Bab 5
Seketika hatinya tertarik
kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik kepada pelayannya, si baju kuning
yang lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembaili mewakilinya menguji si
pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu. Si baju
kuning mengerti dan mengangguk, lalu ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil
memberi hormat.
Kongcu, saya melaksanakan
perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan melayanimu
beberapa jurus.!
Cia Ceng Sun tersenyum, tidak
merasa dipandang rendah dan dia pun membalas penghormatan pelayan yang lihai
itu. Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu
jauh lebih lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga bagaimanapun juga,
lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kelihaianmu.!
Si nona baju kuning juga
senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah hati, bahkan
sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang pelayan.!Kongcu,
silakan mulai, saya sudah siap!! katanya lembut dan memperlihatkan senyum
ramah.
Baik, lihat seranganku!! dan
Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan serangan. Karena dia maklum
bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja dia tidak berani
memandang rendah dan begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan
sungguh-sungguh, memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran
Siauw-lim-pai. Kepalan tangan kiri yang memukul lurus ke depan itu medatangkan
angin pukulan yang kuat. Nona baju kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan
cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil membalas dengan sebuah
tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak macam Ilmu silat itu
dapat menghindar dengan baik, bahkan mengirim serangan balasan dengan cepat
sekali, mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping.
Gerakan ini mengejutkan lawan
yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan pemuda itu
sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan
dengan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan
seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi, walaupun ia tetap ingat akan pesan
nonanya agar tidak melukai atau membikin malu pemuda itu. Diam-diam ia
mengeluh. Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak mudah, pikirnya.
Tak disangkanya bahwa pemuda
yang tampan dan sopan ini sedemikian lihainya dan ia merasa heran. Selama ini,
Pao-beng-pai telah menyebar banyak penyelidik untuk menyelidiki para tokoh
dunia persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan
tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh
keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup hebat dan ia sendiri
sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia
terdesak hebat!
Para tamu yang menonton
pertandingan itu pun menjadi kagum. Apalagi para tokoh dari aliran parsilatan
besar seperti wakil Siauw-lim-pai, mereka tertegun melihat betapa pemuda tampan
itu memainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka! Ilmu silat pemuda
itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati
kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu! Hal ini
memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu
saja tidak menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan.
Dengan kekuasaannya dan
kedudukan ayahnya, mudah saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai
aliran yang melatihnya secara rahasia. Apalagi, di antara para jagoan istana
bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai yang telah berhasil
mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga mereka
dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa diketahui orang lain.
Keadaan pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini
menjadi kaisar ketika masih muda. Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga
bertualang dan mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia mempelajarinya dari para
tokoh persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh
kang-ouw.
Siangkoan Eng memandang kagum
dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu pikirnya, sambil termenung.
Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus berbagai aliran persilatan,
wajahnya tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, gerak-geriknya lembut dan
bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Belum pernah ia bertemu
dengan seorang pemuda seperti ini! Pemuda itu mampu mengimbangi pelayannya yang
utama sampai empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah terdesak hebat.
Haiiiiittttt!! Tiba-tiba Cia Ceng
Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang amat kuat,
membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan menangkis.
Dukkk!! Dua pasang lengan
bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung
dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat ke depan dan
menyambar lengannya.
Kau mundurlah!! kata Siangkoan
Eng. Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan
Cia Ceng Sun yang cepat memberi hormat.
Maaf kalau aku kesalahan
tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah sekarang aku
mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang pemuda
perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku
pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan pengalaman.! Dia
memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke tempat
duduknya.
Cia-kongcu (tuan muda Cia),
nanti dulu!! terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun menghentikan langkahnya
dan memutar tubuhnya, memandang kepada gadis jelita yang berhadapan dengannya.
Nona, aku sudah memperkenalkan
diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat kulakukan untuk keluarga
tuan rumah?!
Siangkoan Eng tersenyum dan
nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak. Harap jangan salah
mengerti, Kongcu. Engkau telah memperkenalkan diri, tidak sepantasnya kalau aku
sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng
dan aku mewakili orang tuaku dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan
ilmu silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak
untuk mengenal ilmu masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini,
Kongcu?!
Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan
main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi nampak begitu dingin,
kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari balik
gunung.
Dan manisnya bukan main,
cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena kalau puteri
istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas seperti
bunga mawar hutan yang semerbak harum dan indah. Dia teringat akan pesan
ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia sudah
ditunangkan dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa dengan
julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan Si
Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?
Nona Siangkoan terlalu
memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat kepandaian
pelayanmu, Nona. Kalau melawanmu, mana mungkin aku dapat mengimbangimu?!
Cia-kongcu, harap jangan
terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk menambah
pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu.! Sikap
Siangkoan Eng demikian membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya
tidak ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.
Baik, harap jangan terlalu
kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona mulai.! Pemuda itu yang
maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah memasang kuda-kuda
Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh kuat dan
tangguh seperti benteng baja. Melihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng tersenyum.
Cia-kongcu, awas terhadap
seranganku! Hiaaaaattttt....!! Dan ia pun menyerang dengan jurus ilmu silat
Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan kagum, maka dia pun
menyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan
jurus ilmu silat Siauw-lim-pai. Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu
silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba gadis itu mengubah ilmu silatnya, kini
ia menyerang dengan ilmu silat dari Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga
mengimbangi dengan ilmu silat yang sama! Demikianlah, pertandingan itu berlangsung
seru bukan main, keduanya menukar-nukar ilmu silat dan selalu diimbangi lawan
dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit, juga dalam hal tenaga
sinkang, mereka seimbang.
Sesungguhnya, kalau Siangkoan
Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cia
Ceng Sun dan biarpun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh baginya, namun
kalau ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan kalah. Apalagi kalau gadis
itu mau mempergunakan kekuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang amat
berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu akan celaka. Hanya saja, gadis
itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia
sengaja mengalah.
Enam puluh jurus telah lewat
dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada yang menang atau
kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka,
keindahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum. Lauw Cu Si, ibu
dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya, Anakmu agaknya sudah menjatuhkan
pilihan hatinya.!
Siangkoan Kok mengelus
jenggotnya yang panjang dan rapi, Kalau memang benar, apa salahnya? Pemuda itu
cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang bangsawan. Kita hanya
perlu mengetahui siapa orang tuanya.! Suaminya berbisik pula.
Pada saat itu, Cia Ceng Sun
merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita dalam
pertandingan silat, dan kini dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini,
bahkan mendesak pun tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia
melompat ke depan lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua
tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bua-twi-san (Atur Pintu Tolak
Gunung), kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong
ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Ini merupakan serangan yang
mengandalkan tenaga sakti dan hawa dorongannya saja mampu membuat lawan
terlempar.
Akan tetapi melihat serangan
ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke
depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan
kedua tangan pula, dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan
mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.
Plakkk!! Dua pasang telapak
tangan bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena
pertemuan tenaga sin-kang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!
Mereka saling pandang dalam
jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan. Mereka dapat saling merasakan hawa
panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya tersenyum. Mereka
seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling
dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga mereka
seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat
dipisahkan lagi.
Banyak di antara para tamu
yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu amatlah
berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa seorang di antara
mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena
sebenarnya tenaga sin-kang Siangkoan Eng lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur
dan mengendalikan adu tenaga itu. Kalau tenaga mereka seimbang, memang dapat,
berbahaya. Dan agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari, bahwa sebetulnya dia kalah
kuat. Buktinya, gadis itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti
dia, maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka tidak
berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini
berdebar ketika melalui telapak tangan itu dia merasakan suatu kehangatan dan
kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.
Pada saat itu nampak Yo Han
cepat naik ke tempat pertandingan itu dan tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi,
menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang
tangan yang saling tempel.!Cukup, harap kalian mundur?! katanya dan dari
dorongannya muncul tenaga yang amat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia
Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah dan dengan sendirinya tempelan
dua pasang tangan utu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada
keduanya. Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong
hawa pukulan yang dahsyat. Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada
Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.
Siangkoan Siocia, terima kasih
atas pelajaran yang kau berikan kepadaku,! katanya sambil memberi hormat kepada
gadis itu. Siangkoan Eng membalas dan tersenyum.
Cia-kongcu, engkau lah yang
telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih.!
Kini Cia Ceng Sun menghadapi
Yo Han dan setelah mereka saling pandang penuh perhatian, pangeran itu berkata,
Sobat, engkau hebat. Terima kasih.! Lalu dia kembali ke tempat duduknya,
meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan Eng.
Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu,
ayahnya berkata dengan suara yang dalam.
Eng Eng, engkau mundurlah,
biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu.! Kiranya ketua Pao-beng-pai ini
sudah waspada dan tadi melihat gerakan Yo Han. Dia tahu bahwa puterinya
memiliki tenaga sin-kang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi
mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biarpun mereka nampaknya mengadu
tenaga sin-kang, namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan
keduanya sama sekali tldak berbahaya. Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang
dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu terdorong mundur ini
berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sin-kang yang amat
hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun
yang bergabung menjadi satu! Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga
bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan mungkin puterinya tidak akan
mampu menandinginya, maka dia sendiri akan maju. setelah puterinya mundur, dia
pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.
Dua orang laki-laki itu
berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin
dan sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah direncanakannya.
Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung di
dalam dunia kang-ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti
seorang pemuda sesat pula, atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi
keluarga besar para pendekar terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang
diculik itu. Itulah sebabnya dia bersikap seperti seorang pemuda yang tinggi
hati, dingin dan kejam, sikap seorang pemuda golongan sesat!
Setelah saling pandang
beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya,
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya dan dengan suaranya yang mengguntur dia
berkata, Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami.
Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan mencampuri adu
ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?!
Yo Han mengangguk dan dengan
sikap congkak dia pun berkata, Pangcu, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah
pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang
kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan
juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu
kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang
kini berkumpul di sini!!
Sikap, yang congkak ini.
membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin sekali
tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.
Hemmm, baiklah, kau
perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Kalau memang
beralasan kami mau menerimanya, akan tetapi kalau engkau hanya ingin mengacau,
jangan salahkan kami kalau terpaksa kami akan membunuhmu!! Setelah berkata
demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya. Semua orang memandang dengan
hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang
tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.
Tiba-tiba terdengar seruan
nyaring, Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!! Semua orang menengok dan yang
berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thian-cu yang tadi dikalahkan
Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat
duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. kiranya tosu Pek-lian-kauw ini
masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia
jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu ketika dia berkunjung ke sana
bersama rekannya, Kwan Thian-cu.
Belum juga gema suara Kui
Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain, Tosu dari Pek-lian-kauw
harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda
perkasa ini adalah pemimpin dari kami Thian-li-pang yang telah menyerahkan
kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!!
Semua orang menengok dan
melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun.
Dan laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat
duduknya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata,
Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus
ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini.!
Yo Han tidak mengenal orang
itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentu seorang tokoh
Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.
Siangkoan Kok memandang
kepadanya. Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa kehendakmu
di sini.! katanya.
Yo Han memandang ke empat
penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil membusungkan dada.
Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan
seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang
pimpinan Thian-li-pang akan tetapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan
kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang merantau untuk
melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa
tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang
Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang
sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang penjajah
Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk berbuat
jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat
jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapapun, ayah ibuku
sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudahmengenalnya. Ia
bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi.!
Terdengar seruan di sana-sini
karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi Kwi (Setan
Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.
Hemmm, Yo Han, kami ingat
bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal, murid Sam Kwi (Tiga
Setan), akan tetapi kemudian ia membalik. dan bergabung dengan mereka yang
menamakan diri pendekar-pendekar, memihak orang Mancu!! teriak Siangkoan Kok
dan terdengar banyak suara membenarkan.
Itu hanya kabar bohong,
Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu. Ayahku
tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang
menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan
keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka, terutama aku membenci sekali
kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Si Lan
berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yeng telah membujuk sucinya, yaitu ibuku,
untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar
Suling Naga Sim Houw! Aku ingin mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu
untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek
Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim Houw!!Yo Han bicara dengan
semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat membenci
nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak
jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw
dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu.
Kembali suasana menjadi gaduh
setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri dan karena
sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak
suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara
mereka setuju dengan pendapat Yo Han. Akan tetapi, ada pula yang terkejut
mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam
terkejut sekali. Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya!
Justeru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para
pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuataan.mereka, pemuda
ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain ingin menambah pengetahuan,
ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya
merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.
Amitohud....!!! Tiba-tiba
terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah
enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han. Dia adalah seorang di antara utusan
Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak
membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga. Orang muda, engkau
masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana
mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu?
Pula, mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang bertindak demi membela mereka
yang tertindas dan menentang kejahatan, sama sekali bukan antek pemerintah.
Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau bicara. Kami adalah
sahabat baik dari para pendekar itu.!
Siancai....! Apa yang
dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali. Pemuda ini
terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan sahabat
para pendekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada orang menghina
mereka. Mereka bukan antek pemerintah!! Semua orang menengok dan yang bicara
itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun lebih yang tinggi
kurus dan barjenggot panjang, Kalau orang muda she Yo tidak manghentikan
bualannya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lun-pai pasti tidak akah tinggal diam
saja!!
Yo Han menoleh pula kepada tosu
itu, kemudian dia tertawa bergelak.
Ha-ha-ha, kiraanya Lo Kian
Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai mambela para
pandakar itu. Mereka itu jelas antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti sendiri
masih memunyai hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun menikah dengan
puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena bukankah
selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi makmur berkat
bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang
besar itu pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu.!
Keparat, betapa sombongnya
engkau!! Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lun-pai itu sudah berada di depan Yo
Han, berjajar dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang
seuntai tasbih hitam yang matanya besar-besar, tosu itu memegang sebatang
tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan
tangan.Melihat mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi. Ha-ha-ha, kalian mau
apa? Jangan dikira aku takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua
mengeroyok aku, kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan akan
pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri urusanku
lagi!!
Dua orang pendeta itu
terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina Siauw-lim-pai den
Kun-lun-pai sehingga mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka dua orang
tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan memang
membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan tosu itu semakin
marah.
Omitohud, bocah sombong ini
agaknya perlu disadarkan dengan kekerasan, To-yu!! kata hwesio itu dan dia pun
mendahului tosu Kun-lun-pai, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo Han.
Tosu itu pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo Han,
seperti seorang ayah yang marah-marah dan hendak menghajar anaknya yang bandel.
Yo Han memang sengaja hendak
memperlihatkan kepandaiannya untuk menarik perhatian, terutama sekali perhatian
penculik puteri bibinya atau setidaknya, yang tahu akan peristiwa itu, dan agar
dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi
serangan kedua orang ahli silat kelas tinggi sebagai tokoh-tokoh partai
persilatan besar, dia pun meloncat ke belakang, kemudian ketika kedua orang
lawannya maju mengejar, dia pun mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek
Hoat-keng dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut mereka.
Bukan main kagetnya kedua
orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua tangan pemuda itu
bagaikan badai. Mereka berusaha menyambut dengan dorongan tangan kiri yang
disertai pengerahan tenaga sin-kang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang
amat dahryat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan
terjengkang roboh!
Tentu saja hal ini membuat
semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak. Dia tahu betapa
lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai itu, akan tetapi dalam
segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!
Tiba-tiba terdengar suara
lantang, Ah, tidak salah lagi. Dia adalah Sin-ciang Tai-hiap yang pernah
menggemparkan perbatasan barat!!
Semua orang menengok dan
ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang berjubah pendeta dan
dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi-pai! Pinto pernah mendengar
bahwa nama Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan mukanya itu
adalah Yo Han yang pernah membantu para pendeta Lama di Tibet meredakan
pemberontakan!!
Kini semua orang memandang
lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah mendengar kebesaran nama
Sin-Ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang menggemparkan di barat itu,
seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan mukanya sehingga hanya
dikenal namanya saja. Juga Siangkoan Kok sudah pernah mendengar nama Sin-ciang
Tai-hiap, maka kini dia memandang kepada Yo Han dengan penuh selidik. Sedangkan
tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi terpaksa mengakui kekalahan mereka dan
mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Siangkoan Kok kini maju
menghampiri Yo Han.
Saudara Yo Han, benarkah
engkau yang berjuluk Sin-ciang Tat-hiap!! tanya ketua Pao-beng-pai itu.
Yo Han menghadapi pria tinggi
besar yang gagah perkasa itu. Memang benar, Pangcu. Akan tetapi orang terlalu
membesarkannya. Aku bukan seorang pendekar seperti tiga keluarga besar itu! Aku
hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat mengganggu rakyat,
agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan
antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw?
Seperti yang dilakukan para angauta tiga keluarga besar itu?. Tidak, yang
kumusuhi bukanlah orangorang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu dan
antek-anteknya. Karena itulah maka aku sengaja datang ini untuk bekerja sama
dengan orang-orang seperjuangan dan sehaluan.!
Banyak di antara para tamu,
orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Sun-ciang
Tai-hiap, senyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang merasa dekat
dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja yang
memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para
pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.
Sedangkan Siangkoan Kok merasa
gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi sekutu yang amat berguna
baginya. Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama kami mencari seorang sekutu yang
baik dan agaknya engkau lah orangnya. Hayo ,aku masih merasa penasaran kalau
tidak mengukur sendiri kekuatanmu, walaupun tadi engkau telah memperlihatkan
tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan seperjuanganmu,
Sicu, akan tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersediakah
engkau?!
Hemmm, aku mendapatkan
kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai suka memberi petunjuk
kepada aku yang muda dan bodoh,! kata Yo Han. Nah, Pangcu, aku sudah siap.!
Bagus, aku pun hanya ingin
mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku ini!! Berkata demikian,
ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang, lalu
kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke dapan yang dimulai dari bawah
pangkal lengan, kedua tangan terbuka, jari-jari tangan agak ditekuk dan dari
kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat yang mengeluarkan
bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!
Maklum bahwa dia menghadapi
serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo Han Juga cepat
menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang pendeta, dia
pun mengerahkan tenaga dari Bukek Hoat-keng dan dari kedua telapak tangannya
menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Dua tenaga yang tidak nampak
bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar hebat. Yo Han sengaja
tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan mendorongnya, dan
ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu dengan perisai yang
kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main, lalu mengerahkan seluruh
tenaganya, mendorong dan dari mulutnya terdengar suara menggereng. Yo Han tetap
mempertahankan. Biarpun tenaga lawan itu kuat sekali, kalau dia menggunakan
Bu-kek Hoat-keng dan balas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi
lawan. Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan
dan biarpun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong
dan kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!
Melihat ini, ketua
Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu menahan
dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kaki,
tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam
keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda
itu. Dia pun segera berseru, Cukup!! dan keduanya menarik tenaga masing-masing.
Siangkoan Kok agak terengah karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han
cepat membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih
kuat.!Hebat, engkau masih muda sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu!
Cukuplah, biar lain kali saja
kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari
Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau
pun sudah mampu menandingi puteri kami, bararti engkau juga cukup berharga dan
layak untuk duduk di tampat kehormatan dan semeja dangan kaluarga kami!! Ketua
itu gambira bukan main bahwa di antara para tamunya tardapat dua orang pemuda
sepertu Cia Ceng Sun. dan Yo Han. Tinggal pilih saja untuk menjadi calon mantu.
Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan
tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.
Pesta pertemuan itu pun
dimulai dengan meriah. Yang duduk di atas sebagai tamu-tamu kehormatan adalah
tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai,
Go-bi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu duduk di meja lain, sedangkan
Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan
puterinya. Kalau sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang
pemuda yang diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han
menyesuaikan diri dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Dia acuh
saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi
hati.
Mula-mula Siangkoan Eng juga
kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apalagi nama besarnya sebagai
Pendekar Tangan Sakti, akan tetapi karena sikapnya itu, maka perhatian gadis
itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan
pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun daripada
kepada Yo Han.
Karena mereka duduk semeja,
mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia Ceng Sun. Ketua
Pao-beng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan nyanyian, mencoba
untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda yang menarik hati
itu.
Cia Ceng Sun menceritakan
bahwa dia seorang yatim piatu yang menerima harta warisan yang banyak dari
mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil dia suka
mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak mempunyai guru tertentu.
Guru saya banyak sekali, akan tetapi bukan guru tetap. ilmu silat apa saja saya
pelajari, dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan
ayah.! Tentu saja dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang
mempelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap. Sampai
sekarang pun, saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan
pengalaman.! tambahnya.
Ketika Yo Han ditanya, dia
mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya tadi. Tentang
ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan juga dia
mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga. Tadinya,
aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku
lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suhengku Lauw Kang Hui.! Dia mengakhiri
ceritanya.
Siangkoan Kok memandang kagum.
Jadi Lauw Kang Hui adalah suhengmu? Pantas saja engkau lihai. Kami pernah mendapat
kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-li-pang yang sakti, yaitu
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong
Yo Han mengangguk. Mereka
adalah guru-guruku dan kini. mereka sudah meninggal dunia.!
Mereka makan minum sambil
bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak keakraban
antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk di sebelah
gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka
pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat. Dari sikap dan pandang mata gadis
itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun
yang tampan dan gagah. Apalagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja
mengetahui.
Dalam pesta perjamuan itu,
selain memperkenalkan diri, Pao-beng-pai juga menawarkan kerja sama dengan
semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari
golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.
Untuk mengusir penjajah dari
tanah air, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara seluruh golongan.
Kalau kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah pasti
dapat kita tumbangkan!! demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada
para tamunya. Pertemuan itu dibubarkan dengan kesan yang baik bagi para tamu.
Pao-beng-pai mereka akui, bahkan semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin
oleh keluarga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semua tamu meninggalkan rumah
besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu.
Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun! Dua orang pemuda ini menerima undangan khusus
dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk tinggal selama beberapa hari di situ
dengan alasan agar perkenalan semakin menjadi akrab. Tentu saja hal ini amat
menggembirakan hati Yo Han karena dia memang ingin sekali memperoleh keterangan
tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat mendengar dari
perkumpulan itu. Juga Cia Ceng Sun merasa girang.
Dia melihat bahwa Pao-beng-pai
merupakan bahaya besar bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran,
dia berkewajiban untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam agar dia
memperoleh bahan untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan
dan para pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati
pangeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali mengapa
seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak! Dua orang pemuda
itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang cukup
mewah. Dan biarpun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun kedua pemuda itu
maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti gerak-gerik
mereka. Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar.
Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak,
juga mereka maklum bahwa betapapun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun
agaknya mereka masih belum percaya benar.
***
Mereka duduk berdua saja, di
ruangan depan pada senja hari itu. Yo Han dan Siangkoan Kok. Sudah dua hari Yo
Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai mengenal ketua itu
sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, yaitu menumbangkan pemerintah
Mancu. Juga ketua itu mulai mengaku bahwa dia adalah keturunan keluarga
Kerajaan Beng yang telah dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang
lalu. Ketua Pao-beng-pai ini bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan
Beng! Yo Han melihat kenyataan bahwa yang dinamakan perjuangan! oleh Siangkoan
Kok ini pada hakekatnya tiada lain hanyalah suatu usaha balas dendam dan ambisi
pribadi.
Betapa banyaknya orang yang
menggunakan kedok perjuangan, demi rakyat, demi bangsa dan sebagainya, yang
pada hakekatnya menyembunyikan kepentingan pribadi. Siangkoan Kok bukan
berjuang melihat penderitaan rakyat, melainkan bercita-cita untuk merampas
kembali kerajaan dan tentu dia bercitacita menjadi raja kalau dia berhasil
membangun kembali Kerajaan Beng. Perjuangan itu baru aseli kalau dilakukan oleh
seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan atau penindasan. Perjuangan yang mengutamakan
rakyat tanpa mengikutsertakan rakyat sendiri, masih diragukan kemurniannya.
Siangkoan Kok tidak mengajak
rakyat, melainkan mempunyai anak buah sendiri, dan merangkul orang-orang dari
dunia persilatan, baik golongan hitam maupun putih. Akan tetapi bagaimana
dengan rakyat jelata? Benarkah mereka itu kini dalam keadaan tertindas. Yang
dia tahu, biarpun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia dikenal sebagai
seorang kaisar yang bijaksana, membangun dan berusaha memakmurkan rakyat, bukan
dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu harum di kalangan rakyat,
bukan sebagai kaisar penindas.
Yo Han setuju kalau pemerintah
dipegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa Mancu. Akan tetapi, dia tidak
setuju kalau untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah itu diadakan
pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini yang bukan lain berambisi
pribadi dari pemimpin-pemimpon kelompok yang tidak puas dan yang mencari
kekuasaan bagi diri sendiri. Pemberontakan kecil macam itu hanya akan
menyengsarakan rakyat belaka. Seperti yang sudah-sudah, gerombolan pemberontak
itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan
Thian-li-pang juga pernah menyeleweng.
Kalau perkumpulan yang
bertujuan menumbangkan penjajah itu dimasuki orang-orang , dari golongan sesat,
sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan mengganggu rakyat dengan dalih
perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali! Kalau ada pemimpin sejati yang
dapat membangkitkan rakyat untuk menentang penjajah, maka dia siap untuk
berdiri di barisan terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di Pao-beng-pai
bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari jejak
penculik puteri bibinya, dia pun tidak banyak membantah ketika mendengarkan
ketua itu bicara penuh semangat tentang gerakannya.
Nah, bagaimana pendapatmu,
Yo-sicu? Setelah engkau mendengarkan semua cita-cita dan rencanaku, bersediakah
engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi maupun engkau sebagai
pimpinan Thian-Li-pang? Kita berjuang bahu-membahu, menumbangkan penjajah dan
kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya, kita yang akan menikmati
hasilnya.!
Nah, tersembul sedikit setan
itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buahnya, menikmati hasilnya! Jadi,
apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupakan suatu cara untuk dapat
mendatangkanatau menghasilkan buah yang dapat dinikmati! Dia menahan diri untuk
tidak mengucapkan suara hatinya yang ingin membantah dan mencela.
Pangcu (Ketua)....!
Aih, setelah kita bergaul
begini akrab sebagi kawan seperjuangan, tidak perlu lagi engkau menggunakan
sebutan, yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo Han!!
Hemmm, orang ini memang pandai
mempergunakan orang lain, pandai memanfaatkan tenaga orang lain dengan sikap
yang amat menyenangkan.
Terima kasih, Paman Siangkoan
Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri kutolak, bukan karena aku
tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas agar aku dapat melakukan
balas dendam atas kematian ayah ibuku. Mereka tewas karena dijerumuskan oleh
Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Dan sebaiknya aku dalam keadaan bebas dan
tidak terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Setelah aku berhasil membunuh
Can Bi Lan dan suaminya, mungkin barulah aku akan memimpin Thian-li-pang dan
aku akan bekerja sama denganmu.!
Siangkoan Kok
mengangguk-angguk, lalu kedua matanya menatap tajam wajah pemuda itu. Yo Han,
demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim Houw?!Yo Han balas
memandang, memperlihatkan heran dan alisnya berkerut. Paman, kenapa Paman masih
bertanya lagi? Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan seluruh
anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai kini
ibuku masih menjadi seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau saja aku
bisa mendapatkan seorang teman yang dapat dipercaya dan yang memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan, ingin sekali aku mengajaknya untuk mendatangi
suami isteri itu dan membunuh mereka!!
Ketua Pao-beng-pai itu
tersenyum. Heh-heh-heh, Yo Han, begitu mudahnya engkau bicara! Mungkin kalau
hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan mampu menandingi bahkan
mengalahkannya. Akan tetapi Sim Houw? Dia adalah Pendekar Suling Naga, dengan
suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia dan sukar dicari bandingnya! Sungguh
berbahaya sekali menghadapinya!!
Aku tidak takut, Paman. Pernah
aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku seorang diri tidak mampu
mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat bertemu dengan seseorang
yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali belum kutemukan, bersama dia
rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim itu!! kata Yo Han penuh semangat.
Hemmm, siapakah orang itu, Yo
Han?!
Namanya aku tidak tahu, Paman,
bahkan aku tidak tahu apakah dia pria ataukah wanita. Yang kuketahui adalah
bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah menculik puteri dari Sim Houw
dan Can Bi Lan! Apakah Paman mengetahui siapa penculik itu?!
Hemmm, apakah engkau datang ke
sini sengaja hendak mencari penculik itu?!
Memang sudah lama aku
mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman adakan untuk mencari
tahu tentang penculik itu, dan juga untuk mencari teman sehaluan.!
Kenapa engkau mencari penculik
itu!!
Karena, kalau dia sudah berani
menculik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan juga amat membenci mereka. Nah, dengan orang seperti itu, kiranya
aku akan dapat mengajaknya untuk membalas dendam. Apakah Paman mengetahui siapa
orangnya dan di mana aku dapat bertemu dan bicara dengannya?! Yo Han sengaja
menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia tidak
peduli dan tidak tertarik tentang anak itu, yang diperlukan adalah si penculik
untuk diajak kerja sama!
Ketua Pao-beng-pai mehggeleng
kepalanya. Tentang penculikan itu pun baru sekarang aku mendengar darimu, Yo
Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah mempunyai urusan langsung dengan Sim Houw
dan Can Hi Lan.!
Yo Han mengerutkan alisnya,
kecewa. Kalau Paman tidak tahu, aku akan segera pergi dari sini untuk bertanya
kepada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya....!
Nanti dulu, Yo Han. Engkau
bilang bahwa kalau engkau sudah berhasil menemukan penculik itu dan kau ajak
menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin Thian-li-pang dan bekerja sama
dengan kami? Kalau benar demikian, mungkin saja aku dapat membantumu. Anak
buahku banyak, dan kami mempunyai hubungan baik dengan dunia kang-ouw. Kalau
kusebar mereka untuk melakukan penyelidikan, kiraku dalam waktu beberapa hari
saja aku bisa menemukan siapa penculik itu.!
Terima kasih, Paman!
Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, akan tetapi mana berani
aku membikin repot Paman? Kalau Paman suka membantuku, sungguh aku merasa
berterima kasih sekali dan aku pasti akan membalas budi itu dengan kerja sama!!
Baiklah, aku akan membantumu dan
sekarang juga akan kuperintahkan anak buah Pao-beng-pai untuk mencari tahu dan
menyelidiki siapa adanya orang yang telah menculik anak dari Pendekar Suling
Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal di sini selama beberapa hari lagi sampai
kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari kita minum, Yo Han!! Mereka lalu minum
arak dan tak lama kemudian Siangkoan Kok memanggil para pembantunya dan
memerintahkan mereka menyebar anak buah untuk mecari berita tentang penculik
anak Pendekar Suling Naga.
Sementara itu, pada senja hari
itu, di dalam taman yang luas dari perkampungan Pao-beng-pai, nampak Siangkoan
Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak ada seorang pun anggauta
Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati dua orang muda yang nampak
berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap nampak akrab sekali itu. Memang
kedua orang muda ini saling, tertarik dan saling mengagumi. Siangkoan Eng
adalah seorang gadis yang hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biarpun ayahnya
seorang bekas bangsawan dan berusaha sekuatnya untuk hidup seperti seorang
bangsawan, namun karena lingkungannya adalah orang-orang kang-ouw yang menjadi
anak buah ayahnya, maka ia sudah biasa hidup bebas tanpa ikatan segala macam
peraturan.
Maka, kini ia dapat bergaul
dengan Cia Ceng Sun dengan bebas tanpa rikuh dan sungkan, bahkan ayah ibunya
juga membiarkannya saja karena kedua orang tua ini tidak keberatan kalau puteri
mereka bergaul dengan seorang pemuda yang demikian baik seperti Cia Ceng Sun.
Setelah tiba di dekat kolam ikan yang indah, mereka duduk di atas bangku
panjang. Tempat itu memang indah dan romantis. Bunga-bunga beraneka warna mekar
semerbak. Di sana-sini sudah dinyalakan lampu-lampu gantung beraneka warna pula
dan di pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna kemerahan sehingga
dalam keremangan senja, kedua orang muda itu nampak seperti diselimuti cahaya
kemerahan.
Kongcu, setelah engkau berada
di sini, selama dua hari dua malam ini, bagaimana pendapatmu tentang keluarga
kami, perkumpulan kami dan tempat ini?! Siangkoan Eng yang oleh ayah ibunya
disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya disebut Siocia (Nona) itu bertanya
sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.
Sebelum aku menjawab
pertanyaanmu, bagaimana kalau engkau tidak menyebut aku kongcu (tuan muda)
lagi? Terdengarnya begitu asing dan tidak sepantasnya kalau seorang gadis
seperti engkau menyebut aku kongcu.!
Eng Eng tersenyum. Hemmm,
engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja aku menyebutmu kongcu.
Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus menyebut bagaimana?!
Sebut saja kakak, dan aku akan
menyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?!
Tidakkah itu terbalik? Kurasa
aku lebih tua darimu!!
Tidak mungkin. Usiaku sudah
dua puluh tiga tahun!!
Kalau begitu sama, aku pun dua
puluh tiga tahun. Baiklah, mulai sekarang, aku akan menyebutmu toa-ko (kakak),
Sun-toako.!
Dan aku akan menyebutmu
Eng-moi (adik Eng).!
Sun-toako....!
Eng-moi....! Keduanya saling
pandang dan tertawa gembira.
Nah, sekarang kita merasa
seperti adik kakak, bukan? Eng-moi, kini aku tidak merasa sungkan lagi untuk
menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap kau tidak marah
kepadaku.!
Tanyalah, Toako!!Engkau
seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa, puteri seorang
ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi kulihat engkau
masih sendiri, belum berkeluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?!
Karena pandainya Cia Ceng Sun
mengatur pertanyaan itu dengan sikap bersaudara dan kata-kata yang halus, Eng
Eng tidak merasa tersinggung, walaupun kedua pipinya berubah kemerahan juga.
Aih, itukah? Bagaimana aku dapat membangun rumah tangga sendiri kalau aku belum
bertemu dengan orang yang cocok, Toako? Banyak memang pinangan berdatangan
terhadap diriku, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seorang yang
berkenan di hatiku. Kalau sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak? Dan engkau
sendiri, bagaimana, Toako? Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai satu
dua orang anak.!
Ha-ha-ha, dugaanmu keliru,
Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara, belum mendapatkan
jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok bagiku seperti
keadaanmu.!
Hening sejenak, seolah
keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing sementara senja mulai ditelan
keremangan menjelang malam tiba. Kemudian terdengar Eng Eng bicara lirih
seperti kepada dirinya sendiri, Betapa serupa keadaan kita....! kemudian ia
menghela napas panjang dan melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca
yang semakin remang. Toako, wanita seperti apakah yang kiranya dapat kau anggap
cocok untuk menjadi jodohmu?!
Mendengar pertanyaan ini dan
melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun. Dia merasa seperti
ditodong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis, sukar untuk tidak
mengaku terus terang. Sejak dia melihat gadis ini, dia sudah terpesona, apalagi
setelah melihat sepak terjang gadis itu, kemudian sampai mereka mengadu ilmu,
dia telah tergila-gila, dia telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini
menekannya dan terasa benar olehnya. Biarpun dia tidak melupakan pesan ayahnya
agar dia jangan jatuh cinta kepada wanita lain karena dia sudah ditunangkan
dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia tidak mampu menolak gelora hatinya,
tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh, cinta kepada Siangkoan Eng.
Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin pemberontak, keturunan
keluarga kaisar Kerajaan Beng!
Eng-moi, aku mau berterus
terang saja, harap engkau tidak marah.!
Eh? Kenapa aku harus marah
kalau engkau bicara terus terang tentang seorang wanita yang menurut pendapatmu
cocok untuk menjadi jodohmu?!
Eng-moi, setelah aku tiba di
sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang kucari-cari untuk
menjadi jodohku itu adalah.... yang seperti engkau inilah....!
Seperti aku? Apa maksudmu,
Sun-ko?!
Maksudku.... eh, mana ada
gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang kucari-cari itu adalah engkau!
Engkau lah gadis yang kuidam-idamkan menjadi jodohku. Eng-moi, tentu saja kalau
engkau sudi menerimaku.!
Hemmm, engkau hendak
meminangku?! Kenapa? Karena aku seperti gadis dalam mimpimu?!
Bukan begitu maksudku, eh....
ah, terus terang saja, semenjak aku bertemu denganmu, aku terpesona dan aku
jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus terang, terserah
kepadamu.!
Hening pula, sekali ini agak
lama dan keduanya menundukkan muka. Seolah lenyap semua kegagahan dan
keberanian mereka. Untuk mengangkat muka dan saling pandang pun merupakan hal
yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada saat seperti itu.
Akhirnya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali
menghela napas panjang, Cia Ceng Sun memberanikan diri berkata, Eng-moi, harap
kau suka memaafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu.! Memang sungguh aneh
sekali pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun adalah Pangeran Cia
Sun, cucu kaisar!
Padahal, dalam kedudukannya
sebagai pangeran, dengan kegagahan dan ketampanannya, biasanya seorang pangeran
seperti dia tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukainya dan gadis itu akan
datang kepadanya, baik dengan suka rela maupun atas kehendak orang tua si
gadis. Dan sekarang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan
gelisah ketika menyatakan cintanya kepada seorang gadis biasa, bukan puteri
bangsawan, bukan puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan
dengan penyamarannya sebagai pemuda biasa, memang sesungguhnya dia merasa lemah
tak, berdaya menghadapi Siangkoan Eng!
Tidak ada yang perlu dimaafkan,
Toako Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa sekarang setelah bertemu denganmu,
aku pun telah menemukan pria yang selama ini kuharapkan....! Gadis itu tidak
melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun
Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa dan wataknya dingin dan aneh, namun
sekali ini ia merasa sedemikian malu dan salah tingkah sehingga jantungnya
berdebar keras dan seluruh tubuhnya seperti panas dingin kedua kakinya gemetar!
Eng-moi....!! Bukan main
girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar pengakuan itu. Dia bukanlah seorang
pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita, walaupun dia bukan
tergolong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir seperti para pangeran
lainnya. Mendengar pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah
disangkanya, dia lalu menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu.
Mereka saling berpegang tangan, dan gadis itu mengangkat mukanya dan pandang
matanya sayu, bahkan seperti hendak menangis. Empat buah tangan yang saling
berpegangan itu menggigil dan menggetar.
Eng-moi, terima kasih,
Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta padamu,
Eng-moi.!
Biarpun Eng Eng amat
mengharapkan kata-kata itu namun setelah diucapkan, ia merasa lucu dan ia
tersenyum. Sun-ko, kita baru dua hari berkenalan dan sudah saling mengaku
cinta.!
Apa salahnya? Kita saling
mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya? Aku akan mengirim wali untuk
meminangmu kepada orang tuamu, Eng-moi.!
Aku hanya akan menunggu,
Sun-ko....!
Hening kembali sejenak dan
mereka masih saling berpegang tangan. Akan tetapi tiba-tiba Cia Ceng Sun
melepaskan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis berkerut.
Kenapa, Koko?! Eng Eng
bertanya, khawatir.
Ada satu hal yang mengganjal
hatiku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biarpun sejak kecil aku suka
mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak pernah dan tidak suka bermusuhan.
Aku tidak ingin terlibat pemberontakan terhadap pemerintah, juga tidak ingin
bermusuhan dengan siapapun, maka tidak mungkin aku dapat membantu keluargamu.
Aku lebih suka berterus terang, Eng-moi, daripada berpura-pura dan palsu.!
Gadis itu tersenyum dan
kembali dia menangkap kedua tangan pemuda itu yang tadi melepaskan diri. Koko,
aku justeru bangga sekali karena sikapmu yang berterus terang ini. Aku sendiri
pun hanya melaksanakan kewajiban. sebagai puteri ayah. Aku tidak peduli tentang
perjuangan dan hanya membantu ayah sebagaimana patutnya seorang anak berbakti
kepada orang tuanya. Adapun tentang permusuhan antara keluarga kami dengan tiga
keluarga besar itu, aku sendiri sudah sering memberitahu kepada ayah betapa
tidak wajarnya memusuhi seluruh anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan
Lembah Naga. Tidak wajar dan juga amat berbahaya karena tiga keluarga besar itu
mempunyai orang-orang yang sakti dan amat sukar untuk dikalahkan.!
Hemmm, mengapa ayahmu memusuhi
mereka?!