Setelah Sia-tiauw-eng-hiong,
lalu Sin-tiauw-hiap-lu maka kisah jago-jago luar biasa seperti Yo Ko dan yang
lain-lain tertunda karena pembuatan Kisah Membunuh Naga. Walaupun Kisah
Membunuh Naga masih bisa dianggap sebagai lanjutan Sin-tiauw-hiap-lu, namun kisah
itu dapat dibilang berdiri sendiri, karena di dalam Kisah Membunuh Naga hanya
menyinggung sebagian kecil dari Kak Wan Sian-su (dari Siauw-lim-sie), Kwee
Siang (puteri Kwee Ceng - Oey Yong, yang akhirnya menjadi pendiri partai
perguruan silat Go-bie-pay), dan Thio Kun Po (pendiri Bu-tong-pay yang akhirnya
mengganti nama menjadi Thio Sam Hong). Kemudian setelah tertunda pula oleh
dibuatnya Pendekar-pendekar Negeri Tay-li maka kini kami melanjutkan pula
Sin-tiauw-hiap-lu dengan judul Sin-tiauw-thian-lam.
Sebagai lanjutan
Sin-tiauw-hiap-lu, maka cerita Sin-tiauw-thian-lam menceritakan seluruh
kegiatan Yo Ko bersama-sama dengan semua jago-jago yang pernah pembaca kenal di
dalam Sin-tiauw-hiap-lu, serta dengan munculnya jago-jago baru yang luar biasa,
disamping yang akan memegang peran adalah putera Sin-tiauw Tayhiap dengan Siauw
Liong Lie, yang akan terlibat oleh persoalan dan urusan-urusan luar biasa.
01.01. Nyawa Di Ujung Tanduk
Angin Lam-ciu (Selatan)
mendesir lembut,
Bunga rontok keindahan bumi,
Halimun lembut ringan sejuk,
Mega tersenyum memandang gadis
cantik,
Baju merah, ikat pinggang
kuning rambut disanggul,
Sepatu rumput tipis membungkus
kaki yang kecil mungil,
Tali khim (kecapi) tergetar
oleh jari-jari lentik,
Suara merdu mengiringi kicau burung,
Senyum gadis cantik mekarnya
bunga,
Ciu-long menangis haru,
Sung-lie tersenyum bahagia,
Dewa-dewi di selatan.
Bahagia dan abadi.....
Syair di atas merupakan hasil
sastra tulisan pujangga terkenal di awal pemerintahan dinasti Song, yang
namanya dikagumi oleh rakyat Tiong-goan karena keakhliannya untuk melukiskan
suasana dan peristiwa dengan penuh kelembutan, disamping terdapat selipan
nada-nada yang mengandung kegagahan dan keabadian. Pujangga itu berasal dari
keturunan keluarga Hoan dan bernama Lie Khie meninggal tepat dihari ulang
tahunnya yang ketujuhpuluh empat.
Sejak peristiwa terbunuhnya
Kaisar Mangu yang bergelar Hian Cong oleh timpukan batu besar kepalan tangan
oleh Yo Ko dengan mempergunakan ilmu menimpuk Tan-cie-sin-thong menyebabkan
Kublai memimpin mundur tentaranya ke negerinya. Dengan mundurnya tentara perang
Mongolia itu, bebaslah kota Hap-ciu, Cung-king dan Siang-yang.
Telah tercatat dalam sejarah
betapa Kaisar Hian Cong mengepung kota Siang-yang selama puluhan tahun tanpa
berhasil untuk merebut kota tersebut, walaupun telah terjadi pertempuran yang
hebat sekali di muka kota Siang-yang yang dimulai pengepungannya oleh putera
sulung Kaisar Yong Cong (Tuli) dibulan dua, tahun ke-9, phiacu. Penyerangan
dilancarkan ke berbagai pintu kota mendaki tembok dan membunuh banyak tentara
kerajaan Song. Walaupun diserang berulang-ulang, kota tersebut tidak dapat
dirampas. Di tahun kui-hay, di saat itulah Kaisar Mangu (Hian Cong) terbunuh
oleh Yo Ko, dan para menteri maupun Kublai telah membawa jenasah Mangu pulang
ke utara, maka kota Siang-yang bebas dari pengepungan pasukan tentara perang
Mongolia.
Rakyat menyelenggarakan pesta
besar atas kemenangan tersebut, dengan nama Yo Ko yang disanjung-sanjung
sebagai Dewa Pembebasan yang maha sakti. Tetapi Yo Ko menampik segala
penghormatan seperti itu, dengan orang-orang gagah akhirnya Yo Ko pamitan
kepada Lu Boan Hoan, dan keberangkatan mereka itu dirahasiakan oleh Lu Boan
Hoan atas permintaan pendekar gagah tersebut, karena rombongan orang-orang
gagah tersebut tidak ingin diganggu oleh rakyat dan pasukan tentara yang pasti
akan menimbulkan kerewelan oleh sanjungan-sanjungan mereka. Dan dengan bebasnya
kota Siang-yang, suasana aman dan tenang kembali, rakyat bisa hidup layak dan
wajar, walaupun banyak puing-puing yang berserakan akibat dari pertempuran yang
pernah terjadi selama puluhan tahun itu.
Di saat rakyat berhasil hidup
tenteram maka di saat seperti itulah banyak syair-syair bernada lembut dan jauh
dari nada-nada kekerasan maupun peperangan, telah bermunculan. Dan yang
terbanyak syair-syair lembut itu, adalah buah kalam dari Hoan Lie Khie,
pujangga besar itu. Dan seperti yang terdapat dalam syair yang ditulis oleh
pujangga besar itu, „Ciu-long menangis haru, Sung-lie tersenyum bahagia.
Dewa-dewi di Selatan, bahagia dan abadi”, maka rakyat Siang-yang pun
menghendaki kemenangan yang telah diperoleh tentara kerajaan Song itu bahagia
tenteram dan kekal abadi.
◄Y►
Entah darimana asalnya, di
luar kampung Wu-cuan-cung tampak seorang tojin (imam) yang tengah duduk dibawah
sebatang pohon yang tumbuh rindang di sebelah kanan dari pintu kampung
tersebut. Sebetulnya, tidaklah luar biasa dengan adanya imam itu di tempat
tersebut, karena memang biasa jika seorang yang tengah melakukan perjalanan dan
beristirahat di tempat-tempat sejuk. Namun yang agak luar biasa adalah keadaan
imam itu.
Rambutnyanya yang digantung
merupakan sebuah sanggul kecil berbentuk bulat itu, tidak teratur rapi,
rambutnyapun tampak agak kusut tidak karuan. Yang luar biasa adalah wajahnya
imam ini tidak memelihara jenggot, juga tidak memelihara kumis, dari kulit
wajahnya yang sudah keriput itu, mungkin dia berusia empatpuluh tahun lebih,
raut wajahnya buruk sekali, karena imam tersebut memiliki sepasang mata yang
bulat dan bibir yang lebar. Giginya tampak tumbuh tidak rata, disamping itu
agak menarik perhatian orang yang melihatnya adalah kulit muka imam itu kuning
pucat dan dingin tidak memantulkan perasaan apapun juga. Matanya itu yang
menatap lurus ke depan tidak bersinar, bagaikan mata ikan yang telah mati.
Jubah pendeta itu juga telah
buruk sekali, walaupun belum ada yang robek atau pecah, namun jubah itu
tampaknya telah berusia sekitar tiga atau empat tahun dan jarang sekali dicuci.
Hud-tim yang tercekal di tangan kirinya, tampak sudah agak kusut bulu-bulunya
dan sudah banyak yang rontok.
Diantara desir angin yang
sejuk, terdengar imam itu menggumam perlahan sekali, „Telah sepuluh jiwa.....
telah sepuluh jiwa..... dan yang kesebelas akan tiba.....”
Setiap kali mengucapkan
kata-katanya seperti itu bibirnya gemetar, bagaikan ada sesuatu yang
ditakutinya, dan matanya yang tidak bersinar seperti mata ikan itu
bergerak-gerak tanpa arah.
Dari arah pintu kampung tampak
dua orang anak lelaki kecil yang tengah main kejar-kejaran, suara mereka lantang
dan nyaring sekali diselingi oleh suara tawa gelak diantara keduanya. Tetapi
imam itu tidak menoleh sedikitpun juga. Dan ketika kedua anak lelaki yang
masing-masing berusia diantara delapan atau sembilan tahun itu melihat imam
tersebut. Mereka jadi tertarik, keduanya berhenti berlari dan menga¬wasi si
imam dengan perasaan heran. Semakin lama, selangkah demi selangkah, mereka
telah mendekati, dan akhirnya jarak mereka dengan imam itu hanya terpisah
kurang lebih satu tombak.
„Totiang.....” panggil salah seorang
anak itu. „Apakah totiang sudah makan?”
Imam itu melirik sejenak, dia
menggeleng.
„Apakah totiang mau memakan
kuwe keras ini?” tanya anak itu lagi sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan
sebungkah kuwe kering, yang diangsurkan kepada imam tersebut.
Imam itu tidak menyahuti, dia
menyambut pemberian itu, lalu dimakannya. Dia pun tidak mengucapkan terima
kasihnya. Sekejap mata saja kuwe itu telah dimakannya habis.
Kedua anak lelaki kecil itu
saling tatap satu dengan yang lainnya, dan yang tadi memberikan kuwe itu kepada
si imam telah, bertanya lagi.
„Kalau totiang masih lapar,
kami masih memiliki satu lagi.....” kata-kata itu disusul dengan dirogoh saku
kawannya, dan mengeluarkan sebungkah kuwe kering lainnya. Dan kuwe kering itu
telah diberikan kepada imam itu lagi.
Imam itu telah menyambuti, dan
seperti tadi dia telah memakan kuwe kering itu tanpa mengucapkan sepatah
katapun juga. Tetapi baru memakan setengah kuwe tiba-tiba mukanya telah berubah
pucat, tubuhnya agak menggigil. Sisa kuwe yang separuh di tangannya itu telah
dilemparkannya ke samping.
„Akhh, dia telah datang
menyusul.....!” menggumam imam itu.
Kedua anak lelaki itu tidak
mengetahui apa yang dimaksud si imam hanya merasa sayang kuwe yang masih
separuh itu telah dibuang begitu saja.
Si imam telah berdiri dengan
cepat, tetapi sepasang kakinya agak menggigil gemetar.
„Anak-anak, engkau baik
sekali, kalau memang aku masih ada umur nanti aku akan mencari kalian untuk
menyatakan terima kasihku.” Dan imam itu telah mengibaskan hud-timnya ke
jubahnya yang dipenuhi runtuhan kuwe kering, katanya lagi seperti kepada
dirinya sendiri, „Tetapi harapan hidup tipis sekali mungkin akulah yang
kesebelas.....”
Dan suaranya itu belum lagi
habis diucapkan maka di saat itu dari arah telah terdengar suara siulan yang
panjang dan menusuk pendengaran. Suara siulan yang panjang itu berasal dari
luar perkampungan di sebelah barat dari arah tegalan yang luas.
Kedua anak itu jadi heran
bukan main mereka telah menoleh ke arah datangnya suara siulan itu, tetapi
mereka tidak melihat siapapun juga.
Si imam telah berdiri tegak,
rupanya dia telah berhasil menguasai goncangan hatinya. Dengan mata yang
bersinar mati itu, dia telah memandang jauh ke tengah tegalan.
Suara siulan itu terdengar
semakin keras dan dalam sekejap mata, dari arah tengah tegalan itu telah
berlari-lari seperti bayangan sesosok tubuh, dan hanya beberapa detik saja
sudah berada dihadapan si imam. Gerakan orang yang baru datang itu sangat
cepat, karena di saat dia mengeluarkan suara siulan yang panjang tadi, tubuhnya
belum tampak dan hanya diseling oleh sebuah siulan lagi, dia sudah berada
dihadapan si imam. Dengan sendirinya, hal itu membuktikan orang yang baru
datang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna sekali.
Kedua anak lelaki kecil
penduduk kampung itu melihat, orang yang baru datang itu seorang gadis yang
memiliki raut wajah sangat cantik memakai baju warna hijau dengan ikat pinggang
merah dan rambut disanggul tinggi. Di tangan gadis itu tercekal sepotong kayu
panjang, yang ujungnya telah hitam seperti terbakar.
„Kui-im Cinjin! Akhirnya
engkau berhasil kucari!” kata gadis itu dengan suara yang nyaring.
Muka imam itu tampak berobah
muram, tampaknya disamping ketakutan, juga gusar dan penasaran, tengah mengaduk
menjadi satu di dalam hatinya.
„San-ciam Liehiap Bong Cun
Lie!” kata si imam akhirnya dengar suara berputus asa. „Aku memang menyadari
tidak mungkin lolos dari tanganmu. Kau terlalu mendesak, pinto memang tolol dan
tidak memiliki kepandaian apa-apa, tetapi jika demikian, baiklah, silahkan…..
silahkan maju, mari kita mengadu jiwa!”
Si gadis yang dipanggil dengan
sebutan San-ciam Liehiap (Pendekar wanita Penyebar Jarum) itu telah tertawa,
merdu sekali suara tertawanya itu, enak untuk didengar.
„Kui-im Cinjin,” katanya kemudian
sambil memperlihatkan sikap yang bersungguh-sungguh. „Memang selama ini kalian
pihak Ngo-ciat-kauw (perkumpulan Lima Penjahat) ingin membela diri dengan
segala macam alasan yang engkau miliki, namun sekarang, walaupun bagaimana
engkau seperti yang lain-lainnya tak mungkin terlolos dari tanganku. Kematian
Hoan-lian Taysu harus dipertanggung jawabkan oleh kalian.”
Muka Kui-im Cinjin jadi
berobah ketika mendengar perkataan tersebut, dia rupanya sudah tidak dapat
menahan kemurkaan yang bergolak dihatinya, mukanya yang memang telah kuning
pucat itu jadi semakin pucat dan kehijau-hijauan.
„Baiklah, pinto ingin mengadu
jiwa dengan kau, perempuan siluman!” bentak imam itu, dan tanpa membuang waktu
lagi, hud-tim di tangan kirinya telah bergerak menuju ke arah pinggang si
gadis. Hud-tim merupakan senjata yang dapat dipergunakan oleh jago yang telah
memiliki lwekang sempurna, karena bulu-bulu hud-tim itu dapat dibuat keras
seperti godam kalau bulu-bulu itu bergabung menjadi satu, dan dapat
dipergunakan juga untuk menotok, disamping itu bisa dibuyarkan sehingga
bulu-bulu hud-tim itu me¬nyambar sekaligus ke perbagai jalan darah di sekujur
tubuh lawan yang diserang.
Tetapi gadis itu, Bong Cun
Lie, rupanya juga memang hebat, dia melihat datangnya sambaran hud-tim si imam
ke arah pinggangnya, yang akan menotok jalan darah Sun-kie-hiat nya, cepat luar
biasa dan mudah sekali, dia mengelakkan dengan menggerakkan pinggulnya sedikit
saja, di susul dengan kayu yang ada di tangannya itu terayun akan menggempur
batok kepala dari imam tersebut.
Kui-im Cinjin mengeluarkan
seruan tertahan, cepat sekali dia membatalkan serangannya dengan menarik pulang
hud-timnya dan memiringkan kepalanya berkelit dari samberan kayu si gadis.
Tetapi serangan yang dilancarkan oleh San-ciam Liehiap Bong Cun Lie benar-benar
luar biasa, karena di saat si imam berkelit dari serangannya jatuh disasaran
yang kosong, cepat bukan main dia telah memutar tangannya, sehingga kayu di
tangannya ikut berputar, dan berbalik arah menyambar ke arah dada imam itu.
Serangan serupa itu memang
merupakan serangan yang sangat luar biasa, tidak mudah dilakukan oleh
orang-orang yang belum memiliki kepandaian sempurna. Tetapi si gadis yang
rupanya telah memiliki ilmu meringankan tubuh dan lwekang yang sempurna dapat
melakukan serangan seperti itu dengan baik sekali.
Tentu saja si imam tidak
menduga sama sekali bahwa dirinya akan diserang begitu rupa, maka dia telah
merasakan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. Mati-matian imam
itu telah berusaha mengelak serangan tersebut, karena imam itu menyadarinya
jika sampai dirinya terserang, niscaya tulang iganya akan menjadi patah dan
remuk. Dengan mempergunakan „Tiat-pian-ko” (Jembatan Besi), dia telah
merubuhkan dirinya ke belakang, dan kedua kakinya tetap menempel di tanah,
tetapi tubuhnya telentang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah. Kayu si
gadis telah lewat dua dim dari dadanya dan keringat dingin mengucur deras dari
si imam dan dia cepat-cepat melompat berdiri begitu dirinya berhasil lolos dari
serangan dahsyat tersebut.
Tetapi Bong Cun Lie tidak
bekerja hanya sampai disitu saja, ketika melihat lawannya berhasil mengelakkan
serangannya itu dengan caranya yang manis, maka si gadis telah mengeluarkan
suara dengusan mengejek, dan dia telah melancarkan kembali serangan dengan
mempergunakan kayu di tangan kanannya itu, disusul oleh seruan:
„Terimalah ini……!”
Imam itu baru saja berhasil
berdiri tetap, atau serangan si gadis she Bong telah tiba lagi, sehingga dia
mengeluarkan seruan putus asa. Tidak ada harapan lagi baginya untuk mengelakkan
diri dari segala serangan kayu si gadis yang menyambar ke arah dada sebelah
kirinya. Berarti jika dia tergempur oleh serangan yang disertai oleh tenaga
dalam yang kuat seperti itu jika tidak binasa sedikitnya dia akan bercacad.
Karena terlalu terdesak demikian rupa, akhirnya tojin itu menjadi nekad. Dia
tahu-tahu telah memutar hud-timnya dengan gerakan yang cepat ke arah atas,
maksudnya mengibas ke arah kayu Bong Cun Lie, menyusul mana tangan kanannya
tahu-tahu akan mencengkeram dada sebelah kiri si gadis, yang akan dicengkeram
keras dari kuat jalan darah Pai-sie-hiatnya. Kalau memang jalan darah
Pai-sie-hiat di dada kiri si gadis berhasil dicengkeram, walaupun si gadis
memiliki kepandaian sepuluh kali lebih tinggi dari sekarang jelas, gadis itu
akan rubuh binasa.
Si gadis telah mendengus
ketika melihat cara menyerang imam itu. Dia berkelit ke samping kanan dengan
gerakan mundur ke belakang beberapa dim, sehingga berhasil mengelakkan serangan
si imam.
„Serangan yang kejam!” dia
berseru dengan suara yang dingin. „Dan, rasakanlah jarumku ini!”
Si gadis telah membarengi
suaranya itu dengan menggerakkan tangan kirinya, maka di saat itulah tampak
empat sinar emas, meluncur ke arah empat jalan darah terpenting di tubuh Kui-im
Cinjin, yaitu Bong-su-hiat, Tiang-lie-hiat, Kwan-lu-hiat dan Tie-pie-hiat. Dua
jalan darah yang pertama terletak di bagian ketiak kanan, sedangkan kedua jalan
darah lainnya terletak masing-masing di pinggang kiri dan kanan.
Si gadis juga bukan hanya menyerang
dengan jarumnya itu, dia telah membarengi dengan serampangan kayunya ke arah
batok kepala imam itu.
„Ahh!” berseru imam itu putus
asa. Umpama kata dia memiliki kepandaian lima kali lebih hebat dari sekarang
tentu dia tidak mungkin mengelakkan diri dari serangan Bong Cun Lie, karena
serangan yang dilancarkan oleh si gadis she Bong itu benar-benar telah menutup
jalan mundurnya imam itu. Untuk menangkis, Kui-im Cinjin juga sudah tidak
memiliki kesempatan.
„Tidak kusangka akhirnya aku
harus binasa dengan cara demikian penasaran!” mengeluh imam itu, dan dengan
putus asa dia memejamkan matanya, dia pasrah untuk menerima kematiannya, di
saat mana tongkat kayu tengah meluncur, akan menghantam batok kepalanya,
sedangkan keempat jarum emas yang dilontarkan San-ciam Liehiap tengah menyambar
ke arah empat jalan darah terpenting di tubuhnya.
Kedua anak lelaki kecil itu
yang berdiri di pinggiran hanya menyaksikan tanpa mengetahui bahwa si imam
telah terancam kematian. Keduanya hanya heran, tadi si imam dan si gadis telah
bergerak-gerak cepat sekali bagaikan dua sosok bayangan, sehingga mereka jadi
bengong menyaksikan dengan mata berkunang-kunang, mau mereka duga bahwa di saat
itu mereka tengah menyaksikan tarian seorang dewa dan dewi yang turun dari
kahyangan……
San-ciam Liehiap Bong Cun Lie
melihat seranganya akan mencapai sasarannya, dia jadi girang bukan main,
terlebih lagi dia melihat imam itu telah memejamkan matanya rapat-rapat. Justru
dia telah menambahkan tenaga serangannya, sehingga jika kayu di tangannya itu
berhasil mencapai sasaran, tentu kepala imam itu akan hancur.
„Sungguh serangan yang baik
sekali.....” tiba-tiba terdengar suara seruan nyaring yang terdengar di saat
itu, disusul oleh suara „tring, tring, tring tring”, empat kali, lalu disusul
terpentalnya sesosok tubuh.
Semua peristiwa itu terjadi
hanya sekejap mata, si gadis she Bong itu jadi terkejut bukan main, karena
tahu-tahu si imam telah lenyap dari hadapannya sehingga kayunya jatuh di tempat
kosong. Dan begitu juga keempat batang jarum emasnya itu telah runtuh di atas
tanah.
Dengan gusar sekali, si gadis
telah menoleh ke sampingnya, dilihatnya Kui-im Cinjin tengah merayap berdiri,
karena tadi di saat jiwanya tengah terancam bahaya kematian imam itu merasakan
menyambarnya angin serangan yang kuat sekali sehingga tubuhnya terpental dan
terpelanting di tanah, yang membuat dia terhindar dari sambaran kayu si gadis
she Bong itu, dan terhindar dari keempat batang jarum maut lawannya.
Apa yang terjadi itu
benar-benar di luar dugaan Kui-im Cinjin maupun Bong Cun Lie. Begitu pula kedua
anak lelaki yang sempat menyaksikan pertempuran itu diliputi keheranan yang
mencengangkan mereka, sebab mereka melihat tahu-tahu si imam telah terlempar
dan jatuh bergulingan di tanah. Sungguh peristiwa yang membuat anak itu jadi
memandang tertegun tanpa mengerti mengapa si imam telah membuang diri seperti
itu.
Dengan sorot mata yang tajam,
gadis itu telah menoleh ke sampingnya. Kini baru dilihatnya seorang pemuda
berpakaian sebagai siucai (pelajar) warna putih, dengan kopiah hitam dan di
tangannya tercekal kipas terbuat dari sutera, tengah duduk di tanah dengan
sikap yang manis, karena selain wajahnya tampan dan senyumannya manis, matanya
bersinar cemerlang.
„Jangan menurunkan
kematian..... dosa besar apakah yang telah dilakukan totiang itu sehingga nona
demikian ganas ingin mengambil jiwanya?” sapa pemuda itu, manis cara menegur
gadis itu. Dia bertanya sambil menggerak-gerakkan kipasnya dan kepalanya ke
kiri dan ke kanan.
Muka Bong Cun Lie berobah
merah padam dia lalu mendengus dengan gusar.
„Mengapa kau begitu usil
mencampuri urusan kami?” tanyanya dengan suara tak senang. „Urusan ini urusan
penasaran, yang tidak ada sangkut paut dan hubungannya dengan kau..... harap
engkau tidak mencampurinya.”
Pemuda pelajar itu telah
tersenyum sabar, manis sekali sikapnya waktu dia bangkit perlahan-lahan.
„Kamu demikian cantik gagah
dan perkasa, tidak kusangka jiwa dan hatimu kejam sekali. Dalam urusan itu aku
memang tidak memiliki hubungan apa-apa, kenalpun tidak tetapi masakan aku harus
berpeluk tangan mengawasi sepotong jiwa manusia yang ingin dibinasakan?
bukankah jiwa harus dibuat sayang?”
„Baik….. baik!” berseru si
gadis dengan murka. „Jika memang kau merasa sebagai pendekar yang baik hati dan
tidak bisa menyaksikan kematian seorang bangsat, biarlah engkaupun bersama-sama
dia pergi menghadap Giam-Ong!”
Dan si gadis bukan hanya
membentak, karena tahu-tahu kayu yang di tangannya telah melayang, menyambar ke
arah dada pelajar itu dengan gerakan yang cepat luar biasa, karena si gadis
telah menimpuk. Begitu pula menyusul lima batang jarum emas menyambar lima
jalan darah di tubuh pelajar itu. Serangan yang dilancarkan oleh gadis itu luar
biasa, karena, dia mengetahui pelajar itu memiliki kepandaian tinggi, yang
telah disaksikannya tadi, dengan sendirinya dia tidak tanggung-tanggung dalam
melancarkan serangan.
Tetapi pelajar itu berdiri
tenang di tempatnya, dia hanya mengawasi datangnya serangan. Di saat kayu yang
meluncur itu hampir tiba, hanya terpisah beberapa dim lagi dari dadanya,
pelajar itu mengibaskan lengan bajunya, maka seperti terdorong sebuah tenaga
yang kuat, kayu itu telah terlontar mental ke samping menghantam batang pohon,
sedangkan dengan kipasnya dia mengebut kelima jarum emas yang menyambar ke
arahnya.
Kui-im Cinjin mengawasi
peristiwa itu dengan mulut yang terpentang, karena dia kagum bukan main melihat
kepandaian yang diperlihatkan oleh pemuda itu dengan sempurna sekali, walaupun
usia pelajar itu mungkin baru duapuluh tahun, namun lwekangnya benar-benar sempurna.
Si gadis tidak kurang
kagetnya, untuk sejenak dia jadi memandang tertegun di tempatnya.
Pelajar itu tersenyum, dia
menggerak-gerakkan kipasnya seperti juga tengah menikmati sejuknya angin dari
kipasnya tersebut.
„Tidak mudah untuk
membinasakan manusia,” kata pelajar itu dengan suara yang tetap sabar. „sayang
sekali, sungguh sayang......”
Si gadis she Bong tersadar
dengan murka. „Apanya yang sayang?” bentaknya dengan bengis.
„Nona demikian cantik, dan
yang jelas tentu banyak pria yang bermimpi untuk mempersunting nona. Tetapi
jika adat nona begitu buruk tentu mereka akan mundur sendiri dan tidak berani
mendekati nona. Nah, jika terjadi begitu, bukankah harus dibuat sayang?”
Muka Bong Cun Lie jadi merah
padam dan tubuhnya gemetar karena murka yang tidak kepalang, dia menyadari
pemuda pelajar itu tengah mengejek dia.
„Cisss!” dia telah meludah,
dan membarengi dengan itu, tangannya bergerak lagi disusul oleh suara „serrr,
serrr” berulang kali, kali ini dia melepaskan senjata rahasianya itu dengan
mempergunakan kedua tangannya, belasan sinar kuning telah menyambar mengurung
pelajar itu.
Tetapi pelajar itu membawa
sikap yang tenang sekali, dia menggerak-gerakkan kipasnya berulang kali, maka
setiap jarum yang menyambar ke arah dirinya semua berhasil dipukul runtuh ke
tanah. Hebat cara pemuda pelajar itu melayani serangan si gadis.
Semakin lama, si gadis
menyerang semakin penasaran, dan akhirnya dia berdiri diam tidak melancarkan
serangan lagi, mengawasi mendelik lawannya, karena seluruh persediaan jarumnya
telah habis, tidak satupun jarum emasnya berhasil mengenai sasaran. Wajah si
gadis jadi agak lucu, dibilang tertawa bukan tertawa, disebut menangis juga
tidak menangis.
Waktu tadi dirinya diserang
terus menerus oleh si gadis, pelajar itu sambil berkelit dan mengibas dengan
kipasnya tidak hentinya dia telah memuji dengan ejekannya, „Serangan yang
bagus, sungguh berbahaya! Bagus sekali! Oh, benar-benar indah serangan ini!”
Tetapi begitu si gadis
berhenti menyerangnya, si pemuda telah berhenti dengan guraunya itu, dia telah
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada si gadis.
„Aku yang rendah memang telah
lancang mencampuri urusan nona, seharusnya memang itu adalah urusan nona selama
tidak menyangkut urusan jiwa. Maafkanlah, Siauw-te (adik) tidak memiliki
kepandaian apa-apa dan bodoh, telah begitu lancang menyambuti serangan nona
yang ternyata hebat luar biasa. Jika nona tidak berlaku murah hati, tentu
jiwaku telah melayang......” Waktu berkata-kata, pelajar itu memperlihatkan
sikap yang bersungguh-sungguh. „Bolehkah Siauw-te mengetahui she dan nama nona
yang harum?”
Si gadis mendongkol bercampur
gusar, tetapi pelajar itu memiliki kepandaian yang hebat sekali, maka walaupun
dia ingin berlaku nekad, tetapi tentu tidak ada faedahnya apa-apa. Maka
akhirnya dia hanya dapat membanting-banting kakinya.
„Tidak perlu kau mengetahui
namaku, tinggalkan namamu, kelak aku akan mencarimu untuk menyelesaikan urusan
ini!” kata si gadis akhirnya.
„Siauw-te she Cu dan bernama
Kun Hong,” menyahuti pelajar itu. „Perkataan kelak akan mencari itu terlalu
berat, Siauw-te tidak berani menerimanya, karena pertama Siauw-te dari golongan
muda, juga bodoh dan tidak memiliki kepandaian istimewa.”
Dada si gadis seperti ingin
meledak mendengar jawaban pemuda pelajar itu. Karena jelas pelajar itu ingin
mempermainkan dirinya dan mengejeknya, si gadis maksudkan dengan „kelak akan
mencari” dia maksudkan untuk mencari pemuda itu guna menuntut balas. Tetapi si
pemuda sengaja pura-pura tidak mengerti maksud perkataan si gadis dengan „kelak
akan mencari” itu seperti juga si gadis dari golongan muda ingin menyampaikan
hormatnya kepada golongan tua. Tentu saja si gadis jadi murka bukan main.
Pemuda pelajar itu Cu Kun Hong
telah tertawa lagi. „Baiklah, jika nona keberatan menyebutkan she dan
memperkenalkan nama, Siauw-te juga tidak memaksa, tetapi maukah nona
memberitahukan murid siapa?” tanyanya lagi.
„Apa perdulimu, tunggu saja
dalam satu bulan, aku pasti akan mencarimu.....!” dan setelah berkata begitu,
si gadis menoleh kepada Kui-im Cinjin yang tengah mengawasi dengan tertegun.
Mata si gadis mendelik lebar penuh kebencian, lalu dia memutar tubuhnya dengan
beberapa kali lompatan dia telah berlalu dan lenyap dari penglihatan…..
Imam itu cepat-cepat
menghampiri penolongnya. „Terima kasih atas pertolongan Siangkong, budi yang
besar ini entah bagaimana caranya pinto membalas.....” kata Kui-im Cinjin
sambil membungkukkan tubuhnya dalam menjura memberi hormat kepada pemuda
pelajar itu. “Pinto Kui-im Cinjin tentu tidak akan melupakan budi besar
itu.....”
Si pelajar tersenyum, dia
mengelakkan pemberian hormat dari si imam.
„Jangan berkata seberat itu,
Totiang. Bukankah sudah selayaknya jika kita tolong menolong?” kata pelajar
itu. „Siauw-te tidak memiliki kepandaian apa-apa dan bodoh, hanya mengerti cara
mengipas untuk meruntuhkan jarum, itu tidak berarti apa-apa.....”
„Jika tidak ada Siangkong,
mungkin pinto sudah tidak jadi manusia.....” kata si imam.
„Maukah totiang ceritakan, apa
sebab terjadi pertempuran tadi?” tanya si pelajar.
„Sungguh memalukan! Kalau
diceritakan memang sungguh memalukan,” kata imam itu. „Mari kita masuk ke
kampung ini untuk mencari kedai arak, nanti disana pinto akan menjelaskan
duduknya persoalan.”
Pelajar itu mengangguk
menyetujui usul dari si imam, dia telah mengiringi imam itu memasuki
perkampungan itu.
Dan kedua anak lelaki yang
tadi menyaksikan pertandingan yang terjadi diantara jago-jago rimba persilatan
itu, telah cepat-cepat memunguti jarum-jarum emas milik Bong Cun Lie yang
banyak berserakan di tanah, yang mereka simpan di saku dan kemudian melanjutkan
permainan petak mereka saling kejar......
Tojin yang bergelar Kui-im
Cinjin telah mengajak pelajar yang mengaku bernama Cu Kun Hong itu ke sebuah
kedai arak yang berada di dekat pintu kampung. Imam itu memesan dua kati arak
untuk Si pelajar sedangkan dia sendiri duduk dengan sikap tenang, sambil
sekali-kali melirik ke jendela.
Melihat sikap si imam, Kun
Hong jadi memandang heran, dia menduga tentu ada sesuatu yang menggelisahkan
imam itu.
„Totiang,” panggilnya dengan
disertai suara tertawanya. „Sesungguhnya siapakah gadis yang tadi
mengejar-ngejar Totiang?”
Si imam telah menghela napas
dalam tampaknya dia benar-benar berduka sekali.
„Gadis itu bergelar San-ciam
Liehiap, namanya Bong Cun Lie,” si imam mulai dengan ceritanya.
„San-ciam Liehiap Bong Cun
Lie?” berseru si pelajar dengan terkejut. „Itulah seorang pendekar yang cukup
terkenal dengan sepak terjangnya, terlebih lagi untuk bilangan Kwie-cu. Mengapa
dia bisa memusuhi totiang?”
Si imam telah menghela napas
panjang lagi, dia mengambil cawannya dan meneguk araknya perlahan-lahan.
„Sebetulnya, memang peristiwa
ini diawali oleh sesuatu kesalah pahaman saja, sehingga akhirnya keempat
saudara angkatku harus buang jiwa cuma-cuma dan enam sahabat karib harus
menemui kematian dengan penasaran sekali.....”
01.02. Bantuan Pasangan
Pendekar
Datar suara si imam waktu
berkata-kata, mungkin dia tengah diliputi oleh kesedihan yang sangat, tetapi
cara dia berkata-kata begitu mengesankan, sehingga menimbulkan kesan bahwa
urusan yang telah menimpanya merupakan urusan yang agak luar biasa, terlebih
lagi dengan disebut-sebut jumlah sepuluh jiwa yang telah meninggal!
Cu Kun Hong jadi tertarik, dan
dia memasang telinganya baik-baik. Rupanya yang akan dikisahkan oleh imam itu
merupakan urusan penasaran.
„Seperti diketahui oleh
sahabat-sahabat rimba persilatan, bahwa pinto berasal dari pintu perguruan
Ngo-ciat-kauw, yang semuanya berjumlah lima orang. Keempat saudara seperguruan
pinto itu, semuanya juga mensucikan diri, masing-masing bergelar Kui-san
Cinjin, Kui-lie Cinjin, Kui-liong Cinjin, Kui-ban Cinjin dan pinto sendiri
bergelar Kui-im Cinjin. Kami walaupun menamakan pintu perguruan kami dengan
nama yang kurang sedap didengar, yaitu Ngo-ciat-kauw, tetapi hati kami berlima
tidak buruk dan selalu berusaha mendirikan pahala dengan memberantas kejahatan
dan membela yang tertindas. Tetapi, seperti juga urusan di dalam dunia ini,
yang selalu ada Im dan ada pula Yang, ada yang mencinta kami, tetapi ada juga
yang tidak menyukai kami.
„Sesungguhnya jika saja kami
tidak terlalu usil, tentu kamipun tidak akan terlibat dalam urusan seperti hari
ini. Di saat mana kebetulan kami tengah berada di Kang-lam, maksud kami memang
ingin berpelesiran untuk menikmati keindahan daerah Kang-lam. Tetapi ketika
tiba di pintu kota Wai-siang-kwan di sebelah barat justru kami menyaksikan
urusan yang tidak adil, yang mengganggu mata kami. Di saat itu, kami melihat di
luar pintu kota terjadi suatu pertempuran yang janggal bagi pendapat kami, yaitu
seorang tosu tua yang telah lanjut usianya tengah dikepung oleh lima orang
hweeshio dan dua orang wanita, wanita yang seorangnya telah lanjut usianya,
sedangkan wanita yang seorang lagi merupakan gadis cantik jelita.
„Kami tidak bisa menyaksikan
tosu tua, itu dikeroyok beramai-ramai seperti itu. Jika akhirnya kami turun
tangan juga, bukan berarti disebabkan si tosu sama-sama menganut agama To
dengan kami, melainkan karena keadilan belaka.
„Salah seorang diantara kelima
orang hweshio itu ada yang bergelar Hoan-lian Taysu yang memiliki kepandaian
tertinggi diantara kawan-kawannya itu. Dialah yang tergarang dan sulit diajak
bicara. Walaupun kami berusaha untuk mendamaikan dengan cara baik, namun mereka
tidak mau mengerti dan akhirnya melibatkan kami dalam suatu pertempuran.
„Begitu hebat pertempuran yang
terjadi tidak bisa dicegah lagi, sehingga akhirnya terjadi suatu peristiwa yang
tidak diinginkan, kami kesalahan tangan sehingga Hoan-lian Taysu terbinasa.
Sejak saat itulah rombongan hweshio itu melakukan pengejaran terhadap kami!
„Telah berulang kali kami
berusaha untuk memberikan pengertian bahwa kematian Hoan-lian Taysu tidak
disengaja, tetapi mereka itu tidak mau mengerti. Dan setahun yang lalu itulah
rombongan hweshio itu memperoleh bantuan seorang gadis yang bergelar San-ciam
Liehiap, yang kepandaiannya luar biasa, sehingga sulit untuk kami tempur.
Keempat saudaraku telah dibinasakan dengan mudah dan menyedihkan sekali, dan
aku yang berhasil meloloskan diri meminta bantuan Shan-tung Liok-hiap (Enam Pendekar
dari Shan-tung), namun keenam sahabat itupun terbinasa di tangan San-ciam
Liehiap, dan tadi giliran pinto yang dikejar terus olehnya untung saja ada
Siangkong yang telah menolongi.”
Setelah bercerita imam itu
menghela napas sambil mengambil cawan, lalu menghirup araknya perlahan-lahan
dengan mata yang kosong, karena dia teringat kematian saudara-saudara
seperguruannya dan bagaimana menderitanya dia yang dikejar-kejar oleh
lawan-lawannya, sehingga tidak sempat merawat dirinya yang menjadi mesum dan kumal
begitu, karena dia selalu dikejar oleh perasaan ketakutan terus menerus.
„Lalu bagaimana dengan tosu
tua yang kalian tolong itu?” tanya Kun Hong yang tertarik mendengar kisahnya si
imam.
„Entahlah waktu kami
menghadapi Hoan-lian Taysu dan kawan-kawannya dia telah mempergunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri. Justru sampai saat sekarang ini aku masih
belum mengetahui sesungguhnya tersangkut urusan apakah antara rombongan
Hoan-lian Taysu dengan tosu tua itu, yang menjadi sesalanku adalah kematian
Hoan-lian Taysu yang menyebabkan salah paham ini semakin mendalam.”
Baru saja Kun Hong ingin
bertanya lagi, tiba-tiba dia mendengar ada orang yang memasuki ruang kedai. Dia
menoleh ke arah pintu, dilihatnya seorang wanita setengah baya tengah melangkah
masuk ke dalam ruangan kedai dengan diikuti oleh seorang lelaki setengah baya
juga, yang tubuhnya tegap dan gagah. Wajahnya tampan dan memancarkan sinar yang
gagah disamping sepasang matanya yang tajam bersinar, memperlihatkan bahwa
lelaki setengah baya itu memiliki lwekang yang sempurna. Disamping itu, si
wanita setengah baya yang berjalan di depannya juga memperlihatkan sikap yang
gagah, rambutnya disanggul menjadi satu, walau usianya sudah cukup tinggi,
namun wajahnya masih cantik, disamping itu dia memakai pakaian polos warna
merah muda, dengan angkin putih.
Keduanya mengambil meja di
sebelah kanan terpisah tiga meja dengan Kun Hong dan Kui-im Cinjin. Tetapi
samar-samar Kun Hong masih sempat mendengar wanita itu berkata perlahan waktu
ingin duduk dikursinya, „Engko Ceng, malam ini biarlah kita beristirahat disini
saja dulu, besok baru melakukan pengejaran lagi.....”
Lelaki setengah baya yang
dipanggil engko itu mengangguk tanpa bilang apa-apa, kepada pelayan dia memesan
arak dan makanan.
Sejak dua orang memasuki kedai
arak ini, hati Kun Hong terkejut bukan main. Begitu juga saat dia mendengar
wanita setengah baya itu memanggil si lelaki setengah baya itu dengan sebutan
“engko Ceng”, maka yakinlah Kun Hong kedua orang itu memang merupakan dua orang
jago yang diduganya.
„Totiang, engkau akan
tertolong dari kesulitanmu….. tidak perlu kau bersedih terus,” kata Kun Hong
kemudian, perlahan suaranya, „hanya mau atau tidak mereka menolongmu,
totiang......”
„Si..... siapa?” tanya si
tojin dengan sikap setengah percaya dan setengah tidak. Dia menyaksikan
kepandaian pemuda ini yang hebat sekali, yang berhasil merubuhkan San-ciam
Liehiap tetapi jika pendekar wanita penyebar jarum itu datang bersama-sama
dengan beberapa orang kawannya urusan menjadi lain dan belum tentu Kun Hong
sanggup melindunginya.
„Engkau pernah mendengar Kwee
Ceng Tayhiap?” tanya Kun Hong dengan suara yang perlahan juga.
„Ihh, pendekar besar itu?”
tanya si imam terkejut.
„Ya, rupanya Thian mengetahui
kesulitanmu sehingga orang gagah itu berada disini bersama isterinya,”
menyahuti Kun Hong.
„Kau….. kau maksudkan Oey Yong
Liehiap?” tanya si imam.
Kun Hong mengangguk, dia
bangkit berdiri. „Kau tunggu dulu disini, biar aku menemui mereka,” katanya.
Si imam jadi mengawasi
tertegun, dia melihat si pemuda pelajar menghampiri tamu yang baru datang tadi,
seorang pria setengah baya bersama wanita setengah baya.
„Merekakah Kwee Ceng Tayhiap
dan isterinya Oey Yong Liehiap?” menduga-duga Kui-im Cinjin dengan hati
tergoncang. Dia memang telah mendengar kebesaran nama Kwee Ceng dan Oey Yong
yang seperti menggetarkan jagad yang merupakan jago tiada tandingan di masa
ini. Tetapi si imam tidak mengenal kedua pendekar besar itu.
Cu Kun Hong telah menghampiri
meja pria dan wanita setengah baya itu, dia merangkap kedua tangannya dan
menjura memberi hormat.
“Boanpwe (tingkatan yang muda)
Cu Kun Hong mengunjuk hormat kepada kepada Kwee Tayhiap dan Oey Liehiap,”
katanya dengan sikap yang hormat sekali.
Lelaki setengah baya itu cepat
bangkit mencegah hormat pemuda itu. “Jangan banyak peradatan, jangan banyak
peradatan,” katanya cepat.
„Engko Ceng kulihat engko
kecil ini walaupun dari kalangan Boanpwe tetapi dia agak luar biasa,” bilang si
wanita setengah baya sambil tersenyum.
Pria setengah baya itu memang
tidak lain, adalah Kwee Ceng dan wanita setengah baya yang bersamanya memang
isterinya yaitu Oey Yong.
◄Y►
Mereka tengah melakukan
pengejaran terhadap seseorang, dan kebetulan lewat di kampung ini, sehingga
mereka singgah untuk minum dan mengisi perut.
Waktu itu Kwee Ceng telah
mendorong perlahan agar Kun Hong batal memberi hormat kepadanya, tetapi
akhirnya Kwee Ceng terkejut sendirinya, sebab tubuh Kun Hong tidak bergeming
dan meneruskan gerakannya untuk membungkuk memberi hormat.
„Benar apa yang dibilang Yong-jie,
pemuda ini memiliki lwekang yang lumayan,” dan setelah berpikir begitu Kwe Ceng
menambahkan sedikit tenaga mendorongnya, tubuh Kun Hong seperti terangkat
sedikit, dan hampir terhuyung ke belakang.
Hati Kun Hong tambah kagum
kepada pendekar besar tersebut, karena walaupun dia telah mengerahkan
lwekangnya, tetap saja dengan mudah Kwe Ceng membatalkan pemberian hormatnya.
„Siapa gurumu?” tanya Kwee
Ceng, dia memang polos dan tidak pandai bicara, maka setelah membatalkan si
pemuda dengan hormatnya itu, dia langsung menanyakan guru si pemuda.
„Insu Bong-kwei Siansu, dimana
dulu Insu sering menceritakan kegagahan Tayhiap dan Liehiap. Sungguh beruntung
hari ini Boanpwe bisa bertemu dengan jie-wie locianpwe,” menyahuti Kun Hong
dengan sikap menghormat.
Kwee Ceng tak kenal guru
pemuda itu, yang gelarnya baru didengarnya sekali ini. Tetapi sebagai
basa-basi, dia telah menyatakan bahwa telah lama dia mendengar nama terkenal
Bong-kwei Siansu. Senang hati Kun Hong karenanya.
„Apakah ada sesuatu yang bisa
Boanpwe bantu jika Tayhiap ada suatu urusan di daerah ini?” tanya Kun Hong
pula.
Kwee Ceng menggeleng sambil
mengucapkan terima kasih. Tetapi berlainan dengan Oey Yong yang lincah telah
menepuk lututnya sambil katanya dengan suara riang, „Engko Ceng, mengapa kita
tidak menanyakan kepada Cu Siangkong mengenai tosu itu?”
Kwee Ceng mengangguk, kemudian
katanya, „Cu Siangkong, sesungguhnya kami tengah mengejar seseorang, tetapi
kami kehilangan jejak. Kami tengah mengejar seorang tosu yang memiliki urusan
penting dengan kami, dan menurut penyelidikan yang kami lakukan, tosu tua itu
mengambil arah ke utara, maka pasti diapun lewat di kampung ini. Apakah
Siangkong pernah melihat di sekitar daerah ini seorang tosu tua dengan cacad
bekas bacokan di pipi kanannya, dan tanda-tanda lainnya yang menyolok adalah
punggungnya yang agak bungkuk?”
Cu Kun Hong seperti berpikir
sejenak, lalu katanya, „Sayang sekali boanpwe belum pernah, bertemu dengan tosu
yang Tayhiap maksudkan itu,” sahut si pemuda mengandung penyesalan.
„Biarlah, kami yakin akan
berhasil menemui jejaknya,” kata Kwee Ceng.
Sebetulnya Kun Hong tertarik
ingin mengetahui urusan apakah yang tengah dihadapi pendekar besar ini sehingga
mengejar-ngejar seorang tosu tua yang bercacad mukanya itu, namun Kun Hong
tidak berani terlalu bertanya melit-melit.
„Kwee Tayhiap dan Oey
Liehiap,” kata Kun Hong kemudian, „Sesungguhnya boanpwe ingin menyampaikan
sesuatu yang tidak pantas, entah boanpwee boleh terus mengatakannya atau
tidak?” kata si pemuda.
Kwee Ceng tertawa manis.
„Katakanlah apakah kau tengah menghadapi kesulitan, engko kecil?” tanyanya.
„Sebetulnya bukan urusan
boanpwe, tetapi totiang itu.....” kata Kun Hong sambil menunjukkan ke arah
Kui-im Cinjin.
Si imam yang ditunjuk segera
menghampiri hormat kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. Sedangkan Kun Hong telah
menceritakan urusan yang telah menimpa diri Kui-im Cinjin, sehingga tosu itu
selalu dikejar-kejar oleh lawan-lawannya yang terlalu mendesak, yang
menyebabkan dia jadi tidak berdaya dan selalu ketakutan saja.
„Mungkin satu dua hari lagi
San-ciam Liehiap akan datang mencari Kui-im Totiang, maka bisakah Tayhiap dan
Liehiap mendamaikan urusan mereka?”
„San-ciam Liehiap? Akh, nama
itu baru kudengar,” kata Kwee Ceng.
„Nah engko Ceng, apa
kubilang,” kata Oey Yong sambil tertawa. „Bukankah sering sekali kukatakan
bahwa angkatan muda yang sekarang telah bermunculan banyak sekali jago-jago
muda yang penuh harapan?”
Kwee Ceng hanya tersenyum, dia
tidak tertarik dengan gurau istrinya, dengan bersungguh-sungguh dia telah
menoleh kepada Kui-im Cinjin, katanya, „Totiang, sungguh menyesal bahwa justru
kami tengah mengejar waktu untuk membekuk seseorang..... tetapi kami bukan
berarti tidak mau menolong kesulitan totiang. Begini saja kita atur, aku akan
menulis sepucuk surat meminta kepada San-ciam Liehiap dan kawan-kawannya,
meminta agar mereka mau memandang muka kami dan untuk mengambil jalan bijaksana
dalam urusan mereka dengan totiang. Kukira jika mereka ingin memberi muka
kepadaku tentu bisa menghabiskan permusuhan dengan totiang sampai disini saja.”
Tentu saja Kui-im Cinjin
girang bukan main. Nama Kwee Ceng telah menggetarkan seluruh rimba persilatan,
siapapun tentu mengenal dan mengetahuinya. Dengan ditulisnya surat pengantar
oleh Kwee Ceng, jelas San-ciam Liehiap dan kawan-kawannya bersedia menyudahi
permusuhannya dengan Kui-im Cinjin. Itulah suatu pertolongan yang mimpipun
sulit diharapkan. Berulangkali Kui-im Cinjin menyatakan terima kasihnya.
Kwee Ceng meminta pelayan
mempersiapkan kertas dan pit, lalu menulis sepucuk surat. Sedangkan Oey Yong
yang sejak mudanya memang terkenal nakal dan periang, telah mengajak Kun Hong
bercakap. Ada saja yang dibicarakannya, masalah-masalah rimba persilatan di
kalangan golongan muda. Kun Hong pun senang sekali menjawab setiap pertanyaan
nyonya yang hebat sekali kepandaiannya itu.
Selesai menulis suratnya, Kwee
Ceng menyerahkannya kepada Kui-im Cinjin, yang menerimanya sambil mengucapkan
terima kasihnya berulang kali. Surat itu disimpannya baik-baik di sakunya,
karena surat itu merupakan surat wasiat yang bisa membeli jiwanya. Dengan surat
inilah Kui-im Cinjin bisa mengharapkan untuk hidup terus.
Kwee Ceng dan Oey Yong
bersantap, selesai itu merekapun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Sedangkan Kui-im Cinjin juga
telah mengucapkan terima kasihnya kepada Cu Kun Hong pemuda pelajar itu, karena
lewat pemuda inilah Kui-im Cinjin berhasil memiliki surat wasiat yang besar
faedahnya, kemudian diapun pamitan. Kun Hong telah melanjutkan sendiri meneguk
araknya, hatinya senang sekali bisa menolong kesulitan yang tengah dihadapi
Kui-im Cinjin.
Hari mulai gelap, dan setelah
membayar harga makanan dan arak yang diminumnya, Kun Hong pun berlalu dari
kedai arak itu. Sambil bersiul-siul perlahan, dia menyusuri lorong yang akan
menuju ke rumah penginapannya yang terletak di pintu selatan kampung tersebut.
Wu-cuan-cung merupakan
perkampungan yang cukup padat penduduknya, meliputi hampir seribu kepala
keluarga, keadaannya yang ramai dan padat seperti sebuah kota kecil. Terlebih
lagi letak Wu-cuan-cung merupakan lintas hidup untuk orang-orang yang berlalu
lintas dari Kang-lam menuju Phang-ciu maupun Hang-ciu, tidak mengherankan jika
perkampungan tersebut ramai sepanjang hari.
Sedang Kun Hong menikmati
keramaian jalan yang dilaluinya, tiba-tiba didengar suara „Trak, trakk, trakk,”
tidak hentinya. Waktu pemuda she Cu tersebut mengangkat kepalanya, dia melihat
pemandangan yang benar-benar mengherankan hatinya karena dari jurusan depan
tampak mendatangi seorang wanita berpakaian compang camping tengah jalan dengan
kaki diseret, dan sepatu rombengnya yang terseret itu menimbulkan suara „trakk,
trakk,” tidak hentinya. Keadaan wanita itu mesum dan kotor sekali, karena takut
bertabrakan dengan wanita mesum itu, Kun Hong telah melompat ke tepi jalan.
Saat itu jarak antara wanita
yang berpakaian seperti pengemis itu, dengan rambut yang diriap turun terurai
di bahunya dan sebagian menutupi mukanya, hanya terpisah satu tombak lebih
dengan tempat dimana Kun Hong berada, tentu saja gerakan pemuda itu dilihatnya
dengan jelas. Setelah berjalan beberapa langkah lagi, di saat berada dihadapan
Kun Hong, wanita berpakaian seperti pengemis itu menghentikan langkah kakinya
berdiri tegak dan mengeluarkan suara “ha, ha, hi, hi”.
„Anak yang cakap, anak yang
tampan,” kata wanita yang jorok itu sambil mengulurkan tangannya yang kotor
penuh daki dan debu itu ingin mengusap muka Kun Hong.
Pemuda she Cu itu mendongkol
bukan main, mana mau dia membiarkan mukanya diusap oleh tangan yang kotor
seperti itu? Dengan cepat Kun Hong telah memiringkan kepalanya ke kiri dengan
gerakan yang gesit sekali.
Tetapi diluar dugaan pemuda
she Cu itu, di saat Kun Hong berkelit dengan gesit, tangan wanita itu lebih
gesit lagi, tahu-tahu telah berhasil mengusap muka Kun Hong. Keruan Kun Hong
menggidik karena tangan wanita itu bukan hanya kotor, tetapi dingin lengket
seperti tangan mayat.
„Kurang ajar…..!” bentak Kun
Hong sambil melompat mundur kaget. „Jangan kurang ajar…..!”
„Hi, hi, hi, anak manis, aku
tidak akan galak-galak kepadamu!” Dan wanita itu telah maju lagi dua langkah,
dia mengulurkan tangannya untuk mengusap pula.
Kun Hong jadi kelabakan
sendiri, dia kewalahan menghadapi wanita yang seperti sinting ini tanpa
berpikir lagi dia memutar tubuhnya sambil mementang kaki lebar-lebar untuk berlalu
dengan cepat meninggalkan wanita sinting itu. Tetapi Kun Hong jadi tambah
terkejut, karena walaupun bergerak cepat, tangan wanita itu bergerak lebih
cepat lagi, tahu-tahu ujung bajunya telah berhasil dicekal oleh wanita sinting
itu, dan yang mengejutkan Kun Hong bercampur malu, justru di saat itu wanita
sinting tersebut telah menjerit-jerit sambil menangis.
„Jangan tinggalkan aku……
ooohh, koko cakap, engko yang manis, jangan kau tinggalkan aku mengapa kau
demikian kejam?”
Muka Kun Hong jadi berobah
merah dan panas, darahnya jadi meluap naik karena dia malu sekali ditonton oleh
beberapa orang penduduk yang kebetulan berada di jalan tersebut, yang telah
berhenti sejenak untuk menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka tertarik karena
mendengar tangisan perempuan sinting itu.
Dengan cepat Kun Hong telah
menabas dengan tangan terbuka, tabasannya walaupun disertai hanya tiga bagian
tenaga dalamnya, tetapi hebat sekali. Dia yakin jika tangan wanita itu berhasil
ditabas, tentu cekalannya akan dilepaskannya dan dia akan segera
meninggalkannya secepat mungkin.
Tetapi Kun Hong kembali kaget
bukan main, karena justru di saat tangannya hampir tiba di sasaran, tahu-tahu
wanita sinting itu telah melepaskan cekalannya dan dia telah menarik tangannya,
sehingga tabasan Kun Hong mengenai tempat kosong. Namun membarengi dengan itu,
di saat itulah dia telah mengulurkan tangan pula untuk menjambret dan mencekal
ujung baju Kun Hong, yang dicekalnya lagi dengan kuat dan tetap menangis.
Tentu saja Kun Hong jadi
penasaran sekali dengan cepat dia menambah tenaganya dan telah menjejakkan
kakinya, dia melompat untuk menarik jubahnya yang tercekal wanita sinting itu,
kemudian jika digentak dengan sentakan keras, niscaya cekalan wanita itu akan
terlepas. Tetapi yang membuat Kun Hong jadi lebih kaget lagi, justru di saat
dia melompat, tubuhnya tidak bisa bergerak, dan dia hanya melompat tetap di
tempatnya, karena cekalan tangan dari wanita sinting itu tidak bergeming
sedikit pun juga, sangat kuat sekali. Kenyataan seperti ini benar-benar telah
mengejutkan hati Kun Hong. Di saat itulah dia yakin bahwa wanita sinting yang
tengah dihadapinya ini bukan wanita sinting sembarangan, karena dari cara-cara
dia mengelakkan tabasan tangan Kun Hong dan cekalannya yang kuat itu, dia tentu
memiliki kepandaian yang luar biasa.
Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa tersebut jadi tertawa. Jumlah orang yang menonton semakin lama jadi
semakin banyak, dan Kun Hong merasakan pipinya seperti terbakar panas sekali.
Tetapi disamping gusar, Kun
Hong juga jadi penasaran sekali. Dia telah mengeluarkan kipasnya, yang
tahu-tahu telah menyambar ke arah mata wanita sinting itu. Untuk menggertaknya,
untuk mengancam biji mata dari perempuan sinting itu, memaksanya agar wanita
sinting itu melepaskan cekalannya.
Kipas dalam keadaan tertutup
seperti itu, memang ujungnya bisa dipergunakan menotok jalan darah, dan Kun
Hong dalam bertindak kali ini tidak tanggung-tanggung, karena dia tengah gusar
sekali. Di saat ujung kipas itu menyambar mengancam biji mata kanan dari wanita
sinting itu maka gagang kipas yang ada di dalam cekalannya itu dapat pula
menotok jalan darah ditenggorokkan wanita sinting itu jika dia berhasil
mengelakkan diri dari totokan ujung kipas tersebut.
Tetapi wanita sinting itu
rupanya tidak memperdulikan serangan pemuda itu, dia masih tetap mencekal baju
si pemuda she Cu itu dengan, disertai rengekannya.
„Jangan, tinggalkan aku anak
tampan..... jangan kejam begitu.....!” dan di saat ujung kipas hampir sampai di
sasaran, dengan gerakan yang wajar, bagaikan tidak disengaja wanita sinting itu
menengadahkan kepalanya, tahu-tahu dia telah menggigit ujung kipas itu.
Kun Hong jadi terkejut sekali,
dia telah mengeluarkan seruan tertahan. Dan dia berusaha menarik kipasnya itu,
namun sudah terlambat, karena kipas itu telah tergigit dan tidak bisa di tarik
kembali, karena gigitan dari wanita sinting itu kuat sekali. Dengan penasaran
Kun Hong telah menge¬rahkan tenaga dalamnya di lengannya, dia menarik sekali
lagi.
Di saat itulah wanita sinting
itu melepaskan gigitannya, maka tidak ampun lagi tubuh Kun Hong terhuyung
hampir terjengkang ke belakang. Untung saja dia bergerak gesit, dia berusaha
menguasai kuda-kudanya agar tidak tergempur berdiri tidak sampai rubuh di
tanah. Justru dalam keadaan seperti itu, Kun Hong lebih kaget lagi, karena
tiba-tiba wanita sinting itu telah menubruk memeluk Kun Hong.
Tentu saja, gerakan seperti
itu telah membuat Kun Hong jadi menitikkan keringat dingin, kalau sampai
dirinya terpeluk oleh wanita sinting yang mesum dan kotor itu, alangkah malunya
dia. Dan disamping itu, bau busuk yang keluar dari tubuh perempuan mesum itu
benar-benar membuat dia hampir muntah, karena jarak mereka memang terpisah
tidak jauh. Mati-matian Kun Hong menjatuhkan dirinya di tanah kemudian
bergulingan untuk menjauhkan diri dari wanita sinting itu.
Karena pelukannya gagal,
wanita itu tidak mengejarnya hanya menjatuhkan dirinya duduk sambil menangis
terisak-isak seperti seorang anak kecil kehilangan mainannya.
„Kau kejam..... kau
kejam.....!” samar terdengar suara keluhan wanita sinting itu.
Kun Hong sudah tak
memperdulikan sesuatu apapun lagi, dia telah mementang langkah secepat mungkin,
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, dia telah berlari sekuat
tenaganya. Setelah sampai di tikungan dengan hati yang masih tergoncang dia
telah melirik dan melihat wanita sinting itu tidak mengejarnya, hatinya baru
lega, dan dia menyusut keringat dinginnya. Tetapi walaupun wanita sinting itu
tidak mengejarnya, Kun Hong tidak berani berhenti dia berlari terus dan
akhirnya tiba dirumah penginapannya, langsung masuk kamarnya, dan rebah di
pembaringan dengan hati yang masih tergoncang.
Kun Hong juga tidak habis
mengerti, sesungguhnya siapakah wanita sinting itu, yang telah mengganggunya
tanpa sebab. Jika melihat cara wanita itu mengelakkan serangannya dan juga
telah mencekal bajunya, maka terlihat jelas bahwa wanita itu bukan wanita
sembarangan. Tetapi jika dia memiliki kepandaian yang lumayan tingginya seperti
itu, mungkinkah dia sinting? Dilihat dari gerakannya mengelakkan totokan ujung
kipas Kun Hong dan digigitnya. Setidak-tidaknya kepandaian wanita sinting itu
berimbang dengan kepandaian Kun Hong. Siapa dia?
Di saat Kun Hong tengah rebah
dengan pikiran yang melayang-layang seperti itu, tiba-tiba dia mendengar,
„Anak yang manis..... anak
yang tampan, anak cakap, jangan tinggalkan aku..... jangan kejam begitu,
anak.....!”
Darah Kun Hong seperti
berhenti, mendesir jantungnya berdegup keras sekali, karena dia segera
mengenali bahwa suara itu adalah suara wanita sinting yang telah mengganggunya
beberapa saat yang lalu. Tentu saja Kun Hong tidak berani untuk keluar dari
kamarnya, setidak-tidaknya bukan disebabkan perasaan takut, tetapi dia tidak
ingin berurusan dengan wanita sinting yang mesum seperti itu. Perlahan-lahan
Kun Hong turun dari pembaringannya tetapi baru kakinya menyentuh lantai justru
di saat itu dia telah mendengar lagi.
„Anak manis, ohh, anak
manis......,” sehingga Kun Hong telah ragu-ragu untuk menuju ke pintu, untuk
mengintai. Namun di saat itu Kun Hong mendengar suara tertawa yang riuh dari
orang-orang yang mungkin tengah menonton tingkah laku wanita sinting itu. Kun
Hong perlahan-lahan mendekati pintu kamarnya, dia telah membukanya dan
mengintai keluar dengan membuka sedikit daun pintu kamarnya. Dugaan Kun Hong
memang tidak meleset, karena dilihatnya wanita sinting itu tengah mengusap-usap
muka seorang pelayan yang tertawa lucu mempermainkan wanita sinting itu,
diiringi oleh suara ramai dari pelayan-pelayan lainnya maupun pengunjung rumah
penginapan tersebut.
Di saat itu Kun Hong melihat
ada seorang pelayan yang tengah mendatangi ke arah kamarnya dengan membawa satu
baskom dan handuk. Dan pelayan itu mengetuk kamar Kun Hong. Pemuda itu dengan
cepat membuka pintu kamarnya.
„Siapa wanita sinting itu?”
tanya Kun Hong setelah pelayan itu meletakkan tempat air mencuci muka di atas
meja.
„Wanita gila anak, Kongcu…..”
menyahut pelayan itu. „Nasibnya memang harus dikasihani, karena semula dia
adalah seorang nyonya kaya raya, pandai silat, namun suatu malam rumahnya
didatangi perampok yang telah membunuh suaminya dan puteranya, sehingga dia
menjadi gila, dan justru selalu gila akan anak yang cakap, anak yang
manis.....”
Kun Hong mengangguk tidak
tertarik untuk mendengari terus cerita pelayan itu. Setelah pelayan itu keluar
dari kamarnya Kun Hong mengunci pintu kamarnya kembali. Untuk segera mencuci
muka dia masih malas, maka dia telah rebah di pembaringannya tanpa
memperdulikan lagi suara tertawa wanita sinting itu karena wanita itu memang
benar-benar seorang wanita gila. Dengan dia berada di kamar dan pintu terkunci,
bukankah berarti dia aman dari gangguan wanita sinting dan mesum itu.
Tetapi, tiba-tiba mata Kun
Hong jadi terpentang lebar-lebar dan mengeluarkan seruan tertahan. Ada suatu
yang luar biasa telah dilihatnya. Seraut wajah yang menyeringai dengan gigi
yang kuning dan muka yang kotor serta rambut yang riap-riapan, tengah
memandangi dia lewat jendela kamarnya. Wanita sinting itu! Dengan gusar Kun
Hong telah melompat dari pembaringannya, dia telah mundur akan lari lewat pintu
kamarnya.
„Anak manis, mengapa kau takut
bertemu dengan ibumu?” tegur wanita sinting itu yang memang berdiri di luar
jendela kamar Kun Hong.
Munculnya wanita sinting itu
yang demikian tiba-tiba benar-benar membuat Kun Hong jadi kaget dan ketakutan,
takut diusap dan dipeluk lagi..... Cepat sekali Kun Hong menyambar pintunya.
Tetapi di saat itu dengan
gerakan yang ringan sekali, wanita sinting itu telah melompat lewat jendela
kamarnya. Dalam sekejap mata dengan, kegesitan yang luar biasa tahu-tahu dia
telah berada di depan Kun Hong, sehingga pemuda she Cu itu mengeluarkan seruan
kaget dan tangan kanannya telah mendorong sekuat-kuatnya dengan mempergunakan
tenaga lwekangnya.
Namun wanita sinting, itu
tidak mengelak, dan tangan Kun Hong meluncur terus. Tetapi justru, di saat
itulah Kun Hong yang jadi kaget sendirinya, karena jika serangannya itu
diteruskan dan wanita itu tidak berkelit, berarti dada wanita sinting akan
didorong oleh tangannya. Itulah yang tidak dikehendaki oleh Kun Hong, maka
dengan cepat dia telah menarik pulang tenaga dan tangannya.
Wanita sinting itu justru
tidak memperdulikan sikap Kun Hong, dia telah mengulurkan tangannya mencekal
lengan Kun Hong, katanya, „Anak, engkau jangan takut, ibu tidak akan
mengganggumu…..”
Tubuh Kun Hong menggidik.
Biasanya, walaupun harus menghadapi jago yang bagaimana hebat sekalipun
kepandaiannya Kun Hong tidak pernah merasa takut namun justru terhadap wanita
sinting ini, mengingat wanita itu memang gila, dia jadi takut, ngeri dan gugup disamping
jijik sekali.
„Anak..... tidakkah kau
merasakan penderitaan ibu? Mengapa kau begitu kejam ingin meninggalkan ibu?”
tegur wanita itu lagi, suaranya halus.
Hati Kun Hong jadi luluh dia
tidak tega untuk meronta, akhirnya dia menyahuti, „Tetapi aku bukan
anakmu......”
„Jangan berkata begitu
anakku...... jangan kau lukai pula hati ibu,” berkata wanita sinting itu cepat.
Dan setelah itu, wanita
sinting tersebut bersenandung dengan suara penuh kasih sayang, seperti juga
tengah menina bobokan anaknya, senandungnya itu antara lain:
„Kain sutera merah,
Pasangan Wan-yoh (walet
terbang),
Langit biru tertawa cerah,
Simungil yang menarik hati,
Buah hatiku.
Tumpahan kasih,
Angin membawa bisikan:
Tidurlah anakku.
Mengapa kau menangis saja?
Tidurlah anakku.....”
02.03. Wanita Gila Misterius
Lembut sekali nyanyian wanita
sinting itu sehingga Kun Hong jadi terharu. Betapa tidak, wanita ini memang,
benar sinting, tetapi sepotong hati di dadanya yang masih dimilikinya telah
hancur, dan terluka oleh perbuatan. biadab perampok-perampok yang telah merusak
rumah tangganya membinasakan suaminya dan membunuh anaknya. Betapa tidak pedih
hati wanita ini. Hati Kun Hong jadi lemah akhirnya, dia membiarkan wanita itu.
memegangi tangannya terus.
„Anak,” tiba-tiba wanita itu
telah memecahkan kesunyian yang menghanyutkan. „Engkau kini sudah besar, cakap,
tampan, betapa bahagia hati ibu…..”
Tetapi setelah berkata begitu,
tiba-tiba kumat lagi gilanya, dia tahu-tahu telah tertawa ha, ha, hi, hi dan
mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Kun Hong disertai kata-kata gilanya.
„Anak cakap..... anak manis,
jangan tinggalkan ibu...... ha, ha, ha, hi, hi, hi.....”
Kun Hong menggigil menggidik,
setidak-tidaknya dia merasa jijik bukan main. Tetapi mengingat wanita ini gila
karena kematian anak dan suaminya, dan gilanya itu karena kehancuran rumah
tangganya. Kun Hong jadi tidak tega untuk melukai hatinya, dia membiarkan
wanita itu mengusap pipinya!
Tetapi melihat pemuda itu
tidak berusaha mengelak dari usapannya, justru wanita sinting itu telah
menjatuhkan dirinya duduk numprah di lantai, dan dia menangis keras sekali,
terisak-isak tidak hentinya.
Di muka jendela, tampak telah
banyak kepala manusia yang menyaksikan semua peristiwa itu sambil tertawa ha,
ha, hi, hi, hi karena mereka anggap sebagai pertunjukan yang lucu menggelikan
hati.
Tentu saja Kun Hong jadi
gusar, muncul sifat kesatrianya.
„Kalian manusia-manusia tidak
bermartabat dan kejam! Lihatlah oleh kalian wanita ini harus dikasihani, dia
telah terganggu syarafnya, tetapi bukannya menghibur dan diobati justru kalian
mempermainkannya. Begitu tegakah kalian?”
Mendengar makian Kun Hong,
rupanya orang-orang yang berkumpul di luar jendela menjadi malu sendirinya dan
telah bubar.
Kun Hong berjongkok di samping
wanita sinting itu, katanya, „Pee-bo (bibi) engkau terlalu letih, pergilah
beristirahat. Biarlah aku pergi membelikan pakaian untukmu, nanti kau salin
pakaianmu itu!”
Tetapi wanita sinting itu
tiba-tiba mendelik ke arahnya dan tertawa menyeringai mengerikan. „Ohhh, kalian
manusia-manusia bangsat, kalian pembunuh, kalian manusia bejat, ha, ha, ha, hi,
hi!” Dan wanita itu telah menerobos membuka pintu dan berlari-lari keluar.
Kun Hong tidak mengejar, dia
menghela napas panjang entah mengapa kini dia merasa kasihan terhadap nasib
wanita sinting itu.
Setelah mencuci muka, Kun Hong
sengaja keluar dari kamarnya untuk mencari wanita sinting itu. Tetapi tidak
melihatnya bayangan wanita sinting itu, begitu pula waktu dia mencari-cari di
jalan raya, wanita sinting itu tidak terlihat mata hidungnya. Menjelang tengah
malam, Kun Hong baru kembali ke rumah penginapannya.
<>
Keesokan paginya, di saat Kun
Hong baru terbangun dari tidurnya, justru di saat itu dia mendengar suara
tangisan. Itulah suara tangisan wanita sinting yang kemarin, yang telah
kematian suami dan puteranya. Suara tangisan itu berasal dari luar kamarnya,
mungkin wanita yang bernasib malang itu tengah dipermainkan oleh para pelayan
rumah penginapan itu lagi.
Kun Hong melompat turun dari
pembaringannya dan cepat-cepat mencuci muka. Dia telah bersalin pakaian, dan
keluar dari kamarnya. Benar saja, dugaan Kun Hong tidak meleset dia melihat
beberapa orang pelayan tengah mengodai wanita sinting itu yang tengah duduk
numprah di dekat pintu rumah penginapan tersebut, sambil memperdengarkan suara
isak tangisnya yang cukup keras.
Kun Hong cepat-cepat
menghampiri dan pelayan-pelayan yang tengah menggodai wanita sinting itu. Waktu
melihat Kun Hong cepat-cepat menyingkir.
„Pee-bo,” kata Kun Hong dengan
suara yang sabar dan lembut ramah. Lalu ia menambahkan, „Apakah kau sudah
makan? Jika belum, makanlah! Aku yang akan membayar semuanya…..”
Tetapi wanita sinting itu
tidak menyahuti, dia tetap menangis tidak hentinya, hanya kepalanya
digeleng-gelengkan ke sana sini, dia tengah tenggelam dalam kesedihan yang luar
biasa.
Kun Hong berusaha membujuknya
beberapa kali, tetapi wanita sinting itu tetap dengan tangisannya.
Di saat itulah, dari arah
jalan raya di luar rumah penginapan terdengar suara derap langkah kaki kuda.
Dan tiga ekor kuda tunggangan berhenti di muka rumah penginapan. Tiga orang tua
yang bertubuh tinggi tegap itu, memakai baju ringkas dan wajah yang ditumbuhi
brewok yang tebal kasar menyeramkan karena garang telah melangkah masuk ke
dalam ruangan penginapan itu. Waktu ingin melewati pintu, justru wanita sinting
itu menghalangi jalan mereka, dengan duduknya dia disitu. Dengan gusar salah
seorang diantara ketiga orang itu, yang di tengah telah menggerakan kaki
kanannya menendang keras sekali disertai dengan makiannya,
„Perempuan sial.....? Anjing
geladak mana yang mengotori tempat ini?”
Tendangan itu hebat sekali dan
tubuh wanita yang bernasib malang tersebut segera saja terpental ambruk di
lantai sebelah dalam. Tangisnya jadi semakin keras juga.
Menyaksikan kekasaran orang
yang baru datang itu, tentu saja Kun Hong jadi gusar bukan main, darahnya jadi
meluap. Cepat sekali pemuda itu telah berdiri dengan mata yang terpentang
lebar. Dia juga telah membentak dengan penuh kemarahan.
„Kalian manusia-manusia tidak
tahu malu yang telah menghina manusia lemah tidak berdaya!”
Mendengar makian seperti itu,
ketiga lelaki bertubuh tegap berewok itu telah tertegun sejenak, kemudian
mereka telah saling pandang satu dengan yang lainnya diantara mereka bertiga
diakhiri dengan suara tertawa bergelak dari mereka.
„Ohh, pemuda bau kencur,
apakah kau tidak mengenal kami ini bertiga siapa? Kami adalah Cauw-cong (kakek
moyang) mu!” bentak lelaki berewok yang tadi telah menendang wanita sinting
itu.
Kun Hong tertawa dingin dia
tidak memandang sebelah mata ketiga orang itu, sedikitpun dia tidak takut,
terlebih lagi melihat perbuatan ketiga orang itu yang tidak pada tempatnya.
„Aku tidak perlu mengenal
manusia-manusia bejat moral seperti kalian!” bentak Kun Hong dengan suara yang
dingin. „Disamping itu, memang kenyataannya kalian hanya pantas menjadi
Cauw-cong dari kucing atau anjing…..”
Hebat ejekan yang dilontarkan
oleh Kun Hong. membuat muka ketiga orang itu jadi berubah merah padam karena
gusar.
„Ohh pemuda tidak tahu
diuntung dan tidak mengenal mampus!” memaki ketiga orang itu hampir serentak.
„Kami Sam-kiam-hun (Arwah tiga pedang) tidak pernah menerima kata-kata hinaan
seperti itu! Walaupun tubuhmu dirobek-robek, belum dapat membayar lunas
hinaanmu itu!” Dan membarengi dengan perkataannya itu, lelaki berewok yang
seorang tersebut telah mementang langkahnya dan dia telah menghampiri Kun Hong,
dan kedua tangannya telah dipentang untuk menyambar mencengkeram lengan pemuda
she Cu tersebut.
Cu Kun Hong yang memang sejak
tadi telah bersiap sedia penuh kewaspadaan, telah memperdengarkan suara tertawa
dingin kemudian dia telah menggeser kakinya sedikit lalu berkelit ke samping,
loloslah cengkeraman tangan orang berewok itu.
Tentu saja orang itu,
Sam-kiam-hun jadi mengeluarkan seruan murka disertai juga oleh serangan
berikutnya. Tangan kirinya menghantam kuat ke depan, sedangkan tangan kanannya
telah mencengkeram. Itulah gerakan Jie-liong-cut-hay, Sepasang Naga Keluar dan
Lautan, gerakannya gesit dan dia juga memiliki tenaga latihan gwa-kee yang
bukan main besarnya. Dengan sendirinya, serangan itu jika mengenai sasarannya
dengan tepat, niscaya tubuh lawannya akan terpental dan hancur seluruh tulang
rusuknya.
Tetapi walaupun demikian, Kun
Hong tidak merasa takut sedikitpun juga. Dengan mendengus dingin, Kun Hong
tidak berusaha berkelit dengan mempergunakan tenaga dalam yang telah disalurkan
kepada kedua lengannya, dia telah melancarkan serangannya itu dengan kibasan.
„Trakkk!” tangan mereka telah
saling bentur dengan kuat sekali dan disusul juga oleh suara seruan tertahan
dari orang berewok itu, karena dia merasakan betapa tangannya tergetar dan
kuda-kudanya tergempur. Kalau orang berewok itu tidak cepat-cepat mengempos
semangatnya, niscaya tubuhnya akan terdorong ke belakang terjengkang di lantai.
Sedangkan Kun Hong juga kaget
bukan main karena dia merasakan tenaga serangan yang dilancarkan oleh lelaki
berewok itu tidak bisa diremehkan, tenaga itu beratnya hampir tigaratus kati,
dan kalau saja dia tidak menangkisnya dengan baik tentu bisa menyebabkan Kun
Hong terluka di dalam.
Kenyataan seperti ini, membuat
Kun Hong bersikap jauh lebih hati-hati lagi. Dan di saat melihat si lelaki
berewok itu bersiap-siap untuk melan¬carkan serangan pula, Kun Hong mengawasi
dengan penuh waspada. Sedangkan kedua lelaki berewok lainnya, telah menerjang
maju, mereka melihat Kun Hong memiliki kepandaian yang lumayan dan saudaranya
itu tidak bisa merubuhkan dengan mudah dan cepat, maka karena mereka tidak
ingin membuang-buang waktu, keduanya telah menerjang maju untuk membantui
kawannya itu.
Dengah majunya kedua lelaki
berewok itu, memang Kun Hong kini sekaligus menghadapi tiga lawan yang tidak
ringan. Dia telah bersiap-siap untuk menyambut serangan. Karena dia gusar
sekali melihat tindakan lelaki berewok itu yang telah main tendang kepada
wanita sinting itu. Tetapi, disamping itu, Kun Hong bukannya tidak menyadari
akan bahaya yang tengah mengancam dirinya. Dan walaupun bagaimana dengan
sekaligus menghadapi ketiga orang lawannya itu, berarti dia harus lebih hati-hati
dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Lengah sedikit saja, berarti dia akan
berurusan dengan elmaut……!
Ketiga orang lelaki berewok
itu telah menerjang melancarkan serangan dari tiga jurusan, serangan juga
merupakan serangan yang mematikan dan merupakan serangan yang mengincar
bagian-bagian yang sekaligus bisa membuat lawan menjadi mati atau bercacad
seumur hidup.
Dengan diserang dari tiga
bagian, dari depan, pinggir kiri dan kanan, maka Kun Hong harus memecahkan
perhatiannya. Tetapi dia sedikitpun tidak takut. Dengan mempergunakan gerakan
Tui-hong-soat-ie (Mengejar Angin Memakai baju Es), tangannya telah
berputar-putar dengan gerakan yang cepat sekali. Pukulan-pukulan dan
tangkisan-tangkisan yang dilancarkan oleh Kun Hong merupakan gerakan yang tidak
ringan dan juga tidak dapat diremehkan, karena sekali saja mengenai sasaran,
berarti bisa mendatangkan maut untuk lawan-lawannya tersebut.
Jurus demi jurus telah
berlangsung dengan cepat sekali, sebentar saja telah belasan jurus. Tetapi
walaupun dikeroyok tiga orang seperti itu, kenyataannya Kun Hong sama sekali
tidak terdesak, dan dia telah berhasil memberikan perlawanan yang gigih dan
tangguh sekali.
Ketiga lelaki berewok itu
semakin lama jadi semakin penasaran, mereka telah melancarkan serangan semakin
gencar dan hebat sekali disertai oleh maki-makiannya yang kotor.
Pelayan dan kuasa rumah
penginapan itu jadi panik, berulang kali mereka berteriak-teriak memohon kepada
orang-orang yang tengah bertempur itu agar bertempur di luar saja, sebab ia
mengatakan modalnya kecil, jika terjadi pertempuran seperti ini di dalam
ruangan, tentu akan mendatangkan kerusakan dan berarti amblasnya usahanya.
Tetapi orang-orang yang tengah bertempur itu mana melayani teriakan kuasa rumah
penginapan, mereka telah bertempur dengan hebat sekali dan semakin lama gerakan
mereka semakin cepat, sehingga orang-orang yang menyaksikan jalannya
pertempuran itu jadi kabur dan berkunang-kunang, karena tubuh mereka itu
seperti juga tiga sosok bayangan yang bergerak-gerak mengaburkan pandangan
mereka.
Saat itu Kun Hong mengeluh
juga di dalam hatinya karena dia merasakan tekanan dari serangan ketiga
lawannya semakin berat dan semakin sulit dapat menangkis atau hanya mengelakkan
diri saja. Tetapi lawan-lawan Kun Hong juga terkejut karena walaupun mereka
telah melancarkan serangan dengan ilmu silat simpanan mereka, kenyataannya Kun
Hong berhasil bertahan dengan baik.
Di saat pertempuran itu tengah
berlangsung disertai oleh teriakan yang memekakkan anak telinga, tampak sesosok
bayangan yang berkelebat ke arah keempat orang yang tengah bertempur itu, lalu
disusul oleh suara jerit kesakitan dan suara gedebak-gedebuk tidak hentinya.
Tampaklah suatu peristiwa yang
mengejutkan, karena ketiga lawan Kun Hong ternyata telah terlontar keluar dari
rumah penginapan itu, jatuh bergelimpangan di jalan raya. Dengan cepat ketiga
orang itu melompat bangun dan mengawasi orang yang telah melemparkan mereka ke
jalan raya.
Kun Hong juga menoleh ke arah
orang yang telah menolongnya, dan hatinya jadi kaget bukan main, karena orang
yang telah merubuhkan ketiga lelaki berewok itu dengan hanya sekali
menggerakkan tangan tidak lain dari wanita sinting..... saat itu si wanita
sinting tersebut telah tertawa ha, ha, ha, hi, hi, hi, dan telah duduk numprah
sambil mempermainkan ujung bajunya yang telah robek-robek. Itulah ilmu
Kim-na-ciu ilmu menangkap dan melempar, yang luar biasa.
Dengan adanya peristiwa
seperti itu, ternyata wanita sinting itu memiliki kepandaian yang tinggi dan
lwekang yang sempurna sekali.
Kun Hong saking takjubnya
telah memandang tertegun di tempatnya. Sedangkan ketiga lelaki berewok
tersebut, yang telah menerima pengalaman pahit yang tidak menggembirakan
seperti itu, telah mengawasi dengan murka, tetapi untuk maju lagi mereka jeri.
„Tunggulah, kami akan segera
datang lagi! Sam-kiam-hun tidak pernah membiarkan begitu saja setiap hinaan!”
kata salah seorang di antara ketiga lelaki berewok tersebut, lalu mereka telah
memutar tubuh dan melompat naik ke atas kuda mereka segera dilarikan dengan
cepat sekali.
Sedangkan si wanita sinting
itu seperti juga tidak memperdulikan kepergian ketiga lelaki berewok itu. Kun
Hong juga tidak mengejar atau menahannya, dia hanya mengawasi saja kepergian
ketiga lelaki berewok itu dengan hati yang diliputi oleh berbagai perasaan.
Dengan lesu Kun Hong telah menghampiri wanita sinting itu dan dia telah
menjura,
„Terima kasih atas pertolongan
yang diberikan oleh peebo!” kata Kun Hong sambil membungkukkan tubuhnya.
Tetapi wanita sinting itu
tidak melayani dia, hanya terus juga mempermainkan ujung bajunya, sekali-kali
terdengar dia bersenandung perlahan.
„Pasangan Wan-yoh.
Mega biru.
Laut bergelombang.
Ikan Leehi berpasangan.
Aduhai anak, aduhai anak.....”
Kun Hong telah memilih
kata-kata untuk menarik perhatian wanita sinting itu, untuk diajak
bercakap-cakap, karena Kun Hong menyadari bahwa wanita tersebut tentunya
seorang wanita yang luar biasa, setidak-tidaknya kini muncul perasaan kagum
dihati Kun Hong, karena dengan hanya sekali menggerakkan tangannya saja,
ternyata wanita sinting itu telah dapat melempar serentak ketiga lelaki berewok
itu.
Namun belum lagi Kun Hong
sempat mengucapkan kata-katanya, wanita sinting itu telah mengangkat kepalanya
dan memandang keluar pintu, wajahnya luar biasa sepasang alisnya berkerut dan
bibirnya bergetar.
„Ya..... ya......, hanya dia
yang dapat menolongku,” menggumam wanita itu perlahan sekali tetapi suaranya
mengesankan sekali.
„Siapa.....?” tanya Kun Hong
yang jadi tertarik, walaupun dia yakin wanita itu memang sinting dan
kata-katanya tentu tidak keruan, namun karena cara bicara dari wanita itu, dia
ingin mengetahui siapakah, orang yang dimaksudkan oleh wanita sinting itu, yang
katanya hanya orang itu yang dapat menolongnya.
Wanita sinting itu tidak
menoleh ke arah Kun Hong, hanya mulutnya bergerak-gerak menyebutkan serangkaian
kata-kata yang mengejutkan Kun Hong.
„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.....!
Ya, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.....! Hanya dia yang dapat menolongi aku….. hanya
dia yang bisa membunuh dan membalas sakit hatiku terhadap manusia-manusia
biadab itu. Hanya Sin-tiauw Tayhiap….., hanya Sin-tiauw Tayhiap…..”
Kun Hong menghela napas
panjang, karena dia mengetahui bahwa wanita sinting ini tentu ingin mengartikan
jika ada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko yang bersedia membantunya, tentu sakit hatinya
terhadap orang-orang yang telah membunuh suami dan anaknya itu dapat dibalas.
Tetapi kemana dia harus
mencari Sin-tiauw Tayhiap, karena seluruh orang-orang gagah rimba persilatan
umumnya mengetahui setelah membinasakan Kaisar Mangu di Siang-yang, yang akhirnya
merupakan kemenangan bagi pihak tentara Song, Yo Ko bersama orang-orang gagah
lainnya menghilang. Bersama-sama dengan Kwee Ceng, Oey Yong, Oey Yok Su,
It-teng Taysu, Ciu Pek Thong dan jago-jago lainnya, Yo Ko memang telah
mendatangi gunung Hoa-san untuk menyambangi kuburan See-tok Auwyang Hong dan
Pak-kay Ang Cit Kong.
Dari Hoa-san orang-orang gagah
itu telah berpisah mengambil jalannya masing-masing. Yo Ko dan Siauw Liong Lie
tidak terdengar kabarnya lagi, begitu juga Tong-shia Oey Yok Su maupun Lam-ceng
It-teng Taysu, mendadak semuanya seperti lenyap hilang dari dunia persilatan
dan tidak pernah terlihat lagi oleh siapapun juga. Peristiwa berkumpulnya
orang-orang gagah di Hoa-san yang terakhir itu telah terjadi tiga tahun yang
lalu, dari sebegitu lama Kun Hong belum pernah bertemu dengan orang-orang gagah
itu, dan hanya Kwee Ceng dan Oey Yong yang kemarin telah berhasil dijumpainya
secara kebetulan.
Kun Hong tidak bisa berpikir
lebih lama lagi, karena dilihatnya wanita sinting itu telah lompat berdiri dan
berlari keluar rumah penginapan sambil tertawa ha, ha, hi, hi.
Pemuda pelajar she Cu tersebut
tidak bisa melakukan apa-apa selain menghela napas panjang. Hatinya terharu
sekali memikirkan nasib buruk wanita sinting itu. Jika tidak, tentu wanita itu
merupakan seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi dan
mengagumkan sekali. Sambil duduk dikursinya menghadapi araknya Kun Hong jadi
berpikir juga, jika memang wanita sinting itu berhasil ditunjuki jalan sehingga
berhasil bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, tentu penyakit sinting wanita
itu dapat disembuhkan jago besar di jaman ini dengan mempergunakan ilmu tunggal
Tan-cie-sin-thong dan lwekang Yo Ko yang sudah tiada taranya di saat ini.
Kun Hong jadi tidak berselera
untuk berdiam lebih lama di perkampungan tersebut. Setelah menyelesaikan
pembayaran sewa kamarnya pemuda itu telah melanjutkan perjalanannya. Dengan
menunggang kudanya perlahan-lahan Kun Hong mengambil arah barat.
◄Y►
Angin di pagi itu sejuk dan
matahari belum naik tinggi, setelah berjalan belasan lie, dia tiba di muka
sebuah tegalan dan Kun Hong membiarkan kudanya memamah rumput, sedang dia
menikmati keindahan di sekitar tempat itu. Tetapi dalam kesunyian tempat itu
tiba-tiba telinga Kun Hong yang tajam telah mendengar benturan senjata disertai
oleh suara bentakan-bentakan.
Kun Hong jadi heran entah
siapa yang tengah melakukan pertempuran itu. Cepat-cepat dia melarikan kudanya
menuju ke arah suara benturan senjata tajam itu dan ketika dia tiba di sebuah
tikungan dibalik sebungkah batu gunung yang cukup tinggi, di sebuah tanah datar
tampak beberapa sosok tubuh tengah berkelebat dengan gesit dan suara
berkontrangan benda logam yang semakin keras. Kun Hong melompat turun dari
kudanya dan memperhatikan dengan heran. Terlebih lagi setelah dia memperoleh
kenyataan seorang lelaki tua berjenggot panjang menutupi sampai ke perutnya dan
telah putih semuanya itu, tengah melompat kesana kemari lincah luar biasa
menghadapi serangan belasan orang bertubuh tinggi tegap. Dengan suara jenaka
laki-laki tua itu telah berseru nyaring,
„Maju, ayoh maju…… kalau
sekarang kalian bermaksud melarikan diri itupun sudah tidak bisa akan kujamu
kalian seorangnya dengan secawan air kencing!” Jenaka sekali cara berkata-kata
orang tua berjenggot panjang itu.
Yang luar biasa adalah
gerakannya yang selalu dapat mengelakkan dengan mudah serangan dari lawannya.
Tanpa mempergunakan senjatanya orang tua berjenggot itu melompat kesana kemari
dengan sekali-kali menyentil senjata lawan-lawannya, sehingga senjata itu
saling bentur sendirinya diantara lawan-lawannya. Suara berkontangan berasal
dari saling benturan senjata belasan orang lawan si kakek tua berjenggot
panjang itu amat berisik sekali.
Kun Hong mengerutkan alisnya,
dia berdiri heran bukan main melihat kepandaian si kakek yang begitu luar
biasa. Walaupun belasan orang lawan si kakek itu seperti dapat dipermainkan
oleh kakek itu dengan mudah, kenyataannya kepandaian belasan orang itu bukan
kepandaian yang rendah. Kun Hong melihatnya, mungkin jika dirinya menghadapi
satu atau dua orang dari lawan kakek itu, dia tidak akan sanggup.
„Dengan kepandaian seperti ini
kalian mau mengadu kepandaian dengan merundingkannya di Hoa-san benar-benar
bukan urusan yang lucu! Ayo aku Loo Boan Tong akan memperlihatkan kepada kalian
apa yang disebut ilmu kucing!”
Dan membarengi dengan
perkataannya itu, kakek tua itu dengan sikap yang luar biasa dengan sepasang
tangan diangkat sebatas bahunya dan mimik muka yang jenaka serta
memperdengarkan suara „meoong”, tahu-tahu kedua tangannya mencakar kesana
kemari, dan yang lebih luar biasa beberapa orang lawannya telah terpental dan
senjata mereka jatuh ke tanah tanpa berdaya untuk bertahan. Tubuh keempat orang
yang terpental itu bergulingan di tanah dengan mengeluarkan suara jeritan kaget
bercampur kesakitan.
Kakek tua itu telah tertawa
bergelak-gelak, sedangkan sisa lawan-lawannya mengawasinya dengan pancaran mata
bengis mengandung kemurkaan bukan main.
„Loo Boan Tong, tidak perlu
kau terlalu sombongkan diri dengan kepandaianmu itu, karena kami belum tentu
akan menyerah!” bentak salah seorang diantara lawannya yang memakai pakaian
sebagai seorang petani, bahkan telah melancarkan serangannya dengan
mempergunakan garunya yang akan menggaruk kepala Loo Boan Tong, kakek tua
berjenggot yang jenaka itu.
Dengan disertai tertawanya
yang jenaka, Loo Boan Tong melejit ke samping, tahu-tahu tangan kanannya
mencakar dan mencengkeram garu orang itu.
„Takk!” patahlah garu itu
menjadi tiga. Dan di saat orang itu belum lenyap kagetnya, tahu-tahu kakek tua
berjenggot itu telah mengibaskan tangannya, maka tanpa ampun lagi orang yang
berpakaian seperti petani itu merasakan dadanya seperti dihantam oleh tenaga
yang ratusan kati, tanpa ampun lagi dia rubuh terjengkang ke belakang. Untung
saja orang itu memiliki kepandaian yang tinggi, sebab dia telah berhasil
berdiri tetap lagi.
Kun Hong yang menyaksikan
semua itu jadi berdiri bengong, hatinya tergoncang. Dia mendengar
disebut-sebutnya Loo Boan Tong, maka dia jadi teringat seseorang. Bukankah
orang tua berjenggot panjang itu Ciu Pek Thong. Loo Boan Tong si tua jenaka
yang kini telah memperoleh kedudukan sebagai salah seorang jago diantara
Ngo-ciat (lima jago luar biasa).
Bukankah kini disamping Oey
Yok Su yang duduk sebagai Tong-shia, It-teng Taysu sebagai Lam-ceng (pendeta
Selatan) sebelum pertemuan terakhir It-teng Taysu duduk sebagai Lam-tee (Kaisar
dari selatan), Yo Ko duduk sebagai See-kong menggantikan kedudukan See-tok
Auwyang Hong, Kwee Ceng sebagai Pak-hiap menggantikan Pak-kay Ang Cit Kong, dan
Ciu Pek Thong sebagai Tiong Boan Tong. Tentu saja, dengan disejajarkan sebagai
salah seorang dari kelima jago luar biasa dljaman itu, bisa dimengerti
kepandaian Loo Boan Tong bukan main hebatnya!
Disamping itu, karena sikapnya
yang usil dan nakal, Ciu Pek Thong seringkali menemui berbagai kesulitan.
Memang pertemuannya dengan Eng Kauw telah membawa perobahan sedikit didiri Ciu
Pek Thong, namun jago tua ini tetap saja tidak bisa melenyapkan sifat
kekanak-kanakannya.
Hari itu, Ciu Pek Thong tengah
melakukan perjalanan ke Hoa-san untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw
Liong Lie, yang telah berjanji dengannya untuk bertemu disana guna
menyembayangi kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong. Tetapi di tengah
perjalanan justru dia menemui kejadian yang membuat hatinya jadi mendongkol
bukan main, yang telah mengkilik-kilik hatinya, yang nakal.
Di sebuah kedai arak di kota
Siang-bun-kwan secara kebetulan Ciu Pek Thong mendengar percakapan belasan
orang-orang yang tengah makan minum dengan suara yang berisik sekali. Semula
Ciu Pek Thong tidak mengacuhkan mereka, namun akhirnya di saat diantara belasan
orang itu telah menyebut-nyebut nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Kwee Ceng
Tayhiap dengan suara yang lantang, maka Ciu Pek Thong jadi tertarik.
„Hemmm, dulu memang mereka
bisa disebut sebagai jago-jago tiada tara di jagat ini namun sekarang.....?
Yang sudah pasti gelombang di belakang mendorong gelombang yang di depan jelas
bukan? Maka kini dari angkatan muda telah muncul jago-jago yang memiliki
kepandaian tidak di bawahnya Yo Ko dan Kwee Ceng. Kita akan merundingkan ilmu
silat di Hoa-san, dan kelak kita akan perlihatkan hasil perundingan itu, siapa
sesungguhnya yang tinggi dan siapa yang rendah,” kata salah seorang di antara
belasan orang itu dengan suara yang nyaring.
Kawan-kawannya tertawa bahkan
salah seorang di antara mereka telah menimpalinya.
„Benar! Tepat! Jika kita telah
selesai mengadakan perundingan ilmu di Hoa-san kita boleh menantang Yo Ko dan
Kwee Ceng, atau kalau perlu Oey Yok Su dan It-teng Taysu biarlah mereka melihat
siapa sesungguhnya yang memiliki kepandaian tertinggi di jaman ini.”
Kata-kata itu diakhiri dengan
seruan-seruan dan tertawa gembira diantara belasan orang itu. Bahkan ada juga
yang terkebur merendah-rendahkan Yo Ko dan orang gagah lainnya yang dipandang
rendah.
Inilah urusan yang luar biasa
bagi Loo Boan Tong karena umumnya orang rimba persilatan telah mengetahui bahwa
kepandaian Yo Ko, It-teng, Oey Lo-shia, Kwee Ceng dan para jago lainnya dalam
golongan Ngo-ciat dan semuanya merasa takluk. Tetapi hari ini juga justru Ciu
Pek Thong mendengar belasan orang tersebut seperti tidak memandang sebelah mata
dan meremehkan jago-jago dari golongan Ngo-ciat itu, bukankah suatu peristiwa
yang luar biasa? Siapakah belasan orang yang tidak mengetahui tingginya langit
dan dalamnya bumi itu? Dan yang terutama sekali membuat tangan Ciu Pek Thong
jadi gatal justru namanya tidak disebut-sebut. Bukankah kini dia merupakan
salah satu dari Ngo-ciat? Bukankah dia sebagai Tiong Boan Tong?
Di saat itulah Ciu Pek Thong
telah mengambil keputusan untuk mempermainkan belasan orang tersebut. Dengan
tenang Ciu Pek Thong telah melanjutkan meneguk araknya perlahan-lahan.
Dihitung-hitungnya dia menjanjikan Yo Ko dan Siauw Liong Lie untuk bertemu di
Hoa-san di harian Cit-gwe Ce-sah (tanggal tiga bulan tujuh) dan hari itu baru
Lak-gwe Cap-go (Tanggal Lima belas bulan enam) maka dia masih memiliki waktu
delapan belas hari. Sedangkan dari kota Siang-bun-kwan untuk mencapai Hoa-san
hanya memerlukan sebelas atau duabelas hari, maka berarti Ciu Pek Thong masih
memiliki waktu luang lima-enam hari.
Dia bermaksud untuk main-main
dulu, untuk mempermainkan belasan orang yang seperti ingin menaklukan langit
itu, karena Ciu Pek Thong penasaran sekali mendengar percakapan mereka itu.
Ingin sekali ia melihatnya, sesungguhnya berapa tinggi kepandaian yang dimiliki
belasan orang-orang tersebut yang berani menyatakan bahwa Yo Ko dan jago-jago
golongan Ngo-ciat berada di bawah mereka?
Belasan orang itu masih terus
makan dan minum dengan gembira, suara mereka berisik sekali.
02.04. Sajian Arak Istimewa
Semakin mendengar percakapan
mereka hati Ciu Pek Thong semakin dikilik-kilik, karena selama itu tetap juga
dia tidak pernah mendengar namanya disebut walaupun hanya satu kali. Hal itu
membuat Ciu Pek Thong sangat penasaran sekali dan dia menduga mungkin belasan
orang itu menganggap Ciu Pek Thong adalah manusia yang tidak layak dibicarakan
karena kepandaiannya yang rendah.
Karena penasaran, akhirnya
muncul sifat jailnya. Diambilnya tahang arak, yang sebesar tiga kepalan tangan,
lalu dibawa ke kolong meja. Perlahan-lahan dia menuangkan arak dalam guci itu
ke atas lantai, sehingga guci arak itu kering. Dibuka tali celananya dan Ciu
Pek Thong kencing ke dalam guci itu. Setelah guci itu penuh oleh air kencingnya
dia mengikat kembali tali celananya, dengan tenang Ciu Pek Thong bangkit dari
duduknya menghampiri meja belasan orang itu.
„Sahabat-sahabat aku, si tua
sejak muda gemar sekali ilmu silat, walaupun tidak pernah mempelajarinya, namun
senang untuk mendengarinya. Tadi lohu (aku si tua) mendengar para eng-hiong dan
ho-han (orang gagah) membicarakan masalah kalangan Kang-ouw, betapa kagumnya
aku si tua, sebab tentunya Eng-hiong dan Ho-han merupakan jago-jago luar
biasa..... sebab Yo ko, Kwee Ceng atau yang lainnya tidak ada di mata kalian.
Ingin sekali aku memberi hormat dengan masing-masing secawan arak.”
Tentu saja belasan orang itu
girang mendengar pujian Ciu Pek Thong, mereka mengangguk-ngangguk dengan
sombong.
„Siapa namamu, tua bangka?”
tegur salah seorang diantara belasan orang itu dengan suara yang sombong
sekali, karena dia menduga Ciu Pek Thong sebagai kakek-kakek tua yang gila basa
untuk urusan ilmu silat, dan tadi orang tua itu telah memanggil mereka dengan
sebutan eng-hiong dan hohan, orang-orang gagah, tentu saja mereka semakin
sombong dan karena kesombongan mereka itu telah melewati takaran, tidak
mengherankan jika salah seorang diantaranya mereka sampai ada yang menyebut Ciu
Pek Thong dengan sebutan „tua bangka”.
Waktu pertama kali mendengar
panggilan „tua bangka” seperti itu, Ciu Pek Thong tertegun, hatinya mendongkol
bukan main tetapi kakek tua ini bukan Loo Boan Tong jika dia tidak jenaka,
cepat-cepat dia nyengir sambil manggut-manggutkan kepalanya.
„Namaku buruk sekali, seperti
yang tadi eng-hiong sebutkan, yaitu Lauw Lo (tua bangka),” kata Ciu Pek Thong.
Keruan saja belasan orang itu
jadi tertawa geli. Dengan mendongkol Ciu Pek Thong berpikir, „Lihat saja nanti
setelah kalian minum arak istimewaku!” Dengan cepat Ciu Pek Thong mempersiapkan
cangkir-cangkir itu.
Begitu ,,arak istimewa” Ciu
Pek Thong mengisi penuh cawan-cawan tersebut, seketika itu juga harum semerbak
yang „halus” menerjang di sekitar tempat tersebut. Tetapi karena belasan orang
itu, tepatnya keempatbelas orang itu, tengah bergirang oleh pujian si tua yang
nakal ini, mereka tidak memperhatikan „harum semerbak” dari arak istimewanya
Ciu Pek Thong.
„Silahkan, silahkan,” kata Ciu
Pek Thong cepat, „Untuk kegagahan kalian eng-hiong dan ho-han…..!”
Dengan serentak keempatbelas
orang itu telah mengangkat cawan mereka masing-masing, sekali gus meneguk
isinya. Tetapi begitu arak istimewa itu berpindah ke perut, keempatbelas orang
gagah itu jadi berobah, mata mereka mendelik, dan „Uahh!” semuanya berusaha
memuntahkan kembali apa yang telah mereka minum tadi.
Ciu Pek Thong tidak
tanggung-tanggung mempermainkan keempatbelas orang tersebut, dia tidak tertawa,
bahkan memperlihatkan sikap terkejut.
„Ihh, ada yang tidak beres?”
tanyanya memperlihatkan sikap terheran-heran.
„Arak..... arak apa yang kau
berikan kepada kami?” tegur dua orang di antara keempatbelas orang itu yang
telah berhasil memuntahkan sebagian arak istimewa yang telah mereka minum.
„Arak apa? Tentu saja arak
istimewa, arak nomor satu di dunia,” menyahuti Ciu Pek Thong.
„Tetapi….. mengapa arak ini
berbau demikian macam?” tanya orang itu sambil mengerutkan alisnya dan melirik
ke arah beberapa orang kawannya yang tengah muntah-muntah.
„Bau apa Tayhiap?” tanya Ciu
Pek Thong.
„Se... seperti bau......” tetapi
orang itu ragu-ragu untuk menyebutkannya.
Seorang kawannya yang baru
saja muntah telah berteriak gusar. „Seperti bau air kencing?”
Seketika itu juga Ciu Pek
Thong tidak bisa menahan tertawanya lagi, meledaklah tertawa si tua yang nakal
ini.
„Benar! Benar! Aku sudah tua
dan pikun! Memang aku salah mengambil guci, ternyata guci ini terisi air
kencingku. Maaf, aku tua ternyata telah salah memberikan hormat.....”
Keruan saja muka keempatbelas
orang itu jadi berobah merah padam karena murka. Dengan bengis dua orang itu
diantara mereka telah menerjang ke depan Ciu Pek Thong dengan maksud
mencengkeram dan menghajar si tua.
Tetapi Ciu Pek Thong tetap
tertawa dan berdiri di tempatnya di saat kedua orang itu telah menyambar dekat,
dengan gerakan seenaknya tangannya telah digerakkan dan tidak ampun lagi kedua
orang itu terpental dan bergulingan ambruk di lantai.
Kedua belas kawan-kawannya
jadi terkejut, tetapi kemudian mereka tersadar dengan murka dengan cepat
beberapa orang diantara mereka telah mencabut senjata mereka, ada yang mencekal
golok dan pedang, dengan bengis menabas dan membacok Ciu Pek Thong.
Tetapi si tua nakal yang
memang sengaja hendak mempermainkan keempatbelas orang tersebut, tidak ingin
menimbulkan kegaduhan di dalam rumah makan tersebut, sambil tetap tertawa geli
terpingkal-pingkal, Ciu Pek Thong telah menjejakan kakinya ke lantai, tubuhnya
bagaikan seekor burung telah melompat keluar. Hal ini dilakukan oleh Ciu Pek
Thong disebabkan dua soal. Persoalan pertama untuk mencegah kerugian pihak
rumah makan jika terjadi kerusakan rumah makan itu oleh pertempuran, kedua
memang Ciu Pek Thong ingin memancing belasan orang itu ke suatu tempat yang
sepi, untuk menghajar mereka sepuas hati.
„Kejar...... jangan biarkan
dia lolos!” berseru belasan orang itu dengan murka dan mereka telah melompat
mengejar secepatnya.
Ciu Pek Thong sengaja tidak
berlari cepat dia sengaja agar keempatbelas orang itu tetap dapat mengikutinya
dan tidak kehilangan jejak. „Hemmm, dengan memiliki kepandaian cakar kucing
seperti itu ingin menjagoi?” menggumam si kakek sambil berlari seenaknya.
„Sungguh tidak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi.....!”
Walaupun Ciu Pek Thong berlari
seenaknya tetapi keempatbelas orang yang telah dipermainkannya itu tetap saja
tidak berhasil mengejar mendekatinya. Tentu saja keempatbelas orang itu jadi
penasaran bukan main, dengan mengeluarkan seruan-seruan bengis mereka berusaha
untuk mengejar lebih dekat lagi.
Dalam sekejap mata saja mereka
telah berlari belasan lie, tetapi Ciu Pek Thong tetap tidak menghentikan
larinya.
„Tua bangka, jika kau tidak
mau berhenti juga, kami jangan dipersalahkan menurunkan tangan terlalu kejam!”
teriak beberapa orang di antara pengejarnya itu.
Ciu Pek Thong hanya
memperdengarkan suara tertawa mengejek sambil berlari terus kemudian disusul
oleh kata-katanya. „Aku Lauw Lo memang sudah hampir mampus jika memang kalian
ingin membuat Lauw Lo ini pergi ke Giam-lo-ong silahkan, silahkan…..!”
Tentu saja keempatbelas orang
itu semakin penasaran saja, karena walaupun bagaimana mereka merasakan diri
mereka sebagai jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi, dimana mereka
merupakan murid-murid pandai dari beberapa pintu perguruan yang memiliki nama
terkenal dalam kalangan Kangouw. Tetapi kini dengan demikian mudah mereka telah
dipermainkan oleh seorang tua bangkotan seperti itu, bahkan merekapun telah
terlanjur meneguk „arak istimewa” air kencingnya Ciu Pek Thong.
Malu yang diderita oleh mereka
tentu saja tidak akan terhapus jika tidak oleh kematian si tua yang nakal itu.
Mati-matian mereka tetap mengejarnya dan berusaha menangkap Ciu Pek Thong.
◄Y►
Di saat tiba di tanah datar
itulah Ciu Pek Thong baru menghentikan larinya dan melabrak serta mempermainkan
belasan orang tersebut. Dengan mudah Ciu Pek Thong telah menghajar pulang pergi
keempatbelas orang itu, yang tidak berdaya sesuatu apapun juga untuk melakukan
serangan membalas.
Waktu Ciu Pek Thong
menyebut-nyebut Loo Boan Tong, muka keempatbelas orang itu berubah. Kun Hong
melihat tampaknya lawan-lawan Ciu Pek Thong terkejut bukan main, bahkan mereka
telah melompat mundur dan mengawasi Ciu Pek Thong dengan mata terpentang
lebar-lebar.
„Kau..... kau Loo Boan Tong
Ciu Pek Thong?” tanya beberapa orang diantara mereka dengan suara yang agak
gugup.
Ciu Pek Thong tertawa nakal.
„Benar, justru akupun si tua
bangka memang ingin pergi ke Hoa-san untuk menemui sahabatku, Yo Ko dan
isterinya. Kami telah berjanji untuk bertemu di sana dan kebetulan sekali
kalian memang ingin berkumpul di Hoa-san untuk merundingkan ilmu silat, mari,
mari kita melakukan perjalanan bersama-sama aku agar tidak akan kesepian
lagi…..”
Muka keempatbelas orang itu
jadi berubah pucat mereka telah mundur beberapa langkah dan salah seorang
diantara mereka yang berpakaian sebagai petani, telah menjura memberi hormat.
„Ciu Locianpwe, kami
benar-benar tidak memiliki pengetahuan dan walaupun memiliki mata namun kami
buta tidak bisa melihat tingginya gunung Thian-san. Biarlah hari ini kami telah
menerima petunjuk locianpwe, kelak kami akan meminta lagi petunjuk-petunjuk
locianpwe…..!” dan setelah berkata begitu, dia telah memberi isyarat kepada
kawan-kawannya, tanpa menantikan jawaban Loo Boan Tong mereka telah memutar
tubuh dan berlari meninggalkan tempat tersebut.
Loo Boan Tong tertawa bergelak
karena puas dan gembira telah mempermainkan keempatbelas orang yang besar mulut
itu.
Tetapi di saat Kun Hong
bermaksud untuk menghampiri dan belajar kenal dengan jago tua yang luar biasa
itu, tiba-tiba di tengah udara terdengar suara berkesiuran yang keras dicampur
oleh dengung yang cukup menyakitkan anak telinga, sebatang anak panah tampak
melayang ke tengah udara tinggi sekali, lalu disusul dikejauhan tampak seorang
penunggang kuda yang tengah melarikan kuda tunggangannya itu dengan cepat.
Ciu Pek Thong yang melihat
itu, jadi mengerutkan alisnya, dia menduga-duga entah siapa penunggang kuda
yang tengah menghampirinya itu. Dilihat dan cara orang itu melepaskan anak
panahnya ke tengah udara dengan kekuatan lempar yang demikian kuat tentunya
penunggang kuda itu bukan orang sembarangan. Dengan cepat penunggang kuda itu
telah tiba dihadapan Ciu Pek Thong, kudanya berhenti ketika tali lesnya
digentak keras.
Kun Hong terkejut ketika
melihat betapa penunggang kuda itu berpakaian agak luar biasa. Begitu juga
halnya dengan Ciu Pek Thong, karena penunggang kuda itu berpakaian sebagai
seorang pendeta, dan jubahnya yang lebar itu memperlihatkan dia adalah seorang
pendeta Mongolia.
Inilah yang luar biasa. Sejak
kekalahan pasukan perang tentara Mongolia yang terpukul mundur dari kota
Siang-yang sudah memaksa Kublai menarik pasukannya mundur pulang ke negerinya,
tidak pernah ada orang Mongolia yang berkeliaran di daerah Tiong-goan. Mungkin
pendeta inilah, yang pertama berani menginjakkan kakinya di daratan Tiong-goan.
Pakaiannya sudah luar biasa,
muka pendeta Mongolia itu lebih luar biasa lagi. Sepasang alisnya hitam tebal,
raut wajahnya persegi empat, matanya yang besar tampak bersinar tajam dan agak
licik, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Pendeta ini memelihara jenggot
tipis didagunya dan lengannya berbulu. Waktu kudanya itu berdiri dihadapan Ciu
Pek Thong, justru pendeta Mongolia itu telah melompat turun dengan gerakan yang
ringan dan gesit.
Melihat cara pendeta itu
melompat turun Ciu Pek Thong jadi terkejut, karena dia melihat waktu sepasang
kaki pendeta Mongolia itu menyentuh tanah, sedikitpun tidak menimbulkan suara.
Tentu saja hal itu telah membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh dari pendeta
tersebut sempurna sekali. Dan yang membuat Ciu Pek Thong memandang tertegun justru
pendeta asing tersebut mengingatkan Ciu Pek Thong kepada Kim Lun Hoat-ong,
pendeta Mongolia yang telah menemui kematian di dasar jurang. Dengan jubah yang
besar longgar dan cupu di atas kepalanya yang gundul, benar-benar merupakan
kesan yang kuat untuk mengingat Kim Lun Hoat-ong.
„Eh monyet,” bentak pendeta
asing itu dengan suara yang garang waktu melihat Ciu Pek Thong hanya tertegun
menatapnya. „Hud-ya ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
Ciu Pek Thong seperti baru
tersadar dari bengongnya, dia jadi tertawa sendiri mengingat bahwa dia bisa
kesima karena teringat kepada Kim Lun Hoat-ong. Tetapi mendengar dirinya
dipanggil dengan sebutan „monyet” darahnya jadi meluap.
„Boleh, boleh,” menyahuti Ciu
Pek Thong cepat, „Urusan apakah yang ingin ditanyakan oleh Hud-ong (Budha
hidup)?”
„Tiga tahun yang lalu telah
terjadi pertempuran antara pasukan Song dengan tentara perang Mongolia yang
besar, dalam pertempuran itu ikut serta adik seperguruan Hud-ya, yang bergelar
Kim Lun Hoat-ong, yang sampai kini belum kembali ke utara. Apakah kau pernah
dengar mengenai adik seperguruan Hud-ya itu?”
Melihat pendeta itu memiliki
kepandaian tinggi dan sempurna, terlebih lagi kini mengetahui bahwa pendeta itu
adalah kakak seperguruan Kim Lun Hoat-ong, yang pasti kepandaiannya hebat
sekali maka Ciu Pek Thong berlaku hati-hati. Tetapi memangnya Loo Boan Tong
nakal dia tetap saja ingin mempermainkan pendeta itu, sama halnya ketika
beberapa tahun yang lalu dia pernah mempermainkan Kim Lun Hoat-ong.
„Pernah, pernah, aku si monyet
memang pernah mendengar tentang Kim Lun Hoat-ong!” kata Ciu Pek Thong kemudian.
Muka pendeta itu tampak
berubah terang sambil tersenyum agak menyeramkan, suara yang agak menurun lunak
dia telah bertanya lagi.
„Cepat kau katakan, dimana
sekarang ini adik seperguruanku itu berada, Hud-ya akan memberikan hadiah
kepadamu lima tail emas.”
„Tetapi Hud-ong, aku si monyet
benar-benar takut, untuk mengatakannya, nanti Hud-ong Kim Lun Hoat-ong murka,”
kata Ciu Pek Thong sambil memperlihatkan sikap seperti ketakutan dan bimbang.
„Katakan aku jamin tidak
nantinya adik seperguruanku itu akan bergusar oleh keteranganmu, bahkan mungkin
juga dia akan gembira dan senang sekali melihat aku menjemputnya untuk pulang
ke utara dan aku akan menghadiahkan beberapa tail emas lagi,” kata si pendeta
lagi.
„Benar-benarkah Hud-ong
sebagai kakak seperguruan Kim Lun Hoat-ong?” tanya Ciu Pek Thong.
Muka pendeta itu jadi berobah.
„Rewel benar kau?” bentaknya. „Mustahil Hud-ya ingin mendustai monyet buduk
seperti kau ini? Hud-ya bergelar Tiat To Hoat-ong. Cepat kau sebutkan dimana
beradanya adik seperguruan Hud-ya, jangan membuat Hud-ya bergusar.”
„Mana berani, mana berani aku
si monyet buduk menggusarkan Hud-ya? Sesungguhnya sejak tiga tahun yang lalu
Kim Lun Hoat-ong hanya berpelesiran setiap hari didampingi oleh wanita
cantik…..”
Mendengar Ciu Pek Thong
berkata sampai disitu, si pendeta yang mengaku sebagai kakak seperguruan Kim
Lun Hoat-ong dan bergelar Tiat To atau Golok Besi Hoat-ong, telah menggelengkan
kepalanya dengan sikap jengkel.
„Lwekangnya tentu akan
mengalami kemunduran yang hebat jika Kim Lun selalu mendekati wanita.....”
menggumam pendeta itu dengan suara yang perlahan, kemudian dia telah menoleh
kepada Ciu Pek Thong dan telah berkata lagi dengan suara yang agak keras, „Cepat
katakan bagaimana keadaannya!”
„Tentu saja keadaan Hud-ong
Kim Lun Hoat-ong sangat nyaman, dia tidak perlu makan tidak perlu minum, tidak
perlu berpakaian, dan tidak perlu memikirkan uang atau segalanya.”
„Maksudmu adik seperguruanku
ini dilayani sedemikian baiknya oleh wanita-wanita cantik itu…..?” tanya Tiat
To Hoat-ong tidak sabar.
„Tepat, bahkan disamping
wanita-wanita cantik yang melayani Kim Lun Hoat-ong terdapat juga
manusia-manusia berkepala kerbau dan kuda..... semuanya patuh sekali melayani.”
„Ihhh…..” berseru pendeta itu
heran bukan main. Dia bicara dengan bahasa Han yang kaku, sekarang dia tengah
kaget, tentu saja suaranya jadi lucu terdengar. „Manusia berkepala kuda dan
berkepala kerbau?”
„Benar, itulah keadaan yang
menyenangkan sekali…..”
„Kau tahu tempatnya? Cepat
antarkan aku kesana!” kata Tiat To Hoat-ong tidak sabar.
„Tunggu dulu, jika Hud-ong
yang hendak pergi kesana, aku tentu saja tidak berani melarang, silahkan.....
tetapi..... tetapi jika aku diajak ke sana, tunggu dulu, tidak nantinya aku mau
karena aku si monyet buduk memang masih doyan makan nasi......”
„Memangnya tempat itu tempat
apa sehingga kau tidak mau kesana?” tegur Tiat To Hoat-ong mulai curiga melihat
sikap Ciu Pek Thong.
„Orang-orang biasanya
menyebutnya „negeri barat”, tetapi kami biasanya menyebut sebagai tempat
berpulang manusia-manusia yang sudah bosan makan nasi, tempat duduk
bersemayamnya Giam-loo-ong,” menyahuti Ciu Pek Thong perlahan, tetapi sikapnya
sungguh-sungguh.
„Apa?” teriak Tiat To Hoat-ong
gusar, „Kau..... kau maksudkan neraka?”
„Begitulah kurang lebih
artinya.....” menyahuti Ciu Pek Thong dengan sikap yang tenang sekali.
„Jadi, adik seperguruanku itu
telah dibunuh seseorang?” suara Tiat To Hoat-ong jadi meninggi.
„Bisa diartikan begitu juga,”
menyahuti Ciu Pek Thong jenaka. „Bukankah tadi aku si monyet buduk telah
memberitahukan bahwa Kim Lun Hoat-ong kini sudah tidak perlu sibuk-sibuk makan
nasi dan tidak perlu sibuk-sibuk berpakaian?”
Muka Tiat To Hoat-ong tampak
merah padam, rupanya dia murka bukan main. Dengan menggeluarkan suara seruan
mengguntur yang menyeramkan, dia telah mengangkat tangan kanannya, akan
menghantam kepala Ciu Pek Thong dengan hantaman yang kuat.
Ciu Pek Thong memang telah
bersiap sedia dan berwaspada sejak tadi, karena dia menyadari bahwa pendeta
tersebut memiliki kepandaian yang luar biasa sekali dan tidak bisa dipermainkan
serangannya. Waktu telapak tangan pendeta dari Mongol itu turun ke arah
kepalanya, Ciu Pek Thong merasakan tekanan tenaga serangan meliputi ribuan
kati. Itulah kekuatan tenaga dalam yang benar-benar terlalu luar biasa, hati
Ciu Pek Thong sendiri tergetar, karena dia memperoleh kenyataan bahwa
kepandaian dan tenaga dalam Tiat To Hoat-ong jauh lebih sempurna dari adik
seperguruannya.
Ciu Pek Thong mengetahui itu,
karena dia pernah bertempur dengan Kim Lun Hoat-ong, yang tenaganya telah
dijajakinya, dan kini dia bisa memperbandingkan dengan kekuatan tenaga dalam
Tiat To Hoat-ong, yang tentunya jauh lebih hebat, sehingga mengejutkannya.
Tanpa berani berayal Ciu Pek Thong, mengempos tenaga dalamnya ke pundaknya, dan
dengan tangan kanannya dia menyentil.
Tangan Tiat To Hoat-ong yang
berukuran besar dan bertulang kasar, disamping lebat ditumbuhi bulu dan
meluncur dengan kekuatanya yang luar biasa, tentu saja bukan merupakan serangan
yang sembarangan. Kun Hong yang menyaksikan peristiwa tersebut dari kejauhan
jadi terkejut waktu melihat Ciu Pek Thong hanya menyambuti dengan sentilan
jarinya belaka. Tentu akan celakalah Ciu Pek Thong kalau tidak berhasil mengelakkan
serangan dahsyat itu.
Namun Ciu Pek Thong justru
tidak takut walaupun dia melihat lawannya memiliki kepandaian yang hebat
seperti itu. Dia sambil menyentil masih sempat untuk berjenaka mengejek pendeta
itu.
„Eittt, jangan menyentuh tubuh
si monyet budukan, nanti kau ketularan dan menjadi budukan pula.”
Tentu saja Tiat To Hoat-ong
tambah murka, terlebih lagi telapak tangannya yang terkena sentilan jari
telunjuk Loo Boan Thong seperti ditusuk oleh semacam tenaga yang halus, namun
menusuk sampai ke ulu hatinya disamping itu sasaran telapak tangannya jadi
miring dan menghantam tempat kosong. Ciu Pek Thong masih berdiri tegak di
tempatnya. Keruan Tiat To Hoat-ong jadi memandang tertegun. Semula dia menduga
Ciu Pek Thong adalah seorang penduduk biasa di daerah tersebut tetapi melihat
cara Ciu Pek Thong memusnahkan serangannya itu, dia segera mengetahui bahwa Ciu
Pek Thong memiliki kepandaian yang tidak berada di bawahnya.
Bagi jago-jago kelas satu,
dalam segebrakan saja sudah dapat untuk mengukur kekuatan lawan. Maka begitu
juga dengan Tiat To Hoat-ong, yang telah mengeluarkan suara tertawa mengejeknya
dan disertai dengan bentakan, tahu-tahu tangan kirinya diulurkan dengan cara
mencengkeram yang aneh licin seperti belut, karena, dia mempergu¬nakan jurus
Yoga sedangkan tangan kanannya telah meluncur akan menotok jalan darah
su-sie-hiat di pinggang Ciu Pek thong.
Ciu Pek Thong tidak takut
sedikitpun juga walaupun dia mengetahui bahwa lawannya ini sangat hebat sekali
kepandaiannya. Bahkan Loo-boan-tong girang sekali bisa menemui lawan berat
seperti Tiat To Hoat-ong. Dia memang sudah lama tidak pernah menemui tandingan
yang setimpal, sehingga tangannya terasa gatal sekali dengan berhadapan lawan
seperti Tiat To Hoat-ong, terbangkitlah semangatnya.
Melihat Tiat To Hoat-ong
melancarkan serangan yang hebat seperti itu, dengan menggerakkan kedua kakinya
seperti orang menari, tahu-tahu Ciu Pek Thong telah berada di sisi Tiat To
Hoat-ong, dan tangan kanannya disalurkan untuk menjambak jalan darah
Tiang-bu-hiat di punggung si pendeta.
Tentu saja pendeta itu jadi
mengeluh murka, karena dia merasa dirinya dipermainkan oleh lawannya. Di
negerinya, dia selain sebagai Guru Negara dan diakui sebagai jago nomor satu,
juga sebagai penasehat raja. Kim Lun Hoat-ong sendiri masih berada dibawahnya
beberapa tingkat dan sering meminta petunjuk-petunjuk ilmu Yoga sebelum adik
seperguruannya itu ikut rombongan Mangu ke daratan Tiong-goan. Kini seorang
kakek tua seperti Ciu Pek Thong ternyata bisa mempermainkan dirinya demikian rupa,
dimana setiap serangannya telah gagal, tentu saja membuat pendeta Mongolia itu
jadi murka sekali.
Selama duapuluh tahun terakhir
ini, sela¬ma Tiat To Hoat-ong berada di negerinya, jarang sekali dia turun
tangan untuk bertempur dengan jago-jago manapun juga. Tetapi jika muncul jago
yang tidak terkalahkan dan terpaksa dia turun tangan sendiri, tentu tidak lebih
dari tiga jurus dia akan berhasil merubuhkan jago itu. Maka tidak mengherankan
jika nama Tiat To Hoat-ong sangat dihormati dan disegani oleh seluruh jago-jago
di Mongolia, bahkan Kim Lun Hoat-ong patuh sekali terhadap kakak seperguruannya
ini.
Disamping Tiat To Hoat-ong
telah menguasai ilmu Yoga dengan sempurna benar, diapun telah mengubah semacam
ilmu golok yang digubahnya dari ilmu golok asal India, tidak mengherankan,
disamping sombong dan tidak pernah memandang sebelah mata kepada jago manapun
juga, Tiat To Hoat-ong selalu bertindak, sekehendak hatinya. Rajanya pun tidak
berani melarang sesuatu apapun, bahkan untuk mencegah Tiat To Hoat-ong menimbulkan
kerusuhan, sengaja Tiat To Hoat-ong telah diangkat sebagai Kok-su (Guru negara
penasehat raja).
Waktu tiga tahun yang lalu
Kublai telah mengajak pasukan tentara perangnya pulang ke negerinya di utara,
Tiat To Hoat-ong tidak melihat Kim Lun Hoat-ong. Dia menanyakan ke Kublai dan
memperoleh penjelasan bahwa Kim Lun Hoat-ong waktu itu tengah mengobrak-abrik
jago-jago dataran Tiong-goan, dan mungkin saja dua tahun lagi Kim Lun Hoat-ong
baru kembali ke negerinya tersebut.
Senang hati Tiat To mendengar
itu sehingga lenyap kekuatirannya terhadap adik seperguruannya itu. Tetapi
setelah ditunggu-tunggu selama tiga tahun sang adik seperguruan belum juga
muncul, maka muncul kembali kecurigaan dan kekuatirannya. Dia akhirnya
menghadap ke Kublai untuk meminta ijin, karena dia bermaksud pergi ke daratan
Tiong-goan untuk mencari adik seperguruannya itu.
Mempergunakan kesempatan ini,
Kublai yang mengetahui akan hebatnya kepandaian Tiat To Hoat-ong, pendeta yang
menjadi Kok-su negara tersebut, dialah diberikan juga perintah rahasia untuk
melakukan sesuatu di daratan Tiong-goan.
Tetapi di saat Tiat To
Hoat-ong tiba di daratan Tiong-goan, dia tidak berhasil mencari jejak adik
seperguruannya itu, sehingga dia semakin berkuatir saja. Selama dua bulan dia
berputar kayun mengelilingi daerah-daerah selatan untuk mencari Kim Lun
Hoat-ong, yang ingin diajak pulang ke utara namun tetap saja hasilnya nihil.
Dan hari itu, secara kebetulan
dia bertemu dengan Loo Boan Tong yang usil yang bersedia melayani ketemberangan
dan keangkuhan pendeta Mongolia itu sehingga terjadi pertempuran hebat diantara
kedua jago yang luar biasa tersebut.
Disamping itu, Ciu Pek Thong
juga memiliki maksud tersendiri dengan melayani pendeta dari Mongolia itu.
Waktu mendengar Tiat To Hoat-ong adalah kakak seperguruan Kim Lun Hoat-ong,
seketika itu juga dia menduga pasti Tiat To Hoat-ong memiliki maksud-maksud
tidak baik terhadap daratan Tiong-goan, dan Ciu Pek Thong justru kuatir
kalau-kalau kedatangan Tiat To Hoat-ong ke daratan Tiong-goan ini atas perintah
Kublai.
Memang Ciu Pek Thong, walaupun
sifatnya angin-anginan dan sering uring-uringan, otaknya cukup encer dan polos
jujur maka dia segera berkuatir kalau Kublai telah mempersiapkan tentaranya
untuk menerjang masuk ke daratan Tiong-goan lagi.
Saat itu, Tiat To Hoat-ong
telah melancarkan serangannya yang ketiga. Di saat dia berhasil mengelakkan
diri dari cengkeraman Ciu Pek Thong di punggungnya, dengan mengerahkan tenaga
dalamnya ke pundak, sehingga bahunya licin seperti berminyak dan Ciu Pek Thong
gagal dengan usahanya, tahu-tahu pendeta Mongolia ini telah memutar kedua
tangannya dengan serentak bersamaan dengan tubuhnya yang berputar juga.
Tidak mengherankan, jika
serangkum angin serangan yang dahsyat telah menggempur Ciu Pek Thong.
Tetapi Ciu Pek Thong juga
tidak tinggal diam, dengan memusatkan kekuatan tenaga dalamnya, sebagai adik
seperguruan Ong Tiong Yang, yang merupakan pewaris ilmu It-yang-cie tenaga
dalam Ciu Pek Thong memang luar biasa sekali, dengan mengeluarkan seruan yang
sangat nyaring justru Ciu Pek Thong tidak berkelit atau mengelakkan diri dari
serangan itu dia telah menangkisnya dan keras dilawannya dengan keras.
„Bukk!” Terdengar suara yang
keras bukan main, yang dahsyat sekali, bumi seperti bergetar karena kuatnya
benturan yang terjadi antar dua kekuatan raksasa tersebut.
Kun Hong yang berdiri terpisah
belasan tombak dari gelanggang pertempuran, telah terhuyung hampir rubuh
terjengkang oleh getaran benturan tenaga itu, untung pemuda ini cepat-cepat
memegang dinding batu yang terdapat di dekatnya. Kuda pemuda itu juga meringkik
nyaring, rupanya binatang tunggangan itu kaget. Bukan main kagumnya Kun Hong
sehingga dia sekarang menyadari, walaupun dia belajar duapuluh tahun lagi,
belum tentu dia bisa memiliki kekuatan tenaga dalam seperti kedua orang jago
itu.
Yang disaksikan Kun Hong kali
ini adalah sebuah pertempuran yang benar-benar luar biasa sekali dan lain dari
yang lain. Walaupun kepan¬daian Kun Hong tidak ada sepersepuluh dari kepandaian
kedua orang itu, namun karena pemuda pelajar she Cu tersebut memiliki dan
mengerti ilmu silat, dia bisa merasakan dan melihat bahwa pertempuran diantara
kedua jago itu merupakan pertempuran antara mati dan hidup.
Ciu Pek Thong sendiri semakin
lama jadi semakin kaget melihat kenyataan bahwa lawannya memiliki kepandaian
yang lebih liehay dari kepandaian Kim Lun Hoat-ong, setidak-tidaknya memang
Tiat To Hoat-ong kakak seperguruan dari Kim Lun Hoat-ong namun dengan
kepandaian seperti itu jelas dia bisa berbuat sesuka hatinya. Memang benar Ciu Pek
Thong tidak mungkin dapat dirubuhkan oleh Tiat To Hoat-ong namun jangan harap
pula Ciu Pek Thong dapat merubuhkan lawannya itu. Jika tadi Ciu Pek Thong masih
bisa bergurau dengan melayani serangan lawannya, tetapi kini mau tidak mau
memang Ciu Pek Thong harus mencurahkan semangat dan seluruh perhatiannya
terhadap lawannya yang liehay.
Mereka bertempur semakin lama
jadi semakin berat, gerakan tangan mereka seperti berat dan lambat sekali
gerakannya. Tetapi bagi ahli silat kelas satu, hal itu membuktikan bahwa kedua
orang yang tengah bertempur itu memang sedang mempergunakan tenaga kelas satu.
Sedi¬kit saja mereka salah perhitungan, berarti akan terbinasa di tangan
lawannya.
Ciu Pek Thong sendiri heran,
karena dia melihat si pendeta asing memiliki ilmu kebal akibat sempurnanya
latihan ilmu Yoga, juga pendeta itu memiliki tenaga Im dan Yang sangat sempurna
sekali, dia dapat mempergunakan tenaga dalamnya itu sekehendak hatinya bisa
lunak, dan bisa keras dengan tiba-tiba, sehingga dijurus berikutnya Ciu Pek Thong
lebih sering tertipu oleh cara licik lawannya yang main ulur tenaga dalamnya
yang diganti-ganti sifat itu.
Sesungguhnya sebagai seorang
ahli Yoga yang telah terlatih pada puncak kesempurnaannya, maka pendeta
tersebut disamping memiliki ilmu kebal (weduk), juga bisa menguasai dan
memberikan perintah sekehendak hatinya terhadap seluruh otot di sekujur
badannya. Walaupun bagaimana kenyataan seperti itu, memang telah membuat Tiat
To Hoat-ong bisa menjagoi di negerinya dengan ilmunya tersebut. Belum lagi ilmu
golok yang digubahnya, yang hebat luar biasa.
Ciu Pek Thong melihat
kenyataan seperti ini, kalau memang dia bertempur terus menerus dengan keadaan
tidak berobah, niscaya akhirnya dia yang akan kalah ulet, berarti dirinya yang
bisa celaka. Itulah sebabnya terpaksa dia harus dapat merubah cara bertempurnya
untuk berusaha menguasai lawannya. Sulitnya Tiat To Hoat-ong seperti bisa
membaca jalan permikiran Ciu Pek Thong sehingga dia selalu melibatkan Ciu Pek
Thong dengan serangan-serangan yang hebat sekali, yang tidak memungkinkan Loo
Boan Tong memiliki kesempatan merubah cara bertempurnya itu.
Dengan gusar Ciu Pek Thong
mengeluarkan seruan dan dia menggerakkan tangannya ke bawah dengan gerakan
meminta, kemudian dengan cepat sekali tangannya yang kiri menyusul akan menotok
mata si pendeta. Itulah gerakan Bin-bu-jin-sek (Di muka tidak ada cahaya
manusia), yang pernah diperolehnya dari Yo Ko.
Hebat sekali serangan
tersebut, Tiat To Hoat-ong mengeluarkan seruan tertahan karena terkejut dan
dengan gerakan yang gesit dia mengelakkan diri. Tetapi Ciu Pek Thong dalam
gusarnya telah melancarkan lima serangan lainnya secara beruntun pukulan
Bo-beng-kie-miauw (Tidak mengetahui apa keindahannya), disusul dengan
Jiak-yu-so-sit (Seperti Kehilangan sesuatu), lalu dengan hebat Ciu Pek Thong
membarengi dua serangan susulan dengan Heng-sie-cauw-jiok (Mayat Berjalan), dan
To-heng-gok-sie (Jalan Jungkir Balik).
03.05. Sepasang Pendekar
Rajawali
Di jurus terakhir itu, yaitu
To-heng-gok-sie Ciu Pek Thong telah melancarkan serangan dengan hebat sekali,
tubuhnya seperti bergerak-gerak sempoyongan seperti ingin rubuh, lagaknya itu
seperti orang pemabokan dan kedua tangannya melancarkan serangan kesebelas
jalan darah lawannya.
Keruan saja Tiat To Hoat-ong
jadi mengeluarkan seruan kaget dan berusaha untuk menangkis dengan tabasan
tangannya. Walaupun dia menabas dengan mempergunakan tangannya tetapi
gerakannya itu seperti juga gerakannya menabas dengan gerakan ilmu goloknya
yang tangguh dan hebat sekali, angin serangannya berkesiuran lambat, tetapi
dahsyat luar biasa.
Ciu Pek Thong mengeluh
sendiri, jika dia meneruskan serangannya, memang Loo Boan Tong bisa menghantam
telak jalan darah Bian-kie-hiat si pendeta asing itu, tetapi dirinya sendiri
tidak akan lolos dari tabasan yang mematikan pendeta tersebut.
Dengan mendongkol Ciu Pek
Thong telah menarik pulang serangannya, dia melompat mundur.
Tiat To Hoat-ong yang telah
menyaksikan hebatnya si kakek tua yang dipanggilnya sebagai si „monyet” itu
tidak mengejarnya, dia berdiri tegak sambil mendelik mengawasi lawannya itu.
„Katakan, siapa kau
sesungguhnya! Apakah adik seperguruanku dibinasakan oleh kau? Jika bukan siapa
pembunuhnya?” tegur pendeta asing itu dengan murka.
Ciu Pek Thong memiliki sifat
yang kekanakan dan gemar sekali bergurau, walaupun tengah menghadapi lawan
berat, seperti Tiat To Hoat-ong, Ciu Pek Thong masih sempat berjenaka.
„Jika aku yang membunuhnya,
apa yang kau inginkan? Kalau bukan, apa yang kau kehendaki?” tanyanya sambil
nyengir mentertawai si pendeta asing, membuat Tiat To Hoat-ong merasakan
dadanya seperti mau meledak.
„Baiklah, kalau kau tidak mau
membuka mulut itupun tidak menjadi soal. Biarlah aku kirim kau menemui adik
seperguruanku dulu.”
„Mungkin juga engkau sendiri
yang akan menengokinya ke Im-kan (neraka)!” mengejek Ciu Pek Tong, „Bukankah
engkau tengah mencarinya?”
Tentu saja kemarahan yang
bergolak di dada pendeta tidak terkirakan. Dengan murka dia telah melompat dan
melancarkan serangan dengan kedua tangan yang diputar, kekuatan tenaga serangannya
itu sama beratnya seperti runtuhnya gunung.
Tetapi Ciu Pek Thong tidak
takut, diapun tidak mengelakkan diri melihat serangan yang hebat seperti itu,
bahkan dia memusatkan tenaganya, untuk mencoba kembali sampai di mana kekuatan
pendeta asing itu.
Tangan mereka saling bentur,
tubuh mereka bergoyang-goyang, tenaga mereka yang saling bentur itu merupakan
tenaga benturan yang luar biasa sekali, dan keduanya diam bagaikan patung,
dengan sepasang matanya terpentang lebar-lebar.
Ciu Pek Thong memang nakal,
jiwanya jenaka, sesungguhnya dia ingin mengeluarkan ejekan pula tetapi
disebabkan tenaga menindih dari Tiat To Hoat-ong luar biasa kuatnya, membuat
Ciu Pek Thong tidak bisa berkata-kata, sebab jika dia bicara berarti pemusatan
tenaganya akan terpecah dan dirinya bisa tergempur oleh tenaga lawannya. Karena
tidak bisa memaki dan memperolok-olok pendeta asing itu, hati Ciu Pek Thong
jadi gatal sendirinya, dan akhirnya dia hanya bisa mengejek, lawannya dengan
mendeliki mata menyipitkan, melirik ke kiri dan ke kanan dengan memperlihatkan
mimik muka yang membadut.
Keruan Tiat To Hoat-ong tambah
murka, dadanya bergelombang turun naik karena menahan kemurkaan yang seperti
ingin meledakkan dadanya itu. Dengan bergelombang dia telah menambah tenaga
menindihnya semakin lama semakin kuat.
Ciu Pek Thong juga telah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia telah memusatkan lwekangnya
di kedua lengannya, dan berusaha untuk menolak tenaga menindih dari si pendeta
asing. Keduanya berdiri berhadapan seperti patung dengan kedua tangan mereka
saling menempel satu dengan lainnya. Dari tubuh dan kepala kedua jago tersebut
telah mengepul semacam uap tipis.
Kun Hong yang menyaksikan
jalannya pertempuran tersebut jadi tergoncang batinnya. Itulah pertempuran yang
terdasyat yang baru pernah disaksikan seumur hidupnya……
◄Y►
Puncak Siauw-hong yang
merupakan rangkaian gunung-gunung di sekitar pegunungan Thian-san, di mana
letak puncak Siauw-hong berada di sebelah barat daya dari pegunungan Thian-san.
Walaupun tidak setinggi puncak-puncak Bie-hong dan Sian-hong, tetapi
puncak-puncak Siauw-hong pun menembusi mega serta tinggi sekali, tidak mudah
didaki oleh manusia. Disamping itu, udara di sekitar puncak Siauw-hong dingin
luar biasa dengan salju yang tebal membeku menutupi sebagian puncak itu, yang
tidak pernah mencair sepanjang jaman.
Disamping salju yang membeku
sepanjang jaman itu, juga Siauw-hong memiliki lembah dan jurang yang banyak
jumlahnya, disamping keadaan alamnya yang masih buas dan liar sehingga sangat
berbahaya sekali bagi orang-orang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.
Bahkan penduduk kampung Siauw-wie-cung yang terletak di kaki gunung Thian-san
sebelah utara, yang umumnya memiliki pencaharian sebagai pemburu dan pencari
kayu bakar, tidak berani mendatangi Siauw-hong terlalu dekat, mereka hanya
berani mencari kayu bakar di kaki Siauw-hong, sedangkan pemburunya hanya berani
sampai di lamping gunung itu tidak berani mereka memburu sampai di puncak
Siauw-hong.
Mereka menyadari bahaya dan
buasnya alam di puncak Siauw-hong akan menulikan pendengarannya, disamping
mengeluarkan darah dari telinga, hidung dan mata, bahkan jika memaksakan diri
bisa membawa kematian. Belum juga perjalanan yang sulit. Untuk mendaki puncak
Siauw-hong diantara dinding-dinding jurang dan lembah yang curam sekali
disamping sangat berbahaya. Itulah sebabnya boleh dibilang di sekitar
Siauw-hong tidak pernah terlihat seorang manusiapun juga. Setiap hari di
sekitar Siauw-hong sepi dan sunyi sekali, suasananya begitu tenang dan liar
hanya diselingi oleh suara binatang-binatang liar yang memang banyak memenuhi
di tempat itu.
Pagi itu diantara kelengangan
yang ada, tiba-tiba terdengar suara kepak-kepak sayap burung yang keras sekali
disertai oleh pekik yang nyaring, disusul terlihat di sebelah selatan puncak
Siauw-hong melayang-layang seekor burung rajawali, yang berukuran sangat besar
sekali. Burung itulah yang telah mengeluarkan suara, memekik-mekik nyaring dan
suara kepak-kepak yang terdengar adalah suara sayapnya yang lebar yang hampir
selebar dua meter. Ukuran burung rajawali itu luar biasa tetapi justru bentuk
burung rajawali yang agak luar biasa.
Setiap kali dia terbang, dia
menukik, dan kedua sayapnya digerakkan, justru gerakannya itu dilakukan seperti
juga seorang manusia yang tengah bersilat, karena kedua kaki burung rajawali
itu telah bergerak-gerak dengan jurus-jurus ilmu silat.
Setelah berputar-putar sekian
lama akhirnya burung rajawali itu menukik dan menyambar cepat sekali ke bawah
ke arah sesuatu yang berwarna putih. Ternyata yang diincar oleh burung rajawali
itu tidak lain dari seekor kelinci putih, yang telah berusaha berlari untuk
mencari tempat persembunyian mengelakkan diri dari sambaran burung rajawali.
Namun gerakan yang dilakukan
oleh rajawali itu benar-benar luar biasa, dia menukik dengan kecepatan seperti
kilat dan berbeda dengan burung rajawali lainnya yang biasanya menyambar
mangsanya dengan segera menuju ke sasarannya, tetapi burung rajawali tersebut
tidak segera menerjang mangsanya hanya mengikuti dan melewati di atasnya, dan
di saat kelinci itu memutar tubuhnya untuk berlalu, dengan kecepatan yang
seperti kilat, tahu-tahu tubuh rajawali tersebut telah menerjang dan
mencengkeram mangsanya itu dan kelinci tersebut tak bisa meloloskan diri.
Dengan membawa mangsanya itu burung rajawali tersebut telah terbang menuju ke
angkasa dan menuju ke puncak Siauw-hong yang tertinggi.
Ketika di bagian kanan dari
barat daya puncak Siauw-hong burung rajawali tersebut telah mengeluarkan suara
pekikan yang nyaring dan meluncur turun menuju ke sebuah lembah. Rajawali itu
terbang semakin rendah dan akhirnya berhenti di muka sebuah rumah yang
sederhana namun bersih.
„Ahhh, Tiauw-heng (Saudara
Rajawali) telah kembali!” terdengar suara seorang wanita yang merdu dan lembut
sekali. Anehnya wanita itu, ia memanggil si rajawali dengan sebutan Tiauw-heng
yaitu saudara Rajawali, panggilan yang agak luar biasa. Dari dalam rumah itu,
si wanita yang berkata-kata tadi telah melompat keluar dan dia telah menerima
kelinci yang menjadi mangsa dari rajawali tersebut, dan si rajawali yang
dipanggil dengan sebutan Tiauw-heng itu, telah terbang ringan dan hinggap di
sebuah batu gunung yang terletak di sebelah kanan.
Pemandangan yang terdapat di
lembah itu memang agak luar biasa, disamping indah, juga keadaannya tenang
sekali. Pohon-pohon bunga tampak memenuhi sekitar lembah tersebut, disamping
itu rumah yang dibangun dengan cara sederhana itu terawat dengan rapi dan
bersih sekali.
„Ko-jie, lihatlah!” berseru
wanita yang keluar dari dalam rumah itu dengan suara yang riang, wajahnya
cantik luar biasa dengar kulitnya yang halus, sepasang mata yang indah, di
samping itu senyum yang selalu menghiasi bibirnya itu demikian menawan. Dialah
Siauw Liong Lie!
„Tiauw-heng memang pandai
mencari mangsa, kita setiap hari tentu akan bersantap lezat!” menyahuti suara
lelaki dari dalam rumah.
„Liong-jie, engkau harus
memasakan Tiauw-heng sayur kelinci yang lezat.”
Siauw Liong Lie tertawa riang,
dia membawa kelinci itu ke belakang. Dengan cepat dia telah melihat suaminya Yo
Ko, tengah duduk mengasah pedangnya, sehingga pedang itu berkilauan.
„Lihatlah Ko-jie,” kata Siauw
Liong Lie sambil mengacungkan kelinci yang diperoleh rajawali itu. „Betapa
besarnya kelinci ini…..”
Yo Ko mengangguk sambil
tersenyum. „Untuk Tiauw-heng kau harus memanggangnya yang wangi,” katanya
kemudian.
Siauw Liong Lie hanya
mengangguk dan telah cepat-cepat menuju ke belakang untuk mempersiapkan
masakannya. Sedangkan Yo Ko masih terus juga mengasah pedangnya, hari ini dia
mengenakan baju berkembang yang dibuat oleh Siauw Liong Lie, tampaknya dia
bahagia sekali hidup berdampingan dengan isterinya yang cantik jelita dan gagah
ilmunya.
Yo Ko dan Siauw Liong Lie
memang telah menetap di lembah itu. Semula Yo Ko hendak mengajak Siauw Liong
Lie menetap di Giok-lie-hong yang terletak di puncak Hoa-san, dimana di puncak
bidadari itu terdapat sebuah kuil kecil yang kosong, yang ingin dipergunakan
oleh Yo Ko sebagai tempat tinggal mereka.
Tetapi Siauw Liong Lie telah
berpikir jauh, dia berpandangan luas, maka Siauw Liong Lie yang telah
memberikan saran kepada suaminya agar tidak mengambil tempat Giok-lie-hong
sebagai tempat pengasingan mereka, karena tempat itu sering didatangi oleh
orang-orang yang bermaksud untuk sujud bersembahyang di kuil. Belum lagi banyak
orang-orang rimba persilatan yang mengunjungi mereka untuk mengunjuk hormat,
yang berarti bagi mereka tidak akan dapat menikmati hidup tenang selamanya.
Akhirnya bersama Yo Ko, Siauw
Liong Lie menjelajahi beberapa buah gunung yang terdapat di daratan Tiong-goan
bahkan tadinya mereka bermaksud untuk melihat-lihat puncak Himalaya, yaitu
Long-mo Cung-lo yang terdapat di Himalaya namun terlalu dingin. Udara dingin
memang tidak menjadi persoalan mereka, tetapi justru yang mereka pikirkan
adalah calon anak mereka kelak jika mereka memiliki anak. Dan setelah
menjelajahi berbagai tempat sekian lamanya, akhirnya Yo Ko dan Siauw Liong Lie
merasa cocok untuk menetap di lembah yang terletak di puncak Siauw-hong dari
pegunungan Thian-san.
Dengan tenang mereka hidup
bahagia di tempat mereka yang baru itu, ditemani oleh Tiauw-heng itu, yaitu si
rajawali sakti, yang biasa disebut oleh orang-orang rimba persilatan dengan
nama Sin-tiauw. Sin-tiauw itulah yang setiap hari mencarikan makanan untuk
suami isteri tersebut dan tidak jarang pula Siauw Liong Lie bergurau dengan
rajawali tersebut, dengan cara melatih ilmu silat dan Yo Ko hanya menyaksikan
sambil tersenyum. Tetapi dengan menetapnya mereka di tempat yang seperti itu.
Pasangan suami isteri tersebut dibantu oleh Sin-tiauw telah melatih diri terus,
sehingga tanpa mereka ketahui kepandaian dan tenaga dalam mereka telah sempurna
sekali.
Telah dua tahun lebih Yo Ko
dan Siauw Liong Lie menetap di lembah tersebut. Dan mereka selalu melewati
hari-hari dengan gembira dan bahagia.
Sejak berpisah dengan sahabat
mereka di gunung Hoa-san setelah menjenguk makam Ang Cit Kong dan Auwyang Hong,
serta mengambil selamat berpisah dengan Kwee Siang dimana telah bertemu juga
Kak Wan Siansu yang kehilangan kitab mujijad Kui-im-cin-keng serta Kui-yang-cin-keng,
yang dicuri oleh In Kek See dan Siauw Siang Cu, Yo Ko telah berhasil mengecap
kemesraan berdua dengan isterinya. Perpisahan selama enambelas tahun yang
pernah terjadi beberapa saat yang lalu, justru telah menyebabkan Yo Ko maupun
Siauw Liong Lie menyadari bahwa cinta mereka merupakan cinta yang kekal dan
abadi, cinta yang tulus dan sejati.
Usia Yo Ko yang telah duduk
sebagai See-kong dalam urutan Ngo-ciat, telah mencapai hampir tigapuluh tiga
tahun dan Siauw Liong Lie lebih tua beberapa tahun dari dia. Tetapi karena
sejak kecil Siauw Liong Lie memang telah dididik oleh gurunya di dalam kuburan
mayat hidup, maka kecantikannya tetap utuh dan awet muda, terlebih lagi
sekarang, di saat mana lwekangnya telah sempurna. Sedangkan Yo Ko selama
hidupnya, sejak sampai akhirnya menikah dengan Siauw Liong Lie, selalu
menghadapi urusan-urusan yang mendukakan hatinya, walaupun tetap tampan luar
biasa tetapi tampaknya telah dewasa sekali. Jika dilihat selintas mereka tampak
berimbang usia maupun ketampanan dan kecantikan mereka.
Mengenai wajah Yo Ko yang
tampan itu tidak perlu dikatakan lagi karena Kwee Siang selalu memimpikan Yo Ko
(diceritakan dalam kisah Membunuh Naga) dan memang Yo Ko memiliki lwekang yang
telah mencapai puncak kesempurnaannya, sehingga disamping awet muda, kulit
mukanya itu bersih dan bercahaya gemilang.
Seperti diketahui jika
seseorang melatih lwekang (tenaga dalam) yang berpusat di pusar maka jika hawa
murni di Tan-tian telah naik sampai ke otak, maka baik umur maupun kesehatan
bisa ditentukan dan diperintahkan oleh orang yang bersangkutan. (Mirip juga
dengan latihan Yoga yang telah sempurna, dapat menentukan usia dan otot-otot di
seluruh tubuh dapat diperintahkan).
Begitu pula Yo Ko, walaupun
usianya telah tigapuluh tahun lebih, tetapi raut wajahnya seperti seorang
pemuda yang berusia duapuluh tahun.
Penghidupan yang tenang, jauh
dari keramaian yang memusingkan kepala, dan juga hidup tenteram bahagia
disamping isterinya yang cantik, namun Yo Ko manusia juga. Akhirnya timbul
rindunya kepada Kwee Ceng, Oey Yok Su, Ciu Pek Thong, Oey Yong, Kwee Siang dan
sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun bagaimana memang
kenyataannya Yo Ko akhirnya tidak bisa menahan keinginannya itu, tidak berhasil
melenyapkan rindunya itu. Dia semalam telah menyampaikan hasratnya kepada Siauw
Liong Lie, untuk turun gunung selama tiga bulan, guna mencari
sahabat-sahabatnya itu. Dan Siauw Liong Lie lebih suka menyendiri, tetapi
setelah menikah dengan Yo Ko dengan sendirinya sifat dan wataknya jadi berobah
banyak. Kini selain periang, Siauw Liong Lie pun lincah walaupun belum lenyap
sifat-sifatnya yang dingin jika tengah menghadapi urusan yang rumit dan
penting.
Mendengar Yo Ko ingin
mengunjungi sahabat-sahabatnya itu, Siauw Liong Lie jadi girang sekali. Dia
telah bersyukur bahwa suaminya bermaksud mengajak dia.
„Tentu aku bisa menyaksikan
keramaian lagi,” kata nyonya Yo itu sambil tersenyum,
Dan itulah sebabnya hari itu
Yo Ko, sibuk mengasah pedang, milik Siauw Liong Lie. Sedangkan golok pusakanya
telah diasahnya malam tadi. Mereka telah bersiap-siap untuk berangkat pagi ini,
tetapi Siauw Liong Lie tiba-tiba sekali telah sakit. Sejak fajar dia telah
muntah-muntah dan perut maupun pinggangnya sakit. Dia memberitahukan Yo Ko,
sehingga suaminya itu membatalkan keberangkatan mereka dan menganjurkan
isterinya untuk beristirahat.
Di saat Siauw Liong Lie tengah
rebah di pembaringan, Sin-tiauw justeru telah pergi memburu mangsa, untuk
santapan sahabat-sahabatnya itu, pa¬sangan suami isteri tersebut, yang telah
memperlakukan mereka sebagai sahabat. Di saat Sin-tiauw kembali dengan kelinci
buruannya itu, justeru Siauw Liong Lie telah sembuh dari sakitnya, pinggangnya
sudah tidak sakit lagi, dan dia bisa mengerjakan masakan untuk suaminya dan
Sin-tiauw. Tetapi, selama didapur, mukanya sebentar-sebentar berobah merah,
karena sebagai seorang ahli lwekee, segera dia telah mengetahui bahwa penyakit
yang tadi menyerangnya bukan penyakit sembarangan, melainkan gejala-gejala
bahwa dia telah hamil. Justeru untuk memberitahukan kepada suaminya dia merasa
malu, walaupun di tempat tersebut hanya mereka berdua. Dan Siauw Liong Lie
bermaksud memberitahukan suaminya nanti malam.
Tetapi ketika Siauw Liong Lie
tengah menyelesaikan masakannya, tiba-tiba dia mendengar samar-samar suara
siulan yang cukup panjang. Muka Siauw Liong Lie berobah, saat itu Yo Ko telah
mendatangi dan bertanya kepada isterinya.
„Liong-jie, kau dengar siulan
itu?”
Isteri tersebut mengangguk.
„Dua tahun lebih kita menetap
di tempat ini, belum pernah didatangi orang, tetapi suara orang bersiul
itu..... jelas yang bersiul merupakan orang yang memiliki lwekang sangat tinggi
dan sempurna!”
„Ya..... siapakah dia.
Hmmmm..... apakah mungkin salah seorang sahabat lama?” menggumam Yo Ko.
„Tetapi suara siulan itu aneh
dan belum pernah kita dengar. Ko-jie kau harus hati-hati nanti tidak mungkin
sahabat lama yang datang.....!”
Yo Ko tersenyum, dia mendekati
isterinya dan mencekal tangan Siauw Liong Lie dengan lembut dan mesra sekali.
„Liong-jie, sejak kapan kau
jadi penakut seperti ini?” tanya Yo Ko. „Apakah dengan kepandaian kita berdua
seperti sekarang ini masih ada orang yang bisa mencelakai kita?”
Muka Siauw Liong Lie jadi
berobah merah, dia telah menunduk dalam-dalam dengan sikap kemalu-maluan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun juga.
Yo Ko jadi heran melihat sikap
isterinya seperti itu, belum pernah Siauw Liong Lie membawakan sikap seperti
itu.
„Liong-jie, apakah ada
sesuatu.....?” tanya Yo Ko halus sambil mengusap-usap lembut tangan isterinya.
Siauw Liong Lie mengangkat
kepalanya menatap suaminya mesra sekali. „Ko-jie, kau harus dapat menjaga diri
dengan baik, karena… karena……” suara Siauw Liong Lie semakin lama semakin
perlahan, dan akhirnya tidak terdengar, dan juga Siauw Liong Lie telah menunduk
lagi.
„Karena..... apa Liong-jie?”
tanya Yo Ko jadi heran melihat sikap isterinya tersebut.
„Karena......” dan Siauw Liong
Lie menubruk memeluk Yo Ko, kemudian sambil tertawa dengan pipi yang merah, dia
telah meneruskan perkataannya, „Mari kubisiki……”
Yo Ko mendekati telinganya ke
bibir isterinya dan Siauw Liong Lie telah membisikkan beberapa patah kata. Muka
Yo Ko berobah menjadi berseri-seri, dia berseru girang dan melompat-lompat
dengan riang.
„Hus! Anak edan!” bentak Siauw
Liong Lie sambil tersenyum. „Apakah kau tidak malu jika didengar orang?”
Yo Ko masih melompat-lompat
sesaat lamanya lagi, setelah itu dia lagi menyahuti, „Malu? Bukankah disini
hanya kita berdua? Malu kepada siapa?”
Muka Siauw Liong Lie telah
berobah merah lagi, diapun baru teringat bahwa mereka memang hanya berdua. Muka
Siauw Liong Lie jadi bertambah merah karena malu waktu Yo Ko mengawasi saja
perutnya.
„Sudahlah kau lihat siapa yang
datang itu!” Siauw Liong Lie memperingati suaminya. Tetapi baru berkata sampai
disitu Siauw Liong Lie jadi kaget sendirinya, karena tiba-tiba dia menciumkan
sesuatu.
„Ahhh!” berseru Siauw Liong
Lie. „Daging panggangku hangus!” dan ketika dia menoleh, benar saja daging
kelinci yang tengah dipanggangnya itu telah hangus separuh.
Di saat itu, waktu Siauw Liong
Lie ingin menyesali suaminya, justru telah terdengar lagi suara siulan itu yang
panjang dan didengar dari kerasnya suara siulan itu, tentu orang yang bersiul
itu telah berada dekat sekali dengan rumah mereka, setidak-tidaknya telah
berada di sekitar daerah tersebut.
„Liong-jie kau baik-baik rawat
diri, jangan bekerja terlalu capai, setelah memanggang daging kelinci itu,
pergilah kau tidur, biarlah aku yang melihat keluar.....!” kata Yo Ko dengan
perasaan menyayang sekali.
„Anak sinting mana mungkin
siang-siang tidur!” mengomel Siauw Liong Lie. Tetapi hatinya bahagia bukan
main, sangat bersyukur, karena memang dia bahagia sekali mempunyai suami
seperti Yo Ko.
Justeru Yo Ko sendiri setelah
dia mengetahui dia akan segera menjadi calon ayah, dia girang luar biasa.
Dengan, gerakan yang lincah dia telah melompat keluar. Di saat itu Yo Ko
melihat Sin-tiauw sudah tidak berada di tempatnya. Dikejauhan terdengar suara
pekikan Sin-tiauw. Bagaikan terbang Yo Ko telah berlari menghampiri ke arah
suara pekikan itu lengan baju kanannya yang kosong melampaui lambaian tertiup
angin.
Seperti diketahui lengan kanan
Yo Ko telah tertabas buntung akibat tingkah dan ulah Kwee Hu, puteri Kwee Ceng.
Setelah berlari-lari sekian
lama, Sin-tiauw Tayhiap tiba dibalik mulut lembah, dia melihat di angkasa
Sin-tiauw tengah terbang melayang tidak hentinya mengeluarkan suara pekikan.
Rupanya tadi Sin-tiauw juga telah mendengar suara siulan itu, dan segera
terbang ke tengah udara untuk melihat siapakah yang telah datang itu, si tamu
yang tidak diundang.
Yo Ko tiba di tempat itu
segera dapat melihat jelas tamunya. Ternyata orang tersebut hanya seorang diri,
memakai pakaian bulu yang tebal untuk mencegah hawa udara yang dingin,
memelihara kumis yang panjang dan mukanya berbentuk segi tiga, sinar matanya
agak licik.
Melihat Yo Ko, orang itu telah
cepat-cepat menghampiri, dia menjatuhkan dirinya di tanah Berlutut dihadapan Yo
Ko.
„Sin-tiauw Tayhiap
Locianpwe….. boanpwe menghunjuk hormat!” kata orang itu, yang membahasakan Yo
Ko dengan sebutan Locianwe (yang tingkatan tua) dan membahasakan dirinya
sendiri dengan sebutan Boanpwe, tingkatan muda. „Boanpwe Liang Ie Tu membawa
titipan pesan untuk locianpwe.”
Yo Ko mengawasi tamu tidak
diundang tersebut dengan sorot mata yang tajam, sepasang alisnya agak
mengkerut, karena tidak senang dia melihat bentuk muka orang itu yang amat
licik.
„Siapa yang telah menitipkan
pesan untukku? Mengapa kau mengetahui bahwa aku menetap disini?” tegur Yo Ko
sambil memandang penuh kecurigaan.
Orang itu telah cepat-cepat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia juga telah berkata setelah memberi hormat begitu. „Sesungguhnya
Boanpwe memang lancang telah datang kemari tanpa meminta ijin dari Sin-tiauw
Tayhiap Locianpwe, tetapi karena dalam keadaan terdesak, maka terpaksa Boanpwe harus
melakukan perbuatan lancang seperti ini, yang layak dihukum…..” dan setelah
berkata begitu, Liang Ie Tu telah merogoh sakunya mengeluarkan sepucuk surat,
yang diberikan kepada Yo Ko dengan sikap yang menghormat sekali, disusuli
kata-katanya.
„It-teng Taysu Locianpwe telah
perintahkan Boanpwe untuk menyampaikan suratnya ini kepada Sin-tiauw Tayhiap
Locianpwe…….”
Yo Ko menyambuti surat itu,
hatinya terkejut sekali setelah mengetahui bahwa surat tersebut adalah kiriman
It-teng Taysu. Cepat-cepat dia telah membacanya, bunyi surat itu lebih
mengejutkan Yo Ko, antara lain berbunyi,
„Yo Hiante (adik).
Sebetulnya lolap bermaksud
datang sendiri untuk menjumpai kalian suami isteri, namun berhubung timbulnya
urusan yang demikian tiba-tiba, terpaksa lolap harus memecahkan perhatian dan
hanya bisa mengirimkan berita melalui sepucuk surat ini. Bagaimana keadaan
kalian? Tentu baik-baik saja, bukan?
Siancay! Sesungguhnya maksud
lolap ingin meminta bantuan Yo-hiante dan Yo Hujin (nyonya Yo), untuk
menyelesaikan suatu peristiwa aneh yang akhir-akhir ini telah terjadi di dalam
rimba persilatan.
Selama tiga tahun kita telah
berpisah, sesungguhnya bukanlah waktu yang terlalu lama, namun dalam tiga tahun
itu justeru di dalam rimba persilatan muncul urusan-urusan yang aneh luar
biasa. Sedangkan saudara Kwee Ceng dan Kwee Hujin (Oey Yong), telah ikut
membantu lolap untuk menyingkap tabir rahasia yang tengah terjadi ini.
Sesungguhnya Lolap mau
menceritakan panjang lebar urusan itu, namun lolap kuatir jika surat ini jatuh
ketangan yang tidak berkepentingan, akan menimbulkan urusan yang jauh lebih
hebat lagi. Biarlah kelak Lolap akan menceriterakannya langsung kepada Yo
Hiante. Maka jika memang Yo Hiante dan Yo Hujin tidak keberatan, Lolap
menantikan kedatangan Yo Hiante di Hoa-san, dimakam saudara Ang Cit Kong dan
Auwyang Hong, tepat ditanggal Cit-gwee Ce-sah (bulan tujuh tanggal tiga) dimana
sahabat-sahabat lain-lainnya juga akan berkumpul. Kami menantikan kedatangan Yo
Hiante, salam kepada Yo-Hujin.”
Dan surat tersebut telah
ditanda tangani oleh It-teng Siansu pendekar Lam-ceng, pendekar dari selatan.
Yo Ko memang mengenali tulisan
It-teng Taysu, begitu pula tanda tangannya, tidak mungkin surat itu surat
palsu. Tetapi yang membuat Yo Ko tidak mengerti justeru mengapa It-teng Taysu
menitipkan suratnya tersebut kepada seorang manusia bermuka licik seperti itu
yang mengaku bernada Liang Ie Tu. Ada hubungan apakah antara Liang Ie Tu dengan
It-teng Taysu? Sebelumnya Yo Ko belum pernah bertemu dengan orang she Liang
tersebut?
03.06. Surat Misterius . . . .
.
„Masih ada sangkutan apa
antara Liang-heng dengan It-teng Taysu?” tanya Yo Ko sambil melipat surat itu
dan memasukan ke dalam saku.
Liang It Tu masih berlutut,
cepat sekali dia menyahut, „It-teng Taysu pernah paman dengan Boanpwe, dan
menurut pesan yang diberikan oleh It-teng Taysu locianpwe, bahwa urusan yang
sekarang muncul ini merupakan urusan yang luar biasa sekali, urusan yang
membingungkan.....”
„Urusan luar biasa dan
membingungkan? Urusan apakah itu?”
„It-teng Locianpwee tidak
menjelaskan, hanya meminta kepada boanpwe secepatnya menyampaikan surat
tersebut kepada Yo Locianpwe tempat berdiamnya Yo Locianpwe juga diberitahukan
oleh It-teng Locianpwe.”
Yo Ko mengangguk,
setidak-tidaknya dia merasa tidak enak hati jika membiarkan orang bermuka licik
itu tetap berlutut, maka diperintahkannya Liang Ie Tu berdiri.
„Dari sini Liang-heng
bermaksud pergi kemana lagi?” tanya Yo Ko kemudian.
„Boanpwe telah melakukan
perjalanan tidak hentinya selama setengah bulan, maka jika Locianpwe tidak
berkeberatan, di saat tugas yang diberikan It-teng Locianpwe berhasil boanpwe
laksanakan dengan baik, maka boanpwe meminta ijin Locianpwe untuk bermalam
disini.”
Yo Ko jadi mengerutkan
alisnya, tetapi setelah ragu-ragu sejenak, tidak dapat dia menolak atas
keinginannya Liang Ie Tu bukankah orang she Liang itu utusan It-teng Taysu, dan
masih pernah keponakan pula dengan Lam-ceng tersebut?
„Baiklah, tetapi maafkan
tempat kami buruk sekali,” kata Yo Ko sambil mengangguk.
Liang Ie Tu tampak gembira
sekali, dia menyatakan terima kasihnya, berulang kali.
Yo Ko mengajak Liang Ie Tu ke
rumahnya, diperkenalkan kepada Siauw Liong Lie, isterinya. Sama halnya dengan
Yo Ko, malam itu ketika berada di kamar mereka, Siauw Liong Lie menyampaikan
perasaan tidak senangnya melihat lelaki bermuka licik itu, walaupun bagaimana
wajah Liang Ie Tu memancarkan kelicikan yang tidak menyenangkan sekali.
„Biarlah, hanya malam ini
saja, besok kita bisa memintanya untuk meninggalkan tempat ini, dengan alasan
kitapun akan segera berangkat untuk memenuhi undangan It-teng Taysu.”
Siauw Liong Lie hanya
mengangguk saja.
Tetapi di luar dugaan mereka
tepat menjelang tengah malam, Liang Ie Tu yang diberi kamar di belakang rumah
mereka, telah turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia telah berjingkat ke
pintu dan memasang pendengarannya baik-baik. Sunyi dan sepi sekali……
Dengan hati-hati sekali, Liang
Ie Tu membuka daun pintu dan melangkah keluar. Dia berada di pekarangan
belakang rumah Yo Ko, dengan hati-hati Liang Ie Tu melompat ke balik batu
gunung-gunungan yang terdapat disitu, dia bersembunyi agak lama di tempat
tersebut, sampai akhirnya setelah melihat keadaan aman, orang she Liang
tersebut keluar dari tempat persembunyiannya itu.
Diawasinya keadaan di sekitar
tempat itu, dan tampaknya dia tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Maka dia
telah melangkah lagi dan terus menghampiri ke ruang tengah rumah tersebut,
keadaan sepi, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tidak dilihatnya. Orang she Liang itu
dengan berhati-hati sekali telah menuju ke pintu ruang tengah. Dia membuka
sedikit dan mengintai. Sunyi dan sepi, tidak ada siapapun di ruang dalam.
Dia kemudian memasuki ruang
dalam. Dilihatnya sebatang pedang dan sebatang golok tergantung di dinding
matanya bersinar. Namun dia tidak segera mengambil kedua benda itu, melainkan
telah mengeluarkan semacam bungkusan kecil dari sakunya, dia mendekati pintu
kamar Yo Ko, berjongkok disitu dengan hati-hati sekali dia membakar bungkusan
kecil itu, asap segera memenuhi ruangan. Itulah dupa tidur yang bisa membuat
seseorang yang menyedotnya akan tidur dengan nyenyak.
Setelah menanti sekian lama
dan yakin bahwa dupa tidur itu telah memasuki kamar Yo Ko maka Liang Ie Tu baru
mendekati golok dan pedang yang tergantung di dinding. Diulurkan tangannya
untuk mengambil kedua benda itu, dengan wajah yang berseri-seri dan mulut
tersungging senyuman licik. Namun belum lagi tangannya semua menyentuh kedua
benda itu, justeru tahu-tahu Liang Ie Tu merasakan punggungnya seperti dijambak
keras sekali oleh sesuatu. Belum lenyap kagetnya dan belum lagi mengetahui apa
yang terjadi, justru di saat itu tubuhnya telah terangkat ke atas dan
terbanting di lantai, sehingga Liang Ie Tu menjerit kesakitan punggungnya
dirasakan pecah dan matanya berkunang-kunang.
Dengan memaksakan diri dia
merayap untuk bangun, di saat itupun dia melihat seseorang berdiri di dekatnya,
seorang lelaki bermuka tampan, dengan mata yang bersinar tajam penuh
kejengkelan dan dengan lengan baju sebelah kanan berkibar-kibar lemas karena
tidak ada lengannya.
„Sin-tiauw Tayhiap.....”
mengeluh Liang Ie Tu dengan suara putus asa. Dan Liang Ie Tu jadi mengeluh lagi
waktu melihat di pintu berdiri seorang wanita cantik, yang tengah menatap ke
arahnya dengan wajah yang dingin sekali. Wanita itu tidak lain dari Yo Hujin,
Siauw Liong Lie.
Tanpa berpikir lagi, Liang Ie
Tu telah berlutut menganggukkan kepalanya sampai keningnya menghantam lantai
berulang kali, menimbulkan suara yang beledak-beleduk. Dan orang she Liang
itupun telah menangis sambil sesambatan karena ketakutan sekali.
„Ampun, ampunilah hamba,
Sin-tiauw Tayhiap dengan memandang It-teng Locianpwe suka mengampuni jiwaku
yang tidak berharga ini……”
Yo Ko yang sejak tadi hanya
mengawasi dengan sorot mata yang dingin telah mendengus.
„Hmmm, memang sejak semula aku
telah mencurigai kau bukan sebangsa manusia baik-baik,” katanya dengan suara
yang tawar. „Ternyata kedatanganmu hanya untuk mencuri senjata kami berdua!
Kini bicaralah terus terang, sekali saja kau berdusta, jangan harap bisa lolos
dari tangan kami!”
Liang Ie Tu mengiakan berulang
kali, diam-diam dia mendongkol juga, karena dia telah memasang dupa tidur di
muka pintu kamar tidur Yo Ko dan Siauw Liong Lie tetapi kenyataannya Yo Ko dan
Siauw Liong Lie telah keluar dari jendela dan mengambil jalan memutar tahu-tahu
telah berada di belakang pintu ruang dalam.
„Siapa yang perintahkan kau
datang kemari? Dan mengapa surat It-teng Taysu bisa jatuh ke tanganmu?” tanya
Yo Ko dengan suara yang dingin.
„Boanpwe berani bersumpah
surat itu benar surat It-teng Taysu.....” Kata Liang Ie Tu dengan menganggukkan
kepalanya dalam keadaan berlutut seperti itu.
„Hemmm, akupun mengetahui
bahwa surat itu memang surat It-teng Taysu. Tetapi mengapa bisa terjatuh di
tanganmu?” tanya Yo Ko lagi.
„Bukankah kemarin sore boanpwe
telah menceritakan bahwa boanpwe pernah paman dengan It-teng Locianpwe,”
menyahuti orang she Liang itu.
„Jangan kau bicara dusta,
belum pernah aku mendengar It-teng Taysu menyebut perihal dirimu,” kata Yo Ko
bengis.
„Sungguh, memang boanpwe
pernah paman dengan It-teng Taysu dan surat itupun It-teng Locianpwe yang
berikan, meminta agar boanpwe menyampaikannya kepada Yo Locianpwe……” berkeras
Liang Ie Tu dengan suara yang perlahan, tampaknya dia ketakutan sekali.
Yo Ko telah maju akan mengorek
terus keterangan dari orang she Liang itu, karena dia penasaran bukan main
menghadapi urusan hari ini. Tetapi di saat itu, Siauw Liong Lie, merasakan
pinggangnya sakit kembali, kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang,
perutnya mual seperti ingin muntah dan mukanya pucat pias, dia telah menyender
di tiang pintu sambil memegangi kepalanya.
„Ko-jie..... usirlah orang
itu!” katanya dengan suara yang agak tergetar.
Yo Ko terkejut melihat keadaan
isterinya, dengan cepat dia telah menjambret dan mencekal punggung Liang Ie Tu,
dengan cepat sekali dia mengangkat tubuh orang she Liang itu, dan melontarkan
ke depan. Walaupun hanya mempergunakan tangan kirinya, tetapi tenaga melempar
Yo Ko hebat luar biasa. Bukankah Kaisar Mangu terbinasa akibat timpukan batu
oleh Yo Ko yang mempergunakan tangan kirinya juga, dengan ilmu
Tan-cie-sin-thong? Maka dari itu bisa dibayangkan. betapa hebat dan kerasnya
lemparan Yo Ko terhadap Liang Ie Tu, lebih-lebih Yo Ko tengah dalam keadaan
kuatir dan gusar melihat isterinya yang mendadak pucat pias seperti itu.
Tubuh Liang Ie Tu yang
terlempar belasan tombak itu, telah terbanting keras. Tetapi setelah
mengeluarkan suara seruan kesakitan, tanpa berani menoleh, lagi dia telah
pentang kaki untuk kabur secepatnya. Tetapi baru berlari belasan langkah,
tahu-tahu dari atas menyambar bayangan hitam yang sangat besar, tahu-tahu tubuh
Liang Ie Tu telah melayang dan kemudian meluncur jatuh lagi.
Rupanya Sin-tiauw pun
mengetahui bahwa Liang Ie Tu bukan sebangsa manusia baik-baik, tadi dia yang
menyambar dengan cengkeramannya dan membawa terbang yang cukup tinggi, lalu
melepaskannya kembali. Semangat Liang Ie Tu seperti terbang meninggalkan
raganya tanpa berani bersuara dia telah melarikan diri secepat mungkin karena
takut tersiksa lagi.
Yo Ko telah cepat-cepat
menghampiri Siauw Liong Lie, menanyakan dengan halus apa yang dirasakan oleh
isterinya tersebut. Setelah mendengar bahwa isterinya mabuk, dan pinggangnya
yang sakit, Yo Ko cepat-cepat mengangkat isterinya dan dibawa ke kamarnya lalu
merebahkan isterinya di pembaringan dengan penuh kasih sayang.
Dengan kuatir sekali Yo Ko
duduk menunggui Siauw Liong Lie. Dilihatnya berangsur-angsur wajah isterinya
memerah kembali dan Siauw Liong Lie pun telah dapat tersenyum lagi.
„Itulah gangguan anak kita
yang nakal......” kata Siauw Liong Lie dengan manja.
Yo Ko mengusap-usap kening
isterinya dengan tangan tunggal kirinya, mereka bahagia sekali. Tetapi ketika
Yo Ko rebah di pembaringan dan Siauw Liong Lie telah tertidur nyenyak, kembali
pikiran Yo Ko jadi melayang-layang diliputi kekuatiran terhadap It-teng Taysu.
Sesungguhnya peristiwa hebat apakah yang telah terjadi? Dan mengapa surat
It-teng Taysu bisa terjatuh ke tangan orang she Liang ini? Siapakah orang she
Liang itu yang mengakui dirinya pernah paman dengan It-teng Taysu.
Bermacam-macam pertanyaan
mengaduk-aduk, dalam hati dan otak Yo Ko, dan Pendekar berlengan tunggal yang
sakti itu telah memutuskan besok untuk berangkat ke Hoa-san untuk melihat
sesungguhnya urusan apakah yang telah terjadi dan melanda dunia persilatan.
Setelah mengambil keputusan seperti itu, barulah Yo Ko dapat memejamkan matanya
dan tidur.
Keesokan harinya, setelah
mempersiapkan keperluan dalam perjalanan, Yo Ko dan Siauw Liong Lie turun
gunung, meninggalkan puncak Siauw-hong untuk menuju Hoa-san memenuhi undangan
It-teng Taysu. Sedangkan Sin-tauw ikut bersama mereka, terbang di tengah udara,
dengan sekali mengeluarkan suara pekikkan yang nyaring.
Setelah melakukan perjalanan
hampir sepuluh hari lamanya, suatu sore mereka tiba di muka perkampungan
Lu-yang-cung. Waktu itu baru saja Yo Ko ingin memberitahukan Siauw Liong Lie
bahwa mereka akan bermalam di kampung tersebut, karena Siauw Liong Lie tengah
berisi, jelas tidak boleh terlalu letih dan harus banyak istirahat. Tetapi
belum saja Yo Ko membuka mulut, justeru Sin-tiauw yang berada di atas mereka
telah memekik dan terbang cepat sekali ke arah depan.
Yo Ko dan Siauw Liong Lie
heran sekali melihat sikap Sin-tiauw mereka menduga tentu ada urusan sesuatu
yang luar biasa. Lama juga menanti, akhirnya pasangan suami isteri itu tidak
dapat menahan hati lagi dan mengejar ke arah mana tadi Sin-tiauw terbang. Di
saat mereka tiba di dekat tanah datar yang tidak jauh dari tempat mereka berada
tampak dua sosok tubuh yang tengah berdiri kaku berhadapan saling mengadu
kekuatan tenaga dalam kelas tinggi. Dan yang membuat mereka lebih terkejut
justru salah seorang diantara kedua orang itu adalah Loo Boan Tong, sedangkan
seorang lainnya, seorang berpakaian pendeta Mongolia yang mengingatkan suami
isteri itu kepada Kim Lun Hoat-ong.
Disamping gelanggang
pertempuran itu tampak seorang pemuda pelajar tengah menyaksikan jalannya
pertarungan tenaga dalam kelas satu itu dengan mata terpentang lebar-lebar
memancarkan ketakjubannya. Yo Ko dan Siauw Liong Lie tidak mengenal pemuda
pelajar itu.
Tetapi tampak Ciu Pek Thong
telah mulai kewalahan menahan tenaga dalam dari lawannya sepasang kakinya telah
melesak ke dalam tanah sedalam empat cun karena terlampau kuatnya dia menahan
sanggahan dari tindihan tenaga dalam pendeta Mongolia itu.
„Liong-jie, kau tunggu disini,
biar kubereskan dulu urusan Ciu Toako!” kata Yo Ko.
Siauw Liang-Lie mengangguk,
dan Yo Ko secepat terbang telah melompat ke tengah gelanggang, sedangkan
mulutnya telah berteriak nyaring, „Loo Boan Thong, jangan takut, aku akan
membereskan imam ini!”
Ciu Pek Thong kaget bercampur
girang. Kaget karena sahabatnya yang sakti itu bisa muncul disitu secara
kebetulan, girang karena dengan kedatangan Yo Ko, Tiat To Hoat-ong yang menjadi
lawannya itu akan dibereskan dengan cepat. Tetapi Ciu Pek Thong tidak bisa
menyahuti karena sekali saja dia membuka suara, berarti pecahlah perjalanan
tenaga dalamnya, yang tengah dikerahkan mencapai puncaknya. Ciu Pek Thong hanya
berdiam diri saja.
Saat itu Yo Ko secepat kilat
telah menggerakkan lengan kanan jubahnya yang kosong itu. „Wuuut!” serangkum
angin yang luar biasa telah menyambar ke arah Loo Boan Tong dan Tiat To
Hoat-ong. Kesudahannya hebat sekali, karena baik Ciu Pek Thong maupun Tiat To
Hoat-ong keduanya telah terdorong mundur terpisah satu dengan yang lainnya.
Yang paling terkejut adalah
Tiat To Hoat-ong. Dia bisa mengetahui betapa hebat dan luar biasanya tenaga
dalam Yo Ko yang sempurna karena tidak mudah memisahkan dua tenaga raksasa yang
tengah mengukur kekuatan satu dengan yang lainnya.
Tetapi Yo Ko justru dengan
hanya sekali mengibas saja, dia telah berhasil membuat kedua orang itu
terpisah. Yo Ko mengawasi pendeta Mongolia itu. Kemudian dia membungkukkan
tubuhnya sedikit sambil tanyanya,
„Jika aku yang bodoh Yo Ko
tidak salah mata, Taysu tentu seorang Lhama dari Mongolia?”
„Tepat!” berseru Tiat To
Hoat-ong dengan bengis, matanya masih mengawasi lengan baju Yo Ko yang kosong
maka dia mengetahui, pemuda dihadapannya yang tampaknya berusia muda sekali dan
memiliki kepandaian luar biasa disamping sangat tampan itu, ternyata hanya
memiliki tangan tunggal, karena tidak memiliki tangan kanan, yang ternyata
telah buntung.
Melihat cara pendeta itu
menatap tangan kanan yang buntung itu Yo Ko tidak tersinggung hanya dengan
tersenyum sabar dia telah mene¬gur, „Peperangan telah berakhir, pasukan tentara
perang negeri Taysu telah ditarik pulang oleh Kublai ke Utara, mengapa Taysu
masih berkeliaran disini? Dilihat dari kepandaian yang Taysu miliki, jelas
Taysu bukan orang sembarangan di negerimu.”
Tiat To Hoat-ong yang tengah
murka, dan memang tidak mengenal Yo Ko, telah mendengus, dia telah mengawasi
mendelik dan menunjuk ke arah Loo Boan Thong.
„Dia mencari mampus. Hud-ya
telah bertanya secara baik, apakah dia mengenal atau mengetahui dimana adanya
sute (adik seperguruan) Hud-ya yang bernama Kim Lun Hoat-ong. Namun sungguh
tidak tahu mati, dia telah mempermainkan Hud-ya dengan olok-olokannya yang
tidak lucu.”
Mendengar Loo Boan Tong
mempermainkan pendeta Mongolia itu, dan melihat pendeta itu murka sekali, Yo Ko
tak heran, justeru dia berpikir jika Loo Boan Tong tidak nakal, ten¬tunya dia
bukan Loo Boan Tong. Tetapi yang membuat Yo Ko jadi terkejut, justru pendeta
Mongolia itu telah menyebut-nyebut Kim Lun Hoat-ong sebagai adik
seperguruannya, disamping itu juga Yo Ko melihat kepandaian pendeta ini tidak
boleh dibuat main-main. Maka sambil tersenyum Yo Ko telah berkata, „Taysu,
sungguh malang nasib Kim Lun Hoat-ong, dia telah binasa karena dosanya yang terlalu
melebihi takaran......!”
Muka Tiat To Hoat-ong jadi
berobah hebat. „Jadi memang benar Kim Lun Hoat-ong telah meninggal?”
tanyanya serak suaranya.
Yo Ko mengangguk.
„Hmm, pendeta tak tahu malu!”
memaki Loo Boan Tong. „Aku Loo Boan Tong seumurnya belum pernah berdusta......
bukankah tadi aku telah bicara benar bahwa si bangsat gundul Kim Lun telah
mampus? Dan juga, mengapa tak hujan tak angin tahu-tahu engkau memanggil aku si
monyet? Siapa yang tidak membalas dengan guyon pula. Jika engkau ingin menyusul
Kim Lun si gundul bangsat itu, pergilah ke Im-kan tetapi jangan mengajak aku,
aku sudah bilang tadi, aku masih mau makan nasi......”
Mendengar dan melihat lagak
Ciu Pek Thong maka Yo Ko mau tidak mau jadi tertawa juga, karena sikap si tua
yang ke kanak-kanakan memang lucu.
Tetapi bagi Tiat To Hoat-ong,
sikap Ciu Pek Thong merupakan hinaan yang sangat hebat sekali, dengan
mengeluarkan suara mengerang menyeramkan, dia telah melompat menubruk Ciu Pek
Thong sambil melancarkan serangan dan gempuran telapak tangan hebat sekali.
Namun Yo Ko telah bergerak
cepat, dengan lengan jubah sebelah kanan yang kosong, Yo Ko mengibas sehingga
kembali serangkum angin yang menerjang Tiat To Hoat-ong memaksa pendeta
Mongolia itu mau tidak mau harus mundur beberapa langkah.
Tentu saja Tiat To jadi
terkejut sekali. „Bocah busuk, siapa kau sesungguhnya?” bentak Tiat To Hoat-ong
setelah berhasil menguasai tubuhnya.
„Hm, jika memang benar apa
yang Taysu katakan tadi bahwa kedatangan Taysu untuk mencari adik seperguruan
Taysu, maka setelah Taysu mengetahui dan mendengar keterangan mengenai diri
adik seperguruan Taysu itu, mengapa Taysu tidak berlalu?” Tajam kata-kata Yo
Ko, yang sama juga seperti mengusir pendeta itu dengan segera.
Tubuh Tiat To Hoat-ong gemetar
keras, dia murka bukan main, jenggotnya itu sampai bergetar bergerak-gerak.
Tetapi, di saat itu hatinya ragu-ragu. Dia melihat pemuda ini masih berusia
muda sekali, tetapi kepandaiannya luar biasa, lwekangnya pun mungkin berimbang
dengannya. Maka mau Tiat To Hoat-ong menduga bahwa tidak jauh dari tempat ini
pasti ada guru dari pemuda berkepandaian hebat itu.
Maka berpikir begitu, akhirnya
Tiat To Hoat-ong mengambil keputusan untuk mengalah saja dulu. Dia memang bukan
hanya memiliki kepandaian yang hebat, memiliki ilmu golok gubahan yang tangguh
sekali, yang belum digunakan, tetapi otaknya cerdik sekali. Maka akhirnya dia
telah mengangguk!
„Baiklah,” katanya. „Kelak
Hud-ya tentu akan mencarimu untuk melihat berapa tinggikah sesungguhnya
kepandaianmu. Sekarang Hud-ya tengah sibuk karena memiliki urusan penting, maka
tidak bisa menemanimu untuk main-main.” Dan setelah berkata begitu, ia lalu
menoleh dan mendelik satu kali lagi kepada Ciu Pek Thong, Tiat To Hoat-ong
melompat ringan ke atas kudanya yang kemudian dilarikan ke tengah tegalan
de¬ngan cepat sekali, dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan mata Yo
Ko, Ciu Pek Thong, Siauw Liong Lie maupun Cu Kun Hong.
„Ahaa, untung saja kau datang
Yo Hiante!” berseru Ciu Pek Thong memecahkan kesunyian tempat itu. „Kalau tidak,
hu, hu, kalah sih belum tentu, tetapi yang jelas harus membuang banyak tenaga
sia-sia.”
Yo Ko dan Siauw Liong Lie
tertawa waktu mendengar perkataan Ciu Pek Thong yang jenaka itu.
Cu Kun Hong cepat-cepat
menghampiri mereka, dia memberi hormat sambil katanya, „Boanpwe Cu Kun Hong
sangat beruntung hari ini dapat bertemu dengan Sam-wie Tayhiap Locianpwe.”
Yo Ko cepat-cepat mencegah
pemuda itu lebih hormat kepada mereka. Sebagaimana lazimnya Yo Ko bertiga Ciu
Pek Thong dan Siauw Liong Lie melayani hasrat Cu Kun Hong untuk berkenalan, dan
setelah basa-basi sejenak, akhirnya Yo Ko bertiga Siauw Liong Lie dan Ciu Pek
Thong berlalu.
Cu Kun Hong mengawasi
kepergian ketiga pendekar gagah itu dengan sorot mata kosong, hatinya kagum
sekali akan kepandaian ketiga orang gagah itu. Gurunya sendiri belum tentu
dapat menandingi seperlima dari kepandaian salah seorang ketiga pendekar itu.
Maka dari itu, Kun Hong lama berdiri tertegun di tempatnya, walaupun bayangan
ketiga pendekar itu sudah tidak terlihat.
Dan akhirnya sambil menghela
napas, Kun Hong juga telah melanjutkan perjalanannya. Hanya satu yang menghibur
hatinya, tidak mudah orang berjumpa dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie, tetapi
hari ini dia telah berhasil sekaligus bertemu muka dan menghunjuk hormat kepada
Yo Ko, Siauw Liong Lie dan Ciu Pek Thong.
◄Y►
Kini Ciu Pek Thong melakukan
perjalanan bersama Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Jarak ke Hoa-san dari tempat
mereka berada sudah tidak terpisah terlalu jauh. Setelah melakukan perjalanan
kurang lebih sepuluh hari, akhirnya mereka tiba di kaki gunung Hoa-san sebelah
selatan. Dari jauh, baik Yo Ko maupun Siauw Liong Lie dan Ciu Pek Thong telah
melihat menjulangnya puncak Giok-lie-hong yang tinggi dan megah.
Yo Ko menjelaskan kepada Ciu
Pek Thong dan Siauw Liong Lie, dia merasa heran bukan main atas adanya
peristiwa seperti ini karena walaupun bagaimana dia merasakan bahwa di dalam
urusan yang tengah terjadi ini pasti terselip suatu urusan yang mencurigai dan
tidak beres. It-teng Taysu merupakan salah seorang dari Ngo-ciat, lima jago
luar biasa, dan mungkin diantara kelima jago dalam urutan Ngo-ciat tersebut,
It-teng Taysu yang memiliki kepandaian yang tertinggi dengan It-yang-cie nya.
Umpama kata memang terjadi
suatu urusan yang hebat bagaimanapun, dengan mengandalkan kepandaiannya yang
telah mencapai puncak kesempurnaannya, It-teng Taysu tentu akan berhasil
menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Yang mengherankan justru kini It-teng
Taysu telah mengundang Yo Ko dan Siauw Liong Lie, mengundang Ciu Pek Thong, bahkan
di dalam surat It-teng Taysu kepada Yo Ko telah dijelaskan pendeta dari Selatan
itupun telah mengundang Kwee Ceng dan Oey Yong yang menurut suratnya telah
berangkat dan akan berkumpul di Hoa-san, di dekat makam Auwyang Hong dan Ang
Cit Kong.
Entah urusan besar yang
bagaimana sehingga seorang It-teng Taysu perlu mengundang jago-jago Ngo-ciat
untuk bantu menyelesaikan urusannya itu. Tetapi yang lebih mendatangkan
kecurigaan dihati Yo Ko bertiga, justru surat yang disampaikan untuk Yo Ko itu
diantar oleh seorang yang mencurigakan sekali, yang mengaku bernama Liang Ie Tu
itu, yang akhirnya berusaha mencuri pedang dan golok Yo Ko.
Waktu Yo Ko menanyakan kepada
Ciu Pek Thong, siapakah orangnya yang telah mengantarkan surat It-teng, yang
ditujukan untuk Loo Boan Thong tersebut, Ciu Pek Thong menjelaskan diapun
menghadapi teka-teki yang membingungkan, karena pembawa surat It-teng Taysu
untuknya itu adalah seorang wanita pengemis yang pakaiannya pecah dan
robek-robek mesum sekali, berusia diantara duapuluh tujuh tahun dan nampaknya
agak sinting. Dengan lagaknya yang edan-edanan seperti itu, tentu saja Ciu Pek
Thong tidak bisa mengorek keterangan apa-apa dari pembawa surat tersebut.
Namun disebabkan pemikiran Ciu
Pek Thong memang sederhana dan polos, setelah membaca isi surat It-teng Taysu,
yang sebagian besar, bunyinya itu mirip dengan surat yang diterima Yo Ko, Loo
Boan Tong hanya berpikir untuk cepat-cepat melakukan perjalanan ke Hoa-san
un¬tuk memenuhi undangan It-teng Taysu, disamping itu dia juga memang bermaksud
untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang telah dirindukannya. Tetapi dalam
perjalanan justru dia telah dapat bertemu dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie.
Pertemuan itu memang
menggembirakan. Tetapi dengan munculnya persoalan Tiat To Hoat-ong, membuat
mereka harus berpikir keras, bahwa urusan yang tengah dihadapi It-teng Taysu
justru memiliki hubungan yang erat dengan pihak orang-orang Mongolia. Walaupun
bagaimana, memang kenyataannya mereka belum bisa menjawab sendiri teka-teki
yang tengah mereka hadapi, disamping itu urusan belum pula menjadi jelas dengan
hanya menduga-duga. Dan jika kelak telah bertemu dengan pendeta dari selatan
itulah baru persoalan menjadi jelas.
Akhirnya Yo Ko, Siauw Liong
Lie dan Ciu Pek Thong memutuskan tidak ingin memusingkan pikiran mereka dengan
persoalan tersebut bukankah dalam beberapa hari lagi mereka segera akan bertemu
dengan It-teng Taysu. Maka pada waktu-waktu luang yang mereka miliki telah
dipergunakan untuk pesiar menikmati keindahan yang terdapat di Hoa-san, bahkan
Siauw Liong Lie dan Yo Ko tidak lupa mendatangi kuil kecil yang berada di
puncak Giok-lie-hong, puncak Bidadari itu, di mana terdapat patungnya bidadari
yang pahatannya dan bentuknya mirip dengan Couw-su (nenek guru) mereka.
Kenyataan seperti itu memang
lebih menggembirakan, karena tanpa memikirkan persoalan-persoalan yang
tidak-tidak dan belum pasti, mereka dapat menikmati keindahan yang terdapat di
Hoa-san.
Memang Hoa-san terkenal sekali
memiliki banyak tempat-tempat yang indah, dan keindahan yang terdapat di
Hoa-san tidak kalah jika dibandingkan dengan keindahan di Himalaya maupun
Thian-san.
04.07. Pembongkaran Kuburan
Tokoh Kang-ouw
Ciu Pek Thong memang memiliki
sifat berandalan, dia tidak bisa berdiam lama-lama di kuil kecil di puncak
Bidadari, dan dia meminta ijin dari Yo Ko dan Siauw Liong Lie untuk
mengelilingi bagian-bagian lainnya di gunung itu.
Yo Ko dan Siauw Liong Lie
tidak mencegahnya, karena memang mengenal sifat Loo Boan Tong. Sedangkan Yo Ko
dan Siauw Liong Lie tidak mencegahnya, keduanya menikmati keindahan di puncak
Giok Lie Hong dengan hati yang bahagia, terlebih lagi mereka teringat bahwa
tidak lama lagi mereka akan menjadi ayah dan ibu dari seorang bayi yang mungil.
„Jika anak kita telah berusia
dua tahun, kita harus mendidiknya baik-baik, di saat itu kita harus mulai
menurunkan pelajaran lweekang sehingga di saat dia berusia limabelas tahun
lweekangnya telah sempurna seperti kita sekarang ini......!” bisik Yo Ko dengan
suara yang halus.
Siauw Liong Lie mengangguk
manja, dia merebahkan kepalanya di bahu Yo Ko yang kanan, yang tidak terdapat
lengannya, dia mempermainkan hidung suaminya dengan usapan yang lembut dan
mesra sekali.
„Ko-jie kau mengharapkan anak
lelaki atau anak perempuan?” tanya Siauw Liong Lie.
„Jika Thian memberi anak
laki-laki, aku sangat bersyukur tetapi jika Thian menganugerahkan anak
perempuan, akupun bahagia sekali.....” menyahuti Yo Ko.
„Kalau aku justru mengharapkan
kedua-duanya sekaligus, mudah-mudahan kita memperoleh anak kembar,” kata Siauw
Liong Lie seperti juga menggumam sendirinya.
„Liong-jie, jika memang kita
memperoleh anak kembar, kau tentu terlalu letih…..!” halus sekali suara Yo Ko.
Disamping itu mereka menikmati
keindahan di sekitar tempat itu dengan penuh kebahagiaan, dunia seperti
dimiliki mereka berdua.
<>
Ciu Pek Thong yang
meninggalkan Yo Ko dan Siauw Liong Lie di puncak Giok-lie-hong, telah putar
kayun tidak ada tujuan. Semua pemandangan di sekitarnya, walaupun indah namun
dia tidak tertarik. Tidak ada yang luar biasa yang bisa menyalurkan
kenakalannya. Tanpa disadarinya, akhirnya dia telah tiba di sebelah barat
gunung Hoa-san, di tempat mana kedua kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong yang
letaknya berdampingan itu berada.
Semula Ciu Pek Thong hanya
ingin memaki-maki kuburan Auwyang Hong, untuk melampiaskan kemendongkolannya
karena tidak memperoleh permainan yang menarik di sekitar Hoa-san tidak
berhasil menjumpai seseorang yang bisa dipermainkan dan digodanya. Tetapi waktu
tiba dihadapan kuburan Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, Ciu Pek Thong jadi
berdiri tertegun bagaikan patung, memandang ke arah kedua kuburan itu, yang
batu nisannya telah hancur, disamping itu juga gundukan tanah kuburan itu telah
tidak karuan, meninggalkan dua buah lobang dan kosong tidak ada isinya. Setelah
tersadar dari kagetnya, Ciu Pek Thong berjingkrak karena gusarnya, dia telah
berteriak-teriak sambil memandang sekelilingnya.
Di saat itu, di sekitar tempat
tersebut tidak ada seorang manusiapun. Dan setelah puas memaki-maki kalang
kabutan, Ciu Pek Thong berjongkok dan memeriksa kedua kuburan Auwyang Hong dan
Ang Cit Kong yang telah kosong itu. Ternyata kedua kuburan dari kedua tokoh
rimba persilatan itu telah kosong. Bekas-bekas tanah yang berserakan itu
memperlihatkan bahwa tanah digali bukan dengan mempergunakan pacul melainkan
dalam bentuk cakar-cakaran benda tajam.
Melihat itu Ciu Pek Thong
ingin menduga tentu ada harimau atau macan kelaparan yang menggali kuburan
tersebut. Tetapi kemudian Ciu Pek Thong telah membantah sendiri pendapatnya
itu, karena tidak mungkin harimau membongkar kuburan. Disamping itu, Ciu Pek
Thong juga telah melihatnya bong-pay hancur berantakan karena dihantam oleh
suatu kekuatan yang pasti disertai oleh lwekang yang sempurna sekali.
„Siapakah orangnya yang telah
merusak kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong? Sungguh berani sekali orang yang
melakukan perbuatan itu? Apakah surat undangan yang diberikan oleh It-teng
Taysu memiliki hubungan dan sangkut paut dengan urusan ini?”
Karena tidak bisa memutuskan
sendiri, bagaikan angin Ciu Pek Thong telah berlari-lari menuju ke
Giok-lie-hong. Hanya menelan waktu yang tidak terlalu lama, karena Ciu Pek
Thong mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya sehingga dia bisa berlari secepat
angin, Loo Boan Tong telah tiba di puncak Giok-lie-hong.
Saat itu, Yo Ko dan Siauw
Liong Lie tengah menikmati keindahan yang terdapat di muka kuil kecil yang
terdapat disitu, mereka jadi heran bukan main melihat Loo Boan Tong
berlari-lari seperti dikejar setan, muka si tua nakal itu juga pucat disamping
napasnya yang memburu keras sekali.
„Yo Hiante......, celaka Yo
Hiante.....!” suara Ciu Pek Thong memburu keras sekali.
„Loo Boan Tong, seumur hidup
kami baru kali ini kami melihat kau gugup dan ketakutan! seperti dikejar-kejar
setan!” menggoda Sauw Liong Lie sambil tersenyum.
„Benar! Benar! Hari ini aku
benar bertemu dengan setan...... Justru setan penasaran. Setannya Auwyang Hong
dan Ang Cit Kong yang telah bangkit dari liang kuburnya!” Masih Loo Thong
berusaha berjenaka dalam keadaan gugupnya seperti itu.
Keruan Yo Ko dan Siauw Liong
Lie jadi kaget bukan main.
„Setan penasaran!” tanya
mereka hampir serentak.
„Ya, mari kalian ikut
bersamaku, kuburan Pak-kay dan See-tok telah kosong……” mengangguk Ciu Pek
Thong. Yang dimaksud dengan Pak-kay adalah Ang Cit Kong sedangkan See-tok
adalah julukan Auwyang Hong semasa masih menduduki urutan Ngo-ciat.
Keruan saja Yo Ko dan Siauw
Liong Lie jadi kaget bukan main, tanpa banyak bertanya lagi mereka segera
mengikuti Ciu Pek Thong untuk melihat keadaan kedua kuburan dari kedua tokoh
rimba persilatan itu. Waktu mereka tiba dihadapan kedua kuburan yang telah
kosong itu, Yo Ko dan Siauw Liong Lie jadi berdiri menjublek. Bukan main
terkejutnya mereka, disamping juga merekapun murka sekali.
„Siapa manusia kurang ajar
yang berani mati melakukan pekerjaan seperti ini?” menggumam Yo Ko dengan
gusar. Tubuhnya, tampak menggigil menahan kemurkaannya yang bukan main.
Segera juga Yo Ko dan Siauw
Liong Lie melakukan pemeriksaan di sekitar bekas kedua kuburan itu, yang telah
kosong dan menyiarkan bau busuk dari mayat manusia. Seperti juga halnya Ciu Pek
Thong, maka pasangan suami isteri tersebut menemui bekas cakar-cakaran di tanah
yang berserakan itu.
„Aneh?” tiba-tiba Siauw Liong
Lie telah berseru.
„Apanya yang aneh?” tanya Ciu
Pek Thong cepat, sambil mengawasi nyonya Yo itu. Sedangkan Yo Ko hanya
mengawasi isterinya menantikan keterangan isterinya.
Siauw Liong Lie menghela napas
dalam-dalam. „Kedua orang ini telah meninggal dunia dalam waktu yang cukup
lama, mengapa baru sekarang kuburan mereka dibongkar orang? Terlebih lagi, apa
gunanya mayat-mayat yang hanya tinggal rangka belaka? Apakah ada sesuatu yang
tengah dicari oleh orang yang membongkar kuburan ini? Bukankah ini sangat aneh
sekali?”
Yo Ko mengangguk. „Mungkin
juga surat undangan It-teng Taysu kepada kita memiliki hubungannya dengan
peristiwa ini.....!” Yo Ko coba mengemukakan pikirannya.
Siauw Liong Lie menggeleng.
„Tidak!” katanya tegas.
„Mengapa tidak?”
„Ya, mengapa tidak?” ikut
bertanya Ciu Pek Thong, karena si tua jenaka itu memang penasaran sekali.
Siauw Liong Lie kembali
menghela napas, „Jika memang It-teng Taysu mengundang kita hanya disebabkan
kedua kuburan ini dibongkar orang, tentu dia tidak akan mengatakan di dalam
suratnya sebagai urusan besar. Juga untuk urusan seperti ini, pasti It-teng
Taysu tidak akan ribut-ribut, dia pasti dapat menyelidki sendiri. Namun, kukira
di dalam persoalan ini pasti terselip urusan yang aneh dan seperti yang
dibilang oleh It-teng Taysu, yaitu urusan yang besar.”
Yo Ko mengangguk membenarkan
pendapat isterinya. Tetapi Loo Boan Tong telah menggeleng-gelengkan kepalanya.
„Tidak tepat.....” dia
menggumam.
„Bagaimana pendapatmu, Ciu
Toako?” tanya Yo Ko.
„Menurut dugaanku, Lam-ceng
sudah tua dan pikun, waktu secara kebetulan sekali dia mengetahui kedua kuburan
ini dibongkar orang, dia merasakan tenaganya sudah tidak memadai akibat usianya
yang telah lanjut. Maka dia telah meminta bantuan kepada sahabat-sahabat untuk
menyelidikinya. Tentu saja di dalam persoalan ini, yang disebutnya sebagai
urusan besar, tidak lain dari urusan pendeta gundul dari Mongolia Tiat To
Hoat-ong itu.....!”
„Tepat!” berseru Siauw Liong
Lie. „Dibongkarnya kedua kuburan ini oleh seseorang tentu memiliki hubungannya
dengan kedatangan pendeta Mongolia itu ke daratan Tiong-goan.”
„Jika melihat demikian, tentu
akan muncul urusan yang cukup hebat.....” menggumam Yo Ko.
„Hebat atau tidak semuanya
memang sudah tulisan takdir, dan semua kita harus hadapi,” kata Loo Boan Tong.
„Yang terpenting adalah justru mencari dulu kedua mayat See-tok dan Pak-kay,
kasihan jika tulang kerangka mereka diberikan untuk disantap anjing-anjing
buduk.” Dalam keadaan seperti itu, Loo Boan Tong masih bisa berjenaka dia telah
tertawa terkekeh-kekeh.
Sedangkan Yo Ko telah
mengerutkan sepasang alisnya, karena dia tengah berpikir keras. Secara beruntun
telah bermunculan urusan yang membuatnya jadi bertanya-tanya. Seperti munculnya
Liang Ie Tu yang mencurigakan, munculnya pengantar surat It-teng Taysu. Lalu
Tiat To Hoat-ong, yang kepandaiannya luar biasa tingginya. Dan kini kedua
kuburan Ang Cit Kong dan Auwyang Hong telah dibongkar orang sehingga
tulang-tulang mereka lenyap tidak karuan parannya..... Dan juga, siapakah
wanita yang berpakaian pecah-pecah yang mengantarkan surat It-teng Taysu kepada
Ciu Pek Thong? Semua itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang saling rangkai
tidak hentinya.
Di saat seperti itu, di tengah
udara terdengar suara pekik burung rajawali. Waktu Yo Ko bertiga mengangkat
kepala memandang ke atas, mereka melihat Sin-tiauw tengah terbang
melayang-layang akan menerkam mangsanya, yaitu seekor kelinci berbulu putih.
Kelinci itu tampak ketakutan, dia telah berlari-lari kesana kemari dengan
dikejar oleh Sin-tiauw dari tengah udara.
Waktu kelinci itu lewat di
dekat mereka, Yo Ko maupun Siauw Liong Lie mengetahui walaupun bagaimana
kelinci itu pasti akan berhasil ditangkap oleh Sin-tiauw yang sakti itu.
Anehnya Sin-tiauw tidak segera meluncur terbang turun menukik untuk
mencengkeram mangsanya itu, walaupun kelinci tersebut telah berlari-lari di
lapangan terbuka seperti itu. Karena ketakutan sekali dikejar-kejar terus oleh
Sin-tiauw yang seperti ingin mempermainkan dirinya, kelinci itu akhirnya
berlari ke arah lobang bekas kuburan Auwyang Hong.
Di saat itulah, Sin-tiauw
telah menukik secepat kilat, sayapnya yang lebar terpentang lebar-lebar,
sehingga bayangan hitam meliputi sekitar kedua kuburan itu, di saat itulah
Sin-tiauw telah memekik dan walaupun jarak mereka, yaitu jarak Sin-tiauw dangan
kelinci itu masih terpisah empat tombak dan di saat kelinci itu akan menyelusup
masuk ke dalam lobang kuburan itu, sayap kanan dari Sin-tiauw telah mengibas.
Luar biasa kibasan sayapnya
itu, karena tubuh kelinci tersebut terangkat dari tanah dan terlontarkan ke
tengah udara. Di saat tubuh kelinci itu terapung di tengah udara, Sin-tiauw
telah dengan cepat sekali mencengkeram mangsanya dan membawanya terbang tinggi
sekali.
„Bagus! Bagus!” berseru-seru
Ciu Pek Thong kagum melihat cara menangkap yang dilakukan oleh Sin-tiauw, yang
lain dengan cara-cara burung rawajali lainnya jika menangkap mangsanya yang
biasa hanya menukik dan mencengkeram. Tetapi disebabkan Sin-tiauw memang
memiliki ilmu silat kelas satu, kibasan sayapnya mengandung kekuatan yang luar
biasa sekali!
Dengan hati berduka dan berat
Yo Ko menghela napas dalam-dalam. Siauw Liong Lie dapat menyelami perasaan hati
suaminya tersebut, dan kini kuburannya dibongkar seseorang, tulang belulangnya
lenyap, bukankah hal itu menimbulkan kedukaan?
Baru saja Siauw Liong Lie
ingin menghibur suaminya, Yo Ko telah berkata perlahan,
„Ternyata sampai matinya dia
tidak bisa beristirahat dengan tenang, tulang-tulangnya masih juga diganggu
orang.”
„Itulah takdir, semasa
hidupnya See-tok beracun sekali, tidak mengherankan banyak yang membencinya!”
kata Ciu Pek Thong sambil tertawa.
„Tetapi, apakah Pak-kay Ang
Cit Kong juga beracun?” tanya Yo Ko.
Ciu Pek Thong tertegun, dia
memandang diam sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya,
„Sudahlah, aku tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi, tetapi yang jelas kita
harus membekuk pembongkar kuburan ini.”
Yo Ko mengangguk. „Ya, tetapi
kita harus menantikan dulu It-teng Taysu, walaupun bagaimana urusan ini
terlampau berbelit dan membingungkan sekali. It-teng Taysu tentu dapat
memberikan penjelasan yang membuka tabir rahasia membingungkan ini. Waktu yang
dijanjikannya tinggal dua hari lagi.”
„Tetapi Ko-jie, jika dilihat
tanah yang berserakan ini, tampaknya kuburan dibongkar belum lama. Jika kita
hanya berpeluk tangan menantikan It-teng Taysu selama dua hari lagi bukankah
penjahat itu sudah melarikan diri jauh sekali?” tanya Siauw Liong Lie.
Yo Ko diam sejenak, seperti
juga tengah berpikir keras. Akhirnya dia mengangguk. „Baiklah, sambil
menantikan kedatangan It-teng Taysu dan Kwee Peehu dan Peebo, kita mencari
penjahat itu. Tiauw-heng mungkin akan dapat membantu banyak.”
Dan setelah berkata begitu, Yo
Ko bersiul nyaring sekali, dan tidak lama kemudian Sin-tiauw terbang mendatangi
dengan cepat. Kelinci buruannya masih dicengkeramnya dan waktu burung rajawali
itu tiba, Siauw Liong Lie telah mengambil kelinci itu.
„Tiauw-heng,” kata Yo Ko
kemudian bersungguh-sungguh. „Kami membutuhkan sekali bantuanmu, mungkin kau
bisa memecahkan teka teki yang tengah kami hadapi ini.”
Burung rajawali itu seperti
mengerti perkataan Yo Ko karena dia telah mengangguk-angguk perlahan sambil
mengeluarkan suara pekikan berulang kali.
„Kini kau coba endus dulu bau
dari kedua kuburan itu, lalu Tiauw-heng pergi mencari penjahat yang membongkar
kedua kuburan itu di sekitar tempat ini, mungkin mereka belum pergi jauh,” kata
Yo Ko lagi.
Burung rajawali itu telah
mengangguk lagi, lalu menghampiri kedua lobang kuburan yang telah kosong itu,
dia segera memperhatikan sejenak, lalu dia mengeluarkan suara pekikan, tubuhnya
telah melayang ke tengah udara, terbang tinggi sekali. Sayapnya yang lebar dan
besar itu terdengar berbunyi berkepak-kepak tidak hentinya, semakin lama
semakin menjauh, sehingga akhirnya hanya terlihat titik belaka dan kemudian
lenyap dari pandangan Yo Ko bertiga.
Yo Ko menghela napas. „Jika
dilihat perkembangan yang ada seperti sekarang ini, tampaknya sulit bagi kita
untuk hidup tenang tenteram, Liong-jie,” kata Yo Ko.
Siauw Liong Lie mengangguk.
„Ya, jika dilihat demikian memang sulit kita hidup tenang dan tenteram, karena
persoalan yang muncul tentu persoalan yang cukup luar biasa, yang memaksa kita
untuk melibatkan diri. Sebagai contoh, dapat kita lihat dibongkarnya kuburan
See-tok dan Pak-kay!”
Yo Ko mengangguk mengiyakan.
„Dan yang terpenting lagi
adalah persoalan munculnya Tiat To Hoat-ong, kakak seperguruan Kim Lun
Hoat-ong, jelas memaksa kita harus bersiap-siap untuk menghadapinya, karena
yang pasti Tiat To Hoat-ong tidak datang seorang diri, sedangkan kepandaian
pendeta itu tampaknya jauh lebih tinggi dari Kim Lun Hoat-ong.”
Yo Ko diam tidak menyahuti,
karena nyonya Yo tersebut tengah berpikir keras. Persoalan yang tengah mereka
hadapi itu memang tidak bisa diremehkan, karena jika sampai daratan Tiong-goan
telah diinjak oleh orang-orang atau jago-jago Mongolia, ancaman untuk
ketenteraman negara Song tersebut mulai terlihat lagi. Terlebih pula, dalam
tiga tahun terakhir ini, sejak Kublai mengajak pasukan perangnya mundur ke
Utara pulang ke negeri mereka, ia telah memperoleh kemajuan yang pesat untuk
membentuk pasukan perang yang kuat dan dahsyat, jauh lebih berhasil dari Kaisar
Mangu, maka hal itu jelas merupakan ancaman yang tidak kecil dan disadari oleh
rakyat Tiong-goan.
Namun mereka benar-benar tidak
berdaya disebabkan raja dan pembesar Song umumnya telah mabok oleh kemenangan
yang diperoleh, selalu menenggelamkan diri dengan pesta berfoya-foya lupa
daratan, tidak ada perhatian mengurusi negeri. Lebih-lebih lagi memang banyak
menteri-menteri bermuka dua, yang secara diam-diam telah dihubungi Kublai dan
menyatakan kesediaannya untuk menyambut pasukan perang negeri asing itu dari
dalam. Itulah ancaman yang tidak kecil.
Yo Ko dan Siauw Liong Lie
maupun beberapa orang-orang gagah lainnya memutuskan untuk hidup mengasingkan
diri, karena muak melihat ketidak sanggupan pembesar-pembesar Song mengurus
negara. Namun sebagai pecinta tanah air, merekapun tidak bisa berpeluk tangan
saja jika melihat negara mereka terancam bahaya yang tidak kecil itu.
Ciu Pek Thong gelisah
sendirinya karena Yo Ko maupun Siauw Liong Lie seperti tenggelam dalam
keragu-raguannya, sedangkan dia juga tidak memiliki kesempatan mengajak mereka
bercakap-cakap. Si kakek tua jenaka itu jadi gatal kakinya dan berangkat untuk
menyusul Sin-tiauw guna ikut mencari penjahat yang telah membongkar kuburan
Auwyang Hong dan Ang Cit Kong.
Namun, belum lagi dia
menyatakan niatnya itu kepada Yo Ko, tiba-tiba terdengar suara pekik Sin-tiauw
dikejauhan dan disusul kemudian dengan tampaknya burung rajawali itu terbang
mendatangi sambil mengeluarkan suara pekikan tidak hentinya.
Walaupun bagaimana, sikap yang
diperlihatkan oleh rajawali merupakan kelakuan yang belum pernah terjadi, Yo Ko
dan Siauw Liong Lie jadi terkejut. Mereka segera menduga, jelas ada sesuatu
yang telah terjadi dan tidak dapat diha¬dapi oleh burung rajawali tersebut.
Cepat-cepat Siauw Liong Lie
melepaskan kelinci yang sejak tadi dipeganginya, lalu bersama Yo Ko mereka
memapak burung rajawali mereka, yang telah hinggap di samping mereka. Begitu
melihat apa yang terjadi didiri Sin-tiauw, Yo Ko dan Siauw Liong Lie
mengeluarkan seruan kaget, dan cepat memeriksa sayap burung tersebut, yang
tampak mengucurkan darah dan beberapa helai bulunya telah copot. Ternyata
beberapa batang jarum yang halus telah menempel disayap burung tersebut, dan
darah yang mengucur keluar berwarna gelap kehitam-hitaman.
„Jarum beracun?” berseru Siauw
Liong Lie dengan suara ditenggorokan, tidak lancar.
Yo Ko mengernyitkan alisnya
dia mengambil dua batang ranting untuk mencabut keluar jarum-jarum yang melukai
burung rajawali kesayangan mereka tersebut, dilihat dari bentuk jarum yang
gagangnya berwarna gelap kehitam-hitaman. Yo Ko memang yakin jarum itu
merupakan jarum beracun. Dia bekerja cepat sekali setelah selesai mencabuti
jarum-jarum itu Yo Ko menempelkan tangan kanannya di punggung rajawali sakti
tersebut, mengempos semangatnya menyalurkan lweekangnya ke tubuh burung itu.
Rajawali itu seperti mengerti,
dia berdiam diri saja, hanya sekali-kali terdengar suara pekik perlahan
bagaikan keluhan. Tidak berselang lama, tampak dari bekas luka-luka itu
mengucur darah yang berwarna hitam, semakin lama semakin merah dan akhirnya
merah bersih. Terbebaslah rajawali sakti itu dari keganasan racun jarum-jarum
itu.
„Siapa yang telah melukaimu,
Tiauw-heng?” tanya Siauw Liong Lie.
Rajawali itu memekik sambil
menggerakkan sayapnya yang satu menunjuk dari arah mana tadi dia terbang
mendatangi.
„Biar aku melihatnya
kesana.....!” kata Ciu Pek Thong sambil menjejakkan kakinya, tubuhnya telah
melompat pesat sekali tanpa menanti jawaban Yo Ko maupun Siauw Liong Lie.
Yo Ko juga telah menoleh
kepada Siauw Liong Lie sambil katanya, „Liong-jie, kau lindungi Tiauw-heng,
biar aku melihat siapa yang melukainya.”
Siauw Liong Lie mengangguk
dengan hati gelisah. Nyonya Yo liehay ilmu silatnya, tetapi melihat cara
jarum-jarum yang tadi melukai Sin-tiauw, yang letak kedudukannya mengambil
bentuk pat-kwa, maka tahulah dia bahwa orang yang melepaskan jarum-jarum itu
tentu memiliki kepandai¬an yang tinggi sekali. Disamping itu, Siauw Liong Lie
menguatirkan sekali kapan kalau racunnya masih mengendap di tubuh rajawali
tersebut, maka dia telah menempelkan lagi tangan kanannya, dia menyalurkan
tenaga lwekangnya berusaha mendorong darah keluar dari luka-luka di-sayap
rajawali tersebut. Tetapi setelah melihat darah yang mengucur keluar memang
berwarna merah bersih, hati nyonya Yo baru lega dan agak terhibur. Dengan penuh
kasih sayang, dia mengusap-usap burung kesayangannya itu.
Sebetulnya, nyonya Yo
seringkali duduk di punggung rajawali tersebut berkeliling-keliling di lembah
Siauw-hong, namun kini dia tidak tega untuk meminta Tiauw-hengnya itu
membawanya terbang untuk menyusul Yo Ko dan Ciu Pek Thong, maka akhirnya Siauw
Liong Lie hanya bisa menanti di dekat kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong
bersama rajawali sakti tersebut, menantikan kembalinya Yo Ko dan Ciu Pek Thong.
<>
Ciu Pek Thong telah berlari
dengan cepat sekali ke arah dari mana Sin-tiauw tadi terbang mendatangi dalam
keadaan terluka, dengan gerakan yang gesit sekali dia telah melompati dua buah jurang
kecil dan kemudian tiba di permukaan sebuah rimba. Di tempat itu tidak terlihat
seorang manusiapun juga, sehingga membuat Ciu Pek Thong jadi penasaran.
Kakek tua yang biasanya jenaka
ini telah berlari lagi dua lie lebih, tetapi tetap saja dia tidak berhasil
menjumpai seorang manusiapun di sekitar tempat tersebut. Akhirnya karena
mendongkol bercampur gusar, Ciu Pek Thong jadi memaki-maki kalang kabutan
seorang diri.
Yo Ko yang telah datang
menyusul tidak lama kemudian, juga tidak berhasil menemui seorang manusiapun
juga.
„Orang itu tentu telah
melarikan diri!” kata Ciu Pek Thong dengan suara mendongkol, „Sungguh-sungguh
seorang bangsat, berani melukai Tiauw-heng, tetapi tidak berani mempertanggung
jawabkan perbuatannya ini!”
Yo Ko tidak melayani ocehan
Ciu Pek Thong, dia memandang sekitar tempat dimana mereka berada. Dan matanya
yang awas telah melihat sesuatu yang mencurigakan di bawah sebatang pohon.
Cepat-cepat Yo Ko menghampiri pohon itu, dia telah berjongkok dan mengambil
sesuatu.
Ciu Pek Thong telah
cepat-cepat menghampirinya.
„Apa yang kau ambil, Yo
Hiante?” tanyanya tertarik.
Yo Ko mengangsurkan sebuah
jepitan rambut, yang terbuat dari perak. “Ini tentu milik orang yang telah
melukai Tiauw-heng, mungkin terjatuh tanpa diketahuinya. Dilihat demikian, yang
melukai Tiauw-heng tentu seorang wanita.”
Ciu Pek Thong memegangi
jepitan rambut itu dengan geleng-geleng kepala gusar sekali. „Jika aku berhasil
menangkapnya, tentu rambutnya akan kupotong habis agar kepalanya menjadi
gundul!” mengomel si kakek jenaka itu.
Yo Ko berusaha mencari-cari
jejak orang itu di atas tanah, tetapi dia tidak berhasil hanya sekali-kali dia
melihat beberapa batang rumput yang patah, dan segera juga Yo Ko mengetahui
orang yang tengah mereka cari itu pasti seorang yang memiliki Ginkang atau ilmu
meringankan tubuh yang sempurna sekali.
Hal itu dibuktikan karena
walaupun berjalan di tanah pegunungan tersebut orang itu tidak meninggalkan
jejak, dan rumput-rumput yang terinjak olehnya tidak menjadi patah atau rusak,
hanya beberapa batang rumput saja yang rusak. Tentunya orang itu mempergunakan
ilmu berjalan semacam Tiu-hong-hoat-su, ilmu mengejar angin, yang telah
mencapai puncak kesempurnaannya.
Yang membuat Yo Ko jadi heran
justru akhir-akhir ini dia justru bertemu dengan orang-orang yang memiliki
kepandaian yang sempurna sekali. Seperti Tiat To Hoat-ong kakak seperguruan Kim
Lun Hoat-ong, yang memiliki kepandaian begitu sempurna, tentu sudah merupakan
lawan yang tangguh. Dan sekarang burung rajawali yang sangat disayanginya telah
dilukai oleh seseorang, bukan orang itupun tampaknya memiliki kepandaian yang
luar biasa tingginya. Apakah orang telah melukai Tiauw-hengnya itu memiliki
hubungan dengan persoalan pembongkaran kuburan Auwyang Hong maupun Ang Cit
Kong?
„Yo Hiante, mari kita kejar
terus orang itu,” kata Ciu Pek Thong penasaran. „Tentu orang itu belum pergi
jauh!”
Yo Ko mengangguk. Dengan
mengambil patokan arah dari patahnya beberapa batang rumput itu Yo Ko telah
mengambil ke arah jurusan barat dari gunung Hoa-san, yaitu yang menuju ke
Giok-lie-hong. Yo Ko telah mengempos semangatnya dan telah berlari secepat
kilat. Hanya dalam waktu seminuman teh, dia telah tiba di kuil kecil di puncak
Bidadari itu, meninggalkan Ciu Pek Thong jauh di belakang.
04.08. Liong-jie, kemanakah
engkau . . . ?
Seperti diketahui, ilmu lari
cepat Yo Ko telah mencapai puncak kesempurnaan, karena beberapa tahun yang
telah lalu saja waktu dia mengejar-ngejar Leng-ho milik si nenek Eng Kauw, Yo
Ko telah memperlihatkan keterampilannya yang luar biasa, yang dapat berlari
dengan kecepatan bagaikan kilat dan tubuhnya seperti bayangan atau gumpalan
warna belaka. Terlebih lagi kini memang dia telah meyakini ilmunya kian
sempurna selama tiga tahun terakhir, sehingga boleh dibilang di dalam jagat ini
sudah tidak ada orang yang bisa menandingi kehebatan ilmu lari cepat Yo Ko.
Seperti diketahui, untuk
kepandaian ilmu silat Ciu Pek Thong memang sempurna dan jarang sekali ada yang
bisa menandingi kepandaian si kakek tua jenaka itu. Yo Ko pun tidak bisa merubuhkannya
walaupun Ciu Pek Thong pun tidak bisa berbuat banyak terhadap Yo Ko. Tetapi
kenyataan yang ada, Yo Ko hanya memiliki tangan kiri tunggal, dengan tangan
kanan yang telah tiada karena lengan kanannya telah buntung ditabas Kwee Hu.
Namun dengan hanya mengandalkan tangan kirinya yang telah terlatih oleh
cara-cara latihan yang aneh, yang diperolehnya dari Sin-tiauw, yang membuat dia
melatih diri dengan gelombang laut, maka lwekang Yo Ko berada di atas Ciu Pek
Thong. Dan begitu pula ilmu lari cepatnya, telah berada di atas Ciu Pek Thong.
Dalam mengejar lawan, Yo Ko
yang tengah dalam gusar dan mendongkol akibat terbongkarnya kuburan Auwyang
Hong dan Ang Cit Kong oleh seseorang yang belum diketahui dan kini Sin-tiauw
dilukai orang, maka Sin-tiauw Tayhiap ini telah mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk berlari secepat mungkin dan meninggalkan Loo Boan Thong
terpisah puluhan lie. Namun waktu tiba di muka pintu kuil kecil di atas puncak
Giok-lie-hong, Yo Ko jadi mengeluarkan seruan terkejut dan menatap keundakan
tangga pintu kuil dengan muka yang berobah serta mengawasi tertegun.
Ada sesuatu yang dilihatnya
agak luar biasa. Seorang wanita tua, dengan muka yang keriput, dengan
pakaiannya yang berwarna kuning dan rambut yang disanggul tinggipun telah putih
keseluruhannya, tengah duduk seenaknya melintangkan kaki. dan tengah bernyanyi
kecil.
„Akhh.....” Tanpa
dikehendakinya Yo Ko jadi mengeluarkan keluhan pendek.
Nenek tua itu menoleh, mukanya
dingin namun lebih dingin lagi tatapan matanya yang seperti ingin menembus ke
ulu hati Yo Ko.
„Letih?” tanyanya dengan
teguran suara yang halus dan perlahan-lahan.
Cepat-cepat Yo Ko
mempergunakan tangan kirinya yang didekap kedadanya, dia membungkuk memberi
hormat.
„Lo-taypo (nenek tua), aku
yang rendah Yo Ko menghunjuk hormat,” kata Yo Ko. Dia mengambil sikap seperti
itu karena dia menyadari wanita tua tersebut tentu bukan seorang nenek
sembarangan. „Lo-taypokah yang telah melukai rajawaliku?”
Si nenek tertawa kecil,
walaupun telah lanjut usia, namun suara nenek tua itu masih merdu didengar.
„Melukai rajawalimu? Kalau
benar bagaimana? Kalau tidak benar bagaimana?” menyahuti si nenek.
Melihat sikap si nenek yang
angin-anginan seperti itu, tentu saja membuat Yo Ko jadi mendongkol. „Kalau
memang tidak benar, tentu aku yang rendah ingin menyampaikan maaf, tetapi jika
memang benar, yang pasti tentu saja kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu itu,” kata Yo Ko mendongkol.
„Begitu?” tanya si nenek
sambil, menggeser duduknya dan dia telah duduk tegak menghadapi Yo Ko. „Engkau
si buntung ini tentunya yang biasa disebut sebagai Sin-tiauw Tayhiap, bukan?”
Mendengar dirinya disebut
sebagai „si buntung”, keruan darah Yo Ko jadi meluap. Tetapi mengingat yang
dihadapinya adalah seorang nenek, dia menindih kegusaran di hatinya.
„Tidak berani aku menerima
gelar yang berat itu, dan itu hanya gurau sahabat-sahabatku saja.....!” kata Yo
Ko merendah.
„Hmmm......” mendengus nenek
tua itu dengan suara yang dingin, „Engkau berani terima atau tidak itu bukan
persoalanku. Tetapi yang ingin kutanyakan, apakah engkau merasakan dirimu
sebagai pendekar nomor satu dijaman ini?”
Yo Ko jadi tertegun mendengar
pertanyaan si nenek tua yang tidak dikenalnya tersebut. Cara bertanya si nenek
bersungguh-sungguh, wajah dan matanya yang dingin itu memperlihatkan sesuatu
maksud yang terkandung. Perlahan suaranya, tetapi pengaruhnya hebat, seperti
juga dia bicara dengan mempergunakan lwekang yang tinggi. Tentu saja Yo Ko
tambah mendongkol tidak hujan tidak angin nenek tua ini seperti sengaja ingin
mencari-cari urusan dengannya, „Biarlah aku coba-coba main-main beberapa
jurus,” pikir Yo Ko. Setelah berpikir begitu, Yo Ko menggeleng.
„Tingginya langit sulit
diukur, dalamnya laut sukar diterka, gunung yang tinggi ada yang lebih tinggi,
mengapa harus mempergunakan perkataan „jago nomor satu dijaman ini”? Di luar
gunung terdapat gunung, di luar manusia terdapat manusia lainnya, di luar
kepandaian tinggi terdapat yang lebih tinggi, bagaimana seseorang dapat
bersikap sombong dan congkak menepuk dada sendiri memuji diri, seperti juga air
laut yang mengasinkan airnya sendiri.....”
Si nenek mengetahui dirinya
disindir tetapi dia tidak memperlihatkan sikap mendongkol atau marah, dia telah
tertawa. „Justeru aku hendak bertanya, apakah kau asin sendiri atau memang
diasini sahabat-sahabatmu?” kata si nenek tawar.
Yo Ko habis sabar, dia
melangkah maju menghampiri. „Maaf Lo-taypo aku ingin lewat.....” dan waktu
berkata begitu, kakinya sudah diangkat untuk lewat disamping si nenek. Sambil
berbuat begitu, Yo Ko mengerahkan tenaga lwekangnya di kaki kanannya, dan di
saat kaki itu diayunkan muncul gelombang tenaga yang dahsyat sekali, karena
kaki itu digerakkan untuk melangkah, sama halnya seperti juga menendang. Dan
justru disebabkan Yo Ko mengambil arah di sebelah kanan, maka tidak
mengherankan angin yang menerjang dari kakinya menyambar ke punggung si nenek.
Yo Ko telah memperhitungkan,
jika si nenek ternyata hanya memiliki kepandaian yang rendah, dia akan segera
menarik pulang tenaganya be¬gitu hampir mengenai sasaran dan tetap hanya
merupakan langkah biasa. Tetapi jika memang si nenek tidak menangkis dan memang
memiliki kepandaian yang tinggi menerima angin yang muncul dari langkah kaki Yo
Ko, pendekar Rajawali Sakti tersebut akan menggerakkan tenaga dalamnya itu untuk
men¬coba kekuatan tenaga dalam nenek tua yang aseran tersebut.
Di luar dugaan Yo Ko, nenek
tua itu hanya mendengus dingin dan sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya,
tetap duduk kaku di tempatnya, bahkan tangan kanannya digerakkan untuk
menggaruk kepalanya yang tampaknya gatal. Dengan gerakannya itu, dengan
tangannya yang kiri dibiarkan di pangkuannya dan tangannya diangkat sikut
tangannya itu menyambuti kaki Yo Ko.
Benturan yang dilakukan
seperti tidak sengaja itu hebat luar biasa. Tubuh si nenek bergoyang-goyang,
sedangkan Yo Ko merasakan kakinya kesemutan. Tetapi Yo Ko telah melangkah
berada di dalam.
Si nenek tua itu diam-diam
terkejut bukan main, dia sampai mengeluarkan seruan kecil, tampaknya murka
bukan main, sebab mukanya dan matanya makin dingin saja.
Yo Ko juga terkejut bukan
main, karena tadi waktu kakinya dibentur oleh sikut si nenek tua itu, tenaga
benturan yang terjadi memang hebat bukan main. Disamping itu, juga Yo Ko
merasakan semacam getaran tajam yang berusaha menerobos masuk ke dalam kulit
kakinya, tenaga itu benar-benar merupakan ilmu lwekang yang sejati, yang bisa
meremukkan tulang dengan hanya benturan seperti itu. Keruan saja Yo Ko jadi
heran juga. Jika dilihat dari cara si nenek melancarkan lwekangnya itu, maka
tampaknya dia bukan mempergunakan ilmu silat dari daratan Tiong-goan.
Setidak-tidaknya dia memang menyadari, kepandaian si nenek walaupun tidak
berada di atasnya, tetapi juga sulit untuk dilayani.
„Bocah, benar-benar memang kau
si buntung yang sudah asin!” kata si nenek dengan suaranya yang dingin, „Baik,
baik, aku justru ingin melihatnya apakah benar-benar kau asin luar dalam, atau
memang hanya asin bagian luarnya, lalu dalamnya tawar.”
Setelah berkata begitu, tampak
si nenek tua tersebut melompat berdiri, dengan gerakan yang gesit sekali.
Gerakannya itu bukan main cepatnya, dia juga telah melepaskan ikatan
pinggangnya, dengan ikat pinggang yang berwarna hijau itu, dia mengibas, dan di
tengah udara terdengar suara mengaung. Itulah hebat sekali, ikat pinggang
terbuat dari secarik kain yang lemas dan tidak memiliki tenaga yang keras,
tetapi dengan dikibas begitu, dan dengan cepat mengeluarkan suara yang mengaung
keras, keruan saja membuktikan lwekang si nenek luar biasa.
Yo Ko yang dalam keadaan
mendongkol yang berulang kali mendengar dirinya disebut si buntung, telah
berlaku lebih waspada, dan dia telah melancarkan serangan yang mengincar bagian
berbahaya di tubuh si nenek. Yo Ko melakukan serangan yang cepat seperti itu,
karena dia tidak mau membuang-buang waktu lagi dia telah bermaksud untuk
merubuhkan si nenek di dalam waktu yang singkat dan mendesaknya agar dia
mengaku apakah dia yang melukai rajawalinya atau memang bukan. Jika memang
bukan si nenek yang melukai rajawalinya, tentu dia bisa mengejar penjahat yang
sesungguhnya.
Si nenek juga telah berteriak,
„Bagus!” sambil cepat sekali dia berkelit ke samping, dan membarengi dengan itu
dia telah menggerakkan tangannya yang memegang ikat pinggangnya. Gerakannya
cepat sekali, ujung ikat pinggangnya itu seperti seekor ular naga, telah
menyambar ke arah mata kanan Yo Ko! „Benar-benar luar biasa!”
Si nenek telah melancarkan
serangan dengan serangan yang sekaligus memilih bagian yang terlemah dari
lawannya, tentu saja Yo Ko bertambah yakin bahwa si nenek bukan seorang nenek tua
yang bisa dipandang remeh. Disamping itu, memang dia bersikap lebih waspada,
juga Yo Ko jadi bertanya-tanya di dalam hatinya, entah siapa adanya nenek tua
itu.
Walaupun bagaimana Yo Ko tidak
bisa berpikir terlalu lama karena si nenek dengan mengeluarkan seruan „awas!”
telah menggerakan ikat pinggangnya lagi, kali ini ikat pinggang itu
menyambar-nyambar dengan gerakan berliku-liku bagaikan seekor ular yang menuju
ke arah Yo Ko dan di saat ujungnya hanya terpisah kurang lebih empat dim,
tahu-tahu ikat pinggang itu telah menjadi lurus dan ujungnya menyambar tepat ke
ulu hati Yo Ko.
Keruan Yo Ko terkejut. Semula
dia menduga nenek tua itu ingin mempergunakan tenaga lembek, namun kenyataannya
si nenek telah mempergunakan sekaligus tenaga lunak dan keras yang digabung
menjadi satu dan digerakkan dengan sekehendak hatinya, karena dia bisa
mempergunakan tenaga lunak untuk melibat lawan, kemudian di saat lawan lengah,
dia membarengi dengan serangan tenaga keras, dimana ikat pinggangnya berobah
sifatnya menjadi keras melebihi lempengan baja.
Tetapi Yo Ko mana memandang
sebelah mata serangan seperti itu? Dia hanya heran mengapa si nenek tua ini
baru dijumpainya sekarang? Mengapa sebelumnya dia belum pernah mendengar atau
melihatnya? Bukankah si nenek tangguh sekali? dan sesungguhnya ada permusuhan
apakah diantara dia dengan si nenek tua itu sehingga memusuhinya demikian rupa?
Dengan kegesitan yang luar
biasa, Yo Ko telah berkelit dari ujung ikat pinggang itu, dan begitu pula
sampai berulang kali Yo Ko telah mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh si
nenek, karena Yo Ko ingin melihat dulu sampai berapa tinggi sesungguhnya ilmu
si nenek dan berasal dari pintu perguruan silat yang mana.
Tetapi, cara menyerang si
nenek ngawur sekali. Walaupun memang hebat. Sesaat dia mempergunakan ilmu
pedang Siauw-lim-sie, walaupun dengan mempergunakan ikat pinggangnya, jurus
ilmu pedang Siauw-lim-kiam-hoat itu hebat bukan main. Tetapi baru dua-tiga
jurus dia telah mempergunakan jurus-jurus dari pintu perguruan
Ngo-tek-kiam-hoat, ilmu pedang dari Lima Bintang. Keruan saja Yo Ko jadi tambah
heran dan bingung, tidak bisa dia menerka asal usul dari nenek tua itu.
Dengan mengeluarkan suara
siulan cukup nyaring, tampak Yo Ko memutar tubuhnya, akhirnya suatu kali ikat
pinggang si nenek menyambar datang, Yo Ko tidak berkelit, dia telah
mengeluarkan tangannya, dia telah mencekal ujung ikat pinggang itu dengan kuat,
sehingga tidak bergeming.
Nenek tua yang luar biasa itu
telah berusaha untuk menariknya, tetapi dia tidak berhasil menariknya terlepas
dari cekalan tangan Yo Ko. Disamping itu, si nenek tua juga telah berusaha
mengerahkan tenaga dalamnya membuat ikat pinggang itu menjadi lurus keras kaku,
lalu mendorong sekuat tenaganya untuk menusuk Yo Ko, tetapi usahanya itupun
gagal.
„Lo-taypo, bisakah aku yang
rendah mengetahui nama dan shemu yang harum?” tanya Yo Ko kemudian dengan suara
yang nyaring sambil memegangi terus ujung ikat pinggang si nenek tua tersebut.
„Dan ada ganjelan apakah diantara kita berdua?”
Si nenek telah berobah mukanya
menjadi pucat kehijau-hijauan, dia murka bukan main, karena dia merasakan
dirinya dipermainkan oleh Yo Ko. „Apa perdulimu untuk mengetahui nama dan she
ku? Ciss, manusia seperti engkau tidak berharga mendengarnya!” Dan membarengi
bentakannya itu, dengan cepat sekali tampak si nenek telah mengibaskan tangan
kirinya, dengan menimbulkan suara „srrrr, srrrr” tampak tiga jarum kuning telah
menyambar pesat sekali ke arah Yo Ko.
Tangan kiri Yo Ko tengah
tengah mencekal ikat pinggang si nenek, dan diapun terpisah dalam jarak yang
tidak begitu jauh, maka jarum-jarum yang menyambar datang ketiga jalan darahnya
itu merupakan serangan jarak dekat yang sulit dielakkan jika memang Yo Ko tidak
mau melepaskan cekalannya di ujung ikat pinggang si nenek.
Tetapi Yo Ko memang telah
memiliki ilmu yang sempurna sekali dia tidak menjadi gugup atau terkejut
melihat datangnya serangan seperti itu, dengan mengeluarkan seruan yang nyaring
nampak Yo Ko mengibaskan lengan jubah kanannya yang kosong itu. Ujung jubah
yang kosong itu menyampok ketiga batang jarum si nenek, dan membarengi jarum
terpental Yo Ko menghentak keras ujung ikat pinggangnya si nenek sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, maka tidak ampun lagi tubuh si nenek telah
terangkat dan melambung ke tengah udara, karena si nenek tidak mau melepaskan
ikat pinggangnya.
Sambil menghentak begitu, Yo
Ko tidak mencekali terus ujung ikat pinggang si nenek, melainkan dia
melepaskan, maka tubuh si nenek tua yang luar biasa itu seperti dilemparkan
saja, melayang di tengah udara, menuju ke dinding batu gunung yang akan
ditubruknya. Sedangkan Yo Ko begitu melepaskan cekalannya segera berjongkok,
dia telah mengambil tiga batang jarum si nenek diperhatikannya baik-baik
mukanya jadi berobah. Dikenalnya jarum yang dipergunakan nenek tua itu juga
sama bentuk dan rupanya dengan jarum-jarum yang telah melukai Sin-tiauw. Di
saat itulah muncul murkanya.
Dengan mengeluarkan suara
seruan yang keras Yo Ko menotolkan kakinya di tanah, tubuhnya telah melambung
dengan gerakan yang cepat sekali, dia juga telah mengulurkan tangan kirinya
mencekal punggung si nenek tua itu, yang dicengkeramnya keras sekali. Tubuh si
nenek yang semula melayang menyambar dinding batu itu telah berhasil ditahan
oleh Yo Ko. Dengan sengit Yo Ko melontarkan tubuh nenek tua itu ke tanah.
„Apakah kini kau mau mengakui
bahwa rajawaliku telah dilukai oleh kau?” tegur Yo Ko bengis.
Si nenek walaupun baru saja
menghadapi bahaya maut, tetap memperlihatkan sikap yang aseran dan
angin-anginan, dengan tertawa dingin dia telah menyahut, „Apa pedulimu jika
memang benar-benar aku yang melukai rajawali kurang ajar itu? Hmm, engkau
memang benar-benar memiliki kepandaian cukup tinggi, mungkin satu atau dua
tingkat lebih tinggi dariku. Tetapi rubuhnya aku di tanganmu, karena akupun
baru mempelajari delapan bagian ilmuku yang belum kupelajari rampung. Jika kau
benar mengakui dirimu sebagai seorang lelaki gagah lepaskan aku, dua tahun lagi
nanti aku akan mencarimu untuk mengadu kepandaian lagi, untuk menentukan siapa
yang tinggi dan siapa yang rendah.....!”
Yo Ko berdiam diri sejenak,
dia mengawasi si nenek. Sesungguhnya hatinya saat itu tengah digeluti oleh
kemarahan yang berkobar-kobar. Coba, kalau saja yang melukai rajawalinya itu
seorang lelaki, tentu dia telah mengayunkan tangannya untuk menghajar mati.
Tetapi kini ternyata yang telah melukai burung rajawalinya itu seorang wanita
tua yang telah ubanan seperti itu, membuat dia jadi serba salah menentukan
langkah.
„Pergilah!” akhirnya Yo Ko
mengusir dengan suara yang dingin. „Pergilah kau menggelinding dari hadapanku,
dua tahun atau sepuluh tahunpun akan kutunggu!”
Si nenek telah menatap dingin,
kemudian menjerit seperti menangis keras, tubuhnya melompat ke tengah udara,
lalu kedua kakinya menotok dinding disampingnya, tubuhnya melambung sangat tinggi
sekali dan kedua kakinya menotol pula, sehingga berulang kali tubuhnya
melambung semakin tinggi. Gerakan yang dilakukan itu sangat cepat sekali dalam
waktu yang sangat singkat sekali dia telah lenyap dari pandangan Yo Ko.
Yo Ko menghela napas, baru saja
dia ingin kembali ke tempat dimana Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw tengah
menantinya, dia mendengar suara Ciu Pek Thong yang menegurnya,
„Mengapa dilepaskan.....?”
„Sudahlah Ciu Toako,” kata Yo
Ko. „Nenek tua seperti itu tidak perlu dilayani!”
„Tetapi kau belum menanyakan,
apakah dia yang telah merusak kuburan Ang Cit Kong dan Auwyang Hong,” kata Ciu
Pek Thoag, yang baru tiba itu setelah berlari-lari keras cukup lama.
Yo Ko menggeleng, „Kukira
bukan dia!” katanya.
„Ehhh, mengapa kau bisa
menduga begitu?” tanya Ciu Pek Thong heran.
„Ada seseorang yang tengah
mempermainkan kita.....” jawab Yo Ko.
Ciu Pek Thong masih ingin
bertanya lagi, tetapi Yo Ko telah mengajaknya untuk kembali ke tempat Siauw
Liong Lie.
„Mungkin Liong-jie dan
Tiauw-heng menanti kita terlampau lama.....!” kata Yo Ko sambil menjejakkan
kakinya melompat gesit sekali. „Mari kita kembali.”
Ciu Pek Thong terpaksa harus
mengikutinya menuruni puncak Giok-lie-hong dan lari berendeng dengan Yo Ko,
karena Yo Ko tidak lari sekuat tadi. Tetapi waktu mereka tiba di tempat kedua
kuburan Ang Cit Kong dan Auwyang Hong yang telah dirusak seseorang itu, Yo Ko
maupun Ciu Pek Thong tidak melihat Siauw Liong Lie. Begitu pula Sin-tiauw,
tidak terlihat di sekitar tempat itu.
„Liong-jie!” memanggil Yo Ko
dengan suara yang keras sekali.
Tetapi tidak ada sahutan.
Yo Ko juga telah bersiul keras
dengan hati yang kuatir bukan main. Suara siulannya itu memanggil rajawali
saktinya. Namun hanya suara siulan itu saja yang menggema dan burung rajawali
itu tidak terlihat, entah burung rajawali dan Siauw Liong Lie pergi kemana.
Yo Ko dan Ciu Pek Thong jadi
panik, mereka tambah berkuatir.
Dengan cepat Yo Ko memusatkan
tenaga dalamnya di tan-tian, lalu dia mengerahkannya sambil berteriak
memanggil,
„Siauw Liong Lie…..!”
Suara Yo Ko menggema keras di
sekitar gunung tersebut, seperti mengaumnya harimau dan meraungnya naga.
Suaranya itu menggetarkan gunung itu, bagaikan terjadi gempa, karena tenaga
dalam yang dipergunakannya merupakan tenaga dalam yang telah mencapai puncak
kemahiran.
Walaupun Siauw Liong Lie
berada di dalam jarak yang terpisah puluhan lie, tentu dia akan mendengarnya
suara Yo Ko yang keras luar biasa itu dapat terdengar sampai limapuluh lie
lebih.
Ciu Pek Thong sendiri
menggidik mendengar suara panggilan Yo Ko itu, bulu tengkuknya berdiri, karena
telingganya seperti tuli dan jantungnya tergoncang, bukan main kagumnya Ciu Pek
Thong, karena sebagai salah seorang yang duduk dalam urutan Ngo-ciat dia masih
menggidik dan jantungnya tergoncang mendengar suara teriakan Yo Ko. Hal itu
telah membuktikan betapa hebat dan sempurnanya lwekang yang dimiliki Yo Ko.
Sedangkan Yo Ko jadi pucat dan
gugup sekali karena dia jadi berkuatir bukan main waktu melihat teriakannya
yang begitu keras dan dapat terdengar jauh, tidak memperoleh sahutan sama
sekali. Lalu dia berlari-lari kesana kemari dengan panik sambil
memanggil-manggil dengan keras, tetapi tetap saja Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw
seperti lenyap ke dasar bumi. Salah satu diantara keduanya, baik Siauw Liong Lie
maupun Sin-tiauw tidak terlihat bayangannya.
Ciu Pek Thong yang ikut gugup,
tidak jarang berjingkrak-jingkrak, karena kakek jenaka itu bingung karena
mereka telah berlari-lari di sekitar tempat itu untuk mencari Siauw Liong Lie
dan Sin-tiauw, tetapi usaha mereka tetap tidak memberikan hasil.
Yo Ko sampai ingin menduga
apakah Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw telah dilukai seseorang dan ditawan orang?
Tetapi mengingat kepandaian Siauw Liong Lie yang tidak berada di bawahnya, maka
Yo Ko tidak yakin ada yang berhasil melukai atau menawan mereka.
Suara Yo Ko bergema keras di
sekitar Hoa-san sambung menyambung, sebentar terdengar di utara kemudian di
barat, lalu di selatan..... karena Yo Ko telah berlari-lari seperti lupa
ingatan sambil memanggil-manggil Siauw Liong Lie dengan suara nyaring dan keras
luar biasa, disertai oleh menyalurkan tenaga dalam.
Yang membuat Yo Ko berkuatir
justru Siauw Liong Lie tengah berisi, dalam keadaan hamil Siauw Liong Lie
sering merasakan matanya ge¬lap berkunang-kunang dan kepalanya mabok. Apakah di
saat Yo Ko meninggalkannya bersama Sin-tiauw, Siauw Liong Lie justru dalam
keadaan mabok dengan mata yang berkunang-kunang dan pinggang sakit, dan juga di
saat itu musuh muncul mempergunakan kesempatan baik itu untuk me¬nawan Siauw Liong
Lie? Berpikir begitu, Yo Ko jadi semakin panik dalam kekuatiran yang sangat,
dia terus juga menggigil.
„Liong-jie! Liong-jie.....
Liong-jieee.....!” suaranya itu sambung menyambung. Pohon-pohon terhembus angin
lembut bergerak perlahan, mega memenuhi langit, suara Yo Ko terdengar terus,
tetapi Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw tetap le¬nyap tidak meninggalkan jejak.
◄Y►
Kemanakah perginya Siauw Liong
Lie dan Sin-tiauw?
Ternyata ketika Yo Ko dan Ciu
Pek Thong berlalu untuk mengejar orang yang telah melukai Sin-tiauw, Siauw
Liong Lie menantikan dengan tidak sabar dan berkuatir sekali. Walaupun Siauw
Liong Lie mengetahui bahwa Yo Ko memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tetapi
entah mengapa sejak dia mengandung perasaan dan hatinya jadi kecil dan selalu menguatirkan
keselamatan suaminya jika tengah menghadapi suatu urusan yang tidak
mengembirakan. Disamping itu Siauw Liong Lie merasakan hatinya sering
tergoncang dan lebih lemah dari sebelumnya.
Latihannya selama di kuburan
Mayat Hidup, di saat dia berguru dan melatih diri menindih dan membuyarkan
perasaan, ternyata kurang membawa manfaat terlalu besar di saat telah menjadi
nyonya Yo. Berbagai perasaan, seperti sedih, senang, gembira dan jengkel
seringkali menggoda hatinya.
Dan memang Siauw Liong Lie
menyadari, bahwa gejala-gejala yang dirasakannya seperti akhir-akhir ini adalah
gejala-gejala yang wajar dari seorang wanita yang tengah hamil, sebab Siauw
Liong Lie sebagai seorang pendekar wanita yang mungkin nomor satu di dalam
rimba persilatan dijaman itu, telah mengetahui letak dan perobahan yang terjadi
pada otot-otot perutnya maupun munculnya kelenjar-kelenjar baru atas kehadiran
si jabang bayi diperutnya. Tetapi, Siauw Liong Lie juga tidak menghendaki jika
dirinya terlalu dikuasai oleh emosi dan perasaannya, maka dia selalu berusaha
untuk mengatasi diri. Setiap Kali selesai melatih lweekang di lembah puncak
Siauw-hong, Siauw Liong Lie memecahkan perhatiannya untuk bergurau dan
bermain-main dengan Sin-tiauw, dengan disaksikan oleh Yo Ko.
Dan penghidupan di lembah
puncak Siauw-hong memang merupakan penghidupan yang bahagia sekali bagi
pasangan suami isteri itu. Tetapi kini karena mereka memenuhi undangan It-teng
Taysu, mereka mulai berurusan dengan beberapa persoalan yang mungkin akan
berakhir dengan peristiwa-peristiwa yang hebat dan mengerikan. Tetapi sebagai
pasangan suami isteri yang memiliki kepandaian telah mencapai puncaknya sama
halnya seperti Yo Ko, Siauw Liong Lie pun tidak pernah takut terhadap siapapun
juga.
Waktu itu setelah menanti
sekian lama Yo Ko dan Ciu Pek Thong belum juga kembali, Siauw Liong Lie mulai
gelisah bukan main. Dia duduk disamping Sin-tiauw, mengusap-usap dan merapikan
bulu burung rajawali itu. Tetapi sejenak kemudian dia telah berdiri dan
memandang jauh, mengharap-harap kalau dia bisa melihat Yo Ko dan Ciu Pek Thong
yang te¬lah kembali. Tetapi kedua orang itu telah pergi sekian lama tak muncul
lagi. Bahkan dari kejauhan, dari arah puncak Giok-lie-hong didengarnya memantul
suara yang cukup aneh, seperti suara tangis, seperti suara tawa.
Diam-diam Siauw Liong Lie jadi
terkejut sekali, dia telah memasang pendengarannya lebih baik dan mengawasi
sekitar tempat itu.
Dan telinganya yang tajam itu
seperti mendengar napas seorang yang tidak jauh di sekitar tempat itu. Kembali
nyonya Yo ini terkejut sekali, dia menyadarinya bahwa ada seseorang yang tengah
bersembunyi di dekat tempatnya berada. Tetapi Siauw Liong Lie membawa sikap
yang tenang, dia tidak mau menimbulkan kecurigaan bagi orang yang tengah
tersembunyi itu karena Siauw Liong Lie bermaksud membekuknya. Dia telah
membungkuk mengambil dua butir batu kecil, sebesar ukuran kacang tanah.
Kemudian tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Siauw Liong Lie menyentil kedua batu
kecil itu ke arah suara desah napas itu.
Seketika terdengar suara jerit
kesakitan dan kemudian keadaan di tempat itu sunyi kembali.
Siauw Liong Lie menghampiri
segerombolan pohon bunga dia melibat dibalik dari pohon bunga yang rimbun itu
tampak sesosok tubuh lelaki yang menggeletak tidak bergerak. Dengan
mempergunakan ujung kakinya Siauw Liong Lie menendang keluar sosok tubuh itu
yang rebah terlentang di tanah.
Ternyata korban timpukan batu
kecil yang dilontarkan Siauw Liong Lie itu seorang pemu¬da berusia tujuhbelas
tahun, wajahnya tidak terlalu cakap, tetapi pakaiannya perlente sekali. Saat
itu, karena jalan darah Tiang-bu-hiat di dekat bahunya tertotok, sekujur tubuh
pemuda itu jadi kaku tidak bisa digerakkan dan hanya bola matanya yang
bergerak-gerak memancarkan perasaan takut yang bukan main.
Tadi, waktu dia bersembunyi
dibalik pohon bunga yang rimbun itu, dia merasakan bahunya ngilu dengan
tiba-tiba dan kemudian dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Itulah yang
telah membuat dia jadi mengeluarkan suara jeritan.
Semula, dia tidak menyangka
Siauw Liong Lie akan mengetahui tempat persembunyiannya. Karena disamping
jaraknya yang terpisah cukup jauh, pohon-pohon bunga itupun lebat sekali.
Tetapi dia tidak menyangka bahwa Siauw Liong Lie memiliki pendengaran yang
tajam sekali, walaupun jarak mereka terpisah cukup jauh, kenyataannya nyonya Yo
berhasil mendengar desah napas si pemuda yang sangat perlahan itu, yang
akhirnya telah membuat nyonya Yo menimpuk dengan batu kecil untuk menotok jalan
darahnya.
„Siapa kau?” bentak Siauw
Liong Lie sambil mengerutkan alisnya. „Mengapa kau bersembunyi disitu?”
05.09. Penculikan Isteri
Pendekar Rajawali
Pemuda itu tengah ketakutan
setengah mati ditanya demikian segera juga dia menangis.
„Ampun..... ampunilah aku,
Liehiap..... aku..... aku tidak sengaja bersembunyi disitu. Tadi secara
kebetulan aku tiba di tempat ini dan mendengar suara yang ribut-ribut, kukira
ada serombongan Ouw-pak (perampok), maka cepat-cepat aku bersembunyi.”
Siauw Liong Lie tersenyum
tawar, dia mengetahui pemuda itu bicara justa. Tetapi karena nyonya Yo tengah
memikirkan suaminya dan Ciu Pek Thong yang belum juga kembali dan juga melihat
orang itu hanya merupakan seorang muda yang tidak memiliki kepandaian apa-apa
maka dia telah menendang dengan ujung sepatunya membuka totokan jalan darah
pemuda itu.
„Pergilah kau!” katanya dengan
suara yang dingin.
Pemuda itu tanpa sempat
mengucapkan terima kasih telah cepat-cepat pentang langkah lebar untuk berlalu
dari tempat itu.
Siauw Liong Lie menghela napas
sambil kembali menghampiri Sin-tiauw, kemudian duduk di samping rajawali itu.
Tetapi di saat itu telah terdengar suara seseorang yang berkata dingin sekali.
„Sungguh perbuatan mulia.....
buaya darat kejam dilepas begitu saja, sedangkan tikus botak ditangkap!”
Siauw Liong Lie terkejut
sekali dia seperti mengenal suara itu, tetapi nyonya Yo sudah tidak
mengingatnya lagi entah dimana.
„Siapa yang bicara? Mengapa
tidak memperlihatkan diri?”
„Ha, ha, kita sahabat-sahabat
lama, mustahil nyonya sudah lupa kepadaku,” terdengar lagi suara itu, dingin
dan seperti juga mengejek.
Dan membarengi dengan
selesainya suara tersebut, tampak berkelebat keluar sesosok tubuh dari balik
sebuah batu gunung yang cukup besar, yang berada di sebelah kanan dari kuburan
Auwyang Hong. Gerakan orang itu ringan sekali dan dalam sekejap mata saja dia
telah berdiri dihadapan Siauw Liong Lie sambil tertawa tidak sedap didengar.
Waktu kedua kakinya menyentuh tanah, tidak terdengar suara sedikitpun juga hal
itu menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi.
Siauw Liong Lie mengawasi
orang yang baru datang, dia jadi terkejut sendirinya, karena segera juga dia
mengenali, bahwa orang tersebut tidak lain dari Tiat To Hoat-ong. Tubuhnya yang
besar, dengan jubah kependetaannya dan kepala yang gundul dengan kuncup emas di
atas kepalanya serta jenggot yang tipis panjang tanpa kumis, merupakan raut
wajah yang sulit dilupakan walaupun baru bertemu satu kali. Dengan mengeluarkan
seruan tertahan Siauw Liong Lie telah melompat mundur dua langkah.
„Mengapa kaget nyonya?” sapa
Tiat To Hoat-ong dengan disertai tertawanya yang mengejek. „Bukankah kita
sahabat-sahabat lama? walaupun kita baru pertama kali bertemu, tetapi melihat
kepandaianmu dan juga kepandaian suamimu si buntung itu, maka dapat kuduga
kalian adalah manusia-manusia pandai di daratan Tiong-goan ini, maka jelas pula
kalianpun mengetahui siapa adik seperguruanku yang bernama Kim Lun Hoat-ong.
Bukankah begitu?”
Siauw Liong Lie mengerutkan
alisnya, dia telah mengetahui dari Ciu Pek Thong yang menceritakan bahwa Tiat
To Hoat-ong tengah mencari-cari Kim Lun Hoat-ong. Justru Kim Lun Hoat-ong telah
terbinasa di atas panggung yang dibangunnya sendiri untuk membakar Kwee Siang
guna menekan Kwee Ceng dan Oey Yong agar menyerah.
Tetapi oleh Yo Ko justru Kim
Lun Hoat-ong telah tertendang jalan darah Tan-tiong-hiat di dadanya sehingga
dia memuntahkan darah segar, tubuhnya rubuh kegumpalan api yang membakar
panggung itu, kemudian oleh Ciu Pek Thong dipeluk dengan keras, sehingga
sia-sia Kim Lun Hoat-ong berusaha untuk meronta, dia telah dirubuhkan dan hanya
di saat itulah Kim Lun Hoat-ong harus menjerit hebat, sebab tubuhnya telah
tertusuk oleh baju lapis duri yang dikenakan Ciu Pek Thong di saat itu,
sehingga pendeta dari Tibet yang bekerja untuk Kaisar Mangu telah terbinasa di
saat itu, habis nyawanya.
Peristiwa mana diketahui oleh
Kaisar Mangu dan Kublai, hanya di saat itu Kaisar Mangu terbinasa oleh timpukan
batu Yo Ko. Kublai telah menggunakan kecerdikannya, dan di saat Tiat To
Hoat-ong menanyakan perihal Kim Lun Hoat-ong, pada saat itu Kublai yang cerdik
tidak memberikan keterangan yang sesungguhnya. Kublai hanya mengatakan Kim Lun
Hoat-ong masih berkeliaran di daratan Tiong-goan. Tidak menceritakan perihal
kematian Kim Lun Hoat-ong yang mengenaskan itu.
Siauw Liong Lie yang mengetahui
bahwa kematian Kim Lun Hoat-ong telah membuat Tiat To Hoat-ong menjadi kalap
dan murka, telah berwaspada, karena dia mengetahui pendeta ini memiliki
kepandaian yang luar biasa. Waktu Yo Ko menyatakan Kim Lun Hoat-ong memang
telah mati, Tiat To Hoat-ong pernah memperlihatkan sikap yang menakutkan
sekali. Tetapi Siauw Liong Lie tidak takut, bahkan dia telah tertawa dingin.
„Hemmm, rupanya kau masih
penasaran,” kata Siauw Liong Lie. „Bukankah suamiku telah memberitahukan bahwa
Kim Lun Hoat-ong memang benar-benar telah binasa?”
Muka Tiat To Hoat-ong tidak
berobah sedikitpun, dia hanya tertawa mengejek. „Andaikata memang keterangan
suami nyonya itu benar, maka kalian tentu mengetahui di mana terbunuhnya adik
seperguruanku itu. Dengan matinya adik seperguruanku yang liehay itu, tentu ada
orang yang membunuhnya, maka siapa pembunuhnya itu?”
Siauw Liong Lie merasa sebal
melihat tingkah pendeta itu. Dia mendongkol sekali, maka dia menyahut
sekenanya. „Aku yang telah membinasakannya.....”
Mata Tiat To Hoat-ong tampak
bersinar sepasang alisnya berkerut dan keningnya yang mengkilap itu
bergerak-gerak. „Hemm..... rupanya memang nyonya tidak mau menghormati
sedikitpun kepada seorang tamu jauh! Kau telah bicara secara bergurau, maka
Hud-yamu juga jadi ragu-ragu, apakah benar adik seperguruanku itu telah
terbunuh.....”
Dalam partai Kouw-bok-pay
terdapat aturan yang dipandang dan dianggap sebagai pantangan semuanya dua
macam dan masing-masing terdiri dari duabelas macam intinya adalah “Kurang” dan
„Lebih” seperti kurangi pikiran, kurangi kemauan, kurangi urusan, kurangi
bicara, kurangi tertawa, kurangi marah, kurangi kegembiraan, kurangi perbuatan
jahat, sebaliknya jangan lebih berpikir, jangan lebih keinginan, jangan lebih
banyak urusan, jangan lebih bicara, jangan lebih tertawa, jangan lebih berduka,
jangan lebih bergirang, jangan lebih jahat. Semua pantangan itu, kalau tidak
dilawan artinya disingkirkan, bisa mencelakai diri sendiri.
Siauw Liong Lie dapat mentaati
ajaran tersebut, maka dia bebas, tidak bergirang, tidak berpikir, tidak
berduka, bahkan kemurnian yang dimiliki Siauw Liong Lie tidak bisa ditandingi
oleh kakek gurunya, Lim Tiauw Eng. Adalah kemudian, kedatangan Yo Ko di kuburan
mayat hidup itu, yang telah membuat mereka bergaul erat, mulai lowonglah dan
tidak seketat lagi pantangan „Kurang” dan „Lebih” itu, sedangkan enambelas
tahun setelah mereka menikah, pengalaman dan penderitaan Yo Ko jadi bertambah
banyak, sebaliknya Siauw Liong Lie tetap tinggal menyendiri di tempat sepi,
memang dia sering memikirkan Yo Ko tetapi berkat latihan sebelumnya yang selama
duapuluh tahun lamanya, hatinya jadi lebih mantep dia terpengaruh pula
pantangan itu.
Begitulah sekarang, setelah
lewat beberapa tahun lagi, kenyataannnya Siauw Liong Lie semakin tidak dapat
mentaati sepenuhnya peraturan tersebut. Terlebih sekarang di saat dia tengah
isi, sehingga sering diganggu oleh kekuatiran, kebahagiaan yang berkelebihan,
kekalutan pikiran yang berkelebihan, kegembiraan yang berkelebihan, membuat
Siauw Liong Lie mulai tersisih latihan selama puluhan tahun itu.
Namun menghadapi Tiat To
Hoat-ong yang kurang ajar dan bicara seenaknya, Siauw Liong Lie bisa
mempertahankan hati dan diri, untuk tidak terlalu berkelebihan marah, tidak
terlalu berkelebihan kuatir. Dia memandang pendeta Mongolia tersebut dengan
sorot mata yang tajam, dingin, wajahnya juga dingin tidak berperasaan sehingga
Tiat To Hoat-ong jadi terkejut. Namun pendeta itu sengaja untuk menutupi
keheranannya itu dengan tertawanya yang keras.
„Sebagai seorang pendeta
tentunya kau memegang patuh peraturan dan bicaramu, apakah kau anggap aku
bicara ngawur dan sembarangan,” tegur Siauw Liong Lie dengan suara yang dingin.
„Baiklah, jika nyonya
mengatakan bahwa adik seperguruanku Kim Lun Hoat-ong memang telah mati, maka
silahkan nyonya mengantarkan aku untuk menjenguk kuburannya!”
„Kim Lun Hoat-ong tidak
memiliki kuburan, dia mati tanpa diterima bumi.....!” dingin luar biasa suara
nyonya Yo, dia jadi muak terhadap sikap Tiat To Hoat-ong.
„Apa….. apa kau bilang?” Tiat
To Hoat-ong tampaknya terkejut bukan main, sehingga dia memandang tertegun
kepada Siauw Liong Lie.
„Dengarlah, Kim Lun Hoat-ong
mati tanpa diterima oleh bumi!” mengulang Siauw Liong Lie, suaranya tetap
dingin tidak mengandung perasaan.
Muka Tiat To Hoat-ong jadi
berobah tidak sedap dipandang, dia telah beringas dan mukanya bengis sekali di
samping sepasang matanya memancarkan sinarnya yang tajam luar biasa.
„Memang sesungguhnya engkau
pembunuh adik seperguruanku itu.....?” menegasi si pendeta,
„Tidak salah!” mengangguk
Siauw Liong Lie tegas. Dia mengakui begitu, karena suaminya Yo Ko, yang telah
membinasakan Kim Lun Hoat-ong, yang dibantu oleh Ciu Pek Thong. Tetapi karena
kedua orang itu tengah pergi, Siauw Liong Lie menghadapi sendiri si pendeta.
Dia memang melihat kepandaian Tiat To Hoat-ong liehay sekali, namun dia tidak
takut sedikit pun juga.
„Hemmm, jika memang demikian
baiklah!” kata Tiat To Hoat-ong kemudian. „Nah kau harus ikut bersamaku untuk
mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu.”
Dan si pendeta bukan hanya
bicara sampai disitu saja, karena dia telah membarengi dengan mengulurkan
tangan kanannya, yang maksudnya ingin mencengkeram nadi Wue-lu-hiat
dipergelangan tangan Siauw Liong Lie. Jalan, darah Wue-lu-hiat merupakan jalan
darah yang cukup penting, merupakan urat utama di pergelangan tangan. Jika
memang jalan darah itu berhasil dicengkeram, atau ditotok niscaya tubuh korban
totokan itu akan lemas tidak bertenaga.
Siauw Liong Lie mana mau
membiarkan pergelangan tangannya dicengkeram oleh pendeta itu. Maka dengan
miringkan sedikit tubuhnya, pergelangan tangannya telah bebas dari cengkeraman
si pendeta.
Tetapi Tiat To Hoat-ong yang
pernah merasakan hebatnya Yo Ko, dan juga melihat cara berkata dan sikap si
nyonya Yo itu, siang-siang dia telah mengetahui Siauw Liong Lie memiliki
kepandaian yang tinggi, maka dari itu walaupun serangannya berhasil dielakkan
oleh Siauw Liong Lie, tidak menjadi heran karenanya. Begitu serangannya
berhasil dielakkan, begitu dia susuli oleh serangan berikutnya, yaitu tangannya
dibalik membarengi mana dia telah mencengkeram ke arah bahu Siauw Liong Lie.
Nyonya Yo Ko telah
mengeluarkan suara dengusan dingin tubuhnya bagaikan seekor kupu-kupu berkelit
indah dan ringan sekali ke samping. Waktu tubuhnya mengelak ke samping begitu,
justru saat itulah dia melihat punggung Tiat To Hoat-ong maju ke depan, maka
tanpa membuang-buang kesempatan yang ada, dia telah mengayunkan tangannya untuk
menotok, jalan darah Siang-ku-hiat yang terletak di punggung si pendeta, yang
berdekatan dengan tulang piepe pendeta tersebut.
Jalan darah Tiat To Hoat-ong
berhasil ditotok dengan tepat, namun pundak si pendeta seperti juga berminyak
jari tangan Siauw Liong Lie seperti melejit. Tetapi Siauw Liong Lie penasaran
sekali, dengan serentak dia telah menyusuli totokan lainnya, yang menotok telak
sekali jalan darah Pie-hong-hiat di pinggang si pendeta. Totokan itu tepat dan
jitu sekali, tetapi di saat itulah si pendeta telah melompat ke depan dua
langkah, seperti juga sedikitpun dia tidak merasakan hasil totokan Siauw Liong
Lie.
Nyonya Yo Ko juga mengerutkan
sepasang alisnya, dia kagum atas keliehayan lawannya ini, yang dilihatnya
memang jauh di atas kepandaian Kim Lun Hoat-ong. Jelas totokannya tadi telah
berhasil mengenai sasarannya dengan jitu, tetapi kenyataannya pendeta itu tidak
rubuh dan tidak kurang suatu apapun juga.
Siauw Liong Lie mau menduga,
bahwa Tiat To Hoat-ong tentunya mempelajari ilmu Yoga sama halnya seperti Kim
Lun Hoat-ong, melatih telah sampai ke puncak kesempurnaan, sehingga pendeta itu
berhasil memindahkan otot dan tulang sekehendak hatinya. Tidak mengherankan,
walaupun totokan dari Siauw Liong Lie menghantam dengan jitu sekali, namun
tidak ada hasilnya.
Tiat To Hoat-ong tertawa
nyaring, sambil memutar tubuhnya.
„Nyonya, lebih bijaksana jika
nyonya secara baik-baik ikut bersama Hud-ya, sehingga nyonya tak menemui
kesulitan suatu apapun juga!” kata Tiat To Hoat-ong pula. Dan dia bukan hanya
berkata-kata, karena dengan cepat sekali kedua tangannya telah digunakan untuk
menangkap tangan Siauw Liong Lie dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya
akan menotok jalan darah Su-sing-hiat di pinggang si nyonya Yo.
Siauw Ling Lie jadi gusar,
karena pendeta itu benar-benar terlalu mendesaknya. Walaupun bagaimana
kepandaian Siauw Liong Lie berimbang dengan Yo Ko, maka bisa dimengerti bahwa
nyonya itu memang memiliki kepandaian yang sangat lihay. Dan mungkin di daratan
Tiong-goan hanya Kwee Ceng dan Oey Yok Su yang bisa menghadapinya berimbang.
Tetapi pendeta ini, yang tangannya lancang dan hatinya bengis kejam, rupanya
tidak memandang sebelah mata kepada nyonya tersebut. Dia telah berulang kali
melancarkan serangan.
Tetapi Siauw Liong Lie juga
tidak ingin membuang-buang waktu, dengan cepat sekali dia telah mengeluarkan
seruan kecil membarengi tangan kirinya mengibas dengan ujung lengan tangannya
menyampok tangan kiri si pendeta, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu menyambar
akan menampar kepala botaknya si pendeta. Tamparan yang dilakukan oleh Siauw
Liong Lie bukan merupakan tamparan biasa, karena sambil menampar dengan telapak
tangannya itu, si nyonya Yo telah mengarahkan tenaga dalamnya maka bisa
dibayangkan hebatnya tamparan itu.
Tiat To Hoat-ong juga
mengetahui hebatnya tamparan yang dilancarkan oleh Siauw Liong Lie. Lebih-lebih
dia merasakan sampokan ujung lengan baju si nyonya yang menghantam telak sekali
tangannya, sehingga merasakan tangannya itu kesemutan, maka tamparan yang
dilancarkan oleh, Siauw Liong Lie tidak berani dipandangnya remeh.
Dengan gerakan yang aneh
sekali, seperti juga gerakan seorang pendeta yang tengah bersemedhi, tahu-tahu
tubuhnya jadi pendek ke bawah karena sepasang kakinya telah ditekuknya
dalam-dalam dan masih tetap dalam keadaan seperti itu, di saat dia seperti
tengah berjongkok Tiat To Hoat-ong mengulurkan kedua tangannya lurus-lurus ke
depan, akan memegang dan merangkul pinggang Siauw Liong Lie.
Serangan yang dilancarkan oleh
Tiat To Hoat-ong sesungguhnya merupakan serangan yang biasa saja, tetapi bagi
Siauw Liong Lie tidak mau tubuhnya disentuh oleh tangan pendeta itu. Dengan
cepat Siauw Liong Lie menjejak tanah, tubuhnya melompat ke belakang dengan
ge¬sit sekali menjauhkan diri. Dengan sendirinya serangannya terhadap si
pendeta jadi batal.
Tiat To Hoat-ong berdiri
sambil tertawa tergelak-gelak nyaring sekali.
Siauw Liong Lie jadi
mengerutkan sepasang alisnya. Dia melihat kepandaian Tiat To Hoat-ong memang
luar biasa hebatnya, dan diam-diam Siauw Liong Lie jadi mengharapkan Yo Ko dan
Ciu Pek Thong kembali cepat-cepat, karena jika bertempur terus menerus dengan
cara seperti itu, dan juga memakan waktu yang panjang, pasti lama kelamaan si
nyonya akan kehabisan napas dan letih. Walaupun dia liehay, tetapi bukankah
Siauw Liong Lie tengah mengandung?
Itulah sebabnya, Siauw Liong
Lie pun tidak berani terlalu mengerahkan seluruh tenaganya, dan tidak berani
bergerak terlalu gesit, sebab dia kuatir kalau-kalau mengganggu kesehatan
bayinya. Maka dari itu, dengan cepat sekali Siauw Liong Lie merobah cara
bertempurnya itu, tidak bisa dia selalu mempergunakan kekerasan dan kekuatan
tenaganya, walaupun bagaimana dia harus mengandalkan kegesitannya belaka dan
memancing agar si pendeta tidak menurunkan tangan keras kepadanya, sampai
akhirnya nanti Yo Ko dan Ciu Pek Thong kembali.
Tetapi Tiat To Hoat-ong juga
rupanya mengetahui jalan pemikiran dari Yo Hujin ini, karena dengan cepat
sekali, dialah beruntun melancarkan serangan yang kuat sekali, dengan disertai
oleh kekuatan tenaga lweekang yang dahsyat bukan main. Dan di dalam waktu yang
singkat, Siauw Liong Lie jadi sibuk sekali untuk mengelakkan diri dari
serangan-serangan lawannya. Tetapi Siauw Liong Lie sebagai seorang pendekar
wanita yang terhebat dijaman itu, mana bisa dirubuhkan dengan mudah oleh Tiat
To Hoat-ong.
Di saat itulah, Sin-tiauw yang
sejak tadi mengawasi nyonya majikannya yang tengah bertempur begitu hebat, dan
juga lama kelamaan terdesak karena lawannya liehay sekali, tidak tinggal diam.
Dengan cepat bukan main, Sin-tiauw telah mementang sayapnya melayang di tengah
udara, dan menukik-nukik berusaha untuk mencengkeram dan mematuk kepala Tiat To
Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong gusar sekali,
suatu kali dengan sengit dia telah menggerakkan tangan kanannya, dia
melancarkan serangan ke arah rajawali itu. Dia menduga, dengan sekali pukul,
dengan pukulan yang disertai oleh tenaga dalam rajawali itu pasti akan dapat
dibinasakannya.
Tetapi di luar dugaannya,
mimpipun juga tidak, bahwa pukulannya itu ternyata tidak berarti apa-apa bagi
Sin-tiauw, karena di saat tenaga serangan Tiat To Hoat-ong hampir tiba, di saat
itulah Sin-tiauw yang tengah melayang di atas kepala Tiat To Hoat-ong telah
mengibas dengan sayapnya yang kanan, yang seketika menyebabkan Tiat To Hoat-ong
merasakan tangannya kesemutan dan telah tersampok ke samping! Itulah suatu
urusan yang benar-benar tidak pernah dipikirkannya bahwa seekor burung rajawali
dapat menangkis serangan hebat dari seorang pendekar tangguh seperti dia yang
kekuatan tenaga menyerangnya itu meliputi limaratus kati lebih.
Di Tibet, Tiat To Hoat-ong
dihormati dan disegani melebihi raja, dan di mongolia diapun disamping
dihormati, juga telah merupakan penasehat raja. Kaisar Mangu sebelum meninggal
juga sangat segan dan menghormatinya, disamping Kim Lun Hoat-ong. Begitu pula
Kublai yang telah menjadi Khan yang telah dipilih oleh para menteri Mongolia untuk
menggantikan kedudukan Khan, raja setelah kakaknya itu terbinasa dalam
peperangan, sangat menghargai Tiat To Hoat-ong.
Dengan sendirinya kini seekor
burung rajawali dapat memunahkan pukulannya. Dapat juga melancarkan serangan
kepadannya, membuat Tiat To Hoat-ong jadi takjub dan kagum disamping murka.
Tiat To Hoat-ong tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Kim Lun Hoat-ong pun
sangat takut dan jeri berurusan dengan Sin-tiauw ini. Karena Kim Lun Hoat-ong
pernah merasakan kehebatan sang rajawali sakti.
Tiat To Hoat-ong sangat
penasaran sekali dia sampai melupakan Siauw Liong Lie untuk sejenak lamanya dia
telah melancarkan serangan yang beruntun ke arah burung rajawali itu.
Luar biasa hebatnya
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Tiat To Hoat-ong karena dia melancarkan
serangannya itu dengan mengerahkan lima bagian tenaga dalamnya. Bisa
dibayangkan hebatnya serangan itu, karena sebagai jago yang nomor satu di
negerinya, dimana kini dia melancarkan serangan-serangan dengan mengerahkan
lima bagian tenaga dalamnya, hanya untuk sekedar melayani seekor burung
rajawali.
Siauw Liong Lie girang melihat
Sin-tiauw telah membantuinya, dia yakin dengan dibantu oleh Sin-tiauw dia tentu
bisa mengusir pendeta asing itu. Bukankah serangan-serangan Sin-tiauw yang
dilancarkan oleh rajawali itu dari tengah udara, telah mempersibuk pendeta itu,
yang perhatiannya jadi terpecah hebat?
Tanpa membuang-buang waktu dan
kesempatan yang ada, tampak Siauw Liong Lie telah melompat ke tengah
gelanggang, dan di saat tubuhnya masih melayang di tengah udara, kedua
tangannya telah mendorong dengan keras. Dari kedua telapak tangannya itu telah
meluncur serangkum angin serangan yang dahsyat sekali, yang menghantam keras
luar biasa ke arah Tiat To Hoat-ong.
„Bruaakk!” Tiat To Hoat-ong
telah sempat menangkisnya sehingga dua kekuatan raksasa dari dua macam tenaga
dalam yang terlatih sempurna telah saling bentur di tengah udara. Yang hebat
adalah tekanan dari tenaga serangan Siauw Liong Lie yang sudah menyebabkan
tubuh Tiat To Hoat-ong jadi terhuyung-huyung mundur beberapa langkah ke
belakang dengan muka yang telah berobah pucat sedangkan Siauw Liong Lie juga
tergetar tubuhnya.
Waktu itu Siauw Liong Lie
telah mengempos semangatnya lagi untuk melancarkan serangannya, tetapi
tiba-tiba pandangan matanya jadi gelap dan berkunang-kunang kepalanya pusing
dan pinggangnya sakit seperti ditarik. Serangan seperti itu datangnya demikian
tiba-tiba, sehingga Siauw Liong Lie mengeluh sendirinya dan membatalkan
maksudnya untuk melancarkan serangan kepada lawannya dan cepat-cepat
menyenderkan tubuhnya di sebuah batang pohon karena dia kuatir rubuh pingsan.
Hal itu disebabkan Siauw Liong Lie tadi telah mempergunakan tenaga yang
melebihi takaran, dia telah mengempos semangatnya melebihi batas, sehingga
mengalami goncangan pada kandungannya.
Sin-tiauw yang melihat keadaan
Siauw Liong Lie, jadi terkejut bukan main, dia telah mengeluarkan suara pekikan
yang nyaring sekali dan telah mempergencar serangan-serangannya, dengan
mempergunakan paruh dan kedua cakarnya.
Tiat To Hoat-ong yang tadi
telah terkejut bukan main, dan semula bermaksud untuk mengundurkan diri
meninggalkan tempat itu saja karena merasa tidak ungkulan, ketika melihat
keadaan Siauw Liong Lie, dia jadi girang bukan main, dengan mengeluarkan suara
seruan, yang mengguntur, dia telah melancarkan serangan yang jauh lebih kuat
dan hebat kepada Sin-tiauw, sehingga memaksa Sin-tiauw terbang lebih tinggi ke
tengah udara.
Mempergunakan kesempatan yang
hanya beberapa detik itu, Tiat To Hoat-ong yang liehay luar biasa, telah
melompat menubruk ke arah Siauw Liong Lie. Tangan kanannya tahu-tahu telah
melayang menotok ke arah jalan darah Sie-suan-hiat di dekat iga ketujuh dari
tubuh nyonya Yo, jari tangannya itu meluncur cepat dan bertenaga sekali.
Siauw Liong Lie melihat
datangnya serangan itu, namun dia tidak berdaya sama sekali untuk menangkisnya,
karena di saat itu tubuhnya tengah bergoyang-goyang seperti akan rubuh pingsan
tenaganya seperti lenyap dan juga sekelilingnya seperti lenyap. Maka tanpa
ampun lagi totokan si pendeta Tiat To Hoat-ong tidak berhasil dielakkannya dan
tubuh Siauw Liong Lie terjungkal rubuh di tanah.
Sin-tiauw yang menyaksikan itu
mengeluarkan pekikan dan cepat-cepat menyambar ke arah Tiat To Hoat-ong,
melancarkan serangan kepada Tiat To Hoat-ong dengan sayap kanan dan kirinya
mengibasnya, maka kekuatan angin serangan ribuan kati menerjang si pendeta.
Tentu saja Tiat To Hoat-ong
terkejut sekali dia telah menyingkir ke samping. Itulah yang dikehendaki oleh
Sin-tiauw karena dengan menyingkirnya Tiat To Hoat-ong, berarti si pendeta
tidak bisa mengganggu Siauw Liong Lie lebih jauh. Burung rajawali itu telah
hinggap turun di tanah, disamping Siauw-Liong Lie untuk melindunginya.
Si pendeta mendengus tertawa
dingin. Dia telah berhasil menotok rubuh Siauw Liong Lie tetapi disebabkan
rajawali itu maka usahanya terancam gagal, jika sampai Yo Ko dan Ciu Pek Thong
sempat datang, niscaya akan menyebabkan gagal rencananya.
Di saat Tiat To Hoat-ong
berdiri bimbang seperti itu, tiba-tiba dikejauhan, dari arah puncak
Giok-lie-hong terdengar suara pekik seperti menangis yang menyayatkan hati,
yang panjang dan terdengar samar sekali..... itulah suara wanita yang rambutnya
telah ubanan, yang telah berhasil diserang sampai dirubuhkan Yo Ko dan di saat
akan berlalu nenek ubanan itu telah mengeluarkan suara tangisan yang didengar
oleh Tiat To Hoat-ong.
Dengan sendirinya, ketika
mendengar suara tangisan yang panjang seperti itu, Tiat To Hoat-ong jadi
berkuatir kalau-kalau Yo Ko dan Ciu Pek Thong akan segera kembali. Dia
cepat-cepat merogoh saku jubahnya, mengeluarkan sebuah tabung kecil, yang
ujungnya terdapat tangkai, sehingga tampaknya seperti semprotan. Dengan cepat
tabung itu ditujukan kepada Sin-tiauw. Dengan mendorong tangkainya, dari ujung
tabung itu muncrat semacam uap putih yang cukup tebal, menyambar ke arah
Sin-tiauw.
Burung rajawali itu menjadi
terkejut, karena jika senjata rahasia atau benda yang bersifat keras, tentu
dengan mudah dia bisa membebaskan diri atau menangkisnya. Tetapi sekarang
justru yang menyambar ke arahnya itu adalah semacam uap yang telah memenuhi
sekitar dirinya. Bahkan Sin-tiauw seketika itu rasakan betapa kepalanya pusing
dan matanya gelap, seperti akan rubuh. Dengan cepat burung rajawali itu
menggerak-gerakkan kedua sayapnya kemudian dia melompat untuk terbang.
Tetapi baru dua tombak lebih
dia terbang ke tengah udara, tubuhnya telah rubuh kembali menggeletak di tanah
tanpa bergerak lagi. Ternyata tabung yang dimiliki oleh Tiat To Hoat-ong
merupakan tabung uap yang bisa dipergunakan untuk merubuhkan lawan, karena gas
uap terdapat di dalam tabung itu seperti juga gas tidur. Yang sekarang mungkin
dikenal dengan chloroform. Tentu saja Sin-tiauw tidak sanggup untuk melawannya,
matanya yang tiba-tiba menjadi berat dan mengantuk begitu juga tubuhnya lemas
tidak bertenaga dan burung itu telah menggeletak tidur nyenyak.
Siauw Liong Lie yang dalam
keadaan tertotok tidak pingsan, dia bisa menyaksikan semua peristiwa itu.
Semula atas pertolongan Sin-tiauw, dia mengharapkan si pendeta Mongolia itu berhasil
diusir, namun kenyataannya Sin-tiauw pun akhirnya telah rubuh, disamping
dirinya sendiri juga tertotok tanpa bisa bergerak lagi. Habislah harapan Siauw
Liong Lie, lebih-lebih Yo Ko dan Loo Boan Tong belum juga datang.
Dengan cepat Tiat To Hoat-ong
telah melompat menghampiri untuk menotok lagi beberapa jalan darah di tubuh
Siauw Liong Lie. Kemudian diapun mengeluarkan seutas tali yang kuat sekali, dia
menelingkung kedua sayap Sin-tiauw ke atas, lalu mengikatnya kuat-kuat. Begitu
pula kedua kaki burung dan paruh burung itu, yang diikatnya sama kuat. Umpama
kata Sin-tiauw beberapa saat lagi terlepas dari pengaruh obat tidur itu, dia
tidak bisa menggerakkan kedua sayapnya untuk terbang, tidak bisa mempergunakan
kedua cakarnya dan tidak bisa mempergunakan paruhnya untuk mematuki tali yang
mengikat kedua kaki dan sayapnya.....
Tiat To Hoat-ong bekerja cepat
sekali, dia telah mengangkat tubuh Siauw Liong Lie dan kemudian memanggul
Sin-tiauw, berlalu dari tempat itu. Sebelumnya Tiat To Hoat-ong mempergunakan
sepatunya menghapus jejak-jejak yang terdapat di tanah.
Itulah sebabnya, tidak
mengherankan jika Yo Ko dan Loo Boan Thong akhirnya tidak melihat sedikitpun
tanda-tanda apapun di sekitar tempat itu.
◄Y►
Cu Kun Hong menunggangi
kudanya yang dilarikan cukup keras di jalur jalan yang terdapat di bawah kaki
gunung Hoa-san. Memang pemuda pelajar she Cu tersebut bermaksud mendatangi
Hoa-san untuk menyaksikan keramaian, karena dia mendengar bahwa Cu Pek Thong,
Yo Ko dan Siauw Liong Lie ingin pergi ke Hoa-san memenuhi undangan It-teng
Taysu yang akan datang ke gunung itu juga. Karena memang tidak memiliki urusan
lainnya, maka pemuda she Cu itu telah menuju ke Hoa-san dengan harapan bisa
bertemu dan bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh terkenal rimba persilatan itu.
05.10. Pelarian Pendeta Mongol
Jago-jago silat mana yang
tidak akan merasa bangga jika bisa berjumpa dengan Yo Ko atau Siauw Liong Lie,
sepasang pendekar besar dijaman itu? Dan terlebih lagi jika bisa bertemu dengan
It-teng Taysu, Oey Yok Su, Kwee Ceng, Oey Yong dan jago-jago lainnya. Maka dari
itu, dengan tidak memikirkan sulitnya perjalanan, Cu Kun Hong telah melakukan
perjalanan ke Hoa-san. Telah belasan hari dia melakukan perjalanannya dengan
kudanya itu, dan selama itu dia telah berusaha untuk melakukan perjalanan
dengan cepat, karena pemuda pelajar tersebut takut datang terlambat.
Hari masih cukup terang,
walaupun senja mulai menyelimuti daerah pegunungan Hoa-san. Sedang Cu Kun Hong
melarikan kudanya, tiba-tiba dari arah depannya dia melihat sesuatu yang
mengejutkan hatinya. Dia melihat sesosok tubuh yang tinggi dan besar tengah
berlari menghampiri ke arahnya.
Setelah Cu Kim Hong
menghentikan kudanya dan memperhatikan baik-baik, dan sosok tubuh yang baru
turun dari atas gunung itu semakin dekat, barulah Kun Hong mengetahuinya itulah
seorang yang tengah memanggul seorang manusia lainnya dan memanggul juga seekor
rajawali berukuran raksasa, sebesar satu setengah manusia dewasa!
Yang membuat Cu Kun Hong lebih
kaget lagi adalah orang yang tengah berlari-lari itu tidak lain dari Tiat To
Hoat-ong, Si pendeta Mongolia yang liehay luar biasa kepandaiannya. Sedangkan
orang yang dipanggulnya, tidak lain dari Yo Hujin, yaitu Siauw Liong Lie.
Tentu saja Cu Kun Hong jadi
duduk di atas kudanya dengan sikap tertegun. Dia hanya mengawasi saja.
Saat itu Tiat To Hoat-ong
telah berlari-lari semakin dekat juga, dan gerakannya yang secepat angin itu
menyebabkan pandangan mata Kun Hong kabur dan tidak bisa melihat jelas. Belum
lagi dia mengetahui sesuatu apa, tiba-tiba dia melihat pendeta itu menggerakkan
tubuhnya dengan sentakan yang kuat, membuat ujung lengan jubahnya itu
menghantam muka Kun Hong, di saat si pendeta itu lewat di sisinya.
Gerakan si pendeta itu luar
biasa sekali, karena ujung jubahnya itu mengandung tenaga lweekang yang dahsyat
sekali, sehingga waktu ujung jubah itu menghantam muka Kun Hong, si pemuda
seperti dihantam oleh lempengan besi.
Sesungguhnya Kun Hong telah
melihat menyambarnya ujung lengan jubah pendeta itu, dan dia juga bermaksud
mengelakkan diri. Namun rupanya gerakan Tiat To Hoat-ong memang cepat luar
biasa, sehingga sebelum dia mengetahui sesuatu apapun juga, di saat itulah
mukanya telah terhajar jitu sekali oleh ujung lengan jubah si pendeta. Tanpa
ampun lagi seketika itu juga tubuh Cu Kun Hong terpental dari atas kudanya,
ambruk di atas tanah, dan rebah pingsan tidak sadarkan diri dengan hidungnya
mengucurkan darah.
Sambil mengeluarkan suara
tertawa yang bergelak-gelak menyeramkan, Tiat To Hoat-ong telah melanjutkan
larinya dengan cepat, sambil tetap membawa Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw. Sama
sekali pendeta Mongolia itu tidak bermaksud untuk merampas kuda Cu Kun Hong
karena dengan menunggang kuda dibandingkan larinya, memang jauh lebih cepat dia
mempergunakan kedua kakinya sendiri, yang bisa lari secepat angin.
Lama Kun Hong rebah pingsan
tidak sadarkan diri, sampai akhirnya dia merasakan kepalanya diusap seseorang.
„Akhhhh, lukanya tidak berat,
hanya disebabkan hantaman yang keras, menyebabkan dia pingsan sementara
waktu......!” Kun Hong mendengar seseorang berkata dengan suara sabar.
Kun Hong membuka matanya,
pandangan matanya masih kabur dan dia belum bisa melihat jelas, hanya terasa
ada dua bayangan manusia berdiri dihadapannya, segera juga Kun Hong memejamkan
matanya kembali. Disamping itu, Kun Hong merasakan dirinya tengah rebah di
pembaringan, dan luka di mukanya, akibat kebutan ujung jubah dari Tiat To
Hoat-ong, telah menimbulkan perasaan sakit yang luar biasa. Setelah berdiam
diri sejenak lagi, akhirnya Kun Hong membuka matanya pula.
Segera juga dia jadi girang,
karena orang yang tengah duduk ditepi pembaringan, yang tadi juga telah
mengusap keningnya tidak lain dari Yo Ko, Sin-tiauw Tayhiap! Sedangkan orang
yang satunya lagi, yang berdiri di pinggir pembaringan dengan berdiam diri,
ternyata Ciu Pek Thong, Loo Boan Tong si tua nakal jenaka.
„Kau telah siuman, engko
kecil…..!” kata Loo Boan Tong dengan gembira. „Ahhh, siapa yang telah melukaimu
demikian macam?”
„Tiat..... Tiat To Hoat-ong…..
yang pernah bertempur dengan locianpwe!” kata Cu Kun Hong dengan suara yang tak
lampias.
„Toat To Hoat-ong, pendeta
Mongolia bangsat itu?” tanya Ciu Pek Thong dengan sengit.
„Be.....nar......!” menyahuti
Cu Kun Hong. „Dan..... dia juga membawa seorang wanita, kalau tidak salah
Yo..... Hu-jin (nyonya Yo) locianpwe.”
Yo Ko dan Ciu Pek Thong telah
saling tatap.
Memang di puncak Hoa-san, Yo
Ko dan Ciu Pek Thong telah mengelilingi gunung itu mereka mencari-cari Siauw
Liong Lie dan Sin-tiauw tanpa hasil. Dan akhirnya ketika mereka tengah mencari
di kaki gunung Hoa-san, disitulah justru mereka menemui Cu Kun Hong yang tengah
pingsan. Dengan sendirinya, hal itu telah membuat mereka terkejut karena
keduanya mengenali pemuda tersebutlah yang pernah bertemu dengan mereka.
Segera Yo Ko mengangkat tubuh
Cu Kun Hong dan Ciu Pek Thong menuntun kuda pemuda itu. Mereka membawa Cu Kun
Hong ke rumah seorang penduduk minta bermalam disitu. Dengan mempergunakan
lweekangnya dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Cu Kun Hong, Yo Ko telah
menyadarkan Cu Kun Hong dari pingsannya. Dan Yo Ko maupun Ciu Pek Thong tidak
menduga bahwa dari mulut pemuda inilah akhirnya dia mengetahui Siauw Liong Lie
dan Sin-tiauw telah ditawan oleh Tiat To Hoat-ong.
Segera juga Yo Ko telah
menanyakan persoalannya kepada Cu Kun Hong, sebetulnya menyadari bahwa Cu Kun
Hong yang baru tersadar dari pingsannya itu masih lemah, karena darah yang
mengucur keluar dari hidungnya sangat banyak sekali. Tetapi karena urusan itu
menyangkut keselamatan isterinya dan Sin-tiauw, Yo Ko sudah tidak menantikan
waktu terlebih lama lagi dan menanyakan di saat itu juga.
Cu Kun Hong telah menceritakan
semua yang dialaminya di kaki gunung Hoa-san, menceritakan juga apa yang telah
dilihatnya.
Yo Ko jadi mengerutkan
sepasang alisnya. Dia tidak mengerti mengapa Siauw Liong Lie sampai bisa rubuh
dan ditawan oleh Tiat To Hoat-ong. Sedangkan Siauw Liong Lie memiliki
kepandaian yang sama tinggi dan tidak lebih rendah darinya. Sedangkan Sin-tiauw
pun memiliki kepandaian yang sangat hebat mengapa dapat dirubuhkan oleh Tiat To
Hoat-ong. Sedangkan menurut cerita Cun Kun Hong, Sin-tiauw telah diikat kedua
sayap, kedua kaki dan paruhnya. Tentu saja keadaan Sin-tiauw seperti itu
mengherankan dan membingungkan sekali hati Yo Ko dan Ciu Pek Thong.
„Apakah Tiat To Hoat-ong
memang sedemi kian hebat?” menggumam Ciu Pek Thong setelah tertegun sejenak.
Yo Ko tambah berkuatir saja,
terlebih lagi dia teringat bahwa isterinya tengah hamil.
„Mari kita susul si kepala
gundul itu!” ajak Ciu Pek Thong dengan bersemangat.
Yo Ko mengangguk.
„Pergilah locianpwe
mengejarnya, aku bisa merawat diriku sendiri, lebih lagi akupun tidak terluka
berat..... yang terpenting jiwie lociapwe menolongi dulu Yo Hujin dan rajawali
sakti itu.....” bilang Kun Hong bersungguh-sungguh.
Yo Ko mengangguk dan memandang
pemuda itu dengan sorot mata memancarkan perasaan berterima kasih.
Saat itu Ciu Pek Thong sudah
tidak sabar, dia menepuk perlahan bahu pemuda she Cu itu.
„Engko kecil terpaksa kami
meninggalkanmu, karena kami harus mengejar si gundul itu dulu!” kata si tua
jenaka itu.
Kun Hong mengiakan cepat-cepat
sambil mengucapkan terima kasihnya.
Di saat itu, tampak Yo Ko
masih ragu-ragu, tetapi karena Ciu Pek Thong telah melangkah ke luar Yo Ko pun
setelah mengucapkan beberapa kata-kata hiburan kepada Kun Hong, lalu keluar
dari kamar itu. Kepada tuan rumah, Yo Ko memberikan dua tail perak, dan
terpesan agar merawat Kun Hong.
Setelah itu, berdua dengan Ciu
Pek Thong, Yo Ko telah berlari pesat sekali mengambil ke jurusan yang
diberitahukan oleh Cu Kun Hong.
◄Y►
Tiat To Hoat-ong terus
berlari-lari dengan mempergunakan ilmu berlari cepatnya yang sempurna sekali.
Walaupun dia membawa beban yang cukup berat, yaitu Siauw Liong Lie dan
Sin-tiauw, namun kenyataannya sedikitpun tidak mengganggu atau memperlambat
larinya. Kebetulan sekali di saat itu hari mulai malam, sehingga Tiat To
Hoat-ong yang memanggul Sin-tiauw dan mengempit Siauw Liong Lie tidak menarik
perhatian orang, sebab jalan-jalan telah sepi dan pendeta itu dapat
berlari-lari lebih leluasa.
Memang luar biasa pendeta itu,
di waktu menjelang tengah malam, dia telah berhasil berlari-lari sejauh
empatratus lie lebih, dan tiba di kota Lung-siu-kwan, di luar perbatasan
Kang-ciu.
Suasana kota saat itu sangat
sepi sekali, dan pintu kota juga telah ditutup. Tetapi Tiat To Hoat-ong telah
menjejakkan kakinya di tanah, dengan membawa beban yang berat seperti itu,
tubuhnya melompat setinggi lima tombak, lalu dengan cepat sekali, di saat
tubuhnya tengah terapung di tengah udara. Tiat To Hoat-ong menendang dinding
tembok pintu kota itu, sehingga tubuhnya terpental lebih tinggi lagi, dan
dengan melakukan gerakan seperti itu yang diulanginya beberapa kali akhirnya
Tiat To Hoat-ong berhasil mencapai puncak pintu kota. Dengan mudah dia telah
masuk ke dalam kota tanpa seorang penjaga kotapun yang melihat perbuatannya
itu.
Dengan mengelilingi kota,
akhirnya dia melihat ada sebuah rumah penginapan yang masih buka, cepat-cepat
Tiat To Hoat-ong memasukinya dan meminta dua kamar kepada pelayan yang
menyambutnya.
Semula pelayan itu mengawasi
bengong kepada pendeta dihadapannya, ini yang mengepit seorang wanita cantik
dan menggotong seekor burung rajawali raksasa, tetapi pelayan itu segera
menduga bahwa pendeta itu seorang manusia luar biasa, setidaknya seorang manusia
setengah dewa. Lebih-lebih setelah Tiat To Hoat-ong memberikan sepotong goan-po
kepadanya, maka pelayan itu tidak berani banyak tanya dan cepat-cepat
mempersiapkan, dua buah kamar yang berdampingan.
Waktu Tiat To Hoat-ong
memasuki rumah makan itu, ada beberapa orang-orang yang belum tidur, mereka
semuanya takjub melihat pendeta itu bersama seorang wanita cantik dan seekor
burung rajawali raksasa.
Dengan sendirinya, peristiwa
tersebut merupakan peristiwa yang aneh.
Jika memang Hiat To Hoat-ong
hanya membawa Siauw Liong Lie, mungkin orang hanya menduga bahwa pendeta itu
adalah pendeta cabul. Tetapi dengan membawa juga seekor burung rajawali raksasa
seperti itu, keruan saja telah menyebabkan tamu-tamu yang berada di dalam
penginapan tersebut ingin menduga si pendeta setidak-tidaknya telah mencapai
kesempurnaannya dalam mensucikan dirinya, telah menjadi setengah dewa, karena
seekor burung rajawali berukuran begitu besar, dengan mudah digotongnya dan
juga tidak berdaya di tangannya.
Tetapi Tiat To Hoat-ong tidak
memperdulikan tatapan heran dari orang-orang itu, dengan membawa kedua bebannya
itu Tiat To Hoat-ong telah menaiki undakan anak tangga, dia memasukkan Siauw
Liong Lie dan Sin-tiauw itu ke sebuah kamar, sedangkan dia sendiri telah tidur
di kamar yang satunya lagi. Sebelum tidur, Tiat To Hoat-ong telah berpesan
kepada pelayan, agar mereka jangan mengganggu ketenangannya.
Waktu pendeta itu telah masuk
tidur, gemparlah orang-orang yang berada di rumah penginapan tersebut. Untuk
bicara apa saja dengan berterang mereka tidak berani, akhirnya mereka telah
bisik-bisik saja, dari mulut yang seorang menjalar ke seorang lainnya sehingga
keesokan harinya berita mengenai pendeta aneh itu telah tersebar di seluruh
kota.
Pagi dan siang itu Tiat To
Hoat-ong tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya meminta pelayan mengantarkan
masakan untuknya di kamarnya, selangkah pun dia tidak keluar dari kamarnya.
Tiat To Hoat-ong memang bermaksud melanjutkan perjalanannya di malam hari agar
tidak menarik perhatian orang banyak dalam perjalanannya. Sepanjang hari Tiat
To Hoat-ong mengurung diri di kamar. Sedang Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw tetap
dikurung di kamar yang satunya lagi yang dikuncinya dari luar dan melarang
siapa saja mengganggunya.
<>
Sepanjang satu hari itu, sejak
pagi sampai sore itu penduduk kota selalu memperbincangkan perihal seorang
pendeta aneh tersebut dengan rajawalinya yang luar biasa itu dan wanita cantik
seperti bidadari. Banyak penduduk kota yang berdatangan ke rumah penginapan itu
ingin melihat si pendeta luar biasa tersebut, tetapi kuasa rumah penginapan
tersebut telah melarang mereka menimbulkan suara ribut-ribut.
„Jika Hud-ya itu marah,
hemm….. celakalah kita semua. Dia bukan pendeta biasa, setidak-tidaknya telah
menjadi setengah dewa. Maka kalian jangan mencari penyakit untuk diri sendiri!”
kata kuasa rumah penginapan itu dengan berkuatir, karena penduduk kota yang
memenuhi di muka rumah penginapannya justru menimbulkan suara berisik sekali.
Sedangkan di saat itu tampak
seorang pendeta tua yang berpakaian sebagai seorang hwesio telah melangkah
memasuki rumah penginapan tersebut, karena rumah penginapan tersebut merangkap
sebagai rumah makan.
Pendeta tua itu telah lanjut
usianya, memakai jubah khasa yang sederhana, dengan kepalanya yang licin dan
janggutnya maupun kumis yang tumbuh panjang telah putih. Wajahnya memancarkan
sifatnya yang welas asih, dan ramah sekali. Dia memilih sebuah meja di dekat
jendela dan duduk tenang-tenang disitu. Dipesannya beberapa macam sayur tanpa
daging dan dua kati arak.
Semula pendeta tua itu merasa
heran sekali melihat banyak orang yang bisik-bisik, seperti tengah membicarakan
sesuatu yang luar biasa. Tentu saja hal ini menarik perhatiannya, sehingga
ketika seorang pelayan mengantarkan pesanannya, dia menarik tangan pelayan itu,
memberikan dua tail perak dan menanyakan sesungguhnya apa yang telah terjadi di
tempat tersebut.
Pelayan itu segera
memperlihatkan wajah yang bersungguh-sungguh.
„Taysu mungkin baru sampai di
kota ini, sehingga belum mengetahui!” kata pelayan itu. „Benar-benar aneh!
Benar-benar hebat!”
„Apanya yang aneh? Apanya yang
hebat?” tanyanya pendeta itu sabar.
„Benar-benar luar biasa,
Taysu..... seorang pendeta, yang pakaiannya sangat aneh sekali yang kepalanya
memakai kopiah kecil terbuat dari emas, bertubuh gemuk dan besar kepalanya.....
kepalanya botak seperti..... seperti Taysu..... dan juga kalau tidak salah dia
berasal dari Mongolia!”
Si pendeta tua tersenyum sabar
mendengar itu.
„Itu tidak perlu dibuat heran,
bukan?” tanyanya. „Walaupun negeri ini telah aman dan tentara Mongolia dipukul
mundur pulang ke negerinya, dan kini ada seorang pendeta dari Mongolia yang
berkeliaran di daratan Tiong-goan hal itu tidaklah perlu dibuat heran atau
aneh. Bukankah kini bukan jaman perang? Mengapa kita harus memberikan kesan
yang tidak baik sebagai tamu, pendeta Mongolia itu harus dihormati!”
„Ohhh, Taysu belum tahu!”
berseru pelayan itu sambil memperlihatkan wajah yang bersungguh-sungguh. „Jika
dia sebagai pendeta Mongolia saja, hal itu memang tidak perlu dibuat heran.....
tetapi justru yang luar biasa, pendeta itu membawa seorang wanita cantik
seperti bidadari, yang mukanya merah sehat, rambutnya dikonde ujungnya terurai
memakai baju merah dan angkin hijau, cantik luar biasa......”
„Apakah kauingin mengartikan
pendeta Mongolia itu adalah pendeta cabul?” tanya pendeta tua itu sambil
mengerutkan alisnya.
“Bukan!” menyahut pelayan itu
cepat. „Wanita cantik ini dikurung di sebuah kamar sedangkan pendeta Mongolia
itu tidur di kamar lainnya.”
„Apa maksud pendeta itu?”
tanya si hweshio, tambah tidak mengerti „Dan tahukah engkau siapa gelarnya?”
Si pelayan menggelengkan
kepalanya. „Tidak, tidak tahu,” jawabnya. Tetapi menurut keterangan tuan kuasa
rumah penginapan ini yang memiliki pengetahuan luas ragam pergaulannya dengan
orang-orang rimba persilatan, bahwa pendeta Mongolia itu adalah seorang pendeta
setengah dewa.”
Si Hweshio tersenyum mendengar
perkataan si pelayan, yang dianggapnya lucu. „Lalu, apa yang luar biasa lagi di
diri pendeta Mongolia itu?” tanya si Hwesio.
„Diapun membawa seekor
rajawali yang besar sekali, yang mulutnya diikat, sepasang kakinya diikat, dan
kedua sayapnya juga diikat. Besar sekali ukuran rajawali itu, lebih besar dari
manusia dewasa!”
Kali ini muka si Hweshio jadi
berobah mendengar disebutnya soal rajawali itu. Dia jadi teringat kepada
seorang sahabatnya yang juga memiliki seekor rajawali yang besarnya melebihi
ukuran manusia dewasa.
„Mengapa rajawali itu diikat?”
tanya si Hweshio akhirnya.
„Entahlah kata orang yang
mengerti, tentunya pendeta itu telah menaklukkan rajawali itu, sedangkan burung
rajawali itu adalah rajawali siluman,” menyahuti si pelayan.
Mendengar pelayan itu mulai
bicara tidak karuan persoalan takhyul, pendeta tersebut sudah tidak berpikir
untuk mendengar keterangannya, dia telah perintahkan pelayan Itu agar pergi
meninggalkannya, dan si hweshio bersantap menghabiskan makanannya. Setelah itu
dia meminta kepada kuasa rumah penginapan agar mempersiapkan sebuah kamar,
karena diapun akan bermalam di rumah penginapan tersebut.
Di hatinya si hweshio jadi
tertarik untuk menyelidiki persoalan tersebut, dia ingin mengetahui siapakah
pendeta Mongolia yang disebut sebagai pendeta setengah dewa itu oleh si pelayan
rumah penginapan tersebut. Tetapi ketika si Hweshio hendak menaiki undakan anak
tangga. di saat itulah dari atas loteng tengah menuruni anak tangga tersebut
seorang pendeta. Waktu itu si Hweshio melihat pendeta itu seorang pendeta
Mongolia, dia tercekat hatinya, dia sampai memandang tertegun.
„Kim Lun Hoat-ong” pikirnya.
Namun akhirnya si Hweshio berhasil menindih goncangan hatinya, dia menundukkan
kepalanya agar tidak menimbulkan kecurigaan pendeta Mongolia itu, yang telah
turun lewat di sampingnya. „Kim Lun Hoat-ong telah meninggal..... pendeta ini
bukan dia, karena wajahnya lain, hanya jubah dan bentuk tubuhnya yang gemuk
itulah yang mirip-mirip dengan Kim Lun Hoat-ong,” berpikir hweshio itu, sambil
terus menaiki undakan anak tangga dan memasuki kamarnya.
Di dalam kamar, si pendeta
jadi mengerutkan, alisnya dan tampaknya tengah berpikir keras.
„Apa maksudnya pendeta
Mongolia itu berkeliaran di daratan Tiong-goan lagi..... pasti di balik semua
ini terdapat persoalan yang besar..... seperti yang baru beberapa saat yang
lalu ketika ada urusan yang tengah kuhadapi......!” dan si Hweshio telah
menghela napas lagi, wajahnya jadi murung. „Dilihat demikian., tampaknya
kerajaan Song sulit untuk dilindungi, para pembesarnya gentong nasi semua,
sedangkan pihak Mongolia tetap gigih berusaha mengincar untuk mencaplok daratan
Tiong-goan. Terlebih lagi Kublai Khan tampaknya lebih cerdik dari Kaisar Mangu.
Ai, ai, memang sudah takdir, sulit mengelak takdir.....!”
Berulang kali hweshio itu
menghela napas panjang pendek, sampai akhirnya dia duduk diam di kursi dalam
kamarnya itu, dia terus memuji sang Budha. Sampai akhirnya si hweshio mendengar
suara langkah kaki yang berat di undakan anak tangga, dia menduga bahwa pendeta
Mongolia itu tentu tengah menaiki pula undakan anak tangga untuk kembali ke
kamarnya. Memang tadi pendeta Mongolia itu Tiat To Hoat-ong telah turun ke
ruang bawah untuk membereskan sewa kamarnya, karena dia bermaksud begitu hari
mulai gelap dia ingin melanjutkan perjalanannya.
Si Hweshio cepat-cepat membuka
sedikit daun pintunya, yang kebetulan berhadapan dengan tikungan anak tangga di
loteng itu, dia mengintai keluar. Dilihatnya Tiat To Hoat-ong melangkah menuju
ke arah kamarnya langkah-langkah lebar, setelah tiba di muka kamarnya, pendeta
Mongolia itu berhenti sejenak, tampaknya dia ragu-ragu untuk segera memasuki
kamarnya dia menoleh memandang ke arah kamar di sebelahnya yang pintunya
tertutup rapat. Setelah tersenyum sejenak, pendeta Mongolia itu membuka pintu
kamarnya dan melangkah masuk, lenyap di balik pintu kamarnya.
Si hweshio yang telah
mengintai memperhatikan gerak-gerik pendeta Mongolia itu, jadi mengerutkan
sepasang alisnya yang telah putih itu. Perlahan sekali, seperti berbisik dia
telah memuji kebesaran sang Budha. Ditutupnya kembali pintu kamarnya dan duduk
di kursinya semula.
„Hai, jika dilihat tindakan
kakinya, matanya dan keadaannya, pendeta Mongolia itu memiliki kepandaian yang
tidak berada di bawahnya Kim Lun Hoat-ong. Siapakah dia? Apa maksudnya datang
ke Tiong-goan? Tadi pelayan mengatakan bahwa wanita cantik dan burung rajawali
yang diikatnya telah dikurung di kamar sebelahnya yang tadi diawasinya.
Siapakah wanita cantik itu? Apakah mungkin dia? Dan apakah burung rajawali yang
dibawanya itu mungkin Sin-tiauw milik dia? Mengapa aku tidak coba-coba
melihatnya?”
Karena berpikir begitu, dengan
cepat si Hweshio membuka pintu kamar di sebelah kamar si pendeta Mongolia itu.
Pintu itu ternyata terkunci dari luar, tetapi hweshio itu telah mendengarkan
dulu sejenak, lalu mengulurkan tangannya yang ditempelkannya di daun pintu
dikerahkan tenaga lwekangnya. Luar biasa sekali dengan mengeluarkan suara
„takkk” yang perlahan sekali, besi engsel itu telah berhasil dipatahkannya
dengan mudah. Dengan hati-hati si Hweshio telah mendorong daun pintu itu
sehingga terpentang.
Sesosok tubuh wanita tampak
menggeletak di lantai. Sedangkan disampingnya mengeletak seekor burung rajawali
berukuran besar, keduanya tampaknya tengah tertidur nyenyak sekali.
Melihat wanita itu, dan
melihat rajawali itu, hampir saja si hweshio mengeluarkan seruan tertahan
karena sangat terkejut. Dia kenal dengan baik wanita yang menggeletak di lantai
itu, dan mengenali dengan baik pula rajawali di samping wanita cantik tersebut,
karena wanita cantik itu tidak lain dari Siauw Liong Lie dan rajawali itu tidak
lain dari Sin-tiauw.
Muka si hweshio jadi berobah
merah padam, tampaknya dia murka bukan main. Namun di saat si hweshio mau
melangkah menghampiri untuk menolongi Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw, justru di
saat itulah dia merasa kan dari belakangnya meluncur angin serangan yang kuat
sekali, yang berat luar biasa, mungkin seribu kati.
Tetapi hweshio itu tidak
menjadi gugup, dengan mengucap „Siancay” berulang kali, dia telah mengempos
semangatnya, mengerahkan tenaga murninya di punggungnya itu menjadi kebal untuk
menerima serangan dahsyat itu.
„Buuuukkk!” terdengar suara
benturan yang keras sekali waktu punggung si Hweshio itu terhajar oleh serangan
dari belakang. Tubuh hweshio tersebut bergoyang-goyang tetapi sepasang kakinya
seperti terpantek di lantai. Tidak bergeser sedikitpun. Sedangkan orang yang
melancarkan serangan gelap itu mengeluarkan seruan tertahan. Jangankan manusia,
sedangkan batu saja jika terhajar oleh serangannya dengan kekuatan seperti
tadi, niscaya batu itu akan remuk hancur menjadi bubuk. Tetapi hweshio itu
justeru dapat diserang nya dengan jitu, namun tidak mengalami sesuatu kerugian
apapun juga.
Saat itu si hweshio dengan
tenang dan gesit sekali telah memutar tubuhnya. Segera dilihatnya, yang
melancarkan serangan tadi adalah si imam Mongolia itu.
„Siancay! Siancay!” si
hweeshio menyebut kebesaran sang Buddha. „Sungguh hebat sekali kepandaian yang
kau miliki, Taysu.”
Orang yang melancarkan
serangan itu memang Tiat To Hoat-ong, dia menduga bahwa dengan sekali serang
tentu dia akan dapat merobohkan hweshio itu. Tadi waktu dia memasuki kamarnya
dan ingin merebahkan tubuhnya dipembaringan, dia mendengar samar sekali suara
langkah kaki yang ringan. Dia jadi bercuriga, terlebih lagi suara langkah kaki
itu mendekati kamar di sebelah kamarnya. Dengan cepat Tiat To Hoat-ong telah
melompat turun dari pembaringannya, dia menghampiri pintu kamarnya, berdiri
disitu untuk memasang pendengarannya lebih tajam.
Di saat itulah dia mendengar
lagi suara „tak!” yang halus, suara patahnya benda logam, menyebabkan pendeta
Mongolia ini tambah gusar, karena dia dapat menduga suara apa itu, yaitu
patahnya engsel pintu.
Dengan hati-hati Tiat To
Hoat-ong telah membuka pintu kamarnya dan keluar berindap-indap dengan langkah
yang ringan, dan di saat itu kebetulan dia melihat seorang hweshio tengah memandang
ke dalam dengan tubuh mematung.
Sebetulnya, si hweshio pasti
mengetahui kedatangan Tiat To Hoat-ong di belakangnya kalau saja dia tidak
tengah diliputi keterkejutan yang hebat melihat Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw
tertawan begitu rupa.
„Apa maksudmu memasuki kamar
ini…..?” bentak Tiat To Hoat-ong dengan aseran dan kasar.
„Siancay, Siancay, semula
waktu mendengar cerita pelayan, Siauw-ceng (aku pendeta kecil) telah menduga
bahwa wanita dan rajawali yang berada bersama Taysu adalah sahabat Siauw-ceng.
Setelah Siauw-ceng melihat sendiri, memang Hujin (nyonya) itu bersama rajawali
tersebut ialah sahabat baik Siauw-ceng. Sesungguhnya ada persengketaan apakah
antara Taysu dengan mereka?”
Saat itu muka Tiat To Hoat-ong
sudah berobah tidak sedap dipandang, dia mendengar bahwa hweshio dihadapannya
ini adatah sahabat Siauw Liong Lie dan rajawali itu, keruan saja dugaannya
bahwa kedatangan hweshio tersebut pasti ingin menolongi kedua tawanannya itu.
Maka tanpa menanti habisnya
perkataan si hweshio, dengan cepat sekali tangan kanannya telah diulurkan akan
menghajar dada si hweshio, juga tangannya yang kiri teluh mencengkeram jalan
darah Pie-tu-hiat di pangkal lengan si hweshio.
Namun hweshio tersebut juga
memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya, dengan mengeluarkan suara
dengusan perlahan, dan kemudian memuji kebesaran Sang Buddha karena melihat
serangan pendeta Mongolia itu terlalu kejam, dia berkelit ke samping. Dengan
sendirinya serangan Tiat To Hoat-ong telah jatuh di tempat kosong.
„Aduhh, sayang, sayang.....!”
berkata si hweshio.
06.11. Pendeta Sakti Mantan
Kaisar
Tiat To Hoat-ong penasaran
bukan main, disamping itu dia juga kaget melihat hweshio dihadapannya ini
merupakan seorang hweshio yang memiliki kepandaian hebat, maka dia bersikap hati-hati,
lebih waspada. Waktu mendengar si hweshio mengatakan „sayang”, Tiat To Hoat-ong
telah menangguhkan serangan susulan yang tadinya akan dilancarkan.
„Sayang apa?” tegurnya bengis.
„Taysu memiliki kepandaian
demikian tinggi, tetapi justru Taysu telah mempergunakannya untuk melakukan
perbuatan salah! Bukankah itu harus dibuat sayang?”
„Mengapa kau bisa menyebut aku
ini telah melakukan perbuatan salah?” bentak Tiat To Hoat-ong dengan murka.
„Hud-ya telah menangkap wanita berdosa itu, dan rajawali pembawa malapetaka itu
apakah itu suatu perbuatan yang salah?”
„Wanita berdosa dan rajawali
pembawa malapetaka?” mengulang hweshio itu sambil mengerutkan sepasang alisnya,
wajahnya berobah. „Akhh, Siancay! Siancay! Setahu Siauw-ceng nyonya itu seorang
yang berbudi, dialah seorang pendekar wanita nomor satu di jaman ini. Bagaimana
mungkin Taysu mengatakannya nyonya itu sebagai wanita berdosa? Dan juga
mengenai rajawali sakti itu merupakan binatang peliharaan nyonya ini dan
suaminya, yang selalu patuh terhadap perintah majikannya..... jika tidak
diganggu seseorang, tentu rajawali itu tidak akan menimbulkan kerusuhan.
Bagaimana Taysu bisa mengatakannya juga bahwa rajawali itu, adalah rajawali
pembawa malapetaka? Mungkin Taysu telah salah menilai.”
Muka Tiat To Hoat-ong telah
berobah merah padam, dia murka bukan main, tetapi pendeta Mongolia ini berusaha
menindih kegusarannya itu karena dia melihat hweshio dihadapannya ini bukan
hweshio sembarangan.
„Siapa kau sesungguhnya?”
bentak Tiat To Hoat-ong.
„Siancay! Siancay!” memuji
hweshio itu. “Sahabat-sahabat memberikan julukan kepadaku sebagai Lam-ceng, si
pendeta dari Selatan. Siauw-ceng she Toan dan bernama Tie Hin, dan memiliki
gelaran ringan It-teng Taysu!”
Jika yang mendengar kata-kata
itu Kim Lun Hoat-ong, mungkin tubuh Kim Lun Hoat-ong akan gemetar, karena nama
itu bukan sembarangan nama, nama dan gelaran yang telah menggetarkan jagad dan
diakui oleh orang-orang rimba persilatan, dalam kalangan Kang-ouw! Memang
Hweshio itu tidak lain dari Toan Hong-ya, bekas kaisar Tayli, yang telah
mensucikan diri dan bergelar It-teng Taysu.
Seperti diketahui, bahwa
diantara lima Ngo-ciat. Hanya tinggal dua saja yang masih hidup yaitu Lam-ceng
It-teng Taysu dan Lo-shia Oey Yok Su, sedangkan Ang Cit Kong, Auwyang Hong dan
Tiong Sin Thong telah meninggal dunia. Maka bisa dimengerti, sesungguhnya dalam
urutan angkatan tua, yaitu angkatan cianpwe, It-teng Taysu dan Oey Yok Su
merupakan dua jago tanpa tanding lagi yang kepandaiannya sudah sulit diukur.
Namun untuk melengkapi kedudukan
Ngo-ciat itu, telah diambil Yo Ko, yang menggantikan See-tok Auwyang Hong,
tetapi huruf „Tok” (racun) telah diganti dengan Kong, sedangkan kedudukan
Pak-kay Ang Cit Kong telah diisi oleh Kwee Ceng, dengan huruf „Kay” (pengemis)
diganti dengan huruf „Hiap” (pendekar). Lalu kedudukan Tiong Sin Thong yang
kosong diisi oleh Ciu Pek Thong, dengan mengganti huruf „Sin” di tengah dengan
huruf „Boan” maka lengkap kembalilah urutan Ngo-ciat. Ketika orang jago
pengganti See-tok, Pak-kay dan Tiong Sin Thong, bukanlah jago-jago lemah,
kepandaian merekapun berimbang dengan kepandaian It-teng Taysu maupun Oey Yok
Su.
Tiat To Hoat-ong yang memang
belum menginjak daratan Tiong-goan, belum mengetahui hebatnya It-teng Taysu.
Waktu di Tibet, dia telah mendengarnya bahwa di dataran Tiong-goan terdapat
lima jago yang luar biasa, yaitu See-tok, Lam-tee Kaisar dari Selatan, yang
akhirnya diganti menjadi Lam-ceng karena It-teng Taysu tidak menjadi Kaisar
lagi, Thong-shia, Pak-kay dan Tiong Sin Thong.
Tetapi Tiat To Hoat-ong mana
bermimpi bahwa kepandaian kelima jago yang terkenal itu luar biasa sekali?
Karena di negerinya dia disanjung dan merupakan jago nomor satu di samping adik
seperguruannya, yaitu Kim Lun Hoat-ong, maka sudah menjadi kebiasaan Tiat To
Hoat-ong tidak pernah memandang sebelah mata kepada siapapun juga. Dan juga
Tiat To Hoat-ong tidak pernah merasa takut terhadap siapapun juga, bahkan
Kaisarnya yaitu Kaisar Mangu yang telah wafat, maupun Kaisar Mongolia yang
sekarang pengganti Kaisar Mangu, yaitu Kublai, tidak dipandang sebelah mata
olehnya.
„Hemm......” mendengus Tiat To
Hoat-ong dengan suara yang tawar. „Memang telah cukup lama kudengar bahwa di
daratan Tiong-goan terdapat lima jago yang memiliki kepandaian lumayan, salah
seorang adalah kau! Tetapi Hud-ya ingin menasehatimu, mengingat usiamu yang
telah lanjut seperti itu, lebih baik kau menggelinding pergi sebelum Hud-ya
marah dan merobah keputusan, dan jangan sekali-kali mencampuri urusan Hud-ya.”
It-teng Taysu memang sabar
luar biasa, dia tidak gusar walaupun Tiat To Hoat-ong mengeluarkan kata-kata
yang kasar seperti itu.
„Siancay….. Siancay…..”
It-teng Taysu telah memuji kebesaran sang Budha sambil merangkapkan sepasang
tangannya. „Rupanya kedatangan Taysu memiliki maksud tertentu. Jika Siauw-ceng
boleh mengetahui, sesungguhnya apakah tujuan Taysu yang telah melakukan
perjalanan jauh datang ke Tiong-goan? Apakah Taysu diperintah oleh Kublai?”
Muka Tiat To Hoat-ong jadi
berobah merah karena murka dan mendongkol sekali. „Kalau benar aku diperintah Kublai
kenapa? Dan jika kedatanganku ini bukan diperintah oleh Kublai, juga kenapa?
Apakah kau memiliki hak untuk mengurusi diri Hud-ya?”
Disanggapi seperti itu It-teng
Taysu tersenyum ramah dan sabar, katanya kemudian dengan suara yang sabar serta
perlahan, namun tegas.
„Dengarlah Taysu, jika
kedatangan Taysu berkunjung ke daratan Tiong-goan hanya sekedar jalan-jalan
untuk menikmati keindahan alam yang terdapat disini, tentu saja kami akan
menyambutnya dengan senang hati..... kami akan menghormati Taysu asal Taysu
tidak mengandung maksud-maksud tertentu, maksud yang buruk......! Tetapi
sebaliknya, jika kedatangan Taysu atas perintah rajamu, hanya sekedar untuk
sengaja mengacau disini, tidak dapat hal itu kami biarkan......!”
Waktu berkata-kata seperti itu,
wajah It-teng Taysu angker sekali, setidak-tidaknya dia adalah bekas seorang
Kaisar, yang pernah memegang tampuk pimpinan sebuah negara, walaupun sebuah
negara kecil di Selatan. Sabar suaranya, lembut tutur katanya, tetapi angker
sekali pengaruhnya. Diantara wajahnya yang welas asih dan sabar itu tampak
matanya memancarkan sinar yang berpengaruh sekali.
Tiat To Hoat-ong yang melihat
itu, diam-diam tergetar hatinya, karena dia merasakan hatinya tergoncang.
Tetapi cepat sekali dia dapat menguasai dirinya. Dan dengan segera juga dia
menjadi murka.
„Pendeta busuk, ternyata
engkau terlalu banyak tingkah dan cerewet!” katanya dengan gusar. Dan
membarengi perkataamya itu, dengan cepat sekali Tiat To Hoat-ong telah
melancarkan serangannya dengan kepalan tangannya yang besar dan mengandung
angin serangan yang kuat sekali, yang dahsyatnya luar biasa.
Tetapi It-teng Taysu membawa
sikap yang tenang sekali, sedikitpun dia tidak takut menghadapi pendeta
Mongolia itu. Bahkan It-teng Taysu telah melihatnya bahwa Tiat To Hoat-ong
bukanlah sebangsa manusia baik-baik. Maka dari itu, dengan tenang dia mengawasi
datangnva serangan pendeta Mongolia itu. Dengan berani dia mengulurkan tangan
kanannya tahu-tahu dengan telapak tangannya dia telah menahan majunya kepalan
tangan Tiat To Hoat-ong.
„Kita bicara dengan mulut,
bukan dengan kepalan!” kata It-teng Taysu dengan suara yang sabar sekali.
Tiat To Hoat-ong kembali kaget
setengah mati, karena dia telah melancarkan serangan dengan mengerahkan enam
bagian tenaga dalamnya, kenyataannya ketika membentur telapak tangan si pendeta
dari Selatan itu, dia merasakan telapak tangan It-teng Taysu lunak sekali
seperti kapas, dan tenaga serangan yang dilancarkan jadi lenyap tidak karuan,
Dengan cepat Tiat To Hoat-ong menarik pulang tangannya.
„Taysu, bebaskanlah kedua
tawananmu itu, dan pergilah dari tempat ini! Karena Taysu ingin pergi, Taysu
dapat pergi dengan bebas, dan aku si tua Lam-ceng tidak akan
mengganggumu.....!” sabar suara It-teng Taysu.
Seumurnya belum pernah It-teng
Taysu berlaku demikian tegas, dia selalu bersikap ramah dan sabar luar biasa,
tetapi karena mengetahui bahwa Tiat To Hoat-ong berkunjung ke Tiong-goan dengan
maksud buruk dan juga karena melihat Siauw Liong Lie serta Sin-tiauw
diperlakukan begitu rupa oleh si pendeta, maka murkalah bekas Kaisar dari
negeri Tayli itu.
Tiat To Hoat-ong jadi
penasaran Dia telah mengeluarkan suara tertawa dingin yang menyeramkan, mukanya
bengis sekali. „Hemmm, enak sekali kau bicara,” bentaknya dengan suara
mengandung hawa pembunuhan. „Sedangkan rajaku sendiri tidak berani mengeluarkan
kata-kata kasar dan kurang ajar seperti itu.”
„Tepat!” mengangguk It-teng
Taysu dengan sabar, tetapi mukanya angker sekali. „Justru Siauw-ceng bukan
rajamu dan Taysu bukan sebawahan Siauw-ceng, masih mau Siauw-ceng berlaku murah
hati membebaskan Taysu begitu saja asalkan tidak mengganggu kedua sahabat
Siauw-ceng!” Pedas dan tegas sekali kata-kata It-teng Taysu, karena dia ingin
mengartikan, jika saja dia kaisarnya dan Tiat To Hoat-ong bawahannya, mungkin dia
telah menghukumnya, dengan hukuman yang berat.
Tubuh Tiat To Hoat-ong jadi
menggigil karena sangat murka, dia merasakan dadanya seperti ingin meledak oleh
kemarahannya itu. Dengan mengeluarkan suara teriakan yang mengguntur dan
mengandung kemarahan yang sangat, tampak Tiat To Hoat-ong telah melompati
menubruk ke arah It-teng Taysu dengan serangan yang luar biasa dahsyatnya.
Dalam kemarahan yang seperti itu, ternyata Tiat To Hoat-ong telah melancarkan
serangan dengan ilmu Yoganya di tingkat kesebelas, merupakan jurus yang sangat
hebat.
Harus diketahui bahwa ilmu
Yoga yang dilatih oleh Tiat To Hoat-ong berbeda dengan ilmu-ilmu Yoga umumnya,
karena latihan Yoga pendeta itu telah digabung dengan ilmu silat
Liong-cio-poan-kouw-kang yang semula berasal dari India. Maka bisa dibayangkan
betapa hebatnya ilmu Yoga yang dilatih oleh Tiat To Hoat-ong, terlebih lagi di
saat itu dia telah mempergunakan sekaligus di tingkat kesebelas. Tenaga
serangan yang dilancarkan oleh Tiat To Hoat-ong beratnya ribuan kati, memang
benar tenaga serangan itu bukannya tenaga naga atau gajah seperti namanya itu
Liong-cio-poan-kouw-kang, akan tetapi itulah serangan yang mustahil sekali
dilawan oleh tubuh manusia!
Tetapi menghadapi It-teng
Taysu yang memiliki ilmu yang telah mencapai tingkat puncak kesempurnaan dan
sulit diukur, terutama dialah jago tertua diantara Ngo-ciat serangan Tiat To
Hiat-ong selalu jatuh di tempat kosong, karena pendeta Mongolia itu seperti
juga selalu memukul tempat kosong dan It Teng dapat berkelit atau mengelakkannya
dengan langkah-langkah yang ampuh, sehingga kedudukan tubuhnya sulit diterka
oleh Tiat To Hoat-ong sendiri.
Sedangkan It-teng Taysu
sendiri telah melihatnya dan mengetahui bahwa tenaga yang dimiliki Tiat To
Hoat-ong luar biasa besarnya, seumurnya dia belum pernah menghadapi lawan
seperti itu. Akan tetapi walaupun demikian It-teng Taysu tidak gentar
menghadapi serangan-serangan seperti itu, karena dia telah memiliki kepandaian
yang sempurna sekali, dan juga kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang sulit
diukur lagi. Melihat lawannya melancarkan serangan-serangan yang gencar sekali,
juga serangan itu mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh It-teng Taysu
dengan kejamnya. Si pendeta dari selatan itu berulang kali menghela napas
sambil memuji kebesaran sang Buddha.
Akhirnya di saat Tiat To
Hoat-ong melancarkan serangan dengan cara yang serentak mempergunakan kedua
tangannya. yang seperti juga runtuhnya langit atau seperti sebuah gunung,
It-teng Taysu telah menggerakkan kaki kanannya setengah lingkaran, lalu dengan
membarengi seruan perlahan It-teng Taysu telah memapaki serangan itu dengan
jari telunjuknya. Luar biasa sekali, tenaga serangan yang hebat dari Tiat To
Hoat-ong jadi musnah sama sekali, dan yang lebih celaka lagi justru tubuh Tiat
To Hoat-ong telah terhuyung ke belakang dengan muka yang pucat.
Ternyata It-teng Taysu telah
mempergunakan It-yang-cie nya, ilmu jari tunggal yang sakti itu. Karena telah
mencapai kesempurnaan yang luar biasa dalam meyakini ilmu jari saktinya itu,
It-teng Taysu sesungguhnya telah berjanji kepada dirinya sendiri, jika tidak
diperlukan sekali, dan tidak dalam keadaan terdesak yang sangat, ilmu yang
liehay luar biasa itu tidak ingin dikeluarkannya. Tetapi disebabkan
desakan-desakan yang gencar dari Tiat To Hoat-ong, dengan sendirinya hal itu
Lam-ceng mengambil keputusan untuk merubuhkan pendeta dari Mongolia itu. karena
dia perlu memberikan pertolongan kepada Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw. Apalagi
mata It-teng Taysu sangat tajam dan awas sekali, Siauw Liong Lie yang tengah
rebah dalam keadaan seperti tidur atau pingsan itu, sesungguhnya tengah hamil,
membuat It-teng Taysu tambah berkuatir.
Lam-ceng menduga di dalam
persoalan ini tentu terselip sesuatu yang agak luar biasa, karena tidak
biasanya Siauw Liong Lie rubuh di tangan seseorang, walaupun orang yang
menawannya itu selihay Tiat To Hoat-ong. Karena Siauw Liong Lie memiliki
kepandaian yang hebat sekali, yang tidak berada di sebelah bawah dari dia. Dan
juga, kemana perginya Yo Ko, suami dari nyonya itu? Mengapa tidak terlihat mata
hidungnya? Apakah Yo Ko telah dicelakai seseorang juga?
Berpikir begitu, tentu saja
It-teng Taysu jadi tambah berkuatir, dan akhirnya terpaksa harus mempergunakan
ilmu saktinya itu yaitu It-yang-cie, ilmu yang semula diterima dari Tiong Sin
Thong Ong Tiong Yang. terlebih lagi selama puluhan tahun It-teng Taysu telah
melatih ilmu itu mencapai puncak kesempurnaan, ditambah dengan lwekangnya yang
memperoleh kemajuan pesat sekali.
Tiat To Hoat-ong sendiri tadi
menjadi terkejut karena di saat kedua tangannya dihantamkan ke arah It-teng
Taysu dia yakin akan dapat mendesak pendeta itu, karena dia telah mengerahkan
delapan bagian tenaga dalamnya yang dipusatkan di kedua kepalan tangannya.
Menurut keyakinan Tiat To Hoat-ong, jika saja tidak berhasil memukul rubuh
It-teng Taysu setidaknya dia bisa mendesak pendeta itu dengan hebat.
Tetapi siapa duga, hanya
mempergunakan jari tangannya saja, It-teng Taysu justru telah berhasil
menyambuti serangan dari Tiat To Hoat-ong bahkan juga telah membuat tenaga Tiat
To Hoat-ong menjadi lenyap, dan pendeta Mongolia itu merasakan mengalirnya
semacam hawa yang halus menyelusup ke dalam tubuhnya, sehingga seperti seorang
yang kontak oleh aliran listrik, membuat Tiat To Hoat-ong jadi mundur dengan
terhuyung. Itupun masih untung Tiat To Hoat-ong hanya mempergunakan delapan
bagian dari tenaga dalamnya, coba kalau dia memusatkan seluruh kekuatannya,
niscaya pendeta Mongolia itu akan celaka sendirinya.
Seperti diketahui, It-yang-cie
merupakan ilmu jari tunggal yang sakti, yang bisa dipergunakan sebagai ilmu
menotok yang tiada taranya di dalam dunia ini. Tetapi disamping itu, karena
It-teng Taysu telah melatihnya sedemikian sempurna, membuat ilmu itu benar
merupakan ilmu menotok yang tiada lawannya. Tadi waktu menyambuti serangan dari
Tiat To Hoat-ong, di saat dia menyambuti serangan itu justru dia menotok
pergelangan tangan pendeta tersebut, sehingga si pendeta selain tertotok tenaga
serangannya juga jadi lenyap. Dan juga disamping itu, dia telah terkena oleh
dorongan tenaga membalik dari serangannya sendiri. Semakin kuat seorang
menghantam, semakin kuat tenaga menolak dari It-yang-cie.
„Kau.....?” Tiat To Hoat-ong
tak bisa mengucapkan sesuatu apapun juga, karena dia terkejut sekali.
It-teng Taysu telah
merangkapkan sepasang tangannya, dia mengucapkan pujian atas kebesaran Sang
Buddha dengan wajah yang sabar. „Siancay, Siancay,” ujarnya. “Maafkan
Siauw-ceng, terpaksa harus mempergunakan kekerasan menerima serangan Taysu!”
Mata Tiat To Hoat-ong tampak
terpentang lebar-lebar, dia mengawasi bengis kepada It-teng Taysu. Setelah
berdiam diri sejenak, dia telah berhasil mengendalikan ancaman di hatinya. Di
saat itulah Tiat To Hoat-ong baru menyadarinya bahwa It-teng Taysu ternyata
merupakan jago yang hebat sekali, yang tidak mungkin dirubuhkan dengan cepat.
Dalam hatinya, Tiat To Hoat-ong jadi tergetar juga, karena dia menyadarinya
bahwa di Tiong-goan ternyata terdapat banyak sekali orang pandai.
Seperti pertama kali dia tiba
di dataran Tiong-goan, dimana dia telah bertemu dengan Ciu Pek Thong, yang
tidak bisa dirubuhkan, kemudian Yo Ko dan Siauw Liong Lie, yang juga memiliki
kepandaian yang hebat sekali, yang tidak mungkin dirubuhkan dengan
mempergunakan ilmu silatnya. Hanya Cu Kun Hong yang bisa dipukul rubuh dengan
mempergunakan ujung lengan jubahnya.
„Jika dilihat demikan,
Tiong-goan merupakan gudangnya para jago-jago silat kelas utama......,”
berpikir Tiat To Hoat-ong, dan dia jadi gentar juga.
Tetapi karena disamping
memiliki kepandaian yang telah sempurna, Tiat To Hoat-ong juga merupakan
seorang jago yang cerdik sekali, tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja.
Dilihatnya, sejak tadi It-teng Taysu memperlihatkan sikap yang sabar dan
menurut penglihatannya hweshio itu mudah untuk diajak bicara. Maka sambil merangkapkan
tangannya, Tiat To Hoat-ong telah memberi hormat.
„Ternyata Lam-ceng It-teng
Taysu bukan nama kosong belaka!” kata Tiat To Hoat-ong sambil menjura. „Dan,
Hud-ya cukup kagum melihatnya. Tetapi, Hud-ya harap, Taysu jangan mencampuri
urusan Hud-ya, bukankah lebih baik jika diantara kita berdua diikat tali
persahabatan?”
Tendengar itu, It-teng Taysu
telah tersenyum sabar. „Mencari lawan memang mudah, tetapi justru untuk mencari
sahabat sejati itulah yang sulit!” sahut sihwesio.
Muka Tiat To Hoat-ong jadi
berobah merah karena dia merasa seperti juga disindir oleh It-teng Taysu,
Saat itu Lam-ceng telah
melanjutkan perkataannya lagi. „Dan jikalau Taysu memiliki pikiran bagus
seperti itu, mengapa pula Siauw-ceng harus menolaknya? Bukankah bersahabat itu
merupakan suatu hal yang menggembirakan? Dan tentu saja Siauw-ceng merasa
berterima kasih atas maksud baik Taysu yang sudah bersedia bersahabat dengan
Siauw-ceng yang masih miskin dan melarat, yang tidak memiliki kuil dan nama!”
„Itulah kata-kata yang terlampau
merendah!” kata Tiat To Hoat-ong. „Sesungguhnya, jika memang Taysu menghendaki,
dalam sekejap mata kedudukan dan harta akan datang ke pangkuan Taysu! Dan jika
Taysu kehendaki, dapat juga Taysu ikut Hud-ya ke Utara, bukankah Taysu pun
mengetahui, Khan yang besar cerdik dan hebat sekali, tidak seperti pemerintahan
negeri Song yang tolol dan bodoh ini?”
Mendengar perkataan Tiat To
Hoat-ong yang terakhir, yang terang-terangan begitu, muka It-teng Taysu jadi
berobah merah karena gusar. Dia gusar, justru Tiat To Hoat-ong telah
mengajaknya untuk menjadi pengkhianat, mengkhianati negerinya sendiri dengan
tawaran pangkat dan harta.
„Terima kasih atas tawaran
Taysu..... Siauw-ceng belum terpikir untuk mencampuri urusan-urusan negara,
karena kini, Siauw-ceng justru hanya, menghendaki kedua sahabat Siauw-ceng
itu!”
Muka Tiat To Hoat-ong jadi
berobah dan baru saja dia ingin membuka mulut lagi, It-teng Taysu telah berkata
lagi, „Silahkan Taysu meninggalkan kedua sahabat Siauw-ceng ini, kelak jika ada
umur panjang, Siauw-ceng It-teng Taysu tentu akan datang mencari Taysu untuk
menyatakan terima kasih.”
Sesungguhnya, didengar dari
kata-katanya itu yang diucapkannya dengan sabar It-teng Taysu seperti juga
merendah dan menghormati Tiat To Hoat-ong, namun sesungguhnya perkataannya yang
terakhir itu merupakan suatu perkataan mengusir untuk Tiat To Hoat-ong.
Melihat demikian, Tiat To
Hoat-ong jadi murka bukan main, tetapi dia tidak memperlihatkan di mukanya,
bahkan Tiat To Hoat-ong telah tersenyum lebar, sambil katanya. „Hud-ya datang
dari jauh, dan secara kebetulan hari ini beruntung bertemu dengan salah seorang
diantara kelima Ngo-ciat, maka untuk menyatakan rasa kagum dan mengikat tali
persahabatan, Hud-ya ingin menghadiahkan sebuah tanda mata untuk
kenang-kenangan......!” Sambil berkata demikian, Tiat To Hoat-ong telah merogoh
sakunya, dia telah mengeluarkan sebuah tabung yang berukuran tidak begitu
besar, yang ujungnya terdapat tangkainya.
It-teng Taysu jadi mengawasi
heran, dia bercuriga atas sikap lawannya.
Sedangkan Tiat To Hoat-ong
tanpa memperdulikan perasaan heran It-teng Taysu, telah melanjutkan
kata-katanya lagi. „Tabung kecil ini merupakan hadiah dari Khan yang agung,
yang telah diberikan untuk dipergunakan sebagai tanda kebesaran. Jika tabung
ini diperlihatkan, dimana saja, di berbagai tempat dimana kekuasaan Khan Agung
berada, maka orang yang memegang tabung ini akan diperlakukan dengan hormat,
sama hormatnya dengan melihat seorang raja muda!” Sambil berkata-kata Tiat To
Hoat-ong telah memegang-megang tangkainya, mempermainkannya yang
diputar-putarnya.
Sedangkan It-teng Taysu hanya
mengawasi sambil tersenyum sabar, bahkan waktu Tiat To Hoat-ong berkata-kata
sampai disitu, It Teng telah menjura membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
„Sayang Siauw-ceng tidak pernah berhasrat mencampuri urusan negara dan juga
Siauw-ceng tidak berniat untuk segala penghormatan yang tidak-tidak, simpanlah
barang itu. Taysu….. maafkan Siauw-ceng tidak dapat menerima hadiah yang besar
itu.”
Tetapi Tiat To Hoat-ong tidak
menyahuti hanya sambil melangkah dua tindak, tahu-tahu „Pssssst!” dia telah
menyemburkan gas dari tabung di tangannya.
It-teng Taysu sesungguhnya
telah berwaspada sejak tadi. Semula dia menduga bahwa tabung yang berisi
senjata rahasia, yang diperlengkapi dengan alat-alatnya, namun diwaktu Tiat To
Hoat-ong menyemburkan gas di dalam tabung itu, itulah di luar dugaannya, karena
bukan senjata rahasia yang menyambar ke arahnya, melainkan uap yang harum
sekali! Hati It-teng Taysu terkejut bukan main, dia melompat ke belakang dua
tindak sambil mengibaskan lengan jubahnya, dan segera juga menutup jalan
pernapasannya, tetapi karena tadi terlambat, dia telah menyedot beberapa kali
sedotan gas itu, sehingga seketika itu juga kepalanya menjadi pening dan
matanya berkunang-kunang.
Dalam hal ini, It-teng Taysu
merupakan seorang jago tua yang jujur dan penyayang terhadap siapa saja, diapun
seorang jago tua yang sabar. Tetapi menghadapi kelicikan Tiat To Hoat-ong yang
telah menyemburkan gas tidurnya itu yang dianggap oleh It Teng merupakan
perbuatan rendah, It Teng sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dengan
mengeluarkan seruan yang sangat dahsyat, tampak It-teng Taysu telah melompat
menubruk ke arah Tiat To Hoat-ong, sambil mengulurkan tangan kanannya. Dia
telah melancarkan serangan dengan mempergunakan It-yang-cie nya. Gerakan yang
dilakukannya itu luar biasa sekali, memiliki tenaga menggempur yang dahsyat.
It-yang-cie sudah merupakan
ilmu yang tiada taranya dalam dunia ini, terlebih lagi dipergunakannya di saat
It-teng Taysu tengah dalam keadaan murka seperti itu, maka bisa dibayangkan
bahaya yang mengancam untuk Tiat To Hoat-ong.
Tetapi pendeta dari Mongolia
itu justru liehay sekali, dia tidak takut. Bahkan kedatangan It-teng Taysu yang
tengah menubruk ke arahnya telah disambut dengan semprotan gas dalam tabungnya,
sebanyak dua kali sehingga uap putih tampak mengurung It Teng. Sambil
menyemprotkan gas dalam tabungnya itu, Tiat To Hoat-ong juga telah melompat
dengan gesit ke pinggir, dia telah berkelit dari serangan lawannya.
It-teng Taysu mencelos hatinya
waktu disemprot dengan gas tidur itu lagi, walaupun dia telah menutup
pernapasannya, namun disebabkan tadi dia telah terlanjur menyedot dan kini juga
uap dari gas tidur itu sangat ketat mengurungnya, dengan sendirinya kepalanya jadi
pening sekali. Namun serangan yang dilancarkannya dengan tenaga sembilan bagian
itu tidak berhasil ditarik pulang, karena waktu yang sangat mendesak itu, tanpa
ampun lagi dinding batulah yang menjadi sasarannya menjadi jebol dan runtuh
dengan mengeluarkan suara yang berisik sekali.
Tiat To Hoat-ong terkejut
bukan main, dia jadi mengucurkan keringat dingin. Tadi masih untung dia bisa
mengelakkan serangan It-teng Taysu, coba kalau tidak, mana mungkin dia sanggup
menerima serangan yang begitu hebat? Karena kuatir It-teng Taysu melancarkan
serangan lagi, maka dengan cepat Tiat To Hoat-ong menyemprotkan kembali gas
dalam tabungnya itu sebanyak tiga kali.
It-teng Taysu tengah berdiri
dengan tubuh yang terhuyung-huyung, dan kepalanya disamping pening, pandangan
matanya juga gelap sekali. Tanpa ampun lagi, tubuh It-teng Taysu jatuh numprah
di atas lantai, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, It-teng Taysu tidak
sampai tertidur, dia hanya merasakan betapa tubuhnya menjadi lemas tidak
bertenaga sama sekali. Tanpa membuang waktu, It-teng Taysu telah mengerahkan
lwekangnya dia telah mengerahkan tenaga untuk memulihkan peredaran darahnya dan
mengusir uap beracun itu dari dalam tubuhnya.
Tiat To Hoat-ong tidak mau
membuang-buang kesempatan yang ada, dia telah melompat menyambar tubuh Siauw
Liong Lie dan Sin-tiauw kemudian dengan menggerakkan ilmu meringankan tubuhnya
dia menurunkan undakan tangga dan keluar dari rumah penginapan itu, terus
berlari meninggalkan rumah penginapan itu. Karena telah melihat lawannya hebat luar
biasa Tiat To Hoat-ong tidak berlari berlaku ayal, dengan cepat sekali dia
berlari-lari terus meninggalkan kota itu, hanya di dalam waktu yang sangat
singkat dia sudah melewati puluhan lie.
Tadi waktu dia turun dari
undakan tangga di ruang bawah, pelayan maupun kuasa rumah penginapan serta
beberapa orang tamu yang berada disitu, telah tertidur semuanya.
It-teng Taysu yang tengah
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengatur peredaran darahnya dan berusaha
mengusir uap beracun dari dalam tubuhnya itu merasakan kepalanya sangat pening.
Tetapi pendeta sakti dari Selatan itu menyadari, bahwa gas yang terlanjur
tersedot oleh pernapasannya, bukanlah semacam racun yang bisa mematikan, hanya
lebih mirip sebagai uap tidur, yang akan merubuhkan lawannya, sehingga It-teng
Taysu agak tenang.
Setelah mengerahkan dan
menyalurkan tenaga saktinya ke sekujur tubuhnya selama satu jam, akhirnya
It-teng Taysu pulih kembali kesegarannya. Dia melompat berdiri dan mengibaskan
lengan jubahnya berulang kali, karena dia ingin membersihkan udara yang masih
diliputi oleh gas tidur itu.
Dilihatnya di ruangan bawah
beberapa orang pelayan dan kuasa rumah dengan beberapa orang tamu, telah
tertidur nyenyak. Rupanya mereka telah menyedot uap tidur yang dilepaskan oleh
Tiat To Hoat-ong yang berimbas ke ruang bawah dan lewat melalui pernapasan
mereka. It-teng Taysu jadi menghela napas jengkel, karena dia melihat Siauw
Liong Lie dan Sin-tiauw sudah tidak berada di tempatnya semula.
Sewaktu ingin bersemedhi untuk
memulihkan kesegaran tubuhnya, It-teng Taysu telah berpikir bahwa Tiat To
Hoat-ong pasti akan mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan Siauw Liong
Lie dan Sin-tiauw, namun It Teng benar-benar tidak berdaya, karena tubuhnya
dalam keadaan yang lemah sekali, mengantuk terpengaruh oleh uap racun yang
dilepaskan oleh Tiat To Hoat-ong.
Semula It-teng Taysu bermaksud
menotok beberapa orang yang tidur terpengaruh uap beracun itu, untuk menyadari
mereka. Tetapi karena mengingat akan keselamatan Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw
yang jauh lebih penting, maka It-teng Taysu dengan mempergunakan ilmu lari
cepatnya, telah mengejar keluar kota untuk merampas dan menolong Siauw Liong
Lie dari tangan Tiat To Hoat-ong.
Untung saja kota tersebut
hanya memiliki satu pintu, sehingga It-teng Taysu dapat segera mengejar dengan
mengambil jurusan yang pasti diambil oleh Tiat To Hoat-ong juga, yaitu ke arah
barat. Tetapi waktu berada di luar pintu kota, di saat itulah It Teng tertegun
sejenak, karena dia tidak mengetahui lagi harus mengejar kemana. Jika dia
mengambil ke arah kiri, berarti dia akan tiba di kota Phiang-sie-kwan, tetapi
jika dia mengambil arah kanan, tentu akan tiba di kota Tiang-lu-kwan.
Kedua kota itu masing-masing
terpisah dari tempat tersebut ribuan lie jauhnya, dan It-teng Taysu tidak mengetahui,
entah arah mana yang diambil oleh Tiat To Hoat-ong, apakah si pendeta Mongolia
itu akan melarikan diri ke Tiang-lu-kwan atau mengambil arah ke kota
Phiang-sie-kwan.
Dalam keadaan terdesak oleh
waktu seperti itu, dan mengingat pula akan keselamatan Siauw Liong Lie, yang
dilihatnya tengah berisi, It-teng Taysu tidak bisa ragu-ragu, akhirnya
untung-untungan dia telah mengambil arah ke kota Tiang-lu-kwan.
06.12. Apakah Putera See-tok
Auwyang Hong?!
Dengan mempergunakan ilmu
larinya yang telah sempurna sekali, tubuh It-teng Taysu berkelebat-kelebat
secepat kilat berusaha mengejar lawannya, tetapi setelah melalui seratus lie
lebih dia masih tetap tidak melihat bayangan Tiat To Hoat-ong.
„Apakah aku salah mengambil
arah mengejarnya?” berpikir It-teng Taysu ragu-ragu.
Tetapi untuk kembali mengambil
arah yang satunya, tentu telah membuang waktu terlalu banyak dan belum tentu
Tiat To Hoat-ong mengambil arah yang satu itu. Maka karena merasa terlanjur,
It-teng Taysu bermaksud untuk mencapai dulu kota Tiang-lu-kwan, untuk
melihatnya apakah Tiat To Hoat-ong mengambil arah kota tersebut. Juga It-teng
Taysu menyadari, dengan membawa bebannya seekor burung rajawali dan seorang
wanita, jelas keadaan Tiat To Hoat-ong akan menarik perhatian orang banyak, dan
dia bisa bertanya-tanya kepada penduduk, apakah mereka melihat pendeta yang
membawa rajawali dan seorang wanita.
Dengan mengempos semangatnya,
It-teng Taysu telah meneruskan pengejarannya, tubuhnya cepat sekali
berlari-lari bagaikan bayangan yang terlihat hanyalah gumpalan putih saja.
◄Y►
Yo Ko dan Ciu Pek Thong
penasaran sekali karena walaupun mereka telah melakukan pengejaran dengan cepat
sekali, tokh Tiat To Hoat-ong tetap saja belum terlihat bayangannya. Kekuatiran
Yo Ko semakin hebat, dia kuatir kalau-kalau isterinya dicelakai oleh pendeta
Mongolia itu.
Sesungguhnya Yo Ko telah
menduga bahwa Tiat To Hoat-ong tentu akan berusaha mencari tempat persembunyian
yang aman, sehingga kelak dapat mempergunakan Siauw Liong Lie sebagai alat
perisainya, untuk keselamatannya. Hanya saja, yang belum dimengerti oleh Yo Ko
sesungguhnya apa maksud dari Tiat To Hoat-ong berkeliaran di daratan
Tiong-goan? Setelah berlari-lari bersama Ciu Pek Thong kurang lebih sejauh
limaratus lie dan belum melihat si pendeta Mongolia, Yo Ko jadi putus asa.
„Akhh Liong-jie, kita ternyata
harus berpisah pula..... dan..... dan kau tengah mengandung anak kita!”
menggumam Yo Ko dengan suara mengandung nada perasaan, marah, kuatir dan
kecewa.
Ciu Pek Thong yang jenaka,
waktu melihat kesedihan yang hebat dari Yo Ko, cepat-cepat tertawa. „Yo Hiante,
kau tidak perlu terlalu kuatir seperti itu, Yo Hujin memiliki kepandaian yang
tinggi dan tidak berada di sebelah bawahmu, tidak mungkin dia dicelakai dengan
mudah oleh pendeta itu!”
Yo Ko mengangguk, wajahnya
tetap muram. „Tetapi Ciu Toako...... menurut keterangan yang diberikan Cu Kun
Hong siangkong, bahwa pendeta itu telah berhasil menawan Liong-jie dan
Tiauw-heng!”
Ciu Pek Thong jadi tertegun,
dan dia jadi tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Bukankah dengan telah
tertawannya Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw, berarti keduanya berada dalam
ancaman bahaya besar di tangan Tiat To Hoat-ong?
Waktu itu mereka telah berada
di perbatasan kota Suan-liang-kwan sebuah kota kecil yang penduduknya hanya limaratus
kepala keluarga. Yo Ko dan Ciu Pek Thong memasuki kota kecil itu, kemudian
memasuki sebuah rumah makan.
Ciu Pek Thong memesan beberapa
macam sayur dan lima kati arak. Tetapi Yo Ko tidak memiliki selera untuk
menikmati semua itu, dia hanya duduk termenung menguatirkan keselamatan
isterinya dan Sin-tiauw. Ciu Pek Thong telah dahar dengan lahapnya karena
hampir sehari suntuk dia belum makan dan perutnya lapar sekali.
„Ciu Toako,” kata Yo ko waktu
melihat Ciu Pek Thong telah selesai dengan santapannya. „Kita hanya memiliki
satu hari lagi untuk mencari Liong-jie, karena lusa kita sudah harus berada di
Hoa-san, sebab It-teng Taysu dan yang lainnya pasti telah berkumpul disana!”
Ciu Pek Thong mengangguk
cepat. „Benar, dan kita bisa meminta bantuan mereka untuk ikut mencari Yo
Hujin!” katanya.
Yo Ko menghela napas. Kini
mereka belum berhasil mencari Tiat To Hoat-ong, yang seperti telah menghilang,
lenyap seperti tertelan bumi bersama Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw. Jelas jika
besok lusa, si pendeta sudah semakin jauh melarikan diri, dengan sendirinya
tidak mudah untuk mencarinya lagi.
Yo Ko yakin bahwa isterinya
memiliki kepandaian yang tinggi. Namun yang mengherankannya, mengapa Siauw
Liong Lie bisa tertawan oleh Tiat To Hoat-ong? Dan begitu halnya dengan Sin-tiauw,
mengapa bisa ditawan oleh pendeta dari Mongolia. Yo Ko mengetahui bahwa
kepandaian Siauw Liong Lie tidak berada di sebelah bawah dari Tiat To Hoat-ong
karena Yo Ko telah bergebrak satu-dua jurus dengan pendeta itu telah berhasil
menjajagi ilmunya pendeta tersebut.
„Jelas si pendeta
mempergunakan akal licik,” berseru Yo Ko tiba-tiba sambil memukul meja,
sehingga menimbulkan suara yang keras sekali.
Ciu Pek Thong melihat
kegusaran dan kedukaan Yo Ko, telah menghela napas. „Yo Hiante, mari kita lanjutkan
pengejaran kita, mungkin si pendeta masih belum begitu jauh dari tempat ini!”
ajak Ciu Pek Thong.
Yo Ko menggelengkan kepalanya
perlahan, diapun telah menghela napas. „Walaupun kita mengejar lagi, jelas
usaha kita tidak akan berhasil. Kita telah bertanya-tanya kepada penduduk di
sepanjang jalan yang kita lalui, tetapi tidak seorangpun yang pernah melihat si
pendeta Mongolia. Hal itu membuktikan bahwa si pendeta tidak mengambil arah
tempat ini, karena dengan membawa Tiauw-heng dan Liong-jie, setidak-tidaknya si
pendeta akan menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Sangat mustahil
tidak seorangpun melihatnya jika dia benar-benar telah mengambil jalan ini!”
„Benar!” Ciu Pek Thong
membenarkan pikiran Yo Ko itu. „Apakah dia harus mengejarnya ke arah lain?”
„Dengan meraba-raba dan
menduga-duga saja, jelas kita akan semakin kehilangan jejak......” kata Yo Ko.
„Dan satu-satunya yang terbaik, kita kembali ke Hoa-san, untuk merundingkannya
dengan It-teng Taysu dan yang lain!”
Ciu Pek Thong menyetujui saran
Yo Ko, setelah membayar harga makanan, mereka segera kembali ke Hoa-san......
<>
Hoa-san tetap tenang dan
sunyi. Di tempat itu belum terlihat muncul seorang jagopun juga, waktu Yo Ko
dan Ciu Pek Thong tiba di kedua kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong yang
telah kosong itu, Kwee Ceng, It-teng Taysu mau pun yang lainnya belum tampak.
Dengan kedukaan yang
menyesakkan dadanya, Yo Ko telah duduk di batu yang terdapat di samping kuburan
Auwyang Hong.
Ciu Pek Thong sibuk mengawasi
sekitar tempat itu, kakek jenaka itu, walaupun dalam keadaan seperti itu,
ternyata tidak bisa berdiam diri, dia sibuk sekali jalan kesana kemari,
tampaknya jika tidak bergerak atau berjalan, kakinya menjadi gatal.
Ada saja yang diperhatikan
oleh Ciu Pek Thong, sampai akhirnya ketika dia tengah memandang ke arah selatan
dari gunung tersebut, yang menghadap ke sebuah lembah, muka Ciu Pek Thong jadi
berobah.
„Ada orang datang!” katanya
dengan wajah girang, karena dia melihat sesosok tubuh bayangan
berkelebat-kelebat dari kaki lembah itu menuju ke atas, menghampiri ke arah
tempat di mana mereka berada.
Yo Ko telah melompat cepat
sekali dan memperhatikan sosok tubuh itu. Tetapi waktu mereka telah melihat
tegas, mereka jadi kaget dan heran sendirinya.
Orang yang tengah mendatangi
itu bukan salah seorang dari sahabat-sahabat mereka. Orang itu ternyata seorang
wanita setengah baya, bermuka cantik dan tubuhnya ramping, mengenakan baju
berwarna merah muda, ang-kin kuning dan rambutnya disanggul cukup tinggi. Di
tangan kanannya tampak menggendong seorang anak lelaki berusia empat atau lima
tahun, yang duduk tenang-tenang walaupun si wanita berlari cepat dan gesit
sekali.
„Siapa dia?” tanya Ciu Pek
Thong, „Apa maksudnya datang kemari?”
Yo Ko juga heran, dia tidak
bisa menjawab karena Yo Ko pun tidak mengenal orang itu.
Tidak berselang lama, karena
wanita itu berlari dengan gesit sekali, telah tiba dihadapan Yo Ko dan Ciu Pek
Thong berada. Namun wanita setengah baya, yang masih terlihat sisa-sisa
kecantikan wajahnya itu, seperti tidak mengacuhkan Yo Ko dan Ciu Pek Thong yang
hanya diliriknya saja. Wanita itu membawa anak lelaki yang berada dalam
rangkulannya itu menghampiri kedua kuburan Ang Cit Kong dan Auwyang Hong.
Namun waktu melihat kedua
kuburan itu telah kosong dengan tanah yang berserakan, wanita setengah baya
tersebut mengeluarkan seruan tertahan, mukanya seketika menjadi pucat dan dia
berdiri mematung.
“Ma, apa yang terjadi?” tanya
anak lelaki itu dengan suara yang nyaring, rupanya dia heran melihat wanita
itu, yang dipanggilnya Ma (ibu) berdiri mematung begitu.
„Diam Phu-jie! Ada orang jahat
yang mengganggu ayahmu,” menyahuti wanita setengah baya itu dengan suara yang
mengambang.
Yo Ko dan Ciu Pek Thong hanya
mengawasi saja kelakuan wanita setengah baya itu dengan anak lelaki kecilnya
itu. Yo Ko dan Loo Boan Tong menjadi heran, karena kini jelas bahwa wanita itu
ingin menyambangi kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong. Siapakah wanita itu?
Masih ada hubungan apakah antara wanita itu dengan kedua orang yang telah
meninggal itu? Apakah dia kerabatnya Auwyang Hong? Atau memang wanita setengah
baya itu sanak familinya Ang Cit Kong? Yo Ko sama sekali tidak mengetahuinya.
Lama juga wanita itu mengawasi
kedua kuburan yang telah kosong itu, dan si anak lelaki kecil dalam
gendongannya, seperti juga mengerti akan perintah ibunya, selanjutnya diapun
hanya berdiam saja tidak bersuara. Selang sejenak lagi, wanita itu berjongkok
memeriksa kuburan Auwyang Hong yang telah kosong itu tanpa mengacuhkan kuburan
Ang Cit Kong.
Melihat ini, menunjukkan bahwa
wanita tersebut memiliki hubungan dengan Auwyang Hong, tetapi pernah apakah
wanita setengah baya itu dan si anak lelaki kecil itu, dengan Auwyang Hong.
Tadi wanita setengah baya itu
menyebut-nyebut ayah, apakah wanita setengah baya itu maksudkan Auwyang Hong
ayah si anak lelaki kecil itu? Bukankah Auwyang Hong hanya memiliki seorang
anak, yaitu Auwyang Kongcu, yang telah meninggal? Dan juga, bukankah Auwyang
Hong telah meninggal banyak tahun? Tidak mungkin anak lelaki kecil yang baru
berusia kurang tebih lima tahun itu adalah puteranya Auwyang Hong. Lalu siapa
mereka itu?
Belum lagi Yo Ko dan Ciu Pek
Thong bisa memecahkan teka-teki yang membingungkan seperti itu, justru wanita
setengah baya itu telah menoleh dan berdiri menghadapi Yo Ko dan Ciu Pek Thong.
Tangan kanannya masih menggendong si anak lelaki kecil itu, tetapi matanya
menatap Yo Ko dan Ciu Pek Thong bergantian dengan memancarkan sinar yang sangat
tajam sekali.
„Hanya kalian berdua yang
berada di tempat ini,” kata wanita setengah baya itu dengan suara yang
menyeramkan sekali, bengis dan mengandung hawa pembunuhan. „Dan aku, Cek Tian
berani memastikan bahwa kalianlah yang telah merusak kuburan-kuburan itu.”
Yo Ko cepat-cepat merangkapkan
tangannya menjura. Namun berbeda dengan Yo Ko justru Ciu Pek Thong jadi gusar
bukan main ditatap begitu rupa oleh nyonya setengah baya tersebut dan juga
kata-katanya itu telah membuat Ciu Pek Thong mendongkol sekali.
„Ehhh, nyonya!” katanya dengan
suara nyaring. „Jangan seenaknya saja engkau menuduh orang! Kamipun bisa saja
menuduhmu yang telah merusak dan membongkar kuburan itu! Apakah dengan
beradanya kami disini engkau bisa menuduh yang tidak-tidak? Aku Loo Boan Thong
juga bisa menuduh engkau yang melakukannya, karena bukankah engkaupun berada
disini?”
Muka wanita itu jadi berobah
hebat waktu mendengar si kakek tua berjenggot panjang itu menyebut dirinya
sebagai Loo Boan Thong, bahkan mungkin karena terkejutnya dia telah mundur dua
langkah, memperhatikan Ciu Pek Thong dengan sorot mata yang jauh lebih tajam
dan juga sering beralih mengawasi Yo Ko, terutama tangan kanan Yo Ko yang telah
buntung itu, dimana lengan bajunya terjuntai kosong lemas tidak ada isinya
itu.....
„Hemm, engkau Loo Boan Tong
Ciu Pek Thong? Bagus! Dengan demikian, semakin kuatlah dugaanku bahwa kuburan
suamiku itu dirusak oleh kalian! Dan melihat tangan si buntung itu, mau kuduga
bahwa dialah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang menurut cerita orang dialah pendekar
nomor satu di bawah jagad ini! Benarkah itu?”
„Hujin (nyonya), aku yang rendah
Yo Ko tidak berani menerima pujian seberat itu, sedangkan itu hanya gurauan
dari sahabat-sahabatku saja…..!” kata Yo Ko dengan suara yang sabar, sedangkan
di hatinya Yo Ko tengah diliputi tanda tanya besar yang tidak terjawab mengenai
diri nyonya Ini. „Jika memang Hujin tidak keberatan, bolehkah kami mengetahui
she dan nama Hujin yang mulia. Dan..... masih pernah apakah antara Hujin dengan
Auwyang Ya-ya?”
Yo Ko membahasakan Auwyang
Hong dengan sebutan Auwyang Ya-ya (ayah she Auwyang), karena Yo Ko anak
angkatnya Auwyang Hong di muka orang-orang gagah Yo Ko menyebut Auwyang Hong
dengan sebutan Auwyang Pee-hu (paman Auwyang), tetapi karena melihat wanita
yang setengah baya ini seperti memiliki hubungan sesuatu dengan Auwyang Hong,
sengaja Yo Ko menyebutnya dengan Auwyang Ya-ya.
Muka wanita itu berobah.
„Auwyang Ya-ya? Jadi kau ingin maksudkan See-tok adalah kakekmu?” tegurnya
dingin dan bengis.
„Bukan kakek, tetapi ayahku.”
„Mengapa kau menyebutnya
dengan panggilan Ya-ya (engkong)? Engkau ingin mempermainkan aku?”
„Mana berani Yo Ko main-main
dengan Hujin? Aku bicara yang sesungguhnya, walaupun Kang-thia (ayah angkat) ku
itu senang mengambil aku sebagai anak angkatnya namun peradatannya tidak
disenangi, sehingga dia menganjurkan agar aku tidak memanggilnya dengan
Kang-thia, melainkan Ya-ya. Bahkan disaat-saat menjelang tutup usianya, Auwyang
Kang-thia telah meminta kepadaku agar memanggilnya atau menyebutnya kelak
dengan sebutan Pee-hu (paman) saja, karena menurut Kang-thia, bakti atau tidak
sama sekali, semua hanya tergantung di dalam hati, bukan merupakan bahasa
panggilan yang merupakan topeng belaka.”
Telah diceritakan dalam
Sin-tiauw-hiap-lu, di saat Auwyang Hong dan Ang Cit Kong bertempur, yang
akhirnya menyebabkan mereka meninggal. Di saat itu Yo Ko yang mendampingi kedua
tokoh persilatan itu.
Muka wanita itu telah berobah
hebat. Dia telah mendengus dingin. „Lalu siapa yang telah merusak makamnya?”
bentaknya dengan suara yang tetap bengis.
„Justru kamipun belum
mengetahuinya.....” menyahuti Yo Ko. ”Akupun tengah menyelidiki untuk membekuk
penjahat yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.”
Cek Thian, nyonya itu, telah
menghela napas. „Engko Hong! engko Hong! ternyata sampai di dalam tanahpun
engkau tidak bisa beristirahat dengan tenang dan selalu dimusuhi..... Akhhh,
nasibmu benar-benar harus dikasihani!”
Melihat wanita yang mengaku
bernama Cek Thian itu berkata-kata dengan suara yang mengandung kedukaan,
kekecewaan, perasaan mencinta yang luar biasa dalamnya, Yo Ko tadi teringat lagi
kepada isterinya yang baru saja lenyap tertawan lawan. Tanpa merasa menitik
butir-butir air mata kedukaan. Seperti diketahui Yo Ko memiliki perasaan yang
lembut sekali, selembut awan, dan keras sekeras baja.
Tentu saja Ciu Pek Thong pun
kelabakan melihat kedua orang yang tengah berduka itu, sehingga Loo Boan Tong
telah memandang Yo Ko dan Cek Thian berganti-gantian.
„Hai, hai, mengapa kalian
sama-sama menangis?” tegurnya, karena dia melihat Cek Thian, nyonya itu.
menitikkan air mata juga.
Di saat itulah, Cek Thian
telah menyusut air matanya, kemudian dia telah berkata kepada anak lelaki kecil
yang berada digendongannya. „Phu-jie (anak Phu), kuburan ayahmu telah dirusak
orang, turunlah, ibu ingin menghajar penjahat dulu.”
Anak lelaki itu seperti mengerti,
dia telah mengiyakan dan melompat turun dari tangan ibunya.
Yang membuat Yo Ko dan Ciu Pek
Thong jadi terkejut adalah gerakan anak lelaki itu. Usia anak itu baru lima
tahun, tetapi tubuhnya telah melompat turun dari tangan ibunya bagaikan segumpal
kapas yang ringan sekali, kedua kakinya waktu menyentuh tanah, tidak
menimbulkan suara sedikitpun. Hal itu tentu saja membuktikan bahwa anak lelaki
itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, walaupun tentu
saja diimbangi dengan bentuk tubuhnya yang kecil dan berat tubuhnya yang
ringan.
Begitu turun, anak lelaki itu
telah jongkok dan mencari-cari semut yang ada di atas permukaan tanah, untuk
lekas-lekas dipermainkankannya, seperti juga tidak mengacuhkan keadaan
sekitarnya, tidak mau memperdulikan Yo Ko, Ciu Pek Thong dan Cek Thian, ibunya
itu.
Wanita setengah baya itu telah
berdiri tegak dengan wajah yang muram memandang ke arah Yo Ko dan Ciu Pek
Thong. „Hemmm, engkau mengakui secara sembarangan bahwa Auwyang Hong adalah
ayah angkatmu, tetapi aku ingin mengetahui, apakah kau berani mempertanggung
jawabkan kelancanganmu itu? Apakah kau menduga bahwa aku tidak mengetahui semua
yang pernah dilakukan Engko Hong semasa hidupnya?”
Yo Ko berusaha bersikap tenang
dan sabar, walaupun nyonya itu tidak hentinya memaki-maki dia seperti itu.
Tetapi belum lagi dia menjawab Loo Boan Tong telah melompat ke depannya
menghadapi Cek Thian.
„Wanita busuk seperti kau ini
apa gunanya diajak bicara, karena engkau selalu bicara tidak keruan…..!” bentak
Ciu Pek Thong. „Jika engkau tidak mempercayai perkataan Yo Hiante lalu siapa
lagi yang ingin kau percayai?”
„Aku hanya percaya mata dan
diriku sendiri!” menyahuti Cek Thian. „Seperti hari ini, aku melihat sendiri
kuburan Engko Hong telah dibongkar seseorang, telah dirusak. Dan membuat arwah
Engko Hong tentunya tidak tenang! Hemmm, tetapi walaupun bagaimana tetap saja
aku tidak bisa melepaskan dugaan bahwa kalian yang telah merusak kedua kuburan
itu!”
Dan setelah berkata begita,
tahu-tahu si nyonya berjongkok dengan gerakan yang sangat gesit sekali, diapun
memperdengarkan suara „krokkkk, kroookkk”, lalu mendorong ke depan kedua
tangannya, ke arah Yo Ko dan Ciu Pek Thong!
„Ha-mo-kang!” teriak Yo Ko dan
Ciu Pek Thong terkejut bukan main.
Yo Ko merasakan samberan angin
serangan yang dahsyat luar biasa, walaupun dia terpisah beberapa tombak, tetapi
angin serangan dari Ha-mo-kang yang dilancarkan oleh nyonya itu menyesakkan
napasnya. Dengan cepat dia telah melompat tinggi sekali untuk menghindarkan
serangan itu, sedangkan Ciu Pek Thong telah melompat ke samping.
Karena tidak mengenai sasaran,
maka angin serangan tersebut menghantam sebungkah batu gunung, dengan
mengeluarkan suara benturan keras batu itu hancur remuk menjadi tumpukan abu.
Yo Ko dan Ciu Pek Thong disamping
heran juga jadi menggidik. Yo Ko menjadi heran melihat wanita setengah baya itu
menguasai ilmu tunggal Auwyang Hong demikian hebatnya, mungkin jika ingin
diperbandingkan tidak berada di sebelah bawahnya Auwyang Hong sendiri. Siapakah
wanita setengah tua itu? Tidak mungkin dia isteri Auwyang Hong, karena Auwyang
Hong telah meninggal puluhan tahun yang lalu.
Saat itu, Cek Thian ketika
melihat serangannya gagal karena berhasil dihindarkan oleh Yo Ko dan Ciu Pek
Thong, jadi semakin gusar. Dengan gerakan yang aneh, dia menggeser sedikit
kedudukan kakinya, dimana dia masih dalam posisi berjongkok seperti itu,
tahu-tahu kedua tangannya telah didorong pula ke arah Yo Ko dan, Ciu Pek Thong,
bahkan dari mulutnya telah mengeluarkan suara „Krokkk, krokkkk!” berulang kali.
Yang mengejutkan lagi, justru
kali ini Cek Thian melancarkan serangan dengan Ha-mo-kang nya itu bukan dengan
kedua tangan sekaligus, melainkan tangan kanannya mendorong ke arah Yo Ko.
sedangkan tangan kirinya mendorong ke arah Ciu Pek Thong. Dengan sendirinya,
hal ini telah membuat Yo Ko dan Ciu Pek Thong kagum bukan main, karena tenaga
serangan itu sama kuatnya seperti serangan pertama, walaupun sepasang tangan
itu dipisahkan.
Tetapi kali ini, Yo Ko tidak
berkelit lagi dia tetap berdiri di tempatnya. Dengan mempergunakan pukulan
Kie-an-gie-bie atau Mengangkat Meja sampai di Alis, tepat sekali Yo Ko mengibas
dengan lengan tangan kanannya yang kosong itu. Lengan jubah yang lemas itu
menimbulkan tenaga kibasan yang luar biasa kuatnya, karena Yo Ko telah
mengerahkan empat bagian tenaga dalamnya.
Dua kekuatan tenaga raksasa
saling bentur lalu dengan menerbitkan suara benturan keras keadaan di sekitar
tempat itu jadi tergetar. Tetapi Yo Ko kembali terkejut, sebab tubuh Cek Thian
sama sekali tidak bergeming. Dan Yo Ko merasakan tenaga pertahanan dari
Ha-mo-kang yang dimiliki Cek Thian kuat sekali. Sedangkan serangan tangan kiri
Cek Thian kepada Ciu Pek Thong telah dikelit oleh kakek tua jenaka itu. Namun
Ciu Pek Thong pun tidak tinggal diam, dia menganggap nyonya ini keterlaluan
sekali.
Dengan cepat Loo Boan Thong
melancarkan serangan membalas dengan telapak tangannya ke arah pundak Cek
Thian.
Tetapi Cek Thian dengan
gerakan yang aneh pula, dengan masih berjongkok pula, tahu-tahu melejit ke
samping, dia telah berpindah tempat. Dan tahu-tahu kedua telapak tangannya
mendorong ke arah Ciu Pek Thong. Itulah ilmu Ha-mo-kang tingkat kesembilan
serangan yang sangat hebat sekali.
Dan Yo Ko yang pernah
memperoleh pelajaran ilmu Ha-mo-kang dari Auwyang Hong mengetahui hebatnya
serangan itu. Dengan cepat dia telah menjejakan kakinya tangannya mendorong
tubuh Ciu Pek Thong sambil meneriakinya, „Ciu-toako mundur!”
Yo Ko melakukan hal itu karena
dia menyadari jika Ciu Pek Thong menyambuti, tentu setidak-tidaknya Loo Boan
Tong akan terluka di dalam karena tenaga gempuran Ha-mo-kang tingkat kesembilan
tersebut memiliki dua macam kekuatan keras dan lunak. Yang keras untuk
menghantam dan menggempur tenaga lawan yang mengunakan tenaga lawan yang keras.
Dan kini yang luar biasa, justeru Cek Thian telah mempergunakan sekali gus
kedua macam kekuatan itu.
Yo Ko mengenal sifat Ciu Pek
Thong yang selalu tidak pernah mengenal takut penasaran, maka Loo Boan Tong
pasti akan melancarkan tangkisannya. Itulah yang membuat Yo Ko berkuatir, kalau
Ciu Pek Thong tidak dapat bertahan dari gelombang hebat yang memiliki dua macam
kekuatan.
Ciu Pek Thong melihat Yo Ko
mendorongnya dan meminta dia menyingkir, jadi tertegun. Tetapi dia tidak mau
mengalah terhadap Cek Thian, sedangkan serangan wanita itu menyambar datang
akan mengenai dirinya, Tetapi Yo Ko yang mendorongnya dengan disertai lwekang
yang telah diperhitungkan, membuat tubuh Ciu Pek Thong bergoyang dan terhuyung
ke samping, sedangkan lengan kanannya yang kosong itu telah dikibaskan
menghantam ke arah tenaga serangan Ha-mo-kang Cek Thian.
Benturan yang terjadi diantara
kekuatan Cek Thian dengan Yo Ko tidak menimbulkan suara apa-apa. Tetapi
sesungguhnya benturan kekuatan tenaga itu menghadang seekor gajah, maka gajah
itu akan binasa dengan tubuh yang hancur. Dan jika saat itu benturan tersebut
tidak mengeluarkan suara benturan yang keras, hal itu memperlihatkan bahwa di
saat itu Yo Ko berhasil menindih kekuatan Ha-mo-kang yang dilancarkan oleh Cek
Thian.
Kenyataan seperti itu tentu
saja membuat Cek Thian gusar sekali, dia merasakan tenaganya seperti tenggelam
ke dalam lautan. Dengan mengeluarkan seruan keras, dia tidak menarik pulang
tenaga serangannya, hanya dengan mengibaskan ke samping, lalu mendorong lagi,
serangan pertama itu telah dibantu oleh dorongan tenaga kedua. Maka bisa
dibayangkan serangan yang kali ini dilancarkan oleh Cek Thian.
Yo Ko terkejut sekali, dia
mengeluarkan seruan tertahan. Saat itu dia baru saja mendorong Ciu Pek Thong,
setidak-tidaknya dia telah memecahkan perhatian dan tenaga dalamnya, membuat
dia tidak sepenuhnya dapat menangkis serangan itu.
Dan kini serangan kedua telah
tiba, mendorong tenaga serangan pertama yang belum lenyap keseluruhannya,
membuat Yo Ko terancam bahaya yang tidak kecil. Tetapi diwaktu kecil Yo Ko
pernah memperoleh didikan Auwyang Hong, bahkan kini yang tengah dihadapinya
adalah sesuatu ilmu terhebat dari Auwyang Hong sendiri, yang dilancarkan oleh
Cek Thian.
Dalam keadaan yang terdesak
begitu maka Yo Ko tidak menjadi gugup. Dengan cepat sekali dia telah
menggerakkan pinggangnya, tahu-tahu sepasang kakinya telah terangkat dan
kepalanya langsung menempel di tanah, dia jadi berdiri di atas kepalanya dan
kedua kakinya itu tergantung di tengah udara. Lalu dengan tubuh yang berputar
seperti gasing tahu-tahu tangan Yo Ko meluncur ke depan ke arah Cek Thian,
menangkis serangan yang di lancarkan oleh wanita setengah baya itu.
Bukan main dahsyatnya
tangkisan yang dilakukan oleh Yo Ko, karena disamping Yo Ko juga mempergunakan
ilmu Ha-mo-kang, juga dia memiliki lwekang yang sudah mencapai puncak
kesempurnaan, yang sulit untuk diukur lagi. Angin tangkisan yang dilakukannya
begitu halus, tetapi memiliki tenaga menolak yang dahsyat sekali.
Dengan mengeluarkan seruan
kaget, Cek, Thian tahu-tahu telah terpental, tubuhnya terapung ke tengah udara.
Nyonya setengah baya itu berusaha berjumpalitan di tengah udara, tetapi
usahanya itu gagal. Hal itu disebabkan tenaga menolak yang ke luar dari telapak
tangan tunggal yang kiri dari Yo Ko telah menghantamnya kuat sekali, karena
disamping tenaga dalam Yo Ko sendiri, juga tenaga serangan Cek Thian telah
terbalik menghantam majikannya. Tanpa ampun, tubuh Cek Thian rubuh bergulingan
di atas tanah.
Yo Ko telah melompat berdiri
dengan kedua kakinya pula, dia telah menghampiri Cek Thian yang duduk bersila
di tanah, karena wanita setengah baya itu tidak bisa cepat-cepat berdiri,
tubuhnya dirasakan kaku sebagian akibat gempuran yang diterimanya dari Yo Ko.
„Hujin, maafkan aku terpaksa
menurunkan tangan agak keras. Apakah kau terluka?” tanyanya halus.
Nyonya setengah baya itu
mendelik, tetapi kemudian menundukkan kepalanya. Beberapa butir air mata telah
menitik turun ke tanah, merembes ke dalam tanah, lenyap. Tetapi tidak terdengar
suara tangisan nyonya setengah baya itu, tampaknya dia menitikan air mata
dengan kedukaan yang sangat.
Yo Ko melihat nyonya setengah
baya menangis, jadi ikut berduka. Dia bisa membayangkan, betapa penasaran
nyonya itu, karena justeru di saat dia mempergunakan Ha-mo-kang, ilmu yang
sangat sakti ini, malah telah dirubuhkan oleh ilmu serupa itu pula.
Yo Ko telah mengulurkan
tangannya untuk merabah nadi di tangan si nyonya setengah baya, tetapi belum
lagi berhasil memegang pergelangan tangan Cek Thian, tangannya telah dikibaskan
sehingga Yo Ko mundur.
„Kurang ajar..... kau telah
merubuhkan aku sekarang kau ingin berbuat kurang ajar menghinaku pula, heh…..?”
bentak nyonya setengah baya itu dengan suara yang bengis.
07.13. Teka Teki Surat
Undangan . . . . .
Yo Ko jadi terkejut,
cepat-cepat dia menjura memberi hormat.
„Mana berani aku melakukan
perbuatan kurang ajar kepada hujin?” katanya cepat. „Tadi..... aku hanya
bermaksud untuk memberikan bantuan jikalau hujin terluka di dalam.”
Nyonya itu telah mendengus
dingin, dia kemudian menoleh kepada kuburan Auwyang Hong yang telah dibongkar
seseorang dan kosong itu, tatapan matanya mendelong dan nanar seperti tidak
mengandung perasaan. Kasihan kepada nyonya tersebut. Baru saja dia ingin
mengeluarkan kata-kata hiburan, menyenangkan hati nyonya itu, Cek Thian telah
melompat berdiri. Namun, tubuhnya masih bergoyang-goyang seperti akan rubuh dan
di saat itu Phu-jie telah menghampiri ibunya.
„Ma, kenapa kau?” tanya anak
lelaki itu dengan suara kuatir. „Apakah kau dihina si buntung itu?” kata-kata
yang terakhir itu ditujukan untuk Yo Ko, diapun telah mengawasi Yo Ko dengan
mata mendelik.
Tentu saja Yo Ko dan Ciu Pek
Thong jadi mendongkol bukan main, tetapi mereka tidak bisa marah kepada anak
kecil itu.
„Mari kita pergi, Phu-jie,
nanti kita cari penjahat yang telah menghina ayahmu.....! Urusan ini harus
diselesaikan, penasaran ayahmu harus dibereskan…..!” dan nyonya setengah umur
itu telah berlalu sambil menuntun tangan anak lelaki itu, memutar tubuhnya dan
melangkah dengan tubuh yang bergoyang-goyang seperti akan rubuh.
Yo Ko jadi mengawasi dengan
pandangan mata tertegun, dia juga menghela napas berulang kali. Yo Ko pun
mengetahui bahwa nyonya itu tentu telah terluka di dalam akibat menerima
gempurannya, namun nyatanya nyonya itu keras hati dan angkuh, tidak mau dia
menerima budi Yo Ko, sehingga dia menolak maksud baik Yo Ko yang ingin
membantunya dengan mempergunakan lwekang untuk memulihkan kesehatannya.....
,,Dia hebat sekali
kepandaiannya, dan juga ilmu yang digunakannya sama dengan yang pernah digunakan
See-tok semasa hidupnya! Siapakah dia sebenarnya? Bukankah See-tok telah mampus
cukup lama?” berkata Ciu Pek Thong sambil geleng-geleng kepalanya.
„Entah siapa nyonya dan anak
itu! Keadaan mereka luar biasa sekali! Menilai kepandaian yang dimilikinya, dia
pasti bukan orang sembarangan, lebih-lebih dia memiliki kepandaian turunan dari
keluarga Auwyang, jelas dia masih memiliki hubungan yang rapat dengan ayah
angkatku. Tetapi siapakah dia? Mengapa aku belum pernah bertemu? Dan mengapa di
saat dia mengetahui bahwa aku Yo Ko, segera sikapnya begitu garang dan
melancarkan serangan-serangannya yang mematikan tanpa mengenal kasihan?”
Tetapi semua tanda-tanya itu
hanya sempat bersarang di hati Yo Ko dan Ciu Pek Thong, karena mereka berdua
tidak berhasil menjawabnya.
Sedangkan saat itu, udara
mulai panas dan terik, karena cahaya matahari semakin panas dan hari sudah
menjelang lohor.
Yo Ko dan Ciu Pek Thong
menantikan kedatangan It-teng Taysu dan jago-jago lainnya yang menjadi sahabat
mereka di kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong, yang telah kosong.
◄Y►
It-teng Taysu yang telah
berlari-lari sekian lama, akhirnya berhasil mencapai kota Tiang-lu-kwan. Waktu
itu hari sudah mendekati fajar dan sudah banyak penduduk kota yang terbangun
dari tidurnya dan bersiap-siap untuk berangkat ke tempat pekerjaan mereka.
Namun It-teng Taysu tidak
berhasil mencari Tiat To Hoat-ong. Bahkan ketika It-teng Taysu menanyakannya
kepada beberapa orang penduduk, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya,
Akhirnya, dengan putus asa It-teng Taysu telah memasuki sebuah rumah makan, dia
memesan dua kati air teh, dan menangsal perut dengan bak-pauw tanpa isi.
Di saat It-teng Taysu tengah
menghirup air tehnya, di saat itulah dia mendengar suara orang berkata, „Engko
Ceng, kita mengasoh disini saja dulu, besok baru kita lanjutkan pula perjalanan
kita. Kukira masih belum terlambat untuk mencapai Hoa-san tepat pada waktunya.”
Tentu saja It-teng Taysu
girang luar biasa karena dia mengenali bahwa suara itu adalah suara si nyonya
nakal Oey Yong, Kwee Hujin. Dan dengan sebutan „Engko Ceng” itu, jelas Oey Yong
tengah bercakap-cakap dengan Kwee Ceng.
Benar juga dugaan It-teng
Taysu, dari luar melangkah masuk Oey Yong dan Kwee Ceng.
Kedua orang tersebut juga
kaget bercampur girang waktu melihat It-teng Taysu. Mereka telah cepat-cepat
menghampiri dan memberi hormat, yang cepat-cepat dibalas oleh It-teng Taysu.
„Taysu, apakah keadaanmu
selama ini baik-baik saja?” tanya Oey Yong sambil tersenyum. „Tampaknya Taysu
sekarang agak gemuk sedikit dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu!”
„Siancay! Itulah berkat berkah
Sang Buddha!” kata It-teng Taysu sambil tersenyum lebar. „Tetapi, ai, ai,
sungguh memang aku si tua It Teng tidak diijinkan untuk hidup tenteram menganut
penghidupan yang tenang damai. Akhir-akhir ini telah muncul urusan besar yang
memaksa aku harus mencampurinya pula.”
Dan setelah berkata begitu,
It-teng Taysu menghela napas sambil mengawasi Kwee Ceng dan Oey Yong
bergantian. Lalu katanya, „Dan kalian berdua, sesungguhnya ingin pergi ke
mana?”
Kwee Ceng dan Oey Yong
memperlihatkan sikap seperti keheranan, mereka saling pandang, dan Kwee Ceng
yang tidak pandai berkata-kata, hanya berdiam diri dengan memandangi It-teng
Taysu saja, tetapi Oey Yong telah menyahuti,
„Bukankah Taysu yang telah
mengundang kami agar segera datang ke Hoa-san?”
It-teng Taysu menatap tertegun
mendengar pertanyaan Oey Yong, kemudian menepuk lututnya perlahan. „Akhhh,
inilah aneh! Aneh sekali…..” kata It-teng Taysu.
Oey Yong cerdik luar biasa
segera menyadari bahwa di dalam persoalan ini pasti terdapat sesuatu yang agak
luar biasa. „Apakah Taysu tidak merasa pernah mengirim surat kepada kami?”
tanya Oey Yong tidak bisa menahan sabar.
Hweshio tua dari selatan itu
telah menggeleng-gelengkan kepalanya.
„Inilah urusan yang aneh
sekali!” kata It-teng Taysu. „Siauw-ceng belum pernah mengirim surat kepada
siapapun selama tiga tahun terakhir ini, bahkan sebulan yang lalu Lolap
menerima sepucuk surat dari Oey Lo-shia yang meminta agar Lolap mau datang ke
Hoa-san untuk menyelesaikan suatu urusan yang cukup penting.”
„Akhh?” Oey Yong mengeluarkan
seruan kaget mendengar nama ayahnya, Oey Yok Su disebut-sebut. „Jadi..... surat
yang kami terima itu ditulis oleh siapa?”
„Maksudmu surat yang diterima
oleh kalian itu ditanda tangani oleh Lolap?” tanya It-teng Taysu.
Oey Yong mengangguk, Kwee Ceng
mengiyakan.
„Aneh sekali! Lolap tidak
merasa pernah mengirim surat kepada kalian! Jika kalian menerima sepucuk surat
Lolap tentunya kalian bisa mengenali huruf-huruf itu ditulis oleh lolap atau
bukan?”
„Justru kami telah
memperhatikan dengan cermat huruf-huruf itu, satu hurufpun surat itu tidak
mendatangkan kecurigaan, bahkan kami mengenali tulisan Taysu.”
It-teng Taysu menyebut
kebesaran Sang Buddha beberapa kali, sedangkan Kwee Ceng telah mengeluarkan
sepucuk surat lalu diberikan kepada It-teng Taysu. Si pendeta tua dari Selatan
itu telah menyambuti dan membaca surat itu, lalu memperhatikan huruf-huruf yang
terdapat di kertas itu.
It-teng Taysu jadi memandang
bengong surat tersebut, karena justru dia mengenali huruf-huruf di atas kertas
itu adalah hasil tulisannya, tidak ada perbedaannya. Tetapi yang lebih aneh
lagi justru dia tidak pernah menulis surat seperti itu. Tanda tangannya pun
sama serta tidak ada bedanya baik garisnya, maupun tekukan-tekukan huruf itu.
„Luar biasa! Siapa yang telah
sedemikian liehay memalsukan surat dengan memakai nama lolap?” menggerutu si
pendeta dari Selatan.
„Jadi surat itu memang bukan
ditulis oleh Taysu?” tanya Oey Yong menegasi.
It-teng Taysu menggeleng
perlahan, dan dia memandang keluar jendela. „Inilah aneh, surat ini bukan
ditulis olehku tetapi ada seseorang yang telah menjual namaku dan memalsukan
huruf-huruf yang begitu sama dengan tulisanku! Luar biasa sekali, siapakah
orangnya itu?”
Oey Yong dan Kwee Ceng jadi
tertegun dan mengawasi si pendeta dengan tatapan mata mengandung tanda tanya.
„Lolap pun menerima sepucuk
surat yang bunyinya hampir serupa dengan ini, tetapi ditulis oleh ayahmu, Kwee
Hujin.....” kata It-teng Taysu. Dan Lam-ceng telah merogoh sakunya,
mengeluarkan sepucuk surat, yang diangsurkan kepada Kwee Ceng, dan Oey Yong
ikut membacanya. Bunyi surat itu hampir mirip dengan surat yang diterima oleh
Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya saja huruf-huruf surat itu ditulis oleh Oey Yok
Su.
Oey Yong dan Kwee Ceng kenal
dengan baik tulisan Oey Lo-shia, maka dari itu tidak mengherankan jika mereka
menjadi kaget dan heran. „Apakah mungkin ayah yang sengaja telah bergurau?”
berpikir Kwee Hujin. Tetapi Oey Yong mengetahui benar tabiat ayahnya, Oey Lo-shia,
si sesat tua, tidak mungkin Oey Yok Su bergurau dengan cara demikian.
„Huruf-huruf surat itu ditulis
oleh Oey Lo-shia bukan?” tanya It-teng Taysu setelah melihat Oey Yong dan Kwee
Ceng selesai membaca surat itu.
„Benar..... tetapi……” suara
Oey Yong jadi tidak lancar. Dia sesungguhnya sangat cerdik, (seperti di dalam
Sia-tiauw Eng-hiong, Sin-tiauw Hiap-lu, telah diceritakan kecerdikan Oey Yong
yang selalu berhasil memecahkan berbagai persoalan yang berat bagaimanapun),
tetapi menghadapi persoalan tersebut, tidak dapat Oey Yong segera memutuskan
karena menyangkut urusan ayahnya.
„Tetapi kenapa?” tanya Kwee
Ceng yang melihat isterinya seperti ragu-ragu.
„Aku yakin surat ini bukan
ditulis oleh ayah!” kata Oey Yong kemudian. ,,Coba kau lihat Engko Ceng, apakah
surat ini sesungguhnya ditulis oleh ayah?”
Kwee Ceng yang polos telah
mengangguk. „Jika dilihat dari huruf-hurufnya memang tulisan ayah…..!” katanya.
„Akhh.....” Oey Yong mengeluh
jengkel. „Justru huruf-huruf menyerupai tulisan ayah, tetapi aku yakin bahwa
surat ini bukan ditulis oleh ayah! Hanya saja orang yang membuat surat ini
hebat sekali, dia bisa memalsukan huruf-huruf ayah dengan baik sekali, tanpa
ada sedikitpun yang salah!”
„Aneh sekali..... apakah kau
mau mengartikan bahwa surat itu surat palsu?” tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengangguk.
„Ya, menurut Lolap juga
demikian. Setelah melihat surat kalian, yang merupakan surat palsu, yang
menjual nama Lolap, berarti ada sekelompok orang yang bermaksud untuk
mempermainkan kita!”
„Benar!” mengangguk Oey Yong
cepat. „Jika kita memperbandingkan dengan peristiwa yang kita alami ini, Taysu,
tentunya kedua surat ini ditulis oleh tangan yang sama, hanya yang satu menjual
nama Taysu, sedangkan yang lainnya menjual nama ayah!”
„Tetapi, apa maksud orang itu
dengan perbuatannya ini?” tanya It-teng Taysu sambil mengerutkan alisnya. „Dan
apa maksudnya dengan perkataannya bahwa di Hoa-san baru akan dijelaskan duduk
persoalan dari peristiwa yang besar dan penting itu?”
Oey Yong tidak bisa menjawab
dia tampak seperti berpikir keras. Sampai akhirnya dia menepuk meja. “Aku
tahu!” kata Oey Yong kemudian.
Tetapi nyonya Kwee itu tidak
meneruskan perkataannya, sehingga Kwe Ceng jadi tidak sabar dan bertanya, „Tahu
apa?”
„Tentu ada seseorang yang
tengah mempersiapkan suatu perangkap untuk menjerat golongan kita, yang
khususnya ditujukan kepada Ngo-ciat!”
„Hemm,” Kwee Ceng telah
mendengus. „Tetapi dengan diundangnya kita ke Hoa-san, walaupun disana telah
dipasang jebakan yang hebat sekali, dengan jala langit dan jala bumi, apakah
Ngo-ciat akan jeri?”
Benar Ngo-ciat tidak jeri,
tetapi orang yang sengaja memalsukan nama ayah dan It-teng Taysu, jelas telah
memperhitungkan segalanya. Orang itu tentu telah mengetahui siapa Ngo-ciat dan
betapa sempurna kepandaiannya yang jelas akan diperhitungkannya dengan masak.
Tetapi disamping itu, tentunya orang tersebut telah memiliki kepandaian yang
hebat, telah memasang perangkap dan telah diperhitungkannya dengan masak,
sehingga dia tidak jeri untuk memancing Ngo-ciat. Jika dugaanku ini benar,
tentunya Ko-jie dan Siauw Liong Lie akan diundang pula. Entah undangan itu
dengan menjual nama siapa……?”
It-teng Taysu mengerutkan
sepasang alisnya dan dia merasakan bahwa urusan yang tengah mereka hadapi itu
bukanlah urusan yang bisa diremehkan.
Untuk sementara, ketiga orang
tersebut berdiam diri, karena masing-masing tenggelam dalam pikirannya
masing-masing. Sedangkan It-teng Taysu sekali-kali meneguk tehnya
perlahan-lahan.
Tiba-tiba Oey Yong telah
berkata lagi, „Engko Ceng, apakah kau sudah bisa menduga siapa yang melakukan?”
Kwee Ceng menggeleng. „Dan kau
sudah mengetahuinya?” tanya si suami sambil mengawasi Oey Yong dengan penuh
tanda tanya.
Oey Yong mengangguk. „Tetapi
aku belum berani memastikan secara keseluruhannya!” menyahuti Oey Yong
„Siapa?” tanya It-teng Taysu
dan Kwe Ceng hampir serentak.
„Nanti akan kujelaskan
sekarang lebih baik kita memperhatikan dulu kedua surat ini, mencari persamaan
diantara huruf-huruf itu!”
Dan tanpa menantikan
persetujuan kedua orang itu. Oey Yong telah membeber kedua surat tersebut
dipermukaan meja. Dengan tekun, Oey Yong telah meneliti kedua pucuk surat itu.
It-teng Taysu hanya mengawasi saja, sedangkan Kwee Ceng ikut memandangi surat
itu, tetapi pikirannya yang polos serta sederhana tidak bekerja seperti yang
dikehendakinya. Dia tidak menemui sesuatu persamaan dari kedua surat itu, yang
bisa membuktikan bahwa penulis kedua surat itu hanya satu orang.
Tetapi berbeda dengan Oey
Yong, sejak kecil nyonya ini cerdik luar biasa disamping sangat nakal. Diapun
telah memperhatikan dengan penuh ketekunan sekali, dan akhirnya setelah
memperhatikan selama seperminum teh, tiba-tiba Oey Yong menepuk pinggir meja.
„Aku telah menemuinya!”
serunya girang.
Kwee Ceng dan It-teng Taysu
mengawasinya menunggu keterangan dari Oey Yong. Tetapi Oey Yong telah
menundukkan kepalanya pula, dia masih terus meneliti kedua surat tersebut.
Tentu saja Kwee Ceng dan
It-teng Taysu jadi tidak sabar, mereka jadi tegang sendirinya. Bahkan Kwee Ceng
yang sudah tidak berhasil menahan hati maupun perasasaan ingin tahunya, telah
bertanya, „Yong-jie kau telah menemui apa?”
„Tunggu dulu.....” menyahuti
Oey Yong tanpa menoleh dan terus juga mengawasi kedua surat itu. Sampai
akhirnya dia menghela napas dengan lega dan duduk lurus.
„Nah kini coba kalian lihat,
setiap huruf „She” (persoalan) terdapat persamaan yang tidak bisa dilenyapkan,
walaupun huruf „She” yang satu memakai garis coretan huruf It-teng Taysu,
sedangkan „She” lainnya memakai coretan gaya tulisan ayah.”
Kwee Ceng dan It-teng Taysu
segera mengawasi. Tetapi setelah mengawasi sekian lama, mereka tidak bisa
melihat adanya persamaan di antara kedua huruf itu. It-teng Taysu hanya
mengerutkan alisnya sambil berdiam diri saja. Tetapi tidak demikian dengan Kwee
Ceng.
„Di bagian mananya yang
bersamaan…..?” tanyanya kemudian.
Oey Yong tertawa, sambil
mengulurkan tangannya untuk menunjuk. Ternyata yang ditunjuk oleh Oey Yong
adalah garis lekukkan kedua dari huruf „She” tersebut.
Kwee Ceng memperhatikannya
dengan seksama dan akhirnya dapat juga dilihatnya persamaan yang dimaksud oleh
Oey Yong, yaitu setiap sudutnya membulat dengan di tengahnya terdapat sebuah
titik kecil.
„Akhhh!” Kwee Ceng
mengeluarkan seruan perlahan. „Ternyata kedua surat itu memang ditulis oleh
tangan yang sama.”
It-teng Taysu menghela napas.
„Persoalan ini yang kita hadapi bukan persoalan yang mudah, pasti di dalam
persoalan ini terselip urusan yang luar biasa,” katanya. ,,Untuk memperoleh
kepastian. kita harus cepat-cepat pergi ke Hoa-san untuk melihat apa sesungguhnya
yang terjadi! Dan baru-baru ini Lolap baru saja mengalami suatu peristiwa yang
cukup mengherankan.”
Dan It-teng Taysu lalu
menceritakan pengalamannya yang telah bertemu dengan Tiat To Hoat-ong, telah
bertempur dengannya, dan telah mengetahui pula bahwa tawanan Tiat To Hoat-ong
tidak lain dari Siauw Liong Lie, isteri Yo Ko dan juga Sin-tiauw.
Oey Yong dan Kwee Ceng jadi
gusar, kumis Kwee Ceng seperti berdiri. „Akhhh, mereka ternyata telah mengirim
orangnya untuk membuat huru hara dan onar lagi di Tiong-goan!” menggumam Kwee
Ceng perlahan, yang dimaksudkannya dengan „meraka,” adalah bangsa Mongolia.
Oey Yong seperti berpikir
keras, akhirnya dia telah memukul perlahan ujung meja. „Pasti peristiwa
penculikan Siauw Liong Lie dengan surat ini ada hubungannya….. Mari kita
cepat-cepat berangkat, mungkin kita bisa memperoleh jawabannya di Hoa-san!”
Kwee Ceng dan It-teng Taysu
menyetujui usul Oey Yong, mereka segera berangkat meninggalkan Tiang-lu-kwan
melakukan perjalanan cepat menuju Hoa-san.
Hoa-san tidak jauh lagi dari
Tiang-lu-kwan, setelah melakukan perjalanan satu hari satu malam tibalah
It-teng Taysu bertiga di kaki gunung itu. Waktu itu langit mulai gelap karena
malam akan segera menjelang datang. Tetapi ketiga orang gagah tersebut
melakukan perjalanan mereka dengan cepat mendaki gunung itu.
Ketika mereka tiba di dekat
kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong, di saat itu It-teng Taysu telah
mendengar suara berkeresek yang perlahan, waktu pendeta tua tersebut menoleh,
tampak dua sosok tubuh berdiri tidak jauh dari tempatnya berada.
Oey Yong dan Kwee Ceng juga
telah melihat kedua sosok tubuh itu, dan mereka bertiga jadi girang sekali.
„Yo Ko!” berseru Oey Yong
girang. „Dan kau Loo Boan Tong?”
Memang kedua orang itu tidak
lain dari Yo Ko dan Ciu Pek Thong. Keduanya juga girang bertemu dengan ketiga
orang gagah ini, mereka telah maju memberi salam kepada It-teng Taysu bertiga.
„Kami memang tengah menantikan
Taysu,” kata Yo Ko kemudian. “Hanya sayang, telah terjadi peristiwa yang kurang
menggembirakan didiri kami..... Liong-jie telah dicelakai oleh seseorang!”
Yo Ko segera menceritakan
pengalamannya, sehingga menambah perasaan heran ketiga orang itu. Begitu pula
Yo Ko dan Ciu Pek Thong yang tambah heran waktu It-teng Taysu menjelaskan bahwa
surat undangan yang diterima Yo Ko bukan ditulis olehnya. Dan Oey Yong juga
membantu membenarkan keterangan It-teng Taysu.
„Lalu siapa yang menulis surat
itu?” tanya Yo Ko seperti kepada dirinya sendiri. „Apakah dalam persoalan ini
terselip urusan yang luar biasa?”
„Siancay!” It-teng Taysu telah
memuji kebesaran Buddha. „Jika kita menduga-duga, urusan itu memang masih
gelap, tetapi kita tunggu saja peristiwa apa yang akan muncul, bukankah besok
adalah hari yang dijanjikan?”
Yang lainnya setuju. Dan
It-teng Taysu, Oey Yong dan Kwee Ceng jadi gusar sekali waktu melihat betapa
kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong telah dibongkar orang. Kumis It-teng
Taysu yang telah memutih itu jadi bergerak-gerak, pendeta tua ini menjadi
murka, berulang kali dia menyebut „Omitohud” perlahan sekali.
Malam itu dilewati orang-orang
gagah ini dengan hati jengkel diliputi kegelisahan juga, dan mereka tidak
banyak bercakap-cakap. Hanya mereka bertekad, jika saja mereka berhasil
mengetahui orang yang membongkar kuburan itu, tentu mereka akan memberikan
hajaran keras kepadanya. Semuanya memiliki dugaan yang hampir sama, yaitu
dugaan bahwa di dalam persoalan ini pasti ada sangkut pautnya dengan Tiat To
Hoat-ong.
It-teng Taysu juga telah
menceritakan pengalamannya bertemu dengan Tiat To Hoat-ong sehingga Yo Ko gusar
bercampur kuatir. Gusar kepada pendeta yang liehay itu, berkuatir terhadap
keselamatan isteri dan Sin-tiauwnya.
Malam itu lewat dengan cepat,
dan keesokan harinya, mereka diliputi ketegangan, karena hari inilah dimana
persoalan tersebut akan terjawab.
Yo Ko dan Ciu Pek Thong sering
memandang ke bawah gunung, tetapi semuanya sepi dan tidak terlihat seorang
manusiapun juga. Suasana begitu lenggang. Dan Yo Ko jadi bertambah berkuatir,
kalau hari ini urusan tidak terjawab, dan orang yang sengaja mengundang mereka,
atau tepatnya memancing mereka, untuk datang ke Hoa-san itu tidak
memperlihatkan diri, berarti kian terlambat saja dia ditinggal Tiat To
Hoat-ong. Yang dikuatirkan Yo Ko justru kalau Tiat To Hoat-ong membawa Siauw Liong
Lie ke Mongolia! Sin-tiauw Tayhiap ini telah bertekad bulat, walaupun ke ujung
langit sekalipun, dia akan mengejar pendeta Mongolia itu.
Mendekati lohor masih tidak
terjadi sesuatu, dan orang-orang gagah tersebut mulai tidak sabar. Terlebih Ciu
Pek Thong yang sudah tidak bisa duduk diam. Sebentar-sebentar dia telah
mengawasi ke arah lobang kuburan kosongnya Auwyang Hong dan Ang Cit Kong.
Semua pengalaman yang telah
dialami oleh orang-orang gagah itu diliputi tanda tanya dan belum bisa
terjawab, keanehan dari peristiwa yang mereka alami itu benar-benar membuat
mereka tidak mengetahui sesungguhnya urusan apa yang akan terjadi.
Sedangkan Kwee Ceng dan Oey
Yong memiliki urusan tersendiri pula, pengalaman yang cukup mengherankan. Waktu
mereka berada di Kam-siok dalam perjalanan menuju ke Hoa-san untuk memenuhi
undangan „surat” yang dikirim It-teng Taysu itu, justru mereka telah bertemu
seorang lelaki tua kurus seperti gala yang tubuhnya selalu bergoyang-goyang
jika tengah berjalan. Orang itu mengenakan pakaian yang sederhana, tetapi
matanya yang seperti mata tikus itu memancarkan sinar yang tajam, sehingga
menimbulkan kecurigaan Oey Yong.
Dan justeru di saat Oey Yong
dan Kwee Ceng berada di kamar penginapannya, mereka baru mengetahui bahwa
barang mereka di dalam kamar telah lenyap! Keruan saja Oey Yong dan Kwee Ceng
gusar. Mereka segera keluar dari kamar mereka, dan melihat lelaki kurus
jangkung itu, yang mereka curigai sebagai pencurinya, tengah melangkah akan
pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong
meneriakinya agar dia menghentikan langkahnya, tetapi malah orang itu
mempercepat larinya, sehingga pasangan suami isteri itu cepat-cepat
mengejarnya. Yang luar biasa, ilmu meringankan tubuh orang itu sempurna sekali,
walaupun Kwee Ceng dan Oey Yong telah mengejarnya terus, namun mereka tidak
berhasil menyandaknya, bahkan akhirnya mereka telah kehilangan jejak.
Yo Ko dan yang lainnya waktu
mendengar cerita pengalaman Kwee Ceng dan Oey Yong jadi tambah heran, mereka
tidak bisa menduga-duga siapa orang yang kurus jangkung itu, karena waktu Oey
Yong menggambarkan bentuk muka orang itu, dan potongan tubuhnya, mereka
merasakan bahwa orang tersebut bukan orang daratan Tiong-goan!
Di saat mereka tengah
bercakap-cakap seperti itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara siulan yang
nyaring, melengking tinggi sekali, kemudian disusul dengan suara Seruling yang
terdengar dibawa oleh desiran angin. Muka Yo Ko dan yang lainnya jadi berobah,
mereka cepat-cepat bersiap, bahkan Ciu Pek Thong telah memandang ke bawah
gunung. Suara seruling dan siulan itu hebat sekali! karena mengandung tenaga
dalam yang telah sempurna,
Dan hebat pula ilmu
meringankan tubuh dari orang yang mengeluarkan suara siulan dan suara seruling
itu, karena tidak lama kemudian begitu suara siulan dan seruling itu berhenti,
sudah terlihat orangnya, dan dengan beberapa kali lompatan, tahu-tahu telah
berdiri di atas reruntuhan bong-pay Auwyang Hong dan Ang Cit Kong, dua orang
yang berpakaian yang aneh sekali! Yang satu memiliki wajah yang hitam seperti
pantat kuali, tubuhnya gemuk pendek, dengan matanya yang mencilak memandang
sekelilingnya sambil tidak hentinya memperdengarkan suara tertawa yang tidak
sedap didengar. Dia berpakaian aneh sekali hanya memakai baju bulu Tiauw yang
pendek, sebatas lututnya rambutnya juga digelung tinggi.
Keadaan orang itu memang sudah
agak luar biasa, tetapi yang lebih luar biasa lagi adalah yang seorangnya lagi,
yang di tangan kanannya menggerak-gerakkan seruling pendek bercagak dua. Orang
ini bertubuh tinggi, kulitnya putih, matanya sipit seperti mata elang giginya
tonggos dan telinganya lebar. Pakaiannya sama dengan kawannya terbuat dari bulu
Tiauw yang berwarna putih, diapun tengah mengeluarkan tertawa sambil menyapu
orang gagah dihadapannya dengan tatapan mata yang tajam sekali.
It-teng Taysu telah maju dua
langlah, dan merangkapkan kedua tangannya, ujarnya, „Siancay, Siancay, siapakah
jie-wie berdua?”
Kedua orang itu tidak segera
menyahuti, hanya si hitam pendek itu telah menggerakkan kaki kanannya, dia
telah menghentakkan ke sisi batu bong-pay yang diinjaknya, tanpa mengeluarkan
suara, sisa batu bong-pay itu tahu-tahu meluruk menjadi abu. Sedangkan si hitam
pendek telah melompat berdiri di atas tanah datar.
Yo Ko dan yang lainnya
terkejut, dengan perbuatannya itu si pendek hitam telah memperlihatkan bahwa
tenaga dalamnya sempurna sekali.
Sedangkan si jangkung putih
telah tertawa terkekeh, kemudian dengan suara yang sumbang seperti suara
menyalaknya serigala dia telah berkata dengan nada Tiong-goan yang kaku sekali,
„Kami biasa disebut Hek Pek
Siang-sat (Sepasang Penjahat Hitam dan Putih). Kami datang dari Persia, telah
lama kami mendengar dan tertarik atas nama besar jago-jago daratan
Tiong-goan.....!” Setelah berkata begitu, sambil menatap tajam ke arah lengan
Yo Ko yang kanan, yang buntung dan hanya lengan jubahnya yang bergoyang-goyang
terhembus angin. Pek Siang-sat (Iblis Putih) itu telah melanjutkan perkataannya
yang semakin tidak enak didengar,
„Dan, engkau tentunya
Sin-tiauw Tayhiap, bukan?”
Yo Ko tertawa dingin, tidak
senang dia melihat sikap orang itu. Terlebih lagi dia tengah marah melihat Hek
Pek ini tadi berdiri di kedua sisa bong-pay dari Auwyang Hong dan Ang Cit Kong.
„Tepat!” menyahuti Yo Ko. „ada
keperluan apakah jie-wie datang kemari?”
„Untuk mengambil kepalanya
Ngo-ciat (lima jago)!” menyahuti si pendek hitam mewakili si Putih.
„Benar, untuk membawa pulang
lima batok kepala Ngo-ciat!” menambahkan si Putih, menimpali perkataan si
Hitam.
Ciu Pek Thong berjingkrak
karena gusar sekali. „Baik! Baik! Akulah salah seorang diantara Ngo-ciat itu!
Mari, mari kita coba-coba siapa yang tinggi dan siapa yang rendah!”
07.14. Siasat Jahat Kaisar
Mongol
Dan sambil berkata begitu, Ciu
Pek Thong bersiap-siap untuk bertempur. Tetapi si Putih dan si Hitam itu
membawa sikap acuh tak acuh, sedikitpun dia tidak memandang sebelah mata ke
pada Ciu Pek Thong.
„Hemmm, sabar, tidak akan
terlambat jika kini kepalamu itu kami titipkan dulu di lehermu!” kata si Putih
dengan suara dingin. Kemudian dia juga telah menoleh kepada It-teng Taysu sambil
katanya lagi,
„Dan kau pendeta, tentunya kau
yang disebut Lam-ceng (pendeta dari Selatan) si It-teng kepala gundul, bukan?”
„Benar,” menyahuti It-teng
Taysu dengan sabar, walaupun hatinya mendongkol sekali melihat sikap kurang
ajar dari kedua orang aneh itu.
„Dan kalian tentunya Kwee Ceng
dan Oey Yong, bukan?” tanya si Putih sambil memandang tajam kepada Kwee Ceng
dan isterinya.
Kwee Ceng hanya mendengus
„Hemmm!” saja, tetapi Oey Yong yang tengah gusar telah menyahuti.
„Benar, memang kami Kwee Ceng
dan Oey Yong. Hanya sayangnya, kami tidak memiliki rejeki yang sebaik kalian
untuk menjadi kodok hitam dan bangau putih!”
Si Putih tertawa mengejek,
sedikitpun dia tidak melayani ejekan Oey Yong, hanya dengan matanya yang
memancarkan sinar yang tajam dia telah berkata lagi. „Kami telah banyak
mendengar, bahwa Kaisar Mangu dibinasakan oleh Sin-tiauw Tayhiap, maka kami
tertarik sekali untuk melihat berapa tinggi sesungguhnya kepandaian pendekar
besar itu!”
Yo Ko tidak dapat menahan
sabar lagi, tahu-tahu dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melompat
dan tangan kiri tunggalnya tahu-tahu mengibas dengan cepat sekali. Gerakannya
itu luar biasa cepatnya, dia bermaksud akan menotok jalan darah Pek-kut-hiat di
bahu si Putih.
Tetapi aneh sekali, si Putih
sama sekali tidak mengelakkan serangan itu, dia hanya menanti di saat tangan Yo
Ko hampir tiba di sasaran, dia mengulurkan tangan kanannya, tahu-tahu dia telah
menangkis serangan itu, dan yang luar biasa justru tubuh Yo Ko terhuyung mundur
dua langkah! Kuat sekali tenaga menangkis dari si Putih.
Yo Ko mengeluarkan seruan
tertahan, jago-jago yang lainnya juga mengeluarkan seruan kaget ketika
memperoleh kenyataan bahwa lwekang si Putih itu telah demikian sempurna.
Serangan yang dilancarkan oleh Yo Ko tadi bukanlah serangan yang ringan,
sebagai pendekar besar, walaupun Yo Ko tampaknya menggerakkan tangan kirinya
dengan ringan, namun tenaga serangannya itu meliputi ribuan kati. Maka luar
biasa sekali si Putih menangkisnya begitu mudah, bahkan berhasil mendorong
tubuh Yo Ko terhuyung dua langkah.
„Sabar, untuk mengadu
kepandaian tidak perlu sekarang, nanti juga belum terlambat,” berkata si Putih,
sedangkan si Hitam pendek itu tertawa terkekeh, menertawai Yo Ko yang terhuyung
mundur dua langkah itu. „Kami berdua telah menerima perintah untuk mengukur
kepandaian dari pendekar daratan Tiong-goan, maka siapa yang akan maju lebih
dulu untuk menghadapi kami?”
Mata Ciu Pek Thong jadi
bersinar tajam, dia murka sekali, kumis dan jenggotnya sampai bergerak-gerak
menahan kemarahan yang bergolak di hatinya. Dengan mengeluarkan teriakan
nyaring, tahu-tahu Ciu Pek Thong telah menerjang maju, dia memendekkan
tubuhnya, kedua tangannya diulurkan, yang satu akan mencengkeram pergelangan si
Putih, sedangkan tangan kirinya akan menghantam dada si jangkung itu.
Tetapi memang luar biasa,
dengan menggerakkan perlahan tubuhnya yang dimiringkan ke kanan, maka serangan
Ciu Pek Thong telah berhasil dikelit oleh si Putih.
„Engkau tidak sabar, jenggot!”
kata si Putih sambil mengejek.
Tetapi dia tidak bisa
meneruskan perkataannya, karena Ciu Pek Thong yang telah gusar itu dengan cepat
telah menggerakkan kepalanya, jenggotnya yang panjang itu telah menyambar ke
arah dada lawannya. Ciu Pek Thong tadi waktu melihat serangannya dapat dielakkan
lawannya, telah penasaran sekali, dia telah mengerahkan lwekang ke jenggotnya,
dan dengan disertai lwekang yang sempurna, serangan jenggotnya itu bukanlah
serangan yang sembarangan.
Si Putih juga kaget melihat
cara menyerang Ciu Pek Thong, tidak bisa dia main-main lagi, dengan
merangkapkan kedua tangannya, tahu-tahu dia telah mengayunkan kedua tangannya
yang dirangkapkan itu menjepit jenggot Ciu Pek Thong.
Memang luar biasa, lwekang
yang dimiliki si Putih hebat sekali, jenggot Ciu Pek Thong tidak berdaya sama
sekali. Bahkan si tua nakal itu jadi sibuk sekali jenggotnya dijepit seperti
itu, berarti dia tidak bisa menariknya pula. Dengan murka dia telah membarengi
dengan tangan kanannya menghajar ke leher lawannya sehingga si Putih terpaksa
memiringkan kepalanya, tetapi jepitan kedua tangannya itu tidak di lepaskan.
Yo Ko melompat untuk
menghantam punggung si Putih, tetapi dia dipapak oleh si Hitam yang melompat
sambil mengibaskan tangan kirinya.
„Ternyata jago-jago Tiong-goan
hanya pandai mengeroyok saja!” berseru si Hitam.
Atas kibasan tangan si Hitam,
serangan Yo Ko jadi terhalang dan tidak dapat dia melanjutkan serangannya
kepada si Putih, terlebih lagi si Hitam juga telah melancarkan serangan dengan
gencar.
Saat itu, si Hitam sambil
melancarkan serangan yang bertubi-tubi kepada Yo Ko, telah mengeluarkan suara
siulan yang panjang dan tinggi nadanya, dari arah bawah gunung itu telah
terlihat belasan bayangan yang tengah berlari-lari mendaki ke atas. Dilihat
dari gerakan belasan orang itu jelas mereka terdiri dari orang-orang pandai,
karena mereka dapat berlari dengan gesit sekali, di dalam waktu yang singkat
sekali mereka telah berada dekat dengan tempat tersebut.
It-teng Taysu dan yang lainnya
jadi terkejut, begitu juga Oey Yong yang jadi mengerutkan alisnya. Mereka
melihat, bahwa orang-orang yang tengah mendatangi itu bukanlah lawan yang
ringan.
Sambil tetap melancarkan
serangan-serangan yang hebat kepada Yo Ko, si Hitam telah mengeluarkan suara
tertawa yang nyaring. „Nanti kita dapat menentukan apakah jago-jago dari Persia
yang lebih tinggi atau memang orang-orang Tiong-goan yang lebih rendah,”
katanya kemudian.
Hek Pek Siang-sat itu
merupakan sepasang pendekar dari Persia. Di negerinya mereka merupakan jago
nomor satu dan selalu membawa sikap yang ugal-ugalan. Mereka memiliki latihan
tenaga Yoga yang dicampur dengan ilmu Barat, yang telah dilatihnya dengan
sempurna sekali. Keduanya memang memiliki adat yang aneh disamping sikap mereka
yang angin-anginan itu, keduanya tidak boleh mendengar ada seseorang yang
memiliki kepandaian yang tinggi dan sempurna, sebab mereka pasti akan datang
untuk menguji kepandaiannya.
Di negerinya mereka sudah
tidak ada tandingannya dan disegani oleh ahli-ahli silat di sana! Dan di saat
seperti itulah, mereka ternyata telah dimanfaatkan oleh pihak Mongolia, dimana
keduanya telah ditarik berdiri di pihak Mongol.
Kublai Khan memang terkenal
sebagai pemimpin Mongolia yang cerdik sekali. Kecerdikan Kublai memang melebihi
Mangu maupun Jenghis Khan, kakeknya. Itulah sebabnya, pemimpin besar Mongol
tersebut berhasil menguasai jago-jago dari Arab, Persia, Nepal, India dan
beberapa negara lainnya, yang semua bekerja untuk kepentingannya.
Yo Ko yang penasaran dan dalam
keadaan gusar, tahu-tahu telah menggerakkan tangan kirinya itu dengan gerakan
secepat kilat, dia telah menyentil dengan kuat mempergunakan Tan-cie-sin-tong,
dia menyerang jalan darah Wie-kian-hiat nya si Hitam.
Tetapi si Hitam sama sekali
tidak berkelit, dia membiarkan serangan Yo Ko, hanya tangannya yang pendek itu
telah mengincer mata Yo Ko.
Keruan saja Yo Ko jadi kaget,
dia kaget karena justru lawannya tidak berusaha berkelit dari totokannya yang
begitu hebat.
“Tukkkk!” terdengar suara yang
nyaring, disusul oleh suara „Bukkkkl” lalu tampak tubuh Yo Ko terhuyung diiringi
suara tertawa si Hitam.
Ternyata waktu jari tangan
kiri Yo Ko menyentuh tepat jalan darah lawannya, serangan itu tidak memberikan
hasil sedikitpun juga, karena si Hitam pendek itu ternyata memiliki ilmu kebal,
yang tubuhnya tidak bisa dilukai sekalipun oleh senjata tajam. Sedangkan Yo Ko
yang terkejut menyaksikan serangannya yang gagal, jadi lebih kaget lagi melihat
datangnya serangan si Hitam yang mengincar matanya.
Tentu saja dia jadi
mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat menggerakkan lengan baju kanannya
yang kosong itu, yang dikibaskannya menyampok tangan si Hitam. Namun tak urung
punggungnya telah kena dihantam telak oleh si Hitam sehingga tubuh Yo Ko jadi
terhuyung.
Saat itu belasan sosok tubuh
itu telah tiba di tempat tersebut. It-teng Taysu dan yang lainnya segera dapat
melihat jelas, mereka tidak lain dari belasan orang pendeta Lhama yang semuanya
memiliki tubuh tegap dan tinggi besar dengan muka yang garang. Lhama itu yang
memakai jubah merah merupakan pendeta-pendeta Budha yang berpusat di Lha-sa,
dan mereka merupakan penghuni dari Istana Potala yang dipimpin oleh seorang
Budha Hidup. Umumnya pendeta-pendeta Lhama dari Lhasa itu terkenal karena
memiliki ilmu yang tinggi dan sempurna serta aneh-aneh.
Seperti diketahui, bahwa Tat
Mo Couw-su pendiri Siauw-lim-sie dan pencipta dari Kiu-im-cin-keng dan
Kiu-yang-cin-keng berasal dari India, dan juga ilmu itu telah diolah dari ilmu
yang berasal dari India, namun setelah tiba di daratan Tiong-goan, lewat ribuan
tahun ilmu itu telah diolah dan menjadi ilmu tenaga dalam yang tersendiri.
Tetapi di Lhasa, di mana
pendeta Buddha dari istana Potala itu, umumnya mempelajari ilmu silat yang
sejati dari ilmu silat India dan mereka umumnya mengkhususkan diri mempelajari
ilmu silat tanpa ingin mencampuri urusan duniawi, tidak mengherankan jika
pendeta-pendeta Buddha di Lhasa itu memiliki kepandaian yang sempurna sekali.
Namun disebabkan mereka membatasi diri tidak ingin mencampuri urusan duniawi,
dengan sendirinya mereka menempuh kehidupan dan penghidupan dengan cara-cara
seperti setengah dewa.
Inilah yang telah mengherankan
It-teng Taysu dan yang lainnya, karena melihat Lhama itu bisa muncul di tempat
ini, bahkan dalam jumlah yang demikian banyak. Entah urusan hebat yang
bagaimana akan terjadi nanti, sedangkan Oey Yong juga jadi mengerutkan alisnya
dengan berkuatir. Jika dilihat yang muncul kini merupakan jago-jago luar yang
memiliki kepandaian yang tinggi, tentu saja nanti masih ada jago-jago lainnya
yang akan menyusul datang. Dan Oey Yong juga menyadarinya ancaman yang ada itu
tidaklah kecil. Nyonya Kwee jadi berwaspada.
Jumlah Lhama yang datang itu
limabelas orang, mereka tiba untuk kemudian berdiri di dekat kuburan Auwyang
Hong dan Ang Cit Kong dengan berbaris rapi, mereka tidak mengeluarkan sepatah
perkataanpun juga.
„Bagus!” berseru si putih
sambil melompat mundur melepaskan jepitan tangannya di jenggot Ciu Pek Thong.
Sedangkan si Hitam juga telah malah melompat berdiri disamping si Putih, si
Hitam tidak melayani Yo Ko lagi.
Berkobar-kobar amarahnya Ciu
Pek Thong dan Yo Ko tetapi merekapun telah melihat hadirnya kelimabelas pendeta
Lhama tersebut yang mereka lihat tidak berkepandaian rendah.
It-teng Taysu telah
merangkapkan tangannya tanyanya dengan sabar.
„Apa maksud kalian datang di
negeri ini? Apakah kalian diutus oleh Buddha Hidup?”
Kelimabelas Lhama itu tetap
berdiam diri tidak memberikan jawaban atas pertanyaan It-teng Taysu. Hanya si
Putih yang telah menyahuti dengan suara yang nyaring,
„Apakah jika Buddha Hidup yang
perintah mereka datang itu, kalian akan menjamu?” tegurnya.
Muka It-teng Taysu jadi muram,
dia melihat kekurang ajaran si Putih semakin menjadi-jadi.
„Baiklah, kini jelaskan yang
terang, apa sesungguhnya yang kalian kehendaki?” katanya lagi sabar.
„Kami menghendaki batok kepala
Ngo-ciat!” menyahuti si Putih. „Tadi kami sudah menjelaskan, dan kami kira
urusan telah terang.”
„Siancay, Siancay, sayangnya
yang hadir hanya Sie-ciat (empat jago), sayang seorang diantara Ngo-ciat belum
hadir.....” kata It-teng Taysu sambil tetap memperlihatkan sikap yang sabar.
Si Putih telah tertawa seperti
suara menyalaknya serigala, dia bilang, „Kini yang hadir disini Lam-ceng,
Pak-hiap, See-kong dan Tiong Sin Tong Ciu Pek Thong! Dari Ngo-ciat yang
kurangnya itu pasti Tong-shia Oey Yok Su, bukan?”
„Benar!” mengangguk It-teng
Taysu.
„Tidak lama lagi, pasti
Tong-shia tiba disini,” kata si Putih sambil tetap tertawa, tidak sedap
didengar.
Oey Yong dan lainnya setengah
percaya setengah tidak. Tong-shia telah hidup mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to,
dan tidak bermaksud untuk meninggalkan pulau itu pula. Tetapi merekapun
berpikir, suatu kemungkinan juga bahwa Oey Yok Su akan datang, karena seperti
juga halnya mereka, yang telah dipancing dengan sepucuk surat palsu......!
Sebetulnya, dengan beradanya Ngo-ciat di Hoa-san, mereka tidak perlu takut
terhadap siapapun juga. Namun kenyataan yang ada, Siauw Liong Lie yang
kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah Yo Ko ternyata telah tertawan oleh
Tiat To Hoat-ong itulah kenyataan yang terlampau pahit sekali.
„Apakah Tiat To Hoat-ong
termasuk dalam rombongan kalian?” tanya Yo Ko yang teringat kepada pendeta
Mongolia yang telah menawan isteri dan Sin-tiauwnya.
„Tidak salah! Hanya Hoat-ong
tengah memiliki urusannya sendiri, maka untuk mengambil lima batok kepala
Ngo-ciat diserahkan kepada kami!” menyahuti si Putih dengan sikap yang kurang
ajar.
Habislah kesabaran Yo Ko,
dengan mengeluarkan seruan mengguntur, dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya
telah melompat dengan ringan, dan tangan kirinya melancarkan serangan dengan
mempergunakan jurus-jurus yang luar biasa dahsyatnya. Salah satu jurus yang
dipergunakannya adalah Giok-lie-kun-hoat (pukulan Bidadari).
Seperti diketahui
Giok-lie-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang luar biasa, dan selama mengasingkan
diri di lembah Siauw Hong, Yo Ko maupun Siauw Liong Lie telah menciptakan ilmu
pukulan yang diberi nama Giok-lie-kun-hoat, yang hebat luar biasa. Setiap kali
melatih ilmu tersebut, Yo Ko ditemani oleh Sin-tiauw, burung rajawali yang
memiliki kekuatan luar biasa itu.
Serangan yang dilancarkan Yo
Ko dahsyat sekali, hal ini dapat dirasakan oleh si Putih. Tetapi Pek-sat
tersebut tidak takut, begitu juga sikapnya tetap tenang, dia telah menyambuti
serangan Yo Ko.
Sin-tiauw Tayhiap telah
mengerahkan enam bagian dari tenaga dalamnya dan setiap serangannya selain
mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan, juga angin serangannya
menderu keras. Tetapi setiap serangan itu berhasil dielakkan oleh si Putih,
bahkan berulang kali seruling pendek bercagak dua yang tercekal di tangannya si
Putih itu bergerak-gerak hebat sekali, beberapa kali hampir menotok jalan darah
penting di tubuh Yo Ko.
Hek-sat, si iblis Hitam itu,
telah mengeluarkan suara siulan nyaring, kemudian dia berkata mengejek.
“Hari ini kita akan jadi jagal
yang menerima upah mahal! Ha, ha, ha, ha Ngo-ciat yang dibangga-banggakan itu
ternyata hanya memiliki nama kosong.”
Kwee Ceng yang memiliki sifat
pendiam dan polos, sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dengan
mengatakan. „Jaga serangan,” Kwee Ceng telah melompat melancarkan serangan ke
arah si hitam. Bisa dibayangkan betapa hebatnya tenaga serangan yang
dilancarkan Kwee Ceng, karena sebagai pendekar yang memiliki nama menggetarkan
rimba persilatan dan juga dia dalam keadaan gusar sekali, maka tenaga serangan
yang dipergunakannya sangat hebat.
Tenaga hantamannya itu terlalu
hebat, sehingga si hitam yang merasakan tenaga serangan itu mendatangkan
kesiuran angin yang dahsyat sekali, dia tidak berani menyambuti, dengan cepat
dia berkelit ke samping. Tetapi Kwee Ceng tidak mau melepaskan musuhnya itu,
dengan lincah sekali dia menyusuli serangan lainnya. Beberapa kali si hitam
mengelakkan serangan tersebut, dan beruntun Kwee Ceng menyusuli dengan
serangan-serangan berikutnya.
Dalam saat seperti itu, si
Putih mengeluarkan teriakan dengan perkataan yang asing sekali untuk Kwee Ceng,
Yo Ko dan yang lainnya. Atas teriakannya itu, maka kelimabelas Lhama yang sejak
tadi berdiam diri dengan berbaris itu, telah bergerak, mengambil posisi dengan bentuk
lingkaran mengurung Yo Ko, Kwe Ceng, It-teng Taysu, Oey Yong dan Ciu Pek Thong.
Kelima jago luar biasa dari Tiong-goan tersebut telah dikepung rapat, dan Lhama
itu telah maju perlahan-lahan dengan sikap mengancam.
Yo Ko dan yang lainnya
berbareng telah mengeluarkan suara teriakan yang mengguntur dan dengan cepat
sekali mereka juga bergerak untuk menghadapi kepungan itu.
Si Hitam dan si Putih juga
telah ikut mengepung jago-jago itu. Mereka rupanya ingin mempergunakan jumlah
banyak untuk memperoleh kemenangan.
Yo Ko mempergunakan waktu di
saat mereka belum dikepung rapat, telah menggerakkan tangan kirinya dibantu
oleh kibasan lengan bajunya yang kosong itu. Berulang kali dia telah menyerang
ke arah lawan-lawannya yang mendekat. Tetapi kelimabelas Lhama itu mengambil
cara bertempur yang aneh sekali, mereka hanya mengepung belaka dengan rapat,
tetapi mereka tidak membalas setiap serangan, yang selalu hanya dikelit atau
dielakkan. Beberapa kali hantaman tangan kiri Yo Ko mengenai tubuh beberapa
orang Lhama itu, tetapi serangannya itu seperti mengenai tubuh berminyak,
sehingga pukulan Yo Ko melejit dan tidak memberikan hasil apa-apa.
Tentu saja Yo Ko jadi semakin
penasaran dan dengan mengeluarkan seruan yang nyaring, suatu kali Yo Ko telah
melompat ke tengah udara, sambil melompat begitu, tangannya diulurkan untuk
menangkap lengan salah seorang Lhama yang terdekat dengannya. Namun Lhama itu
berhasil berkelit dari cengkeramannya, dan dia telah melompat mundur, sedang
Lhama yang lainnya tahu-tahu telah melancarkan serangan ke arah punggung Yo Ko,
sehingga memaksa Yo Ko menarik pulang serangannya yang sedang mendesak Lhama
yang satu itu.
Keadaan seperti itu terjadi
berulang kali.
It-teng Taysu yang diserang
oleh beberapa orang Lhama juga telah mempergunakan It-yang-cie untuk
menghadapinya, dan walaupun ilmu itu hebat luar biasa tetap saja seperti tidak
memberikan hasil apa-apa, sehingga membuat It-teng Taysu jadi kaget sekali,
sebab Lhama-lhama itu seperti dapat bergerak secepat angin dan tubuh mereka
seperti kebal atas serangan apapun juga.
Si Hitam dan si Putih telah
berulang kali mengeluarkan suara ejekannya dan di saat itu beberapa kali mereka
mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh jago-jago daratan Tiong-goan
itu.
Kelimabelas Lhama itu setiap kali
menyahuti dengan perkataan yang sama seperti yang diucapkan oleh Hek Pek
Siang-sat dan yang sangat mengherankan sekali justeru kelimabelas Lhama itu
semakin lama melancarkan kepungan mereka semakin hebat, dan merekapun mulai
membalas menyerang.
Yo Ko dan yang lainnya jadi
terkejut sekali, karena mereka merasakan kelimabelas Lhama itupun telah
memiliki kepandaian yang tidak rendah, di samping lwekang mereka yang
menakjubkan.
Suatu kali, di saat Yo Ko
tengah mendesak seorang Lhama yang berada terdekat dengannya, dengan
mempergunakan jurus „Mencengkeram Hati” tangan kirinya diulurkan akan
mencengkeram dada Lhama itu, di saat itulah dengan cepat sekali dua orang Lhama
telah menghantamkan telapak tangannya tanpa menimbulkan suara ke arah punggung
Yo Ko. Karena serangan itu datangnya dengan sangat tiba-tiba sekali, juga
serangan itu tidak menimbulkan suara angin serangan, tahu-tahu bahu Yo Ko telah
berhasil digempur hebat oleh tangan kedua Lhama itu. Yo Ko mengeluarkan seruan
nyaring, tubuhnya terhuyung-huyung seperti akan rubuh.
Dan di saat tubuhnya terhuyung
seperti itu si Putih tampak melompat menubruknya melancarkan serangan yang
hebat sekali ke arah jalan darah di pinggang Yo Ko. Kuda-kuda kedua kaki Yo Ko
saat itu tengah tergempur, dia belum berhasil untuk berdiri tetap, dan
membarengi dengan keadaannya yang berbahaya, serangan si Putih telah menyambar
datang. Yang diserang si Putih justru jalan darah Tiong-tie-hiat di pinggang
jalan yang merupakan jalan darah yang mematikan.
Yo Ko mengeluarkan seruan tertahan,
dia mengibas dengan lengan baju kanannya itu.
Namun tenaga serangan dari si
Putih hebat luar biasa walaupun lengan baju kanan Yo Ko berhasil melibatnya,
tangan si Putih terus juga meluncur, walaupun tenaga serangannya jadi agak
berkurang. Tepat sekali jalan darah Tiong-tie-hiat di pinggang Yo Ko kena
dihantam, sehingga tubuh pendekar Rajawali Sakti itu terhuyung dan kemudian
rubuh di tanah. Namun Yo Ko cepat sekali melompat berdiri.
Namun, It-teng Taysu dan yang
lainnya jadi kaget sekali. Belum pernah terjadi Yo Ko mengalami peristiwa
seperti itu, karena jago-jago itu telah mengetahui betapa sempurnanya
kepandaian Yo Ko.
Dengan berhasilnya si Putih
menghantam tubuh Yo Ko, walaupun Yo Ko akhirnya dengan cepat dapat berdiri pula
tentu saja hal itu telah memperlihatkan bahwa si Putih telah memiliki
kepandaian yang sukar diukur tingginya.
Yo Ko berdiri dengan muka yang
pucat kehijau-hijauan, dia murka sekali. Dengan tidak memperdulikan lagi suatu
apa, dia telah bergerak cepat sekali. Gerakannya seperti kilat, tahu-tahu
tubuhnya telah menubruk si Putih, dan telapak tangan kiri Yo Ko telah
menghantam dengan tepat sekali dada si Putih.
Tadi waktu si Putih melihat Yo
Ko berhasil dirubuhkan, dia girang sekali, tetapi perasaan girangnya itu hanya
sebentar, karena tahu-tahu dia telah diserang dengan hebat oleh Yo Ko.
Mati-matian dia berusaha mengelak, namun gagal. Akhirnya dia terpaksa
menangkis.
Belum lagi tangkisannya itu
dilancarkan, tahu-tahu tubuhnya telah dipukul terpental oleh Yo Ko, dada si
Putih berhasil digempur oleh telapak tangan kiri Yo Ko. Dengan mengeluarkan
suara jeritan menyayatkan, tubuh si Putih melayang di tengah udara ambruk di
tanah dengan keras.
Beberapa orang Lhama berbareng
telah melancarkan serangan kepada Yo Ko, untuk mencegah Yo Ko melancarkan
serangan lebih jauh kepada si Putih. Dengan adanya serangan-serangan dari
beberapa orang Lhama itu, telah membuat Yo Ko batal mendesak si Putih lebih
jauh.
Sedangkan si Putih telah
bangun berdiri dengan muka yang pucat, tubuhnya masih bergoyang-goyang seperti
akan rubuh kembali.
„Uaahh!” tahu-tahu si Putih
telah memuntahkan darah segar, mukanya semakin pucat.
Si Hitam yang melihat keadaan
si Putih jadi kaget sekali. Dia telah melompat ke samping si Putih.
„Toako, kenapa kau?” tanyanya
dengan mengandung kekuatiran yang sangat.
„Tidak apa apa..... Cepat kau
bantui mereka.....” kata si Putih. Yang dimaksudnya dengan perkataan 'mereka'
oleh si Putih, adalah ke limabelas Lhama itu.
Si Hitam bimbang sejenak,
tetapi kemudian dia mengangguk. Tangannya tahu-tahu telah meraba pinggangnya,
dan dia telah mengeluarkan sebatang pisau kecil, seperti badik, kemudian dengan
gerakan tubuh yang cepat sekali, dia melompat masuk ke dalam gelanggang lagi.
Sambil memutar badiknya itu,
dia juga mengeluarkan bentakan-bentakan gusar dan nekad. Serangan badiknya itu
dahsyat luar biasa, dan juga serangan yang dilancarkannya itu mengandung tenaga
serangan yang mematikan.Yang lebih luar biasa lagi justru badik itu merupakan
barang mustika yang tajam sekali.
Yo Ko melihat lawannya ini
berlaku nekad seperti itu, dia melayaninya dengan cepat, dua orang Lhama yang
berada di dekatnya tahu-tahu telah ditendangnya, sehingga mereka terguling di
tanah, kemudian dengan cepat sekali tangan kirinya diulurkan mencengkeram jubah
salah seorang Lhama yang berada di kirinya, dan melemparkannya, sehingga Lhama
itu terbanting di tanah dengan keras. Tanpa membuang waktu lagi, Yo Ko telah
melompat ke arah si Hitam yang tengah melancarkan serangan badiknya ke arah
It-teng Taysu.
Lam-ceng sesungguhnya tidak
jeri menghadapi serangan-serangan seperti itu, tetapi dia selalu gagal
menyerang Lhama-lhama yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan luar biasa, yang
selalu membuat serangannya tidak berhasil mengenai sasarannya dengan tepat,
karena selalu melejit. Dan kini dia pun diserang hebat bertubi-tubi oleh si
hitam, yang mempergunakan badik mustika itu, yang dapat memotong emas dan baja.
Maka walaupun lwekang It-teng Taysu telah sempurna dan dia tidak takuti lagi
senjata tajam, namun terhadap badik mustika yang tajam luar biasa itu tidak
bisa dipermainkannya. Dengan sendirinya, It-teng Taysu saat itu agak terdesak
oleh serangan badik tersebut.
Namun, untung saja saat itu Yo
Ko telah menghantam telak sekali punggung si Hitam, sehingga si Hitam yang
tubuhnya pendek itu bergulingan di tanah bagaikan sebuah bola dengan
mengeluarkan suara jeritan keras. Yo Ko terus mengamuk dengan cepat.
Serangan-serangan yang dilancarkannya juga luar biasa.
Sedangkan Oey Yong telah turun
tangan juga dia telah memotes sebatang cabang pohon yang dipergunakan sebagai
pengganti tongkat Tauw-kauw-pang. Dia mempergunakan ilmu tongkatnya Ang Cit
Kong untuk melabrak Lhama tersebut.
Kwee Ceng juga tengah
melancarkan serangan bertubi-tubi kepada lawannya. Namun seperti halnya It-teng
Taysu setiap serangannya selalu jatuh di tempat kosong jika kepalan tangannya
atau totokannya yang mengandung tenaga serangan yang hebat itu berhasil
mengenai sasarannya, tetapi itupun telah gagal kembali, disebabkan melejitnya
kepalan tangan atau jari tangannya tersebut, karena tubuh Lhama-lhama itu
seperti mengandung minyak dan licin sekali bagaikan tubuh belut.
Sebagai seorang yang pendiam,
dan juga selalu rajin melatih ilmu silatnya sehingga mencapai puncak
kesempurnaannya, seharusnya Kwee Ceng dapat menghadapi Lhama-lhama itu. Hanya
saja, disebabkan dia telah menduga bahwa Lhama-lhama itu memiliki kepandaian
yang luar biasa, sehingga dia melancarkan serangan-serangannya dengan keras.
Sesungguhnya kepandaian
kelimabelas orang lhama itu tidak berada di sebelah atas dari kelima jago
Tiong-goan itu, merekapun belum memiliki lwekang yang sempurna, hanya saja
mereka memang meyakinkan semacam ilmu kebal, yang berasal dari India, yaitu
semacam ilmu yang mirip ilmu Yoga. Maka dari itu, mereka selalu berhasil
menghindar dari serangan dahsyat lawannya.
Si Putih yang berdiri diam
saja, merasakan dadanya sakit dan napasnya sesak. Waktu dia menarik napas
dalam, dia merasakan di ulu hatinya seperti tertusuk jarum. Seketika itu juga
dia menyadari bahwa dirinya telah terluka. Maka si Putih telah berpikir untuk
meninggalkan tempat tersebut.
„Menyingkir!” tiba-tiba dia
berteriak nyaring, disusul dengan beberapa patah perkataan asing yang tidak
dimengerti oleh jago-jago Tiong-goan tersebut.
Dengan serentak kelimabelas
Lhama itu telah melompat mundur dalam bentuk barisan pula, begitu pula halnya
dengan si Hitam yang telah menggelinding meninggalkan gelanggang pertempuran.
Ciu Pek Thong mana mau
membiarkan lawan-lawannya itu angkat kaki begitu saja. Sejak tadi Ciu Pek Thong
telah bertempur dengan hati yang panas sekali. Terlebih lagi setiap serangannya
selalu melejit tidak mengenai sasarannya, membuat dia jadi tambah penasaran.
Melihat lawan-lawannya itu
melompat mundur, dengan cepat sekali Ciu Pek Thong telah menghajarnya, sambil
mengejar diapun telah menggerak gerakkan kedua tangannya. Luar biasa caranya
itu. Dari kedua telapak tangannya meluncur ke luar angin serangan yang dahsyat
sekali, dan de¬ngan disusul oleh dua kali suara „buk!” tampak dua sosok tubuh dari
dua orang Lhama itu telah bergulingan di tanah.
Tetapi kedua Lhama itu dengan
cepat dapat bangkit berdiri kembali. Di saat itu kelimabelas orang Lhama itu
telah melompat lebih jauh pula dengan diikuti oleh si Hitam dan si Putih.
Gerakan mereka cepat sekali, dalam waktu yang singkat mereka telah melompat
puluhan tombak.
Yo Ko dan Ciu pek Thong
bermaksud mengejar tetapi It-teng Taysu telah meneriakinya. „Biarkan mereka
pergi!”
Saat itu, Ciu Pek Thong
rupanya masih penasaran, dia berjongkok mengambil sebutir batu, kemudian dia
telah menimpuk kuat sekali ke arah salah seorang Lhama yang lari paling
belakang. Batu itu menyambar dan menghantam jitu punggung Lhama itu, membuatnya
terguling.
Tetapi Lhama itu bangkit
dengan cepat sambil melarikan diri menyusul kawan-kawannya. Dalam waktu yang
singkat, mereka telah turun gunung dan tidak terlihat bayangannya lagi.
It-teng Taysu telah menghela
napas dengan wajah yang muram. Diapun telah berkata, „Lolap tidak menyangka
bahwa telah berdatangan banyak sekali jago dari luar. Jika dilihat demikian
badai dan topan akan melanda Tiong-goan kembali.”
„Tampaknya Kublai Khan memang
bermaksud untuk menerobos masuk ke daratan Tiong-goan pula, kini dia telah
mengumpulkan demikian banyak jago-jago dari berbagai bangsa, tampaknya tidak
mudah bagi kita untuk mengatasinya terlebih lagi pembesar Song umumnya gentong
nasi semuanya!” berkata Oey Yong.
It-teng Taysu mengangguk,
kemudian katanya dengan sabar. „Persoalan itu bisa kita bicarakan nanti, dan
sekarang yang terpenting kita harus mencari Yo Hujin! Pendeta Mongolia itu
harus kita tangkap dan membebaskan Yo Hujin dari tangannya!”
Yo Ko juga teringat akan
isteri dan Sin-tiauwnya, mendengar perkataan It-teng Taysu, dia sangat
berterima kasih dan bersyukur. Sedangkan jago-jago yang lainnya telah
menyetujuinya.
„Tunggu dulu......!” kata Ciu
Pek Thong tiba-tiba, waktu It-teng Taysu mengajak mereka berlalu.
„Ada apa lagi, Loo Boan Tong?”
tanya Oey Yong sambil tertawa, karena nyonya Kwee tersebut teringat beberapa
pengalaman lucunya dengan kakek jenaka ini.
„Bukankah tadi „Sikapur Putih
itu mengatakan bahwa Oey Lo-shia akan datang kemari juga?” tanyanya.
08.15. Pertolongan Manusia
Rimba
Semuanya jadi tersadar dan
menoleh kepada It Teng untuk meminta pertimbangan pendeta yang bijaksana ini.
„Kita tinggalkan tanda saja,”
kata It-teng Taysu kemudian.
Begitulah, Oey Yong segera
meninggalkan tanda serta beberapa huruf di batang pohon sehingga kelak jika Oey
Yok Su benar datang di tempat tersebut, dia akan mengetahui dimana mereka ini
berada.
Kelima orang gagah tersebut
telah turun dari Hoa-san, mereka selain bermaksud mencari Tiat To Hoat-ong
untuk membebaskan Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw, juga mereka ingin menyelidiki
siapa yang telah membongkar kuburan Auwyang Hong dan Ang Cit Kong. Dugaan
mereka jatuh kepada Hek Pek Siang-sat, karena kedua iblis dari Persia itu
tampaknya tidak berkepandaian lemah. Tetapi nyatanya kedua iblis dari Persia
itu tidak menyinggung-nyinggung persoalan kuburan itu!
Yo Ko berlima dengan It-teng
Taysu, Ciu Pek Thong, Oey Yong dan Kwee Ceng telah mengelilingi sekitar daerah
Hoa-san, kemudian mengambil jalan ke arah Utara, tetapi jejak Tiat To Hoat-ong
tetap saja tidak berhasil dijumpai mereka.
Kerena dugaan mereka, bahwa
Tiat To Hoat-ong pasti bersembunyi di suatu tempat karena pendeta Mongolia itu
tidak mungkin pulang ke Mongolia. Kedatangan Tiat To Hoat-ong ke Tiong-goan
jelas untuk menyelesaikan suatu urusan, menjalankan perintah Kublai Khan.
Itulah sebabnya Yo Ko dan kawan-kawannya tidak berpikir untuk menyusul si
pendeta ke Mongolia, hanya berusaha untuk menyelidiki jejak si pendeta di
daratan Tiong-goan.
◄Y►
Tetapi di luar tahu dari Yo Ko
dan kawan-kawannya itu, justeru Tiat To Hoat-ong telah mengambil jalan ke
jurusan Gan-bun-kwan tembok besar di daerah perbatasan. Pendeta itu sengaja
menyingkir ke tapal batas untuk menghindarkan diri dari kejaran It-teng Taysu
dan Yo Ko.
Tiat To Hoat-ong telah
merasakan betapa tangguhnya Yo Ko dan It-teng Taysu. Maka dari itu, walaupun
bagaimana tidak mau dia berkeliaran di sekitar Hoa-san, juga dia tidak mau
sementara waktu itu memperlihatkan diri, karena dari Kublai Khan justeru si
pendeta telah menerima perintah rahasia yang sangat penting sekali.
Ketika tiba di kaki gunung
Kun-lun, Tiat To Hoat-ong beristirahat sejenak. Walaupun dia tetap membawa
Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw sebagai tawanannya, tetapi dia dapat bergerak
leluasa. Di sekitar tempat dimana dia berada sepi sekali, tidak terlihat
seorang manusiapun juga.
Di saat itupun Tiat To
Hoat-ong memang sengaja memilih jalan yang sepi dan mengambil jalan di hutan,
sehingga kecil kemungkinan dia akan bertemu dengan manusia lainnya. Untuk
mencegah Siauw Liong Lie memperoleh kesadarannya kembali, yang nanti bisa
merepotkan dia karena wanita ini hebat sekali kepandaiannya, maka telah
beberapa kali Tiat To Hoat-ong menyemprotkan tabung gasnya, sehingga si nyonya
Yo ini tetap berada dalam keadaan tidur. Dan begitu pula terhadap Sin-tiauw
yang selalu disemprot dengan tabung gasnya itu.
Gas dalam tabung itu adalah
semacam gas yang bisa menyebabkan orang tertidur nyenyak. Dan Tiat To Hoat-ong
memperolehnya dari Kublai Khan, yang memang sengaja menghadiahkan kepada si
pendeta karena Kublai Khan yang cerdik itu mengetahui besarnya faedah tabung
gas tersebut untuk Tiat To Hoat-ong dalam menghadapi jago-jago daratan
Tiong-goan yang umumnya memiliki kepandaian yang sempurna. Kublai Khan
memperoleh tabung gas itu dari seorang jago Eropa, seperti diketahui kakek
Kublai Khan, yaitu Temuchin (Jenghis Khan) telah menyebarkan kekuasaannya jauh
sampai ke daratan Eropa, dan telah memiliki beberapa orang pengawal orang
Eropa, yang menjadi jago-jago andalannya. Maka tidak mengherankan jika Kublai
Khan memiliki tabung yang hebat seperti itu. Karena telah mengetahui dan
menyaksikan kematian Kim Lun Hoat-ong yang akhirnya tertambus dalam kobaran
api, maka Kublai Khan yakin, jika Tiat To Hoat-ong hanya mengandalkan
kepandaian silatnya saja untuk menghadapi jago-jago daratan Tiong-goan, niscaya
Tiat To Hoat-ong akan menghadapi bahaya yang tidak kecil.
Dengan memiliki tabung gas
hebat itu, tentu saja Tiat To Hoat-ong telah berhasil mengecap hasilnya,
seperti halnya Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw yang telah berhasil ditangkapnya
itu.
Setelah melakukan perjalanan
selama bebarapa hari, dan juga selalu melakukan perjalanan di malam hari, Tiat
To Hoat-ong menjadi letih sekali. Tetapi kini dengan beradanya dia di kaki
gunung Kun-lun itu, berarti dia bisa mengasoh dengan tenang. Tidak mungkin
It-teng Taysu dan yang lainnya akan menyusul ke tempat tersebut.
Kun-lun merupakan gunung yang
cukup tinggi, yang terletak di perbatasan. Dan juga Kun-lun merupakan gunung
yang memiliki banyak sekali lembah dan jurang yang dalam, tempat-tempatnya yang
masih liar belum pernah dikunjungi orang. Walaupun di gunung Kun-lun tersebut
terdapat sebuah perguruan yang bernama Kun-lun-pai dan juga memiliki murid yang
cukup banyak, namun kenyataannya ilmu pedang Kun-lun-pai tersebut masih kalah
terkenal dengan Ngo-cin-kauw.
Setelah meletakkan Siauw Liong
Lie dan Sin-tiauw, di bawah sebatang pohon, Tiat To Hoat-ong kembali
menyemprotkan gas dari tabungnya kepada Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw, kemudian
dengan hati lapang dia telah merebahkan tubuhnya ditumpukan rumput, untuk
beristirahat. Siuran angin yang sejuk, akhirnya telah membuat Tiat To Hoat-ong,
tertidur nyenyak.
Siauw Liong Lie yang
menggeletak di bawah batang pohon itu sesungguhnya sudah tidak dalam keadaan
tertidur. Karena di luar tahunya Tiat To Hoat-ong, sejak kemarin siang dia
telah tersadar dari pengaruh gas tersebut, namun Siauw Liong Lie pura-pura
tetap tertidur. Waktu si pendeta Mongolia ingin menyemprotkan gas tabungnya
sebelum dia tertidur nyenyak, Siauw Liong Lie menahan napasnya, mengerahkan
lwekangnya, Sehingga gas tidurnya itu sama sekali sudah tidak mempengaruhinya
lagi.
Kini dia tertawan oleh Tiat To
Hoat-ong hal itu bukan disebabkan karena dia kalah ilmu dengan si pendeta,
tetapi hanya disebabkan si pendeta telah melakukan perbuatan rendah dengan
mengandalkan pengaruh gas tabungnya itu. Maka kini, setelah dia tersadar dan
terlepas dari pengaruh gas tersebut, Siauw Liong Lie tetap rebah tanpa
bergeming, matanya tetap dipicingkan. Dan diam-diam diapun telah mengintai,
melihat Tiat To Hoat-ong telah tertidur nyenyak.
Walaupun mengetahui si pendeta
telah tertidur, Siauw Liong Lie tidak berani melakukan gerakan yang ceroboh.
Sedikit saja ada suara berkeresek, tentu bisa membangunkan si pendeta dari
tidurnya. Diam-diam Siauw Liong Lie mengempos semangatnya, dia mengerahkan
tenaga dalamnya di kedua tangannya, kemudian dengan memusatkan seluruh tenaga
dalamnya, dia menghentak perlahan, maka putuslah tali yang mengikat tangannya.
Tetapi Siauw Liong Lie belum berani bergerak dari tempatnya, dia diam sejenak
memperhatikan si pendeta.
Tiat To Hoat-ong tetap
tertidur nyenyak maka legalah hati Siauw Liong Lie.
Perlahan-lahan Siauw Liong Lie
membuka ikatan tali di kakinya. Setelah itu nyonya Yo menotok beberapa jalan
darahnya, untuk melancarkan peredaran darahnya. Dengan hati-hati sekali Siauw
Liong Lie telah berdiri, lalu menghampiri Sin-tiauw.
Dibukanya ikatan burung itu
rajawali sakti tersebut. Tetapi celakanya, karena walaupun bagaimana cerdiknya,
Sin-tiauw tetap saja seekor burung, dia tetap saja berada dalam pengaruh obat
tidur dari gas tabung Tiat To Hoat-ong. Tadi sebelum tidur si pendeta telah
menyemprotkan lagi gas tabungnya itu sehingga Sin-tiauw masih akan tidur
nyenyak selama satu hari satu malam.
Setelah membuka ikatan tali di
kedua kaki Sin-tiauw, ikatan di kedua sayap burung itu dan membuka juga ikatan di
paruh burung tersebut, maka Siauw Liong Lie menghampiri Tiat To Hoat-ong,
karena dia bermaksud untuk menotok si pendeta Mongolia tersebut. Pengalaman dia
sebagai tawanan si pendeta telah membuat nyonya Yo jadi gusar sekali bercampur
malu, maka kini dia ingin menghajar pendeta itu.
Dengan hati-hati dan
perlahan-lahan Siauw Liong Lie melangkah mendekati Tiat To Hoat-ong. Tetapi
disaaat jarak mereka terpisah tiga tombak lebih, si pendeta telah menggeliat.
Siauw Liong Lie menghentikan langkah kakinya, dia telah memperhatikannya.
Tetapi si pendeta tidak bangun dari tidurnya. Dengan lebih hati-hati lagi,
Siauw Liong Lie menghampiri lebih dekat.
Tetapi, di saat nyonya Yo
sudah mendekati kurang lebih satu tombak dan kemudian menggerakan tangan
kanannya siap untuk menotok jalan darah Tai-hiat-hiat si pendeta itu dari ke
jauhan terdengar suara lengkingan nyaring sekali, suara itu yang seperti suara
erangan binatang buas.
Karena suara lengkingan
nyaring itu yang seperti suara erangan binatang buas bercampur dengan suara
pekik dari seseorang yang suaranya parau. Tiat To Hoat-ong terbangun dari
tidurnya dengan terkejut. Dia cepat-cepat melompat berdiri sambil menggosok
matanya. Yang lebih mengejutkan lagi, dia merasakan sambaran angin serangan
yang dingin sekali ke arah ulu hatinya.
Si pendeta telah mengempos
semangatnya ke dadanya itu, yaitu ke bagian yang akan terserang. Totokan yang
dilancarkan oleh Siauw Liong Lie jadi melejit. Dan si pendeta telah membuka
matanya, dia jadi tambah kaget dan heran, karena dihadapannya berdiri Siauw
Liong Lie.
„Kau…..?” si pendeta seperti
tidak percaya akan pandangan matanya,
Siauw Liong Lie tertawa
dingin. „Manusia rendah!” katanya dengan tawar. „Dengan mempergunakan akal
busuk kau bisa memperoleh kemenangan! Tetapi hari ini nyonya besarmu tidak akan
melepaskan kau begitu saja!”
Tiat To Hoat-ong telah
mengawasi sekelilingnya, dia tidak melihat siapapun juga selain si nyonya Yo.
Hanya samar-samar dia masih mendengar suara lengkingan itu, suara lengkingan
yang aneh.
„Aha,” tertawa si pendeta.
„Ternyata kau telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh gas tabungku! Baik,
baik! Mari kita bertempur lagi!” Sambil berkata begitu, si pendeta telah
membarengi dengan mengibaskan lengan jubahnya yang besar itu. Serangkum angin
serangan yang keras luar biasa menerjang ke arah Siauw Liong Lie, Siauw Liong
Lie tidak takut, dia telah menyambuti serangan itu dengan tangkisan tangannya,
diapun telah mengerahkan lwekangnya, maka tenaga serangan si Pendeta seperti
menghantam tumpukan kapas. Tenaga menyerangnya itu telah lenyap.
Siauw Liong Lie bukan hanya
menangkis, karena dengan cepat sekali dia mengeluarkan suara seruan yang
nyaring dan kemudian melancarkan pukulan pula dengan tangan kirinya, dengan
mempergunakan jurus serangan „Seribu Bunga”, hebat bukan main cara
menyerangnya.
Tiat To Hoat-ong mengerutkan
alisnya. Pendeta ini menyadari bahwa nyonya Yo memiliki kepandaian yang hebat,
dan tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. Karena itu Tiat To
Hoat-ong tidak ingin bertempur lama-lama, karena diapun teringat akan suara
lengkingan aneh yang telah didengarnya tadi. Si pendeta curiga kalau-kalau
suara lengkingan aneh itu adalah suara dari orang-orang yang menjadi sahabatnya
si nyonya liehay ini, jelas kalau memang dugaannya itu benar, si pendeta akan
menghadapi kesulitan yang tidak kecil. Dengan cepat dia merogoh sakunya untuk
mengeluarkan tabung gasnya.
Namun kali ini Siauw Liong Lie
yang telah mengetahui bahayanya tabung gas si pendeta, dengan cepat sekali
mendesak si pendeta dengan keras dan gencar sekali, membuat pendeta itu tidak
berhasil untuk merogoh sakunya, karena dia sibuk sekali harus menangkis dan
juga mengelakkan serangan Yo Hujin. Sedangkan Siauw Liong Lie sambil
melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tipu-tipunya yang liehay sekali,
diapun telah memutar otak untuk mencari jalan guna merubuhkan pendeta tersebut.
Di saat itulah, dia telah teringat sesuatu maka sengaja Siauw Liong Lie
berteriak,
„Ko-jie, Ciu Toako, lekas
kalian datang kemari!” Suara Siauw Liong Lie terdengar nyaring dan menggema,
karena dia berkata-kata dengan suara yang disertai tenaga lweekangnya.
Semangat Tiat To Hoat-ong
terasa terbang meninggalkan raganya. Dia mengetahui bahwa yang disebut Ko-jie
itu pasti Yo Ko, suaminya si nyonya. Dan juga yang dipanggil Ciu Toako,
tentunya Ciu Pek Thong. Kedua orang itu hebat dan liehay sekali, jika mereka
datang dan bertiga dengan si nyonya! melancarkan serangan kepadanya, bukankah
si pendeta akan menghadapi bahaya besar? Yang membuat si pendeta jadi kaget dan
mempercayai teriakan Yo Hujin ini karena di saat itu dari tempat yang jauh
kembali terdengar suara lengkingan yang aneh itu lagi. Maka tanpa berpikir dua
kali lagi, Tiat To Hoat-ong telah merangsek melancarkan serangan yang hebat
luar biasa kepada Siauw Liong-Lie, dia sekaligus telah melancarkan tiga
serangan yang saling rangkai merangkai.
Siauw Liong Lie merasakan
menyambar angin yang luar biasa kuatnya, sehingga nyonya Yo ini jadi kaget
sekali, dia melompat mundur dengan sikap agak tergesa. Karena gerakannya itu,
kedudukan perutnya jadi berobah, membuat kandungannya tergoncang. Seketika
Siauw Liong Lie merasakan perutnya menjadi sakit karena bayi di dalam perutnya
bergerak, dan juga di saat itu pinggangnya dirasakan sakit sekali, menyebabkan
Siauw Liong Lie jadi mengeluh sendirinya dan tubuhnya terhuyung-huyung seperti
mau jatuh.
Tiat To Hoat-ong melihat
keadaan si nyonya dia menjadi kesenangan. Cepat-cepat dia melompat untuk
menangkapnya. Tetapi di saat tubuhnya baru bergerak, di saat itulah dia telah
mendengar suara lengkingan yang aneh, yang terdengarnya nyaring sekali,
menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan suara lengkingan aneh itu telah
berada di tempat tersebut.
Karena sejak semula Tiat To
Hoat-ong menduga bahwa orang yang mengeluarkan suara lengkingan itu adalah Yo
Ko dan Ciu Pek Thong, hal ini telah membuat si pendeta telah merasa ngeri
sendirinya. Tidak sempat dia berpikir untuk mempergunakan tabung gasnya, dia
telah melompat dan menggerakan tangan kanannya menghantam Siauw Liong Lie
dengan pukulan yang kuat sekali.
Tanpa ampun lagi tubuh Siauw
Liong Lie telah terpental tiga tombak lebih, ambruk di atas tanah dengan
mengeluarkan suara rintihan dan dia telah tidak sadarkan diri. Sedangkan Tiat
To Hoat-ong setelah berhasil dengan pukulannya tersebut, telah cepat-cepat
menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melompat dan telah meninggalkan tempat
tersebut. Gerakan yang dilakukannya itu sangat gesit sekali, dalam sekejap mata
saja dia telah lenyap dari pandangan mata.
Suara lengkingan aneh itu
terdengar semakin dekat, kemudian dari balik gerombolan pohon muncul yang
melompat keluar, ternyata sosok tubuh itu adalah seekor macan tutul.
Menyusul dengan melompatnya
macan tutul itu, tampak sesosok tubuh lainnya, yang tinggi besar itu, adalah
tubuh seorang manusia, yang berpakaian compang camping. Mukanya dipenuhi oleh
jenggot dan kumis yang panjang, serta rambutnya juga terurai di bahunya.
Matanya bersinar tajam mengawasi ke arah Siauw Liong Lie yang rebah diam tidak
bergerak. Sedangkan macan tutul itu telah melangkah mendekati Siauw Liong Lie,
mencium dan menjilati dengan mempergunakan lidahnya yang panjang.
Dia mengeluarkan suara erangan
perlahan, sedangkan manusia bertubuh tinggi besar, yang tampaknya berpotongan
seperti manusia hutan itu, telah mengeluarkan suara lengkingan yang nyaring.
Suara lengkingan yang nyaring dan parau itulah yang tadi telah didengar Siauw
Liong Lie maupun si pendeta Tiat To Hoat-ong......
Dengan langkah satu-satu
manusia bertubuh tinggi besar yang keadaannya luar biasa itu telah mendekati
Siauw Liong Lie dia memeriksa keadaan si nyonya. Tiba-tiba wajahnya jadi
berobah waktu dia memperoleh kenyataan si nyonya terluka hebat akibat pukulan
dahsyat Tiat To Hoat-ong, dan juga yang lebih mengejutkan justru Siauw Liong
Lie dilihatnya tengah dalam keadaan mengandung.
Dengan tangan kanan
digerak-gerakkan, manusia bertubuh tinggi besar itu telah memberi isyarat
kepada macan tutulnya. Sedangkan manusia bertubuh tinggi besar yang aneh itu
telah mendekati burung Sin-tiauw, dia mengangkatnya.
Dengan beberapa kali lompatan,
orang itu telah membawa pergi Sin-tiauw. Sedangkan si macan tutul seperti juga
mengerti maksud isyarat dari manusia bertubuh tinggi besar itu, dia telah
menggigit baju Siauw Liong Lie, lalu dengan lompatan yang lincah macan tutul
itu telah berlari-lari mengambil arah dimana tadi manusia aneh itu menghilang.
Keadaan di tempat tersebut telah sunyi kembali!
<>
Tiat To Hoat-ong berlari-lari
dengan cepat sekali dalam waktu singkat dia telah berlari belasan lie. Tetapi
setelah berlari sejenak lagi akhirnya otaknya bekerja dengan cermat, pulih
kembali ketelitiannya.
„Tidak mungkin suaminya
berhasil mengikuti jejakku sampai di tempat ini!” berpikir si pendeta yang
cerdik itu. „Dan juga..... suara lengkingan aneh yang parau itu, yang seperti
suara erangan binatang buas, juga jelas bukan suara suaminya......! Akhh,
mengapa aku jadi demikian pengecut sehingga bisa diperdayakannya? Jika suaminya
itu datang, belum tentu aku bisa dirubuhkan oleh mereka.....!” Karena berpikir
begitu, kembalilah keangkuhannya, dan dia telah berhenti berlari.
„Dia juga telah berhasil
kuhantam dengan pukulan Tok-kun (pukulan beracun), jelas dia sudah tidak akan
berdaya, apalagi dia tengah dalam keadaan hamil? Mengapa aku harus jeri?” Maka
Tiat To Hoat-ong telah memutar tubuhnya lagi.
Dia telah berlari-lari ke
tempat dimana tadi dia telah meninggalkan Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw. Tetapi
ketika si pendeta tiba di tempat itu, dia jadi berdiri tertegun. Karena di
tempat itu dia sudah tidak melihat Siauw Liong Lie maupun Sin-tiauw lagi. Hanya
samar-samar dia masih mendengar suara pekik dan lengking yang nyaring
dikejauhan.....
Dengan penasaran Tiat To
Hoat-ong telah mencari-carinya di sekitar tempat itu, dia berusaha untuk
mencari Siauw Liong Lie dan Sin-tiauw. Tetapi tetap saja Tiat To Hoat-ong tidak
berhasil menemui nyonya Yo itu maupun Sin-tiauwnya yang sakti, yang tengah
dipengaruhi obat tidurnya itu.
Karena Tiat To Hoat-ong
mengetahui Siauw Liong Lie telah berhasil dilukainya dengan serangannya yang
hebat, jelas nyonya itu tidak bisa melarikan diri dari tempat tersebut. Biar
bagaimana sempurna dan tingginya tenaga dalam si nyonya Yo, dengan keadaannya
yang tengah hamil dan terluka seperti itu, tentu saja dia tidak bisa melarikan
diri jauh-jauh.
Dan dia telah melihat, betapa
di sekitar tempat itu tidak ada tanda-tanda jejak lainnya, dia telah berusaha
memutari sekitar tempat tersebut. Tetapi usaha Tiat To Hoat-ong gagal dan
nihil, setelah lewat sesaat lagi, dia jadi mendongkol sekali. Dengan sangat
penasaran, dia masih berusaha untuk mencarinya. Dan tetap saja usahanya itu
tidak berhasil. Lama si pendeta Mongolia itu mencari-cari kesana kemari,
akhirnya dengan jengkel dia meninggalkan kaki gunung Kun-lun-san dengan hati
kecewa.
Semula dengan tertawannya
Siauw Liong lie, tentu saja dia telah memiliki jaminan yang kuat untuk
menundukkan jago-jago daratan Tiong-goan. Yang sudah pasti, dia jelas akan
dapat menekan Yo Ko dan mencelakai pendekar sakti berlengan tunggal itu.
Seperti perintah yang diterimanya dari Kublai Khan yaitu menghendaki agar Tiat
To Hoat-ong membasmi habis semua jago-jago Tiong-goan seperti Kwee Ceng, Oey
Yong, Oey Yok Su, It-teng Taysu, Ciu Pek Thong dan yang lain-lainnya. Yang
dipentingkan oleh Kublai Khan adalah Ngo-ciat, kelima jago luar biasa yang
diketahui oleh Kaisar Mongol pengganti Kaisar Mangu itu, bahwa Ngo-ciat
membantu pihak pemerintah Song memukul mundur pasukan perang Mongolia.
Dengan rencananya itu, Kublai
Khan bermaksud untuk membasmi habis dulu jago-jago Tiong-goan yang memiliki
kepandaian tinggi, agar kelak jika dia menerobos ke dalam daratan Tiong-goan
pula dengan mudah ia akan dapat menghancurkan pertahanan pemerintah Song,
karena Kaisar Mongol ini menyadarinya, jika saja pemerintah Song tidak dibantu
dengan orang gagah rimba persilatan, jelas kerajaan Song itu tidak ada artinya
lagi. Kublai Khan juga menyadari bahwa pembesar kerajaan Song itu sangat lemah
dan tidak memiliki kesanggupan mengurus negara. Jika orang-orang gagah di
daratan Tiong-goan itu berhasil dibereskan jelas urusan menundukan kerajaan
Song dan merampas daratan Tiong-goan dapat dilakukannya dengan mudah.
Kepada Tiat To Hoat-ong,
Kublai-Khan telah memberikan perintah agar pendeta tersebut berusaha dengan
berbagai jalan dan tipu apa saja, asalkan dapat membinasakan jago-jago daratan
Tiong-goan. Jika perlu, Tiat To Hoat-ong harus menghimpun jago-jago daratan
Tiong-goan itu, memecah belahkannya, dan juga jika perlu menawarkan harta dan
pangkat, agar mereka tunduk dan menghamba kepada kerajaan Mongolia.
Dengan perintah rahasianya
itu, maka Tiat To Hoat-ong sesungguhnya telah menerima kekuasaan yang tidak
kecil. Disamping dirinya, Khan yang agung itu telah menyertakan beberapa orang
jago luar biasa dari negaranya, agar membantu Tiat To Hoat-ong.
Sejak kekalahan yang dialami
oleh pasukan perang Mongolia di kota Siang-yang, yang memaksa pasukan itu
mundur ke Utara atas kematian Kaisar mereka, yaitu Mangu, maka Kublai Khan yang
menggantikan kakaknya duduk sebagai Khan yang agung, telah berusaha untuk
mencari jalan, agar kelak dapat merampas daratan Tiong-goan. Namun disebabkan
Kublai Khan memang jauh lebih cerdas dari kakaknya, disamping itu juga Kublai
Khan memiliki perhitungan yang tajam, sengaja dia telah mengirimkan
utusan-utusan ke berbagai negara, antara lain Nepal, India. Persia, Turkhestan
dan beberapa negara lainnya untuk mengundang jago-jagonya yang memiliki
kepandaian tinggi, dengan pembayaran yang tinggi, disamping pemberian pangkat
dan harta yang luar biasa banyaknya.
Tidaklah mengherankan jika
banyak jago-jago dari negara asing yang berduyun-duyun datang ingin menghamba
kepada Kublai Khan. Umumnya mereka merupakan jago-jago yang luar biasa di
negerinya, dan mereka merupakan manusia-manusia yang tamak dan kemaruk akan
harta dan kedudukan yang tinggi. Sehingga Kublai Khan bisa memanfaat¬kan
sifat-sifat mereka itu, telah berhasil mengendalikan dan menguasai mereka
dengan baik.
Dengan bekerja secara cerdik,
Kublai Khan dengan bertahap telah mengirim jago-jago sewaan tersebut ke daratan
Tiong-goan, karena dia bermaksud untuk menghancurkan jago-jago Tiong-goan agar
kelak jika dia menerobos ke daratan Tiong-goan, dia bisa merampas dan
merubuhkan kerajaan Song tanpa rintangan pula, maka secara bergilir jago-jago
itu telah diutus ke daratan Tiong-goan, termasuk Tiat To Hoat-ong.
Maka ketika Tiat To Hoat-ong
berhasil menawan Siauw Liong Lie, tentu saja dia girang sekali karena dia
mengetahui bahwa Siauw Liong Lie merupakan salah seorang pendekar wanita yang
diincar Kublai Khan. Maka dari itu dia mati-matian bertahan agar dapat
menguasai Siauw Liong Lie.
Dan sekarang tawanannya itu
telah lenyap, telah terlepas dari tangannya, bisalah dibayangkan kekecewaan di
hati Tiat To Hoat-ong. Dengan penasaran dia telah mencari Siauw Liong Lie dan
Sin-tiauw di sekitar tempat itu, tetapi usahanya itu tetap sia-sia saja.
Bahkan, suara lengkingan yang tadi masih sering didengarnya, kini sudah tidak
terdengar lagi, keadaan di sekitarnya telah sunyi sekali.
Dengan murka Tiat To Hoat-ong
akhirnya menghantam sebuah batu gunung sebesar pelukan tangan, sampai batu itu
gompal dan sebagian menjadi hancur merupakan bubuk-bubuk halus karena dia
kecewa dan marah sekali, maka pukulan itu disertai oleh tenaga dalam yang luar
biasa dahsyatnya!
◄Y►
Ketika Siauw Liong Lie
tersadar dari pingsannya, pertama-tama yang dirasakannya adalah perutnya yang
sakit luar biasa. Walaupun kesadaran dirinya belum pulih keseluruhannya dan
matanya masih terpejam, namun Siauw Siong Lie telah mengeluarkan rintihan.
Perasaan sakitnya itu
dirasakan bukannya semakin berkurang, bahkan telah semakin menjadi hebat
sekali, sehingga Siauw Liong Lie tidak hentinya telah mengeluarkan suara
rintihan karena perasaan sakitnya itu tidak dapat ditahannya lagi. Anak di
dalam kandungannya itu seperti meronta-ronta dan menendang-nendang ingin
keluar,
Sesungguhnya Siauw Liong Lie
telah pingsan selama empat hari lima malam, tetapi di saat dia tersadar dan
merasakan perutnya sakit sekali, dia telah pingsan tidak sadarkan diri lagi
dengan keringat yang mengucur deras dikeningnya. Sebelum lenyap kesadarannya,
Siauw Liong Lie masih merasakan seperti ada jari-jari tangan yang mengusap
keningnya, mengusap keringatnya. Tetapi selanjutnya Siauw Liong Lie sudah tidak
mengetahui apa-apa, kesadarannya telah lenyap, pandangan matanya gelap dan pikirannya
seperti menerawang...... dia telah pingsan lagi.....
Entah sudah berapa lama dia
dalam keadaan pingsan seperti itu, akhirnya Siauw Liong Lie telah tersadar
kembali.. Perasaan sakit di perutnya tidak sehebat seperti tadi walaupun
perasaan sakit itu belum juga lenyap. Perlahan-lahan Siauw Liong Lie membuka
matanya, dan dia hanya bisa melihat bayangan yang samar-samar, sebab seluruh
pandangan matanya kabur dan seperti terhalang oleh kabut.
„Akhh, dia telah sadar.....!”
terdengar suara seorang yang mengeluh. Dari nada suaranya, tampaknya orang itu
bersyukur sekali bercampur girang.
Tetapi Siauw Liong Lie sama
sekali tidak berhasil melihat keadaan disekelilingnya. Nyonya Yo telah
memejamkan matanya lagi rapat-rapat, berselang sesaat lamanya, dia baru membuka
matanya itu dan dia telah dapat melihat lebih jelas.
Dirinya ternyata berada di
sebuah pembaringan, yang terbuat dari kayu kasar dan ditumpuki rumput-rumput
kering. Dia berada disebuah ruangan rumah yang sederhana sekali, yang terbuat
dari kayu-kayu kasar di muka sebuah goa batu yang banyak dikelilingi, oleh
batu-batu gunung yang tinggi. Disamping dirinya berdiri seorang lelaki bertubuh
tinggi besar yang bermuka kasar dengan jenggot, kumis dan rambut yang terurai
panjang.
Siauw Liong Lie Tidak mengenal
orang itu, yang tengah mengawasi ke arahnya dengan muka yang kaku. Suara yang
didengarnya tadi diucapkan oleh orang tersebut. Sebagai orang yang berperasaan
halus, Siauw Liong Lie segera mengetahui bahwa orang tersebut walaupun wajahnya
kasar menyeramkan, namun hatinya tentu baik dan welas asih, karena dari nada
suaranya, yang tadi didengarnya, mengandung perasaan syukur dan girang atas
kesadaran diri nyonya Yo tersebut.
Sepasang alis Siauw Liong Lie
tampak mengerut saling menyentuh ujungnya. Dia merasakan perutnya kembali sakit
luar biasa.
„Kau jangan banyak bergerak
dulu...... harus diam...... lukamu parah...... harus sayang diri......” kata
orang berjenggot dan berkumis panjang itu dengan suara yang tergagap, kasar
sekali suaranya, namun halus nadanya, hal itu memperlihatkan bahwa dia sama
sekali tidak bermaksud buruk kepada Siauw Liong Lie.
„Si..... siapa kau? Engkaukah
yang telah menolong aku?” tanya Siauw Liong Lie sambil menahan perasaan sakit
diperutnya.
„Benar.....” jawab orang itu. „Kau
panggil saja aku Lo Him!”
Siauw Liong Lie jadi heran.
„Lo Him?” tanyanya.
„Ya, apakah aneh?”
Lo Him berarti si Biruang Tua.
Aneh sekali namanya orang tersebut. Tetapi karena orang itu telah menyelamatkan
diri dan jiwanya, maka Siauw Liong Lie juga tidak mau terlalu banyak bertanya,
takut menyinggung perasaan orang yang tampaknya tidak pandai bicara itu.
Terlebih lagi di saat itu perutnya tengah sakit sekali, janin bayi di dalam
kandungannya seperti menendang-nendang perutnya keras-keras. Tiba-tiba Siauw
Liong Lie teringat Sin-tiauwnya.
„Mana mana dia?” tanyanya
dengan menahan perasaan sakit diperutnya itu, pinggangnya juga rasanya seperti
ditarik dan kaku.
„Dia? Siapa dia?” tanya lelaki
bertubuh tinggi besar itu.
„Tiauw-heng…..” menyahuti
Siauw Liong Lie dengan suara yang bersusah payah.
„Maksudmu rajawali yang
pemalas dan hanya kerjanya tidur itu?” tanya orang bertubuh tinggi besar
tersebut.
„Benar. Selamatkah dia?”
„Aku telah membawanya kemari
juga kini dia tengah mencari makan...... dia malas sekali...... dia selalu
kerjanya tidur!”
Siauw Liong Lie walaupun
tengah menahan perasaan sakit diperutnya, tidak urung jadi tersenyum juga.
Karena Siauw Liong Lie dapat menduga bahwa Tiauw-heng itu lemas tidak bertenaga
akibat pengaruh obat tidur yang dipergunakan oleh Tiat To Hoat-ong.
Dan memang sesungguhnya,
ketika Sin-tiauw dibawa oleh lelaki bertubuh tinggi besar itu, dia masih dalam
keadaan tertidur sampai dua hari dua malam. Ketika burung itu tersadar dari
tidurnya, mulai terbebas dari pengaruh obat tidur itu, tubuhnya masih lemas
seperti tidak memiliki tenaga. Selama dua hari lagi, Sin-tiauw hanya berdiam
saja dengan tubuh yang lemas.
Orang yang tadi tuan
penolongnya menduga Sin-tiauw adalah rajawali pemalas, dia setiap hari
memberikan daging kelinci hasil buruannya. Di hari kelimalah Sin-tiauw baru
bisa terbang berkeliling, dia mulai mencari mangsa untuk makanannya, mencari
kelinci barunya.
Siauw Liong Lie mengeluh
perlahan, dia merasakan perutnya semakin lama semakin sakit.
„Aku telah berikan obat, kau
telah makan obat..... jiwamu tertolong….. tetapi kau harus istirahat satu
tahun….. terlebih lagi bayimu akan lahir...... kau perlu diobati dengan ilmu
sejati.....”
Siauw Liong Lie hanya
mendengar samar-samar suara orang tersebut, karena tidak lama kemudian dia
telah jatuh pingsan lagi. Siauw Liong Lie tidak mengetahui berapa lama lagi dia
pingsan, sampai akhirnya dia tersadar lagi. Tetapi kali ini perutnya sudah
tidak sakit lagi.
Apa yang dialami oleh Siauw
Liong Lie sebetulnya cukup bahaya dan parah, karena serangan Tiat To Hoat-ong
justeru telah menghantam kandungannya. Untung saja pukulan itu tidak
menyebabkan gugurnya kandungan isteri Yo Ko tersebut. Tetapi walaupun demikian,
tetap saja pukulan itu telah menyebabkan kandungan Siauw Liong Lie mengalami
goncangan yang merubah kedudukan janin bayi tersebut, disamping itu Siauw Liong
Lie pun telah terluka di dalam.