Setiap dia tiba di suatu
tempat, jika menghadapi suatu urusan yang tidak wajar dan tidak layak maka Cu
Kun Hong turun tangan untuk membelai pihak lemah yang tertindas. Perlahan-lahan
namanya mulai dikenal oleh orang-orang rimba persilatan.
Begitu juga kepandaiannya
telah mengalami banyak kemajuan, karena Cu Kun Hong sangat rajin sekali melatih
diri, sehingga dibandingkan dengan kepandaiannya yang dulu maka kepandaian Cu
Kun Hong yang sekarang berbeda jauh sekali. Kipas di tangannya yang selalu
dibawa dan dipergunakan sebagai senjata itu, merupakan senjata yang ampuh
sekali. Setiap dalam suatu pertempuran Cu Kun Hong selalu mempergunakan
kipasnya sebagai senjata.
Karena Cu Kun Hong telah
melatih diri dengan giat sekali, dia melatih ilmu pukulan dan ilmu pedang yang
dirobahnya dengan mempergunakan kipasnya, maka dari itu, tidak terlalu
mengherankan jika dalam waktu delapan tahun, Cu Kun Hong telah memperoleh
kemajuan yang sangat pesat sekali.
Hari ini, secara kebetulan dia
lewat di tempat tersebut, dan menyaksikan pertempuran yang terjadi antara Phang
Kui In dengan kedua pengemis itu, maka dia jadi tertarik untuk bergurau,
sengaja dia telah menyanyi dengan lirik yang menyindir, yaitu lagu ‘dewi’, dan
dia telah menghampiri tempat pertempuran itu.
Semula, ketika Cu Kun Hong
mengenali bahwa kedua pengemis itu adalah dua orang anggota Kay-pang, yang bisa
dikenalinya dari tumpukan karung yang ada di punggung mereka, maka Cu Kun Hong
ingin membantui pihak kedua pengemis itu, untuk melabrak Phang Kui In. Namun
setelah mendengar keterangan Yo Him, Cu Kun Hong jadi berbalik membenci kedua
pengemis itu.
Dilihatnya Phang Kui In telah
terdesak oleh serangan yang bertubi-tubi dari kedua lawannya, sedangkan kedua
pengemis itu, karena mengandalkan tenaga berdua, telah melancarkan
serangan-serangan yang gencar, menyebabkan Phang Kui In selalu sibuk untuk
mengelakkan diri dari gempuran-gempuran yang bisa mematikan.
Dalam saat-saat seperti
inilah, Cu Kun Hong telah menggumam lagi: „Sungguh tidak pantas! Dua orang
melawan seorang! Sungguh tidak pantas! Sungguh tidak sedap dilihat pengeroyokan
yang tidak tahu malu ini!”
Dan setelah berkata begitu,
dengan langkah kaki yang tenang, tampak Cu Kun Hong telah melangkah menghampiri
gelanggang pertempuran. Dia telah mengeluarkan sedikit tenaganya kipasnya
digerakkan untuk mengetuk tangan salah seorang dari kedua lawan Phang Kui In.
„Tukkkk!” pergelangan tangan
si pengemis yang biasa dipanggil toako itu telah kena diketuknya dengan keras,
sehingga suara ketukan tersebut juga terdengar jelas.
Bahkan pengemis itupun telah
mengeluarkan suara jeritan tertahan. Dia telah melompat mundur dengan gesit
sekali, matanya telah mendelik mengawasi Cu Kun Hong.
„Siapa kau?” bentaknya dengan
suara yang galak sekali, „Mengapa usil mencampuri urusan kami!”
Sedangkan pengemis yang
seorangnya lagi juga telah melompat mundur, dia berdiri disamping kawannya,
mengawasi Cu Kun Hong dengan sorot mata yang tajam.
Cu Kun Hong membawa sikap yang
sabar dan tersenyum mengejek, dia telah berkata dengan suara yang perlahan,
tetapi diiramakan:
„Aku bukan usil!” katanya,
„tetapi justru tadi aku telah mendengar dari engko kecil itu, bahwa kalian
merupakan dua bandit kecil yang tidak tahu malu dan jahat sekali! Maka dari itu,
aku bermaksud iseng-iseng untuk memberikan didikan agar kelak kalian mengerti
akan tata krama kesopanan dan tahu diri!”
Tentu saja perkataan Cu Kun
Hong membuat kedua pengemis itu jadi gusar sekali, keduanya telah berjingkrak
dengan marah sekali.
„Jangan marah dulu,” kata Cu
Kun Hong dengan suara yang mengejek. „Jika engkau marah, tentu engkau dengan
mudah akan dirubuhkan lawan! Bukankah di dalam persilatan terdapat suatu
pantangan, jika sedang bertanding menghadapi lawan, pantangan yang terutama sekali
adalah tidak boleh mengum¬bar kemarahan hati. Jika kalian melanggar pantangan
itu, niscaya diri kalian sendiri yang akan menderita kerugian! Tentunya kalian
juga telah mengetahui akan pantangan itu. Bukan?”
Mendengar ejekan Cu Kun Hong
yang terakhir, walaupun kedua pengemis itu me-mang mengetahui akan pantangan
itu, namun mereka bukannya berusaha untuk mengendalikan diri, malah mereka
bertambah gusar.
„Katakan namamu, agar kau
mampus jangan tidak bernama!” bentak pengemis yang biasa dipanggil toako itu.
“Hemmm..... namaku?” tanya Cu
Kun Hong tenang. „Aku selama tidak pernah mengganti she dan nama, aku she Cu
dan bernama Kun Hong. Dan jika memang kalian merasakan diri kalian merupakan
lelaki sejati sebutkan juga nama kalian, karena akupun pantang sekali
membinasakan manusia kecil yang tidak memiliki nama!”
Muka kedua pengemis itu jadi
merah padam, bahkan dengan berang pengemis ‘toako’ itu telah berkata dengan
lantang:
„Aku Kim Ji Kay (anak pengemis
emas), dan ini adikku Gan Ho Kay.....!” te¬tapi baru berkata sampai disitu, Kim
Jie Kay tampaknya jadi terkejut sendirinya, karena dia telah terlanjur
menyebutkan nama mereka. Keduanya dengan serentak telah menoleh kepada Yo Him,
yang saat itu sedang mengawasi ke arah mereka dengan bibir tersungging senyuman.
„Bagus, bagus!” kata Cu Kun
Hong, „Mari kita main-main sebentar! Kulihat kalian masing-masing membawa empat
helai karung! Itu bukan tingkat yang rendah! Di dalam Kay-pang, empat karung
merupakan empat tingkat, tingkat dari pangkat kalian, tentunya kalian memiliki
kepandaian yang tidak rendah!”
Dan setelah berkata begitu
dengan cepat Cu Kun Hong telah mengibaskan kipasnya, dia bersiap-siap untuk
menerima serangan kedua pengemis itu.
„Saudara tunggu dulu!” Kata
Phang Kui In yang sejak tadi berdiam diri saja.
Cu Kun Hong menoleh.
„Engkau ingin mengatakan bahwa
kita kebagian seorangnya satu, bukan?” tanya Cu Kun Hong sambil tertawa. „Tidak
usah, tidak perlu menghadapi anjing-anjing kurap seperti dia ini, mengapa kita
harus sungkan-sungkan, biar aku yang menggebuknya saja, sama dengan ilmu
tongkat mereka, ilmu tongkat penggebuk anjing!”
Mendengar perkataan Cu Kun
Hong yang mengandung ejekan dan sikapnya yang meremehkan mereka, tentu saja
telah membuat kedua pengemis itu jadi marah sekali. Dengan mengeluarkan suara
bentakan keras, mereka sudah tidak bisa mempertahankan diri lagi, keduanya
telah melompat dengan gerakan yang gesit sekali. Dan telah melancarkan
gempuran-gempuran yang sangat kuat ke arah Cu Kun Hong.
Tetapi Cu Kun Hong tetap
berdiri tenang di tempatnya, sama sekali dia tidak memperdulikan
serangan-serangan yang dilancarkan oleh kedua lawannya itu. Kipas yang dicekal
di tangan kanannya, telah digerakkan dengan seenaknya, dia telah
menggerakkannya dengan kuat sekali, sehingga angin dari kipas itu berkesiuran.
Kibasan kipas itu bukan
merupakan kibasan biasa saja, kibasan kipas itu merupakan kibasan yang luar
biasa kuatnya, maka tenaga yang menggempur juga dahsyat bukan main. Maka dalam
keadaan demikian, kedua lawannya jadi terkejut, karena mereka merasakan
pergelangan tangan mereka nyeri sekali, seperti tertusuk ribuan jarum.
Dengan mengeluarkan suara
teriakan kaget, mereka telah melompat mundur dengan gerakan tubuh yang cepat
sekali. Mereka telah menduga bahwa Cu Kun Hong mempergunakan senjata rahasia.
Tetapi baru saja mereka ingin memaki, justru di saat itu mereka melihat
perasaan nyeri itu berasal dari angin serangan kibasan kipas. Dengan sendirinya
mereka jadi tambah terkejut, sampai mengeluarkan suara teriakan perlahan, dan
kemudian dengan serentak keduanya telah melompat melancarkan serangan-serangan
pula dengan gerakan yang sangat cepat dan lebih kuat dari serangan mereka
pertama tadi.
Walaupun kedua pengemis ini
telah letih melakukan pertempuran yang cukup lama dengan Phang Kui In, tetapi nyatanya
mereka masih memiliki kekuatan yang cukup hebat untuk melancarkan
serangan-serangan kepada Kun Hong.
Sedangkan Phang Kui In yang
melihat Cu Kun Hong menghadapi kedua lawannya itu, diam-diam jadi kagum sekali,
dia jadi memuji di dalam hatinya.
Dia telah melihat betapa
lweekang Cu Kun Hong telah sempurna latihannya, dan angin serangan tersebut
telah menerjang dengan kuat sekali, ke arah kedua pengemis yang mengeroyoknya.
Setiap serangan yang
dilancarkan oleh Cu Kun Hong selalu memaksa kedua lawannya harus mengundurkan
diri dari tempat mereka masing-masing, kadang-kadang tenaga dalam itu meluncur
dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh pandangan mata. Dengan sendirinya hal
ini telah membuat kedua pengemis itu, Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, sering mengeluarkan
seruan kaget, karena beberapa kali hampir saja mereka terkena kibasan kipas Cu
Kun Hong.
Harus dimengerti juga bahwa
kipas yang dipergunakan oleh Cu Kun Hong bukan merupakan kipas yang
sembarangan, bukan terbuat dari kertas biasa. Kipas itu memiliki kekuatan yang
dahsyat, karena bisa dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan, dan terbuat
dari besi murni, sehingga tidak mudah dipotong oleh pedang dan golok.
Tampaknya kedua pengemis itu
jadi kewalahan juga menghadapi Cu Kun Hong, walaupun mereka baru bertempur
beberapa jurus saja.
Cu Kun Hong telah, tertawa
mengejek, lalu dia berkata dengan suara yang dingin:
„Jika kalian benar-benar
memiliki kepandaian yang tinggi dan sempurna, mengapa tidak dikeluarkan?
Mengapa hanya mempergunakan kepandaian cakar bebek seperti ini?”
Ditegur begitu, tentu saja
telah membuat kedua pengemis itu menjadi marah. Bahkan Kim Jie Kay telah
berteriak dengan kalap: „Kami akan mengadu jiwa dengan manusia besar mulut
seperti engkau!” teriak pengemis itu, sambil melancarkan serangan-serangan
kalap.
Kedua pengemis itu telah
nekad, karena bukan hanya Kim Jie Kay saja yang melancarkan serangan
bertubi-tubi juga Gan Ho Kay telah menerjang maju, dia telah melancarkan
gempuran-gempuran yang dahsyat. Gerakan-gerakan itu mendatangkan angin yang
berkesiuran seperti angin puyuh.
Cu Kun Hong telah mengeluarkan
jurus-jurus yang bisa mematikan lawannya, tetapi kedua pengemis ini tampaknya
seperti sudah tidak mau mengacuhkan lagi ancaman serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Cu Kun Hong. Bahkan mereka telah bertempur dengan mengeluarkan
seluruh tenaganya, karena itu serangan yang dilakukan oleh mereka merupakan
gerakan-gerakan yang luar biasa kuatnya, jangankan manusia, sedangkan batu
maupun batang-batang pohon yang terkena serangan itu akan terhajar hancur
sehingga Cu Kun Hong juga harus bersikap hati-hati, karena dia melihat kedua
lawannya itu telah melancarkan gempuran-gempuran dengan kenekadan yang
benar-benar mengerikan, seperti juga ingin mengajak Cu Kun Hong untuk binasa
bersama.
Sedangkan Phang Kui In dan Yo
Him yang menyaksikan dari pinggir, jadi menguatirkan keselamatan Cu Kun Hong.
Walaupun mereka tidak mengenal siapa adanya pelajar itu, tetapi justru Cu Kun
Hong telah bertempur dengan kedua pengemis itu disebabkan membela Phang Kui In.
Maka dari itu, Phang Kui In
juga telah bersiap sedia, jika memang Cu Kun Hong menghadapi bencana, tentu dia
akan segera turun tangan untuk menolonginya.
Cepat bukan main, angin
serangan dari ketiga orang yang sedang bertempur itu meluncur dan
mendesir-desir, di saat seperti itulah telah terdengar bentakan keras:
„Kalian sedang bertempur
dengan siapa, Kim Jie Kay?”
Mendengar suara itu, tampaknya
Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay jadi sangat girang, mereka juga telah mengeluarkan
seruan nyaring, di samping itu muka keduanya telah berseri-seri, hampir
serentak mereka telah menyahut!
„Sam tocu, kami sedang dihina
pelajar gila ini!”
Mendengar dirinya disebut
pelajar ‘gila’, Cu Kun Hong menjadi marah, darahnya dirasakan naik sampai ke
ubun-ubun kepalanya, bahkan di saat itu terlihat dia telah menggerakkan kipas
yang tercekal di tangan kanannya, yang bisa dilipat untuk melancarkan
totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya di tubuh kedua pengemis itu.
Dalam keadaan demikian Kim Jie
Kay dan Gan Ho Kay tidak berani menyambuti serangan itu. Mereka telah melompat
mundur, dan telah menyingkir jauh-jauh memisahkan diri dari Cu Kun Hong.
Tiba-tiba di tempat tersebut
telah bertambah satu orang. Seorang pengemis tua berusia diantara limapuluh
lima tahun, jenggotnya telah memutih semuanya, matanya memancar tajam, tubuhnya
kurus sekali.
Dia telah mengawasi Cu Kun
Hong dengan sorot mata yang tajam, tampaknya tidak senang, tadi dia menyaksikan
betapa Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah diserang dan didesak begitu hebat.
„Siapakah engkau wahai anak
muda yang tampan?” tanya lelaki tua itu.
Di saat itu Cu Kun Hong telah
melipat kipasnya, dengan tenang dia telah menyahut.
„Tentu saja aku tidak berani
berdusta dihadapan Sam tocu dari Kay-pang, aku she Cu dan bernama Kun Hong, dan
kebetulan sekali kedua anak buahmu itu kurang ajar melakukan perbuatan yang
tidak tahu diri, maka aku mewakili Sam tocu untuk memberikan hajaran
kepadanya!”
Sam tocu itu adalah wakil dari
pemimpin Kay-pang cabang daerah tersebut, dia telah memiliki kepandaian yang
tinggi, adatnya juga berangasan sekali, walaupun hatinya tidak begitu jahat.
Tetapi disebabkan seluruh
anggota dari Kay-pang cabang daerah semuanya melakukan perbuatan yang tidak
baik, maka Sam tocu ini juga tidak bisa mengatakan apa-apa, dia tidak bisa
melarangnya.
Ketika itu Sam tocu telah
berkata dengan suara yang dingin,
„Rupanya engkau mengenali aku
sebagai Sam tocu dari Kay-pang cabang daerah ini,” katanya dengan suara yang
angkuh. „Hemm, mengapa engkau hendak memberi ajaran kepada kedua anak buahku
itu?”
„Tentu saja ada sebabnya!”
menyahuti Cu Kun Hong dengan berani, tidak terlihat sedikitpun perasaan takut
di wajahnya, dia malah menghadapi Sam tocu dengan bibir tersungging senyuman,
kemudian Cu Kun Hong telah menceritakan seluruh apa yang didengarnya tadi dari
Yo Him.
Mendengar itu, muka Sam tocu
telah berobah merah, tetapi dia tidak menegur Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, malah
dia telah berkata dingin terhadap Cu Kun Hong:
„Hemm, jika memang benar-benar
mereka bersalah, itupun masih ada yang bisa mengurusnya, dan mengajar adatnya,
tidak perlu orang luar yang mencampuri urusan rumah tangga Kay-pang!” Ternyata
nada dan suara perkataannya itu, merupakan suatu pembelaan untuk kedua anak
buahnya tersebut.
Cu Kun Hong jadi mendongkol
karenanya, sebab dia melihat Sam tocu telah membela kedua anggotanya yang
bersalah, yang membuktikan bahwa Sam tocu juga bukan manusia baik-baik. Maka
dengan suara yang lantang Cu Kun Hong telah menyahuti dengan berani:
„Benar! Memang benar apa yang
dikatakan oleh Sam tocu! Jika saja yang mengatakan itu adalah salah seorang
dari pemimpin Kay-pang di pusat, tentu saja aku akan mempercayai sepenuhnya,
bahwa anggota-anggota Kay-pang yang bersalah akan dihukum sepantasnya! Tetapi,
justru sekarang, yang mengatakan hal itu hanyalah seorang anggota cabang
belaka!”
Muka Sam tocu jadi berobah
merah padam karena marah sekali, dia telah membentak dengan suara yang bengis.
„Dengan berkata begitu sama
juga kau mengartikan bahwa perkataanku tidak ada harganya bukan?” sahutnya
dengan suara tergetar. Kemudian dengan cepat sekali, dia telah melangkah maju
mendekati Cu Kun Hong, tampaknya dia telah bersiap sedia akan melancarkan
serangan-serangan.
Tetapi Cu Kun Hong sama sekali
tidak takut dia telah memandang dengan tatapan mata yang tajam.
„Bukankah jika seorang
pemimpin yang baik, begitu mendengar ada anggotanya yang melakukan suatu
perbuatan salah, maka akan melakukan penyelidikan benar atau tidak akan hal itu
dan akan memeriksa dengan bijaksana kedua anak buahnya! Bukan seperti sikapmu
itu!” ketus sekali kata-kata Kun Hong. „Maka dari itu, mana bisa aku menghargai
akan hati dan harga dirimu?”
Sam tocu telah berjingkrak
karena marahnya, diapun telah mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur,
kemudian secepat kilat dia telah melancarkan serangan-serangan yang dahsyat
kepada Cu Kun Hong. Serangan yang dilakukan oleh pengemis wakil ketua dari
cabang Kay-pang itu tidak bisa disamakan dengan kedua pengemis bawahannya tadi,
namun Cu Kun Hong tidak takut.
Dengan tetap berdiri tegak di
tempatnya, tampak Cu Kun Hong telah mengawasi tibanya serangan yang dilancarkan
oleh pengemis tua ini. Waktu telapak tangan Sam tocu hampir tiba di sasaran,
dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek, Cu Kun Hong telah menggerakkan
kipasnya, dia telah mengibas dengan mempergunakan enam bagian tenaga dalamnya
dan bermaksud akan mempergunakan ujung kipasnya untuk menotok pergelangan
tangan Sam tocu.
Tentu saja Sam tocu menjadi
terkejut, dia sampai mengeluarkan suara seruan tertahan dan telah menarik
pulang tangannya, kemudian dia telah mengeluarkan tenaga yang jauh lebih besar
dan mengulangi pula serangannya dengan hati penasaran sekali.
Cu Kun Hong tetap
menghadapinya dengan tenang, dia telah mengawasi datangnya serangan itu dengan
tatapan mata yang sangat tajam.
„Kau keterlaluan sekali, Sam
tocu!!” kata Cu Kun Hong dengan suara mengejek. „Engkau memang bukan seorang
bijaksana dan tidak perlu dihormati!”
Dan setelah mengejek begitu,
dengan cepat sekali tampak Cu Kun Hong telah menggerakkan kipasnya berulang
kali, dan kipasnya itu sebentar terbuka dan sebentar tertutup. Itulah cara
menyerang yang sangat hebat sekali, karena serangan-serangan seperti itu
memiliki dua macam cara untuk merubuhkan lawannya. Cara yang pertama jika kipas
terbuka akan merupakan lempengan yang biasa dipergunakan untuk menghajar kepala
lawan dan bagian-bagian lainnya yang berbahaya. Tetapi jika memang kipas itu
tertutup, maka ujung kipas dapat dipergunakan seperti Poan-koan-pit untuk
menutuk jalan darah di tubuh lawannya, di bagian yang sangat berbahaya sekali.
Maka dari itu walaupun Sam
tocu melancarkan serangan-serangan yang sangat hebat, namun dia tidak berani
terlalu mendesak.
Cepat sekali, angin serangan
kipasnya itu telah menderu-deru, dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Cu Kun
Hong sering memaksa Sam tocu harus menarik pulang serangannya sendiri, karena
kalau tidak, tentu dia akan tertotok oleh ujung kipas Cu Kun Hong.
Tetapi Cu Kun Hong tidak
berlaku segan-segan lagi, dia telah melancarkan serangan-serangan yang gencar.
Setiap kali melancarkan gempuran-gempurannya kipasnya itu telah
berkelebat-kelebat mengandung kekuatan yang membawa maut. Sekali saja kipas Cu
Kun Hong bisa mengenai sasarannya dengan tepat, tentu Sam tocu akan menemui ajalnya.
Tentu saja Cu Kun Hong juga
harus bersikap hati-hati, karena diapun menyadari akan hebatnya tenaga serangan
yang dilancarkan oleh Sam tocu.
Setiap serangan Sam tocu
mengandung kekuatan yang sangat dahsyat, karena disertai oleh tenaga lweekang
yang cukup tinggi, disamping itu Sam tocu juga memiliki ginkang yang boleh
diandalkan.
Maka terasalah angin serangan
dari Cu Kun Hong dan Sam tocu saling berseliweran tidak hentinya, saling samber
dan saling menerjang
Namun selama itu tampaknya
mereka memang berimbang, dan kekuatan tenaga dalam yang mereka miliki itu
merupakan tenaga dalam sejati, aliran dari golongan bersih dan bukan dari
golongan sesat. Sehingga telah membuat keduanya terlibat dalam suatu
pertempuran yang sangat hebat sekali.
Beruntun beberapa kali, tampak
Cu Kun Hong terdesak oleh gempuran-gempuran telapak tangan Sam tocu, tetapi
selama itu Cu Kun Hong telah berhasil menyelamatkan diri, sehingga membuat Sam
tocu semakin lama jadi semakin penasaran sekali.
Beberapa kali dengan
mengeluarkan suara bentakan-bentakan yang sangat bengis, Sam tocu telah
memperhebat serangan-serangannya dengan menambah tenaga lweekangnya untuk
memukul rubuh lawannya. Dalam melancarkan serangan-serangannya itu, tampak
betapapun juga, Sam tocu memang bernafsu sekali untuk merubuhkan Cu Kun Hong.
Cu Kun Hong memang agak
terdesak juga, namun sengaja untuk membangkitkan kemarahan dari pengemis yang
menjadi wakil ketua cabang Kay-pang daerah ini, beberapa kali Cu Kun Hong telah
mengeluarkan kata-kata ejekan.
Semakin lama memang Sam tocu
jadi semakin gusar saja, dia telah berusaha untuk cepat-cepat menyelesaikan
pertempuran ini.
Tetapi Cu Kun Hong tetap dapat
bertahan.
Phang Kui In yang melihat
keadaan Cu Kun Hong, disamping kagum atas kepandaian yang dimiliki Cu Kun Hong,
diapun jadi menguatirkan sekali keselamatan Cu Kun Hong.
Di saat itu Phang Kui In
bermaksud akan melompat ke tengah gelanggang, untuk turun tangan memberikan
bantuan kepada Cu Kun Hong.
Namun tangan Phang Kui In
telah dicekal oleh Yo Him.
„Tunggu dulu paman Phang,”
kata Yo Him, „Coba kita lihat dulu! Tadi kedua pengemis itu tidak mau mematuhi
Kim-pay nya Wie tocu, entah bagaimana dengan tokoh dari Kay-pang cabang daerah
ini!”
Mendengar itu, Phang Kui In
membenarkan jalan pemikiran Yo Him, maka dia telah mengangguk.
„Baiklah!” katanya kemudian.
„Engko Cu!” teriak Yo Him
memanggil Kun Hong. „Coba berhenti sejenak!”
Kun Hong mendengar suara
teriakan Yo Him dengan jelas, dia jadi heran, entah apa maunya anak sekecil Yo
Him itu. Tetapi sebagai seorang yang selalu ingin mengetahui dan juga memang
dia tengah terdesak, sehingga Cu Kun Hong bermaksud untuk beristirahat. Dia
telah melompat mundur tiga tombak lebih dengan gesit sekali, waktu Sam tocu
sedang melancarkan serangan kepadanya.
Sam tocu jadi terkejut karena
tahu-tahu sasarannya telah lenyap dari depan matanya, dengan mengeluarkan suara
teriakan keras dia bermaksud mengejarnya untuk mengulangi lagi serangannya.
Tetapi saat itu Yo Him telah
berteriak, „Tahan! Aku ingin bicara!!”
Dalam marahnya, Sam tocu telah
membentak dengan suara yang sangat bengis: „Apa yang hendak engkau katakan,
monyet kecil?”
Yo Him tidak marah mendengar
dirinya dipanggil dengan sebutan monyet kecil, dia telah memandang dengan
berani, tangannya telah mengacungkan Kim-pay.
„Aku akan bicara atas nama
Kim-pay ini.....!” katanya kemudian dengan suara yang nyaring.
Mata Sam tocu jadi terpentang
lebar-lebar waktu melihat Kim-pay di tangan Yo Him, tampak jelas sekali dia
terkejut bukan main, mukanya juga telah berobah pucat.
„Kau..... dari mana engkau
mencuri Kim-pay itu?” tegurnya, dengan suara yang ragu-ragu.
Yo Him telah berkata dengan
suara yang dingin: „Setelah engkau melihat Kim-pay ini apakah engkau tidak
segera berlutut untuk menerima perintah?”
Muka Sam tocu jadi berubah
juga, dia telah berkata dengan suara yang ragu-ragu.
„Memang sudah menjadi
peraturan, bahwa setiap orang yang membawa Kim-pay harus diperlakukan sama
dengan pemilik Kim-pay itu sendiri, karena Kim-pay merupakan lambang kekuasaan
dari pemimpin kami. Tetapi engkau, engkau dalam usia demikian kecil apakah
mungkin engkau bisa memperoleh sebuah Kim-pay dari salah seorang pemimpin kami?
Terlebih lagi Kim-pay itu tampaknya milik Wie Liang tocu dari pusat, wakil
pemimpin kami di pusat.
Yo Him telah tertawa dingin.
„Apakah kau telah menerima
pelajaran mengenai peraturan Kay-pang, jika Kim-pay dipegang oleh seorang anak
kecil maka Kim-pay itu tidak berlaku? Dan juga apakah memang di dalam Kay-pang
terdapat peraturan pemegang Kim-pay itu harus dipandang dalam usia? Hemm,
Kim-pay merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari orang yang bersangkutan yang
menjadi pemimpin kalian yang harus kalian hormati adalah Kim-pay itu sendiri,
bukan orang yang membawanya!”
Mendengar perkataan Yo Him,
kembali Sam tocu diliputi keragu-raguan yang sangat, diapun telah berkata
bimbang:
„Tetapi..... tetapi.....”
Namun Sam tocu tidak
meneruskan perkataannya, sehingga membuat Yo Him jadi tambah mendongkol saja.
„Apanya yang tetapi, tetapi?
Apakah engkau ingin mengatakan bahwa Kim-pay ini merupakan Kim-pay palsu?”
„Tidak berani! Tidak berani!”
justru aku mengenali jelas sekali bahwa Kim-pay itu adalah milik Wie Liang
tocu, wakil pangcu di pusat.....!”
„Hemm, mengapa engkau tidak
segera melakukan upacara menerima Kim-pay?” tanya Yo Him dengan nada suara
menegur.
„Baiklah! Aku harus
menjelaskan kepadamu! Sesungguhnya kami menghormati sekali pemimpin-pemimpin
kami di pusat, tetapi sangat disesalkan sekali justru pemimpin-pemimpin kami
itu kurang teliti! Buktinya Kim-pay yang demikian berharga telah begitu mudah
diberikan kepada seorang anak sebaya engkau! Bukankah jika terjadi sesuatu,
akan membahayakan sekali? Bukankah anak sebaya engkau bisa saja diperalat oleh
orang-orang jahat dan dengan mempergunakan kekuasaan Kim-pay itu, anggota
Kay-pang akan dikendalikan oleh tangan jahat, dipinjam untuk melakukan
kejahatan? Tidak! Tidak! Aku tidak bisa menerima kenyataan seperti ini!”
Memang apa yang dikatakan oleh
Sam tocu memang masuk dalam akal sehat. Apa yang dibilangnya itu juga beralasan
kuat sekali.
Namun walaupun bagaimana Yo
Him berusaha meyakinkan bahwa Kim-pay ini diberikan oleh Wie Liang tocu sebagai
hadiah kepadanya.
„Ketahuilah, bahwa antara aku
dengan Wie toako memang telah mengikat tali persaudaraan, kami telah angkat
saudara, dimana Wie tocu telah menjadi toakoku! Sebagai adik angkatnya, maka
aku telah dihadiahkan sebuah Kim-pay..... Inilah Kim-paynya itu!”
Semula Sam tosu masih
ragu-ragu mengenal diri Yo Him, tetapi mendengar perkataan Yo Him yang terakhir
itu, keragu-raguan di hatinya jadi lenyap, bahkan dia telah tertawa
bergelak-gelak dengan, suara yang nyaring sekali.
„Bagus! Bagus!” katanya dengan
suara yang keras sekali. „Tampaknya engkau memang seorang anak yang pandai
berdusta! Semula aku masih mau mempercayai bahwa engkau memperoleh Kim-pay itu
dari tangan Wie tocu, tetapi sekarang mendengar kalian mengangkat saudara, ha,
ha, tentu saja hal itu tidak masuk dalam akal sehatku! Bagaimana mungkin anak
sekecil engkau bisa mengangkat saudara dengan Wie tocu? Hemmm, dalam keadaan
seperti ini tampaknya engkau juga ingin berdusta! Banyak orang-orang persilatan
yang ingin menjadi sahabat Wie tocu, tetapi jarang yang pantas untuk menjadi
sahabatnya! Maka, mana bisa aku mempercayai justru engkau sebagai adik
angkatnya?”
Dan setelah berkata begitu,
Sam tocu telah membentak dengan tubuh yang bergerak cepat ke arah Yo Him.
„Berikan Kim-pay itu
kepadaku.....!” dan dia telah mengulurkan tangannya, untuk merebut Kim-pay itu
dari tangan Yo Him.
Yo Him jadi terkejut sekali,
karena Sam tocu telah bergerak sangat cepat sekali, dia telah mengulurkan
tangannya untuk merebut Kim-pay itu, karena dia bermaksud untuk
mengembalikannya kelak kepada Wie Liang tocu di pusat.
Jika memang ternyata Wie tocu
kehilangan Kim-paynya dan Sam tocu bisa mengembalikannya, bukankah hal itu
menunjukkan dia telah melakukan pahala yang cukup besar untuk Kay-pang?
Bukankah dia akan naik tingkat juga? Maka dari itu, Sam tocu tidak segan-segan
dalam gerakannya, dia mengulurkan tangan kanannya untuk merebut Kim-pay itu
dari tangan Yo Him, sedangkan tangan kirinya telah diluncurkan untuk menyerang
ke arah dada Yo Him. Gerakan itu dimaksudkan pertama-tama tangan kanannya ingin
merebut Kim-pay, sedangkan tangan kirinya akan menghantam binasa anak itu.
Yo Him mana berdaya untuk
mengelakan diri dari serangan Sam tocu? Phang Kui In yang melihat gerakan Sam
tocu jadi terkejut bukan main, dia bermaksud mengulurkan tangannya untuk
menangkis serangan di dada Yo Him, karena baginya yang terpenting menyelamatkan
jiwa Yo Him dulu, maka walaupun Kim-pay nanti kena direbut oleh Sam tocu, hal
itu mudah diurus di belakang harinya.
Sedang Cu Kun Hong yang
melihat sikap Sam tocu, jadi marah sekali.
,,Manusia hina yang tidak tahu
malu!” memaki Cu Kun Hong, dan pelajar ini bukan hanya membentak begitu saja,
karena dengan cepat sekali dia telah melompat dengan gerakan yang sangat gesit
dan tangan kanannya mencekal kipas telah bergerak. Dia sama sekali bukan
bermaksud menangkis serangan Sam tocu yang dilancarkan kepada Yo Him, hanya
mengancam akan menolok jalan darah Pai-kong-hiat di punggung Sam tocu.
Tentu saja hal itu telah
membuat Sam tocu jadi terkejut karena dia menyadari bahwa Pai-kong-hiat
merupakan jalan darah terpenting dan merupakan jalan darah utama di tubuh
manusia.
Karena itu dalam keadaan
terancam begitu, Sam tocu tidak bisa meneruskan serangannya, dengan cepat dia
telah menarik pulang tangan kiri dari serangan yang dilancarkan Cu Kun Hong.
Tubuh Sam tocu telah melompat
ke samping, sehingga ancaman kipas Cu Kun Hong yang ingin menotok jalan darah
di punggungnya itu jatuh di tempat yang kosong.
16.32. Penegakan Disiplin
Kay-pang
Betapa gusarnya Sam tocu,
begitu kedua kakinya berdiri tegak di atas tanah, dia telah mengeluarkan suara
bentakan yang mengguntur, tampak dia telah menggerakkan kedua tangannya dengan
saling susul dan serentak. Gerakan yang dilakukannya sangat cepat sekali,
sehingga tampaknya sulit bagi Cu Kun Hong untuk mengelakkan diri, karena waktu
dia sedang mengulurkan tangannya dan belum menarik serangan kipasnya, sehingga
ketiaknyalah yang menjadi inceran dari serangan Sam tocu.
Kalau serangan Sam tocu
mengenai sasarannya, niscaya akan menyebabkan tulang iga Cu Kun Hong akan remuk
berantakan, karena Sam tocu telah menyalurkan tenaga lweekangnya sebanyak delapan
bagian di kedua tangannya itu, sehingga angin serangan itu menderu-deru
datangnya.....
Tetapi Cu Kun Hong tidak
menjadi gugup karenanya, walaupun dia telah diserang dengan gempuran-gempuran
yang begitu kuat dan keras. Dengan mengeluarkan suara siulan yang cukup nyaring
tampak Cu Kun Hong telah menjejak kakinya, tubuhnya telah melompat ke tengah
udara dengan gerakan yang sangat cepat sekali ia melayang berjumpalitan
beberapa kali, sehingga berhasil menjauhi diri dari Sam tocu.
Tetapi Sam tocu sangat penasaran,
dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, dia telah melompat dan mendesak
Cu Kun Hong dengan serangan-serangan yang jauh lebih kuat lagi. Dengan gerakan
‘Kim-hong-sam-tiauw’ yakni cendrawasih emas mengangguk tiga kali, kedua
tangannya menyambar saling susul tiga kali menimbulkan kesiuran angin yang
keras. Setelah mana disusuli pula oleh ‘jie-liong-po-cu’ atau sepasang naga
memperebutkan mustika, kedua tangannya itu menyambar-nyambar dengan hebat,
membuat Cu Kun Hong jadi terkejut bukan main.
Dalam keadaan demikian Cu Kun
Hong tidak berani meremehkan serangan-serangan yang di lancarkan oleh pengemis
tersebut dengan mengeluarkan suara bentakan keras dan kuat tampak Cu Kun Hong
menggerakkan kipasnya „serrrr.....” kipas tersebut menyambar dengan jurus
‘Ong-lui-thian-te’ atau raja petir mendatangkan hujan dari langit.
Gerakan-gerakan hebat seperti
itu menyebabkan serangan-serangan Sam tocu tertangkis dan gagal sama sekali.
Bahkan tangkisan itu karena terlalu kuat, menimbulkan suara benturan yang menulikan
telinga.
Sam tocu dalam kemarahan yang
membakar hati, telah mengulangi lagi serangan-serangannya. Rupanya pengemis ini
telah mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sampai otot-otot dan urat
di mukanya bertonjolan jelas.
Angin serangan itu berkesiuran
kuat dan memaksa Sam tocu harus bersikap jauh lebih berhati-hati dibandingkan
dengan beberapa saat yang lalu, karena jika serangan-serangan yang kali ini
dilancarkannya itu tidak berhasil menemui sasaran yang tepat di tubuh lawannya,
tentu ia sendiri yang pasti akan terluka di dalam oleh tenaga dalamnya sendiri
yang akan berbalik menghantamnya.
Semakin lama Cu Kun Hong jadi
semakin sibuk menghadapi gempuran-gempuran lawannya yang agak nekad ini dan
beberapa kali ia telah mengeluarkan suara seruan-seruan sangat keras dan juga
diselingi oleh seruan-seruan kaget karena dirinya berulang kali hampir terkena
serangan-serangan Sam tocu. Untung saja Sam tocu dalam melancarkan
serangan-serangannya itu masih mempertimbangkan keselamatan dirinya, coba kalau
tidak Cu Kun Hong tentu telah dapat dirubuhkannya. Atau setidak-tidaknya mereka
akan terluka bersama.
Cu Kun Hong menyadarinya bahwa
tocu dari partai pengemis ini memang memiliki kepandaian yang tinggi sekali
disamping memiliki dasar tenaga dalam yang terlatih kuat.
Sam tocu telah menduduki
tingkat yang tinggi dalam perkumpulan Kay-pang cabang daerah dan tampaknya
iapun takut menderita malu dihadapan kedua orang bawahannya jika harus kalah di
tangan Cu Kun Hong, dimana Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay tengah mengawasi jalannya
pertempuran itu dengan mata terpentang lebar-lebar. Beruntun Sam tocu telah
melancarkan serangan-serangan dengan jurus ‘Pek-lui-thian-mui’ atau Petir putih
dari pintu langit, dan seperti juga samberan kilat, tangannya itu berkesiuran kuat
menyambar ke lawannya dengan mengeluarkan suara berkesiutan tidak hentinya.
Serangan-serangan kedua jago
yang tengah saling gempur dalam pertarungan yang begitu menakjubkan,
menimbulkan angin yang menderu-deru dan daun-daun kering maupun debu telah beterbangan
karena terjangan dan terpahan angin serangan di seputar gelanggang pertempuran
itu.
Phang Kui In yang menyaksikan
pertempuran diantara kedua jagoan itu, diam-diam jadi menghela napas panjang.
„Beruntun-runtun aku telah
melihat kepandaian yang sangat tinggi dari beberapa orang persilatan dan kini
tampaknya Sam tocu dari Kay-pang pun bukan memiliki kepandaian yang lemah.
Begitu pula si pelajar she Cu itu tampaknya bukan orang sembarangan. Namun
siapa sebenarnya Cu Kun Hong itu? Mengapa selama ini aku tidak pernah mendengar
namanya di dalam rimba persilatan?”
Waktu Phang Kui In sedang
berpikir begitu, Cu Kun Hong yang telah terdesak terus menerus oleh
serangan-serangan yang dilancarkan la¬wannya jadi gusar sekali. Ia telah
mengeluarkan suara bentakan marah yang keras. Waktu Sam tocu melancarkan
serangan kepalan tangannya dengan jurus ‘Kwan-im-lian-kiam’ atau dewi Kwan-im
duduk di teratai emas, mengincer dada Cu Kun Hong, tahu-tahu kipas si pelajar
telah dilintangkan di depan dadanya. „Serr.....!” kipas itu telah terbuka lebar
seperti perisai, untuk menyambuti serangan yang di lancarkan Sam tocu.
„Bukk..... Pranggg.....!”
terdengar kipas itu terpukul oleh kepalan tangan Sam tocu, tetapi karena kipas
itu terbuat dari besi murni dengan sendirinya kuat sekali daya tahannya.
Mempergunakan kesempatan ini
tangan kiri Cu Kun Hong telah bergerak dan dia telah melancarkan gempuran hebat
sekali menghantam lambung lawannya dengan jurus ‘Ma-lim-cut-cu’ atau kuda hutan
mengeluarkan mutiara, gerakan yang dilakukan pelajar ini cepat dan lincah
disamping mengandung tenaga lweekang yang kuat. Dan bersamaan dengan itu Sam
tocu juga tengah meluncurkan tangan kanannya ke arah dada Cu Kun Hong dengan
tubuh yang doyong ke depan, sulit sekali dia berkelit atau mengelakkan diri
dari gempuran si pelajar she Cu itu. Walaupun hatinya terkejut, tetapi Sam tocu
masih bisa mengendalikan diri, cepat-cepat dia telah memusatkan tenaga dalamnya
melindungi bagian lambungnya.
„Bukk!” Serangan telapak
tangan kiri Cu Kun Hong yang tidak bisa dielakkannya lagi itu telah diterimanya
dengan mempergunakan kekuatan lweekang di sekitar lambungnya dan gempuran
pelajar itu membuat tubuh Sam tocu terhuyung mundur dua langkah, namun tokoh
Kay-pang tersebut tidak terluka karenanya.
Cu Kun Hong semula girang
melihat serangannya itu tidak dapat dihindarkan oleh lawannya, tetapi waktu
telapak tangannya mengenai sasaran di lambung si pengemis, tampak Cu Kun Hong
juga terkejut karena merasakan tangannya seperti juga menggempur lempengan besi
yang keras bukan main sampai ia merasakan telapak tangannya sakit sekali.
Di saat itu dengan cepat
sekali Cu Kun Hong merobah posisi tubuhnya dan kipasnya dihentakkan dalam
keadaan tertutup melancarkan serangan lagi ke arah pundak Sam tocu dengan
maksud untuk menotok jalan darah si pengemis.
Gerakan yang dilakukan Cu Kun
Hong mempergunakan jurus ‘Jie-lay-kiu-mui’ atau Sang buddha dengan sembilan
pintu, memaksa si pengemis mundur beberapa langkah karena jika dia bergerak
terlambat tentu dirinya akan menjadi korban totokan ujung kipas itu.
„Bagaimana apakah kita
meneruskan pertempuran ini?” tanya Cu Kun Hong dengan suara mengejek dan
menatap tajam kepada si pengemis, mulutnya tersenyum sinis.
Sam tocu baru saja berhasil
mengendalikan goncangan hatinya karena nyaris tadi dia terserang oleh pelajar
yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya, namun
mendengar pertanyaan Cu Kun Hong dia jadi marah sekali.
„Tentu saja diteruskan!”
teriak Sam tocu dengan suara mengerang marah disusul dengan lompatan tubuhnya
menerjang maju melancarkan gempuran-gempuran lagi kepada Cu Kun Hong. Tangan
Sam tocu telah meluncur ke tulang pie-pie (tulang selangka) di bahu Cu Kun
Hong.
Cu Kun Hong tidak berani
berdiam diri saja, ia mengibaskan kipasnya dengan cepat dan bergerak lincah
sekali.
„Takkkk!” kipasnya telah
menyampok pergelangan tangan kanan Sam tocu. Tetapi Sam tocu menggerakkan terus
tangan kirinya membuat Cu Kun Hong jadi terkejut. Mati-matian Cu Kun Hong
menggeser kaki kirinya dengan tubuh yang didoyongkan ke arah kiri. Tetapi di
saat itu telah terdengar suara „breettt” yang cukup nyaring, baju bagian bahu
Cu Kun Hong telah robek terkena cengkeraman jari-jari tangan Sam tocu.
Bukan main girangnya hati Sam
tocu yang cepat-cepat menyusuli lagi dengan serangan-serangan yang berangkai,
setiap serangannya membawa angin serangan yang mengandung maut. Memang cara
menyerangnya yang saling susul dan berangkai itu sengaja dilakukannya, agar
tidak memberikan kesempatan kepada Cu Kun Hong memperkuat besi atau kuda-kuda kakinya.
Dalam keadaan demikian Cu Kun
Hong yang merasakan pundaknya pedih dan nyeri sebab tadi terluka sedikit akibat
cakaran jari tangan Sam tocu, telah membuat ia harus menahan perasaan nyeri itu
dan mengelakkan diri dari serangan susulan yang dilancarkan Sam tocu.
Setiap gerakan yang dilakukan
Cu Kun Hong merupakan gerakan pertahanan yang sangat kuat sekali. Tetapi
serangan-serangan Sam tocu semakin lama bukannya semakin berkurang tenaga
menekannya, bahkan semakin kuat dan bisa mematikan jika berhasil mengenai
sasaran dari korban serangan ini.
Cu Kun Hong lebih banyak
berkelit dan menghindar saja dari serangan-serangan yang dilakukan si pengemis,
karena Cu Kun Hong memang tengah mengawasi kelemahan-kelemahan dari lawannya,
untuk mencari kelemahan di diri Sam tocu.
Tetapi selama itu Cu Kun Hong
tidak berhasil melihat kelemahan di diri pengemis yang sakti ini. Bahkan
semakin lama Sam tocu telah melancarkan serangan-serangannya dengan pengerahan
lweekang yang lebih kuat lagi.
Dalam waktu yang sangat singkat
sekali, tampak mereka telah bertempur lebih dari seratus jurus.
Phang Kui In yang menyaksikan
dari samping, jadi berdiri diam mematung, karena dia merasa kagum atas
kepandaian yang dimiliki kedua orang yang tengah bertempur itu.
Yo Him sendiri sambil
menyaksikan jalannya pertempuran itu, berulang kali telah melirik ke arah
Kim-pay di tangannya. Dia heran juga mengapa kali ini Kim-pay dari Wie Liang
tocu tidak memperlihatkan kekuasaannya?
Di saat Cu Kun Hong dan Sam
tocu sedang bertempur, tiba-tiba terdengar suara orang menggumam perlahan:
„Bertempur merupakan pekerjaan
yang menggembirakan, memang bertempur merupakan pekerjaan yang sangat
menyenangkan! Dulu aku semasa muda juga gemar sekali berkelahi, sampai kepalaku
benjol-benjol dan pulang ke rumah dipukuli ibu!”
Waktu Yo Him dan Phang Kui In
menoleh, mereka melihat munculnya seorang pengemis tua dengan tubuh yang
bungkuk, dengan muka yang telah peyot dan kumal sekali, pakaiannya juga kotor
sekali, di punggungnya yang berpunuk itu tampak tergemblok sebuah hiolo tempat
arak.
Phang Kui In dan Yo Him jadi
terkejut. Dengan munculnya pengemis tua itu, tentu saja berarti bertambahnya
seorang lawan.
Phang Kui In cepat-cepat
bersiap-siap dan waspada, jika memang pengemis itu bermaksud untuk menyerang Cu
Kun Hong, dia yang akan menghalanginya.
Tetapi pengemis itu, yang
tampaknya lelah sekali melakukan perjalanan, telah menghampiri sebatang pohon,
dia telah duduk di bawah pohon itu, untuk menyaksikan pertempuran sambil
meloloskan ikatan hiolonya, dan meneguk isinya. Bau arak segera tersiar di
sekitar tempat itu.
Cu Kun Hong dan Sam tocu yang
tengah terlibat dalam pertempuran yang seru sekali, sudah tidak sempat untuk
menoleh, karena mereka sedang mencurahkan perhatian masing-masing untuk
berusaha merubuhkan lawannya.
Dalam keadaan seperti ini,
tampak Sam tocu yang paling bernafsu sekali berusaha untuk dapat merubuhkan
lawannya.
Sedangkan kedua pengemis yang
membawa empat helai karung, Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay, telah memperhatikan
pengemis tua itu. Muka kedua pengemis ini jadi berobah hebat, tampaknya mereka
terkejut sekali.
„Kim-ciu Sin-kay!” bisik
mereka hampir berbareng.
Tetapi pengemis tua itu, yang
mereka sebut sebagai Kim-ciu Sin-kay (pengemis sakti arak emas), telah
tersenyum-senyum, menyaksikan terus pertempuran itu, sambil meneguk
perlahan-lahan arak di dalam hiolonya.
„Aha, aha, salah….. salah.
Itulah cara menyerang yang salah!” teriak si pengemis tua itu. „Kalian
bertempur seperti juga dua orang anak berusia lima tahun, hanya bisa menggerak-gerakkan
tangan belaka!”
Di saat pengemis tua itu
tengah berteriak-teriak begitu, tampak Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah
menghampirinya, kedua pengemis itu telah berlutut dihadapan pengemis tua itu.
„Locianpwe, kami Kim Jie Kay
dan Gan Ho Kay memberi hormat.....!” kata mereka hampir berbareng.
Pengemis tua itu jadi menoleh
dan memandang sinis kepada kedua pengemis yang sedang berlutut itu.
Sedangkan hati Phang Kui In
dari Yo Him waktu melihat Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay berlutut memberi hormat
kepada pengemis tua itu hati mereka jadi tergoncang, karena walaupun bagaimana
memang kenyataannya pengemis tua itu kaum dari Kay-pang.
Phang Kui In jadi bersiap-siap
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Di saat itu, tampak pengemis
tua itu telah bertanya dengan suara yang tawar: „Kalian hanya mengganggu
perhatianku saja! Lihatlah! Aku jadi tidak bisa menikmati kesenanganku untuk
menyaksikan perkelahian kedua anak kecil itu.....!” dan setelah berkata begitu,
tangan kanannya tampak digerakkan perlahan sekali, tetapi tahu-tahu Kim Jie Kay
dan Gan Ho Kay telah mengeluarkan suara jerit kesakitan, tubuh mereka telah
terpental keras melambung ke tengah udara, dan terbanting keras sekali.
Phang Kui In dan Yo Him jadi
berdiri tertegun, karena jika pengemis tua itu merupakan sahabat atau orang
dari Kay-pang juga, mengapa memperlakukan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay begitu
macam? Tampaklah Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah merangkak untuk bangun
berdiri.
Muka mereka tampak bengkak
merah, karena rupanya masing-masing telah diberi hadiah satu tamparan yang
keras.
Tetapi Kim Jie Kay dan Gan Ho
Kay tidak berani memperlihatkan perasaan marah atau mendongkol, mereka hanya
berdiri dengan kepala tertunduk dalam-dalam, kedua tangan diturunkan, tampaknya
mereka ketakutan sekali.
Sedangkan Kim-ciu Sin-kay
telah menyaksikan jalannya pertempuran lagi antara Sam tocu dengan Cu Kun Hong,
sedangkan mulutnya tidak henti-hentinya mengoceh saja, dan juga telah meneguk
araknya.
Dalam keadaan demikian,
tampaknya Sam tocu tadi telah mendengar suara jeritan dari Kim Jie Kay dan Gan
Ho Kay. Dia telah melirik sejenak kepada pengemis tua Kim-ciu Sin-kay, waktu
dia berhasil membuat Cu Kun Hong mundur dua tindak ke belakang. Dan begitu
mengenali pengemis tua itu, hatinya terguncang mukanya menjadi pucat, dan telah
melompat mundur dengan cepat dan menghampiri pengemis tua itu. Waktu sampai
dihadapan pengemis tua itu dia telah berlutut memberi hormat.
„Tecu (murid) benar-benar
tidak mengetahui kedatangan locianpwe, sehingga tidak mengadakan penyambutan!”
katanya dengan suara ketakutan sekali.
Cu Kun Hong yang semula heran
melihat sikap Sam tocu, kini jadi berdiri dengan hati tergoncang, karena dia
melihat Sam tocu telah berlutut begitu, dan tampaknya pengemis tua Kim-ciu
Sin-kay merupakan pengemis yang sakti dan memiliki tingkatan tinggi di dalam
Kay-pang. Buktinya saja, Sam tocu yang memiliki kepandaian yang tinggi, telah
berlaku begitu hormat dan ketakutan sekali.
Cepat-cepat Cu Kun Hong
bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu, sedangkan hatinya jadi berkuatir juga
karena dia melihat bahwa kepandaian Sam tocu sudah begitu tinggi dan boleh
dibilang tadi dia telah terdesak. Terlebih lagi sekarang, tampaknya pengemis
tua itu dihormati sekali oleh Sam tocu. Tentunya Kim-ciu Sin-kay itu memiliki
kepandaian yang sangat tinggi sekali.
Maka segera Cu Kun Hong telah
memusatkan seluruh kekuatan tenaga dakamnya di kedua telapak tangannya, karena
dia bersiap-siap kalau sampai Kim-ciu Sin-kay melancarkan serangan, dia bisa
segera menghadapi.
Tetapi pengemis tua itu sama
sekali tidak melakukan gerakan apa-apa.
Kim-ciu Sin-kay telah
memandang sinis kepada Sam tocu.
„Percuma engkau diangkat
sebagai tocu cabang daerah, karena engkau tidak bisa melakukan tugasmu dengan
baik.....!” kata Kim-ciu Sin-kay. Dia berkata-kata dengan suara yang biasa
saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia tengah marah. Namun
kenyataannya, Sam tocu jadi ketakutan sekali.
„Bukan main! Bukan main!”
berkata Kim-ciu Sin-kay lagi. „Engkau telah memiliki kepandaian, tetapi
kepandaian itu bukan untuk dipergunakan melakukan perbuatan yang tidak-tidak!”
Sam tocu tampak jadi tambah
ketakutan saja, dia sampai berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
„Tecu memang bersalah!” katanya dengan suara yang tersendat, „Tecu memang
benar-benar bersalah, dan patut menerima hukuman!”
„Jika engkau mengatakannya
sekarang, semuanya telah terlambat, karena engkau masih berani melawan
kekuasaan Kim-pay. Hal itu sudah merupakan suatu ingkar yang luar biasa,
berarti engkau sudah tidak memandang sebelah mata terhadap pemimpin Kay-pang di
pusat, berarti juga engkau sudah secara langsung menghina kekuasaan Kay-pang!”
Sam tocu jadi tambah ketakutan
saja, dia telah gemetaran keras dan berulang kali dia mengangguk-anggukkan
kepalanya sampai keningnya menghantam tanah, terdengar suara „tuk, tuk!” karena
kepalanya itu telah menghantam tanah. Dalam keadaan demikian, tampak Sam tocu
benar-benar seperti seorang persakitan yang menantikan hukuman. Tentu saja
keadaan Sam tocu membuat Phang Kui In dan yang lainnya jadi heran. Mereka
segera mau menduga bahwa pengemis tua itu pasti dari Kay-pang pusat.
Saat itu tampak Sam tocu telah
berkata dengan suara yang ragu-ragu, „Sesungguhnya..... apakah
kesalahanku.....!? Aku telah berusaha untuk membela anak buah atau anggota Kay-pang
cabang daerah, agar mereka memiliki pelindung, jangan sampai dihina orang.....
namun kenapa aku yang telah dipersalahkan.....!” dengan berkata begitu,
tampaknya Sam tocu ingin membela diri, karena diapun merasakan bahwa
tindakannya yang membela anggota Kay-pang merupakan pekerjaan yang tidak salah.
Tetapi Kim-ciu Sin-kay telah
tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara yang keras: „Hemmm, tampaknya
memang engkau merupakan seorang yang terlalu kepala batu! Selama dua tahun
terakhir ini, di pusat telah menerima laporan bahwa anggota Kay-pang cabang
daerah yang kalian pimpin merupakan momok yang menakutkan bagi penduduk daerah
ini, karena kalian selalu melakukan kejahatan. Sebagai pemimpin kau, dan ketua
cabang daerah mengumbar anggota Kay-pang melakukan kejahatan-kejahatan belaka,
tanpa mengambil perduli!”
Dan berkata sampai disitu,
tampak Kim-ciu Sin-kay telah memperlihatkan muka yang serius dan angker,
kata-katanya juga telah meninggi, „Dan aku datang untuk menghukum kalian,
anggota-anggota yang telah melakukan kesalahan yang bisa merugikan nama
Kay-pang!”
Muka Sam tocu jadi berobah
pucat seketika itu juga, dia masih dalam keadaan berlutut, kemudian katanya
dengan suara yang perlahan, „Ampunilah..... kami akan merobah kelakuan kami!”
Waktu itu Kim Jie Kay dan Gan
Ho Kay telah berlutut juga, mereka juga telah memohon: „Kamipun berjanji akan
merobah kelakuan kami! Ampunilah jiwa kami, locianpwe!”
Tetapi Kim-ciu Sin-kay telah
tertawa dingin. „Apakah begitu mudah mengampuni manusia-manusia berdosa?” katanya
dengan suara yang dingin.
Muka Sam tocu jadi berobah
tambah pucat, begitu pula tubuh Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay jadi menggigil
karena mereka ketakutan bukan main.
„Sekarang kalian
bersiap-siaplah untuk menerima hukuman!” kata Kim-ciu Sin-kay dengan suara yang
lebih dingin lagi.
Phang Kui In, Yo Him dan Cu
Kun Hong jadi mengawasi saja dengan heran. Mereka tidak mengetahui entah
kedudukan apa yang dimiliki pengemis tua Kim-ciu Sin-kay sehingga dia bisa
menjatuhkan hukuman kepada anggota Kay-pang yang melakukan kesalahan. Mereka
juga tidak mengetahui entah hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Kim-ciu
Sin-kay kepada ketiga anggota Kay-pang itu.
Kim-ciu Sin-kay telah berdiri
dari duduknya, dia telah mengikat hiolonya kembali di punggungnya yang berpunuk,
lalu dengan berdiri diam-diam dia mengawasi ketiga pengemis itu.
Sam tocu bertiga jadi tambah
ketakutan mereka seperti tengah menghadapi malaikat elmaut saja.
„Nah, sekarang tiba saatnya
kalian akan menjalani hukuman masing-masing!” kata Kim-ciu Sin-kay dengan suara
yang dingin dan dia merogoh sakunya, tahu-tahu di tangannya telah tercekal tiga
ekor ular.
Muka Sam tocu bertiga berobah
tambah pucat dan ketakutan, keringat dingin juga telah mengucur deras sekali
dikening dan di mukanya.
„Locianpwe.....?!” suara Sam
tocu bertiga tergetar keras.
Kim-ciu Sin-kay telah
melemparkan tiga ekor ular itu ke atas tanah.
Ular tersebut berukuran tidak
besar, hanya berukuran satu jengkal dengan besarnya sebesar ibu jari tangan.
Waktu dilemparkan ke atas tanah ketiga ekor ular itu telah melingkar-lingkar di
tanah dengan gerakan yang lamban sekali. Warnanya hijau kekuning-kuningan.
„Jalankan hukuman kalian!”
bentak Kim-ciu Sin-kay dengan suara yang angker sekali.
Sam tocu tampak ragu-ragu,
begitu juga dengan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay. Tetapi waktu melihat sorot mata
Kim-ciu Sin-kay mereka jadi mengeluh, karena tampaknya mereka bertiga menyadari
jika mereka ayal-ayalan melaksanakan hukuman itu niscaya akan menyebabkan
mereka menerima hukuman yang jauh lebih berat lagi dari Kim-ciu Sin-kay. Maka
akhirnya mereka telah menghampiri ketiga ular itu, masing-masing telah
mengambil seekor.
Phang Kui In, Yo Him dan Cu
Kun Hong memandang heran tanpa mengerti, akhirnya mereka hampir mengeluarkan
suara jeritan tertahan karena merasa ngeri. Sebab Sam tocu bertiga telah
membawa ular di tangan masing-masing ke muka mereka sehingga ular itu telah
mengulurkan lidahnya, dan pipi Sam tocu bertiga telah digigitnya.
Sam tocu bertiga menjerit,
tetapi ular itu tetap mereka pegangi terus. Dan berulang kali ular itu telah
memagutkan pipi Sam tocu bertiga tidak hentinya, maka dalam waktu yang singkat
sekali, puluhan gigitan telah diterima Sam tocu bertiga. Setiap kali pipi
mereka digigit, mereka mengeluarkan suara raungan kesakitan.
Darahpun telah mengucur deras
dari luka gigitan itu dan setelah duapuluh kali gigitan ular itu Kim-ciu
Sin-kay telah berkata perlahan,
„Cukup!”
Sam tocu dengan muka yang
berlumuran darah telah menghampiri Kim-ciu Sin-kay, menyerahkan ular di tangannya.
Begitu pula dengan Kim Jie Kay dan Gan Ho Kay telah mengembalikan ular itu
kepada Kim-ciu Sin-kay dengan sikap yang menghormat sekali, mereka pun telah
menyatakan terima kasihnya.
Phang Kui In mengerutkan
alisnya, karena dia mengetahui bahwa ular itu adalah Kim-tok-coa (ular racun
emas), yang sangat berbisa sekali, racun ular itupun sangat hebat sekali,
walaupun tidak bisa mematikan namun setiap korbannya akan menderita demam
hebat. Dan kini Sam tocu bertiga telah digigiti mukanya sebanyak duapuluh kali,
mereka pasti akan menderita demam yang hebat, walaupun masing-masing memiliki
tenaga lweekang yang cukup kuat. Dan yang lebih mengerikan sekali justru muka
mereka yang akan bercacad, akan menjadi buruk sekali jika kelak luka-luka itu
telah mengering. Phang Kui In sendiri sampai bergidik melihat cara hukuman
tersebut.
„Hebat cara Kay-pang mengatur
anak buahnya, tampaknya Sam tocu sama sekali tidak berani membantah hukuman
yang harus diterima oleh mereka,” berpikir Cu Kun Hong. „Entah apa pangkat
Kim-ciu Sin-kay dalam Kay-pang?”
Saat itu Kim-ciu Sin-kay telah
tertawa perlahan, tampaknya dia puas.
„Nah kini kalian pergilah,
tetapi kalian harus melaporkan apa yang kalian terima ini kepada pemimpin
kalian, agar pemimpin kalian besok tepat jam duabelas tengah malam, menemui
aku! Tempatnya di kuil Bong-sie-am, di luar pintu sebelah barat!”
„Baik, terima kasih atas
kemurahan hati locianpwe!” kata Sam tocu bertiga hampir berbareng, lalu dengan
kepala yang tertunduk dalam-dalam, mereka telah membalikkan tubuh dan berlalu
meninggalkan tempat itu.
Sedangkan Kim-ciu Sin-kay
menghampiri Yo Him, tahu-tahu dia menekuk sebelah kakinya.
“Tecu Kim-ciu Sin-kay
menghadap Kim-pay,” katanya dengan suara yang nyaring.
Yo Him jadi terkejut. Begitu
juga Phang Kui In dan Cu Kun Hong. Cepat-cepat Yo Him mengangkat Kim-pay di
tangannya, karena dia menyadari yang dihormati bukan dirinya melainkan Kim-pay
itu.
„Ada perintah apakah untuk
tecu?” tanya Kim-ciu Sin-kay lagi dengan suara yang sabar.
„Boanpwe hanya ingin meminta
agar locianpwe menyelesaikan keadaan Kay-pang di daerah ini, karena Kay-pang
cabang daerah ini tampaknya tidak beres!” kata Yo Him yang telah membahasakan
dirinya dengan sebutan boanpwe golongan muda.
„Baik tecu akan memperhatikan
perintah ini. Tecu akan mengadakan pembersihan di dalam Kay-pang!”
„Baiklah. Boanpwe tidak
memiliki persoalan lainnya lagi!” kata Yo Him sambil, memasukan Kim-pay ke
dalam sakunya. „Tetapi bisakah boanpwe mengetahui, kedudukan apakah yang
dijabat oleh locianpwe?”
„Bicara mengenai kedudukan,
tecu tidak memiliki kedudukan apa-apa, karena tecu hanya diperintahkan oleh
pangcu sebagai penilik saja, memperhatikan cabang-cabang daerah dari Kay-pang.
Jika memang ada anggota yang melanggar tata-tertib peraturan dari Kay-pang,
harus mengambil tindakan atau jika perlu melaporkan kepada pangcu!”
„Hemmm, jika demikian baiklah.
Tentu persoalan Kay-pang di daerah ini bisa diselesaikan oleh locianpwe!”
„Tecu menerima perintah itu,
dan tolong sampaikan salam tecu kepada Wie tocu!”
„Baik!” kata Yo Him. „Kami
akan segera berlalu.”
„Bisakah tecu mengetahui
siapakah adanya Siauw eng-hiong?” tanya Kim-ciu Sin-kay lagi.
„Aku she Yo dan bernama Him,”
menjelaskan Yo Him.
„Aku jadi teringat
seseorang.....!” kata Kim-ciu Sin-kay. „Masih pernah apakah dan ada hubungan
apakah diantara Siauw eng-hiong dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”
„Itulah ayah dari Siauw
eng-hiong ini!” menyelak Phang Kui In menjelaskan.
Muka Cu Kun Hong jadi berobah,
cepat-cepat dia menghampiri Yo Him, dan telah membungkukkan tubuhnya memberi
hormat sambil katanya: „Tidak tahunya yang ada dihadapanku ini adalah puteranya
Yo Tayhiap.....! Sungguh menggembirakan sekali! Dulu aku pernah ditolong oleh
Yo Tayhiap, dan budi Yo Tayhiap tidak akan kulupakan! Jika Yo siauw eng-hiong
memiliki kesulitan apa-apa, tidak perlu segan-segan memberikan perintah kepada
hak-seng (murid, kata-kata merendah dari seorang pelajar).”
Yo Him membalas hormat Cu Kun
Hong.
„Tadipun kami belum
mengucapkan terima kasih atas bantuan Cu siucai terhadap paman Phang dan
diriku, jika tidak ada Cu siucai tentu kami telah dicelakai oleh Sam
tocu.....!”
Dan setelah berkata begitu, Yo
Him telah memberi hormat dengan bungkukkan tubuh yang dalam. „Terima kasih atas
bantuan itu.....! Dan kami akan segera berlalu!” lalu bersama-sama dengan Phang
Kui In, Yo Him membalikkan tubuhnya meninggalkan Cu Kun Hong dan Kim-ciu
Sin-kay.
Sedangkan Cu Kun Hong dan
Kim-ciu Sin-kay berdiri tertegun sejenak, tampaknya mereka takjub sekali karena
mereka tidak menduga sebelumnya bahwa Yo Him adalah putera dari seorang
pendekar sakti seperti Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.
Semula memang Kim-ciu Sin-kay
masih ingin menanyakan dari manakah Yo Him memperoleh Kim-pay milik Wie tocu.
Tetapi kini setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah putera Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko maka dia mau menduga bahwa mungkin Wie tocu telah memberikan Kim-pay
miliknya itu disebabkan dia merasa kagum dan hormat sekali kepada Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko.
Dan tidak pernah diduga oleh
Kim-ciu Sin-kay dan Cu Kun Hong, bahwa sesungguhnya Wie Liang tocu sama sekali
tidak mengetahui bahwa Yo Him adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap. Justru antara
Wie Liang tocu dan Yo Him telah terjalin hubungan yang baik sekali, antara
mereka berdua telah saling mengangkat saudara.
Cu Kun Hong kemudian memberi
hormat kepada Kim-ciu Sin-kay dan lalu meminta diri. Begitu pula Kim-ciu
Sin-kay telah meninggalkan tempat itu, sebab dia memang perlu mengurusi
anggota-anggota cabang daerah tempat ini.
Tempat tersebut telah menjadi
sunyi kembali.....
◄Y►
Pada sore yang mendung
tampaknya akan turun hujan. Yo Him dan Phang Kui In telah tiba di sebuah tempat
yang rimbun sekali oleh pohon-pohon dan rumput yang tumbuh tinggi sehingga
tampaknya tempat tersebut jarang sekali didatangi orang.
„Dimana kita akan bermalam,
paman Phang?” tanya Yo Him.
„Kita melakukan perjalanan
lagi beberapa saat, jika memang tidak berhasil menemui rumah penduduk, biarlah
kita bermalam di alam terbuka saja.....” kata Phang Kui In.
„Tetapi paman Phang.....!”
kata Yo Him ragu-ragu.
„Kenapa?” tanya Phang Kui In.
„Tampaknya tempat ini bukan
tempat yang baik..... lihatlah semak belukar dan tampaknya agak
mengerikan.....!” kata Yo Him lagi.
„Jangan kuatir, biar nanti aku
yang mengaturnya!” kata Phang Kui In. „Jika ada orang jahat bukankah akupun
sanggup menghadapinya?”
„Bukan begitu Phang susiok
(paman Phang} tetapi aku merasakan adanya sesuatu yang membuat hati tidak
tenang..... entah mengapa saja tadi begitu memasuki daerah ini aku merasakan
jantungku tergoncang terus menerus tidak hentinya.”
„Itu mungkin hanya perasaanmu
saja!” kata Phang Kui In. „Percayalah, tidak mungkin terjadi sesuatu apapun
juga.”
17.33. Gerombolan Musuh
Sin-tiauw Tayhiap
Yo Him menggeleng perlahan,
katanya kemudian dengan suara yang perlahan:
„Tetapi hatiku mengatakan pasti
akan terjadi sesuatu yang hebat!” dan setelah berkata begitu Yo Him menoleh
kepada Phang Kui In, tanyanya lagi, „Paman Phang, masih jauhkah tempat dimana
kita bisa bertemu dengan ayahku?”
„Mungkin masih membutuhkan
waktu perjalanan satu bulan lagi!”
„Mari kita kembali saja ke
perahu.....! kata Yo Him yang mengajak agar Phang Kui In bersama dia kembali ke
perahu mereka,
Tetapi Phang Kui In menggeleng
perlahan.
„Besok pagi saja..... justru
kini akupun merasakan ada sesuatu yang agak aneh.....!” kata Phang Kui In.
Yo Him jadi memandang tegang
kepada Phang Kui In, kemudian dia telah berkata lagi: „Baiklah, jika memang
paman belum bersedia kembali ke perahu, akupun tidak bisa memaksanya.”
Tetapi baru saja Yo Him
berkata sampai disitu tiba-tiba terdengar suara siulan yang panjang. Suara
siulan itu disusul dengan suara siulan lainnya, yang saling susul. Didengar
dari suara siulan itu, mungkin orang yang sedang mendatangi itu berjumlah
belasan orang.
Phang Kui In berobah mukanya,
dia telah menarik tangan Yo Him untuk menyelinap ke balik gerombolan pohon
untuk bersembunyi disitu.
Tidak lama kemudian setelah
Phang Kui In dan Yo Him memasang mata mereka melihat beberapa sosok tubuh
berkelebat di sekitar tempat tersebut.
„Siapakah mereka?” tanya Yo
Him dengan suara berbisik di pinggir telinga Phang Kui In.
„Aku belum dapat mengenalinya,
karena tidak seorangpun yang kukenal,” menyahuti Phang Kui In dengan suara yang
berbisik juga.
Saat itu rombongan orang yang
saling mengeluarkan suara siulan itu telah tiba di dekat tempat dimana Yo Him
dan Phang Kui In menyembunyikan diri.
Mereka terdiri dari berbagai
orang persilatan, karena pakaian mereka juga bercampur ragam, ada yang
berpakaian sebagai hweshio, ada yang berpakaian sebagai Tojin, ada pula yang
berpakaian sebagai busu dan ada juga yang berpakaian sebagai siucai. tetapi
yang mengherankan justru mereka bergerak dengan lincah dan gesit sekali,
membuktikan bahwa kepandaian mereka sangat tinggi sekali.
Di saat itu, tampak Phang Kui
In telah memperhatikan baik-baik orang yang datang dalam bentuk rombongan,
walaupun mereka datang dari berbagai jurusan tetapi akhirnya telah berkumpul di
tempat tersebut dalam rombongan berjumlah belasan orang.
Tiba-tiba salah seorang
diantara mereka, seorang hweshio yang kepalanya gundul lanang mengkilap, telah
berkata, apakah semuanya telah datang?”
„Belum! Masih ada yang belum
hadir!’ menyahuti beberapa orang.
„Satu, dua, tiga.....!”
hweshio itu telah menghitung orang yang hadir di tempat tersebut, dia
menghitung sampai jumlah ketujuhbelas. Jadi jumlah yang berkumpul di tempat itu
semuanya berjumlah tujuhbelas orang.
„Masih kurang tiga orang
siapakah mereka itu?” dan si hweshio telah memperhatikannya semua orang-orang
itu. Sampai akhirnya, dia berseru: „Akhh, kiranya sam-hengte (tiga bersaudara)
dari keluarga Ang!”
„Benar!” menyahuti salah
seorang diantara mereka.
„Memang Ang Sam-hengte itu
merupakan manusia-manusia pemalas dan tidak bisa menepati janji! Bukankah
sebelumnya telah ditegaskan bahwa pertemuan yang akan diadakan kali ini sangat
penting sekali, tidak boleh gagal, tetapi mereka selalu meremehkan urusan dan
tidak mau datang lebih dulu dari kita! Benar kepandaian mereka sangat tinggi
ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang yang mengagumkan, tetapi seharusnya
mereka tidak boleh berbuat sekehendak hati seperti itu,” sambil mengoceh
begitu, si hweshio yang tampaknya jengkel sekali atas keterlambatan ketiga
orang yang disebutnya tiga bersaudara Ang itu, dia telah membanting-banting
kakinya beberapa kali.
Dari rombongan orang itupun
terdengar beberapa orang diantara mereka yang telah menggumam menggerutu tidak
senang.
Tetapi di saat itu terdengar
suara siulan yang panjang sekali, yang saling sahut dari tiga jurusan.
„Itu mereka datang!” beberapa
orang telah berseru perlahan.
„Ya, itu Sam-hengte she Ang
yang telah datang!” membenarkan si hweshio.
Baru perkataannya sampai
disitu di tempat tersebut telah bertambah tiga orang lainnya yang semuanya
bertubuh kurus jangkung dan mukanya mirip satu dengan yang lainnya seperti kembar
tiga, baik cara berpakaiannya maupun cara berjalan mereka, sikapnya semua sama.
Phang Kui In yang melihat
kedatangan ketiga orang itu yang diduganya adalah Ang Sam-hengte, jadi terkejut
sekali disebabkan dengan melihat cara tibanya ketiga orang itu membuktikan
bahwa ilmu meringankan tubuh ketiga orang itu sangat hebat sekali. Tadi mereka
bersiul dalam jarak yang cukup jauh tetapi dalam waktu yang demikian singkat
ternyata mereka telah bisa tiba di tempat itu.
Di tangan salah seorang dari
ketiga orang itu membawa sesosok tubuh lainnya. Dan dengan kasar sosok tubuh
itu telah dilemparkan di atas tanah, sehingga tubuh itu terbanting. Namun sosok
tubuh yang dilempar itu tidak bergerak dan nampaknya dia tengah dalam keadaan
tertotok.
Phang Kui In memperhatikan
sosok tubuh itu, ternyata seorang gadis berusia diantara belasan tahun.
Yo Him juga telah melihat
gadis kecil itu hampir saja dia mengeluarkan suara teriakan tertahan karena
kaget bukan main. Dia mengenalnya gadis kecil yang menjadi tawanan Ang Sam-hengte,
itulah Siangkoan Peng, puterinya Siangkoan Lin Lie. Untung saja Phang Kui In
yang melihat sikap Yo Him telah sempat mengulurkan tangannya membekap mulut Yo
Him.
„Jangan bersuara.....”
berbisik Phang Kui In dengan suara yang perlahan sekali. „Mereka orang-orang
berkepandaian tinggi dan tentunya memiliki pendengaran yang sangat tajam
sekali. Sedikit saja kita bersuara, tentu mereka akan mengetahui kehadiran kita
ini!”
Yo Him mengangguk, dan Phang
Kui In telah melepaskan bekapan tangannya di mulut Yo Him.
„Aku kenal gadis yang ditawan
mereka.....!” bisik Yo Him perlahan juga. „Dialah Siangkoan Peng, puteri
Siangkoan Lin Lie lo-pehpeh.....!”
Phang Kui In juga mengangguk.
„Ya, sejak tadi aku sedang
memperhatikan dan merasa pernah melihatnya. Sekarang aku ingat pernah bertemu
dengannya di pulau Ang-hwa-to, bukan? Dimarkasnya Pek-liong-kauw?”
Yo Him mengangguk.
„Kita harus menolongnya,” kata
Yo Him dengan gusar, karena walaupun bagaimana dia mendongkol sekali melihat
Siangkoan Peng diperlakukan begitu kasar.
„Ya, ya, kita akan
menolonginya, tetapi kita harus menantikan dulu waktunya yang tepat..... mereka
berjumlah banyak jika kita bertindak ceroboh tentu membahayakan kita sendiri.”
Yo Him bisa diberi pengertian
dan dia mengangguk saja. Maka merekapun telah memperhatikan apa yang akan
dilakukan oleh rombongan orang itu.
Saat itu si hweshio yang
tampaknya menjadi pemimpin rombongan tersebut, telah berkata, „Bagus! Akhirnya
kalian telah datang juga Ang Sam-hengte. Tetapi siapakah gadis kecil yang
kalian bawa-bawa ini?”
Salah seorang dari Ang
Sam-hengte telah berkata perlahan, „Dia kami tawan karena mengikuti kami terus
menerus!” dan menoleh memandang ke arah Siangkoan Peng, sambil katanya suaranya
dingin: „Dia juga menyebut-nyebut perihal Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Tetapi
setelah kami tawan, dia tidak mau membuka mulut untuk bicara, walaupun kami
telah memaksanya!”
„Hemmm, apakah gadis kecil ini
mengetahui perihalnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Aneh sekali! Hampir tidak masuk
dalam akal!” menggumam si hweshio.
Begitu juga beberapa orang
dalam rom¬bongan itu telah terdengar berbisik-bisik, banyak dugaan yang telah
mereka kemukakan.
„Memang kamipun heran, tetapi
justru kami mendengarnya sendiri, dia telah bertanya kepada pelayan rumah makan
dimana kebetulan kami berada di tempat itu juga. Apakah pelayan itu pernah
melihat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Diapun menanyakan, apakah Sin-tiauw Tayhiap
pernah lewat di tempat tersebut! Maka kami telah menangkapnya untuk mengorek
keterangan dari mulutnya, namun gadis cilik yang merupakan setan kecil ini
tidak mau bicara lagi, dia keras kepala, walaupun kami telah menyiksanya, dia
tetap tidak mau bicara. Maka Mie-an Siansu, aku membawanya kepadamu agar kau
dan kawan-kawan lainnya memikirkan cara yang baik untuk mengorek keterangan
dari mulut setan kecil ini!”
„Bagus! Bagus!” berseru si
hweshio Mie-an Siansu. „Inilah namanya rejeki. Kita memang tengah mencari
jejaknya si tangan buntung keparat itu, dan dari mulut si setan kecil ini
mungkin kita bisa mengorek keterangan yang kita butuhkan!”
Dan setelah berkata begitu
cepat Mie-an Siansu menghampiri si gadis yang menggeletak di tanah.
Gadis kecil itu memang
Siangkoan Peng dia berani sekali, waktu melihat si hweshio mendatangi, walaupun
tubuhnya tidak bisa bergerak namun dia telah mendelikkan matanya.
Si hweshio menatap bengis.
„Setan kecil, lebih baik kau
bicara secara baik-baik, sehingga kami tidak perlu bersusah payah menyiksamu!
Jika engkau berkepala batu tentu yang rugi dan menderita adalah dirimu
sendiri!”
Tetapi Siangkoan Peng tetap
menutup mulut. Dia tidak menyahuti pertanyaan si hweshio. Hanya matanya tetap
menatap berani kepada Mie-an Siansu.
„Baiklah!” kata Mie-an Siansu
dengan suara yang dingin, menyeramkan sekali. „Tampaknya engkau memang harus
memperoleh perlakuan yang kasar!”
Dan selesai dengan
perkataannya itu, tampak Mie-an Siansu berjongkok disamping si gadis kecil,
kemudian mengulurkan tangannya menjambak rambut Siangkoan Peng, yang
digentaknya dengan keras sekali.
Yo Him yang menyaksikan sikap
dan perlakuan Mie-an Siansu terhadap Siangkoan Peng, hampir saja tidak bisa
mempertahankan diri, untuk melompat keluar menerjang ke arah hweshio tersebut.
Untung saja Phang Kui In yang
selalu berlaku cermat telah melihat gerakan Yo Him, dan mencekal keras sekali
tangan Yo Him.
„Sabar!” bisiknya. „Kita tidak
boleh bertindak ceroboh, karena bukan saja kita akan gagal menolongi gadis
kecil itu, kitapun akan membahayakan Siangkoan Peng kalau kehadiran kita ini
diketahui mereka!”
Yo Him mengangguk berdiam diri
saja hanya matanya terus mengawasi ke arah Mie-an Siansu dengan sorot mata yang
mengandung kemarahan yang hebat. Dia tidak menyangka bahwa seorang pendeta yang
seharusnya memiliki sifat-sifat welas asih dan penyayang, ternyata merupakan
manusia yang kejam dan jahat.
Saat itu Siangkoan Peng sangat
kesakitan dan kepalanya pusing sekali, karena kepalanya telah digentak-gentak
keras sekali, jambakan tangan Mie-an Siansu dirambutnya juga sangat kuat
sekali.
„Cepat bicara, engkau ada
hubungan apa dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, si buntung jelek itu?! Dan dimana
sekarang tempat tinggalnya dari si tangan buntung itu?”
Tetapi Siangkoan Peng tetap
tidak mau membuka mulut, malah tahu-tahu dia telah meludahi muka Mie-an Siansu.
Si hweshio terkejut sekali,
dia mengelakkan ludah si gadis kecil dengan memiringkan kepalanya, namun
percikan air ludah toh masih mengenai mukanya.
Bagaikan kalap, Mie-an Siansu
telah memperkeras jambakan di rambut gadis kecil itu.
„Binatang kurang ajar yang
mencari mampus!” bentaknya dengan bengis. „Rupanya engkau benar-benar mencari
mati…..!” dan dia telah mengayunkan tangan kanannya, terdengar suara „plakk,
plokk!” berulang kali.
Tetapi Siangkoan Peng sama
sekali tidak mengeluarkan suara jeritan atau mengeluh. Tabah sekali gadis kecil
itu.
Justru Yo Him yang melihat
perlakuan yang diberikan oleh Mie-an Siansu, merupakan perlakuan yang melukai
hatinya. Kalau lengannya tidak dipegang keras oleh Phang Kui In tentu Yo Him
akan menerjang keluar.
Di saat itu, Mie-an Siansu
telah berkata lagi:
„Jika engkau tidak mau bicara
baik-baik biarlah aku akan menyiksamu dengan cara yang baik sekali.....!” dan
setelah berkata begitu, dengan cepat sekali si hweshio menggerakkan tangannya,
dia telah menotok jalan darah Uh-thian-hiat di dekat bahu si gadis kecil itu.
Seketika Siangkoan Peng
merasakan pundaknya lemas dan sekujur tubuhnya seperti digigit ribuan semut.
Tanpa bisa ditahannya lagi, dia jadi merintih.
„Engkau mau bicara atau
tidak?” bentak Mie-an Siansu dengan suara yang bengis.
Tetapi Siangkoan Peng hanya
merintih tanpa membuka mulut sepatah katapun juga.
Tentu saja hal ini telah
membuat Mie-an Siansu tambah mendongkol dan penasaran. Namun baru saja dia
ingin menyiksa lebih lanjut, di saat itulah telah maju salah seorang dari Ang
Sam-hengte.
„Sudah, kita jangan layani dia
dulu, biarkan dia dalam keadaan tertotok. Nanti jika urusan yang akan kita
bicarakan telah rampung, baru kita menyiksanya lagi untuk mengorek keterangan
dari mulutnya! Jika memang dia tidak mau bicara juga nanti, mudah saja, ‘sreett’,
lehernya kita potong!”
Mie-an Siansu tampaknya mau
mengerti, dia telah mengangguk, dan membebaskan totokannya. Tetapi totokan dari
Ang Sam-hengte masih tetap belum terbuka, walaupun sudah tidak menderita
kesakitan lagi tetapi Siangkoan Peng belum bisa menggerakkan tubuhnya.
Saat itu romhongan orang
tersebut yang kini telah genap berjumlah duapuluh orang, telah berkumpul dalam
bentuk lingkaran, semuanya duduk bersemadhi. Sedangkan Mie-an Siansu telah
duduk di tengah-tengah lingkaran itu menghadapi semua orang.
„Nah, kini kita telah
berkumpul!” kata Mie-an Siansu membuka pertemuan itu. „Dan aku telah datang
tepat pada waktunya, dimana sahabat-sahabat juga rupanya memang
bersungguh-sungguh dalam persoalan ini! Sejak duabelas tahun yang lalu aku
telah dikeluarkan dari Siauw-lim-sie, maka sejak saat itu aku telah bersumpah
bahwa selama aku masih memiliki kesanggupan dan kepandaian, aku akan menganggap
seluruh murid-murid Siauw-lim-sie dari berbagai tingkatan sebagai musuh
besarku!”
Mendengar perkataan Mie-an
Siansu, rombongan orang itu berdiam diri saja, sunyi sekali keadaan di sekitar
tempat itu.
Sedangkan Phang Kui In jadi
terkejut sekali. Yo Him tidak mengetahui apa itu yang disebut Siauw-lim-sie,
tetapi Phang Kui In mengetahui jelas, karena Siauw-lim-sie merupakan pintu
perguruan silat yang tertua di daratan Tiong-goan.
Sejak datangnya Tat-mo Couwsu,
pendiri kuil Siauw-lim-sie itu, maka aliran silat Siauw-lim-sie telah tersebar
luas dan boleh dianggap dalam persilatan di daratan Tiong-goan Siauw-lim-sie
merupakan pintu perguruan nomor satu. Murid-murid Siauw-lim-sie dari berbagai
kalangan juga dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, tersebar luas di seluruh
daratan Tiong-goan.
Phang Kui In jadi
memperhatikan terus perkataan Mie-an Siansu.
„Dan kini, setelah selama
duabelas tahun aku melatih diri, aku telah berhasil menciptakan semacam ilmu
yang akan kupergunakan untuk membinasakan setiap murid Siauw-lim-sie! Tetapi
disamping itu, pangkal persoalan dikeluarkannya aku dari pintu perguruan Siauw-lim-sie
juga semuanya berpangkal dari pengaduan yang diberikan oleh Yo Ko, Si buntung
celaka itu!”
Kembali Phang Kui In jadi
heran dan tertarik untuk mengetahui terus persoalan tersebut, dia memperhatikan
baik-baik. Sedangkan hati Yo Him jadi tergoncang sebab mendengar beberapa kali
nama ayahnya disebut-sebut.
„Waktu itu, memang kuakui
telah melakukan suatu kesalahan, kesalahan yang seharusnya tidak begitu besar,
yaitu aku telah memperkosa seorang gadis kecil di kampung yang terpisah seribu
lie dari kuil Siauw-lim-sie..... Dan peristiwa itu diketahui oleh Yo Ko celaka
itu, dia telah menghajar aku habis-habisan, bahkan ingin membuat aku bercacad.
Tetapi akhirnya dia telah merobah jalan pikirannya dan membawa aku menemui
ciangbunjin Siauw-lim-sie dan Hong-thio menjatuhkan hukuman kepadaku dibuang
dari kaum Siauw-lim-sie, mengingat selama berada di dalam Siauw-lim-sie aku
bekerja baik, belajar dengan tekun dan baik serta cerdas, maka Hong-thio merasa
sayang jika harus membinasakan atau membuat aku bercacat.....! Tetapi hatiku
sakit sekali! Walaupun bagaimana sakit hati ini harus dibalas! Dan kini
sahabat-sahabat telah memenuhi undanganku untuk menghadapi Siauw-lim-sie, maka
dengan ini aku mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, dengan bantuan
saudara-saudara semua, tentu urusan ini akan dapat diselesaikan!”
„Jangan kuatir Taysu, aku Ban
Siong Long akan membantu sekuat tenagaku.....!” teriak seseorang dari rombongan
itu.
„Ya, akupun akan berdiri di
pihak Taysu!” teriak yang lainnya.
„Kita binasakan setiap murid
Siauw-lim-sie!”
„Ya, kita mampusi mereka
semua.”
„Dengan kerja sama seperti
ini, tentu dunia persilatan akan gempar, karena murid-murid Siauw-lim-sie akan
bergelimpangan mampus di tangan kita..... Ha, ha, ha, ha!” teriak yang lainnya
lagi.
„Kami Ang Sam-hengte bersedia
membantu Taysu, asalkan Taysu juga bersedia untuk membantu kami membekuk si
buntung celaka Yo Ko!” kata Ang Sam-hengte hampir berbareng.
Mereka memang merupakan anak
kembar tiga. Mereka memiliki wajah yang mirip satu dengan yang lainnya dan juga
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Yang tertua, bernama Ang Cie Sian,
sedangkan yang kedua Ang Cie Bun, dan yang terkecil bernama Ang Cie Liong,
mereka sulit sekali dibedakan satu dengan yang lainnya, sebab baik pakaiannya
maupun wajah mereka mirip satu dengan yang lainnya. Tentu saja sulit bagi orang
yang belum mengenal benar akan diri mereka, untuk membedakan yang mana Cie
Sian, mana Cie Bun dan mana Cie Liong.....! Tetapi sesungguhnya ketiga jago
kembar itu memiliki ciri-ciri yang bisa memperkenalkan diri mereka. Jika Cie
Sian memiliki tahi lalat yang sangat besar di telapak tangan kanannya, Cie Bun
memiliki mata yang tidak sempurna, yaitu juling, sedang kan Cie Liong memiliki
kaki yang jauh lebih pendek dari kedua saudaranya, bahkan jalannya juga agak
pincang, karena kaki kirinya lebih panjang dari kaki kanannya.
Jika ciri-ciri ketiga orang
itu diperhatikan, maka dengan mudah orang dapat membedakan mereka bertiga.
Di saat itu Ang Cie Sian telah
berkata lagi:
„Kami memiliki dendam sedalam
lautan dengan Yo Ko keparat itu.....! Jika memang Taysu bisa membantu kami
menangkap dan membinasakannya, maka budi itu tidak bisa kami lupakan dan jika
kelak kami diminta untuk terjun dalam minyak panas atau api berkobar, semua itu
tidak akan kami tolak!”
„Benar!” kata Cie Bun dengan
matanya yang bergerak-gerak juling. „Kami tentu akan berterima kasih dan
bersyukur jika telah berhasil membalas dendam kami itu!”
„Yo Ko keparat itu memang
keterlaluan, sepuluh tahun yang lalu kami telah dihinanya, kami bertiga telah
dihajarnya habis-habisan, walaupun kami tidak bersalah, hanya karena mengambil
sedikit uang milik seorang penduduk di kampung Bian-bo-cung. Tetapi Yo Ko
keparat yang sok pahlawan itu, telah menghajar kami. Waktu itu kepandaian kami
belum lagi setinggi sekarang. Coba kalau sekarang, hemmm, kami tentu akan
mematahkan batang lehernya!”
Mendengar perkataan Ang Cie
Liong yang terakhir itu, hampir saja Phang Kui In tidak bisa menahan
tertawanya. Karena perkataan yang terkebur itu benar-benar terlalu sombong.
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko merupakan seorang pendekar sakti nomor wahid dalam
persilatan di daratan Tiong-goan, mana bisa dibandingkan dengan mereka?
Mie-an Siansu telah tersenyum,
dia telah berkata perlahan: „Baik! Baik! Tentu kami juga akan membantu kalian
menghadapi Yo Ko keparat itu! Dengan menyerang dia secara mengeroyok dan
mempergunakan tipu muslihat yang rapi, walaupun Yo Ko si buntung keparat itu
memiliki sayap, jangan harap dia bisa meloloskan diri dari kematian di tangan
kita!”
Segera terdengar suara tepuk
tangan dari rombongan orang-orang itu, tampaknya mereka tengah dilambungi
khayalan yang tidak-tidak dan terlalu muluk-muluk.
Tetapi waktu Mie-an Siansu
ingin berkata lagi, di saat itu mereka telah mendengar suara tiupan seruling, yang
mengalun lembut dari arah kejauhan kemudian suara seruling itu lenyap.
Mie-an Siansu dan yang lainnya
jadi saling pandang mereka menduga-duga entah siapa peniup seruling itu.
Cinta abadi itu,
Adakah dalam dunia?
Perasaan dan hati,
Itukah cinta?
Dia pergi untuk lenyap tidak
kembali,
Pertemuan manis telah
berakhir,
Kemana harus mencari mereka?
Kemana harus berjumpa
dengannya lagi?
Bagai burung,
Terbang kian kemari,
Tetapi hanya seorang diri.
Karena dia telah pergi.....
Wahai engko,
Wahai engko,
Dengarkah engkau akan suaraku
ini?
Angin coba membawa suaraku,
Tetapi sang anginpun takut
bertemu denganmu.
Awan berkata, Ingin membawa
aku bertemu denganmu.
Tetapi sang awan kuatir untuk
bertemu denganmu juga.
Bagaimana aku harus mencarimu?
Burung yang berkicau.
Selalu menghiburku:
„Jangan bimbang, jangan
menangis,
Engko akan juga datang.....
Tetapi bila?
Tetapi kapan?
Sekarang, nanti?
Juga tidak bertemu lagi.....
Tetapi tidak lama kemudian
mereka juga telah mendengar suara seorang wanita yang bersenandung dengan suara
yang mengandung kecintaan yang sangat dalam. Suara senandung itu demikian
menyedihkan, tampaknya wanita yang membawakan lagunya itu seperti tengah
mengalami patah hati. Dan suara senandung itu semakin lama semakin terdengar
jelas dan dekat.
Tidak lama kemudian, dari
balik sebatang pohon telah muncul seorang gadis yang berusia diantara duapuluh
empat tahun, wajahnya manis, rambutnya dikuncir dua, dan di tangan kanannya
membawa sebatang seruling, sedang pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Mukanya yang cantik manis mungil itu memancarkan kesedihan yang sangat.
Phang Kui In mengerutkan
alisnya, dia menduga-duga entah siapa gadis yang tengah merana itu. Yo Him juga
merasa iba terhadap gadis itu. Karena dia mengerti bahwa si encie itu sedang
bersusah hati.
„Siapa dia, paman Phang?”
tanya Yo Him dengan suara berbisik.
„Aku sendiri tidak
mengenalnya..... Tetapi tampaknya dia seorang pendekar wanita yang
berkepandaian tinggi dari golongan putih!”
Saat itu, si gadis telah
melihat rombongan orang yang tengah berkumpul bermusyawarah.
Mie-an Siansu waktu melihat
gadis itu, mukanya jadi berobah seketika itu juga, dan dia mengeluarkan suara
seruan tertahan.
Gadis itu juga mengerutkan
sepasang alisnya, tampaknya dia kenal dengan Mie-an Siansu.
„Mie-an Taysu!” katanya dengan
suara yang dingin, „Apa yang tengah engkau lakukan bersama orang-orang ini?
Apakah kalian sedang merencanakan suatu perbuatan jahat lagi?”
Mie-an Siansu tampaknya telah
berhasil menguasai goncangan hatinya. Dengan gesit dia telah melompat berdiri,
kemudian terdengar suara tertawanya yang bergelak-gelak.
Orang-orang yang lainnya,
termasuk Ang Sam-hengte telah melompat berdiri juga, semuanya mengawasi gadis
itu dengan sorot mata yang tajam dan kurang ajar sekali.
„Kwee liehiap..... engkau ada
disini!” tanya Mie-an Siansu dengan sikap yang tengik sekali. „Kebetulan
sekali! Bagaimana keadaan Thio Kun Po, yang waktu itu melarikan diri bersama
engkau dan Kak-wan Siansu?”
Muka si gadis itu tetap
dingin, dia telah memandang tajam kepada si pendeta.
„Mie-an Siansu, aku tidak
bicara main-main. Apa yang sedang kau lakukan! Beberapa saat yang lalu, engkau
telah dihukum oleh Hong-thio Siauw-lim-sie, dan di saat itu seharusnya engkau
menyadari kesalahanmu untuk tidak melakukan kejahatan lagi, tetapi akhir-akhir
ini justru seringkali kudengar bahwa engkau mulai mengumbar lagi sifat-sifat
burukmu, mengganggu anak isteri orang! Dan.....!” berkata sampai disitu, tampak
si gadis telah menatap kepada Siangkoan Peng.
„Gadis itu juga engkau tawan.....!
Sungguh pendeta celaka.....!” walaupun memaki begitu, suara si gadis terdengar
halus sekali. „Gadis yang belum lagi berusia lebih dari tigabelas tahun, telah
engkau ganggu!”
„Ohhh, Kwee liehiap salah
paham! Itu bukan perbuatanku! Justru gadis kecil itu mengikuti Ang Sam-hengte,
ketiga sahabatku itu. Karena jengkel dan si gadis itu juga diusir tidak mau
pergi, maka akhirnya ketiga sahabatku itu terpaksa menotoknya agar gadis itu
tidak mengganggu lebih jauh lagi!”
Si gadis mengerutkan alisnya,
tampaknya dia tidak mempercayai keterangan si hweshio.
„Dan kini apa yang sedang
kalian rundingkan?” tanya si gadis.
Mie-an Siansu telah tetapkan
hatinya yang tadi tergoncang, dia telah berpikir, walaupun, bagaimana tingginya
kepandaian gadis itu, tetapi dia berada bersama-sama dengan, kawan-kawannya
dalam jumlah yang banyak. Maka dia merasa tidak perlu takut, dia telah tertawa
bergelak-gelak dengan suara yang sangat nyaring dan bengis sekali.
„Kwee Siang!” katanya kemudian
setelah puas tertawa. „Engkau jangan terlalu bertingkah dan membawa sikap
sebagai seorang locianpwe menegur kaum boanpwe! Apa kedudukanmu? Apa
kepandaianmu? Hemmnn mungkin jika Hong-thio Siauw-lim-sie bertemu denganku, dia
tidak akan memperlihatkan sikap seperti itu! Jika engkau masih tidak mau
cepat-cepat berlalu dan masih banyak cerewet biarlah engkaupun akan kami
tangkap dan tawan, karena memang kamipun menghendaki suatu keterangan darimu!”
Gadis itu, yang tidak lain
dari Kwee Siang, puteri bungsu dari Kwee Ceng dan Oey Yong, telah tertawa
tawar, sikapnya tenang sekali.
„Enak saja engkau bicara,
waktu dulu engkau tidak dibinasakan oleh engko Yo, itupun karena engko Yo
merasa kasihan dan mau mengampuni jiwa bangsatmu, tetapi ternyata bangsat tetap
saja bangsat.....! Baiklah! Apa yang hendak kau tanyakan kepadaku?”
„Justru kami ingin mengetahui
tempat persembunyiannya Yo Ko, si buntung celaka itu!” kata Mie-an Siansu
dengan suara yang bengis.
Muka Kwee Siang jadi berobah.
Harus diketahui, dia sangat
menghargai dan menghormati sekali Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko (baca
Sin-tiauw-hiap-lu), maka kini dia mendengar Mie-an Siansu menyebut Yo Ko dengan
perkataan Yo Ko si buntung celaka tentu saja Kwee Siang jadi gusar sekali.
„Srengg.....!” tahu-tahu Kwee
Siang telah mencabut pedangnya.
17.34. Si Sesat Muda Kwee
Siang
„Lidahmu yang kurang ajar itu
tampaknya memang harus dipotong!” kata Kwee Siang dengan suara mengandung
kemarahan, mukanya yang montok berobah merah, sedang tangannya telah bergerak,
pedangnya itu telah menyambar ke arah Mie-an Siansu, dan „serrrr!” mata pedang
itu telah menyambar ke arah dada si hweshio.
„Siuttt.....!” mata pedang
mengenai sasaran yang salah, karena Mie-an Siansu cepat mengelak ke samping.
Di saat itu Kwee Siang yang
tengah mendongkol mendengar Yo Ko disebut sebagai ‘si buntung celaka’, telah
menyerang lagi dengan gerakan yang cepat sekali, pedangnya telah berkelebat
menyambar dengan mengeluarkan suara mengaung.
„Siiinngg!” pedang itu
menyambar sulit dilihat oleh mata orang biasa, disusul dengan suara „Breett!’”
ujung lengan jubah pendeta itu telah kena dilubangi oleh mata pedang si gadis
she Kwee.
Mie-an Siansu terhuyung-huyung
mundur dengan tubuh yang agak bergetar dan mukanya pucat, karena dia kaget
bukan main telah diserang seperti itu, untung saja dia masih sempat untuk
berkelit sehingga hanya lengan jubahnya saja yang berlobang. Coba jika dia
terlambat berkelit, niscaya dadanya yang akan bolong.
Ang Sam-hengte dan jago-jago
lainnya yang melihat itu jadi terkejut bercampur marah. Dengan cepat mereka
telah berpencar dan mengurung si gadis.
Tetapi Kwee Siang tidak takut
sedikilpun, dia berdiri tegak dengan tenang sambil mencekal pedangnya. Walaupun
saat itu dia telah terkurung oleh keduapuluh orang tersebut.
“Kalian majulah semua! Rupanya
kalian memang bukan manusia baik-baik!” tantang Kwee Siang dengan suara
nyaring.
Mie-an Siansu yang lengan
jubahnya telah berlobang oleh mata pedang Kwee Siang itu mendongkol bukan main,
dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, lalu telah
melancarkan serangan-serangan dengan cepat dan dahsyat.
Tetapi Kwee Siang mana
memandang sebelah mata serangan itu, dia berkelit dengan indah mempergunakan
jurus bidadari menari dimana tubuhnya bergerak lemas gemulai ke kiri dan ke
kanan, maka lawannya tidak berhasil melancarkan serangan kepadanya.
Waktu Kwee Siang ingin
menggerakkan pedangnya untuk melancarkan serangan, justru di saat itulah tampak
pedang salah seorang pengepungnja yang berpakaian sebagai seorang Tojin
(pendeta agama To) telah meluncur dengan cepat ke arah punggungnya.
Kwee Siang jadi batal untuk
melancarkan serangan kepada Mie-an Siansu, dia bergerak dengan jurus naga
perkasa muncul dari lautan, pedang Kwee Siang bergerak-gerak berbentuk setengah
lingkaran ke arah belakangnya bagaikan seekor naga yang tengah menggeliat,
menyambar ke arah si Tojin.
„Trangg!” kedua pedang itu
saling bentur dengan keras dan kuat, di saat itulah dengan cepat sekali Kwee
Siang telah menurunkan pedangnya, melepaskan kaitan dari pedang lawannya dengan
gerakan yang sangat manis dan indah dipandang, kemudian dia telah melancarkan
tikaman susulan ke arah paha si Tojin dengan jurus Hujan bunga di musim rontok,
dan pedangnya berkelebat-kelebat membingungkan lawan.
Tetapi Tojin itu rupanya
seorang ahli kiam-khek, ahli pedang ternama, dari itu dalam keadaan demikian
dia berhasil mengelakkan serangan Kwee Siang. Gerakan yang dilakukan oleh Tojin
itu sangat lincah sekali, disusul juga dengan pedangnya yang menyambar ke arah
mata Kwee Siang. Jika Kwee Siang meneruskan serangannya berarti matanya juga
akan menjadi korban serangan pedang si Tojin, berarti juga akan menjadi buta.
Terpaksa Kwee Siang menarik
pulang pedangnya dan dalam keadaan demikian Ang Cie Bun telah melancarkan
serangan kepada Kwee Siang dengan mempergunakan Poan-koan-pitnya.
Ang Sam-hengte merupakan tiga
orang bersaudara kembar yang mempergunakan Poan-koan-pit sebagai senjata
andalan mereka. Dan Poan-koan-pit memang merupakan alat senjata yang bisa
dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka serangan-serangan dari Ang Cie Bun
selalu mengincer jalan darah di tubuh Kwee Siang, dimana Poan-koan-pit tersebut
bergerak-gerak ke atas, ke bawah atau menyambar lurus di tengah mengincar jalan
darah si gadis.
Begitu juga dengan Ang Cie
Liong dan Ang Cie Sian, telah ikut melancarkan serangan dengan Poan-koan-pit
mereka saling susul. Ang Cie Liong telah menyerang dengan jurus Bunga rontok
sehelai, disusul lagi dengan totokan mempergunakan jurus Harimau lepas taring,
Poan-koan-pitnya menyambar-nyambar keras menimbulkan angin berkesiuran. Dan
jurus-jurus yang dipergunakan oleh Ang Cie Liong bertiga sesungguhnya merupakan
ilmu silat aliran Tiong-goan timur.
Kwee Siang tidak jeri bahkan
sama sekali tidak merasa takut menghadapi keroyokan seperti itu. Dengan
mengeluarkan suara teriakan yang sangat nyaring Kwee Siang memutar pedangnya.
Kali ini Kwee Siang mempergunakan jurus Biruang kecil menerjang menggigit,
tampak pedangnya menyambar dalam jarak pendek-pendek dan cepat sekali
berubah-ubah sasaran dan arah serangan.
Gerakan yang dilakukan Kwee
Siang dengan memutar pedangnya ke berbagai arah itu sangat mengejutkan
lawan-lawannya. Jangan kata serangan dari pihak musuh, sedangkan jika saat itu
Kwee Siang disiram dengan segayung air, tidak setetes airpun yang akan dapat
menerobos masuk. Maka semua serangan lawan-lawannya selalu tertangkis dan tidak
bisa menerobos kepertahanan yang dilakukan Kwee Siang.
Dalam keadaan demikian, Mie-an
Siansu yang telah marah, telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras
sekali, dia telah melancarkan gempuran-gempuran yang sangat hebat mempergunakan
kedua telapak tangannya itu, karena dia melatih semacam ilmu pukulan tangan
kosong. Pukulan yang dilancarkannya mempergunakan sekaligus kedua telapak
tangannya dengan jurus Naga berjumpalitan di awan. Di mana kedua telapak tangan
itu berkesiuran keras dan kuat menyambar ke arah Kwee Siang, karena pukulan itu
merupakan salah satu jurus dari Pek-kong-ciang (pukulan udara kosong). Maka
tanpa perlu menyentuh bagian anggota tubuh lawan serangan itu bisa mematikan.
Kwee Siang tengah memutar
kuat-kuat pedangnya, ketika tahu-tahu dia merasakan desakan kuat menerjang ke
dirinya, membuat dia mengeluarkan seruan tertahan dan mundur beberapa langkah
ke belakang seperti juga rubuh terguling. Untung saja Kwee Siang, memiliki
lweekang cukup tinggi dan kegesitan telah mencapai puncaknya, dia berhasil
menguasai dan mengendalikan tubuhnya tidak sampai rubuh terguling, dalam
sekejap mata dia telah berhasil berdiri tegak kembali.
Melihat kesempatan itu Ang Cie
Liong telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat bengis, tampak dia telah
meloncat sambil menggerakkan Poan-koan-pitnya yang akan menotok jalan darah
Pai-tie-hiat di dekat dada sebelah kiri dari si gadis. Serangan yang dia
lakukannya itu sangat cepat sekali membawa angin serangan yang tajam
berseliweran dan di saat itu juga dengan cepat Kwee Siang memutar tubuhnya
dengan gesit. Dengan sangat manis, tahu-tahu dia telah berdiri di pinggir dan
membiarkan serangan Poan-koan-pit itu lewat di sisi dadanya.
Namun Kwee Siang bukan hanya
membiarkan serangan lawannya lewat dan berdiam diri saja, cepat sekali
pedangnya digerakkan melancarkan tikaman ke arah dada Cie Liong dimana mata
pedang menusuk lurus.
Ang Cie Liong mengeluarkan
suara teriakan tertahan melompat mundur dengan muka pucat. Dia juga telah
menarik pulang Poan-koan-pitnya untuk menangkis pedang Kwee Siang.
„Trangg.....!” Poan-koan-pit
itu berhasil menangkis pedang si gadis dengan keras sekali.
Dalam keadaan demikian Ang Cie
Liong kembali terhuyung, karena waktu melancarkan serangan menangkis, di saat
itu tenaganya tidak terkumpul semuanya, dan Kwee Siang telah melancarkan
serangan pedang menusuk dengan disertai getaran tenaga lweekang
Kiu-im-cin-keng, yang pernah diperolehnya dari Kak-wan Siansu dari Siauw-lim-sie.
Di saat itu sebetulnya Kwee
Siang telah berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang hebat sekali
berdasarkan keterangan kitab Kiu-im-cin-keng yang dibacakan oleh Kak-wan
Siansu.
Jika Thio Kun Po telah
mengubah ilmu pedang dan ilmu silat ciptaannya dengan mengandalkan
Kiu-yang-cin-keng dan mendirikan partai persilatan sendiri yang bernama
Bu-tong-pay, dimana kemudian Thio Kun Po merubah namanya menjadi Thio Sam Hong,
maka juga Kwee Siang telah berhasil mendirikan sebuah pintu perguruan silat
yang diberi nama perguruan silat Go-bie-pay.
Di saat itu nama perguruan
Go-bie-pay belum lagi terkenal, karena baru saja didirikan. Dan waktu
mendengarkan Kak-wan Siansu membacakan Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng,
justru hanya Thio Kun Hong dan Kwee Siang berdua yang sempat mendengarnya. Di
belakang hari Bu-tong-pay telah menjadi sebuah pintu perguruan yang besar dan
jaya. Selewatnya Thio Sam Hong justru Bu-tong-pay lebih populer dibandingkan
dengan Siauw-lim-sie, bahkan pendekar-pendekar didikan Bu-tong-pay lebih
populer dibandingkan dengan Siauw-lim-sie, bahkan pendekar-pendekar didikan
Bu-tong-pay umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan budi pekerti yang baik
serta luhur.
Go-bie-pay walaupun kelak
merupakan salah satu pintu perguruan yang sama populernya dengan Bu-tong-pay
dan Siauw-lim-pay, tetapi masih berada di bawah satu tingkat dari ke populeran
nama kedua pintu perguruan itu.
Sekarang walaupun dikeroyok
duapuluh orang lawannya namun Kwee Siang tidak merasa takut, sebab dia memiliki
ilmu pedang dan lweekang yang telah sempurna. Memang ilmu pedang yang
diciptakannya untuk kaum wanita, karena itu kelak Go-bie-pay lebih dikenal oleh
umum sebagai pintu perguruan wanita. Karena pendiri Go-bie-pay adalah seorang
wanita (Kwee Siang), maka ilmu pedang itupun tidak mengandung kekerasan tetapi
mengandalkan kegesitan dan perubahan-perubahan yang aneh yang bisa
membingungkan lawan.
Waktu melihat keduapuluh orang
lawannya yang mengeroyoknya dengan tidak mengenal malu, tampak Kwee Siang telah
mengeluarkan siulan yang panjang dan menggerakkah pedangnya melingkar-lingkar
bagaikan seekor naga dan tubuhnya melompat kesana kemari dengan gesit. Itulah
jurus ‘Bie-sian-kiam-hoat’ (bidadari cantik bermain pedang) yang sangat tangguh
dan membingungkan lawannya. Gerakan-gerakan dari ilmu pedang yang dipergunakan
Kwee Siang memaksa lawan-lawannya tidak bisa terlalu mendesak dan tidak berdaya
untuk melancarkan serangan-serangan yang dekat, bahkan jagoan-jagoan itu
terpaksa harus berhati-hati sekali setiap kali ingin melancarkan serangan
kepada Kwee Siang.
Mie-an Siansu yang menyaksikan
ini jadi marah sekali dan telah mengeluarkan suara bentakan berulang kali,
tubuhnya telah menerjang dengan kedua tangannya yang berisi tenaga lweekang
yang kuat. Dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu ilmu silat
Cap-pek-lo-han-kun atau ilmu pukulan delapan belas arhat.
Duabelas tahun yang lalu,
Mie-an Siansu, merupakan murid Siauw-lim-sie tingkat ketiga dan waktu dia
dikeluarkan dari kaumnya, kepandaian Mie-an Siansu memang telah mencapai taraf
yang tinggi. Hong-thio Siauw-lim-sie tidak menghukum mati kepada Mie-an Siansu
waktu mengetahui Mie-an Siansu memperkosa seorang gadis, karena disebabkan
Hong-thio itu merasa sayang atas kecerdasan yang dimiliki oleh Mie-an Siansu.
Sekarang walaupun dia telah
dikeluarkan oleh pihak Siauw-lim-sie, tetapi selama duabelas tahun Mie-an
Siansu telah melatih diri dengan giat sehingga ilmu pukulannya telah semakin
hebat dan lweekangnya telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Terlebih
lagi dia memang seorang yang cerdas bukan main, selain dia melatih ilmu yang
pernah diperolehnya dari perguruan Siauw-lim-pay, diapun telah berhasil
menciptakan semacam ilmu silat ‘pukulan tangan kosong’ yang dari kedua telapak
tangannya itu bisa menyambar angin serangan yang panas dan kuat sekali yang
bisa membinasakan lawan-lawannya.
Tetapi Kwee Siang juga tidak
lemah, dia bisa memberikan perlawanan dengan sama dahsyatnya.
Melihat keroyokannya bersama
kawan-kawannya yang berjumlah cukup banyak dan berilmu tinggi belum berhasil
juga merubuhkan Kwee Siang, membuat Mie-an Siansu tambah penasaran. Berulang
kali Mie-an Siansu telah mengeluarkan bentakan-bentakan bengis melancarkan
serangan-serangan yang mengincer bagian-bagian mematikan di tubuh si gadis, dan
begitu juga kawan-kawannya mengepung rapat tidak memberikan kesempatan pada
Kwee Siang untuk bernapas. Lalu Mie-an Siansu telah menyedot napas dalam-dalam,
dan telah menggempur lagi dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya,
menimbulkan kesiuran angin yang kuat sekali. Dengan jurus lonceng bergoyang
sepuluh kali, kedua tangannya menyerang sekaligus bergantian kesepuluh bagian
tempat jalan darah mematikan di tubuh Kwee Siang.
Tetapi Kwee Siang gesit
sekali, dia selalu berhasil menyelamatkan diri. Disamping itu juga Kwee Siang
selalu berhati-hati menghadapi serangan lawan-lawannya yang lainnya, dia
berusaha mengendalikan diri dan membatasi ruang geraknya, menunggu kesempatan
terbuka untuk menyerang bagian-bagian yang lemah di tubuh lawan-lawannya.
Selama melancarkan
gempuran-gempurannya, Mie-an Siansu telah berteriak-teriak menganjurkan
kawan-kawannya agar melancarkan serangan lebih berat dan keras, dia berusaha
membangkitkan semangat bertempur kawan-kawannya.
Tetapi Kwee Siang kinipun
tidak berlaku segan-segan lagi, dengan gerakan yang sangat cepat sekali tampak
Kwee Siang telah menggetarkan pedangnya, yang berkelebat-kelebat menyilaukan
mata lawan-lawannya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Kwee Siang kali ini
merupakan serangan dari ilmu pedang simpanannya, diapun mempergunakan
jurus-jurus yang pernah memperoleh petunjuk dari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko di
saat itu pedangnya berkelebat-kelebat menimbulkan desiran angin yang sangat
kuat sekali. Dalam keadaan demikian, terlihat jelas betapa pedangnya telah meluncur
dalam gerakan yang sangat cepat sekali, sehingga samberan angin serangan pedang
itu telah menderu-deru dengan dahsyat, telah menyerang setiap jalan darah dari
lawannya yang bisa mematikan.
Setelah lewat lima jurus,
terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati, karena itulah suara jerit
kematian. Kwee Siang telah berhasil merubuhkan dua orang lawannya yang
menggeletak tidak bernapas lagi.
Tojin yang menjadi kawan
Mie-an Siansu jadi marah sekali, dengan mengeluarkan suara bentakan bengis dan
nafsu membunuh, dia telah melompat dan menggerakkan pedang di tangannya, yang
dengan ganas telah menikam ke tubuh Kwee Siang. Disamping itu, si Tojin juga
telah membarengi dengan mengibas mempergunakan hud-timnya, gerakan itu telah
membuat Kwee Siang harus mengelakkan serangan itu dengan cepat sekali.
Dalam sekejap mata tampak Kwee
Siang telah berkelit tiga kali. Dan dalam kesempatan itulah Kwee Siang baru
memiliki kesempatan untuk melancarkan serangan membalas. Gerakan yang dilakukan
Kwee Siang benar-benar luar biasa, kaki kanannya diulur ke depan, ditekuk
sedikit, dan kemudian dengan cepat sekali dia telah menikam dengan tubuh yang
didoyongkan ke depan.
„Sringgg.....!” pedang
meluncur dengan cepat sekali secepat kilat dan „cepppp!” Terdengar benda logam
masuk menerobos dan daging kemudian terdengar suara teriakan menyayatkan dari
Tojin itu, tubuhnya menggelepar dan terhuyung mundur, dari dadanya mengucur
darah merah yang segar, mata Tojin itu terbuka lebar-lebar dan dia mengeluh
perlahan dengan mulut terbuka, dari tenggorokannya terdengar suara berkerogokan
dan kemudian tubuhnya terjengkang ke belakang, napasnya terhenti.
Mie-an Siansu dan
kawan-kawannya jadi terkejut bukan main, dia telah melihat betapapun Kwee Siang
memang tangguh dan memiliki kepandaian yang hebat luar biasa, kepandaian yang
sulit sekali dilawan. Tetapi Mie-an Siansu masih penasaran, dia berpikir,
walaupun Kwee Siang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tetapi jika dia
diserang terus menerus, niscaya gadis itu akan cepat letih sehingga dengan
mudah dia akan dapat dirubuhkan. Maka dari itu Mie-an Siansu telah melancarkan
serangan-serangan dan gempuran-gempuran yang tidak hentinya, setiap serangan
telapak tangannya itu meluncur dengan hebat, bahkan telah beberapa jurus lagi
tampak Mie-an Siansu telah mencabut golok yang tergemblok di punggungnya.
Dengan goloknya itu dia telah
melancarkan serangan yang sangat hebat sekali, goloknya telah menyambar-nyambar
dengan hebatnya, sehingga Kwee Siang telah berhasil dipaksa mundur beruntun
berulang kali.
Belum lagi kawan-kawan si
hweshio yang telah melancarkan serangan juga.
Makin lama makin terlihat
tampak Kwee Siang hanya dapat membela diri saja dan tidak dapat melancarkan
serangan-serangan balasan.
Yo Him dan Phang Kui In yang
menyaksikan jalannya pertempuran itu telah memandang dengan tegang, sedangkan
Yo Him telah berbisik perlahan disamping telinga Phang Kui In, „Apakah tidak
lebih baik paman Phang muncul memberikan bantuan kepada enci itu, bukankah
dengan bantuan paman Phang berarti gadis itu akan memperoleh bantuan yang tidak
kecil dan meringankan bebannya yang bisa menyebabkan dia bisa mengambil napas
dan mengadakan perlawanan yang lebih gigih kepada musuh-musuhnya?”
Phang Kui In berdiri ragu
sejenak di tempat persembunyiannya, tetapi kemudian dia telah mengangguk.
„Benar!” katanya perlahan.
„Dan memang gadis itu merupakan puteri dari tokoh persilatan Kwee Ceng dan Oey
Yong!!”
Mendengar perkataan itu, Yo
Him jadi terkejut dan gugup: „Kalau demikian, cepatlah paman Phang memberikan
pertolongan..... Bukankah paman Kwee dan Oey peh-bo sangat baik? Waktu aku
berada di Ang-hwa-to, paman Kwee dan Oey peh-bo telah memperlakukan aku sangat
baik sekali.....!”
Phang Kui In memang sejak tadi
bermaksud untuk melompat keluar dari tempat persembunyiannya untuk memberikan
pertolongan kepada Kwee Siang. Tetapi yang membuat dia ragu-ragu adalah jumlah
musuh yang demikian besar, maka Phang Kui In bermaksud untuk menantikan waktu
sejenak lagi sampai musuh-musuhnya itu letih. Tetapi melihat Kwee Siang mulai
agak sibuk menerima serangan-serangan gencar dari lawan-lawannya, tentu saja
telah membuat Phang Kui In harus mengambil tindakan yang tegas. Dia telah
melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil membentak keras.
„Manusia tidak tahu malu!
Manusia rendah yang tidak punya perasaan! Melancarkan serangan secara
mengeroyok seperti itu!”
Dan setelah berkata begitu
dengan cepat Phang Kui In mencabut senjatanya, yaitu sepasang Sam-cio, senjata
yang memiliki tiga cagak (trisula), dengan mengeluarkan suara yang nyaring
sekali, tampak Sam-cio itu telah meluncur menyerang salah seorang lawan yang
terdekat dengannya, yaitu Ang Cie Bun.
Tentu saja Ang Cie Bun tidak
menduga akan adanya serangan dari orang yang muncul dari tempat yang tidak
terduga seperti itu jadi sibuk sekali mengelakkan diri. Berulang kali dia telah
terdesak mundur ke belakang, beberapa langkah kemudian dia telah menangkis
dengan Poan-koan-pitnya.
Tetapi Phang Kui In telah
mempergencar serangan-serangannya, dengan jurus ‘Ban-hoa-hong-ie’ (hujan
puluhan ribu bunga), trisulanya bagaikan gugurnya bunga-bunga dari pohon telah
menotok ke jalan-jalan darah mematikan di tubuh Ang Cie Bun, juga dengan cepat
sekali trisula itu telah meluncur ke arah diri Ang Cie Sian yang berada di
sebelah kanannya.
Gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh Phang Kui In menyebabkan Ang Cie Bun dan Ang Cie Sian jadi sibuk sekali
mengelakkan diri dari serangan-serangan Sam-cio itu. Walaupun mereka bersenjata
Poan-koan-pit, namun gerakan Sam-cio itu sangat cepat sekali, maka membuat mereka
harus bergerak cepat lagi untuk mengelakkan diri dan menyelamatkan jiwa mereka
dari ancaman Sam-cio itu.
Dalam keadaan demikian, tampak
Phang Kui In telah memperhebat terus serangan-serangannya, dia masih memiliki
tenaga penuh, maka tidak mengherankan jika tenaga serangan Sam-cio nya juga
menyambar-nyambar dengan hebat sekali.
Dalam waktu yang sangat
singkat sekali, Ang Cie Sian dan Ang Cie Bun telah terpisah dari gelanggang
pertempuran itu, sehingga menyebabkan Kwee Siang jadi bisa bernapas atas berkurangnya
lawan-lawan yang mengepungnya.
Melihat datangnya bala bantuan
yang tiba tepat pada waktunya, walaupun Kwee Siang tidak mengenal dan tidak
mengetahui siapa sesungguhnya Phang Kui In, tetapi gadis ini jadi girang bukan
main. Dia telah mengeluarkan suara siulan, semangat bertempurnya jadi
terbangun, dengan cepat sekali dia telah melancarkan kembali
serangan-serangannya dengan dahsyat.
Karena datangnya bala bantuan
itu, suasana pertempuran semakin seru saja, ketika lawan-lawannya sedang
terkejut atas munculnya Phang Kui In dan bergerak agak lambat. Maka pedang Kwee
Siang telah menyambar dengan cepat sekali, sehingga tampaklah dua tubuh telah
menggeletak lagi rubuh di tanah, sambil mengeluarkan suara jeritan yang
menyayatkan hati, karena itulah suara jerit kematian.
Mie-an Siansu yang melihat
keadaan mulai tidak menguntungkan rombongannya, jadi terkejut dan marah. Dia
sangat penasaran sekali, karena sejak tadi dia bersama dengan kawan-kawannya
yang berjumlah duapuluh orang, ternyata tidak berhasil merubuhkan Kwee Siang
yang hanya seorang diri. Bukankah hal itu sangat memalukan sekali. Dengan cepat
dia memperhebat serangan-serangannya.
Tetapi waktu pertempuran itu
tengah berlangsung dengan serunya, tiba-tiba di saat itu telah terdengar
teriakan dari suatu arah.
„Di sini! Mereka sedang
bertempur disini! Si gundul lanang Mie-an Siansu juga berada disini. Kita
tangkap dan kita cingcang, percuma saja jika kita tidak bisa menangkap mereka,
karena jumlah kita yang seratus orang, tentu akan dapat dan berhasil membekuk
mereka semua! Seorangpun jangan dilepaskan! Tangkap dan kita binasakan
semuanya, karena mereka merupakan manusia-manusia laknat!”
Tentu saja perkataan yang
nyaring itu didengar oleh Mie-an Siansu dan kawan-kawannya. Mereka jadi
terkejut sekali, dan menduga bahwa rombongan orang yang datang itu tentunya
jago-jago kawannya Phang Kui In. Muka Mie-an Siansu dan sisa kawan-kawannya
jadi berobah pucat, mereka telah merasa berkuatir juga, dan dengan cepat Mie-an
Siansu mengambil suatu keputusan.
„Angin keras.....!” teriaknya
dengan suara yang sangat nyaring. Mie-an Siansu kemudian kabur dengan menyambar
tubuh Siangkoan Peng.
Maka di saat itulah
kawan-kawannya telah melompat mundur, memutar tubuh dan segera melarikan diri,
karena merekapun memiliki perasaan yang sama seperti Mie-an Siansu, dan
mengetahui jika mereka dikepung oleh musuh-musuhnya dalam jumlah yang banyak,
yang mereka duga adalah kawan-kawannya Phang Kui In. Tentu saja hal itu akan
membuat mereka terdesak hebat, karena mereka telah letih akibat pertempuran
yang memakan tenaga ketika melawan Kwee Siang dan Phang Kui In. Maka jalan yang
paling selamat adalah melarikan diri menyelamatkan jiwa mereka masing-masing.
Di saat itu dengan cepat
sekali Kwee Siang telah melancarkan serangan pedangnya kepada salah seorang
lawannya yang terlambat melarikan diri, orang itu mengelakkan diri, tetapi
tidak urung bahunya telah terluka oleh goresan pedang, maka dengan mengeluarkan
suara jeritan kesakitan, dia pun juga telah melarikan diri mementang kakinya lebar-lebar.
Tentu saja hal ini telah
membuat Kwee Siang tertawa geli, dia tidak mengejarnya. Hanya Kwee Siang
sesalkan tidak bisa menolong Siangkoan Peng yang dibawa kabur Mie-an Siansu.
Phang Kui In juga tidak
mengejarnya karena dia mengenali justru tadi yang berkata itu adalah Yo Him.
Memang Yo Him sengaja telah
mempergunakan gertakannya itu untuk ‘mengusir’ lawan-lawannya Kwee Siang. Dan
dia berhasil, karena Yo Him hanya seorang diri, dan dia menyebut dalam jumlah
seratus orang, sehingga Mie-an Siansu dan kawan-kawannya yang tidak mendengar
suara langkah kaki, maka mereka sebagai jago-jago berpengalaman dalam
persilatan justru berbalik mengira bahwa orang-orang yang tengah bersembunyi
itu merupakan jago-jago yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah
sempurna. Bukankah suara langkah kakinya saja tidak terdengar?
Karena itu dengan tepat sekali
rencana gertakan Yo Him memberikan hasil yang baik, dimana lawan-lawan Kwee
Siang termasuk juga Mie-an Siansu telah melarikan diri.
Phang Kui In tertawa tergelak-gelak
dia memuji akan kecerdasan Yo Him.
Saat itu Kwee Siang telah
menghampiri kepadanya dan telah membungkukkan tubuhnya, kemudian dia menjura
memberi hormat dengan sikap yang sangat ramah.
„Terima kasih atas bantuan
yang diberikan oleh kiesu, bolehkah siauw-moay, mengetahui nama besar dari
kiesu? Dan jika memang tidak keberatan siauw-moay juga ingin menanyakan gelaran
kiesu yang harum untuk dikenang, bahwa siauw-moay pernah menerima budi besar
dari kiesu!” kata Kwee Siang.
Phang Kui In cepat-cepat
membalas penghormatan si gadis. Dia telah tertawa lebar.
„Sesungguhnya kita bukan orang
luar..... kita masih orang dalam juga!” kata Phang Kui In dengan suara yang
ramah. „Aku she Phang dan bernama Kui In, tidak memiliki julukan apa-apa karena
kepandaianku yang rendah! Sedangkan beberapa saat yang lalu di pulau
Ang-hwa-to, aku telah bertemu dengan ayah bundamu, yaitu Kwee Tayhiap dan Oey
liehiap.
„Oh, ya?” tanya Kwee Siang
dengan mata bersinar cemerlang sekali! „Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka
sehat-sehat saja?”
„Sehat-sehat saja, tetapi
karena ada suatu urusan yang sangat penting, maka Kwee Tayhiap dan Oey liehiap
bersama-sama dengan orang-orang gagah lainnya, bermaksud untuk memberitahukan
kepada para pencinta negeri agar mengetahui, bahwa tidak lama lagi akan ada
ancaman serbuan dari tentara Mongolia!”
Muka Kwee Siang berobah, dia
menghela napas panjang. „Hai, hai,” katanya dengan suara yang dalam dan
menundukkan kepalanya. „Memang aku keterlaluan sekali. Telah beberapa tahun aku
tidak menjenguk orang tuaku itu.....! Juga encie Hu (Kwee Hu) belum kutenggoki!
Mengapa aku jadi demikian? Mengapa aku harus mengenang terus kepadanya. Tetapi
engko Yo juga kejam sekali, dia tidak mau bertemu denganku satu kalipun juga!”
Waktu berkata-kata begitu suaranya sedih bukan main, mukanya juga murung
sekali, tampak hatinya sangat berduka.
Di saat itu Phang Kui In telah
tertawa. „Kwee lihiap, justru kami sedang melakukan perjalanan untuk menemui Yo
Tayhiap,” katanya.
Muka Kwee Siang seketika
berobah jadi tegang dan girang dia telah bertanya dengan suara yang tidak
lancar: „Kau..... kiesu..... kau mengetahui dimana beradanya engko Yo Ko?
Dimana sekarang engko Yo berada?” tanya Kwee Siang dengan suara tidak sabar.
„Dan engkau kiesu, mengatakan perkataan ‘kami’, apakah engkau membawa
sahabat-sahabatmu yang tadi belum muncul itu?”
„Itu hanya sandiwara dari
engko kecil kawanku, untuk mengertak Mie-an Siansu dan kawan-kawannya!” kata
Phang Kui In. Dan setelah berkata begitu, dia telah berkata: „Adik kecil, kau
keluarlah untuk berkenalan dengan Kwee liehiap, karena Kwee liehiap sahabat
ayahmu.....”
Sementara itu Yo Him telah
melangkah keluar, dia menghampiri Kwee Siang dia telah menjura.
„Apa kabar encie Kwee?”
tanyanya dengan ramah, dia memanggil encie Kwee, karena sejak tadi dia telah
mendengar si gadis memang she Kwee dan bernama Siang.
Kwee Siang untuk sejenak
berdiri di tempatnya dengan tertegun, sampai dia lupa untuk membalas hormat
dari Yo Him, karena hatinya saat itu tergoncang hebat sekali. Dilihatnya muka
Yo Him mirip sekali dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan dia seperti juga
melihat Sin-tiauw Tayhiap, maka tidak mengherankan jika hati gadis ini jadi
tergoncang keras sekali.
Dalam keadaan demikian, tampak
Yo Him telah berkata lagi, „Encie Kwee, apakah engkau tengah mencari ayahku?”
„Kau..... kau puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?” tanya Kwee Siang dengan suara tergagap.
„Benar!” kata Phang Kui In.
„Justru kami berdua tengah melakukan perjalanan untuk menemui Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko!” dan Phang Kui In telah menceritakan perihal pertemuannya dengan Yo Ko,
menceritakan semua pengalamannya yang tiba di pulau Ang-hwa-to dan kemudian
sampai mereka melakukan perjalanan untuk menyusul Yo Ko.
Kwee Siang berulang kali
mengeluarkan seruan-seruan girang. Dia telah menghampiri Yo Him, tangan anak
itu telah dicekalnya kuat-kuat.
Yo Him merasa terharu, ketika
melihat di mata Kwee Siang menitik beberapa butir air mata, sedangkan tangannya
yang mencekal pergelangan tangannya, dirasakan dingin sekali. Karena Kwee Siang
sedang berada dalam keadaan tegang dan juga girang.
„Belasan tahun aku mencari
engko Yo, ai, ai, dia seperti juga selalu mengelakkan diri dari pertemuan
kita.....! Aku sangat kagum dan menghormatinya, begitu juga dengan ibumu, adik
Him, yaitu encie Siauw Liong Lie! Ai, mengapa kami tidak bisa berkumpul
selamanya, mengapa aku harus mencarinya tanpa menemui jejak selama belasan
tahun.”
Mendengar itu, tentu saja Yo
Him jadi semakin terharu saja. Diapun menceritakan pengalamannya, bahwa
sesungguhnya dia belum pernah bertemu satu kalipun dengan ayah dan ibunya. Dia
menceritakan seluruh pengalamannya.
Kwee Siang jadi kaget dan
terharu.
„Oh Yo Him, engkau tampaknya
menderita sekali! Biarlah kita mencarinya sampai kalian ayah dan anak bisa
berkumpul kembali, lalu mencari ibumu.....! Sungguh malang sekali nasibmu!” Dan
sambil berkata begitu Kwee Siang merangkul Yo Him dengan penuh kasih sayang,
tangannya mengelus-elus rambut si anak she Yo itu dengan sikap seperti seorang
kakak terhadap adiknya.
Yo Him juga jadi terharu
sekali, dia sampai mengucurkan air matanya juga. Yo Him merasakan walaupun
dirinya hidup sengsara dan menderita jauh dari orang tua, tetapi dia telah
dirawat oleh sepasang suami isteri yang baik hati, sehingga dia bisa mencapai
usia beberapa tahun ini, sedangkan Kwee Siang yang menaruh kagum dan juga
menghormati ayahnya, justru telah meninggalkan kebahagiaan untuk dirinya
sendiri, meninggalkan ayah bundanya, meninggalkan keluarga dan lingkungannya,
setiap hari hanya berkelana untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap. Bukankah hal itu
sangat menderita sekali?
Kwee Siang memang mencintai Yo
Ko dari dasar hati dan setulus hati. Tetapi dia mencintai tanpa terdapat
setitik noda sedikitpun, bahkan diapun mencintai Siauw Liong Lie. Dan Kwee
Siang hanya menghendaki dapat berkumpul bertiga..... tetapi keinginan itu hanya
merupakan impian belaka, sebab sekarang Siauw Liong Lie dan Yo Ko tidak pernah
dijumpai jejaknya, sehingga dia harus berkelana belasan tahun tanpa berhasil
menemui jejak kedua orang sakti yang dikaguminya itu!
Jika Oey Yok Su, sang kakek
dari Kwee Siang memperoleh gelaran Lo-sia (si sesat tua), maka Kwee Siang
justru dalam persilatan telah memperoleh gelaran Siauw-sia (si sesat kecil),
sehingga bisa dibayangkan bahwa sifat dan perangai Kwee Siang sangat aneh. Dia
memiliki cita-cita yang berlainan dari setiap orang umumnya, dia memiliki sifat
yang ramah, lembut, tetapi bisa keras dan melakukan banyak keanehan dalam
penghidupannya. Bahkan seringkali dia melakukan perbuatan-perbuatan di luar
dugaan dari manusia umumnya, sehingga banyak orang-orang persilatan yang
melihat sikap Kwee Siang, menduga Siauw-sia ini sebagai pendekar wanita muda
yang telah terganggu syarafnya, telah sinting.
18.35. Kekurangan Latihan dan
Tenaga Saja!
Oey Yok Su sesungguhnya seringkali
meminta cucunya yang terkecil ini agar berdiam di Tho-hoa-to, menemaninya
sampai nanti dia menutup mata. Karena Kwee Siang sebagai cucunya yang terkecil
dimana dia dilahirkan waktu kota Siang-yang tengah bergolak hebat dalam
pertempuran, sedangkan ayah dan bundanya yaitu Kwee Ceng dan Oey Yong, juga
sibuk sekali mengatur pasukan tentara Song menghadapi serangan-serangan dari
tentara Mongolia, maka Oey Yok Su menganggap bahwa Kwee Siang pantas jika
menemani dia di pulau Tho-hoa-to sebagai pewarisnya, yang kelak akan menjadi
majikan Tho-hoa-to.
Namun Kwee Siang telah menolak
keinginan kakeknya itu, karena dia bermaksud untuk mencari jejak Yo Ko dan
Siauw Liong Lie.
Itulah sangat mengherankan dan
aneh sekali. Banyak orang-orang gagah dalam persilatan yang bersedia untuk
menyiksa dirinya sendiri dan melakukan apa saja, asal bisa diterima menjadi
murid oleh Oey Yok Su dan menerima warisan ilmu Oey Yok Su yang sangat luar
biasa. Oey Lo-sia merupakan manusia aneh dalam persilatan, diantara jago-jago
tua, dialah sekarang yang terhebat kepandaiannya, karena Auwyang Hong dan juga
Ang Cit Kong, yang kepandaiannya hampir berimbang dengannya, telah menutup
mata. Begitu juga dengan Ong Tiong Yang, telah menghembuskan napasnya yang
terakhir. Ciu Pek Thong dan yang lainnya memang memiliki kepandaian yang
tinggi, tetapi tidak ada yang sehebat Oey Lo-sia. Maka itu dengan berdiamnya
dia menutup diri melewati usia tuanya di pulau Tho-hoa-to, maka Oey Yok Su
dianggap oleh orang-orang persilatan sebagai manusia setengah dewa.
Tidak ada seorangpun yang
mengetahui sepak terjang Oey Yok Su selanjutnya, karena disamping Oey Yok Su
tidak pernah menunjukkan diri dalam pergaulan umum, dan tidak pernah keluar
dari pulau Tho-hoa-to, juga tidak ada seorang jagopun dalam rimba persilatan
yang berani mendatangi pulau Tho-hoa-to.....
Kini Kwee Siang telah
mendengar jejak perihal Yo Ko tentu saja telah membuatnya jadi girang bukan
main, dia sampai mengucapkan syukur berulang kali kepada Thian.
Phang Kui In dan Yo Him yang
melihat kegembiraan si gadis she Kwee ini, jadi turut gembira.
Begitulah, mereka memutuskan
untuk melakukan perjalanan bertiga. Phang Kui In telah mengajak mereka untuk
kembali ke perahunya.
„Mudah-mudahan saja Sin-tiauw
Tayhiap belum meninggalkan Kun-lun-san.....!” kata Phang Kui In waktu mereka
telah berada di perahu.
Kwee Siang mengiyakan dengan
penuh harapan, dan sepanjang berlayar di lautan, Kwee Siang bercakap-cakap
dengan Yo Him. Ada saja yang mereka percakapkan.
Yo Him juga senang kepada
gadis ini karena sang enci ini tampaknya demikian ramah dan menyayangi dia.
Maka Yo Him pun bercakap-cakap dengan asyik sekali, dengan sendirinya lupalah
Yo Him akan kesedihannya. Dan begitu juga dengan Kwee Siang, lupa pula untuk
sementara akan kesepian dan kedukaan hatinya..... karena Yo Him sebagai
pengganti pelipur laranya, muka Yo Him yang mirip dengan Yo Ko, memberikan
kesan dan mengurangi akan rindunya..... rindu terhadap Yo Ko maupun Siauw Liong
Lie.
Bahkan dalam perjalanan itu,
Kwee Siang telah bertanya kepada Yo Him.
„Apakah adik Him telah
mengerti ilmu silat?” tanyanya kemudian.
„Sedikit-sedikit .....!”
menyahuti Yo Him.
„Coba kau jalankan
dihadapanku, nanti aku bisa memberitahukan kelemahan-kelemahanmu.....!” kata
Kwee Siang menganjurkan sambil tersenyum.
Yo Him juga berpikir untuk
mengisi waktu-waktu senggangnya memang ada baiknya dia melatih diri. Maka Yo
Him telah menjalankan bermacam-macam ilmu silat yang telah dipelajarinya.
Kwee Siang kagum sekali.
„Engkau dalam usia demikian muda, telah berhasil menghafal semua ilmu silat
milik ayahmu, dan berbagai ilmu silat lainnya.....! Hemm, yang kurang hanya
latihan dan tenaganya saja! Baiklah, sekarang engkau perhatikan, aku ingin
menurunkan Kiu-im-cin-keng kepadamu! Jika sekarang engkau belum bisa menangkap
keseluruhannya, itupun tidak apa-apa, asalkan kau ingat baik-baik di dalam
hati, agar kelak bisa kau melatihnya jika engkau telah dewasa.....!”
Yo Him jadi girang sekali.
Dia juga telah menyatakan
terima kasihnya, dan segera Kwee Siang menurunkan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat
dan juga Kiu-im-cin-keng.
Tentu saja Yo Him bisa
menangkap semua keterangan itu dengan mudah, yang telah dicatat dalam
ingatannya, karena dia memang sangat cerdas sekali. Waktu Kwee Siang meminta
dia menjalankan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat, Yo Him bisa membawakannya dengan
mudah, walaupun dia hanya mengerti gerakan-gerakannya dan serangannya belum
mengandung tenaga dalam, tetapi seluruh jurus telah dijalankannya dengan
sempurna.
Kwee Siang jadi girang sekali.
„Adik Him, ternyata engkau cerdas
sekali seperti ayahmu!” kata Kwee Siang memuji.
Diperbandingkan dengan
ayahnya, Yo Him jadi bangga. Segera dia menanyakan perihal ayahnya itu kepada
Kwee Siang dan Kwee Siang tidak keberatan untuk menceritakan mengenai diri Yo
Ko dan Siauw Liong Lie selama yang dikenalnya.
Yo Him tertarik sekali
mendengar cerita si gadis, dia juga menjadi kagum sewaktu mendengar kegagahan
ayahnya yang diceritakan oleh Kwee Siang.
Phang Kui In mengetahui
peraturan dunia Kang-ouw, maka setiap kali Kwee Siang tengah menurunkan ilmunya
kepada Yo Him, dia selalu menyingkir ke ujung perahu, tidak mau mendengarnya.
Begitulah setiap hari Kwee
Siang telah menurunkan sejurus demi sejurus ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat yang
telah diciptakannya sendiri, juga dia telah menurunkan tenaga lweekang dari
Kiu-im-cin-keng.
Memang Yo Him mempelajarinya
juga ilmu pedang si gadis, karena dia tidak mau mengecewakan Kwee Siang yang
baik hati itu, maka dia menganggap asal mempelajari. Tetapi seperti diketahui
saat itu sesungguhnya Yo Him tengah menerima latihan tenaga dalam nomor satu di
dalam dunia! Seperti diketahui, waktu Tat-mo Couwsu datang ke daratan
Tiong-goan, dan mendirikan perguruan Siauw-lim-sie dengan itu yang menjagoi
rimba persilatan dengan nama Siauw-lim-pay. Dan Yo Him telah mewarisi tenaga
dalam nomor satu di dunia persilatan yang sukar dicari tandingannya, yaitu
Kiu-yang-cin-keng dan Kiu-im-cin-keng.
Justru kedua macam kitab
latihan lweekang nomor satu itu ditemukan oleh Kak-wan Siansu yang telah sempat
membacanya, karena justru Kak-wan Siansu merupakan pendeta penjaga kamar
perpustakaan. Lalu kedua macam ilmu tenaga dalam itu telah diturunkan kepada
Thio Kun Po (muridnya) dan Kwee Siang, yang kebetulan datang ke Siauw-lim-sie
untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.
Secara kebetulan itu pula yang
menyebabkan Thio Kun Po akhirnya merupakan pendiri salah sebuah cabang
perguruan silat di daratan Tiong-goan yang akhirnya sangat terkenal, berimbang
dengan keagungan nama Siauw-lim-sie, yaitu pintu perguruan Bu-tong-pay.
Sedangkan nama Thio Kun Po dilupakan orang, karena saat itu sampai kini, yang
diingat dan tercatat dalam sejarah, pendiri Bu-tong-pay adalah Thio Sam Hong,
nama selanjutnya dari Thio Kun Po.
Sedangkan Kwee Siang sendiri,
yang sempat mendengar dibacakannya intisari dari ilmu tenaga dalam yang sakti
itu oleh Kak-wan Siansu dari Siauw-lim-sie, telah mendirikan pula sebuah cabang
perguruan silat lainnya, yaitu Go-bie-pai. Dan dia telah memperoleh nama yang
sangat tenar juga, karena dikemudian hari murid-murid Go-bie-pai memiliki
kepandaian yang hebat-hebat. Bahkan dalam dunia persilatan kelak, dikenal tiga
perguruan silat utama, yaitu, Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay dan yang ketiga adalah
Go-bie-pai.
Walaupun Bu-tong-pay dan
Go-bie-pai dikemudian hari merupakan perguruan silat yang berdiri sendiri.
Tidak memiliki hubungan dengan Siauw-lim-sie namun setidak-tidaknya ilmu silat
dari kedua pintu perguruan itu memang bersumber dari Siauw-lim-sie juga.
Sekarang Kwee Siang baru
menciptakan ilmu pedangnya itu belum terlalu lama tetapi justru yang diturunkan
kepada Yo Him adalah inti sari dari ilmu pedangnya itu, jika kelak murid-murid
Go-bie-pai bisa mengangkat nama dalam dunia persilatan di daratan Tiong-goan,
karena mereka mempergunakan ilmu pedang Go-bie-pai dengan segala kombinasinya
yang ditambahkan disana-sini. Maka hebat adalah Yo Him, yang langsung menerima
ilmu pedang Go-bie-pai itu dari pendirinya (penciptanya) yaitu Kwee Siang.
Begitu juga dengan ilmu tenaga
dalam Kiu-im-cin-keng, diterima langsung dari Kwee Siang. Jika Kwee Siang waktu
mendengarkan berdua dengan Thio Kun Po, hweshio dari Siauw-lim-sie, yaitu
Kak-wan Siansu menghafalkan bunyinya Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng,
itulah hanya merupakan sekelebatan bacaan belaka, dan Kwee Siang maupun Thio
Kun Po harus memeras otak dan pikiran untuk menjernihkan pelajaran itu,
menyalurkan satu persatu dan akhirnya telah dapat disusun dalam bentuk
pelajaran latihan tenaga dalam yang sempurna.
Maka sekarang Yo Him telah
menerima latihan Kiu-im-cin-keng yang telah disaring oleh Kwee Siang, dengan
mudah dia dapat menangkap dan menghafalnya, tanpa perlu memeras otak dan bisa
langsung melatih dirinya sendiri. Sehingga di luar kesadarannya, Yo Him
sesungguhnya telah menerima warisan ilmu tenaga dalam yang dahsyat sekali. Tetapi
Yo Him hanya menduga apa yang dilatihnya itu merupakan latihan untuk olah raga
menyehatkan tubuh belaka. Maka dia melatihnya bersungguh-sungguh untuk
menggembirakan hati Kwee Siang.
Kwee Siang sangat gembira
sekali melihat Yo Him memiliki kecerdasan yang luar biasa. Yang membuat Kwee
Siang gembira itu bukan semangat Yo Him melatih diri, tetapi kemajuan yang
diperoleh Yo Him tanpa anak she Yo itu mengetahuinya.
Suatu kali, sampai pelajaran
jurus keseratus empatpuluh empat, Kwee Siang meminta Yo Him menempelkan telapak
tangannya ke telapak tangan dia. Kedua tangan dari Yo Him telah melekat di
kedua telapak tangan Kwee Siang, lalu perlahan-lahan Kwee Siang menyalurkan
tenaga murninya, dia telah membuka satu persatu jalan darah mie-tiong-hiat,
san-liang-hiat, tan-tian-hiat dan berbagai jalan darah lainnya.
Yo Him merasakan dari telapak
tangan Kwee Siang seperti meluncur sebaris hawa yang hangat, halus seperti
sutra menerobos masuk ke dalam telapak tangannya, dan hawa hangat itu seperti
berjalan masuk melalui kedua lengannya, dan Yo Him merasakan beberapa bagian
dari urat besar di tubuhnya berdenyut-denyut setiap kali sumbatannya dibuka
oleh kekuatan tenaga murni Kwee Siang sehingga bagian-bagian tubuhnya itu
berkedutan tidak hentinya.
Semakin lama Yo Him merasakan
tubuhnya semakin panas sampai dari kepalanya dirasakan seperti mengepul uap
yang tipis sekali. Tetapi Yo Him tidak mau memperlihatkan kelemahannya,
walaupun tubuhnya panas seperti dibakar oleh kobaran api, keringat mengucur
deras dari kedua telapak tangan, muka dan lengannya, namun Yo Him tetap berdiam
diri saja.
Dia tidak mau mengecewakan
Kwee Siang, „Aku tidak boleh memperlihatkan kelemahanku dihadapan encie Siang!
Karena jika aku meminta kepadanya untuk beristirahat dulu tentu encie Siang
akan mentertawai aku? Bukankah ayahku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko adalah seorang
pendekar nomor satu dalam rimba persilatan? Mengapa aku harus berlaku lemah?
Walaupun akan mati kepanasan, aku harus tetap bertahan!”
Karena berpikir begitu, Yo Him
telah berdiam diri saja, walaupun tubuhnya semakin panas seperti terbakar oleh
api, atas bekerjanya tenaga dalam yang disalurkan oleh Kwee Siang, dan di saat
itu tampak kepalanya juga semakin mengepulkan asap yang tebal. Tubuh Yo Him
juga telah menggigil seperti kedinginan, tetapi dia keraskan kepala untuk tetap
bertahan.
Kwee Siang melihat keadaan Yo
Him. Sesungguhnya hati si gadis tidak tega untuk meneruskan saluran tenaga
murninya. Tetapi dalam keadaan yang genting, dimana tinggal empat buah jalan
darah utama di tubuh Yo Him yang harus dibukanya, agar kelak Yo Him bisa
menyalurkan seluruh kekuatan murninya ke sekujur tubuhnya. Dalam keadaan
demikian, jika Kwee Siang menarik pulang tenaga murninya, justru akan
mencelakai Yo Him.
„Engkau masih bisa bertahan
terus, adik Him?” tanyanya dengan berkuatir. „Tidak lama lagi, hanya empat
jalan darahmu yang perlu dibuka lagi!”
Yo Him mengangguk sambil
menggigit bibirnya, dia sudah tidak bisa menjawabnya.
Kembali Kwee Siang telah
menyalurkan lagi kekuatan murninya, dia membuka jalan darah tan-to-hiat di
dekat urat pusar tiga dim, dan setelah diterobos oleh gempuran-gempuran tenaga
murni Kwee Siang, maka jalan darah itu terbuka, dan dapat menyalurkan kekuatan
murni dari pusar Yo Him ke sekujur tubuhnya.
„Kerahkan tenagamu di kedua pangkal
lengan. Atur napasmu sekali-kali dengan teratur, tenangkan pikiran, kosongkan
hati dan otak, jangan berpikir apa-apa, Kiu dan Im, Yang dan Keng, di saat ini
engkau pasrah diri, kedua tangan dilemaskan, kedua kaki dikakukan, kedua mata
dipejamkan, kedua telinga dipasang, mulut terbuka, hidung tertutup, maka engkau
akan mencapai Im-yang-kut-liong (tulang naga positif dan negatif)!”
Memang jika Yo Him berhasil
melaksanakan semua petunjuk Kwee Siang, niscaya tulang-tulang Yo Him akan
menjadi kuat, dia seperti baru dilahirkan kembali, dan seperti telah digodok
untuk menjadi seorang anak manusia memiliki tulang-tulang di tubuhnya seperti
tulang naga..... Dimana bisa dipergunakan untuk menghadapi serangan lunak dari
lawan, bisa juga menghadapi serangan kekerasan dari lawannya. Jika serangan
lawannya kelak lunak, tentu dia bisa mempergunakan tenaga Im nya, tetapi jika
dia hendak menindih lawannya dengan gerakan kekerasan, dia bisa mempergunakan
yang tenaga positif.
Tiba-tiba Kwee Siang merasakan
tenaga menolak berulang kali dari telapak tangan Yo Him, walaupun tidak keras
tetapi tanda-tanda seperti itu telah menyebabkan Kwee Siang jadi girang sekali,
karena hal ini menunjukkan bahwa Yo Him telah menuruti petunjuknya dan kini
anak itu telah memiliki tenaga melawan terhadap tenaga dari luar.
Saat itu Kwee Siang telah
mengumpulkan semangatnya untuk mengempos tenaga murninya di kedua telapak
tangannya, dia telah menyalurkan dengan kuat untuk membuka jalan darah
pai-liang-hiat, kemudian setelah berhasil, menyusul jalan darah su-kong-hiat,
dan terakhir jalan darah ban-liong-hiat, jalan darah sepuluhribu naga.....
Itulah jalan darah yang paling sulit dibuka, dan waktu berhasil terbuka justru
Yo Him telah mengeluarkan suara keluhan, karena seluruh tubuhnya seperti diceburkan
ke dalam minyak panas, dia telah rebah pingsan tidak sadarkan diri! Untung saja
waktu itu dia belum pingsan, Kwee Siang telah berhasil membuka jalan darah itu,
sehingga walaupun Yo Him telah jatuh pingsan tidak sadarkan diri, tetapi dia
tidak mengalami ancaman bahaya apa-apa.
Dengan cepat Kwee Siang
melompat berdiri, dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak dengan
keras dan panjang sekali.
Tentu saja hal ini telah
membuat Phang Kui In yang berada di buritan perahunya jadi terkejut, dan
cepat-cepat mendatangi. Waktu dia memasuki kamar perahu itu, dia melihat Kwee
Siang sedang berdiri tegak dan tertawa bergelak-gelak, sedangkan Yo Him
menggeletak di lantai perahu tanpa bergerak, dia jadi mengeluarkan suara seruan
kaget dan cepat-cepat menghampiri untuk memeriksa keadaan Yo Him.
Kwee Siang telah berhenti dari
tertawanya, katanya dengan tergesa-gesa. „Jangan dipegang, biarkan dia
beristirahat!”
Phang Kui In segera tersadar
dengan cepat dari kekeliruannya. Hampir saja dia melakukan suatu kesalahan yang
besar, karena jika dia menghampiri Yo Him dan menyentuh tubuh Yo Him, saat itu
dia bisa merobah letak jalan darah di tubuh Yo Him, dan bahaya yang mengancam
untuk Yo Him sangat hebat.
Sebagai seorang yang mengerti
ilmu silat dan telah berpengalaman, Phang Kui In menyadarinya bahwa seluruh
jalan darah Yo Him telah dibuka oleh Kwee Siang, maka jika dia menyentuh tubuh
Yo Him dan jalan darah itu terbuka, di samping jalan darah yang telah dibuka
akan tertutup kembali, juga akan membahayakan jiwa anak itu yang bisa binasa di
saat itu juga.
Itulah sebabnya walaupun
melihat Yo Him jatuh pingsan, Kwee Siang tidak menghampirinya, membiarkan tubuh
Yo Him menggeletak, menantikan sampai waktunya tiba, di saat mana jalan darah
jalan darah yang dibukanya itu telah bisa bekerja dengan baik, barulah dia akan
menghampiri Yo Him.
Kwee Siang tadi mengeluarkan
suara tertawa bergelak-gelak, karena dia sangat puas dan girang, setelah dia
berhasil membuka seluruh jalan darah Yo Him dengan selamat tanpa menemui rintangan
apa-apa, sehingga berarti dia telah ‘menciptakan’ sebuah bibit baru untuk
seorang pendekar besar dijaman ini.....! Kwee Siang berani mengatakan bahwa Yo
Him merupakan ‘bibit’ pendekar besar dijaman ini, karena dia melihat Yo Him
memiliki tulang yang baik, dan daya ingatan yang luar biasa sekali. Hanya dalam
dua minggu mereka melakukan perjalanan air, Yo Him telah berhasil menerima
seluruh pelajaran kepandaian Kwee Siang, bahkan telah berhasil menerima dan
menjalankan jurus-jurus ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat dengan baik sekali.
Tadi Yo Him baru bisa
menjalankan seluruh jurus-jurus itu tanpa memiliki kekuatan untuk membinasakan
lawannya, karena dia kurang latihan dalam hal lweekang. Namun kini setelah Kwee
Siang berhasil membuka seluruh jalan darahnya, maka jika Yo Him kelak
melancarkan serangan kepada lawannya, walaupun dia tidak bermaksud untuk
mengerahkan tenaganya, namun tenaga itu sendiri yang akan meluncur keluar
berim¬bang dengan tekanan tenaga serangan dari lawannya. Jika kelak Yo Him
telah melatihnya, bukan saja dapat mengimbangi kekuatan tekanan tenaga serangan
dari lawannya, tetapi Yo Him bisa mengendalikan tenaganya itu untuk
menghancurkan besi dan batu dengan hanya sekali sentilan jari telunjuknya saja!
Kwee Siang melihat, jika Yo
Him mem¬peroleh bimbingan yang baik dari seorang ahli, Yo Him bisa jauh lebih
hebat dari dia, karena di tubuh Yo Him terdapat suatu kelainan. Sebagai bukti
saja, tampak waktu Kwee Siang membuka seluruh jalan darah Yo Him, dia hanya
memerlukan waktu dalam setengah harian saja. Sesungguhnya bagi manusia umumnya,
jika ingin dibuka seluruh jalan darahnya, tentu harus memakan waktu yang cukup
lama! Dari perbedaan waktu saja, telah membuktikan bahwa Yo Him memiliki
kelainan yang luar biasa.
Harus diketahui setiap satu
jalan darah dibuka, jika hal itu terjadi di diri seorang manusia biasa yang
tidak memiliki kelainan seperti Yo Him, tentu orang itu akan menderita demam
selama satu minggu dan selama satu bulan dia harus mengasoh, baru nanti dibuka
kembali satu jalan darah lainnya. Maka jika menuruti keadaan seperti itu,
seorang manusia biasa harus memakan waktu lima tahun baru bisa terbuka seluruh
jalan darahnya. Semakin banyak jalan darah yang dibukanya, semakin hebat
penderitaan demam orang itu. Tetapi berbeda dengan seorang yang memiliki
kekuatan yang agak besar dan memiliki daya tahan yang cukup kuat, maka mungkin
dalam dua tahun seluruh jalan darahnya bisa dibuka.
Namun Yo Him justru bisa
bertahan dengan kuat sekali, karena dia memang telah memiliki dasar-dasar
kepandaian yang luar biasa dari Sin-tiauw, juga telah menerima petunjuk dari
jago-jago hebat, termasuk In-lap Siansu dan lain-lainnya. Maka dari itu, waktu
Kwee Siang membuka jalan darahnya yang pertama, yaitu siauw-cie-hiatnya, Yo Him
hanya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi sesuatu apapun juga. Dan Kwee
Siang jadi meneruskan usahanya membuka jalan darah kedua, yaitu
siang-liang-hiat, tetapi keadaan Yo Him tetap tidak memperlihatkan perobahan.
Itulah sebabnya Kwee Siang
telah meneruskan pekerjaannya membuka seluruh jalan darah Yo Him, yang
seluruhnya berjumlah seratus tigapuluh delapan jalan darah utama, dan seratus
duapuluh jalan darah besar.
Kwee Siang dalam setengah hari
saja bisa membuka seluruh jalan darah dari Yo Him dan tanpa menemui rintangan
apa-apa. Persoalan ini merupakan persoalan yang tidak pernah terjadi di dalam
rimba persilatan, maka telah membuat Kwee Siang girang luar biasa.
Dia jadi tertawa
bergelak-gelak. Dan juga yang paling menggembirakan hatinya, yaitu dengan
terbukanya seluruh jalan darah Yo Him hanya dalam waktu setengah hari itu,
telah memperlihatkan bahwa Yo Him sebagai calon pendekar yang luar biasa
sekali! Kemungkinan besar menurut Kwee Siang, jika Yo Him memiliki gemblengan
yang teratur, dan memperoleh bimbingan yang baik dari jago-jago yang hebat
seperti Sin-tiauw Tayhiap, Oey Yok Su, yaitu kakeknya, juga ayah ibunya dan
beberapa jago-jago lainnya yang memiliki latihan tenaga dalam yang murni dan
lurus, tidak termasuk golongan sesat, niscaya Yo Him akan memiliki kepandaian
yang melebihi dari jago itu sendiri.
Kwee Siang telah menarik
tangan Phang Kui In menuju ke buritan kapal dan segera dia menceritakan apa
yang telah dialaminya, dimana dia telah berhasil membuka seluruh jalan darah di
tubuh Yo Him.
Phang Kui In jadi kaget bercampur
girang, dia sampai berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
Dengan hati yang tegang,
akhirnya Kwee Siang dan Phang Kui In menantikan sampai Yo Him tersadar dari
pingsannya.
<>
Selama satu hari satu malam Yo
Him menggeletak diam, dengan napas yang berjalan lancar dan lurus, sehingga
walaupun dia pingsan dalam keadaan yang demikian lama, tetapi Phang Kui In dan
Kwee Siang jadi tenang karena melihat napas Yo Him lurus dan teratur.
Tetapi malam itu setelah
duapuluh empat jam Yo Him menggeletak pingsan, mukanya berangsur-angsur menjadi
merah padam dan sekujur tubuhnya mengepul uap panas yang luar biasa.
Kwee Siang dan Phang Kui In
yang berdiri setombak lebih jauhnya dari tempat mengeletaknya Yo Him masih bisa
merasakan sambaran uap panas itu.
Kwee Siang dan Phang Kui In
jadi berkuatir sekali.
„Apakah..... apakah tidak akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?” tanya Phang Kui In dengan gelisah.
Kwee Siang juga mulai
ragu-ragu. Perkembangan yang terjadi didiri Yo Him mendatangkan kekuatiran juga
untuk dirinya. Dia telah mengawasi Yo Him tajam-tajam tanpa menyahut pertanyaan
Phang Kui In.
„Kwee lihiap, apakah adik Him
tidak akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan?” tanya Phang Kui In lagi,
karena dia sangat berkuatir sekali. „Apakah ada sesuatu yang harus kita lakukan
untuk dia?”
Saat itu Kwee Siang juga mulai
diliputi keraguan dan kekuatiran, dia telah menghampiri lebih dekat ke samping
Yo Him. Karena jaraknya dengan Yo Him semakin dekat, maka Kwee Siang merasakan
samberan hawa panas dari tubuh Yo Him yang semakin kuat.
Waktu Kwee Siang ingin
berjongkok disampingnya untuk memeriksa keadaan Yo Him, tiba-tiba Yo Him
mendadak sekali telah mengeluarkan suara teriakan yang nyaring memekakkan anak
telinga, tubuhnya seperti seekor ikan le-ie (ikan gabus) telah melompat ke
tengah udara, dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak membawa gerakan
Go-bie-kiam-hoat, walaupun di tangannya tidak mencekal pedang!
Kwee Siang jadi terkejut
sekali, dia berseru: „adik Him..... adik Him!!” teriaknya sambil mengulurkan
tangannya untuk mencekal tangan Yo Him, maksudnya untuk menyadarkan Yo Him dari
gerakan-gerakan di luar sadarnya itu.
Tetapi ketika tangan Kwee
Siang diulurkan, di saat itu telapak tangan Yo Him telah mengibas dengan jurus
Ciang-lie-kiam-sut atau bidadari cantik mempergunakan pedang. Tahu-tahu dari
telapak tangan Yo Him menyambar kekuatan yang panas sekali, „werr”, dan Kwee
Siang mengeluarkan suara jeritan tertahan karena tubuhnya telah terlempar keras
sekali, sampai terbanting sejauh dua tombak di lantai perahu.
Phang Kui In juga jadi
terkejut tanpa berpikir lagi dia telah menubruk ke arah Yo Him, dia termaksud
untuk mencegah Yo Him bergerak lebih jauh, yang mungkin bisa membahayakan
dirinya. Tetapi belum lagi Phang Kui In sempat merangkul Yo Him justru di saat
itu tangan Yo Him telah bergerak mengibas ke arahnya, tahu-tahu telapak
tangannya menghantam pundak Phang Kui In, sehingga Phang Kui In merasakan
pundaknya itu sakit luar biasa, seperti tulang piepenya akan patah hancur, dan
tubuhnya terpental keras sekali keluar dari ruangan kamar perahu.
Tubuhnya terbanting di tepian
lantai perahu, hampir saja Phang Kui In tercebur ke dalam laut, jika saja
tangan kanannya tidak cepat-cepat mencekal tepian perahu itu.
Saat itu Yo Him telah
berteriak-teriak dengan suara yang nyaring:
„Panas! Panas! Panas!”
Suaranya sambung menyambung,
karena suara itu terdengarnya aneh sekali, nyaring dan keras, bagaikan teriakan
seorang ahli lweekhe (ahli tenaga dalam) yang sudah mahir, sehingga suaranya
bisa menggema di udara bebas seperti itu. Juga tubuh Yo Him telah
berjingkrak-jingkrak dengan keras dan tinggi. Dia telah berlari keluar dari
ruangan kamar perahu itu, dan dengan tidak terduga tahu-tahu dia telah melompat
ke dalam laut!
Tentu saja Phang Kui In dan
Kwee Siang jadi terkejut bukan kepalang, mereka merasakan darah mereka seperti
berhenti mendesir, jantung mereka seperti copot rasanya.
„Adik Him! Adik Him!” teriak
Kwee Siang seperti kalap. Gadis ini telah berlari dengan cepat sekali ke arah
tepi perahu, dia bermaksud akan melompat ke dalam laut untuk menolongi Yo Him.
Phang Kui In juga kaget
setengah mati, dia berteriak-teriak:
„Yo Him! Him-jie!!”
Dan dia memburu juga ke tepi
perahu itu, dengan maksud ingin melompat ke laut juga, untuk menolongi Yo Him.
Tetapi di saat itu telah
terlihat suatu peristiwa yang aneh luar biasa yang hampir tidak bisa dipercayai
oleh Phang Kui In dan Kwee Siang, dimana keduanya sampai memejamkan matanya
berulang kali, mengucek-uceknya, karena mereka merasa seperti dalam mimpi melihat
peristiwa aneh itu.
Yo Him ternyata tadi telah
mencebur ke air laut, tetapi sama sekali tidak kelelap, tubuhnya itu timbul
tenggelam dengan gerakan yang cepat sekali. Waktu itu laut tengah tenang tidak
bergelombang, tetapi tubuh Yo Him sebentar melompat ke atas permukaan laut, dan
sebentar pula menyelam lenyap, kemudian timbul lagi melompat tinggi keluar dari
permukaan air laut. Dengan sendirinya keadaan seperti ini telah membuat Kwee
Siang dan Phang Kui In jadi heran sekali.
Setiap kali melompat tinggi
dari permukaan air laut, kedua tangan Yo Him bergerak-gerak seperti orang yang
tengah bersilat, tentu saja telah membuat Phang Kui In dan Kwee Siang memandang
takjub. Walaupun bagaimana mereka tidak mengerti, mengapa Yo Him bisa timbul
tenggelam dengan gerakan-gerakan yang begitu lincah, bagai dia sedang
melompat-lompat di atas tanah datar.
Mengapa Yo Him, yang tidak
bisa berenang bisa tidak tenggelam?
Sesungguhnya ada
sebab-sebabnya. Karena seluruh jalan darah di tubuhnya telah dibuka oleh Kwee
Siang dan juga jalan darah ban-liong-hiatnya telah dibuka juga, dengan
sendirinya tubuhnya itu jadi memantulkan uap panas, yang menguap dalam tekanan
udara yang halus setelah lewatnya duapuluh empat jam dia berada dalam keadaan
pingsan. Maka dari itu waktu dia menceburkan diri ke laut, justru tekanan dari
tenaga menguap itu membuat tubuhnya jadi terpental ke atas pula menurut bobot
dan berat jatuhnya tubuh Yo Him.
Seperti di bagian atas telah
dijelaskan, jika sekarang Yo Him belum bisa mengendalikan dan menguasai tenaga
murninya maka dengan dibuka seluruh jalan darahnya itu, dia hanya bisa menolak
serangan tenaga lawannya, dimana lawannya menyerang satu tail beratnya, maka
tenaga menolaknya sebesar satu tail juga. Begitu lawannya menyerang sepuluh
kati, maka akan sepuluh kati pula tenaga menolak yang meluncur keluar dari
tubuh Yo Him.
Kini dia telah melompat ke
dalam laut, air laut merupakan benda cair yang padat, begitu tubuhnya melayang
turun, dengan bobot tubuhnya ditambah berat meluncurnya tubuh itu, maka begitu
menyentuh permukaan air laut, seketika dari tubuhnya segera muncul hawa menolak
yang sama berat dan kuatnya dengan tenaga membentur tubuh Yo Him dengan
permukaan air laut. Sehingga dia telah terpental ke atas lagi. Begitu jatuh,
begitu tertolak lagi ke atas. Maka keadaan seperti itu berlangsung terus,
dimana Yo Him masih dikuasai oleh alam di bawah sadarnya.
Sedangkan saat itu, tampak
tubuh Yo Him berulang kali melambung ke atas. Dan selanjutnya yang membuat
Phang Kui In dan juga Kwee Siang jadi kagum luar biasa, karena mereka
menyaksikan Yo Him berjalan hilir mudik di permukaan air laut berlari-lari
seperti juga dia tidak memiliki berat dan bobot tubuh, dari jauh dia seperti
sedang berlari-lari di atas permukaan tanah!
Itulah pemandangan yang menakjubkan
sekali!
Sesungguhnya karena Yo Him
dalam keadaan pingsan dan belum sadarkan diri, setiap gerakan yang dilakukannya
itu dikuasai oleh alam di bawah sadarnya, dan juga gerakan tubuhnya itu
menyebabkan seluruh otot dan jalan darah yang telah dibuka bekerja dengan
sendirinya, karena memang Yo Him belum bisa mengendalikannya dan baru bisa
membiarkan kekuatan murni di tubuhnya bekerja sekehendaknya menurut tekanan
dari luar.
Waktu itu Yo Him telah
berlari-lari di atas permukaan air laut karena dia tengah berada di bawah alam
sadarnya, sehingga dia mengira seperti tengah berlari di tanah datar.
Setiap gerakan telapak
tangannya memiliki tenaga menekan, maka tenaga menekan itu menerima reaksi pula
dari tendangan tenaga yang memantul dari kekuatan yang muncul dari kedua
telapak kakinya itu membuat tubuhnya tetap berada di atas permukaan air laut
itu, karena terdorong kembali oleh kekuatan tenaga membalik dari sumber tenaga
murninya dari bawah telapak kakinya.
Begitu dia melangkah begitu
dia menerima tenaga menolak, maka sebab itulah dia bisa melangkah terus tanpa
kakinya tenggelam ke dalam air laut.
Kwee Siang dan Phang Kui In
jadi tidak mempercayai apa yang mereka lihat itu, keduanya sampai menahan napas
sesaat lamanya. Mereka sendiri tidak mungkin bisa melakukan apa yang dilakukan
oleh Yo Him.
Saat itu Yo Him telah
berlari-lari sejenak lamanya, tetapi akhirnya dia telah berhenti berlari karena
berangsur-angsur alam sadarnya telah pulih, dan dia melihat bahwa dirinya
berada di tengah-tengah air laut. Namun di saat itu karena dia tidak melakukan
suatu gerakan apa-apa, kedua kakinya berdiam saja, maka bobot badannya itu
telah menekan ke bawah tertarik oleh gaya tarik bumi, yang bersumber dari dalam
laut, maka tubuh Yo Him jadi tenggelam!
18.36. Undangan Bajak Laut
Tiauw-pang
Yo Him yang baru tersadar dari
pingsannya jadi terkejut bukan main, dia sampai mengeluarkan suara seruan kaget
dan telah berulang kali mengeluarkan suara teriakan meminta tolong, kedua
tangannya telah bergerak-gerak, begitu juga dengan kedua kakinya. Dari kedua
telapak kakinya dan tangannya meluncur pula kekuatan otomatis dari setiap otot
dan jalan darah di tubuhnya, tubuh Yo Him terpental pula.
Hal itu berlangsung beberapa
kali, membuat Yo Him gugup luar biasa, dan saat itu Phang Kui In telah bergerak
cepat sekali, dia telah mengayuh perahunya untuk menghampiri Yo Him. Begitu
juga Kwee Siang menjadi bingung, dia telah membantu mengayuh perahu dengan
cepat menghampiri tempat dimana Yo Him tengah melompat-lompat di air laut
dengan cara yang aneh itu.
Waktu perahu telah menghampiri
dekat, justru di saat itu tubuh Yo Him sedang melambung ke tengah udara, dan
jatuh tepat di dalam perahu!. Maka dengan cepat sekali Kwee Siang telah
melompat lari menangkap tubuh Yo Him. Seketika Yo Him lemas dalam rangkulan
Kwee Siang, tenaganya habis dan dia telah rebah tertidur nyenyak sekali.
Phang Kui In menatap Yo Him
dengan muka yang pucat dan berkuatir sekali.
„Apakah tidak akan terjadi
sesuatu apapun juga terhadap dirinya?” tanya Phang Kui In kepada Kwee Siang,
suaranya mengandung kekuatiran.
„Tidak!” menyahuti Kwee Siang.
„Tadi kita telah menyaksikan betapa dia telah memiliki semacam ilmu yang luar
biasa sekali!”
Lalu mereka telah menunggui
dengan penuh perhatian, dan perahu telah berlayar terus.
Selama duapuluh empat jam lagi
Yo Him tertidur, sampai akhirnya setelah lewat sehari semalam lagi, dia baru
tersadar dari tidurnya. Seluruh tulang-tulang di badannya terasa sakit ngilu
dan dia merintih perlahan.
„Kau tidak apa-apa, adik
Him..... Besok lusa kesehatan tubuhmu akan pulih sebagaimana biasa, bahkan akan
lebih hebat lagi, karena kini engkau telah memiliki semacam kekuatan lweekang
yang benar-benar luar biasa,” hibur Kwee Siang.
„Ya, engkau benar-benar hebat,
Him-jie!” Phang Kui In ikut menghiburnya.
Yo Him mengangguk perlahan
sambil tersenyum lemah, dia letih bukan main.
Kemudian Kwee Siang telah
memasakkan bubur untuk Yo Him, yang memakannya dengan lahap.
Begitulah, hari demi hari
telah lewat dan mereka lalui dengan cepat dalam pelayaran tersebut. Tiga hari
kemudian, kekuatan dan kesehatan Yo Him telah pulih. Dia telah bisa berjalan
dan berdiri di tepi perahu untuk menangkapi ikan-ikan yang berada di tepi
perahu tersebut.
Luar biasa cara Yo Him
menangkap ikan itu. Karena dengan mempergunakan telapak tangannya, yang
dihantamkan ke permukaan air laut, dimana kebetulan seekor ikan dilihatnya
lewat, maka ikan itu akan menggelepar dan bukannya tenggelam, justru melompat
seperti juga terhisap ke telapak tangan Yo Him, sehingga puluhan ekor ikan telah
ditangkap Yo Him untuk teman lauk makan mereka.
Yo Him menyadari juga, bahwa
di dirinya kini telah terpendam semacam ilmu lweekang yang luar biasa, dia
berterima kasih sekali kepada Kwee Siang.
Kwee Siang dan Phang Kui In
juga menjadi girang, mereka melihat bahwa Yo Him telah memiliki kekuatan
lweekang yang dahsyat sekali. Mungkin kekuatan dan kemujijatan yang dimiliki Yo
Him berada di atasnya, dan juga merupakan suatu kepandaian yang sangat langka
sekali. Sayangnya Yo Him belum memiliki latihan yang sempurna, sehingga belum
bisa memanfaatkan hebatnya tenaga dalam itu, yang belum bisa dikendalikan dan
dipergunakan sepenuh hatinya.
Di saat itu tampak Yo Him
telah bercakap-cakap dengan Kwee Siang asyik sekali, karena dia menganggap
encie Siangnya ini sangat baik sekali. Bahkan tenaga dalam yang hebat dan
sekarang dimilikinya itu berasal dari encie Siang nya tersebut.
Phang Kui In selalu memuji
bahwa Yo Him memiliki kepandaian yang hebat dan calon pendekar yang dahsyat,
kalau saja dia kelak telah bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap dan sang ayah itu
akan membimbingnya.
Yo Him jadi girang sekali, dia
juga berjanji berulang kali dihadapan Kwee Siang dan Phang Kui In, jika memang
dia bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tentu kepandaiannya itu akan dipergunakan
untuk menolongi orang-orang yang tertindas dan lemah, bahkan dia pun ingin
menyumbangkan tenaganya untuk membantu pemerintah Song mempertahankan negeri
dengan para pencinta negeri lainnya, untuk mengusir ancaman serbuan tentara
Mongolia yang dipimpin Kublai Khan.
„Engkau masih terlalu kecil,
Him-jie.....!” kata Phang Kui In. „Walaupun kepandaianmu hebat, engkau belum
bisa berpikir terlampau jauh mengenai kekotoran dunia persilatan dan juga dalam
soal peperangan antara negara. Maka yang terpenting engkau baik-baiklah melatih
diri, jika kelak telah bertemu dengan ayahmu, engkau harus tekun mempelajari
setiap ilmu silat yang diturunkannya. Kelak jika engkau telah dewasa, tentu
engkau akan dapat melakukan banyak perbuatan mulia.....!”
„Terima kasih paman Phang, ini
semua berkat bimbingan paman Phang dan juga encie Siang. Jika tidak ada encie
Siang, tentu akupun tidak akan memiliki kepandaian lweekang seperti sekarang.”
Mendengar Yo Him mengucapkan
kata-kata merendah seperti itu, Kwee Siang telah tertawa.
„Adik Him, walaupun aku
menurunkan seluruh kepandaianku, tetapi jika kuturunkan kepada manusia umumnya
yang biasa saja tidak memiliki suatu kelainan dan kemujijatan di tubuhnya
seperti yang engkau miliki, walaupun aku mendidiknya sepuluh tahun, belum tentu
bisa memperoleh hasil seperti yang sekarang engkau peroleh! Maka dari itu aku
girang sekali, tidak sia-sia aku mendidikmu hanya dalam beberapa hari saja
ternyata engkau telah dapat melatih diri dengan sempurna, yang kurang hanyalah
tenaga dalam yang harus dilatih pula, agar bisa kau kuasai dan kendalikan
sekehendak hatimu. Dengan demikian tentunya engkau akan menjadi seorang
pendekar muda yang sulit dicari tandingannya! Terlebih lagi jika kelak engkau
telah bertemu dengan ayahmu memperoleh petunjuk-petunjuk dan latihan-latihan di
bawah bimbingannya, tentu engkau akan memperoleh kemajuan yang pesat sekali,
karena ayahmu dimasa ini merupakan seorang pendekar nomor wahid!”
Yo Him menjadi girang,
berulang kali dia mengucapkan terima kasihnya.
Di saat itu perahu terus juga
meluncur mengarungi samudera. Dan selama berhari-hari mereka melakukan
pelayaran.
◄Y►
Setelah melakukan perjalanan
air selama setengah bulan, tengah hari itu mereka singgah di pelabuhan yang
terdapat di pinggir kota Bun-hian-kwan. Sebuah kota yang cukup besar, dan jika
melakukan perjalanan darat dari kota tersebut ke Kun-lun-san tentu memakan
waktu setengah bulan lagi, maka Phang Kui In memutuskan untuk melakukan
pelayaran dengan perahu saja dulu. Nanti setelah tiba di pelabuhan kota Kiang-yang-kwan
barulah mereka akan melakukan perjalanan darat. Dari kota Kiang-yang-kwan hanya
dua hari untuk mencapai Kun-lun-san. Maka dengan cepat sekali mereka telah
melakukan pelayaran tanpa singgah di kota Bun-hian-kwan.
Tetapi waktu mereka melakukan
pelayaran selama dua hari, di saat itulah mereka menghadapi suatu urusan yang
memaksa mereka barus menghadapi persoalan yang cukup rumit.
Waktu itu langit cerah, air
laut tampak tenang saja, dan juga burung-burung camar tampak berterbangan di
dekat perahu mereka. Dengan adanya burung-burung camar itu, maka Phang Kui In
memberitahukan Kwee Siang dan Yo Him, bahwa mereka berada di perairan yang
dekat dengan daratan.
Belum lagi Phang Kui In
selesai menceritakan sesuatu yang lainnya, telah terlihat di kejauhan dua buah
titik hitam, yang semakin lama semakin membesar menghampiri mereka.
„Dua buah kapal berukuran
besar!” kata Phang Kui In dengan suara terkejut setelah memperhatikan kedua
titik hitam itu yang semakin besar. „Kita harus cepat-cepat menyingkir karena
air laut yang akan bergelombang hebat membahayakan perahu kita. Kedua kapal itu
tampaknya berukuran besar!” maka Phang Kui In telah mengayuh perahunya agak
menjauh, di saat itu terlihat kedua kapal yang berukuran sangat besar itu
mendatangi semakin dekat.
Dalam keadaan demikian, Phang
Kui In berusaha mengayuh perahunya lebih kuat dengan pengerahan tenaga
lweekangnya, sehingga perahunya itu melesat di atas permukaan air laut.
Kwee Siang juga telah
membantui mengayuh, tetapi kedua kapal berukuran besar itu dengan cepat telah
mendatangi, sehingga menimbulkan air laut yang bergelombang keras.
Walaupun Phang Kui In berusaha
menjauhi perahunya dari jalur lintas kedua kapal itu, namun kedua kapal
berukuran besar itu terus mengejar mereka.
Di puncak tiang dari
kapal-kapal itu, tampak terpasang masing-masing sehelai bendera berwarna merah,
di tengah-tengahnya terdapat gambar burung rajawali yang sedang mementang
sayap, dan tertulis satu huruf tiauw (rajawali).
„Celaka!” berseru Phang Kui In
waktu melihat bendera itu dengan jelas. „Mereka merupakan rombongan dari
perkumpulan Tiauw-pang..... Perkumpulan rajawali, yang memiliki ribuan anak
buah dan biasanya mengganas di lautan, merajai lautan, setiap kapal pedagang
akan dirampoknya. Mereka juga memiliki banyak anak buah yang memiliki
kepandaian yang tinggi, sebab banyak orang-orang gagah dari kalangan liok-lim
(rimba hijau, perampok) di daratan Tiong-goan, yang menghamba diri kepada
perkumpulan Tiauw-pang itu. Tetapi selama ini perkumpulan itu tetap menjadi
perkumpulan rahasia yang tidak diketahui jelas dimana markasnya, merupakan
suatu teka-teki dan bayangan maut bagi para pedagang, sedangkan pihak
pemerintah juga tidak berdaya untuk memberantas mereka, karena tidak mengetahui
jelas markas mereka!”
Waktu menjelaskan begitu, muka
Phang Kui In agak pucat, tampaknya dia tengah diliputi perasaan takut,
berkuatir dan gelisah.
Kwee Siang jadi heran, begitu
juga dengan Yo Him, waktu melihat Phang Kui In seperti ketakutan, karena mereka
mengetahui bahwa Phang Kui In memiliki kepandaian yang cukup tinggi, walaupun
tidak setinggi kepandaian Kwee Siang. Apa lagi sekarang dia sedang didampingi
Kwee Siang, yang kepandaiannya hebat sekali dan jarang bisa dihadapi oleh
jago-jago biasa saja, maka walaupun pihak Tiauw-pang itu memiliki banyak anak
buah, tetapi belum tentu rombongan perampok itu bisa merubuhkan mereka.
Phang Kui In telah berteriak
nyaring kepada Kwee Siang: „Cepat! Cepat! Kita harus menyingkir dari mereka!”
Melihat kekuatiran dan
kegelisahan didiri Phang Kui In, Kwee Siang jadi tidak banyak bertanya, dia
telah bantu mengayuh perahu mereka itu.
Tetapi perahu Phang Kui In
telah disilang oleh kedua kapal tersebut, sehingga perahu mereka tidak bisa
melarikan diri lebih jauh untuk lolos dari kepungan itu, karena air laut yang
bergelombang besar akibat terjangan kapal-kapal-besar itu, membuat Phang Kui In
dan Kwee Siang sulit mengendalikan perahunya.
Waktu kapal besar yang satunya
hampir dekat dengan perahu Phang Kui In, tahu-tahu dari atas kapal itu telah
menyambar datang semacam benda bulat putih. Menyambar dengan kuat dan cepat
sekali, sampai memperdengarkan suara „unggg.....!”.
Kwee Siang melihat
menyambarnya benda putih itu, yang berukuran sebesar kepala manusia, telah
mengulurkan tangannya, dia menyambutinya.
„Tapp!” Kwee Siang berhasil
menyambuti benda itu, tetapi begitu dia melihat barang yang sudah ada di
tangannya, Kwee Siang mengeluarkan suara jeritan ngeri dan melepaskannya benda
putih itu jatuh ke lantai perahu, menggelinding mengeluarkan suara „kelutuk, kelutuk,
kelutuk”.
Phang Kui In terkejut bukan
main, begitu juga Yo Him, karena mereka kuatir kalau-kalau Kwee Siang telah
menyambuti benda beracun.
Tetapi waktu mereka menegasi
benda putih yang telah menggeletak di atas lantai perahu, kembali mereka jadi
terkejut lagi, karena setelah terlihat jelas ternyata benda itu adalah sebuah
tengkorak kepala manusia yang tulangnya berwarna putih, sedang menggeletak
menyeringai.
Pantas saja waktu Kwee Siang
melihat benda itu dia telah mengeluarkan suara jeritan kaget dan telah
melemparkan kembali benda yang telah berhasil ditangkapnya.
Phang Kui In menghampiri
tengkorak kepala manusia itu, dia melihatnya di atas kening dari tengkorak yang
licin putih itu terdapat tulisan berwarna hitam:
„Kalian kami undang kekapal
kami untuk dijamu, jangan menolak, karena kematian mengejar kalian. Menerima
undangan, kebahagiaan menunggu!”
Phang Kui In menghela napas
panjang, dia telah memperlihatkan tulisan itu kepada Kwee Siang, dan juga telah
melirik ke arah kepala kapal itu, dimana tampak barisan orang-orang bertubuh
tinggi besar dengan muka yang bengis tengah mengawasi ke arah mereka.
Kwee Siang telah membaca
‘surat undangan’ itu, dan akhirnya dia menggumam perlahan: „Aneh sekali cara
orang-orang Tiauw-pang ini memberikan undangan!”
„Ya, lebih aneh lagi nanti
sikap mereka, kita masih belum tentu bisa lolos dari kematian di tangan
mereka!” menggumam Phang Kui In dengan suara yang perlahan. „Tetapi tidak ada
jalan lain lagi, biarlah kita memenuhi undangan mereka! Yang aneh sekali, mengapa
mereka mengincar kita, sedang kita hanya memakai perahu kecil, yang tentunya
tidak seharusnya mereka mengetahui bahwa kita orang-orang persilatan!”
“Biarlah kita lihat saja,”
kata Kwee Siang yang jadi tertarik hatinya girang sekali.
Seperti diketahui, jika
kakeknya Oey Yok Su adalah si tua sesat, justru Kwee Siang merupakan Siauw-sia,
si sesat muda. Maka dari itu jika dia menghadapi suatu urusan yang aneh tentu
hatinya sangat tertarik sekali dan diapun akan memperoleh kegembiraan, sebab
jiwanya disamping berani sekali dan tabah juga senang akan urusan-urusan yang
sangat aneh.
Saat itu Phang Kui In telah
memusatkan tenaga dalamnya yang disalurkan ke dalam suaranya, dia telah berkata
dengan suara yang nyaring.
„Baiklah! Undangan kami
terima!”
Terdengar suara tertawa
bergelak-gelak yang nyaring dan menusuk telinga, sehingga mengejutkan Kwee
Siang dan Phang Kui In maupun Yo Him. Karena suara tertawa itu terdengar jelas,
walaupun jarak mereka terpisah jauh, dan suara itu mengalun panjang bagaikan tidak
terputus-putus.
Setelah suara itu merendah,
maka terdengar perkataan seseorang dari arah kapal itu!
„Sungguh sikap seorang gagah
dan seorang ho-han sejati.....! Sungguh harus dipuji! Sungguh harus dipuji!”
Dan setelah berkata begitu,
tampak dari arah kapal itu diturunkan sebuah tali yang besar. Namun hanya
sehelai saja, dan tidak memiliki kaitan lainnya, bukan tali tangga yang biasa
dipergunakan oleh kapal-kapal besar umumnya.
„Bisakah kalian mempergunakan
tali jalur ini untuk datang berkunjung kemari?” mengejek sekali suara
pertanyaan itu.
Phang Kui In jadi mendongkol,
begitu juga Kwee Siang.
„Kita terima undangan itu!”
kata Kwee Siang perlahan. „adik Him biar kugendong.....!”
Phang Kui In bimbang sejenak,
karena yang dipikirkan adalah Yo Him.
Tetapi akhirnya hatinya jadi
tetap juga, dia telah berteriak pula dengan disertai lweekangnya, „Kami
menerima undangan ini..... Dan kami sudah berterima kasih atas tangga istimewa
yang kalian berikan!”
Dan Kwee Siang telah
perintahkan Yo Him menggemblok di punggungnya, dia menghampiri tepian perahu,
mencekal ujung tambang yang berukuran besar itu.
„Pegang leherku kuat-kuat,
adik Him!” pesan Kwee Siang, kemudian dengan suara nyaring dia telah berteriak:
„Ya, kalian boleh angkat!”
Tetapi tambang itu bukan
dikerek naik, melainkan digentak dengan keras dari atas perahu. Gentakan itu
dilakukan oleh seorang bertubuh gemuk pendek, mukanya empat persegi, dia
menghentak sambil menyeringai menyeramkan.
Tentu saja karena dihentak
begitu, tubuh Kwee Siang jadi terhentak naik. Untung saja Kwee Siang telah
memiliki kepandaian meringankan tubuh yang sempurna, waktu tubuhnya tertarik
dengan gentakan begitu, kedua kakinya telah membantu menjejak lantai perahu,
tubuhnya melayang naik ke atas seperti terbang, dan dengan dua kali
berjumpalitan, kemudian mempergunakan ujung kakinya menotok ujung tambang yang
dicekalnya, tubuhnya melompat lebih tinggi dan hinggap di ujung kepala kapal
itu!
„Bagus! Bagus!” berseru
beberapa orang yang berada dikepala kapal itu, sedangkan tambang itu telah
diturunkan kembali.
Phang Kui In yang telah
menyaksikan bahwa tambang tidak akan dikerek, tetapi akan digentak keras oleh
si gemuk pendek itu, telah bersiap-siap. Begitu dia mencekal keras tambang itu,
dia menunggu sampai tali itu digentak. Dan benar saja, tambang itu telah
dihentak keras, tubuh Phang Kui In seperti ditarik keras sekali, tambang
melayang ke tengah udara, karena tambang itu dihentak dengan disertai kekuatan
tenaga dalam yang telah sempurna.
Tubuh Phang Kui In telah
melambung ke tengah udara, tetapi Phang Kui In bergerak cepat sekali, dia telah
mempergunakan kekuatan di tangannya untuk menarik tambang itu, sehingga tali
itu menegang dan di saat itulah dengan meminjam tenaga tarikan itu, tubuh Phang
Kui In telah meluncur ke arah kepala kapal itu, dan dia hinggap tepat di sisi
Kwee Siang dan Yo Him.
„Bagus!” berseru si gemuk
pendek sambil tertawa menyeringai, tetapi sikapnya itu mengejek dan meremehkan
sekali. Dia telah melemparkan, tambang itu kepada salah seorang anak buahnya di
sisi kanannya, katanya kemudian: „Tidak percuma kami mengundang kalian, karena
memang kalian memiliki kepandaian yang lumayan! Mari! Mari kita menemui pangcu
kami!”
Phang Kui In dan Kwee Siang
jadi berdebar, sedangkan Yo Him jadi berkuatir. Si gemuk ini ternyata hanya
orang bawahan belaka, tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian tinggi.
Bagaimana kelak kepandaian pangcunya, jika dia memamerkan kepandaiannya, mereka
masih menduga-duganya.
Di saat itulah Phang Kui In
telah mengangguk.
„Terima kasih atas undangan
ini, kalau boleh kami tahu, siapakah nama besar dari kiesu?” tanya Phang Kui
In.
„Aku Bun Tiong Yang, hanya
pengawal kapal utama belaka..... jika hendak bicara nanti di dalam, karena aku
hanya memiliki wewenang mengundang tamu dan mengantarkan kepada
pemimpin-pemimpin kami.....!”
Phang Kui In dan Kwee Siang
tambah terkejut. Sebagai pengawal kapal utama, ternyata kedudukan si pendek
gemuk ini tidak terlalu tinggi, merupakan pangkat dan kedudukan yang biasa
saja. Namun tenaga dan kepandaiannya begitu hebat, maka membuktikan bahwa
Tiauw-pang merupakan perkumpulan yang hebat sekali, karena entah berapa banyak
orang pandai yang mereka miliki.
Kemudian si gemuk pendek telah
memimpin Phang Kui In dan Kwee Siang untuk masuk ke dalam kamar kapal yang
berukuran luas. Waktu mereka akan melangkah masuk melewati pintu segi empat,
tampak seorang anak buah Tiauw-pang yang memakai baju warna merah telah memukul
tambur, keras sekali bunyi tambur itu. Begitu bunyi tambur ber¬henti, terdengar
suara seorang anak buah lainnya berteriak nyaring:
„Tamu telah hadir.....!”
Semula Phang Kui In bertiga
menduga di ruangan dalam kamar kapal itu telah menanti pangcu dari perkumpulan
tersebut, lengkap berikut pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi begitu mereka
melangkah masuk, mereka jadi heran, mereka hanya melihat ruangan kosong yang
luas sekali dan penuh dengan meja dan kursi yang teratur rapih.
„Silahkan duduk! Silahkan
duduk! Pangcu kami sebentar lagi akan datang!”
Phang Kui In dan Kwee Siang
maupun Yo Him bertiga duduk dengan hati menduga-duga, karena mereka tidak
mengetahui apa yang dikehendaki oleh orang-orang Tiauw-pang terhadap mereka.
Dengan dikerahkannya sampai dua kapal besar dengan lengkap pula jago-jagonya dan
juga pangcu dari perkumpulan itu hadir di kapal ini, membuktikan bahwa
Tiauw-pang mengandung maksud yang penting terhadap mereka.
„Kapal ini merupakan milik
Tiauw-pang,” menjelaskan si gemuk pendek sebelum berlalu. „Kalian tidak perlu
kuatir akan perahu dan barang-barangmu, karena ada sebutir beras kalian yang
lenyap atau berkurang, maka kapal ini akan dipergunakan sebagai penggantinya!
Kami akan merawat dan menjagai perahu kalian maka kalian tidak perlu
memikirkannya.
„Terima kasih.....!” kata
Phang Kui In dengan mendongkol, dia telah mengangguk dan tidak mengeluarkan
banyak komentar apa-apa lagi.
Ruangan besar itu telah sunyi
dan tidak terlihat seorang manusiapun juga, karena si gemuk pendek dengan anak
buahnya telah keluar meninggalkan mereka, pintu keluar juga telah ditutup
kembali. Mendengar dari suara besi yang saling bentur, maka Phang Kui In yang
telah berpengalaman segera mengetahui bahwa pintu kapal itu telah dikunci dari
luar.
Tetapi Phang Kui In telah
bertekad, untuk menghadapi segala apapun juga yang terjadi. Karena untuk
meloloskan diri lebih sukar dari berdiam diri, dia bermaksud akan mempergunakan
akal guna meloloskan diri dari orang-orang Tiauw-pang ini.
Tiba-tiba kesunyian itu telah
dipecahkan oleh suara tambur, disusul oleh suara yang berteriak nyaring,
„Para sian-lie pangcu akan
keluar.....!”
Benar saja waktu tirai merah
dari sudut ruang sebelah kanan tersingkap, telah melangkah duabelas gadis
cantik bertubuh semampai elok sekali yang melangkah masuk ke ruangan. Kemudian
mereka membagi diri menjadi dua barisan, yaitu barisan sebelah kiri kursi enam
orang, di sebelah kanan enam orang, lalu mereka membentuk barisan yang sangat
rapi sekali. Semuanya berdiam diri dan mereka memakai pakaian berwarna putih,
sehingga benar-benar menyerupai seperti bidadari, karena wajah merekapun cantik
cemerlang.
Suara tambur lenyap dan
keadaan sunyi lagi, keduabelas wanita yang disebut sebagai ‘sian-lie’ dari
pangcu Tiauw-pang itu telah berdiam diri saja.
Phang Kui In telah memandangi
rombongan wanita itu, sebagai seorang yang berpengalaman, dia bisa melihat
keduabelas wanita itu juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi, karena mata
mereka semuanya memancarkan sinar yang sangat tajam sekali.
Saat itu terdengar suara
tambur telah dipukul lagi beruntun. Kemudian disusul dengan suara teriakan:
„Wakil pangcu akan hadir!”
Dengan suara tambur itu
semakin keras dan beruntun, tampak tirai telah terbuka dan seorang lelaki
berwajah kurus pucat dengan pakaian yang sangat kebesaran ukurannya, telah
melangkah masuk. Tetapi dilihat dari sikapnya, dia angkuh sekali. Sama sekali
dia tidak melirik kepada Phang Kui In bertiga, hanya duduk di tempatnya,
disamping kursi utama.
Salah seorang wanita
‘sian-lie’ itu telah menarikkan kursinya dengan sikap yang hormat sekali.
Sedangkan wakil dari pangcu itu telah duduk diam dengan muka yang dingin tanpa
mengucapkan sepatah kata menegur tamu-tamunya.
Kemudian tambur telah
terdengar lagi dengan suara yang bertalu-talu, disertai suara teriakan:
„Pasukan pengawal pangcu akan datang!”
Dan di saat itulah tampak
duapuluh orang lelaki berpakaian seragam telah mema-suki ruangan kamar itu.
Lalu dua orang diantara dari keduapuluh pengawal itu telah menghampiri wakil
pangcu, dengan berlutut mereka memberikan laporan, „Kami duapuluh pengawal
ruangan telah hadir!”
Wakil pangcu itu hanya
mengangguk dan mengibaskan tangannya.
Kedua orang itu telah
mengundurkan diri, mereka kemudian berkata, „Ke tempat masing-masing!” Maka
keduapuluh orang pengawal ruangan itu telah memecah diri, kesebelah kiri
sepuluh orang, termasuk salah seorang dari kedua orang yang tadi melapor kepada
wakil pangcu, sedangkan yang sepuluh orang lagi telah berbaris di sebelah
kanan. Mereka berbaris dengan rapi dan agung sekali, karena itu kelihatannya
mereka angker bukan main, di pinggang masing-masing tersoren sebatang golok.
Tentu saja Phang Kui In dan
Kwee Siang jadi kagum juga, tampaknya pangcu dari perkumpulan ini mengatur
peraturannya dengan disiplin yang keras, sehingga untuk kehadiran seorang
pangcu dari perkumpulan Tiauw-pang saja, sama seperti menanti hadirnya seorang
kaisar.
Sedangkan Yo Him yang belum
begitu mengerti keadaan dalam rimba persilatan, yang memiliki banyak sekali
keanehan dan peristiwa-peristiwa yang berada di luar dugaan, telah memandang
bengong saja.
Tiba-tiba terdengar tambur
telah dipukul pula dengan suara yang sangat nyaring:
„Pangcu akan hadir, semuanya
berdiri dan memberi hormat.....!”
Wakil pangcu telah berdiri,
begitu juga semua yang hadir berdiri dengan sikap menghormat, seperti menantikan
kedatangan seorang kaisar.
Phang Kui In, Kwee Siang dan
Yo Him tetap duduk di tempatnya.
Kepala pasukan pengawal
ruangan yang di sebelah kanan telah menghampiri: „Kami meminta untuk berlaku
hormat jika kalian ingin dihormati!” katanya dingin.
Phang Kui In yang tidak ingin
mencari keributan, telah mengajak Kwee Siang dan Yo Him untuk berdiri. Kemudian
mereka mengawasi ke balik tirai itu.
Tetapi di saat suara tambur
masih terdengar terus menerus tirai itu tidak terbuka atau tersingkap.
Cukup lama, akhirnya papan
lantai dari kamar kapal itu bergerak sebagian, kemudian menjeblak terbuka, maka
tampak serombongan orang yang melangkah keluar.
Jalan di muka adalah seorang
anak lelaki berusia duabelas atau tigabelas tahun dengan sikap yang agung, dengan
kopiah kebesaran di kepalanya, dan jalannya itu angkuh sekali, matanya juga
menatap lurus ke depan ti¬dak melirik kepada ketiga tamunya. Di belakangnya
mengikuti belasan orang dan mereka semua berpakaian sebagai ahli-ahli silat
yang merupakan golongan kelas utama.
Di saat itu, pangcu itu yang
ternyata anak kecil berusia diantara tigabelas tahun itu telah duduk di kursi
utama, dia telah memukul meja di hadapannya dengan sikap sebagai kaisar cilik
saja.
„Semua kembali ke tempatnya
masing-masing!” itulah merupakan perintah, karena wakil pangcu telah duduk
kembali. Sedangkan pasukan pengawal ruangan juga telah berdiri biasa lagi,
tidak setegak tadi, walaupun sikap mereka tampak tetap menghormat sekali.
Phang Kui In, Kwee Siang dan
Yo Him juga telah duduk kembali.
Hanya yang membuat mereka jadi
bengong tertegun, justru pangcu perkumpulan Tiauw-pang yang dihormati oleh
semua anak buahnya, bahkan nama pangcu itu ‘menggentarkan’ hati orang-orang
persilatan, hanya merupakan seorang anak kecil belasan tahun.
Pangcu cilik itu telah
mengawasi ‘ketiga tamu’nya dengan sorot mata yang jeli dan terbuka lebar-lebar.
Dia mengawasi tanpa berkata apa-apa. Kemudian dia menunjuk ke arah Phang Kui
In, dia telah melambaikan tangannya.
„Kemari kau!!” suaranya
perlahan, tetapi entah mengapa memiliki kekuatan seperti memerintah, sehingga
Phang Kui In yang memiliki banyak pengalaman di dalam rimba persilatan, entah
mengapa kali ini telah menuruti saja perintah itu, walaupun hatinya tidak rela
dipanggil secara begitu oleh seorang anak lelaki sebesar pangcu Tiauw-pang itu.
Phang Kui In telah bangkit
berdiri, dia telah menghampiri ke dekat meja pangcu itu.
„Siapa namamu?”
„Phang Kui In,” menyahuti
Phang Kui In ragu-ragu.
„Apa gelaranmu?” dingin suara
pangcu itu.
„Tidak ada.....”
„Hemm, orang she Phang, engkau
bukan orang yang sedang kucari!” kata pangcu itu „Kembalilah kekursimu, nanti
kau boleh pergi meneruskan perjalananmu!”
Phang Kui In girang, rupanya
pangcu ini bersama orang-orangnya tengah mencari seseorang. Jadi tidak ada
persoalan apa-apa. Tetapi waktu dia teringat akan Kwee Siang dan Yo Him, dia
jadi berkuatir, jika Kwee Siang ditanyai pangcu itu dan bicara sejujurnya
puteri dari Kwee Ceng dan Oey Yong, bisa memancing urusan baru pula. Bukankah
mereka belum mengetahui sesungguhnya pangcu dari Tiauw-pang ini termasuk
golongan mana? Begitu juga dengan Yo Him..... jika dia mengatakan dia sebagai
puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, tentu bisa memancing persoalan baru pula.
Tetapi untuk membisiki kedua orang kawannya itu, Phang Kui In sudah tidak
memiliki kesempatan.
19.37. Keberutalan Siauw-shia,
si Sesat Muda.
„Mengapa engkau tidak segera
kembali ke kursimu?” Bentak pangcu kecil itu dengan suara yang dingin. „Aku
sudah tidak membutuhkanmu!”
Phang Kui In seperti baru tersadar
dari lamunannya, dia mengundurkan diri dan kembali duduk di kursinya.
Pangcu itu melambaikan
tangannya. Lagi dia memanggil Kwee Siang,
„Kemari kau!” suaranya juga
dingin, tidak bedanya seperti tadi dia memanggil Phang Kui In.
Kwee Siang terkenal sebagai
Siauw-sia, si sesat atau si aneh kecil, yang adatnya sangat aneh menyaingi Oey
Lo-sia, kakeknya. Jika seseorang memperlakukan dia dengan sikap yang baik,
tentu adat anehnya itu tidak akan timbul. Tetapi jika seseorang memperlakukan
dia dengan kasar dan sikap yang keras, maka di saat itulah adat anehnya akan
muncul! Pangcu dari Tiauw-pang memperlakukan dia dengan sikap seperti itu,
tentu saja telah membuat Kwee Siang jadi mendongkol, dan adatnya yang aneh juga
segera memperlihatkan ujudnya.
„Jika engkau ingin bicara,
bicaralah! Mengapa aku harus datang dekat-dekat ke tempatmu itu? Apakah kau
kira telingaku tuli atau memang suaramu yang seperti banci sehingga tidak bisa
bicara keras?”
„Derrrr.....!” darah Yo Him
dan Phang Kui In jadi mendesir kaget. Terlebih lagi Phang Kui In, semula dia
masih mengharapkan bahwa mereka bertiga bukan orang yang dicari pangcu cilik
itu, maka kemungkinan mereka dibebaskan. Tetapi dengan perkataannya yang keras
seperti itu, dimana Kwee Siang menuruti adatnya, bukankah urusan akan menjadi
runyam?
Saat itu muka semua anggota
Tiauw-pang telah berobah jadi menyeramkan memandang ke arah si gadis, termasuk
wakil pangcu itu telah menatap bengis. Tetapi pangcu kecil itu telah tertawa
kecil, mukanya tidak berobah, tetap dingin.
„Hebat! Hebat! Aku memang
memiliki suara yang kecil, dan mungkin juga telingamu tuli! Kuperintahkan
engkau maju kemari! Maju!”
Kwee Siang mana takut? Dia
telah tertawa dingin dan duduk seenaknya dengan sikap menantang.
„Jika aku tidak mau menuruti
perintahmu, apa yang bisa kalian lakukan terhadapku?” tanyanya dengan suara
menantang dan mengandung nada yang keras.
Muka pangcu itu kini agak
berobah, tetapi cepat sekali pulih sebagai mana biasa, kemudian dia telah
berkata: „Memang kami tidak bisa melakukan suatu apapun juga kepadamu, tetapi
engkau akan menyesal nona manis, engkau akan menyesali sikap-sikapmu itu! Maju
kemari!”
Di saat itu dua orang dari
pengawal ruangan telah mencabut golok mereka, dan keduanya telah menandelkan
golok mereka di punggung si gadis.
Kwee Siang jadi mendongkol
sekali. Dengan mengeluarkan seruan gusar, tahu-tahu tangan kanannya bergerak
cepat.
,,Wutt..... plakk, plakk!”
kedua orang pengawal ruangan tersebut telah berhasil dihajarnya dengan keras,
tubuh mereka telah terpental dan ambruk di tempat itu juga dengan mengeluarkan
suara rintihan.
Semua orang Tiauw-pang yang
hadir di ruang tersebut jadi terkejut, mereka kemudian menjadi marah.
Tetapi pangcu cilik itu telah
mengangkat tangannya, dia telah berkata: „Tahan!”
Dan perintah dari pangcu cilik
itu menyebabkan orang-orang Tiauw-pang tidak berani bergerak lebih jauh.
Pangcu dari Tiauw-pang itu
telah berkata lagi dengan suara yang dingin: „Aku memang mengetahui engkau
memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi tidak perlu engkau memamerkan
kepandaianmu itu dihadapanku. Lebih baik engkau maju kemari untuk mendengarkan
perintahku secara baik-baik..... karena jika tidak, engkau tentu akan
menyesal.”
Kwee Siang sebetulnya ingin
menghajar lagi dua orang anak buah Tiauw-pang yang mendekatinya, tetapi dia
membatalkan maksudnya, dia hanya tertawa bergelak-gelak mengejek.
„Terserah kepadamu! Engkau
yang ingin bertanya, bukan? Jika engkau tidak mau bertanya, aku pun tidak akan
menjawab, kedatanganku kemari karena ‘diundang’, bukan atas kehendak kami,
tetapi jika sebagai tamu kami diperlakukan tidak baik, tentunya kamipun bisa
membawa cara kami sendiri.” Tegas sekali perkataan Kwee Siang, dia telah
memperlihatkan sikap anehnya, adat ku-koay nya.
Pangcu cilik dari Tiauw-pang
telah mengerutkan alisnya, dia melihat sikap ku-koay dari Kwee Siang, jadi
mendongkol sekali. Tetapi walaupun usianya masih sekecil itu, tetapi anehnya
dia bisa mengendalikan kemarahan hatinya, bahkan dia telah tertawa ramah.
Jika yang lainnya tengah
memandang Kwee Siang dengan sorot mata yang sangat bengis, justru pangcu itu
telah berkata ramah:
„Baiklah! Jika engkau ingin
bicara dari tempat itupun tidak apa-apa, memang bicara sambil duduk kukira cara
yang paling baik! Sekarang jawablah pertanyaanku, siapa namamu? Maksudku she
dan nama apa yang diberikan oleh orang tuamu! Kuharap saja engkau tidak
berdusta.”
Kwee Siang tertawa dingin.
„Engkau menanyakan she dan
namaku, apakah engkau ingin melamarku kepada kedua orang tuaku untuk kau ambil
sebagai isterimu?” tegur Kwee Siang dengan mendongkol. Si gadis memang
merupakan Siauw-sia, dengan sendirinya dia bisa saja mengucapkan kata-kata yang
menyindir seperti itu.
Keruan saja pangcu itu jadi
berobah mukanya merah padam karena malu dan gusar sekali.
„Aku bukan sedang bergurau
denganmu! Ingatlah, bahwa engkau berada di atas kapal Tiauw-pang, sekali saja
aku acungkan tanganku, jiwamu sulit dilindungi lagi!” mengancam pangcu itu.
Semakin digertak begitu, sifat
ku-koay dari Kwee Siang jadi semakin muncul.
„Aha, lucu sekali! Jangan kata
baru berada di kapal Tiauw-pang, sedangkan berada di kapal dari istana rajapun
aku tidak takut.....! Engkau jangan membawa sikap seperti seorang kaisar,
potonganmu dan tubuhmu tidak ada potongan bangsawan, engkau lebih mirip jika
menjadi anaknya seorang pengangon kerbau!”
Inilah hebat. Kata-kata yang
diucapkan Kwee Siang sangat pedas sekali, dia mengejek terlampau tandas.
Tentu saja pangcu dari
Tiauw-pang jadi gusar sekali dengan mata yang memancarkan kebencian kepada Kwee
Siang dia telah bertanya dengan suara yang dingin:
„Siapa namamu?”
„Hemmm, aku tidak pernah
menyembunyikan she dan nama, tetapi terhadap manusia seperti engkau apa gunanya
dibicarakan soal nama dan she? Apakah keuntungannya untuk diriku?”
Pangcu cilik itu menjadi semakin
marah, dia telah menegur lagi: „Sekali lagi kuperingati, bahwa aku bukan sedang
bergurau denganmu! Katakan yang sebenarnya, siapa namamu?!”
„Sesungguhnya manusia seperti
engkau tidak pantas mendengar namaku, karena mungkin nanti engkau akan mati
disebabkan kaget! Tetapi baiklah! Jika aku tidak menyebutkan namaku, nanti
engkau menduga bahwa aku takut kepadamu! Aku she Kwee dan bernama Siang! Kau
sudah mendengar jelas? Aku Kwee Siang!”
Mendengar Kwee Siang
menyebutkan namanya, muka pangcu itu jadi berobah, dia telah tertegun sejenak,
begitu juga wakil pangcu itu yang duduk tertegun dan anak buahnya mengawasi
Kwee Siang dengan sorot mata yang tajam sekali.
„Pantas saja engkau sangat
keras kepala,” kata pangcu itu kemudian dengan suara yang perlahan „Rupanya
engkau puteri dari seorang pendekar nomor satu di jaman ini, yaitu Kwee Ceng,
dan si nenek cerewet Oey Yong! Bagus! Bagus. Memang dalam hal ini engkau
termasuk salah seorang yang tengah kucari!”
Muka Phang Kui In jadi berobah
hebat. Inilah bukan urusan main-main. Kalau sampai pangcu itu telah mengatakan
bahwa Kwee Siang merupakan salah seorang yang dicarinya tentu mereka akan
menghadapi kesulitan yang tidak kecil. Dengan sendirinya hal ini akan membawa
kesulitan untuk mereka bertiga.
Saat itu, Kwee Siang telah
berkata dengan suara dingin dan sikap seenaknya.
„Engkau tadi mengatakan bahwa
aku termasuk salah seorang yang tengah kau cari, apa maksudmu?” tanya Kwee
Siang dengan berani. „Apakah kau bermaksud ingin berguru kepadaku?”
Rupanya pangcu dari Tiauw-pang
sudah tidak dapat menahan marahnya lagi, dia telah tertawa bergelak-gelak
dengan suara yang sangat nyaring sekali.
„Tepat! Tepat! Aku memang
hendak berguru kepadamu! Aku ingin meminta kau mencatat seluruh kepandaian ilmu
silatmu! Setelah kau memenuhi permintaanku itu aku akan membebaskan engkau!”
Dan setelah berkata begitu, dia mengibaskan tangannya. Yang maju bukan anak
buah dari pengawal ruangan, melainkan wakil pangcu yang telah berkata: „Bun
Tiong Yang, tangkap kelinci itu!”
Dari luar terdengar penyahutan
mengiyakan, dan tampak Bun Tiong Yang, si gemuk pendek yang tadi telah
mengangkat ketiga tamunya dengan mempergunakan seutas tambang, telah melangkah
masuk dengan tindakan kaki yang lebar. Mukanya tampak menyeramkan dan bengis
sekali, dia telah berkata: ,,Atas nama pangcu, engkau wanita hina yang bermulut
lancang harus kutangkap!” Dan membarengi dengan perkataannya itu, dengan cepat
sekali tampak Bun Tiong Yang telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat
keras, tahu-tahu tangan kanannya telah bergerak akan mencengkeram pundak Kwee
Siang.
Puteri Kwee Ceng
memperdengarkan suara tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara yang
mengejek, katanya dengan tawar, „bagus!” tetapi tubuhnya tidak bergerak
sedikitpun dari tempat duduknya, dia telah mengeluarkan suara seruan yang
nyaring, tahu-tahu sikut tangan kanannya bergerak ke arah tenggorokan si pendek
gemuk. Kwee Siang tidak melakukan penangkisan, dia hanya melancarkan serangan
dengan sikutnya ke leher si gemuk pendek, maka jika si gemuk pendek meneruskan
serangannya, berarti tenggorokannya akan kena digempur hebat sekali oleh sikut
tangan Kwee Siang, dimana sikutnya itu telah disaluri oleh tenaga lweekang yang
dahsyat, yang dapat menghancurkan batu kali menjadi berkeping-keping.
Si gemuk pendek Bun Tiong Yang
jadi marah sekali, dia telah menggerakkan tangan kanannya untuk melindungi
tangan kirinya yang menahan sikut tangan Kwee Siang lalu jari-jari tangan
kanannya itu bergerak lagi akan menotok jalan darah pai-tu-hiat di dekat
pinggang Kwee Siang.
Namun Kwee Siang tetap duduk
di kursinya tanpa bergerak sedikitpun juga, sama sekali dia tidak mengacuhkan
serangan yang dilancarkan oleh lawannya, walaupun dia mengetahui bahwa Bun
Tiong Yang bukan lawan yang lemah. Maka dari itu, walaupun dia hanya berduduk
diam di kursinya, tetapi tangannya dengan cepat sekali telah bergerak, dia
telah melancarkan serangan yang cepat sekali, menangkis gempuran tangan kanan
si pendek gemuk she Bun dengan kibasan tangannya, membarengi dengan itu,
tahu-tahu sikutnya telah bekerja lagi.
„Dukkk!” keras sekali, tampak
dada sebelah kiri dari Bun Tiong Yang telah kena disikutnya dengan keras, maka
tubuh Bun Tiong Yang jadi terhuyung mundur.
Tetapi Bun Tiong Yang
benar-benar hebat, walaupun dadanya telah terkena gempuran dari sikut tangan
Kwee Siang, namun dia tidak terluka berat, karena dadanya itu telah
dilindunginya terlebih dulu oleh tenaga dalamnya. Cepat sekali dia mengeluarkan
suara raungan dan melancarkan serangan dengan mempergunakan kedua tangannya
sekaligus.
Dengan kekerasan Kwee Siang
juga menyambuti kedua tangan musuhnya itu dengan kedua tangannya pula. Gerakan
yang dilakukan oleh Kwee Siang sangat cepat sekali, sehingga sulit diikuti oleh
pandangan mata manusia biasa.
Dalam keadaan demikian, Bun
Tiong Yang juga tidak menarik pulang tenaga serangannya maka dua kekuatan
tenaga dalam yang dahsyat telah saling bentur keras sekali.
„Bukk!” tubuh Kwee Siang telah
terdorong dengan keras, hampir saja kursinya itu terjengkang ke belakang,
untung Kwee Siang berlaku gesit sekali, sehingga sebelum kursinya rubuh dia
telah melompat berdiri.
Sedangkan Bun Tiong Yang tidak
mau membuang-buang waktu lagi, dia telah melancarkan serangan-serangan yang
gencar dengan mempergunakan delapan bagian tenaga lweekangnya namun Kwee Siang
dapat mengimbangi gerakan-gerakan dari Bun Tiong Yang dengan tidak kalah
hebatnya, sehingga mereka telah bertempur dengan seru sekali.
Diam-diam pangcu dari
Tiauw-pang telah mengerutkan sepasang alisnya, dia heran melihat Kwee Siang
sanggup menghadapi Bun Tiong Yang, karena pangcu dari Tiauw-pang ini mengetahui
bahwa Bun Tiong Yang merupakan seorang bawahannya yang memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
Phang Kui In sendiri mengawasi
jalannya pertempuran itu dengan berkuatir, tadi dia telah melihat kekuatan
tenaga Bun Tiong Yang, yang dengan sehelai tambang telah berhasil menghentak
mereka kuat sekali, sekarang dia sedang marah dan telah melancarkan serangan
dengan dahsyat sekali, sehingga angin serangan itu menderu-deru, dengan keras
sekali, membuat Kwee Siang harus mempergunakan kegesitannya untuk menghadapi
serangan-serangan Bun Tiong Yang itu.
Saat itu wakil pangcu dari
Tiauw-pang telah mendengus dingin.
„Hemm, hanya sebegitu saja
kepandaian puteri dari Kwee Ceng, kepandaiannya tidak ada artinya sama sekali!”
Mendengar perkataan terakhir
dari wakil pangcu itu, Kwee Siang jadi gusar sekali.
„Baik, aku akan memperlihatkan
kepandaianku di muka matamu!!” teriak Kwee Siang membawa adatnya lagi. Dan
membarengi dengan selesainya perkataannya itu. Tahu-tahu Kwee Siang telah
merobah cara menyerangnya, kedua tangannya telah digerakkan tetapi dia bukan
melancarkan serangan dengan mempergunakan telapak tangannya atau juga dengan
kelima jari tangannya, melainkan dengan kedua jari telunjuknya saja. Jari telunjuk
tangan kanannya bergerak menyambar-nyambar tidak hentinya, sedangkan jari
telunjuk tangan kirinya telah mengancam akan menotok ke jalan darah mematikan
di tubuh Bun Tiong Yang.
Walaupun Kwee Siang
melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan gerakan jari telunjuk saja,
tetapi dia telah mempergunakan ilmu Tan-cie-sin-thong, kepandaian andalan Oey
Yok Su, kakek luarnya untuk merubuhkan musuhnya itu, sehingga serangan-serangan
Kwee Siang yang mempergunakan ilmu Tan-cie-sin-thong yang dikombinasikan dengan
serangan-serangan It-yang-cie dari It-teng Taysu, telah membuat si pendek gemuk
jadi kelabakan seperti kebakaran jenggot. Berulang kali dia melompat mundur
untuk mengelakkan diri, tetapi selalu pula serangan yang dilancarkan Kwee Siang
telah tiba lebih dulu.
„Tukk!” suatu kali Bun Tiong
Yang tidak bisa mengelakkan diri dari serangan Kwee Siang, sehingga waktu jalan
darah liang-ma-hiatnya di dekat tulang iga tingkat kedelapan telah tertotok,
dia merasakan sekujur tubuhnya ngilu dan nyeri, dengan mengeluarkan suara
teriakan tertahan, dia telah melompat mundur, namun kedua kakinya seperti sudah
tidak memiliki kekuatan lagi, dengan mengeluarkan suara keluhan, tampak dia
telah terguling rubuh di lantai perahu tanpa bisa bangkit pula.
Muka pangcu Tiauw-pang dan
wakilnya jadi berobah hebat, karena mereka terkejut sekali. Sedangkan
anggota-anggota dari Tiauw-pang juga telah menjerit kaget, karena melihat
kepandaian yang dikeluarkan oleh Kwee Siang, mereka yakin bahwa mereka bukan
merupakan lawan dari si gadis yang hebat ini.
Namun pangcu dari Tiauw-pang
dengan cepat telah dapat menguasai goncangan hatinya. Dia telah bertepuk
tangan,
„Bagus, bagus!” kata pangcu
dari Tiauw-pang itu dengan suara yang nyaring, diiringi kemudian dengan suara
tertawanya. „Engkau bisa merubuhkan Bun Tiong Yang, orang kami yang cukup
pandai, menunjukkan kepandaianmu lumayan. Pelayan cepat berikan hadiah arak
satu cawan arak kepada nona Kwee!!”
Terdengar suara mengiyakan
dari si pelayan, saat itu Kwee Siang telah duduk kembali di kursinya, dia hanya
mengawasi pangcu dan wakilnya dengan sorot mata yang sangat tajam. Kemudian
dengan suara yang dingin dia telah berkata:
„Aku tidak mau hadiah
arak..... Arak kalian bau dan asam tidak sedap!!” kata Kwee Siang mengejek.
Tetapi pangcu itu benar-benar
hebat, walaupun dia kelihatannya masih berusia muda, namun ternyata dia bisa
menguasai diri dan keadaan. Sambil tertawa dia telah bertanya: „Hadiah apa yang
dikehendaki oleh nona Kwee?”
„Kepalamu!” kata Kwee Siang.
Muka pangcu itu berobah hebat,
sedangkan wakil pangcu dan anak buah Tiauw-pang yang lainnya jadi mengeluarkan
suara seruan marah mendengar perkataan si gadis yang dianggapnya sangat kurang
ajar sekali.
„Nona Kwee keterlaluan sekali!
Jika kelak memang nona Kwee berhasil mengalahkan seluruh orang-orangku, tentu
aku rela menyerahkan batok kepalaku.....!” kata pangcu muda itu dengan suara
yang dingin sekali.
„Hemm, orang-orangmu tidak
punya guna, lihat saja orang kepercayaanmu si gemuk pendek itu, hanya dalam
beberapa jurus saja telah dapat kurubuhkan! Lebih baik engkau saja yang turun
ke gelanggang untuk melayaniku!”
Si gadis telah menantang
begitu karena dia melihat pangcu ini masih terlalu muda, mungkin dia menjabat
kedudukan pangcu itu hanya sebagai boneka saja. Tetapi tidak terduga, justru
pangcu itu telah mengangguk, sambil katanya: „Baik! Baik! Tetapi terimalah
penghormatanku ini dulu!” Dan setelah berkata begitu, dengan cepat tangan
kanannya mengibas, maka dari telapak tangan kanannya meluncur angin yang kuat
sekali.
Saat itu si pelayan yang tadi
masuk, telah membawa secawan arak, yaitu sebuah tengkorak kepala manusia, di
dalamnya terisi arak yang penuh di dalam tempurung kepala manusia itu.....
Itulah ‘cawan’ yang sangat aneh dan juga mengerikan. Dan bertepatan dengan itu,
angin serangan dari kibasan tangan pangcu itu telah menyampok tengkorak manusia
di tangan si pelayan, sehingga ‘cawan’ yang mengerikan itu telah tersampok
‘terbang’ dan hinggap tepat dihadapan Kwee Siang, tanpa tumpah setetespun arak
di dalamnya.
Kwee Siang menyambuti ‘cawan’
mengerikan itu, tetapi dasarnya dia memang memiliki adat yang aneh, melihat
‘cawan’ yang aneh ini, dia jadi tertarik, sambil mengeluarkan suara tertawa
keras, dia telah berkata:
„Terima kasih! Terima kasih!”
lalu tanpa ragu-ragu dia telah mengangkat cawan aneh itu dan telah meneguk arak
di dalam cawan kepala tengkorak manusia itu!
Yo Him dan Phang Kui In yang
melihat keadaan itu hampir saja muntah karenanya.
Tetapi Kwee Siang telah
meneguk habis isi ‘cawan’ mengerikan itu sampai kering.
„Terima kasih!” dia bilang
setelah me¬ngeringkan arak di dalam tempurung kepala manusia itu, kemudian
membarengi dengan selesainya perkataannya, Kwee Siang telah melemparkan ‘cawan’
mengerikan itu, sehingga cawan itu telah terlontarkan dan tepat sekali memasuki
kepala si pelayan yang tadi membawanya, sehingga tampaknya pelayan itu memakai
topi yang terbuat dari tengkorak kepala manusia!
Melihat kejadian ini, walaupun
dalam keadaan tegang, Phang Kui In dan Yo Him jadi tertawa bergelak-gelak,
karena mereka merasa lucu atas kejenakaan si gadis. Sedangkan muka pangcu cilik
itu dan orang-orangnya jadi berobah tidak sedap dipandang, mereka telah
mengeluarkan suara seruan marah.
Kemudian Kwee Siang telah
berkata lagi dengan suara yang dingin:
„Sekarang siapa yang engkau
ingin majukan ke depan? Apakah memang benar-benar engkau ingin maju sendiri?”
Waktu bertanya begitu Kwee
Siang telah berlaku hati-hati, karena dia tadi merasakan betapa hebatnya
kibasan tangan pangcu itu., yang memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa
dahsyatnya. Diam-diam Kwee Siang juga jadi heran, mengapa dalam usia semuda itu
pangcu tersebut bisa memiliki lweekang yang dahsyat, seperti juga lweekangnya
itu telah mengalami latihan selama tigapuluh tahun!
Saat itu wakil pangcu telah melompat
berdiri, dia menjura kepada pangcunya, katanya:
„Memotong bebek, mengapa harus
mem pergunakan golok babi?” katanya dengan dingin. „Maka ijinkanlah aku yang
turun tangan menangkapnya!”
Pangcu cilik itu mengibaskan
tangannya.
„Biar aku saja yang menangkapnya,
karena dia meminta aku yang menghadapinya, jika tidak tentu dia akan penasaran
sekali, bukan?” dan sambil berkata begitu, pangcu cilik ini telah bangkit
berdiri, dia mengawasi si gadis dengan sorot mata yang sangat tajam, kemudian
katanya dengan suara yang dingin.
„Apakah kita mulai sekarang
saja?” tanyanya dengan suara yang dingin.
„Boleh! Boleh! Jika bukan
sekarang. Apakah engkau menantikan sampai engkau berusia empatpuluh tahun?”
mengejek Kwee Siang dengan suara yang dingin.
Mendengar ejekan itu, pangcu
Tiauw-pang telah mengeluarkan suara tertawa yang keras sekali.
„Oh, oh, engkau menduga aku
ini masih berusia sangat kecil, bukan? Ha, ha, ha, ha sungguh lucu, engkau
memiliki mata, tetapi engkau tidak memiliki bijinya.....! Aku telah berusia
enampuluh tahun! Siapa yang mengatakan aku masih kecil?”
Mendengar perkataan pangcu
itu, tentu saja Kwee Siang jadi kaget bukan main. Bukan hanya Kwee Siang saja,
sedangkan Phang Kui In dan Yo Him juga jadi kaget sekali. Jelas-jelas mereka
melihat pangcu itu berusia paling tidak tigabelas tahun, bentuk tubuhnya juga
pendek kecil! Tetapi menurut pengakuannya itu, dia telah berusia enampuluh
tahun! Inilah hebat!. „Apakah pangcu itu awet muda?” Memang jika dilihat dari
kekuatan lweekang yang telah diperlihatkan tadi, boleh jadi juga pangcu itu
telah berusia tinggi dan tubuhnya hanya pendek tidak bisa tinggi atau memang
dia memiliki ilmu awet muda, sehingga tampaknya dia masih seperti anak-anak.
„Nah, silahkan engkau dari
golongan muda melancarkan serangan kepadaku! Jika tidak nanti orang-orang
persilatan akan menuduh aku telah menghina si muda!”
Mendengar perkataan pangcu
itu, tentu saja Kwee Siang jadi geli. Bahkan dia tidak bisa menahan rasa
lucunya dan telah tertawa terpingkal-pingkal. Kata-kata yang diucapkan pangcu
itu seperti sikap seorang dari tingkatan cianpwe, tetapi nyatanya tubuh dan
mukanya memperlihatkan dia seperti baru berusia diantara tigabelas tahun! Maka
tidak bisa ditahan lagi Yo Him juga ikut tertawa, karena dia menyaksikannya
jadi lucu seperti tengah menonton sandiwara anak-anak yang membawa peran
sebagai orang tua.....!
Saat itu pangcu dari
Tiauw-pang tampaknya jadi gusar sekali, dengan mengeluarkan suara bentakan yang
keras, tahu-tahu dia telah menggerakkan tangan kanannya.
„Wuttt.....!” angin serangan
dari telapak tangan kanannya itu telah menyambar dengan kuat sekali ke diri
Kwee Siang.
Tetapi Kwee Siang tidak takut
atau berkuatir, dia sama sekali tidak gugup. Bahkan dengan cepat sekali dia
telah mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis, karena Kwee Siang bermaksud
untuk mempergunakan keras dilawan keras.
Maka bisa dibayangkan, apabila
kedua kekuatan itu saling bentur tentu akan memekakkan anak telinga orang-orang
yang menonton pertempuran itu.
Namun waktu kedua tenaga itu saling
bentur, Kwee Siang jadi terkejut sekali, dia sampai mengeluarkan seruan
tertahan dan telah melompat mundur, karena dia merasakan desakan tenaga
serangan yang dilancarkan oleh pangcu Tiauw-pang itu sangat dahsyat sekali,
hampir saja kuda-kuda kakinya itu tergempur.
Cepat-cepat Kwee Siang
memusatkan tenaga dalamnya di kedua kakinya, kemudian di saat serangan tenaga
lawannya menyambar datang lagi, Kwee Siang telah mempergunakan ilmu
Tan-cie-sin-thong, dimana hawa halus telah mengalir dengan cepat menerobos
masuk ke dalam tenaga gempuran dari pangcu itu.
Tentu saja pangcu Tiauw-pang
tadi sangat terkejut, cepat-cepat dia telah menarik pulang tangannya, karena
dia mengerti bahaya yang mengancam dirinya. Kemudian dia mengeluarkan suara
bentakan penasaran dan melanjuti pula serangannya.
Gerakan yang dilakukan pangcu
Tiauw-pang kali ini sangat cepat luar biasa, juga serangannya itu disertai oleh
tenaga lweekang yang dahsyat sekali. Terlihatlah serangan-serangan itu datang
menyambar saling beruntun dalam sekejap mata saja Kwee Siang telah terdesak
oleh pangcu Tiauw-pang tersebut.
Tetapi Kwee Siang sama sekali
tidak merasa takut atau gugup, dia memandang sinis kepada serangan-serangan
yang datang menyambar ke arah dirinya. Dengan gerakan yang sangat cepat, Kwee
Siang telah mempergunakan Tan-cie-sin-thong yang sering dicampurkan dan
diseling dengan serangan-serangan It-yang-cie ilmu jari tunggal sakti itu, maka
hebat cara dia membalas serangan-serangan yang dilancarkan oleh pangcu
Tiauw-pang itu. Beberapa kali pangcu itu juga harus membatalkan
serangan-serangannya kalau dia tidak ingin menemui maut, karena kedua ilmu
sakti itu, yaitu It-yang-cie dan Tan-cie-sin-thong selalu menuju ke jalan-jalan
darah mematikan di tubuh lawannya.
Pangcu Tiauw-pang itu berusaha
untuk mengimbangi serangan-serangan Kwee Siang, dia telah mengeluarkan seluruh
ilmu simpanannya untuk mempertahankan diri dari rangsekan-rangsekan Kwee Siang.
Begitulah kedua orang ini jadi bertempur dengan seru sekali, karena setiap
serangan yang mereka pergunakan selalu menuju bagian-bagian yang mematikan di
tubuh lawannya.
Dalam keadaan seperti ini
Phang Kui In jadi bimbang dan berkuatir sekali. Dia takut kalau-kalau nanti
Kwee Siang tidak sanggup menghadapi pangcu itu, berarti mereka bisa menghadapi
bencana. Jika memang pangcu itu bisa dirubuhkan, berarti pangcu itu bisa
ditekan dan diancam untuk mengundurkan anak buahnya. Namun bagaimana kalau Kwee
Siang yang dirubuhkan. Bukankah di dalam Tiauw-pang banyak sekali anak buah
yang sangat tangguh dan rata-rata memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Sedangkan anak buah Tiauw-pang di kapal yang satunya lagi belum muncul dan
Phang Kui In tidak mengetahui entah berapa banyak jumlah anak buah dari kapal
itu, yang tentunya terisikan anak buah dari Tiauw-pang juga.
Kelihatannya Kwee Siang memang
agak sibuk juga menghadapi serangan-serangan balasan yang dilancarkan pangcu
itu. Namun Kwee Siang telah melatih diri dalam ilmu ciptaannya, sebagai pendiri
Go-bie-pay tentu saja dia memiliki kepandaian yang bisa diandalkan untuk
menghadapi musuh yang tangguh.
Ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat
nya juga belum dipergunakannya, dia menghadapi pangcu itu dengan tetap
bertangan kosong,
Wakil pangcu dan Tiauw-pang
telah memandang dengan sorot mata yang sangat tajam sekali. Dalam keadaan
demikian, kalau memang wakil pangcu itu tidak takut nanti akan ditegur
pangcunya, tentu dia sudah akan melompat maju, karena dia sudah tidak sabar
ingin cepat-cepat membekuk Kwee Siang. Tetapi karena pangcunya tengah terjalin
dalam pertempuran yang sangat seru dan masing-masing saling melancarkan
serangan dengan cepat sakali, sehingga wakil pangcu itu jadi ragu-ragu untuk
melancarkan serangan kepada Kwee Siang dan yang lainnya.
Di saat itu, dengan
mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali, tampak pangcu dari
Tiauw-pang. Telah melancarkan serangan yang sangat kuat sekali dengan telapak
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya telah bergerak cepat akan
mencengkeram tulang piepe di bahu si gadis.
Kwee Siang melihat cara
menyerang lawannya, telah mengeluarkan suara tertawa mengejek, dia tidak takut
sedikitpun juga, bahkan dengan cepat sekali dia menangkis telapak tangan kiri
pangcu itu dengan tangan kirinya pula, sedangkan tangan kanan dari pangcu itu
yang telah meluncur akan mencengkeram pundaknya tidak dielakkannya, hanya
dengan jari telunjuk tangan kanannya, Kwee Siang telah mengancam akan menotok
pergelangan tangan lawannya. Gerakan yang dilakukan Kwee Siang itu sangat ganas
sekali karena jika jalan darah utama dipergelangan tangan pangcu itu, yaitu
jalan darah ma-liang-hiatnya kena ditotok, niscaya akan menyebabkan pangcu itu
menemui kematiannya.
Dalam keadaan demikian, dengan
cepat sekali tampak pangcu dari Tiauw-pang itu telah menarik pulang tangannya,
dia telah melompat mundur dan dengan gerakan tubuh yang sangat gesit dia
menjauhi diri dari Kwee Siang, tetapi hatinya penasaran dan mendongkol sekali.
Kembali dengan gencar Kwee
Siang telah melancarkan serangan susulan. Kali ini serangan yang dilancarkannya
mempergunakan delapan bagian tenaga lweekangnya, juga meluncurnya bagaikan
kilat saja ke diri pangcu itu, sehingga kali ini pangcu dari Tiauw-pang itu
jadi sibuk sekali untuk menangkisnya.
„Bukk.....!” dua kekuatan itu
telah saling bentur dengan dahsyat sekali. Tampak tubuh kedua orang yang saling
bertempur itu telah tergetar, lalu terdorong mundur beberapa langkah oleh
getaran tenaga tangkisan lawan masing-masing.
Ketua dari Tiauw-pang jadi
terkejut dan heran. Semula dia menyangka bahwa kepandaian Kwee Siang biasa
saja. Dia tidak menyangka bahwa kepandaian Kwee Siang memang benar-benar
tangguh. Maka dia tidak berani berlaku ayal lagi, dengan mengerahkan seluruh
kekuatan di kedua telapak tangannya dia telah melancarkan serangan yang lebih
kuat lagi.
Sebentar terdengar suara „wutt
dan dukk”, dan tubuh kedua orang yang tengah saling bertempur ini juga telah
saling tergoncang keras sekali, sampai terhuyung-huyung mun¬dur ke belakang
beberapa langkah.
Terlihat Kwee Siang juga telah
membalas melancarkan serangan-serangan yang gencar sekali, setiap serangannya
mengandung tenaga maut yang mengincar jiwa lawannya.
Tetapi pangcu Tiauw-pang yang
tampaknya seperti anak kecil belasan tahun itu, ternyata lebih matang
pengalaman dan latihan lweekangnya. Waktu melihat Kwee Siang berusaha
mendesaknya, tiba-tiba dia tertawa keras katanya:
„Cukuplah kiranya aku
mengalah!!”
Dan membarengi dengan habisnya
perkataannya itu, dengan cepat sekali terlihat pangcu dari Tiauw-pang itu telah
menggerakkan tangan kanannya, dia menekuk sedikit sikut tangannya itu, lalu dia
telah mengulurkan tangan kanannya untuk mencengkeram pergelangan tangan Kwee
Siang. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, tangan kirinya juga telah
diulurkannya untuk menotok.
Hebat sekali cara menyerang
pangcu dari perkumpulan Tiauw-pang itu, sehingga Kwee Siang tidak sempat untuk
menangkis atau mengelakkan diri. Pergelangan tangan Kwee Siang telah berhasil
dicekalnya dan dengan cepat sekali totokan jari tangannya telah mengenai jalan
darah pai-tu-hiat nya, sehingga seketika itu juga Kwee Siang mengeluarkan suara
keluhan perlahan dan tubuhnya terkulai rubuh tidak dapat bergerak lagi.
„Bawa dia ke samping.....!”
perintah pangcu dari Tiauw-pang sambil melangkah menuju ke kursinya kembali.
19.38. Pertempuran Anak Setan
lawan Siluman
Phang Kui In dan Yo Him waktu
melihat Kwee Siang dapat dirubuhkan oleh ketua Tiauw-pang, jadi terkejut bukan
main, dengan mengeluarkan suara bentakan marah, tampak Phang Kui In telah
melompat ke samping Kwee Siang, maksudnya akan melindungi si gadis yang dalam
keadaan tertotok itu.
Tetapi tahu-tahu di
punggungnya telah menempel dua mata golok, yang ditekankan agak keras.
Phang Kui In menyadarinya
bahwa dirinya tidak bisa bergerak lebih jauh, sebab kalau dia meneruskan
gerakannya, niscaya akan menyebabkan dia terluka oleh kedua golok milik anak
buah Tiauw-pang itu.
Di saat itu juga telah
terdengar bentakan perlahan dari kedua anak buah Tiauw-pang itu: „Jangan
bergerak, kembali ke kursimu.....!”
Phang Kui In jadi mengeluh,
dia telah kembali ke kursinya, sedangkan di saat itu, tampak dua orang anak
buah Tiauw-pang yang lainnya telah menghampiri Kwee Siang dan mengangkat tubuh
si gadis yang dibawa ke pinggir ruangan.
Phang Kui In hanya bisa
menyaksikan saja tanpa berdaya untuk memberikan pertolongan.
Tetapi yang cukup melegakan
hati Phang Kui In dan Yo Him, justru dia melihat bahwa Kwee Siang tidak dibawa
pergi keluar dari ruangan itu, hanya diletakkan di pinggir ruangan untuk
menantikan keputusan berikutnya dari ketua Tiauw-pang tersebut.
Kemudian ketua Tiauw-pang yang
mukanya seperti anak belasan tahun itu, dengan bentuk tubuhnya yang pendek
kecil, telah duduk kembali di kursinya, dia telah berkata dengan suara yang
dingin:
„Nah, sekarang giliranmu!”
katanya sambil menunjuk ke arah Yo Him.
Muka Yo Him kala itu merah
padam, karena dia gusar sekali melihat encie Siangnya itu telah ditawan oleh
ketua Tiauw-pang dalam keadaan tertotok seperti itu.
„Engkau membawa sikap seperti
seorang kaisar saja!” bentak Yo Him dengan mendongkol. „Sesungguhnya apa yang
kau kehendaki?”
Ditanya begitu oleh Yo Him,
ketua Tiauw-pang itu telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring
sekali, suaranya mengandung nada mengejek.
„Ha, ha, ha, ha, seumur
hidupku, selama aku hidup enampuluh tahun, aku Ciong Lam Cie baru kali ini
mengalami ditegur orang sampai dua kali! Pertama-tama tadi oleh perempuan tidak
tahu diri itu, sekarang oleh seorang bocah ingusan! Sungguh membuat aku tidak
mengerti, mengapa hari ini aku apes benar?” Dan setelah berkata mengejek
begitu, dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak yang sangat keras
sekali, dan telah bertanya dengan suara yang dingin:
„Siapa namamu?”
„Namaku Yo Him, dan kini
engkau telah mendengar dan mengetahui namaku, bebaskan kami, karena kami masih
memiliki urusan penting dan harus melanjutkan perjalanan kami!”
„Sabar.....!” kata ketua
Tiauw-pang itu dengan sikap yang mengejek. „Tidak perlu terlalu tergesa-gesa.
Dalam hal ini engkau tidak perlu terburu-buru! Kita bercakap-cakap dulu dengan
sikap yang manis dan baik-baik, bukankah itu jauh lebih baik dibandingkan kita,
harus bicara dengan mata saling mendelik?”
Mendengar perkataan ketua
Tiauw-pang itu, Yo Him telah tertawa dingin.
„Hemm, engkau mengakui dirimu
sebagai seorang ketua dari sebuah perkumpulan, tetapi cara-caramu benar-benar
memperlihatkan bahwa engkau hanya merupakan seorang manusia rendah tidak
memiliki budi pekerti.”
Mendengar perkataan Yo Him
yang nadanya keras, seketika itu juga Ciong Lam Cie telah tertawa
bergelak-gelak dengan suara yang sangat keras, diapun telah berkata dengan
suara yang nyaring:
„Baik! Baik! Engkau telah
berani memakiku begitu kasar! Apakah engkau memiliki kepandaian yang tinggi
sehingga engkau berani berlaku demikian kurang ajar?”
Yo Him telah tertawa dingin.
„Walaupun aku tidak memiliki
kepandaian, tetapi terhadap manusia seperti engkau, perlu apa aku takut? Apakah
engkau kira dengan mempergunakan kekerasan bisa menindas seseorang menjadi
takut? Ingat, di dalam dunia, manusia hanya takut kepada perasaan malu, karena
jika seseorang telah merasa malu, maka dia akan takut untuk melakukan pekerjaan
yang dilarang oleh keadilan. Tetapi jika manusia itu hanya tertekan oleh
perasaan takut, suatu waktu dia bisa nekad jika memang telah dalam keadaan
tertindas, dan dia bisa saja menjadi nekad dan berontak untuk meberikan
perlawanan. Seperti sekarang aku, walaupun aku sebagai seorang anak kecil yang
tidak mengerti ilmu silat, tetapi sedikitpun juga aku tidak merasa takut
kepadamu! Engkau bisa saja membinasakan diriku, tetapi justru aku tidak merasa takut!”
Ketua Tiauw-pang itu, yaitu
Ciong Lam Cie, telah memandang Yo Him sejenak, tampaknya dia tertegun, tetapi
kemudian dia telah tertawa lagi.
„Sungguh seorang anak yang
ajaib!” katanya dengan suara yang dingin. „Baiklah! Baiklah! Sekarang justru
aku jadi ingin mengetahui, apakah jika engkau menghadapi kematian, engkau akan
merasa takut atau tidak?”
Dan Ciong Lam Cie, ketua
Tiauw-pang yang potongan tubuhnya kate itu, telah melompat dengan gerakan lubuh
yang sangat cepat sekali, dia telah melompat sambil menghadiahkan Yo Him satu
pukulan yang tidak begitu keras.
Yo Him berusaha mengelakkan
diri, tetapi karena dia memang tidak menguasai ilmu meringankan tubuh dengan
sempurna, begitu tubuhnya terserang, segera dia terjungkal rubuh bergulingan di
atas lantai. Tetapi tenaga dalamnya, yang telah terpusat di seluruh otot-otot
di sekujur tubuhnya, dimana semua jalan darahnya telah dibuka itu, telah
bekerja sendirinya. Waktu tubuhnya akan terbanting, justru tenaga itu telah
menolak juga, sehingga tubuh Yo Him tidak sampai terbanting keras, bahkan telah
melentik dan berdiri lagi!
Tentu saja Ciong Lam Cie jadi
tertegun sejenak, dia melihat anak kecil dihadapannya ini seperti tidak
mengerti ilmu meringankan tubuh, tadi saja waktu diserang, dia sudah tidak
keburu mengelakkan diri, tetapi mengapa kini waktu tubuhnya terbanting di
lantai, dia telah bisa melompat dengan gesit sekali untuk berdiri kembali?
Ciong Lam Cie jadi mengawasi
Yo Him dengan sorot mata yang sangat tajam. Kemudian dia telah berkata,
„Tadi kau mengatakan namamu
kalau tidak salah Yo Him benarkan itu?”
„Benar”
„Jadi engkau she Yo?” Tanya
Ciong Lam Cie lagi.
„Benar”
„Apakah kau memiliki hubungan
dengan Yo Ko si buntung celaka itu?”
Muka Yo Him jadi berobah merah
padam.
„Engkau jangan menghina ayah
kandungku itu!” bentaknya dengan penuh kemarahan.
Ciong Lam Cie jadi tertegun
sejenak. Dia mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang tajam, kemudian meledak
suara tertawanya yang bergelak-gelak.
„Jadi engkau putera dari si
buntung celaka Yo Ko itu?” tanyanya.
„Jangan kau menghina ayahku!
Sekali lagi engkau menghina, walaupun aku tidak memiliki kepandaian, aku akan
mengadu jiwa denganmu!” mengancam Yo Him dengan kemarahan yang meluap-luap.
Tentu saja ancaman itu
dianggap sepi oleh Ciong Lam Cie, dia telah tertawa bergelak-gelak dengan
suaranya yang sangat keras sekali, dia telah tertawa terus, suara tertawanya
itu seperti ingin memecahkan ruangan kamar kapal ini.
„Sungguh kebetulan! Sungguh
kebetulan! Belasan tahun aku mencari-cari jejak dari si buntung celaka itu!
Tidak tahunya disini aku bisa bertemu dengan anaknya! Hemm, sejak tadi waktu
melihat mukamu, aku telah menduganya bahwa engkau tentu ada hubungannya dengan
Yo Ko, si buntung celaka itu. Mukamu memang mirip dengan dia! Tetapi, ha, ha,
ha, ha, memang inilah namanya rejeki yang diantarkan oleh Tuhan! Baik! Baik!
Engkaupun harus kutahan agar kelak Yo Ko datang sendiri kemari, untuk
menggantikan dirinya sebagai tawananku dan engkau baru kubebaskan!”
Mendengar perkataan Ciong Lam
Cie, Yo Him jadi gusar bukan main, karena berulang kali dia harus mendengar
ayah kandungnya itu disebut si buntung celaka, maka waktu Ciong Lam Cie baru
saja menyelesaikan perkataannya dengan cepat sekali Yo Him telah melompat dan
dia telah melancarkan gempuran dengan kuat sekali ke arah dada Ciong Lam Cie.
Tetapi bagi seorang ahli silat
kelas utama seperti Ciong Lam Cie, dimana Kwee Siang saja dia bisa rubuhkan,
tentu saja Ciong Lam Cie tidak memandang sebelah mata terhadap serangan Yo Him.
„Kau beristirahatlah!” katanya
seenaknya, sambil mengibaskan lengan bajunya. Dia mengibas dengan mempergunakan
dua bagian tenaga dalamnya, tenaga itu meluncur akan membuat Yo Him
terpelanting. Namun saat itu Yo Him juga tengah melancarkan serangan, sehingga
otot-otot di tubuhnya dalam keadaan bersiap-siap dan tegang, maka begitu angin
serangan dari kibasan lengan baju pangcu itu mengenai tubuh Yo Him, bukannya
tubuh Yo Him yang terhuyung, justru tubuh Ciong Lam Cie yang terserang oleh
tenaganya yang berbalik menghantam dirinya jadi terhuyung-huyung ke belakang.
Tentu saja hal ini telah
membuat Ciong Lam Cie jadi terkejut bukan main, dia telah merasakan angin
serangan itu menghantam tepat sekali ke arah dadanya. Walaupun tenaga serangan.
Itu tidak kuat, tetapi justru menyambarnya ke bagian yang sangat tepat sekali
di bagian jalan darah tai-tiong-hiatnya, sehingga terpaksa Ciong Lam Cie jadi
harus mengelakkannya.
„Kau.....?” katanya dengan
suara tergagap, karena dia heran, mengapa Yo Him yang di¬serang, tetapi
serangan itu berbalik menghantam dirinya.
Yo Him yang tidak mengetahui
peristiwa tersebut telah mengeluarkah suara makian dan telah berteriak:
„Aku akan mengadu jiwa dengan
manusia buruk dan rendah pribudi seperti engkau.....!” dan sambil berteriak
begitu, tampak Yo Him telah melompat melancarkan serangan dengan cepat sekali,
kepalan tangan¬nya telah bergerak dan menghantam lagi.
Gerakan yang dilakukannya itu
tidak begitu bertenaga, karena memang Yo Him belum memiliki kekuatan atau
tenaga yang bisa dikendalikan. Seperti lweekang yang telah dimilikinya secara
mujijat namun disebabkan Yo Him belum melatih diri dan belum bisa
mengendalikannya, telah membuat dia terpaksa harus menyerang dengan
mempergunakan tenaga yang biasa saja.
Dalam keadaan demikian, tampak
Ciong Lam Cie jadi penasaran sekali, dia telah mengeluarkan suara bentakan
lagi, dan mengibaskan lengan bajunya.
Kali ini sengaja Ciong Lam Cie
telah mengibas dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya. Bisa
dibayangkan betapa hebatnya tenaga serangan itu, karena dengan delapan bagian
tenaga dalam dari seorang tokoh persilatan seperti Ciong Lam Cie itu, walaupun
batu kali tentu akan dapat dihancurkannya dengan mudah.
Phang Kui In yang melihat
dahsyatnya serangan tersebut, telah mengeluarkan suara seruan berkuatir, keringat
dingin juga telah mengucur deras dari kening dan tubuhnya, karena dia
menguatirkan sekali keselamatan Yo Him. Tetapi disebabkan di belakang
tengkuknya itu tertandel dua mata golok, Phang Kui In tidak bisa berbuat
apa-apa, dia hanya bisa menyaksikan Yo Him terancam oleh serangan tenaga
kibasan tangan Ciong Lam Cie itu.
Dalam keadaan seperti ini,
tampak Ciong Lam Cie bersungguh-sungguh waktu mengibaskan tangannya, karena
kali ini dia sudah tidak memikirkan perihal usia Yo Him yang masih terlalu kecil,
Ciong Lam Cie hanya dikuasai oleh perasaan penasaran. Maka dia telah
melancarkan serangan dengan tidak mengenal perasaan kasihan lagi.
Tetapi Yo Him yang tidak
menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya, telah menerjang maju terus, dia
sudah memukul sekenanya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya.
Serangan-serangan itu tidak
mengandung tenaga yang berarti, dan di saat itulah tenaga serangan Ciong Lam
Cie telah tiba, namun dengan cepat sekali tenaga tersebut telah memperoleh
reaksi dari otot-otot di sekujur tubuh Yo Him. Sehingga tenaga serangan yang
dahsyat itu tahu-tahu telah membalik menghantam ke arah Ciong Lam Cie.
Tentu saja Ciong Lam Cie jadi
terkejut setengah mati, dia sampai mengeluarkan suara teriakan kaget dan
cepat-cepat berusaha mengelakkan diri. Tetapi gerakannya itu terlambat, karena
kuatnya tenaga serangan yang berbalik itu menerjang dirinya, dengan disertai
oleh suara teriakan yang tertahan, tampak tubuh Ciong Lam Cie telah terpental,
hanya saja tidak sampai terguling di lantai, dan dia telah bisa berdiri kembali
dengan muka yang agak pucat. Dia memandang Yo Him dengan sorot mata yang
mengandung perasaan heran dan aneh, seperti juga dia tengah memandang hantu
disiang hari tampak sinar matanya memperlihatkan perasaan takut yang luar
biasa, di hatinya juga dia berpikir:
„Hemm, tidak percuma dia
menjadi puteranya Sin-tiauw Tayhiap ternyata sekecil ini dia telah memiliki
kepandaian yang luar biasa, yang bisa menolak tenaga serangan lawan! Inilah
sulit! Jika setiap kali menyerang tenaga seranganan akan berbalik, tentu akan
merepotkan penyerangnya! Hebat! Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko ternyata telah berhasil
menciptakan ilmu semacam itu untuk puteranya.....!”
Tetapi di mukanya Ciong Lam
Cie tidak memperlihatkan perasaan kagumnya itu, bahkan dia memperlihatkan mimik
muka yang bengis sekali.
Sedangkan wakil pangcu dan
anak buah yang lainnya waktu melihat pangcu mereka terpental begitu rupa,
semuanya jadi terkejut dan berkuatir sekali. Tetapi waktu mereka memperoleh
kenyataan pangcu mereka tidak mengalami suatu cidera apa-apa, dengan sendirinya
telah membuat mereka menjadi tenang kembali.
Saat itu, pangcu Tiauw-pang
telah berkata dengan suaranya yang dingin,
„Hemm, pantas saja engkau
berkepala besar dan bertingkah! Tidak tahunya engkau memiliki sedikit ilmu!
Baik, baik! Aku ingin melihat apakah engkau bisa menghadapi serangan-seranganku
berikutnya!”
Sambil berkata begitu Ciong
Lam Cie telah menghampiri Yo Him lebih dekat dengan sikap yang mengancam.
Phang Kui In waktu itu
sesungguhnya tengah girang bukan main, dia melihat dua kali Ciong Lam Cie telah
melancarkan serangan kepada Yo Him bahkan yang terakhir dia telah melancarkan
serangan dengan tenaga yang hebat sekali, dan nyatanya Yo Him bisa menolak
kekuatan tenaga serangan itu. Tetapi waktu melihat ancaman dari Ciong Lam Cie
yang akan melancarkan serangan berikutnya, Phang Kui In jadi tergoncang lagi
hatinya.
Dia telah mementang kedua
matanya lebar-lebar, karena dia ingin memperhatikan baik-baik apakah Yo Him
akan bisa melindungi dirinya dari serangan pangcu Tiauw-pang itu, jika memang
Yo Him terancam bahaya kematian, tentu saja Phang Kui In tidak akan
memperdulikan ancaman golok kedua anak buah dari Tiauw-pang itu, dia pasti akan
menerjang pangcu dari perkumpulan itu, untuk mengadu jiwa dan melindungi Yo
Him.
Yo Him sendiri yang menduga
tadi ketua Tiauw-pang itu terhuyung akibat serangan-serangan tangannya, maka
dia jadi tambah berani dan girang, bahkan semangat bertempurnya jadi terbangun.
Dengan berani dia menantikan serangan yang akan dilancarkan oleh ketua
Tiauw-pang, sepasang matanya telah dipentang lebar-lebar.
Di saat itu tampak Ciong Lam
Cie telah melangkah semakin dekat, dia mengangkat kedua tangannya ke atas,
tahu-tahu tangan kanannya telah bergerak.
„Serr.....!” tetapi serangan
tangannya itu menimbulkan angin gempuran yang halus sekali, tidak keras seperti
tadi.
Muka Phang Kui In seketika
jadi pucat pias, karena dia jadi terkejut sekali waktu melihat cara menyerang
dari pangcu Tiauw-pang itu. Ternyata ketua Tiauw-pang itu telah mempergunakan
gempuran dengan mempergunakan tenaga serangan Im (lunak), sehingga dia
melancarkan gempuran tanpa menimbulkan angin serangan.
Inilah berbahaya tenaga
serangan itu memang sama besarnya dengan tenaga serangan yang dipergunakan
dengan gempuran tenaga yang (keras), tetapi dalam keadaan demikian, berarti
otot dan urat di tubuh Yo Him, yang seharusnya dapat menolak setiap tenaga yang
menyerang dirinya, tidak akan berfungsi lagi, sebab ketua Tiauw-pang itu
melancarkan serangan tanpa mempergunakan tenaga kekerasan bahkan lunak seperti
kapas.
Tampak Yo Him yang tidak
merasakan desakan tenaga serangan lawannya, jadi tambah berani, dengan
mengeluarkan suara tertawa dingin, Yo Him telah melangkah maju, dia telah
mengayunkan telapak tangan kanannya melancarkan serangan dengan cepat sekali.
Tentu saja hal ini telah
membuat Phang Kui In jadi mengeluarkan seruan tertahan, karena Yo Him tentu
akan terserang oleh tenaga gempuran yang dilancarkan ketua Tiauw-pang itu.
Ciong Lam Cie sendiri jadi
girang, dia mengempos semangatnya, di dalam gempuran yang lunak itu ternyata
mengandung tenaga serangan yang mematikan. Dia menduga, dengan Yo Him tidak
mengetahui sifat-sifat pukulannya yang seperti ini tentu Yo Him tidak akan
keburu melakukan penangkisan.
Tetapi ketua Tiauw-pang itu
sama sekali tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Yo Him tidak memiliki ilmu
untuk menolak tenaga serangan lawan. Hanya secara kebetulan saja seluruh jalan
darah dan otot Yo Him telah berhasil dibuka oleh Kwee Siang, sehingga otot-otot
dan urat-urat di tubuhnya itu memiliki daya menolak setiap tenaga yang mendesak
ke arah tubuh Yo Him.
Maka walaupun ketua Tiauw-pang
itu melancarkan serangan dengan mempergunakan gempuran tenaga yang lunak, dan
serangan itu tidak terlihat membawa angin serangan yang kuat, tetapi waktu tiba
di sasarannya, serangan itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat
sekali.
„Bukkkk!” kuat luar biasa,
tenaga itu menggempur tubuh Yo Him.
Tetapi inilah suatu kesalahan
besar yang dilakukan oleh Ciong Lam Cie, karena dia tidak mengetahui bahwa otot
dan urat di tubuh Yo Him justru baru bekerja jika terserang oleh tenaga dari
luar. Begitu tenaga serangan dari Ciong Lam Cie menghantam dengan keras, di
saat itulah tenaga menolak dari otot dan urat besar di tubuh Yo Him mulai
bekerja.
Betapa terkejutnya Ciong Lam
Cie waktu merasakan tenaga serangannya itu tertolak dan menghantam dirinya
lagi. Karena tidak menduga akan terjadi demikian lagi, Ciong Lam Cie jadi
terperanjat bukan main, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan dan mati-matian
menggerakkan tangan kanannya, dia harus dapat menangkis tenaga serangannya
sendiri yang berbalik menghantam dirinya.
„Bukk!” tenaga serangan itu
telah menghantam dengan kuat sekali, tetapi telah berhasil ditangkis oleh Ciong
Lam Cie, dan begitu tertangkis, segera dia melompat mundur dengan muka yang
pucat.
Benar-benar Ciong Lam Cie jadi
tidak mengerti, mengapa Yo Him bisa memiliki ilmu seaneh itu, dimana setiap
serangan-serangan yang dilancarkannya bisa ditolaknya oleh anak itu tanpa
terlihat Yo Him menggerakkan tangan¬nya. Itulah yang membingungkan Ciong Lam
Cie.
Dengan cepat Ciong Lam Cie
telah membentak: „Anak setan, ilmu apa yang engkau pergunakan?”
„Anak setan? Hemm, engkau yang
siluman! Usiamu telah enampuluh tahun, tetapi ternyata engkau kate dan mirip
seorang anak belasan tahun! Bukankah itu berarti engkau merupakan manusia
siluman?”
Disanggapi begitu oleh Yo Him,
tentu saja tubuh Ciong Lam Cie jadi gemetar menahan marah. „Kau..... kau
benar-benar ingin mampus!” katanya dengan suara yang dingin.
„Hemm. Mungkin juga!” kata Yo
Him. „Kalau memang engkau memiliki kesanggupan untuk membinasakan diriku,
mungkin aku akan mampus di tanganmu! Tetapi yang jelas, beberapa kali engkau
melancarkan serangan, tetapi engkau sendiri tidak berhasil dengan
serangan-seranganmu itu.....!”
Berulang kali diejek oleh Yo
Him, keruan saja darah Ciong Lam Cie naik sampai ke kepala. Tetapi dia
teringat, jika dia melancarkan serangan kepada Yo Him, berarti dia akan
menyerang dengan tenaga yang kuat dan tenaga itu jika berbalik menghantam
dirinya, niscaya akan menyebabkan dia terserang sendirinya. Maka dari itu,
Ciong Lam Cie telah berdiam diri saja, dia tidak melayani ejekan dari Yo Him.
Kemudian pangcu dari
Tiauw-pang ini telah menoleh kepada wakilnya. „Ciu toako, kau majulah!”
perintahnya.
Orang yang dipanggil Ciu toako
itu, wakil pangcu, yang nama lengkapnya Ciu Ie Ling, telah mengiyakan dengan
suara yang serak.
„Baik pangcu, aku akan
membereskan bocah siluman itu!” katanya dengan bersemangat sekali.
Dan dia telah melompat
menghampiri Yo Him, dan „srengg!” Cepat sekali dia telah mencabut keluar
sebatang pedang.
„Cabut senjatamu!“ perintah
wakil pangcu itu dengan suara yang sangat bengis, matanya memandang mengancam.
„Tidak perlu engkau
mempergunakan senjata tajam! Jika memang engkau memiliki keberanian, majulah,
mari kita bertempur dengan tangan kosong! Aku tidak biasa mempergunakan senjata
tajam!”
Mendengar perkataan Yo Him,
Ciu Ie Ling telah tertawa mengejek.
„Hemmm! Kalau engkau tidak mau
mempergunakan senjata, baiklah! Terpaksa aku tidak segan-segan akan menikammu
dengan pedangku ini untuk melenyapkan ilmu silumanmu!” Dan membarengi dengan
perkataannya itu, Ciu Ie Ling berlagak ingin melancarkan serangan.
Yo Him jadi berpikir keras.
Dia telah berpikir, jika dia melawan dengan tangan kosong, dia tidak memiliki
kesanggupan apa-apa, sedangkan bertempur dengan mempergunakan pedang, diapun
tidak memiliki ilmu pedang. Memang dia telah mempelajari seluruh kouw-hoat
(teori) dari ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat yang diturunkan oleh Kwee Siang,
tetapi belum sempat dilatihnya.
Namun Yo Him jadi nekad juga,
dia telah berteriak, „Tahan!”
„Apalagi?” tanya Ciu Ie Ling.
„Baiklah! Akupun akan
mempergunakan pedang menghadapimu!” Dan setelah berkata begitu Yo Him telah
melangkah menghampiri Kwee Siang, dia berkata: „Encie Siang, maafkanlah, aku
ingin meminjam pedangmu!” Dan setelah berkata begitu, dia mencabut pedang Kwee
Siang, sedangkan Kwee Siang tidak bisa berkata-kata, karena dia dalam keadaan
tertotok.
Saat itu, dengan cepat sekali,
Yo Him telah melangkah kembali kehadapan Ciu Ie Ling.
„Mulailah!” tantangnya dengan
suara yang dingin.
Ciu Ie Ling sebagai wakil
pangcu dari Tiauw-pang sebetulnya sangat dihormati oleh orang-orang rimba
persilatan, karena kiam-hoatnya, ilmu pedangnya memang dahsyat sekali. Tetapi
sekarang, anak lelaki kecil seperti Yo Him berani memandang remeh kepadanya
dengan sendirinya telah membuat dia jadi gusar bukan main. Karena kemarahannya
telah meluap-luap, dia mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali,
dan telah melancarkan tikaman dengan pedangnya.
Yo Him menangkis serangan itu
sekenanya saja, dengan mempergunakan salah satu jurus ilmu pedang
Go-bie-kiam-hoat. Tetapi hasilnya luar biasa, pedang di tangan Yo Him bukannya
menangkis serangan yang dilancarkan lawannya, justru telah meluncur akan
menikam tenggorokan lawannya.
Tentu saja Ciu Ie Ling jadi
terkejut sekali, karena untuk melindungi tenggorokannya dari tikaman mata
pedang Yo Him, terpaksa Ciu Ie Ling harus melompat ke belakang.
Harus diketahui waktu
menciptakan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat, Kwee Siang telah memikirkan berbagai
kelemahan yang ada di bagian-bagian tubuh lawannya. Karena dipersiapkan ilmu
pedang Go-bie-kiam-hoat khusus untuk kaum wanita, maka diutamakan adalah
kegesitan, bukan kekuatan. Sehingga Kwee Siang telah berusaha mencari
kemungkinan tidak melayani serangan lawan dengan kekerasan, dan dia telah
menciptakan setiap serangan lawan dilawan dengan serangan lagi. Tetapi setiap
serangan Go-bie-kiam-hoat selalu mengincar bagian-bagian yang berbahaya di
tubuh lawan sehingga bisa mematikan. Dengan demikian, tentu lawannya akan
terdesak dan serangannya akan gagal.
Cepat sekali gerakan dari
serangan-serangan ilmu pedang Go-bie-pay itu, maka dengan sendirinya tanpa
mengadu kekuatan tenaga, bisa saja murid Go-bie-pai mendesak lawannya.
Sedangkan Ciu Ie Ling yang
melihat cara bersilat Yo Him dengan pedangnya yang bergerak-gerak aneh itu,
tentu saja telah membuat dia terkejut sekali. Dia jadi berpikir keras, entah
siapa sebenarnya Yo Him, mengapa memiliki ilmu pedang yang demikian aneh?
Dengan penasaran Ciu Ie Ling
telah melancarkan serangan-serangan lagi dengan tikaman-tikaman pedangnya,
gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali dan juga mengandung kekuatan
yang dahsyat.
Tetapi Yo Him tidak
memperhatikan datangnya serangan lawannya, karena dia jadi sibuk melakukan
penyerangan-penyerangan juga dengan ilmu pedang Go-bie-kiam-hoat.
Setiap pedang Ciu Ie Ling
menyambar datang, maka Yo Him bukannya menangkis, justru dia menggerakkan
pedangnya itu mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawannya.
Dengan sendirinya, telah
membuat Ciu Ie Ling selalu harus menarik pulang pedangnya membatalkan
serangannya. Semakin lama Ciu Ie Ling jadi semakin sengit. Sehingga dia
berjingkrak beberapa kali dengan gusar.
Kemudian disertai suara
bentakan yang sa¬ngat bengis sekali, Ciu Ie Ling telah melancarkan serangan
lagi dengan tikaman-tikaman yang gencar sekali. Gerakan-gerakan yang
dilakukannya selain cepat sekali, juga mengincar bagian-bagian yang mematikan
di tubuh Yo Him.
Dalam sekejap mata saja,
tampak sinar pedang Ciu Ie Ling telah berkelebat-kelebat dengan kecepatan luar
biasa, membuat Yo Him jadi kewalahan untuk menghadapi serangan-serangan itu,
karena dia hanya mengerti teori ilmu pedang Go-bie-pai dan belum pernah
melatihnya. Dengan sendirinya, jadi sangat repot menghadapi serangan-serangan
seperti itu, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali, dan
memutar pedangnya dengan gerakan ‘San-hoa-kiam-sut’ atau ilmu pedang menyebar
bunga.
Gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh Yo Him ternyata bisa menyelamatkan juga diri dan jiwanya, karena pedang di
tangannya telah berputar-putar dengan sangat cepat sekali, telah mengancam ke
bagian-bagian tempat yang berbahaya di tubuh Ciu Ie Ling.
Tentu saja Ciu Ie Ling dibuat
terkejut lagi oleh serangan-serangan Yo Him itu. Berulang kali Ciu Ie Ling
telah mengeluarkan suara teriakan gusar dan membatalkan serangannya, karena dia
harus menyelamatkan jiwanya dari ujung pedang Yo Him.
Dalam keadaan demikian,
tampaknya Yo Him juga tidak tinggal diam, dia memang memiliki latihan ilmu
pedang Go-bie-pai, tetapi dia memiliki hati yang tabah, sehingga dia bisa saja
berlaku nekad dengan melancarkan serangan-serangan yang sangat cepat dan gesit
sekali, dengan jurus-jurus Go-bie-pai yang luar biasa anehnya.
Go-bie-kiam-hoat baru saja
diciptakan oleh Kwee Siang, dengan sendirinya ilmu pedang itu jarang sekali
yang lihat, dan merupakan ilmu pedang yang baru, maka Ciu Ie Ling sendiri jadi
sibuk sekali, dia sampai mengeluarkan suara seruan-seruan kaget setiap kali
hampir terserang oleh tikaman-tikaman yang dilancarkan Yo Him.
Yo Him dengan beruntun telah
mempergunakan jurus-jurus ilmu pedang Go-bie-pai, dan gerakan-gerakan yang
sangat cepat itu tambah membingungkan diri Ciu Ie Ling saja.
Tetapi, setelah lewat sepuluh
jurus, akhirnya Ciu Ie Ling telah melihatnya bahwa Yo Him sesungguhnya tidak
menguasai ilmu pedangnya itu, karena dia hanya bisa menggerakkan pedangnya itu
dengan gerakan-gerakan biasa saja, walaupun aneh, kenyataannya ilmu pedang itu
tidak mengandung tenaga yang cukup dahsyat untuk menjatuhkan musuhnya. Tentu
saja Ciu Ie Ling jadi heran melihat keadaan seperti itu, karena Yo Him
tampaknya memiliki tenaga yang tidak berarti, namun dia bisa memiliki
bermacam-macam ilmu silat dan ilmu pedang yang sangat aneh-aneh.
Tadi Ciu Ie Ling memang telah
mendengar bahwa Yo Him adalah puteranya Yo Ko, maka diam-diam dia jadi
berpikir:
„Hemm, pantas saja dia
memiliki ilmu-ilmu yang demikian hebat, memang jelas dia putera dari si buntung
keparat itu! Dan setelah berpikir begitu, Ciu Ie Ling mengawasi lagi kepada
serangan-serangan dan tikaman-tikaman pedang Yo Him.
„Tetapi..... mengapa dia tidak
memiliki kekuatan lweekang sedikitpun juga? Setiap tikamannya selalu kosong dan
tidak mengandung tenaga yang mematikan?”
Karena berpikir begitu, dengan
cepat Ciu Ie Ling telah mengeluarkan suara bentakan yang keras, waktu suatu
kali pedang Yo Him menyambar ke arahnya, tampak pedang itu telah dikibas oleh
pedang Ciu Ie Ling.
Gerakan itu mengandung
kekuatan tenaga mengibas yang sangat kuat sekali, karena Ciu Ie Ling telah
mengibas dengan maksud untuk menjatuhkan pedang itu terlepas dari cekalan
tangan Yo Him.
20.39. Tawanan Bajak Laut
Tiauw-pang
„Trangg.....!” Memang pedang
di tangan Yo Him berhasil ditangkis oleh Ciu Ie Ling dan tampak sebatang pedang
meluncur terbang ke tengah udara terlepas dari cekalan namun pedang itu adalah
pedangnya Ciu Ie Ling.
Sedangkan Ciu Ie Ling telah
melompat keluar gelanggang pertempuran dengan muka yang berobah pucat.
Saat itu rupanya waktu Ciu Ie
Ling menabas dengan pedangnya menangkis pedang Yo Him, telah terjadi suatu
peristiwa aneh lagi bagi Ciu Ie Ling, begitu pedangnya menangkis pedang Yo Him
karena dia mempergunakan kekuatan tenaga yang sangat kuat di saat itu otot di
telapak tangan Yo Him telah bekerja dengan sendirinya dan menolak dengan kuat,
berimbang dengan tekanan-tekanan gempuran atau tangkisan pedang Ciu Ie Ling
sendiri.
Maka bukannya pedang Yo Him
yang terlepas dari cekalannya, justru pedang Ciu Ie Ling yang telah terpental
dari cekalannya dan telah terlempar ke tengah udara. Keruan saja hal ini telah
membuat Ciu Ie Ling dan jago-jago Tiauw-pang yang lainnya jadi terkejut sekali
mereka jadi takjub dan menganggap Yo Him benar-benar luar biasa sekali.
Sedangkan ketua Tiauw-pang
juga jadi kaget bukan main, dia tidak menyangka sama sekali, bahwa sekecil itu
Yo Him benar-benar telah memiliki bermacam-macam ilmu mujijat. Tadi dia telah
melancarkan serangan berulang kali kepada Yo Him dengan mempergunakan tangan
kosongnya, tetapi selalu pula tenaga serangannya itu berbalik menghantam
kepadanya.
Dan sekarang Ciu Ie Ling telah
gagal menghadapi Yo Him dengan pedang, maka peristiwa ini merupakan peristiwa
yang jarang sekali terjadi dan belum pernah dialami oleh orang-orang Tiauw-pang
itu. Apa lagi pangcu dari Tiauw-pang dan Ciu Ie Ling juga bukan manusia-manusia
yang lemah sehingga dengan adanya peristiwa seperti ini, telah membuat mereka
tidak mengerti, anak sebesar Yo Him bisa memiliki kepandaian yang demikian
tinggi.
Kemudian pangcu dari
Tiauw-pang ini telah mengerahkan seluruh tenaga, lweekangnya dia telah
mengulurkan tangannya, dengan maksud akan mencengkeram bahu dari Yo Him.
Gerakan yang dilakukan oleh
pangcu dari Tiauw-pang ini sangat cepat sekali, di samping itu angin serangan
yang ditimbulkan oleh telapak tangannya itu mengandung kekuatan tenaga yang
sangat hebat sekali.
Dalam keadaan demikian Yo Him
juga tidak bisa berdiam diri. Lawannya bukan melancarkan serangan dengan
memukul atau menghantam, justru lawannya itu telah melancarkan serangan dengan
mempergunakan cengkeraman tangan.
Jika sampai bahunya atau
tubuhnya bagian yang lain kena dicengkeram oleh ketua dari Tiauw-pang, niscaya
akan menyebabkan dia mengalami kecelakaan yang tidak kecil, karena sepuluh
jari-jari tangan itu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat yang dapat
niencengkeram hancur tulang-tulang di tubuh Yo Him.
Tetapi Yo Him tidak merasa
takut, dengan cepat dia telah menyingkir ke samping.
Gerakan yang dilakukan oleh Yo
Him memang tidak begitu cepat, sehingga pangcu dari Tiauw-pang itu telah sempat
mengulangi serangannya lagi untuk mencengkeram punggungnya Yo Him.
Dan kali ini Yo Him tidak bisa
mengelakkan diri dari serangan tersebut, karena itu dengan hebat punggungnya
telah kena dicengkeram oleh ketua Tiauw-pang itu.
„Brettt.....!” pakaian di
bagian punggung Yo Him telah robek kena dicengkeram, karena Yo Him masih sempat
untuk menjauhi diri. Dengan sendirinya dia bisa selamat dari terluka di tangan
ketua Tiauw-pang itu.
Namun bajunya yang telah robek
itu menyebabkan Phang Kui In yang menyaksikannya jadi mengeluarkan seruan
tertahan karena terkejut.
Tetapi Yo Him dengan cepat
telah menghadapi ketua Tiauw-pang itu lagi. Berani dan tabah sekali anak ini.
Sedangkan Ciong Lam Cie tambah
bersemangat waktu melihat dia telah berhasil merobek pakaian Yo Him. Dengan
cepat dia telah melompat dan melancarkan serangan pula, dia mengulurkan
tangannya untuk mencengkeram lagi. Gerakannya kali ini dilakukannya lebih cepat
dari pada gerakan yang tadi dan tangannya telah diulurkan untuk mencengkeram
dengan kuat sekali
Yo Him akhirnya melihat bahwa
dirinya tidak mungkin bisa menghadapi tokoh persilatan seperti Ciong Lam Cie,
karena walaupun dia telah memiliki lweekang yang mujijat dan aneh, tetapi Ciong
Lam Cie telah mengetahui kelemahannya itu, sehingga dia telah melancarkan
serangan-serangannya dengan hanya mempergunakan jari tangan belaka, yang
dipergunakan untuk mencengkeram. Maka tenaga yang meluncur dari jari tangannya
itu hanya berseliweran perlahan sekali, menyebabkan tenaga memantul dari otot
maupun urat jalan darah utama di tubuh Yo Him tidak berarti apa-apa untuk Ciong
Lam Cie.
Dengan mengeluarkan suara
bentakan yang sangat keras, berulang kali Yo Him telah diserang oleh Ciong Lam
Cie.
Walaupun dalam keadaan
tertotok, tetapi Kwee Siang bisa melihatnya bahwa keadaan Yo Him sangat
terancam oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh Ciong Lam Cie. Tetapi dia
dalam keadaan tertotok, tidak bisa dia memberikan bantuan maupun
pertolongannya, sehingga Kwee Siang jadi berkuatir dan bingung sekali.
Dengan mempergunakan kekuatan
tenaga dalamnya, beberapakali Kwee Siang berusaha membuka totokan di tubuhnya,
namun gagal. Tampaknya cara menotok yang dilakukan oleh Ciong Lam Cie merupakan
totokan yang aneh dan luar biasa sekali, sehingga sulit sekali untuk dibuka
dengan kekuatan sendiri.
Dengan gagalnya Kwee Siang
berusaha membuka totokan di tubuhnya, gadis ini jadi mengeluh beberapa kali dan
benar-benar berkuatir sekali, karena dia tidak berdaya untuk menolong Yo Him,
walaupun dia melihat Yo Him dalam tekanan dan ancaman bahaya yang tidak kecil
di tangan ketua Tiauw-pang.
Di saat itu, angin serangan
wakil ketua Tiauw-pang telah berseliweran kuat dan lunak bergantian, untuk
mengelabuhi lweekang aneh yang dimiliki Yo Him.
Sampai akhirnya Yo Him tidak
berdaya waktu pergelangan tangannya dicekal oleh ketua Tiauw-pang. Tubuhnya
telah dilontarkan ke tengah udara.
Waktu tubuhnya meluncur turun,
justru jari tangan ketua Tiauw-pang itu telah bergerak menotok jalan darah Yo
Him, maka tubuhnya segera terbanting di lantai tanpa bisa bergerak lagi, karena
Yo Him telah dalam keadaan tertotok.
<>
Phang Kui In waktu melihat apa
yang telah dialami oleh Yo Him jadi mengeluarkan suara seruan tertahan dan
telah melompat ke tengah gelanggang tanpa memperdulikan lagi ancaman mata golok
dari kedua anggota Tiauw-pang itu.
Tetapi ketua Tiauw-pang itu
telah tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali, dia telah
berkata dengan suara yang bengis:
„Engkau mana bisa melayani
aku? Lebih baik engkau kembali duduk di tempatmu agar engkau tidak mengalami
peristiwa dan penderitaan seperti mereka berdua itu. Kembali ke kursimu!!”
Tetapi Phang Kui In telah
nekad benar, dengan mengeluarkan bentakan: „Aku akan mengadu jiwa dengan kau!”
dia telah melompat dan melancarkan serangan-serangan dengan mem¬pergunakan
kedua tangannya. Tubuhnya telah meluncur menerjang ketua Tiauw-pang itu,
gerakannya sangat cepat sekali, juga kedua telapak tangannya yang di¬pergunakan
untuk menghantam itu mengandung kekuatan yang cukup dahsyat.
Tetapi Ciong Lam Cie telah
mengeluarkan suara tertawa mengejek, dia telah menggerakkan kedua tangannya
untuk menangkis serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu.
„Takkk!” Kedua telapak tangan
Phang Kui In telah ditangkis oleh ketua Tiauw-pang dan tubuh Phang Kui In telah
terpental keras sekali terbanting di lantai perahu.
Phang Kui In merasakan
pergelangan tangannya itu sakit sekali. Dada sebelah kiripun dirasakan nyeri
dan ngilu sekali, mungkin dia telah terluka di dalam. Tetapi dengan penasaran
dan nekad sekali, Phang Kui In telah melompat dengan gerakan yang sangat gesit
sekali, dia telah mengeluarkan suara bentakan mengguntur dan telah menerjang maju
lagi.
Sambil menerjang kedua
tangannya disi¬langkan, dia telah melancarkan gempuran yang sangat kuat sekali,
karena Phang Kui In dalam nekadnya itu telah memusatkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya di kedua tangannya itu. Dia bermaksud akan mengadu jiwa dengan Ciong
Lam Cie, maka Phang Kui In melancarkan gempuran itu tanpa memikirkan
keselamatan dirinya lagi
Angin serangannya itu
berkesiuran dengan keras sekali, dan juga angin serangan tersebut telah
menggempur kuda-kuda Ciong Lam Cie. Tetapi Ciong Lam Cie walaupun muka dan
bentuk tubuhnya yang kecil itu seperti seorang anak kecil, namun pangcu
Tiauw-pang ini merupakan seorang ahli silat yang telah berpengalaman sekali.
Sama sekali kuda-kudanya tidak
tergoyahkan oleh serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In, bahkan Ciong Lam
Cie menantikan sampai tenaga serangan yang dilancarkan Phang Kui In telah dekat
dengannya, di saat itulah dengan, mengeluarkan suara seruan yang sangat panjang
sekali, Ciong Lam Cie telah menangkis gempuran Phang Kui In.
„Brukkk..... bukkk!” dua
kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali telah saling bentur dengan keras, dan
dengan tenaga saktinya Ciong Lam Cie telah membuat tubuh Phang Kui In terpental
dan terbanting di lantai perahu, terus tidak bergerak lagi, karena Phang Kui In
telah pingsan tidak sadarkan diri.
Ciong Lam Cie telah tertawa
dingin, sikapnya angkuh sekali.
„Bawa mereka ke kamar
tahanan.....!” perintahnya dengan suara yang congkak sekali.
„Kami menerima perintah!”
teriak beberapa orang pengawal ruangan, yang segera menggotong tubuh Kwee
Siang, Yo Him dan Phang Kui In ke kamar tahanan. Ketiga orang tawanan
Tiauw-pang itu telah dibawa ke ruangan bawah kapal itu, dan kemudian dimasukkan
ke dalam sebuah ruangan yang gelap tidak memiliki penerangan sedikitpun juga.
Kwee Siang walaupun dalam
keadaan tertotok, matanya bisa menyaksikan segala apa. Dia melihat, bahwa
mereka bertiga telah tertawan oleh pihak Tiauw-pang, berarti sulit sekali bagi
mereka untuk melarikan diri, terlebih lagi dirinya bersama Yo Him dalam keadaan
tertotok, sedangkan Phang Kui In dalam keadaan pingsan, mungkin juga tengah
terluka di dalam yang parah sekali.
Saat itu, Yo Him juga telah
tersadar dari pingsannya, tetapi tubuhnya dalam keadaan tertotok seperti Kwee
Siang, dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Keadaan di sekitar tempat itu
gelap sekali, karena ruangannya tertutup, sehingga tidak setitik sinar pun yang
menembus masuk. Sedangkan Yo Him baru saja tersadar dari pingsannya, maka
melihat sekelilingnya yang gelap pekat seperti itu, dia menduga bahwa dirinya
telah berada di dalam neraka. Dia telah mengawasi sejenak keadaan di
sekitarnya, sampai akhirnya waktu Yo Him mendengar suara napas seseorang, dia
telah memanggil perlahan:
„Paman Phang.....? Encie
Siang…..?”
Yo Him memanggilnya dengan
perlahan, dengan suara yang ditekankan, karena dia ragu-ragu kalau dia masih
hidup di dalam dunia, sebab begitu dia siuman dari pingsannya, justru sekitar
dirinya gelap pekat, sehingga untuk melihat tubuhnya sendiri saja tidak bisa.
Apa lagi saat itu Yo Him merasakan tubuhnya kaku tidak bisa bergerak, maka dia
menduga dirinya telah meninggal dunia dan telah dikubur di dalam tanah. Keadaan
seperti ini telah membuat Yo Him jadi ragu-ragu, maka waktu dia memanggil Phang
Kui In dan Kwee Siang, dia memanggilnya dengan suara yang perlahan sekali.
Kwee Siang mendengar suara Yo
Him, dia jadi girang sekali.
„Aku disini, adik Him.....!”
kata Kwee Siang dengan cepat. „Apakah engkau sehat-sehat saja? Tidak terlukakah
tubuhmu?”
Yo Him menghela napas.
„Encie Siang, rupanya kita
berdua telah mati, bukan?” tanya Yo Him.
„Telah mati? Mengapa begitu?”
tanya Kwee Siang tidak mengerti.
„Bukankah sekarang ini kita
berdua berada dalam timbunan tanah, kita telah dikubur? Tubuh kita tidak bisa
digerakkan karena tertimbun tanah, bukan?”
Kwee Siang tertawa kecil.
„Tidak, kita masih hidup!”
kata Kwee Siang cepat. „Bukankah kita masih bisa bernapas? Dan masih dapat
bercakap-cakap? Kita hanya tertahan oleh pihak Tiauw-pang dan berada dalam
keadaan tertotok, sehingga tubuh kita tidak bisa bergerak.”
Mendengar perkataan Kwee Siang
hati Yo Him jadi agak lega.
„Lalu..... lalu mengapa
keadaan di sekeliling kita ini gelap sekali? Semula aku menduga bahwa kita
telah berada dalam tanah atau di neraka.....!” kata Yo Him lagi. „Dan..... di
mana paman Phang?”
„Kita dikurung di dalam,
ruangan yang rapat dan tidak memiliki sinar sedikit pun juga, kita berada dalam
ruangan tawanan, maka dari itu kita harus berusaha meloloskan diri. Sedangkan
paman Phang mu dalam keadaan pingsan, karena telah dirubuhkan ketua Tiauw-pang
itu.....! Yang terpenting bagaimana aku bisa membuka totokan di tubuhku.....
jika totokan di tubuhku bisa dibuka, aku bisa memikirkan lebih lanjut cara
bagaimana kita bisa meloloskan diri!”
„Apakah aku tidak bisa membuka
totokan di tubuhmu, encie Siang?” tanya Yo Him.
„Kau?” dan Kwee Siang berdiam
sejenak, tampaknya dia tengah berpikir keras. Tetapi kemudian dia telah berseru
girang.
„Adik Him! Kita akan
tertolong!” teriaknya. „Kau bisa membuka totokan di tubuhku mempergunakan jalan
pernapasanmu yang aneh itu! Kini engkau harus berusaha membuka totokan di
tubuhmu sendiri dulu, kau turuti petunjukku!”
„Baik encie Siang!” menyahuti
Yo Him, yang juga ikut girang.
Setelah itu, Kwee Siang
berkata dengan suara yang tidak begitu keras karena dia kuatir di luar ruangan
kamar tahanan itu ada anak buah Tiauw-pang.
„Kau salurkan pernapasanmu ke
jalan darah wie-cing-hiat di dekat pundakmu!” kata Kwee Siang memberikan
petunjuknya bagaimana Yo Him harus menyalurkan jalan pernapasannya untuk
membuka totokan di tubuhnya.
Yo Him menuruti dia merasakan
pundaknya ngilu.
„Pundakku ngilu dan sakit
sekali!” kata Yo Him memberitahu keadaannya itu.
„Biar..... tidak apa? Engkau
tahan dulu!” kata Kwee Siang. „Sekarang engkau salurkan pernapasanmu itu ke
jalan darah hai-tiong-hiat, lalu memutar setengah lingkaran, tiga dim dari
hai-tiong-hiat, yaitu ke jalan darah pie-liang-hiat.”
Yo Him menuruti terus
petunjuk-petunjuk yang diberikan Kwee Siang. Setelah dia menyalurkan
pernapasannya sampai ke jalan darah pie-liang-hiat, seketika itu juga terasa
hawa hangat bergolak di perutnya. Kuat sekali golakan hawa panas itu. Seperti
juga bola api yang berputar-putar dan semakin lama jadi semakin panas juga. Yo
Him segera memberitahukan keadaannya itu kepada Kwee Siang.
„Cepat kau salurkan jalan
pernapasanmu ke jalan darah sim-touw-hiat.....!” perintah Kwee Siang, nada
suaranya girang bukan main.
Yo Him menuruti. Dan seketika
itu juga Yo Him merasakan bola api yang panas di dalam perutnya itu seperti
buyar dan sekejap mata saja dia sudah terlepas dari totokan yang dilakukan oleh
Ciong Lam Cie, karena dia telah berhasil menggerakkan kaki dan tangannya.
Rupanya tenaga totokan itu telah buyar oleh kekuatan napas dari Yo Him.
Segera Yo Him bangkit, dia
jalan meraba-raba.
„Kau dimana encie Siang?”
tanya Yo Him.
„Ya, ke kanan, aku berada
disini, dua langkah lagi!” kata Kwee Siang memberitahukannya.
Harus diketahui, jika Yo Him
memang tidak memiliki latihan mata, sedangkan Kwee Siang justru telah terlatih
matanya, walaupun berada dalam ruangan yang sangat gelap pekat, dia masih bisa
melihat cukup jelas.
Yo Him menuruti petunjuk Kwee
Siang maka dia bisa sampai disamping si gadis.
„Kini pertama-tama engkau
harus menotok jalan darah ban-siang-hiatku!” kata Kwee Siang. „Cepat, jangan
ragu-ragu!”
Memang Yo Him jadi ragu-ragu,
karena dengan menotok tubuh si gadis berarti tangannya akan bersentuhan dengan
tubuh si gadis. Tetapi dibentak begitu oleh Kwee Siang, Yo Him jadi tidak
ragu-ragu lagi, dia telah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah
ban-siang-hiat Kwee Siang.
„Ya, tepat totokanmu itu, kini
hati-hati, engkau harus menotok yang tepat jalan darah bun-cie-hiat, tiga dim
di pinggul, jangan meleset, karena terpisah satu dim terdapat jalan darah bian-to-hiat,
jalan darah yang bisa mematikan!”
Yo Him melaksanakan perintah
Kwee Siang dengan hati-hati. Dia memang telah mengerti letak jalan darah,
karena waktu Kwee Siang mengajari dia dasar-dasar ilmu lweekang, dia telah
memperoleh petunjuk mengenai letak jalan darah itu. Sebagai seorang anak yang
cerdas sekali, maka Yo Him bisa mengingatnya dengan baik letak jalan darah itu.
Setelah itu, Kwee Siang
memberi petunjuk lagi agar Yo Him menotok beberapa jalan darah lainnya.
Yo Him melakukannya dengan tepat
sekali. Waktu Yo Him terakhir kali menotok jalan darah sung-ko-hiat di dekat
pundak si gadis. Maka Kwee Siang telah dapat melompat bangun.
„Ya, bebaslah kini aku dari
totokan orang she Ciong itu!” kata Kwee Siang.
Yo Him juga jadi girang,
tetapi belum lagi Yo Him sempat berkata-kata, Kwee Siang telah berkata
kepadanya: „Adik Him engkau tentu heran bukan, mengapa aku yang memiliki
kepandaian yang tinggi tidak bisa membuka sendiri totokan di tubuhku, sedangkan
engkau yang belum memiliki kepandaian yang berarti telah bisa membuka totokanmu
itu sendiri?”
„Benar, encie Siang.....!”
seru Yo Him. Dia memang heran, mengapa justru tadi Kwee Siang mengetahui dan
memberikan petunjuk kepadanya agar jalan pernapasannya itu disalurkan dari
jalan darah yang satu ke jalan darah yang lainnya, tetapi mengapa Kwee Siang
tidak bisa membuka sendiri jalan darahnya yang tertotok itu.
„Sesungguhnya, disini letak
kemujijatan dari kekuatan tenaga dalammu yang luar biasa itu.....!” berkata
Kwee Siang. „Seperti engkau juga telah mengetahui bahwa engkau telah memperoleh
kekuatan lweekang yang hebat sekali, lweekang yang mengandung kemujijatan.
Sehingga bisa memukul balik kembali setiap tenaga yang menghantam ke tubuhmu,
karena otot dan jalan darah utamamu itu akan bekerja begitu diserang dari luar.
Maka aku jadi yakin bahwa engkau bisa membuka sendiri totokan di tubuhmu dengan
mempergunakan pernapasanmu yang aneh itu.....! Dan dugaanku ternyata tepat,
engkau berhasil! Bahkan dengan totokan-totokan jari tanganmu itu, yang mengandung
lweekang yang mujijat itu, engkau telah berhasil menolongku! Maka dari itu, ini
telah membuktikan bahwa engkau memiliki lweekang yang dahsyat sekali, sayangnya
engkau belum mengetahui cara untuk menyalurkannya! Jika memang nanti kita telah
berhasil meloloskan diri dari orang-orang Tiauw-pang, dan telah bertemu dengan
ayahmu, kita mencari tempat yang sepi, aku akan memberikan petunjuk-petunjuk
kepadamu, begitu pula engkau boleh meminta petunjuk ayahmu. Jika saja engkau
mengetahui cara-cara untuk menguasai dan mengendalikan pernapasanmu tentu
engkau akan memiliki suatu kekuatan yang sulit dilawan!”
Yo Him jadi girang sekali.
„Terima kasih encie!” katanya.
„Walaupun aku memiliki
lweekang yang tinggi, tetapi lweekangku itu saja, tidak mempunyai kemujijatan yang
seperti engkau miliki, aku memperoleh lweekangku ini berkat latihan, maka
walaupun aku telah mengerahkan lweekangku itu untuk membuka totokan Ciong Lam
Cie, kenyataannya aku gagal, karena totokan orang she Ciong itu sangat aneh
sekali! Tetapi dengan lweekangmu yang aneh dan sangat mujijat itu, ternyata
totokanku dapat digempur buyar!”
Mendengar keterangan yang
diberikan oleh Kwee Siang, tentu saja telah membuat Yo Him jadi bertambah
girang.
Kemudian tampak Kwee Siang
telah berkata lagi: „Mari kita melihat keadaan paman Phang mu itu.....!!”
Yo Him baru teringat kepada
Phang Kui In, kembali perasaan kuatir menguasai dirinya. Dengan dituntun oleh
Kwee Siang, Yo Him diajak menghampiri Phang Kui In.
Saat itu mata Yo Him juga
telah terbiasa di tempat gelap, sehingga dia bisa melihat samar-samar paman
Phang nya itu menggeletak di lantai tanpa bergerak.
Kwee Siang telah berjongkok,
dia telah memeriksa keadaan Phang Kui In.
„Hemmm, paman Phangmu telah
terluka di dalam, urat besar di dada kirinya, yaitu urat besar
bian-tiang-hiatnya, telah tergeser.....!” menjelaskan Kwee Siang setelah
memeriksa tubuh Phang Kui In.
Yo Him jadi tambah berkuatir,
hampir saja dia menangis karena bingung,
Di saat itu Kwee Siang telah
sibuk menguruti tubuh Phang Kui In, dan dia berusaha, mengembalikan urat besar
di dada kiri Phang Kui In yaitu urat besar bian-tiang-hiatnya ke posisi yang
semula. Tetapi pekerjaan itu tidak mudah dan urutan tangan Kwee Siang tidak
sanggup menggeser urat itu dengan baik. Tiba-tiba Kwee Siang telah teringat
sesuatu, dia mengeluarkan seruan tertahan yang perlahan sekali.
Yo Him jadi terkejut. Tadi dia
dengan tegang sedang memandangi Kwee Siang yang sibuk menguruti dada paman
Phangnya itu, dan dia jadi terkejut ketika melihat Kwee Siang mengeluarkan suara
seruan tertahan seperti itu.
„Ada apa encie Siang?’“ tanya
Yo Him dengan berkuatir sekali.
„Hemm, rupanya paman Phang mu
ini bisa ditolong oleh kau pula, adik Him!!” kata Kwee Siang. „Dengan
lweekangmu yang mujijat itu urat besar itu bisa dikembalikan ke posisinya yang
semula.”
Mendengar itu tentu saja Yo
Him jadi sangat girang, dan dia mengiyakan berulang kali.
„Cepatlah encie Siang,
bagaimana caranya aku bisa menolong paman Phang, tolong kau beritahukan
kepadaku!” Kata Yo Him tidak sabar.
„Tenang, tidak akan terlambat,
walaupun terluka akibat tergesernya urat besar di dada kirinya, namun paman
Phangmu itu tidak mengalami ancaman kematian..... jangan membuat suara berisik,
nanti menarik perhatian anak buah dari orang she Ciong itu!”
Yo Him meleletkan lidahnya,
dia baru teringat bahwa mereka memang sedang berada di kamar tahanan musuh,
maka dia telah menutup mulut tidak berkata-kata lagi.
Sedangkan Kwee Siang telah
memberikan petunjuknya, dia meminta kepada Yo Him agar duduk di dekat tubuh
Phang Kui In, duduk di sebelah kanannya.
Dengan suara yang perlahan
sekali Kwee Siang memberikan petunjuk-petunjuknya apa yang harus dilakukan oleh
Yo Him. Jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him ternyata banyak jumlahnya,
karena setiap kali Kwee Siang menyebutkan nama jalan darah yang harus ditotok
di tubuh Phang Kui In, Yo Him harus menotok dengan mempergunakan tenaga
mujijatnya.
„Sie-tung-hiat, mie-ko-hiat,
urut perlahan jalan daerah liu-bong-hiat, kemudian totok lagi jalan darah
kie-mui-hiat di dekat lutut, kau harus mengurut jalan darah ma-siang-hiat, dan
kini urutlah jalan darah lu-cing hiat.....” Begitulah Kwee Siang telah
menyebutkan terus menerus jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him. Jumlah
jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him di tubuh Phang Kui In ternyata
sangat banyak jumlahnya.
Peluh yang besar-besar telah
memenuhi kening dan tangan Yo Him, keringat itu menunjukkan bahwa Yo Him telah
lelah sekali. Tetapi Kwee Siang menyadari bahwa pertolongan yang tengah
diberikan kepada Phang Kui In tidak boleh tertunda, karena jika sampai
tertunda, berarti akan menyebabkan bahaya yang tidak kecil untuk Phang Kui In,
karena jalan-jalan darah yang telah terbuka itu akan kemasukan hawa kotor yang
belum lagi dilenyapkan. Maka dari itu Kwee Siang meneruskan petunjuk¬nya tanpa
memperdulikan bahwa Yo Him telah lelah sekali.
Yo Him juga menguatkan hatinya
untuk dapat melakukan terus tugasnya, demi keselamatan paman Phang nya ini.
Walaupun kepalanya mulai pusing dan juga matanya mulai berkunang-kunang, tetapi
Yo Him tidak berani beristirahat. Setiap kali Kwee Siang menyebutkan jalan
darah yang harus ditotoknya, segera juga Yo Him melakukannya dengan cepat.
Setelah menotok lebih dari
seratus jalan darah di tubuh Phang Kui In, barulah orang she Phang itu menggeliat
perlahan dan tersadar dari pingsannya, terdengar dia mengeluarkan suara keluhan
pendek.
„Phang susiok!” berseru Yo Him
gembira melihat paman Phang nya telah tersadar.
„Sssttt!” Kwee Siang
memperingati Yo Him agar tidak menimbulkan suara berisik, karena bisa menarik
perhatian orang di luar kamar tahanan ini, berarti mereka bisa celaka, karena
mereka bertiga dalam keadaan yang lemah.
Yo Him juga menyadari bahaya
yang bisa timbul oleh kecerobohannya itu, maka anak ini telah meleletkan
lidahnya dengan sikap yang lucu, sehingga mau atau tidak Kwee Siang ikut
tersenyum oleh sikap anak itu.
„Ayo kita mulai lagi
membersihkan pengaruh kotor di tubuh paman Phangmu, masih ada puluhan jalan
darah lagi yang harus ditotok olehmu.....!” Kata Kwee Siang yang kemudian
menyebutkan satu persatu jalan darah yang harus ditotok oleh Yo Him dengan
mempergunakan tenaga mujijat yang ada padanya.
Keadaan seperti itu
berlangsung terus sampai beberapa saat lamanya, dan tampak Phang Kui In telah
tersadar dari pingsannya dan dia telah berhasil menggerakkan tubuhnya, berusaha
untuk duduk.
Yo Him dan Kwee Siang yang
melihat telah cepat-cepat mengulurkan tangan mereka, untuk membantu paman Phang
tersebut duduk dengan tubuh yang masih lesu.
„Phang susiok, akhirnya kau
bisa diselamatkan juga!” kata Yo Him sambil tersenyum.
„Ya, kau juga harus merasa
berterima kasih pada Kwee liehiap, karena Kwee liehiap yang telah menyelamatkan
kita. Coba kalau tidak ada Kwee liehiap, bukankah berarti aku akan menemui
bencana dan meninggal, dan engkau pun akan terus dalam keadaan tertotok tidak
berdaya.....?”
„Tunggu dulu Phang
lo-enghiong, bukan aku yang telah menolongimu..... Justru aku pun telah
ditolong oleh seseorang.....!” kata Kwee Siang cepat memotong perkataan orang
she Phang itu.
Phang Kui In jadi tertegun,
dia meman¬dang dengan sorot mata terkejut, katanya dengan ragu-ragu: „Ada
seorang pendekar sakti lainnya yang telah menolongi kita?”
Kwee Siang mengangguk.
„Ya, Phang lo-enghiong dan
siauw-moy (aku) telah ditolong oleh Yo Him.....!” menjelaskan Kwee Siang.
„Hah?” tentu saja Phang Kui In
jadi tambah terkejut.
„Yo Him pertama-tama membuka
totokan di tubuhnya menurut ilmu tenaga dalam seperti yang kuberikan, kemudian
setelah berhasil membebaskan dirinya dari totokan, barulah dia membuka totokan
di tubuhku dengan mudah lalu menotok pula jalan darah jalan darah Phang
lo-enghiong, sehingga kita jadi dapat selamat dari pengaruh totokan si jahat
she Ciong itu!”
„Sungguh luar biasa dan sulit
bisa dipercaya!” kata Phang Kui In sambil geleng-gelengkan kepalanya mengawasi
ke arah Yo Him, bagaikan ada sesuatu yang telah menakjubkan hatinya.
Yo Him mengangguk, katanya,
„Benar Phang susiok, tadi cie-cie Siang telah memberikan petunjuk-petunjuknya,
jalan darah yang mana harus ditotok olehku. Menurut encie Siang aku memiliki
lweekang yang mujijat, yang melebihi lweekangnya sendiri yang telah dilatihnya
selama belasan tahun! Menurut encie Siang bahwa di tubuhku terdapat suatu
keistimewaan pada jalur-jalur jalan darahku.”
Setelah tertegun sejenak lagi,
tiba-tiba Phang Kui In tertawa bergelak-gelak dengan keras.
Untung saja Kwee Siang
bergerak cepat. Gadis ini terkejut sekali waktu melihat Phang Kui In tertawa
keras, tanpa pikir panjang lagi Kwee Siang telah mengulurkan tangannya membekap
mulut jago she Phang itu.
„Hati-hati Phang lo-enghiong.
Kita bisa celaka, suara tertawamu itu bisa memancing kedatangan lawan.....!”
Kwee Siang telah memperingati.
Phang Kui In jadi terkejut,
dia baru teringat bahwa diri mereka tengah berada dalam kekuasaan musuh. Maka
dari itu dengan penuh penyesalan Phang Kui In mengangguk. Sedangkan Kwee Siang
telah menarik pulang tangannya kembali.
„Sekarang yang perlu kita
pikirkan,” kata Kwee Siang lagi, „Tindakan apa yang harus kita lakukan untuk
meloloskan diri dari tangan orang she Ciong itu?”
Phang Kui In juga tampaknya
bingung sekali.
,,Ciong Lam Cie memiliki
kepandaian yang tinggi dan di atas kepandaian kita tampaknya tidak mudah kita
melarikan diri dari jaringan anak buahnya yang berjumlah cukup banyak dan juga masing-masing
memiliki kepandaian yang tinggi, maka kita tidak boleh berlaku ceroboh. Sekali
saja mereka mengetahui kita sudah terbebas dari tolokan mereka dan juga sekali
saja mereka mengetahui kita akan melarikan diri, tentu diri kita akan dianiaya
lebih berat dan lebih menyakitkan. Atau kemungkinan juga kita bertiga akan
dibinasakan.”
„Benar Phang lo-enghiong
akupun berpikir begitu, kita harus merencanakan sebaik mungkin cara yang
terbaik untuk bisa meloloskan diri dari tangan orang she Ciong itu!”
„Bagaimana kita pecahkan
dinding kapal ini untuk menerobos keluar, ke dalam air laut dan berenang
meninggalkan kapal ini?” Phang Kui In telah memberikan sarannya.
„Bagaimana jika kita sekarang
ini sedang berada di tengah lautan yang jauh dari daratan. Bukankah berarti
kita membinasakan jiwa kita sendiri, membunuh diri dengan cara seperti itu?”
bantah Kwee Siang.
Phang Kui In jadi tertegun
lagi memandang kosong dalam kegelapan seperti itu.
20.40. Lawan Amukan Laut
Ganas.
„Memang serba sulit!”
menggumam Phang Kui In kemudian dengan suara yang perlahan, seperti juga dia
tengah berkata kepada dirinya sendiri.
„Ya dalam hal ini kita seperti
juga terjepit dalam dua pilihan. Pertama, kita membiarkan berdiam diri saja
ditawan oleh orang she Ciong itu dan kita lihat apa yang dikehendakinya
nanti..... atau kita menempuh bahaya mengadu untung menjebolkan dinding perahu
ini dan kemudian berenang keluar.....!” Setelah berkata begitu, Kwee Siang
menghela napas berulang kali.
Phang Kui In bertiga jadi
bingung juga dan mereka serba salah dalam menentukan sikap dan langkah-langkah
bagaimana yang harus mereka ambil.
Waktu itu tampak Yo Him telah
berkata dengan suara yang ragu-ragu
„Bagaimana jika kita mengadu
nasib dengan menjebolkan dinding kapal dan berenang keluar? Bukankah dengan
langkah demikian kita masih memiliki harapan kalau-kalau sekarang ini kapal
tengah berlayar dan berada tidak jauh dengan daratan?”
Phang Kui In dau Kwee Siang
tidak segera menyahutinya, mereka telah saling pandang sejenak kemudian
terdengar Kwee Siang berkata:
„Ya, itupun memang cukup baik.
Lebih baik kita binasa di lautan dari pada kelak kita akan diperhina terus
menerus oleh Ciong Lam Cie, si cebol itu!”
Phang Kui In melihat Kwee
Siang telah menyetujui untuk mengambil jalan merusak dinding kapal dan
menerobos keluar berenang di lautan, diapun mengangguk.
„Ya, aku pun lebih condong
mengambil langkah yang seperti itu!” katanya.
Phang Kui In kemudian
berunding dengan Kwee Siang, tindakan apa yang pertama-tama harus mereka
lakukan. Dan siapa yang harus memecahkan dinding kapal itu.
„Yang jelas, kita harus
merusak dinding kapal tanpa bersuara. Jika kita menghajarnya dengan kekerasan
dan suara gaduh itu terdengar oleh anak buah Ciong Lam Cie, kemungkinan besar
rencana kita akan gagal sama sekali.....!”
Phang Kui In mengangkat tangan
kanannya memperlihatkan ibu jari tangannya, memuji akan kecerdasan dan
ketelitian dari jago wanita she Kwee ini.
„Aku akan memukul dengan
serangan pukulan kapas, sehingga pukulan itu waktu tiba di kayu dinding kapal
ini, tidak menimbulkan suara yang berisik, tetapi kayu dinding kapal akan rusak
hancur karenanya!”
Phang Kui In hanya mengangguk
saja, karena dia menyadari walaupun usia Kwee Siang masih muda, tetapi dia
memiliki kekuatan yang boleh diandalkan dan kecerdikan yang bisa dipuji tinggi.
Kwee Siang duduk menghadapi
dinding kapal, dia duduk dengan sikap yang tegak, kedua tangannya diangkat
perlahan-lahan sambil menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan perlahan dia
memukul ke depan, seperti juga mengusap dinding kapal itu karena perlahannya
pukulan tersebut. Lalu dia mengeluarkan suara siulan yang nyaring, disertai
suara „krekk!” pecahnya dinding kapal dalam lingkaran yang besar, setombak
lebih. Air juga telah berhamburan menerobos masuk, mengejutkan Phang Kui In dan
Yo Him, tubuh Kwee Siang sendiri telah terdorong oleh serbuan air itu, sampai
terguling. Tetapi pendekar wanita ini memiliki kegesitan, cepat sekali dia
telah berhasil untuk menguasai diri.
„Biarkan air itu masuk dulu
sampai memenuhi ruangan ini, sehingga kita menyelam dan berenang keluar tanpa
perlu menghadapi terjangan air.....!” kata Kwee Siang.
Phang Kui In mendengar itu
memuji akan kecerdikan si gadis, karena memang jika mereka berusaha keluar di
saat itu juga, berarti mereka harus melawan terjangan air yang menerobos masuk
ke dalam ruangan, tenaga air sangat kuat dan mereka tidak mungkin berhasil
menerobos keluar. Tetapi jika air mulai menggenangi kamar itu dan tinggi air di
dalam ruang bawah kapal itu telah melewati tepian lobang di dinding kapal,
mereka bisa berenang keluar tanpa perlu diterjang oleh air pula.
Saat itu juga telah terdengar
suara berisik di atas kapal, rupanya suara siulan Kwee Siang yang nyaring dan
juga suara air yang menerobos masuk ke ruangan dalam kapal dengan cepat dan
keras, telah menyebabkan anak buah Ciong Lam Cie jadi terkejut dan mereka
tergesa-gesa berlari untuk melihat ruangan di bawah, dari arah mana suara
berisik itu datang.
Alangkah terkejutnya anak buah
Ciong Lam Cie waktu melihat ruangan bawah itu telah digenangi penuh air laut,
dan mereka berteriak-teriak dengan suara yang keras: „Tawanan melarikan diri!
Tawanan melarikan diri! Dan dinding kapal telah dirusaknya! Kapal kita akan
segera tenggelam!!” teriakan itu datangnya sangat keras sekali, karena yang
berteriak-teriak itu lebih dari belasan anak buah Ciong Lam Cie yang tengah
diliputi perasaan panik bukan main.
Saat itu Phang Kui In bertiga
dengan Yo Him dan Kwee Siang telah berenang keluar dari liang di dinding kapal
itu. Memang mereka tidak menemui rintangan dan juga tidak terhalang oleh
terjangan air yang menerobos masuk, karena air itu telah menerobos masuk
menggenangi lebih dari tepian di atas lobang yang dibuat oleh Kwee Siang.
Dengan menggendong Yo Him,
Phang Kui In berenang dengan cepat.
Kwee Siang juga mengikuti dari
belakang, pendekar wanita ini memang pandai berenang, maka dalam waktu yang
cepat sekali mereka telah berenang meninggalkan kapal itu sejauh puluhan
tombak.
Kwee Siang berenang mendahului
Phang Kui In dan Yo Him, dia menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah kanan,
menganjurkan agar Phang Kui In berenang ke arah kanannya.
Phang Kui In mengerti apa yang
dikehendaki oleh si gadis, maka dia berenang ke arah kanan, arah yang
berlawanan dengan kapalnya Ciong Lam Cie.
Sedangkan kapal yang telah
kemasukan air itu mulai tenggelam, membuat anak buah Ciong Lam Cie jadi panik
sekali. Begitu juga Ciong Lam Cie sendiri jadi marah dan penasaran, tetapi dia
menyadarinya bahwa dirinya tidak bisa mengumbar kemarahan hatinya, yang
terpenting adalah menyelamatkan kapalnya dari ketenggelaman itu.
<>
Kurang lebih empatpuluh anak
buah Ciong Lam Cie segera bekerja. Mereka telah menerobos ke ruangan bawah yang
telah digenangi air, kemudian dengan cepat mereka menambal lobang dinding kapal
itu dengan kain-kain yang tebal, ditambah dengan kayu yang dipantekan untuk
menutupi lobang tersebut. Beberapa orang diantara mereka segera mempergunakan
gayung yang berukuran besar menyendoki air yang telah masuk ke dalam kapal
untuk dibuang ke laut kembali.
Cukup lama juga mereka
bekerja, namun akhirnya mereka bisa juga menyelamatkan kapal mereka dari karam
yang cukup mengerikan.
Ciong Lam Cie telah
perintahkan anak buahnya untuk mencari Phang Kui In bertiga. Belasan anak buah
Ciong Lam Cie telah menurunkan beberapa buah perahu kecil, dan dengan
mempergunakan perahu kecil itu mereka berkeliling di sekitar kapal mereka
mencari jejak Phang Kui In bertiga.
Mereka yakin bahwa Phang Kui
In bertiga tidak bisa melarikan diri terlalu jauh. Dan mereka bertiga juga
tidak mungkin menyelam terus menerus, walaupun bagaimana mereka tentu akan
muncul ke permukaan air mengambil udara segar.
Tetapi walaupun belasan orang
anak buah Ciong Lam Cie telah berputar-putar sekian lama. Ketiga orang buruan
mereka itu tidak juga terlihat batang hidungnya. Akhirnya dengan penuh
kemendongkolan dan kemarahan di hatinya, Ciong Lam Cie memanggil pulang anak
buahnya itu.
Mereka meneruskan perjalanan
dengan cepat. Betapa kecewanya Ciong Lam Cie karena ketiga tawanan itu
sesungguhnya merupakan tawanan penting baginya setidak-tidaknya Yo Him tentunya
bisa dipergunakan untuk memancing kedatangan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.
Tetapi kini ketiga orang
tawanannya itu berhasil ‘terbang’ dari telapak tangannya. Namun Ciong Lam Cie
masih terhibur juga bahwa dia telah mengetahui Yo Ko memiliki seorang putera,
yaitu Yo Him. Maka kelak jika mereka telah berada di daratan, Ciong Lam Cie
akan menyebarkan anak buahnya yang umumnya memiliki kepandaian tinggi, untuk
mencari Yo Him.
Waktu itu tampak kapal Ciong
Lam Cie berlayar beriringan dengan cepat sekali. Tetapi baru saja mereka
berlayar tidak jauh, air laut bergolak dan berputar-putar cepat, bagaikan ada
angin topan yang menerjang, kapal sulit untuk dikendalikan.
Air laut yang berputar-putar
itu kuat bukan main, untung saja Ciong Lam Cie dan anak buahnya telah mengenal
sifat-sifat air laut, mereka telah terbiasa menghadapi berbagai mara bahaya di
lautan, maka mereka tidak menjadi gugup dan telah mempergunakan cara yang cukup
baik guna menguasai kapal mereka itu dari terjangan gulungan air laut. Seluruh
anak buahnya dikerahkan, dan kapal telah berlayar dengan pesat sekali.....
◄Y►
Phang Kui In bertiga waktu
berenang dari liang dinding kapal yang dilobangi oleh Kwee Siang merasakan
mereka tidak mungkin menyelam terus menerus di dalam air. Setidak-tidaknya
mereka tentu harus sering-sering muncul di permukaan air.
Terlebih lagi Phang Kui In
yang menggendong Yo Him di punggungnya, dia membutuhkan udara segar untuk
menambah kekuatan tenaganya
Mereka beruntun telah dua kali
muncul di permukaan air laut dan melihat sekeliling mereka hanya tampak air
laut yang kebiru-biruan dan luas sekali. Hal itu memperlihatkan bahwa mereka
berada di tengah lautan dan sulit untuk mengharapkan bisa bertemu dengan
daratan. Phang Kui In jadi mengeluh tanpa dikehendakinya, karena dengan berada
di tengah lautan seperti itu tentu saja mereka tidak memiliki harapan untuk
hidup terus. karena mereka hanya sanggup bertahan hidup beberapa saat lagi dan
kemudian mereka akan kehabisan tenaga dan mati tenggeiam.
Kwee Siang juga menyadari
bahaya yang mengancam jiwa mereka bertiga. Jika saat itu mereka berhasil dua
kali muncul di permukaan air, berarti mereka memang masih memiliki kesempatan
itu, sebab anak buah Ciong Lam Cie tengah sibuk mengurusi tubuh kapal mereka
yang berlobang, dan sedang berusaha mencegah kapal mereka tenggelam.
Namun jika anak buah Ciong Lam
Cie telah berhasil menguasai keadaan, dan juga telah berhasil menambal dinding
kapal yang bocor itu, tentu mereka akan melakukan pengejaran, berarti merekapun
akan menghadapi bahaya tidak kecil.
Waktu ketiga orang ini tengah
diliputi perasaan yang tidak keruan, yaitu perasaan sedih, penasaran dan marah,
karena disebabkan Ciong Lam Cie maka mereka jadi terancam bahaya yang tidak
kecil ini, tiba-tiba sekali Kwee Siang mengeluarkan suara seruan kaget.
Belum lagi lenyap suara
seruannya itu. Phang Kui In juga telah mengeluarkan suara seruan tertahan.
Yo Him jadi heran sekali, dia
telah bertanya dengan penuh kekuatiran:
„Ada apa Phang susiok?”
„Ada user-user air.....!” menjelaskan
Phang Kui In.
Yo Him jadi terkejut juga,
karena user-user air adalah air laut yang menerjang dengan bergulung! Sama
sifatnya dengan gulungan angin topan.
Belum lagi Kwee Siang bertiga
mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan terancam seperti ini,
tampak air laut telah bergolak. Waktu Phang Kui In ingin meneriaki Kwee Siang
agar menyelam dan berenang ke arah yang berlawanan dengan user-user air laut
itu, justru di saat itulah telah menerjang ke arah mereka suatu kekuatan
memutar dan menghisap mereka masuk ke dalam lautan!
Phang Kui In tidak sempat
mengeluarkan teriakan, tubuhnya telah terhisap dan berputar-putar. Tetapi Phang
Kui In merangkul sepasang kaki Yo Him kuat-kuat, dia telah berusaha untuk
mempertahankan agar anak itu tidak terlepas dari gendongannya. Siapa tahu
user-user air itu hanya sebentar saja, dan nanti mereka bisa menyelamatkan
diri?
Kwee Siang juga telah berseru
keras berusaha mengerahkan lweekangnya melawan daya menghisap dari user-user
air laut itu, namun Kwee Siang mana sanggup menghadapi daya menghisap yang
begitu kuat dari user-user air laut! Kwee Siang mengeluh pendek, sedangkan
tubuhnya telah tenggelam kembali ke dalam lautan, dan berputar-putar
memusingkan kepalanya. Dia juga sudah tidak bisa melihat sesuatu, dia tidak
mengetahui bagaimana nasib Phang Kui In dengan Yo Him.
Dalam keadaan seperti inilah,
tampak tubuh Kwee Siang telah lemas tidak bertenaga, kerena dia telah pingsan
dan tubuhnya seperti juga sehelai daun yang ringan, diputar-putar oleh user-user
air laut.
Lama juga terjadinya gulungan
user-user air laut, dan di saat itu juga dia sudah tidak mengetahui dirinya
berada dimana, karena dalam keadaan pingsan seperti itu, tubuhnya terseret
terus oleh air laut yang bergulung-gulung itu.
Phang Kui In memang hendak
mempertahankan diri agar tidak pingsan, dengan terus memegangi sepasang kaki Yo
Him, supaya anak itu tidak terpisah dari dirinya, namun walaupun dia berusaha
bagaimana kuatnya, tetap saja dia tidak sanggup bertahan terus, karena akhirnya
dia jatuh pingsan, dan tidak bisa memegangi terus lagi kedua kaki Yo Him yang
juga telah pingsan lebih dulu sejak tadi.
Dengan pandangan mata yang
gelap dan kepala pening, Phang Kui In telah jatuh pingsan, dan tubuh mereka
bertiga telah dipermainkan oleh gulungan air, yang memiliki semacam tenaga
menghisap yang sangat kuat sekali, sehingga mereka tidak mengetahui lagi apa
yang terjadi pada diri masing-masing, karena mereka sudah tidak sadarkan
diri.....
<>
Sekujur tubuh Phang Kui In
terasa sakit-sakit dan tulang-tulang di sekujur tubuhnya seperti juga
bercopotan terlepas dari tubuhnya, tubuhnya seperti telah terpukul sesuatu yang
keras. Dada, perut, pundak, siku tangan, kepalanya, semuanya dirasakan sakit
bukan main. Tenaganya, juga seperti telah lenyap dari tubuhnya, dia sudah tidak
memiliki kekuatan lagi.
Dengan mengeluarkan suara
erangan perlahan karena kesakitan, tampak Phang Kui In telah membuka matanya.
Pertama-tama yang dilihatnya
adalah sinar matahari yang sangat terang menyilaukan pandangan matanya,
menyebabkan Phang Kui In jadi memejamkan sepasang matanya pula.
„Apakah aku telah mati.....?
Apakah aku kini berada di neraka?” berpikir Phang Kui In. „Dan bagaimana…..
nasib Kwee liehiap dengan Yo Him?”
Karena berpikir begitu, Phang
Kui In telah membuka lagi pelupuk matanya perlahan-lahan walaupun cahaya
matahari masih seperti tadi dan menyilaukan, tetapi kenyataannya tidak begitu
memedihkan mata Phang Kui In lagi. Dia menggerakkan tubuhnya, perasaan sakit
segera menyelinap ke sekujur tubuhnya, sehingga Phang Kui In tidak berani
menggerakkan badannya lagi, dia hanya berdiam diri rebah di atas tumpukan pasir
yang lembut sekali.
Phang Kui In sekarang baru
mengetahui bahwa dia berada di tepi pantai. Pasir-pasir putih yang lembut
itulah menunjukkan kepadanya bahwa dia tengah rebah di tepi pantai, mungkin
user-user air telah melempar tubuh Phang Kui In terdampar di pantai yang tidak
dikenalnya ini.
Mata Phang Kui In
bergerak-gerak perlahan ke kiri dan kanan, mencari-cari barangkali Yo Him dan
Kwee Siang pun berada di tempat yang sama dengannya, terdampar di tepi pantai
ini. Tetapi dia kecewa. Dipasir tepi pantai itu tidak terlihat lainnya selain
dari kulit kerang dan pasir yang putih halus lembut itu. Tidak dilihatnya Yo
Him dan Kwee Siang. Dia telah menghela napas panjang, dia mengeluh sendirinya
dan perasaan kecewa jadi meliputi di hatinya.
„Untuk apa aku hidup jika
mereka berdua terbinasa? Apa artinya? Bukankah justru yang terpenting adalah
Him-jie, yang harus bertemu dengan ayahnya? Mengapa justru aku yang tetap hidup
seorang diri.”
Sambil menggumam begitu, Phang
Kui In menghela napas dalam-dalam. Dia jadi kecewa dan malu, karena tidak bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik guna membawa Yo Him bertemu dengan ayah
kandungnya, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.
Phang Kui In telah menggeliat
lagi perlahan dengan menderita kesakitan tidak kepalang, dia merintih perlahan,
tetapi kemudian mengeraskan hati, dia telah bergerak terus untuk duduk.
Akhirnya Phang Kui In berhasil duduk ditumpukan pasir di tepi pantai itu,
walaupun usahanya itu diliputi perasaan sakit di sekujur tubuhnya.
Dilihatnya sekelilingnya
hanyalah pasir yang terbentang luas dan juga hanya terlihat air laut yang
sangat luas, dimana gelombang air laut tengah menyambar-nyambar dengan
gelombang kecil dan lembut. Suara air laut yang membentur batu-batu karang juga
telah menyebabkan Phang Kui In mengeluh, karena dia segera memperoleh kenyataan
bahwa hanya dia seorang diri berada di tempat itu. Tidak terlihat Yo Him maupun
Kwee Siang.
Setelah duduk diam beberapa
saat sambil mengatur jalan pernapasannya, Phang Kui In memandang
kesekelilingnya, dia telah mengawasi keadaan pulau dimana dia terdampar.
Pulau itu ternyata hanya
sebuah pulau yang kecil tidak terlalu besar, hanya ditumbuhi oleh pohon-pohon
yang sedikit sekali yang banyak hanya batu-batu karang. Dan juga ketika Phang
Kui In menyusuri perlahan tepi pantai pulau itu dia melihat keadaan di sekitar
tempat itu sunyi dan pulau ini tidak berbukit.
Tetapi waktu Phang Kui In
menghela napas dan ingin memutar tubuhnya kembali ke tempat tadi dimana dia
terdampar, tiba-tiba matanya melihat sesuatu di atas tumpukan pasir di tepi
pantai sebelah selatan. Dia melihat sesosok tubuh yang rebah tidak sadarkan
diri.
Untuk girangnya, Phang Kui In
segera mengenali sosok tubuh yang tengah menggeletak di atas tumpukan pasir di
tepi pantai itu adalah Kwee Siang. Dengan kegirangan yang meluap-luap dan tidak
hentinya mengucapkan syukur kepada Thian. Phang Kui In berlari menghampiri
tubuh Kwee Siang. Tetapi baru saja dia berlari empat atau lima langkah,
tubuhnya telah terjungkal rubuh di atas tumpukan pasir, dia juga mengeluarkan
suara keluhan kesakitan dan mengerang-erang perlahan tanpa bisa segera bangkit
berdiri lagi.
Rupanya dalam kegembiraan yang
meluap seperti itu, Phang Kui In lupa diri, dia lupa sama sekali, bahwa
tubuhnya sendiri masih lemah, disamping itu juga dia tengah menderita
sakit-sakit di sekujur tubuhnya. Itulah sebabnya Phang Kui In jadi terguling
rubuh di atas pasir.
Waktu itu, tampak Phang Kui In
dengan mengerang perlahan telah merangkak untuk bangun berdiri lagi. Kembali
dia gagal, dirasakan pinggangnya sakit bukan main, dia merintih lagi dengan
suara tidak jelas, untuk sejenak lamanya Phang Kui In rebah diam tidak
bergerak. Waktu dia merasakan sakitnya mulai berkurang dan tenaganya telah
pulih, Phang Kui In bangun perlahan-lahan, dengan langkah satu-satu menghampiri
Kwee Siang, yang masih rebah disitu tanpa bergerak.
Phang Kui In menghampiri Kwee
Siang dan telah memeriksanya dengan segera. Dia jadi girang sekali waktu
memperoleh kenyataan Kwee Siang masih bernapas dan hanya pingsan saja. Segera
timbullah harapan di hati Phang Kui In bahwa Yo Him tentunya terdampar di pulau
ini juga.
Setelah melihat Kwee Siang
tidak terluka dan jiwanya tidak terancam bahaya apa-apa, sehingga dia bisa
ditinggalkan sementara waktu, untuk ia mencari Yo Him.
Dengan langkah yang tidak
begitu cepat Phang Kui In menyusuri tepi pantai itu. Dia memandang sekeliling
tempat yang dilaluinya, mencari-cari dengan harapan Yo Him terdampar di pulau
ini juga. Tetapi setelah Phang Kui In mengelilingi pulau yang tidak begitu
besar, dia tidak berhasil menemui Yo Him.
„Ha,” menghela napas Phang Kui
In dengan suara yang sedih. „Rupanya kami berdua, aku dan Kwee Siang saja yang
selamat, sedangkan Yo Him.....” dan Phang Kui In tidak meneruskan perkataannya
itu. Dia menunduk sedih dan dari ujung kedua sudut matanya telah menitik turun
butir-butir air mata yang bening, karena dia merasa kecewa dan sedih tidak
berhasil menemui Yo Him.
Di saat Phang Kui In tengah
diliputi perasaan sedih, tiba-tiba dia mendengar sesuatu, suara berkeresek yang
perlahan sekali. Tetapi sebagai seorang jago silat yang memiliki kepandaian
cukup tinggi dan juga pendengaran yang sangat tajam, Phang Kui In segera dapat menduga
ada seseorang yang tengah mengintainya di dekat-dekat tempat itu.
Phang Kui In menarik napas
dalam-dalam, dia menyalurkan pernapasannya, untuk memulihkan tenaganya. Karena
dia kuatir kalau-kalau orang yang tengah mengintainya itu yang menimbulkan suara
keresekan patahnya ranting-ranting yang terpijak itu, melancarkan serangan
kepadanya.
Dalam keadaan seperti itu,
Phang Kui In telah melirik dari arah mana datangnya suara berkeresek tadi. Di
dalam hatinya ada sedikit harapan dan berdoa agar orang yang menimbulkan suara
berkeresek itu adalah Yo Him.
„Him-jie, engkaukah itu.....?”
Phang Kui In telah bertanya ragu-ragu.
Tidak terdengar jawaban.
Phang Kui In jadi yakin bahwa
orang yang tengah bersembunyi itu tentunya bukan Yo Him. Karena jika orang itu Yo
Him, tentunya waktu ditegur begitu olehnya, Yo Him akan keluar untuk
memperlihatkan diri.
Tampak Phang Kui In telah
mengayunkan langkahnya perlahan-lahan ingin meninggalkan tempat tersebut.
„Krekk.....!” kembali Phang
Kui In mendengar suara patahnya ranting kering yang terpijak sesuatu di
belakangnya.
Phang Kui In mengerutkan
alisnya, tiba-tiba sekali dia memutar tubuhnya. Dengan berbuat demikian, orang
yang di belakangnya tidak mungkin dapat bersembunyi lagi, karena Phang Kui In
telah memutar tubuhnya dengan cepat sekali. Namun waktu Phang Kui In memutar
tubuhnya, tetap saja dia tidak melihat seorang pun manusia di tempat itu, hanya
dia seorang diri. Angin laut telah berkesiuran dengan lembut dan juga di saat
itu air laut yang menerjang pantai mempermainkan pasir-pasir di pantai yang
lembut itu.
Phang Kui In jadi habis
kesabarannya, dia telah berkata dengan suara yang nyaring sekali:
„Siapakah yang tengah
bersembunyi…..? Jika memang bukan seorang bu-beng-siauw-cut (maling kecil tidak
bernama), keluarlah perlihatkan diri dengan berterang dan gagah, jangan main
sembunyi-sembunyian seperti itu.”
Suara Phang Kui In tidak
memperoleh sahutan, hanya suara itu saja yang menggema, di susul dengan suara
mendamparnya gelombang laut yang menerjang batu-batu karang di tepi pantai
tersebut.
Phang Kui In jadi penasaran
dan mendongkol, karena dia merasa dirinya seperti dipermainkan oleh seseorang.
Diulangi kembali perkataannya tadi dengan seruan yang jauh lebih keras dan
kuat.
Tetapi Phang Kui In tetap
tidak berhasil melihat seorang lainnya pun, hanya suaranya itu yang kembali
menggema. Karena penasaran sekali, tampak Phang Kui In telah melangkahkan
kakinya menghampiri tepi hutan kecil yang ada di tepi pantai itu untuk melihat
apakah di tempat tersebut bersembunyi orang yang telah mempermainkan dirinya,
karena tadi telah mendengar suara berkeresek itu datangnya dari hutan kecil
itu.
Namun waktu Phang Kui In telah
sampai dihutan kecil itu, dia tetap tidak melihat seorang manusiapun juga. Hal
ini membuat Phang Kui In jadi tambah bingung dan heran sekali.
„Apakah aku telah bertemu
dengan setan penunggu pulau ini?” katanya dengan suara perlahan, ditujukan
untuk dirinya sendiri. „Heran!”
Baru saja dia menyelesaikan
kata-katanya itu dia telah mendengar suara mendehem mengejek dari arah
belakangnya. Cepat dia memutar tubuhnya dengan gesit, dia telah memandang
sekelilingnya. Tetapi tidak dilihatnya seorang manusiapun juga.
Keadaan di sekitar tempat
tersebut sunyi sekali tidak terlihat ada seorang manusiapun. Hanya dikejauhan
tampak tubuh Kwee Siang yang masih menggeletak di pasir tepi pantai tanpa
bergerak, rupanya pendekar wanita itu dalam keadaan pingsan.
„Benar-benar aku bertemu
dengan hantu!” berpikir Phang Kui In di dalam hatinya dengan perasaan takut
mulai menyelinap ke dalam hatinya. „Jelas-jelas tadi aku mendengar suara orang
mendehem, yang datangnya dari belakangku, tetapi mengapa sekarang tidak
terlihat se¬sosok tubuhpun juga? Sedangkan keadaan di tepi pantai ini lapang
dan luas, hanya terhampar pasir belaka, tidak ada tempat yang bisa dipergunakan
untuk bersembunyi. Maka walaupun bagaimana sempurnanya ginkang (ilmu
meringankan tubuh) orang itu, tentu dia tidak bisa ‘lenyap’ begitu saja dalam
waktu yang sangat singkat. Siapakah orang yang pandai itu? Atau memang
benar-benar hari ini aku tengah dipermainkan oleh hantu penunggu pulau ini?!!”
Setelah berpikir begitu,
tampak Phang Kui In berjalan lagi cepat-cepat menghampiri Kwee Siang.
Gadis itu masih menggeletak
tidak sadarkan diri, dia masih pingsan diam tidak bergerak. Maka Phang Kui In
melupakan larangan seorang pria menyentuh bagian tubuh wanita, dia telah
menotok beberapa kali jalan darah Kwee Siang untuk menyadarkan gadis itu dari
pingsannya.
Setelah dia menotok jalan
darah mie-lu-hiat, sie-tiang-hiat, tian-tan-hiat, dan pai-cing-hiat maka Kwee
Siang merintih perlahan dan membuka pelupuk matanya. Tetapi ketika dia
menggeliat menggerakkan tubuhnya, justru dia merasakan kesakitan yang bukan
main pada pinggang dan sekujur tubuhnya, sehingga Kwee Siang mengeluarkan suara
teriakan kesakitan.
„Tenang liehiap!” Kata Phang
Kui In menghiburnya. „Perasaan sakit itu tidak lama lagi akan lenyap, karena
kita telah terbawa oleh user-user air laut yang kuat sekali, sehingga
menimbulkan sakit-sakit di sekujur tubuh kita!”
Kwee Siang membuka matanya dan
melihat Phang Kui In tengah berjongkok di sampingnya, dia telah berkata dengan
suara yang lemah: „Apakah kita masih hidup dan berada di dunia?” tanyanya.
Phang Kui In mengangguk
membenarkan. „Ya, kita masih dilindungi Thian.....!” katanya dengan suara yang
berduka, karena Phang Kui In teringat kepada Yo Him yang belum diketahui
jejaknya.
Waktu itu, tampak Kwee Siang
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya berusaha untuk duduk.
Phang Kui In melihat gadis itu
meringis seperti menahan sakit, cepat-cepat Phang Kui In telah memegang lengan
si gadis, membantunya untuk duduk.
Setelah bersusah payah menahan
perasaan sakit di tubuhnya, Kwee Siang bisa juga duduk. Dia memandang
sekelilingnya, kemudian mengucapkan terima kasihnya. Saat itu dia seperti
teringat sesuatu: „Mana adik Him?” tanyanya lagi.
Phang Kui In telah menggeleng
perlahan.
„Hanya kita berdua yang
terdampar di pulau ini.....!” dia menjelaskannya. „Aku tadi telah mengelilingi
pulau ini, tetapi tidak berhasil menemui Him-jie!”
Mendengar perkataan Phang Kui
In sam¬pai disitu, tiba-tiba Kwee Siang menangis dengan sedih.
„Adik Him ternyata harus
menerima nasibnya yang buruk itu.....! Mengapa justru kita berdua yang selamat
dan adik Him tidak?” dan kembali Kwee Siang telah menangis dengan suara yang
keras sekali.
Phang Kui In juga ikut
bersedih, tetapi dia masih bisa mengendalikan goncangan hati dan kesedihannya,
dia menghibur Kwee Siang agar menghentikan tangisnya.
„Nanti kita mencarinya lagi,
siapa tahu kita bisa menemui Him-jie..... tadi aku mengelilingi pulau ini hanya
terbatas di tepi pantainya saja, nanti kita memasuki hutan itu untuk mencari
kembali jejak Him-jie.....!”
Kwee Siang mengangguk dan dia
telah mengiyakan sambil menyusut air matanya.
Kemudian Phang Kui In telah
berdiri, baru saja dia ingin mengatakan sesuatu kepada Kwee Siang, telinganya
yang tajam kembali telah mendengar suara patahnya ranting kering dan
langkah-langkah kaki yang perlahan.
Muka Phang Kui In jadi
berobah, dia melirik kepada Kwee Siang, dan dia melihat wajah si gadis juga
telah berobah, ternyata Kwee Siang juga telah mendengar suara ranting patah
itu.
„Ada orang!” kata Kwee Siang
dengan suara yang berbisik dan memandang kepada Phang Kui In.
„Ya!” mengangguk Phang Kui In
dengan suara yang perlahan juga, membenarkan perkataan si gadis. „Aku telah
mendengarnya sejak tadi, tetapi aku tidak berhasil menemui seorang manusiapun
juga.”
„Siapakah orang itu! Musuh
atau kawan?” menggumam Kwee Siang.
„Entahlah kita lihat saja
nanti, karena orang itu main sembunyi-sembunyi tidak memperlihatkan diri.”
Kwee Siang menghela napas. Dia
menyadari, dengan mendengar dari suara langkah kaki yang ringan dan dapat
lenyap dengan cepat, berarti orang itu telah memiliki ginkang yang sangat
tinggi sekali. Maka Kwee Siang telah mengawasi lagi ke sekelilingnya.
Waktu itu Phang Kui In telah
mengeluarkan suara siulan yang sangat nyaring.
„Wahai orang yang bersembunyi
itu, keluarlah memperlihatkan dirimu! Bukan perbuatan seorang ho-han dengan
main sembunyi seperti itu!”
Suara Phang Kui In telah
menggema di sekitar tempat itu, menggema menggetarkan keadaan di sekitar pantai
tersebut. Namun tetap saja orang yang tengah mempermainkan dirinya itu tidak
mau memperlihatkan dirinya.
Baru saja dia ingin berteriak
pula, di saat itulah terdengar suara „hmm!” Dari arah belakangnya, Phang Kui In
jadi terkejut bukan main dia telah memutar tubuhnya cepat-cepat. Tetapi tidak
dilihatnya seorang manusia pun juga, dan dia semakin bertambah penasaran Kwee
Siang yang telah menoleh juga, tidak melihat seorang manusiapun di pantai itu.
„Aneh sekali!” kata Kwee Siang
seperti kepada dirinya sendiri. „Tempat ini lapang dan luas, tidak ada tempat
yang bisa dipergunakan bersembunyi. Jelas-jelas tadi aku mendengar suara
tertawa mendehem itu dari arah sebelah kiri.
Tetapi mengapa tidak terlihat
orangnya! Seharusnya, walaupun tinggi sekali ginkang orang itu, dia tentunya
tidak bisa menyembunyikan diri dalam waktu yang demikian singkat!”
Phang Kui In telah mengangguk.
„Justru aku telah ketiga
kalinya dengan yang sekarang, ini dipermainkan orang ini. Entah mengapa dia
tidak mau memperlihatkan diri secara berterang!”
Setelah berkata begitu Phang
Kui In menghela napas.
Kwee Siang juga telah berdiam
diri saja dia tidak mengerti entah manusia macam apa yang tengah mempermainkan
mereka. Kwee Siang tidak percaya adanya hantu, maka dia yakin yang tadi
mendehem itu adalah seorang manusia biasa, sama seperti mereka. Hanya yang
membuat dia tidak habis mengerti adalah kecepatan orang itu yang bisa
bersembunyi, padahal di tepi pantai yang berpasir lapang itu, tidak ada tempat
yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi. Apakah orang itu memiliki kepandaian
untuk masuk ke perut bumi?
21.41. Penghuni Pulau
Terpencil
Karena heran dan tidak
mengerti, Phang Kui In dan Kwee Siang hanya berdiam diri saja dengan sikap
tertegun.
Waktu itu Kwee Siang telah
meluruskan pernapasannya, dia telah berhasil memulihkan semangat dan tenaganya.
Kemudian Kwee Siang telah berdiri dengan perlahan-lahan.
Phang Kui In telah
bersiap-siap kalau-kalau Kwee Siang rubuh kembali, seperti yang dialami oleh
orang she Phang itu tadi, tetapi Kwee Siang telah bisa berdiri tetap, dia
menoleh kepada Phang Kui In sambil katanya: „Terima kasih atas pertolongan
Phang lo-enghiong.....!!”
Phang Kui In cepat-cepat
mengeluarkan kata-kata yang merendah!
Di saat itu Kwee Siang
mengajak Phang Kui In untuk menyusuri pedalaman pulau itu untuk mencari Yo Him.
Ajakan itu disetujui oleh
Phang Kui In, mereka telah memasuki hutan kecil dimana tadi mereka telah
mendengar suara yang perlahan dari deheman seseorang.
Hutan itu walaupun tampaknya
merupakan hutan kecil, namun cukup luas. Di luar hutan itu tampak jarang
ditumbuhi pohon-pohon yang besar. Namun waktu Phang Kui In dan Kwee Siang
menyusuri terus memasuki hutan itu mereka melihat pohon-pohon yang bertumbuhan
disitu selain rapat dan besar-besar, juga tinggi sekali. Maka dari itu Kwee
Siang telah menarik ujung jubah Phang Kui In, sambil katanya: „Kita harus
hati-hati Phang lo-enghiong..... jika ada seseorang yang bersembunyi di tempat
ini, tentu kita bisa saja diserang secara menggelap!”
Phang Kui In mengangguk. Dia
membenarkan perkataan Kwee Siang, karena tadipun dia telah dipermainkan oleh
seseorang yang tidak mau memperlihatkan dirinya. Keadaan di pedalaman hutan itu
jadi agak gelap, karena cahaya matahari tidak bisa menerobos masuk sepenuhnya
terhalang oleh daun-daun yang rimbun.
Waktu Phang Kui In dan Kwee
Siang tengah melangkah hati-hati memasuki terus hutan itu, tiba-tiba mereka
mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Cepat luar biasa Phang Kui In
memutar tubuhnya, dia telah memandangnya dengan mata yang dibukanya
lebar-lebar. Tetapi tidak ada seorang manusiapun juga.
„Aneh!” menggumam Kwee Siang
dengan penasaran dan mendongkol, dia juga telah memutar tubuhnya untuk melihat,
kenyataannya di sekitar tempat itu tidak terdapat orang lain selain mereka
berdua saja.
„Wahai orang yang berjiwa
pengecut, mengapa kau main kucing-kucingan seperti ini?” teriak Phang Kui In
dengan suara mengandung kemendongkolan dan penasaran.
„Hemmm!” tiba-tiba terdengar
suara orang mendehem kuat di belakang mereka. Dengan cepat sekali Phang Kui In
dan Kwee Siang telah memutar tubuh mereka untuk melihat siapa orang yang
mempermainkan mereka. Dan waktu itu, mereka telah memutar tubuh mereka cepat
dan gesit sekali, karena belum lagi suara ‘hemmm!’ itu lenyap, mereka telah
berhasil memandang keadaan di belakang mereka.
Tetapi tetap tidak terlihat
seorang manusiapun juga. Diam-diam Kwee Siang jadi diliputi perasaan heran
disamping juga perasaan takut, karena dia merasa ngeri ketika membayangkan bisa
saja terjadi orang yang mempermainkan mereka itu bukan manusia melainkan hanya
hantu yang tengah mempermainkan mereka.
Phang Kui In yang kecele waktu
membalikkan tubuhnya dan tidak berhasil melihat orang yang mempermainkan
mereka, telah memandang kepada Kwee Siang.
Begitu pula pendekar wanita
ini telah memandang kepada Phang Kui In dengan sorot mata bertanya-tanya.
Tetapi sekarang Phang Kui In
yakin, bahwa orang yang mempermainkan mereka itu tentunya memiliki kepandaian yang
sangat tinggi sekali, karena orang itu bisa bergerak begitu cepat dan gesit,
sehingga tidak terlihat ujudnya, bahkan bayangannya pun tidak tampak! Segera
Phang Kui In telah merangkapkan kedua tangannya, dia membungkukkan tubuhnya
menjura sambil berkata ke arah gerombolan pohon-pohon dihadapannya.
„Locianpwee manakah yang
hendak memberikan petunjuk kepada kami berdua?” katanya kemudian dengan suara
yang nyaring. „Kami memang telah lancang berada di pulau ini, dan mungkin
kesalahan kami itu tidak terlalu berat, karena kami berdua telah terdampar di
sini terhindar dari gulungan air user-useran laut.....!”
Baru saja Phang Kui In berkata
sampai di situ, telah terdengar suara tertawa yang bergema di sekitar tempat
itu, tapi tidak terlihat orangnya.
Muka Kwee Siang berobah
tegang, begitu pula Phang Kui In telah berdebaran.
„Memang kalian bersalah! Siapa
yang mengatakan bahwa kalian benar? Hemmm, hemmm, aku tidak segera turun tangan
membinasakan kalian, itu sudah merupakan suatu peruntungan yang tidak kecil untuk
kalian.....! Tetapi kau, hai lelaki sialan, engkau memaki-makiku tidak hentinya
tadi.....!!”
Phang Kui In cepat-cepat
merangkapkan tangannya dan berkata sambil membungkuk memberi hormat:
„Maafkanlah, tadi karena kami tidak mengetahui ada seorang dari tingkatan tua
ingin memberikan petunjuk. Untuk itu aku Phang Kui In memohon maaf dari kau,
locianpwe!”
„Enak saja kau bicara!”
terdengar suara itu menggema pula, tetapi orang yang bersuara itu tidak
terlihat. „Enak saja kau menggoyangkan lidah..... Apakah maaf yang kau minta
itu akan diberikan begitu mudah hanya dengan goyang bibir saja?”
Mendongkol juga Phang Kui In
dan Kwee Siang mendengar perkataan orang tersebut. Walaupun Phang Kui In
menyadarinya bahwa orang itu tentunya seorang tokoh persilatan yang sangat
lihay sekali.....
„Lalu apa yang dikehendaki
locianpwe?” tanya Phang Kui In mulai tidak sabar.
„Kalau aku membutuhkan jiwa
kalian berdua apakah kalian akan memberikan dengan rela?” tanya suara yang
tidak terlihat ujudnya itu.
Phang Kui In dan Kwee Siang
jadi melenggak. Mereka kaget bercampur penasaran dan mendongkol. Bagaimana
orang yang tengah bersembunyi itu bisa bergurau demikian macam? Apakah boleh
jadi mereka memberikan jiwa mereka berdua untuk orang itu? Bukankah itu suatu
kematian?
Kwee Siang yang telah habis
sabar ikut berkata: „Locianpwee, kita tidak pernah saling kenal, dan memang
tidak memiliki urusan..... mengapa cianpwe menghendaki jiwa kami? Jika memang
terdamparnya kami di pantai ini dianggap berdosa dan bersalah, silahkan menghukum
kami tetapi jangan mengajukan permintaan yang tidak-tidak.....!”
„Seorang nona yang galak!”
kata orang yang tidak terlihat ujudnya. „Kulihat dari sinar matamu, bahwa
engkau agak tersesat sedikit! Dan kalau tidak salah, melihat dari gerakanmu
tadi, engkau tentunya memiliki hubungan dengan pemilik pulau Tho-hoa-to, yaitu
si tua bangka Oey Yok Su, bukan?”
Kwee Siang dan Phang Kui In
jadi terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Hebat sekali pandangan matanya
yang segera dapat menduga dengan tepat dan jitu siapa adanya Kwee Siang.
„Benar!” menyahut Kwee Siang
sambil mengangguk, „Majikan pulau Tho-hoa-to adalah kakekku.....!”
„Pantas! Pantas.....!” berseru
orang itu, „Memang aku telah melihatnya. Tetapi karena sekarang aku telah
mengetahui bahwa engkau memiliki hubungan dengan Oey Yok Su, justru aku semakin
tidak mau melepaskan engkau! Engkau harus merelakan jiwamu kuambil.....!”
„Apa..... apa kau
bilang.....?” tanya Kwee Siang dengan amarah telah meluap di hatinya.
„Aku menginginkan jiwamu! Jiwa
dia juga lelaki sialan itu.....! Kalian berdua harus bersedia memberikan jiwa
kalian kepadaku!”
„Hemmm, suatu permintaan
sialan…..!” seru Kwee Siang jadi marah sekali. Tetapi belum lagi suaranya itu
habis terdengar, tiba-tiba terdengar suara „bum!” Maka berkelebatlah setitik
hitam yang kecil, cepat sekali menyambar ke arah mata Kwee Siang yang kiri.
Kwee Siang jadi terkejut.
Benda yang tengah menyambar datang itu sangat kecil bentuknya, seperti biji
dari buah-buahan. Tetapi angin yang ditimbulkan oleh samberan biji buah-buahan
itu telah membuat Kwee Siang merasakan kulitnya pedih, itupun biji yang
disembur orang yang tidak terlihat ujudnya itu belum lagi mengenai biji
matanya.
Mati-matian Kwee Siang telah
berkelit ke samping kanan, dengan gerakan yang sangat cepat sekali. Dan
ternyata dia berhasil mengelakkan diri dari serangan itu. Dimana biji
buah-buahan dari orang itu telah menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
„Tukk, kreekk!” aneh sekali,
batang pohon yang besar itu telah patah tumbang terbentur oleh biji buah-buahan
itu.
Muka Kwee Siang jadi pucat dan
tubuhnya menggigil ngeri, karena segera dia menyadari, jika tadi dia tidak
berhasil mengelakkan diri dari serangan lawannya itu, niscaya batok kepalanya
akan hancur karenanya. Maka cepat sekali Kwee Siang telah berseru nyaring
dengan suara yang lantang: „Engkau seorang dari golongan tua, tetapi engkau
tidak bisa menghormati dirimu sendiri, dimana kau bermaksud menghina golongan
muda.....!”
„Siapa yang bilang aku ingin
menghina golongan muda?” kata orang itu dengan nada meninggi, tampaknya orang
yang bersembunyi itu terpancing marah oleh perkataan Kwee Siang. „Justru aku
hanya ingin menguji kepandaianmu, sampai berapa tinggi kepandaian yang engkau
miliki sebagai cucunya si tua bangka Oey Yok Su itu.....!”
Kwee Siang jadi nekad karena
walaupun dia menyadari bahwa musuh yang tengah bersembunyi itu memiliki
kepandaian yang tinggi, tetapi tidak senang hatinya mendengar berulang kali
kakeknya disebut dengan perkataan tua bangka, dan juga tampaknya orang yang tengah
bersembunyi itu sangat tekebur sekali, karena dia seperti juga memandang rendah
Oey Yok Su.
„Jika engkau memiliki
kepandaian yang tinggi, keluarlah perlihatkan dirimu agar kita bisa menguji
kepandaian masing-masing!” teriak Kwee Siang.
Phang Kui In telah
bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu yang di luar dugaan, karena melihat
menyambarnya biji buah-buahan tadi, walaupun kecil tetapi mengandung kekuatan
yang sangat dahsyat sekali. Phang Kui In menyadari musuh itu tentunya seorang
yang pandai sekali, yang telah cukup sempurna latihan tenaga lweekangnya
Waktu itu terdengar suara
bergelak-gelak yang nyaring sekali dari arah gerombolan pohon.
„Ha, ha, ha! Engkau berani
bertempur denganku?” tanya orang yang tidak terlihat ujudnya itu.
„Ya, keluarlah!” menyahuti
Kwee Siang singkat sekali, dia telah mencabut juga pedangnya, menggenggam
gagang pedang itu kuat-kuat, bersiap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bisa saja muncul di saat itu.
Tetapi orang yang tengah
bersembunyi itu justru telah tertawa lagi bergelak-gelak dengan suara yang
nyaring.
„Tidak percuma si tua bangka
Oey Yok Su memiliki cucu seperti engkau, bersemangat dan tampaknya pemberani!
Bagus! Bagus, bagus! Memandang muka terang kakekmu, engkau tidak akan
kubinasakan!”
„Keluarlah kau! Mari kita
main-main beberapa jurus!” seru Kwee Siang dengan suara yang nyaring.
„Tentu, tentu saja. Aku tentu
keluar,” menyahuti orang itu dengan suara yang nyaring. Dan membarengi dengan
habisnya perkataan itu, tampak sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik
gerombolan pohon.
Phang Kui In dan Kwee Siang
tidak bisa melihat dengan jelas gerakan orang itu, karena terlalu gesit dan
lincah, hanya tahu-tahu telah berada dihadapan mereka berdua.
Kwee Siang dan Phang Kui In
waktu melihat jelas orang itu keduanya jadi terkejut.
„Bagaimana?” tanya orang itu
dengan suara yang mengejek. „Sekarang aku telah muncul memperlihatkan diri, apa
yang kalian kehendaki? Adu tenaga? Adu pedang? Atau adu apa saja?” Suara orang
itu tinggi sekali dan juga nadanya sangat tajam luar biasa. Dia telah
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan bagaikan mengejek Phang Kui In dan Kwee
Siang.
Yang membuat Phang Kui In dan
Kwee Siang jadi terkejut bukanlah kegesitan tubuh orang tersebut, tetapi justru
potongan tubuh orang itu yang aneh dan janggal sekali. Orang itu memiliki tubuh
tidak lebih dari empat kaki, dimana sepasang kakinya tidak ada, hanya dua
batang tongkat yang dikempit di ketiaknya itu yang menunjang tubuhnya tidak
sampai rubuh. Muka orang bercacad pada kedua kakinya itu memiliki raut muka
yang bulat dan juga tidak enak dipandang. Hidungnya besar seperti hidung babi,
keningnya tinggi dan lanang, sebagian kepalanya itu ditutup oleh ikat kepala
yang berwarna hijau, dan bajunya yang terbuat dari bahan kasar itu berwarna hijau.
Melihat warna yang disenangi
orang itu, Kwee Siang jadi teringat kepada kakeknya Oei Yok Su, yang juga
senang sekali mengenakan pakaian warna hijau.
„Ayo, apa yang kalian inginkan
jika aku memperlihatkan diri? Mengapa bengang-bengong disitu saja! Jika memang
engkau tidak senang, hayo mulai melancarkan serangan!”
Kwee Siang sudah tidak bisa
mempertahankan diri lagi dari kemarahan, dia telah mengeluarkan suara bentakan
nyaring tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah dada sebelah kiri lawannya.
Gerakan yang dilakukan Kwee Siang sangat luar biasa, pedangnya digetarkan dan
dia telah mempergunakan jurus ‘bidadari menari’, dimana pedangnya itu
berkelebat-kelebat merupakan sinar putih gemilang.
Orang cacad kedua kakinya itu
mengeluarkan suara teriakan mengejek, tahu-tahu tubuhnya telah lenyap dari
pandangan mata Kwee Siang. Dan belum lagi Kwee Siang bisa mengendalikan
tubuhnya yang terjerunuk ke depan karena kehilangan sasarannya, tahu-tahu
punggungnya telah diketuk perlahan oleh tongkat orang bertubuh pendek tidak
berkaki itu.
Dengan kaget Kwee Siang telah
memutar cepat-cepat tubuhnya, dia melihat lawannya tengah memandang kepadanya
dengan mulut tersenyum-senyum.
Phang Kui In sendiri takjub
dan kagum melihat kegesitan orang yang berkaki buntung itu, yang diduga berusia
enampuluh tahun lebih, karena waktu Kwee Siang tadi melancarkan serangan kepada
orang tersebut, ternyata orang itu telah mencelat dengan gesit sekali sehingga
Phang Kui In tidak bisa melihat jelas gerakan orang itu. Hanya melihat segumpal
warna hijau yang menerjang di dekatnya membuat Phang Kui In harus melompat
menjauhkan diri.
Jika memang orang berpakaian
serba hijau itu bermaksud jahat untuk mencelakai Kwee Siang, tentu semuanya itu
mudah saja dilakukannya. Tetapi kenyataannya orang itu tidak bermaksud jahat,
dia hanya mengetuk perlahan sekali pada bahu si gadis.
Tetapi akibat ketukan tongkat
orang aneh itu, Kwee Siang merasakan bahunya seperti juga telah terhajar oleh
alu yang besar sekali, daging tubuhnya seperti hancur tertumbuk! Itulah
membuktikan bahwa tenaga lweekang orang tersebut sangat tinggi dan sempurna,
karena dengan ketukan yang perlahan itu dia berhasil menghantam keras sekali
kepada lawannya.
Kwee Siang terhuyung maju dua
langkah, kemudian cepat-cepat pendekar wanita ini memutar tubuhnya. Untuk dapat
menghadapi dan bersiap sedia dari segala serangan susulan lawannya.
Orang yang kedua kakinya
bercacat itu telah tertawa mengikik tidak sedap didengar, dia telah berkata
dengan suara yang sangat perlahan sekali, „Bagaimana? Apakah kau ingin
main-main pula beberapa jurus denganku?”
Kwee Siang merasakan mukanya
berobah jadi merah dan panas karena walaupun lawannya itu bertanya sambil
tersenyum, namun Kwee Siang menyadari bahwa lawannya sedang mengejek dia.
Sambil mengeluarkan seruan, „Awas pedang!” tampak Kwee Siang telah melompat ke
arah lawannya dan waktu tubuhnya masih terapung di tengah udara, pedangnya itu
ditusukkan ke arah tenggorokan lawannya dengan jurus ‘Hud-pay-kwan-in’ atau
menyembah sang dewi Kwan-im, gerakan yang dilakukan Kwee Siang bukan main
kuatnya.
Orang itu juga terkejut waktu
menyaksikan pedang si gadis tergetar dan mata pedang itu seperti bertambah
menjadi sembilan, menyambar ke sembilan jurusan, mata, tenggorokan, dada,
perut, lutut dan paha, serta beberapa bagian tubuh lainnya yang berbahaya.
Itulah semacam kepandaian ilmu pedang yang jarang sekali dimiliki orang.
„Bagus!” berseru orang
bercacad kedua kakinya itu sambil mengelakkan diri. Dan cepat sekali tongkat
kanannya telah diketukkan pada bumi, maka tubuhnya telah meluncur dengan cepat
sekali, menangkis ke arah pedang si gadis.
Phang Kui In jadi heran dan
terkejut melihat apa yang dilakukan oleh orang bercacad kakinya itu, karena
serangan yang dilakukan itu merupakan serangan yang terlalu berani. Seperti diketahui
bahwa pedang sudah diakui sebagai raja dari berbagai senjata, karena disamping
bobotnya yang ringan, juga pedang memiliki ukuran yang panjang, sehingga si
pemakainya bisa mempergunakannya seleluasa mungkin, sehingga jika telah
mencekal pedang orang tersebut seperti memiliki tambahan dari bagian anggota
tubuhnya untuk melakukan penyerangan.
Dan orang bercacad kedua
kakinya itu memang menyadari akan hebatnya pedang Kwee Siang, terlebih lagi dia
telah mengetahui bahwa Kwee Siang adalah cucunya Oey Yok Su, dengan sendirinya
kepandaian gadis ini tentu hebat sekali dan tidak boleh dipandang lemah.
Phang Kui In telah berteriak,
„Kwee liehiap, hati-hati, jangan terlalu ceroboh!” Orang she Phang itu
berteriak memperingati, karena dia kuatir Kwee Siang lupa diri dan melancarkan
serangan-serangan membabi buta tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.
Kwee Siang juga terkejut
sekali waktu mendengar peringgatan dari Phang Kui In. Cepat-cepat dia
memperbaiki kedudukan dirinya, kemudian dia memutar pedangnya dengan cepat,
sehingga sinar putih berkilau dari pedang itu merupakan bundaran putih yang
mengurung dan melindungi tubuh Kwee Siang dari segala macam bentuk serangan.
Tetapi orang itu telah menjadi
penasaran. Dia mengeluarkan suara tertawa mengejek, sambil katanya, „Aku ingin
lihat, berapa tinggi kepandaian yang kau warisi dari kakekmu!” dan menyusuli
perkataannya itu, tampak orang bercacad kedua kakinya itu telah mengeluarkan
suara bentakan yang sangat keras sekali, sampai menulikan anak telinga.
Diantara berkesiuran angin
serangan pedang Kwee Siang, tongkat di tangan kirinya bergerak-gerak dengan
kecepatan yang luar biasa. Gerakan-gerakan tongkat itu juga tampaknja aneh
sekali, sebentar ke samping kanan, sebentar menyambar ke samping kiri, ke bawah,
ke atas dan ke tengah mengincar perut Kwee Siang.
Keadaan demikian membuat Kwee
Siang jadi gelagapan dan cepat-cepat menarik pulang pedangnya, dia telah
berkata dengan suara mengandung penasaran:
„Aku akan adu jiwa dengan
kau..... lihatlah pedang.....!” dan sambil berkata begitu, tampak Kwee Siang
telah menggerakkan pedangnya dalam bentuk segi delapan. Dia telah mengeluarkan
jurus simpanan yang dimilikinya, yang tidak akan dipergunakannya kalau tidak
bertemu dengan lawan berat. Nama jurus itu ‘Sian-sian-kong-lie”, yaitu
dewa-dewi dihormati, dan tampak pedangnya itu bergerak-gerak menurut aturan
pat-kwa, yaitu delapan segi. Ilmu ini diciptakan oleh Kwee Siang setelah dia
memeras pikiran selama setengah tahun, dimana dia telah merubahnya dari salah
satu jurus yang terdapat dari kitab Kiu-im-cin-keng.
Orang bercacad kedua kakinya
itu jadi terkejut, karena matanya jadi silau melihat sinar pedang berkilauan
dari segala jurusan menyambar ke arah dirinya. Dia sampai mengeluarkan pujian:
„Bagus!” dan tongkatnya
ditarik pulang, sedangkan tongkat yang satunya telah ditotolkan keras ke tanah,
sehingga dengan meminjam tenaga totolan itu tubuh orang tersebut telah mencelat
dengan gesit sejauh tiga tombak.
Kwee Siang tengah bernafsu dan
ingin menerjang lagi untuk melancarkan serangan, pedangnya juga telah
berkesiutan menyambar dahsyat kepada lawannya.
„Tahan!” teriak orang berbaju
hijau itu sambil berdiri di atas kedua tongkatnya. „Aku hendak bicara!”
Kwee Siang menahan pedangnya,
dia telah menatap dengan penuh kemarahan kepada lawannya:
„Apa yang hendak kau katakan?”
„Engkau sungguh-sungguhkah
cucunya Oey Yok Su?” tanya orang itu.
„Apakah pendengaranmu tuli?
Tadi aku telah memberitahukan bahwa kakekku adalah majikan pulau Tho-hoa-to,”
teriak Kwee Siang keras, karena dia memang tengah diliputi kemarahan yang luar
biasa. „Apakah perlu aku memberitahukan sekali lagi?”
„Tunggu dulu, sabar, jangan
galak seperti nenek-nenek!” kata orang berpakaian hijau itu sambil tertawa.
„Dengarlah! Ilmu silat Oey Yok Su aku ketahui dengan baik, yaitu bersumber dari
Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng! Bukankah begitu?”
Kwee Siang ragu-ragu, dia
telah mengangguk, katanya kemudian dengan suara yang cukup keras: „Benar!
Setelah engkau tahu dan mengenal kakekku, mengapa engkau ingin mengganggu diri
kami?”
„Nanti dulu, engkau dengar
baik-baik! Aku heran mendengar engkau adalah cucu Oey Yok Su si tua bangkotan
itu! Hal ini karena berlawanan sekali dengan keadaanmu! Sebagai cucu dari Oey
Yok Su, tentunya engkau harus, mempergunakan ilmu-ilmu ciptaan Oey Yok Su si
tua bangkotan itu..... namun sejak tadi aku melihat engkau mempergunakan
semacam ilmu yang belum pernah kukenal dan aku yakin ilmu itu tentunya bukan
milik si tua bangka Oey Yok Su. Benarkah begitu?”
Kwee Siang tertawa dingin.
„Hmm, jika memang aku berhasil
memiliki ilmu silat kakekku, tentunya dalam satu-dua jurus engkau telah
berhasil kurubuhkan! Ilmu yang tadi kupergunakan adalah ilmu silat ciptaanku
sendiri.....”
„Pantas! Pantas!” berseru
orang tua berbaju hijau tersebut dengan suara yang sangat nyaring.
„Apanya yang pantas?”
„Pantas saja engkau tidak bisa
memiliki kepandaian yang tinggi, rupanya Oey Yok Su si tua bangkotan itu tidak
sayang pada cucunya!”
„Jangan bicara
sembarangan.....!” teriak Kwee Siang dengan suara mengandung kemarahan.
„Sembarangan? Mengapa
sembarangan…..? Bukankah engkau sendiri yang memberitahukan bahwa engkau tidak
mempelajari ilmu silatnya si jago bangkotan Oey Yok Su itu?” Waktu bertanya
begitu, orang berpakaian hijau itu telah mementang matanya lebar-lebar.
Kwee Siang jadi tambah
mendongkol dan marah, tetapi tentu saja dia menyadari bahwa kepandaiannya tidak
bisa menandingi kepandaian lawannya.
„Baiklah! Sekarang katakanlah
apa maksudmu dan siapa namamu?” tanya Kwee Siang kemudian sambil menahan
kemarahan di hatinya.
„Kau ingin mengetahui namaku?
Ingin mengetahui juga apa maksudku?” tanya orang itu.
Kwee Siang mengangguk.
„Hemmm, itu mudah! Engkau bisa
saja memanggilku dengan sebutan si buntung, karena memang seluruh jago-jago
dalam rimba persilatan selalu menyebutku dengan perkataan si buntung itu. Dan
engkau boleh memanggilku dengan sebutan si buntung juga.”
Waktu itu Kwee Siang jadi
memandang heran, karena umumnya orang yang bercacad tangan maupun kakinya,
paling pantang mendengar seseorang menyebut-nyebut kekurangannya itu. Tetapi
sekarang orang berpakaian baju hijau yang kedua kakinya buntung itu,
menganjurkan agar Kwee Siang memanggilnya dengan sebutan si buntung! Dalam
keadaan demikian, tampak Kwee Siang ragu-ragu sejenak, sampai akhirnya dia
telah berkata lagi dengan suara yang bimbang.
„Tetapi..... tetapi.....
apakah engkau tidak akan marah jika aku memanggilmu dengan sebutan si.....
si..... si buntung?”
„Mengapa harus marah? Bukankah
memang kenyataannya bahwa kedua kakiku ini telah buntung dan bercacad!”
Ditanya begitu, Kwee Siang
terpaksa tersenyum tidak bisa menyembunyikan perasaan lucu mendengar perkataan
orang itu, yaitu si buntung.
„Mungkin juga,” kata Kwee
Siang kemudian setelah dia melihat si buntung itu berdiam diri mengawasi dia.
„Si buntung itu merupakan gelaran belaka!”
„Memang!”
„Lalu siapa namamu?”
„Engkau ingin tahu?”
„Ya!”
„Aku she Lie dan bernama Bun
Hap!”
„Lie Bun Hap, aku seperti
pernah mendengar nama itu disebut seseorang,” mengangguk Kwee Siang sambil mengawasi
orang she Lie tersebut.
„Mungkin si tua bangkotan Oey
Yok Su yang telah menyebut-nyebut namaku?” Si buntung mencoba memberikan
terkaannya kepada Kwee Siang.
„Bukan!”
„Lalu siapa?”
„Entahlah aku tidak ingat,
tetapi dalam hal ini memang aku pernah mendengar disebutnya nama Lie Bun Hap
itu.....!”
Tiba-tiba si buntung telah
mengeluarkan suara tertawa yang sangat keras sekali, dia telah memandang ke
arah Kwee Siang.
Sikap yang diperlihatkan si
buntung membuat Kwee Siang jadi tersinggung.
„Apa yang kau tertawakan?”
tanyanya dengan suara mendongkol.
„Ada yang lucu! Ada yang lucu!
Jika tidak mengapa aku harus tertawa? Dengan tertawanya aku, tentu saja ada
sesuatu yang lucu!”
„Yang lucu bagaimana?” tanya
Kwee Siang menegasi.
„Lucu sekali! Engkau tadi sok
galak, tetapi sekarang untuk mengingat sepatah nama saja telah begitu sibuk dan
tidak tahu..... sikapmu yang belakangan ini seperti anak gadis yang bodoh!”
Kwee Siang berobah mukanya
menjadi merah, karena dia mendongkol sekali.
„Mulutmu terlalu lancang!”
katanya kemudian.
„Lancang?” tanya si buntung
dengan suara yang mengandung ejekan.
„Ya, engkau sebagai orang
tingkatan tua telah bersikap tidak tahu malu ingin mempermainkan yang muda!”
kata Kwee Siang dengan berani sekali.
Muka orang tua itu telah
berobah merah padam, tetapi hanya sejenak saja, kemudian dia telah pulih
sebagaimana biasanya.
„Ya, memang aku dari tingkatan
tua, kaum cianpwe, dan kalian berdua adalah kaum boanpwe, tetapi tidak salah
kalau kaum cianpwe memberikan pelajaran kepada kaum boanpwe yang tengik dan
kurang ajar.....!”
Halus suara orang itu dan
tampaknya si buntung tidak marah oleh perkataan Kwee Siang, namun nadanya yang
halus itu berlainan dengan makna yang termaksud dalam kata-katanya itu, yaitu
dia ingin menghajar Kwee Siang dan Phang Kui In babak belur.
Kwee Siang sendiri berdebar
hatinya, karena dia agak bingung juga, jika tadi dia berkata begitu, hanya
untuk memancing kemarahan si buntung, dan jika dia marah dan mempertahankan
kedudukan dirinya sebagai golongan cianpwe tentu akan perintahkan Kwee Siang
dan Phang Kui In berlalu tanpa diganggunya pula. Tetapi siapa tahu si buntung
itu berkepala batu, semakin lawannya keras kepala justru dia lebih keras kepala
juga.
“Lalu apa yang kau kehendaki?”
tanya Kwee Siang waktu melihat Lie Bun Hap hanya tertawa mengejek saja tanpa
memperdulikan kemarahannya.
„Tentu saja mengajar adat
kepada kalian berdua,” kata Lie Bun Hap dengan suara yang tegas.
Kwee Siang dan Phang Kui In
jadi menghela napas, karena mereka menyadari sulit untuk mengharapkan bisa
lolos dari tangan lawan yang keras kepala dan memiliki kepandaian yang demikian
tinggi.
Dalam keadaan demikian, tampak
Phang Kui In telah maju selangkah, dia merangkapkan kedua tangannya menjura
memberi hormat kepada Lie Bun Hap.
„Lie locianpwe..... seharusnya
kami memang dihukum, tetapi dengan memandang muka terangnya Oey locianpwe
pemilik pulau Tho-hoa-to, ampunilah kami, kami akan segera meninggalkan pulau
ini!”
Mendengar perkataan Phang Kui
In, muka Lie Bun Hap jadi berobah hebat, dia telah berkata dengan suara yang
dingin:
„Permintaan ampunmu itu
datangnya terlambat! Dan sekarang, kalian berdua orang-orang golongan boanpwee
yang kurang ajar, harus kuajar adat.....!” Dan setelah berkata begitu,
diangkatnya tongkat di tangan kanannya, dia telah berkata lagi:
,,Bersiap-siaplah, aku akan segera menyerang!”
Kwee Siang dan Phang Kui In
menyadari bahwa mereka tidak mungkin terlepas dari cengkeraman tangan orang
aneh ini, maka mereka jadi nekad. Dengan mengeluarkan suara seruan:
„Silahkan menyerang!” Kwee
Siang telah menggerakkan pedangnya menabas udara kosong, sehingga suara pedang
itu berkesiuran.
Phang Kui In juga telah
berdiri tegak bersiap-siap untuk menerima segala serangan yang akan dllancarkan
oleh lawannya. Dan dia telah bertekad untuk melindungi Kwee Siang, karena dia
mengetahui bahwa Kwee Siang memiliki kepandaian tinggi, dan dia harus dapat
diselamatkan, terlebih lagi Kwee Siang merupakan cucu bungsu dari Oey Yok Su.
Jika sampai terjadi sesuatu di diri gadis pendekar ini, niscaya Oey Yok Su
tidak akan mau mengerti, walaupun hanya seujung rambut saja yang terganggu,
tetapi pasti Oey Yok Su akan mencari Lie Bun Hap untuk membalas sakit hati.
„Locianpwe.....!” kata Phang
Kui In lagi dengan suara yang disabar-sabarkannya. „Dengarlah dulu keteranganku
ini!”
„Keterangan apa lagi yang
hendak kau katakan? Cepat katakan!!” kata Lie Bun Hap memperlihatkan sikap yang
tidak sabaran.
Phang Kui In telah
merangkapkan tangannya menjura memberi hormat lagi kepada Lie Bun Hap.
„Lie locianpwe.....
ketahuilah, bahwa kami terdampar di pulau ini tanpa kami sengaja dan tanpa kami
kehendaki! Kami telah menerima nasib yang buruk ditawan bajak laut, dan kami
disimpan dalam kamar tahanan. Untung kami bisa meloloskan diri dengan melobangi
dinding kamar tahanan itu dan berenang keluar dari kapal tersebut. Tetapi
sayang, rupanya kami harus menerima percobaan lagi. Kami telah
dipusing-pusingkan dalam putaran user-user air laut yang akhirnya membuat kami
pingsan. Waktu kami tersadar, ternyata kami telah menggeletak di tepi pantai
pulau ini. Maka dengan memandang muka terang dari Oey locianpwe, kami mohon Lie
locianpwe mengampuni kami dan kami akan segera meninggalkan pulau ini tidak
berani mengganggu Lie locianpwe lagi.....”
Manis cara berkata Phang Kui
In, dan diapun berkata-kata dengan sikap yang hormat sekai. Lie Bun Hap untuk
sejenak jadi diam tertegun. Tetapi kemudian sambil mengetukkan ujung tongkat di
sebelah kirinya ke tanah, dia telah berkata,
„Tadi kau mengatakan bahwa
kalian ditawan oleh bajak laut, tahukah engkau siapa bajak laut itu?”
Phang Kui In menggelengkan
kepalanya.
„Sayang kami tidak mengetahui
siapa mereka yang telah membajak kami. Namun kami ketahui nama pemimpin mereka
adalah Ciong Lam Cie. Hanya itu yang kami ketahui.”
„Ciong Lam Cie?” tanya Lie Bun
Hap dengan mata terbuka lebar-lebar, tampaknya dia sangat terkejut.
„Ya!”
„Orang she Ciong itu masih
hidup…..?”
„Entahlah. Kami tidak
mengenalnya dan hanya mengetahui namanya Ciong Lam Cie, dia sendiri yang
menyebutkannya.”
Mendengar perkataan Phang Kui
In yang terakhir, Lie Bun Hap telah berdiri diam tercenung. Tampaknya ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya.
„Besarkah jumlah mereka?”
tanya Lie Bun Hap lagi.
„Cukup banyak, bahkan anak
buahnya itu semuanya mengerti ilmu silat yang cukup tinggi.....!”
„Hemmm..... Kalian telah
dirubuhkannya?” tanya Lie Bun Hap. „Oleh ketuanya atau hanya kaki tangannya
yang merubuhkanmu?”
„Kami dirubuhkan oleh orang
she Ciong itu sendiri!!” menyahut Phang Kui In dengan pipinya yang berobah menjadi
merah.
„Hemmm, orang she Ciong itu
rupanya tengah mencari lawan-lawannya.....!” menggumam Lie Bun Hap.
„Tidak salah Lie locianpwe.
.....!” kata Phang Kui In. „Memang dia tengah mencari seseorang.....! Bahkan
kalau dilihat caranya, dia bukan hanya mencari seorang saja, justru dia tengah
menyelidiki beberapa orang yang hendak dibinasakannya.”
„Tahukah engkau siapa-apa saja
yang tengah dicari Ciong Lam Cie?” tanya orang tua itu.
Phang Kui In menggelengkan
kepalanya perlahan, kemudian dia berkata lagi:
„Kami tidak mengetahui jelas,
tetapi jika tidak salah orang she Ciong itu juga memusuhi Kwee Ceng Tayhiap
suami isteri. Yaitu ayah ibu dari Kwee liehiap ini..... dan ada seorang lainnya
yang dimusuhinya juga, yaitu.....”
Berkata sampai disitu, Phang Kui
In berhenti bicara, seperti juga dia bimbang meneruskan kata-katanya itu.
„Siapa orang yang lainnya
itu…..?” tanya Lie Bun Hap mendesak, matanya juga telah memandang kepada Phang
Kui In dengan terpentang lebar.
„Jika tidak salah dengar,
diapun ingin mencari Yo Ko Sin-tiauw Tayhiap.....!” akhirnya Phang Kui In
memberikan penjelasannya juga.
„Apa..... apa?” tanya Lie Bun
Hap seperti terkejut dan melompat satu tombak lebih. „Engkau bicara jangan
main-main! Cepat katakan yang sebenarnya.....!”
„Aku telah bicara dari hal
yang sebenarnya!” menyahuti Phang Kui In.
„Tetapi..... tidak mungkin
Ciong Lam Cie akan memberitahukan padamu dia tengah mencari Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko.....!”
21.42. Si Buntung Pendekar
Aneh
„Mengapa tidak? Sekarang
setiap orang yang lewat di perairan yang berada dalam kekuasaannya tentu akan
ditangkapnya. Dan jika orang itu, setelah diperiksa, tidak memiliki sangkut
paut dengan orang-orang yang sedang dicarinya maka akan dibebaskan. Tetapi jika
ternyata orang itu memiliki sangkutan dengan orang-orang yang tengah dicarinya,
tentu akan dikurungnya, ditawannya!”
„Tetapi.....?” tanya Lie Bun
Hap dengan ragu-ragu mengawasi Phang Kui In.
„Tetapi kenapa locianpwe,”
tanya Phang Kui In sambil mengawasi jago she Lie itu.
„Tetapi mengapa engkau juga
ditawan, apakah engkau memiliki hubungan dekat dengan musuh-musuh orang she
Ciong itu?”
Phang Kui In menghela napas.
„Memang peristiwa yang terjadi
begitu adanya!” kata Phang Kui In, „karena Kwee lihiap telah mengakui terus
terang bahwa dia adalah puteri dari Kwee Ceng Tayhiap, sedangkan kawan kami
yang seorang lagi, Him-jie (anak him) justru mengakui bahwa dia adalah
puteranya Sin-tiauw Tayhiap!!”
„Sin..... Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko ada puteranya?” tanya Lie Bun Hap seperti juga tidak percaya apa yang
didengarnya.
„Ya,” mengangguk Phang Kui In
dengan cepat, wajahnya segera tergambar perasaan menyesal dan sedih. „Dia telah
lenyap waktu kami meloloskan diri dari kapal orang itu. Semula Him-jie aku
gendong dan rangkul kedua kakinya kuat-kuat, tetapi waktu tubuh kami terserang
user-user air laut yang berputar, kami telah pingsan dan satu dengan yang
lainnya sudah tidak bisa mengetahui, sampai akhirnya ketika aku tersadar dari
pingsan kami telah tergeletak di pasir tepi pantai. Hanya Kwee liehiap yang kujumpai,
sedangkan Him-jie tidak diketahui berada dimana.....!” Setelah berkata begitu,
Phang Kui In jadi menghela napas berulang kali.
„Apakah…… apakah puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu seorang anak lelaki berusia duabelas atau tigabelas
tahun?” tanya Lie Bun Hap sambil mengawasi Phang Kui In dengan sorot mata yang
sangat tajam sekali.
„Tepat!” berseru Phang Kui In
dengan suara terkejut bercampur girang, disamping itu juga wajahnya
berseri-seri, karena ada harapan lagi baginya untuk bertemu dengan Yo Him.
„Aku semalam telah menemukan
seorang anak lelaki yang berusia diantara duabelas tahun mengeletak tidak
sadarkan diri. Anak lelaki itu memiliki tubuh yang lemas dan tampan sekali
mukanya. Aku senang padanya, aku bawa ke rumahku. Apakah mungkin dia itu
puteranya Yo Tayhiap?
Phang Kui In telah berjingkrak
saking gembiranya.
„Lie locianpwe, bisakah
locianpwe mengantar kami untuk menjenguknya?” tanya Phang Kui In.
Kwee Siang juga jadi berobah
mukanya, berseri-seri cerah sekali, dia merangkapkan kedua tangannya menjura
kepada orang tua berkaki buntung itu setelah menyimpan kembali pedangnya.
„Maafkan atas kecerobohan dan
kekurang ajaran boanpwe!” kata Kwee Siang dengan suara yang sabar tidak
mengandung permusuhan lagi.
Phang Kui In juga telah
menjura sambil katanya, „Kami tentu tidak akan melupakan budi kebaikan
locianpwe!!”
Tetapi Lie Bun Hap
menggelengkan kepalanya perlahan, dia telah berkata dengan suara yang tawar.
„Aku memberitahukan kepada
kalian bahwa aku menemukan anak itu, bukan berarti aku bersedia untuk
membiarkan kalian bertemu! Aku telah bertekad untuk mengambil dia menjadi
muridku! Selama puluhan tahun aku tidak memiliki murid, maka melihat bakat dan
tulang baik dari anak itu, aku ingin mengambilnya sebagai murid tunggal! Hem……
mana mungkin aku membiarkan kalian bertemu muka lagi, yang bisa memberantakan
rencanaku.....!”
Setelah berkata begitu, muka
Lie Bun Hap jadi berobah bengis lagi, dia telah meneruskan perkataannya:
„Cepat kau katakan, ke arah
mana yang diambil Ciong Lam Cie?”
„Kau sendiri tidak mau
mempertemukan kami dengan Him-jie dan sekarang kau mendesak kami untuk
memberikan keterangan. Itulah urusan yang tidak ceng-li!”
„Kau ingin aku memaksa dengan
kekerasan?” bentak Lie Bun Hap yang bergelar si buntung itu.
„Tetapi jika locianpwe
menyiksa kami, berarti untuk selamanya kau tidak bisa memperoleh keterangan
apapun mengenai dirinya bajak laut Ciong Lam Cie itu!” Kwee Siang telah ikut
menimbrung bicara dengan nada yang dingin.
„Hemm, enak saja engkau
bicara….. Bukankah masih ada Yo Him, putera Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Bukankah
diapun mengalami hal dan peristiwa itu bersama-sama dengan kalian?” Setelah
berkata begitu, tampak Lie Bun Hap tertawa bergelak-gelak.
Phang Kui In dan Kwee Siang
merasakan telapak tangan mereka jadi dingin. Memang tidak salah, jika Yo Him
berada di tangan orang she Lie ini. Tentunya dia bisa saja mendesak Yo Him,
atau memancing anak itu dengan berbagai jalan, agar Yo Him menceritakan apa
yang dialaminya. Dan setelah itu, tentunya segala urusan menjadi jelas dan
terang.
Waktu itu Lie Bun Hap telah
berkata lagi dengan suara yang dingin: „Apakah kalian tetap tidak mau
menceritakan kepadaku perihal ketua Tiauw-pang (perkumpulan rajawali) Ciong Lam
Cie itu?”
Phang Kui In menghela napas
dengan lesu.
„Mereka menempuh jalan air
yang menuju ke arah timur tenggara.....!” katanya kemudian.
„Hemmm, jika Ciong Lam Cie
mengambil arah timur tenggara tentu tidak akan sampai di tempat ini, justru
tempat ini terletak di barat selatan. Ha, ha, ha! Kukira cukup keterangan yang
kau berikan.....!”
Setelah berkata begitu Lie Bun
Hap telah mengibaskan tongkat yang di tangan kanannya, seperti sikap
mempersilahkan tamunya untuk pergi.
„Kalian bebas untuk
meninggalkan pulau ini, aku tidak akan mengganggunya!”
Tetapi Phang Kui In dan Kwee
Siang mana mau berlalu dari pulau ini setelah mengetahui bahwa Yo Him masih
selamat dan berada dalam rawatan orang tua she Lie itu, yang tertarik ingin
mengangkat Yo Him sebagai murid tunggalnya itu.
„Locianpwe.....” suara Phang
Kui In tidak lampias, tampaknya dia bingung sekali.
„Apalagi? Aku telah
membebaskan kalian tanpa diberi tanda mata sedikitpun di tubuh kalian, apakah
itu masih belum cukup sehingga kalian berdua tampaknya tidak puas?”
Tajam suara dari Lie Bun Hap
waktu dia menegur begitu, karena dia mendongkol sekali tampaknya. Dan bibirnya
yang kemudian terkatup rapat itu memperlihatkan bahwa dia menahan amarah di
hatinya!
Phang Kui In cepat-cepat
menjura lagi sambil katanya dengan suara yang halus:
„Locianpwe kasihanilah kami,
ajaklah kami menemui Yo Him.....! Kami sesungguhnya tengah menerima tugas yang
cukup berat, yaitu membawa Yo Him menemui ayah kandungnya! Kami kira tentunya
locianpwe tidak keberatan bukan untuk melepaskan Yo Him sementara waktu, dan
kelak jika telah bertemu dengan ayah kandungnya tentu kami akan mengajaknya
kemari lagi untuk menemui locianpwe, guna mengadakan pengangkatan guru dan
murid.”
Waktu itu muka Lie Bun Hap
telah berobah semakin tidak enak dilihat, dia mengetukkan ujung tongkatnya ke
tanah sebanyak empat kali, mukanya juga merah padam, giginya yang menggigit
keras-keras itu terdengar berkereot-kereot.
„Kau bicara seperti anak kecil
saja!” bentak Lie Bun Hap akhirnya. „Hemmm, apakah engkau kira dengan bicara
begitu, dengan menyebut-nyebut nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko aku akan takut dan
gentar, lalu cepat-cepat menyerahkan anak itu kepada kalian? Hemmm, enak saja
kau bicara. Sekarang begini saja singkatnya, kalian mau pergi meninggalkan
pulau ini atau mau aku mampusi saja?” Keras nada perkataan dari Lie Bun Hap,
dia tampaknya tidak senang dengan sikap Phang Kui In yang seperti mengulur-ulur
waktu.
Di saat itulah tampak Kwee
Siang telah berkata dengan suara ragu-ragu: „Locianpwe..... maukah locianpwe
mengasihani kami bertiga dengan memandang muka ayah dan ibuku?!” kata Kwee
Siang. „Nanti kepada ayah dan ibu aku akan menceritakan segalanya perihal
locianpwe yang telah melepas budi kepada kami.....”
Mendengar perkataan Kwee
Siang, Lie Bun Hap telah tertawa bergelak-gelak dengan keras. „Hemm, engkau
bicara seperti juga bermimpi!” katanya dingin. „Apa harganya ayah, ibumu harus
kupandang? Hemm, jika Kwee Ceng dan Oey Yong sendiri yang datang memohon! Agar
aku melepaskan Yo Him, belum tentu aku akan melayaninya, bahkan bisa-bisa
mereka kumampusi sekalian.....!”
Kaget Kwee Siang mendengar
perkataan Lie Bun Hap yang terakhir itu. Ternyata orang she Lie ini sama sekali
tidak memandang muka terang dan kepopuleran nama Kwee Ceng, dan Oey Yong.
Disamping itu, orang she Lie ini terlalu sombong dan takabur sekali, maka hal
ini tidak menggembirakan hati Kwee Siang, dan Phang Kui In.
„Lalu apa maunya locianpwe?”
tanya Kwee Siang menahan kemarahan hatinya.
„Kalian pergi menggelinding
dari pulauku dan jangan coba-coba berani datang kemari lagi karena jika aku
bertemu kembali dengan kalian, aku tentu akan menurunkan tangan maut
membinasakan kalian, dan kalian tidak bisa mengatakan lagi aku terlalu kejam,
sebab sekarang ini aku telah membebaskan kalian dengan cara yang enak tanpa
syarat.”
Muka Kwee Siang dan Phang Kui
In jadi berobah merah. Mereka tersinggung sekali. Walaupun bagaimana Kwee Siang
dan Phang Kui In merupakan jago-jago yang memiliki nama tidak kecil di dalam
rimba persilatan dan kalangan Kang-ouw, tetapi sekarang Lie Bun Hap
memperlakukan mereka sekehendak hatinya, menghina mereka habis-habisan.
Tetapi Phang Kui In telah
menjura lagi sambil menahan kemarahan di hatinya.
„Lie locianpwe walaupun
bagaimana kami harus menemui Yo Him dulu, nanti kami menanyakan langsung
kepadanya, apakah dia bersedia untuk menjadi muridmu, jika memang dia bersedia
untuk mengangkat guru padamu kamipun tidak bisa berbuat apa-apa.”
„Kalian terlalu cerewet
seperti nenek-nenek dan kakek-kakek!” teriak Lie Bun Hap dengan suara yang
keras sekali.
„Dengarlah dulu Lie
locianpwe…..!”
Tetapi belum lagi suara Phang
Kui In selesai diucapkan di saat itu tampak Lie Bun Hap telah mengibaskan
tongkat di tangan kanannya sambil berkata, „Cepat menggelinding pergi sebelum
aku melakukan tindakan kekerasan melemparkan kalian ke tengah-tengah laut.....!”
suaranya bengis sekali mengandung hawa pembunuhan.
Tetapi Kwee Siang dan Phang
Kui In tidak takut melihat sikap mengancam dari Lie Bun Hap. Bahkan mereka
telah mempersiapkan bhesi-bhesi yang kuat pada kedua kaki mereka, dengan sikap
yang berhati-hati karena mereka menyadari Lie Bun Hap bukan hanya sekedar
mengancam saja, tetapi bisa saja orang she Lie itu melancarkan serangan
sungguhan.
Melihat Kwee Siang dan Phang
Kui In mengambil sikap seperti menantang, muka Lie Bun Hap jadi berobah merah
padam, dengan suara bentakan yang keras dia telah bilang: „Bagus, bagus! Memang
kalian rupanya mencari penggebuk!”
Dan membarengi dengan
perkataannya itu, tampak Lie Bun Hap telah mengeluarkan suara bentakan yang
nyaring sekali, dia telah menggerakkan tongkat di tangan kanannya memukul udara
kosong, kemudian tongkatnya meluncur ke arah tenggorokan Phang Kui In.
Orang she Phang itu jadi
terkejut, dia sampai mengeluarkan suara teriakan tertahan karena kaget, sebab
datangnya serangan tongkat Lie Bun Hap sangat cepat sekali. Dan belum lagi dia
sempat memikirkan untuk menangkis atau berkelit dengan jurus apa, tahu-tahu
ujung tongkat lawannya telah berobah arah lagi, menusuk ke arah lambungnya!
Cepat-cepat Phang Kui In membuang dirinya kelain arah untuk mengelakkan serangan
tongkat itu.
Namun belum lagi dia berhasil
mengelakkan diri dari tongkat Lie Bun Hap, dan belum lagi tubuhnya menyentuh
tanah, kaki kiri Lie Bun Hap telah melayang cepat sekali menendang kempolan
Phang Kui In.
„Dukk!” terdengar keras
tendangan Lie Bun Hap mengenai sasarannya dengan tepat, sehingga tidak ampun
lagi Phang Kui In jadi terlempar dan terguling di atas tanah, dia merasakan
kempolannya sakit sekali.
Lie Bun Hap tidak tinggal diam
hanya sampai disitu saja, dengan cepat dia mendekati Phang Kui In, terlihat
tongkatnya yang di tangan kanan telah melayang akan menusuk ke arah perut Phang
Kui In yang saat itu tengah rebah terlentang.
Phang Kui In jadi mengeluh,
dia bisa membayangkan betapa dahsyatnya tenaga menyodok tongkat itu kepada
perutnya, dan jiwanya bisa melayang jika sampai tertusuk oleh ujung tongkat
tersebut.
Bukan hanya Phang Kui In saja
yang terkejut Kwee Siang juga jadi terperanjat. Dengan mengeluarkan suara
bentakan nyaring dan tidak membuang-buang waktu lagi, tampak Kwee Siang telah
menjejakkan kakinya, tubuhnya meloncat gesit sambil menusukkan pedangnya ke
arah pundak sebelah kanan Lie Bun Hap.
Kwee Siang kali ini
melancarkan tusukan pedangnya tidak bisa dipandang ringan, karena dia sedang
terkejut melihat jiwa Phang Kui In terancam kematian, maka serangan pedangnya
itu jauh lebih kuat lagi.
„Siuuttt.....!” pedang itu
meluncur secepat kilat dan mengandung tenaga lweekang yang luar biasa kuatnya.
Sinar putih tampak meluncur terus ke arah pundak kanan Lie Bun Hap. Tetapi
orang she Lie itu sama sekali tidak memperdulikan serangan pedang Kwee Siang,
dia hanya mengeluarkah suara dengusan sambil meneruskan serangan ujung
tongkatnya yang hendak ditusukkan ke perut Phang Kui In.
„Tranggg.....!” ketika mata
pedang Kwee Siang berhasil mengenai pundak orang she Lie itu, dia merasa
menikam semacam benda keras, dan pedangnya itu telah melejit, sehingga Lie Bun
Hap tidak terluka sama sekali.
Sedangkan Phang Kui In
menyaksikan kejadian yang berlangsung hanya satu-dua detik itu, tambah terkejut.
Mati-matian dia telah menekan tanah dengan kedua tangannya, meminjam tenaga
tekanan itu, tubuh Phang Kui In telah meloncat ke samping, bergulingan
menjauhkan diri dari lawannya.
Tongkat Lie Bun Hap telah
meluncur cepat dan menghujam tanah, masuk cukup dalam. Gusar sekali Lie Bun
Hap, sampai dia berjingkrak, marah ketika mengetahui lawannya telah berhasil
menyelamatkan diri. Untuk melampiaskan kemarahannya itu, Lie Bun Hap tidak
berdiam diri saja waktu serangannya kepada Phang Kui In telah gagal mengenai sasarannya,
dengan cegat sekali tongkatnya yang tercekal di tangan kiri telah menyambar
dahsyat ke arah perut Kwee Siang.
„Wutt.....!” tongkat di tangan
kiri Lie Bun Hap telah menyambar mengejutkan Kwee Siang. Tetapi sebagai seorang
jago muda yang memiliki kepandaian tinggi, dan puteri dari jago-jago ternama
Kwee Ceng dan Oey Yong, disamping itu sebagai cucu dari Oey Yok Su, maka dia
tidak menjadi gugup menghadapi keadaan seperti itu.
Dengan mengeluarkan suara
bentakan yang mengguntur, tampak Lie Bun Hap telah memperhebat serangan
tongkatnya kepada Kwee Siang, agar berhasil mengenai sasarannya.
Tetapi Kwee Siang juga dapat
bergerak lincah, dengan cepat pedangnya berputar dan menangkis serangan tongkat
orang she Lie itu
„Tranggg…..!” suara benturan
antara pedang dengan tongkat terjadi sampai Lie Bun Hap terkejut karena telapak
tangannya dirasakan sakit sekali, sehingga dia mengeluarkan suara seruan kaget!
Untung saja tongkatnya itu tidak sampai terlepas dari cekalannya, dan tubuhnya
tidak sampai roboh terjungkal.
Kwee Siang telah mengeluarkan
suara tertawa dingin. Tadi dia bukannya tidak terkejut waktu senjata mereka
saling bentur, Kwee Siang merasakan telapak tangan kanannya pedih dan panas
sekali, disamping itu juga pedangnya tergetar keras hampir saja akan terlepas
dari cekalan tangannya. Untung saja Kwee Siang merupakan pendekar wanita di
jaman itu yang memiliki kepandaian tinggi dan hampir setingkat dengan
kepandaian ibunya, Oey Yong, dan Kwee Siang hanya kalah pengalaman saja.
Maka dengan mencekal keras-keras
gagang pedangnya, dia sengaja telah memperdengarkan suara tertawa dingin untuk
menutupi keterkejutannya itu.
„Hayo seranglah lagi!!” kata
Kwee Siang dengan suara nyaring.
Lie Bun Hap telah gusar
sekali, dia mengeluarkan seruan marah, tahu-tahu tongkatnya telah menotok tanah
dan tubuhnya melambung beberapa tombak tingginya meminjam tenaga totolan dari
tongkat tersebut. Dan waktu tubuh Lie Bun Hap terapung di tengah udara, dengan
cepat sekali dia menggerakkan tongkatnya, dan dia telah melancarkan pukulan
pek-kong-ciang (pukulan udara kosong). Sebetulnya ilmu pek-kong-ciang itu hanya
khusus untuk ilmu pukulan tangan kosong. Tetapi karena Lie Bun Hap
mempergunakan sepasang tongkat, dan tidak mungkin dia melepaskan tongkatnya
yang bisa dipergunakan menunjang tubuhnya itu, dia telah merobah pukulan
pek-kong-ciang itu menjadi pukulan udara kosong yang dilakukan sekaligus dengan
kedua tongkatnya itu.
„Wutt, siuutt.....!” beruntun
kedua senjata tongkat itu telah meluncur gencar ke arah Kwee Siang.
Puteri Kwee Ceng dan Oey Yong
itu jadi kaget bukan main, dia telah merasakan sambaran angin serangan yang
kuat sekali, walaupun serangan lawan belum tiba, masih terpisah setengah
tombak. Tetapi sebagai Siauw-sia, si sesat kecil, yang menuruni sifat-sifat
kakeknya, si sesat tua Oey Yok Su, maka Kwee Siang tidak pernah mengenal
perasaan ‘takut’.
Walaupun dia melihat serangan
yang dilakukan oleh lawannya itu merupakan serangan yang kuat dan hebat, tetapi
Kwee Siang tidak mundur setapakpun juga, dia hanya memutar pedangnya beruntun
dia telah mempergunakan jurus Lima kali berlutut menyembah budha, lalu disusuli
lagi dengan Bidadari mempersembahkan arak, kemudian waktu lawannya melancarkan
serangan lagi, saat itulah tampak Kwee Siang telah mendahului menyerang ke arah
dada Lie Bun Hap dengan gerakan yang sangat manis, yang mempergunakan jurus
‘jie-liong-in-cu’ atau sepasang naga berebut mustika, pedangnya itu berkesiuran
mencaplok dan menggigit dada lawannya.
Lie Bun Hap mengeluarkan suara
tertawa mengejek tanpa, memperdulikan pedang Kwee Siang yang menyambar ke arah
dadanya, dia menggerakkan kedua tongkatnya untuk membarengi melancarkan
serangan lagi. Gerakannya itu membuat Kwee Siang terkejut, karena tadi dia
telah mengalami betapa kulit punggung lawannya tidak tertembus oleh mata
pedang. Maka melihat kali ini lawan tidak berusaha mengelakkan diri dari
tusukan pedangnya, Kwee Siang bisa menduga bahwa lawannya tentunya mengenakan
pakaian lapis baja atau besi, sehingga tidak mempan oleh tikaman atau tusukan
pedangnya.
Kwee Siang cerdik sekali, dia
tidak mau dibodohi musuhnya lagi, dia telah menarik pulang pedangnya, kemudian
dibaliknya pedang itu meluncur ke samping untuk menangkis sekaligus kedua
batang tongkat Lie Bun Hap yang tengah menyambar ke arah dirinya.
„Trangggg!” Kembali pedang
Kwee Siang tergetar dan dia merasakan telapak tangannya sakit dan pedih, dia
baru menyadari bahwa tongkat Lie Bun Hap bukan tongkat kayu, melainkan tongkat
besi hitam yang terkenal kekuatannya.
Lie Bun Hap juga tidak tinggal
diam, karena begitu tongkat hitamnya terbentur dengan pedang Kwee Siang dia
telah mengeluarkan suara bentakan yang garang, lalu tongkatnya menyambar dengan
pesat akan menotok dada kanan si gadis.
Tetapi Kwee Siang telah
memiliki latihan yang cukup sempurna dalam pelajaran Kiu-im-cin-keng dari
kakeknya yang memanjakannya sebagai cucu terkecil itu, telah menurunkan banyak
sekali pelajaran ilmu simpanannya. Dengan demikian walaupun dirinya tengah
terancam bahaya yang tidak kecil, namun Kwee Siang bisa menghadapinya dengan
baik, dia menghadapi gempuran tongkat Lie Bun Hap dengan dua kali memiringkan
tubuhnya, dan telah berhasil melompat ke belakang.
Tetapi Lie Bun Hap rupanya
tidak mau melepaskannya begitu saja, begitu serangan tongkatnya gagal, dia
membarengi melancarkan serangan serentak dengan kedua tongkatnya. Gerakan yang
dilakukan Lie Bun Hap tidak bisa diremehkan, karena pada kedua tongkatnya itu
telah tersalurkan kekuatan tenaga lweekang yang hebat, yang bisa menghancur
leburkan sebungkah batu jika terserang oleh tongkatnya itu.
Kwee Siang juga merasakan
berkesiuran angin serangan dari kedua tongkat lawannya yang tangguh ini, dia
cepat-cepat menarik napas dalam-dalam, lalu menyalurkan kekuatannya ke dalam
telapak tangannya yang terus kesalur masuk ke dalam pedangnya. Mata pedangnya
ditundukkan menghadap bumi, sedangkan kedua lengannya mencekal pedangnya itu
seperti juga tengah memberi hormat.
Lie Bun Hap terkejut.
„Itulah
Sian-lie-sin-kiam-sut!” berpikir Lie Bun Hap dalam hatinya.
Sian-lie-sin-kiam-sut berarti ilmu pedang bidadari sakti.
„Trangg!” Benturan antara
tongkat Lie Bun Hap dengan pedang Kwee Siang tidak bisa dielakkan lagi sehingga
terdengar suara benturan logam yang kuat sekali, disamping menimbulkan lelatu
api.
„Hebat nona Kwee itu…..,”
diam-diam Phang Kui In jadi berpikir di dalam hatinya. „Jika aku yang
menghadapi Lie Bun Hap, tentu siang-siang aku telah binasa di tangannya!”
Apa yang dipikirkan oleh Phang
Kui In memang benar, karena waktu antara tongkat dengan pedang saling bentur,
bukan hanya Kwee Siang belaka yang terhuyung mundur sampai empat tombak dengan
muka yang berobah pucat, tetapi Lie Bun Hap juga telah terhuyung-huyung mundur
ke belakang dengan mengeluarkan suara seruan tertahan, dia telah terdorong
mundur empat tombak juga oleh dorongan tenaga tangkisan yang dilakukan oleh
Kwee Siang.
Phang Kui In berdiri mengawasi
pertempuran itu dengan hati berdebar.
Dia tidak berani melompat maju
untuk membantui Kwee Siang, karena dia menyadari, jika dia melibatkan dirinya
dalam pertempuran dengan mereka berarti dirinya akan celaka, karena justru Lie
Bun Hap dan Kwee Siang masing-masing tengah mengeluarkan kepandaian mereka yang
paling kuat. Itulah sebabnya Phang Kui In hanya berdiri tertegun saja dengan
muka sebentar-sebentar pucat.
„Nah, kau sudah melihatnya,
bukan?” tanya Kwee Siang, waktu pendekar wanita itu berhasil berdiri tetap.
„Bukan hanya engkau saja yang berhasil memiliki kepandaian yang tinggi! Untung
saja hari ini engkau hanya bertemu dengan aku, coba kalau engkau bertemu dengan
kedua orang tuaku, tentu bukan kakimu saja yang tidak ada, sepasang tanganmu
mungkin akan dikutungkannya juga, karena engkau seorang yang sangat kejam dan
jahat sekali! Hemmm, apalagi kalau engkau bertemu dengan kakekku, tentu engkau
tidak akan memiliki harapan untuk hidup terus!”
Mendengar perkataan seperti
itu, muka Lie Bun Hap jadi berobah merah padam, tetapi dia tidak melancarkan
serangan lagi, melainkan dia telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak
yang sangat nyaring sekali.
Kwee Siang jadi heran dan
mengawasi dengan tertegun. Dia telah melihat bahwa lawannya tadi, selama
bertanding bukanlah lawan yang lunak. Bahkan jika dilihat cara-cara
menyerangnya, kepandaian Lie Bun Hap lebih tinggi satu tingkat dari dia, dan
juga lebih menang pengalaman, karena dari usianya yang telah setengah baya
itulah membuat Lie Bun Hap kenyang oleh pengalaman-pengalamannya.
Tetapi ada satu kelebihan yang
dimiliki Kwee Siang, yaitu dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
tinggi sekali, sehingga walaupun tenaga lweekangnya masih kalah dibandingkan
dengan Lie Bun Hap, tetapi dia bisa menghadapi lawannya dengan baik. Juga ilmu
pedang yang dimiliki oleh Kwee Siang merupakan ilmu pedang ciptaannya sendiri,
yang digubahnya dari pelajaran Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng.
Setelah puas tertawa, Lie Bun
Hap telah memandang ke arah Kwee Siang dengan sorot mata yang tajam sekali, dia
juga telah berkata dengan nada suara perlahan dan dalam!
„Anak yang manis, engkau
memang harus diberikan pelajaran agar mengerti tingginya langit.....!”
Dan berkata sampai disitu,
tampak Lie Bun Hap telah mengeluarkan suara mendesis, tahu-tahu tongkat di
tangan kanannya diangkat tinggi melewati kepalanya, sehingga dia hanya berdiri
dengan bantuan tongkat tunggal di tangan kirinya. Sikapnya memperlihatkan
ketegangan, dan disamping itu juga tampaknya Lie Bun Hap tengah mengerahkan
tenaga dalamnya ke dalam tongkat di tangan kanannya. Gerakan yang dilakukan itu
merupakan gerakan yang mengerikan, karena bagi orang-orang yang mengerti dan
mengetahui, mereka tentu akan bergidik. Rupanya Lie Bun Hap tengah menyalurkan
kekuatan lweekang ribuan kati untuk melancarkan serangan kepada Kwee Siang.
Kwee Siang yang telah memiliki
kepandaian tinggi, tentu saja menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya.
Dia tidak berani berlaku ayal, dengan mata tetap mengawasi dan sikap yang
berwaspada sekali, tampak Kwee Siang juga mengangkat pedangnya dilintangkan di
depan dadanya. Dia telah menyalurkan sembilan bagian tenaga lweekangnya ke
pedangnya.
„Hemmm, sekarang kau terimalah
seranganku!” berseru Lie Bun Hap.
„Hati-hati Kwee liehiap!!”
teriak Phang Kui In dengan kuatir sekali.
Tetapi Kwee Siang tetap
tenang, berdiri tegak dengan bibirnya tersungging senyuman.
„Jangan kuatir, Phang
lo-enghiong, orang ini memang harus diberi hajaran agar dia mengetahui dalamnya
lautan dan tingginya langit.....!” kata Kwee Siang dengan suara perlahan dan
dia telah mengawasi terus kepada lawannya, karena sedikitpun juga Kwee Siang
tidak berani berlaku lengah.
Dalam keadaan seperti ini,
terlihat Lie Bun Hap telah menotolkan tongkat tangan kirinya, membarengi
tongkat di tangan kanannya bergerak akan menusuk jalan darah tan-tian-hiatnya
Kwee Siang.
„Siutt.....!” tongkat yang
dipergunakan menyerang dengan tenaga yang sangat kuat itu telah menimbulkan
suara desiran angin yang sangat tajam, dan mata tongkat itu telah menyambar
dengan pesat sekali.
Kwee Siang merasa kagum atas
kepandaian ilmu tongkat Lie Bun Hap yang benar-benar mengagumkan, dia menanti
sampai serangan Lie Bun Hap hanya terpisah beberapa cie dari dadanya, barulah
dia menangkis dengan, jurus Burung hong melebarkan sayap dan terlihat betapa
pedangnya menahan meluncurnya tongkat lawan.
Dalam keadaan demikian, tampak
Lie Bun Hap sama sekali tidak bermaksud menarik pulang pukulannya. Dengan
gerakan ‘pat-sian-ie-ie’ atau delapan dewa berada dalam hujan, dia meneruskan
serangannya, beruntun mata tongkatnya itu telah bergerak-gerak dengan sikap
yang mengancam.
Di saat itu tampak Kwee Siang
juga tidak tinggal diam, dia telah melancarkan serangan dari jurus-jurus ilmu
pedang yang sangat hebat sekali. Ilmu pedang gabungan dari kedua orang tuanya
dan kakek luarnya, yaitu Oey Yok Su yang digabung dengan ilmu pedang yang
diperoleh dari pelajaran ilmu Kiu-im-kiam-sut yang didapatnya dari Kak-wan
Taysu.
Sinar pedang yang berkilauan
gemerlapan itu seperti juga segulungan bundar sinar putih yang mengurung tubuh
Kwee Siang, sehingga Lie Bun Hap tidak berdaya untuk menyerang dan mendesak
terus menerus kepada Kwee Siang. Dia harus memperhitungkan dan mempertimbangkan
setiap serangan yang hendak dilakukannya.
Dalam waktu yang singkat kedua
orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sangat seru sekali,
hampir enampuluh jurus..... tetapi sebegitu jauh mereka bertempur, belum ada
juga yang tampak terdesak. Tampaknya mereka berimbang.
Lie Bun Hap yang merupakan
tokoh golongan tua. Tentu saja jadi semakin penasaran, karena dia tidak
berhasil untuk menundukkan gadis dari golongan muda itu.
Phang Kui In melihat dikening
Kwee Siang telah bermanik-manik keringat. Disamping itu juga dari atas kepala
Kwee Siang seperti mengepul mengeluarkan semacam uap putih yang tipis.
Rupanya gadis she Kwee itu
telah letih sekali, Lie Bun Hap juga bukannya tidak mengalami kerugian dengan
pertempuran tersebut, sebab setiap serangan yang dilancarkannya harus memakai
banyak sekali tenaganya. Tidak mengherankan jika di saat itu Lie Bun Hap juga
telah lelah sekali. Kepalanya mengeluarkan uap putih tipis juga.
Melihat keadaan kedua orang
yang sedang bertampur itu, Phang Kui In jadi berkuatir sekali, karena dia
menyadari sedikit saja salah seorang diantara merena itu berbuat lengah,
tentunya hal itu akan membahayakan jiwanya. Dalam keadaan demikian dengan
mengeluarkan suara seruan yang keras sekali, keduanya berulang kali telah
melompat mundur. Tetapi mereka hanya mengambil napas sejenak, lalu keduanya
telah saling terjang lagi.
„Walaupun bagaimana aku harus
membantu Kwee lihiap. Orang she Lie itu bukan orang baik-baik, diapun dari
golongan tua, maka tidak perlu aku malu mengeroyoknya.....!”
Dengan tidak memikirkan lagi
apa akibatnya, tampak Phang Kui In telah menjejakkan kakinya tubuhnya meloncat
mendekati kedua orang yang tengah baku hantam dengan senjata masing-masing.
Sambil meloncat begitu, dia
telah mencabut keluar goloknya, dan mengeluarkan bentakan: „Jaga serangan!”
tampak tangan kanannya yang memegang senjata tajam itu telah bergerak dengan
cepat sekali, sehingga angin desiran dari golok yang membacok itu mengejutkan
Lie Bun Hap.
Tetapi sebagai jago yang
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dia sama sekali menjadi gugup. Tanpa
menoleh lagi dia telah menangkis golok yang tengah meluncur ke dirinya dengan
tongkatnya yang di tangan kiri.
„Trang.....!” golok Phang Kui
In berhasil ditangkisnya.
Orang she Phang itu jadi
mengeluarkan suara teriakan tertahan bercampur kesakitan. Yang hebat, waktu
goloknya itu telah di tangkis oleh tongkat lawannya, tampaknya tangkisan itu
perlahan sekali, tetapi kesudahannya cukup parah untuk Phang Kui In.
Waktu goloknya itu kena
ditangkis oleh tongkat lawannya, Phang Kui In merasakan tangannya pedih bukan
main, goloknya itu tergetar, dan terlepas dari cekalannya, menyambar ke arah
sebatang pohon, dan menancap di situ dalam sekali! Muka Phang Kui In jadi
berobah merah dan pucat bergantian. Orang she Phang ini merasa marah dan
mendongkol bercampur aduk menjadi satu. Dengan nekad akhirnya dia menyerang
lagi dengan tangan kosong.
Pertama-tama begitu terlepas
goloknya, Phang Kui In telah melancarkan serangan kepalan tangannya dengan
jurus Memukul mati harimau hutan, tangan kanannya ditekuk sedikit dan tangan
kirinya dilonjorkan ke depan, kakinya lalu menyerampang bhesi-besi kedua kaki
Lie Bun Hap. Kemudian waktu itu Lie Bun Hap berhasil mengelakkan diri, dengan
cepat Phang Kui In menyusuli lagi dengan serangan kedua tangannya yang hendak
menjambak punggung lawan itu dengan jurus Cengkeraman rajawali merobek hati,
itulah semacam jurus eng-jiauw-kang (ilmu kuku garuda), yang mengandalkan
kekuatan jari-jari tangan yang bisa dipergunakan mencengkeram lengan kuat
sekali. Hanya jurus yang dipergunakan oleh Phang Kui In ada kelebihannya jika
dibandingkan dengan eng-jiauw-kang, karena dia bisa saja menarik pulang
tangannya jika keadaan tidak mengijinkan, sedangkan eng-jiauw-kang sekali
menyambar datang kepada lawan, serangan itu tidak bisa dibatalkan.
Kwee Siang juga tidak tinggal
diam, dia telah menggerakkan pedangnya bertubi-tubi melancarkan tikaman dan
tabasan kepada Lie Bun Hap. Dengan jurus Dewi mempersembahkan buah, kemudian disusul
dengan Dewi menari di taman, berulang kali pedangnya berkelebat-kelebat dengan
cepat sekali. Serangan-serangan yang dilancarkannya itu sangat sulit untuk
dijaga oleh pertahanan yang bagaimanapun ketatnya. Namun Lie Bun Hap justru
saat itu masih sempat untuk menangkis dengan tongkatnya yang satunya lagi,
walaupun di saat itu dia tengah menangkis serangan Phang Kui In.
Tetapi dengan melakukan
penangkisan terhadap dua serangan yang berlainan arah, Lie Bun Hap telah
melakukan, suatu kesalahan yang besar. Begitu pedang Kwee Siang ditangkisnya
segera dia merasakan pundaknya sakit bukan main, sampai Lie Bun Hap
mengeluarkan jerit kesakitan tanpa diinginkannya. Dia telah meraung dari
memutar tongkatnya, sehingga untuk sejenak Phang Kui In dan Kwee Siang tidak
bisa melancarkan serangan lagi ketika melihat kekalapan lawan mereka itu.
Ternyata punggung Lie Bun Hap
telah kena dicengkeram oleh Phang Kui In, sehingga kulit punggungnya pecah dan
tertarik copot oleh cengkeraman jari-jari tangan Phang Kui In. Dengan mengeluarkan
suara raungan yang luar biasa kuatnya tampak Lie Bun Hap telah melancarkan
kemplangan tongkatnya kepada Phang Kui In dengan seluruh tenaga lweekangnya.
Phang Kui In jadi terbang
semangatnya. Tidak mungkin dia menangkis serangan sehebat itu dari lawannya,
karena jika Phang Kui In memaksakan diri menangkis juga, berarti dirinya akan
terluka berat dan mati. Sedangkan untuk meloloskan diri juga sudah tidak
keburu, tongkat Lie Bun Hap telah menyambar datang dekat sekali.
Mati-matian Phang Kui In telah
membuang dirinya ke samping kiri, dia telah bergulingan dengan cepat sekali.
Namun tidak urung tangan kirinya terkena oleh angin serangan itu, sehingga
Phang Kui In mengeluarkan jerit kesakitan, tulang lengan kirinya itu telah
hancur remuk terserang oleh gempuran yang sangat kuat itu!
Kwee Siang terkejut. Dia
melompat ingin menghampiri Phang Kui In. Tetapi belum lagi Kwee Siang sempat
melaksanakan apa yang diinginkannya, tiba-tiba sepasang tongkat dari Lie Bun
Hap telah menyambar datang kepadanya dengan cepat sekali.
Kwee Siang terpaksa
membatalkan maksudnya untuk melihat keadaan Phang Kui In, dan menangkis kedua
tongkat yang tengah menyambar ke dirinya itu. Kemudian Kwee Siang telah
membalas menyerang juga, sehingga mereka terlibat kembali dalam pertempuran
yang mati-matian, sebab masing-masing telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Phang Kui In yang semula
menggeletak di tanah, telah berusaha untuk bangun, tangan kanannya memegangi
tangan kirinya dengan muka meringis menahan sakit. Bisa dibayangkan betapa
menderitanya Phang Kui In dengan hancurnya tulang lengannya itu.
Waktu itu Kwee Siang terdesak
sekali oleh amukan sepasang tongkat Lie Bun Hap. Beberapa kali Kwee Siang
hampir terserang oleh senjata lawan. Untung saja dia memiliki kepandaian
delapan pat-kwa, yang diajarkan oleh ibunya, ilmu keturunan keluarga Oey, maka
Kwee Siang tidak sampai dirubuhkan oleh lawannya. .
Pedang Kwee Siang
menyambar-nyambar bagaikan seekor naga putih yang meluncur. Dengan cepat dan
mengincar bagian-bagian yang bisa membinasakan lawannya.
Dalam keadaan seperti itu Kwee
Siang juga telah memutar otak untuk mencari jalan keluar guna menaklukkan
musuhnya itu! Jika terpaksa Kwee Siang juga bermaksud akan membinasakan
lawannya tersebut, karena dia telah melihatnya bahwa Lie Bun Hap merupakan
seorang yang kejam dan tidak memiliki perikemanusiaan. Tetapi disebabkan
kepandaian lawannya cukup tinggi, mungkin berada di atas kepandaiannya, tidak
mudah bagi Kwee Siang untuk membinasakannya.
Lie Bun Hap juga mengeluh
dalam hatinya, karena selama ini telah ratusan jurus mereka bertempur, belum
ada tanda-tanda dia berhasil mendesak Kwee Siang. Dan juga jadi kuatir
kalau-kalau nanti dirinya dirubuhkan Kwee Siang, tentu namanya yang terkenal
dan dipupuk selama puluhan tahun itu akan sirna dan runtuh..... Nama baiknya
akan tercemar dengan rubuhnya dia, yang pasti akan ditertawai oleh orang-orang
rimba persilatan!
Waktu itu Phang Kui In telah
bisa berdiri walaupun tubuhnya masih bergoyang-goyang tidak bisa berdiri tetap,
namun rasa sakit dilengan kirinya itu sudah berkurang banyak. Tulang lengan
kirinya itu hancur, tetapi sebagai seorang jago yang memiliki nama, tentu saja
Phang Kui In tidak mau menyerah dengan keadaan seperti itu. Dengan mengeluarkan
suara raungan yang tiba-tiba sekali tampak Phang Kui In telah melompat
melancarkan serangan ke punggung Lie Bun Hap dengan kepalan tangan kanannya.
Angin serangan itu berkesiuran
sangat kuat sekali, sebab Phang Kui In melancarkan serangannya dengan
mempergunakan seluruh kekuatan tenaga lweekang yang ada padanya dan waktu itu
Lie Bun Hap hanya mendengar suara berkesiuran angin serangan orang she Phang
itu, dan dia tanpa menoleh telah menggumam dengan suara dingin:
„Apakah engkau menghendaki
hancurnya kembali tulang lengan kananmu.....?” ejeknya. Dan bukan hanya ejekan
yang dilontarkan Lie Bun Hap, karena dia telah mengeluarkan tongkat kanannya
yang disertai tenaga dalam yang dahsyat, menyampok pergelangan tangan Phang Kui
In dengan mempergunakan jurus Tongkat sakti mengemplang kera, gerakannya bukan
main dahsyatnya.
22.43. Si Bocah Penyelamat
Pendekar
Dalam sekejap mata saja tampak
serangan-serangan yang menyambar dengan kuat itu hampir mengenai pergelangan
tangan Phang Kui In, tetapi jago she Phang ini yang telah mengetahui kehebatan
tongkat lawan telah cepat-cepat menarik pulang tangannya.
Gerakan Phang Kui In sangat
cepat. Tetapi tongkat dari lawannya bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga
dapat menyerempet bahu Phang Kui In.
Tampaknya serempetan tongkat
itu perlahan sekali, tetapi kesudahannya Phang Kui In terjungkal rubuh pingsan!
Walaupun pundaknya tidak patah, karena hanya serempetan yang sedikit saja
itupun telah cukup membuat Phang Kui In jadi tidak sadarkan diri.
Kwee Siang terkejut melihat
Phang Kui In kembali kena dirubuhkan oleh Lie Bun Hap. Dengan tidak
membuang-buang waktu lagi tampak Kwee Siang telah meloncat ke dekat Lie Bun Hap
sambil berseru:
„Lihat pedang!” pedang di
tangannya menyambar dengan jurus Pelangi delapan arah, dimana dia telah
melancarkan serangan kepada Lie Bun Hap dengan tikaman-tikaman beruntun dari
delapan penjuru arah.
Lie Bun Hap melihat perobahan
cara menyerang Kwee Siang, dia jadi lebih berhati-hati.
Apa yang dilakukan oleh Kwee
Siang memang ingin mengalihkan perhatian Lie Bun Hap dari diri Phang Kui In,
dan usaha si gadis memang berhasil.
Dengan mengeluarkan suara
raungan yang sangat keras, Lie Bun Hap telah melompat melancarkan serangan
dengan kedua tongkatnya.
„Serrr, serrr,” beberapa kali
terdengar berkesiuran angin serangan tongkat Lie Bun Hap.
Kwee Siang melihat lawannya
melancarkan serangan nekad seperti itu, jadi mengeluh di dalam hatinya. Karena
gadis ini merasakan tekanan-tekanan berat dari kedua tongkat lawannya itu.
Dalam sekejap mata mereka
telah bertempur beberapa puluh jurus lagi.
Waktu Lie Bun Hap ingin
melancarkan serangan pula, di saat itulah terdengar suara yang nyaring, suara
seorang anak kecil: „Tahan.....! Hentikan.....!”
Kwee Siang mengelakkan
kemplangan tongkat kanan Lie Bun Hap, dan menusuk dengan pedangnya ke perut
lawannya. Gerakannya itu memaksa Lie Bun Hap harus melompat mundur mengelakkan
diri. Kesempatan, itu dipergunakan Kwee Siang untuk melirik.
Hatinya jadi meluap gembira.
„Yo Him? Kau sehat-sehat
saja?” teriak Kwee Siang dengan suara penuh kegembiraan.
„Hentikan encie Siang.....
justru lo-pehpeh (paman) itu yang telah menolongi aku.....!” kata Yo Him sambil
berlari menghampiri.
Kwee Siang bernapas lega waktu
melihat Yo Him tidak mengalami cidera apa-apa.
Yo Him berlari menghampiri
Phang Kui In yang masih menggeletak pingsan di tanah.
„Paman Phang! Paman Phang!”
berseru anak itu dengan suara sedih waktu melihat keadaan Phang Kui In.
„Totok jalan darah Tu-lie-hiat
di dekat tulang piepe, dia akan segera sadar kembali!” Kwee Siang telah
memberikan petunjuk kepada Yo Him.
Yo Him menuruti petunjuk yang
diberikan oleh Kwee Siang, dia menotok jalan darah Tu-lie-hiat dari paman
Phangnya itu.
Lie Bun Hap saat itu tengah
berdiri tegak dengan sikap tidak gembira, wajahnya juga murung sekali. Dia
hanya memperhatikan sikap Yo Him dengan sebentar-sebentar mengeluarkan suara
dengusan mengandung kemendongkolan.
Totokan Yo Him memang
benar-benar telah menyadarkan paman Phangnya itu dari keadaan pingsannya yang
cukup lama itu, begitu membuka kelopak matanya, Phang Kui In melihat Yo Him
berada dihadapannya.
Kegembiraannya jadi meluap.
Lupa akan luka di tangan kirinya, dia mengulurkan kedua tangannya untuk
mencekal tangan Yo Him.
Tetapi begitu tangan kirinya
digerakkan, dimana tulang lengannya telah hancur, Phang Kui In menjerit
kesakitan, tangan itu seperti juga lumpuh tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi.
Mukanya juga jadi berobah pucat menahan perasaan sakit.
Yo Him terkejut. „Kenapa kau,
paman Phang?”
„Lenganku sakit.....”
„Lengan kiri?”
„Ya, tulang lengan kiriku
telah dihancurkan oleh iblis buntung itu.....!” sambil berkata begitu tampak
Phang Kui In telah memandang kepada Lie Bun Hap dengan sorot mata mengandung
kebencian dan dendam.
Tetapi Lie Bun Hap tidak
mengacuhkan sikap Phang Kui In, dengan suara yang tawar dia telah berkata
kepada Yo Him.
,,Yo Him, kemarin engkau telah
berjanji bahwa engkau tidak akan membantah perkataanku, bukan?”
Yo Him mengangguk cepat. „Ya,
aku telah berjanji tidak akan membantah perintah dari lo-pehpeh, yang telah
menyelamatkan jiwaku dari kematian..... ditolong dari terjangan ombak.”
„Bagus, bagus!” kata Lie Bun
Hap dengan suara yang tetap dingin, bahkan di sudut bibirnya tampak seulas
senyuman bergaris sinis. ,,Sekarang juga aku perintahkan engkau kembali ke
rumahku dan tinggalkan manusia tidak punya guna itu!”
„Lo pehpeh?!” Yo Him terkejut.
„Kukatakan, kini engkau
kuperintahkan untuk kembali ke rumahku!”
„Tapi lo-pehpeh, paman Phangku
ini telah menderita luka cukup serius yang harus cepat-cepat ditolong.....!”
kata Yo Him.
Mata Lie Bun Hap jadi berkilat
bengis, dia telah berkata.dengan suara yang dingin:
„Tadi kau baru menyatakan akan
menuruti setiap perintahku, tetapi belum lagi janjimu itu lenyap dari
telingaku, kau telah melanggarnya sendiri!”
Yo Him jadi serba salah, dia
telah berkata dengan suara yang ragu-ragu,
„Tapi lo-pehpeh, paman Phang
sudah kuanggap sebagai orang tuaku. Dan enci Siang sebagai cici
kandungku,.....! Bagaimana aku bisa membiarkan mereka menderita? Lo-pehpeh,
silahkan memerintahkan kepadaku untuk melakukan pekerjaan lainnya saja,
walaupun harus terjun ke dalam kobaran api atau minyak panas, aku tidak akan
menampiknya.....!”
„Sungguh kata-kata yang
takabur sekali!” kata Lie Bun Hap. „Apakah kata-katamu yang sekarang ini bisa
dipegang kebenarannya?”
Yo Him mengangguk cepat tanpa
ragu-ragu
„Benar lo-pehpeh,
perintahkanlah apa saja asal kau tidak mengganggu paman Phang dan encie Siang,
aku akan melakukan semua perintah itu sebaik mungkin!” tegas waktu Yo Him
berkata begitu, dia juga memperhatikan sikap bersungguh-sungguh.
Phang Kui In jadi berkuatir
sekali, disamping itu diapun jadi berduka. Dia mengetahui sejak kecil Yo Him
telah menerima banyak kesengsaraan dan juga dia selalu menderita di bawah
tekanan-tekanan yang terjadi pada keluarganya, dimana sejak dilahirkan Yo Him
belum pernah melihat ayah kandungnya. Dan begitu juga dia dengan ibunya, ketika
masih berusia tidak lebih dua bulan, harus berpisah dengan ibu kandungnya.
Sekarang demi kepentingan dan
keselamatan Phang Kui In dan Kwee Siang dia bersedia menjadikan dirinya sebagai
tumbal, tentu saja hal itu telah membuat Phang Kui In jadi terharu sekali.
Sampai dia menitikkan air matanya. Dan di saat itu tangan kanannya yang tidak
mengalami cidera telah diulurkan dan mencekal tangan anak itu.
“Him-jie engkau jangan
memikirkan kami, pergilah dan ikutilah lo-enghiong itu, tentu engkau akan
menjadi murid yang pandai dan kelak memiliki kepandaian yang tinggi.....!”
Saat itu Lie Bun Hap telah
tertawa dengan suara yang nyaring, katanya, „Sekarang mari engkau buktikan
kata-katamu itu! Aku akan memberikan perintah di luar dari kepentingan kedua
orang tolol itu, tetapi jika perintahku kali ini ditampik olehmu, hemm, hemm,
kau tidak perlu bicara lagi, orang itu akan kubinasakan!” Kemudian Lie Bun Hap
telah bertanya lagi, „Tadi engkau mengatakan tidak takut untuk terjun ke dalam
minyak panas atau terjun ke dalam kobaran api, bukankah begitu?”
Yo Him mengangguk cepat,
sedikitpun dia tidak memperlihatkan keragu-raguan.
„Tepat! Perintah apa saja yang
akan diberikan lo-pehpeh akan kulaksanakan, asal lo-pehpeh mau mengampuni jiwa
paman Phangku ini dan juga membebaskan encie Siang.....!”
Lie Bun Hap telah tertawa
gelak-gelak dengan suara yang sangat mengerikan, dia telah menggerakkan kedua
tongkatnya, dimana tubuhnya memang mengandalkan kedua tongkat tersebut untuk
berjalan karena dia tidak memiliki sepasang kakinya lagi.
Waktu tiba di dekat sebatang
pohon, dia menoleh kepada Yo Him.
„Nah, sekarang engkau siapkan
kayu-kayu kering, kumpulkan cukup banyak.....!!” kata Lie Bun Hap kemudian.
Yo Him menuruti perintah itu,
walaupun hatinya berdebar-debar karena dia dapat menduganya apa yang akan
dihadapinya nanti. Tetapi tidak urung anak yang besar hati dan tabah ini
melaksanakan perintah Lie Bun Hap, dia mengumpulkan cabang dan ranting kering,
yang ditumpuknya menjadi cukup tinggi. Selesai mengumpulkan ranting-ranting itu
Yo Him menoleh kepada Lie Bun Hap.
„Apa yang harus kulakukan
lagi?” tanyanya kemudian.
„Nyalakan api pada
ranting-ranting kering itu!” perintah Lie Bun Hap pula.
„Him-jie, jangan kau turuti
perintah gila dari manusia tidak mengenal perikemanusiaan ini!” teriak Kwee
Siang ketika menyaksikan semua itu dan dapat menduga apa yang hendak
diperintahkan Lie Bun Hap kepada Yo Him.
Yo Him menoleh kepada Kwee
Siang sambil katanya, „encie Siang, bukankah seorang kuncu tidak akan menjilat
kembali ludahnya yang telah dibuang? Bukankah kata-kata seorang kuncu merupakan
kuda yang dicambuk dan tidak bisa ditarik mundur pula? Sudahlah encie Siang
asal lo-pehpeh ini mau mengampuni kalian, apa saja yang diperintahkannya akan
kulaksanakan!”
Muka Kwee Siang berubah
menjadi pucat.
“Yo Him, kau.....?”
Tetapi belum habis suara Kwee
Siang, di saat itu tampak Lie Bun Hap telah tertawa bergelak-gelak, menyeramkan
sambil mengawasi ke arah Phang Kui In yang duduk numprah dengan muka yang pucat
pias.
Sedangkan Yo Him telah mulai
menyalakan api pada tumpukan ranting itu. Sebentar saja api telah berkobar
tinggi.
Lie Bun Hap berhenti tertawa.
Kemudian katanya dengan suara yang nyaring: „Sekarang aku perintahkan kepadamu.
Him-jie, untuk terjun ke dalam kobaran api.....!”
Muka Yo Him pucat seketika,
dia memang telah menduga akan menerima perintah seperti itu, tetapi dia tidak
yakin bahwa Lie Bun Hap benar-benar tidak memiliki perikemanusiaan dan ingin
membuktikan kata-katanya dengan perintahkan dia terjun ke dalam kobaran api
itu.
Tetapi perobahan di muka Yo
Him hanya sejenak, kemudian sambil tersenyum tabah dia telah berkata kepada Lie
Bun Hap: „Lo-pehpeh, aku akan membuktikan bahwa janjiku bukan main-main, dan
aku akan menuruti perintah yang diberikan lo-pehpeh, tetapi lo-pehpeh juga
harus menepati janjimu tidak akan mengganggu lagi encie Siang dan paman Phang,
mereka harus dibebaskan!”
„Oh, tentu, tentu,” kata Lie
Bun Hap dengan suara yang keras. Kemudian dia tertawa, lalu melanjutkan
kata-katanya lagi: „Aku akan membebaskan jika mereka telah melihat engkau
membuktikan perkataanmu itu!”
„Jangan Him-jie!” teriak Phang
Kui In dengan suara gemetar dan berusaha untuk bangkit. „Biar aku yang binasa,
engkau tidak perlu mengorbankan jiwa untuk kami.....!”
„Benar Him-jie, jangan kau
lakukan perbuatan gila seperti itu!” teriak Kwee Siang sambil melompat akan
menolongi dan mencegah Yo Him terjun dalam kobaran api.
Suara tertawa Lie Bun Hap
terdengar nyaring sekali, dia tertawa mengejek.
Yo Him karena kuatir nanti
dicegah dan dihalangi oleh Kwee Siang, tanpa berpikir lagi dia telah
menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat ke dalam kobaran api sambil berteriak:
„Selamat tinggal paman Phang! Selamat tinggal encie Siang!”
Phang Kui In dan Kwee Siang
masing-masing mengeluarkan suara jeritan ngeri menyaksikan itu. Mereka telah
mengeluarkan suara teriakan yang sangat menyayatkan, bahkan Kwee Siang telah
menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Tetapi waktu tubuh Yo Him
meluncur atau terjun dalam kobaran api yang sangat besar itu, sesosok bayangan
yang tidak jelas ujudnya telah bergerak cepat sekali, disusuli dengan
kata-kata: „Anak yang baik! Engkau memang berbakat menjadi muridku!”
Dan bayangan itu bukan hanya
sekedar berkata-kata saja, tetapi telah mempergunakan sebatang tongkat untuk
menahan lajunya tubuh Yo Him, karena tongkat itu telah melemparkan Yo Him,
sehingga tubuh anak itu terpental dan bergulingan ke tanah, terpisah cukup jauh
dari kobaran api.
Dengan merangkak Yo Him telah
bangkit kembali, mukanya telah dilumuri darah yang mengucur keluar dari
hidungnya yang terantuk batu.
„Him-jie.....!” teriak Kwee
Siang kaget dan cepat-cepat lompat menghampirinya. „Kau..... kau tidak
apa-apa?”
„Him-jie.....!” Phang Kui In
juga telah memanggilnya sambil berjalan dengan bersusah payah karena memang
tenaganya seperti telah habis dan luka di tangan kirinya itu menyebabkan
kelumpuhan sebelah tubuhnya yang kiri.
Yo Him telah menggelengkan
kepalanya perlahan. „Aku tidak apa-apa encie Siang dan paman Phang, kalian
tidak usah berkuatir begitu!” Dan setelah berkata begitu Yo Him menoleh kepada
Lie Bun Hap, katanya: „Lo-pehpeh, mengapa engkau melakukan hal itu, memukul
perutku dengan tongkatmu sehingga aku tidak bisa melaksanakan perintahmu terjun
ke dalam api?”
Memang yang tadi berkelebat
adalah Lie Bun Hap yang bergerak sangat gesit sekali, dan dia mempergunakan
tongkatnya untuk menahan lajunya tubuh Yo Him. Tadi dia hanya ingin menguji
hati Yo Him belaka, sesungguhnya dia merasa sayang kepada anak ini, yang
dilihatnya memiliki otak yang cerdas dan juga memiliki bakat yang baik.
„Aku tadi hanya ingin melihat
kesungguhanmu terhadap janjimu sendiri. Aku lihat engkau anak yang baik yang
selalu menepati janjimu! Baiklah! Kalian bertiga kubebaskan untuk meninggalkan
pulau ini.”
Yo Him cepat-cepat berlutut
menyatakan terima kasihnya. Phang Kui In juga telah mengangguk dengan sorot
mata berterima kasih, walaupun Lie Bun Hap tadi telah mencelakai dirinya, yaitu
tangan kirinya yang jadi lumpuh karena telah hancur tulang lengannya.
Kwee Siang memasukkan
pedangnya ke dalam serangkanya, kemudian merangkapkan kedua tangannya, dia
telah memberi hormat sambil berkata,
„Terima kasih atas kebaikan
locianpwe.....!”
„Hemm, seharusnya bukan
kepadaku kalian menyatakan terima kasih, tetapi kalian harus berterima kasih
kepada Yo Him. Karena anak inilah yang telah menyelamatkan jiwa kalian dari
kematian.”
Yo Him cepat-cepat
mengeluarkan kata-kata merendah.
„Anak him…...” Kata Lie Bun
Hap lagi, „Apakah kau bersedia menjadi muridku?”
Mendengar tawaran seperti itu,
Yo Him jadi serba salah, tapi akhirnya dia telah berkata:
„Maafkan lo-pehpeh sebetulnya
kami melakukan perjalanan untuk menemui seseorang yang sangat besar artinya
untukku, yaitu ayah kandungku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Maka dari itu alangkah
sulitnya bagiku untuk belajar ilmu silat sekarang ini!”
„Aku ingin menurunkan seluruh
kepandaianku, dan engkau bisa mempelajarinya nanti setelah engkau memiliki
waktu yang luang. Kulihat engkau seorang anak yang cerdas sekali..... Maka aku
akan membacakan kauw-koat ilmu silatku itu selama satu bulan, setelah itu
kalian boleh melanjutkan perjalanan kalian.”
Waktu berkata begitu, sikap
Lie Bun Hap bersungguh-sungguh dan Yo Him tidak tega untuk menolak permintaan
tersebut. Dia telah mengangguk. Lalu menoleh kepada Phang Kui In dan Kwee
Siang.
„Bagaimana baiknya paman Phang
dan encie Siang?” tanya Yo Him kemudian.
„Terserah padamu sendiri!”
jawab Phang Kui In sambil tersenyum girang, karena dengan orang tua she Lie itu
menurunkan kepandaiannya kepada Yo Him, walaupun baru kauw-koatnya saja, tetapi
tentu memiliki faedah yang tidak kecil buat Yo Him.
„Dan engkau encie Siang?”
tanya Yo Him kepada Kwee Siang juga, waktu melihat Kwee Siang masih berdiam
diri.
„Jika memang engkau tidak
keberatan untuk belajar, ya kami hanya menanti saja sampai kau selesai menerima
ajaran locianpwe itu dan kita melanjutkan pula perjalanan kita!”
Mendengar sampai disitu, hati
Yo Him telah tetap, tahu-tahu dia telah pay-kui berlutut dihadapan Lie Bun Hap,
sambil katanya,
„Suhu, tecu memberi hormat.”
Lie Bun Hap cepat-cepat
membangunkan anak itu berdiri. „Bangunlah muridku, sejak saat ini engkau
menjadi murid tunggalku, sebagai murid satu-satunya, yang pertama dan juga
penutup! Kuharap saja engkau bisa belajar dengan tekun dan baik, sehingga kelak
engkau bisa menjadi pendekar yang berdiri dikeadilan membela yang lemah.
Watakmu tentu tidak buruk, aku yakin anak dari pendekar besar Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko tentu saja memiliki sifat-sifat baik seperti ayahnya. Dan juga kelak jika
kau telah bertemu dengan ayah kandungmu, Him-jie, engkau bisa minta dituruni
ilmu-ilmunya yang hebat-hebat.....!”
„Terima kasih suhu,” kata Yo
Him dengan suara berterima kasih. „Tecu (murid) akan berusaha sedapat mungkin
untuk belajar dari menghapal semua ilmu yang diturunkan suhu!”
„Bagus!” kata Lie Bun Hap.
„Sekarang mari kita obati dulu tulang paman Phangmu itu, agar segera dapat
sembuh, di saat engkau belajar ilmu silat padaku paman Phangmu itu bisa
beristirahat, dan sebulan lagi tentunya paman Phangmu itu telah sembuh.”
Begitulah sejak hari itu Phang
Kui In dan Kwee Siang bersama Yo Him telah menetap di pulau itu. Lie Bun Hap
ternyata memiliki obat yang sangat mujarab sekali, dia telah mengobati tulang
Phang Kui In yang semula hancur. Lewat limabelas hari tangan kiri Phang Kui In
sudah dapat dipergunakan dan digerak-gerakkan lagi. Sedangkan Kwee Siang selama
itu melatih diri dengan giat, dan dia telah memperoleh kemajuan yang pesat
sebab Lie Bun Hap yang sangat berpengalaman, walaupun kepandaiannya mereka
berimbang, dapat melihat beberapa kelemahan didiri Kwee Siang dan dia telah
memberitahukannya agar merobahnya.
Di bawah petunjuk-petunjuk
seorang jago yang memiliki kepandaian setinggi Lie Bun Hap dengan sendirinya
Kwee Siang memperoleh kemajuan yang pesat. Terlebih lagi memang kepandaian yang
diberikan oleh kedua orang tuanya dan kakek luarnya, Oey Yok Su telah cukup
dikuasainya dan juga dia pernah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Yo Ko.
Yo Him telah menerima didikan
dari Lie Bun Hap, dimana anak ini telah diberikan teori-teori ilmu silat kelas
satu dia juga diajarkan gerakan-gerakan untuk melatih diri.
Betapa terkejutnya Lie Bun Hap
waktu melihat Yo Him memiliki kepandaian yang luar biasa, yaitu kepandaian
tenaga dalam yang mujijat sekali. Dengan demikian tampak Lie Bun Hap melatih Yo
Him jadi lebih bersemangat lagi.
◄Y►
Tanpa terasa telah lewat dua
bulan.....
Tetapi ilmu yang diturunkan
oleh Lie Bun Hap belum juga selesai, karena jago she Lie ini memiliki
kepandaian yang tinggi sekali dan bermacam ragam.
Akhirnya lewat lagi tiga
bulan..... dan atas saran Phang Kui In, yang girang melihat Yo Him bisa
memperoleh ilmu-ilmu yang hebat itu, merasa sayang jika memang harus
meninggalkan pulau itu, dia menganjurkan agar Yo Him meneruskan pelajarannya
sampai selesai. Semakin dipelajari, semakin tertarik hatinya, karena jurus demi
jurus akhirnya dipelajari bukan hanya kauw-koatnya saja, tetapi juga prakteknya,
dimana Yo Him telah melatihnya dua atau tiga hari untuk setiap jurusnya. Dalam
keadaan seperti itu, Yo Him akhir-akhirnya tidak menyadari telah satu tahun
lebih dia berada di pulau terpencil tersebut.
Phang Kui In juga membiarkan
Yo Him belajar terus, begitu pula dengan Kwee Siang, karena mereka melihatnya
bahwa dalam satu tahun saja Lie Bun Hap berhasil mendidik Yo Him memiliki
kepandaian yang tinggi. Walaupun belum bisa menandingi kepandaian Kwee Siang
atau Phang Kui In tetapi jika berhadapan dengan lawan yang memiliki kepandaian
biasa saja Yo Him tidak mungkin kalah!
Selesailah sudah Lie Bun Hap
melatih Yo Him ilmu silat tangan kosong, mempergunakan delapan belas macam
senjata tajam dan juga menurunkan pelajaran tenaga lweekang yang berasal dari
tingkat tinggi, sehingga dalam setahun saja Yo Him telah memiliki kepandaian
lweekang yang berimbang dengan Kwee Siang dan Phang Kui In. Telah dua tahun
tidak terasa mereka menetap di pulau itu, dan kini Yo Him sudah menjadi seorang
pemuda berusia limabelas tahun yang memiliki paras sangat tampan.
Yo Him rajin sekali
mempelajari ilmu silat yang diturunkan Lie Bun Hap, dan lewat setengah tahun
lagi, waktu pemuda ini telah berusia enambelas tahun, selesailah pelajarannya.
Suatu hari Phang Kui In
mengingatkan Yo Him bahwa mereka harus segera meninggalkan pulau ini karena
harus mencari Sin-tiauw Tayhiap. Maka pada pagi itu Yo Him telah menemui
gurunya, dia menceritakan keinginannya untuk berkelana mencari jejak ayahnya.
Dengan perasaan sedih dan berat, Lie Bun Hap meluluskan juga keinginan
muridnya.
„Engkau harus baik-baik
menjaga diri. Dan juga harus berlatih terus, agar kepandaianmu bertambah baik,
dan ingat, engkau hanya boleh mempergunakan kepandaian itu untuk membela
keadilan saja, tidak boleh dipergunakan semau-maunya saja.....!”
„Tecu akan menjunjung pesan
suhu!” kata Yo Him kemudian.
Begitulah, keesokan harinya
Kwee Siang, Phang Kui In dan Yo Him telah pamitan kepada jago tua Lie Bun Hap.
Yo Him berjanji jika kelak dia telah berhasil bertemu dengan ayahnya, tentu
akan sering-sering datang ke pulau ini untuk menjenguk gurunya.
Dengan mempergunakan sebuah
perahu yang buatannya sederhana sekali, mereka bertiga melakukan pelayaran.
Sedangkan Lie Bun Hap telah mengantarkan mereka sampai di tepi pantai.
Dua hari dua malam mereka
berlayar terus tanpa hentinya. Dan selama itu mereka tidur dengan bergantian.
Untung saja selama dalam pelayaran itu mereka tidak menderita gangguan angin
topan atau badai, sehingga mereka bisa sampai di pinggiran kota Mu-ting-kwan,
sebuah kota yang sangat ramai. Telah sepuluh hari lamanya mereka melakukan
perjalanan yang meletihkan sekali, maka Phang Kui In bermaksud mengajak Yo Him
dan Kwee Siang beristirahat di kota tersebut.
Kota Mu-ting-kwan merupakan
kota yang cukup besar, karena kota yang terletak di tepi laut itu merupakan
bandar perdagangan yang banyak dikunjungi orang dari berbagai kota.
Phang Kui In mengajak Kwee
Siang dan Yo Him memasuki sebuah rumah makan, yang mewah sekali. Tamu-tamu juga
banyak memenuhi ruangan makan itu. Phang Kui In bertiga memilih sebuah meja
yang masih kosong, lalu mereka memesan makanan kegemaran mereka, yaitu kodok
salju yang dicah, ditambah lagi dengan beberapa macam sayur-sayur lainnya.
Ketika pelayan mempersiapkan
pesanan mereka, ketiga orang ini makan dengan lahap. Selama sepuluh hari mereka
berada di tengah laut, tentu saja hal itu membuat mereka mengiler dan lahap
sekali menghadapi makanan sedap seperti itu. Suara tawa dari teriak yang ramai
dari para tamu-tamu lainnya yang memenuhi ruangan makan itu tidak diperdulikan
oleh mereka, karena mereka tengah menikmati sayur-sayur dan nasi di mangkok
masing-masing. Phang Kui In sampai menghabiskan tiga mangkok nasi, sedangkan
Kwee Siang hanya satu mangkok saja, begitu juga dengan Yo Him yang makan tidak
begitu banyak.
Phang Kui In sambil makan
menceritakan perihal orang-orang kang-ouw yang senang berkelana, setiap tiba di
sebuah kota, tentu akan mencicipi makanan khas dari kota yang bersangkutan.
Menarik sekali cerita Phang Kui In, sehingga menambah selera makan mereka.
Waktu Phang Kui In ingin memanggil pelayan untuk minta tambah nasi semangkok
lagi, tiba-tiba terpisah tiga meja dari mereka, ada seseorang yang berkata
dengan suara yang nyaring:
„Ha ha, ha! Apakah kalian
tidak melihat monyet gunung yang sedang makan?”
Muka Phang Kui In jadi berobah
merah, karena dia mengetahui kata-kata itu tentunya ditujukan kepadanya, ketika
dia menoleh segera dilihatnya orang yang duduk terpisah tiga meja dari dia,
telah memandangi dia sambil tertawa. Kelima orang kawannya juga telah tertawa
bergelak-gelak. Mereka mengenakan pakaian mewah sekali, menunjukkan bahwa
mereka itu berasal dari keluarga berada dan kaya.
„Lihat! Lihat! Monyet hutan
itu jika marah, sangat menakutkan sekali,” kata orang yang tadi membuka suara.
Segera riuh suara tertawa
kelima orang kawannya. Sedangkan tamu-tamu lainnya juga telah ikut tertawa.
Muka Phang Kui In jadi berobah
kian merah. Sedangkan Yo Him dan Kwee Siang ikut menoleh, mereka melihatnya
bahwa orang itu memang tengah mengolok-olok Phang Kui In. Darah mereka jadi
meluap juga. Phang Kui In telah membanting mangkok nasinya ke atas meja
„pranggg” mangkok itu telah pecah hancur berkeping-keping. Kemudian dia telah
meloncat berdiri dengan penuh kemarahan.
„Tuan-tuan kami tidak saling
mengenal dengan kalian, tetapi mengapa mulut kalian begitu lancang menyebut
bahwa diriku sebagai monyet hutan?”
Teguran Phang Kui In pedas
sekali, diapun berani, sama sekali tidak gentar walaupun melihat orang yang
mengejek dirinya itu berjumlah enam orang.
Orang yang tadi berkata-kata,
yang usianya kurang lebih tigapuluhan tahun, telah tertawa terus sambil
kemudian dia berkata dengan suara yang dingin: „Lalu apa maumu? Mau minta
dihajar? Hemmm..... jika memang engkau meminta penggebuk silahkan maju kemari!”
Dan benar-benar orang itu
memasang sikap menantang, berdiri tegak dan wajahnya memantulkan sikap
mengejek. Sedangkan salah seorang kawannya telah berkata: ,,Benar Han twako,
monyet hutan memang harus digebuk, jika tidak, bisa semakin kurang ajar!
Biarlah Han twako, aku Cie Siung Hu yang mewakilimu menggebuk monyet hutan
itu.....!”
„Boleh! Boleh!” kata Han twako
dengan suara disertai tertawanya. „Jika monyet hutan itu telah digebuk barulah
kita pesta pora untuk merayakannya!”
„Setuju! Setuju!” teriak
kawan-kawannya yang lain.
Muka Phang Kui In jadi berobah
tambah merah. Inilah penghinaan yang belum pernah diterimanya. Dia telah
melangkah maju lebih dekat tahu-tahu baju di bagian dada dari kawan Han twako
itu, yang menyebut dirinya bernama Cie Siung Hu itu, telah kena dicengkeram
keras.
Tetapi waktu Phang Kui In
ingin menghentaknya untuk menghantam kepala orang she Cie tersebut, tiba-tiba
Cie Siung Hu telah menggerakkan tangan kanannya, dan „tukk!” dada Phang Kui In
telah tertotok jitu sekali.
Sesungguhnya kepandaian Phang
Kui In tidak berada di bawah kepandaian lawannya, namun karena dia tidak
bersiap siaga dan berlaku ceroboh, maka dia telah kena tertotok yang membuat
dia akhirnya terjungkel rubuh tidak dapat bergerak lagi.
Waktu itu Kwee Siang dengan
cepat telah melompat sambil mencabut pedangnya. „Kalian manusia usil dan
jahat!” katanya sambil membaling balingkan pedangnya itu.
Han twako tertawa dingin, dia
telah berkata dengan suara yang congkak. „Nona manis, engkau ingin main-main
denganku?” tanyanya kemudian dengan ceriwis sekali, „Baik! baik! Mari aku
menemanimu untuk main-main. Jangan takut, aku, Han Pu Sian bukan sebangsa
manusia jahat.....!”
„Orang she Han, engkau
keterlaluan sekali, cepat perintahkan pembantumu itu untuk membebaskan kawan
kami yang tertotok itu!” kata Kwee Siang dengan berang.
„Hemmm, jadi engkau keberatan
jika kawanmu itu tertotok? Nah jika begitu, kau bebaskanlah,” tantangan itu
nadanya tengik sekali.
Tetapi Kwee Siang yang
diliputi kemarahan melihat sikap cerengesan dari lawannya itu, sambil menabas
udara kosong dengan pedangnya dia telah berkata:
„Baik, kau siapkanlah
senjatamu.....!”
„Senjata?”
„Ya, senjatamu!”
„Seumurku belum pernah
mempergunakan senjata tajam. Baiklah jika memang nona bersedia untuk main-main
dengan aku, Han twakomu ini akan menemanimu!”
Bukan main mendongkolnya Kwee
Siang dia merasakan pipinya sampai berobah panas memerah, sambil menggerakkan
pedangnya menikam ke arah paha lawannya yang cerengesan itu, tampak si gadis
juga telah berseru, „Lihat pedang.....!”
Han twako itu mengeluarkan
seruan sambil tertawa centil, katanya: „Nona manis yang galak! Sungguh
menakutkan! Tetapi wajahmu..... amboi, wajahmu itu demikian cantik, dan
menarik, terlebih lagi dalam keadaan marah seperti itu.” Dan sambil mengejek,
tampak Han twako itu telah berkelit ke samping dengan gesit, gerakannya tidak
bisa dilihat oleh mata orang biasa.
Bahkan untuk kagetnya Kwee
Siang, jari telunjuk orang telah mencolek pipinya, menambah kemarahan Kwee
Siang. Dia melihat kepandaian Han Pu Sian tidak lebih tinggi dari
kepandaiannya, hanya orang she Han itu memiliki lweekang yang lebih kuat
sehingga membuat Kwee Siang jadi kelabakan juga. Telah sepuluh kali Kwee Siang
melancarkan tikaman dan tusukan pedangnya, beruntun dia mempergunakan jurus
Buddha tersenyum melambaikan tangan, disusul pula dengan Kupu-kupu terbang
menotol air, lalu jurus-jurus hebat lainnya yang menyambar gencar kepada orang
she Han itu. Tapi dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya, orang she Han itu
selalu berhasil mengelakkan diri.
„Jagalah seranganku!” Kata Han
Pu Sian dengan suara yang nyaring ketika suatu kali dia telah mengelakkan diri
dari serangan Kwee Siang. Dia melancarkan cengkeraman tangan ke arah dada si
gadis dengan sikap ceriwis sekali, dengan jurus Menangkap ikan menghalau air,
itulah penyerangan yang dilakukannya dengan gerakan yang biasa, tetapi karena
dia telah sempurna ginkangnya, dengan sendirinya dia dapat melaksanakan
serangannya itu secepat kilat.
Waktu itu Kwee Siang jadi
tambah gusar saja, karena dia melihat semakin lama Han Pu Sian itu semakin
kurang ajar.
Pedangnya diputar melindungi
tubuhnya dan sinar pedang yang putih gemerlapan itu telah mengurung dirinya,
sehingga tidak ada satu serangan pun yang berhasil menembus penjagaannya yang
ketat itu.
Han Pu Sian melihat betapa
serangannya tidak berhasil, bahkan si gadis mengadakan penjagaan diri begitu
rapat, jadi semakin penasaran. Beberapa kali dia melancarkan serangan lagi.
Waktu itulah Yo Him telah
berteriak nyaring: „Encie Siang, mundurlah, biarlah aku yang menghadapi orang
ceriwis itu!!”
Kwee Siang sebetulnya tidak
setuju dengan tawaran jasa Yo Him, tetapi karena mengingat Yo Him baru saja
menyelesaikan pelajarannya pada gurunya, yaitu Lie Bun Hap, dia ingin melihat
sampai dimana Yo Him bisa menghadapi lawan yang cukup berat ini.
„Baik adik Him..... tetapi
engkau harus hati-hati.....!” kata Kwee Siang sambil menikam kepada lawannya
dan waktu Han Pu Sian melompat mundur, di saat itulah dia telah membarengi
melompat ke belakang.
Sedangkan Yo Him telah loncat
maju mendekati Han Pu Sian sambil berkata: „Aku yang akan mewakili encie Siang
untuk mengajar adat padamu, lelaki hidung belang.....!” kata Yo Him.
Semula Han Pu Sian dan
kawan-kawannya heran dan tertegun melihat pemuda dihadapannya.
„Engkau sedang bergurau atau
bersungguh-sungguh kawan kecil?” tegur Han Pu Sian dengan suara yang dingin,
disertai dengan suara tertawa yang meremehkan sekali.
„Aku bersungguh-sungguh?!
Majulah! Kau tidak mempergunakan senjata, akupun akan menghadapimu dengan
bertangan kosong!” kata Yo Him.
Bola mata Han Pu Sian jadi
bergerak-gerak bermain tidak hentinya, karena dia jadi diliputi kemarahan yang
bukan main.
„Kau..... kau terlalu
menghinaku!” kata Han Pu Sian mendongkol. „Dan engkau jangan menyesal jika
kelak aku menurunkan tangan keras padamu!”
„Silahkan!” Kata Yo Him sambil
tersenyum tenang.
Kemudian Yo Him telah
membenarkan kedudukan kakinya, memperkuat bhesi-bhesi kedua kakinya.
„Silahkan menyerang.....!”
katanya menantang lagi.
Karena gusar sekali telah
membuat Han Pu Sian tertawa gelak-gelak dengan suara yang mengandung hawa
pembunuhan.
„Baik! Baik! Aku akan
melancarkan serangan kepadamu! Engkau jagalah!!” dan Han Pu Sian dalam gusarnya
sudah tidak memperdulikan nanti akan ada yang mengatakan si tua menghina si
kecil, yang terpenting dia harus dapat merubuhkan anak muda ini. Tangan kirinya
telah digerakkan melingkar-lingkar seperti juga seekor ular saja, kemudian
tangan kanannya juga telah bergerak-gerak lagi dengan cepat. Dalam waktu yang
sangat singkat sekali, dia telah meluncurkan empat gempuran dari empat penjuru.
Tetapi Yo Him yang sekarang
bukan Yo Him beberapa saat yang lalu. Yo Him sekarang telah merupakan seorang
pemuda yang tangguh dan gagah. Kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah
kepandaian Kwee Siang atau Phang Kui In, dia hanya masih kalah pengalaman
dibandingkan dengan kedua orang itu.
Sekarang melihat lawannya
melancarkan serangan kepadanya, tampak Yo Him masih berdiri tegak menantikan
saja, sampai akhirnya setelah kepalan kedua tangan Han Pu Sian hampir tiba di
dada dan lambungnya, di saat itu juga tampak Yo Him telah mengerakkan kedua
tangannya seperti gunting japit, dan dia ingin mengunci tangan lawannya.
22.44. Pendekar Muda Sin-tiauw
Thian-lam
Namun karena memang baru kali
ini Yo Him berkelahi mempergunakan tenaga latihannya, maka dia masih kurang
pengalaman. Dia telah berhasil menjapit dan menggunting kedua tangan lawannya
serta dikuncinya, tetapi waktu dia harus menekan ke bawah agar tangan lawannya
itu patah, Yo Him tidak sampai hati dan dia melepaskan kunci tangannya itu
kembali.
Han Pu Sian yang semula telah
putus asa dan terkejut waktu kedua tangannya terkunci tangan lawan, dan
mengeluh dalam hati, akhirnya jadi bernapas lega waktu merasakan kedua tangannya
terbebaskan dari jepitan tangan Yo Him. Tanpa membuang kesempatan yang ada
tampak Han Pu Sian telah meluncurkan tangan kanannya ke arah lambung Yo Him.
„Bukk,” Yo Him yang tidak
menyangka bahwa lawannya bisa berlaku curang seperti itu telah kena digempur
lambungnya, sampai dia mengeluarkan jerit tertahan dan telah terguling, tetapi
cepat sekali dia telah bangkit pula.
Kwee Siang yang menyaksikan
hal itu jadi marah sekali, dia telah membentaknya: „Kau seorang pengecut yang
tidak tahu malu!”
Baru saja Kwee Siang ingin
melancarkan serangan kepada lawannya, tiba-tiba Yo Him yang telah melompat
berdiri lagi telah berseru: „Mundur encie Siang, biar aku mewakilimu menghajar
adat padanya.....!” teriaknya sambil melompat ke depan Kwee Siang.
Kwee Siang ragu-ragu, tetapi
setelah berkata: „Hati-hati adik Him..... Dia licik sekali!” lalu dia
mengundurkan diri.
„Ya, aku telah merasakannya
tadi..... manusia seperti dia tidak perlu dikasihani!” mengangguk Yo Him. Dan
kali ini Yo Him tidak meminta lawannya menyerang, sambil menjejakkan kakinya
tampak tubuh Yo Him telah meloncat cepat sekali, kedua tangannya telah bergerak
melancarkan pukulan-pukulan yang dahsyat.
Dalam sekejap mata saja
sepuluh jurus sudah berlalu, dan Han Pu Sian telah terdesak sementara waktu. Walaupun
dia memiliki ginkang yang tinggi tetapi karena dia diserang dengan gencar dan
memang Yo Him tengah marah sekali, maka dia jadi sibuk sendirinya.
Tetapi Han Pu Sian cepat
sekali berhasil mengendalikan keadaan dengan mengeluarkan suara bentakan yang
nyaring beruntun dua kali dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk membalas
serangan-serangan Yo Him. Gerakan-gerakan yang dilakukannya ternyata bisa
menindih juga tenaga serangan Yo Him.
„Pergunakan jurus-jurus
Kim-ie-kun-hoat (ilmu pukulan tangan kosong ikan emas)!” teriak Kwee Siang
ketika melihat Yo Him agak gugup dikurung oleh serangan-serangan kedua tangan
lawannya.
Yo Him baru teringat kepada
jurus ilmu pukulan tangan kosong yang diajarkan oleh gurunya, yaitu Lie Bun Hap
kemudian dia telah merobah cara menyerangnya. Dengan menjejakkan kakinya,
tubuhnya cepat sekali meloncat ke tengah udara dengan meletik seperti seekor
ikan, tubuhnya melengkung dan meluncur turun menyambar kepada lawannya dengan
kedua tangan dijulurkan.
Waktu itu, tampak Han Pu Sian
telah mengeluarkan kegesitannya melompat ke belakang, ingin mengelakkan diri
dari serangan yang dilancarkan Yo Him.
Tetapi gerakan Yo Him tidak
kalah gesitnya, begitu serangannya gagal, dia mengulangi lagi dengan serangan
berikutnya. Kali ini kedua tangan Yo Him menyambar dengan cepat sekali,
mengandung kekuatan lweekang yang murni, angin serangan berdesir halus, tetapi
memiliki kekuatan yang dahsyat sekali.
„Dukk!” tidak dapat Han Pu
Sian mengelakkan diri dari serangan itu. Dan dia telah terjungkal bergulingan
di atas tanah.
Ketiga orang kawannya telah
melompat menyerang kepada Yo Him dengan mempergunakan senjata masing-masing,
yaitu sebatang golok panjang. Sedangkan kawan Han Pu Sian yang seorangnya lagi
telah melompat kesamping Han Pu Sian untuk memeriksa keadaan kawannya yang
seorang ini.
Tetapi Yo Him dengan berani
telah melayani ketiga orang lawannya.
Kwee-siang tidak senang
melihat lawan-lawannya melakukan penyerangan secara mengeroyok, maka dia telah
mengeluarkan suara bentakan sambil melompat menghampiri ke gelanggang
pertempuran dan memutar pedangnya.
Ketiga orang kawan Han Pu Sian
itu mana bisa menghadapi serangan Yo Him dan Kwee Siang. Baru berlangsung
sepuluh jurus saja tampak dua orang diantara mereka telah tergempur dadanya
oleh kepalan tangan Yo Him, rubuh pingsan tidak sadarkan diri. Sedangkan yang
seorangnya lagi telah terkena tikaman pedang Kwee Siang, rubuh pingsan juga
setelah merintih beberapa kali.
Kawan Han Pu Sian yang seorang
lagi, yang tadi telah menotok jalan darah Phang Kui In jadi ketakutan setengah
mati, cepat-cepat dia pentang langkah lebar untuk melarikan diri. Sedang kan
Han Pu Sian telah merangkak untuk bangun.
„Kau harus binasa jika tidak
mau membuka totokan kawanmu itu pada sahabat kami.....” kita Kwee Siang mengancam
sambil mendelikkan matanya.
„Aku akan membukanya..... aku
akan membukanya,” kata Han Pu Sian dengan ketakutan dan merintih menahan sakit
pada dadanya. Dengan bersusah payah dia telah berjongkok disamping Phang Kui In
dan menguruti beberapa jalan darahnya, sehingga dalam waktu yang singkat Phang
Kui In telah tersadar dari pingsannya.
Han Pu Sian tanpa mengatakan
sesuatu telah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
Sedangkan saat itu Phang Kui
In telah berdiri sambil mencaci maki kecurangan lawannya itu.
Seorang pelayan yang sejak
tadi bersembunyi ketakutan bersama-sama dengan kawan-kawannya menghampiri Phang
Kui In.
„Loya (tuan besar), kalian
harus berhati-hati..... tentu bajingan she Han itu tidak mau sudah.....!” kata
pelayan itu. „Lebih baik loya bertiga pergi saja dari sini, untuk mencegah
kerewelan.”
Phang Kui In tertawa dingin.
„Hemm, berapa hebatnya sih
kepandaian orang she Han itu?” kata Phang Kui In.
„Bukan soal kepandaiannya,
juga kawannya yang berjumlah banyak masih tidak apa-apa tetapi justru dia
merupakan putera Han Tee-tok seorang yang paling berkuasa di kota ini.”
Han Tee-tok berarti gubernur
she Han.
„Oh pantas kalau begitu.....!”
kata Phang Kui In sambil senyum sinis. „Pantas dia berani bertindak sewenang-wenang
di tempat ini!”
„Itulah loya..... sebentar
lagi dia tentu akan datang kembali bersama anak buah ayahnya..... Jalan yang
paling selamat lebih baik loya bertiga cepat-cepat berlalu saja!”
Tetapi Phang Kui In malah
menggelengkan kepalanya.
„Tidak..... aku justru ingin
melihat bagaimanakah anak buahnya Han Tee-tok itu! Jika mereka berlaku
sewenang-wenang, hemm, hemm, nanti kami menghajar mereka tidak
tanggung-tanggung!” dan setelah berkata begitu, tampak Phang Kui In mendengus
beberapa kali dengan penuh kemarahan.
Pelayan itu jadi tidak berdaya
membujuk ketiga orang tamunya itu.
Terlebih lagi Yo Him juga
telah berkata: „Justru kesempatan ini yang harus kita pergunakan untuk membasmi
manusia-manusia jahat seperti Han Tee-tok dan puteranya itu..... Bukankah
begitu paman Phang dan encie Siang?”
Phang Kui In dan Kwee Siang
telah menganggukkan kepalanya. Dan mereka telah perintahkan pelayan untuk
mempersiapkan makanan untuk mereka.
Para pelayan yang tadi telah
menyaksikan kehebatan Yo Him bertiga, jadi sangat menghormat sekali, dan mereka
melayaninya dengan telaten sekali. Mereka mempersiapkan semua makanan dan
minuman untuk ketiga orang tamu tersebut.
Waktu itu Yo Him telah makan
pula menghabiskan satu mangkok nasi. Sedangkan Phang Kui In yang memang gemar
makan itu menghabiskan dua mangkok nasi lagi. Hanya Kwee Siang yang tidak makan
nasi, hanya sekali-kali mencobai makanan yang terdiri dari beberapa rupa
masakan itu.
Pelayan-pelayan rumah makan
itu seperti juga ketakutan dan bercampur kuatir, karena mereka telah mengetahui
siapa itu Han Tee-tok, ayah dari Han Pu Sian.
„Tentu akan ramai nanti…..!”
bisik beberapa orang tamu yang memiliki sedikit keberanian dan tetap berada di
ruangan itu.
„Ya, Han Tee-tok tentu akan
mengirim orang-orangnya, dia bermaksud akan menangkap ketiga orang yang telah
menghinanya, seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu ada orang yang
ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya disebabkan berkelahi dengan anaknya
Tee-tok itu!”
„Benar, kita akan menyaksikan
keramaian.....!” bilang yang lainnya.
Tiba-tiba dari arah luar rumah
makan itu terdengar suara hiruk pikuk, muka para pelayan rumah makan itu telah
berubah pucat, tubuh mereka menggigil.
Begitu juga tamu-tamu yang
masih berada di ruangan itu telah jadi ketakutan. Suara hiruk pikuk itu makin
terdengar jelas dan semakin lama semakin berisik disusul dengan melangkah
masuknya beberapa orang berpakaian tentara yang berseragam.
„Mana yang tadi telah menghina
tuan muda kami?” teriak beberapa orang diantara mereka saling susul.
Dengan berani Yo Him berdiri,
karena Yo Him tidak mau kalau nanti pemilik rumah makan dan pelayannya akan
menjadi korban dari pasukan Han Tee-tok.
„Aku tadi yang menghajar Han
Pu Sian,” menyahut Yo Him dengan suara nyaring.
Pasukan tentara berseragam itu
telah memandang ke arah Yo Him, dengan bengis. Tetapi kemudian sinar mata
mereka memancarkan keheranan, karena mereka tidak bisa percaya, bahwa yang
mengaku telah menghajar Han Pu Sian tidak lain seorang pemuda tanggung yang
mungkin baru berusia diantara limabelas tahun.
„Kau..... kau yang telah
menghina Han siauw-jin kami tegur salah seorang diantara mereka.
Yo Him mengangguk.
„Benar,” dia mengangguk pasti.
„Memang tadi aku yang telah menghina majikan mudamu itu.....! Tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain.”
Muka para pasukan berseragam
itu berobah hebat, mereka memandang bengis, sampai akhirnya yang menjadi
pemimpin mereka itu telah berdiri sambil katanya:
„Baik! Karena engkau telah
mengaku jujur dan berterus terang, engkau kubebaskan dari hukuman dipukuli
rotan! Tetapi kau harus ikut kami menemui Han Tee-tok taijin, untuk mendengar
keputusan Han Tee-tok! Kau kami tangkap.....!”
Yo Him tertawa dingin.
„Apakah kau tidak salah
bicara?” tanya Yo Him tawar.
„Apanya yang salah?”
„Tadi kau ingin menangkap
aku!”
„Benar, engkau kami tangkap
karena engkau telah berani menghina majikan muda kami.....!”
„Aku bukan menghinanya, justru
dia merupakan gentong kosong yang tidak punya guna!” menyahuti Yo Him dengan
mengejek.
Perwira pasukan itu jadi
gusar, dia melangkah mendekati Yo Him.
„Anak muda kurang ajar.
Tahukah kau, bahwa kami bisa merobek mulutmu yang telah berani mengeluarkan
kata-kata yang tidak baik itu?”
Yo Him tidak gentar oleh
ancaman seperti itu, dia tertawa dingin.
„Kukira tidak semudah itu
untuk menangkap aku!” katanya kemudian tawar sekali. „Jika kalian tidak
percaya, silahkan kalian maju dan aku akan melayanimu!”
„Anak muda congkak dan
tekebur!” bentak perwira berseragam itu dengan marah, dia mengangkat tangan
kanannya, untuk mengisyaratkan kepada anak buahnya agar maju menangkap Yo Him.
Tetapi Yo Him tidak menjadi
takut, dia tetap berdiri dengan sikap yang tegak dan bibirnya tersungging
seulas senyuman mengejek.
Waktu dua orang dari pasukan
tentara Tee-tok itu menghampiri dekat dan mengulurkan tangannya untuk
mencengkeram pergelangan tangan pemuda ini telah menggeser sedikit kedudukan
kaki kanannya, dia membuat setengah lingkaran dengan jari tangannya menengadah
sehingga seperti juga ingin menotok pergelangan tangan dari kedua tentara
pasukan Tee-tok itu.
Tentu saja tentara itu jadi
terkejut dan cepat-cepat menarik pulang tangan mereka, dan melompat mundur.
Gerakan yang dilakukan Yo Him tadi merupakan gerakan membela diri, karena jika
kedua orang tentara Tee-tok itu memaksakan diri untuk melancarkan serangan
mereka, berarti mereka juga tidak akan luput dari totokan yang dilancarkan Yo
Him.
Kedua tentara Tee-tok itu
masih menguatirkan keselamatan mereka sendiri, itulah sebabnya mereka
membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan dan telah menarik pulang
tangan mereka masing-masing.
Tetapi Yo Him mana mau
melepaskan mereka begitu saja, secepat kilat kedua tangannya telah bekerja,
tangan yang kiri telah melayang ke arah dada dari salah seorang lawannya dan
mencengkeramnya dengan kuat dan keras, sedangkan tangan yang satunya lagi
bergerak menghantam dada lawannya yang lain.
„Dukkk!” terdengar suara tinju
Yo Him singgah di dada korbannya, dan orang itu mengeluarkan suara jeritan
keras, tubuhnya terapung, kemudian terbanting di lantai tidak bergerak lagi
sebab jatuh pingsan.
Sedangkan lawan Yo Him yang
seorang lagi, yang kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Yo Him. Tampaknya
benar-benar menderita kesakitan dan ketakutan, kesakitan karena kulit dadanya
kena dicengkeram oleh Yo Him. Sedangkan ketakutan karena dia kuatir dirinya
akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami kawannya.
Yo Him melakukan segalanya
tanpa membuang waktu, hanya dalam beberapa detik itu, selesai menghantam rubuh
lawannya yang seorang, tenaga dalamnya segera disalurkan ke dada lawannya yang
sedang dicengkeram, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke lantai.....
„Bukkk!” tubuh orang itu telah
kena terbanting keras sekali, dan dia mengeluarkan suara jeritan yang sangat
menyayatkan hati.
Sedangkan Yo Him telah
mengibaskan bajunya beberapa kali dengan sikap yang angkuh. Sehingga membuat
perwira pemimpin rombongan tentara Tee-tok itu tambah mendongkol.
„Maju, tangkap dia!” kata
pemimpin perwira itu.
Sisa tentara Tee-tok yang
berjumlah belasan orang itu telah mengiyakan dan mereka mengurung Yo Him dengan
di tangan masing-masing telah tercekal sebatang golok.
Tetapi para tentara Tee-tok
itu tidak berani berbuat sembarangan, karena tadi mereka telah menyaksikan
betapa dua orang rekan mereka telah berhasil dirubuhkan Yo Him dengan mudah,
hanya dengan satu gebrakan saja kedua orang Tee-tok itu jatuh pingsan. Maka
tentara-tentara Tee-tok yang lainnya ini tidak mau mengalami nasib seperti
kedua kawannya.
Yo Him tidak takut walaupun
dia dikurung di tengah-tengah ancaman para tentara Tee-tok itu.
Perwira yang menjadi pemimpin
dari pasukan Tee-tok telah mengeluarkan teriakan-teriakan menganjurkan anak
buahnya segera mulai melancarkan serangan. Karena teriakan-teriakan dari
perintah perwira atasannya, walaupun hati masing-masing merasa takut menghadapi
Yo Him, tokh pasukan tentara Tee-tok itu telah menyerbu serentak. Golok mereka
berkelebat-kelebat menyilaukan mata disamping mengerikan sekali.
Tetapi belum lagi Yo Him
mengelakkan diri atau membalas menyerang, bersamaan waktunya dengan itu tiga
orang tentara Tee-tok telah terpental keras dan terbanting di lantai sambil
mengeluarkan suara jeritan, karena mereka telah kena dibuat terpental oleh
tendangan kaki Phang Kui In.
Begitu pula Kwee Siang telah
melompat dan memutar pedangnya melancarkan serangan kepada tentara Tee-tok itu.
Setiap sinar putih dari pedangnya itu menyambar, maka di saat itu pula tampak
seorang tentara Tee-tok rubuh terguling di lantai, binasa dan ada juga yang
hanya terluka berat dengan paha yang terpotong atau tangan yang buntung. Dalam
sekejap mata saja terdengar suara jeritan-jeritan kesakitan yang ramai sekali.
Perwira yang menjadi pemimpin
pasukan tersebut jadi terkejut dan ketakutan. Bukannya dia ikut menerjang maju
guna membantui anak buahnya, justru dia telah memutar tubuhnya dengan maksud
ingin mengambil langkah seribu.
Waktu itu Kwee Siang bertindak
cepat sekali, dia telah mengeluarkan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya telah
melompat melambung ke tengah udara menyusul perwira yang menjadi pemimpin
pasukan itu. Dan mata pedangnya telah menempel di tengkuk perwira yang menjadi
pemimpin pasukan tentara Tee-tok itu.
„Jika kau berusaha melarikan
diri, pedangku tidak akan kenal kasihan dan akan menusuk masuk dagingmu!” ancam
Kwee Siang dengan suara sungguh-sungguh.
Perwira itu ketakutan bukan
main, tetapi dia berusaha untuk menyembunyikan perasaan takutnya dan telah
membalikkan tubuhnya menatap tajam pada Kwee Siang, sambil bentaknya dengan
suara bengis:
„Apakah kau seorang wanita
berani menghina hamba negeri! Apakah engkau tidak takut akan dihukum pancung
dengan perbuatanmu ini?”
„Menghinamu? Hemm, justru
engkau sendiri yang telah mengajak anak buahmu untuk mengacau di tempat ini!
Hemm, jika dalam urusan ini engkau masih berusaha membela diri, baik, baik!
Cabutlah pedangmu. Mari kita bertempur untuk menentukan siapa yang kalan dan
siapa yang menang!”
Dingin sekali suara Kwee
Siang, dan telah berkata-kata dengan wajah tidak memperlihatkan perasaan
apa-apa. Hati perwira itu jadi ciut sendirinya, tetapi dalam keadaan terjepit
seperti itu telah membuat dia terpaksa mencabut keluar goloknya yang sejak tadi
tergantung di pinggangnya.
„Bagus! Aku memberikan
kesempatan padamu untuk melancarkan serangan terlebih dulu!” kata Kwee Siang.
„Nah mulailah!”
„Tunggu, encie Siang. Biar aku
yang menghadapinya,” Yo Him meloncat ke depan Kwee Siang.
Ditantang dan didesak terus
menerus dengan cara seperti itu, perwira yang menjadi pimpinan pasukan Tee-tok
itu telah menggerakkan goloknya, dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat
bengis, tahu-tahu goloknya telah bergerak dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu
golok perguruan Cin-su-pay, sebuah perguruan yang cukup punya nama di daerah
barat daratan Tiong-goan.
Golok itu menyambar dengan
menimbulkan suara kesiutan yang sangat kuat dan keras sekali, menyambar ke arah
Yo Him dengan gerakan yang aneh sekali, seperti juga menikam, seperti juga
menabas, sehingga sulit diterka arah sasaran mana yang dipilihnya.
„Hmmm! Rupanya dia ahli ilmu
to-hoat (ilmu silat golok) yang memiliki kepandaian cukup lumayan,” pikir Yo
Him di dalam hatinya, tetapi dia tidak menjadi takut karenanya!
Waktu golok itu menyambar
dengan cepat sekali ke arah dadanya, tampak Yo Him telah menggerakkan tangan
kirinya, tahu-tahu dia telah menjepit golok lawan, kemudian sekali menghentak,
patahlah golok itu menjadi tiga potongan yang dua potongan jatuh menimbulkan
suara berisik di lantai. Sedangkan tangan kanan Yo Him juga tidak tinggal diam,
dia telah memukulkan kepalannya tangan kanannya ke arah dada perwira tentara
Tee-tok itu.
„Bukk!” jitu sekali serangan
itu mengenai sasarannya sehingga perwira itu merasakan dadanya seperti juga
akan melesak hancur.
Dalam keadaan demikianlah,
dengan adanya peristiwa seperti itu, walaupun si perwira itu bermaksud
mengelakkan diri dan menyelamatkan jiwanya, sudah tidak bisa sebab begitu
kepalan tangan Yo Him menghantam segera tubuhnya terpental keras dan ambruk di
atas lantai dengan mengeluarkan suara gedebugan yang keras, jiwanya juga telah
melayang, tubuhnya hanya sempat berkelejetan beberapa kali, kemudian diam untuk
selama-lamanya.
Waktu itu Yo Him dan Kwee
Siang tengah sibuk melayani tentara Tee-tok yang berjumlah cukup banyak itu
kembali Yo Him telah berhasil merubuhkan dua orang lagi. Sedangkan pedang Kwee
Siang juga telah berhasil melukai tiga orang tentara Tee-tok itu. Sisanya yang
kurang lebih hanya tinggal enam orang, jadi ketakutan. Juga diwaktu itu mereka
melihat pemimpin mereka telah terpental dan binasa di tangan Yo Him.
Phang Kui In sendiri dengan
mengeluarkan suara seruan yang sangat nyaring telah mengibaskan golok dan
tangan kirinya berulang kali, dalam sekejap mata saja keenam tentara Tee-tok
itu telah dapat dihabiskan semuanya, yang menggeletak merintih kesakitan.
„Apakah kalian tidak ingin
cepat-cepat angkat kaki?” bentak Phang Kui In kepada tentara Tee-tok yang hanya
terluka dan tengah merintih kesakitan.
Yo Him menghampiri dua orang
tentara Tee-tok yang tengah berjongkok kesakitan karena paha mereka kena
tertabas goloknya Phang Kui In.
„Kalian ingin mati seperti
pemimpin kalian?” tanyanya dengan suara yang bengis. Kedua orang tentara itu
tentu saja jadi ketakutan mereka menangis sesambatan meminta ampun.
„Hemmm, kalian ingin diampuni
oleh kawan-kawanku..... tetapi ingat, jika dilain saat kalau masih melakukan
perbuatan yang sewenang-wenang tentu aku tidak akan berlaku setengah hati dan
akan membinasakan kalian tanpa mengenal kasihan lagi! Nah, sekarang pergilah,
bawa pula itu mayat kawan-kawanmu!”
Kedua orang tentara Tee-tok
itu berulangkali telah menyatakan terima kasihnya sambil berlutut
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Phang Kui In dan Kwee Siang
jadi berterima kasih, sekali, karena mereka telah tertolong justru dengan
adanya Yo Him. Coba kalau mereka berdua saja, Kwee Siang dan Phang Kui In
tentunya tidak akan semudah itu memperoleh kemenangan, karena tentara Tee-tok
itu umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan terlatih.
„Him-jie, hebat sekali
kepandaianmu itu. Tidak sia-sia engkau belajar pada Lie Bun Hap locianpwe!”
„Benar adik Him, engkau hebat
sekali, aku yang telah melatih diri puluhan tahun, ternyata tidak bisa melebihi
kepandaianmu yang hanya berlatih selama dua tahun itu! Benar-benar kau hebat
sekali.....!”
Yo Him cepat-cepat
mengeluarkan kata-kata merendah, dia juga merasa malu.
Para tentara Tee-tok yang
terluka dan tengah membereskan mayat-mayat kawan mereka mendengar percakapan
Kwee Siang bertiga. Mereka jadi berpikir: „Entah siapa pemuda tampan ini yang
memiliki kepandaian demikian tinggi walaupun usianya masih demikian muda,”
pikir mereka.
Salah seorang dari tentara
Tee-tok telah memberanikan diri mendekati Yo Him, kemudian dia berlutut memberi
hormat sambil bertanya takut-takut.
„Siauw eng-hiong, bolehkan
kami mengetahui namamu yang besar dan gelaranmu yang harum?”
Yo Him jadi kikuk sendirinya.
„Aku bukan eng-hiong, aku juga
tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namaku Yo Him tidak memiliki gelaran
apapun.....” sahut Yo Him akhirnya.
„Siauw eng-hiong she Yo,”
tanya tentara Tee-tok itu.
Yo Him mengangguk.
„Benar, apakah yang dibuat
heran oleh kau?” tanya Yo Him sambil mengawasi tentara itu dengan sorot mata
yang tajam.
„Bukan begitu siauw
eng-hiong..... Justru mendengar siauw eng-hiong she Yo. Maka aku teringat
kepada seorang, seorang pendekar yang paling terkenal dan merupakan super sakti
dalam persilatan, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.”
„Beliau ayahku .....!”
menjelaskan Yo Him.
„Ohh.....!” berseru tentara
itu sambil memperlihatkan sikap terkejut dan girang. „Dulu duapuluh tahun yang
lalu. Semasa dalam peperangan yang hebat dengan tentara Mongolia aku pernah
menerima pertolongan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sehingga aku terhindar dari
injakan kaki kuda!”
„Kau pernah bertemu dengan
ayahku?” tanya Yo Him jadi tertarik mendengar orang menyebut-nyebut perihal pertemuannya
dengan ayahnya.
„Pernah dua kali, kedua
kalinya pertemuan itu terjadi di kota Siang-yang.....!” kata tentara Tee-tok
tersebut. Waktu itu dia telah menghela napas panjang, katanya kemudian: „Dan
sekarang, saya menyesal sekali, karena aku tidak mematuhi petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko agar aku rajin-rajin melatih diri
tiga jurus yang diberikan. Kata Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, jika aku bisa
menguasai benar-benar ketiga jurus itu, di medan pertempuran tentu tidak ada tentara
musuh yang bisa melawan kepandaianku! Sayang sekali aku bodoh, dan otakku pun
tumpul..... aku tidak bisa menangkap benar ketiga jurus itu, akhirnya membuat
aku malas melatih diri, dan sekarang aku telah lupa sama sekali ketiga jurus
itu!”
Setelah berkata begitu,
tentara Tee-tok yang seorang ini telah mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang
tajam, lalu sambungnya lagi, „Yo siauw eng-hiong, apakah benar-benar engkau
tidak memiliki gelaran?”
Yo Him mengangguk. „Aku tidak
memiliki kepandaian bagaimana aku bisa mempergunakan gelaran yang hanya bisa
membuat aku congkak dan sombong..... untuk apakah gelaran itu?”
„Maaf dan ampunkan, siauw
eng-hiong jika memang siauw eng-hiong belum memiliki gelaran, apakah tidak ada
baiknya untuk mengenang jasa-jasa ayah siauw-eng-hiong yang pernah berhasil
mengusir musuh dan mempertahankan kota Siang-yang di daerah selatan maka siauw
eng-hiong boleh mengambil setengah gelaran dari ayahmu lalu ditambah setengah
lagi. Bagaimana kalau engkau bergelar Sin-tiauw-thian-lam (rajawali sakti dari
langit selatan) maafkan jika itu kurang baik dan maafkan juga akan
kelancanganku memberikan gelaran.”
„Bagus!” berseru Phang Kui In.
Yo Him jadi heran, dia
memandang kepada paman Phang nya itu.
„Apanya yang bagus paman
Phang?” tanya Yo Him sambil mengawasi terus paman Phang nya ini.
„Gelaranmu itu yang bagus,”
kata Phang Kui In. „Gelaranmu itu yang baik sekali! Untuk selanjutnya engkau
bisa mempergunakan gelaranmu itu, yaitu Sin-tiauw-thian-lam Yo Him! Nah
terimalah ucapanku ini, dimana telah lahir seorang pendekar sakti
Sin-tiauw-thian-lam Yo Him!” Dan setelah berkata begitu tampak Phang Kui In
telah merangkapkan sepasang tanganya untuk memberi hormat kepada Yo Him.
Keruan saja Yo Him jadi gugup
dan kikuk dia cepat-cepat membalas hormat dari Phang Kui In.
Kwee Siang juga telah
memberikan selamat padanya dengan memberi hormat.
Tentara Tee-tok yang seorang
itu yang telah berikan gelaran kepada Yo Him, tampaknya gembira sekali.
„Siapakah namamu!” tanya Phang
Kui In sambil tersenyum pada tentara itu.
,,Siauw-jin she Bian dan
bernama Tung Pah. Nanti jika kalian bertemu dengan Yo Ko Tayhiap, tolong
sampaikan salamku!”
„Terima kasih engkoh Bian!”
Kata Yo Him sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. „Engkau telah
menghadiahkan aku gelaran yang baik, bahkan disetujui oleh paman Phang dan
encie Siang. Aku yakin beradanya engkau dalam pasukan Tee-tok hanyalah terpaksa
saja, karena dalam hal ini engkau tentu hanya menuruti perintah atasan saja,
bukan?“
Bian Tung Pah menganggukkan
kepalanya beberapa kali dia telah membenarkan perkataan Yo Him.
„Dan aku telah memikirkan
untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai alat negara, karena terkadang
aku menerima perintah untuk melakukan pekerjaan yang tidak menurut isi
hatiku..... Maka dari itu, nanti aku minta pensiun saja dan hidup dengan
berdagang kecil-kecilan.”
„Bagus! Itu bagus sekali!”
kata Phang Kui In. „Itulah cara yang terbaik, sehingga engkau tidak perlu
korban perasaan!”
Bian Tung Pah juga menyatakan
terima kasihnya atas perlakuan Yo Him bertiga. Kemudian bersama-sama dengan
kawan-kawannya yang hanya terluka mengangkat mayat-mayat kawan mereka.
Semua tentara Tee-tok yang
masih hidup itu bergidik sendirinya setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah
puteranya Yo Ko.
Sedangkan pelayan rumah makan
telah membersihkan darah dan merapihkan bangku kursi dan meja yang telah pada
terbalik itu. Sedangkan noda darah di lantai segera dihapus dengan kain
pembasuh. Dalam sekejap mata saja ruangan rumah makan itu telah rapih lagi.
Sedangkan Yo Him bertiga telah
makan-makan lagi..... Mereka tidak memperdulikan tamu-tamu berdatangan dan
kasak kusuk membicarakan mereka.
Setelah puas makan minum Yo
Him bertiga meninggalkan rumah makan itu.
Banyak orang-orang penduduk
kota itu yang berdatangan ingin melihat rupa dan wajah dari putera Sin-tiauw
Tayhiap, tapi Yo Him bertiga telah melarikan diri dengan cepat sekali
meninggalkan tempat itu. Mereka mempergunakan ginkang yang telah sempurna,
hanya dalam beberapa detik mereka sudah jauh meninggalkan rumah makan dan
penduduk kota tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka tidak ingin dipersulit
dengan berbagai pertanyaan dan sanjung puji dari penduduk kota itu.
◄Y►
Waktu itu, Yo Him telah
berkata kepada Phang Kui In, di saat mana mereka telah berada di luar kota
sebelah timur.
“Phang susiok..... apakah kita
melanjutkan perjalanan kita lagi?” tanyanya.
Phang Kui In mengangguk
membenarkan. Maka mereka telah menghampiri perahu mereka dan telah melompat
naik ke atas perahu tersebut. Perahu itupun berlayarlah meninggalkan tempat
itu.
Setelah berlayar selama empat
hari lagi, mereka tiba di pelabuhan kota Mu-sing-kwan. Tetapi mereka hanya
singgah untuk makan dan minum mengisi perut, lalu melanjutkan perjalanan mereka
pula.
„Berlayar lagi sebelas hari
tentu kita akan tiba di kota Su-po-kwan, di kota itu kita bisa meminta
keterangan dari orang-orang yang pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap..... karena
Sin-tiauw Tayhiap pernah berkali-kali datang di kota tersebut!”
Yo Him girang bukan main
mendengar hal itu, dia serasa ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah kandungnya,
bertemu muka. Dan juga Kwee Siang, begitu rindu ingin bertemu dengan pendekar
super sakti tersebut. Benar saja, setelah mereka berlayar sebelas hari, di saat
itu mereka telah tiba di kota su-po-kwan, kota perdagangan yang ramai sekali
dan memiliki penduduk yang padat.
„Kita telah sampai!”
menjelaskan Phang Kui In waktu mereka telah tiba di pelabuhan kota tersebut.
Dengan tidak sabar Yo Him
telah melompat ke dermaga dan berjalan dengan langkah lebar.
„Tunggu dulu Him-jie!” teriak
Phang Kui In yang sedang mengikat perahunya. „Nanti kau tersesat.....!”
Yo Him sudah tidak sabar
sekali. „Cepat sedikit paman Phang.....!” katanya dengan suara tidak sabar.
Kwee Siang yang melihat
kelakuan Yo Him jadi tersenyum, dia pun merasakan hatinya tergoncang keras
sekali.
Waktu itu Phang Kui In telah
selesai mengikat perahunya, tetapi ketika dia ingin menghampiri Yo Him dan Kwee
Siang untuk meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba dari arah ujung dermaga
yang satunya, telah berjalan seseorang dengan langkah kaki yang lebar. Dan
orang itu juga sambil menghampiri telah berteriak-teriak dengan suara yang
sangat nyaring:
„Hei tunggu dulu! Tunggu
dulu!”
Phang Kui In mengerutkan
alisnya, karena dia melihat bahwa orang itu memiliki wajah yang kurang berkesan
baik, tampaknya mata orang itu bersinar tajam dan jahat.
„Ada urusan apakah, Heng-tay
(saudara)?” tanya Phang Kui In berusaha bersikap semanis mungkin, karena dia
menyadari dirinya merupakan pelancongan belaka.
„Kalian memakai perahu? Dan
perahu kalian ini diikatkan di dermaga ini! Kalian harus membayar seratus tail
perak!” kata orang itu setelah datang dekat.
Dan Phang Kui In saat itu juga
telah bisa melihat jelas wajah orang itu yang berpotongan empat persegi dan
matanya memandang tajam menyeramkan. Ukuran kedua matanya itu tampaknya lebih
besar dari mata orang dewasa yang wajar. Kumis, dan jenggotnya yang tumbuh kaku
itu menambah wajahnya semakin tidak enak dilihat, dengan lobang hidung yang
dongak ke atas.
„Apa..... apa kau bilang?”
tanya Phang Kui In tergagap, karena dia terkejut atas permintaan orang itu.
Mana ada uang sewa titip perahu sebesar seratus tail perak seperti yang diminta
orang itu? Sedangkan paling tidak hanya satu atau dua cie saja!
„Aku mengatakan jika kau ingin
menitipkan perahu di dermaga ini. Maka kalian harus menyerahkan uang sewanya
sebesar seratus tail perak? Tidak dengar? Seratus tail perak! Sudah dengar?
Seratus tail perak!”
Mendengar perkataan orang itu
tentu saja Yo Him bertiga jadi tidak menyukai orang ini.
„Hemm, mungkin dia ini seorang
buaya darat yang menguasai daerah ini, sehingga leluasa baginya untuk melakukan
pemerasan-pemerasan terhadap orang yang lemah,” pikir Phang Kui In.
Karena berpikir begitu, sikap
Phang Kui In jadi tenang kembali dan lenyap dari perasaan herannya. Sengaja dia
memperlihatkan senyuman sabar.
„Cukupkah uang sewanya sebesar
seratus tail perak?” tanyanya.
„Jika engkau mau
menambahkannya, itu lebih bagus lagi, tentu perahumu akan kujagakan sebaik
mungkin, agar tidak dirusak orang atau dicuri hilang oleh orang yang banyak
berkeliaran di tempat ini! Ketahuilah di pelabuhan ini banyak sekali
pemeras-pemeras.
Mendengar perkataan orang itu,
Phang Kui In kembali tersenyum.
„Lucu! Lucu sekali!” katanya.
„Apanya yang lucu?” tanya
orang itu tidak mengerti.
„Aku membeli perahu itu hanya
dengan harga seratus sepuluh tail! Tetapi sekarang, ingin menitipkan perahu
itu, harus membayar seharga seratus tail perak! Bukankah itu merupakan suatu
kejadian yang lucu sekali?”
Mendengar perkataan Phang Kui
In, muka orang berewokan itu jadi berobah merah padam, karena dia menyadarinya
bahwa kata-kata Phang Kui In itu hanya ditujukan untuk menyindir dirinya.
22.44. Pendekar Muda Sin-tiauw
Thian-lam
Namun karena memang baru kali
ini Yo Him berkelahi mempergunakan tenaga latihannya, maka dia masih kurang
pengalaman. Dia telah berhasil menjapit dan menggunting kedua tangan lawannya
serta dikuncinya, tetapi waktu dia harus menekan ke bawah agar tangan lawannya
itu patah, Yo Him tidak sampai hati dan dia melepaskan kunci tangannya itu
kembali.
Han Pu Sian yang semula telah
putus asa dan terkejut waktu kedua tangannya terkunci tangan lawan, dan
mengeluh dalam hati, akhirnya jadi bernapas lega waktu merasakan kedua
tangannya terbebaskan dari jepitan tangan Yo Him. Tanpa membuang kesempatan
yang ada tampak Han Pu Sian telah meluncurkan tangan kanannya ke arah lambung
Yo Him.
„Bukk,” Yo Him yang tidak
menyangka bahwa lawannya bisa berlaku curang seperti itu telah kena digempur
lambungnya, sampai dia mengeluarkan jerit tertahan dan telah terguling, tetapi
cepat sekali dia telah bangkit pula.
Kwee Siang yang menyaksikan
hal itu jadi marah sekali, dia telah membentaknya: „Kau seorang pengecut yang
tidak tahu malu!”
Baru saja Kwee Siang ingin
melancarkan serangan kepada lawannya, tiba-tiba Yo Him yang telah melompat
berdiri lagi telah berseru: „Mundur encie Siang, biar aku mewakilimu menghajar
adat padanya.....!” teriaknya sambil melompat ke depan Kwee Siang.
Kwee Siang ragu-ragu, tetapi
setelah berkata: „Hati-hati adik Him..... Dia licik sekali!” lalu dia
mengundurkan diri.
„Ya, aku telah merasakannya
tadi..... manusia seperti dia tidak perlu dikasihani!” mengangguk Yo Him. Dan
kali ini Yo Him tidak meminta lawannya menyerang, sambil menjejakkan kakinya
tampak tubuh Yo Him telah meloncat cepat sekali, kedua tangannya telah bergerak
melancarkan pukulan-pukulan yang dahsyat.
Dalam sekejap mata saja
sepuluh jurus sudah berlalu, dan Han Pu Sian telah terdesak sementara waktu.
Walaupun dia memiliki ginkang yang tinggi tetapi karena dia diserang dengan
gencar dan memang Yo Him tengah marah sekali, maka dia jadi sibuk sendirinya.
Tetapi Han Pu Sian cepat
sekali berhasil mengendalikan keadaan dengan mengeluarkan suara bentakan yang
nyaring beruntun dua kali dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk membalas
serangan-serangan Yo Him. Gerakan-gerakan yang dilakukannya ternyata bisa
menindih juga tenaga serangan Yo Him.
„Pergunakan jurus-jurus
Kim-ie-kun-hoat (ilmu pukulan tangan kosong ikan emas)!” teriak Kwee Siang
ketika melihat Yo Him agak gugup dikurung oleh serangan-serangan kedua tangan
lawannya.
Yo Him baru teringat kepada
jurus ilmu pukulan tangan kosong yang diajarkan oleh gurunya, yaitu Lie Bun Hap
kemudian dia telah merobah cara menyerangnya. Dengan menjejakkan kakinya,
tubuhnya cepat sekali meloncat ke tengah udara dengan meletik seperti seekor
ikan, tubuhnya melengkung dan meluncur turun menyambar kepada lawannya dengan
kedua tangan dijulurkan.
Waktu itu, tampak Han Pu Sian
telah mengeluarkan kegesitannya melompat ke belakang, ingin mengelakkan diri
dari serangan yang dilancarkan Yo Him.
Tetapi gerakan Yo Him tidak
kalah gesitnya, begitu serangannya gagal, dia mengulangi lagi dengan serangan
berikutnya. Kali ini kedua tangan Yo Him menyambar dengan cepat sekali,
mengandung kekuatan lweekang yang murni, angin serangan berdesir halus, tetapi
memiliki kekuatan yang dahsyat sekali.
„Dukk!” tidak dapat Han Pu
Sian mengelakkan diri dari serangan itu. Dan dia telah terjungkal bergulingan
di atas tanah.
Ketiga orang kawannya telah
melompat menyerang kepada Yo Him dengan mempergunakan senjata masing-masing,
yaitu sebatang golok panjang. Sedangkan kawan Han Pu Sian yang seorangnya lagi
telah melompat kesamping Han Pu Sian untuk memeriksa keadaan kawannya yang
seorang ini.
Tetapi Yo Him dengan berani
telah melayani ketiga orang lawannya.
Kwee-siang tidak senang
melihat lawan-lawannya melakukan penyerangan secara mengeroyok, maka dia telah
mengeluarkan suara bentakan sambil melompat menghampiri ke gelanggang
pertempuran dan memutar pedangnya.
Ketiga orang kawan Han Pu Sian
itu mana bisa menghadapi serangan Yo Him dan Kwee Siang. Baru berlangsung
sepuluh jurus saja tampak dua orang diantara mereka telah tergempur dadanya
oleh kepalan tangan Yo Him, rubuh pingsan tidak sadarkan diri. Sedangkan yang
seorangnya lagi telah terkena tikaman pedang Kwee Siang, rubuh pingsan juga
setelah merintih beberapa kali.
Kawan Han Pu Sian yang seorang
lagi, yang tadi telah menotok jalan darah Phang Kui In jadi ketakutan setengah
mati, cepat-cepat dia pentang langkah lebar untuk melarikan diri. Sedang kan
Han Pu Sian telah merangkak untuk bangun.
„Kau harus binasa jika tidak
mau membuka totokan kawanmu itu pada sahabat kami.....” kita Kwee Siang
mengancam sambil mendelikkan matanya.
„Aku akan membukanya..... aku
akan membukanya,” kata Han Pu Sian dengan ketakutan dan merintih menahan sakit
pada dadanya. Dengan bersusah payah dia telah berjongkok disamping Phang Kui In
dan menguruti beberapa jalan darahnya, sehingga dalam waktu yang singkat Phang
Kui In telah tersadar dari pingsannya.
Han Pu Sian tanpa mengatakan
sesuatu telah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
Sedangkan saat itu Phang Kui
In telah berdiri sambil mencaci maki kecurangan lawannya itu.
Seorang pelayan yang sejak
tadi bersembunyi ketakutan bersama-sama dengan kawan-kawannya menghampiri Phang
Kui In.
„Loya (tuan besar), kalian
harus berhati-hati..... tentu bajingan she Han itu tidak mau sudah.....!” kata
pelayan itu. „Lebih baik loya bertiga pergi saja dari sini, untuk mencegah
kerewelan.”
Phang Kui In tertawa dingin.
„Hemm, berapa hebatnya sih
kepandaian orang she Han itu?” kata Phang Kui In.
„Bukan soal kepandaiannya,
juga kawannya yang berjumlah banyak masih tidak apa-apa tetapi justru dia
merupakan putera Han Tee-tok seorang yang paling berkuasa di kota ini.”
Han Tee-tok berarti gubernur
she Han.
„Oh pantas kalau begitu.....!”
kata Phang Kui In sambil senyum sinis. „Pantas dia berani bertindak
sewenang-wenang di tempat ini!”
„Itulah loya..... sebentar
lagi dia tentu akan datang kembali bersama anak buah ayahnya..... Jalan yang
paling selamat lebih baik loya bertiga cepat-cepat berlalu saja!”
Tetapi Phang Kui In malah
menggelengkan kepalanya.
„Tidak..... aku justru ingin melihat
bagaimanakah anak buahnya Han Tee-tok itu! Jika mereka berlaku sewenang-wenang,
hemm, hemm, nanti kami menghajar mereka tidak tanggung-tanggung!” dan setelah
berkata begitu, tampak Phang Kui In mendengus beberapa kali dengan penuh
kemarahan.
Pelayan itu jadi tidak berdaya
membujuk ketiga orang tamunya itu.
Terlebih lagi Yo Him juga
telah berkata: „Justru kesempatan ini yang harus kita pergunakan untuk membasmi
manusia-manusia jahat seperti Han Tee-tok dan puteranya itu..... Bukankah
begitu paman Phang dan encie Siang?”
Phang Kui In dan Kwee Siang
telah menganggukkan kepalanya. Dan mereka telah perintahkan pelayan untuk
mempersiapkan makanan untuk mereka.
Para pelayan yang tadi telah
menyaksikan kehebatan Yo Him bertiga, jadi sangat menghormat sekali, dan mereka
melayaninya dengan telaten sekali. Mereka mempersiapkan semua makanan dan
minuman untuk ketiga orang tamu tersebut.
Waktu itu Yo Him telah makan
pula menghabiskan satu mangkok nasi. Sedangkan Phang Kui In yang memang gemar
makan itu menghabiskan dua mangkok nasi lagi. Hanya Kwee Siang yang tidak makan
nasi, hanya sekali-kali mencobai makanan yang terdiri dari beberapa rupa
masakan itu.
Pelayan-pelayan rumah makan
itu seperti juga ketakutan dan bercampur kuatir, karena mereka telah mengetahui
siapa itu Han Tee-tok, ayah dari Han Pu Sian.
„Tentu akan ramai nanti…..!”
bisik beberapa orang tamu yang memiliki sedikit keberanian dan tetap berada di
ruangan itu.
„Ya, Han Tee-tok tentu akan
mengirim orang-orangnya, dia bermaksud akan menangkap ketiga orang yang telah
menghinanya, seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu ada orang yang
ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya disebabkan berkelahi dengan anaknya
Tee-tok itu!”
„Benar, kita akan menyaksikan
keramaian.....!” bilang yang lainnya.
Tiba-tiba dari arah luar rumah
makan itu terdengar suara hiruk pikuk, muka para pelayan rumah makan itu telah
berubah pucat, tubuh mereka menggigil.
Begitu juga tamu-tamu yang
masih berada di ruangan itu telah jadi ketakutan. Suara hiruk pikuk itu makin
terdengar jelas dan semakin lama semakin berisik disusul dengan melangkah
masuknya beberapa orang berpakaian tentara yang berseragam.
„Mana yang tadi telah menghina
tuan muda kami?” teriak beberapa orang diantara mereka saling susul.
Dengan berani Yo Him berdiri,
karena Yo Him tidak mau kalau nanti pemilik rumah makan dan pelayannya akan
menjadi korban dari pasukan Han Tee-tok.
„Aku tadi yang menghajar Han
Pu Sian,” menyahut Yo Him dengan suara nyaring.
Pasukan tentara berseragam itu
telah memandang ke arah Yo Him, dengan bengis. Tetapi kemudian sinar mata
mereka memancarkan keheranan, karena mereka tidak bisa percaya, bahwa yang
mengaku telah menghajar Han Pu Sian tidak lain seorang pemuda tanggung yang
mungkin baru berusia diantara limabelas tahun.
„Kau..... kau yang telah
menghina Han siauw-jin kami tegur salah seorang diantara mereka.
Yo Him mengangguk.
„Benar,” dia mengangguk pasti.
„Memang tadi aku yang telah menghina majikan mudamu itu.....! Tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain.”
Muka para pasukan berseragam
itu berobah hebat, mereka memandang bengis, sampai akhirnya yang menjadi
pemimpin mereka itu telah berdiri sambil katanya:
„Baik! Karena engkau telah
mengaku jujur dan berterus terang, engkau kubebaskan dari hukuman dipukuli
rotan! Tetapi kau harus ikut kami menemui Han Tee-tok taijin, untuk mendengar
keputusan Han Tee-tok! Kau kami tangkap.....!”
Yo Him tertawa dingin.
„Apakah kau tidak salah
bicara?” tanya Yo Him tawar.
„Apanya yang salah?”
„Tadi kau ingin menangkap
aku!”
„Benar, engkau kami tangkap
karena engkau telah berani menghina majikan muda kami.....!”
„Aku bukan menghinanya, justru
dia merupakan gentong kosong yang tidak punya guna!” menyahuti Yo Him dengan
mengejek.
Perwira pasukan itu jadi
gusar, dia melangkah mendekati Yo Him.
„Anak muda kurang ajar.
Tahukah kau, bahwa kami bisa merobek mulutmu yang telah berani mengeluarkan
kata-kata yang tidak baik itu?”
Yo Him tidak gentar oleh
ancaman seperti itu, dia tertawa dingin.
„Kukira tidak semudah itu
untuk menangkap aku!” katanya kemudian tawar sekali. „Jika kalian tidak
percaya, silahkan kalian maju dan aku akan melayanimu!”
„Anak muda congkak dan
tekebur!” bentak perwira berseragam itu dengan marah, dia mengangkat tangan
kanannya, untuk mengisyaratkan kepada anak buahnya agar maju menangkap Yo Him.
Tetapi Yo Him tidak menjadi
takut, dia tetap berdiri dengan sikap yang tegak dan bibirnya tersungging
seulas senyuman mengejek.
Waktu dua orang dari pasukan
tentara Tee-tok itu menghampiri dekat dan mengulurkan tangannya untuk
mencengkeram pergelangan tangan pemuda ini telah menggeser sedikit kedudukan
kaki kanannya, dia membuat setengah lingkaran dengan jari tangannya menengadah
sehingga seperti juga ingin menotok pergelangan tangan dari kedua tentara
pasukan Tee-tok itu.
Tentu saja tentara itu jadi
terkejut dan cepat-cepat menarik pulang tangan mereka, dan melompat mundur.
Gerakan yang dilakukan Yo Him tadi merupakan gerakan membela diri, karena jika
kedua orang tentara Tee-tok itu memaksakan diri untuk melancarkan serangan
mereka, berarti mereka juga tidak akan luput dari totokan yang dilancarkan Yo
Him.
Kedua tentara Tee-tok itu
masih menguatirkan keselamatan mereka sendiri, itulah sebabnya mereka
membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan dan telah menarik pulang
tangan mereka masing-masing.
Tetapi Yo Him mana mau
melepaskan mereka begitu saja, secepat kilat kedua tangannya telah bekerja,
tangan yang kiri telah melayang ke arah dada dari salah seorang lawannya dan
mencengkeramnya dengan kuat dan keras, sedangkan tangan yang satunya lagi
bergerak menghantam dada lawannya yang lain.
„Dukkk!” terdengar suara tinju
Yo Him singgah di dada korbannya, dan orang itu mengeluarkan suara jeritan
keras, tubuhnya terapung, kemudian terbanting di lantai tidak bergerak lagi
sebab jatuh pingsan.
Sedangkan lawan Yo Him yang
seorang lagi, yang kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Yo Him. Tampaknya
benar-benar menderita kesakitan dan ketakutan, kesakitan karena kulit dadanya
kena dicengkeram oleh Yo Him. Sedangkan ketakutan karena dia kuatir dirinya
akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami kawannya.
Yo Him melakukan segalanya
tanpa membuang waktu, hanya dalam beberapa detik itu, selesai menghantam rubuh
lawannya yang seorang, tenaga dalamnya segera disalurkan ke dada lawannya yang
sedang dicengkeram, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke lantai.....
„Bukkk!” tubuh orang itu telah
kena terbanting keras sekali, dan dia mengeluarkan suara jeritan yang sangat
menyayatkan hati.
Sedangkan Yo Him telah mengibaskan
bajunya beberapa kali dengan sikap yang angkuh. Sehingga membuat perwira
pemimpin rombongan tentara Tee-tok itu tambah mendongkol.
„Maju, tangkap dia!” kata
pemimpin perwira itu.
Sisa tentara Tee-tok yang
berjumlah belasan orang itu telah mengiyakan dan mereka mengurung Yo Him dengan
di tangan masing-masing telah tercekal sebatang golok.
Tetapi para tentara Tee-tok
itu tidak berani berbuat sembarangan, karena tadi mereka telah menyaksikan
betapa dua orang rekan mereka telah berhasil dirubuhkan Yo Him dengan mudah,
hanya dengan satu gebrakan saja kedua orang Tee-tok itu jatuh pingsan. Maka
tentara-tentara Tee-tok yang lainnya ini tidak mau mengalami nasib seperti
kedua kawannya.
Yo Him tidak takut walaupun
dia dikurung di tengah-tengah ancaman para tentara Tee-tok itu.
Perwira yang menjadi pemimpin
dari pasukan Tee-tok telah mengeluarkan teriakan-teriakan menganjurkan anak
buahnya segera mulai melancarkan serangan. Karena teriakan-teriakan dari
perintah perwira atasannya, walaupun hati masing-masing merasa takut menghadapi
Yo Him, tokh pasukan tentara Tee-tok itu telah menyerbu serentak. Golok mereka
berkelebat-kelebat menyilaukan mata disamping mengerikan sekali.
Tetapi belum lagi Yo Him
mengelakkan diri atau membalas menyerang, bersamaan waktunya dengan itu tiga
orang tentara Tee-tok telah terpental keras dan terbanting di lantai sambil
mengeluarkan suara jeritan, karena mereka telah kena dibuat terpental oleh
tendangan kaki Phang Kui In.
Begitu pula Kwee Siang telah
melompat dan memutar pedangnya melancarkan serangan kepada tentara Tee-tok itu.
Setiap sinar putih dari pedangnya itu menyambar, maka di saat itu pula tampak
seorang tentara Tee-tok rubuh terguling di lantai, binasa dan ada juga yang
hanya terluka berat dengan paha yang terpotong atau tangan yang buntung. Dalam
sekejap mata saja terdengar suara jeritan-jeritan kesakitan yang ramai sekali.
Perwira yang menjadi pemimpin
pasukan tersebut jadi terkejut dan ketakutan. Bukannya dia ikut menerjang maju
guna membantui anak buahnya, justru dia telah memutar tubuhnya dengan maksud
ingin mengambil langkah seribu.
Waktu itu Kwee Siang bertindak
cepat sekali, dia telah mengeluarkan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya telah
melompat melambung ke tengah udara menyusul perwira yang menjadi pemimpin
pasukan itu. Dan mata pedangnya telah menempel di tengkuk perwira yang menjadi
pemimpin pasukan tentara Tee-tok itu.
„Jika kau berusaha melarikan
diri, pedangku tidak akan kenal kasihan dan akan menusuk masuk dagingmu!” ancam
Kwee Siang dengan suara sungguh-sungguh.
Perwira itu ketakutan bukan
main, tetapi dia berusaha untuk menyembunyikan perasaan takutnya dan telah
membalikkan tubuhnya menatap tajam pada Kwee Siang, sambil bentaknya dengan
suara bengis:
„Apakah kau seorang wanita
berani menghina hamba negeri! Apakah engkau tidak takut akan dihukum pancung
dengan perbuatanmu ini?”
„Menghinamu? Hemm, justru
engkau sendiri yang telah mengajak anak buahmu untuk mengacau di tempat ini!
Hemm, jika dalam urusan ini engkau masih berusaha membela diri, baik, baik!
Cabutlah pedangmu. Mari kita bertempur untuk menentukan siapa yang kalan dan
siapa yang menang!”
Dingin sekali suara Kwee
Siang, dan telah berkata-kata dengan wajah tidak memperlihatkan perasaan
apa-apa. Hati perwira itu jadi ciut sendirinya, tetapi dalam keadaan terjepit
seperti itu telah membuat dia terpaksa mencabut keluar goloknya yang sejak tadi
tergantung di pinggangnya.
„Bagus! Aku memberikan
kesempatan padamu untuk melancarkan serangan terlebih dulu!” kata Kwee Siang.
„Nah mulailah!”
„Tunggu, encie Siang. Biar aku
yang menghadapinya,” Yo Him meloncat ke depan Kwee Siang.
Ditantang dan didesak terus
menerus dengan cara seperti itu, perwira yang menjadi pimpinan pasukan Tee-tok
itu telah menggerakkan goloknya, dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat
bengis, tahu-tahu goloknya telah bergerak dengan mempergunakan jurus-jurus ilmu
golok perguruan Cin-su-pay, sebuah perguruan yang cukup punya nama di daerah
barat daratan Tiong-goan.
Golok itu menyambar dengan
menimbulkan suara kesiutan yang sangat kuat dan keras sekali, menyambar ke arah
Yo Him dengan gerakan yang aneh sekali, seperti juga menikam, seperti juga
menabas, sehingga sulit diterka arah sasaran mana yang dipilihnya.
„Hmmm! Rupanya dia ahli ilmu
to-hoat (ilmu silat golok) yang memiliki kepandaian cukup lumayan,” pikir Yo
Him di dalam hatinya, tetapi dia tidak menjadi takut karenanya!
Waktu golok itu menyambar
dengan cepat sekali ke arah dadanya, tampak Yo Him telah menggerakkan tangan
kirinya, tahu-tahu dia telah menjepit golok lawan, kemudian sekali menghentak,
patahlah golok itu menjadi tiga potongan yang dua potongan jatuh menimbulkan
suara berisik di lantai. Sedangkan tangan kanan Yo Him juga tidak tinggal diam,
dia telah memukulkan kepalannya tangan kanannya ke arah dada perwira tentara
Tee-tok itu.
„Bukk!” jitu sekali serangan
itu mengenai sasarannya sehingga perwira itu merasakan dadanya seperti juga
akan melesak hancur.
Dalam keadaan demikianlah,
dengan adanya peristiwa seperti itu, walaupun si perwira itu bermaksud mengelakkan
diri dan menyelamatkan jiwanya, sudah tidak bisa sebab begitu kepalan tangan Yo
Him menghantam segera tubuhnya terpental keras dan ambruk di atas lantai dengan
mengeluarkan suara gedebugan yang keras, jiwanya juga telah melayang, tubuhnya
hanya sempat berkelejetan beberapa kali, kemudian diam untuk selama-lamanya.
Waktu itu Yo Him dan Kwee
Siang tengah sibuk melayani tentara Tee-tok yang berjumlah cukup banyak itu
kembali Yo Him telah berhasil merubuhkan dua orang lagi. Sedangkan pedang Kwee
Siang juga telah berhasil melukai tiga orang tentara Tee-tok itu. Sisanya yang
kurang lebih hanya tinggal enam orang, jadi ketakutan. Juga diwaktu itu mereka
melihat pemimpin mereka telah terpental dan binasa di tangan Yo Him.
Phang Kui In sendiri dengan
mengeluarkan suara seruan yang sangat nyaring telah mengibaskan golok dan
tangan kirinya berulang kali, dalam sekejap mata saja keenam tentara Tee-tok
itu telah dapat dihabiskan semuanya, yang menggeletak merintih kesakitan.
„Apakah kalian tidak ingin
cepat-cepat angkat kaki?” bentak Phang Kui In kepada tentara Tee-tok yang hanya
terluka dan tengah merintih kesakitan.
Yo Him menghampiri dua orang
tentara Tee-tok yang tengah berjongkok kesakitan karena paha mereka kena
tertabas goloknya Phang Kui In.
„Kalian ingin mati seperti
pemimpin kalian?” tanyanya dengan suara yang bengis. Kedua orang tentara itu
tentu saja jadi ketakutan mereka menangis sesambatan meminta ampun.
„Hemmm, kalian ingin diampuni
oleh kawan-kawanku..... tetapi ingat, jika dilain saat kalau masih melakukan
perbuatan yang sewenang-wenang tentu aku tidak akan berlaku setengah hati dan
akan membinasakan kalian tanpa mengenal kasihan lagi! Nah, sekarang pergilah,
bawa pula itu mayat kawan-kawanmu!”
Kedua orang tentara Tee-tok
itu berulangkali telah menyatakan terima kasihnya sambil berlutut
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Phang Kui In dan Kwee Siang
jadi berterima kasih, sekali, karena mereka telah tertolong justru dengan
adanya Yo Him. Coba kalau mereka berdua saja, Kwee Siang dan Phang Kui In tentunya
tidak akan semudah itu memperoleh kemenangan, karena tentara Tee-tok itu
umumnya memiliki kepandaian yang tinggi dan terlatih.
„Him-jie, hebat sekali
kepandaianmu itu. Tidak sia-sia engkau belajar pada Lie Bun Hap locianpwe!”
„Benar adik Him, engkau hebat
sekali, aku yang telah melatih diri puluhan tahun, ternyata tidak bisa melebihi
kepandaianmu yang hanya berlatih selama dua tahun itu! Benar-benar kau hebat
sekali.....!”
Yo Him cepat-cepat
mengeluarkan kata-kata merendah, dia juga merasa malu.
Para tentara Tee-tok yang
terluka dan tengah membereskan mayat-mayat kawan mereka mendengar percakapan
Kwee Siang bertiga. Mereka jadi berpikir: „Entah siapa pemuda tampan ini yang
memiliki kepandaian demikian tinggi walaupun usianya masih demikian muda,” pikir
mereka.
Salah seorang dari tentara
Tee-tok telah memberanikan diri mendekati Yo Him, kemudian dia berlutut memberi
hormat sambil bertanya takut-takut.
„Siauw eng-hiong, bolehkan
kami mengetahui namamu yang besar dan gelaranmu yang harum?”
Yo Him jadi kikuk sendirinya.
„Aku bukan eng-hiong, aku juga
tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namaku Yo Him tidak memiliki gelaran
apapun.....” sahut Yo Him akhirnya.
„Siauw eng-hiong she Yo,”
tanya tentara Tee-tok itu.
Yo Him mengangguk.
„Benar, apakah yang dibuat
heran oleh kau?” tanya Yo Him sambil mengawasi tentara itu dengan sorot mata
yang tajam.
„Bukan begitu siauw
eng-hiong..... Justru mendengar siauw eng-hiong she Yo. Maka aku teringat
kepada seorang, seorang pendekar yang paling terkenal dan merupakan super sakti
dalam persilatan, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.”
„Beliau ayahku .....!”
menjelaskan Yo Him.
„Ohh.....!” berseru tentara
itu sambil memperlihatkan sikap terkejut dan girang. „Dulu duapuluh tahun yang
lalu. Semasa dalam peperangan yang hebat dengan tentara Mongolia aku pernah
menerima pertolongan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sehingga aku terhindar dari
injakan kaki kuda!”
„Kau pernah bertemu dengan
ayahku?” tanya Yo Him jadi tertarik mendengar orang menyebut-nyebut perihal
pertemuannya dengan ayahnya.
„Pernah dua kali, kedua
kalinya pertemuan itu terjadi di kota Siang-yang.....!” kata tentara Tee-tok
tersebut. Waktu itu dia telah menghela napas panjang, katanya kemudian: „Dan
sekarang, saya menyesal sekali, karena aku tidak mematuhi petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko agar aku rajin-rajin melatih diri
tiga jurus yang diberikan. Kata Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, jika aku bisa
menguasai benar-benar ketiga jurus itu, di medan pertempuran tentu tidak ada
tentara musuh yang bisa melawan kepandaianku! Sayang sekali aku bodoh, dan
otakku pun tumpul..... aku tidak bisa menangkap benar ketiga jurus itu,
akhirnya membuat aku malas melatih diri, dan sekarang aku telah lupa sama
sekali ketiga jurus itu!”
Setelah berkata begitu,
tentara Tee-tok yang seorang ini telah mengawasi Yo Him dengan sorot mata yang
tajam, lalu sambungnya lagi, „Yo siauw eng-hiong, apakah benar-benar engkau
tidak memiliki gelaran?”
Yo Him mengangguk. „Aku tidak
memiliki kepandaian bagaimana aku bisa mempergunakan gelaran yang hanya bisa
membuat aku congkak dan sombong..... untuk apakah gelaran itu?”
„Maaf dan ampunkan, siauw
eng-hiong jika memang siauw eng-hiong belum memiliki gelaran, apakah tidak ada
baiknya untuk mengenang jasa-jasa ayah siauw-eng-hiong yang pernah berhasil
mengusir musuh dan mempertahankan kota Siang-yang di daerah selatan maka siauw
eng-hiong boleh mengambil setengah gelaran dari ayahmu lalu ditambah setengah
lagi. Bagaimana kalau engkau bergelar Sin-tiauw-thian-lam (rajawali sakti dari
langit selatan) maafkan jika itu kurang baik dan maafkan juga akan
kelancanganku memberikan gelaran.”
„Bagus!” berseru Phang Kui In.
Yo Him jadi heran, dia
memandang kepada paman Phang nya itu.
„Apanya yang bagus paman
Phang?” tanya Yo Him sambil mengawasi terus paman Phang nya ini.
„Gelaranmu itu yang bagus,”
kata Phang Kui In. „Gelaranmu itu yang baik sekali! Untuk selanjutnya engkau
bisa mempergunakan gelaranmu itu, yaitu Sin-tiauw-thian-lam Yo Him! Nah
terimalah ucapanku ini, dimana telah lahir seorang pendekar sakti
Sin-tiauw-thian-lam Yo Him!” Dan setelah berkata begitu tampak Phang Kui In
telah merangkapkan sepasang tanganya untuk memberi hormat kepada Yo Him.
Keruan saja Yo Him jadi gugup
dan kikuk dia cepat-cepat membalas hormat dari Phang Kui In.
Kwee Siang juga telah
memberikan selamat padanya dengan memberi hormat.
Tentara Tee-tok yang seorang
itu yang telah berikan gelaran kepada Yo Him, tampaknya gembira sekali.
„Siapakah namamu!” tanya Phang
Kui In sambil tersenyum pada tentara itu.
,,Siauw-jin she Bian dan
bernama Tung Pah. Nanti jika kalian bertemu dengan Yo Ko Tayhiap, tolong
sampaikan salamku!”
„Terima kasih engkoh Bian!”
Kata Yo Him sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. „Engkau telah
menghadiahkan aku gelaran yang baik, bahkan disetujui oleh paman Phang dan
encie Siang. Aku yakin beradanya engkau dalam pasukan Tee-tok hanyalah terpaksa
saja, karena dalam hal ini engkau tentu hanya menuruti perintah atasan saja,
bukan?“
Bian Tung Pah menganggukkan
kepalanya beberapa kali dia telah membenarkan perkataan Yo Him.
„Dan aku telah memikirkan
untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai alat negara, karena terkadang
aku menerima perintah untuk melakukan pekerjaan yang tidak menurut isi
hatiku..... Maka dari itu, nanti aku minta pensiun saja dan hidup dengan
berdagang kecil-kecilan.”
„Bagus! Itu bagus sekali!”
kata Phang Kui In. „Itulah cara yang terbaik, sehingga engkau tidak perlu
korban perasaan!”
Bian Tung Pah juga menyatakan
terima kasihnya atas perlakuan Yo Him bertiga. Kemudian bersama-sama dengan
kawan-kawannya yang hanya terluka mengangkat mayat-mayat kawan mereka.
Semua tentara Tee-tok yang
masih hidup itu bergidik sendirinya setelah mengetahui bahwa Yo Him adalah
puteranya Yo Ko.
Sedangkan pelayan rumah makan
telah membersihkan darah dan merapihkan bangku kursi dan meja yang telah pada
terbalik itu. Sedangkan noda darah di lantai segera dihapus dengan kain
pembasuh. Dalam sekejap mata saja ruangan rumah makan itu telah rapih lagi.
Sedangkan Yo Him bertiga telah
makan-makan lagi..... Mereka tidak memperdulikan tamu-tamu berdatangan dan
kasak kusuk membicarakan mereka.
Setelah puas makan minum Yo
Him bertiga meninggalkan rumah makan itu.
Banyak orang-orang penduduk
kota itu yang berdatangan ingin melihat rupa dan wajah dari putera Sin-tiauw
Tayhiap, tapi Yo Him bertiga telah melarikan diri dengan cepat sekali
meninggalkan tempat itu. Mereka mempergunakan ginkang yang telah sempurna,
hanya dalam beberapa detik mereka sudah jauh meninggalkan rumah makan dan
penduduk kota tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka tidak ingin dipersulit
dengan berbagai pertanyaan dan sanjung puji dari penduduk kota itu.
◄Y►
Waktu itu, Yo Him telah
berkata kepada Phang Kui In, di saat mana mereka telah berada di luar kota
sebelah timur.
“Phang susiok..... apakah kita
melanjutkan perjalanan kita lagi?” tanyanya.
Phang Kui In mengangguk
membenarkan. Maka mereka telah menghampiri perahu mereka dan telah melompat
naik ke atas perahu tersebut. Perahu itupun berlayarlah meninggalkan tempat itu.
Setelah berlayar selama empat
hari lagi, mereka tiba di pelabuhan kota Mu-sing-kwan. Tetapi mereka hanya
singgah untuk makan dan minum mengisi perut, lalu melanjutkan perjalanan mereka
pula.
„Berlayar lagi sebelas hari
tentu kita akan tiba di kota Su-po-kwan, di kota itu kita bisa meminta
keterangan dari orang-orang yang pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap..... karena
Sin-tiauw Tayhiap pernah berkali-kali datang di kota tersebut!”
Yo Him girang bukan main
mendengar hal itu, dia serasa ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah kandungnya,
bertemu muka. Dan juga Kwee Siang, begitu rindu ingin bertemu dengan pendekar
super sakti tersebut. Benar saja, setelah mereka berlayar sebelas hari, di saat
itu mereka telah tiba di kota su-po-kwan, kota perdagangan yang ramai sekali
dan memiliki penduduk yang padat.
„Kita telah sampai!”
menjelaskan Phang Kui In waktu mereka telah tiba di pelabuhan kota tersebut.
Dengan tidak sabar Yo Him
telah melompat ke dermaga dan berjalan dengan langkah lebar.
„Tunggu dulu Him-jie!” teriak
Phang Kui In yang sedang mengikat perahunya. „Nanti kau tersesat.....!”
Yo Him sudah tidak sabar
sekali. „Cepat sedikit paman Phang.....!” katanya dengan suara tidak sabar.
Kwee Siang yang melihat
kelakuan Yo Him jadi tersenyum, dia pun merasakan hatinya tergoncang keras
sekali.
Waktu itu Phang Kui In telah
selesai mengikat perahunya, tetapi ketika dia ingin menghampiri Yo Him dan Kwee
Siang untuk meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba dari arah ujung dermaga
yang satunya, telah berjalan seseorang dengan langkah kaki yang lebar. Dan
orang itu juga sambil menghampiri telah berteriak-teriak dengan suara yang
sangat nyaring:
„Hei tunggu dulu! Tunggu
dulu!”
Phang Kui In mengerutkan
alisnya, karena dia melihat bahwa orang itu memiliki wajah yang kurang berkesan
baik, tampaknya mata orang itu bersinar tajam dan jahat.
„Ada urusan apakah, Heng-tay
(saudara)?” tanya Phang Kui In berusaha bersikap semanis mungkin, karena dia
menyadari dirinya merupakan pelancongan belaka.
„Kalian memakai perahu? Dan
perahu kalian ini diikatkan di dermaga ini! Kalian harus membayar seratus tail
perak!” kata orang itu setelah datang dekat.
Dan Phang Kui In saat itu juga
telah bisa melihat jelas wajah orang itu yang berpotongan empat persegi dan
matanya memandang tajam menyeramkan. Ukuran kedua matanya itu tampaknya lebih
besar dari mata orang dewasa yang wajar. Kumis, dan jenggotnya yang tumbuh kaku
itu menambah wajahnya semakin tidak enak dilihat, dengan lobang hidung yang
dongak ke atas.
„Apa..... apa kau bilang?”
tanya Phang Kui In tergagap, karena dia terkejut atas permintaan orang itu.
Mana ada uang sewa titip perahu sebesar seratus tail perak seperti yang diminta
orang itu? Sedangkan paling tidak hanya satu atau dua cie saja!
„Aku mengatakan jika kau ingin
menitipkan perahu di dermaga ini. Maka kalian harus menyerahkan uang sewanya
sebesar seratus tail perak? Tidak dengar? Seratus tail perak! Sudah dengar?
Seratus tail perak!”
Mendengar perkataan orang itu
tentu saja Yo Him bertiga jadi tidak menyukai orang ini.
„Hemm, mungkin dia ini seorang
buaya darat yang menguasai daerah ini, sehingga leluasa baginya untuk melakukan
pemerasan-pemerasan terhadap orang yang lemah,” pikir Phang Kui In.
Karena berpikir begitu, sikap
Phang Kui In jadi tenang kembali dan lenyap dari perasaan herannya. Sengaja dia
memperlihatkan senyuman sabar.
„Cukupkah uang sewanya sebesar
seratus tail perak?” tanyanya.
„Jika engkau mau
menambahkannya, itu lebih bagus lagi, tentu perahumu akan kujagakan sebaik
mungkin, agar tidak dirusak orang atau dicuri hilang oleh orang yang banyak
berkeliaran di tempat ini! Ketahuilah di pelabuhan ini banyak sekali
pemeras-pemeras.
Mendengar perkataan orang itu,
Phang Kui In kembali tersenyum.
„Lucu! Lucu sekali!” katanya.
„Apanya yang lucu?” tanya
orang itu tidak mengerti.
„Aku membeli perahu itu hanya
dengan harga seratus sepuluh tail! Tetapi sekarang, ingin menitipkan perahu
itu, harus membayar seharga seratus tail perak! Bukankah itu merupakan suatu
kejadian yang lucu sekali?”
Mendengar perkataan Phang Kui
In, muka orang berewokan itu jadi berobah merah padam, karena dia menyadarinya
bahwa kata-kata Phang Kui In itu hanya ditujukan untuk menyindir dirinya.