wuttttt... tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika pedang bertemu dan sekali ini Gulam Sang agak terhuyung, akan tetapi Keng Han juga harus berjungkir balik untuk mematahkan tenaga dorongan pedang dari bawah yang menangkisnya.

Keduanya telah berhadapan lagi dan saling menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi kini Keng Han mulai memainkan ilmunya yang hebat yaitu Hong-In Bun-hoat. Pedang bengkoknya membuat coretan-coretan di udara seperti orang menulis huruf, akan tetapi akibatnya, permainan pedang Gulam Sang menjadi kacau.

Semua jurus yang dimainkan Gulam Sang dikacaukan oleh gerakan pedang di tangan Keng Han. Setiap serangannya selalu dapat ditangkis lawan, bahkan lawan membalas kontan dengan cepatnya dan dengan gerakan sambung menyambung yang aneh sekali sehingga tak lama kemudian Gulam Sang sudah terdesak hebat oleh Keng Han. Dia kini hanya mampu menangkis dan mengelak dengan repot sekali oleh permainan pedang lawan.

Pada saat itu, Pangeran Tao Seng memberi isyarat dan muncullah tiga orang datuk yang sejak tadi sudah mengintai dan menunggu isyarat dari sang pangeran. Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin tahu-tahu sudah berada di situ. Lam-hai Koai-jin yang masih memandang rendah Keng Han, bahkan sudah menerjang dengan senjata ruyungnya.

“Tranggg...!”

Pedang Keng Han dan ruyung bertemu dan akibatnya, keduanya mundur dua langkah. Baru kini Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ.

Melihat Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo, barulah dia tahu benar akan kekuatan persekutuan itu. Ternyata ayahnya itu telah mempergunakan orang-orang dari golongan sesat untuk membantunya. Dan dia maklum bahwa kalau dia harus menghadapi empat orang ini sekaligus, tidak mungkin dia akan menang. Mereka terlampau kuat dan paling bisa dia melawan dua orang di antara mereka.

Pikiran Keng Han bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan meloncat ke dekat ayahnya.

“Jangan mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.

“Biarkan kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!”

Dia teringat akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng. Ayahnya sendiri!

Memang dalam keadaan terdesak, apa lagi menghadapi pengeroyokan yang curang, ia boleh saja mempergunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini ia menangkap ayahnya sendiri bukan hanya untuk membebaskan diri dari pengeroyokan, melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!

Benar saja. Tiga orang datuk itu tidak berani bergerak ketika melihat Keng Han sudah menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang terus menodong Pangeran Tao Seng lalu menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.

“Sam-wi Locianpwe (ketiga orang tua gagah), marilah kita serang dia! Dia tidak akan membunuh ayahnya sendiri!” Mendadak Gulam Sang berteriak dan menyerang dengan pedangnya.

Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang demikian cerdiknya. Memang, bagaimana pun dia takkan mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak saja.

Tung-hai Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan pedangnya dan Lam-hai Koai-jin mengerahkan ruyungnya, serentak menyerang kepada Keng Han. Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan pegangannya pada lengan ayahnya.

Merasa dirinya dilepas, Pangeran Tao Seng cepat meloncat menjauhkan diri. Kini Keng Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang sangat lihai sehingga dia mulai terdesak hebat.

“Jangan bunuh dia! Tangkap saja, jangan sekali-kali membunuh dia!” teriak Pangeran Tao Seng.

Pangeran Tao Seng masih sangat mengharapkan puteranya itu berubah pikirannya dan mau membantunya. Bagaimana pun, Keng Han adalah putera kandungnya dan ternyata ilmu kepandaiannya melebihi Gulam Sang!

Empat orang itu mendengar seruan ini dan mereka pun membatasi serangan mereka. Biar pun demikian, tetap saja Keng Han terkepung ketat sekali oleh empat orang itu dan setelah dia dapat membela diri sampai hampir seratus jurus, ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin mengenai punggungnya, membuat dia terhuyung.

Ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin menyerang terus dengan dorongan ke arah dada. Keng Han mengelak, akan tetapi dayung baja di tangan Tung-hai Lo-mo menghantam dari belakang mengenai pahanya dan Keng Han roboh terpelanting. Sebelum dia dapat meloncat bangun, pedang Gulam Sang sudah menempel di lehernya, juga pedang Swat-hai Lo-kwi telah mengancam dadanya.

Keng Han maklum bahwa dia telah kalah dan tertawan. Gulam Sang segera mengikat kaki tangannya dan dia pun dibawa ke dalam kamar tahanan yang berada di belakang rumah Hartawan Ji. Kamar tahanan itu kokoh kuat dan dijaga oleh belasan orang anak buah Gulam Sang.

“Ayah, Keng Han itu amat berbahaya, apakah tidak sebaiknya kalau dia dibunuh saja?” Gulam Sang bertanya kepada Pangeran Tao Seng setelah mereka semua kembali ke ruangan depan untuk berunding.

“Jangan! Aku menyayangkan ilmu kepandaiannya yang hebat. Akan kubujuk dia agar mau membantu. Dia akan merupakan tenaga bantuan yang penting sekali,” jawab sang pangeran.

“Bagaimana kalau dia tidak mau?”

“Kalau dia keras kepala dan tidak dapat dibujuk, maka kuserahkan dia kepadamu.”

Gulam Sang nampak gembira sekali. Pemuda ini ingin sekali dapat membunuh Keng Han sebab diam-diam dia merasa khawatir kalau-kalau kelak ayah angkatnya menerima Keng Han sebagai puteranya dan tentu kedudukannya akan kalah oleh anak kandung itu. Baginya, Keng Han merupakan duri dalam daging yang harus dilenyapkan.

“Tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Kita berikan racun perampas ingatan darimu itu. Kalau sampai dia hilang ingatan, tentu dia tidak mempunyai niat macam-macam lagi dan akan tunduk kepada semua perintah kita.”

Gulam Sang mengerutkan alisnya. Dia teringat betapa Keng Han sudah minum racun itu yang dicampurkan dalam arak yang disuguhkan kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa pemuda itu keracunan! Ahh, mungkin racunnya kurang banyak, demikian pikirnya.

“Baik, akan saya laksanakan. Saya akan mencampurkan racun perampas ingatan itu di dalam makanan dan minumannya.”

Malam itu udara terasa amat dingin, sedingin hati mereka yang tinggal di gedung tempat kediaman Ji Wan-gwe…..

********************

Pada keesokan harinya, Keng Han duduk bersila dalam kamar tahanannya. Tangan dan kakinya tidak dibelenggu, akan tetapi kaki tangannya dipasangi rantai yang terikat pada dinding sehingga dia tidak akan dapat melarikan diri. Rantai itu terbuat dari baja dan tebal sekali sehingga tak mungkin diipatahkan.

Keng Han juga tidak bodoh untuk coba mematahkan rantai itu. Penjaga banyak terdapat di luar tahanan dan di sana masih terdapat empat orang sakti itu. Dia tidak mungkin dapat melawan mereka kalau mereka maju bersama. Dia hanya menanti saatnya untuk dapat meloloskan dirinya.

Maka, dia pun menjaga kesehatan dan tenaganya dan dia makan semua makanan dan minuman yang dihidangkan biar pun dia dapat menduga bahwa makanan dan minuman itu dicampuri racun. Dia tidak takut akan segala racun. Tubuhnya kebal terhadap segala macam racun. Asal saja mereka tidak mempergunakan asap pembius, pikirnya.

Pernah dia tertawan akibat ledakan asap pembius yang dipergunakan oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Akan tetapi kalau racun itu masuk ke tubuhnya melalui makanan, atau melalui luka, dia tidak akan terpengaruh. Darahnya memiliki daya menolak pengaruh racun itu.

Pada hari kedua dia ditahan, pagi-pagi sekali Pangeran Tao Seng sudah mengunjungi kamar tahanannya.

“Anakku, kenapa engkau masih berkeras hati? Aku adalah ayah kandungmu. Engkau darah dagingku. Sungguh sengsara hatiku melihat engkau tertawan seperti ini. Anakku, mengapa engkau tidak mau membantu gerakanku? Katakanlah bahwa engkau akan membantuku, maka engkau akan dibebaskan dan menjadi puteraku yang tersayang dan terpercaya.”

Hati Keng Han panas sekali mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya sudah kecewa sekali melihat orang yang menjadi ayah kandungnya. Ternyata orang itu amat licik dan curang bukan main.

“Aku memang puteramu dan engkau adalah ayah kandungku. Akan tetapi kalau engkau berpikir bahwa aku akan mau membantu engkau melakukan kejahatan, engkau mimpi di siang hari. Sampai mati sekali pun aku tak ingin membantumu. Sebaliknya engkau yang menyadari kekeliruan tindakanmu dan ikut dengan aku menemui ibu. Kalau engkau mau melakukan itu, tentu aku akan menganggap engkau seorang ayah yang telah bertobat dan baik, dan aku akan berbakti kepadamu.”

“Jangan khawatir, Keng Han anakku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, pasti aku akan memboyong ibumu ke istanaku. Aku juga sangat mencinta ibumu.” Pangeran Tao Seng membujuk.

“Sudahlah, tidak perlu membujukku lebih lanjut. Akan sia-sia saja. Biar pun engkau ayah kandungku, akan tetapi bila kau lanjutkan usahamu untuk berkhianat dan memberontak, aku akan berdiri di pihak Kaisar kakekku dan Pangeran Mahkota Tao Kuang pamanku.”

Pangeran Tao Seng lalu meninggalkan tempat tahanan itu dengan muka merah karena marah, Akan tetapi dia tidak putus asa dan berharap agar racun perampas ingatan dari Gulam Sang itu akan bekerja dengan baik sehingga dia dapat membujuk puteranya itu.

Pada malam kedua, nampak sesosok bayangan putih berkelebat di atas pagar tembok di belakang rumah Hartawan Ji. Bayangan ini bukan lain adalah Cu In. Setelah gadis itu mendapatkan keterangan dari The-ciangkun di mana letak rumah Hartawan Ji, dia lalu datang berkunjung pada malam itu.

Ketika melihat ada dua orang peronda berjalan menghampiri tempat ia bersembunyi, ia meloncat dari dalam taman itu ke atas sebatang pohon. Ia berada di atas pohon, siap bertindak kalau sampai ketahuan. Dan ia mendengarkan mereka bercakap-cakap.

“Menjemukan sekali, malam-malam gelap begini harus meronda. Biasanya kita hanya berjaga di gardu dan dapat terlindung dari cuaca yang amat dingin, dapat membuat api unggun yang hangat.”

“Ahh, ini semua gara-gara pemuda yang bandel itu. Kabarnya dia berkepandaian tinggi dan tidak mau dibujuk untuk membantu Ji Wan-gwe. Heran aku mengapa ada orang tak mau bekerja kepada Ji Wan-gwe yang kaya raya dan royal.”

“Ketika hendak menangkap dia pun susah bukan main. Dari teman-teman yang melihat, kabarnya setelah tiga locianpwe dikerahkan untuk membantu Kongcu, barulah dia dapat ditawan. Kongcu sendiri kewalahan menghadapi pemuda ini.”

“Hebat. Sayang sekali kalau pemuda lihai macam itu akhirnya mesti mati karena tidak mau terbujuk.”

Percakapan itu cukup bagi Cu In. Tubuhnya melayang turun dan sekali dua tangannya menyambar, dua orang peronda itu sudah roboh tanpa dapat berteriak, roboh tertotok tidak mampu bergerak mau pun bersuara.

Ang Hwa Nio-nio memang memiliki keistimewaan dalam ilmu menotok sehingga ilmunya itu disebut Tok-ciang (Tangan Beracun) karena sekali totok saja mampu mencabut nyawa orang. Cu In juga menguasai ilmu ini dan dua orang yang ditotoknya itu sama sekali tidak mampu berkutik. Akan tetapi dara bercadar ini tidak membunuh mereka.

Cu In melolos pakaian hitam salah seorang di antara mereka dan mengenakan pakaian itu menutupi pakaiannya sendiri yang serba putih. Kemudian ia berkata kepada orang kedua. “Cepat lakukan perondaan sampai ke tempat tahanan itu. Awas, sekali saja kau berteriak, nyawamu akan melayang.”

Setelah berkata demikian dia membebaskan orang kedua dari totokan, lalu memaksa peronda itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Ia berjalan di belakangnya sambil menyembunyikan mukanya yang bercadar.

Peronda itu ketakutan setengah mati. Dia maklum bahwa orang yang sekarang berada di belakangnya itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Kalau dia berteriak, tentu dia akan tewas. Dia pun masih tidak tahu bagaimana nasib temannya yang ditinggalkan di belakang semak-semak dalam keadaan tidak bergerak seperti sudah menjadi mayat.

“Bawa aku ke tempat tahanan dan berbuatlah seolah-olah engkau melakukan ronda,” desis suara Cu In di dekat telinga peronda itu.

Peronda itu hanya mengangguk, membawa lampu teng dan memukul kentungannya, lalu melangkah menuju ke bagian belakang rumah besar Ji Wangwe. Segera dua orang penjaga yang berada di luar tempat tahanan menghadap mereka.

“Kanapa engkau sampai di tempat ini?” tanya seorang diantara dua orang penjaga itu.

Pemuda yang sudah mendapat pesan dari Cu In berkata dengan suara ketakutan. “Ah, tolonglah... tadi aku melihat banyak bayangan orang di sana. Aku khawatir akan datang serangan musuh!”

Mendengar cerita ini, dua orang itu segera masuk ke dalam dan memberi tahu kepada kawan-kawannya di sana. Empat orang lain keluar dan kini enam orang itu bertanya, “Di mana bayangan-bayangan itu?”

“Di sana...!” Peronda itu menudingkan telunjuknya ke arah taman, sedangkan Cu In bersembunyi di balik tubuh peronda sehingga mukanya tidak nampak.

“Mari kita periksa tempat itu!” kata seorang di antara enam penjaga itu dan mereka, segera berlarian dengan golok di tangan memasuki taman.

Melihat ini, Cu In segera menotok peronda itu sehingga roboh tak mampu berkutik lagi. Ia pun cepat-cepat menyelinap melalui pintu dari mana enam orang penjaga tadi keluar. Ternyata di sebelah dalam masih terdapat tujuh orang penjaga lagi, dan mereka sedang bermain kartu.

Melihat bayangan memasuki tempat mereka berjaga, tujuh orang itu serentak bangkit. Melihat bahwa yang masuk adalah seorang yang menutupi tubuhnya dengan pakaian hitam dan mukanya bercadar, semua menjadi kaget dan menyambar golok mereka.

“Siapa engkau?” bentak seorang kepala jaga.

Akan tetapi Cu In tidak memberi kesempatan kepada mereka. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dengan totokan yang jitu sehingga tujuh orang itu roboh malang melintang dalam keadaan tertotok.

Dengan cepat ia dapat menemukan serangkai kunci di atas meja, dan ia segera berlari masuk. Dari sela-sela jeruji baja ia dapat melihat Keng Han yang duduk bersila dengan kaki terikat rantai.

“Keng Han...,” bisiknya.

Keng Han membuka matanya dan segera dia mengenal orang bercadar itu.

“Cu In...!” bisiknya kembali.

Cu In bekerja cepat. Sebuah kunci membuka pintu tahanan yang berat itu, kemudian dengan sebuah kunci lain ia membuka rantai yang mengikat kaki Keng Han.

“Cu In, terima kasih...” kata Keng Han girang dan juga terharu.

Lagi-lagi gadis bercadar ini yang menolongnya. Ketika dia ditawan Kwi-kiam-pang, gadis ini pula yang menyelamatkannya. Ketika dia hendak dibunuh Bi-kiam Niocu, Cu In pula yang mencegahnya.

“Ssttt, kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka semua datang!” kata Cu In yang segera melompat keluar dari situ, diikuti oleh Keng Han.

Baru saja mereka tiba di luar, enam orang penjaga yang tadi memeriksa dalam taman sudah kembali dan melihat bahwa tawanan mereka lolos, mereka terkejut sekali dan menggunakan golok mereka untuk menyerang Keng Han dan Cu In. Ada pula yang berteriak-teriak minta tolong sehingga ributlah keadaan di tempat itu.

“Cepat robohkan mereka dan lari!” kata pula Cu In kepada Keng Han.

Cu In sendiri sudah merobohkan tiga orang penjaga. Keng Han juga lalu menggunakan tenaganya, menampar ke sana sini dan tiga orang penjaga dapat dia robohkan dalam waktu singkat. Pada saat itu, nampak orang-orang berdatangan dengan obor di tangan.

“Cepat lari!” kata Cu In pula.

Keng Han segera mengikuti Cu In melarikan diri. Mereka memasuki taman dan keluar dari pagar tembok taman itu.

Orang-orang yang mengejar mereka, Gulam Sang dan para datuk, tidak menemukan jejak mereka berdua. Ketika mendapat kenyataan bahwa tawanan telah lolos, Gulam Sang menjadi marah sekali dan dia lantas menampari para penjaga. Sialan sekali para penjaga. Baru saja ditotok roboh oleh dua orang itu, kini ditampar lagi oleh Gulam Sang sampai pipi mereka bengkak-bengkak.

Mereka segera memberi laporan kepada Pangeran Tao Seng. Sejenak sang pangeran berpikir sambil mengerutkan alisnya, kemudian dia berkata, “Kalau begitu, pelaksanaan rencana kita harus dipercepat. Sam-wi Locianpwe harap melaksanakan pembunuhan terhadap kaisar itu selambat-lambatnya besok pagi. Aku khawatir dengan lolosnya Keng Han maka rencana kita akan menjadi kacau. Gulam Sang, malam ini juga engkau harus menghubungi Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, juga kerahkan murid-murld Bu-tong-pai untuk bersiap di luar kota raja. Dan Sam-wi Locianpwe, harap membawa orang-orang yang dapat diandalkan untuk pekerjaan membunuh Kaisar. Mereka harus orang-orang berani mati yang sudah disumpah untuk mengakui sebagai orang Thian-li-pang kalau sampai tertangkap hidup-hidup, sesuai dengan rencana kita semula.”

Setelah mengatur semuanya, Pangeran Tao Seng memberi keterangan yang lebih jelas kepada tiga orang datuk sesat yang bertugas membunuh kaisar itu.

“Seperti biasanya, sesudah persidangan Kaisar akan pergi ke taman sambil membawa laporan-laporan untuk dipelajari. Nah, saat itulah kesempatan yang terbaik untuk turun tangan. Semua menteri dan panglima sudah meninggalkan ruang sidang dan pulang ke rumah masing-masing, saat itu keadaan di istana dalam suasana tenang dan tenteram. Para pengawal tentu tidak akan ada yang menduga bahwa akan terjadi penyerangan. Untuk menyelundupkan kalian ke dalam istana, sudah kuserahkan kepada Ciu-ciangkun yang akan mengaturnya. Kalian akan diberi pakaian sebagai pengawal-pengawal istana dan dapat masuk ke dalam istana dengan leluasa. Nah, bersiaplah kalian semua. Untuk menjaga jangan sampai Keng Han bertindak terhadap diriku, aku akan mengungsi di luar kota raja, yaitu di dusun yang telah kalian ketahui sebagai tempat peristirahatanku. Mengerti semua?”

Setelah semua mengerti dan siap, mereka bubaran. Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji bersama adiknya, Pangeran Tao San, keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota raja menunggang kereta menuju ke dusun di sebelah utara kota raja. Gulam Sang pergi pula untuk mempersiapkan pasukan, dan tiga orang locianpwe bersama selosin anak buah pergi menemui Ciu-ciangkun untuk diselundupkan pagi hari itu ke dalam istana!

Gulam Sang sendiri sudah mendapat perintah istimewa dari Pangeran Tao Seng, yaitu untuk membawa teman dan pergi melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota Tao Kuang, tentu saja sesudah dia mengumpulkan pasukan di luar kota raja yang siap untuk memasuki kota raja dan menyerbu istana, apa bila saatnya telah tiba.

Menurut rencana Pangeran Tao Seng, apa bila usaha membunuh Kaisar telah berhasil, dan juga usaha membunuh Pangeran Mahkota berhasil, dia sendiri akan menyerbu ke dalam istana, mempergunakan pasukan Panglima Ciu yang sudah berhasil dihasutnya dengan janji pangkat besar, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

Andai kata rencana itu gagal, mereka akan menimpakan kesalahan pemberontakan itu kepada Thian-li-pang…..

********************

“Cu In, sekali lagi engkau menyelamatkan nyawaku. Hutang budi terhadapmu sungguh bertumpuk-tumpuk, bagaimana aku akan dapat membalasnya? Dan engkau yang sudah menyaksikan betapa aku akan membunuh Paman Tao Kuang karena aku dihasut oleh ayah kandungku sendiri, kenapa engkau masih saja mau menolong aku yang sesat ini?” Keng Han bertanya setelah dia dan Cu In lolos dari rumah Hartawan Ji.

“Tidak ada hutang piutang budi, Keng Han. Aku membantumu karena melihat bahwa engkau tak bersalah. Engkau hendak membunuh Pangeran Tao Kuang karena engkau dihasut dan mendapat keterangan yang keliru.”

“Akan tetapi bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku akan tertimpa mala petaka di rumah Hartawan Ji yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng itu?”

“Sudah kuduga bahwa setelah menerima keterangan dari Pangeran Tao Kuang, engkau tentu akan menuntut balik kepada ayah kandungmu sendiri yang sudah menghasutmu. Dan kalau engkau melakukan hal itu, besar sekali kemungkinan engkau akan ditentang, ditawan atau dibunuh karena Pangeran Tao Seng ternyata adalah seorang yang mabuk kedudukan dan sudah melupakan putera sendiri. Maka aku lalu mencari keterangan lebih lanjut dan sesudah merasa pasti bahwa Hartawan Ji adalah Pangeran Tao Seng, malam ini aku segera pergi ke sana. Akan tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, apa yang hendak kau lakukan?”

“Aku harus menyelamatkan Sribaginda Kaisar. Beliau terancam bahaya maut!”

“Ahh, benarkah itu? Bahaya apa yang mengancamnya?”

Keng Han kemudian bercerita tentang ucapan-ucapan Pangeran Tao Seng yang akan membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan betapa kini di rumah pangeran itu telah berkumpul datuk-datuk sesat seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo, dan Lam-hai Koai-jin. Juga di sana terdapat Gulam Sang yang lihai.

“Jika begitu, kita harus cepat memberi peringatan kepada Pangeran Tao Kuang. Hanya beliau yang dapat mengatur semua penjagaan agar jangan sampai terjadi pembunuhan itu.”

“Baik, mari kita menghadap beliau.”

“Keng Han, apa sudah kau pikirkan masak-masak semua ini? Ingat, kalau kau bertindak begini, itu berarti bahwa engkau melawan ayah kandungmu sendiri!”

“Ayah kandung atau siapa saja yang bertindak salah, harus ditentang. Ayahku itu telah menyia-nyiakan kehidupan ibuku hingga ibu hidup merana dan selalu menanti di Khitan. Kemudian ayahku itu sudah bertindak curang hendak membunuh adiknya sendiri, apa lagi sekarang dia telah bertindak sedemikian jauhnya untuk membunuh ayahnya sendiri dan juga adiknya yang menjadi pangeran mahtkota. Tentu saja aku menentangnya!”

Mendengar ini, Cu In termenung. Hampir bersamaan nasib yang dialami oleh Keng Han dan ia sendiri. Hanya bedanya, kalau yang menyusahkan hati Keng Han itu ayahnya, ia lain lagi. Ibu kandungnya yang membuatnya bersusah hati. Ibunya mendidiknya sebagai murid, menghasutnya supaya ia membunuh ayah kandungnya! Akan tetapi dapatkah ia membenci ibu kandungnya?

“Keng Han, apakah engkau membenci ayahmu itu?”

“Tidak, aku tidak membenci orangnya, melainkan perbuatannya. Maka perbuatannya itu yang kutentang.”

“Bagaimana kalau nanti ayahmu itu mau mengubah sikapnya dan tidak lagi melakukan kejahatan?”

“Aku sudah membujuknya, bahkan hendak memaksanya untuk ikut bersamaku pergi menemui ibu di Khitan. Akan tetapi semua usahaku itu dihalangi oleh para datuk. Kami berkelahi dan aku dikeroyok empat sampai akhirnya aku tertawan.”

“Jadi engkau akan memaafkan ayahmu kalau dia mengubah sikapnya?”

“Tentu saja. Kalau perbuatannya sudah benar, apa lagi dia itu ayahku, maka aku harus berbakti kepadanya.”

“Ahhh...!“

“Kau kenapakah, Cu In?” tanya Keng Han khawatir melihat gadis itu seperti tertegun.

“Tidak apa-apa. Marilah kita menghadap Pangeran Mahkota.”

“Sebetulnya aku merasa sungkan dan malu menghadap beliau. Baru dua hari yang lalu aku berusaha untuk membunuhnya!”

“Jangan khawatir. Ada aku yang akan menjelaskan kepadanya.”

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ketika mereka hampir tiba di istana itu, Keng Han kembali bertanya, “Cu In, mengapa engkau begini baik terhadap diriku? Kanapa engkau begini membela aku?”

“Hemmm, kenapa? Karena engkau pun baik sekali kepadaku. Ingat, engkau pun pernah menolongku, bukan?”

“Cu In, suci-mu mengatakan bahwa engkau lebih kejam dari pada ia, akan tetapi aku melihat engkau sama sekali tidak kejam, bahkan engkau lembut hati dan mulia. Aku menyebut namamu begitu saja, bukan menyebut Su-I (Bibi Guru), engkau pun tidak marah. Aku sungguh kagum kepadamu semenjak pertama kali kita bertemu, aku... aku terpesona melihat sinar matamu dan aku suka sekali kepadamu. Apakah engkau akan marah dan membunuhku kalau aku mengatakan bahwa aku suka kepadamu?”

Sepasang mata itu mencorong, namun hanya sebentar. Tadinya Cu In hendak marah sekali karena ia sudah terbiasa menganggap bahwa kalau ada pria menyatakan suka kepadanya, maka pria itu hanya merayu saja dan pernyataannya itu palsu adanya seperti yang sering kali dikatakan gurunya. Akan tetapi kemudian ia teringat bahwa gurunya atau ibunya itu bersikap demikian karena sakit hati terhadap kekasihnya, maka kemarahannya pun hilang. Ia tidak perlu percaya lagi kepada semua pendapat ibunya.

Ia sendiri tidak dapat menyangkal bahwa ia pun suka sekali kepada Keng Han. Baru sekarang ia menyadari bahwa pria pun sama saja dengan wanita, ada yang baik dan ada yang jahat. Dan Keng Han ini jelas bukan laki-laki yang jahat.

Ia menyadari bahwa kebiasaannya mengenakan cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat laki-laki itu merupakan kebiasaan yang keliru. Tetapi sekarang sudah kepalang, bahkan hal itu dapat dipakainya untuk menguji sampai di mana rasa suka Keng Han terhadap dirinya.

“Aku tidak marah dan tidak akan membunuhmu karena pernyataan itu, Keng Han. Akan tetapi bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau suka kepadaku pada hal engkau belum pernah melihat wajahku?”

“Aku tidak peduli akan wajahmu, Cu In. Bagaimana pun bentuk wajahmu aku tetap akan merasa suka padamu. Aku kagum akan kepribadianmu, watakmu, cara engkau bicara, gerak-gerikmu, dan sinar matamu.”

“Tidak, Keng Han. Jangan katakan begitu. Aku... aku tidak berharga bagimu. Aku gadis kang-ouw, petualang yang hidup menyendiri, sedangkan engkau adalah seorang putera pangeran! Tidak, aku sama sekali tidak sebanding denganmu.”

“Cu In, jangan merendahkan diri sampai demikian! Aku cinta padamu, bukan karena rupa atau kedudukan. Aku mencinta dirimu, pribadimu, tidak peduli engkau berwajah bagaimana dan dari golongan apa.”

“Ahhh, engkau akan menyesal kelak dan kalau engkau menyesal, aku kembali akan menjadi pembenci pria yang ternyata berhati palsu, kata-katanya tidak dapat dipercaya.”

“Aku tidak akan menyesal, Cu In. Aku cinta padamu dan tidak ada apa pun yang dapat mengubah cintaku.”

“Akan tetapi wajahku buruk sekali, Keng Han. Aku hanyalah seorang wanita yang cacat mukanya.”

“Aku tidak percaya! Dan andai kata benar wajahmu cacat, aku tetap akan mencintamu.”

“Benarkah? Ingin aku melihat apakah pendapat guruku tentang pria benar, bahwa pria hanya merupakan perayu besar yang tidak setia dan palsu. Kau lihatlah baik-baik, Keng Han!”

Setelah berkata demikian, Cu In menyingkap cadarnya memperlihatkan mukanya dari hidung ke bawah. Keng Han memandangnya dan pemuda itu terbelalak, terkejut dan heran.

Tidak disangkanya sama sekali bahwa wajah yang di bagian atasnya demikian cantik jelita, bagian bawahnya mengerikan. Wajah itu totol-totol hitam, seperti bekas luka yang memenuhi permukaan wajahnya sehingga meski pun hidung dan mulutnya berbentuk sempurna, namun karena bertotol-totol hitam menjadi buruk untuk dipandang.

Cu In menutupkan kembali cadarnya, kemudian berkata dengan nada suara mengejek, “Engkau terkejut? Engkau ngeri? Wajahku seperti setan, bukan? Nah, apakah masih ada ada rasa cinta di dalam hatimu, Keng Han?”

Keng Han sudah dapat menyadari lagi keadaannya dan menguasai perasaannya yang terkejut. “Aku tetap mencintamu, Cu In. Biar pun wajahmu cacat, engkau tetap Cu In yang tadi, yang bercadar, yang kucinta. Akan tetapi mengapa wajahmu seperti itu, Cu In? Aku merasa iba kepadamu dan aku akan berusaha agar supaya cacat di wajahmu dapat hilang. Akan kucarikan tabib terpandai di dunia ini yang mampu menyembuhkan dirimu.”

“Kau tidak benci kepadaku? Tidak jijik melihat mukaku?” tanya Cu In, dalam suaranya mengandung keheranan.

Keng Han mendekat dan memegang kedua tangan gadis itu. “Sudah kukatakan, aku mencinta pribadimu, bukan sekedar kecantikanmu. Aku tetap mencintaimu walau pun wajahmu cacat. Jadi itulah sebabnya engkau memakai cadar selama ini! Agar mukamu yang cacat tidak kelihatan orang lain.”

“Benar, aku tidak ingin ada orang melihat mukaku dan kemudian membenciku. Engkau benar-benar tidak peduli akan cacat di mukaku?” tanya Cu In tanpa melepas pegangan Keng Han pada kedua tangannya.

“Aku bukan tidak peduli, akan tetapi aku bahkan kasihan sekali padamu dan ingin membantumu mencarikan obat untuk menghilangkan bekas luka di wajahmu itu. Akan tetapi cacat di mukamu itu tidak mengubah perasaan hatiku yang mencintamu.”

Cu In melepaskan kedua tangannya dan membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu. “Aku... aku tidak percaya...” suaranya mengandung isak.

“Kenapa engkau tidak percaya? Kenyataan bahwa engkau murid Ang Hwa Nio-nio dan sumoi Bi-kiam Niocu yang jahat dan kejam itu pun tidak mengubah cintaku padamu, pada hal aku sama sekali tidak menyukai watak mereka. Aku bersumpah bahwa aku tetap mencintamu Cu In.”

“Ssttt, sudahlah. Soal itu dapat kita bicarakan kemudian. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Mari kita menghadap Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

Baru teringat oleh Keng Han betapa lama mereka berhenti di jalan yang sunyi itu. Dia tersenyum kepada Cu In dan berkata, “Perasaan hati kita lebih penting dari segala urusan, Cu In. Aku sudah mengutarakan isi hatiku dan hal ini melegakan sekali. Walau pun aku belum tahu bagaimana tanggapanmu tentang perasaanku, akan tetapi kini aku merasa lega bahwa engkau mengetaihui akan perasasn hatiku kepadamu. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Ketika mereka tiba di istana Pangeran Tao Kuang, mereka segera disambut oleh Sang Pangeran sendiri yang ditemani oleh Kwi Hong dan ibunya, juga Kai-ong dan muridnya, Yo Han Li yang masih berada di situ. Melihat munculnya Keng Han bersama Cu In, Kwi Hong segera meloncat ke depan ayahnya dengan pedang terhunus di tangan.

“Han-ko, apakah engkau hendak membunuh ayahku?!” bentaknya.

Keng Han tersenyum. Sudah lama dia mengetahui bahwa Kwi Hong itu adalah adiknya sendiri, adik sepupu dan semarga. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata. “Tidak, Hong-moi. Aku bahkan datang untuk minta maaf kepada ayahmu.”

Lega hati Kwi Hong mendengar ini. Ia pun segera melangkah ke pinggir dekat ayahnya.

“Saya datang pertama-tama untuk mohon maaf kepada Paman Pangeran!” kata Keng Han sambil memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang.

Pangeran itu tersenyum, kemudian berkata, “Aku maafkan engkau, Keng Han. Engkau kemarin bersikap demikian karena hasutan orang. Apakah kini engkau sudah mengerti benar akan duduknya perkara?”

“Sudah, Paman. Bahkan bukan itu saja. Kami, yaitu Cu In dan saya, mengetahui hal-hal lain yang amat membahayakan keselamatan Paduka dan juga keselamatan Yang Mulia Kaisar. Ada komplotan yang hendak membunuh Paman dan Kaisar.”

Pangeran Tao Kuang terkejut mendengar ini dan segera mengajak Cu In dan Keng Han ke ruangan dalam untuk membicarakan hal itu.

Setelah tiba di ruangan dalam, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya. Dia menceritakan pula rencana ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Kaisar.

“Dia yang kini memakai nama Hartawan Ji telah mengundang datuk-datuk besar yang berilmu tinggi untuk melaksanakan pembunuhan itu. Karena itulah maka kami berdua cepat-cepat menghadap Paman untuk menghadapi komplotan pembunuh itu. Di antara mereka yang bersekutu itu terdapat pula seorang Tibet bernama Gulam Sang yang agaknya sudah mengadakan persekutuan dengan pihak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Mungkin mereka akan mengadakan penyerbuan ke kota raja. Juga Bu-tong-pai bekerja sama dengan mereka. Keadaan ini gawat sekali kalau tidak dipersiapkan penjagaan yang ketat.” demikian antara lain Keng Han berkata.

“Untuk menjaga keselamatan Paduka, di sini sudah terdapat adik Kwi Hong, adik Han Li dan Locianpwe Kai-ong. Akan tetapi untuk menjaga keselamatan Kaisar, perlu adanya tenaga yang boleh diandalkan untuk mencegah terjadinya pembunuhan,” kata Cu In.

“Wah, ini perkara penting sekati. Aku harus segera menghubungi ayahanda Kaisar dan para panglima untuk melakukan penjagaan dan untuk menyelidiki gerakan musuh di luar kota raja. Bagaimana kalau kami minta bantuan kalian, Keng Han dan Cu In, untuk ikut menjadi pengawal Kaisar untuk sementara waktu?”

“Saya bersedia, Paman.” kata Keng Han.

“Jika memang dibutuhkan, saya pun suka membantu,” kata pula Cu In penuh semangat.

“Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian berdua ikut dengan aku menghadap Kaisar. Kwi Hong, engkau menjaga di rumah dan saya mohon bantuan Locianpwe Kai-ong dan nona Yo untuk membantu Kwi Hong.”

“Baik, Ayah. Aku dan ibu akan siap siaga.”

“Ha-ha-ha, setelah siang malam makan dan tidur dengan enak di sini kami tentu saja suka membantu. Ada pekerjaan itu baik sekali, makan tidur saja setiap hari membuat aku menjadi malas!” kata Kai-ong.

Maka berangkatlah Pangeran Tao Kuang menuju ke istana Kaisar, dikawal oleh Keng Han dan Cu In. Setelah tiba di istana dan diterima oleh Kaisar, Pangeran Tao Kuang menceritakan keadaan yang berbahaya itu.

Mendengar laporan ini, Kaisar yang sudah tua itu memukul lengan kursinya.

“Aahhh, anak-anak macam apa Tao Seng dan Tao San itu? Mereka sudah dihukum, tapi tidak jera dan malah membikin ulah lagi. Kami serahkan penanggulangan pengacau ini kepadamu, Tao Kuang. Selesaikan sampai tuntas urusan ini. Aaahh, kalau kami yang harus memikirkan masalah anak-anak durhaka ini, bahkan hanya akan mendatangkan penyesalan saja di dalam hati!”

“Baik, Ayah. Serahkan saja semua ini kepada hamba. Di sini hamba mengajak dua orang pendekar yang menjadi saksi usaha pemberontakan itu dan hamba harap supaya Ayah suka menerimanya sebagai pengawal sementara untuk menghadapi mereka yang berani masuk ke Istana.”

Kaisar menerima Keng Han dan Cu In dengan senang. Akan tetapi melihat Cu In yang bercadar, Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata, “Kenapa gadis ini memakai cadar? Sebaiknya kalau cadar itu dilepas agar kami dapat melihat wajahnya.”

“Ampun, Yang Mulia. Hamba sudah bersumpah untuk tidak membuka cadar ini. Yang berhak melakukan hanya suami hamba kelak,” kata Cu In.

Keterangannya ini tidak seluruhnya bohong karena di dalam hatinya ia pun mengambil keputusan bahwa yang berhak membuka cadar adalah tangan suaminya. Mendengar ini Keng Han merasa jantungnya berdebar. Gadis ini sudah membuka cadar di depannya, bukankah itu menunjukkan bahwa gadis ini setuju dia menjadi calon suaminya?

“Hemmm, sumpah yang aneh. Tetapi sudahlah, karena putera kami yang membawamu ke sini, engkau boleh bercadar.” Akhirnya Kaisar berkata sambil mengangguk walau pun merasa heran akan sumpah yang aneh itu.

Keng Han dan Cu In ditinggalkan dalam istana untuk menjadi pengawal pribadi kaisar. Walau pun kaisar sudah mempunyai pasukan pengawal pribadi, akan tetapi hadirnya dua orang muda yang oleh puteranya diperkenalkan sebagai dua orang pendekar yang berilmu tinggi, kaisar suka menerimanya dan hal ini menambah tenang hatinya.

Pangeran Tao Kuang sendiri lalu membawa sepasukan pengawal untuk mengawalnya. Dia tidak segera pulang, akan tetapi mendatangi rumah panglima The Sun Tek yang dikenalnya sebagai Panglima besar yang memiliki ilmu silat tinggi. Kepada panglima itu dia menceritakan tentang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Tao Seng.

Ia menyerahkan penyelidikan dan pembasmian gerombolan pemberontak yang mungkin bersembunyi dekat kota raja, supaya dapat mencegah gerombolan itu menyerbu kota raja. Sesudah Panglima The Sun Tek menyatakan siap untuk melaksanakan perintah Kaisar melalui Pangeran Mahkota itu, Pangeran Tao Kuang baru pulang ke rumahnya, dikawal pasukan pengawal dengan ketat.

Panglima The Sun Tek dengan cepat mengerahkan pasukan istimewa untuk menambah kekuatan penjagaan di istana, lalu menyebar penyelidik untuk menyelidiki apakah ada gerombolan yang bersembunyi di sekitar kota raja.

Kaisar Cia Cing yang usianya sudah lebih dari tujuh puluh lima tahun itu nampak tenang saja mendengar bahwa dirinya terancam bahaya maut. Apa lagi dengan adanya Keng Han dan Cu In, dia merasa aman. Ada pun penambahan pengawal istana membuat dia lebih tenang lagi karena penjagaan menjadi ketat sekali.

Keng Han dan Cu In sama sekali tidak menyangka bahwa di antara pengawal istana itu terdapat Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka ini di selundupkan oleh panglima yang sudah dipengaruhi Pangeran Tao Seng, yaitu Panglima Ciu, ke dalam pasukan pengawal istana! Ada pun Swat-hai Lo-kwi oleh Panglima Ciu diselundupkan ke dalam pasukan penjaga istana Pangeran Mahkota.

Tentu saja ketiga orang datuk sesat ini menyamar sehingga kelihatan muda dan seperti anggota pasukan biasa. Dua orang datuk, yaitu Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin, bertugas untuk membunuh kaisar. Bersama dengan mereka diselundupkan pula anak buah Pek-lian-pai sebanyak selosin orang untuk membantu usaha dua orang datuk itu.

Sedangkan Swat-hai Lo-kwi dibantu oleh selosin prajurit pula, yaitu para anggota dari Pat-kwa-pai. Gulam Sang sendiri memimpin pasukan inti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai bersama para tokoh kedua gerombolan itu, mempersiapkan pasukannya di luar kota raja, siap untuk membantu apa bila saatnya tiba.

Penyerbuan itu akan dibarengi dengan gerakan pasukan Panglima Ciu dari dalam. Bila saatnya tiba, Panglima Ciu akan melepaskan anak panah berapi di udara sebagai tanda kepada gerombolan yang bersembunyi di luar kota raja. Penyerbuan akan dilakukan pada malam hari.

Pangeran Tao Kuang yang sudah menerima keterangan sejelasnya dari Keng Han dan Cu In, berhubungan terus dengan Panglima The Sun Tek. Panglima ini adalah seorang panglima perang yang telah hafal akan liku-liku siasat perang. Maka dia tidak terpancing keluar dan mengerahkan pasukannya keluar kota raja.

Ia menaruh curiga kalau-kalau pihak pemberontak justru telah menyelundupkan banyak pasukan ke dalam kota raja. Mudah saja untuk menyusup dengan menyamar sebagai pedagang atau petani yang menjual hasil ladang mereka ke kota raja. Maka dia pun membagi pasukannya menjadi dua bagian. Yang satu bagian diperuntukkan membasmi gerombolan yang berada di luar kota raja, sedangkan sebagian lagi tetap menjaga di kota raja kalau-kalau pihak musuh sudah menyelundupkan pasukan ke dalam kota raja untuk menyerbu istana. Penjagaan di istana diperketat.

Malam itu teramat indah. Biar pun tidak ada bulan di angkasa namun malam itu penuh bintang. Langit bersih sehingga semua bintang nampak di angkasa bagaikan butir-butir mutiara di hamparan beludru hitam. Apa bila ada orang yang menengadah, maka akan nampak keindahan yang luar biasa, nampak pula kekuasaan Tuhan yang tiada taranya.

Bintang-bintang itu berkelap-kelip, ada yang berkejap ada pula yang tenang diam tanpa sinar gemerlapan. Cahaya sekian banyak bintang di angkasa, tak terhitung banyaknya, membuat cuaca di bumi nampak remang-remang. Cahaya bintang-blntang itu demikian lembut sehingga malam terasa sejuk.

Kalau ada angin semilir, barulah terasa betapa dinginnya hawa udara di saat itu. Dingin dan sunyi, penuh pesona dan rahasia. Kadang nampak bintang meluncur lalu lenyap membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi jauh di atas itu.

Benarkah pendapat kuno bahwa setiap bintang itu mewakili seorang manusia. Agaknya pendapat kuno ini berlebihan. Buktinya banyak bintang yang sudah beratus tahun masih nampak cemerlang di angkasa sedangkan manusia sudah berganti beberapa generasi. Apakah di bintang itu terdapat makhluk hidup? Mungkin saja, siapa tahu. Tuhan Maha Kuasa, maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Kalau Tuhan menghendaki, mungkin saja di antara bintang-bintang itu ada bintang yang seperti dunia kita ini.

Malam yang indah. Akan tetapi malam yang mencekam bagi para penjaga di istana. Beberapa orang melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamar tidur Kaisar. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata tidak ada siapa-siapa.

Ketika mendengar laporan para penjaga itu, Keng Han dan Cu In siap siaga dengan penuh kewaspadaan. Keng Han menyuruh para prajurit pengawal untuk mengepung kamar tidur kaisar, sedangkan dia sendiri bersama Cu In sudah melayang naik ke atas atap, menjaga kalau-kalau ada yang menyerbu dari atas.

Penjagaan itu demikian ketat sehingga siapa pun yang akan memasuki kamar kaisar, dari luar mau pun dari atas, pasti akan ketahuan. Kecuali kalau ada yang masuk melalui bawah tanah, suatu hal yang tidak mungkin.....

Tengah malam tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum pernah nampak seindah malam ini.

Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa hatinya demikian tenteram dan bahagia, walau pun sedang menghadapi tugas yang berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!

Terdengar bunyi langkah dua losin prajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu adalah satu regu prajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para prajurit yang sudah berjaga sejak sore tadi. Komandan prajurit yang baru datang menerima laporan dari komandan prajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan yang mencurigakan berkelebat, akan tetapi kini suasana aman dan tenang sedangkan bayangan itu tidak dapat ditemukan.

“Mungkin hanya bayangan burung yang terbang lewat,” akhirnya komandan itu menutup keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapa pun juga, harap menjaga dengan hati-hati dan waspada.”

Dia tidak menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In sedang berada di atas atap karena dia sendiri tidak tahu di mana dua orang pengawal pribadi kaisar itu bersembunyi.

Pergantian pengawal sudah dilakukan. Para prajurit pengawal yang baru nampak masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan perondaan di sekeliling tempat itu.

Keng Han dan Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi. Kedua orang muda ini terus bersembunyi di atas atap dengan waspada, mengawasi empat penjuru dengan tatapan tajam.

Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti orang jatuh.

“Cu In, cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han.

Cu In melayang turun. Dia kaget bukan main melihat beberapa orang prajurit pengawal menyerang kawan-kawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara dua losin prajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai yang sekarang menyamar sebagai prajurit, termasuk juga dua orang datuk sesat, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin!

Melihat sepuluh orang prajurit diserang oleh prajurit yang lain dan empat orang sudah roboh tak bergerak lagi, Cu In berseru, “Tahan...!”

Akan tetapi, para prajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka yang memegang ruyung berseru, “Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”

Tung-hai Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Karena tahu betapa lihainya wanita itu, maka dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang besar.

Namun, begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan nyaring yang mengejutkan hatinya. “Berhenti, siapa engkau?!”

Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannya. Dia segera mengenal Keng Han, akan tapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek itu memakai samaran sebagai seorang prajurit biasa.

Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangannya, Tung-hai Lo-mo cepat menggerakkan tombaknya. Sebagai prajurit tentu saja dia tak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak dari pada senjata lain karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.

Melihat prajurit itu telah menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang bengkoknya.

“Tranggg...!”

Keduanya terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut sekali. Orang yang dikirim ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihai dan memiliki tenaga sinkang yang kuat!

Maka dia pun mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in Bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat, Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur.

Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah Pek-lian-pai dan masih ada Lam-hai Koai-jin pula.

Maka dia membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai Lomo untuk meloncat turun ke bawah!

“Pembunuh jahat, engkau hendak lari ke mana?” bentak Keng Han. Dia pun meloncat ke bawah melakukan pengejaran.

Melihat Keng Han meloncat turun, Tung-hai Lo-mo menggunakan tombak menyambut dengan tusukan yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan pada saat melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya untuk melindungi tubuhnya.

“Trang-tranggg...!” Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera bertanding lagi dengan serunya.

Sementara itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru. Akan tetapi karena Cu In membantu para prajurit pengawal yang diserang oleh orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok, apa lagi ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak.

Akan tetapi, dengan sabuk suteranya gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Mereka itu dapat dilawan para prajurit pengawal yang tulen sehingga Cu In hanya menghadapi Lam-hai Koai-jin seorang saja!

Lam-hai Koai-jin ialah seorang datuk selatan yang bertubuh gendut pendek. Permainan ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing.

Namun, lawannya adalah Cu In yang mempunyai ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin. Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi.

Baik Tung-hai Lo-mo mau pun Lam-hai Koai-jin kini mulai maklum bahwa usaha mereka mengalami gangguan. Apa lagi sekarang berdatangan pasukan pengawal lainnya yang mendengar akan perkelahian itu kemudian mereka datang berbondong-bondong untuk membantu teman-teman mereka.

Melihat ini, Tung-hai Lo-mo berseru, “Lari...!”

Dia sendiri sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari, akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat sehingga tak lama kemudian, kedua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu berhasil dirobohkan. Di antara mereka ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.

Pintu yang menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidur dan memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.

“Para pembunuh menyamar sebagai prajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi mereka semua sudah tertangkap!” Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka itu dapat melapor kepada Kaisar.

“Siapa yang menyuruh kalian? Hayo cepat katakan!” bentak Keng Han kepada empat orang penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya.

Akan tetapi empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.

“Katakan kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.

Seorang di antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab singkat. “Kami anggota Thian-li-pang!”

Keng Han dan Cu In terkejut sekali. Anggota Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!

“Mungkin mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka,” kata Cu In dan Keng Han menyetujui.

Keadaan kini sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para penjahat itu menyamar sebagai prajurit-prajurit pengawal istana.

“Benar, sekarang di sini sudah aman. Kita serahkan kepada para prajurit untuk menjaga keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan,” kata Keng Han.

Keduanya lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai prajurit-prajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi. Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka. Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.

Di istana ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas orang memasuki istana lewat pagar tembok belakang taman. Mereka segera ketahuan karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga belas orang itu dengan para prajurit.

Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek yang memegang pedang. Banyak prajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi.

Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga di bagian belakang istana. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.

Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

“Tranggg...!”

Tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biar pun hanya tongkat bambu, tapi ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas.

Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian pada penangkisnya. Ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh bila Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.

“Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?”

“Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!”

Swat-hai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukannya sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit...!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm...!”

Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss...!”

Dua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar.

Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar, bahkan dapat terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu pula oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para prajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil, sebab ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah). Tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu lantas menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.

Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya dia cepat mainkan Ngo-heng Sin-kiam sehingga lawan-lawannya menjadi kerepotan melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tidak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.

Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja. Akan tetapi, walau ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan dan tendangan itu sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh.

Para prajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para prajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.

“Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.”

Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apa bila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.

Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat.

“Tranggg…!” tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan, dan yang meloncat itu adalah Swat-hai Lo-kwi. Dari ujung bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

“Sekarang aku memang mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat menjauh, melarikan diri dalam kegelapan malam.

Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dan dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang kemudian diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

“Kamu datang dari perkumpulan mana?”

“Dari Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.

“Bohong!” bentak Yo Han Li sambil bergegas menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!”

Orang itu hanya memandang kepada Han Li, akan tetapi tidak menjawab.

“Hayo katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.

Orang itu menjadi pucat wajahnya, kemudian menggeleng kepalanya dan menjawab, “Tidak... tidak tahu...”

“Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggota Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

“Bret-bret-bret...!”

Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

“Dia dari Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.

Han Li mengangguk. “Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai ada terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka adalah murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup.

Pada saat itu muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li bersama gurunya, juga melihat banyak tubuh menggeletak berserakan di tempat itu, mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

“Mereka mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.

“Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”

Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk. “Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang.”

“Ahh, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang,” kata Han Li. “Aku harus menjadi saksi di sana.”

“Untuk itulah kami datang ke sini. Selain hendak melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.”

“Baik, mari kita berangkat,” kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar serta pangeran itu.

Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar.

Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya, “Engkau dari perkumpulan apa?”

Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi. “Dari Thian-li-pang!”

Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. “Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?”

Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata, “Saya tidak tahu.”

Han Li memberi hormat kepada Kaisar. “Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia memang orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang.”

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu.

“Dia seorang anggota Pek-lian-kauw, Yang Mulia,” kata Han Li.

“Benar, dia anggota Pek-lian-kauw!” kata Cu In.

Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah para anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggota Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Namun di luar istana sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang. Akibatnya, umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan sudah pula mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka keluar dari istana dan waktu itu sudah jauh lewat tengah malam.

Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara.

“Apa itu?” tanya Cu In.

“Panah api! Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”

“Mengapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu sudah diaturnya dengan baik? Kita lihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua harus turun tangan membantu.”

“Kau benar, Cu In. Walau pun yang menggerakkan semua ini adalah ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andai yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, meski pun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa.”

Cu In mengangguk. “Aku setuju sekali dengan pendapatmu, Keng Han. Pemberontakan dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka sudah menggunakan tokoh-tokoh sesat serta kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentulah bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”

Keduanya lalu berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat, melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

“Kami melihat panah api diluncurkan ke udara,” kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

“Kami juga sudah mengetahuinya. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di luar kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciangkun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik yang di dalam kota raja mau pun yang berada di luar.”

Cu In amat kaget mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The Ciangkun. ”Apakah yang dimaksudkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanya Cu In.

“Benar,” jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”

“Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran,” kata Cu In.

“Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”

“Baik,” kata Keng Han dan Cu In.

Mereka lalu keluar dari istana itu.

“Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”

“Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku,” kata Cu In terus terang.

“Ehhh...?”

Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu.

“Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?”

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!”

Mereka berlari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The.

Sementara itu, tempat persembunyian pasukan inti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan oleh para penyelidik. Dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu segera bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerahlah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para prajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”

Mendengar seruan ini, banyak prajurit pasukan yang berlari keluar dari benteng tanpa membawa senjata sambil mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan.

Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat terus memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya, juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The.

Cu In dan Keng Han melihat ini, tetapi mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton, tidak membantu ayah kandungnya. Memang Panglima The tidak perlu dibantu sebab belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru. “Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”

Mendengar dan melihat ini, para prajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah. Walau pun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, tetapi karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri!

Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri.

Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat. Bahkan setelah Thian It Tosu keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan kepada para anggota bahwa mulai hari itu juga, Liong Siok Hwa diterima menjadi muridnya. Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya.

Beberapa hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe, Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan masih banyak orang lagi. Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka menyerbu istana dan membunuh kaisar serta putera mahkota.

Thian It Tosu menerima mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai dan berkumpul di sana dengan tujuan untuk menyembunyikan diri dan agar dapat mengadakan pertemuan dan berunding.

Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.

“Akan tetapi semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!”

Tung-hai Lo-mo mengangguk dan berkata, “Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran, ayahnya sendiri.”

Pangeran Tao Seng mengepal tinjunya. “Jika tahu akan begini jadinya, sudah kubunuh dia ketika dulu dia tertawan!”

“Tidak ada gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu mengobarkan pemberontakan.”

“Hemmm, rencana apakah itu, Kongcu?” tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lainnya yang juga ingin mengetahuinya.

“Begini,” kata Pangeran Tao Seng. “Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan membonceng kepada nama Bu-tong-pai, kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tong-pai mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus kita usahakan agar Gulam Sang yang akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan yang besar.”

“Pikiran yang sangat bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?” tanya Tung-hai Lo-mo.

“Dalam pemilihan bengcu pada sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia tak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan bengcu, terlebih dahulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu,” kata Gulam Sang.

Semua orang memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa di dunia persilatan.

“Akan tetapi siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!”

“Aku yang akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Apa bila kita berdua yang menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!” kata pula Gulam Sang.

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya. “Murid Siauw-lim-pai? Ahhh, kalau sampai Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu akan berpihak kepada Siauw-lim-pai.”

“Harap Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama. Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok tewas terbunuh oleh orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu wajar saja terjadi,” demikian kata Gulam Sang.

Mendengar ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu kepada anak angkatnya yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Gulam Sang masih setia kepadanya, padahal perebutan tahta telah gagal, hal ini adalah disebabkan Gulam Sang masih membutuhkan harta kekayaannya untuk membiayai rencananya.

Setelah selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di situ untuk membantu Gulam Sang…..

********************

Keng Han meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biar pun tidak berjanji keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama. Setelah mereka berada jauh dari kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga berhenti melangkah. Keduanya saling pandang.

Keng Han lalu bertanya, dalam suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia lagi.

“Cu In, ke manakah tujuan perjalananmu kali ini?”

Cu In tidak menjawab, hanya menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.

“Dan engkau sendiri, Keng Han. Engkau hendak ke manakah?” akhirnya dia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

Keng Han menghela napas panjang. “Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk mencari ayah kandungku, kemudian mengajaknya pulang ke Khitan karena ibu amat merindukannya. Tapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan-pembunuhan itu. Bahkan sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In.”

Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han juga mengambil tempat duduk di depannya.

“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi,” kata Cu In.

“Cu In, bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan kepadaku tentang pengalamanmu. Dulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi kemudian engkau mengatakan bahwa engkau sudah bertemu dengan ayah bundamu. Bagaimanakah ini?”

Cu In menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, dia pasti segan menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.

“Sejak kecil sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah ibuku telah dibunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan padaku bahwa pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja.”

“Ahhh...!” Keng Han berseru heran. “Kau maksudkan The Ciangkun yang memimpin pembasmian pemberontak itu?”

“Benar, dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk membunuhnya, akan tetapi The Ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa subo-ku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The Ciangkun, maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga dia mendidik aku sebagai muridnya hanya dengan maksud supaya sesudah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri! Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan mereka.”

Keng Han mendengarkan dengan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali menggeleng kepalanya. “Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga Putera Mahkota?”

“Aku bertemu dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota.”

Kembali Keng Han menghela napas. “Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tak bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat kenyataan betapa kejam ayahku. Hemm, sekarang aku mulai mengerti kenapa Bi-kiam Niocu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya. Tentu engkau pun demikian, bukan?”

“Memang subo-ku atau ibuku selalu mendidik kami berdua agar membenci kaum pria. Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan pembohong, tukang bujuk rayu yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau ada laki-laki yang menggoda, harus cepat dibunuh! Akan tetapi semenjak aku... bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu ada yang jahat dan ada yang baik. Apa lagi setelah aku mengetahui mengapa ibu demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan dendam kepada seorang pria.”

“Akan tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The Ciangkun?”

“Ayah dilarang orang tuanya mengambil ibuku yang seorang wanita kang-ouw sebagai isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan. Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan.”

Keng Han merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.

“Ahh, sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu agar tidak terlihat oleh pria sehingga tidak ada yang melihat dan menggodamu sehingga engkau akan terpaksa membunuhnya.”

Cu In mengangguk membenarkan.

Pada saat itu pula terdengar seruan orang, “Cu In...! Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini. Sungguh aku girang sekali bisa menemukan anakku di sini!”

Keng Han dan Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.

“Engkau tentu pemuda yang bernama Tao Keng Han. Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dan aku kagum sekali, orang muda.”

Keng Han cepat-cepat memberi hormat pula. “Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat pimpinan Paman maka para pemberontak dapat diruntuhkan.”

“Dan ada urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?” tanya Cu In, suaranya dingin.

“Ah, Cu In. Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu.”

“Ibuku sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak memiliki ayah dan ibu lagi...” Dalam suaranya terkandung isak tangis.

“Cu In, harap engkau jangan berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia pun sudah bersusah payah mencarimu. Aku sendiri, kalau saja ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya dengan bahagia sekali,” kata Keng Han membujuk.

“Akan tetapi apa artinya seorang ayah bagiku, bila tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah, apakah aku harus mengkhianati ibuku?” Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.

“Cu In, ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, tapi dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san.”

“Ahh, itu bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.”

“Sebaiknya kita semua ke sana,” kata The Sun Tek. “Kai-ong dan muridnya juga sudah berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru.”

“Bengcu baru?” tanya Keng Han heran. “Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?”

“Entahlah, itu pun menjadi pertanyaan di dalam hatiku. Beng-san tidak terlalu jauh dari Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah pula di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu. Di sana tentu akan dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Paman. Saya pun pernah mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng Kok.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat, Cu In. Kita mengunjungi ibumu dan aku akan memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk melihat pemilihan bengcu baru.”

Akhirnya, setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng Han. Mereka bertiga lalu melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi penunjuk jalan.

Selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng Han seorang pemuda yang baik sekali, walau pun dia itu putera Pangeran Tao Seng yang memberontak.....

********************
Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, pada saat diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir. Tadinya semua orang sudah sepakat untuk memilih serta menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi bengcu baru, akan tetapi Yo Han yang pada waktu itu sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak.

Atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang kemudian dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu.

Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan di antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biar pun banyak anggota kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja.

Bhe Seng Kok hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana.

Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja.

Sebagai seorang bengcu, tentu saja Bhe Seng Kok mengenal hampir semua orang dari kalangan kang-ouw, apa lagi tokoh-tokoh golongan tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.

“Ahh, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”

“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo.

Tung-hai Lo-mo masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gulam Sang, pemuda gagah itu. Bhe Seng Kok lalu mempersilakan dua orang tamunya.

“Silakan Ji-wi (kalian berdua) duduk!”

“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama Gulam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”

Bhe Seng Kok mengangguk, lalu dia memandang kepada Gulam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia kang-ouw. Tung-hai Lo-mo, ada keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Yang mempunyai keperluan justru Gulam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkan dia saja.”

“Ahh, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”

Gulam Sang tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”

“Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”

“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka sekarang aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gulam Sang terus terang.

Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”

“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,” kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu Gulam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”

Gulam Sang tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.”

Berkerut alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”

Gulam Sang bangkit dan mencabut pedangnya. “Engkau telah menghinaku Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”

Melihat kenekatan Gulam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”

Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.

“Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”

“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gulam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.

Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya, lalu membalas serangan itu. Gulam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.

Melihat betapa semua serangan Gulam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi.

Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gulam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!

Mendadak sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Segera dia mengelak dan menahan pedangnya, kemudian menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo.

“Lo-mo, kau...!” Bhe Seng Kok berseru.

Akan tetapi pada saat itu pedang di tangan Gulam Sang sudah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya sudah ditembusi pedang.

Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian keji dan curang...!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.

“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”

Keduanya lalu cepat melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat.

Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam suatu perkelahian, akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.

Matinya bengcu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Hanya dua hari setelah kematian bengcu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan ketua partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-san. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan bengcu baru.

Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walau pun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok.

Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara akan dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.

Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja mereka gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain. Dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka pun tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah.

Siapa pun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan…..

********************

Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan paling depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.

Cu In yang menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil, Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan sebutan ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.

“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.

Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku ingin cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”

Cu In diam saja, akan tetapi juga tidak membantah. Mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan.

Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Sesudah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.

“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu supaya mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus dapat kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria merupakan orang jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”

“Tidak, Ayah,” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.

“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”

“Tidak juga, Ayah.”

“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu menyembunyikan mukamu dari kami? Aku ini ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”

Melihat gadis itu menjadi kebingungan, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimana pun juga wajah anaknya itu.“

“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”

“Ahh, bagaimana mungkin? Engkau tetap anakku, tidak peduli bagaimana pun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”

Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.

“Engkau... jijik melihatku, Ayah?”

“Tidak, ah, tidak...!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Tapi kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”

“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”

“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”

Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.

“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib yang terpandai untuk mengobatimu. Nanti sesudah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, sesudah sekarang engkau melihat bukti bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”

“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”

“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.

“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku sempat membuka cadarku dan begitu dia melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.”

“Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang yang jahat. Biar pun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.

“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”

“Ahhh, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”

“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap laki-laki hanyalah sekedar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai supaya tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”

“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu?”

“Punya anak yang cacat wajahnya.”

“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”

“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung rasa penasaran.

“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau... mencinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?”

Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya, wajahnya berseri dan mulutnya pun tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.

“Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”

“Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu bisa dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”

“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan oleh ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”

“Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan hanya karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”

“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi menantuku!”

“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”

“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon menantuku itu anak siapa, yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han adalah seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”

Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang mempunyai hak untuk menentukan siapa calon menantunya.”

Keng Han diam saja, akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita, kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga tiap pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.

“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In.

Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.

“Subo...!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.

Akan tetapi Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Saat diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subo-nya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoi-nya!

Niocu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya yang lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja sudah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”

“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang-ulang kali menyelamatkan diriku.”

“Apa kau bilang? Ayahmu...?” Niocu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.

“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beri tahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku, tentu subo akan mengerti.”

Betapa pun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jeri terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.

“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia pun berkelebat dan pergi.

“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Niocu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.

“Benar, Ayah. Ia suci-ku dan patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang telah dibunuh olehnya karena berani bersikap ceriwis kepadanya.”

The Sun Tek menghela napas panjang. “Mudah-mudahan nanti aku bisa menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”

Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.

“Kita akan mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”

“Keluarga Gak…?” Keng Han bertanya sambil mengingat-ingat.

Sambil terus berjalan, Cu In kemudian menjelaskan tentang keluarga Gak yang tadi dia sebutkan.

“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah orang yang dekat dengan keluarga Pulau Es. Ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat di daerah ini.”

Keng Han tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”

“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apa lagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”

Keng Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”

“Ahh, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.

“Ahh, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tanpa ada yang membimbing.”

“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”

“Engkau terlalu memuji, Cu In. Ilmumu sendiri juga hebat sekali.”

Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan diri mereka sehingga The Ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.

Akan tetapi mereka tak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biar pun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.

Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio, ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Niocu. Wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberi tahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu.

Ketika melihat The Ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin. “Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”

Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu. Dia pun berkata, “Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”

Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya bagaikan ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!

“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.

“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Mengapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan aku disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Sekarang dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.

Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”

Mendengar semua percakapan itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.

“Jadi... Paman ini... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.

Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subo-nya menangis.

“Aku... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak...”

The Sun Tek lalu berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”

“Benar, Cu In. Bagaimana pun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa,” kata Keng Han membujuk.

Semenjak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan karena ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.

“Ibuku...!”

“Cu In... Cu In... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan ibumu, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”

“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”

Keng Han pun melangkah maju dan menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah, Subo.”

“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa yang tidak tahu bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo lagi atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”

Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh rasa kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tak ada salahnya menjadi sahabatnya.”

“Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”

“Tidak, tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau ada pria yang jatuh cinta dan Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”

“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”

“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan dia.”

“Aihh, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu lagi menutupi mukamu. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”

“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan orang dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Pada waktu malam pengantin aku akan membuka dan membuang cadar ini untuk selamanya!”

“Sumoi...!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.

Dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi bila kelak Keng Han melihat wajah sumoi-nya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?

“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.

Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum, apa lagi tertawa. Dan ia melihat wajah subo-nya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walau pun usianya sudah lima puluh tahun!

“Hong Bwe, anak kita ini sudah memiliki calon jodohnya, bahkan sudah pernah melihat mukanya.”

“Ayah...!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.

“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”

“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, dari nada suaranya terdengar gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”

“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”

“Ahh, engkaukah itu, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”

Biar pun dengan perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, “Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”

“Ahhh, tidak mungkin!” mendadak Bikiam Niocu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!”

Tentu saja dia merasa sangat terkejut mendengar ucapan Keng Han itu. Dia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu bisa menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin.

Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal ini. Sebaliknya, ia pun sudah melihat wajah sumoi-nya yang totol-totol hitam dan buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?

The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau kaya raya. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”

“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Walau pun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, akan tetapi cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan supaya engkau menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”

The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau segera berkemas karena sekarang juga kita akan pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”

“Pulang...?” Ang Hwa Nio-nio bertanya, suaranya seperti orang kebingungan, seperti di dalam mimpi.

“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”

“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”

“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Niocu.

“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”

Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.

Keng Han tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi atas diri Cu In.”

The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu. “Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menunggumu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”

The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.

“Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia pun meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi temanku yang setia.”

Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.

“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini adalah pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara ini disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”

“Selamat tinggal, Keng Han,” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.

“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In,” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.

“Hi-hik-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Niocu mengejek sambil tertawa.

“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu.“

“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”

“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Kenapa engkau mengatakan mataku buta?”

“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”

“Sudah, mengapa?”

“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”

“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak ia belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta dia, aku mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”

“Hi-hik-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali? Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan...!”

“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”

“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”

“Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi tadi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”

“Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”

“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku menggunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.

“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku untuk membunuhmu! Jika aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Niocu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat.

Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.

“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.

“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

“Wuuuuuttt... singgg...!”

Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu makin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas.

Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, dia langsung disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.

Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.

“Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk.

Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu pun menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang.

Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, adalah senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya bisa tidak terduga-duga, dapat dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.

Tapi Keng Han telah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba saja rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat lagi mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!

Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang kini hanya tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Mendadak nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh berewok seperti muka harimau dan berewok serta rambutnya sudah putih semua!

“Bi-kiam Niocu, ini pedangmu! Apa engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”

Bi-kiam Niocu bukan seorang yang curang. Sebaliknya, dia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya dan menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.

“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Niocu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang amat dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.

“Bi-kiam Niocu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam,” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.

“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Niocu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”

“Begitu juga bagus, Niocu. Kami semua sudah mendengar nama besar Bi-kiam Niocu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”

Bi-kiam Niocu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.

Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tak memiliki nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.

“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu,” kata Keng Han dengan lembut.

“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”

“Sesukamulah kalau begitu. Tapi aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.

“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!”

Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.

“Hemmm...!”

Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih ini sudah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena sudah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu ‘harimau’ itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.

“Wuuuuuttt... plakkk...!”

Keng Han terkejut sendiri. Tanpa dia sadari, tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!

Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru ingat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.

“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.

Bi-kiam Niocu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir dan menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu.

Pek-thou-houw tertegun. Saat melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia pun merasa jeri. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Niocu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apa lagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.

Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan kelak dia bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya.

Dia merasa kasihan pada Bi-kiam Niocu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Niocu mencintai dirinya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subo-nya. Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya.

Dia tahu bahwa Bi-kiam Niocu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang, dia berharap gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subo-nya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.

“Semoga engkau kelak menemukan jodohmu yang tepat, Niocu,” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.

Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat kembali bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.....

********************
Sebuah kereta kuda berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia lalu memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana.

Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.

“Ayo kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.

Ketika mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!

Begitu pun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng!

Demikian pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.

Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”

Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”

“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”

“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”

“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.

“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”

Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.

“Nah, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.

Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.

“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”

“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”

“Ahh, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”

Karena di situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.

“Bagaimana pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak itu.”

Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”

“Aihh, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”

“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.

Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.

“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”

“Ahh, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.

“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.

“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”

Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.

Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi pemberontakan itu?”

Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”

“Bukankah mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.

“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”

“Kakanda tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”

“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.

Cia Sun mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”

“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”

“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”

“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”

“Belum. Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.”

“Aku dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.

“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”

“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”

“Apa yang kau herankan?”

“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”

Pangeran Tao Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”

Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan, kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”

Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.

“Taman begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.

“Bagus!” Cia Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu mulai, Hong-moi!”

“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.

Han Li tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”

Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”

Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”

Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”

Cia Kun lalu mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”

Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.

Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.

Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”

“Aihh, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.

“Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”

“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi.”

“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.

“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”

“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.

“Ihh, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”

“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“

“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”

“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.

“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”

Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja, tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.

Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.

Kini Yo Han Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.

Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya dengan tepuk tangan.

“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.

“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.

“Kalian berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”

“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.

Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!

Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.

Baru setelah gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.

“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.

“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia Kun.

“Ahh, engkau bisa saja memuji orang, Kun-ko!”

“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”

Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”

“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah, aku pun lalu mempelajarinya.”

“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”

“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih namanya?”

“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”

“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.

“Ahh, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.

Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.

Tadinya Cia Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.

Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.

“Ahh, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu untuk rebahan di kamarku.”

“Ahhh, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”

“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”

“Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”

Han Li lalu pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.

“Semoga mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.

“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”

“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.

“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”

“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”

“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”

“Ihh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.

“Engkau marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”

Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri.

Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?

“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”

“Ahhh, Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“

Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!

Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!

Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu.

Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..

********************

Bi-kiam Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu, dia bahkan membenci kaum pria.

Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.

Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.

Akhirnya ia pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.

Sakit sekali rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.

Apa lagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.

Masuknya seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut.

Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.

Akan tetapi hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tidak acuh.

Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!

Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikan dirinya.

Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya.

Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.

Bila pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.

“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.

“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.

“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.

“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.

Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.

“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”

Niocu mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.

“Terima kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,” jawabnya dingin.

“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”

Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.

“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”

Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.

“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.

“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”

Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.

Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.

“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!

Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.

“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.

Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka.

Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!

Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”

Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.

Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.

Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar.

Dan ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.

Pemuda itu memang benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.

Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!

Pemuda itu pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh.

Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.

“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.

Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.

Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.

Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin.

Dia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu.

“Perlahan dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.

Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda itu.

“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.

“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”

Wajah pemuda tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”

Niocu memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”

“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”

Niocu diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama!

Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!

“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”

“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”

“Aihh, kebetulan sekali kalau begitu.”

“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”

“Tentu saja tidak.”

“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”

“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam Niocu.”

“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama.”

Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.

“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”

Gulam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku harus menyebut apa padamu?“

“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam Sang merendah.

“Baiklah, Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”

“Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”

“Aihh, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”

“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”

“Ahh, aku sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”

Berdebar jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!

Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat berkenalan dengan gadis ini.

“Niocu, sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”

Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”

“Ahh, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”

Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup di kota raja!

“Saat ini aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”

“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”

Niocu diam saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”

“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”

Hati Bi-kiam Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!

Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya. Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.

Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu.

Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar