Bab 12
Akan tetapi, telah terjadi
peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini
duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu
sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa
yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang pernah
mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa
terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan
menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda
perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam.
Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian
ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan
sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya
tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu! Dan setelah ia terluka parah oleh
pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka
rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya!
Dan ketika ia bertanya kepada
ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya
itu amat membenci ayah kandungnya. Semua peristiwa itu membuat ia merasa sedih
bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain
dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya
malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan siapa nama
ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati.
Semua ini menghancurkan
hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan
Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok.
Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang
menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu,
jangankan rakyat biasa, bahkan para anggauta Bankwi-kok sendiri jarang ada yang
berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng
tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah gua dan setiap hari dan malam ia
hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka yang
diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir
membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat
jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi
bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di
Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok
dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila.
Ia masih belum pulih, kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja,
ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi.
Bahkan hatinya condong untuk
menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik
dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang
ia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam
saja dan tidak keluar dari dalam gua.Akan tetapi setelah pertempuran itu
berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada ibunya yang
mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan ibunya.
Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu
siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana
keadaan ibunya, agar hatinya lega.
Karena keadaan amat sunyi, ia
pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya
entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia
menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat
ibunya. Ketika dua orang anggauta Pao-beng-pai yang melihat munculnya nona
mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah
terjadi.
Dua orang anggauta
Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu
Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa
Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
Dan di mana Pangcu (Ketua)?!
Ia tidak mau menyebut ayah.
Kami tidak tahu, Nona. Melihat
bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil
menyelamatkan diri.!
Bagaimana pasukan pemerintah
mampu naik ke tempat ini melalui semua jebakan rahasia?! tanyanya penasaran.
Kami melihat bayangan Cia Ceng
Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dia yang menjadi penunjuk
jalan.!
Eng Eng terkejut, bangkit
berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak memaki Cia
Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang
menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati
palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya dalam hati.
Dibantu dua orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah
ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Demikianlah, kini ia berada di
luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita
cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi
di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air
mata bukan karena teringat kematian ibunya. Ia menangis karena teringat akan
Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, membunuh Cia Sun! Akan
tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu.
Ia amat mencinta pangeran itu!
Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini
akan mampu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya? Inilah yang membuat
ia bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana
semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya. Ceng-eng! Lemah!! Ia memaki
diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang
menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan
ibuku tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas
dendam untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas kematian
Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas
hutangnya!
Setelah menghapus air mata dan
mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak
membawa senjata karena senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan)
terselip di phiggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya
memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara
mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena
gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih
hangat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan,
di mana terdapat perapian yang mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai
keperluan yang penting sekali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah.
Jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas.Kesepian itu membantu Eng Eng yang
sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke
belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak dihias tiara.
Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar
diikuti pandang mata.
Senjata kebutan berbulu merah
dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi,
sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam
juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap
karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran
itu. Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan
tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun.
Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat
tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan
seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti kita ketahui, biarpun
secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu
seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya, Pangeran
Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak
iparnya. Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun
Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak
dapat diangkat menjadi putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara
para pangeran yang disayang kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung
milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan
penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga
Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para
pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan
perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng
Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para
penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang
terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia
menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat
ke atas genteng dan melakukan pengintalan dari atas. Lampu-lampu di luar
genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat
terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari
atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara
keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun!
Suara yang lembut namun kuat.
Ayah dan Ibu, sekali lagi saya
mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah
Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan
Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar tentang Si
Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang berkepandaian
tinggi, berwatak gagah perkasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita,
keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal.!
Nah, mau apa lagi?! Engkau
sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan
cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi
isterimu?! terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.
Benar sekali kata Ayahmu,
anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji
dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang
apakah Si Bangau Merah itu, anakku?!
Kalau tadinya Eng Eng yang
mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang
menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini
mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar
apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu
saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan menjadi isterinya, dan
tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan
orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda.
Ia tidak mungkin menjadi
isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya
karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh
besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan
gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri.
Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya!
Maka, ia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
Sebagai seorang gadis, memang
harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya,
Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan besar
sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia
pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!!
Eng Eng merasa betapa kedua
kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak
ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu
nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut. Dia
musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan
perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
Omong kosong!! kata sang ayah.
Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang
dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu
silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta.!
Itu mungkin saja kalau saya
belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta
seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta
itu.!
Kini kedua kaki Eng Eng
menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi. Ia memejamkan mata,
menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil mengauasai jantungnya yang
melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu. Dia musuhku, aku benci padanya, dia
musuhku!! demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia
mendengarkan terus.
Kalau engkau jatuh cinta
kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan
Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu.... kata sang ibu.
Maaf, Ibu. Saya tidak mau
mempunyai selir!!
Hemmm, apa salahnya dengan
itu?! bantah ayahnya. Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai
selir. Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang malah.!
Akan tetapi saya tidak, Ayah.
Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain.!
Pangeran itu berkeras.
Aihhh, engkau keras kepala,
Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa
namanya?! tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar
kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan matanya setengah terpejam, mulutnya
tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar
olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan ia mendengarkan terus, siap
untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
Ibu, gadis yang saya cinta
itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan
namanya Hui Eng....!
Terdengar gerakan di atas
genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu suara kucing.
Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum itu
menjadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak.
Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan dan kedua tangannya dikepal.
Jahanam keparat kau!!
bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak.
Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!! Sekarang ia mengerti. Cia
Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan
perkumpulan, itu, dan ketika orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan
kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu
palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata.
Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya.
Namanya Sim Hui Eng! Keparat! pan dia masih berani berpura-pura meminangku!
Jahnam kau!! Eng Eng tidak
dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di
luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia
mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.!Brakkk....!! Daun jendela pecah
berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak
memandang kepadanya.
Kau....!! seru Cia Sun, akan
tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu tertegun karena
sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu
dengan kekasihnya. Eng Eng menggerakkan tangan kirinya dan dua batang jarum
hitam menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
Ahhhhh....!! Pemuda itu
mengeluh dan roboh terpelanting. Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng
Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang
terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang
berlubang.
Suami isteri yang tadinya
terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka
diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
Tolong....! Pangeran
diculik....!! teriak isteri Pangeran Cia Yan.
Tangkap penculik! Tangkap
penjahat!! Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba
untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga
yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia
Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang dalam kegelapan
malam.
Karena malam itu sunyi, gelap
dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Ehg untuk melarikan Cia Sun dari
rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya
terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu
dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
Bukankah engkau Eng-moi?
Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?!
Eng Eng diam saja, tidak
menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari
kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang
melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang
sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia
akan segera dikepung perajurit. Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa
yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini
bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun
teringat. Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah,
dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang
membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.
Eng-moi, engkau hendak
membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan.... bukan aku
yang melakukan. Engkau salah duga. Mari kita bicara baik-baik dan kau dengarkan
semua keteranganku.!
Mendengar ucapan ini, Eng Eng
mendapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja
tanpakesulitan. Ia harus dapat membawa pangeran inikeluar. Ia akan menyiksanya,
memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam
ibunya!!Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja. Kalau engkau
membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana. Kalau
tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi.!
Cia Sun bergidik. Dia tidak
takut mati. Biarpun dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan
kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri
adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Segitu tidak wajar, begitu
dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang
dibakar api dendam dan kebencian.
Baiklah, Eng-moi. Bebaskan
totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari
dua ekor kuda untuk kita.!
Jangan mengira engkau akan
dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!! kata Eng Eng,
kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia
membebaskan totokannya. Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita
lagi.
Kebetulan ada serombongan
penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang kuda datang dari
depan. Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Ketika mereka
telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut,
turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.
Kami membutuhkan dua ekor
kuda, berikan dua ekor yang terbaik,! kata pangeran itu. Enam orang itu
tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk
menunggang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti
dikehendaki Eng Eng.
Sejam kemudian, kota raja
geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap
penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan,
apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik,
melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam, bahkan
pangeran itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan
menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Tentu saja berita ini
membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi bingung dan ragu.
Bagaimana kalau Pangeran Cia
Sun tidak diculik melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan
marah kalau pasukan melakukan pengejaran. Karena kebingungan inilah maka
pengejaran dilakukan setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran
Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam
seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan.
Mereka tentu akan melihat
bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Karena memang sudah
merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu
memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas
kuda, menambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput. Karena
tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya,
jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas
rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata
yang bernyala-nyala. Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah-olah dapat
melihat sepasang mata yang memandang marah itu.
Malam masih amat dingin, akan
tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar
bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya
remang-remang.!Nah, katakanlah. Eng-moi, apa artinya semua ini? Benarkah
dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin
pasukan menyerbu Pao-beng-pai?!
Sejak tadi Eng Eng menahan
kemarahannya terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu
dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak! Engkau manusia paling busuk
di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!!
Silakan memaki dan mencaci,
bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan
dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata engkau membunuhku,
aku tidak akan mati penasaran.
Huh, tidak perlu engkau
merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkau lah yang
membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau
menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau
bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati
Pao-beng-pai sendiri. Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku,
engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai, membunuhi keluargaku! Engkau
sungguh keji, kejam dan curang!! Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
Hemmm, kalau begitu tepat
dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan
menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin
pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan pasukan
besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, aku tidak mengerahkan pasukan itu.
Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-beng-pai, karena
tempatnya sudah diketahui. Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di
antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi
laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu,
dan aku menyusul cepat untuk menyelamatkan engkau dan ibumu.!
Omong kosong! Rayuan gombal!
Siapa dapat percaya? Kalau bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana
mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua
jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu engkau mencoba untuk membohongi
aku lagi!! Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah
dada Cia Sun.
Bukkk!! Pukulan tangan terbuka
itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng
mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah
di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi
memukul.
Cia Sun terbatuk-batuk,
dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala
memandang. Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah
aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu.!
Kenapa.... kenapa engkau tidak
melawan? Tidak mengelak atau menangkis? bentaknya.
Untuk apa? Aku rela mati di
tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum engkau
membunuhku, dengarlah dulu keteranganku....!
Huh, keterangan bohong! Penuh
tipuan!!
Andaikata benar aku berbohong
sekalipun, kumohon padamu, dengarlah kebohonganku sebelum engkau membunuhku.
Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak, boleh
membunuhku atau tidak, terserah.!
Bohong! Kau penipu! Ah, untuk
kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!! Dan kini Eng Eng
menampar lagi, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan
tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Ketika Eng Eng hendak memberi pukulan
terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan
makam ibunya, maka ia pun menahan diri.!Biar kubersabar sampai besok. Engkau
akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!! katanya dan ia pun duduk dibawah
pohon, bersamadhi. Akan tetapi, samadhinya tidak pernah berhasil. Ia bahkan
gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa
pemuda itu belum tewas.
Malam terganti pagi. Pagi yang
amat indah. Sinar matahari pagi agaknya mengusir semua kegelapan, kegelapah
alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati. Sinar matahari mendatangkan
kehidupan. Burung-burung berkicauan dan sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja.
Ayam jantan berkeruyuk saling saut. Semua nampak cerah gembira, bahkan
daun-daun nampak berseri. Seluruh mahluk seolah-olah menyambut munculnya sinar
kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta, melalui
suara, melalui keharuman, melalui keindahan. Keharuman rumput dan tanah basah,
daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.
Eng Eng juga terpengaruh oleh
semua keindahan itu. Hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa
lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat
segalanya dan ia pun bangkit menghampiri.
Cia Sun sudah siuman, namun
seluruh tubuhnya terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit
duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau
menusuk kalbu bagi Eng Eng.
Eng-moi, kenapa kepalang
tanggung? Kenapa engkau tidak membunuh aku semalam?! tanya Cia Sun.
Eng Eng hampir tidak percaya.
Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan, bukan
sikap yang terdorong rasa takut, melainkan sikap yang demikian wajar. Masih
tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas
nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, ia sudah menyiksanya sampai
pingsan, nyaris membunuhnya!
Aku akan membunuhmu di depan
makam ibuku!! katanya singkat.
Eng-moi, arwah ibumu akan
berduka kalau engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan
berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku
Bohong!!!
Eng-moi, untuk apa aku
berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di
tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di
kemudian hari, aku hanya ingin agar engkau mengetahui dengan betul siapa
sebenarnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar mengenai dirimu, Eng-moi,
dan aku akan menceritakan semua, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang
semua akan kedengaran amat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan menganggap aku
berbohong, akan tetapi demi Thian, aku tidak berbohong.!
Agaknya sinar matahari memang
berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Bng Eng. Gadis itu
merasa agak tenang dan ia dapat melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya
mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak,
pemuda itu memang berhak untuk membela diri. Dan melihat wajah yang tampan dan
yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparannya
semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.
Bicaralah, aku tetap tidak
akan percaya padamu.! katanya dengan sikap ketus yangdipaksakan. Ia bahkan
tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu, karena ia merasa tidak
enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya
pria di dunia ini yang dicintanya.Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak
akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, hanya dia akan
merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa
bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang
jahat.
Eng-moi, setelah engkau
membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba
di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu
Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul
pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu.
Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke
perkampungan Pao-beng-pai....!
Tanpa penunjuk jalan, tidak
mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak
jebakan rahasia!! Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah
pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang
menjadi penunjuk jalan.
Dugaanmu memang benar,
Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari para perwira yang memimpin
penyerbuan itu. Ada memang penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat
menyerbu dengan mudah....!
Engkau lah penunjuk jalan
itu!! bentak Eng Eng.
Cia Sun tersenyum dan
menggeleng kepalanya. Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah
seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan....!
Bohong tidak mungkin....!!
teriak Eng Eng, akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan
hatinya yang menjadi bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok kepada
Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak
mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat. Dan pula, Sui Lan tentu saja mengenal
semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan
mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi
penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan menyerbu naik dengan mudah.
Terserah kepadamu, Eng-moi,
untuk percaya atau tidak. Aku hanya mendengar keterangan para perwira. Ketika
pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang
kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Ketika pasukan menyerbu,
Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu sudah terdesak. Gadis
yang mengkhianati gurunya itu lalu menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan
mudah ia roboh dan tewas di tangan gurunya sendiri!!
Tapi ibuku....! Tentu ia
terbunuh oleh pasukan pemerintah!! kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang
diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masukakal. Ia sudah melihat mayat Sui
Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya
sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!
Dengan sikap tenang Cia Sun
menggeleng kepala, kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan alisnya,
mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu. Sudah kuceritakan tadi, ketika
pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin mencegah
agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana,
kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu roboh tertendang ayahmu.
Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan
memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku lalu memondong
tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu
ketika berkelahi melawan ayahmu.! Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati
wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap
ceritanya.
Terus, lalu bagaimang? Eng Eng
mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan
kebenciannya terhadap Cia Sun.
Kubawa ibumu ke dalam rumah
dan kurebahkan di bangku panjang. Kucoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia.
Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan
akhirnya ia meninggal dunia dalam rangkulanku.!
Ibuku...., bagaimana aku dapat
mempercayaimu? Engkau berbohong. Ketika engkau merayuku, engkau hanya
pura-pura....!
Tidak, Eng-moi. Langit dan
Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita
bertemu, sampai sekarang....!
Bohong! Pendusta!! Eng Eng
marah kembali karena ia teringat akan percakapan antara pemuda ini dan orang
tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah
mencinta seorang gadis lain.
Eng-moi, kenapa engkau tidak
percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?! Cia Sun bertanya dan dia merasa
kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari
jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Namun,
dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Dia memandang gadis itu
dengan sinar mata penuh permohonan.
Eng Eng melompat berdiri dan
bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata membakar.
Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah
hatinya.
Bagaimana aku dapat percaya
omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang gadis lain dan
masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?!
Biarpun kepalanya sudah pening
sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan
berkata dengan suara mengandung penasaran. Sekali ini, engkau yang berbohong,
Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau
seorang!!
!Pendusta besar! Kedua
telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah ibumu bahwa engkau mencinta
gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani!
Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!!
Cia Sun mencoba untuk
tersenyum,akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya,membuat
kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali. Aku tidak
berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, sejak pertama
kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng
adalah engkau sendiri, Eng-moi.... ahhh....! Cia Sun tidak dapat menahan lagi
rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.
Dia tidak tahu betapa Eng Eng
memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng
mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu. Ia bernama Sim Hui Eng? Apa
pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Ia harus tahu apa
artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta
gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng
adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini? Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah
Siangkoan Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri
kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan,
lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia
Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan
pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah
kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she
Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh
pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.
Eng Eng berlutut di dekat
tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu dekat dengan
pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah
yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu
menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun
yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu. Pil itu sukar ditelan
maka terpaksa ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu
sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah,
membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sanasini,
mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya
sebagai bekal. Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu,
menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka sebelah dalam
tubuhnya.
Akhirnya Cia Sun membuka
matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya dan
menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan
yang mengeluarkan hawa panas itu.
Ah, Eng-moi, engkau masih mau
mengobati dan menolongku? Terima kasih....! katanya lembut dan wajah yang kini
hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum! Senyum
itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya,
kiranya tidak akan sesakit itu hatinya. Sejak ditangkapnya tadi, sampai
disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut,
pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
Aku mengobatimu hanya agar
engkau tidak mampus sekarang,! katanya, suaranya diketus-ketuskan. Hayo
katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng!
Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!!
Sejak tadi aku tidak pernah
mempermainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar
mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi. Sebelum
ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia menceritakan suatu rahasia yang
amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu dan mungkin engkau
semakin tidak percaya kepadaku. Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku
tentang pengakuan ibumu?!
Eng Eng merasa betapa
jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini
tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah
menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat
darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.
Ceritakan semua!! perintahnya.
Rahasia yang dibuka bibi Lauw
Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama, engkau bukanlah
anak kandung Siangkoan Kok ketua Paobeng-pai!! Cia Sun mengira bahwa gadis itu
akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikit
pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum
mengejek.
Aku sudah tahu. Dia adalah
ayah tiriku.! katanya pendek.
Cia Sun menggeleng kepalanya.
Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu.!
Eng Eng terbelalak. Apa....
apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika
ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?!
Inilah rahasia besar yang
dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah
dengan Siangkoan Kok, ia membawa seorang anak kecil dian anak itu adalah
engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukanlah anak kandung bibi Lauw Cu Si!!
Ehhh....!!??! Eng Eng berseru
setengah menjerit. Apa. apa maksudmu....!!?! Tangan gadis itu menangkap lengan
Cia Sun dan mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin
pucat.
Aku mendengar dari Nyonya
Siangkoan Kok yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa ia akan
tewas, maka ia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya,
engkau telah ia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian
diaku sebagai anaknya sendiri.!
Tapi.... tidak mungkin! Apa
buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?!
Sabar dan tenanglah, Eng-moi.
Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang
bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat
kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?!
Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu
saja ia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu. Apa hubungannya dia
dengan ceritamu itu?!
Eng-moi, ingatkah engkau akan
pengakuan Yo-toako bahwa dia hendak mencari seorang gadis yang diculik orang
sejak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk
mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio
Sui Lan untuk memancingnya ke dalam gua kemudian menjebak dan menangkapnya.
Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkau lah gadis
yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang
selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri.!
Eng Eng masih terbelalak dan
seperti berubah menjadi patung. Ia tentu saja masih diombang-ambingkan
kebimbangan. Tapi.... tapi apa buktinya bahwa.... ibuku meninggalkan pesan itu
kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng
itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?!
Cia Sun menghela napas
panjang. Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si
membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun
saksinya. Dan ia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan
tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang
diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang
hilang diculik itu, orang tua anak itu memberitahukan kepadanya adanya dua
tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak
lahir. Kalau aku katakan tanda-tanda itu. dan kemudian ternyata cocok dengan
keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kau
siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?!
Tentu saja Eng Eng menjadi
bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran
itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia
telah menyiksanya seperti itu!
Katakanlah, tanda-tanda apa
yang ada pada anak yang diculik itu?! tanyanya, suaranya jelas terdengar
gemetar.
Yo-toako hanya berpegang
kepada, tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka
tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang
selalu tertutup....!
Katakan cepat, tanda-tanda apa
itu?! tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.
Pertama, anak itu mempunyai
sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah
noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya.!
Eng Eng meloncat ke belakang,
terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil. Melihat ini, Cia Sun menguatkan
tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.
Kenapa, Eng-moi.... dan be....
benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu....? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui
Eng?! Suara pangeran itu juga gemetar karena dia meresa tegang, khawatir
kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak
mampu bicara, mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia
bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, Bagaimana.... perasaanmu
terhadap aku kalau aku tidak memiliki tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui
Eng?!
Eng-moi, masihkah engkau
meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau
adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku,
satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik
engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapapun juga. Aku tetap
cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekalipun. Tapi.... untuk
meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?!
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan
diri berlutut dan menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan
khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu. Eng-moi, kenapa,
Eng-moi....? Ah, maafkan kalau aku membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik
aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi daripada melihat engkau
bersedih seperti ini, Eng-moi.!
Ucapan itu membuat Eng Eng
semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatihya seperti ditusuk-tusuk melihat keadaan
kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut. Eng-moi,
ada apakah....!
Akhirnya Eng Eng dapat bicara
tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui
celah-celah jari kedua tangannya. Kau.... kau lihat sendiri.... apakah.... ada
tanda-tanda itu....!
Ia lalu menyingkap baju di
bagian pundak kiri dan melepas sepatu dan kaos kakinya yang kanan. Cia Sun
memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak
sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih
kemerahan itu nampak pula noda merah.
Kau.... kau benar-benar Sim
Hui Eng....!! serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah
kaki Cia Sun, Pangeran...., ampunkan aku.... aku telah berbuat kejam dan tidak
adil kepadamu.... aku.... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah
aku, siksalah aku, bunuhlah aku.... huuu-huhuuuuu....!! Gadis itu tersedu-sedu,
menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah kepada diri sendiri dan
amat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah
itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga
dia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya. Pangeran
ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh dan ia
telah menyiksanya dengan katakata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu
pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang
dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat
merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya
ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tidak akan dilepaskannya lagi
selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam
rambut itu. Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan, dan. Eng
Eng beberapa kali mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas
tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati
mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia
membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup
engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami
guncangan hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal
menyongsong sinar kebahagiaan.!
Pangeran....!
Cia Sun menghentikan kata-kata
itu dengan senThian bibirnya pada bibir Eng Eng. Hushhh...., kalau kau
menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula
dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku,
engkau kekasihku, ingat?!
Eng Eng tersipu, akan tetapi
tersenyum penuh bahagia. Kakanda.... Cia Sun....! Betapa merdunya panggilan
itu.
Adinda Hui Eng....! Sang
pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu
mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
Kakanda Pangeran, dengan hati
berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menanti engkau memberitahu kepadaku,
siapa sebenarnya orang tuaku? Ayah ibuku masih hidup?!
Engkau akan terkejut,
berbahagia dan bangga sekali kalau mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Ketika
engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta
padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah ibumu, kekagumanku
kepadamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu
bernama Can Bi Lan eh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?!
Mendengar disebutnya dua nama
itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari
rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Ayahku.... Pendekar Suling
Naga dan ibuku Si Setan Kecil....! Aihhhhh.... Kakanda.... celakalah aku sekali
ini....!
Cia Sun cepat bangkit dan
merangkul gadis itu. Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah
sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti
dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!!
Aih, engkau tidak tahu, Koko!
Ah, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah
mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan
menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can
Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku, akan tetapi aku, si tinggi
hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling
Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap angkuh dan
menghina tiga keluarga besar dan ternyata Pendekar Suling Naga adalah ayahnya
sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?! Dalam rangkulan
Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
Jangan risaukan hal itu,
Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu, engkau mewakili
Pao-beng-pai dan engkau tentu menganggap para pendekar itu sebagai musuh.
Apalagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena ketika itu engkau menganggap
bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau
mendapatkan tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu
itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau
melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu.!
Gadis itu menatap wajah Cia
Sun. Eh, kenapa begitu?!
Aku sudah melakukan
penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia
adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia
seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun
Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk
membalas dendam kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai
pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadukan engkau
melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya
bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri.!
Akan tetapi, Koko. Kalau orang
tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami
isteri pendekar yang sakti, kenapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula
mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?!
Pertanyaan seperti itu juga
kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut
keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan
puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka
kembali. Namun semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya, si penculik, yaitu bibi
Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali telah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan
Kok dan tak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik. Semua
orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw
Cu Si.!
Eng Eng mengangguk-angguk,
semua rasa penasaran hilang, akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya.
Kalau saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan
petani miskin sekalipun, ia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk
segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang aseli. Akan tetapi, Pendekar
Suling Naga! Semua pengalamannya ketika ia menantang tiga keluarga besar itu
terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu
bukan main.
Koko, aku... aku takut untuk
bertemu dengan mereka, aku takut dan malu....!
Cia Sun merangkul pundaknya,
dan mengajaknya menghampiri kuda mereka.
Matahari telah naik tinggi dan
di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
Eng-moi, buang saja semua
perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tidak pernah berhenti memikirkanmu,
bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka akan
berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali, dan tentang
kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir,
akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung
bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tidak akan ada yang
menyesalkan tindakanmu dahulu.!
Aih, aku merasa ngeri bertemu
mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada
mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku.... aku tidak mau
membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka
tercemar karena mempunyai anak seperti aku ....!
Hushhhhh, jangan berkata
begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?!
Apakah hal itu masih perlu
ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun
karena terdorong cintaku padamu, karena panasnya hatiku mendengar engkau
mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko.!
Bagus, dan karena kita saling
mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?!
Gadis itu mengangguk. Sebagai
puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia
tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, Tentu saja aku
mau,koko!!
Nah, kalau begitu, karena aku
seorang pangeran yang tidak mungkin meninggalkan tata-susila dan adat-istiadat,
aku akan melamarmu dengan terhormat dan baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus
mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke
rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke
kota raja dan aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat.!
Gadis itu mengerutkan alisnya,
akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia
pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka
yang sedang makan rumput. Tak lama kemudian, sepasang orang muda yang
berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Karena Cia Sun merupakan
seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai
bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang
perjalanan dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan,
mendapatkan tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan
mendapatkan penukaran kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan
bagi Eng Eng.