Rajawali Sakti dari Langit Selatan (sin tiauw thian lam) Bagian 3

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: sin tiauw thian lam Bagian 3 Setiap dia tiba di suatu tempat, jika menghadapi suatu urusan yang tidak wajar dan tidak layak maka Cu Kun Hong turun tangan untuk membelai pihak lemah yang tertindas.
16.31. Pencuri Kim-pay Pimpinan Kay-pang!

Setiap dia tiba di suatu tempat, jika menghadapi suatu urusan yang tidak wajar dan tidak layak maka Cu Kun Hong turun tangan untuk membelai pihak lemah yang tertindas. Perlahan-lahan namanya mulai dikenal oleh orang-orang rimba persilatan.

Begitu juga kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan, karena Cu Kun Hong sangat rajin sekali melatih diri, sehingga dibandingkan dengan kepandaiannya yang dulu maka kepandaian Cu Kun Hong yang sekarang berbeda jauh sekali. Kipas di tangannya yang selalu dibawa dan dipergunakan sebagai senjata itu, merupakan senjata yang ampuh sekali. Setiap dalam suatu pertempuran Cu Kun Hong selalu mempergunakan kipasnya sebagai senjata.

Karena Cu Kun Hong telah melatih diri dengan giat sekali, dia melatih ilmu pukulan dan ilmu pedang yang dirobahnya dengan mempergunakan kipasnya, maka dari itu, tidak terlalu mengherankan jika dalam waktu delapan tahun, Cu Kun Hong telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat sekali.

Hari ini, secara kebetulan dia lewat di tempat tersebut, dan menyaksikan pertempuran yang terjadi antara Phang Kui In dengan kedua pengemis itu, maka dia jadi tertarik untuk bergurau, sengaja dia telah menyanyi dengan lirik yang menyindir, yaitu lagu ‘dewi’, dan dia telah menghampiri tempat pertempuran itu.

Semula, ketika Cu Kun Hong mengenali bahwa kedua pengemis itu adalah dua orang anggota Kay-pang, yang bisa dikenalinya dari tumpukan karung yang ada di punggung mereka, maka Cu Kun Hong ingin membantui pihak kedua pengemis itu, untuk melabrak Phang Kui In. Namun setelah mendengar keterangan Yo Him, Cu Kun Hong jadi berbalik membenci kedua pengemis itu.

Dilihatnya Phang Kui In telah terdesak oleh serangan yang bertubi-tubi dari kedua lawannya, sedangkan kedua pengemis itu, karena mengandalkan tenaga berdua, telah melancarkan serangan-serangan yang gencar, menyebabkan Phang Kui In selalu sibuk untuk mengelakkan diri dari gempuran-gempuran yang bisa mematikan.

Dalam saat-saat seperti inilah, Cu Kun Hong telah menggumam lagi: „Sungguh tidak pantas! Dua orang melawan seorang! Sungguh tidak pantas! Sungguh tidak sedap dilihat pengeroyokan yang tidak tahu malu ini!”

Dan setelah berkata begitu, dengan langkah kaki yang tenang, tampak Cu Kun Hong telah melangkah menghampiri gelanggang pertempuran. Dia telah mengeluarkan sedikit tenaganya kipasnya digerakkan untuk mengetuk tangan salah seorang dari kedua lawan Phang Kui In.

„Tukkkk!” pergelangan tangan si pengemis yang biasa dipanggil toako itu telah kena diketuknya dengan keras, sehingga suara ketukan tersebut juga terdengar jelas.

Bahkan pengemis itupun telah mengeluarkan suara jeritan tertahan. Dia telah melompat mundur dengan gesit sekali, matanya telah mendelik mengawasi Cu Kun Hong.

„Siapa kau?” bentaknya dengan suara yang galak sekali, „Mengapa usil mencampuri urusan kami!”

Sedangkan pengemis yang seorangnya lagi juga telah melompat mundur, dia berdiri disamping kawannya, mengawasi Cu Kun Hong dengan sorot mata yang tajam.

Cu Kun Hong membawa sikap yang sabar dan tersenyum mengejek, dia telah berkata dengan suara yang perlahan, tetapi diiramakan:

„Aku bukan usil!” katanya, „tetapi justru tadi aku telah mendengar dari engko kecil itu, bahwa kalian merupakan dua bandit kecil yang tidak tahu malu dan jahat sekali! Maka dari itu, aku bermaksud iseng-iseng untuk memberikan didikan agar kelak kalian mengerti akan tata krama kesopanan dan tahu diri!”

Tentu saja perkataan Cu Kun Hong membuat kedua pengemis itu jadi gusar sekali, keduanya telah berjingkrak dengan marah sekali.

„Jangan marah dulu,” kata Cu Kun Hong dengan suara yang mengejek. „Jika engkau marah, tentu engkau dengan mudah akan dirubuhkan lawan! Bukankah di dalam persilatan terdapat suatu pantangan, jika sedang bertanding menghadapi lawan, pantangan yang terutama sekali adalah tidak boleh mengum¬bar kemarahan hati. Jika kalian melanggar pantangan itu, niscaya diri kalian sendiri yang akan menderita kerugian! Tentunya kalian juga telah mengetahui akan pantangan itu. Bukan?”

Mendengar ejekan Cu Kun Hong yang terakhir, walaupun kedua pengemis itu me-mang mengetahui akan pantangan itu, namun mereka bukannya berusaha untuk mengendalikan diri, malah mereka bertambah gusar.

„Katakan namamu, agar kau mampus jangan tidak bernama!” bentak pengemis yang biasa dipanggil toako itu.

“Hemmm..... namaku?” tanya Cu Kun Hong tenang. „Aku selama tidak pernah mengganti she dan nama, aku she Cu dan bernama Kun Hong. Dan jika memang kalian merasakan diri kalian merupakan lelaki sejati sebutkan juga nama kalian, karena akupun pantang sekali membinasakan manusia kecil yang tidak memiliki nama!”

Muka kedua pengemis itu jadi merah padam, bahkan dengan berang pengemis ‘toako’ itu telah berkata dengan lantang:

„Aku Kim Ji Kay (anak pengemis emas), dan ini adikku Gan Ho Kay.....!” te¬tapi baru berkata sampai disitu, Kim Jie Kay tampaknya jadi terkejut sendirinya, karena dia telah terlanjur menyebutkan nama mereka. Keduanya dengan serentak telah menoleh kepada Yo Him, yang saat itu sedang mengawasi ke arah mereka dengan bibir tersungging senyuman.

„Bagus, bagus!” kata Cu Kun Hong, „Mari kita main-main sebentar! Kulihat kalian masing-masing membawa empat helai karung! Itu bukan tingkat yang rendah! Di dalam Kay-pang, empat karung merupakan empat tingkat, tingkat dari pangkat kalian, tentunya kalian memiliki kepandaian yang tidak rendah!”

Dan setelah berkata begitu dengan cepat Cu Kun Hong telah mengibaskan kipasnya, dia bersiap-siap untuk menerima serangan kedua pengemis itu.

„Saudara tunggu dulu!” Kata Phang Kui In yang sejak tadi berdiam diri saja.

Cu Kun Hong menoleh.

„Engkau ingin mengatakan bahwa kita kebagian seorangnya satu, bukan?” tanya Cu Kun Hong sambil tertawa. „Tidak usah, tidak perlu menghadapi anjing-anjing kurap seperti dia ini, mengapa kita harus sungkan-sungkan, biar aku yang menggebuknya saja, sama dengan ilmu tongkat mereka, ilmu tongkat penggebuk anjing!”

Mendengar perkataan Cu Kun Hong yang mengandung ejekan dan sikapnya yang meremehkan mereka, tentu saja telah membuat kedua pengemis itu jadi marah sekali. Dengan mengeluarkan suara bentakan keras, mereka sudah tidak bisa mempertahankan diri lagi, keduanya telah melompat dengan gerakan yang gesit sekali. Dan telah melancarkan gempuran-gempuran yang sangat kuat ke arah Cu Kun Hong.

Tetapi Cu Kun Hong tetap berdiri tenang di tempatnya, sama sekali dia tidak memperdulikan serangan-serangan yang dilancarkan oleh kedua lawannya itu. Kipas yang dicekal di tangan kanannya, telah digerakkan dengan seenaknya, dia telah menggerakkannya dengan kuat sekali, sehingga angin dari kipas itu berkesiuran.

Kibasan kipas itu bukan merupakan kibasan biasa saja, kibasan kipas itu merupakan kibasan yang luar biasa kuatnya, maka tenaga yang menggempur juga dahsyat bukan main. Maka dalam keadaan demikian, kedua lawannya jadi terkejut, karena mereka merasakan pergelangan tangan mereka nyeri sekali, seperti tertusuk ribuan jarum.

Dengan mengeluarkan suara teriakan kaget, mereka telah melompat mundur dengan gerakan tubuh yang cepat sekali. Mereka telah menduga bahwa Cu Kun Hong mempergunakan senjata rahasia. Tetapi baru saja mereka ingin memaki, justru di saat itu mereka melihat perasaan nyeri itu berasal dari angin serangan kibasan kipas. Dengan sendirinya mereka jadi tambah terkejut, sampai mengeluarkan suara teriakan perlahan, dan kemudian dengan serentak keduanya telah melompat melancarkan serangan-serangan pula dengan gerakan yang sangat cepat dan lebih kuat dari serangan mereka pertama tadi.

Walaupun kedua pengemis ini telah letih melakukan pertempuran yang cukup lama dengan Phang Kui In, tetapi nyatanya mereka masih memiliki kekuatan yang cukup hebat untuk melancarkan serangan-serangan kepada Kun Hong.

Sedangkan Phang Kui In yang melihat Cu Kun Hong menghadapi kedua lawannya itu, diam-diam jadi kagum sekali, dia jadi memuji di dalam hatinya.

Dia telah melihat betapa lweekang Cu Kun Hong telah sempurna latihannya, dan angin serangan tersebut telah menerjang dengan kuat sekali, ke arah kedua pengemis yang mengeroyoknya.

Setiap serangan yang dilancarkan oleh Cu Kun Hong selalu memaksa kedua lawannya harus mengundurkan diri dari tempat mereka masing-masing, kadang-kadang tenaga dalam itu meluncur dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh pandangan mata. Dengan sendirinya hal ini telah membuat kedua pengemis itu, Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, sering mengeluarkan seruan kaget, karena beberapa kali hampir saja mereka terkena kibasan kipas Cu Kun Hong.

Harus dimengerti juga bahwa kipas yang dipergunakan oleh Cu Kun Hong bukan merupakan kipas yang sembarangan, bukan terbuat dari kertas biasa. Kipas itu memiliki kekuatan yang dahsyat, karena bisa dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan, dan terbuat dari besi murni, sehingga tidak mudah dipotong oleh pedang dan golok.

Tampaknya kedua pengemis itu jadi kewalahan juga menghadapi Cu Kun Hong, walaupun mereka baru bertempur beberapa jurus saja.

Cu Kun Hong telah, tertawa mengejek, lalu dia berkata dengan suara yang dingin:

„Jika kalian benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi dan sempurna, mengapa tidak dikeluarkan? Mengapa hanya mempergunakan kepandaian cakar bebek seperti ini?”

Ditegur begitu, tentu saja telah membuat kedua pengemis itu menjadi marah. Bahkan Kim Jie Kay telah berteriak dengan kalap: „Kami akan mengadu jiwa dengan manusia besar mulut seperti engkau!” teriak pengemis itu, sambil melancarkan serangan-serangan kalap.

Kedua pengemis itu telah nekad, karena bukan hanya Kim Jie Kay saja yang melancarkan serangan bertubi-tubi juga Gan Ho Kay telah menerjang maju, dia telah melancarkan gempuran-gempuran yang dahsyat. Gerakan-gerakan itu mendatangkan angin yang berkesiuran seperti angin puyuh.

Cu Kun Hong telah mengeluarkan jurus-jurus yang bisa mematikan lawannya, tetapi kedua pengemis ini tampaknya seperti sudah tidak mau mengacuhkan lagi ancaman serangan-serangan yang dilancarkan oleh Cu Kun Hong. Bahkan mereka telah bertempur dengan mengeluarkan seluruh tenaganya, karena itu serangan yang dilakukan oleh mereka merupakan gerakan-gerakan yang luar biasa kuatnya, jangankan manusia, sedangkan batu maupun batang-batang pohon yang terkena serangan itu akan terhajar hancur sehingga Cu Kun Hong juga harus bersikap hati-hati, karena dia melihat kedua lawannya itu telah melancarkan gempuran-gempuran dengan kenekadan yang benar-benar mengerikan, seperti juga ingin mengajak Cu Kun Hong untuk binasa bersama.

Sedangkan Phang Kui In dan Yo Him yang menyaksikan dari pinggir, jadi menguatirkan keselamatan Cu Kun Hong. Walaupun mereka tidak mengenal siapa adanya pelajar itu, tetapi justru Cu Kun Hong telah bertempur dengan kedua pengemis itu disebabkan membela Phang Kui In.

Maka dari itu, Phang Kui In juga telah bersiap sedia, jika memang Cu Kun Hong menghadapi bencana, tentu dia akan segera turun tangan untuk menolonginya.

Cepat bukan main, angin serangan dari ketiga orang yang sedang bertempur itu meluncur dan mendesir-desir, di saat seperti itulah telah terdengar bentakan keras:

„Kalian sedang bertempur dengan siapa, Kim Jie Kay?”

Mendengar suara itu, tampaknya Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay jadi sangat girang, mereka juga telah mengeluarkan seruan nyaring, di samping itu muka keduanya telah berseri-seri, hampir serentak mereka telah menyahut!

„Sam tocu, kami sedang dihina pelajar gila ini!”

Mendengar dirinya disebut pelajar ‘gila’, Cu Kun Hong menjadi marah, darahnya dirasakan naik sampai ke ubun-ubun kepalanya, bahkan di saat itu terlihat dia telah menggerakkan kipas yang tercekal di tangan kanannya, yang bisa dilipat untuk melancarkan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya di tubuh kedua pengemis itu.

Dalam keadaan demikian Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay tidak berani menyambuti serangan itu. Mereka telah melompat mundur, dan telah menyingkir jauh-jauh memisahkan diri dari Cu Kun Hong.

Tiba-tiba di tempat tersebut telah bertambah satu orang. Seorang pengemis tua berusia diantara limapuluh lima tahun, jenggotnya telah memutih semuanya, matanya memancar tajam, tubuhnya kurus sekali.

Dia telah mengawasi Cu Kun Hong dengan sorot mata yang tajam, tampaknya tidak senang, tadi dia menyaksikan betapa Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah diserang dan didesak begitu hebat.

„Siapakah engkau wahai anak muda yang tampan?” tanya lelaki tua itu.

Di saat itu Cu Kun Hong telah melipat kipasnya, dengan tenang dia telah menyahut.

„Tentu saja aku tidak berani berdusta dihadapan Sam tocu dari Kay-pang, aku she Cu dan bernama Kun Hong, dan kebetulan sekali kedua anak buahmu itu kurang ajar melakukan perbuatan yang tidak tahu diri, maka aku mewakili Sam tocu untuk memberikan hajaran kepadanya!”

Sam tocu itu adalah wakil dari pemimpin Kay-pang cabang daerah tersebut, dia telah memiliki kepandaian yang tinggi, adatnya juga berangasan sekali, walaupun hatinya tidak begitu jahat.

Tetapi disebabkan seluruh anggota dari Kay-pang cabang daerah semuanya melakukan perbuatan yang tidak baik, maka Sam tocu ini juga tidak bisa mengatakan apa-apa, dia tidak bisa melarangnya.

Ketika itu Sam tocu telah berkata dengan suara yang dingin,

„Rupanya engkau mengenali aku sebagai Sam tocu dari Kay-pang cabang daerah ini,” katanya dengan suara yang angkuh. „Hemm, mengapa engkau hendak memberi ajaran kepada kedua anak buahku itu?”

„Tentu saja ada sebabnya!” menyahuti Cu Kun Hong dengan berani, tidak terlihat sedikitpun perasaan takut di wajahnya, dia malah menghadapi Sam tocu dengan bibir tersungging senyuman, kemudian Cu Kun Hong telah menceritakan seluruh apa yang didengarnya tadi dari Yo Him.

Mendengar itu, muka Sam tocu telah berobah merah, tetapi dia tidak menegur Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, malah dia telah berkata dingin terhadap Cu Kun Hong:

„Hemm, jika memang benar-benar mereka bersalah, itupun masih ada yang bisa mengurusnya, dan mengajar adatnya, tidak perlu orang luar yang mencampuri urusan rumah tangga Kay-pang!” Ternyata nada dan suara perkataannya itu, merupakan suatu pembelaan untuk kedua anak buahnya tersebut.

Cu Kun Hong jadi mendongkol karenanya, sebab dia melihat Sam tocu telah membela kedua anggotanya yang bersalah, yang membuktikan bahwa Sam tocu juga bukan manusia baik-baik. Maka dengan suara yang lantang Cu Kun Hong telah menyahuti dengan berani:

„Benar! Memang benar apa yang dikatakan oleh Sam tocu! Jika saja yang mengatakan itu adalah salah seorang dari pemimpin Kay-pang di pusat, tentu saja aku akan mempercayai sepenuhnya, bahwa anggota-anggota Kay-pang yang bersalah akan dihukum sepantasnya! Tetapi, justru sekarang, yang mengatakan hal itu hanyalah seorang anggota cabang belaka!”

Muka Sam tocu jadi berobah merah padam karena marah sekali, dia telah membentak dengan suara yang bengis.

„Dengan berkata begitu sama juga kau mengartikan bahwa perkataanku tidak ada harganya bukan?” sahutnya dengan suara tergetar. Kemudian dengan cepat sekali, dia telah melangkah maju mendekati Cu Kun Hong, tampaknya dia telah bersiap sedia akan melancarkan serangan-serangan.

Tetapi Cu Kun Hong sama sekali tidak takut dia telah memandang dengan tatapan mata yang tajam.

„Bukankah jika seorang pemimpin yang baik, begitu mendengar ada anggotanya yang melakukan suatu perbuatan salah, maka akan melakukan penyelidikan benar atau tidak akan hal itu dan akan memeriksa dengan bijaksana kedua anak buahnya! Bukan seperti sikapmu itu!” ketus sekali kata-kata Kun Hong. „Maka dari itu, mana bisa aku menghargai akan hati dan harga dirimu?”

Sam tocu telah berjingkrak karena marahnya, diapun telah mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur, kemudian secepat kilat dia telah melancarkan serangan-serangan yang dahsyat kepada Cu Kun Hong. Serangan yang dilakukan oleh pengemis wakil ketua dari cabang Kay-pang itu tidak bisa disamakan dengan kedua pengemis bawahannya tadi, namun Cu Kun Hong tidak takut.

Dengan tetap berdiri tegak di tempatnya, tampak Cu Kun Hong telah mengawasi tibanya serangan yang dilancarkan oleh pengemis tua ini. Waktu telapak tangan Sam tocu hampir tiba di sasaran, dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek, Cu Kun Hong telah menggerakkan kipasnya, dia telah mengibas dengan mempergunakan enam bagian tenaga dalamnya dan bermaksud akan mempergunakan ujung kipasnya untuk menotok pergelangan tangan Sam tocu.

Tentu saja Sam tocu menjadi terkejut, dia sampai mengeluarkan suara seruan tertahan dan telah menarik pulang tangannya, kemudian dia telah mengeluarkan tenaga yang jauh lebih besar dan mengulangi pula serangannya dengan hati penasaran sekali.

Cu Kun Hong tetap menghadapinya dengan tenang, dia telah mengawasi datangnya serangan itu dengan tatapan mata yang sangat tajam.

„Kau keterlaluan sekali, Sam tocu!!” kata Cu Kun Hong dengan suara mengejek. „Engkau memang bukan seorang bijaksana dan tidak perlu dihormati!”

Dan setelah mengejek begitu, dengan cepat sekali tampak Cu Kun Hong telah menggerakkan kipasnya berulang kali, dan kipasnya itu sebentar terbuka dan sebentar tertutup. Itulah cara menyerang yang sangat hebat sekali, karena serangan-serangan seperti itu memiliki dua macam cara untuk merubuhkan lawannya. Cara yang pertama jika kipas terbuka akan merupakan lempengan yang biasa dipergunakan untuk menghajar kepala lawan dan bagian-bagian lainnya yang berbahaya. Tetapi jika memang kipas itu tertutup, maka ujung kipas dapat dipergunakan seperti Poan-koan-pit untuk menutuk jalan darah di tubuh lawannya, di bagian yang sangat berbahaya sekali.

Maka dari itu walaupun Sam tocu melancarkan serangan-serangan yang sangat hebat, namun dia tidak berani terlalu mendesak.

Cepat sekali, angin serangan kipasnya itu telah menderu-deru, dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Cu Kun Hong sering memaksa Sam tocu harus menarik pulang serangannya sendiri, karena kalau tidak, tentu dia akan tertotok oleh ujung kipas Cu Kun Hong.

Tetapi Cu Kun Hong tidak berlaku segan-segan lagi, dia telah melancarkan serangan-serangan yang gencar. Setiap kali melancarkan gempuran-gempurannya kipasnya itu telah berkelebat-kelebat mengandung kekuatan yang membawa maut. Sekali saja kipas Cu Kun Hong bisa mengenai sasarannya dengan tepat, tentu Sam tocu akan menemui ajalnya.

Tentu saja Cu Kun Hong juga harus bersikap hati-hati, karena diapun menyadari akan hebatnya tenaga serangan yang dilancarkan oleh Sam tocu.

Setiap serangan Sam tocu mengandung kekuatan yang sangat dahsyat, karena disertai oleh tenaga lweekang yang cukup tinggi, disamping itu Sam tocu juga memiliki ginkang yang boleh diandalkan.

Maka terasalah angin serangan dari Cu Kun Hong dan Sam tocu saling berseliweran tidak hentinya, saling samber dan saling menerjang

Namun selama itu tampaknya mereka memang berimbang, dan kekuatan tenaga dalam yang mereka miliki itu merupakan tenaga dalam sejati, aliran dari golongan bersih dan bukan dari golongan sesat. Sehingga telah membuat keduanya terlibat dalam suatu pertempuran yang sangat hebat sekali.

Beruntun beberapa kali, tampak Cu Kun Hong terdesak oleh gempuran-gempuran telapak tangan Sam tocu, tetapi selama itu Cu Kun Hong telah berhasil menyelamatkan diri, sehingga membuat Sam tocu semakin lama jadi semakin penasaran sekali.

Beberapa kali dengan mengeluarkan suara bentakan-bentakan yang sangat bengis, Sam tocu telah memperhebat serangan-serangannya dengan menambah tenaga lweekangnya untuk memukul rubuh lawannya. Dalam melancarkan serangan-serangannya itu, tampak betapapun juga, Sam tocu memang bernafsu sekali untuk merubuhkan Cu Kun Hong.

Cu Kun Hong memang agak terdesak juga, namun sengaja untuk membangkitkan kemarahan dari pengemis yang menjadi wakil ketua cabang Kay-pang daerah ini, beberapa kali Cu Kun Hong telah mengeluarkan kata-kata ejekan.

Semakin lama memang Sam tocu jadi semakin gusar saja, dia telah berusaha untuk cepat-cepat menyelesaikan pertempuran ini.

Tetapi Cu Kun Hong tetap dapat bertahan.

Phang Kui In yang melihat keadaan Cu Kun Hong, disamping kagum atas kepandaian yang dimiliki Cu Kun Hong, diapun jadi menguatirkan sekali keselamatan Cu Kun Hong.

Di saat itu Phang Kui In bermaksud akan melompat ke tengah gelanggang, untuk turun tangan memberikan bantuan kepada Cu Kun Hong.

Namun tangan Phang Kui In telah dicekal oleh Yo Him.

„Tunggu dulu paman Phang,” kata Yo Him, „Coba kita lihat dulu! Tadi kedua pengemis itu tidak mau mematuhi Kim-pay nya Wie tocu, entah bagaimana dengan tokoh dari Kay-pang cabang daerah ini!”

Mendengar itu, Phang Kui In membenarkan jalan pemikiran Yo Him, maka dia telah mengangguk.

„Baiklah!” katanya kemudian.

„Engko Cu!” teriak Yo Him memanggil Kun Hong. „Coba berhenti sejenak!”

Kun Hong mendengar suara teriakan Yo Him dengan jelas, dia jadi heran, entah apa maunya anak sekecil Yo Him itu. Tetapi sebagai seorang yang selalu ingin mengetahui dan juga memang dia tengah terdesak, sehingga Cu Kun Hong bermaksud untuk beristirahat. Dia telah melompat mundur tiga tombak lebih dengan gesit sekali, waktu Sam tocu sedang melancarkan serangan kepadanya.

Sam tocu jadi terkejut karena tahu-tahu sasarannya telah lenyap dari depan matanya, dengan mengeluarkan suara teriakan keras dia bermaksud mengejarnya untuk mengulangi lagi serangannya.

Tetapi saat itu Yo Him telah berteriak, „Tahan! Aku ingin bicara!!”

Dalam marahnya, Sam tocu telah membentak dengan suara yang sangat bengis: „Apa yang hendak engkau katakan, monyet kecil?”

Yo Him tidak marah mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan monyet kecil, dia telah memandang dengan berani, tangannya telah mengacungkan Kim-pay.

„Aku akan bicara atas nama Kim-pay ini.....!” katanya kemudian dengan suara yang nyaring.

Mata Sam tocu jadi terpentang lebar-lebar waktu melihat Kim-pay di tangan Yo Him, tampak jelas sekali dia terkejut bukan main, mukanya juga telah berobah pucat.

„Kau..... dari mana engkau mencuri Kim-pay itu?” tegurnya, dengan suara yang ragu-ragu.

Yo Him telah berkata dengan suara yang dingin: „Setelah engkau melihat Kim-pay ini apakah engkau tidak segera berlutut untuk menerima perintah?”

Muka Sam tocu jadi berubah juga, dia telah berkata dengan suara yang ragu-ragu.

„Memang sudah menjadi peraturan, bahwa setiap orang yang membawa Kim-pay harus diperlakukan sama dengan pemilik Kim-pay itu sendiri, karena Kim-pay merupakan lambang kekuasaan dari pemimpin kami. Tetapi engkau, engkau dalam usia demikian kecil apakah mungkin engkau bisa memperoleh sebuah Kim-pay dari salah seorang pemimpin kami? Terlebih lagi Kim-pay itu tampaknya milik Wie Liang tocu dari pusat, wakil pemimpin kami di pusat.

Yo Him telah tertawa dingin.

„Apakah kau telah menerima pelajaran mengenai peraturan Kay-pang, jika Kim-pay dipegang oleh seorang anak kecil maka Kim-pay itu tidak berlaku? Dan juga apakah memang di dalam Kay-pang terdapat peraturan pemegang Kim-pay itu harus dipandang dalam usia? Hemm, Kim-pay merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari orang yang bersangkutan yang menjadi pemimpin kalian yang harus kalian hormati adalah Kim-pay itu sendiri, bukan orang yang membawanya!”

Mendengar perkataan Yo Him, kembali Sam tocu diliputi keragu-raguan yang sangat, diapun telah berkata bimbang:

„Tetapi..... tetapi.....”

Namun Sam tocu tidak meneruskan perkataannya, sehingga membuat Yo Him jadi tambah mendongkol saja.

„Apanya yang tetapi, tetapi? Apakah engkau ingin mengatakan bahwa Kim-pay ini merupakan Kim-pay palsu?”

„Tidak berani! Tidak berani!” justru aku mengenali jelas sekali bahwa Kim-pay itu adalah milik Wie Liang tocu, wakil pangcu di pusat.....!”

„Hemm, mengapa engkau tidak segera melakukan upacara menerima Kim-pay?” tanya Yo Him dengan nada suara menegur.

„Baiklah! Aku harus menjelaskan kepadamu! Sesungguhnya kami menghormati sekali pemimpin-pemimpin kami di pusat, tetapi sangat disesalkan sekali justru pemimpin-pemimpin kami itu kurang teliti! Buktinya Kim-pay yang demikian berharga telah begitu mudah diberikan kepada seorang anak sebaya engkau! Bukankah jika terjadi sesuatu, akan membahayakan sekali? Bukankah anak sebaya engkau bisa saja diperalat oleh orang-orang jahat dan dengan mempergunakan kekuasaan Kim-pay itu, anggota Kay-pang akan dikendalikan oleh tangan jahat, dipinjam untuk melakukan kejahatan? Tidak! Tidak! Aku tidak bisa menerima kenyataan seperti ini!”

Memang apa yang dikatakan oleh Sam tocu memang masuk dalam akal sehat. Apa yang dibilangnya itu juga beralasan kuat sekali.

Namun walaupun bagaimana Yo Him berusaha meyakinkan bahwa Kim-pay ini diberikan oleh Wie Liang tocu sebagai hadiah kepadanya.

„Ketahuilah, bahwa antara aku dengan Wie toako memang telah mengikat tali persaudaraan, kami telah angkat saudara, dimana Wie tocu telah menjadi toakoku! Sebagai adik angkatnya, maka aku telah dihadiahkan sebuah Kim-pay..... Inilah Kim-paynya itu!”

Semula Sam tosu masih ragu-ragu mengenal diri Yo Him, tetapi mendengar perkataan Yo Him yang terakhir itu, keragu-raguan di hatinya jadi lenyap, bahkan dia telah tertawa bergelak-gelak dengan, suara yang nyaring sekali.

„Bagus! Bagus!” katanya dengan suara yang keras sekali. „Tampaknya engkau memang seorang anak yang pandai berdusta! Semula aku masih mau mempercayai bahwa engkau memperoleh Kim-pay itu dari tangan Wie tocu, tetapi sekarang mendengar kalian mengangkat saudara, ha, ha, tentu saja hal itu tidak masuk dalam akal sehatku! Bagaimana mungkin anak sekecil engkau bisa mengangkat saudara dengan Wie tocu? Hemmm, dalam keadaan seperti ini tampaknya engkau juga ingin berdusta! Banyak orang-orang persilatan yang ingin menjadi sahabat Wie tocu, tetapi jarang yang pantas untuk menjadi sahabatnya! Maka, mana bisa aku mempercayai justru engkau sebagai adik angkatnya?”

Dan setelah berkata begitu, Sam tocu telah membentak dengan tubuh yang bergerak cepat ke arah Yo Him.

„Berikan Kim-pay itu kepadaku.....!” dan dia telah mengulurkan tangannya, untuk merebut Kim-pay itu dari tangan Yo Him.

Yo Him jadi terkejut sekali, karena Sam tocu telah bergerak sangat cepat sekali, dia telah mengulurkan tangannya untuk merebut Kim-pay itu, karena dia bermaksud untuk mengembalikannya kelak kepada Wie Liang tocu di pusat.

Jika memang ternyata Wie tocu kehilangan Kim-paynya dan Sam tocu bisa mengembalikannya, bukankah hal itu menunjukkan dia telah melakukan pahala yang cukup besar untuk Kay-pang? Bukankah dia akan naik tingkat juga? Maka dari itu, Sam tocu tidak segan-segan dalam gerakannya, dia mengulurkan tangan kanannya untuk merebut Kim-pay itu dari tangan Yo Him, sedangkan tangan kirinya telah diluncurkan untuk menyerang ke arah dada Yo Him. Gerakan itu dimaksudkan pertama-tama tangan kanannya ingin merebut Kim-pay, sedangkan tangan kirinya akan menghantam binasa anak itu.

Yo Him mana berdaya untuk mengelakan diri dari serangan Sam tocu? Phang Kui In yang melihat gerakan Sam tocu jadi terkejut bukan main, dia bermaksud mengulurkan tangannya untuk menangkis serangan di dada Yo Him, karena baginya yang terpenting menyelamatkan jiwa Yo Him dulu, maka walaupun Kim-pay nanti kena direbut oleh Sam tocu, hal itu mudah diurus di belakang harinya.

Sedang Cu Kun Hong yang melihat sikap Sam tocu, jadi marah sekali.

,,Manusia hina yang tidak tahu malu!” memaki Cu Kun Hong, dan pelajar ini bukan hanya membentak begitu saja, karena dengan cepat sekali dia telah melompat dengan gerakan yang sangat gesit dan tangan kanannya mencekal kipas telah bergerak. Dia sama sekali bukan bermaksud menangkis serangan Sam tocu yang dilancarkan kepada Yo Him, hanya mengancam akan menolok jalan darah Pai-kong-hiat di punggung Sam tocu.

Tentu saja hal itu telah membuat Sam tocu jadi terkejut karena dia menyadari bahwa Pai-kong-hiat merupakan jalan darah terpenting dan merupakan jalan darah utama di tubuh manusia.

Karena itu dalam keadaan terancam begitu, Sam tocu tidak bisa meneruskan serangannya, dengan cepat dia telah menarik pulang tangan kiri dari serangan yang dilancarkan Cu Kun Hong.

Tubuh Sam tocu telah melompat ke samping, sehingga ancaman kipas Cu Kun Hong yang ingin menotok jalan darah di punggungnya itu jatuh di tempat yang kosong.

16.32. Penegakan Disiplin Kay-pang

Betapa gusarnya Sam tocu, begitu kedua kakinya berdiri tegak di atas tanah, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur, tampak dia telah menggerakkan kedua tangannya dengan saling susul dan serentak. Gerakan yang dilakukannya sangat cepat sekali, sehingga tampaknya sulit bagi Cu Kun Hong untuk mengelakkan diri, karena waktu dia sedang mengulurkan tangannya dan belum menarik serangan kipasnya, sehingga ketiaknyalah yang menjadi inceran dari serangan Sam tocu.

Kalau serangan Sam tocu mengenai sasarannya, niscaya akan menyebabkan tulang iga Cu Kun Hong akan remuk berantakan, karena Sam tocu telah menyalurkan tenaga lweekangnya sebanyak delapan bagian di kedua tangannya itu, sehingga angin serangan itu menderu-deru datangnya.....

Tetapi Cu Kun Hong tidak menjadi gugup karenanya, walaupun dia telah diserang dengan gempuran-gempuran yang begitu kuat dan keras. Dengan mengeluarkan suara siulan yang cukup nyaring tampak Cu Kun Hong telah menjejak kakinya, tubuhnya telah melompat ke tengah udara dengan gerakan yang sangat cepat sekali ia melayang berjumpalitan beberapa kali, sehingga berhasil menjauhi diri dari Sam tocu.

Tetapi Sam tocu sangat penasaran, dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, dia telah melompat dan mendesak Cu Kun Hong dengan serangan-serangan yang jauh lebih kuat lagi. Dengan gerakan ‘Kim-hong-sam-tiauw’ yakni cendrawasih emas mengangguk tiga kali, kedua tangannya menyambar saling susul tiga kali menimbulkan kesiuran angin yang keras. Setelah mana disusuli pula oleh ‘jie-liong-po-cu’ atau sepasang naga memperebutkan mustika, kedua tangannya itu menyambar-nyambar dengan hebat, membuat Cu Kun Hong jadi terkejut bukan main.

Dalam keadaan demikian Cu Kun Hong tidak berani meremehkan serangan-serangan yang di lancarkan oleh pengemis tersebut dengan mengeluarkan suara bentakan keras dan kuat tampak Cu Kun Hong menggerakkan kipasnya „serrrr.....” kipas tersebut menyambar dengan jurus ‘Ong-lui-thian-te’ atau raja petir mendatangkan hujan dari langit.

Gerakan-gerakan hebat seperti itu menyebabkan serangan-serangan Sam tocu tertangkis dan gagal sama sekali. Bahkan tangkisan itu karena terlalu kuat, menimbulkan suara benturan yang menulikan telinga.

Sam tocu dalam kemarahan yang membakar hati, telah mengulangi lagi serangan-serangannya. Rupanya pengemis ini telah mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sampai otot-otot dan urat di mukanya bertonjolan jelas.

Angin serangan itu berkesiuran kuat dan memaksa Sam tocu harus bersikap jauh lebih berhati-hati dibandingkan dengan beberapa saat yang lalu, karena jika serangan-serangan yang kali ini dilancarkannya itu tidak berhasil menemui sasaran yang tepat di tubuh lawannya, tentu ia sendiri yang pasti akan terluka di dalam oleh tenaga dalamnya sendiri yang akan berbalik menghantamnya.

Semakin lama Cu Kun Hong jadi semakin sibuk menghadapi gempuran-gempuran lawannya yang agak nekad ini dan beberapa kali ia telah mengeluarkan suara seruan-seruan sangat keras dan juga diselingi oleh seruan-seruan kaget karena dirinya berulang kali hampir terkena serangan-serangan Sam tocu. Untung saja Sam tocu dalam melancarkan serangan-serangannya itu masih mempertimbangkan keselamatan dirinya, coba kalau tidak Cu Kun Hong tentu telah dapat dirubuhkannya. Atau setidak-tidaknya mereka akan terluka bersama.

Cu Kun Hong menyadarinya bahwa tocu dari partai pengemis ini memang memiliki kepandaian yang tinggi sekali disamping memiliki dasar tenaga dalam yang terlatih kuat.

Sam tocu telah menduduki tingkat yang tinggi dalam perkumpulan Kay-pang cabang daerah dan tampaknya iapun takut menderita malu dihadapan kedua orang bawahannya jika harus kalah di tangan Cu Kun Hong, dimana Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay tengah mengawasi jalannya pertempuran itu dengan mata terpentang lebar-lebar. Beruntun Sam tocu telah melancarkan serangan-serangan dengan jurus ‘Pek-lui-thian-mui’ atau Petir putih dari pintu langit, dan seperti juga samberan kilat, tangannya itu berkesiuran kuat menyambar ke lawannya dengan mengeluarkan suara berkesiutan tidak hentinya.

Serangan-serangan kedua jago yang tengah saling gempur dalam pertarungan yang begitu menakjubkan, menimbulkan angin yang menderu-deru dan daun-daun kering maupun debu telah beterbangan karena terjangan dan terpahan angin serangan di seputar gelanggang pertempuran itu.

Phang Kui In yang menyaksikan pertempuran diantara kedua jagoan itu, diam-diam jadi menghela napas panjang.

„Beruntun-runtun aku telah melihat kepandaian yang sangat tinggi dari beberapa orang persilatan dan kini tampaknya Sam tocu dari Kay-pang pun bukan memiliki kepandaian yang lemah. Begitu pula si pelajar she Cu itu tampaknya bukan orang sembarangan. Namun siapa sebenarnya Cu Kun Hong itu? Mengapa selama ini aku tidak pernah mendengar namanya di dalam rimba persilatan?”

Waktu Phang Kui In sedang berpikir begitu, Cu Kun Hong yang telah terdesak terus menerus oleh serangan-serangan yang dilancarkan la¬wannya jadi gusar sekali. Ia telah mengeluarkan suara bentakan marah yang keras. Waktu Sam tocu melancarkan serangan kepalan tangannya dengan jurus ‘Kwan-im-lian-kiam’ atau dewi Kwan-im duduk di teratai emas, mengincer dada Cu Kun Hong, tahu-tahu kipas si pelajar telah dilintangkan di depan dadanya. „Serr.....!” kipas itu telah terbuka lebar seperti perisai, untuk menyambuti serangan yang di lancarkan Sam tocu.

„Bukk..... Pranggg.....!” terdengar kipas itu terpukul oleh kepalan tangan Sam tocu, tetapi karena kipas itu terbuat dari besi murni dengan sendirinya kuat sekali daya tahannya.

Mempergunakan kesempatan ini tangan kiri Cu Kun Hong telah bergerak dan dia telah melancarkan gempuran hebat sekali menghantam lambung lawannya dengan jurus ‘Ma-lim-cut-cu’ atau kuda hutan mengeluarkan mutiara, gerakan yang dilakukan pelajar ini cepat dan lincah disamping mengandung tenaga lweekang yang kuat. Dan bersamaan dengan itu Sam tocu juga tengah meluncurkan tangan kanannya ke arah dada Cu Kun Hong dengan tubuh yang doyong ke depan, sulit sekali dia berkelit atau mengelakkan diri dari gempuran si pelajar she Cu itu. Walaupun hatinya terkejut, tetapi Sam tocu masih bisa mengendalikan diri, cepat-cepat dia telah memusatkan tenaga dalamnya melindungi bagian lambungnya.

„Bukk!” Serangan telapak tangan kiri Cu Kun Hong yang tidak bisa dielakkannya lagi itu telah diterimanya dengan mempergunakan kekuatan lweekang di sekitar lambungnya dan gempuran pelajar itu membuat tubuh Sam tocu terhuyung mundur dua langkah, namun tokoh Kay-pang tersebut tidak terluka karenanya.

Cu Kun Hong semula girang melihat serangannya itu tidak dapat dihindarkan oleh lawannya, tetapi waktu telapak tangannya mengenai sasaran di lambung si pengemis, tampak Cu Kun Hong juga terkejut karena merasakan tangannya seperti juga menggempur lempengan besi yang keras bukan main sampai ia merasakan telapak tangannya sakit sekali.

Di saat itu dengan cepat sekali Cu Kun Hong merobah posisi tubuhnya dan kipasnya dihentakkan dalam keadaan tertutup melancarkan serangan lagi ke arah pundak Sam tocu dengan maksud untuk menotok jalan darah si pengemis.

Gerakan yang dilakukan Cu Kun Hong mempergunakan jurus ‘Jie-lay-kiu-mui’ atau Sang buddha dengan sembilan pintu, memaksa si pengemis mundur beberapa langkah karena jika dia bergerak terlambat tentu dirinya akan menjadi korban totokan ujung kipas itu.

„Bagaimana apakah kita meneruskan pertempuran ini?” tanya Cu Kun Hong dengan suara mengejek dan menatap tajam kepada si pengemis, mulutnya tersenyum sinis.

Sam tocu baru saja berhasil mengendalikan goncangan hatinya karena nyaris tadi dia terserang oleh pelajar yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya, namun mendengar pertanyaan Cu Kun Hong dia jadi marah sekali.

„Tentu saja diteruskan!” teriak Sam tocu dengan suara mengerang marah disusul dengan lompatan tubuhnya menerjang maju melancarkan gempuran-gempuran lagi kepada Cu Kun Hong. Tangan Sam tocu telah meluncur ke tulang pie-pie (tulang selangka) di bahu Cu Kun Hong.

Cu Kun Hong tidak berani berdiam diri saja, ia mengibaskan kipasnya dengan cepat dan bergerak lincah sekali.

„Takkkk!” kipasnya telah menyampok pergelangan tangan kanan Sam tocu. Tetapi Sam tocu menggerakkan terus tangan kirinya membuat Cu Kun Hong jadi terkejut. Mati-matian Cu Kun Hong menggeser kaki kirinya dengan tubuh yang didoyongkan ke arah kiri. Tetapi di saat itu telah terdengar suara „breettt” yang cukup nyaring, baju bagian bahu Cu Kun Hong telah robek terkena cengkeraman jari-jari tangan Sam tocu.

Bukan main girangnya hati Sam tocu yang cepat-cepat menyusuli lagi dengan serangan-serangan yang berangkai, setiap serangannya membawa angin serangan yang mengandung maut. Memang cara menyerangnya yang saling susul dan berangkai itu sengaja dilakukannya, agar tidak memberikan kesempatan kepada Cu Kun Hong memperkuat besi atau kuda-kuda kakinya.

Dalam keadaan demikian Cu Kun Hong yang merasakan pundaknya pedih dan nyeri sebab tadi terluka sedikit akibat cakaran jari tangan Sam tocu, telah membuat ia harus menahan perasaan nyeri itu dan mengelakkan diri dari serangan susulan yang dilancarkan Sam tocu.

Setiap gerakan yang dilakukan Cu Kun Hong merupakan gerakan pertahanan yang sangat kuat sekali. Tetapi serangan-serangan Sam tocu semakin lama bukannya semakin berkurang tenaga menekannya, bahkan semakin kuat dan bisa mematikan jika berhasil mengenai sasaran dari korban serangan ini.

Cu Kun Hong lebih banyak berkelit dan menghindar saja dari serangan-serangan yang dilakukan si pengemis, karena Cu Kun Hong memang tengah mengawasi kelemahan-kelemahan dari lawannya, untuk mencari kelemahan di diri Sam tocu.

Tetapi selama itu Cu Kun Hong tidak berhasil melihat kelemahan di diri pengemis yang sakti ini. Bahkan semakin lama Sam tocu telah melancarkan serangan-serangannya dengan pengerahan lweekang yang lebih kuat lagi.

Dalam waktu yang sangat singkat sekali, tampak mereka telah bertempur lebih dari seratus jurus.

Phang Kui In yang menyaksikan dari samping, jadi berdiri diam mematung, karena dia merasa kagum atas kepandaian yang dimiliki kedua orang yang tengah bertempur itu.

Yo Him sendiri sambil menyaksikan jalannya pertempuran itu, berulang kali telah melirik ke arah Kim-pay di tangannya. Dia heran juga mengapa kali ini Kim-pay dari Wie Liang tocu tidak memperlihatkan kekuasaannya?

Di saat Cu Kun Hong dan Sam tocu sedang bertempur, tiba-tiba terdengar suara orang menggumam perlahan:

„Bertempur merupakan pekerjaan yang menggembirakan, memang bertempur merupakan pekerjaan yang sangat menyenangkan! Dulu aku semasa muda juga gemar sekali berkelahi, sampai kepalaku benjol-benjol dan pulang ke rumah dipukuli ibu!”

Waktu Yo Him dan Phang Kui In menoleh, mereka melihat munculnya seorang pengemis tua dengan tubuh yang bungkuk, dengan muka yang telah peyot dan kumal sekali, pakaiannya juga kotor sekali, di punggungnya yang berpunuk itu tampak tergemblok sebuah hiolo tempat arak.

Phang Kui In dan Yo Him jadi terkejut. Dengan munculnya pengemis tua itu, tentu saja berarti bertambahnya seorang lawan.

Phang Kui In cepat-cepat bersiap-siap dan waspada, jika memang pengemis itu bermaksud untuk menyerang Cu Kun Hong, dia yang akan menghalanginya.

Tetapi pengemis itu, yang tampaknya lelah sekali melakukan perjalanan, telah menghampiri sebatang pohon, dia telah duduk di bawah pohon itu, untuk menyaksikan pertempuran sambil meloloskan ikatan hiolonya, dan meneguk isinya. Bau arak segera tersiar di sekitar tempat itu.

Cu Kun Hong dan Sam tocu yang tengah terlibat dalam pertempuran yang seru sekali, sudah tidak sempat untuk menoleh, karena mereka sedang mencurahkan perhatian masing-masing untuk berusaha merubuhkan lawannya.

Dalam keadaan seperti ini, tampak Sam tocu yang paling bernafsu sekali berusaha untuk dapat merubuhkan lawannya.

Sedangkan kedua pengemis yang membawa empat helai karung, Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, telah memperhatikan pengemis tua itu. Muka kedua pengemis ini jadi berobah hebat, tampaknya mereka terkejut sekali.

„Kim-ciu Sin-kay!” bisik mereka hampir berbareng.

Tetapi pengemis tua itu, yang mereka sebut sebagai Kim-ciu Sin-kay (pengemis sakti arak emas), telah tersenyum-senyum, menyaksikan terus pertempuran itu, sambil meneguk perlahan-lahan arak di dalam hiolonya.

„Aha, aha, salah….. salah. Itulah cara menyerang yang salah!” teriak si pengemis tua itu. „Kalian bertempur seperti juga dua orang anak berusia lima tahun, hanya bisa menggerak-gerakkan tangan belaka!”

Di saat pengemis tua itu tengah berteriak-teriak begitu, tampak Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah menghampirinya, kedua pengemis itu telah berlutut dihadapan pengemis tua itu.

„Locianpwe, kami Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay memberi hormat.....!” kata mereka hampir berbareng.

Pengemis tua itu jadi menoleh dan memandang sinis kepada kedua pengemis yang sedang berlutut itu.

Sedangkan hati Phang Kui In dari Yo Him waktu melihat Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay berlutut memberi hormat kepada pengemis tua itu hati mereka jadi tergoncang, karena walaupun bagaimana memang kenyataannya pengemis tua itu kaum dari Kay-pang.

Phang Kui In jadi bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Di saat itu, tampak pengemis tua itu telah bertanya dengan suara yang tawar: „Kalian hanya mengganggu perhatianku saja! Lihatlah! Aku jadi tidak bisa menikmati kesenanganku untuk menyaksikan perkelahian kedua anak kecil itu.....!” dan setelah berkata begitu, tangan kanannya tampak digerakkan perlahan sekali, tetapi tahu-tahu Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah mengeluarkan suara jerit kesakitan, tubuh mereka telah terpental keras melambung ke tengah udara, dan terbanting keras sekali.

Phang Kui In dan Yo Him jadi berdiri tertegun, karena jika pengemis tua itu merupakan sahabat atau orang dari Kay-pang juga, mengapa memperlakukan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay begitu macam? Tampaklah Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah merangkak untuk bangun berdiri.

Muka mereka tampak bengkak merah, karena rupanya masing-masing telah diberi hadiah satu tamparan yang keras.

Tetapi Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay tidak berani memperlihatkan perasaan marah atau mendongkol, mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk dalam-dalam, kedua tangan diturunkan, tampaknya mereka ketakutan sekali.

Sedangkan Kim-ciu Sin-kay telah menyaksikan jalannya pertempuran lagi antara Sam tocu dengan Cu Kun Hong, sedangkan mulutnya tidak henti-hentinya mengoceh saja, dan juga telah meneguk araknya.

Dalam keadaan demikian, tampaknya Sam tocu tadi telah mendengar suara jeritan dari Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay. Dia telah melirik sejenak kepada pengemis tua Kim-ciu Sin-kay, waktu dia berhasil membuat Cu Kun Hong mundur dua tindak ke belakang. Dan begitu mengenali pengemis tua itu, hatinya terguncang mukanya menjadi pucat, dan telah melompat mundur dengan cepat dan menghampiri pengemis tua itu. Waktu sampai dihadapan pengemis tua itu dia telah berlutut memberi hormat.

„Tecu (murid) benar-benar tidak mengetahui kedatangan locianpwe, sehingga tidak mengadakan penyambutan!” katanya dengan suara ketakutan sekali.

Cu Kun Hong yang semula heran melihat sikap Sam tocu, kini jadi berdiri dengan hati tergoncang, karena dia melihat Sam tocu telah berlutut begitu, dan tampaknya pengemis tua Kim-ciu Sin-kay merupakan pengemis yang sakti dan memiliki tingkatan tinggi di dalam Kay-pang. Buktinya saja, Sam tocu yang memiliki kepandaian yang tinggi, telah berlaku begitu hormat dan ketakutan sekali.

Cepat-cepat Cu Kun Hong bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu, sedangkan hatinya jadi berkuatir juga karena dia melihat bahwa kepandaian Sam tocu sudah begitu tinggi dan boleh dibilang tadi dia telah terdesak. Terlebih lagi sekarang, tampaknya pengemis tua itu dihormati sekali oleh Sam tocu. Tentunya Kim-ciu Sin-kay itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali.

Maka segera Cu Kun Hong telah memusatkan seluruh kekuatan tenaga dakamnya di kedua telapak tangannya, karena dia bersiap-siap kalau sampai Kim-ciu Sin-kay melancarkan serangan, dia bisa segera menghadapi.

Tetapi pengemis tua itu sama sekali tidak melakukan gerakan apa-apa.

Kim-ciu Sin-kay telah memandang sinis kepada Sam tocu.

„Percuma engkau diangkat sebagai tocu cabang daerah, karena engkau tidak bisa melakukan tugasmu dengan baik.....!” kata Kim-ciu Sin-kay. Dia berkata-kata dengan suara yang biasa saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia tengah marah. Namun kenyataannya, Sam tocu jadi ketakutan sekali.

„Bukan main! Bukan main!” berkata Kim-ciu Sin-kay lagi. „Engkau telah memiliki kepandaian, tetapi kepandaian itu bukan untuk dipergunakan melakukan perbuatan yang tidak-tidak!”

Sam tocu tampak jadi tambah ketakutan saja, dia sampai berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. „Tecu memang bersalah!” katanya dengan suara yang tersendat, „Tecu memang benar-benar bersalah, dan patut menerima hukuman!”

„Jika engkau mengatakannya sekarang, semuanya telah terlambat, karena engkau masih berani melawan kekuasaan Kim-pay. Hal itu sudah merupakan suatu ingkar yang luar biasa, berarti engkau sudah tidak memandang sebelah mata terhadap pemimpin Kay-pang di pusat, berarti juga engkau sudah secara langsung menghina kekuasaan Kay-pang!”

Sam tocu jadi tambah ketakutan saja, dia telah gemetaran keras dan berulang kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sampai keningnya menghantam tanah, terdengar suara „tuk, tuk!” karena kepalanya itu telah menghantam tanah. Dalam keadaan demikian, tampak Sam tocu benar-benar seperti seorang persakitan yang menantikan hukuman. Tentu saja keadaan Sam tocu membuat Phang Kui In dan yang lainnya jadi heran. Mereka segera mau menduga bahwa pengemis tua itu pasti dari Kay-pang pusat.

Saat itu tampak Sam tocu telah berkata dengan suara yang ragu-ragu, „Sesungguhnya..... apakah kesalahanku.....!? Aku telah berusaha untuk membela anak buah atau anggota Kay-pang cabang daerah, agar mereka memiliki pelindung, jangan sampai dihina orang..... namun kenapa aku yang telah dipersalahkan.....!” dengan berkata begitu, tampaknya Sam tocu ingin membela diri, karena diapun merasakan bahwa tindakannya yang membela anggota Kay-pang merupakan pekerjaan yang tidak salah.

Tetapi Kim-ciu Sin-kay telah tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara yang keras: „Hemmm, tampaknya memang engkau merupakan seorang yang terlalu kepala batu! Selama dua tahun terakhir ini, di pusat telah menerima laporan bahwa anggota Kay-pang cabang daerah yang kalian pimpin merupakan momok yang menakutkan bagi penduduk daerah ini, karena kalian selalu melakukan kejahatan. Sebagai pemimpin kau, dan ketua cabang daerah mengumbar anggota Kay-pang melakukan kejahatan-kejahatan belaka, tanpa mengambil perduli!”

Dan berkata sampai disitu, tampak Kim-ciu Sin-kay telah memperlihatkan muka yang serius dan angker, kata-katanya juga telah meninggi, „Dan aku datang untuk menghukum kalian, anggota-anggota yang telah melakukan kesalahan yang bisa merugikan nama Kay-pang!”

Muka Sam tocu jadi berobah pucat seketika itu juga, dia masih dalam keadaan berlutut, kemudian katanya dengan suara yang perlahan, „Ampunilah..... kami akan merobah kelakuan kami!”

Waktu itu Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah berlutut juga, mereka juga telah memohon: „Kamipun berjanji akan merobah kelakuan kami! Ampunilah jiwa kami, locianpwe!”

Tetapi Kim-ciu Sin-kay telah tertawa dingin. „Apakah begitu mudah mengampuni manusia-manusia berdosa?” katanya dengan suara yang dingin.

Muka Sam tocu jadi berobah tambah pucat, begitu pula tubuh Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay jadi menggigil karena mereka ketakutan bukan main.

„Sekarang kalian bersiap-siaplah untuk menerima hukuman!” kata Kim-ciu Sin-kay dengan suara yang lebih dingin lagi.

Phang Kui In, Yo Him dan Cu Kun Hong jadi mengawasi saja dengan heran. Mereka tidak mengetahui entah kedudukan apa yang dimiliki pengemis tua Kim-ciu Sin-kay sehingga dia bisa menjatuhkan hukuman kepada anggota Kay-pang yang melakukan kesalahan. Mereka juga tidak mengetahui entah hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Kim-ciu Sin-kay kepada ketiga anggota Kay-pang itu.

Kim-ciu Sin-kay telah berdiri dari duduknya, dia telah mengikat hiolonya kembali di punggungnya yang berpunuk, lalu dengan berdiri diam-diam dia mengawasi ketiga pengemis itu.

Sam tocu bertiga jadi tambah ketakutan mereka seperti tengah menghadapi malaikat elmaut saja.

„Nah, sekarang tiba saatnya kalian akan menjalani hukuman masing-masing!” kata Kim-ciu Sin-kay dengan suara yang dingin dan dia merogoh sakunya, tahu-tahu di tangannya telah tercekal tiga ekor ular.

Muka Sam tocu bertiga berobah tambah pucat dan ketakutan, keringat dingin juga telah mengucur deras sekali dikening dan di mukanya.

„Locianpwe.....?!” suara Sam tocu bertiga tergetar keras.

Kim-ciu Sin-kay telah melemparkan tiga ekor ular itu ke atas tanah.

Ular tersebut berukuran tidak besar, hanya berukuran satu jengkal dengan besarnya sebesar ibu jari tangan. Waktu dilemparkan ke atas tanah ketiga ekor ular itu telah melingkar-lingkar di tanah dengan gerakan yang lamban sekali. Warnanya hijau kekuning-kuningan.

„Jalankan hukuman kalian!” bentak Kim-ciu Sin-kay dengan suara yang angker sekali.

Sam tocu tampak ragu-ragu, begitu juga dengan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay. Tetapi waktu melihat sorot mata Kim-ciu Sin-kay mereka jadi mengeluh, karena tampaknya mereka bertiga menyadari jika mereka ayal-ayalan melaksanakan hukuman itu niscaya akan menyebabkan mereka menerima hukuman yang jauh lebih berat lagi dari Kim-ciu Sin-kay. Maka akhirnya mereka telah menghampiri ketiga ular itu, masing-masing telah mengambil seekor.

Phang Kui In, Yo Him dan Cu Kun Hong memandang heran tanpa mengerti, akhirnya mereka hampir mengeluarkan suara jeritan tertahan karena merasa ngeri. Sebab Sam tocu bertiga telah membawa ular di tangan masing-masing ke muka mereka sehingga ular itu telah mengulurkan lidahnya, dan pipi Sam tocu bertiga telah digigitnya.

Sam tocu bertiga menjerit, tetapi ular itu tetap mereka pegangi terus. Dan berulang kali ular itu telah memagutkan pipi Sam tocu bertiga tidak hentinya, maka dalam waktu yang singkat sekali, puluhan gigitan telah diterima Sam tocu bertiga. Setiap kali pipi mereka digigit, mereka mengeluarkan suara raungan kesakitan.

Darahpun telah mengucur deras dari luka gigitan itu dan setelah duapuluh kali gigitan ular itu Kim-ciu Sin-kay telah berkata perlahan,

„Cukup!”

Sam tocu dengan muka yang berlumuran darah telah menghampiri Kim-ciu Sin-kay, menyerahkan ular di tangannya. Begitu pula dengan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah mengembalikan ular itu kepada Kim-ciu Sin-kay dengan sikap yang menghormat sekali, mereka pun telah menyatakan terima kasihnya.

Phang Kui In mengerutkan alisnya, karena dia mengetahui bahwa ular itu adalah Kim-tok-coa (ular racun emas), yang sangat berbisa sekali, racun ular itupun sangat hebat sekali, walaupun tidak bisa mematikan namun setiap korbannya akan menderita demam hebat. Dan kini Sam tocu bertiga telah digigiti mukanya sebanyak duapuluh kali, mereka pasti akan menderita demam yang hebat, walaupun masing-masing memiliki tenaga lweekang yang cukup kuat. Dan yang lebih mengerikan sekali justru muka mereka yang akan bercacad, akan menjadi buruk sekali jika kelak luka-luka itu telah mengering. Phang Kui In sendiri sampai bergidik melihat cara hukuman tersebut.

„Hebat cara Kay-pang mengatur anak buahnya, tampaknya Sam tocu sama sekali tidak berani membantah hukuman yang harus diterima oleh mereka,” berpikir Cu Kun Hong. „Entah apa pangkat Kim-ciu Sin-kay dalam Kay-pang?”

Saat itu Kim-ciu Sin-kay telah tertawa perlahan, tampaknya dia puas.

„Nah kini kalian pergilah, tetapi kalian harus melaporkan apa yang kalian terima ini kepada pemimpin kalian, agar pemimpin kalian besok tepat jam duabelas tengah malam, menemui aku! Tempatnya di kuil Bong-sie-am, di luar pintu sebelah barat!”

„Baik, terima kasih atas kemurahan hati locianpwe!” kata Sam tocu bertiga hampir berbareng, lalu dengan kepala yang tertunduk dalam-dalam, mereka telah membalikkan tubuh dan berlalu meninggalkan tempat itu.

Sedangkan Kim-ciu Sin-kay menghampiri Yo Him, tahu-tahu dia menekuk sebelah kakinya.

“Tecu Kim-ciu Sin-kay menghadap Kim-pay,” katanya dengan suara yang nyaring.

Yo Him jadi terkejut. Begitu juga Phang Kui In dan Cu Kun Hong. Cepat-cepat Yo Him mengangkat Kim-pay di tangannya, karena dia menyadari yang dihormati bukan dirinya melainkan Kim-pay itu.

„Ada perintah apakah untuk tecu?” tanya Kim-ciu Sin-kay lagi dengan suara yang sabar.

„Boanpwe hanya ingin meminta agar locianpwe menyelesaikan keadaan Kay-pang di daerah ini, karena Kay-pang cabang daerah ini tampaknya tidak beres!” kata Yo Him yang telah membahasakan dirinya dengan sebutan boanpwe golongan muda.

„Baik tecu akan memperhatikan perintah ini. Tecu akan mengadakan pembersihan di dalam Kay-pang!”

„Baiklah. Boanpwe tidak memiliki persoalan lainnya lagi!” kata Yo Him sambil, memasukan Kim-pay ke dalam sakunya. „Tetapi bisakah boanpwe mengetahui, kedudukan apakah yang dijabat oleh locianpwe?”

„Bicara mengenai kedudukan, tecu tidak memiliki kedudukan apa-apa, karena tecu hanya diperintahkan oleh pangcu sebagai penilik saja, memperhatikan cabang-cabang daerah dari Kay-pang. Jika memang ada anggota yang melanggar tata-tertib peraturan dari Kay-pang, harus mengambil tindakan atau jika perlu melaporkan kepada pangcu!”

„Hemmm, jika demikian baiklah. Tentu persoalan Kay-pang di daerah ini bisa diselesaikan oleh locianpwe!”

„Tecu menerima perintah itu, dan tolong sampaikan salam tecu kepada Wie tocu!”

„Baik!” kata Yo Him. „Kami akan segera berlalu.”

„Bisakah tecu mengetahui siapakah adanya Siauw eng-hiong?” tanya Kim-ciu Sin-kay lagi.

„Aku she Yo dan bernama Him,” menjelaskan Yo Him.

„Aku jadi teringat seseorang.....!” kata Kim-ciu Sin-kay. „Masih pernah apakah dan ada hubungan apakah diantara Siauw eng-hiong dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”

„Itulah ayah dari Siauw eng-hiong ini!” menyelak Phang Kui In menjelaskan.

Muka Cu Kun Hong jadi berobah, cepat-cepat dia menghampiri Yo Him, dan telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat sambil katanya: „Tidak tahunya yang ada dihadapanku ini adalah puteranya Yo Tayhiap.....! Sungguh menggembirakan sekali! Dulu aku pernah ditolong oleh Yo Tayhiap, dan budi Yo Tayhiap tidak akan kulupakan! Jika Yo siauw eng-hiong memiliki kesulitan apa-apa, tidak perlu segan-segan memberikan perintah kepada hak-seng (murid, kata-kata merendah dari seorang pelajar).”

Yo Him membalas hormat Cu Kun Hong.

„Tadipun kami belum mengucapkan terima kasih atas bantuan Cu siucai terhadap paman Phang dan diriku, jika tidak ada Cu siucai tentu kami telah dicelakai oleh Sam tocu.....!”

Dan setelah berkata begitu, Yo Him telah memberi hormat dengan bungkukkan tubuh yang dalam. „Terima kasih atas bantuan itu.....! Dan kami akan segera berlalu!” lalu bersama-sama dengan Phang Kui In, Yo Him membalikkan tubuhnya meninggalkan Cu Kun Hong dan Kim-ciu Sin-kay.

Sedangkan Cu Kun Hong dan Kim-ciu Sin-kay berdiri tertegun sejenak, tampaknya mereka takjub sekali karena mereka tidak menduga sebelumnya bahwa Yo Him adalah putera dari seorang pendekar sakti seperti Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Semula memang Kim-ciu Sin-kay masih ingin menanyakan dari manakah Yo Him memperoleh Kim-pay milik Wie tocu. Tetapi kini setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah putera Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko maka dia mau menduga bahwa mungkin Wie tocu telah memberikan Kim-pay miliknya itu disebabkan dia merasa kagum dan hormat sekali kepada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Dan tidak pernah diduga oleh Kim-ciu Sin-kay dan Cu Kun Hong, bahwa sesungguhnya Wie Liang tocu sama sekali tidak mengetahui bahwa Yo Him adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap. Justru antara Wie Liang tocu dan Yo Him telah terjalin hubungan yang baik sekali, antara mereka berdua telah saling mengangkat saudara.

Cu Kun Hong kemudian memberi hormat kepada Kim-ciu Sin-kay dan lalu meminta diri. Begitu pula Kim-ciu Sin-kay telah meninggalkan tempat itu, sebab dia memang perlu mengurusi anggota-anggota cabang daerah tempat ini.

Tempat tersebut telah menjadi sunyi kembali.....

Y

Pada sore yang mendung tampaknya akan turun hujan. Yo Him dan Phang Kui In telah tiba di sebuah tempat yang rimbun sekali oleh pohon-pohon dan rumput yang tumbuh tinggi sehingga tampaknya tempat tersebut jarang sekali didatangi orang.

„Dimana kita akan bermalam, paman Phang?” tanya Yo Him.

„Kita melakukan perjalanan lagi beberapa saat, jika memang tidak berhasil menemui rumah penduduk, biarlah kita bermalam di alam terbuka saja.....” kata Phang Kui In.

„Tetapi paman Phang.....!” kata Yo Him ragu-ragu.

„Kenapa?” tanya Phang Kui In.

„Tampaknya tempat ini bukan tempat yang baik..... lihatlah semak belukar dan tampaknya agak mengerikan.....!” kata Yo Him lagi.

„Jangan kuatir, biar nanti aku yang mengaturnya!” kata Phang Kui In. „Jika ada orang jahat bukankah akupun sanggup menghadapinya?”

„Bukan begitu Phang susiok (paman Phang} tetapi aku merasakan adanya sesuatu yang membuat hati tidak tenang..... entah mengapa saja tadi begitu memasuki daerah ini aku merasakan jantungku tergoncang terus menerus tidak hentinya.”

„Itu mungkin hanya perasaanmu saja!” kata Phang Kui In. „Percayalah, tidak mungkin terjadi sesuatu apapun juga.”

17.33. Gerombolan Musuh Sin-tiauw Tayhiap

Yo Him menggeleng perlahan, katanya kemudian dengan suara yang perlahan:

„Tetapi hatiku mengatakan pasti akan terjadi sesuatu yang hebat!” dan setelah berkata begitu Yo Him menoleh kepada Phang Kui In, tanyanya lagi, „Paman Phang, masih jauhkah tempat dimana kita bisa bertemu dengan ayahku?”

„Mungkin masih membutuhkan waktu perjalanan satu bulan lagi!”

„Mari kita kembali saja ke perahu.....! kata Yo Him yang mengajak agar Phang Kui In bersama dia kembali ke perahu mereka,

Tetapi Phang Kui In menggeleng perlahan.

„Besok pagi saja..... justru kini akupun merasakan ada sesuatu yang agak aneh.....!” kata Phang Kui In.

Yo Him jadi memandang tegang kepada Phang Kui In, kemudian dia telah berkata lagi: „Baiklah, jika memang paman belum bersedia kembali ke perahu, akupun tidak bisa memaksanya.”

Tetapi baru saja Yo Him berkata sampai disitu tiba-tiba terdengar suara siulan yang panjang. Suara siulan itu disusul dengan suara siulan lainnya, yang saling susul. Didengar dari suara siulan itu, mungkin orang yang sedang mendatangi itu berjumlah belasan orang.

Phang Kui In berobah mukanya, dia telah menarik tangan Yo Him untuk menyelinap ke balik gerombolan pohon untuk bersembunyi disitu.

Tidak lama kemudian setelah Phang Kui In dan Yo Him memasang mata mereka melihat beberapa sosok tubuh berkelebat di sekitar tempat tersebut.

„Siapakah mereka?” tanya Yo Him dengan suara berbisik di pinggir telinga Phang Kui In.

„Aku belum dapat mengenalinya, karena tidak seorangpun yang kukenal,” menyahuti Phang Kui In dengan suara yang berbisik juga.

Saat itu rombongan orang yang saling mengeluarkan suara siulan itu telah tiba di dekat tempat dimana Yo Him dan Phang Kui In menyembunyikan diri.

Mereka terdiri dari berbagai orang persilatan, karena pakaian mereka juga bercampur ragam, ada yang berpakaian sebagai hweshio, ada yang berpakaian sebagai Tojin, ada pula yang berpakaian sebagai busu dan ada juga yang berpakaian sebagai siucai. tetapi yang mengherankan justru mereka bergerak dengan lincah dan gesit sekali, membuktikan bahwa kepandaian mereka sangat tinggi sekali.

Di saat itu, tampak Phang Kui In telah memperhatikan baik-baik orang yang datang dalam bentuk rombongan, walaupun mereka datang dari berbagai jurusan tetapi akhirnya telah berkumpul di tempat tersebut dalam rombongan berjumlah belasan orang.

Tiba-tiba salah seorang diantara mereka, seorang hweshio yang kepalanya gundul lanang mengkilap, telah berkata, apakah semuanya telah datang?”

„Belum! Masih ada yang belum hadir!’ menyahuti beberapa orang.

„Satu, dua, tiga.....!” hweshio itu telah menghitung orang yang hadir di tempat tersebut, dia menghitung sampai jumlah ketujuhbelas. Jadi jumlah yang berkumpul di tempat itu semuanya berjumlah tujuhbelas orang.

„Masih kurang tiga orang siapakah mereka itu?” dan si hweshio telah memperhatikannya semua orang-orang itu. Sampai akhirnya, dia berseru: „Akhh, kiranya sam-hengte (tiga bersaudara) dari keluarga Ang!”

„Benar!” menyahuti salah seorang diantara mereka.

„Memang Ang Sam-hengte itu merupakan manusia-manusia pemalas dan tidak bisa menepati janji! Bukankah sebelumnya telah ditegaskan bahwa pertemuan yang akan diadakan kali ini sangat penting sekali, tidak boleh gagal, tetapi mereka selalu meremehkan urusan dan tidak mau datang lebih dulu dari kita! Benar kepandaian mereka sangat tinggi ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang yang mengagumkan, tetapi seharusnya mereka tidak boleh berbuat sekehendak hati seperti itu,” sambil mengoceh begitu, si hweshio yang tampaknya jengkel sekali atas keterlambatan ketiga orang yang disebutnya tiga bersaudara Ang itu, dia telah membanting-banting kakinya beberapa kali.

Dari rombongan orang itupun terdengar beberapa orang diantara mereka yang telah menggumam menggerutu tidak senang.

Tetapi di saat itu terdengar suara siulan yang panjang sekali, yang saling sahut dari tiga jurusan.

„Itu mereka datang!” beberapa orang telah berseru perlahan.

„Ya, itu Sam-hengte she Ang yang telah datang!” membenarkan si hweshio.

Baru perkataannya sampai disitu di tempat tersebut telah bertambah tiga orang lainnya yang semuanya bertubuh kurus jangkung dan mukanya mirip satu dengan yang lainnya seperti kembar tiga, baik cara berpakaiannya maupun cara berjalan mereka, sikapnya semua sama.

Phang Kui In yang melihat kedatangan ketiga orang itu yang diduganya adalah Ang Sam-hengte, jadi terkejut sekali disebabkan dengan melihat cara tibanya ketiga orang itu membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh ketiga orang itu sangat hebat sekali. Tadi mereka bersiul dalam jarak yang cukup jauh tetapi dalam waktu yang demikian singkat ternyata mereka telah bisa tiba di tempat itu.

Di tangan salah seorang dari ketiga orang itu membawa sesosok tubuh lainnya. Dan dengan kasar sosok tubuh itu telah dilemparkan di atas tanah, sehingga tubuh itu terbanting. Namun sosok tubuh yang dilempar itu tidak bergerak dan nampaknya dia tengah dalam keadaan tertotok.

Phang Kui In memperhatikan sosok tubuh itu, ternyata seorang gadis berusia diantara belasan tahun.

Yo Him juga telah melihat gadis kecil itu hampir saja dia mengeluarkan suara teriakan tertahan karena kaget bukan main. Dia mengenalnya gadis kecil yang menjadi tawanan Ang Sam-hengte, itulah Siangkoan Peng, puterinya Siangkoan Lin Lie. Untung saja Phang Kui In yang melihat sikap Yo Him telah sempat mengulurkan tangannya membekap mulut Yo Him.

„Jangan bersuara.....” berbisik Phang Kui In dengan suara yang perlahan sekali. „Mereka orang-orang berkepandaian tinggi dan tentunya memiliki pendengaran yang sangat tajam sekali. Sedikit saja kita bersuara, tentu mereka akan mengetahui kehadiran kita ini!”

Yo Him mengangguk, dan Phang Kui In telah melepaskan bekapan tangannya di mulut Yo Him.

„Aku kenal gadis yang ditawan mereka.....!” bisik Yo Him perlahan juga. „Dialah Siangkoan Peng, puteri Siangkoan Lin Lie lo-pehpeh.....!”

Phang Kui In juga mengangguk.

„Ya, sejak tadi aku sedang memperhatikan dan merasa pernah melihatnya. Sekarang aku ingat pernah bertemu dengannya di pulau Ang-hwa-to, bukan? Dimarkasnya Pek-liong-kauw?”

Yo Him mengangguk.

„Kita harus menolongnya,” kata Yo Him dengan gusar, karena walaupun bagaimana dia mendongkol sekali melihat Siangkoan Peng diperlakukan begitu kasar.

„Ya, ya, kita akan menolonginya, tetapi kita harus menantikan dulu waktunya yang tepat..... mereka berjumlah banyak jika kita bertindak ceroboh tentu membahayakan kita sendiri.”

Yo Him bisa diberi pengertian dan dia mengangguk saja. Maka merekapun telah memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh rombongan orang itu.

Saat itu si hweshio yang tampaknya menjadi pemimpin rombongan tersebut, telah berkata, „Bagus! Akhirnya kalian telah datang juga Ang Sam-hengte. Tetapi siapakah gadis kecil yang kalian bawa-bawa ini?”

Salah seorang dari Ang Sam-hengte telah berkata perlahan, „Dia kami tawan karena mengikuti kami terus menerus!” dan menoleh memandang ke arah Siangkoan Peng, sambil katanya suaranya dingin: „Dia juga menyebut-nyebut perihal Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Tetapi setelah kami tawan, dia tidak mau membuka mulut untuk bicara, walaupun kami telah memaksanya!”

„Hemmm, apakah gadis kecil ini mengetahui perihalnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Aneh sekali! Hampir tidak masuk dalam akal!” menggumam si hweshio.

Begitu juga beberapa orang dalam rom¬bongan itu telah terdengar berbisik-bisik, banyak dugaan yang telah mereka kemukakan.

„Memang kamipun heran, tetapi justru kami mendengarnya sendiri, dia telah bertanya kepada pelayan rumah makan dimana kebetulan kami berada di tempat itu juga. Apakah pelayan itu pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Diapun menanyakan, apakah Sin-tiauw Tayhiap pernah lewat di tempat tersebut! Maka kami telah menangkapnya untuk mengorek keterangan dari mulutnya, namun gadis cilik yang merupakan setan kecil ini tidak mau bicara lagi, dia keras kepala, walaupun kami telah menyiksanya, dia tetap tidak mau bicara. Maka Mie-an Siansu, aku membawanya kepadamu agar kau dan kawan-kawan lainnya memikirkan cara yang baik untuk mengorek keterangan dari mulut setan kecil ini!”

„Bagus! Bagus!” berseru si hweshio Mie-an Siansu. „Inilah namanya rejeki. Kita memang tengah mencari jejaknya si tangan buntung keparat itu, dan dari mulut si setan kecil ini mungkin kita bisa mengorek keterangan yang kita butuhkan!”

Dan setelah berkata begitu cepat Mie-an Siansu menghampiri si gadis yang menggeletak di tanah.

Gadis kecil itu memang Siangkoan Peng dia berani sekali, waktu melihat si hweshio mendatangi, walaupun tubuhnya tidak bisa bergerak namun dia telah mendelikkan matanya.

Si hweshio menatap bengis.

„Setan kecil, lebih baik kau bicara secara baik-baik, sehingga kami tidak perlu bersusah payah menyiksamu! Jika engkau berkepala batu tentu yang rugi dan menderita adalah dirimu sendiri!”

Tetapi Siangkoan Peng tetap menutup mulut. Dia tidak menyahuti pertanyaan si hweshio. Hanya matanya tetap menatap berani kepada Mie-an Siansu.

„Baiklah!” kata Mie-an Siansu dengan suara yang dingin, menyeramkan sekali. „Tampaknya engkau memang harus memperoleh perlakuan yang kasar!”

Dan selesai dengan perkataannya itu, tampak Mie-an Siansu berjongkok disamping si gadis kecil, kemudian mengulurkan tangannya menjambak rambut Siangkoan Peng, yang digentaknya dengan keras sekali.

Yo Him yang menyaksikan sikap dan perlakuan Mie-an Siansu terhadap Siangkoan Peng, hampir saja tidak bisa mempertahankan diri, untuk melompat keluar menerjang ke arah hweshio tersebut.

Untung saja Phang Kui In yang selalu berlaku cermat telah melihat gerakan Yo Him, dan mencekal keras sekali tangan Yo Him.

„Sabar!” bisiknya. „Kita tidak boleh bertindak ceroboh, karena bukan saja kita akan gagal menolongi gadis kecil itu, kitapun akan membahayakan Siangkoan Peng kalau kehadiran kita ini diketahui mereka!”

Yo Him mengangguk berdiam diri saja hanya matanya terus mengawasi ke arah Mie-an Siansu dengan sorot mata yang mengandung kemarahan yang hebat. Dia tidak menyangka bahwa seorang pendeta yang seharusnya memiliki sifat-sifat welas asih dan penyayang, ternyata merupakan manusia yang kejam dan jahat.

Saat itu Siangkoan Peng sangat kesakitan dan kepalanya pusing sekali, karena kepalanya telah digentak-gentak keras sekali, jambakan tangan Mie-an Siansu dirambutnya juga sangat kuat sekali.

„Cepat bicara, engkau ada hubungan apa dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, si buntung jelek itu?! Dan dimana sekarang tempat tinggalnya dari si tangan buntung itu?”

Tetapi Siangkoan Peng tetap tidak mau membuka mulut, malah tahu-tahu dia telah meludahi muka Mie-an Siansu.

Si hweshio terkejut sekali, dia mengelakkan ludah si gadis kecil dengan memiringkan kepalanya, namun percikan air ludah toh masih mengenai mukanya.

Bagaikan kalap, Mie-an Siansu telah memperkeras jambakan di rambut gadis kecil itu.

„Binatang kurang ajar yang mencari mampus!” bentaknya dengan bengis. „Rupanya engkau benar-benar mencari mati…..!” dan dia telah mengayunkan tangan kanannya, terdengar suara „plakk, plokk!” berulang kali.

Tetapi Siangkoan Peng sama sekali tidak mengeluarkan suara jeritan atau mengeluh. Tabah sekali gadis kecil itu.

Justru Yo Him yang melihat perlakuan yang diberikan oleh Mie-an Siansu, merupakan perlakuan yang melukai hatinya. Kalau lengannya tidak dipegang keras oleh Phang Kui In tentu Yo Him akan menerjang keluar.

Di saat itu, Mie-an Siansu telah berkata lagi:

„Jika engkau tidak mau bicara baik-baik biarlah aku akan menyiksamu dengan cara yang baik sekali.....!” dan setelah berkata begitu, dengan cepat sekali si hweshio menggerakkan tangannya, dia telah menotok jalan darah Uh-thian-hiat di dekat bahu si gadis kecil itu.

Seketika Siangkoan Peng merasakan pundaknya lemas dan sekujur tubuhnya seperti digigit ribuan semut. Tanpa bisa ditahannya lagi, dia jadi merintih.

„Engkau mau bicara atau tidak?” bentak Mie-an Siansu dengan suara yang bengis.

Tetapi Siangkoan Peng hanya merintih tanpa membuka mulut sepatah katapun juga.

Tentu saja hal ini telah membuat Mie-an Siansu tambah mendongkol dan penasaran. Namun baru saja dia ingin menyiksa lebih lanjut, di saat itulah telah maju salah seorang dari Ang Sam-hengte.

„Sudah, kita jangan layani dia dulu, biarkan dia dalam keadaan tertotok. Nanti jika urusan yang akan kita bicarakan telah rampung, baru kita menyiksanya lagi untuk mengorek keterangan dari mulutnya! Jika memang dia tidak mau bicara juga nanti, mudah saja, ‘sreett’, lehernya kita potong!”

Mie-an Siansu tampaknya mau mengerti, dia telah mengangguk, dan membebaskan totokannya. Tetapi totokan dari Ang Sam-hengte masih tetap belum terbuka, walaupun sudah tidak menderita kesakitan lagi tetapi Siangkoan Peng belum bisa menggerakkan tubuhnya.

Saat itu romhongan orang tersebut yang kini telah genap berjumlah duapuluh orang, telah berkumpul dalam bentuk lingkaran, semuanya duduk bersemadhi. Sedangkan Mie-an Siansu telah duduk di tengah-tengah lingkaran itu menghadapi semua orang.

„Nah, kini kita telah berkumpul!” kata Mie-an Siansu membuka pertemuan itu. „Dan aku telah datang tepat pada waktunya, dimana sahabat-sahabat juga rupanya memang bersungguh-sungguh dalam persoalan ini! Sejak duabelas tahun yang lalu aku telah dikeluarkan dari Siauw-lim-sie, maka sejak saat itu aku telah bersumpah bahwa selama aku masih memiliki kesanggupan dan kepandaian, aku akan menganggap seluruh murid-murid Siauw-lim-sie dari berbagai tingkatan sebagai musuh besarku!”

Mendengar perkataan Mie-an Siansu, rombongan orang itu berdiam diri saja, sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu.

Sedangkan Phang Kui In jadi terkejut sekali. Yo Him tidak mengetahui apa itu yang disebut Siauw-lim-sie, tetapi Phang Kui In mengetahui jelas, karena Siauw-lim-sie merupakan pintu perguruan silat yang tertua di daratan Tiong-goan.

Sejak datangnya Tat-mo Couwsu, pendiri kuil Siauw-lim-sie itu, maka aliran silat Siauw-lim-sie telah tersebar luas dan boleh dianggap dalam persilatan di daratan Tiong-goan Siauw-lim-sie merupakan pintu perguruan nomor satu. Murid-murid Siauw-lim-sie dari berbagai kalangan juga dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, tersebar luas di seluruh daratan Tiong-goan.

Phang Kui In jadi memperhatikan terus perkataan Mie-an Siansu.

„Dan kini, setelah selama duabelas tahun aku melatih diri, aku telah berhasil menciptakan semacam ilmu yang akan kupergunakan untuk membinasakan setiap murid Siauw-lim-sie! Tetapi disamping itu, pangkal persoalan dikeluarkannya aku dari pintu perguruan Siauw-lim-sie juga semuanya berpangkal dari pengaduan yang diberikan oleh Yo Ko, Si buntung celaka itu!”

Kembali Phang Kui In jadi heran dan tertarik untuk mengetahui terus persoalan tersebut, dia memperhatikan baik-baik. Sedangkan hati Yo Him jadi tergoncang sebab mendengar beberapa kali nama ayahnya disebut-sebut.

„Waktu itu, memang kuakui telah melakukan suatu kesalahan, kesalahan yang seharusnya tidak begitu besar, yaitu aku telah memperkosa seorang gadis kecil di kampung yang terpisah seribu lie dari kuil Siauw-lim-sie..... Dan peristiwa itu diketahui oleh Yo Ko celaka itu, dia telah menghajar aku habis-habisan, bahkan ingin membuat aku bercacad. Tetapi akhirnya dia telah merobah jalan pikirannya dan membawa aku menemui ciangbunjin Siauw-lim-sie dan Hong-thio menjatuhkan hukuman kepadaku dibuang dari kaum Siauw-lim-sie, mengingat selama berada di dalam Siauw-lim-sie aku bekerja baik, belajar dengan tekun dan baik serta cerdas, maka Hong-thio merasa sayang jika harus membinasakan atau membuat aku bercacat.....! Tetapi hatiku sakit sekali! Walaupun bagaimana sakit hati ini harus dibalas! Dan kini sahabat-sahabat telah memenuhi undanganku untuk menghadapi Siauw-lim-sie, maka dengan ini aku mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, dengan bantuan saudara-saudara semua, tentu urusan ini akan dapat diselesaikan!”

„Jangan kuatir Taysu, aku Ban Siong Long akan membantu sekuat tenagaku.....!” teriak seseorang dari rombongan itu.

„Ya, akupun akan berdiri di pihak Taysu!” teriak yang lainnya.

„Kita binasakan setiap murid Siauw-lim-sie!”

„Ya, kita mampusi mereka semua.”

„Dengan kerja sama seperti ini, tentu dunia persilatan akan gempar, karena murid-murid Siauw-lim-sie akan bergelimpangan mampus di tangan kita..... Ha, ha, ha, ha!” teriak yang lainnya lagi.

„Kami Ang Sam-hengte bersedia membantu Taysu, asalkan Taysu juga bersedia untuk membantu kami membekuk si buntung celaka Yo Ko!” kata Ang Sam-hengte hampir berbareng.

Mereka memang merupakan anak kembar tiga. Mereka memiliki wajah yang mirip satu dengan yang lainnya dan juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Yang tertua, bernama Ang Cie Sian, sedangkan yang kedua Ang Cie Bun, dan yang terkecil bernama Ang Cie Liong, mereka sulit sekali dibedakan satu dengan yang lainnya, sebab baik pakaiannya maupun wajah mereka mirip satu dengan yang lainnya. Tentu saja sulit bagi orang yang belum mengenal benar akan diri mereka, untuk membedakan yang mana Cie Sian, mana Cie Bun dan mana Cie Liong.....! Tetapi sesungguhnya ketiga jago kembar itu memiliki ciri-ciri yang bisa memperkenalkan diri mereka. Jika Cie Sian memiliki tahi lalat yang sangat besar di telapak tangan kanannya, Cie Bun memiliki mata yang tidak sempurna, yaitu juling, sedang kan Cie Liong memiliki kaki yang jauh lebih pendek dari kedua saudaranya, bahkan jalannya juga agak pincang, karena kaki kirinya lebih panjang dari kaki kanannya.

Jika ciri-ciri ketiga orang itu diperhatikan, maka dengan mudah orang dapat membedakan mereka bertiga.

Di saat itu Ang Cie Sian telah berkata lagi:

„Kami memiliki dendam sedalam lautan dengan Yo Ko keparat itu.....! Jika memang Taysu bisa membantu kami menangkap dan membinasakannya, maka budi itu tidak bisa kami lupakan dan jika kelak kami diminta untuk terjun dalam minyak panas atau api berkobar, semua itu tidak akan kami tolak!”

„Benar!” kata Cie Bun dengan matanya yang bergerak-gerak juling. „Kami tentu akan berterima kasih dan bersyukur jika telah berhasil membalas dendam kami itu!”

„Yo Ko keparat itu memang keterlaluan, sepuluh tahun yang lalu kami telah dihinanya, kami bertiga telah dihajarnya habis-habisan, walaupun kami tidak bersalah, hanya karena mengambil sedikit uang milik seorang penduduk di kampung Bian-bo-cung. Tetapi Yo Ko keparat yang sok pahlawan itu, telah menghajar kami. Waktu itu kepandaian kami belum lagi setinggi sekarang. Coba kalau sekarang, hemmm, kami tentu akan mematahkan batang lehernya!”

Mendengar perkataan Ang Cie Liong yang terakhir itu, hampir saja Phang Kui In tidak bisa menahan tertawanya. Karena perkataan yang terkebur itu benar-benar terlalu sombong. Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko merupakan seorang pendekar sakti nomor wahid dalam persilatan di daratan Tiong-goan, mana bisa dibandingkan dengan mereka?

Mie-an Siansu telah tersenyum, dia telah berkata perlahan: „Baik! Baik! Tentu kami juga akan membantu kalian menghadapi Yo Ko keparat itu! Dengan menyerang dia secara mengeroyok dan mempergunakan tipu muslihat yang rapi, walaupun Yo Ko si buntung keparat itu memiliki sayap, jangan harap dia bisa meloloskan diri dari kematian di tangan kita!”

Segera terdengar suara tepuk tangan dari rombongan orang-orang itu, tampaknya mereka tengah dilambungi khayalan yang tidak-tidak dan terlalu muluk-muluk.

Tetapi waktu Mie-an Siansu ingin berkata lagi, di saat itu mereka telah mendengar suara tiupan seruling, yang mengalun lembut dari arah kejauhan kemudian suara seruling itu lenyap.

Mie-an Siansu dan yang lainnya jadi saling pandang mereka menduga-duga entah siapa peniup seruling itu.

Cinta abadi itu,
Adakah dalam dunia?
Perasaan dan hati,
Itukah cinta?

Dia pergi untuk lenyap tidak kembali,
Pertemuan manis telah berakhir,
Kemana harus mencari mereka?
Kemana harus berjumpa dengannya lagi?

Bagai burung,
Terbang kian kemari,
Tetapi hanya seorang diri.
Karena dia telah pergi.....

Wahai engko,
Wahai engko,
Dengarkah engkau akan suaraku ini?
Angin coba membawa suaraku,

Tetapi sang anginpun takut bertemu denganmu.
Awan berkata, Ingin membawa aku bertemu denganmu.
Tetapi sang awan kuatir untuk bertemu denganmu juga.
Bagaimana aku harus mencarimu?

Burung yang berkicau.
Selalu menghiburku:
„Jangan bimbang, jangan menangis,
Engko akan juga datang.....

Tetapi bila?
Tetapi kapan?
Sekarang, nanti?
Juga tidak bertemu lagi.....

Tetapi tidak lama kemudian mereka juga telah mendengar suara seorang wanita yang bersenandung dengan suara yang mengandung kecintaan yang sangat dalam. Suara senandung itu demikian menyedihkan, tampaknya wanita yang membawakan lagunya itu seperti tengah mengalami patah hati. Dan suara senandung itu semakin lama semakin terdengar jelas dan dekat.

Tidak lama kemudian, dari balik sebatang pohon telah muncul seorang gadis yang berusia diantara duapuluh empat tahun, wajahnya manis, rambutnya dikuncir dua, dan di tangan kanannya membawa sebatang seruling, sedang pinggangnya tergantung sebatang pedang. Mukanya yang cantik manis mungil itu memancarkan kesedihan yang sangat.

Phang Kui In mengerutkan alisnya, dia menduga-duga entah siapa gadis yang tengah merana itu. Yo Him juga merasa iba terhadap gadis itu. Karena dia mengerti bahwa si encie itu sedang bersusah hati.

„Siapa dia, paman Phang?” tanya Yo Him dengan suara berbisik.

„Aku sendiri tidak mengenalnya..... Tetapi tampaknya dia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi dari golongan putih!”

Saat itu, si gadis telah melihat rombongan orang yang tengah berkumpul bermusyawarah.

Mie-an Siansu waktu melihat gadis itu, mukanya jadi berobah seketika itu juga, dan dia mengeluarkan suara seruan tertahan.

Gadis itu juga mengerutkan sepasang alisnya, tampaknya dia kenal dengan Mie-an Siansu.

„Mie-an Taysu!” katanya dengan suara yang dingin, „Apa yang tengah engkau lakukan bersama orang-orang ini? Apakah kalian sedang merencanakan suatu perbuatan jahat lagi?”

Mie-an Siansu tampaknya telah berhasil menguasai goncangan hatinya. Dengan gesit dia telah melompat berdiri, kemudian terdengar suara tertawanya yang bergelak-gelak.

Orang-orang yang lainnya, termasuk Ang Sam-hengte telah melompat berdiri juga, semuanya mengawasi gadis itu dengan sorot mata yang tajam dan kurang ajar sekali.

„Kwee liehiap..... engkau ada disini!” tanya Mie-an Siansu dengan sikap yang tengik sekali. „Kebetulan sekali! Bagaimana keadaan Thio Kun Po, yang waktu itu melarikan diri bersama engkau dan Kak-wan Siansu?”

Muka si gadis itu tetap dingin, dia telah memandang tajam kepada si pendeta.

„Mie-an Siansu, aku tidak bicara main-main. Apa yang sedang kau lakukan! Beberapa saat yang lalu, engkau telah dihukum oleh Hong-thio Siauw-lim-sie, dan di saat itu seharusnya engkau menyadari kesalahanmu untuk tidak melakukan kejahatan lagi, tetapi akhir-akhir ini justru seringkali kudengar bahwa engkau mulai mengumbar lagi sifat-sifat burukmu, mengganggu anak isteri orang! Dan.....!” berkata sampai disitu, tampak si gadis telah menatap kepada Siangkoan Peng.

„Gadis itu juga engkau tawan.....! Sungguh pendeta celaka.....!” walaupun memaki begitu, suara si gadis terdengar halus sekali. „Gadis yang belum lagi berusia lebih dari tigabelas tahun, telah engkau ganggu!”

„Ohhh, Kwee liehiap salah paham! Itu bukan perbuatanku! Justru gadis kecil itu mengikuti Ang Sam-hengte, ketiga sahabatku itu. Karena jengkel dan si gadis itu juga diusir tidak mau pergi, maka akhirnya ketiga sahabatku itu terpaksa menotoknya agar gadis itu tidak mengganggu lebih jauh lagi!”

Si gadis mengerutkan alisnya, tampaknya dia tidak mempercayai keterangan si hweshio.

„Dan kini apa yang sedang kalian rundingkan?” tanya si gadis.

Mie-an Siansu telah tetapkan hatinya yang tadi tergoncang, dia telah berpikir, walaupun, bagaimana tingginya kepandaian gadis itu, tetapi dia berada bersama-sama dengan, kawan-kawannya dalam jumlah yang banyak. Maka dia merasa tidak perlu takut, dia telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang sangat nyaring dan bengis sekali.

„Kwee Siang!” katanya kemudian setelah puas tertawa. „Engkau jangan terlalu bertingkah dan membawa sikap sebagai seorang locianpwe menegur kaum boanpwe! Apa kedudukanmu? Apa kepandaianmu? Hemmnn mungkin jika Hong-thio Siauw-lim-sie bertemu denganku, dia tidak akan memperlihatkan sikap seperti itu! Jika engkau masih tidak mau cepat-cepat berlalu dan masih banyak cerewet biarlah engkaupun akan kami tangkap dan tawan, karena memang kamipun menghendaki suatu keterangan darimu!”

Gadis itu, yang tidak lain dari Kwee Siang, puteri bungsu dari Kwee Ceng dan Oey Yong, telah tertawa tawar, sikapnya tenang sekali.

„Enak saja engkau bicara, waktu dulu engkau tidak dibinasakan oleh engko Yo, itupun karena engko Yo merasa kasihan dan mau mengampuni jiwa bangsatmu, tetapi ternyata bangsat tetap saja bangsat.....! Baiklah! Apa yang hendak kau tanyakan kepadaku?”

„Justru kami ingin mengetahui tempat persembunyiannya Yo Ko, si buntung celaka itu!” kata Mie-an Siansu dengan suara yang bengis.

Muka Kwee Siang jadi berobah.

Harus diketahui, dia sangat menghargai dan menghormati sekali Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko (baca Sin-tiauw-hiap-lu), maka kini dia mendengar Mie-an Siansu menyebut Yo Ko dengan perkataan Yo Ko si buntung celaka tentu saja Kwee Siang jadi gusar sekali.

„Srengg.....!” tahu-tahu Kwee Siang telah mencabut pedangnya.

17.34. Si Sesat Muda Kwee Siang

„Lidahmu yang kurang ajar itu tampaknya memang harus dipotong!” kata Kwee Siang dengan suara mengandung kemarahan, mukanya yang montok berobah merah, sedang tangannya telah bergerak, pedangnya itu telah menyambar ke arah Mie-an Siansu, dan „serrrr!” mata pedang itu telah menyambar ke arah dada si hweshio.

„Siuttt.....!” mata pedang mengenai sasaran yang salah, karena Mie-an Siansu cepat mengelak ke samping.

Di saat itu Kwee Siang yang tengah mendongkol mendengar Yo Ko disebut sebagai ‘si buntung celaka’, telah menyerang lagi dengan gerakan yang cepat sekali, pedangnya telah berkelebat menyambar dengan mengeluarkan suara mengaung.

„Siiinngg!” pedang itu menyambar sulit dilihat oleh mata orang biasa, disusul dengan suara „Breett!’” ujung lengan jubah pendeta itu telah kena dilubangi oleh mata pedang si gadis she Kwee.

Mie-an Siansu terhuyung-huyung mundur dengan tubuh yang agak bergetar dan mukanya pucat, karena dia kaget bukan main telah diserang seperti itu, untung saja dia masih sempat untuk berkelit sehingga hanya lengan jubahnya saja yang berlobang. Coba jika dia terlambat berkelit, niscaya dadanya yang akan bolong.

Ang Sam-hengte dan jago-jago lainnya yang melihat itu jadi terkejut bercampur marah. Dengan cepat mereka telah berpencar dan mengurung si gadis.

Tetapi Kwee Siang tidak takut sedikilpun, dia berdiri tegak dengan tenang sambil mencekal pedangnya. Walaupun saat itu dia telah terkurung oleh keduapuluh orang tersebut.

“Kalian majulah semua! Rupanya kalian memang bukan manusia baik-baik!” tantang Kwee Siang dengan suara nyaring.

Mie-an Siansu yang lengan jubahnya telah berlobang oleh mata pedang Kwee Siang itu mendongkol bukan main, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, lalu telah melancarkan serangan-serangan dengan cepat dan dahsyat.

Tetapi Kwee Siang mana memandang sebelah mata serangan itu, dia berkelit dengan indah mempergunakan jurus bidadari menari dimana tubuhnya bergerak lemas gemulai ke kiri dan ke kanan, maka lawannya tidak berhasil melancarkan serangan kepadanya.

Waktu Kwee Siang ingin menggerakkan pedangnya untuk melancarkan serangan, justru di saat itulah tampak pedang salah seorang pengepungnja yang berpakaian sebagai seorang Tojin (pendeta agama To) telah meluncur dengan cepat ke arah punggungnya.

Kwee Siang jadi batal untuk melancarkan serangan kepada Mie-an Siansu, dia bergerak dengan jurus naga perkasa muncul dari lautan, pedang Kwee Siang bergerak-gerak berbentuk setengah lingkaran ke arah belakangnya bagaikan seekor naga yang tengah menggeliat, menyambar ke arah si Tojin.

„Trangg!” kedua pedang itu saling bentur dengan keras dan kuat, di saat itulah dengan cepat sekali Kwee Siang telah menurunkan pedangnya, melepaskan kaitan dari pedang lawannya dengan gerakan yang sangat manis dan indah dipandang, kemudian dia telah melancarkan tikaman susulan ke arah paha si Tojin dengan jurus Hujan bunga di musim rontok, dan pedangnya berkelebat-kelebat membingungkan lawan.

Tetapi Tojin itu rupanya seorang ahli kiam-khek, ahli pedang ternama, dari itu dalam keadaan demikian dia berhasil mengelakkan serangan Kwee Siang. Gerakan yang dilakukan oleh Tojin itu sangat lincah sekali, disusul juga dengan pedangnya yang menyambar ke arah mata Kwee Siang. Jika Kwee Siang meneruskan serangannya berarti matanya juga akan menjadi korban serangan pedang si Tojin, berarti juga akan menjadi buta.

Terpaksa Kwee Siang menarik pulang pedangnya dan dalam keadaan demikian Ang Cie Bun telah melancarkan serangan kepada Kwee Siang dengan mempergunakan Poan-koan-pitnya.

Ang Sam-hengte merupakan tiga orang bersaudara kembar yang mempergunakan Poan-koan-pit sebagai senjata andalan mereka. Dan Poan-koan-pit memang merupakan alat senjata yang bisa dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka serangan-serangan dari Ang Cie Bun selalu mengincer jalan darah di tubuh Kwee Siang, dimana Poan-koan-pit tersebut bergerak-gerak ke atas, ke bawah atau menyambar lurus di tengah mengincar jalan darah si gadis.

Begitu juga dengan Ang Cie Liong dan Ang Cie Sian, telah ikut melancarkan serangan dengan Poan-koan-pit mereka saling susul. Ang Cie Liong telah menyerang dengan jurus Bunga rontok sehelai, disusul lagi dengan totokan mempergunakan jurus Harimau lepas taring, Poan-koan-pitnya menyambar-nyambar keras menimbulkan angin berkesiuran. Dan jurus-jurus yang dipergunakan oleh Ang Cie Liong bertiga sesungguhnya merupakan ilmu silat aliran Tiong-goan timur.

Kwee Siang tidak jeri bahkan sama sekali tidak merasa takut menghadapi keroyokan seperti itu. Dengan mengeluarkan suara teriakan yang sangat nyaring Kwee Siang memutar pedangnya. Kali ini Kwee Siang mempergunakan jurus Biruang kecil menerjang menggigit, tampak pedangnya menyambar dalam jarak pendek-pendek dan cepat sekali berubah-ubah sasaran dan arah serangan.

Gerakan yang dilakukan Kwee Siang dengan memutar pedangnya ke berbagai arah itu sangat mengejutkan lawan-lawannya. Jangan kata serangan dari pihak musuh, sedangkan jika saat itu Kwee Siang disiram dengan segayung air, tidak setetes airpun yang akan dapat menerobos masuk. Maka semua serangan lawan-lawannya selalu tertangkis dan tidak bisa menerobos kepertahanan yang dilakukan Kwee Siang.

Dalam keadaan demikian, Mie-an Siansu yang telah marah, telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, dia telah melancarkan gempuran-gempuran yang sangat hebat mempergunakan kedua telapak tangannya itu, karena dia melatih semacam ilmu pukulan tangan kosong. Pukulan yang dilancarkannya mempergunakan sekaligus kedua telapak tangannya dengan jurus Naga berjumpalitan di awan. Di mana kedua telapak tangan itu berkesiuran keras dan kuat menyambar ke arah Kwee Siang, karena pukulan itu merupakan salah satu jurus dari Pek-kong-ciang (pukulan udara kosong). Maka tanpa perlu menyentuh bagian anggota tubuh lawan serangan itu bisa mematikan.

Kwee Siang tengah memutar kuat-kuat pedangnya, ketika tahu-tahu dia merasakan desakan kuat menerjang ke dirinya, membuat dia mengeluarkan seruan tertahan dan mundur beberapa langkah ke belakang seperti juga rubuh terguling. Untung saja Kwee Siang, memiliki lweekang cukup tinggi dan kegesitan telah mencapai puncaknya, dia berhasil menguasai dan mengendalikan tubuhnya tidak sampai rubuh terguling, dalam sekejap mata dia telah berhasil berdiri tegak kembali.

Melihat kesempatan itu Ang Cie Liong telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat bengis, tampak dia telah meloncat sambil menggerakkan Poan-koan-pitnya yang akan menotok jalan darah Pai-tie-hiat di dekat dada sebelah kiri dari si gadis. Serangan yang dia lakukannya itu sangat cepat sekali membawa angin serangan yang tajam berseliweran dan di saat itu juga dengan cepat Kwee Siang memutar tubuhnya dengan gesit. Dengan sangat manis, tahu-tahu dia telah berdiri di pinggir dan membiarkan serangan Poan-koan-pit itu lewat di sisi dadanya.

Namun Kwee Siang bukan hanya membiarkan serangan lawannya lewat dan berdiam diri saja, cepat sekali pedangnya digerakkan melancarkan tikaman ke arah dada Cie Liong dimana mata pedang menusuk lurus.

Ang Cie Liong mengeluarkan suara teriakan tertahan melompat mundur dengan muka pucat. Dia juga telah menarik pulang Poan-koan-pitnya untuk menangkis pedang Kwee Siang.

„Trangg.....!” Poan-koan-pit itu berhasil menangkis pedang si gadis dengan keras sekali.

Dalam keadaan demikian Ang Cie Liong kembali terhuyung, karena waktu melancarkan serangan menangkis, di saat itu tenaganya tidak terkumpul semuanya, dan Kwee Siang telah melancarkan serangan pedang menusuk dengan disertai getaran tenaga lweekang Kiu-im-cin-keng, yang pernah diperolehnya dari Kak-wan Siansu dari Siauw-lim-sie.

Di saat itu sebetulnya Kwee Siang telah berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang hebat sekali berdasarkan keterangan kitab Kiu-im-cin-keng yang dibacakan oleh Kak-wan Siansu.

Jika Thio Kun Po telah mengubah ilmu pedang dan ilmu silat ciptaannya dengan mengandalkan Kiu-yang-cin-keng dan mendirikan partai persilatan sendiri yang bernama Bu-tong-pay, dimana kemudian Thio Kun Po merubah namanya menjadi Thio Sam Hong, maka juga Kwee Siang telah berhasil mendirikan sebuah pintu perguruan silat yang diberi nama perguruan silat Go-bie-pay.

Di saat itu nama perguruan Go-bie-pay belum lagi terkenal, karena baru saja didirikan. Dan waktu mendengarkan Kak-wan Siansu membacakan Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng, justru hanya Thio Kun Hong dan Kwee Siang berdua yang sempat mendengarnya. Di belakang hari Bu-tong-pay telah menjadi sebuah pintu perguruan yang besar dan jaya. Selewatnya Thio Sam Hong justru Bu-tong-pay lebih populer dibandingkan dengan Siauw-lim-sie, bahkan pendekar-pendekar didikan Bu-tong-pay lebih populer dibandingkan dengan Siauw-lim-sie, bahkan pendekar-pendekar didikan Bu-tong-pay umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan budi pekerti yang baik serta luhur.

Go-bie-pay walaupun kelak merupakan salah satu pintu perguruan yang sama populernya dengan Bu-tong-pay dan Siauw-lim-pay, tetapi masih berada di bawah satu tingkat dari ke populeran nama kedua pintu perguruan itu.

Sekarang walaupun dikeroyok duapuluh orang lawannya namun Kwee Siang tidak merasa takut, sebab dia memiliki ilmu pedang dan lweekang yang telah sempurna. Memang ilmu pedang yang diciptakannya untuk kaum wanita, karena itu kelak Go-bie-pay lebih dikenal oleh umum sebagai pintu perguruan wanita. Karena pendiri Go-bie-pay adalah seorang wanita (Kwee Siang), maka ilmu pedang itupun tidak mengandung kekerasan tetapi mengandalkan kegesitan dan perubahan-perubahan yang aneh yang bisa membingungkan lawan.

Waktu melihat keduapuluh orang lawannya yang mengeroyoknya dengan tidak mengenal malu, tampak Kwee Siang telah mengeluarkan siulan yang panjang dan menggerakkah pedangnya melingkar-lingkar bagaikan seekor naga dan tubuhnya melompat kesana kemari dengan gesit. Itulah jurus ‘Bie-sian-kiam-hoat’ (bidadari cantik bermain pedang) yang sangat tangguh dan membingungkan lawannya. Gerakan-gerakan dari ilmu pedang yang dipergunakan Kwee Siang memaksa lawan-lawannya tidak bisa terlalu mendesak dan tidak berdaya untuk melancarkan serangan-serangan yang dekat, bahkan jagoan-jagoan itu terpaksa harus berhati-hati sekali setiap kali ingin melancarkan serangan kepada Kwee Siang.

Mie-an Siansu yang menyaksikan ini jadi marah sekali dan telah mengeluarkan suara bentakan berulang kali, tubuhnya telah menerjang dengan kedua tangannya yang berisi tenaga lweekang yang kuat. Dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu ilmu silat Cap-pek-lo-han-kun atau ilmu pukulan delapan belas arhat.

Duabelas tahun yang lalu, Mie-an Siansu, merupakan murid Siauw-lim-sie tingkat ketiga dan waktu dia dikeluarkan dari kaumnya, kepandaian Mie-an Siansu memang telah mencapai taraf yang tinggi. Hong-thio Siauw-lim-sie tidak menghukum mati kepada Mie-an Siansu waktu mengetahui Mie-an Siansu memperkosa seorang gadis, karena disebabkan Hong-thio itu merasa sayang atas kecerdasan yang dimiliki oleh Mie-an Siansu.

Sekarang walaupun dia telah dikeluarkan oleh pihak Siauw-lim-sie, tetapi selama duabelas tahun Mie-an Siansu telah melatih diri dengan giat sehingga ilmu pukulannya telah semakin hebat dan lweekangnya telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Terlebih lagi dia memang seorang yang cerdas bukan main, selain dia melatih ilmu yang pernah diperolehnya dari perguruan Siauw-lim-pay, diapun telah berhasil menciptakan semacam ilmu silat ‘pukulan tangan kosong’ yang dari kedua telapak tangannya itu bisa menyambar angin serangan yang panas dan kuat sekali yang bisa membinasakan lawan-lawannya.

Tetapi Kwee Siang juga tidak lemah, dia bisa memberikan perlawanan dengan sama dahsyatnya.

Melihat keroyokannya bersama kawan-kawannya yang berjumlah cukup banyak dan berilmu tinggi belum berhasil juga merubuhkan Kwee Siang, membuat Mie-an Siansu tambah penasaran. Berulang kali Mie-an Siansu telah mengeluarkan bentakan-bentakan bengis melancarkan serangan-serangan yang mengincer bagian-bagian mematikan di tubuh si gadis, dan begitu juga kawan-kawannya mengepung rapat tidak memberikan kesempatan pada Kwee Siang untuk bernapas. Lalu Mie-an Siansu telah menyedot napas dalam-dalam, dan telah menggempur lagi dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya, menimbulkan kesiuran angin yang kuat sekali. Dengan jurus lonceng bergoyang sepuluh kali, kedua tangannya menyerang sekaligus bergantian kesepuluh bagian tempat jalan darah mematikan di tubuh Kwee Siang.

Tetapi Kwee Siang gesit sekali, dia selalu berhasil menyelamatkan diri. Disamping itu juga Kwee Siang selalu berhati-hati menghadapi serangan lawan-lawannya yang lainnya, dia berusaha mengendalikan diri dan membatasi ruang geraknya, menunggu kesempatan terbuka untuk menyerang bagian-bagian yang lemah di tubuh lawan-lawannya.

Selama melancarkan gempuran-gempurannya, Mie-an Siansu telah berteriak-teriak menganjurkan kawan-kawannya agar melancarkan serangan lebih berat dan keras, dia berusaha membangkitkan semangat bertempur kawan-kawannya.

Tetapi Kwee Siang kinipun tidak berlaku segan-segan lagi, dengan gerakan yang sangat cepat sekali tampak Kwee Siang telah menggetarkan pedangnya, yang berkelebat-kelebat menyilaukan mata lawan-lawannya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Kwee Siang kali ini merupakan serangan dari ilmu pedang simpanannya, diapun mempergunakan jurus-jurus yang pernah memperoleh petunjuk dari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko di saat itu pedangnya berkelebat-kelebat menimbulkan desiran angin yang sangat kuat sekali. Dalam keadaan demikian, terlihat jelas betapa pedangnya telah meluncur dalam gerakan yang sangat cepat sekali, sehingga samberan angin serangan pedang itu telah menderu-deru dengan dahsyat, telah menyerang setiap jalan darah dari lawannya yang bisa mematikan.

Setelah lewat lima jurus, terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati, karena itulah suara jerit kematian. Kwee Siang telah berhasil merubuhkan dua orang lawannya yang menggeletak tidak bernapas lagi.

Tojin yang menjadi kawan Mie-an Siansu jadi marah sekali, dengan mengeluarkan suara bentakan bengis dan nafsu membunuh, dia telah melompat dan menggerakkan pedang di tangannya, yang dengan ganas telah menikam ke tubuh Kwee Siang. Disamping itu, si Tojin juga telah membarengi dengan mengibas mempergunakan hud-timnya, gerakan itu telah membuat Kwee Siang harus mengelakkan serangan itu dengan cepat sekali.

Dalam sekejap mata tampak Kwee Siang telah berkelit tiga kali. Dan dalam kesempatan itulah Kwee Siang baru memiliki kesempatan untuk melancarkan serangan membalas. Gerakan yang dilakukan Kwee Siang benar-benar luar biasa, kaki kanannya diulur ke depan, ditekuk sedikit, dan kemudian dengan cepat sekali dia telah menikam dengan tubuh yang didoyongkan ke depan.

„Sringgg.....!” pedang meluncur dengan cepat sekali secepat kilat dan „cepppp!” Terdengar benda logam masuk menerobos dan daging kemudian terdengar suara teriakan menyayatkan dari Tojin itu, tubuhnya menggelepar dan terhuyung mundur, dari dadanya mengucur darah merah yang segar, mata Tojin itu terbuka lebar-lebar dan dia mengeluh perlahan dengan mulut terbuka, dari tenggorokannya terdengar suara berkerogokan dan kemudian tubuhnya terjengkang ke belakang, napasnya terhenti.

Mie-an Siansu dan kawan-kawannya jadi terkejut bukan main, dia telah melihat betapapun Kwee Siang memang tangguh dan memiliki kepandaian yang hebat luar biasa, kepandaian yang sulit sekali dilawan. Tetapi Mie-an Siansu masih penasaran, dia berpikir, walaupun Kwee Siang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tetapi jika dia diserang terus menerus, niscaya gadis itu akan cepat letih sehingga dengan mudah dia akan dapat dirubuhkan. Maka dari itu Mie-an Siansu telah melancarkan serangan-serangan dan gempuran-gempuran yang tidak hentinya, setiap serangan telapak tangannya itu meluncur dengan hebat, bahkan telah beberapa jurus lagi tampak Mie-an Siansu telah mencabut golok yang tergemblok di punggungnya.

Dengan goloknya itu dia telah melancarkan serangan yang sangat hebat sekali, goloknya telah menyambar-nyambar dengan hebatnya, sehingga Kwee Siang telah berhasil dipaksa mundur beruntun berulang kali.

Belum lagi kawan-kawan si hweshio yang telah melancarkan serangan juga.

Makin lama makin terlihat tampak Kwee Siang hanya dapat membela diri saja dan tidak dapat melancarkan serangan-serangan balasan.

Yo Him dan Phang Kui In yang menyaksikan jalannya pertempuran itu telah memandang dengan tegang, sedangkan Yo Him telah berbisik perlahan disamping telinga Phang Kui In, „Apakah tidak lebih baik paman Phang muncul memberikan bantuan kepada enci itu, bukankah dengan bantuan paman Phang berarti gadis itu akan memperoleh bantuan yang tidak kecil dan meringankan bebannya yang bisa menyebabkan dia bisa mengambil napas dan mengadakan perlawanan yang lebih gigih kepada musuh-musuhnya?”

Phang Kui In berdiri ragu sejenak di tempat persembunyiannya, tetapi kemudian dia telah mengangguk.

„Benar!” katanya perlahan. „Dan memang gadis itu merupakan puteri dari tokoh persilatan Kwee Ceng dan Oey Yong!!”

Mendengar perkataan itu, Yo Him jadi terkejut dan gugup: „Kalau demikian, cepatlah paman Phang memberikan pertolongan..... Bukankah paman Kwee dan Oey peh-bo sangat baik? Waktu aku berada di Ang-hwa-to, paman Kwee dan Oey peh-bo telah memperlakukan aku sangat baik sekali.....!”

Phang Kui In memang sejak tadi bermaksud untuk melompat keluar dari tempat persembunyiannya untuk memberikan pertolongan kepada Kwee Siang. Tetapi yang membuat dia ragu-ragu adalah jumlah musuh yang demikian besar, maka Phang Kui In bermaksud untuk menantikan waktu sejenak lagi sampai musuh-musuhnya itu letih. Tetapi melihat Kwee Siang mulai agak sibuk menerima serangan-serangan gencar dari lawan-lawannya, tentu saja telah membuat Phang Kui In harus mengambil tindakan yang tegas. Dia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil membentak keras.

„Manusia tidak tahu malu! Manusia rendah yang tidak punya perasaan! Melancarkan serangan secara mengeroyok seperti itu!”

Dan setelah berkata begitu dengan cepat Phang Kui In mencabut senjatanya, yaitu sepasang Sam-cio, senjata yang memiliki tiga cagak (trisula), dengan mengeluarkan suara yang nyaring sekali, tampak Sam-cio itu telah meluncur menyerang salah seorang lawan yang terdekat dengannya, yaitu Ang Cie Bun.

Tentu saja Ang Cie Bun tidak menduga akan adanya serangan dari orang yang muncul dari tempat yang tidak terduga seperti itu jadi sibuk sekali mengelakkan diri. Berulang kali dia telah terdesak mundur ke belakang, beberapa langkah kemudian dia telah menangkis dengan Poan-koan-pitnya.

Tetapi Phang Kui In telah mempergencar serangan-serangannya, dengan jurus ‘Ban-hoa-hong-ie’ (hujan puluhan ribu bunga), trisulanya bagaikan gugurnya bunga-bunga dari pohon telah menotok ke jalan-jalan darah mematikan di tubuh Ang Cie Bun, juga dengan cepat sekali trisula itu telah meluncur ke arah diri Ang Cie Sian yang berada di sebelah kanannya.

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Phang Kui In menyebabkan Ang Cie Bun dan Ang Cie Sian jadi sibuk sekali mengelakkan diri dari serangan-serangan Sam-cio itu. Walaupun mereka bersenjata Poan-koan-pit, namun gerakan Sam-cio itu sangat cepat sekali, maka membuat mereka harus bergerak cepat lagi untuk mengelakkan diri dan menyelamatkan jiwa mereka dari ancaman Sam-cio itu.

Dalam keadaan demikian, tampak Phang Kui In telah memperhebat terus serangan-serangannya, dia masih memiliki tenaga penuh, maka tidak mengherankan jika tenaga serangan Sam-cio nya juga menyambar-nyambar dengan hebat sekali.

Dalam waktu yang sangat singkat sekali, Ang Cie Sian dan Ang Cie Bun telah terpisah dari gelanggang pertempuran itu, sehingga menyebabkan Kwee Siang jadi bisa bernapas atas berkurangnya lawan-lawan yang mengepungnya.

Melihat datangnya bala bantuan yang tiba tepat pada waktunya, walaupun Kwee Siang tidak mengenal dan tidak mengetahui siapa sesungguhnya Phang Kui In, tetapi gadis ini jadi girang bukan main. Dia telah mengeluarkan suara siulan, semangat bertempurnya jadi terbangun, dengan cepat sekali dia telah melancarkan kembali serangan-serangannya dengan dahsyat.

Karena datangnya bala bantuan itu, suasana pertempuran semakin seru saja, ketika lawan-lawannya sedang terkejut atas munculnya Phang Kui In dan bergerak agak lambat. Maka pedang Kwee Siang telah menyambar dengan cepat sekali, sehingga tampaklah dua tubuh telah menggeletak lagi rubuh di tanah, sambil mengeluarkan suara jeritan yang menyayatkan hati, karena itulah suara jerit kematian.

Mie-an Siansu yang melihat keadaan mulai tidak menguntungkan rombongannya, jadi terkejut dan marah. Dia sangat penasaran sekali, karena sejak tadi dia bersama dengan kawan-kawannya yang berjumlah duapuluh orang, ternyata tidak berhasil merubuhkan Kwee Siang yang hanya seorang diri. Bukankah hal itu sangat memalukan sekali. Dengan cepat dia memperhebat serangan-serangannya.

Tetapi waktu pertempuran itu tengah berlangsung dengan serunya, tiba-tiba di saat itu telah terdengar teriakan dari suatu arah.

„Di sini! Mereka sedang bertempur disini! Si gundul lanang Mie-an Siansu juga berada disini. Kita tangkap dan kita cingcang, percuma saja jika kita tidak bisa menangkap mereka, karena jumlah kita yang seratus orang, tentu akan dapat dan berhasil membekuk mereka semua! Seorangpun jangan dilepaskan! Tangkap dan kita binasakan semuanya, karena mereka merupakan manusia-manusia laknat!”

Tentu saja perkataan yang nyaring itu didengar oleh Mie-an Siansu dan kawan-kawannya. Mereka jadi terkejut sekali, dan menduga bahwa rombongan orang yang datang itu tentunya jago-jago kawannya Phang Kui In. Muka Mie-an Siansu dan sisa kawan-kawannya jadi berobah pucat, mereka telah merasa berkuatir juga, dan dengan cepat Mie-an Siansu mengambil suatu keputusan.

„Angin keras.....!” teriaknya dengan suara yang sangat nyaring. Mie-an Siansu kemudian kabur dengan menyambar tubuh Siangkoan Peng.

Maka di saat itulah kawan-kawannya telah melompat mundur, memutar tubuh dan segera melarikan diri, karena merekapun memiliki perasaan yang sama seperti Mie-an Siansu, dan mengetahui jika mereka dikepung oleh musuh-musuhnya dalam jumlah yang banyak, yang mereka duga adalah kawan-kawannya Phang Kui In. Tentu saja hal itu akan membuat mereka terdesak hebat, karena mereka telah letih akibat pertempuran yang memakan tenaga ketika melawan Kwee Siang dan Phang Kui In. Maka jalan yang paling selamat adalah melarikan diri menyelamatkan jiwa mereka masing-masing.

Di saat itu dengan cepat sekali Kwee Siang telah melancarkan serangan pedangnya kepada salah seorang lawannya yang terlambat melarikan diri, orang itu mengelakkan diri, tetapi tidak urung bahunya telah terluka oleh goresan pedang, maka dengan mengeluarkan suara jeritan kesakitan, dia pun juga telah melarikan diri mementang kakinya lebar-lebar.

Tentu saja hal ini telah membuat Kwee Siang tertawa geli, dia tidak mengejarnya. Hanya Kwee Siang sesalkan tidak bisa menolong Siangkoan Peng yang dibawa kabur Mie-an Siansu.

Phang Kui In juga tidak mengejarnya karena dia mengenali justru tadi yang berkata itu adalah Yo Him.

Memang Yo Him sengaja telah mempergunakan gertakannya itu untuk ‘mengusir’ lawan-lawannya Kwee Siang. Dan dia berhasil, karena Yo Him hanya seorang diri, dan dia menyebut dalam jumlah seratus orang, sehingga Mie-an Siansu dan kawan-kawannya yang tidak mendengar suara langkah kaki, maka mereka sebagai jago-jago berpengalaman dalam persilatan justru berbalik mengira bahwa orang-orang yang tengah bersembunyi itu merupakan jago-jago yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna. Bukankah suara langkah kakinya saja tidak terdengar?

Karena itu dengan tepat sekali rencana gertakan Yo Him memberikan hasil yang baik, dimana lawan-lawan Kwee Siang termasuk juga Mie-an Siansu telah melarikan diri.

Phang Kui In tertawa tergelak-gelak dia memuji akan kecerdasan Yo Him.

Saat itu Kwee Siang telah menghampiri kepadanya dan telah membungkukkan tubuhnya, kemudian dia menjura memberi hormat dengan sikap yang sangat ramah.

„Terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh kiesu, bolehkah siauw-moay, mengetahui nama besar dari kiesu? Dan jika memang tidak keberatan siauw-moay juga ingin menanyakan gelaran kiesu yang harum untuk dikenang, bahwa siauw-moay pernah menerima budi besar dari kiesu!” kata Kwee Siang.

Phang Kui In cepat-cepat membalas penghormatan si gadis. Dia telah tertawa lebar.

„Sesungguhnya kita bukan orang luar..... kita masih orang dalam juga!” kata Phang Kui In dengan suara yang ramah. „Aku she Phang dan bernama Kui In, tidak memiliki julukan apa-apa karena kepandaianku yang rendah! Sedangkan beberapa saat yang lalu di pulau Ang-hwa-to, aku telah bertemu dengan ayah bundamu, yaitu Kwee Tayhiap dan Oey liehiap.

„Oh, ya?” tanya Kwee Siang dengan mata bersinar cemerlang sekali! „Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka sehat-sehat saja?”

„Sehat-sehat saja, tetapi karena ada suatu urusan yang sangat penting, maka Kwee Tayhiap dan Oey liehiap bersama-sama dengan orang-orang gagah lainnya, bermaksud untuk memberitahukan kepada para pencinta negeri agar mengetahui, bahwa tidak lama lagi akan ada ancaman serbuan dari tentara Mongolia!”

Muka Kwee Siang berobah, dia menghela napas panjang. „Hai, hai,” katanya dengan suara yang dalam dan menundukkan kepalanya. „Memang aku keterlaluan sekali. Telah beberapa tahun aku tidak menjenguk orang tuaku itu.....! Juga encie Hu (Kwee Hu) belum kutenggoki! Mengapa aku jadi demikian? Mengapa aku harus mengenang terus kepadanya. Tetapi engko Yo juga kejam sekali, dia tidak mau bertemu denganku satu kalipun juga!” Waktu berkata-kata begitu suaranya sedih bukan main, mukanya juga murung sekali, tampak hatinya sangat berduka.

Di saat itu Phang Kui In telah tertawa. „Kwee lihiap, justru kami sedang melakukan perjalanan untuk menemui Yo Tayhiap,” katanya.

Muka Kwee Siang seketika berobah jadi tegang dan girang dia telah bertanya dengan suara yang tidak lancar: „Kau..... kiesu..... kau mengetahui dimana beradanya engko Yo Ko? Dimana sekarang engko Yo berada?” tanya Kwee Siang dengan suara tidak sabar. „Dan engkau kiesu, mengatakan perkataan ‘kami’, apakah engkau membawa sahabat-sahabatmu yang tadi belum muncul itu?”

„Itu hanya sandiwara dari engko kecil kawanku, untuk mengertak Mie-an Siansu dan kawan-kawannya!” kata Phang Kui In. Dan setelah berkata begitu, dia telah berkata: „Adik kecil, kau keluarlah untuk berkenalan dengan Kwee liehiap, karena Kwee liehiap sahabat ayahmu.....”

Sementara itu Yo Him telah melangkah keluar, dia menghampiri Kwee Siang dia telah menjura.

„Apa kabar encie Kwee?” tanyanya dengan ramah, dia memanggil encie Kwee, karena sejak tadi dia telah mendengar si gadis memang she Kwee dan bernama Siang.

Kwee Siang untuk sejenak berdiri di tempatnya dengan tertegun, sampai dia lupa untuk membalas hormat dari Yo Him, karena hatinya saat itu tergoncang hebat sekali. Dilihatnya muka Yo Him mirip sekali dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan dia seperti juga melihat Sin-tiauw Tayhiap, maka tidak mengherankan jika hati gadis ini jadi tergoncang keras sekali.

Dalam keadaan demikian, tampak Yo Him telah berkata lagi, „Encie Kwee, apakah engkau tengah mencari ayahku?”

„Kau..... kau puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?” tanya Kwee Siang dengan suara tergagap.

„Benar!” kata Phang Kui In. „Justru kami berdua tengah melakukan perjalanan untuk menemui Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” dan Phang Kui In telah menceritakan perihal pertemuannya dengan Yo Ko, menceritakan semua pengalamannya yang tiba di pulau Ang-hwa-to dan kemudian sampai mereka melakukan perjalanan untuk menyusul Yo Ko.

Kwee Siang berulang kali mengeluarkan seruan-seruan girang. Dia telah menghampiri Yo Him, tangan anak itu telah dicekalnya kuat-kuat.

Yo Him merasa terharu, ketika melihat di mata Kwee Siang menitik beberapa butir air mata, sedangkan tangannya yang mencekal pergelangan tangannya, dirasakan dingin sekali. Karena Kwee Siang sedang berada dalam keadaan tegang dan juga girang.

„Belasan tahun aku mencari engko Yo, ai, ai, dia seperti juga selalu mengelakkan diri dari pertemuan kita.....! Aku sangat kagum dan menghormatinya, begitu juga dengan ibumu, adik Him, yaitu encie Siauw Liong Lie! Ai, mengapa kami tidak bisa berkumpul selamanya, mengapa aku harus mencarinya tanpa menemui jejak selama belasan tahun.”

Mendengar itu, tentu saja Yo Him jadi semakin terharu saja. Diapun menceritakan pengalamannya, bahwa sesungguhnya dia belum pernah bertemu satu kalipun dengan ayah dan ibunya. Dia menceritakan seluruh pengalamannya.

Kwee Siang jadi kaget dan terharu.

„Oh Yo Him, engkau tampaknya menderita sekali! Biarlah kita mencarinya sampai kalian ayah dan anak bisa berkumpul kembali, lalu mencari ibumu.....! Sungguh malang sekali nasibmu!” Dan sambil berkata begitu Kwee Siang merangkul Yo Him dengan penuh kasih sayang, tangannya mengelus-elus rambut si anak she Yo itu dengan sikap seperti seorang kakak terhadap adiknya.

Yo Him juga jadi terharu sekali, dia sampai mengucurkan air matanya juga. Yo Him merasakan walaupun dirinya hidup sengsara dan menderita jauh dari orang tua, tetapi dia telah dirawat oleh sepasang suami isteri yang baik hati, sehingga dia bisa mencapai usia beberapa tahun ini, sedangkan Kwee Siang yang menaruh kagum dan juga menghormati ayahnya, justru telah meninggalkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri, meninggalkan ayah bundanya, meninggalkan keluarga dan lingkungannya, setiap hari hanya berkelana untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap. Bukankah hal itu sangat menderita sekali?

Kwee Siang memang mencintai Yo Ko dari dasar hati dan setulus hati. Tetapi dia mencintai tanpa terdapat setitik noda sedikitpun, bahkan diapun mencintai Siauw Liong Lie. Dan Kwee Siang hanya menghendaki dapat berkumpul bertiga..... tetapi keinginan itu hanya merupakan impian belaka, sebab sekarang Siauw Liong Lie dan Yo Ko tidak pernah dijumpai jejaknya, sehingga dia harus berkelana belasan tahun tanpa berhasil menemui jejak kedua orang sakti yang dikaguminya itu!

Jika Oey Yok Su, sang kakek dari Kwee Siang memperoleh gelaran Lo-sia (si sesat tua), maka Kwee Siang justru dalam persilatan telah memperoleh gelaran Siauw-sia (si sesat kecil), sehingga bisa dibayangkan bahwa sifat dan perangai Kwee Siang sangat aneh. Dia memiliki cita-cita yang berlainan dari setiap orang umumnya, dia memiliki sifat yang ramah, lembut, tetapi bisa keras dan melakukan banyak keanehan dalam penghidupannya. Bahkan seringkali dia melakukan perbuatan-perbuatan di luar dugaan dari manusia umumnya, sehingga banyak orang-orang persilatan yang melihat sikap Kwee Siang, menduga Siauw-sia ini sebagai pendekar wanita muda yang telah terganggu syarafnya, telah sinting.

18.35. Kekurangan Latihan dan Tenaga Saja!

Oey Yok Su sesungguhnya seringkali meminta cucunya yang terkecil ini agar berdiam di Tho-hoa-to, menemaninya sampai nanti dia menutup mata. Karena Kwee Siang sebagai cucunya yang terkecil dimana dia dilahirkan waktu kota Siang-yang tengah bergolak hebat dalam pertempuran, sedangkan ayah dan bundanya yaitu Kwee Ceng dan Oey Yong, juga sibuk sekali mengatur pasukan tentara Song menghadapi serangan-serangan dari tentara Mongolia, maka Oey Yok Su menganggap bahwa Kwee Siang pantas jika menemani dia di pulau Tho-hoa-to sebagai pewarisnya, yang kelak akan menjadi majikan Tho-hoa-to.

Namun Kwee Siang telah menolak keinginan kakeknya itu, karena dia bermaksud untuk mencari jejak Yo Ko dan Siauw Liong Lie.

Itulah sangat mengherankan dan aneh sekali. Banyak orang-orang gagah dalam persilatan yang bersedia untuk menyiksa dirinya sendiri dan melakukan apa saja, asal bisa diterima menjadi murid oleh Oey Yok Su dan menerima warisan ilmu Oey Yok Su yang sangat luar biasa. Oey Lo-sia merupakan manusia aneh dalam persilatan, diantara jago-jago tua, dialah sekarang yang terhebat kepandaiannya, karena Auwyang Hong dan juga Ang Cit Kong, yang kepandaiannya hampir berimbang dengannya, telah menutup mata. Begitu juga dengan Ong Tiong Yang, telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Ciu Pek Thong dan yang lainnya memang memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi tidak ada yang sehebat Oey Lo-sia. Maka itu dengan berdiamnya dia menutup diri melewati usia tuanya di pulau Tho-hoa-to, maka Oey Yok Su dianggap oleh orang-orang persilatan sebagai manusia setengah dewa.

Tidak ada seorangpun yang mengetahui sepak terjang Oey Yok Su selanjutnya, karena disamping Oey Yok Su tidak pernah menunjukkan diri dalam pergaulan umum, dan tidak pernah keluar dari pulau Tho-hoa-to, juga tidak ada seorang jagopun dalam rimba persilatan yang berani mendatangi pulau Tho-hoa-to.....

Kini Kwee Siang telah mendengar jejak perihal Yo Ko tentu saja telah membuatnya jadi girang bukan main, dia sampai mengucapkan syukur berulang kali kepada Thian.

Phang Kui In dan Yo Him yang melihat kegembiraan si gadis she Kwee ini, jadi turut gembira.

Begitulah, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan bertiga. Phang Kui In telah mengajak mereka untuk kembali ke perahunya.

„Mudah-mudahan saja Sin-tiauw Tayhiap belum meninggalkan Kun-lun-san.....!” kata Phang Kui In waktu mereka telah berada di perahu.

Kwee Siang mengiyakan dengan penuh harapan, dan sepanjang berlayar di lautan, Kwee Siang bercakap-cakap dengan Yo Him. Ada saja yang mereka percakapkan.

Yo Him juga senang kepada gadis ini karena sang enci ini tampaknya demikian ramah dan menyayangi dia. Maka Yo Him pun bercakap-cakap dengan asyik sekali, dengan sendirinya lupalah Yo Him akan kesedihannya. Dan begitu juga dengan Kwee Siang, lupa pula untuk sementara akan kesepian dan kedukaan hatinya..... karena Yo Him sebagai pengganti pelipur laranya, muka Yo Him yang mirip dengan Yo Ko, memberikan kesan dan mengurangi akan rindunya..... rindu terhadap Yo Ko maupun Siauw Liong Lie.

Bahkan dalam perjalanan itu, Kwee Siang telah bertanya kepada Yo Him.

„Apakah adik Him telah mengerti ilmu silat?” tanyanya kemudian.

„Sedikit-sedikit .....!” menyahuti Yo Him.

„Coba kau jalankan dihadapanku, nanti aku bisa memberitahukan kelemahan-kelemahanmu.....!” kata Kwee Siang menganjurkan sambil tersenyum.

Yo Him juga berpikir untuk mengisi waktu-waktu senggangnya memang ada baiknya dia melatih diri. Maka Yo Him telah menjalankan bermacam-macam ilmu silat yang telah dipelajarinya.

Kwee Siang kagum sekali. „Engkau dalam usia demikian muda, telah berhasil menghafal semua ilmu silat milik ayahmu, dan berbagai ilmu silat lainnya.....! Hemm, yang kurang hanya latihan dan tenaganya saja! Baiklah, sekarang engkau perhatikan, aku ingin menurunkan Kiu-im-cin-keng kepadamu! Jika sekarang engkau belum bisa menangkap keseluruhannya, itupun tidak apa-apa, asalkan kau ingat baik-baik di dalam hati, agar kelak bisa kau melatihnya jika engkau telah dewasa.....!”

Yo Him jadi girang sekali.

Dia juga telah menyatakan terima kasihnya, dan segera Kwee Siang menurunkan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat dan juga Kiu-im-cin-keng.

Tentu saja Yo Him bisa menangkap semua keterangan itu dengan mudah, yang telah dicatat dalam ingatannya, karena dia memang sangat cerdas sekali. Waktu Kwee Siang meminta dia menjalankan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat, Yo Him bisa membawakannya dengan mudah, walaupun dia hanya mengerti gerakan-gerakannya dan serangannya belum mengandung tenaga dalam, tetapi seluruh jurus telah dijalankannya dengan sempurna.

Kwee Siang jadi girang sekali.

„Adik Him, ternyata engkau cerdas sekali seperti ayahmu!” kata Kwee Siang memuji.

Diperbandingkan dengan ayahnya, Yo Him jadi bangga. Segera dia menanyakan perihal ayahnya itu kepada Kwee Siang dan Kwee Siang tidak keberatan untuk menceritakan mengenai diri Yo Ko dan Siauw Liong Lie selama yang dikenalnya.

Yo Him tertarik sekali mendengar cerita si gadis, dia juga menjadi kagum sewaktu mendengar kegagahan ayahnya yang diceritakan oleh Kwee Siang.

Phang Kui In mengetahui peraturan dunia Kang-ouw, maka setiap kali Kwee Siang tengah menurunkan ilmunya kepada Yo Him, dia selalu menyingkir ke ujung perahu, tidak mau mendengarnya.

Begitulah setiap hari Kwee Siang telah menurunkan sejurus demi sejurus ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat yang telah diciptakannya sendiri, juga dia telah menurunkan tenaga lweekang dari Kiu-im-cin-keng.

Memang Yo Him mempelajarinya juga ilmu pedang si gadis, karena dia tidak mau mengecewakan Kwee Siang yang baik hati itu, maka dia menganggap asal mempelajari. Tetapi seperti diketahui saat itu sesungguhnya Yo Him tengah menerima latihan tenaga dalam nomor satu di dalam dunia! Seperti diketahui, waktu Tat-mo Couwsu datang ke daratan Tiong-goan, dan mendirikan perguruan Siauw-lim-sie dengan itu yang menjagoi rimba persilatan dengan nama Siauw-lim-pay. Dan Yo Him telah mewarisi tenaga dalam nomor satu di dunia persilatan yang sukar dicari tandingannya, yaitu Kiu-yang-cin-keng dan Kiu-im-cin-keng.

Justru kedua macam kitab latihan lweekang nomor satu itu ditemukan oleh Kak-wan Siansu yang telah sempat membacanya, karena justru Kak-wan Siansu merupakan pendeta penjaga kamar perpustakaan. Lalu kedua macam ilmu tenaga dalam itu telah diturunkan kepada Thio Kun Po (muridnya) dan Kwee Siang, yang kebetulan datang ke Siauw-lim-sie untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Secara kebetulan itu pula yang menyebabkan Thio Kun Po akhirnya merupakan pendiri salah sebuah cabang perguruan silat di daratan Tiong-goan yang akhirnya sangat terkenal, berimbang dengan keagungan nama Siauw-lim-sie, yaitu pintu perguruan Bu-tong-pay. Sedangkan nama Thio Kun Po dilupakan orang, karena saat itu sampai kini, yang diingat dan tercatat dalam sejarah, pendiri Bu-tong-pay adalah Thio Sam Hong, nama selanjutnya dari Thio Kun Po.

Sedangkan Kwee Siang sendiri, yang sempat mendengar dibacakannya intisari dari ilmu tenaga dalam yang sakti itu oleh Kak-wan Siansu dari Siauw-lim-sie, telah mendirikan pula sebuah cabang perguruan silat lainnya, yaitu Go-bie-pai. Dan dia telah memperoleh nama yang sangat tenar juga, karena dikemudian hari murid-murid Go-bie-pai memiliki kepandaian yang hebat-hebat. Bahkan dalam dunia persilatan kelak, dikenal tiga perguruan silat utama, yaitu, Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay dan yang ketiga adalah Go-bie-pai.

Walaupun Bu-tong-pay dan Go-bie-pai dikemudian hari merupakan perguruan silat yang berdiri sendiri. Tidak memiliki hubungan dengan Siauw-lim-sie namun setidak-tidaknya ilmu silat dari kedua pintu perguruan itu memang bersumber dari Siauw-lim-sie juga.

Sekarang Kwee Siang baru menciptakan ilmu pedangnya itu belum terlalu lama tetapi justru yang diturunkan kepada Yo Him adalah inti sari dari ilmu pedangnya itu, jika kelak murid-murid Go-bie-pai bisa mengangkat nama dalam dunia persilatan di daratan Tiong-goan, karena mereka mempergunakan ilmu pedang Go-bie-pai dengan segala kombinasinya yang ditambahkan disana-sini. Maka hebat adalah Yo Him, yang langsung menerima ilmu pedang Go-bie-pai itu dari pendirinya (penciptanya) yaitu Kwee Siang.

Begitu juga dengan ilmu tenaga dalam Kiu-im-cin-keng, diterima langsung dari Kwee Siang. Jika Kwee Siang waktu mendengarkan berdua dengan Thio Kun Po, hweshio dari Siauw-lim-sie, yaitu Kak-wan Siansu menghafalkan bunyinya Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng, itulah hanya merupakan sekelebatan bacaan belaka, dan Kwee Siang maupun Thio Kun Po harus memeras otak dan pikiran untuk menjernihkan pelajaran itu, menyalurkan satu persatu dan akhirnya telah dapat disusun dalam bentuk pelajaran latihan tenaga dalam yang sempurna.

Maka sekarang Yo Him telah menerima latihan Kiu-im-cin-keng yang telah disaring oleh Kwee Siang, dengan mudah dia dapat menangkap dan menghafalnya, tanpa perlu memeras otak dan bisa langsung melatih dirinya sendiri. Sehingga di luar kesadarannya, Yo Him sesungguhnya telah menerima warisan ilmu tenaga dalam yang dahsyat sekali. Tetapi Yo Him hanya menduga apa yang dilatihnya itu merupakan latihan untuk olah raga menyehatkan tubuh belaka. Maka dia melatihnya bersungguh-sungguh untuk menggembirakan hati Kwee Siang.

Kwee Siang sangat gembira sekali melihat Yo Him memiliki kecerdasan yang luar biasa. Yang membuat Kwee Siang gembira itu bukan semangat Yo Him melatih diri, tetapi kemajuan yang diperoleh Yo Him tanpa anak she Yo itu mengetahuinya.

Suatu kali, sampai pelajaran jurus keseratus empatpuluh empat, Kwee Siang meminta Yo Him menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan dia. Kedua tangan dari Yo Him telah melekat di kedua telapak tangan Kwee Siang, lalu perlahan-lahan Kwee Siang menyalurkan tenaga murninya, dia telah membuka satu persatu jalan darah mie-tiong-hiat, san-liang-hiat, tan-tian-hiat dan berbagai jalan darah lainnya.

Yo Him merasakan dari telapak tangan Kwee Siang seperti meluncur sebaris hawa yang hangat, halus seperti sutra menerobos masuk ke dalam telapak tangannya, dan hawa hangat itu seperti berjalan masuk melalui kedua lengannya, dan Yo Him merasakan beberapa bagian dari urat besar di tubuhnya berdenyut-denyut setiap kali sumbatannya dibuka oleh kekuatan tenaga murni Kwee Siang sehingga bagian-bagian tubuhnya itu berkedutan tidak hentinya.

Semakin lama Yo Him merasakan tubuhnya semakin panas sampai dari kepalanya dirasakan seperti mengepul uap yang tipis sekali. Tetapi Yo Him tidak mau memperlihatkan kelemahannya, walaupun tubuhnya panas seperti dibakar oleh kobaran api, keringat mengucur deras dari kedua telapak tangan, muka dan lengannya, namun Yo Him tetap berdiam diri saja.

Dia tidak mau mengecewakan Kwee Siang, „Aku tidak boleh memperlihatkan kelemahanku dihadapan encie Siang! Karena jika aku meminta kepadanya untuk beristirahat dulu tentu encie Siang akan mentertawai aku? Bukankah ayahku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko adalah seorang pendekar nomor satu dalam rimba persilatan? Mengapa aku harus berlaku lemah? Walaupun akan mati kepanasan, aku harus tetap bertahan!”

Karena berpikir begitu, Yo Him telah berdiam diri saja, walaupun tubuhnya semakin panas seperti terbakar oleh api, atas bekerjanya tenaga dalam yang disalurkan oleh Kwee Siang, dan di saat itu tampak kepalanya juga semakin mengepulkan asap yang tebal. Tubuh Yo Him juga telah menggigil seperti kedinginan, tetapi dia keraskan kepala untuk tetap bertahan.

Kwee Siang melihat keadaan Yo Him. Sesungguhnya hati si gadis tidak tega untuk meneruskan saluran tenaga murninya. Tetapi dalam keadaan yang genting, dimana tinggal empat buah jalan darah utama di tubuh Yo Him yang harus dibukanya, agar kelak Yo Him bisa menyalurkan seluruh kekuatan murninya ke sekujur tubuhnya. Dalam keadaan demikian, jika Kwee Siang menarik pulang tenaga murninya, justru akan mencelakai Yo Him.

„Engkau masih bisa bertahan terus, adik Him?” tanyanya dengan berkuatir. „Tidak lama lagi, hanya empat jalan darahmu yang perlu dibuka lagi!”

Yo Him mengangguk sambil menggigit bibirnya, dia sudah tidak bisa menjawabnya.

Kembali Kwee Siang telah menyalurkan lagi kekuatan murninya, dia membuka jalan darah tan-to-hiat di dekat urat pusar tiga dim, dan setelah diterobos oleh gempuran-gempuran tenaga murni Kwee Siang, maka jalan darah itu terbuka, dan dapat menyalurkan kekuatan murni dari pusar Yo Him ke sekujur tubuhnya.

„Kerahkan tenagamu di kedua pangkal lengan. Atur napasmu sekali-kali dengan teratur, tenangkan pikiran, kosongkan hati dan otak, jangan berpikir apa-apa, Kiu dan Im, Yang dan Keng, di saat ini engkau pasrah diri, kedua tangan dilemaskan, kedua kaki dikakukan, kedua mata dipejamkan, kedua telinga dipasang, mulut terbuka, hidung tertutup, maka engkau akan mencapai Im-yang-kut-liong (tulang naga positif dan negatif)!”

Memang jika Yo Him berhasil melaksanakan semua petunjuk Kwee Siang, niscaya tulang-tulang Yo Him akan menjadi kuat, dia seperti baru dilahirkan kembali, dan seperti telah digodok untuk menjadi seorang anak manusia memiliki tulang-tulang di tubuhnya seperti tulang naga..... Dimana bisa dipergunakan untuk menghadapi serangan lunak dari lawan, bisa juga menghadapi serangan kekerasan dari lawannya. Jika serangan lawannya kelak lunak, tentu dia bisa mempergunakan tenaga Im nya, tetapi jika dia hendak menindih lawannya dengan gerakan kekerasan, dia bisa mempergunakan yang tenaga positif.

Tiba-tiba Kwee Siang merasakan tenaga menolak berulang kali dari telapak tangan Yo Him, walaupun tidak keras tetapi tanda-tanda seperti itu telah menyebabkan Kwee Siang jadi girang sekali, karena hal ini menunjukkan bahwa Yo Him telah menuruti petunjuknya dan kini anak itu telah memiliki tenaga melawan terhadap tenaga dari luar.

Saat itu Kwee Siang telah mengumpulkan semangatnya untuk mengempos tenaga murninya di kedua telapak tangannya, dia telah menyalurkan dengan kuat untuk membuka jalan darah pai-liang-hiat, kemudian setelah berhasil, menyusul jalan darah su-kong-hiat, dan terakhir jalan darah ban-liong-hiat, jalan darah sepuluhribu naga..... Itulah jalan darah yang paling sulit dibuka, dan waktu berhasil terbuka justru Yo Him telah mengeluarkan suara keluhan, karena seluruh tubuhnya seperti diceburkan ke dalam minyak panas, dia telah rebah pingsan tidak sadarkan diri! Untung saja waktu itu dia belum pingsan, Kwee Siang telah berhasil membuka jalan darah itu, sehingga walaupun Yo Him telah jatuh pingsan tidak sadarkan diri, tetapi dia tidak mengalami ancaman bahaya apa-apa.

Dengan cepat Kwee Siang melompat berdiri, dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak dengan keras dan panjang sekali.

Tentu saja hal ini telah membuat Phang Kui In yang berada di buritan perahunya jadi terkejut, dan cepat-cepat mendatangi. Waktu dia memasuki kamar perahu itu, dia melihat Kwee Siang sedang berdiri tegak dan tertawa bergelak-gelak, sedangkan Yo Him menggeletak di lantai perahu tanpa bergerak, dia jadi mengeluarkan suara seruan kaget dan cepat-cepat menghampiri untuk memeriksa keadaan Yo Him.

Kwee Siang telah berhenti dari tertawanya, katanya dengan tergesa-gesa. „Jangan dipegang, biarkan dia beristirahat!”

Phang Kui In segera tersadar dengan cepat dari kekeliruannya. Hampir saja dia melakukan suatu kesalahan yang besar, karena jika dia menghampiri Yo Him dan menyentuh tubuh Yo Him, saat itu dia bisa merobah letak jalan darah di tubuh Yo Him, dan bahaya yang mengancam untuk Yo Him sangat hebat.

Sebagai seorang yang mengerti ilmu silat dan telah berpengalaman, Phang Kui In menyadarinya bahwa seluruh jalan darah Yo Him telah dibuka oleh Kwee Siang, maka jika dia menyentuh tubuh Yo Him dan jalan darah itu terbuka, di samping jalan darah yang telah dibuka akan tertutup kembali, juga akan membahayakan jiwa anak itu yang bisa binasa di saat itu juga.

Itulah sebabnya walaupun melihat Yo Him jatuh pingsan, Kwee Siang tidak menghampirinya, membiarkan tubuh Yo Him menggeletak, menantikan sampai waktunya tiba, di saat mana jalan darah jalan darah yang dibukanya itu telah bisa bekerja dengan baik, barulah dia akan menghampiri Yo Him.

Kwee Siang tadi mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak, karena dia sangat puas dan girang, setelah dia berhasil membuka seluruh jalan darah Yo Him dengan selamat tanpa menemui rintangan apa-apa, sehingga berarti dia telah ‘menciptakan’ sebuah bibit baru untuk seorang pendekar besar dijaman ini.....! Kwee Siang berani mengatakan bahwa Yo Him merupakan ‘bibit’ pendekar besar dijaman ini, karena dia melihat Yo Him memiliki tulang yang baik, dan daya ingatan yang luar biasa sekali. Hanya dalam dua minggu mereka melakukan perjalanan air, Yo Him telah berhasil menerima seluruh pelajaran kepandaian Kwee Siang, bahkan telah berhasil menerima dan menjalankan jurus-jurus ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat dengan baik sekali.

Tadi Yo Him baru bisa menjalankan seluruh jurus-jurus itu tanpa memiliki kekuatan untuk membinasakan lawannya, karena dia kurang latihan dalam hal lweekang. Namun kini setelah Kwee Siang berhasil membuka seluruh jalan darahnya, maka jika Yo Him kelak melancarkan serangan kepada lawannya, walaupun dia tidak bermaksud untuk mengerahkan tenaganya, namun tenaga itu sendiri yang akan meluncur keluar berim¬bang dengan tekanan tenaga serangan dari lawannya. Jika kelak Yo Him telah melatihnya, bukan saja dapat mengimbangi kekuatan tekanan tenaga serangan dari lawannya, tetapi Yo Him bisa mengendalikan tenaganya itu untuk menghancurkan besi dan batu dengan hanya sekali sentilan jari telunjuknya saja!

Kwee Siang melihat, jika Yo Him mem¬peroleh bimbingan yang baik dari seorang ahli, Yo Him bisa jauh lebih hebat dari dia, karena di tubuh Yo Him terdapat suatu kelainan. Sebagai bukti saja, tampak waktu Kwee Siang membuka seluruh jalan darah Yo Him, dia hanya memerlukan waktu dalam setengah harian saja. Sesungguhnya bagi manusia umumnya, jika ingin dibuka seluruh jalan darahnya, tentu harus memakan waktu yang cukup lama! Dari perbedaan waktu saja, telah membuktikan bahwa Yo Him memiliki kelainan yang luar biasa.

Harus diketahui setiap satu jalan darah dibuka, jika hal itu terjadi di diri seorang manusia biasa yang tidak memiliki kelainan seperti Yo Him, tentu orang itu akan menderita demam selama satu minggu dan selama satu bulan dia harus mengasoh, baru nanti dibuka kembali satu jalan darah lainnya. Maka jika menuruti keadaan seperti itu, seorang manusia biasa harus memakan waktu lima tahun baru bisa terbuka seluruh jalan darahnya. Semakin banyak jalan darah yang dibukanya, semakin hebat penderitaan demam orang itu. Tetapi berbeda dengan seorang yang memiliki kekuatan yang agak besar dan memiliki daya tahan yang cukup kuat, maka mungkin dalam dua tahun seluruh jalan darahnya bisa dibuka.

Namun Yo Him justru bisa bertahan dengan kuat sekali, karena dia memang telah memiliki dasar-dasar kepandaian yang luar biasa dari Sin-tiauw, juga telah menerima petunjuk dari jago-jago hebat, termasuk In-lap Siansu dan lain-lainnya. Maka dari itu, waktu Kwee Siang membuka jalan darahnya yang pertama, yaitu siauw-cie-hiatnya, Yo Him hanya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi sesuatu apapun juga. Dan Kwee Siang jadi meneruskan usahanya membuka jalan darah kedua, yaitu siang-liang-hiat, tetapi keadaan Yo Him tetap tidak memperlihatkan perobahan.

Itulah sebabnya Kwee Siang telah meneruskan pekerjaannya membuka seluruh jalan darah Yo Him, yang seluruhnya berjumlah seratus tigapuluh delapan jalan darah utama, dan seratus duapuluh jalan darah besar.

Kwee Siang dalam setengah hari saja bisa membuka seluruh jalan darah dari Yo Him dan tanpa menemui rintangan apa-apa. Persoalan ini merupakan persoalan yang tidak pernah terjadi di dalam rimba persilatan, maka telah membuat Kwee Siang girang luar biasa.

Dia jadi tertawa bergelak-gelak. Dan juga yang paling menggembirakan hatinya, yaitu dengan terbukanya seluruh jalan darah Yo Him hanya dalam waktu setengah hari itu, telah memperlihatkan bahwa Yo Him sebagai calon pendekar yang luar biasa sekali! Kemungkinan besar menurut Kwee Siang, jika Yo Him memiliki gemblengan yang teratur, dan memperoleh bimbingan yang baik dari jago-jago yang hebat seperti Sin-tiauw Tayhiap, Oey Yok Su, yaitu kakeknya, juga ayah ibunya dan beberapa jago-jago lainnya yang memiliki latihan tenaga dalam yang murni dan lurus, tidak termasuk golongan sesat, niscaya Yo Him akan memiliki kepandaian yang melebihi dari jago itu sendiri.

Kwee Siang telah menarik tangan Phang Kui In menuju ke buritan kapal dan segera dia menceritakan apa yang telah dialaminya, dimana dia telah berhasil membuka seluruh jalan darah di tubuh Yo Him.

Phang Kui In jadi kaget bercampur girang, dia sampai berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.

Dengan hati yang tegang, akhirnya Kwee Siang dan Phang Kui In menantikan sampai Yo Him tersadar dari pingsannya.

<> 

Selama satu hari satu malam Yo Him menggeletak diam, dengan napas yang berjalan lancar dan lurus, sehingga walaupun dia pingsan dalam keadaan yang demikian lama, tetapi Phang Kui In dan Kwee Siang jadi tenang karena melihat napas Yo Him lurus dan teratur.

Tetapi malam itu setelah duapuluh empat jam Yo Him menggeletak pingsan, mukanya berangsur-angsur menjadi merah padam dan sekujur tubuhnya mengepul uap panas yang luar biasa.

Kwee Siang dan Phang Kui In yang berdiri setombak lebih jauhnya dari tempat mengeletaknya Yo Him masih bisa merasakan sambaran uap panas itu.

Kwee Siang dan Phang Kui In jadi berkuatir sekali.

„Apakah..... apakah tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?” tanya Phang Kui In dengan gelisah.

Kwee Siang juga mulai ragu-ragu. Perkembangan yang terjadi didiri Yo Him mendatangkan kekuatiran juga untuk dirinya. Dia telah mengawasi Yo Him tajam-tajam tanpa menyahut pertanyaan Phang Kui In.

„Kwee lihiap, apakah adik Him tidak akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan?” tanya Phang Kui In lagi, karena dia sangat berkuatir sekali. „Apakah ada sesuatu yang harus kita lakukan untuk dia?”

Saat itu Kwee Siang juga mulai diliputi keraguan dan kekuatiran, dia telah menghampiri lebih dekat ke samping Yo Him. Karena jaraknya dengan Yo Him semakin dekat, maka Kwee Siang merasakan samberan hawa panas dari tubuh Yo Him yang semakin kuat.

Waktu Kwee Siang ingin berjongkok disampingnya untuk memeriksa keadaan Yo Him, tiba-tiba Yo Him mendadak sekali telah mengeluarkan suara teriakan yang nyaring memekakkan anak telinga, tubuhnya seperti seekor ikan le-ie (ikan gabus) telah melompat ke tengah udara, dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak membawa gerakan Go-bie-kiam-hoat, walaupun di tangannya tidak mencekal pedang!

Kwee Siang jadi terkejut sekali, dia berseru: „adik Him..... adik Him!!” teriaknya sambil mengulurkan tangannya untuk mencekal tangan Yo Him, maksudnya untuk menyadarkan Yo Him dari gerakan-gerakan di luar sadarnya itu.

Tetapi ketika tangan Kwee Siang diulurkan, di saat itu telapak tangan Yo Him telah mengibas dengan jurus Ciang-lie-kiam-sut atau bidadari cantik mempergunakan pedang. Tahu-tahu dari telapak tangan Yo Him menyambar kekuatan yang panas sekali, „werr”, dan Kwee Siang mengeluarkan suara jeritan tertahan karena tubuhnya telah terlempar keras sekali, sampai terbanting sejauh dua tombak di lantai perahu.

Phang Kui In juga jadi terkejut tanpa berpikir lagi dia telah menubruk ke arah Yo Him, dia termaksud untuk mencegah Yo Him bergerak lebih jauh, yang mungkin bisa membahayakan dirinya. Tetapi belum lagi Phang Kui In sempat merangkul Yo Him justru di saat itu tangan Yo Him telah bergerak mengibas ke arahnya, tahu-tahu telapak tangannya menghantam pundak Phang Kui In, sehingga Phang Kui In merasakan pundaknya itu sakit luar biasa, seperti tulang piepenya akan patah hancur, dan tubuhnya terpental keras sekali keluar dari ruangan kamar perahu.

Tubuhnya terbanting di tepian lantai perahu, hampir saja Phang Kui In tercebur ke dalam laut, jika saja tangan kanannya tidak cepat-cepat mencekal tepian perahu itu.

Saat itu Yo Him telah berteriak-teriak dengan suara yang nyaring:

„Panas! Panas! Panas!”

Suaranya sambung menyambung, karena suara itu terdengarnya aneh sekali, nyaring dan keras, bagaikan teriakan seorang ahli lweekhe (ahli tenaga dalam) yang sudah mahir, sehingga suaranya bisa menggema di udara bebas seperti itu. Juga tubuh Yo Him telah berjingkrak-jingkrak dengan keras dan tinggi. Dia telah berlari keluar dari ruangan kamar perahu itu, dan dengan tidak terduga tahu-tahu dia telah melompat ke dalam laut!

Tentu saja Phang Kui In dan Kwee Siang jadi terkejut bukan kepalang, mereka merasakan darah mereka seperti berhenti mendesir, jantung mereka seperti copot rasanya.

„Adik Him! Adik Him!” teriak Kwee Siang seperti kalap. Gadis ini telah berlari dengan cepat sekali ke arah tepi perahu, dia bermaksud akan melompat ke dalam laut untuk menolongi Yo Him.

Phang Kui In juga kaget setengah mati, dia berteriak-teriak:

„Yo Him! Him-jie!!”

Dan dia memburu juga ke tepi perahu itu, dengan maksud ingin melompat ke laut juga, untuk menolongi Yo Him.

Tetapi di saat itu telah terlihat suatu peristiwa yang aneh luar biasa yang hampir tidak bisa dipercayai oleh Phang Kui In dan Kwee Siang, dimana keduanya sampai memejamkan matanya berulang kali, mengucek-uceknya, karena mereka merasa seperti dalam mimpi melihat peristiwa aneh itu.

Yo Him ternyata tadi telah mencebur ke air laut, tetapi sama sekali tidak kelelap, tubuhnya itu timbul tenggelam dengan gerakan yang cepat sekali. Waktu itu laut tengah tenang tidak bergelombang, tetapi tubuh Yo Him sebentar melompat ke atas permukaan laut, dan sebentar pula menyelam lenyap, kemudian timbul lagi melompat tinggi keluar dari permukaan air laut. Dengan sendirinya keadaan seperti ini telah membuat Kwee Siang dan Phang Kui In jadi heran sekali.

Setiap kali melompat tinggi dari permukaan air laut, kedua tangan Yo Him bergerak-gerak seperti orang yang tengah bersilat, tentu saja telah membuat Phang Kui In dan Kwee Siang memandang takjub. Walaupun bagaimana mereka tidak mengerti, mengapa Yo Him bisa timbul tenggelam dengan gerakan-gerakan yang begitu lincah, bagai dia sedang melompat-lompat di atas tanah datar.

Mengapa Yo Him, yang tidak bisa berenang bisa tidak tenggelam?

Sesungguhnya ada sebab-sebabnya. Karena seluruh jalan darah di tubuhnya telah dibuka oleh Kwee Siang dan juga jalan darah ban-liong-hiatnya telah dibuka juga, dengan sendirinya tubuhnya itu jadi memantulkan uap panas, yang menguap dalam tekanan udara yang halus setelah lewatnya duapuluh empat jam dia berada dalam keadaan pingsan. Maka dari itu waktu dia menceburkan diri ke laut, justru tekanan dari tenaga menguap itu membuat tubuhnya jadi terpental ke atas pula menurut bobot dan berat jatuhnya tubuh Yo Him.

Seperti di bagian atas telah dijelaskan, jika sekarang Yo Him belum bisa mengendalikan dan menguasai tenaga murninya maka dengan dibuka seluruh jalan darahnya itu, dia hanya bisa menolak serangan tenaga lawannya, dimana lawannya menyerang satu tail beratnya, maka tenaga menolaknya sebesar satu tail juga. Begitu lawannya menyerang sepuluh kati, maka akan sepuluh kati pula tenaga menolak yang meluncur keluar dari tubuh Yo Him.

Kini dia telah melompat ke dalam laut, air laut merupakan benda cair yang padat, begitu tubuhnya melayang turun, dengan bobot tubuhnya ditambah berat meluncurnya tubuh itu, maka begitu menyentuh permukaan air laut, seketika dari tubuhnya segera muncul hawa menolak yang sama berat dan kuatnya dengan tenaga membentur tubuh Yo Him dengan permukaan air laut. Sehingga dia telah terpental ke atas lagi. Begitu jatuh, begitu tertolak lagi ke atas. Maka keadaan seperti itu berlangsung terus, dimana Yo Him masih dikuasai oleh alam di bawah sadarnya.

Sedangkan saat itu, tampak tubuh Yo Him berulang kali melambung ke atas. Dan selanjutnya yang membuat Phang Kui In dan juga Kwee Siang jadi kagum luar biasa, karena mereka menyaksikan Yo Him berjalan hilir mudik di permukaan air laut berlari-lari seperti juga dia tidak memiliki berat dan bobot tubuh, dari jauh dia seperti sedang berlari-lari di atas permukaan tanah!

Itulah pemandangan yang menakjubkan sekali!

Sesungguhnya karena Yo Him dalam keadaan pingsan dan belum sadarkan diri, setiap gerakan yang dilakukannya itu dikuasai oleh alam di bawah sadarnya, dan juga gerakan tubuhnya itu menyebabkan seluruh otot dan jalan darah yang telah dibuka bekerja dengan sendirinya, karena memang Yo Him belum bisa mengendalikannya dan baru bisa membiarkan kekuatan murni di tubuhnya bekerja sekehendaknya menurut tekanan dari luar.

Waktu itu Yo Him telah berlari-lari di atas permukaan air laut karena dia tengah berada di bawah alam sadarnya, sehingga dia mengira seperti tengah berlari di tanah datar.

Setiap gerakan telapak tangannya memiliki tenaga menekan, maka tenaga menekan itu menerima reaksi pula dari tendangan tenaga yang memantul dari kekuatan yang muncul dari kedua telapak kakinya itu membuat tubuhnya tetap berada di atas permukaan air laut itu, karena terdorong kembali oleh kekuatan tenaga membalik dari sumber tenaga murninya dari bawah telapak kakinya.

Begitu dia melangkah begitu dia menerima tenaga menolak, maka sebab itulah dia bisa melangkah terus tanpa kakinya tenggelam ke dalam air laut.

Kwee Siang dan Phang Kui In jadi tidak mempercayai apa yang mereka lihat itu, keduanya sampai menahan napas sesaat lamanya. Mereka sendiri tidak mungkin bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Yo Him.

Saat itu Yo Him telah berlari-lari sejenak lamanya, tetapi akhirnya dia telah berhenti berlari karena berangsur-angsur alam sadarnya telah pulih, dan dia melihat bahwa dirinya berada di tengah-tengah air laut. Namun di saat itu karena dia tidak melakukan suatu gerakan apa-apa, kedua kakinya berdiam saja, maka bobot badannya itu telah menekan ke bawah tertarik oleh gaya tarik bumi, yang bersumber dari dalam laut, maka tubuh Yo Him jadi tenggelam!

18.36. Undangan Bajak Laut Tiauw-pang

Yo Him yang baru tersadar dari pingsannya jadi terkejut bukan main, dia sampai mengeluarkan suara seruan kaget dan telah berulang kali mengeluarkan suara teriakan meminta tolong, kedua tangannya telah bergerak-gerak, begitu juga dengan kedua kakinya. Dari kedua telapak kakinya dan tangannya meluncur pula kekuatan otomatis dari setiap otot dan jalan darah di tubuhnya, tubuh Yo Him terpental pula.

Hal itu berlangsung beberapa kali, membuat Yo Him gugup luar biasa, dan saat itu Phang Kui In telah bergerak cepat sekali, dia telah mengayuh perahunya untuk menghampiri Yo Him. Begitu juga Kwee Siang menjadi bingung, dia telah membantu mengayuh perahu dengan cepat menghampiri tempat dimana Yo Him tengah melompat-lompat di air laut dengan cara yang aneh itu.

Waktu perahu telah menghampiri dekat, justru di saat itu tubuh Yo Him sedang melambung ke tengah udara, dan jatuh tepat di dalam perahu!. Maka dengan cepat sekali Kwee Siang telah melompat lari menangkap tubuh Yo Him. Seketika Yo Him lemas dalam rangkulan Kwee Siang, tenaganya habis dan dia telah rebah tertidur nyenyak sekali.

Phang Kui In menatap Yo Him dengan muka yang pucat dan berkuatir sekali.

„Apakah tidak akan terjadi sesuatu apapun juga terhadap dirinya?” tanya Phang Kui In kepada Kwee Siang, suaranya mengandung kekuatiran.

„Tidak!” menyahuti Kwee Siang. „Tadi kita telah menyaksikan betapa dia telah memiliki semacam ilmu yang luar biasa sekali!”

Lalu mereka telah menunggui dengan penuh perhatian, dan perahu telah berlayar terus.

Selama duapuluh empat jam lagi Yo Him tertidur, sampai akhirnya setelah lewat sehari semalam lagi, dia baru tersadar dari tidurnya. Seluruh tulang-tulang di badannya terasa sakit ngilu dan dia merintih perlahan.

„Kau tidak apa-apa, adik Him..... Besok lusa kesehatan tubuhmu akan pulih sebagaimana biasa, bahkan akan lebih hebat lagi, karena kini engkau telah memiliki semacam kekuatan lweekang yang benar-benar luar biasa,” hibur Kwee Siang.

„Ya, engkau benar-benar hebat, Him-jie!” Phang Kui In ikut menghiburnya.

Yo Him mengangguk perlahan sambil tersenyum lemah, dia letih bukan main.

Kemudian Kwee Siang telah memasakkan bubur untuk Yo Him, yang memakannya dengan lahap.

Begitulah, hari demi hari telah lewat dan mereka lalui dengan cepat dalam pelayaran tersebut. Tiga hari kemudian, kekuatan dan kesehatan Yo Him telah pulih. Dia telah bisa berjalan dan berdiri di tepi perahu untuk menangkapi ikan-ikan yang berada di tepi perahu tersebut.

Luar biasa cara Yo Him menangkap ikan itu. Karena dengan mempergunakan telapak tangannya, yang dihantamkan ke permukaan air laut, dimana kebetulan seekor ikan dilihatnya lewat, maka ikan itu akan menggelepar dan bukannya tenggelam, justru melompat seperti juga terhisap ke telapak tangan Yo Him, sehingga puluhan ekor ikan telah ditangkap Yo Him untuk teman lauk makan mereka.

Yo Him menyadari juga, bahwa di dirinya kini telah terpendam semacam ilmu lweekang yang luar biasa, dia berterima kasih sekali kepada Kwee Siang.

Kwee Siang dan Phang Kui In juga menjadi girang, mereka melihat bahwa Yo Him telah memiliki kekuatan lweekang yang dahsyat sekali. Mungkin kekuatan dan kemujijatan yang dimiliki Yo Him berada di atasnya, dan juga merupakan suatu kepandaian yang sangat langka sekali. Sayangnya Yo Him belum memiliki latihan yang sempurna, sehingga belum bisa memanfaatkan hebatnya tenaga dalam itu, yang belum bisa dikendalikan dan dipergunakan sepenuh hatinya.

Di saat itu tampak Yo Him telah bercakap-cakap dengan Kwee Siang asyik sekali, karena dia menganggap encie Siangnya ini sangat baik sekali. Bahkan tenaga dalam yang hebat dan sekarang dimilikinya itu berasal dari encie Siang nya tersebut.

Phang Kui In selalu memuji bahwa Yo Him memiliki kepandaian yang hebat dan calon pendekar yang dahsyat, kalau saja dia kelak telah bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap dan sang ayah itu akan membimbingnya.

Yo Him jadi girang sekali, dia juga berjanji berulang kali dihadapan Kwee Siang dan Phang Kui In, jika memang dia bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tentu kepandaiannya itu akan dipergunakan untuk menolongi orang-orang yang tertindas dan lemah, bahkan dia pun ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pemerintah Song mempertahankan negeri dengan para pencinta negeri lainnya, untuk mengusir ancaman serbuan tentara Mongolia yang dipimpin Kublai Khan.

„Engkau masih terlalu kecil, Him-jie.....!” kata Phang Kui In. „Walaupun kepandaianmu hebat, engkau belum bisa berpikir terlampau jauh mengenai kekotoran dunia persilatan dan juga dalam soal peperangan antara negara. Maka yang terpenting engkau baik-baiklah melatih diri, jika kelak telah bertemu dengan ayahmu, engkau harus tekun mempelajari setiap ilmu silat yang diturunkannya. Kelak jika engkau telah dewasa, tentu engkau akan dapat melakukan banyak perbuatan mulia.....!”

„Terima kasih paman Phang, ini semua berkat bimbingan paman Phang dan juga encie Siang. Jika tidak ada encie Siang, tentu akupun tidak akan memiliki kepandaian lweekang seperti sekarang.”

Mendengar Yo Him mengucapkan kata-kata merendah seperti itu, Kwee Siang telah tertawa.

„Adik Him, walaupun aku menurunkan seluruh kepandaianku, tetapi jika kuturunkan kepada manusia umumnya yang biasa saja tidak memiliki suatu kelainan dan kemujijatan di tubuhnya seperti yang engkau miliki, walaupun aku mendidiknya sepuluh tahun, belum tentu bisa memperoleh hasil seperti yang sekarang engkau peroleh! Maka dari itu aku girang sekali, tidak sia-sia aku mendidikmu hanya dalam beberapa hari saja ternyata engkau telah dapat melatih diri dengan sempurna, yang kurang hanyalah tenaga dalam yang harus dilatih pula, agar bisa kau kuasai dan kendalikan sekehendak hatimu. Dengan demikian tentunya engkau akan menjadi seorang pendekar muda yang sulit dicari tandingannya! Terlebih lagi jika kelak engkau telah bertemu dengan ayahmu memperoleh petunjuk-petunjuk dan latihan-latihan di bawah bimbingannya, tentu engkau akan memperoleh kemajuan yang pesat sekali, karena ayahmu dimasa ini merupakan seorang pendekar nomor wahid!”

Yo Him menjadi girang, berulang kali dia mengucapkan terima kasihnya.

Di saat itu perahu terus juga meluncur mengarungi samudera. Dan selama berhari-hari mereka melakukan pelayaran.

Y

Setelah melakukan perjalanan air selama setengah bulan, tengah hari itu mereka singgah di pelabuhan yang terdapat di pinggir kota Bun-hian-kwan. Sebuah kota yang cukup besar, dan jika melakukan perjalanan darat dari kota tersebut ke Kun-lun-san tentu memakan waktu setengah bulan lagi, maka Phang Kui In memutuskan untuk melakukan pelayaran dengan perahu saja dulu. Nanti setelah tiba di pelabuhan kota Kiang-yang-kwan barulah mereka akan melakukan perjalanan darat. Dari kota Kiang-yang-kwan hanya dua hari untuk mencapai Kun-lun-san. Maka dengan cepat sekali mereka telah melakukan pelayaran tanpa singgah di kota Bun-hian-kwan.

Tetapi waktu mereka melakukan pelayaran selama dua hari, di saat itulah mereka menghadapi suatu urusan yang memaksa mereka barus menghadapi persoalan yang cukup rumit.

Waktu itu langit cerah, air laut tampak tenang saja, dan juga burung-burung camar tampak berterbangan di dekat perahu mereka. Dengan adanya burung-burung camar itu, maka Phang Kui In memberitahukan Kwee Siang dan Yo Him, bahwa mereka berada di perairan yang dekat dengan daratan.

Belum lagi Phang Kui In selesai menceritakan sesuatu yang lainnya, telah terlihat di kejauhan dua buah titik hitam, yang semakin lama semakin membesar menghampiri mereka.

„Dua buah kapal berukuran besar!” kata Phang Kui In dengan suara terkejut setelah memperhatikan kedua titik hitam itu yang semakin besar. „Kita harus cepat-cepat menyingkir karena air laut yang akan bergelombang hebat membahayakan perahu kita. Kedua kapal itu tampaknya berukuran besar!” maka Phang Kui In telah mengayuh perahunya agak menjauh, di saat itu terlihat kedua kapal yang berukuran sangat besar itu mendatangi semakin dekat.

Dalam keadaan demikian, Phang Kui In berusaha mengayuh perahunya lebih kuat dengan pengerahan tenaga lweekangnya, sehingga perahunya itu melesat di atas permukaan air laut.

Kwee Siang juga telah membantui mengayuh, tetapi kedua kapal berukuran besar itu dengan cepat telah mendatangi, sehingga menimbulkan air laut yang bergelombang keras.

Walaupun Phang Kui In berusaha menjauhi perahunya dari jalur lintas kedua kapal itu, namun kedua kapal berukuran besar itu terus mengejar mereka.

Di puncak tiang dari kapal-kapal itu, tampak terpasang masing-masing sehelai bendera berwarna merah, di tengah-tengahnya terdapat gambar burung rajawali yang sedang mementang sayap, dan tertulis satu huruf tiauw (rajawali).

„Celaka!” berseru Phang Kui In waktu melihat bendera itu dengan jelas. „Mereka merupakan rombongan dari perkumpulan Tiauw-pang..... Perkumpulan rajawali, yang memiliki ribuan anak buah dan biasanya mengganas di lautan, merajai lautan, setiap kapal pedagang akan dirampoknya. Mereka juga memiliki banyak anak buah yang memiliki kepandaian yang tinggi, sebab banyak orang-orang gagah dari kalangan liok-lim (rimba hijau, perampok) di daratan Tiong-goan, yang menghamba diri kepada perkumpulan Tiauw-pang itu. Tetapi selama ini perkumpulan itu tetap menjadi perkumpulan rahasia yang tidak diketahui jelas dimana markasnya, merupakan suatu teka-teki dan bayangan maut bagi para pedagang, sedangkan pihak pemerintah juga tidak berdaya untuk memberantas mereka, karena tidak mengetahui jelas markas mereka!”

Waktu menjelaskan begitu, muka Phang Kui In agak pucat, tampaknya dia tengah diliputi perasaan takut, berkuatir dan gelisah.

Kwee Siang jadi heran, begitu juga dengan Yo Him, waktu melihat Phang Kui In seperti ketakutan, karena mereka mengetahui bahwa Phang Kui In memiliki kepandaian yang cukup tinggi, walaupun tidak setinggi kepandaian Kwee Siang. Apa lagi sekarang dia sedang didampingi Kwee Siang, yang kepandaiannya hebat sekali dan jarang bisa dihadapi oleh jago-jago biasa saja, maka walaupun pihak Tiauw-pang itu memiliki banyak anak buah, tetapi belum tentu rombongan perampok itu bisa merubuhkan mereka.

Phang Kui In telah berteriak nyaring kepada Kwee Siang: „Cepat! Cepat! Kita harus menyingkir dari mereka!”

Melihat kekuatiran dan kegelisahan didiri Phang Kui In, Kwee Siang jadi tidak banyak bertanya, dia telah bantu mengayuh perahu mereka itu.

Tetapi perahu Phang Kui In telah disilang oleh kedua kapal tersebut, sehingga perahu mereka tidak bisa melarikan diri lebih jauh untuk lolos dari kepungan itu, karena air laut yang bergelombang besar akibat terjangan kapal-kapal-besar itu, membuat Phang Kui In dan Kwee Siang sulit mengendalikan perahunya.

Waktu kapal besar yang satunya hampir dekat dengan perahu Phang Kui In, tahu-tahu dari atas kapal itu telah menyambar datang semacam benda bulat putih. Menyambar dengan kuat dan cepat sekali, sampai memperdengarkan suara „unggg.....!”.

Kwee Siang melihat menyambarnya benda putih itu, yang berukuran sebesar kepala manusia, telah mengulurkan tangannya, dia menyambutinya.

„Tapp!” Kwee Siang berhasil menyambuti benda itu, tetapi begitu dia melihat barang yang sudah ada di tangannya, Kwee Siang mengeluarkan suara jeritan ngeri dan melepaskannya benda putih itu jatuh ke lantai perahu, menggelinding mengeluarkan suara „kelutuk, kelutuk, kelutuk”.

Phang Kui In terkejut bukan main, begitu juga Yo Him, karena mereka kuatir kalau-kalau Kwee Siang telah menyambuti benda beracun.

Tetapi waktu mereka menegasi benda putih yang telah menggeletak di atas lantai perahu, kembali mereka jadi terkejut lagi, karena setelah terlihat jelas ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak kepala manusia yang tulangnya berwarna putih, sedang menggeletak menyeringai.

Pantas saja waktu Kwee Siang melihat benda itu dia telah mengeluarkan suara jeritan kaget dan telah melemparkan kembali benda yang telah berhasil ditangkapnya.

Phang Kui In menghampiri tengkorak kepala manusia itu, dia melihatnya di atas kening dari tengkorak yang licin putih itu terdapat tulisan berwarna hitam:

„Kalian kami undang kekapal kami untuk dijamu, jangan menolak, karena kematian mengejar kalian. Menerima undangan, kebahagiaan menunggu!”

Phang Kui In menghela napas panjang, dia telah memperlihatkan tulisan itu kepada Kwee Siang, dan juga telah melirik ke arah kepala kapal itu, dimana tampak barisan orang-orang bertubuh tinggi besar dengan muka yang bengis tengah mengawasi ke arah mereka.

Kwee Siang telah membaca ‘surat undangan’ itu, dan akhirnya dia menggumam perlahan: „Aneh sekali cara orang-orang Tiauw-pang ini memberikan undangan!”

„Ya, lebih aneh lagi nanti sikap mereka, kita masih belum tentu bisa lolos dari kematian di tangan mereka!” menggumam Phang Kui In dengan suara yang perlahan. „Tetapi tidak ada jalan lain lagi, biarlah kita memenuhi undangan mereka! Yang aneh sekali, mengapa mereka mengincar kita, sedang kita hanya memakai perahu kecil, yang tentunya tidak seharusnya mereka mengetahui bahwa kita orang-orang persilatan!”

“Biarlah kita lihat saja,” kata Kwee Siang yang jadi tertarik hatinya girang sekali.

Seperti diketahui, jika kakeknya Oey Yok Su adalah si tua sesat, justru Kwee Siang merupakan Siauw-sia, si sesat muda. Maka dari itu jika dia menghadapi suatu urusan yang aneh tentu hatinya sangat tertarik sekali dan diapun akan memperoleh kegembiraan, sebab jiwanya disamping berani sekali dan tabah juga senang akan urusan-urusan yang sangat aneh.

Saat itu Phang Kui In telah memusatkan tenaga dalamnya yang disalurkan ke dalam suaranya, dia telah berkata dengan suara yang nyaring.

„Baiklah! Undangan kami terima!”

Terdengar suara tertawa bergelak-gelak yang nyaring dan menusuk telinga, sehingga mengejutkan Kwee Siang dan Phang Kui In maupun Yo Him. Karena suara tertawa itu terdengar jelas, walaupun jarak mereka terpisah jauh, dan suara itu mengalun panjang bagaikan tidak terputus-putus.

Setelah suara itu merendah, maka terdengar perkataan seseorang dari arah kapal itu!

„Sungguh sikap seorang gagah dan seorang ho-han sejati.....! Sungguh harus dipuji! Sungguh harus dipuji!”

Dan setelah berkata begitu, tampak dari arah kapal itu diturunkan sebuah tali yang besar. Namun hanya sehelai saja, dan tidak memiliki kaitan lainnya, bukan tali tangga yang biasa dipergunakan oleh kapal-kapal besar umumnya.

„Bisakah kalian mempergunakan tali jalur ini untuk datang berkunjung kemari?” mengejek sekali suara pertanyaan itu.

Phang Kui In jadi mendongkol, begitu juga Kwee Siang.

„Kita terima undangan itu!” kata Kwee Siang perlahan. „adik Him biar kugendong.....!”

Phang Kui In bimbang sejenak, karena yang dipikirkan adalah Yo Him.

Tetapi akhirnya hatinya jadi tetap juga, dia telah berteriak pula dengan disertai lweekangnya, „Kami menerima undangan ini..... Dan kami sudah berterima kasih atas tangga istimewa yang kalian berikan!”

Dan Kwee Siang telah perintahkan Yo Him menggemblok di punggungnya, dia menghampiri tepian perahu, mencekal ujung tambang yang berukuran besar itu.

„Pegang leherku kuat-kuat, adik Him!” pesan Kwee Siang, kemudian dengan suara nyaring dia telah berteriak: „Ya, kalian boleh angkat!”

Tetapi tambang itu bukan dikerek naik, melainkan digentak dengan keras dari atas perahu. Gentakan itu dilakukan oleh seorang bertubuh gemuk pendek, mukanya empat persegi, dia menghentak sambil menyeringai menyeramkan.

Tentu saja karena dihentak begitu, tubuh Kwee Siang jadi terhentak naik. Untung saja Kwee Siang telah memiliki kepandaian meringankan tubuh yang sempurna, waktu tubuhnya tertarik dengan gentakan begitu, kedua kakinya telah membantu menjejak lantai perahu, tubuhnya melayang naik ke atas seperti terbang, dan dengan dua kali berjumpalitan, kemudian mempergunakan ujung kakinya menotok ujung tambang yang dicekalnya, tubuhnya melompat lebih tinggi dan hinggap di ujung kepala kapal itu!

„Bagus! Bagus!” berseru beberapa orang yang berada dikepala kapal itu, sedangkan tambang itu telah diturunkan kembali.

Phang Kui In yang telah menyaksikan bahwa tambang tidak akan dikerek, tetapi akan digentak keras oleh si gemuk pendek itu, telah bersiap-siap. Begitu dia mencekal keras tambang itu, dia menunggu sampai tali itu digentak. Dan benar saja, tambang itu telah dihentak keras, tubuh Phang Kui In seperti ditarik keras sekali, tambang melayang ke tengah udara, karena tambang itu dihentak dengan disertai kekuatan tenaga dalam yang telah sempurna.

Tubuh Phang Kui In telah melambung ke tengah udara, tetapi Phang Kui In bergerak cepat sekali, dia telah mempergunakan kekuatan di tangannya untuk menarik tambang itu, sehingga tali itu menegang dan di saat itulah dengan meminjam tenaga tarikan itu, tubuh Phang Kui In telah meluncur ke arah kepala kapal itu, dan dia hinggap tepat di sisi Kwee Siang dan Yo Him.

„Bagus!” berseru si gemuk pendek sambil tertawa menyeringai, tetapi sikapnya itu mengejek dan meremehkan sekali. Dia telah melemparkan, tambang itu kepada salah seorang anak buahnya di sisi kanannya, katanya kemudian: „Tidak percuma kami mengundang kalian, karena memang kalian memiliki kepandaian yang lumayan! Mari! Mari kita menemui pangcu kami!”

Phang Kui In dan Kwee Siang jadi berdebar, sedangkan Yo Him jadi berkuatir. Si gemuk ini ternyata hanya orang bawahan belaka, tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Bagaimana kelak kepandaian pangcunya, jika dia memamerkan kepandaiannya, mereka masih menduga-duganya.

Di saat itulah Phang Kui In telah mengangguk.

„Terima kasih atas undangan ini, kalau boleh kami tahu, siapakah nama besar dari kiesu?” tanya Phang Kui In.

„Aku Bun Tiong Yang, hanya pengawal kapal utama belaka..... jika hendak bicara nanti di dalam, karena aku hanya memiliki wewenang mengundang tamu dan mengantarkan kepada pemimpin-pemimpin kami.....!”

Phang Kui In dan Kwee Siang tambah terkejut. Sebagai pengawal kapal utama, ternyata kedudukan si pendek gemuk ini tidak terlalu tinggi, merupakan pangkat dan kedudukan yang biasa saja. Namun tenaga dan kepandaiannya begitu hebat, maka membuktikan bahwa Tiauw-pang merupakan perkumpulan yang hebat sekali, karena entah berapa banyak orang pandai yang mereka miliki.

Kemudian si gemuk pendek telah memimpin Phang Kui In dan Kwee Siang untuk masuk ke dalam kamar kapal yang berukuran luas. Waktu mereka akan melangkah masuk melewati pintu segi empat, tampak seorang anak buah Tiauw-pang yang memakai baju warna merah telah memukul tambur, keras sekali bunyi tambur itu. Begitu bunyi tambur ber¬henti, terdengar suara seorang anak buah lainnya berteriak nyaring:

„Tamu telah hadir.....!”

Semula Phang Kui In bertiga menduga di ruangan dalam kamar kapal itu telah menanti pangcu dari perkumpulan tersebut, lengkap berikut pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi begitu mereka melangkah masuk, mereka jadi heran, mereka hanya melihat ruangan kosong yang luas sekali dan penuh dengan meja dan kursi yang teratur rapih.

„Silahkan duduk! Silahkan duduk! Pangcu kami sebentar lagi akan datang!”

Phang Kui In dan Kwee Siang maupun Yo Him bertiga duduk dengan hati menduga-duga, karena mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh orang-orang Tiauw-pang terhadap mereka. Dengan dikerahkannya sampai dua kapal besar dengan lengkap pula jago-jagonya dan juga pangcu dari perkumpulan itu hadir di kapal ini, membuktikan bahwa Tiauw-pang mengandung maksud yang penting terhadap mereka.

„Kapal ini merupakan milik Tiauw-pang,” menjelaskan si gemuk pendek sebelum berlalu. „Kalian tidak perlu kuatir akan perahu dan barang-barangmu, karena ada sebutir beras kalian yang lenyap atau berkurang, maka kapal ini akan dipergunakan sebagai penggantinya! Kami akan merawat dan menjagai perahu kalian maka kalian tidak perlu memikirkannya.

„Terima kasih.....!” kata Phang Kui In dengan mendongkol, dia telah mengangguk dan tidak mengeluarkan banyak komentar apa-apa lagi.

Ruangan besar itu telah sunyi dan tidak terlihat seorang manusiapun juga, karena si gemuk pendek dengan anak buahnya telah keluar meninggalkan mereka, pintu keluar juga telah ditutup kembali. Mendengar dari suara besi yang saling bentur, maka Phang Kui In yang telah berpengalaman segera mengetahui bahwa pintu kapal itu telah dikunci dari luar.

Tetapi Phang Kui In telah bertekad, untuk menghadapi segala apapun juga yang terjadi. Karena untuk meloloskan diri lebih sukar dari berdiam diri, dia bermaksud akan mempergunakan akal guna meloloskan diri dari orang-orang Tiauw-pang ini.

Tiba-tiba kesunyian itu telah dipecahkan oleh suara tambur, disusul oleh suara yang berteriak nyaring,

„Para sian-lie pangcu akan keluar.....!”

Benar saja waktu tirai merah dari sudut ruang sebelah kanan tersingkap, telah melangkah duabelas gadis cantik bertubuh semampai elok sekali yang melangkah masuk ke ruangan. Kemudian mereka membagi diri menjadi dua barisan, yaitu barisan sebelah kiri kursi enam orang, di sebelah kanan enam orang, lalu mereka membentuk barisan yang sangat rapi sekali. Semuanya berdiam diri dan mereka memakai pakaian berwarna putih, sehingga benar-benar menyerupai seperti bidadari, karena wajah merekapun cantik cemerlang.

Suara tambur lenyap dan keadaan sunyi lagi, keduabelas wanita yang disebut sebagai ‘sian-lie’ dari pangcu Tiauw-pang itu telah berdiam diri saja.

Phang Kui In telah memandangi rombongan wanita itu, sebagai seorang yang berpengalaman, dia bisa melihat keduabelas wanita itu juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi, karena mata mereka semuanya memancarkan sinar yang sangat tajam sekali.

Saat itu terdengar suara tambur telah dipukul lagi beruntun. Kemudian disusul dengan suara teriakan:

„Wakil pangcu akan hadir!”

Dengan suara tambur itu semakin keras dan beruntun, tampak tirai telah terbuka dan seorang lelaki berwajah kurus pucat dengan pakaian yang sangat kebesaran ukurannya, telah melangkah masuk. Tetapi dilihat dari sikapnya, dia angkuh sekali. Sama sekali dia tidak melirik kepada Phang Kui In bertiga, hanya duduk di tempatnya, disamping kursi utama.

Salah seorang wanita ‘sian-lie’ itu telah menarikkan kursinya dengan sikap yang hormat sekali. Sedangkan wakil dari pangcu itu telah duduk diam dengan muka yang dingin tanpa mengucapkan sepatah kata menegur tamu-tamunya.

Kemudian tambur telah terdengar lagi dengan suara yang bertalu-talu, disertai suara teriakan:

„Pasukan pengawal pangcu akan datang!”

Dan di saat itulah tampak duapuluh orang lelaki berpakaian seragam telah mema-suki ruangan kamar itu. Lalu dua orang diantara dari keduapuluh pengawal itu telah menghampiri wakil pangcu, dengan berlutut mereka memberikan laporan, „Kami duapuluh pengawal ruangan telah hadir!”

Wakil pangcu itu hanya mengangguk dan mengibaskan tangannya.

Kedua orang itu telah mengundurkan diri, mereka kemudian berkata, „Ke tempat masing-masing!” Maka keduapuluh orang pengawal ruangan itu telah memecah diri, kesebelah kiri sepuluh orang, termasuk salah seorang dari kedua orang yang tadi melapor kepada wakil pangcu, sedangkan yang sepuluh orang lagi telah berbaris di sebelah kanan. Mereka berbaris dengan rapi dan agung sekali, karena itu kelihatannya mereka angker bukan main, di pinggang masing-masing tersoren sebatang golok.

Tentu saja Phang Kui In dan Kwee Siang jadi kagum juga, tampaknya pangcu dari perkumpulan ini mengatur peraturannya dengan disiplin yang keras, sehingga untuk kehadiran seorang pangcu dari perkumpulan Tiauw-pang saja, sama seperti menanti hadirnya seorang kaisar.

Sedangkan Yo Him yang belum begitu mengerti keadaan dalam rimba persilatan, yang memiliki banyak sekali keanehan dan peristiwa-peristiwa yang berada di luar dugaan, telah memandang bengong saja.

Tiba-tiba terdengar tambur telah dipukul pula dengan suara yang sangat nyaring:

„Pangcu akan hadir, semuanya berdiri dan memberi hormat.....!”

Wakil pangcu telah berdiri, begitu juga semua yang hadir berdiri dengan sikap menghormat, seperti menantikan kedatangan seorang kaisar.

Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him tetap duduk di tempatnya.

Kepala pasukan pengawal ruangan yang di sebelah kanan telah menghampiri: „Kami meminta untuk berlaku hormat jika kalian ingin dihormati!” katanya dingin.

Phang Kui In yang tidak ingin mencari keributan, telah mengajak Kwee Siang dan Yo Him untuk berdiri. Kemudian mereka mengawasi ke balik tirai itu.

Tetapi di saat suara tambur masih terdengar terus menerus tirai itu tidak terbuka atau tersingkap.

Cukup lama, akhirnya papan lantai dari kamar kapal itu bergerak sebagian, kemudian menjeblak terbuka, maka tampak serombongan orang yang melangkah keluar.

Jalan di muka adalah seorang anak lelaki berusia duabelas atau tigabelas tahun dengan sikap yang agung, dengan kopiah kebesaran di kepalanya, dan jalannya itu angkuh sekali, matanya juga menatap lurus ke depan ti¬dak melirik kepada ketiga tamunya. Di belakangnya mengikuti belasan orang dan mereka semua berpakaian sebagai ahli-ahli silat yang merupakan golongan kelas utama.

Di saat itu, pangcu itu yang ternyata anak kecil berusia diantara tigabelas tahun itu telah duduk di kursi utama, dia telah memukul meja di hadapannya dengan sikap sebagai kaisar cilik saja.

„Semua kembali ke tempatnya masing-masing!” itulah merupakan perintah, karena wakil pangcu telah duduk kembali. Sedangkan pasukan pengawal ruangan juga telah berdiri biasa lagi, tidak setegak tadi, walaupun sikap mereka tampak tetap menghormat sekali.

Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him juga telah duduk kembali.

Hanya yang membuat mereka jadi bengong tertegun, justru pangcu perkumpulan Tiauw-pang yang dihormati oleh semua anak buahnya, bahkan nama pangcu itu ‘menggentarkan’ hati orang-orang persilatan, hanya merupakan seorang anak kecil belasan tahun.

Pangcu cilik itu telah mengawasi ‘ketiga tamu’nya dengan sorot mata yang jeli dan terbuka lebar-lebar. Dia mengawasi tanpa berkata apa-apa. Kemudian dia menunjuk ke arah Phang Kui In, dia telah melambaikan tangannya.

„Kemari kau!!” suaranya perlahan, tetapi entah mengapa memiliki kekuatan seperti memerintah, sehingga Phang Kui In yang memiliki banyak pengalaman di dalam rimba persilatan, entah mengapa kali ini telah menuruti saja perintah itu, walaupun hatinya tidak rela dipanggil secara begitu oleh seorang anak lelaki sebesar pangcu Tiauw-pang itu.

Phang Kui In telah bangkit berdiri, dia telah menghampiri ke dekat meja pangcu itu.

„Siapa namamu?”

„Phang Kui In,” menyahuti Phang Kui In ragu-ragu.

„Apa gelaranmu?” dingin suara pangcu itu.

„Tidak ada.....”

„Hemm, orang she Phang, engkau bukan orang yang sedang kucari!” kata pangcu itu „Kembalilah kekursimu, nanti kau boleh pergi meneruskan perjalananmu!”

Phang Kui In girang, rupanya pangcu ini bersama orang-orangnya tengah mencari seseorang. Jadi tidak ada persoalan apa-apa. Tetapi waktu dia teringat akan Kwee Siang dan Yo Him, dia jadi berkuatir, jika Kwee Siang ditanyai pangcu itu dan bicara sejujurnya puteri dari Kwee Ceng dan Oey Yong, bisa memancing urusan baru pula. Bukankah mereka belum mengetahui sesungguhnya pangcu dari Tiauw-pang ini termasuk golongan mana? Begitu juga dengan Yo Him..... jika dia mengatakan dia sebagai puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, tentu bisa memancing persoalan baru pula. Tetapi untuk membisiki kedua orang kawannya itu, Phang Kui In sudah tidak memiliki kesempatan.

19.37. Keberutalan Siauw-shia, si Sesat Muda.

„Mengapa engkau tidak segera kembali ke kursimu?” Bentak pangcu kecil itu dengan suara yang dingin. „Aku sudah tidak membutuhkanmu!”

Phang Kui In seperti baru tersadar dari lamunannya, dia mengundurkan diri dan kembali duduk di kursinya.

Pangcu itu melambaikan tangannya. Lagi dia memanggil Kwee Siang,

„Kemari kau!” suaranya juga dingin, tidak bedanya seperti tadi dia memanggil Phang Kui In.

Kwee Siang terkenal sebagai Siauw-sia, si sesat atau si aneh kecil, yang adatnya sangat aneh menyaingi Oey Lo-sia, kakeknya. Jika seseorang memperlakukan dia dengan sikap yang baik, tentu adat anehnya itu tidak akan timbul. Tetapi jika seseorang memperlakukan dia dengan kasar dan sikap yang keras, maka di saat itulah adat anehnya akan muncul! Pangcu dari Tiauw-pang memperlakukan dia dengan sikap seperti itu, tentu saja telah membuat Kwee Siang jadi mendongkol, dan adatnya yang aneh juga segera memperlihatkan ujudnya.

„Jika engkau ingin bicara, bicaralah! Mengapa aku harus datang dekat-dekat ke tempatmu itu? Apakah kau kira telingaku tuli atau memang suaramu yang seperti banci sehingga tidak bisa bicara keras?”

„Derrrr.....!” darah Yo Him dan Phang Kui In jadi mendesir kaget. Terlebih lagi Phang Kui In, semula dia masih mengharapkan bahwa mereka bertiga bukan orang yang dicari pangcu cilik itu, maka kemungkinan mereka dibebaskan. Tetapi dengan perkataannya yang keras seperti itu, dimana Kwee Siang menuruti adatnya, bukankah urusan akan menjadi runyam?

Saat itu muka semua anggota Tiauw-pang telah berobah jadi menyeramkan memandang ke arah si gadis, termasuk wakil pangcu itu telah menatap bengis. Tetapi pangcu kecil itu telah tertawa kecil, mukanya tidak berobah, tetap dingin.

„Hebat! Hebat! Aku memang memiliki suara yang kecil, dan mungkin juga telingamu tuli! Kuperintahkan engkau maju kemari! Maju!”

Kwee Siang mana takut? Dia telah tertawa dingin dan duduk seenaknya dengan sikap menantang.

„Jika aku tidak mau menuruti perintahmu, apa yang bisa kalian lakukan terhadapku?” tanyanya dengan suara menantang dan mengandung nada yang keras.

Muka pangcu itu kini agak berobah, tetapi cepat sekali pulih sebagai mana biasa, kemudian dia telah berkata: „Memang kami tidak bisa melakukan suatu apapun juga kepadamu, tetapi engkau akan menyesal nona manis, engkau akan menyesali sikap-sikapmu itu! Maju kemari!”

Di saat itu dua orang dari pengawal ruangan telah mencabut golok mereka, dan keduanya telah menandelkan golok mereka di punggung si gadis.

Kwee Siang jadi mendongkol sekali. Dengan mengeluarkan seruan gusar, tahu-tahu tangan kanannya bergerak cepat.

,,Wutt..... plakk, plakk!” kedua orang pengawal ruangan tersebut telah berhasil dihajarnya dengan keras, tubuh mereka telah terpental dan ambruk di tempat itu juga dengan mengeluarkan suara rintihan.

Semua orang Tiauw-pang yang hadir di ruang tersebut jadi terkejut, mereka kemudian menjadi marah.

Tetapi pangcu cilik itu telah mengangkat tangannya, dia telah berkata: „Tahan!”

Dan perintah dari pangcu cilik itu menyebabkan orang-orang Tiauw-pang tidak berani bergerak lebih jauh.

Pangcu dari Tiauw-pang itu telah berkata lagi dengan suara yang dingin: „Aku memang mengetahui engkau memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi tidak perlu engkau memamerkan kepandaianmu itu dihadapanku. Lebih baik engkau maju kemari untuk mendengarkan perintahku secara baik-baik..... karena jika tidak, engkau tentu akan menyesal.”

Kwee Siang sebetulnya ingin menghajar lagi dua orang anak buah Tiauw-pang yang mendekatinya, tetapi dia membatalkan maksudnya, dia hanya tertawa bergelak-gelak mengejek.

„Terserah kepadamu! Engkau yang ingin bertanya, bukan? Jika engkau tidak mau bertanya, aku pun tidak akan menjawab, kedatanganku kemari karena ‘diundang’, bukan atas kehendak kami, tetapi jika sebagai tamu kami diperlakukan tidak baik, tentunya kamipun bisa membawa cara kami sendiri.” Tegas sekali perkataan Kwee Siang, dia telah memperlihatkan sikap anehnya, adat ku-koay nya.

Pangcu cilik dari Tiauw-pang telah mengerutkan alisnya, dia melihat sikap ku-koay dari Kwee Siang, jadi mendongkol sekali. Tetapi walaupun usianya masih sekecil itu, tetapi anehnya dia bisa mengendalikan kemarahan hatinya, bahkan dia telah tertawa ramah.

Jika yang lainnya tengah memandang Kwee Siang dengan sorot mata yang sangat bengis, justru pangcu itu telah berkata ramah:

„Baiklah! Jika engkau ingin bicara dari tempat itupun tidak apa-apa, memang bicara sambil duduk kukira cara yang paling baik! Sekarang jawablah pertanyaanku, siapa namamu? Maksudku she dan nama apa yang diberikan oleh orang tuamu! Kuharap saja engkau tidak berdusta.”

Kwee Siang tertawa dingin.

„Engkau menanyakan she dan namaku, apakah engkau ingin melamarku kepada kedua orang tuaku untuk kau ambil sebagai isterimu?” tegur Kwee Siang dengan mendongkol. Si gadis memang merupakan Siauw-sia, dengan sendirinya dia bisa saja mengucapkan kata-kata yang menyindir seperti itu.

Keruan saja pangcu itu jadi berobah mukanya merah padam karena malu dan gusar sekali.

„Aku bukan sedang bergurau denganmu! Ingatlah, bahwa engkau berada di atas kapal Tiauw-pang, sekali saja aku acungkan tanganku, jiwamu sulit dilindungi lagi!” mengancam pangcu itu.

Semakin digertak begitu, sifat ku-koay dari Kwee Siang jadi semakin muncul.

„Aha, lucu sekali! Jangan kata baru berada di kapal Tiauw-pang, sedangkan berada di kapal dari istana rajapun aku tidak takut.....! Engkau jangan membawa sikap seperti seorang kaisar, potonganmu dan tubuhmu tidak ada potongan bangsawan, engkau lebih mirip jika menjadi anaknya seorang pengangon kerbau!”

Inilah hebat. Kata-kata yang diucapkan Kwee Siang sangat pedas sekali, dia mengejek terlampau tandas.

Tentu saja pangcu dari Tiauw-pang jadi gusar sekali dengan mata yang memancarkan kebencian kepada Kwee Siang dia telah bertanya dengan suara yang dingin:

„Siapa namamu?”

„Hemmm, aku tidak pernah menyembunyikan she dan nama, tetapi terhadap manusia seperti engkau apa gunanya dibicarakan soal nama dan she? Apakah keuntungannya untuk diriku?”

Pangcu cilik itu menjadi semakin marah, dia telah menegur lagi: „Sekali lagi kuperingati, bahwa aku bukan sedang bergurau denganmu! Katakan yang sebenarnya, siapa namamu?!”

„Sesungguhnya manusia seperti engkau tidak pantas mendengar namaku, karena mungkin nanti engkau akan mati disebabkan kaget! Tetapi baiklah! Jika aku tidak menyebutkan namaku, nanti engkau menduga bahwa aku takut kepadamu! Aku she Kwee dan bernama Siang! Kau sudah mendengar jelas? Aku Kwee Siang!”

Mendengar Kwee Siang menyebutkan namanya, muka pangcu itu jadi berobah, dia telah tertegun sejenak, begitu juga wakil pangcu itu yang duduk tertegun dan anak buahnya mengawasi Kwee Siang dengan sorot mata yang tajam sekali.

„Pantas saja engkau sangat keras kepala,” kata pangcu itu kemudian dengan suara yang perlahan „Rupanya engkau puteri dari seorang pendekar nomor satu di jaman ini, yaitu Kwee Ceng, dan si nenek cerewet Oey Yong! Bagus! Bagus. Memang dalam hal ini engkau termasuk salah seorang yang tengah kucari!”

Muka Phang Kui In jadi berobah hebat. Inilah bukan urusan main-main. Kalau sampai pangcu itu telah mengatakan bahwa Kwee Siang merupakan salah seorang yang dicarinya tentu mereka akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil. Dengan sendirinya hal ini akan membawa kesulitan untuk mereka bertiga.

Saat itu, Kwee Siang telah berkata dengan suara dingin dan sikap seenaknya.

„Engkau tadi mengatakan bahwa aku termasuk salah seorang yang tengah kau cari, apa maksudmu?” tanya Kwee Siang dengan berani. „Apakah kau bermaksud ingin berguru kepadaku?”

Rupanya pangcu dari Tiauw-pang sudah tidak dapat menahan marahnya lagi, dia telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang sangat nyaring sekali.

„Tepat! Tepat! Aku memang hendak berguru kepadamu! Aku ingin meminta kau mencatat seluruh kepandaian ilmu silatmu! Setelah kau memenuhi permintaanku itu aku akan membebaskan engkau!” Dan setelah berkata begitu, dia mengibaskan tangannya. Yang maju bukan anak buah dari pengawal ruangan, melainkan wakil pangcu yang telah berkata: „Bun Tiong Yang, tangkap kelinci itu!”

Dari luar terdengar penyahutan mengiyakan, dan tampak Bun Tiong Yang, si gemuk pendek yang tadi telah mengangkat ketiga tamunya dengan mempergunakan seutas tambang, telah melangkah masuk dengan tindakan kaki yang lebar. Mukanya tampak menyeramkan dan bengis sekali, dia telah berkata: ,,Atas nama pangcu, engkau wanita hina yang bermulut lancang harus kutangkap!” Dan membarengi dengan perkataannya itu, dengan cepat sekali tampak Bun Tiong Yang telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras, tahu-tahu tangan kanannya telah bergerak akan mencengkeram pundak Kwee Siang.

Puteri Kwee Ceng memperdengarkan suara tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara yang mengejek, katanya dengan tawar, „bagus!” tetapi tubuhnya tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya, dia telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring, tahu-tahu sikut tangan kanannya bergerak ke arah tenggorokan si pendek gemuk. Kwee Siang tidak melakukan penangkisan, dia hanya melancarkan serangan dengan sikutnya ke leher si gemuk pendek, maka jika si gemuk pendek meneruskan serangannya, berarti tenggorokannya akan kena digempur hebat sekali oleh sikut tangan Kwee Siang, dimana sikutnya itu telah disaluri oleh tenaga lweekang yang dahsyat, yang dapat menghancurkan batu kali menjadi berkeping-keping.

Si gemuk pendek Bun Tiong Yang jadi marah sekali, dia telah menggerakkan tangan kanannya untuk melindungi tangan kirinya yang menahan sikut tangan Kwee Siang lalu jari-jari tangan kanannya itu bergerak lagi akan menotok jalan darah pai-tu-hiat di dekat pinggang Kwee Siang.

Namun Kwee Siang tetap duduk di kursinya tanpa bergerak sedikitpun juga, sama sekali dia tidak mengacuhkan serangan yang dilancarkan oleh lawannya, walaupun dia mengetahui bahwa Bun Tiong Yang bukan lawan yang lemah. Maka dari itu, walaupun dia hanya berduduk diam di kursinya, tetapi tangannya dengan cepat sekali telah bergerak, dia telah melancarkan serangan yang cepat sekali, menangkis gempuran tangan kanan si pendek gemuk she Bun dengan kibasan tangannya, membarengi dengan itu, tahu-tahu sikutnya telah bekerja lagi.

„Dukkk!” keras sekali, tampak dada sebelah kiri dari Bun Tiong Yang telah kena disikutnya dengan keras, maka tubuh Bun Tiong Yang jadi terhuyung mundur.

Tetapi Bun Tiong Yang benar-benar hebat, walaupun dadanya telah terkena gempuran dari sikut tangan Kwee Siang, namun dia tidak terluka berat, karena dadanya itu telah dilindunginya terlebih dulu oleh tenaga dalamnya. Cepat sekali dia mengeluarkan suara raungan dan melancarkan serangan dengan mempergunakan kedua tangannya sekaligus.

Dengan kekerasan Kwee Siang juga menyambuti kedua tangan musuhnya itu dengan kedua tangannya pula. Gerakan yang dilakukan oleh Kwee Siang sangat cepat sekali, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata manusia biasa.

Dalam keadaan demikian, Bun Tiong Yang juga tidak menarik pulang tenaga serangannya maka dua kekuatan tenaga dalam yang dahsyat telah saling bentur keras sekali.

„Bukk!” tubuh Kwee Siang telah terdorong dengan keras, hampir saja kursinya itu terjengkang ke belakang, untung Kwee Siang berlaku gesit sekali, sehingga sebelum kursinya rubuh dia telah melompat berdiri.

Sedangkan Bun Tiong Yang tidak mau membuang-buang waktu lagi, dia telah melancarkan serangan-serangan yang gencar dengan mempergunakan delapan bagian tenaga lweekangnya namun Kwee Siang dapat mengimbangi gerakan-gerakan dari Bun Tiong Yang dengan tidak kalah hebatnya, sehingga mereka telah bertempur dengan seru sekali.

Diam-diam pangcu dari Tiauw-pang telah mengerutkan sepasang alisnya, dia heran melihat Kwee Siang sanggup menghadapi Bun Tiong Yang, karena pangcu dari Tiauw-pang ini mengetahui bahwa Bun Tiong Yang merupakan seorang bawahannya yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

Phang Kui In sendiri mengawasi jalannya pertempuran itu dengan berkuatir, tadi dia telah melihat kekuatan tenaga Bun Tiong Yang, yang dengan sehelai tambang telah berhasil menghentak mereka kuat sekali, sekarang dia sedang marah dan telah melancarkan serangan dengan dahsyat sekali, sehingga angin serangan itu menderu-deru, dengan keras sekali, membuat Kwee Siang harus mempergunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan-serangan Bun Tiong Yang itu.

Saat itu wakil pangcu dari Tiauw-pang telah mendengus dingin.

„Hemm, hanya sebegitu saja kepandaian puteri dari Kwee Ceng, kepandaiannya tidak ada artinya sama sekali!”

Mendengar perkataan terakhir dari wakil pangcu itu, Kwee Siang jadi gusar sekali.

„Baik, aku akan memperlihatkan kepandaianku di muka matamu!!” teriak Kwee Siang membawa adatnya lagi. Dan membarengi dengan selesainya perkataannya itu. Tahu-tahu Kwee Siang telah merobah cara menyerangnya, kedua tangannya telah digerakkan tetapi dia bukan melancarkan serangan dengan mempergunakan telapak tangannya atau juga dengan kelima jari tangannya, melainkan dengan kedua jari telunjuknya saja. Jari telunjuk tangan kanannya bergerak menyambar-nyambar tidak hentinya, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya telah mengancam akan menotok ke jalan darah mematikan di tubuh Bun Tiong Yang.

Walaupun Kwee Siang melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan gerakan jari telunjuk saja, tetapi dia telah mempergunakan ilmu Tan-cie-sin-thong, kepandaian andalan Oey Yok Su, kakek luarnya untuk merubuhkan musuhnya itu, sehingga serangan-serangan Kwee Siang yang mempergunakan ilmu Tan-cie-sin-thong yang dikombinasikan dengan serangan-serangan It-yang-cie dari It-teng Taysu, telah membuat si pendek gemuk jadi kelabakan seperti kebakaran jenggot. Berulang kali dia melompat mundur untuk mengelakkan diri, tetapi selalu pula serangan yang dilancarkan Kwee Siang telah tiba lebih dulu.

„Tukk!” suatu kali Bun Tiong Yang tidak bisa mengelakkan diri dari serangan Kwee Siang, sehingga waktu jalan darah liang-ma-hiatnya di dekat tulang iga tingkat kedelapan telah tertotok, dia merasakan sekujur tubuhnya ngilu dan nyeri, dengan mengeluarkan suara teriakan tertahan, dia telah melompat mundur, namun kedua kakinya seperti sudah tidak memiliki kekuatan lagi, dengan mengeluarkan suara keluhan, tampak dia telah terguling rubuh di lantai perahu tanpa bisa bangkit pula.

Muka pangcu Tiauw-pang dan wakilnya jadi berobah hebat, karena mereka terkejut sekali. Sedangkan anggota-anggota dari Tiauw-pang juga telah menjerit kaget, karena melihat kepandaian yang dikeluarkan oleh Kwee Siang, mereka yakin bahwa mereka bukan merupakan lawan dari si gadis yang hebat ini.

Namun pangcu dari Tiauw-pang dengan cepat telah dapat menguasai goncangan hatinya. Dia telah bertepuk tangan,

„Bagus, bagus!” kata pangcu dari Tiauw-pang itu dengan suara yang nyaring, diiringi kemudian dengan suara tertawanya. „Engkau bisa merubuhkan Bun Tiong Yang, orang kami yang cukup pandai, menunjukkan kepandaianmu lumayan. Pelayan cepat berikan hadiah arak satu cawan arak kepada nona Kwee!!”

Terdengar suara mengiyakan dari si pelayan, saat itu Kwee Siang telah duduk kembali di kursinya, dia hanya mengawasi pangcu dan wakilnya dengan sorot mata yang sangat tajam. Kemudian dengan suara yang dingin dia telah berkata:

„Aku tidak mau hadiah arak..... Arak kalian bau dan asam tidak sedap!!” kata Kwee Siang mengejek.

Tetapi pangcu itu benar-benar hebat, walaupun dia kelihatannya masih berusia muda, namun ternyata dia bisa menguasai diri dan keadaan. Sambil tertawa dia telah bertanya: „Hadiah apa yang dikehendaki oleh nona Kwee?”

„Kepalamu!” kata Kwee Siang.

Muka pangcu itu berobah hebat, sedangkan wakil pangcu dan anak buah Tiauw-pang yang lainnya jadi mengeluarkan suara seruan marah mendengar perkataan si gadis yang dianggapnya sangat kurang ajar sekali.

„Nona Kwee keterlaluan sekali! Jika kelak memang nona Kwee berhasil mengalahkan seluruh orang-orangku, tentu aku rela menyerahkan batok kepalaku.....!” kata pangcu muda itu dengan suara yang dingin sekali.

„Hemm, orang-orangmu tidak punya guna, lihat saja orang kepercayaanmu si gemuk pendek itu, hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat kurubuhkan! Lebih baik engkau saja yang turun ke gelanggang untuk melayaniku!”

Si gadis telah menantang begitu karena dia melihat pangcu ini masih terlalu muda, mungkin dia menjabat kedudukan pangcu itu hanya sebagai boneka saja. Tetapi tidak terduga, justru pangcu itu telah mengangguk, sambil katanya: „Baik! Baik! Tetapi terimalah penghormatanku ini dulu!” Dan setelah berkata begitu, dengan cepat tangan kanannya mengibas, maka dari telapak tangan kanannya meluncur angin yang kuat sekali.

Saat itu si pelayan yang tadi masuk, telah membawa secawan arak, yaitu sebuah tengkorak kepala manusia, di dalamnya terisi arak yang penuh di dalam tempurung kepala manusia itu..... Itulah ‘cawan’ yang sangat aneh dan juga mengerikan. Dan bertepatan dengan itu, angin serangan dari kibasan tangan pangcu itu telah menyampok tengkorak manusia di tangan si pelayan, sehingga ‘cawan’ yang mengerikan itu telah tersampok ‘terbang’ dan hinggap tepat dihadapan Kwee Siang, tanpa tumpah setetespun arak di dalamnya.

Kwee Siang menyambuti ‘cawan’ mengerikan itu, tetapi dasarnya dia memang memiliki adat yang aneh, melihat ‘cawan’ yang aneh ini, dia jadi tertarik, sambil mengeluarkan suara tertawa keras, dia telah berkata:

„Terima kasih! Terima kasih!” lalu tanpa ragu-ragu dia telah mengangkat cawan aneh itu dan telah meneguk arak di dalam cawan kepala tengkorak manusia itu!

Yo Him dan Phang Kui In yang melihat keadaan itu hampir saja muntah karenanya.

Tetapi Kwee Siang telah meneguk habis isi ‘cawan’ mengerikan itu sampai kering.

„Terima kasih!” dia bilang setelah me¬ngeringkan arak di dalam tempurung kepala manusia itu, kemudian membarengi dengan selesainya perkataannya, Kwee Siang telah melemparkan ‘cawan’ mengerikan itu, sehingga cawan itu telah terlontarkan dan tepat sekali memasuki kepala si pelayan yang tadi membawanya, sehingga tampaknya pelayan itu memakai topi yang terbuat dari tengkorak kepala manusia!

Melihat kejadian ini, walaupun dalam keadaan tegang, Phang Kui In dan Yo Him jadi tertawa bergelak-gelak, karena mereka merasa lucu atas kejenakaan si gadis. Sedangkan muka pangcu cilik itu dan orang-orangnya jadi berobah tidak sedap dipandang, mereka telah mengeluarkan suara seruan marah.

Kemudian Kwee Siang telah berkata lagi dengan suara yang dingin:

„Sekarang siapa yang engkau ingin majukan ke depan? Apakah memang benar-benar engkau ingin maju sendiri?”

Waktu bertanya begitu Kwee Siang telah berlaku hati-hati, karena dia tadi merasakan betapa hebatnya kibasan tangan pangcu itu., yang memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa dahsyatnya. Diam-diam Kwee Siang juga jadi heran, mengapa dalam usia semuda itu pangcu tersebut bisa memiliki lweekang yang dahsyat, seperti juga lweekangnya itu telah mengalami latihan selama tigapuluh tahun!

Saat itu wakil pangcu telah melompat berdiri, dia menjura kepada pangcunya, katanya:

„Memotong bebek, mengapa harus mem pergunakan golok babi?” katanya dengan dingin. „Maka ijinkanlah aku yang turun tangan menangkapnya!”

Pangcu cilik itu mengibaskan tangannya.

„Biar aku saja yang menangkapnya, karena dia meminta aku yang menghadapinya, jika tidak tentu dia akan penasaran sekali, bukan?” dan sambil berkata begitu, pangcu cilik ini telah bangkit berdiri, dia mengawasi si gadis dengan sorot mata yang sangat tajam, kemudian katanya dengan suara yang dingin.

„Apakah kita mulai sekarang saja?” tanyanya dengan suara yang dingin.

„Boleh! Boleh! Jika bukan sekarang. Apakah engkau menantikan sampai engkau berusia empatpuluh tahun?” mengejek Kwee Siang dengan suara yang dingin.

Mendengar ejekan itu, pangcu Tiauw-pang telah mengeluarkan suara tertawa yang keras sekali.

„Oh, oh, engkau menduga aku ini masih berusia sangat kecil, bukan? Ha, ha, ha, ha sungguh lucu, engkau memiliki mata, tetapi engkau tidak memiliki bijinya.....! Aku telah berusia enampuluh tahun! Siapa yang mengatakan aku masih kecil?”

Mendengar perkataan pangcu itu, tentu saja Kwee Siang jadi kaget bukan main. Bukan hanya Kwee Siang saja, sedangkan Phang Kui In dan Yo Him juga jadi kaget sekali. Jelas-jelas mereka melihat pangcu itu berusia paling tidak tigabelas tahun, bentuk tubuhnya juga pendek kecil! Tetapi menurut pengakuannya itu, dia telah berusia enampuluh tahun! Inilah hebat!. „Apakah pangcu itu awet muda?” Memang jika dilihat dari kekuatan lweekang yang telah diperlihatkan tadi, boleh jadi juga pangcu itu telah berusia tinggi dan tubuhnya hanya pendek tidak bisa tinggi atau memang dia memiliki ilmu awet muda, sehingga tampaknya dia masih seperti anak-anak.

„Nah, silahkan engkau dari golongan muda melancarkan serangan kepadaku! Jika tidak nanti orang-orang persilatan akan menuduh aku telah menghina si muda!”

Mendengar perkataan pangcu itu, tentu saja Kwee Siang jadi geli. Bahkan dia tidak bisa menahan rasa lucunya dan telah tertawa terpingkal-pingkal. Kata-kata yang diucapkan pangcu itu seperti sikap seorang dari tingkatan cianpwe, tetapi nyatanya tubuh dan mukanya memperlihatkan dia seperti baru berusia diantara tigabelas tahun! Maka tidak bisa ditahan lagi Yo Him juga ikut tertawa, karena dia menyaksikannya jadi lucu seperti tengah menonton sandiwara anak-anak yang membawa peran sebagai orang tua.....!

Saat itu pangcu dari Tiauw-pang tampaknya jadi gusar sekali, dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, tahu-tahu dia telah menggerakkan tangan kanannya.

„Wuttt.....!” angin serangan dari telapak tangan kanannya itu telah menyambar dengan kuat sekali ke diri Kwee Siang.

Tetapi Kwee Siang tidak takut atau berkuatir, dia sama sekali tidak gugup. Bahkan dengan cepat sekali dia telah mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis, karena Kwee Siang bermaksud untuk mempergunakan keras dilawan keras.

Maka bisa dibayangkan, apabila kedua kekuatan itu saling bentur tentu akan memekakkan anak telinga orang-orang yang menonton pertempuran itu.

Namun waktu kedua tenaga itu saling bentur, Kwee Siang jadi terkejut sekali, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan dan telah melompat mundur, karena dia merasakan desakan tenaga serangan yang dilancarkan oleh pangcu Tiauw-pang itu sangat dahsyat sekali, hampir saja kuda-kuda kakinya itu tergempur.

Cepat-cepat Kwee Siang memusatkan tenaga dalamnya di kedua kakinya, kemudian di saat serangan tenaga lawannya menyambar datang lagi, Kwee Siang telah mempergunakan ilmu Tan-cie-sin-thong, dimana hawa halus telah mengalir dengan cepat menerobos masuk ke dalam tenaga gempuran dari pangcu itu.

Tentu saja pangcu Tiauw-pang tadi sangat terkejut, cepat-cepat dia telah menarik pulang tangannya, karena dia mengerti bahaya yang mengancam dirinya. Kemudian dia mengeluarkan suara bentakan penasaran dan melanjuti pula serangannya.

Gerakan yang dilakukan pangcu Tiauw-pang kali ini sangat cepat luar biasa, juga serangannya itu disertai oleh tenaga lweekang yang dahsyat sekali. Terlihatlah serangan-serangan itu datang menyambar saling beruntun dalam sekejap mata saja Kwee Siang telah terdesak oleh pangcu Tiauw-pang tersebut.

Tetapi Kwee Siang sama sekali tidak merasa takut atau gugup, dia memandang sinis kepada serangan-serangan yang datang menyambar ke arah dirinya. Dengan gerakan yang sangat cepat, Kwee Siang telah mempergunakan Tan-cie-sin-thong yang sering dicampurkan dan diseling dengan serangan-serangan It-yang-cie ilmu jari tunggal sakti itu, maka hebat cara dia membalas serangan-serangan yang dilancarkan oleh pangcu Tiauw-pang itu. Beberapa kali pangcu itu juga harus membatalkan serangan-serangannya kalau dia tidak ingin menemui maut, karena kedua ilmu sakti itu, yaitu It-yang-cie dan Tan-cie-sin-thong selalu menuju ke jalan-jalan darah mematikan di tubuh lawannya.

Pangcu Tiauw-pang itu berusaha untuk mengimbangi serangan-serangan Kwee Siang, dia telah mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya untuk mempertahankan diri dari rangsekan-rangsekan Kwee Siang. Begitulah kedua orang ini jadi bertempur dengan seru sekali, karena setiap serangan yang mereka pergunakan selalu menuju bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawannya.

Dalam keadaan seperti ini Phang Kui In jadi bimbang dan berkuatir sekali. Dia takut kalau-kalau nanti Kwee Siang tidak sanggup menghadapi pangcu itu, berarti mereka bisa menghadapi bencana. Jika memang pangcu itu bisa dirubuhkan, berarti pangcu itu bisa ditekan dan diancam untuk mengundurkan anak buahnya. Namun bagaimana kalau Kwee Siang yang dirubuhkan. Bukankah di dalam Tiauw-pang banyak sekali anak buah yang sangat tangguh dan rata-rata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sedangkan anak buah Tiauw-pang di kapal yang satunya lagi belum muncul dan Phang Kui In tidak mengetahui entah berapa banyak jumlah anak buah dari kapal itu, yang tentunya terisikan anak buah dari Tiauw-pang juga.

Kelihatannya Kwee Siang memang agak sibuk juga menghadapi serangan-serangan balasan yang dilancarkan pangcu itu. Namun Kwee Siang telah melatih diri dalam ilmu ciptaannya, sebagai pendiri Go-bie-pay tentu saja dia memiliki kepandaian yang bisa diandalkan untuk menghadapi musuh yang tangguh.

Ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat nya juga belum dipergunakannya, dia menghadapi pangcu itu dengan tetap bertangan kosong,

Wakil pangcu dan Tiauw-pang telah memandang dengan sorot mata yang sangat tajam sekali. Dalam keadaan demikian, kalau memang wakil pangcu itu tidak takut nanti akan ditegur pangcunya, tentu dia sudah akan melompat maju, karena dia sudah tidak sabar ingin cepat-cepat membekuk Kwee Siang. Tetapi karena pangcunya tengah terjalin dalam pertempuran yang sangat seru dan masing-masing saling melancarkan serangan dengan cepat sakali, sehingga wakil pangcu itu jadi ragu-ragu untuk melancarkan serangan kepada Kwee Siang dan yang lainnya.

Di saat itu, dengan mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, tampak pangcu dari Tiauw-pang. Telah melancarkan serangan yang sangat kuat sekali dengan telapak tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya telah bergerak cepat akan mencengkeram tulang piepe di bahu si gadis.

Kwee Siang melihat cara menyerang lawannya, telah mengeluarkan suara tertawa mengejek, dia tidak takut sedikitpun juga, bahkan dengan cepat sekali dia menangkis telapak tangan kiri pangcu itu dengan tangan kirinya pula, sedangkan tangan kanan dari pangcu itu yang telah meluncur akan mencengkeram pundaknya tidak dielakkannya, hanya dengan jari telunjuk tangan kanannya, Kwee Siang telah mengancam akan menotok pergelangan tangan lawannya. Gerakan yang dilakukan Kwee Siang itu sangat ganas sekali karena jika jalan darah utama dipergelangan tangan pangcu itu, yaitu jalan darah ma-liang-hiatnya kena ditotok, niscaya akan menyebabkan pangcu itu menemui kematiannya.

Dalam keadaan demikian, dengan cepat sekali tampak pangcu dari Tiauw-pang itu telah menarik pulang tangannya, dia telah melompat mundur dan dengan gerakan tubuh yang sangat gesit dia menjauhi diri dari Kwee Siang, tetapi hatinya penasaran dan mendongkol sekali.

Kembali dengan gencar Kwee Siang telah melancarkan serangan susulan. Kali ini serangan yang dilancarkannya mempergunakan delapan bagian tenaga lweekangnya, juga meluncurnya bagaikan kilat saja ke diri pangcu itu, sehingga kali ini pangcu dari Tiauw-pang itu jadi sibuk sekali untuk menangkisnya.

„Bukk.....!” dua kekuatan itu telah saling bentur dengan dahsyat sekali. Tampak tubuh kedua orang yang saling bertempur itu telah tergetar, lalu terdorong mundur beberapa langkah oleh getaran tenaga tangkisan lawan masing-masing.

Ketua dari Tiauw-pang jadi terkejut dan heran. Semula dia menyangka bahwa kepandaian Kwee Siang biasa saja. Dia tidak menyangka bahwa kepandaian Kwee Siang memang benar-benar tangguh. Maka dia tidak berani berlaku ayal lagi, dengan mengerahkan seluruh kekuatan di kedua telapak tangannya dia telah melancarkan serangan yang lebih kuat lagi.

Sebentar terdengar suara „wutt dan dukk”, dan tubuh kedua orang yang tengah saling bertempur ini juga telah saling tergoncang keras sekali, sampai terhuyung-huyung mun¬dur ke belakang beberapa langkah.

Terlihat Kwee Siang juga telah membalas melancarkan serangan-serangan yang gencar sekali, setiap serangannya mengandung tenaga maut yang mengincar jiwa lawannya.

Tetapi pangcu Tiauw-pang yang tampaknya seperti anak kecil belasan tahun itu, ternyata lebih matang pengalaman dan latihan lweekangnya. Waktu melihat Kwee Siang berusaha mendesaknya, tiba-tiba dia tertawa keras katanya:

„Cukuplah kiranya aku mengalah!!”

Dan membarengi dengan habisnya perkataannya itu, dengan cepat sekali terlihat pangcu dari Tiauw-pang itu telah menggerakkan tangan kanannya, dia menekuk sedikit sikut tangannya itu, lalu dia telah mengulurkan tangan kanannya untuk mencengkeram pergelangan tangan Kwee Siang. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, tangan kirinya juga telah diulurkannya untuk menotok.

Hebat sekali cara menyerang pangcu dari perkumpulan Tiauw-pang itu, sehingga Kwee Siang tidak sempat untuk menangkis atau mengelakkan diri. Pergelangan tangan Kwee Siang telah berhasil dicekalnya dan dengan cepat sekali totokan jari tangannya telah mengenai jalan darah pai-tu-hiat nya, sehingga seketika itu juga Kwee Siang mengeluarkan suara keluhan perlahan dan tubuhnya terkulai rubuh tidak dapat bergerak lagi.

„Bawa dia ke samping.....!” perintah pangcu dari Tiauw-pang sambil melangkah menuju ke kursinya kembali.

19.38. Pertempuran Anak Setan lawan Siluman

Phang Kui In dan Yo Him waktu melihat Kwee Siang dapat dirubuhkan oleh ketua Tiauw-pang, jadi terkejut bukan main, dengan mengeluarkan suara bentakan marah, tampak Phang Kui In telah melompat ke samping Kwee Siang, maksudnya akan melindungi si gadis yang dalam keadaan tertotok itu.

Tetapi tahu-tahu di punggungnya telah menempel dua mata golok, yang ditekankan agak keras.

Phang Kui In menyadarinya bahwa dirinya tidak bisa bergerak lebih jauh, sebab kalau dia meneruskan gerakannya, niscaya akan menyebabkan dia terluka oleh kedua golok milik anak buah Tiauw-pang itu.

Di saat itu juga telah terdengar bentakan perlahan dari kedua anak buah Tiauw-pang itu: „Jangan bergerak, kembali ke kursimu.....!”

Phang Kui In jadi mengeluh, dia telah kembali ke kursinya, sedangkan di saat itu, tampak dua orang anak buah Tiauw-pang yang lainnya telah menghampiri Kwee Siang dan mengangkat tubuh si gadis yang dibawa ke pinggir ruangan.

Phang Kui In hanya bisa menyaksikan saja tanpa berdaya untuk memberikan pertolongan.

Tetapi yang cukup melegakan hati Phang Kui In dan Yo Him, justru dia melihat bahwa Kwee Siang tidak dibawa pergi keluar dari ruangan itu, hanya diletakkan di pinggir ruangan untuk menantikan keputusan berikutnya dari ketua Tiauw-pang tersebut.

Kemudian ketua Tiauw-pang yang mukanya seperti anak belasan tahun itu, dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, telah duduk kembali di kursinya, dia telah berkata dengan suara yang dingin:

„Nah, sekarang giliranmu!” katanya sambil menunjuk ke arah Yo Him.

Muka Yo Him kala itu merah padam, karena dia gusar sekali melihat encie Siangnya itu telah ditawan oleh ketua Tiauw-pang dalam keadaan tertotok seperti itu.

„Engkau membawa sikap seperti seorang kaisar saja!” bentak Yo Him dengan mendongkol. „Sesungguhnya apa yang kau kehendaki?”

Ditanya begitu oleh Yo Him, ketua Tiauw-pang itu telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali, suaranya mengandung nada mengejek.

„Ha, ha, ha, ha, seumur hidupku, selama aku hidup enampuluh tahun, aku Ciong Lam Cie baru kali ini mengalami ditegur orang sampai dua kali! Pertama-tama tadi oleh perempuan tidak tahu diri itu, sekarang oleh seorang bocah ingusan! Sungguh membuat aku tidak mengerti, mengapa hari ini aku apes benar?” Dan setelah berkata mengejek begitu, dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak yang sangat keras sekali, dan telah bertanya dengan suara yang dingin:

„Siapa namamu?”

„Namaku Yo Him, dan kini engkau telah mendengar dan mengetahui namaku, bebaskan kami, karena kami masih memiliki urusan penting dan harus melanjutkan perjalanan kami!”

„Sabar.....!” kata ketua Tiauw-pang itu dengan sikap yang mengejek. „Tidak perlu terlalu tergesa-gesa. Dalam hal ini engkau tidak perlu terburu-buru! Kita bercakap-cakap dulu dengan sikap yang manis dan baik-baik, bukankah itu jauh lebih baik dibandingkan kita, harus bicara dengan mata saling mendelik?”

Mendengar perkataan ketua Tiauw-pang itu, Yo Him telah tertawa dingin.

„Hemm, engkau mengakui dirimu sebagai seorang ketua dari sebuah perkumpulan, tetapi cara-caramu benar-benar memperlihatkan bahwa engkau hanya merupakan seorang manusia rendah tidak memiliki budi pekerti.”

Mendengar perkataan Yo Him yang nadanya keras, seketika itu juga Ciong Lam Cie telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang sangat keras, diapun telah berkata dengan suara yang nyaring:

„Baik! Baik! Engkau telah berani memakiku begitu kasar! Apakah engkau memiliki kepandaian yang tinggi sehingga engkau berani berlaku demikian kurang ajar?”

Yo Him telah tertawa dingin.

„Walaupun aku tidak memiliki kepandaian, tetapi terhadap manusia seperti engkau, perlu apa aku takut? Apakah engkau kira dengan mempergunakan kekerasan bisa menindas seseorang menjadi takut? Ingat, di dalam dunia, manusia hanya takut kepada perasaan malu, karena jika seseorang telah merasa malu, maka dia akan takut untuk melakukan pekerjaan yang dilarang oleh keadilan. Tetapi jika manusia itu hanya tertekan oleh perasaan takut, suatu waktu dia bisa nekad jika memang telah dalam keadaan tertindas, dan dia bisa saja menjadi nekad dan berontak untuk meberikan perlawanan. Seperti sekarang aku, walaupun aku sebagai seorang anak kecil yang tidak mengerti ilmu silat, tetapi sedikitpun juga aku tidak merasa takut kepadamu! Engkau bisa saja membinasakan diriku, tetapi justru aku tidak merasa takut!”

Ketua Tiauw-pang itu, yaitu Ciong Lam Cie, telah memandang Yo Him sejenak, tampaknya dia tertegun, tetapi kemudian dia telah tertawa lagi.

„Sungguh seorang anak yang ajaib!” katanya dengan suara yang dingin. „Baiklah! Baiklah! Sekarang justru aku jadi ingin mengetahui, apakah jika engkau menghadapi kematian, engkau akan merasa takut atau tidak?”

Dan Ciong Lam Cie, ketua Tiauw-pang yang potongan tubuhnya kate itu, telah melompat dengan gerakan lubuh yang sangat cepat sekali, dia telah melompat sambil menghadiahkan Yo Him satu pukulan yang tidak begitu keras.

Yo Him berusaha mengelakkan diri, tetapi karena dia memang tidak menguasai ilmu meringankan tubuh dengan sempurna, begitu tubuhnya terserang, segera dia terjungkal rubuh bergulingan di atas lantai. Tetapi tenaga dalamnya, yang telah terpusat di seluruh otot-otot di sekujur tubuhnya, dimana semua jalan darahnya telah dibuka itu, telah bekerja sendirinya. Waktu tubuhnya akan terbanting, justru tenaga itu telah menolak juga, sehingga tubuh Yo Him tidak sampai terbanting keras, bahkan telah melentik dan berdiri lagi!

Tentu saja Ciong Lam Cie jadi tertegun sejenak, dia melihat anak kecil dihadapannya ini seperti tidak mengerti ilmu meringankan tubuh, tadi saja waktu diserang, dia sudah tidak keburu mengelakkan diri, tetapi mengapa kini waktu tubuhnya terbanting di lantai, dia telah bisa melompat dengan gesit sekali untuk berdiri kembali?

Ciong Lam Cie jadi mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang sangat tajam. Kemudian dia telah berkata,

„Tadi kau mengatakan namamu kalau tidak salah Yo Him benarkan itu?”

„Benar”

„Jadi engkau she Yo?” Tanya Ciong Lam Cie lagi.

„Benar”

„Apakah kau memiliki hubungan dengan Yo Ko si buntung celaka itu?”

Muka Yo Him jadi berobah merah padam.

„Engkau jangan menghina ayah kandungku itu!” bentaknya dengan penuh kemarahan.

Ciong Lam Cie jadi tertegun sejenak. Dia mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang tajam, kemudian meledak suara tertawanya yang bergelak-gelak.

„Jadi engkau putera dari si buntung celaka Yo Ko itu?” tanyanya.

„Jangan kau menghina ayahku! Sekali lagi engkau menghina, walaupun aku tidak memiliki kepandaian, aku akan mengadu jiwa denganmu!” mengancam Yo Him dengan kemarahan yang meluap-luap.

Tentu saja ancaman itu dianggap sepi oleh Ciong Lam Cie, dia telah tertawa bergelak-gelak dengan suaranya yang sangat keras sekali, dia telah tertawa terus, suara tertawanya itu seperti ingin memecahkan ruangan kamar kapal ini.

„Sungguh kebetulan! Sungguh kebetulan! Belasan tahun aku mencari-cari jejak dari si buntung celaka itu! Tidak tahunya disini aku bisa bertemu dengan anaknya! Hemm, sejak tadi waktu melihat mukamu, aku telah menduganya bahwa engkau tentu ada hubungannya dengan Yo Ko, si buntung celaka itu. Mukamu memang mirip dengan dia! Tetapi, ha, ha, ha, ha, memang inilah namanya rejeki yang diantarkan oleh Tuhan! Baik! Baik! Engkaupun harus kutahan agar kelak Yo Ko datang sendiri kemari, untuk menggantikan dirinya sebagai tawananku dan engkau baru kubebaskan!”

Mendengar perkataan Ciong Lam Cie, Yo Him jadi gusar bukan main, karena berulang kali dia harus mendengar ayah kandungnya itu disebut si buntung celaka, maka waktu Ciong Lam Cie baru saja menyelesaikan perkataannya dengan cepat sekali Yo Him telah melompat dan dia telah melancarkan gempuran dengan kuat sekali ke arah dada Ciong Lam Cie.

Tetapi bagi seorang ahli silat kelas utama seperti Ciong Lam Cie, dimana Kwee Siang saja dia bisa rubuhkan, tentu saja Ciong Lam Cie tidak memandang sebelah mata terhadap serangan Yo Him.

„Kau beristirahatlah!” katanya seenaknya, sambil mengibaskan lengan bajunya. Dia mengibas dengan mempergunakan dua bagian tenaga dalamnya, tenaga itu meluncur akan membuat Yo Him terpelanting. Namun saat itu Yo Him juga tengah melancarkan serangan, sehingga otot-otot di tubuhnya dalam keadaan bersiap-siap dan tegang, maka begitu angin serangan dari kibasan lengan baju pangcu itu mengenai tubuh Yo Him, bukannya tubuh Yo Him yang terhuyung, justru tubuh Ciong Lam Cie yang terserang oleh tenaganya yang berbalik menghantam dirinya jadi terhuyung-huyung ke belakang.

Tentu saja hal ini telah membuat Ciong Lam Cie jadi terkejut bukan main, dia telah merasakan angin serangan itu menghantam tepat sekali ke arah dadanya. Walaupun tenaga serangan. Itu tidak kuat, tetapi justru menyambarnya ke bagian yang sangat tepat sekali di bagian jalan darah tai-tiong-hiatnya, sehingga terpaksa Ciong Lam Cie jadi harus mengelakkannya.

„Kau.....?” katanya dengan suara tergagap, karena dia heran, mengapa Yo Him yang di¬serang, tetapi serangan itu berbalik menghantam dirinya.

Yo Him yang tidak mengetahui peristiwa tersebut telah mengeluarkah suara makian dan telah berteriak:

„Aku akan mengadu jiwa dengan manusia buruk dan rendah pribudi seperti engkau.....!” dan sambil berteriak begitu, tampak Yo Him telah melompat melancarkan serangan dengan cepat sekali, kepalan tangan¬nya telah bergerak dan menghantam lagi.

Gerakan yang dilakukannya itu tidak begitu bertenaga, karena memang Yo Him belum memiliki kekuatan atau tenaga yang bisa dikendalikan. Seperti lweekang yang telah dimilikinya secara mujijat namun disebabkan Yo Him belum melatih diri dan belum bisa mengendalikannya, telah membuat dia terpaksa harus menyerang dengan mempergunakan tenaga yang biasa saja.

Dalam keadaan demikian, tampak Ciong Lam Cie jadi penasaran sekali, dia telah mengeluarkan suara bentakan lagi, dan mengibaskan lengan bajunya.

Kali ini sengaja Ciong Lam Cie telah mengibas dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya. Bisa dibayangkan betapa hebatnya tenaga serangan itu, karena dengan delapan bagian tenaga dalam dari seorang tokoh persilatan seperti Ciong Lam Cie itu, walaupun batu kali tentu akan dapat dihancurkannya dengan mudah.

Phang Kui In yang melihat dahsyatnya serangan tersebut, telah mengeluarkan suara seruan berkuatir, keringat dingin juga telah mengucur deras dari kening dan tubuhnya, karena dia menguatirkan sekali keselamatan Yo Him. Tetapi disebabkan di belakang tengkuknya itu tertandel dua mata golok, Phang Kui In tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menyaksikan Yo Him terancam oleh serangan tenaga kibasan tangan Ciong Lam Cie itu.

Dalam keadaan seperti ini, tampak Ciong Lam Cie bersungguh-sungguh waktu mengibaskan tangannya, karena kali ini dia sudah tidak memikirkan perihal usia Yo Him yang masih terlalu kecil, Ciong Lam Cie hanya dikuasai oleh perasaan penasaran. Maka dia telah melancarkan serangan dengan tidak mengenal perasaan kasihan lagi.

Tetapi Yo Him yang tidak menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, telah menerjang maju terus, dia sudah memukul sekenanya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya.

Serangan-serangan itu tidak mengandung tenaga yang berarti, dan di saat itulah tenaga serangan Ciong Lam Cie telah tiba, namun dengan cepat sekali tenaga tersebut telah memperoleh reaksi dari otot-otot di sekujur tubuh Yo Him. Sehingga tenaga serangan yang dahsyat itu tahu-tahu telah membalik menghantam ke arah Ciong Lam Cie.

Tentu saja Ciong Lam Cie jadi terkejut setengah mati, dia sampai mengeluarkan suara teriakan kaget dan cepat-cepat berusaha mengelakkan diri. Tetapi gerakannya itu terlambat, karena kuatnya tenaga serangan yang berbalik itu menerjang dirinya, dengan disertai oleh suara teriakan yang tertahan, tampak tubuh Ciong Lam Cie telah terpental, hanya saja tidak sampai terguling di lantai, dan dia telah bisa berdiri kembali dengan muka yang agak pucat. Dia memandang Yo Him dengan sorot mata yang mengandung perasaan heran dan aneh, seperti juga dia tengah memandang hantu disiang hari tampak sinar matanya memperlihatkan perasaan takut yang luar biasa, di hatinya juga dia berpikir:

„Hemm, tidak percuma dia menjadi puteranya Sin-tiauw Tayhiap ternyata sekecil ini dia telah memiliki kepandaian yang luar biasa, yang bisa menolak tenaga serangan lawan! Inilah sulit! Jika setiap kali menyerang tenaga seranganan akan berbalik, tentu akan merepotkan penyerangnya! Hebat! Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko ternyata telah berhasil menciptakan ilmu semacam itu untuk puteranya.....!”

Tetapi di mukanya Ciong Lam Cie tidak memperlihatkan perasaan kagumnya itu, bahkan dia memperlihatkan mimik muka yang bengis sekali.

Sedangkan wakil pangcu dan anak buah yang lainnya waktu melihat pangcu mereka terpental begitu rupa, semuanya jadi terkejut dan berkuatir sekali. Tetapi waktu mereka memperoleh kenyataan pangcu mereka tidak mengalami suatu cidera apa-apa, dengan sendirinya telah membuat mereka menjadi tenang kembali.

Saat itu, pangcu Tiauw-pang telah berkata dengan suaranya yang dingin,

„Hemm, pantas saja engkau berkepala besar dan bertingkah! Tidak tahunya engkau memiliki sedikit ilmu! Baik, baik! Aku ingin melihat apakah engkau bisa menghadapi serangan-seranganku berikutnya!”

Sambil berkata begitu Ciong Lam Cie telah menghampiri Yo Him lebih dekat dengan sikap yang mengancam.

Phang Kui In waktu itu sesungguhnya tengah girang bukan main, dia melihat dua kali Ciong Lam Cie telah melancarkan serangan kepada Yo Him bahkan yang terakhir dia telah melancarkan serangan dengan tenaga yang hebat sekali, dan nyatanya Yo Him bisa menolak kekuatan tenaga serangan itu. Tetapi waktu melihat ancaman dari Ciong Lam Cie yang akan melancarkan serangan berikutnya, Phang Kui In jadi tergoncang lagi hatinya.

Dia telah mementang kedua matanya lebar-lebar, karena dia ingin memperhatikan baik-baik apakah Yo Him akan bisa melindungi dirinya dari serangan pangcu Tiauw-pang itu, jika memang Yo Him terancam bahaya kematian, tentu saja Phang Kui In tidak akan memperdulikan ancaman golok kedua anak buah dari Tiauw-pang itu, dia pasti akan menerjang pangcu dari perkumpulan itu, untuk mengadu jiwa dan melindungi Yo Him.

Yo Him sendiri yang menduga tadi ketua Tiauw-pang itu terhuyung akibat serangan-serangan tangannya, maka dia jadi tambah berani dan girang, bahkan semangat bertempurnya jadi terbangun. Dengan berani dia menantikan serangan yang akan dilancarkan oleh ketua Tiauw-pang, sepasang matanya telah dipentang lebar-lebar.

Di saat itu tampak Ciong Lam Cie telah melangkah semakin dekat, dia mengangkat kedua tangannya ke atas, tahu-tahu tangan kanannya telah bergerak.

„Serr.....!” tetapi serangan tangannya itu menimbulkan angin gempuran yang halus sekali, tidak keras seperti tadi.

Muka Phang Kui In seketika jadi pucat pias, karena dia jadi terkejut sekali waktu melihat cara menyerang dari pangcu Tiauw-pang itu. Ternyata ketua Tiauw-pang itu telah mempergunakan gempuran dengan mempergunakan tenaga serangan Im (lunak), sehingga dia melancarkan gempuran tanpa menimbulkan angin serangan.

Inilah berbahaya tenaga serangan itu memang sama besarnya dengan tenaga serangan yang dipergunakan dengan gempuran tenaga yang (keras), tetapi dalam keadaan demikian, berarti otot dan urat di tubuh Yo Him, yang seharusnya dapat menolak setiap tenaga yang menyerang dirinya, tidak akan berfungsi lagi, sebab ketua Tiauw-pang itu melancarkan serangan tanpa mempergunakan tenaga kekerasan bahkan lunak seperti kapas.

Tampak Yo Him yang tidak merasakan desakan tenaga serangan lawannya, jadi tambah berani, dengan mengeluarkan suara tertawa dingin, Yo Him telah melangkah maju, dia telah mengayunkan telapak tangan kanannya melancarkan serangan dengan cepat sekali.

Tentu saja hal ini telah membuat Phang Kui In jadi mengeluarkan seruan tertahan, karena Yo Him tentu akan terserang oleh tenaga gempuran yang dilancarkan ketua Tiauw-pang itu.

Ciong Lam Cie sendiri jadi girang, dia mengempos semangatnya, di dalam gempuran yang lunak itu ternyata mengandung tenaga serangan yang mematikan. Dia menduga, dengan Yo Him tidak mengetahui sifat-sifat pukulannya yang seperti ini tentu Yo Him tidak akan keburu melakukan penangkisan.

Tetapi ketua Tiauw-pang itu sama sekali tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Yo Him tidak memiliki ilmu untuk menolak tenaga serangan lawan. Hanya secara kebetulan saja seluruh jalan darah dan otot Yo Him telah berhasil dibuka oleh Kwee Siang, sehingga otot-otot dan urat-urat di tubuhnya itu memiliki daya menolak setiap tenaga yang mendesak ke arah tubuh Yo Him.

Maka walaupun ketua Tiauw-pang itu melancarkan serangan dengan mempergunakan gempuran tenaga yang lunak, dan serangan itu tidak terlihat membawa angin serangan yang kuat, tetapi waktu tiba di sasarannya, serangan itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat sekali.

„Bukkkk!” kuat luar biasa, tenaga itu menggempur tubuh Yo Him.

Tetapi inilah suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Ciong Lam Cie, karena dia tidak mengetahui bahwa otot dan urat di tubuh Yo Him justru baru bekerja jika terserang oleh tenaga dari luar. Begitu tenaga serangan dari Ciong Lam Cie menghantam dengan keras, di saat itulah tenaga menolak dari otot dan urat besar di tubuh Yo Him mulai bekerja.

Betapa terkejutnya Ciong Lam Cie waktu merasakan tenaga serangannya itu tertolak dan menghantam dirinya lagi. Karena tidak menduga akan terjadi demikian lagi, Ciong Lam Cie jadi terperanjat bukan main, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan dan mati-matian menggerakkan tangan kanannya, dia harus dapat menangkis tenaga serangannya sendiri yang berbalik menghantam dirinya.

„Bukk!” tenaga serangan itu telah menghantam dengan kuat sekali, tetapi telah berhasil ditangkis oleh Ciong Lam Cie, dan begitu tertangkis, segera dia melompat mundur dengan muka yang pucat.

Benar-benar Ciong Lam Cie jadi tidak mengerti, mengapa Yo Him bisa memiliki ilmu seaneh itu, dimana setiap serangan-serangan yang dilancarkannya bisa ditolaknya oleh anak itu tanpa terlihat Yo Him menggerakkan tangan¬nya. Itulah yang membingungkan Ciong Lam Cie.

Dengan cepat Ciong Lam Cie telah membentak: „Anak setan, ilmu apa yang engkau pergunakan?”

„Anak setan? Hemm, engkau yang siluman! Usiamu telah enampuluh tahun, tetapi ternyata engkau kate dan mirip seorang anak belasan tahun! Bukankah itu berarti engkau merupakan manusia siluman?”

Disanggapi begitu oleh Yo Him, tentu saja tubuh Ciong Lam Cie jadi gemetar menahan marah. „Kau..... kau benar-benar ingin mampus!” katanya dengan suara yang dingin.

„Hemm. Mungkin juga!” kata Yo Him. „Kalau memang engkau memiliki kesanggupan untuk membinasakan diriku, mungkin aku akan mampus di tanganmu! Tetapi yang jelas, beberapa kali engkau melancarkan serangan, tetapi engkau sendiri tidak berhasil dengan serangan-seranganmu itu.....!”

Berulang kali diejek oleh Yo Him, keruan saja darah Ciong Lam Cie naik sampai ke kepala. Tetapi dia teringat, jika dia melancarkan serangan kepada Yo Him, berarti dia akan menyerang dengan tenaga yang kuat dan tenaga itu jika berbalik menghantam dirinya, niscaya akan menyebabkan dia terserang sendirinya. Maka dari itu, Ciong Lam Cie telah berdiam diri saja, dia tidak melayani ejekan dari Yo Him.

Kemudian pangcu dari Tiauw-pang ini telah menoleh kepada wakilnya. „Ciu toako, kau majulah!” perintahnya.

Orang yang dipanggil Ciu toako itu, wakil pangcu, yang nama lengkapnya Ciu Ie Ling, telah mengiyakan dengan suara yang serak.

„Baik pangcu, aku akan membereskan bocah siluman itu!” katanya dengan bersemangat sekali.

Dan dia telah melompat menghampiri Yo Him, dan „srengg!” Cepat sekali dia telah mencabut keluar sebatang pedang.

„Cabut senjatamu!“ perintah wakil pangcu itu dengan suara yang sangat bengis, matanya memandang mengancam.

„Tidak perlu engkau mempergunakan senjata tajam! Jika memang engkau memiliki keberanian, majulah, mari kita bertempur dengan tangan kosong! Aku tidak biasa mempergunakan senjata tajam!”

Mendengar perkataan Yo Him, Ciu Ie Ling telah tertawa mengejek.

„Hemmm! Kalau engkau tidak mau mempergunakan senjata, baiklah! Terpaksa aku tidak segan-segan akan menikammu dengan pedangku ini untuk melenyapkan ilmu silumanmu!” Dan membarengi dengan perkataannya itu, Ciu Ie Ling berlagak ingin melancarkan serangan.

Yo Him jadi berpikir keras. Dia telah berpikir, jika dia melawan dengan tangan kosong, dia tidak memiliki kesanggupan apa-apa, sedangkan bertempur dengan mempergunakan pedang, diapun tidak memiliki ilmu pedang. Memang dia telah mempelajari seluruh kouw-hoat (teori) dari ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat yang diturunkan oleh Kwee Siang, tetapi belum sempat dilatihnya.

Namun Yo Him jadi nekad juga, dia telah berteriak, „Tahan!”

„Apalagi?” tanya Ciu Ie Ling.

„Baiklah! Akupun akan mempergunakan pedang menghadapimu!” Dan setelah berkata begitu Yo Him telah melangkah menghampiri Kwee Siang, dia berkata: „Encie Siang, maafkanlah, aku ingin meminjam pedangmu!” Dan setelah berkata begitu, dia mencabut pedang Kwee Siang, sedangkan Kwee Siang tidak bisa berkata-kata, karena dia dalam keadaan tertotok.

Saat itu, dengan cepat sekali, Yo Him telah melangkah kembali kehadapan Ciu Ie Ling.

„Mulailah!” tantangnya dengan suara yang dingin.

Ciu Ie Ling sebagai wakil pangcu dari Tiauw-pang sebetulnya sangat dihormati oleh orang-orang rimba persilatan, karena kiam-hoatnya, ilmu pedangnya memang dahsyat sekali. Tetapi sekarang, anak lelaki kecil seperti Yo Him berani memandang remeh kepadanya dengan sendirinya telah membuat dia jadi gusar bukan main. Karena kemarahannya telah meluap-luap, dia mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, dan telah melancarkan tikaman dengan pedangnya.

Yo Him menangkis serangan itu sekenanya saja, dengan mempergunakan salah satu jurus ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat. Tetapi hasilnya luar biasa, pedang di tangan Yo Him bukannya menangkis serangan yang dilancarkan lawannya, justru telah meluncur akan menikam tenggorokan lawannya.

Tentu saja Ciu Ie Ling jadi terkejut sekali, karena untuk melindungi tenggorokannya dari tikaman mata pedang Yo Him, terpaksa Ciu Ie Ling harus melompat ke belakang.

Harus diketahui waktu menciptakan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat, Kwee Siang telah memikirkan berbagai kelemahan yang ada di bagian-bagian tubuh lawannya. Karena dipersiapkan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat khusus untuk kaum wanita, maka diutamakan adalah kegesitan, bukan kekuatan. Sehingga Kwee Siang telah berusaha mencari kemungkinan tidak melayani serangan lawan dengan kekerasan, dan dia telah menciptakan setiap serangan lawan dilawan dengan serangan lagi. Tetapi setiap serangan Go-bie-kiam-hoat selalu mengincar bagian-bagian yang berbahaya di tubuh lawan sehingga bisa mematikan. Dengan demikian, tentu lawannya akan terdesak dan serangannya akan gagal.

Cepat sekali gerakan dari serangan-serangan ilmu pedang Go-bie-pay itu, maka dengan sendirinya tanpa mengadu kekuatan tenaga, bisa saja murid Go-bie-pai mendesak lawannya.

Sedangkan Ciu Ie Ling yang melihat cara bersilat Yo Him dengan pedangnya yang bergerak-gerak aneh itu, tentu saja telah membuat dia terkejut sekali. Dia jadi berpikir keras, entah siapa sebenarnya Yo Him, mengapa memiliki ilmu pedang yang demikian aneh?

Dengan penasaran Ciu Ie Ling telah melancarkan serangan-serangan lagi dengan tikaman-tikaman pedangnya, gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali dan juga mengandung kekuatan yang dahsyat.

Tetapi Yo Him tidak memperhatikan datangnya serangan lawannya, karena dia jadi sibuk melakukan penyerangan-penyerangan juga dengan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat.

Setiap pedang Ciu Ie Ling menyambar datang, maka Yo Him bukannya menangkis, justru dia menggerakkan pedangnya itu mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawannya.

Dengan sendirinya, telah membuat Ciu Ie Ling selalu harus menarik pulang pedangnya membatalkan serangannya. Semakin lama Ciu Ie Ling jadi semakin sengit. Sehingga dia berjingkrak beberapa kali dengan gusar.

Kemudian disertai suara bentakan yang sa¬ngat bengis sekali, Ciu Ie Ling telah melancarkan serangan lagi dengan tikaman-tikaman yang gencar sekali. Gerakan-gerakan yang dilakukannya selain cepat sekali, juga mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh Yo Him.

Dalam sekejap mata saja, tampak sinar pedang Ciu Ie Ling telah berkelebat-kelebat dengan kecepatan luar biasa, membuat Yo Him jadi kewalahan untuk menghadapi serangan-serangan itu, karena dia hanya mengerti teori ilmu pedang Go-bie-pai dan belum pernah melatihnya. Dengan sendirinya, jadi sangat repot menghadapi serangan-serangan seperti itu, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali, dan memutar pedangnya dengan gerakan ‘San-hoa-kiam-sut’ atau ilmu pedang menyebar bunga.

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Yo Him ternyata bisa menyelamatkan juga diri dan jiwanya, karena pedang di tangannya telah berputar-putar dengan sangat cepat sekali, telah mengancam ke bagian-bagian tempat yang berbahaya di tubuh Ciu Ie Ling.

Tentu saja Ciu Ie Ling dibuat terkejut lagi oleh serangan-serangan Yo Him itu. Berulang kali Ciu Ie Ling telah mengeluarkan suara teriakan gusar dan membatalkan serangannya, karena dia harus menyelamatkan jiwanya dari ujung pedang Yo Him.

Dalam keadaan demikian, tampaknya Yo Him juga tidak tinggal diam, dia memang memiliki latihan ilmu pedang Go-bie-pai, tetapi dia memiliki hati yang tabah, sehingga dia bisa saja berlaku nekad dengan melancarkan serangan-serangan yang sangat cepat dan gesit sekali, dengan jurus-jurus Go-bie-pai yang luar biasa anehnya.

Go-bie-kiam-hoat baru saja diciptakan oleh Kwee Siang, dengan sendirinya ilmu pedang itu jarang sekali yang lihat, dan merupakan ilmu pedang yang baru, maka Ciu Ie Ling sendiri jadi sibuk sekali, dia sampai mengeluarkan suara seruan-seruan kaget setiap kali hampir terserang oleh tikaman-tikaman yang dilancarkan Yo Him.

Yo Him dengan beruntun telah mempergunakan jurus-jurus ilmu pedang Go-bie-pai, dan gerakan-gerakan yang sangat cepat itu tambah membingungkan diri Ciu Ie Ling saja.

Tetapi, setelah lewat sepuluh jurus, akhirnya Ciu Ie Ling telah melihatnya bahwa Yo Him sesungguhnya tidak menguasai ilmu pedangnya itu, karena dia hanya bisa menggerakkan pedangnya itu dengan gerakan-gerakan biasa saja, walaupun aneh, kenyataannya ilmu pedang itu tidak mengandung tenaga yang cukup dahsyat untuk menjatuhkan musuhnya. Tentu saja Ciu Ie Ling jadi heran melihat keadaan seperti itu, karena Yo Him tampaknya memiliki tenaga yang tidak berarti, namun dia bisa memiliki bermacam-macam ilmu silat dan ilmu pedang yang sangat aneh-aneh.

Tadi Ciu Ie Ling memang telah mendengar bahwa Yo Him adalah puteranya Yo Ko, maka diam-diam dia jadi berpikir:

„Hemm, pantas saja dia memiliki ilmu-ilmu yang demikian hebat, memang jelas dia putera dari si buntung keparat itu! Dan setelah berpikir begitu, Ciu Ie Ling mengawasi lagi kepada serangan-serangan dan tikaman-tikaman pedang Yo Him.

„Tetapi..... mengapa dia tidak memiliki kekuatan lweekang sedikitpun juga? Setiap tikamannya selalu kosong dan tidak mengandung tenaga yang mematikan?”

Karena berpikir begitu, dengan cepat Ciu Ie Ling telah mengeluarkan suara bentakan yang keras, waktu suatu kali pedang Yo Him menyambar ke arahnya, tampak pedang itu telah dikibas oleh pedang Ciu Ie Ling.

Gerakan itu mengandung kekuatan tenaga mengibas yang sangat kuat sekali, karena Ciu Ie Ling telah mengibas dengan maksud untuk menjatuhkan pedang itu terlepas dari cekalan tangan Yo Him.

20.39. Tawanan Bajak Laut Tiauw-pang

„Trangg.....!” Memang pedang di tangan Yo Him berhasil ditangkis oleh Ciu Ie Ling dan tampak sebatang pedang meluncur terbang ke tengah udara terlepas dari cekalan namun pedang itu adalah pedangnya Ciu Ie Ling.

Sedangkan Ciu Ie Ling telah melompat keluar gelanggang pertempuran dengan muka yang berobah pucat.

Saat itu rupanya waktu Ciu Ie Ling menabas dengan pedangnya menangkis pedang Yo Him, telah terjadi suatu peristiwa aneh lagi bagi Ciu Ie Ling, begitu pedangnya menangkis pedang Yo Him karena dia mempergunakan kekuatan tenaga yang sangat kuat di saat itu otot di telapak tangan Yo Him telah bekerja dengan sendirinya dan menolak dengan kuat, berimbang dengan tekanan-tekanan gempuran atau tangkisan pedang Ciu Ie Ling sendiri.

Maka bukannya pedang Yo Him yang terlepas dari cekalannya, justru pedang Ciu Ie Ling yang telah terpental dari cekalannya dan telah terlempar ke tengah udara. Keruan saja hal ini telah membuat Ciu Ie Ling dan jago-jago Tiauw-pang yang lainnya jadi terkejut sekali mereka jadi takjub dan menganggap Yo Him benar-benar luar biasa sekali.

Sedangkan ketua Tiauw-pang juga jadi kaget bukan main, dia tidak menyangka sama sekali, bahwa sekecil itu Yo Him benar-benar telah memiliki bermacam-macam ilmu mujijat. Tadi dia telah melancarkan serangan berulang kali kepada Yo Him dengan mempergunakan tangan kosongnya, tetapi selalu pula tenaga serangannya itu berbalik menghantam kepadanya.

Dan sekarang Ciu Ie Ling telah gagal menghadapi Yo Him dengan pedang, maka peristiwa ini merupakan peristiwa yang jarang sekali terjadi dan belum pernah dialami oleh orang-orang Tiauw-pang itu. Apa lagi pangcu dari Tiauw-pang dan Ciu Ie Ling juga bukan manusia-manusia yang lemah sehingga dengan adanya peristiwa seperti ini, telah membuat mereka tidak mengerti, anak sebesar Yo Him bisa memiliki kepandaian yang demikian tinggi.

Kemudian pangcu dari Tiauw-pang ini telah mengerahkan seluruh tenaga, lweekangnya dia telah mengulurkan tangannya, dengan maksud akan mencengkeram bahu dari Yo Him.

Gerakan yang dilakukan oleh pangcu dari Tiauw-pang ini sangat cepat sekali, di samping itu angin serangan yang ditimbulkan oleh telapak tangannya itu mengandung kekuatan tenaga yang sangat hebat sekali.

Dalam keadaan demikian Yo Him juga tidak bisa berdiam diri. Lawannya bukan melancarkan serangan dengan memukul atau menghantam, justru lawannya itu telah melancarkan serangan dengan mempergunakan cengkeraman tangan.

Jika sampai bahunya atau tubuhnya bagian yang lain kena dicengkeram oleh ketua dari Tiauw-pang, niscaya akan menyebabkan dia mengalami kecelakaan yang tidak kecil, karena sepuluh jari-jari tangan itu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat yang dapat niencengkeram hancur tulang-tulang di tubuh Yo Him.

Tetapi Yo Him tidak merasa takut, dengan cepat dia telah menyingkir ke samping.

Gerakan yang dilakukan oleh Yo Him memang tidak begitu cepat, sehingga pangcu dari Tiauw-pang itu telah sempat mengulangi serangannya lagi untuk mencengkeram punggungnya Yo Him.

Dan kali ini Yo Him tidak bisa mengelakkan diri dari serangan tersebut, karena itu dengan hebat punggungnya telah kena dicengkeram oleh ketua Tiauw-pang itu.

„Brettt.....!” pakaian di bagian punggung Yo Him telah robek kena dicengkeram, karena Yo Him masih sempat untuk menjauhi diri. Dengan sendirinya dia bisa selamat dari terluka di tangan ketua Tiauw-pang itu.

Namun bajunya yang telah robek itu menyebabkan Phang Kui In yang menyaksikannya jadi mengeluarkan seruan tertahan karena terkejut.

Tetapi Yo Him dengan cepat telah menghadapi ketua Tiauw-pang itu lagi. Berani dan tabah sekali anak ini.

Sedangkan Ciong Lam Cie tambah bersemangat waktu melihat dia telah berhasil merobek pakaian Yo Him. Dengan cepat dia telah melompat dan melancarkan serangan pula, dia mengulurkan tangannya untuk mencengkeram lagi. Gerakannya kali ini dilakukannya lebih cepat dari pada gerakan yang tadi dan tangannya telah diulurkan untuk mencengkeram dengan kuat sekali

Yo Him akhirnya melihat bahwa dirinya tidak mungkin bisa menghadapi tokoh persilatan seperti Ciong Lam Cie, karena walaupun dia telah memiliki lweekang yang mujijat dan aneh, tetapi Ciong Lam Cie telah mengetahui kelemahannya itu, sehingga dia telah melancarkan serangan-serangannya dengan hanya mempergunakan jari tangan belaka, yang dipergunakan untuk mencengkeram. Maka tenaga yang meluncur dari jari tangannya itu hanya berseliweran perlahan sekali, menyebabkan tenaga memantul dari otot maupun urat jalan darah utama di tubuh Yo Him tidak berarti apa-apa untuk Ciong Lam Cie.

Dengan mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras, berulang kali Yo Him telah diserang oleh Ciong Lam Cie.

Walaupun dalam keadaan tertotok, tetapi Kwee Siang bisa melihatnya bahwa keadaan Yo Him sangat terancam oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh Ciong Lam Cie. Tetapi dia dalam keadaan tertotok, tidak bisa dia memberikan bantuan maupun pertolongannya, sehingga Kwee Siang jadi berkuatir dan bingung sekali.

Dengan mempergunakan kekuatan tenaga dalamnya, beberapakali Kwee Siang berusaha membuka totokan di tubuhnya, namun gagal. Tampaknya cara menotok yang dilakukan oleh Ciong Lam Cie merupakan totokan yang aneh dan luar biasa sekali, sehingga sulit sekali untuk dibuka dengan kekuatan sendiri.

Dengan gagalnya Kwee Siang berusaha membuka totokan di tubuhnya, gadis ini jadi mengeluh beberapa kali dan benar-benar berkuatir sekali, karena dia tidak berdaya untuk menolong Yo Him, walaupun dia melihat Yo Him dalam tekanan dan ancaman bahaya yang tidak kecil di tangan ketua Tiauw-pang.

Di saat itu, angin serangan wakil ketua Tiauw-pang telah berseliweran kuat dan lunak bergantian, untuk mengelabuhi lweekang aneh yang dimiliki Yo Him.

Sampai akhirnya Yo Him tidak berdaya waktu pergelangan tangannya dicekal oleh ketua Tiauw-pang. Tubuhnya telah dilontarkan ke tengah udara.

Waktu tubuhnya meluncur turun, justru jari tangan ketua Tiauw-pang itu telah bergerak menotok jalan darah Yo Him, maka tubuhnya segera terbanting di lantai tanpa bisa bergerak lagi, karena Yo Him telah dalam keadaan tertotok.

<> 

Phang Kui In waktu melihat apa yang telah dialami oleh Yo Him jadi mengeluarkan suara seruan tertahan dan telah melompat ke tengah gelanggang tanpa memperdulikan lagi ancaman mata golok dari kedua anggota Tiauw-pang itu.

Tetapi ketua Tiauw-pang itu telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali, dia telah berkata dengan suara yang bengis:

„Engkau mana bisa melayani aku? Lebih baik engkau kembali duduk di tempatmu agar engkau tidak mengalami peristiwa dan penderitaan seperti mereka berdua itu. Kembali ke kursimu!!”

Tetapi Phang Kui In telah nekad benar, dengan mengeluarkan bentakan: „Aku akan mengadu jiwa dengan kau!” dia telah melompat dan melancarkan serangan-serangan dengan mem¬pergunakan kedua tangannya. Tubuhnya telah meluncur menerjang ketua Tiauw-pang itu, gerakannya sangat cepat sekali, juga kedua telapak tangannya yang di¬pergunakan untuk menghantam itu mengandung kekuatan yang cukup dahsyat.

Tetapi Ciong Lam Cie telah mengeluarkan suara tertawa mengejek, dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk menangkis serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu.

„Takkk!” Kedua telapak tangan Phang Kui In telah ditangkis oleh ketua Tiauw-pang dan tubuh Phang Kui In telah terpental keras sekali terbanting di lantai perahu.

Phang Kui In merasakan pergelangan tangannya itu sakit sekali. Dada sebelah kiripun dirasakan nyeri dan ngilu sekali, mungkin dia telah terluka di dalam. Tetapi dengan penasaran dan nekad sekali, Phang Kui In telah melompat dengan gerakan yang sangat gesit sekali, dia telah mengeluarkan suara bentakan mengguntur dan telah menerjang maju lagi.

Sambil menerjang kedua tangannya disi¬langkan, dia telah melancarkan gempuran yang sangat kuat sekali, karena Phang Kui In dalam nekadnya itu telah memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya di kedua tangannya itu. Dia bermaksud akan mengadu jiwa dengan Ciong Lam Cie, maka Phang Kui In melancarkan gempuran itu tanpa memikirkan keselamatan dirinya lagi

Angin serangannya itu berkesiuran dengan keras sekali, dan juga angin serangan tersebut telah menggempur kuda-kuda Ciong Lam Cie. Tetapi Ciong Lam Cie walaupun muka dan bentuk tubuhnya yang kecil itu seperti seorang anak kecil, namun pangcu Tiauw-pang ini merupakan seorang ahli silat yang telah berpengalaman sekali.

Sama sekali kuda-kudanya tidak tergoyahkan oleh serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In, bahkan Ciong Lam Cie menantikan sampai tenaga serangan yang dilancarkan Phang Kui In telah dekat dengannya, di saat itulah dengan, mengeluarkan suara seruan yang sangat panjang sekali, Ciong Lam Cie telah menangkis gempuran Phang Kui In.

„Brukkk..... bukkk!” dua kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali telah saling bentur dengan keras, dan dengan tenaga saktinya Ciong Lam Cie telah membuat tubuh Phang Kui In terpental dan terbanting di lantai perahu, terus tidak bergerak lagi, karena Phang Kui In telah pingsan tidak sadarkan diri.

Ciong Lam Cie telah tertawa dingin, sikapnya angkuh sekali.

„Bawa mereka ke kamar tahanan.....!” perintahnya dengan suara yang congkak sekali.

„Kami menerima perintah!” teriak beberapa orang pengawal ruangan, yang segera menggotong tubuh Kwee Siang, Yo Him dan Phang Kui In ke kamar tahanan. Ketiga orang tawanan Tiauw-pang itu telah dibawa ke ruangan bawah kapal itu, dan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang gelap tidak memiliki penerangan sedikitpun juga.

Kwee Siang walaupun dalam keadaan tertotok, matanya bisa menyaksikan segala apa. Dia melihat, bahwa mereka bertiga telah tertawan oleh pihak Tiauw-pang, berarti sulit sekali bagi mereka untuk melarikan diri, terlebih lagi dirinya bersama Yo Him dalam keadaan tertotok, sedangkan Phang Kui In dalam keadaan pingsan, mungkin juga tengah terluka di dalam yang parah sekali.

Saat itu, Yo Him juga telah tersadar dari pingsannya, tetapi tubuhnya dalam keadaan tertotok seperti Kwee Siang, dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

Keadaan di sekitar tempat itu gelap sekali, karena ruangannya tertutup, sehingga tidak setitik sinar pun yang menembus masuk. Sedangkan Yo Him baru saja tersadar dari pingsannya, maka melihat sekelilingnya yang gelap pekat seperti itu, dia menduga bahwa dirinya telah berada di dalam neraka. Dia telah mengawasi sejenak keadaan di sekitarnya, sampai akhirnya waktu Yo Him mendengar suara napas seseorang, dia telah memanggil perlahan:

„Paman Phang.....? Encie Siang…..?”

Yo Him memanggilnya dengan perlahan, dengan suara yang ditekankan, karena dia ragu-ragu kalau dia masih hidup di dalam dunia, sebab begitu dia siuman dari pingsannya, justru sekitar dirinya gelap pekat, sehingga untuk melihat tubuhnya sendiri saja tidak bisa. Apa lagi saat itu Yo Him merasakan tubuhnya kaku tidak bisa bergerak, maka dia menduga dirinya telah meninggal dunia dan telah dikubur di dalam tanah. Keadaan seperti ini telah membuat Yo Him jadi ragu-ragu, maka waktu dia memanggil Phang Kui In dan Kwee Siang, dia memanggilnya dengan suara yang perlahan sekali.

Kwee Siang mendengar suara Yo Him, dia jadi girang sekali.

„Aku disini, adik Him.....!” kata Kwee Siang dengan cepat. „Apakah engkau sehat-sehat saja? Tidak terlukakah tubuhmu?”

Yo Him menghela napas.

„Encie Siang, rupanya kita berdua telah mati, bukan?” tanya Yo Him.

„Telah mati? Mengapa begitu?” tanya Kwee Siang tidak mengerti.

„Bukankah sekarang ini kita berdua berada dalam timbunan tanah, kita telah dikubur? Tubuh kita tidak bisa digerakkan karena tertimbun tanah, bukan?”

Kwee Siang tertawa kecil.

„Tidak, kita masih hidup!” kata Kwee Siang cepat. „Bukankah kita masih bisa bernapas? Dan masih dapat bercakap-cakap? Kita hanya tertahan oleh pihak Tiauw-pang dan berada dalam keadaan tertotok, sehingga tubuh kita tidak bisa bergerak.”

Mendengar perkataan Kwee Siang hati Yo Him jadi agak lega.

„Lalu..... lalu mengapa keadaan di sekeliling kita ini gelap sekali? Semula aku menduga bahwa kita telah berada dalam tanah atau di neraka.....!” kata Yo Him lagi. „Dan..... di mana paman Phang?”

„Kita dikurung di dalam, ruangan yang rapat dan tidak memiliki sinar sedikit pun juga, kita berada dalam ruangan tawanan, maka dari itu kita harus berusaha meloloskan diri. Sedangkan paman Phang mu dalam keadaan pingsan, karena telah dirubuhkan ketua Tiauw-pang itu.....! Yang terpenting bagaimana aku bisa membuka totokan di tubuhku..... jika totokan di tubuhku bisa dibuka, aku bisa memikirkan lebih lanjut cara bagaimana kita bisa meloloskan diri!”

„Apakah aku tidak bisa membuka totokan di tubuhmu, encie Siang?” tanya Yo Him.

„Kau?” dan Kwee Siang berdiam sejenak, tampaknya dia tengah berpikir keras. Tetapi kemudian dia telah berseru girang.

„Adik Him! Kita akan tertolong!” teriaknya. „Kau bisa membuka totokan di tubuhku mempergunakan jalan pernapasanmu yang aneh itu! Kini engkau harus berusaha membuka totokan di tubuhmu sendiri dulu, kau turuti petunjukku!”

„Baik encie Siang!” menyahuti Yo Him, yang juga ikut girang.

Setelah itu, Kwee Siang berkata dengan suara yang tidak begitu keras karena dia kuatir di luar ruangan kamar tahanan itu ada anak buah Tiauw-pang.

„Kau salurkan pernapasanmu ke jalan darah wie-cing-hiat di dekat pundakmu!” kata Kwee Siang memberikan petunjuknya bagaimana Yo Him harus menyalurkan jalan pernapasannya untuk membuka totokan di tubuhnya.

Yo Him menuruti dia merasakan pundaknya ngilu.

„Pundakku ngilu dan sakit sekali!” kata Yo Him memberitahu keadaannya itu.

„Biar..... tidak apa? Engkau tahan dulu!” kata Kwee Siang. „Sekarang engkau salurkan pernapasanmu itu ke jalan darah hai-tiong-hiat, lalu memutar setengah lingkaran, tiga dim dari hai-tiong-hiat, yaitu ke jalan darah pie-liang-hiat.”

Yo Him menuruti terus petunjuk-petunjuk yang diberikan Kwee Siang. Setelah dia menyalurkan pernapasannya sampai ke jalan darah pie-liang-hiat, seketika itu juga terasa hawa hangat bergolak di perutnya. Kuat sekali golakan hawa panas itu. Seperti juga bola api yang berputar-putar dan semakin lama jadi semakin panas juga. Yo Him segera memberitahukan keadaannya itu kepada Kwee Siang.

„Cepat kau salurkan jalan pernapasanmu ke jalan darah sim-touw-hiat.....!” perintah Kwee Siang, nada suaranya girang bukan main.

Yo Him menuruti. Dan seketika itu juga Yo Him merasakan bola api yang panas di dalam perutnya itu seperti buyar dan sekejap mata saja dia sudah terlepas dari totokan yang dilakukan oleh Ciong Lam Cie, karena dia telah berhasil menggerakkan kaki dan tangannya. Rupanya tenaga totokan itu telah buyar oleh kekuatan napas dari Yo Him.

Segera Yo Him bangkit, dia jalan meraba-raba.

„Kau dimana encie Siang?” tanya Yo Him.

„Ya, ke kanan, aku berada disini, dua langkah lagi!” kata Kwee Siang memberitahukannya.

Harus diketahui, jika Yo Him memang tidak memiliki latihan mata, sedangkan Kwee Siang justru telah terlatih matanya, walaupun berada dalam ruangan yang sangat gelap pekat, dia masih bisa melihat cukup jelas.

Yo Him menuruti petunjuk Kwee Siang maka dia bisa sampai disamping si gadis.

„Kini pertama-tama engkau harus menotok jalan darah ban-siang-hiatku!” kata Kwee Siang. „Cepat, jangan ragu-ragu!”

Memang Yo Him jadi ragu-ragu, karena dengan menotok tubuh si gadis berarti tangannya akan bersentuhan dengan tubuh si gadis. Tetapi dibentak begitu oleh Kwee Siang, Yo Him jadi tidak ragu-ragu lagi, dia telah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah ban-siang-hiat Kwee Siang.

„Ya, tepat totokanmu itu, kini hati-hati, engkau harus menotok yang tepat jalan darah bun-cie-hiat, tiga dim di pinggul, jangan meleset, karena terpisah satu dim terdapat jalan darah bian-to-hiat, jalan darah yang bisa mematikan!”

Yo Him melaksanakan perintah Kwee Siang dengan hati-hati. Dia memang telah mengerti letak jalan darah, karena waktu Kwee Siang mengajari dia dasar-dasar ilmu lweekang, dia telah memperoleh petunjuk mengenai letak jalan darah itu. Sebagai seorang anak yang cerdas sekali, maka Yo Him bisa mengingatnya dengan baik letak jalan darah itu.

Setelah itu, Kwee Siang memberi petunjuk lagi agar Yo Him menotok beberapa jalan darah lainnya.

Yo Him melakukannya dengan tepat sekali. Waktu Yo Him terakhir kali menotok jalan darah sung-ko-hiat di dekat pundak si gadis. Maka Kwee Siang telah dapat melompat bangun.

„Ya, bebaslah kini aku dari totokan orang she Ciong itu!” kata Kwee Siang.

Yo Him juga jadi girang, tetapi belum lagi Yo Him sempat berkata-kata, Kwee Siang telah berkata kepadanya: „Adik Him engkau tentu heran bukan, mengapa aku yang memiliki kepandaian yang tinggi tidak bisa membuka sendiri totokan di tubuhku, sedangkan engkau yang belum memiliki kepandaian yang berarti telah bisa membuka totokanmu itu sendiri?”

„Benar, encie Siang.....!” seru Yo Him. Dia memang heran, mengapa justru tadi Kwee Siang mengetahui dan memberikan petunjuk kepadanya agar jalan pernapasannya itu disalurkan dari jalan darah yang satu ke jalan darah yang lainnya, tetapi mengapa Kwee Siang tidak bisa membuka sendiri jalan darahnya yang tertotok itu.

„Sesungguhnya, disini letak kemujijatan dari kekuatan tenaga dalammu yang luar biasa itu.....!” berkata Kwee Siang. „Seperti engkau juga telah mengetahui bahwa engkau telah memperoleh kekuatan lweekang yang hebat sekali, lweekang yang mengandung kemujijatan. Sehingga bisa memukul balik kembali setiap tenaga yang menghantam ke tubuhmu, karena otot dan jalan darah utamamu itu akan bekerja begitu diserang dari luar. Maka aku jadi yakin bahwa engkau bisa membuka sendiri totokan di tubuhmu dengan mempergunakan pernapasanmu yang aneh itu.....! Dan dugaanku ternyata tepat, engkau berhasil! Bahkan dengan totokan-totokan jari tanganmu itu, yang mengandung lweekang yang mujijat itu, engkau telah berhasil menolongku! Maka dari itu, ini telah membuktikan bahwa engkau memiliki lweekang yang dahsyat sekali, sayangnya engkau belum mengetahui cara untuk menyalurkannya! Jika memang nanti kita telah berhasil meloloskan diri dari orang-orang Tiauw-pang, dan telah bertemu dengan ayahmu, kita mencari tempat yang sepi, aku akan memberikan petunjuk-petunjuk kepadamu, begitu pula engkau boleh meminta petunjuk ayahmu. Jika saja engkau mengetahui cara-cara untuk menguasai dan mengendalikan pernapasanmu tentu engkau akan memiliki suatu kekuatan yang sulit dilawan!”

Yo Him jadi girang sekali. „Terima kasih encie!” katanya.

„Walaupun aku memiliki lweekang yang tinggi, tetapi lweekangku itu saja, tidak mempunyai kemujijatan yang seperti engkau miliki, aku memperoleh lweekangku ini berkat latihan, maka walaupun aku telah mengerahkan lweekangku itu untuk membuka totokan Ciong Lam Cie, kenyataannya aku gagal, karena totokan orang she Ciong itu sangat aneh sekali! Tetapi dengan lweekangmu yang aneh dan sangat mujijat itu, ternyata totokanku dapat digempur buyar!”

Mendengar keterangan yang diberikan oleh Kwee Siang, tentu saja telah membuat Yo Him jadi bertambah girang.

Kemudian tampak Kwee Siang telah berkata lagi: „Mari kita melihat keadaan paman Phang mu itu.....!!”

Yo Him baru teringat kepada Phang Kui In, kembali perasaan kuatir menguasai dirinya. Dengan dituntun oleh Kwee Siang, Yo Him diajak menghampiri Phang Kui In.

Saat itu mata Yo Him juga telah terbiasa di tempat gelap, sehingga dia bisa melihat samar-samar paman Phang nya itu menggeletak di lantai tanpa bergerak.

Kwee Siang telah berjongkok, dia telah memeriksa keadaan Phang Kui In.

„Hemmm, paman Phangmu telah terluka di dalam, urat besar di dada kirinya, yaitu urat besar bian-tiang-hiatnya, telah tergeser.....!” menjelaskan Kwee Siang setelah memeriksa tubuh Phang Kui In.

Yo Him jadi tambah berkuatir, hampir saja dia menangis karena bingung,

Di saat itu Kwee Siang telah sibuk menguruti tubuh Phang Kui In, dan dia berusaha, mengembalikan urat besar di dada kiri Phang Kui In yaitu urat besar bian-tiang-hiatnya ke posisi yang semula. Tetapi pekerjaan itu tidak mudah dan urutan tangan Kwee Siang tidak sanggup menggeser urat itu dengan baik. Tiba-tiba Kwee Siang telah teringat sesuatu, dia mengeluarkan seruan tertahan yang perlahan sekali.

Yo Him jadi terkejut. Tadi dia dengan tegang sedang memandangi Kwee Siang yang sibuk menguruti dada paman Phangnya itu, dan dia jadi terkejut ketika melihat Kwee Siang mengeluarkan suara seruan tertahan seperti itu.

„Ada apa encie Siang?’“ tanya Yo Him dengan berkuatir sekali.

„Hemm, rupanya paman Phang mu ini bisa ditolong oleh kau pula, adik Him!!” kata Kwee Siang. „Dengan lweekangmu yang mujijat itu urat besar itu bisa dikembalikan ke posisinya yang semula.”

Mendengar itu tentu saja Yo Him jadi sangat girang, dan dia mengiyakan berulang kali.

„Cepatlah encie Siang, bagaimana caranya aku bisa menolong paman Phang, tolong kau beritahukan kepadaku!” Kata Yo Him tidak sabar.

„Tenang, tidak akan terlambat, walaupun terluka akibat tergesernya urat besar di dada kirinya, namun paman Phangmu itu tidak mengalami ancaman kematian..... jangan membuat suara berisik, nanti menarik perhatian anak buah dari orang she Ciong itu!”

Yo Him meleletkan lidahnya, dia baru teringat bahwa mereka memang sedang berada di kamar tahanan musuh, maka dia telah menutup mulut tidak berkata-kata lagi.

Sedangkan Kwee Siang telah memberikan petunjuknya, dia meminta kepada Yo Him agar duduk di dekat tubuh Phang Kui In, duduk di sebelah kanannya.

Dengan suara yang perlahan sekali Kwee Siang memberikan petunjuk-petunjuknya apa yang harus dilakukan oleh Yo Him. Jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him ternyata banyak jumlahnya, karena setiap kali Kwee Siang menyebutkan nama jalan darah yang harus ditotok di tubuh Phang Kui In, Yo Him harus menotok dengan mempergunakan tenaga mujijatnya.

„Sie-tung-hiat, mie-ko-hiat, urut perlahan jalan daerah liu-bong-hiat, kemudian totok lagi jalan darah kie-mui-hiat di dekat lutut, kau harus mengurut jalan darah ma-siang-hiat, dan kini urutlah jalan darah lu-cing hiat.....” Begitulah Kwee Siang telah menyebutkan terus menerus jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him. Jumlah jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him di tubuh Phang Kui In ternyata sangat banyak jumlahnya.

Peluh yang besar-besar telah memenuhi kening dan tangan Yo Him, keringat itu menunjukkan bahwa Yo Him telah lelah sekali. Tetapi Kwee Siang menyadari bahwa pertolongan yang tengah diberikan kepada Phang Kui In tidak boleh tertunda, karena jika sampai tertunda, berarti akan menyebabkan bahaya yang tidak kecil untuk Phang Kui In, karena jalan-jalan darah yang telah terbuka itu akan kemasukan hawa kotor yang belum lagi dilenyapkan. Maka dari itu Kwee Siang meneruskan petunjuk¬nya tanpa memperdulikan bahwa Yo Him telah lelah sekali.

Yo Him juga menguatkan hatinya untuk dapat melakukan terus tugasnya, demi keselamatan paman Phang nya ini. Walaupun kepalanya mulai pusing dan juga matanya mulai berkunang-kunang, tetapi Yo Him tidak berani beristirahat. Setiap kali Kwee Siang menyebutkan jalan darah yang harus ditotoknya, segera juga Yo Him melakukannya dengan cepat.

Setelah menotok lebih dari seratus jalan darah di tubuh Phang Kui In, barulah orang she Phang itu menggeliat perlahan dan tersadar dari pingsannya, terdengar dia mengeluarkan suara keluhan pendek.

„Phang susiok!” berseru Yo Him gembira melihat paman Phang nya telah tersadar.

„Sssttt!” Kwee Siang memperingati Yo Him agar tidak menimbulkan suara berisik, karena bisa menarik perhatian orang di luar kamar tahanan ini, berarti mereka bisa celaka, karena mereka bertiga dalam keadaan yang lemah.

Yo Him juga menyadari bahaya yang bisa timbul oleh kecerobohannya itu, maka anak ini telah meleletkan lidahnya dengan sikap yang lucu, sehingga mau atau tidak Kwee Siang ikut tersenyum oleh sikap anak itu.

„Ayo kita mulai lagi membersihkan pengaruh kotor di tubuh paman Phangmu, masih ada puluhan jalan darah lagi yang harus ditotok olehmu.....!” Kata Kwee Siang yang kemudian menyebutkan satu persatu jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him dengan mempergunakan tenaga mujijat yang ada padanya.

Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai beberapa saat lamanya, dan tampak Phang Kui In telah tersadar dari pingsannya dan dia telah berhasil menggerakkan tubuhnya, berusaha untuk duduk.

Yo Him dan Kwee Siang yang melihat telah cepat-cepat mengulurkan tangan mereka, untuk membantu paman Phang tersebut duduk dengan tubuh yang masih lesu.

„Phang susiok, akhirnya kau bisa diselamatkan juga!” kata Yo Him sambil tersenyum.

„Ya, kau juga harus merasa berterima kasih pada Kwee liehiap, karena Kwee liehiap yang telah menyelamatkan kita. Coba kalau tidak ada Kwee liehiap, bukankah berarti aku akan menemui bencana dan meninggal, dan engkau pun akan terus dalam keadaan tertotok tidak berdaya.....?”

„Tunggu dulu Phang lo-enghiong, bukan aku yang telah menolongimu..... Justru aku pun telah ditolong oleh seseorang.....!” kata Kwee Siang cepat memotong perkataan orang she Phang itu.

Phang Kui In jadi tertegun, dia meman¬dang dengan sorot mata terkejut, katanya dengan ragu-ragu: „Ada seorang pendekar sakti lainnya yang telah menolongi kita?”

Kwee Siang mengangguk.

„Ya, Phang lo-enghiong dan siauw-moy (aku) telah ditolong oleh Yo Him.....!” menjelaskan Kwee Siang.

„Hah?” tentu saja Phang Kui In jadi tambah terkejut.

„Yo Him pertama-tama membuka totokan di tubuhnya menurut ilmu tenaga dalam seperti yang kuberikan, kemudian setelah berhasil membebaskan dirinya dari totokan, barulah dia membuka totokan di tubuhku dengan mudah lalu menotok pula jalan darah jalan darah Phang lo-enghiong, sehingga kita jadi dapat selamat dari pengaruh totokan si jahat she Ciong itu!”

„Sungguh luar biasa dan sulit bisa dipercaya!” kata Phang Kui In sambil geleng-gelengkan kepalanya mengawasi ke arah Yo Him, bagaikan ada sesuatu yang telah menakjubkan hatinya.

Yo Him mengangguk, katanya, „Benar Phang susiok, tadi cie-cie Siang telah memberikan petunjuk-petunjuknya, jalan darah yang mana harus ditotok olehku. Menurut encie Siang aku memiliki lweekang yang mujijat, yang melebihi lweekangnya sendiri yang telah dilatihnya selama belasan tahun! Menurut encie Siang bahwa di tubuhku terdapat suatu keistimewaan pada jalur-jalur jalan darahku.”

Setelah tertegun sejenak lagi, tiba-tiba Phang Kui In tertawa bergelak-gelak dengan keras.

Untung saja Kwee Siang bergerak cepat. Gadis ini terkejut sekali waktu melihat Phang Kui In tertawa keras, tanpa pikir panjang lagi Kwee Siang telah mengulurkan tangannya membekap mulut jago she Phang itu.

„Hati-hati Phang lo-enghiong. Kita bisa celaka, suara tertawamu itu bisa memancing kedatangan lawan.....!” Kwee Siang telah memperingati.

Phang Kui In jadi terkejut, dia baru teringat bahwa diri mereka tengah berada dalam kekuasaan musuh. Maka dari itu dengan penuh penyesalan Phang Kui In mengangguk. Sedangkan Kwee Siang telah menarik pulang tangannya kembali.

„Sekarang yang perlu kita pikirkan,” kata Kwee Siang lagi, „Tindakan apa yang harus kita lakukan untuk meloloskan diri dari tangan orang she Ciong itu?”

Phang Kui In juga tampaknya bingung sekali.

,,Ciong Lam Cie memiliki kepandaian yang tinggi dan di atas kepandaian kita tampaknya tidak mudah kita melarikan diri dari jaringan anak buahnya yang berjumlah cukup banyak dan juga masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, maka kita tidak boleh berlaku ceroboh. Sekali saja mereka mengetahui kita sudah terbebas dari tolokan mereka dan juga sekali saja mereka mengetahui kita akan melarikan diri, tentu diri kita akan dianiaya lebih berat dan lebih menyakitkan. Atau kemungkinan juga kita bertiga akan dibinasakan.”

„Benar Phang lo-enghiong akupun berpikir begitu, kita harus merencanakan sebaik mungkin cara yang terbaik untuk bisa meloloskan diri dari tangan orang she Ciong itu!”

„Bagaimana kita pecahkan dinding kapal ini untuk menerobos keluar, ke dalam air laut dan berenang meninggalkan kapal ini?” Phang Kui In telah memberikan sarannya.

„Bagaimana jika kita sekarang ini sedang berada di tengah lautan yang jauh dari daratan. Bukankah berarti kita membinasakan jiwa kita sendiri, membunuh diri dengan cara seperti itu?” bantah Kwee Siang.

Phang Kui In jadi tertegun lagi memandang kosong dalam kegelapan seperti itu.

20.40. Lawan Amukan Laut Ganas.

„Memang serba sulit!” menggumam Phang Kui In kemudian dengan suara yang perlahan, seperti juga dia tengah berkata kepada dirinya sendiri.

„Ya dalam hal ini kita seperti juga terjepit dalam dua pilihan. Pertama, kita membiarkan berdiam diri saja ditawan oleh orang she Ciong itu dan kita lihat apa yang dikehendakinya nanti..... atau kita menempuh bahaya mengadu untung menjebolkan dinding perahu ini dan kemudian berenang keluar.....!” Setelah berkata begitu, Kwee Siang menghela napas berulang kali.

Phang Kui In bertiga jadi bingung juga dan mereka serba salah dalam menentukan sikap dan langkah-langkah bagaimana yang harus mereka ambil.

Waktu itu tampak Yo Him telah berkata dengan suara yang ragu-ragu

„Bagaimana jika kita mengadu nasib dengan menjebolkan dinding kapal dan berenang keluar? Bukankah dengan langkah demikian kita masih memiliki harapan kalau-kalau sekarang ini kapal tengah berlayar dan berada tidak jauh dengan daratan?”

Phang Kui In dau Kwee Siang tidak segera menyahutinya, mereka telah saling pandang sejenak kemudian terdengar Kwee Siang berkata:

„Ya, itupun memang cukup baik. Lebih baik kita binasa di lautan dari pada kelak kita akan diperhina terus menerus oleh Ciong Lam Cie, si cebol itu!”

Phang Kui In melihat Kwee Siang telah menyetujui untuk mengambil jalan merusak dinding kapal dan menerobos keluar berenang di lautan, diapun mengangguk.

„Ya, aku pun lebih condong mengambil langkah yang seperti itu!” katanya.

Phang Kui In kemudian berunding dengan Kwee Siang, tindakan apa yang pertama-tama harus mereka lakukan. Dan siapa yang harus memecahkan dinding kapal itu.

„Yang jelas, kita harus merusak dinding kapal tanpa bersuara. Jika kita menghajarnya dengan kekerasan dan suara gaduh itu terdengar oleh anak buah Ciong Lam Cie, kemungkinan besar rencana kita akan gagal sama sekali.....!”

Phang Kui In mengangkat tangan kanannya memperlihatkan ibu jari tangannya, memuji akan kecerdasan dan ketelitian dari jago wanita she Kwee ini.

„Aku akan memukul dengan serangan pukulan kapas, sehingga pukulan itu waktu tiba di kayu dinding kapal ini, tidak menimbulkan suara yang berisik, tetapi kayu dinding kapal akan rusak hancur karenanya!”

Phang Kui In hanya mengangguk saja, karena dia menyadari walaupun usia Kwee Siang masih muda, tetapi dia memiliki kekuatan yang boleh diandalkan dan kecerdikan yang bisa dipuji tinggi.

Kwee Siang duduk menghadapi dinding kapal, dia duduk dengan sikap yang tegak, kedua tangannya diangkat perlahan-lahan sambil menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan perlahan dia memukul ke depan, seperti juga mengusap dinding kapal itu karena perlahannya pukulan tersebut. Lalu dia mengeluarkan suara siulan yang nyaring, disertai suara „krekk!” pecahnya dinding kapal dalam lingkaran yang besar, setombak lebih. Air juga telah berhamburan menerobos masuk, mengejutkan Phang Kui In dan Yo Him, tubuh Kwee Siang sendiri telah terdorong oleh serbuan air itu, sampai terguling. Tetapi pendekar wanita ini memiliki kegesitan, cepat sekali dia telah berhasil untuk menguasai diri.

„Biarkan air itu masuk dulu sampai memenuhi ruangan ini, sehingga kita menyelam dan berenang keluar tanpa perlu menghadapi terjangan air.....!” kata Kwee Siang.

Phang Kui In mendengar itu memuji akan kecerdikan si gadis, karena memang jika mereka berusaha keluar di saat itu juga, berarti mereka harus melawan terjangan air yang menerobos masuk ke dalam ruangan, tenaga air sangat kuat dan mereka tidak mungkin berhasil menerobos keluar. Tetapi jika air mulai menggenangi kamar itu dan tinggi air di dalam ruang bawah kapal itu telah melewati tepian lobang di dinding kapal, mereka bisa berenang keluar tanpa perlu diterjang oleh air pula.

Saat itu juga telah terdengar suara berisik di atas kapal, rupanya suara siulan Kwee Siang yang nyaring dan juga suara air yang menerobos masuk ke ruangan dalam kapal dengan cepat dan keras, telah menyebabkan anak buah Ciong Lam Cie jadi terkejut dan mereka tergesa-gesa berlari untuk melihat ruangan di bawah, dari arah mana suara berisik itu datang.

Alangkah terkejutnya anak buah Ciong Lam Cie waktu melihat ruangan bawah itu telah digenangi penuh air laut, dan mereka berteriak-teriak dengan suara yang keras: „Tawanan melarikan diri! Tawanan melarikan diri! Dan dinding kapal telah dirusaknya! Kapal kita akan segera tenggelam!!” teriakan itu datangnya sangat keras sekali, karena yang berteriak-teriak itu lebih dari belasan anak buah Ciong Lam Cie yang tengah diliputi perasaan panik bukan main.

Saat itu Phang Kui In bertiga dengan Yo Him dan Kwee Siang telah berenang keluar dari liang di dinding kapal itu. Memang mereka tidak menemui rintangan dan juga tidak terhalang oleh terjangan air yang menerobos masuk, karena air itu telah menerobos masuk menggenangi lebih dari tepian di atas lobang yang dibuat oleh Kwee Siang.

Dengan menggendong Yo Him, Phang Kui In berenang dengan cepat.

Kwee Siang juga mengikuti dari belakang, pendekar wanita ini memang pandai berenang, maka dalam waktu yang cepat sekali mereka telah berenang meninggalkan kapal itu sejauh puluhan tombak.

Kwee Siang berenang mendahului Phang Kui In dan Yo Him, dia menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah kanan, menganjurkan agar Phang Kui In berenang ke arah kanannya.

Phang Kui In mengerti apa yang dikehendaki oleh si gadis, maka dia berenang ke arah kanan, arah yang berlawanan dengan kapalnya Ciong Lam Cie.

Sedangkan kapal yang telah kemasukan air itu mulai tenggelam, membuat anak buah Ciong Lam Cie jadi panik sekali. Begitu juga Ciong Lam Cie sendiri jadi marah dan penasaran, tetapi dia menyadarinya bahwa dirinya tidak bisa mengumbar kemarahan hatinya, yang terpenting adalah menyelamatkan kapalnya dari ketenggelaman itu.

<> 

Kurang lebih empatpuluh anak buah Ciong Lam Cie segera bekerja. Mereka telah menerobos ke ruangan bawah yang telah digenangi air, kemudian dengan cepat mereka menambal lobang dinding kapal itu dengan kain-kain yang tebal, ditambah dengan kayu yang dipantekan untuk menutupi lobang tersebut. Beberapa orang diantara mereka segera mempergunakan gayung yang berukuran besar menyendoki air yang telah masuk ke dalam kapal untuk dibuang ke laut kembali.

Cukup lama juga mereka bekerja, namun akhirnya mereka bisa juga menyelamatkan kapal mereka dari karam yang cukup mengerikan.

Ciong Lam Cie telah perintahkan anak buahnya untuk mencari Phang Kui In bertiga. Belasan anak buah Ciong Lam Cie telah menurunkan beberapa buah perahu kecil, dan dengan mempergunakan perahu kecil itu mereka berkeliling di sekitar kapal mereka mencari jejak Phang Kui In bertiga.

Mereka yakin bahwa Phang Kui In bertiga tidak bisa melarikan diri terlalu jauh. Dan mereka bertiga juga tidak mungkin menyelam terus menerus, walaupun bagaimana mereka tentu akan muncul ke permukaan air mengambil udara segar.

Tetapi walaupun belasan orang anak buah Ciong Lam Cie telah berputar-putar sekian lama. Ketiga orang buruan mereka itu tidak juga terlihat batang hidungnya. Akhirnya dengan penuh kemendongkolan dan kemarahan di hatinya, Ciong Lam Cie memanggil pulang anak buahnya itu.

Mereka meneruskan perjalanan dengan cepat. Betapa kecewanya Ciong Lam Cie karena ketiga tawanan itu sesungguhnya merupakan tawanan penting baginya setidak-tidaknya Yo Him tentunya bisa dipergunakan untuk memancing kedatangan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Tetapi kini ketiga orang tawanannya itu berhasil ‘terbang’ dari telapak tangannya. Namun Ciong Lam Cie masih terhibur juga bahwa dia telah mengetahui Yo Ko memiliki seorang putera, yaitu Yo Him. Maka kelak jika mereka telah berada di daratan, Ciong Lam Cie akan menyebarkan anak buahnya yang umumnya memiliki kepandaian tinggi, untuk mencari Yo Him.

Waktu itu tampak kapal Ciong Lam Cie berlayar beriringan dengan cepat sekali. Tetapi baru saja mereka berlayar tidak jauh, air laut bergolak dan berputar-putar cepat, bagaikan ada angin topan yang menerjang, kapal sulit untuk dikendalikan.

Air laut yang berputar-putar itu kuat bukan main, untung saja Ciong Lam Cie dan anak buahnya telah mengenal sifat-sifat air laut, mereka telah terbiasa menghadapi berbagai mara bahaya di lautan, maka mereka tidak menjadi gugup dan telah mempergunakan cara yang cukup baik guna menguasai kapal mereka itu dari terjangan gulungan air laut. Seluruh anak buahnya dikerahkan, dan kapal telah berlayar dengan pesat sekali.....

Y

Phang Kui In bertiga waktu berenang dari liang dinding kapal yang dilobangi oleh Kwee Siang merasakan mereka tidak mungkin menyelam terus menerus di dalam air. Setidak-tidaknya mereka tentu harus sering-sering muncul di permukaan air.

Terlebih lagi Phang Kui In yang menggendong Yo Him di punggungnya, dia membutuhkan udara segar untuk menambah kekuatan tenaganya

Mereka beruntun telah dua kali muncul di permukaan air laut dan melihat sekeliling mereka hanya tampak air laut yang kebiru-biruan dan luas sekali. Hal itu memperlihatkan bahwa mereka berada di tengah lautan dan sulit untuk mengharapkan bisa bertemu dengan daratan. Phang Kui In jadi mengeluh tanpa dikehendakinya, karena dengan berada di tengah lautan seperti itu tentu saja mereka tidak memiliki harapan untuk hidup terus. karena mereka hanya sanggup bertahan hidup beberapa saat lagi dan kemudian mereka akan kehabisan tenaga dan mati tenggeiam.

Kwee Siang juga menyadari bahaya yang mengancam jiwa mereka bertiga. Jika saat itu mereka berhasil dua kali muncul di permukaan air, berarti mereka memang masih memiliki kesempatan itu, sebab anak buah Ciong Lam Cie tengah sibuk mengurusi tubuh kapal mereka yang berlobang, dan sedang berusaha mencegah kapal mereka tenggelam.

Namun jika anak buah Ciong Lam Cie telah berhasil menguasai keadaan, dan juga telah berhasil menambal dinding kapal yang bocor itu, tentu mereka akan melakukan pengejaran, berarti merekapun akan menghadapi bahaya tidak kecil.

Waktu ketiga orang ini tengah diliputi perasaan yang tidak keruan, yaitu perasaan sedih, penasaran dan marah, karena disebabkan Ciong Lam Cie maka mereka jadi terancam bahaya yang tidak kecil ini, tiba-tiba sekali Kwee Siang mengeluarkan suara seruan kaget.

Belum lagi lenyap suara seruannya itu. Phang Kui In juga telah mengeluarkan suara seruan tertahan.

Yo Him jadi heran sekali, dia telah bertanya dengan penuh kekuatiran:

„Ada apa Phang susiok?”

„Ada user-user air.....!” menjelaskan Phang Kui In.

Yo Him jadi terkejut juga, karena user-user air adalah air laut yang menerjang dengan bergulung! Sama sifatnya dengan gulungan angin topan.

Belum lagi Kwee Siang bertiga mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan terancam seperti ini, tampak air laut telah bergolak. Waktu Phang Kui In ingin meneriaki Kwee Siang agar menyelam dan berenang ke arah yang berlawanan dengan user-user air laut itu, justru di saat itulah telah menerjang ke arah mereka suatu kekuatan memutar dan menghisap mereka masuk ke dalam lautan!

Phang Kui In tidak sempat mengeluarkan teriakan, tubuhnya telah terhisap dan berputar-putar. Tetapi Phang Kui In merangkul sepasang kaki Yo Him kuat-kuat, dia telah berusaha untuk mempertahankan agar anak itu tidak terlepas dari gendongannya. Siapa tahu user-user air itu hanya sebentar saja, dan nanti mereka bisa menyelamatkan diri?

Kwee Siang juga telah berseru keras berusaha mengerahkan lweekangnya melawan daya menghisap dari user-user air laut itu, namun Kwee Siang mana sanggup menghadapi daya menghisap yang begitu kuat dari user-user air laut! Kwee Siang mengeluh pendek, sedangkan tubuhnya telah tenggelam kembali ke dalam lautan, dan berputar-putar memusingkan kepalanya. Dia juga sudah tidak bisa melihat sesuatu, dia tidak mengetahui bagaimana nasib Phang Kui In dengan Yo Him.

Dalam keadaan seperti inilah, tampak tubuh Kwee Siang telah lemas tidak bertenaga, kerena dia telah pingsan dan tubuhnya seperti juga sehelai daun yang ringan, diputar-putar oleh user-user air laut.

Lama juga terjadinya gulungan user-user air laut, dan di saat itu juga dia sudah tidak mengetahui dirinya berada dimana, karena dalam keadaan pingsan seperti itu, tubuhnya terseret terus oleh air laut yang bergulung-gulung itu.

Phang Kui In memang hendak mempertahankan diri agar tidak pingsan, dengan terus memegangi sepasang kaki Yo Him, supaya anak itu tidak terpisah dari dirinya, namun walaupun dia berusaha bagaimana kuatnya, tetap saja dia tidak sanggup bertahan terus, karena akhirnya dia jatuh pingsan, dan tidak bisa memegangi terus lagi kedua kaki Yo Him yang juga telah pingsan lebih dulu sejak tadi.

Dengan pandangan mata yang gelap dan kepala pening, Phang Kui In telah jatuh pingsan, dan tubuh mereka bertiga telah dipermainkan oleh gulungan air, yang memiliki semacam tenaga menghisap yang sangat kuat sekali, sehingga mereka tidak mengetahui lagi apa yang terjadi pada diri masing-masing, karena mereka sudah tidak sadarkan diri.....

<> 

Sekujur tubuh Phang Kui In terasa sakit-sakit dan tulang-tulang di sekujur tubuhnya seperti juga bercopotan terlepas dari tubuhnya, tubuhnya seperti telah terpukul sesuatu yang keras. Dada, perut, pundak, siku tangan, kepalanya, semuanya dirasakan sakit bukan main. Tenaganya, juga seperti telah lenyap dari tubuhnya, dia sudah tidak memiliki kekuatan lagi.

Dengan mengeluarkan suara erangan perlahan karena kesakitan, tampak Phang Kui In telah membuka matanya.

Pertama-tama yang dilihatnya adalah sinar matahari yang sangat terang menyilaukan pandangan matanya, menyebabkan Phang Kui In jadi memejamkan sepasang matanya pula.

„Apakah aku telah mati.....? Apakah aku kini berada di neraka?” berpikir Phang Kui In. „Dan bagaimana….. nasib Kwee liehiap dengan Yo Him?”

Karena berpikir begitu, Phang Kui In telah membuka lagi pelupuk matanya perlahan-lahan walaupun cahaya matahari masih seperti tadi dan menyilaukan, tetapi kenyataannya tidak begitu memedihkan mata Phang Kui In lagi. Dia menggerakkan tubuhnya, perasaan sakit segera menyelinap ke sekujur tubuhnya, sehingga Phang Kui In tidak berani menggerakkan badannya lagi, dia hanya berdiam diri rebah di atas tumpukan pasir yang lembut sekali.

Phang Kui In sekarang baru mengetahui bahwa dia berada di tepi pantai. Pasir-pasir putih yang lembut itulah menunjukkan kepadanya bahwa dia tengah rebah di tepi pantai, mungkin user-user air telah melempar tubuh Phang Kui In terdampar di pantai yang tidak dikenalnya ini.

Mata Phang Kui In bergerak-gerak perlahan ke kiri dan kanan, mencari-cari barangkali Yo Him dan Kwee Siang pun berada di tempat yang sama dengannya, terdampar di tepi pantai ini. Tetapi dia kecewa. Dipasir tepi pantai itu tidak terlihat lainnya selain dari kulit kerang dan pasir yang putih halus lembut itu. Tidak dilihatnya Yo Him dan Kwee Siang. Dia telah menghela napas panjang, dia mengeluh sendirinya dan perasaan kecewa jadi meliputi di hatinya.

„Untuk apa aku hidup jika mereka berdua terbinasa? Apa artinya? Bukankah justru yang terpenting adalah Him-jie, yang harus bertemu dengan ayahnya? Mengapa justru aku yang tetap hidup seorang diri.”

Sambil menggumam begitu, Phang Kui In menghela napas dalam-dalam. Dia jadi kecewa dan malu, karena tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik guna membawa Yo Him bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.

Phang Kui In telah menggeliat lagi perlahan dengan menderita kesakitan tidak kepalang, dia merintih perlahan, tetapi kemudian mengeraskan hati, dia telah bergerak terus untuk duduk. Akhirnya Phang Kui In berhasil duduk ditumpukan pasir di tepi pantai itu, walaupun usahanya itu diliputi perasaan sakit di sekujur tubuhnya.

Dilihatnya sekelilingnya hanyalah pasir yang terbentang luas dan juga hanya terlihat air laut yang sangat luas, dimana gelombang air laut tengah menyambar-nyambar dengan gelombang kecil dan lembut. Suara air laut yang membentur batu-batu karang juga telah menyebabkan Phang Kui In mengeluh, karena dia segera memperoleh kenyataan bahwa hanya dia seorang diri berada di tempat itu. Tidak terlihat Yo Him maupun Kwee Siang.

Setelah duduk diam beberapa saat sambil mengatur jalan pernapasannya, Phang Kui In memandang kesekelilingnya, dia telah mengawasi keadaan pulau dimana dia terdampar.

Pulau itu ternyata hanya sebuah pulau yang kecil tidak terlalu besar, hanya ditumbuhi oleh pohon-pohon yang sedikit sekali yang banyak hanya batu-batu karang. Dan juga ketika Phang Kui In menyusuri perlahan tepi pantai pulau itu dia melihat keadaan di sekitar tempat itu sunyi dan pulau ini tidak berbukit.

Tetapi waktu Phang Kui In menghela napas dan ingin memutar tubuhnya kembali ke tempat tadi dimana dia terdampar, tiba-tiba matanya melihat sesuatu di atas tumpukan pasir di tepi pantai sebelah selatan. Dia melihat sesosok tubuh yang rebah tidak sadarkan diri.

Untuk girangnya, Phang Kui In segera mengenali sosok tubuh yang tengah menggeletak di atas tumpukan pasir di tepi pantai itu adalah Kwee Siang. Dengan kegirangan yang meluap-luap dan tidak hentinya mengucapkan syukur kepada Thian. Phang Kui In berlari menghampiri tubuh Kwee Siang. Tetapi baru saja dia berlari empat atau lima langkah, tubuhnya telah terjungkal rubuh di atas tumpukan pasir, dia juga mengeluarkan suara keluhan kesakitan dan mengerang-erang perlahan tanpa bisa segera bangkit berdiri lagi.

Rupanya dalam kegembiraan yang meluap seperti itu, Phang Kui In lupa diri, dia lupa sama sekali, bahwa tubuhnya sendiri masih lemah, disamping itu juga dia tengah menderita sakit-sakit di sekujur tubuhnya. Itulah sebabnya Phang Kui In jadi terguling rubuh di atas pasir.

Waktu itu, tampak Phang Kui In dengan mengerang perlahan telah merangkak untuk bangun berdiri lagi. Kembali dia gagal, dirasakan pinggangnya sakit bukan main, dia merintih lagi dengan suara tidak jelas, untuk sejenak lamanya Phang Kui In rebah diam tidak bergerak. Waktu dia merasakan sakitnya mulai berkurang dan tenaganya telah pulih, Phang Kui In bangun perlahan-lahan, dengan langkah satu-satu menghampiri Kwee Siang, yang masih rebah disitu tanpa bergerak.

Phang Kui In menghampiri Kwee Siang dan telah memeriksanya dengan segera. Dia jadi girang sekali waktu memperoleh kenyataan Kwee Siang masih bernapas dan hanya pingsan saja. Segera timbullah harapan di hati Phang Kui In bahwa Yo Him tentunya terdampar di pulau ini juga.

Setelah melihat Kwee Siang tidak terluka dan jiwanya tidak terancam bahaya apa-apa, sehingga dia bisa ditinggalkan sementara waktu, untuk ia mencari Yo Him.

Dengan langkah yang tidak begitu cepat Phang Kui In menyusuri tepi pantai itu. Dia memandang sekeliling tempat yang dilaluinya, mencari-cari dengan harapan Yo Him terdampar di pulau ini juga. Tetapi setelah Phang Kui In mengelilingi pulau yang tidak begitu besar, dia tidak berhasil menemui Yo Him.

„Ha,” menghela napas Phang Kui In dengan suara yang sedih. „Rupanya kami berdua, aku dan Kwee Siang saja yang selamat, sedangkan Yo Him.....” dan Phang Kui In tidak meneruskan perkataannya itu. Dia menunduk sedih dan dari ujung kedua sudut matanya telah menitik turun butir-butir air mata yang bening, karena dia merasa kecewa dan sedih tidak berhasil menemui Yo Him.

Di saat Phang Kui In tengah diliputi perasaan sedih, tiba-tiba dia mendengar sesuatu, suara berkeresek yang perlahan sekali. Tetapi sebagai seorang jago silat yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan juga pendengaran yang sangat tajam, Phang Kui In segera dapat menduga ada seseorang yang tengah mengintainya di dekat-dekat tempat itu.

Phang Kui In menarik napas dalam-dalam, dia menyalurkan pernapasannya, untuk memulihkan tenaganya. Karena dia kuatir kalau-kalau orang yang tengah mengintainya itu yang menimbulkan suara keresekan patahnya ranting-ranting yang terpijak itu, melancarkan serangan kepadanya.

Dalam keadaan seperti itu, Phang Kui In telah melirik dari arah mana datangnya suara berkeresek tadi. Di dalam hatinya ada sedikit harapan dan berdoa agar orang yang menimbulkan suara berkeresek itu adalah Yo Him.

„Him-jie, engkaukah itu.....?” Phang Kui In telah bertanya ragu-ragu.

Tidak terdengar jawaban.

Phang Kui In jadi yakin bahwa orang yang tengah bersembunyi itu tentunya bukan Yo Him. Karena jika orang itu Yo Him, tentunya waktu ditegur begitu olehnya, Yo Him akan keluar untuk memperlihatkan diri.

Tampak Phang Kui In telah mengayunkan langkahnya perlahan-lahan ingin meninggalkan tempat tersebut.

„Krekk.....!” kembali Phang Kui In mendengar suara patahnya ranting kering yang terpijak sesuatu di belakangnya.

Phang Kui In mengerutkan alisnya, tiba-tiba sekali dia memutar tubuhnya. Dengan berbuat demikian, orang yang di belakangnya tidak mungkin dapat bersembunyi lagi, karena Phang Kui In telah memutar tubuhnya dengan cepat sekali. Namun waktu Phang Kui In memutar tubuhnya, tetap saja dia tidak melihat seorang pun manusia di tempat itu, hanya dia seorang diri. Angin laut telah berkesiuran dengan lembut dan juga di saat itu air laut yang menerjang pantai mempermainkan pasir-pasir di pantai yang lembut itu.

Phang Kui In jadi habis kesabarannya, dia telah berkata dengan suara yang nyaring sekali:

„Siapakah yang tengah bersembunyi…..? Jika memang bukan seorang bu-beng-siauw-cut (maling kecil tidak bernama), keluarlah perlihatkan diri dengan berterang dan gagah, jangan main sembunyi-sembunyian seperti itu.”

Suara Phang Kui In tidak memperoleh sahutan, hanya suara itu saja yang menggema, di susul dengan suara mendamparnya gelombang laut yang menerjang batu-batu karang di tepi pantai tersebut.

Phang Kui In jadi penasaran dan mendongkol, karena dia merasa dirinya seperti dipermainkan oleh seseorang. Diulangi kembali perkataannya tadi dengan seruan yang jauh lebih keras dan kuat.

Tetapi Phang Kui In tetap tidak berhasil melihat seorang lainnya pun, hanya suaranya itu yang kembali menggema. Karena penasaran sekali, tampak Phang Kui In telah melangkahkan kakinya menghampiri tepi hutan kecil yang ada di tepi pantai itu untuk melihat apakah di tempat tersebut bersembunyi orang yang telah mempermainkan dirinya, karena tadi telah mendengar suara berkeresek itu datangnya dari hutan kecil itu.

Namun waktu Phang Kui In telah sampai dihutan kecil itu, dia tetap tidak melihat seorang manusiapun juga. Hal ini membuat Phang Kui In jadi tambah bingung dan heran sekali.

„Apakah aku telah bertemu dengan setan penunggu pulau ini?” katanya dengan suara perlahan, ditujukan untuk dirinya sendiri. „Heran!”

Baru saja dia menyelesaikan kata-katanya itu dia telah mendengar suara mendehem mengejek dari arah belakangnya. Cepat dia memutar tubuhnya dengan gesit, dia telah memandang sekelilingnya. Tetapi tidak dilihatnya seorang manusiapun juga.

Keadaan di sekitar tempat tersebut sunyi sekali tidak terlihat ada seorang manusiapun. Hanya dikejauhan tampak tubuh Kwee Siang yang masih menggeletak di pasir tepi pantai tanpa bergerak, rupanya pendekar wanita itu dalam keadaan pingsan.

„Benar-benar aku bertemu dengan hantu!” berpikir Phang Kui In di dalam hatinya dengan perasaan takut mulai menyelinap ke dalam hatinya. „Jelas-jelas tadi aku mendengar suara orang mendehem, yang datangnya dari belakangku, tetapi mengapa sekarang tidak terlihat se¬sosok tubuhpun juga? Sedangkan keadaan di tepi pantai ini lapang dan luas, hanya terhampar pasir belaka, tidak ada tempat yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi. Maka walaupun bagaimana sempurnanya ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang itu, tentu dia tidak bisa ‘lenyap’ begitu saja dalam waktu yang sangat singkat. Siapakah orang yang pandai itu? Atau memang benar-benar hari ini aku tengah dipermainkan oleh hantu penunggu pulau ini?!!”

Setelah berpikir begitu, tampak Phang Kui In berjalan lagi cepat-cepat menghampiri Kwee Siang.

Gadis itu masih menggeletak tidak sadarkan diri, dia masih pingsan diam tidak bergerak. Maka Phang Kui In melupakan larangan seorang pria menyentuh bagian tubuh wanita, dia telah menotok beberapa kali jalan darah Kwee Siang untuk menyadarkan gadis itu dari pingsannya.

Setelah dia menotok jalan darah mie-lu-hiat, sie-tiang-hiat, tian-tan-hiat, dan pai-cing-hiat maka Kwee Siang merintih perlahan dan membuka pelupuk matanya. Tetapi ketika dia menggeliat menggerakkan tubuhnya, justru dia merasakan kesakitan yang bukan main pada pinggang dan sekujur tubuhnya, sehingga Kwee Siang mengeluarkan suara teriakan kesakitan.

„Tenang liehiap!” Kata Phang Kui In menghiburnya. „Perasaan sakit itu tidak lama lagi akan lenyap, karena kita telah terbawa oleh user-user air laut yang kuat sekali, sehingga menimbulkan sakit-sakit di sekujur tubuh kita!”

Kwee Siang membuka matanya dan melihat Phang Kui In tengah berjongkok di sampingnya, dia telah berkata dengan suara yang lemah: „Apakah kita masih hidup dan berada di dunia?” tanyanya.

Phang Kui In mengangguk membenarkan. „Ya, kita masih dilindungi Thian.....!” katanya dengan suara yang berduka, karena Phang Kui In teringat kepada Yo Him yang belum diketahui jejaknya.

Waktu itu, tampak Kwee Siang perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya berusaha untuk duduk.

Phang Kui In melihat gadis itu meringis seperti menahan sakit, cepat-cepat Phang Kui In telah memegang lengan si gadis, membantunya untuk duduk.

Setelah bersusah payah menahan perasaan sakit di tubuhnya, Kwee Siang bisa juga duduk. Dia memandang sekelilingnya, kemudian mengucapkan terima kasihnya. Saat itu dia seperti teringat sesuatu: „Mana adik Him?” tanyanya lagi.

Phang Kui In telah menggeleng perlahan.

„Hanya kita berdua yang terdampar di pulau ini.....!” dia menjelaskannya. „Aku tadi telah mengelilingi pulau ini, tetapi tidak berhasil menemui Him-jie!”

Mendengar perkataan Phang Kui In sam¬pai disitu, tiba-tiba Kwee Siang menangis dengan sedih.

„Adik Him ternyata harus menerima nasibnya yang buruk itu.....! Mengapa justru kita berdua yang selamat dan adik Him tidak?” dan kembali Kwee Siang telah menangis dengan suara yang keras sekali.

Phang Kui In juga ikut bersedih, tetapi dia masih bisa mengendalikan goncangan hati dan kesedihannya, dia menghibur Kwee Siang agar menghentikan tangisnya.

„Nanti kita mencarinya lagi, siapa tahu kita bisa menemui Him-jie..... tadi aku mengelilingi pulau ini hanya terbatas di tepi pantainya saja, nanti kita memasuki hutan itu untuk mencari kembali jejak Him-jie.....!”

Kwee Siang mengangguk dan dia telah mengiyakan sambil menyusut air matanya.

Kemudian Phang Kui In telah berdiri, baru saja dia ingin mengatakan sesuatu kepada Kwee Siang, telinganya yang tajam kembali telah mendengar suara patahnya ranting kering dan langkah-langkah kaki yang perlahan.

Muka Phang Kui In jadi berobah, dia melirik kepada Kwee Siang, dan dia melihat wajah si gadis juga telah berobah, ternyata Kwee Siang juga telah mendengar suara ranting patah itu.

„Ada orang!” kata Kwee Siang dengan suara yang berbisik dan memandang kepada Phang Kui In.

„Ya!” mengangguk Phang Kui In dengan suara yang perlahan juga, membenarkan perkataan si gadis. „Aku telah mendengarnya sejak tadi, tetapi aku tidak berhasil menemui seorang manusiapun juga.”

„Siapakah orang itu! Musuh atau kawan?” menggumam Kwee Siang.

„Entahlah kita lihat saja nanti, karena orang itu main sembunyi-sembunyi tidak memperlihatkan diri.”

Kwee Siang menghela napas. Dia menyadari, dengan mendengar dari suara langkah kaki yang ringan dan dapat lenyap dengan cepat, berarti orang itu telah memiliki ginkang yang sangat tinggi sekali. Maka Kwee Siang telah mengawasi lagi ke sekelilingnya.

Waktu itu Phang Kui In telah mengeluarkan suara siulan yang sangat nyaring.

„Wahai orang yang bersembunyi itu, keluarlah memperlihatkan dirimu! Bukan perbuatan seorang ho-han dengan main sembunyi seperti itu!”

Suara Phang Kui In telah menggema di sekitar tempat itu, menggema menggetarkan keadaan di sekitar pantai tersebut. Namun tetap saja orang yang tengah mempermainkan dirinya itu tidak mau memperlihatkan dirinya.

Baru saja dia ingin berteriak pula, di saat itulah terdengar suara „hmm!” Dari arah belakangnya, Phang Kui In jadi terkejut bukan main dia telah memutar tubuhnya cepat-cepat. Tetapi tidak dilihatnya seorang manusia pun juga, dan dia semakin bertambah penasaran Kwee Siang yang telah menoleh juga, tidak melihat seorang manusiapun di pantai itu.

„Aneh sekali!” kata Kwee Siang seperti kepada dirinya sendiri. „Tempat ini lapang dan luas, tidak ada tempat yang bisa dipergunakan bersembunyi. Jelas-jelas tadi aku mendengar suara tertawa mendehem itu dari arah sebelah kiri.

Tetapi mengapa tidak terlihat orangnya! Seharusnya, walaupun tinggi sekali ginkang orang itu, dia tentunya tidak bisa menyembunyikan diri dalam waktu yang demikian singkat!”

Phang Kui In telah mengangguk.

„Justru aku telah ketiga kalinya dengan yang sekarang, ini dipermainkan orang ini. Entah mengapa dia tidak mau memperlihatkan diri secara berterang!”

Setelah berkata begitu Phang Kui In menghela napas.

Kwee Siang juga telah berdiam diri saja dia tidak mengerti entah manusia macam apa yang tengah mempermainkan mereka. Kwee Siang tidak percaya adanya hantu, maka dia yakin yang tadi mendehem itu adalah seorang manusia biasa, sama seperti mereka. Hanya yang membuat dia tidak habis mengerti adalah kecepatan orang itu yang bisa bersembunyi, padahal di tepi pantai yang berpasir lapang itu, tidak ada tempat yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi. Apakah orang itu memiliki kepandaian untuk masuk ke perut bumi?

21.41. Penghuni Pulau Terpencil

Karena heran dan tidak mengerti, Phang Kui In dan Kwee Siang hanya berdiam diri saja dengan sikap tertegun.

Waktu itu Kwee Siang telah meluruskan pernapasannya, dia telah berhasil memulihkan semangat dan tenaganya. Kemudian Kwee Siang telah berdiri dengan perlahan-lahan.

Phang Kui In telah bersiap-siap kalau-kalau Kwee Siang rubuh kembali, seperti yang dialami oleh orang she Phang itu tadi, tetapi Kwee Siang telah bisa berdiri tetap, dia menoleh kepada Phang Kui In sambil katanya: „Terima kasih atas pertolongan Phang lo-enghiong.....!!”

Phang Kui In cepat-cepat mengeluarkan kata-kata yang merendah!

Di saat itu Kwee Siang mengajak Phang Kui In untuk menyusuri pedalaman pulau itu untuk mencari Yo Him.

Ajakan itu disetujui oleh Phang Kui In, mereka telah memasuki hutan kecil dimana tadi mereka telah mendengar suara yang perlahan dari deheman seseorang.

Hutan itu walaupun tampaknya merupakan hutan kecil, namun cukup luas. Di luar hutan itu tampak jarang ditumbuhi pohon-pohon yang besar. Namun waktu Phang Kui In dan Kwee Siang menyusuri terus memasuki hutan itu mereka melihat pohon-pohon yang bertumbuhan disitu selain rapat dan besar-besar, juga tinggi sekali. Maka dari itu Kwee Siang telah menarik ujung jubah Phang Kui In, sambil katanya: „Kita harus hati-hati Phang lo-enghiong..... jika ada seseorang yang bersembunyi di tempat ini, tentu kita bisa saja diserang secara menggelap!”

Phang Kui In mengangguk. Dia membenarkan perkataan Kwee Siang, karena tadipun dia telah dipermainkan oleh seseorang yang tidak mau memperlihatkan dirinya. Keadaan di pedalaman hutan itu jadi agak gelap, karena cahaya matahari tidak bisa menerobos masuk sepenuhnya terhalang oleh daun-daun yang rimbun.

Waktu Phang Kui In dan Kwee Siang tengah melangkah hati-hati memasuki terus hutan itu, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Cepat luar biasa Phang Kui In memutar tubuhnya, dia telah memandangnya dengan mata yang dibukanya lebar-lebar. Tetapi tidak ada seorang manusiapun juga.

„Aneh!” menggumam Kwee Siang dengan penasaran dan mendongkol, dia juga telah memutar tubuhnya untuk melihat, kenyataannya di sekitar tempat itu tidak terdapat orang lain selain mereka berdua saja.

„Wahai orang yang berjiwa pengecut, mengapa kau main kucing-kucingan seperti ini?” teriak Phang Kui In dengan suara mengandung kemendongkolan dan penasaran.

„Hemmm!” tiba-tiba terdengar suara orang mendehem kuat di belakang mereka. Dengan cepat sekali Phang Kui In dan Kwee Siang telah memutar tubuh mereka untuk melihat siapa orang yang mempermainkan mereka. Dan waktu itu, mereka telah memutar tubuh mereka cepat dan gesit sekali, karena belum lagi suara ‘hemmm!’ itu lenyap, mereka telah berhasil memandang keadaan di belakang mereka.

Tetapi tetap tidak terlihat seorang manusiapun juga. Diam-diam Kwee Siang jadi diliputi perasaan heran disamping juga perasaan takut, karena dia merasa ngeri ketika membayangkan bisa saja terjadi orang yang mempermainkan mereka itu bukan manusia melainkan hanya hantu yang tengah mempermainkan mereka.

Phang Kui In yang kecele waktu membalikkan tubuhnya dan tidak berhasil melihat orang yang mempermainkan mereka, telah memandang kepada Kwee Siang.

Begitu pula pendekar wanita ini telah memandang kepada Phang Kui In dengan sorot mata bertanya-tanya.

Tetapi sekarang Phang Kui In yakin, bahwa orang yang mempermainkan mereka itu tentunya memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali, karena orang itu bisa bergerak begitu cepat dan gesit, sehingga tidak terlihat ujudnya, bahkan bayangannya pun tidak tampak! Segera Phang Kui In telah merangkapkan kedua tangannya, dia membungkukkan tubuhnya menjura sambil berkata ke arah gerombolan pohon-pohon dihadapannya.

„Locianpwee manakah yang hendak memberikan petunjuk kepada kami berdua?” katanya kemudian dengan suara yang nyaring. „Kami memang telah lancang berada di pulau ini, dan mungkin kesalahan kami itu tidak terlalu berat, karena kami berdua telah terdampar di sini terhindar dari gulungan air user-useran laut.....!”

Baru saja Phang Kui In berkata sampai di situ, telah terdengar suara tertawa yang bergema di sekitar tempat itu, tapi tidak terlihat orangnya.

Muka Kwee Siang berobah tegang, begitu pula Phang Kui In telah berdebaran.

„Memang kalian bersalah! Siapa yang mengatakan bahwa kalian benar? Hemmm, hemmm, aku tidak segera turun tangan membinasakan kalian, itu sudah merupakan suatu peruntungan yang tidak kecil untuk kalian.....! Tetapi kau, hai lelaki sialan, engkau memaki-makiku tidak hentinya tadi.....!!”

Phang Kui In cepat-cepat merangkapkan tangannya dan berkata sambil membungkuk memberi hormat: „Maafkanlah, tadi karena kami tidak mengetahui ada seorang dari tingkatan tua ingin memberikan petunjuk. Untuk itu aku Phang Kui In memohon maaf dari kau, locianpwe!”

„Enak saja kau bicara!” terdengar suara itu menggema pula, tetapi orang yang bersuara itu tidak terlihat. „Enak saja kau menggoyangkan lidah..... Apakah maaf yang kau minta itu akan diberikan begitu mudah hanya dengan goyang bibir saja?”

Mendongkol juga Phang Kui In dan Kwee Siang mendengar perkataan orang tersebut. Walaupun Phang Kui In menyadarinya bahwa orang itu tentunya seorang tokoh persilatan yang sangat lihay sekali.....

„Lalu apa yang dikehendaki locianpwe?” tanya Phang Kui In mulai tidak sabar.

„Kalau aku membutuhkan jiwa kalian berdua apakah kalian akan memberikan dengan rela?” tanya suara yang tidak terlihat ujudnya itu.

Phang Kui In dan Kwee Siang jadi melenggak. Mereka kaget bercampur penasaran dan mendongkol. Bagaimana orang yang tengah bersembunyi itu bisa bergurau demikian macam? Apakah boleh jadi mereka memberikan jiwa mereka berdua untuk orang itu? Bukankah itu suatu kematian?

Kwee Siang yang telah habis sabar ikut berkata: „Locianpwee, kita tidak pernah saling kenal, dan memang tidak memiliki urusan..... mengapa cianpwe menghendaki jiwa kami? Jika memang terdamparnya kami di pantai ini dianggap berdosa dan bersalah, silahkan menghukum kami tetapi jangan mengajukan permintaan yang tidak-tidak.....!”

„Seorang nona yang galak!” kata orang yang tidak terlihat ujudnya. „Kulihat dari sinar matamu, bahwa engkau agak tersesat sedikit! Dan kalau tidak salah, melihat dari gerakanmu tadi, engkau tentunya memiliki hubungan dengan pemilik pulau Tho-hoa-to, yaitu si tua bangka Oey Yok Su, bukan?”

Kwee Siang dan Phang Kui In jadi terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Hebat sekali pandangan matanya yang segera dapat menduga dengan tepat dan jitu siapa adanya Kwee Siang.

„Benar!” menyahut Kwee Siang sambil mengangguk, „Majikan pulau Tho-hoa-to adalah kakekku.....!”

„Pantas! Pantas.....!” berseru orang itu, „Memang aku telah melihatnya. Tetapi karena sekarang aku telah mengetahui bahwa engkau memiliki hubungan dengan Oey Yok Su, justru aku semakin tidak mau melepaskan engkau! Engkau harus merelakan jiwamu kuambil.....!”

„Apa..... apa kau bilang.....?” tanya Kwee Siang dengan amarah telah meluap di hatinya.

„Aku menginginkan jiwamu! Jiwa dia juga lelaki sialan itu.....! Kalian berdua harus bersedia memberikan jiwa kalian kepadaku!”

„Hemmm, suatu permintaan sialan…..!” seru Kwee Siang jadi marah sekali. Tetapi belum lagi suaranya itu habis terdengar, tiba-tiba terdengar suara „bum!” Maka berkelebatlah setitik hitam yang kecil, cepat sekali menyambar ke arah mata Kwee Siang yang kiri.

Kwee Siang jadi terkejut. Benda yang tengah menyambar datang itu sangat kecil bentuknya, seperti biji dari buah-buahan. Tetapi angin yang ditimbulkan oleh samberan biji buah-buahan itu telah membuat Kwee Siang merasakan kulitnya pedih, itupun biji yang disembur orang yang tidak terlihat ujudnya itu belum lagi mengenai biji matanya.

Mati-matian Kwee Siang telah berkelit ke samping kanan, dengan gerakan yang sangat cepat sekali. Dan ternyata dia berhasil mengelakkan diri dari serangan itu. Dimana biji buah-buahan dari orang itu telah menghantam sebatang pohon yang cukup besar.

„Tukk, kreekk!” aneh sekali, batang pohon yang besar itu telah patah tumbang terbentur oleh biji buah-buahan itu.

Muka Kwee Siang jadi pucat dan tubuhnya menggigil ngeri, karena segera dia menyadari, jika tadi dia tidak berhasil mengelakkan diri dari serangan lawannya itu, niscaya batok kepalanya akan hancur karenanya. Maka cepat sekali Kwee Siang telah berseru nyaring dengan suara yang lantang: „Engkau seorang dari golongan tua, tetapi engkau tidak bisa menghormati dirimu sendiri, dimana kau bermaksud menghina golongan muda.....!”

„Siapa yang bilang aku ingin menghina golongan muda?” kata orang itu dengan nada meninggi, tampaknya orang yang bersembunyi itu terpancing marah oleh perkataan Kwee Siang. „Justru aku hanya ingin menguji kepandaianmu, sampai berapa tinggi kepandaian yang engkau miliki sebagai cucunya si tua bangka Oey Yok Su itu.....!”

Kwee Siang jadi nekad karena walaupun dia menyadari bahwa musuh yang tengah bersembunyi itu memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi tidak senang hatinya mendengar berulang kali kakeknya disebut dengan perkataan tua bangka, dan juga tampaknya orang yang tengah bersembunyi itu sangat tekebur sekali, karena dia seperti juga memandang rendah Oey Yok Su.

„Jika engkau memiliki kepandaian yang tinggi, keluarlah perlihatkan dirimu agar kita bisa menguji kepandaian masing-masing!” teriak Kwee Siang.

Phang Kui In telah bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu yang di luar dugaan, karena melihat menyambarnya biji buah-buahan tadi, walaupun kecil tetapi mengandung kekuatan yang sangat dahsyat sekali. Phang Kui In menyadari musuh itu tentunya seorang yang pandai sekali, yang telah cukup sempurna latihan tenaga lweekangnya

Waktu itu terdengar suara bergelak-gelak yang nyaring sekali dari arah gerombolan pohon.

„Ha, ha, ha! Engkau berani bertempur denganku?” tanya orang yang tidak terlihat ujudnya itu.

„Ya, keluarlah!” menyahuti Kwee Siang singkat sekali, dia telah mencabut juga pedangnya, menggenggam gagang pedang itu kuat-kuat, bersiap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja muncul di saat itu.

Tetapi orang yang tengah bersembunyi itu justru telah tertawa lagi bergelak-gelak dengan suara yang nyaring.

„Tidak percuma si tua bangka Oey Yok Su memiliki cucu seperti engkau, bersemangat dan tampaknya pemberani! Bagus! Bagus, bagus! Memandang muka terang kakekmu, engkau tidak akan kubinasakan!”

„Keluarlah kau! Mari kita main-main beberapa jurus!” seru Kwee Siang dengan suara yang nyaring.

„Tentu, tentu saja. Aku tentu keluar,” menyahuti orang itu dengan suara yang nyaring. Dan membarengi dengan habisnya perkataan itu, tampak sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik gerombolan pohon.

Phang Kui In dan Kwee Siang tidak bisa melihat dengan jelas gerakan orang itu, karena terlalu gesit dan lincah, hanya tahu-tahu telah berada dihadapan mereka berdua.

Kwee Siang dan Phang Kui In waktu melihat jelas orang itu keduanya jadi terkejut.

„Bagaimana?” tanya orang itu dengan suara yang mengejek. „Sekarang aku telah muncul memperlihatkan diri, apa yang kalian kehendaki? Adu tenaga? Adu pedang? Atau adu apa saja?” Suara orang itu tinggi sekali dan juga nadanya sangat tajam luar biasa. Dia telah menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan bagaikan mengejek Phang Kui In dan Kwee Siang.

Yang membuat Phang Kui In dan Kwee Siang jadi terkejut bukanlah kegesitan tubuh orang tersebut, tetapi justru potongan tubuh orang itu yang aneh dan janggal sekali. Orang itu memiliki tubuh tidak lebih dari empat kaki, dimana sepasang kakinya tidak ada, hanya dua batang tongkat yang dikempit di ketiaknya itu yang menunjang tubuhnya tidak sampai rubuh. Muka orang bercacad pada kedua kakinya itu memiliki raut muka yang bulat dan juga tidak enak dipandang. Hidungnya besar seperti hidung babi, keningnya tinggi dan lanang, sebagian kepalanya itu ditutup oleh ikat kepala yang berwarna hijau, dan bajunya yang terbuat dari bahan kasar itu berwarna hijau.

Melihat warna yang disenangi orang itu, Kwee Siang jadi teringat kepada kakeknya Oei Yok Su, yang juga senang sekali mengenakan pakaian warna hijau.

„Ayo, apa yang kalian inginkan jika aku memperlihatkan diri? Mengapa bengang-bengong disitu saja! Jika memang engkau tidak senang, hayo mulai melancarkan serangan!”

Kwee Siang sudah tidak bisa mempertahankan diri lagi dari kemarahan, dia telah mengeluarkan suara bentakan nyaring tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah dada sebelah kiri lawannya. Gerakan yang dilakukan Kwee Siang sangat luar biasa, pedangnya digetarkan dan dia telah mempergunakan jurus ‘bidadari menari’, dimana pedangnya itu berkelebat-kelebat merupakan sinar putih gemilang.

Orang cacad kedua kakinya itu mengeluarkan suara teriakan mengejek, tahu-tahu tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata Kwee Siang. Dan belum lagi Kwee Siang bisa mengendalikan tubuhnya yang terjerunuk ke depan karena kehilangan sasarannya, tahu-tahu punggungnya telah diketuk perlahan oleh tongkat orang bertubuh pendek tidak berkaki itu.

Dengan kaget Kwee Siang telah memutar cepat-cepat tubuhnya, dia melihat lawannya tengah memandang kepadanya dengan mulut tersenyum-senyum.

Phang Kui In sendiri takjub dan kagum melihat kegesitan orang yang berkaki buntung itu, yang diduga berusia enampuluh tahun lebih, karena waktu Kwee Siang tadi melancarkan serangan kepada orang tersebut, ternyata orang itu telah mencelat dengan gesit sekali sehingga Phang Kui In tidak bisa melihat jelas gerakan orang itu. Hanya melihat segumpal warna hijau yang menerjang di dekatnya membuat Phang Kui In harus melompat menjauhkan diri.

Jika memang orang berpakaian serba hijau itu bermaksud jahat untuk mencelakai Kwee Siang, tentu semuanya itu mudah saja dilakukannya. Tetapi kenyataannya orang itu tidak bermaksud jahat, dia hanya mengetuk perlahan sekali pada bahu si gadis.

Tetapi akibat ketukan tongkat orang aneh itu, Kwee Siang merasakan bahunya seperti juga telah terhajar oleh alu yang besar sekali, daging tubuhnya seperti hancur tertumbuk! Itulah membuktikan bahwa tenaga lweekang orang tersebut sangat tinggi dan sempurna, karena dengan ketukan yang perlahan itu dia berhasil menghantam keras sekali kepada lawannya.

Kwee Siang terhuyung maju dua langkah, kemudian cepat-cepat pendekar wanita ini memutar tubuhnya. Untuk dapat menghadapi dan bersiap sedia dari segala serangan susulan lawannya.

Orang yang kedua kakinya bercacat itu telah tertawa mengikik tidak sedap didengar, dia telah berkata dengan suara yang sangat perlahan sekali, „Bagaimana? Apakah kau ingin main-main pula beberapa jurus denganku?”

Kwee Siang merasakan mukanya berobah jadi merah dan panas karena walaupun lawannya itu bertanya sambil tersenyum, namun Kwee Siang menyadari bahwa lawannya sedang mengejek dia. Sambil mengeluarkan seruan, „Awas pedang!” tampak Kwee Siang telah melompat ke arah lawannya dan waktu tubuhnya masih terapung di tengah udara, pedangnya itu ditusukkan ke arah tenggorokan lawannya dengan jurus ‘Hud-pay-kwan-in’ atau menyembah sang dewi Kwan-im, gerakan yang dilakukan Kwee Siang bukan main kuatnya.

Orang itu juga terkejut waktu menyaksikan pedang si gadis tergetar dan mata pedang itu seperti bertambah menjadi sembilan, menyambar ke sembilan jurusan, mata, tenggorokan, dada, perut, lutut dan paha, serta beberapa bagian tubuh lainnya yang berbahaya. Itulah semacam kepandaian ilmu pedang yang jarang sekali dimiliki orang.

„Bagus!” berseru orang bercacad kedua kakinya itu sambil mengelakkan diri. Dan cepat sekali tongkat kanannya telah diketukkan pada bumi, maka tubuhnya telah meluncur dengan cepat sekali, menangkis ke arah pedang si gadis.

Phang Kui In jadi heran dan terkejut melihat apa yang dilakukan oleh orang bercacad kakinya itu, karena serangan yang dilakukan itu merupakan serangan yang terlalu berani. Seperti diketahui bahwa pedang sudah diakui sebagai raja dari berbagai senjata, karena disamping bobotnya yang ringan, juga pedang memiliki ukuran yang panjang, sehingga si pemakainya bisa mempergunakannya seleluasa mungkin, sehingga jika telah mencekal pedang orang tersebut seperti memiliki tambahan dari bagian anggota tubuhnya untuk melakukan penyerangan.

Dan orang bercacad kedua kakinya itu memang menyadari akan hebatnya pedang Kwee Siang, terlebih lagi dia telah mengetahui bahwa Kwee Siang adalah cucunya Oey Yok Su, dengan sendirinya kepandaian gadis ini tentu hebat sekali dan tidak boleh dipandang lemah.

Phang Kui In telah berteriak, „Kwee liehiap, hati-hati, jangan terlalu ceroboh!” Orang she Phang itu berteriak memperingati, karena dia kuatir Kwee Siang lupa diri dan melancarkan serangan-serangan membabi buta tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.

Kwee Siang juga terkejut sekali waktu mendengar peringgatan dari Phang Kui In. Cepat-cepat dia memperbaiki kedudukan dirinya, kemudian dia memutar pedangnya dengan cepat, sehingga sinar putih berkilau dari pedang itu merupakan bundaran putih yang mengurung dan melindungi tubuh Kwee Siang dari segala macam bentuk serangan.

Tetapi orang itu telah menjadi penasaran. Dia mengeluarkan suara tertawa mengejek, sambil katanya, „Aku ingin lihat, berapa tinggi kepandaian yang kau warisi dari kakekmu!” dan menyusuli perkataannya itu, tampak orang bercacad kedua kakinya itu telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, sampai menulikan anak telinga.

Diantara berkesiuran angin serangan pedang Kwee Siang, tongkat di tangan kirinya bergerak-gerak dengan kecepatan yang luar biasa. Gerakan-gerakan tongkat itu juga tampaknja aneh sekali, sebentar ke samping kanan, sebentar menyambar ke samping kiri, ke bawah, ke atas dan ke tengah mengincar perut Kwee Siang.

Keadaan demikian membuat Kwee Siang jadi gelagapan dan cepat-cepat menarik pulang pedangnya, dia telah berkata dengan suara mengandung penasaran:

„Aku akan adu jiwa dengan kau..... lihatlah pedang.....!” dan sambil berkata begitu, tampak Kwee Siang telah menggerakkan pedangnya dalam bentuk segi delapan. Dia telah mengeluarkan jurus simpanan yang dimilikinya, yang tidak akan dipergunakannya kalau tidak bertemu dengan lawan berat. Nama jurus itu ‘Sian-sian-kong-lie”, yaitu dewa-dewi dihormati, dan tampak pedangnya itu bergerak-gerak menurut aturan pat-kwa, yaitu delapan segi. Ilmu ini diciptakan oleh Kwee Siang setelah dia memeras pikiran selama setengah tahun, dimana dia telah merubahnya dari salah satu jurus yang terdapat dari kitab Kiu-im-cin-keng.

Orang bercacad kedua kakinya itu jadi terkejut, karena matanya jadi silau melihat sinar pedang berkilauan dari segala jurusan menyambar ke arah dirinya. Dia sampai mengeluarkan pujian:

„Bagus!” dan tongkatnya ditarik pulang, sedangkan tongkat yang satunya telah ditotolkan keras ke tanah, sehingga dengan meminjam tenaga totolan itu tubuh orang tersebut telah mencelat dengan gesit sejauh tiga tombak.

Kwee Siang tengah bernafsu dan ingin menerjang lagi untuk melancarkan serangan, pedangnya juga telah berkesiutan menyambar dahsyat kepada lawannya.

„Tahan!” teriak orang berbaju hijau itu sambil berdiri di atas kedua tongkatnya. „Aku hendak bicara!”

Kwee Siang menahan pedangnya, dia telah menatap dengan penuh kemarahan kepada lawannya:

„Apa yang hendak kau katakan?”

„Engkau sungguh-sungguhkah cucunya Oey Yok Su?” tanya orang itu.

„Apakah pendengaranmu tuli? Tadi aku telah memberitahukan bahwa kakekku adalah majikan pulau Tho-hoa-to,” teriak Kwee Siang keras, karena dia memang tengah diliputi kemarahan yang luar biasa. „Apakah perlu aku memberitahukan sekali lagi?”

„Tunggu dulu, sabar, jangan galak seperti nenek-nenek!” kata orang berpakaian hijau itu sambil tertawa. „Dengarlah! Ilmu silat Oey Yok Su aku ketahui dengan baik, yaitu bersumber dari Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng! Bukankah begitu?”

Kwee Siang ragu-ragu, dia telah mengangguk, katanya kemudian dengan suara yang cukup keras: „Benar! Setelah engkau tahu dan mengenal kakekku, mengapa engkau ingin mengganggu diri kami?”

„Nanti dulu, engkau dengar baik-baik! Aku heran mendengar engkau adalah cucu Oey Yok Su si tua bangkotan itu! Hal ini karena berlawanan sekali dengan keadaanmu! Sebagai cucu dari Oey Yok Su, tentunya engkau harus, mempergunakan ilmu-ilmu ciptaan Oey Yok Su si tua bangkotan itu..... namun sejak tadi aku melihat engkau mempergunakan semacam ilmu yang belum pernah kukenal dan aku yakin ilmu itu tentunya bukan milik si tua bangka Oey Yok Su. Benarkah begitu?”

Kwee Siang tertawa dingin.

„Hmm, jika memang aku berhasil memiliki ilmu silat kakekku, tentunya dalam satu-dua jurus engkau telah berhasil kurubuhkan! Ilmu yang tadi kupergunakan adalah ilmu silat ciptaanku sendiri.....”

„Pantas! Pantas!” berseru orang tua berbaju hijau tersebut dengan suara yang sangat nyaring.

„Apanya yang pantas?”

„Pantas saja engkau tidak bisa memiliki kepandaian yang tinggi, rupanya Oey Yok Su si tua bangkotan itu tidak sayang pada cucunya!”

„Jangan bicara sembarangan.....!” teriak Kwee Siang dengan suara mengandung kemarahan.

„Sembarangan? Mengapa sembarangan…..? Bukankah engkau sendiri yang memberitahukan bahwa engkau tidak mempelajari ilmu silatnya si jago bangkotan Oey Yok Su itu?” Waktu bertanya begitu, orang berpakaian hijau itu telah mementang matanya lebar-lebar.

Kwee Siang jadi tambah mendongkol dan marah, tetapi tentu saja dia menyadari bahwa kepandaiannya tidak bisa menandingi kepandaian lawannya.

„Baiklah! Sekarang katakanlah apa maksudmu dan siapa namamu?” tanya Kwee Siang kemudian sambil menahan kemarahan di hatinya.

„Kau ingin mengetahui namaku? Ingin mengetahui juga apa maksudku?” tanya orang itu.

Kwee Siang mengangguk.

„Hemmm, itu mudah! Engkau bisa saja memanggilku dengan sebutan si buntung, karena memang seluruh jago-jago dalam rimba persilatan selalu menyebutku dengan perkataan si buntung itu. Dan engkau boleh memanggilku dengan sebutan si buntung juga.”

Waktu itu Kwee Siang jadi memandang heran, karena umumnya orang yang bercacad tangan maupun kakinya, paling pantang mendengar seseorang menyebut-nyebut kekurangannya itu. Tetapi sekarang orang berpakaian baju hijau yang kedua kakinya buntung itu, menganjurkan agar Kwee Siang memanggilnya dengan sebutan si buntung! Dalam keadaan demikian, tampak Kwee Siang ragu-ragu sejenak, sampai akhirnya dia telah berkata lagi dengan suara yang bimbang.

„Tetapi..... tetapi..... apakah engkau tidak akan marah jika aku memanggilmu dengan sebutan si..... si..... si buntung?”

„Mengapa harus marah? Bukankah memang kenyataannya bahwa kedua kakiku ini telah buntung dan bercacad!”

Ditanya begitu, Kwee Siang terpaksa tersenyum tidak bisa menyembunyikan perasaan lucu mendengar perkataan orang itu, yaitu si buntung.

„Mungkin juga,” kata Kwee Siang kemudian setelah dia melihat si buntung itu berdiam diri mengawasi dia. „Si buntung itu merupakan gelaran belaka!”

„Memang!”

„Lalu siapa namamu?”

„Engkau ingin tahu?”

„Ya!”

„Aku she Lie dan bernama Bun Hap!”

„Lie Bun Hap, aku seperti pernah mendengar nama itu disebut seseorang,” mengangguk Kwee Siang sambil mengawasi orang she Lie tersebut.

„Mungkin si tua bangkotan Oey Yok Su yang telah menyebut-nyebut namaku?” Si buntung mencoba memberikan terkaannya kepada Kwee Siang.

„Bukan!”

„Lalu siapa?”

„Entahlah aku tidak ingat, tetapi dalam hal ini memang aku pernah mendengar disebutnya nama Lie Bun Hap itu.....!”

Tiba-tiba si buntung telah mengeluarkan suara tertawa yang sangat keras sekali, dia telah memandang ke arah Kwee Siang.

Sikap yang diperlihatkan si buntung membuat Kwee Siang jadi tersinggung.

„Apa yang kau tertawakan?” tanyanya dengan suara mendongkol.

„Ada yang lucu! Ada yang lucu! Jika tidak mengapa aku harus tertawa? Dengan tertawanya aku, tentu saja ada sesuatu yang lucu!”

„Yang lucu bagaimana?” tanya Kwee Siang menegasi.

„Lucu sekali! Engkau tadi sok galak, tetapi sekarang untuk mengingat sepatah nama saja telah begitu sibuk dan tidak tahu..... sikapmu yang belakangan ini seperti anak gadis yang bodoh!”

Kwee Siang berobah mukanya menjadi merah, karena dia mendongkol sekali.

„Mulutmu terlalu lancang!” katanya kemudian.

„Lancang?” tanya si buntung dengan suara yang mengandung ejekan.

„Ya, engkau sebagai orang tingkatan tua telah bersikap tidak tahu malu ingin mempermainkan yang muda!” kata Kwee Siang dengan berani sekali.

Muka orang tua itu telah berobah merah padam, tetapi hanya sejenak saja, kemudian dia telah pulih sebagaimana biasanya.

„Ya, memang aku dari tingkatan tua, kaum cianpwe, dan kalian berdua adalah kaum boanpwe, tetapi tidak salah kalau kaum cianpwe memberikan pelajaran kepada kaum boanpwe yang tengik dan kurang ajar.....!”

Halus suara orang itu dan tampaknya si buntung tidak marah oleh perkataan Kwee Siang, namun nadanya yang halus itu berlainan dengan makna yang termaksud dalam kata-katanya itu, yaitu dia ingin menghajar Kwee Siang dan Phang Kui In babak belur.

Kwee Siang sendiri berdebar hatinya, karena dia agak bingung juga, jika tadi dia berkata begitu, hanya untuk memancing kemarahan si buntung, dan jika dia marah dan mempertahankan kedudukan dirinya sebagai golongan cianpwe tentu akan perintahkan Kwee Siang dan Phang Kui In berlalu tanpa diganggunya pula. Tetapi siapa tahu si buntung itu berkepala batu, semakin lawannya keras kepala justru dia lebih keras kepala juga.

“Lalu apa yang kau kehendaki?” tanya Kwee Siang waktu melihat Lie Bun Hap hanya tertawa mengejek saja tanpa memperdulikan kemarahannya.

„Tentu saja mengajar adat kepada kalian berdua,” kata Lie Bun Hap dengan suara yang tegas.

Kwee Siang dan Phang Kui In jadi menghela napas, karena mereka menyadari sulit untuk mengharapkan bisa lolos dari tangan lawan yang keras kepala dan memiliki kepandaian yang demikian tinggi.

Dalam keadaan demikian, tampak Phang Kui In telah maju selangkah, dia merangkapkan kedua tangannya menjura memberi hormat kepada Lie Bun Hap.

„Lie locianpwe..... seharusnya kami memang dihukum, tetapi dengan memandang muka terangnya Oey locianpwe pemilik pulau Tho-hoa-to, ampunilah kami, kami akan segera meninggalkan pulau ini!”

Mendengar perkataan Phang Kui In, muka Lie Bun Hap jadi berobah hebat, dia telah berkata dengan suara yang dingin:

„Permintaan ampunmu itu datangnya terlambat! Dan sekarang, kalian berdua orang-orang golongan boanpwee yang kurang ajar, harus kuajar adat.....!” Dan setelah berkata begitu, diangkatnya tongkat di tangan kanannya, dia telah berkata lagi: ,,Bersiap-siaplah, aku akan segera menyerang!”

Kwee Siang dan Phang Kui In menyadari bahwa mereka tidak mungkin terlepas dari cengkeraman tangan orang aneh ini, maka mereka jadi nekad. Dengan mengeluarkan suara seruan:

„Silahkan menyerang!” Kwee Siang telah menggerakkan pedangnya menabas udara kosong, sehingga suara pedang itu berkesiuran.

Phang Kui In juga telah berdiri tegak bersiap-siap untuk menerima segala serangan yang akan dllancarkan oleh lawannya. Dan dia telah bertekad untuk melindungi Kwee Siang, karena dia mengetahui bahwa Kwee Siang memiliki kepandaian tinggi, dan dia harus dapat diselamatkan, terlebih lagi Kwee Siang merupakan cucu bungsu dari Oey Yok Su. Jika sampai terjadi sesuatu di diri gadis pendekar ini, niscaya Oey Yok Su tidak akan mau mengerti, walaupun hanya seujung rambut saja yang terganggu, tetapi pasti Oey Yok Su akan mencari Lie Bun Hap untuk membalas sakit hati.

„Locianpwe.....!” kata Phang Kui In lagi dengan suara yang disabar-sabarkannya. „Dengarlah dulu keteranganku ini!”

„Keterangan apa lagi yang hendak kau katakan? Cepat katakan!!” kata Lie Bun Hap memperlihatkan sikap yang tidak sabaran.

Phang Kui In telah merangkapkan tangannya menjura memberi hormat lagi kepada Lie Bun Hap.

„Lie locianpwe..... ketahuilah, bahwa kami terdampar di pulau ini tanpa kami sengaja dan tanpa kami kehendaki! Kami telah menerima nasib yang buruk ditawan bajak laut, dan kami disimpan dalam kamar tahanan. Untung kami bisa meloloskan diri dengan melobangi dinding kamar tahanan itu dan berenang keluar dari kapal tersebut. Tetapi sayang, rupanya kami harus menerima percobaan lagi. Kami telah dipusing-pusingkan dalam putaran user-user air laut yang akhirnya membuat kami pingsan. Waktu kami tersadar, ternyata kami telah menggeletak di tepi pantai pulau ini. Maka dengan memandang muka terang dari Oey locianpwe, kami mohon Lie locianpwe mengampuni kami dan kami akan segera meninggalkan pulau ini tidak berani mengganggu Lie locianpwe lagi.....”

Manis cara berkata Phang Kui In, dan diapun berkata-kata dengan sikap yang hormat sekai. Lie Bun Hap untuk sejenak jadi diam tertegun. Tetapi kemudian sambil mengetukkan ujung tongkat di sebelah kirinya ke tanah, dia telah berkata,

„Tadi kau mengatakan bahwa kalian ditawan oleh bajak laut, tahukah engkau siapa bajak laut itu?”

Phang Kui In menggelengkan kepalanya.

„Sayang kami tidak mengetahui siapa mereka yang telah membajak kami. Namun kami ketahui nama pemimpin mereka adalah Ciong Lam Cie. Hanya itu yang kami ketahui.”

„Ciong Lam Cie?” tanya Lie Bun Hap dengan mata terbuka lebar-lebar, tampaknya dia sangat terkejut.

„Ya!”

„Orang she Ciong itu masih hidup…..?”

„Entahlah. Kami tidak mengenalnya dan hanya mengetahui namanya Ciong Lam Cie, dia sendiri yang menyebutkannya.”

Mendengar perkataan Phang Kui In yang terakhir, Lie Bun Hap telah berdiri diam tercenung. Tampaknya ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

„Besarkah jumlah mereka?” tanya Lie Bun Hap lagi.

„Cukup banyak, bahkan anak buahnya itu semuanya mengerti ilmu silat yang cukup tinggi.....!”

„Hemmm..... Kalian telah dirubuhkannya?” tanya Lie Bun Hap. „Oleh ketuanya atau hanya kaki tangannya yang merubuhkanmu?”

„Kami dirubuhkan oleh orang she Ciong itu sendiri!!” menyahut Phang Kui In dengan pipinya yang berobah menjadi merah.

„Hemmm, orang she Ciong itu rupanya tengah mencari lawan-lawannya.....!” menggumam Lie Bun Hap.

„Tidak salah Lie locianpwe. .....!” kata Phang Kui In. „Memang dia tengah mencari seseorang.....! Bahkan kalau dilihat caranya, dia bukan hanya mencari seorang saja, justru dia tengah menyelidiki beberapa orang yang hendak dibinasakannya.”

„Tahukah engkau siapa-apa saja yang tengah dicari Ciong Lam Cie?” tanya orang tua itu.

Phang Kui In menggelengkan kepalanya perlahan, kemudian dia berkata lagi:

„Kami tidak mengetahui jelas, tetapi jika tidak salah orang she Ciong itu juga memusuhi Kwee Ceng Tayhiap suami isteri. Yaitu ayah ibu dari Kwee liehiap ini..... dan ada seorang lainnya yang dimusuhinya juga, yaitu.....”

Berkata sampai disitu, Phang Kui In berhenti bicara, seperti juga dia bimbang meneruskan kata-katanya itu.

„Siapa orang yang lainnya itu…..?” tanya Lie Bun Hap mendesak, matanya juga telah memandang kepada Phang Kui In dengan terpentang lebar.

„Jika tidak salah dengar, diapun ingin mencari Yo Ko Sin-tiauw Tayhiap.....!” akhirnya Phang Kui In memberikan penjelasannya juga.

„Apa..... apa?” tanya Lie Bun Hap seperti terkejut dan melompat satu tombak lebih. „Engkau bicara jangan main-main! Cepat katakan yang sebenarnya.....!”

„Aku telah bicara dari hal yang sebenarnya!” menyahuti Phang Kui In.

„Tetapi..... tidak mungkin Ciong Lam Cie akan memberitahukan padamu dia tengah mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.....!”

21.42. Si Buntung Pendekar Aneh

„Mengapa tidak? Sekarang setiap orang yang lewat di perairan yang berada dalam kekuasaannya tentu akan ditangkapnya. Dan jika orang itu, setelah diperiksa, tidak memiliki sangkut paut dengan orang-orang yang sedang dicarinya maka akan dibebaskan. Tetapi jika ternyata orang itu memiliki sangkutan dengan orang-orang yang tengah dicarinya, tentu akan dikurungnya, ditawannya!”

„Tetapi.....?” tanya Lie Bun Hap dengan ragu-ragu mengawasi Phang Kui In.

„Tetapi kenapa locianpwe,” tanya Phang Kui In sambil mengawasi jago she Lie itu.

„Tetapi mengapa engkau juga ditawan, apakah engkau memiliki hubungan dekat dengan musuh-musuh orang she Ciong itu?”

Phang Kui In menghela napas.

„Memang peristiwa yang terjadi begitu adanya!” kata Phang Kui In, „karena Kwee lihiap telah mengakui terus terang bahwa dia adalah puteri dari Kwee Ceng Tayhiap, sedangkan kawan kami yang seorang lagi, Him-jie (anak him) justru mengakui bahwa dia adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap!!”

„Sin..... Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko ada puteranya?” tanya Lie Bun Hap seperti juga tidak percaya apa yang didengarnya.

„Ya,” mengangguk Phang Kui In dengan cepat, wajahnya segera tergambar perasaan menyesal dan sedih. „Dia telah lenyap waktu kami meloloskan diri dari kapal orang itu. Semula Him-jie aku gendong dan rangkul kedua kakinya kuat-kuat, tetapi waktu tubuh kami terserang user-user air laut yang berputar, kami telah pingsan dan satu dengan yang lainnya sudah tidak bisa mengetahui, sampai akhirnya ketika aku tersadar dari pingsan kami telah tergeletak di pasir tepi pantai. Hanya Kwee liehiap yang kujumpai, sedangkan Him-jie tidak diketahui berada dimana.....!” Setelah berkata begitu, Phang Kui In jadi menghela napas berulang kali.

„Apakah…… apakah puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu seorang anak lelaki berusia duabelas atau tigabelas tahun?” tanya Lie Bun Hap sambil mengawasi Phang Kui In dengan sorot mata yang sangat tajam sekali.

„Tepat!” berseru Phang Kui In dengan suara terkejut bercampur girang, disamping itu juga wajahnya berseri-seri, karena ada harapan lagi baginya untuk bertemu dengan Yo Him.

„Aku semalam telah menemukan seorang anak lelaki yang berusia diantara duabelas tahun mengeletak tidak sadarkan diri. Anak lelaki itu memiliki tubuh yang lemas dan tampan sekali mukanya. Aku senang padanya, aku bawa ke rumahku. Apakah mungkin dia itu puteranya Yo Tayhiap?

Phang Kui In telah berjingkrak saking gembiranya.

„Lie locianpwe, bisakah locianpwe mengantar kami untuk menjenguknya?” tanya Phang Kui In.

Kwee Siang juga jadi berobah mukanya, berseri-seri cerah sekali, dia merangkapkan kedua tangannya menjura kepada orang tua berkaki buntung itu setelah menyimpan kembali pedangnya.

„Maafkan atas kecerobohan dan kekurang ajaran boanpwe!” kata Kwee Siang dengan suara yang sabar tidak mengandung permusuhan lagi.

Phang Kui In juga telah menjura sambil katanya, „Kami tentu tidak akan melupakan budi kebaikan locianpwe!!”

Tetapi Lie Bun Hap menggelengkan kepalanya perlahan, dia telah berkata dengan suara yang tawar.

„Aku memberitahukan kepada kalian bahwa aku menemukan anak itu, bukan berarti aku bersedia untuk membiarkan kalian bertemu! Aku telah bertekad untuk mengambil dia menjadi muridku! Selama puluhan tahun aku tidak memiliki murid, maka melihat bakat dan tulang baik dari anak itu, aku ingin mengambilnya sebagai murid tunggal! Hem…… mana mungkin aku membiarkan kalian bertemu muka lagi, yang bisa memberantakan rencanaku.....!”

Setelah berkata begitu, muka Lie Bun Hap jadi berobah bengis lagi, dia telah meneruskan perkataannya:

„Cepat kau katakan, ke arah mana yang diambil Ciong Lam Cie?”

„Kau sendiri tidak mau mempertemukan kami dengan Him-jie dan sekarang kau mendesak kami untuk memberikan keterangan. Itulah urusan yang tidak ceng-li!”

„Kau ingin aku memaksa dengan kekerasan?” bentak Lie Bun Hap yang bergelar si buntung itu.

„Tetapi jika locianpwe menyiksa kami, berarti untuk selamanya kau tidak bisa memperoleh keterangan apapun mengenai dirinya bajak laut Ciong Lam Cie itu!” Kwee Siang telah ikut menimbrung bicara dengan nada yang dingin.

„Hemm, enak saja engkau bicara….. Bukankah masih ada Yo Him, putera Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Bukankah diapun mengalami hal dan peristiwa itu bersama-sama dengan kalian?” Setelah berkata begitu, tampak Lie Bun Hap tertawa bergelak-gelak.

Phang Kui In dan Kwee Siang merasakan telapak tangan mereka jadi dingin. Memang tidak salah, jika Yo Him berada di tangan orang she Lie ini. Tentunya dia bisa saja mendesak Yo Him, atau memancing anak itu dengan berbagai jalan, agar Yo Him menceritakan apa yang dialaminya. Dan setelah itu, tentunya segala urusan menjadi jelas dan terang.

Waktu itu Lie Bun Hap telah berkata lagi dengan suara yang dingin: „Apakah kalian tetap tidak mau menceritakan kepadaku perihal ketua Tiauw-pang (perkumpulan rajawali) Ciong Lam Cie itu?”

Phang Kui In menghela napas dengan lesu.

„Mereka menempuh jalan air yang menuju ke arah timur tenggara.....!” katanya kemudian.

„Hemmm, jika Ciong Lam Cie mengambil arah timur tenggara tentu tidak akan sampai di tempat ini, justru tempat ini terletak di barat selatan. Ha, ha, ha! Kukira cukup keterangan yang kau berikan.....!”

Setelah berkata begitu Lie Bun Hap telah mengibaskan tongkat yang di tangan kanannya, seperti sikap mempersilahkan tamunya untuk pergi.

„Kalian bebas untuk meninggalkan pulau ini, aku tidak akan mengganggunya!”

Tetapi Phang Kui In dan Kwee Siang mana mau berlalu dari pulau ini setelah mengetahui bahwa Yo Him masih selamat dan berada dalam rawatan orang tua she Lie itu, yang tertarik ingin mengangkat Yo Him sebagai murid tunggalnya itu.

„Locianpwe.....” suara Phang Kui In tidak lampias, tampaknya dia bingung sekali.

„Apalagi? Aku telah membebaskan kalian tanpa diberi tanda mata sedikitpun di tubuh kalian, apakah itu masih belum cukup sehingga kalian berdua tampaknya tidak puas?”

Tajam suara dari Lie Bun Hap waktu dia menegur begitu, karena dia mendongkol sekali tampaknya. Dan bibirnya yang kemudian terkatup rapat itu memperlihatkan bahwa dia menahan amarah di hatinya!

Phang Kui In cepat-cepat menjura lagi sambil katanya dengan suara yang halus:

„Locianpwe kasihanilah kami, ajaklah kami menemui Yo Him.....! Kami sesungguhnya tengah menerima tugas yang cukup berat, yaitu membawa Yo Him menemui ayah kandungnya! Kami kira tentunya locianpwe tidak keberatan bukan untuk melepaskan Yo Him sementara waktu, dan kelak jika telah bertemu dengan ayah kandungnya tentu kami akan mengajaknya kemari lagi untuk menemui locianpwe, guna mengadakan pengangkatan guru dan murid.”

Waktu itu muka Lie Bun Hap telah berobah semakin tidak enak dilihat, dia mengetukkan ujung tongkatnya ke tanah sebanyak empat kali, mukanya juga merah padam, giginya yang menggigit keras-keras itu terdengar berkereot-kereot.

„Kau bicara seperti anak kecil saja!” bentak Lie Bun Hap akhirnya. „Hemmm, apakah engkau kira dengan bicara begitu, dengan menyebut-nyebut nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko aku akan takut dan gentar, lalu cepat-cepat menyerahkan anak itu kepada kalian? Hemmm, enak saja kau bicara. Sekarang begini saja singkatnya, kalian mau pergi meninggalkan pulau ini atau mau aku mampusi saja?” Keras nada perkataan dari Lie Bun Hap, dia tampaknya tidak senang dengan sikap Phang Kui In yang seperti mengulur-ulur waktu.

Di saat itulah tampak Kwee Siang telah berkata dengan suara ragu-ragu: „Locianpwe..... maukah locianpwe mengasihani kami bertiga dengan memandang muka ayah dan ibuku?!” kata Kwee Siang. „Nanti kepada ayah dan ibu aku akan menceritakan segalanya perihal locianpwe yang telah melepas budi kepada kami.....”

Mendengar perkataan Kwee Siang, Lie Bun Hap telah tertawa bergelak-gelak dengan keras. „Hemm, engkau bicara seperti juga bermimpi!” katanya dingin. „Apa harganya ayah, ibumu harus kupandang? Hemm, jika Kwee Ceng dan Oey Yong sendiri yang datang memohon! Agar aku melepaskan Yo Him, belum tentu aku akan melayaninya, bahkan bisa-bisa mereka kumampusi sekalian.....!”

Kaget Kwee Siang mendengar perkataan Lie Bun Hap yang terakhir itu. Ternyata orang she Lie ini sama sekali tidak memandang muka terang dan kepopuleran nama Kwee Ceng, dan Oey Yong. Disamping itu, orang she Lie ini terlalu sombong dan takabur sekali, maka hal ini tidak menggembirakan hati Kwee Siang, dan Phang Kui In.

„Lalu apa maunya locianpwe?” tanya Kwee Siang menahan kemarahan hatinya.

„Kalian pergi menggelinding dari pulauku dan jangan coba-coba berani datang kemari lagi karena jika aku bertemu kembali dengan kalian, aku tentu akan menurunkan tangan maut membinasakan kalian, dan kalian tidak bisa mengatakan lagi aku terlalu kejam, sebab sekarang ini aku telah membebaskan kalian dengan cara yang enak tanpa syarat.”

Muka Kwee Siang dan Phang Kui In jadi berobah merah. Mereka tersinggung sekali. Walaupun bagaimana Kwee Siang dan Phang Kui In merupakan jago-jago yang memiliki nama tidak kecil di dalam rimba persilatan dan kalangan Kang-ouw, tetapi sekarang Lie Bun Hap memperlakukan mereka sekehendak hatinya, menghina mereka habis-habisan.

Tetapi Phang Kui In telah menjura lagi sambil menahan kemarahan di hatinya.

„Lie locianpwe walaupun bagaimana kami harus menemui Yo Him dulu, nanti kami menanyakan langsung kepadanya, apakah dia bersedia untuk menjadi muridmu, jika memang dia bersedia untuk mengangkat guru padamu kamipun tidak bisa berbuat apa-apa.”

„Kalian terlalu cerewet seperti nenek-nenek dan kakek-kakek!” teriak Lie Bun Hap dengan suara yang keras sekali.

„Dengarlah dulu Lie locianpwe…..!”

Tetapi belum lagi suara Phang Kui In selesai diucapkan di saat itu tampak Lie Bun Hap telah mengibaskan tongkat di tangan kanannya sambil berkata, „Cepat menggelinding pergi sebelum aku melakukan tindakan kekerasan melemparkan kalian ke tengah-tengah laut.....!” suaranya bengis sekali mengandung hawa pembunuhan.

Tetapi Kwee Siang dan Phang Kui In tidak takut melihat sikap mengancam dari Lie Bun Hap. Bahkan mereka telah mempersiapkan bhesi-bhesi yang kuat pada kedua kaki mereka, dengan sikap yang berhati-hati karena mereka menyadari Lie Bun Hap bukan hanya sekedar mengancam saja, tetapi bisa saja orang she Lie itu melancarkan serangan sungguhan.

Melihat Kwee Siang dan Phang Kui In mengambil sikap seperti menantang, muka Lie Bun Hap jadi berobah merah padam, dengan suara bentakan yang keras dia telah bilang: „Bagus, bagus! Memang kalian rupanya mencari penggebuk!”

Dan membarengi dengan perkataannya itu, tampak Lie Bun Hap telah mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali, dia telah menggerakkan tongkat di tangan kanannya memukul udara kosong, kemudian tongkatnya meluncur ke arah tenggorokan Phang Kui In.

Orang she Phang itu jadi terkejut, dia sampai mengeluarkan suara teriakan tertahan karena kaget, sebab datangnya serangan tongkat Lie Bun Hap sangat cepat sekali. Dan belum lagi dia sempat memikirkan untuk menangkis atau berkelit dengan jurus apa, tahu-tahu ujung tongkat lawannya telah berobah arah lagi, menusuk ke arah lambungnya! Cepat-cepat Phang Kui In membuang dirinya kelain arah untuk mengelakkan serangan tongkat itu.

Namun belum lagi dia berhasil mengelakkan diri dari tongkat Lie Bun Hap, dan belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, kaki kiri Lie Bun Hap telah melayang cepat sekali menendang kempolan Phang Kui In.

„Dukk!” terdengar keras tendangan Lie Bun Hap mengenai sasarannya dengan tepat, sehingga tidak ampun lagi Phang Kui In jadi terlempar dan terguling di atas tanah, dia merasakan kempolannya sakit sekali.

Lie Bun Hap tidak tinggal diam hanya sampai disitu saja, dengan cepat dia mendekati Phang Kui In, terlihat tongkatnya yang di tangan kanan telah melayang akan menusuk ke arah perut Phang Kui In yang saat itu tengah rebah terlentang.

Phang Kui In jadi mengeluh, dia bisa membayangkan betapa dahsyatnya tenaga menyodok tongkat itu kepada perutnya, dan jiwanya bisa melayang jika sampai tertusuk oleh ujung tongkat tersebut.

Bukan hanya Phang Kui In saja yang terkejut Kwee Siang juga jadi terperanjat. Dengan mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tidak membuang-buang waktu lagi, tampak Kwee Siang telah menjejakkan kakinya, tubuhnya meloncat gesit sambil menusukkan pedangnya ke arah pundak sebelah kanan Lie Bun Hap.

Kwee Siang kali ini melancarkan tusukan pedangnya tidak bisa dipandang ringan, karena dia sedang terkejut melihat jiwa Phang Kui In terancam kematian, maka serangan pedangnya itu jauh lebih kuat lagi.

„Siuuttt.....!” pedang itu meluncur secepat kilat dan mengandung tenaga lweekang yang luar biasa kuatnya. Sinar putih tampak meluncur terus ke arah pundak kanan Lie Bun Hap. Tetapi orang she Lie itu sama sekali tidak memperdulikan serangan pedang Kwee Siang, dia hanya mengeluarkah suara dengusan sambil meneruskan serangan ujung tongkatnya yang hendak ditusukkan ke perut Phang Kui In.

„Tranggg.....!” ketika mata pedang Kwee Siang berhasil mengenai pundak orang she Lie itu, dia merasa menikam semacam benda keras, dan pedangnya itu telah melejit, sehingga Lie Bun Hap tidak terluka sama sekali.

Sedangkan Phang Kui In menyaksikan kejadian yang berlangsung hanya satu-dua detik itu, tambah terkejut. Mati-matian dia telah menekan tanah dengan kedua tangannya, meminjam tenaga tekanan itu, tubuh Phang Kui In telah meloncat ke samping, bergulingan menjauhkan diri dari lawannya.

Tongkat Lie Bun Hap telah meluncur cepat dan menghujam tanah, masuk cukup dalam. Gusar sekali Lie Bun Hap, sampai dia berjingkrak, marah ketika mengetahui lawannya telah berhasil menyelamatkan diri. Untuk melampiaskan kemarahannya itu, Lie Bun Hap tidak berdiam diri saja waktu serangannya kepada Phang Kui In telah gagal mengenai sasarannya, dengan cegat sekali tongkatnya yang tercekal di tangan kiri telah menyambar dahsyat ke arah perut Kwee Siang.

„Wutt.....!” tongkat di tangan kiri Lie Bun Hap telah menyambar mengejutkan Kwee Siang. Tetapi sebagai seorang jago muda yang memiliki kepandaian tinggi, dan puteri dari jago-jago ternama Kwee Ceng dan Oey Yong, disamping itu sebagai cucu dari Oey Yok Su, maka dia tidak menjadi gugup menghadapi keadaan seperti itu.

Dengan mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur, tampak Lie Bun Hap telah memperhebat serangan tongkatnya kepada Kwee Siang, agar berhasil mengenai sasarannya.

Tetapi Kwee Siang juga dapat bergerak lincah, dengan cepat pedangnya berputar dan menangkis serangan tongkat orang she Lie itu

„Tranggg…..!” suara benturan antara pedang dengan tongkat terjadi sampai Lie Bun Hap terkejut karena telapak tangannya dirasakan sakit sekali, sehingga dia mengeluarkan suara seruan kaget! Untung saja tongkatnya itu tidak sampai terlepas dari cekalannya, dan tubuhnya tidak sampai roboh terjungkal.

Kwee Siang telah mengeluarkan suara tertawa dingin. Tadi dia bukannya tidak terkejut waktu senjata mereka saling bentur, Kwee Siang merasakan telapak tangan kanannya pedih dan panas sekali, disamping itu juga pedangnya tergetar keras hampir saja akan terlepas dari cekalan tangannya. Untung saja Kwee Siang merupakan pendekar wanita di jaman itu yang memiliki kepandaian tinggi dan hampir setingkat dengan kepandaian ibunya, Oey Yong, dan Kwee Siang hanya kalah pengalaman saja.

Maka dengan mencekal keras-keras gagang pedangnya, dia sengaja telah memperdengarkan suara tertawa dingin untuk menutupi keterkejutannya itu.

„Hayo seranglah lagi!!” kata Kwee Siang dengan suara nyaring.

Lie Bun Hap telah gusar sekali, dia mengeluarkan seruan marah, tahu-tahu tongkatnya telah menotok tanah dan tubuhnya melambung beberapa tombak tingginya meminjam tenaga totolan dari tongkat tersebut. Dan waktu tubuh Lie Bun Hap terapung di tengah udara, dengan cepat sekali dia menggerakkan tongkatnya, dan dia telah melancarkan pukulan pek-kong-ciang (pukulan udara kosong). Sebetulnya ilmu pek-kong-ciang itu hanya khusus untuk ilmu pukulan tangan kosong. Tetapi karena Lie Bun Hap mempergunakan sepasang tongkat, dan tidak mungkin dia melepaskan tongkatnya yang bisa dipergunakan menunjang tubuhnya itu, dia telah merobah pukulan pek-kong-ciang itu menjadi pukulan udara kosong yang dilakukan sekaligus dengan kedua tongkatnya itu.

„Wutt, siuutt.....!” beruntun kedua senjata tongkat itu telah meluncur gencar ke arah Kwee Siang.

Puteri Kwee Ceng dan Oey Yong itu jadi kaget bukan main, dia telah merasakan sambaran angin serangan yang kuat sekali, walaupun serangan lawan belum tiba, masih terpisah setengah tombak. Tetapi sebagai Siauw-sia, si sesat kecil, yang menuruni sifat-sifat kakeknya, si sesat tua Oey Yok Su, maka Kwee Siang tidak pernah mengenal perasaan ‘takut’.

Walaupun dia melihat serangan yang dilakukan oleh lawannya itu merupakan serangan yang kuat dan hebat, tetapi Kwee Siang tidak mundur setapakpun juga, dia hanya memutar pedangnya beruntun dia telah mempergunakan jurus Lima kali berlutut menyembah budha, lalu disusuli lagi dengan Bidadari mempersembahkan arak, kemudian waktu lawannya melancarkan serangan lagi, saat itulah tampak Kwee Siang telah mendahului menyerang ke arah dada Lie Bun Hap dengan gerakan yang sangat manis, yang mempergunakan jurus ‘jie-liong-in-cu’ atau sepasang naga berebut mustika, pedangnya itu berkesiuran mencaplok dan menggigit dada lawannya.

Lie Bun Hap mengeluarkan suara tertawa mengejek tanpa, memperdulikan pedang Kwee Siang yang menyambar ke arah dadanya, dia menggerakkan kedua tongkatnya untuk membarengi melancarkan serangan lagi. Gerakannya itu membuat Kwee Siang terkejut, karena tadi dia telah mengalami betapa kulit punggung lawannya tidak tertembus oleh mata pedang. Maka melihat kali ini lawan tidak berusaha mengelakkan diri dari tusukan pedangnya, Kwee Siang bisa menduga bahwa lawannya tentunya mengenakan pakaian lapis baja atau besi, sehingga tidak mempan oleh tikaman atau tusukan pedangnya.

Kwee Siang cerdik sekali, dia tidak mau dibodohi musuhnya lagi, dia telah menarik pulang pedangnya, kemudian dibaliknya pedang itu meluncur ke samping untuk menangkis sekaligus kedua batang tongkat Lie Bun Hap yang tengah menyambar ke arah dirinya.

„Trangggg!” Kembali pedang Kwee Siang tergetar dan dia merasakan telapak tangannya sakit dan pedih, dia baru menyadari bahwa tongkat Lie Bun Hap bukan tongkat kayu, melainkan tongkat besi hitam yang terkenal kekuatannya.

Lie Bun Hap juga tidak tinggal diam, karena begitu tongkat hitamnya terbentur dengan pedang Kwee Siang dia telah mengeluarkan suara bentakan yang garang, lalu tongkatnya menyambar dengan pesat akan menotok dada kanan si gadis.

Tetapi Kwee Siang telah memiliki latihan yang cukup sempurna dalam pelajaran Kiu-im-cin-keng dari kakeknya yang memanjakannya sebagai cucu terkecil itu, telah menurunkan banyak sekali pelajaran ilmu simpanannya. Dengan demikian walaupun dirinya tengah terancam bahaya yang tidak kecil, namun Kwee Siang bisa menghadapinya dengan baik, dia menghadapi gempuran tongkat Lie Bun Hap dengan dua kali memiringkan tubuhnya, dan telah berhasil melompat ke belakang.

Tetapi Lie Bun Hap rupanya tidak mau melepaskannya begitu saja, begitu serangan tongkatnya gagal, dia membarengi melancarkan serangan serentak dengan kedua tongkatnya. Gerakan yang dilakukan Lie Bun Hap tidak bisa diremehkan, karena pada kedua tongkatnya itu telah tersalurkan kekuatan tenaga lweekang yang hebat, yang bisa menghancur leburkan sebungkah batu jika terserang oleh tongkatnya itu.

Kwee Siang juga merasakan berkesiuran angin serangan dari kedua tongkat lawannya yang tangguh ini, dia cepat-cepat menarik napas dalam-dalam, lalu menyalurkan kekuatannya ke dalam telapak tangannya yang terus kesalur masuk ke dalam pedangnya. Mata pedangnya ditundukkan menghadap bumi, sedangkan kedua lengannya mencekal pedangnya itu seperti juga tengah memberi hormat.

Lie Bun Hap terkejut.

„Itulah Sian-lie-sin-kiam-sut!” berpikir Lie Bun Hap dalam hatinya. Sian-lie-sin-kiam-sut berarti ilmu pedang bidadari sakti.

„Trangg!” Benturan antara tongkat Lie Bun Hap dengan pedang Kwee Siang tidak bisa dielakkan lagi sehingga terdengar suara benturan logam yang kuat sekali, disamping menimbulkan lelatu api.

„Hebat nona Kwee itu…..,” diam-diam Phang Kui In jadi berpikir di dalam hatinya. „Jika aku yang menghadapi Lie Bun Hap, tentu siang-siang aku telah binasa di tangannya!”

Apa yang dipikirkan oleh Phang Kui In memang benar, karena waktu antara tongkat dengan pedang saling bentur, bukan hanya Kwee Siang belaka yang terhuyung mundur sampai empat tombak dengan muka yang berobah pucat, tetapi Lie Bun Hap juga telah terhuyung-huyung mundur ke belakang dengan mengeluarkan suara seruan tertahan, dia telah terdorong mundur empat tombak juga oleh dorongan tenaga tangkisan yang dilakukan oleh Kwee Siang.

Phang Kui In berdiri mengawasi pertempuran itu dengan hati berdebar.

Dia tidak berani melompat maju untuk membantui Kwee Siang, karena dia menyadari, jika dia melibatkan dirinya dalam pertempuran dengan mereka berarti dirinya akan celaka, karena justru Lie Bun Hap dan Kwee Siang masing-masing tengah mengeluarkan kepandaian mereka yang paling kuat. Itulah sebabnya Phang Kui In hanya berdiri tertegun saja dengan muka sebentar-sebentar pucat.

„Nah, kau sudah melihatnya, bukan?” tanya Kwee Siang, waktu pendekar wanita itu berhasil berdiri tetap. „Bukan hanya engkau saja yang berhasil memiliki kepandaian yang tinggi! Untung saja hari ini engkau hanya bertemu dengan aku, coba kalau engkau bertemu dengan kedua orang tuaku, tentu bukan kakimu saja yang tidak ada, sepasang tanganmu mungkin akan dikutungkannya juga, karena engkau seorang yang sangat kejam dan jahat sekali! Hemmm, apalagi kalau engkau bertemu dengan kakekku, tentu engkau tidak akan memiliki harapan untuk hidup terus!”

Mendengar perkataan seperti itu, muka Lie Bun Hap jadi berobah merah padam, tetapi dia tidak melancarkan serangan lagi, melainkan dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak yang sangat nyaring sekali.

Kwee Siang jadi heran dan mengawasi dengan tertegun. Dia telah melihat bahwa lawannya tadi, selama bertanding bukanlah lawan yang lunak. Bahkan jika dilihat cara-cara menyerangnya, kepandaian Lie Bun Hap lebih tinggi satu tingkat dari dia, dan juga lebih menang pengalaman, karena dari usianya yang telah setengah baya itulah membuat Lie Bun Hap kenyang oleh pengalaman-pengalamannya.

Tetapi ada satu kelebihan yang dimiliki Kwee Siang, yaitu dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi sekali, sehingga walaupun tenaga lweekangnya masih kalah dibandingkan dengan Lie Bun Hap, tetapi dia bisa menghadapi lawannya dengan baik. Juga ilmu pedang yang dimiliki oleh Kwee Siang merupakan ilmu pedang ciptaannya sendiri, yang digubahnya dari pelajaran Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng.

Setelah puas tertawa, Lie Bun Hap telah memandang ke arah Kwee Siang dengan sorot mata yang tajam sekali, dia juga telah berkata dengan nada suara perlahan dan dalam!

„Anak yang manis, engkau memang harus diberikan pelajaran agar mengerti tingginya langit.....!”

Dan berkata sampai disitu, tampak Lie Bun Hap telah mengeluarkan suara mendesis, tahu-tahu tongkat di tangan kanannya diangkat tinggi melewati kepalanya, sehingga dia hanya berdiri dengan bantuan tongkat tunggal di tangan kirinya. Sikapnya memperlihatkan ketegangan, dan disamping itu juga tampaknya Lie Bun Hap tengah mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam tongkat di tangan kanannya. Gerakan yang dilakukan itu merupakan gerakan yang mengerikan, karena bagi orang-orang yang mengerti dan mengetahui, mereka tentu akan bergidik. Rupanya Lie Bun Hap tengah menyalurkan kekuatan lweekang ribuan kati untuk melancarkan serangan kepada Kwee Siang.

Kwee Siang yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya. Dia tidak berani berlaku ayal, dengan mata tetap mengawasi dan sikap yang berwaspada sekali, tampak Kwee Siang juga mengangkat pedangnya dilintangkan di depan dadanya. Dia telah menyalurkan sembilan bagian tenaga lweekangnya ke pedangnya.

„Hemmm, sekarang kau terimalah seranganku!” berseru Lie Bun Hap.

„Hati-hati Kwee liehiap!!” teriak Phang Kui In dengan kuatir sekali.

Tetapi Kwee Siang tetap tenang, berdiri tegak dengan bibirnya tersungging senyuman.

„Jangan kuatir, Phang lo-enghiong, orang ini memang harus diberi hajaran agar dia mengetahui dalamnya lautan dan tingginya langit.....!” kata Kwee Siang dengan suara perlahan dan dia telah mengawasi terus kepada lawannya, karena sedikitpun juga Kwee Siang tidak berani berlaku lengah.

Dalam keadaan seperti ini, terlihat Lie Bun Hap telah menotolkan tongkat tangan kirinya, membarengi tongkat di tangan kanannya bergerak akan menusuk jalan darah tan-tian-hiatnya Kwee Siang.

„Siutt.....!” tongkat yang dipergunakan menyerang dengan tenaga yang sangat kuat itu telah menimbulkan suara desiran angin yang sangat tajam, dan mata tongkat itu telah menyambar dengan pesat sekali.

Kwee Siang merasa kagum atas kepandaian ilmu tongkat Lie Bun Hap yang benar-benar mengagumkan, dia menanti sampai serangan Lie Bun Hap hanya terpisah beberapa cie dari dadanya, barulah dia menangkis dengan, jurus Burung hong melebarkan sayap dan terlihat betapa pedangnya menahan meluncurnya tongkat lawan.

Dalam keadaan demikian, tampak Lie Bun Hap sama sekali tidak bermaksud menarik pulang pukulannya. Dengan gerakan ‘pat-sian-ie-ie’ atau delapan dewa berada dalam hujan, dia meneruskan serangannya, beruntun mata tongkatnya itu telah bergerak-gerak dengan sikap yang mengancam.

Di saat itu tampak Kwee Siang juga tidak tinggal diam, dia telah melancarkan serangan dari jurus-jurus ilmu pedang yang sangat hebat sekali. Ilmu pedang gabungan dari kedua orang tuanya dan kakek luarnya, yaitu Oey Yok Su yang digabung dengan ilmu pedang yang diperoleh dari pelajaran ilmu Kiu-im-kiam-sut yang didapatnya dari Kak-wan Taysu.

Sinar pedang yang berkilauan gemerlapan itu seperti juga segulungan bundar sinar putih yang mengurung tubuh Kwee Siang, sehingga Lie Bun Hap tidak berdaya untuk menyerang dan mendesak terus menerus kepada Kwee Siang. Dia harus memperhitungkan dan mempertimbangkan setiap serangan yang hendak dilakukannya.

Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sangat seru sekali, hampir enampuluh jurus..... tetapi sebegitu jauh mereka bertempur, belum ada juga yang tampak terdesak. Tampaknya mereka berimbang.

Lie Bun Hap yang merupakan tokoh golongan tua. Tentu saja jadi semakin penasaran, karena dia tidak berhasil untuk menundukkan gadis dari golongan muda itu.

Phang Kui In melihat dikening Kwee Siang telah bermanik-manik keringat. Disamping itu juga dari atas kepala Kwee Siang seperti mengepul mengeluarkan semacam uap putih yang tipis.

Rupanya gadis she Kwee itu telah letih sekali, Lie Bun Hap juga bukannya tidak mengalami kerugian dengan pertempuran tersebut, sebab setiap serangan yang dilancarkannya harus memakai banyak sekali tenaganya. Tidak mengherankan jika di saat itu Lie Bun Hap juga telah lelah sekali. Kepalanya mengeluarkan uap putih tipis juga.

Melihat keadaan kedua orang yang sedang bertampur itu, Phang Kui In jadi berkuatir sekali, karena dia menyadari sedikit saja salah seorang diantara merena itu berbuat lengah, tentunya hal itu akan membahayakan jiwanya. Dalam keadaan demikian dengan mengeluarkan suara seruan yang keras sekali, keduanya berulang kali telah melompat mundur. Tetapi mereka hanya mengambil napas sejenak, lalu keduanya telah saling terjang lagi.

„Walaupun bagaimana aku harus membantu Kwee lihiap. Orang she Lie itu bukan orang baik-baik, diapun dari golongan tua, maka tidak perlu aku malu mengeroyoknya.....!”

Dengan tidak memikirkan lagi apa akibatnya, tampak Phang Kui In telah menjejakkan kakinya tubuhnya meloncat mendekati kedua orang yang tengah baku hantam dengan senjata masing-masing.

Sambil meloncat begitu, dia telah mencabut keluar goloknya, dan mengeluarkan bentakan: „Jaga serangan!” tampak tangan kanannya yang memegang senjata tajam itu telah bergerak dengan cepat sekali, sehingga angin desiran dari golok yang membacok itu mengejutkan Lie Bun Hap.

Tetapi sebagai jago yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dia sama sekali menjadi gugup. Tanpa menoleh lagi dia telah menangkis golok yang tengah meluncur ke dirinya dengan tongkatnya yang di tangan kiri.

„Trang.....!” golok Phang Kui In berhasil ditangkisnya.

Orang she Phang itu jadi mengeluarkan suara teriakan tertahan bercampur kesakitan. Yang hebat, waktu goloknya itu telah di tangkis oleh tongkat lawannya, tampaknya tangkisan itu perlahan sekali, tetapi kesudahannya cukup parah untuk Phang Kui In.

Waktu goloknya itu kena ditangkis oleh tongkat lawannya, Phang Kui In merasakan tangannya pedih bukan main, goloknya itu tergetar, dan terlepas dari cekalannya, menyambar ke arah sebatang pohon, dan menancap di situ dalam sekali! Muka Phang Kui In jadi berobah merah dan pucat bergantian. Orang she Phang ini merasa marah dan mendongkol bercampur aduk menjadi satu. Dengan nekad akhirnya dia menyerang lagi dengan tangan kosong.

Pertama-tama begitu terlepas goloknya, Phang Kui In telah melancarkan serangan kepalan tangannya dengan jurus Memukul mati harimau hutan, tangan kanannya ditekuk sedikit dan tangan kirinya dilonjorkan ke depan, kakinya lalu menyerampang bhesi-besi kedua kaki Lie Bun Hap. Kemudian waktu itu Lie Bun Hap berhasil mengelakkan diri, dengan cepat Phang Kui In menyusuli lagi dengan serangan kedua tangannya yang hendak menjambak punggung lawan itu dengan jurus Cengkeraman rajawali merobek hati, itulah semacam jurus eng-jiauw-kang (ilmu kuku garuda), yang mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang bisa dipergunakan mencengkeram lengan kuat sekali. Hanya jurus yang dipergunakan oleh Phang Kui In ada kelebihannya jika dibandingkan dengan eng-jiauw-kang, karena dia bisa saja menarik pulang tangannya jika keadaan tidak mengijinkan, sedangkan eng-jiauw-kang sekali menyambar datang kepada lawan, serangan itu tidak bisa dibatalkan.

Kwee Siang juga tidak tinggal diam, dia telah menggerakkan pedangnya bertubi-tubi melancarkan tikaman dan tabasan kepada Lie Bun Hap. Dengan jurus Dewi mempersembahkan buah, kemudian disusul dengan Dewi menari di taman, berulang kali pedangnya berkelebat-kelebat dengan cepat sekali. Serangan-serangan yang dilancarkannya itu sangat sulit untuk dijaga oleh pertahanan yang bagaimanapun ketatnya. Namun Lie Bun Hap justru saat itu masih sempat untuk menangkis dengan tongkatnya yang satunya lagi, walaupun di saat itu dia tengah menangkis serangan Phang Kui In.

Tetapi dengan melakukan penangkisan terhadap dua serangan yang berlainan arah, Lie Bun Hap telah melakukan, suatu kesalahan yang besar. Begitu pedang Kwee Siang ditangkisnya segera dia merasakan pundaknya sakit bukan main, sampai Lie Bun Hap mengeluarkan jerit kesakitan tanpa diinginkannya. Dia telah meraung dari memutar tongkatnya, sehingga untuk sejenak Phang Kui In dan Kwee Siang tidak bisa melancarkan serangan lagi ketika melihat kekalapan lawan mereka itu.

Ternyata punggung Lie Bun Hap telah kena dicengkeram oleh Phang Kui In, sehingga kulit punggungnya pecah dan tertarik copot oleh cengkeraman jari-jari tangan Phang Kui In. Dengan mengeluarkan suara raungan yang luar biasa kuatnya tampak Lie Bun Hap telah melancarkan kemplangan tongkatnya kepada Phang Kui In dengan seluruh tenaga lweekangnya.

Phang Kui In jadi terbang semangatnya. Tidak mungkin dia menangkis serangan sehebat itu dari lawannya, karena jika Phang Kui In memaksakan diri menangkis juga, berarti dirinya akan terluka berat dan mati. Sedangkan untuk meloloskan diri juga sudah tidak keburu, tongkat Lie Bun Hap telah menyambar datang dekat sekali.

Mati-matian Phang Kui In telah membuang dirinya ke samping kiri, dia telah bergulingan dengan cepat sekali. Namun tidak urung tangan kirinya terkena oleh angin serangan itu, sehingga Phang Kui In mengeluarkan jerit kesakitan, tulang lengan kirinya itu telah hancur remuk terserang oleh gempuran yang sangat kuat itu!

Kwee Siang terkejut. Dia melompat ingin menghampiri Phang Kui In. Tetapi belum lagi Kwee Siang sempat melaksanakan apa yang diinginkannya, tiba-tiba sepasang tongkat dari Lie Bun Hap telah menyambar datang kepadanya dengan cepat sekali.

Kwee Siang terpaksa membatalkan maksudnya untuk melihat keadaan Phang Kui In, dan menangkis kedua tongkat yang tengah menyambar ke dirinya itu. Kemudian Kwee Siang telah membalas menyerang juga, sehingga mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang mati-matian, sebab masing-masing telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Phang Kui In yang semula menggeletak di tanah, telah berusaha untuk bangun, tangan kanannya memegangi tangan kirinya dengan muka meringis menahan sakit. Bisa dibayangkan betapa menderitanya Phang Kui In dengan hancurnya tulang lengannya itu.

Waktu itu Kwee Siang terdesak sekali oleh amukan sepasang tongkat Lie Bun Hap. Beberapa kali Kwee Siang hampir terserang oleh senjata lawan. Untung saja dia memiliki kepandaian delapan pat-kwa, yang diajarkan oleh ibunya, ilmu keturunan keluarga Oey, maka Kwee Siang tidak sampai dirubuhkan oleh lawannya. .

Pedang Kwee Siang menyambar-nyambar bagaikan seekor naga putih yang meluncur. Dengan cepat dan mengincar bagian-bagian yang bisa membinasakan lawannya.

Dalam keadaan seperti itu Kwee Siang juga telah memutar otak untuk mencari jalan keluar guna menaklukkan musuhnya itu! Jika terpaksa Kwee Siang juga bermaksud akan membinasakan lawannya tersebut, karena dia telah melihatnya bahwa Lie Bun Hap merupakan seorang yang kejam dan tidak memiliki perikemanusiaan. Tetapi disebabkan kepandaian lawannya cukup tinggi, mungkin berada di atas kepandaiannya, tidak mudah bagi Kwee Siang untuk membinasakannya.

Lie Bun Hap juga mengeluh dalam hatinya, karena selama ini telah ratusan jurus mereka bertempur, belum ada tanda-tanda dia berhasil mendesak Kwee Siang. Dan juga jadi kuatir kalau-kalau nanti dirinya dirubuhkan Kwee Siang, tentu namanya yang terkenal dan dipupuk selama puluhan tahun itu akan sirna dan runtuh..... Nama baiknya akan tercemar dengan rubuhnya dia, yang pasti akan ditertawai oleh orang-orang rimba persilatan!

Waktu itu Phang Kui In telah bisa berdiri walaupun tubuhnya masih bergoyang-goyang tidak bisa berdiri tetap, namun rasa sakit dilengan kirinya itu sudah berkurang banyak. Tulang lengan kirinya itu hancur, tetapi sebagai seorang jago yang memiliki nama, tentu saja Phang Kui In tidak mau menyerah dengan keadaan seperti itu. Dengan mengeluarkan suara raungan yang tiba-tiba sekali tampak Phang Kui In telah melompat melancarkan serangan ke punggung Lie Bun Hap dengan kepalan tangan kanannya.

Angin serangan itu berkesiuran sangat kuat sekali, sebab Phang Kui In melancarkan serangannya dengan mempergunakan seluruh kekuatan tenaga lweekang yang ada padanya dan waktu itu Lie Bun Hap hanya mendengar suara berkesiuran angin serangan orang she Phang itu, dan dia tanpa menoleh telah menggumam dengan suara dingin:

„Apakah engkau menghendaki hancurnya kembali tulang lengan kananmu.....?” ejeknya. Dan bukan hanya ejekan yang dilontarkan Lie Bun Hap, karena dia telah mengeluarkan tongkat kanannya yang disertai tenaga dalam yang dahsyat, menyampok pergelangan tangan Phang Kui In dengan mempergunakan jurus Tongkat sakti mengemplang kera, gerakannya bukan main dahsyatnya.

22.43. Si Bocah Penyelamat Pendekar

Dalam sekejap mata saja tampak serangan-serangan yang menyambar dengan kuat itu hampir mengenai pergelangan tangan Phang Kui In, tetapi jago she Phang ini yang telah mengetahui kehebatan tongkat lawan telah cepat-cepat menarik pulang tangannya.

Gerakan Phang Kui In sangat cepat. Tetapi tongkat dari lawannya bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga dapat menyerempet bahu Phang Kui In.

Tampaknya serempetan tongkat itu perlahan sekali, tetapi kesudahannya Phang Kui In terjungkal rubuh pingsan! Walaupun pundaknya tidak patah, karena hanya serempetan yang sedikit saja itupun telah cukup membuat Phang Kui In jadi tidak sadarkan diri.

Kwee Siang terkejut melihat Phang Kui In kembali kena dirubuhkan oleh Lie Bun Hap. Dengan tidak membuang-buang waktu lagi tampak Kwee Siang telah meloncat ke dekat Lie Bun Hap sambil berseru:

„Lihat pedang!” pedang di tangannya menyambar dengan jurus Pelangi delapan arah, dimana dia telah melancarkan serangan kepada Lie Bun Hap dengan tikaman-tikaman beruntun dari delapan penjuru arah.

Lie Bun Hap melihat perobahan cara menyerang Kwee Siang, dia jadi lebih berhati-hati.

Apa yang dilakukan oleh Kwee Siang memang ingin mengalihkan perhatian Lie Bun Hap dari diri Phang Kui In, dan usaha si gadis memang berhasil.

Dengan mengeluarkan suara raungan yang sangat keras, Lie Bun Hap telah melompat melancarkan serangan dengan kedua tongkatnya.

„Serrr, serrr,” beberapa kali terdengar berkesiuran angin serangan tongkat Lie Bun Hap.

Kwee Siang melihat lawannya melancarkan serangan nekad seperti itu, jadi mengeluh di dalam hatinya. Karena gadis ini merasakan tekanan-tekanan berat dari kedua tongkat lawannya itu.

Dalam sekejap mata mereka telah bertempur beberapa puluh jurus lagi.

Waktu Lie Bun Hap ingin melancarkan serangan pula, di saat itulah terdengar suara yang nyaring, suara seorang anak kecil: „Tahan.....! Hentikan.....!”

Kwee Siang mengelakkan kemplangan tongkat kanan Lie Bun Hap, dan menusuk dengan pedangnya ke perut lawannya. Gerakannya itu memaksa Lie Bun Hap harus melompat mundur mengelakkan diri. Kesempatan, itu dipergunakan Kwee Siang untuk melirik.

Hatinya jadi meluap gembira.

„Yo Him? Kau sehat-sehat saja?” teriak Kwee Siang dengan suara penuh kegembiraan.

„Hentikan encie Siang..... justru lo-pehpeh (paman) itu yang telah menolongi aku.....!” kata Yo Him sambil berlari menghampiri.

Kwee Siang bernapas lega waktu melihat Yo Him tidak mengalami cidera apa-apa.

Yo Him berlari menghampiri Phang Kui In yang masih menggeletak pingsan di tanah.

„Paman Phang! Paman Phang!” berseru anak itu dengan suara sedih waktu melihat keadaan Phang Kui In.

„Totok jalan darah Tu-lie-hiat di dekat tulang piepe, dia akan segera sadar kembali!” Kwee Siang telah memberikan petunjuk kepada Yo Him.

Yo Him menuruti petunjuk yang diberikan oleh Kwee Siang, dia menotok jalan darah Tu-lie-hiat dari paman Phangnya itu.

Lie Bun Hap saat itu tengah berdiri tegak dengan sikap tidak gembira, wajahnya juga murung sekali. Dia hanya memperhatikan sikap Yo Him dengan sebentar-sebentar mengeluarkan suara dengusan mengandung kemendongkolan.

Totokan Yo Him memang benar-benar telah menyadarkan paman Phangnya itu dari keadaan pingsannya yang cukup lama itu, begitu membuka kelopak matanya, Phang Kui In melihat Yo Him berada dihadapannya.

Kegembiraannya jadi meluap. Lupa akan luka di tangan kirinya, dia mengulurkan kedua tangannya untuk mencekal tangan Yo Him.

Tetapi begitu tangan kirinya digerakkan, dimana tulang lengannya telah hancur, Phang Kui In menjerit kesakitan, tangan itu seperti juga lumpuh tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi. Mukanya juga jadi berobah pucat menahan perasaan sakit.

Yo Him terkejut. „Kenapa kau, paman Phang?”

„Lenganku sakit.....”

„Lengan kiri?”

„Ya, tulang lengan kiriku telah dihancurkan oleh iblis buntung itu.....!” sambil berkata begitu tampak Phang Kui In telah memandang kepada Lie Bun Hap dengan sorot mata mengandung kebencian dan dendam.

Tetapi Lie Bun Hap tidak mengacuhkan sikap Phang Kui In, dengan suara yang tawar dia telah berkata kepada Yo Him.

,,Yo Him, kemarin engkau telah berjanji bahwa engkau tidak akan membantah perkataanku, bukan?”

Yo Him mengangguk cepat. „Ya, aku telah berjanji tidak akan membantah perintah dari lo-pehpeh, yang telah menyelamatkan jiwaku dari kematian..... ditolong dari terjangan ombak.”

„Bagus, bagus!” kata Lie Bun Hap dengan suara yang tetap dingin, bahkan di sudut bibirnya tampak seulas senyuman bergaris sinis. ,,Sekarang juga aku perintahkan engkau kembali ke rumahku dan tinggalkan manusia tidak punya guna itu!”

„Lo pehpeh?!” Yo Him terkejut.

„Kukatakan, kini engkau kuperintahkan untuk kembali ke rumahku!”

„Tapi lo-pehpeh, paman Phangku ini telah menderita luka cukup serius yang harus cepat-cepat ditolong.....!” kata Yo Him.

Mata Lie Bun Hap jadi berkilat bengis, dia telah berkata.dengan suara yang dingin:

„Tadi kau baru menyatakan akan menuruti setiap perintahku, tetapi belum lagi janjimu itu lenyap dari telingaku, kau telah melanggarnya sendiri!”

Yo Him jadi serba salah, dia telah berkata dengan suara yang ragu-ragu,

„Tapi lo-pehpeh, paman Phang sudah kuanggap sebagai orang tuaku. Dan enci Siang sebagai cici kandungku,.....! Bagaimana aku bisa membiarkan mereka menderita? Lo-pehpeh, silahkan memerintahkan kepadaku untuk melakukan pekerjaan lainnya saja, walaupun harus terjun ke dalam kobaran api atau minyak panas, aku tidak akan menampiknya.....!”

„Sungguh kata-kata yang takabur sekali!” kata Lie Bun Hap. „Apakah kata-katamu yang sekarang ini bisa dipegang kebenarannya?”

Yo Him mengangguk cepat tanpa ragu-ragu

„Benar lo-pehpeh, perintahkanlah apa saja asal kau tidak mengganggu paman Phang dan encie Siang, aku akan melakukan semua perintah itu sebaik mungkin!” tegas waktu Yo Him berkata begitu, dia juga memperhatikan sikap bersungguh-sungguh.

Phang Kui In jadi berkuatir sekali, disamping itu diapun jadi berduka. Dia mengetahui sejak kecil Yo Him telah menerima banyak kesengsaraan dan juga dia selalu menderita di bawah tekanan-tekanan yang terjadi pada keluarganya, dimana sejak dilahirkan Yo Him belum pernah melihat ayah kandungnya. Dan begitu juga dia dengan ibunya, ketika masih berusia tidak lebih dua bulan, harus berpisah dengan ibu kandungnya.

Sekarang demi kepentingan dan keselamatan Phang Kui In dan Kwee Siang dia bersedia menjadikan dirinya sebagai tumbal, tentu saja hal itu telah membuat Phang Kui In jadi terharu sekali. Sampai dia menitikkan air matanya. Dan di saat itu tangan kanannya yang tidak mengalami cidera telah diulurkan dan mencekal tangan anak itu.

“Him-jie engkau jangan memikirkan kami, pergilah dan ikutilah lo-enghiong itu, tentu engkau akan menjadi murid yang pandai dan kelak memiliki kepandaian yang tinggi.....!”

Saat itu Lie Bun Hap telah tertawa dengan suara yang nyaring, katanya, „Sekarang mari engkau buktikan kata-katamu itu! Aku akan memberikan perintah di luar dari kepentingan kedua orang tolol itu, tetapi jika perintahku kali ini ditampik olehmu, hemm, hemm, kau tidak perlu bicara lagi, orang itu akan kubinasakan!” Kemudian Lie Bun Hap telah bertanya lagi, „Tadi engkau mengatakan tidak takut untuk terjun ke dalam minyak panas atau terjun ke dalam kobaran api, bukankah begitu?”

Yo Him mengangguk cepat, sedikitpun dia tidak memperlihatkan keragu-raguan.

„Tepat! Perintah apa saja yang akan diberikan lo-pehpeh akan kulaksanakan, asal lo-pehpeh mau mengampuni jiwa paman Phangku ini dan juga membebaskan encie Siang.....!”

Lie Bun Hap telah tertawa gelak-gelak dengan suara yang sangat mengerikan, dia telah menggerakkan kedua tongkatnya, dimana tubuhnya memang mengandalkan kedua tongkat tersebut untuk berjalan karena dia tidak memiliki sepasang kakinya lagi.

Waktu tiba di dekat sebatang pohon, dia menoleh kepada Yo Him.

„Nah, sekarang engkau siapkan kayu-kayu kering, kumpulkan cukup banyak.....!!” kata Lie Bun Hap kemudian.

Yo Him menuruti perintah itu, walaupun hatinya berdebar-debar karena dia dapat menduganya apa yang akan dihadapinya nanti. Tetapi tidak urung anak yang besar hati dan tabah ini melaksanakan perintah Lie Bun Hap, dia mengumpulkan cabang dan ranting kering, yang ditumpuknya menjadi cukup tinggi. Selesai mengumpulkan ranting-ranting itu Yo Him menoleh kepada Lie Bun Hap.

„Apa yang harus kulakukan lagi?” tanyanya kemudian.

„Nyalakan api pada ranting-ranting kering itu!” perintah Lie Bun Hap pula.

„Him-jie, jangan kau turuti perintah gila dari manusia tidak mengenal perikemanusiaan ini!” teriak Kwee Siang ketika menyaksikan semua itu dan dapat menduga apa yang hendak diperintahkan Lie Bun Hap kepada Yo Him.

Yo Him menoleh kepada Kwee Siang sambil katanya, „encie Siang, bukankah seorang kuncu tidak akan menjilat kembali ludahnya yang telah dibuang? Bukankah kata-kata seorang kuncu merupakan kuda yang dicambuk dan tidak bisa ditarik mundur pula? Sudahlah encie Siang asal lo-pehpeh ini mau mengampuni kalian, apa saja yang diperintahkannya akan kulaksanakan!”

Muka Kwee Siang berubah menjadi pucat.

“Yo Him, kau.....?”

Tetapi belum habis suara Kwee Siang, di saat itu tampak Lie Bun Hap telah tertawa bergelak-gelak, menyeramkan sambil mengawasi ke arah Phang Kui In yang duduk numprah dengan muka yang pucat pias.

Sedangkan Yo Him telah mulai menyalakan api pada tumpukan ranting itu. Sebentar saja api telah berkobar tinggi.

Lie Bun Hap berhenti tertawa. Kemudian katanya dengan suara yang nyaring: „Sekarang aku perintahkan kepadamu. Him-jie, untuk terjun ke dalam kobaran api.....!”

Muka Yo Him pucat seketika, dia memang telah menduga akan menerima perintah seperti itu, tetapi dia tidak yakin bahwa Lie Bun Hap benar-benar tidak memiliki perikemanusiaan dan ingin membuktikan kata-katanya dengan perintahkan dia terjun ke dalam kobaran api itu.

Tetapi perobahan di muka Yo Him hanya sejenak, kemudian sambil tersenyum tabah dia telah berkata kepada Lie Bun Hap: „Lo-pehpeh, aku akan membuktikan bahwa janjiku bukan main-main, dan aku akan menuruti perintah yang diberikan lo-pehpeh, tetapi lo-pehpeh juga harus menepati janjimu tidak akan mengganggu lagi encie Siang dan paman Phang, mereka harus dibebaskan!”

„Oh, tentu, tentu,” kata Lie Bun Hap dengan suara yang keras. Kemudian dia tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi: „Aku akan membebaskan jika mereka telah melihat engkau membuktikan perkataanmu itu!”

„Jangan Him-jie!” teriak Phang Kui In dengan suara gemetar dan berusaha untuk bangkit. „Biar aku yang binasa, engkau tidak perlu mengorbankan jiwa untuk kami.....!”

„Benar Him-jie, jangan kau lakukan perbuatan gila seperti itu!” teriak Kwee Siang sambil melompat akan menolongi dan mencegah Yo Him terjun dalam kobaran api.

Suara tertawa Lie Bun Hap terdengar nyaring sekali, dia tertawa mengejek.

Yo Him karena kuatir nanti dicegah dan dihalangi oleh Kwee Siang, tanpa berpikir lagi dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat ke dalam kobaran api sambil berteriak: „Selamat tinggal paman Phang! Selamat tinggal encie Siang!”

Phang Kui In dan Kwee Siang masing-masing mengeluarkan suara jeritan ngeri menyaksikan itu. Mereka telah mengeluarkan suara teriakan yang sangat menyayatkan, bahkan Kwee Siang telah menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

Tetapi waktu tubuh Yo Him meluncur atau terjun dalam kobaran api yang sangat besar itu, sesosok bayangan yang tidak jelas ujudnya telah bergerak cepat sekali, disusuli dengan kata-kata: „Anak yang baik! Engkau memang berbakat menjadi muridku!”

Dan bayangan itu bukan hanya sekedar berkata-kata saja, tetapi telah mempergunakan sebatang tongkat untuk menahan lajunya tubuh Yo Him, karena tongkat itu telah melemparkan Yo Him, sehingga tubuh anak itu terpental dan bergulingan ke tanah, terpisah cukup jauh dari kobaran api.

Dengan merangkak Yo Him telah bangkit kembali, mukanya telah dilumuri darah yang mengucur keluar dari hidungnya yang terantuk batu.

„Him-jie.....!” teriak Kwee Siang kaget dan cepat-cepat lompat menghampirinya. „Kau..... kau tidak apa-apa?”

„Him-jie.....!” Phang Kui In juga telah memanggilnya sambil berjalan dengan bersusah payah karena memang tenaganya seperti telah habis dan luka di tangan kirinya itu menyebabkan kelumpuhan sebelah tubuhnya yang kiri.

Yo Him telah menggelengkan kepalanya perlahan. „Aku tidak apa-apa encie Siang dan paman Phang, kalian tidak usah berkuatir begitu!” Dan setelah berkata begitu Yo Him menoleh kepada Lie Bun Hap, katanya: „Lo-pehpeh, mengapa engkau melakukan hal itu, memukul perutku dengan tongkatmu sehingga aku tidak bisa melaksanakan perintahmu terjun ke dalam api?”

Memang yang tadi berkelebat adalah Lie Bun Hap yang bergerak sangat gesit sekali, dan dia mempergunakan tongkatnya untuk menahan lajunya tubuh Yo Him. Tadi dia hanya ingin menguji hati Yo Him belaka, sesungguhnya dia merasa sayang kepada anak ini, yang dilihatnya memiliki otak yang cerdas dan juga memiliki bakat yang baik.

„Aku tadi hanya ingin melihat kesungguhanmu terhadap janjimu sendiri. Aku lihat engkau anak yang baik yang selalu menepati janjimu! Baiklah! Kalian bertiga kubebaskan untuk meninggalkan pulau ini.”

Yo Him cepat-cepat berlutut menyatakan terima kasihnya. Phang Kui In juga telah mengangguk dengan sorot mata berterima kasih, walaupun Lie Bun Hap tadi telah mencelakai dirinya, yaitu tangan kirinya yang jadi lumpuh karena telah hancur tulang lengannya.

Kwee Siang memasukkan pedangnya ke dalam serangkanya, kemudian merangkapkan kedua tangannya, dia telah memberi hormat sambil berkata,

„Terima kasih atas kebaikan locianpwe.....!”

„Hemm, seharusnya bukan kepadaku kalian menyatakan terima kasih, tetapi kalian harus berterima kasih kepada Yo Him. Karena anak inilah yang telah menyelamatkan jiwa kalian dari kematian.”

Yo Him cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah.

„Anak him…...” Kata Lie Bun Hap lagi, „Apakah kau bersedia menjadi muridku?”

Mendengar tawaran seperti itu, Yo Him jadi serba salah, tapi akhirnya dia telah berkata:

„Maafkan lo-pehpeh sebetulnya kami melakukan perjalanan untuk menemui seseorang yang sangat besar artinya untukku, yaitu ayah kandungku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Maka dari itu alangkah sulitnya bagiku untuk belajar ilmu silat sekarang ini!”

„Aku ingin menurunkan seluruh kepandaianku, dan engkau bisa mempelajarinya nanti setelah engkau memiliki waktu yang luang. Kulihat engkau seorang anak yang cerdas sekali..... Maka aku akan membacakan kauw-koat ilmu silatku itu selama satu bulan, setelah itu kalian boleh melanjutkan perjalanan kalian.”

Waktu berkata begitu, sikap Lie Bun Hap bersungguh-sungguh dan Yo Him tidak tega untuk menolak permintaan tersebut. Dia telah mengangguk. Lalu menoleh kepada Phang Kui In dan Kwee Siang.

„Bagaimana baiknya paman Phang dan encie Siang?” tanya Yo Him kemudian.

„Terserah padamu sendiri!” jawab Phang Kui In sambil tersenyum girang, karena dengan orang tua she Lie itu menurunkan kepandaiannya kepada Yo Him, walaupun baru kauw-koatnya saja, tetapi tentu memiliki faedah yang tidak kecil buat Yo Him.

„Dan engkau encie Siang?” tanya Yo Him kepada Kwee Siang juga, waktu melihat Kwee Siang masih berdiam diri.

„Jika memang engkau tidak keberatan untuk belajar, ya kami hanya menanti saja sampai kau selesai menerima ajaran locianpwe itu dan kita melanjutkan pula perjalanan kita!”

Mendengar sampai disitu, hati Yo Him telah tetap, tahu-tahu dia telah pay-kui berlutut dihadapan Lie Bun Hap, sambil katanya,

„Suhu, tecu memberi hormat.”

Lie Bun Hap cepat-cepat membangunkan anak itu berdiri. „Bangunlah muridku, sejak saat ini engkau menjadi murid tunggalku, sebagai murid satu-satunya, yang pertama dan juga penutup! Kuharap saja engkau bisa belajar dengan tekun dan baik, sehingga kelak engkau bisa menjadi pendekar yang berdiri dikeadilan membela yang lemah. Watakmu tentu tidak buruk, aku yakin anak dari pendekar besar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tentu saja memiliki sifat-sifat baik seperti ayahnya. Dan juga kelak jika kau telah bertemu dengan ayah kandungmu, Him-jie, engkau bisa minta dituruni ilmu-ilmunya yang hebat-hebat.....!”

„Terima kasih suhu,” kata Yo Him dengan suara berterima kasih. „Tecu (murid) akan berusaha sedapat mungkin untuk belajar dari menghapal semua ilmu yang diturunkan suhu!”

„Bagus!” kata Lie Bun Hap. „Sekarang mari kita obati dulu tulang paman Phangmu itu, agar segera dapat sembuh, di saat engkau belajar ilmu silat padaku paman Phangmu itu bisa beristirahat, dan sebulan lagi tentunya paman Phangmu itu telah sembuh.”

Begitulah sejak hari itu Phang Kui In dan Kwee Siang bersama Yo Him telah menetap di pulau itu. Lie Bun Hap ternyata memiliki obat yang sangat mujarab sekali, dia telah mengobati tulang Phang Kui In yang semula hancur. Lewat limabelas hari tangan kiri Phang Kui In sudah dapat dipergunakan dan digerak-gerakkan lagi. Sedangkan Kwee Siang selama itu melatih diri dengan giat, dan dia telah memperoleh kemajuan yang pesat sebab Lie Bun Hap yang sangat berpengalaman, walaupun kepandaiannya mereka berimbang, dapat melihat beberapa kelemahan didiri Kwee Siang dan dia telah memberitahukannya agar merobahnya.

Di bawah petunjuk-petunjuk seorang jago yang memiliki kepandaian setinggi Lie Bun Hap dengan sendirinya Kwee Siang memperoleh kemajuan yang pesat. Terlebih lagi memang kepandaian yang diberikan oleh kedua orang tuanya dan kakek luarnya, Oey Yok Su telah cukup dikuasainya dan juga dia pernah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Yo Ko.

Yo Him telah menerima didikan dari Lie Bun Hap, dimana anak ini telah diberikan teori-teori ilmu silat kelas satu dia juga diajarkan gerakan-gerakan untuk melatih diri.

Betapa terkejutnya Lie Bun Hap waktu melihat Yo Him memiliki kepandaian yang luar biasa, yaitu kepandaian tenaga dalam yang mujijat sekali. Dengan demikian tampak Lie Bun Hap melatih Yo Him jadi lebih bersemangat lagi.

Y

Tanpa terasa telah lewat dua bulan.....

Tetapi ilmu yang diturunkan oleh Lie Bun Hap belum juga selesai, karena jago she Lie ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan bermacam ragam.

Akhirnya lewat lagi tiga bulan..... dan atas saran Phang Kui In, yang girang melihat Yo Him bisa memperoleh ilmu-ilmu yang hebat itu, merasa sayang jika memang harus meninggalkan pulau itu, dia menganjurkan agar Yo Him meneruskan pelajarannya sampai selesai. Semakin dipelajari, semakin tertarik hatinya, karena jurus demi jurus akhirnya dipelajari bukan hanya kauw-koatnya saja, tetapi juga prakteknya, dimana Yo Him telah melatihnya dua atau tiga hari untuk setiap jurusnya. Dalam keadaan seperti itu, Yo Him akhir-akhirnya tidak menyadari telah satu tahun lebih dia berada di pulau terpencil tersebut.

Phang Kui In juga membiarkan Yo Him belajar terus, begitu pula dengan Kwee Siang, karena mereka melihatnya bahwa dalam satu tahun saja Lie Bun Hap berhasil mendidik Yo Him memiliki kepandaian yang tinggi. Walaupun belum bisa menandingi kepandaian Kwee Siang atau Phang Kui In tetapi jika berhadapan dengan lawan yang memiliki kepandaian biasa saja Yo Him tidak mungkin kalah!

Selesailah sudah Lie Bun Hap melatih Yo Him ilmu silat tangan kosong, mempergunakan delapan belas macam senjata tajam dan juga menurunkan pelajaran tenaga lweekang yang berasal dari tingkat tinggi, sehingga dalam setahun saja Yo Him telah memiliki kepandaian lweekang yang berimbang dengan Kwee Siang dan Phang Kui In. Telah dua tahun tidak terasa mereka menetap di pulau itu, dan kini Yo Him sudah menjadi seorang pemuda berusia limabelas tahun yang memiliki paras sangat tampan.

Yo Him rajin sekali mempelajari ilmu silat yang diturunkan Lie Bun Hap, dan lewat setengah tahun lagi, waktu pemuda ini telah berusia enambelas tahun, selesailah pelajarannya.

Suatu hari Phang Kui In mengingatkan Yo Him bahwa mereka harus segera meninggalkan pulau ini karena harus mencari Sin-tiauw Tayhiap. Maka pada pagi itu Yo Him telah menemui gurunya, dia menceritakan keinginannya untuk berkelana mencari jejak ayahnya. Dengan perasaan sedih dan berat, Lie Bun Hap meluluskan juga keinginan muridnya.

„Engkau harus baik-baik menjaga diri. Dan juga harus berlatih terus, agar kepandaianmu bertambah baik, dan ingat, engkau hanya boleh mempergunakan kepandaian itu untuk membela keadilan saja, tidak boleh dipergunakan semau-maunya saja.....!”

„Tecu akan menjunjung pesan suhu!” kata Yo Him kemudian.

Begitulah, keesokan harinya Kwee Siang, Phang Kui In dan Yo Him telah pamitan kepada jago tua Lie Bun Hap. Yo Him berjanji jika kelak dia telah berhasil bertemu dengan ayahnya, tentu akan sering-sering datang ke pulau ini untuk menjenguk gurunya.

Dengan mempergunakan sebuah perahu yang buatannya sederhana sekali, mereka bertiga melakukan pelayaran. Sedangkan Lie Bun Hap telah mengantarkan mereka sampai di tepi pantai.

Dua hari dua malam mereka berlayar terus tanpa hentinya. Dan selama itu mereka tidur dengan bergantian. Untung saja selama dalam pelayaran itu mereka tidak menderita gangguan angin topan atau badai, sehingga mereka bisa sampai di pinggiran kota Mu-ting-kwan, sebuah kota yang sangat ramai. Telah sepuluh hari lamanya mereka melakukan perjalanan yang meletihkan sekali, maka Phang Kui In bermaksud mengajak Yo Him dan Kwee Siang beristirahat di kota tersebut.

Kota Mu-ting-kwan merupakan kota yang cukup besar, karena kota yang terletak di tepi laut itu merupakan bandar perdagangan yang banyak dikunjungi orang dari berbagai kota.

Phang Kui In mengajak Kwee Siang dan Yo Him memasuki sebuah rumah makan, yang mewah sekali. Tamu-tamu juga banyak memenuhi ruangan makan itu. Phang Kui In bertiga memilih sebuah meja yang masih kosong, lalu mereka memesan makanan kegemaran mereka, yaitu kodok salju yang dicah, ditambah lagi dengan beberapa macam sayur-sayur lainnya.

Ketika pelayan mempersiapkan pesanan mereka, ketiga orang ini makan dengan lahap. Selama sepuluh hari mereka berada di tengah laut, tentu saja hal itu membuat mereka mengiler dan lahap sekali menghadapi makanan sedap seperti itu. Suara tawa dari teriak yang ramai dari para tamu-tamu lainnya yang memenuhi ruangan makan itu tidak diperdulikan oleh mereka, karena mereka tengah menikmati sayur-sayur dan nasi di mangkok masing-masing. Phang Kui In sampai menghabiskan tiga mangkok nasi, sedangkan Kwee Siang hanya satu mangkok saja, begitu juga dengan Yo Him yang makan tidak begitu banyak.

Phang Kui In sambil makan menceritakan perihal orang-orang kang-ouw yang senang berkelana, setiap tiba di sebuah kota, tentu akan mencicipi makanan khas dari kota yang bersangkutan. Menarik sekali cerita Phang Kui In, sehingga menambah selera makan mereka. Waktu Phang Kui In ingin memanggil pelayan untuk minta tambah nasi semangkok lagi, tiba-tiba terpisah tiga meja dari mereka, ada seseorang yang berkata dengan suara yang nyaring:

„Ha ha, ha! Apakah kalian tidak melihat monyet gunung yang sedang makan?”

Muka Phang Kui In jadi berobah merah, karena dia mengetahui kata-kata itu tentunya ditujukan kepadanya, ketika dia menoleh segera dilihatnya orang yang duduk terpisah tiga meja dari dia, telah memandangi dia sambil tertawa. Kelima orang kawannya juga telah tertawa bergelak-gelak. Mereka mengenakan pakaian mewah sekali, menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari keluarga berada dan kaya.

„Lihat! Lihat! Monyet hutan itu jika marah, sangat menakutkan sekali,” kata orang yang tadi membuka suara.

Segera riuh suara tertawa kelima orang kawannya. Sedangkan tamu-tamu lainnya juga telah ikut tertawa.

Muka Phang Kui In jadi berobah kian merah. Sedangkan Yo Him dan Kwee Siang ikut menoleh, mereka melihatnya bahwa orang itu memang tengah mengolok-olok Phang Kui In. Darah mereka jadi meluap juga. Phang Kui In telah membanting mangkok nasinya ke atas meja „pranggg” mangkok itu telah pecah hancur berkeping-keping. Kemudian dia telah meloncat berdiri dengan penuh kemarahan.

„Tuan-tuan kami tidak saling mengenal dengan kalian, tetapi mengapa mulut kalian begitu lancang menyebut bahwa diriku sebagai monyet hutan?”

Teguran Phang Kui In pedas sekali, diapun berani, sama sekali tidak gentar walaupun melihat orang yang mengejek dirinya itu berjumlah enam orang.

Orang yang tadi berkata-kata, yang usianya kurang lebih tigapuluhan tahun, telah tertawa terus sambil kemudian dia berkata dengan suara yang dingin: „Lalu apa maumu? Mau minta dihajar? Hemmm..... jika memang engkau meminta penggebuk silahkan maju kemari!”

Dan benar-benar orang itu memasang sikap menantang, berdiri tegak dan wajahnya memantulkan sikap mengejek. Sedangkan salah seorang kawannya telah berkata: ,,Benar Han twako, monyet hutan memang harus digebuk, jika tidak, bisa semakin kurang ajar! Biarlah Han twako, aku Cie Siung Hu yang mewakilimu menggebuk monyet hutan itu.....!”

„Boleh! Boleh!” kata Han twako dengan suara disertai tertawanya. „Jika monyet hutan itu telah digebuk barulah kita pesta pora untuk merayakannya!”

„Setuju! Setuju!” teriak kawan-kawannya yang lain.

Muka Phang Kui In jadi berobah tambah merah. Inilah penghinaan yang belum pernah diterimanya. Dia telah melangkah maju lebih dekat tahu-tahu baju di bagian dada dari kawan Han twako itu, yang menyebut dirinya bernama Cie Siung Hu itu, telah kena dicengkeram keras.

Tetapi waktu Phang Kui In ingin menghentaknya untuk menghantam kepala orang she Cie tersebut, tiba-tiba Cie Siung Hu telah menggerakkan tangan kanannya, dan „tukk!” dada Phang Kui In telah tertotok jitu sekali.

Sesungguhnya kepandaian Phang Kui In tidak berada di bawah kepandaian lawannya, namun karena dia tidak bersiap siaga dan berlaku ceroboh, maka dia telah kena tertotok yang membuat dia akhirnya terjungkel rubuh tidak dapat bergerak lagi.

Waktu itu Kwee Siang dengan cepat telah melompat sambil mencabut pedangnya. „Kalian manusia usil dan jahat!” katanya sambil membaling balingkan pedangnya itu.

Han twako tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara yang congkak. „Nona manis, engkau ingin main-main denganku?” tanyanya kemudian dengan ceriwis sekali, „Baik! baik! Mari aku menemanimu untuk main-main. Jangan takut, aku, Han Pu Sian bukan sebangsa manusia jahat.....!”

„Orang she Han, engkau keterlaluan sekali, cepat perintahkan pembantumu itu untuk membebaskan kawan kami yang tertotok itu!” kata Kwee Siang dengan berang.

„Hemmm, jadi engkau keberatan jika kawanmu itu tertotok? Nah jika begitu, kau bebaskanlah,” tantangan itu nadanya tengik sekali.

Tetapi Kwee Siang yang diliputi kemarahan melihat sikap cerengesan dari lawannya itu, sambil menabas udara kosong dengan pedangnya dia telah berkata:

„Baik, kau siapkanlah senjatamu.....!”

„Senjata?”

„Ya, senjatamu!”

„Seumurku belum pernah mempergunakan senjata tajam. Baiklah jika memang nona bersedia untuk main-main dengan aku, Han twakomu ini akan menemanimu!”

Bukan main mendongkolnya Kwee Siang dia merasakan pipinya sampai berobah panas memerah, sambil menggerakkan pedangnya menikam ke arah paha lawannya yang cerengesan itu, tampak si gadis juga telah berseru, „Lihat pedang.....!”

Han twako itu mengeluarkan seruan sambil tertawa centil, katanya: „Nona manis yang galak! Sungguh menakutkan! Tetapi wajahmu..... amboi, wajahmu itu demikian cantik, dan menarik, terlebih lagi dalam keadaan marah seperti itu.” Dan sambil mengejek, tampak Han twako itu telah berkelit ke samping dengan gesit, gerakannya tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa.

Bahkan untuk kagetnya Kwee Siang, jari telunjuk orang telah mencolek pipinya, menambah kemarahan Kwee Siang. Dia melihat kepandaian Han Pu Sian tidak lebih tinggi dari kepandaiannya, hanya orang she Han itu memiliki lweekang yang lebih kuat sehingga membuat Kwee Siang jadi kelabakan juga. Telah sepuluh kali Kwee Siang melancarkan tikaman dan tusukan pedangnya, beruntun dia mempergunakan jurus Buddha tersenyum melambaikan tangan, disusul pula dengan Kupu-kupu terbang menotol air, lalu jurus-jurus hebat lainnya yang menyambar gencar kepada orang she Han itu. Tapi dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya, orang she Han itu selalu berhasil mengelakkan diri.

„Jagalah seranganku!” Kata Han Pu Sian dengan suara yang nyaring ketika suatu kali dia telah mengelakkan diri dari serangan Kwee Siang. Dia melancarkan cengkeraman tangan ke arah dada si gadis dengan sikap ceriwis sekali, dengan jurus Menangkap ikan menghalau air, itulah penyerangan yang dilakukannya dengan gerakan yang biasa, tetapi karena dia telah sempurna ginkangnya, dengan sendirinya dia dapat melaksanakan serangannya itu secepat kilat.

Waktu itu Kwee Siang jadi tambah gusar saja, karena dia melihat semakin lama Han Pu Sian itu semakin kurang ajar.

Pedangnya diputar melindungi tubuhnya dan sinar pedang yang putih gemerlapan itu telah mengurung dirinya, sehingga tidak ada satu serangan pun yang berhasil menembus penjagaannya yang ketat itu.

Han Pu Sian melihat betapa serangannya tidak berhasil, bahkan si gadis mengadakan penjagaan diri begitu rapat, jadi semakin penasaran. Beberapa kali dia melancarkan serangan lagi.

Waktu itulah Yo Him telah berteriak nyaring: „Encie Siang, mundurlah, biarlah aku yang menghadapi orang ceriwis itu!!”

Kwee Siang sebetulnya tidak setuju dengan tawaran jasa Yo Him, tetapi karena mengingat Yo Him baru saja menyelesaikan pelajarannya pada gurunya, yaitu Lie Bun Hap, dia ingin melihat sampai dimana Yo Him bisa menghadapi lawan yang cukup berat ini.

„Baik adik Him..... tetapi engkau harus hati-hati.....!” kata Kwee Siang sambil menikam kepada lawannya dan waktu Han Pu Sian melompat mundur, di saat itulah dia telah membarengi melompat ke belakang.

Sedangkan Yo Him telah loncat maju mendekati Han Pu Sian sambil berkata: „Aku yang akan mewakili encie Siang untuk mengajar adat padamu, lelaki hidung belang.....!” kata Yo Him.

Semula Han Pu Sian dan kawan-kawannya heran dan tertegun melihat pemuda dihadapannya.

„Engkau sedang bergurau atau bersungguh-sungguh kawan kecil?” tegur Han Pu Sian dengan suara yang dingin, disertai dengan suara tertawa yang meremehkan sekali.

„Aku bersungguh-sungguh?! Majulah! Kau tidak mempergunakan senjata, akupun akan menghadapimu dengan bertangan kosong!” kata Yo Him.

Bola mata Han Pu Sian jadi bergerak-gerak bermain tidak hentinya, karena dia jadi diliputi kemarahan yang bukan main.

„Kau..... kau terlalu menghinaku!” kata Han Pu Sian mendongkol. „Dan engkau jangan menyesal jika kelak aku menurunkan tangan keras padamu!”

„Silahkan!” Kata Yo Him sambil tersenyum tenang.

Kemudian Yo Him telah membenarkan kedudukan kakinya, memperkuat bhesi-bhesi kedua kakinya.

„Silahkan menyerang.....!” katanya menantang lagi.

Karena gusar sekali telah membuat Han Pu Sian tertawa gelak-gelak dengan suara yang mengandung hawa pembunuhan.

„Baik! Baik! Aku akan melancarkan serangan kepadamu! Engkau jagalah!!” dan Han Pu Sian dalam gusarnya sudah tidak memperdulikan nanti akan ada yang mengatakan si tua menghina si kecil, yang terpenting dia harus dapat merubuhkan anak muda ini. Tangan kirinya telah digerakkan melingkar-lingkar seperti juga seekor ular saja, kemudian tangan kanannya juga telah bergerak-gerak lagi dengan cepat. Dalam waktu yang sangat singkat sekali, dia telah meluncurkan empat gempuran dari empat penjuru.

Tetapi Yo Him yang sekarang bukan Yo Him beberapa saat yang lalu. Yo Him sekarang telah merupakan seorang pemuda yang tangguh dan gagah. Kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah kepandaian Kwee Siang atau Phang Kui In, dia hanya masih kalah pengalaman dibandingkan dengan kedua orang itu.

Sekarang melihat lawannya melancarkan serangan kepadanya, tampak Yo Him masih berdiri tegak menantikan saja, sampai akhirnya setelah kepalan kedua tangan Han Pu Sian hampir tiba di dada dan lambungnya, di saat itu juga tampak Yo Him telah mengerakkan kedua tangannya seperti gunting japit, dan dia ingin mengunci tangan lawannya.

22.44. Pendekar Muda Sin-tiauw Thian-lam

Namun karena memang baru kali ini Yo Him berkelahi mempergunakan tenaga latihannya, maka dia masih kurang pengalaman. Dia telah berhasil menjapit dan menggunting kedua tangan lawannya serta dikuncinya, tetapi waktu dia harus menekan ke bawah agar tangan lawannya itu patah, Yo Him tidak sampai hati dan dia melepaskan kunci tangannya itu kembali.

Han Pu Sian yang semula telah putus asa dan terkejut waktu kedua tangannya terkunci tangan lawan, dan mengeluh dalam hati, akhirnya jadi bernapas lega waktu merasakan kedua tangannya terbebaskan dari jepitan tangan Yo Him. Tanpa membuang kesempatan yang ada tampak Han Pu Sian telah meluncurkan tangan kanannya ke arah lambung Yo Him.

„Bukk,” Yo Him yang tidak menyangka bahwa lawannya bisa berlaku curang seperti itu telah kena digempur lambungnya, sampai dia mengeluarkan jerit tertahan dan telah terguling, tetapi cepat sekali dia telah bangkit pula.

Kwee Siang yang menyaksikan hal itu jadi marah sekali, dia telah membentaknya: „Kau seorang pengecut yang tidak tahu malu!”

Baru saja Kwee Siang ingin melancarkan serangan kepada lawannya, tiba-tiba Yo Him yang telah melompat berdiri lagi telah berseru: „Mundur encie Siang, biar aku mewakilimu menghajar adat padanya.....!” teriaknya sambil melompat ke depan Kwee Siang.

Kwee Siang ragu-ragu, tetapi setelah berkata: „Hati-hati adik Him..... Dia licik sekali!” lalu dia mengundurkan diri.

„Ya, aku telah merasakannya tadi..... manusia seperti dia tidak perlu dikasihani!” mengangguk Yo Him. Dan kali ini Yo Him tidak meminta lawannya menyerang, sambil menjejakkan kakinya tampak tubuh Yo Him telah meloncat cepat sekali, kedua tangannya telah bergerak melancarkan pukulan-pukulan yang dahsyat.

Dalam sekejap mata saja sepuluh jurus sudah berlalu, dan Han Pu Sian telah terdesak sementara waktu. Walaupun dia memiliki ginkang yang tinggi tetapi karena dia diserang dengan gencar dan memang Yo Him tengah marah sekali, maka dia jadi sibuk sendirinya.

Tetapi Han Pu Sian cepat sekali berhasil mengendalikan keadaan dengan mengeluarkan suara bentakan yang nyaring beruntun dua kali dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk membalas serangan-serangan Yo Him. Gerakan-gerakan yang dilakukannya ternyata bisa menindih juga tenaga serangan Yo Him.

„Pergunakan jurus-jurus Kim-ie-kun-hoat (ilmu pukulan tangan kosong ikan emas)!” teriak Kwee Siang ketika melihat Yo Him agak gugup dikurung oleh serangan-serangan kedua tangan lawannya.

Yo Him baru teringat kepada jurus ilmu pukulan tangan kosong yang diajarkan oleh gurunya, yaitu Lie Bun Hap kemudian dia telah merobah cara menyerangnya. Dengan menjejakkan kakinya, tubuhnya cepat sekali meloncat ke tengah udara dengan meletik seperti seekor ikan, tubuhnya melengkung dan meluncur turun menyambar kepada lawannya dengan kedua tangan dijulurkan.

Waktu itu, tampak Han Pu Sian telah mengeluarkan kegesitannya melompat ke belakang, ingin mengelakkan diri dari serangan yang dilancarkan Yo Him.

Tetapi gerakan Yo Him tidak kalah gesitnya, begitu serangannya gagal, dia mengulangi lagi dengan serangan berikutnya. Kali ini kedua tangan Yo Him menyambar dengan cepat sekali, mengandung kekuatan lweekang yang murni, angin serangan berdesir halus, tetapi memiliki kekuatan yang dahsyat sekali.

„Dukk!” tidak dapat Han Pu Sian mengelakkan diri dari serangan itu. Dan dia telah terjungkal bergulingan di atas tanah.

Ketiga orang kawannya telah melompat menyerang kepada Yo Him dengan mempergunakan senjata masing-masing, yaitu sebatang golok panjang. Sedangkan kawan Han Pu Sian yang seorangnya lagi telah melompat kesamping Han Pu Sian untuk memeriksa keadaan kawannya yang seorang ini.

Tetapi Yo Him dengan berani telah melayani ketiga orang lawannya.

Kwee-siang tidak senang melihat lawan-lawannya melakukan penyerangan secara mengeroyok, maka dia telah mengeluarkan suara bentakan sambil melompat menghampiri ke gelanggang pertempuran dan memutar pedangnya.

Ketiga orang kawan Han Pu Sian itu mana bisa menghadapi serangan Yo Him dan Kwee Siang. Baru berlangsung sepuluh jurus saja tampak dua orang diantara mereka telah tergempur dadanya oleh kepalan tangan Yo Him, rubuh pingsan tidak sadarkan diri. Sedangkan yang seorangnya lagi telah terkena tikaman pedang Kwee Siang, rubuh pingsan juga setelah merintih beberapa kali.

Kawan Han Pu Sian yang seorang lagi, yang tadi telah menotok jalan darah Phang Kui In jadi ketakutan setengah mati, cepat-cepat dia pentang langkah lebar untuk melarikan diri. Sedang kan Han Pu Sian telah merangkak untuk bangun.

„Kau harus binasa jika tidak mau membuka totokan kawanmu itu pada sahabat kami.....” kita Kwee Siang mengancam sambil mendelikkan matanya.

„Aku akan membukanya..... aku akan membukanya,” kata Han Pu Sian dengan ketakutan dan merintih menahan sakit pada dadanya. Dengan bersusah payah dia telah berjongkok disamping Phang Kui In dan menguruti beberapa jalan darahnya, sehingga dalam waktu yang singkat Phang Kui In telah tersadar dari pingsannya.

Han Pu Sian tanpa mengatakan sesuatu telah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu.

Sedangkan saat itu Phang Kui In telah berdiri sambil mencaci maki kecurangan lawannya itu.

Seorang pelayan yang sejak tadi bersembunyi ketakutan bersama-sama dengan kawan-kawannya menghampiri Phang Kui In.

„Loya (tuan besar), kalian harus berhati-hati..... tentu bajingan she Han itu tidak mau sudah.....!” kata pelayan itu. „Lebih baik loya bertiga pergi saja dari sini, untuk mencegah kerewelan.”

Phang Kui In tertawa dingin.

„Hemm, berapa hebatnya sih kepandaian orang she Han itu?” kata Phang Kui In.

„Bukan soal kepandaiannya, juga kawannya yang berjumlah banyak masih tidak apa-apa tetapi justru dia merupakan putera Han Tee-tok seorang yang paling berkuasa di kota ini.”

Han Tee-tok berarti gubernur she Han.

„Oh pantas kalau begitu.....!” kata Phang Kui In sambil senyum sinis. „Pantas dia berani bertindak sewenang-wenang di tempat ini!”

„Itulah loya..... sebentar lagi dia tentu akan datang kembali bersama anak buah ayahnya..... Jalan yang paling selamat lebih baik loya bertiga cepat-cepat berlalu saja!”

Tetapi Phang Kui In malah menggelengkan kepalanya.

„Tidak..... aku justru ingin melihat bagaimanakah anak buahnya Han Tee-tok itu! Jika mereka berlaku sewenang-wenang, hemm, hemm, nanti kami menghajar mereka tidak tanggung-tanggung!” dan setelah berkata begitu, tampak Phang Kui In mendengus beberapa kali dengan penuh kemarahan.

Pelayan itu jadi tidak berdaya membujuk ketiga orang tamunya itu.

Terlebih lagi Yo Him juga telah berkata: „Justru kesempatan ini yang harus kita pergunakan untuk membasmi manusia-manusia jahat seperti Han Tee-tok dan puteranya itu..... Bukankah begitu paman Phang dan encie Siang?”

Phang Kui In dan Kwee Siang telah menganggukkan kepalanya. Dan mereka telah perintahkan pelayan untuk mempersiapkan makanan untuk mereka.

Para pelayan yang tadi telah menyaksikan kehebatan Yo Him bertiga, jadi sangat menghormat sekali, dan mereka melayaninya dengan telaten sekali. Mereka mempersiapkan semua makanan dan minuman untuk ketiga orang tamu tersebut.

Waktu itu Yo Him telah makan pula menghabiskan satu mangkok nasi. Sedangkan Phang Kui In yang memang gemar makan itu menghabiskan dua mangkok nasi lagi. Hanya Kwee Siang yang tidak makan nasi, hanya sekali-kali mencobai makanan yang terdiri dari beberapa rupa masakan itu.

Pelayan-pelayan rumah makan itu seperti juga ketakutan dan bercampur kuatir, karena mereka telah mengetahui siapa itu Han Tee-tok, ayah dari Han Pu Sian.

„Tentu akan ramai nanti…..!” bisik beberapa orang tamu yang memiliki sedikit keberanian dan tetap berada di ruangan itu.

„Ya, Han Tee-tok tentu akan mengirim orang-orangnya, dia bermaksud akan menangkap ketiga orang yang telah menghinanya, seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu ada orang yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya disebabkan berkelahi dengan anaknya Tee-tok itu!”

„Benar, kita akan menyaksikan keramaian.....!” bilang yang lainnya.

Tiba-tiba dari arah luar rumah makan itu terdengar suara hiruk pikuk, muka para pelayan rumah makan itu telah berubah pucat, tubuh mereka menggigil.

Begitu juga tamu-tamu yang masih berada di ruangan itu telah jadi ketakutan. Suara hiruk pikuk itu makin terdengar jelas dan semakin lama semakin berisik disusul dengan melangkah masuknya beberapa orang berpakaian tentara yang berseragam.

„Mana yang tadi telah menghina tuan muda kami?” teriak beberapa orang diantara mereka saling susul.

Dengan berani Yo Him berdiri, karena Yo Him tidak mau kalau nanti pemilik rumah makan dan pelayannya akan menjadi korban dari pasukan Han Tee-tok.

„Aku tadi yang menghajar Han Pu Sian,” menyahut Yo Him dengan suara nyaring.

Pasukan tentara berseragam itu telah memandang ke arah Yo Him, dengan bengis. Tetapi kemudian sinar mata mereka memancarkan keheranan, karena mereka tidak bisa percaya, bahwa yang mengaku telah menghajar Han Pu Sian tidak lain seorang pemuda tanggung yang mungkin baru berusia diantara limabelas tahun.

„Kau..... kau yang telah menghina Han siauw-jin kami tegur salah seorang diantara mereka.

Yo Him mengangguk.

„Benar,” dia mengangguk pasti. „Memang tadi aku yang telah menghina majikan mudamu itu.....! Tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.”

Muka para pasukan berseragam itu berobah hebat, mereka memandang bengis, sampai akhirnya yang menjadi pemimpin mereka itu telah berdiri sambil katanya:

„Baik! Karena engkau telah mengaku jujur dan berterus terang, engkau kubebaskan dari hukuman dipukuli rotan! Tetapi kau harus ikut kami menemui Han Tee-tok taijin, untuk mendengar keputusan Han Tee-tok! Kau kami tangkap.....!”

Yo Him tertawa dingin.

„Apakah kau tidak salah bicara?” tanya Yo Him tawar.

„Apanya yang salah?”

„Tadi kau ingin menangkap aku!”

„Benar, engkau kami tangkap karena engkau telah berani menghina majikan muda kami.....!”

„Aku bukan menghinanya, justru dia merupakan gentong kosong yang tidak punya guna!” menyahuti Yo Him dengan mengejek.

Perwira pasukan itu jadi gusar, dia melangkah mendekati Yo Him.

„Anak muda kurang ajar. Tahukah kau, bahwa kami bisa merobek mulutmu yang telah berani mengeluarkan kata-kata yang tidak baik itu?”

Yo Him tidak gentar oleh ancaman seperti itu, dia tertawa dingin.

„Kukira tidak semudah itu untuk menangkap aku!” katanya kemudian tawar sekali. „Jika kalian tidak percaya, silahkan kalian maju dan aku akan melayanimu!”

„Anak muda congkak dan tekebur!” bentak perwira berseragam itu dengan marah, dia mengangkat tangan kanannya, untuk mengisyaratkan kepada anak buahnya agar maju menangkap Yo Him.

Tetapi Yo Him tidak menjadi takut, dia tetap berdiri dengan sikap yang tegak dan bibirnya tersungging seulas senyuman mengejek.

Waktu dua orang dari pasukan tentara Tee-tok itu menghampiri dekat dan mengulurkan tangannya untuk mencengkeram pergelangan tangan pemuda ini telah menggeser sedikit kedudukan kaki kanannya, dia membuat setengah lingkaran dengan jari tangannya menengadah sehingga seperti juga ingin menotok pergelangan tangan dari kedua tentara pasukan Tee-tok itu.

Tentu saja tentara itu jadi terkejut dan cepat-cepat menarik pulang tangan mereka, dan melompat mundur. Gerakan yang dilakukan Yo Him tadi merupakan gerakan membela diri, karena jika kedua orang tentara Tee-tok itu memaksakan diri untuk melancarkan serangan mereka, berarti mereka juga tidak akan luput dari totokan yang dilancarkan Yo Him.

Kedua tentara Tee-tok itu masih menguatirkan keselamatan mereka sendiri, itulah sebabnya mereka membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan dan telah menarik pulang tangan mereka masing-masing.

Tetapi Yo Him mana mau melepaskan mereka begitu saja, secepat kilat kedua tangannya telah bekerja, tangan yang kiri telah melayang ke arah dada dari salah seorang lawannya dan mencengkeramnya dengan kuat dan keras, sedangkan tangan yang satunya lagi bergerak menghantam dada lawannya yang lain.

„Dukkk!” terdengar suara tinju Yo Him singgah di dada korbannya, dan orang itu mengeluarkan suara jeritan keras, tubuhnya terapung, kemudian terbanting di lantai tidak bergerak lagi sebab jatuh pingsan.

Sedangkan lawan Yo Him yang seorang lagi, yang kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Yo Him. Tampaknya benar-benar menderita kesakitan dan ketakutan, kesakitan karena kulit dadanya kena dicengkeram oleh Yo Him. Sedangkan ketakutan karena dia kuatir dirinya akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami kawannya.

Yo Him melakukan segalanya tanpa membuang waktu, hanya dalam beberapa detik itu, selesai menghantam rubuh lawannya yang seorang, tenaga dalamnya segera disalurkan ke dada lawannya yang sedang dicengkeram, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke lantai.....

„Bukkk!” tubuh orang itu telah kena terbanting keras sekali, dan dia mengeluarkan suara jeritan yang sangat menyayatkan hati.

Sedangkan Yo Him telah mengibaskan bajunya beberapa kali dengan sikap yang angkuh. Sehingga membuat perwira pemimpin rombongan tentara Tee-tok itu tambah mendongkol.

„Maju, tangkap dia!” kata pemimpin perwira itu.

Sisa tentara Tee-tok yang berjumlah belasan orang itu telah mengiyakan dan mereka mengurung Yo Him dengan di tangan masing-masing telah tercekal sebatang golok.

Tetapi para tentara Tee-tok itu tidak berani berbuat sembarangan, karena tadi mereka telah menyaksikan betapa dua orang rekan mereka telah berhasil dirubuhkan Yo Him dengan mudah, hanya dengan satu gebrakan saja kedua orang Tee-tok itu jatuh pingsan. Maka tentara-tentara Tee-tok yang lainnya ini tidak mau mengalami nasib seperti kedua kawannya.

Yo Him tidak takut walaupun dia dikurung di tengah-tengah ancaman para tentara Tee-tok itu.

Perwira yang menjadi pemimpin dari pasukan Tee-tok telah mengeluarkan teriakan-teriakan menganjurkan anak buahnya segera mulai melancarkan serangan. Karena teriakan-teriakan dari perintah perwira atasannya, walaupun hati masing-masing merasa takut menghadapi Yo Him, tokh pasukan tentara Tee-tok itu telah menyerbu serentak. Golok mereka berkelebat-kelebat menyilaukan mata disamping mengerikan sekali.

Tetapi belum lagi Yo Him mengelakkan diri atau membalas menyerang, bersamaan waktunya dengan itu tiga orang tentara Tee-tok telah terpental keras dan terbanting di lantai sambil mengeluarkan suara jeritan, karena mereka telah kena dibuat terpental oleh tendangan kaki Phang Kui In.

Begitu pula Kwee Siang telah melompat dan memutar pedangnya melancarkan serangan kepada tentara Tee-tok itu. Setiap sinar putih dari pedangnya itu menyambar, maka di saat itu pula tampak seorang tentara Tee-tok rubuh terguling di lantai, binasa dan ada juga yang hanya terluka berat dengan paha yang terpotong atau tangan yang buntung. Dalam sekejap mata saja terdengar suara jeritan-jeritan kesakitan yang ramai sekali.

Perwira yang menjadi pemimpin pasukan tersebut jadi terkejut dan ketakutan. Bukannya dia ikut menerjang maju guna membantui anak buahnya, justru dia telah memutar tubuhnya dengan maksud ingin mengambil langkah seribu.

Waktu itu Kwee Siang bertindak cepat sekali, dia telah mengeluarkan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya telah melompat melambung ke tengah udara menyusul perwira yang menjadi pemimpin pasukan itu. Dan mata pedangnya telah menempel di tengkuk perwira yang menjadi pemimpin pasukan tentara Tee-tok itu.

„Jika kau berusaha melarikan diri, pedangku tidak akan kenal kasihan dan akan menusuk masuk dagingmu!” ancam Kwee Siang dengan suara sungguh-sungguh.

Perwira itu ketakutan bukan main, tetapi dia berusaha untuk menyembunyikan perasaan takutnya dan telah membalikkan tubuhnya menatap tajam pada Kwee Siang, sambil bentaknya dengan suara bengis:

„Apakah kau seorang wanita berani menghina hamba negeri! Apakah engkau tidak takut akan dihukum pancung dengan perbuatanmu ini?”

„Menghinamu? Hemm, justru engkau sendiri yang telah mengajak anak buahmu untuk mengacau di tempat ini! Hemm, jika dalam urusan ini engkau masih berusaha membela diri, baik, baik! Cabutlah pedangmu. Mari kita bertempur untuk menentukan siapa yang kalan dan siapa yang menang!”

Dingin sekali suara Kwee Siang, dan telah berkata-kata dengan wajah tidak memperlihatkan perasaan apa-apa. Hati perwira itu jadi ciut sendirinya, tetapi dalam keadaan terjepit seperti itu telah membuat dia terpaksa mencabut keluar goloknya yang sejak tadi tergantung di pinggangnya.

„Bagus! Aku memberikan kesempatan padamu untuk melancarkan serangan terlebih dulu!” kata Kwee Siang. „Nah mulailah!”

„Tunggu, encie Siang. Biar aku yang menghadapinya,” Yo Him meloncat ke depan Kwee Siang.

Ditantang dan didesak terus menerus dengan cara seperti itu, perwira yang menjadi pimpinan pasukan Tee-tok itu telah menggerakkan goloknya, dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat bengis, tahu-tahu goloknya telah bergerak dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu golok perguruan Cin-su-pay, sebuah perguruan yang cukup punya nama di daerah barat daratan Tiong-goan.

Golok itu menyambar dengan menimbulkan suara kesiutan yang sangat kuat dan keras sekali, menyambar ke arah Yo Him dengan gerakan yang aneh sekali, seperti juga menikam, seperti juga menabas, sehingga sulit diterka arah sasaran mana yang dipilihnya.

„Hmmm! Rupanya dia ahli ilmu to-hoat (ilmu silat golok) yang memiliki kepandaian cukup lumayan,” pikir Yo Him di dalam hatinya, tetapi dia tidak menjadi takut karenanya!

Waktu golok itu menyambar dengan cepat sekali ke arah dadanya, tampak Yo Him telah menggerakkan tangan kirinya, tahu-tahu dia telah menjepit golok lawan, kemudian sekali menghentak, patahlah golok itu menjadi tiga potongan yang dua potongan jatuh menimbulkan suara berisik di lantai. Sedangkan tangan kanan Yo Him juga tidak tinggal diam, dia telah memukulkan kepalannya tangan kanannya ke arah dada perwira tentara Tee-tok itu.

„Bukk!” jitu sekali serangan itu mengenai sasarannya sehingga perwira itu merasakan dadanya seperti juga akan melesak hancur.

Dalam keadaan demikianlah, dengan adanya peristiwa seperti itu, walaupun si perwira itu bermaksud mengelakkan diri dan menyelamatkan jiwanya, sudah tidak bisa sebab begitu kepalan tangan Yo Him menghantam segera tubuhnya terpental keras dan ambruk di atas lantai dengan mengeluarkan suara gedebugan yang keras, jiwanya juga telah melayang, tubuhnya hanya sempat berkelejetan beberapa kali, kemudian diam untuk selama-lamanya.

Waktu itu Yo Him dan Kwee Siang tengah sibuk melayani tentara Tee-tok yang berjumlah cukup banyak itu kembali Yo Him telah berhasil merubuhkan dua orang lagi. Sedangkan pedang Kwee Siang juga telah berhasil melukai tiga orang tentara Tee-tok itu. Sisanya yang kurang lebih hanya tinggal enam orang, jadi ketakutan. Juga diwaktu itu mereka melihat pemimpin mereka telah terpental dan binasa di tangan Yo Him.

Phang Kui In sendiri dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat nyaring telah mengibaskan golok dan tangan kirinya berulang kali, dalam sekejap mata saja keenam tentara Tee-tok itu telah dapat dihabiskan semuanya, yang menggeletak merintih kesakitan.

„Apakah kalian tidak ingin cepat-cepat angkat kaki?” bentak Phang Kui In kepada tentara Tee-tok yang hanya terluka dan tengah merintih kesakitan.

Yo Him menghampiri dua orang tentara Tee-tok yang tengah berjongkok kesakitan karena paha mereka kena tertabas goloknya Phang Kui In.

„Kalian ingin mati seperti pemimpin kalian?” tanyanya dengan suara yang bengis. Kedua orang tentara itu tentu saja jadi ketakutan mereka menangis sesambatan meminta ampun.

„Hemmm, kalian ingin diampuni oleh kawan-kawanku..... tetapi ingat, jika dilain saat kalau masih melakukan perbuatan yang sewenang-wenang tentu aku tidak akan berlaku setengah hati dan akan membinasakan kalian tanpa mengenal kasihan lagi! Nah, sekarang pergilah, bawa pula itu mayat kawan-kawanmu!”

Kedua orang tentara Tee-tok itu berulangkali telah menyatakan terima kasihnya sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya.

Phang Kui In dan Kwee Siang jadi berterima kasih, sekali, karena mereka telah tertolong justru dengan adanya Yo Him. Coba kalau mereka berdua saja, Kwee Siang dan Phang Kui In tentunya tidak akan semudah itu memperoleh kemenangan, karena tentara Tee-tok itu umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan terlatih.

„Him-jie, hebat sekali kepandaianmu itu. Tidak sia-sia engkau belajar pada Lie Bun Hap locianpwe!”

„Benar adik Him, engkau hebat sekali, aku yang telah melatih diri puluhan tahun, ternyata tidak bisa melebihi kepandaianmu yang hanya berlatih selama dua tahun itu! Benar-benar kau hebat sekali.....!”

Yo Him cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah, dia juga merasa malu.

Para tentara Tee-tok yang terluka dan tengah membereskan mayat-mayat kawan mereka mendengar percakapan Kwee Siang bertiga. Mereka jadi berpikir: „Entah siapa pemuda tampan ini yang memiliki kepandaian demikian tinggi walaupun usianya masih demikian muda,” pikir mereka.

Salah seorang dari tentara Tee-tok telah memberanikan diri mendekati Yo Him, kemudian dia berlutut memberi hormat sambil bertanya takut-takut.

„Siauw eng-hiong, bolehkan kami mengetahui namamu yang besar dan gelaranmu yang harum?”

Yo Him jadi kikuk sendirinya.

„Aku bukan eng-hiong, aku juga tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namaku Yo Him tidak memiliki gelaran apapun.....” sahut Yo Him akhirnya.

„Siauw eng-hiong she Yo,” tanya tentara Tee-tok itu.

Yo Him mengangguk.

„Benar, apakah yang dibuat heran oleh kau?” tanya Yo Him sambil mengawasi tentara itu dengan sorot mata yang tajam.

„Bukan begitu siauw eng-hiong..... Justru mendengar siauw eng-hiong she Yo. Maka aku teringat kepada seorang, seorang pendekar yang paling terkenal dan merupakan super sakti dalam persilatan, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.”

„Beliau ayahku .....!” menjelaskan Yo Him.

„Ohh.....!” berseru tentara itu sambil memperlihatkan sikap terkejut dan girang. „Dulu duapuluh tahun yang lalu. Semasa dalam peperangan yang hebat dengan tentara Mongolia aku pernah menerima pertolongan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sehingga aku terhindar dari injakan kaki kuda!”

„Kau pernah bertemu dengan ayahku?” tanya Yo Him jadi tertarik mendengar orang menyebut-nyebut perihal pertemuannya dengan ayahnya.

„Pernah dua kali, kedua kalinya pertemuan itu terjadi di kota Siang-yang.....!” kata tentara Tee-tok tersebut. Waktu itu dia telah menghela napas panjang, katanya kemudian: „Dan sekarang, saya menyesal sekali, karena aku tidak mematuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko agar aku rajin-rajin melatih diri tiga jurus yang diberikan. Kata Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, jika aku bisa menguasai benar-benar ketiga jurus itu, di medan pertempuran tentu tidak ada tentara musuh yang bisa melawan kepandaianku! Sayang sekali aku bodoh, dan otakku pun tumpul..... aku tidak bisa menangkap benar ketiga jurus itu, akhirnya membuat aku malas melatih diri, dan sekarang aku telah lupa sama sekali ketiga jurus itu!”

Setelah berkata begitu, tentara Tee-tok yang seorang ini telah mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang tajam, lalu sambungnya lagi, „Yo siauw eng-hiong, apakah benar-benar engkau tidak memiliki gelaran?”

Yo Him mengangguk. „Aku tidak memiliki kepandaian bagaimana aku bisa mempergunakan gelaran yang hanya bisa membuat aku congkak dan sombong..... untuk apakah gelaran itu?”

„Maaf dan ampunkan, siauw eng-hiong jika memang siauw eng-hiong belum memiliki gelaran, apakah tidak ada baiknya untuk mengenang jasa-jasa ayah siauw-eng-hiong yang pernah berhasil mengusir musuh dan mempertahankan kota Siang-yang di daerah selatan maka siauw eng-hiong boleh mengambil setengah gelaran dari ayahmu lalu ditambah setengah lagi. Bagaimana kalau engkau bergelar Sin-tiauw-thian-lam (rajawali sakti dari langit selatan) maafkan jika itu kurang baik dan maafkan juga akan kelancanganku memberikan gelaran.”

„Bagus!” berseru Phang Kui In.

Yo Him jadi heran, dia memandang kepada paman Phang nya itu.

„Apanya yang bagus paman Phang?” tanya Yo Him sambil mengawasi terus paman Phang nya ini.

„Gelaranmu itu yang bagus,” kata Phang Kui In. „Gelaranmu itu yang baik sekali! Untuk selanjutnya engkau bisa mempergunakan gelaranmu itu, yaitu Sin-tiauw-thian-lam Yo Him! Nah terimalah ucapanku ini, dimana telah lahir seorang pendekar sakti Sin-tiauw-thian-lam Yo Him!” Dan setelah berkata begitu tampak Phang Kui In telah merangkapkan sepasang tanganya untuk memberi hormat kepada Yo Him.

Keruan saja Yo Him jadi gugup dan kikuk dia cepat-cepat membalas hormat dari Phang Kui In.

Kwee Siang juga telah memberikan selamat padanya dengan memberi hormat.

Tentara Tee-tok yang seorang itu yang telah berikan gelaran kepada Yo Him, tampaknya gembira sekali.

„Siapakah namamu!” tanya Phang Kui In sambil tersenyum pada tentara itu.

,,Siauw-jin she Bian dan bernama Tung Pah. Nanti jika kalian bertemu dengan Yo Ko Tayhiap, tolong sampaikan salamku!”

„Terima kasih engkoh Bian!” Kata Yo Him sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. „Engkau telah menghadiahkan aku gelaran yang baik, bahkan disetujui oleh paman Phang dan encie Siang. Aku yakin beradanya engkau dalam pasukan Tee-tok hanyalah terpaksa saja, karena dalam hal ini engkau tentu hanya menuruti perintah atasan saja, bukan?“

Bian Tung Pah menganggukkan kepalanya beberapa kali dia telah membenarkan perkataan Yo Him.

„Dan aku telah memikirkan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai alat negara, karena terkadang aku menerima perintah untuk melakukan pekerjaan yang tidak menurut isi hatiku..... Maka dari itu, nanti aku minta pensiun saja dan hidup dengan berdagang kecil-kecilan.”

„Bagus! Itu bagus sekali!” kata Phang Kui In. „Itulah cara yang terbaik, sehingga engkau tidak perlu korban perasaan!”

Bian Tung Pah juga menyatakan terima kasihnya atas perlakuan Yo Him bertiga. Kemudian bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya terluka mengangkat mayat-mayat kawan mereka.

Semua tentara Tee-tok yang masih hidup itu bergidik sendirinya setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah puteranya Yo Ko.

Sedangkan pelayan rumah makan telah membersihkan darah dan merapihkan bangku kursi dan meja yang telah pada terbalik itu. Sedangkan noda darah di lantai segera dihapus dengan kain pembasuh. Dalam sekejap mata saja ruangan rumah makan itu telah rapih lagi.

Sedangkan Yo Him bertiga telah makan-makan lagi..... Mereka tidak memperdulikan tamu-tamu berdatangan dan kasak kusuk membicarakan mereka.

Setelah puas makan minum Yo Him bertiga meninggalkan rumah makan itu.

Banyak orang-orang penduduk kota itu yang berdatangan ingin melihat rupa dan wajah dari putera Sin-tiauw Tayhiap, tapi Yo Him bertiga telah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Mereka mempergunakan ginkang yang telah sempurna, hanya dalam beberapa detik mereka sudah jauh meninggalkan rumah makan dan penduduk kota tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka tidak ingin dipersulit dengan berbagai pertanyaan dan sanjung puji dari penduduk kota itu.

Y

Waktu itu, Yo Him telah berkata kepada Phang Kui In, di saat mana mereka telah berada di luar kota sebelah timur.

“Phang susiok..... apakah kita melanjutkan perjalanan kita lagi?” tanyanya.

Phang Kui In mengangguk membenarkan. Maka mereka telah menghampiri perahu mereka dan telah melompat naik ke atas perahu tersebut. Perahu itupun berlayarlah meninggalkan tempat itu.

Setelah berlayar selama empat hari lagi, mereka tiba di pelabuhan kota Mu-sing-kwan. Tetapi mereka hanya singgah untuk makan dan minum mengisi perut, lalu melanjutkan perjalanan mereka pula.

„Berlayar lagi sebelas hari tentu kita akan tiba di kota Su-po-kwan, di kota itu kita bisa meminta keterangan dari orang-orang yang pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap..... karena Sin-tiauw Tayhiap pernah berkali-kali datang di kota tersebut!”

Yo Him girang bukan main mendengar hal itu, dia serasa ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah kandungnya, bertemu muka. Dan juga Kwee Siang, begitu rindu ingin bertemu dengan pendekar super sakti tersebut. Benar saja, setelah mereka berlayar sebelas hari, di saat itu mereka telah tiba di kota su-po-kwan, kota perdagangan yang ramai sekali dan memiliki penduduk yang padat.

„Kita telah sampai!” menjelaskan Phang Kui In waktu mereka telah tiba di pelabuhan kota tersebut.

Dengan tidak sabar Yo Him telah melompat ke dermaga dan berjalan dengan langkah lebar.

„Tunggu dulu Him-jie!” teriak Phang Kui In yang sedang mengikat perahunya. „Nanti kau tersesat.....!”

Yo Him sudah tidak sabar sekali. „Cepat sedikit paman Phang.....!” katanya dengan suara tidak sabar.

Kwee Siang yang melihat kelakuan Yo Him jadi tersenyum, dia pun merasakan hatinya tergoncang keras sekali.

Waktu itu Phang Kui In telah selesai mengikat perahunya, tetapi ketika dia ingin menghampiri Yo Him dan Kwee Siang untuk meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba dari arah ujung dermaga yang satunya, telah berjalan seseorang dengan langkah kaki yang lebar. Dan orang itu juga sambil menghampiri telah berteriak-teriak dengan suara yang sangat nyaring:

„Hei tunggu dulu! Tunggu dulu!”

Phang Kui In mengerutkan alisnya, karena dia melihat bahwa orang itu memiliki wajah yang kurang berkesan baik, tampaknya mata orang itu bersinar tajam dan jahat.

„Ada urusan apakah, Heng-tay (saudara)?” tanya Phang Kui In berusaha bersikap semanis mungkin, karena dia menyadari dirinya merupakan pelancongan belaka.

„Kalian memakai perahu? Dan perahu kalian ini diikatkan di dermaga ini! Kalian harus membayar seratus tail perak!” kata orang itu setelah datang dekat.

Dan Phang Kui In saat itu juga telah bisa melihat jelas wajah orang itu yang berpotongan empat persegi dan matanya memandang tajam menyeramkan. Ukuran kedua matanya itu tampaknya lebih besar dari mata orang dewasa yang wajar. Kumis, dan jenggotnya yang tumbuh kaku itu menambah wajahnya semakin tidak enak dilihat, dengan lobang hidung yang dongak ke atas.

„Apa..... apa kau bilang?” tanya Phang Kui In tergagap, karena dia terkejut atas permintaan orang itu. Mana ada uang sewa titip perahu sebesar seratus tail perak seperti yang diminta orang itu? Sedangkan paling tidak hanya satu atau dua cie saja!

„Aku mengatakan jika kau ingin menitipkan perahu di dermaga ini. Maka kalian harus menyerahkan uang sewanya sebesar seratus tail perak? Tidak dengar? Seratus tail perak! Sudah dengar? Seratus tail perak!”

Mendengar perkataan orang itu tentu saja Yo Him bertiga jadi tidak menyukai orang ini.

„Hemm, mungkin dia ini seorang buaya darat yang menguasai daerah ini, sehingga leluasa baginya untuk melakukan pemerasan-pemerasan terhadap orang yang lemah,” pikir Phang Kui In.

Karena berpikir begitu, sikap Phang Kui In jadi tenang kembali dan lenyap dari perasaan herannya. Sengaja dia memperlihatkan senyuman sabar.

„Cukupkah uang sewanya sebesar seratus tail perak?” tanyanya.

„Jika engkau mau menambahkannya, itu lebih bagus lagi, tentu perahumu akan kujagakan sebaik mungkin, agar tidak dirusak orang atau dicuri hilang oleh orang yang banyak berkeliaran di tempat ini! Ketahuilah di pelabuhan ini banyak sekali pemeras-pemeras.

Mendengar perkataan orang itu, Phang Kui In kembali tersenyum.

„Lucu! Lucu sekali!” katanya.

„Apanya yang lucu?” tanya orang itu tidak mengerti.

„Aku membeli perahu itu hanya dengan harga seratus sepuluh tail! Tetapi sekarang, ingin menitipkan perahu itu, harus membayar seharga seratus tail perak! Bukankah itu merupakan suatu kejadian yang lucu sekali?”

Mendengar perkataan Phang Kui In, muka orang berewokan itu jadi berobah merah padam, karena dia menyadarinya bahwa kata-kata Phang Kui In itu hanya ditujukan untuk menyindir dirinya.

22.44. Pendekar Muda Sin-tiauw Thian-lam

Namun karena memang baru kali ini Yo Him berkelahi mempergunakan tenaga latihannya, maka dia masih kurang pengalaman. Dia telah berhasil menjapit dan menggunting kedua tangan lawannya serta dikuncinya, tetapi waktu dia harus menekan ke bawah agar tangan lawannya itu patah, Yo Him tidak sampai hati dan dia melepaskan kunci tangannya itu kembali.

Han Pu Sian yang semula telah putus asa dan terkejut waktu kedua tangannya terkunci tangan lawan, dan mengeluh dalam hati, akhirnya jadi bernapas lega waktu merasakan kedua tangannya terbebaskan dari jepitan tangan Yo Him. Tanpa membuang kesempatan yang ada tampak Han Pu Sian telah meluncurkan tangan kanannya ke arah lambung Yo Him.

„Bukk,” Yo Him yang tidak menyangka bahwa lawannya bisa berlaku curang seperti itu telah kena digempur lambungnya, sampai dia mengeluarkan jerit tertahan dan telah terguling, tetapi cepat sekali dia telah bangkit pula.

Kwee Siang yang menyaksikan hal itu jadi marah sekali, dia telah membentaknya: „Kau seorang pengecut yang tidak tahu malu!”

Baru saja Kwee Siang ingin melancarkan serangan kepada lawannya, tiba-tiba Yo Him yang telah melompat berdiri lagi telah berseru: „Mundur encie Siang, biar aku mewakilimu menghajar adat padanya.....!” teriaknya sambil melompat ke depan Kwee Siang.

Kwee Siang ragu-ragu, tetapi setelah berkata: „Hati-hati adik Him..... Dia licik sekali!” lalu dia mengundurkan diri.

„Ya, aku telah merasakannya tadi..... manusia seperti dia tidak perlu dikasihani!” mengangguk Yo Him. Dan kali ini Yo Him tidak meminta lawannya menyerang, sambil menjejakkan kakinya tampak tubuh Yo Him telah meloncat cepat sekali, kedua tangannya telah bergerak melancarkan pukulan-pukulan yang dahsyat.

Dalam sekejap mata saja sepuluh jurus sudah berlalu, dan Han Pu Sian telah terdesak sementara waktu. Walaupun dia memiliki ginkang yang tinggi tetapi karena dia diserang dengan gencar dan memang Yo Him tengah marah sekali, maka dia jadi sibuk sendirinya.

Tetapi Han Pu Sian cepat sekali berhasil mengendalikan keadaan dengan mengeluarkan suara bentakan yang nyaring beruntun dua kali dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk membalas serangan-serangan Yo Him. Gerakan-gerakan yang dilakukannya ternyata bisa menindih juga tenaga serangan Yo Him.

„Pergunakan jurus-jurus Kim-ie-kun-hoat (ilmu pukulan tangan kosong ikan emas)!” teriak Kwee Siang ketika melihat Yo Him agak gugup dikurung oleh serangan-serangan kedua tangan lawannya.

Yo Him baru teringat kepada jurus ilmu pukulan tangan kosong yang diajarkan oleh gurunya, yaitu Lie Bun Hap kemudian dia telah merobah cara menyerangnya. Dengan menjejakkan kakinya, tubuhnya cepat sekali meloncat ke tengah udara dengan meletik seperti seekor ikan, tubuhnya melengkung dan meluncur turun menyambar kepada lawannya dengan kedua tangan dijulurkan.

Waktu itu, tampak Han Pu Sian telah mengeluarkan kegesitannya melompat ke belakang, ingin mengelakkan diri dari serangan yang dilancarkan Yo Him.

Tetapi gerakan Yo Him tidak kalah gesitnya, begitu serangannya gagal, dia mengulangi lagi dengan serangan berikutnya. Kali ini kedua tangan Yo Him menyambar dengan cepat sekali, mengandung kekuatan lweekang yang murni, angin serangan berdesir halus, tetapi memiliki kekuatan yang dahsyat sekali.

„Dukk!” tidak dapat Han Pu Sian mengelakkan diri dari serangan itu. Dan dia telah terjungkal bergulingan di atas tanah.

Ketiga orang kawannya telah melompat menyerang kepada Yo Him dengan mempergunakan senjata masing-masing, yaitu sebatang golok panjang. Sedangkan kawan Han Pu Sian yang seorangnya lagi telah melompat kesamping Han Pu Sian untuk memeriksa keadaan kawannya yang seorang ini.

Tetapi Yo Him dengan berani telah melayani ketiga orang lawannya.

Kwee-siang tidak senang melihat lawan-lawannya melakukan penyerangan secara mengeroyok, maka dia telah mengeluarkan suara bentakan sambil melompat menghampiri ke gelanggang pertempuran dan memutar pedangnya.

Ketiga orang kawan Han Pu Sian itu mana bisa menghadapi serangan Yo Him dan Kwee Siang. Baru berlangsung sepuluh jurus saja tampak dua orang diantara mereka telah tergempur dadanya oleh kepalan tangan Yo Him, rubuh pingsan tidak sadarkan diri. Sedangkan yang seorangnya lagi telah terkena tikaman pedang Kwee Siang, rubuh pingsan juga setelah merintih beberapa kali.

Kawan Han Pu Sian yang seorang lagi, yang tadi telah menotok jalan darah Phang Kui In jadi ketakutan setengah mati, cepat-cepat dia pentang langkah lebar untuk melarikan diri. Sedang kan Han Pu Sian telah merangkak untuk bangun.

„Kau harus binasa jika tidak mau membuka totokan kawanmu itu pada sahabat kami.....” kita Kwee Siang mengancam sambil mendelikkan matanya.

„Aku akan membukanya..... aku akan membukanya,” kata Han Pu Sian dengan ketakutan dan merintih menahan sakit pada dadanya. Dengan bersusah payah dia telah berjongkok disamping Phang Kui In dan menguruti beberapa jalan darahnya, sehingga dalam waktu yang singkat Phang Kui In telah tersadar dari pingsannya.

Han Pu Sian tanpa mengatakan sesuatu telah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu.

Sedangkan saat itu Phang Kui In telah berdiri sambil mencaci maki kecurangan lawannya itu.

Seorang pelayan yang sejak tadi bersembunyi ketakutan bersama-sama dengan kawan-kawannya menghampiri Phang Kui In.

„Loya (tuan besar), kalian harus berhati-hati..... tentu bajingan she Han itu tidak mau sudah.....!” kata pelayan itu. „Lebih baik loya bertiga pergi saja dari sini, untuk mencegah kerewelan.”

Phang Kui In tertawa dingin.

„Hemm, berapa hebatnya sih kepandaian orang she Han itu?” kata Phang Kui In.

„Bukan soal kepandaiannya, juga kawannya yang berjumlah banyak masih tidak apa-apa tetapi justru dia merupakan putera Han Tee-tok seorang yang paling berkuasa di kota ini.”

Han Tee-tok berarti gubernur she Han.

„Oh pantas kalau begitu.....!” kata Phang Kui In sambil senyum sinis. „Pantas dia berani bertindak sewenang-wenang di tempat ini!”

„Itulah loya..... sebentar lagi dia tentu akan datang kembali bersama anak buah ayahnya..... Jalan yang paling selamat lebih baik loya bertiga cepat-cepat berlalu saja!”

Tetapi Phang Kui In malah menggelengkan kepalanya.

„Tidak..... aku justru ingin melihat bagaimanakah anak buahnya Han Tee-tok itu! Jika mereka berlaku sewenang-wenang, hemm, hemm, nanti kami menghajar mereka tidak tanggung-tanggung!” dan setelah berkata begitu, tampak Phang Kui In mendengus beberapa kali dengan penuh kemarahan.

Pelayan itu jadi tidak berdaya membujuk ketiga orang tamunya itu.

Terlebih lagi Yo Him juga telah berkata: „Justru kesempatan ini yang harus kita pergunakan untuk membasmi manusia-manusia jahat seperti Han Tee-tok dan puteranya itu..... Bukankah begitu paman Phang dan encie Siang?”

Phang Kui In dan Kwee Siang telah menganggukkan kepalanya. Dan mereka telah perintahkan pelayan untuk mempersiapkan makanan untuk mereka.

Para pelayan yang tadi telah menyaksikan kehebatan Yo Him bertiga, jadi sangat menghormat sekali, dan mereka melayaninya dengan telaten sekali. Mereka mempersiapkan semua makanan dan minuman untuk ketiga orang tamu tersebut.

Waktu itu Yo Him telah makan pula menghabiskan satu mangkok nasi. Sedangkan Phang Kui In yang memang gemar makan itu menghabiskan dua mangkok nasi lagi. Hanya Kwee Siang yang tidak makan nasi, hanya sekali-kali mencobai makanan yang terdiri dari beberapa rupa masakan itu.

Pelayan-pelayan rumah makan itu seperti juga ketakutan dan bercampur kuatir, karena mereka telah mengetahui siapa itu Han Tee-tok, ayah dari Han Pu Sian.

„Tentu akan ramai nanti…..!” bisik beberapa orang tamu yang memiliki sedikit keberanian dan tetap berada di ruangan itu.

„Ya, Han Tee-tok tentu akan mengirim orang-orangnya, dia bermaksud akan menangkap ketiga orang yang telah menghinanya, seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu ada orang yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya disebabkan berkelahi dengan anaknya Tee-tok itu!”

„Benar, kita akan menyaksikan keramaian.....!” bilang yang lainnya.

Tiba-tiba dari arah luar rumah makan itu terdengar suara hiruk pikuk, muka para pelayan rumah makan itu telah berubah pucat, tubuh mereka menggigil.

Begitu juga tamu-tamu yang masih berada di ruangan itu telah jadi ketakutan. Suara hiruk pikuk itu makin terdengar jelas dan semakin lama semakin berisik disusul dengan melangkah masuknya beberapa orang berpakaian tentara yang berseragam.

„Mana yang tadi telah menghina tuan muda kami?” teriak beberapa orang diantara mereka saling susul.

Dengan berani Yo Him berdiri, karena Yo Him tidak mau kalau nanti pemilik rumah makan dan pelayannya akan menjadi korban dari pasukan Han Tee-tok.

„Aku tadi yang menghajar Han Pu Sian,” menyahut Yo Him dengan suara nyaring.

Pasukan tentara berseragam itu telah memandang ke arah Yo Him, dengan bengis. Tetapi kemudian sinar mata mereka memancarkan keheranan, karena mereka tidak bisa percaya, bahwa yang mengaku telah menghajar Han Pu Sian tidak lain seorang pemuda tanggung yang mungkin baru berusia diantara limabelas tahun.

„Kau..... kau yang telah menghina Han siauw-jin kami tegur salah seorang diantara mereka.

Yo Him mengangguk.

„Benar,” dia mengangguk pasti. „Memang tadi aku yang telah menghina majikan mudamu itu.....! Tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.”

Muka para pasukan berseragam itu berobah hebat, mereka memandang bengis, sampai akhirnya yang menjadi pemimpin mereka itu telah berdiri sambil katanya:

„Baik! Karena engkau telah mengaku jujur dan berterus terang, engkau kubebaskan dari hukuman dipukuli rotan! Tetapi kau harus ikut kami menemui Han Tee-tok taijin, untuk mendengar keputusan Han Tee-tok! Kau kami tangkap.....!”

Yo Him tertawa dingin.

„Apakah kau tidak salah bicara?” tanya Yo Him tawar.

„Apanya yang salah?”

„Tadi kau ingin menangkap aku!”

„Benar, engkau kami tangkap karena engkau telah berani menghina majikan muda kami.....!”

„Aku bukan menghinanya, justru dia merupakan gentong kosong yang tidak punya guna!” menyahuti Yo Him dengan mengejek.

Perwira pasukan itu jadi gusar, dia melangkah mendekati Yo Him.

„Anak muda kurang ajar. Tahukah kau, bahwa kami bisa merobek mulutmu yang telah berani mengeluarkan kata-kata yang tidak baik itu?”

Yo Him tidak gentar oleh ancaman seperti itu, dia tertawa dingin.

„Kukira tidak semudah itu untuk menangkap aku!” katanya kemudian tawar sekali. „Jika kalian tidak percaya, silahkan kalian maju dan aku akan melayanimu!”

„Anak muda congkak dan tekebur!” bentak perwira berseragam itu dengan marah, dia mengangkat tangan kanannya, untuk mengisyaratkan kepada anak buahnya agar maju menangkap Yo Him.

Tetapi Yo Him tidak menjadi takut, dia tetap berdiri dengan sikap yang tegak dan bibirnya tersungging seulas senyuman mengejek.

Waktu dua orang dari pasukan tentara Tee-tok itu menghampiri dekat dan mengulurkan tangannya untuk mencengkeram pergelangan tangan pemuda ini telah menggeser sedikit kedudukan kaki kanannya, dia membuat setengah lingkaran dengan jari tangannya menengadah sehingga seperti juga ingin menotok pergelangan tangan dari kedua tentara pasukan Tee-tok itu.

Tentu saja tentara itu jadi terkejut dan cepat-cepat menarik pulang tangan mereka, dan melompat mundur. Gerakan yang dilakukan Yo Him tadi merupakan gerakan membela diri, karena jika kedua orang tentara Tee-tok itu memaksakan diri untuk melancarkan serangan mereka, berarti mereka juga tidak akan luput dari totokan yang dilancarkan Yo Him.

Kedua tentara Tee-tok itu masih menguatirkan keselamatan mereka sendiri, itulah sebabnya mereka membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan dan telah menarik pulang tangan mereka masing-masing.

Tetapi Yo Him mana mau melepaskan mereka begitu saja, secepat kilat kedua tangannya telah bekerja, tangan yang kiri telah melayang ke arah dada dari salah seorang lawannya dan mencengkeramnya dengan kuat dan keras, sedangkan tangan yang satunya lagi bergerak menghantam dada lawannya yang lain.

„Dukkk!” terdengar suara tinju Yo Him singgah di dada korbannya, dan orang itu mengeluarkan suara jeritan keras, tubuhnya terapung, kemudian terbanting di lantai tidak bergerak lagi sebab jatuh pingsan.

Sedangkan lawan Yo Him yang seorang lagi, yang kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Yo Him. Tampaknya benar-benar menderita kesakitan dan ketakutan, kesakitan karena kulit dadanya kena dicengkeram oleh Yo Him. Sedangkan ketakutan karena dia kuatir dirinya akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami kawannya.

Yo Him melakukan segalanya tanpa membuang waktu, hanya dalam beberapa detik itu, selesai menghantam rubuh lawannya yang seorang, tenaga dalamnya segera disalurkan ke dada lawannya yang sedang dicengkeram, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke lantai.....

„Bukkk!” tubuh orang itu telah kena terbanting keras sekali, dan dia mengeluarkan suara jeritan yang sangat menyayatkan hati.

Sedangkan Yo Him telah mengibaskan bajunya beberapa kali dengan sikap yang angkuh. Sehingga membuat perwira pemimpin rombongan tentara Tee-tok itu tambah mendongkol.

„Maju, tangkap dia!” kata pemimpin perwira itu.

Sisa tentara Tee-tok yang berjumlah belasan orang itu telah mengiyakan dan mereka mengurung Yo Him dengan di tangan masing-masing telah tercekal sebatang golok.

Tetapi para tentara Tee-tok itu tidak berani berbuat sembarangan, karena tadi mereka telah menyaksikan betapa dua orang rekan mereka telah berhasil dirubuhkan Yo Him dengan mudah, hanya dengan satu gebrakan saja kedua orang Tee-tok itu jatuh pingsan. Maka tentara-tentara Tee-tok yang lainnya ini tidak mau mengalami nasib seperti kedua kawannya.

Yo Him tidak takut walaupun dia dikurung di tengah-tengah ancaman para tentara Tee-tok itu.

Perwira yang menjadi pemimpin dari pasukan Tee-tok telah mengeluarkan teriakan-teriakan menganjurkan anak buahnya segera mulai melancarkan serangan. Karena teriakan-teriakan dari perintah perwira atasannya, walaupun hati masing-masing merasa takut menghadapi Yo Him, tokh pasukan tentara Tee-tok itu telah menyerbu serentak. Golok mereka berkelebat-kelebat menyilaukan mata disamping mengerikan sekali.

Tetapi belum lagi Yo Him mengelakkan diri atau membalas menyerang, bersamaan waktunya dengan itu tiga orang tentara Tee-tok telah terpental keras dan terbanting di lantai sambil mengeluarkan suara jeritan, karena mereka telah kena dibuat terpental oleh tendangan kaki Phang Kui In.

Begitu pula Kwee Siang telah melompat dan memutar pedangnya melancarkan serangan kepada tentara Tee-tok itu. Setiap sinar putih dari pedangnya itu menyambar, maka di saat itu pula tampak seorang tentara Tee-tok rubuh terguling di lantai, binasa dan ada juga yang hanya terluka berat dengan paha yang terpotong atau tangan yang buntung. Dalam sekejap mata saja terdengar suara jeritan-jeritan kesakitan yang ramai sekali.

Perwira yang menjadi pemimpin pasukan tersebut jadi terkejut dan ketakutan. Bukannya dia ikut menerjang maju guna membantui anak buahnya, justru dia telah memutar tubuhnya dengan maksud ingin mengambil langkah seribu.

Waktu itu Kwee Siang bertindak cepat sekali, dia telah mengeluarkan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya telah melompat melambung ke tengah udara menyusul perwira yang menjadi pemimpin pasukan itu. Dan mata pedangnya telah menempel di tengkuk perwira yang menjadi pemimpin pasukan tentara Tee-tok itu.

„Jika kau berusaha melarikan diri, pedangku tidak akan kenal kasihan dan akan menusuk masuk dagingmu!” ancam Kwee Siang dengan suara sungguh-sungguh.

Perwira itu ketakutan bukan main, tetapi dia berusaha untuk menyembunyikan perasaan takutnya dan telah membalikkan tubuhnya menatap tajam pada Kwee Siang, sambil bentaknya dengan suara bengis:

„Apakah kau seorang wanita berani menghina hamba negeri! Apakah engkau tidak takut akan dihukum pancung dengan perbuatanmu ini?”

„Menghinamu? Hemm, justru engkau sendiri yang telah mengajak anak buahmu untuk mengacau di tempat ini! Hemm, jika dalam urusan ini engkau masih berusaha membela diri, baik, baik! Cabutlah pedangmu. Mari kita bertempur untuk menentukan siapa yang kalan dan siapa yang menang!”

Dingin sekali suara Kwee Siang, dan telah berkata-kata dengan wajah tidak memperlihatkan perasaan apa-apa. Hati perwira itu jadi ciut sendirinya, tetapi dalam keadaan terjepit seperti itu telah membuat dia terpaksa mencabut keluar goloknya yang sejak tadi tergantung di pinggangnya.

„Bagus! Aku memberikan kesempatan padamu untuk melancarkan serangan terlebih dulu!” kata Kwee Siang. „Nah mulailah!”

„Tunggu, encie Siang. Biar aku yang menghadapinya,” Yo Him meloncat ke depan Kwee Siang.

Ditantang dan didesak terus menerus dengan cara seperti itu, perwira yang menjadi pimpinan pasukan Tee-tok itu telah menggerakkan goloknya, dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat bengis, tahu-tahu goloknya telah bergerak dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu golok perguruan Cin-su-pay, sebuah perguruan yang cukup punya nama di daerah barat daratan Tiong-goan.

Golok itu menyambar dengan menimbulkan suara kesiutan yang sangat kuat dan keras sekali, menyambar ke arah Yo Him dengan gerakan yang aneh sekali, seperti juga menikam, seperti juga menabas, sehingga sulit diterka arah sasaran mana yang dipilihnya.

„Hmmm! Rupanya dia ahli ilmu to-hoat (ilmu silat golok) yang memiliki kepandaian cukup lumayan,” pikir Yo Him di dalam hatinya, tetapi dia tidak menjadi takut karenanya!

Waktu golok itu menyambar dengan cepat sekali ke arah dadanya, tampak Yo Him telah menggerakkan tangan kirinya, tahu-tahu dia telah menjepit golok lawan, kemudian sekali menghentak, patahlah golok itu menjadi tiga potongan yang dua potongan jatuh menimbulkan suara berisik di lantai. Sedangkan tangan kanan Yo Him juga tidak tinggal diam, dia telah memukulkan kepalannya tangan kanannya ke arah dada perwira tentara Tee-tok itu.

„Bukk!” jitu sekali serangan itu mengenai sasarannya sehingga perwira itu merasakan dadanya seperti juga akan melesak hancur.

Dalam keadaan demikianlah, dengan adanya peristiwa seperti itu, walaupun si perwira itu bermaksud mengelakkan diri dan menyelamatkan jiwanya, sudah tidak bisa sebab begitu kepalan tangan Yo Him menghantam segera tubuhnya terpental keras dan ambruk di atas lantai dengan mengeluarkan suara gedebugan yang keras, jiwanya juga telah melayang, tubuhnya hanya sempat berkelejetan beberapa kali, kemudian diam untuk selama-lamanya.

Waktu itu Yo Him dan Kwee Siang tengah sibuk melayani tentara Tee-tok yang berjumlah cukup banyak itu kembali Yo Him telah berhasil merubuhkan dua orang lagi. Sedangkan pedang Kwee Siang juga telah berhasil melukai tiga orang tentara Tee-tok itu. Sisanya yang kurang lebih hanya tinggal enam orang, jadi ketakutan. Juga diwaktu itu mereka melihat pemimpin mereka telah terpental dan binasa di tangan Yo Him.

Phang Kui In sendiri dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat nyaring telah mengibaskan golok dan tangan kirinya berulang kali, dalam sekejap mata saja keenam tentara Tee-tok itu telah dapat dihabiskan semuanya, yang menggeletak merintih kesakitan.

„Apakah kalian tidak ingin cepat-cepat angkat kaki?” bentak Phang Kui In kepada tentara Tee-tok yang hanya terluka dan tengah merintih kesakitan.

Yo Him menghampiri dua orang tentara Tee-tok yang tengah berjongkok kesakitan karena paha mereka kena tertabas goloknya Phang Kui In.

„Kalian ingin mati seperti pemimpin kalian?” tanyanya dengan suara yang bengis. Kedua orang tentara itu tentu saja jadi ketakutan mereka menangis sesambatan meminta ampun.

„Hemmm, kalian ingin diampuni oleh kawan-kawanku..... tetapi ingat, jika dilain saat kalau masih melakukan perbuatan yang sewenang-wenang tentu aku tidak akan berlaku setengah hati dan akan membinasakan kalian tanpa mengenal kasihan lagi! Nah, sekarang pergilah, bawa pula itu mayat kawan-kawanmu!”

Kedua orang tentara Tee-tok itu berulangkali telah menyatakan terima kasihnya sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya.

Phang Kui In dan Kwee Siang jadi berterima kasih, sekali, karena mereka telah tertolong justru dengan adanya Yo Him. Coba kalau mereka berdua saja, Kwee Siang dan Phang Kui In tentunya tidak akan semudah itu memperoleh kemenangan, karena tentara Tee-tok itu umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan terlatih.

„Him-jie, hebat sekali kepandaianmu itu. Tidak sia-sia engkau belajar pada Lie Bun Hap locianpwe!”

„Benar adik Him, engkau hebat sekali, aku yang telah melatih diri puluhan tahun, ternyata tidak bisa melebihi kepandaianmu yang hanya berlatih selama dua tahun itu! Benar-benar kau hebat sekali.....!”

Yo Him cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah, dia juga merasa malu.

Para tentara Tee-tok yang terluka dan tengah membereskan mayat-mayat kawan mereka mendengar percakapan Kwee Siang bertiga. Mereka jadi berpikir: „Entah siapa pemuda tampan ini yang memiliki kepandaian demikian tinggi walaupun usianya masih demikian muda,” pikir mereka.

Salah seorang dari tentara Tee-tok telah memberanikan diri mendekati Yo Him, kemudian dia berlutut memberi hormat sambil bertanya takut-takut.

„Siauw eng-hiong, bolehkan kami mengetahui namamu yang besar dan gelaranmu yang harum?”

Yo Him jadi kikuk sendirinya.

„Aku bukan eng-hiong, aku juga tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namaku Yo Him tidak memiliki gelaran apapun.....” sahut Yo Him akhirnya.

„Siauw eng-hiong she Yo,” tanya tentara Tee-tok itu.

Yo Him mengangguk.

„Benar, apakah yang dibuat heran oleh kau?” tanya Yo Him sambil mengawasi tentara itu dengan sorot mata yang tajam.

„Bukan begitu siauw eng-hiong..... Justru mendengar siauw eng-hiong she Yo. Maka aku teringat kepada seorang, seorang pendekar yang paling terkenal dan merupakan super sakti dalam persilatan, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.”

„Beliau ayahku .....!” menjelaskan Yo Him.

„Ohh.....!” berseru tentara itu sambil memperlihatkan sikap terkejut dan girang. „Dulu duapuluh tahun yang lalu. Semasa dalam peperangan yang hebat dengan tentara Mongolia aku pernah menerima pertolongan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sehingga aku terhindar dari injakan kaki kuda!”

„Kau pernah bertemu dengan ayahku?” tanya Yo Him jadi tertarik mendengar orang menyebut-nyebut perihal pertemuannya dengan ayahnya.

„Pernah dua kali, kedua kalinya pertemuan itu terjadi di kota Siang-yang.....!” kata tentara Tee-tok tersebut. Waktu itu dia telah menghela napas panjang, katanya kemudian: „Dan sekarang, saya menyesal sekali, karena aku tidak mematuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko agar aku rajin-rajin melatih diri tiga jurus yang diberikan. Kata Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, jika aku bisa menguasai benar-benar ketiga jurus itu, di medan pertempuran tentu tidak ada tentara musuh yang bisa melawan kepandaianku! Sayang sekali aku bodoh, dan otakku pun tumpul..... aku tidak bisa menangkap benar ketiga jurus itu, akhirnya membuat aku malas melatih diri, dan sekarang aku telah lupa sama sekali ketiga jurus itu!”

Setelah berkata begitu, tentara Tee-tok yang seorang ini telah mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang tajam, lalu sambungnya lagi, „Yo siauw eng-hiong, apakah benar-benar engkau tidak memiliki gelaran?”

Yo Him mengangguk. „Aku tidak memiliki kepandaian bagaimana aku bisa mempergunakan gelaran yang hanya bisa membuat aku congkak dan sombong..... untuk apakah gelaran itu?”

„Maaf dan ampunkan, siauw eng-hiong jika memang siauw eng-hiong belum memiliki gelaran, apakah tidak ada baiknya untuk mengenang jasa-jasa ayah siauw-eng-hiong yang pernah berhasil mengusir musuh dan mempertahankan kota Siang-yang di daerah selatan maka siauw eng-hiong boleh mengambil setengah gelaran dari ayahmu lalu ditambah setengah lagi. Bagaimana kalau engkau bergelar Sin-tiauw-thian-lam (rajawali sakti dari langit selatan) maafkan jika itu kurang baik dan maafkan juga akan kelancanganku memberikan gelaran.”

„Bagus!” berseru Phang Kui In.

Yo Him jadi heran, dia memandang kepada paman Phang nya itu.

„Apanya yang bagus paman Phang?” tanya Yo Him sambil mengawasi terus paman Phang nya ini.

„Gelaranmu itu yang bagus,” kata Phang Kui In. „Gelaranmu itu yang baik sekali! Untuk selanjutnya engkau bisa mempergunakan gelaranmu itu, yaitu Sin-tiauw-thian-lam Yo Him! Nah terimalah ucapanku ini, dimana telah lahir seorang pendekar sakti Sin-tiauw-thian-lam Yo Him!” Dan setelah berkata begitu tampak Phang Kui In telah merangkapkan sepasang tanganya untuk memberi hormat kepada Yo Him.

Keruan saja Yo Him jadi gugup dan kikuk dia cepat-cepat membalas hormat dari Phang Kui In.

Kwee Siang juga telah memberikan selamat padanya dengan memberi hormat.

Tentara Tee-tok yang seorang itu yang telah berikan gelaran kepada Yo Him, tampaknya gembira sekali.

„Siapakah namamu!” tanya Phang Kui In sambil tersenyum pada tentara itu.

,,Siauw-jin she Bian dan bernama Tung Pah. Nanti jika kalian bertemu dengan Yo Ko Tayhiap, tolong sampaikan salamku!”

„Terima kasih engkoh Bian!” Kata Yo Him sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. „Engkau telah menghadiahkan aku gelaran yang baik, bahkan disetujui oleh paman Phang dan encie Siang. Aku yakin beradanya engkau dalam pasukan Tee-tok hanyalah terpaksa saja, karena dalam hal ini engkau tentu hanya menuruti perintah atasan saja, bukan?“

Bian Tung Pah menganggukkan kepalanya beberapa kali dia telah membenarkan perkataan Yo Him.

„Dan aku telah memikirkan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai alat negara, karena terkadang aku menerima perintah untuk melakukan pekerjaan yang tidak menurut isi hatiku..... Maka dari itu, nanti aku minta pensiun saja dan hidup dengan berdagang kecil-kecilan.”

„Bagus! Itu bagus sekali!” kata Phang Kui In. „Itulah cara yang terbaik, sehingga engkau tidak perlu korban perasaan!”

Bian Tung Pah juga menyatakan terima kasihnya atas perlakuan Yo Him bertiga. Kemudian bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya terluka mengangkat mayat-mayat kawan mereka.

Semua tentara Tee-tok yang masih hidup itu bergidik sendirinya setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah puteranya Yo Ko.

Sedangkan pelayan rumah makan telah membersihkan darah dan merapihkan bangku kursi dan meja yang telah pada terbalik itu. Sedangkan noda darah di lantai segera dihapus dengan kain pembasuh. Dalam sekejap mata saja ruangan rumah makan itu telah rapih lagi.

Sedangkan Yo Him bertiga telah makan-makan lagi..... Mereka tidak memperdulikan tamu-tamu berdatangan dan kasak kusuk membicarakan mereka.

Setelah puas makan minum Yo Him bertiga meninggalkan rumah makan itu.

Banyak orang-orang penduduk kota itu yang berdatangan ingin melihat rupa dan wajah dari putera Sin-tiauw Tayhiap, tapi Yo Him bertiga telah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Mereka mempergunakan ginkang yang telah sempurna, hanya dalam beberapa detik mereka sudah jauh meninggalkan rumah makan dan penduduk kota tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka tidak ingin dipersulit dengan berbagai pertanyaan dan sanjung puji dari penduduk kota itu.

Y

Waktu itu, Yo Him telah berkata kepada Phang Kui In, di saat mana mereka telah berada di luar kota sebelah timur.

“Phang susiok..... apakah kita melanjutkan perjalanan kita lagi?” tanyanya.

Phang Kui In mengangguk membenarkan. Maka mereka telah menghampiri perahu mereka dan telah melompat naik ke atas perahu tersebut. Perahu itupun berlayarlah meninggalkan tempat itu.

Setelah berlayar selama empat hari lagi, mereka tiba di pelabuhan kota Mu-sing-kwan. Tetapi mereka hanya singgah untuk makan dan minum mengisi perut, lalu melanjutkan perjalanan mereka pula.

„Berlayar lagi sebelas hari tentu kita akan tiba di kota Su-po-kwan, di kota itu kita bisa meminta keterangan dari orang-orang yang pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap..... karena Sin-tiauw Tayhiap pernah berkali-kali datang di kota tersebut!”

Yo Him girang bukan main mendengar hal itu, dia serasa ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah kandungnya, bertemu muka. Dan juga Kwee Siang, begitu rindu ingin bertemu dengan pendekar super sakti tersebut. Benar saja, setelah mereka berlayar sebelas hari, di saat itu mereka telah tiba di kota su-po-kwan, kota perdagangan yang ramai sekali dan memiliki penduduk yang padat.

„Kita telah sampai!” menjelaskan Phang Kui In waktu mereka telah tiba di pelabuhan kota tersebut.

Dengan tidak sabar Yo Him telah melompat ke dermaga dan berjalan dengan langkah lebar.

„Tunggu dulu Him-jie!” teriak Phang Kui In yang sedang mengikat perahunya. „Nanti kau tersesat.....!”

Yo Him sudah tidak sabar sekali. „Cepat sedikit paman Phang.....!” katanya dengan suara tidak sabar.

Kwee Siang yang melihat kelakuan Yo Him jadi tersenyum, dia pun merasakan hatinya tergoncang keras sekali.

Waktu itu Phang Kui In telah selesai mengikat perahunya, tetapi ketika dia ingin menghampiri Yo Him dan Kwee Siang untuk meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba dari arah ujung dermaga yang satunya, telah berjalan seseorang dengan langkah kaki yang lebar. Dan orang itu juga sambil menghampiri telah berteriak-teriak dengan suara yang sangat nyaring:

„Hei tunggu dulu! Tunggu dulu!”

Phang Kui In mengerutkan alisnya, karena dia melihat bahwa orang itu memiliki wajah yang kurang berkesan baik, tampaknya mata orang itu bersinar tajam dan jahat.

„Ada urusan apakah, Heng-tay (saudara)?” tanya Phang Kui In berusaha bersikap semanis mungkin, karena dia menyadari dirinya merupakan pelancongan belaka.

„Kalian memakai perahu? Dan perahu kalian ini diikatkan di dermaga ini! Kalian harus membayar seratus tail perak!” kata orang itu setelah datang dekat.

Dan Phang Kui In saat itu juga telah bisa melihat jelas wajah orang itu yang berpotongan empat persegi dan matanya memandang tajam menyeramkan. Ukuran kedua matanya itu tampaknya lebih besar dari mata orang dewasa yang wajar. Kumis, dan jenggotnya yang tumbuh kaku itu menambah wajahnya semakin tidak enak dilihat, dengan lobang hidung yang dongak ke atas.

„Apa..... apa kau bilang?” tanya Phang Kui In tergagap, karena dia terkejut atas permintaan orang itu. Mana ada uang sewa titip perahu sebesar seratus tail perak seperti yang diminta orang itu? Sedangkan paling tidak hanya satu atau dua cie saja!

„Aku mengatakan jika kau ingin menitipkan perahu di dermaga ini. Maka kalian harus menyerahkan uang sewanya sebesar seratus tail perak? Tidak dengar? Seratus tail perak! Sudah dengar? Seratus tail perak!”

Mendengar perkataan orang itu tentu saja Yo Him bertiga jadi tidak menyukai orang ini.

„Hemm, mungkin dia ini seorang buaya darat yang menguasai daerah ini, sehingga leluasa baginya untuk melakukan pemerasan-pemerasan terhadap orang yang lemah,” pikir Phang Kui In.

Karena berpikir begitu, sikap Phang Kui In jadi tenang kembali dan lenyap dari perasaan herannya. Sengaja dia memperlihatkan senyuman sabar.

„Cukupkah uang sewanya sebesar seratus tail perak?” tanyanya.

„Jika engkau mau menambahkannya, itu lebih bagus lagi, tentu perahumu akan kujagakan sebaik mungkin, agar tidak dirusak orang atau dicuri hilang oleh orang yang banyak berkeliaran di tempat ini! Ketahuilah di pelabuhan ini banyak sekali pemeras-pemeras.

Mendengar perkataan orang itu, Phang Kui In kembali tersenyum.

„Lucu! Lucu sekali!” katanya.

„Apanya yang lucu?” tanya orang itu tidak mengerti.

„Aku membeli perahu itu hanya dengan harga seratus sepuluh tail! Tetapi sekarang, ingin menitipkan perahu itu, harus membayar seharga seratus tail perak! Bukankah itu merupakan suatu kejadian yang lucu sekali?”

Mendengar perkataan Phang Kui In, muka orang berewokan itu jadi berobah merah padam, karena dia menyadarinya bahwa kata-kata Phang Kui In itu hanya ditujukan untuk menyindir dirinya.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar