Bab 4
Para anggauta yang seratus
orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga
puluh tahun usianya. Dan mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena
Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang
besar, hidup serba kecukupan, akan tetapi mereka harus taat akan semua
peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar. Di antara
peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi
anggauta Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para
anggauta wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan
anak.
Dapat dibayangkan apa
akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggauta itu adalah orang-orang
yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja amat menyiksa dan karena
mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggauta
Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak
ada yang berani melanggarnya. Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan
menikah bagi semua anggauta, dan larangan melahirkan bagi anggauta wanita.
Akibatnya, untuk menyalurkan kebutuhan berahi mereka, terjadilah hubungan gelap
yang tidak wajar, bahkan kadang jahat. Karena mereka adalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di
antara para anggauta pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang
melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar
daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan. Juga
para anggauta wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka,
diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggauta yang pria, atau
mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja
para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.
Mereka adalah orang-orang dari
golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka,
tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh
penduduk di pegunungan itu.
Siangkoan Kok dan anak
isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka ini
bersikap tidak peduli. Selama para anggauta tidak melanggar peraturan dan
larangan, cukuplah. Selain itu, Siangkoan Kok yang biarpun kaya raya namun
harus mengeluarkan biaya besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan
untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua
gerombolan penjahat di kota-kota dan dusundusun sekitar Kui-san, memaksa mereka
mengakui kekuasaan Pao-beng-pai.
Yang membangkang dihancurkan,
dan yang taluk diharuskan membayar semacam ‘upeti! setiap bulan. Bahkan
Pao-bengpai menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota,
dan dari penghasilan semua itulah keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat. Semua
sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk
perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali
Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mingkin orang lain akan
menganggap bahwa, cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya
terlalu muluk. Namun, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai
hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil,
maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu.
Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa
tidak rela tanah air dan bangsa dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke
Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.
Pada hari itu, banyak sekali
tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya
Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Mereka itu
setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, disambut oleh seorang murid
Paobeng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah seperti istana itu. Di
sepanjang perjalanan ini saja mereka melihat kenyataan betapa tempat itu
merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan
penuh jebakan alam.
Tidak kurang dari seratus
orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan
hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai anti pemerintah Mancu
seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan
orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung.
Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih
dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati
itu kini bangkit kembali. Kalau golongan para pendekar ini datang untuk mencari
tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk
melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk mendapatkan
keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja
tidak sudi melelahkan diri.
Karena undangan itu tidak
ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu
para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung.
Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula
datang, walaupun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh daripada pantas untuk
menghadiri pertemuan seperti itu.
Siangkoan Kok memang pandai
mengambil hati orang. Sebelum pertemuani dimulai, sebelum dia keluar menemui
para tamu, mereka itu telah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang
lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat
royal. Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain.
Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan
masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang
tercengang dan terheran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan
sebelumnya.
Setelah selesai makan siang,
barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan
tetapi cara seperti ini amat menyenangkan para tamu. Tadi mereka dijamu
hidangan yang royal tanpa merasa sungkan karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan
kepada para gadis cantik yang menjadi anggauta Pao-beng-pai. Para gadis cantik
itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah, bahkan mereka
tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka
dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di
situ. Hal ini saja menunjukkan betapa taatnya para anggauta Pao-beng-pai.
Biasanya, para anggauta wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan
mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau
mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu,
mereka tidak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah
dipesan oleh ketua mereka agar melayani para tamu baik-baik dan manis, dan
dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan puas
makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan
tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya
yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang
tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun
namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali
Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya
memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Siangkoan Kok memang gagah.
Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang, wajahnya yang
tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya mantap dan gagah seperti
seekor singa, sebatang pedang tergantung di pinggang dan pakaiannya rapi dan
terbuat dari sutera mahal walaupun tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak
dikuncir, melainkan digelung dan diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa
dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria diharuskan
menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah
seorang wanita yang usianya empat puluh lima tahun, namun masih nampak cantik
dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli
dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan,
seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya,
kemuliaannya dan kecantikannya. Ia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Paobeng-pai
yang oleh para anggautanya selalu disebut Toanio. Semua mata memandang kagum
karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling
menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang
suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati.
Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah daripada pakaian
ibunya. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah
tiara kecil penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan
tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia
mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang merasa ngeri karena
sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga. Di punggung gadis ini nampak
sebatang pedang beronce merah, dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim
berbulu merah. Kebutan pendeta ini sungguh membuat orang merasa heran.
Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh
seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah
menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng
Liong.
Di belakang ayah ibu dan anak
ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih,
yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggauta wanita dari
Pao-beng-pai. Mereka ini dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling
pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya, dan tingkat kepandaian mereka hanya di
bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggautanya disebut
Siocia atau Nona.
Setelah para tamu bertepuk
tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, Siangkoan Kok, isterinya dan
puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang
agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat
melihat mereka. Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu
untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri
di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang
sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khi-kang.
‘Cu-wi (Anda Sekalian) yang
terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk dan diharap agar
masingmasing memperkenalkan diri, sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran
mana, dan bertempat tinggal di mana.!
Semua tamu saling pandang dan
ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan
rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara
mereka segera memperkenalkan diri. Satu demi satu, kepala rombongan para tamu
memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal
mereka. Dengan cara demikian, bukan saja tuan rumah mengenal siapa tamu-tamunya,
dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu
yang memperkenalkan diri. Lebih dari delapan puluh orang sudah memperkenalkan
diri, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang
dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang
lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka
yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh. Melihat kenyataan ini,
gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya, kembali bangkit berdiri dan
berteriak dengan suaranya yang lantang.
‘Harap para tamu lain yang
belum memperkenalkan diri, suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan
ini dapat segera selesai!!
Di antara tiga puluh orang lebih
itu, terdapat wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid
Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, dua orang murid Bu-tong-pai dan dua
orang murid Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar
di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang
terkenal sebagai golongan pendekar. Untuk menjaga kebesaran nama partai
masing-masing, delapan orang yang sudah saling pandang dan dari pandang mata
mereka saja mereka maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam
saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat
perkembangan selanjutnya. Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri
nampaknya ragu-ragu karena mereka pun bersandar kepada sikap para wakil empat
partai besar itu.
Untuk berdiam diri seperti
mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga. Mereka adalah
tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal
sekali. Kalau sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka
memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan
itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka telah merendahkan diri
kepada pimpinan Pao-beng-pai yang belum mereka kenal orang-orang macam apa
adanya mereka itu.
Tiba-tiba seorang di antara
mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh
tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Mereka agaknya mewakili
pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang
dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
‘Kami bertiga mewakili
sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memrotes
cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang
yang diperintah untuk datang menghadap. Karena itu, kami menolak cara
perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu
memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!! Agaknya ucapan
yang gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri,
bahkan para wakil empat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati
mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah. Semua
orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Akan tetapi ketua Pao-beng-pai
itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak
terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang
mewakili Siangkoan Kok bicara.
Gadis berpakaian putih itu
dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat
sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.
‘Kami melihat betapa para
tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya setuju dengan usul saudara yang
baru berbicara. Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan. Ketua kami
telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan.
Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik
mungkin....!
‘Kami tidak pernah minta
makanan, kalian sendiri yang menghidangkan!! bantah si muka bulat dan banyak di
antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
‘Begitukah?! Gadis
berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. ‘Kalau begitu
dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau
beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau
hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!!
‘Wahhh!! Si muka bulat kini
terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah karena darah sudah naik ke
kepalanya. ‘Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang
belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang
tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi
daripada kami!! Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Melihat
betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat
kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat
dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan
tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat. Suasana menjadi tegang
akan tetapi karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja
suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan
karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik
antara orang-orang pandai. Juga para tamu ingin sekali melihat bagaimana sikap
dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua
orang kawannya itu.
Gadis berpakaian putih yang
mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan
pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Akan tetapi ketua
itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya
itu. Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, ‘Kami menerima
usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!!
Si muka bulat yang kini
menjadi perhatian semua tamu, merasa bangga dan dengan membusungkan dadanya dia
berkata, ‘Kami bertiga pengurus Pek-eng-bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih)
mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!!
Akan tetapi, tantangan
terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat
kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu
telah berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju,
dan ia yang bicara menjawab.
‘Untuk mengadu ilmu dengan
ketua kami tidaklah mudah, harus dapat mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan
untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi
sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami
dan beberapa orang murid lain!! Gadis itu tersenyum mengejek. ‘Sam-wi, sudah
maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persilakan
kalau Sam-wi hendak bertanding.
Tentu saja tiga orang tokoh
Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan.
Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan
karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa
tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.
‘Bagus, kalian orang-orang
Pao-beng-pai sungguh memandang rendah orang lain. Hendak kami lihat sampai di
mana kelihaian kalian!! bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita
berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, ‘Kami
bertiga sudah siap.!
‘Sambut serangan kami!!
bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis
yang bicara itu. Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang
mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah
sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka
membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Agaknya tiga orang gadis
berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah
kuat. Maka, mereka mempergunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka dan
dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka berkelebatan menjadi
bayangan putih yang sukar sekali diserang oleh tiga orang pria itu, bagaikan
tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang
gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi
tamu di situ, diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan
perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin
mengenal ilmu silat mereka agar mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu
itu dan dengan sendirinya dapat mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran karena mereka sama sekali tidak
mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh tiga orang gadis berpakaian putih.
Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan
tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur
dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka
mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Dipilih gerakan yang baik dan
menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu
seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung
dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng
Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang
jagoan dari Garuda Putih itu terdesak dan mereka lebih banyak mengelak dan
menangkis daripada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas,
dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng
Bu-koan menghentikan gerakan mereka dan muka mereka nampak merah. Kiranya di
tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang dapat direnggutnya lepas dari
kepala lawan, di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada
lawannya, dan biarpun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya
sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikut kuncirnya
terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu
menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan
tiga orang lawan dengan pukulan.
‘Maafkan kami,! kata seorang
di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka bulat menghela napas
panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan depan dada menghadap pihak
tuan rumah sambil berkata. ‘Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan dan
saya sebagai ketuanya bernama Liu Pin. Kami mengaku kalah.! Dia dan dua orang
sutenya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi
mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah
Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apalagi melawan pimpinannya!Mereka yang
mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga
orang gadis anak buah Pao-beng-pai kini tidak merasa ragu lagi dan mereka
segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya
tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga ada lagi tiga orang pria muda yang nampaknya
belum mau memperkenalkan diri.
Melihat masih ada belasan
orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru,
‘Apakah masih ada di antara Cu-wi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan
diri ingin menantang pi-bu?!
Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai
yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian
putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan
dalam bisikan. Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah
kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
‘Pangcu (Ketua) kami
memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai
sebagai setingkat dan sederajat. Oleh karena itu, wakil dari masing-masing
partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu
yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!!
Kebetulan dua orang wakil dari
masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya mereka tidak
mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu
merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja. Akan
tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak
kalau tidak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan
hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal
siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut, didahului
wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua
Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu kini tahu
bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok, bersama
isterinya dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka
bertiga merupakan pimpinan Pao-beng-pai dan undangan itu dilakukan untuk saling
berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa
itu. Setelah para wakil empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka
tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan beru seru lagi,
ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
‘Pangcu kami menganggap
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu,
Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan
dengan Pangcu sekeluarga.!
‘Siancai, siancai....!!!
Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana
tadi diadakan pertandingan silat. Kiranya dia seorang di antara para wakil
Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri disulam
benang emas sebuah pat-kwa (segi delapan). Dia seorang pria berusia lima puluh
tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, di punggungnya tergantung pedang dan
nampak kokoh kuat. Matanya lebar, hidungnya besar dan mulutnya berbibir tebal.
Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.
‘Kami Pat-kwa-pai juga
mempunyai peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya
lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali
mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan silat.!
Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang kini memandang ke
arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah
hendak bangkit, akan tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira
semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang
bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang
sudah berdiri menanti. Kini semua orang melihat betapa ketua itu memiliki
gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, namun wajahnya cerah dan dia tersenyum
ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.
‘Saudara wakil dari
Pat-kwa-pai, kalau kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho
Sianjin?! Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sopan seperti cara bicara
seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai
itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seolah-olah telah mengenal baik
ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia
merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sutenya
dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
‘Kami yang menjadi utusan
adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai,! katanya.
‘Ah, kiranya murid-murid
Thian Ho Sianjin. ‘Sobat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan
kerja sama, bukan untuk saling bertanding.! ucapan itu seperti teguran.
‘Akan tetapi, Pangcu, kami
harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai.!
bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum.
‘Baiklah, kalau begitu mari kita latihan sebentar. Berapa orang dari
Pat-kwa-pai yang datang?!
‘Kami datang berempat.!
‘Silakan yang tiga orang
lagi ke sini ikut latihan.!
Mendengar ini, tokoh
Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sutenya. Lebih kuat keadaan mereka
lebih baik, pikirnya. Tiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh
mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri
di situ, nampak betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
‘Bagus, Thian Ho Sianjin
memiliki murid-murid yang gagah. Nah, sekarang kalian berempat boleh
menyerangku sekuat kalian. Aku tidak akan mengelak, tidak akan membalas pula,
hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian dapat memukulku,
berarti aku kalah.!
Empat orang itu tercengang,
juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang mengetahui
betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apalagi empat orang itu adalah
murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi. Tidak akan
mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka, akan tetapi
menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa
membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu tentu akan celaka oleh
kesombongannya sendiri.
‘Baik, kami setuju!! kata si
gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat
bertahan, apalagi orang sombong ini, pikirnya.
‘Nah, mulailah, aku sudah
siap.! Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Empat orang murid Pat-kwa-pai
itu sudah memasang kuda-kuda dan menghimpun tenaga sakti, akan tetapi Siangkoan
Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika
seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Kini, dia
dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan
kirinya.
‘Pangcu, jaga serangan
kami!! seru si gendut yang berada di depan dan dia mulai menyerang dengan
pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga
orang pengeroyok lain juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu
kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok
berkibar. Ketua Pao-beng-pai ini, sesuai dengan janjinya, tidak mengelak, akan
tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil
memutar tubuhnya.
‘Duk-duk-duk-plakkk!!
Empat orang itu terpental ke
belakang! Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini memiliki
tenaga sin-kang yang hebat. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak
hanya mengandalkan tangkisan. Akan tetapi karena mereka tidak khawatir kalau
dibalas seperti telah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan mereka,
menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga
mereka. Bahkan mereka mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun! Namun,
Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak
terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap
kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka
terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus telah lewat dan
mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apalagi memukul.
Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi
isyarat kepada tiga orang sutenya untuk mempercepat serangan. Dia hanya
mempunyai dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak
akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak
berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi, sebelum isyarat
ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan
tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui
kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar cepat dan kedua tangannya menjadi
banyak sekali. Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu, akan
tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan yang membuat
mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena
berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok dan si gendut memberi isyarat
kepada tiga orang sutenya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri tidak
menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan
begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah
siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin
dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang
dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat
ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan
kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar
dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum
bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain
untuk bertepuk tangan pula. Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit,
mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena
kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si
gendut, mereka memberi hormat.
‘Kami mengakui kelihaian
Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan
Pat-kwa-pai,! kata si gendut.
‘Sampaikan salamku kepada
Thian Ho Sianjin.! kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan tenang dia duduk
kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan
lehernya.
‘Siancai...., tenaga
sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali. Kami semua merasa
kagum!! Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke
sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung. Semua orang memandang dan
dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah
enam puluh empat tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti
tubuh kanakkanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali.
Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena
tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis
berpakaian putih segera berkata, ‘To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil dari
Pek-lian-pai. Apa kehendak To-tiang?!
‘Siancai....! Seperti juga
saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri
kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan
pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang.
Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto
bermain pedang?! Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu
telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia
mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya. Tentu saja dia lihai karena tosu
ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw. yang lihai dan dipercaya
oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Kini dia datang sebagai wakil
Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat
tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk
bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.
Kembali keluarga ketua
Pao-beng-pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng minta kepada
ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu.
Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua
Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thian-cu.
‘Sobat, kenapa Pek Sim
Siansu tidak datang sendiri?!
Mendengar pertanyaan itu, Kui
Thian-cu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw, masih
terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua
Pek-lian-kauw pula!
‘Pangcu, ketua kami mengutus
kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat apakah Pao-beng-pai
pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami.!
‘Andaikata Pek Sim Siansu
sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan
tetapi sekarang hanya murid keponekannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja
kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!!
Siangkoan Eng lalu bangkit dan
melangkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang
memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun,
cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang
sudah terkenal akan kelihaiannya? Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan
memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya
baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia sudah menguasai ilmu pedang selama
puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama
belasan. tahun saja. Apalagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan
kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini?
Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.
Kui Thian-cu tersenyum pahit
karena merasa direndahkan sekali dengan munculnya seorang bocah untuk
menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu
Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan sihir.
Dia mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya, sepasang matanya
seperti menembus mata gadis itu, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram
kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.
‘Nona yang begini muda
bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Tergores sedikit saja
kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah,
sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena
engkau memang pantas dikasihani! Menangislah....!!!
Kui Thian-cu yang merasa
diremehkan, kini hendak membalas dan membikin malu, keluarga ketua
Pao-beng-pai, dengan sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah
memandang kepadanya, dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara
yang sungguh-sungguh, ‘Totiang, bagaimana sih caranya menangis itu? Aku tidak
pernah menangis, harap Totiang memberi contoh.!
Tentu saja Kui Thian-cu merasa
heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh. ‘Bagaimana
caranya menangis? Engkau sungguh tidak tahu? Begini, Nona, beginilah caranya
orang menangis....! Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi
muka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.
‘Huauuu-uuuuu....
huuuuu-uuuhhh....!
Terdengar suara orang-orang
tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang tubuhnya
pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak tua sekali itu, yang
mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, kini seperti anak kecil menangis
di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek.
Mendengar suara tawa orang-orang di situ, barulah Kui Thian-cu menyadari
keadaannya dan diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa
gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tidak
terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah
kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang
menangis tanpa disadarinya sendiri bahwa dia telah melakukan perbuatan yang
lucu memalukan.
Tentu saja dia marah sekali,
akan tetapi Kui Thian-cu bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia seorang tokoh
Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biarpun dia mendapat malu di depan
banyak orang namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu
amarah. Dia menyadari bahwa dia terlalu bersalah, keliru menafsirkan orang dan
terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar
bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng
yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak begitu
mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.
‘Hemmm, Nona masih muda
sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku
ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona.! Dia menggerakkan tangan dan
memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga
pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan
mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.
Siangkoan Eng masih tersenyum
mengejek, tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut pedangnya yang beronce
merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang
emas dan bulunya merah mengkilap itu. Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan
pedang dan kebutan di depan dada lalu berkata, ‘Totiang, aku sudah siap,
silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!! Dalam ucapan yang
dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui
Thian-cu, membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati.
Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan
melemahkan seorang, membuat orang menjadi kurang waspada, maka bagi seorang
ahli silat, marah ketika bertanding merupakan pantangan besar karena hanya
merugikap diri sendiri.
Kui Thian-cu yang sudah marah
itu tidak lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih
tua dan berkedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti
Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu kalau harus menyerang lebih dulu dalam
sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah marah, dia
tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.
‘Nona, jaga baik-baik
seranganku ini!! bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar
yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar
menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.
Gadis itu pun menggerakkan
pedangnya untuk menangkis sambil kakinya membuat langkah-langkah melingkar
sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil
menangkis, ia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu
digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan
untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit
lawan.
Pertandingan itu berlangsung
dengan seru. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja
Kui Thian-cu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, namun agaknya sedikit
banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis
itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat. Bahkan serangan balasan
dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw
itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri. Diam-diam kakek ini terkejut
dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai!
Dia makin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya.
Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tak dapat ditembus
gulungan sinar pedangnyra, sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat
dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk
melindungi tubuhnya.
Ketika dengan pengerahan
tenaga kembali dia membacokkan pedangnya, bulu kebutan itu menyambut dan
melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular dan pada saat yang sama, pedang
di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang
memegang pedang! Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui
Thian-cu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak
ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah
kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih
terbelit hud-tim.
Siangkoan Eng juga tidak
mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu
berkata, ‘Totiang, terimalah kembali pedangmu!! Ia menggerakkan hud-tim di
tangan kiri dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh
Pek-lianpai itu berubah pucat akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun
maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa
penasaran, kini dia kagum bukan main. Kalau puterinya saja sehebat itu, apalagi
ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, adalah seorang
keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai
perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan
Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.
‘Nona memang hebat, pinto
mengaku kalah.! lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat,
‘Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan
yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan
Pek-lian-kauw.!
Tentu saja Siangkoan Kok
merasa girang. ‘Terima kasih, Totiang dan silakan duduk.!
Setelah tokoh Pek-lian-kauw
duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau
memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh
tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit.
Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu
dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.
‘Melihat kepandaian Nona
Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri
sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu
silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas
jurus!! Sikapnya kaku dan tekebur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di
dunia kang-ouw yang berpengalaman.
Siangkoan Eng tentu saja tidak
mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi ia mewakil ayahnya menandingi
Kui Thian-cu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan
pejuang yang besar dan ia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan
tetapi, laki-laki muda itu biarpun murid perkumpulan silat Kong-thong-pai,
sikapnya demikian hijau dandungu. Ia memberi isyarat kepada seorang di antara
pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai,
lalu berkata lantang.
‘Sobat dari Kong-thong-pai,
untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada seorang pelayanku. Kalau
engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!! Sesosok
bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga
cantik itu telah berdiri di depan si pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau
memperkenalkan diri sebelum menguji kepandaian.
‘Kongcu (Tuan Muda), saya
mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!!
Diam-diam murid Kong-thong-pai
ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari
Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili
Kong-thong-pai, dan di sini dia dipandang rendah, tingkatnya hanya disejajarnya
dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali! Maka, dia pun
melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap angkuh, ‘Baik,
sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi,
saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona
Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku
kalah!!
Melihat lagak yang meremehkan
dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap tetap menghormat
sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, ia tersenyum dan memberi hormat,
‘Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh
jurus itu.!
Melihat sikap si pelayan yang
menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang
kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, ‘Lihat seranganku!! Dan dia
pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat
Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan
seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan
kiri secara cepat. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor
harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke
depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.
Namun, nona baju kuning itu
adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, merupakan pelayan kepercayaan
yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya.
Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, ia pun bersikap lincah dan meloncat ke
belakang lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan ia pun sudah
menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan
sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!
Melihat kelincahan lawan,
pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan
berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu maklum
akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan
cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala
lawan! Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis
tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar
terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan
sambaran angin pukulan yang cukup kuat.
Tahulah dia bahwa gadis
berpakaian kuning itu, walaupun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka dia pun tidak berani lagi
memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi.
Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan,
mendesak pun tidak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin
penasaran. Dia mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun
gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah
kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur.
Mukanya berubah merah sekali.
‘Dua puluh jurus telah
lewat, aku mengaku kalah!
Siangkoan Eng tersenyum, kini
senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimanapun juga, ia senang dengan sikap
jantan pemuda itu yang tidak malu mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya,
walaupun sebenarnya dia belum kalah.
‘Lanjutkanlah sampai ada
yang kalah karena engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!! katanya
lembut.
‘Hemmm, aku Koan Tek adalah
seorang laki-laki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama
Kong-thong-pai. Aku sudah berjanji, dan setelah lewat dua puluh jurus aku belum
dapat mengalahkannya, berarti aku kalah. Pang-cu, terimalah hormatku!! katanya
sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
Ketua Pao-beng-pai yang tinggi
besar ini mengangguk dan membalas penghormatannya. ‘Silakan duduk, saudara
Koan Tek!!
Kini tinggal dua orang tamu
yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda
yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Kini, perhatian semua tamu
tertuju kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka
berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu
saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak
terkenal berani bersikap angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dahulu
kepada pihak tuan rumah!
Dua orang pemuda itu yang
merasa menjadi pusat perhatian, kini juga saling pandang. Mereka tidak saling
mengenal namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dari sepenanggungan
karena keduanya menjadi pusat perhatian karena mereka berdua sajalah yang kini
belurn memperkenalkan diri dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan
rumah seperti dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai,
Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai tadi.
Pemuda pertama berusia kurang
lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap, wajahnya bulat
berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan
mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal. Dia seorang
pemuda yang tampan, dan sikapnya juga anggun, tidak malu-malu dan berwibawa.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang melakukan penyamaran! Dia
meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa dan
karena dia seorang yang sejak kecil suka mempelajari silat, kini dia ingin
meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw. Maka, mendengar akan
pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apalagi mendengar bahwa Pao-beng-pai
adalah perkumpulan yang anti pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong,
dia tertarik dan sengaja datang berkunjung.
Tentu saja dia tidak akan
mengaku bahwa dia seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari
kematian. Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng,
tentu mereka akan menbunuhnya kalau mengetahui bahwa dia seorang pangeran
Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun dia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Namanya
sendiri dia pakai, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti
kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu. Dan karena sejak kecil dia hidup dalam
pendidikan seperti orang Han, maka tak seorang pun yang tahu bahwa dia seorang
pangeran Mancu, dalam segala hal dia adalah seorang pemuda Han biasa. Dia
pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han.
Pemuda yang ke dua juga tampan
berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya lebih matang
dan pendiam. Dia pun tampan, walaupun ketampanannya berbeda dengan ketampanan
Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun. Pemuda ke
dua ini bermuka lonjong dengan mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya
ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya
tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia
Ceng Sun, sedang dan tegap dan gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti
acuh tak acuh walaupun wajahnya ramah. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han,
pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang
melihat wajahnya, maka tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar
itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.
Berbeda dengan Cia Ceng Sun
yang meninggalkan istana untuk memperdalam pengetahuan dan meluaskan
pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya yang
teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si
Pendekar Suling Naga Sim Houw.
Para pembaca kisah Si Bangau
Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu. Mendiang
ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah,
sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang telah bertaubat,
berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw.
Sejak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li
sehingga Yo Han sejak kecil telah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah
sebagai kakak seperguruan. Namun, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak
suka belajar atau berlatih ilmu silat. Biarpun suami isteri Tan Sin Hong Si
Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan mengajarkan
silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau
berlatih.
Dia menganggap bahwa ilmu
silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orangorang yang suka
berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain. Karena ulahnya ini, maka suami
isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab
dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu, sehingga mereka ingin memisahkan
kedua orang anak itu dengan memitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang
baik.
Yo Han mendengar ini dan dia
pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu dengan nekat mengikuti seorang iblis
betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu melepaskan Sian Li kecil yang
diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya. Demikianlah, setelah
ikut dengan iblis betina itu dia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh
sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki
tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris
tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang membuat dia menjadi seorang
pendekar sakti.
Ketika Yo Han merantau ke
barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Tai-hiap yang tak pernah dikenal
mukanya oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li
yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang
yang sejak kecil telah tumbuh dalam hati mereka, kinl berubah menjadi cinta
dewasa antara pria dan wanitai Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak
menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu khawatir
kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang pernah menjadi seorang
wanita golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu
kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota
raja! Yo Han menjadi terpukul dan diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya, dia
pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia
kembalikan kepada bibinya.
Demikianlah riwayat singkat Yo
Han Si Pendekar Tangan Sakti, dan pada hari itu, sebetulnya dia mendengar
tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, make dia
pun sengaja berkunjung dengan maksud mencari jejak adik misannya yang dicuri
penjahat di waktu kecil.
Yo Han maklum sepenuhnya
betapa sulitnya tugas yang dipikulnya, mencari seorang, anak perempuan yang
hilang dua puluh tahun yang lalu, ketika hilang diculik orang berusia tiga
tahun! Dia tidak tahu siapa penculiknya, tidak pernah melihat anak perempuan
itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw
dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang
mustahil untuk dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan
tahi lalat hitam di pundak kiri.
Bagaimana mungkin melihat
kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya? Dan
sudah pasti anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan
ibu kandungnya, tidak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun
kalau anak itu masih hidup! Sungguh merupakan usaha yang teramat sulit, bahkan
agaknya mustahil untuk bisa menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun
yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal. Kalau dia tidak dapat
menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku
penculikan itu. Den hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki
dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah kini
dia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau
memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.
Ketika dua orang pemuda itu
saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat,
mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih dahulu.
Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan
mengangguk, kemudian dia pun melangkah dan dengan langkah ringan dan santai dia
menuju ke ruangan, tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan
menjura kepada pihak tuan rumah dan terdengar suaranya yang halus dan sopan,
juga dengan gaya bahasa yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw
kasar biasa, melainkan seorang yang terpelajar.
‘Harap Pangcu dari
Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian hati saya
belum memperkenalkan nama, melainkan karena tertarik akan kehebatan ilmu silat
keluarga Siangkoan yang tadi telah diperlihatkan. Oleh karena saya memang
bermaksud meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, maka saya ingin
mempergunakan kesempatan ini untuk menambah pengetahuan dengan jalan bertanding
silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama saya yang tidak
berarti.!
Sikap yang lembut dan
kata-kata yang sopan seperti biasa dilakukan.orang-orang terpelajar dan kaum
bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di sana-sini
terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Juga ada yang menganggap bahwa
pemuda ini tentu tidak memiliki kemampuan yang berarti dalam ilmu silat, hanya
pandai berlagak saja. Akan tetapi tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia
Ceng Sun kepada keluarga tuan rumah. Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan
pula, bahkan masih keturunan keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa
dengan tata-cara dan sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di
antaranya sikap yang halus dan kata-kata yang indah.
Oleh karena itu, sikap pemuda
tampan itu sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa senang. Demikian pula
dengan Siangkoan Eng, yang biarpun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana,
namun karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti
keluarga bangsawan, ia pun tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda
biasa itu. Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa, sikapnya demikian
lemah lembut, namun telah berani maju untuk menguji ilmu silat.