Rajawali Sakti dari Langit Selatan (sin tiauw thian lam) Bagian 2

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: sin tiauw thian lam Bagian 2 Sejak beberapa hari yang lalu orang bertubuh tinggi besar dan kasar itu telah berusaha untuk mengobati Siauw Liong Lie.

08.16. Hasrat Si Tuan Penolong

Sejak beberapa hari yang lalu orang bertubuh tinggi besar dan kasar itu telah berusaha untuk mengobati Siauw Liong Lie. Dengan mempergunakan beberapa ramuan obat, dia telah mencekoki nyonya yang dalam keadaan pingsan tersebut, dan menyalurkan tenaga murni yang sejati melalui telapak tangannya. Setelah lewat lima hari itulah, di saat si nyonya telah tersadar, barulah jiwa Siauw Liong Lie terlolos dari bahaya kematian, dan kesehatannya akan pulih perlahan-lahan.

Tetapi walaupun Siauw Liong Lie berhasil diselamatkan jiwanya, dan kandungannya itu pun berhasil di lindunginya, tetapi tetap saja ancaman bahaya yang tidak kecil mengancamnya, yaitu jika dia tidak berobat secara sungguh-sungguh dan memperoleh pengobatan yang baik, niscaya dia akan menjadi cacad, yaitu akan lumpuh sepasang kakinya, karena sebagian isi perutnya, telah ada yang rusak akibat dahsyatnya serangan yang dilancarkan Tiat To Hoat-ong. Yang lebih celaka lagi justru serangan itu diterima Siauw Liong Lie dalam keadaan mengandung, maka keadaan tubuhnya menjadi semakin lemah.

Namun orang bertubuh kasar itu ahli meramu obat-obatan. Setelah lewat setengah bulan, akhirnya kesehatan Siauw Liong Lie mulai pulih kembali. Tetapi atas anjuran dari penolongnya itu, Siauw Liong Lie belum boleh turun dari pembaringan.

Setiap hari, orang bertubuh tinggi kasar itu telah menyalurkan tenaga dalam sejatinya lewati telapak tangannya, dimana telapak tangannya ditempelkan dengan telapak tangan Siauw Liong Lie. Dan tenaga dalam itu menyelusup masuk ke dalam, menembus beberapa jalan darah terpenting di tubuh nyonya Yo Itu, antara lain jalan darah Su-kiang-hiat di pinggul, Bian-bo-hiat di pinggang, Liang-hie-hiat di atas lutut, Pian-cie-hiat di paha kiri dan kanan nyonya itu, dan Lung-cie-hiat di leher Siauw Liong Lie.

Seharusnya seluruh jalan darah itu mesti di urut dan ditotok. Namun karena teringat akan ikatan peraturan adat istiadat, antara pantangan pria dan wanita yang tidak dapat bersentuhan, maka penolong Siauw Liong Lie itu tidak berani menyentuh jalan darah itu. Dan berhubung tenaga dalam orang bertubuh tinggi besar itu telah sempurna sekali, dia bisa menyalurkan tenaga murninya melalui telapak tangan Siauw Liong Lie, sehingga jiwa nyonya itu masih bisa tertolong.

Lewat lagi setengah bulan, keadaan Siauw Liong Lie telah pulih sebagian besar. Nyonya Yo tersebut telah bisa turun dari pembaringannya, telah bisa berjalan perlahan-lahan, dan sering memandangi keindahan di sekitar tempat dimana dia berada.

Siauw Liong Lie juga telah melihat bahwa dirinya berada di sebuah lembah gunung yang indah sekali. Di sekeliling lembah itu terhalang oleh tebing yang tinggi sekali, sehingga lembah itu seperti merupakan sebuah lembah yang letaknya tersembunyi dari dunia luar. Keindahan yang terdapat di lembah itu memang menarik sekali, ditambah juga oleh pohon-pohon bunga yang bermacam ragam bertumbuhan di situ.

Rumah sederhana yang di tempatinya itu ternyata baru saja dibangun oleh tuan penolong Siauw Liong Lie, karena di saat lelaki bertubuh kasar itu menolongi Siauw Liong Lie, dia telah cepat-cepat membangun rumah tersebut dengan cabang dan dahan kayu, dengan mempergunakan rumput kering sebagai atapnya.

Sebetulnya Lo Him menetap di sebuah goa yang cukup luas, dan goa seperti itu memang banyak terdapat di tebing-tebing di dalam lembah.

Siauw Liong Lie jadi merasa berterima kasih sekali atas perawatan Lo Him. Dia melihat, usia Lo Him mungkin baru empatpuluh tahun, namun karena lelaki tersebut tidak merawat diri dan tubuhnya, yang membiarkan rambut dan kumis jenggotnya tumbuh panjang, dengan sendirinya telah menyebabkan dia menjadi lebih tua dari usianya yang sesungguhnya.

Disamping itu, Lo Him seorang lelaki yang tidak pandai bicara, dia kasar, namun hatinya sangat baik. Disamping pendiam, Lo Him juga seperti tengah menderita tekanan bathin, karena wajahnya selalu murung, memancarkan kedukaan hatinya.

Pernah Siauw Liong Lie menanyakan mengapa Lo Him bisa menetap di lembah ini hanya seorang diri, tetapi lelaki aneh itu tidak mau memberikan keterangannya. Bahkan dari sinar matanya, tampaknya dia gusar sekali. Sehingga di hari-hari berikutnya Siauw Liong Lie tidak berani mengemukakan pertanyaan serupa itu.

Lo Him setiap hari pergi mencari binatang buruan, yang selalu dimasak dan disajikan kepada Siauw Liong Lie dengan sikap yang ramah sekali, dia merawat Siauw Liong Lie dengan sikap yang baik dan sopan, walaupun dia sering memperlihatkan sikap yang kasar.

Semula Siauw Liong Lie berkuatir juga. Benar dia berkepandaian tinggi sekali, tetapi kini dia tengah terluka hebat dan perlu beristirahat dalam waktu yang panjang sekali, disamping itu kandungannya telah semakin besar pula. Maka jika Lo Him menolongi dirinya karena mengandung maksud yang sangat kurang baik, maka dia mana bisa melakukan perlawanan, apalagi Siauw Liong Lie telah mengetahui walaupun Lo Him mirip-mirip manusia hutan, tetapi dia memiliki kepandaian yang luar biasa, disamping lwekangnya yang sempurna sekali.

Tetapi setelah sebulan lebih Siauw Liong Lie berdiam di lembah itu, maka perlahan-lahan dia bisa melihat bahwa lelaki itu adalah seorang laki-laki yang baik. Lo Him sama sekali belum pernah memperlihatkan sikap-sikap yang kurang ajar. Bahkan, sama sekali tidak tertarik kepada Siauw Liong Lie, hanya dia lebih tertarik kepada kandungan Siauw Liong Lie.

Suatu hari, Siauw Liong Lie tengah duduk di bawah sebatang pohon siong yang berada di mulut lembah, dia mengawasi ke langit, dimana awan-awan tampak tengah bergeser perlahan-lahan dengan bentuknya yang indah-indah. Di saat seperti itu, Siauw Liong Lie teringat kepada suaminya, dia rindu sekali kepada Yo Ko. Tetapi kemana dia harus mencari Yo Ko, Sedangkan dia tengah terluka? Untuk keluar dari lembah itu, tentu saja dia tidak berani, karena disamping dia tengah terluka dan kandungannya lemah, juga dia takut kalau-kalau nanti bertemu dengan Tiat To Hoat-ong lagi. Jika bertemu dengan pendeta busuk itu, maka berarti akan celakalah dia bersama kandungannya.

Walaupun Siauw Liong Lie berkepandaian tinggi, namun selama dia tengah mengandung kekuatan tenaga dalamnya berkurang banyak dan diapun tidak bisa mengempos dan mempergunakan secara menyeluruh kekuatan lwekangnya, karena bisa mengganggu kandungannya. Maka jalan satu-satunya yang paling selamat ialah berdiam dulu di lembah ini, menanti sampai bayinya terlahirkan. Dan kelak tanpa kandungannya, dia pasti akan dapat memberikan perlawanan yang keras kepada Tiat To Hoat-ong, sambil mencari juga suaminya..... di saat itu pun lukanya pasti telah sembuh kembali.

Siauw Liong Lie juga teringat, betapa ketika Yo Ko mengetahui dia sedang mengandung bayinya itu sangat girang sekali, hampir setiap malam Yo Ko mengusap-usap perutnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi kini mereka terpisah satu dengan yang lainnya, dan Siauw Liong Lie hanya bisa menghela napas berulang kali. Sejak dia melihat Yo Ko di kuburan Mayat Hidup, sampai akhirnya bergaul dan telah terikat sebagai pasangan suami isteri, beberapa kali mereka selalu berpisahan, terpisah bercerai berai, bahkan yang terakhir mereka pernah berpisah untuk jangka waktu selama enambelas tahun! Dan kini di saat dia tengah mengandung bayi mereka, justru mereka telah berpisah pula.

„Inilah nasib!” mengeluh Siauw Liong Lie dan tanpa disadarinya dia telah menitikkan butir butir air mata.

Di saat dia tengah melamun seperti itu, Siauw Liong Lie mendengar suara langkah kaki mendekati ke arahnya. Cepat-cepat nyonya Yo ini telah menghapus air matanya, dilihatnya Lo Him tengah menghampiri dirinya.

Muka Lo Him sore ini agak luar biasa dia menghampiri ke arah Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali, mukanya juga tidak terlihat perasaan apapun juga, disebut tertawa bukan tertawa, disebut menangis juga bukannya menangis..... sehingga hati Siauw Liong Lie jadi tergoncang.

Ketika Lo Him sampai di dekat Siauw Liong Lie, matanya yang bersinar itu telah memandang ke arah perut Siauw Liong Lie.

„Tidak lama lagi dia akan lahir.....” katanya dengan suara yang nadanya aneh dan membuat jantung Siauw Liong Lie tambah tergoncang. Yang dimaksudkan dengan perkataan “dia”, oleh Lo Him adalah janin bayi di dalam perut Siauw Liong Lie.

Melihat Siauw Liong Lie berdiam diri saja Lo Him telah berkata lagi, „Akhhh, tentunya dia seorang bayi yang manis sekali! Di waktu itu kau akan menjadi seorang ibu yang bahagia dan terbebas dari kandungan.....!”

Mendengar perkataan Lo Him yang terakhir itu, hati Siauw Lie Lie jadi tambah tergoncang. Walaupun bagaimana, dia tetap saja seorang wanita, yang memiliki perasaan halus. Lo Him memang telah menolongi jiwanya dan kandungannya maupun Sin-tiauw. Namun disamping itu, diapun selalu berwaspada, berjaga kalau-kalau Lo Him menolonginya itu mengandung maksud tertentu.

Terlebih lagi kini dia mendengar perkataan Lo Him yang nadanya seperti juga mengharapkan Siauw Liong Lie melahirkan anaknya cepat-cepat, agar Siauw Liong Lie cepat-cepat bebas dari kandungannya. Kecurigaan Siauw Liong Lie semakin keras bahwa Lo Him ada mengandung maksud tertentu. Dengan sendirinya, di hati Siauw Liong Lie muncul perasaan muak dan tidak senang terhadap tuan penolongnya itu. Sepasang alisnya mengkerut dalam-dalam dan dia berdiam diri saja.

Lo Him melihat Siauw Liong Lie berdiam diri saja, dengan suara tergagap dia telah bertanya lagi, „Engkau......mengharapkan lelaki atau perempuan?” tanyanya.

Siauw Liong Lie mengerti, Lo Him tentu maksudkan anaknya itu.

„Yang mana saja, asal Thian melindungi, aku telah bersyukur!” menyahuti Siauw Liong Lie dengan suara yang dingin.

„Tetapi aku mengharapkan seorang anak lelaki.....!” kata Lo Him.

„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong Lie sebal sekali, tetapi karena ingin mengetahui, dia telah bertanya juga.

„Karena aku ingin mengambilnya menjadi anakku!” kata Lo Him.

„Ha?” berseru Siauw Liong Lie terkejut, wajahnya jadi pucat pias.

„Aku akan mendidik dia dengan ilmu silat yang tinggi dan sempurna, agar kelak dia akan muncul sebagai seorang pendekar yang gagah, sebagai puteranya Lo Him!”

Tubuh Siauw Liong Lie jadi menggigil. Tiba-tiba perasaan takut telah menyelusup ke dalam dasar hatinya. Dengan menginginkan bayinya menjadi anaknya, bukankah berarti Lo Him ingin mengartikan perkataannya itu bahwa dia bermaksud mengambil Siauw Liong Lie sebagai isterinya?

„Hemm, biarlah!” berpikir Siauw Liong Lie „Sekarang aku mengalah saja dan bersabar. Yang terpenting, jika aku telah melahirkan, jelas aku akan melawan maksud jahatnya itu. Aku yakin, dengan lukaku telah sembuh dan telah melahirkan, walaupun belum tentu bisa membinasakannya, tetapi diapun tidak mungkin bisa mengalahkan aku!”

Saat itu, Lo Him telah mengangkat kepalanya, dia menghela napas berulang kali. Mukanya muram sekali, memancarkan kedukaan yang bergolak di dalam hatinya. Lama Lo Him memandang gumpalan awan itu. Akhirnya dia menoleh kepada Siauw Liong Lie.

„Kau kini tengah mengandung, sebetulnya engkau seorang wanita yang bahagia, karena tidak lama lagi kau akan menjadi seorang ibu tetapi aku, keluargaku telah hancur, isteriku telah meninggal dalam keadaan hamil,” dan beberapa butir air mata segera mengucur dari pelupuk matanya.

Siauw Liong Lie diam saja, karena dia menduga orang tersebut bercerita akan kesedihan dan kemalangan dirinya, hanya ingin menarik simpatinya belaka. Dan Siauw Liong Lie telah semakin sebal saja, dia hanya mendengarkan dengan acuh tak acuh.

„Dan, memang sampai detik ini, seharusnya aku membenci semua wanita...... tetapi melihat kau, aku jadi merasa kasihan terhadap nasib bayi dalam kandunganmu, sehingga aku menolonginya!”

Siauw Liong Lie mengerutkan alisnya. „Kenapa begitu?”

„Aku benci! Bukan hanya wanita, tetapi semua manusia!” kata Lo Him. „Seperti kau lihat, aku bergaul dengan macan tutul, ular dan binatang buas lainnya, karena tidak ingin bergaul dengan manusia.....!”

„Tetapi, mengapa kau menolongi aku?” tanya Siauw Liong Lie ragu-ragu.

„Menolong kau? Ohhh bukan! Jangan kau mimpi! Semua yang telah kulakukan itu bukan menolongi dirimu! Mungkin jika kau bukan tengah mengandung, aku justru akan menghajar hancur batok kepalamu!”

„Ihhh!” Siauw Liong Lie sampai mengeluarkan suara seruan tertahan mendengar perkataan Lo Him yang tidak diduganya. Karena semula dia menyangka bahwa Lo Him menolongnya karena melihat parasnya yang cantik dan juga Lo Him mengandung maksud yang buruk kepadanya. Tetapi mendengar pernyataan Lo Him yang terakhir ini, tentu saja membuat Siauw Liong Lie jadi tertegun dan memandangi lelaki ini diam-diam.

Lo Him telah memandangi gumpalan awan di langit, untuk sejenak lamanya dia berdiam diri saja. Sampai akhirnya seperti orang menggumam dia telah berkata perlahan-lahan,

„Ya, ya memang di dunia ini selalu terjadi urusan yang tidak diduga-duga! Aku pernah bersumpah, bahwa aku tidak akan meninggalkan lembah ini seumur hidupku, dan juga aku tidak akan mengijinkan manusia menginjakkan kakinya di lembah ini. Namun sekarang? Telah ada seorang manusia dan calon manusia lainnya yang telah menginjakkan kakinya di lembah ini. Hai! Hai! Aku telah melanggar sumpahku sendiri.”

„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong Lie.

Muka Lo Him tampak berobah merah padam, matanya bengis sekali memandang Siauw Liong Lie. Setelah menatap begitu, yang membuat Siauw Liong Lie bergidik dan jantungnya tergoncang, maka dia telah berkata lagi.

„Hemm, justru anak dikandunganmu itu yang telah menyelamatkan jiwamu!”

Dan sehabis berkata begitu, Lo Him tampaknya menyesal telah membawakan sikap yang kasar dihadapan Siauw Liong Lie, dia telah menundukkan kepalanya dan menangis terisak-isak.

„Maafkan...... aku tidak sengaja berlaku kasar!” katanya diantara isak tangisnya.

Siauw Liong Lie yang telah merasakan hebatnya gelombang kehidupan selama berpacaran dan hidup berumah tangga dengan Yo Ko, telah bisa menyelami hati seorang manusia, yang selalu diserang dan digeluti oleh berbagai peristiwa aneh dan tidak terduga. Walaupun bagaimana pahitnya, jika peristiwa itu selalu diakhiri oleh hal-hal yang manis, tentu manusia itu akan hidup bahagia. Seperti dia pernah berpisah dengan Yo Ko selama enambelas tahun namun akhirnya, mereka berjumpa lagi.

Dan cinta merekapun telah berpadu, walaupun akhirnya mereka terpisah pula, tetapi Siauw Liong Lie dan Yo Ko dapat mengecap kebahagiaan yang sangat. Dan Yo Ko pun tidak jarang menitikkan air mata di dalam saat-saat tertentu, karena kedukaan yang dalam, diantara haru dan kegembiraan. Maka melihat seorang lelaki yang memiliki kepandaian sehebat Lo Him bisa mengucur kan air mata, Siauw Liong Lie sudah tidak merasa heran lagi.

“Sesungguhnya apa yang telah terjadi?” tanyanya kemudian dengan suara yang sabar dan halus.

Ditegur begitu, Lo Him jadi tambah keras tangisnya.

Akhirnya Siauw Liong Lie telah membiarkan Lo Him menangis sepuas hatinya, karena jika dalam keadaan seperti itu, dia membujuki juga percuma saja.

Dan setelah Lo Him puas menangis dan menepas air matanya, barulah lelaki itu berkata perlahan dan lemah,

„Semua memang dosaku, bukan salahnya takdir!” berkata Lo Him. „Namun yang kusesalkan, mengapa Thian justru menurunkan nasib buruk kepadaku tanpa kepalang tanggung.....! Ibuku, isteriku, adik perempuanku, semuanya menganggap aku manusia binatang yang berbisa..... semuanya tidak mengetahui bahwa sesungguhnya bukan aku yang bersalah! Haaaaaaa, sudahlah! Memang aku yang salah dan terkutuk sekali. Mengapa aku tidak bisa bertindak tegas, hingga perbuatanku yang malah dituduh busuk?”

Setelah berkata begitu, Lo Him berdiam sejenak, dia memandang bengong ke atas lagi, mengawasi gumpalan awan, dan bibirnya bergerak-gerak seperti tengah mengucapkan sesuatu. Namun akhirnya dia telah berdiam mematung saja.

Siauw Liong Lie yang tadi mengawasi, jadi bertambah heran. Dia tidak mengerti jiwa orang ini. Namanya saja. yaitu Lo Him, si Biruang Tua, sudah aneh. Kini adatnya pun aneh. Dan kalau ingin diperhatikan, tentu penghidupan orang ini diliputi oleh keanehan juga. Maka dari itu, Siauw Liong Lie jadi tertarik sekali untuk mengetahuinya.

Di dalam hatinya, Siauw Liong Lie telah memaki dirinya sendiri, yang mana bahwa dia telah menuduh Lo Him sebagai lelaki yang jahat. Padahal Lo Him sama sekali tidak mengandung maksud jahat kepadanya. Tetapi walaupun bagaimana Siauw Liong Lie akan tetap berlaku waspada. Dia tetap tidak mau berlaku lengah, karena justru yang di kuatirkannya adalah Lo Him sengaja „menjual” cerita dusta kepadanya agar menarik simpatinya belaka. Siauw Liong Lie melihat Lo Him telah menghela napas berulang kali.

„Apakah kau tidak akan muak mendengar ceritaku?” tanya Lo Him kemudian sambil menoleh kepada Siauw Liong Lie yang ditatapnya dengan sinar mata yang tajam.

Siauw Liong Lie menggelengkan kepala. Dia tidak menyahuti.

„Hemm, sinar matanya yang terpancar itu telah memperlihatkan bahwa engkau juga tidak mempercayai diriku! Sinar matamu itu sama dengan sinar mata isteriku! Ya, memang aku manusia terkutuk, yang tidak akan dipercaya oleh siapapun juga, maka dari itu percumalah jikalau aku mau menceritakan segalanya kepadamu, karena engkaupun tidak akan mempercayai ceritaku ini!”

Mendengar perkataan Lo Him, Siauw Liong Lie berusaha untuk tersenyum.

„Him-heng (saudara Him)......!” kata Siauw Liong Lie kemudian dengan suara yang halus. „Kau jangan bercuriga begitu! Bukankah kau telah menolongi jiwaku, menolongi anak dalam kandunganku dan juga jiwa Tiauw-heng? Mengapa aku harus mencurigaimu? Jika sampai nanti kau tetap memperlakukan kami dengan baik, tanpa maksud-maksud buruk, tentu budimu yang sedalam lautan itu tidak dapat kubalas dengan apa pun juga.....!”

Mendengar perkataan Siauw Liong Lie, Lo Him telah tersenyum tawar.

„Akhh, baru kali ini aku mendengar ada orang manusia berkata begitu!” katanya dengan suara yang tawar.

„Tetapi, jika engkau selalu melakukan perbuatan baik, tentu akan banyak sekali orang yang berterima kasih kepadamu, dan juga akan banyak sekali orang yang menyatakan perasaan syukurnya atas pertolonganmu itu.....!”

Lo Him berdiam diri sejenak, lalu dia menggumam lagi. „Ya, ya, walaupun orang menuduhku buruk, berhati binatang beracun, tetapi aku tidak usah memperdulikannya. Yang terpenting di dalam dunia ini, bukankah kita harus menolong seseorang yang tengah dalam kesulitan?”

Karena berkata begitu, dia telah menoleh kepada Siauw Liong Lie tanyanya, „Dan kau, apakah kau bersedia membiarkan anakmu nanti aku angkat sebagai anakku?” Sambil bertanya begitu, dia mengawasi Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali.

Siauw Liong Lie tersenyum.

„Mengapa tidak? Bukankah anakku itu bernasib baik sekali, sehingga ada seorang yang sebaik engkau bersedia menjadi ayah angkatnya. Yang jelas, ayah dari anak ini juga akan bersyukur tidak habisnya, bahwa tuan penolongnya itu telah begitu ikhlas mengambil anak kami sebagai anaknya!”

Semula mendengar perkataan Siauw Liong lie yakni meluluskan keinginannya, mata Lo Him telah bersinar tajam cemerlang, bagaikan dia tengah diliputi kegembiraan yang sangat. Namun setelah dia mendengar perkataan Siauw Liong Lie yang terakhir, dia jadi menunduk dengan wajah yang muram, dan tidak lama kemudian dia telah mengangkat kepalanya, menatap Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang bengis sekali.

„Kau wanita jahat!” tiba-tiba dia telah membentak begitu dengan suara yang bengis juga. „Kau..... kau wanita berhati busuk. Mengapa kau menduga buruk kepadaku, sehingga kau merasa perlu untuk mengeluarkan kata-kata sekejam itu? Apakah kau menduga bahwa aku akan melakukan perbuatan sehingga engkau perlu merintangi diriku dengan perkataan yang menyindir seperti itu.....?”

Ternyata Lo Him sangat perasa dan mudah tersinggung. Perkataan Siauw Liong Lie yang terakhir memang merupakan kata-kata sindiran. Dan Lo Him merasa tersinggung.

Siauw Liong Lie tertawa, “Him-heng..... kau terlalu perasa….. sesungguhnya Siauwmoay tidak berani memandang rendah kepadamu, bukankah engkau adalah tuan penolongku?”

Tetapi Lo Him telah mengawasi Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali.

„Hemm….. memang aku manusia celaka!” berseru Lo Him akhirnya. Dan tiba-tiba sekali dia menangis, meraung-raung dengan suara pekikan yang melengking nyaring dan tinggi, diapun telah menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya, dengan gerakan-gerakan seperti orang tengah bersilat.

Siauw Liong Lie hanya mengawasi tertegun dengan perasaan tidak mengerti. Walaupun bagaimana, orang itu sangat baik dan telah menolong jiwanya, menolong anak dan juga rajawalinya. Tetapi dia tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kewaspadaan, karena dia belum dapat menyelami hati penolongnya tersebut.

Dan sedikitpun juga Siauw Liong Lie tidak menyangkanya bahwa perkataan dan perbuatan itu, justru telah menyinggung perasaan Lo Him. Setidak-tidaknya Siauw Liong Lie sebagai seorang wanita berperasaan halus, jadi merasa kasihan dan iba..... dia bermaksud untuk menghibur Lo Him, agar menghentikan perbuatan kelakuan yang gila-gilaan itu.

<> 

Saat itu Siauw Liong Lie telah berdiri dari duduknya, dia berhenti sejenak sambil mengerutkan sepasang alisnya, karena mendadak sekali dia merasakan pinggangnya sakit seperti ditarik-tarik. Tanpa dikehendakinya, Siauw Liong Lie telah mengeluarkan suara keluhan perlahan, pandangan matanya jadi gelap berkunang-kunang, wajah pucat dan keringat dingin mengucur deras dari kening dan tubuhnya.

„Akhh.....!” akhirnya Siauw Liong Lie batal berdiri, dia telah terduduk pula sambil memegangi perutnya. Perasaan sakit di pinggangnya semakin hebat.

Saat itu, kebetulan sekali Lo Him telah melihat keadaan Siauw Liong Lie. Tiba-tiba Lo Him menghentikan gerakan dan kelakuannya yang tengah bergerak-gerak seperti bersilat itu, dengan muka yang memancarkan kekuatiran yang sangat, dia telah melompat ke samping Siauw Liong Lie.

„Kau...... kau kenapa, nyonya?” tanyanya dengan suara yang tergetar dan kasar.

Siauw Liong Lie hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa bisa menjawab, karena perutnya itu sakit luar biasa, sepasang alisnya tetap mengkerut dengan wajah yang pucat dan keringat dingin yang mengucur deras sekali sebesar-besar kacang kedele membasahi mukanya yang pucat itu. Kedua tangannya juga telah mengusap-usap pinggangnya, yang diurutnya perlahan-lahan untuk mengurangi perasaan sakitnya.

Di saat itu, Lo Kim tampak gugup dan bingung sekali, dia juga memperlihatkan sikap yang menyesal.

“Akhhh, mungkin aku telah menyebabkan penyakitmu ini kumat...... aku memang manusia terkutuk, manusia binatang berhati beracun......” berulang kali Lo Him telah menyesali dirinya.

Tetapi Siauw Liong Lie tetap berdiam diri saja, hanya suara rintihannya yang terdengar perlahan sekali.

Lo Him telah berlari-lari ke goanya, tidak lama kemudian dia telah kembali. Di tangannya tercekal sebuah mangkok dari tanah liat, yang di dalamnya terdapat ramuan obat. Dia telah mengangsurkannya kepada Siauw Liong Lie dengan sikap yang gugup, disertai oleh perkataannya,

„Minumlah obat ini…..”

Siauw Liong Lie menyambuti mangkok obat itu, dia telah meneguknya. Dan berselang tidak lama, berangsur-angsur rasa sakit di pinggangnya itu telah lenyap.

Dengan wajah yang memperlihatkan perasaan bingung Lo Him telah mengawasi Siauw Liong Lie, katanya dengan suara yang tergagap,

„Maafkan...... tadi aku telah membuat kau jadi kesal..... tentu saja sakitmu itu akibat perkataanku yang kasar..... dan kau...... kau maafkanlah aku.....!”

Siauw Liong Lie tidak sampai hati melihat Lo Him terus menerus menyebut-nyebut perkataan maaf, maka dia telah mengangguk, katanya dengan suara yang halus,

„Kau tidak bersalah apa-apa Him-heng...... justru memang demikianlah jika seorang wanita tengah hamil, maka dia akan selalu diganggu oleh calon bayinya..... ini memang sudah resikonya.....!”

Lo Him telah mengangguk.

„Benar, akupun tahu...... tetapi yang pasti, seorang wanita yang tengah hamil tidak boleh terganggu oleh ketegangan-ketegangan syarafnya, tidak boleh marah, tidak boleh kesal dan tidak boleh bingung.....”

Siauw Liong Lie tersenyum mendengar perkataan Lo Him.

„Akhh, kiranya Him-heng memang telah berpengalaman,” katanya.

„Bukankah tadi aku telah mengatakan bahwa aku pernah beristeri..... dan isteriku itu telah meninggal waktu hamil?”

Siauw Liong Lie mengangguk.

„Sesungguhnya peristiwa hebat apakah yang telah dialami oleh keluarga Him-heng?” tanyanya kemudian.

„Sudahlah, lebih baik kita tidak perlu membicarakannya, nanti aku salah bicara lagi!” kata Lo Him kemudian dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saat itu Siauw Liong Lie merasakan sakit di pinggangnya telah lenyap, dia sudah bisa duduk dengan leluasa.

Di saat itu Lo Him telah berkata lagi.

„Aku menolongimu karena kandunganmu kau jangan kuatir, aku tidak akan bermaksud jahat kepadamu..... aku hanya ingin anakmu itu nanti dibiarkan mengangkat aku sebagai ayah angkatnya. Asal kau menyetujui dan mengijinkannya, aku telah puas! Kau jangan kuatir, aku tidak pernah bermaksud mengganggu dirimu, jika kau telah sembuh, kau telah melahirkan, kau telah sehat kembali, pergilah kau mencari suamimu, aku tidak akan menghalanginya..... aku puas asal anak itu mau mengangkat aku sebagai ayahnya!”

Mendengar keinginan Lo Him yang begitu sederhana, diam-diam Siauw Liong Lie telah memaki dirinya sendiri. „Akhh, rupanya aku yang terlalu bercuriga,” dia berpikir di hatinya. „Orang sebaik Lo Him, tuan, penolongku yang telah menyelamatkan jiwa kami ibu dan anak, dan juga menolongi Sin-tiauw, telah kuduga buruk! Sungguh aku manusia yang tidak berbudi.....!”

Karena telah mengetahui Lo Him tidak bermaksud buruk kepadanya, dan juga karena tadi dia merasa bersalah telah menduga buruk kepada tuan penolongnya yang telah menyelamatkan jiwanya, maka Siauw Liong Lie jadi bersikap manis dan halus.

„Him-heng, bolehkah aku mengetahui sesungguhnya apa sebabnya isterimu yang tengah mengandung itu meninggal dunia?”

„Ya, mengapa? sampai detik ini, justru aku sendiri belum mengetahui! Waktu peristiwa itu terjadi, sebetulnya aku bermaksud mencari pembunuhnya, namun akhirnya aku memutuskan dan bertekad untuk berdiam disini sampai ajal tiba!”

„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong Lie tertarik.

Muka Lo Him kembali jadi muram, dia menunduk sejenak. Tetapi karena dia berkuatir kalau-kalau nanti Siauw Liong Lie diliputi ketegangan yang bisa menyebabkan sakit pinggangnya kumat kembali, Lo Him telah cepat-cepat berkata,

„Orang itu terlalu liehay, kepandaiannya sulit diukur dan tidak bisa untuk ditandingi, benar-benar aku suami yang laknat, aku tidak bisa melindungi isteri dan calon anakku itu, yang telah dicelakai orang tanpa aku bisa menuntut balas! Begitu pula ibuku telah dibinasakan orang itu.....! Tetapi, baik ibuku, maupun isteriku, di saat mereka belum menghembuskan napas yang terakhir, dan di saat mereka dalam keadaan terluka parah, keduanya telah menuduh bahwa akulah yang mencelakai mereka.....! Akhh, itulah nasibku yang buruk!” Berulang kali Lo Him menyesali dirinya dengan suara yang tidak jelas.

Siauw Liong Lie melihat Lo Him kembali tenggelam dalam kedukaannya, dia jadi merasa kasihan.

„Siapa nama orang yang mencelakai keluargamu!” tanya Siauw Liong Lie kemudian.

„Dia orang yang hebat, diapun menjadi pendekar yang memiliki nama harum di dalam rimba persilatan..... tetapi dia telah tega menurunkan tangan begitu kejam! Namun disebabkan kepandaiannya yang tidak bisa dijajaki itu, maka aku menyadarinya dendam itu tidak mungkin terbalas seumur hidupku.”

„Siapa dia?” desak Siauw Liong Lie dia percaya jika Lo Him menyebutkan nama orang yang disebutnya liehay sekali dan memiliki nama yang terkenal di dalam rimba persilatan itu tentunya setidak-tidaknya Siauw Liong Lie pernah mendengar namanya atau mengenalnya.

09.17. Penderitaan Isteri Pendekar Rajawali

Lo Him menghela napas. „Dialah ayahku......!!” menyahuti Lo Him akhirnya dengan wajah yang pucat, tubuhnya menggigil.

„A..... ayahmu?” tanya Siauw Liong Lie tertegun karena kaget dan heran.

„Ya,” mengangguk Lo Him.

„Jika dia ayahmu, mengapa dia membinasakan ibu dan isterimu?” tanya Siauw Liong Lie lagi.

Untuk sejenak Lo Him tidak menjawab, dia seperti tengah mengingat-ingat pengalamannya yang telah lalu itu. Akhirnya setelah menghela napas, dia telah menyahuti, „Ya, inilah kejadian yang benar-benar menyayatkan hati dan mengesankan sekali.....! Justru yang menjadi musuh besarku adalah, ayahku sendiri! Hanya disebabkan dia takut malu, maka dia telah membinasakan isteri dan ibuku dan jika di saat itu aku tidak keburu lari, jiwaku juga tidak akan lolos dari kematian!”

„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong Lie semakin tertarik.

„Karena dia gagal memperkosa isteriku!” menyahuti Lo Him sambil menunduk.

„Ha?” teriak Siauw Liong Lie kaget, mukanya sampai berobah pucat.

Lo Him menunduk dalam-dalam, dia tidak berani menatap mata Siauw Liong Lie yang saat itu tengah terpentang lebar-lebar, menatap ke arahnya dengan sikap tidak mengerti diliputi perasaan kaget.

„Dia ingin memperkosa isteriku, tetapi usahanya itu gagal, karena ibuku kebetulan memergokinya..... sehingga ayahku jadi nekad, dia takut menderita malu, dia merencanakan pembunuhan yang kejam seperti itu.”

„Akhh, mungkinkah ada manusia sebejat itu!” menggumam Siauw Liong Lie.

“Tetapi justeru aku telah mengalami sendiri, yang telah membuat aku jadi putus asa dan tidak memiliki gairah untuk menempuh hidup pula..... justru aku yang telah melihat dan menyaksikan kebiadaban seperti itu.....! Tetapi aku memang manusia terkutuk, hanya disebabkan aku tidak bertindak tegas, dan memang aku seorang pengecut akhirnya urusan yang menyedihkan dan mendukakan hati harus terjadi!”

Siauw Liong Lie hanya diam mengawasi saja, dia melihat butir-butir air mata menitik turun di pipi Lo Him. Hati nyonya Yo jadi ikut terharu, dia bisa merasakan kedukaan hati Lo Him.

„Dan di saat itu, ayahku juga telah berusaha membinasakan diriku, dia telah mencariku ke segala penjuru, namun usahanya itu tidak berhasil! Aku telah menyembunyikan diri dengan ketakutan yang hebat, karena aku mengetahui walaupun bagaimana aku tidak bisa melawan ilmu silatnya yang telah sempurna itu! Itulah kepengecutanku..... yang harus kukutuk!” berkata Lo Him.

Siauw Liong Lie bertambah bingung, karena Lo Him telah menceritakan bencana yang menimpa keluarganya itu justru sepotong-potong dan tidak berujung pangkal. Tetapi dilihat demikian dan perkataan-perkataannya, mungkin juga Lo Him memang mengalami peristiwa yang hebat dan mengenaskan sekali. Siauw Liong Lie jadi mengawasi Lo Him dengan tatapan mata merasa kasihan.

Tetapi kebetulan sekali di saat itu Lo Him juga memandang ke arahnya sehingga dia melihat sinar mata Siauw Liong Lie yang demikian, dia tiba-tiba telah mendengus dingin, katanya dengan suara mengandung kegusaran,

„Aku tidak perlu dikasihani, memang nasibku yang terkutuk!” Dan setelah berkata begitu Lo Him berdiri serta memandang ke arah yang jauh. Wajahnya tidak memantulkan perasaan apapun juga.

Siauw Liong Lie yang penasaran sekali karena Lo Him tidak mau menyebut nama ayahnya itu, telah bertanya lagi, „Siapakah nama ayahmu itu?” tanya Siauw Liong Lie kemudian.

Lo Him diam saja, sampai akhirnya dia menghela napas dan katanya, „Sudahlah itu urusan yang telah lewat tidak perlu kita membicarakannya lagi.” Dan setelah berkata begitu dia telah melangkah pergi meninggalkan Siauw Liong Lie yang mengawasi kepergiannya dengan tatapan mata mengandung tanda tanya dan keheranan yang sangat.

Sejak hari itu Lo Him tak mau disinggung-singgung lagi urusannya, dia hanya lebih mengutamakan memasakan Siauw Liong Lie obat-obatan dan juga memanggangkan daging kelinci atau daging burung untuk nyonya Yo itu makan.

Siauw Liong Lie juga menyadari bahwa Lo Him tidak gembira jika membicarakan urusannya itu maka Nyonya Yo tidak pernah menanyakan lagi walaupun sesungguhnya Siauw Liong Lie masih ingin mengetahui siapakah sesungguhnya nama ayah dari Lo Him, tetapi nyonya Yo pikir masih ada waktu dihari mendatang, dia nanti menanyakannya perlahan-lahan.

Tanpa terasa dua bulan lagi telah lewat, selama itu Siauw Liong Lie berangsur-angsur mulai sembuh, dan tenaga dalamnya mulai pulih. Luka di dalam tubuhnya mulai tidak memperlihatkan gejala apa-apa lagi. Hanya yang sering mengganggu adalah sakit di pinggangnya dengan perut yang semakin membesar itu. Juga Siauw Liong Lie seringkali merasakan urat-urat di pinggangnya seperti ditarik, jika bayi di dalam kandungannya bergerak mengganti kedudukan......

Selama berada di dalam lembah itu, Siauw Liong Lie merasa kesepian sekali. Jika dulu, dimana dia berdiam di dalam kuburan Mayat Hidup, dia bisa hidup di dalam ketenangan karena memang merupakan intisari dari pelajaran yang diterima dari gurunya. Dan juga waktu berpisahan dengan Yo Ko selama enambelas tahun dia masih bisa hidup dengan tenang di tempat sunyi di bawah jurang, walaupun di saat itu seringkali dia diliputi kedukaan. Tetapi sekarang ini di saat dia tengah me-ngandung, justru dia membutuhkan sekali Yo Ko berada disampingnya, dengan sendirinya pula diapun sangat merindukan Yo Ko.

Tetapi untuk menghibur hatinya, Siauw Liong Lie sering bermain-main dengan macan tutul peliharaan Lo Him. Siauw Liong Lie memberikan nama Sin Kim (Emas Sakti) kepada macan tutul itu yang seringkali mengajaknya berputar-putar di lembah itu dengan Siauw Liong Lie duduk di punggungnya.

Begitu pula Sin-tiauw, sering mengajak Siauw Liong Lie dengan kelakarnya, yaitu dia sering kali terbang menyambar-nyambar dengan gerakan seperti menari-nari bagaikan rajawali tersebut mengetahui bahwa nyonya majikannya ini tengah dalam kesepian yang sangat. Memang Sin-tiauw sengaja tidak terbang meninggalkan lembah itu, sebab dia kuatirkan Siauw Liong Lie akan mengalami ancaman bahaya yang tidak diduga, maka dia terus menemaninya. Jika memang Siauw Liong Lie terancam sesuatu tentu dia bisa segera memberikan pertolongan segera.

Hari demi hari telah lewat dengan cepat, dan akhirnya tanpa terasa kandungan Siauw Liong Lie telah memasuki bulan yang kesembilan. Dan nyonya Yo ini hanya tinggal menunggu hari dari kehadiran anaknya tersebut.

Tetapi akhir-akhir ini Siauw Liong Lie merasa¬kan napasnya lebih pendek dari sebelumnya, dia pun lebih cepat lelah. Sedangkan Lo Him sendiri kini lebih memperhatikan keperluannya, bahkan memberikan daging kelinci bakar dalam jumlah yang lebih banyak untuk memupuk tenaga. Juga Lo Him sering menanyakan kepada Siauw Liong Lie, apakah dia membutuhkan sesuatu, yang pasti akan dituruti oleh Lo Him.

Namun Siauw Liong Lie selalu mengatakan dengan menerima perlayanan yang demikian baik dari Lo Him, dia sudah berterima kasih sekali dan juga berjanji tidak akan melupakan budi dan kebaikan penolongnya.

„Jangan kau berpikir yang tidak-tidak, yang terpenting kini kau harus bersikap tenang dan tabah menghadapi kelahiran anakmu, agar kalian ibu dan anak selamat!” kata Lo Him sambil tersenyum.

Hari yang dinanti-nantikan itupun tibalah.....

Sejak pagi hari, di saat fajar mulai menyingsing Siauw Liong Lie merasakan perutnya sakit bukan main, dia merintih tidak hentinya.

Sedangkan Lo Him jadi kebingungan tidak keruan, dia jalan mundar-mandir di luar rumah kayu yang sederhana itu.

Sedangkan Sin Kim dan Sin-tiauw masing-masing berdiam di muka rumah itu, yang satu di pinggir kanan, sedangkan Sin-tiauw di pinggir kiri.

Siauw Liong Lie merasakan perutnya bagaikan diaduk-aduk, sakitnya luar biasa. Keringat juga membanjir keluar. Bagaimana hebatnya lwekangnya, tenaga dalamnya, di detik-detik seperti itu percuma saja tidak bisa dipergunakannya. Dan akhirnya Siauw Liong Lie merasakan perutnya seperti ringan dan mendadak lapang, dia juga merasakan napasnya agak lapang, disusul dengan suara tangis bayi yang keras dan lantang. Sambil bangun duduk perlahan-lahan Siauw Liong Lie telah melihat, betapa di dekat kakinya menggeletak seorang bayi yang putih dan manis yang tengah menangis mengeyak nyaring sekali.

Tidak hentinya Siauw Liong Lie mengucap syukur dan segera dia mengangkat bayi itu, dia menggigit tali pusarnya dan kemudian merangkul sibayi dengan perasaan bahagia sekali. Dua butir air mata tanpa dirasakannya telah menitik turun. Kebahagiaan itu meluap-luap ketika dia mengetahui bahwa bayi itu seorang bayi lelaki..... seorang putera.....

Lo Him yang menunggu gelisah di luar rumah ketika mendengar tangis bayi itu, jadi melompat berjingkrakan tidak hentinya.

Tetapi tiba-tiba Lo Him teringat sesuatu, dia jadi tertegun.

“Akhh, lelaki atau perempuan?” gumamnya dengan suara perlahan.

Dan dia jadi tegang sendirinya, sedangkan suara tangis bayi itu masih terdengar nyaring dan lantang.

Sin-tiauw juga tampaknya girang sekali waktu mendengar suara tangis bayi itu, dia telah terbang ke udara dan berulang kali mendengarkan suara pekikannya, tampaknya diapun ikut girang bahwa sang bayi telah lahir.

Sedangkan Sin Kim berulang kali mengeluarkan suara mengerang perlahan, menunjukkan kegembiraannya juga.

Lo Him berjingkat mendekati pintu rumah, dia kemudian bertanya dengan suara serak, „Perempuan..... atau lelaki?” dan waktu bertanya begitu, Lo Him merasakan ketegangan yang sangat, jantungnya juga berdebar keras.

„Lelaki.....!” menyahuti Siauw Liong Lie disertai suara tertawa bahagianya.

„Ha…..!” untuk sejenak sepasang mata Lo Him terpentang lebar-lebar, dan ketika dia telah kembali kesadarannya, tahu-tahu dia mengeluarkan suara teriakan yang nyaring melompat berguling-guling di tanah sambil mengeluarkan teriakan-teriakan gembira. Tetapi tidak lama kemudian dia telah menangis sambil duduk dan tubuhnya gemetar.

„Ohhhh Thian rupanya telah memenuhi permintaanku! Syukur! Syukur!” teriaknya keras.

Begitulah, kehadiran bayi tersebut dengan kegembiraan yang sangat oleh semua penghuni lembah tersebut.

Tiba-tiba Lo Him mendengar Siauw Long Lie memanggilnya, lelaki kasar ini ragu-ragu sejenak, dia menghampiri pintu dan kemudian berdiri tertegun disitu sesaat lamanya.

„Him-heng?” terdengar Siauw Liong Lie memanggil lagi.

„Aku ada disini!” menyahuti Lo Him.

„Masuklah!” kata Siauw Liong Lie.

„Sudah beres?” tanya Lo Him canggung.

„Semuanya sudah dibereskan!” menyahuti Siauw Liong Lie disertai oleh suara tertawanya.

Lo Him mendorong pintu dan melangkah masuk. Dia melihat Siauw Liong Lie tengah duduk setengah rebah di sudut pembaringan rumputnya dan tengah menggendong bayinya.

„Akhh!” berseru Lo Him waktu melihat, raut wajah bayi itu yang tampan putih. „Anak yang manis! Anak yang manis!”

„Him-heng, karena kau telah meminta untuk mengangkat anak ini sebagai putera angkatmu, maka silahkan kau memilihkan nama yang baik untuknya!”

Lo Him jadi kelabakan, dia berpikir keras. Tetapi akhirnya dia bertanya. „Ayahnya she apa?”

“She Yo!”

“Bagaimana kalau aku memberi nama Him?” tanyanya.

“Ihhh, itu tokh namamu sendiri?” tanya Siauw Liong Lie tertawa. „Apakah kau ingin mempersamakan namanya dengan namamu?”

„Bukan begitu! Bukan begitu!” kata Lo Him cepat. „Walaupun dia telah menjadi anak angkatku, tetapi..... tetapi.....” dan Lo Him tidak meneruskan perkataannya lagi.

„Kenapa?” tanya Siauw Liong Lie yang heran melihat sikap Lo Him.

„Bukankah setelah lewat empatpuluh hari kau akan meninggalkan lembah ini, dan berarti anak itu...... anak itu akan ikut bersama kau? Nah, nama Him itu kelak akan mengingatkannya kepadaku. Mudah-mudahan saja kelak jika dia telah dewasa, dia bisa teringat kepada ayah angkatnya dan datang menjenguk kemari…..”

„Oohh, itu sudah jelas.” kata Siauw Liong Lie tertawa. „Walaupun tanpa menanti dewasa kami, ayah ibunya, tentu akan sering-sering menjenguk kau, Him Toako!” dan Siauw Liong Lie telah berobah sebutan „heng” (saudara) dengan perkataan „Toako” (kakak).

Bukan main girangnya Lo Him, dia sampai berjingkrak-jingkrak.

„Huss! Jangan ribut Him Toako, nanti si Him kecil ini kaget oleh tingkahmu itu!” Siauw Liong Lie memperingati sikap dari si Biruang Tua yang tengah kegirangan itu.

Lo Him tertegun, namun cepat sekali dia menepuk-nepuk kepalanya. „Memang aku tidak tahu diri, nanti si Him kecil kaget disebabkan aku......!” Dan Lo Him telah pergi keluar, cepat-cepat dia pergi mencari buah-buahan dan kelinci, untuk dibakar dagingnya.

<> 

Hari-hari lewat dengan cepat sekali, tanpa terasa telah empatpuluh hari.

Siauw Liong Lie menyampaikan kepada Lo Him bahwa besok dia bersama anaknya akan meninggalkan lembah itu, untuk mencari Yo Ko, ayah dari anaknya itu.

Lo Him jadi duduk termenung, sampai akhirnya setelah Siauw Liong Lie menghiburnya bahwa dia bersama suaminya akan sering-sering mengajak si Him kecil itu menjenguki Lo Him, barulah Lo Him mengangguk sambil katanya dengan sikap yang tetap lesu.

„Biarlah hari ini aku akan menangkap dua ekor kelinci, aku akan menjamu kau, anggap saja sebagai pesta perpisahan…..”

Siauw Liong Lie terharu melihat Lo Him, hampir saja Siauw Liong Lie menitikkan air mata. Namun karena dia menyadari kalau menangis akan menambah kesedihan Lo Him, sehingga Siauw Liong Lie tertawa.

Memang Lo Him pergi tidak lama, dia telah berhasil membawa dua ekor kelinci buruannya yang tadi dijanjikan. Dibakarnya kedua ekor kelinci itu untuk menjamu Siauw Liong Lie.

Bukan main perasaan terima kasih di hati Siauw Liong Lie atas kebaikan tuan penolongnya ini.

Malam itu Siauw Liong Lie tidur dengan nyenyak sekali disamping bayinya.

Tetapi berbeda dengan Siauw Liong Lie justru Lo Him yang akan mengalami perpisahan dengan anak angkatnya, dan nanti juga akan hidup sendiri pula di lembah itu menderita kesepian, dengan sendirinya dia jadi gelisah dan tidak bisa tidur. Akhirnya menjelang tengah malam Lo Him telah keluar dari goanya.

Dengan hati yang berduka, dia telah berjalan perlahan-lahan mendatangi rembulan yang memancarkan cahayanya yarg terang tergantung di langit. Akhirnya, dia duduk bengong di sebuah batu gunung yang agak menonjol letaknya.

Di saat Lo Him sedang duduk terpekur begitu, tiba-tiba dia mendengar suara berkeresek. Menyusul mana Sin Kim, macan tutul yang menjadi sahabatnya, yang saat itu tengah rebah tidur di goanya melompat bangun.

Lo Him dan macan tutul itu telah saling pandang sejenak, kemudian Lo Him mengangguk, membenarkan bahwa ada orang yang berkeliaran di dalam lembah itu. Dengan gesit Lo Him melompat ke balik batu gunung itu untuk menyembunyikan diri, sedangkan Sin Kim, si macan tutul itu telah masuk ke dalam goa.

Keadaan sunyi sekali, tidak terdengar sesuatu apapun juga selain angin yang tengah mempermainkan daun-daun pohon dengan hembusannya yang lembut. Lo Him telah memasang mata dengan sinarnya yang bengis, karena dia menduga bahwa orang yang tengah berkeliaran di lembahnya ini adalah orang-orang yang tidak bermaksud baik. Didengar dari suara langkah kakinya, Lo Him menghitungnya orang yang tengah mendatangi ke mulut lembah berjumlah empat orang.

„Siapa mereka?” berpikir Lo Him dengan gelisah, karena itu dia segera menguatirkan ke selamatan Yo Him, si Him kecil yang menjadi anak angkatnya.

Dia mendengar suara langkah kaki keempat orang yang tengah mendatangi itu ringan sekali, hampir tidak terdengar, suara berkeresek itupun sama halusnya seperti suara angin yang menghembus daun-daun pohon. Tetapi telinga Lo Him yang terlatih dan tajam bukan main telah mendengarnya dengan jelas, terlebih lagi Sin Kim yang memiliki penciuman sangat tajam.

Keduanya seorang manusia dan seekor macan tutul, bersiap-siap untuk menyambut kedatangan „tamu” tidak diundang tersebut. Menanti tidak lama dari arah mulut lembah tampak melangkah mendatangi empat sosok tubuh dengan gerakan yang ringan sekali. Keempat tubuh itu, yang semuanya lelaki telah berhenti dan berbisik-bisik.

Malah Lo Him mendengar antara lain perkataan, „Dia menghilang di sekitar tempat ini..... dan kita harus mencarinya terus! Sejak tadi ku lihat bahwa di sekitar tempat ini ada kehidupan pasti lembah ini memiliki penghuninya.....”

Hati Lo Him tergoncang, entah siapa orang yang dicari oleh keempat „tamu” tidak diundang tersebut? Tetapi Lo Him tidak mau terlalu lama berpikir, dia telah mengawasi dengan bersiap-siap kalau saja keempat orang itu menghampiri lebih jauh dan melihat rumah kayu yang dibangunnya, yang didiami oleh Siauw Liong Lie dan Yo Him, maka di saat itulah Lo Him akan segera keluar untuk melancarkan serangan.

„Apakah kau yakin dia belum meninggalkan tempat ini?” tanya salah seorang lainnya.

„Hemm…. dia tengah hamil, dan mungkin bulan ini perutnya tengah besar-besarnya. Kita tawan dan usahakan jangan sampai dia bisa meloloskan diri pula.....”

Dan baru saja orang itu berkata demikian tiba-tiba kawannya yang lain telah menunjuk.

„Lihat! Ada rumah!” berseru orang itu dengan suara gembira.

Hati Lo Him jadi tambah tegang sendirinya. Dia mengawasi lebih tajam. Dilihatnya keempat orang itu telah melangkah menghampiri rumah kayu dimana di dalamnya berada Siauw Liong Lie dan Yo Him.

Ketika keempat orang itu baru melangkah lima tindak, Lo Him sudah tidak bisa menahan hatinya lagi, dengan cepat dia telah mengeluarkan suara seruan keras, tubuhnya tahu-tahu melompat keluar, menghadang dihadapan keempat orang itu.

„Berhenti!” bentaknya bengis. „Apa yang ingin kalian lakukan di tempatku ini?”

Keempat orang itu jadi terkejut, tetapi setelah melihat orang yang menegur mereka seperti „orang hutan”, mereka jadi tertawa.

Karena jarak mereka sudah dekat, di bawahi sinarnya rembulan Lo Him bisa melihat diantara keempat orang itu terdapat seorang Lhama merah dua orang berpakaian sebagai guru silat, dan seorang pendeta Mongolia yang bertubuh tinggi besar bermuka kejam.

Mereka telah membalas memandang Lo Him, dengan suara mengejek, Lhama itu telah menegur „Engkaukah yang menjadi penghuni lembah ini?”

„Tepat!” menyahuti Lo Him dengan ketus.

„Hmm, apakah engkau pernah melihat seorang wanita cantik yang tengah hamil dan seekor burung rajawali berukuran besar enam atau tujuh bulan yang lalu?” tanya Lhama itu lagi.

„Kalau melihat bagaimana dan kalau tidak bagaimana?” tanya Lo Him dengan mendongkol karena dia melihat keempat tamu tidak diundang ini angkuh sekali.

„Ihh?” berseru Lhama itu kaget. Tetapi kemudian dia jadi marah. „Engkau kurang ajar sekali. Tahukah engkau siapa kami?”.

„Aku tidak perlu tahu!” berseru Lo Him.

Mendengar jawaban Lo Him, rupanya Lhama itu jadi meluap darahnya.

„Aku Chiluon selamanya belum pernah bertemu dengan manusia kurang ajar seperti kau rupanya engkau perlu dihajar agar dilain waktu tahu menghormati orang!” dan setelah berkata begitu, Lhama tersebut maju selanjutnya dia mengulurkan tangannya dengan maksud akan mencengkeram bahu Lo Him, yang niatnya untuk dibanting.

Tetapi Lo Him dengan mudah menggerakkan bahunya, sehingga cengkeraman Lhama itu lolos.

„Ihh!” Lhama itu, Chiuluon jadi mengeluarkan seruan kaget. Tetapi tidak lama, sebab dengan mengeluarkan seruan mengguntur, dia mengulangi mengulur tangannya.

Kali ini berbeda dengan tadi. Jika tadi Chiuluon melancarkan serangan dengan seenaknya saja, karena dia menduga lawannya tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun sekarang setelah dia mencela begitu, dia melancarkan cengkeraman selain cepat juga disertai oleh kekuatan tenaga lwekang yang hebat sekali. Angin cengkeraman itupun telah menyambar datang sebelum jari-jari tangan Chiuluon tiba, sehingga Lo Him juga terkejut dan tidak berani memandang enteng terhadap serangan tersebut, maka dari itu dengan cepat dia telah melompat untuk mengelakkan diri.

Namun Chiuluon yang telah mengetahui bahwa Lo Him memiliki kepandaian yang tinggi, telah melancarkan serangan yang tidak main-main lagi setiap serangannya selain cepat juga mengandung tenaga serangan yang bisa mematikan. Maka dari itu tidak mengherankan jika serangan itupun telah mengejutkan Lo Him, yang cepat-cepat telah bersilat dengan gerakan-gerakan yang gesit sekali, diapun telah memusatkan tenaga sakti di kedua telapak tangannya.

Latihan lwekang yang dimiliki Lo Him ini bukan sembarangan tenaga dalam, angin serangannya menderu-deru dengan hebat sekali, sehingga membuat Chiluon terkejut bukan main dan telah menambah tenaga serangannya.

Begitu pula dengan ketiga orang kawannya, yang memandang dengan tatapan mata heran, karena mereka tidak menyangka di tempat seperti ini mereka bisa bertemu dengan orang yang berkepandaian tinggi seperti Lo Him. Dalam sekejap mata saja telah duapuluh jurus mereka bertanding.

Pendeta Mongolia itu tidak lain Tiat To Hoat-ong. Dia yang mengajak ketiga kawannya itu, karena Chiluon memiliki kepandaian yang tinggi sekali, hanya berada setingkat di bawahnya, dan juga kedua orang sahabatnya yang berpakaian sebagai busu, guru silat itu, merupakan pengawal-pengawal pribadi Kaisar Kublai Khan, adalah pengawal kelas satu dalam istana. Keduanya masing-masing bernama Turkichi dan Talengkie.

Jika Turkichi memiliki kepandaian mencengkeram yang dahsyat sekali, yang sekali mencengkeram dapat menghancurkan batu dan baja, karena kesepuluh jari tangannya itu telah dilatih dengan sempurna sekali. Ilmu cengkeram yang dimiliki Turkichi mirip-mirip dengan ilmu mencengkeram „Kiu-im-pek-kut-jiauw (Cengkeraman Tulang Putih) yang pernah dilatih Bwee Tiauw Jie Hong. Maka dari itu bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu cengkeram yang dimiliki Turkichi.

Sedangkan Talengkie juga memiliki ilmu Siang-to (sepasang golok) yang luar biasa, sekali tabas dapat merubuhkan belasan lawan. Di negerinya, Mongol, dia merupakan pahlawan istana raja kelas satu yang disegani.

Dengan mengajak ketiga orang kawannya itu, sesungguhnya Tiat To Hoat-ong bermaksud mencari Siauw Liong Lie, dia yakin Siauw Liong Lie masih berada di sekitar tempat tersebut, dan terlebih pula memang Siauw Liong Lie tengah hamil, dengan mudah pasti akan dapat dicarinya. Umpama kata Siauw Liong Lie telah pergi meninggalkan tempat tersebut, tentu mereka bi¬sa mengikuti jejaknya.

Tiat To Hoat-ong juga merasa yakin bahwa dia telah berhasil melukai Siauw Liong Lie dengan pukulannya yang dahsyat, setidak-tidaknya Siauw Liong Lie tentunya telah terluka berat. Tetapi begitu jauh, dia masih belum berhasil menemuinya, bahkan mereka telah memasuki lembah dan bertemu dengan Lo Him.

Di saat itu, dikala Lo Him tengah didesak hebat sekali oleh si Lhama Chiuluon, tiba-tiba dari dalam sebuah goa terdengar suara mengereng yang menggetarkan lembah itu.

<> 

Dengan cepat Tiat To Hoat-ong menoleh, dan mereka, si pendeta dengan kedua kawannya melihat sesosok bayangan panjang yang menerjang ke arah mereka. Tiat To Hoat-ong mengerutkan alisnya, dia mengibaskan lengan bajunya. Serangkum angin serangan yang kuat sekali menghantam keras ke arah sosok bayangan tajam yang panjang itu. Seketika itu juga sosok bayangan tersebut telah terpental dan bergulingan di tanah sambil mengeluarkan suara meraung yang keras sekali. Ternyata sosok bayangan itu tidak lain dari si macan tutul Sin Kim.

Akibat kibasan lengan baju Tiat To Hoat-ong dia telah terlempar dan terguling hebat, namun cepat sekali dia telah melompat bangun dan menerkam lagi ke arah si pendeta.

Turkichi melihat itu segera mewakili Tiat To Hoat-ong menyambuti serangan yang dilancarkan oleh macan tutul tersebut, dia mengulurkan kedua tangannya dan „ceppp” kesepuluh jari tangannya telah menancap di perut macan itu dalam-dalam, sehingga Sin Kim meraung dan telah mencakar dan menggigit ke arah depan sekenanya. Tetapi Turkichi menggeser kedua kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga dia berhasil mengelakkannya dan tidak kena dicakar dan digigit oleh macan tutul itu.

Setelah mengeluarkan suara raungan yang keras, akhirnya tubuh Sin Kim rubuh tidak bergerak lagi. Putus napasnya. Sin Kim telah mati dan suara kematiannya itu menggema di lembah tersebut sedangkan Turkichi telah menyusut darah di kesepuluh jari tangannya sambil memperlihatkan sikap yang sangat angkuh.

Suara raungan Sin Kim yang merupakan raung kematian, telah mengejutkan Lo Him. Dia menoleh dengan muka pucat dan tubuhnya menggigil melihat nasib macan tutulnya itu. Di saat itulah walaupun hanya beberapa detik saja, telah dipergunakan oleh Chiluon dengan sebaik mungkin, dia telah menghantam ke arah dada Lo Him sehingga tubuh Lo Him terpental akibat serangan yang tepat itu.

Di saat tubuh Lo Him terpental begitu, Sauw Liong Lie baru keluar dari rumah kayu itu, karena dia mendengar suara meraung dari Sin Kim yang keras sekali.

Betapa terkejutnya Siauw Liong Lie, dia keluar sambil menggendong anaknya, Yo Him, dan tangannya gemetar waktu melihat keadaan Lo Him yang menggeletak di tanah sambil memuntahkan darah segar dan juga Sin Kim yang telah binasa dengan keadaan yang mengenaskan, dengan perutnya yang berlobang berlumuran darah.

Di saat itu juga Siauw Liong Lie telah melihat diantara empat orang yang tengah berdiri dengan sikap yang angkuh itu, terdapat Tiat To Hoat-ong. Dengan gusar Siauw Liong Lie membuka ikat pinggangnya, tubuhnya dengan ringan telah melompat menerjang sambil memutar ikat pinggangnya.

„Dia orangnya!” berseru Tiat To Hoat-ong dengan girang. „Tangkap, jangan biarkan dia lolos.” Dan Tiat To Hoat-ong bukan hanya berteriak belaka, karena dia telah melompat dan mendahului untuk menyerang. Hebat sekali terjangannya karena dia telah melancarkan serangan yang dahsyat.

09.18. Pengabdian Seekor Rajawali Sakti

Siauw Liong Lie tidak jeri terhadap siapa pun juga, dia hanya merasa kuatir kalau-kalau si pendeta nanti mempergunakan tabung gasnya.

Turkichi dan Talengkie juga telah melompat sambil melancarkan serangan. Talengkie telah mencabut sepasang senjata goloknya yang bentuknya aneh panjang bergigi, dia melancarkan serangan dengan hebat sekali. Chiluon juga telah mengeluarkan suara bentakan, ikut melancarkan serangan kepada Siauw Liong Lie.

Nyonya Yo Ko merasakan serangan datang bertubi-tubi dan hebat sekali. Dia memutar ikat pinggangnya, tetapi tenaganya belum pulih keseluruhannya, dia baru saja melahirkan dan dengan sendirinya menghadapi serangan keempat lawannya yang masing-masing memiliki kepandaian yang demikian tinggi Siauw Liong Lie jadi terdesak juga. Diam-diam Siauw Liong Lie mengeluh, dia melihat Lo Him terluka parah dan tidak bisa berdiri, hanya mengerang-erang kesakitan karena luka yang dideritanya bukan main hebat.

Tiat To Hoat-ong girang sekali sebab dia yakin Siauw Liong Lie akan dapat ditawannya kembali. Sekali-sekali si pendeta Mongol itu telah memandang sekelilingnya, dia melihat kalau-kalau Sin-tiauw pun berada di sekitar tempat itu, tetapi nyatanya bayangan burung rajawali itu tidak berada di tempat keadaan tersebut sehingga si pendeta bertanya-tanya, entah kemana perginya burung rajawali yang sakti itu.

Keringat dingin mulai menitik deras di tubuh Siauw Liong Lie. Dia hanya bisa bertempur dengan mempergunakan tangan kanan belaka, karena tangan kirinya tengah menggendong anaknya. Sehingga kegesitan Siauw Liong Lie juga berkurang akibat perhatiannya yang terpecah, sebab walaupun bagaimana dia kuatir kalau-kalau anaknya nanti terluka.

Tiat To Hoat-ong yang licik telah dapat melihat kekuatiran nyonya Yo itu. Dengan cepat dia telah merobah cara bertempurnya. Hoat-ong ini telah membiarkan kawan-kawannya mendesak si nyonya, sedangkan dia sendiri berulang kali telah melancarkan serangan yang dahsyat, ditujukan kepada anaknya si nyonya yang berada dalam gendongan.

Tentu saja hal itu membuat Siauw Liong Lie jadi panik, dia memang tengah mempergunakan ilmu silat Giok-lie-kiam-hoat, ilmu silat bidadari, dan dia mempergunakan ikat pinggangnya sebagai pengganti pedang, dengan sendirinya gerak-geriknya tidak leluasa.

Dan kini di saat Tiat To Hoat-ong melancarkan serangan yang bertubi-tubi ke arah anaknya keruan saja membuat dia jadi tambah sibuk. Berulang kali Siauw Liong Lie telah berusaha bersiul nyaring, memanggil Sin-tiauw tetapi burung itu tidak juga terlihat.

Saat itu desakan keempat lawannya semakin lama jadi semakin hebat, dan yang menguatirkan Siauw Liong Lie justeru di saat itu Tiat To Hoat-ong telah beberapa kali berusaha merogoh sakunya. Siauw Liong Lie bisa menduga bahwa pendeta Mongol ini tentu ingin mengambil tabung gasnya. Mati-matian Siauw Liong Lie menghantamkan ikat pinggangnya, yang sebentar lunak dan sebentar keras dia melancarkan serangan yang dahsyat sekali. Hal itu agar mencegah si pendeta mengambil tabung gasnya itu.

Kenyataan seperti itu tentu saja membuat Tiat To Hoat-ong jadi mendongkol. Dia telah memperhebat serangannya. Suatu kali, terdengar jeritan Siauw Liong Lie, karena bahu kanannya telah kena dicengkeram oleh Turkichi, sehingga mengucurkan darah. Dan golok Talengkie juga telah berhasil melukai lengan nyonya itu. Setelah lewat empat jurus lagi, lengan kirinya juga telah dilukai.

Melihat keadaan demikian, seketika itu juga Siauw Liong Lie menyadari bahwa dia tidak mungkin dapat menghadapi lawan-lawannya itu dengan keadaan demikian, karena walaupun terlambat, tetapi dirinya akan dirubuhkan. Terlebih lagi jika si pendeta telah mempergunakan tabung gasnya. Maka dengan cepat dia telah memutar ikat pinggangnya dengan mengerahkan tenaganya, sehingga memaksa keempat lawannya melompat mundur.

Di saat itulah Siauw Liong Lie menjejakkan kakinya tubuhnya telah melambung ke udara, dan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya dia lari dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk meninggalkan tempat itu.

„Kejar!” teriaknya Tiat To Hoat-ong dengan gusar.

Keempat orang itu segera juga melakukan pengejaran. Bahkan Talangkie telah menggerakan tangan kanannya. „Serrr, serrr,” dua sinar hijau telah menyambar ke arah Siauw Liong Lie.

Tetapi nyonya itu telah berhasil mengelakkan dua serangan paku beracun yang dilontarkan lawannya. Karena berkelit begitu, maka Siauw Lion Lie jadi terlambat dalam gerakannya. Sehingga keempat lawannya telah menyusul kian dekat saja. Tetapi dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada padanya Siauw Liong Lie telah berlari pula, dia telah berusaha untuk meninggalkan keempat lawannya itu. Sebab walaupun bagaimana Siauw Liong Lie berusaha untuk menyelamatkan bayinya,

Karena tergoncang-goncang, bayi yang semulanya tengah tertidur nyenyak itu jadi tersentak bangun dan menangis. Suara tangisannya itu telah mengema di sekitar lembah tersebut.

Dikejauhan segera terdengar suara pekik yang nyaring, dan sebuah titik hitam tampak mendekati ke arahnya. Siauw Liong Lie jadi girang, semangatnya jadi terbangun, dia telah mengempos kekuatannya dan berusaha berlari lebih cepat lagi. Suara pekikan itu adalah suara pekikan Sin-tiauw. Jika memang rajawali sakti itu berada di tempat tersebut, tentu si bayi dapat diselamatkan.

Sin-tiauw rupanya tadi tengah berkeliling-keliling di sekitar Kun-lun. Burung ini mengetahui bahwa besok dia bersama Siauw Liong Lie akan meninggalkan tempat tersebut, dia bermaksud mengelilingnya untuk melihat terakhir kalinya.

Dan suara tangisan si bayi itulah yang telah didengarnya, maka cepat-cepat Sin-tiauw telah terbang menghampiri dengan tergesa. Waktu tiba di dekat tempat Siauw Liong Lie berada, Tiat To Hoat-ong yang melihat burung rajawali itu, telah mempercepat dia mengeluarkan tabung gasnya.

Gerakan si pendeta telah dilihat oleh Siauw Liong Lie, dia tiba-tiba berseru, „Terimalah Tiauw-heng!” Sambil berseru dia melontarkan bayinya.

Rajawali sakti itu seperti mengerti, dia mencengkeram hati-hati pembalut tubuh si bayi, dan kemudian dibawanya terbang tinggi sekali.

Dengan berhasilnya diselamatkan bayinya Siauw Liong Lie jadi tenang, disamping itu dia pun bisa bergerak lebih leluasa dan dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi lawan-lawan itu.

Waktu tiba dihadapan Siauw Liong Lie, Tiat To Hoat-ong tengah gusar dan mendongkol karena dia melihat bayi Siauw Liong Lie telah dapat diselamatkan oleh rajawali itu. Karena mendongkolnya dia telah menyemprotkan gas dalam tabungnya ke arah Siauw Liong Lie.

Mengetahui hebatnya gas tabung itu, Siauw Liong Lie cepat-cepat menahan pernapasannya, dia mengibas dengan lengan bajunya lalu memutar tubuhnya dan berlari secepat mungkin.

Tiat To Hoat-ong tambah gusar, dengan segera dia mengejar pula disertai oleh teriak-teriakannya. Ketiga kawan si pendeta juga telah ikut mengejar terus. Tidak hentinya Talengkie menghujani Siauw Liong Lie dengan paku-paku beracunnya, dan dua diantara sekian banyak paku beracun itu telah menancap di punggung si nyonya.

Semula Siauw Liong Lie memang tidak merasakan apa-apa selain perasaan sakit, tetapi racun dari paku itu bekerja cepat sekali, sehingga dalam sekejap mata seluruh punggungnya telah kesemutan dan kaku. Siauw Liong Lie jadi terkejut, tubuhnya terhuyung.

Di saat itu mereka telah kejar mengejar di tepi jurang, dan keadaan disitu sangat berbahaya sekali. Dengan mengeraskan hati Siauw Liong Lie mengempos semangatnya, dia berlari terus. Sedangkan Sin-tiauw telah terbang tinggi sekali dengan membawa si bayi.

Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya semakin penasaran saja, mereka mengejar terus. Semakin lama jarak mereka semakin pendek saja, hanya terpisah tiga tombak lebih.

Akhirnya Siauw Liong Lie putus asa. „Daripada aku mati di tangan mereka lebih baik aku mati di dasar jurang!” dan setelah berpikir begitu, Siauw Liong Lie melirik ke arah jurang yang dalam itu, yang tidak terlihat dasarnya. Hatinya jadi menggidik, dia juga jadi teringat kepada Yo Him, anaknya. Dengan sendirinya Siauw Liong Lie jadi ragu-ragu. Namun akhirnya, karena dia telah melihat lawannya semakin dekat dan tidak akan melepaskan dirinya, dia jadi nekad, dengan tidak berpikir apapun juga, dia melompat ke dalam jurang itu.

Tiat To Hoat-ong terkejut, pendeta itu yang telah datang menyusul dekat sekali, telah mengulurkan tangannya untuk menjambret, namun gagal.

Tubuh Siauw Liong Lie meluncur terus dengan cepat ke bawah dan lenyap dalam kegelapan. Di tengah udara, terdengar suara pekik Sin-tiauw.

Tiat To Hoat-ong dan ketiga lawannya jadi menghela napas penasaran. Mereka memandang ke arah Sin-tiauw.

„Kita harus menangkap anaknya itu!” menggumam Chiluon dengan suara perlahan.

Tiat To Hoat-ong dan kedua kawan lainnya telah mengangguk mengiyakan. Tetapi Sin-tiauw yang cerdik itu terbang tinggi di tengah udara, sama sekali tidak mau terbang merendah. Bagaimana menangkapnya? Disamping mendongkol, Tiat To Hoat-ong juga jadi berputus asa.

Di saat itu Sin-tiauw telah melayang turun di seberang jurang dan berdiri sejenak disana seperti tengah ragu-ragu. Apakah ikut turun ke dasar jurang atau membawa pergi anaknya Siauw Liong Lie yang berada dalam cengekeramannya.

Tetapi Sin-tiauw yang cerdik itu menyadarinya, jika dia terbang turun ke bawah jurang itu, sedangkan keempat orang musuh Siauw Liong Lie masih berada di tepi jurang itu, maka dengan mudah dia akan diserang dengan senjata rahasia. Itulah berbahaya, karena jika dia kebetulan terserang dan menderita kesakitan, sehingga cekatannya terhadap bayi di dalam cengkeramannya itu terlepas bukankah membahayakan jiwa si bayi yang akan terbanting di dasar jurang? Hal itulah yang telah membuat Sin-tiauw ragu-ragu sehingga akhirnya dia telah terbang lagi, tinggi sekali di tengah angkasa dengan sekali-kali memperdengarkan suara pekikannya.

Tiat To Hoat-ong dan ketiga kawannya yang masih penasaran tetap menanti di tepi jurang. Tetapi Sin-tiauw telah terbang jauh dan tidak terlihat bayangannya lagi sambil membawa bayinya Siauw Liong Lie. Si pendeta Mongolia itu bersama kawannya jadi berputus asa dan akhirnya telah meninggalkan tempat tersebut dengan tangan kosong.

Keadaan di sekitar tepi jurang di dekat lereng gunung Kun-lun-san tersebut jadi sepi sekali, hanya sekali-kali dikejauhan terdengar suara raungan binatang buas.

<> 

Lo Him yang terluka parah akibat serangan yang meremukkan beberapa tulang iga di dadanya telah berusaha menyalurkan tenaga murninya. Namun usahanya itu gagal dan perasaan sakit luar biasa menyerangnya, sehingga Lo Him merintih beberapa kali. Perlahan-lahan dia telah merangkak karena dia sangat menguatirkan sekali keselamatan Siauw Liong Lie. Tetapi dalam keadaannya yang tengah terluka parah, mana dapat dia menyusul Siauw Liong Lie dan keempat orang lawannya? Dalam keadaan segerti itulah, dia melihat Tiat To Hoat-ong dan ketiga kawannya telah berjalan mendatangi.

Tentu saja Lo Him jadi terkejut, karena dia tidak melihat Siauw Liong Lie diantara mereka. Dalam keadaan seperti itu, diapun girang, karena dia bisa menduga Siauw Liong Lie tentu berhasil meloloskan diri dari keempat lawannya tersebut, dia jadi lapang hatinya.

Tetapi Tiat To Hoat-ong dan ketiga kawannya yang tengah dalam keadaan murka dan mendongkol telah melihat Lo Him, maka kemarahan mereka telah ditumpahkan kepada Lo Him. Dihampirinya Lo Him, lalu tanpa mengenal kasihan sedikitpun juga dia telah mengayunkan tangan kanannya „plaak” kepala Lo Him telah dihantamnya hancur. Sedangkan Talengkie, Turkichi dan Chiluon telah ikut menghajar orang yang malang itu, sehingga tubuh Lo Him hancur remuk dan napasnya sudah siang-siang putus.

Setelah puas menumpahkan kemarahan didiri Lo Him, keempat orang Mongolia itu telah meninggalkan tempat tersebut.

Mayat Lo Him dan Sin Kim, simacan tutul menggeletak tanpa napas keadaan mereka mengenaskan sekali. Udara dingin sekali dan keadaan sunyi sepi, hanya rumah kayu yang kosong tidak berpenghuni yang tetap utuh di tempat tersebut.

Y

Setelah terbang berputaran sekian lama Sin-tiauw kembali ke tepi jurang itu. Dia melihat keempat orang musuh Siauw Liong Lie telah pergi tidak terlihat bayangannya lagi, maka burung rajawali tersebut telah meluncur terbang ke dalam jurang itu.

Tetapi ketika Sin-tiauw tiba di dasar jurang binatang sakti ini tidak melihat tubuh Siauw Liong Lie, hanya tumpukan pakaian dari Siauw Liong Lie yang dilihatnya. Tentu saja Sin Tiauw jadi bingung, dia telah terbang berputaran di dasar jurang itu, mengeluarkan suara pekikan yang keras bagaikan tengah memanggil-manggil Siauw Liong Lie. Namun Siauw Liong Lie tetap tidak terlihat mata hidungnya, telah lenyap bagaikan di telan bumi.

Tentu saja Sin-tiauw jadi bingung bukan main, pakaian Siauw Liong Lie dilihatnya ada di dekat tempat itu, tetapi kemana perginya Siauw Liong Lie?

Sin-tiauw meletakan bayi di dalam cengkeramannya dengan hati-hati, dia telah mencakari tanah, menggali sebuah liang, untuk mengubur barang-barang Siauw Liong Lie. Kemudian Sin-tiauw terbang berputaran lagi sambil memekik-mekik, memanggil-manggil Siauw Liong Lie. Tetapi nyonya Yo Ko itu tetap telah lenyap tidak terlihat mata hidungnya lagi.

Inilah yarg sangat mengherankan sekali kemana perginya Siauw Liong Lie? Jika dia mati terbanting di dasar jurang tentunya terlihat tubuh atau mayatnya dan jika dia berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian terbanting di dasar jurang ini, tentu dia akan mendengar suara pekikan Sin-tiauw dan keluar untuk menemuinya. Namun kini Siauw Liong Lie tetap lenyap tidak terlihat mata hidungnya? Kemana nyonya Yo itu?

Selesai mengubur seluruh barang-barang Siauw-Liong Lie yang berhasil ditemuinya di tempat itu, Sin-tiauw telah terbang mencari seekor kambing hutan, yang dibawanya hidup-hidup untuk dipergunakan oleh si bayi menyusui.

Begitulah untuk selanjutnya Sin-tiauw telah merawat si bayi Yo Him. Di dasar jurang itu. Selama itu pula Siauw Liong Lie tidak pernah terlihat bayangannya, entah kemana lenyapnya, nyonya Yo Ko itu.

Memang cukup berat rajawali itu merawat Yo Him, namun dia telah berusaha untuk merawatnya sebaik mungkin. Untuk membawa Yo Him, membawa terbang meninggalkan Kun-lun-san mencari Yo Ko, juga bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena tidak mungkin rajawali ini membawa si bayi terbang, berkeliling mencari ayahnya…… sedangkan Yo Ko tidak diketahui berada dimana. Semula Sin-tiauw ingin mengajak Yo Him terbang ke Siauw-hong, tempat dimana Yo Ko dan Siauw Liong Lie semula menetap, tetapi akhirnya Sin-tiauw memutuskan untuk merawat dulu si bayi selama beberapa tahun di lembah ini.

<> 

Waktu dengan cepat beredar, dari bulan ke bulan dan akhirnya Yo Him telah berusia dua tahun lebih.

Sin-tiauw sering mengajak anak itu terbang ke atas jurang, dengan Yo Him duduk di punggung rajawali tersebut. Dan di atas jurang itu, Sin-tiauw mengajak Yo Him bermain-main dengan gembira. Tidak jarang pula, Sin-tiauw sengaja meninggalkan Yo Him di dekat permukaan sebuah perkampungan di kaki gunung, sehingga Yo Him bisa bermain-main dengan beberapa orang anak kampung lainnya, tidak mengherankan jika Yo Him pun bisa bercakap-cakap seperti anak-anak yang lainnya. Jika sore hari, barulah Sin-tiauw menjemput Yo Him kembali.

Akhirnya, karena terlampau seringnya Sin-tiauw mengantarkan Yo Him ke mulut perkampungan tersebut, banyak anak-anak kampung itupun yang telah menyenangi si rajawali dan sering mengajaknya bermain bersama. Betapa gembiranya anak-anak kampung itu jika diajak terbang oleh rajawali tersebut, dengan mereka duduk di punggung burung tersebut.

Semula orang tua anak-anak kampung itu merasa kuatir kalau-kalau rajawali itu masih ganas dan liar, atau setidaknya anak-anak mereka jatuh dari punggung Sin-tiauw, namun setelah hampir satu tahun lebih tanpa terjadi urusan apa-apa, orang-orang kampung itupun jadi biasa dengan sendirinya. Sedangkan Sin-tiauw memang sengaja mengajak Yo Him ke permukaan kampung itu, untuk bermain dengan anak-anak diperkampungan tersebut, agar Yo Him belajar bicara dan senang-senang ikut bermain-main dengan anak-anak di kampung itu. Walaupun Sin-tiauw seekor binatang belaka, namun dia memiliki pikiran yang bijaksana.

Setelah Yo Him berusia dua tahun lebih, dia mulai dididik oleh Sin-tiauw melatih tenaga dalam dan ilmu pukulan. Seperti diketahui, di saat Yo Ko dibuntungi tangannya oleh Kwee Hu (Sia-tiauw Hiap-lu menceritakan perihal itu) maka Sin-tiauw ini yang telah mendidik Yo Ko untuk mempergunakan goloknya yang berat itu. Dan kini di bawah bimbingan Sin-tiauw, Yo Him memang bisa memperoleh didikan yang kuat, namun karena usianya yang masih terlampau kecil itu, ilmu silat dan tenaga dalam itu tidak berarti apa-apa, hanya bisa menyebabkan tubuh anak tersebut sehat dan kuat saja.

Menjelang usia tiga tahun lebih, Yo Him bisa bermain dengan lincah, dan dia mulai dapat mendaki tempat-tempat yang agak tinggi. Terlebih lagi Sin-tiauw dalam menurunkan ilmunya selalu teratur, yaitu setiap tengah malam tentu dia akan membangunkan Yo Him dari tidurnya dan memaksa anak itu melatih diri.

Tetapi yang membuat Yo Him tidak mengerti, anak-anak kampung lainnya memiliki ibu dan ayah, sedangkan dia tidak. Begitu juga Sin-tiauw tidak menjelaskan siapa ayah dan ibunya, karena memang rajawali itu walaupun sangat cerdik dan pandai tetapi tidak bisa bicara. Hanya rajawali itu seringkali menunjuk ke arah gundukan tanah dimana pakaian Siauw Liong Lie dikuburkan.

Anak kecil Yo Him belum mengerti urusan apa-apa, dia selalu hanya mengangguk-nganggukkan kepala belaka jika memang Sin-tiauw tengah menunjuk gundukan tanah pakaian Siauw Liong Lie.

Waktu beredar cepat sekali, dan pagi itu, sejak matahari belum memperlihatkan diri, Sin-tiauw tampak berdiri diam saja, tidak seperti biasanya dia terbang berputaran mencari mangsanya. Sikap burung itu lesu sekali, seperti ada yang menyusahkan hatinya. Sedangkan Yo Him telah menghampiri dan merangkul leher burung itu.

„Tiauw-ya (ayah rajawali) apakah yang tengah kau risaukan?” tanyanya.

Rajawali itu hanya menggeleng perlahan, dia menggesekkan kepalanya perlahan-lahan di lengan Yo Him dengan penuh kasih sayang. Lalu dengan ujung sayapnya dia telah menunjuk ke punggungnya.

Yo Him mengerti, dia melompat naik ke punggung rajawali itu. Usianya yang empat tahun lebih itu telah menyebabkan anak ini bisa melompat dengan gesit sekali. Sin-tiauw telah berjalan ke sudut dasar jurang, dengan cakarnya dia mengorek tanah, dan dari dalam tanah itu dia mengeluarkan beberapa barang, yang ternyata milik Siauw Liong Lie, yang telah dikeluarkan oleh rajawali itu.

Tentu saja si bocah tidak mengerti, Yo Him hanya mengawasi saja. Di saat itu Sin-tiauw telah memberi isyarat dengan sayapnya, agar barang-barang itu dimasukkan Yo Him ke dalam sakunya.

Yo Him mengerti dan menuruti keinginan Sin-tiauw. Dan setelah Yo Him memasukkan beberapa macam barang bekas milik Siauw Liong Lie, si bocah diperintahkan Sin-tiauw naik ke punggungnya. Dia mengajak Yo Him terbang ke atas jurang, menurunkan Yo Him di pintu kampung yang biasa dimana Yo Him bermain-main dengan beberapa orang anak kampung lainnya. Setelah menggesek-gesekkan kepalanya beberapa kali di lengan Yo Him, burung rajawali itu terbang tinggi sekali berputaran tidak hentinya. Yo Him yang berdiri di muka kampung itu jadi heran. Belum pernah dia melihat sikap Sin-tiauw seperti itu. Maka dari itu dengan sendirinya dia tidak mengerti mengapa hari ini Sin-tiauw membawakan sikap seperti itu.

Lama juga Sin-tiauw berkeliling berputaran di tengah udara, lalu dengan mengeluarkan suara pekik yang nyaring sekali, rajawali itu telah menukik masuk ke dalam jurang dan lenyap tidak muncul kembali.

Yo Him jadi bingung ketika sore harinya rajawali itu tidak menjemputnya. Dan beberapa orang kawannya telah mengajak Yo Him untuk menginap saja. Begitu pula di hari-hari berikutnya Sin-tiauw tidak datang menjemput, sehingga akhirnya Yo Him telah diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Ciang, di kampung tersebut.

Ternyata Sin-tiauw sesunguhnya ingin merawat Yo Him sampai dewasa. Namun disebabkan usianya yang telah lanjut, dia tidak bisa melaksanakan tugasnya. Karena Sin-tiauw memiliki kepandaian yang luar biasa, lain dari rajawali lainnya, terlebih lagi memang diapun merupakan rajawali sakti, maka dia mengetahui bahwa putus napas dan kematiannya sudah tiba, karena usianya telah lanjut. Dengan demikian tidak mengherankan jika seharian itu dia memperlihatkan sikap yang lesu.

Setelah membawa Yo Him ke atas jurang dan meninggalkan di mulut perkampungan itu, Sin-tiauw menukik kembali ke dasar jurang dan menemui kematian disitu, melepaskan napasnya yang terakhir. Setidak-tidaknya Sin-tiauw telah melakukan tugasnya yang terakhir, sehingga dia telah bisa mengantarkan Yo Him ke perkampungan di kaki gunung Kun-lun itu agar si bocah tidak terkurung di dalam jurang itu. Sedangkan Yo Him yang belum mengerti urusan apa-apa hanya menganggap bahwa Sin-tiauw telah mengalami kecelakaan sesuatu atau memang telah pergi meninggalkannya.

Hari demi hari lewat cepat sekali, bulan demi bulan juga telah lewat pesat…..

Yo Him akhirnya telah berusia tujuh tahun kini dia merupakan seorang anak yang tampan sekali. Mukanya yang kecil itu cakap dan halus. Tidak mengherankan karena Yo Him memiliki kakek yaitu Yo Kong seorang pria yang tampan, kemudian ayahnya Yo Ko, juga berparas tampan, ibu¬nya Siauw Liong Lie juga cantik, maka tidak mengherankan jiwa Yo Him memiliki paras yang amat tampan sekali.

Namun dalam usia tujuh tahun seperti itu Yo Him perlahan-lahan mulai mengerti urusan. Dia mulai dapat berpikir dan sering datang ke tepi jurang, berdiam di sana sampai menjelang sore. Dia jadi sering memikirkan rajawali sakti, yang tidak pernah muncul itu, dan diapun sering menangis sedih disana. Yo Him telah melihatnya semua anak-anak kampung itu memiliki ayah dan ibu, tetapi dia? Mana ayahnya? Mana ibunya! Dan perasaan sedih itu telah melanda hatinya.

Keluarga Ciang memang memanjakannya, menganggap Yo Him sebagai anak kandungnya sendiri, karena keluarga Ciang tidak memiliki anak, mereka hanya merupakan pasangan suami isteri yang telah lanjut usianya itu. Namun Yo Him tetap merasakan adanya sesuatu kekurangan di dirinya.

Beberapa orang anak kampung telah datang ke tepi jurang itu, mengajak Yo Him untuk bermain-main. Tetapi Yo Him selalu dilanda oleh kemuraman belaka.

Sampai akhirnya, suatu sore di saat Yo Him tengah duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di mulut kampung itu dan menyaksikan anak-anak kampung yang bermain petak, tiba-tiba dari jurusan utara tampaklah dua orang penunggang kuda yang melarikan kuda tunggangannya dengan cepat sekali. Anak kampung yang melihat datangnya dua orang asing, telah berhenti bermain dan memandang heran kepada kedua orang penunggang kuda itu yang telah melompat turun.

Kedua orang itu berpakaian sebagai tosu, imam, usia mereka diantara tigapuluhan, wajah mereka ramah, salah seorang imam itu telah mendekati Yo Him, mereka bertanya ramah, „Adik, bisakah kau memberitahukan pinto jalan yang menuju ke Kun-lun-pai?”

„Ohhh, Kun-lun-sie (kuil Kun-lun)?” tanya Yo Him.

„Benar, tahukah engkau ke arah mana jalan yang harus kami ambil?”

„Terus saja menuju ke selatan, dan di puncak yang ketiga itu terletak kuil keramat itu!” menjelaskan Yo Him.

Tosu itu tampak girang, bersama dengan tosu lainnya telah melompat ke kuda mereka dan membalapnya ke jurusan yang diberitahukan oleh Yo Him.

Tidak lama kemudian tampak beberapa orang penunggang kuda lagi yang menanyakan jalan yang menuju ke Kun-lun-sie, maka hal itu telah menarik perhatian anak-anak kampung tersebut, termasuk Yo Him. Bahkan Tiang Hu, seorang anak kampung berusia sembilan tahun yang terkenal sangat nakal telah menarik ujung tangan Yo Him.

„Ada apa ramai-ramai? Tentunya di kuil Kun-lun-sie tengah diselenggarakan pesta!” katanya.

„Mungkin!” sahut Yo Him tidak tertarik.

Tetapi tidak lama kemudian telah datang beruntun puluhan penunggang kuda lainnya yang juga menanyakan jalan ke Kun-lun-sie yaitu kuil dimana pusatnya partai persilatan Kun-lun-pai.

Tiang Hu jadi tambah tertarik dia telah mengajak Yo Him untuk pergi ke kuil itu. „Kita melihat keramaian.....!” ajaknya.

Tetapi Yo Him menggeleng. „Kita tidak boleh pergi jauh-jauh...... Ciang Pe-hu (paman Ciang) melarang aku pergi jauh-jauh, karena kuatir kena dicelakai orang jahat!”

„Hu, hu, mengapa harus takut? Bukankah kuil Kun-lun-sie tidak jauh? Kita bisa melihat keramaian, nanti kita segera pulang, tentu Ciang Pe-hu mu itu tidak mengetahui...... ayo!” Dan sambil berkata begitu Tiang Hu menarik lengan baju Yo Him.

Sebetulnya Yo Him tidak tertarik dengan ajakan kawannya ini, namun karena sejak tadi dia melihat puluhan orang yang semuanya menuju ke arah Kun-lun-sie, juga dari pakaian mereka yang ketat dan memperlihatkan mereka dari rimba persilatan Yo Him jadi diliputi perasaan heran dan ingin mengetahui juga sesungguhnya apa yang hendak mereka lakukan. Terlebih lagi dia melihat, diantara rombongan itu terdapat macam-macam orang dari berbagai golongan, ada imamnya, ada hweshionya, ada gadis, ada lelaki kasar dan ada juga wanita tua….. semuanya memperlihatkan sikap mereka yang berlainan dan aneh-aneh.

Akhirnya Yo Him tertarik juga untuk melihatnya ketika Tiang Hu mengajaknya berulang kali. Dengan cepat kedua anak itu berlari-lari menaiki Kun-lun-san. Beberapa orang anak kampung lainnya telah mencegah Yo Him, tetapi Tiang Hu telah mengawasi mendelik ke arah mereka, sehingga anak kampung itu tidak berani melarang Yo Him lagi.

Dengan berlari-lari Yo Him dan Tiang Hu telah tiba di muka kuil Kun-lun-sie. Di luar kuil itu tampak banyak sekali kuda-kuda yang tertambat dan imam-imam dari kuil itu berdiri di pintu gerbang kuil tersebut, yang rupanya menjadi barisan penyambut tamu.

Di saat itu Yo Him dan Tiang Hu mendekati pintu kuil untuk melihat keadaan di dalam kuil yang tampaknya telah ramai oleh tamu-tamu. Suara dari tamu-tamu di kuil itu terdengar ramai sekali, disamping itu imam-imam kecil juga sibuk sekali menyediakan makanan tidak berjiwa untuk para tamu tersebut. Melihat suasana seperti itu, Yo Him dengan Tiang Hu menduga pasti akan ada keramaian di kuil tersebut.

Kedua anak itu hanya berdiri di muka kuil tersebut, karena mereka sama sekali tidak diijinkan untuk ikut masuk.

„Kita masuk dari belakang!” bisik Tiang Hu.

Tetapi lengan baju Tiang Hu telah dicekal Yo Him. „Jangan!” katanya dengan cepat mencegah. „Nanti kalau diketahui totiang penjaga kuil, kita bisa dimarahi!”

„Mereka sedang sibuk, tentu tidak mengetahui perbuatan kita,” kata Tiang Hu.

Tetapi Yo Him telah menggeleng.

„Jangan..... aku takut”

„Pengecut.”

„Kalau diketahui oleh totiang penjaga kuil kita bisa dihukum.”

„Ayo, aku yakin tidak akan diketahui! Kita bukan hendak mencuri, kita hanya ingin menyaksikan keramaian belaka.”

„Tidak, aku tidak mau, pergilah kau saja aku tidak mau ikut!” Kata Yo Him sambil menggeleng, „Aku cukup menyaksikan dari sini saja.”

Muka Tiang Hu berobah dia membentak, „Mengapa kau pengecut demikian? Ayo cepat, kau ikut tidak?”

Yo Him diam saja.

„Kalau kau tidak mau menyaksikan keramaian, mengapa tadi engkau bersedia ikut? Kalau memang tidak berani katakan saja sejak tadi agar aku bisa mengajak yang lainnya!”

Yo Him jadi ragu-ragu, tetapi akhirnya karena dia melihat Tiang Hu seperti marah, dia takut kalau-kalau nanti Tiang Hu memukulnya, akhirnya Yo Him mengangguk juga.

„Baiklah, tetapi jangan lama-lama.....!” katanya dan dia telah mengikuti Tiang Hu memutari kuil itu. untuk mengambil jalan di pintu belakang kuil.

Memang seperti yang diduga oleh Tiang Hu imam-imam kuil itu tengah sibuk melayani tamu se¬hingga mereka tidak memperhatikan kedua anak itu.

Saat itu Tiang Hu telah menarik tangan Yo Him, menyelinap ke dalam kuil melewati dapur dan terus menuju ke ruang Thia, ruangan depan kuil itu. Di pendopo tampak telah berkumpul banyak sekali orang-orang dari berbagai golongan, yang pakaiannya juga bermacam-macam.

Tiang Hu mengajak Yo Him mengambil tempat sudut ruangan, dekat tirai, sehingga kehadiran mereka berdua tidak diperhatikan orang-orang yang tengah berkumpul disana.

„Kita jangan terlalu lama disini,” kata Yo Him dengan suara yang berbisik. „Nanti kalau diketahui totiang penjaga kuil, kita bisa celaka!”

Tiang Hu hanya mendengus saja, dia telah berdiam diri tidak melayani bisikan Yo Him.

„Pergilah kau pulang jika kau takut,” akhirnya Tiang Hu telah berkata jengkel waktu Yo Him masih juga sering menarik ujung bajunya mengajak keluar.

Yo Him jadi ragu-ragu. Dia menyadari jika dia meninggalkan Tiang Hu seorang diri di dalam kuil ini, kalau terjadi suatu kecelakaan apa-apa tentu dia yang akan disesali. Maka akhirnya Yo Him hanya berdiam diri dengan hati yang tidak tenang.

Saat itu tampaklah para imam-imam kuil tersebut mulai sibuk menyediakan minuman untuk para tamunya, suara tamu yang kian memenuhi ruangan tersebut semakin ramai saja. Diantara suara orang bercakap-cakap, suara tertawa, suara berseru-seru karena tengah bercerita dengan asyik sekali, maka keadaan benar-benar sangat ramai sekali. Ketika itu diantara sibuknya para imam yang melayani, tiba-tiba terdengar suara tambur di pukul bertalu-talu.

Dan keadaan di saat itu telah berobah menjadi sepi dan hening sekali, karena memang di saat itu sudah tidak terdengar lagi orang bercakap-cakap dan tidak ada pula orang yang berseru atau tertawa. Semua mata telah ditujukan ke arah pintu itu yang bisa menembus ke ruang dalam. Semuanya duduk diam di kursinya masing-masing yang berjajar di dalam ruangan itu, dan saat itu, dari balik pintu ruangan dalam tampak telah melangkah keluar tiga orang imam yang berusia lanjut, yang telah berusia diantara enam atau tujuhpuluh tahun.

Imam yang berjalan di depan yang memelihara jenggot panjang dan telah memutih itu, tidak lain dari Ciangbunjin Kun-lun-pai yang bergelar Ma-liang Cinjin. Sedangkan kedua tojin, di kiri kanannya yang mengiringi Ma-liang Cinjin itu adalah kedua adik seperguruannya, yang masing-masing bergelar Uh-pie Cinjin dan Tui-ho Cinjin.

10.19. Kehancuran Perguruan Kun-lun-pai

Mereka bertiga merupakan tiga tokoh dari Kun-lun-pai dan nama mereka menggetarkan rimba persilatan dengan ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat yang telah sempurna. Munculnya ketiga tokoh Kun-lun-pai tersebut disambut oleh semua tamu dengan sorakan memuji akan kebesaran pemimpin Kun-lun-pai tersebut. Sedangkan Ma-liang Cinjin telah membungkukkan tubuhnya membalas hormat semua orang itu. Dengan perlahan-lahan dan sikap yang angker dan agung, tampak Ma-liang Cinjin bertiga telah menuju ke tempat yang disediakan untuk mereka, seperti sebuah mimbar berukuran tidak begitu besar.

Semua tamu kemudian berdiam diri untuk memberikan kesempatan kepada Ma-liang Cinjin memberikan kata-kata sambutannya.

„Sahabat-sahabat dari rimba persilatan!” berseru Ma-liang Cinjin dengan suaranya yang halus dan sabar, dia berkata sambil menyapu semua tamunya lalu dengan sorot mata yang lembut, namun memancarkan sinarnya yang tajam sekali, memperlihatkan bahwa lwekangnya telah sempurna. „Kami dari pihak Kun-lun-pai menyatakan terima kasih sebesar-besarnya kepada sahabat-sahabat yang telah mencapai lelah bersedia memenuhi undangan untuk ikut merayakan ulang tahun berdirinya Kun-lun-pai di tahun yang keempatratus ini! Sebagai pintu perguruan silat yang berusia tua, dan kebetulan di saat jatuhnya hari ulang tahun yang keempatratus ini, justru tengah dipimpin oleh Pinto, maka alangkah baiknya jika kita bertukar pikiran mengenai ilmu silat!”

Dan setelah berkata begitu tampak Ma-liang Cinjin telah memberi hormat lagi. „Dengan memberanikan diri kami bermaksud memperlihatkan kebodohan di depan sahabat-sahabat semoga tidak ditertawakan!” Dan setelah berkata begitu, tampak Ma-liang Cinjin mengibaskan tangannya, maka dua murid Kun-lun-pai telah melompat ke depan mimbar membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada Ciangbunjin mereka.

„Kami Thio In dan Thio Bun ingin meminta petunjuk Couw-su,” kata mereka serentak. Kedua imam murid Kun-lun-pai ini adalah keturunan tingkat kelima, dan itulah sebabnya dia memanggil Ma-liang Cinjin dengan sebutan Couw-su (kakek guru), karena guru mereka itu adalah Bung Hong Cinjin dari tingkat ketiga.

Ma-liang Cinjin telah tertawa kecil, ramah sekali sikapnya, diapun telah berkata sabar, „Nah, kini kalian perlihatkan kebodohan diantara sahabat-sahabat!” Dan sambil berkata begitu dia telah mengibaskan tangannya, memberikan isyarat agar kedua murid Kun-lun-pai itu mulai memperlihatkan kepandaian ilmu pedang masing-masing.

Kedua murid Kun-lun-pay itu, Thio In dan Thio Bun, telah merangkapkan tangannya untuk sekali lagi memberi hormat, kemudian dengan saling berhadapan mereka telah berdiri untuk memberi hormat kepada para tamu disusul dengan kata-kata mereka, „Kami yang bodoh ingin memperlihatkan keburukan kami, harap tidak ditertawakan oleh sahabat dan cianpwe!” Dan setelah berkata begitu. Thio In dan Thio Bun saling serang memperlihatkan ilmu pedang mereka.

Luar biasa ilmu pedang yang mereka perlihatkan, karena ilmu pedang itu berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, dengan gerakan yang ringan dan juga gesit mengancam tempat-tempat berbahaya. Itulah suatu pertunjukan permainan ilmu pedang yang luar biasa indahnya, dan setiap serangan yang mereka lancarkan itu menimbulkan angin yang dahsyat sekali.

Tetapi ilmu silat yang diperlihatkan olen kedua murid Kun-lun-pay itu hanya indah di bagian luarnya saja karena mereka bersilat dengan cepat dan gesit, tetapi isinya masih kurang sempurna. Bagi jago-jago yang berkepandaian sedang-sedang saja memang ilmu pedang itu menimbulkan perasaan kagum, tetapi bagi jago-jago yang memiliki kepandaian sempurna, kepandaian kedua murid Kun-lun-pai tersebut masih jauh dari sempurna karena banyak bagian-bagiannya yang lemah. Sehingga telah membuat beberapa orang jago yang ikut menyaksikan ilmu pedang itu telah saling berbisik,

„Hanya sebegini saja ilmu pedang Kun-lun-pai!”

Tetapi bagi Tiang Hu dan Yo Him yang menyaksikan ilmu pedang itu, merupakan suatu kejadian yang luar biasa. Mereka melihat pedang berkelebat-kelebat dengan cepat dan tampaklah suatu pemandangan yang mendebarkan hati, karena gerakan pedang itu yang cepat sekali telah berkelebat-kelebat membuat pandangan mata mereka jadi kabur berkunang-kunang.

„Akhhh!” berseru Ciangbunjin Kun-lun-pai akhirnya, suaranya nyaring. „Ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat kurang diyakini dengan baik oleh kalian, banyak kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh kalian.”

Kedua murid Kun-lun itu, Thio In dan Thio Bun, jadi menghentikan gerakan pedang mereka. Keduanya membungkuk memberi hormat kepada Couw-su mereka.

„Kami minta petunjuk.....!” kata mereka dengan suara yang perlahan.

„Banyak kesalahan yang kalian lakukan!” kata Couw-su itu dengan sabar. „Kalian harus banyak melatih diri dan meminta petunjuk kepada guru kalian!”

“Kami akan memperhatikan baik-baik petunjuk Couw-su,” kata kedua murid Kun-lun-pai tersebut. Dan mereka sudah bersiap-siap hendak mengundurkan diri.

Tetapi belum lagi mereka meninggalkan gelanggang pertandingan itu, justru dari arah rombongan tamu undangan di barisan belakang, telah terdengar suara seorang berkata dengan suara yang dingin,

„Ilmu butut, murid butut!” kata suara itu dengan nada yang mengejek. „Bukan main! Bukan main! Ilmu pedang rombengan seperti itu dipertunjukkan, sehingga membuat mata jadi sakit melihatnya.”

Tentu saja kata-kata seperti itu kurang ajar sekali, membuat semua orang telah terkejut dan menoleh ke arah datangnya suara itu.

Ma-liang Cinjin dan yang lainnya juga telah mengawasi ke arah suara itu. Dari arah belakang tampak telah melompat gesit sekali sesosok tubuh ke tengah gelanggang. Gerakannya itu luar biasa cepatnya dan juga ringan sekali tubuhnya, waktu kedua kakinya menyentuh lantai tidak menimbulkan suara.

Semua orang mengawasi, dan mereka segera dapat melihat jelas. Orang itu bertubuh tinggi besar dan tegap sekali, dialah seorang pendeta Mongolia yang wajahnya bengis dan juga matanya bersinar tajam. Wajahnya itu memperlihatkan keangkuhan yang sangat.

„Hud-ya Tiat To Hoat-ong hendak melihat berapa tinggi kepandaian ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat! Bisakah Ciangbunjin memperlihatkan sendiri ilmu pedang itu dan memberi petunjuk kepada Hud-ya?” Kata-kata itu memang seperti merendah tetapi di dalam kata-kata itu mengandung tantangan untuk Ma-liang Cinjin.

Tetapi Ma-liang Cinjin sabar sekali, dia mengawasi sejenak kepada pendeta Mongol itu. „Siapakah Taysu itu?” akhirnya dia telah bertanya. „Pendapat Pinto, Taysu tentunya datang tanpa membawa kartu undangan!”

Pendeta Mongol itu yang memang tidak lain dari Tiat To Hoat-ong telah tertawa mengejek.

„Memang, memang. Justru nama Kun-lun-kiam-hoat yang menarik Hud-ya kemari......! Apakah itu suatu kelancangan?” balik tanya Tiat To Hoat-ong.

Ma-liang Cinjin telah tersenyum sabar. Segera dia mengetahui bahwa si pendeta Mongol ini jelas datang dengan maksud untuk menimbulkan kerusuhan belaka.

„Baiklah! Taysu dari pintu perguruan mana?” tanya Ma-liang Cinjin.

„Tidak perlu kau ketahui.”

„Mengapa begitu?”

„Yang terpenting Hud-ya hanya datang untuk melihat sampai berapa tinggi ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat.”

„Hemmm...... baiklah!” kata Ma-liang Cinjin sambil menggerakkan tangannya, dia ingin memberikan isyarat kepada sutenya agar si adik seperguruannya itu melayani Tiat To Hoat-ong.

Namun kenyataannya Tiat To Hoat-ong yang melihat itu segera juga telah berkata, „Dan kedatangan Hud-ya bukan untuk melayani yang lain...... maka dari itu Hud-ya minta agar Totiang sendiri yang melayani kami!!”

Dan setelah begitu, dengan cepat sekali Tiat To Hoat-ong telah mulai menggerakkan tangannya dan kedua kakinya, dia mulai berdiri dengan kuda-kudanya yang kuat, mulai bersiap untuk menerima serangan. Dengan sikapnya itu berarti gerakannya tersebut merupakan tantangan untuk Ma-liang Cinjin.

Sebagai Ciangbunjin dari Kun-lun-pai yang memiliki nama sangat terkenal, sesungguhnya Ma-liang Cinjin tidak bisa sembarangan menerima tantangan orang, karena derajatnya yang tinggi. Tetapi karena Tiat To Hoat-ong telah menantangnya demikian rupa sehingga jika dia tidak melayaninya niscaya akan menjatuhkan nama Kun-lun-pai. Maka dari itu cepat sekali Ma-liang Cinjin berdiri dari kursi di depan mimbarnya, lalu katanya dengan suara yang sabar.

„Sungguh terpaksa sekali Pinto harus memperlihatkan kebodohan Pinto!” katanya kemudian. Dan setelah berkata begitu Ma-liang Cinjin melompat ke tengah gelanggang.

Sesungguhnya kedua sute dari Ma-liang Cinjin hendak mencegah Ciangbunjin mereka turun tangan sendiri, tetapi sudah terlambat, Ma-liang Cinjin telah berhadapan dengan Tiat To Hoat-ong.

„Ha, ha, ha!” tertawa Tiat To Hoat-ong dengan suara yang nyaring sekali. „Bukankah Totiang mengadakan pertemuan ini justru ingin memperkenalkan kepada orang-orang rimba persilatan, bahwa ilmu pedang Kun-lun-pai memiliki kepandaian yang hebat sekali?”

Di saat itu tampak Ma-liang Cinjin juga sudah tidak mengambil sikap yang segan-segan lagi, karena dia menyadari bahwa tamu tidak diundang ini memang sengaja datang untuk menimbulkan kerusuhan belaka. Cepat sekali diapun telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah melancarkan serangan pembukaan sebagai tanda hormat.

Tetapi Tiat To Hoat-ong berdiam diri saja dia tidak berkelit atau menangkis. Karena serangan yang dilancarkan oleh Ma-liang Cinjin memang merupakan jurus pembukaan, dengan sendirinya hal itu merupakan serangan yang tidak sungguh-sungguh dan juga telah menyebabkan serangan tersebut jatuh di tempat kosong. Namun dengan cepat sekali Tiat To Hoat-ong tidak ingin membuang waktu, dia juga telah mengibaskan lengan jubahnya sebagai serangan pembukaan.

Keduanya melompat mundur dan mulailah piebu, adu kepandaian itu dibuka.

Tangan kanan Ma-liang Cinjin meraba ke punggungnya, mencekal gagang pedang. Gerakannya itu sabar dan tenang sekali, dan ketika pedangnya dicabut maka sinar yang berkilauan terlihat menerangi sekitar tempat itu. Itulah pedang mustika. Sedangkan Tiat To Hoat-ong tertawa dengan suaranya yang tidak sedap didengar.

„Cabutlah senjata Taysu!” kata Ma-liang Cinjin yang sudah tidak ingin banyak bicara.

Tiat To Hoat-ong menggelengkan kepalanya. „Sesungguhnya Hud-ya biasa mempergunakan golok, tetapi biarlah untuk menghadapi Kun-lun-kiam-hoat yang hebat, Hud-ya akan mempergunakan kedua tangan ini saja untuk menyambutinya!”

Bukan main mendongkol dan murkanya murid-murid dari Kun-lun-pai, karena mereka merasa Ciangbunjin mereka diremehkan dan dihina.

Tetapi justru Ma-liang Cinjin membawa sikap yang tenang sekali, dia telah tersenyum. „Memang terkadang senjata tajam kalah hebat dengan kedua telapak tangan manusia!” katanya sabar. „Nah, Taysu, terimalah serangan Pinto..... inilah kebodohan yang selayaknya ditertawakan.” Dan membarengi dengan perkataannya itu tampak Ma-liang Cinjin menggerakkan pedangnya, dia telah menikam lurus-lurus ke arah dada Tiat To Hoat-ong yang saat itu berdiri dengan sepasang kaki agak tertekuk.

Tentu saja hal itu telah membuat semua orang jadi terkejut karena cara menyerang Ma-liang Cinjin akan membahayakan diri Ma Liang Cinjin sendiri, sebab dengan cara menyerang seperti itu, berarti Ma-liang Cinjin membuka bagian lowong di dirinya.

Sedangkan Tiat To Hoat-ong yang melihat serangan tiba, dia mandekkan tubuhnya dengan kaki tetap tertekuk dia telah melancarkan serangan membalas dengan telapak tangannya yang menyampok dari samping. Angin sampokan tangan Tiat To Hoat-ong ternyata bukan main kuatnya.

Angin serangan itu justru telah menyampok miring pedang Ma-liang Cinjin. Keruan saja Ma-liang Cinjin jadi terkejut sekali, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.

Hebat luar biasa tampak Tiat To Hoat-ong bukan hanya melancarkan serangan dengan sampokan saja, dia juga telah meluncurkan tangan kirinya mengancam ke arah kepala Ma-liang Cinjin.

Tentu saja Ma-liang Cinjin tidak bisa tinggal diam, cepat sekali dia telah menarik pulang pedangnya. Dia juga menarik pulang pedangnya bukan untuk mengelakan serangan Tiat To Hoat-ong, melainkan telah membarengi untuk melancarkan serangan lagi. Gerakan itu luar biasa hebatnya, karena ujung pedang itu digetarkan sehingga mata pedang seperti juga telah menyambar kebeberapa bagian di tubuh Tiat To Hoat-ong bagian yang semuanya berbahaya dan bisa mematikan.

Tetapi pendeta Mongol Tiat To Hoat-ong seperti tidak memandang sebelah mata ilmu pedang Kun-lun, dia telah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring, mengempos semangatnya di dadanya, dan dia telah berdiri tegak menantikan serangan tiba, kemudian disambutnya ujung pedang itu dengan dadanya.

Semua orang terkejut, bahkan ada yang telah mengeluarkan seruan karena kaget.

Dan di saat itulah dalam keadaan yang cukup menegangkan ketika mata pedang menyentuh kulit dada dari Tiat To Hoat-ong, namun anehnya mata pedang tidak bisa menikam masuk kulit tubuh itu melainkan telah melejit.

Membarengi di saat Ma-liang Cinjin tengah kaget, maka Tiat To Hoat-ong telah melancarkan pukulan lurus dengan telapak tangannya.

„Bukkk!”

Ma-liang Cinjin tidak sempat mengelakkan diri dan tubuhnya jadi terhuyung dengan pucat. Sebagai seorang Ciangbunjin dari sebuah partai persilatan ternama seperti Kun-lun-pai sampai terserang seperti itu, sesungguhnya benar-benar merupakan urusan yang luar biasa dan mengherankan juga.

Tiat To Hoat-ong telah tertawa bergelak-gelak keras sekali, dia telah melancarkan beruntun tiga kali serangan lagi, pukulan telapak tangannya menimbulkan angin serangan sekuat runtuhnya gunung.

Tentu saja Ma-liang Cinjin tidak berani berlaku lambat, dengan tidak berayal lagi dia telah memutar pedangnya itu dengan cepat seperti juga titiran.

Diantara suara deru angin itu, tampak Ma-liang Cinjin juga mengempos semangat dan tenaga dalamnya, sehingga angin serangan pedangnya selain mengincar bagian-bagian yang mematikan dari jalan darah di tubuh Tiat To Hoat-ong, juga mengandung kekuatan tenaga yang dahsyat, yang dapat menindih serangan tenaga dari Tiat To Hoat-ong.

Kenyataan seperti ini telah mengejutkan Tiat To Hoat-ong juga, dia sampai mundur dua langkah dan berobah cara bertempurnya. Dengan gerakan yang cepat sekali, silih berganti kedua tangannya itu telah melancarkan pukulan yang dahsyat dan mematikan, semakin lama semakin kuat dan mengurung tenaga serta pedang Ma-liang Cinjin.

Tentu saja Ma-liang Cinjin jadi terkejut dan mengucurkan keringat dingin. Dia merasakan tenaga Tiat To Hoat-ong seperti juga menghisap tenaganya, semakin lama tenaga Ma-liang Cinjin semakin tersedot. Ma-liang Cinjin mati-matian telah berusaha untuk meloloskan pedangnya itu dari libatan tenaga dalam si pendeta Mongol.

Berulang kali Tiat To Hoat-ong telah mengeluarkan suara tertawa bergelak, dan berulang kali pula dia melancarkan serangan yang semakin lama semakin hebat, yang memaksa Ma-liang Cinjin akhirnya hanya dapat bertempur dengan main kelit dan main mundur.

Murid-murid Kun-lun-pai yang melihat keadaan Ciangbunjin mereka, semuanya jadi berkuatir sekali.

Di saat itulah dengan cepat sekali Ma-liang Cinjin memutar dan menghentak pedangnya dengan mempergunakan jurus kesembilan belas dari Kun-lun-kiam-hoat, dengan menggetarkan pedangnya tampak Ma-liang Cinjin telah menjejakkan kakinya, untuk melompat ke belakang menjauhi diri dari lawannya.

Tetapi Tiat To Hoat-ong tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya. Dia telah melancarkan serangan dalam bentuk pukulan yang kuat sekali. Dan serangannya itu telah menghantam pinggul Ma-liang Cinjin, sehingga tulang pinggul dari Ciangbunjin Kun-lun-pai itu menjadi remuk dan tubuhnya terhuyung tidak bisa berdiri tetap.

Uh-pie Cinjin dan Tui-ho Cinjin, kedua sute dari Ma-liang Cinjin jadi terkejut sekali, muka mereka jadi berobah pucat seketika. Dan mereka telah melompat untuk melindungi kakak seperguruan mereka. Gerakan mereka itu sangat cepatnya, dan bertepatan di saat Tiat To Hoat-ong melancarkan serangan berikutnya kepada Ciangbunjin Kun-lun-pai tersebut. Gerakan mereka itu telah menolong Ma-liang Cinjin dari kematian, karena serangan Tiat To Hoat-ong telah berhasil ditangkisnya.

„Bukk!” tubuh Uh Pie dan Tui-ho Cinjin berhasil digempur Tiat To Hoat-ong sampai terpental.

Tetapi kedua sute Ma-liang Cinjin dengan cepat telah melompat dan melancarkan serangan lagi kepada Tiat To Hoat-ong. guna melindungi Ciangbunjin mereka.

Saat itu beberapa orang murid kepala Kun-lun-pai lainnya telah menyerbu untuk mengepung Tiat To Hoat-ong, sambil beberapa orang melindungi Ma-liang Cinjin, yang akan dibawanya ke dalam.

Namun Tiat To Hoat-ong rupanya bertindak tidak tanggung-tanggung. Dengan cepat sekali tangannya telah menjambret baju dari kedua murid kepala Kun-lun yang berada terdekat dengannya dan melemparkannya. Setelah itu dengan ujung jubahnya yang panjang, tampak Tiat To Hoat-ong telah mengibas, sehingga dua orang murid Kun-lun lainnya telah terlempar dan terbanting.

Dengan caranya itu Tiat To Hoat-ong seperti mengamuk ingin membuka kepungan lawannya. Dan memang dia telah menimbulkan perasaan jeri di hati murid-murid Kun-lun tersebut.

Gerakan yang mereka lakukan itu memang merupakan gerakan yang dahsyat, tetapi menghadapi Tiat To Hoat-ong yang memiliki kepandaian yang telah sempurna dan juga tenaga yang kuat, mau tidak mau murid-murid Kun-lun-pai yang berjumlah banyak itu tidak berdaya. Begitu juga Tui-ho Cinjin maupun Uh-pie Cinjin, kedua tojin yang liehay itu tampaknya jadi tidak berdaya menghadapi pendeta Mongol yang luar biasa ini.

Dalam sekejap mata saja pertempuran hebat telah terjadi di tempat itu. Sedangkan Tui-ho Cinjin telah berhasil dihajar dadanya, sampai imam itu meringkuk di lantai dengan memuntahkan darah segar.

Dalam melancarkan serangannya Tiat To Hoat-ong sama sekali tidak mau berlaku lunak! Setiap pukulannya tentu mengandung tenaga menggempur yang bisa mematikan. Maka tidak mengherankan ketika dia telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi dan juga serangan itu datangnya bagaikan angin badai, telah membuat murid-murid Kun-lun-pai tidak berani mendekatinya.

Saat itu dengan nekad Uh-pie Cinjin telah mengeluarkan teriakan yang nyaring, dia telah memutar pedangnya menyerbu ke arah Tiat To Hoat-ong. Maksud imam ini adalah untuk mengadu jiwa dengan Tiat To Hoat-ong agar binasa bersama. Tetapi hasrat hatinya itu tidak kesampaian.

Hal itu disebabkan Tiat To Hoat-ong liehay sekali, dia sama sekali tidak bermaksud untuk mengelakkan serangan lawannya, dia menerima tikaman dari si imam tetapi ujung pedang itu telah melejit tidak berhasil menembus kulitnya yang licin dan kebal itu. Mempergunakan kesempatan di saat Uh-pie Cinjin tengah terkejut begitu, di saat itulah Tiat To Hoat-ong telah melancarkan pukulan dahsyat dengan telapak tangannya,

„Bukkk!” batok kepala iman itu telah berhasil dipukulnya dengan jitu sekali.

Tanpa sempat menjerit lagi tubuh Uh-pie Cinjin menggeletak di lantai. Napasnya juga telah putus!

Semua murid Kun-lun lainnya jadi panik, mereka telah menyerbu dengan nekad dan gusar mengepung Tiat To Hoat-ong.

Saat itu Tiat To Hoat-ong telah mengeluarkan suara siulan yang nyaring, maka dari arah belakang barisan tamu, melompat beberapa sosok tubuh. Ternyata yang melompat muncul tidak lain dari Chiluon, Talengkie dan Turkichi. Mereka telah ikut mengamuk.

Kepandaian ketiga orang Mongol inipun hanya berada satu tingkat, di bawah Tiat To Hoat-ong, maka tidaklah mengherankan jika mereka dengan cepat telah berhasil merubuhkan murid Kun-lun-pai. Gerakan yang mereka lakukan juga selalu mendatangkan korban.

Murid-murid Kun-lun-pai yang melihat kehebatan ketiga orang itu jadi menggidik. Walaupun bagaimana mereka memang merasa sangat jeri dan takut berurusan dengan keempat orang yang berkepandaian sempurna itu. Mereka telah melihatnya bahwa kepandaian yang mereka miliki tidak mungkin dapat menandingi kepandaian empat orang Mongol itu.

Tetapi Tiat To Hoat-ong berempat terus juga mengamuk menghantam kesana kemari. Tampaknya keempat orang Mongol itu memang sengaja tidak ingin melepaskan seorangpun murid Kun-lun terlolos dari kematian.

Di saat itu dengan kecepatan bagaikan kilat, Talengkie berulang kali menggerakkan tangannya. Paku-paku beracunnya telah berhamburan membinasakan belasan orang tamu.

Keruan saja tamu-tamu yang merupakan jago-jago dari berbagai pintu perguruan silat itu jadi panik dan kalut. Dengan cepat beberapa orang diantara mereka telah menerjang maju untuk membantu pihak tuan rumah. Tetapi bantuan mereka itu rupanya sama sekali tidak memberikan hasil. Dengan mudah sekali Tiat To Hoat-ong telah melakukan serangan yang selalu membinasakan lawannya.

Jago-jago yang lainnya disamping jeri juga sangat gusar sekali melihat sepak terjang Tiat To Hoat-ong berempat dengan kawannya. Ramai-ramai mereka telah melompat ke gelanggang pertempuran, mereka telah melancarkan serangan dengan serentak untuk mengeroyok pendeta Mongol ini.

Tetapi Tiat To Hoat-ong dan keempat kawannya itu tangguh sekali, mereka telah membinasakan satu persatu lawannya, sehingga di dalam waktu yang sangat singkat sekali puluhan jiwa telah melayang. Dan sisanya telah cepat-cepat memutar tubuh melarikan diri untuk meloloskan diri dari kematian. Tiat To Hoat-ong telah tertawa bergelak-gelak puas.

Saat itu mayat-mayat melintang tidak keruan di lantai, keadaan sangat mengerikan sekali. Di ruangan tersebut yang masih segar dan hidup hanyalah Tiat To Hoat-ong berempat, tidak terlihat orang lainnya.

Tiang Hu dan Yo Him yang bersembunyi dibalik tirai, lagi menggigil keras ketakutan.

„Tadi-tadi telah kukatakan, agar kita jangan kemari!” bisik Yo Him ketakutan. „Kau lihat, iblis-iblis itu menakutkan sekali!”

Tiang Hu tidak bisa menyahuti, dia hanya berdiam diri belaka. Ketakutan yang meliputi hati Tiang Hu bukan main hebatnya, sampai anak ini tidak bisa mengeluarkan perkataan.

Dilihatnya betapa mayat-mayat itu melintang tidak keruan dan mengerikan sekali. Saat itu keadaan sepi sekali. Tetapi mata Tiat To Hoat-ong yang tajam telah melihat tirai yang bergoyang-goyang itu. Cepat-cepat dia telah menghampirinya, sekali hantam tirai itu tersingkap dan dua sosok tubuh kecil menggelinding keluar.

Tentu saja saking ketakutan Tiang Hu telah menangis dan berlutut meminta ampun. Sedangkan Yo Him hanya diam memandang dengan sinar mata ketakutan, tetapi dia tidak berlutut seperti yang dilakukan oleh Tiang Hu.

„Ihh!” berseru pendeta Mongol itu karena terkejut dan heran melihat kedua anak itu.

Talengkie telah melompat maju, dia mencengkeram baju Yo Him dan Tiang Hu. Diangkatnya tubuh kedua anak itu, lalu dibantingnya dengan keras ke atas lantai sehingga menimbulkan suara gedebukan yang keras.

Mata Yo Him dan Tiang Hu jadi berkunang-kunang dan kepala mereka pusing, disamping itu mereka juga menderita kesakitan yang sangat hebat.

Tiang Hu yang sangat ketakutan, telah menangis sambil sesambatan meminta ampun. Sedangkan Yo Him hanya merintih perlahan karena dia menderita kesakitan yang sangat.

„Siapa kau?” bentak Talengkie dengan suara yang bengis. „Mengapa kalian berada disini?”

„Kami...... kami ingin menyaksikan keramaian…..,” kata Tiang Hu dengan suara yang parau antara isak tangisnya.

Tetapi berbeda dengan Tiang Hu, Yo Him telah memutar otak sejak tadi dan kini dia telah memperoleh pikiran yang dianggapnya baik. Maka dari itu, dia telah berkata lantang,

„Kami datang untuk mengambil sisa makanan karena di tempat ini tengah diadakan keramaian, tidak kami sangka..... tidak kami sangka justru adanya peristiwa seperti ini......”

„Hmm......kalian dua pengemis cilik rupanya?” bentak Talengkie.

„Benar.”

„Cepat menggelinding pergi?” bentak Talengkie dengan suara yang bengis.

Tentu saja hal itu menggirangkan hati Yo Him dan Tiang Hu mereka cepat-cepat melangkah untuk pergi meninggalkan tempat yang menyeramkan itu,

„Tahan!” bentak Tiat To Hoat-ong.

Tentu saja kedua anak itu jadi ketakutan mereka menahan langkah kaki mereka tidak berani bertindak terus.

Yo Him telah menoleh, tanyanya dengan ragu-ragu. „Ada…… ada apa lagi, Taysu?” suaranya dibuat setenang mungkin.

Mata Tiat To Hoat-ong bersinar tajam. Berbeda dengan Talengkie, yang berhasil ditipu oleh Yo Him, tetapi Tiat To Hoat-ong yang cerdik itu telah memperhatikan kedua anak itu dalam-dalam. Dia telah melihatnya bahwa kedua anak ini tidak mungkin dua orang pengemis kecil.

Maka timbullah kecurigaannya. Dia telah melihat pakaian Yo Him dan Tiang Hu bersih dan juga tidak ada tambalannya, maka tidak mungkin Yo Him dan Tiang Bu ini dua anak pengemis. Tetapi, jika bukan pengemis, lalu mengapa kedua anak tersebut bisa berada di tempat ini? Itulah sebabnya Tiat To Hoat-ong bermaksud ingin menyelidikinya.

„Kalian bicara terus terang, sesungguhnya siapa kalian berdua?” bentak Tiat To Hoat-ong dengan suara yang bengis sekali.

„Kami….. kami memang pengemis kecil di kampung ini!” menyahuti Yo Him dengan suara agak tergetar, karena dia ketakutan melihat sinar mata Tiat To Hoat-ong yang tajam dan menyeramkan itu.

„Hemm, jika engkau masih tidak ingin bicara terus terang, biarlah kami akan membunuh kalian juga?” mengancam Tiat To Hoat-ong sambil melangkah maju.

Semula Yo Him ingin berkeras dengan dustanya itu, bahwa mereka adalah dua orang pengemis kecil, dia yakin jika mereka tetap mengakui diri mereka sebagai pengemis kecil tentu mereka akan dibebaskan. Tetapi siapa sangka karena ketakutan bukan main melihat ancaman Tiat To Hoat-ong, dengan tubuh yang menggigil keras Tiang Hu telah berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai keningnya itu telah menghantam lantai berulang kali.

„Ampun Taysu….. kawanku tadi memang telah berbohong….. kami memang bukan pengemis, kami hanya dua orang anak penduduk kampung di bawah kaki gunung ini..... kami..... kami..... kami…..”

Tiat To Hoat-ong telah tertawa dingin. „Kami, kami, kenapa?” bentaknya dengan suara yang semakin bengis saja.

„Kami hanya ingin menyaksikan keramaian......!” kata Tiang Hu sambil menangis.

Tiat To Hoat-ong telah mendelik kepada Yo Him. „Hemm, engkau kecil-kecil sudah pandai berbohong!” bentaknya. „Baiklah, kami akan memberikan sedikit pelajaran kepada kalian!”

Tentu saja Yo Him dan Tiang Hu jadi ketakutan sekali. Tubuh mereka menggigil keras, namun belum lagi mereka mengetahui apa-apa telah berkelebat bayangan hitam, tahu-tahu punggung mereka sakit dan tubuh mereka menjadi ringan seperti melayang.

Ternyata Tiat To Hoat-ong telah mencengkeram punggung kedua anak itu. Kemudian dengan keras dia telah melemparnya keluar kuil.

Tidak mengherankan jika Yo Him dan Tiang Hu terbanting keras di atas tanah, bahkan Tiang Hu telah menghantam batu kerikil dengan kuningnya, membuat kening anak itu jadi berlumuran darah..... Dengan merangkak, tanpa berani menoleh lagi Yo Him dan Tiang Hu segera berlari menuruni gunung itu, mereka berlari untuk pulang.

Tiat To Hoat-ong tertawa gelak-gelak dengan suara yang keras sekali.

10.20. Siapa Ayah? Siapa Ibu?

Dan di saat itu Chiluon, Talengkie dan Turkichi telah mengajak Tiat To Hoat-ong untuk berlalu. „Kita telah melaksanakan tugas kita dengan baik! Hari ini kita telah membinasakan lebih seratus jago-jago silat Tiong-goan! Untuk selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak bisa mengangkat nama mereka,” berkata Tiat To Hoat-ong dengan suara yang angkuh.

„Benar!” menyahuti Chiluon. „Dan berarti berkurangnya tenaga jago di daratan Tiong-goan! Seperti perintah Khan yang agung, kita harus berusaha sebanyak mungkin membinasakan jago-jago daratan Tiong-goan, disamping untuk membuktikan bahwa jago-jago Mongolia tidak ada tandingannya, juga untuk mempersedikit jago-jago yang membantu pemerintahan Song, sehingga jika kelak Khan yang agung itu menerjang ke daratan Tiong-goan, tentu tidak akan menemui rintangan lagi!”

Dan keempat orang jago Mongol itu telah tertawa keras sekali, tampaknya mereka puas bukan main. Suara tertawa mereka keras sekali menggetarkan tempat itu, lalu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka, jago-jago Mongol itu telah meninggalkan tempat tersebut.

<> 

Yo Him dan Tiang Hu yang berlari-lari ketakutan, akhirnya telah tiba di rumah masing-masing. Ciang Pe-hu nya yang mengambil Yo Him sebagai anak angkatnya, jadi kaget sekali melihat Yo Him ketakutan seperti itu.

„Ada apa?” tanya Ciang Pe-hu tersebut.

Dengan hati masih tergoncang hebat dan menahan perasaan sakit, Yo Him telah menceritakan pengalamannya. Sedangkan Tiang Hu juga telah mengejutkan ibu dan ayahnya dengan keadaan seperti itu. Sambil membersihkan darah yang mengucur deras dari keningnya, kedua orang tua Tiang Hu menanyakan sebab-sebabnya putera mereka bisa babak belur begitu.

Sambil terus menangis, Tiang Hu telah menceritakan pengalamannya.

Tentu saja kedua orang tuanya jadi terkejut bukan main. Mereka memang merupakan penduduk lama di kampung ini, maka dari itu mereka pun mengetahui jelas bahwa Kun-lun-pai merupakan sebuah pintu perguruan silat yang luar biasa hebatnya, dengan sendirinya pintu perguruan silat itupun merupakan tempat pemujaan yang disegani oleh penduduk kampung di sekitar gunung Kun-lun-san tersebut.

Kini mereka mendengar pendeta-pendeta dari kuil itu telah dibinasakan orang asing, bahkan jumlah korban meliputi ratusan jiwa, keruan saja telah membuat merekapun jadi ketakutan dan berulang kali memuji akan kebesaran Thian untuk meminta berkah dan perlindungan terhadap keselamatan keluarga mereka.

Dan setelah dua hari, barulah orang-orang kampung yang telah digemparkan oleh peristiwa itu berani naik ke atas gunung, untuk mendatangi kuil Kun-lun-sie. Dan mereka jadi berdiri dengan hati tergoncang keras diliputi ketakutan, karena dari jauh mereka telah mencium bau busuk dari mayat dan amisnya darah tersiar dari kuil itu.

Beberapa orang penduduk kampung yang memiliki nyali agak besar telah memberanikan diri untuk melihat ke dalam kuil itu, mereka melihat mayat-mayat yang malang melintang. Maka dari itu mereka jadi menghela napas, karena di dalam kuil tidak terlihat seorang imam pun juga. Semuanya hanya mayat-mayat yang mengerikan sekali, dengan tubuh yang rusak dan darah yang menggenang serta telah membeku menyiarkan bau busuk dan amis.

Setelah melihat di sekitar tempat itu tidak ada orang Mongol yang disebut-sebut oleh Yo Him dan Tiang Hu, merekapun mengumpulkan mayat sambil menggali tanah untuk mengubur korban-korban itu.

Peristiwa itu tentu saja merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi menimpa perguruan silat Kun-lun-pai. Dan penduduk kampung itu, untuk satu tahun lebih tidak berani naik ke atas gunung, mereka takut diganggu oleh setan-setan penasaran.

Y

Yo Him setelah mengalami peristiwa seperti itu, kini jadi sering melamun karena walaupun bagaimana dia telah terpengaruh oleh peristiwa tersebut, yang tentunya memberikan bayang-bayang yang tidak menggembirakan hatinya. Dia telah melihat betapa jiwa manusia dibunuh seperti juga tidak ada harganya, bagaikan jiwa kecoa, dan juga disamping itu walaupun dia masih berusia kecil dia cerdik sekali, maka Yo Him berpikir jauh sekali yaitu dia perbandingkan peristiwa tersebut dengan ilmu silat.

Tentunya korban-korban itu, yaitu peristiwa dari terjadinya pertempuran tersebut, berawal pangkal dari ilmu silat. Kalau mereka tidak mengerti ilmu silat jelas mereka tidak akan memperoleh bencana seperti itu.

Dan Yo Him jadi tidak menyukai ilmu silat...... dia berpikir di dalam hatinya yang masih polos dan suci itu bahwa dia untuk selama-lamanya tidak ingin mempelajari ilmu silat.

Tetapi walaupun bagaimana kepandaian seperti ini telah membuat Yo Him tergempur jiwanya, suatu gempuran yang tidak kecil. Dia telah menyaksikan betapa manusia yang dibunuh-bunuhi seperti juga menjagal hewan dan darah telah berhamburan. Pembunuhan itu bukan terjadi didiri seorang atau dua orang manusia, melainkan ratusan jiwa...... maka setidaknya telah merusak jiwa anak ini.

Ciang Pee-hunya yang melihat Yo Him akhir-akhir ini sering melamun begitu, jadi menguatirkan sekali kesehatannya, dia sering memberikan nasehat-nasehatnya.

Yo Him sering menyatakan kepada Ciang Pee-hunya, bahwa dia ingin pergi ke sebuah tempat yang jauh...... jauh sekali.....

Betapa sedihnya Ciang Pee-hu nya itu karena dia sangat menyayangi Yo Him sama seperti putera kandung mereka sendiri. Lebih-lebih Ciang Pee-bo, isteri Ciang Pee-hu nya Yo Him, telah menangis selama dua hari dua malam mereka kuatir kalau-kalau anak angkat mereka itu akan benar-benar membuktikan perkataannya, yaitu pergi jauh meninggalkan mereka......

<> 

Malam itu sepi dan sunyi sekali, dan hanya terdengar suara binatang malam yang berdendang, sedangkan Yo Him terlentang di pembaringannya tanpa bisa memejamkan matanya. Dia telah melihatnya, betapa manusia hidup di dalam dunia seperti juga tengah membawakan peranan di atas panggung sandiwara, bisa hidup gembira, bisa menderita, dan bisa mati di setiap saat. Maka di dalam usia yang sedemikian kecil, ternyata Yo Him telah dirasuki oleh berbagai pikiran yang tidak-tidak, yang telah merusak jiwanya sendiri. Entah mengapa Yo Him juga jadi membenci sekelilingnya, membenci dirinya membenci juga ketidakmampuannya.

Waktu dia melihat imam-imam dari Kun-lun-pai itu dibinasakan oleh Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya, sesungguhnya hatinya penasaran dan marah sekali, dia ingin sekali untuk membantui. Namun justru dia tidak memiliki kepandaian apa-apa, diapun masih kecil dan tidak memiliki tenaga, dan disamping itu diapun dalam ketakutan yang sangat hebat, maka apa yang bisa dilakukannya?

Diam-diam Yo Him jadi mengutuki dirinya sendiri yang tidak punya guna, yang hanya bisa menyaksikan betapa manusia telah dijagal begitu rupa oleh jago-jago Mongol. Di dalam jiwanya yang masih belum bisa menentukan sesuatu apapun itu, dia telah merasakan bahwa dirinya harus pergi merantau, dia tidak dapat hidup terus menerus di sebuah perkampungan kecil itu.

Berbagai ingatan segera muncul mengganggu hatinya, dia teringat kepada Sin-tiauw, burung rajawali yang sangat sayang kepadanya, yang telah merawatnya sejak bayi, sampai dia berusia tujuh tahun, dan dia teringat juga kepada Ciang Pe-hu dan Ciang Pe-bo nya yang telah melimpahkan kasih sayangnya untuk dia, maka dari itu kini jika dia pergi meninggalkan Ciang Pe-hu dan Pe-bo nya itu, dia pun tidak tega.

Tetapi Yo Him sudah tidak bisa menahan keinginan hatinya untuk pergi merantau. Dia telah membuka pintu kamarnya, dilihatnya pintu kamar Pe-hu dan Pe-bo nya tertutup rapat.

Cepat-cepat dan hati-hati Yo Him membereskan beberapa potong bajunya, lalu dibuntalnya menjadi satu. Berindap-indap dia telah keluar dari kamarnya, membuka pintu luar, dia telah melangkah ke taman dari rumah tersebut. Tetapi waktu Yo Him ingin membuka pintu taman itu, tahu-tahu di belakangnya ada orang yang menegur halus,

„Him-jie (anak Him) malam-malam seperti ini kau hendak pergi kemana?”

Yo Him terkejut, dia menoleh pada Ciang Pe-hu nya berdiri dihadapannya dengan muka yang muram. Cepat-cepat Yo Him menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Ciang Pe-hu nya itu dengan hati yang sedih. Dia menceritakan keinginannya untuk pergi merantau, karena dia ingin mencari pengalaman.

Ciang Pe-hu nya jadi berduka sekali, mukanya jadi tambah muram. Dengan sabar dia telah membangunkan Yo Him dari berlututnya, diusap-usap rambut anak itu.

„Dengarlah Him-jie, kami sangat sayang kepadamu,” kata Ciang Pe-hu nya itu. „Kau masih terlalu kecil, belum ada yang bisa kau lakukan.....! Jika memang kau ingin merantau guna mencari pengalaman, kami tentu akan melepaskan dan mengizinkannya asalkan kau telah dewasa, tetapi sekarang? Usiamu masih terlampau kecil dan kami kuatirkan kau akan mengalami bencana!”

Yo Him menggeleng lemah.

„Memang Him-jie anak yang Put-hauw Put-gie (tidak berbakti dan tidak berbudi), sehingga melupakan kebaikan Pe-hu dan Pe-bo..... tetapi Him-jie tentu akan menengoki Pe-hu dan Pe-bo.”

„Apakah perlakuan kami kurang baik?” tanya Pe-hu itu dengan suara yang sabar. „Apakah ada perlakuan kami yang melukai perasaanmu sehingga kau ingin pergi meninggalkan kami?”

Ditanya begitu, Yo Him cepat-cepat menggeleng sambil mengucurkan air mata, dia telah memeluk Pe-hu nya itu, „Bukan! Bukan Pe-hu, kalian baik sekali, terlalu baik,” kata Yo Him kemudian. „Justru disebabkan sikap kalian yang terlampau baik membuat Him-jie tidak dapat menerimanya. Him-jie malu menerima budi Pe-hu dan Pe-bo terus menerus..... biarlah Him-jie pergi merantau, jika kelak Him-jie telah berhasil menjadi manusia maka Him-jie akan datang kemari untuk mencari Pe-hu dan Pe-bo gura membalas budi kalian yang besar!”

Ciang Pe-hu itu menghela napas dalam-dalam, kemudian berkata. „Baiklah, rupanya ada sesuatu persoalan yang tidak ingin kau katakan dan tetap kau sembunyikan!”

Ciang Pe-hu itu berkata demikian, karena dia melihat Yo Him seperti menyembunyikan suatu rahasia. Sedangkan dugaan Ciang Pe-hu itu memang tepat, karena Yo Him tengah digeluti oleh semacam perasaan, dimana dia sering diganggu oleh pertanyaan,

„Siapa ayah? Siapa ibu?”

Dan pertanyaan seperti itu mengganggu sekali hatinya. Dia sering berpikir, „Ayahku atau ibuku tidak pernah ku lihat.....apapun tidak kuketahui tentang mereka. Siapa ayahku? Siapa ibuku? Akhh, akulah si anak yatim piatu yang tidak mengerti apa-apa!” Dan maksud Yo Him ingin merantau adalah untuk mencari ayah dan ibunya!

Setelah berlutut lagi dihadapan Ciang Pe-hu nya itu, akhirnya Yo Him telah membalikkan tubuhnya, dia berlari dengan cepat untuk menyembunyikan air matanya yang telah menitik turun. Sedangkan Ciang Pe-hu nya juga telah mengawasi kepergian Yo Him dengan air mata berlinang-linang.

Sengaja Ciang Pe-hu tidak membangunkan isterinya, dia takut kalau-kalau isterinya itu bertambah sedih menyaksikan keberangkatan Yo Him.

Y

Setelah melakukan perjalanan sampai menjelang fajar, Yo Him sampai di kampung Pu-cung-cung, sebuah kampung yang masih berada di daerah kaki Gunung Kun-lun, terpisah kurang lebih duaratus lie dari perkampungannya Ciang Pe-hu nya itu. Tetapi Yo Him tidak bermaksud untuk singgah di kampung itu, dia telah meneruskan perjalanannya.

Dia bermaksud merantau kemana kedua kakinya membawanya, karena dia memang tidak memiliki tujuan dan tempat yang akan dituju. Hanya yang menjadi pemikiran Yo Him, dia akan berusaha untuk menyelidiki siapakah sebenarnya ayahnya, siapakah sesungguhnya ibunya. Pernah Yo Him menanyakannya kepada Ciang Pe-hu nya atau Ciang Pe-bo nya, tetapi kedua orang itupun tidak mengetahui apa-apa mengenai asal usul Yo Him.

Mereka, kedua pasangan suami isteri she Ciang yang baik hati itu hanya mengatakan bahwa Yo Him seringkali dibawa terbang oleh rajawali sakti, yang diturunkan di pintu kampung sehingga Yo Him bisa bermain dengan anak-anak kampung lainnya, kemudian di sore hari Sin-tiauw telah menjemputnya lagi membawa Yo Him terbang masuk ke dalam jurang yang dalam sekali. Kini Sin-tiauw sudah tidak pernah dilihatnya setelah yang terakhir kali rajawali itu terjun ke dalam jurang dan tidak pernah muncul lagi. Sehingga Yo Him sudah tidak bisa bertanya kepada siapapun juga mengenai asal usulnya.

Siang itu Yo Him telah tiba di pintu sebuah kota yang tidak diketahui namanya, Yo Him hanya melihat kota itu merupakan sebuah kota kecil yang sedikit sekali penduduknya. Di saat itu perut Yo Him telah berkeruyukan karena lapar, dia memasuki kedai arak dan memesan nasi dengan dua macam lauknya yang sederhana.

Anak ini telah memakannya dengan lahap, sampai dua mangkok nasi dihabiskan. Setelah membayar harga barang makanan itu, Yo Him melanjutkan perjalanannya lagi. Tetapi sebagai seorang anak yang baru berusia tujuh tahun, mana bisa dia merantau seorang diri? Segala apapun dia tidak tahu, bahkan ketika dia melihat keramaian di kota tersebut, Yo Him sering berhenti untuk menyaksikannya. Seperti penjual silat, pedagang barang-barang mainan, dan macam-macam lagi.

Dan di saat dia telah melangkah pula untuk melanjutkan perjalanannya, tidak hentinya Yo Him menghela napas. Dia merasakan dirinya hidup tidak wajar, sebagai seorang anak yang berusia demikian kecil dia sudah tidak memiliki ayah ibu, sudah tidak mengenal siapa ayahnya dan siapa ibunya, maka diapun merasakan bahwa dirinya merupakan seorang anak yatim piatu yang hidup dalam penderitaan.

Sedang pikiran Yo Him menerawang dibawa oleh lamunannya, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan-teriakan nyaring, disertai oleh suara tertawa yang nyaring.

Yo Him mengangkat kepalanya, dia melihat dari arah depannya tampak seorang pengemis berusia belasan tahun tengah berlari sambil tertawa-tawa, dikejar oleh tiga orang pengemis lainnya lagi. Mereka rupanya tengah main kejar-kejaran sebab merekapun tertawa-tawa dengan riang.

Di saat pengemis yang dikejar oleh ketiga kawannya telah berada dekat dengan Yo Him, dia berlari terus seperti ingin menubruk Yo Him, cepat-cepat Yo Him menyingkir ke samping. Tetapi gerakan Yo Him kurang cepat, sehingga bahunya terbentur oleh tubrukan tubuh pengemis itu, sehingga tubuh Yo Him maupun pengemis yang seorang itu bergulingan di atas tanah.

Dengan menahan sakit Yo Him bangun berdiri untuk menegur dan memarahi pengemis yang ceroboh itu. Tetapi alangkah kagetnya Yo Him karena di saat dia belum membuka mulut, justru pengemis yang seorang itu telah berdiri tolak pinggang mengawasi Yo Him dengan mata mendelik lebar-lebar, mukanya galak sekali.

„Setan kecil, mengapa kau sengaja menghadang jalannya tuan besarmu, hah?” bentak pengemis itu dengan suara yang nyaring.

Saat itu ketiga pengemis yang tadi mengejarnya telah tiba di tempat itu, merekapun tertawa-tawa sambil mengurung Yo Him.

Tentu saja Yo Him jadi tertegun, lalu tanyanya tergagap, „Menghadangmu? Justru aku tengah berjalan baik-baik telah dilanggar olehmu sehingga aku terjatuh, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku yang telah menghadang jalanmu? Lihatlah tanganku telah terluka!” Sambil berkata begitu Yo Him telah mengulurkan tangannya untuk memperlihatkan luka di tangannya, luka terbeset.

Pengemis itu mendengus galak. „Hemmm engkau rupanya orang asing di tempat ini dan datang di kota ini ingin main jago-jagoan?” bentaknya.

Muka Yo Him jadi berobah, dia jadi gugup melihat sikap pengemis yang tidak keruan itu. „Aku sama sekali tidak usil kepada kalian...... minggirlah, aku mau melanjutkan perjalananku!” kata Yo Him.

„Hemm, apakah begitu enak saja ingin pergi?” bentak pengemis itu dengan galak.

Yo Him mengerutkan sepasang alisnya. “Lalu apa yang diinginkan kalian…..?” tanyanya. „Kalau memang kalian menganggap aku bersalah, maafkanlah!”

„Hemm, begitu mudah untuk meminta maaf? Kau harus memberikan uang sepuluh tail kepada kami, sebagai ganti rugi!”

„Benar!” teriak ketiga pengemis kecil lainnya dengan suara yang nyaring, dengan muka sengaja dibuat agar terlihat galak. „Jika dia tidak mau ganti rugi, kita hajar saja biar babak belur!”

Hati Yo Him jadi mendongkol, namun nyalinya ciut. Mana bisa dia melawan pengemis yang lebih besar usianya dari dia? Terlebih lagi pengemis-pengemis kecil itu berjumlah empat orang.

„Aku tidak memiliki uang sebanyak itu jika kalian mau, aku bersedia membagi kalian satu tail.....!” kata Yo Him kemudian.

Tetapi pengemis itu telah tertawa mengejek tahu-tahu tangannya telah menyambar buntalan pakaian Yo Him yang kemudian dibawa lari dengan cepat sekali.

„Hei, hei, jangan mengambil barangku?” teriak Yo Him gugup sekali, sambil berusaha mengejar.

Tetapi ketiga pengemis kecil lainnya telah menghalang-halangi Yo Him, di saat Yo Him memaksa untuk menerobos lewat, ketiga pengemis itu tahu-tahu telah mengayunkan tangan-tangan mereka memukuli Yo Him. Bahkan salah seorang diantara ketiga pengemis itu telah mendorong Yo Him, sampai anak she Yo ini telah rubuh di atas tanah dan tubuhnya diduduki oleh dua orang pengemis yang menghajarinya pulang pergi, sehingga muka Yo Him matang biru dan babak belur. Pengemis yang seorang lagi mempergunakan kakinya menendangi muka Yo Him.

Setelah puas menyiksa Yo Him yang menjerit kesakitan, ketiga pengemis kecil itu pun segera angkat kaki karena mereka takut kalau suara jeritan Yo Him nanti mengundang datangnya orang banyak.

Dengan merangkak Yo Him telah berdiri. Dia melihat pengemis-pengemis kecil itu sudah lenyap tidak terlihat bayangannya lagi.

Keadaan di jalan yang seperti lorong itu sepi sekali. Yo Him merasakan seluruh tubuhnya pada sakit akibat pukulan dan tendangan ketiga pengemis kecil itu. Disusutnya darah yang mengucur dari mulut dan hidungnya dia berjalan dengan tubuh yang lesu, dengan pakaian yang kotor dan pecah sebagian, tindakan kakinya lemah dan lesu, sambil menahan sakit yang diderita di sekujur tubuhnya.

Ketika orang-orang melihat keadaan Yo Him mereka hanya menduga bahwa Yo Him adalah seorang anak nakal yang baru berkelahi dengan anak-anak sebayanya, sehingga mukanya jadi babak belur begitu. Sedikitpun keadaan Yo Him tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

Tentu saja Yo Him jadi bingung kini bajunya telah robek dan kotor, sedangkan buntalan pakaian dan uangnya telah dibawa lari oleh pengemis-pengemis kecil itu. Maka seperti seorang pengemis kecil Yo Him telah mengelilingi kota itu untuk mencari pengemis kecil yang telah merampas buntalannya itu. Tetapi sampai sore, di saat hari mulai gelap tetap saja Yo Him tidak berhasil mencari pengemis-pengemis itu. Bahkan celakanya, perut Yo Him juga telah berkeruyukan lapar.

„Akhhh, inilah disebabkan kecerobohanku yang tidak berhati-hati, sehingga uang dan bajuku telah dirampas oleh pengemis-pengemis kurang ajar itu,” berpikir Yo Him di dalam hatinya. Dengan tubuh yang lesu, dan menahan lapar Yo Him telah berjalan tanpa arah dan tujuan. Akhirnya ketika dia tiba di dekat pintu sebelah utara dari kota tersebut, bahunya ditepuk seseorang.

Tentu saja Yo Him jadi terkejut. Ketika dia menoleh, ternyata orang yang menepuknya itu tidak lain dari seorang pengemis juga, usianya telah empatpuluh tahun, pakaiannya compang-camping dan kumis maupun jenggotnya yang kasar itu tumbuh tidak teratur.

Melihat orang yang menepuknya seorang pengemis, hati Yo Him sudah tidak senang, karena dia telah mengalami betapa pengemis-pengemis kecil yang tadi telah mengganggunya dan merampas barang-barangnya. Maka dari itu Yo Him telah menduga mungkin pengemis inipun ingin mengganggunya juga.

„Anak, mengapa keadaanmu seperti ini?” Sapa pengemis itu dengan itu dengan suara ramah.

Sebetulnya Yo Him sudah tidak ingin melayani pengemis itu, namun mendengar suara si pengemis yang ramah den sabar, maka dia telah menyahuti juga. „Aku telah dihina oleh pengemis-pengemis sebangsamu!”

„Ihh?!” pengemis itu mengeluarkan seruan karena terkejut, rupanya jawaban yang diberikan Yo Him tidak pernah diduga sebelumnya.

„Aku dipukuli dan juga barang-barangku telah dirampas mereka!” kata Yo Him lagi.

Dengan muka yang muram dan sepasang alis yang dikerutkan, pengemis itu telah bertanya sabar, „Apakah kau mengetahui nama mereka?”

„Mana tahu? Sedang lihat saja baru tadi!” kata Yo Him mendongkol.

„Hemm, apakah ada peristiwa seperti ini?” menggumam pengemis itu. „Apakah kau tidak berdusta?”

„Untuk apa aku membohongimu? Apakah dengan menceritakan pengalamanku itu kau bisa mengembalikan barangku? Hemm, itulah memang sudah nasibku yang buruk!” mengeluh Yo Him sambil memutar tubuhnya, maksudnya ingin berlalu.

„Tunggu dulu adik kecil......!” kata pengemis itu mencegah kepergian Yo Him.

„Ada apa lagi yang ingin kau ketahui?” tanya Yo Him tidak sabar.

„Aku masih ingin menanyakan kau perihal uang dan pakaianmu yang telah dirampas itu......”

„Percuma......”

„Mengapa percuma! Katakanlah, bagaimana wajah pengemis yang telah mengganggumu?”

„Semuanya ada tiga orang!”

„Ihh!” kembali pengemis itu mengeluarkan suara seruan heran. „Tiga orang?”

„Ya,” mengangguk Yo Him „Mereka baru pertama kali kulihat dan dengan sengaja telah menubrukku, di saat itu mereka menuduh aku justru yang telah menghadang jalan mereka, sehingga salah seorang diantara mereka terjungkal di tanah! Tetapi sebenarnya bukan salahku, justru memang mereka sengaja menubrukku.....!”

Pengemis itu tertawa. „Baiklah, kini kau jelaskan wajah mereka mungkin aku bisa bantu carikan barangmu yang telah lenyap itu.”

„Ohhh, benarkah?” tanya Yo Him girang.

„Maka dari itu cepat kau ceritakan,” kata pengemis itu lagi. „Mudah-mudahan saja barang itu belum dipergunakan mereka.”

Mendengar itu, tentu saja Yo Him jadi girang dia menceritakan peristiwa yang telah dialaminya dan juga menceritakan wajah ketiga pengemis kecil itu.

Mendengar cerita Yo Him pengemis itu telah menghela napas dalam-dalam, semula dia menduga bahwa yang mengganggu Yo Him adalah pengemis dewasa, dan kini dia baru mengetahui yang mengganggu Yo Him adalah pengemis-pengemis kecil.

„Hemmm, aku tidak menyangka ada juga anak-anak kami yang nakal,” kata pengemis itu sambil menghela napas. „Mari ikut aku, kita cari mereka!”

Yo Him ragu-ragu, tetapi tangannya telah dicekal oleh pengemis itu.

„Keadaanmu seperti ini, padahal kau bukan pengemis. Jika baju dan uangmu itu tidak dicari sampai pulang kembali, bagaimana engkau bisa bersalin pakaian dan membeli makanan mengisi perut yang lapar?” kata pengemis itu.

Yo Him berpikir memang apa yang dikatakan pengemis itu ada benarnya juga. Maka dia mengangguk. „Baiklah, jika memang benar-benar Lo-jin-kee (kau siorang tua) bisa mencarikan uang dan bajuku, tentu aku sangat berterima kasih sekali,” kata Yo Him.

„Itu urusan nanti yang terpenting kini kau harus mencari baju dan uangmu! Mari kita cari ketiga anak-anak itu!” dan setelah itu si pengemis mengajak Yo Him memasuki lorong yang kotor dan sepi sekali.

Lorong-lorong itu jarang sekali dilalui orang dan di kedua pinggir lorong itu tertutup juga oleh dinding-dinding tinggi dari tembok-tembok bangunan rumah. Disitupun tidak jarang terlihat menggeletak pengemis-pengemis yang tengah tertidur nyenyak. Di saat memasuki lorong yang satu-satunya, tampak banyak pengemis yang tengah duduk berkerumun.

„Akhh, Wie Tocu (pemimpin Wie) datang!” berseru beberapa orang pengemis itu sambil berdiri dan merangkapkan tangannya memberi hormat.

Melihat sikap mereka, pengemis-pengemis itu tampaknya menghormati sekali pengemis yang mengajak Yo Him, yang disebutnya sebagai Wie Tocu.

Dengan muka yang muram, Wie Tocu telah berkata dengan suara yang tawar, „Sesungguhnya memang memalukan diantara kita terdapat anak-anak nakal yang main rampas dan main pukul! Mereka tiga orang pengemis berusia belasan tahun telah mengganggu adik kecil ini! Apakah diantara kalian ada yang mendengar siapa yang telah melakukannya?!”

Pengemis-pengemis itu menggelengkan kepalanya, semuanya mengatakan tidak tahu.

Dengan kesal Wie Tocu telah menuntun tangan Yo Him memasuki lorong itu. Kepada beberapa orang pengemis lainnya. Wie Tocu menanyakan lagi perihal ketiga anak itu tetap saja tidak ada yang mengetahui.

Dengan sendirinya Yo Him jadi putus asa dan dia berpikir mungkin si pengemis yang dipanggil Wie Tocu ini sengaja ingin mempermainkan dirinya atau memperdayakan dirinya agar menjadi pengikutnya, yaitu jadi pengemis.

Setelah melalui beberapa lorong dan bertanya-tanya kepada beberapa orang kelompok pengemis lainnya serta tetap tak berhasil memperoleh petunjuk kepada ketiga anak pengemis yang mengganggu Yo Him. Wie Tocu itu telah menawarkan Yo Him kuwe kering.

„Untuk mencegah lapar,” katanya ramah. „Kau jangan kuatir, walaupun bagaimana barangmu pasti kembali.”

„Tetapi sebegitu jauh kau bertanya-tanya kepada kawan-kawanmu, tidak seorangpun yang mengetahui.....” kata Yo Him bimbang.

Si pengemis tersenyum. „Tetapi akhirnya akan diketahui juga.....!” yakin sekali suara pengemis itu. „Kami memang tersebar di seluruh kota, maka dari itu mau atau tidak kita harus mencarinya dengan berkeliling! Percayalah nanti kita akan berhasil mencari mereka! Sekarang kau tenangkan hatimu, makanlah kue kering itu!”

Yo Him memakan kue kering yang diberikan si pengemis, tetapi dia kurang berselera, dia hanya memakan satu potong.

„Makan lebihan, nanti kau masuk angin!” membujuk pengemis itu.

„Sesungguhnya, siapakah kau sebenarnya?” tanya Yo Him akhirnya. „Tadi aku melihat semua pengemis menghormati Lo-jin-kee?!”

Si pengemis tersenyum. „Akupun pengemis biasa seperti mereka,” sahutnya seperti ingin menyembunyikan sesuatu.

Yo Him juga tidak mendesak lebih jauh, dan mereka telah berkeliling lagi, dari lorong yang satu ke lorong yang lain. Di saat mereka tengah berjalan menanyai pengemis-pengemis yang mereka jumpai, justru di saat itu mereka melihat dari arah belakang mereka berlari-lari tiga sosok tubuh. Ketika telah dekat, tampak tiga orang pengemis kecil yang berlari-lari ke arah mereka.

„Itu mereka..... mereka yang telah mengambil barangku!” kata Yo Him sambil menunjuk ke arah ketiga pengemis kecil itu.

Sedangkan ketiga orang pengemis kecil itu telah tiba dihadapan Yo Him dan Wie Tocu. Mereka tiba-tiba sekali menjatuhkan diri berlutut dihadapan Wie Tocu dan Yo Him.

„Kami memohon ampun, kami telah melakukan dosa.....!” berkata ketiga pengemis kecil itu.

Tentu saja perbuatan ketiga pengemis itu telah membuat Yo Him jadi heran sekali, dia sampai mengawasi tertegun saja.

Wie Tocu tampak memandang ketiga pengemis kecil itu dengan muka yang merah padam karena gusar.

„Kalian telah melanggar larangan, telah berani merampas milik orang lain, lalu mengapa kalian melakukan dosa lainnya dengan mengeroyok, dan memukuli engko kecil ini?” bentak Wie Tocu dengan suara yang bengis.

Ketiga pengemis kecil itu berlutut sambil memanggut-manggutkan kepalanya tidak hentinya, sampai kening mereka menghajar tanah dan kening itu terluka serta mengeluarkan darah. Merekapun menangis sedih sekali.

„Kami memang pantas menerima hukuman yang berat….., tetapi kami mohon kemurahan hati Wie Tocu untuk mengampuni kami, mengampuni jiwa kami…..”

Dan setelah berkata begitu, ketiga pengemis kecil itu tetap dalam keadaan berlutut, telah menggerakkan kedua tangan mereka menghajari muka mereka dengan keras, menghantam muka sendiri dangan tempilingan yang gencar sehingga terdengar suara ketepak-ketepok tidak hentinya.

Keruan saja Yo Him tambah heran. Sedangkan Wie Tocu hanya menyaksikan dengan berulang kali tertawa dingin.

Dan kemudian setelah dia melihat muka ketiga pengemis kecil itu babak belur, barulah Wie Tocu puas, dia mengibaskan lengan bajunya.

„Pergilah kalian.....!” katanya dengan suara yang dingin.

11.21. Persaudaraan Pengemis Tua dan Anak Kecil

Ketiga pengemis kecil itu jadi girang bukan main, mereka telah berlutut sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.

„Terima kasih atas kemurahan hati Wie Tocu……!” kata mereka dan segera ketiganya telah pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan buntalan Yo Him tampak menggeletak tanpa ada perobahan apa-apa.

Tentu saja Yo Him gembira sekali waktu melihat barang-barangnya utuh, dan Wie Tocu telah mengambil buntalan itu serta menyodorkan kepada Yo Him.

„Periksalah olehmu, apakah ada barang dan uangmu yang hilang?” katanya.

Yo Him memeriksanya, ternyata tidak satu chi pun uangnya terganggu.

„Tidak ada Lo-jin-kee..... dan Lo-jin-kee jangan marah, ini untuk terima kasihku atas bantuan Lo-jin-kee......” sambil berkata begitu, Yo Him telah mengangsurkan dua tail perak kepada penolongnya.

Muka We Tocu jadi berubah, tampaknya dia jadi tidak senang. „Aku mencari-cari ketiga anak itu bukan hanya sekedar menolongi dirimu, tetapi juga menolongi nama baik Kay-pang, perkumpulan kami!” kata Wie Tocu dengan suara yang keras. „Walaupun kami kaum pengemis, tetapi kami tidak kemaruk uang!”

Yo Him saat itu jadi kaget melihat si pengemis mendongkol begitu, cepat-cepat dia meminta maaf dan menyimpan uangnya kembali.

Wie Tocu telah menghela napas. „Aku tahu kau memberikan uangmu itu bukan sekali-kali dengan maksud menghina,” katanya. „Kau memang memberikan setulusnya karena tidak mengetahui peraturan Kay-pang.”

Yo Him heran sekali.

„Kay-pang itu sesungguhnya perkumpulan apa, Lo-jin-kee?” tanya Yo Him.

„Itulah sebuah perkumpulan pengemis, yang sudah berusia berabad-abad. Kami memiliki peraturan yang keras sekali, yaitu tidak boleh mencuri, tidak boleh memaksa, tidak boleh melakukan kejahatan, tidak boleh menipu, tidak boleh bersikap rendah.”

Mendengar perkataan si pengemis yang biasa dipanggil kawan-kawannya itu dengan sebutan Wie Tocu ini, hati Yo Him jadi kagum. Setidak-tidaknya Wie Tocu telah memperlihatkan bahwa pengemis itu belum tentu rendah atau hina, karena merekapun memiliki hati yang agung.

„Tetapi mengapa ketiga anak ini bisa datang mengembalikan barang-barangku?” tanya Yo Him dengan perasaan heran.

„Seperti telah kukatakan, di dalam Kay-pang kami terdapat pantangan mencuri, merampas atau juga menghina orang yang lemah, maka di saat mereka mendengar dari pengemis-pengemis yang lainnya bahwa aku tengah mencarinya, mereka jadi ketakutan dan mereka datang menemuiku untuk mengembalikan barang-barangmu.”

Yo Him jadi kagum sekali.

„Mereka mendengar bahwa Lo-jin-kee tengah mencari mereka justru mereka ketakutan. Tetapi mereka tidak menyembunyikan diri bahkan mereka telah mencari Wie Tocu untuk mengakui kesalahan mereka. Bukan main! Itulah lambang jiwa kesatria!”

Wie Tocu tersenyum mendengar perkataan Yo Him. „Kau terlalu memuji!” katanya kemudian. „Memang sudah menjadi peraturan rumah tangga kami karena itu semua yang terjadi bukan suatu persoalan yang luar biasa!”

Setelah Yo Him mengetahui, Wie Tocu memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi sekali dalam Kay-pang, maka dari itu tidak mengherankan, waktu ketiga pengemis kecil itu mendengar bahwa Wie Tocu tengah mencari mereka, mereka telah menggigil ketakutan setengah mati, karena mereka telah melakukan perbuatan berdosa yang menjadi pantangan dari perkumpulan mereka.

„Nah anak manis, kini pergilah kau melanjutkan perjalananmu! Aku wakili ketiga anak nakal itu menyatakan maaf!” kata Wie Tocu sambil menjura.

Tentu saja Yo Him jadi terkejut cepat-cepat dia menyingkir. „Tidak berani aku menerima penghormatan begitu berat dari Lo-jin-kee,” katanya. Dan Yo Him juga telah mengatakan terima kasih kepada Wie Tocu.

Sedangkan Wie Tocu setelah tersenyum lagi dia memutar tubuhnya meninggalkan Yo Him.

Yo Him mengawasi kepergian Wie Tocu, sampai bayangan si pengemis lenyap. Di saat itu, dari sudut sudut jalan yang gelap tahu-tahu telah melompat tiga sosok tubuh kecil. Tentu saja Yo Him jadi terkejut sekali. Terlebih lagi dia mengenali bahwa ketiga sosok bayangan itu tidak lain dari ketiga pengemis itu.

„Apakah mereka ingin membalas sakit hati karena aku telah membongkar rahasia mereka kepada Wie Tocu mereka itu?” berpikir Yo Him ngeri, karena dia takut justeru dirinya akan dipukuli terus menerus lagi oleh ketiga pengemis itu yang usianya memang jauh lebih besar dari dia. Tetapi siapa sangka ketiga pengemis itu tahu-tahu telah berlutut dihadapannya.

„Kongcu (tuan muda) harap mau memaafkan dosa kami, harap kau mau mengampuni kami,” sesambatan ketiga pengemis kecil itu sambil menangis.

Tentu saja Yo Him jadi tertegun, dia memandang melengak kepada ketiga pengemis kecil itu. Tidak sepatah perkataanpun juga yang keluar dari mulutnya.

Ketiga pengemis kecil itu waktu melihat Yo Him berdiam diri saja, jadi menangis lebih keras. “Harap Kongcu mau mengampuni dan menolong kami,” kata mereka dengan menangis lebih keras.

Tentu saja kelakuan ketiga pengemis kecil itu membuat Yo Him tambah bingung. „Menolong kalian? Apakah kalian menghendaki aku menderma satu dua tail perak kepada kalian?” tanya Yo Him yang menduga bahwa pengemis-pengemis kecil itu meminta derma padanya.

„Ohhh, kami mana berani menerimanya?” cepat sekali ketiga pengemis kecil itu telah berkata sambil menghapus air mata, juga mereka masih dalam keadaan berlutut. “Kami hanya memohon agar kongcu memintakan pengampunan untuk kami bertiga kepada Wie Tocu!”

„Ihh!” Yo Him jadi mengeluarkah suara seruan tertahan, „Bukankah Wie Tocu kalian itu sudah mengampuni, bukankah tadi Wie Tocu ketika itu telah perintahkan kalian pergi?”

„Benar tetapi menurut peraturan partai, besok kami akan disidang dan dijatuhi hukuman!” menyahut ketiga pengemis itu terisak.

Tentu saja Yo Him jadi heran. „Tadi kalian telah menyiksa diri sendiri sampai muka kalian babak belur dipukul oleh kalian sendiri, mana mungkin kalian akan dijatuhi hukuman lagi…..?” tanya Yo Him tidak mengerti.

Ketiga pengemis itu tetap berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangisan ketiga pengemis itu juga bertambah keras dan menyayatkan hati.

Tentu saja Yo Him tambah bingung dan gugup, tidak tahu dia apa yang harus dilakukannya. „Sesungguhnya..... apa yang kalian kehendaki? Apa yang kalian inginkan, dan apa yang harus kulakukan untuk kalian bertiga?” tanya Yo Him akhirnya.

„Kami hanya memohon kerelaan Kongcu untuk mengampuni kami dan memohonkan pengampunan kami kepada Wie Tocu.....” kata ketiga pengemis itu.

„Apakah di dalam perkumpulan Kay-pang kalian memang terdapat peraturan begitu?”

„Kalau tidak, besok begitu kami disidang dan dijatuhi hukuman, sedikitnya kami akan menerima hukuman yang membuat kami bercacad seumur hidup!”

„Akhh?” Yo Him berseru kaget. „Apakah ada peraturan yang begitu kejam?”

„Itu merupakan hukuman yang sangat ringan, dan kalau kami terbukti berdosa besar, berarti kami akan menerima hukuman mati!”

Mendengar perkataan ketiga pengemis kecil itu, Yo Him jadi berdiri tertegun. Dia telah memandangi sejenak kepada ketiga pengemis itu dengan wajah yang pucat, karena dia jadi ngeri mendengar bahwa di Kay-pang terdapat hukuman yang begitu berat.

„Tolonglah kami, kongcu, tolonglah kami!” sesambatan ketiga pengemis kecil itu.

Yo Him jadi tambah binggung saja. „Aku mana bisa menolongi kau? Wie Tocu tentu tidak akan mengindahkan kata-kataku.....”

„Tetapi justru yang menjadi korban kami adalah Kongcu, maka asal kongcu, mau membuka satu-dua patah kata memohonkan pengampunan untuk kami, Wie Tocu tentu akan meluluskan.....”

„Dimana aku harus menemui Wie Tocu?” tanya Yo Him ragu-ragu.

„Mari ikut kami, kami yang akan menunjukan tempat dimana Wie Tocu biasa berdiam,” kata ketiga pengemis itu serentak.

Di hati Yo Him tiba-tiba sekali muncul kecurigaan lagi terhadap ketiga pengemis kecil ini. Tadi ketiga pengemis ini yang telah mencelakai dan merampas buntalannya. Bukankah sekarang mereka tengah mengatur rencana untuk mencelakai dirinya lagi? Bukankah ketiga pengemis ini tengah berusaha mengajak Yo Him ke tempat yang sepi dan nanti membunuhnya sambil merampas buntalannya? Dengan demikian bukankah mereka tidak meninggalkan jejak.

Yo Him jadi ketakutan ketika berpikir begitu. Dia telah menggeleng keras-keras.

„Tidak! Aku tidak mau ikut kalian,” katanya kemudian dengan suara nyaring. „Aku ada urusan penting, aku harus pergi cepat!”

Ketiga pengemis kecil itu semula girang mendengar Yo Him bersedia menolongi mereka. Tetapi waktu mendengar Yo Him merubah pikirannya, wajah ketiga pengemis itu jadi pucat. Serentak mereka telah menjatuhkan diri berlutut dihadapan Yo Him.

„Kongcu, tolonglah jiwa kami sekali ini......!” sesambatan mereka sambil menangis keras.

Yo Him jadi ragu-ragu lagi. Dilihat dari sikap mereka bertiga, ketiga pengemis kecil itu bukan sedang bersandiwara, karena tampaknya ketiga pengemis kecil itu memang tengah ketakutan. Akhirnya setelah bimbang sejenak, Yo Him mengangguk.

„Baiklah! Kalian tunjukan dimana aku bisa menemui Wie Tocu!” katanya.

Keruan saja ketiga pengemis kecil itu jadi girang bukan main. Mereka berulang kali telah menyatakan terima kasih yang tak terhingga.

Dengan hati yang diliputi oleh tanda tanya dan keragu-raguan, Yo Him mengikuti ketiga pengemis kecil itu.

Ketiga pengemis kecil itu mengajak Yo Him melalui beberapa lorong yang penuh oleh pengemis-pengemis dari berbagai usia dan tingkat umur. Semua pengemis-pengemis yang berpapasan hanya menghela napas, bahkan ada yang menggumam. „Salah mereka bertiga juga, yang telah berani melakukan perbuatan hina seperti itu!”

Tentu saja Yo Him mengetahui bahwa yang dimaksudkan oleh orang itu adalah ketiga pengemis kecil tersebut. Di saat itulah Yo Him baru menyadari bahwa ketiga pengemis kecil itu memang benar-benar tengah ketakutan oleh ancaman hukuman berat dan benar-benar membutuhkan pertolongannya.

Di saat itu ketiga pengemis kecil tersebut telah mengajak Yo Him ke sebuah tikungan jalan yang gelap. Yo Him melihat dikejauhan tampak duduk Wie Tocu di sebuah undakan anak tangga di muka bangunan rumah yang sudah tua.

Cepat-cepat ketiga pengemis kecil itu telah menunjuk ke arah Wie Tocu sambil katanya perlahan, „Wie Tocu berada disana kami menanti di sini.”

Yo Him mengerti. Dengan langkah lebar, Yo Him telah menghampiri Wie Tocu, yang ternyata tengah duduk sambil setengah rebah, memejamkan matanya rapat-rapat.

„Wie Tocu,” panggil Yo Him.

Wie Tocu seperti tidak mendengarnya.

„Wie Tocu...... aku datang ingin mengganggumu sebentar.”

Tetapi Wie Tocu seperti tidak mendengar perkataan Yo Him, karena pengemis dengan kumis dan jenggot yang kaku tidak beraturan itu, tetap memejamkan matanya.

„Wie Tocu......” panggil! Yo Him dengan suara sengaja diperkeras.

Perlahan-lahan Wie Tocu membuka sepasang matanya, dan ketika melihat yang memanggilnya bukan seorang pengemis, melainkan Yo Him, dia jadi terkejut karena itu dia telah duduk tegak dengan cepat dan wajahnya yang tadi angker telah dihiasi senyuman.

„Akhh, kau belum pergi? kukira siapa, tidak tahunya kau!” kata Wie Tocu. „Ada urusan apa lagi?”

Yo Him ragu-ragu sejenak tetapi akhirnya dia telah berkata juga. „Aku ingin meminta pertolongan sedikit dari Wie Tocu, bolehkah aku bicara terus?” tanya Yo Him.

„Katakanlah,” kata Wie Tocu

„Sesungguhnya, kedatanganku ini untuk memintakan pengampunan,” kata Yo Him.

„Meminta pengampunan?”

„Ya,” mengangguk Yo Him

„Pengampunan apa?”

„Pengampunan dari hukuman.”

„Kau bersalah apa?”

„Bukan untukku, tetapi untuk orang lain.”

„Untuk orang lain?”

„Ya, untuk orang lain.”

Sepasang alis Wie Tocu jadi mengkerut. „Adik kecil, aku merasa tertarik ketika pertama kali aku melihatmu, aku juga merasa kasihan ketika melihat kau mengalami nasib buruk karena barangmu telah dirampas oleh anak-anak Kay-pang. Tetapi jangan kau berpikir yang tidak-tidak untuk meminta segala macam persoalan yang bukan menjadi urusanmu! Yang terpenting sekali kau tidak boleh usil mencampuri urusan orang lain.”

Yo Him jadi berobah merah mukanya. „Tetapi Wie Tocu aku benar-benar membutuhkan sekali pertolonganmu!” kata Yo Him kemudian.

„Mengapa begitu?”

„Aku bermaksud menyelamatkan tiga orang anak buahmu dari hukuman.”

Mendengar perkataan Yo Him sampai disitu, muka Wie Tocu telah berobah menjadi merah padam. „Kau maksudkan ketiga pengemis kecil?” tanyanya dengan suara dingin.

Yo Him ragu-ragu sejenak melihat wajah Wie Tocu begitu rupa, tetapi akhirnya dia jadi nekad dan telah menganggukkan kepalanya.

„Benar!” menyahuti Yo Him.

„Plakk!” tahu-tahu Wie Tocu telah mengayunkan tangannya, dia telah menghantam pilar batu, sehingga pilar itu sempal dan sebagian menjadi bubuk. Tentu saja hal itu telah membuat Yo Him jadi tertegun kaget, hatinya jadi ngiris sekali.

„Kau keterlaluan sekali!” berkata Wie Tocu dengan suara yang dingin. „Kau baru saja kutolong untuk mencari pulang barang-barangmu. Kini barang-barang dan uangmu telah kembali ketanganmu, bukannya pergi membawa dirimu, engkau malah mau usil mencampuri urusan rumah tangga dari perkumpulan kami!” Waktu berkata begitu, wajah Wie Tocu tampak dingin dan juga suaranya tidak mengandung perasaan, ditekan dalam sekali.

Yo Him jadi takut, tetapi teringat betapa ketiga pengemis kecil itu mengalami ancaman hukuman yang katanya bisa membuat mereka bercacad, dengan sendirinya mau tidak mau membuat Yo Him bertekad harus menolonginya.

Setelah berpikir sejenak, tahu-tahu Yo Him menekuk kedua kakinya. Yo Him telah berlutut dihadapan Wie Tocu sambil katanya,

„Lo-jin-kee, jika memang kau mau mengampuni ketiga orang anak buahmu itu aku bersedia untuk bekerja kepadamu satu bulan lamanya! Atau sebagai imbalannya kau sebutkan saja, asal aku dapat melakukannya, pasti aku akan melakukannya menuruti permintaanmu!”

Wie Tocu sama sekali tidak menduga bahwa Yo Him bisa berlutut dihadapannya hanya sekedar ingin menolongi ketiga orang pengemis kecil itu. Justeru yang ingin ditolong Yo Him adalah pengemis-pengemis kecil yang telah mengganggunya.

Untuk sejenak Wie Tocu jadi tertegun, saat itu sebetulnya dia tengah mendongkol dan gusar tetapi dengan adanya peristiwa yang tidak diduganya ini, dimana Yo Him berlutut dihadapannya dengan hati tulus itu untuk menolong ketiga orang pengemis kecil yang menjadi anak buahnya, kemarahan dan kemendongkolan Wie Tocu seketika merosot delapan bagian. Dengan mengibaskan lengan bajunya. Wie Tocu telah membentak,

„Berdirilah kau!”

Aneh sekali. Yo Him yang tengah berlutut merasakan betapa ada serangkum kekuatan tenaga yang hebat sekali mendorong bahunya, dan tanpa bisa ditahannya lagi tubuhnya jadi berdiri, menuruti perintah dari Wie Tocu.

Wie Tocu mengawasi Yo Him sejenak, sampai akhirnya dia berpikir, „Biarlah aku menguji sampai berapa besar jiwa kesatria yang dimilikinya.....” dan setelah berpikir begitu, tampak Wie Tocu memperlihatkan muka yang bengis dan telah berkata, „Apakah engkau benar-benar memang ingin menolong ketiga pengemis kecil yang pernah mengganggumu itu?”

Yo Him mengangguk dengan pasti, tanpa ragu-ragu sedikitpun juga. „Benar!” sahutnya.

„Hemm, tahukah engkau bahwa di dalam perkumpulan kami terdapat peraturan yang keras, yang akan menghukum anak buahnya yang melakukan pelanggaran. Maka dari itu hukuman akan dijatuhkan oleh sidang yang akan kami adakan besok, tidak bisa dibantah oleh siapapun juga! Jika memang si terhukum meminta keringanan, maka dia harus mencarikan wakilnya, yaitu orang lain yang bersedia berkorban untuk mereka!”

Dan setelah berkata begitu, tampak Wie Tocu telah menggerakan tangannya, dia telah mengibas lagi, „Pergilah kau!” katanya. „Aku sudah mengatakan bahwa kau tidak mungkin bisa mewakili mereka.”

Yo Him jadi berdiri ragu-ragu, „Sesungguhnya hukuman apakah yang akan diterima mereka bertiga?” tanya Yo Him kemudian.

Mereka akan dipatahkan kedua kaki dan kedua tangannya!” kata Wie Tocu.

„Akkhhh!”

Memang hukuman yang disebut oleh Wie Tocu telah mengejutkan sekali Yo Him. Tubuh anak itu juga telah tergetar menggigil menahan perasaan terkejutnya.

Tetapi Wie Tocu telah tertawa dingin. „Jika memang engkau ingin mewakili ketiga pengemis kecil itu, berarti kau harus mewakili mereka, dipatahkan kaki dan tanganmu..... bahkan disebabkan mereka tiga orang, maka kau harus menjalankan hukuman itu sebanyak tiga kali!”

„Sebuah cara menghukum yang kejam sekali!” menggumam Yo Him dengan suara yang serak.

„Hemmm..... bukan kejam, tetapi peraturan kami di jalankan dengan keras. Kalau kami sendiri tidak menjunjung tinggi peraturan kami, lalu siapa yang akan mentaatinya?”

Mendengar begitu, tentu saja Yo Him jadi berdiri mematung sesaat lamanya. Mana mungkin dia mewakili ketiga pengemis kecil itu, untuk dipatahkan kedua kaki dan kedua tangannya? Bahkan untuk mewakili ketiga pengemis kecil itu, berarti dia harus menjalani hukuman seperti itu sebanyak tiga kali! Bukankah itu merupakan urusan yahg terlampau gila???

Melihat muka Yo Him telah berobah pucat dan berdiri dengan tubuh yang kaku, seperti itu Wie Tocu mengeluarkan suara tertawa dingin, kemudian Wie Tocu merebahkan tubuhnya lagi dia telah memejamkan matanya seperti tidak mengacuhkan lagi kepada Yo Him.

Yo Him berdiri diam di tempatnya agak lama, sampai akhirnya dia memanggil. „Wie Tocu.....”

Tetapi Wie Tocu tidak menyahut, dia tetap memejamkan matanya.

„Wie Tocu.....!” Yo Him telah memanggil lagi.

Wie Tocu membuka matanya tanyanya dengan suara yang dingin. „Apa lagi?”

„Aku ingin bertanya kepada Lo-jin-kee, seumpama kata aku mewakili mereka menjalankan hukuman, apakah ketiga pengemis kecil itu akan bebas dari hukuman yang harus mereka terima?”

„Oh jelas.....!”

Yo Him menggigit bibirnya keras-keras, kemudian dengan nekad dia berkata. “Baiklah! Biarlah aku yang mewakili mereka menerima hukuman itu!”

Muka Wie Tocu jadi berobah, sepasang alisnya bergerak-gerak. „Kau bersungguh-sungguh?” tanyanya dengan suara tidak lancar.

„Mengapa aku harus berdusta?” tanya Yo Him lagi, „Seorang lelaki tentu tidak akan bohong.”

„Bagus! Apakah kau tidak takut kalau harus menjalankan tiga kali hukuman seperti itu?” tanya Wie Tocu lagi.

„Mengapa harus takut! Hukuman berat dan kejam itu diciptakan oleh manusia, untuk menghukum manusia juga, maka walaupun manusia bersalah itu telah bertobat dan memohon pengampunan, hukuman itu harus tetap mereka jalankan. Dan ketiga pengemis kecil itu berjumlah tiga orang, sedangkan aku hanya satu orang. Biarlah, dari pada mereka bertiga harus celaka semuanya, bukankah lebih baik aku seorang saja yang berkorban?”

„Tetapi walaupun engkau mewakili mereka engkau tetap harus menerima tiga kali hukuman itu!” kata Wie Tocu menegasi. „Bukankah engkau mewakili tiga pengemis kecil itu?”

„Ohh, memang begitu!” menyahut Yo Him cepat, „Memang aku telah bersiap sedia untuk menerima tiga kali hukuman kejam itu. Bukankah menerima satu kali atau sepuluh kali akan sama saja? Maka daripada ketiga pengemis kecil itu mesti bercacad bertiga lebih baik hanya aku saja yang bercacad, sama bukan?”

Bukan main kagumnya hati Wie Tocu, dia sampai mengawasi Yo Him dengan mata yang terpentang lebar-lebar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. „Bukan main!” katanya beberapa kali dengan suara yang perlahan, „Engkau hebat sekali adik kecil! hebat sekali!”

Yo Him mengawasi Wie Tocu, dia heran melihat sikap Wie Tocu seperti itu. „Kau jangan memandang sinis kepadaku seperti itu!” kata Yo Him mendongkol. „Walaupun hukuman itu bukan hukuman yang ringan, tetapi kukira masih dapat kutahan!”

Wie Tocu telah memperlihatkan ibu jarinya. „Hebat!” serunya nyaring. „Engkau hebat adik kecil!” Dan Wie Tocu telah tertawa gelak-gelak dengan suara tertawanya yang keras sekali.

Yo Him tidak mengerti sikap Tocu itu, dia telah mengawasi saja.

„Untuk menolongi ketiga anak kecil yang telah merampas barang-barangmu, bahkan yang telah memukulimu juga, kini engkau membelai mereka, bersedia untuk berkorban sedemikian rupa mewakili hukuman untuk mereka, benar-benar merupakan urusan yang jarang sekali kusaksikan dalam usia sudah setua ini.....” dan Wie Tocu telah tertawa lagi bergelak-gelak dengan keras.

Tentu saja Yo Him belum mengerti maksud perkataan dari Wie Tocu, tetapi dia telah melihat bahwa muka Wie Tocu sudah tidak sedingin tadi, bahkan telah tertawa keras dan begitu lapang.

„Baiklah!” kata Wie Tocu kemudian. „Aku membebaskan ketiga pengemis kecil itu. Mereka kubebaskan dari hukuman yang seharusnya mereka terima..... dan begitu pula kau kubebaskan juga dari hukuman itu.” Setelah berkata begitu, dengan cepat Wie Tocu menghampiri Yo Him, sambil katanya, “Mari kita mengikat tali persahabatan!”

Inilah suatu peristiwa yang benar-benar luar biasa dan jarang terjadi, karena sebagai orang penting di Kay-pang, luar biasa sekali dia mengajak seorang anak kecil Yo Him untuk mengikat tali persahabatan.

Yo Him jadi memandang tertegun sejenak, tetapi kemudian ikut tertawa. „Lo-jin-kee engkau luar biasa juga!” katanya, „Engkau telah mau memenuhi permintaanku untuk membebaskan ketiga orang pengemis kecil itu dari hukuman yang seharusnya mereka terima, sudah merupakan urusan yang menggembirakan sekali. Bagaimana aku berani begitu kurang ajar untuk menjadi sahabat Lo-jin-kee?”

Mendengar perkataan Yo Him, kembali Wie Tocu telah tertawa bergelak.

„Ha, ha, ha, dalam mengikat tali persahabatan, tidak tergantung dari usia, tidak melihat dari tingkat dan kedudukan! Dalam mengikat tali persahabatan sejati adalah dua potong hati yang cocok dan merasa saling menghormati! Bukankah sebagai sahabat, kita harus tolong menolong dan menaruh hormat dan segan? Aku telah melihatnya, walaupun usiamu masih demikian muda, namun engkau memiliki hati yang benar-benar gagah dan kesatria.”

Cepat-cepat Yo Him menjura. „Lo-jin-kee terlalu memuji berat sekali,” katanya.

Tetapi Wie Tocu telah tertawa lagi, dia menarik tangan Yo Him. „Mari, mari! Aku akan mentraktir kau makan dan minum!” katanya.

Yo Him ingin menolak, tetapi cekalan tangan Wie Tocu sangat kuat, tubuhnya juga telah ditarik. Maka dari itu Yo Him akhirnya terpaksa hanya ikut saja, karena jika dia bertahan tentu dirinya akan terseret dan jatuh.

Saat itu Wie Tocu telah mengajak Yo Him ke sebuah rumah arak, dia telah memilih sebuah meja dan duduk disitu sambil memukul meja. „Mana pelayan?” teriaknya.

Dua orang pelayan segera, mendatangi dengan sikap yang menghormat sekali. „Wie Tocu ingin dahar dan minum apa?” Pelayan itu dengan sikap yang sangat hormat sekali, sehingga membuat Yo Him kembali merasa kagum kepada Wie Tocu. Karena walaupun dia seorang pengemis, namun kenyataannya dia sangat dihormati sekali oleh pelayan rumah arak itu.

„Lima kati arak dan empal kati daging bakar!” kata Wie Tocu nyaring.

Setelah pelayan pergi, Wie Tocu menunjuk kursi di hadapannya. „Kau duduk disitu, adik kecil,” katanya, kemudian, karena dia melihat Yo Him masih saja berdiri di tempatnya tidak bergerak.

Yo Him ragu-ragu sejenak tetapi karena dia takut Wie Tocu tersinggung dan marah, akhirnya dia telah duduk juga.

„Akhhhh,” berkata Wie Tocu itu lagi. „Dan kau selanjutnya tidak perlu merasa segan kepada sahabatmu! Karena usiaku lebih tua banyak dari kau untuk selanjutnya akulah si kakak, maka kau panggil aku dengan sebutan Toako, sedangkan kau si adik, yaitu si Hiante!”

Yo Him yang tengah tertegun mendengar dan melihat sikap Wie Tocu hanya diam mematung saja.

„Nah, Yo Hiante, kau dengar bukan perkataanku?” tanya Wie Tocu itu sambil mengawasi Yo Him dengan disertai tertawanya yang lebar.

Yo Him mengangguk. „Terima kasih Lo-jin-kee,” kata Yo Him dengan gugup.

„Mengapa masih memanggil dengan sebutan Lo-jin-kee? Aku begini-begini juga belum terlalu tua sekali untuk menjadi kakakmu!” berkata Wie Tocu sambil tertawa. „Sebagai orang berjiwa kesatria, apa susahnya sih mengucapkan kata-kata Toako?”

„Baiklah Wie Toako!” mengangguk Yo Him akhirnya.

Mendengar dia dipanggil Toako, Wie Tocu telah tertawa bergelak-gelak keras sekali, tampaknya dia girang bukan main. „Terima kasih Hiante! Terima kasih Yo Hiante! Ternyata kau tidak memandang rendah aku si pengemis butut ini.”

„Mana berani adikmu memandang rendah Toako?” cepat-cepat Yo Him telah mengimbangi. Segera juga keduanya jadi asyik bercakap-cakap.

11.22. Perkelahian Manusia Tak Bermalu

Waktu pelayan mengantarkan arak dan daging bakar. Wie Tocu telah memaksakan Yo Him meneguk satu cawan arak.

Semula Yo Him menolak, tetapi akhirnya karena didesak terus, terpaksa dia menuruti juga perintah kakaknya itu.

Begitulah mereka telah bercakap-cakap banyak sekali. Tetapi yang pasti adalah si kakak angkat itu yang telah banyak berbicara. Dengan mendengarkan ceritanya Wie Tocu, maka Yo Him jadi mengetahui sedikit gambaran mengenai penghidupan jago-jago di dalam rimba persilatan. Dan di saat itu Yo Him teringat peristiwa yang telah terjadi di kuil Kun-lun-san. Segera juga Yo Him menceritakan pengalamannya itu kepada Wie Toakonya itu.

„Akkhhh,” berseru Wi Tocu. „Apakah ada peristiwa hebat seperti itu? Sebelumnya tidak pernah aku mendengarnya!” Tampaknya Wie Tocu benar-benar kaget, mukanya juga telah berobah pucat. „Dan Yo Hiante tahukah kau nama keempat orang Mongol yang telah mencelakai imam-imam dari Kun-lun-pay itu.”

Yo Him menggelengkan kepalanya. „Sayang adikmu tidak mengetahui apa-apa,” katanya kemudian.

„Aneh sekali. Siapakah pendeta itu?” menggumam Wie Tocu. Tetapi akhirnya Wie Tocu menghela napas panjang. „Sudahlah, urusan imam-imam Kun-lun-pai itu nanti akan kuselidiki. Nanti akan kuperintahkan beberapa orang Kay-pang untuk pergi ke kuil Kun-lun-sie untuk menyelidiki urusan itu.”

Dan setelah berkata begitu Wie Tocu telah merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan sebuah Kim-pay yaitu sebuah lencana emas. Sambil memperlihatkan Kim-pay itu, Wie Tocu telah berkata,

„Yo Hiante, kau lihatlah.....” katanya, „Walaupun aku dari perkumpulan pengemis tetapi pay kami terbuat dari emas. Nah, Kau peganglah Kim-pay ini, kelak tentu banyak kegunaannya untukmu. Aku menghadiahkan kenang-kenangan untukmu karena Toako mu di saat sekarang ini tidak memiliki barang lainnya untuk dihadiahkan kepadamu!”

„Toako?” Yo Him ragu-ragu, karena dia melihat Kim-pay itu terbuat dari emas dan ukurannya juga agak besar.

„Terimalah, jangan kau menolak, karena jika kau menolak, berarti menghina Toakomu!” kata si pengemis.

Dengan sikap masih ragu-ragu Yo Him telah menyambuti Kim-pay itu. Dia memasukkan ke dalam sakunya.

“Yo hiante kau dengarlah. Di seluruh daratan Tiong-goan tersebar anggota Kay-pang,” kata Wie Tocu. „Setiap propinsi, setiap kecamatan setiap kampung dan setiap kota, pasti terdapat anggota Kay-pang. Kakakmu bukan bicara besar, tetapi memang sesungguhnya Kay-pang memiliki anggota yang sangat banyak jumlahnya. Walaupun belum bisa disebut sebagai perkumpulan nomor satu, tetapi tidak mudah orang menghina Kay-pang. Jika kelak suatu saat kau menemui kesulitan, kesulitan apa saja, kau temuilah seorang anggota Kay-pang setempat dan perlihatkan Kim-pay itu sambil menyebutkan dan menceritakan kesulitanmu, maka dengan segera kesulitanmu itu akan teratasi, walaupun dalam bentuk apa saja kesulitan itu!”

„Begitu hebatkah pengaruh Kim-pay yang Toako hadiahkan kepadaku?” tanya Yo Him.

Wie Tocu telah mengangguk meyakinkan, sambil katanya. „Sekarang begini saja kau mungkin belum percaya perkataan Toakomu, kau perlu bukti. Sekarang pergilah kau keluar, kau pilih pengemis mana saja yang kau kira belum pernah bertemu dengan kau, setelah kau panggil, segera kau perlihatkan Kim-pay ini apa yang akan segera dilakukan oleh pengemis itu pasti akan membuktikan perkataan Toakomu yang terkebur ini.....”

Yo Him jadi ragu-ragu, tetapi karena diapun ingin mengetahui khasiat dari Kim-pay itu, akhirnya mau juga dia menuruti perkataan kakak angkatnya itu. Namun baru saja dia berdiri, Yo Him telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah memberi hormat kepada Wie tocu.

„Jika adikmu menuruti perkataanmu, Toako, berarti adikmu ini tidak tahu diri, tidak mempercayai perkataanmu,” kata Yo Him kemudian. „Bukankah sebagai seorang kakak, engkau tidak akan mendustai adikmu?” dan setelah berkata begitu Yo Him duduk kembali di kursinya.

Wie Tocu berterima kasih atas sikap Yo Him. Mereka telah bercakap-cakap banyak sekali, akhirnya mereka berpisahan, karena Yo Him bermaksud melanjutkan perjalanannya.

Semula Wie Tocu menahan Yo Him, agar bermalam di kota tersebut, tetapi Yo Him telah menolaknya sambil menyatakan terima kasihnya. Menurut Yo Him, dia telah terlalu banyak merepotkan sang kakak.

„Mungkin kau takut diminta tidur di emperan toko dan di tepi jalan, bukan?” tanya Wie Tocu sambil tertawa: „Jangan takut aku pasti akan memintakan kamar kelas satu di rumah penginapan kelas satu!”

„Aku percaya Toako, tetapi tidak mau merepotkan Toako lebih jauh!” menyahuti Yo Him sambil tertawa.

Dan berpisahlah mereka.

Saat itu mendekati fajar, dimana matahari hampir muncul memperlihatkan dirinya. Yo Him telah melanjutkan perjalanannya meninggalkan kota itu.

Ketika berjalan belasan lie, Yo Him telah tiba di sebuah kampung yang tidak begitu besar, dia telah menginap di rumah seorang penduduk. Setelah puas tidur, akhirnya Yo Him melanjutkan perjalanan lagi.

Y

Waktu itu sudah mendekati awal musim dingin, di saat mana semua pohon telah gundul karena pohon itu telah melepaskan bunga dan daunnya gugur semua..... salju juga mulai turun tipis-tipis. Walaupun udara belum terlalu dingin, namun nyatanya orang jarang melakukan perjalanan dalam udara seburuk itu.

Yo Him telah membeli sebuah jubah tebal, dengan itu dia melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dan Yo Him terus juga melanjutkan perjalanan. Anak ini sama sekali tidak memiliki tujuan, dia hanya berjalan kemana kakinya membawanya.

Waktu Yo Him tiba di kota Phui-sie-kwan anak ini tertarik melihat kota yang padat penduduknya dan ramai sekali, walaupun musim dingin mulai tiba. Waktu Yo Him memasuki pintu kota, tiba-tiba dia mendengar suara ramai. Dilihatnya banyak orang berdiri berkerumun seperti juga tengah menyaksikan sesuatu.

Yo Him jadi tertarik, dia segera mendekati dan menyelinap diantara orang ramai itu. Segera juga dia mengetahui bahwa yang dikerumuni orang itu tidak lain dari dua orang yang tengah bertempur hebat.

Kedua orang itu masing-masing berusia empatpuluh tahun lebih, mereka berkelahi seru sekali dengan mempergunakan kedua tangan mereka. Muka mereka telah babak belur, karena keduanya telah saling terpukul. Yang hebat justeru adalah mereka tidak mau berhenti dari pertempuran itu, walaupun hidung dan mulut mereka telah mengucurkan darah. Sedangkan belasan orang yang berkerumun itu telah mengeluarkan suara sorakan yang ramai sekali, mereka seperti menyaksikan dua ayam jago yang tengah diadu.

Yo Him jadi mengerutkan sepasang alisnya, dia melihat kedua orang itu seperti manusia-manusia tolol yang mau diadu begitu saja.

Saat itu salah seorang diantara keduanya telah mengulurkan tangannya, lalu mencekik leher lawannya dengan keras. Tetapi lawannya itu tidak mau mengalah, dia telah mempergunakan sikut tangan kanannya menyodok perut lawannya. Hebat sekali sikutannya itu, sehingga menimbulkan suara yang nyaring. Tubuh lawan yang disikut juga terdorong ke belakang, jatuh terjengkang hingga cekikannya tidak bisa dipertahankan. Sedangkan orang yang telah berhasil dengan sikutannya itu, telah memutar tubuhnya sambil menubruk dan menghantami muka lawannya.

Hebat sekali pukulannya itu, sehingga darah mengucur deras dari hidung dan mulut lawannya. Tetapi orang itu juga meronta-ronta dengan kedua kaki dan tangannya, sampai akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan terbalik menghantam ke lawannya. Begitulah keduanya telah berkelahi terus tanpa memperdulikan darah yang telah mengucur deras.

Orang-orang yang berkerumun menyaksikan perkelahian itu, telah bersorak-sorak riuh sekali, mereka justru menganjurkan agar kedua orang itu terbangkit semangatnya untuk bertempur terus.

Salju di kaki kedua orang yang tengah berkelahi itu telah banyak yang merah oleh siraman darah, tetapi kedua orang itu seperti tidak memperdulikannya, mereka terus juga saling baku hantam tidak hentinya. Tetapi, di saat orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tengah bersorak-sorak bergemuruh berisik sekali, tahu-tahu telah melompat seorang hweshio, yang tubuhnya kurus tinggi dengan kepala yang gundul dan jubah pendeta yang berwarna kuning. Gerakannya begitu cepat dan gesit sekali, karena begitu kedua kakinya hinggap, begitu kedua tangannya bekerja. Tahu-tahu pendeta itu telah mencengkeram punggung kedua orang itu,

„Pergilah!” bentak hweshio itu.

Seketika itu juga tubuh kedua orang yang tengah bertempur itu terpelanting bergulingan. Mereka berdua juga mengeluarkan suara jeritan kaget. Sedangkan orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu telah berhenti bersorak, keadaan jadi sepi sekali.

Yo Him juga heran melihat kedatangan hweshio itu, yang tanpa bicara dan tanpa mengucapkan sepatah kata, telah melontarkan kedua orang yang tengah berkelahi itu.

Sedangkan kedua lelaki yang tadi bertempur telah bangun berdiri. Muka mereka merah padam diliputi kegusaran yang bukan main. Dengan darah berlepotan di muka, mereka telah memandang bengis kepada si hweshio.

„Siapa kau kerbau gundul?” bentak salah seorang diantara mereka.

„Apa maksudmu begitu usil mencampuri urusan kami?”

Hweshio kurus itu tersenyum sabar, dia telah merangkapkan sepasang tangannya. „Siancay! Siancay! Justru Lolap heran melihat kalian berkelahi begitu rupa. Apakah yang kalian perebutkan?” tanya si hweshio.

„Buka urusanmu! Tetapi kau telah melemparkan aku, engkau harus mempertanggung jawabkannya!” teriak yang seorang, yang memakai baju bulu warna abu-abu dengan suara yang bengis.

„Benar! engkau juga telah melontarkan aku maka engkaupun harus kuhajar!” teriak yang memakai baju biru.

Lalu seperti telah berjanji, kedua orang itu serentak melompat menerjang ke arah si hweshio dia telah melancarkan serangan pukulan yang kuat sekali.

Tetapi hweshio itu sama sekali tidak takut sikapnya juga tenang sekali. Hweshio itu hanya mengawasi saja, serangan tangan kedua orang itu yang tengah meluncur ke arah muka dadanya, ketika serangan hampir tiba, si hweshio tahu-tahu menggeser kakinya, dan luar biasa sekali, tahu-tahu dia telah lenyap dari hadapan kedua orang yang menyerangnya. Tahu-tahu tangan si hweshio telah menepuk punggung kedua orang itu cukup keras tepukannya, karena menimbulkan suara „Buuukkkkk! Buukkkkk!” yang nyaring walaupun si hweshio menepuknya perlahan sekali.

Di saat itu kedua orang tersebut tengah kehilangan keseimbangan tubuhnya, karena sasaran mereka lenyap tiba-tiba dan tubuh mereka tengah menyelonong ke depan. Maka ketika punggung mereka kena ditepuk begitu rupa, dengan sendirinya tidak ampun lagi mereka terjerembab dan mencium tanah bersalju. Merekapun telah mengeluarkan suara jeritan, karena dari hidung mereka telah mengucur darah yang cukup banyak.

Dengan gusar kedua orang itu telah melompat berdiri lagi. Bagaikan harimau yang terluka, keduanya telah melompat menerjang ke arah si hweshio. Berulang kali mereka menyerang, berulang juga mereka terjungkal rubuh kembali, seperti dipermainkan oleh si hweshio dengan mudah. Setelah beberapa kali mengalami kejadian seperti itu, akhirnya kedua orang tersebut tidak meneruskan serangan mereka lagi, keduanya hanya berdiri mengawasi si hweshio dengan tatapan mata takjub.

„Sudah cukup?” mengejek si hweshio sambil tersenyum sabar.

„Siapa kau sesungguhnya?” bentak kedua lelaki itu hampir berbareng.

„Lolap bergelar In-lap Siansu.....” menjelaskan hweshio itu. „Kebetulan sekali di saat Lolap lewat ditempai ini, Lolap menyaksikan jie-wie sicu tengah saling baku hantam seperti tidak memikirkan keselamatan diri lagi. Sesungguhnya urusan apakah yang telah menyebabkan jie-wie sicu (tuan-tuan berdua) saling serang seperti itu?”

Muka kedua laki-laki itu tiba-tiba berobah merah. Ternyata kedua lelaki itu adalah dua orang penduduk kota Phui-sie-kwan. Mereka berdua sebetulnya merupakan sahabat yang cukup akrab. Tetapi tadi malam mereka telah mengunjungi rumah bunga hidup, yaitu tempat pelacuran, secara kebetulan mereka jatuh hati terhadap pelacur yang sama, maka setelah terjadi keributan, mereka akhirnya berkelahi. Akhirnya oleh pihak keamanan tempat pelacuran itu mereka dipisahkan. Namun hari ini, di saat bertemu di pintu kota, mereka telah saling sindir dan akhirnya berkelahi lagi.

Mendengar pengakuan seperti itu, si hweshio telah menggeleng-gelengkan kepalanya. „Apakah bisa dipersamakan nilai persahabatan dengan nilai seorang pelacur? Mengapa hanya disebabkan seorang wanita pelacur, kalian rela untuk merusak persahabatan?” tegur si hweshio kemudian.

Muka kedua lelaki itu jadi berobah semakin merah. Karena mereka mengetahui bahwa hweshio ini bukanlah hweshio sembarangan dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali, maka mereka jadi menghormati. Keduanya telah merangkapkan tangan dan memberi hormat.

„Kami memang berpikiran cupat, Taysu..... kami mengaku bersalah!” kata mereka serentak. Kemudian keduanya saling memberi hormat, saling meminta maaf.

Si Hweshio tampak senang melihat kedua orang itu berhasil didamaikan. Setelah mengucapkan kebesaran sang Budha beberapa kali, si hweshio yang mengaku bergelar In-lap Siansu itu telah memutar tubuhnya dan berlalu.

Yo Him tadi telah menyaksikan, betapa hweshio itu hebat sekali kepandaiannya, juga hweshio itu sangat sabar dan manis budi. Karena memang tidak mempunyai tujuan yang tetap, akhirnya Yo Him telah mengikuti hwesio itu secara diam-diam.

Dilihatnya In-lap Siansu memasuki sebuah rumah makan, maka Yo Him pun memasuki rumah makan itu. Di dalam hati Yo Him merasa kagum atas kehebatan ilmu silat hweshio dan kebijaksanaannya dalam menyelesaikan urusannya dua lelaki itu.

Dilihatnya In-lap Siansu telah duduk di sebuah meja, tengah menikmati tehnya. Dia duduk membelakangi pintu, sehingga kedatangan Yo Him tidak dilihatnya.

Cepat-cepat Yo Him telah memilih meja yang berjauhan dengan si hweshio itu, sehingga dia bisa mengawasi gerak gerik hweshio yarg luar biasa itu.

Semula In-lap Siansu meneguk tehnya dengan berdiam diri saja, tetapi akhirnya dia menggumam perlahan, „Akhh, akhh, persahabatan!” perlahan sekali suaranya, dia juga telah meneguk tehnya lagi.

Tentu saja Yo Him jadi heran sekali melihat prilaku hweshio itu, yang membuat Yo Him semakin memperhatikan In-lap Siansu.

Saat itu si hweshio telah menggumam. „Persahabatan memang sangat berharga jika memang ingin bersahabat, mengapa harus sembunyi-sembunyi seperti seekor tikus? Bukankah mengikat tali persahabatan sangat berharga sekali!”

Yo Him mendengar jelas sekali perkataan si hweshio, tetapi dia tidak mengetahui entah perkataan In-lap Siansu itu ditujukan untuk siapa. Tatapi sebagai seorang anak yang sangat cerdik sekali, Yo Him dapat meraba sedikit banyak kata-kata itu merupakan sindiran untuk dirinya. Rupanya In-lap Siansu telah mengetahui bahwa dirinya diikuti olehnya!

Teringat akan itu, muka Yo Him jadi berobah merah sendirinya dan diapun jadi merasa malu! Tetapi sebagai seorang anak yang berjiwa besar, walaupun usianya masih kecil sekali, Yo Him telah bangkit dari duduknya dia telah menghampiri meja In-lap Siansu. Setelah berada dihadapan, Yo Him telah merangkapkan tangannya, dia telah memberi hormat sambil katanya,

„Taysu, kepandaianmu sangat hebat sekali, benar-benar aku kagum melihatnya!”

In-lap Siansu mengawasi Yo Him yang berdiri dihadapannya, „Duduklah!” katanya kemudian ramah sambil menunjuk kursi kosong dihadapannya.

Yo Him segera duduk tanpa merasa segan lagi, karena dia melihatnya bahwa si hweshio memiliki jiwa yang sangat bebas.

„Siapa namamu nak?” tanya hweshio itu. „Dan kulihat kau tadi merasa tidak senang menyaksikan perkelahian diantara kedua lelaki itu di pintu kota, bukan?”

„Aku she Yo dan bernama Him,” menjelaskan Yo Him. „Dan apa yang dikatakan oleh Taysu memang benar, alangkah memuakkan kedua orang itu berkelahi tanpa mengenal malu saling baku hantam ditontoni oleh orang banyak. Terlebih memalukan sekali adalah urusan yang menyebabkan mereka berkelahi......”

Mendengar perkataan Yo Him, In-lap Siansu tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan berulang kali memuji akan kebesaran sang Buddha.

„Benar!” kata In-lap Siansu akhirnya. „Justru Lolap turun tangan memisahkan mereka adalah disebabkan memandang mukamu, anak.”

„Ihh!” Yo Him berseru kaget. „Mengapa begitu?” tanyanya tidak mengerti.

„Justru Lolap memisahkan mereka disebabkan melihat kau sebagai seorang anak di bawah umur saja telah merasa muak melihat kelakuan kedua lelaki itu! Hanya anehnya justru Lolap melihat orang-orang lain yang menyebut dirinya telah dewasa itu justru sama sekali tidak memperlihatkan perasaan seperti kau. Mereka bahkan girang sekali, mereka telah bersorak-sorak dan menganjurkan kedua lelaki itu terus berkelahi, seperti juga dua ekor ayam yang tengah diadu!”

Yo Him mengangguk.

„Itulah yang telah membuat aku jadi heran mengapa kedua orang itu mau diadu dan dipertandingkan hanya dengan suara sorak sorai belaka?” kata Yo Him.

Si hweshio telah tersenyum sabar lagi. „Ya, begitulah sifat manusia yang selalu ingin dibangkitkan emosinya,” katanya. Dan setelah berkata begitu, In-lap Siansu mengawasi Yo Him sejenak lamanya, tatapan matanya memancarkan sinar yang sangat tajam.

„Sifatmu sangat hebat sekali nak,” kata In-lap Siansu akhirnya. „Umurmu tidak lebih dari delapan tahun, tetapi dari sinar matamu, kau memiliki sifat-sifat yang jauh lebih luas dari manusia-manusia yang menamakan dirinya telah dewasa.”

„Taysu terlalu memuji,” kata Yo Him sambil menggeleng. „Mana bisa aku memiliki peruntungan yang begitu baik?” Sambil berkata begitu, Yo Him juga telah mengambil cawan tehnya dan meneguknya beberapa kali.

In-lap Siansu telah tertawa dengan sikapnya yang sabar. “Lolap tidak pernah mencela dan tidak pernah memuji, apa adanya yang akan Lolap katakan dengan sesungguhnya. Mengapa harus mencela? Mengapa harus memuji? Akhh, memang kenyataan yang ada engkau merupakan seorang anak yang agak luar biasa. Tentu saja, sebagai seorang manusia, Lolap bisa saja salah mata, tapi kenyataan yang ada membuat Lolap kagum atas kecerdasan dan juga pandangan luas darimu.”

„Dari mana Taysu bisa mengetahui bahwa aku memiliki kecerdasan dan pandangan luas?” tanya Yo Him sambil tersenyum, karena dia menganggap bahwa hweshio itu memang hendak memujinya belaka.

„Hemmmm, dari sinar matamu telah memperlihatkan bahwa engkau seorang anak agak luar biasa! Seperti tadi waktu kau menyaksikan kedua lelaki itu saling kerkelahi satu dengan yang lainnya, ternyata engkau telah mengawasinya dengan sikap tidak senang. Lolap melihat sepasang alismu mengkerut dalam, disamping itu juga kau tidak terpengaruh seperti anak-anak umumnya yang senang menyaksikan keramaian dan juga senang sekali menyaksikan orang berkelahi. Maka dari itu dengan adanya peristiwa seperti itulah Lolap telah turun tangan untuk memisahkan kedua orang lelaki yang tengah berkelahi itu.”

Yo Him menunduk, dia jadi malu sendiri karena hweshio itu terlalu memuji dirinya.

„Sesungguhnya ingin pergi kemanakah, Taysu?” tanya Yo Him kemudian.

„Langit merupakan genting rumah Lolap, bumi merupakan rumah Lolap, maka dimana Lolap berada, disitulah Lolap akan menetap. Lolap hanyalah seorang pendeta pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya,” menyahuti pendeta itu.

„Ohhh.....!” dan Yo Him mengangguk-angguk sedangkan di dalam hatinya dia telah berkata, „Sesungguhnya nasib kita hampir serupa.”

Di saat itu diantara beberapa orang tamu yang memasuki ruang rumah makan tersebut, tampak seorang pengemis tua berusia diantara tujuhpuluh tahun, tengah memandang ke sekeliling ruangan dengan sinar matanya yang sangat tajam. Pakaiannnya compang-camping dan di punggungnya menggemblok lima helai karung.

Ketika melihat si hweshio, mukanya telah berobah jadi bengis. Wajahnya yang semula memang sudah tidak enak dilihat itu jadi semakin tidak sedap dipandang. Maka dari itu, dengan cepat Yo Him menundukkan kepalanya, dia takut kalau-kalau si pengemis tersinggung jika dipandangi terus olehnya.

Tetapi siapa sangka, justru pengemis itu telah menghampiri mejanya, malah ketika telah berada dekat dengan meja Yo Him dan In-lap Siansu, pengemis itu telah mengeluarkan suara tertawa dingin yang menyeramkan. „Keledai gundul! Rupanya kau bersembunyi disini!” katanya dengan suara yang menyeramkan sekali.

In-lap Siansu memperlihatkan sikap yang tenang sekali, sama sekali dia tidak gugup atau takut melihat wajah si pengemis yang menyeramkan itu.

„Siapakah sicu atau saudara?” tanyanya kemudian dengan suara yang sabar. „Menurut Lolap, belum pernah kita berkenalan?”

„Hemm, kau telah menghajar babak belur dua orang murid Kay-pang, apakah kau bermimpi akan dapat meninggalkan kota ini dengan mudah begitu saja?” mengejek pengemis itu.

„Benar, Lolap memang tadi pagi telah mengajar adat kepada kedua Siauw-kay (pengemis kecil) yang ingin coba-coba mencuri uang dari seorang nyonya! Maka jika memang Sicu tidak senang, katakanlah dengan cara bagaimana Lolap harus menyatakan maaf.” Sabar sekali pendeta itu, walaupun dia dibentak-bentak begitu oleh si pengemis tetapi dia masih bisa tersenyum dan berkata-kata dengan suara yang sabar sekali, dengan menanyakan juga dengan cara apa dia bisa mengajukan permintaan maafnya kepada pengemis itu.

Tetapi si pengemis tua itu telah mendengus dengan mata tetap terpancar bengis, „Hemm..... tidak akan semudah itu meminta maaf atas dosamu,” katanya dengan dingin, „Engkau seenaknya menghajar dua murid Kay-pang setelah mereka babak belur kau tinggalkan begitu saja! Kini di saat tempat persembunyianmu diketahui olehku, justeru kau pura-pura alim dengan menanyakan cara bagaimana untuk meminta maaf. Sungguh kau keledai gundul yang tidak tahu malu!” dan setelah berkata begitu dengan cepat sekali dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata dia telah mengulurkan tangannya mencekal batang leher si pendeta. Sambil mengulurkan tangannya, dia juga berkata lantang,

„Mari kita keluar!”

Dengan maksud mencengkeram baju si Pendeta tentu saja si pengemis bermaksud untuk menarik dan menyeret si hweshio keluar dari ruangan rumah makan itu. Dia merupakan salah seorang anggota Kay-pang yang membawa karung lima lembar, berarti dia menduduki tingkat kelima, dan tingkat kelima dalam urutan Kay-pang sudah merupakan tokoh di perkumpulan tersebut. Hanya lima tingkat di bawah Pangcu atau Ketua Kay-pang itu. Tidak mengherankan jika pengemis ini juga memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Tetapi si hweshio juga tak mau berdiam diri saja untuk dibuat malu oleh pengemis itu. Maka dia telah mengelakkan dengan memiringkan sedikit kepalanya, dia sama sekali tidak bangun dari duduknya.

Tentu saja hal itu membuat Yo Him terkejut sekali, karena tidak keruan juntrungannya si pengemis main serang begitu macam.

Melihat cengkeramannya gagal, dengan penasaran sekali si pengemis telah mengibaskan tangannya, maksudnya akan menghantam muka si hweshio.

Tetapi dengan tenang sekali si hweshio telah mendorong dengan tangan kanannya, sambil katanya, „Mari kita bicara di luar saja!” Dan setelah berkata begitu, di saat tubuh si pengemis terhuyung oleh dorongan tangannya, maka In-lap Siansu telah bangkit dari duduknya, dia melangkah keluar dari ruangan rumah makan itu.

Yo Him mengetahui maksud dari si hweshio yaitu si pendeta ingin bertanding di luar saja, mengelakkan kerusakan di rumah makan itu. Tentu saja Yo Him jadi kagum sekali atas sikap hweshio itu, dia telah berdiam diri dan telah bersikap sabar hanyalah untuk menghindarkan pertandingan yang tidak karuan, yang bisa merusak ruangan rumah makan tersebut. Sedangkan si pengemis tua telah mengikuti melangkah keluar dengan langkah lebar dan muka yang menyeramkan sekali.

Yo Him juga telah cepat bangun berdiri dia ingin melihat apa sesungguhnya yang ingin dilakukan oleh si pengemis.

Ketika si hweshio telah melangkah keluar, di saat itu rupanya si pengemis sudah tidak dapat menahan sabar lagi, dengan cepat dia telah menggerakkan tangan kanannya, dia ingin mencengkeram bahu si hweshio. Tetapi In-lap Siansu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, merasakan sambaran angin serangan dari arah belakangnya, dia telah melangkah maju sambil membungkukkan tubuhnya maka serangan itu telah mengenai tempat kosong.

Di saat tangan pengemis tua itu lewat menyambar tempat kosong kesempatan itu telah dibarengi oleh si hweshio dengan mengibaskan lengan jubahnya ke belakang, sehingga serangan itu yang mengandung tenaga dalam sangat kuat telah mendorong tubuh si pengemis dengan kuat sekali, sehingga tubuh pengemis itu terhuyung karena dia sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang begitu rupa.

Tetapi pengemis tua tersebut juga memiliki kepandaian cukup tinggi, tadi dia sampai terserang terhuyung begitu karena dia tidak menyangka si hweshio akan mengambil sikap seperti itu dan juga memang dia tidak berwaspada, sehingga dia telah terdorong. Tetapi sekarang ketika si hweshio telah melancarkan serangan berikutnya lagi yang mengandung tenaga serangan yang kuat sekali, maka si pengemis berhasil menangkis atau mengelakkannya dengan gerakan yang cepat sekali.

Begitulah dalam waktu yang sangat singkat sekali, kedua orang ini telah saling serang menyerang dan telah melewati belasan jurus. Ternyata kepandaian si hweshio ataupun kepandaian si pengemis memang berimbang. Bahkan si pengemis yang tengah gusar itu, telah melancarkan serangan lebih sering dan lebih gencar dibandingkan dengan si hweshio yang lebih banyak mengelak dan melompat mundur menjauhkan diri.

Tentu saja sikap si hwesio membuat si pengemis tambah penasaran sekali. Dia telah berusaha memperhebat serangan-serangannya, setiap serangannya tentu mengandung kekuatan tenaga yang bisa mematikan. Si hweshio semakin lama jadi semakin kewalahan melihat bahwa lawannya menyerang dia dengan nekad seperti itu. Maka dari itu cepat-cepat si hweshio telah memutar kedua tangannya dengan cepat sekali, dia telah melindungi dirinya dengan kedua tangannya itu dengan rapat sekali. Sehingga si pengemis tambah mendongkol saja.

„Sreeet!” tahu-tahu di tangannya telah tercekal sebatang pedang pendek yang menyerupai badik. Dengan mempergunakan senjatanya si pengemis melancarkan serangan dengan gencar.

Dengan adanya serangan senjata tajam seperti itu, maka si hweshio juga tidak bisa main tangkis saja dengan tangan kosong, bisa-bisa tangannya kelak terluka oleh serangan senjata lawan. Segera diapun telah merobah cara bersilatnya, dia main pukul dengan mempergunakan kedua telapak tangannya, gerakannya itu bukan main cepat dan dahsyatnya, tenaga pukulannya juga gencar, sehingga membendung si pengemis untuk melancarkan serangan lebih jauh.

Dari itu si pengemis juga menjadi kalap lagi, karena dia tidak bisa memperoleh hasil apa-apa walaupun dia sudah mempergunakan senjata tajamnya. Dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat keras sekali, tahu-tahu kedua tangan si pengemis telah bergerak, tangan kanannya yang mencekal pisau pendeknya itu menyambar dengan cara menyimpang dari samping, sedangkan tangan kirinya telah menghantam dengan telapak tangannya seperti juga dia ingin menghantam batok kepala si hweshio, yang ingin dipukulnya hancur.

Serangan itu telah memaksa si hweshio melompat mundur untuk mengelakkan diri.

Tetapi si pengemis tampaknya memang sengaja melancarkan serangan tersebut untuk memancing, karena itu tidak mengherankan jika serangan yang dilancarkannya itu mengincar bagian yang berbahaya, tetapi cepat ditarik pulang dan kemudian dia melancarkan serangan yang sesungguhnya mengincar bagian yang mematikan, yaitu tepat di jurusan ulu hati, dimana mata pedang pendeknya itu telah menyambar secepat kilat.

Tetapi In-lap Siansu juga memiliki kegesitan. Dia memang terkejut waktu melihat mata pedang pendek itu telah mengincar ulu hatinya, tetapi dia tidak menjadi gugup, dengan cepat sekali dia menggeser tubuhnya dan menghantamkan telapak kanannya.

Namun serangan telapak tangan kanan si-hweshio telah disambut dengan tangkisan telapak tangan kiri si pengemis, sedangkan, pedang pendek itu telah meluncur terus dengan cepat, sehingga kulit dada si hweshio berhasil dilukai darahnya mengucur, sehingga tubuh In-lap Siansu terhuyung dan akan rubuh.

Pengemis itu juga tidak lolos dari akibat serangan telapak tangan si hweshio, karena dengan cepat sekali tenaga dalam yang kuat dari pendeta itu menggempur bagian dalam tubuhnya, membuat pengemis itu telah terhuyung mundur.

12.23. Persaudaraan Imam Tua dan Anak Kecil

Cepat luar biasa pengemis yang nekad itu telah melompat, dia mempergunakan kesempatan di saat si pendeta tengah terhuyung itu untuk menghajar kepalanya.

Tentu saja Yo Him jadi kaget sekali, dia melihat In-lap Siansu seperti sudah tidak bisa berdiri tetap dan dengan sendirinya sulit bagi dia untuk dapat menangkis serangan si pengemis.

Si pengemis girang melihat serangan yang dilancarkannya kali ini akan berhasil mengenai sasarannya, dan dia telah berseru keras sekali sambil mengempos semangatnya menambah tenaga serangan. Mati-matian In-lap Siansu mengangkat tangannya menangkis.

Suara benturan keras terdengar, tetapi tubuh In-lap Siansu terhuyung kemudian terguling di atas tanah. Sedangkan si pengemis hanya terhuyung sedikit, dia sudah bersiap untuk melancarkan serangan lagi.

„Tahan!” tiba-tiba Yo Him yang melihat keadaan si hweshio sudah tidak bisa menahan diri.

Si pengemis jadi merandek, dia menoleh dengan penasaran. Waktu melihat yang menahannya adalah seorang anak kecil yang tadi bersama si hweshio, dia jadi tambah gusar.

„Setan cilik,” bentaknya. „Engkau juga ingin turut campur?” sambil membentak begitu dia telah melangkah menghampiri Yo Him.

„Apakah kau tidak malu menganiaya orang yang sudah tidak berdaya seperti Taysu itu?” bentak Yo Him mendongkol sekali.

Pengemis tua itu tertawa dingin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun juga, dia telah melangkah mendekati Yo Him, diayunkan tangannya, dan „plaakk!” muka Yo Him telah ditempilingnya dengan keras, sehingga anak itu berputar seperti gangsing, pipinya bengkak dan dia rubuh bergulingan di tanah.

Bukan main gusarnya Yo Him, tetapi diapun jadi takut melihat pengemis tua itu demikian ganas. Namun memikirkan keselamatan In-lap Siansu yang baik hati itu, Yo Him jadi melupakan sakitnya dan telah cepat-cepat merangkak berdiri.

„Walaupun kau membunuh mati diriku, tetap aku tidak ijinkan kau membunuh Taysu itu!” teriak Yo Him.

Si pengemis tertegun, tetapi kemudian dia tertawa. „Hebat! Hebat!” katanya. „Jadi kau ingin mati juga membela pendeta busuk itu? Hemm, bagus! Aku akan menuruti keinginanmu, sebelum menghajar mampus pendeta itu, lebih dulu aku akan mengirimkan kau ke Giam-lo-ong!”

Dan setelah berkata begitu kembali tangan dan kakinya bergerak, maka terdengar suara gedebak-gedebuk dimana tubuh Yo Him dihajar pulang pergi sehingga tubuh si anak she Yo ini seperti sebuah bola yang menggelinding-gelinding di atas tanah.

Semula Yo Him tidak mengeluarkan jeritan, dia berusaha menahan perasaan sakit itu. Tetapi waktu melihat darah yang mulai mengucur dan membasahi salju, tentu saja si anak she Yo ini mulai ketakutan. Namun Yo Him menggeretekkan giginya, dia telah berusaha menahan serangan si pengemis tua itu.

Waktu kepalan tangan si pengemis menghantam lagi, maka di saat itulah Yo Him tidak bisa menahan perasaan sakitnya, dia merasakan matanya jadi berkunang-kunang gelap dan matanya juga gelap disamping itupun kepalanya pusing, tanpa ampun lagi tubuhnya bergulingan di tanah dengan disertai jeritannya yang menyayatkan hati.

Tubuh In-lap Siansu jadi gemetaran keras menahan kemarahan yang sangat. Dia telah melompat berdiri sambil berseru, „Binatang, mengapa kau menyiksa anak kecil? Sungguh tidak tahu malu!”

Si pengemis tua itu telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang keras sekali, dia telah berkata kemudian, „Hem..... engkaupun telah menghina murid Kay-pang yang masih kecil-kecil..... bukankah sama saja?”

Muka In-lap Siansu jadi berobah merah padam. „Baik, mari kita adu jiwa! Anak itu tidak salah apa-apa, urusan ini tidak ada sangkut paut dengannya, kau tidak bisa mengganggunya, karena semua perbuatanku adalah tanggung jawabku!”

„Kay-pang bukan perkumpulan yang mudah diperhina! Kami tidak pernah menghina orang lain, tetapi kamipun tidak mau dihina!” Dan setelah berkata begitu dengan cepat dan angkuh sekali dia menghampiri si hweshio, dengan diiringi oleh suara bentakannya yang sangat keras, dia telah melancarkan serangan dengan ganasnya. Tenaga serangan yang dilancarkannya hebat sekali, sehingga angin serangan itu menderu-deru.

Sesungguhnya In-lap Siansu merasakan tubuhnya semakin lemah saja, disamping itu juga dia merasakan luka di dalam tubuhnya cukup parah. Maka dari itu dengan cepat sekali dia telah mengempos semangatnya, mati-matian dia menyambuti serangan si pengemis tua itu. Tetapi dia tidak sanggup membendung kekuatan tenaga menyerang dari pengemis tua itu. Tubuh si pendeta telah terpental keras sekali, dan ambruk di atas tanah.

Hebat kesudahan dari pukulan si pengemis karena si hweshio hanya merintih di tanah tidak bisa segera bangkit kembali seperti semula. Walaupun In-lap Siansu beberapa kali telah berusaha untuk bangkit namun dia gagal, karena matanya gelap dan berkunang-kunang, tenaganya seperti telah lenyap. Dalam keadaan seperti inilah dengan cepat sekali si pengemis tua telah melompat maju, untuk melancarkan serangan terakhir kepada si hweshio.

Yo Him yang baru saja merangkak bangun dengan kepala yang masih pusing, jadi kaget melihat serangan si pengemis terhadap In-lap Siansu. Dia berseru kaget sambil memutar otak untuk menolongi jiwa pendeta itu.

„Jangan mencelakai Taysu itu!” membentak Yo Him dengan suara yang keras sekali.

Tetapi si pengemis tidak mengacuhkan, „Jika kau bisa menolongi pendeta ini, tolongilah!” mengejek si pengemis sambil tangannya tetap meluncur turun akan menghantam dada si pendeta itu yang tengah dalam keadaan rebah.

Tentu saja Yo Him jadi putus asa, karena walaupun hatinya ingin sekali menolongi pendeta itu, tetapi apa daya dia memang tidak memiliki kesanggupan apa-apa. Maka akhirnya dalam putus asanya itu, dia telah berseru sekenanya ,

„Jika kau membinasakan Taysu itu, jiwamu tidak akan kuampuni!” dan seruannya itu keras sekali mengandung kemarahan dan penasaran yang bukan main.

Si pengemis itu menjadi kaget sendirinya, dia merandek dan menahan tangannya yang tengah meluncur itu. Setelah merandek sejenak dan tertegun segera dia tersadar dari herannya dan menjadi gusar sekali.

„Ha, ha, ha,” dia tertawa tergelak dengan suara menyeramkan sekali. „Setan kecil seperti dirimu berani menggertak Souw Cie Kay seperti diriku begitu rupa.”

„Hmm, aku tidak mau tahu siapa engkau, tetapi jika kau mencelakai Taysu itu, jiwamu tidak akan lolos dari kematian!” kata Yo Him yang jadi nekad. Karena sudah tidak ada jalan lain, dia sengaja bicara besar seperti itu untuk memancing kemarahan si pengemis untuk mengulur waktu saja, dengan harapan In-lap Siansu dapat berdiri dan tenaganya pulih kembali.

Tetapi si pengemis yang tengah marah itu rupanya sudah tidak bisa menahan diri, dia telah mengeluarkan suara bentakan bengis, tubuhnya telah melompat dan dengan cepat sekali dia mengulurkan tangannya mencengkeram bahu Yo Him mengangkat tubuh anak itu ke tengah udara.

Yo Him meringis kesakitan, dia merasakan tulang bahunya seperti juga akan copot dan terlepas, menimbulkan perasaan sakit yang luar biasa.

Dengan keras pengemis tua Souw Cie Kay menggoncang-goncangkan tubuh Yo Him dengan penasaran sekali. „Manusia kerdil seperti engkau ini ingin membinasakan diriku, heh? Ingin membunuh aku?” bentaknya dengan bengis dan penasaran sekali.

Yo Him tidak bisa menyahuti, karena dia merasakan tulang bahunya sakit luar biasa.

Dengan penuh kemarahan Souw Cie Kay telah mengangkat Yo Him ke atas, maksudnya ingin membantingnya, sekali banting tentu binasalah anak kecil itu.

„Habislah jiwaku!” mengeluh Yo Him di dalam hatinya dengan penasaran.

Si pendeta In-lap Siansu juga telah melihat peristiwa tersebut, tetapi dia tengah terluka berat maka tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolongi Yo Him. Si hweshio hanya mengeluh saja.

Saat itu tangan pengemis tua Souw Cie Kay telah mengangkat Yo Him tinggi sekali dan baru saja dia ingin membantingnya, tiba-tiba dari saku Yo Him jatuh semacam benda. Benda itu menimbulkan suara nyaring dan berkilauan kuning.

Waktu melihat benda itu mata Souw Cie Kay jadi terpentang lebar-lebar dia telah mengawasi tertegun ke arah benda itu dengan sepasang tangannya yang mengangkat tubuh Yo Him itu tetap di tengah udara. Setelah berselang sejenak, dia menurunkan tubuh Yo Him sambil disertai bentakannya.

„Setan kecil, dimana kau mencuri Kim-pay itu?” Suara bentakan itu mengguntur dan bengis sekali, sedangkan tangan yang satunya itu telah diulurkan untuk mengambil Kim-pay yang terjatuh di tanah.

„Jika kau menyentuh Kim-pay itu, jiwamu sulit untuk dilindungi lagi!” bentak Yo Him dengan suara yang nyaring.

Souw Cie Kay kaget, dia menarik pulang tangannya yang tadi diulurkannya itu. Untuk sejenak dia telah berdiri ragu-ragu. Namun akhirnya dia telah bertanya.

„Kau telah mencuri Kim-pay itu, bukan?”

„Hemmm, apakah aku memiliki potongan sebagai pencuri?” bentak Yo Him berani sekali, dan melihat Kim-pay itu hatinya jadi girang bukan main. Tadi dia lupa kepada Kim-pay tersebut, coba kalau tidak, siang-siang urusan In-lap Siansu sudah dapat diselesaikan.

„Jadi..... jadi kau ingin maksudkan bahwa Kim-pay itu milikmu?” tanya si pengemis dengan suara yang tergagap dan tidak lancar, tetapi sinar matanya itu yang masih tetap bengis memperlihatkan bahwa dia tidak mempercayai perkataan Yo Him. Namun untuk menuduh bahwa Yo Him yang mencuri Kim-pay itu juga merupakan urusan yang tidak mungkin, karena pemilik Kim-pay tersebut seorang tokoh hebat di dalam Kay-pang, tidak mungkin Kim-pay nya itu dapat dicuri seorang anak sebesar Yo Him.

„Kim-pay itu milik kakak angkatku..... aku telah dihadiahkannya.....!” kata Yo Him dengan suara yang lantang sekali.

„Hemm.....” Souw Cie Kay telah mendengus dengan suara yang dingin. Dia tidak percaya pemilik Kim-pay yang sangat terkenal sebagai tokoh di dalam Kay-pang mau mengangkat adik kepada anak sebesar Yo Him.

„Siapa nama kakak angkatmu itu?”

Sebetulnya Souw Cie Kay telah mengetahui nama orang yang menjadi pemilik Kim-pay itu, namun sengaja dia memancing begitu karena jika memang Yo Him dapat menyebutkannya, berarti memang benar si anak ini tidak berdusta, tetapi kalau Yo Him tidak bisa menyebutkan nama tokoh Kay-pang itu, tentu Yo Him telah berbohong.

Yo Him telah tertawa dingin, dia membungkukkan tubuhnya mengambil Kim-pay itu. Diangkatnya Kim-pay itu tinggi-tinggi, kemudian bentaknya dengan suara yang lantang.

„Apakah engkau masih tidak mau berlutut melihat Kim-pay ini?”

Muka pengemis itu jadi pucat, tetapi dia masih ragu-ragu karena tidak mengetahui siapa anak kecil ini.

Sedangkan orang-orang yang menyaksikan di tepi jalan akan peristiwa tersebut juga jadi heran. Mereka umumnya mengetahui siapa Souw Cie Kay, yaitu raja pengemis di kota ini. Tetapi kali ini berhadapan dengan seorang anak kecil sebesar Yo Him, tampaknya raja pengemis yang terkenal bertangan besi dan juga gagah itu jadi begitu ragu-ragu.

Sedangkan In-lap Siansu juga jadi heran sekali melihat pengemis itu dan sikap Yo Him, sehingga dia hanya mengawasi saja.

„Sebutkan dulu siapa nama kakak angkatmu itu,” kata Souw Cie Kay dengan suara ragu-ragu.

„Hemm, tidak kusangka bahwa perkataan Wie Tocu tidak tepat! Wie Tocu mengatakan, siapa saja anggota Kay-pang jika melihat Kim-pay ini tentu akan menghormatinya! Hemm, sungguh benda tidak punya guna!” menggerutu Yo Him dan dia telah mengangkat Kim-pay itu untuk dibantingnya.

Mendengar disebutnya nama „Wie Tocu”, lemaslah kedua lutut Souw Cie Kay, pucat pula mukanya dan menggigil tubuhnya, gemetaran keras. Dia telah menjatuhkan diri berlutut dihadapan Yo Him sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan keras, sehingga keningnya itu telah menghantam tanah dengan keras.

„Tecu (murid) memang sungguh kurang ajar tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Kim-pay!” berseru Souw Cie Kay berulang kali, dia juga membahasakan dirinya dengan sebutan murid. „Sungguh dosa yang sangat besar! Sungguh dosa yang tidak terampuni lagi!”

Dia mengatakan dosa yang sangat besar dan dosa tidak terampuni lagi, dimaksudkan olehnya ialah dirinya tidak bisa memperoleh pengampunan lagi. Bahkan tadi dia tidak mau cepat-cepat menyambut Kim-pay, sehingga Kim-pay itu hampir saja dibanting Yo Him. Jika memang tadi Kim-pay itu sampai dibanting Yo Him, walaupun dia memiliki sepuluh jiwa, tentu dia harus mati sepuluh kali!

Maka kini bukan main ketakutannya, karena jika sampai perbuatannya itu diceritakan Yo Him kepada Wie Tocu, bukan saja kedudukannya sebagai ketua cabang dari perkumpulan Kay-pang akan terlepas dari tangannya, dimana dia akan dipecat, juga dirinya akan disidang dan menerima hukuman yang berat, jika tidak kematian tentu sedikitnya hukuman yang bisa membuat dia bercacad. Dan sambil berlutut begitu, Souw Cie Kay juga telah menangis ketakutan sekali.

Tentu saja semua orang yang menyaksikan jadi heran bukan main. Lebih-lebih In-lap Siansu. Semuanya jadi memandang bengong saja.

„Hemm, tadi kulihat engkau bersikap begitu garang, dan menyamakan jiwa manusia seperti jiwa kacoa!” kata Yo Him kemudian. „Apakah kau anggap bahwa dirimu sudah berkuasa penuh di dalam dunia ini?”

„Murid memang sungguh picik dan tidak memiliki pendidikan, mohon kongcu mengampuni! Memang murid sangat berdosa, dosa yang tidak terampun lagi!” dan sambil berkata begitu. Tahu-tahu dia telah mengayunkan tangannya menempilingi mukanya sendiri, sehingga terdengar suara ketepak ketepok berulang kali.

Song Cie Kay menghantam mukanya sendiri bukan sekedar memukul tetapi dia menempiling dengan mengerahkan seluruh tenaganya, maka dari itu tidak mengherankan setiap kali telapak tangannya itu hinggap di mukanya, maka seketika itu juga giginya copot, sepuluh kali dia memukul, maka sepuluh gigi yang telah copot dan jatuh di atas salju. Dengan mengambil gigi-giginya yang telah copot itu dia mengacungkan dengan mempergunakan kedua tangannya kepada Yo Him, sikapnya ketakutan dan menghormat sekali.

„Murid menerima salah dan sangat berdosa, dengan menghadiahkan gigi ini mungkin Kongcu bersedia mengampuni jiwaku!” kata si pengemis.

Dengan perkataannya itu dia sesungguhnya ingin meminta Yo Him agar tidak menceritakan urusan itu kepada Wie Tocu.

Sedangkan Yo Him telah memasukkan Kim-pay ke dalam sakunya, dia telah mengibaskan tangannya, katanya juga, „Kini jika kau bisa memberikan obat yang mujarab dan menyembuhkan luka In-lap Siansu, maka jiwamu kuampuni!”

„Terima kasih kongcu! Terima kasih kongcu!” kata pengemis itu sambil memanggut-manggutkan kepalanya berulang kali tidak hentinya.”

Kemudian dia menepuk tangannya, dari sudut-sudut jalan tampak muncul beberapa orang pengemis.

Mereka segera dibisiki oleh Souw Cie Kay, maka seketika itu juga pengemis-pengemis itu berlarian. Di dalam waktu yang sangat singkat, mereka telah membawa bungkusan obat dan peralatan untuk menggodok obat itu.

Souw Cie Kay yang telah memasak sendiri obat itu, kemudian dia telah memberikan kepada In-lap Siansu dengan sikap menghormat sekali.

In-lap Siansu yang sejak tadi diliputi perasaan heran dan bingung telah berdiam diri saja. Dia menerima obat itu dan meminumnya. Memang pendeta itu merasakan napasnya agak lapang dan sesak di dadanya mulai lega. Dia menghela napas,

„Terima kasih!” katanya kepada Souw Cie Kay dengan sikap yang canggung.

„Tidak berani aku yang rendah menerima ucapan terima kasih dari Taysu, sungguh aku si rendah ini harus menerima hukuman dari Taysu! Dalam dua hari Taysu akan sembuh, maka di saat itu aku si rendah melaksanakan hukuman potong tangan atau potong kaki!”

Mendengar perkataan Souw Cie Kay, muka In-lap Siansu jadi berubah. „Mengapa harus begitu?” tanyanya heran.

„Aku si rendah tidak memiliki mata melanggar Taysu, telah melakukan kesalahan besar, maka dari itu aku hanya menantikan hukuman Taysu!”

„Jika memang engkau telah menyadari bahwa apa yang telah kau lakukan itu salah dan bertobat untuk apa engkau menjalani hukuman pula?” tanya si pendeta.

„Oh terima kasih Taysu!” kata si pengemis tua Souw Cie Kay dengan girang. „Taysu telah memberikan kelonggaran kepadaku si rendah.” Kemudian dia melambaikan tangannya memanggil seorang pengemis kecil, dia mengambil golok yang diacungkan kepadanya.

In-lap Siansu hanya mengawasi, karena dia sama sekali tidak mengerti apa yang ingin dilakukan oleh pengemis itu.

Tetapi, dengan tidak terduga, si pengemis telah mengacungkan goloknya, menggerakkan membacok lututnya sendiri.

Tentu saja In-lap Siansu jadi kaget setengah mati, dia ingin mengulurkan tangannya untuk menolongi lutut si pengemis tua itu. Tetapi karena dia memang dalam keadaan terluka dan belum sembuh, gerakannya jadi lambat dan apa yang ingin dilakukannya itu tidak kesampaian.

Tanpa mengeluarkan jeritan bahkan dengan mulut masih tersenyum dan berulang kali mengucapkan terima kasih, lutut kiri dari si pengemis tua itu telah tertabas putus oleh goloknya sendiri, darah juga segera mengucur. Tanpa memperlihatkan perasaan sakit, si pengemis telah melambaikan tangannya, seorang pengemis kecil telah membawakan kain pembalut.

Luka di lututnya itu telah dibalutnya. Kemudian dengan cepat dia telah berlutut lagi, menyatakan terima kasih kepada In-lap Taysu.

Lalu dengan dipayang oleh beberapa orang pengemis, dia menghadapi Yo Him, katanya. “Kongcu, aku telah berterima kasih kongcu mau mengampuni jiwaku si Souw rendah ini, tetapi untuk ini, walaupun kongcu memerintahkan aku harus terjun di lautan api, tidak nantinya aku menolak, karena budi kongcu tidak mungkin terbalas dengan jiwaku saja!”

Melihat demikian patuhnya orang-orang Kay-pang, yang demikian ketakutan jika melakukan suatu kesalahan, bukan main perasaan kagum di hati Yo Him. Dia hanya merasa menyesal mengapa Souw Cie Kay harus membuntungi kakinya sendiri.

Yo Him sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa sesungguhnya memang sudah menjadi peraturan di dalam Kay-pang, setiap anggota yang melakukan suatu perbuatan salah, tentu harus menerima hukuman yang berat. Dan jika memang orang itu diampuni, tentu orang tersebut tidak akan tenang, maka dengan melakukan perbuatan seperti yang dilakukan Souw Cie Kay, barulah hatinya menjadi tenang. Itupun dia masih berterima kasih bahwa jiwanya telah diampuni oleh Yo Him! Setelah itu dengan dipayang oleh pengemis-pengemis lainnya, Souw Cie Kay berlalu meninggalkan tempat itu.

In-lap Siansu menghela napas berulang kali, dia jadi menyesal bukan main atas terjadinya urusan seperti ini. Berulang kali dia telah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengucapkan kebesaran sang Buddha.

Saat itu Yo Him telah menghampiri In-lap Siansu. „Bagaimana Taysu, apakah lukamu tidak membahayakan?” tanya Yo Him dengan suara yang ramah.

Si hweshio berusaha tersenyum. „Untung saja ada kau, adik kecil!” katanya dengan suara yang bersyukur, „kalau tidak tentu aku telah binasa!”

„Tetapi semua itu terjadi hanya disebabkan oleh suatu kesalahan pengertian belaka!” kata Yo Him. „Dan celakanya justru aku tidak ingat sejak siang-siang bahwa aku memiliki hadiah Kim-pay dari Wie Tocu. Coba kalau memang semula aku mengeluarkannya, tidak sampai Taysu harus menderita luka seperti ini!”

„Sudahlah!” kata In-lap Siansu. „Tetapi siapakah Wie Tocu yang kau katakan itu?”

Yo Him menggeleng.

„Akupun tidak tahu!” katanya. „Kami hanya bertemu secara kebetulan dan Wie Tocu mengajak aku untuk angkat saudara, sehingga untuk selanjutnya aku memanggil Wie Tocu dengan sebutan Wie Toako, sedangkan dia memanggil aku Yo Hiante! Hemm, sebagai kenang-kenangan, dihadiahkannya kepadaku sebuah Kim-pay ini!” Kemudian Yo Him menceritakan pengalamannya itu, dimana dia telah bertemu dengan Wie Tocu.

Bukan main kagumnya In-lap Siansu. „Siancay! Siancay! Rupanya bukan hanya Lolap yang melihat bahwa kau adik kecil adalah seorang yang luar biasa!” kata si pendeta. „Lihatlah, sampai Wie Tocu bersedia mengangkat kau sebagai adiknya dan menghadiahkan lencana kebesarannya itu, yang menunjukkan kekuasaan yang sangat besar di kalangan pengemis!”

Yo Him cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah.

Sedangkan In-lap Siansu telah berdiam diri termenung seperti ada yang dipikirkan. Sedangkan orang-orang yang tadi ramai menyaksikan perkelahian telah bubar.

„Apa yang tengah Taysu pikirkan?” tanya Yo Him kemudian waktu melihat sikap pendeta itu.

„Tidak ada apa-apa yang kupikirkan..... hanya saja, sangatlah memalukan jika aku menyampaikan isi hatiku!” kata si hweshio.

„Mengapa begitu?” tanya Yo Him jadi heran sekali.

„Karena justru di saat ini aku tengah memikirkan untuk, mengajakmu mengangkat saudara.....” kata si hweshio kemudian.

„Hah?” tanya si anak she Yo terkejut.

„Nah, tadi Lolap telah mengatakan, betapa memalukan sekali urusan tersebut, jika sampai adik kecil menolaknya!” kata In-lap Siansu.

Yo Him kemudian tertawa. „Justru aku yang kaget mendengar orang sehebat Taysu bersedia angkat saudara denganku!” Kata Yo Him. „Apa kebisaanku?”

“Wie Tocu merasa bersyukur memiliki adik seperti kau, maka terlebih aku!” kata In-lap Siansu.

Sedangkan saat itu Yo Him telah mengangguk. “Baiklah Taysu, mari kita angkat saudara kepada langit dan bumi” kata Yo Him.

Dan setelah berkata begitu Yo Him telah berlutut sambil menyoja, dan begitu pula In-lap Siansu telah berlutut juga. Dengan disaksikan oleh langit dan bumi mereka telah angkat saudara. Masing-masing mengeluarkan sumpahnya.

„Karena usiaku lebih muda dari Wie Tocu maka kau bisa memanggil aku sebagai Jie-ko (kakak kedua) saja!” kata si pendeta dengan sabar. “Dan kau Hiante, engkau menjadi Sam-te adik ketiga!”

Yo Him girang sekali, dan dia juga telah berkata,”Urusan yang menggembirakan ini harus cepat-cepat diberitahukan kepada Toako!”

„Benar!”

“Hanya saja, belum tentu kita bisa bertemu pula!”

„Mengapa begitu?”

„Karena justru aku ingin berkelana dulu, merantau seorang diri.”

„Ahhhh, Sam-te, kita berkelana berdua saja!” saran si pendeta.

„Jika memang Jie-ko tidak memiliki urusan apa-apa, apa salahnya? Bukankah lebih menggembirakan?” menyahuti Yo Him.

Maka dengan gembira mereka telah memasuki rumah makan itu lagi. Mereka makan dan minum sepuasnya, seperti juga tengah merayakan hari pengangkatan saudara itu.

Rupanya, yang satu kecil dan yang seorangnya tua bangka, namun diantara mereka terdapat kecocokan yang serasi sekali. Mereka berdua telah bercakap-cakap dengan asyik sekali sampai lupa waktu.

Di saat hari telah larut malam, barulah mereka memesan sebuah kamar dan tidur sepembaringan! Keesokan paginya barulah mereka melanjutkan perjalanan lagi.

Y

Dengan adanya In-lap Siansu sebagai kawan seperjalanannya, maka Yo Him dapat melakukan perjalanan dengan gembira, karena ada kawan yang bisa diajak bercakap-cakap. Selama dua bulan mereka telah menjelajahi puluhan kampung dan belasan kota.

Selama itu pula In-lap Siansu telah melihatnya bahwa Yo Him sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Tentu saja pendeta ini jadi heran.

Begitulah pada suatu hari, di saat mereka berada di kamar penginapan yang terletak di kota kecil Fang-cia-kwan, di saat mana In-lap Siansu akan mulai menceritakan keadaan di dalam rimba persilatan seperti hari-hari yang lalu, pendeta itu sengaja telah bertanya kepada Yo Him, „Sam-te, menurut penglihatan Jie-komu, tampaknya kau sama sekali tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat, benarkah itu?”

Yo Him mengangguk.

„Untuk mendengar pengalaman-pengalaman Jie-ko mengenai rimba persilatan, aku tertarik sekali..... tetapi untuk mempelajari ilmu silat, itulah urusan lain..... aku sama sekali tidak tertarik.”

„Kenapa?” tanya In-lap Siansu tertarik.

Yo Him menceritakan pengalamannya yang pernah menyaksikan tanpa sengaja, dimana pendeta-pendeta dari Kun-lun-pai yang telah dibinasakan oleh empat orang Mongolia. Ratusan orang gagah dan imam-imam dari Kun-lun-sie itu semuanya mengerti ilmu silat, tetapi mereka telah terbunuh dengan cara yang begitu mengenaskan sekali.

In-lap Siansu juga terkejut mendengar peristiwa hebat yang telah menimpa imam-imam Kun-lun-pai. Setidak-tidaknya urusan itu baru didengarnya, dan dia heran sekali pendeta-pendeta Kun-lun-pay yang lihay-lihay itu, bahkan Ma-liang Cinjin yang berada di atas kepandaiannya, bisa dibinasakan oleh pendeta Mongolia bersama ketiga kawannya itu.

„Siapakah orang-orang Mongolia yang hebat-hebat itu?” tanya In-lap Siansu dengan heran sekali.

„Entahlah, aku pun tidak mengetahuinya! Hanya sejak saat itulah aku jadi berpikir bahwa seseorang yang mempelajari ilmu silat, tentu akan menghadapi bahaya yang tidak kecil di setiap saat.”

„Tetapi, salah Sam-te pandanganmu itu! Justru disebabkan ilmu silat mereka kurang sempurna, maka imam-imam Kun-lun-pai dan orang-orang gagah itu telah dibinasakan olen orang-orang Mongol itu! Coba mereka memiliki kepandaian yang sempurna, bukankah mereka akan berhasil membinasakan keempat orang Mongol jahanam itu!”

Yo Him menggeleng perlahan. „Tetapi aku sama sekali tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat……” katanya.

„Jika memang demikian, akupun tidak ingin memaksanya,” kata si pendeta.

Dan mulailah In-lap Siansu menceritakan perihal keadaan Kang-ouw. Bermacam-macam cerita yang dikisahkannya, dan memang Yo Him juga tertarik benar akan cerita ceritanya itu. Terlebih lagi jika In-lap Siansu tengah menceritakan sepak terjang orang-orang gagah di dalam rimba persilatan, yang umumnya membela pihak yang lemah dan memberantas si kuat jahat.

„Memang jika di dalam kalangan Kang-ouw terdapat banyak orang-orang gagah, tentu kejahatan semakin sedikit!” kata Yo Him setelah mendengar cerita si pendeta.

In-lap Siansu tertawa. „Sam-te, itulah sebabnya Jie-komu ini memaksa engkau untuk mempelajari ilmu silat! Sekali lagi Jie-komu rewel menganjurkan kau mempelajari ilmu silat, agar kelak kau bisa menjadi salah seorang ho-han dan eng-hiong untuk memberantas si jahat! Dengan demikian, bukankah engkau akan membantu berlaksa manusia yang bersengsara?”

Yo Him tersenyum sambil menggeleng. „Sudah kukatakan Jie-ko, bahwa aku tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat. Tetapi aku pernah mempelajari ilmu olah raga untuk menyehatkan tubuh!”

„Ilmu menyehatkan tubuh? Apakah itu?” tanya In-lap Siansu tertarik.

Dan Yo Him telah turun dari pembaringan, dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Gerakannya perlahan, dan lembut sekali, tetapi gerakan-gerakan tangan dan kaki Yo Him yang seperti anak-anak yang tengah main petak itu justru telah membuat mata In-lap Siansu jadi terpentang lebar-lebar. Dia memandangi Yo Him dengan mulut yang terpentang lebar dan muka pucat disamping juga matanya tetap terbuka besar-besar.

Yo Him telah menyelesaikan latihannya, dan ketika melihat keadaan kakak angkatnya yang kedua itu dia jadi kaget bukan main.

„Jie-ko, kenapa kau?” tanya Yo Him kemudian sambil menepuk bahu kakak angkatnya itu.

„Kau….. kau.....?” suara In-lap Siansu tidak lancar.

Tentu saja Yo Him tambah heran. „Jie-ko!” panggilnya lebih keras.

In-lap Siansu menghela napas, dia menyebut kebesaran sang Buddha berulang kali. Kemudian dengan sikap yang luar biasa, In-lap Siansu telah berkata.

„Sam-te, bicaralah terus terang, siapakah engkau sesungguhnya?” tanya In-lap Siansu.

Yo Him jadi tertegun, tapi kemudian tertawa. „Akhh, Jie-ko kau ini benar-benar aneh!” kata Yo Him kemudian.

„Bukan aneh, bukan aneh,” kata In-lap Siansu dengan suara bersungguh-sungguh. „Telah berbulan-bulan engkau berhasil menyembunyikan kepandaian kelas satu dari mataku!”

„Kepandaian kelas satu?” tanya Yo Him dengan nada kaget dan heran. „Apa maksudmu Jie-ko?”

Si pendeta menghela napas.

„Pantas saja kau tidak mau mempelajari ilmu silat lain yang tidak ada artinya, ternyata engkau telah memiliki ilmu mujijat yang luar biasa sekali! Sungguh hebat! sungguh hebat! Kepandaian yang kumiliki tidak ada seperseratusnya! Dengan hanya memutar jari telunjukmu saja, engkau bisa membinasakan aku! Pantas saja Wie Tocu begitu bersyukur memiliki adik angkat seperti kau! Tetapi aku….. aku mana pantas menjadi kakak angkatmu!” Dan kembali hweshio itu telah berulang kali menyebut-nyebut kebesaran sang Budha.

12.24. Siapakah Engkau Sebenarnya?

Yo Him jadi bingung sekali melihat sikap si hweshio, akhirnya dia telah bertanya dengan memperlihatkan sikap yang bersungguh-sungguh.

„Jie-ko, mari kita bicara yang sesungguhnya, jangan kau membuat adikmu menjadi bingung tidak keruan!” kata Yo Him. „Sesungguhnya apa maksudmu itu?”

„Kau ternyata memiliki kepandaian yang hebat sekali, Yo Sam-te! Kau telah menipu kakakmu ini, kau tidak mau memberitahukan kepadaku bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga aku selamanya menganggap kau tidak memiliki kepandaian apa-apa.”

„Aku memang sesungguhnya tidak memiliki kepandaian apa-apa..... dan juga belum pernah mempelajari ilmu silat!” kata Yo Him bersungguh-sungguh.

„Akhh, engkau masih berkata begitu, adikku?” tanya In-lap Siansu dengan suara agak keras. „Tadi jurus-jurus dari ilmu pedang nomor satu tiada taranya dijagad ini, yaitu Giok-lie-kiam-hoat dan ilmu pukulan dari Kiu-im-cin-keng telah kau mainkan dengan baik? Bukankah ilmu itu merupakan ilmu-ilmu silat nomor satu yang tiada taranya dikolong langit ini?”

Yo Him jadi tertegun. „Apa maksudmu Jie-ko?” tanyanya.

„Kau masih pura-pura tidak mengerti atau engkau menganggap Jie-ko mu terlalu tolol sehingga kau bisa perbodohi terus menerus?”

„Tetapi aku sungguh-sungguh tidak mengerti ilmu silat apa-apa!”

In-lap Siansu tersenyum, katanya sabar.

„Kau memang luar biasa Sam-te! Baiklah! Kalau memang kau keberatan untuk menceritakan asal usul dirimu, mungkin ada sesuatu yang sulit kau jelaskan, Jie-komu juga tidak akan mendesak terus. Tetapi yang terpenting, kau mengakui bukan bahwa kau memiliki ilmu tanpa tandingan di bawah langit ini?”

„Ilmu apa?”

„Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat!”

„Akh?” Benar-benar Yo Him bingung sekali. Akhir nya setelah berpikir sejenak, karena diapun cerdas maka dia bisa menduga-duga mengapa kakak angkatnya itu bersikap demikian.

„Apakah ilmu yang tadi kuperlihatkan? Ya itu ilmu olah raga untuk menyehatkan tubuh!” tanya Yo Him akhirnya.

„Sungguh luar biasa! Ilmu sehebat itu yang tiada duanya dikolong langit ini kau sebut sebagai ilmu menyehatkan tubuh!”

„Sungguh Jie-ko, aku mempelajari ilmu itu justru dari seekor rajawali!”

„Hah?” muka In-lap Siansu jadi berobah pucat, kemudian dengan suara perlahan dia telah menggumam. „Benar, benar dugaanku! Benar dia.....!”

Yo Him jadi heran dan penasaran. „Jie-ko, kau jangan bersikap begitu, karena selain membingungkan juga diliputi teka-teki! Tidak bisakah kau bicara terus terang?”

Si pendeta telah mengawasi Yo Him dengan sorot mata dalam-dalam, kemudian dengan tiba-tiba sekali dia menepuk lututnya keras-keras.

„Engkau she Yo, bukan?” tanyanya cepat.

„Benar, kau sudah mengetahuinya sejak beberapa bulan yang lalu, Jie-ko!” menyahuti Yo Him.

Dan dengan tidak terduga In-lap Siansu telah bangkit berdiri, dia telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

„Sam-te, terimalah hormat dari Jie-komu, dan apakah Sin-tiauw Tayhiap baik-baik saja?” tanya In-lap Siansu dengan suara menghormat sekali.

„Sin-tiauw Tayhiap? Siapa dia?” tanya Yo Him akhirnya bertambah bingung, dia juga jadi sibuk untuk menghindar dari penghormatan pendeta itu.

„Yo Sam-te, kau jangan begitu!” kata In-lap Siansu. „Jangan kau memungkiri terus bahwa kau adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Liehiap Siauw Liong Lie!”

„Akhh!” mata Yo Him terpentang lebar-lebar.

Si hweshio melihat Yo Him dalam keadaan tertegun dan heran seperti itu, dan kembali In-lap Siansu tambah heran juga. „Apakah benar-benar engkau tidak mengenal siapa Sin-tiauw Tayhiap dan Siauw Liong Lie Liehiap, sepasang pendekar besar di jaman ini?” tanyanya bersungguh-sungguh.

Yo Him menggeleng. „Mendengarnya saja baru kali ini.....!” menyahuti Yo Him.

„Engkau she Yo, juga memiliki kepandaian Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat, ilmu-ilmu yang dimiliki Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Liehiap Siauw Liong Lie..... maka heranlah jika engkau mengatakan antara dirimu tidak ada hubungannya dengan mereka.....?” Penasaran sekali suara si hweshio, dia berkatapun sambil mengawasi tajam sekali kepada Yo Him.

Yo Him jadi mengerutkan sepasang alisnya dalam-dalam, dia heran bukan main mendengar In-lap Siansu, si Jie-ko itu, berkeras bahwa dia ada hubungan dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Sedangkan kedua orang itu memang tidak dikenalnya, mendengar namanya saja baru kali ini.

Tetapi sebagai seorang anak yang cerdas, mengingat bahwa dia sejak bayi dirawat oleh seekor burung rajawali, yang juga tampaknya cerdik serta sakti sekali, maka mungkin juga antara Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dengan rajawali sakti (Sin-tiauw) yang merawatnya itu ada hubungannya. Atau boleh jadi juga dirinya memiliki hubungan yang erat dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie. bukankah diapun she Yo? Karena berpikir begitu, maka Yo Him jadi tertarik sekali menghadapi persoalan seperti ini.

Segera juga dia menanyakan kepada In-lap Siansu, siapakah sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu? Dan siapa pula Siauw Liong lie.

In-lap Siansu setelah berdiam sejenak, segera menceritakan sepak terjang Yo Ko, pendekar nomor satu dijaman ini. Bagaimana Yo Ko telah membela yang lemah dari tindasan si kuat jahat, bagaimana Yo Ko juga telah membantu pemerintahan Song untuk mengusir pasukan perang tentara Mongolia dengan membinasakan Kaisar Mangu.

Mendengar semua itu, Yo Him. jadi merasa kagum kepada pendekar besar itu. Walaupun dia belum pernah melihat bagaimana rupa dari pendekar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu, namun dia membayangkannya dari bayang-bayang yang digambarkan oleh In-lap Siansu, seorang pendekar gagah yang bermuka tampan memiliki tangan tunggal, yaitu tangan kirinya, dengan seekor burung rajawali saktinya..... Dan juga mengenai kegagahan Siauw Liong Lie dengan Giok-lie-kiam-hoatnya membuat Yo Him benar-benar menaruh hormat akan sifat kesatrianya pendekar wanita itu.

„Seperti kau lihat, mereka itu memiliki kepandaian yang sempurna sekali, maka mereka dapat melakukan pekerjaan besar. Tetapi jika mereka memiliki pendirian seperti kau yang tidak ingin mempelajari ilmu silat, bagaimana mereka bisa melakukan pekerjaan besar seperti itu?” kata In-lap Siansu mengakhiri ceritanya.

Yo Him jadi duduk terpekur di tempatnya, dia tengah membayangkan kegagahan Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Betapa kagumnya dia mendengar juga perihal kegagahan Oey Yok Su, Kwee Ceng dan Oey Yong. Begitu pula dia kagum mendengar kehebatan kepandaian Loo Boan Tong. Banyak orang-orang gagah dimasa itu yang diceritakan oleh In-lap Siansu, termasuk juga See-tok, Pak-kay, yaitu Ang Cit Kong, dan yang lainnya lagi.

“Dan jika melihat she yang kau pergunakan, yaitu she Yo juga, dan ilmu yang kau perlihatkan tadi adalah ilmu simpanan dari kedua pendekar besar itu, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie, maka aku yakin kau memiliki hubungan yang erat dengan mereka.....!”

Yo Him hanya berdiam diri saja, sedangkan pikirannya tengah bekerja dengan keras. Akhirnya Yo Him menceritakan kepada In-lap Siansu, justru dia berkelana seperti sekarang ini adalah untuk menyelidiki asal usulnya. Karena itu dia tidak mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya. Siapa ayahnya dan siapa ibunya! Sejak kecil dia hanya dirawat oleh Sin-tiauw itu yang akhirnya telah lenyap di dekat jurang tidak pernah muncul kembali.

Mendengar cerita Yo Him, sepasang alis In-lap Siansu mengerut. Setelah mengucapkan beberapa kali kebesaran sang Budha, akhirnya In-lap Siansu berkata.

„Akhir-akhir ini memang Jie-komu sering mendengar bahwa di selatan telah muncul beberapa orang jago yang hebat-hebat, menurut keterangan sementara orang yang telah kembali dari sana, menyatakan orang-orang yang memiliki jiwa kesatria itu tidak lain dari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, Oey Yong, Kwee Ceng, It-teng Taysu. Hanya saja yang membuat Lolap kurang mempercayai keterangan itu, justru tidak disebut-sebutnya Siauw Liong Lie. Dimana ada Yo Ko, tentu ada isterinya, yaitu Siauw Liong Lie. Maka dari itu, aneh sekali jika hanya ada Yo Ko. Sampai Lolap juga ingin menduga apakah orang itu ingin menjual nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, untuk malang melintang di dunia persilatan?”

„Apakah Jie-ko telah pergi ke selatan untuk menyelidikinya?” tanya Yo Him tertarik.

„Semula memang Lolap bermaksud pergi ke sana, tetapi setelah Lolap berpikir-pikir secara masak-masak, percuma saja. Karena kepandaian yang dimiliki Lolap sangat rendah sekali. Jika memang benar orang-orang gagah itu Yo Ko adanya bersama Kwee Ceng, Oey Yong dan It-teng Taysu ataupun Ciu Pek Thong, tentu Jie-komu tidak akan mengalami suatu ancaman bahaya apa-apa, tetapi jika mereka hanya menjual nama Sin-tiauw Tayhiap untuk kepentingan diri pribadi mereka sendiri, dan mereka merupakan penjahat-penjahat murahan, bukankah lolap akan menghadapi bahaya yang tidak kecil? Jelas lolap tidak akan dapat mempertahankan diri membiarkan orang merusak nama baik Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan lainnya, tetapi untuk melawan mereka juga tidak akan sanggup. Sebab menurut cerita orang-orang yang pernah melihat mereka bertempur, kepandaian orang itu luar biasa sekali, dan sulit untuk diukur!”

Yo Him menghela napas panjang. “Bagaimana kalau kita pergi ke selatan untuk melihat benar atau tidaknya berita itu?” tanya Yo Him kemudian memajukan sarannya.

Si hweshio bimbang sejenak, tetapi kemudian dia telah mengangguk. „Jika memang Sam-te bermaksud begitu maka Jie-komu hanya menurut saja,” kata si hweshio. „Hanya, Sam-te belum menjelaskan, sesungguhnya ada hubungan apakah antara Sam-te dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie?”

„Apa yang telah adikmu jelaskan, semuanya itu tidak dusta.....!” kata Yo Him. „Nanti jika memang orang-orang gagah yang berada di selatan itu benar-benar terdapat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, kita boleh menanyakannya, mungkin pendekar besar itu jauh lebih tahu mengenai keadaan diriku, yang kebetulan she Yo juga dan dirawat oleh seekor burung rajawali! Hanya yang hampir tidak masuk dalam pikiran, justru aku dibesarkan di Utara, sedangkan saat sekarang mereka berkumpul di selatan, itulah tempat yang sangat berlainan satu dengan yang lainnya!”

In-lap Siansu juga telah menghela napas. „Di dalam dunia memang sering terjadi urusan yang aneh dan hampir tidak bisa dibayangkan atau tidak bisa masuk dalam akal sehat! Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan asal usul dirimu, Sam-te, akan dapat diketahui dengan jelas!”

Yo Him akhirnya teringat kepada beberapa macam barang yang disimpannya, dimana barang-barang itu adalah pemberian rajawali sebelum hari terakhir kematiannya itu.

Semula Yo Him bermaksud untuk memperlihatkan benda-benda itu, namun akhirnya dia membatalkan. Walaupun In-lap Siansu telah mengangkat saudara dengannya, tetapi jika urusan keturunannya belum jelas, mengapa dia harus memperlihatkan barang-barang itu? Dia bermaksud baru memperlihatkannya nanti kepada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang kebetulan sekali juga she Yo pula.

Begitulah, mereka telah memutuskan untuk berangkat menuju ke arah selatan.

<> 

Kalangan jago-jago rimba persilatan, umumnya memang sering merantau untuk mencari pengalaman dan juga pesiar di tempat-tempat yang indah. Begitu juga dengan In Lap Siansu. Pendeta ini adalah seorang pendeta perantauan yang gemar sekali berkelana dari kota yang satu ke kota yang lainnya.

Kini dia melakukan perjalanan bersama Yo Him, maka itu hatinya jadi gembira sekali di saat mereka telah tiba di daerah selatan tersebut. Tujuan mereka adalah Kang-lam, dimana tempat tersebut terkenal akan keindahannya, terkenal akan kecantikan gadis-gadisnya, terkenal juga sebagai tempat yang seringkali dikunjungi pujangga dan penyair. Bahkan Kang-lam pernah menjadi tempat dan daerah kekuasaan Kang-lam Cit-koay, guru-gurunya Kwee Ceng, dimana ketujuh Manusia Aneh itu adalah keturunan dari daerah tersebut. Disamping Kang-lam Cit-koay! Kang-lam memang merupakan tempat yang banyak sekali didatangi Pendekar-pendekar silat kelas utama, yang akhirnya memilih tempat tersebut sebagai kampung halaman mereka.

Pemandangan yang ada di sekitar daerah Kang lam indah sekali, walaupun musim dingin mulai tiba. Salju yang turun ringan dan tipis-tipis itu ternyata menimbulkan pemandangan yang sejuk dengan warnanya yang putih cemerlang. Betapa sucinya salju-salju itu, yang putih bagaikan putihnya kapas dan lembut selembut sutera.

Yo Him tidak hentinya memuji akan keindahan daerah selatan tersebut, terlebih lagi ketika mereka tiba di muka kampung Liang-kuang-cung, sebuah daerah pinggiran di kota Kang-lam tersebut. Pohon-pohon yang mulai gundul itu tidak menyebabkan rusaknya keindahan di daerah Kang-lam. Gadis-gadisnya yang terkenal dengan kulitnya yang halus lembut dengan sikap dan gerak gerik mereka yang menawan, telah terkenal sekali.

In-lap Siansu telah mengatakan kepada Yo Him.

„Jika saja kita berhasil menemui jago-jago itu, dan mereka memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan pendekar-pendekar lainnya, maka Lolap telah puas, mati dapat dengan mata yang meram. Sulit sekali untuk menjumpai mereka..... bertemu saja sulit sekali.”

Yo Him girang bukan main, sebagai seorang anak berusia delapan tahun, tetap saja Yo Him masih sering memiliki sifat kekanak-kanakan, karena walaupun bagaimana dia masih gemar bermain dan bersenang-senang. Maka di saat In-lap Siansu mengajaknya untuk bermain-main perahu, Yo Him segera menyetujuinya.

Dengan menyewa sebuah perahu, mereka telah berlayar perlahan-lahan di sungai-sungai yang banyak terdapat di sekitar daerah Kang-lam. Harus diketahui, jika di darat orang mempergunakan kuda sebagai binatang pengangkut maka justru perahu merupakan alat pengangkutan penting sebagai kendaraan air..... maka dari itu, tidak mengherankan setiap sungai selalu penuh oleh perahu yang hilir mudik.

Sambil meneguk teh mereka yang hangat, In-lap Siansu dan Yo Him menikmati keindahan di sekitar sungai dimana perahu mereka berlayar. Sedangkan di pinggir tepi sungai itu, tampak pohon-pohon Yang-liu yang mulai gundul dan sebagian tertutup oleh lapisan salju.

Saat itu Yo Him tiba-tiba menunjuk ke arah depannya.

„Jie-ko.....kau lihat!”

In-lap Siansu telah menoleh dan dia melihat dua buah perahu tengah saling kejar. Mereka masih terpisah dalam jarak yang cukup jauh, tetapi In-lap Siansu telah cepat-cepat mengayuh perahunya ke tepi, karena dia kuatir kalau-kalau nanti perahunya ditabrak oleh kedua perahu yang tengah saling kejar itu.

Kedua perahu itu memang tengah saling kejar dengan cepat, dan ketika kedua perahu itu meluncur semakin dekat, In-lap Siansu dan Yo Him mulai mendengar suara bentakan-bentakan yang keras dan bengis sekali.

„Siangkoan Lin-lie! Hentikan perahumu! Jika tidak kalian jangan menganggap aku keterlaluan!” teriak seorang lelaki bercambang berewok kasar di perahu yang lainnya yang mengejar.

Tetapi perahu yang di depan tetap saja meluncur dengan cepat sekali tanpa memperdulikan ancaman dan teriakan orang bermuka kasar itu.

Rupanya orang yang berewok kasar itu sudah habis sabar, dari dalam perahunya dia telah mengeluarkan sebuah jangkar besi yang tampaknya beratnya seribu kati lebih. Tetapi jangkar besi itu telah diangkatnya dengan mudah dan ringan sekali, tampaknya lelaki berewok itu sama sekali tidak mengeluarkan tenaga untuk mengangkat jangkar besi tersebut.

Hal itu telah membuktikan bahwa tenaga yang dimiliki orang berewok itu sangat besar dan luar biasa sekali, menyebabkan In-lap Siansu jadi kagum bukan main.

„Hebat orang itu, jangkar besi seribu kati lebih dapat diangkatnya dengan begitu mudah dan ringan!” bisik In-lap Siansu kepada Yo Him.

Yo Him hanya mengangguk sambil mengawasi terus.

„Tampaknya akan terjadi perkelahian! Rupanya mereka saling kejar mengejar bukan tengah bermain perahu, tetapi untuk saling bertempur!” kata Yo Him kemudian.

„Benar!” mengangguk In Lap, „Tampaknya orang yang berada di perahu di depan itu tidak mau melayaninya, atau memang kepandaiannya masih berada di bawah kepandaian orang berewok itu. Maka dia bermaksud melarikan diri, menjauhkan perahunya dari perahu si berewok itu.”

Yo Him mengangguk.

„Tetapi tidak lama lagi tentu akan dapat dikejar!” bisik In Lap lagi.

Yo Him melihat perahu yang kedua itu telah meluncur semakin mendekati perahu yang pertama itu. Rupanya orang yang menggerakkan pengayuh perahu kedua itu sangat kuat sekali, setiap kayu pengayuh itu digerakkan, perahu seperti terbang meluncur di permukaan air. Sedangkan orang yang berada di perahu pertama itu, yang tengah dikejar, tampaknya telah menjadi gugup sekali, dia sampai memperdengarkan seruan tertahan.

Saat itu jarak perahu Yo Him dengan perahu yang tengah dikejar oleh lelaki berewok itu sudah makin dekat jaraknya, dan Yo Him maupun In-lap Siansu sudah dapat melihat jelas wajah orang yang mendiami perahu pertama itu.

Ternyata di dalam perahu itu terdapat tiga orang. Seorang lelaki berusia setengah baya, kurang lebih berusia limapuluh tahun, tengah menggerakkan pengayuh perahunya dengan tergesa dan cepat-cepat sekali, mukanya pucat, jenggotnya yang pendek sebagian telah putih. Dua orang lainnya yang berada di perahu itu dua orang wanita. Seorang wanita yang berusia empatpuluh tahun lebih dan gadis kecil berusia sebelas-duabelas tahun.

Si gadis kecil itulah yang berdiri di buritan perahu sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang sambil berseru. „Musuh telah datang dekat, musuh telah dekat!” Tentu saja teriakan si gadis cilik itu telah membuat si lelaki setengah baya itu jadi semakin gugup.

„Walaupun bagaimana kita harus dapat meloloskan diri dari kejaran mereka!” kata wanita berusia empatpuluhan itu, yang rupanya menjadi ibu si gadis kecil itu, mukanya juga pucat, tubuhnya tampak sering menggigil, matanya liar ketakutan bukan main.

Si gadis kecil itu telah berteriak lagi. „Mereka telah mempergunakan jangkar besi, yang siap untuk ditimpukkan ke arah perahu kita..... cepat ayah, cepat ayah, kita harus berusaha menjauhi, kalau jangkar besi itu menimpah perahu kita, celakalah kita.....!” Sambil berteriak-teriak begitu, si gadis cilik itu tampaknya gugup sekali.

Sedangkan lelaki berusia limapuluhan, yang memelihara jenggot pendek yang sebagian telah putih itu, semakin cepat dan kuat mengayuh perahunya. Dan ibu si gadis cilik itu juga telah membantui mengayuh.

Tampaknya mereka bertiga memang tengah ketakutan sekali, keringat tampak menitik dari kening si lelaki dan wanita tua itu, sedangkan si gadis cilik masih terus berteriak-teriak memberitahukan keadaan dan perkembangan musuh!

Yo Him yang melihat ketiga orang itu dalam ketakutan, dan juga melihat si lelaki berewok yang mengejar di belakang itu memegang jangkar besi, mengancam akan menimpuk, dia jadi merasa kasihan dan iba kepada ketiga buronan itu.

In-lap Siansu juga telah mengerutkan sepasang alisnya.

„Ini urusan dunia Kang-ouw, kita tidak boleh mencampuri.....!” bisik In-lap Siansu kepada Yo Him.

Di saat dia melihat Yo Him menoleh kepadanya, seperti ingin membuka mulut menganjurkan agar In-lap Siansu menolongi ketiga orang itu. „Tetapi mereka terancam, Jie-ko, jika saja jangkar besi itu menimpah perahu mereka, niscaya mereka akan terbalik dan terluka!”

,,Akhh, kau belum mengerti peraturan dunia Kang-ouw, Sam-te, di dalam rimba persilatan selalu terdapat urusan yang berbelit. Semula, pihak yang kita duga jahat, bisa menjadi pihak yang benar dan baik, sedangkan pihak yang semula kita duga baik, malah kenyataannya lain seperti ular beracun!”

„Tetapi ketiga orang itu, si gadis kecil dengan kedua orang ibu dan ayahnya, tentunya bukan orang jahat! Kau harus menolongi mereka, Jie-ko!”

In-lap Siansu tidak menyahuti, dia hanya mengawasi dalam-dalam dan tajam sekali kepada kedua perahu yang tengah saling kejar itu dan telah berada dekat sekali dengan perahu mereka.

„Siangkoan Lin Lie!” terdengar lelaki berewok itu telah berteriak lagi dengan suara yang bengis sekali. „Jika memang kau tetap tidak mau menghentikan perahu kalian, lihatlah, kami akan segera melempar!” Sambil berteriak begitu, si berewok telah menggerak-gerakkan jangkarnya.

„Celaka!” mengeluh lelaki tua yang sedang mengayuh perahunya. „Kita akan kelebuh!”

„Ya, inilah hebat!” berseru wanita disampingnya. Muka mereka pucat.

Sedangkan si gadis cilik yang berdiri diburitan telah berseru lantang. „Ayah, ibu! Lihat mereka sudah bersiap-siap untuk melontarkan jangkar besi itu!” Suaranya tetap keras, tetapi di dalam nadanya tergetar, menunjukkan bahwa gadis kecil ini dalam keadaan panik dan ketakutan.

Lelaki dan wanita yang menjadi ibu si gadis kecil itu telah mengayuh semakin cepat saja. Tetapi walaupun bagaimana perahunya itu tidak berhasil menjauhi perahu pengejarnya. Bahkan ketika perahu si gadis cilik itu berjajar dengan perahu Yo Him dan In-lap Siansu justru di saat itu pula lelaki berewok itu telah melontarkan jangkarnya ke arah perahu si gadis cilik. Suara menderu dari beratnya jangkar itu melayang di tengah udara menyeramkan sekali.

Si gadis cilik mengeluarkan suara seruan tertahan, sedangkan lelaki tua dan wanita setengah baya itu putus asa dengan muka mereka yang pucat.

„Celaka!” berseru In-lap Siansu. „Kita pun akan bercelaka! Jika jangkar itu menghantam perahu mereka, berarti akan menimbulkan gelombang hebat dan akan menyebabkan perahu kitapun akan terbalik atau ikut terhajar remuk oleh jangkar itu!”

Yo Him jadi kaget, dia memasang mata tajam-tajam, dilihatnya jangkar telah menyambar datang dan hanya terpisah beberapa tombak lagi saja.

Hati Yo Him jadi tercekat, namun di saat itu juga In-lap Siansu telah mengempos seluruh tenaganya di kedua pundaknya, dia telah melompat berdiri di ujung perahunya, diapun mengangkat kedua tangannya, kemudian bersiap-siap dengan kuda-kuda kedua kakinya untuk menyambuti jangkar yang berat itu.

„Wutt.....!” jangkar besi itu telah berhasil diterima oleh In-lap Siansu dengan mempergunakan kedua tangannya. Tubuh In-lap Siansu tergetar keras, dan kakinya agak gemetar. Ujung perahu juga agak tertekan dan masuk ke dalam permukaan air.

Inilah celaka! Jika sampai terlambat untuk mengimbangi keseimbangan yang ada, niscaya perahu In-lap Siansu akan terbalik!

Untung saja lelaki tua yang tadinya sudah berputus asa, yang tadi mengayuh perahunya gadis cilik itu, ketika melihat ada seorang hweshio yang telah menolonginya menyambuti jangkar besi itu dan melihat ujung perahu dimana kedua kaki si hweshio berpijak itu agak melesak ke dalam air dan ujung yang satunya terangkat, tanpa mengucapkan sepatah perkataan dia telah melompat ke ujung yang satunya dan berdiri disitu dengan mengerahkan kekuatan kaki seribu kati. Dengan cara demikian, perahu In-lap Siansu bisa diselamatkan.

Dengan cepat In-lap Siansu mengerahkan tenaganya, dia memusatkan di kedua lengannya lalu disertai oleh suara seruan, „Ini kukembalikan kepadamu!” Jangkar itu telah didorongnya keras sekali, kembali meluncur ketuannya!

Dengan mudah lelaki berewok itu telah menyambuti jangkar itu. Dengan muka yang merah padam dia telah mengawasi In-lap Siansu.

„Keledai gundul!” bentak si berewok dengan suara yang bengis. „Siapa kau? Mengapa kau demikian usil mencampuri urusan kami? Apakah, kau tidak mengenal peraturan Kang-ouw sehingga berani mencampuri urusan?”

Ditegur begitu, In Lap Siantu telah merangkapkan kedua tangannya, dia telah menjura sambil berkata. „Maafkan, bukan maksud Lolap ingin membantui orang yang tidak Lolap kenal, tetapi justru jangkar itu telah mengancam keselamatan perahu dan Lolap sendiri. Maka terpaksa Lolap harus menyambuti! Siapakah siecu, mengapa harus mempergunakan kekerasan kepada ketiga orang itu?”

Muka si berewok telah berobah tidak sedap dilihat, dia telah yakin bahwa hweshio yang tengah dihadapinya ini adalah seorang beribadat yang memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak boleh dibuat main-main. Maka sebelum dia berkata-kata, si berewok telah mengibaskan tangannya, dari arah belakang perahunya muncul enam lelaki yang umumnya memiliki muka bengis dan tubuh yang tinggi dan tegap. Mereka masing-masing mencekal sebatang golok.

Di saat itu In-lap Siansu jadi terkejut. Dia melihat setiap dada dari keenam lelaki itu terdapat sebuah sulaman naga yang berukuran kecil, maka dia telah berseru, „Akhh, kiranya kalian dari Pek-liong-kauw!”

„Tepat!” mengangguk si berewok. „Rupanya Taysu mengetahui juga Pek-liong-kauw (perkumpulan naga putih) kami?

“Memang telah lama lolap mendengar nama besar Pek-liong-kauw, dan telah lama pula Lolap merasa kagum akan sepak terjang Pek-liong-kauw yang merupakan gerakan eng-hiong dan ho-han (orang-orang gagah)! Tetapi sekarang, mengapa justru kini Lolap bisa menyaksikan peristiwa yang tidak begitu enak dilihat?”

Si berewok itu ternyata cerdik dan telinganya tipis, dia mengetahui bahwa dirinya tengah disindir oleh si pendeta, tetapi karena hweshio itu bicara mempergunakan aturan yang dengan sendirinya si berewok juga tidak bisa main labrak.

“Baiklah, Taysu mungkin belum mengetahui urusan yang sesungguhnya! „Ayah dan anak itu, berikut wanita siluman itu, telah mencuri kitab pusaka kami!”

„Akh?” terkejut In-lap Siansu. Jika memang dalam urusan curi mencuri, itu adalah urusan kedua belah pihak. Pihak yang pertama adalah pihak yang mencuri, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang dicuri, jika memang dia memiliki kepandaian yang tinggi, tentu dia akan melakukan pengejaran, tetapi jika kurang tinggi kepandaiannya tentu akan meminta bantuan sahabat-sahabat dari rimba persilatan. Maka dari itu di dalam rimba persilatan juga telah terdapat peraturan yang tidak tertulis, bahwa urusan dendam, urusan pencurian, ataupun urusan membalas sakit hati, tidak boleh dicampuri oleh pihak luar. Tetapi tidak jarang pula, di dalam urusan-urusan seperti itu terselip urusan penasaran!

Namun kini, si pendeta mendengar bahwa si gadis cilik bertiga dengan ayah dan ibunya itu telah mencuri kitab pusaka dari pihak Pek-liong-kauw, sudah tentu In-lap Siansu tidak bisa untuk mencampurinya, karena walaupun bagaimana tidak bisa dia membawa adat untuk mencampuri terus, setidak-tidaknya dia yang akan bentrok dengan pihak Pek-liong-kauw, sedangkan si pencuri dengan mudah akan angkat kaki.

„Bohong!” teriak si gadis cilik dengan suara yang lantang waktu dilihatnya si pendeta yang menjadi tuan penolong mereka itu ragu-ragu. „Kami tidak mencuri apa-apa..... hanya mereka yang telah menuduh secara sembrono dan tidak-tidak!”

Benar-benar membingungkan jika urusan seperti itu ingin dicampurinya, maka In-lap Siansu yang memang mengerti peraturan Kang-ouw, telah cepat-cepat merangkapkan tangannya. „Silahkan kalian urus sendiri..... Lolap tidak bisa mencampurinya.....”

Dan setelah berkata begitu, dia mengayuh perahunya, maksudnya untuk melanjutkan perjalanannya. Sedangkan Yo Him jadi kaget.

„Jie-ko..... mengapa kau hanya menolong setengah-setengah?” tanyanya.

In-lap Siansu telah menggeleng-gelengkan kepalanya. „Kita jangan mencampuri! Itulah terbaik!” katanya kemudian.

„Mengapa?” tanya Yo Him penasaran.

„Karena urusan di dalam kalangan Kang-ouw sangat banyak sangkut kaitnya, tidak mudah kita berpihak kepada salah satu pihak, karena belum tentu pilihan kita itu benar!”

„Hemm, tetapi bagaimana nasib ketiga orang itu? Sedangkan si berewok yang tampaknya jahat itu bertujuh!”

„Biarlah mereka selesaikan urusan curi mencuri itu! Bukankah Sam-te telah mendengarnya, dari pihak gadis cilik itu telah membantah, sedangkan dari pihak Pek-liong-kauw telah menuduh mereka, sehingga kita tidak mengetahui, pasti harus berdiri di pihak mana. Jika kita mesti bantui si gadis kecil itu, berarti kita membela pihak pencuri, tetapi jika kita berdiri di pihak Pek-liong-kauw, tahu-tahu tuduhan mereka kosong, bukankah kita kesalahan tangan?”

Yo Him jadi bingung, apalagi dia melihat gadis cilik itu bersama dengan ayah ibunya tengah memandang ke arah mereka dengan sorot mata meminta untuk ditolong. Karena dalam keadaan terdesak seperti itu Yo Him tidak bisa berpikir lama-lama, dia jadi nekad, akhirnya dengan cepat di saat perahu In-lap Siansu akan menjauh, dan ujung perahu saling berdekatan satu dengan yang lainnya, Yo Him telah melompat ke perahu gadis cilik itu.

,,Yo Sam-te! Apa yang ingin kau lakukan?” teriak In-lap Siansu kaget.

Tetapi Yo Him sudah tidak melayani lagi Jie-konya itu, dia telah berdiri di ujung perahu sambil bertolak pinggang menghadapi perahunya si berewok.

„Kalian bertujuh, sedangkan mereka hanya bertiga disamping itu juga mereka adalah seorang gadis yang masih kecil, selain itu juga yang seorangnya telah berusia lanjut dan seorang lagi wanita lemah. Apa yang kalian inginkan?” tegur Yo Him dengan suara yang lantang.

Semula waktu melihat Yo Him menegurnya dengan suara seperti itu, si berewok jadi tertegun. Tetapi sesaat kemudian dia telah tertawa bergelak-gelak. „Katakan kepada mereka, yang terpenting mereka mengembalikan kitab pusaka kami, maka jiwa kacoa mereka itu akan kami ampuni!”

„Kami tidak pernah mencuri barang kalian!” teriak gadis cilik itu dengan gusar.

„Hemm, bukan kalian? Lalu siapa?” tanya si berewok dengan gusar sekali.

„Jika kalian terus juga menuduh kami, lalu apa yang ingin kami katakan?” tanya si lelaki tua itu. Walaupun bagaimana memang dia menyadari diri mereka bertiga sulit sekali untuk meloloskan diri dari kepungan dan kejaran orang-orang Pek-liong-kauw tersebut.

Sedangkan In-lap Siansu sudah tidak memperdulikan urusan mereka. Disamping itu Yo Him masih terlampau kecil dan tentunya belum memiliki kepandaian apa-apa. Maka dari itu lenyaplah harapan mereka dan juga mereka jadi berputus asa.

13.25. Penghargaan Kepada Putera Yo Ko

Saat itu Yo Him telah berkata dengan suara yang tenang sekali. „Baiklah. Bisakah kalian membuktikan bahwa mereka bertiga telah mencuri pusaka kalian itu?” tanyanya dengan yang dingin.

Muka si berewok jadi berobah tidak senang, mereka yang juga telah mengeluarkan suara bentakan gusar. „Hemm, kau setan kecil, apa maksudmu ikut mencampuri urusan kami? Apakah kau ingin ikut mampus juga?”

Ditegur begitu, Yo Him bukannya takut malah telah tertawa dingin. „Untuk mati memang mudah, untuk hidup juga belum tentu. Tetapi bagi seorang manusia harus dapat membedakan, mana perbuatan buruk dan mana perbuatan baik?”

Muka si berewok jadi berobah semakin tidak sedap dilihat. „Jadi kau ingin mengatakan bahwa dirimu bisa membedakan mana yang baik dan mana perbuatan yang buruk, bukan?” tanyanya mengejek.

„Sama sekali aku tidak berani mengucapkan perkataan seperti itu!” kata Yo Him dengan suara tidak kalah dinginnya, karena diapun tengah mendongkol bukan main. „Tetapi yang jelas kini kalian telah mempergunakan jumlah banyak untuk menindas jumlah yang sedikit!”

„Siancay! Siancay!!” berkata In-lap Siansu, yang mengucapkan kebesaran sang Buddha beberapa kali. Rupanya si Jie-ko ini merasa disindir, dia juga mengakui kebenaran atas perkataan Sam-te nya itu. Maka dari itu dia telah merobah pikirannya.

„Apa yang dikatakan oleh Sam-teku itu memang benar,” kata pendeta itu kemudian. „Apakah kalian tidak bisa mengerti, bahwa ketiga orang itu adalah pihak yang lemah? Mana mungkin mereka melakukan pencurian, sedangkan mereka bertiga hanya merupakan manusia lemah. Lolap bukan hendak berpihak kemana seperti apa yang tadi telah dikatakan oleh Sam-teku itu, bahwa kita harus pandai membedakan, yang mana perbuatan baik dan yang mana perbuatan buruk!”

„Bukk!” tahu-tahu tangan si berewok telah menghantam ujung perahunya sendiri, sampai mengeluarkan suara benturan yang keras sekali. „Kurang ajar!” bentaknya dengan suara yang berteriak keras. „Rupanya kalian juga memang sengaja ingin mempermainkan Toaya kalian, heh?”

„Mana berani? Mana berani?” berkata In-lap Siansu dengan cepat.

Di saat itulah dengan cepat sekali si berewok telah memberikan isyarat kepada keenam orang kawannya. Dengan masing-masing di tangan tercekal sebatang golok, wajah keenam orang bertubuh tinggi besar itu sangat mengerikan sekali. Mereka telah melompat ke arah In-lap Siansu sebanyak tiga orang, sedangkan ke kapalnya si kakek bersama anak gadisnya yang masih kecil itu, sebanyak tiga orang lagi.

Si berewok masih berdiri di ujung perahunya dengan sikap yang angkuh sekali, berulang kali dia telah memperdengarkan suara tertawa dingin mengejeknya.

„Serang!” perintah si berewok. „Perlihatkan kepada mereka, siapa sesungguhnya Pek-liong-kauw!”

Keenam orang yang menyeramkan sekali itu telah mematuhi perintah itu. Dengan mengeluarkan suara bentakan yang sangat menyeramkan, mereka telah menubruk melancarkan serangan dengan hebat sekali, menabas dengan golok masing-masing.

Sedangkan In-lap Siansu yang melihat ketiga orang pengeroyoknya itu melancarkan serangan dengan golok masing-masing, jadi mendongkol bukan main. Dengan mengucapkan beberapa kali kebesaran Sang Buddha, tampak In-lap Siansu telah menggerakkan sepasang tangannya. Dengan gerakan yang manis sekali, pendeta itu telah berhasil merebut ketiga batang golok dari ketiga lawannya itu. Dengan segera In-lap Siansu telah membuang ketiga batang golok itu ke sungai.

Sedangkan ketiga orang pengeroyoknya disamping kaget, juga jadi gusar dan penasaran sekali. Dengan mengeluarkan suara teriakan yang mengandung hawa pembunuhan, tampak mereka menubruk.

Tetapi In-lap Siansu telah menggerakkan sepasang tangan dan sepasang kakinya. Maka tanpa ampun lagi ketiga orang itu terpukul dan tertendang, dan mereka telah tercebur ke dalam sungai. Hebat sekali cara In-lap Siansu melancarkan serangannya itu, sehingga semuanya itu berlangsung tidak lebih dari beberapa detik saja.

Di dalam pihak si gadis kecil bersama dengan ayah ibunya dan Yo Him, mengalami ancaman bahaya dari ketiga orangnya si berewok.

Sedangkan Yo Him tidak mengerti ilmu silat, ayah si gadis cilik tampaknya sangat lelah sekali, karena hampir seharian penuh dia telah mengayuh perahunya keras-keras dan kuat-kuat, sedangkan istrinya hanya merupakan wanita tua yang lemah dan putrinya yang masih kecil itu, hanya memiliki kepandaian tidak seberapa. Maka dengan mudah ketiga orang itu mengayunkan goloknya untuk menabas kepala lelaki tua dan ketiga orang lainnya.

In-lap Siansu yang menyaksikan itu, jadi mengeluarkan seruan gusar. Dengan menjejakkan kakinya, tubuhnya segera melambung tinggi ke tengah udara. Di saat tubuhnya tengah melayang itulah, dia telah mengibaskan kedua lengan jubahnya yang besar yang memancarkan kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Maka tanpa ampun lagi ketiga orang bertubuh tinggi besar itu seperti dihajar oleh suatu yang hebat sekali, yang tidak dapat dilihat oleh mata.

Dengan mengeluarkan suara jeritan yang mengenaskan sekali, tampak ketiga orang itu telah tercebur ke dalam sungai, dan juga air sungai telah menjadi merah, karena dari mulut mereka masing-masing telah memuntahkan darah segar. Rupanya kibasan lengan jubah dari si pendeta yang begitu kuat, telah menggempur hebat sekali bagian dalam tubuhnya, sehingga mereka terluka di dalam. Walaupun tidak sampai mati jika memang mereka tertolong tentunya mereka bertiga akan menjadi cacad seumur hidup.

Rupanya dalam keadaan kaget dan gusar, In-lap Siansu jadi lupa, dia telah menurunkan tangan yang keras sehingga ketiga orang itu menderita hebat sekali.

Yo Him yang menyaksikan itu jadi bergidik sendirinya, karena dia melihat air sungai telah tercampur dengan darah yang merah......

Sedangkan di hati kecilnya Yo Him juga berpikir, jika In-lap Siansu tidak merubuhkan mereka, kemungkinan juga ketiga orang itu tanpa mengenal kasihan akan membinasakan mereka berempat, yaitu Yo Him, si gadis kecil itu, kedua orang yang menjadi ayah ibu si gadis kecil itu. Maka dari itu Yo Him jadi berdiam diri.

Muka si berewok jadi berobah pucat, tubuhnya tergetar karena dia diliputi kemarahan yang sangat hebat, jenggot dan kumis kasarnya itu seperti berdiri semuanya, kaku seperti kawat duri. Dengan mengeluarkan suara ledakan yang mengguntur, tampak tubuhnya telah melompat ke arah perahunya si gadis kecil. Dan sambil melompat begitu, tangannya juga telah mencabut keluar sepasang Siang-piannya, yaitu sepasang cambuknya.

Gerakan dari si berewok memperlihatkan bahwa dia sangat hebat ilmu meringankan tubuhnya, dan juga tentunya memiliki kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Belum lagi sepasang kakinya itu menginjak lantai perahu sepasang tangannya itu telah digerakkan, dia telah mencambuk ke arah In-lap Siansu kiri dan kanan, dari atas kepala dan perut.

Tentu saja In-lap Siansu tidak berani memandang rendah lawannya. Disamping itu juga dia melihat angin cambukan itu kuat sekali, mata cambuk yang lemas itu tajam bukan main, karena diujungnya disertai oleh tenaga dalamnya dahsyat sekali.

Kalau memang si pendeta itu berkelit dengan cara melompat, niscaya Yo Him yang berada di dekatnya yang akan menjadi korban cambukkan itu. Maka sengaja Lo Lap Siansu tidak mau berkelit dari cambukan tersebut, dia hanya menantikan ketika hampir tiba pada sasarannya, si pendeta telah mengunakan kedua tangannya, dia telah mencekal ujung kedua cambuk itu, disertai oleh pengerahan tenaga dalam yang dahsyat sekali, dan juga membentak nyaring.

„Pergilah!” Sambil membentak begitu, tampak In-lap Siansu telah menghentak kuat ujung cambuk itu. Maka seperti juga disaluri oleh tenaga dalam yang kuat sekali, ujung yang satunya lagi dari cambuk itu, yang dicekal oleh si berewok itu telah terangkat, dan tubuh si berewok jadi terpental ke tengah udara.

Tetapi si berewok memang hebat sekali. Maka dari itu walaupun tubuhnya dilemparkan oleh lawannya dengan mempergunakan tenaga dalam yang dahsyat sekali, dia tidak menjadi gugup, bahkan dia telah berjumpalitan di tengah udara dan telah mengeluarkan suara siulan. Sedikitpun juga dia tidak menjadi gugup. Di saat itulah dengan serentak ia telah menggerakkan kedua cambuknya itu, dia telah melancarkan serangan lagi dengan cepat sekali.

„Tarrr, Tarrr,” dua kali suara cambukan itu terdengar memenuhi sekitar tempat itu. Dari suara cambukan itu dapat diduga bahwa kekuatan mencambuk yang dilancarkannya itu memang sangat hebat sekali.

Maka tidak mengherankan jika In-lap Siansu tidak berani menyambuti dengan cekalan tangannya lagi. Dengan cepat sekali In-lap Siansu telah menyambar pinggang Yo Him, dia telah membawa si anak she Yo yang menjadi Sam-te nya itu, untuk melompat ke samping.

Ujung kedua cambuk itu telah menghantam tepi perahu tersebut. „Tarrrrkkkk!” terdengar suara yang keras sekali, dan tepi perahu itu telah sempal. Maka bisa dibayangkan betapa dahsyat tenaga sambaran ujung perahu itu.

Di saat itu tubuh si berewok tengah meluncur turun, dia melihat bahwa serangannya telah gagal mengenai sasarannya dengan tepat. Maka dia telah menghentak tangannya, ujung kedua cambuk itu bagaikan memiliki mata telah menyambar lagi kepada In-lap Siansu.

Hebat sekali cara menyambar dari ujung ke dua cambuk itu, karena ujung kedua cambuk itu telah menyambar dari kedua jurusan. Tenaga cambuk itu juga bukan main kuatnya, disamping itu kedua ujung cambuk itu juga telah mengincar bagian tubuh yang mematikan di badan In-lap Siansu.

Diam-diam In-lap Siansu jadi terkejut juga, karena kini dia telah melihatnya bahwa ilmu cambuk dari si berewok memang bukan ilmu cambuk biasa. Siang-pian yang berada di tangan si berewok bergerak-gerak terus menerus saling susul.

Di dalam waktu yang sangat singkat sekali, belasan jurus telah lewat.

Kemudian tampak serangan cambuk dari si berewok telah menyambar lagi dengan kecepatan yang bukan main dahsyatnya. Sambil mengeluarkan suara teriakan mengguntur, tampak In-lap Siansu telah mengibaskan tangan kanannya.

„Bukkkk!” tampak dada dari si berewok itu telah terhajar jitu sekali oleh telapak tangan In-lap Siansu. Tetapi In-lap Siansu juga sama sekali tidak lolos dari serangan cambuk itu. Karena bahu kirinya telah terhajar jitu oleh ujung cambuk, sehingga baju si pendeta telah robek, berikut kulit bahunya yang mengucurkan darah dengan deras.

Di saat itu Yo Him juga tidak tinggal diam dia meronta melepaskan diri dari pelukan si pendeta, dia telah menyingkir ke samping si lelaki tua yang menjadi ayah si gadis cilik itu. Hal ini dilakukan oleh Yo Him karena dia sengaja tidak mau menjadi beban dari In-lap Siansu, agar pendeta itu dapat melayani si berewok dengan leluasa.

Dan si berewok yang terserang dadanya, telah memuntahkan darah segar, tubuhnya telah tercebur ke sungai. Tetapi rupanya dia sangat kuat sekali, kerena dengan cepat luar biasa dia telah dapat melompat pula naik ke atas perahunya si gadis kecil itu. Dia bukan hanya melompat saja sambil menggerakkan kedua cambuknya itu dengan cepat sekali diapun telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi.

In-lap Siansu terpaksa melayaninya dengan kegesitan dan kekuatan tenaga dalam yang ada padanya, karena terlambat sedikit saja, niscaya tubuhnya akan robek oleh samberan ujung cambuk.

Yo Him yang menyaksikan kehebatan kepandaian si berewok yang demikian tinggi, jadi berdiri tertegun dan tegang bukan main karena dia berkuatir sekali akan keselamatan diri In-lap Siansu. Tetapi dia hanya bisa menyaksikan saja betapa serangan-serangan yang saling susul diantara In-lap Siansu dan si berewok itu sekali, angin serangan itu menyambar-nyambar silih berganti tiada hentinya.

Dalam waktu yang sangat singkat sekali, sebentar saja telah puluhan jurus yang lewat. Tampaknya semakin lama si berewok jadi tambah penasaran, dia melancarkan serangan makin hebat saja. Sedangkan In-lap Siansu jadi harus bersungguh-sungguh melayani serangan lawannya itu jika memang dia tidak ingin celaka di tangan lawannya itu.

Saat itu perahu si gadis cilik ini telah bergoyang-goyang karena bergeraknya In-lap Siansu dan si berewok yang semakin lama jadi semakin cepat dan juga tubuh kedua orang yang tengah bertempur itu hanya menyerupai bayangan belaka yang tidak bisa dilihat lagi dengan jelas bentuk dan rupanya. Itulah karena sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki.

Tetapi laki-laki tua dan wanita setengah baya yang menjadi orang tua si gadis cilik itu, tampak makin lama jadi bertambah gelisah saja, walaupun mereka melihat bahwa In-lap Siansu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tetapi wajah mereka tetap pucat dan tubuhnya sering mengigil, tampaknya mereka tengah ketakutan.

Yo Him heran melihat sikap mereka. Diapun melihat kedua orang tua gadis cilik itu memandang ke arah tempat yang jauh, di ujung sungai sebelah seberangnya.

„Kenapa, Lo-jin-kee?” tanya Yo Him akhirnya, karena dia tidak bisa menahan perasaan ingin tahunya.

„Musuh akan segera datang dalam jumlah yang banyak!” menjelaskan lelaki tua itu. „Mereka umumnya merupakan jago-jago yang jauh lebih hebat dari si berewok ini!”

Yo Him kaget sekali. „Benarkah itu?” tanyanya dengan suara yang gugup juga.

„Akhh, mereka pasti tidak akan melepaskan jiwa tuaku!” kata lelaki tua tersebut.

„Sesungguhnya apa yang terjadi?” tanya Yo Him, „Mengapa mereka memusuhi Lo-jin-kee sekeluarga?”

„Hemm, mereka manusia-manusia jahat yang mengakui diri mereka sebagai pendekar gagah budiman..... sesungguhnya hati mereka jahat dan berbisa sekali!”

“Apakah mereka sering membunuh orang?” tanya Yo Him yang masih kurang begitu memahami urusan di dalam rimba persilatan.

„Bukan…..,” menyahuti orang tua itu. „Kalau hanya membunuh saja. itu urusan biasa! Tetapi justeru mereka itu telah bersekutu dan bekerja sama dengan pihak Mongolia untuk menjual negara.”

„Akhhh!” betapa terkejutnya Yo Him, dia sampai memandang ke arah orang tua itu dengan mata yang terpentang lebar.

„Benar!” mengangguk orang tua itu. „Dan mereka itu manusia-manusia yang tak tahu malu! Karena rahasia mereka itu kuketahui, maka mereka bermaksud membinasakan diriku agar mereka bisa menutup rahasia!”

Setelah berkata begitu, orang tua itu menghela napas berulang kali. Tampaknya dia berduka bukan main, dan wajahnya juga murung sekali.

In-lap Siansu yang tengah bertempur hebat dengan si berewok semakin lama jadi semakin seru saja melancarkan serangan-serangannya karena keduanya telah mengeluarkan seluruh ilmu simpanan mereka.

Angin serangan kedua orang yang tengah bertempur ini luar biasa kuatnya, menyebabkan perahu itu bergoyang-goyang, juga memaksa keempat orang yang menyaksikan, yaitu Yo Him, si gadis kecil dan kedua orang tuanya itu terpaksa mundur ke belakang beberapa langkah.

Rupanya apa yang dikuatirkan oleh orang tua itu benar adanya. Karena tidak lama kemudian dari kejauhan tampak sebuah kapal berukuran cukup besar telah mendatangi dengan cepat sekali, air sungai seperti dibelah dan juga telah membuat perahu dimana Yo Him dan yang lainnya berada itu bergoyang-goyang semakin keras.

„Ihhh!” berseru orang tua si gadis kecil itu dengan muka yang bertambah pucat.

Di atas tiang dari kapal tersebut, tampak berkibar sebuah bendera merah, yang tersulam seekor naga berwarna putih..... itulah kapalnya Pek-liong-kauw, yang tengah mendatangi ke tempat si orang tua yang menjadi ayah dari si gadis kecil itu berada.....

Melihat ini Yo Him jadi tambah berkuatir dia juga menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga dia tidak bisa membantu In-lap Siansu untuk menghadapi musuh.

Sedangkan si berewok telah melihat kedatangan kapal yang cukup besar itu, wajahnya jadi berseri-seri terang dan juga tampaknya dia terbangun semangatnya, karena dengan cepat dia telah merobah cara bertempurnya, di mana dia menggerakan sepasang cambuknya semakin cepat saja.

Berbeda dengan si berewok, maka In-lap Siansu jadi terkejut melihat lawannya memperoleh bala bantuan sebanyak itu. Karena terkejut tentu saja perhatiannya terpecah dan dia jadi terdesak.

Saat itu kapal yang berukuran besar itu telah semakin dekat. Di atas ujung kapal itu berdiri puluhan orang dengan sikap dan pakaian yang gagah mentereng. Di muka sekali tampak seorang lelaki tua kurus dengan jenggotnya yang panjang dan matanya yang sipit seperti mata tikus, telah menyaksikan jalannya pertempuran antara si berewok dan In-lap Siansu.

<> 

„Tahan!” tiba-tiba orang tua kurus diujung perahu itu telah membentak dengan suaranya yang sangat keras sekali.

Si berewok telah menghentikan serangan cambuknya, dia telah melompat mundur. Begitu pula In-lap Siansu telah berhenti melancarkan serangan dia telah memandang ke arah kapal besar itu.

„Hemm, kukira siapa, tidak tahunya In-lap Siansu yang ikut mengacaukan urusan!” berkata lelaki tua berjenggot itu dengan suara yang dingin. „Mari! Mari! Silahkan! Kami mengundang kalian pindah ke kapal kami!” Orang tua yang bertubuh kurus dan bermata sipit itu menyebut-nyebut mengundang ke kapal, sesungguhnya dia ingin mengartikan bahwa orang itu akan ditawan olehnya. Jika In-lap Siansu dan yang lainnya membandel, barulah dia akan turun tangan untuk membekuknya dengan kekerasan.

In-lap Siansu menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, disamping itu In-lap Siansu juga telah memperhitungkan dirinya tidak mungkin melawan rombongan Pek-liong-kauw itu hanya berseorang diri. Maka akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengalah saja dulu, nanti dia baru akan memikirkan untuk mencari jalan meloloskan diri. Dia menoleh dan mengedipkan mata kepada kedua orang tuanya si gadis cilik, yang juga mengerti maksudnya.

Si berewok telah beberapa kali memperdengarkan suara tertawa mengejek.

Tetapi In-lap Siansu tidak melayani sikap orang itu, dia hanya merangkapkan sepasang tangannya menjura kepada lelaki tua kurus berjenggot itu, „Bukankah Lolap tengah berhadapan dengan Song Lu Wuan?” tanyanya. „Pendekar besar untuk jaman ini???”

Kakek tua berjenggot panjang itu tertawa mengejek dengan muka yang berobah merah. Dia memang Song Lu Wuan, tetapi sengaja In-lap Siansu menambahkannya dengan perkataan „Pendekar besar untuk jaman ini” sehingga merupakan ejekan untuk si lelaki she Song itu, yang telah datang dengan rombongannya yang berjumlah besar, walaupun hanya untuk menangkap beberapa orang saja.

„Tepat! Sama sekali tidak salah!” kata Song Lu Wuan. „Dan silahkan.....!” Segera diturunkan tangga tambang, dan In-lap Siansu telah naik terlebih dahulu, kemudian Yo Him, lalu si gadis kecil itu, menyusul kedua orang tuanya dan baru si berewok.

Waktu berada di atas kapal itu, In-lap Siansu baru melihat bahwa di atas kapal itu berkumpul lebih dari seratus orang. Sehingga lenyaplah harapannya untuk dapat meloloskan diri dari tangan orang she Song tersebut. Terlebih lagi In-lap Siansu melihat diantara seratus orang lebih orang-orang itu, terdapat yang berpakaian sebagai guru silat, dengan sendirinya mereka jelas memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Sedangkan Song Lu Wuan telah mengundang In-lap Siansu dan yang lainnya memasuki sebuah kamar di kapal itu, dan masing-masing mengambil tempat duduk.

Orang she Song tersebut telah mengisyaratkan dengan tangannya, maka beberapa orang pelayan telah datang menyediakan arak dan barang makanan. Hanya dalam sekejap mata saja di atas meja itu telah penuh oleh barang hidangan.

„Mari silahkan makan...... tidak ada apa-apa yang dapat kami suguhkan, tetapi sekedar pelenyap haus dan lapar!” kata orang she Song itu.

In-lap Siansu tidak segan-segan lagi, dia memang telah bertempur dalam waktu yang cukup lama dan telah mempergunakan tenaga yang sangat besar, maka dia telah mulai makan dan minum dengan lahap sekali.

Yo Him juga telah melahap makanannya. Hanya si gadis kecil dan kedua orang tuanya yang berdiam diri saja.

„Siangkoan Lin Lie, mengapa kalian tidak makan? Dan kau Siangkoan Hujin, mengapa tidak dahar? dan nona siangkoan, bukankah kau sudah lapar? Akhh sayang jika makanan ini dibiarkan dingin!” berkata orang she Song itu sambil tertawa.

Tetapi lelaki tua Siangkoan Lin Lie beserta isterinya maupun puterinya yang masih kecil itu telah berdiam diri saja. Mereka tidak menyahut sepatah perkataan pun juga.

Song Lu Wuan juga tidak melayani mereka lagi, hanya sambil mengunyah, dia tertawa dan berkata kepada In-lap Siansu.

„Sudah lama aku orang she Song mendengar kegagahan In-lap Taysu, dan sungguh beruntung bahwa hari ini aku orang she Song bisa bertemu dengan Taysu!” katanya.

„Akupun begitu, telah lama aku kagum mendengar nama besar dari Song Tayhiap hanya tidak ada kesempatan untuk kita saling bertemu. Maka di hari ini kita bisa saling bertemu, bukankah itu merupakan suatu kejadian yang sangat menggembirakan sekali?” Dan setelah berkata begitu, In-lap Siansu telah mengunyah terus makanannya.

Yo Him heran juga. Biasanya In-lap Siansu tidak makan barang berjiwa, dia hanya makan sayur-sayuran belaka. Tetapi kali ini In Lap Siansu telah memakan makanan berjiwa, bahkan dengan lahap sekali, hal ini sangat membingungkan Yo Him.

„Rupanya Jie-ko memang tidak pantangan!” berpikir Yo Him kemudian.

Saat ini Song Lu Wuan telah melirik ke arah Yo Him, dia memperhatikan sejenak, kemudian katanya sambil disertai tertawanya, „Sungguh hebat engko kecil ini, siapakah dia, Taysu? tampaknya dia memiliki bakat dan tulang yang baik sekali.”

„Dia adikku! Sam-te, inilah Song Lu Wuan Tayhiap yang sangat terkenal sekali di daerah Selatan,” memperkenalkan In-lap Siansu.

Tentu saja orang she Song itu jadi kaget bukan main mendengar bahwa Yo Him yang baru berusia belum sampai sepuluh tahun itu adalah adik ketiga dari In-lap Siansu.

„Apakah diapun memiliki ilmu silat?” berpikir orang she Song itu di dalam hatinya. „Tetapi tidak mungkin, tidak mungkin!, walaupun dia belajar ilmu silat semenjak di dalam kandungan ibunya, tidak nantinya dia bisa memiliki kepandaian yang berarti apa-apa!”

„Siapakah namanya?” tanya orang she Song itu sesaat kemudian setelah meneguk araknya.

„Sam-te ku she Yo dan bernama Him......!” menjelaskan In-lap Siansu.

„Ihhh!” tiba-tiba muka Song Lu Wuan berubah hebat, sumpitnya yang tengah dibawa ke mulutnya jadi tergantung di tengah udara. „Siauw Kiesu (pendekar muda) ini she Yo? Masih ada hubungan apakah dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”

Waktu menyebut perkataan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, suara Song Lu Wuan tergetar.

„Dialah anaknya......!” menyahuti In-lap Siansu sembarangan.

„Hah?” kaget bukan main orang she Song dan beberapa orang jago lainnya yang berada di tempat itu. Dan bukan hanya mereka belaka yang terkejut, karena Yo Him sendiri juga kaget sekali. Tetapi sebagai seorang anak yang cerdas, maka Yo Him segera mengerti apa maksud dari In-lap Siansu yang sebenarnya.

„Be….. benarkah Siauw Kiesu puteranya Yo Tayhiap?” tanya Song Lu Wuan dengan suara tergagap.

„Benar!” mengangguk Yo Him. „Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko adalah ayahku, dan Siauw Liong Lie Liehiap adalah ibuku!”

Seketika itu juga paniklah orang-orang Pek-liong-kauw tersebut. Bahkan Song Lu Wuan telah meletakkan sumpitnya di atas meja. Dia memandang tajam kepada Yo Him, yang diperhatikannya dengan baik-baik dan seksama.

„Memang mirip, mirip sekali dengan wajah Yo Tayhiap. Tetapi....., kami belum pernah mendengar Sin-tiauw Tayhiap memiliki anak.....!” menggumam Song Lu Wuan dengan suara yang tidak begitu jelas.

Dia telah memperhatikan baik-baik paras Yo Him, dan telah melihat bahwa wajah anak ini mirip sekali dengan muka Yo Ko. Maka hatinya jadi tergoncang keras, tetapi diapun masih ragu-ragu.

Melihat Song Lu Wuan ragu-ragu begitu, Yo Him segera mengetahui bahwa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sangat dihormati sekali oleh orang orang Pek-liong-kauw ini. Hanya saja disebabkan usia Yo Him memang masih terlampau kecil, dan yang memperkenalkan bahwa dia adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu adalah In-lap Siansu, dengan sendirinya mereka jadi ragu-ragu.

Sebagai anak yang cerdik, segera juga Yo-Him teringat akan sesuatu. Dan dia bermaksud akan mempermainkan orang-orang Pek-liong-kauw tersebut, karena Yo Him menganggap dia sudah kepalang tanggung diperkenalkan oleh In-lap Siansu sebagai puteranya Sin-tiauw Tayhiap.

„Pernahkah para locianpwee melihat dan menyaksikan sebagian ilmu dari ayah dan ibuku!” tanya Yo Him akhirnya sambil terus mengunyah nasinya, sikapnya tenang sekali, walaupun otaknya tengah bekerja keras sekali.

„Ya, ya, kami seringkali melihat Yo Tayhiap bertempur, maka sebagian dari kepandaiannya itu bisa kami kenali!” menyahuti Song Lu Wuan, yang segera bisa menduga bahwa Yo Him ingin mempertunjukkan kepandaiannya.

„Baiklah! Menurut Song Locianpwe, kepandaian ayahku itu di bagian mana yang paling menonjol?” tanyanya lagi.

„Yo Tayhiap semua mempelajari ilmunya dari Kiu-im-cin-keng ciptaan Tat Mo Cauwsu dan juga Giok-lie-kiam-hoat bersama ibumu, yaitu Siauw Liong Lie Liehiap, merupakan pasangan pendekar di jaman ini yang tiada taranya!”

„Tepat!” berseru Yo Him. „Dan kini Boanpwe (dari tingkatan muda). ingin memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawai?” Dan setelah berkata begitu Yo Him berdiri.

Sedangkan Song Li Wuan yang mengerti maksud anak ini, segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya, untuk menggeser meja. Di dalam waktu yang singkat sekali, telah terbentang sebuah lapangan yang cukup luas.

Yo Him melangkah ke gelanggang. Setelah menjura memberi hormat ke sekelilingnya, maka dia mulai menjalankan ilmu silat yang diturunkan Sin-tiauw kepadanya, yang menurut In-lap Siansu adalah Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat.

Di waktu anak ini bersilat, semua orang-orang gagah yang berada di tempat itu jadi mengawasi dengan mata yang terpentang lebar-lebar dan hati yang tergoncang. Karena yang tengah dimainkan oleh Yo Him memang jurus-jurus dari Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat, kedua macam ilmu silat yang luar biasa, yang dimiliki oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie.

Keruan saja Song Lu Wuan jadi ciut nyalinya, dan di saat Yo Him telah selesai membawakan jurus-jurus kedua macam ilmu silat itu, yang semula dianggap olehnya sebagai latihan olah raga penyehat tubuh belaka, Song Lu Wuan telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Yo Him.

„Kiranya memang orang sendiri!” berseru Song Lu Wuan sambil tertawa.

Yo Him cepat-cepat membalas hormat orang she Song tersebut. Di dalam hatinya dia geli sendirinya, dan dia merasa kagum atas kecerdikan In-lap Siansu yang telah bisa berpikir begitu cepat. Coba kalau tidak, jika mereka tetap dianggap sebagai pihak musuh, niscaya mereka akan diperlakukan dengan sikap yang tidak enak dan tidak manis.

„Sesungguhnya aku sudah lama ingin mengikuti ayah berkelana, tetapi selama itu belum diijinkan, baru tahun ini ayah mengijinkan aku untuk ikut berkelana...... dan harap loocianpwe menerima hormat boanpwe!”

„Sebenarnya masih ada hubungan apakah antara Yo Kiesu dengan Siangkoan Lin Lie?” tanya Song Lu Wuan sambil melirik kepada Siangkoan Lin Lie, yang saat itu tengah mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang takjub.

„Dialah pamanku!” menyahuti Yo Him.

„Paman?” tanya Song Lu Wuan ragu-ragu matanya juga bersinar aneh.

Seketika itu juga Yo Him menyadari bahwa dia telah melakukan suatu kecerobohan, karena sebagai seorang yang sangat terkenal semua urutan keluarga Yo Ko diketahui oleh orang-orang gagah di rimba persilatan. Terlebih lagi suatu kemungkinan bahwa Song Lu Wuan memang bersahabat dengan Yo Ko.

„Paman jauh......!” kata Yo Him memperbaiki kesalahannya, „Dari pihak ibuku.....!”

„Oh begitu?” kata Song Lu Wuan yang telah lenyap kecurigaannya.

Saat itu Yo Him telah berkata, „Paman Siangkoan, sesungguhnya ada urusan apakah antara kalian dengan pihak Pek-liong-kauw?”

„Sesungguhnya urusan kecil, kami kehilangan kitab pusaka kami, kebetulan Siangkoan Kie-su berada di tempat kami, maka dari itu kami menduga bahwa dialah yang telah mencurinya! Untuk tuduhan yang tidak beralasan itu, kami mengucapkan maaf sebesar-besarnya!” dan setelah berkata begitu, Song Lu Wuan menghampiri Siangkoan Lin Lie, dia menjura untuk meminta maaf.

13.26. Pengakuan Jujur Sang Bocah

Tentu saja Siangkoan Lin Lie jadi girang bukan main, karena persengketaannya dengan pihak Pek-liong-kauw telah dapat diselesaikan oleh Yo Him. Hanya saja yang membuatnya agak heran, mengapa Yo Him mengakui dia pernah paman. Dan mereka semua telah kembali makan pula.

Kali ini Song Lu Wuan telah memperlakukan mereka dengan sikap yang manis. Malah In-lap Siansu telah bercakap-cakap akrab sekali dengan Song Lu Wuan dan beberapa orang gagah yang berada di kapal tersebut! Banyak persoalan rimba persilatan yang telah mereka bicarakan termasuk akan ancaman dari pasukan tentara perang Mongolia.

„Memang banyak orang gagah yang menuduh kami bekerja sama dan takluk kepada bangsa Mongolia, tetapi sesungguhnya kami sebaliknya tengah bekerja keras untuk membongkar tipu licik bangga Mongolia itu!” menjelaskan Song Lu Wuan akhirnya.

„Kami mendengar bahwa bangsa Mongolia telah mulai mempersiapkan pasukannya untuk menerjang masuk ke daratan Tiong-goan lagi, bahkan Kublai Khan, Kaisar Mongolia sekarang, adik Kaisar Mangu yang binasa di tangan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah perintahkan beberapa orang kepercayaannya dan jago-jagonya untuk menyelusup ke daratan Tiong-goan, guna mencelakai jago-jago di daratan Tiong-goan. Peristiwa itu terjadi delapan tahun yang lalu, perbuatan busuk mereka mulai diketahui. Kami sayangnya agak terlambat mendengar berita itu. Karena baru empat tahun yang lalu kami mendengar kejadian seperti itu. Maka Kauw-cu (ketua) kami telah perintahkan beberapa orang-orang kami untuk pergi ke Mongolia guna melakukan penyelidikan. Jika memang apa yang kami dengar itu benar dan juga ada bukti-buktinya kami akan mengerahkan orang-orang pandai kami untuk pergi ke Mongolia untuk membinasakan Kublai Khan. Dengan terbunuhnya Kaisar itu, tentu ancaman dapat dilenyapkan! Tetapi siapa sangka, pengiriman orang-orang gagah kami ke Mongolia itu telah bocor entah bagaimana caranya, banyak orang gagah di daratan Tiong-goan yang telah mendergar hal itu, sehingga mereka menduga bahwa kami ini telah berkhianat dan bekerja sama dengan pihak Mongol, mereka jadi mencurigai kami, termasuk Siangkoan Lin Lie Tayhiap ini!”

Siangkoan Lin Lie cepat-cepat menjura dan meminta maaf. Begitu juga Song Lu Wuan telah membalas hormat orang she Siangkoan tersebut.

In-lap Siansu baru mengerti mengapa telah terjadi persengketaan antara Siangkoan Lin Lie dengan pihak Pek-liong-kauw. Hweshio tua tersebut jadi mengangguk-anggukan kepalanya.

„Dan di pusat, kami telah mengatur persiapan untuk melakukan pekerjaan besar, untuk membela tanah air!” Song Lu Wuan telah melanjutkan ceritanya lagi. „Tidak kami sangka justeru Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah berkunjung datang bersama beberapa orang pendekar besar lainnya, termasuk Kwee Ceng Tayhiap, It-teng Taysu, Ciu Pek Thong, Loo Boan Tong dan Oey Yong Lihiap.....! Hanya yang kami sayangkan, justru kami tidak memiliki rejeki besar, dimana Yo Hujien, yaitu Liehiap Siauw Liong Lie tidak ikut hadir!”

Mendengar orang she Song itu bercerita sampai disini, hati Yo Him jadi tergoncang. Begitu juga dengan In-lap Siansu, hatinya jadi kaget bukan main.

Dengan berlayarnya kapal Pek-liong-kauw ini, mereka tengah menuju ke markas besar dari kumpulan Itu. Dan jika memang mereka tiba di markas besar dari perkumpulan itu, bukankah berarti rahasia mereka akan terbongkar? Bukankah disana tengah berkumpul Yo Ko dan jago besar lainnya? Yo Him jadi gugup sendirinya, hampir saja sumpit di tangannya terlepas.

Song Lu Wuan yang matanya awas, telah dapat melihat kegugupan yang dialami Yo Him.

„Kenapa kau Siauw Kiesu?” tanyanya dengan berkuatir sekali, karena dia menduga Yo Him mabok akibat menumpang kapal air ini.

Yo Him cepat-cepat menggelengkan kepalanya sebagai anak yang cerdas segera juga dia bisa memberikan jawabannya.

„Tidak apa-apa, tidak apa-apa….. aku hanya girang mendengar ayah telah berada disana, tentu tidak lama lagi kami ayah dan anak bisa bertemu!”

Song Lu Wuan telah mengangguk-angguk, dia berhasil didustai, karena dia berpikir memang wajar jika siorang anak merindukan ayahnya mengharapkan pertemuan dengan ayahnya.

In-lap Siansu juga memuji akan kecerdikan Yo Him yang cepat sekali bisa memilih jawaban yang tepat.

Tetapi untuk selanjutnya Yo Him tidak bisa menangkap keseluruhannya dari cerita Song Lu Wuan, karena hatinya tengah gelisah dan pikirannya tengah kalut. Dia tengah memikirkan jika nanti dia bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap di markas Pek-liong-kauw, dan rahasianya yang mengakui dirinya adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap itu terbuka, bukanlah disamping dia akan membuat Sin-tiauw Tayhiap menjadi marah?

Itulah sebabnya mengapa Yo Him jadi sangat gugup. Pikirannya jadi bekerja terus, walaupun mulutnya terus makan dan minum, meskipun dia cerdik namun tidak urung anak ini tidak bisa mencarikan jalan yang baik untuk menghadapi persoalan ini. Yo Him menyadari bahwa kali ini dia tengah mempermainkan pendekar besar dalam rimba persilatan, jika rahasianya terbongkar, bukankah dirinya bisa celaka?

Sedangkan In-lap Siansu hanya gugup sejenak, karena tidak lama kemudian dia telah tenang kembali. Di dalam dirinya hweshio tua itu telah berpikir bahwa Yo Ko maupun Kwee Ceng, Oey Yong, It-teng Taysu dan Ciu Pek Thong adalah Pendekar-pendekar besar berhati mulia, tidak mungkin akan mencelakai Yo Him hanya karena mengakui dirinya sebagai anaknya Yo Ko. Maka dari itu In-lap Siansu dapat makan minum terus dengan tenang.

Dan ketika Song Lu Wuan telah menutup pesta makan minum itu mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat dan tidur, maka In-lap Siansu tidur dengan nyenyak sekali, suara mendengkurnya benar-benar membuat Yo Him jadi mendongkol sekali karena Yo Him yang sekamar dengan In-lap Siansu yang menjadi Jie-konya itu tengah bergelisah tidak bisa tidur, sedangkan si pendeta telah tidur dengan nyenyak sekali seperti tidak berpikir apa-apa terhadap urusan yang akan mereka hadapi.

Y

Kapal orang Pek-liong-kauw tersebut berlayar terus menuju ke arah selatan barat daya. Setelah berlayar dua hari, telah tiba di muara dan lepas lautan. Rupanya pelayaran seperi itu memang merupakan pekerjaan biasa bagi orang-orang Pek-liong-kauw. Kapal itu berlayar cepat melawan ombak.

Selama dalam perjalanan Song Lu Wuan selalu memperlakukan kelima orang tamunya dengan ramah. Rupanya, dengan mengakunya Yo Him sebagai puteranya Yo Ko, orang-orang Pek-liong-kauw jadi menghormati mereka.

Tetapi Yo Him selalu diliputi oleh tanda tanya. Sesungguhnya siapakah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie? Tampaknya kedua pendekar besar itu memiliki nama yang sangat luar biasa terkenalnya dan disegani oleh orang-orang rimba persilatan. Disamping itu Yo Him juga jadi selalu memikirkan, siapakah sesungguhnya kedua orang tuanya?

Dia she Yo begitu pula Yo Ko, tetapi apakah mungkin dia putera dari seorang pendekar seperti itu? Karena berpikir begitu, Yo Him jadi menghela napas tidak hentinya, karena dia yakin bahwa dirinya tidak memiliki rejeki begitu besar untuk menjadi putera seorang Pendekar besar di jaman itu. Sedangkan dia sejak kecil telah yatim dan tidak ada orang yang merawatnya, selain Sin-tiauw yang baik hati itu.

Setengah bulan kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan yaitu sebuah pulau yang besar sekali. Anak buah Pek-liong-kauw mengeluarkan sorak-sorai gemuruh sekali waktu pulau itu mulai tampak.

Yo Him bersama yang lainnya telah keluar dia melihat pulau itu sangat besar dan luas sekali sehingga ujungnya tidak terlihat. Waktu kapal merapat, tampak beberapa orang lelaki bertubuh gagah dan tegap telah menyambut kedatangan Song Lu Wuan. Setelah adat istiadat dilakukan dengan saling memberi hormat, rombongan tersebut telah memasuki pulau untuk pergi ke markas Pek-liong-kauw, guna menemui Kauw-cu Pek-liong-kauw.

Yo Him, In-lap Siansu dan Siangkoan Lin Lie, isterinya dan anak gadisnya, telah di tempatkan di sebuah ruangan. Dan tidak lama kemudian mereka telah diajak ke sebuah bangunan gedung yang sangat besar serta megah sekali.

Yo Him yang melihat gedung itu jadi tercengang, karena dia melihat bahwa bangunan tersebut disamping megah dan besar juga sangat mewah sekali. Di depan gedung yang mirip istana itu tampak berdiri berbaris ratusan orang, yang menyambut kedatangan tamu-tamu tersebut dengan anggukan dan rangkapkan tangan memberi hormat.

Ternyata yang disebut sebagai Kauw-cu dari Pek-liong-kauw merupakan seorang lelaki berusia limapuluh tahun, berwajah tampan walaupun usianya telah lanjut, disamping itu tubuhnya juga tegap. Dialah Wie Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw, yang bergelar Hui Thian Sin-kiam (Pedang Sakti), yang namanya menggetarkan rimba persilatan. Namun Kauw-cu Wie Kiam ternyata membawakan sikap yang ramah sekali, dia telah menyambut tamu-tamunya itu dengan perjamuan yang besar.

„Loohu mendengar bahwa diantara tamu-tamu kita terdapat puteranya Yo Tayhiap,” kata Wie Kiam berselang sejenak setelah tamu-tamunya mengambil tempat duduk masing-masing. „Dapatkah Lohu berkenalan dengan Siauw Kiesu itu?”

Yo Him yang sejak tadi memasuki gedung ini dengan hati yang berdebar kini mendengar perkataan Wie Kiam membuat jantungnya tambah tergoncang. Cepat-cepat Yo Him bangkit berdiri, dia memberi hormat dan memperkenalkan diri.

Lama Wie Kiam mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang tajam, tentu saja membuat Yo Him tambah tergoncang hatinya, sehingga ia tak berani memandang Kauw-cu dari Pek-liong-kauw tersebut, hanya menundukkan kepalanya saja.

In-lap Siansu juga telah berdebar hatinya, pendeta ini adalah seorang Kang-ouw yang telah berpengalaman, tetapi tetap saja hatinya berdebar, karena dia takut rahasia Yo Him terbongkar.

Tetapi untuk menutupi kegelisahannya, sengaja In-lap Siansu telah meneguk araknya berulang kali.

Setelah mengawasi Yo Him sejenak lamanya, Wie Kiam tertawa. „Bagus! Betapa miripnya wajahmu dengan ayahmu, Siauw Kiesu!” kata Wie Kauw-cu dengan suaranya yang keras „Ayahmu mungkin sore ini baru kembali, karena Yo Tayhiap sekarang tengah mengejar seseorang!”

Yo Him menghela napas sambil membungkuk memberi hormat, untuk menutupi perobahan wajahnya yang merah karena dia merasa agak tenang mendengar Yo Ko tidak berada di markas Pek-liong-kauw tersebut. Begitu juga halnya dengan In-lap Siansu, diam-diam di dalam hatinya pendeta tersebut memuji kebesaran sang Buddha.

„Tetapi, tayhiap-tayhiap lainnya, seperti Kwee Ceng Tayhiap, Oey Yong Liehiap, It-teng Taysu dan Ciu Pek Thong Loo Boan Tong Locianpwe. Semuanya ada disini! Tunggulah sebentar, Lohu akan perintahkan orang untuk memanggilnya!”

Mendengar perkataan Kauw-cu Pek-liong-kauw tersebut yang terakhir, Yo Him merasakan kepalanya seperti disiram air dingin panas hangat.

Sedangkan Kauw-cu Pek-liong-kauw itu telah mengibaskan tangannya, mengisyaratkan kepada orangnya untuk mengundang jago-jago tua itu.

Yo Him telah kembali ke tempat duduknya dengan hati yang berdebar-debar.

Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari beberapa orang, dan semua mata, termasuk Yo Him dan In-lap Siansu telah mengawasi ke arah pintu yang bisa menembus ke ruang dalam itu. Mereka mengawasi dengan perasaan tegang dan agak gelisah sekali, sedangkan Kauw-cu Pek-liong-kauw itu telah tertawa saja dengan sikapnya yang angker.

Tidak lama kemudian dari balik tirai muncul orangnya Wie Kauw-cu, diikuti beberapa orang gagah. Ternyata beberapa orang yang muncul itu tidak lain dari Kwee Ceng, Oey Yong, Ciu Pek Thong, It-teng Taysu dan dua orang pengawal Pek-liong-kauw.

Setelah mereka memberi hormat kepada Kauw-cu Pek-liong-kauw, masing-masing mengambil tempat disamping Kauw-cu itu.

„Nah para locianpwee, seperti yang telah boanpwe katakan, bahwa hari ini kebetulan sekali kita telah menerima kunjungan seorang tamu luar biasa, yaitu puteranya Yo Tayhiap…..” kata Kauw-cu dari Pek-liong-kauw itu dengan suara yang nyaring.

Muka orang-orang gagah itu jadi berobah, mereka telah mengikuti jari telunjuk Kauw-cu she Wie itu menunjuk ke arah Yo Him dan memperhatikan anak itu baik-baik. Namun tidak ada seorangpun diantara Oey Yong dan yang lainnya yang membuka mulut, semua diam saja sambil mengawasi sehingga membuat Yo Him jadi tidak enak hati, segera Yo Him bangkit berdiri, dia telah menghampiri keempat orang gagah itu, kepada mereka dia telah memperlihatkan hormatnya.

„Apakah locianpwe semuanya dalam keadaan baik?” tanyanya.

Tiba-tiba Ciu Pek Thong telah berkata sambil tertawa, „Anak yang manis, anak yang manis.”

Oey Yong bertiga dengan It-teng Taysu dan Kwee Ceng hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya!

Tiba-tiba Ciu Pek Thong telah menoleh kepada Wie Kauw-cu. „Mana ayahnya? Apa belum pulang?”

Wie Kauw-cu menyahuti sambil menggelengkan kepalanya, „Belum…..”

„Hemm, anak mana ibumu?” tanya Oey Yong.

Ditanya soal ibunya, tentu saja Yo Him jadi kelabakan. Orang-orang gagah itu masih mau mempercayai bahwa Yo Him adalah puteranya Yo Ko karena wajahnya memang mirip dengan Yo Ko, apalagi Kwee Ceng dan Oey Yong yang pernah merawat Yo Ko. Mereka hampir delapan tahun mencari-cari Siauw Liong Lie yang lenyap tidak ada kabar beritanya itu. Namun hasilnya nihil. Yo Ko selalu diliputi kedukaan yang bukan main, teringat pula bahwa isterinya itu tengah hamil. Maka sekarang, ada seorang anak berusia di antara tujuh delapan tahun mengakui dirinya sebagai anak Yo Ko, tentu saja orang-orang gagah itu menduga mungkin Siauw Liong Lie telah melahirkan seorang anak lelaki dan menceritakan kepada si anak siapa ayahnya sehingga kini Yo Him mencari ayahnya itu. Itulah sebabnya mengapa Oey Yong telah menanyakan ibu si anak ini.

Melihat Yo Him gugup, Oey Yong jadi heran. „Apakah telah terjadi sesuatu didiri ibumu?” tanyanya lagi.

Yo Him menggelengkan kepalanya. „Bukan.....!” sahutnya kemudian.

„Lalu dimana ibumu?”

„Aku sendiri tidak mengetahuinya.”

„Ihhh!” berseru kaget orang-orang gagah itu.

„Maafkanlah Locianpwe, sesungguhnya aku telah berdusta. Boanpwe bukan puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” mengaku Yo Him berterus terang karena anak ini berpikir, jika dia berdusta terus maka rahasianya akan terbongkar juga.

„Hmmmm, lalu siapa kau?” tanya Oey Yong sambil mengerutkan alisnya.

Sedangkan muka Wie Kauw-cu telah berobah diliputi kemendongkolan yang sangat. Song Lu Wuan juga kaget bukan main, berulang kali dia memperdengarkan suara tidak jelas. Karena Song Lu Wuan yang telah mengajak anak ini ke markas mereka dan memberitahukan kepada Kauw-cu nya bahwa anak ini adalah putranya Yo Ko. Maka sekarang di saat si anak itu mengakui terus terang. Bahwa dia bukan anaknya Sin-tiauw Tayhiap, bisa membayangkan perasaan kaget dari orang she Song tersebut.

Yo Him telah memberi hormat kepada orang-orang yang berada disitu, dia memberi hormat dengan tiada hentinya.

„Sesungguhnya aku memang pantas menerima hukuman mati karena telah berani mengakui diriku sebagai puteranya Yo Ko Tayhiap. Sebenarnya akupun tidak mengetahui siapa ayahku dan siapa pula ibuku!”

Oey Yong dan lainnya jadi tambah heran, „Mengapa begitu?” tanya Oey Yong.

„Karena sejak kecil aku tidak pernah melihat mereka, yaitu kedua orang tuaku!”

„Lalu siapa yang membesarkan engkau?”

„Rajawali...... seekor rajawali!”

Mendengar itu muka Oey Yong jadi berseri-seri sejenak, diapun telah berseru, „Sin-tiauw......!” Kemudian Oey Yong menanyakan bagaimana bentuk rajawali yang telah merawat Yo Him.

Dengan sejujurnya Yo Him menceritakan keadaan burung rajawali itu.

„Benar dia! Benar dia!” berseru Oey Yong sambil melirik ke suaminya. „Tetapi...... dimana Sin-tiauw itu kini berada?”

„Akupun tidak mengetahui, karena sejak dia terbang turun ke jurang itu, maka selamanya aku tidak pernah melihat lagi......” kata Yo Him.

Dia telah menceritakan bagaimana dia ditinggal oleh Sin-tiauw di pintu kampung di kaki gunung Kun-lun, dan rajawali itu telah terbang berputar-putar di tengah udara, kemudian menukik ke jurang yang biasa mereka tempati. Kemudian Sin-tiauw itu tidak pernah muncul lagi.

“Apakah kau tidak memiliki sesuatu barang yang ditinggalkan ibumu?” tanya Oey Yong.

Yo Him menggeleng.

“Tidak! Sejak kecil akupun tidak pernah melihat ibuku, hanya Sin-tiauw telah memberikan, bermacam-macam barang-barang kepadaku!”

Dan setelah berkata begitu, Yo Him membuka buntalannya, dia telah mengeluarkan barang-barang milik Siauw Liong Lie yang telah diberikan oleh Sin-tiauw di saat burung rajawali itu akan menghembuskan napasnya yang terakhir.

Melihat barang-barang itu, muka Oey Yong dan ketiga orang gagah lainnya, jadi berobah. Mereka mengenali itulah barang-barang milik Siauw Liong Lie.

„Akhh, jika demikian, memang benar-benar engkau puteranya Yo Ko!” berseru Oey Yong sambil melompat dan telah merangkul Yo Him. „Dimana ibumu nak? Dimana dia?”

Yo Him menggeleng saja dengan heran.

„Itulah barang milik ibumu, apakah mungkin dia, telah.....” dan berkata sampai disitu, Oey Yong tidak meneruskan perkataannya.

„Dia telah kenapa, Yong-jie?” tanya Kwee Ceng ingin tahu.

„Apakah dia telah dicelakai seseorang? Apakah Tiat To Hoat-ong yang mencelakainya? Bukankah barang-barangnya ini sudah berada disini?”

Muka Kwee Ceng, It-teng Taysu dan Ciu Pek Thong jadi berubah muram. Merekapun berpikir begitu.

„Sayang Ko-jie tidak berada disini,” menggumam Kwee Ceng perlahan.

„Besok pagi dia akan tiba kembali,” kata Wie Kauw-cu yang sejak tadi berdiam diri saja!

Oey Yong menuntun tangan Yo Him katanya dengan lembut dan sabar. „Anak, engkau harus menunggu ayahmu sampai kembali di tempat ini. Nanti kita tanyakan, jika memang benar barang-barang ini adalah milik Siauw Liong Lie, yang tentunya masih menjadi ibumu itu maka di saat itu kita akan berangkat ke Kun-lun-san untuk melihat apakah disana ada sesuatu yang bisa dipergunakan untuk membuka rahasia dirimu! Tetapi jika memang engkau bukan puteranya Yo Ko, kau juga tidak perlu takut, karena kalau kau benar-benar anak yatim, kami pun tidak keberatan merawatmu!”

Senang Yo Him mendengar itu.

Demikian juga dengan In-lap Siansu, sambil mengucapkan kata-kata yang memuji sang Buddha, dia telah mengangguk-anggukan kepalanya. Karena gembiranya, In-lap Siansu telah mengucurkan air mata.

Saat itu Yo Him telah menjura sambil mengucapkan terima kasih kepada Oey Yong, setelah itu dia kembali ke kursinya.

Pesta makan minum itu telah dilanjutkan terus, kemudian Oey Yong berempat telah mengajak Wie Kauw-cu untuk berunding. Mereka membicarakan persoalan Yo Him dan merundingkan bagaimana caranya menyelidiki tempat, beradanya Siauw Liong Lie.

Hampir delapan tahun mereka berkelana di dalam rimba persilatan untuk mencari Siauw Liong Lie, dengan meminta bantuan orang-orang rimba persilatan juga tetapi usaha mereka nihil dan kosong. Sejak diculiknya Siauw Liong Lie oleh Tiat To Hoat-ong, baik Siauw Liong Lie maupun pendeta itu telah lenyap tidak meninggalkan bekas.

Dan hanya jago-jago Mongol lainnya yang telah muncul di daratan Tiong-goan. Maka Yo Ko dan jago-jago lainnya tidak pernah turun tangan ringan kepada mereka. Jago-jago Mongol itu selalu dibinasakan atau dibikin bercacad berat untuk memperoleh keterangan dari mereka. Tetapi walaupun banyak orang-orang Mongol yang telah mereka tangkap dan menanyai perihal Tiat To Hoat-ong, namun mereka tidak pernah memperoleh keterangan yang mereka inginkan.

Waktu setahun yang lalu mereka mendengar bahwa Tiat To Hoat-ong ada yang lihat berkeliaran di Utara. Maka jago-jago itu telah berangkat ke utara, namun tetap saja mereka tidak berhasil mencari pendeta mongol yang kepandaiannya hebat itu.

Akhirnya dengan putus asa mereka telah kembali ke selatan dan di saat itulah Oey Yong menganjurkan kepada Yo Ko agar mereka meminta bantuan Pek-liong-kauw, untuk mencari jejaknya pendeta mongol itu. Saran yang diberikan oleh Oey Yong disetujui oleh Yo Ko, maka mereka ramai-ramai telah pergi ke markas besarnya Pek-liong-kauw dan kepada Wie Kiam Kauw-cu mereka menyampaikan keinginan mereka yang hendak meminta bantuan Pek-liong-kauw untuk mencari jejak Tiat To Hoat-ong yang telah menculik Siauw Liong Lie.

Pihak Pek-liong-kauw menyanggupi untuk membantu, dan telah menggirimkan orang-orangnya ke pelbagai pelosok di daratan Tiong-goan untuk menyelidiki dimana bersembunyinya Tiat To Hoat-ong. Tetapi hampir setahun itu tetap saja mereka belum memperoleh hasil apa-apa, sehingga selama itu pula Sin-tiauw Tayhiap dan jago-jago lainnya berdiam di pulau Ang-hwa-to tersebut, pulau bunga merah.....

Dan kini tiba-tiba sekali muncul Yo Him, yang mengaku sebagai puteranya Sin-tiauw Tayhiap. Bukankah hal itu merupakan urusan yang menggembirakan sekali?

Song Lu Wuan sendiri bersyukur sekali dia bisa bertemu dengan putera Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang tentunya akan membuktikan bahwa Pek-liong-kauw telah berhasil membantu pendekar besar untuk jaman ini. Apa lagi Song Lu Wuan juga telah melihat Yo Him membawakan jurus-jurus dari Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat, tentu saja dia tambah yakin dan girang.....!”

Wie Kiam Kauw-cu juga girang waktu Song Lu Wuan menyampaikan bahwa dia telah berhasil menemukan puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Karena dengan berhasilnya pihak Pek-liong-kauw membantu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko berarti kelak Pek-liong-kauw memiliki tulang punggung yang kuat sekali, sebab pihak Pek-liong-kauw telah melepas budi kepada Yo Ko dan pasti jika kemudian kelak pihak Pek-liong-kauw mengalami suatu ancaman dari pihak lain, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko juga tidak akan tinggal diam.

Diwaktu Yo Him masih duduk termenung, dia tidak mengerti sepenuhnya perkataan Oey Yong sedangkan barang-barang peninggalan Siauw Liong lie yang diberikan oleh Sin-tiauw rajawali sakti yang telah meninggal itu, disimpannya kembali baik-baik.

Yo Him sama sekali tidak mengetahuinya bahwa sesungguhnya ibunya, Siauw Liong Lie telah lenyap di lembah gunung Kun-lun-san itu oleh desakan Tiat To Hoat-ong berempat dengan Chilaon, Talengkie dan Turkichi.

Setelah Oey Yong beruntun dengan Kwee Ceng It-teng Taysu, Ciu Pek Thong dan Wie kiam Kauw-cu mengundurkan diri maka pesta itupun telah dibubarkan.

Yo Him dan tamu-tamu lainnya di tempatkan di sebuah ruangan yang besar, sedangkan untuk kamar tidur mereka masing-masing diberi sebuah kamar untuk setiap orangnya.....

Sebelum meninggalkan ruangan tengah itu, Oey Yong telah menarik tangan Yo Him, lalu katanya dengan suara yang sabar. „Tidurlah yang nyenyak, jangan kau memikirkan yang tidak-tidak. Dalam waktu yang tidak lama lagi ayahmu tentu pulang dan kalian bisa bertemu.....!”

Yo Him yang sejak kecil belum pernah memperoleh kasih sayang seorang ibu, kini mendengar nada suara Oey Yong yang begitu lembut dan sabar, mengandung kasih sayang dan penuh pengertian akan jiwa seorang anak, hatinya jadi tergoncang dan terharu. Tanpa disadarinya di saat dia mengangguk, dua butir air mata telah menitik turun membasahi pipinya.

Oey Yong tersenyum, dia mengusap rambut anak ini. „Ayahmu tidak secengeng engkau!” katanya kemudian. „Bahkan ayahmu merupakan seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan tabah, menghadapi penderitaan hidup.....!”

Yo Him jadi merasa malu sendirinya, dia hanya mengiyakan perkataan Oey Yong.

Di dalam kamarnya, Yo Him jadi terpekur saja, sama sekali dia tidak bisa mententeramkan hatinya, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Akhirnya dia keluar dari kamarnya dan mencari In-lap Siansu untuk diajak bercakap-cakap.

Ternyata In-lap Siansu tengah bercakap-cakap dengan Siangkoan Lin Lie, dengan nyonya Siangkoan dan puterinya yang baru belasan tahun, yang akhirnya diketahui oleh Yo Him bahwa gadis yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Encie itu ternyata bernama Peng. Dengan Siangkoan Peng, Yo Him memang merasa senang dan menyukainya, karena gadis itu lincah dan periang. Bahkan Siangkoan Peng sering mengajak Yo Him main-main dengan dia di taman bunga, karena bosan juga baginya mendengari terus pembicaraan diantara kedua orang tuanya dengan In-lap Siansu yang tidak dimengerti olehnya.

Pulau Ang-hwa-to merupakan sebuah pulau yang sangat luas, dimana markas besar Pek-liong-kauw menancapkan kaki dan kekuasaannya karena disana telah dibangun ratusan gedung untuk perumahan seluruh anggota perkumpulan tersebut. Belum lagi beberapa kota di daratan Tiong-goan terdapat berbagai cabang dari perkumpulan tersebut.

Pek-liong-kauw juga memiliki jago-jago yang sangat hebat kepandaiannya. Banyak yang memiliki ilmu dan kesaktian yang hebat, sehingga nama Pek-liong-kauw terangkat sendirinya berkat hasil kerja dari orang-orangnya yang liehay-liehay itu. Tetapi sebagai tokoh-tokoh persilatan, anggota-anggota dari perkumpulan tersebut memiliki sifat-sifat yang aneh dan bermacam-macam tabiatnya.

Walaupun kepandaian Kauw-cu perkumpulan tersebut, yaitu Wie Kiam, tidak sehebat Sin-tiauw Tayhiap, namun dia memiliki ilmu pedang yang sangat luar biasa sekali, sehingga menggentarkan orang-orang kalangan rimba hijau, baik lawan maupun kawan, karena Kauw-cu ini paling benci kejahatan. Dan namanya yang sangat terkenal itu menggetarkan rimba persilatan sehingga dia sangat dihormati. Bahkan Wie Kiam Kauw-cu telah diberikan gelaran „Hui Thian Sin-kiam” yaitu Pedang Sakti Dari Langit.

In-lap Siansu juga sering menganjurkan Yo Him agar pergi bermain bersama dengan Siangkoan Peng, puterinya Siangkoan Lin Lie, karena In-lap Siansu mengetahui Yo Him perlu hiburan juga agar dia tidak merasa kesepian. Bukankah Siangkoan Peng lincah dan periang? Setidak-tidaknya bisa mengurangi kesedihan di hati Yo Him atau mengurangi juga ketegangan-ketegangan yang selama ini meliputi hati dan jiwanya anak dari pendekar besar Yo Ko itu.

In-lap Siansu sendiri telah dipanggil oleh Kwee Ceng dan Oey Yong, yang menanyakan banyak sekali perihal Yo Him.

In-lap Siansu menceritakan apa yang diketahuinya dan diapun menyatakan bahwa Yo Him telah diangkat sebagai adik oleh Wie Tocu dari Kay-pang, serta memperoleh sebuah Kim-pay dari toakonya itu. Tentu saja pemberitahuan In-lap Siansu itu telah mengejutkan, bahkan menggirangkan sekali hati Kwee Ceng dan Oey Yong. Dia membayangkan, betapapun juga Yo Him telah memiliki suatu keluar biasaan lain jika di bandingkan dengan pemuda-pemuda lainnya yang sebaya dengan dia. Misalnya saja Bu Heng-te (dua orang saudara Bu), diwaktu mudanya, mereka sama sekali tidak berarti apa-apa dan tidak mengalami sesuatu yang luar biasa di dalam persilatan, sampai akhirnya salah seorang dari Bu Hengte itu telah menikah dengan Kwee Hu, anak dari Kwee Ceng - Oey Yong.

Tetapi Yo Him, justru dalam usia demikian muda, ternyata telah berhasil untuk mengangkat tali persaudaraan dengan seorang tokoh persilatan seperti Wie Tocu dari Kay-pang. Kwee Ceng dan Oey Yong memang mengetahui dan sering mendengar bahwa Wie Tocu adalah seorang tokoh persilatan yang sangat hebat sekali kepandaiannya, dia merupakan orang terkemuka dalam persilatan.

Wie Tocu sesungguhnya bernama Wie Liang, merupakan wakil pangcu dari Kay-pang. Maka dari itu agak luar biasa jika Kim-pay miliknya itu justru telah diberikan kepada Yo Him karena Kim-pay Wie Tocu merupakan lambang dari kekuasaan yang luar biasa tingginya.

14.27. Kurir Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko

Setiap Kim-pay itu dikeluarkan, maka seluruh anggota pengemis yang berada di daratan Tiong-goan harus tunduk siapa saja yang memegang Kim-pay dari Wie Tocu itu adalah merupakan wakil langsung dari Wie Tocu. Tiap pengemis dari tingkat mana saja yang menghadapi Kim-pay tersebut harus menganggap bahwa wakil Wie Tocu itu sebagai Wie Tocu mendiri.

Tidak mengherankan jika berita yang didengar oleh Kwee Ceng dan Oey Yong sangat mengejutkan sekali hati mereka.

Setelah lewat satu hari, ternyata Yo Ko tidak muncul seperti yang telah direncanakan, sehingga orang-orang gagah itu menantikan lagi beberapa hari lamanya di pulau Ang-hwa-to tersebut, dengan hati diliputi oleh berbagai dugaan. Karena Sin-tiauw Tayhiap memang telah berjanji bahwa dia akan berkunjung kepulau Ang-hwa-to bersama-sama dengan beberapa orang gagah lainnya. Dan jika kedatangannya itu tidak terlaksana, tentu didirinya terdapat suatu persoalan atau urusan yang agak luar biasa.

Yo Him juga tidak sabar ingin melihat, sesungguhnya bagaimana rupa dan wajah dari Sin-tiauw Tayhiap, pendekar besar di jaman ini. Walaupun sering terlihat Yo Him tengah bermain dan bergurau dengan Siangkoan Peng di tepi pantai di pesisir pulau tersebut, namun pikiran Yo Him sering melayang-layang membayangkan wajah dari Sin-tiauw Tayhiap.

Siangkoan Peng memang seorang gadis kecil yang lincah, diapun sering memperlihatkan senyum dan tawanya. Sikapnya yang periang sekali, selalu cerah dan ramai oleh gelak tawa memaksa Yo Him untuk melenyapkan pikiran kesal dan jengkelnya. Sebagai seorang gadis yang periang, tentu saja dia dapat menghibur Yo Him, walaupun tidak keseluruhannya.

Yo Him memang merupakan seorang anak lelaki yang sejak kecil mengalami banyak sekali tekanan-tekanan pada jiwanya, sehingga seringkali dia bersikap murung dan bersedih hati. Tetapi Siangkoan Peng telah dapat menghiburnya, karena dia telah mengetahui Yo Him memiliki sifat-sifat yang pendiam dan menghadapi sesuatu persoalan selalu dengan bersungguh-sungguh dia tekun sekali.

Suatu hari, di saat mereka tengah bermain-main dipesisir pantai di sebelah selatan dari pulau itu, tampak sebuah perahu berukuran kecil tengah meluncur cepat sekali mendekati pantai, menghampiri pulau tersebut.

Tentu saja Yo Him yang melihat perahu itu lebih dulu, hatinya jadi terguncang keras, karena dia menduga bahwa yang datang itu tentunya Yo Ko, pendekar besar yang tengah dinantikan semua orang, yang menurut orang-orang gagah yang berada di pulau tersebut, Sin-tiauw Tayhiap itu adalah ayahnya.

Dalam waktu yang sangat singkat sekali, perahu itu telah merapat di pantai dan tampak dari dalam perahu melompat turun seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, hanya saja jalannya agak pincang, karena kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya.

Yo Him jadi heran dan telah mengawasi orang itu, sedangkan Siangkoan Peng yang juga tidak mengenal orang itu, telah mengawasi juga dengan hati yang menduga-duga.

Orang yang berjalan pincang itu tampaknya, telah melihat Yo Him dan Siangkoan Peng, dia telah menghampiri sambil mengangguk tersenyum, katanya dengan suara yang sabar.

„Anak-anak, apakah Wie Kiam Kauw-cu berada di tempat.....?”

Siangkoan Peng yang periang telah berkata dengan suara yang cepat, menyahuti pertanyaan itu.

„Ada! Ada! Siapakah Lopeh (paman)?”

„Lohu (aku orang tua), she Phang dan bernama Kui In. Aku bermaksud menemui Wie Kiam Kauw-cu untuk memberitahukan sesuatu kepadanya!”

„Oh..... jika demikian, silahkan Lopeh langsung pergi ke markas besar itu saja, tentu Lopeh akan menemui Wie Kiam Kauw-cu!”

„Terima kasih anak-anak!” kata Phang Kui In. Dan dengan langkah kaki yang terpincang-pincang dia telah menyusuri pantai itu.

Tetapi, yang membuat Yo Him dan Siangkoan Peng jadi terkejut, justru jalannya Phang Kui In begitu cepat dan lincah sekali. Memang tampaknya dia berjalan dengan kaki yang terpincang-pincang, namun kenyataannya tubuhnya dapat bergerak dengan sangat cepat sekali, tubuhnya seperti juga melayang-layang dan kakinya bagaikan tidak menginjak pasir. Yo Him jadi memujinya tanpa dikehendakinya. „Itulah ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat sekali! Sungguh mengagumkan sekali! Sungguh menakjubkan sekali!”

Mendengar perkataan Yo Him yang cukup nyaring, yang merupakan pujian, rupanya Phang Kui In telah mendengarnya, dia lalu menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang, kemudian menghampiri Yo Him dan Siangkoan Peng lagi.

„Anak, tampaknya engkau mengerti ilmu silat.....!” katanya sambil tersenyum.

Dan Siangkoan Peng jadi terkejut, karena tahu-tahu tangan orang she Phang itu telah bergerak, dia telah mengulurkan tangannya itu untuk mencengkeram pergelangan tangan Siangkoan Peng. Cepat-cepat Siangkoan Peng berkelit dan dia dapat menghindarkan diri dari cekalan tangan orang itu.

„Ha, ha, ha, ha…..” tertawa orang she Phang itu dengan suara yang nyaring sekali. „Tampaknya engkau mempunyai kepandaian yang lumayan, sungguh baik! baik! usia kalian masih muda tetapi kalian telah dapat memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.”

Yo Him tidak senang melihat Phang Kui In memperlakukan begitu kepada Siangkoan Peng. Dia telah menegurnya dengan suara yang tidak senang. “Mengapa harus turunkan tangan kasar begitu lopeh?”

Ditegur Yo Him, orang she Phang itu jadi melengak, dia sampai memandang dengan tatapan mata tertegun. Tapi dengan cepat dia telah berkata lagi.

„Ha, ha, ha, aku tidak bermaksud buruk, adik kecil! sungguh! aku hanya ingin melihatnya, apakah kalian memiliki ilmu meringankan tubuh dan kepandaian!” Dan setelah berkata begitu, dengan cepat sekali Phang Kui In telah bergerak lagi, dia telah mengulurkan tangan kanannya dengan cepat luar biasa ke arah Yo Him. Serangan yang dilancarkannya sangat cepat berbeda dengan gerakan yang dilakukannya tadi terhadap Siangkoan Peng.

Yo Him terkejut, tetapi kepandaian yang dimiliki Yo Him juga tidak lemah. Walaupun dia tidak mengerti ilmu silat secara mendalam, namun dia memiliki kepandaian yang merupakan ilmu yang dahsyat sekali, sehingga dia selalu dapat bergerak dengan sangat ringan dan cepat sekali.

Setiap serangan-serangan yang dilancarkannya itu sangat hebat dan gesit sekali, maka tidaklah terlalu mengherankan, di saat tangan orang tersebut tengah menyambar datang, dan belum lagi jari tangan dari Phang Kui In mengenai pergelangan tangannya, justru Yo Him telah memutar tangannya, dan telah berhasil meloloskan diri dari cekalan tangan Phang Kui In.

Gerakan yang dilakukan oleh Yo Him sangat lincah dan manis sekali. Tetapi karena Yo Him jadi penasaran oleh sikap Phang Kui In yang seperti ingin menguji kepandaiannya, dia telah meneruskan dengan membalas menyerang.

Phang Kui In mengeluarkan suara seruan tertahan karena terkejut, karena tadi waktu dia mengulurkan tangannya untuk mencekal pergelangan tangan Yo Him, dia telah melakukannya dengan cepat sekali, dan jika memang serangan tersebut dilancarkan kepada jago-jago dari tingkatan yang keempat atau kelima, tentu jago-jago itu tidak mungkin bisa meloloskan diri. Tetapi Yo Him kini ternyata berhasil mengelakan diri dari cekalannya itu, dan juga berhasil untuk membarengi dengan melancarkan serangan membalas. Tentu saja hal itu merupakan suatu kejadian yang sangat aneh sekali.

Cepat sekali Yo Him telah mengeluarkan suara bentakan dan kembali dia telah melancarkan serangan dengan mengerahkan tenaga dalamnya sehingga Phang Kui In mau tidak mau harus bergerak cepat. Walaupun tenaga serangan dari Yo Him belum mengandung tenaga menyerang yang bisa mematikan, tetapi serangan-serangan itu telah menimbulkan angin yang cukup dahsyat.

Phang Kui In lekas-lekas berkelit, karena terlambat sedikit saja, tentu ia akan rubuh di tangan Yo Him. Dalam waktu yang sangat singkat, tampak serangan-serangan Yo Him telah menyambar datang dengan gencar sekali, dan silih berganti Yo Him melancarkan serangan-serangan dengan lincah dan gesit luar biasa.

Tetapi Phang Kui In telah mengeluarkan suara tertawa dan pujian kagum berulang kali. „Bagus! Bagus! Tampaknya engkau memiliki bakat untuk mempelajari ilmu yang sangat hebat, anak yang baik!” Dan setelah berkata begitu, dengan cepat Phang Kui In telah mengelakkan serangan jari telunjuk tangan Yo Him, dia telah mengelakkannya sambil mengayunkan tangan kanannya yang mengibas dengan keras. Kibasan tangannya telah mengeluarkan suara mendesir dan samberan angin yang kuat. Dengan mengeluarkan seruan tertahan, tampak tubuh Yo Him telah terpelanting di atas pasir.

„Bukk!” Bukan main kerasnya tubuh Yo Him yang terbanting di atas pasir. Untung saja serangan yang dilakukan oleh Phang Kui In memang telah diperhitungkan, maka serangan itu tidak membahayakan diri Yo Him. Walaupun dia telah terbanting di pasir tetapi bantingan itu tidak menimbulkan perasaan sakit apa-apa.

Dengan muka yang berobah merah, tampak Yo Him telah melompat berdiri.

Baru saja Yo Him ingin menegur, Phang Kui In telah berkata,

„Dengan adanya kenyataan seperti ini, ternyata Pek-liong-kauw memang bukannya memiliki nama kosong belaka! Hebat sekali, Hebat sekali! Anak seusia seperti engkau ini ternyata memiliki kepandaian yang sangat hebat sekali, dan benar-benar menimbulkan perasaan kagum di hatiku,” dan setelah berkata begitu Phang Kui In telah bertepuk-tepuk tangan beberapa kali.

Tanpa menantikan jawaban Yo Him ataupun Siangkoan Peng, dia telah membalikkan tubuhnya, dan telah berlari-lari cepat sekali, gerakannya seperti terbang. Phang Kui In telah meninggalkan Yo Him dan Siangkoan Peng, dimana gadis kecil itu berdiri diam tertegun dengan membisu.

Tetapi waktu mereka telah tersadar dari terkejutnya itu, dengan cepat Yo Him dan Siangkoan Peng telah melompat berlari untuk mengikuti Phang Kui In, karena mereka jadi ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Phang Kui In, dan siapakah orang yang berkaki pincang itu. Tetapi, rupanya suara teriakan, atau yang lebih tepat lagi adalah pekik kaget dari Yo Him telah menyebabkan beberapa orang-orang Pek-liong-kauw mendengarnya, dan mereka telah berdatangan dengan cepat.

Gerakan mereka memang gesit dan dalam waktu yang singkat lima orang anak buah Pek-liong-kauw yang bertugas untuk menjaga keamanan di tempat bagian tersebut, telah menghadang dihadapan Phang Kui In.

„Berhenti!” bentak salah seorang diantara mereka dengan suara yang cukup nyaring.

Phang Kui In telah menghentikan larinya, dia berdiri mengawasi sejenak kepada kelima orang yang menghadang dirinya dengan bibir yang tersenyum, dan kemudian dia telah berkata dengan suara yang cukup nyaring dan ramah.

„Maafkan, maafkanlah, atas kelancanganku ini! Sesungguhnya kedatanganku ini memang sangat ceroboh sekali, tanpa meminta ijin telah menginjakan kaki di pulau ini! Semua ini disebabkan aku membawa suatu berita sangat penting sekali untuk Wie Kauw-cu.....”

„Siapakah Heng-tay?” tanya orang yang tadi menegur, suaranya lebih ramah dari tadi, karena dia melihat sikap Phang Kui In cukup ramah dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa kedatangannya itu mengandung maksud buruk. „Untuk keperluan apakah ingin menemui Wie Kauw-cu kami?”

Phang Kui In telah tertawa lagi, dia telah berkata dengan suara yang lembut.

„Sesungguhnya dalam keadaan demikian sulit untuk kujelaskan persoalan itu, sebab urusan ini aku harus sampaikan kepada Wie Kauw-cu dengan empat mata.....!”

Kelima orang yang menghadang Phang Kui In jadi berdiri ragu. Lalu salah seorang yang tadi telah menegur Phang Kui In, telah bertanya kepada temannya.

„Sesungguhnya, apakah dia bermaksud baik atau tidak?” bisik orang itu kepada temannya.

„Kita belum bisa menentukan,” jawab kawannya dengan suaranya yang perlahan, „Atau kita laporkan saja perihal orang ini kepada Wie Kauw-cu?”

Kawannya mengangguk.

„Begitupun baik engkau saja yang pergi melaporkan!” kata kawannya. Orang itu mengiyakan, kemudian dia telah menoleh lagi kepada Phang Kui ini, katanya dengan suara yang cukup ramah.

„Jika memang demikian, tunggulah sebentar disini. aku ingin memberitahukan kedatangan Heng-tay kepada Kauw-cu!”

Phang Kui In mengangguk mengiyakan dia telah berkata, “Baik! Baik! hanya saja aku telah merepotkan kalian!”

Dan orang itu telah meninggalkan keempat orang kawannya, dia telah berlari-lari untuk melaporkan perihal kedatangan Phang Kui In kepada Kauw-cunya.

Di saat itu Phang Kui In telah bertanya kepada keempat orang anggota Pek-liong-kauw tersebut. „Apakah selama ini kalian belum menerima kedatangan tamu?” tanyanya dengan suara yang ramah.

Keempat orang itu telah menggelengkan kepala perlahan seperti juga mereka segan untuk bercakap-cakap dengan Phang Kui In, karena mereka memang belum mengetahui siapakah adanya orang yang di hadapan mereka ini. Apakah kawan ataukah lawan? Maka dari itu keempat orang anggota dari Pek-liong-kauw tersebut bermaksud ingin berdiam diri saja dahulu.

Tidak lama kemudian dari arah markas besar Pek-liong-kauw telah datang serombongan orang, yang jalan di muka adalah Wie Kiam Kauw-cu diiringi oleh In-lap Siansu dan beberapa orang anggota Pek-liong-kauw. Sedangkan orang yang tadi pergi melapor, telah menunjuk ke arah Phang Kui In, samar-samar telah terdengar suaranya yang cukup nyaring.

„Orang itulah yang ingin bertemu dengan Kauw-cu!”

Wie Kiam sejak melihat Phang Kui In. Telah mengerutkan alisnya, dia tidak mengenal orang she Phang itu. „Siapakah dia?” pikir Wie Kiam di dalam hatinya, dia heran bukan main. „Mengapa dia ingin menemuiku?” Dan setelah berpikir begitu, saat itu dia telah tiba dihadapan Phang Kui In.

Phang Kui In telah melihat Wie Kiam, cepat-cepat dia merangkapkan kedua tangannya, dan telah menjura memberi hormat, katanya. „Tentunya yang ada dihadapan Siauw-te (adik) adalah Wie Kiam Kauw-cu yang sangat terkenal sekali bukan?”

Wie Kiam mengangguk sambil cepat-cepat membalas penghormatan tamunya itu, walaupun dia masih belum mengetahui siapa adanya tamunya itu.

„Benar......!'“ dia telah membenarkan. „Dan siapakah Heng-tay? Ada urusan apakah Heng-tay mencariku?”

„Siauw-te she Phang dan bernama Kui In, dan sesungguhnya memiliki suatu urusan yang cukup penting, yang akan Siauw-te sampaikan hanya empat mata dengan Wie Kiam Kauw-cu.”

Wie Kiam tampak jadi heran dan bimbang. Dia bukan kuatir nanti orang she Phang ini melakukan tipu daya untuk mencelakai d'irinya, karena Wie kiam juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu bisa mengatasinya jika sampai Phang Kui In bermaksud tidak baik. Tetapi yang mengherankan sekali, mengapa Phang Kui In telah meminta agar mereka berbicara empat mata saja dengan dia.

Tetapi sebagai seorang Kauw-cu yang memiliki kebijaksanaan, maka dia telah berkata dengan suara yang sabar, „Apakah urusan yang akan disampaikan oleh Heng-tay merupakan urusan yang sangat penting?”

Phang Kui In telah mengangguk sambil mengiyakan. „Urusan itu hanya bisa dibicarakan dengan anda di bawah empat mata, Wie Kauw-cu,” kata Phang Kui In kemudian.

„Hemm, jika memang demikian, aku tidak keberatan!” kata Wie Kiam Kauw-cu. „Tetapi sekarang katakanlah dulu, menyangkut persoalan apakah urusan yang ingin disampaikan Heng-tay.”

Phang Kui In tampak ragu-ragu tetapi kemudian dia telah berkata dengan suara yang perlahan, “Menyangkut masalah keselamatan pulau Ang-hwa-to.....!”

„Menyangkut keselamatan pulau Ang-hwa-to?” tanya Wie Kiam Kauw-cu dengan suara terkejut, karena walaupun bagaimana perkataan yang dinyatakan oleh Phang Kui In merupakan suatu pernyataan yang sangat lancang sekali.

„Hemm..... memang agak luar biasa, apakah ada seseorang yang bermaksud akan melanggar pulau Ang-hwa-to kami? Melanggar Pek-liong-kauw?” tanyanya kemudian dengan suara yang dingin sekali.

„Bukan begitu, bukan begitu…..!” kata Phang Kui In cepat, „Tetapi masalah ini menyangkut urusan yang sangat besar sekali, dan termasuk ke selamatan Pek-liong-kauw.....! Akhh, urusan demikian penting, tidak bisa aku menyampaikannya dihadapan banyak orang! Jika memang Kauw-cu bersedia mendengar laporanku hanya di bawah empat mata, maka aku akan menyampaikannya, tetapi jika Kauw-cu keberatan, biarlah aku tidak akan mengatakannya.....!”

Wie Kiam Kauw-cu jadi agak ragu-ragu, dia telah berdiam diri sejenak, tetapi kemudian sambil menghela napas dia telah berkata. „Baiklah! Mari silahkan ikut denganku!” Dan setelah berkata begitu. Wie Kiam menoleh kepada seseorang yang disampingnya, dia bicara bisik-bisik, kemudian melangkah meninggalkan rombongannya agak jauh.

Sedangkan Phang Kui In setelah melihat Kauw-cu itu telah melangkah akan meninggalkan rombongannya, dia telah mengikutinya dari belakang. Setelah berjalan puluhan tombak, Wie Kiam menoleh dan bentaknya kepada Phang Kui In.

„Apakah sekarang dapat engkau bicara dengan tenang disini?”

Phang Kui In telah memandang ke sekelilingnya, dia telah melihat keadaan di sekitar tempat itu memang sepi dan tidak terlihat seorangpun juga. Maka akhirnya Phang Kui In telah mengangguk dengan cepat, dia telah berkata dengan suara yang sabar sekali.

„Benar! Memang tempat ini cocok untuk kita bercakap-cakap!”

„Sekarang katakanlah, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Wie Kiam Kauw-cu kemudian.

„Urusan ini sesungguhnya urusan yang sangat penting sekali, jika di saat sekarang ini Kauw-cu belum mendengarnya, karena urusan ini sangat dirahasiakan sekali, maka walaupun Pek-liong-kauw memiliki banyak orang-orangnya yang tersebar di daratan Tiong-goan, tetapi perihal peristiwa ini tentunya tidak didengar oleh Kauw-cu.....!”

„Urusan apakah itu?” tanya Wie Kiam Kauw-cu dengan suara yang tidak sabar,

„Urusan ini merupakan urusan yang sangat penting sekali, yaitu urusan dengan munculnya seorang tokoh dipersilatan yang diperalat oleh pemerintah Mongolia.....!” kata Phang Kui In kemudian dengan suara yang sabar. „Tokoh persilatan itu memiliki kepandaian yang sangat hebat sekali. Jika sampai sekarang Kauw-cu belum mengetahuinya, karena tokoh persilatan itu bekerja secara diam-diam, dan juga mengatur orang-orangnya dengan segala kepandaiannya yang ada secara sembunyi-sembunyi, untuk memberantas orang-orang gagah di dalam rimba persilatan.....! Dan yang kuketahui, justru Pek-liong-kauw merupakan salah satu nama yang terdaftar, dimana harus dibasmi habis. Karena jika orang-orang gagah berdiri di pihak pemerintah, tentunya waktu orang-orang Mongolia itu melakukan penyerbuan, dengan sendirinya akan mempersulit mereka. Karena itu mereka ingin membasmi dulu orang-orang gagah di daratan Tiong-goan, baru kelak melakukan penyerangan dan menyerbu masuk ke tapal batas.....!”

Kauw-cu dari Pek-liong-kauw itu jadi terkejut juga mendengar perkataan Phang Kui In. Dia sampai memandang tertegun. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa urusan menyangkut masalah pemerintahan. Tetapi sebagai seorang Kauw-cu yang telah seringkali mengalami banyak peristiwa dan urusan-urusan yang sangat penting dan besar, maka dia cukup tenang untuk menghadapinya. Dengan tersenyum sabar, kemudian Wie Kiam Kauw-cu telah bertanya. „Sesungguhnya, darimanakah mereka itu mengetahui perihal Pek-liong-kauw?”

Phang Kui In tertawa bergelak-gelak dengan nada yang tinggi, katanya kemudian.

„Lucu! Lucu sekali!” katanya.”Mungkin Kauw-cu memang meragukan perkataanku itu dan mengira keteranganku itu hanyalah suatu keterangan yang palsu belaka.”

Wie Kiam Kauw-cu telah menggelengkan kepalanya, dia telah berkata.

„Bukan, bukan begitu!” katanya cepat. „Sesungguhnya di dalam persoalan ini yang dipentingkan adalah fakta dan kenyataan dari bukti-bukti yang harus kau kemukakan, jika tidak terdapat bukti-bukti, bagaimana aku bisa mempercayai keteranganmu itu?”

Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu, sejenak Phang Kui In berdiam diri, kemudian dia telah berkata. „Baiklah Jika memang kauw-cu hendak meminta bukti dariku, aku tidak akan keberatan, aku akan mengeluarkannya! Di samping itu, jika Kauw-cu masih ingat! tentu Kauw-cu akan membenarkan perkataanku. Semuanya harus dilakukan dengan jujur! Pertama-tama, Kauw-cu harus mengiyakan jika memang pertanyaanku itu benar, dan menolak jika tidak benar! Bagaimana, apakah Kauw-cu bersedia untuk melakukannya?”

„Bersedia!” mengangguk Wie Kiam Kauw-cu. „Kau tanyakanlah!”

Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu yang tampaknya begitu yakin, Phang Kui In menjadi senang sekali, dia telah berkata. „Nah, kini katakanlah yang jujur, Wie Kauw-cu, bukankah Sin-tiauw Tayhiap berjanji akan datang berkunjung ke Ang-hwa-to ini?”

Mendengar perkataan dari Phang Kui In yang terakhir ini, tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi tertegun, kembali dia jadi ragu-ragu, karena walaupun bagaimana dia memang tidak dapat mengatakan „Ya!” atau „Tidak”. Pertama-tama, jika dia mengatakan Ya, berarti dia membongkar suatu urusan yang sangat penting karena persoalan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko akan berkunjung ke Ang-hwa-to merupakan urusan yang dirahasiakan sekali. Dan jika dia membenarkan, bukankah hal itu melancangkan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Tetapi jika dia mengatakan tidak, tentu saja dia pun tidak bisa melakukannya, karena memang Wie Kiam Kauw-cu tidak biasanya berdusta. Kenyataan seperti ini telah membuat Wie Kiam Kauw-cu jadi berada dalam posisi yang serba sulit. Tetapi setelah berdiam diri sejenak dia telah berkata dengan suara ragu-ragu.

„Dalam hal ini, tidak bisa aku membicarakannya..... karena memang persoalan ini bukan merupakan masalah yang biasa.....! Sedangkan aku belum lagi mengenal benar siapa diri anda! Maafkan, untuk ini aku tidak bisa menjawabnya......!”

Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu, tentu saja hal ini telah membuat Phang Kui In tertawa bergelak-gelak.

„Bukankah tadi Kauw-cu telah berjanji, akan bicara dari hal yang sejujurnya?” tanyanya.

„Benar...... tetapi jika memang masalahnya menyangkut perihal keselamatan Ang-hwa-to,” jawab Kauw-cu dari Pek-liong-kauw ini. „Jika memang dalam masalah lain, itu bukan wewenangku!”

Mendengar perkataan terakhir dari Wie Kiam Kauw-cu, tentu saja Phang Kui In jadi memperoleh sedikit kesulitan, dia telah berkata lagi dengan suara ragu-ragu.

„Dalam persoalan ini, walaupun menyangkut orang luar dari Pek-liong-kauw, tetapi juga akhirnya memiliki sangkut paut dengan Pek-liong-kauw! Maka dari itu, jika memang Kauw-cu memberikan jawaban yang meyakinkan dan jujur, aku akan menjelaskan seluruhnya dengan benar dan jelas!”

„Tetapi masalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, pendekar agung itu, bukanlah merupakan suatu persoalan yang mudah untuk dijadikan bahan percakapan yang tidak ada artinya!”

Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu, Phang Kui In telah berkata lagi. „Kenyataannya memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko bermaksud akan datang berkunjung ke Ang-hwa-to ini, tetapi sekarang sampai detik ini, bukankah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum lagi terlihat batang hidungnya?”

Mendengar perkataan Phang Kui In seketika itu juga semangat Wie Kiam Kauw-cu seperti terbang meninggalkan raganya, mukanya telah berobah menjadi pucat, bahkan dia telah berkata lagi dengan suara yang dingin. „Apakah di dalam persoalan ini, memang benar-benar engkau datang untuk menyampaikan persoalan yang memiliki sangkut paut dengan diri Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”

„Tepat! Sejak tadi aku telah mengatakan, bahwa urusan ini malah menyangkut keselamatan pulau Ang-hwa-to!” menyahuti Phang Kui In.

„Tetapi..... tetapi.....!”

„Yang jelas kini, jika sampai Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tidak menepati janjinya untuk berkunjung ke pulau ini, lalu dalam persoalan tersebut apakah tidak terdapat kejanggalan? Tentu saja ada! Karena Sin-tiauw Tayhiap sendiri tengah menghadapi suatu kesulitan yang sukar dihadapi olehnya!”

Wie Kiam Kauw-cu tampaknya jadi agak bingung, dia menghela napas beberapa kali, kemudian tanyanya. „Jadi dalam persoalan ini tampaknya engkau bersungguh-sungguh ingin menyampaikan masalah yang jauh lebih penting dari urusan Sin-tiauw Tayhiap, dan juga engkau tidak terdesak oleh tekanan-tekanan untuk membuktikan akan keadaan dirimu dan kebenaran dan keteranganmu itu, yang tentunya engkau tidak akan meminjam nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Bukankah begitu?”

„Tentu saja..... tentu saja!” mengangguk Phang Kui In. „Memang dalam persoalan ini tentu saja akupun memiliki suatu kepentingan yang saling berpegangan erat dengan persoalan yang menyangkut dengan keadaan yang dihadapi Pek-liong-kauw kelak.”

Kauw-cu dari Pek-liong-kauw telah mengerutkan sepasang alisnya, dia telah bertanya dengan suara yang dingin dan tatapan mata yang sangat tajam sekali. „Sesungguhnya, darimanakah engkau memperoleh sumber-sumber seperti itu?”

„Maksud Kauw-cu sumber keterangan-keterangan yang telah kuberikan, bukan?” tanya Phang Kui In kemudian.

Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk cepat, dia telah bertanya lagi dengan suara yang tetap dingin dan tatapan mata yang tetap tajam.

„Nah dalam persoalan ini, jika engkau dapat membuktikan dan meyakinkan diriku, tentu aku akan mempercayai penuh akan keterangan¬mu itu!”

Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu, Phang Kui In jadi tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali dan dia telah berkata dengan suara yang lantang, „Jika dalam persoalan ini Kauw-cu tetap tidak dapat mempercayai diri dan keteranganku, hal itupun tidak menjadi persoalan, karena akupun tidak akan terlalu memaksanya.....! Nah, sesungguhnya Kauw-cu bermaksud untuk mendengar keterangan dariku atau tidak?”

Wie Kiam Kauw-cu telah tertawa dingin. „Jika engkau belum bisa membuktikan secara meyakinkan bahwa engkau berasal dari mana dan memperoleh sumber keterangan seperti itu dari siapa, maka aku belum ingin bicara denganmu cara terbuka!”

„Hemm, tampaknya memang Kauw-cu masih mencurigai keadaan diriku!” kata Phang Kui In kemudian. „Tetapi dengan melihat saja bahwa aku dapat mengetahui jelas bahwa Sin-tiauw Tayhiap telah berjanji akan datang berkunjung ke pulau Ang-hwa-to, hal itu sudah merupakan suatu persoalan yang cukup mengherankan Kauw-cu, bukan? Dan itupun sudah merupakan bukti bahwa aku mengetahui urusan itu dengan jelas sekali..... Dan juga, dalam keadaan seperti sekarang, jika persoalan itu merupakan persoalan biasa saja, dari mana aku bisa mengetahui bahwa Sin-tiauw Tayhiap akan berkunjung ke Ang-hwa-to?”

Mendengar pertanyaan Phang Kui In yang terakhir Wie Kiam Kauw-cu jadi bimbang sendirinya. Memang apa yang dikatakan oleh Phang Kui In merupakan hal yang sebenarnya, karena dalam persoalan ini tentu tidak akan ada orang yang mengetahui maksud kunjungan Sin-tiauw Tayhiap ke pulau Ang-hwa-to, karena persoalan itu dirahasiakan benar, hanya beberapa orang saja dari orang kepercayaannya yang mengetahui rencana kunjungan Sin-tiauw Tayhiap.

Dalam persoalan ini mungkin Sin-tiauw Tayhiap tengah menghadapi suatu persoalan yang rumit sekali, karena jika memang tidak tentu dia akan tiba tepat dalam waktu yang telah dijanjikannya! Dan kini sampai sekarang Sin-tiauw Tayhiap tidak juga muncul, sehingga Sin-tiauw Tayhiap telah gagal dengan janjinya yang telah lewat beberapa hari, maka Wie Kiam Kauw-cu jadi semakin digeluti oleh perasaan ragunya.

„Baiklah! Memang benar Sin-tiauw Tayhiap telah berjanji ingin berkunjung ke pulau Ang-hwa-to! Nah, sekarang engkau katakan, dari mana engkau mengetahui persoalan itu?”

„Aku mengetahuinya dari Sin-tiauw Tayhiap sendiri!!” kata Phang Kui In dengan suara yang nyaring.

„Hah?” tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi terkejut, dan dia memandang tidak percaya kepada Phang Kui In.

„Jika Kauw-cu masih tidak bisa mempercayai diriku, hal itu juga sulit sekali dibilang!” kata Phang Kui In kemudian. „Memang dalam persoalan ini terdapat urusan yang penting, keselamatan dari puluhan ribu anggota Pek-liong-kauw! Dengan sendirinya, jika dalam persoalan ini Kauw-cu bertindak ceroboh, tentunya akan membuat anak buah dari Pek-liong-kauw itu, secara keseluruhannya akan menerima bencana yang tidak kecil!”

Mendengar perkataan Phang Kui In yang terakhir, tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi digeluti oleh kebimbangan yang sangat, karena memang tepat apa yang dikatakan oleh Phang Kui In. Jika dalam persoalan ini dia berlaku ceroboh tentu keselamatan dari seluruh anggota Pek-liong-kauw akan terancam! Karena itu Wie Kiam Kauw-cu telah menghela napas.

„Aneh juga, engkau selalu bicara dengan suara yang sangat dirahasiakan sekali, dengan kata-kata yang terlalu berbelit-belit, sehingga sulit untuk aku mempercayai dengan penuh keyakinan seluruh keteranganmu itu! Bagaimana aku bisa mengajakmu bicara dengan hati terbuka?”

Phang Kui In telah berkata dengan suara yang berubah menjadi lemah. „Baiklah, memang dalam persoalan ini aku yang telah bersalah, bicara terlalu berhati-hati! Sekarang begini saja, aku pernah ditawan, dan justru aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan, dimana di dalam kamar tahanan itu terdapat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!”

„Hah.....?” berseru Wie Kiam Kauw-cu dengan suara yang terkejut, karena dia merasa kaget mendengar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawan oleh seseorang, sedangkan dalam persoalan tersebut Wie Kiam Kauw-cu juga tidak bisa mempercayai sepenuhnya, karena walaupun bagaimana sulit dipercaya. Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawan oleh seseorang, sedangkan kepandaian yang dimiliki Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sudah mencapai puncak kesempurnaannya, sehingga sulit sekali dipercaya bahwa dia telah berhasil dirubuhkan begitu saja.

Karenanya Wie Kiam Kauw-cu jadi memandang dengan tatapan mata yang tidak mempercayai, akhirnya dia telah berkata dengan suara yang tawar. „Jika memang engkau mengatakan bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap, hal itu mungkin masih bisa kupercayai..... tetapi jika engkau mengatakan bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap dalam kamar tahanan, dimana Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawan, hal itu merupakan suatu dusta yang menimbulkan tertawa geli di hati!”

14.28. Tertawannya Pendekar Rajawali Sakti

„Tetapi hal ini benar-benar telah terjadi!” berkata Phang Kui In dengan wajah bersungguh-sungguh.

„Baiklah, teruskan ceritamu!”

„Aku ditawan oleh salah seorang Mongolia yang memelihara jenggot dan kumis lebat sekali, dia begitu hebat kepandaiannya, hanya dalam beberapa jurus saja aku telah berhasil dirubuhkan! Aku telah ditawan dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan batu yang rapat sekali, kemudian dia telah mengunci kembali pintu batu itu dengan mempergunakan alat rahasia. Sedangkan dalam saat-saat seperti itu, aku telah mulai biasa dengan keadaan yang gelap pekat, aku mulai dapat melihat seseorang di sudut dinding tengah duduk bersemedhi.”

„Siapa orang itu?” tanya Wie Kiam dengan suara sabar.

„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko,” menyahuti Phang Kui In. „Tetapi waktu itu aku belum mengetahui bahwa orang itu adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, aku telah menghampirinya dan bertanya dengan suara yang ragu-ragu.

„Siapakah engkau? Apakah engkau ditawan di sini juga?

„Dan orang itu telah mengawasiku dengan tatapan mata yang sangat tajam sekali, dia telah berkata dengan suara yang dingin. „Tidak perlu tahu.....! Engkau ditawan di tempat ini, karena dalam parsoalan ini engkau tidak gagah!” dan perkataan itu mengandung nada yang sangat angkuh sekali, tentu saja telah membuat aku jadi mendongkol sekali.

„Aku segera berkata. „Jika memang aku tidak perlu tahu keadaanmu, tentu engkau juga tidak perlu tahu keadaanku!

„Mendengar perkataanku itu. nampaknya orang tersebut jadi gusar. Dia telah berkata, „Aku mengetahui bahwa engkau ditawan. Engkau telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini! Dan seperti aku katakan, bahwa engkau memang tidak memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga engkau telah berhasil ditangkap demikian rupa! Hemm, tetapi sebaliknya, aku justru bukan ditawan, tetapi aku memang hendak berdiam disini tidak mau pergi!”

„Aku jadi heran mendengar perkataan orang itu, sehingga aku mengawasinya dengan tatapan mata yang sangat tajam sekali, aku telah bertanya. „Mengapa begitu?”

„Dan orang itu telah menyahuti. „Jika aku sudah mengatakan aku tidak mau pergi dari tempat ini, itupun sudah jauh lebih baik dari segala persoalan yang ada, karena engkau telah mengetahui, maka engkau tidak perlu banyak bertanya. Nasibmu sangat beruntung, karena aku bersedia untuk membantu kau melarikan diri jika memang engkau ingin melarikan diri! Maukah engkau?”

„Saat itu aku ragu-ragu, karena, walaupun bagaimana memang dalam persoalan ini telah membuat aku kuatir kalau-kalau orang ini justru orangnya dari orang Mongolia yang telah menangkapku, yang sengaja memancingku! Aku telah mengawasinya dengan tajam dan memperhatikan keadaan orang itu, segera aku telah melihatnya, orang itu duduk bersila dengan tubuh yang tegap, dengan muka yang tampan dan juga dengan tangan kanan kiri yang diturunkan. Yang mengejutkan, justru tangan kanannya yang buntung, dimana lengan jubahnya itu terjuntai lemas tidak ada isinya, tentu saja hal ini telah membuat aku jadi heran, dan teringatlah aku akan seseorang, sedangkan orang itu telah berkata dengan suara yang dingin.

„Engkau rupanya teringat kepada seseorang, bukan?” tanyanya.

„Ya, memang benar!” jawabku kemudian sambil mengangguk dan telah membenarkan pertanyaannya itu.

„Sedangkan orang itu telah berkata lagi, „Memang benar, aku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dan aku ingin membantumu jika memang engkau ingin melarikan diri dari tempat ini!”

„Tetapi saat itu aku masih ragu-ragu, dan hanya memandanginya saja. Dan orang itu, yang mengaku sebagai Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawa dingin. Dia telah berdiam diri saja. Aku jadi serba salah, dan akupun telah duduk di sudut dinding lainnya untuk mengasoh.”

Wie Kiam Kauw-cu telah mendengarkan dengah penuh perhatian.

„Bagaimana wajahnya?” tanyanya kemudian.

„Muda dan tampan sekali, seperti juga seorang pemuda duapuluh lima tahun!” menjelaskan Phang Kui In.

Mendengar itu tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi terkejut lagi. kerena memang Sin-tiauw Tayhiap walaupun telah berusia hampir empatpuluh tahunan lebih, tetapi masih memiliki paras muka yang tampan dan seperti seorang pemuda yang berusia duapuluhan tahun, karena dia memiliki lwekang yang sangat sempurna sekali, sehingga membuat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko jadi awet muda.

Saat itu tampak Phang Kui In telah melanjutkan ceritanya.

„Aku telah berdiam diri cukup lama, sampai akhirnya aku tidak bisa menahan kesabaranku lagi. „Menurut cerita orang, Tayhiap Yo Ko selalu berada berdua dengan isterinya, yaitu Liehiap Siauw Liong Lie, tetapi engkau hanya seorang diri, bagaimana aku bisa mempercayainya bahwa engkau adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?

„Mendengar itu, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko jadi tertegun, dia telah memandang dengan sorot mata yang tajam kepadaku, namun sepatah perkataan juga tidak diucapkannya. Tetapi berselang lama juga, dia telah bertanya dengan suara yang dalam. „Engkau memiliki kepandaian yang cukup tinggi, jika tadi kukatakan engkau memiliki kepandaian yang tidak sempurna, karena engkau harus menghadapi orang Mongolia itu, yang merupakan jago dari Kublai Khan! Maka dari itu, jika menghadapi jago-jago biasa, engkau tentu dapat menghadapinya dengan baik sekali. Dan jika sekarang engkau masih penasaran, dengan kepandaian yang engkau miliki itu, cobalah engkau serang diriku!

„Dan setelah berkata begitu, orang tersebut, yang mengaku sebagai Sin-tiauw Tayhiap, telah bersiap-siap duduk tegak menantikan serangan dariku.

„Aku ragu-ragu, tetapi kemudian disebabkan aku memang ingin membuktikan bahwa orang ini benar atau bukan merupakan jago nomor wahid masa kini, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, aku telah bangkit berdiri, aku menghampirinya dan mengulurkan tanganku, dan di saat itulah aku telah menggempurnya dengan mempergunakan telapak tangan kananku, sambil membentak.

„Jagalah serangan!” dan cepat bukan main, telapak tanganku itu telah meluncur dengan cepat sekali, untuk menghantam keras sekali ke arah dadanya.

„Tetapi Sin-tiauw Tayhiap itu tenang-tenang saja duduk di tempatnya, dia hanya mengawasi datangnya telapak tangan dari seranganku itu, dia telah menatap dengan tatapan mata yang tajam sekali. Dan di saat itulah terlihat ketika telapak tanganku yang tengah menyambar hanya terpisah beberapa dim, dengan gerakan yang sangat cepat, dia telah menggerakkan telapak tangan kanannya, dia telah mengibas dengan kuat sekali, maka seketika itu juga meluncur angin kibasan yang sangat kuat sekali, dan sekonyong-konyong tubuhku jadi terlempar melayang ke tengah udara. Dan itupun sangat membingungkan sekali bagiku, karena aku tidak melihat dia menggerakkan tangan kirinya, dan juga aku tidak melihat dia mengibas dengan jubah tangan kanannya yang kosong. Tetapi mengapa tubuhku bisa terpental begitu?

„Cepat-cepat aku telah memusatkan tenagaku, dan telah berusaha mengendalikan tubuhku, tetapi disaat-saat seperti itulah, dengan cepat sekali tubuhku telah melayang meluncur terbanting di lantai. Keras sekali bantingan itu, sehingga aku merasakan kepalaku pusing, mata nanar dan gelap. Aku jadi mengeluh dan merangkak bangun.

„Ketika itu, Yo Tayhiap telah berkata dengan suara yang dingin, „Ayo seranglah diriku lagi!” Perkataan itu merupakan ejekan, maka secepat kilat aku telah menggerakan kakiku, „wuttttt!” cepat bukan main kaki kananku itu telah melayang menyambar ke arah dadanya dan dengan segera aku mengincar jalan darah Ma-tung-hiatnya, yang akan kutendang agar segera terbinasa.

„Dalam keadaan demikian, tampaknya Yo Tayhiap yang tengah duduk bersemedi seperti itu sulit sekali mengelakan diri dari tendangan yang aku lakukan. Dan aku yakin tendangan tersebut akan mengenai sasarannya. Tetapi diwaktu kakiku mengenai dadanya. Dan menendang dengan tepat sekali jalan darah Ma-tung-hiatnya, di saat itu juga aku merasakan seperti menendang lapisan baja dan aku merasakan kakiku seperti terkilir, sakit luar biasa, sehingga dalam waktu sekejap mata saja, telah menyebabkan aku mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi kakiku, mukaku tentu saja meringis, dan Yo Tayhiap telah mengawasiku dengan sikapnya yang acuh tak acuh, dia juga telah berkata dengan suara yang dingin.

„Ayo seranglah lagi.....!” Dan aku merasakan bahwa perkataannya itu merupakan ejekan belaka, dengan memaksa diri aku telah merangkak bangun untuk berdiri, tetapi tidak segera melancarkan serangan, karena aku jadi berpikir keras, dengan cara apa aku harus melancarkan serangan kepadanya.”

Wie Kiam Kauw-cu yang mendengarkan cerita Phang Kui In jadi mengawasi dengan tertarik sekali, dia mendengarkan dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan anggota dari Pek-liong-kauw yang terpisah puluhan tombak, telah mengawasi saja Kauw-cu mereka tengah bercakap-cakap dengan 'tamu' tidak diundang tersebut, mereka tidak mendengar apa yang diucapkan oleh sang 'tamu' itu, yang mulutnya telah berkemak-kemik tidak hentinya, sedangkan Wie Kiam Kauw-cu tampaknya telah berdiri diam mengawasi saja dengan mata yang terpentang lebar-lebar.

Di saat itu Yo Him dan Siangkoan Peng juga telah tiba di dekat rombongan anggota Pek-liong-kauw, tetapi mereka berdiri diam tidak berani mengucapkan sepatah perkataanpun juga. Tampaknya kedua anak ini diliputi tanda tanya yang membinggungkan karena mereka telah menyaksikan rombongan anggota dari Pek-liong-kauw telah berdiri diam saja dengan jarak terpisah yang cukup jauh dengan Kauw-cu mereka, yang tengah mendengarkan cerita dari Phang Kui In.

Tentu saja hal ini telah membuat Yo Him menduga-duga, bahwa dalam persoalan ini tentunya terdapat suatu peristiwa yang sangat luar biasa..... maka Yo Him dan Siangkoan Peng telah berdiam diri saja, untuk menyaksikan peristiwa berikutnya.

„Sebetulnya siapakah dia adik Him?” tanya Siangkoan Peng sambil mengawasi bimbang kepada Phang Kui In yang tengah berkata-kata terus kepada Kauw-cu dari Pek-liong-kauw itu, karena mulutnya tampak bergerak-gerak terus, walaupun mereka yang jaraknya terpisah begitu jauh tidak mendengarnya.

„Aku sendiri mana tahu! hanya saja, dia sangat nakal dan kasar, dia telah menjatuhkan diriku dengan mudah membanting sehingga aku menderita kesakitan. Tetapi mengapa Wie Kiam Locianpwe menerimanya untuk bertemu begitu rupa? Mengapa tampaknya Wie Kiam Locianpwe tengah mendengarkan tertegun keterangannya? Apakah memang dalam persoalan ini terdapat suatu peristiwa yang hebat? Dan..... apakah kedatangan orang itu membawa bencana?”

Tetapi Yo Him dan Siangkoan Peng mana bisa mengetahui urusan apa yang akan terjadi? Sedangkan anggota-anggota Pek-liong-kauw dari golongan tua yang berada di tempat itu saja juga masih tidak mengetahui, sesungguhnya urusan apakah yang tengah dibicarakan oleh Kauw-cu mereka terhadap 'tamu' yang mengaku bernama Phang Kui In itu, yang katanya membawa berita hebat, yang hanya bisa disampaikan kepada Wie Kiam Kauw-cu secara empat mata?

Saat itu Phang Kui In telah melanjutkan pula ceritanya, katanya.

„Aku memang tengah ragu-ragu untuk melancarkan serangan lagi kepadanya, karena aku kuatir, jika aku melancarkan serangan lagi kepadanya, diriku sendiri yang akan celaka dipersakiti olehnya! Jika dilihat dalam dua gebrakan itu saja, memang telah terbukti bahwa kepandaian orang itu, yang mengaku sebagai Sin-tiauw Tayhiap, merupakan kepandaian yang sangat hebat sekali. Dengan sendirinya, hal ini telah membuat aku jadi berpikir dua kali untuk melaksanakan serangan-serangan berikutnya!”

„Lalu apakah orang itupun, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, berdiam diri saja?” tanya Wie Kiam Kauw-cu penuh perhatian.

„Ya, selama itu dia hanya berdiam diri saja, karena memang dia sama sekali tidak pernah menggerakkan tangannya, untuk menyambuti serangan-seranganku sebanyak dua kali itu. Tetapi anehnya, yang sangat mengherankan sekali, justru disaat-saat seperti itu, aku telah terpental setiap kali melancarkan serangan kepadanya. Mungkin juga Sin-tiauw Tayhiap telah mempergunakan tenaga dalamnya yang kuat sekali untuk melancarkan gempuran-gempuran yang sangat kuat sekali, yang membuat setiap tenaga seranganku itu terpukul mental membalik dan menghantam diriku sendiri!”

Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk beberapa kali, kemudian katanya, „Ya, memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki kepandaian yang sempurna sekali, dan latihan lwekangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, sulit sekali untuk dilawan, tidak ada orang kedua seperti Sin-tiauw Tayhiap dalam saat sekarang ini!”

Phang Kui ln telah mengangguk, dia telah berkata dengan suara yang sangat dalam, mengandung kekaguman.

„Benar! Aku sendiri mulai mempercayai bahwa dia sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, karena jika dibandingkan dengan kehebatan dari kepandaian yang diperlihatkannya itu, kepandaianku tidak ada artinya sama sekali, tidak bisa dibandingkan dengan kepandaiannya yang sangat sempurna itu!!”

Dan setelah berkata begitu, Phang Kui In menghela napas beberapa kali, dia juga telah menggumam dengan suara yang perlahan.

„Dan akhirnya memang aku mengetahuinya serta yakin bahwa orang itu benar-benar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan adanya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko di ruang kamar tahanan tersebut, bukan disebabkan dia ditawan, hanya karena Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sendiri yang tidak mau pergi meninggalkan tempat itu, dia ingin duduk terus di tempat itu, sehingga membuat pihak lawannya, orang-orang Mongolia jadi kewalahan. Beberapa kali jago-jago Mongolia yang berkepandaian tinggi berusaha mengusirnya, tetapi Yo Tayhiap selalu berkeras tidak mau pergi bahkan telah terjadi beberapa kali pertempuran yang hebat sekali dan selalu dimenangkan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Maka dengan sendirinya orang-orang dari Kublai Khan itu sama sekali tidak dapat mengusirnya!”

„Tetapi bagaimana kesudahannya dari seranganmu yang kedua kalinya, yang telah gagal itu?” tanya Wie Kiam Kauw-cu dengan suara mengandung perasaan ingin tahu.

„Ya, di saat itu aku masih berdiri ragu-ragu, tetapi kemudian aku telah berkata, „Baiklah, jika memang engkau menghendaki aku melancarkan serangan-serangan lagi, akupun tidak bisa menolaknya!

„Dan setelah berkata begitu, dengan cepat sekali aku telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras, dan aku telah mengumpulkan seluruh kekuatan tenaga dalamku di kedua telapak tanganku itu, lalu dengan gencar, silih berganti aku melancarkan serangan ke tubuh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Angin seranganku itu berkesiuran dengan dahsyat sekali menggempur dada Sin-tiauw Tayhiap. Namun di saat itu. Yo Tayhiap hanya mengeluarkan suara dengusan yang perlahan saja, dia telah menganggukkan kepalanya beberapa kali, dan masih sempat kudengar suara menggumamnya yang sangat perlahan. „Kepandaian yang baik, merupakan aliran putih dan tidak tesesat. Bagus! Bagus!”

„Dan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sama sekali tidak menggerakkan kedua tangannya, dia tidak melancarkan tangkisan atas serangan yang dilakukan olehku, tetap duduk bersemedhi dengan kedua tangannya yang diturunkan itu, yaitu tangan kirinya yang masih utuh, dan tangan kanannya yang telah kosong tidak berisi itu, sehingga jubah itu terjuntai lemas.

„Tetapi yang luar biasa sekali justru tenaga seranganku yang hebat itu seperti tidak di pandang sebelah mata, bahkan belum lagi angin serangan itu berhasil mengenai sasarannya, ternyata tenaga dalamku itu telah membalik menghantam diriku dengan kekuatan di luar dugaanku, lebih hebat dari tenaga seranganku yang semula. Aku sampai mengeluarkan suara teriakan kaget, dan telah cepat-cepat melompat mundur, kemudian mengerakkan tangan kananku untuk menangkis lagi. Tetapi gerakanku telah terlambat, karena dalam saat-saat seperti itu tampak tubuhku telah terlontarkan dan dengan cepat sekali terbanting keras di atas lantai sehingga untuk sejenak lamanya aku tidak bisa segera bangkit berdiri, pandangan mataku jadi gelap berkunang-kunang, kepalaku pusing bukan main.

„Dalam keadaan demikian tampak Sin-tiauw Tayhiap telah mengeluarkan suara tertawa yang bening dan bersih sekali. „Kulihat, engkau bukan termasuk manusia jahat! Engkau merupakan golongan yang lurus dan bersih. Tetapi dalam persoalan ini, engkau masih kurang berpengalaman dalam bertempur, karena engkau masih sering dikuasai oleh emosi, sehingga tenaga murnimu itu sering terpecah menjadi tiga bagian, yaitu mengikutinya tekanan darah tinggi, sering mengikuti nafsu, sering kurang perhitungan. Ketiga faktor itulah yang telah membuat kau selalu terbanting oleh seranganmu sendiri! Coba jika engkau melakukan penyerangan dengan lebih tenang, melenyapkan nafsu untuk merubuhkan aku, memusatkan pemikiran hanya untuk melakukan penyerangan saja, dan juga melenyapkan tekanan darah tinggimu yang bisa mendatangkan kemarahan dan kemurkaan, maka engkau bisa melakukan penyerangan-penyerangan secara hebat dan bisa lebih baik melindungi dirimu dari gempuran-gempuran membalik dari tenaga seranganmu!

„Mendengar perkataan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, seketika aku tersadar, pikiranku jadi jernih, dan itulah petuah yang sangat berharga, sama berharganya dengan latihanku selama sepuluh tahun dalam ilmu silat! Tanpa petuahnya itu, walaupun aku melatih diri sepuluh tahun lagi, tidak nantinya aku menerima kemajuan yang hebat dan belum tentu aku bisa memecahkan teka-teki mengapa aku selalu terpental setiap kali melancarkan serangan kepadanya. Dan karena itu, aku sangat bersyukur dan berterima kasih, yakinlah aku di saat itu, bahwa orang ini memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, cepat-cepat aku telah merangkak bangun, aku telah menghampirinya dan telah menekuk kedua lututku, bersujud dihadapannya.

„Maafkanlah aku, yang telah berlaku lancang melancarkan serangan-serangan kepada Locianpwee,” kataku kemudian.

„Tetapi Sin-tiauw Tayhiap telah berkata dengan suara yang bening sekali, sabar nadanya, sikapnya berbeda sekali dengan sikapnya beberapa saat yang lalu, dia telah mengatakan, „Bangun! bangun! berdirilah jangan melakukan begitu! Aku tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan! Semuanya harus wajar! Sesuatu yang berlebihan tentu akan membawa kerusakan dan malapetaka! Tahukah engkau sikap menghormat yang terlampau berlebihan, akan membawa celaka?”

„Ditanya begitu, aku hanya menggeleng saja, karena aku memang tidak mengetahuinya, jika sikap pemberian hormat yang berlebihan bisa mencelakai orang yang dihormati itu, karena disamping akan berkepala besar dan sombong, juga akan melalaikan kemajuan dirinya sendiri. Maka dari itu aku telah berdiam diri saja, karena aku menduga bahwa Yo Tayhiap tentunya memiliki petuah lainnya.

„Melihat aku menggeleng Yo Tayhiap telah tertawa kecil, dia telah berkata dengar suara yang sabar sekali, katanya. „Ya memang dalam persoalan ini engkau tentunya belum mengetahui secara menyeluruh, bahwa sikap menghormat yang diberikan secara berlebihan bisa membawa celaka, yaitu kepada orang yang bersangkutan, baik kepada yang menghormati, maupun bagi yang dihormati. Bagi orang yang menaruh hormat terhadap seseorang, hormat itu memang baik. Terlebih lagi untuk golongan yang lebih tua dan tinggi tingkatannya. Tetapi jika saja pemberian hormat itu berlebihan, tentu saja akan menyiksa bathin orang itu sendiri, maka selanjutnya, baik dia melakukan pekerjaan benar atau salah, dia tidak akan berani membantah. Dan hal itu berarti juga telah lenyapnya keyakinan diri sendiri, telah lenyap kepercayaan diri sendiri! Bukankah hal itu membawa celaka? Dengan lenyapnya kepercayaan diri sendiri, berarti orang itu menghadapi malapetaka yang sangat besar, karena dia tidak akan menerima kemajuan yang diharapkan, dan seumur hidupnya dia tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa! Sedangkan bagi orang yang dihormati secara berlebihan, tentu akan mengalami celaka juga!

„Pertama-tama, sebagai seorang manusia, tentu saja semua orang gemar dihormati. Coba saja, jika ada seorang pemuda yang berlaku kurang ajar terhadap orang yang tingkatannya lebih tinggi, tentu orang dari golongan tua itu akan marah, karena menganggap anak muda itu kurang ajar! Sedangkan juga saat itu memang merupakan batas tingkat dari golongan, maka cukup jika dihormati secara wajar saja.....! Kalau sampai pemberian hormat dilakukan dengan berlebihan, tentu saja akan membuat orang itu jadi kebelinger dan membuat dia jadi berkepala besar, sombong, angkuh, lupa diri dan sering melakukan perbuatan-perbuatan di luar dari kebiasaannya, dan memiliki keinginan (ambisi) yang berlebihan, yang bisa mencelakai dia!

„Bukankah sesuatu yang berlebihan akan mendatangkan celaka? Bukankah kita makan sesuatu terlalu banyak akan membuat kitapun akan muntah.....? Itulah sebabnya, engkau jangan menghormati diriku terlalu berlebihan, disamping bisa mencelakai dirimu, juga bisa mencelakai diriku! Itulah yang tidak kukehendaki.....!” Setelah berkata begitu, Tayhiap Yo Ko telah menatapku dengan tajam, saat itu aku telah duduk diam dihadapannya, duduk dengan sikap bersemadhi.

„Sudah kukatakan tadi bahwa mata Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki sinar yang sangat tajam sekali, membuat aku tidak berani membalas menatapnya dan hanya menundukkan kepala saja. Di saat itu Sin-tiauw Tayhiap telah berkata lagi. „Engkau ditawan karena kepandaianmu tidak mencukupi untuk melawan lawanmu itu, tetapi dalam keadaan demikian, aku bisa membantumu untuk meloloskan diri! Maukah engkau?”

„Aku masih duduk diam, ragu-ragu, tetapi kemudian aku mengangguk. „Jika memang Tayhiap bersedia untuk menolongku, aku sangat berterima kasih sekali!” dan tampak Sin-tiauw Tayhiap telah mengangguk dan di saat itu dia telah menggerakkan tangan kirinya, dia telah memukul dinding batu itu. „Brukkk!” batu tersebut telah pecah berlobang besar.

„Nah, keluarlah.....!” katanya kemudian dengan suara yang sabar. Aku tentu saja girang, aku telah mengucapkan terima kasih, dan telah membungkukkan tubuh berulang kali bersujud kepadanya. „Entah dengan cara apa aku bisa menyatakan terima kasihku ini, dan entah dengan bagaimana aku bisa membalas budi kebaikan Locianpwe!”

Tetapi Sin-tiauw Tayhiap telah tertawa, dia telah berkata. „Cukup jika engkau sampaikan salamku kepada Wie Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw di pulau Ang-hwa-to, katakan kepadanya, bahwa aku meminta maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk berkunjung kepadanya, dan juga dalam persoalan ini akupun sangat menyesal sekali tidak bisa menyampaikan suatu urusan yang sangat penting!!

„Mendengar itu, aku segera menyatakan, bersedia mewakilinya untuk pergi menemui Wie Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw untuk menyampaikan pesannya mengenai urusan yang dianggapnya luar biasa itu. Dan Sin-tiauw Tayhiap setelah ragu-ragu sejenak, kemudian menceritakan urusannya itu.....!”

Dan bercerita sampai disitu, tampak Phang Kui In telah berhenti sejenak, dia telah berkata dengan suara yang lebih perlahan. „Ternyata urusan yang disampaikan oleh Sin-tiauw Tayhiap merupakan urusan yang sangat besar dan luar biasa sekali!”

Wie Kiam Kauw-cu jadi tergoncang hatinya, sekarang sebagian besar dia mulai mempercayai orang she Phang ini. „Urusan apakah itu?” tanya Wie Kiam Kauw-cu kemudian.

Phang Kui telah menghela napas, dan telah berkata lagi. „Sesungguhnya, persoalan ini menyangkut keselamatan negeri kita, yaitu daratan Tiong-goan. Karena telah direncanakan oleh Kublai Khan, dalam beberapa tahun mendatang untuk melancarkan penyerbuan ke daratan Tiong-goan lagi, terlebih lagi kini tentara pemerintah Song telah lemah, dengan sedirinya ini membahayakan sekali. Menurut Sin-tiauw Tayhiap dia telah berhasil melakukan penyelidikan bahwa kekuatan yang disusun Kublai Khan jauh lebih kuat dari susunan tentara yang dibentuk oleh Mangu beberapa tahun yang lalu, di saat Mangu sebelum meninggal di tangan Sin-tiauw Tayhiap..... maka dari itu, Sin-tiauw Tayhiap ingin menyampaikan berita penting itu kepada para pendekar gagah seperti Tayhiap Kwee Ceng dan lain-lainnya agar bersiap-siap, karena banyak jago-jago dari Mongolia yang mulai dikirim secara diam-diam dan secara sembunyi-sembunyi, untuk mengacau ke daratan Tiong-goan, untuk membinasakan semua jago-jago persilatan dari daratan Tiong-goan yang setia kepada pemerintah Song dan menurut Sin-tiauw Tayhiap, jika para pendekar di daratan Tiong-goan yang cinta negara bergabung, tentu maksud dari Kublai Khan itu dapat dibendung!”

Wie Kauw-cu terkejut bukan main. Urusan ini bukan merupakan urusan yang bisa dibuat main-main dan diremehkan. Karena itu dia telah mengangguk berulang kali, dia telah berkata dengan suara yang sangat perlahan dan ragu-ragu. „Memang hebat sekali urusan ini, oleh karena itu kita harus bersiap-siap!” dan sambil menggumam begitu, tampak Wie Kauw-cu telah mengangkat kepalanya, dia telah menatap tajam sekali kepada Phang Kui In. „Lalu ada pesan apa lagi yang disampaikan oleh Yo Tayhiap?”

„Yo Tayhiap hanya berpesan supaya aku meminta kepada Wie Kauw-cu agar menyampaikan persoalan itu kepada semua orang-orang gagah di daratan Tiong-goan. Menurut Yo Tayhiap, Pek-liong-kauw memiliki puluhan ribu anggota dan kekuatannya sangat luas, banyak orang-orangnya di daratan Tiong-goan, untuk menyampaikan berita ini secara merata kepada orang-orang gagah dalam persilatan dataran Tiong-goan memang bukan merupakan urusan yang sulit!”

„Baiklah. Aku sekarang mengerti!” mengangguk Wie Kiam Kauw-cu kemudian. „Hanya saja, masih ada satu yang membuat aku jadi heran.....!”

„Apakah itu Kauw-cu?” tanya Phang Kui In sambil menatap Kauw-cu itu.

„Mengapa Sin-tiauw Tayhiap duduk berdiam diri saja di dalam ruang kamar tahanan itu, bukankah jika dia ingin melarikan diri meninggalkan tempat itu, dengan mudah dia dapat melakukannya, seperti halnya dia membantumu untuk melarikan diri?” tanya Wie Kiam Kauw-cu kemudian.

Phang Kui In mengangguk cepat.

„Memang semula aku juga heran oleh sikapnya itu, tetapi setelah Sin-tiauw Tayhiap menjelaskannya, aku baru mengerti! Sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap tengah mencari seseorang, yaitu Tiat To Hoat-ong, jago utama dari Mongolia, karena hasil penyelidikannya membuktikan bahwa Tiat To Hoat-ong yang telah mencelakai isterinya, yaitu Liehiap Siauw Liong Lie, yang beberapa tahun yang lalu tengah hamil.....! Sampai sekarang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum pernah bertemu dengan isterinya itu, dan juga dia tidak mengetahui apakah isterinya meninggal atau telah melahirkan? Jika memang isterinya terbinasa di tangan Tiat To Hoat-ong, berarti isterinya telah meninggal, bersama janin bayinya. Tetapi kalau isterinya berhasil meloloskan diri dari kematian, berarti kini dia telah melahirkan dan Yo Tayhiap masih ragu-ragu akan hal itu, karena dia masih berpikir keras, apakah dia akan bertemu dengan anak isterinya itu?”

Wie Kiam Kauw-cu telah bertanya lagi. „Lalu dengan duduk berdiam di ruang kamar tahanan itu, apa maksud dari Sin-tiauw Tayhiap?”

„Menurut Yo Tayhiap, dia ingin memaksa Tiat To Hoat-ong keluar memperlihatkan diri, karena Yo Tayhiap mengetahuinya bahwa Tiat To Hoat-ong berada bersama-sama dengan orang-orang Mongolia itu, tetapi sebegitu jauh, Tiat To Hoat-ong belum mau memperlihatkan diri.”

„Tetapi yang mengherankan, mengapa justru Sin-tiauw Tayhiap mau menyiksa diri seperti itu? Bukankah dia bisa saja memaksa dengan kekerasan agar jago utama dari Mongolia itu keluar memperlihatkan dirinya?”

„Sudah dilakukan oleh Sin-tiauw Tayhiap. Bahkan menurut keterangan Sin-tiauw Tayhiap, dia telah membunuh lebih dari limapuluh jago-jago Mongolia itu, tetapi sayangnya, Tiat To Hoat-ong merupakan manusia pengecut, dia tetap menyembunyikan diri terus!”

„Kalau memang Sin-tiauw Tayhiap melakukan sikap duduk diam tidak mau meninggalkan tempat itu, bukankah pihak Mongolia itu sendiri bisa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sin-tiauw Tayhiap seorang diri?”

„Tidak bisa! Karena telah tercantum dalam rencana rombongan dari jago-jago Mongolia itu, bahwa kedatangan mereka di tempat tersebut, yaitu di dekat kaki gunung Kun-lun-san, merupakan tempat yang akan disinggahi oleh Kublai Khan. Karena dalam tahun ini Kublai Khan akan datang menyelusup masuk ke daratan Tiong-goan, untuk meninjau dan mengawasi situasi yang ada. Dengan melihat situasi yang ada dan juga dengan melihat keadaan tempat-tempat yang bisa dipergunakan sebagai markas utamanya, kelak dia lebih mudah mengatur penyerangan-penyerangan dari pasukannya yang akan dipimpin menyerbu masuk!”

„Akhhh!” Wie Kiam Kauw-cu telah mengeluarkan seruan tertahan. „Inilah urusan yang cukup besar dan tidak bisa diremehkan!”

„Benar! Begitupun menurut pendapat Sin-tiauw Tayhiap, urusan ini memang perlu sekali diselesaikan secepat mungkin, untuk disampaikan kepada para pendekar di daratan Tiong-goan. Tetapi disebabkan Sin-tiauw Tayhiap sendiri tengah terlibat dalam persoalan mengejar musuh besarnya, yaitu Tiat To Hoat-ong, sehingga dia memperoleh kesulitan dan dia belum dapat untuk mengerahkan perhatiannya untuk persoalan tersebut. Sin-tiauw Tayhiap juga mengemukakan, memang urusan pribadi bisa dikesampingkan, demi urusan negara dan tanah air untuk keselamatan negara Song. Tetapi karena mengingat Tiat To Hoat-ong yang mengetahui di tempat mana dia mencelakai Siauw Liong Lie, maka Sin-tiauw Tayhiap ingin memaksanya agar dia memberitahukan tempat itu, agar kelak Sin-tiauw Tayhiap bisa mencari jejak isterinya itu. Syukur kalau memang Siauw Liong Lie tidak tercelaka di tangannya Tiat To Hoat-ong, sehingga dengan mudah Sin-tiauw Tayhiap akan mencari jejaknya, walaupun telah berselang banyak tahun, dan itu justru yang diharapkan oleh Sin-tiauw Tayhiap. Dia menghendaki agar Siauw Liong Lie selamat melahirkan anak pertama mereka, yang tentunya telah berusia diantara sembilan tahun!”

Mendengar perkataan Phang Kui In sampai di situ, Wie Kian Kauw-cu telah berkata. „Ya memang dalam persoalan ini Sin-tiauw Tayhiap tidak perlu berkuatir, karena kami telah berhasil menemukan puteranya, yang kini berada bersama-sama kami! Sedangkan mengenai Liehiap Siauw Liong Lie, masih belum diketahui jejaknya. Tetapi yang pasti, Liehiap Siauw Liong Lie tentunya belum terbinasa, karena jika telah terbunuh oleh Tiat To Hoat-ong, tentu mayatnya akan dijumpai oleh Yo Him, putera mereka itu.”

Muka Phang Kui In jadi girang bukan main, dia sampai mengeluarkan suara seruan girang.

„Jika saja persoalan ini didengar oleh Sin-tiauw Tayhiap, tentunya pendekar besar itu sangat girang sekali!” serunya dengan suara yang nyaring, karena kegembiraan yang meluap-luap.

Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk, dan kemudian dia menoleh kepada rombongan anggota Pek-liong-kauw, dia telah melihat Yo Him dan Siangkoan Peng berada diantara rombongan orang-orang Pek-liong-kauw itu.

„Kau tunggu sebentar!” kata Wie Kiam Kauw-cu kemudian sambil membalikkan tubuhnya dia telah melangkah cepat menghampiri Yo Him. Dituntunnya tangan anak itu, sambil katanya ramah. „Mari nak, aku ingin memperkenalkan kau kepada seseorang!”

Yo Him tengah terheran-heran, tetapi di saat itu dia hanya mengikuti saja dia membiarkan tangannya dicekal oleh Wie Kiam Kauw-cu. Saat itu Wie Kiam Kauw-cu telah sampai di hadapan Phang Kui In.

„Saudara Phang, inilah puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” memperkenalkan Wie Kiam Kauw-cu. „Dan Him-jie, inilah paman Phang Kui In, utusan ayahmu!”

Muka Phang Kui In jadi berobah seketika dan dia tampaknya jadi menyesal sekali. „Oh, engko kecil, ternyata engkau putera dari tuan penolongku! Maafkanlah tindakanku yang kasar tadi, aku tidak bermaksud buruk!” kata Phang Kui In cepat sekali, bahkan dia juga telah merangkapkan kedua tangannya, tanpa segan-segan dia telah memberi hormat dengan membungkukkan tubuh kepada Yo Him.

Yo Him semula juga terkejut mendengar Phang Kui In adalah utusan ayahnya, dia jadi tertegun. Dan anak ini jadi tambah kaget waktu melihat Phang Kui In merangkapkan kedua tangannya sambil menjura memberi hormat kepadanya. Tentu saja dia jadi likat dan malu sendirinya. Cepat-cepat Yo Him telah membalas pemberian hormat itu.

„Akupun meminta agar paman Phang memaafkan aku, karena tadi aku telah lancang melancarkan serangan kepada paman Phang, dan telah memiliki dugaan yang tidak-tidak!”

15.29. Perjalanan Kembali Mencari Ayah

„Tidak apa-apa, itu semua hanya salah pengertian belaka tadipun antara aku dengan Wie Kiam Kauw-cu hampir saja timbul salah pengertian!”

„Mana ayahku?” tanya Yo Him akhirnya dengan suara yang ragu-ragu, hatinya saat itu tergoncang keras sekali.

„Dalam waktu yang tidak lama lagi, tentu ayahmu itu akan segera tiba di pulau ini, kini tengah ada suatu persoalan yang perlu diselesaikan, maka dalam beberapa saat ayahmu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum pula dapat berkunjung ke pulau ini!”

Yo Him mengangguk-angguk beberapa kali, kemudian dia telah bertanya dengan suara yang masih ragu-ragu, karena hatinya masih saja tergoncang keras. „Sesungguhnya..... sesungguhnya….. bagaimana sih rupa dan keadaan ayahku itu?”

Wie Kiam Kauw-cu dan juga Phang Kui In jadi terharu sekali, mereka mengerti bahwa anak ini sejak dilahirkan sampai dia memasuki usia seperti sekarang ini, belum pernah melihat ayah kandungnya.

„Tidak lama lagi tentu engkau akan melihat ayahmu itu,” kata Phang Kui In kemudian.

„Ya..... tentu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko akan berkunjung kemari dalam waktu-waktu yang tidak lama lagi,” kata Wie Kiam Kauw-cu.

„Bagaimana jika Yo Siauw-ko (Engko kecil she Yo) ini kubawa menjumpai Sin-tiauw Tayhiap, agar Tayhiap Yo Ko menjadi tenang dan memiliki pegangan mengenai urusan isteri dan anaknya ini?” tiba-tiba Phang Kui In telah memberikan sarannya. „Aku berjanji, akan menjaganya baik-baik selama dalam perjalanan! Tentu Sin-tiauw Tayhiap masih berada di kaki gunung Kun-lun-san, karena selama ini tentunya Tiat To Hoat-ong hanya akan menyembunyikan diri di sekitar kaki gunung itu!”

Wie Kiam Kauw-cu tampak ragu-ragu, dia telah berkata perlahan. „Bagaimana jika urusan ini kita rundingkan dulu dengan Kwee Tayhiap Kwee Ceng, dengan jago-jago golongan tua lainnya, yang kebetulan menjadi tamu kami?”

„Kwee Tayhiap berada disini juga?” tanya Phang Kui In terkejut bercampur girang.

„Bukan hanya Kwee Tayhiap saja, tetapi juga Tayhiap Ciu Pek Thong, Liehiap Oey Yong, dan lain-lainnya berada disini. Begitu pula dengan It-teng Taysu, telah berada di pulau ini, maka jika engkau bermaksud untuk bertemu dengan mereka, mari ikut bersamaku! Mengenai kepergianmu yang hendak mengajak Yo Him, saudara Phang bisa kita rundingkan nanti!”

Phang Kui In menyetujui saran Wie Kiam Kauw-cu, segera mereka menuju ke markas Pek-liong-kauw.

Di saat itu tampak jago-jago golongan tua telah berkumpul di ruangan itu, mereka juga telah belajar saling kenal dengan Phang Kui In. Berulang kali Phang Kui In menyatakan kegembiraannya, karena dia merasa beruntung sekali bisa bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan yang ternama itu.

Setelah Wie Kiam Kauw-cu mengemukakan semua uraian yang terjadi di luar dari pulau Ang-hwa-to yang te!ah mengejutkan semua orang-orang gagah itu, maka Wie Kiam Kauw-cu juga telah mengemukakan usul dari Phang Kui In, untuk mengajak Yo Him menemui Sin-tiauw Tayhiap yang sedang berada di kaki gunung Kun-lun-san.

„Itupun merupakan jalan yang cukup baik!” kata Kwee Ceng dengan sabar setelah berpikir sejenak. „Kita bisa menyebar orang untuk menyampaikan pesan Yo Ko kepada semua para pendekar pencinta negeri, sedangkan Phang Kui In bertugas uatuk mengajak Yo Him menemui Ko-jie (anak Yo, karena Kwee Ceng memang biasa memanggil Yo Ko dengan sebutan Ko-jie.). Nah, bagaimana pendapat It-teng Cianpwe?”

It-teng Taysu telah mengangguk.

„Ya, aku menyetujui saja.....!” katanya kemudian.

Begitu juga dengan orang-orang gagah lainnya. Hanya Oey Yong yang menambahkan. „Apakah tidak lebih baik jika seandainya Phang Kiesu (orang gagah she Phang) ini membawa Yo Him bersama-sama ditemani beberapa orang kawan kita?”

„Jangan!” kata It-teng Taysu „Tentu akan mendatangkan kecurigaan belaka! Dengan melakukan perjalanan berdua saja, mereka bisa menyamar! Bukankah begitu, Phang Kiesu? Dengan demikian kalian tentu bisa melakukan perjalanan yang jauh lebih mudah.”

Di saat itu tampak yang lainnya menyetujui, dan Phang Kui In juga telah mengiyakan.

Menurut orang-orang gagah itu, memang Phang Kui In seorang yang mengetahui tempat dimana adanya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, maka dengan diajaknya Yo Him oleh Phang Kui In, tentunya pertemuan ayah dan anak itu dapat berlangsung tanpa adanya kesulitan-kesulitan lagi.

Begitulah, Wie Kiam Kauw-cu telah perintahkan kepada orang-orangnya untuk mempersiapkan meja perjamuan untuk menjamu Phang Kui In.

Sedangkan Phang Kui In sendiri merasa girang bukan main, karena disamping dia berhasil bertemu dengan orang-orang gagah golongan tua yang menjadi tokoh persilatan, juga telah berhasil membawa Yo Him untuk dipertemukan dengan Sin-tiauw Tayhiap, berarti dia akan dapat membalas budi dari Pendekar Rajawali Sakti yang merupakan tokoh nomor wahid dunia persilatan ini! Maka telah direncanakan, besok pagi Phang Kui In dan Yo Him berdua akan meninggalkan pulau Ang-hwa-to.

Malam itu Siangkoan Peng menangis tidak hentinya karena dia merasa berat harus berpisah dengan Yo Him, sehingga dia dijadikan bahan tertawaan dari para Pendekar-pendekar gagah perkasa itu, yang menganggap sikap Siangkoan Peng sangat lucu sekali.

Karena ditertawakan Siangkoan Peng telah cemberut dan berlari ke kamarnya, kemudian mengunci pintu kamarnya. Sedangkan Siangkoan Lin Lie hanya tertawa saja melihat sikap puterinya yang dianggap lucu.

Banyak yang diceritakan oleh Phang Kui In mengenai perkembangan dalam rimba persilatan, terutama sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar pulau Ang-hwa-to, dimana negara Song tengah terancam oleh serangan dan penyerbuan dari tentara Mongolia.

Begitulah Phang Kui In telah mengajak Yo Him berangkat meninggalkan pulau Ang-hwa-to dengan mempergunakan perahu kecilnya, yang kemarin telah dipergunakannya untuk datang ke pulau ini.

Keberangkatan Yo Him dan Phang Kui In diantar oleh semua orang gagah, dan mereka mendoakan agar Yo Him berhasil bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, juga mengharapkan agar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum pergi dari kaki gunung Kun-lun-san.

Di tengah laut, Yo Him banyak menanyakan perihal ayahnya yang memang belum pernah dilihatnya.

Phang Kui In dengan senang hati menceritakan seluruh pengalamannya ketika bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap.

Yo Him tertarik sekali mendengarkan cerita dari Phang Kui In. Dia kagum, bercampur perasaan bangga waktu mendengar ayahnya itu memiliki kepandaian yang demikian hebat, karena Phang Kui In yang tampaknya memiliki kepandaian demikian tinggi, tidak berdaya sama sekali menghadapi ayahnya itu. Tentu saja hal itu telah membuat hati Yo Him semakin keras untuk cepat-cepat dapat bertemu dengan ayahnya.

Dalam keadaan demikian, tampak Yo Him telah mengatakan.

„Apakah ayahku itu belum pergi dari kaki gunung Kun-lun-san? Bukankah sejak paman Phang berangkat menuju pulau Ang-hwa-to, dan perjalanan kita kesana, memakan waktu hampir tiga bulan?”

„Mudah-mudahan saja Sin-tiauw Tayhiap belum berlalu dari tempat itu! Memang kita harus melakukan perjalanan yang cepat, dan semoga saja diperjalanan kita tidak menemui rintangan apa-apa.”

Yo Him juga mengharapkan demikian adanya.

Perahu telah meluncur dengan cepat sekali membelah gelombang.

Waktu hari ketiga sejak mereka berlayar, terjadi badai dan gelombang yang besar sekali, perahu itu seperti sehelai daun yang diombang ambingkan kesana kemari.

Yo Him jadi ketakutan melihat keganasan alam yang ada, dia sampai berseru-seru berulang kali dengan ketakutan sekali.

Di saat itu, tampak Phang Kui In telah berusaha uatuk mengendalikan perahunya, dan akhirnya dia berhasil juga mengendalikan perahunya itu, walaupun ada sebagian dari persediaan bahan makanan mereka yang telah terlempar ke laut.

Yo Him sangat letih sekali, setelah badai lewat, dia tertidur nyenyak sekali.

Waktu anak kecil ini tertidur nyenyak, Phang Kui In telah duduk terpekur mengawasinya. Di lihatnya Yo Him tidur nyenyak sekali, mukanya tampan dan juga tampaknya dia memang menarik hati. Dalam keadaan seperti ini, Phang Kui In menghela napas berulang kali, hatinya merasa iba dan terharu atas nasib Yo Him.

„Kasihan nasib anak ini, sejak dilahirkan dia belum pernah bertemu dengan ibu dan ayah kandungnya, dan menurut cerita In-lap Siansu dan Wie Kiam Kauw-cu. Yo Him selalu menderita dan bersengsara dalam usia yang demikian kecil!”

Perahu terus juga meluncur dengan cepat.

Setelah melakukan perjalanan hampir sepuluh hari, akhirnya mereka telah tiba di pelabuhan kota Man-siang-kwan.

Yo Him mengajak Phang Kui In untuk singgah di kota tersebut, karena selama sepuluh hari berada di tengah laut, merupakan hal yang sangat membosankan sekali.

Phang Kui In sesungguhnya ingin melakukan perjalanan yang cepat, tetapi karena dia tidak sampai hati menolak permintaan Yo Him, dia meluluskannya dengan segera. Begitu turun ke darat dan setelah menitipkan perahu mereka kepada salah seorang nelayan di pelabuhan tersebut, Phang Kui In dan Yo Him telah berkeliling kota. Mereka telah berjalan mengelilingi kota yang sangat ramai itu, Yo Him berulang kali memuji keindahan kota tersebut, karena dia telah banyak menyaksikan keramaian.

Di pinggir jalan dekat pintu utara dari kota tersebut, tampak serombongan orang yang tengah menyaksikan penjual silat. Seorang gadis, berusia diantara duapuluh lima tahun, tengah bersilat, sedangkan seorang lelaki tua, yang tampaknya adalah ayahnya, telah menabuh tambur dengan keras, disertai oleh teriakan-teriakan bersemangat. Si gadis bersilat dengan sebatang pedang, sehingga sinar pedang itu berkelebat-kelebat dengan cepat menyilaukan mata.

Yo Him memuji permainan silat atau ilmu pedang si gadis. Saat itu Phang Ku In mengajak Yo Him meninggalkan tempat itu.

„Biasanya di tempat keramaian seperti itu, dimana ada penjual silat yang tengah mempertunjukkan ilmu silatnya, akan muncul peristiwa-peristiwa keributan, mari kita berangkat! Karena dengan mempertunjukkan ilmu silatnya itu, berarti penjual ilmu silat itu bisa mendatangkan perasaan tidak senang dari buaya-buaya darat di kota-kota yang disinggahinya!”

Yo Him hanya menuruti saja ajakan Phang Kui In, dan mereka telah mengelilingi kota itu lagi beberapa saat lamanya, sampai akhirnya mereka telah sampai di pintu kota sebelah barat, dan mereka melihat keadaan di tempat itu sangat ramai sekali.

Tetapi, Phang Kui In tiba-tiba menghentikan langkah kakinya, mukanya jadi berobah merah padam karena gusar. Yo Him juga telah berhenti melangkah, karena dia melihat seorang gadis berusia duabelas tahun tengah menangis terisak-isak, menjerit-jerit kesakitan, sebab dua orang pengemis berusia diantara duapuluh tahun tengah memukuli gadis itu. Tentu saja gadis kecil itu tidak berdaya sama sekali, dia hanya bisa menangis sambil menjerit-jerit saja.

„Sungguh perbuatan biadab! Entah anggota mana pengemis-pengemis tidak tahu diuntung itu? Apakah mungkin di dalam Kay-pang terdapat manusia-manusia seperti mereka?” menggumam Phang Kui In dengan gusar. Lalu Phang Kui In telah menoleh kepada Yo Him, katanya.

„Mari kita tolongi gadis itu!”

Tanpa menantikan sahutan Yo Him, Phang Kui In telah melangkah menghampiri kedua pengemis yang tengah memukuli gadis kecil itu.

„Takkk! Takk!” tahu-tahu tangan Phang Kui In telah menyampok kedua tangan dari pengemis itu, dan kedua pengemis tersebut meraung kesakitan, mereka telah melompat akan mundur, tetapi keseimbangan tubuh mereka telah lenyap, sehingga mereka terhuyung-huyung dan terjungkal rubuh ke belakang kesakitan.

Si gadis kecil yang ditolongi itu telah berlari sambil menangis, ke tepi jalan. Banyak orang yang tadi menyaksikan gadis itu dipukuli oleh kedua pengemis itu, yang tidak ada seorangpun berani menolonginya, telah mengeluarkan suara sorakan girang melihat kedua pengemis itu telah terpental demikian rupa.

Di saat itu, tampak Phang Kui In telah berkata dengan bengis.

„Pengemis-pengemis tidak tahu diuntung, mengapa kau menyiksa seorang gadis yang tidak berdaya itu?”

Mata kedua pengemis itu mencilak, mereka telah merangkak berdiri dengan sikap yang galak dan telah membalas menatap kepada Phang Kui In. Bahkan salah seorang diantara mereka berdua telah ada yang membentak,

„Siapa kau? Tidak tahukah engkau bahwa kami dari Kay-pang?” tanyanya dengan suara yang angkuh sekali.”

„Engkau tidak perlu meminjam keangkeran Kay-pang untuk menggertakku!” kata Phang Kui In dengan suara yang dingin. „Tetapi yang terpenting justru perbuatan kalian yang telah melakukan penyiksaan terhadap gadis kecil yang tidak berdaya itu, harus kalian pertanggungkan! Bahkan aku berpikir, Kay-pang yang sangat terkenal, yang selalu berjuang untuk keadilan mana mungkin memiliki anggota-anggota cabang yang bejat seperti engkau? Jika Pangcu mengetahui perbuatan kalian ini, bukankah kalian akan menerima hukuman?” Dan setelah berkata begitu Phang Kui In berulang kali memdengus mengejek, dengan muka yang dingin dan bengis.

Muka kedua pengemis itu jadi berubah hebat, mereka tampaknya sangat marah sekali, dengan cepat salah seorang telah membentak sambil melompat mengayunkan tangan kanannya, dia telah melancarkan serangan yang cepat sekali.

Phang Kui In hanya mengawasi saja serangan yang dilancarkan pengemis itu, waktu kepalan tangan pengemis tersebut hampir tiba di dadanya dengan kecepatan yang luar biasa Phang Kui In mengulurkan tangan kirinya, dia telah mencekal pergelangan tangan si pengemis, kemudian kepalan tangan kanannya menerobos masuk ke ketiak pengemis tersebut.

„Bukkkkk!” di saat itu juga ketiak pengemis itu telah terserang hebat, sehingga dia merasakan tulang iga di dekat ketiaknya seperti akan hancur, dia sampai mengeluarkan suara teriakan kesakitan, dan tubuhnya telah terlempar keras, karena Phang Kui In telah melepaskan cekalan di pergelangan tangan si pengemis.

Pengemis yang seorangnya lagi jadi terkejut bukan main, dia sampai mengeluarkan suara seruan tertahan dan dalam keadaan kaget dan gusar, dia telah melompat melancarkan serangan juga kepada Phang Kui ln.

Tetapi seperti juga dengan kawannya, pengemis yang seorang inipun telah terpental keras oleh hantaman tangan Phang Kui In, yang mengenai tepat sekali di dada si pengemis, sehingga pengemis itu mengeluarkan suara erangan dan tubuhnya telah ambruk di atas tanah sambil menggeliat-geliat mengeluarkan suara rintihan.

Yo Him melihat cara Phang Kui In memberikan hajaran kepada kedua pengemis itu jadi kagum sekali.

Begitu juga dengan orang-orang yang telah berkerumun itu, jadi mengeluarkan suara sorakan yang riuh dan ramai sekali, tampaknya mereka girang sekali melihat kedua pengemis itu telah dihajar oleh Phang Kui In.

Kedua pengemis tersebut juga telah membalikkan tubuhnya, mereka telah melarikan diri dengan cepat sekali.

Phang Kui In tidak mengejarnya, dia telah membalikkan tubuhnya melangkah menghampiri gadis kecil itu.

„Anak, kenapa engkau dipukuli kedua pengemis itu!” tanya Phang Kui In dengan sabar.

Gadis kecil itu masih menangis saja, kemudian dia telah menyahuti dengan suara yang tersendat-sendat

„Ibu menyuruh aku ke pasar..... dan aku membawa tiga tail perak, tetapi kedua pengemis itu, seperti minggu kemarin, dia ingin mengambil uangku itu. Tentu saja kali ini aku tidak memberikannya, sehingga mereka memukuliku.”

Mendengar keterangan gadis kecil itu, walaupun tidak jelas, Phang Kui In mulai mengerti duduknya persoalan.

Tetapi yang mengherankan Phang Kui In, justeru kedua pengemis itu mengaku sebagai anggota Kay-pang. Biasanya, anggota Kay-pang tidak penah melakukan perbuatan-perbuatan rendah seperti itu sehingga dia tidak dapat mengerti, mengapa kedua pengemis itu bisa melakukan perbuatan seperti itu.

Hal itu telah membuat Phang Kui In jadi berpikir keras. Dia mau menduga apakah mungkin bahwa kedua pengemis itu hanya menjual nama Kay-pang saja, untuk menggertak? Karena berpikir begitu, akhirnya Phang Kui In telah berkata kepada si gadis:

„Baiklah, jika memang uangmu tidak hilang pergilah engkau ke pasar. Nanti paman akan mengancam mereka agar di hari-hari mendatang engkau tidak diganggu lagi!”

“Terima kasih paman!” kata gadis kecil itu girang sambil menyusut air matanya, dia telah berlalu.

Di saat itu salah seorang yang tadi menyaksikan di pinggiran jalan, telah menghampiri Phang Kui In. Dialah siorang lelaki tua berusia diantara empatpuluh lima tahun. Katanya dengan suara yang sabar,

„Sesungguhnya, memang Kay-pang kota ini merupakan cabang Kay-pang yang paling buruk, mungkin paling jahat! Karena mereka umumnya melakukan banyak sekali kejahatan-kejahatan, pencurian-pencurian dan perampasan, semuanya itu tidak diambil tindakan tegas oleh ketua cabang dari Kay-pang setempat. Tentu saja penduduk kota ini jadi menaruh perasaan tidak senang terhadap Kay-pang.” Dan setelah berkata begitu, tampak orang tua itu memutar tubuhnya akan berlalu, karena dia takut berdiam lama-lama di tempat tersebut, takut kalau pembicaraannya itu didengar oleh orang-orang Kay-pang.

Tiba-tiba Phang Kui In mengulurkan tangannya, dia mencekal pergelangan tangan orang tua itu untuk menahan kepergiannya. „Tunggu dulu saudara....., aku ingin menanyakan di manakah letak markas Kay-pang!” tanyanya.

„Di..... di pintu selatan, sebelah kiri dari lorong panjang dan kemudian menikung ke kanan rumah kelima.....!” menjelaskan orang tua itu, dia meronta melepaskan cekalan tangan Phang Kui In, dan dengan cepat dia telah berlalu.

Kemudian Phang Kui In telah mengajak Yo Him untuk meninggalkan tempat tersebut. Tetapi belum lagi mereka berjalan terlalu jauh, tiba-tiba telah terdengar suara seseorang yang telah berkata dengan suara seperti orang bersajak.

„Siapakah orang yang berani membentur Kay-pang, tentu kepalanya sudah, keras seperti baja? Siapa yang tidak tahu diri? Tentu saja harus dibinasakan!”

Suara itu nyaring sekali, dan tampak Phang Kui In telah membalikkan tubuhnya. Dihadapannya berdiri dua orang pengemis tua berusia setengah baya.

Sedangkan Yo Him memandang tidak senang kepada pengemis tua itu yang di punggungnya membawa empat karung, yang menunjukkan bahwa mereka merupakan anggota tingkat keempat di Kay-pang.

Di saat itu tampak Phang Kui In telah bertanya dengan suara yang ramah:

„Jika tidak salah mata, tentunya jie-wie Heng-tay (saudara berdua) adalah anggota Kay-pang?”

„Tepat! Tepat!” kata salah seorang pengemis itu sambil mengangguk dan telah tertawa dingin „Memang kami anggota Kay-pang, dan kami sedang mencari seseorang yang telah menghina dua orang anggota muda kami!”

„Apakah dua orang pengemis berusia duapuluhan?” tanya Phang Kui In.

„Benar! Mereka telah dihina orang, dan hinaan seperti itu harus diberi hajaran pula!” menyahuti pengemis itu.

„Akulah yang memberikan ganjaran kepada kedua pengemis itu, jika memang kalian penasaran, bisa saja kalian berurusan denganku,” kata Phang Kui In berani sekali. „Kedua pengemis golongan muda anggota Kay-pang itu sangat jahat, mereka telah menyiksa seorang gadis kecil berusia duabelas tahun, yang ingin dirampas uangnya! Itu masih tidak menjadi soal tetapi kedua pengemis anggota kalian itu bertangan ringan, mereka telah memukuli gadis kecil itu.....!”

Kedua pengemis itu telah tertawa dingin hampir berbareng. Salah seorang telah berkata.

„Jika memang ada anggota Kay-pang yang melakukan suatu kesalahan, masih ada kami dari golongan tua yang bisa menghukum mereka, bukan orang luar yang harus turun tangan menghukum mereka!”

Phang Kui In telah tertawa dingin, dia jadi mendongkol sekali mendengar perkataan pengemis itu.

“Memang itu merupakan peraturan rimba persilatan, orang luar tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga dari sebuah pintu perguruan, tetapi tampaknya pihak Kay-pang kurang begitu teratur mengatur murid-muridnya, dan kurang segala persiapan-persiapan agar murid-muridnya itu tidak menyeleweng.....! Hemmm, dalam persoalan ini, tampaknya kalian juga perlu diberikan teguran, agar dilain saat dapat memperhatikan lebih baik murid-muridnya anggota Kay-pang!”

Kedua pengemis tua itu telah tertawa dingin, mereka telah berkata dengan suara yang tawar.

„Benar! Benar! Jika kami berhasil dirubuhkan olehmu, jatuh di tanganmu, tentu aku akan menuruti peritah-perintah dan petunjuk-petunjukmu, Locianpwe!”

Dan setelah berkata begitu, salah seorang diantara mereka, yang tampaknya memiliki muka berpotongan empat persegi dan kejam, telah menerjang, melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan tangan kanannya. Serangan itu mengandung tenaga lweekang yang cukup dasyat.

Tentu saja, serangan yang dilakukan oleh pengemis ini, berbeda dengan serangan si pengemis muda, sebab jika si pengemis muda itu hanya merupakan anggota biasa yang belum berhasil memiliki karung satu helaipun juga, maka mereka tidak mengerti terlalu dalam ilmu silat Kay-pang dan hanya merupakan anggota persiapan. Tapi berbeda dengan pengemis yang menggemblok empat helai karung di punggungnya ini, pengemis ini telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan memiliki lweekang cukup lumayan.

Serangannya itu mendatangkan angin serangan yang kuat sekali, telah meluncur akan menggempur dada Phang Kui In.

Tetapi Phang Kui In tidak tinggal diam dia mengangkat tangan kirinya menangkis, sehingga diwaktu kedua tangan itu saling bentur, di saat itu juga terdengar suara „Bukkk” yang sangat keras, tubuh mereka sama berdiri tegak, dan tampak Phang Kui In telah menggerakan tangan kanannya, dia telah melancarkan serangan lagi dengan hebat.

Dalam keadaan seperti itu tampak sipenggemis juga tidak tinggal diam. Dia telah melompat ke kiri dan ke kanan bergantian, kemudian telah melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan kedua tangannya.

Angin serangan yang dilancarkan ini cukup hebat, sehingga dalam keadaan demikian tampak dua kekuatan tenaga, dari kedua orang yang sama-sama memiliki kepandaian yang sudah tinggi itu, telah menerjang datang.

„Bukkkkl”

Maka dua kekuatan lweekang yang tidak tampak telah beradu di udara, terlihatlah tubuh Phang Kui In tergoncang keras seperti juga ingin rubuh. Tetapi dengan cepat Phang Kui In telah berhasil mengimbangi kedudukan kedua kakinya, kembali dia telah melancarkan serangan lagi.

Serangan yang dilakukan oleh Phang Kui In disambuti oleh pengemis itu dengan mudah dan pengemis tersebut juga telah melancarkan serangan balasan. Mereka berdua telah saling melancarkan serangan silih berganti, dan angin serangan-serangan itu telah menyambar dengan hebat.

Di detik-detik seperti itu, tampak Phang Kui In memang berimbang menghadapi si pengemis tua tersebut, tetapi yang menjadi pemikirannya, justru jika pengemis yang seorang itu lagi ikut mengeroyok dirinya, tentu dia akan kewalahan dan kehabisan tenaga. Maka Phang Kui In telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia berusaha secepat mungkin untuk merubuhkan pengemis yang menjadi lawannya, agar kelak dia bisa menghadapi pengemis yang seorangnya lagi dengan mudah.

Dalam keadaan demikian, tampak Phang Kui In mengeluarkan suara siulan yang sangat nyaring sekali, berulang kali dia telah melancarkan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat.

Memang cara menyerang yang dilakukan oleh Phang Kui In merupakan serangan-serangan yang bisa mematikan, kalau saja mengenai tepat sasarannya.

Tetapi disebabkan pengemis itu juga tampaknya memiliki kepandaian cukup tinggi, dengan sendirinya setiap serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan serangan-serangan yang dilakukannya itu tak kalah kuatnya dibandingkan dengan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In.

Begitulah, kedua orang tersebut telah bertempur dengan hebat dan juga keduanya masing-masing telah mengeluarkan kepandaian mereka, untuk saling menindih tenaga lweekang dari lawan masing-masing.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian telah tinggi, kawan si pengemis yang seorang, yang belum lagi turun tangan dan hanya berdiri disamping saja, telah melihatnya bahwa kepandaian Phang Kui In tidak bisa dipandang rendah. Maka dia telah bersiap-siap jika memang kawannya nanti terdesak atau terancam oleh serangan-serangan yang dilakukan oleh Phang Kui In dia akan segera menerjang maju untuk membantu.

Yo Him hanya berdiri tertegun di tempatnya dia menguatirkan sekali akan keselamatan Phang Kui In. Jika sampai kepandaian Phang Kui In dapat ditindih oleh lawannya, atau kawan si pengemis yang seorang itu ikut maju mengeroyok berdua, tentu akan membahayakan jiwa Phang Kui In.

Walaupun Yo Him kurang begitu mengerti mengenai keadaan di dalam rimba persilatan, namun dia juga telah banyak mendengar, bahwa umumnya orang-orang persilatan sangat kasar, dan tidak akan segan-segan menurunkan tangan keras untuk membuat lawannya jadi bercacad. Tetapi Yo Him tidak berdaya untuk memberikan bantuan apa-apa.

Tiba-tiba Yo Him teringat sesuatu, sehingga dia hanya tersenyum dan berdiri diam saja. Dia teringat kepada Kim-pay nya Wie Tocu, tetapi dalam kegembiraannya, Yo Him jadi ingin menyaksikan pertempuran itu lebih jauh. Jika memang Phang Kui In nanti terdesak oleh lawannya dia baru akan mengeluarkan Kim-pay tersebut, untuk menundukkan kedua pengemis itu.

Saat itu, si pengemis yang sedang bertempur dengan Phang Kui In telah melancarkan serangan dengan mempergunakan jurus Anjing menggerakkan ekornya, dan dengan tangannya itu ia telah mengibaskan dengan sangat kuat sekali, karena dia telah mempergunakan lweekangnya yang disalurkan di kedua telapak tangannya, untuk menggempur ke arah dada Phang Kui In.

Tetapi Phang Kui In tidak takut menghadapi gempuran seperti itu, dengan cepat diapun telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya, dengan gerakan ‘Yang-liu-piauw-piauw’ atau Pohon Yang-liu sepoi-sepoi, tampak kedua tangannya bergerak lemas. Walaupun gerakannya perlahan dan seperti tengah menari, namun tenaga dalam yang terkandung di kedua telapak tangannya itu luar biasa sekali.

„Bukkkk!”

Dua kekuatan yang bukan main hebatnya, telah saling bentur.

Bahkan benturan yang terjadi itu telah menggetarkan sekitar tempat tersebut, dan juga menulikan pendengaran, karena benturan itu terjadi justru merupakan saling benturnya dari dua kekuatan yang saling menyerang dan menindih.

Yo Him sendiri merasakan betapa tanah yang dipijaknya itu tergetar keras.

„Kalau demikian, tampaknya pengemis ini bukan jago sembarangan!” berpikir Phang Kui In di dalam hatinya. „Tampaknya dia memiliki kepandaian yang tinggi dan telah cukup ternama. Tetapi mengapa anggota Kay-pang demikian ceroboh? Hanya disebabkan dua orang anggota mudanya belaka dia bisa melancarkan gempuran-gempuran mengadu jiwa denganku. Rupanya pengemis ini juga bukan pengemis baik-baik!”

15.30. Perilaku Pemimpin Kay-pang Daerah

Karena berpikir begitu, hati Phang Kui In jadi mantap, dia telah memberikan perlawanan tanpa segan-segan lagi, setiap serangan yang dilancarkannya juga mengandung kekuatan yang cukup keras, sehingga angin serangan itu mendesir tidak hentinya.

Si pengemis melihat perobahan cara menyerang dari lawannya jadi terkejut. Tetapi perasaan kagetnya itu tidak diperlihatkan di wajahnya, bahkan pengemis ini telah mendengus mengeluarkan suara dingin.

„Hemm. Engkau ingin mengadu kekuatan denganku mempergunakan kekerasan?” ejeknya.

Dan pengemis itupun telah mengeluarkan pukulan-pukulan yang dahsyat sekali. Rupanya pengemis ini merupakan seorang ahli gwakang (tenaga luar).

Harus diketahui, bahwa seorang ahli tenaga gwakang berbeda dengan seorang ahli lweekang. Jika gwakang dipelajari untuk melatih jasmani, memiliki kekuatan yang hebat atas kesanggupan tubuh, karena gwakang lebih mirip dengan tenaga kasar. Seorang ahli tenaga gwakang bisa mengangkat seekor gajah dengan mudah, dengan mengandalkan kekuatan tenaganya. Sedangkan seorang ahli tenaga lweekang merupakan seorang yang memiliki latihan untuk tenaga dalam, dimana tenaga sakti yang berasal dari Tan-tian telah dilatihkannya secara teratur, sehingga ahli lweekang bisa menyalurkan kekuatan tenaga saktinya, dapat dipergunakan untuk menggempur sesuatu tanpa terlihat.

Dan juga bagi seorang ahli lweekang, dia bisa mengangkat seekor gajah namun dengan menggunakan cara yang halus, yaitu dengan mempergunakan gerakan memancing, yaitu dengan meminjam tenaga dan botot berat tubuh gajah itu sendiri.

Jika seorang ahli lweekang telah mencapai kesempurnaan dalam latihan lweekangnya, tentu dia bisa mengeluarkan kekuatannya untuk melakukan segala apapun juga. Sebab jika kesempurnaan telah mencapai puncaknya, tentu dia akan dapat menyalurkan tenaganya itu untuk menindih lawannya dengan tenaga yang tidak tampak, dan dengan mempergunakan serangan yang halus, bisa merubuhkan lawannya tanpa menggerakkan tangannya sedikitpun juga.

Jika Phang Kui In memang mengkhususkan diri melatih lweekang, maka lawannya si pengemis merupakan seorang ahli tenaga gwakang. Maka dari itu, setiap gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mereka saling bertentangan. Yang seorang melancarkan serangan-serangan kasar dengan mempergunakan kekuatan yang sangat hebat, sedangkan yang seorang lainnya lagi mempergunakan tenaga halus namun dahsyat sekali untuk melawannya, sehingga kadang-kadang terdengar suara benturan-benturan yang sangat keras, karena Phang Kui In juga telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya itu, mempergunakan kekerasan melawan serangan lawan yang keras.

Semakin lama mereka bertempur semakin keras saja, karena si pengemis yang menjadi lawan Phang Kui In jadi semakin penasaran. Berulang kali si pengemis tersebut telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat bengis, tubuhnya berjingkrak karena gusar, lalu kembali dia telah menyerang bertubi-tubi.

Tetapi selama itu Phang Kui In selalu berhasil menghadapinya dengan baik. Hanya yang dikuatirkan sekali oleh Phang Kui In jika pengemis yang seorangnya lagi ikut melancarkan serangan mengeroyok dirinya. Kekuatiran itu disebabkan si pengemis yang menjadi lawannya itu memiliki kepandaian yang hampir berimbang dengannya, jika pengemis yang satunya lagi juga bukan seorang yang lemah, dan jika dia maju melancarkan serangan juga berarti Phang Kui In harus menghadapi dua orang lawan yang memiliki tenaga yang cukup dahsyat.

Berulang kali Phang Kui In mengeluarkan suara bentakan juga, dia telah berusaha untuk dapat merubuhkan lawannya dalam waktu yang cepat dan singkat. Tetapi disebabkan kepandaian mereka hampir berimbang dengan sendirinya mereka saling menyerang dengan kekuatan yang hampir bersamaan kuatnya.

Dengan kelincahan yang menakjubkan ditambah lagi dengan kekuatan gwakangnya, tampak si pengemis berusaha untuk dapat merubuhkan Phang Kui In juga.

Tetapi semakin lama, karena latihan lweekang Phang Kui In lebih sempurna dari latihan gwakang pengemis itu, maka si pengemis telah mulai terdesak. Dia jadi sibuk mengelakkan dari setiap serangan-serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In. Kedua tangan Phang Kui In tampak bergerak-gerak, walaupun jarak pisah diantara mereka berdua cukup jauh, namun tenaga serangan dalam bentuk angin terjangan yang keluar dari tangan Phang Kui In telah mendesak pengemis itu.

Dengan terpisahnya mereka dalam jarak yang cukup jauh, hampir dua tombak telah membuat si pengemis yang rugi sendirinya, karena dalam jarak yang jauh seperti itu jarak jangkau tangannya tentu saja tidak sampai, dan berulang kali dia telah berusaha untuk melancarkan serangan dan gempuran. Namun terjangan-terjangan dari lweekang Phang Kui In selalu memaksa dia harus menyingkir dan mengelakkan diri berkelit dari terpahan angin serangan yang mengincar bagian-bagian yang berbahaya di tubuhnya.

Phang Kui In telah melihat lawannya mulai terdesak, semangat bertenpurnya jadi terbangun. Dia telah mengerahkan semangat dan tenaganya jauh lebih kuat.

Namun tiba-tiba si pengemis yang seorangnya lagi, yang sejak tadi hanya menyaksikan saja, tidak dapat menahan sabar dan telah mengeluarkan suara teriakan:

„Toako jangan takut! Aku datang membantuimu!!” dan disertai bentakannya itu, tubuh si pengemis telah melompat dengan gerakan yang sangat cepat sekali, dan waktu tubuhnya sedang melayang di tengah udara, justru tenaga si pengemis telah bergerak saling susul, dia telah melancarkan serangan serangan yang beruntun.

Rupanya pengemis yang kedua ini, memiliki latihan tenaga lweekang, karena walaupun tubuhnya belum lagi tiba digelanggang pertempuran itu, tetapi angin serangannya telah menyambar dengan dahsyat ke arah Phang Kui In.

Dengan sendirinya Phang Kui In jadi terkejut dan telah cepat-cepat menyingkir.

Gerakan tubuhnya itu membuat penjagaan diri Phang Kui In jadi lowong, dia telah membuka lowongan yang tidak kecil di bagian dadanya.

Si pengemis yang dipanggil dengan sebutan ‘Toako’ kakak tua telah melihat kesempatan itu. Dengan cepat dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali. Dia telah melancarkan gempuran yang sangat hebat sekali, dengan mempergunakan kedua telapak tangannya yang didorong ke arah dada Phang Kui In.

Tentu saja Phang Kui In jadi tambah terkejut, karena angin serangan si pengemis yang baru ikut melancarkan serangan itu telah menyambar terus ke arah perutnya, dan kini tenaga serangan dari kedua telapak tangan si pengemis yang di panggil ‘Toako’ itu juga meluncur akan menggempur dadanya.

Keruan saja dalam waktu hanya beberapa detik itu, Phang Kui In harus mempergunakan pikirannya dengan cepat, dia mencari jalan yang terbaik untuk menyingkirkan dirinya.

Sebagai seorang ahli lweekang yang telah berpengalaman dan memiliki latihan cukup sempurna Phang Kui In tidak menjadi gugup karenanya.

Dengan cepat, tangan kanannya ditekuk, jari tangannya saling jepit dengan jari tangan kirinya. Dan sikapnya seperti orang yang sedang memberi hormat. Tubuhnya agak membungkuk ke depan, dengan gerakan tersebut Phang Kui In telah melindungi dadanya dengan kekuatan tenaga lweekangnya dari serangan dan gempuran pengemis yang dipanggil ‘Toako’ itu. Sedangkan bagian perutnya yang diserang hebat oleh si pengemis yang seorang lagi telah dihadapinya dengan perut dikempiskan, lalu kaki kanannya diangkat ditekuk agak lurus, mengancam akan menggempur urat nadi di pergelangan tangan si pengemis, urat nadi Ma-hiong-meh, yang merupakan urat nadi terpenting bagi setiap manusia karena jika urat nadi itu tergempur oleh lutut Phang Kui In, jika tidak binasa tentu pengemis tersebut akan bercacad seumur hidupnya.

Keruan saja si pengemis yang kedua itu jadi terperanjat. Dia mengetahui bahwa ancaman yang akan diterimanya itu sangat hebat sekali. Maka tanpa membuang waktu lagi dia telah menarik kembali kedua tangannya, gerakan yang dilakukannya sangat cepat bukan main, dan dia telah berhasil mengelakkan benturan lutut dari Phang Kui In, sehingga selamatlah dia dari bencana yang bisa menimpa dirinya.

Sedangkan serangan dari si pengemis yang dipanggil ‘toako’ itu telah tiba, dan tertangkis oleh rangkapan tangan Phang Kui In, sehingga tenaga membentur yang keras sekali seketika terjadi.

„Bukkk!” tubuh si pengemis terhuyung mundur beberapa langkah sedangkan tubuh Phang Kui In tergoncang keras, namun disebabkan dia telah menancapkan kakinya dengan kuat sekali di tanah, maka dia telah berhasil menerima serangan itu dengan tubuh yang tidak bergeming selain bergoyang-goyang belaka. Kedua telapak kakinya tidak tergeser sedikitpun juga.

Saat itu, tampak Phang Kui In telah merentangkan kedua tangannya, dia telah membalas melancarkan serangan justru di saat tubuh si pengemis ‘toako’ itu sedang terhuyung. Angin serangan yang dilancarkan Phang Kui In berkesiuran keras „Wuuttt!” dahsyat sekali.

Si Toako tertawa tawar, walaupun tadi dia telah terdorong mundur seperti itu, namun dia memiliki kepandaian yang tinggi dan latihan tenaga gwakang yang cukup sempurna. Dengan sendirinya dia berhasil untuk menangkisnya.

Begitulah kedua pengemis inipun telah melancarkan serangan-serangannya yang serentak. Karena mengetahui bahwa Phang Kui In merupakan seorang ahli lweekang yang cukup tangguh maka kedua pengemis itu tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan.

„Manusia-manusia rendah!” mengutuk Phang Kui In dengan sengit, dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk melancarkan serangan-serangan balasan dan menangkis maupun mengelakkan diri dari cecaran kedua pengemis itu. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Phang Kui In sangat gesit, namun karena dikeroyok kedua pengemis itu, dia jadi sibuk sekali.

Yo Him yang melihat ini. Dimana dia melihat keringat telah membasahi pakaian Phang Kui In dan mukanya juga telah dipenuhi butir-butir keringat, dengan sendirinya mendatangkan perasaan kuatir bukan main di hati Yo Him.

„Berhenti! Berhenti!” teriak Yo Him setelah berpikir sejenak. „Aku hendak bicara!”

Phang Kui In heran, entah apa yang hendak dilakukan oleh Yo Him.

Tetapi sebagai putranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tentu saja Yo Him diperlakukan hormat sekali oleh Phang Kui In yang menaruh rasa segan kepada anak ini. Begitu mendengar teriakan Yo Him, segera Phang Kui In melompat ke belakang beberapa tombak jauhnya, memisahkan diri dari kedua pengemis itu,

Sedangkan kedua pengemis itu, Si Toako dan kawannya, telah memandang dengan sorot mata bengis sekali kepada Yo Him.

„Apa yang hendak kau katakan, bocah ingusan!” bentak si pengemis toako itu.

„Sesungguhnya, telah lama kudengar,” kata Yo Him dengan suara yang sabar dan tenang sekali, sikapnya juga sengaja diperlihatkan seperti seorang tokoh persilatan sedang bicara, sehingga membuat kedua pengemis itu yang melihat lagak anak kecil she Yo ini merasakan dada mereka seperti ingin meledak karena marah sekali. „Bahwa dalam perkumpulan Kay-pang terdapat peraturan yang sangat keras sekali, yaitu dilarang melakukan pekerjaan jahat, jahat itu terbagi luas dalam berbagai bidang, yaitu termasuk pencurian, pemerasan dan perbuatan menyiksa yang lemah tanpa salah, tentu saja yang penting, semua pekerjaan jahat telah dilarang oleh perkumpulan Kay-pang! Setahuku, bahwa kalian dari Kay-pang, mengapa kalian bertindak sewenang-wenang?”

Muka kedua pengemis itu jadi merah padam karena mereka gusar sekali.

“Budak busuk!” bentak mereka hampir berbareng, „Apakah engkau menyadari bahwa perkataanmu pun bisa mendatangkan kematian untuk seseorang?”

„Apakah kalian maksudkan bahwa perkataanku itu bisa menyebabkan aku mati di tangan kalian?” tanya Yo Him dengan berani.

„Tidak salah!” menyahuti pengemis itu dengan suara yang keras. „Sedikitpun tidak salah memang kau, akan mati juga, karena telah begitu lancang mengeluarkan perkataan yang tidak keruan!”

Dan si Toako setelah berkata begitu, telah melompat untuk melancarkan serangan mematikan kepada Yo Him.

Tetapi Yo Him telah membentak dengan suara yang nyaring:

„Tahan dulu, aku masih ingin bicara!”

Si Toako telah menahan gerakan tubuhnya matanya mendelik lebar-lebar, bentaknya,

„Cepat katakan!”

„Apakah kalian benar-benar anggota dari Kay-pang?” tanya Yo Him lagi.

„Ada urusan apa dengan kau, apakah kami ini termasuk anggota Kay-pang atau bukan, bukan menjadi urusanmu!” bentak si Toako tambah beringas, karena dia marah sekali ditegur oleh seorang bocah cilik seperti Yo Him.

„Ohh, tentu saja ada hubungannya denganku!” kata To Him, „Terlebih lagi memang kalian benar-benar anggota Kay-pang!”

Mata si pengemis toako itu telah mencilak-cilak, sedangkan si pengemis yang seorangnya lagi telah mengeluarkan suara geraman yang bengis, tampaknya diapun mulai tidak sabat ingin melancarkan serangan yang bisa mematikan Yo Him.

„Benar! Kami memang anggota Kay-pang. Tentunya kau mengetahui betapa hebatnya Kay-pang, yang tersebar di seluruh daratan Tiong-goan, bukan?”

„Hemm, rupanya engkau mengetahui dan menghargai nama harum Kay-pang. Dan kalian termasuk anggota Kay-pang Cabang daerah bukan?”

„Benar!” menyahut pengemis ‘toako’ itu. „Apakah engkau memandang rendah Kay-pang cabang daerah?”

„Oh, tidak! tidak! Kay-pang pusat atau Kay-pang daerah sama saja, bukankah Kay-pang memiliki nama yang harum disegani kawan dan lawan?”

„Hemmmm, rupanya engkau mengetahui juga keangkeran Kay-pang walaupun usiamu masih bau pupur!” kata si pengemis toako itu angkuh sekali.

„Tetapi aku justru memiliki satu pertanyaan, apakah anggota Kay-pang cabang daerah akan mematuhi setiap perintah dari pusat?” tanya Yo Him.

Pengemis ‘toako’ itu tidak segera menyahuti, karena tampaknya berpikir sejenak namun akhirnya dia telah berkata: „Ya, memang itu peraturan dalam rumah tangga Kay-pang! Untuk apa kau menanyakan itu, heh? Apakah engkau orang tua Kay-pang?”

Yo Him membawa sikap yang tenang dan sabar, dia telah berkata lagi,

„Baiklah! Jika memang ada anggota Kay-pang dari pusat yang kedudukannya lebih tinggi darimu, apakah engkau akan menghormatinya?”

Ditegur demikian, kedua pengemis itu jadi tertegun untuk sejenak, mereka telah memandang dengan mata menyelidik kepada Yo Him sampai akhirnya salah seorang diantara mereka si Toako telah bertanya ragu-ragu mengandung kemarahan:

„Siapa yang engkau maksudkan anggota Kay-pang itu?”

„Tidak perlu kalian mengetahui dulu. Sekarang jawablah pertanyaanku. „Apa kedudukanmu dalam keanggotaan Kay-pang Cabang daerah?”

Kedua pengemis itu jadi tambah ragu-ragu, tetapi kemudian si toako itu telah balik bertanya.

„Apakah yang engkau maksudkan dengan anggota Kay-pang dari pusat adalah dirimu sendiri, setan kecil?” setelah berkata begitu, si pengemis tertawa tergelak.

Yo Him tidak melayani sikap pengemis ini dia telah berkata lagi.

„Jawab dulu pertanyaanku, apa kedudukan kalian dalam keanggotaan Kay-pang cabang daerah?”

„Kami merupakan pemimpin golongan muda dari anggota Kay-pang cabang daerah!” menyahut si pengemis kawannya si toako itu. „Setiap anggota muda harus berada di bawah pengawasan kami.”

“Hmm, hanya seksi bagian golongan anggota Kay-pang yang muda, jadi bukan keseluruhan dari keanggotaan Kay-pang cabang daerah kota ini, bukan?”

„Tetapi kami bisa melaporkan kepada wakil dan ketua kami di cabang daerah ini. Kami memiliki suara,” menyahuti si Toako dengan sengit. „Dan engkau telah berani bicara mengenai perkumpulan kami maka jika kelak engkau ternyata tidak memiliki sangkut paut apapun juga, kepalamu itu akan kupisahkan dari batang lehermu!”

Itulah ancaman yang cukup hebat, ancaman yang diliputi kemarahan. Tetapi tampaknya Yo Him tidak takut, bahkan telah tertawa tawar dan sikapnya tenang sekali.

„Baik! Itupun boleh!” kata Yo Him. „Jika kelak aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Kay-pang kalian boleh menghukumku dengan cara apa saja.” Dan setelah berkata begitu, Yo Him merogoh sakunya.

Kedua pengemis itu mengawasi dengan sorot mata yang tajam, mereka menduga-duga entah apa yang akan dikeluarkan oleh Yo Him.

„Nah, kenalkah kalian dengan benda ini?” tanya Yo Him sambil mengacungkan Kim-pay Wie Tocu.

Mata kedua pergemis tersebut terpentang lebar-lebar dan muka mereka berobah jadi pucat, Tampaknya mereka kaget bukan main.

„Kenalkah kalian dengan benda ini?” tanya Yo Him dengan suara yang keras mengulangi pertanyaannya.

„Hmm!” si toako telah mendengus mengejek, dia sudah bisa mengendalikan goncangan hatinya. „Engkau mencuri dari mana benda berharga milik dari salah seorang pemimpin pusat kami itu?”

Dia tidak mempercayai bahwa Yo Him bisa memiliki benda berharga itu, yang mereka kenali sebagai lambang kebesaran wakil Pangcu dari pusat, yaitu Wie Tocu. Tetapi disebabkan yang memegang lambang kekuasaan tersebut hanya Yo Him, seorang anak yang belum lagi berusia lebih dari sepuluh tahun, tentu saja mereka jadi ragu-ragu. Itulah sebabnya kedua pengemis ini tidak segera berlutut memberi hormat seperti umumnya setiap anggota pengemis menghadapi lambang kekuasaan dari pemimpin mereka.

Yo Him juga mendongkol melihat kedua pengemis tua itu tidak segera menghormati lambang kekuasaan pemimpin mereka!

„Mengapa kalian tidak cepat-cepat berlutut, eh?” bentak Yo Him dengan suara yang meninggi, „Apakah kalian berpikir hal ini kuberitahukan kepada Wie Tocu, jiwa kalian bisa dipertahankan terus? Kekurang ajaran kalian ini bisa menyebabkan kalian dihukum berat.....!”

Kedua pengemis itu saling pandang, sedangkan si Toako diam-diam telah berpikir,

„Inilah berbahaya, jika anak ini benar memiliki hubungan dengan Wie Tocu dan memberitahukan sikap kami berdua, tentu pusat akan mengirimkan orangnya untuk menghukum kami. Lebih baik jiwa anak ini kami habiskan saja!”

Dan setelah berpikir begitu, si pengemis yang dipanggil Toako itu telah melirik kepada kawannya. Rupanya pengemis yang seorangnya lagi juga memiliki pikiran yang sama dengan kawannya, diapun telah tersenyum sinis mengandung arti waktu si Toako melirik kepadanya. Keduanya lalu berlutut dihadapan Yo Him sambil katanya: „Kami benar-benar harus dihukum mati, tidak melihat tingginya gunung Thay-san.....!” kata kedua pengemis itu hampir berbareng. “Maafkanlah atas kekurang ajaran kami.....!”

“Siapa nama kalian berdua?” tanya Yo Him dengan suara yang agak lunak.

Kedua pengemis itu jadi terkejut, mereka menyadari jika mereka menyebutkan nama mereka, tentu dengan mudah Yo Him memberitahukan kepada Wie Tocu perihal mereka.

Melihat kedua pengemis itu ragu-ragu Yo Him telah berkata lagi:

„Jika memang kalian mengakui perbuatan kalian ini salah dan berjanji di hari hari mendatang kalian tidak akan melupakan perbuatan yang buruk lagi membela pihak yang salah, dan membiarkan anggota-anggota yang dipimpin kalian melakukan kejahatan terhadap orang-orang yang lemah tidak berdaya, aku bersedia untuk memberikan pengampunan bagi ka¬lian..... aku berjanji tidak akan memberitahukan kepada Wie Toako.....”

Mendengar Yo Him menyebut Wie Liang Tocu dengan sebutan Wie Toako, kakak Wie, tentu saja kedua pengemis itu jadi tambah terkejut dan ragu-ragu.

„Cepat katakan, siapa nama kau?” tanya Yo Him lagi.

Si Toako rupanya saat itu telah mengambil suatu keputusan nekad, dia telah melompat dengan tiba-tiba, tangannya meluncur akan menghajar kepala Yo Him, yang ingin dipukulnya pecah berantakan.

Phang Kui In yang sejak tadi mengawasi saja dengan heran, betapa Yo Him memiliki Kim-pay, lambang lencana dari emas yang merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari salah seorang pemimpin Kay-pang, yang disebut-sebut dengan panggilan Wie Toako, tentu saja jadi terkejut. Dia telah berpikir keras, apakah mungkin Wie Tocu itu Wie Liang Tocu adanya, karena memandang Yo Him adalah putera dari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, maka telah memberikan lambang kekuasaannya itu kepada Yo Him, agar kelak jika Yo Him sedang menghadapi kesulitan maka dia bisa meminta bantuan pihak Kay-pang?

Tetapi di luar dugaan Yo Him, justru Kay-pang cabang daerah kota tersebut merupakan cabang yang murtad, dan di bawah pimpinannya Ban-ban Cie-kay, seorang pengemis tua yang berusia diantara delapanpuluh tahun, yang memiliki sifat-sifat yang buruk, anggota-anggota Kay-pang cabang daerah tersebut ini tidak memiliki tanggung jawab yang baik. Bahkan memperoleh pimpinan yang buruk sekali dari pemimpinnya, atau ketua cabang daerah, dengan sendirinya semua anggota Kay-pang cabang daerah ini dari golongan yang tertinggi, sampai golongan yang termuda, telah melakukan banyak kejahatan. Tentu saja seperti yang dialami oleh kedua pengemis itu yang sedang berhadapan dengan Yo Him, waktu mengetahui Yo Him memiliki hubungan dengan salah seorang pemimpin tertinggi mereka di pusat mereka jadi berkuatir dan ketakutan, maka merekapun jadi nekad, berusaha menutup mulut Yo Him.

Itulah sebabnya, si Toako ini telah melompat dan melancarkan gempuran yang sangat kuat sekali dengan telapak tangannya memukul ke arah kepala Yo Him karena dia bermaksud sekali hantam akan pecahlah kepala anak kecil ini, sehingga selanjutnya rahasia mereka tetap tertutup, asalkan nanti dia juga membinasakan Phang Kui In.

Tetapi Phang Kui In mana mau membiarkan si pengemis itu menghantam Yo Him di saat tangan itu meluncur dengan cepat tampak Phang Kui In telah melompat juga.

Yo Him saat itu sangat terkejut, karena merasakan samberan angin serangan yang kuat sekali ke arah kepalanya. Dia sampai mengeluarkan suara seruan kaget dan ingin menyampok dengan Kim-pay di tangannya.

Tetapi belum lagi serangan si pengemis itu tiba di sasaran, tangannya telah disampok oleh kibasan tangan Phang Kui In, yang menangkisnya dengan kuat sekali sehingga terdengar suara „Bukkk!” yang keras sekali disusul tubuh pengemis itu terhuyung mundur tiga langkah begitu juga tubuh Phang Kui In telah terhuyung mundur dua langkah, tetapi saat itu Phang Kui In telah berteriak dengan suara yang nyaring. „Jangan menghina anak kecil! Jika memang engkau memiliki kepandaian dan keberanian, hadapilah aku.”

Sedangkan si pengemis yang dipanggil toako itu telah mengeluarkan suara erangan, dengan cepat dia telah melompat dan melancarkan serangan dengan sekuat tenaganya.

Sedangkan pengemis yang seorangnya lagi, telah ikut menyerang Phang Kui In diapun melancarkan gempuran yang tidak tanggung-tanggung, maka angin serangannya itu telah mendesir dengan dahsyat menyebabkan Phang Kui In bergoyang-goyang waktu menyambuti tenaga serangan kedua lawannya itu.

Y

Begitulah mereka jadi bertempur kembali dengan mengeluarkan seluruh kesanggupannya, dan setiap serangan-serangan yang dilancarkannya di sertai dengan pengerahan tenaga lweekang dan gwakang yang kuat.

Di saat ketiga orang itu sedang terlibat di dalam suatu pertempuran yang hebat sekali dengan disaksikan oleh Yo Him, tiba-tiba muncul seseorang dari luar kampung, yang berjalan dengan sepatu yang agak diseret, dengan pakaian sebagai seorang pelajar, berusia diantara tigapuluh tiga tahun, dengan pakaian yang agak kotor dan juga dengan kopiah pelajarnya.

„Angin malam yang berhembus lembut,
Sang Dewi yang telah datang melambai,

Angin yang menyentuh hangat di hati,
Mengapa pula harus saling bertempur mati?

Bukankah kebahagiaan yang ada telah mendatangkan kegairahan?
Mengapa pula harus mendatangkan keresahan?

Dewi telah tersenyum, dan Dewi telah tertawa,
Semuanya cerah,
Janganlah melewatkan kebahagiaan itu.....!”

Dan sambil bernyanyi seperti itu, tampak pelajar itu telah melangkah dengan tindakan kaki yang diseret, semakin lama semakin mendekat, tampaknya dia tenang sekali, wajahnya juga tampan, karena itu dia sangat menarik hati. Di tangan kanannya tampak tercekal sebuah kipas, yang digerakan perlahan-lahan, seperti juga sedang mengipas debu.

Dengan cepat dia telah sampai di sisi Yo Him, dan berkata perlahan.

,,Ihh..... Dewi telah datang, Dewi telah tertawa cerah, mengapa mereka bertempur? Adakah yang mempersulit hati mereka? Apakah ada sesuatu yang mendukakan mereka? Ataukah ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik dan damai?” menggumam pelajar itu dengan suara yang perlahan sekali, tampaknya dia heran, tetapi Yo Him mengerti bahwa pelajar itu seperti juga sedang mengejek Phang Kui In bertiga dengan pengemis itu.

Saat itu Yo Him telah menoleh, dia telah memandangi pelajar tersebut.

„Siapakah engkau, koko?” tanyanya kemudian dengan suara yang ramah. „Tampaknya engkau mengerti ilmu silat juga!”

Pelajar itu tertawa.

„Adik kecil!” katanya dengan suara yang cerah. „Matamu tampaknya tajam sekali! Memang aku mengerti sedikit-sedikit ilmu olah raga untuk menyehatkan tubuh, tetapi bukan untuk berkelahi!”

Setelah berkata begitu, si pelajar telah memandang ke arah Yo Him sejenak, kemudian dia telah berkata lagi dengan suara yang perlahan.

„Dan engkaupun tampaknya gemar sekali menyaksikan orang berkelahi?!”

„Bukan gemar menyaksikan orang berkelahi..... tetapi justru paman Phang telah diganggu oleh kedua pengemis jahat itu!” menjelaskan Yo Him.

„Ihhhh.....!”berseru pelajar itu dengan suara tertahan, tampaknya dia heran. „Jika mataku yang mulai lamur ini tidak salah lihat, bukankah kedua pengemis itu merupakan pengemis-pengemis dari Kay-pang!”

„Memang! Tetapi mereka jahat sekali,” menjelaskan Yo Him. Dan Yo Him kemudian telah menceritakan pengalamannya tadi, dimana seorang gadis kecil telah dipukuli oleh dua orang pengemis kecil, kemudian kedua pengemis kecil itu diajar adat oleh Phang Kui In, untuk menolongi gadis kecil itu. Dan datanglah kedua pengemis yang memiliki kepandaian yang tinggi ini untuk membela kedua pengemis kecil itu, dan minta ganti rugi untuk menghajar Phang Kui In pula.

Mendengar cerita Yo Him, muka pelajar itu jadi berobah sejenak.

Tetapi kemudian pelajar tersebut telah tertawa lagi, dia telah berkata.

„Sungguh merupakan suatu kejadian yang memalukan aku tidak menyangkanya bahwa di dalam Kay-pang terdapat anggota-anggota yang demikian kotor dan jahat. Jika memang benar apa yang kau ceritakan tentu nama Kay-pang akan ternoda dan nama harum dari perkumpulan pengemis, yang sangat besar dan anggotanya tersebar di seluruh daratan Tiong-goan, akan menjadi bahan tertawaan dari orang-orang gagah kaum rimba persilatan!”

Yo Him mengangguk.

„Tetapi tokoh-tokoh dari pemimpin Kay-pang memiliki jiwa yang luhur dan budi pekerti yang baik! Namun kedua pengemis ini memang nampaknya merupakan manusia-manusia jahat yang sulit sekali disadari dari kesalahan mereka!”

„Hemm, manusia-manusia seperti itu tidak perlu dilayani! Tetapi jika memang paman Phangmu bermaksud untuk memberikan pengajaran kepada kedua pengemis jahat itu, paman Phangmu itupun tidak bisa disalahkan!” dan setelah berkata begitu si pelajar telah menghela napas beberapa kali.

,,Cu Kun Hong! Cu Kun Hong!” menggumam pelajar itu lagi beberapa kali. „Rupanya engkau kalah mulia bila dibandingkan dengan paman Phang dan engko kecil ini! Engkau selalu bermasa bodoh terhadap urusan, tidak demikian dengan paman Phang dari engko kecil ini, yang selalu membela pihak yang lemah dan bersedia untuk menghadapi pertempuran yang sulit untuk menghadapi manusia-manusia jahat seperti kedua pengemis tersebut.”

Mendengar sampai disitu, tentu saja Phang Kui In yang sedang bertempur jadi merandek sejenak, dia telah melirik. Segera dia melihat pelajar itu, dan hatinya jadi bertanya-tanya, entah siapa adanya pelajar tersebut.

Sedangkan pelajar tersebut tidak lain dari Cu Kun Hong, yang pernah kita kenal di bagian pertama dari cerita ini. Dan dia memang pernah bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan pernah dilukai oleh Tiat To Hoat-ong, sehingga dirawat sampai sembuh oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Sejak saat itu, Cu Kun Hong telah berkelana di dalam rimba persilatan. Karena perasaan kagumnya yang meluap-luap terhadap Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan merasa bahwa Sin-tiauw Tayhiap merupakan manusia yang patut dihormati sedalam-dalamnya maka Cu Kun Hong telah berjanji di dalam hatinya, bahwa diapun ingin melakukan banyak perbuatan amal kebaikan untuk membela keadilan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar