Rajawali Sakti dari Langit Selatan (sin tiauw thian lam) Bagian 4

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: sin tiauw thian lam Bagian 4 „Sekarang kau pergilah, jangan sampai aku berobah pikiran pula! Engkau tidak perlu memiliki dendam kepadaku, karena dendam itu merupakan hasutan iblis yang akan merusak dirimu sendiri!”
23.46. Pelayaran Misterius Lhama Asing

„Beliau adalah ayahku!”

„Kau.....?”

„Mengapa? Ada sesuatu yang tidak beres dan membuat engkau terkejut?” tanya Yo Him mengejek.

„Hemm..... Pantas! Pantas!”

„Apanya yang pantas?”

„Pantas engkau memiliki kepandaian yang tinggi!” kata Cu Cu Ciang kemudian.

„Sekarang kau pergilah, jangan sampai aku berobah pikiran pula! Engkau tidak perlu memiliki dendam kepadaku, karena dendam itu merupakan hasutan iblis yang akan merusak dirimu sendiri!”

Cu Cu Ciang telah berdiam diri sejenak tidak menyahuti perkataan Yo Him, tampaknya dia tengah berpikir keras.

“Lebih baik engkau membuka sebuah pintu perguruan dan menerima murid-murid yang kau didik baik-baik..... bukankah dengan bekerja baik-baik seperti itu engkau akan menerima hasil yang baik pula?”

Cu Cu Ciang tiba-tiba telah merangkapkan sepasang tangannya, dia menjura sambil berkata kepada Yo Him: „Aku berterima kasih dan kagum padamu, siauw-eng-hiong! Walaupun usiamu masih demikian muda, tetapi ternyata engkau telah memiliki pandangan hidup yang jauh sekali! Tidak kecewa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki anak seperti engkau..... dan sekarang aku telah menyadari, akan sia-sialah jika aku menaruh dendam terus menerus kepada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, karena puteranya saja tidak bisa kutandingi..... Tentu kepandaian Sin-tiauw Tayhiap sekarang ini jauh lebih sempurna lagi dari yang lalu! Terima kasih siauw eng-hiong..... aku akan berusaha untuk hidup baik-baik!”

Setelah berkata begitu, Cu Cu Ciang telah merangkapkan tangannya memberi hormat lagi kepada Yo Him, lalu menjura kepada Phang Kui In:

„Maafkan aku tadi telah berlaku ceroboh, untung saja siauw eng-hiong ini memiliki pandangan yang luas sehingga telah mengampuni jiwaku! Jika tidak, tadi dia tentu telah mempergunakan tenaga sepenuhnya dan aku akan terbinasa, terima kasih untuk pengampunan jiwaku yang buruk ini, dan aku berjanji untuk hari-hari mendatang aku akan hidup baik-baik. Aku minta diri!”

Dan sebelah berkata begitu, Cu Cu Ciang telah memutar tubuhnya, dan berlalu.

Phang Kui In girang sekali melihat Yo Him benar-benar telah menjadi seorang pendekar yang memiliki kepandaian melebihi dirinya sendiri. Tadi saja Phang Kui In telah kena dirubuhkan lawannya dan tidak berdaya memberikan perlawanan kepada Cu Cu Ciang, tetapi justru Yo Him hanya dalam beberapa jurus saja telah berhasil menghajar lawan yang tangguh itu.

„Bagus! Bagus! Memang luar biasa kepandaianmu, him-te (adik Him)!” tiba-tiba terdengar orang memuji dengan suara yang nyaring, suaranya seorang wanita.

Yo Him dan Phang Kui In menoleh terkejut, mereka melihat dikejauhan berdiri seorang wanita, yang tidak lain dari Kwee Siang.

„Sejak kedatangan orang she Cu itu, aku telah keluar memperhatikan gerak-geriknya, tetapi karena aku melihat Yo Him bisa menghadapinya aku membiarkan saja tanpa memperlihatkan diri.”

Phang Kui In telah menjura dan katanya:

„Terima kasih atas perhatian nona Kwee, juga tidak percuma Yo Him menjadi anaknya Sin-tiauw Tayhiap, lihat saja dalam usia semuda ini dia telah berhasil merubuhkan seorang lawan setangguh Cu Cu Ciang. Menurut pendengaran, Cu Cu Ciang yang bergelar Thian-san-hok-mo itu sangat tinggi sekali kepandaiannya! Dan tadi memang telah terbukti, betapa aku telah dirubuhkannya dengan mudah sekali olehnya! Maka hal itu bisa dijadikan ukuran bahwa kepandaianku masih berada di bawah kepandaian Him-jie, sebab orang yang berhasil merubuhkan aku itu telah dipukul rubuh pula oleh Yo Him hanya dalam beberapa jurus saja. Bukankah itu sangat menggembirakan sekali? Tentu Sin-tiauw Tayhiap jika mengetahui hal ini akan girang sekali.....!”

Mendengar disinggungnya nama Sin-tiauw Tayhiap, maka Kwee Siang jadi berobah muram.

„Sayang kita tidak berhasil menemui jejak Yo koko.....!” kata Kwee Siang seperti juga menggumam kepada dirinya sendiri.

Phang Kui In yang melihat sikap si gadis telah menghela napas.

„Tetapi jika kita sabar mencarinya, suatu saat kita akan bertemu dengan Yo Tayhiap……!” katanya menghibur.

Kwee Siang mengangguk.

Baru saja mereka mau kembali ke kamar masing-masing, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata dengan sabar: „Kalian tengah mencari Yo Tayhiap, apakah keperluan kalian?” suara itu ternyata adalah suara seorang wanita.

Semuanya menoleh, dan mereka melihat tidak jauh dari tempat mereka berdiri, tampak berdiri seorang wanita berwajah cantik sekali, memakai gaun berwarna hijau dengan pita yang kuning. Usianya mungkin baru duapuluh tiga tahun.

Phang Kui In merangkapkan tangannya memberi hormat kepada wanita itu.

„Siapakah nona, bolehkah kami mengetahui nama dan gelaran nona yang harum?”

„Aku Kim Lian, she (marga) Thang, menyahuti gadis itu dengan suara yang tetap halus dan sabar. „Tadi aku telah bertanya ada persoalan apa kalian ingin mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”

„Kami memiliki sedikit urusan dengan Yo Tayhiap!” menyahuti Phang Kui In.

„Oya? Memang dengan mencari seseorang tentunya memiliki urusan! Tidak mungkin kalian tidak memiliki urusan dengan Yo Tayhiap lalu kalian mencari-carinya dan setelah bertemu hanya bengong saja?”

Ditanggapi begitu, muka Phang Kui In jadi berobah merah.

„Benar apa yang dikatakan nona, kami memang memiliki sedikit urusan yang sulit dijelaskan disini, terima kasih atas perhatianmu nona Thang!”

Si gadis telah senyum lagi sikapnya sangat sabar.

„Aku tahu apa maksudmu mencari Yo Tayhiap,” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.

Muka Phang Kui In bertiga jadi berobah bahkan karena heran dan ingin tahu telah bertanya, „Nona mengetahui maksud kami mencari Yo Tayhiap?”

„Ya!”

„Coba nona katakan, jika benar aku akan membenarkan, jika salah akupun akan memberitahukan bahwa dugaan nona meleset,” kata Phang Kui In.

„Hemm. Kalian tentunya penasaran dan tidak percaya bahwa aku mengetahui apa tujuan dan maksud kalian mencari Yo Tayhiap bukan?” tanya si gadis.

„Ya katakanlah! Jika memang terkaan nona tepat, tentu kami akan kagum dan menghormati akan kelihayan nona.....!” menyahuti Kui In.

„Kalian mencari Sin-tiauw tayhiap karena ingin memperkenalkan engko kecil itu adalah anaknya Yo Tayhiap bukan?” tanya si gadis.

Terkaan yang tepat seperti itu membuat Phang Kui In bertiga sementara waktu menjadi tertegun karenanya.

Kemudian Kwee Siang telah berkata: ,,Cici hebat benar terkaanmu, tepat sekali! Dari mana engkau mengetahuinya?”

Thang Kim Lian tertawa kecil, lalu katanya,

„Aku memiliki ilmu meramal.”

Kwee Siang memandang setengah percaya dan setengah tidak. Begitu juga Phang Kui In dan Yo Him mereka menduga bahwa gadis ini telah bersembunyi cukup lama di tempat tersebut waktu mereka sedang berurusan dengan Thian-san-hok-mo Cu Cu Ciang sehingga dia telah mendengar semua pembicaraan Cu Cu Ciang dengan Yo Him,

„Tentunya encie Thang mencari kami memiliki urusan juga, bukan?” tanya Kwee Siang kemudian.

„Oh, tentu, tentu! Jika aku tidak memiliki urusan aku tidak akan mencari kalian,” menyahuti si gadis dengan suara yang nyaring, lebih tinggi dari nada sebelumnya, „Aku diutus oleh pemimpin kami untuk mencari kalian, mengundang agar singgah di markas kami.”

Perkataan wanita she Thang ini membuat Phang Kui In bertiga bertambah heran.

„Pemimpinmu mengundang kami?” tanya Phang Kui In masih belum bisa menerkanya.

„Benar.....” gadis itu telah mengangguk cepat sekali „Aku sebagai utusan untuk mengundang kalian singgah di markas kami!” dan dia telah tersenyum manis lagi, wajahnya yang cantik jadi semakin gemilang di bawah cahaya rembulan di malam hari itu.

„Apa nama perkumpulanmu nona? Dan siapakah ketuamu itu?” tanya Phang Kui In.

„Nanti jika kalian telah bertemu dengan pemimpinku, engkau baru mengetahuinya,” sahut si gadis.

„Mana mungkin kami pergi, sedangkan orang yang mengundang kami itu tidak kami ketahui siapa adanya,” membantah Phang Kui In.

„Tidak perlu gelisah dan ragu, kalian ikut saja denganku, dan nanti setelah bertemu dengan pemimpin kami, kalian akan mengetahuinya siapa kami.....”

Phang Kui In berdiri ragu-ragu dan dia telah memandang kepada Yo Him dan Kwee Siang seperti ingin meminta pendapat kedua kawannya itu.

Tetapi Yo Him dan Kwee Siang juga tidak bisa memberikan tanggapan apa-apa, mereka menyerahkan segalanya kepada Phang Kui In untuk memutuskannya.

Saat itu si gadis telah bertanya lagi: „Bagaimana keputusan kalian, menerima undangan ini atau tidak?”

Phang Kui In cepat-cepat merangkapkan tangannya, dia berkata dengan suara yang sabar:

„Maafkan nona, bukan kami tidak menghargai undangan yang diberikan ketuamu ini..... Tetapi sayang sekali kami tidak mengenal dan tidak mengetahui. Siapa pemimpin kalian itu dan apa tujuannya.....!”

Mendengar perkataan Phang Kui In, si gadis telah tersenyum lebar.

„Ya, kalian memang agak ragu tampaknya! Baiklah aku memberitahukan juga, kami dari perkumpulan Tiauw-pang dan pemimpin kami, Ciong Lam Cie mengundang kalian.”

Si gadis bicara dengan suara yang perlahan dan sekata demi sekata dengan mulut tersenyum dan wajah yang berseri tidak memperlihatkan tanda-tanda dia tengah mengundang seorang yang memiliki kepandaian, atau setidak-tidaknya perasaan bermusuhan dengan pangcu Tiauw-pang.

„Tiauw-pang?” tanya Phang Kui In dengan suara terkejut.

Begitu juga Yo Him dan Kwee Siang jadi sangat terkejut, mereka telah mengawasi wanita she Thang itu dengan sorot mata yang tajam.

„Benar aku dari Tiauw-pang dan menerima tugas dari pangcu kami untuk mengundang kalian.....!!”

„Hem,” kalau begitu engkau bukan manusia baik-baik!” kata Phang Kui In yang akhirnya jadi berobah tidak gembira dan tidak menghormat lagi pada gadis she Thang itu. „Sampaikan kepada pangcumu itu, tidak dapat kami terima.....!” setelah berkata begitu Phang Kui In berhenti sejenak, kemudian dia telah berkata lagi, „Hemm, perlakuannya beberapa saat yang lalu telah cukup membuat kami menderita, kau pergilah, jangan memancing kemarahanku!”

Thang Kim Lian tampak tenang-tenang saja, dia telah berkata dengan suara yang tawar:

„Jika kalian tidak mau menerima undangan secara baik-baik seperti sekarang ini, tentu kelak kalian akan menerima perlakuan yang tidak enak menerima undangan secara paksa. Maka sekarang aku anjurkan lebih baik kalian memilih undangan dengan cara yang baik seperti sekarang ini!”

Muka Kwee Siang bertiga jadi berobah merah padam, karena mereka telah diliputi kemarahan. Dengan dijelaskannya bahwa Thang Kim Lian ini adalah anggota dari perkumpulan Tiauw-pang yang dipimpin oleh Ciong Lam Cie, mereka jadi teringat perlakuan yang diterima mereka oleh ketua perkumpulan rajawali itu beberapa waktu yang lalu

„Kami sudah mengatakan dengan jelas bahwa kami tidak bisa menerima undangan pangcu kalian, sekarang silahkan.....!” Waktu berkata „silahkan” itu, tampak Phang Kui In memperlihatkan sikap seperti sedang mempersilahkan tamu untuk berlalu.

Muka Thang Kim Lian telah berobah tidak seperti tadi, lembut dan manis. Sekarang justru mukanya memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh dan keras.

„Hemm, baiklah! Kalian sendiri yang menolak undangan secara baik-baik ini..... walaupun aku telah berusaha memberikan pengertian kepadamu, bahwa kalian lebih baik memilih jalan yang baik itu, dengan memenuhi undangan yang diajukan oleh pangcu kami, namun.....kalian kepala batu! Baiklah! Aku akan melihat sampai berapa tinggikah kepandaianmu bertiga sehingga kalian berani jual lagak begitu tinggi dan berani menolak undangan pangcu kami.....!”

Dan setelah berkata begitu, Thang Kim Lian melepaskan ang-kin (pengikat pinggang) yang berwarna kuning itu, dia mengedutnya dan ikat pinggang itu seperti juga cambuk mengeluarkan suara menggeletar di tengah udara. Itulah menunjukkan lweekang Thang Kim Lian bukan kepandaian yang sembarangan. Dengan hanya memegang satu dari ujung ang-kin itu, dia telah bisa menyalurkan lweekangnya, maka ang-kin yang lemas itu bisa berobah menjadi tegang kaku seperti lempengan besi dan bisa menjadi lemas seperti juga seekor naga yang tengah melingkar-lingkar.

Keadaan demikian telah membuat Phang Kui In jadi terkejut juga. Dia menyadari bahwa kepandaian wanita ini tidak berada di sebelah bawahnya. Mungkin juga berada di atas kepandaiannya, karena dengan sehelai ang-kin saja dia telah bisa mempergunakannya sebagai senjata yang sanggup diandalkannya.

„Nah, sekarang siapa yang ingin menerima pelajaran dariku? apakah sekaligus bertiga kalian mengeroyok diriku?” Itulah kata-kata menghina yang keterlaluan dan membangkitkan kemarahan Phang Kui In bertiga.

„Phang susiok, biar aku yang menghadapinya!” seru Yo Him.

Phang Kui In dan Kwee Siang yang telah mengetahui bahwa kini Yo Him memiliki kepandaian yang tinggi, maka mereka percaya dengan majunya Yo Him memang lebih baik, dibandingkan jika mereka yang maju. Karena kepandaian Yo Him sekarang sudah berada di atas mereka, walaupun usia Yo Him itu masih muda sekali.

„Baiklah Him-jie, hati-hati menghadapinya, dia seorang ahli lwekeh!” Phang Kui In telah memperingati Yo Him.

Yo Him hanya mengangguk saja dan telah melangkah maju mendekati Thang Kim Lian.

„Nona Thang,” kata Yo Him sambil merangkapkan kedua tangannya, dia telah menjura memberi hormat. „Silahkan nona menyerang, siauw-te hanya akan menuruti saja apa yang hendak dilakukan olehmu, nona.....”

„Hemmm, memang engkau sebagai putera Yo Ko tidak percuma. Dan sekarang engkaupun baru saja memperoleh sebuah gelaran bukan?”

Yo Him mengangguk perlahan, dia tidak mau berdusta.

„Ya, gelaran itu kuperoleh dari seorang sahabatku,” sahutnya.

„Aku tidak bertanya mengenai sahabatmu itu, tetapi aku katakan sekarang engkau telah memiliki gelaran, yaitu sebagai Sin-tiauw-thian-lam (si rajawali sakti dari langit selatan), bukan?”

Yo Him kembali mengangguk.

„Tidak salah!”

„Dan sebagai putra dari Sin-tiauw Tayhiap memang engkau sesuai sekali memakai gelaran Sin-tiauw-thian-lam! Tetapi tahukah engkau bahwa antara pangcu kami dengan ayahmu itu terdapat ganjalan hati yang tidak kecil?”

„Aku telah tahu, Ciong Lam Cie sendiri yang telah mengatakannya kepada kami!”

„Bagus, bagus!” kata Thang Kim Lian. „Jika memang engkau telah mengetahuinya itulah lebih baik lagi! Tetapi disamping itu kau juga harus hati-hati, ang-kinku ini tidak bermata, sewaktu waktu bisa melibat batang lehermu dan engkau akan binasa!”

Dan setelah berkata begitu, dengan cepat si gadis mengedut ang-kin kuningnya itu, sehingga menggeletar di tengah udara. Lalu dia berkata lagi.

„Mari kita mulai! Engkau yang lebih muda silahkan menyerang aku tiga jurus lebih dulu, dan selama tiga jurus itu aku akan mengalah!”

Yo Him merasa terhina dengan kata-kata terakhir si gadis she Thang itu. Dia telah menggelengkan kepalanya.

„Cara itu kurang baik!” katanya. „Lebih baik kita menyerang berbareng saja.”
Muka Thang Kim Lian jadi berubah tidak senang.

„Bocah, engkau terlalu sombong! Aku sengaja mengalah membiarkan engkau tiga jurus melancarkan serangan kepadaku, tetapi nyatanya engkau terlalu besar kepala! Baiklah, jika engkau tidak mau menerima kebaikan hatiku itu, biarlah terimalah seranganku ini!” Sambil mengakhiri perkataannya itu si gadis she Thang telah menghentakkan tali ikat pinggangnya, dan di saat itulah terdengar suara memgeletar di tengah udara. Tampak ang-kin itu meliuk-liuk seperti seekor ular yang panjang, ujungnya akan menotok jalan darah di dada Yo Him.

Kwee Siang yang melihat ini telah keterlepasan berteriak, „Adik Him, hati-hati.....!”

Yo Him mengiyakan. Tetapi dia tidak bisa memecahkan perhatiannya, karena saat itu ikat pinggang Thang Kim Lian telah menyambar datang dengan cepat sekali, menjurus ke arah lehernya, akan melibas lehernya pemuda tersebut. Yo Him mana mau membiarkan lehernya dilibat oleh ang-kin Thang Kim Lian.

Dengan mengeluarkan suara seruan perlahan, dia melejit ke samping sambil membungkukkan tubuhnya. Maka ang-kin itu telah lewat di atas kepalanya.

Mempergunakan kesempatan itu, tampak Yo Him telah menggerakkan tangannya yang kiri dengan kelima jari tangan terbuka. Itulah satu jurus dari pek-kong-ciang (pukulan udara kosong).

Thang Kim Lian terkejut melihat cara Yo Him menyerang. Jurus pukulan yang dipergunakannya itu memang merupakan jurus yang biasa saja. Tetapi dipergunakan oleh Yo Him ternyata dari jurus pek-kong-ciang itu jadi hebat luar biasa. Angin pukulannya itu menderu-deru seperti runtuhnya gunung, karena Yo Him mempergunakan jurus itu sambil disertai oleh tenaga lweekang Kui-im-cin-kang dan juga menggabungkannya dengan ilmu pukulan yang diajarkan oleh Lie Bun Hap.

„Ihhh.....!” Thang Kim Lian telah mengeluarkan suara seruan tertahan, dia menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat dengan gesit ketika tubuhnya masih berada di tengah udara dia telah menggerakkan ang-kinnya yang segera menyambar ke pergelangan tangan kanan Yo Him.

Tentu saja hal itu membuat Yo Him jadi terkejut sekali, tubuhnya sedang membungkuk ke depan dan sekarang lawannya dari tengah udara melancarkan serangan yang mendadak dengan ang-kinnya yang meluncur bagaikan ular ke pergelangan tangan Yo Him.

Phang Kui In dan Kwee Siang telah memandang jalannya pertempuran itu dengan mata yang terbuka lebar-lebar, karena mereka menguatirkan sekali keselamatan Yo Him.

Waktu ujung ang-kin menyambar dekat sekali dengan pergelangan tangan, Yo Him menarik pulang tangan, dia telah mengeluarkan suara seruan yang sangat kuat sekali:

„Rubuh!” dan sambil berteriak begitu dia telah melancarkan gempuran dengan kedua telapak tangannya

„Suttttt!” angin serangan itu terdengar tajam sekali. Thang Kim Lian tidak berani menangkis dengan kekerasan, maka dia telah berjumpalitan sambil menarik pulang ang-kinnya.

Gerakan Thang Kim Lian memang cepat, tetapi Yo Him bergerak lebih cepat sekali, tahu-tahu telapak tangan Yo Him telah menghantam punggung kanan dari Thang Kim Lian waktu gadis itu baru saja menginjak tanah.

„Bukkk.....!” terdengar suara hajaran yang tepat itu, dan Thang Kim Lian telah terhuyung-huyung, kemudian tubuhnya rubuh di tanah, waktu gadis ini merangkak bangun, dia telah memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali. Muka Thang Kim Lian tampak pucat pias, dia telah berkata dengan suara yang tidak lancar:

„Terima kasih..... atas petunjuk kalian..... terima kasih.” Dan dia telah memutar tubuhnya, dengan ginkangnya dia berlari pergi meninggalkan tempat itu.

„Hem, Ciong Lam Cie rupanya melakukan pengejaran terus menerus kepada kita.....!” kata Phang Kui In sambil menarik napas dalam-dalam, karena dimana saja mereka tiba, tentu akan diganggu oleh orang-orang pangcu Tiauw-pang itu.

„Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati.....!” kata Kwee Siang. „Karena kemungkinan besar pangcu dari Tiauw-pang itu telah menyebar orang-orangnya untuk mengikuti jejak kita!”

Phang Kui In mengangguk. „Jika dilain waktu kita bertemu dengan anggota Tiauw-pang, kita tidak perlu main kasihan-kasihan lagi. Kita binasakan, saja untuk menggertak pangcu Tiauw-pang. Agar dia menghentikan pengejarannya kepada kita.”

Yo Him setuju, tetapi Kwee Siang tidak. „Yang melakukan kesalahan adalah pangcunya, bukan anak buahnya. Anak buahnya hanya menuruti perintah dari pangcunya maka mereka tak bersalah! Jika memang kita memiliki kesempatan, biarlah kita cari pangcu Tiauw-pang itu untuk mengadakan perhitungan dengannya, sekarang yang terpenting kita harus mencari Yo Tayhiap.”

Phang Kui In membenarkan pendapat si gadis, begitu juga Yo Him.

„Benar cici Siang, memang itu cara yang cukup bijaksana!” kata Yo Him.

Begitulah! Mereka kemudian kembali ke kamar masing-masing.

Y

Keesokan paginya Phang Kui In telah meninggalkan rumah penginapannya seorang diri, sedangkan Yo Him bercakap-cakap asyik sekali berdua dengan Kwee Siang. Karena Yo Him merasakan bahwa hati Kwee Siang lembut dan memiliki kasih sayang sebagai seorang kakak, sehingga dia menyenangi si gadis itu.

Sedangkan Kwee Siang sendiri karena mengetahui Yo Him adalah putera dari pria yang dikagumi dan dipujanya, yaitu Sin-tiauw Tayhiap, maka dia memperlakukan Yo Him dengan lemah lembut dan sabar, seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya.

Phang Kui In telah mengelilingi kota itu, bertanya-tanya kepada orang-orang, apakah mereka itu melihat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko beberapa saat yang lalu. Sedangkan ciri-ciri dari orang yang dicarinya itu disebutkan, yaitu buntung tangan kanannya.

Tetapi umumnya orang-orang itu menyatakan telah dua tahun lebih mereka tidak pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap singgah di kota ini. Dulu memang mereka suka bertemu karena sering kali Sin-tiauw Tayhiap berkunjung ke kota Su-po-kwan ini.

Setelah bertanya-tanya lebih dari seratus orang, Phang Kui In jadi lemas dan putus asa, dia segera menyadari untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap sangat sulit sekali. Menjelang sore hari Phang Kui In baru kembali ke rumah penginapan, dia melihat Yo Him dan Kwee Siang tengah gelisah menantikan dia kembali, untuk makan malam.

„Maafkan aku pulang terlambat.....!” kata Phang Kui In sambil duduk di kursi yang satunya.

„Berhasilkah usahamu itu, paman Phang?” tanya Yo Him dengan hati yang berdebar.

„Ya, berhasilkah usahamu, Lo-eng-hiong?” tanya Kwee Siang juga.

Phang Kui In menggelengkan kepalanya dengan lesu, dia telah berkata: „Tidak..... telah dua tahun lebih penduduk kota ini tidak pernah melihat lagi datangnya Sin-tiauw Tayhiap! Mungkin juga Sin-tiauw Tayhiap tengah menyelesaikan suatu urusan yang besar sehingga tidak pernah berkunjung ke Su-po-kwan selama dua tahun terakhir ini.”

Yo Him dan Kwee Siang jadi murung, mereka kecewa sekali.

„Tetapi nanti kita akan menyelidikinya terus, melalui mulut orang-orang rimba persilatan tentu kita bisa mencari keterangan yang lebih jelas.....!” Kata Phang Kui In menghibur Yo Him dan Kwee Siang. Setelah bercakap-cakap sebentar lagi, Phang Kui In memesan santapan untuk mereka.

Dan waktu malam belum begitu larut, mereka telah masuk ke kamar masing-masing dan tidur dengan nyenyak.

Keesokan paginya mereka bertiga telah berlayar kembali meninggalkan kota Su-po-kwan. Dua hari mereka berlayar tanpa menemui daratan dan mereka mengarahkan kapalnya ke arah selatan.

Waktu itu angin berhembus perlahan sekali dan ombak-ombak kecil bagaikan kemilaunya permata, beriak gelombang kecil-kecil. Indah sekali suasana laut di saat itu, karena air laut yang begitu luas dan sejauh mata memandang antara kaki langit dengan laut bertemu, hanya warna biru belaka yang bening dan menyegarkan pandangan mata.

Dalam keadaan seperti ini, Yo Him telah duduk melamun memandangi keluasan laut itu. Pikiran pemuda ini melayang-layang memikirkan ayahnya, dia juga membayang-bayangkan ayahnya, menduga-duga entah bagaimana rupa wajah dan keadaannya.

Di saat Yo Him tengah duduk melamun seorang diri seperti itu, Kwee Siang telah menghampiri dan duduk di sebelah Yo Him mengawasi laut yang luas itu.

„Adik Him..... apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Kwee Siang.

Yo Him menghela napas. ,,Aku sedang memikirkan ayahku.....!” kata Yo Him kemudian.

„Akupun selalu ingin cepat-cepat bertemu dengan ayahmu itu tetapi keadaan rupanya tidak memungkinkan.....!” kata Kwee Siang dengan suara yang dalam, mengandung kesedihan juga. „Entah Yo Koko berada dimana..... dan bagaimana keadaan encie Siauw Liong Lie..... Sampai demikian lama, beberapa tahun kulewati dengan perasaan yang selalu kesepian, karena selalu pula aku gagal mencari mereka.....!” Setelah berkata begitu, tampak Kwee Siang telah menghela napas lagi.

Keduanya jadi berdiam diri, mereka hanya mengawasi air yang beriak gelombang perlahan karena sentuhan perahu yang meluncur dengan perlahan juga.

Phang Kui In yang memegang kemudi telah berteriak kepada Yo Him dengan suara yang nyaring: „Him-jie, engkau tidak perlu memikirkan segala itu, dan engkau juga tidak perlu terlalu memusingkan hal-hal yang belum tentu itu, yang terpenting kita harus berusaha mencari ayah kau itu!”

Yo Him mengiyakan. Tetapi anak ini masih juga duduk termenung. Kwee Siang sendiri telah beberapa kali menarik napas karena merasa sedih dan jengkel,

Angin laut sepoi-sepoi basah itu karena mendekati sore hari, telah membuat mereka semakin tenggelam dalam kekalutan pikiran. Mereka berlajar enam hari tanpa berjumpa daratan untung saja mereka membawa bekal cukup banyak, sehingga bisa dipergunakan sampai dua bulan.

Kapal meluncur terus dengan pesat. Phang Kui In bermaksud untuk menuju ke lautan Tang-hay. Dari tempat itu tentu mereka mudah mendatangi kota-kota seperti Bu-cie-kwan, Liong-cu-kwan atau kota-kota lain-lainnya yang berdekatan dengan tempat tersebut karena Phang Kui In bermaksud untuk menyerap-nyerapi kabar mengenai keadaan Sin-tiauw Tayhiap di kota-kota itu.

Lautan hari itu tenang tanpa gelombang dan badai, udara cerah sekali.

Yo Him duduk di geladak, mengawasi air laut yang diterjang kapal, tetapi belum juga berhasil menemui jejak ayahnya, sehingga perasaan rindu di hati Yo Him jadi semakin kuat saja. Tetapi apa daya, justru orang yang dirindukannya itu tidak diketahui berada dimana. Sedang Yo Him termenung begitu, tiba-tiba dia melihat dua buah kapal tengah meluncur mendatangi, semakin lama semakin besar.

„Paman Phang..... ada dua kapal yang sedang mengejar kita..... mungkin orang-orangnya Tiauw-pang,” kata Yo Him dengan suara nyaring.

Kwee Siang cepat-cepat menghampiri Yo Him dan dia memang melihat ada dua kapal yang tengah mendatangi.

Phang Kui In mengerutkan alisnya, dia berkata perlahan: „Bukan! Bukan kapal orang-orang Tiauw-pang..... Mereka..... kalau tidak salah merupakan orang asing, lihatlah bentuk kapal mereka itu yang agak luar biasa, berukiran singa..... Mereka kalau bukan dari India tentunya orang Persia!”

Mendengar keterangan Phang Kui In. Yo Him dan Kwee Siang jadi heran.

„Orang India? Orang Persia?” tanya mereka hampir berbareng.

„Ya, tidak salah lagi, mereka tentu rombongan orang-orang Persia..... Memang akhir-akhir ini banyak orang Persia yang datang ke daratan Tiong-goan untuk berdagang!”

Diwaktu mereka tengah bercakap-cakap begitu kedua kapal asing yang bentuknya sangat aneh, dengan di kepala kapal itu terukir kepala singa yang besar, telah mendatangi lebih dekat. Dan akhirnya kapal mereka saling berjajar, kapal Phang Kui In diapit oleh kedua kapal asing itu, di tengah-tengah.

Dari samping geladak kapal yang sebelah kiri, telah muncul dua orang pendeta yang memakai jubah merah. Itulah hweshio atau Lhama dari Tibet. Kepala mereka gundul dan tubuh mereka tegap besar sekali, mengenakan pakaian yang berwarna merah, sehingga tampaknya kontras sekali.

„Kami mohon bertanya!” kata seorang diantara kedua pendeta itu. „Apakah lautan yang sedang kami layari ini adalah lautan Tang-hay?”

Yo Him kagum sekali, walaupun kedua pendeta Lhama itu merupakan orang asing, tetapi mereka dapat berkata-kata dalam bahasa Han yang baik dan halus. Itulah suatu kelebihan dari orang-orang asing ini.

Phang Kui In merangkapkan sepasang tangannya menjura sambil menyahuti, benar tidak salah lautan di sekitar ini adalah lautan Tang-hay.”

„Dan, kami mohon bertanya lagi apakah kalian mengetahui dimana pusat dari agama Beng-kauw?”

„Kami kurang begitu mengetahuinya, maafkanlah Taysu!” menyahuti Phang Kui In.

Hweshio itu tidak menjadi marah atau mendongkol, dia telah mengangguk. „Baiklah..... terima kasih atas keterangan kalian itu!” katanya.

„Tunggu dulu Taysu, tampaknya Taysu datang dari Tibet bukan?” tanya Phang Kui In ingin mengetahui.

„Bukan!” menyahut si pendeta itu.

„Bukan? Lalu Taysu dari mana?”

„Kami memang budha-budha hidup dari Tibet, tetapi sudah sepuluh tahun kami bekerja untuk Persia!” menyahuti pendeta itu.

„Ohh.....!”

„Dan sekarang kami tengah melaksanakan tugas yang diberikan raja kami Persia, untuk menangkap seseorang!”

„Menangkap seseorang?” Phang Kui In menjadi terkejut.

Pendeta itu mengangguk.

„Benar! Kami tengah membawa tugas yang berat sekali, yaitu harus menangkap tokoh persilatan di daratan Tiong-goan.....yaitu Yo.....”

24.47. Sasaran Penangkapan Lhama Persia

„Sutee..... Jangan kau banyak bicara!” tiba-tiba Lhama yang seorangnya lagi telah membentak dan rupanya sang sutee, adik seperguruan itu, menyadari dengan cepat kecerobohannya itu.

„Maafkan kami harus berangkat lagi..... terima kasih atas keterangan kalian.....!” kata sang sutee itu sambil ingin memutar tubuhnya.

Tetapi Phang Kui In telah terkejut sekali waktu mendengar orang yang ingin ditangkap Lhama jubah merah itu seorang tokoh persilatan dan memiliki she Yo, maka dia jadi tegang sendirinya. Melihat orang itu ingin membalikkan tubuh, Phang Kui In cepat-cepat berteriak memanggilnya:

,,Taysu, apakah boleh aku bertanya sedikit?”

Lhama itu batal membalikkan tubuhnya, sambil tersenyum dia lalu berkata.

„Omitohud! Tanyakanlah! Jika memang aku mengetahui, tentu aku akan memberitahukannya.....!”

Phang Kui In jadi ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian dia telah berkata lagi: „Tadi Taysu mengatakan orang yang Taysu cari itu she Yo..... Apakah yang dimaksudkan oleh taysu adalah Sin-tiauw tiahiap Yo Ko?”

„Tepat!” berseru pendeta itu.

„Sutee.....!” tiba-tiba si kakak seperguruannya, yaitu hweshio Lhama yang seorangnya lagi, telah membentaknya dan sang sute jadi tersadar dengan cepat, dia telah menahan kata-kata lainnya yang baru saja ingin diucapkannya.

„Maafkan aku harus meninggalkan kalian.....!” kata pendeta itu kemudian sambil membalikan tubuhnya. Sedangkan sang suheng, kakak seperguruan itu, telah melirik sedikit kepada Phang Kui In, Yo Him dan Kwee Siang bergantian, lalu tanpa memperlihatkan muka manis, dia telah memutar tubuhnya dan lenyap dibalik ruangan kapal itu.

Phang Kui In masih berdiri tegak di tempatnya, tampaknya dia tegang sekali.

Yo Him telah menarik ujung bajunya.

„Paman Phang,” panggilnya, „Apakah mereka sedang mencari ayah untuk menangkapnya? Apa kesalahan ayahku itu?”

„Aku sendiri belum mengetahui apa sebabnya..... memang di dalam rimba persilatan terdapat banyak sekali peristiwa-peristiwa yang membingungkan. Maka kita harus mengikuti mereka, yang pasti mereka itu memusuhi ayahmu, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!”

Yo Him jadi gelisah.

„Kita harus mengikuti mereka, Phang susiok!!” katanya kemudian.

„Ya, kita ikuti saja mereka, kita lihat saja nanti apa yang hendak mereka lakukan dengan menangkap ayahmu itu! Tetapi terus terang saja kusampaikan sekarang kepadamu, bahwa kepandaian kedua Lhama tadi, mungkin di dalam kapal itu masih banyak Lhama lainnya, adalah manusia-manusia yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali..... karena dari Persia mereka berani datang ke daratan Tiong-goan untuk mencari ayahmu berarti mereka memiliki kepandaian yang tinggi sekali.....! Waktu aku mengantarkan engkau dan akhirnya kita bentrok dengan pihak Tiauw-pang yang mengakibatkan kita terdampar di pulaunya Lie Bun Hap, sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap tengah sibuk untuk mencari musuhnya yang telah mencelakai ibumu, yaitu Siauw Liong Lie.....!”

„Ibuku dicelakai orang? Siapa orang itu paman Phang?” tanya Yo Him dengan kaget.

„Orang yang menjadi biang keladinya adalah Tiat To Hoat-ong maka Sin-tiauw Tayhiap bermaksud menangkap Tiat To Hoat-ong untuk membalas sakit hatinya itu!”

Tiba-tiba Yo Him jadi menangis keras sekali dia jadi berduka bukan main.

Kwee Siang jadi sibuk membujuknya.

Setelah puas menangis, Yo Him mengangkat kepalanya, dia telah memandang kepada Phang Kui In dengan mata yang merah basah.

„Paman Phang, katakanlah terus terang ibuku dicelakai Tiat To Hoat-ong itu, lalu apakah dia hanya dilukai atau memang telah terbinasa!”

„Inilah yang sulit untuk dikata, karena tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi….. bahkan tahu-tahu muncullah engkau yang diketahui sebagai puteranya Yo tayhiap.”

Setelah tangisnya mereda, dia bertanya lagi: „Lalu ayah tidak mengambil tindakan apa-apa?”

„Waktu itu ibumu diculik terpisah dari ayahmu sehingga ayahmu sulit sekali mencari jejak penculik ibumu. Maka dari itu, sampai sekarang ini mungkin ayahmu masih sibuk mencari-cari Tiat To Hoat-ong.”

„Dan pendeta Lhama jubah merah itu juga musuh ayah?” tanya Yo Him lagi.

„Dilihat dari cara dan sikap mereka waktu menyebut nama ayahmu, kemungkinan besar mereka itu lawan-lawan ayahmu juga......”

„Kalau begitu kita ikuti saja mereka.....!” kata Yo Him.

„Memang, akupun bermaksud untuk mengikuti mereka siapa tahu lebih mengetahui dimana beradanya ayahmu!” menyahuti Phang Kui In.

„Akupun berpikir begitu,” kata Kwee Siang menyetujui juga untuk mengikuti rombongan Lhama jubah merah itu.

Kapal kedua Lhama jubah merah itu berlayar dengan cepat. Sedangkan Phang Kui In mengikuti dari kejauhan saja.

Setelah berlayar dua hari lagi, tampaklah dihadapan mereka daratan.

„Itulah pelabuhan kota Kong-nam, kemungkinan besar rombongan Lhama jubah merah itu akan berlabuh disitu!” menjelaskan Phang Kui In. Dan terkaan Phang Kui In memang tidak meleset. Kedua kapal rombongan Lhama jubah merah yang mengaku bekerja pada raja Persia itu telah berlabuh.

Phang Kui In juga telah melabuhkan kapalnya, setelah itu mereka bertiga turun dari kapal.

Rombongan Lhama jubah merah itu ternyata berjumlah sangat banyak sekali, karena yang turun ke darat saja meliputi jumlah sampai empatpuluh orang, suara mereka berisik sekali karena semuanya mengenakan jubah warna merah, dengan sendirinya menarik banyak perhatian penduduk kota itu.

Sedangkan yang tinggal di kapal masih berjumlah sangat banyak, berdiri di pinggir kapal mereka sambil melambai-lambaikan tangan. Jumlah mereka keseluruhannya mungkin meliputi seratus orang lebih.

Di rombongan Lhama jubah merah yang turun ke darat itu, tampak seorang Lhama berpakaian jubah putih. Dengan mengenakan jubah putih maka dia lebih menarik perhatian dari ketigapuluh sembilan Lhama lainnya. Rupanya Lhama berjubah putih itu adalah seorang Lhama yang menjadi pemimpin mereka.

Dan apa yang diduga oleh Phang Kui In benar adanya, ketigapuluh sembilan orang Lhama jubah merah telah berbaris dan Lhama berbaju putih itu telah berkata,

„Kita membagi diri masing-masing dua orang. Kita menyebar ke seluruh kota ini, dan jika ada salah seorang diantara kita melihat si buntung she Yo itu dia harus memberikan isyarat dengan panah api!”

Ketigapuluh sembilan Lhama itu telah mengiyakan dan memencar membagi diri. Mereka berdua-dua memisahkan diri, menyebar ke seluruh kota itu.

Lhama jubah putih yang menjadi pemimpin mereka telah melakukan penyelidikan bersama seorang Lhama jubah merah lainnya.

Phang Kui In mengajak Yo Him dan Kwee Siang untuk mengikuti Lhama berjubah putih itu, karena sebagai pemimpin dari Lhama jubah merah itu, tentu dia akan lebih banyak mengetahui segala hal. Dan laporan anak buahnya itu tentu akan jatuh pada dirinya.

Sedangkan Lhama berjubah putih itu dan seorang Lhama jubah merah, tidak menyadari bahwa mereka tengah dikuntit karena Phang Kui In mengikutinya dengan hati-hati dan jarak terpisah cukup jauh.

Lhama jubah merah yang berjalan dengan Lhama jubah putih itu, adalah Lhama yang di atas kapal di tengah laut waktu bertemu dengan Phang Kui In. Dipanggil sebagai suheng, dia merupakan seorang Lhama jubah merah yang pendiam dan selama jalan dengan pemimpinnya itu, dia tidak banyak bicara.

Ketika mereka tiba di muka sebuah rumah makan, kedua Lhama itu telah memasuki rumah makan itu. Mereka memesan teh dan sayur-sayur tidak berjiwa. Kemudian mereka bersantap dengan lahap.

Selesai makan si Lhama jubah putih telah memanggil pelayan rumah makan itu, dia telah memberikan uang seberat lima tail perak. Kemudian dia bertanya:

„Apakah engkau pernah melihat seorang lelaki berusia diantara tigapuluh tahun lebih dengan lengan kanannya yang buntung?”

Pelayan itu seperti berpikir-pikir, sedangkan sesungguhnya hati pelayan itu tengah kegirangan karena telah memperoleh hadiah yang demikian besar, belum pernah dia mengalami menerima hadiah dari tamu sebesar itu.

„Cepat katakan, kau pernah melihat atau tidak?” tanya Lhama jubah putih itu tidak sabar.

Si pelayan telah tersenyum menyeringai:

„Begini Taysu, orang yang lengan kanannya buntung memang banyak sekali, hampir setiap hari kami menerima kunjungan dari orang-orang seperti itu dan aku mana mengetahui orang buntung yang mana telah dicari oleh Tay-suhu?”

Tampak pendeta jubah putih itu telah menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan rupanya dia mendongkol berurusan dengan pelayan ini yang tampaknya agak licik.

„Yang kami cari itu adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” kata si Lhama jubah merah dengan jengkel.

„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Ah, baru saja kurang lebih satu jam yang lalu dia meninggalkan rumah makan kami ini, tadi dia bersantap disini!!” kata si pelayan rumah makan itu dengan gembira.

Kedua pendeta itu melompat berdiri, mereka tampaknya tidak berselera untuk makan lagi.

„Cepat katakan, ke arah mana perginya si buntung itu?” tanya si Lhama jubah putih.

„Tadi Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko mengambil jalan yang menuju ke barat.....!” menjelaskan si pelayan.

Pendeta Lhama jubah putih itu cepat-cepat memutar tubuhnya untuk berlalu. Tetapi pendeta Lhama jubah merah telah menahannya.

„Tunggu dulu!” kata Lhama jubah merah itu. „Kita belum menanyakan kepadanya mengapa dia bisa mengetahui bahwa itu adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Bukankah keadaan demikian sangat aneh sekali?”

Lhama jubah putih itu rupanya baru tersadar, dia cepat-cepat menahan langkah kakinya, dia menoleh kepada pelayan itu, katanya dengan muka yang bengis:

„Engkau jangan berdusta, benar atau tidak engkau bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap. Mengapa engkau mengetahui orang itu Sin-tiauw Tayhiap?”

Pelayan itu jadi ketakutan melihat sikap si pendeta dia sampai mundur ke belakang, kemudian dengan suara terbata-bata dia telah berkata gugup.

„Aku..... aku memang mengetahui dia adalah Sin-tiauw Tayhiap. Yang tangan kanannya telah buntung itu!”

Mendengar jawaban pelayan itu, tentu saja kedua Lhama tersebut jadi tambah curiga. Dia telah berkata lagi dengan sikap yang lebih bengis:
„Engkau jangan berbohong kepada kami, jika memang tidak kenal engkau bilang tidak kenal, jika tidak engkau harus berlaku jujur mengatakan tidak! Nah, cobalah bagaimana roman muka dan tubuh Sin-tiauw Tayhiap.”

„Sin-tiauw Tayhiap?” tanya si pelayan tampaknya semakin gugup. „Tangan kanannya buntung, tubuhnya pendek gemuk dan gesit, hidungnya besar..... Matanya bersinar tajam dan..... dan..... dan......”

„Plaakkk! Plookkk!”‘ dua kali muka pelayan yang tampaknya sedang berpikir itu ditempeleng oleh si Lhama jubah putih.

„Ngaco belo kau!!” bentak si Lhama jubah putih. ,,Sekali lagi jika dilain waktu engkau membohongi kami seperti sekarang, kepalamu akan kami pukul pecah!”

Pelayan itu teraduh-aduh, akhirnya dia mengatakan sambil meringis kesakitan.

„Aku….. aku memang tidak tahu siapa itu Sin-tiauw Tayhiap adanya, hanya tadi Tay-suhu menyebutkannya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, maka aku bermaksud untuk membuat engkau bergembira, Tay-suhu.....!”

„Kurang ajar kau!” kata pendeta itu dengan suara mendongkol.

Kedua pendeta itu tidak jadi meninggalkan rumah makan dan melanjutkan makan mereka.

Phang Kui In, Yo Him dan Kwee Siang yang mengintai serta menyaksikan semua kejadian itu jadi tersenyum geli sendirinya.

Setelah kenyang bersantap, kedua pendeta itu telah meninggalkan rumah makan dan menyusuri jalan demi jalan, dia menanyakan kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka mengenai Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Tetapi semua yang ditanyakannya itu tidak seorangpun tahu siapa itu Sin-tiauw Tayhiap,

„Aneh sekali!” menggumam Lhama jubah putih itu. „Kita terakhir kali sebulan yang lalu menerima berita dari mata-mata kita bahwa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko berada di kota ini! Tetapi sekarang tidak seorangpun yang mengetahui akan diri pendekar rajawali sakti itu.”

„Kita cari saja perlahan-lahan. Tentu akan dapat kita temui jejaknya terlebih lagi kita datang dalam jumlah yang banyak, seratus duapuluh jago, mana bisa dia meloloskan diri dari kita lagi?” nada suara dari Lhama jubah merah itu angkuh sekali.

Sedangkan si Lhama jubah putih itu telah mendengus dingin, katanya: „Hemm. Kalau bisa ditemukan jejaknya kalau tidak? Kita yang celaka! Bukankah kita telah dipesan berulang kali oleh baginda raja, agar berusaha menangkapnya hidup-hidup dan membawanya ke Persia!”

„Benar! Tetapi sesungguhnya di Persia tidak kurang tenaga yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia, mengapa baginda raja justru menghendaki dia juga yang memimpin dan membimbing Beng-kauw?”

„Aku sendiri tidak mengetahui apa sebabnya!” menyahuti Lhama jubah putih itu.

„Sebetulnya kepandaian Sin-tiauw Tayhiap belum tentu bisa menindih kepandaian kita,” kata Lhama jubah merah itu. Tampaknya penasaran sekali.

„Namun kita harus melaksanakan perintah baginda raja sebaik mungkin .....!” Kata Lhama jubah putih itu.

„Ya, memang benar apa yang kau katakan itu, tetapi di dalam persoalan ini kita harus menguji dulu kepandaian dari si tangan buntung itu!” rupanya Lhama jubah merah itu masih penasaran sekali.

Lhama jubah putih itu telah mengangguk saja, tanpa memberikan komentar lagi.

Phang Kui In bertiga yang mendengar pembicaraan itu jadi terkejut.

“Jadi orang-orang dari Persia ini ingin menangkap Yo Ko untuk diserahi menjadi pemimpin dari golongan Beng-kauw. Hal ini agak luar biasa karena Lhama itu datang dalam jumlah yang sangat banyak sekali maka Yo Him bertiga berkuatir kalau-kalau nanti ayahnya itu dianiaya dan diperlakukan tidak baik oleh Lhama ini.

Waktu itulah tampak si Lhama jubah putih telah mengangkat kepalanya sambil berseru, „Lihat! Itu tanda dari kawan kita, panah api bersuara!”

Lhama jubah merah itu juga telah menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk oleh Lhama jubah putih itu. Diapun telah melihat panah api yang bersuara itu. Dalam keadaan demikian, mereka sudah tidak berpikir apa-apa lagi, karena dengan adanya tanda panah api itu tentu kawan-kawan mereka yang melepaskan tanda rahasia itu berhasil menemui jejak Yo Ko.

Cepat seperti terbang kedua pendeta itu telah berlari-lari ke arah barat, dari mana panah api terlihat. Setelah berlari sesaat lamanya mereka telah tiba di sebuah tanah lapang yang luas, yang hanya ditumbuhi rumput-rumput hijau. Di tengah tanah lapang itu tampak dua orang Lhama jubah merah sedang berdiri tegak mengawasi ke arah segundukan tanah kuburan yang belum lagi kering masih merah.

Lhama jubah putih dan kawatnya dengan cepat menghampiri.

„Mana dia si buntung itu?” tanya Lhama jubah putih dengan mata yang memandang ke sekelilingnya.

Kedua Lhama jubah merah itu telah berkata sambil menunjuk ke kuburan itu. „Dia berada di dalam kuburan itu. Tadi kami secara kebetulan melihatnya di sebuah jalan dalam kota. Kami mengikutinya. Dan dia menuju kemari lalu memegang batu nisan itu (bong-pay) permukaan kuburan itu terbuka dan dia masuk ke dalamnya..... Waktu kami memburu kemari ternyata kuburan itu telah tertutup kembali. Kami tidak berani lancang untuk membukanya, maka dari itu kami melepaskan anak panah itu untuk memanggil kawan-kawan.”

Waktu dia berkata sampai disitu, Lhama-lhama lainnya telah tiba disitu.

Lhama jubah putih itu menunjuk kepada kuburan itu tanpa mengucapkan sepatah katapun juga. Dia telah menghampiri dan memegang-megang bong-pay kuburan itu. Dicari-carinya alat rahasia yang bisa membuka kuburan itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan dan tidak ada tanda-tanda alat rahasia. Saking kesal dan jengkelnya, tampak Lhama berjubah putih itu merah padam mukanya tetapi akhirnya dia memperoleh suatu akal, dia telah berjalan menjauhi kuburan itu kemudian melambaikan tangannya memanggil Lhama-lhama yang lainnya.

Setelah mereka berkumpul, Lhama baju putih itu berkata,

„Kita duduk bersemadhi mengurung kuburan itu untuk menunggu si buntung keluar dari dalam kuburan.”

Semua Lhama jubah merah itu mengiyakan lalu dengan hati-hati dan langkah kaki yang perlahan agar tidak menimbulkan suara mereka duduk mengelilingi kuburan itu mengambil sikap mengurung. Seandainya kuburan itu terbuka dan Sin-tiauw Tayhiap yang tengah mereka cari-cari itu keluar, keadaan disitu telah dikepung. Dengan demikian tidak mungkin orang yang mereka cari itu akan dapat meloloskan diri!

Para Lhama itu dengan sabar telah bersemadhi mengurung kuburan itu, sampai menjelang malam kuburan itu belum juga terbuka. Si Lhama jubah putih telah tidak sabar, katanya kepada Lhama jubah merah yang ada disampingnya.

„Apakah kita gempur saja kuburan itu lalu menerjang masuk.....?” katanya mengemukakan sarannya.

Tetapi Lhama jubah merah itu menggeleng sambil katanya: „Dia memiliki kepandaian yang tinggi, jika kita yang menerjang ke dalam, kita rugi keadaan, karena dengan ruangan yang sempit tentu dia bisa memberikan perlawanan yang gagah dan leluasa, tetapi kita di tempat yang sempit tentu saja tidak bisa mengeroyoknya dengan jumlah banyak.”

„Benar juga perkataanmu itu,” kata Lhama jubah putih sambil menggangguk. „Biarlah kita menantikan saja dia keluar, di saat itu barulah kita melancarkan serangan kepadanya.”

Begitulah dengan sabar para Lhama itu telah menantikan munculnya orang yang tengah dicari. Tetapi Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko masih juga belum muncul-muncul.

Malam telah larut, menjelang tengah malam, tiba-tiba batu bong-pay itu bergerak perlahan.

Si Lhama jubah putih dan ketigapuluh sembilan kawannya, Lhama-lhama jubah merah jadi tegang sendirinya. Mata mereka telah terbuka lebar-lebar mengawasi ke arah kuburan itu…… Di saat itu, tampak batu nisan tersebut telah bergerak lebih keras, disusul dengan suara „Plakkk” dan kuburan itu seperti terbelah dua. Rupanya kuburan itu merupakan kuburan rahasia yang memiliki pintu untuk keluar masuk.

Dari dalam kuburan itu kemudian tampak melompat keluar sesosok tubuh dengan gerakan yang ringan sekali. Orang itu memakai jubah putih, tangan kanannya kosong dimana jubahnya bergoyang-goyang lemas tertiup angin malam. Dialah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang tengah mereka cari!

Yo Ko sendiri jadi bingung juga, karena begitu dia melompat keluar, dia melihat empatpuluh pendeta itu mengambil posisi mengurung padanya. Sedangkan dia sendiri tidak mengetahui apa maksud dari pendeta-pendeta asing itu mengurung dirinya.

Lhama jubah putih telah melompat berdiri, dan berkata dengan suara yang dingin:

„Engkaukah yang bernama Yo Ko?”

Yo Ko diam sejenak tidak menyahut, sampai akhirnya dia telah berkata:

„Benar..... Aku she Yo dan bernama Ko.”

„Dan engkau yang bergelar Sin-tiauw Tayhiap?” tanya Lhama jubah putih itu.

Yo Ko cepat-cepat merangkapkan tangannya memberi hormat, sampai akhirnya dia telah berkata:

„Tidak berani aku memakai gelar itu, jika orang-orang menyebut demikian tentunya hanya bergurau saja!” kata Yo Ko me¬rendah.

„Hemm, kami datang dari luar lautan, dari Persia. Kami telah lama mendengar nama besarmu yang terkenal itu sama dengan kepandaianmu!!” setelah berkata begitu, Lhama jubah putih itu membungkukkan tubuhnya seperti juga ingin memberi hormat, tetapi sesungguhnya dari kedua tangannya itu telah meluncur keluar tenaga yang sangat kuat sekali, yang langsung menyerang ke arah Yo Ko.

Yo Ko tidak terkejut diserang begitu, dia telah tertawa sambil katanya kemudian:

„Jangan main-main Taysu!”

„Aku bukan sedang main-main dengan kau! Kami bersungguh-sungguh…... Lihatlah, kami dari tempat yang jauh telah datang kemari, untuk melihat berapa tinggikah kepandaian yang engkau miliki!”

Selesai berkata, Lhama jubah putih itu telah menjulurkan tangan kanannya, dia bermaksud untuk mencengkeram dada Yo Ko.

„Tunggu dulu, Taysu!” kata Yo Ko sambil mengelakkan serangan itu.

„Tunggu apa lagi, keluarkan kepandaianmu!” bentak si Lhama jubah putih.

Yo Ko jadi mendongkol juga, orang telah melancarkan serangan berulang kali kepadanya, dan serangan-serangan si Lhama jubah putih itu merupakan serangan-serangan yang mematikan, maka Yo Ko bermaksud untuk mencoba-coba beberapa jurus bertempur dengan Lhama jubah putih yang galak ini.

Begitu Lhama jubah putih itu melancarkan serangan dengan siang-cie-tiam-hoat (totokan se¬pasang jari), tampak telah mengeluarkan suara siulan dan mengebaskan lengan jubah tangan kanannya yang kosong, karena tangan kanannya itu buntung, tampak lengan baju itu telah melibat lengan kanan dari lawannya, sekali saja Yo Ko menarik dan menghentaknya, maka pendeta Lhama jubah putih itu jadi terkejut dan dengan tangan kirinya dia menyerang akan menotok biji mata Yo Ko.

Yo Ko melepaskan libatan lengan jubahnya sambil melompat ke belakang.

„Cukup!” kata Yo Ko. „Kepandaianmu tinggi sekali, Taysu, percuma engkau mempertaruhkan jiwa hanya untuk urusan kecil seperti itu, yaitu hanya soal nama saja dari tempat yang jauh Taysu ramai-ramai telah melakukan perjalanan yang panjang untuk melihat dan menentukan siapa yang lebih tinggi kepandaiannya diantara kita! Bukankah itu merupakan hal yang sangat lucu sekali?”

Tetapi Lhama jubah putih itu telah berkata dengan suara yang dingin:

„Aku datang kemari dengan membawa firman dari raja kami..... Tetapi sebelumnya kami ingin membuktikan sendiri benarkah engkau ini seorang jago besar dijaman ini! Nah terimalah seranganku!” Dan setelah berkata begitu dengan cepat sekali tampak Lhama jubah putih itu telah menggerakkan tangan kanannya, angin serangannya itu berdesir menerjang ke arah Yo Ko.

Tetapi Yo Ko mana bisa digertak dengan serangan seperti itu, sambil berseru keras dia mengibaskan lengan tangan kanannya yang buntung itu dan juga tangan kirinya telah bergerak menampar pergelangan tangan lawannya.

„Aduhhh! Aduhhh!” Lhama jubah putih itu jadi menjerit kesakitan, sambil menarik pulang tangannya dia melompat mundur ke belakang. Tangan kirinya telah memegangi dan menguruti pergelangan tangannya yang dirasakan demikian sakit.

Ketigapuluh sembilan Lhama jubah merah lainnya jadi terkejut sekali melihat pemimpin mereka kena dibuat celaka oleh Yo Ko. Dengan cepat-cepat mereka memencar diri mengurung Yo Ko, mereka masing-masing telah mencabut sebatang pedang pendek yang tadinya mereka sisipkan di pinggang.

Melihat Lhama jubah merah yang memiliki kepandaian tentunya tidak rendah itu telah mulai mengurung dirinya, Yo Ko bingung juga karena walaupun bagaimana dengan dikepung berlapis-lapis oleh keempatpuluh Lhama itu tidak mudah dia bisa meloloskan diri. Tetapi Yo Ko memiliki kepandaian yang benar-benar telah sempurna, dia bisa mempergunakan tangan kirinya yang tunggal itu sebaik mungkin. Melihat dirinya dikepung begitu rapat. Yo Ko tidak menjadi jeri, dia hanya memikirkan betapa lamanya dia harus membuang tenaga dan waktunya untuk menghadapi lawan-lawannya yang berjumlah banyak dan tampaknya rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.

Saat itu pendeta jubah putih itu telah berkurang rasa sakit pada pergelangan tangannya, dia telah melangkah maju sambil berseru:

„Hari ini aku ingin mengadu jiwa dengan kau! Jika aku belum dapat kau binasakan, aku akan terus menyerang kepadamu! Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang bengis, sekali diapun telah menjejakkan kaki kanannya, tubuhnya meloncat cukup tinggi, waktu tubuhnya melambung ke tengah udara itu, tampak Lhama jubah putih itu telah mengulurkan tangan kirinya menerjang Yo Ko, sedangkan tangan kanannya meraba pinggangnya, kemudian dengan cepat di tangan kanannya itu telah mencekal sebatang pedang pendek yang terus ditikamkan ke arah tenggorokan Yo Ko.

Yo Ko juga terkejut melihat cara menyerang pendeta itu yang tampaknya nekad sekali dia mengeluarkan suara siulan nyaring, dengan kaki tunggal, yaitu dengan gerakan ‘kim-kee-tok-pit’ atau ayam emas berdiri di kaki tunggal, dia telah memutar tubuhnya, dan waktu pedang lawan lewat di samping lehernya Yo Ko mengulurkan tangan kirinya dia telah menyentil pedang itu!

Hebat kesudahannya dari sentilan itu karena pedang lawannya tergetar seperti juga akan terlepas dari cekalan tangan Lhama jubah putih itu. Lhama jubah putih itu jeri sekali karena dia merasakan telapak tangannya itu pedih bukan main akibat getaran sentilan tangan lawannya.

Ketigapuluh sembilan Lhama jubah merah yang menjadi anak buah Lhama jubah putih itu telah mengeluarkan suara seruan yang disusul dengan serangan pedang mereka masing-masing.

Menghadapi lawan yang demikian banyak dan melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dirinya, Yo Ko kuatir juga, karena tidak mungkin dengan tangan kiri tunggalnya dia menghalau sekaligus pedang-pedang yang tengah menyambar ke dirinya. Maka jalan satu-satunya Yo Ko telah menjejakan kakinya, tubuhnya meloncat sejauh lima tombak itulah kegesitannya yang jarang sekali dimiliki orang-orang rimba persilatan masa kini.

Keempatpuluh orang Lhama itu tampak merasa kagum juga melihat ginkang Yo Ko yang telah mencapai tingkat begitu tinggi dan sempurna.

Yo Ko bukan hanya sekedar melompat ke atas saja, dia telah mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya bergerak ke sekeliling tubuhnya, untuk melakukan totokan-totokan yang gencar ke diri Lhama-lhama itu. Itulah salah satu jurus dari It-yang-cie yang telah dirobahnya sedemikian rupa, sehingga jadi lebih hebat dari yang sebenarnya.

„Aduhhh..... aduhhh.....!” Lima orang Lhama telah mengeluarkan suara jeritan tertahan mengandung kesakitan, dan Lhama-lhama yang lainnya jadi tertegun sejenak, mereka tidak berani menerjang dulu, karena mereka melihat dengan mempergunakan satu jari saja Yo Ko bisa merubuhkan ke lima kawan mereka.

Tetapi Lhama jubah putih itu menjadi penasaran sekali, dia telah, berseru dengan marah: „Hari ini aku akan mengadu jiwa dengan engkau, buntung.....!” dan Lhama jubah putih itu tidak hanya berkata saja. Karena dia telah menggerakkan pedangnya untuk menikam ke arah Yo Ko.

„Tunggu dulu, sabar. Jelaskan dulu mengapa kalian demikian nekad mencari urusan denganku? Mengapa kalian memusuhi aku, sedangkan kita tidak pernah saling bertemu?”

„Jangan banyak bertanya, terimalah serangan!” Dan pedang Lhama jubah putih telah meluncur terus akan menikam bahu Yo Ko.

Tetapi semua serangan Lhama itu dihadapi dengan baik oleh Yo Ko menggerak-gerakkan tangan kirinya dengan jurus-jurus It-yang-cie, dan juga lengan baju kanannya yang kosong itu dikibas-kibaskannya pula ke segala penjuru. Kibasan lengan jubah itu bukan kibasan sembarangan, karena mengandung kekuatan yang sangat tinggi sekali, yaitu disaluri lweekang yang tangguh, maka jika ada lawan yang terkena sabetan lengan tangan baju Yo Ko, tentu orang itu akan tergempur hebat seperti dihantam lempengan besi.

Karena melihat Lhama-lhama itu merupakan rombongan manusia yang sulit diajak bicara, kali ini Yo Ko juga tidak bersikap segan-segan lagi, dia mempergunakan lweekangnya, yang telah dilatih mencapai puncaknya, untuk menghadapi semua serangan yang dilakukan lawan-lawannya itu.

Si Lhama jubah putih yang saat itu sedang kalap, kembali dia melancarkan serangan dengan jurus Dewi menyajikan arak untuk sang Buddha, maka pedangnya meluncur pesat tanpa memikirkan keselamatan dirinya lagi!

Yo Ko heran melihat kenekadan pendeta itu. Pendeta-pendeta yang mengurung dirinya umumnya merupakan jago-jago yang melatih ilmu yoga, yaitu semacam ilmu untuk membangkitkan tenaga dalam. Tetapi herannya justru Lhama jubah putih itu terlalu nekad sekali. Dalam keadaan demikian, Yo Ko telah memutar lengan jubahnya yang kanan, yang kosong itu, sambil memutar dia telah menyalurkan tenaga lweekangnya.

Hebat kesudahannya!

24.48. Pertemuan Tak Terduga Ayah dan Anak

Duabelas Lhama jubah merah telah terjungkal rubuh bergulingan di atas tanah, sedangkan Lhama jubah putih itu kena terdesak keras sehingga batal serangannya tadi.

Betapa terkejutnya rombongan Lhama itu melihat keadaan demikian, dan nyali Lhama jubah putih juga telah ciut. Setelah dapat berdiri tegak kembali, tampak Lhama jubah putih itu memasukkan pedangnya ke dalam kerangkanya, lalu merangkapkan kedua tangannya sambil berkata:

„Sesungguhnya kami harus mengakui bahwa kepandaian kami tidak berarti jika dibandingkan dengan kepandaiannya Tayhiap. Kami takluk dan tunduk benar-benar!”

Yo Ko juga cepat menjura memberi hormat.

„Jangan berkata begitu Taysu. Di dalam dunia ini tidak ada perkataan tinggi dan rendah. Setiap orang yang mempelajari ilmu silat, tidak boleh sekali-kali merasakan dirinya telah mencapai puncaknya. Karena jika dia berpikir begitu niscaya akan menyebabkan orang tersebut tidak mengalami kemajuan lagi .....! Orang yang memiliki kepandaian tinggi, tentu akan ada yang lebih tinggi lagi, dan begitupun seterusnya.....!”

Lhama jubah putih itu telah menjura lagi, katanya:

„Omitohud! Pinceng benar-benar merasa kagum dan tunduk! Terima kasih atas nasehat Tayhiap!” Setelah berkata begitu Lhama jubah putih itu mengibaskan tangan kirinya memberi isyarat kepada kawan-kawannya, agar menyimpan pedang mereka.

Kemudian ketigapuluh sembilan orang Lhama jubah merah itu menekuk satu kaki mereka berlutut dihadapan Yo Ko. Begitu juga dengan Lhama jubah putih. Telah berlutut dengan kaki satu, sehingga membuat Yo Ko tambah bingung saja.

„Apa yang kalian lakukan?” tanyanya.

„Kedatangan kami ke daratan Tiong-goan ini sesungguhnya untuk mencari Tayhiap, karena Baginda Raja kami bermaksud untuk bertemu. Bersediakah Tayhiap berkunjung ke negeri kami yaitu Persia?”

Yo Ko jadi mengerutkan alis.

„Menyesal sekali aku tidak bisa memenuhi undangan ini, tolong Taysu kabarkan kepada Baginda terima kasih dan syukurku yang telah menerima undangan. Dan sayang sekali urusan isteriku belum juga selesai. Isteriku telah lenyap belasan tahun yang lalu, dan aku belum berhasil menemui jejaknya musuhku yang menculiknya. Juga aku tak mengetahui apakah isteriku itu bisa selamat atau tidak, karena aku belum pernah bertemu. Jika urusanku selesai, kelak aku akan datang.”

Muka si Lhama jubah putih itu jadi berobah, dia telah berkata:

„Tayhiap, Baginda raja telah berpesan agar dengan cara apapun, aku harus dapat mengundang Tayhiap. Jika kami gagal, tentu kami akan menerima hukuman yang sangat berat dari raja kami.”

Yo Ko tersenyum sabar.

„Kembalilah ke negerimu dan ceritakanlah yang sebenarnya, tentu rajamu itu akan mau mengerti dan juga akan mengampuni kalian. Aku berjanji, begitu urusanku di daratan Tiong-goan ini selesai, aku segera akan berkunjung ke Persia.”

„Tetapi Tayhiap,.....”

„Menyesal sekali aku tengah mengejar musuh yang telah menculik isteriku, tentunya Taysu semua mau mengerti kesulitanku ini!”

„Hmm,” tiba-tiba Lhama jubah putih itu telah memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh. „Jika Tayhiap menolak undangan kami ini, berarti kami terpaksa harus mengadu jiwa denganmu..... karena jika kami pulang dengan tangan kosong, itupun percuma saja..... berarti kami akan menerima hukuman mati..... Dan lebih baik kami mempertaruhkan jiwa kami disini saja!”

Yo Ko tersenyum sabar, dia telah berkata dengan suara menghibur:

„Kepandaian para Taysu memang sangat tinggi, mungkin dalam satu dua jurus aku bisa bertahan dari serangan-serangan kalian. Tetapi setelah itu dengan mudah aku tentu dapat dirubuhkan kalian.”

Itulah kata-kata yang merendah dari Sin-tiauw Tayhiap. Walaupun sekarang ini dia terhitung sebagai pendekar super sakti yang tiada lawannya tokh dia masih membawa sikap yang manis tidak takabur atau congkak.

Rombongan Lhama itu jadi malu sendirinya, tetapi mereka serba salah, mundur tidak bisa maju pun tidak dapat. Jika mereka mengundurkan diri dan kembali ke Persia dengan tangan kosong, selain akan menderita malu juga mereka tentunya akan menerima hukuman dari raja mereka. Tetapi jika maju untuk menempur Yo Ko, jelas pula mereka tidak memiliki kesanggupan sampai ke arah itu, tentu dalam beberapa jurus saja mereka akan dapat dirubuhkan oleh pendekar super sakti itu, hampir tidak bisa diterima oleh akal sehat!

„Tayhiap….. apakah sungguh-sungguh Tayhiap tidak bisa ikut bersama kami ke Persia?” tanya Lhama jubah putih itu kemudian.

„Orang yang menculik isteriku itu merupakan jago dari Mongolia bergelar Tiat To Hoat-ong. Dan aku sungguh-sungguh menyesal harus mengecewakan kalian taysu, memang sesungguhnya aku tidak bisa ikut di saat seperti sekarang ini. Tolong sampaikan salamku kepada raja kalian, dan percayalah dalam satu atau dua tahun mendatang, jika urusanku telah selesai, aku akan berangkat ke Persia untuk menghunjuk hormat kepada raja kalian, dan juga untuk mengunjungi kalian agar kita bisa bertukar pikiran.”

Lhama jubah putih itu ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya dia mengangguk juga. Memaksa Sin-tiauw Tayhiap ikut mereka ke Persia sama saja dergan melakukan pekerjaan yang sia-sia, walaupun bagaimana tidak mungkin mereka bisa menandingi kepandaian Sin-tiauw Tayhiap.

„Baiklah Tayhiap. Nanti kami menantikan kedatangan Tayhiap, dan kunjungan Tayhiap.”

Yo Ko cepat-cepat membalas penghormatan Lhama-lhama itu. Dan mereka telah pamitan untuk kembali ke kapal mereka.

Setelah empatpuluh orang Lhama itu berlalu, Sin-tiauw Tayhiap masih berdiri di tempatnya. Dia menghela napas berulang kali, sampai akhirnya dia telah berkata dengan suara perlahan.

„Sahabat, mengapa tidak keluar?”

Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him yang tengah bersembunyi jadi terkejut. Betapa tajamnya telinga Sin-tiauw Tayhiap sehingga dia mengetahui di saat itu tengah bersembunyi beberapa orang.

Sebetulnya sejak tadi waktu pertama kali Yo Ko muncul, Yo Him sudah ingin melompat keluar dari tempat persembunyian untuk merangkul ayah kandungnya itu. Begitu juga dengan Kwee Siang, gadis ini seperti sudah tidak sabar lagi dan hendak keluar dari tempat persembunyiannya. Namun Phang Kui In telah memberikan isyarat agar mereka menahan perasaan mereka, karena di saat itu masih terdapat keempatpuluh pendeta yang menjadi utusan raja Persia itu, tentu bisa menimbulkan urusan lainnya.

Kwee Siang dan Yo Him menuruti isyarat Phang Kui In. Mereka telah berdiam diri memandang ke arah Yo Ko dengan mata berkaca-kaca sedangkan tubuh Kwee Siang sering menggigil karena begitu girang terharu dan berduka, bermacam-macam perasaan berkecamuk di dalam hati gadis itu.

Sekarang setelah Yo Ko berkata begitu, Yo Him dan Kwee Siang tidak bisa menahan perasaannya juga, mereka telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

„Ayah.....!” berseru Yo Him dengan suara yang nyaring, dan menjatuhkan diri berlutut di kaki Yo Ko sambil menangis terisak-isak.

Sedangkan Kwee Siang dengan terharu juga telah berseru: „Engko Yo!” dan gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lebih lanjut, karena air matanya telah mengucur deras sekali.

Yo Ko jadi berdiri tertegun melihat Yo Him berlutut dihadapannya, seorang pemuda tanggung yang mungkin baru berusia lima atau enambelas tahun. Dia tidak mengenali pemuda ini, tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu telah memanggil dia dengan sebutan ‘ayah!’, keruan saja Yo Ko jadi berdiri termangu seperti sedang bermimpi.

Dan yang lebih menakjubkan hatinya dicampur perasaan heran, dia melihat Kwee Siang yang muncul sambil menangis terharu juga. Kemudian tidak lama disusul dengan munculnya Phang Kui In, yang segera dikenal oleh Yo Ko.

„Adik Siang..... kau ada disini? Dan kau saudara Phang..... mengapa kalian bisa berada bersama-sama?” tanya Yo Ko masih dalam keheranan yang sangat.

Phang Kui In maju mendekati Yo Ko, dia telah merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada pendekar sakti itu.

„Yo eng-hiong, apakah selama ini kau sehat-sehat saja?” tanya Phang Kui In.

„Terima kasih saudara Phang..... tetapi yang membuat aku jadi heran adalah kalian yang bisa berada bersama-sama! Apa yang terjadi. Dan engko kecil ini telah memanggil aku dengan sebutan ‘ayah!’ siapakah anak ini sebenarnya?”

Phang Kui In tersenyum sambil berkata:

„Memang mungkin sudah tiba waktunya kalian dipertemukan oleh Thian, maka terjadilah peristiwa hari ini! Tidakkah Yo eng-hiong mengetahui siapa adanya engko kecil ini! Dia bernama tunggal Him dan she Yo!”

„Yo Him? Ah, itulah nama yang sangat bagus sayangnya aku tidak mengetahui dimana adanya istriku itu mengapa bisa terjadi demikian kebetulan?”

„Engko Yo. Seharusnya engkau berterima kasih dan bergirang kepada Phang eng-hiong, karena Phang eng-hiong lah yang telah berusaha untuk mempertemukan kalian ayah dan anak..... Yo Him adalah puteramu yang diperoleh dari encie Siauw Liong Lie.....!”

„A..... Apa?” tanya Yo Ko kaget sekali seperti disambar petir. „Adik kecil ini..... anakku?”

Yo Him yang sudah tidak bisa menahan harunya, menangis menggerung-gerung sambil memeluki kedua kaki Yo Ko.

„Ayah, anakmu mengunjukkan hormat.....!” kata Yo Him diantara isak tangisnya.

Yo Ko segera berjongkok, dia telah memperhatikan Yo Him sejenak lamanya, dan dia melihat wajah Yo Him mirip dengan wajah dia seusia Yo Him. Disamping itu mata dan hidungnya itu mirip dengan Siauw Liong Lie.

„Anakku.....!” tiba-tiba Yo Ko telah mengulurkan tangan tunggalnya itu untuk merangkul Yo Him, dan pendekar sakti yang super itu telah menangis terharu. „Mana ibumu...... mana ibumu, nak?”

Sambil menangis Yo Him menceritakan segala apa yang diingatnya, dia menceritakan dirinya dirawat oleh seekor burung rajawali yang besar sekali, dan dia tidak mengetahui dimana adanya sang ibu, karena Yo Him hanya tahu bahwa dia dibesarkan rajawali itu, sampai akhirnya dia telah diterbangkan ke atas lembah dan diangkat anak oleh penduduk di kampung itu.

Mendengar semua itu Yo Ko jadi menghela napas dalam-dalam, tampaknya dia berduka sekali:

„Kasihan ibumu itu nak, dalam keadaan hamil justru kami menerima cobaan-cobaan yang tidak ringan, yaitu Tiat To Hoat-ong selalu mencari urusan dengan kami bahkan akhirnya ibumu telah kena diculiknya oleh pendeta jahat itu.” Setelah berkata begitu, Yo Ko menghela napas berulang kali dan memandang jauh.

Phang Kui In dan Kwee Siang tersenyum terharu, mereka girang melihat pertemuan ayah dan anak ini, dimana pertemuan ini merupakan yang pertama kali sejak Yo Him dilahirkan.

Setelah melepaskan rindunya kepada anak kandungnya itu, Yo Ko menoleh kepada Kwee Siang.

„Adik Siang mengapa kalian bisa bersama-sama?” tanyanya.

Kwee Siang menceritakan pengalamannya, dan Yo Ko jadi terharu mendengar gadis ini belasan tahun telah berkelana dalam kalangan kang-ouw hanya sekedar, untuk bertemu dengan dia dan Siauw Liong Lie.

„Terima kasih atas perhatianmu kepada kami, adik Siang,” kata Yo Ko kemudian.

Phang Kui In juga menceritakan pengalamannya. Dan sepasang alis Yo Ko jadi mengkerut dalam-dalam waktu mendengar ketua Tiauw-pang yang bernama Ciong Lam Cie itu menawan mereka bertiga dan hendak menganiaya Yo Him.

„Memang orang she Ciong ini terlalu sekali!” kata Yo Ko kemudian setelah menghela napas lagi, „Dan orang seperti itu memang harus diberikan pelajaran. Jika tidak tentu orang she Ciong itu akan melakukan hal-hal yang tidak-tidak.”

Waktu itulah tampak Phang Kui In melanjutkan ceritanya pula, dimana dia telah mengatakan bahwa mereka setelah tertawan oleh orang-orang Tiauw-pang itu, mereka berhasil meloloskan diri dan hanyut terbawa oleh user-user air.

Kembali Yo Ko menghela napas lagi, dia mendengarkan terus cerita Phang Kui In.

„Setelah kami pingsan tak sadarkan diri. Ternyata kami telah dibawa oleh user-user air itu ke tepi pantai sebuah pulau, disana kami bertemu dengan seorang jago tua yang memiliki kepandaian tinggi, hanya sayang kedua kakinya bercacad, sehingga dia tidak bisa bergerak leluasa walaupun kepandaiannya.....”

„Siapakah jago yang buntung kedua kaki¬nya itu?” tanya Yo Ko tertarik sekali.

„Dia she Lie, bernama Bun Hap. Dia juga telah mengangkat Yo Him sebagai muridnya..... Selama dua tahun kami berdiam di pulau itu, di mana Yo Him telah meyakinkan ilmu yang diturunkan Lie Bun Hap lo-eng-hiong.”

Yo Ko girang mendengar itu.

„Jadi kepandaian Him-jie telah lumayan, juga!” katanya. „Baiklah..... jika kelak urusan kita telah selesai, yaitu mencari jejak pembunuh atau penculik dari isteriku itu, maka kita akan pergi ke Persia untuk memenuhi undangan raja itu, sekarang kita lebih baik pergi ke Kun-lun-san untuk melihat apakah terdapat tanda-tanda bahwa Liong-jie itu berada disana!”

Mendengar itu Yo Him cepat-cepat merogoh sakunya, dia mengeluarkan secarik kain berkembang, diberikannya kain putih berkembang itu kepada Yo Ko.

„Ayah..... waktu Sin-tiauw ingin menghabiskan hidupnya dengan terjun ke dalam jurang, sebelumnya dia telah menunjukkan kepadaku sebuah kuburan kecil yang ketika kubuka terdapat kain-kain ini!”

Yo Ko menerima carikan kain itu dan memperhatikan sejenak dan diwaktu itulah dalam keadaan hening dan semua orang membungkam menutup mulut, terdengar isak tangis Yo Ko.

„Benar..... ini adalah pakaian ibumu, pecahan dari bajunya..... Kalau begitu..... kalau begitu..... ah, Liong-jie, engkau telah mendahului aku! Walau bagaimana penasaranmu itu harus dibalas, aku akan mencari Tiat To Hoat-ong untuk mengadakan perhitungan dengannya.” Dan setelah berkata begitu tampak Yo Ko mendekap carikan kain dari baju isterinya itu ke dadanya sambil menangis keras terisak-isak.

Yo Him bertiga tidak berani berkata-kata, mereka hanya berdiam menundukkan kepalanya saja, diliputi perasaan haru melihat seorang pendekar sakti seperti Yo Ko bisa menangis dengan keras terisak-isak seperti anak kecil saja.

Setelah puas menangis, tiba-tiba Yo Ko telah mengeluarkan suara meraung yang keras dan panjang, sampai sekitar tempat itu tergetar keras. Yo Him bertiga jadi tambah terkejut, karena merasakan tubuh masing-masing menggigil.

Yo Ko tertawa dengan suara yang sambung menyambung, dan tiba-tiba dengan diiringi suara bentakannya, tampak tubuhnya telah jongkok di tanah dan tangan tunggalnya itu telah bergerak cepat sekali.

„Siuttt, bukkk!” telapak tangan Yo Ko telah menghantam batang pohon besar yang terdapat disitu, sehingga memperdengarkan suara benturan yang keras sekali, disusul lagi dengan suara „krekkk!” yang nyaring, maka batang pohon itu telah patah rubuh! Itulah ilmu pukulan ha-mo-kang, ilmu pukulan kodok yang diterima Yo Ko dari Auwyang Hong! Tidak mengherankan jika batang pohon itu tumbang seketika begitu terkena pukulan tangan Yo Ko, sedangkan batu gunung yang besarpun jika terkena gempuran seperti itu akan lumat hancur.

Phang Kui In dan Kwee Siang yang melihat hebatnya tenaga serangan dari Yo Ko yang sekaligus bisa menumbangkan batang pohon itu, jadi meleletkan lidah mereka. Sedangkan Yo Him sendiri telah memandang dengan wajah berseri-seri, karena dia bangga sekali memiliki seorang ayah yang demikian tangguh ilmu pukulannya.

Waktu itulah Yo Ko telah menghentikan tangisnya, karena dia telah berhasil melampiaskan kemendongkolan, dan juga dendam di hatinya, lewat pukulan keras pada batang pohon itu.

Cepat sekali dia menoleh kepada Yo Him tangan anaknya itu dicekal keras.

„Ayah.....!” berseru Yo Him dengan suara tertahan karena dia kaget sekali begitu pergelangan tangannya kena dicekal oleh Yo Ko ayahnya, mendatangkan perasaan sakit bukan main, pergelangan tangannya itu seperti juga kena dijepit oleh jepitan besi.

Dalam hal ini memang Yo Ko telah mempergunakan tenaga yang cukup kuat dan sekali dia membentak, „rubuhlah,” maka di saat itu juga tubuh Yo Him jadi terlempar tinggi sekali.

,,Engko Yo.....!” berseru Kwee Siang, karena dia kuatir Yo Ko dalam kedukaan yang begitu mendalam telah mempergunakan tenaga yang besar dan di luar kesadarannva mencelakai anaknya sendiri.

„Yo Tayhiap!” Phang Kui In juga berteriak dengan suara yang gugup, karena dia melihat betapa tubuh Yo Him telah terlempar begitu keras.

Tetapi Yo Ko seperti tidak memperdulikannya, dia telah melompat lagi dengan cepat, dan tubuh Yo Him yang tengah meluncur turun itu telah disambar, baju di bagian punggungnya telah dicengkeram keras oleh sang ayah ini dan tampak Yo Ko menghentak lagi tangannya, maka di saat itulah tubuh Yo Him terlontar kembali dengan kuat, terlontar dengan lemparan yang mengandung kekuatan sulit diukur.

Yo Him sendiri kaget dirinya tahu-tahu dilemparkan begitu rupa oleh ayahnya. Tetapi sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian cukup banyak yang diperolehnya dari beberapa orang, termasuk Lie Bun Hap, cepat sekali Yo Him bisa mengendalikan kaki dan tangannya berjumpalitan beberapa kali di udara dan meluncur turun ke tanah dengan kedua kakinya terlebih dahulu.

Di saat itu Yo Ko tidak menerjang maju lagi, dia berdiri tegak sambil tertawa bergelak-gelak dengan keras, sehingga kembali tubuh Phang Kui In dan Kwee Siang tergetar menggigil dipengaruhi suara tertawa yang luar biasa itu.

Yo Him sendiri merasakan jantungnya tergoncang keras sekali ketika mendengar suara tertawa ayahnya itu, dia cepat-cepat mempergunakan tangannya untuk menutupi kedua telinganya.

Lama juga Yo Ko tertawa seperti itu sampai akhirnya dia telah berhenti sendiri. Diawasinya Yo Him yang saat itu masih menutupi kedua telinganya.

„Anak baik, ternyata engkau benar-benar telah memiliki ilmu yang lumayan dengan memiliki dasar seperti itu tentu tidak sulit lagi buatku menurunkan semua kepandaian yang kumiliki. Mari, kemarilah nak!”

Yo Him baru mengerti bahwa ayahnya hanya menguji kepandaian saja, hatinya jadi tenang kembali dan dia membuka tutupan kedua tangannya pada kedua telinganya, lalu dia menghampiri ayahnya.

Yo Ko mengulurkan tangannya yang kiri itu untuk mengusap-usap kepala anaknya.

„Saudara Phang!” kata Yo Ko kepada Phang Kui In.

Cepat-cepat Phang Kui In menghampirinya.

„Ada apa Tayhiap?” tanya orang she Phang itu.

Yo Ko telah menggerakkan tangan kirinya untuk memberi hormat, kemudian katanya:

„Terima kasih atas usaha dan bantuanmu sehingga kami ayah dan anak bisa berkumpul kembali! Kami sangat berterima kasih sekali padamu, saudara Phang, dan katakanlah jika engkau memiliki suatu permintaan, aku tentu akan memenuhinya!”

Phang Kui In cepat-cepat merangkapkan kedua tangannya memberi hormat, dengan rendah hati dia telah berkata:

„Mana berani aku yang rendah memikirkan hal yang tidak-tidak! Asal kalian ayah dan anak telah berkumpul kembali, itupun telah membuat hatiku puas!”

Yo Ko sekali lagi mengucapkan syukur dan terima kasihnya.

„Mari kita mencari rumah penginapan. Di sana nanti kita bisa bercakap-cakap dengan leluasa.....!” kata Yo Ko.

Yang lainnya menyetujui dan mereka telah kembali ke kota dan mencari sebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar.

Yo Ko banyak mendengarkan cerita Yo Him, betapa terharunya Yo Ko waktu mendengar penderitaan Yo Him sebagai anak yang jauh dari kedua orang tuanya. Tetapi betapa bangganya hati Yo Ko waktu mendengar Yo Him mengikat tali persaudaraan dengan Wie tocu. Betapa hebatnya anak ini dalam usia sekecil itu telah bisa mengikat tali persahabatan dengan tokoh persilatan yang ternama seperti Wie tocu.

„Memang engkau merupakan anak yang hebat, Him-jie!” memuji Yo Ko

Phang Kui In juga banyak bercerita mengenai kegagahan Yo Him. Diceritakan juga oleh Phang Kui In pertempuran-pertempuran mereka yang cukup hebat menghadapi orang-orangnya Tiauw-pang.

Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, dan ketika kentongan telah dipukul dua kali, di saat malam telah larut mereka baru masuk tidur.

Yo Ko, Yo Him dan Phang Kui In tidur dalam sebuah kamar, sedangkan Kwee Siang tidur di kamar lainnya. Sebelum tidur, Kwee Siang juga bercakap-cakap lama sekali dengan Yo Ko. Dia merasakan kerinduannya kepada pendekar sakti she Yo itu agak berkurang dengan adanya pertemuan ini.

Y

Keesokan paginya sambil dahar makanan pagi, mereka telah bercakap-cakap lagi. Banyak dan ada-ada saja yang diceritakan, oleh mereka. Bahkan Yo Ko telah menceritakan, sejak dia kehilangan isterinya yang diculik oleh Tiat To Hoat-ong, hidupnya jadi serba sepi dan sengsara. Telah dijelajahinya seluruh daratan Tiong-goan, dan selama itu pula Yo Ko tidak hentinya mengalami banyak pertempuran.

„Mungkin tahun ini pasukan Kublai Khan akan menyerbu ke daratan Tiong-goan untuk memukul kerajaan Song. Dua tahun terakhir ini aku sibuk sekali menghimpun jago-jago yang cinta tanah air untuk bantu mempertahankan negeri. Tetapi Kublai Khan memiliki banyak sekali orang-orang pilihan, maka kemungkinan kami bisa mempertahankan daratan Tiong-goan dari injakan kaki orang Mongolia itu tipis sekali.....” dan setelah berkata begitu Yo Ko menghela napas berulang kali.

Phang Kui In bersama Yo Him dan Kwee Siang jadi berdiam diri saja, mereka telah memandang ke arah Yo Ko dengan sorot mata yang seperti, meminta keterangan lebih jauh.

Waktu itu Yo Ko telah memandang jauh keluar jendela. Kemudian sambil menghela napas sekali lagi dia berkata:

„Sesungguhnya, jika aku memusatkan seluruh perhatianku untuk mencari jejak musuh besarku itu yang telah menculik Liong-jie bisa saja aku menemui jejaknya tanpa bersusah payah. Tetapi justru urusan pribadi itu masih kurang penting jika dibandingkan dengan keselamatan negeri, maka dari itu aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk menggalang para orang gagah untuk membela negara..... Tentu saja jika tentara Mongolia sempat memasuki daratan Tiong-goan, habislah harapan kita, untuk selamanya kita akan menjadi negeri jajahan.

Phang Kui In jadi terharu. Betapa besarnya jiwa pendekar sakti ini, karena urusan pribadinya bisa dikesampingkan, dan dia bersedia untuk mengorbankan urusan pribadinya demi membela tanah air. Phang Kui In jadi menghormati Yo Ko.

Kwee Siang telah berkata:

„Sungguh manusia yang jahat sekali Tiat To Hoat-ong..... Dan mengapa encie Liong bisa diculik oleh Tiat To Hoat-ong bukankah kepandaian enci Liong itu berimbang dengan kepandaian engko Yo?”

Yo Ko menghela napas dalam-dalam.

„Kukira di dalam urusan ini terselip sesuatu, yaitu pihak musuh melakukan perbuatan hina dina dengan akal licik untuk merubuhkan Liong-jie, tetapi..... tetapi jika memang Liong-jie binasa….. tentu dia tidak akan bisa melahirkan dan kenyataannya Yo Him kini telah berusia limabelas tahun, dan memiliki secarik kain baju ibunya, dengan demikian berarti Siauw Liong Lie bisa meloloskan diri dari penculiknya itu, karena dia masih sempat melahirkan Yo Him. Dugaanku Liong-jie tentu bisa meloloskan diri dan selamat, hanya dia entah bersembunyi dimana..... Jika menurut Yo Him dia dirawat oleh rajawali sakti, dan akhirnya setelah berusia enam tahun dia dibawa naik dari lembah dan diangkat anak oleh seorang penduduk di kampung dekat kaki Kun-lun-san. Hai…… hai Liong-jie, entah apa yang telah terjadi pada dirimu!”

„Bagaimana jika sekarang kita menuju ke Kun-lun-san. Untuk melihat-lihat keadaan di dalam lembah itu?” tanya Kwee Siang. „Bukankah dengan demikian kita bisa mencari jejak dari encie Liong, sehingga kita bisa memperoleh kepastian, yaitu encie Liong itu telah meninggal atau memang masih hidup dan hanya bersembunyi di suatu tempat.....”

Saran yang diberikan oleh Kwee Siang merupakan saran yang baik dan disetujui oleh Yo Ko dan Phang Kui In.

„Tetapi jarak dan tempat ini menuju ke Kun-lun-san masih terpisah jauh, mungkin memakan waktu perjalanan hampir setengah tahun.....!” kata Yo Ko lagi kemudian.

„Hal itu tidak menjadi persoalan yang terpenting kita bisa mencari tahu apa yang telah terjadi didiri encie Liong.....”

„Benar!” Phang Kui In juga ikut bicara. „Lebih baik kita memeriksa keadaan di lembah dimana Yo Him pernah dibesarkan oleh burung rajawali itu..... di tempat itu kita bisa menyelidiki sesungguhnya apa yang telah terjadi didiri Siauw liehiap.

Tiba-tiba Yo Him yang disamping ayahnya, telah teringat pada segundukan tanah kuburan yang memiliki pintu rahasia sehingga Yo Ko bisa keluar dan masuk ke dalam kuburan itu.

„Ayah, sebetulnya untuk apakah kuburan rahasia itu..... maukah ayah menjelaskannya?” kata Yo Him.

Yo Ko jadi berobah murung dan menghela napas dengan wajah yang berduka, dia telah berkata:

„Itu adalah sebuah kuburan untuk kenang-kenangan dan sengaja kubuat untuk mengenang Liong-jie. Ibumu..... dulu waktu aku masih kecil, banyak orang yang menghina, hanya ibumu yang tidak menghina dan memperlakukan aku dengan baik, bahkan aku telah diijinkan tinggal di dalam kuburan mayat hidup, di mana ibumu yang mengurusnya. Dan aku juga telah dididik ilmu silat tingkat tinggi, sampai akhirnya aku bisa memiliki kepandaian yang sangat tinggi seperti sekarang ini! Untuk mengenang kebaikan ibumu itu, sengaja aku membuat kuburan ini dan jika aku tengah rindu terkenang kepada ibumu, aku bersemadhi di dalam kuburan, untuk menenangkan hati yang sering tergoncang!”

Mendengar perkataan ayahnya, hati Yo Him jadi terharu sehingga dia menitikkan air mata. Sedangkan Kwee Siang dan Phang Kui In juga jadi terharu dan semakin menghormati. Rupanya cinta Yo Ko kepada isterinya itu sangat suci dan murni.

Waktu itu mereka telah merencanakan esok hari untuk berangkat ke Kun-lun-san.

Malam itu mereka tidur dengan nyenyak.

Waktu matahari baru terbit di ufuk timur justru mereka telah siap untuk berangkat. Setelah membayar ongkos sewa kamar dan barang makanan yang mereka makan, Yo Ko bersama Yo Him, Kwee Siang dan Phang Kui In telah membeli empat ekor kuda. Yang mereka pergunakan masing-masing itu merupakan kuda-kuda pilihan, yang bisa berlari seribu lie dalam satu hari, karena selain tinggi besar dan tegap, juga kuda mereka itu merupakan kuda dari Mongolia yang terkenal sangat kuat.

Tanpa mengenal istirahat mereka telah melakukan perjalanan, dan setengah bulan mereka melakukan perjalanan, keempat orang ini telah sampai di kota Kiang-cie-kwan, sebuah kota yang tidak begitu besar, tetapi padat penduduknya.

Yo Ko mengajak Yo Him dan Kwee Siang bersama Phang Kui In untuk bermalam di kota ini.

„Telah belasan hari melakukan perjalanan tanpa mengenal waktu. Di kota ini kita beristirahat dua hari dulu, untuk memulih tenaga kita.....!” kata Yo Ko.

Yang lainnya setuju. Mereka memilih rumah makan yang tidak begitu besar. Sebagai kota kecil, rumah makan ini juga tidak begitu ramai.

Waktu Yo Ko, dan yang lainnya melangkah masuk, ada seseorang di dalam rumah makan itu tengah berseru keras:

„Memang aku tanpa tanding! Siapa yang bilang aku takut untuk menghadapi Sin-tiauw si buntung itu? Hmmm, Tayhiap! Tayhiap apa, sekali kugerakkan kedua tanganku dia akan segera dapat kumampuskan.....!” dan kemudian disusul dengan suara tertawa bergelak-gelak dari orang itu.

Yo Ko telah menatap ke arah dalam, dia melihat orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu adalah seorang pemuda pelajar yang memiliki raut muka sangat kasar sekali, dengan kumis jenggot yang kasar dan kaku. Dilihat dari bentuk tubuhnya, tentunya dia seorang ahli gwakee (tenaga luar).

Tanpa memperdulikan orang itu, walaupun mengetahui dirinya yang dimaksudkan oleh orang itu dengan perkataan Sin-tiauw si buntung, Yo Ko telah mengajak Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him duduk di kursi yang di dekat jendela, terpisah cukup jauh dengan pemuda pelajar bermuka kasar itu.

Saat itu, pelajar bermuka kasar itu telah berkata kepada kawannya yang ada dihadapannya, yaitu seorang Tojin berusia diantara enampuluh tahun:

„Sekarang juga engkau cari si buntung itu, aku akan melayaninya, tunggu disini.....!”

Tojin itu telah tersenyum sabar.

25.49. Keroco Penantang Sin-tiauw Tayhiap

„Jangan terlalu terkebur, Heng-tay,” kata pendeta itu, „Jangankan engkau yang hanya memiliki kepandaian bisa dihitung dengan jari, sedangkan ciangbunjin-ciangbunjin dari berbagai perguruan silat ternama, seperti Siauw-lim-sie dan lainnya tidak ada yang berani membentur Sin-tiauw Tayhiap apalagi yang memiliki kepandaian sedikit, tentunya sekali saja Yo Tayhiap menggerakkan lengan baju kanannya yang tidak berlengan itu, engkau sudah akan meraung-raung meminta ampun.”

Muka pelajar yang wajahnya kasar itu jadi berobah tidak senang, tangan kanannya telah dipergunakan untuk memukul meja, sehingga ada dua cawan yang terbentur dan jatuh ke lantai menimbulkan suara berisik karena cawan-cawan yang jatuh itu telah hancur.

„Sabar hiantee (adik), engkau tampaknya begitu bernapsu sekali ingin menguji ilmumu dengan Sin-tiauw Tayhiap. Jika memang telah bertemu dengannya, engkau tentu akan cepat-cepat ambil langkah seribu.”

„Jangan terlalu menghina begitu totiang,” kata pelajar muka kasar itu. „aku Bong Siu Kang, tidak pernah mengenal apa itu perkataan takut. Dalam hal ini memang engkau belum pernah menyaksikan aku bertempur totiang! Nanti jika aku bisa mencari jejak si buntung itu akan ku..... „haappppp!” dan orang she Bong itu telah menjerit terkejut, karena tahu-tahu ada sebatang sumpit yang telah menyambar dan menghantam giginya.

Tepat sekali hantaman itu karena sumpit tersebut telah menghantam terlepas gigi di depan pemuda itu, sehingga gigi itu rontok menimbulkan perasaan sakit yang bukan main.

Ternyata Phang Kui In yang melihat kekurang ajaran orang she Bong itu, karena mendongkol sekali dia telah menyambitkan sumpitnya ke dalam mulut pemuda sombong itu.

Setelah tersadar dari sakit dan terkejutnya, Bong Siu Kang telah melompat berdiri dengan muka merah padam karena marah.

„Siapa yang lancang mempermainkan aku Bong Siu Kang. Jago tanpa tanding ini!” teriak Bong Siu Kang dengan suara yang garang.

„Aku.....!” menyahuti Phang Kui In dengan suara yang dingin. „Apakah engkau tidak senang?”

Muka Bong Siu Kang semakin merah, karena dia sangat gusar sekali. Kemudian dia melangkah dengan kaki lebar menghampiri Phang Kui In, sedangkan Yo Ko dan yang lainnya hanya mengawasi saja merekapun sebal sekali melihat sikap sombong Bong Siu Kang, hanya mereka menahan tertawa sendiri, sebab melihat betapa mulut Bong Siu Kang telah berlumuran darah merah dari giginya yang copot.

„Kamu lancang tangan, berani menghina tuan besarmu, heh?” sambil membentak begitu, tangan Bong Siu Kang telah bergerak melancarkan serangan. Dia mempergunakan jurus ‘Mie-hong-ciu-tang’ atau mie-hong gemar arak dewa, kedua kepalan tangannya itu bergerak seperti orang yang tengah menyuguhi persembahan arak, yang diincernya adalah punggung Phang Kui In.

Tetapi Phang Kui In tetap duduk diam sama sekali tidak bergerak. Dia membiarkan pukulan Bong Siu Kang mengenai punggungnya, diam-diam dia telah mengerahkan tenaga lweekangnya yang disalurkan ke punggungnya.

„Bukk!” Suara benturan antara kepalan tangan Bong Siu Kang dengan punggung Phang Kui In terdengar keras dan di saat itu juga terdengar jeritan dari Bong Siu Kang, karena tubuhnya telah terlempar ke lantai.

Rupanya walaupun Phang Kui In tidak mengadakan penangkisan terhadap serangan lawannya. Tetapi dia telah mengembalikan tenaga serangan lawannya melalui tenaga lweekangnya yang memenuhi pundaknya. Maka tidak mengherankan ketika kepalan tangan Bong Siu Kang menghantam, segera tenaga serangan itu berbalik kembali, sehingga tubuh orang she Bong itu terlempar bergulingan di lantai.

Tetapi Bong Siu Kang penasaran sekali dan tidak pernah mengenal menyerah. Walaupun dia telah kena diserang dengan cara mengembalikan tenaga lweekang, membuktikan bahwa tenaga serangan itu sangat kuat, dan tentu pemiliknya memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Dengan mempergunakan gerakan ‘lee-ie-ta-teng’ atau ikan gabus meletik, tubuh Bong Siu Kang telah melompat tinggi dan berada di dekat Phang Kui In.

„Kau..... mempergunakan ilmu siluman! Jika memang engkau seorang ho-han, layanilah seranganku dengan jujur.”

Phang Kui In jadi tambah sebal kepada orang she Bong tersebut, yang dianggapnya tidak tahu diri. Dengan ayal-ayalan Phang Kui In berdiri dari duduknya, sedangkan Yo Ko hanya tersenyum-senyum saja dan Yo Him bersama Kwee Siang tidak memperdulikan semua itu, mereka tengah bicara dengan asyik.

„Apa yang kau kehendaki lagi?” tanya Phang Kui In dengan suara yang dingin, dia juga sengaja membuka matanya lebar-lebar untuk menyelidiki lawannya itu.

„Aku menghendaki kau melayani aku dengan cara ho-han,” kata Bong Siu Kang.

„Caranya?”

„Engkau harus mempergunakan kedua tanganmu, tidak seperti tadi engkau mempergunakan ilmu siluman.”

„Ilmu siluman?”

„Ya engkau memiliki ilmu siluman, tidak keruan! Aku yang memukul dirimu, tetapi toh justru aku yang telah terpental. Bukankan dengan demikian membuktikan bahwa engkau mempergunakan ilmu siluman?”

Mendengar perkataan Bong Siu Kang, nampak Phang Kui In tertawa tergelak-gelak.

Muka Bong Siu Kang jadi berobah merah padam karena dia merasa tersinggung.

„Apa yang kau tertawakan?” bentaknya dengan suara yang aseran, karena dia mengetahui Phang Kui In tertawa begitu tentunya dengan maksud mengejeknya.

Phang Kui In telah berhenti tertawa. Kemudian dengan muka yang sungguh-sungguh dia berkata:

„Engkau terlalu takabur! Tadi aku bukan mempergunakan ilmu siluman, tetapi justru kepandaianmu yang masih terlalu rendah! Aku tadi telah mempergunakan lweekangku untuk mengembalikan tenaga seranganmu, sehingga engkau jadi jungkir balik begitu rupa! Hemm, karena itu engkau harus melatih diri selama duapuluh tahun lagi barulah engkau bisa memahami ilmu itu!”

Keruan saja Bong Siu Kang jadi tambah marah.

„Bangsat kecil, kau ingin menggertakku dengan ilmu silumanmu itu? Hemm, hemm, aku Bong Siu Kang tidak akan takut menghadapi siapapun juga, terimalah seranganku yang kali ini!” Dan dia bukan hanya berkata karena dia telah mengerakkan tangan kirinya dengan jurus air terjun menimpa bumi, dan disusul dengan jurus terjangan badai mengamuk pada naga, merupakan jurus kedua yang cukup lumayan kerasnya.

Tetapi buat Phang Kui In mana dia memandang sebelah mata kepandaian orang she Bong itu. Dengan mengeluarkan seruan kecil dia berkelit ke samping, tahu-tahu dia telah berada di belakangnya Bong Siu Kang. Dan kemudian menepuk bahu orang she Bong itu perlahan sekali.

„Aku disini.....!” katanya sambil tersenyum lagi.

Semangat Bong Siu Kang seperti terbang meninggalkan raganya, cepat-cepat dia memutar tubuhnya dan menggerakkan kedua tangannya berulang kali untuk mencecar diri Phang Kui In.

Tetapi Phang Kui In dengan mudah bisa mengelakkan diri dari serangan-serangan lawannya, sama sekali dia tidak membalas menyerang.

Bong Siu Kang jadi tambah penasaran, berulang kali dia mengamuk sambil mengulangi serangan-serangannya seperti juga orang kesurupan hantu saja.

Namun Phang Kui In tetap tidak mau membalas menyerang. Namun setelah lebih dari empatpuluh jurus, di saat itulah dengan cepat sekali Phang Kui In mencengkeram tangan kanan orang she Bong itu.

„Aduhhh.....!” menjerit Bong Siu Kang ketika tangannya dicekal dengan keras sekali. Tetapi suara jeritan kesakitan itu belum lagi habis diucapkannya, tiba-tiba tubuhnya telah diangkat oleh Phang Kui In, lalu dilemparkannya dengan kuat sekali melambung ke tengah udara, lemparan Phang Kui In itu cukup keras, karena telah disertai oleh tenaga lweekangnya sebanyak empat bagian.

Dalam keadaan demikian, Bong Siu Kang hanya bisa menjerit saja, dan tubuhnya terbanting keras di atas lantai, diam tidak berkutik lagi karena dia telah rubuh pingsan.

Semua tamu-tamu lainnya jadi berdiam diri dengan tertegun karena di kota mereka ini, Bong Siu Kang boleh dibilang sebagai jagonya dan tidak ada orang yang berani berurusan dengannya. Tetapi kini dengan begitu mudah telah dirubuhkan oleh Phang Kui In, sehingga mereka jadi duduk bengong saja di tempat masing-masing sambil memandang kepada Phang Kui In dengan sorot mata menunjukkan kekaguman.

Waktu itu Phang Kui In telah memutar tubuhnya hendak kembali ke kursinya.

Tetapi belum lagi dia duduk, telah ada yang berseru kepadanya: „Tahan dulu, sahabat.....!”

Phang Kui In telah menoleh dan mengawasi orang yang menegurnya itu. Dilihatnya orang yang menegurnya itu tidak lain dari pada si Tojin yang tadi bercakap-cakap dengan Bong Siu Kang. Cepat-cepat Phang Kui In telah berkata dengan suara yang ramah:

„Ada petunjuk apakah totiang......”

Tojin itu tidak segera menyahuti, dia telah mengawasi Phang Kui In beberapa saat lamanya, sampai Phang Kui In tidak sabar sendirinya

„Katakanlah totiang jika memang engkau memiliki petunjuk. Kalau eng¬kau tidak memiliki urusan apa-apa, maafkan aku akan kembali ke mejaku.”

Tojin itu telah tersenyum mengejek.

„Aku bergelar Cing-siu Cinjin.” Katanya

„Cing-siu Cinjin”? tanya Phang Kui In. „Aku serasa pernah mendengar gelaran totiang.” Kemudian dia memperhatikan baik-baik Tojin itu. Dia melihat orang memiliki muka berbentuk segi tiga, dadanya dada burung, membusung keluar dan tubuhnya tidak gemuk juga tidak kurus. Matanya yang agak luar biasa, memandang Phang Kui In dengan sinarnya yang tajam sekali.

„Tadi pinto telah beruntung bisa menyaksikan kie-su (orang gagah), merubuhkan Bong Siu Kang, anak itu memang suka sekali berlaku sombong dan takabur. Tetapi, sebagai orang rimba persilatan jika melihat ada orang yang memiliki kepandaian tinggi membuat tangan menjadi gatal karenanya. Maka jika kie-su tidak keberatan, pinto ingin minta beberapa jurus petunjuk dari kie-su!”

Cepat-cepat Phang Kui In merangkapkan tangannya, dia telah menjura memberi hormat kepada Tojin tersebut.

„Maafkan totiang, kepandaianku tidak berapa tinggi, aku hanya mengerti satu-dua jurus saja,” katanya merendahkan diri dengan sikap yang manis sekali. „maka dari itu aku mana bisa menghadapi totiang.”

Tojin itu tertawa tawar.

„Biar saja kie-su merendahkan diri! Tadi aku telah sempat menyaksikan kepandaian kie-su ini, mungkin juga lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaianku, tetapi karena aku tertarik sekali dan ingin mencoba-coba dengan kepandaian kie-su, hendaknya kie-su tidak keberatan dan tidak menolaknya!”

Selesai berkata, dengan gerakan yang ayal-ayalan dia telah mencabut pedangnya yang di atas punggungnya, dan kebutan hud-timnya itu dicekal di tangan kiri.

„Majulah kie-su, mari kita coba-coba.....!” kata Tojin itu.

Phang Kui In jadi kikuk juga. Dia tidak mengenal siapa adanya Tojin itu, tetapi orang ini telah mendesak dia terus menerus, sehingga membuat dia tidak memiliki pilihan lainnya.

Hanya di saat itu Phang Kui In menoleh dulu kepada Yo Ko, dimana Sin-tiauw Tayhiap telah mengangguk perlahan, tanda setuju Phang Kui In bertempur dengan Tojin itu.

„Baiklah totiang,” kata Phang Kui In kemudian. „Karena totiang mendesak terus, terpaksa aku memberanikan diri untuk menerima petunjuk!” Kemudian tangan kanannya mencekal gagang goloknya dan „sreenggg!”, golok itu telah dicabutnya keluar dari serangkanya.

„Mulailah!” kata Tojin itu seperti tidak sabar.

Phang Kui In tidak menunda-nunda lagi, karena dia juga telah habis sabar melihat tingkah dari Tojin itu. Dengan mengeluarkan suara teriakan, „awas serangan!” tampak golok Phang Kui In secepat kilat membacok ke arah lengan si Tojin.

Tetapi Tojin itu memiliki kepandaian tidak rendah, begitu melihat datangnya serangan golok lawannya, dia telah mengeluarkan suara tertawa mengejek dan menangkis dengan pedangnya. Tojin itu bukan hanya menangkis saja, karena dengan cepat sekali hud-tim di tangan kirinya telah dikebutkan ke muka Phang Kui In.

Kebutan itu terdiri dari bulu-bulu yang halus, tetapi di tangan seorang ahli lweekang seperti Tojin itu, bulu-bulu hud-tim yang terbuat dari benang-benang emas campuran baja itu, jadi luar biasa kerasnya. Hud-tim itu merupakan senjata lemas sekali, tetapi jika dikerahkan tenaga lweekang pada bulu-bulu itu, maka hud-tim itu bisa tegak lurus kaku, sehingga bisa dipergunakan juga untuk menotok jalan darah lawan.

Dalam keadaan demikianlah tampak Cing-siu Cinjin telah menggerakkan hud-timnya itu mengincer jalan darah yang mematikan di perut Phang Kui In.

Yo Ko yang menyaksikan pertempuran itu jadi terkejut juga, karena Tojin itu telah mempergunakan gerakan yang mematikan. Maka dari itu, dapat diduga bahwa Tojin ini bukan dari golongan baik-baik setidak-tidaknya dia merupakan Tojin dari golongan hitam.

Waktu itu Phang Kui In tidak menjadi gugup karenanya, dia telah mengeluarkan suara bentakan nyaring sambil mengelakkan diri dari totokan hud-tim si Tojin. Lalu dengan tidak membuang waktu lagi tampak Phang Kui In telah memutar goloknya akan menabas leher si Tojin.

Melihat datangnya serangan yang begitu hebat dan kuat, Cing-siu Tojin tidak berani berlaku ayal. Dia telah menarik pulang hud-timnya dan kemudian mempergunakan pedangnya menangkis serangan yang dilancarkan Phang Kui In.

Phang Kui In tidak ingin membenturkan goloknya pada pedang lawan, sebelum pedang dan golok saling bertemu. Phang Kui In telah menarik pulang kembali goloknya itu.

Tojin tersebut juga telah menyadari bahwa dirinya kali ini telah bertemu dengan lawan berat. Dengan mengeluarkan suara siulan nyaring tampak Tojin itu telah menggerak-gerakkan kedua senjatanya, yaitu hud-tim dan pedang itu bergantian. Cara menyerangnya juga cepat, sinar pedang itu telah berkelebat-kelebat mencari sasaran yang mematikan, terlebih lagi dengan dibantu oleh hud-timnya yang setiap kali mengancam akan menotoknya membuat Phang Kui In jadi terdesak hebat. Telah lebih dari limapuluh jurus mereka bertempur, dan Phang Kui In tampak berada di bawah angin.

Yo Ko sedang menyaksikan pertempuran itu dan ketika melihat keadaan Phang Kui In, dia telah menoleh kepada Yo Him.

„Him-jie, coba engkau yang menghadapi Tojin itu, aku ingin melihat sampai dimana kepandaianmu!”

Tentu saja perintah ayahnya itu menggembirakan hati Yo Him.

„Baik ayah. Aku akan coba-coba minta pengajaran dari totiang itu.....!”

Waktu Yo Him berdiri dari duduknya, di saat itu Yo Ko telah berteriak nyaring:

„Saudara Phang, kau mundur, biarkan Him-jie yang menghadapinya!”

Phang Kui In yang sedang terdesak begitu hebat, tidak berani membantah perintah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dia telah menggerakkan goloknya yang menyambar cepat sekali ke arah leher lawannya dengan gerakan yang menyimpang, menabas dari kiri ke kanan.

Gerakan yang dilakukan Phang Kui In memaksa Cing-siu Cinjin melompat mundur mengelakkan diri untuk menyelamatkan lehernya dari sambaran golok jago she Phang tersebut, dan kesempatan seperti itu telah dipergunakan sebaik mungkin oleh Phang Kui In untuk melompat mundur menjauhi diri dari Tojin itu.

Yo Him juga tidak tinggal diam, waktu melihat Phang Kui In melompat mundur, dengan cepat anak itupun telah melompat ke tengah gelanggang. Dia telah merangkapkan kedua tangannya sambil katanya: „Totiang aku yang muda ingin meminta petunjuk dari kau!”

„Hati-hati Him-jie dia memiliki kepandaian yang tinggi sekali!” Phang Kui In telah memperingatinya.

Yo Him hanya mengangguk

Sedangkan Cing-siu Cinjin telah berobah mukanya menjadi merah padam, karena dengan majunya Yo Him yang masih begitu muda, juga pipi si imam telah ditampar oleh Yo Him.

„Bocah tidak mengenal mampus, apakah engkau memang ingin mengantarkan jiwa?” tegurnya dengan suara yang menggeletar keras. Lalu Cing-siu Cinjin telah menoleh memandang kepada Phang Kui In.

„Hey orang she Phang mengapa engkau memajukan anak kecil ini. Apakah engkau tidak merasa kasihan jika dia binasa di tanganku?” bentakan itu keras, dan mata Cing-siu Cinjin juga merah, menunjukkan bahwa dia tengah diliputi kemarahan yang sangat.

Di saat itu Yo Him telah berkata dengan suara yang dingin: „Walaupun aku masih berusia muda, belum tentu dapat dirubuhkan oleh totiang!”

Mendengar perkataan Yo Him, imam itu bertambah marah, dengan mengangguk-anggukkan kepalanya dia telah berkata: „Baik, baik, baik! Engkau sendiri yang telah mencari mampus dengan mengantarkan jiwamu secara cuma-cuma!”

Setelah berkata begitu, dengan sikap yang mengancam tampak pendeta itu telah menggerakkan kebutan hud-timnya dan mengibaskan pedangnya. „Srinnng.....!” pedang Tojin itu telah menyambar dengan cepat ke arah dada Yo Him.

Gerakan itu tetah membuat Yo Him jadi kagum juga, karena dengan melihat jurus yang dipergunakan oleh Cing-siu Cinjin segera diketahui bahwa kepandaian imam itu telah tinggi. Tetapi sebagai seorang pemuda yang telah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti, Yo Him tidak gentar menghadapi serangan seperti itu. Dengan tenang dia menantikan tibanya serangan pedang lawan, itu dengan gesit, sekali dia menyentil pedang si Tojin dengan gerakan it-cie-cut-hun atau satu jari mencabut jiwa, maka dengan terdengarnya suara „tranggg” yang cukup nyaring pedang imam itu telah terlepas dari cekalannya.

Muka si pendeta jadi berobah pucat dan dia telah berdiri tertegun mengawasi ke arah lawannya yang masih muda sekali. Dia tidak habis mengerti waktu pedangnya tadi disentil oleh pemuda itu, dia merasakan betapa pedangnya itu tergetar dan juga telapak tangannya pedih sekali, lalu tanpa dikehendakinya pedangnya terlepas dan menancap di lantai.

Keruan saja Cing-siu Cinjin jadi terkejut dan dia berdiri bengong sesaat lamanya, waktu itu Yo Him telah berkata lagi dengan suara yang dingin:

„Ehmm, apakah kita akan meneruskan pertempuran ini?”

Si Tojin jadi tersadar karenanya dia telah menganggukkan kepalanya.

„Ya!” dan tahu-tahu hud-timnya telah menyambar akan menghantam muka Yo Him. Dia penasaran sekali, dan saat itu kemendongkolan dan penasaran tengah mengamuk, menjadi satu di dadanya, dengan sendirinya serangan yang kali ini dilakukannya merupakan serangan yang dahsyat sekali, karena si Tojin seperti juga tidak ingin memberikan kesempatan kepada Yo Him guna menangkis serangannya itu.

Yo Him juga terkejut melihat cara menyerang lawannya, jika dia terlambat mengelakkan diri tentu matanya yang akan menjadi korban dan menjadi buta.

Phang Kui In dan Kwee Siang yang menyaksikan hal itu jadi gugup dan berkuatir. Bahkan Yo Ko telah berseru, „Him-jie,” hati-hati.

„Adik Him, cepat berkelit.....!” teriak Kwee Siang dengan hati berdebar gelisah.

Sedangkan Phang Kui In yang tengah gugup melihat jiwa dan keselamatan, Yo Him terancam, jadi berdiri diam tak bisa mengeluarkan suara apa.

Tetapi walaupun terkejut, Yo Him tidak menjadi gugup. Dia telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring sekali dan di saat itu telah menggerakkan tangan kanannya ke arah ulu hati lawannya, mengincer jalan darah ma-tiong-hiatnya si Tojin. Gerakannya itu mempergunakan jurus ma-sai-tung-cie atau kuda terbang di musim dingin.

Waktu itu si Tojin tengah gembira sekali melihat serangannya akan berhasil dan juga tampaknya Yo Him sudah tidak keburu untuk mengelakkan diri, maka dia telah menambah tenaga serangannya itu, dengan maksud untuk menghancurkan batok kepala Yo Him.

Tetapi alangkah terkejutnya dia waktu melihat tangan Yo Him diulurkan akan menyerang jalan darah ma-tiong-hiatnya, yang berarti jika terserang dia akan terbinasa di saat itu juga.

Walaupun dia bisa berhasil dengan serangannya tetapi jika diapun harus terserang pada jalan darah terpenting di tubuhnya itu, tentu saja si Tojin tidak mau. Dengan mengeluarkan suara seruan yang keras dia telah melompat mundur sambil menarik pulang hud-timnya.

Gerakan Tojin itu memang sangat cepat sekali, sehingga serangan Yo Him jatuh di tempat kosong.

„Mari diteruskan!” tantang Yo Him sambil tertawa mengejek.

Tojin itu tidak menyahuti, dia hanya berjongkok mengambil pedangnya, kemudian pedang itu telah dikibaskannya dengan kuat, sehingga menimbulkan suara „siut..... sringg!!”

„Hari ini biarlah aku mengadu jiwa dengan kau, karena jikalau aku sampai dikalahkan olehmu, tentu saja akan membuat aku malu! Terimalah seranganku.”

Dan benar saja Tojin ini telah melancarkan serangan lagi dengan pedangnya, mata pedangnya menuju ke bahu Yo Him, sedangkan hud-timnya telah menyambar ke arah tenggorokan Yo Him.

Keruan saja hal ini memaksa Yo Him harus melompat beberapa kali, dia telah berhasil mengelakkan dari setiap serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Tetapi karena Tojin itu melancarkan serangan dengan gencar dan bertubi-tubi maka dia tidak sempat membalas menyerang dan hanya berkelit dengan tidak henti-hentinya.

Yo Him setelah berkelit berulang kali sebanyak enam jurus, di saat itu dia telah mengeluarkan suara jeritan yang nyaring sambil kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, rupanya Yo Him baru ingin mencoba mempergunakan gerakan-gerakan ilmu silat yang diturunkan oleh Lie Bun Hap.

Si Tojin heran melihat sikap Yo Him, dia menduga-duga entah ilmu silat jenis apa yang ingin dipergunakan oleh Yo Him.

„Sekarang telah cukup aku mengalah hanya menerima serangan tanpa balas menyerang, tetapi sekarang sudah tiba saatnya engkaupun harus menerima serangan-seranganku!” Dan selesai berkata Yo Him telah mengerakkan dua tangannya sekaligus, dia telah menyerang dengan gerakan kera memanjat pohon dan kemudian disusul dengan gerakan, kera memetik buah dimana jurus itu merupakan jurus-jurus istimewa yang diciptakan oleh Lie Bun Hap.

Sedangkan Cing-siu Cinjin yang melihat datangnya serangan yang aneh seperti itu, cepat-cepat melompat mundur menjauhi Yo Him.

Tetapi Yo Him tidak mau sudah hanya sampai disitu saja dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek dia telah meloncat mengejar dan kedua tangannya itu tetap melancarkan yang cukup kuat kepada Tojin itu.

Melihat gesitnya Yo Him yang menyamai kegesitan dirinya, Tojin itu tambah terkejut dan heran, mengapa pemuda semuda itu sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Tetapi disebabkan Yo Him telah mendesaknya terus dan diapun telah diliputi kenekadan pula, maka Tojin itu sudah tidak mengelakkan diri pula dari serangan yang dilancarkan Yo Him, melainkan dengan mengeluarkan suara bentakan mengandung marah, dia telah melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan hud-timnya.

Yo Him tidak mau membiarkan tangannya dilibat oleh bulu hud-tim, maka dengan cepat sekali dia telah menarik pulang kedua tangannya, dan kaki kirinya telah bekerja menyepak pergelangan lawannya.

Sepakan itu merupakan tendangan yang disertai tenaga dalam, maka tidak ampun lagi Tojin itu meraung mengeluarkan suara jerit kesakitan waktu pergelangan tangannya telah kena ditendang oleh Yo Him, sedangkan kebutan di tangannya juga telah terlepas dan melayang jatuh ke lantai.

Untuk seketika itu, Tojin tersebut berdiri dengan muka pucat bagaikan patung, mulutnya ternganga karena merasa heran dan takjub disamping marah dan mendongkol.

Yo Him tidak mendesak lagi, dia telah merangkap tangannya memberi hormat.

„Terima kasih atas petunjuk totiang.....!”

Muka Tojin itu jadi berobah merah karena malu bercampur marah.

„Baiklah hari ini nasibku benar-benar sial karena telah rubuh di tangan seorang anak yang masih bau pupuk seperti kau ini tetapi jika dilain waktu ada kesempatan tentu aku akan mencarimu untuk meminta pengajaran, dari kau.....!”

Satelah berkata begitu, tampak Cing-siu Cinjin telah mengambil pedang dan hud-timnya tanpa menoleh lagi kepada Yo Ko dan yang lainnya dia telah melangkah keluar pintu.

Tetapi waktu sampai di muka pintu, dia telah menoleh lagi dan bertanya kepada Yo Him.

„Siapa namamu? Aku belum lagi mengetahuinya.”

Yo Him menjura,

„Aku she Yo dan bernama Him.”

„Yo Him.....? Hemmm, engkau she Yo, tentunya engkau ada hubungan dengan Yo Ko bukan?”

„Itulah ayahku”

„Apa?”

„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko adalah ayah kandungku!” menyahuti Yo Him.

Dan dalam terkejutnya itu, Cing-siu Cinjin telah melirik kepada Phang Kui In bertiga. Dia melihat Yo Ko, yang lengan baju kanannya kosong lemas tidak ada isinya, seketika itu juga dia telah dapat menduganya bahwa orang itu adalah Yo Ko, pendekar sakti yang tiada duanya.

Cepat-cepat dia menghampiri dan berlutut di hadapan Yo Ko sambil katanya: „Ampunilah aku, Sin-tiauw Tayhiap.....!” katanya dengan suara yang berat tersendat. „Aku..... aku memang bersalah..... aku terlalu usil..... Jika sejak tadi aku mengetahui bahwa engko kecil itu adalah puteramu, tentu aku tidak akan mengganggunya.....!”

Yo Ko tersenyum manis dan sabar sekali, dia perintahkan Tojin itu berdiri.

„Engkau tidak tersalah, karena hanya penasaran melihat kawanmu dirubuhkan, maka engkau ingin membelanya. Sebetulnya engkau sama sekali tidak bersalah. Asal diingat, dilain waktu engkau tidak boleh terlalu usil seperti itu. Sekarang untung hanya bertemu dengan putraku yang tidak menurunkan tangan keras karena dia rupanya menghormati kau juga. Coba kalau bertemu dengan orang yang bertangan telengas, bukankah engkau bisa celaka?”

„Terima kasih atas petunjuk yang diberikan Tayhiap, tentu aku akan menyimpan baik-baik nasehat itu,” kata Cing-siu Cinjin.

„Ya, itulah yang kuharapkan.”

„Tetapi Tayhiap.....”

„Apa lagi?”

„Bisakah Tayhiap menolongku?”

„Jika memang beralasan dalam batas-batas kemampuanku, tentu aku bersedia untuk membantumu.”

„Tadi,” kata Tojin itu ragu-ragu, „Tayhiap telah melihat betapa aku dirubuhkan siauw-eng-hiong itu..... maka bisakah Tayhiap memberikan petunjuk yang berharga, dimanakah letak kesalahan dan letak kekurangan sempurna dalam mempertahankan diriku?”

Yo Ko telah tersenyum.

„Sebetulnya kepandaianmu telah cukup hanya yang kurang pengertian dan yang paling pokok sekali, engkau jangan disertai oleh hawa amarah saja bila bertempur, karena akan merugikan engkau sendiri. Dengan mengikuti hawa amarah, penasaran atau mendongkol, engkau telah kehilangan separoh dari ilmumu! Dari jalan ‘pang’ membelok ke jalan ‘tu’, dan dari jalan ‘tu’ menuju lurus ke jalan ‘lin’, dan menyusul jalan ‘kong’, ‘pat’ dan ‘cie’.”

Mendengar keterangan Sin-tiauw Tayhiap seperti itu, tampak muka Tojin itu jadi pucat, dia tampaknya terkejut bercampur girang. Cepat sekali Tojin itu telah menekuk kedua kakinya, dia telah berlutut di hadapan Yo Ko lagi.

„Terima kasih banyak atas nasehat-nasehat yang diberikan, oleh Tayhiap..... Aku baru mengetahui dimana letak kesalahanku..... terima kasih Tayhiap aku minta diri.”

Dan setelah berkata begitu, tampak Tojin itu telah memberi hormat sekali lagi kepada Yo Ko, kemudian kepada yang lainnya barulah dia memutar tubuhnya untuk berlalu.

Yo Him heran, dia melihat ayahnya hanya menyebutkan jalan-jalan ‘tu’, ‘kong’, ‘pat’, ‘cie’ dan yang lain-lainnya, tetapi Tojin itu jadi girang bukan main, karena ingin mengetahuinya, maka Yo Him telah menanyakan kepada ayahnya, apakah sesungguhnya yang diberitahukan Yo Ko itu.

Yo Ko tertawa, dia bilang: „Sebetulnya aku hanya memberikan kunci ilmu silatnya itu, yaitu menurut jalan-jalan pat-kwa, dimana jika dia bisa menguasai dan mengenal jalan pat-kwa itu secara baik, tentu dia akan bertambah ilmunya menjadi dua kali lipat, dan jika tadi sebelumnya dia telah mengerti jalan-jalan ‘tu’, ‘kong’, dan ‘pat’ itu belum tentu engkau bisa menjatuhkannya!”

Yo Him meleletkan lidahnya.

„Untung saja tadi aku tidak sampai dihajar babak belur olehnya!”

Yang lainnya jadi tertawa juga. Mereka telah melanjutkan makannya kembali.

Y

Selesai bersantap, mereka lalu mencari rumah penginapan. Di kota ini mereka, bermalam selama dua hari. Setelah itu mereka melanjutkan pula perjalanannya dengan mempergunakan jalan darat, kuda mereka dapat berlari cepat sekali.

Hanya empat bulan saja, kemudian mereka telah tiba di kaki gunung Kun-lun-san.

Yo Ko mengangkat kepalanya mengawasi puncak gunung yang tinggi itu dia menghela napas. „Jika memang Liong-jie binasa di gunung ini, betapa remuknya hatiku! Dia telah melahirkan seorang anak untukku, tetapi dia menghilang tidak keruan paran. Inilah peristiwa yang harus diselidiki baik-baik. Mudah-mudahan saja Liong-jie dalam keadaan sehat-sehat.”

Melihat puncak gunung itu, Yo Him lalu mengangkat tangannya menunjuk ke arah puncak gunung itu.

25.50. Ibu…… Anakmu menghunjuk hormat!

„Thia (ayah), di puncak gunung itu terdapat sebuah kuil disitu banyak murid-muridnya. Tetapi waktu aku belum turun gunung dan masih kecil sekali, aku telah menyaksikan pembunuhan besar-besaran, seluruh penghuni kuil itu telah dibinasakan oleh beberapa orang jahat. Salah seorang diantara mereka terdapat seorang pendeta yang kepalanya memakai kuncung.”

Setelah berkata begitu. Yo him menceritakan apa yang dialaminya waktu kecil.

Mendengar cerita dan gambaran mengenai pendeta mongol itu, tubuh Yo Ko gemetar dan tangan kanannya telah digerakkan untuk memukul batu yang ada di dekatnya.

„Brukkk” batu itu telah hancur. „Memang dia. Memang dia! Sudah kuduga,” berseru Yo Ko.

Yang lainnya jadi terkejut melihat sikap Yo Ko, mereka memandang Yo Ko dengan sorot mata bertanya-tanya.

Yo Him sendiri tidak bisa menahan perasaan ingin tahunya, dia telah bertanya:

„Thia kenapa kau?”

„Memang aku telah duga pembunuh dan penculik ibumu adalah dia,” kata Yo Ko

„Dia? Siapa?” tanya Yo Him.

„Pendeta Mongolia itu!”

„Mengapa ayah mengetahuinya?”

„Dia adalah Tiat To Hoat-ong, justru waktu dia menculik ibumu. Dia telah bersembunyi dari kejaran kami. Dan tentunya di gunung Kun-lun-san ini terjadi sesuatu yang tidak disangka oleh pendeta itu, yang menyebabkan ibumu lolos dan bisa melahirkan engkau tetapi mengapa hanya engkau sendiri, sedangkan ibumu tidak muncul? Jika dia masih hidup, tentu dia akan berusaha mencariku, tapi ahhh, Liong-jie bagaimanakah sesungguhnya nasibmu.....!” dan setelah berkata begitu Yo Ko menitikkan dua butir air mata.

„Sudahlah ayah..... Mari kita mendaki gunung ini. Mungkin sore nanti kita baru sampai!” kata Yo Him, berusaha untuk mengalihkan kesedihan ayahnya.

Yo Ko hanya mengangguk. Begitulah mereka berempat mendaki gunung Kun-lun-san. Yo Ko berjalan perlahan, matanya memandang ke sekelilingnya dan dia telah melihatnya betapapun juga pemandangan di Kun-lun ini sangat menarik hati. Setidak-tidaknya telah mengurangi kesedihan hatinya.

Menjelang sore hari mereka tiba di sebuah kuil yang sudah tidak terurus lagi.

Yo Ko mengerutkan alisnya, „Inilah kuil Kun-lun-sie pusat dari perguruan silat Kun-lun-pay. Tetapi menurut engkau bahwa, semua penghuni ini telah dibinasakan oleh pendeta jahat itu bersama kawan-kawannya?”

„Benar ayah.”

„Aneh sekali, Kun-lun-pai sebetulnya merupakan pintu perguruan yang tua dan memiliki banyak sekali anak muridnya yang memiliki kepandaian tinggi menjadi tokoh-tokoh rimba persilatan. Apakah si pendeta dan kawan-kawannya itu memang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, sehingga mereka telah berhasil membasmi Kun-lun-pai?”

Waktu menggumam begitu, Yo Ko melangkah terus mendekati pintu gerbang kuil itu. Matanya yang tajam telah melihat sesuatu di dekat pintu gerbang itu.

Cepat-cepat Yo Ko telah mengambil barang itu, Yo Him dan yang lainnya jadi heran, mereka telah menghampiri untuk melihatnya benda apa yang diambil Sin-tiauw Tayhiap.

Ternyata barang yang diambil oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tidak lain dari sebuah gelang emas yang berukuran cukup besar. Mata Yo Ko jadi berair dan menitikkan air mata, karena dia telah mengenali gelang itu.

„Inilah gelang milik ibumu!” kata Yo Ko dengan suara terperanjat.

Yo Him dan yang lainnya jadi terkejut, mereka sampai mengeluarkan suara seruan tertahan. Sedangkan Yo Him yang telah menerima gelang itu dan mengamat-amatinya, tidak bisa mempertahankan kesedihan hatinya, dia telah menangis menggerung-gerung sambil menciumi gelang emas itu, yang menurut Sin-tiauw Tayhiap adalah milik ibunya.

Phang Kui In dan Kwee Siang hanya bisa berdiam diri dengan kepala tertunduk, karena mereka terharu dan tidak mengetahui dengan cara bagaimana harus menghiburnya.

Waktu itu, Yo Ko telah menghapus air matanya.

„Jika melihat ada gelang ibumu di tempat ini, tentunya Liong-jie masih hidup.....!” kata Yo Ko dengan penuh keyakinan. Setelah berkata begitu, Yo Ko mementang mulutnya lebar-lebar dan dengan suara yang keras dia telah berteriak:

„Liong-jie.....! Liong jie..... Dimana kau?!” teriakan yang dilakukan oleh Sin-tiauw Tayhiap bukan merupakan teriakan biasa saja, karena teriakan itu telah disaluri oleh tenaga lweekangnya yang sempurna, sehingga suara teriakan itu menggema di sekitar pegunungan Kun-lun-san, suara itu telah bergema berulang kali, sehingga memekakkan anak telinga.

Tetapi tidak terdengar suara sahutan dari siapapun juga, selain suara Yo Ko yang berkumandang kembali menggema di sekitar pegunungan itu.

Dalam keadaan demikian, Yo Ko telah mengulangi terus teriakan-teriakannya dan dalam waktu yang singkat telah puluhan kali Yo Ko ber¬teriak begitu, tetapi orang yang diharapkannya tidak juga terlihat, sehingga akhirnya Yo Ko berhenti berteriak dengan hati penasaran sekali.

Phang Kui In telah menghampiri:

„Yo Tayhiap, sudahlah, nanti kita bisa mencarinya perlahan-lahan. Bukankah Yo Him mengatakan bahwa ada lembah di sebelah barat gunung ini, dimana dia dibesarkan Sin-tiauw sampai beberapa tahun di dalam lembah itu. Disana kita bisa menyelidikinya.....!”

Yo Ko mengangguk lesu, dia telah berkata dengan suara yang ragu-ragu.

„Ya..... tetapi lenyapnya Liong-jie telah bertahun-tahun, bahkan belasan tahun..... jika memang dia terbinasa di tangan Tiat To Hoat-ong, walaupun pendeta itu melarikan diri ke ujung bumi, aku akan mengejarnya!”

Begitulah mereka berempat memasuki kuil itu, dimana diantara debu di lantai, tampak tengkorak-tengkorak manusia. Tengkorak-tengkorak manusia itu tentunya tengkorak Tojin-tojin yang telah menjadi korban keganasan Tiat To Hoat-ong.

Setelah membersihkan lantai di dekat meja sembahyang yang penuh debu, lalu mereka merebahkan tubuhnya dan mengaso. Esok pagi barulah mereka akan menuju ke lembah, dimana Yo Him pernah dirawat oleh rajawali sakti itu.

Tetapi Yo Ko tidak bisa tertidur nyenyak, dia hanya memejamkan mata, namun pikirannya telah melayang-layang terus memikirkan isterinya. Ada semacan pertanyaan di hati Yo Ko, yaitu mengapa Yo Him bisa dilahirkan dan kemudian besar, tetapi Siauw Liong Lie…..? Bukankah jika Siauw Liong Lie telah binasa di tangan Tiat To Hoat-ong, maka Yo Him juga tidak bisa selamat? Begitulah bermacam-macam pertanyaan telah mengaduk-aduk pikirannya.

Dalam waktu yang singkat sekali telah lewat belasan tahun. Yo Ko juga teringat waktu dia mengejar Tiat To Hoat-ong, dan ketika dia melakukan pekerjaan menghimpun orang-orang gagah untuk menyelamatkan negeri dari tangan kotor, dimana banyak para menteri dan pembesar yang bekerja untuk pihak Mongolia. Sehingga Yo Ko selama belasan tahun repot mengurus perkembangan dari persatuan para pendekar gagah di daratan Tiong-goan.

Sekarang, diwaktu dia bertemu dengan puteranya telah meningkat dewasa. Disamping itu Yo Him juga telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Diam-diam terhibur juga hati Yo Ko.

Akhirnya menjelang subuh, barulah Yo Ko bisa tidur.

<> 

Matahari pagi baru saja muncul di ufuk timur, dan menyinari bumi dengan sinarnya yang keemas-emasan. Waktu itu Yo Ko berempat telah bersiap-siap untuk berangkat ke lembah yang dimaksud oleh Yo Him. Mereka mendaki lebih tinggi lagi puncak gunung Kun-lun-san.

Dalam perjalanan itu tidak henti-hentinya Phang Kui In memberikan pujian-pujiannya atas keindahan alam, yang terdapat di pegunungan Kun-lun-san ini.

Tetapi Yo Ko tetap berdiam diri dengan murung. Semakin dekat dengan lembah itu, semakin tidak keruan hatinya karena jika dia menghadapi kenyataan isterinya telah meninggal bukankah itu merupakan suatu kenyataan pahit yang harus diterimanya?

Setelah berjalan setengah hari mereka tiba di tepi jurang, dimana lembah yang dimaksudkan oleh Yo Him berada di bawah tebing itu.

„Perjalananan yang cukup sulit!” kata Yo Ko perlahan. „Jurang itu lurus tegak dan licin sekali tampaknya.” Untuk Yo Ko memang tidak apa-apa, Phang Kui In dan Kwee Siang juga mungkin masih bisa menuruni tebing itu tetapi Yo Him?

Kepandaian Yo Him walaupun tampaknya lebih tinggi dari Phang Kui In dan Kwee Siang, namun dia masih terlalu kecil dan kurang latihan serta pengalaman. Maka dari itu dengan menuruni tebing setinggi itu, jika gagal berarti membuang jiwa secara cuma-cuma.

Di saat mereka tengah ragu-ragu begitu, Yo Him telah berkata:

„Ayah..... Kita buatkan tali yang cukup panjang, dimana aku diturunkan dengan tali diikat di pinggang, lalu menyusul Kwee cici, Phang susiok, dan kemudian barulah ayah! Kepandaian ayah telah mencapai tingkat yang sempurna sehingga tidak memerlukan tali itu untuk turun ke bawah lembah!”

Yo Ko dan yang lainnya menganggap perkataan Yo Him ada benarnya. Mereka setuju. Segera juga mereka bekerja. Dengan kulit pohon yang mereka rajut akhirnya terbuatlah seutas tambang yang cukup panjang.

„Kukira telah cukup panjang!” kata Yo Ko setelah tambang itu terbuat sepanjang seratus meter lebih.

„Mari kita coba!” kata Phang Kui In.

Ujung yang satunya diikatkan ke sebungkah batu, lalu dilemparkan masuk ke dalam lembah.

Belum sampai seratus meter, tali itu telah mengendur memperlihatkan bahwa batu yang diikatkan di ujung tambang itu telah sampai menyentuh dasar jurang.

„Cukup panjang!” kata Phang Kui In.

Yo Ko girang melihat lembah itu tidak begitu dalam, berarti tambang itu sudah cukup untuk menurunkan Yo Him dan kedua orang lainnya.

Pertama-tama yang diturunkan ke dalam lembah itu Phang Kui In. Jika nanti di bawah lembah itu terdapat sesuatu yang di luar dugaan, Phang Kui In bisa menghadapinya sedangkan Yo Him diturunkan setelah Phang Kui In dan menyusul Kwee Siang. Semua berjalan lancar tidak ada sesuatu rintangan.

Setelah Kwee Siang diturunkan, Yo Ko mengikat ujung tali itu di batang pohon, dan membiarkan ujung yang satunya lagi berada di dalam lembah, hal ini untuk dipergunakan kelak jika mereka ingin naik ke atas pula. Dengan mudah Yo Ko meluncur turun dengan mempergunakan ginkangnya yang telah sempurna. Cepat sekali Yo Ko tiba di dasar lembah itu.

Sebuah lembah yang besar dan menarik. Tetapi pertama-tama yang dilihat oleh Yo Ko adalah setumpukan tulang belulang yang tidak berjauhan dari tempat mereka berada. Seketika itu juga Yo Ko mengucurkan air matanya, sebab dia mengenali itulah tulang belulang seekor burung rajawali yang berukuran besar. Dan siapa lagi kalau bukan rajawali peliharaannya yang setia, yang menurut Yo Him burung itu telah terjun ke dasar lembah itu dan menghilang!

Dengan masih menitikkan air mata, tampak Yo Ko telah mengubur tulang belulang burung rajawali yang setia itu. Kemudian dia mulai menyelidiki keadaan di sekitar lembah itu. Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him juga telah bantu memeriksa keadaan di dasar lembah itu. Tidak ada sesuatu yang istimewa mereka jumpai, hanya rumput-rumput hijau yang tumbuh begitu segar.

Seluruh lembah itu telah diperiksa oleh mereka, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa lembah ini ditinggali orang. Yo Ko jadi putus asa. Yo Him juga jadi kecewa.

„Ibumu tentu telah binasa di tangan Tiat To Hoat-ong, sakit hati ini harus dibalas.....!” kata Yo Ko.

Yo Him mengangguk.

„Pendeta yang ayah maksudkan itu memang bukan seorang pendeta yang baik. Karena seluruh anggota Kun-lun-pai juga dibinasakannya!” kata Yo Him.

Kwee Siang telah menangis terisak-isak, dia mencintai Siauw Liong Lie dan Yo Ko seperti cinta antara sesama saudara, kini melihat kenyataan sudah tidak ada harapan untuk bertemu pula dengan Siauw Liong Lie, tentu saja Kwee Siang jadi sedih sekali.

Phang Kui In juga telah menarik napas berulang kali.

Tetapi waktu mereka tengah berdiri tertegun termangu-mangu, tiba-tiba pendengaran Yo Ko yang sangat tajam, yang bisa mendengar suara dari jarak sejauh ratusan tombak, telah mendengar suara tertawa kecil dari seorang gadis cilik. Disamping itu Yo Ko juga mendengar suara berkesiuran pedang menderu-deru.

„Ada orang!” bisik Yo Ko dengan suara perlahan. „Cepat bersembunyi.”

Phang Kui In bertiga dengan Kwee Siang dan Yo Him jadi heran. Mereka tidak mendengar sesuatu, tetapi karena Yo Ko telah memberikan isyarat agar bersembunyi, maka Phang Kui In bertiga menuruti saja. Mereka bersembunyi di balik gunung-gunungan.

Yo Ko sendiri dengan gerakan tubuh yang ringan sekali telah melompat ke atas batu yang cukup besar dan bercokol disitu sambil memasang mata. Tidak mungkin orang dari bawah bisa melihatnya.

Setelah lewat sekian lama, barulah Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him mendengar suara tertawa gadis kecil dari kejauhan. Mereka jadi berdebar dan tergoncang hatinya. Mereka memasang mata, dan akhirnya dari balik tikungan di lembah itu muncul sesosok tubuh yang berlari-lari sambil menyanyi dan diselingi tertawanya.

Gadis kecil itu, mungkin baru berusia duabelas tahun, tetapi gerakannya gesit dan lincah, disamping itu mukanya yang bulat itu sangat manis sekali. Rambutnya dikepang dua matanya jeli sekali, dan dia berlari-lari sambil menggerakkan tangan kanannya yang memegang pedang, yang dikibas-kibaskannya.

Tiba-tiba dia berhenti berlari, dan matanya yang bening itu telah mengawasi tambang yang menjuntai dari atas. Segera disimpannya pedang kecil itu ke dalam serangka di pinggangnya, kemudian dia telah mendekati tambang itu dengan ragu-ragu.

Dipegang-pegang dan ditariknya tambang itu sampai akhirnya dia mengeluarkan seruan tertahan yang perlahan: „Ahhh, tentu orang asing yang turun ke lembah ini!” katanya perlahan. „Aku harus cepat-cepat memberitahukan suhu!” Dan setelah menggumam begitu, tampak si gadis kecil yang mengenakan pakaian serba kuning itu telah membalikkan tubuhnya, untuk kembali dari arah mana tadi dia datang.

„Tunggu dulu nona kecil!” Phang Kui In yang sudah tidak bisa menahan perasaannya telah meloncat keluar.

Dan Yo Ko menyesali tindakan sahabatnya itu yang terlalu ceroboh. Bukankah jika membiarkan gadis itu pergi berarti mereka bisa mengikutinya dari mana datangnya gadis kecil itu? Karena gadis tersebut ingin memberitahukan gurunya perihal tambang itu. Tentu suhunya itu mengenal benar keadaan di sekitar lembah ini. Tetapi Phang Kui In telah terlanjur keluar, sehingga tidak bisa bersembunyi lagi.

Gadis kecil yang ditegurnya itu menjadi kaget, mukanya sampai berubah menjadi pucat. Namun hal itu hanya sejenak saja kemudian wajahnya telah merah kembali, dengan berani dia menatap kepada Phang Kui In. Waktu itu Phang Kui In tengah mendekati, dan gadis kecil tersebut melihat langkah kaki Phang Kui In yang dengklok, yaitu jalannya timpang, dia menjadi heran!

„Siapa kau? Mengapa berada disini?” bentak gadis kecil itu, berani sekali sikapnya dan suaranya juga sangat nyaring.

Phang Kui In tersenyum, dia telah berkata hati-hati sekali agar tidak menimbulkan perasaan takut pada diri gadis itu. „Nona, siapakah namamu? Dan tadi kau mengatakan ingin memberitahukan kepada gurumu. Apakah gurumu dan engkau tinggal di lembah ini?”

Si gadis kecil tertawa lucu, berani sekali sikapnya, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut.

„Cepat kau pergi meninggalkan lembah ini, jika terlihat oleh guruku, jangan harap kau bisa melarikan diri. Tentu suhuku akan membinasakan engkau!”

Mendengar sampai disitu, Phang Kui In tersenyum lagi sambil melangkah satu tindak mendekati si gadis. „Nona kecil..... aku tersesat tidak mengetahui jalan, sehingga telah lancang datang di lembah ini. Untuk kesalahanku ini tentu engkau mau memaafkannya, bukan?”

Si gadis kecil kembali tertawa geli, kemudian katanya lagi: „Maafkan orang seperti engkau sebetulnya tidak mudah, karena aku belum mengetahui ini jahat atau baik. Tetapi jalan terbaik hanya satu, cepat engkau tinggalkan lembah ini, jangan sampai guruku mengetahui, tentu sekali sentil saja engkau akan binasa.”

„Ohhh, begitu hebat gurumu itu?” tanya Phang Kui In sambil memperlihatkan perasaan kagum untuk menyenangkan hati gadis tersebut.

„Tentu saja, menurut guruku, hanya ada dua orang yang bisa menandingi kepandaiannya, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Oey Yok Su, selain dari kedua tokoh itu tidak ada yang sanggup menghadapi ilmu guruku.....!”

Muka Phang Kui In berobah ketika mendengar disebut-sebutnya nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Oey Yok Su, tetapi Phang Kui In berusaha bersiap sewajar mungkin menyembunyikan keterkejutan itu. „Begitu hebatnya kepandaian gurumu, sehingga tidak ada yang bisa menandinginya. Bolehkah aku mengetahui siapakah gurumu yang tentunya sangat terkenal dan mulia itu?”

Gadis kecil itu termakan umpan yang disebar Phang Kui In, senang hatinya mendengar umpakan Phang Kui In yang memuji-muji gurunya. „Guruku itu sangat liehay, ilmu pedangnya juga merupakan ilmu pedang nomor satu di daratan Tiong-goan, namanya......” tetapi baru saja si gadis kecil itu berkata sampai disitu, dari kejauhan terdengar suara seruling yang ditiup dengan irama yang lembut.

Muka gadis kecil itu jadi berobah, dia telah meneruskan kata-katanya: „Guruku telah memanggilku pulang.....!” katanya.

„Tunggu dulu..... Aku bolehkah ikut bersamamu untuk mengenal dan memberi hormat kepada gurumu?” tanya Phang Kui In.

„Mana boleh begitu?” kata si gadis cilik tersebut sambil tersenyum. „Sudah kukatakan, jika kalian terlihat oleh guruku, tentu kalian akan celaka!”

Di saat itu telah terdengar lagi suara seruling yang terdengar lembut, tetapi nadanya kadang-kadang berobah menjadi meninggi. Si gadis cilik itu rupanya sudah tidak sabar, dia membalikkan tubuhnya untuk berlari meninggalkan Phang Kui In.

Tetapi tiba-tiba dari atas batu telah meluncur turun sesosok bayangan yang menghadang jalan si gadis.

„Katakan dulu siapa nama gurumu?” tanya orang yang baru muncul itu, yang tidak lain adalah Yo Ko.

Gadis kecil itu jadi terkejut, dia telah memandang Yo Ko dalam-dalam dan tajam, kemudian katanya dengan tidak senang: „Hem, rupanya kalian datang bukan hanya seorang diri? Kalian datang beramai-ramai!”

„Katakan, siapa nama gurumu?” tanya Yo Ko dengan suara dan sikap yang tegas, karena dia sudah tidak sabar, sebab hatinya tengah diliputi perasaan gelisah dan juga duka.

„Nama guruku? Dia she Tam dan bernama Hu!” kata gadis kecil itu.

Lemaslah seluruh tubuh Yo Ko. Tadinya dia masih mengharapkan gadis kecil itu menyebut nama Siauw Liong Lie. Maka sekarang setelah mengetahui bahwa guru gadis itu bernama Tam Hu, Yo Ko jadi putus asa, jadi Siauw Liong Lie memang telah lenyap tidak keruan parannya.

„Buka jalan untukku!” kata gadis kecil itu dengan suara yang nyaring, dia juga mendongkol. „Jika kalian menghinaku, tentu guruku tidak akan membiarkan kalian pulang dengan jiwa yang masih utuh!”

„Aduh, galaknya!” tiba-tiba terdengar seseorang berkata dan sesosok tubuh yang tidak begitu besar telah melompat keluar dengan ringan, berdiri disamping Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dialah Yo Him.

„Mengapa harus galak-galak begitu, bukankah kami datang secara baik-baik? Jika memang kami kurang disegani, bukankah kami bisa diusir pergi saja dari tempat ini, mengapa harus diancam-ancam dengan urusan jiwa segala?”

Gadis kecil itu melengak sejenak, tetapi kemudian pipinya jadi memerah dan tampak manis sekali. Dia mendongkol Yo Him menegurnya begitu rupa.

Saat itu Kwee Siang juga telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Melihat jumlah orang yang kini berempat gadis kecil itu mulai berkuatir.

„Cepat buka jalan untukku..... Kalau tidak aku akan menjerit sekuat tenagaku dan guruku tentu akan datang dengan segera!”

Tetapi ancaman gadis kecil itu tidak diperdulikan oleh Yo Ko, yang telah tersenyum sambil katanya: „Nah, kau teriaklah.....!” tetapi gadis itu bukannya berteriak, dalam keadaan mendongkol dan marah, dia telah mencabut pedangnya dan menusukkan ke perut Yo Ko.

„Awas pedang…..!” dia masih memperingatinya.

Yo Ko jadi senang melihat keberanian gadis kecil ini. Dia main kelit saja, tetapi tetap menutupi jalan perginya gadis kecil itu. Telah beberapa jurus serangan yang dilancarkan gadis kecil itu, tetapi belum juga dapat mengenai sasarannya dengan tepat.

Yo Him dan yang lainnya hanya menyaksikan saja, karena mereka mengetahui si gadis kecil itu tidak mungkin bisa mencelakai Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Tetapi si gadis kecil itu justru jadi semakin marah, karena dia tidak bisa melampiaskan kemarahannya yang semakin membakar hatinya, akhirnya gadis kecil itu telah menangis dan dia telah berteriak dengan keras: „Suhu ada orang jahat!!!??” Tetapi seruan itu tidak begitu keras, maka sengaja Yo Ko telah bersiul juga, sehingga suaranya berpantulan di dalam lembah.

Suara seruling terhenti, hening sekali keadaan di sekitar tempat ini.

Semua orang menanti dengan perasaan tegang. Gadis kecil itu juga berdiam diri, tetapi kemudian dia telah berkata: „Suhu tidak lama lagi akan datang, rasakan nanti kalian akan dihajar babak belur oleh suhuku.” Setelah berkata begitu, dengan mengeluarkan suara mengejek dan tertawa, gadis itu mengawasi Yo Ko berempat bergantian.

„Bolehkah aku mengetahui, gurumu itu seorang kakek-kakek atau nenek-nenek?” tanya Phang Kui In untuk menutupi keheningan itu.

Muka gadis kecil itu berobah jenaka sekali, matanya mendelik lebar-lebar, bukannya galak tetapi justru sebaliknya menjadi lucu.

„Siapa yang bilang guruku nenek-nenek? Kawan wanitamu itu saja masih kalah cantiknya dengan guruku!” lantang bukan main suara gadis kecil itu.

Mendengar jawaban gadis kecil tersebut, Yo Ko berempat segera mengetahuinya bahwa guru si gadis kecil itu tentunya seorang wanita.

„Berapa usianya?” tanya Yo Him yang jadi ingin mengetahui juga.

„Sudah empatpuluh tahun lebih!” menyahuti gadis itu. „Tetapi wajahnya cantik sekali. Dan walaupun usianya telah tinggi, paras mukanya masih muda dan cantik sekali!”

„Siapa namanya tadi kau bilang?” tanya Yo Ko penasaran.

„Apakah telingamu tuli!”

„Aku tidak mengingatnya.....! Coba kau beri tahukan lagi siapa namanya, mungkin aku kenal dengannya!”

„Kenal dengan guruku?” tanya gadis cilik itu dengan aseran. „Hem, cisss, tidak tahu malu! Guruku mana mau berhubungan dan bersahabat dengan manusia seperti engkau?”

„Oh begitu! Baiklah, aku hanya ingin mendengar satu kali saja nama gurumu itu!” kata Yo Ko yang tidak marah.

Gadis kecil itu mencebikan bibirnya, dia telah mengawasi langit sejenak, seperti sedang berpikir keras.

„Nama guruku..... nama guruku..... Dia she..... she apa ya? Tadi aku sebut nama guruku she apa…..??” tanya si gadis kemudian setelah ragu-ragu

Yo Ko jadi tertawa gelak. Karena gadis kecil ini ternyata telah berdusta padanya dengan menyebutkan nama yang sembarangan untuk gurunya.

„Aku tahu,” kata Yo Ko setelah puas tertawa. „Gurumu itu she Siauw dan bernama Liong Lie. Bukankah begitu?”

Muka gadis kecil itu jadi pucat, untuk sejenak dia tidak bisa berkata apa-apa.

„Dimana gurumu, sekarang berada, mari antarkan kami menemuinya, percayalah gurumu tidak akan memarahimu!” kata Yo Ko.

„Mengapa engkau bisa mengetahui nama guruku selengkap itu?” tanya gadis kecil itu.

„Karena dia adalah suamiku.....” tiba-tiba terdengar suara yang halus sekali.

Semua mata lalu memandang ke arah datangnya suara itu dan kemudian Yo Ko telah mengeluarkan suara seruan: „Liong-jie.....!! Engkau masih hidup..... kau masih hidup? Ohh, Liong-jie.....!” dan tanpa memperdulikan di tempat itu terdapat banyak orang Yo Ko telah mengulurkan tangan tunggalnya merangkul Siauw Liong Lie.

Siauw Liong Lie juga telah menyenderkan kepalanya di dada Yo Ko. Dia telah menangis terisak-isak.

„Ko-jie..... engkau akhirnya datang juga!!” kata Siauw Liong Lie. Mereka berdua masing-masing saling menangis, sehingga dalam suasana yang mengharukan itu bercampur perasaan yang menggelikan, menggelitik hati untuk tertawa.

Phang Kui In telah menundukkan kepalanya dalam-dalam tidak mau melihat hal itu. Sedangkan Kwee Siang telah melompat mendekati pasangan suami istri yang baru ketemu kembali itu.

„Enci Liong lie..... engkau rupanya masih dilindungi Thian sehingga kita bisa bertemu kembali.....!” dan Kwee Siang telah menjura memberi hormat!

Siauw Liong Lie girang sekali, dalam girang dan terharu, dia jadi mengucurkan air mata yang banyak sekali.

„Adik Siang, apakah selama ini engkau baik-baik saja tidak kurang suatu apapun?” tanyanya.

„Belasan tahun aku mencari-cari kalian, encie Liong Lie. Selama belasan tahun pula aku berusaha mencari di berbagai daratan Tiong-goan, tetapi usahaku itu tidak berhasil. Jangankan menjumpai kalian berdua, untuk bertemu dengan salah satu diantara kalian berdua saja sulit sekali! Dan hari ini aku girang sekali Thian telah mempertemukan kita!!”

Phang Kui In saat itu telah membisiki sesuatu di telinga Yo Him.

„Dia ibumu..... cepat kau memberi hormat......!” kata Phang Kui In perlahan.

Yo Him jadi tertegun dan dia mengawasi saja dengan sorot mata yang memancarkan di hatinya tengah bergolak berbagai perasaan. Tetapi setelah berdiri diam sejenak lamanya, Yo Him telah menyerbu dan berlutut di kaki ibunya.

„Ibu…… Anakmu menghunjuk hormat!” katanya dengan suara tersendat oleh tangis.

Siauw Liong Lie cepat-cepat membangunkan Yo Him, yang diawasi sekian lama, akhirnya dia telah memeluknya sambil menangis terharu.

„Oh Thian, kau demikian adil, akhirnya kau mempertemukan aku dengan suami dan anakku......!” seru Siauw Liong Lie.

Yo Ko juga terharu sekali bercampur girang.

„Pertemuanku dengan Yo Him juga terjadi secara kebetulan sekali.....!” dan Yo Ko menceritakan segalanya begitu juga Yo Him telah menceritakan riwayatnya.

Siauw Liong Lie setelah mendengarkan cerita dari suami dan anaknya. Dia mulai menceritakan pengalamannya.

<> 

Waktu Siauw Liong Lie terjun ke dalam lembah itu karena dia tidak bermaksud untuk tertawan di tangan Tiat To Hoat-ong. Tubuhnya meluncur dengan cepat sekali dan melayang-layang, pandangan matanya gelap, dan di antara sadar dan tidak, tubuhnya dirasakan telah terbanting ke dalam air.

Siauw Liong Lie segera pingsan, dia tercebur di dalam kolam kecil yang terdapat disitu. Tetapi karena lweekangnya telah sempurna maka Siauw Liong Lie tidak mengalami hal yang tidak diinginkan. Walaupun tubuhnya terbanting di permukaan air dari jarak ketinggian yang demikian tinggi, tetapi otot-ototnya secara serentak telah bekerja sendiri, sehingga dia tidak menderita, tubuhnya juga telah mengapung, mengambang di permukaan air.

Rupanya dengan terendam muka dan kepalanya di air seperti itu, membuat Siauw Liong Lie tersadar kembali dari pingsannya, hanya beberapa detik saja dia pingsan. Begitu tersadar Siauw Liong Lie telah naik ke daratan, kemudian dia duduk termenung di tepi kolam kecil itu. Hatinya pedih dan sakit, karena telah berpisah dengan suami, dan kini berpisah pula dengan anaknya.

Setelah mengatur pernapasannya, dan juga merasa tubuhnya segar, Siauw Liong Lie menyusuri jalan di dalam lembah itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang menarik. Akhirnya karena tenang, Siauw Liong Lie telah membuka pakaiannya, ditumpuk di tepi jurang itu, dia bermaksud ingin mandi, agar tubuhnya segar kembali!

Sebelum mandi Siauw Liong Lie mengawasi ke atas ingin melihat apakah ada jalan yang bisa dipergunakannya untuk mendaki naik. Tetapi tebing itu licin dan tajam sekali tegak berdiri, sehingga tidak mungkin didaki Siauw Liong Lie jadi putus asa. Tetapi sejak kecil dia telah dilatih dengan ilmu Kouw-bok-pay, ilmu kuburan hidup, yaitu membuang kegembiraan yang berlebihan, membuang kesedihan, membuang kemendongkolan, dan lain-lainnya. Maka dalam keadaan demikian Siauw Liong Lie bisa menguasai jiwa dan hatinya, sehingga tidak perlu dia panik.

Setelah meletakkan bajunya di tepi kolam, Siauw Liong Lie terjun ke dalam kolam itu, dia telah berenang kesana kemari. Memang kesegaran tubuhnya pulih kembali. Suatu kali Siauw Liong Lie telah menyelam ke dalam kolam. Air yang bening sejuk itu mengembirakan hatinya, sehingga di saat itu kesedihan tidak merajai hati pendekar wanita nomor satu di jaman ini.

Tetapi waktu Siauw Liong Lie tengah berenang dengan gembira di dalam air kolam itu, dan bermaksud untuk menyelam ke dasar kolam itu. Tahu-tahu dia merasakan ada semacam arus air memutar.

Tentu saja hal ini mengejutkan hati Siauw Liong Lie, cepat-cepat dia memutar tubuhnya untuk berenang ke atas lagi, tetapi rupanya usaha Siauw Liong Lie telah terlambat, karena kedua kakinya telah kena terlibat oleh gulungan arus air itu.

Siauw Liong Lie mengerahkan tenaga dalamnya, dia telah berusaha melepaskan diri dari jerat arus air yang bergulung itu. Tetapi usahanya itu selalu gagal. Hal ini bukan disebabkan lweekang Siauw Liong Lie kurang kuat, tetapi berbeda sekali, jika membandingkan antara di darat dengan di air. Di dalam air tenaga lweekang Siauw Liong Lie seperti lenyap setengahnya, dimana daya tahannya berkurang banyak.

Mati-matian Siauw Liong Lie berusaha melepaskan diri dari arus air itu tetapi semakin dia meronta, gulungan air itu semakin keras dan kuat. Bahkan suatu saat, Siauw Liong Lie telah kehabisan napas dan tidak berdaya lagi. Tubuh Siauw Liong Lie terhisap oleh arus air itu, dia sendiri sudah tidak tahu karena Siauw Liong Lie telah pingsan akibat terseret arus air tersebut.

Ketika Siauw Liong Lie tersadar dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya terhampar di permukaan goa yang cukup besar, sedangkan kakinya masih terendam di air. Rupanya kolam itu memiliki cabang yang berhubungan dengan goa tersebut.

26.51. Penderitaan dan Keberuntungan Siauw Liong Lie

Siauw Liong Lie telah bangun berdiri. Dia merasa dingin sekali, karena dia tidak berpakaian, sedangkan hawa disitu sangat dingin sekali. Untuk menguatkan tubuh, Siauw Liong Lie telah memasuki goa itu. Hawa hangat bisa melindungi tubuhnya juga, maka Siauw Liong Lie telah berdiam disitu sambil mengawasi kalau-kalau ada tempat yang bisa didaki untuk kembali ke lembah dimana pakaian dan seluruh barang-barangnya ditinggalkan ditepi kolam. Tetapi letak goa itu sangat terpencil sekali. Sekelilingnya merupakan dinding-dinding batu gunung yang licin sekali.

Siauw Liong Lie berulang kali telah menghela nafas. Selalu akhir-akhir ini dia mengalami banyak perobahan saja.

Perlahan-lahan. Siauw Liong Lie memasuki terus goa itu, dia melangkah dengan langkah yang satu-satu, karena keadaan di dalam goa itu sangat gelap, tidak terlihat apapun juga. Dengan tangannya Siauw Liong Lie telah meraba-raba ke depan. Dan semakin lama goa itu semakin sempit, akhirnya Siauw Liong Lie harus menyusurinya dengan merangkak, dia merasakan lututnya sakit sekali.

Tetapi ketika itu Siauw Liong Lie berhasil tiba di sebuah ruangan. Ruangan yang tidak begitu besar, tetapi memiliki hawa yang sejuk dan hangat yang bergabung menjadi satu. Mendatangkan perasaan segar. Dan ruangan ini memiliki sinar dari matahari, lewat beberapa lobang yang mungkin sengaja dibuat atau memangnya sudah ada. Dengan adanya sinar matahari yang bisa menerobos masuk, Siauw Liong Lie bisa melihat jelas keadaan di dalam goa itu.

Pertama-tama yang dilihatnya adalah dua buah bangku dari batu yang dibuat bundar dengan di tengah-tengah dasarnya diratakan untuk dipergunakan duduk. Disebelah kanannya terdapat sebuah meja batu pula. Setelah itu Siauw Liong Lie melihat pembaringan batu juga, dan terakhir kali dia jadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, waktu dia melihat diatas ranjang batu itu duduk bersemadhi tengkorak manusia yang masih memakai baju!

Keadaan seperti itu tentu saja menimbulkan perasaan ngeri. Tetapi setelah Siauw Liong Lie mengetahui bahwa yang duduk bersemadhi itu hanyalah tengkorak manusia yang telah meninggal dunia, hati Siauw Liong Lie jadi tenang kembali. Dia menghampirinya lalu menyentuh sedikit pakaian tengkorak itu. Seketika pakaian itu meluruk jatuh! Rupanya telah berlalu lama sekali orang tersebut meninggalkan dunia.

Siauw liong Lie menghela napas.

Disaat itu, antara cahaya matahari yang samar-samar masuk dari lobang-lobang di batu dinding itu, Siauw Liong Lie melihat sesuatu di dekat kaki tengkotak itu. Ternyata didekat kaki tengkorak itu terdapat beberapa baris kata-kata yang diukir di dalam batu tersebut. Tentu saja yang membuat Siauw Liong Lie jadi kagum adalah huruf-huruf itu diukir dengan mempergunakan jari telunjuk tangan tengkorak itu. Bunyinya sebagai berikut:

„Kepada orang yang berjodoh denganku.

Kupersembahkan kitab pusaka ilmu silat yang tidak ada duanya di dalam dunia ini. Tetapi wahai orang yang berjodoh denganku, engkau kuburkan dulu tulang-tulangku.”

Surat yang mirip-mirip 'surat wasiat' itu sama sekali tidak meninggalkan nama atau gelaran. Siauw Liong Lie menghela napas. „Mungkin orang ini sebelum meninggal merupakan jago yang hebat sekali dan akhirnya menjelang kematiannya justru dia kuatir tidak ada orang yang bersedia menguburkan tulang-tulangnya, maka dia membuat surat 'wasiat' seperti itu.”

Setelah menghela napas berulang kali, Siauw Liong Lie mengambil batu gunung yang agak besar, dia telah mulai menggali tanah dalam goa itu. Setelah bekerja seorang diri cukup lama, maka Siauw Liong Lie telah berhasil membuat sebuah lobang yang cukup besar, dia mengangkat tengkorak orang itu, berikut bajunya yang banyak telah meluruk menjadi abu, dikuburkan semuanya di dalam lobang ini, kemudian dia telah menutupi lobang itu dengan tanah yang tadi digalinya.

Siauw Liong Lie letih sekali, dia ingin beristirahat dulu, tetapi waktu mau duduk di kursi batu, dia melihat di tempat tadi tengkorak itu duduk, terdapat beberapa huruf. Maka Siauw Liong Lie telah menghampiri pembaringan batu itu, dia telah membaca huruf-huruf yang tertulis disitu yang bunyinya sebagai berikut:

„Orang yang berjodoh denganku.

Engkau ternyata sangat baik sekali telah menguburkan mayatku…... untuk itu aku dari akhirat menghujuk hormat kepadamu…... arwahku tentunya bisa beristirahat dengan tenang. Dengan jiwa yang tulus dan baik, engkau memang pantas menjadi muridku. Dan kukira kitab pusaka itu pantas jatuh di tanganmu.

Untuk mendapat kitab itu, engkau mulai melangkah dari sudut kanan pembaringan ini, melangkah limabelas tindak dan setelah itu kau akan melihat batu gunung yang menonjol dalam bentuk segi tiga. Disaat itulah engkau tendang batu segi tiga itu, maka engkau akan memperoleh kitab pusaka ilmu sakti yang tiada duanya di dalam rimba persilatan!”

Sebetulnya Siauw Liong Lie tidak tertarik dengan kitab ilmu silat yang dijanjikan itu. Tadi dia menguburkan mayat dari orang yang tidak diketahui siapa namanya itu hanyalah didorong oleh perasaan kasihan saja. Tetapi sekarang karena ingin mengetahui kitab ilmu silat apakah yang disebut sebagai kitab ilmu silat pusaka oleh pemiliknya, Siauw Liong Lie mengikuti petunjuk-petunjuk itu, dimana dari sisi pembaringan batu itu dia telah melangkah limabelas tindak dan benar saja di dekat kakinya terdapat batu berbentuk segi tiga. Dia tanpa berpikir lagi telah menendangnya.

„Tukkk!” batu itu tertendang dan tahu-tahu terjadi suatu yang tidak pernah dimimpikan oleh Siauw Liong Lie, suatu peristiwa yang sangat mentakjubkan sekali. Batu yang tertendang oleh Siauw Liong Lie jadi terpental dan dinding batu di sebelah kanannya tahu-tahu menggeser terbuka seperti juga pintu rahasia.

Siauw Liong Lie berdiri tertegun mengawasi dinding yang tengah menggeser itu. Semakin lama dinding itu terbuka, semakin lebar sehingga terlihat di balik dinding batu itu terdapat sebuah ruangan lainnya yang sangat gelap, namun masih bisa terlihat samar-samar keadaan di dalam ruangan itu.

Siauw Liong Lie melihatnya bahwa di dalam ruangan itu terdapat sebuah kursi batu, pembaringan dari batu juga dan sebuah meja dari kayu. Dari semula Siauw Liong Lie hanya melihat seluruh barang-barang yang terdapat di dalam goa ini terbuat dari batu tetapi hanya meja itu saja yang terbuat dari kayu!

Setelah berdiri ragu-ragu akhirnya Siauw Liong Lie memasuki ruangan itu. Dia melihat di sekeliling tembok terukir manusia dalam gerakan-gerakan bersilat. Keras sekali ukiran itu, namun sebagai seorang akhli silat yang telah berpengalaman, Siauw Liong Lie bisa mengerti makna dari lukisan-lukisan itu. Yang membuat Siauw Liong Lie jadi berdiri takjub, karena dia melihat gerakan-gerakan dari manusia ukiran di dinding itu selain merupakan ukiran yang menarik justru mengemukakan gerakan dari ilmu silat kelas tinggi.

Tetapi disaat itulah Siauw Liong Lie melihat di dinding sebelah kanan tampak barisan huruf-huruf yang diukir juga di batu dinding itu. Siauw Liong Lie memperhatikan huruf-huruf itu, dia membacanya sepatah demi sepatah, karena dengan diukir di dinding itu, huruf-huruf tersebut kasar sekali coretannya. Tetapi masih bisa dibaca, yang bunyinya sebagai berikut:

„Engkau telah menguburkan tulang-tulangku, terimakasih wahai orang yang berjodoh denganku......”

Dan disamping tulisan itu terdapat beberapa baris tulisan lagi, yang bunyinya sebagai berikut,

„Wahai orang yang berjodoh denganku. Engkau memang berjodoh denganku, dan menjadi muridku. Seluruh kepandaianku telah kuukir di dinding kamar ini, dan engkau bisa mempelajarinya mulai dari gambar pertama yang ada di sebelah kiri, terus mempelajari gerakan-gerakan yang saling susul menuju ke kanan.

Ilmu silat yang kutuliskan itu merupakan ilmu silat kelas satu, karena di masa aku hidup, aku telah merubuhkan seluruh orang-orang persilatan tanpa pernah kalah satu kalipun juga. Hal itu membuktikan bahwa kepandaianku telah mencapai tingkat yang cukup sempurna. Maka jika engkau mempelajari baik-baik, tentu engkau bisa memiliki kepandaian yang tinggi dan menjagoi rimba persilatan.

Ilmu yang keturunkan padamu itu kunamakan sebagai ilmu Pek-lui-eng atau Pukulan Tangan Geledek. Jika engkau telah mempelajari baik-baik setiap pukulan, tanganmu sama hebat seperti petir. Pelajaran itu di bagi menjadi tujuh bagian dan masing-masing terbagi lagi dari tujuh jurus. Setiap jurus dibagi pula menjadi tujuh gerakan. Maka jika engkau telah bisa mempelajarinya dengan baik, tentu engkau bisa menjagoi rimba persilatan dengan ilmu pukulan Pek-lui-eng itu.

Sebagai muridku, tentu saja engkau harus mengetahui siapa adanya aku. Aku bernama Tang Cia Sie, bergelar Bu-beng-kun-hiap (Jago Pukulan Tangan Kosong Tidak bernama). Nah, muridku, kuharap saja engkau mempelari ilmu yang kuwariskan itu sebaik mungkin dan engkau harus mempergunakannya untuk keadilan, tidak boleh sekali mengandalkan ilmu itu untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dan jahat. Aku mendoakan semoga saja engkau tidak mengecewakan hati dan keinginanku, agar aku bisa mati dengan mata yang meram.”

Setelah membaca surat itu, Siauw Liong Lie menghela napas. „Tang Cia Sie...... dialah seorang pendekar di jaman seratus tahun yang lalu....... dia telah meninggal dengan tenang di tempat ini tentunya dia merupakan jago yang hebat sekali, karena guruku pernah menceritakan, dijamannya Tang Cia Sie itu kepandaian jago she Tang tersebut sangat tinggi sekali. Maka dari itu jika aku bisa mempelajari ilmunya itu, niscaya aku bisa memiliki kepandaian yang lebih tinggi......!”

Tetapi berpikir sampai disitu, Siauw Liong Lie telah menghela napas lagi, karena dia teringat betapa dirinya sekarang berada di dalam goa yang terpisah dengan kolam yang memiliki arus yang sangat kuat, sehingga tidak mungkin dia bisa menerobos keluar! Hai! Hai! Sekarang jika aku mempelajari ilmu itu, untuk apa? Aku telah terpisah dari suami dan anakku…....”

Terkenang kepada anaknya, yang harus berpisah dengannya disaat anak itu masih merah, Siauw Liong Lie jadi menitikkan sir mata.

Siauw Liong Lie memang telah memiliki latihan yang kuat dari ilmu Kouw-bok-pay, dia juga telah menguasai hati sehingga dirinya tidak pernah dihinggapi perasaan gembira, sedih atau juga marah. Tetapi waktu teringat kepada anaknya itu, justru Siauw Liong Lie sebagai wanita wajar seperti lainnya, jadi menangis menitikkan air mata dengan hati yang berduka sekali.

Sekian lama Siauw Liong Lie menangis, sampai akhirnya dia telah menghela napas dan menyusut air matanya. Semula memang Siauw Liong Lie tidak bermaksud mempelajari ilmu warisan Tang Cia Sie, tetapi setelah dia berdiam agak lama di goa itu. mungkin sudah lewat dua hari atau lebih, iseng-iseng ia mulai mempelajari gerakan yang terukir di dinding. Hal itu hanya untuk mengisi waktunya yang luang. Tetapi ketika dia mulai menjalankan gerakan yang pertama dan pecahan dari jurus-jurusnya, dia jadi tambah tertarik, karena selain tubuhnya jadi bertambah segar, juga Siauw Liong Lie mengetahui bahwa jurus-jurus yang dipelajarinya itu merupakan ilmu pukulan yang benar-benar hebat! Apalagi memang Siauw Liong Lie sendiri telah memiliki kepandaian yang, sangat tinggi sekali, dengan sendirinya dia dapat mempelajari ilmu itu dengan mudah.

Tenaga yang muncul dari setiap gerakan yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie mendatangkan sambaran angin yang kuat sekali. Ilmu pukulan itu benar-benar hebat sekali, dan pukulan dari ilmu Pek-lui-eng itu bisa menghancurkan batu yang bagaimana besar sekalipun juga Siauw Liong Lie yang memiliki lwekang sangat tinggi telah merasakan lwekangnya seperti tersalurkan keluar dan menjadi semakin kuat.

Maka dari itu Siauw Liong Lie jadi semakin rajin belajar dan mengikuti setiap gerakan dari ukiran-ukiran ilmu pukulan Pek-lui-eng itu. Semakin dipelajari ilmu itu semakin mendatangkan kekaguman di hati Siauw Liong Lie. Bahkan Siauw Liong Lie telah mempelajari jurus yang keenam, dia jadi bertambah kagum sekali kepada Bu-beng-kun-hiap, karena ilmu itu benar-benar merupakan ilmu kelas tinggi, mungkin berada di atas dari kepandaian yang dimiliki Siauw Liong Lie sendiri.

Setelah mempelajari seluruh gerakan-gerakan yang terukir di dinding, terakhir Siauw Liong Lie melihat ukiran untuk melatih lweekang, yaitu dengan kedua kaki yang berjingkat, berdiri sambil bersedekap, menyalurkan jalan pernapasannya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh tulisan di batu itu.

Siauw Liong Lie semula merasakan di perutnya seperti ada sebuah bola api yang berputar-putar dan hangat sekali. Siauw Liong Lie meneruskan latihannya. Entah sudah lewat beberapa hari, Siauw Liong Lie tidak mengetahui karena selama itu dia tidak melihat matahari dan juga dia tidak mengenal waktu, hanya sinar matahari yang sedikit sekali masuk ke ruangan itu. Dengan memperhatikan lenyap dan timbulnya sinar matahari, Siauw Liong Lie hanya bisa menduga bahwa dia telah berada di ruangan tertutup itu hampir satu bulan.

Semakin dipelajari lweekang yang terukir di batu itu, Siauw Liong Lie merasakan tenaga dalamnya bertambah hebat. Waktu dia mencoba memegang sebuah batu yang cukup besar, mengerahkan setengah tenaga lweekangnya batu dalam cengkraman tangannya itu telah hancur menjadi bubuk. Peristiwa ini mengejutkan dan membuat Siauw Liong Lie jadi girang bukan main. Karena dengan hasil yang telah didapatnya itu membuktikan bahwa dia telah memiliki lweekang yang lebih kuat dibandingkan dengan beberapa waktu lalu.

Saat itu juga Siauw Liong Lie telah beristirahat sambil memikirkan cara untuk mencari jalan keluar dari kurungan goa itu. Tetapi dia tidak juga menemui bagian bagian dinding yang tipis dan bisa diterobos keluar.

Setelah memeriksa kesana kemari, tiba-tiba Siauw Liong Lie tertarik melihat sebuah kotak besi yang cukup besar yang berada di dekat batu yang menonjol keluar. Barang itu menarik sekali. Jika memang Siauw Liong Lie bukan sedang memperhatikan keadaan di sekitar situ, memeriksa untuk mencari jalan keluar, tentu dia tidak akan menemui kotak peti tersebut. Cepat-cepat Siauw Liong Lie telah mengambil kotak itu. Ternyata kotak tersebut terkunci.

Tetapi Siauw Liong Lie yang memiliki lwekang telah sempurna, tidak merasa dipersulit dengan tidak ada kunci kelotok itu. Dia mengerahkan tenaga lwekangnya di kedua jari tangannya, kemudian dengan jari telunjuknya dia menyentil kelotok itu.

„Tuk.....!” Kelotok itu telah terbuka putus oleh sentilan jari Siauw Liong Lie.

Keruan saja Siauw Liong Lie tambah girang, karena dengan sekali menyentil dia bisa mematahkan kelotok besi, berarti dia benar-benar telah memiliki tenaga lwekang yang menakjubkan sekali. Dan Siauw Liong Lie lebih girang lagi, ketika dia melihat di dalam kotak peti itu terdapat beberapa perangkat pakaian.

Cepat-cepat Siauw Liong Lie mengambilnya sepotong dan mengenakannya. Karena selama sebulan lebih itu Siauw Liong Lie bertelanjang, disebabkan pakaiannya ditinggalkan di tepi kolam. Walaupun pakaian yang dikenakannya itu merupakan pakaian seorang pria tetapi lebih lumayan dari pada tidak mengenakan pakaian sama sekali sebagai penutup tubuhnya.

Peti itu telah disimpan lagi oleh Siauw Liong Lie, diletakkan di tempat semula. Tetapi waktu Siauw Liong Lie meletakkan peti itu, matanya yang jeli dan tajam telah melihatnya ada beberapa ukiran huruf-huruf di bawah tempat dia meletakkan kotak besi itu. Bunyi surat ukiran itu sebagai berikut.

„Muridku......

Engkau kini telah memiliki kepandaian, juga pakaianku engkau bisa menemukannya. Aku gembira bahwa engkau seorang yang baik, yaitu setelah engkau mengangkat peti itu, engkau meletakkan kembali peti tersebut ke tempatnya semula, sehingga engkau jadi bisa melihat huruf-huruf yang kuukir di bawah peti ini. Coba kalau engkau telah mengambil peti itu dan engkau tidak bermaksud meletakkan kembali di tempatnya semula, engkau tentu tidak akan melihat huruf-huruf yang kuukir ini.

Ketahuilah muridku, bahwa aku mengetahui cara untuk keluar dari goa ini yaitu dengan menuruti gambaran yang kulukiskan ini! Pertama-tama engkau terjun ke air yang ada di muka goa ini, dan berenang sejauh mungkin, jika user-user air mulai menyambut kau dan menariknya, engkau kerahkan lwekang yang engkau pelajari, sehingga user-user air itu tentu tidak sanggup untuk menyeret dirimu, engkau bisa berenang terus untuk mencapai tepi kolam di atas lembah itu......

Muridku yang baik.

Engkau harus ketahui juga, bahwa ketiga perangkat pakaianku yang ada di dalam peti itu merupakan pakaian yang memiliki khasiat sangat besar dan bukan pakaian biasa, ketiga perangkat pakaian itu merupakan pakaian mustika. Kukatakan pakaian mustika karena jika seseorang mengenakan pakaian itu, tentu orang tersebut tidak dapat ditikam oleh senjata tajam, dan juga tidak perlu takut oleh kobaran api. Pakaian itu kubuat dari benang-benang yang dibuat dari besi hitam yang dicampur dengan emas, sehingga ulet sekali. Ketiga perangkat pakaian itu merupakan tiga perangkat pakaian mustika yang jarang sekali dimiliki orang dan kuberi nama Kim-joan-kha (pakaian emas). Nah muridku, engkau harus mempelajari seluruh pelajaran yang ada di dinding goa ini sebaik mungkin, karena aku tidak menghendaki muridku nanti memiliki kepandaian separoh-paroh saja, sehingga nanti jika bertemu dengan musuh yang kuat akan roboh dan tidak berdaya. Itulah yang tidak kukehendaki......!

Dari gurumu.

Tang Cia Sie, Bu-beng-kun-hiap.”

Setelah membuka semua surat itu, Siauw Liong Lie cepat-cepat menekuk kedua kakinya dia berlutut memberi hormat kepada ukiran-ukiran surat itu.

„Suhu, tecu Siauw Liong Lie menghunjuk hormat kepada suhu. Tenangkanlah hati suhu di dalam baka, karena murid tentu tidak akan melalaikan pesan Suhu untuk berdiri tegak di garis keadilan..... terima kasih atas warisan yang telah diberikan Suhu..... Tecu tentu akan berusaha untuk melaksanakan semua pesan Suhu, tenangkanlah hati Suhu.......!”

Dan setelah berkata begitu Siauw Liong Lie mengangguk-anggukan kepalanya tiga kali. Waktu itu Siauw Liong Lie tengah gembira bukan main, karena dia telah memperoleh petunjuk bagaimana harus keluar dari kolam itu meninggalkan goa tersebut. Dengan mempergunakan lwekang yang baru diperolehnya tentu dia bisa meloloskan diri dari user-user air di kolam itu, seperti apa yang dijelaskan oleh gurunya. Tetapi karena Siauw Liong Lie masih harus mempelajari ilmu meringankan tubuh dan lwekang agar lebih sempurna lagi, dia berdiam di goa di bawah kolam itu. Kepandaian Siauw Liong Lie mengalami kemajuan yaug pesat sekali, yang membawa dia ke taraf yang lebih sempurna dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu.

Setengah bulan kemudian, Siauw Liong Lie telah dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu. Selama terkurung di goa itu, Siauw Liong Lie selalu makan daging ikan, karena di muka goa itu, dimana tampak air yang menggenang berasal dari kolam yang di atas itu banyak sekali terdapat ikan-ikan yang bentuknya sangat besar. Setiap hari Siauw Liong Lie memakan ikan itu, yang dipanggangnya. Menangkap ikan-ikan itu juga tidak sulit, karena ikan-ikan itu tampaknya jinak sekali.

Setelah lewat lagi beberapa hari, Siauw Liong Lie merasakan bahwa dia telah selesai mempelajari seluruh kepandaian yang ditinggalkan Tang Cia Sie, dia bermaksud untuk mencoba berenang ke atas kolam di lembah itu.

Siauw Liong Lie menekuk kedua kakinya, dia berkata, „Suhu...... tecu ingin meninggalkan tempat ini. Sebetulnya Tecu tidak ingin meninggalkan goa ini tetapi berhubung Tecu memikirkan anak Tecu yang diculik orang juga suami yang belum diketahui bagaimana nasibnya, maka tecu terpaksa harus meninggalkan tempat ini! Terima kasih atas petunjuk-petunjuk suhu yang sangat berharga...!”

Dan setelah berkata begitu, tampak Siauw Liong Lie mengangguk-anggukkan kepalanya duabelas kali, sebagai penghormatan murid kepada gurunya. Kedua perangkat pakaian yang ada di peti itu, juga tidak diambil oleh Siauw Liong Lie, sebab dia beranggapan bahwa satu perangkat pakaian mustika itu telah cukup. Karena kelak juga dia telah berada di alam bebas kembali dia bisa membeli pakaian. Dan juga bukankah pakaian dan perhiasannya ditinggalkan di tepi kolam itu?”

Dengan mempergunakan jari telunjuknya Siauw Liong Lie telah mengukir batu itu menuliskan beberapa patah kata.

„Tecu Siauw Liong Lie telah menyelesaikan pelajaran dari kepandaian suhu Tang Cia Sie. Dengan ini tecu menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suhu Tang Cia Sie. Semoga saja arwahnya tenang dialam baka. Tecu akan mempergunakan kepandaian yang tecu peroleh ini untuk melakukan kebaikan dan membela yang lemah.”

Hebat sekali jari telunjuk Siauw Liong Lie, karena dia bisa mengukir dan menulis di dinding dengan mempergunakan jari telunjuk itu. Setiap kali dia mencoret, maka luluhlah batu itu, sehingga terlihat nyata sekali huruf yang ditulisinya itu, jelas dan kuat sekali setiap tarikan huruf itu.

Siauw Liong Lie sendiri merasa kagum dan girang terhadap kepandaian yang diperolehnya dari Tang Cia Sie, karena dulu dia memiliki kepandaian yang tinggi dan sempurna, tetapi Siauw Liong Lie belum berhasil menulis di dinding batu dengan mempergunakan jari telunjuknya! Tetapi sekarang, setelah dia berhasil mempelajari lwekang peninggalan Tang Cia Sie, ia mampu menulis surat dengan jari telunjuknya itu seperti juga menulis di atas lumpur.

Karena terlalu gembira, Siauw Liong Lie jadi menangis terisak-isak. Di hatinya telah muncul harapan dia bisa keluar dari kolam itu, dan juga bisa mendaki dinding tebing di lembah itu. Setelah pay-kui tiga kali lagi, Siauw Liong Lie kemudian keluar dari goa itu. Pintu goa ditutupnya dengan menarik kembali batu yang menonjol di muka goa tersebut. Dan Siauw Liong Lie kemudian menyusuri goa yang satunya lagi, sehingga dia telah tiba di depan goa itu, melihat air yang bening dan cabang kolam di atas lembah itu.

Siauw Liong Lie memandang air yang bening itu dengan tertegun. Dia membayangkan, di bawah air kolam itu terdapat user-useran air yang menggulung kuat sekali. Jika dia menyelam kembali, mungkinkah dia kuat melawan arus user-useran air iiu? Sedangkan dulu saja dia bukannya tidak memiliki kepandaian, di dalam rimba persilatan mungkin Siauw Liong Lie merupakan jago wanita yang paling ternama. Namun dia tidak berdaya menghadapi user-user air di dalam kolam itu.

Tetapi menurut pesan yang ditinggalkan oleh gurunya yaitu Tang Cia Sie, dengan mempergunakan lwekang yang diturunkan oleh Tang Cia Sie, tentu dia bisa menghadapi arus user-useran air itu. Maka setelah keragu-raguannya berkurang banyak, Siauw Liong Lie telah terjun berenang di air dimuka goa itu. Dia menyelam beberapa kali, tetapi disaat itulah dia mulai merasakan air seperti tergoncang keras. Dengan demikian Siauw Liong Lie mengetahui bahwa arus user-user air itu telah mulai datang menyerang dirinya. Itulah hal yang cukup mengerikan.

Ketika Siauw Liong Lie merasakan gulungan air semakin keras, dia mengerahkan lweekang yang diperolehnya dari catatan Tang Cia Sie. Kedua tangannya ditekuk dengan gerakan seperti seekor kodok, tampak Siauw Liong Lie telah berenang terus.

Memang meletihkan melawan tekanan dari tenaga arus air yang bergulung-gulung seperti tidak terkendalikan lagi. Beberapa kali tubuh Siauw Liong Lie terpental kembali terbawa arus. Tetapi Siauw Liong Lie tabah sekali, dia telah menggerakkan terus kedua tangannya dan kakinya melawan terjangan gulungan arus itu. Walaupun sedikit demi sedikit dan meletihkan sekali, kenyataannya Siauw Liong Lie telah bisa maju menerobos arus air itu. Akhirnya Siauw Liong Lie terlepas juga dari gulungan arus air itu, sehingga dia bisa berenang terus menuju ke permukaan kolam.

Tadi waktu melawan arus air yang bergulung-gulung itu, Siauw Liong Lie merasa letih sekali dan ketika dia tiba di permukaan kolam dan berhasil naik ke darat, dia telah merebahkan tubuhnya di tepi kolam itu untuk beristirahat.

Sambil mengatur pernapasannya, Siauw Liong Lie juga mengawasi sekitar tempat itu. Tidak ada seorang manusiapun di sini dan juga pakaiannya telah lenyap! Siauw Liong Lie jadi heran, dia menyelidiki seluruh lembah itu, tetapi dia tetap tidak menemui seorang manusia pun juga!

Waktu Siauw Liong Lie tiba di permukaan kolam itu, hari menjelang sore, dan ketika matahari telah turun di ufuk barat, Siauw Liong Lie berusaha menaiki tebing itu, dia merayap dengan ilmu cecak dan berhasil mencapai atas lembah itu.

Dengan hati-hati Siauw Liong Lie menghampiri sebuah perkampungan. Dengan gerakkannya yang ringan dan gesit sekali, tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui bahwa ada seorang pendekar wanita yang tengah berkeluyuran, memperhatikan satu persatu rumah penduduk, karena memang Siauw Liong Lie bermaksud untuk mencari rumah seorang hartawan. Dan akhirnya Siauw Liong Lie dapat menemukan sebuah rumah yang diinginkannya. Dia telah melihat rumah yang mewah dan besar, sebagian dari pekarangan rumah itu diterangi oleh lampu, sehingga disekitar tempat itu jadi terang benderang.

Siauw Liong Lie tampak telah melompati dinding tembok pekarangan, kemudian dia mencari sebuah kamar, dengan mudah dia menemukan apa yang dicarinya, yaitu tempat simpanan uang dari pemilik gedung tersebut. Di ambilnya uang perak sebanyak seribu tail, lalu dia kembali ke tepi lembah dan melompat ke bawah lembah itu.

Malam itu Siauw Liong Lie tidur dengan nyenyak, keesokan paginya ketika dia terbangun dari tidurnya, dia melihat sesuatu yang agak ganjil, yaitu tanah kuburan yang masih merah.

“Rupanya sebelum aku datang kemari telah ada orang lainnya…...!!” pikir Siauw Liong Lie yang menduga bahwa kuburan itu adalah kuburan dari seorang manusia. Pada hal sebenarnya, jika saja Siauw Liong Lie mau membongkar kuburan itu, tentu dia akan mengetahui bahwa kuburan itu adalah kuburan dari pakaian dan barangnya yang telah dikubur oleh Sin-tiauw.

Setelah cuci muka ditepi kolam Siauw Liong Lie mendaki ke atas tebing itu untuk keluar dari lembah itu. Dia memperhatikan keadaan sekitarnya, kemudian berlari-lari ke arah barat, dia telah tiba di sebuah kampung kecil, Siauw Liong Lie membeli beberapa perangkat pakaian dan bermacam-macam kuwe dan daging kering.

Setelah membayar barang yang dibelinya itu, Siauw Liong Lie bermaksud kembali ke lembah. Tetapi baru saja dia melangkah beberapa langkah, dia mendengar suara seorang gadis kecil yang menangis sedih sekali. Usia gadis kecil itu belum lagi ada setahun, masih merah, dan tangisnya juga sangat nyaring sekali.

Bayi kecil itu tergeletak di muka warung barang-barang dimana dia tadi berbelanja. Melihat bayi itu tanpa ada yang mengurusi dan tergeletak di situ, Siauw Liong Lie merasa heran bercampur marah. Cepat-cepat Siauw Liong Lie menggendongnya, apalagi dia teringat pada anaknya sendiri, yang sekarang ini berada entah dimana, masih hidup atau memang telah binasa. Dan perasaan kasihan pada gadis cilik yang masih merah itu membuat dia menggendongnya untuk menghangati tubuh bayi kecil tersebut.

Siauw Liong Lie memasuki toko kelontong itu, kemudian bertanya kepada pemilik toko itu.

„Heng-tay, siapa orang tua anak ini? Mengapa ditinggalkan begitu saja dan Heng-tay tidak merasa kasihan dan hanya membiarkan saja? Bukankah jika kelak matahari telah naik tinggi dan panas sekali, akan membuat bayi itu tersiksa lalu mati?”

26.52. Kegembiraan Keluarga Yang Berkumpul

Pemilik toko itu jadi serba salah tingkahnya, tetapi tokh akhirnya dia telah berkata: „Bukan kami tidak merasa kasihan kepada gadis kecil itu.... tetapi kedua orang tuanya, ayah dan ibunya adalah penjahat-penjahat besar yang tidak berampun dan kejam sekali. Telah ratusan orang-orang yang menjadi korbannya. Maka waktu tadi kedua orang tuanya itu, ditangkap dan dihukum mati dengan pancung kepala. Memang kami merasa kasihan pada bayi yang sebatang kara itu. tetapi kami tidak berani mengambil dan melihatnya, seluruh penduduk kampung juga begitu, mereka takut kalau nanti setelah anak itu besar akan menimbulkan kesulitan yang tidak kecil, apalagi anak ini keturunan dari penjahat kejam seperti ayah dan ibunya....!”

Siauw Liong Lie menghela napas.

„Kasihan anak ini..... seharusnya dia tidak diperlakukan begitu! Bukankah yang bersalah dan berdosa adalah kedua orang tuanya? Mengapa pula anak ini yang harus menjadi sasarannya? Hemmm, memang kadang kala manusia itu jahat dan bersembunyi dibalik kebaikan! Biarlah anak ini kuambil untuk dipelihara olehku!”

„Terserah kepada nyonya, karena memang kami sekampung telah memutuskan tidak akan mengambil anak itu, dan meletakan begitu saja. Untung ada nyonya, sehingga anak itu tidak perlu sampai mati.....!”

Siauw Liong Lie menghela napas dan dengan membawa barang-barang yang baru dibelinya itu dalam jumlah yang cukup banyak, juga tangan kanannya menggendong bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang, dia telah pergi ke tepi tebing dan dengan ginkangnya yang sempurna, dia berlari-lari menuruni tebing itu. Dalam waktu yang singkat sekali dia telah berada di lembah itu lagi.

Siauw Liong Lie karena teringat bahwa di tempat itu ada gundukan tanah seperti kuburan, maka dia tidak bermaksud berdiam di lembah itu lama-lama. Dia telah mengikat kepala bayi perempuan itu dengan sehelai kulit dan kemudian barang-barang belanjaannya itu diikat pula di dalam sepotong kulit, kemudian dia menyelam melawan arus air, dia telah berenang dengan kedua tangannya membawa si bayi dan bahan makanannya.

Usaha Siauw Liong Lie berjalan lancar dan tidak menemui halangan apapun juga. Dan mereka, Siauw Liong Lie bersama bayi kecil itu tiba di goa tersembunyi itu.

Demikianlah Siauw Liong Lie telah merawat bayi kecil itu.

„Karena engkau kutemui dalam keadaan yang menderita dan sengsara, maka engkau kunamakan Goat Lan. Sedangkan she mu bisa mempergunakan she ku, yaitu she Siauw! Untuk selanjutnya engkau bernama Siauw Goat Lan.”

Bayi yang masih kecil seperti itu tidak mengetahui apa-apa, dia hanya sibuk dengan susu yang diberikan Siauw Liong Lie. Karena sejak kedua orang tuanya dihukum mati, dia telah menderita kelaparan. Siauw Liong Lie juga bertekad untuk merawat Siauw Goat Lan dan anak yatim piatu itu akan diperlakukan seperti anaknya sendiri.

Dengan adanya Siauw Goat Lan, hati Siauw Liong Lie jadi terhibur juga. Pendekar wanita ini juga bermaksud menutup riwayat hitam dan kedua orang tua Siauw Goat Lan, karena dia tidak menghendaki nanti Siauw Goat Lan setelah meningkat dewasa akan memiliki dendam. Siauw Liong Lie menganggap urusan Siauw Goat Lan telah habis, karena dengan demikian Siauw Goat Lan terbebas dari jerat dendam yang bisa merusak gadis ini. Dengan demikian Siauw Liong Lie bisa benar-benar menganggap bahwa Siauw Goat Lan adalah puterinya sendiri.

Begitulah dari hari ke hari Siauw Liong Lie telah merawat Siauw Goat Lan. Ketika Siauw Goat Lan telah berusia empat tahun, gadis kecil itu mulai diberi pelajaran silat. Ternyata Siauw Goat Lan cerdas sekali, dia bisa menerima pelajaran-pelajaran yang diturunkan padanya dalam waktu yang singkat sekali.

Siauw Liong Lie jadi girang melihat kenyataan itu. Apalagi kemajuan yang pesat telah diperoleh seorang Siauw Goat Lan. Sedangkan Siauw Goat Lan sendiri selalu memanggil Siauw Liong Lie dengan sebutan suhu, karena dia telah dibiasakan oleh Siauw Liong Lie sejak kecilnya untuk memanggil dengan sebutan suhu. Maka dalama keadaan demikian dari tahun demi tahun Siauw Goat Lan juga diberi pelajaran dasar dari lweekang dan ginkang. Kepandaian yang diturunkan oleh Siauw Liong Lie merupakan kepandaian kelas tinggi, jika saja Siauw Goat Lan melatih diri dengan baik, kelak jika dia telah dewasa tentu jarang sekali ada orang yang bisa menandinginya.

Tahun demi tahun lewat dengan cepat dan akhirnya Siauw Goat Lan telah berusia sebelas tahun dengan memiliki kepandaian yang tinggi, dan yang kurang hanyalah pengalamannya saja. Sejak berusia sebelas tahun Siauw Goat Lan sering diajak Siauw Liong Lie keluar dari goa untuk pergi ke kampung-kampung yang terdekat guna membelikan pakaian dan makanan. Walaupun masih kecil, tetapi Siauw Goat Lan sering kali berenang melawan arus kolam itu, sehingga dia bisa berenang pula pergi melalui kolam yang memiliki user-user air dengan mudah sekali.

Hari itu, waktu Siauw Goat Lan berusia sebelas tahun, Siauw Liong Lie mengatakan bahwa dia ingin tinggal di lembah itu, sehingga tidak perlu setiap kali keluar dari kolam itu tubuh mereka basah kuyup. Siauw Liong Lie juga telah menguasai sepenuhnya ilmu silat Tang Cia Sie, sehingga dia tidak perlu berdiam lebih lama lagi di goa tersebut. Dengan tinggal di lembah yang indah dan banyak pohonnya yang beraneka warna, Siauw Goat Lan jadi girang sekali.

Begitulah guru dan murid telah tiba di lembah itu dan menetap disana. Siauw Liong Lie mendirikan sebuah rumah kecil, untuk mereka tinggal dan menghindari hujan dan angin.

Siauw Goat Lan ternyata seorang anak yang rajin, lincah dan gesit. Setiap hari dengan tekun dia mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh gurunya. Namun hari itu justru Siauw Goat-Lan telah bertemu dengan Yo Ko beramai. Dan pertemuan itu akhirnya membuat Yo Ko dan Siauw Liong Lie berkumpul kembali.

<> 

Siauw Liong Lie telah menyelesaikah ceritanya sambil menghela napas.

Tetapi Yo Him heran sekali, ada sesuatu yang tidak dimengerti olehnya.

„Bu,” katanya kepada Siauw Liong Lie, „Aku sudah pernah dirawat oleh Sin-tiauw beberapa tahun di dalam lembah itu, mengapa tidak bertemu denganmu ibu?”

Siauw Liong Lie tersenyum, katanya: „Mungkin juga waktu aku keluar dari lembah itu untuk mencuri uang yang seribu tail itu. Justru engkau tidak ada disitu dan telah diajak bermain oleh Sin-tiauw….. Itulah suatu kebetulan saja, sehingga kita bertemu setelah belasan tahun, dan engkau kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.”

Yo Him jadi malu dan menundukkan kepala dengan pipi yang berobah merah.

„Ah, ibu bisa saja,” katanya.

Yo Ko dan yang lainnya jadi tertawa geli karena mereka melihat Yo Him kemalu-maluan begitu rupa digoda oleh ibunya. Begitulah, mereka telah bercakap-cakap dengan gembira.

Tiba-tiba Yo Ko teringat sesuatu.

„Liong-jie... ada sesuatu yang tidak kumengerti!” katanya.

„Apa itu Ko-jie?”

„Mengenai rangka dari tengkorak Sin-tiauw, yaitu burung rajawali kita itu..... mengapa masih tetap menggeletak di tempatnya berhampar, bukankah menurutmu tadi engkau sering keluar dari air kolam dan tentunya melihat kerangka burung itu......”

„Benar, memang aku melihatnya, tetapi tentu saja Sin-tiauw tidak akan senang jika kita mengubur tulang-tulangnya. Bukankah letak dari tulang belulang itu dengan sikap kedua sayapnya yang terpentang lebar-lebar......! Hemm, jika kita menguburnya tentu akan membuat dia tidak senang, maka aku membiarkan saja dengan menggeletak begitu, bukankah sangat indah dilihat?”

Yo Ko dan lain-lainnya mengangguk-angguk tanda setuju.

„Tetapi sayang sekali aku tidak mengetahui maksudmu yang sebenarnya itu, sehingga aku telah mengubur tulang-tulangnya,” kata Yo Ko.

„Ya, jika memang telah dikubur itupun tidak apa-apa bukan?” kata Siauw Liong Lie tertawa. „Akhirnya kita berkumpul juga...... inilah anugerah Thian yang maha pengasih dan penyayang......” dan Siauw Liong Lie menghela napas panjang-panjang, karena saking girang dan juga terharu dengan adanya pertemuan ini.

Siauw Liong Lie juga menceritakan bahwa dia senang sekali di lembah ini, karena pemandangannya indah dan udaranya nyaman.

„Yang mencelakai aku adalah Tiat To Hoat-ong si pendeta dari Mongol itu!” kata Siauw Liong Lie sejenak kemudian. „Maka kalau aku memiliki kesempatan, tentu aku akan mencarinya untuk mengadakan perhitungan dengannya…..!”

Yo Ko mengangguk.

„Benar, selama belasan tahun ini aku sibuk sekali mengumpulkan sahabat-sahabat yang cinta negeri, sehingga waktu sangat sedikit sekali, dimana aku selalu gagal mencari pendeta Mongol itu.” Yo Ko menghela napas panjang, kemudian katanya lagi. „Keadaan kerjaan Song tengah terancam oleh musuh yang ingin menyerang ke daratan Tiong-goan, disamping itu juga banyak menteri-menteri dorna yang telah menghasut Sri Baginda, sehingga pucuk pimpinan kerajaan sudah goyah dan mungkin satu atau dua tahun mendatang ini pasukan Mongolia itu akan menyerbu ke daratan Tiong-goan.”

Disaat itu Siauw Liong Lie mendengarkan baik-baik dan waktu suaminya berkata sampai disitu, dia telah memotongnya, „Inilah urusan yang tidak kecil. Selama belasan tahun aku mengurung diri di lembah ini tidak tahunya diluar telah terjadi pergolakan yang tidak kecil. Suamiku apakah kita lebih baik meninggalkan lembah ini untuk membantu para orang gagah menghadapi musuh dari luar?”

Yo Ko mengangguk.

„Memang aku bermaksud begitu, apa lagi sekarang kita telah berkumpul kembali,” kata Yo Ko. „Dan kita bisa menghadapi musuh yang paling tangguh sekalipun! Disamping itu kita harus mencari jejak Tiat To Hoat-ong untuk membalas sakit hati kita…...!”

Waktu berkata sampai disitu Yoko berhenti sejenak sambil menunjuk ke Yo Him, katanya.

„Anak kita, Him-jie juga telah memiliki kepandaian yang tinggi, selain dia memiliki tenaga lweekang yang tinggi, juga dia pun telah menjadi murid dari orang luar biasa Lie Bun Hiap.”

Siauw Liong Lie memandang setengah percaya kepada anaknya dan kemudian dia menghampiri Yo Him sambil bertanya : „Benarkah Him-jie apa yang dikatakan oleh ayahmu?”

Yo Him tersenyum sambil berkata : „Ayah tengah bergurau...... ibu jangan mempercayainya......!”

Kwee Siang dan Phang Kui In juga berkata: „Apa yang dibilang Yo Ko Taihiap memang benar.....!”

Siauw Liong Lie tersenyum, dia telah berkata dengan suara yang mengandung kasih sayang seorang ibu: „Syukurlah jika memang Yo Him bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tidak percuma dia jadi anak dari Sin-tiauw Tayhiap!!” dan berbareng dengan perkataannya itu tampak Siauw Liong Lie telah menghampiri Yo Him dekat sekali. Diluar dugaan tiba-tiba Siauw Liong Lie mengulurkan tangan kanannya, dan tangan Yo Him yang kanan telah dicekalnya. Gerakan yang dilakukannya itu luar biasa cepat dan kuatnya, karena begitu Siauw Liong Lie menghentak, sebelum Yo Him tahu apa yang terjadi, tubuhnya telah dilemparkan keras sekali oleh Siauw Liong Lie.

Semua orang yang melihat itu jadi terkejut sampai mengeluarkan suara seruan yang nyaring, dan muka mereka masing-masing menjadi pucat.

„Liong-jie, jangan…..!” Yo Ko masih sempat berteriak dengan suara mengandung kekuatiran yang sangat.

Tubuh Yo Him telah melayang cepat sekali ke tengah udara, tetapi Yo Him sekarang memang telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, walaupun dia terkejut diperlakukan begitu oleh ibunya, namun dia bisa bergerak cepat sekali berjumpalitan ditengah udara. Gerakan yang dilakukan oleh Yo Him sangat gesit, sehingga sewaktu tubuhnya meluncur turun kedua kakinya yang lebih dulu hinggap di tanah.

„Bagus,” berseru Siauw Liong Lie dengan suara yang mengandung kegembiraan dan wajah yang berseri-seri.

Yo Him dan lainnya baru mengetahui bahwa Siauw Liong Lie hanya ingin menguji anaknya itu.

„Kepandaianmu cukup tinggi, Him-jie..... tidak sembarangan pemuda sebaya engkau yang bisa memiliki ilmu silat setinggi kau sekarang ini!”

Yo Him mengucapkan terima kasih.

„Siapa yang mengajarimu?” tanya Siauw Liong Lie lagi sambil menghampiri anaknya.

„Suhu Lie Bun Hap, Ma!”

„Lie Bun Hap?”

„Ya........”

„Aku belum pernah mendengar namanya.”

„Kedua kakinya buntung sebatas lutut, dia berjalan dengan mempergunakan dua batang tongkat…….”

„Tetapi kepandaian yang diturunkan kepadamu semuanya itu merupakan ilmu yang tinggi sekali, jika engkau mau berlatih diri dalam dua atau tiga tahun, tentu engkau akan menjadi jago yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali.”

Senang Yo Him mendengar pujian ibunya dia telah mengucapkan terima kasihnya.

„Tetapi anehnya, gurumu itu belum pernah kudengar di dalam rimba persilatan. Tentunya dia seorang jago tua yang hidup mengasingkan diri.....”

„Mungkin juga, Ma. Katanya telah puluhan tahun dia berada di pulau terpencil itu!”

Phang Kui In lalu menceritakan apa yang telah terjadi.

Siauw Liong Lie juga jadi heran, karena dia belum pernah mendengar nama Lie Bun Hap diantara jago-jago lainnya. Tetapi akhirnya mereka tidak membicarakan soal Lie Bun Hap lagi, karena mereka telah merencanakan untuk naik ke atas dinding yang mengurung lembah itu.

„Aku dan muridku bisa saja keluar dengan mudah, karena kami memang telah biasa keluar lembah, naik dan turun dengan mudah. Sekarang bagaimana dengan yang lainnya?”

Yo Ko menunjuk ke arah tambang yang masih tergantung itu.

„Yo Him, Nona Kwee dan Phang eng-hiong, naik dengan mempergunakan tambang itu sedangkan aku dengan kau Liong-jie naik dengan mempergunakan ilmu cicak. Muridmu, menurut kau telah biasa naik turun tebing itu, maka diapun bisa naik sendiri. Bagaimana, kalian setuju?”

Siauw Liong Lie dan yang lain-lainnya menyatakan setuju. Begitulah Siauw Goat Lan, Siauw Liong Lie dan Yo Ko telah menaiki tebing itu dengan mudah tanpa memerlukan bantuan dan tambang itu. Yo Him naik melalui tambang, kemudian menyusul Kwee Siang lalu Phang Kui In.

Disaat itulah terlihat mereka telah berkumpul di atas tebing. Semuanya girang bukan main karena mereka bisa berkumpul kembali.

„Tugas kita masih banyak, yaitu menghimpun orang-orang gagah dan mencari musuh kita, Tiat To Hoat-ong,” kata Yo Ko. Dan usul Yo Ko itu disetujui oleh semua orang.

Begitulah mereka memutuskan untuk pergi ke Siang-yang, karena Siang-yang merupakan perbatasan dimana jika tentara Mongolia ingin menyerbu ke daratan Tiong-goan, maka mereka harus melewati Siang-yang dulu.

Waktu itu telah tiba musim semi, sehingga keadaan dalam perjalanan mereka sangat menggembirakan sekali.

Y

Siang-yang adalah ibu kota kerajaan Song, dan merupakan kota yang sangat rapat penduduknya.

Saat itu banyak orang tengah menjajahkan dagangan mereka sambil memuji akan kebaikan dan bagusnya barang mereka, sehingga keadaan di kota Siang-yang pada sore hari itu sangat ramai sekali. Di antara keramaian seperti itu tampak seorang anak lelaki berusia enambelas tahun telah berlari-lari dengan ketakutan dan terus menerobos keramaian.

Semua orang hanya memandang aneh, mereka melihat di belakang anak itu berlari puluhan orang yang berteriak dengan suara sangat keras:

„Tangkap maling!”

Tampak anak itu berlari dengan lebih cepat lagi, napasnya memburu dan juga mukanya pucat. Akhirnya waktu melihat para pengejarnya telah semakin dekat, maka ia mengeluarkan suara bentakan yang keras sambil tubuhnya berjongkok lalu tangannya dilonjorkan ke depan.

Waktu para pengejarnya itu telah semakin dekat, anak itu mengeluarkan suara „grookk” beberapa kali. Para pengejarnya agak tertegun melihat sikap anak itu. Kelakuannya benar-benar aneh. Tetapi tidak lama kemudian mereka berteriak lagi:

„Tangkap maling!”

Ramai sekali teriakan mereka sehingga anak itu jadi ketakutan. Dalam keadaan yang terjepit seperti itu, anak itu menjadi nekad. Dia menghentakkan kedua tangannya seperti mendorong, disamping itu mulutnya telah mengeluarkan suara „groookk” berulang kali.

Aneh sekali!

Empat orang pengejarnya yang berada di depan telah mengeluarkan suara jeritan yang sangat menyayatkan hati, tubuh mereka bergulingan di tanah dan akhirnya diam. Mereka telah binasa.

Sisa kawannya yang melihat kejadian itu, tentu saja jadi tercengang. Tetapi tak lama kemudian kembali mereka telah berteriak:

„Tangkap pembunuh!” Teriakan mereka berisik sekali, tetapi tidak ada seorangpun yang berani maju mendekati.

Anak itu ternyata telah menyerang dengan ilmu ‘Ha-mo-kang’ (ilmu kodok). Ketika melihat lawannya sudah tidak mengejar lagi, dia bangkit dan melarikan diri pula.

Sisa orang-orang itu kembali mengejar sambil berteriak, tetapi anak itu tidak perduli dan lari terus. Dia lari secara cerdik memasuki lorong-lorong kecil, sampai para pengejarnya menjadi letih. Anak itu kemudian tiba di luar pintu kota dan berdiri mengasoh, sedangkan para pengejarnya yang berada dekat sekali tidak ada yang berani maju melancarkan serangan. Mereka hanya berdiri berteriak saja.

Anak itu tertawa mengejek.

„Untung saja aku masih kecil, coba kalau sudah dewasa. Hemm, kalian satu per satu akan kubereskan!”

Anak itu kemudian pergi lagi, tetapi baru beberapa langkah ia berjalan, di saat itulah tampak seseorang membentaknya:

„Tahan, tunggu dulu!”

Dihadapannya berdiri seorang lelaki memakai baju yang agak longgar, sedangkan tangan kanan bajunya itu berkibar-kibar kosong menunjukkan bahwa orang itu tidak memiliki tangan kanan.

„Engko kecil, bukankah kau yang bertemu denganku belasan tahun yang lalu?”

„Kau ternyata Sin-tiauw Tayhiap, bukan?” tanya anak itu.

„Tidak salah. Dan kau puteranya Auwyang Hong, benarkah?”

„Benar aku anak Auwyang Hong…… dan aku tidak senang orang-orang itu sehingga aku telah menyerang mereka.”

„Aku bukan hendak memihak kepada mereka, tetapi aku ingin memberitahukan agar lain waktu kau jangan menurunkan tangan sekeras itu. Dan mana ibumu? Atau nenekmukah wanita tua itu?”

„Hemm, itu ibuku!” sahut anak itu yang mengaku sebagai anaknya Auwyang Hong.

Ada sesuatu yang membuat Yo Ko heran, Auwyang Hong telah meninggal lama sekali, mana mungkin anak kecil ini bisa mengaku sebagai anaknya tokoh sesat Auwyang Hong itu.

„Siauw-ko, ada sesuatu yang aku tidak mengerti. Auwyang Hong telah meninggal puluhan tahun yang lalu, tetapi sekarang kau baru berusia limabelas tahun. Bagaimana mungkin? Apakah Auwyang Hong setelah di akhirat masih bisa menikah dan memiliki anak?”

Muka anak itu jadi berobah.

„Kau jangan menghina, walaupun kau sebagai Tayhiap, tetapi aku tidak takut!”

Yo Ko tertawa.

„Jika aku maju menyerang dirimu, tentu akan banyak orang mengatakan bahwa aku menghina yang kecil. Maka ada lawan yang sebanding dengan kau, di mana kalian boleh main-main beberapa jurus!”

Setelah berkata begitu Yo Ko memandang ke sampingnya sambil berkata:

„Him-jie, keluarlah. Temani engko kecil ini main-main beberapa jurus.”

Ternyata rombongan Yo Ko, Kwee Siang, Siauw Liong Lie, Siauw Giok Lan dan Phang Kui In serta Yo Him telah tiba di kota Siang-yang, dan mereka melihat anak lelaki itu yang dikejar-kejar oleh puluhan orang. Yang mengejutkan Yo Ko adalah anak itu tiba-tiba mengeluarkan ilmu Ha-mo-kang membinasakan lima orang pengejarnya.

Saat itu Yo Him telah berdiri di sisi Yo Ko, sambil tanyanya: „Apa yang harus kulakukan?”

„Kau hadapi engko kecil itu, tetapi hati-hati dia memiliki ilmu Ha-mo-kang warisan dari Auwyang Hong.”

„Baik, ayah!”

Yo Him melangkah maju mendekati dan waktu itu anak lelaki yang mengaku puteranya Auwyang Hong, telah mengeluarkan suara sinis. Kemudian cepat sekali ia menekuk kedua kakinya berlutut. Dia menggerakkan kedua tangannya yang didorongkan ke depan dengan serentak. Dari telapak tangannya itu meluncur keluar angin serangan yang kuat sekali.

Yo Him berdiam diri dengan tenang, dia melihat saja datangnya serangan itu, kemudian dia mengeluarkan suara siulan dan melompat mundur dengan tubuh agak doyong ke samping, sehingga serangan anak itu telah jatuh di tempat kosong.

Membarengi dengan kesempatan itu, tampak Yo Him tidak tinggal diam, karena dia juga telah mengeluarkan suara bentakan keras sambil jari telunjuk tangan kanannya mengincar jalan darah sebelah pundak kiri. Itulah jurus menulis sajak di musim semi, yang datangnya sangat kuat. Jika menyentuh jalan darah dengan tepat, korban totokan itu akan segera binasa.

Putera Auwyang Hong jadi terkejut sekali, disamping kecewa karena tenaga Ha-mo-kangnya tidak berhasil mengenai korbannya.

Dengan memiringkan tubuhnya tampak puteranya Auwyang Hong telah berkelit dari totokan Yo Him.

Waktu itu, Yo Him telah menyusuli lagi dengan serangan lainnya, dia menyerang lawannya dengan beruntun dan tidak segan-segan lagi, sebab dia tadi telah melihat anak ini memiliki watak yang buruk sehingga Yo Him jadi mengambil keputusan untuk melukai.

Anak itu tengah mengerahkan tenaga dalamnya melancarkan serangan kepada Yo Him dan kali ini dia telah diserang begitu rupa oleh lawannya. Keruan saja ia tidak bisa menarik pulang tenaganya. Dengan mati-matian dia berusaha untuk mengelakkan diri dengan membuang dirinya ke samping.

Setelah itu dia lompat berdiri dengan cepat, tetapi Yo Him tidak memberikan napas, dia menyerang pula dengan jurus lain.

Anak itu menjadi semakin kelabakan. Kali ini ia tidak keburu berkelit lalu menangkis dengan mempergunakan tenaga Ha-mo-kang.

Diantara suara benturan yang terjadi, tampak tubuh anak itu telah terjungkal rubuh bergulingan di tanah.

Yo Him tidak melancarkan serangan lagi, karena ia melihat muka anak itu pucat dan bibirnya mengalir darah yang cukup banyak.

„Sudahlah Him-jie, tidak perlu kau mengejarnya!” kata Siauw Liong Lie ketika melihat anak itu melarikan diri.

Yo Him memang tidak ingin mengejar, dia telah menghampiri ibunya.

Mereka kemudian memilih rumah penginapan untuk mengasoh. Yo Ko meminta dua buah kamar. Mereka telah menceritakan pengalamannya, sampai jauh malam. Akhirnya mereka telah tidur.

Keesokan paginya mereka turun ke bawah loteng di mana ada rumah makan. Yo Ko telah memesan beberapa macam sayuran yang lezat, mereka juga memesan beberapa kati arak. Tampaknya mereka begitu riang karena kini mereka bisa berkumpul kembali.

Tetapi waktu mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba mata Yo Ko yang tajam telah melihat sesuatu di pintu rumah penginanapan itu.

„Tundukan kepala!” kata Yo Ko cepat dengan suara berbisik.

27.53. Musuh Lama yang Tak Terduga

Semua telah menundukkan kepala mereka, walaupun mereka tidak mengetahui apa sebabnya Sin-tiauw Tayhiap memerintahkan mereka untuk menunduk,

Kwee Siang dan Phang Kui In telah melirikan matanya, dia melihat seorang pendeta asing, seperti pendeta dari Mongolia tengah memasuki ruangan itu.

„Tiat To Hoat-ong.....!” bisik Siauw Liong Lie dengan suara yang perlahan.

Semua orang terkejut, termasuk Yo Him, Phang Kui In dan Kwee Siang, karena mereka justru telah mendengarnya bahwa musuh besar Sin-tiauw Tayhiap suami isteri adalah pendeta Mongolia itu.

Diam-diam Yo Him telah melirik juga, dilihatnya tubuh pendeta itu tinggi besar dan tegap dengan di atas kepalanya yang gundul itu terlihat sekumtum tugu yang terbuat dari emas murni. Dengan sikap yang angkuh pendeta itu telah memasuki ruangan makan itu, dia tidak mengacuhkan sekelilingnya, memilih sebuah meja dan duduk dengan berdiam diri.

Seorang pelayan telah menghampirinya.

„Ingin dahar apa, Taysu?” tanya pelayan itu.

„Plakkk!” tahu-tahu tangan pendeta itu telah menempeleng muka si pelayan. Keras sekali tamparan itu sampai kedua gigi di depan bagian atas telah copot karenanya.

Pelayan itu seperti disambar setan, dia telah memandang bengong kepada pendeta itu, sampai akhirnya dia baru meringis sambil memegangi pipinya yang sakit sekali.

„Kau...... kau......” suara pelayan itu tergagap mengandung kemarahan, karena tidak hujan tidak angin pendeta itu telah main pukul padanya.

„Kau….. kau….. apa?” bentak si pendeta. „Cepat sediakan makanan dan minuman, mengapa engkau harus banyak cerewet, bukankah setiap tamu yang masuk ke rumah makan ini untuk bersantap?”

Pelayan itu tampaknya mendongkol, takut dan marah menjadi satu, karena pendeta yang menjadi tamunya itu sangat galak sekali.

„Taysu...... tadi aku hanya menanyakan makanan apa yang menjadi selera Taysu.....,” si pelayan berusaha menjelaskan. „Tetapi......”

„Ploook! Ploookk!” keras sekali muka pelayan itu ditempeleng lagi, malah kali ini lebih keras dari yang tadi, karena begitu ditempeleng bukan hanya tiga buah giginya yang rontok, tetapi tubuhnya telah terguling di lantai.

Pelayan itu menjerit kesakitan.

„Jika kau masih rewel, maka aku tidak akan mengampunimu......!” kata pendeta itu yang tidak lain adalah Tiat To Hoat-ong.

Pelayan itu tidak berani terlalu lama berada disitu, sambil menahan sakit dan berulang kali menyahuti:

“Ya! Ya! Ya!” dia cepat cepat pergi ke belakang ruangan, ke tempat masak untuk memesan beberapa masakan yang enak-enak untuk Tiat To Hoat-ong.

Waktu sayurnya sudah matang dan selesai disiapkan, pelayan yang melayani pendeta itu pelayan yang lainnya, sedangkan pelayan yang tadi ditempiling oleh Tiat To Hoat-ong, telah bersembunyi di belakang saja tidak berani keluar.

Pelayan yang kali ini melayani Tiat To Hoat-ong juga tidak berani terlalu banyak bicara, dia telah mempersiapkan makanan di meja si pendeta.

„Kau membisu seperti itu seperti orang gagu!” bentak Tiat To Hoat-ong dengan mendongkol.

„Tidak Taysu..... aku tidak gagu.....!”

„Apa kau bilang?” bentak si pendeta.

Muka pelayan itu seketika menjadi pucat pias karena hatinya jadi ciut waktu dibentak oleh si pendeta,

„Aku memberitahukan bahwa aku bukan seorang yang gagu, Taysu.....”

„Tapi tadi, mengapa engkau berdiam diri saja seperti orang bisu?” bentak si pendeta itu lagi.

Pelayan itu jadi serba salah.

„Aku....... aku tidak bermaksud banyak rewel kepadamu Taysu.....!”

„Hmmm..... pergilah!” kata Tiat To Hoat-ong sambil mengebutkan lengan jubahnya.

Yo Ko melihat itu jadi terseyum sendirinya, ternyata pendeta itu keterlaluan sekali memperlakukan pelayan-pelayan yang lemah tidak berdaya. Dan di saat itu dendam dan sakit hati yang tersimpan di hati Siauw Liong Lie dan Yo Him jadi meledak. Bahkan Yo Ko juga tidak bisa mengendalikan perasaannya, dia meletakkan sumpitnya, dia berdiri menghampiri Tiat To Hoat-ong.

Tiat To Hoat-ong waktu itu tengah duduk menikmati santapannya dengan membelakangi Yo Ko. Maka ketika Yo Ko telah berada dekat dengannya, pendekar sakti Yo Ko telah mengulurkan tangan kanannya sambil menepuk dengan perlahan.

„Apa kabar Taysu.....?” tegurnya.

Pendeta itu tampaknya jadi terkejut, tetapi tepukan Yo Ko tidak berhasil mengenai pundak pendeta itu. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu saja Tiat To Hoat-ong tidak bisa diserang dengan cara seperti itu, dia telah menggerakkan pundaknya dan bahunya itu jadi licin seperti berlemak.

Yo Ko memang telah menduganya begitu, tidak mungkin dia bisa menyerang si pendeta itu, walaupun pendeta tersebut tengah duduk membelakanginya, maka Yo Ko bersiap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Benar saja, Tiat To Hoat-ong setelah berhasil begitu, tanpa menoleh lagi dia telah menggerakkan sumpitnya ke arah belakang. Cepat sekali sumpit itu menyambar dengan kekuatan yang mentakjubkan. Jika orang lain yang diserang dengan cara demikian, tentu biji matanya akan ditembusi sumpit. Dan juga akan membuat mereka bisa binasa jika sampai di kening. Karena sumpit itu walaupun terbuat dari kayu, tokh tenaga timpukannya sangat besar, sehingga merupakan sumpit baja yang memiliki kekuatan tidak terhingga.

Tetapi Yo Ko yang memiliki kepandaian sangat tinggi mana bisa diserang mendadak begitu? Dengan tidak merobah kedudukannya, dia telah membuka mulutnya dan „Tapp.....!” ujung sumpit telah digigitnya dengan mempergunakan giginya, sehingga sumpit tidak bisa bergerak lagi.

Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Yo Ko sangat berbahaya sekali, kalau tadi itu gagal menerima sumpit itu dengan mulutnya dan tidak sempat untuk mengigit, jelas sumpit itu akan menerobos ke lubang tenggorokan di lehernya.

Tetapi berhubung Yo Ko memang memiliki kepandaian yang sempurna, dia bisa melakukan gigitan pada sumpit itu dengan baik.

Tiat To Hoat-ong menyadari juga bahwa serangannya tidak berhasil, karena dia tidak mendengar suara kesakitan dari orang yang berada di belakangnya. Maka dia mengulurkan tangannya ke atas meja di depannya kemudian dia telah melompat berdiri memutar tubuhnya dan mengawasi dengan sorot mata yang tajam kepada orang yang mencoba membokongnya itu.

Ketika mengenali orang yang membokongnya tak lain dari pada Yo Ko, pendeta itu agak melengak sesaat, tetapi kemudian dia tertawa bergelak-gelak.

„Oh, kiranya seorang pendekar besar yang telah muncul disini? Ha, ha, ha.....! Engkau si buntung mengapa tidak hujan tidak angin telah menyerang diriku?”

Mendongkol sekali Yo Ko mendengar dirinya disebut si buntung, dia telah tertawa dingin sambil katanya dengan suara yang tawar.

„Sudah cukup lama engkau bersembunyi dari kejaranku, maka hari ini aku orang she Yo bermaksud meminta petunjukmu lagi! Keluarkanlah golok besimu itu.....!” dan nada suara Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko begitu tegas, seperti juga dia ingin mengatakan bahwa akan mempertaruhkan jiwanya untuk membinasakan Tiat To Hoat-ong.

Tiat To Hoat-ong bersikap tenang saja, dia malah tersenyum-senyum. Tetapi di dalam hatinya pendeta ini tengah diliputi ketegangan menghadapi jago nomor wahid tersebut.

„Aku tidak ingin bertempur sekarang, karena aku sedang memiliki tugas penting, maka jika engkau seorang ho-han, biarkan aku pergi dulu, nanti tiga bulan lagi kita bertemu lagi disini!”

Yo Ko tertawa dingin:

„Melepaskan engkau yang telah mencelakai isteri dan Sin-tiauwku itu.....!” kata Yo Ko dengan suara yang dingin. „Untung saja kami masih bisa saling bertemu dengan isteri dan anakku. Itulah mereka!” Sambil berkata begitu, Yo Ko telah menunjukkan ke mejanya, dimana Siauw Long Lie, Phang Kui In, Kwee Siang dan Goat Lan sedang duduk sambil bersantap sedikit-sedikit dan tenang sekali, seperti juga tidak terjadi sesuatu.

Tetapi bagi Tiat To Hoat-ong malah lain, dia jadi begitu terkejut, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan, mukanya pun berubah menjadi agak pucat. Dengan adanya Siauw Long Lie bersama Yo Ko, sulit sekali dia meloloskan diri, karena tidak ada harapan lagi baginya di tangan suami isteri yang merupakan pasangan pendekar yang memiliki nama yang sangat terkenal, bahkan Yo Ko telah diakui sebagai pendekar sakti nomor satu oleh seluruh jago-jago persilatan. Nyali si pendeta menjadi ciut.

„Jika sekarang kau merintangi aku, sama juga engkau seorang pengecut karena dikala aku tidak bersiap-siap engkau mengajak aku untuk bertempur! Jika memang kalian seorang Ho-han, lepaskan aku dulu, tiga bulan mendatang aku pasti akan datang kemari untuk bertemu dengan kalian.”

Yo Ko tersenyum mengejek, „Tidak bisa!” katanya tegas.

„Mengapa tidak bisa?”

„Aku tidak mau perduli kepada pekerjaanmu, aku juga tidak akan tahu pekerjaan apa yang sedang engkau jalankan. Tetapi yang terpenting, engkau adalah musuhku! Orang yang telah mencelakai Liong-jie, isteriku dan bahkan sampai anakku, Yo Him hampir saja binasa! Maka sekarang juga aku ingin memperhitungkan segalanya!”

Muka Tiat To Hoat-ong jadi berobah tidak enak dilihat. Walaupun di mukanya dia tidak memperlihatkan sesuatu apapun juga, namun di hatinya kebat-kebit.

Hal itu disebabkan Tiat To Hoat-ong memang mengetahuinya bahwa ilmu pedang gabungan yang dimiliki Yo Ko dan Siauw Liong Lie, yang diberi nama Giok-lie-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang sulit sekali dihadapi, karena ilmu pedang bidadari itu merupakan ilmu pedang yang seragam diantara kedua pedang, dapat bekerja sama dengan baik. Jika yang satu tengah terdesak, pedang yang satunya lagi dapat segera membantuinya.

Jika hanya menghadapi Yo Ko seorang diri, atau juga Siauw Liong Lie seorang diri, tentu Tiat To Hoat-ong tidak jeri, karena kepandaian mereka hampir berimbang. Tetapi kini kenyataan yang ada kedua-duanya berada di tempat ini. Bahkan Yo Ko tampaknya telah bernapsu sekali akan menyerang dirinya, Tiat To Hoat-ong tidak memiliki pilihan lain, karena walaupun bagaimana dia harus berani menghadapi pasangan suami isteri yang terkenal kegagahannya itu.

„Baiklah!” kata Tiat To Hoat-ong sambil memperlihatkan sikap yang angkuh. „Aku akan menghadapimu dulu, si buntung sombong.....!”

Dan setelah berkata begitu, Tiat To Hoat-ong telah mencabut golok besinya, dia membulang balingkan beberapa kali, sehingga golok yang berwarna hitam itu memantulkan cahaya yang berkilauan. Itulah semacam golok mustika yarg jarang sekali terdapat di daratan Tiong-goan.

„Ayoh mulai.....!” tantang Tiat To Hoat-ong sambil tertawa mengejek, sikapnya tenang sekali. Tetapi sesungguhnya otaknya tengah bekerja mencari jalan untuk dapat meloloskan diri dari pasangan suami isteri yang tangguh itu.

Yo Ko juga telah mencabut keluar It-thian-kiamnya, dia membulang balingkan juga pedang itu dengan tangan kiri tunggalnya. Pedang It-thian-kiam adalah pedang mustika yang baik sekali, yang memiliki bobot sangat berat, dibantu lagi oleh lweekang Yo Ko yang memang telah mencapai tingkat sempurna, sehingga menimbulkan kembali keragu-raguan Tiat To Hoat-ong.

Belasan tahun yang lalu dia pernah merasakan hebatnya Yo Ko, walaupun tangan kanannya telah buntung dan hanya memiliki tangan kiri saja. Kemudian dia berhasil menculik Siauw Liong Lie dengan mempergunakan bubuk obat tidur, sehingga ia bisa menangkap Siauw Liong Lie dan burung rajawali saktinya. Selama belasan tahun Tiat To Hoat-ong melatih diri dengan giat karena dia menghendaki supaya kepandaiannya jauh lebih tinggi dari yang sudah-sudah.

Disamping itu Tiat To Hoat-ong juga tengah sibuk mencari pembesar-pembesar negara Song yang bisa diajak bekerja sama untuk menyambut kedatangan pasukan Mongolia yang dipimpin Kubilai Khan dari dalam. Dan memang usaha Tiat To Hoat-ong berhasil memuaskan, karena dia telah melihat banyak pembesar-pembesar penting dari negara Song itu yang mengadakan kontak dengan Kubilai Khan. Hasil yang dicapai olah Tiat To Hoat-ong menggembirakan hati Khannya yang agung, dia dipuji sebagai guru negara yang banyak jasanya.

Dan kini setelah belasan tahun sibuk mengatur segala-galanya, Tiat To Hoat-ong kembali ke daratan Tiong-goan, karena dalam rencana yang telah digariskan, pasukan tentara Mongol, ia itu akan menyerbu daratan Tiong-goan dalam tahun-tahun mendatang.

Tetapi siapa tahu waktu dia berada di rumah makan, justru dia telah berpapasan dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Hatinya jadi ciut duluan.

Walaupun bagaimana Tiat To Hoat-ong memang mengakui bahwa kepandaian Yo Ko masih berada satu tingkat di atasnya, maka dia mesti berlaku hati-hati.

„Ayo mulai buka serangan.....!” seru Yo Ko menantang.

Tiat To Hoat-ong tidak segan-segan lagi, dia telah mengerahkan kekuatan tenaga lwekangnya sebanyak tujuh bagian yang disalurkan kepada golok besinya.

„Wuttt.....!” golok besi itu menyambar ke dada Yo Ko.

Tetapi Yo Ko tidak berkelit, dia menggunakan It-thian-kiam nya untuk menangkis.

„Tranggg.....!” benturan kedua senjata mustika itu terdengar keras sekali.

Tubuh Tiat To Hoat-ong tergoncang keras, dia jadi terkejut karena dalam satu gebrakan itu saja Tiat To Hoat-ong telah dapat menduga bahwa tenaga lweekang Yo Ko lebih tinggi dari dia. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan jiwanya, Tiat To Hoat-ong harus mencari usaha meloloskan diri.

Tetapi Yo Ko saat itu telah melancarkan serangan lagi dengan menggunakan salah satu jurus dari ilmu silat Giok-lie-kiam-hoat (Ilmu pedang Bidadari) yang dinamakan Bidadari menari, senjata bertebaran, pedang It-thian-kiam itu telah berkelebat-kelebat cepat sekali. Aneh benar cara menyerang Yo Ko, dalam sekejap mata telah seratus gerakan yang digunakan mengincar bagian yang mematikan di tubuh Tiat To Hoat-ong.

Tiat To Hoat-ong, walaupun sangat terdesak dan sukar mengelakkan diri, kenyataannya dia bisa juga membela diri agar tidak sampai rubuh di pedang Yo Ko.

Akibat perasaan sakit hati dan dendam, kali ini Yo Ko bertempur berlainan dari biasanya. Karena dalam pertempuran-pertempuran dimasa lalu, Yo Ko tidak begitu mendesak lawannya, namun kini berhadapan dengan Tiat To Hoat-ong justru dia bermaksud untuk secepat mungkin merubuhkan Tiat To Hoat-ong.

Lama kelamaan Tiat To Hoat-ong jadi semakin sibuk dan terdesak hebat. Karena Tiat To Hoat-ong tidak memiliki jalan lain lagi, mau atau tidak, dia harus menghadapi Yo Ko. Dengan mengeluarkan suara bentakan yang bengis mengandung kenekatan, tampak Tiat To Hoat-ong menggerakkan golok hitamnya itu, dia telah menyerang dengan jurus Setan Akherat Datang Mengisap Darah, dimana golok hitamnya itu seperti juga seekor naga hitam yang menerjang kepada Yo Ko.

Yo Ko sendiri dalam kemarahannya menghadapi musuhnya yang benar-benar hampir merusak rumah tangganya, dimana dia harus berpisah dengan Siauw Liong Lie dan puteranya, yaitu Yo Him, kali ini dia bertempur tidak berlaku segan-segan lagi. It-thian-kiam nya digerakkan dengan bertubi-tubi melakukan tikaman dan tabasan yang tidak hentinya.

Gerakan kedua orang yang tengah bertempur itu semakin lama semakin cepat dan akhirnya mereka hanya tampak merupakan dua sosok tubuh yang tengah berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, juga kedua senjata mereka setiap kali saling bentur telah menimbulkan suara „Trang. trang, trang,” tidak hentinya.

Untung saja Tiat To Hoat-ong mempergunakan golok pusaka, sehingga goloknya itu tidak sampai tertabas kutung atau semplak.

Di saat itu tampak Yo Ko telah mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali, setiap kali pedangnya meluncur menyerang Yo Ko selalu berseru:

„Awas pedang!!”

Untuk mendesak Yo Ko, Tiat To Hoat-ong tidak bisa dan tidak sanggup, karena Yo Ko justru telah mengurung diri si pendeta dengan pedangnya yang berkelebat dengan rapat sekali.

Tetapi Tiat To Hoat-ong keras hati.

„Biarlah kau mati bersama-sama dengan dia!” seru hati kecil Tiat To Hoat-ong. „Hemm, sekarang aku baru menghadapi si buntung ini, aku sudah terdesak, bagaimana jika nanti isterinya itu, Siauw Liong Lie ikut bertempur mengeroyok diriku, tentu aku akan sibuk sekali mengelakkan diri dari serangan-serangan mereka. Hemm, walaupun bagaimana aku harus berusaha untuk mencari jalan keluar meloloskan diri dari mereka.....” Dan setelah berpikir begitu, di dalam hatinya, Tiat To Hoat-ong memutar golok besinya. dia telah mengerahkannya dengan gerakan-gerakan yang sangat cepat dan menerjang kuat sekali.

Yo Ko sementara waktu harus melompat mundur mengelakkan serangan dan terjangan nekad dari lawannya ini. Tetapi begitu golok hitam itu berhasil dielakkannya, dengan mengeluarkan suara siulan yang sangat nyaring sekali tampak Yo Ko telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi ke diri si pendeta.

Sehingga kali ini Tiat Hoat-ong harus melompat mundur.

Yo Ko tidak berhenti sampai disitu saja, dengan gerakan yang manis dari jurus Bidadari mempersembahkan Arak, pedangnya itu telah menuju ke arah batang leher Tiat To Hoat-ong.

Waktu itu tampak Tiat To Hoat-ong telah terhuyung mundur dengan muka yang sangat pucat. Mati-matian dia berusaha menggerakkan golok besinya untuk menangkis.

Pedang Yo Ko memang bisa ditangkisnya dengan kuat, tetapi pedang di tangan kiri Yo Ko itu tidak bergeming sedikitpun juga, dan tidak berobah arahnya.

Bahkan golok hitamnya Tiat To Hoat-ong itu sendiri yang telah terpental dan hampir terlepas dari cekalannya, sedangkan mata pedang Yo Ko masih terus meluncur menusuk ke arah batang lehernya pendeta itu.

Tiat To Hoat-ong merasakan seperti juga semangatnya telah terbang melayang meninggalkan raganya dia juga mengeluarkan seruan tertahan.

Namun sebagai Kok-su negara yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dengan sendirinya dia tidak diliputi kegugupan saja. Dalam keadaan terdesak seperti itu dia tidak dapat berdiam diri saja, dengan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan di tanah beberapa kali, menjauhi Yo Ko.

Tiat To Hoat-ong bergerak sangat cepat sekali, tetapi gerakan Yo Ko lebih cepat lagi.

Dengan mengeluarkan suara bentakan yang bengis, Tiat To Hoat-ong jadi nekad dan telah menggerakkan pula pedang hitamnya sambil tubuhnya bergulingan. Dia menggunakan jurus Menabas Ular di Ekornya, sehingga pedang Yo Ko yang tengah menyambar datang itu telah kena ditangkisnya dengan kuat sekali.

„Tranggg.....!”

Karena Tiat To Hoat-ong memusatkan seluruh kekuatan tenaganya dipergelangan tangannya dan menyalurkan lewat golok hitamnya itu, maka benturan itu tidak merugikan apa-apa baginya.

Sedangkan Yo Ko telah menarik pulang pedangnya, kemudian dia berkata dengan suara yang tawar: „Berdirilah, aku tidak bisa membinasakan manusia yang sudah tidak berdaya.....!”

Muka Tiat To Hoat-ong menjadi berobah merah, dengan marah dia balas membentak. „Jangan sombong..... engkau belum tentu dapat merubuhkan diriku.....!” Dan sambil berkata begitu, Tiat To Hoat-ong merangkak bangun. Tiba-tiba dia mengeluarkan serangan dan tahu-tahu golok hitamnya itu telah dilemparkannya dengan cepat sekali. Itulah salah satu jurus simpanan Tiat To Hoat-ong bernama Tenggoret menubruk mangsanya.

Yo Ko juga terperanjat melihat cara menyerang lawannya yang agak aneh, dengan mata golok mengincar batang lehernya.

Sebagai seorang pendekar sakti, Yo Ko tentu saja tidak menjadi gugup. Dengan cepat pedangnya diputar, dan pergelangan tangan kanan jubahnya yang kosong itu telah dikebutkan.

Kemudian lengan jubahnya yang dikebutkan itu telah melibat batang golok lawan, dan pedangnya meluncur terus dengan cepat sekali. Gerakan yang terjadi itu semuanya berlangsung sangat cepat sekali, sehingga Tiat To Hoat-ong sendiri seperti tertegun. Tetapi segera dia tersadar, karena saat itu justru mata pedang Yo Ko tengah menyambar secepat kilat ke arah dadanya.

Dengan mengeluarkan seruan tertahan, tampak Tiat To Hoat-ong mengeluarkan lweekangnya untuk menarik terlepas goloknya dari libatan lengan baju Yo Ko. Tetapi usahanya itu gagal, sedangkan Pedang Yo Ko terus menyambar ke diri Tiat To Hoat-ong. Tidak ada pikiran lainnya lagi bagi Tiat To Hoat-ong selain melepaskan goloknya, karena jika tidak, dia tentu akan menerima bahaya yang tidak kecil. Sambil melepaskan cekalan tangannya pada goloknya itu. Tiat To Hoat-ong melompat ke belakang, dia telah menjauhi Yo Ko dengan mengorbankan goloknya itu.

Yo Ko tidak melanjutkan serangannya itu dan tertawa sinis.

„Apakah sekarang engkau menyerah?” tanyanya. „Kalau kau mau meminta maaf tentu kami bersedia memaafkan kesalahanmu asal kau berjanji tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lagi.”

Muka Tiat To Hoat-ong jadi berubah merah padam, karena selain mendongkol sekali dirinya dihina, juga dia marah bukan main goloknya sampai terlepas dari tangannya hanya akibat gulungan lengan jubah Yo Ko.

„Hemm..... sekarang belum tentu engkau bisa merubuhkan diriku..... kembalikan golokku itu dan kita main-main lagi seribu jurus.....!” kata Tiat To Hoat-ong.

Yo Ko tertawa dingin.

„Dulu adik seperguruanmu Kim Lun Hoat-ong telah terbinasa karena dirinya terlalu membela kerajaan Mongolia sehingga dengan akal liciknya beberapa kali telah mencelakai orang-orang Han kami. Dia menemui ajalnya dengan cara yang pantas karena kesalahan dan dosa Kim Lun Hoat-ong telah luber melewati takaran! Dan kini engkau..... jika engkau masih tidak mengenal selatan, itu terserah kepadamu..... nah terimalah golokmu.....!” Sambil berkata dingin, Yo Ko mengebutkan lengan kanannya yang kosong itu, golok menyambar ke arah Tiat To Hoat-ong dengan membawa kesiuran angin yang keras sekali, sehingga membuat Tiat To Hoat-ong jadi terkejut.

Tetapi sebagai seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi, Tiat To Hoat-ong tidak gugup. Dengan mengeluarkan suara „Ughh!” tampak Tiat To Hoat-ong menggerakkan tangan kanannya, dan „Tap!” goloknya telah dapat diraihnya, hanya dia merasakan tangannya kesemutan, karena tenaga samberan itu meluncur sangat kuat sekali.

Tubuh Tiat To Hoat-ong juga terhuyung mundur beberapa langkah. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan lweekang Yo Ko masih berada di atasnya. Hati pendeta ini jadi ciut, karena dia menyadari menghadapi Yo Ko seorang saja belum tentu dia bisa mengatasinya, apalagi jika memang nanti Siauw Liong Lie ikut campur turun tangan, tentu dia lebih repot lagi.

Tetapi belum sempat pendeta itu berkata apa-apa, Yo Ko telah berkata: „Hayo kita mulai lagi.....?”

Tiat To Hoat-ong tidak memiliki pilihan lainnya, dia telah mengeluarkan suara seruan yang sangat keras dan tampak goloknya berkelebat-kelebat dengan cepat sekali serta kuat. Beruntun dia mengeluarkan jurus-jurusnya cukup ampuh yaitu Kelabang Mencari Mangsa, kemudian di susul dengan jurus Kuda Putih Melompati Bukit.

Kedua serangan itu menyambar datang dengan cara yang beruntun, sehingga Yo Ko untuk sementara walaupun menghadapi serangan Tiat To Hoat-ong dengan ginkangnya. Tetapi waktu pendeta itu ingin menyusulkan lagi dengan jurus yang ketiga, tampak Yo Ko mengeluarkan suara seruan yang sangat nyaring sekali dan pedangnya itu telah berkelebat dengan jurus Bidadari Berkawan Dengan Naga, maka pedang It-thian-kiam nya itu bergerak dengan cepat sekali menangkis golok hitam Tiat To Hoat-ong

„Tranggg…..!” Suara benturan itu sangat keras sekali dan mengandung dua kekuatan yang saling tindih.

Tiat To Hoat-ong juga merasakan betapa telapak tangannya itu pedih sekali, mendatangkan perasaan sakit, maka diam-diam dia mengakui bahwa lweekang yang dimiliki Yo Ko masih berada setingkat di atas dirinya.

Sedangkan saat itu, dengan mengeluarkan siulan nyaring, Yo Ko telah meneruskan serangannya dengan jurus Bidadari Bergurau Dengan Kelinci, di mana pedangnya telah menyambar lebih cepat dari semula.

Perasaan sakit pada telapak tangannya Tiat To Hoat-ong masih pedih sekali, tetapi dia telah mempertahankan diri dan menahan perasaan sakit itu dengan memegang keras gagang goloknya. Namun sekarang Tiat To Hoat-ong tidak berani menangkis dengan goloknya dia hanya mengandalkan ginkangnya untuk mengelakkan diri dari serangan pedang Yo Ko.

Suara berkesiuran dari pedang Yo Ko keras sekali, sehingga membuat Tiat To Hoat-ong semakin lama semakin terdesak dan semakin ripuh, karena walaupun bagaimana dia sekarang tengah menghadapi lawan yang sangat berat, seorang pendekar sakti yang jarang tandingannya.

Yo Ko juga menyadari, jika ia memberikan kesempatan kepada lawannya berdapat, tentu akan sulit lagi mendesak lawannya ini.

Tetapi suatu kali, karena pedang Yo Ko menyambar dengan gerakan Bidadari Bergurau Di pelangi, di mana pedang Yo Ko telah berkelebat dengan cepat sekali seperti juga sinar pedang itu menjadi pelangi yang menyilaukan mata menyambar ke arah kepala lawannya.

Tiat To Hoat-ong jadi kikuk sendirinya. Tidak mungkin dia meloloskan diri lagi, dengan mengelakan diri dari serangan tersebut. Jalan mundur baginya telah tertutup oleh kilauan cahaya pedang Yo Ko. Terpaksa Tiat To Hoat-ong mengangkat goloknya untuk menangkis.

„Tranggg.....!” kali ini suara benturan dari kedua senjata tajam itu lebih nyaring lagi.

Dalam keadaan itu, Tiat To Hoat-ong tidak membuang-buang kesempatan yang ada, dia telah membarengi lagi dengan bacokan ke arah perut Yo Ko, memaksa Yo Ko mundur dua langkah ke belakang. Kesempatan itulah telah dipergunakan..... Tiat To Hoat-ong untuk melompat mundur dengan cepat, dia memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan rumah makan ini.

Yo Ko tidak mengejarnya, dia hanya memperdengarkan suara dengusan saja.

Di saat itu. tampak Yo Ko telah memasukkan pedangnya kembali dalam sarungnya.

„Sungguh pengecut.....” menggumam Siauw Liong Lie dengan tersenyum ketika suaminya telah kembali ke meja mereka dan bersantap.

Mereka mengasoh tiga hari di rumah penginapan tersebut, dan hari keempat sebetulnya mereka ingin melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi di malam yang ketiga itulah terjadi sesuatu peristiwa yang tidak pernah mereka duga.

Malam itu menjelang tengah malam yang larut, Yo Ko dan yang lainnya telah tertidur nyenyak sekali. Tetapi menjelang kentongan ketika mereka mendengar suara berkelisik di atas genting walaupun bunyi itu perlahan, bagi Yo Ko yang telah mencapai kesempurnaan ilmunya, dia dapat menduganya bahwa orang yang datang itu tentunya ingin menyelidiki sesuatu.

Suara langkah perlahan yang semula itu telah disusul pula dengan langkah kaki lainnya. Gerakan orang-orang itu ringan sekali membuktikan bahwa mereka memang memiliki kepandaian yang telah sempurna.

„Siapa mereka?” berpikir Yo Ko di dalam hatinya. Dia melirik kepada Yo Him dan Phang Kui In yang telah tertidur nyenyak. Yo Ko tidak bermaksud mengganggu kenyenyakan tidur mereka. Diam-diam Yo Ko melompat turun dari pembaringannya, dia telah menghampiri jendela kamar, dibukanya dan dia melompat keluar dengan ringan sekali.

Ketika dia tiba di luar kamarnya, dia tidak melihat seorang manusiapun juga. Yo Ko memandang sekelilingnya, tetap dia tidak melihat seorang manusiapun juga. Diam-diam Yo Ko jadi berpikir, mungkinkah dia salah mendengar dari suara tadi, yang hanya jatuhnya daun kering belaka?

Yo Ko melompat naik ke atas genting, dia ingin memandang ke sekelilingnya dari tempat yang cukup tinggi. Tetapi waktu tubuh Yo Ko melambung di tengah udara, belum lagi kedua kakinya menginjak genting, dirasakannya telah menyambar segumpalan angin yang sangat kuat. Disamping itu Yo Ko mencium juga bau harum memeningkan kepalanya.

Yo Ko terkejut, dia telah mendengar cerita Siauw Liong Lie bahwa Tiat To Hoat-ong memiliki semacam tabung asap, yang jika di semburkan kepada korbannya, maka korbannya akan lemas tidak bertenaga dan terkulai pingsan. Teringat itu, Yo Ko cepat-cepat menutup pernapasannya, dia telah mengerahkan lweekangnya untuk mempertahankan diri dan semburan asap itu, yang tentunya semacam asap beracun. Lengan kanannya yang kosong tidak bertangan itu telah dikebutkannya, sehingga asap terbawa oleh ingin keras itu membuyar kembali.

Waktu itu Yo Ko telah mengeluarkan suara siulan dan tubuhnya hinggap di atas genteng membarengi mana ketika kakinya hinggap di atas genting, dia menggerakkan tangannya, mengebut pula dengan lengan jubah kanannya itu yang melambai-lambai karena tidak berlengan. Tetapi walaupun demikian, kebutan yang dilakukan oleh Yo Ko itu mengandung tenaga lwekang yang luar biasa kuatnya.

Serangan lawan rupanya tidak hanya sampai disitu saja, karena beruntun telah menyambar lagi asap yang harum itu.

Yo Ko memang telah sempurna melatih tenaga lweekangnya, maka dia dapat menutup jalan pernapasannya untuk menghindarkan diri dari segala pengaruh racun berasap itu. Mata Yo Ko yang jeli telah dapat melihatnya bahwa di atas genting itu berdiri enam orang, yang salah seorang diantaranya dikenal Yo Ko sebagai Tiat To Hoat-ong.

„Hemmmm..... engkau kembali lagi ingin mencari kematian,” tegur Yo Ko dengan suara yang bengis, karena dia jadi mendongkol.

Tiga hari yang lalu dia memberikan pengampunan kepada Tiat To Hoat-ong, tetapi ternyata justru pendeta ini telah menyatroni dia lagi dengan membawa lima orang sahabatnya. Jika dilihat dari keadaan mereka, tentu kelima kawan Tiat To Hoat-ong merupakan jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi.

Diantara kelima orang itu terdapat Telengki dan Turkichi, kedua jago yang dulu bersama-sama Tiat To Hoat-ong memusnahkan murid-murid Kun-lun-pai.

Tiat To Hoat-ong melihat bahwa semburan asap beracunnya itu (yang kini dikenal sebagai Chroloform) tidak memberikan hasil seperti yang diharapkannya, telah mengeluarkan suara bentakan:

„Serang.....!” Dan golok hitam dari pendeta itu telah menyerang Yo Ko dengan samberan yang kuat sekali.

27.54. Komplotan Pendeta Mongolia Ketemu Batu

Tampak Yo Ko melayani mereka dengan mencabut pedangnya, dia memutarnya dengan cepat sehingga terdengar suara, „trangggg, tranggg, tranggg.....” beberapa kali, disertai dengan seruan tertahan dari lawan-lawannya itu.

Tetapi Tiat To Hoat-ong dengan kelima kawannya juga bukan orang-orang lemah. Jika tadi siang Tiat To Hoat-ong berhasil dirubuhkan oleh Yo Ko, karena dia tengah gugup melihat di tempat itu ada Siauw Liong Lie, dan perasaan gugupnya itu membuat permainannya jadi terpecah. Sekarang setelah datang bersama kelima orang kawannya yang masing-masing memiliki kepandaian sangat tinggi, dia jadi mantap dan hatinya jauh lebih tenang, maka dari itu Tiat To Hoat-ong bisa melakukan perlawanan dengan gigih.

Suara senjata tajam yang saling bentur itu, sehingga mengeluarkan suara „trang, trang” tidak hentinya telah membuat Siauw Liong Lie terbangun dari tidurnya. Begitu pun Kwee Siang, Phang Kui In dan Yo Him juga telah terbangun dan tidurnya

Cepat sekali Siauw Liong Lie dan lain lainnya keluar dari kamar mereka dan melompat ke atas genteng. Segera mereka melihat bahwa Yo Ko tengah dikepung oleh lawan-lawannya yang berjumlah enam orang. Siauw Liong Lie juga mengenalinya dua orang diantara orang-orang yang mengeroyok suaminya itu tidak lain dari Talengki dan Turkichi, dua orang yang dulu bersama-sama dengan Tiat To Hoat-ong telah mendesaknya, sehingga dia menerjunkan dirinya ke dalam jurang.

Seketika itu juga amarah Siauw Liong Lie tidak bisa ditahan lagi, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras:

„Ko-jie, mundurlah, biarlah sekarang aku yang menghadapi mereka.....!”

„Tetapi Liong-jie, tidakkah lebih baik jika kita mengepung mereka dengan mempergunakan Giok-lie-kiam-hoat?” kata Yo Ko.

„Aku ingin mencoba khasiat dari ilmu pukulanku yang baru kuperoleh.....!!” dan setelah berkata begitu, tampak Siauw Liong Lie melompat ke samping Yo Ko, lalu tangan kanannya itu digerakkan menghantam dengan kuat sekali, sehingga angin serangan itu berkesiuran dengan keras menyambar kepada Tiat To Hoat-ong dan Turkichi. Gerakan dan serangan yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie bukan serangan yang sembarangan, karena dia telah mempergunakan ilmu pukulan ‘Pek-lui-kun-hoat’ atau ilmu pukulan petir.

Tiat To Hoat-ong dan Turkichi yang diserang dengan mempergunakan ilmu pukulan petir itu, jadi terkejut bukan main. Walaupun mereka berhasil mengelakkan diri, tetapi mereka masih merasakan ada hawa panas yang menyeramkan pada tubuh mereka.

„Hebat perempuan siluman ini..... ternyata dia tidak hanya memiliki nama kosong saja..... karena dia memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali.” Karena berpikir begitu, tampak Tiat To Hoat-ong berlaku lebih hati-hati lagi. Sedangkan mulutnya telah berteriak:

„Hati-hati, siluman ini hebat sekali ilmunya.....” teriakan yang dilakukannya oleh Tiat To Hoat-ong itu ditujukan kepada kawan-kawannya, karena Tiat To Hoat-ong yang kuatir kawan-kawannya itu tidak mengetahui kelihayan Siauw Liong Lie, main semberono saja sehingga bisa mencelakai mereka.

Yo Ko telah melompat mundur ke samping Yo Him, dia memang ingin menyaksikan betapa tinggi kepandaian ilmu pukulan petir yang dimiliki istrinya ini.

Siauw Liong Lie tidak menunda-nunda waktu lagi. Dengan mengeluarkan seruan yang nyaring sekali, dia menggerakkan tangan kanannya, dari telapak tangannya itu telah menyambar angin serangan yang luar biasa kuatnya, karena Siauw Liong Lie telah melancarkan serangan dengan mempergunakan jurus Petir menyambar Harimau, yang kemudian disusul dengan Petir Bergelimang Di laut, gerakan mana sangat hebat, karena panas seperti api petir, dan tangannya bergelombang seperti gelombang air laut, sehingga kepandaian yang telah diperlihatkan oleh Siauw Liong Lie mengejutkan semua orang.

Yo Ko sendiri telah menyaksikan betapa istrinya kini memiliki kepandaian yang mungkin lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri. Dengan sendirinya Yo Ko jadi berdiri tertegun menyaksikan pertempuran yang tengah berlangsung itu.

Siauw Liong Lie mengeluarkan jurus-jurus dari ilmu Pukulan Petir yang dimilikinya itu secara teratur, yaitu sejurus demi sejurus dijalankannya dengan baik sekali.

Terlebih lagi memang sebelumnya Siauw Liong Lie merupakan seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tertinggi dibandingkan dengan kepandaian para pendekar wanita lainnya yang ada di jaman ini. Sampai Kwee Siang sendiri merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pukulan yang dimiliki Siauw Liong Lie. Di jaman ini mungkin sudah tidak ada orang yang bisa menandingi Siauw Liong Lie, karena jika ditilik dari kepandaian yang dimilikinya itu, mungkin Oey Yong pun masih berada di bawahnya.

Siauw Goat Lan sendiri berulang kali telah bersorak-sorak girang.

„Hajar mereka itu semuanya, suhu!” teriak Siauw Goat Lan dengan suara yang nyaring, tampaknya dia senang sekali melihat gurunya menang di atas angin, sehingga berulang kali dia telah berteriak-teriak dengan suaranya yang nyaring sekali.

Tiat To Hoat-ong dan kelima kawannya jadi terkejut, karena mereka tidak menyangka baru belasan tahun mereka berpisah dengan Siauw Liong Lie, yang semula mereka sangka telah mati terbanting di dasar jurang itu, kini ternyata Siauw Liong Lie, telah mencapai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dahulu. Tetapi sebagai tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak pernah mengenal arti kata ‘menyerah’, mati-matian mereka mengepung dengan ketat sekali.

Walaupun telah memperoleh kepandaian ilmu pukulan ‘Petir’ itu, tetapi menghadapi sekaligus enam orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu saja Siauw Liong Lie tidak bisa memperoleh kemenangan dalam waktu yang sangat singkat saja.

Karena teringat beberapa waktu yang lalu justru di saat anaknya baru berusia empatpuluh hari lebih, dia telah dikepung Tiat To Hoat-ong, Turkichie dan Talengkie, membuat dia terpisah dari suami dan anaknya. Hal itu membuat hawa amarah yang timbul di hati Siauw Liong Lie jadi semakin berkobar. Pendekar wanita tersebut melakukan pukulan-pukulan jarak jauh yang lebih kuat lagi kepada Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya, sehingga udara di sekitar gelanggang pertempuran itu terasa sangat panas sekali.

Berulang kali Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya berusaha untuk mendesak Siauw Liong Lie, tetapi mereka tidak berdaya sama sekali. Bahkan biarpun mereka berjumlah enam orang, kenyataannya tetap saja mereka berada di bawah angin dan selalu terdesak oleh pukulan-pukulan petir yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie.

Siauw Goat Lan telah mengeluarkan suara seruan-seruan girang sambil bertepuk-tepuk tangan tidak hentinya, untuk mengacaukan perhatian Tiat To Hoat-ong berenam.

Yo Ko terus memperhatikan cara menyerang Siauw Liong Lie. Di hatinya diam diam dia telah menuji akan kehebatan pukulan petir istrinya yang diperolehnya dari warisan Bu Beng Kun-hiap Tang Cia Sie.

„Ilmu pukulan petir yang sekarang dimilikie Liong-jie memang benar-benar merupakan ilmu yang langka. Jika memang Liong-jie berlatih diri dengan tekun beberapa saat lagi, tentu kelemahan-kelemahan yang ada pada ilmu itu akan berkurang dan tertutup.....!” pikir Yo Ko di dalam hatinya.

Waktu itu Tiat To Hoat-ong dengan meraung keras menggerakkan goloknya ke arah leher Siauw Liong Lie. Tetapi justru yang dihadapinya itu adalah Siauw Liong Lie, pendekar wanita nomor wahid jaman itu.

Dengan mudah Siauw Liong Lie dapat mengelakkan diri dari serangan-serangan lawannya, dan waktu Tiat To Hoat-ong melompat mundur menghindarkan diri dari serangan Siauw Liong Lie, di saat itulah telah dipergunakan oleh Siauw Liong Lie dengan cepat sekali.

„Bukkk!” salah seorang lawannya yang memelihara jenggot tipis telah terpental dan ambruk di atas genting sehingga memecahkan genteng itu, tubuhnya menggelinding jatuh ke tanah dan binasa!

Tiat To Hoat-ong, Turkichi, Talengki dan kedua kawan Tiat To Hoat-ong jadi berdiri tertegun sejenak lamanya. Mereka tampaknya terkejut bercampur marah melihat kawan mereka telah terbinasa. Tetapi disamping itu juga di hati mereka muncul perasaan takut.

Rupanya Siauw Liong Lie juga telah habis sabar, dengan gerakan Harimau mengaum memanggil petir, cepat sekali kedua tangannya itu bergerak-gerak, terdengar suara berkerontangan.

Ternyata senjata Tiat To Hoat-ong dan keempat orang kawannya telah berhasil direbut oleh Siauw Liong Lie dalam segebrakan, lalu Siauw Liong Lie telah melemparkan senjata lawan-lawannya itu ke bawah.

Tiat To Hoat-ong berobah mukanya menjadi merah padam, dan dia telah membentak,

„Kembalikan senjata kami!”

Siauw Liong Lie mengeluarkan suara tertawa dingin, sahutnya:

„Bukankah tadi kalian melihat senjata kalian telah kubuang ke bawah? Jika kalian menghendakinya pergilah kalian mengambilnya sendiri!” dan setelah berkata begitu, tampak Siauw Liong Lie mengeluarkan suara tertawa dingin yang sinis.

„Hemm, engkau memang siluman wanita yang tidak tahu diri..... kami tidak akan menyerah, kalau tubuh kami belum menjadi mayat, engkau jangan bersenang-senang dulu.” Dan selesai berkata, dia merogoh saku jubahnya, tahu-tahu pendeta Mongolia ini mengeluarkan sesuatu dari sakunya,

Waktu melihat benda itu, Siauw Liong Lie terkejut juga, karena segera dia mengenalinya bahwa benda adalah benda yang bisa menyemburkan asap yang bisa memusingkan dan membuat seseorang menjadi pingsan karenanya.

Tiat To Hoat-ong tidak memberikan kesempatan kepada Siauw Liong Lie, karena dia telah menyemprotkannya dengan cepat,

„Seeerrr..... seerrr.....!” suara air tabung itu muncrat keluar menyambar ke muka Siauw Liong Lie.

Tetapi kali ini Siauw Liong Lie telah menutup pernapasannya, karena itu asap semburan dari senjata aneh Tiat To Hoat-ong tidak berhasil mengenai sasarannya.

Tampak Tiat To Hoat-ong berulang kali telah melancarkan semburan yang tidak hentinya.

Siauw Liong Lie bergerak ke kiri dan ke kanan mengelakkan diri dari semburan-semburan tabung gas itu.

Yo Ko yang menyaksikan hal itu jadi terkejut juga, karena kalau sampai Siauw Liong Lie pingsan karena obat tidur itu, tentu jiwa isterinya terancam bahaya yang tidak kecil.

Siauw Liong Lie telah melompat tinggi ke tengah udara, dan waktu tubuhnya itu meluncur turun, kedua tangannya tergerak dengan serentak akan menghantam batok kepala Tiat To Hoat-ong berdua dengan Talengki.

Gerakan yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie itu merupakah jurus ‘Sin-tiauw-tiauw-kut’ atau Rajawali Sakti menyambar tulang, yang mengincar tulang tempurung dari Tiat To Hoat-ong.

Tiat To Hoat-ong dan Talengki yang diserang begitu hebat oleh Siauw Liong Lie, tidak berani menangkiskan, mereka melompat mundur menjauhi diri dari Siauw Liong Lie.

Melihat serangannya yang kali ini gagal, Siauw Liong Lie tidak menarik pulang tangannya, justeru begitu kakinya menginjak genting kembali, segera kedua tangannya bergerak saling susul mempergunakan jurus Rajawali Sakti menari dan Rajawali Sakti Menerkam, kedua jurus ini sangat sulit dielaki oleh lawan, karena ilmu itu hasil ciptaan dari Siauw Liong Lie bersama dengan Yo Ko, dan diberi nama Sin-tiauw-kun-hoat atau Ilmu pukulan Rajawali Sakti.

Yo Ko juga heran melihat kemajuan yang diperoleh oleh Siauw Liong Lie.

Siauw Liong Lie terus juga mendesak lawan-lawannya itu, sampai akhirnya Tiat To Hoat-ong merasa jeri untuk bertempur terus, dia telah mengeluarkan suara teriakan: „Angin keras!”

Teriakan Tiat To Hoat-ong itu dimaksudkan untuk melarikan diri. Kawannya juga mengetahui percuma saja jika mereka melanjutkan pertempuran itu.

Begitu mereka melihat Siauw Liong Lie melompat ke belakang mengelakkan serangan Tiat To Hoat-ong, maka kawan-kawan Tiat To Hoat-ong telah melompat turun mengambil senjatanya, begitu juga Tiat To Hoat-ong, dengan menahan perasaan malu dia harus melarikan diri, karena di saat itu Tiat To Hoat-ong yakin bahwa dia bersama-sama kawannya tidak mungkin dapat menandingi Siauw Liong Lie.

Dengan melupakan malu dan martabat dirinya, dia telah berusaha melarikan diri. Waktu dia mengambil goloknya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya telah menyambar mayat kawannya yang sudah binasa.

Dalam waktu itu yang singkat, keadaan di tempat itu menjadi sepi kembali.

Tamu-tamu yang berada di rumah penginapan itu bukan tidak mengetahui terjadinya keributan seperti itu, tetapi mereka menduga bahwa ada kawanan rampok yang tengah menyatroni salah seorang tamu di rumah makan itu. Mereka anggap paling selamat jika tidak memperlihatkan diri keluar dari kamar mereka dan berdiam diri di bawah selimut saja.

Yo Ko telah menghampiri Siauw Liong Lie.

„Hebat sekali kemajuan yang engkau peroleh Liong-jie.....!” pujinya.

„Ibu, nanti ajarkan aku ilmu itu…..!” kata Yo Him dengan manja.

Sang ibu mengusap kepala anaknya, dia terus berkata,

„Tentu saja anakku, asal engkau rajin-rajin belajar dan melatih diri, tentu kau juga akan memiliki kepandaian setinggi ini!”

Rupanya Goat Lan juga tidak mau ketinggalan, dia pun berkata:

„Suhu, aku juga ingin sekali mempelajari ilmu seperti itu.....” katanya.

„Tentu saja muridku..... engkau akan bersama-sama Him-jie melatih diri, kini engkau memiliki sahabat untuk melatih diri.”

Yo Him dan Goat Lan telah menjura memberi hormat kepada Siauw Liong Lie, hati kedua remaja ini girang bukan main. Mereka memang tertarik sekali untuk mempelajari ilmu silat yang dimiliki oleh Siauw Liong Lie.

Saat itu Phang Kui In telah menghampiri dan merangkapkan kedua tangannya, bilangnya:

„Aku Phang Kui In mengucapkan syukur kepada kalian, selain telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dan sempurna juga kalian telah berkumpul kembali.”

„Phang Toako, engkau terlalu memuji..... sesungguhnya kami tidak memiliki kepandaian apa-apa, tadi hanya kebetulan aku bisa merubuhkan lawan-lawanku.....!”

„Sekarang jika Sin-tiauw Tayhiap dengan Siauw Liehiap bergabung, mungkin di dunia ini sudah tidak ada yang bisa, menandingi lagi,” Puji Phang Kui In tanpa memperdulikan sikap merendahkan diri dari Siauw Liong Lie.

Siauw Liong Lie menghela napas panjang-panjang.

„Apa sih itu yang dinamakan tinggi dan tidak tertandingkan? Semuanya hanya omong kosong saja! Di atas orang yang tinggi masih ada orang yang lebih pandai..... Di atas puncak gunung yang tinggi tentu ada pula puncak gunung yang jauh lebih tinggi..... maka tidak bisa seseorang itu selalu menganggap dirinya yang tertinggi kepandaiannya dari yang lainnya dengan sendirinya orang itu tidak akan mengalami kemajuan apa-apa lagi.....”

Muka Phang Kui In jadi berobah merah.

„Benar apa yang dikatakan oleh Liehiap, memang kita sebagai manusia tidak boleh sombong! Terima kasih atas nasihat berharga yang diberikan oleh Liehiap!” dan setelah berkata demikian, Phang Kui In telah memberi hormat lagi.

Siauw Liong Lie cepat-cepat menyingkir untuk menolak penghormatan dari orang she Phang tersebut.

Setelah bercakap-cakap sejenak lamanya lagi, barulah mereka berpisah untuk kembali ke kamarnya masing-masing. Malam itu Yo Ko tidur nyenyak sekali, begitu juga dengan yang lainnya. Saat itu, malam telah lewat tanpa terjadi sesuatu apa-apa lagi.

Keesokan harinya, di hari keempat Yo Ko mengajak Phang Kui In dan yang lainnya untuk melakukan perjalanan pula.

„Kita harus menemui para orang-orang gagah untuk merundingkan cara bagaimana mereka harus berusaha membantu pihak negara mempertahankan tanah air dari serangan tentara musuh, yaitu Kubilai Khan, yang kabarnya dalam tahun ini akan melancarkan gempuran secara besar-besaran. Terlebih lagi Kubilai Khan seorang pemimpin orang-orang Mongol yang bekerja dengan mempergunakan otak, maka kami kuatir justru sekarang ini Kerajaan Song sulit untuk dipertahankan.....!”

„Kita harus menggalang persahabat dan kekuatan nanti baru kita bicarakan dengan para orang gagah, rencana manakah yang hendak mereka jalankan.”

„Dimanakah para pendekar gagah itu akan berkumpul?” tanya Siauw Liong Lie.

„Kami berjanji akan bertemu di gunung Hoa-san, juga kita harus menyelidiki siapakah yang telah menggali dan membongkar kuburan Auwyang Hong. Disamping itu, kita pun harus menyelidiki siapakah sebenarnya anak kecil yang mengaku sebagai anaknya Auwyang Peh-peh (paman Auwyang) itu, yang datang ke kuburan Auwyang Hong bersama seorang wanita setengah baya. Semua itu masih merupakan teka-teki yang belum juga terjawab sampai sekarang ini.”

Siauw Liong Lie mengangguk.

„Aku juga heran sekali akan hal ini, tetapi Ko-jie, apakah selama enambelas tahun ini engkau masih belum berhasil menyelidikinya?”

Yo Ko menggeleng.

„Belum..... semuanya masih merupakan teka-teki belaka. Aku baru bertemu dengan anak lelaki yang waktu dulu itu bertemu di gunung Hoa-san dan mengaku sebagai anaknya Auwyang Peh-peh. Kini dia telah dewasa dan menjadi pemuda yang tegap.....”

Siauw Liong Lie menghela napas.

„Lalu bagaimana dengan surat yang dipalsukan yang pernah dikirimkan kepada kita dan jago-jago lainnya?” tanya Siauw Liong Lie lagi.

„Itupun masih merupakan tanda tanya juga, karena sampai detik ini belum lagi diketahui siapakah yang telah berbuat seperti itu. Tetapi keras dugaan kami, juga pendapat It-teng Taysu, bahwa surat pemalsuan itu di lakukan oleh orang-orang Mongolia dibantu oleh beberapa penghianat dalam negeri. Tujuannya hendak mengadu domba diantara para jago-jago di dataran Tiong-goan. Untung saja kami selalu berlaku waspada, sehingga usaha mereka gagal.”

„Apakah tidak mungkin semua itu dilakukan oleh Tiat To Hoat-ong bersama anak buahnya, yaitu mengadu domba diantara sesama jago-jago dataran Tiong-goan, dan kelak jika mereka tidak perlu menghadapi rintangan yang berarti lagi.....”

„Tepat! Aku juga berpikir begitu.”

Siauw Liong Lie menghela napas lagi.

„Sayang sekali, di saat negeri tengah kacau dan terancam seperti ini, Kaisar kita hanya berfoya-foya dengan pesta-pesta yang mentereng sekali di sekelilingnya wanita-wanita cantik, melupakan pemerintahnya yang tengah terancam kehancuran!”

„Ya, disitulah letak kesalahan dari raja kita!” membenarkan Yo Ko. „Tetapi kita bukan membela raja itu, tetapi kita berjuang untuk kepentingan tanah air kita, kita harus mencegah walaupun harus mengorbankan jiwa dan tenaga, demi kepentingan negara kita jangan sampai diinjak-injak oleh kaum penjajah itu!”

Siauw Liong Lie mengangguk.

„Ya, yang kita bela bukan kaisar yang tidak memiliki tanggung jawab, tetapi kita berjuang untuk kepentingan semua rakyat di negeri kita ini. jangan sampai kita dijajah oleh Mongolia itu.....!”

„Kapan kita berangkat, Yo Tayhiap?” tanya Phang Kui In.

„Hari ini juga kita harus menuju ke Hoa-san. Mungkin para orang-orang gagah yang dihubungi olehku telah berkumpul disana..... Dari tempat ini menuju ke Hoa-san mungkin memakan waktu empat bulan.....!”

Begitulah, akhirnya mereka telah mempersiapkan barang-barang yang perlu mereka bawa.

Hari itu juga mereka berangkat menuju Hoa-san.

Y

Gunung Hoa-san merupakan gunung yang paling seringkali menampung pertemuan dari jago-jago di daerah Tiong-goan. Karena gunung tersebut pernah dijadikan tempat pertemuan dari jago-jago luar biasa, dimana pernah diadakan pertemuan Hoa-san Lun-kiam. Dan jago-jago luar biasa dijaman itu telah mengadu kepandaian, jago-jago yang termasuk dalam pertemuan itu adalah Oey Yok Su, Ang Cit Kong, Auwyang Hong, Ong Tiong Yang dan It-teng Taysu. Pertempuran yang terjadi di saat itu merupakan pertempuran yang paling hebat dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran lainnya.

Dan sekarang justru Yo Ko telah menghimpun para jago-jago berkumpul di Hoa-san juga guna mengadakan Hoa-san Tay-hwee atau pertemuan besar di Hoa-san.

Sepanjang perjalanan Yo Ko dan kawan-kawannya melihat telah banyak tentara Mongolia yang berkeliaran di pinggiran perbatasan. Bahkan Yo Ko seringkali menyaksikan penduduk yang lemah sering kali disiksa oleh tentara-tentara Mongolia itu, sehingga membangkitkan kemarahan di hati Yo Ko dan yang lain-lainnya. Sering Yo Ko turun tangan membela yang lemah dan membuat tentara Mongolia yang apes nasibnya karena harus bertemu dengan jago sakti seperti Yo Ko, Siauw Liong Lie dan yang lainnya, jadi babak belur.

Selama dalam perjalanan itu, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tidak hentinya mendidik Yo Him, anaknya. Yo Ko dan isterinya telah menurunkan seluruh kepandaian mereka. Walaupun dalam waktu hanya empat bulan itu Yo Him tidak bisa mempelajari semua ilmu yang diajarkan kepadanya, namun Yo Him telah berhasil menjadi seorang jago yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Jika lawannnya itu hanya seorang jagoan biasa dan tanggung-tanggung, jangan harap bisa menandingi kepandaian Yo Him.

Kwee Siang dan Phang Kui In sendiri sering menceritakan kepada Yo Ko dan Siauw Liong Lie, betapa kepandaian mereka berdua juga tidak bisa menandingi Yo Him. Diceritakan juga bagaimana Yo Him telah berguru kepada Lie Bun Hap, orang yang berkaki buntung dan menjadi pemilik dari pulau kecil itu.

Memang keadaan Yo Him seperti itu telah menggembirakan hati mereka. Penderitaan selama belasan tahun yang lalu mereka rasakan seperti lenyap diganti dengan kegembiraan yang sekarang mereka peroleh karena telah berkumpul kembali.

Waktu tiba di kaki gunung Hoa-san, mereka beristirahat dulu dengan menyewa di rumah penduduk, kamar yang mereka butuhkan.

Selama sehari itu, Siauw Liong Lie telah memberikan pelajaran pukulan ‘Petir’ yang dimilikinya, sehingga kepandaian Yo Him kian tinggi lagi. Yang kurang hanyalah pengalaman bertempurnya saja serta latihannya.

Yo Him juga merasakan kemajuan yang telah didapatnya, karena dari Yo Ko, ayah kandungnya telah diterima bermacam-macam kepandaian dan dari Siauw Liong Lie dia juga menerima ilmu yang hebat-hebat. Dengan gabungan kepandaian yang diturunkan oleh Yo Ko, Siauw Liong Lie dan Lie Bun Hap, membuat Yo Him benar-benar menjadi seorang jago muda yang jarang ada tandingannya. Walaupun usianya masih muda sekali, tetapi kepandaiannya melebihi orang yang berlatih diri dua atau tigapuluh tahun.

Kemajuan yang diperoleh Yo Him juga menggembirakan hati Phang Kui In dan Kwee Siang serta Goat Lan.

Kepandaian yang dimiliki Siauw Goat Lan juga tidak lemah, karena sejak kecil dia telah dididik sungguh-sungguh oleh Siauw Liong Lie. Tetapi ada suatu keanehan yang cukup menyolok pada diri Siauw Goat Lan, karena dia selalu senang memakai baju warna kuning, sehingga hal itu sering membuat Siauw Liong Lie menertawakan padanya. Tetapi Siauw Goat Lan tetap senang memakai baju warna kuning, dan warna kuning itu merupakan kesayangannya.

(Di dalam kisah Membunuh Naga, Goat Lan pernah muncul sekali waktu diadakannya pertemuan orang-orang gagah di Siauw-sit-san, dimana pihak Siauw-lim-sie telah menghimpun para orang-orang gagah dalam suatu pertemuan besar, yaitu Eng-hiong Tay-hwee. Dan semua orang yang turut dalam Eng-Hiong Tay-hwee itu tidak seorangpun mengetahui siapa gadis itu, dan siapa pula namanya. Karena Goat Lan yang pada saat itu telah memiliki kepandaian sangat tinggi telah datang dan pergi tanpa diketahui, sepak terjangnya luar biasa, kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Ciu Cie Jiak..... penulis).

Setelah istirahat cukup semalamam dan tubuh mereka juga sudah segar kembali, Yo Ko mengajak mereka untuk, melanjutkan perjalanannya mendaki gunung Hoa-san untuk mencapai puncaknya gunung tersebut. Tetapi berhubung mereka semuanya memang memiliki ginkang yang tinggi sekali, maka mereka bisa berlari-lari mendaki gunung Hoa-san itu dengan mudah.

Yo Him juga bisa berlari-lari dengan cepat dan ringan, karena Yo Him yang sekarang berbeda dengan Yo Him tiga tahun yang lalu dengan mudah dapat melompati jurang-jurang yang cukup lebar. Menjelang sore, mereka tiba di puncak gunung Hoa-san, dan kuburan Auwyang Hong yang telah kosong dan rata kembali itu tampak tidak terurus.

Yo Ko memandang di sekelilingnya, dia belum melihat orang yang diundangnya untuk berkumpul disitu. Yo Ko jadi menduga-duga apakah semua orang-orang itu tidak datang karena menemui sesuatu yang tidak terduga.

„Mengapa mereka belum datang?” tanya Siauw Liong Lie, yang juga heran melihat para pendekar yang diundang suaminya belum terlihat batang hidungnya walaupun seorang.

„Entahlah, mungkin ada sesuatu yang di luar dugaan?” menyahuti Yo Ko.

„Tetapi sebetulnya aku telah menjanjikan Cap-go Chit-gwee yaitu besok di saat rembulan bersinar penuh kami akan berkumpul disini..... Tetapi anehnya justru sekarang ini mereka belum juga terlihat batang hidungnya.”

Yo Him memandang sekelilingnya, dimana selain merupakan tempat yang sunyi dengan lapangan rumput yang luas dan tebing yang tinggi-tinggi juga diselingi oleh pohon-pohon yang tumbuh tinggi menunjukkan usia pohon itu telah tua sekali.

„Mari kita beristirahat dulu.....!” ajak Yo Ko. Semuanya setuju.

Mereka telah duduk di bawah pohon pohon itu.

Tetapi mengasoh tak lama, justru dari arah bawah terdengar seseorang tengah bernyanyi dengan nada dan irama yang lucu sehingga bisa membuat orang geli di dalam hati.

„Tung Pak, Tung Pak, Tung Pak,
Eh, kudanya lari.

Ting Ting, Ting Ting
Eh, kucingnya nyolong ikan.

Teng Teng, Teng Teng,
Centengnya mengantuk disamber angin,

Bom Bom, Bom Bom,
Tidurnya tidak bisa karena memikirkan si dia,

Trak Trak, Trak, Trak,
Pedangnya telah patah,

Sembunyi ekor dari persilatan,
Ditertawai orang karena kebodohan yang ada,
Dimaki orang karena tindakan kita yang salah,

Breng Greng, Breng Greng.
Aku ingin tidur, nyamuk datang mengganggu.”

Setelah bernyanyi seperti itu, terdengar suara tertawanya, Ha, ha, ha, ha yang panjang sekali.
Yo Ko dan yang lainnya jadi heran mendengar suara nyanyian seperti itu, mereka mau menduga tentu orang yang tengah bernyanyi itu adalah seorang yang kurang pikirannya, karena kata-kata lagunya itu tidak keruan.

Tetapi Yo Him lain, dia mendengarkannya baik-baik otaknya yang cerdas segera dapat menangkap arti dari nyanyian itu, makna yang sesungguhnya tersimpan di dalam nada dan kata-kata dari nyanyian itu.

„Ayah.....” kata Yo Him kemudian, „Bukankah orang yang bernyanyi itu tengah memberitahukan jurus-jurus penting dari ilmu silat pedang dan pukulan yang terdapat dalam Kiu-im-cin-keng?”

Yo Ko jadi terkejut.

„Mengapa engkau bisa berpikir sampai disitu?” tanya sang Ayah ini.

„Coba ayah pikirkan kata-kata Tung Pak, Tung Pak, Tung Pak, Eh kudanya lari, itu bukankah berarti bahwa jurus pertama dari Kiu-im-cin-keng harus bergerak seperti seekor kuda yang menyepak dan kemudian menjauhkan diri dari lawan kemudian baru menyerang lagi. Dan kata-kata menyerang kembali terselip pada baris kedua yang berbunyi, Ting Ting, Ting Ting, Eh kucingnya nyolong ikan, yang berarti setelah kita memancing lawan seperti juga ingin melarikan diri, kemudian diwaktu musuh lengah, kita harus menggunakan jurus ‘colongan’ menghantam musuh!

28.55. Perilaku Kong-kong Ciu

Kata Teng, Teng, Teng, Centengnya mengantuk disamber angin, berarti kita harus seperti angin, membuat lawan menjadi bingung, berarti itupun gerakan yang dinamakan ‘Liu-liu-ie-ie’ atau Samberan Angin dan Hujan. Nah coba ayah pikir bukankah itu merupakan kunci rahasia ilmu yang hebat sekali?”

Mendengar Yo Him bicara sampai disitu tampak Yo Ko telah memukul lututnya sambil berseru:

„Tepat. Mengapa aku sendiri tidak berpikir sampai sejauh itu? Sedangkan engkau dalam usia semuda ini telah bisa memecahkan teka-teki seperti itu! Sungguh mengagumkan sekali.”

Siauw Liong Lie juga memuji kecerdasan anaknya itu. Phang Kui In, Kwee Siang dan Siauw Coat juga merasa kagum. Tetapi belum sempat mereka bicara lebih jauh, dari jurusan bawah tampak sesosok tubuh tengah berlari cepat sekali naik ke atas gunung, ke tempat dimana mereka berada.

Gerakan orang itu sangat ringan sekali menandakan ginkangnya benar-benar sangat sempurna karena tubuhnya itu telah berkelebat-kelebat dengan gesit sekali, hanya dalam sekejap mata saja dia telah berada dihadapan Yo Ko dan yang lainnya.

Waktu melihat orang itu, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawa, „Kukira siapa, tidak tahunya engkau Ciu Pek Thong si nakal.”

Orang yang baru tiba itu memang Ciu Pek Thong adanya. Siauw Liong Lie melihatnya walaupun mereka telah berpisah lebih dari limabelas tahun, tetapi keadaan Ciu Pek Thong tetap tidak berobah dengan jenggotnya yang memutih panjang dan alisnya juga telah memutih. Tetapi sikapnya yang senang berguyon itu tidak juga lenyap. Karena justru Ciu Pek Thong inilah yang telah bernyanyi dengan suara dan kata-kata yang kocak itu. Tetapi di dalam kekocakannya itu justru terdapat inti ilmu silat yang luar biasa hebatnya.

„Kau kira siapa? Ya, tentu saja aku! Tidakkah kau melihat si Loo-boan-thong yang jenggotnya ini telah putih? Apakah ada dua orang Loo-boan-thong?” dan setelah berkata begitu dia tertawa bergelak-gelak.

Tiba-tiba matanya melihat Yo Him dan Siauw Goat Lan, kemudian Kwee Siang dan Phang Kui In.

„Eh, nona Kwee, engkau berada disini?” tegur Loo-boan-thong seperti terkejut. Seperti diketahui bahwa Kwee Siang pernah bersahabat intim dengan Ciu Pek Thong, maka dari itu begitu melihat Kwee Siang, segera Ciu Pek Thong mengenalinya.

Cepat-cepat Kwee Siang menghampiri sambil mengangkat tangannya, dia telah menjura memberi hormat kepada Ciu Pek Thong.

„Engko tua juga datang kemari?” membaliki Kwee Siang.

Ciu Pek Thong melengak sejenak, tetapi kemudian dia tertawa tergelak-gelak lagi, serunya dengan suara yang nyaring: „Setan kecil! Memang dasar cucunya, engkau menuruti adat kakekmu yang selalu tidak mau kalah dan terlalu licik.......!”

Kwee Siang tidak menjadi mendongkol atau marah, karena dia telah mengetahui akan tabiat dari Ciu Pek Thong yang gemar sekali berkelakar.

Kemudian Ciu Pek Thong telah menoleh kepada Goat Lan, tanyanya kepada Kwee Siang: ,,Apakah nona kecil ini adikmu?”

Muka Kwee Siang jadi berobah merah dia menggelengkan kepalanya.

„Bukan, adik Lan ini adalah murid dari enci Siauw Liong Lie.....!” dia menjelaskan.

„Oh, nona kita itu telah menerima murid!” kata Ciu Pek Thong sambil tertawa. „Dan engko kecil itu siapa.....?” sambil bertanya Ciu Pek Thong telah menunjuk kepada Yo Him.

„Yo Him, adalah putera Engkoh Yo dan Encie Siauw!” menjelaskan Kwee Siang lagi.

„Ohhh, anak mereka? Aduhh, kenapa waktu melahirkan anakmu engkau tidak mengundang aku?” tanya Ciu Pek Thong kepada Siauw Liong Lie.

Muka Siauw Liong Lie jadi berobah merah.

„Mana bisa begitu?” tanya Siauw Liong Lie.

„Mengapa tidak bisa?”

„Engkau lelaki, mana mungkin waktu aku melahirkan aku memberitahukan kepadamu..... tentu saja engkau tidak boleh melihatnya.....!” dan Siauw Liong Lie telah tersenyum malu.

Ciu Pek Thong berdiri bengong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Siauw Lioug Lie.

Yo Ko dan yang lain-lainnya jadi tertawa, dan Ciu Pek Thong jadi salah tingkah lagi.

„Eh..... eh, apa yang kalian tertawakan?” tanya Ciu Pek Thong terheran-heran, mukanya juga telah berobah, tampaknya dia mendongkol seperti dipermainkan oleh orang-orang itu.

Tetapi Yo Ko dan yang lainnya jadi tertawa lebih geli lagi melihat tingkah laku Ciu Pek Thong.

Ciu Pek Thong jadi banting-banting kakinya dengan jengkel.

„Cepat katakan, apa yang kalian tertawakan?” bentak Ciu Pek Thong dengan sakit.” Jika tidak, jangan harap kalian bisa menertawai aku pula, karena aku akan menangis sekeras suara!”

Mendengar ancaman Ciu Pek Thong itu, semua orang bukannya menghentikan tertawa, mereka, bahkan semakin menjadi-jadi, suara Phang Kui In terdengar paling keras karena dia tidak bisa menahan perasaan lucu di hatinya.

Ciu Pek Thong mengawasi mendelik kepada Phang Kui In, dia telah berkata: „Apa aku salah bicara sehingga kalian tertawakan aku seperti itu! Sudahlah! Sudahlah! Aku tidak mau bersahabat lagi dengan kalian.....!” dan setelah berkata begitu Ciu Pek Thong memutar tubuhnya untuk berlalu.

„Tunggu duIu Loo-boan-thong,” teriak Yo Ko.

Ciu Pek Thong menghentikan langkah kakinya, dia telah membalikkan tubuhnya untuk bertanya, „Kau mau memberitahukan apa salahku? tanyanya dengan mata tetap mengawasi Yo Ko yang lainnya dengan bergantian.

„Ya aku akan memberitahukannya!” menyahut Yo Ko.

„Hayo cepat memberitahukan. Mengapa engkau seperti kakek-kakek saja yang mengulur-ulur waktu?”

„Sabar….....”

„Sabar? Mengapa harus sabar. Bukankah tadi engkau mengatakan ingin memberitahukan kepadaku apa kesalahanku sehingga kalian tertawa begitu?” tampaknya Cui Pek Thong tidak senang.

„Sabar aku pasti akan menjelaskan segalanya kepadamu.”

„Aku telah cukup sabar, tetapi sampai sekarang ini engkau masih juga belum memberi tahukan kepadaku persoalan apa yang hendak kau sampaikan?”

„Tunggu dulu Loo-boan-thong aku pasti akan memberitahukan segalanya kepadamu…. tetapi ada syaratnya, jika aku memberitahukan kepadamu peristiwa tadi, engkau juga harus bernyanyi sekali lagi lagu yang tadi engkau bawakan!”

„Oh syaratnya itu? Mudah sekali! Aku bisa dan menyanggupinya!”

„Tetapi karena adatmu agak aneh dan angin-anginan, maka aku meminta engkau memenuhi dulu syarat itu, setelah engkau bernyanyi, aku akan memberitahukan urusan itu kepadamu.....!”

Ciu Pek Thong diam sejenak, tampaknya dia ragu-ragu, tetapi kemudian katanya:

„Tetapi engkau juga tidak boleh ingkar janji, jika aku telah bernyanyi engkau harus memberitahukan kepadaku apa sebabnya kalian tertawa terpingkal-pingkal sambil memandang padaku?”

„Itu sudah pasti, apakah kau anggap aku ini manusia hina dina? Aku tidak akan menjilat kembali ludah yang lelah kubuang!”

„Baik! Sekarang kalian dengarkanlah aku bernyanyi sangat merdu!” kata Ciu Pek Thong. Dan diapun mulai membuka mulutnya, membawakan lagu yang tadi dinyanyikannya:

„Tung Pak, Tung Pak, Tung Pak,
Eh, kudanya lari.

Ting Ting, Ting Ting
Eh, kucingnya nyolong ikan.

Teng Teng, Teng Teng,
Centengnya mengantuk disamber angin,

Bom Bom, Bom Bom,
Tidurnya tidak bisa karena memikirkan si dia,

Trak Trak, Trak Trak,
Pedangnya telah patah,

Sembunyi ekor dari persilatan,
Ditertawai orang karena kebodohan yang ada,
Dimaki orang karena tindakan kita yang salah,

Breng Greng, Breng Greng.
Aku ingin tidur, nyamuk datang mengganggu.”

„Nah, sekarang aku telah selesai menyanyikan lagu itu, engkau harus segera memberitahukan padaku, apa kesalahanku sehingga kalian mentertawaiku!”

Yo Ko mengangguk

„Sekarang coba kau jelaskan dulu, lagu yang engkau nyanyikan itu tadi bukankah merupakan kunci dari Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?”

Ciu Pek Thong tampak terkejut, tetapi akhirnya dia mengangguk.

„Benar..... tidak salah!” katanya kemudian. „Tetapi…. dari mana engkau mengetahui bahwa laguku itu merupakan lagu yang berisikan pelajaran Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?”

„Kau heran bukan? Kami yang tua-tua tidak mengetahui jika tidak diberitahu oleh anak kami ini, Yo Him!”

Kembali Ciu Pek Thong berdiri dengan muka yang bengong dan mata tidak bergeming mengawasi Yo Him.

„Anak luar biasa! Anak luar biasa!” menggumam Ciu Pek Thong dengan suara yang samar-samar hampir tidak terdengar, sampai akhirnya dia telah mendelikkan matanya kepada Yo Him, sambil katanya:

„Apakah engkau mengerti ilmu Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng? Mengapa engkau mengetahui bahwa laguku itu adalah kunci dari Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?”

Yo Him cepat-cepat menghampiri Ciu Pek Thong, dia telah merangkapkan kedua tangannya menjura memberi hormat kepada Ciu Pek Thong,

„Engkong Ciu, aku menghunjuk hormat kepadamu,” kata Yo Him.

„Cisss, siapa yang ingini hormatmu?” kata Ciu Pek Thong sambil meludah.

Yo Him jadi terkejut, tetapi kemudian tersenyum.

„Aku justru menghendaki keteranganmu bagaimana engkau bisa mengengetahui bahwa lagu yang kugubah itu merupakan kunci dari Kui-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?” kata Ciu Pek Thong lagi.

Yo Him tersenyum.

„Itu mudah saja, bukankah engkong Ciu hanya membalik kata-katanya saja dan mengambil perumpamaan. Seperti kata-kata ‘Ditertawai orang karena kebodohan yang ada’ tentunya berarti jika kita tidak memiliki kepandaian silat yang tinggi dan bertempur dengan orang lain kalah, hal itu hanya disebabkan kebodohan kita. Dan perkataan ‘Kebodohan’ itu diumpamakan juga sebaliknya, yaitu cambuk untuk mengejar kepandaian agar tidak menjadi bodoh, bukan??”

Ciu Pek Thong jadi bengong.

Muka Ciu Pek Thong dalam keadaan heran seperti itu membuat dia tampaknya lucu sekali. Memang Ciu Pek Thong walaupun telah lanjut usianya, namun kelakuannya seperti anak-anak saja.

Semua orang yang melihat sikap Ciu Pek Thong jadi tersenyum geli lagi.

Ciu Pek Thong telah menoleh kepada Yo Ko, katanya dengan terheran-heran,

„Mengapa anakmu ini begitu cerdik bisa menerka lagu yang kugubah itu?”

Yo Ko mengangkat bahunya. „Entahlah, aku sendiri mengetahuinya, karena diberitahukan oleh Yo Him.”

Ciu Pek Thong jadi penasaran sekali. „Eh, bocah, engkau jangan main-main denganku. Katakan terus terang siapa yang telah memberitahukan kepadamu tentang makna dari lagu ini.”

„Aku hanya menduga-duga sendiri saja, karena aku memang baru mendengarnya sekarang ini,” menyahuti Yo Him sambil tersenyum.

„Baiklah! Sekarang coba kau jelaskan lagi kata-kata ‘Dimaki orang karena tindakan kita yang salah’. Nah apa makna dari perkataan itu?”

Setelah berkata begitu Ciu Pek Thong mengawasi Yo Him dengan tajam. Begitu juga yang lainnya, telah mengawasi dengan tanda tanya di hati mereka, bagaimana Yo Him yang masih demikian muda bisa memiliki pengetahuan demikian luas?

Yo Him telah menjura sambil katanya: „Sebetulnya Boanpwee tidak mengetahui apa-apa engkong Ciu, tadi hanya kebetulan saja,” Yo Him merendahkan diri, karena dia kuatir justru Ciu Pek Thong akan mendongkol dia mengetahui rahasia lagunya itu.

„Aku tidak mau tahu!” kata Ciu Pek Thong. „Yang penting, sekarang engkau harus mengemukakan apa artinya ‘Dimaki orang karena tindakan kita yang salah’. Cepat kau katakan!”

Yo Him menghela napas.

„Maafkan kebodohan Boanpwee, jika salah jangan engkong Ciu memarahi dan mentertawai aku.....” kata Yo Him.

„Sudahlah! Hayo cepat, cepat beritahukan apa yang kau ketahui.....!” seru Ciu Pek Thong tidak sabar.

,.Arti dan perkataan, Dimaki orang karena tindakan kita yang salah, berarti jika kita tidak memiliki kepandaian tinggi dan dirubuhkan orang, berarti kepandaian kita masih rendah sekali. Jika memang dikalahkan lawan, kita tidak boleh kecewa dan melatih diri lagi.”

„Aneh! Mengapa engkau mengetahuinya demikian jelas?” kata Ciu Pek Thong.

„Bagaimana Loo-boan-thong, apakah anakku itu benar atau tidak kata-katanya?” tanya Siauw Liong Lie sambil tersenyum.

Ciu Pek Thong menunjukkan ibu jari tangannya, sambil katanya: „Jempol! Hebat! Kalian berdua ternyata mencetak anak yang telah berhasil sekali, anak itu memiliki otak yang cerdas.”

Mendengar perkataan Ciu Pek Thong yang itu, pipi Siauw Liong Lie jadi berobah merah.

„Tetapi sekarang belum selesai. Hai bocah, coba kau terka lagi arti kata-kata: ‘Aku ingin tidur, nyamuk datang mengganggu’. Nah apa itu artinya?”

Yo Him tersenyum sambil katanya: „Artinya itu memang mudah….... Jika seseorang yang tidak memiliki kepintaran apa-apa, mungkin bisa diganggu oleh serangan orang-orang jahat. Tetap maksud sesungguhnya dari perkataan itu adalah seseorang harus bisa mengosongkan pikiran dan keinginan sehingga hawa jahat tidak mungkin mengganggu dia pula. Hawa jahat itu diumpamakan dalam lagumu sebagai nyamuk! Bukankah begitu engkong Ciu?”

„Luar biasa sekali! Tepat benar!” kata Ciu Pek Thong sambil geleng-gelengkan kepalanya dan memandang takjub kepada Yo Him.

Yo Ko dan Siauw Liong Lie juga bangga sekali melihat anak mereka itu adalah seorang yang cerdas sekali dan dalam usia hanya enambelasan tahun itu dia telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Setelah memuji-muji Yo Him beberapa kali Ciu Pek Thong menoleh kepada Yo Ko.

„Nah sekarang giliranmu untuk menjelaskan mengapa kau mentertawai aku.....?” katanya. „Bukankah tadi engkau berjanji jika aku telah menyanyikan lagu itu, engkau akan memberitahukan apa kesalahanku!”

Yo Ko tersenyum.

„Sebenarnya engkau tidak bersalah, hanya salah bicara saja.”

„Salah bicara?”

„Ya, salah bicara!”

„Mengapa bisa salah bicara?” tanya Ciu Pek Thong penasaran.

„Itulah disebabkan kecerobohanmu, sehingga engkau bisa salah bicara! Tadi engkau mengatakan, mengapa Liong-jie tidak memberitahukan kepadamu waktu ingin melahirkan? Apakah engkau seorang tabib yang mengurusi orang beranak? Lagi pula, di saat isteriku melahirkan, mana boleh dilihat sembarangan orang? Apalagi seorang pria.....! Genit sekali rupanya engkau, Pek Thong!”

Ciu Pek Thong jadi kaget setengah mati, sampai dia berjingkrak-jingkrak.

„Hai! Hai! Bukan itu maksudku.......!” teriaknya dengan muka yang berobah merah.

Yo Ko tersenyum, begitu juga dengan yang lainnya.

„Memang sudah kukatakan, hatimu tentu tidak berpikir sebegitu jauh, tetapi tadi kau telah salah dalam mengucapkan kata, sehingga artinya menjadi lain dengan apa yang engkau maksudkan!’

Ciu Pek Thong telah mempergunakan kedua tangannya untuk, memukul-mukul keningnya.

„Anak tolol! Anak tolol!” katanya memaki dirinya sendiri, sehingga yang lainnya melihat kelakuan Ciu Pek Yhong jadi tertawa lagi.

“Maafkanlah Yo Hujin (nyonya Yo), memang tadi aku salah bicara. Percayalah, aku tidak memiliki maksud kotor sedikit pun juga!”

Siauw Liong Lie cepat-cepat menghindar dari pemberian hormat Ciu Pek Thong.

„Jangan berlaku begitu, Pek Thong, aku memang mengetahui engkau tidak bersalah, hanya engkau keseleo lidah saja. Ko-jie juga hanya bergurau saja!”

Ciu Pek Thong tersenyum lagi dengan sikap yang jenaka kembali. Rupanya peristiwa yang baru saja lewat itu tidak diingatnya lagi.

„Engko kecil!” katanya kepada Yo Him, „Mari kita main-main.....!”

„Main-main apa?” tanya Yo Him heran.

„Main-main kuda-kudaan......! Kita bertempur dalam sepuluh jurus, siapa yang kalah harus menjadi kuda, menggendong yang menang berlari sepuluh lie! Bagaimana, engkau setuju atau tidak?”

Yo Him jadi geli sendirinya, karena dia jadi heran, usia Ciu Pek Thong telah lanjut dan pantas jadi engkongnya tetapi ternyata masih memiliki sifat seperti anak kecil saja.

„Hei, jangan bengong saja!” bentak Ciu Pek Thong mendongkol waktu melihat Yo Him hanya berdiam diri saja.

„Setuju sih setuju, tetapi yang pasti tentu saja aku akan rubuh di tanganmu dan menjadi kuda menggendong kau, engkong Ciu!”

Yang lainnya tertawa mendengar perkataan Yo Him, yang seperti hendak mengelak pertempuran main-main itu.

„Begitu?” tanya Ciu Pek Thong. „Baik! Aku hanya mempergunakan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku akan diikat tidak di pergunakan….. kau setuju?”

„Itu namanya tidak adil?”

„Apanya yang tidak adil?” tanya Ciu Pek Thong dengan aseran dan tidak sabar.

„Engkau mengatakan ingin mempergunakan satu tangan saja, yaitu tangan kananmu, sedangkan aku mempergunakan kedua tanganku, bukankah itu tidak adil?”‘

Ciu Pek Thong jadi banting-banting kakinya.

„Habis dengan cara apa yang kau kehendaki? Bukankah tadi engkau mengatakan jika bertempur dengan aku berarti engkau akan kalah dan aku memberi peringatan dengan janji bahwa aku melayani engkau dengan mempergunakan tangan kanan saja dan tangan kiriku tidak dipergunakan! Tetapi sekarang kau ada alasan saja mengatakan tidak adil dengan cara seperti itu.”

Yo Him tersenyum.

„Tetapi mana pantas sih seorang kakek yang sudah pantes menjadi engkongku bertempur dengan golongan muda yang tidak bisa apa-apa?” kata Yo Him

„Tidak mungkin! Aku tidak percaya engkau tidak memiliki kepandaian!”

Yo Ko telah tertawa katanya.

„Him-jie, pergilah kau temani Pek Thong main-main beberapa jurus.”

„Nah! Nah!” kata Ciu Pek Thong kemudian kegirangan. „Lihat ayahmu sendiri memerintahkan engkau untuk melayani aku!” Dan Ciu Pek Thong telah berdiam diri menanti dengan sikap tidak sabar, seperti seorang anak kecil yang akan menerima hadiah.

Mendengar ayahnya juga menyetujui untuk dia main-main dengan Ciu Pek Thong. Yo-Him mengangguk sambil berkata: „Tetapi Ciu Kong-kong jangan turunkan tangan keras kepadaku.”

„Bocah cilik, engkau anggap aku ini seorang bebodoran yang tidak mengenal peri kemanusiaan?” kata Ciu Pek Thong.

Yo Him tersenyum, dia bilang kemudian: „Bukan begitu Ciu kong-kong..... tetapi memang aku tidak memiliki kepandaian apa-apa. Maka dari itu aku hanya meminta belas kasihan dari Ciu Kong-kong agar tidak menurunkan tangan keras kepadaku!”

„Sudah jangan bawel seperti nenek-nenek saja!” bentak Ciu Pek Thong tidak sabar. „Hayo cepat buka serangan.....!”

Sambil membentak begitu tampak Ciu Pek Thong telah mengawasi Yo Him dengan sikap tidak sabar, dan waktu itu, tampak dia telah membanting-banting kakinya, karena memang dia sudah tidak sabaran.

Yo Him juga tidak berani berayal lebih jauh lagi, di saat itu dia telah mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Dengan mengeluarkan kata-kata, „Awas Kong-kong!” tangannya itu meluncur ke arah pundak sebelah kanan Ciu Pek Thong.

Si tua jenaka Ciu Pek Thong waktu melihat cara menyerang Yo Him, dia telah berseru:

„Bagus! Bagus! Rupanya kecil-kecil engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi! Hemm..... jika demikian kau telah memiliki lweekang yang cukup bisa diandalkan! Siapa yang mengajarkan engkau kepandaian ini?” Ciu Pek Thong sambil mengoceh terus dengan gerakan tubuhnya yang gesit dia mengelakkan diri dari setiap serangan yang dilancarkan oleh Yo Him.

Yo Him tadinya menyerang dengan setengah hati, karena dia mengetahui bahwa Ciu-Pek Thong adalah sahabat ayah ibunya. Tetapi setelah beberapa kali dia menyerang tetap tidak mengenai sasarannya, dengan sendirinya membuat Yo Him jadi terkejut. Dari kedua telapak tangan Yo Him telah mengalir keluar angin serangan yang sangat kuat.

Yo Him juga mempergunakan jurus ‘Giok-lie-kun-hoat’ atau Ilmu pukulan Tangan Bidadari yang diterimanya dari ayah ibunya beberapa waktu yang lalu.

Ciu Pek Thong mengeluarkan seruan kaget dan cepat menggeser kaki kanannya ke samping dan juga menggeser tangannya yang ditekan pada dadanya, lalu tangan yang satunya lagi dilonjorkan menghantam Yo Him. Gerakan yang dilakukan Ciu Pek Thong merupakan jurus-jurus ‘Sin-liong-ciu-hay’ atau Naga Sakti Keluar dari Lautan, dimana tangannya, menyusul mencengkeram pada Yo Him.

Yo Him terkejut melihat cengkeram Ciu Pek Thong karena kakek tua yang jenaka itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Dan sebagai adik seperguruan Ong Tiong Yang yang pernah dipilih sebagai seorang jago yang luar biasa dan dia ini kepandaiannya melebihi Oey Yok Su Auwyang Hong, Ang Cit Kong dan Ie-teng Taysu. Tidak mengherankan jika serangan Ciu Pek Thong telah membuat Yo Him jadi gelagapan.

Memang Yo Him telah menerima pelajaran yang bermacam-macam, dia telah memperoleh didikan Lie Bun Hap, kemudian didikan kedua orang tuanya. Tetapi yang masih kurang bagi Yo Him adalah pengalaman. Maka begitu menghadapi serangan yang hebat dari Ciu Pek Thong, dia agak gugup. Sebetulnya serangan Ciu Pek Thong itu bisa saja dihadapi dengan gerakan Bidadari Menyuguhkan Arak, tetapi memang Yo Him kurang pengalaman, dengan sendirinya menghadapi serangan seperti itu membuat Yo Him jadi gelagapan dan tidak bisa melakukan sesuatu, tahu-tahu lengannya telah kena dicekal, dan dengan sekali mengeluarkan teriakan „Rubuh!” tubuh Yo Him telah terpental dan ambruk di atas tanah dengan keras.

Tetapi Yo Him tidak menjerit kesakitan bahkan cepat sekali dia bangun berdiri pula.

Sedangkan Ciu Pek Thong telah bertepuk-tepuk tangan kegirangan, karena dia merasa bangga telah berhasil merubuhkan Yo Him dengan waktu yang singkat sekali. Seperti juga seorang anak kecil yang menerima hadiah yang menggembirakannya.

„Apa aku bilang, engkau sama sekali tidak memiliki kepandaian apapun juga.....!” kata Ciu Pek Thong sambil tertawa geli.

Yo Ko, Siauw Liong Lie, Kwee Siang, Phang Khui In, dan Siauw Goat Lan, telah tersenyum saja melihat kelakuan Ciu Pek Thong yang jenaka. Walaupun usianya telah lanjut, tetapinya Ciu Pek Thong masih juga membawa sikap seperti anak kecil saja.

Yo Him yang telah dirubuhkan oleh kakek tua yang jenaka itu jadi penasaran. Cepat sekali dia bangkit berdiri pula sambil katanya:

„Kongkong Ciu, mari kita bertanding lagi?” kata Yo Him sambil tersenyum.

„Tidak kapok kau telah kurubuhkan?” tanya Ciu Pek Thong tertawa.

„Aku bukan dirubuhkanmu, tetapi aku sengaja menjatuhkan diri..….”

„Apa?”

„Aku bukan dirubuhkan oleh kau?”

Mendengar jawaban yang terakhir dari Yo Him Ciu Pek Thong jadi berdiri tertegun tampaknya dia jadi penasaran sekali.

„Jelas-jelas tadi engkau berhasil kulemparkan dan engkau telah terbanting, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa itu bukan dirubuhkan olehku.....?”

Tetapi Yo Him yang cerdik telah menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

,,Bukan..... bukan! Sama sekali bukan disebabkan seranganmu aku jatuh..... tetapi memang aku sengaja menjatuh tubuh untuk meloloskan diri dari seranganmu! Sebetulnya kalau memang aku hendak memberikan perlawanan, belum tentu engkau bisa memenangkan diriku, Ciu Kong-kong.:.....!”

Ciu Pek Thong jadi mendongkol, dan dalam keadaan mendongkol seperti itu. tampaknya Ciu Pek Thong jenaka sekali, dengan mulutnya yang bergerak-gerak tidak hentinya, seperti seorang anak kecil yang tengah menggumam tidak senang hatinya

„Ayo Ciu Kong-kong, seranglah aku lagi.....!” kata Yo Him menantang, dengan sendirinya telah membuat Ciu Pek Thong semakin penasaran sekali.

Memang Yo Him sengaja ingin memancing kemarahan Ciu Pek Tong agar orang tua she Ciu yang jenaka itu menyerang dirinya lagi. Yang pasti Ciu Pek Thong tidak mungkin berani membinasakannya, karena Ciu Pek Thong telah mengetahui Yo Him adalah anaknya Yo Ko dan Siauw Liong Lie.

Tetapi jika Ciu Pek Thong melancarkan serangan dengan sungguh-sungguh, Yo Him yang cerdik tentu bisa melihat cara menyerangnya Ciu Pek Thong, berarti dia akan bisa mempelajari gerakan-gerakan itu kelak.

Ciu Pek Thong yang telah termakan umpan yang disebar Yo Him, telah menoleh kepada Yo Ko, katanya: „Yo Ko lihatlah anakmu ini kurang ajar Sekali! Dia jelas-jelas telah kurubuhkan, tapi dia tidak mengaku.....”

Yo Ko tersenyum!

„Justru engkau yang salah” katanya.

„Aku yang salah?”

„Ya, engkau yang salah,” kata Yo Ko kemudian dengan suara yang amat keras sambil diiringi suara tertawanya yang bergelak-gelak!

„Aku salah apa?”

Ciu Pek Thong tampaknya jadi penasaran sekali, sehingga dia telah mengawasi dengan mata yang dipentang lebar-lebar menatap Yo Ko.

„Kau ingin tahu kesalahanmu?”

„Cepat katakan, beritahukan kepadaku!” kata Ciu Pek Thong tidak sabar.

„Aku pasti akan memberitahukan kepadamu, tetapi sekarang yang terpenting engkau sendiri mengakui dirimu salah atau tidak?!”

„Aku bersalah.....!” Ciu Pek Thong jadi menatap Yo Ko dan Siauw Liong Lie bergantian dengan mimik muka seperti orang yang kebingungan, tetapi kemudian dia tertawa bergelak-gelak.

„Aku tahu.....! Aku telah tahu.....!” kata Ciu Pek Thong setelah berdiam diri sejenak. ,,Engkau tentu ingin mengatakan aku bersalah karena tidak meminta ijin dari kalian berdua sebagai orang tua dari anak itu, dan telah melakukan penyerangan, bukan?”

„Ohh..... bukan itu, bukan itu!” kata Yo Ke cepat. „Bukan itu kesalahanmu!”

Ciu Pek Thong jadi semakin penasaran, dia memang seorang yang tidak sabaran dan selalu mengerjakan apa-apa hanya menuruti kehendak hati kecilnya saja!

„Cepat kau beritahukan padaku..... cepat! Kalau tidak aku akan menangis.....!” kata Ciu Pek Thong sambil membanting-bantingan kakinya.

28.56. Keberutalan Oey Lo-sia

„Kau ingin menangis?’ tanya Yo Ko sambil tersenyum lebar.

„Ya kalau engkau mempermainkan aku, aku akan segera menangis,” menyahuti Ciu Pek Thong sambil mementang matanya lebar-lebar dan membanting-banting kakinya.

„Kalau memang engkau ingin menangis, menangislah!” kata Yo Ko sambil tertawa. Sedangkan yang lainnya, telah tersenyum-senyum karena menganggap kelakuan Ciu Pek Thong memang lucu sekali kekanak-kanakan.

Saat itu Yo Him telah berkata pula: „Ciu Kong-kong, hayo kita mulai main-main lagi.....!”

„Tunggu dulu bocah cilik aku ingin minta keterangan ayahmu mengapa dia mengatakan aku yang bersalah!” dan setelah berkata begitu Ciu Pek Thong menoleh lagi kepada Yo Ko, lalu memandang kepada Siauw Liong Lie yang saat itu tengah mengawasinya juga dengan tersenyum-senyum.

„Nyonya yang baik hatinya, yang pemurah hati…..... coba tolong engkau jelaskan apa maksud suamimu yang mengatakan bahwa aku ini bersalah….”

Siauw Liong Lie mengangkat bahunya, dia telah tertawa kemudian katanya: „Aku mana tahu ….!” Lalu Siauw Liong Lie menoleh kapada suaminya. „Ko-jie katakanlah apa yang kau ketahui itu, jangan membuat Ciu Koko jadi begitu gelagapan.”

„Benar, benar,” kata Ciu Pek Thong. „Jangan membuat aku gelagapan…. Apakah engkau tidak kasihan kepadaku si tua ini!” dan kata-kata Ciu Pek Thong ditujukan kepada Yo Ko.

Keruan saja lainnya jadi tertawa geli karena menganggap sikap Ciu Pek Thong memang benar-benar jenaka sekali.

Yo Ko setelah puas tertawa, baru berkata: „Loo-boan-thong, apakah engkau tidak merasakan bahwa dirimu bersalah?”

Ciu Pek Thong menggelengkan kepalanya cepat-cepat beberapa kali.

„Aku merasa tidak melakukan kesalahan. Jika tadi anakmu itu kulemparkan juga bukan dengan maksud jahat, karena tenaga lemparan itu telah kuperhitungkan sehingga tidak membahayakan jiwa anak kalian itu, si bocah licik!”

Yo Ko tersenyum lagi,

„Loo-boan-thong, engkau adalah orang dari golongan tua, bahkan jauh lebih tua dari kami, lebih tinggi tingkat derajatmu, dan sekarang engkau ingin bertempur dan menghina seorang anak kecil seperti Him-jie? Bukankah dengan merubuhkan Him-jie engkau tidak bisa membanggakan kemenanganmu itu, karena Him-jie merupakan golongan Boanpwee yang. tidak memiliki kepandaian berarti apa-apa..... Nah, dengan demikian bukankah engkau telah melakukan kesalahan yang tidak tahu malu? Apa yang bisa dibanggakan jika engkau memperoleh kemenangan dari kaum Boanpwe seperti Yo Him?

Mendengar perkataan Yo Ko, Ciu Pek Thong tertegun sejenak, matanya terbuka lebar tampaknya dia kaget, sampai akhirnya ketika dia tersadar dari bengongnya, dia telah menepuki keningnya.

,,Akhhh, memang aku yang konyol dan tidak tahu malu! Memang benar apa yang kau katakan saudara Yo!” seru Ciu Pek Thong setelah memukul keningnya beberapa kali.

Yo Ko dan yang lainnya jadi tertawa geli melihat kelakuan Ciu Pek Thong.

Sedangkan Yo Him telah beseru lagi, „Ciu Kong-kong, ayo mulai main-main lagi..... bukankah aku belum dirubuhkan olehmu ‘?”

“Tidak mau! Tidak mau!” bentak Ciu Pek Thong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tiba-tiba saja dia membungkukkan tubuhnya menjura kepada Yo Him. „Engko kecil”, katanya lagi. „Biarlah aku disebut orang tua yang tidak bisa merubuhkan engkau, karena aku tidak mau jika nanti disebut si tua menghina si kecil! Biarlah aku membatalkan saja maksudku untuk bertanding denganmu!”

Semua orang yang mendengar perkataan Ciu Pek Thong jadi tidak bisa menahan perasaan geli di hati mereka. Tetapi Ciu Pek Thong tidak memperdulikan semua orang yang telah mentertawakan dirinya, karena dia memang seorang yang jenaka dan periang.

Waktu itu Ciu Pek Thong juga telah menoleh kepada Yo Ko, tanyanya, „Mengapa yang lainnya belum datang?”

„Mungkin mereka agak terlambat, biarlah kita tunggu saja beberapa saat lagi mungkin besok mereka akan tiba!” menjelaskan, Yo Ko.

Sedangkan Siauw Liong Lie hanya tersenyum saja waktu melihat Ciu Pek Thong membanting-banting kakinya, seperti seorang anak kecil yang tengah ngambul.

„Aku terburu-buru kemari, karena takut terlambat. Tetapi sekarang, buktinya mereka itu belum juga datang! Jika aku mengetahui akan demikian, lebih baik aku tidak perlu tergesa-gesa kemari.” Jengkel sekali tampaknya Ciu Pek Thong, mukanya juga murung,

Yo Ko tersenyum.

„Loo-boan-thong, tepatnya engkau datang kemari merupakan suatu kebanggaan untukmu. Bukankah engkau tidak mempergunakan waktu karet dan terlambat datang seperti lainnya? Maka dari itu engkau berarti bisa menepati janji dengan tepat sekali.”

Terhibur juga hati Ciu Pek Thong mendengar perkataan Yo Ko!

Tetapi baru saja Ciu Pek Thong mau berkata lagi, muka Yo Ko telah berobah, dia memberi isyarat agar semuanya berdiam diri!

Siauw Liong Lie yang memiliki pendengran tajam seperti Yo Ko, telah mendengar juga sesuatu.

„Suara langkah-langkah kaki orang,” kata Siauw Liong Lie dengan suara perlahan,

„Mungkin mereka telah datang, didengar dari suara langkah kakinya yang ringan, tentu mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Hemm, nanti aku akan mentertawakan mereka yang datang terlambat seperti itu,” kata Cui Pek Thong seperti juga gembira sekali mengingat dia yang telah tiba lebih dulu.

Suara-suara langkah kaki itu terdengar semakin, mendekat.

Yo Ko heran sekali. Langkah kaki itu walaupun menunjukkan bahwa orang-orang yang tengah mendatangi itu adalah orang yang memiliki ginkang tinggi, namun kenyataannya tidak setinggi ginkang orang-orang yang telah diundangnya, seperti Oey Yok Su, It-teng Taysu dan jago-jago lainnya. Terlebih lagi memang dari sekian banyak suara langkah-langkah kaki itu menunjukkan bahwa yang tengah mendatangi banyak sekali mungkin lebih dari limapuluh orang.

Yo Ko mengerutkan sepasang alisnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang membentak, „Monyet-monyet kecil, apa maksud kalian mendaki Hoa-san?!”

Suara itu dikenal oleh Yo Ko dan Ciu Pek Thong maupun Siauw Liong Lie karena mereka tahu bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Oey Yok Su majikan dari pulau Tho-hoa-to.

Yo Ko cepat-cepat berdiri, lalu menghampiri ke arah dari mana suara Oey Yok Su didengarnya, begitu juga yang lainnya telah cepat-cepat menyusul Yo Ko.

Waktu mereka tiba di hutan kecil, mereka seorang lelaki berpakaian hijau, berusia telah lanjut dengan topinya yang berwarna hijau pula, tengah berdiri membelakangi mereka menghadang puluhan orang, mungkin lebih dari limapuluh orang yang berpakaian bermacam-macam. Ada yang berpakaian ringkas sebagai busu, guru silat, ada juga yang berpakaian seperti Tojin.

Salah seorang dari orang banyak itu telah menjura sambil katanya dengan suara yang ramah: „Kami mendengar berita bahwa Cap-go di bulan ini akan diadakan penemuan orang-orang gagah di Hoa-san, maka kami tertarik untuk ikut menyaksikan pertemuan orang gagah dari tempat yang jauh kami telah datang kemari. Kami harap para eng-hiong tidak keberatan untuk kehadiran kami ini!”

Tetapi Oey Yok Su yang memang terkenal sangat aseran telah berkata dengan suara yang dingin.

„Hemm, aku tidak mau perduli apa maksudmu, tetapi yang jelas kalian telah penuhi datang ke Hoa-san untuk menyaksikan Eng-hiong Tay-hwee (pertemuan para jago), tentunya kalian memiliki kepandaian yang tinggi dan cukup bisa kalian andalkan. Nah, sekarang siapa yang ingin meneruskan niatnya, silahkan maju. Jika orang itu bisa sepuluh jurus bertahan dari seranganku, tentu aku akan memberikan hak padanya untuk ikut hadir.”

Kwee Siang saat itu yang melihat Oey Yok Su tengah menghadang orang-orang itu, dia sudah tidak bisa mempertahankan perasaannya lagi, dia telah berlari menghampiri sambil berseru: „Ya-ya….” dan kakeknya itu telah dirangkulnya dengan manja sekali.

Oey Yok Su mengusap-usap kepala cucunya itu dengan penuh kasih sayang.

„Cucuku, engkau berada disini?” tanyanya dengan sabar sekali

“Oey Pehpeh (paman Oey), aku Yo Ko menghunjuk hormat,” kata Yo Ko sambil menggerakkan tangan kiri tunggalnya itu memberi hormat kepada Oey Yok Su.

Siauw Liong Lie, Phang Kui In dan Yo Him bergantian memberi hormat kepada Oey Yok Su.

Sedangkan para orang-orang gagah yang semula ingin datang menghadiri Eng-hiong Tay-hwee di Hoa-san jadi berdiri diam saja, karena mereka melihatnya bahwa di tempat itu sekarang telah berkumpul orang-orang kuat, seperti Yo Ko, Siauw Liong Lie dan yang lain-lainnya.

“Syukurlah bahwa kalian telah bisa berkumpul pula! Dan kau Yo Hujien, selama belasan tahun lamanya Yo Ko sangat menderita mencari-cari kau,” dan Oey Yok Su tersenyum, karena dia melihat betapa Kwee Siang telah semakin dewasa dan tampak jauh lebih matang.

Sedangkan Siauw Liong Lie yang digoda oleh Oey Yok Su jadi menundukkan kepalanya karena malu.

Setelah itu, Oey Yok Su berdiri menghadapi rombongan orang-orang persilatan itu sambil katanya: „Nah, sekarang siapa ingin memulainya, silahkan maju! Jika dapat bertahan sepuluh jurus dari seranganku, maka aku yang mengijinkan orang itu naik ke puncak Hoa-san!”

Semua orang itu jadi ragu-ragu, karena mereka mengetahui benar bahwa Oey Yok Su merupakan jago tua yang sudah sulit dicari tandingannya.

„Hayo..... siapa yang ingin memulainya?” tanya Oey Yok Su lagi.

„Aku akan mencobanya!” kata seseorang yang telah melangkah maju, seorang lelaki berusia empatpuluh tahun dengan bentuk mukanya yang segi tiga seperti muka tikus. „Aku Bian Sin Wan, ingin meminta petunjuk-petunjuk dari Oey Lo-enghiong.” Lalu orang tersebut, yang mengaku bernama Bian Sin Wan telah memberi hormat,

„Mulailah, jangan terlalu banyak peradatan!” kata Oey Yok Su dengan muka yang dingin.

Bian Sin Wan rupanya telah nekad untuk menghadapi sepuluh jurus serangan Oey Yok Su karena jika dia berhasil tentu dia akan diperbolehkan menonton pertemuan besar para orang gagah. Sepuluh jurus pikir Bian Sin Wan bukanlah terlalu banyak, jika dia bertahan terus untuk dapat membela diri dari sepuluh kali serangan Oey Yok Su, tentu dia akan lolos dari ujian itu.

Oey Yok Su sebagai tokoh yang rnemiliki nama sangat besar dalam rimba persilatan, tentu tidak akan menarik kembali janjinya itu.

„Aku sudah, Oey Locianpwe!” kata Bian Sin Wan sambil memasang kuda-kuda yang sangat kokoh sekali.

Oey Yok Su tertawa dingin, dia maju satu tindak dengan sikap yang tenang, kemudian dia menggerakkan tangan kirinya perlahan sekali, tetapi angin yang berhamburan dari telapak tangannya itu telah menghantam orang she Bian tersebut.

Bian Sin Wan juga termasuk jago pertengahan yang memiliki sepandaian cukup tinggi, maka melihat dirinya diserang dengan pukulan Pek-kong-ciang (Pukulan Udara Kosong), dia cepat-cepat menggeser kaki kanannya setengah lingkaran, lalu dengan jurus ‘Pian-hoa-sin-hin’ atau Arwah Sakti Merobah Ujud, maka serangan Oey Yok Su sekali ini telah gagal mengenai dirinya.

Tetapi Oey Yok Su tidak berhenti hanya sampai disitu saja, dia telah mengeluarkan suara bentakan: „Inilah jurus yang kedua!” dan Oey Yok Su telah menyerang dengan jari telunjuknya seperti sedang menulis di udara dari ujung jari telunjuknya meluncur angin serangan yang kuat sekali.

Kali ini Bian Sin Wan tidak bisa mengelakkannya, karena serangan Oey Yok Su yang disertai tiga bagian tenaga dalamnya telah menerjang dirinya dan tahu-tahu Bian Sin Wan telah mengeluarkan suara jeritan kesakitan, tubuhnya terpental dan ambruk di atas tanah dalam keadaan pingsan.

Semua orang yang menyaksikan hal itu jadi berdiri bengong, karena mereka melihat kawan mereka yang seorang itu hanya dalam dua jurus saja telah berhasil dirubuhkan oleh Oey Yok Su.

Sedangkan Yo Ko, Siauw Liong Lie, Siauw Goat Lan, Yo Him dan yang lain-lainnya berdiri kagum menyaksikan Oey Yok Su hanya dalam dua jurus, bahkan jurus keduanya hanya mempergunakan jari telunjuknya saja, seperti ilmunya It-teng Taysu yaitu It-yang-cie, si jari tunggal, telah bisa merubuhkan lawannya yang tidak lemah itu.

„Siapa yang ingin mencoba lagi?” tanya Oey Yok Su dengan suara yang dingin.

Rombongan orang yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang itu telah bungkam tidak ada yang menyahuti.

Tetapi selang sejenak, tiba-tiba orang yang berpakaian Tojin telah melangkah maju sambil katanya: „Oey Locianpwe, pinto Sung-kian Cinjin ingin coba-coba merasakan tanganmu, harap Locianpwe tidak berlaku terlalu keras padaku!”

„Hemm,” Oey Yok Su hanya mendengus dingin saja.

Kemudian Sung-kian Cinjin mengebutkan hud-timnya sambil berkata: „Pinto telah siap, Locianpwe!”

Oey Yok Su tidak menyahuti, dia hanya berkata dengan suara halus kepada Kwee Siang: „Minggirlah cucuku, biarlah aku memberi pelajaran kepada monyet tengik ini!”

Muka Sung-kian Cinjin jadi berobah merah, walaupun dia mengetahui Oey Yok Su sangat tinggi sekali kepandaiannya, tetapi dia jadi mendongkol dan marah dirinya disebut sebagai seekor monyet yang tengik. Namun karena Oey Yok Su merupakan dedengkot dari jago-jago di rimba persilatan, dia berusaha tidak memperlihatkan kemendongkolannya itu, hanya diam-diam dia telah memperkuat kedudukan kuda-kuda kedua kakinya.

Oey Yok Su menghampiri perlahan-lahan, dan kemudian waktu jarak mereka terpisah dua tombak, Oey Yok Su berkata: „Sebetulnya kepandaianmu itu tidak ada artinya, engkau hanya mengenal kepandaian dasarnya saja. Dalam satu jurus saja engkau akan bisa kurubuhkan!”

Mendengar perkataan Oey Yok Su, Sung-kian Cinjin jadi tambah mendongkol. Begitu juga kawan-kawannya yang berjumlah limapuluh orang lebih itu jadi mendongkol juga, mereka menganggap bahwa Oey Yok Su terlalu sombong.

Sung-kian Cinjin telah menjura dan katanya dengan suara yang tawar: „Memang kepandaian pinto yang bodoh sangat rendah sekali..... itulah sebabnya maka pinto bermaksud untuk meminta petunjuk dari Locianpwe.”

„Hemmm, hatimu tentu tidak senang mendengar aku mengatakan dalam satu jurus bisa mengalahkanmu, bukan?” kata Oey Yok Su yang seperti dapat membuka perasaan si Tojin.

Sung-kian Cinjin telah mengangguk sambil katanya: „Itu terserah pada Oey Locianpwe, jika memang Oey Locianpwe berlaku keras, berarti pinto akan buruk dengan bercacad.”

Itulah kata-kata yang merendahkan diri, tetapi di dalam kata-kata itu terdapat ejekan untuk Oey Yok Su, karena imam itu ingin menyatakan jika saja Oey Yok Su gagal merubuhkannya dalam satu jurus, berarti Oey Yok Su akan kehilangan muka. Sedangkan Sung-kian Cinjin sendiri yakin, jika hanya satu jurus tentu dia bisa mengadakan pembelaan dan penjagaan diri yang ketat agar tidak sampai rubuh di tangan Oey Yok Su.

Yo Ko dan yang lain-lainnya menyadari bahwa Oey Yok Su bukan bicara besar, karena tokoh tua persilatan itu memang memiliki kepandaian yang telah sempurna sekali. Jangankan Sung-kian Cinjin, sedangkan Yo Ko atau Siauw Liong Lie belum tentu dapat menghadapi sebanyak seratus jurus jika bertempur dengan jago tua she Oey yang menjadi pemilik pulau Tho-hoa-to tersebut.

„Hayo mulai!” kata Oey Yok Su dengan suara yang dingin.

Sung-kian Cinjin juga sudah tidak berlaku sungkan-sungkan lagi, dengan mengeluarkan suara yang perlahan: „Jangan terlalu keras menjatuhkan tanganmu, Oey Locianpwe.” Imam itu telah menggerakkan tangan kanannya akan mencengkeram bahu Oey Yok Su, sedangkan tangan kirinya menghantam ke arah perut Oey Yok Su.

Cara menyerang imam itu memang merupakan serangan yang cukup nekad, karena dengan menyerang seperti itu dia harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya, sebab dia melancarkan serangan tersebut tanpa mengadakan suatu penjagaan dirinya. Tetapi jika menghadapi seorang jago yang berkepandaian berimbang dengan kepandaiannya mungkin Tojin itu bisa merubuhkan lawannya.

Justru sekarang yang dihadapinya adalah Oey Yok Su, tokoh dan dedengkot dari rimba persilatan. Walaupun Tojin itu telah berlaku nekad, mana bisa dia merubuhkan Oey Yok Su.

Bahkan ketika tangan kirinya hampir menghantam perut Oey Yok Su dan tangan kanannja belum lagi sempat mencapai pundak tokoh she Oey itu, dengan gerakan yang sangat ringan sekali Oey Yek Su tahu-tahu melejit ke samping dan telah berada di belakangnya si Tojin.

Sebelum Sung-kian Cinjin sempat menyadari akan kegagahan itu dengan jurus ‘Ju-coan-swie-jin’ atau Pukulan Menembus Air, Oey Yok Su telah menolak punggung Tojin itu.

Cara menolak dari tangan Oey Yok Su tampaknya perlahan sekali, tetapi kesudahannya sangat hebat, tubuh Sung-kian Cinjin jadi terjerembab ke tanah, mukanya menghantam batu kerikil yang ada di tanah, sehingga giginya rontok dua buah!! Waktu Tojin itu bangun, mulutnya telah membengkak.

Semua orang yang menyaksikan kejadian seperti ini benar-benar jadi takluk dan kagum atas kepandaian Oey Yok Su. Karena Sung-kian Cinjin sebetulnya bukan jago sembarangan, tetapi dalam satu jurus saja ternyata Oey Yok Su telah bisa merubuhkannya. Tidak kecewa Oey Yok Su diakui sebagai seorang guru besar di rimba persilatan.

Limapuluh orang lebih kawan si imam jadi ciut nyalinya, tidak seorangpun yang berani untuk maju mencoba-coba kepandaiannya.

Sung-kian Cinjin telah merangkak bangun dan dengan muka merah padam karena malu dan marah, dia kembali ke rombongan kawan-kawannya tanpa mengatakan sesuatu apapun juga.

„Sungguh kepandaian yang sangat indah dan menakjubkan!” tiba-tiba terdengar suara nyaring yang telah memuji.

Waktu semua orang menoleh, dari balik batang pohon telah melangkah perlahan-lahan seorang hweshio tua yang herusia lanjut dengan jenggotnya yang berwarna putih, sedang berjalan menghampiri ke arah mereka.

Yo Ko dan yang lainnya jadi girang, bahkan Ciu Pek Thong telah melompat-lompat sambil tertawa kemudian disusul dengan kata-katanya: „Tua bangka It-teng, ternyata engkau datang terlambat..... lihat, aku telah datang lebih dulu!”

Orang yang baru muncul itu memang It-teng Taysu, pendeta dari selatan.

Dengan tersenyum ramah tampak It-teng Taysu merangkapkan sepasang tangannya, dia telah berkata sabar: „Ya, memang Lolap datang terlambat..... maafkan Ciu eng-hiong!”

Mendengar dirinya disebut sebagai Ciu eng-hiong, pendekar gagah she Ciu, bukan seperti biasanya dipanggil si tua bangka Loo-boan-thong, dengan sendirinya Ciu Pek Thong jadi kegirangan dan telah melompat-lompat.

„Lihat, aku si Loo-boan-thong telah memperoleh kemenangan, dapat menepati janji tidak datang terlambat!” dan dia tertawa bergelak-gelak.

It-teng Taysu telah menjura memberi hormat kepada Oey Yok Su, sambil katanya: „Oey heng, apakah sudah hadir semuanya?” dia memanggil Oey Yok Su dengan sebutan Oey heng, yaitu Saudara she Oey.

„Akupun baru sampai, jika memang engkau ingin bertanya, tanyakan saja kepada Yo Ko.....!” aseran dan tawar sekali suara Oey Yok Su.

Saat itu Yo Ko, Siauw Liong Lie dan yang lainnya telah menghampiri It-teng Taysu dan memberi hormat.

Waktu mengetahui Yo Him adalah putera dari Yo Ko dan Siauw Liong Lie, dan kini telah meningkat besar hampir dewasa malah sekarang bisa kumpul dengan ayah bundanya, maka It-teng Taysu jadi girang bukan main.

„Bagus! Bagus! Mudah-mudahan setelah pertemuan besar yang kita adakan ini. Semuanya akan memperoleh nasib baik! Omitohud! Omitohud! Alangkah menggembirakan sekali kalian telah bisa berkumpul!” kata It-teng Taysu.

„Eh, pendeta tua bangka, apakah engkau telah bersiap-siap untuk memulai pertemuan kita ini?” tanya Oey Yok Su deagan suara menegur.

It-teng Taysu tertawa.

„Oey-heng, engkau tidak perlu kesusu, kau bereskan dan selesaikan urusanmu dengan kelimapuluh orang itu.....!” kata It-teng Taysu.

Oey Yok Su tertawa dingin.

“Tidak ada seorang pun diantara mereka yang boleh mendaki puncak Hoa-san, karena mereka bukan manusia-manusia yang ada artinya, hanya kurcaci dan para bu-beng-siauw-cut (maling kecil dan rendah tidak memiliki nama)!”

Mendengar perkataan Oey Yok Su maka kelimapuluh orang lebih itu telah berobah! Mereka mendongkol dan marah, tetapi apa yang bisa mereka lakukan terhadap tokoh persilatan she Oey yang memang memiliki kepandaian sangat tinggi dan sempurna sekali.

Di saat itu tampak Oey Yok Su telah menghadapi kelimapuluh orang itu dengan sikap yang angkuh sekali, seperti juga dia memandang rendah dan menjemukan. Kemudian dia menggerakkan tangan kanannya yang dikebutkan perlahan dengan angkuh.

„Kalian cepat menggelinding pergi!”

Muka kelimapuluh orang gagah itu, yang terdiri dari para jago-jago yang memiliki nama di dalam rimba persilatan jadi berobah, mereka mendongkol sekali sampai ada diantara mereka yang tersinggung, tetapi tidak memiliki keberanian untuk menentang Oey Yok Su, telah membalikkan tubuhnya ingin turun gunung kembali.

Tetapi saat itu It-teng Taysu telah berkata dengan suara yang sabar.

„Siancay! Siancay! Mengapa mereka dilarang untuk sekedar menyaksikan? Bukankah mereka tidak bermaksud mengambil bagian dalam pertemuan kita ini...... mereka hanya ingin menyaksikan untuk menambah pengalaman saja….....”

„Hmmm.....” mendengus Oey Yok Su dengan suara yang aseran sekali. „Dengan adanya mereka, tentu akan mengganggu pertemuan kita! Apa untungnya mereka berada di Hoa-san, hanya mengganggu pencurahan perhatian kita dan juga pertemuan kita tentu terganggu dengan adanya mereka!”

Setelah berkata begitu Oey Yok Su telah mendelikkan matanya kepada rombongan para jago-jago itu, sambil bentaknya: „Mengapa kalian tidak cepat-cepat menggelinding pergi? Apakah ingin aku yang melempar-lemparkan kalian ke bawah gunung?” Waktu berkata begitu, wajah Oey Yok Su tampaknya kejam dan dingin sekali, tidak memantulkan perasaan kasihan sedikitpun juga.

Kelimapuluh lebih orang-orang itu memang gentar dan hati mereka tergetar karena melihat sikap Oey Yok Su yang galak. Namun dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak-gelak dari rombongan orang tersebut, suaranya sangat keras dan nyaring.

„Sungguh gagah! Sungguh gagah!” kata suara itu kemudian sambil melompat keluar dari rombongan para jago tersebut.

Waktu Yo Ko dan yang lainnya melihat orang yang melompat keluar itu, muka mereka jadi berobah, bahkan Yo Ko dengan sengit telah berkata:

„Oh, kiranya engkau?”

„Benar! Benar! Memang aku! Memang aku yang ingin mengambil bagian dalam pertempuran dan pertemuan di Hoa-san ini.....!” menyahuti orang itu. Dialah Tiat To Hoat-ong.

Siauw Liong Lie sendiri yang teringat betapa dulu dia telah didesak oleh pendeta Lhama dari Mongol ini sampai jatuh ke dalam lembah dan terpisah dengan anaknya, Yo Him, jadi marah sekali waktu melihat Tiat To Hoat-ong. Tetapi di saat itu Siauw Liong Lie teringat sedang berkumpul orang-orang gagah yang menjadi tokoh dan dedengkot persilatan, seperti Oey Yok Su dan It-teng Taysu, maka Siauw Liong Lie hanya bisa menahan kemarahan hatinya dan berdiri diam saja dengan mata mengawasi Tiat To Hoat-ong dengan sorot mata mengandung kebencian.

Tiat To Hoat-ong telah memperdengarkan suara tertawanya lagi.

„Bolehkah aku ikut mengambil bagian dalam pertemuan di Hoa-san ini?” tanyanya kemudian sambil matanya memandang kepada It-teng Taysu, kemudian Oey Yok Su. lalu Yo Ko, Siauw Liong Lie, seperti juga dia ingin meminta kepastian dari orang-orang tersebut.

Oey Yok Su yang terkenal memiliki adat sangat aneh telah memperdengarkan suara tertawa menyeramkan, dia berkata dengan suara yang dingin.

„Jika engkau bisa menyambut sepuluh jurus seranganku, engkau diperbolehkan ikut mengambil bagian dalam pertemuan di Hoa-san ini….!” Dingin sekali suara Oey Yok Su, dia juga seperti memandang rendah kepada Tiat To Hoat-ong.

Pendeta Lhama diri Mongolia itu telah mengeluarkan suara tertawa mengejek kemudian katanya:

„Jika sekarang aku harus berhadapan denganmu, berarti pertemuan para orang-orang gagah di Hoa-san ini telah dibuka bukan?”

Licik sekali kata-kata Tiat To Hoat-ong karena dia berkata dengan alasan yang kuat. Dia memang hendak mengelakan diri dari bentrokan dengan Oey Yok Su, maka sengaja dia mengajukan pertanyaan seperti itu.

„Mengapa harus telah dibuka pertemuan para orang gagah di Hoa-san ini? Syarat yang kuajukan itu merupakan syarat pribadiku, tidak ada hubungannya dengan pertemuan para orang gagah di Hoa-san. Jika memang engkau bisa menghadapi sepuluh jurus seranganku berarti engkau ada harganya untuk ikut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa-san ini dimana nanti kami akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang terpandai! Sekarang jika engkau gagal menerima sepuluh jurus seranganku, apa artinya manusia seperti engkau turut ambil bagian, hanya bisa mengacau saja!!”

Mendengar perkataan Oey Yok Su muka Tiat To Hoat-ong jadi berobah.

„Belum tentu dalam sepuluh jurus engkau bisa merubuhkan aku!” kata hati kecilnya. Tetapi dengan tersenyum mulutnya berkata lain.

„Justru kalau bertempur dulu berarti aku telah turut ambil bagian untuk penemuan orang-orang gagah di Hoa-san ini! Terlebih lagi, memang aku diutus oleh Kaisar Kubilai Khan untuk mengadakan kontak dengan pihak kalian, para jago di daratan Tiong-goan ini......”

Oey Yok Su yang memiliki adat aneh tetapi cerdas telah berkata: „Kalau begitu belasan tahun yang lalu di mana kami masing-masing menerima sepucuk surat undangan ke Hoa-san dengan memalsukan nama kami, pekerjaan kau juga?”

„Benar!” mengangguk Tiat To Hoat-ong sambil tertawa. „Memang aku telah perintahkan orangku yang ahli menjiplak huruf dan tanda tangan untuk memancing kalian berkumpul di Hoa-san, agar kami bisa mengadakan hubungan. Tetapi apa yang terjadi ternyata berlainan dengan apa yang kami kehendaki, kalian telah saling berpisah…. maka sekarang adalah kebetulan yang menggembirakan sekali. Kita bisa saling bertemu dan berkumpul, bukankah ini merupakan urusan yang menyenangkan sekali?”

„Kau..... diperintahkan oleh Kaisar Mongol itu?” bentak Oey Yok Su yang sikapnya menjadi bersungguh-sungguh.

„Tentu! Justru aku diutus untuk mengadakan kontak dengan kalian, para pendekar gagah perkasa,” mengangguk Tiat Hoat-ong.

Mendengar sampai disitu, Oey Yok Su rupanya tidak bisa menahan kemarahan yang bergolak dihatinya, dengan mengeluarkan bentakan:

„Manusia rendah.....” tangan kirinya telah bergerak dengan gerakan yang melintang mempergunakan jurus ‘Liong-heng-coan-ciang’ atau Naga Menembus Tangan, kemudian disusul dengan kakinya bergerak ke arah kempolan Tiat To Hoat-ong dengan tendangan Lian-hoan-tui atau tendangan berantai.

Tiat To Hoat-ong telah bersiap-siap sejak tadi, maka ia tidak menjadi terkejut melihat datangnya serangan seperti itu. Dia telah mengeluarkan suara bentakkan yang sangat keras sekali, dan memutar tubuhnya agak miring ke kanan, tangan kirinya di angkat seperti juga akan mencengkeram, dan perutnya dikempiskan dan dimiringkan ke belakang sedikit, tangan kanannya dipergunakan untuk menotok jalan darah di pinggul Oey Yok Su. Gerakan yang dilakukannya itu merupakan gerakan yang sangat manis sekali, karena dia telah mempergunakan jurus ‘Lie-kong-sia-ciok’ atau Lie-kong Memanah Batu, gerakan itu cepat sekali.

Oey Yok Su tidak gentar melihat cara menyerang lawannya, dengan mengeluarkan dengusan „hmmm,” tampak tangan kanannya diangkat, dia telah melancarkan serangan dengan jurus ‘Ging-hong-tan-tim’ atau Menyambut angin dengan menyentakkan debu, walaupun hanya dengan jari tangannya, tetapi gerakan jari tangan Oey Yok Su membawa angin yang menderu-deru.

Terpaksa Tiat To Hoat-ong melompat mundur menjauhi diri, sambil bergerak mundur Tiat To Hoat-ong telah berkata:

„Tahan..... aku ingin bicara!”

Oey Yok Su memperdengarkan suara tertawa mengejek, tetapi tangannya tidak tinggal diam, dia telah melancarkan serangan susulan dua kali berturut-turut dengan jurus ‘Hun-kin-co-kut’ atau Memecahkan Otot Memindahkan Tulang, lalu disusul gerakan ‘Hui-hong-pay-liu’ atau Angin Meniup Pohon Liu.

Tiat To Hoat-ong jadi mengeluarkan seruan kaget, karena ia tidak menyangka Oey Yok Su merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang sulit sekali diajak bicara.

Tetapi Tiat To Hoat-ong juga tidak berani berlaku lambat, cepat sekali dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sambil kedua telapak tangannya ditepukkan satu dengan yang lainnya, karena dia memang melatih ilmu Yoga, dengan sendirinya lweekang dari Tiat To Hoat-ong juga merupakan tenaga dalam yang tinggi dan aneh sekali. Waktu dia menepuk kedua tangannya itu, dia telah memusatkan kekuatan inti tenaga dalamnya itu, sehingga tubuhnya jadi kedot, karena ilmu Yoga yang dipergunakannya kali ini hampir mirip dengan ilmu silat kebal di daratan Tiong-goan yang bernama Tiat-po-san.

„Duk, duk, duk!” tiga kali tubuh Tiat To Hoat-ong terserang oleh gempuran tangan Oey Yok Su, tubuhnya hanya tergetar sedikit saja dan merasakan napasnya agak sesak.

Oey Yok Su sendiri waktu melihat serangannya telah berhasil mengenai sasarannya, semula dia menduga bahwa Tiat To Hoat-ong akan mengeluarkan suara jeritan dan tubuhnya terlempar keras. Namun yang dilihatnya sebaliknya, justru di saat itu tubuh Tiat To Hoat-ong hanya tergetar sedikit saja dan mukanya tetap tenang memperlihatkan senyum.

Tiat Tiat To-ong memang tidak mau mempelihatkan kelemahannya, dia jadi tersenyum sambil disusuli dengan katanya:

„Hayo menyerang lagi! Hayo.....!” katanya dengan suara yang menantang. „Mengapa bengong,” tegur Tiat To Hoat-ong,

Oey Yok Su meluap darahnya. Penasaran bukan main dia tidak berhasil merubuhkan Tiat To Hoat-ong.

Sedangkan Ciu Pek Thong telah berseru dengan suara yang nyaring- „Tua bangka she Oey, engkau jika rubuh di tangan si gundul kerbau Mongol itu, jangan mempergunakan namamu lagi.....” dan setelah berkata begitu Ciu-Pek Thong tertawa bergelak-gelak.

Oey Yok Su jadi semakin mendongkol saja, dia telah mengeluarkan suara bentakan, „Jika aku kalah di tangan si gundul dari Mongol ini, biarlah akan kugorot leherku dengan pedang dan berhenti menjadi manusia.”

Mendengar perkataan Oey Yok Su, Ciu Pek Thong memperdengarkan suara tertawanya lagi, kemudian kepada Yo Ko, Ciu Pek Thong telah berkata: „Kita lihat saja buktinya, dia akan menepati janjinya atau tidak!”


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar