Si Tangan Sakti Bab 10

Baca Cersil Mandarin Online: Si Tangan Sakti Bab 10
Bab 10

Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Lima orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh! Namun, pandang mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin! Dan ketika lima orang itu membacok-bacok membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan, kini ia menambahi tenaganya sehingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perutnya!

Kim Giok berdiri bertolak pinggang, memandang lima orang lawan yang masih mengeluh kesakitan itu. Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi pasukan pemerintah. Kiranya kalian hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini mengaku pejuang?!

Nona, ucapanmu lancang sekali!! tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu. Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khi-kang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.

Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian. Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang amat gagah, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat bagaikan batu karang, mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.

Pangcu....!!! lima orang itu segera memaksa diri memberi hormat dengan berlutut kepada. orang yang baru tiba ini dan tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang pernah mengacau pesta pertemuan keluarga. di rumah Suma Ceng Liong! Biarpun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tidak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.

Pria itu menengok ke arah lima orang anggauta Pao-beng-pai itu dan mendengus, marah, lalu dia menghadapi Kim Giok lagi, pandang matanya tajam mencorong itu mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya. Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si. Dia membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya terdesak, dan mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pesukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya.

Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah dia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur. Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus. Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat dan mengorbankan diri. Tidak, demi cita-citanya, biarpun sekali ini kelompoknya dihancurkan, kalau dia masih hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, mengusir orang-orang Mancu dari tanah air! Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biarpun dia masih jauh.

Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?! bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.

Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil dilatih ayah ibunya sendiri, bukan hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan dan ia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.

Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan pemerintah!! katanya, dan ia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.

Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-beng-pai!!

Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tidak menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Pao-beng-pai kalau memang perkumpulan itu benar-benar merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul, mengaku sebagai anggauta Pao-beng-pai dan mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil, hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau memang anggauta-anggauta Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap Pao-beng-pai?!

Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini sudah bangkit berdiri bergerombol sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang telah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan terhadap dirimu.!

Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!! kata Kim Giok berani.

Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!! Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karana tangan kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.

Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun ia telah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat ia pun mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudahmencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput. Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini biarpun masih muda, memang cukup berisi, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Dia mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing.

Kembali Kim Giok menggunakan gin-kang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, seperti auman harimau. Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan kepadanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.

Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main. Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!! teriaknya dan begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri, kaget karena dia maklum bahwa biarpun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja. Apalagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.

Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, Tahan dulu!!

Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.

Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang kaumainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong-pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?!

Kim Giok tersenyum. Namaku Kim Giok, tentu engkau dapat menduganya, Pangcu.!

Ah, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!! Setelah berkata demiklan, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu.

Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka. Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justeru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.

Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini. Pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang melayanglayang dan mengamuk. Melihat ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri, seperti buta tidak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Kalau tadi gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!

Betapapun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ketangguhan seseorang bukan hanya bergantung sepenuhnya kepada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak kepada keadaan orang itu sendiri. Dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walaupun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah dibandingkan ilmu pedanglawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang. Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang kali memainkan ilmu pedangnya, ia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan. Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada seorang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan daripada menyerah kepada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita daripada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apalagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walaupun tenaganya sudah banyak berkurang.

Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu, terdengar suara tawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang. Mempergunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.

Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis, dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah. Pakaiannya tidak mewah namun rapi dan bersih. Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.

Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula.

Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?!

Pemuda itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar tentang kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thian-li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lain yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwapai, dan Pao-beng-pai. Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang sehingga kedua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.

Mendengar teguran Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum. Bukankah aku berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?! tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah.

Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman dan dari suara tawa pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang lemah. Akan tetapi karena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.

Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?! bentaknya. Siapa engkau?!

Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku adalah pangcu dari Thian-li-pang.!

Bohong!! Siangkoan Kok membentak marah. Sementara itu, lima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Adapun Kim Giok, walau tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam hatinya ia sudah condong berpihak kepadanya sehingga kalau sampai pemuda itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.

Ha-ha-ha, orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kau kira aku tidak tahu siapa ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya adalah Sinciang Tai-hiap Yo Han. Bukankah begitu? Engkau ini, orang bernama Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal. sebagai ketua Thian-li-pang!!

Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang sudah hancur tidak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw-pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi penggantinya. Adapun Yo Han, ah, dia bukan orang Thian-li-pang dan dia tidak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang.!

Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi. Kalau engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?!

Pangcu, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami sudah menyusup ke istana dan biarpun belum berhasil, namun nama kami cukup ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur, dan aku melihat Pangcu bahkan bertanding melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan mengapa pula bertanding melawan Pangcu?!

Huh, ia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!! kata Siangkoan Kok dengan singkat karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri urusannya. Akan tetapi Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.

Nona sudah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku bertanya, siapakah Nona dan mengapa bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang amat lihai?!

Kim Giok cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab, Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman. Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar kepadaku. Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku untuk bertanding.!

Mendengar ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, Aih, Pangcu semestinya malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak buahmu, bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding.! katanya mencela.

Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. Ouw Seng Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau mengulurkan tangan ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan aku!!

Hemmm, sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu menandingi ilmu silatmu?!

Ouw Seng Bu, kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi sekutumu, bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian-li-pang, tentu akan kubunuh engkau.!

Bagus! Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Akan tetapi karena aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja.!

Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!! setelah berkata demikian, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan pukulannya yang mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada buku-buku tulangnya!

Lima orang anak buah Pao-beng-pai biarpun masih menderita nyeri, kini memandang dengan wajah gembira karena mereka merasa yakin bahwa ketua mereka yang sakti akan dapat mengalahkan pemuda itu pula. Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan membantunya, bahkan berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apalagi kini mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan. Ia tidak dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah bundanya adalah agar ia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang curang dan ia tidak mau melakukannya. Maka ia hanya menjadi penonton yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.

Menghadapi serangan yang amat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa kalau dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tidak akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan kedua tangannya mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan yang datang beruntung susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah dahsyatnya!

Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari Lauw Kang Hui. Biarpun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar dua ilmu andalan Thian-li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang. Dia akan mengenal dua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tidak dikenalnya! Dia hanya merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.

Plak! Desss....!!! Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali barulah dia terbebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja dia tidak membuat salto tadi.

Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat gin-kang yang diperlihatkan lawan. Akan tetapi dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang mujijat, tidak mau mengadu tenaga secara langsung, melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar dan membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga. Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali kalau kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadi perubahan pada diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya menjadi liar, senyumnya menjadi dingin mengerikan dan beberapa kali dia mengeluarkan suara tawa yang aneh.

Siangkoan Kok, engkau takkan menang melawanku!! beberapa kali dia mengeluarkan ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila. Hal ini membuat Siangkoan Kok merasa penasaran dan semakin marah. Dia sudah mengerahkan semua jurus yang menjadi andalannya, namun dia tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, biarpun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang seimbang!

Ouw Seng Bu, mari kita bertanding dengan senjata!! bentaknya sambil meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.

Kau pergunakanlah pedangku ini!!

Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar sehingga Kim Giok terkejut, akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap siangkoan Kok dan tertawa.

Heh-heh-heh, Siangkoan Kok. Perlukah diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu.!

Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah pucat. Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!

Kau....! Aku.... keracunan....!! katanya.

Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu, engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?! Siangkoan Kok menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah, kalau ingin hidup! Baiklah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara, punahkan dulu racun dari kedua tanganku.!

Baik, duduklah bersila, Siangkoan-pengcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas, menghadap ke belakang,! kata Seng Bu.

Siangkoan Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng secara keliru, memang telah mendapatkan pukulan yang mengandung hawa beracun. Kalau Siangkoan Kok tidak memiliki sin-kang yang amat kuat, tentu dia telah tewas dengan tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu memiliki sin-kang kuat sehingga hawa beracun itu berhenti sampai di pergelangan tangannya saja, dihambat oleh sin-kangnya. Kini, Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuh kedua orang itu menggigil dan perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!

Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih, lalu memandang kepada Seng Bu dengan kagum.

Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama jatuhkan pemerintah kerajaan Mancu!!

Nanti dulu, Siangkoan-pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak buahmu.!

Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang itu lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.

Nona Cu, maafkan sikapku tadi.! Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.

Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalahpahaman saja.! katanya.

Kini Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka. Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.

Sementara itu, Seng Bu merasa senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya sudah pulih ramah dan sopan.

Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thianli-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas.!

Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan Siangkoan Kok, pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.

Akan tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka. Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuanku, akan tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan menyusul segera berkunjung ke sana.!

Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu. Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang malang melintang. Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu. Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapapun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat? Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu.

***

Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun dia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa, kini dia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja! Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya.

Perkumpulan yang menentang pemerintah, seharusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak. Dia harus mulai dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap daripada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.

Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggap seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang memiliki kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutam Eng Eng. Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng telah lari, dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah.

Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.

Aku tidak boleh putus asa,! bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi.! Kalau saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Kalau Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.

Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walaupun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tidak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang manapun.

Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang, maka Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Biarpun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun. Akan tetapi, biarpun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah ladang di daerah itu amat subur, dan bahwa kepala dusunnya kaya.

So-chung-cu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki halaman rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?

Kini mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang kepada tamu itu. Karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andaikata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.

Apakah engkau kepala dusun di sini?! tiba-tiba tamu itu mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, juga sikapnya tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya. Akan tetapi, So-chung-cu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk.!Benar, saya kepala dusun di sini. Siapakah Saudara dan dari mana hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?!

Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.

Saya orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini.! kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan. Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak memperkenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak minta diterima!

Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Akan tetapi setiap orang tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, agar kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, tiga rumah dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!! kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.

Akan tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.

Lurah So, tidak perlu banyak cakap lagi. Sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak, sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayani wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!! berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu. Dia bukan seorang mata keranjang, akan tetapi dia ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau dia pernah memaksa mendiang Tio Sui Lan, muridnya karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan yang pada saat itu paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa. Sebelum itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain karena bukan kepada wanita cantiklah curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok, melainkan kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!

Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!

Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.

Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!! perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok. Lima orang itu menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biarpun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.

Hayo engkau cepat pergi dari sini!! kata seorang penjaga.

Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!! bentak orang kedua.

Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!!

Mendengar kata-kata dan melihat sikap penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya! Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, terlepas dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.

Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Tangan kirinya, dengan jari terbuka menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.

Krekkk!! Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.

Lima orang penjaga itu terkejut dan mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak dan lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.

Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?! bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.

Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So sekeluarganya, dan membakar rumah ini. Kalau ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!! Dia melepaskan lagi cengkeramannya dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur, kemudian dia membungkuk dan memberi hormat kepada Siangkoan Kok.

Maafkan kami.... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Tai-hiap (Pendekar Besar).!

Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!!

Silakan, Taihiap.... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!!

Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram tamu aneh itu.

Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri kepada Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.

Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajah yang bulat telur, kulitnya putih kemerahan, mata lebar dan sinarnya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang amat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.

Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apalagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai. Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong, meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.

Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke manapun ia pergi, ia bertanya-tanya tentang pendekar yang berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu. Akhirnya, ia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sanalah ia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun, ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.

Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah, terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kini Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia hendak menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.

Pada saat itu memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.

Nona Tan Sian Li....!!!

Sian Li terkejut, menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.

Twako (Kakak) Gak Ciang Hun....!! serunya girang dan juga heran sekali.

Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. Bagalmana engkau dapat berada di sini?!

Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun menjawab, Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu.!

Sian Li mengerutkan alisnya. Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?!

Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena msngkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu. Aku.... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan....!

Gak-twako, jangan sebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?!

Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia salah tingkah. Memang pemuda ini, walaupun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, namun belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.

Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu.!

Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, melainkan Yo Han! Dan ia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan! Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu amat nyaman, apalagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.

Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han.! Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.

Ciang Hun mengerutkan alisnya. Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?!

Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak dia terpukul. Sebaiknya berterus terang, pikir gadis itu, daripada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.

Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja.!

Ciang Hun yang sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali telah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han, membuat dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu, untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona.... eh, Siauw-moi?!

Hemmm, orang tuaku mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan sejak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!!

Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tidak mengurangi kecantikannya. Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan besar, engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu....!

Tidak peduli bagaimanapun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku ingin menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko....!

Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?! Ciang Hun bertanya, tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya. Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.

Dia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormatinya. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu....?!

Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya.!

Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!! kata Ciang Hun penuh semangat. Dia memang berjiwa pendekar. Biarpun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li takkan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, namun dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apalagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri! Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimanapun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu, menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.

Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Saorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.

Benarkah, Twako? Aih, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!!

Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan! Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba.!

Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako.!

Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat, akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja dan cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.

Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri. akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan, Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan, suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.

Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini....!

Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, Tapi.... Ibu.... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu....?!

Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika di dalam cuaca yang sudah remang-remang itu mendadak muncul dua bayangan orang. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadia cantik bersama seorang pemuda tampan.

Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan mendengar percakapan kalian. Kenapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?!

Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini.!

Hemmm, apakah orang itu perampok dan banyak temannya?! tanya Sian Li,penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.

Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. Dia hanya seorang diri, dan agaknya tidak seperti perampok, pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ah, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya....!

Siauw-moi, mari kita ke sana!! kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.!Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!! kata Sian Li. Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.

Hari telah menjadi gelap ketika mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu kini mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tak seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun, Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut, Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberitahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebeah belakang.

Dan mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian,

Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biarpun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja! Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang biarpun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, Juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.

Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Ia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng. Ketika Yo Han tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cicinya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim. Ketika Yo Han berkunjung ke sana nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang ini nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar