Si Tangan Sakti Bab 1

Baca Cersil Mandarin Online: Si Tangan Sakti Bab 1
Bab 1

Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal. Dia bijaksana dan pandai walaupun, se­perti sebagian besar para kaisar dan to­koh-tokoh besar dunia, dia memiliki pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita. Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapatkan banyak kemaju­an sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya se­bagai laki-laki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.

Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang pan­dai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh­-tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagai­nya.

Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pange­ran Mahkota, Pangeran Kian Tong ha­nya puteri selir. Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini ber­kunjung kepada Puteri Can Kim, kakak­nya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.

Semenjak bertemu dengan kakak ipar­nya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila. Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya, namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mah­kota itu. Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam (laki-laki kebiri) ber­nama Siauw Hok Cu.

“Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beritahukan ke­pada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Pa­duka.” kata thaikam itu.

Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada pelayannya yang setia dan meng­hela napas panjang. “Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita.....”

Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan. “Sungguh lucu ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, dan hamba akan segera men­jemputnya dan mengajaknya ke sini.”

Akan tetapi pangeran itu tidak ber­gembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi. “Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduan­ku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh....!”

“Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!” kata Siauw Hok Cu penuh semangat.

“Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena eng­kau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini....”

“Katakanlah siapa wanita itu, Pange­ran. Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!” kata pula thaikam itu dengan penasaran.

“Benarkah?” Kini dalam mata pange­ran itu bernyala sebuah harapan baru. “Nah, dengarlah. Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu.”

“Nyonya Fu....?” tanya thaikam itu, tidak mengerti.

“Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!”

“Ya Tuhan....!” Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. “Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!”

Pangeran Kian Liong tersenyum pa­hit. “Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?”

Thaikam itu cepat mengangguk-ang­gukkan kepalanya sampai dahinya mem­bentur lantai. “Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!”

Tentusaja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biarpun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.

Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.

“Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka,” katanya.

Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali. “Terima kasih,” katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya. “Aihh, betapa panas hawanya,” ia mengeluh.

“Sang puteri tadi memerintahkan hamba untuk mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di taman, di sana lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke sini.”

“Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!” kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira. Memang pondok merah di taman merupakan bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.

Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas. Ia merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, menga­gumi kecantikan diri sendiri. Dengan pa­kaian kimono sutera yang diberikan da­yang kepadanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnyadi cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkan­nya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu. Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya. Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihan­nya. Suaminya itu ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkanhatinya. Ia merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodoh­kan ia dengan seorang laki-laki seperti itu dan merasa menyesal mengapa se­belumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya. Malam pertama merupa­kan pengalaman yang membuat ia meng­gigil ngeri kalau mengenangnya kembali. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.

Tiba-tiba wajah yang cantik itu men­jadi tegang, mata itu terbelalak meman­dang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Ke­mudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangan­nya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis. Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.

Fu Heng memutar tubuh di atas bang­kunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang dengan kedua mata terpesona. “Pangeran.... mohon Paduka pergi.... pergilah atau saya akan menjerit....” katanya gagap.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki, mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri. “Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!”

Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar, merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!

“Harap.... Paduka.... jangan lakukan itu....” katanya berbisik.

Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri. “Jadi engkau mau....?”

Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat ia nampak se­makin cantik. Biarpun mukanya menunduk,masih nampak ia menahan senyum ter­sipu dan kepalanya mengangguk perlahan.

Pangeran Kian Liong menahan diri­nya agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.

Samua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu. Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap.

Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.

“Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini? Kalau Pangeran Kian Tong mengetahui...., ham­ba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini....!”

Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata. “Ah, harap jangan beritahukan siapapun....” Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.

Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pem­bantunya melanjutkan siasatnya. “Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberitahu kepada siapapun juga, tetapi hanya de­ngan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu.”

Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil. “Apa.... syaratnya....?”

“Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil, Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?” kata Siauw Hok Cu.

Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nam­pak lega dan ia pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar. “Aku berjanji!”

Setelah Kian Liong pergi meninggal­kan pondok, barulah para dayang ber­munculan. Akan tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.

Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau an­caman itu. Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.

Demikianlah, hubungan gelap itu ber­kelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya. Di rumahnya, Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.

Hubungan gelap itu membuahkan kan­dungan dan nyonya muda Fu Heng me­lahirkan seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari Pangeran Kian Tong. Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.

Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan melahirkan anak. Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar. Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah men­jadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kai­sar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat Cia Yan sebagai pu­teranya. Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari putera seorang pangeran menjadi putera kaisar!

Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun. Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.

Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang aseli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak meng­herankan kalau dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya. Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat ting­kat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.

Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa upacara. Jiwa pe­tualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat. Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.

“Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana? Kurang apakah di sini? Semua ada, segala keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Kenapa hen­dak merantau dan bersusah payah?” kata ibunya.

Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya. “Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. Aku ingin me­rasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman.”

“Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak.” kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan perlindungannya.

“Aku dapat menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu.”

“Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan,” kata ayahnya. “Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kauketahui, yaitu bahwa engkau tidak boleh meng­ikatkan diri dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!”

“Apa? Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?” isteri Pangeran Cia Yan berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak menjadi sinting!

Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.

“Jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau? Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih.”

“Ihhh! Kenapa serba bangau? Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita de­ngan gadis dari keluarga itu? Jangan­-jangan mukanya seperti bangau.”

Kembali ayah dan anak itu tertawa. “Ibu jangan khawatir, aku sudah men­dengar akan nama besar Pendekar Ba­ngau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik jelita.” Lalu dia berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah. Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan, bagai­mana begitu saja kami dapat dijodohkan? Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau di­jodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa co­cok dengan gadis itu.”

Ayahnya tersenyum. “Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik. Karena itulah maka pernah aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan de­ngan anakku. Dia tidak menolak, dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi. Akan tetapi, akan baha­gialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tan-taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau ti­dak terikat oleh gadis lain.”

“Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi un­tuk menentukan jodoh, aku harus me­milih-milih dan tidak mau sembarangan saja.”

Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggal­an sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian. Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah. Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga bahwa dia adalah seorang pa­ngeran, cucu kaisar! Dia kelihatan se­bagai seorang pemuda sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut. Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya. Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas. Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias se­nyum.

***

Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang ke­luarga “bangau” itu? Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah barat kota raja. Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orang-orang sakti yang berada di istana Gurun Pasir. Mendiang tiga orang gurunya, ya­itu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong telah menguasai ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu menga­lahkan ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)!

Isterinya juga seorang pendekar wa­nita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan ce­katan seperti seorang gadis saja. Wajah­nya bulat telur dan matanya lebar. Kao Hong Li ini merupakan keturunan aseli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es ber­nama Suma Hui. Dapat dibayangkan be­tapa lihainya wanita ini.

Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, ma­ka diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li. Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan, matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak meng­ejek, dihias lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali. Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya men­dalam dan cerdik seperti ayahnya. Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukanmain. Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia per­nah digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya, selama lima tahun. Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu peng­obatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo­-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya. Wa­jah cantik, ilmu kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi?

Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Kita dapat me­nyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekalipun pasti tidak da­pat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja kekurangan­nya yang membuat seorang manusia ke­cewa dan tidak puas dengan keadaan dirinya. Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya. Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan kepandaiannya. Orang biasa me­ngira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukkannya. Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi ang­kuh dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah. Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjang­kau yang tidak ada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan. Demikianlah terus-menerus. Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu di­kejar-kejar dan selalu berpindah ke se­suatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di se­berang sana, bukan di masa depan, me­lainkan di saat ini!

Demikian pula dengan Sian Li. Gedis jelita ini, walau setiap hari nampak lin­cah gembira dan rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah ber­ada di kamarnya di malam hari, ia se­ringkali duduk termenung di atas pembaringannya. Bahkan kadang ia hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hati­nya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han. Dia dapat dibilang suhengnya sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau me­latih diri dengan ilmu silat. Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.

Kemudian lewat tiga belas tahun, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han menjadi pemuda dewasa, mereka saling berjumpa. Dan telah ter­jadi perubahan besar dalam diri Yo Han. Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu silat hanya mendatangkan kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi se­orang pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang dikenal orang-orang di wila­yah barat sebagai Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti)! Dan mereka saling mengenal dalam pertemuan yang mengharukan dan juga amat menggembira­kan hati Sian Li. Sejak kecil ia menya­yang Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han telah menjadi seorang pendekar budiman yang amat mengagumkan, tidaklah mengheran­kan kalau ia jatuh cinta. Walaupun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyata­kan isi hati yang mencinta, namun keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling men­cinta.

Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua Sian Li juga menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu kecilnya tidak suka berlatih silat itu kini telah men­jadi seorang pendekar lihai. Namun, me­lihat keakraban hubungan antara puteri mereka dan Yo Han, suami isteri pen­dekar itu merasa khawatir. Mereka ber­dua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta dengan Yo Han, tidak setuju kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu. Mereka tidak dapat melupakan bahwa biarpun ayah kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan baik namun mendiang ibu kandungnya adalah sorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik). Mereka merasa khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang tersesat. Itulah sebabnya maka suami isteri ini terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun, untuk ke dua kalinya, meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak meng­ganggu Sian Li!

Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan bersedih. Akan tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan mengajak ia pergi ke kota raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik misan­nya yang hilang diculik orang sejak ber­usia tiga tahun! Adik misan Yo Han itu bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan. Suami isteri pendekar yang me­miliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tidak berhasil menemukan kembali puteri mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Dan sekarang pergi untuk mencoba membantu bibinya me­nemukan kembali puterinya yang hilang itu. Tentu saja Sian Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng, bukan untuk menemukan gadis yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena ada harapan untuk berjumpa kembali dengan Yo Han!

Sebelum itu, Sian Li diharuskan mem­perdalam ilmu silatnya dan selama se­tahun, ia melatih diri dengan amat te­kun, menguasai ilmu silat Ang-ho-sin-­kun yang sengaja dirangkai ayahnya un­tuk dirinya. Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena sebelumnya ia telah menguasai ilmu silat Pek-ho-sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-ho-sin-kun.

Pada pagi hari itu, untuk yang ter­akhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya sendiri. Ia bersilat me­mainkan Ang-ho-sin-kun. Demikian lincah gerakannya sehingga kadang-kadang tu­buhnya tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang berkelebatan cepat. Kadang-kadang kalau ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia kelihatan seperti seorang penari yang pandai me­narikan tari bangau yang indah. Ada gerakan burung bangau menyisir bulu, burung bangau berjemur dan burung bangau mengembangkan kedua sayap. Indah sekali gerakannya itu, akan tetapi di balik keindahan dan kelembutan ini ter­simpan kekuatan dahsyat yang mengejut­kan lawan yang kuat sekalipun.

Setelah selesai bersilat, Sian Li meng­hentikan gerakannya dan napasnya tidak memburu, hanya di leher dan dahinya saja agak basah oleh keringat. Ibunya segera menghampiri puterinya, memper­gunakan sebuah handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi puterinya tercinta.

“Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!” Ayahnya memuji.

“Kepandaianmu kini lengkap dan lu­mayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingimu,” kata ibunya dengan bang­ga dan ibu ini mencium kedua pipi puteri­nya.

“Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?” Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinar-sinar. Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih can­tik lagi. Apalagi dalam pakaian serba merah begitu. Hati pemuda mana yang takkan terpikat? Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.

Tan Sin Hong tertawa. “Ha-ha-ha, berangkat ke mana?” Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya menagih janji.

“Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri? Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?”

“Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan berkemas,” kata Kao Hong Li.

Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira. “Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!” dan gadis itu ber­lari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.

Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia. “Dia sudah dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan.” kata Tan Sin Hong.

“Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa,” kata Kao Hong Li.

“Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun. Kita ma­tangkan urusan ini dengan keluarga Pa­ngeran Cia Yan.”

“Mudah-mudahan mereka berjodoh.” kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar. Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puteri­nya itu tidak setuju untuk dijodohkan dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu memaksanya. Aken tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan pen­dapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.

Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berang­katlah mereka bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.

Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur. “He, apakah Ayah tidak salah jalan? Kota raja berada di sana!” katanya menuding ke kiri.

“Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng Liong?” kata ibunya.

Sian Li terbelalak, lalu berseru gem­bira. “Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan lebih dahulu? Aku sam­pai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!” Teringat akan itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng Liong dan is­terinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena adanya kemung­kinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana!

Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan puteri me­reka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.

Perjalanan yang cukup jauh itu me­reka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka me­nikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai. Waktunya masih banyak dan biar­pun dengan santai, mereka tidak akan terlambat.

***

“Berhenti....!” Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang meng­hadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.

Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan ke­reta pun berhenti.

Kao Hong Li dan Tan Sian Li men­jenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang. Mereka bah­kan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka!

“Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat itu!”

Ayahnya tersenyum dan mengangguk. “Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li.”

“Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!”

Sian Li turun dari atas kereta, se­ngaja tidak memperlihatkan kepandaian­nya, turun dengan biasa saja seperti seorang gadis yang lemah. Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah de­ngan langkahnya yang lembut mengham­piri mereka, para perampok itu terheran-­heran. Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti rak­sasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot, seperti harimau kelaparan me­lihat datangnya seekor kelinci yang ber­daging gemuk dan lunak.

“Aduh-aduh.... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan....” kata raksasa muka hitam itu. “Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bida­dari, sungguh beruntung!” Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.

Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di ka­nan kiri mulutnya. Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kala­menjing di kerongkongan mereka ber­gerak naik turun.

“Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?” tanya­nya, bersikap polos dan tidak mengerti.

Si muka hitam menoleh kepada ka­wan-kawannya. “Haiii, dengar, kawan­-kawan. Kita ini menghadang kereta bi­dadari ini mau apa? Hayo jawab, mau apa, ya? Ha-ha-ha-ha-ha!” Kembali me­reka semua tertawa bergelak. Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap. Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.

“Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan meng­halang jalan, keretaku akan lewat.” kata pula Sian Li.

Hek-bin-gu melangkah makin dekat. “Nona manis, tadinya kukira kereta ini tumpangi pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh. Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit.”

Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi de­ngan wataknya yang jenaka. “Hei, bukan­kah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya? Bagaimana aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya? Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir mun­tah. Menggelindinglah kalian pergi. Kali­an ini perampok-perampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku.”

Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini kelihatan lembut dan le­mah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi mereka? Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demi­kian tabah. Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.

“Aih, Nona. Engkau tidak takut, ber­arti engkau berani melawanku?”

“Kenapa tidak berani? Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!”

Hek-bin-gu masih memandang ren­dah. Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan dada dan lengan yang berotot. “Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu, bagaimana engkau akan mampu melawan aku?”

“Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nya­ring akan tetapi tidak ada gunanya.”

Kini Hek-bin-gu mulai marah. “Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat ber­tahan melawanku selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus, eng­kau harus mau menjadi isteriku!”

Sian Li tersenyum. “Begitukah? Bagai­mana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?”

Si muka hitam tidak menjawab me­lainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya. Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini ka­lah olehmu, nona manis? Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-ha-ha!” ter­dengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.

“Nona, kalau sampai aku Hek-bin­-gu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut di depan kakimu!” kata si muka hitam.

“Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!” kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap arti­nya. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan mak­na kelakar mesum itu, akan tetapi me­reka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.

Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas dan si kerbau muka hi­tam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan se­ekor beruang menerkam mangsanya. Ten­tu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan men­dekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.

“Wuuuuuttttt....” Terkamannya me­ngenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.

“Hahhh....?” Dia memutar tubuh de­ngan cepat, akan tetap mukanya disam­but sepatu.

“Plakkk!”

“Auhhhppp....!” Tubuhnya yang gem­pal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu. Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat!

Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya me­nendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit lagi. Sejenak dia ter­belalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam. Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjeng­kang! Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu. Se­belah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan agak mem­bengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.

“Haiiittttt....!” Dia membentak de­ngan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.

“Wuuusssss....!” kembali dia kehilang­an lawan dan hanya melihat bayangan merah berkelebat. Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya. Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li. Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.

Kembali tendangan itu luput dan se­belum kaki itu turun, Sian Li sudah me­loncat ke depan, kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan. Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu se­dang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanan­nya ikut pula terangkat ke atas.

“Bluggggg....!” Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul terlebih dahulu dan debu pun beterbangan. Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-bin-gu meringis kesakitan. Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat badan­nya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya. Dan sekali lagi teman-temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagai­mana mungkin gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali terbanting jatuh?

Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau meng­akui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya. Sambil menggereng dia me­lupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li. Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki bela­kangnya.

“Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!” Setelah berkata demi­kian, Hek-bin-gu menerjang dan menye­rang. Sekali ini, dia bukan sekedar me­nubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan me­nyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.

Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu meng­elak ke samping. Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kem­bali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.

“Plak! Desss....!” Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini, hidung­nya bercucuran darah karena bukit hi­dungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan­-kawannya untuk mengeroyok!

Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walaupun kelihatan le­mah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata me­reka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi. Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya ber­hadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.

Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukan­nya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan em­pat buah kakinya.

“Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan memegang janji. Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!” Tiba-­tiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.

Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu. Kakinya me­nendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuh­nya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu. Tentu saja, biarpun dia masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari ko­toran itu. Akan tetapi dia mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau ko­toran itu yang memasuki mulut dan hi­dungnya tidak hanya membuat dia mun­tah-muntah, akan tetapi juga megap-­megap karena sulit bernapas.

Dua belas orang anak buahnya men­jadi marah sekali dan sambil berteriak-­teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing sri­gala mengepung seekor singa betina.

Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat ping­gangnya. Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan. Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek Su­ma Ceng Liong. Kemudian, begitu suling­nya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik de­ngan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liong-­siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kim­-siauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan­-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!

Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melari­kan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-­birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.

Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermain­kan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

“Kenapa, Ayah?” tanya Sian Li. “Ke­napa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?”

“Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh me­reka atau melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan meng­hina orang. Yang kaulakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Kenapa tidak kaurobohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?”

“Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang baru puas hatiku kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang lagi.”

“Sudahlah,” kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. “Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan.”

“Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!”

Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya. “Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engaku bertingkah dan banyak lagak.”

Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai. “Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!”

Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!

“Mari kita lanjutkan perjalanan.” akhir­nya Sin Hong berkata. Mereka naik kem­bali ke atas kereta dan Sin Hong men­jalankan kereta menuju ke timur.

Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. Sin Hong sendiri beristira­hat, melenggut di dalam kereta, mem­biarkan isteri dan puterinya mempersiap­kan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk di­hembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di dae­rah yang berbukit dan lengang itu.

Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.

Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.

Sian Li mengepal tinju. “Kalau buaya­-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!”

“Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspada­an.” kata ayahnya. Mereka menanti sam­bil duduk di dalam kereta.

Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belas­an orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa. Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan­-kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hek-­bin-gu dan kawan-kawannya.

“Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!” Hek-­bin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.

Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang se­gera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.

“Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!” kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.

Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka. “Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?” bentaknya.

Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hek-­bin-gu dan dua belas orang anak buah­nya? Sukar dipercaya.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluhtahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya. “Biarkan aku yang menghadapi mereka!”

“Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu.”

Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah ber­ada di dekat isterinya. “Kalian mundur­lah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!”

Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang de­ngan suara gemetar dan gagap bertanya, “Engkau.... engkau.... Pek-ho-eng (Pen­dekar Bangau Putih)....?”

Sin Hong tersenyum. “Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih....”

“Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!” kata Sian Li dengan sikap me­nantang dan bertolak pinggang.

Sin Hong memandang puterinya. “Me­reka ini adalah isteri dan puteriku. Si­apakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apa­kah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?”

Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya. “Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya men­dengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut di­hajar!”

Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.

“Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!” setelah berkata de­mikian, si kumis itu bersama dua orang ­saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam me­reka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin me­reka. Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sen­diri sampai tiga belas orang itu mati konyol.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di de­kat mereka sambil membentak. “Hentikan pukulan!”

Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren. “Kalian bertiga menghajar anak buah kaliankarena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka.”

“Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!” kata Sian Li. “Biar kuhajar mereka bertiga!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar