Si Tangan Sakti Bab 3

Baca Cersil Mandarin Online: Si Tangan Sakti Bab 3
Bab 3

Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi ia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah karena peringatan ayahnya agar ia tidak membunuh orang. Maka, ia pun menahan diri, menahan sebagian tenaganya dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya. Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau dan karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali ia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu.

Ilmu yang amat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh. Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.

Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya. Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!!

Gadis itu mendengus. Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!! Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.

Heiii, tunggu kau iblis betina!! Sian Li hendak mengejar.

Sian Li, tahan....!! Sin Hong berseru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya. Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.

Bibi Suma Lian, engkau keracunan....!! katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu. Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.

Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!! kata Suma Ceng Liong.

Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!! kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.

Jangan!! cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.

Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi.! kata Sian Li setelah ia memegang nadi tangan Suma Lian. Mari kita ke kamar, Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku.! katanya kepada ibunya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.

Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sin-kang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih. Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi.!

Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.

Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.

Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap.! Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.

Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li.! katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.

Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi.! kata Sian Li.

Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.

Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.

Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.

Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia berkata. Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu.!

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan dugaannya. Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-oreng pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati.!

Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?! tanya Suma Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati mereka.

Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Kalau sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng.! Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.

Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!! Gak Ciang Hun berseru penasaran.

Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, walaupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikata keturunan ibu Mancu. Kenyataan ini agaknya yang membuat keluarga Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai.!

Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu!

Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir,! kata pula Kao Cin Liong melanjutkan. Memang keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal yang membuat aku sampai kini merasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita.!

Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk di akal,! kini Cu Kun Tek berkata. Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang, setelah dia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia bersikap tenang. Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?!

Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata. Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain itu, para anggauta keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai.!

Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!! kata Kao Hong Li.

Ayahnya menghela napas panjang. Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua.!

Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa mengambil tindakan.

Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,! kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. Bagaimanapun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri.!

Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya. Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk menantang kita selagi semua anggauta keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar.!

Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita.! kata Kam Hi Eng, isteri Suma Ceng Liong.

Demikianlah, para anggauta tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu, menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ketiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apalagi membunuh seorang gadia muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng-pai itu maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.

Sampai jauh malam baru para anggauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.

Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang melihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong menghiburnya.

Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri.!

Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya.! Isterinya membantah.

Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong. Lihat Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apalagi mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi.!

Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan. Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai. Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati.! demikian ia mengakhiri suratnya.

Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!! seru Can Bi Lan. Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi ke mana ia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tak pernah berhasil!!

Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!! kata Kao Hong Li. Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?!

Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan.!

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata. Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik.! Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.

Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?!

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat. Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun.!

Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya. Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!! Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak murid keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata. Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun.!

Pangeran....?! Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?! Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!

Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya. Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu.!

Tapi....tapi kenapa seorang pangeran....?! Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!

Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. Kalau seorang pangeran kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li.!

Kao Cin Liong menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.

Semantara itu, tentu saja diam-dian, Nyonya Gakmengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Thian! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.

Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggauta keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi. Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak. Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.

Kita harus mengambil seorang murid lagi!! tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.

Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun.! Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.

Kita harus mencari,! kata suaminya. Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas.!

Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu-ilmu kita.!

Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat.! Pendekar itu menarik napas panjang.

Isterinya tersenyum. Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya.!

Suaminya mengangguk-angguk. Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?!

Isterinya memandang dengan wajah berseri. Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai.!

***

Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap. Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seolah-olah laksana iblis berpesta pora di situ. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!

Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.

Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan tenaga belasan orang!

Pagi hari itu cuaca amatlah cerahnya. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.

Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan. Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu. Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya. Karena itulah, maka tiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.

Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!

Hemmm, kita tersesat jalan!! kata orang terdepan yang memegang golok. Tadi pun kita sudah lewat di sini.!

Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?! orang kedua mengomel.

Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan semacam jebakan. Kita harus berhati-hati,! kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani menghina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?! orang ke dua bertanya penasaran. Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.

Kalian tenang dan bersabarah,! kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini.!

Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.

Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?! si muka hitam mengomel lagi.

Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut,! cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon.! Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.

Ahhh, bukan main....! Betapa megahnya sarang mereka....! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!!

Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah, tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.

Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!! kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon. Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.

Wah, sekarang baru enak jalannya!! katanya dan dia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.

Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, tolong....!! Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.

Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.

Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!! kini si muka hitam juga berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.

Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!

Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!! bentaknya mendongkol. Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.

Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali. Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergerak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.

Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan.! Sang kakak mengomel.

Aih, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!! kata si gendut.

Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!! kata si muka hitam.

Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain.! kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.

Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang. Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak mengunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.

Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!! si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.

Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!! kata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya. Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel dan menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.

Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar. Jangan sembarangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!! Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.

Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!!

Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khi-kang, dan gemanya terdengar dari sekeliling tempat itu.

Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan.! tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, tahu-tahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!

Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?!

Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah. Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga).!

Bukan main!! kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. Apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!!

Gadis itu menggeleng kepala. Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku.!

Nanti dulu!! teriak si gendut. Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!!

Aku juga!! kata si muka hitam. Mereka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini, dan kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.

Gadis itu tersenyum dan nampak deretan giginya berkilauan. Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana.!

Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu. Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.

Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya. Seperti berebut, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor dan kini, mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.

Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggu kurus yang berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.

Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas.! demikian katanya mengakhiri keterangannya.

Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi.! Dia menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.

Gadis itu kembali tersenyum. Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi.!

Si tinggi kurus menghela napas panjang. Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?!

Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini.!

Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka mempergunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.

Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.

Wah, kita terhalang jurang lagi,! kata si gendut.

Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?! tanya si kulit hitam.

Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya.!

Maksudmu, Nona?! Si tinggi kurus bertanya heran.

Menyeberangi jurang ini.! kata gadis itu dengan sikap tenang.

Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak. Akan tetapi, siapa yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?! tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.

Tidak meloncati, melainkan menyeberang.!

Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya....! kata pula si muka hitam.!Tunggu dan lihat sajalah,! kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.

Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya. Tak lama kemudian, dari seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.

Singgg.... wirrrrr....!! Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk. Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur sehingga dari seberang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.

Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini,! kata gadis pakaian putih.

Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!! kata si gendut. Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan melayang ketika badan akan terbanting hancur di dasar jurang!

Gadis itu tersenyum mengejek. Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai.! Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang.! Setelah berkata demikian, ia pun lalu melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.

Jangan membikin malu saja.! kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.

Setelah mereka semua tiba di seberang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walaupun wajahnya tersenyum dan diperlihatkan ketenangan dan kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, membayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.

Setelah tiba di seberang, sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang sana dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi semakin gembira. Kalau Pao-beng-pai memiliki perajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!

Nona, kalau tidak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?! tanya si tinggi kurus.

Kini si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami.! Ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.

Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pimpinan kami.! kata si baju putih.

Mereka melanjutkan perjalanan, si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan di belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.

Tiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!

Kalau tadi, dari atas pohon, mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu mereka muncul, bagaikan semut saja, nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para perajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu berdisiplin.

Ketika Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu, berkelompok di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendapa bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak seperti arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti perajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya. Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang perajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.

Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi menunggu pula di sana seperti para tamu lain.!

Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jerih dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.

Kiranya di sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, telah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte mengenal beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung golongan hitam atau golongan sesat. Mereka melihat ada orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang, apalagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menunggu tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah. Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang telah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.

Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini merupakan perkumpulan yang tadinya telah mati karena dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu). Muncul seorang yang gagah perkasa dan dialah yang mengumpulkan kembali bekas anak buah Pao-beng-pai, mempergunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-bengpai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat daripada dulu.

Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, akan tetapi karena dia kaya raya, dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggauta Pao-beng-pai percaya saja.Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya dan menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Banyak sudah jagoan yang tadinya menentangnya, banyak tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menaluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.

Siangkoan Kok mempunyai seorang isteri yang selain cantik, Juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut pangcu! (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya toanio! (nyonya besar).

Masih ada lagi seorang tokoh dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita namun tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng, ayah ibunya menyebutnya Eng Eng. Akan tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Sio-cia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun dan dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.

Keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai lima tahun yang lalu. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggauta itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggauta pria, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi daripada yang abu-abu.

Adapun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka ini digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggauta pria. Para anggauta wanita ini memiliki dua tingkat pula, yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, hanya terdapat empat orang diantara mereka sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar