Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 16-20

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 16-20 BUNGA-BUNGA merah itu besar sekali, disulam dengan benang emas berwarna merah. Keliling bunga itu adalah sulaman daun hijau, yang diselipi dengan permata.
BUNGA-BUNGA merah itu besar sekali, disulam dengan benang emas berwarna merah. Keliling bunga itu adalah sulaman daun hijau, yang diselipi dengan permata. Tertuju Cahaja obor, 'hong hwa' itu merupakan tanda bintang dari seorang panglima. Melihat itu, kembali riuh rendah gemuruh sorakan dari orang HONG HWA HWE itu yang lalu samai menyura.

Heranlah, pasukan tentara negeri yang semula berbaris dengan rapi itu, tiba-tiba sebagian besar sama maju kemuka. Sekalipun perwira mereka Coba menCegahnya, tapi sia-sia

saja. Rombongan serdadu itu menghampiri Tan Ken Lok. Dengan merangkap kedua tangan mereka sama membong kokkan tubuh. Itulah Cara penghormatan HONG HWA HWE yang biasa dijalankan.

Tan Ken Lok angkat tangan membalas hormat. Setelah menyalankan penghormatan, rombongan serdadu itu balik kembali dalam barisannya. Menyusul dengan itu, barisan yang dibelakang, ganti tampil kemuka untuk menyalankan penghormatan kepada Tan Keh Lok. Demikian sekelompok demi sekelompok sebagian besar pasukan Ceng yang ditempatkan didaerah HangCiu itu, sama bergantian maju untuk mem beri hormat pada ketua HONG HWA HWE.

Demikianlah pengaruh HONG HWA HWE didaerah Kanglam. Banyak-banyak sekali anggauta tentara Ceng yang masuk menjadi ang gauta HONG HWA HWE Terutama dari suku Han-nya.

Melihat bagaimana hampir lebih dari separoh tentaranya sama, memberi hormat pada Tan Keh Lok, bukan main ter kejutnya Kian Liong. Dia insyap, malam itu kembali gagal untuk menangkap orange HONG HWA HWE Maka jengeknya pada Li Khik Siu dengan suara dingin: “Hm,' anak buahmu betul-betul bagus !”
Sebenarnya Khik Siu sendiri juga terkejut tak terhingga, kini didamprat oleh sang junyungan, tersipu-sipudia loncat turun dari kudanya, terus berlutut dihadapan Kian Liong, dan Cepat-cepat katanya: “Hamba yang rendah pantas menerima hukuman !”
“Suruh mereka mundur saja!” bentak Kian Liong ke mudian.
“Baik, hamba segera perintahkan,” sahut Li Khik Siu dengan ketakutan. Begitu dia keluarkan perintah, maka selaksa serdadu itu sama mundur. Juga Thian Hong ber teriak”, menyuruh anggota-anggotaHONG HWA HWE bubaran. Dengan begitu, ber-bondongdualah ribuan manusia meninggalkan tepi telaga yang kesohor itu.
Berkat asuhan dari ayahandanya, kaisar Yong Ceng, maka Kian Liong telah menjadi seorang kaisar yang pandai dalam ilmu surat dan ilmu silat. Dalam sejarah kerajaan Boan, dia terhitung seorang kaisar yang paling terkenal sendiri.
Sangat tinggi ia menyunyung pada leluhurnya yang telah dapat menaklukkan daerah barat, serta merobohkan kera jaan Beng.
Menurut naluri dari kerajaan Boan apabila apa yang disebut „Pat-Ki-Ping,” tentara dari delapan bendera keluarga pe rang, maka anggauta pemimpin pasukan ini yang terdiri dari para Jin-ong (sanak raja), dan pwe-lek (pangeran), se mua tentu berjuang dengan matiduaan. Tak selangkahpun mereka mau mundur. Karena' mundur berarti, seluruh anak buah dan perlengka.pan pasukan itu akan jatuh pada apa yang disebut „Chit-Ki-Ping” atau tentara tujuh Bendera yang lain. Karena itu, setiap saudara dan keluarga raja tentu rata-rata pandai ilmu perang.
Semasa Kian Liong naik tachta, keadaan dalam negeri aman. Tak ada pemberontakan apa-apa. Maka ketika Kian Liong diundang ntuk minum arak oleh Tan Keh Lok, dia teringat akan kisah kegagahan bagindadua yang lalu ketika dimedan pertempuran dipadang Tiang Pek San dahulu. Masa hanya untuk datang ketelaga saja, dia tak berani. Karena itu di terimalah undangan Ketua HONG HWA HWE itu. Tapi tak di-nyanadua dia telah mengalami beberapa kekalahan. Untung dia seorang raja yang berpengalaman, hingga tak sampai terjadi apa-apa yang tak diinginkan.
“Sampai disini kita berpisah, dan sampai berjumpa pula pada lain waktu,” demikian katanya kemudian sambil angkstt tangannya kearah Tan Keh Lok.
Dengan dilindungi oleh pasukan pengawal dan gi-lim-kun, Kian Liong tinggalkan tempat itu.
Keh Lok tertawa puas. Setelah itu ia ajak sekalian sau daranya kembali kedalam perahunya dan lanyutkan minum dengan gembira.
Orang-orang gagah yang tergabung dalam HONG HWA HWE itu telah dapat mempeCundangi kawanan si-wi, dan dalam babak ter achir, berkat renCana Thian Hong, maka baginda pun urung mengeluarkan perintah untuk menangkap. Malam itu, betul-betul mereka rajakan kegembiraannya dengan minum se-puasduanya.
Meskipun Sim Hi menderita Juka berat, tapi tak sampai teranCam jiwanya. Dia masih berbaring didalam ruang perahu. Tak putus-putusnya dia menggerang, dan kadanga me maki-maki pada Pui Liong Cun.
„Ma-toako,1'' kata Thian Hong kemudian kepada Ma Sian Kun. „Baginda hari ini betul-betul penasaran. Dia tentu takkan sudah sampai disini saja. Harap kau peringatkan pada saudara-saudara kita di HangCiu, supaya lebih waspada. Terutama saudara kita yang tergabung dalam anggauta pasukan negeri. Jangan sampai mereka teraniaya. Apabila mereka kerahkan pasukan besar, sebaiknya kita mundur ketelaga Thay-ouw saja.”
Ma Sian Kun meng-angguk-anggukkan kepala. Setelah minum lagi seCawan, dia lalu ajak puteranya pulang.
Saat itu keadaan Keh Lok sudah delapan bagian mabuk. Ketika dia dongakkan kepalanya, tampak rembulan sudah Condong kebarat. Daundua terate dan puhun liu sama berteba ran jatuh kedalam telaga. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu bertanya pada Thian Hong: „Tanggal berapakah sekarang? Karena sibuk, sampai tanggalpun kulupa.”
„Hari ini tanggal 1tujuh, bukankah kemaren lusa kita meraja kan malam Tiong Chiu?” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok termenung sejenak. Habis itu ia berkata pula: „Ciu loenghiong, Totiang, dan saudara-saudara sekalian. Kita sibuk semalam tadi, tapi tidak sampai kehilangan muka. sTentang Bun suko pun telah ada beritanya. Sekarang harap sama beristirahat. Besok aku punya urusan peribadi yang perlu kuselesaikan. Lusa kita mulai turun tangan untuk me nolong Bun suko.”
„Congthocu, perlukah seorang saudara untuk menemani mu?” tanya Thian Hong.
„Tak usahlah, urusan ini kulihat tak berbahaja. Biarkan aku berada disini seorang diri, untuk memikirkan renCana ku itu,” kata Keh Lok.
Setelah menepi, orang-orang itu sama minta diri. Seng Hiap Jun Hwa, Ciang Cin, Cio Su Kin dan lain-lain. sudah setengah mabuk. Disepanyang jalanan HangCiu mereka me-nyanyidua dengan nyaringnya. Giok-ju-ih pun diantar orang pulang.
Habis itu, Tan Keh Lok menuju kesebuah perahu kecil, terus didajungnya pelans. Sampai ditengah telaga, perahu ia
berhentikan dan tibas ia menangis dengan sedih sekali. Kira nya, tanggal 1delapan bulan delapan, adalah hari lahir ibunya. Sepuluh tahun berpisah, waktu pulang ternyata sang ibu sudah me nutup mata. Dia terkenang dan berduka sekali, dan menangis ter-sedus seperti anak kecil. Sebenarnya waktu Thian Hong memberi tahukan tentang tanggal tadi, dia sudah akan menangis, tapi dapat menahannya. Sebagai seorang pemimpin, tak seharusnya ia unyukkan kelemahan begitu.
Tengah ia ter-isakdua itu, tibaa disebelah sana terdengar suara orang ketawa. Dengan terkejut lalu Ken Lok ber paling, dan tampak sebuah perahu menghampiri. Dibawah Cahaja bulan, orang yang berdiri didalam perahu itu menge nakan pakaian kelabu muda.
„Tan kongcu apakah sedang menikmati remlsalan seorang diri?” sapa orang itu segera sesudah dekat.
Jelas bagi Keh Lok bahwa orang itu bukan lain adalah muridnya Liok Hwi Ching, ialah 'pemuda' yang berdiri di belakang Kian Liong tadi. Buru-buru Keh Lok menyeka air mata dan membalas hormat, katanya: „Li-toako? Ada urusan apakah denganku?”
Sekali loncat, Wan Ci sudah berada diperahu Tan Keh Lok. Dia tertawa. „Bukankah kau hendak mengetahui tentang berita, si Kim-tiok-siuCay ?” katanya kemudian.
Tan Keh Lok melengak. Tapi segera menyawab: “Harap Li-toako duduk untuk ber-Cakapdua.”
Wan Ci tertawa dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan ketua. HONG HWA HWE itu.
“Apakah Li-toako berjumpah dengan Ie-hengte, dimana kah dia?” tanya Keh Lok.
„Sudah tentu aku tahu, namun tak mau kuberitahukan padamu,” sahut Wan Ci.
Mendengar jawaban aneh itu, kembali Keh Lok melengak. MaCam omongan seorang anak perempuan Centil saja orang ini. Sampai disitu, teringatlah Keh Lok, akan Carahja 'pemuda' ini tempo hari menyikap pundak Hwe Ceng Tong. Entah bagaimana, tibas timbul semaCam perasaan bsnCinya pada anak muda, ini.
Wan Ci tak hiraukan perubahan muka orang. Dia tetap mainkan tangannya kedalam air, lalu diCipratkan keatas. Ketika mendongak keatas, tampak bagaimana mata ketua HONG HWA HWE itu masih merah tanda habis menangis, heranlah ia. „He, apa kau habis menangis ? Tadi aku mendengar suara tangisan orang, kiranya kaulah,” tanyanya.
Keh Lok menjadi malu, dan melengos.
„Apakah kau terkenang akan Bun suko dan Ie sipsutemu itu? Jangan bersedih, biarlah aku kasih tahu. Mereka ber dua tak apa-apa,” kata Wan Ci seperti niembujuk anak kecil.
Sebenarnya Keh Lok hendak menanya lebih jauh, tapi dirinya dihibur seperti anak kecil itu, dia kurang senang. Pikirnya: „Huh, sekalipun kau tak memberitahu, akupun dapat menCarinya sendiri,”, karena itu, dia diam tak mau menyahut.
“Bagaimana suhuku? Apakah dia juga datang ke HangCiu sini?” tanya Wan Ci pula.
„Apa? Liok-locianpwe tidak bersama kau?” tei'paksa Keh Lok mengajak bicara.
„Betul, sejak malam pertempuran 'dimuara Hoangho itu dia tak kelihatan lagi,” sahut Wan Ci.
„Liok-locianpwe seorang yang luar biasa kepandaiannya tentu tak akan ada apa-apa, kau tak perlu kuatir,” ujar Keh Lok.
„Pengaruh HONG HWA HWE kalian sedemikian besar, kenapakah kau tidak menCarinya?” tanya Wan Ci.
Mendengar ucapan orang yang kurang adat itu, Keh Lok makin mendongkol. Tapi sebagai seorang terpelajar, dia dapat mengendalikan diri, katanya: „Ucapan Li-toako itu benar, besok kukirim orang untuk menyelidiki.”
“Kudengar Ie-suko berkata, ilmu silatmu lihai sekali. Aku tak percaya! Dia berkata lagi, kau pantas menjadi suhuku, huh, apa kau nempil dengan suhuku?” tanya si Centil itu dengan sengit.
Heran Keh Lok dengar perkataan orang yang begitu aneh itu. Dia tersenyum dan menyawab: “Liok locianpwe adalah orang yang sukar diCari bandingannya didunia persilatan. Aku menjadi muridnya saja, belum tentu dia mau mene rima. Dia menerima murid, tentu memilih yang berbakat dan Cerdas.”
„Ai, ai, tak perlu kau pujidua dihadapan orangnya,” kata Wan Ci dengan tertawa. „Tadi aku telah saksikan kau me nimpukan Cawan arak, ternyata lwekang-mu bagus luar biasa. Tetapi sekalipun orangs Hong Hwa Hwe kalian itu begitu menghormat dan tunduk padamu melebihi terhadap kakek-moyang mereka, namun aku justru agak kurang terima.”
„Hm, untuk menundukkan orang toh tidak harus mengan dalkan ilmu silat melulu, hal ini kau tak paham, akupun sungkan menyelaskan padamu,” demikian diam.dua Keh Lok menyengek dalam hati. Tapi bila dilihatnya kelakuan Wan Ci yang ke-kanakduaan serta nakal, tanpa merasa ia men dongkol dan geli juga, maka kemudianpun katanya: “Sudah lah, hari hampir pagi, aku mau menepi saja, nah, sampai ketemu !”
Habis berkata, Keh Lok angkat dajungnya untuk menunggu orang kembali keperahu sendiridua.
Akan tetapi Wan Ci justru menjadi kurang senang. Katanya tiba”: „Huh, meski semua orang lain begitu tunduk padamu, juga tak perlu kau begini Congkak padaku !”
Mendengar oloks ini, seketika Keh Lok naik darah, segera juga pikirnya hendak memberi hajaran setimpal pada orang. Tapi bila ia pikir lagi, dirinya adalah pemimpin dari orangs gagah dan kepala dari ksatrias Hong Hwa Hwe, se jogianya tidak boleh sedikits lantas marah, pula boCah she Li ini usianya lebih muda dari dirinya, kinipun tiada orang ketiga yang menyaksikan, kalau sampai terjadi CeCok, tentu orang akan bilang tua menghina muda, hal ini bila tersiar sesungguhnya kurang berharga.
Karena itulah sedapat mungkin ia menahan rasa gusarnya dan angkat gajuhnya hendak medajung.
Sebaliknya Wan Ci juga seorang anak yang sejak kecil sudah di-sanyungdua dan dimanyakan orang tua, semakin Keh Lok tak menggubris padanya, semakin ia merasa kurang senang, sesaat itu ia masih menyublek dihaluan perahu itu takmau pergi.
Setelah perahu itu Keh Lok dajung sampai di „Sam-tam-in-gwat,” suatu tempat terindah ditelaga Se-ouw itu, tiba-tiba Wan Ci tertawa dingin terus berkata lagi: “Hm, tak perlu kau berlagak, jika kau bjenardua bandel, kenapa seorang diri kau menangis umpetaan disini tadi?”
Tapi masih Keh Lok tak menggubrisnya.
„He, aku berbicara padamu, apakah.kau tidak dengar?” desak Wan Ci.
Alangkah mendongkolnya Keh Lok oleh sikap boCah yang tak kenal adat itu, saking mendongkolnya ia menarik napas sembari melirik orang, pikirnya dalam hati: „Kau boCah ini benardua tidak kenal selatan, gurumu saja harus sungkandua padaku, tapi kau ternyata berani begini kurang ajar.”
Melihat orang masih tak menggubrisnya, masih Wan Ci berkata lagi dengan dingin: “Orang bermaksud baik datang memberitahukan sesuatu kabar padamu, tapi kau justru tak menggubris orang. Hm, tanpa bantuanku, lihat saja kau mampu menolong keluar Bun-suko kalian?”
Alis Keh Lok terkerut mendengar itu. “Ha, hanya sedikit kepandaianmu ini kau mampu berbuat apa?” katanya.
“Eh, kau pandang rendah padaku, ja? Baiklah, mari, biar kita men-jajaldua dulu,” semprot Wan Ci sengit. Dan ketika tangannya diangkat, Cepat-cepat sebilah pedang sudah dilolosnya dari pinggang.
Sebenarnya karena mengingat Liok Hwi Ching, Keh Lok selalu bersikap mengalah. Tapi tatkala orang melolos pedang, iapun tergerak hatinya. Tadi anak itu berdiri dibelakang Kian Liong, begitu rapat hubungannya dengan Ciangkun (Li Khik Siu) tentara HangCiu, apakah tidak mungkin kalau dia itu orang fihak sana? Dan dia sendiri merasa aneh juga, entah karena apa, terhadap orang dia merasa benCi. Kalau melihat wajah yang begitu Cakap, betul-betul dia tak mengerti siapakah dia itu sebetulnya.
“Tadi kau berdiri dibelakang baginda, apa pura-pura menakluk, atau memangnya kau ini hamba kerajaan?” tanyanya segera.
„Salah semua!” sahut Wan Ci dengan singkat.
„Adakah diantara kaki tangan kerajaan itu keluargamu?” tanya Keh Lok pula.
Mendengar ayahnya dikatakan „kaki tangan,” murkalah Wan Ci. Tanpa menyawab dia maju menyabet, seraja memaki: „Mulutmu betul-betul kotor !”
Karena orang berbalik menyerang, Keh Lok mendapat kesan bahwa dia kini berhadapan dengan kakitangan kerajaan. Dia tak mau berlaku sungkans lagi. Maka bentaknya segera: „Baik, biar kuCari suhumu untuk membuat perhi tungan.”
Dengan itu, ia mengelit tusukan orang. Wan Ci keluarkan ilmu pedang “jwan-hun-kiam” yang baru dipelajari dari suhunya. Begitu Lok berbangkit, ia luruskan pedang
kemuka untuk menusuk dadanya. Tapi Keh Lok tetap tenanga saja. Begitu ujung pedang mendekati dada, tiba-tiba dia empos semangat dan menarik dadanya kebelakang sedikit.
Tadi Wan Ci telah kerahkan tenaganya untuk menyerang. Kalau sampai orang dapat menghindarinya dengan Cara itu, insyaplah dia bahwa orang itu sungguh-sungguh lihai. Karena kuatir orang akan balas menyerang, ia enyot kakinya untuk loncat ke sebuah tumpukan batu di “pulau” Sam-tam-in-gwat di tengahs telaga itu. Melihat Caranya orang meloncat keatas batu karang yang sedemikian jauh dan tinggi lagi liCin itu, tahulah Keh Lok bahwa anak itu kepandaiannya juga tak terCelah. Diam-diam ia tak berani memandang rendah.
Sebenarnya ia akan gunakan tangan kosong untuk melajani. Tapi ketika anak itu keluarkan ilmu pedang dari Bu Tong Pai, ia teringat ketika bertempur dengan Thio Ciauw Cong. Kenyataan telah membuktikan, bahwa ilmu pedang Bu. Tong Pai itu tak boleh dibuat permainan. Karenanya, diapun menyamber dahan puhun liu yang menyulur kebawah, untuk dipakai mengajun kesebuah tumpukan batu karang lain. Begitu dia berdiri tegak, tangannya sudah memegang sebatang dahan liu.
Melihat Caranya orang menyawut dahan puhun, terkejut lah Wan Ci. Tapi ia pantang mundur dan masih terus ngotot, untuk menyerang lagi. Ia loncat keatas batu dimana Tan Keh Lok berdiri, sambil menusuk pundaknya.
“Sam-tam-in-gwat” adalah salah satu dari tiga buah “pulau” batu ditengah telaga Se-ouw. “Pulau” itu terapunga diper mukaan air. Pada saat itu, Tan Keh Lok hanya miringkan
tubuhnya sedikit, terus menyodokkan dahan liu itu kepung gung penyerangnya. Luput menusuk, kaki Wan Ci di-enyot kan kelain batu, Dari situ dengan gerak “giok-tay-wi-yao” atau sabuk putih melilit pinggang ia putar pokiamnya untuk menyerang lagi. Dia percaya kali ini, orang tentu akan ter desak dari tempatnya.
Tapi Keh Lok tetap tak mundur. Begitu ujung pedang sinona menyambar, ia loncat tinggis keatas terus poksay (kepala menyungkir) kebawah, jadi dahan liu pun men julur kebawah. Wan Ci Buru-buru menabas, tapi dahan liu itu seCepat-cepat nya bergerak menurut batang pedang, terus me nyabet kemukanya. Sakitnya sampai terasa panas dipipinya, tanpa berajal, nona itu loncat kesebuah batu disebelah kiri.
Siapa tahu berbareng kakinya menginyak kebatu, Tan Keh Lok pun sudah menyusul berdiri tegak dengan gerakan yang rapi sekali. Wan Ci marah betuR Begitu pedang di pindah ketangan kiri, dia Cepat-cepat sudah mengambil serangkum jarum 'hu-yong-Ciam', terus disambitkan beruntun-runtun keatas, tengah dan bawah, dia arah semua.
Karena berdiri diatas sebuah batu, maka Keh Lok tak punya kesempatan untuk berkelit. Maka ia menyulurkan kedua kakinya keluar, sehingga sikapnya seperti orang rebah diatas air, tangannya kiri yang lurus dijulurkan untuk me nempel pada batu. Maka jarum timpukan itu melayang disela tangannya terus jatuh ditelaga. Setelah itu, dengan gunakan khi-kang, dia melambung keatas. Sedikitpun badan nya tak menempel air.
Sampai disini, insyaplah Wan Ci bahwa musuh jauh lebih kuat darinya dan dengan gunakan akal ia berseru: „Ha, sampai disini saja, lain kail kjta bertemu lagi !”
Dengan ucapan itu sinona akan merat.
“Kau telah menyerang tiga kali, karena memandang muka suhumu, aku hanya membalas 1 kali saja, nah terimalah!” bentak Keh Lok tiba-tiba .
Berbareng mengucap, dahan liu digentak kemuka. Karena sudah pernah merasakan tamparan tadi, Wan Ci tak mau menerima kedua kalinya. Pedang lurus dibaCokkan kemuka untuk memotong dahan. Tapi dahan itu bagaikan bermata, pedang tiba, diapun ikut bergerak untuk menCongkel. Suatu tenaga kuat dirasakan Wan Ci merabetot pedangnya. Berbareng itu tangan kiri orang telah menyodok juga kedadanya.
Betapa kaget dan malu Wan Ci tak terkira. Pedang agak dikendorkan, lalu tangannya kiri dipakai untuk menyambut tangan “jail” orang. Dari situ, ia loncat kebatu yang ter letak disebelah kanan.
Karena memikiri menangkis itu, pedangnya telah terCong kel keudara dan pada lain saat sudah berada ditangan lawannya.
„Huh, maCam itukah seorang Chongthocu, masa gunakan jurus yang begitu rendah!” Wan Ci menyemprot.
Tan Keh Lok melengak. „NgaCo, jurus mana yang kau katakan rendah itu?” sahutnya bingung.
Wan Ci terhening malu. Ia pikir lawan tentu tak menge tahui bahwa dirinya itu seorang nona yang menyaru lelaki, jadi jurus tadi tak sengaja untuk melakukan perbuatandua yang kurangajar. Dia jengah sendirinya, terus loncat ke dalam sebuah thing (pagoda kecil) yang berada di 'Sam-tam-in-gwat' itu.
Melihat gerakan orang, tahulah Keh Lok akan maksudnya. Cepat-cepat ia enyot kaki dan tegak berdiri dihadapan sinona. Dengan wajah tenang dia angsurkan pedang yang dirampas nya tadi. Tanpa berkata apa-apa, tangan Wan Ci menyambuti nya untuk dimasukkan kedalam sarung, terus tundukkan ke pala berlalu.
Setelah „bertempur” hampir setengah malam, haripun sudah menyelang terang. Keh Lok simpan sulaman 'hong-hwa' yang didadanya itu, lalu menuju kepintu timur. Pintu kota sudah terbuka. Serdadu yang menyaga pintu menga 4} wasi Tan Keh Lok dengan tajam, tiba-tiba tangannya ditekuk kedada, lalu membongkok memberi hormat. Kiranya dia adalah salah seorang anggauta HONG HWA HWE Keh Lok anggukkan kepala, lantas berjalan keluar.
“Congthocu akan keluar kota, apakah perlu seekor kuda?” tanya penyaga itu tiba-tiba .
„Baikkah”, sahut Keh Lok.
Serdadu itu berlalu, dan sebentar lagi dia kembali dengan seekor kuda. Dibelakangnya mengikut dua orang hamba, juga anggauta HONG HWA HWE Mereka merasa girang dapat mem berikan jasa untuk Congthocunya.
Kira-kira dua jam, Tan Keh Lok sudah sampai dipintu barat kota Hay Ling. Hampir sepuluh tahun, baru kali ini dia pulang kerumahnya. Baginya, segala apa tampak tak berobah. Tem bok kota dimana semasa kecil dia sering bermain-main , masih tetap sama.
Takut orang mengenalnya, dia keprak kudanya untuk me nuju keutara. Sekira 5 li, ia mengasoh dirumah seorang petani. Sehabis makan siang, ia beristirahat. Karena sema lam bergadang, maka tidurnya tampak pulas sekali.
Nyonya rumah melihat tetamunya itu seperti seorang kongcu, dan berbicara dalam lidah daerahnya situ, mela janinya dengan gembira. Malamnya menyembelih ajam untuk dihidangkan. Atas pertanyaan Keh Lok mengenai keadaan didaerah itu, petani itu menerangkan : „Entah karena apa, baginda telah membebaskan pajak penduduk Hay Ling ini selama tiga tahun. Mungkin karena memandang diri Tan koklo”.
Ayah Keh Lok, Tan Siang Kok, sudah meninggal beberapa tahun lamanya. Dia heran, mengapa pihak kerajaan tiba-tiba menghadiahkan kebaikan begitu besar. Habis dahar, dia berikan sepuluh tail perak pada tuan rumah, lalu minta diri.
Lebih dulu dia menuju kepintu selatan. Disitu dia duduk ditepi laut, memandang lautan. Teringat dia semasa kecil nya mamahnya telah mengajaknya kesitu untuk melihat Laut. Lagi-lagi dia mengembeng air mata. Selama sepuluh tahun berada di daerah Hwe, apa yang dilihatnya setiap hari, hanya lah padang pasir. Kini disuguhi pemandangan laut nan biru indah itu, dia merasa nyaman.
Tak lama kemudian, ombak dilautan tampak samardua dengan datangnya petang hari. Dia tambatkan kudanya pada sebatang puhun liu disitu, lalu dengan gunakan ilmu berlari Cepat-cepat , dia menuju kerumahnya yang terletak disebelah timur-laut.
Sampai dirumahnya, ia kesima. Disamping gedungnya yang lama, kini ada pula sebuah gedung baru. Diantara sinar rem bulan, tampaklah loteng gedung itu megah dan indah sekali. Papan yang tergantung dimuka gedung itu bertulisan: „An Lan Wan,” ditulis oleh tangan Kian Liong sendiri.
Keh Lok kembali merasa heran. Dia loncat masuk ke dalam gedungnya yang lama, langsung menuju kekamar mamahnya. Dengan ber-indapdua dia naik keloteng, lalu me longok kedalam. Ternyata kamar itu kosong, hanya perhiasan nya masih tetap terawat seperti dikala mamahnya masih hidup. Perabotannya yang terbuat dari kaju merah, tempat tidur, lemari, masih tetap berada ditempat seperti sepuluh tahun yang lalu. Dimeja ada sebuah lilin menyala.
Tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Buru-buru Keh Lok bersembunyi kesebuah sudut. Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita tua, Tampak perawakan orang, tak tertahan lagi Keh Lok ingin menegurnya. Kiranya wanita itu adalah pelajan tua Swi Ing. Dialah yang mengasuh Tan Keh Lok sampai umur 15 tahun. Salah seorang inang pengasuh nya yang paling dikasihinya.
Swi Ing yang sudah berusia lanyut itu, terus masuk kedalam kamar. Setelah membersihkan semua perabotdua disitu, ia duduk disebuah kursi dan termenungdua. Dari bawah bantal diatas pembaringan itu, diambilnya sebuah kopiah anak kecil. Kopiah itu bersulamkan kembang merah, diatasnya disunting kan sebuah giok warna hijau dikitari oleh 5 biji mutiara. Itulah kopiah Tan Keh Lok dimasa kecil.
Melihat semua hal itu, tak tahan lagi perasaan Keh Lok. Sekali melangkah dia „menyerbu” maju untuk merangkul mak inang pengasuhnya itu.
Swi Ing kaget bukan kepalang, hingga akan berteriak. Tapi Keh Lok keburu mendekap mulutnya, katanya dengan berbisik: „Jangan menyerit, akulah.”
Mengawasl muka anak muda itu, budyang tua itu heran sampai tak dapat berkata apa-apa. Kiranya setelah meninggal kan rumah selama sepuluh tahun itu, wajab, Keh Lok berobah sama sekali. Sedang sibudyang masih tetap sama, sekalipun hanya kelihatan agak tua. Maka yang satu mengenal, yang lain tidak.

“Swi-kho, akulah Sam Koan (nama kecil Keh Lok), apa kau tak mengenalnya?”
Baru saat itu dapat Swi Ing tenangkan hati, katanya : „0, kau......... kau ini Sam Koan. Kau betul......... pulang?”
Keh Lok tersenyum anggukkan kepalanya. Masih saja budyang itu menimang-nimang mengawasi wajah majikan yang diasuhnya itu. Pada lain saat, dia terus merangkulnya dan menangis tersedudua.
„Sudahlah, jangan menangis, supaya orang tak ketahui kedatanganku ini,” kata Keh Lok.
„Tidak apa, mereka semua sama berada digedung baru sana. Disini kosong,” kata sibudyang .
„Gedung baru itu kepunyaan siapa?'' tanya Keh Lok.
„Baru setengah tahun yang lalu didirikannya, entah menelan ongkos berapa puluh laksa tail perak, dan entah apa guna nya,” demikian sahut budyang itu melantur.
Keh Lok tahu bahwa budyang nya itu sudah tua, jadi tak mengerti apa-apa tentang urusan itu. Maka tanyanya pula : „Bagaimana meninggalnya ibu? Dia menderita sakit apa?”
Swi Ing mengambil saputangan untuk mengusap air mata nya, kemudian baru jawabnya: „Entah penyakit apa yang diderita sioCia itu ia berduka, tiga hari beruntun tak mau makan, terus sakit, sepuluh hari kemudian menutup mata. Dikala mau meninggal dia masih teringat padamu, katanya: 'Di manakah Sam Koan-ku? Dia belum pulang? Aku ingin bertemu padanya !' Dua hari ia selalu mengiang begitu, baru kemudian menghembuskan napasnya terachir.”
“Sungguh aku seorang anak yang put-hauw! Ibu mau melihat aku untuk yang penghabisan kali, tapi aku tak datang,” kata Keh Lok dengan ter-isakdua.
Pada umumnya didaerah Kanglam, apabila puteri seorang ternama menikah, tentu ia dibawai beberapa budyang (pela jan). Sekalipun nona itu sudah kawin dan disebut thay-thay (nyonya), namun budyang dua itu masih menyebutnya „sioCia”. Demikianlah, Swi Ing masih membahasakan ibu Keh Lok dengan sebutan „sioCia” (nona).
„Apakah pesan ibu kepadamu?” tanya pula Keh Lok.
„Sehari sebelum menutup mata, nampaknya kesehatan
sioCia sangat baik, seperti orang biasa. Tahu kalau takkan berjumpah padamu, ia menulis sepuCuk surat untukmu”, tutur sibudyang itu.
„Mana surat itu, lekas berikan padaku!” Keh Lok tanya dengan Cepat-cepat .
„Tapi entah apa sebabnya, ia mengelah napas, lalu katanya: 'Ah, lebih baik ia tak mengetahuinya saja'. Lalu menyuruh aku ambil lilin, dan surat itu dibakarnya. Hampir surat itu terbakar habis, sioCiapun kehabisan tenaga, tangannya me lepas, terus menghembuskan napas terachir”.
Tak tahan lagi air mata Keh Lok berCuCuran, lalu tanya nya lagi: “Jadi ibu belum membakarnya habis? Mana sisa surat itu?”
„Kusimpan”, kata budyang itu.
„Berikan padaku!” pinta Keh Lok.
„Karena sioCia tak ingin kau mengetahui, maka baik dibakar saja. Perlu apa kau memintanya itu?” ujar sibudyang .
Wajah Keh Lok mengunyuk kedukaan, ia mengeluh dengan ibanya: „0, entah apa yang akan dikatakan oleh ibu, ah, aku tak beruntung bertemu muka padanya, sedang suratnya yang penghabisan pun aku tak dapat melihatnya”.
Swi Ing merasa kasihan, lalu membuka peti dan mengam bil keluar sebuah kotak kecil. Begitu dibuka, diambilnya sebuah amplop, diberikan pada Tan Keh Lok seraja katanya : „Tak tahu aku apa yang ditulis oleh sioCia, surat ini diama kusimpan, tak pernah kutunyukkan pada orang lain.”
Dengan bergumeteran tangannya Keh Lok menyambuti amplop itu. Ternyata surat didalamnya itu merupakan sjaira yang separoh bagiannya telah terbakar. Sedang sisanya itupun sudah gosong kekuningduaan. Disana sini tampak tetesan lilin. Hurufdua itu terang adalah buah tulisan ibunya, antaranya ter tulis „sebagian hidupnya menderita”, semataa untuk kepen tingan putera”, “keluarga Tan yang terpaksa disuruh meni kah” dan lain-lain. beberapa patah kata yang terputus dari rangkaian nya. Ada lagi beberapa baris kalimat yang tak ada hubu ngannya satu dengan lain, jakni: „nisan Sim-si,” “jalan wanita utama” dan lain-lain.
Keh Lok sungkan mempelajarinya, lalu memasukkansja kedalam saku, dan tanyanya lagi: “Dimanakah kuburan ibu?” “Dibelakang Hay-sin-bio yang baru dibangun.” „Hay-sin-bio (kelenteng malaikat laut) ?” Keh Lok menegas.
“Benar, juga bangunan baru yang 1 selesai tahun ini. Bio itu luas sekali, terletak ditepi laut,” kata sibudyang . „Swi-kho, aku akan kesana,” kata Keh Lok achirnya. Swi Ing sebenarnya masih akan mengajak bicara lagi, tapi Keh Lok sudah loncat' keluar dari jendela.
Perjalanan ketepi laut, ia paling paham. Sekejab saja, sampailah sudah. Benar disitu tampak sebuah bangunan yang menyulang tinggi. Belum pernah dia melihatnya dulu, dia menduga pasti itulah Hay-sin-bio. Terus ia menuju kepintu muka. Tiba-tiba dari arah kanan dan kiri bio itu terdengar derap kaki orang. Sebagai seorang' kangouw, tahulah ia, bahwa itu adalah tindakan kaki dari bangsa Ya-heng-jian (orang kangouw yang keluar diwaktu malam). Cepat-cepat ia sembunyi dibalik sebuah puhun liu.
Betul juga dari kedua samping bio (kelenteng) loncat keluar empat orang. Dimuka pintu bio, mereka saling me negor dengan isjarat tangan. Habis itu mereka menuju lagi kesebelah kanan dan kiri halaman bio itu. Keh Lok merasa heran. Hay Ling adalah sebuah kabupaten kecil ditepi laut. Mengapa dan apa tujuan keempat orang yang lihai itu?
Mau ia menguntit mereka, tapi tiba-tiba terdengar ada tindakan kaki orang lagi. Kembali dari kedua samping bio itu ada empat orang loncat keluar. Ia lihat keempat orang ini bukanlah keempat orang yang duluan. Makin heran Keh Lok dibuatnya ia tunggu setelah empat orang itu sudah meng hilang pula, Cepat-cepat ia enyot tubuh terus melesat keatas tembok untuk menunggu kejadian selanyutnya.
Sesaat kemudian, kembali ada empat orang munCul lagi. Nyata orang-orang yang setiap kalinya dua itu, sedang mengelilingi bio itu untuk melakukan perondaan. Dengan penuh perhatian Keh Lok mengawasi kesemuanya itu. Mereka nyata orang-orang yang tinggi ilmu silatnya, apakah akan ada upaCara dari sesuatu partai yang diselenggarakan dalam bio itu? Atau
mungkin ada kawanan bajak yang akan mengadakan per temuan besar disitu? Tersurung oleh keinginan mengetahui, Keh Lok dengan tak mengeluarkan suara sedikitpun loncat turun, lalu menyelinap masuk kedalam bio dan mengambil tempat persembunyian disitu.
Diruangan sebelah timur kelenteng itu terdapat patung dari Wat Ong, sedang diruangan sebelah barat adalah patung dari malaekat penunggu bio itu. Dia pergi keruang tengah, untuk mengetahui patung siapakah yang dipasang disitu. Setelah mengawasi, maka bukan main kagetnya.
Patung yang wajahnya bersih berseri-seri itu ternyata bukan lain adalah ayahnya sendiri, Tan Siang Kok. Karena kagetnya itu, sampaia Keh Lok mengeluarkan seruan tertahan. Tiba-tiba disaat itu dari arah luar terdengar tindakan kaki orang mendatangi. Dia Buru-buru sembunyikan diri dibelakang lonCeng besar. Empat orang tampak masuk keruangan tengah itu. Mereka berpakaian warna hitam, masinga menghunus sen-jata. Setelah berputar sekali, mereka keluar lagi.
Disebelah kiri adalah sebuah pintu angin terbuka, kesitu Keh Lok menyelinap, terus berjalan dengan ber-indapdua. Disitu terdapat sebuah jalan yang terbuat dari marmer putih. Jalanan itu panyang dan menyurus keluar. Tepat seperti lorong yang terdapat didalam istana. Kuatir kalau kepergok, Keh Lok enyot tubuhnya naik keatap yang me-nutupi sepanyang jalan itu. Sampai diujung jalan batu marmer itu, ternyata tak ada seorangpun jua. Ia lalu loncat turun. Disebelah muka kembali ada sebuah ruangan agung. Didepannya tergantung papan yang tertulis “Thian Houw Kiong.” Pintunya terbuka, dan Keh Lok dengan beranl masuk kesitu. Tapi keadaan disitu ternyata tambah membuat ia ter kejut.
Patung di “Thian Houw Kiong” itu putih berseri bagaikan rembulan. Sepasang matanya yang bening, mirip sekali dengan mamahnya, Ji-si. Setelah mengawasi sekian lama, lalu Keh Lok balik keluar, untuk menCari kuburan sang ibu. Dibelakang „Thian Houw Kiong” itu, dipasangi dengan tendadua dari kain warna kuning yang panyang sekali.
Kembali Keh Lok sembunyikan diri, karena diluar tenda itu, terdapat beberapa orang berpakaian hitam tengah mondar-mandir melakukan patroli. Kesemuanya itu, tetap tak dimengerti olehnya. Karenanya, dia ambil putusan untuk menCari tahu. Dengan ber-indapdua dia mendekati tenda. Menunggu kesempatan kedua penyaga yang tengah meronda kesana, ia terus masuk kedalam tenda itu.
Bermula ia rebahkan diri, untuk mengetahui apakah ada orang yang mengetahui perbuatannya. Kiranya dihalaman dalam tenda itu, kosong. Tanah disitu sangat bersih, sedikit pun tak ada rumputnya. Tenda itu, bersambung satu dengan lain, sehingga merupakan jalanan yang menyurus kebela kang. Pada setiap tenda dipasangi dengan penerangan lilin besar yang terang sekali.
Dengan menCabut pokiam pemberian Hwe Ceng Tong, Keh Lok maju kemuka. Ia pikir harini sekalipun masuk kesarang harimau, dia tak gentar. Sunyi senyap keadaan ketika itu. Hanya kadangdua terdengar letikan lilin yang me netes jatuh. Beberapa tindak pula, tiba-tiba terdengar suara berkresek, Buru-buru dia menyingkir kesamping. Setelah keadaan sepi lagi, kembali ia maju. Diantara Cahaja lilin yang terang itu, tertampaklah dimuka ada dua buah kuburan besar. Dan terlihat ada seorang yang tengah berlutut didepan, kuburandua itu.
Pada bagian depan kuburan itu terdapat batu nisan yang tertuliskan perkataan “Kuburan dari Tan Si Koan, tay-hak-su kerajaan Ceng.” Sedang bongPai pada kuburan disamping nya, bertuliskan “Kuburan dari Ji-hujin, it-bin-hu-jin kerajaan Ceng.”
Keh Lok dapat membaCanya dengan jelas, diam-diam hatinya menCelos. Tanpa mengingat bahaja apa-apa, dia akan maju untuk berlutut kesitu. Tapi tiba-tiba orang yang berlutut itu berbangkit. Keh Lok merandek dan mengawasinya. Tampak orang itu bermenung sejenak, akan kemudian, dengan tiba-tiba berlutut dan member! hormat beberapa kali. Terus orang itu berjongkok ditanah. Dari gerakan bahunya yang tampak mengigil itu, nyatalah dia tengah menangis tersedu-sedu.
Hilang kekuatiran Keh Lok ketika menyaksikan hal itu.
Yang berlutut dihadapan kuburan orang tuanya itu, tentulah masih keluarganya. Mungkin keponakan dari sang ayah, atau lain-lainnya. Melihat kesedihan orang itu, tanpa merasa Tan Keh Lok menghampiri dan menepuk bahunya pelan-pelan : „Silahkan bangun !”
Karena kagetnya, orang itu berbangkit bangun. Tapi dia tetap tak mau berpaling kebelakang, hanya berseru menanya : „Siapa!”
„Aku juga akan menyambangi kuburan ini,” sahut Tan Keh Lok.
Dan tanpa mengurus orang itu lebih jauh, Keh Lok terus berlutut didepan kuburan ayah bundanya dan menangis tersedu-sedan.
„0, ayah, ibu, Sam Koan datang terlambat tak beruntung bertemu,” katanya dengan suara ter-isakdua.
Karena itu, kedengaran orang tadi bersuara kaget, terus mengajunkan langkahnya keluar. Namun sekali enyot kakinya, Keh Lok melompat dua tindak kebelakang, tepat meng liadang dimuka orang itu. Diantara sinar lilin, kedua orang yang saling berhadapan itu seketika melengak terpesona, sampaidua keduanya mundur selangkah. Orang yang berlutut dimuka kuburan ayah bundanya itu ternyata bukan lain adalah yang dipertuan dari kerajaan Ceng pada masa itu, baginda Kian Liong.
„Kau......... tengah malam buta mengapa kemari?” seru Kian Liong kemudian dengan terkejut.
„Hari ini adalah hari lahir ibuku, karena itu aku datang untuk menyambangi kuburannya. Dan kau?” balas Keh Lok.
„Jadi kaulah putera dari Tan Si Koan itu?” Kian Liong berbalik menanya.
„Benar, semua orang dikalangan kangouw mengetahuinya, kukira kaupun sudah mengetahui juga,” sahut Keh Lok.
“Belum,” kata Kian Liong.
Kiranya pada tahundua yang teraehir itu, perhatian Kian Liong ditujukan pada keluarga Tan di Hay Ling daerah Kanglam. Sekalipun diantara menteridua itu mengetahui bahwa daerah itu adalah daerah kekuasaan Hong Hwa Hwe yang dipimpin oleh putera dari Tan Siang Kok almarhum, namun
mereka tak berani memberitahukan kepada baginda. Karena raja itu, wataknya aneh sekali. Rasa murka dan girang, bisa datang mendadak padanya dengan Cepat-cepat . Dengan mengajukan laporan itu, menteri itu kuatir, akan mengundang bahaja baginya sendiri.
Begitulah kekuatiran Keh Lok tadi kini berganti dengan rasa keheranan, pikirnya: „Tak heranlah kiranya kalau se luruh bio dijaga sedemikian kerasnya. Kiranya dialah yang datang kemari. Tapi untuk apakah dia datang pada tengah malam begini, tambahan lagi berlutut dan menangis dimuka kuburan ayah bundaku?” — Hal inilah yang membuat ia tidak habis mengerti. Sedang fihak Kian Liong sendiripun tengah termenung mengawasinya. Achirnya, Kian Liong mengajak nya duduk. Dengan begitu, kedua orang itu, bertemu lagi untuk yang ketiga kalinya. Pertama dirimba Sam-tiok, per kenalan permulaan. Kedua kalinya, ditengah telaga Se-ouw, dimana diam.dua mereka saling menguji kekuatan masings. Tapi kini pertemuan dimuka kuburan Tan Siang Kok kali ini, rasa bermusuhan itu terkikis dan berobah menjadi rasa yang dekat sekali.
Sambil menarik tangan Keh Lok, kemudian berkatalah Kian Liong: „Kau tentunya merasa heran mengapa pada waktu begini, aku berkunyung kemari. Semasa hidupnya, ayahmu itu berjasa besar padaku” sehingga aku dapat naik kesinggasana kerajaan. Budi itu, tak pernah kulupakan. Karenanya, malam ini kuperlukan menyambangi kuburannya.”
Tapi Keh Lok hanya setengah percaya setengah tidak.
“Dan kalau sampai hal ini boCor keluar, tidaklah leluasa. Maukah kau berjanyi takkan memberi tahukan pada orang lain?” tanya Kian Liong pula.
Karena raja itu begitu mengindahkan pada ayah bundanya, sudah tentu Keh Lok tak berkeberatan, katanya : „Ja ngan kuatir. Dihadapan kuburan ayah bundaku ini, kuber sumpah takkan memboCorkan kejadian malam ini pada siapapun juga.”
Seorang kangouw, paling mengutamakan janyi. Hal ini diinsyapi Kian Liong. Apalagi orang sudah bersumpah dimuka kuburan orang tuanya. Dia merarasa puas dan gembira.
Demikianlah kedua orang itu duduk dimuka kuburan dengan tangan bergandengan. Yang satu, adalah yang diper tuan dari negeri Tiongkok pada masa itu. Dan yang seorang, adalah ketua dari sebuah perkumpulan besar dikalangan Kangouw. Entah apa yang dipikirkannya, keduanya saling menyublek untuk sekean saat.
Tiba-tiba samara terdengar suara gemuruh. Telinga Keh Lok yang terlatih tajam itu, mengerti apa adanya itu. Katanya : “Ombak. pasang, baiklah kita menyaksikannya ketepi laut. Sudah sepuluh th. aku tak melihatnya.”
Kian Liong mengiakan, dan dengan masih menggandeng tangan orang, dia berjalan keluar.
Kawanan si-wi yang meronda diluar sama tersipu-sipu menyambut keluarnya Kian Liong. Tapi bagaimana terkejut mereka, ketika dilihatnya baginda tengah berjalan bertun tunan tangan dengan seseorang. Lebihdua pentolandua si-wi seperti Pek Cin, Cu Wan dan lain-lain. mereka sama berCekat dalam hati, setelah mengetahui bahwa penyagaan mereka telah jebol diterobos orang tanpa sepengetahuannya.
PunCak kekagetan mereka terjadi, ketika ternyata orang yang disamping baginda itu, bukan lain ialah ketua dari Hong Hwa Hwe. Sementara itu beberapa si-wi bergegas-gegas membawakan kuda.
„Kau naikilah kudaku ini,” kata Kian Liong pada Keh Lok. Kembali para si-wi itu menyediakan lagi seekor kuda kepada baginda. Demikianlah keduanya menuju kepintu timur. Ketika itu gemuruh ombak makin nyata, menderu-deru tak henti-hentinya.
Sekeluarnya dari pintu timur, suasana penuh dengan gemuruh air pasang, namun dilaut tampaknya tenangdua saja, putih ke-perakduaan ditimpah Cahaja rembulan.
“Mamahku dilahirkan pada hari ini, karenanya beliau di namakan 'Tiao Seng' (air pasang).”
Ketika ucapan itu melunCur dari mulut Tan Keh Lok, tangan Kian Liong yang memimpin anak muda itu terasa bergemetar, pertanda dari luapan sang hati. Memandang kelaut, Kian Liong termenung sejenak. Baru achirnya dia berkata :
„Kau memang berjodoh dengan aku. Besok aku akan kembali ke HangCiu. Tiga hari kemudian baru kembali ke Pakkhia. Sukalah kau ikut padaku ? Sebaiknya, kau selalu mendampingi aku, agar setiap saat dapat kukenang wajah ayahmu.”
Sukar dilukiskan perasaan Tan Keh Lok mendengar kata-kata yang lemah lembut dari seorang raja yang berkuasa seperti itu. Untuk beberapa saat, dia kesima, tak dapat menyawab.
“Kau seorang bun-bu-Coan-Cay (serta dapat: sastera dan silat). Kelak tentu dapat kau gantikan kedudukan ayahmu. Bukankah itu akan jauh lebih berharga daripada kau ber kelana dikangouw?” kata Kian Liong pula.
Dengan ucapan itu, Kian Liong mengisiki, bahwa anak muda itu akan diberinya pangkat tay-hak-su (menteri besar yang berkuasa penuh). Itulah kedudukan yang paling tinggi menurut tingkatan menteri. Kian Liong jakin, anak muda itu tentu akan girang dan menghaturkan terima kasih.
Siapa tahu dugaannya ternyata meleset, Keh Lok telah menyawab: „Begitu besar kebaikanmu itu, entah bagaimana kuharus menghaturkan terima kasih. Tapi kalau aku temaha dengan kesenangan hidup, tak nanti kutinggalkan rumah dan berkelana dikangouw.”
„Itulah yang akan kutanyakan padamu. Kau tak mau menjadi kongcu, sebaliknya berkelana tak keruan dikangouw, adakah hal itu tak membuat malu orang tua?” kata sang kaisar.
„Itulah kebalikannya, karena hal itu justeru atas titah mamahku. Ayah dan kokoku, tidak mengetahuinya, sehingga mereka berjerih-payah untuk menCariku. Sampai sekarang, kokopun masih mengirim orangnya untuk menCari,” sahut Keh Lok.
“Mamahmu yang menyuruh? Anehlah, masa begitu?” Kian Liong menjadi heran.
Keh Lok menunyukkan kepala, agak lama tak menyawab, kemudian katanya: “Itulah rahasia kedukaan dari ibu akupun tak mengerti.”
Sementara itu gemuruh air pasang makin menghebat, sehingga pembicaraan keduanya itu hampir tak kedengaran.
Selarik ombak putih bergulung-gulung mendatangi. Hawa terasa dingin ketika gulungan ombak itu makin mendekat. Gemuruh bagai guntur, makin dekat makin berkumandang jelas lak sana ribuan pasukan kuda menyerbu datang.
Sambil tangan kiri memegangi tangan Keh Lok, tangan' kanan Kian Liong me-ngebutduakan kipasnya. Melihat datang-nya ombak raksasa itu, dia terkejut. Tanpa terasa, tangan-nya kendor, dan kipas itu jatuh kebawah ketitian batu yang menyurus keair laut. Kipas itu adalah kipas persembahan dari Tan Keh Lok tempo hari. Saat itu baginda dan Keh Lok tengah berdiri ditepi laut, yang berada tujuh atau delapan tombak dari atas tempat air laut. Saking kagetnya, Kian Liong berseru tertahan.
Cepat-cepat seperti kilat, Pek Cin menerjun kebawah untuk menyawutnya. Dengan sebelah tangan menekan pada batu di tangkul, tangan yang lain telah berhasil menyawut kipas itu.
Dalam pada itu gelombang ombak raksasa makin mendekat, dan pada lain saat pasti Pek Cin akan ditelan oleh gelombang itu, terpenCet pada tanggulduaan. Kawanan si-wi sudah berteriak kaget. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh, Pek Cin Cepat-cepat meloncat keatas, tapi ombak ternyata lebih Cepat-cepat lagi.
Keh Lok Cepat-cepat bertindak, ia sebret jubahnya menjadi dua, disambung terus dilunCurkan kebawah. Pek Cin Cepat-cepat memegang tali itu, justeru tepat ombak sudah menganCam ifjjjdua kakinya. Buru-buru Keh Lok menariknya keatas tangguPnya.
Sedari melihat datangnya ombak yang mengganas itu, Kian Liong dan sekalian si-wi sudah menyingkir dari tepi tang gulan itu. Ketika Pek Cin dapat ditarik keatas, ombak pun sudah naik keatas.
Sejak kecil Keh Lok sudah kenyang memain ditepian laut itu, jadi fahamlah dia akan “sifat” ombak itu. Begitu sudah menarik Pek Cin, dia terus loncat kekebelakang beberapa tindak. Sedang begitu sampai keatas tanggulan itu, ombakpun sudah mengejar Pek Cin keatas. Cepat-cepat si-wi itu ajunkan tangan untuk lemparkan kipas itu pada Cu Wan. Setelah itu dia merangkul erat- pada sebuah puhun liu yang tumbuh ditepi.
Sementara itu bagaikan gunung roboh, guiungan ombak itu menutup keatas kepalanya Pek Cin. Kiranya ombak itu, seCepat-cepat pasang, seCepat-cepat itu pula surutnya. Dalam sekejab saja, air laut ditanggulan itu sudah surut kembali. Begitu erat Pek Cin menyikap batang puhun; liu itu, hingga me ninggalkan bekas guratan jari. Baru setelah air surut, dia berani loncat kebelakang.
Melihat dia begitu berani dan setia, Kian Liong merasa gembira. Begitu menyambuti kipas dari Cu Wan, berkatalah ia kepada Pek Cin sambil anggukkan kepalanya: “Kalau nanti pulang, kuhadiahkan kau satu perangkat pakaian lain.”
Dengan pakaian basah kujup, Pek Cin Buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih. Kemudian berkata Kian Liong kepada Tan Kehj Lok: “Kata orang kuno 'sepuluh laksa tentara sama dengan deru ombak setengah malam', rupanya hal itu memang terbukti.”
„Pada masa dulu Chi Ong telah menghamburkan tiga 000 anak panah untuk menghajar ombak, tapi ombak tetap mengganas. Nyata pengaruh alam, sukar ditundukkan,” kata ketua HONG HWA HWE itu.
Meng'erti bahwa orang akan mengulangi pembicaraannya ditengah telaga Se-ouw tempo hari, tahulah Kian Liong bahwa anak muda itu tetap tak mau bekerja pada kerajaan. Maka katanya: „Tiap orang punya tujuan sendiridua, akupun tak dapat memaksamu. Hanya ingin kunasehat.i kau sedikit.”
„Silahkan berkata,” sahut Keh Lok.
„Sepak terdyang dari kaum HONG HWA HWE kalian yang nyata menentang undangdua pemerintah, peristiwa yang telah lalu dapatlah kuhapuskan. Tapi untuk selanyutnya, tak dapat kubiarkan hal itu lebih jauh,” demikian Kian Liong.
„Kita bekerja untuk negara dan rakjat, segala sepakter dyang kita, dapat dipertanggung jawabkan,” sahut Keh Lok.
Kian Liong merenung dan berpikir, lalu mengelah napas dan berkata pula: “Sayang , sayang ! 'Mustika yang gemilang jatuh ditempat lumpur'. Dengan memandang semangat per???? kelak HONG HWA HWE tertumpas, aku tetap akan mengampuni jiwamu.”
“Sebagai Umbal balik, andaikata kau jatuh ketangan HONG HWA HWE akupun takkan menCelakai kau,” balas Keh Lok.
Ter-bahakdua Kian Liong dibuatnya, katanya: „Dihadapan raja, kau tetap tak mau kalah suara. Baiklah. Sekali orang gagah mengucap, ibarat larinya kuda. Ayo kita pateri janyi ini dengan berjabatan tangan. Dikemudian hari kita tak boleh saling menCelakai.”
Tiga kali keduanya berjabat dan berguntjangan tangan. Melihat junyungannya begitu mengindahkan pada ketua perkumpulan yang memusuhi negara itu, keheranan para si-wi itu menjadi dua.
Sementara itu ombak sudah kembali tenang. Kian Liong ajak Keh Lok kembali menghampiri ketepi tanggulan. Ketika, para si-wi akan mengikutinya, Kian Liong memberi isjarat melarangnya. Sesudah berpuluh tindak keduanya berjalan disepanyang tepian itu. Kata Kian Liong pula: “Dari wajahmu terlihat selain terkenang akan ayah bunda dan sahabat baik, apakah kau masih ada ganyelan dalam hati mu? Sekalipun kau tak mau menjadi pegawai negeri, tetapi kau boleh majukan saran atau usul padaku.”
Setelah merenung sejenak, berkatalah Keh Lok: „Ingin sekali kuminta bantuanmu akan suatu urusan, tapi kukuatir kau tak dapat meluluskan.”
„Asal ada permintaan, tentu kululuskan!” kata Kian Liong. „Betulkah itu?”
„Raja tak pernah bohong!” sahut Kian Liong pula tegas.
“Terima kasih. Aku hanya minta agar saudara angkat kami Bun Thay Lay dilepaskan,” demikian Keh Lok achirnya.
Kian Liong terbelalak matanya. Sungguh tak diduganya kalau orang akan ajukan permintaan itu. Sesaat dia bersangsi.
„Entah dosa apa Bun Thay Lay itu terhadap pemerintah? Mengapa kau begitu membenCinya, sehingga dia harus di tangkap?” tanya Keh Tok.
„Dia tak bisa dibebaskan. Tapi karena sudah terlanyur aku menyang gupi padamu, tak dapat ku ingkari. Baik, beginilah, dia takkan kubunuh !” sahut Kian Liong.
„Kalau begitu, biarlah kami sendiri yang membebaskannya. Tadi kuajukan permohonan pembebasan, bukan berarti kami tak sanggup melakukannya sendiri. Soalnya, kami akan menghindari pertumpahan darah, kalau dapat. Agar hubu ngan kita jangan terganggu,” demikian Keh Lok.
Dengan mata kepala sendiri kemaren raja Boan itu telah saksikan kepandaian orang-orang HONG HWA HWE Maka tahulah dia, ketua HONG HWA HWE itu tidak ber-main-main . Katanya kemudian: „Kutahu kebijaksanaanmu itu. Empat hari lagi, ku-akan kembali kekota raja. Mungkin sukar bagimu untuk menolongnya. Terus terang kukatakan, orang itu tak ku-idinkan terlepas dari tanganku. Kalau kau berkeras membebaskan, empat hari lagi akan kutitahkan membunuhnya”.
Tapi Keh Lok tak gentar, katanya dengan menyala-nyala : „Kalau suko kami itu kaubunuh, kukuatir kau akan tak enak tidur tak enak makan”.
„Kalau dia tak dibunuh, hatiku juga makin tak tente ram”, jawab Kian Liong dengan tawar.
„Ah, dengan demikian, kemuliaan yang kau ken jam itu, tak melebihi kenikmatan kehidupanku yang bebas lepas bagaikan ajam hutan itu”, ujar Keh Lok.
Kian Liong tak mau urusan Bun Thay Lay disinggung singgung lagi, dia alihkan pembicaraan.
„Berapa usiamui sekarang?” tanyanya lantas.
„Duapuluh lima”, sahut Keh Lok.
„Ah, aku lebih tua dua0 tahun. Jadi kau lahir sewaktu aku dinobatkan. Sewaktu kau dewasa, kini aku sudah setengah umur. Ah, segala kebesaran dan kemuliaan itu, kalau orang sudah sampai ajalnya, pun; akan kembali ke asalnya lagi,” Kian Liong menarik napas dalamdua.
Kembali keduanya ber-jalandua sebentar.
“Kau mempunyai berapa orang isteri?” tanya Kian Liong. Dan tanpa tunggu jawaban dia melolos sebentuk mainan dari batu giok, terus katanya lagi: „Batu permata ini, mus tika yang jarang terdapat didunia. Ambillah untuk isterimu.”
Tapi Keh Lok tak mau menerima. “Aku belum beristeri,” sahutnya.
Kian Liong ter-bahakdua. „Haha, rupanya kau terlalu tinggi permintaan, maka sampai kini belum beristeri. Kau ambillah ini, biar kau peruntukkan tanda-pengikat bagi Calon isteri mu,” demikian katanya.
Dibawah sinar rembulan, batu giok itu ber-kilauduaan Ca hajanya. Ketika menyambutinya, Keh Lok rasakan tangannya menjadi hangat. Kiranya itulah sebuah mustika yang dapat mengeluarkan hawa hangat. Diatas giok itu terukir beberapa baris huruf emas yang berbunyi :
(Page cut)
„Kalau tak kuketahui bagaimana peribadimu, tak berani kuberikan mustika ini, apalagi kuminta kau berikan pada Calon isterimu,” dengan tertawa Kian Liong berkata. Kemudian katanya pula: „Sekalipun 4 baris sajak itu tak begitu bagus, namun maknanya mengandung kebenaran.” „Cinta murni tetap abadi, kekerasan akan menemui ke gagalan” tanpa merasa Tan Keh Lok membaCanya pula dengan berbisik. Dia merenung, dan entah bagaimana pikiran nya jauh melayang dua. Rasa tawar dan sedih menCengkeram sanubari, sehingga kalau tak malu, mau rasanya dia menangis.
„Dasar bersuami isteri itu adalah Cinta menCintai sehidup | semati sampai kakidua dan ninidua. Kekerasan akan membawa keretakan. Rasanya ujar orang kuno itu tepatlah,” kata Kian Liong.
tiga Keh Lok segan mendengarkan, lalu menyimpan giok itu seraja menghaturkan terima kasih dan minta diri. Setelah memberi hormat, dia terus akan berlalu. Kian Liong kelihatan melambaikan tangannya dan berkata: “Baik-baik lah kau men jaga, diri.”
Keh Lok berpaling untuk mengunyuk hormat lagi, lalu pergi.
Tiba-tiba Pek Cin melangkah kehadapannya, katanya: “Tadi kau telah menolong jiwaku, entah bagaimana akan dapat kubalasnya.”
„Pek-locianpwe terlalu merendah diri, kita sekaum persilatan. Kalau ada kesusahan, seharusnya saling tolong, itu sudah jamaknya. Mengapa locianpwe harus mengucapkan begitu,” sahut Keh Lok.
Sekeluarnya dari situ, karena masih ada urusan, Keh Lok kembali. lagi kegedung keluarganya, untuk mendapatkan Swi Ing. Katanya: „Kurasa koko tentu berada di taman 'An Lan Wan' untuk menyambut baginda. Kurasa dia tentu sibuk, baik lain kali kujumpainya. Swi-kho, apa Yang kau inginkan, bilanglah, tentu kukerjakan.”
(Page cut)
„Hal itu rasanya tak mudahlah. Eh, ja, mana si Ceng Hwa dan Uh Si? Kau panggillah mereka kemari,” kata Keh Lok dengan tertawa.
Ceng Hwa dan Uh Si adalah dua orang budyang lain, kawan Keh Lok bermain semasa kecil.
“Uh Si telah meninggal pada tahun yang lalu. Ceng Hwa masih disini. Biar kupanggil dia,” kata Swi Ing.
Belum lama Swi Ing berlalu, Ceng Hwa sudah munCul. Tampak oleh Keh Lok bagaimana kawannya bermain itupun kini sudah menjadi seorang gadis dewasa.
“Sam-koan!” teriak Ceng Hwa dengan berlinangdua air mata.
„Ai, kau sudah begini besar. Bagaimana Uh Si meninggal nya?” tanya Keh Lok.
„Ia bunuh diri terjun kelaut,” kata sibudyang . „Mengapa?” Keh Lok terkejut.
„Jiloya mau mengambilnya jadi gundik, dia tak mau,” jawab Ceng Hwa setelah mengetahui tak ada lain orang lagi. Setelah itu ia menangis: “Urusan kami taCi beradik, tak usahlah membohongi kau. Uh Si sangat akrab dengan Tan Cin Tiong, salah seorang kawan bekerja dirumah sini. Diam-diam mereka menyimpan uang, untuk menebus Uh Si. Se sudah itu, mereka merenCanakan akan kawin. Tetapi ji-ya mengaCau. Pada suatu hari dalam keadaan mabuk, dia paksa Uh Si masuk kamarnya. Keesokan harinya, dengan tersedus Uh Si memberitahukan padaku. Ia malu kepada Cin Tiong.
Kunasehatinya, agar ia tetap sabar menderita. Tapi ternyata diam-diam ia telah bunuh diri kelaut. Dengan menggerunga Cin Tiong membawa tubuhnya pulang. Pada sebuah Ciok-say (singa batu) dimuka rumah majikannya, dia benturkan kepalanya hingga tewas juga.”
Hati Tan Keh Lok seperti diirisdua. Dia geram sekali.
„Tak kunyana koko-ku begitu rendah budinya. Sebenarnya aku hendak menyumpainya, kini tak sudilah aku. Dimana kuburan Uh Si? Kau antarkan aku kesana!” kata Keh Lok.
”Dipintu barat, biar besok kuantar,” kata Ceng Hwa.

“Sekarang sajalah,” desak Keh Lok.

”Pada waktu begini pintu kota masih tertutup, tidak dapat melaluinya?” ujar sibudyang .
Keh Lok tersenyum, tiba-tiba ia ulurkan tangannya memegang pinggang Ceng Hwa, siapa menjadi ke-maluduaan. Tapi pada lain saat, ia rasakan tubuhnya seperti melayang terbang keluar, terus berada diatas atap. Seperti dalam impian rasa nya, sekejab saja, sampailah sudah kepintu barat. Dan sesudah turun ketanah, baru Ceng Tong berani membuka mata.

“Sam Koan, kau belajar ilmu dewa?” kata budyang itu.

”Kau takut tidak tadi?” tanya Keh Lok tertawa.

Ceng Hwa tertawa sembari berjalan kearah kuburan. Teringat akan perhubungan mereka semasa kecil, tak terasa hati Keh Lok merasa sedih sekali. Didepan kuburan Uh Si, tig-a kali dia menyura untuk memberi hormat. Dan ketika itu Ceng Hwa menangis.

”Sam Koan, kalau kau masih dirumah, tentu jiloya takkan berani berbuat begitu,” ratap budyang itu.

Keh Lok hanya termenungdua saja.

“S E T E L A H Cin Tiong mati, ibunya telah minta pada maji kan agar jenazah anaknya itu dapat dikubur disamping Uh Si. Tapi jiloya malahan me-maki-maki. Ah, sekalipun sudah mati, mereka masih tak dapat berkumpul bersama,” kata pula Ceng Hwa dengan elahan napas panyang.

"Baik, besok akan kusuruh orang memindahnya. Biar mereka mengasoh tenang dialam baka,” kata Keh Lok.

"Mungkin jiloya takkan meluluskan,” kata Ceng Hwa.

"Hm, aku tak peduli dia mau apa tidak. Juga kau, Ceng Hwa, akan kubebaskan supaya dapat pulang kerumahmu sendiri.”

"Sam Koan, kau selalu memperlakukan kami dengan baik sekali” seru Ceng Hwa dengan suara sember.
Ketika itu, rembulan sudah masuk kearah barat.

"Mari kuantar kau pulang dulu, aku masih ada urusan penting akan pergi ke HangCiu,” kata Keh Lok achirnya.

Setiba dirumah, ketika Tan Keh Lok akan loncat keluar dari jendela, tiba-tiba Ceng Hwa berkata: „Sam Koan, aku akan ajukan sebuah permintaan padamu.”

"Baik, kau bilanglah !”

"Biarkan kulajani kau sekali lagi untuk menyisir rambut-mu.” Tan Keh Lok merenung sejenak, lalu katanya sambil tertawa: "Baiklah !”

Ceng Hwa masuk kedalam untuk mengambil sebuah nam-pan perak dan dua mangkok porselen. Yang semangkok terisi masakan jamur dan yang lain manisan buah li. Hidangan itu diletakkan dihadapan Keh Lok.

Sepuluh tahun lamanya Keh Lok pergi dari rumahnya, dan lewatkan penghidupannya di padang Sahara. Lupa sudah dia akan kesedapan dari hidangan keluarga kaja dari daerah Kanglam itu. Ketika ia menyendok dan hirup kuah itu, Ceng Hwa sudah mulai menyisir rambutnya, diberi minyak dan disisir dengan rapi. Dia sumpiti irisan manisan itu untuk dimasukkan kedalam mulutnya sendiri, lalu disuap juga kedalam mulut Ceng Hwa. gp '
„Kau masih nakal, seperti dulu,” kata Ceng Hwa tertawa.
Selesai bersisir, hidangan itupun sudah dihabiskannya.
„Masa kau tak pakai pakaian rangkap? Apa tidak takut kedinginan?” tanya Ceng Hwa. Keh Lok hanya tertawa. Masakan ia masih dianggap seperti boCah yang lemah pada sepuluh tahun yang lalu. Ceng Hwa lari kedalam untuk mengambil sepotong cheongsam dan diberikan kepada Keh Lok.
„Ini kepunyaan jiloya, mungkin sedikit kebesaran. Kau pakailah,” kata budyang itu.
Dibantuinya Keh Lok mengenakan pakaian itu. Selama itu,
tampak oleh Keh Lok bahwa Ceng Hwa keluar air mata. Diapun ikut sedih.
„Nah, aku akan pergi!” katanya terus enyot tubuhnya loncat melalui jendela.
Setiba dirumah Ma Sian Kun, tampak para saudaranya sedang berunding dengan Kwi-kian-Chiu Ciok Siang Ing. Buru-buru Ciook Siang Ing memberi hormat dan melapor : “Dikota raja kudengar baginda sudah berada di Kanglam, karenanya ku-bergegas-gegas kembali kemari. Kiranya para sau-dara di sini sudah berjumpa dengan baginda sendiri, malah terlibat dalam pertempuran”.
“Capjiko tentu lelah, silahkan beristirahat dulu. Selain itu ada berita apa lagi?” tanya Keh Lok.
“Ketika mendengar situa Hongte pergi keselatan sini, aku merasa urusan sangat penting, maka tanpa pikir yang lain-lain, dan terus kemari,” sahut Siang Ing.
Keh Lok lalu menyilahkan Siang Ing supaya beristirahat dulu. Karena dilihatnya saudaranya itu tampak keliwat arip sekali, tentunya dalam beberapa hari itu, dia telah lakukan perjalanan siang malam.

Siang Ing pamitan keluar, untuk menuju kekamarnya. Sebelumnya itu dia berpaling lagi dan berkata kepada Lou Ping : “Suso, kudamu putih itu betuia Cepat-cepat sekali larinya. Jangan kuatir, selama itu kurawatnya sungguh-sungguh”.

Lou Ping tertawa dan haturkan terima kasih. Kembali Siang Ing merandek, katanya : “Ah, ditengah jalan kuber papasan dengan pemilik kuda itu, Han Bun Tiong.”
„Apa? Dia akan merampas kudaku itu?” tanya Lou Ping.

„Dia tak melihat aku. Hanya aku yang melihatnya. Dia bersama dengan beberapa piauwsu dari Tin Wan piauwkiok. Kudengar mereka tengah me-maki-maki pada orangs HONG HWA HWE Katakan kita orang telah gunakan obat tidur untuk mem binasakan Tong Siu Ho”, tutur Siang Ing.

Thian Hong dan Ciu Ki sama ketawa.

„Tempo hari kami telah mengampuninya, kurang ajar, mereka masih berani me-maki-maki”, Ciu Ki tak tahan lagi dan menyelak.

„Kali ini kawanan piauwsu itu melakukan pekerjaan apa?” tanya Thian Hong.
„Kudengar betul-betul pembicaraan mereka. Kiranya mereka baru datang dari Pakkhia dan menghantar barangdua berharga dan kepada keluarga Tan Siang Kok di Hay Ling sini,” mengu-Cap sampai disini, Siang Ing berpaling kearah Tan Keh Lok dan berkata : „Itulah barangdua dari kediaman Congthocu, karenanya kuperintahkan kepada Congthaubak kita di Ce lam dan Kanglam, supaya diam-diam mereka turut melindungi barang antaran itu”. dua
“Terima kasih”, kata Ke Lok ketawa. „Tidak nyana, kali ini kita bisa bekerja sama dengan Tin Wan piauwkiok”.
“Dari Tin Wan piauwkiok, Ong Congthauw sendiri yang keluar, barang antaran itu penting sekali”, ujar Siang Ing.
Mendengar kepala piauwkiok itu sendiri yang keluar, Tan Keh Lok, Tio Pan San, Ciu Tiong Ing dan lain-lainnya sama mengeluarkan suara heran.
“Ong-lopiauwthau sudah lama tak keluar. Kali ini me mang agak luar biasa. Congthocu, besar sekali nama ke luargamu itu !” seru Tiong Ing.
“Akupun heran, karenanya kudengari pembicaraan mereka dengan seksama. Baru malam kedua kuketahui, bahwa ba rangdua antaran itui berharga mahal sekali, yaitu terdiri dari permata mustika dan sepasang vaas dari batu giok,” tutur Siang Ing pula.
“Vaas batu giok?” seru Keh Lok dengan kaget.
“Ja, katanya mustika dari daerah Hwe, dibawa oleh Yauw Hwi Ciangkun setelah dia dapat kemenangan disana. Suku Hwe mengtiaturkan mustika itu selaku tanda minta damai, sekalipun mereka tak kalah perang,” kata Siang Ing.
Mendengar bahwa suku Hwe tidak sampai kalah dalam peperangan itu, orang-orang HONG HWA HWE sama gembira, dan menanya kannya lebih lanyut.
“Kabarnya karena ransum tentara Ceng itu telah kita rampas, mereka menderita kelaparan. Yauw Ciangkun ter paksa tarik mundur tentaranya, tapi ditengah jalan mereka disergap orang-orang Hwe. Kerugian tentara Ceng tidak kurang dari dua-tiga ribu serdadu yang binasa,” tutur Siang Ing pula.
Kembali orang-orang HONG HWA HWE berseru girang. Kata Ciu Ki kepada Thian Hong: “Kalau enCi Ceng Tong tahu bahwa kaulah yang niengatur siasat itu, tentu dia sangat berterima kasih sekali padamu.”
“Kaulah yang suruh aku menCari tipu itu,” bisik Thian Hong dengan tersenyum.
„Tapi begitu ransum tiba, Yauw Hwi kembali menyerang. Karenanya, suku Hwe menghaturkan sepasang vaas mustika itu selaku minta damai. Thayhouw dan menteria kerajaan tak berani mengambil putusan, maka segera mengirim orang untuk mengundang kaisar pulang. Ong Hwi Yang kali ini keluar sendiri, kukira juga karena mengantar mustika yang berharga itu,” kata Siang Ing.
„Jangan lagi hanya sepasang vaas, sekalipun ditambah beberapa maCam barang mustika lagi, Hongte itu tentu tak mau diajak damai,” ujar Keh Lok.
“Orange piauwkiok sama bilang, kalau pemerintah menolak perdamaian itu, seharusnya mengembalikan vaas itu kepada orang Hwe. Itulah sebabnya barang itu dijaga keras sekali, jangan sampai rusak,” kata Siang Ing.
“Hm, Ong Hwi Yang situa itu benardua mengandalkan ketua annya. Sampai di Ciatkang, dia tak mengirim pemberian tahu kepada kita. Hanya karena mengingat menyang kut ke pentingan Congthocu, maka kita tak tarik panyang urusan itu,” kata Ma Sian Kun tak tenang karena 'kedaulatan' dae rah kekuasaannya dilanggar orang.
„Orang-orang Tin Wan piauwkiok itu memang keterlaluan,” tiba-tiba si Ciang Bongkok berseru, „kita tahan saja vaas itu, Coba mereka bisa berbuat apa !”
“H£, jangan sembarangan! Bukankah itu akan meng ganggu renCana enCi Ceng Tongnanti?” ujar Lou Ping.
Demikianlah mereka terus berunding. Keh Lok memberi isjarat pada Thian Hong, untuk diajak masuk kekamarnya.
“Chit-ko, kemaren malam kuberjumpa dengan baginda. Katanya, tiga hari lagi dia akan kembali kekota raja. Se belumnya pulang, lebih dulu dia akan titahkan bunuh Bun-suko,” kata Keh Lok segera sesudah duduk.

Thian Hong melengak. Katanya Cepat-cepat : „Kalau begitu, kita tak boleh berajal, harus lekas bertindak.”

„Bun-suko disimpan dalam gedung Li Khik Siu Ciangkun di HangCiu sini. Harap kau atur suatu tipu bagaimana baiknya,” kata Keh Lok. „Baginda kini rasanya masih belum kembali ke HangCiu. Pahlawanduanya pilihan sama mengiring nya. Kalau kita turun tangan, rasanya agak leluasa.”

„Apa? Baginda tidak di HangCiu?” tanya Thian Hong tak mengarti. Lantas Keh Lok tuturkan pengalamannya semalam, bahwa dia habis pulang menyambangi kuburan ayah bundanya.

Thian Hong tidak buka suara lagi, ia me-main-main alat-alat tulis dimeja. Ada yang ditaruh disebelah timur, ada yang dise belah barat, suatu tanda si “Khong Beng” ini sedang memikir sesuatu. Keh Lok menunggunya dengan tenang. Baru setelah berselang beberapa saat berkatalah Thian Hong: Congthocu, kita kuat dan musuh lemah, boleh kita serang.”

Keh Lok mengangguk setuju, lalu ajak sekalian saudaranya berunding dan membagi tugas. Ketua itu menepuk sepasang tangannya, menurut adat mereka memberi peng hormatan dulu kepada Couwsu HONG HWA HWE sehabis membaCakan peraturan partai, berserulah dia dengan lantangnya: „Marilah, saudara-saudara, sekarang juga kita mulai turun tangan membe baskan Bun-suko !'“

Seketika semua orang HONG HWA HWE berteriak girang.

“Cio-sipsamko, kau pimpin tiga 00 orang yang pandai bere nang untuk sediakan perahu. Setelah kita berhasil, bawalah kita ketelaga Thay-ouw,” demikian Keh Lok lantas membagi tugas. Cio Su Kin terima perintah terus pergi.
„Ma Tay Thing hengte, kau pindahkan semua keluarga anggauta kita kedalam perahu dulu.”
Ma Tay Thing pun menerima perintah itu dan pergi.
„Ciok-Capjilong, kau belum pulih semangatmu, kaupun mengasohlah dulu keperahu. Saudara-saudara lainnya ikut aku me nyerbu tangsi Ciangkun untuk tolong Bun-suko !”
Mendengar itu semangat orang-orang HONG HWA HWE bernyaladua. Keh Lok lebih dulu panggil Ma Sian Kun, dan mengisikinya supaya pergi ke Hay Ling mempersatukan kuburan Uh Si dengan tunangannya serta menebus Ceng Hwa. Juga perawatan Sim. Hi yang belum sembuh itu, diserahkan padanya.

“Sekarang silahkan Chit-ko keluarkan renCana perjuangan, harap sekalian saudara mendengarkannya,” segera Keh Lok persilahkan Thian Hong.
Kata juru pemikir HONG HWA HWE itu: „Telah banyak-banyak tahun kita memupuk usaha kita di HangCiu sini, rasanya bukan kecil hasilnya. Sampai dalam ketentaraan pemerintaJi, kitapun punya anggauta. Kalau kita serentak mengadakan serbuan besar, tentu rumah tangga kita disini akan teranCam bahaja. Dan ini memang harus disayang kan.”

Orang-orang mendengari dengan penuh perhatian, lebihdua karena ingin tahu apa siasat Thian Hong itu.

„Karenanya, usaha kita bebaskan Bun-suko kali ini, sekali pun serangan terangduaan, tapi sedapat mungkin kita rahasia kan. Janganlah kita sampai bertempur dengan pasukan di HangCiu yang berjumlah satu laksa itu. Pertama, kita £ hindari besarnya korban yang jatuh. Kedua, kita pun sedapat mungkin pertahankan usaha kita disini,” demikian Thian Hong achirnya.

“Kata-katamu itu benar, Chit-te! Ayo, kau lekas keluarkan perintah!” seru Bu Tim.
„Suso, nanti malam kau bakar bengkel senjata 'Hin Liong' yang terletak disebelah timur dari markas besar. Sehabis itu, harap lekas-lekas menuju kepintu markas sebelah barat, untuk menyatukan diri dengan kita,” demikian si Khong Beng itu mulai mengatur.

Lou Ping menerima perintah itu. Kata Thian Hong pula. “Ma-toako, kau suruh orang undang pemilik dan semua pegawai bengkel itu kemari. Tak usah bicara apa-apa padanya, nanti setelah terbakar, kita ganti lipat dua semua kerugian nya. Dan kumpulkan seluruh 400 saudara kita yang bertenaga kuat. Juga tiga 00 orang lagi saudara kita yang menjadi tentara pemerintah. Suruh mereka siap disini untuk menunggu perintah.”
Ma Sian Kun kerjakan apa yang diperintahkan Thian Hong itu.
“Nyo pat-ko, kau bawa dua00, saudara, yang sepuluh0 orang lagi supaya membawa kaju bakar, suruh mereka menyaru seperti panyual kaju. Wi kiu-te, kaulah yang pimpin 400 orang itu, pura-pura seperti barisan pemadam api. Dan Ki-moay, kau bawa
sepuluh0 orang menyaru jadi pengungsi, setiap orang memikul sepuluh0 kati minyak dan sebuah wajan.”
„Suruh bawa wajan dan minyak, apa mau suruh masak?” tanya Ciu Ki tertawa geli.
“Tentu ada gunanya,” kata Thian Hong. „Ciang sip-te, kau bawa sepuluh0 orang menyaru sebagai tukahg batu. Bawalah ge robak sorong yang berisi gamping !”
Semua orang yang mendengarkan perintah Thian Hong yang aneh- itu sama tertawa geli, tapi patuh.
„Ma-toako, kau menyaru sebagai perwira tentara Ceng, kau pimpin tiga 00 saudara dalam tangsi tentara itu untuk me lakukan patroli diluar tangsi besar. Jangan ijinkan sem barang orang dekat ketangsi. Juga laranglah semua anak tangsi yang mau keluar masuk. Dan Gi-hu (Tiong Ing), Beng-toako dan An-toako menyerang dari selatan. Congthocu, totiang dan aku, menyerang dari barat. Sam-ko, ngo-ko dan liok-ko menyerang dari utara.”
Habis mengatur, Thian Hong beber siasatnya. Semua orang sama memuji. Ma Sian Kun segera kerahkan orang-orang nya untuk menyediakan alats yang diperlukan. Karena HONG HWA HWE besar sekali pengaruhnya di Hang'Ciu, maka dalam beberapa jam saja. semua perlengkapan itu sudah beres.
Setelah habis makan, sekaliannya sama sibuk mempersiap kan diri. Dan berbondong mereka berangkat untuk meng gempur tangsi besar. Kata Keh Lok pada Thian Hong: „Sun Cu (satu ahli siasat dijaman Cian-kok). dalam tulisannya mengatakan: 'Menyerang dengan api menjadi lebih terang, menyerang dengan air menjadi lebih kuat'. Kau pakai ke duanya, api dan air dan juga batu. Masa Li Khik Siu dapat bertahan?” — Habis berkata, tertawalah Keh Lok ter-bahakdua.
Dan belum selesai mereka berkelakar, mendadak terdengar lah suara gemuruh yang keras disusul oleh sinar api yang berkobar menyulang tinggi, nyata bengkel perbekalan sudah terbakar. Itulah perbuatan Lou Ping sesuai perintahnya Thian Hong.
Sesudah Lou Ping kobarkan api dengan letusan batu be lirang dan maCam.dua yang sengaja dibawanya itu, segera penduduk disekitarnya _pada lari tunggang langgang dan suasana seketika kaCau-balau. Tapi bila melihat kearah ge dung panglimanya, ternyata disana tenanga saja.
Lou Ping menunggu dengan sabar dipinggir tembok rumah, tidak lama, ia lihat dari samping gedung pembesar itu me nongol keluar beratus kepala perajurit yang telah siap dengan panah terpasang dibusurnya, nyata penyagaan dilaku kan keras sekali, keCuali itu ada beberapa puluh perajurit pula yang siap sedia dengan ember air diatas tembok, tapi hanya menunggu saja dan tidak lantas keluar buat meno long kebakaran.
Diamtiga Lou. Ping pikir Li. Khik Siu itu ternyata pandai bersiasat jugu” rupanya kuatir kena perangkap musuh dengan tipu “memanCing harimau keluar dari gunung,” maka beta papun diluar sudah kaCau-balau, namun ia masih tetap menunggu dengan sabar.
Dalam keadaan kaCau itu, terlihat pula ada beberapa ratus petani penyual kaju telah merubung datang, dan bila melihat berkobarnya api, tampak mereka menjadi gugup dan bingung, segera saja rumput dan kaju kering yang mereka bawa itu terus dibuang begitu saja ditengah jalan.
Karena itu, satu perwira dari dalam gedung panglima itu telah berlarl keluar terus mendamperat: „Keparat, kenapa kaju dibuang disini, bukankah ini akan bertambah berbahaja, lekas enyah!” — Berbareng itu peCutnya terus disabetkan serabutan hingga para petani itu lari simpang-siur.
Sedang keadaan semakin rusuh, sekonyong-konyong suara gem bereng ber-taludua, beberapa kereta penolong bahaja api telah datang. Sementara itu rumput dan kaju kering yang dibuang para petani diluar gedung panglima tadi sudah terjilat api juga dan lambat-laun mulai menyalar.
Sedang ributdua, ratusan pengungsi palsu yang dipimpin Ciu Ki sementara itu juga sudah datang, terus saja mereka berhenti ditengah jalan itu dan memasang Cagak wajan, setelah minyak dituang kedalam wajan terus mereka me nyalakan api dan mulai memasak.
Tatkala itu Li Khik Siu lagi berdiri diatas tembok untuk memeriksa keadaan kebakaran, ketika dilihatnya orangtiga yang datang dari luar itu makin banyak-banyak makin aneh, segera ia kirim ajudannya, Can Tho Lam, pergi menyelidiki.
Karena perintah itu, Can Tho Lam mendekati kaum pengungsi itu terus membentak: “He, kerja apa kalian disini?”
„Bukankah kami sedang memasak, kami hendak meng goreng sajur, apa kau tak melihatnya?” sahut Ciu Ki tertawa.
“Keparat, jahanam, lekas enyah, lekas enyah!” damperat Can Tho Lam ber-ulangdua.
Sedang CeCok mulut, be-ramaidua Ma Sian Kun sudah datang membawa pasukannya dan mengepung rapatdua gedung panglima itu serta mengusir pergi orang-orang yang tak ber kepentingan.
“Hai, siapakah kawan yang memimpin pasukan ini?” teriak Can Tho Lam segera. “Lekas silahkan kemari mengusir pergi kawanan perusuh ini.........” — Belum habis ia bicara, mendadak Ciu Ki gunakan gajungnya buat menyen dok segajung minyak mendidih terus disiramkan kemukanya.
Seketika juga Can Tho Lam rasakan panas dan sakit luar biasa, ia ter-gulingdua ditanah saking tak tahan, karuan beberapa perajurit yang mengiringinya sangat terkejut, lekas-lekas mereka memayang atasannya itu kedalam gedung.
Kejadian itu telah dilihat jelas oleh perajuritdua lain yang menyaga diatas tembok itu, segera mereka menghujani panah.
Namun orang-orang Hong Hwa Hwe siangdua sudah siap sedia, mereka sempat bersembunyi dibalik kereta dorong yang me muat kaju dan rumput bakar itu, maka sebatang panah saja tiada yang mengenai mereka.
Dalam pada itu minyak yang digodok itu sudah mendidih, segera pasukan pemadam api yang dipimpin Wi Jun Hwa terus sedot minyak mendidih itu dengan pipa kereta penolong bahaja api dan disemprotkan keatas tembok.
Karena sama sekali tak menduga-duga, seketika perajuritdua Cing itu terbakar minyak hingga seluruh muka, lengan dan dada pada melepuh bengkak. Dalam keadaan kaCau itulah, banyak-banyak diantara mereka terjungkal dari atas tembok itu.
Nampak gelagat jelek, Li Khik Siu tahu tentu orang-orang
Hong Hwa Hwe yang datang hendak menolong Bun Thay Lay, maka disamping mengirim orang pergi mengundang bala bantuan, dilain pihak ia pimpin sendiri tentaranya buat bertahan.
Tak ia duga bahwa orang yang ia suruh pergi minta bala bantuan itu sampai diluar telah diCegat oleh pasukan yang dipimpin Ma Sian Kun, sebaliknya api makin lama makin menyilat lebih dekat.
Sebenarnya Thian Hong yang mengatur siasat itu melulu suruh membakar rumput kering saja, perlunya hanya buat menggertak belaka, padahal ia justru kuatir bila benardua gedung panglima itu terbakar dan Bun Thay Lay tak keburu ditolong keluar, bukankah hal itu menjadi runyam malah. Namun hal itu sudah tentu tak diketahui Li Khik Siu, sebaliknya ia bertambah gugup, ia kuatir api benardua men jalar menyilat gedungnya.
Sementara itu minyak mendidih yang dibuat semprot itu sudah habis dan diganti dengan air dingin. Tapi segera si bongkok Ciang Cin memimpin orang-orang nya melemparkan bungkusandua kapur gamping itu kedalam gedung, dan karena kena disiram air, dengan sendirinya gamping itu menjadi seperti diaduk hingga panas mendidih juga, tentu saja yang paling Celaka rasanya jalah perajuritdua Cing yang malang itu.
“Ayolah, saudara-saudara, serbu!” segera Keh Lok memberi komando.
Dengan semangat me-nyaladua, sekaligus jago-jago dan anggota
Hong Hwa Hwe itu terus membanyir kedalam gedung pem besar itu.
Perajuritdua Cing masih berusaha menahan serbuan itu, namun mana sanggup mereka melawan sepasang kampaknya Ciang Cin serta ketangkasannya Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa dan jago-jago yang lain. Maka sambil bertempur perajurit Cing itupun sembari mundur, sampai achirnya mereka ter desak ke-tengahdua lapangan melatih dan kena diterdyang anggotadua HONG HWA HWE menjadi kelompokdua kecil dan terkepung.
Melihat perajurit musuh berjumlah terlalu banyak-banyak, seketika susah juga hendak menaklukannya, maka Thian Hong tertegun sejenak. Sedang ia memikir, tiba-tiba dilihatnya dengan sepasang golok terhunus Lou Ping sedang menerobos keluar-masuk ke-ruangandua gedung pembesar itu untuk men Cari sang suami, Bun Thay Lay.
„Suso, kau keluarlah mengkerahkan barisan pipa air itu kemari dan suruh adik Ki lekas menggodok air diwajan!” seru Thian Hong segera.
Cepat-cepat juga Lou Ping terima perintah itu terus pergi keluar.
Dalam pada itu Tan Keh Lok, Bu Tim, Tio Pan San, Ciu Tiong Ing, Siang-si Siang-hiap dan lain-lain juga sudah menerobos kian kemari didalam gedung panglima itu untuk menCari dimana beradanya Bun Thay Lay disekap. Tapi meski mereka menangkap beberapa perajurit penyaga dan ditanyai, namun mereka hanya melongo saja tak bisa men jawab, maka sedikitpun mereka belum tahu dimana Bun Thay Lay berada.
Achirnya Bu Tim menjadi gusar, ia ajun pedangnya terus menerdyang kedalam pasukan musuh, hanya sekejap saja tujuh-delapan perajurit dan bintara musuh telah kena dibinasakan.
Sedang Thian Hong memberi perintah pula dengan bahasa rahasia Hong Hwa Hwe agar para jago-jago itu be-ramaidua men desak pasukan musuh dan dikepung rapatdua.
Tapi Li Khik Siu adalah panglima yang sudah berpeng alaman, ia pimpin bawahannya bertahan matiduaan, walaupun sudah banyak-banyak yang mati atau luka, namun kedudukan per tahanan mereka masih teratur baik. Sedang pertempuran memunCak, tiba-tiba didengarnya dipihak lawan ada orang ber seru dalam kata-kata aneh, lalu anggotadua HONG HWA HWE pada terpenCar minggir.
Karena kuatir lawan menggunakan muslihat, lekas-lekas, Li Khik Siu memberi perintah: “Tetap ditempat masing-masing, jangan mengejar, lepas panah !”
Tapi belum selesai ia memberi perintah, mendadak pihak lawan kelihatan menerobos keluar beberapa buah pipa air an seketika air mendidih berhamburan dengan santarnya, karena tak sempat menyingkir, perajuritdua Cing itu menjadi kerupukan kena digodok oleh air mendidih itu, banyak-banyak yang tergulingdua menyerit sakit terus desak-mendesak di antara Kawan-kawan sendiri untuk menCari selamat.
„Pipa air berhenti dulu!” tiba-tiba Thian Hong berteriak. Lalu ia membentak pula kepada perajuritdua musuh itu: „Yang masih ingin hidup lekas letakkan senjata dan mendekam diatas tanah!” — Habis itu, tanpa menunggu musuh sempat memikir, Cepat-cepat ia memberi komando lagi: „Semprot!” — Dan kembali belasan “naga air” itu berhamburan pula kedalam pasukan musuh.
Dalam keadaan kaCau serta badan sama melepuh, perajuritdua Cing itu lekas-lekas buang senjata terus mendekam ketanah. Karena itu Li Khik Siu menjadi sibuk, tapi apa daya?
Sedang ia gugup dan kuatir, tiba-tiba dilihatnya ada satu pemuda berlari masuk dari luar dengan menghunus pedang.
„Ayah lekas lari!” seru pemuda itu Cepat-cepat terus menarik tangan Khik Siu.
Melihat pemuda ini adalah puterinya yang menyaru lelaki, entah mengapa tenaga puterinya itu ternyata begitu besar luar biasa hingga sekali kena ditarik lantas ikut berlari.
Dalam pada itu sibongkok Ciang Cin lantas menghadang datang, begitu sepasang kampaknya membaCok, ia barengi membentak pula: „Hendak lari kemana !”
Namun Wan Ci mendahului menusuk pundak orang hingga terpaksa Ciang Cin angkat kampaknya menangkis. Tak terduga serangan Wan Ci ini hanya pura-pura saja, Cepat-cepat €dua sekali ia telah tarik kembali pedangnya terus menarik ayah nya menerobos pergi dengan Cepat-cepat .
Sedianya Ciang Cin hendak mengudak, tapi Tio Pan San mengenal Wan Ci adalah muridnya Liok Hwi Ching, ia pikir : “Entah boCah ini ada hubungan keluarga apa dengan panglima ini hingga telah menolongnya dengan matiduaan, melihat mukanya Liok-toako, biarlah dilepaskannya pergi !” Karena pikiran itu, segera ia. berteriak : „Sipte, jangan mengejar ! Paling perlu kita menolong Sute dulu !”
Dan Ciang Cin lantas berhenti tak menguber lebih jauh.
Sementara itu perajuritdua Cing sudah membuang senjata mereka seperti seruan Thian Hong tadi, sedang Nyo Seng Hiap memimpin bawahannya telah menggiring perajuritdua musuh itu kesuatu sudut.
Dengan begitu Tan Keh Lok, Bu Tim dkk. lantas menCari keseluruh pelosok gedung panglima itu, tapi bayangan Bun Thay Lay ternyata belum juga diketemukan.
Lou Ping yang tak bisa ketemukan sang suami, ialah yang paling gopoh rasanya, segera ia tangkap satu perajurit musuh, dengan gigir goloknya ia gebuk orang sambil mem bentakduanya agar memberitahu dimana Bun Thay Lay diku rung. Namun perajurit itu hanya mints, ampun terus, tam paknya memang benardua tidak tahu dimana Bun Thay Lay ditahan.
„Kitai lekas pergi menCegat panglimanya, tentu dia tahu dimana Suka dikurung,” seru Thian Hong tiba-tiba .
Maka Cepat-cepat para pahlawan lantas mengejar keluar, tapi tiada berapa tindak, sekonyong-konyong seorang berkedok telah melompat keluar dari pinggir jalan dan pedangnya terus menusuk kearah Lou Ping.
Dalam kagetnya Lou Ping sempat menangkis dengan golok pendeknya ditangan kanan, berbareng golok panyang ditangan kiri kontan membalas serangan orang. Namun orang itupun dapat menahan dengan pedangnya, lalu terde ngar ia berkata dengan suara parau: „Kalau ingin bertemu dengan suamimu, lekas ikut padaku !”
Lou Ping tertegun sejenak oleh kata-kata itu, sedang orang itu lantas putar tubuh berlari pergi.
“He, apa yang kau bilang tadi?” segera Lou Ping berseru terus menyusul orang itu.
Karena kuatir terjadi apa-apa atas diri nyonya jelita itu, Cepat-cepat Ciang Cin dan Ciu Ki juga menyusulnya dari belakang.
Orang berkedok itu masih terus lari menuju keruangan belakang sambil membiluk kesini dan memutar kesana, sedang Lou Ping, Ciu Ki dan Ciang Cin tetap mengintil dari belakang. „Hai, siapa kau?” demikian terus-menerus Lou Ping membentak menanya orang.
Tapi orang berkedok itu tetap bungkam seribu basa, me lainkan terus lari saja. Setelah melalui beberapa pintu bundaran, achirnya sampailah ditaman bunga, sepanyang jalan banyak-banyak majat bergelimpangan, tentunya terbunuh tatkala Bu Tim cs. menCari kesitu.
Waktu orang berkedok itu berlari sampai disuatu rumpun bunga, tiba-tiba ia mengitari sekali terus menepuk tangan beberapa kali, tapi ketika ia hendak buka suara, mendadak dilihatnya Li Khik Siu dan Li Wan Ci telah berlari kedalam taman itu juga, dibelakang kelihatan Siang-si Siang-hiap lagi mengejar.
Cepat-cepat orang berkedok itu melompat kehadapan Siang-si Siang-hiap terus menangkis dengan pedangnya, kesempatan itulah digunakan Wan Ci dan ayahnya untuk melompat ke atas pagar tembok taman itu.
Sudah tentu Siang-si Siang-hiap tak membiarkan buronan nya lolos, sekali mengajun, Siang Pek Ci telah timpukan Cakar-terbangnya sembari tangan yang lain menghantam orang berkedok itu.
Namun dengan gerakan “hwe-hong-hut-liu” atau angin lesus menyamber puhun liu, orang berkedok itu angkat pedangnya menyampok Cakar-terbang, berbareng orangnya melangkah mundur menghindari pukulan tangan lawan yang lain.
Tak ia duga, kedua saudara Siang itu diwaktu bertempur selamanya bisa bekerja sama dengan rapat sekali, setiap gerak-gerik kedua saudara itu dapat dilakukan bagai seorang saja. Maka ketika Siang Pek Ci memukul, segera Siang He Ci menduga kemana musuh bakal mundur, ketika orang berkedok itu melangkah mundur, tepat sekali pundaknya kena digablok oleh balikan tangan Siang Ho Ci yang sudah menanti, tanpa ampun lagi orang itu menCelat pergi beberapa tindak terus terguling.
„Goko, Lakko, jangan melukai dia!” teriak Lou Ping tiba-tiba .
Karena itu Siang-si Siang-hiap terCengang tak mengarti, dalam pada itu orang berkedok itu telah berbangkit terus menerobos keluar melalui pintu taman bunga itu.
Cepat-cepat dan singkat saja Lou Ping lantas Ceritakan tindak tanduk orang berkedok yang aneh itu kepada kedua saudara Siang. Kedua saudara kembar ini sudah lama berkeCimpung dikangouw, banyak-banyak pengalaman dan luas pengetahuannya, setelah mendengar Cerita Lou Ping itu, mereka lantas Co ba-Coba meneliti sekitar rumpun bunga itu, tapi ternyata tiada sesuatu yang aneh.
Dan sedang kedua saudara Siang itu lagi memikir, semen tara Ciang Cin sudah tak sabar lagi terus menggembar gembor: “Suko, Suko! Dimanakah , kau, kami telah datang hendak menolong kau!” — Habis ini, ia ajun kampaknya terus membabati potdua bunga itu hingga berantakan.
Pada saat itulah, sekilas Siang Pek Ci melihat dibawah, satu pot bunga yang peCah itu terdapat tanda-tanda yang aneh, Cepat-cepat ia melompat maju buat memeriksanya. Ternyata dibawah pot itu terdapat sebuah gelangan besi yang besar, waktu ia menariknya sekuatnya, tiba- terdengar suara ber Cits yang keras, pelahans tempat dibawah pot bunga itu lantas menggeser hingga tertampak sebuah papan batu.
Ciu Ki tahu pasti dibawahnya terdapat alats rahasia mengingat pengalaman dirumahrija sendiri, maka Cepat-cepat ia berlari keluar memanggil Thian Hong dan Keh Lok cs.
Sementara itu Siang-si Siang-hiap, Ciang Cin dan Lou Ping berempat sedang berusaha mengangkat papan batu itu be-ramaidua, tapi batu itu ternyata seperti melengket saja tak bergerak sedikitpun.
„Toako, toako, apakah kau berada dibawah?” 'Lou Ping ber-teriakdua sambil menempelkan telinganya kepapan batu itu untuk mendengarkan, tapi sedikitpun tiada suara dibawah.
Melihat papan batu itu tiada sesuatu tanda? lain lagi, Thian Hong Coba mundur beberapa tindak untuk memeriksa keadaan tempat itu lagi, dibawah sorot sinar sang surja, tiba-tiba dilihatnya diujung kanan papan batu itu lapatdua ter lukis sebuah gambar “Pat-kwa.” Cepat-cepat saja „Khong Beng” dari Hong Hwa Hwe ini melompat maju terus menutul tengahdua gambar Pat-kwa itu dengan ujung tongkatnya, namun tiada sesuatu reaksi, ketika ia menekan lagi lebih keras, mendadak terasalah dibawah kakinya tergontyang , lekasa ia melompat pergi kesamping.
Pada saat itulah papan batu itu mendadak ambles kebawah. Karuan yang paling girang rasanya; ialah Lou Ping, saking tak tahan ia berteriak sekali terus hendak melompat kebawah, baiknya Siang Pek Ci keburu memanggilnya agar sabar.
Dan betul saja tiba-tiba dari bawah telah menyamber keluar tiga anak panah, diam-diam Lou Ping berSyukur, hampira saja dirinya terjebak.
Apabila kemudian mereka menegas kebawah dimana papan batu tadi ambles masuk, tertampaklah suatu jalan dengan undakduaan batu.
„Goko, Lakko, kalian berdua menyaga dimulut goa sini, biar kami yang turun kebawah!” kata Keh Lok.
Dalam pada itu Bu Tim, Tio Pan San, Ciu Tiong Ing, Nyo Seng Hiap dan Beng Kian Hiong cs. ketika mendengar ada nya goa itupun sudah menyusul tiba, karena sudah tak sabar ingin bisa membebaskan Bun Thay Lay, seketika juga mereka menyerbu kedalam goa itu, dengan mengajun sepasang kampaknya, Ciang Cin lantas membuka jalan.
Setelah mereka turun dari undakduaan batu itu, dibawah sana ternyata ada satu jalan lorong yang sangat panyang . Tanpa menghiraukan bahaja, para pahlawan itu terus berlari maju mengikuti jalan lorong itu. Tapi pada ujung jalan lorong itu ternyata ada sebuah pintu besi.
Kini Thian Hong sudah berpengalaman, ia keluarkan batu ketikan api, ia menyinari pintu besi itu, dan betul juga di ketemukan pula sebuah gambar pat-kwa, kembali ia tekan dua kali ketitik tengah gambar pat-kwa itu, lalu serunya: „Awas, semua minggir !”
Para pahlawan itu pada mengkeret mepet dikedua sisi dinding lorong itu, untuk menyaga kalau ada senjata rasia yang menghambur keluar mendadak. Tapi sekali ini ternyata tiada senjata rasia apas, Cuma menaiknya pintu besi itu sangat lambat.
Saking tak sabar, belum lagi gerak naik pintu besi itu berhenti, segera saja Lou Ping lantas mendek menerobos masuk.
„Hati-hati Suso,” demikian Thian Hong Coba memperingat kannya, namun saat itu juga Lou Ping sudah masuk dan disusul oleh Ciang Cin serta Ciu Ki.
Selagi para pahlawan hendak mengikut masuk juga, terlihatlah Wi Jun Hwa berlari masuk dari luar terus melapor pada Tan Keh Lok: “Congthocu, panglima itu telah berhasil lolos keluar, baiknya lekasan kita turun tangan, kuatirnya sebentar ia bakal datang lagi dengan bala bantuan.”
„Baiklah, kau keluar lagi membantu Ma-toako, harus lebih banyak-banyak siapkan panah, jangan sampai bala bantuan bisa masuk,” perintah Keh Lok.
Segera Wi Jun Hwa keluar lagi dengan tugas itu.
Habis itu Keh Lok dan Bu Tim cs. lantas menerobos masuk juga dari bawah pintu besi tadi, tapi didalam sana kembali terlihat sebuah jalan lorong lagi, tapi karena hasrat hendak menolong Bun Thay Lay semakin memburu, para pahlawan itu tidak pikirkan lagi bakal ada serangan senjata rasia segala, ber-dujundua segera mereka menyerbu lebih jauh.
Tapi beberapa tombak jauhnya, kembali jalan lorong itu tampaknya buntu lagi. „Keparat, begini banyak-banyak alat rahasia nya!” segera Ciang Cin memaki.
Tak terduga ketika sudah sampai diujungnya, ternyata jalan lorong itu ada bilukan, Cepat-cepat saja pahlawandua itu membiluk dan mendadak pandangan merekapun terbeliak, ternyata didepan sana ada sebuah ruangan kecil, didalam ruangan itu terang benderang tersulut beberapa lilin besar, di-tengah-tengah ruangan ada sebuah kursi dimana berduduk se orang sendirian dengan pedang terhunus, musuh bujutan bertemu, tampaknya menjadi lebih jelas, siapa lagi dia kalau bukan Hwe-jiu-poan-koan Thio Ciau Cong.
Dibelakang Thio Ciau Cong itu ada sebuah dipan, jelas dapat dilihat oleh Lou Ping bahwa orang yang merebah di dipan itu terang ada sang suami yang dirindukannya siang dan malam itu.
Dilain pihak ketika mendengar suara tindakan kaki orang yang riuh, Bun Thay Lay telah berpaling, dan ketika dilihat nya isteri yang diCintainya itu tahu-tahu berlari mendatangi, serasa dikiranya dialam mimpi, dan karena tangan-kakinya diborgol tanpa bisa berkutik, maka ia hanya bisa mengeluar kan suara terkaget saja.
Dalam pada itu segera Lou Ping menghamburkan dulu tiga buah pisau terbangnya kearah Thio Ciau Cong, habis itu tanpa dihiraukannya Cara bagaimana musuh itu berkelit, tanpa. pikir lagi ia menubruk kedepan pembaringan sang suami.
Tapi hanya sekali tangan kiri Ciau Cong meraup dari kanan kekiri, tigadua hui-to atau pisau terbang Lou Ping tadi sudah kena ditangkap semua olehnya, saat lain ketika tangan kanannya menekan knop diatas kursinya, sekonyong-konyong dari atas menganylok turun sebuah jaring kawat baja hingga dipan tempat merebah Bun Thay Lay itu kena dikurung rapatdua didalam, perCuma saja suami isteri yang sudah saling berhadapan itu, tapi tak mampu berdekatan.
“Ayo maju, saudara-saudara, kita bereskan dulu jahanam ini!” seru Keh Lok gusar. Berbareng itu belatinya terus ia Cabut dan menubruk maju menikam kedada Thio Ciau Cong.
Bu Tim, Tio Pan San dan Ciu Tiong Ing Cukup kenal betapa lihainya Thio Ciau Cong, tapi kini dalam keadaan genting, merekapun tidak menghiraukan lagi tentang per aturan satu-lawan-satu menurut Caranya perkelahian kaum ksatria, maka mereka bertiga lantas lolos senjata juga hingga Ciau Cong kena dikepung ditengah.
Keempat lawannya kini adalah tokohs terkemuka dalam bu-lim atau dunia. persilatan, sekal-ipun kepandaian Thio Ciau Cong setinggi langit, rasanya saat demikian juga susah hendak meloloskan diri.
Tapi Ciau Cong tidaklah malu sebagai seorang jagoan kelas wahid, ia melajani kerojokan musuh dengan tenang dan tekun, sesudah menangkis beberapa serangan, pada lain kesempatan bahkan pedang pusakanya „ih-pek-kiam” juga ditusukan buat balas menyerang.
Tiba-tiba Keh Lok selipkan belatinya dipinggang, lalu dengan tangan kosong ia keluarkan „kim-na-hoat” atau ilm'u me nangkap dan menawan terus menubruk kearah dada Thio Ciau Cong, ia pikir semua serangan musuh tentu akan di sambut oleh Bu Tim dan yang lain-lain, ia boleh menyerang tak perlu pikirkan menyaga diri, maka secara berantai ia me rangsang terus, dibawah sinar lilin dan berkelebatnya senjata, suatu ketika tangan kirinya terus menCengkeram kemuke, musuh.
Dalam perlawanan sengitnya itu, ketika mendadak Ciau Cong melihat telapak tangan orang sudah tiba, tak sempat lagi ia berkelit, namun ia Coba mengegos terus sedikit men dekuk kebelakang, dengan begitu Cengkeraman Keh Lok itu menjadi luput. Tapi dilain pihak kedua pedang Bu Tim dan Tio Pan San berbareng juga sudah menusuk tiba, begitu pula golok tebal Ciu Tiong Ing telah membabat dari samping.
Lekas-lekas Ciau Cong melompat mundur dua tindak untuk menghindari babatan golok Ciu Tiong Ing' yang antap dan Cepat-cepat itu, habis itu ia ajun pedangnya memotong kedua sen jatanya Bu Tim serta Tio Pan San.
Karena jeri terhadap pedang pusaka orang yang sangat tajam itu. Bu Tim dan Pan San tak berani mengadukan senjatanya dan terus berganti gerak serangan, yang satu menusuk keperut dan yang lain dada kiri orang.
Dalam pada itu Keh Lok dan Tiong Ing juga sudah me rangsang maju pula, dalam keadaan demikian, sekalipun ilmu silat Thio Ciau Cong berlipat ganda juga susah me naha*n kerojokan empat jago kelas satu ini, terpaksa ia mundur lagi dua tindak.
Memangnya ruangan itu tidak besar, kini ia sudah mundur sampai dipinggir tembok. Girang sekali Bu Tim melihat itu, ia melangkah maju terus menusuk kedepan mengarah dada musuh, berbareng Ciu Tiong Ing, Tan Keh Lok dan Tio Pan San juga sudah menyerang bersama.
Tak terduga mendadak Ciau Cong ulur tangan kirinya menekan dinding dibelakangnya itu, sedang tangan kanan ia ajun pedang'nya buat menahan serangan musuh. Ketika serangan Bu Tim semakin gencar dan makin bersemangat, tampaknya dengan sekali tusuk lagi pasti Ciau Cong bakal terpantek ditembok itu, siapa tahu mendadak terdengar suara, gemertak, tiba-tiba dinding itu melekah berwujut satu pintu kecil dan seCepat-cepat kilat Ciau Cong lantas menyelinap masuk, habis itu pintu kecil itupun Cepat-cepat merapat kembali, sampai kedua pedang Bu Tim dan Pan San hampirdua terjepit.
Terkejut sekali keempat orang itu, Bu Tim mem-bantingdua kaki sambil menCuCi maki, sedang Keh Lok lantas melompat kehadapannya Bun Thay Lay. Dalam pada itu Ciang Cin, Ciu Ki dan Lou Ping be-ramaidua sedang angkat senjata mereka berusaha membobol jaring kawat yang mengurung Bun Thay Lay itu.
Pada saat itulah mendadak dibagian atas terdengar suara keras, sebuah papan baja tahu-tahu anylok turun dan dengan tepat memisahkan Bun Thay Lay dibagian dalam. Lekas-lekas Keh Lok menarik mundur Lou Ping dan Ciu Ki hingga tidak samping tertindih oleh papan baja itu, saking gemasnya Ciang Cin ajun kampaknya membaCoki papan baja itu.
Waktu Thian Hong memeriksa dinding itu apa terdapat alat rahasia pembuka papan baja itu, achirnya dapat dike temukan juga sebuah gambar pat-kwa, ia tekan pula titik
tengah gambar itu seperti tadi, tapi rupanya Thio Ciau Cong sudah mengunCinya dari dalam, meski sudah belasan kali Thian Hong menekan sekuatnya, namun sedikitpun tiada bergerak.
Tatkala itu Nyo Seng Hiap berdiri paling belakang dan menyaga ditempat bilukan jalan lorong itu, mendadak didengarnya dibagian luar ada suara keriat-keriut dari tali baja yang ditarik, diam-diam ia tahu gelagat jelek, Cepat-cepat saja ia melompat keluar.
Tapi Thian Hong cs. masih belum putus asa, mereka masih terus menCari alat rahasia pembuka papan baja itu, sedang Lou Ping dengan perasaan pedih sekali merabai papan baja itu sambil meratap: “Toako, toako !”
Sekonyong-konyong terdengar suara geraman Nyo Seng Hiap di jalan lorong sana, suaranya begitu gugup dan menguatir kan. Lekas-lekas Tio Pan San dan Ciu Tiong Ing memburu ke sana. Tidak lama lantas terdengar Pan San ber-teriakdua : “Para kawan lekas keluar, lekas!”
Segera juga Keh Lok dan Thian Hong cs. berlari keluar, hanya, Lou Ping- yang masih memegangi papan baja itu merasa berat untuk meninggalkan pergi. Ketika Ciu Ki sudah berlari sampai ditempat bilukan dan waktu ia berpaling dan melihat Lou Ping masih ketinggalan, Cepat-cepat ia kembali me nyeretnya keluar.
Kemudian terlihatlah Nyo Seng Hiap dengan kedua tangannya lagi menyang gah sebuah papan baja tadi yang beratnya beribu kati itu, begitu payah tampaknya hingga ji dat Seng Hiap sudah penuh berkeringat. Lekas-lekas Tiong Ing melempar senjatanya, ia menorobos keluar dulu terus ber jongkok buat menahan pintu baja itu keatas.
Nampak keadaan berbahaja, Cepat-cepat Keh Lok berseru: „Kita keluar saja dahulu buat menCari jalan lain.”
Segera pada pahlawan itu menerobos lewat melalui bawah papan baja yang sudah hampir menempel tanah itu, begitu berat papan baja itu, meski Seng Hiap dan Tiong Ing sudah keluar sepenuh. tenaga, tapi masih terus menurun pelahan kebawah.
„Ciu-loenghiong, Pat-ko, biar aku menahannya!” segera Ciang Cin berseru, ia berjongkok kebawah dan gunakan punggungnya yang bongkok itu untuk menyaggah papan baja itu, sedangkan Seng Hiap dan Ciu Tiong Ing Cepat-cepat lantas melompat keluar.
Lantas Seng Hiap menyemput kembali rujung bajanya yang diletakkannya ditanah tadi untuk ditegakkan buat me nahan menurunnya papan baja1 itu sambil berkata: „Lekas keluar Sipte !”
Cepat-cepat juga Ciang Cin mendekam kebawah hingga tu runnya papan baja itu kena disanggah rujung bajanya Seng Hiap tadi, sedang lengan Ciang Cin telah diseret Seng Hiap keluar, maka terdengarlah suara gemuruh yang keras, rujung baja patah kena tertindih oleh papan baja yang mengan jlok ketanah itu hingga debu berhamburan, kerasnya bukan main.
Sebaliknya Seng Hiap dan Ciang Cin menjadi kehabisan tenaga, mereka mendoprok kelantai untuk sementara.
Dalam pada itu kembali dijalan lorong itu ada suara ber larinya orang lagi, Siang He Ci telah berlari masuk mem beritahu, katanya: „Congthocu, Gi-lim-kun telah sampai diluar, apakah kita harus bertahan tidak?”
„Cntuk keras lawan keras, kedudukan tidak menguntung kan kita, kita mundur teratur saja,” ujar Thian Hong.
„Baik,” kata Keh Lok akur. “MariIah lekas kita keluar !”
Maka Cepat-cepat lah para pahlawan itu berlari keluar jalan lorong itu. Sampai ditaman tadi, tiba-tiba terlihat satu wanita muda yang bersolek dengan Cantik dan mewah sekali, sikap nya gugup dan wajahnya takut-takut. “Tangkap!” bentak Keh Lok. Segera juga Ciu Ki seret wanita itu dan dibawa lari.
Sampai diluar gedung- panglima itu, ternyata diluar sudah penuh dengan orang, keadaan kaCau balau, para perajurit pemerintah dan anggota HONG HWA HWE ber-jubeldua menjadi satu, lekas-lekas Keh Lok menggunakan kode HONG HWA HWE untuk berseru : „Segera juga kita. mundur, be-ramaidua kita berkumpul di pintu utara !”
Karena perintah itu, ber-kelompokdua anggota Hong Hwa Hwe itu lantas mundur kearah utara. Kejadian ini bikin pasukan pemerintah seketika bingung, tapi merekapun tidak mengejar.
Sebab usaha gagal, ditengah jalan para jago Hong Hwa Hwe itu ramai berunding. Sampai diluar kota, lantas Keh Lok berseru pula: “Kita berkemah kebukit kira-kira sepuluh li diluar kota sana baru merundingkan tindakan selanyutnya.”
Baiknya Ciu Ki dengan regunya membawa wajan dan minyak, ada beberapa regu lain juga segera menyiapkan beras dan sajur-majur, lalu mereka berkemah dirimba yang dituju itu.
„Kau jangan kuatir, Su-moay, kalau Sute tidak bisa di tolong keluar dengan selamat, kita bersumpah bukan manu sia lagi,” demikian Bu Tim Coba menghibur Lou Ping.
Ada juga yang sedang menCuCi maki Thio Ciau Cong yang jahat tak terampun itu, dua kali mereka berusaha menolong Bun Thay Lay selalu digagalkan olehnya. Begitu pula mereka tidak mengarti siapakah gerangan siorang ber kedok itu, ia memberitahu dimana tempat Bun Thay Lay ditahan, sudahlah terang ia adalah kawan, tapi kenapa tak mau perlihatkan mukanya, sebaliknya malah membantu selamatkan Li Khik Siu, sungguh hal ini membikin bingung orang.
Sedang mereka ramai berunding, tiba-tiba terdengar diluar rimba itu berkumandang suara teriakan: “Aku Bu — Wi Yang, Aku Bu — Wi Yang!” — Itulah suara teriakan pem buka jalan kawanan po-pio atau tukang kawal.
“Ha, itulah barang kawanan Tin Wan piaukiok telah sampai disini,” kata Pan San.
„Kurangajar orang-orang Tin Wan piaukiok itu, meski manusia she Tong itu sudah kena dibunuh Chit-ko, namun rasanya masih belum bisa melampiaskan rasa dendamku,” demikian Lou Ping memaki. “Sekali ini mereka benardua beruntung, barang yang mereka kawal adalah milik kediaman Congthocu, kalau tidak, hm, anehlah kalau aku tidak merampasnya?”
Dalam pada itu Thian Hong telah menarik Keh Lok He samping, ia membisikinya: “Hongte bilang dalam tiga harini akan membunuh Suko, hal ini jangan sampai diketahui Suso, kalau tidak, karena kuatir mungkin ia bisa melakukan haldua nekad hingga bikin urusan bertambah runyam.” Keh Lok mengangguk membenarkan.
Lalu kata Thian Hong lagi: „Dan sesudah keributan kita ini, besar sekali kemungkinan Hongte menjadi kuatir dan mendahului membunuh Suko sebelum waktunya.”
„Ja, inilah harus kita pikirkan memang,” ujar Keh Lok mengkerut kening.
„Sekarang tiada jalan lain, terpaksa merampas vaas-nya,” kata Thian Hong pula.
„Vaas?” tanya Keh Lok tak paham.
“Ja, bukankah tadi Cap-ji-long bilang orang Hwe meng haturkan sepasang 'Giok-bin' (vaas dari jade) sebagai tanda permintaan damai dan dalam kawalan Tin Wan piaukiok,” kata Thian Hong. “Dan kalau Hongte sudah kirim pasukan ekspedisinya kebarat, soal damai terang tidaklah mungkin diterima, dan kalau tidak mau terima permintaan damai, dengan sendirinya 'giok-bin' itu harus ditolak kembali, bila tidak. tentu akan kehilangan kepercayaan umum. Dan jus tru situa Hongte ini paling suka diumpak, suka martabat, terhadap urusan nama baik tentu akan dipikirkannya.”
“Jadi kalau sudah kita dapatkan vaas itu lantas kita pergi pada Hongte dan bilang padanya sekalia jangan bikin susah Bun-suko seujung rambutpun, atau bila terjadi apa-apa atas dirinya, lantas kita remukan vaas itu,” kata Keh Lok.
“Begitulah memang maksudku,” sahut Thian Hong. “Ke lak sekalipun tak dapat mengulur tempo buat berapa hari lagi, hal ini menguntungkan juga Bok-lunghiong didaerah Hwe sana.”
„Bagus, biar sekalian kita men-jajaldua Ong Hwi Yang yang berjuluk 'Wi-Cin-ho-siok' itu,” kata Keh Lok senang.
Sesudah ambil keputusan itu, lantas Keh Lok mendekati para pahlawan yang lain serta berkata : „Wi-kiuko, seka rang juga pergilah kau menyelidiki keadaan barang kawalan Tin Wan piaukiok itu dan segera kembali melaporkan.”
Cepat-cepat juga Jun Hwa menerima perintah sang ketua itu terus pergi. Ong Hwi Yang yang berjuluk „Wi-Cin-ho-siok” atau wibawanya menggetarkan daerah Hopak dan Soatang, usianya tahun ini sudah enamsembilan tahun, sejak berumur tiga puluhan ia lantas berkelana dan mengawal piau, dengan goloknya „pat-kwa-to” serta ilmu pukulannya „pat-kwa-Cio” telah menggetarkan seluruh kalangan lok-lim didaerah utara tanpa tandingan. Dahulu pernah sekali terjadi perta rungan dikota Po-ting, dimana seorang diri ia telah binasa kan tujuh orang gembong bandit yang tersohor hingga orang-orang kalangan hek-to peCah nyalinya mendengar namanya dan julukan „Wi-Cin-ho-siok” justru diperoleh karena kejadian itu.
Tin Wan! piaukiok yang dia dirikan itu selama tiga 0 tahun sangat terkenal didaerah utara dan selama itu berdiri dengan megahnya meski banyak-banyak juga mengalami rintangandua, orang-orang lok-lim suka bilang : „Lebih baik ketemu Giam Ong (raja achirat) daripada kesemplok dengan lau-Ong (Ong situa, maksudnya Ong Hwi Yang)”. Siapa saja melihat panyiduanya, tentu tak berani sembarangan turun tangan.
Sebenarnya Ong Hwi Yang bermaksud tahun depan sesudah merajakan ulang tahunnya yang ke-tujuh0 lantas akan me nutup perusahaannya itu dengan gilang-gemilang, siapa duga tahun ini telah banyak-banyak terjadi haldua yang tidak meng untungkan. Tatkala mengawal kitab Alkur'an dari daerah Hwe atas perintah jenderal Yauw Hwi, ditengah jalan telah terjadi kitab suCi itu dirampas orang, bahkan tidak sedikit piauthaudua pembantunya yang kuat luka atau tewas.
Sekali ini Hongte menyuruh menghantar „giok-bin” kese latan, telah ditunyuk ia sendiri yang harus mengawal, ber bareng itu iapun mendapat permintaan mengawal barang milik Tan Siang Kok di Hayling.
Meski usia Hwi Yang sudah lanyut, tapi kepandaiannya ternyata tidak pernah berhenti melatih, ia tahu tugas sekali ini sangat berat, maka tak berani ia berlaku ajal, dari ber bagai kantor Cabangnya ia tarik kembali enam pembantu yang kuat, disamping itu pemerintah mengirimkan juga empat jago bayang kari keraton beserta tiga 0 perajurit Gi-lim-kun untuk mengawal. Karena itulah, sepanyang jalan sedikitpun tiada aral lintang meski mereka selalu ber-jagadua.
Harini sudah lohor, jarak mereka dengan kota Hang-Ciu hanya belasan li saja, perjalanan sejauh itu sudah banyak-banyak penduduknya, tampaknya sudah pasti takkan terjadi apa-apa lagi. Karena itu semua orang yang mengawal itu sangat gembira, mereka sama sibuk merenCanakan Cara bagaima na nanti akan pesiar se-puasduanya sesudah tiba sampai dikota 'sjorga' itu.
Selagi mereka .berCakap dengan senang, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dari belakang telah menyalip lewat Se orang penunggang kuda dengan Cepat-cepat .
Melihat ilmu menunggang kuda orang itu sangat tinggi, pula gerak-geriknya tertampak hebat, tak tertahan hati semua orang rada tergontyang ; tapi bila pikir HangCiu sudah didepan mata, tak mungkin kiranya ada orang berani turun tangan disini.
Setelah dua li lagi, dari depan suara derapan berbunyi lagi, ternyata orang yang lewat tadi telah kembali dari sana. Sekali ini Ong Hwi Yang cs. Coba ber-hati-hati, tapi orang itu terlihat menutupi setengah mukanya dengan sebuah topi rumput yang berpinggiran lebar, hanya sekejap saja kudanya sudah melewati rombongan mereka.
Nyata tindak-tanduk orang itu mirip benar dengan matadua pengintai kawanan begal dikalangan kangouw.
„Ha, masakan ada segala penyahat berani tepuk lalat diatas kepala harimau?” demikian Ong Gok Thian pemimpin Cabang Tin Wan piaukiok dikota Hongthian, telah berkata dengan tertawa.
„Memangnya kita lagi kesel, kalau bisa membunuh beberapa gergajul juga baik rasanya,” ujar Be King Hiap, salah seorang jago pengawal yang ikut serta.
Tak lama lagi tibalah mereka sampai disuatu kota, sebagai seorang kawakan kangouw, Ong Hwi Yang orangnya sangat Cerdik dan hati-hati, katanya lantas pada Kawan-kawan nya: „Meski jarak sampai di HangCiu hanya sepuluh li saja, tapi aku lihat orang tadi agak menCurigakan, jangan kita Buru-buru memburu waktu, tapi berhentilah disini bersantap dahulu, seandainya nanti terjadi apa-apa, sesudah perut kenyang biar ada tenaga untuk membereskan penyahatnya.”
Habis itu mereka lantas memasuki satu restoran besar dan meminta daharan.
„Setibanya di HangCiu dan serahkan barang kawalan, barulah kita membuka pantangan meminum arak,” demikian kata Hwi Yang pula.
Tentu saja ikatan demikian ini bagi Be King Hiap cs. yang bertugas sebagai jago bayang kari, menjadi kurang senang. Kota HangCiu sudah didepan mata, tapi masih perlu berlaku begitu hati-hati, sesungguhnya terlalu lemah. Tapi usia Ong Hwi Yang lebih tua, namanya lebih tenar, apa yang dia bilang terpaksa harus diturut.
Dan sedang mereka angkat mangkok hendak makan, tiba-tiba terdengar suara meringkiknya seekor kuda bagus diluar pintu, suaranya nyaring luar biasa.
Suara binatang itu ternyata sangat menusuk telinga Han Bun Tiong yang ikut mengawal dalam rombongan Ong Hwi Yang ini, Cepat-cepat ia melongok keluar, dan betul saja dilihat nya kuda kesajangannya dulu itu lagi lewat didepan dengan pelahandua, diatas binatang tunggangan itu bukannya orang, tapi penuh dimuat kajudua bakar.
Ternyata kuda bagus telah disalah gunakan sebagai kuda muatan, tentu saja Han Bun Tiong sangat sayang juga gusar, sekali melompat ia memburu kuda itu hendak menarik tali kendalinya,
Siapa duga dibelakang kuda itu mengikut seorang desa, ketika mendadak melihat Han Bun Tiong melompat keluar, lebih dulu orang desa ini telah memeCut sekali bebokong binatang itu, lalu orangnya menCemplak keatas kuda dan berduduk diatas tumpukan kaju bakar itu.
Sekali Han Bun Tiong menarik tak kena, sementara itu kuda itu sudah melompat pergi belasan tombak jauhnya. Ketika melihat Bun Tiong tak mampu menyandak larinya kuda, orang desa tadi tiba-tiba berteriak sekali, duduknya seperti tidak benar dan akan merosot jatuh.
Karena itu Bun Tiong menjadi panas hatinya, kembali ia mengudak, tapi sesudah membiluk kesana dan putar kesini, achirnya kuda itu telah berlari masuk kedalam satu rimba.
Melihat orang hanya seorang udik saja, Bun Tiong pikir kenapa harus takut, maka iapun tidak pikirkan lagi tentang pantangan „ih-lim-bok-jip” atau ketemu rimba jangan dimasuki, segera saja ia menguber kedalam rimba.
Ketika para piauthau melihat Han Bun Tiong pergi memburu seorang udik, maka merekapun tidak ambil perhatian. Kata Ong Gok Thian dengan tertawa: „Ha, rupanya memikir kan kudanya yang hilang itu hingga Han-toako hampirdua gila, ditengah jalan melihat kuda orang yang berbulu putih se dikit lantas disangka kudanya terus diuber hendak melihatnya yang jelas. Jangandua besok kalau sudah kembali dirumah dan melihat tubuh enso Han yang putih bisa juga disangka kudanya.”
Karena kata-kata itu, segera semua orang ter-bahakdua.
Sedang berkelakar, tiba-tiba terdengar pelajan ber-ulangdua me nyapa tetamu lain, katanya: “Thio-loya, silahkan duduk disini saja, harini kenapa sempat pesiar keluar !”
Lalu terlihatlah seorang yang memakai baju panyang dari sutera dan berdandan seperti saudagar besar telah masuk, dibelakangnya mengikut empat Centeng, ada yang membawa kantong tembakaunya dan ada yang menyinying kan kotak makanannya, lagaknya ternyata besar sekali.
Thio-loya itu memilih satu tempat yang baik, lalu pelajan membawakan teh serta menyilat dengan berbagai perta nyaandua yang memikat. Kemudian pelajan itu pergi dan datang pula dengan senampan daging dan arak yang menguarkan bau semerbak.
“He, sudah begini lama, kenapa Han-laute masih belum kembali?” tiba-tiba Hwi Yang teringat pada Han Bun Tiong yang menguber orang desa tadi.

Dan selagi Sun lo-sam, situkang teriak dijalan, hendak menyawab, tiba-tiba dari luar terdengar suara tindakan orang yang menyeret sandal, lalu masuklah seorang lakidua kurus kecil, dibelakangnya mengikut satu nona dan seorang lakidua tegap. Ketiganya berdandan seperti orang pengelana.

Sesudah berada ditengah ruangan, tiba-tiba lelaki kurus kecil itu memberi hormat sekeliling, lalu katanya: „Kata pribahasa, dirumah tergantung orang tua dan diluar tergantung kawan. Cayhe ter-luntadua dikangouw, kini ada sedikit permainan hendak disuguhkan sebag4i penghibur para tamu yang ter hormat, kalau sekiranya bagus, mohonlah tuandua suka memberi persen sekedarnya, dari kalau jelek permainanku, masih mengharap juga petunyukdua dan memaafkan.”

Habis itu ia tambahi lagi beberapa kata kangouw yang umum sebagai pembukaan lalu topinya yang sudah butut itu ditanggalkannya, diambilnya pula sebuah tyang kir diatas meja terus ditutup dengan topinya.

“Hilang!” mendadak ia berteriak terus topi itu diangkat nya. Betul saja, tyang kir tadi ternyata sudah tak kelihatan.

Semua orang sudah tahu juga bahwa sunglapan hanya palsu saja, tapi Cara bagaimana tyang kir itu menghilang tak dapat juga diketahui.

RUPANYA orang yang dipanggil Thio-loya tadi menjadi ketarik, ia berbangkit dan mendekati.
„Apakah pipa tembakau LoyaCu ini boleh dipinyam se bentar?” kata silelaki pendek tukang sunglap itu dengan tertawa.
Ternyata Thio-loya itu tidak keberatan, dengan berseri-seri ia angsurkan pipa tembakaunya. Lalu sipendek masukan lagi pipa tembakau kebawah topinya. Dan waktu dibuka, lagi-lagi pipa tembakau itu sudah tak berbekas.
„Awas kau, pipa tembakau itu sangat mahal, jangan sampai kau bikin rusak,” sela seorang Centeng Thio-loya itu dengan tertawa.
„Coba kau merogoh sakumu,” ujar sipendek.
Dan waktu Centeng itu masukan tangannya kedalam saku, seketika ia terCengang; pelahan tangannya ia keluarkan, dan semua orangpun terkesima, ternyata pipa tembakau itu benar dirogoh keluar dari saku Centeng itu.
Dengan demikian, tidak saja itu Thio-loya bersama Cen tengnya merasa heran, bahkan para piauwsu serta jago-jago bayang kari itupun merasa aneh, be-ramai mereka lantas merubung maju buat melihat sunglapan itu.
Dalam pada itu dari luar restoran ber-turuta telah masuk lagi belasan orang, ada saudagar, ada yang berdandan pe tugas negeri, ada pula perwira tentara. Ketika dilihatnya orang banyak-banyak berkerumun menonton sunglapan, tanpa merasa merekapun ikut merubung maju.
„Ah, oranga kangouw biasanya menipu belaka, kentut apa yang perlu dibuat heran? Kalau berani, Coba barangku ini kau berani sunglap tidak?” demikian tibaa seorang perwira memaki terus menggebrak keatas meja.
Waktu semua orang memandang, ternyata diatas meja itu diletakkan sepuCuk surat dinas yang tertulis disampulnya tandaa surat dinas kilat dan alamat pengirimnya adalah panglima HangCiu.
„Ai, harap paduka tuan jangan marah, hamba hanya sekedar menCari sesuap nasi saja, betapapun besar nyali hamba masakan berani menyunglap surat dinas pemerintah yang maha penting itu,” jawab sipendek tukang sunglap tadi dengan tertawa.
Agaknya Thio-loya tadi kurang senang oleh lagak siperwira itu, maka katanya: „Hanya sunglapan saja apa salahnya, biarlah kau lantas Coba menyunglapnya.” — Habis ini ia berpaling kepada Centengnya dan berkata pula: “Bawakan sepuluh tail perak kemari.”
Ketika Centengnya membuka buntalan yang dia bawa dan mengangsurkan sebongkot perak, lantas Thio-loya itu letakan uang perak itu diatas meja sambil berkata pada sipendek: „Nah, bila kau menyunglap lebih baik, uang ini adalah mi likmu.”
Melihat uang, rupanya mata sipendek itu menjadi merah, ia menoleh bisika dengan sinona kawannya itu, kemudian baru katanya pada perwira tadi: „Hamba beranikan diri untuk main sunglap, Cuma mohon paduka tuan sukalah memaafkan.”
Habis itu ia angkat topi bututnya terus menutup keatas sampul surat diatas meja sambil mulutnya mem-bentak; „Hat, hut, Kau-Ce-thian datang, Ti-pat-kay tolonga !”
Mendengar gembar-gembor situkang sunglap yang tak karuan itu, mau-tak-mau Ong Hwi Yang merasa geli juga. Ia lihat tangan sipendek itu tudang-tuding kesini dan kesana, lalu tiba-tiba menuding kearah kotak yang berisi vaas jade itu terus membentak lagi: „Hat, hot, masuk, masuk, Kau-Ce-thian masuk kedalam kotak dan lenyap !”
Dan ketika topi dibuka, benar saja sampul surat itu sudah tak kelihatan lagi.
“Anak kura, benar pandai juga,” demikian perwira tadi memaki.
Sebaliknya situkang sunglap itu lantas memberi hormat pada Thio-loya itu sambil berkata: „Banyak-banyak terima kasih atas hadiah Loya.” — Segera bongkotan perak itu diambilnya dan diteruskan kepada sinona yang berdiri disampingnya. Sedang semua orang tiada hentinya bersorak memuji.
„Baiklah, sudah, mana suratku, serahkan kembali,” kata perwira tadi.
,.Didalam kotak ini, silahkan paduka tuan membukanya,” sahut sipendek itu dengan tertawa.
Tapi demi mendengar jawabannya ini, seketika orang-orang piauhang dan jago-jago pengawal yang ikut serta itu terperan jat. Kiranya kotak kulit itu diatasnya disegel rapat dengan tanda milik keraton, siapa orangnya yang begitu besar nyali nya berani membukanya?
Tapi perwira itu ternyata tidak peduli, ia mendekati dan ulur tangannya hendak memegang kotak itu.
„He, tuan, inilah barang milik keraton, jangan Coba dipegang,” segera piauthau Ong Gok Thian itu memper ingatkan.
„Jangan kau bergurau,” sahut perwira itu dan tangannya tetap hendak menggerayang i.
Namun bayang kari keraton Be King Hiap segerapun buka suara: “Siapa yang bergurau dengan kau? Lekas kau ming gir !”
Melihat King Hiap berpakaian sebagai jago bayang kari, pangkatnya lebih tinggi dari dirinya, maka perwira itu tak berani membantahnya, lalu pintanya: “Kalau begitu, silahkan Taijin kembalikan surat dinasku itu.”

Sebab itu, lantas King Hiap membentak situkang sunglap tadi: „Ayo, jangan kau main gila, lekas kau kembalikan surat dinas tuan ini.”
„Tapi surat itu benara didalam kotak ini, kalau Taijin tak percaya, silahkan membuka dan memeriksanya,” sahut sipendek itu.
Karuan perwira itu menjadi gusar, sekali jotos ia hantam kena pundak sipendek sambil membentak: “Kurangajar, masih Cerewet, tidak lekas kau kembalikan?”
Karena kawannya dipukul, sinona menjadi gusar, selanya segera: „Kalau ada urusan bisa dirunding baik-baik , kenapa kau pukul orang?”
“Bangsat, keparat, surat dinasku berani kau gunakan buat main gila!” perwira itu lantas menCuCi maki.
Karena itu Thio-loya tadi tidak bisa tinggal diam, ia me misah: “Janganlah main kasar,” lalu ia berpaling pada situkang sunglap. dan katanya: “Baiknya lekas kau kembalikan surat dinas tuan ini.”
„Tapi mana berani aku mendustai Loya, surat itu sesung guhnya berada didalam kotak ini dan tak mungkin disunglap kembali lagi,” sahut sipendek itu dengan muka muram.
Lantas Thio-loya itu mendekati Be King Hiap dan me nanya: „She apakah Taijin ini?”
“She Be,” sahut King Hiap.
“Tampaknya orang kecil begini ini susah diajak urusan, maka sukalah Be-taijin memberi tolong mengembalikan sampul suratnya,” kata Thio-loya pula.
„Kembalikan? Andaikan betul berada didalam kotak ini, tapi ini adalah milik keraton, keCuali titah kaisar, siapa yang berani membukanya?” sahut Be King Hiap.
Karena. itu, Thio-loya mengkerut kening dan tampaknya ikut serba salah.
“Kalau kau tidak kembalikan surat dinasku hingga tugasku terhalang, tentulah aku bakal dipenggal kepala,” demikian kata perwira tadi. „Lihatlah, saudara-saudara, Coba kalian mem be rikan pertimbangan yang adil !”
Segera belasan perwira dan perajurit yang berada disitu yang - berpakaian seragam seperti perwira itu, lantas merubung maju membenarkan sang kawan dan berkeras meng haruskan Be King Hiap mengembalikan surat dinasnya.
Ong Hwi Yang adalah kawakan kangouw selama berpuluh tahun, ia lihat kejadian yang menCurigakan itu, ia pikir urusannya berpangkal pada sipendek tukang sunglap itu, maka sekali tangan diulur, segera sipendek itu hendak dipegangnya.
Namun sipendek itu sempat mengegos pergi terus ber teriak: „Paduka tuan, ampunilah daku !”
Melihat gerak orang begitu gesit dan Cepat-cepat , rasa Curiga Ong Hwi Yang semakin menjadi , dan selagi ia hendak menguber, sementara itu belasan perajurit tadi sudah ribut juga dengan para piauthau serta jago- bayang kari.
Melihat gelagat jelek, Ong Gok Thian telah bopong kotak kulit itu kerangkulannya, piauthau yang lain berdiri menyaga disampingnya. Sedang Be King Hiap terus melolos goloknya dan membaCok keatas meja sambil membentak : “Siapa berani mengaCau lagi? Lekas enyah !”
Tapi perwira tadipun lantas Cabut senjatanya dan men jawab: „Kalau kau tak kembalikan suratku, nanti juga aku. bakal Celaka, biarlah sekarang juga aku, adu jiwa padamu! Ayo, saudara, serbu saja !”
Habis itu orangnya lantas menubruk maju terus saling gebrak dengan Be King Hiap. Ber-ulang Ong Hwi Yang membentak agar berhenti, tapi perajurit yang lain-lain sudah angkat senjata pula terus menyerbu hingga keadaan menjadi saling kerojok.
Be King Hiap adalah jagoan kelas satu diantara pasukan jago-jago pengawal, tapi kini sesudah beberapa jurus melawan perwira rendahan tadi, ternyata sedikitpun tidak lebih unggul, bahkan dilihatnya ilmu permainan golok musuh sangat bagus nya, ilmu silatnya ternyata sangat tinggi, karuan ia terkejut terCampur gusar; sesudah beberapa gebrakan pula, malahan pundaknya hampir kena dimakan golok musuh.
Sedang keadaan kaCau-balau, tiba-tiba dari luar ber-dujun masuk lagi serombongan orang, lalu ada orang telah ber teriak: „Siapa berani bikin rusuh disini, tangkap semua!”
Para perajurit tadi rupanya menjadi keder oleh suara gertakan itu hingga semuanya lantas berhenti. Karena itu barulah Be King Hiap merasa lega, ia lihat beberapa puluh perajurit mengiringi seorang Kongcu muda telah masuk kedalam restoran itu, segera Kongcu ini dapat dikenalinya sebagai “anak emas” kaisar Kian Liong sekarang yang ber nama Hok Gong An, kini menyabat panglima kotaraja merangkap komandan pasukan pengawal itu, maka lekas-lekas ia maju memberi hormat, begitu pula jago-jago bayang kari lain ikut maju menyura.
“Ada apa kalian ribut disini?” segera Kongcu muda itu menanya.
“Lapor Taijin, mereka itulah yang bikin kaCau disini tanpa sebab,” sahut King Hiap. Habis itu iapun tuturnya apa yang terjadi tadi.
“Dimana situkang sunglap itu?” tanya Kongcu itu.
Sebenarnya sipendek tukang sunglap itu telah menyingkir jauh-jauh disuatu sudut, kini terpaksa tampil kemuka dan memberi hormat.
„XJrusan ini agak aneh, biarlah kalian ikut aku ke HangCiu, biar aku memeriksanya yang teliti,” kata Kongcu itu pula.
„Ja, terserah kebijaksanaan Taijin,” sahut King Hiap.
“Baiklah, berangkat sekarang!” perintah Kongcu itu. Lalu ia mendahului melangkah keluar, sedang perajurit yang ia bawa terus menggiring orang-orang piauhang serta perwira yang menimbulkan gara itu.
Oleh karena Curiga, sebenarnya Ong Hwi Yang sudah lolos senjata hendak menaklukan perwira yang menimbulkan gara tadi baru kemudian akan diajaknya bicara baik-baik , siapa duga mendadak kedatangan komandan Gi-lim-kun, Hok Gong An, karuan ia menjadi girang.
“Hok-taijin,” kata Be King Hiap kemudian kepada Kongcu itu, “inilah Ong Hwi Yang, Ong-lopiauthau dari Tin Wan piaukiok.”
Segera juga Hwi Yang maju kedepan memberi hormat.
Tak terduga Kongcu muda itu ternyata tidak begitu gu bris padanya, hanya dari kaki sampai kepala ia mengamat amati orang sejenak, lalu terdengar ia menyengek terus
berkata: „Berangkatlah !”
Sesudah sampai dikota HangCiu, Ong Hwi Yang dan kawan-kawan. dengan mulut bungkam terus ikut pasukan Gi-lim-kun itu menuju kesuatu gedung besar ditepi Se-ouw, diam-diam Hwi Yang pikir mungkin inilah tempat kediaman Hok-thongling, ia adalah “anak emas” kaisar, pantas kalau begini hebat lagak-lagunya.
Dan sesudah semua orang masuk kedalam gedung itu, segera Kongcu muda itu berkata pada Be King Hiap: „Ka-lian menunggulah sebentar.” —¦ Habis itu iapun tinggal masuk kedalam.
Tak lama kemudian, seorang perwira keluar memanggil siperwira yang bikin gara, tukang sunglap, Thio-loya beserta Centeng-centengnya.
“Sungguh tadi aku menjadi kuatir kalau vaas pusaka ini dibikin rusak mereka, tampaknya asal-usul kaum perusuh itu tidaklah beres,” demikian kata Ong Gok Thian.
„Ehm, ilmu silat beberapa orang itu sungguh bagus sekali, tidak mirip seperti perwira biasa,” ujar Be King Hiap. „Baiknya kita ketemukan Hok-taijin, kalau tidak entah apa jadinya tadi.”
„Lwekang Hok-taijin itu sungguh mendalam sekali, seorang Kongcu bangsawan bisa memiliki latihan begitu bagus, sungguh tidaklah gampang,” demikian Ong Hwi Yang ikut berkata.
„Apa, lwekang?” tanya King Hiap heran. „Darimana kau tahu ilmu silat Hok-taijin sangat bagus?”
„Dari sinar matanya, pasti ilmu silatnya bukan kaum lemah,” sahut Hwi Yang. „Cuma orang-orang dalam keluarga bangsawan tidak sedikit juga orang pandai, hal ini tidak perlu dibuat heran.”
Dan sedang mereka berbicara, tibaa perwira tadi keluar lagi memanggil: „Ong Hwi Yang dari Tin Wan piaukiok silahkan masuk.”
Segera Hwi Yang berdiri dan ikut orang masuk kedalam.
Setelah melewati ruangan, sampailah diruangan be-lakang, ia lihat Kongcu muda tadi duduk ditengah, didepan-nya satu meja tulis dan ke sisinya berbaris perajurit, sipendek tukang sunglap itu dan Thio-loya berlutut disebelah kiri.
Ketika Ong Hwi Yang masuk, ke baris perajurit itu segera membentak: “Berlutut!”
Sampai disitu tak-dapat-tidak Ong Hwi Yang terpaksa tekuk lutut.
Lalu terdengarlah Kongcu itu telah menanya: “Hm, apakah kau ini Ong Hwi Yang?”
“Ja, hamba Ong Hwi Yang adanya,” sahut jago tua itu.
-”Kabarnya julukanmu ialah 'Wi-Cin-ho-siok', apa benar?” tanya Kongcu itu pula.
„Itu hanya nama kosong yang diberikan Kawan-kawan kalangan kangouw, saja,” sahut Hwi Yang.
„Hm, hebat sekali julukanmu, Hongsiang (Sri Baginda) dan aku tinggal di Pakkhia semua, dengan begitu bukankah kewibawaanmu telah menggetarkan juga Hongsiang dan aku?” tanya Kongcu itu.
Terkejut sekali Ong Hwi Yang oleh pertanyaan itu, lekas-lekas ia menyawab ber-ulang: “Mana hamba berani, biar hamba segera hapuskan julukan itu.”
„Sungguh besar amat nyalimu, tangkap!” bentak Kongcu itu tiba-tiba .
Lantas saja ke baris perajurit itu merubung maju terus meringkusnya, perCuma. Ong Hwi Yang memiliki ilmu silat yang tinggi, namun tak berani melawan sedikitpun.
Menyusul itu Be King Hiap dan yang lain-lain satu persatu juga dipanggil masuk serta diringkus semua dan ditahan. Sampai achirnya kusir keretapun ditangkap juga. Lalu seorang perwira membawa kotak kulit itu kemeja Kongcu itu sambil setengah berlutut mempersembahkannya dengan tertawa: „Hok-taijin, inilah vaas-nya.”
Mendadak Kongcu itu bergelak ketawa terus turun dari tempat duduknya. Begitu pula Thio-loya serta sipendek dan yang lain-lain yang berlutut itupun sama berbangkit sambil tertawa.
„Chit-ko, kau benar tidak keCewa dijuluki sebagai 'Bu-Cu-kat'!” kata Kongcu muda itu kepada sipendek.
Kiranya orang yang menyamar sebagai sipendek tukang sunglap itu ialah Ji Thian Hong, dan yang mengikut dibelakangnya adalah Ciu Ki serta An Kian Kong, yang menya mar Thio-loya ialah Ma Sian Kun dan yang menyamar Hok Gong An dengan sendirinya adalah Tan Keh Lok, sedang yang menyamar sebagai perwira yang Cari gara ialah Siang He Ci serta Beng Kian Hiong dan kawan-kawan.
Orang yang per-tama menyamar sebagai pengintai adalah Wi Jun Hwa, ketika ia kembali memberi laporan, lantas Thian Hong mengatur suatu tipu muslihat untuk menyebak orang, tapi mengingat diantara piauwsu itu Han Bun Tiong telah kenal jago-jago Hong Hwa Hwe itu, maka Tio Pan San disuruh menyamar sebagai orang udik sambil menunggang kuda putihnya Lou Ping untuk memanCing Bun Kong kedalam rimba, disitu sudah menunggu Siang Pek Ci, bersama-sama lalu mereka menawan Han Bun Tiong
Caranya Thian Hong mainkan sunglapan adalah sudah diatur se-baik-baik nya, topi bututnya itu berlapis-rangkap dibagian dalam, pipa tembakau dan barang lain yang disung lap itu semuanya terdiri dari sepasang yang satu diambil Thian Hong, lantas dari saku mereka masing-masing dikeluarkan duplikatnya, dengan sendirinya orang luar tak tahu akan rahasia ini.
Sedang mengenai isi kotak kulit itu sudah tentu tiada surat dinas apa segala yang disunglap kedalam, Cuma senga ja dibikin ribut saja hingga ketika Tan Keh Lok datang, karena para piauthau dan jago-jago bayang kari itu sudah pusing tujuh keliling oleh ribut sunglapan itu; dengan sendirinya tidak Curiga apa-apa lagi.
Sebenarnya menurut siasat yang diatur Thian Hong, Keh Lok hanya disuruh menyamar seorang pembesar tinggi saja, siapa tahu secara kebetulan sekali wajah Keh Lok memang mirip benar dengan Hok Gong An hingga para bayang kari itu maju memberi hormat lebih dulu, karuan sandiwara mereka berjalan lebih lancar lagi.
Begitulah, ketika Keh Lok lantas menyobek kertas segel kotak kulit itu dan membukanya, tiba-tiba pandangan mereka menjadi silau. Ternyata isinya sepasang vaas jade putih yang tingginya lebih satu kaki, halus dan bersih hingga mengkilap, ketika diraba dengan tangan, rasanya bukannya dingin, tapi hangat, diatas vaas itu terlukis pula seorang wanita aju. Wanita aju ini terlukis berkunCir dan memakai topi kecil seperti dandanan gadis suku Uigor umumnya, lukisan itu begitu indah dan Cantik tiada bandingannya hingga mem pesona siapa yang melihatnya.
Keh Lok sendiripun kesemsem, sungguh susah dipercaya didunia ini ada wanita seCantik ini?
Ketika semua orang merubung menikmati keindahan vaas itu, merekapun sama gegetun memuji tiada hentinya.
„Waktu aku kenal adik Ceng Tong, aku sangka wanita sejelita seperti dia sudah tiada bandingannya dijagat ini, siapa tahu wanita yang terlukis diatas vaasi ini jauh lebih Cantik lagi,” demikian kata Lou Ping.
“Ini hanya lukisan saja, masakan kau anggap benar ada wanita aju seperti ini?” ujar Ciu Ki.
„Kalau tidak pernah melihat orang yang sesungguhnya, aku rasa pelukiSnya susah juga hendak menggambarkan wajah seCantik ini,” kata Lou Ping.
„Kalau kita tanya utusan orang Uigor itu tentu lantap taliu,” ujar Thian Hong.
Utusan suku Uigor itu mengira pasti Keh Lok adalah pembesar tinggi, maka ketika berhadapan ia lantas memberi hormat.
“Tuan utusan datang dari jauh-jauh tentunya sangat lelah, dapatkah mohon tanya siapakah nama tuan,” kata Keh Lok.
„Aku yang rendah bernama Ibrahim, dan entah paduka tuan bersebutan apa?” balas utusan itu.
Namun Keh Lok bersenyum tanpa menyawab.
Mendadak saja Thian Hong menyela dari samping: „Ini adalah panglima HangCiu, Li-taijin.”
Keh Lok dan para pahlawan ter-heran entah apa maksud si „Khong Beng” itu memalsukan nama orang. Tapi lantas Keh Lok bertanya juga: „Dan bagaimanakah dengan Bok-loenghiong, apakah baik-baik saja?”
Ibrahim itu terCengang. “Li-taijin kenal kepala suku kami?” tanyanya.
„Aku hanya sudah lama kagumi namanya saja,” sahut Keh Lok. „Dan dapatkah aku bertanya, wanita aju yang dilukis diatas vaas itu sebenarnya maCam apakah orangnya, apakah benar ada orang sesungguhnya atau timbul dari chajalan pelukisnya saja?”
„Itulah hasil karya pelukis bangsa kami yang tersohor Mu'in,” tutur Ibrahim. „Sepasang vaas jade ini sebenarnya milik puteri kecil kepala suku kami, maka gambar wanita itu ialah dia sendiri.”
„He, kalau begitu ia adalah adik perempuan enCi Ceng Tong?” tanya Ciu Ki menyeletuk.
Kembali Ibrahim terkejut. “Nona ini kenal pada 'Cui-ih-wi-sam' ?” tanyanya kemudian.
„Ja, kami pernah bertemu sekali,” sahut Ciu Ki.
Dan selagi Keh Lok ingin menanya keadaan Ceng Tong paling belakang ini, namun wajahnya terasa menjadi me rah, sebelum ia buka mulut, tiba-tiba dari luar berlari masuk Ma Sian Kun dan melapor dengan suara tertahan: „Itu pang lima HangCiu Li khik Siu dengan pimpin tiga ribu perajuritnya sedang menuju kemari, kuatirnya datang buat menghadapi kita.
Keh Lok mengangguk tanda mengarti. Lalu katanya pada Ibrahim: “Tuan utusan silahkan pergilah mengaso, nanti saja kita berbicara pula.”
Ibrahim memberi hormat, tapi lantas tanyanya: “Dan se pasang vaas ini?”
“Aku akan mengaturnya nanti,” sahut Keh Lok. Lalu pergilah Beng Kian Hiong membawa Ibrahim ke ruangan lain.
„Koko sekalian, terpaksa sekarang juga kita mundur keluar HangCiu dulu,” demikian kata Keh Lok kemudian. „Kita belum berhasil menolong Bun-suko, rasanya tiada paedahnya bertempur matian dengan pasukan musuh.”
Lou Ping menjadi geram, teriaknya segera: „Li Khik Siu telah mengurung Toako, marilah kita bunuh dulu selirnya itu, Congthocu, kau mengijinkan tidak?”
„Selirnya?” Keh Lok Senegas, ia tidak paham.
„Ja, wanita bersolek seperti setan yang kita tawan ditaman panglima itulah selirnya Li Khik Siu, namanya disebut In Hong apa,” sera Lou Ping. „Tadi ia menangis dan ribut terus, dan sesudah kuberi persen beberapa kali tamparan barulah diam dan menurut.”
Mendengar itu, para pahlawan menjadi geli, tentunya nyonya jelita ini terlalu kenangkan sang suami yang malang itu hingga menampar orang sekedar untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
„Congthocu, biaklah kau lantas tulis sepuCuk surat kepada Li Khik Siu untuk melihat apa yang ia hendak per buat?” kata Thian Hong tiba-tiba .
Keh Lok tahu akan maksud “juru pikir” itu, maka segera tulis sepuCuk surat yang berbunyi :
Li-tayCiangkun jth.,
Dalam perburlian pagi tadi telah berhasil kami peroleh sesuatu yang diketahui adalah barang kesajangan Ciang;kun, maka sengaja mengun dang kedatanganmu. Harap maklum.
Hormat,
Tan Keh Lok/Ketua Hong Hwa Hwe.
Sehabis itu, ia minta Wi fojun Hwa yang mengantar surat itu kepada Li Khik Siu, seiiang Seng Hiap disuruhnya me nyusul dari belakang, apabila terjadi kemungkinan ditang kap. Setelah kenya pergi, berkata Tan Keh Lok: „Li Khik Siu sangat menyintai selirnya itu, mungkin dia tak berani sembarangan bergerak. Tapi kalau dia memang me nerima titah kaisar, terpaksa tentu akan bergerak juga. Chit-ko, apa daya kita?”
„Bermula maksud kita untuk rnerampas vaas ini, adalah untuk tawar menawar dengan kaisar. Tapi dengan adanya lukisan pada vaas itu, kurasa raja tentu akan kesengsem, dan kemungkinan besar beliau tentu akan mengabulkan permintaan damai dari suku Hwe. Bukankah tindakan kita itu, bahkan akan merintangi maksud Bok-loenghiong. Untuk menolong suko seorang, kurang bijaksana kalau kita sampai menerbitkan pertumpahan darah dari sebuah suku bangsa,” demikian Thian Hong, si „Khong Bing' mengutarakan pen dapatnya.
„Memang benar, tapi vaas yang kita dapatkan dengan
susah payah ini, apakah harus dengan begitu mudah saja dikembalikan,” tanya Keh Lok.
“Aku telah pikirkan suatu daya entah Cong-tho-Cu setu ju atau tidak?” Dan Ttian Hong segera beber renCananya itu.
Tibaa Ciu Ki menyelak dengan kurang senang: “Ah, Cara itu terlalu kotor, aku tak suka.”
„Dengarkan pesan Cong-thocu, jangan banyak-banyak mulut !” bentak Tiong Ing.
Ciu Ki diam, tapi pelan-pelan dia menggerutu : “Ah, permain an yang kurang senonoh !”
“Agar tidak melantarkan tujuan suku Hwe, disamping kitapun dapat menolong Bun suko, kita terpaksa lakukan Cara itu. Chit-ko, Coba kau rundingkan dengan utusan itu”, ujar Keh Lok kemudian.
Dan setelah mendapatkan Ibrahim Thian Hong lantas menghantarnya menghadap pada raja. Beng Kian Hiong yang membawa kotak. Salah sebuah vaas yang sudah diambil keluar; ditempeli dengan segel lagi. Utusan itu tak mengerti maksudnya.
Kira-kira lohor, penyaga masuk dengan membawa karcis nama dari seorang perwira. Karcis nama itu dari „Can Tho Lam,” yang minta berjumpa dengan Tan Keh Lok.
„Chit-ko, tipu yang kau atur itu rupanya berhasil. Can Tho Laim itu adalah orang kepercayaan Li Khik Siu,” ujar Ma Sian Kun.
Tan Keh Lok suruh Jun Hwa membawanya masuk. Ketika berjalan keluar, Jun Hwa dapatkan seorang perwira yang bertubuh kekar sedang menantinya. Muka perwira itu penuh dengan bintika daging yang melepuh kena minyak mendidih. Menyawab pertanyaan Jun Hwa, berkatalah Can Tho Lam:
“Aku diutus oleh Li-Ciangkun, untuk merundingkan suatu hal dengan Tan Cong-thocu.”
„Ah, Cong-thocu kita sedang sibuk. Can taijin berunding dengan aku pun sama saja,” kata Jun Hwa.
Can Tho Lam kurang puas. Ia adalah utusan pembesar negeri. Dia mau datang menemui kepala perkumpulan kaum kangouw itu saja sudah merasa merendahkan diri, masa
ketua itu masih jual laga. Tapi karena dia mempunyai ke pentingan, jadi terpaksalah dia tahan kemarahannya. Katanya :
„Li Ciangkun sudah menerima surat Tan Cong-thocu. Dia mengerti bahwa isteri mudanya berada disini. Kita adalah kaum persilatan. Dia mengharap Tan Cong-thocu suka le paskan, nanti Ciangkunpun akan membalas budi.”
„Ah, mudahlah. Kurasa Tan Cong-thocupun tak kebe ratan,” sahut Jun Hwa.
„Selain itu masih ada suatu urusan lagi, jakni mengenai vaas giok dari suku Hwe,” kata Can Tho Lam pula.
Jun Hwa perdengarkan suara hidung, tanpa menyahut apa”.
“Orang Hwe mempersembahkan sepasang vaas giok selaku tanda minta damai, ketika baginda membukanya, ternyata kurang satu. Baginda sangat murka, menurut keterangan dari utusan Hwe, katanya ada seorang kongcu bangsawan yang telah menahannya. Kongcu itu menyebut dirinya sebagai Li Khik Siu Ciangkun dari HangCiu. Ketika Li Ciangkun dipanggil menghadap, sudah tentu dia tak tahu satu apa. Sju'kur baginda Cukup bijaksana. Dia percaya bahwa Li Ciangkun pasti tidak melakukan hal itu dan tentu terjadi suatu hal yang kurang beres. Karenanya Li Ciangkun tak dijatuhi hukuman.”
„Itulah bagus,” sahut Jun Hwa acuh tak acuh.
„Namun baginda menetapkan bahwa dalam waktu tiga hari, Li Ciangkun harus sudah dapat menyerahkan vaas itu, atau.............
“Kalau tak berhasil menemukan, apakah sekiranya kuatir akan dilepas dari pangkatnya?” sela Jun Hwa tiba-tiba . “Se benarnya, tidak memegang jabatan negeri, kan lebih tenang.”
Can Tho Lam tak pedulikan ejekan orang. Katanya pula: „Kita sekarang ini menghadapi persoalan sungguh-sungguh, maka aku sengaja dikirim kemari untuk minta agar Tan Cong-thocu suka menyerahkan kembali vaas itu.”
Jun Hwa tetap tenang saja. Jawabnya dengan tawar: „Vaas apa, kita belum pernah mendengarnya. Tapi karena Li Ciangkun mendapat kesulitan itu, dan Can taijin sudi datang sendiri, kita dengan segala senang hati akan mem bantunya.
Mendengar ucapan orang yang lunaks keras itu, Can Tho Lam mengetahui bahwa kini dia sedang berhadapan dengan seorang yang lihai. Perwira she Can itu adalah tangan kanan Li Khik Siu. Meskipun bugenya tak keliwat lihai, tapi berotak Cerdas, Cakap bekerja. Dia tahu, bahwa lawannya sedang membawakan Cara orang kangouw tawar menawar. Maka berkatalah dia :
„Li Ciangkun berpesan, bahwa sudah lama dia ingin ber kenalan dengan Tan Cong-thocu yang begitu kesohor nama nya. Sayang belum ada kesempatan. Dengan adanya permintaannya yang kubawa kemari ini, diapun berjanyi akan membalasnya. Tan Cong-thocu punya permintaan apa, silahkan menyatakan.”
„Can taijin suka berlaku terus terang, itulah baik sekali. Tan Cong-thocu mempunyai harapan, pertama: kesalahana orang Hong Hwa Hwe kepada Li Ciangkun pagi tadi harap suka di maafkan,” kata Jun Hwa.
„Ah, itulah sudah jamak. Aku yang menyamin, bahwa Li Ciangkun tentu takkan ambil tindakan apa-apa kepada orang-orang Hong Hwa Hwe Dan apa yang ke itu?” memutus Can Tho Lam.
„Su-tangkeh kita, Bun Thay Lay, disekap dalam tangsi Li Ciangkun, apakah Can taijin mengetahui?” tanya Jun Hwa.
„Hm.........” jengek Can Tho Lam. „Dia adalah pesakitan negara. Bagaimanapun pengaruh Li Ciangkun, dia tentu tak berani melepaskannya. Hal ini kitapun mengetahuinya. Hanya saja Tan Cong-thocu sangat kangen padanya, maka akan minta bertemu malam ini.”
Can Tho Lam merenung sampai sekian saat. Katanya kemudian: “Hal ini amat penting, aku tak berani ambil pu tusan sendiri. Baik kutanyakan dulu pada Li Ciangkun, nanti kuberi jawaban. Apakah Tan Cong-thocu masih ada harapan lainnya?”
„Tidak,” sahut Jun Hwa.
Can Tho Lam pamitan pulang. Lewat beberapa waktu, dia datang lagi. Yang menerimanya juga Jun Hwa lagi.
„Li Ciangkun berpesan bahwa Bun sutangkeh adalah pe sakitan negara yang penting sekali. Sebenarnya tak boleh orang menengokinya,” kata Can Tho Lam.
„Memang sebenarnya,” sahut Jun Hwa.
„Tapi karena Tan Cong-thocu sudah meluluskan akan mengembalikan vaas giok itu, terpaksa Li Ciangkun pun akan membalas kebaikan untuk mengidinkan Cong-thocu menemuinya. Tapi ada sjarat yang Cong-thocu diminta meluluskan.”
„Harap Can taijin katakan,” tanya Jun Hwa.
„Pertama, ini adalah demi kepentingan persahabatan, maka Li Ciangkun berani ambil resiko yang begitu besar. Kalau sampai ketahuan orang, artinya suatu malapetaka.........”
„Jadi Li Ciangkun maukan supaya Cong-thocu jangan sampai boCorkan rahasia ini, bukan?” Jun Hwa menegas.
“Benar!” sahut Tho Lam.
“Dalam hal ini aku dapat mewakili Cong-thocu untuk menyetujuinya.”
“Baik. Dan yang ke, yang menengok kepenyara hanya boleh Tan Cong-thocu seorang diri !” .
„Cong-thocu pun sudah memperhitungkan bahwa Ciangkun tentu ajukan sjarat itu. Sudah tentu dikuatirkan kita akan ramai rampok penyara. Baiklah, kita terima sjarat itu. Yang akan datang menengok penyara hanyalah Tan Cong-thocu seorang dan kitapun berjanyi takkan me rampok pesakitan.”
„Wi toako adalah seorang hohan, ucapannya tentu dapat dipercaya. Nah, aku segera akan pulang melapor. Malam nanti Tan Cong-thocu boleh datang ke tangsi,” kata Tho Lam pula.
„Cong-thocu menyumpai Bun-su-tangkeh tentu akan merundingkan urusan partai yang penting-, tidak diperboleh kan lain orang menCuri dengar. Juga Thio Ciauw Cong itu tak boleh mengganggu,” pesan Jun Hwa.
Setelah berpikir sebentar, Can Tho Lam menyawab : „Baik, biar nanti Li Ciangkun yang mengurusnya.”
„Kita kaum kangouw, mengutamakan kebejikan. Asal Li
Ciangkun betul-betul dapat menepati janyi, kita pasti akan menyerahkan isterinya dan vaas itu,” kata Jun Hwa achirnya.
Begitulah Can Tho Lam segera pamitan. Lalu orang-orang Hong Hwa Hwe berkumpul pula diruangan besar untuk dengarkan pembagian tugas dari ketuanya dalam renCananya menolong Bun Thay Lay. Kembali Tan Keh Lok minta Thian Hong mengatur orang-orang nya. Setelah berpikir sejurus, berkatalah “Khong Beng” Hong Hwa Hwe itu :
„Kita harus singkirkan dulu Thio Ciauw Cong itu, baru Cong-thocu bisa bebas masuk kedalam. Merampok penyara tidak susah, hanya saja Li Khik Siu itu tentu bukan orang tolol. Dia tentu juga membuat penyagaan. Kita harus mengetahui lebih dulu bagaimana tindakannya, baru dapat kita bekerja diluar dugaannya.”
“Benar!” kata Keh Lok.
„Kurasa paling banyak-banyak dia tentu kerahkan tentara untuk mengepung pintu penyara tanah itu,” ujar Tio Pan San.
“Kitapun harus bersiap diluar tangsi, menyaga kemung kinan perbuatan yang menCelakakan Cong-thocu,” Siang He Ci utarakan pikirannya.
„Memang hal itu akan kita lakukan. Tapi kurasa mereka takkan berani berbuat Curang pada Cong-thocu, karena selir kesajangannya ditangan kita,” kata Thian Hong.
Selama perundingan itu, mereka merasa bahwa kedudukan nya kini sangat menguntungkan. Pertama akan dapat mengetahui keadaan dan alat-alat rahasia penyara dibawah tanah itu, sehingga kalau gunakan kekerasan kelak tentu dapat berhasil.
„Malam ini kita lakukan pertempuran habis-habisan dengan mereka,” Bu Tim berkata menurutkan suara hatinya.
“Ah, beginilah,” tiba-tiba Keh Lok berseru. „Chit-ko, kalau menemui Bun suko biar aku pakai mantel, dan kerudung muka. Dengan alasan supaya jangan dilihat orang...........
Thian Hong dapat menduga pikiran ketua itu, maka ja wabnya: „Kita mendapat seorang dan kehilangan yang seorang lagi. Itu kurang sempurna.”
„Cong-thocu, lanyutkanlah omonganmu tadi,” Bu Tim meminta, nyata ia belum paham.

„Begitu berada didalam, aku akan saling tukar pakaian dengan Bun suko. Biarkan dia keluar. Penyaga tentu me ngira aku, dan saudara-saudara nanti harus seCepat-cepat nya membawa suko pergi,” tutur Keh Lok.
„Tapi kau bagaimana?” tanya Bu Tim.
“Kalau nanti baginda mengetahui aku, beliau tentu akan melepaskannya, karena beliau sangat baik sekali kepadaku,” ujar Keh Lok.
„RenCanamu itu hebat juga Cong-thocu. Tapi kau adalah ketua perkumpulan kita, tak boleh bermain api berbahaja itu. Lebih baik aku saja yang melakukannya,” kata Jun Hwa.
„Saudara-saudara sekalian, bukan aku sombong, tapi rasanya hanya akulah Yang paling tepat. Kalau diantara saudara ada yang pergi salah satu, berarti hanya tukar dengan Bun suko saja. Kita pandang sama rata, Bun suko tidak akan lebih berharga dengan saudara-saudara kita yang manapun juga,” me nerangkan Keh Lok.
„Tapi kalau Cong-thocu yang pergi, kurasa kurang le luasa,” Seng Hiap ikut menyokong pendapat Jun Hwa.
„Ah, saudara-saudara tidak tahu, bahwa dengan baginda aku telah adakan sumpah untuk tidak saling menCelakai satu sama lain.”
Kemudian Keh Lok tuturkan apa yang telah terjadi ketika berada dengan baginda dikuburan orang tuanya dulu itu.
,.Baginda orang yang kejam, ucapannya sukar dipercaya,” kata Thian Hong.
Tapi ketua Hong Hwa Hwe itu tetap berkeras untuk meneruskan renCananya.
„Kalau memang Cong-thocu menghendaki begitu, kita jalankan saja maCam renCana,” achirnya Thian Hong berkata.
Menampak bagaimana saudara-saudara Hong Hwa Hwe itu ber-sungguh-sungguh untuk menolong suaminya, Lou Ping sampai tak dapat meng uCap suatu apa. Sedang Ciu Tiong Ing yang menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam kagum atas peribudi dari orang-orang Hong Hwa Hwe Dia menghampiri Lou Ping dan menghiburnya.
„Siasat „kim-sian-toat-kak” (tonggeret berganti kulit) dari Congthocu itu memang bagus, Cuma agak berbahaja. Itu boleh dijalankan, tapi begitu suko sudah keluar, kita harus serbu penyara untuk menyambut Congthocu keluar,” kata Thian Hong lebih jauh.
Sebenarnya orang-orang Hong Hwa Hwe sama kuatirkan tindakan ketuanya untuk bermain api itu, namun kiranya tak ada lain pilihan lagi, saking terharunya, Lou Ping menghampiri kehadapan Tan Keh Lok dan memberi hormat, katanya: „Budi kebaikan Congthocu itu, kita suami isteri takkan lupakan sampai mati.”
„Ah, harap suso jangan mengucap begitu. Persaudaraan kita bagai tulang dengan daging, masa mesti me-nyebut soal budi,” kata Keh Lok seraja membalas hormat.
Begitulah dengan mengenakan pakaian yang mengerudungi badan dan mukanya, Tan Keh Lok ajak Wi Jun Hwa me nuju ketangsi tentara Ceng. Ketika itu hari sudah men dekati gelap, bintang-bintang mulai nampakkan diri dilangit.
Begitu tiba dimuka tangsi, ada seorang yang menyambut nya dengan bertanya bisik-bisik :
„Apakah yang datang ini Tan Congthocu?”
Wi Jun Hwa anggukkan kepala.
„Silahkan ikut aku, dan saudara ini tinggal disini saja!” kata orang itu. Terpaksa Jun' Hwa tak ikut masuk.
Malam pelan-pelan diselubungi kegelapan. Hati Jun Hwa kebat-kebit memikirkan keselamatan ketuanya. Ketika itu orang-orang Hong Hwa Hwe dengan menyamar sudah sama berpenCar mengelilingi tangsi itu, menunggu saat ada perintah.
Sementara itu sesudah masuk kedalam, Tan Keh Lok da patkan bahwa tangsi itu penuh dengan serdadu yang ber baris dengan senjata lengkap. Setelah melalui tiga ruangan, orang itu membawa Keh Lok kesebuah ruangan besar dan menyilahkannya duduk.
Tak berapa lama, Li Khik Siu Ciangkun masuk keruangan situ, dan mengucapkan selamat datang. Keh Lok membuka kerudung mukanya, katanya dengan tertawa: „Tempo dulu kita sudah pernah bertemu sekali, tidak terduga kalau hari ini kita bertemu lagi.
„Sekarang mari menemui pesakitan. itu,” ajak Li Khik Siu.
Tapi baru saja kenya melangkah kepintu, tiba-tiba ada seorang pengawal menobros dengan napas memburu dan melapor: „Baginda datang, harap Ciangkun lekas-lekas menyam butnya.”
Li Khik Siu terperanyat, katanya kepada Tan Keh Lok : „Harap kau tunggu dulu disini.”
Nampak wajah orang ber-sungguh-sungguh, Keh Lok angguk kepala dan kembali duduk pula.
Begitu keluar dari situ, Li Khik Siu melihat pintu tangsi itu sudah penuh dengan barisan gi-lim-kun dan si-wi, Kian Liongpun sudah berjalan masuk. Khik Siu tersipu-sipuberlutut.
„Sediakan sebuah kamar rahasia, aku akan memeriksa Bun Thay Lay!” kata Kian Liong tiba-tiba .
Li Khik Siu antar baginda kekamarnya sendiri. Barisan pengawal sama menyaganya dengan rapat. Sampaipun diatas genteng tak luput dijaganya dengan keras.
„Aku mempunyai urusan penting pada pesakitan itu, jangan sampai ada seorangpun yang mendengarnya,” titah baginda kepada Pek Cin.
Pek Cin memberi hormat terus undurkan diri. Sebentar pula dengan tangan dan kaki diborgol, Bun Thay Lay digusur masuk oleh 4 orang si-wi istimewa. Keempat si-wi itu terus berlalu, dan kini diruangan itu hanya tinggal Bun Thay Lay dan Kian Liong ber. Keadaannya sepi hening.
Luka Bun Thay Lay boleh dikata sudah sembuh. Hanya karena kaki tangannya diborgol, dia duduk dibangku tak dapat bergerak. Begitu dongakkan kepala, dia terperanyat. Kiranya dulu dia pernah mengikut ketua Hong Hwa Hwe mendiang Ie Ban Thing untuk masuk kedalam istana. Kalau kali ini dia bisa berjumpa dengan baginda lagi di HangCiu, sungguh diluar dugaannya.
„Apakah lukamu sudah sembuh?” tanya baginda.
„Terima kasih atas perhatian paduka, hampir sembuh,” sahut Thay Lay.
„Kuminta kau datang ke Pakkhia, karena perlu berunding. Tapi ternyata masing-masing pihak timbul salah paham. Aku sudah membereskan hal itu, tak usah kau kuatir.”
Mendengar raja itu berkata dengan tinggi hati, Bun Thay Lay murka sekali. Dia perdengarkan suara hidung.
„Dulu kau dengan orang she le telah menemui aku. Se betulnya kita sedang merundingkan suatu urusan besar. Tapi sayang , sewaktu pulang dia terus menutup mata,” kata Kian Liong.
„Mungkin kalau le lotangkeh belum menutup mata diapun akan diperlakukan seperti aku sekarang,” sahut Bun JTiay Lay dengan ketus dan tajam.
Kian Liong tertawa gelaka. Katanya: „Ha, kamu bangsa kangouw memang beradat keras, apa yang terkandung dalam hati dinyatakan dengan terus terang. Akan kutanyakan suatu hal, kau jawablah dengan sejujurnya, nanti akan ku lepaskan kau.”
„Paduka lepaskan hamba?” sahut Thay Lay. „Ha, ha, paduka anggap hamba ini seperti anak kecil? Hamba tahu, kalau paduka tak bunuh hamba, pasti paduka tak dapat tidur dengan nyenyak, tak dapat makan dengan enak. Kalau sampai sekarang hamba masih dibiarkan hidup, adalah karena paduka perlu mendapat keterangan hamba.”
„Ah, mestinya jangan kau banyak-banyak Curiga lagi,” ujar Kian Liong.
Tiba-tiba baginda mendengar suatu suara lemah dari luar kamar, seperti suara orang menahan batuk. Dengan gesit beliau memburu kepintu terus mendorongnya. Namun diluar kosong tak ada seorangpun.
Setelah menengok kekanan kiri, barulah Kian Liong me nutupnya lagi, dan melanyutkan pertanyaannya: “Pemimpinmu orang she le apa memberitahukan padamu tentang pembicaraannya dengan aku?”
“Paduka maksudkan omongan yang mana?” Thay Lay menegas.
Kian Liong mengawasi dengan tajam pada Bun Thay Lay, siapa dengan berani balas memandang. Selang berapa jurus kemudian, Kian Liong berpaling dan berkata dengan bisik-bisik : „Tentang asal usul diriku.”
Telah diperhitungkan oleji Bun Thay Lay, bahwa dengan jatuh ketangan raja itu, berarti dia harus mati. Tapi rombongan besar dari Hong Hwa Hwe sudah berada di HangCiu. Kalau hukumannya dapat dipertangguhkan sehari saja, saudara-saudara itu tentu akan dapat merampas penyara dan menolongnya. Maka katanya :
„Dia tak mengatakan apa-apa. Kau adalah seorang raja, putera dari raja dan ratu yang dahulu. Asal usulmu siapa yang tak mengetahuinya, apa yang harus kukatakan !”
„Habis waktu kalian menemui aku itu, tahukah kau untuk urusan apa ?” tanya Kian Liong.
„Kata le lotongkeh, dulu dia pernah membantumu. Karena itu waktu Hong Hwa Hwe kekurangan uang, dia akan mohon bantuanmu uang sebanyak-banyak sejuta tail perak. Tapi anehnya, sudah kau tak memberinya, malah menangkap aku juga. Kalau aku bisa bebas lagi, akan kusiarkan tentang ketidak ingat budi dari kau itu.”
Kian Liong tertawa lebar. Dia melirik kemuka orang. Tampaknya Bun Thay Lay berkata dengan sungguh-sungguh, tak bermain sandiwara. Dia setengah percaya setengah tidak. Katanya :
„Kalau begitu, lebih baik kubunuh kau. Karena kalau ku lepas, kau akan menyelekkan namaku !”
„Siapa yang melarang kau tak lekas menghabiskan nyawa ku. Habisilah jiwaku, supaya kau lekas dapat makan dan tidur dengan enak. Berhadapan dengan Thay-houw pun tak perlu takut-takut lagi,” kata Thay Lay.
Wajah Kian Liong berobah seketika.
„Mengapa Thay-houw?!”
„Kau tahu sendirilah!” sahut Bun Thay Lay dengan tegas. „Jadi kalau begitu kau sudah mengetahuinya!” tanya kaisar.
„Tidak semuanya. Kata le lotangkeh Thay-houw pun mengetahui bahwa lotangkeh pernah membantu kau dan pernah minta kau membalas budinya. Tentang apa bantuan itu, rasanya kau sendirilah yang tahu. Aku kurang jelas.”
Kembali hati Kian Liong tergentar. Dia tertawa. Dia ambil saputangannya untuk mengusap keringat dikepalanya dan mondar mandir diruangan itu. Pada lain saat kedengaran dia ketawa.
„Dihadapan raja, kau bersikap menantang, nyata tak takut mati. Kau ada pesanan apa, lekas katakan. Nanti se telah kau meninggal, tentu kusuruh orang mengerjakannya,” katanya kemudian.
„Apa yang kutakuti? Kau tak nanti berani membunuh aku dengan segera!” sahut Thay Lay.
„Tidak berani?”
„Adanya kau akan membunuh aku, karena kau takut raha siamu boCor. Tapi dengan membunuh aku, ha, ha, apakah rahasiamu juga turut terpendam?”
„Adakah orang mati bisa berCerita?” ejek Kian Liong.
Bun Thay Lay tak mempedulikannya. Dia menggerendeng seorang diri: „Biar aku mati, tapi lain orang tetap akan dapat membuka surat itu dan akan menyiarkannya keseluruh negeri. Pada waktu itulah raja akan menemui nasibnya.”
Kian Liong kaget dan Buru-buru bertanya tentang surat itu.
„Ie lotangkeh telah menuliskan semua urusanmu itu pada sebuah surat, dengan diberikutkan buah bukti yang penting. Semua itu diberikan pada seorang sahabat. Baru kemudian kita masuk menemui kau diistana,” kata Thay Lay.
„Apa yang kamu takutkan itu?” desak kaisar Kian Liong.
„Sudah tentu, kita tak dapat mempercayai kau. Kata le lotangkeh kepada sahabatnya itu, kalau sampai kejadian kita ber mati, supaya surat itu dibukanya. Kini le lotangkeh sudah meninggal, mungkin kau tak berani membunuhku.”
Tangan Kian Liong gemetar, dia nampak gugup.
„Surat dan bukti itu, bagimu lebih berharga dari pada uang sejuta tail perak!” kata Thay Lay pula.
“Ha, memang aku sedia untuk menebusnya, pula kaupun akan' kulepas. Kau tulis surat pada sahabatmu itu, suruh dia antarkan surat dan bukti itu, nanti pasti kubajar,” bujuk kaisar.
„Hahaa, kalau kuberitahukan nama sahabatku itu, kau tentu akan kirim kawanan si-wi untuk menangkapnya. Terus terang saja, aku senang berada disini. Tak ingin aku keluar lagi. Kita ber ini sehidup semati. Kalau aku yang lebih dulu meninggal, kaupun takkan hidup lama,” sahut Thay Lay.
Kian Liong mengeretek gigi. Dia memutar otak betul-betul. Sesaat kemudian, lalu katanya pula: „Kalau kau tak mau tulis surat itu, tak apa. Kuberikan kau tempo hari, lusa kita akan berada disini lagi. Kalau kau tetap keras kepala, terpaksa kubunuh. Sudah tentu kematianmu itu takkan ada orang yang tahu, sehingga sahabatmu itu masih mengira kalau kau masih hidup. Tegasnya, sekalipun kau masih ber nyawa, tapi kau akan menjadi manusia tanpa mata dan lidah.........” sampai disini, tiba-tiba Kian Liong menobros ke pintu. Disitu Pek Cin tampak bersiap.
„Kau berbuat apa disini!” bentak Kion Liong dengan murka.
„Tadi hamba dengar didalam kamar ada suara benda beradu, untuk menyaga keselamatan baginda, maka hamba menyaga di sini, sahut Pek Cin.
Tanpa menyahut apa-apa, Kian Liong berpaling pada Bun Thay Lay lagi dan katanya : „Kau pikir lagi se-masaknya dalam hari ini !”
Terus dia keluar diiringkan rombongan si-wi. Dengan berlutut Li Khik Siu mengantar sampai kaisar itu keluar dari tangsi.
Begitu Kian Liong berlalu, Bun Thay Lay dibawa lagi kedalam penyara tanah. Selama diiring itu, Thio Ciauw Cong mengawalnya dengan pedang terhunus.
Berada sendirian didalam kamarnya, Thay Lay terkenang akan isteri dan saudara-saudaranya. Mereka tentu menyibuki dirinya. Penyagaan penyara sedemikian kuatnya, ia tak inginkan karena akan menolongnya, saudara-saudaranya itu berbalik menemui keCelakaan. Tapi kalau tidak dibebaskan mereka, sukarlah rasanya dapat hidup lagi.
Kalau ia tengah memikir begitu, adalah waktu itu seorang serdadu mendapatkan Thio Ciauw Cong dan menyampaikan permintaan dari Li Khik Siu untuk mengundangnya kekantor. Ciauw Cong segera tinggalkan Bun Thay Lay sendirian dalam kamarnya.
Tengah Bun Thay Lay ter-menung, tiba-tiba nampak pintu kamarnya terbuka dan masuklah seorang kesitu. Thay Lay mengira kalau itu tentu Thio Ciauw Cong, maka dia diam saja tak mempedulikan. Orang itu menghampiri dekat ke pembaringannya, dan bisika tibaa: „Suko, kudatang menengok kau !”
Bun Thay Lay kaget seperti dipagut ular. Dia menatap dengan tajam. Nyata ialah ketua perkumpulannya, Tan Keh Lok Cong-thocu. Burua ia- memberi hormat sambil berseru girang: „Cong-thocu !”
Keh Lok bersenyum dan mengangguk. Ia merogoh keluar sebuah tanggem, terus menanggem borgolan Bun Thay Lay. Sampai beberapa kali dia berusaha untuk memutuskan, tapi borgolan itu hanya bergurat sedikit. Tanggem itu buatan luar negeri, tapi tetap tak berdaya. Keh Lok menjadi gopoh, ia kerahkan seluruh tenaganya menCoba lagi, tapi, krekk......
bukan borgolan yang lepas, tapi tanggemnya yang putus !
Keh Lok ambil sebuah tanggem baru, tapi tetap tak ber geming. Dia keluarkan tatah, pukul besi dan lain-lain. alat, tapi tetap borgolan itu sedikitpun tak leCet.
„Cong-thocu, borgolan dikakiku hanya dengan pokiam saja dapat diputuskan,” kata Bun Thay Lay.
Tibaa Keh Lok teringat akan pertempurannya dengan Thio Ciauw Cong ketika menyeberang sungai Hoangho tempo hari, 'leng-bik-kiam' dari orang she Thio itu ternyata dapat memapas kutung pedangnya sendiri dan pedang Bu Tim Tojin.
„Bukankah se-hariaan Ciauw Cong menyaga suko disini?” tanyanya segera.
„Sejengkalpun dia tak mau berpisah dari aku. Tadi entah karena apa dia pergi keluar,” sahut Thay Lay.
“Baik, kita, tunggu dia kembali, lalu rampas pokiamnya,” kata Keh Lok.
„Dapat tidaknya aku keluar susah diramalkan. Baginda mau bunuh aku untuk menutup mulutku, kuatir rahasianya boCor,” kata Thay Lay. “Cong-thocu, rahasia itu akan ku beritahukan padamu. Jadi andaikata aku meninggal, urusan besar itu tak sampai terlantar.
“Baiklah, suko,” sahut Keh Lok.
„Ketika aku diajak masuk keistana oleh le lotangkeh kita berhasil menemui baginda,” demikian tutur Thay Lay.
Baginda terkejut. Ie lotangkeh memberikan keterangan, bahwa ia diutus kesitu oleh Tan lothay-thay dari Hayling untuk menyampaikan surat kepada baginda. Begitu baginda menyambuti surat itu, wajahnya berobah puCat. Aku di perintahkan menunggu diluar. Sampai lama kenya berunding secara rahasia sekali. Ketika pulang Ie lotangkeh memberitahu aku, bahwa raja itu sebenarnya orang Han. Dia bukan lain, adalah kau punya kanda sendiri, Congthocu!”
Begitu kaget perasaan Keh Lok ketika itu, hingga dia menjadi kemekmek. Berselang agak lama, baru dia seperti orang tersedar, katanya: „Ah, tak mungkin. Kokoku kini masih di Hayling.”
„Dalam soal itu, memang banyak-banyak sekali belat belitnya,” kata Thay Lay pula.
Belum sempat dia mengachiri keterangannya, tiba-tiba digang kedengaran tindakan kaki orang mendatangi. Keh Lok Buru-buru menyusup kebawah tempat tidur. Yang masuk itu ternyata seorang serdadu pengawal. Dia heran tak mendapatkan Tan Keh Lok disitu, tanyanya; „Dimana ketua Hong Hwa Hwe itu?”
Karena itu Keh Lok loncat keluar dari tempat persem bunyiannya.
„Thio taijin segera akan kembali. Li Ciangkun tak dapat menahannya lebih lama. Silahkan kau keluar!” kata pengawal itu.
Sebagai jawaban, Keh Lok berputar badan dan seCepat-cepat kilat menolak jalan darah „ki-bun-hiat” dari serdadu itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi, serdadu itu roboh.
“Cong-thocu, lihai benar tanganmu!” seru Bun Thay Lay dengan suara tertahan.
Keh Lok hanya tersenyum, terus merijeret serdadu itu kebawah kolong randyang .
„Thio Ciauw Cong segera datang, keteranganku yang lebih jelas tak sempat lagi. Karena mengetahui bahwa raja itu seorang Han, Ie lotangkeh menganyurkan supaya mero bohkan kerajaan Boan dan membangunkan kerajaan Han lagi. Usir semua orang Boan keluar Tiongkok dan mengambil pulang seluruh daerah negeri Han. Dan bangsa Han akan tetap mengakuinya sebagai rajanya. Agaknya baginda, tergerak hatinya. Tapi benar tidaknya omongan itu, rupanya dia masih belum jakin. Dia minta supaya.Ie lotangkeh memberi kan ke benda kesaksian yang penting Itu,” baru dia nanti pikirkan daya upaja lagi. Tapi seperti ditakdirkan oleh Tuhan, tak berapa lama Ie lotangkeh jatuh sakit dan menutup mata. Dia meninggalkan pesan, supaya kau yang menjadi Cong-thocu (pejabat ketua). Itulah kesempatan satunya, agar kerajaan Han dapat dibangunkan kembali. Baginda adalah kokomu sendiri, kalau dia tak mau merobohkan pe merintah Boan, kita bangsa Han akan angkat kau sebagai raja” demikian Bun Thay Lay mengachiri Ceritanya de ngan singkat.
Keh Lok mendengari dengan termangu-mangu. Teringat dia, bagaimana pertama kali berjumpa dengan Kian Liong dite laga Se-ouw. Dan ke kalinya, sewaktu berjumpa diku buran ayah bundanya, raja itu bersikap sedemikian baiknya. Segala tingkah laku raja itu apakah ada hubungannya bahwa beliau itu memang anak kandung orang tuanya ?
„Kalau benar dia itu bangsa Han, mengapa menjadi raja Boan ? Soal itu, kabarnya ibu Cong-thocu sudah menerang •kannya dalam sepuCuk surat. Disamping itu masih menyim pan beberapa barang pembuktian yang penting. Demi kese lamatan, Ie lotangkeh telah menyerahkan kesemuanya itu pada suhu Congthocu, Thian-ti-koayhiap,” Bun Tha.y Lay menerangkan pula.
“Ah, jadi pada musim panas jl. Siang-si Siang Hiap me ngunyungi suhu itu, jadinya untuk keperluan tersebut?” tanya Keh Lok.
„Benar, itu adalah suatu urusan besar, sehingga kaupun tak mengetahuinia. Wan LoCiangpwe (Thian Ti koayhiap) pun hanya tahu bahwa benda itu penuh sekali. Tapi bagai mana hal yang sebenarnya, diapun kurang jelas. Sewaktu Ie lotiangkeh menutup mata; dia berpesan harus kau yang menggantikan kedudukan CongtoCu Hong Hwa Hwe itu. Surat itu harus menjadi pedoman untuk suatu gerakan besar. Ah, sayang aku tertangkap, sehingga membikin kapiran urusan itu. Cong-thocu, andainya kau gagal bebaskan diriku, harap kau segera menemui suhumu. Jangan sekali-kali karena urusan diriku yang kecil artinyal itu sampai menelantarkan pe-kerjaan besar.”
Pada waktu Thay Lay mengucap sampai disitu, nampak nya dia puas. Baru dia akan lanyutkan keterangannya, mendadak dari arah gang kedengaran tindakan orang menda tangi. Buru-buru Thay Lay mengisjaratkan supaya Keh Lok ber sembunyi dibawah tempat tidur. Setelah itu dia sendiri me-ngatur sikap badannya, separoh diatas pembaringan separoh menggelandot dilantai, se-olah seperti orang jatuh dari tempat tidur.
Masuk kedalam, segera Ciauw Cong samar melihat keadaan pesakitannya itu, siapa disangkanya sudah bunuh diri. Terdorong oleh rasa terkejut, tanpa dipikir lagi, dia memburu untuk mengangkatnya. Tapi tubuh Bun Thay Lay tampaknya kaku tak bergerak, hal mana sangat mengejutkan Ciauw Cong. Dia terus ulur tangan untuk memeriksa lu bang hidung pesakitan itu.
Siapa duga tiba-tiba tubuh Bun Thay Lay menCelat keatas, berbareng ke tangan yang diborgol dikibaskan untuk menyapu Ciauw Cong. Karena tak menyang kanya sama sekali. Ciauw Cong akan mundur selangkah. Tapi mendadak, jalan darah „tan-thian-hiat” pada bagian perutnya terasa kesemutan. Tahulah dia, bahwa dia telah termakan totokan seseorang yang bersembunyi dibawah pembaringan.
Dengan menggerung seperti harimau terluka, Ciauw Cong loncat mundur tindak sambil dorongkan ke tangannya kemuka, untuk menyaga serangan. Berbareng itu, dia kerahkan pernapasannya untuk menutup pintu jalan darah.
Nampak jago Bu Tong Pai itu tak kena dirobohkan dengan totokan itu, Tan Keh Lok kagum dan kaget. Diapun loncat keluar, terus menyerang lawannya dengan ilmu silat Siao Lim yang disebut 'Siao Lim Sin Kun'. Begitu sebat pukulan itu, hingga dalam beberapa detik saja, Ciauw Cong sudah dihujani tujuh-delapan kali tempilingan secara ber-tubi.
Ciauw Cong terpaksa niandah saja dihajar lawah, karena kalau dia bergerak, jalan; darahnya pasti tertutuk.
Paling dia hanya geser kakinya mundur kebelakang. Keh Lok tahu kelemahan orang, dia segera kirim sebuah ten dangan kearah pinggang orang. Ciauw Cong berkelit ke sebelah kiri. Tapi, Celaka baginya! Dia rasakan jalan darahnya dibagian „sin-thing-hiat” kesemutan sakit sekali. Kiranya, dia terkena totokan lawan lagi. Malah kali ini, dia tak dapat bertahan lagi. Sekujur badannya terasa lemah lunglai, terus numprah ditanah. Cepat-cepat Keh Lok geledah badannya, tapi ternyata pokiam 'leng-bik-kiam' dari orang she Thio itu tak kedapatan. Dengan masgul, dia berpaling se bentar kearah Bun Thay Lay. Kemudian dia lanyutkan penggeledahannya lagi. Dari saku dia mendapat sepuCuk surat. Ternyata itulah surat Li Khik Siu yang diberikan pada Ciauw Cong a.l. mengatakan bahwa ada seorang tamu agung yang berminat melihat 'leng-bik-kiam'nya.
Itulah sebenarnya akal Li Khik Siu untuk menyingkirkan sang „harimau.” Tapi ternyata Ciauw Cong keliwat hati-hati orangnya. Dia minta permisi sebentar pada Li Khik Siu untuk menengok sebentar kamar pesakitan. Jadi pokiamnya masih berada dikantor Li Khik Siu.
Ketika Keh Lok menggeledah lagi. Sekonyong-konyong dia ber jingkrak kegirangan.
„Bagaimana?” tanya Bun Thay Lay dengan heran.
Keh Lok lemparkan seikat anak kunCi, lalu diCobakannya membuka borgolan Bun Thay Lay. Seketika Thay Lay rasakan tangan dan kakinya enteng seperti hilang borgolannya. Dilain saat pun Tan Keh Lok sudah membuka jubah dan kerudung muka, lalu diberikan pada Bun Thay Lay supaya lekas memakainya.
“Dan kau?” tanya Thay Lay heran.
„Biar aku berada disini sebentar, lekas-lekas kau keluar!” Keh Lok menitah.
Barulah Thay Lay tahu akan maksud orang.
„Cong-thocu, aku merasa berterima kasih sekali padamu. Tapi kau tak lajak berbuat begitu,” katanya terharu.
Keh Lok kerutkan jidatnya. “Aku adalah ketua Hong Hwa Hwe Semua anggauta Hong Hwa Hwe harus tunduk perintahku bukan?” tanyanya Cepat-cepat .
“Memang,” sahut Thay Lay.
„Bagus. Dengarlah perintahan ini. Lekas pakai dan keluar dari sini, diluar saudara-saudara kita akan menyambutmu.”
„Tapi menyesal kali ini aku terpaksa melanggar perintah mu. Kelak aku rela menerima hukuman apapun dari Cap Ji Long!” sahut Thay Lay “tetap.
„Siang dan malam suso sangat terkenang padamu. Sekalian saudara pun sangat meng-harap agar kau lekas keluar. Kini adalah kesempatan yang bagus, kenapa kau berhati dingin?” kata Keh Lok. Dia lalu tuturkan dengan ringkas tentang ikatan janyinya dengan Kian Liong.

Namun Bun Thay Lay tetap tak mau Cong-thocu itu gantikan tempatnya. Sampai sekian, lama mereka tak dapat mengambil putusan, sampai achirnya Tan Keh Lok tiba-tiba mendapat pikiran.

“KALAU begitu kita ber bersama-sama keluar. Pakailah pakaian orang she Thio itu.”
“Bagus, kenapa Cong-thocu sedari tadi tak mau bilang !” seru Thay Lay girang.
Setelah bertukar pakaian, borgolan itu dipasang juga pada tubuh Ciauw Cong. Anak kunCinya disimpan Tan Keh Lok dalam kantongnya. Dengan demikian sekalipun kepan daian Ciauw Cong setinggi langit tak nanti dapat terlepas.
Ke pemimpin HONG HWA HWE itu dengan Cepat-cepat tinggalkan ruangan itu. Melintasi gang mereka naik ke-undakan. Sampai diatas, tiba dilihatnya sekeliling taman situ terang benderang disinari Cahaja obor. Dengan tombak ditangan, ber-puluh serdadu Ceng menujukan senjatanya kearah mulut penyara dibawah tanah itu. Tidak jauh dari situ, beratus serdadu siap dengan busurnya. Juga arah tujuannya ialah mulut gowa itu. Tampak Li Khik Siu mengangkat tangannya kanan. Sepasang matanya ber-api mengawasi. Asal dia sekali mengibas turun, tombak dan anak panah akan menghujani. Sekalipun Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay bagaimana tinggi kepandaiannya tak nanti dapat lolos dari bahaja itu.
Tan Keh Lok mundur selangkah seraja membisiki Bun Thay Lay: “Bagaimana lukamu? Apa bisa menyerbu terus?”
Bun Thay Lay tertawa tawar. “Tidak jadi saja, pahaku masih kaku. Cong-thocu, kau keluar sendirilah, jangan pikirkan aku,” sahutnya.
“Coba kau tiru sikap Ciauw Cong!” pesan Keh Lok. Lalu dengan menarik turun topinya sampai menutupi alis, dia melangkah maju.
Melihat yang keluar adalah Ciauw Cong dan Tan Keh Lok, Li Khik Siu mengeluh dalam hati. Ia kira kalau Tan Keh Lok kena tertangkap. Karena itu ia berpaling kearah puteri nya dan berkata: “Wan Ci, kembalikan pedang ini pada Ciauw Cong dan ajaklah dia berbicara se-banyak-banyaknya, supaya ketua HONG HWA HWE itu sempat melarikan diri !”
Pada waktu Wan Ci membawa 'leng-bik-kiam' kemulut gowa. Tan Keh Lok ber sudah naik keatas. Sengaja Wan Ci angsurkan pokiam itu kepada pemiliknya dengan menengahi ke orang itu.
“Thio susiok, inilah pedangmu!” demikian katanya.
Berbareng menyodorkan pokiam, sikut Wan Ci menying gung tubuh Tan Keh Lok dengan maksud agar ketua HONG HWA HWE itu larikan diri. Sebaliknya dengan perdengarkan suara hi dung Bun Thay Lay hendak sambuti pokiam itu. Demi keli hatan dari Cahaja obor siapa gerangan Ciauw Cong itu, berserulah gadis itu dengan kagetnya: “Bun Thay Lay, kau mau lolos?!” Berbareng ia tarik kembali tangannya, dengan gerakan “sun-Cui-thwi-Cu,” menurutkan angin men dorong perahu, ia menusuk kedada orang. Bun Thay Lay egoskan tubuhnya, tangan kirinya dibalikkan, terus dengan jari telunyuk dan buah jarinya lagi, dia Cepit mata pedang. Berbareng, sebat luar biasa tangannya menganCam jalan darah “thay-yang-hiat” dipilingan sigadis.
Wan Ci mundur selangkah. Tapi tak urung pundaknya terkena sedikit. Tapi pokiam itu sudah terjepit dalam.jari Bun Thay Lay, sedikitpun tak bergeming. Saking terperanyat, Wan Ci lepaskan pokiam itu, terus akan lari.
Saling berebut pedang itu telah diachiri dengan terCenge ramnya pundak Wan Ci oleh Bun Thay Lay. Seketika itu, sinona rasakan sakit sekali. Sebenarnya, penyerangan itu ber langsung dalam beberapa kejab saja, namun ketika Tan Keh Lok yang pada saat itu sudah maju beberapa langkah, menoleh kebelakang, Bun Thay Lay tampak sudah dikepung rapat oleh serdadu Ceng, Bun Thay Lay dengan beringas bolang balingkan 'leng-bik-kiam' (pedang Thio Ciauw Cong) kesana kemari, dan beberapa ujung tombak telah terpapas kutung.
“Tahan, atau akan kutitahkan melepas panah!” tiba Li Khik Siu berteriak menganCam.
Karena mengeluarkan tenaga, luka di paha Bun Thay Lay kembali melekah dan mulai mengalirkan darah lagi. Melihat itu, tahulah dia bahwa dirinya tak dapat menobros kepungan musuh.
“Cong-thocu, terimalah pedang ini. Kau lekas keluar sendiri!” teriaknya segera.
Berbareng dengan seruan itu, Bun Thay Lay akan lempar kan pedang 'leng-bik-kiam' itu kepada Tan Keh Lok. Tapi pada saat itu juga, ia rasakan pundaknya sakit sekali dan tangannya lemas. Sehingga pedang itu jatuh terlempar di tanah. Kiranya sebatang anak panah dari serdadu Ceng telah mengenai pundaknya itu.
Nampak Bun Thay Lay kembali terluka, Tan Keh Lok loncat beberapa tindak kearah Li Khik Siu dan menyerukan agar jenderal itu memerintahkan anak buahnya berhenti memanah. Sebagai gantinya hujan panah, pasukan Ceng itu segera memagari ke pemimpin HONG HWA HWE itu dengan tombak.
“Lekas undangkan sinshe untuk mengobati luka Bun su tangkeh. Nah, aku hendak pergi!” seru Keh Lok pula.
Dengan ucapan itu, ketua HONG HWA HWE tersebut sudah melesat keluar. Karena sudah mendapat perintah dari Ciangkunnya, tentara Ceng itu puras ber-sorak mengejarnya. Tapi hal yang sebenarnya, mereka itu tak menghalanginya dengan sungguh-sungguh. Ketika loncat keatas tembok, Keh Lok segera dapatkan bagaimana didalam dan diluar tangsi tersebut sudah siap tiga lapis pasukan pemanah dan pasukan bertombak.
Diam-diam ketua HONG HWA HWE itu mengeluh dalam hati. Dengan penyagaan yang sekokoh itu, sukarlah rasanya untuk menolong Bun Thay Lay.
Sekeluarnya dari tangsi, Wi Jun Hwa dan Lou Ping sudah menunggu. Dengan bersenyum keCut, Keh Lok gelengs kepala. Hari sudah mulai terang tanah. Apaboleh buat, dengan menanggung kemengkalan, oranga HONG HWA HWE itu segera balik kerumah Ma Sian Kun di Kosan.
Hanya jam saja mereka beristirahat, lalu kembali berkumpul di ruangan untuk berunding lagi.
“Kiuko (saudara kesembilan), kau antar vaas giok dan selir Li Khik Siu itu kepadanya. Kita tak boleh salah janyi,” kata Tan Keh Lok kepada Wi Jun Hwa.
Baru saja Wi Jun Hwa keluar, Ma Tay Thing, putera Ma San Kun, masuk sambil berkata: “Cong-thocu, Thio Ciauw Cong menghaturkan sepuCuk surat untukmu.”
“Surat dari Ciauw Cong?” tanya Keh Lok. “Aneh, entah apa maunya !”
“Kuduga dia tentu akan ajak pi-bu padamu Cong-thocu,” kata Thian Hong.
Ketika dibaCanya, ternyata surat Ciauw Cong itu penuh dengan kataa yang mengunyukkan kemarahan. Memaki ketua HONG HWA HWE itu telah berlaku liCik, karena menotok orang dengan menggelap, kemudian memborgolnya. Tindakan itu dikatakan bukan laku seorang jahtan, karenanya ditantang nya adu silat (pi-bu) saja untuk menetapkan siapa sesung guhnya yang lebih unggul. Waktu dan tempat diserahkan kepada ketua HONG HWA HWE itu.
“Kau benar, Chitko. Dia tantang aku. Hem, bertanding satu lawan satu, dia kira aku takut padanya!” kata Keh Lok.
Keh Lok Cepat-cepat menulis balasan. Ajakan pi-bu itu dite rimanya. Pertandingan akan dilangsungkan besok pagi di bukit Pak-ko-nia. Harus satu lawan satu. Kalau sampai ada orang lain yang membantunya, itu bukan seorang laki. Se dianya surat balasan itu terus akan disuruhnya mengirim, tapi tiba Thian Hong menyatakan pikiran, bahwa pi-bu itu bukan soal yang penting. Sebaiknya dapat diundurkan dulu sampai nanti urusan menolong Bun Thay Lay sudah selesai.
“Baiklah, hari ini tanggal 0. Kalau begitu diundurkan saja sampai tanggal nanti.”
Tan Keh Lok tulis lagi sepuCuk balasan, lalu disuruhnya orang mengirimkan ke tangsi tentara Ceng.
“Pokiam Thio Ciauw Cong itu sungguh lihai. Congthocu jangan adu senjata dengannya. Lebih baik dengan tangan kosong saja,” kata Tio Pan San.
“Dikuatirkan dia tentu akan minta adu pedang, bangsat itu............” Bu Tim, imam tangan satu itu, ikut mengeluarkan suara dengan gusarnya. Dia teringat akan pertempuran di penyeberangan sungai Hongho, dimana pedangnya telah kena dipapas oleh pokiam Thio Ciauw Cong.
“Cong-thocu, jangan kau salah faham, aku hendak me nyatakan pendapat,” tibaa Ciu Tiong Ing berkata.
“Silahkan Ciu loCiangpwe memberi pengunyukan, siaotit tentu akan mengindahkannya,” kata Keh Lok.
Kepandaian Cong-thocu pernah aku menerima pengaja ran. Memang luar biasa. Tapi orang she Thio itupun bukan orang sembarangan,” demikian kata Ciu Tiong Ing. “Kita pernah beramai tempur dia. Bukan maksudku akan memuji tinggi dia dan merendahkan kekuatan sendiri. Memang Cong-thocu takkan terkalahkan oleh dia. Tapi untuk me nundukkannya, juga sukar rasanya. Kita harus menCari akal untuk mengatasinya.”
“Ucapan Ciu loCiangpwe itu tak salah kiranya. Memang sukarlah bagiku akan mengalahkannya. Tapi karena dia me nantang, kiranya kurang leluasa jika mesti menolak. Jadi terpaksa harus kuhadapinya, tanpa memperhitungkan kalah atau menang,” jawab Keh Lok.
“Sebaiknya kita singkirkan dulu pokiamnya itu, agar dia Ciut nyalinya,” Siang Pek Ci utarakan pendapat.
“Kita satu persatu ganggu dia. Sekalipun takkan mengalahkannya, tapi sekurang-kurangnyanya dia tentu akan lelah. Sedang selama hari ini, baiklah Cong-thocu mengasoh baik-baik . Dengan semangat yang segar, rasanya Cong-thocu akan dapat menundukkan bangsat itu,” Ciang Cin, si Bongkok ikut bicara.
Mendengar oraongan si Bongkok itu, peCahlah ketawa orang-orang HONG HWA HWE Mereka mengakui, se-bodoh si Bongkok itu, namun akalnya boleh juga. Tengah mereka masih ber Cakapa, seorang Cengteng masuk menghampiri Ma San Kun dan melapor :
“Loya, Ong Hwi Yang, situa itu, sampai sekarang tak mau makan. Dia terus menerus menCuCi-maki saja.”
“Apa yang dia maki?” tanya tuan rumah itu.
“Dia menCaCi pasukan gi-lim-kun itu tak kenal aturan. Dia mengatakan, selama berpuluh tahun berkelana di kangouw itu, oranga sama menghormatinya. Dia tak menyang ka kalau kali ini mengantar piau bagi baginda, malah telah ditahan tanpa alasan apa-apa,” tutur Cengteng itu.
“Sekalipun dia bergelar Wi-tin-ho-siok, hm, biar dia rasa kan 'kopi pahit' didaerah Kanglam sini!” kata Bu Tim dengan tertawa.
Mendengar pembicaraan itu, tiba Thian Hong mendapat pikiran. Katanya segera: “Aku ada tipu yang dinamakan 'Pian Cong membunuh harimau', entah saudara-saudara sekalian dapat menerima, entah tidak?”
Thian Hong lalu bentangkan tipunya. Ternyata sekalian orang sama memuji dan menerimanya. Sampai Tio Pan San berseru menyatakan kagum. Sedang Ciu Tiong Ing pun tertawa dan geleng kepala.
“Sebenarnya tipu itu termasuk liCik. Tapi menghadapi seorang siaojin, tak perlu kita berkukuh pada keutamaan. Beng toako, silahkan kau omongi si Wi Tin Ho Siok itu,” kata Keh Lok.
Memang selama 40 tahun lamanya Ong Hwi Yang malang melintang didaerah utara, tanpa ada yang menandingi. Tapi kali ini dia menyejakkan kakinya didaerah Kanglam, dia telah tertumbuk batu. Selama dalam kamar tahanannya, dia tak mau dahar apa-apa. Ber-ulang dia ber-kaok, minta bertemu dengan pemimpin pasukan gi-lim-kun. Karena sampai saat itu, dia masih mengira bahwa yang meringkusnya itu adalah pasukan gi-lim-kun. Sedikitpun dia tak merasa kalau sebenarnya dia telah masuk perangkap dan berada dalam tangan orang-orang HONG HWA HWE
Selagi dia masih marahs itu, masuklah seorang pemuda, yang mengenakan pakaian gi-lim-kun. Orang itu bukan lain ialah Beng Kian Hiong. Murid Ciu Tiong Ing itu ternyata juga seorang yang Cerdas, tak kalah dengan Wi Jun Hwa. Karena itulah maka Tan Keh Lok menunyuk dia melakukan peranan tersebut.
“Apakah kau ini yang disebut Wi Tin Ho Siok?” tanya Kian Hiong setelah mengambil tempat duduk disebuah kursi.
“Betul. Gelar itu sahabats kangouw yang memberikannya. Aku sendiripun tak merasa senang dengan gelar itu. Kalau memang Hok thongling menganggapnya tak lajak, kelak akan kumaklumkan kepada sahabata kangouw, bahwa gelar itu kuhapuskan,” kata Ong Hwi Yang dengan kurang senang.
“Hok thongling adalah keluarga baginda, dia tak ambil pusing dengan kaum kangouw,” kata Kian Hiong sembari perdengarkan ketawa tawar.
“Kini aku sedang menyalankan tugas untuk mengantar baranga baginda ke HangCiu. Mengapa tanpa sebab aku di tahan begini?” tanya Hwi Yang .
“Jadi kau belum mengetahui?” tanya Kian Hiong.
“Memang !”
“Ah, kukuatir karena usiamu begitu tinggi, nanti tak tahan mendengarnya !”
Ong Hwi Yang paling benCi orang mengatakan dirinya tua. Karena dia masih merasa seperti anak muda yang berapi api semangatnya. Maka dia segera menggebrak meja, se hingga ujung meja itu sempal. Katanya dengan gusar :
“Aku Ong Hwi Yang, meskipun umurku tua, tapi aku tak gentar untuk menerobos pagar golok atau masuk kedalam minyak mendidih. Apanya yang kutakuti?”
“Aha, Ong loCiangpwe sesungguhnya masih berdarah panas. Hm, kalau begitu memang tak salah bisak-bisik yang tersiar dikalangan kangouw bahwa 'lebih baik menghadap Giam Ong daripada kesamplokan dengan Lo Ong. Lebih suka menerima tusukan tombak, daripada bertemu dengan orang she Thio'. Bukankah begitu?” tanya Kian Hiong.
Yang dimaksud dengan Lo Ong atau Ong si Tua, adalah Ong Hwi Yang itu. Sedangi orang she Thio itu, bukan lain jalah Thio Ciauw Cong. Jadi hal itu membuktikan bagaimana pengaruh ke jago itu dikalangan persilatan.
“Itulah sahabat- dari golongan Hek To yang memberi muka padaku secara ber-lebih*-an,” kata Ong Hwi Yang.
“Mengapa orang lebih dulu menyebut Lo Ong, baru orang she Thio? Apakah kepandaian Lo Ong itu berada diatas orang she Thio?” tanya Kian Hiong.
Ong Hwi Yang berjingkrak bangun, maju setindak dia lalu berkata: “Jadi si 'Hwe Chiu Poan Koan' yang hendak menguji kekuatanku?! Memang aku tolol sekali, hingga tak dapat memikir sampai disitu.”
“Thio taijin adalah pemimpinku, kau juga mengetahuinya?” tanya Kian Hiong pula.
“Aku tahu bahwa Thio Ciauw Cong berada dalam dinas gi-lim-kun,” sahut Hwi Yang.
“Jadi kau kenal padanya ?” tanya Kian Hiong.
“Meskipun kita sama-sama tinggal di Pakkhia dan sesama kaum persilatan, tapi dia menjadi pembesar negeri, sedang aku seorang rakjat biasa. Memang sudah lama kudengar namanya yang kesohor itu. Sayang tak pernah berjumpa.”
“Kebetulan, memang Thio taijin juga kepingin belajar kenal denganmu. Kini dia juga berada di HangCiu sini. Dia berkata, ketika berada di Pakkhia dekat dengan kaisar. Kalau sampai disebabkan urusan berebut nama kosong saja mesti perlu bentrok, itulah kurang lajak. Kini, sama-sama berada diluar kotaraja, Thio taijin mengajukan tiga hal kepada Ong locianpwe. Kalau locianpwe suka menerimanya, dia idinkan locianpwe keluar dari sini.”
“Baik, aku telah kena tersergap oleh orang-orang mu dari pasukan gi-lim-kun. Ada urusan apa lagi yang akan meminta persetujuanku. Mengapa harus aku yang meluluskannya ?”
“Urusan itu mudah sekali. Tak usah kiranya lo-piauwtauw menjadi gusar,” ujar Kian Hiong.
“Apa yang Hwe Chiu Poan Koan maukan padaku?!”
“Pertama, lo-piauwtauw harus menghapuskan gelaran 'Wi Tin Ho Siok' itu.”
“Hm, lalu yang ke?” Hwi Yang putuskan omongan orang.
“Bubarkan Tin Wan piauwkiok !”
“Apa?” seru Hwi Yang dengan keras. “Piauwkiok itu telah kudirikan selama tiga 0 tahun lebih dengan disaksikan orang-orang kangouw tak pernah mendapat hinaan dari kalangan Hek To. Jadi Thio taijin maukan aku membubarkan, baiklah. Dan yang ketiga?”
“Yang ketiga, supaya Ong lo-piauwtauw undang seluruh kalangan persilatan dan umumkan bahwa bisak-bisik 'lebih baik menghadap Giam Ong daripada kesamplokan dengan Lo Ong; lebih baik menerima tiga tusukan tombak daripada bertemu dengan orang she Thio', ucapan itu supaya dibalik. Jadi artinya kalimat yang ke itu supaya ditaroh diatas lebih dulu. Selain itu, Thio taijin ingin supaya Ong lo piauwtauw suka serahkan golok pat-kwa-to itu.”
Sampai disitu, tak kuat lagi Ong Hwi Yang menahan ke marahannya. Serunya dengan gusar: “Dengan Thio Ciauw Cong aku tak punya permusuhan apa-apa, mengapa dia begitu menghina aku sampai keliwatan sekali !”
Kian Hiong ganda tertawa, sahutnya :
“Kau sudah menikmati kemasjhuran nama selama 40 tahun, sebaiknya kini mandah mengasoh saja. Bukankah 'sebuah gunung tak dapat didiami oleh ekor harimau?' Masa kata-kata itu saja Ong lo-piauwtauw sampai lupa?”
“Ah, kiranya dia akan minta penyelesaian, agar dia dapat mengkangkangi kolong langit. Hm, sekiranya aku tak meluluskan, bagaimana? Apakah dia akan tetap menyikap aku disini? Ah, biarlah kuserahkan jiwaku saja, masa dia akan lepas dari buah ketawaan orang-orang kangouw.”
“Thio taijin seorang gagah yang berambekan perwira. Tak nanti dia mau melakukan hal itu. Dia minta padamu nanti siang, supaya beradu ilmu pedang dibukit Pak-ko-nia. Kalau sesungguhnya Lo Ong yang lebih lihai, bisak-bisik itu biarkan begitu seperti sediakala. Kalau tidak, maka diharap lo-piauwtauw menerima ketiga permintaannya itu,” kata Kian Hiong.
“Cara itu memang yang lajak. Biarlah namaku selama 40 tahun itu kupertaruhkan padanya.”
“Tapi tadi Thio taijin berpesan, kalau lo-piauwtauw menerima undangannya itu, supaya suka datang sendirian, agar jangan sampai terdengar oleh baginda. Kalau lo-piauwtauw sampai undang sahabat untuk membantunya, lebih baik per tandingan itu ditiadakan saja.”
Ong Hwi Yang karuan berjingkrak seperti orang keba karan jenggot.
“Sekalipun aku seorang tua akan remuk rendam tulang belulangku, tapi aku pasti datang seorang diri,” katanya kemudian dengan gemas.
“Kalau begitu harap lo-piauwtauw mengirim sepuCuk surat balasan, biar kusampaikan pada Thio taijin nanti,” kata Kian Hiong lalu keluarkan kertas dan alata tulis.
Karena menahan amarah, bergemetaranlah tangan Ong Hwi Yang sewaktu menulis balasan. Ringkas saja surat itu :
Dihaturkan kepada Thio taijin,
Kata-kata dan sikapmu itu, keliwat memperhina kan aku. Nanti siang kita bertemu di Pak-ko-nia. Kalau aku sampai jatuh di tanganmu, aku rela menerima hukuman sekehendakmu.
Hormatnya, Ong Hwi Yang
Ong Hwi Yang seorang bu, maka dia kurang mahir ilmu nya bun (surat). Apalagi sedang marah, jadi lebih kaCau susunan kata-katanya itu. Kian Hiong hanya tertawa saja, terus akan berlalu. Tapi tiba Ong Hwi Yang berseru: “Tulung tanya nama toako yang mulia ini, nanti akupun meminta pengajaran darimu !”
Rupanya Hwi Yang umbar kemendongkolannya. Kian Hiong yang disangkanya anggauta “gi-lim-kun” juga akan diajak nya berkelahi nanti.
“Aku yang masih hijau ini dari angkatan muda, masih kurang pengalaman. Thio taijin sedang menanti surat ini,” jawab Kian Hiong terus keluar dari ruangan itu sambil rapatkan pintu tanpa dikunCi.
Orang-orang HONG HWA HWE Cukup mengetahui bahwa Ong Hwi Yang paling jerih jika berhadapan dengan pembesar negeri. Jadi ia tak mau berusaha meloloskan diri, terima mandah disekap dalam tahanan itu. Karena kalau ia mau, sebenarnya dengan mudah ia dapat dobrak pintu tahanannya itu.
Kini diCeritakan tentang Thiat-pi-peh-Chiu Han Bun Tiong yang karena akan mengejar penCuri kudanya, telah masuk dalam perangkap. Dan kini iapun ditahan. Pagi itu, ia dibawa kelain, sel kecil. Tapi lain halnya dengan Ong Hwi Yang, orang she Han itu tahu kalau dirinya kini jatuh ditangan orang HONG HWA HWE
Sedang dia gelisah memikirkan nasibnya, tiba didengarnya dari kamar sebelah, ada orang ber-kaok memaki kalang kabut. Dia melengak, karena” dikenalnya suara orang itu adalah Cong-piauwtauw Ong Hwi Yang. Cong-piauwtauw itu tengah me-maki-maki Thio Ciauw Cong yang dikatakan sebagai orang yang keliwatan menghina lain orang.
Diam-diam Han Bun Tiong heran, mengapa Cong-piauwtauw itu bisa berada ditempat tahanan itu, dan pula me-maki-maki pada Thio Ciauw Cong. Ingin dia akan berseru keras untuk menegor Hwi Yang, tapi tiba masuklah orang ketempat itu, seraja berkata: “Silahkan Han toaya keruangan besar.”
Berada diruangan besar Bun Tiong nampak dibarisan kursi yang sebelah kiri duduk tiga orang. Yang duduk dikursi pertama, jalah ketua HONG HWA HWE, Tan Keh Lok. Kursi yang ke diduduki oleh seorang yang jenggotnya putih semua. Sedang pada kursi yang lainnya, tampak seorang yang bertubuh pendek. Orang-orang itu agaknya Bun Tiong sudah pernah menyumpainya ketika dalam perjalanan di wilayah Kamsiok. Piauwsu itu kemaluan. Dia tak mau menengok, keCuali anggukkan ke palanya, lalu mengambil tempat duduk.
“Han toako, kita pernah bertemu di Kamsiok, tidak nyana kalau hari ini kita dapat berjumpa lagi disini. Haha, agaknya kita ini memang berjodoh,” kata Keh Lok.
Sampai agak lama, baru Bun Tiong dapat menyawab tegoran orang, katanya: “Ja, ketika itu, aku memang berjanyi untuk tinggalkan kalangan persilatan dan mengasing kan diri. Tapi karena Ong Cong-piauwtauw mendesak aku supaya turut serta dalam pengawalan barangs kali ini, ter paksalah aku tak dapat menolaknya. Pertama, mengingat perhubungan baik dengan Ong Cong-piauwtauw. Ke, karena barangs kawalan itu adalah barang yang berharga untuk diantarkan ketempat kediaman Kongcu. Kiranya pasti Kongcu takkan sesalkan aku, maka............”
“Sahabat Han, kita kaum kangouw hanya menyunyung kepercayaan dan kebejikan. Kau telah langgar janyi, bagaimana rasa hatimu sendiri?” tanya Thian Hong, siorang pendek itu tiba, dengan suara tajam.
“Aku telah jatuh kedalam tanganmu, sia-siasaja aku omong ini itu, terserah sajalah kalau mau dibunuh atau di............” sahut Bun Tiong lesu.
“Han toako, jangan Buru-buru berkata begitu!” Keh Lok putuskan omongan orang. “Kitapun mempunyai hubungan yang baik dengan Ong Cong-piauwtauw. Untuk kepentingan HONG HWA HWE, beliau tak segan akan tempur Hwe-Chiu Poan-koan Thio Ciauw Cong. Kau dan aku bukan orang lain, urusan yang lampau tak perlu kiranya di-ungkat lagi. Bagaimanakah hubungan Han toako dengan orang she Thio itu?”
“Ketika di Pakkhia, sudah beberapa kali kujumpainya. Tapi rupanya dia terlalu agulkan kedudukannya yang tinggi, pula merasa berkepandaian jauh melebihi kita, agaknya dia sungkan bergaul dengan kita orang, jadi tak ada hubungan apa-apa,” sahut Han Bun Tiong.
“Oh, begitu. Coba Han toako baCa surat ini,” kata Keh Lok sembari serahkan surat tantangan Ong Hwi Yang kepada Thio Ciauw Cong itu kepada Bun Tiong.
Tentang isi surat itu, sebenarnya! Bun Tiong masih agak meragukan. Ia merasa tak nanti Ong Hwi Yang sampai ber chianat kepada Thio Ciauw Cong hanya karena akan mem bela urusan HONG HWA HWE Tapi dengan telinganya sendiri, tadi ia dengar bagaimana Cong-piauwtauw itu memaki habis-habisan pada Ciauw Cong. Apalagi dia mengetahui betul kalau surat itu ditulis oleh tangan Ong Hwi Yang sendiri. Sampai disitu, hilanglah keraguannya.
“Kalau begitu, ingin aku menyumpai Ong Cong-piauwtauw, untuk merundingkan daya menghadapi Thio Ciauw Cong nanti,” katanya kemudian.
“Tapi kini rasanya waktu sudah mendesak sekali. Aku hendak mohon bantuan Han toako untuk antarkan surat ini kepada Thio Ciauw Cong, baru nanti Han toako menemui Ong Cong-piauwtauw. Entah bagaimana pendapat Han toako?” tanya Tan Keh Lok, yang walaupun kata-katanya me minta pertimbangan Bun Tiong, tapi terselip suatu perintah pada piauwsu itu. Jadi Han Bun Tiongpun terpaksa meluluskannya.
“Capjilong, keluarlah!” tiba Keh Lok berseru memanggil.
Segera Ciok Siang Ing tampak munCul, siapa lalu diper kenalkan kepada Han Bun Tiong.
“Biarlah saudara Ciok ini, menemani Han Toako ketempat Thio Ciauw Cong. Mungkin Han toako masih belum jelas, mengapa Ong loenghiong membalik terhadap Thio Ciauw Cong. Soal itu kalau dituturkan, panyang juga. Nanti saja kita Ceritakan kepada Han toako. Dihadapan Thio Ciauw Cong, tolong akuilah kalau saudara Ciok ini salah seorang piauwsu dari Tin Wan piauwkiok. Selanyutnya biar kan dia sendiri yang bicara nanti,” kata Keh Lok pula.
Kembali Bun Tiong Curiga, hingga sampai sekean lama dia tak menyawab.
“Dalam soal apa lagi yang kiranya Han toako masih belum jelas?” tanya ketua HONG HWA HWE itu.
“Oh, tidak ada. Aku turut saja apa yang Kongcu pesan,” sahut Bun Tiong dengan tersipus.
Thian Hong tahu, bahwa orang she Han itu mulai Curiga, hal mana dia kuatir bisa terbitkan keonaran, katanya tiba: “Silahkan tunggu sebentar !”
Dia terus masuk kedalam, dan ketika keluar lagi, sudah membawa sepoCi arak dengan sebuah Cawannya. Setelah menuangkan arak, lalu dihaturkannya kepada Bun Tiong.
“Tadi omongan siaote itu terlalu keras, maka dengan ini mohon maaf kepada Han toako. Mari Han Toako keringkan Cawan ini, dan anggaplah urusan kita itu sudah selesai,” kata Thian Hong.
Tergopoh Bun Tiong menyawab dengan kata-kata yang me rendah. Setelah meminum Cawan itu dia minta diri kepada ketua HONG HWA HWE itu. Tan Keh Lok balas pernyataah orang dengan merangkap ke tangannya selaku menghaturkan terima kasih.
Tapi baru saja Bun Tiong keluar dari ruangan itu, tiba Thian Hong berteriak dengan suara mengagetkan :
“Haja, Celaka! Han toako, aku terlalu sembrono sekali. Tadi telah keliru mengambil arak yang ditaruhi raCun !”
Semua orang juga ikut terkejut. Lebih Han Bun Tiong seketika itu tampak puCat wajahnya, lalu balik kedalam ruangan.
“Sungguh aku berdosa. Arak itu memang ditaruhi raCun, sedianya untuk merendam piauw. Tadi orang-orang itu telah keliru memberikan kepadaku. Baru tahu setelah kuCium, tapi Han toako sudah menghabiskan seCawan. Wah, Celaka! Lekas ambilkan obat pemunah raCun!” demikian kata Thian Hong dengan gugup.
“Obat itu berada dimarkas kita yang terletak disebelah timur kota”, sahut seorang Cengteng.
“Tolol, lekas naik kuda kesana!” bentak Thian Hong.
“Siaote ini memang orang gelo, seharusnya menerima hu kuman. Sekarang silahkan Han-toako antar surat itu dulu. Kalau kesemuanya berjalan lancar menurut petunyuk dari dari sdr. Ciok, begitu kembali dan minum obat pemunah itu tentu akan sembuh”, kata pula Thian Hong kepada Bun Tiong.
Kini baru tahulah Bun Tiong, bahwa orang sengaja akan menekannya secara halus, agar dia kerjakan sungguh-sungguh perintah itu. Kalau sampai dia tak memenuhi pemerintaan mereka, tentu habislah sudah jiwanya. Dia awasi Thian Hong dengan sorot mata kebenCian, tanpa berkata apa-apa terus pergi, diikuti oleh Ciok Siang Ing.
Begitu ke orang itu sudah berlalu, maka bertanyalah Ciu Tiong Ing,: “Kulihat orang she Han itu juga tidak terlalu jahat. Thian Hong, perbuatanmu kali ini, ku rasa tidak pantas !”
“Harap gi-hu jangan kuatir, arak tidak ada raCunnya apa-apa.” kata Thian Hong tertawa.
“Tidak beraCun?” tegas Tiong Ing dengan melengak.
“Ja,” jawab Thian Hong, lalu menuang arak itu kedalam Cawan terus diminumnya sendiri. “Aku kuatirkan dia nanti bikin kapiran urusan itu, maka perlu digertak sedikit. Nanti kasih lagi dia minum seCawan sebagai obat pemunah, bu kankah dia akan menjadi baik?”
Semua orang HONG HWA HWE tertawa geli mendengar Cerita itu.
Kini kita tengok Thio Ciauw Cong, yang setelah menerima jawaban dari Tan Keh Lok untuk mengadakan pi-bu dibukit Pak ko-nia, kegusarannya agak reda. Karena beberapa kali dia pernah tempur ketua HONG HWA HWE itu, rasanya akan dapatlah dia menimpahkan penasarannya. Dia jakin tentu dapat menundukkan lawannya. Waktu itu ia sedang duduk disebelah kamar tutupan Bun Thay Lay. Tiba pintu ter buka, dan masuklah seorang pengawal yang memberitahukan bahwa ada seorang tetamu yang ingin bertemu padanya. Berbareng itu, pengawal tersebut. menyerahkan surat dari tetamu itu yang ternyata bertuliskan nama dari “Wi-Tin-Ho-Siok Ong Hwi Yang”.
Melihat itu, Ciauw Cong agak mendongkol, karena belum pernah menurut kelaziman, surat kunyungan itu sampulnya ditulis nama julukan sipengunyung sendiri.
“Bilanglah pada tetamu itu, aku sedang ada urusan penting tak dapat menemuinya. Suruh dia tinggalkan alamat, biar lain hari kudatangi”, kata Ciauw Cong kepada pengawal itu.
Tapi belum berapa saat pengawal itu berlalu, dia sudah kembali lagi dan melapor. “Tamu itu tak mau berlalu, ini suratnya”.
MembaCa isi surat itu, Ciauw Cong gusar dan heran. Ia merasa tak pernah ada ganyelan apa-apa dengan Ong Hwi Yang, mengapa akan diajak pi-bu?
“Katgkan pada Li Ciangkun, aku akan menemui tetamu, minta dia kirim orang mewakili jaga disini”, kata Ciauw Cong pada serdadu pengawal itu.
Tak lama datang 4 orang siwi, dan barulah Ciauw Cong keluar keruangan tetamu. Dikenalnya salah seorang tamunya itu adalah Han Bun Tiong, maka di tegornya : “Apakah Ong Cong-piauw-tauw tidak datang?”
“Thio taijin, maaf, taiar ku perkenalkan ini Ciok piauwsu dari Tin Wan piawkiok. Ong Cong-piauwtauw ada beberapa omongan yang akan disampaikan oleh Ciok piauwsu ini”, balas Bun Tiong.
Ciauw Cong lemparkan surat Hwi Yang diatas meja, serunya: “Kesohoran nama Ong Cong-piauwtauw memang sudah lama kudengar. Tapi selama ini aku belum pernah berhubungan dengan dia, masa aku dikatakan 'keliwat meng hina orang'. Tentu didalamnya terselip salah faham. Harap kalian ber beri penyelasan.”
Ciok Siang Ing ketawa dingin, kemudian baru menyawab: “Ong Cong-piauwtauw adalah ketua dari kaum. persilatan. Kalau dikalangan itu munCul bangsa bebodoran, baik ada atau tidak hubungannya, dia tentu tak mau berpeluk tangan. Kalau tidak demikian, masakah dia berani memakai gelaran 'Wi Tin Ho Siok'?”
Thio Ciauw Cong gebrak meja karena gusarnya.
“Jadi Ong Hwi Yang sebut aku ini bebodoran dalam kalangan persilatan?” teriaknya sengit.
Ciok Siang Ing dongakkan mukanya yang penuh dengan bintik bekas luka itu, tanpa menyawab apa-apa. Ciauw Cong makin berkobar hatinya.
“Dalam soal apa aku pernah menodai nama sahabat bulim, Coba terangkan!” bentaknya kemudian.
“Ada beberapa hal yang Ong Cong-piauwtauw inginkan penyelasan Thio taijin,” Siang Ing balas bertanya. “Per tama, kita belajar silat ini, baik dari Cabang dan golongan apa saja, pantang menghina orang yang lebih tua. Thio taijin adalah seorang ahli dari Bu Tongj Pai, tapi konon kabarnya, selain tak akur dengan suhengnya juga kemaruk pangkat hendak menangkap dan menyerahkan suheng itu pada pemerintah. Apakah kiranya hal itu benar?”
“Urusan kami antara suheng dan sute, orang luar tak berhak Campur tangan!” sahut Ciauw Cong gusar.
“Yang ke, pergaulan dalam kalangan persilatan, baik golongan Pek To maupun Hek To ataupun yang bekerja pada pemerintah, semuanya menyunyung kepercayaan dan kebejikan. Taijin tidak berrausuhan dengan kaum HONG HWA HWE, tapi karena ingin naik pangkat temaha harta, lalu menang kap Bun Thay Lay dan menipu putera Thiat-tan Ciu Tiong Ing, sehingga anak itu menerima hukuman mati, apakah hal itu wajar?”
“Aku jalankan tugas sebagai pembesar negeri, peduli apa dengan kau orang dari Tin Wan piauwkiok?” Ciauw Cong berseru murka.
“Dan taijin hanya agulkan kelihaian sendiri, sehingga tak pandang mata pada lain orang. Coba ingats, selama ber-tahun tinggal di Pakkhia itu, taijin, pernah menolong sahabat kangouw yang mana? Kau hanya pandai menCela kai orang, dengan gunakan siasat 'kim-sian-toat-kak', kau menCelakai orang-orang piauwkiok dan Go Kok Tong, sehingga beberapa kawan kami banyak-banyak yang menjadi korban !”
Soal Giam Se Ciang, Te Ing Bing dan lain-lain piauwsu dari Tin Wan piauwkiok yang telah terbunuh dan soal terlukanya Chi Ceng Lun itu, diketahui juga oleh Han Bun Tiong, maka tak dapat menahan perasaannya lagi ia ikut berkata: “Ja, dalam urusan itu Thio taijin memang bersalah, maka tak heran kalau Ong Congpiauwtauw jadi marahs.”
“Lain-lain hal tak kita tanyakan, hanya bagaimanakah dengan ke tiga soal itu”, tanya Siang Ing. Orang ini mempunyai ju lukan 'Kwi-kian-Chiu' atau setan ketakutan melihatnya, dan menyabat sebagai algojo dari HONG HWA HWE Waktu itu memang sikapnya keren sekali.
Dihujani pertanyaan seakan-akan seorang terdakwa, Ciauw Cong habis kesabarannya, ia maju kemuka selengkah, dan membentak: “Binatang, kau sudah bosan hidup? Berani me nepuk lalat dimulut harimau !”
Pada saat orang akan bergerak menyerang. Siang Ing Cepat-cepat berbangkit dari tempat duduknya dan mundur selang-kah, serunya segera :
“Apa? Wi Tin Ho Siok ajak kau pi-bu, kau jeri bukan? Sebaliknya mau ajak berkelahi aku?”
“ Siapa bilang aku takut! Aku terima tan tangan pi-bu di Pak-kao-nia nanti siang, jangan dipanggil laki kalau aku jeri!” sahut Ciauw Cong murka.
“Kalau kau tidak bersedia datang, selanyutnya jangan berCokol dikalangan bu-lim lagi. Pesan Ong Cong-piauwtauw, jika kau ada keberanian, harus datang seorahg diri, karena fihak Cong-piauwtauw pun tak membawa kawan. Kalau kau kerahkan tentara negeri, maaf, kita tak mau melajani!” kata Siang Ing.
“Ong Hwi Yang hanya mempunyai nam'a kosong, mengapa harus kujerihkan dan membawa balabantuan?” Ciauw Cong mulai sengit.
“Ong Cong-piauwtauw orangnya sih tak pandai bicara. Pertemuan nanti hanya semataa mengadu ketangkasan sen jata, bukan adu lidah. Maka kalau kau mau memakinya, lebih baik me-maki-maki saja, sekarang se-puasnya,” kata Siang Ing.
Ciauw Cong tidak pandai bicara. Dikili sampai habis-habisan itu, dia kesima saja tak dapat mengucap apa-apa.
“Nah, sampai sekean dulu, kita akan minta diri supaya kau dapat kesempatan untuk berlatih dan mengatur pesan terachir seperlunya!” kata. Siang Ing pula.
Rasanya mau meledaklah dada Ciauw Cong, saking tak tahannya, seCepat-cepat kilat tangan diajun kemuka orang. Siang Ing Coba berusaha untuk berkelit kesamping, tetapi sudah terlambat. Pundaknya kiri bagaikan dihantam dengan palu godam. Seketika itu ia terhujung sampai beberapa langkah.
Ciauw Cong sudah ketelanyur mengumbar napsu. Begitu pukulan pertama berhasil, pukulan ke segera menyusul. Kali ini ditujukan kearah dada lawan.. Siang Ing gunakan gerakan “lan-jiok-wi” burung gereja pentang sajap, salah satu jurus dari ilmu silat Thay Kek Pai. Pukulan Ciauw Cong itu dapat ditangkis. Nampak berhadapan dengan se orang achli lwekang, Ciauw Cong terkesiap. Saat itulah telah digunakan oleh Siang Ing untuk melesat mundur.
“Bagus, hm, kalau kau jerih bertemu dengan Ong Cong-piauwtauw, baiklah, kitapun boleh adu kekuatan sendiri,” seru Siang Ing dengan bersiap.
“Apanya yang kujerihkan? Bilanglah pada Ong Hwi Yang, nanti aku tentu datang!” sahut Ciauw Cong tak mau kalah.
Siang Ing unyuk ketawa dingin, ia memutar tubuh terus berlalu. Apa yang telah terjadi itu diketahui jelas oleh Han Bun Tiong. Tapi apa yang dipikirkan oleh orang she Han itu, hanyalah keierangan Thian Hong bahwa dirinya terminum raCun itu. TerCengkeram oleh rasa takut itu, keringat menguCur deras membasahi tubuhnya. Dia tak sabaran menunggu Siang Ing adu lidah tadi. Sehingga ketika diajak bicara oleh Siang Ing tentang Ciauw Cong, dia tak mau menyawab apa-apa. Sikapnya seperti orang yang sakit perut. Dan begitu tiba dirumah, dia terus lemparkan diri kekursi.
“Inilah obat pemunahnya, harap Han toako lekas minum,” kata Thian Hong seraja menuang arak.
Ter-gegap orang she Han itu menyang gapinya, tapi tiba Tiong Ing menyawutnya terus diminum habis. Bun Tiong terlongong-longong, tetapi Tiong Ing tertawa.
“Ini keterlaluan, Han toako, sebenarnya kau tidak minum raCun. Dia hanya ber-main-main dengan kau. Thian Hong, Ayo lekas haturkan maaf pada Han toako!” kata Tiong Ing kemudian.
Dengan tertawa Thian Hong maju untuk menyura dan menghaturkan maaf pada Bun Tiong, dan menyelaskan se babnya. Han Bun Tiong tampak kurang senang, tapi dia tak mendendam apa-apa. Hal itu mengunyukkan bagaimana ke jujuran hati Ciu Tiong Ing. Karena dia mengetahui bahwa dengan perbuatan itu, orang tentu akan dendam sakit hati” pada Thian Hong. Kalau sang mertua tidak lekas-lekas bertindak, mungkin nanti dibelakang hari timbul hal yang menyusahkan pada Thian Hong. Dalam pada itu Kian Hiong disuruh menemui Ong Hwi Yang pula.
“Thio taijin menerima baik tantangan Ong locianpwe, sebaiknya locianpwe lekas pergi sekarang juga. Tetapi Thio taijin tak inginkan lain-lain orang ikut serta. Kalau loenghiong ada pesanan apa-apa, silahkan katakan sekarang. Agar setibanya di Pak-ko-nia nanti terus dapat dilakukan pertempuran. Segala pembicaraan apa saja. Thio taijin tak mau gubris. Kalau sekiranya loenghiong jerih dan sesalkan suratnya tadi, supaya sekarang juga menyatakannya agar tidak teriambat.”
“Baiklah memang aku sudah bosan dengan jiwaku yang lojo ini!” seru Hwi Yang sembari loncat bangun, terus bertindak keluar.
Atas isjarat Kian Hiong, seorang Cengteng segera mem-berikan senjata pat-kwa-to dan kantong piauw pada jago tua itu. Dimuka pintu, bertemulah Ong Hwi Yang itu dengan Han Bun Tiong.
“Harap Ong Cong-piauwtauw berlaku hati-hati,” kata Bun Tiong.
“Kaupun tahu perkaranya?” tanya Hwi Yang. “Akulah yang ikut menemui Thio taijin,” sahut Bun Tiong dengan anggukkan kepala. “Dia katakan aku apa?”
“Jangan percaya dengan keteranganku ini,” kata Bun Tiong.
“Tak apa, kau katakanlah.”
“Dia maki kau situa gila, yang tak punya gawe apa-apa!”
“Hm! Apa benar tak punya gawe, biarlah nanti boleh dia Cobas. Kalau sampai terjadi apas dengan diriku, Han laote,
“Ah, aku percaya akan kepandaian Ong Cong-piauwtauw, tentu orang she Thio itu takkan dapat berbuat apa-apa padamu. Kupujikan keselamatan untuk Ong Cong-piauwtauw.”
Ong Hwi Yang terus ajak Cengteng penunyuk jalan untuk berangkat ke bukit Pak-ko-nia. Pada bukit itu, ter dapat sebuah lapangan datar yang dikelilingi oleh puhun yang besar. Ketika sampai dipunCak bukit, ada seorang yang bertubuh kekar dan berpakaian ringkas menghampirinya dan menegor: “Adakah kau ini Ong Hwi Yang?”
Ditegur begitu, Hwi Yang gusar. Tapi dia itu seorang yang sudah berusia hampir tujuh0 tahun, jadi darah panasnya pun berkurang. Apalagi dia tahu bahwa Ciauw Cong adalah seorang pembesar negeri, sedikitnya orang harus taruh perindahan. Maka sahutnya :
“Benar, memang aku yang rendah ini adalah Ong Hwi Yang. Apakah kau ini Hwe-Chiu Poan-koan Thio taijin?”
“Ja, dan kita akan adu dengan tangan kosong atau pakai senjata?” jawab orang itu.
Mendengar jawaban orang yang tegas dan dingin itu, diam-diam Ong Hwi Yang heran, sedangnya dia tak mempunyai permusuhan hebat .dejigan orang itu, mengapa orang begitu menghinanya sekali, sedikitpun tak berlaku sungkan. Tapi sebaliknya dia berpikir untuk jangan menimbulkan permusuhan yang mendalam, lebih baik Cobas dengan tangan kosong saja, agar orang she Thio itu sadar kalau dia bukan situa yang tak punya gawe.
“Aku siorang tua ini, hendak, mohon pengajaran Thio taijin punya ilmu silat Bu-kek Hian-kang-kun yang kesohor itu,” katanya lalu.
“Baik,” sahut Ciauw Cong dengan rangkapkan ke tangan.
Meskipun adat Ciauw Cong itu keliwat tinggi, tapi dia seorang achli lwekang dari Bu Tong Pai yang memiliki pe lajaran ilmu silat berdasarkan ketenangan. Jadi waktu itu mengambil sikap menunggu serangan orang. Ong Hwi Yang insyap bahwa orang tak mau mendahului menyerang, maka serunya: “Maaf!”
Mulut mengucap, tangan kiri mendahului mengibas keluar dan dengan gerakan “yu-gong-tam-jiau” atau melayang di udara sambil mengulur Cakar, tangan kanannya menebas pundak kanan Ciauw Cong. Menyusul tangan kirinya tadi dibalikkan keatas dengan gerakan “beng-hou-hok-Ceng” atau macan buas menerkam mangsa, ia hantam pundak kanan lawan. Tapi itu masih belum habis, karena tangannya kanan tadi sekonyong-konyong berubah gerakan untuk menyotos kedada. Jadi sekaligus orang tua itu sudah menyerang dengan tiga gerakan susul menyusul dengan sebat sekali.
Untuk memunahkannya, Ciauw Cong terpaksa mundur sampai tiga tindak. Ia gunakaii pokoka ketenangan dari ilmu silat Bu Kek Hian Kang untuk menolaknya. Tampak pada saat itu, ke jago itu se-olah berubah menjadi sebuah bayangan saja. Dalam hati masing-masing, tidak lepas perasaan saling mengagumi.
Pikir Ciauw Cong: “Tiga jurus gerakannya tadi luar biasa sebat dan berbahajanya. Dia ternyata bukan sembarang jago.”
Sebaliknya Ong Hwi Yangpun berkata dalam hatinya sen diri: “Dia dapat menolak ketiga seranganku tadi dengan tenang dan tepat. Kiranya kesohoran HweChiu Poan Koan itu memang bukan omong kosong.”
Kini mereka tak berani memandang rendah lawannya. Mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dalam lain perputaran, Ciauw Cong tampak bungkukkan tubuh, maju selangkah terus menyapu kakinya kiri. Sembari loncat keatas, sepasang tinyu Hwi Yang menyotos muka lawannya.
Tapi dalam menyapukan kaki tadi, Ciauw Cong sudah siap dengan buah tipu: “diatas udara memanah elang” dan “diatas puhun menangkap orang hutan.” Maka ketika jotosan Hwi Yang tiba, dia siang sudah siap untuk meng halaunya.
Ke jago itu telah keluarkan kepandaian masinga. Dan nyata kekuatan mereka berimbang. Dalam sejurus saja, mereka sudah bertempur tiga-empatpuluh jurus. Ketika itu matahari tengah memanCarkan sinarnya yang terik. Di lapangan pertempuran itu hanya tampak sosok bayangan yang se-olah me-nari.
Tampak bahwa sampai sebegitu jauh belum dapat me nundukkan lawan, insyaplah Hwi Yang bahwa dirinya sudah tua, sedang lawannya masih bertenaga kuat. Kalau pertempuran itu ber-larut sampai lama tentu akan habislah tenaganya. Memikir sampai disitu, dia berkeputusan untuk merobah Cara berkelahinya.
Sekonyong-konyong gerakannya berobah, dari gerak merangsang menjadi bertahan dengan rapat. Ke tangannya tak ter pisah dari dadanya, seakan-akan merupakan perisai yang me nempel untuk melindungi diri. Kiranya dia ber-gerak-gerak dengan ilmu silat menurut gambar pat-kwa. Dengan gunakan tangannya kiri untuk menangkis serangan, tangannya kanan dia tempelkan pada lengan kiri. Bagaikan bayangan, jago tua itu ber-putar melingkari lawannya. Itulah kepandaian simpanan dari 'Wi Tin Ho Siok' yang paling di andalkan. Ilmu silat itu disebut “yu-sin-pat-kwa-Ciang.”
Dalam gerakan ilmu silat yang luar biasa itu, kaki selalu ber-putar tak hentinya. Melingkar kekiri, melejit kekanan sehingga musuh akan menjadi kebingungan, memudarkan * penglihatan lawan akan kemudian bila sudah ada kesempa tan akan memberi serangan. Kelihatannya saja berada disebelah muka, tapi begitu musuh mcnyerang, tahu-tahu dia sudah berada dibelakang. Kalau musuh berputar kebelakang, dia akan melejit lagi kebelakangnya.
Begitulah dengan Cara itu, bagaimanapun tingginya ke-pandaian musuh tentu akan berkunang matanya. Tapi sebaliknya kalau lawan berhenti tak bergerak, dia tentu teranCam bahaja akan dihantam punggungnya.
Tapi Ciauw Cong bukan jago piCisan. Diapun kenal akan ilmu silat itu. Berbareng dengan gerakan lawan untuk melejit kebelakang, seCepat-cepat itu pula dia membalik badan terus menyotos muka orang. Tapi belum lagi samberan pukulan Ciauw Cong tiba, tak kalah Cepat-cepat nya, Hwi Yang melejit lagi.
Ciauw Cong tahu bahwa pada saat itu lawan sudah menginyak lingkaran “kiu-kiong-pat-kwa,” sesudah itu tentu akan melangkah kelingkaran “kan-kiong.” Karena itu, dia mendahului bergerak maju kelingkaran “kian-wi.” Demikian lah kenya ber-putar lagi sampai tujuh atau delapan kali, tapi masih belum ada kesudahannya.
“Yu-sin-pat-kwa-Ciang” telah dijakinkan Ong Hwi Yang selama berpuluh tahun. Karenanya latihannyapun telah men Capai kesempurnaan. Makin lama gerakannya makin Cepat-cepat . Begitu rupa gerakan kaki dan tangannya, sehingga nampaknya seperti dapat bergerak sendiri (otomatis).
Siasat Ciauw Cong adalah menghalau serangan. Bermula siasat itu telah menempatkan dirinya dalam kedudukan yang berimbang dengan lawan. Tapi lama kelamaan, dia merasa tak dapat mengimbangi keCepat-cepat an musuh yang masih luar biasa gesitnya itu. Diam-diam dia kuatir, jika terus menerus begitu, tentu akan dikalahkan lawannya. Cepat-cepat diapun me robah Cara berkelahinya. Dia diam tak bergerak, hanya tetap tenang waspada untuk menanti serangan musuh.
Perobahan sikap dari Ciauw Cong itu mengherankan Hwi Yang, siapa terus melejit lagi kebelakang musuh dan dari situ, dengan gerakan “kim-liong-tham-Cao” (naga mas julurkan Cakar), menghantam punggung lawannya.
Tapi begitu serangan itu hampir mengenai, seCepat-cepat kilat Ciauw Cong memutar tubuh seraja mengulurkan tangannya kiri untuk menCengkeram pergelangan tangan lawan. Cepat-cepat Hwi Yang tarik pulang tangannya.
“Dia sungguh-sungguh memiliki kesempurnaan ilmu Iwekang. Ka rena tanpa melihat, ia dapat gerakkan tangannya untuk menangkis seranganku tadi,” demikian diam-diam Hwi Yang memuji kepandaian lawannya.
Kiranya Ciauw Cong Cukup menginsyapi, kalau mengikuti lejat-lejit lawan, dia tentu dirugikan. Sebaliknya orang she Ong itu sudah putih jenggotnya, jadi tentu kalah dengan dia dalam hal tenaga. SeCepat-cepat menimbang kekuatan musuh, seCepat-cepat itu pula dia gunakan “pi-bok-hoan-Ciang,” ilmu silat dengan mata tertutup mengembalikan serangan musuh. Dengan ilmu itu ia akan mengimbangi “yu-sin-pat-kwa-Ciang” lawan sampai habis.
Sewaktu berlatih “pi-bok-hoan-Ciang,” mata ditutup dengan saputangan. Satunya alat panCa indera yang digunakan jalah pemusatan telinga dan perhatian akan arah serangan lawan. Ilmu silat ini hanya mengutamakan penyagaan tak boleh menyerang. Gerakannya dibatasi sekecil mungkin. Tapi tangkas sekali, hingga apabila sedikit saja lawan berajal, tentu akan kena diCengkeram dan dipelintir putus tulangnya. Ilmu silat itu sebenarnya CoCok digunakan dalam pertem puran malam hari, atau apabila menghadapi musuh tangguh didalam goa atau ruangan yang sempit gelap. Meskipun tidak diperuntukkan menyerang tubuh orang, tapi ilmu itu penuh dengan perobahan yang tak terduga. Terutama kalau untuk merebut senjata lawan, ilmu silat itu paling sesuai sekali.
Demikian keadaan ke achli silat yang tengah mengadu kepandaian itu. Yang satu melejat-lejit dengan gesit, yang lainnya tetap diam seperti patung. Dalam sekejab saja, mereka sudah bertempur berpuluh jurus lagi. Saat itu Ong Hwi Yang mulai gelisah, dia ingin sekali agar pertempuran itu lekas selesai. Tiba ia melejit lagi kebelakang lawan, ia susul menyusul menghantam punggung orang dengan tangan kanan dan kiri. Tapi sebenarnya, ke serangan itu hanya tipu belaka.
Ketika Ciauw Cong kembali akan menerkam pergelangan tangannya, Ong Hwi Yang lancarkan lagi serangan tangannya kiri. Ia jakiri musuh tentu tak nanti bisa mem punyai mata dipunggungnya. Berbareng itu, tangannya kanan menebas pundak orang. Sebuah serangan yang luar biasa Hhaynya.

Perhatian Ciauw Cong ditumpahkan pada 4 buah serangan lawan tadi atau tiba samberan pukulan menuju kearah pundaknya. Bukan main rasa terkejutnya. Karena untuk berkelit, terang sudah tak keburu lagi. Apa boleh buat dia lancarkan sebuah jurus dari ilmu silat “pi-bok-hoan-Ciang” itu. Tangan kanan diCuCukkan pada tangan lawan, sedang tangannya kiri tetap menganCam akan mematahkan pergelangan tangan orang. Dalam ilmu “pi-bok-hoan-Ciang,” jurus tadi dinamakan “sian-kiam-Can-liong” pedang dewa memenggal naga. Cukup sedikit saja tangan lawan men Cengkeram, tentu pergelangan tangannya akan dipelintir patah. Ciauw Cong mau adu untung. Pundak bukan bagian yang membahajakan jiwa, biarlah dihantam musuh. Tapi dengan dapat memenggal lengan musuh, sekali pelintir tentu musuh akan kehilangan anggauta badan yang berguna itu.

Demikianlah segera terdengar suara hantaman tangan Ong Hwi Yang pada pundak lawan. Tapi ketika ia girang dengan hasil itu, tiba lehgannya telah diCengkeram orang dan ber bareng itu tangan kiri lawan sudah menganCam lambungnya. Insyaplah jago tua itu, bahwa ia teranCam bahaja maut. Ia harus bertindak dengan Cepat-cepat . SeCepat-cepat kilat ia berputar diri sembari menghantam kepundak orang.
Dengan begitu, kembali pukulan Ciauw Cong kelambung tadi mengenai tempat kosong, serta tak mendapat hasil apa-apa. Malah sebaliknya, untuk menghindari pukulan lawan, dia terpaksa harus loncat kebelakang. Dengan begitu, kalau dinilai, kerugiannya lebih besar atau dalam bahasa persilatan, dia harus mengaku kalah.
Kenya adalah achli ternama dalam kalangan persilatan. Untuk menetapkan kalah menang, itu saja sudah Cukup. Maka berkatalah Ciauw Cong: “Dalam ilmu silat tangan kosong, kau betul lihai. Nah sekarang kita adu ilmu senjata.”

Dan dengan ucapan itu, Ciauw Cong sudah menarik 'leng-bik-kiam'nya.
Ong Hwi Yang pun tak banyak-banyak bicara lagi, terus men Cabut golok 'Ci-kim-pat-kwa-to'nya. Karena berhadapan dekat sekali, tampaklah olehnya bagaimana mulut dan hidung Ciauw Cong itu sama melepuh, sedang mata sebelah kanan terdapat tanda bengkak biru sebesar telur itik. Heran Hwi Yang dibuatnya, mengapa orang setangguh Ciauw Cong itu bisa. mendapat hajaran sedemikian rupa.
Kiranya itulah hasil hajaran Tan Keh Lok semalam di rumah penyara, sehingga muka Ciauw Cong babak belur. Dan dikarenakan hal itu, kemungkinan gerakan orang she Thio agak kaku, hingga kembali dia harus menelan keka lahan lagi dari Ong Hwi Yang.
Ciauw Cong akan mengembalikan mukanya dengan ilmu pedangnya. Serangan leng-bik-kiam ber-tubi, ia lancarkan serangan dengan seru dan hebat sekali. Tapi 'Wi Tin Ho Siok' tahu juga bahwa pedang Ciauw Cong itu adalah pedang pusaka, jadi tak boleh dilawan dengan kekerasan. Dan ia pun lalu keluarkan ilmu permainan 'pat-kwa-tonya.

Pertempuran kali itu, lebih menarik dan lebih dahsyat dari tadi. Tapi sampai beberapa jurus, masih belum diketahui kalah menangnya, Ciauw Cong makin lama makin bersemangat, sedang Ong Hwi Yang hanya dapat berlaku dengan hati-hati sekali. Dia hanya bertahan dengan gigih, tak mau balas menyerang.
Pada satu saat, pokiam Ciauw Cong sudah hampir dekat dengan 'pat-kwa-to' Ong Hwi Yang. Kalau sampai berbentur, tentu pat-kwa-to itu akan terpapas kutung. Karena untuk menariknya sudah tak keburu lagi, maka Ong Hwi Yang Cepat-cepat julurkan buah jari tangannya kiri untuk me nusuk muka lawan. Ciauw Cong tak gentar, ia melengkan kepala dan teruskan babatannya. Dan pada lain saat, ujung golok 'pat-kwa-to' itu tampak terpapas kutung.

“Pedang yang lihai!” memuji Hwi Yang sembari loncat keluar. “Kali ini kau yang menang. Apakah Thio taijin masih akan melanyutkan bertempur lagi?”
Dengan itu sebenarnya, Ong Hwi Yang akan menutup pertempuran, supaya masing-masing tidak sampai kehilangan muka. Tapi maksud baik itu, dirusakkan karena dia mengucap “pedang yang lihai” tadi.

Ciauw Cong anggap orang katakan ia menang karena mengandalkan pokiamnya, bukan karena kepandaiannya. Maka ia mendongkol sekali.

“Belum ada yang kalah dan menang, urusan masih belum selesai!” sahutnya segera. Dan tangan mengibas, pedang langsung menusuk lagi. Kenya, kembali bertempur sampai tujuhdelapan puluh jurus.

Ber-ketes peluh membasahi kepala Ong Hwi Yang. Mak lum ia sudah tua. Kalau berlangsung lama, tentu Celaka. Ini diinsyapinya. Karenanya, diam-diam ia merogoh senjata rasia kim-piauwnya. Ketika ia memindahkan golok ketangan kiri, berserulah ia: “Lihat piauw!”

Dan berbareng, permainannya golokpun berobah, yaitu dengan permainan tangan kiri. Menyusul, tiga batang piauw beruntun-runtun menyambar. Itulah yang dinamakan “golok menyerang, piauw melayang .” Juga salah sebuah kepandaian istimewa dari 'Wi. Tin Ho Siok'.

Perlu diterahgkan, bahwa permainan golok tangan kiri itu adalah kebalikannya dari tangan kanan. Sangat menyukarkan lawan untuk menangkisnya. Ditambah pula dengan tawuran piauw yang sangat berbahaja. Bisa berkelit dari piauw, sukar terhindar dari golok. Kalau bisa meluputkan serangan golok, juga tak gampang menghindari tawuran piauw. Begitulah Wi Tin Ho Siok membabat kekanan, dalam pada itu, dia sa bitkan piauwnya kearah kiri.

Tapi Hwe-Chiu Poan-koan memang lihai. Megos kekanan untuk mengelit serangan golok, berbareng tangan mengulur untuk menyemput piauw dikiri.
Ong Hwi Yang mengulangi lagi sebuah tabasan. Begitu Ciauw Cong tundukkan kepala untuk mengelit, Cepat-cepat ia sudah melayang kan piauwnya kebawah. Untuk itu, Hwe-Chiu Poan Koan burus timpukkan piauwnya yang ditangkapnya tadi untuk menghantam piauw yang datang itu.

buah piauw, tepat saling berbenturan, dan mengeluar kan bunga api, terus jatuh ketanah. Kembali Ong Hwi Yang CeCer serangan terlebih gencar. Goloknya bagaikan kilat me-nyambar, turun naik kekanan kiri. Sedang tawuran piauwnya, deras bagaikan hujan. Dalam sekejab saja, 1 batang piauw telah diobral, namun belum dapat memberi hasil apa-apa.

Waktu itu piauwnya hanya tinggal tiga batang lagi. Kakinya kiri melangkah setindak. Dengan pendekkan tubuh dia membabat kebawah, dan berbareng tangan kanannya mengibas.

Melihat musuh sudah menghamburkan 1 batang piauw, tahulah Ciauw Cong bahwa lawannya kali ini tentu menge luarkan serangan istimewa. Dan nyata, timpukkannya piauw lebih santer dari yang lalu. Untuk menghindari kesemuanya itu, ia harus pasang mata betul-betul. Karenanya, ia tak sempat mengeluarkan jarum 'hu-yong-Ciam' untuk membalasnya, Dia Cepat-cepat berputar diri dan mengawasi tajam. akan gerakan tangan kanan dari lawannya.

Tapi ternyata gerakan Wi Tin Ho Siok tadi adalah gerak tipu belaka. Karenanya, Ciauw Cong hanya menangkap angin. Selagi begitu, Ong Hwi Yang sudah menginyak ke jalan “tin-Wi.” Dari situ ia menyerang dengan tipu “lat-bi-Hoa-san,” dengan sekuat tenaga menghantam gunung Hoa-san.

Ciauw Cong tak mau menangkis serangan yang dahsyat itu, ia melejit selangkah, sembari sabetkan 'leng-bik-kiam'-nya kearah pinggang orang. Ong Hwi Yang Cepat-cepat tarik goloknya untuk menangkis. Trangng……. tahu-tahu pat-kwa-to sudah terpapas kutung menjadi.

Ong Hwi Yang menggerung, dengan sekuat-kuatnya kutungan golok yang berada ditangannya ditimpukkan kepada Ciauw Cong. Ciauw Cong Buru-buru tundukkan kepala untuk meng hindar, tapi 'Wi Tin Ho Siok, sudah menyusuli dengan tiga batang piauw pula.

“Aduh! .......... “ Ciauw Cong menyerit roboh kebelakang. 'Leng-bik-kiam'nya jatuh ketanah pula.

Kiranya tadi Ong Hwi Yang memang sengaja menipu agar lawan berputar kearah timur, jadi dengan begitu orang akan silau matanya tertuju sinar matahari. Juga ia sengaja benturkan goloknya dengan 'leng-bik-kiam', walaupun untuk itu ia sudah tahu tentu akan kutung. Tapi dengan itu, musuh tentu akan mabuk kemenangan dan menjadi lengah. Inilah saat yang di-nantikannya. Untuk tiga batang piauw yang penghabisan, musuh tentu tak dapat menghindar. Ini ia me rasa jakin. Dan tak salahlah dugaannya itu, karena kini Hwe-Chiu Poan-koan sudah roboh.

“Bagian mana yang kena piauw? Ini aku membawa obat,” seru Ong Hwi Yang kemudian.

Tapi sampai sekean saat, Hwe-Chiu Poan-koan tetap tak berkutik dan membisu. Diam-diam Ong Hwi Yang terkejut ke takutan. Sebenarnya ia tak bermaksud untuk menimpuk bagian yang berbahaja. Tapi siapa tahu kini orang itu telah tewas. Orang adalah seorang pembesar negeri yang sedang bertugas, sedang ia sendiri punya keluarga dan perusahaan. Itulah hebat akibatnya. Buru-buru ia menghampiri sembari mem bungkukkan badan untuk memeriksanya.

Siapa duga baru saja ia menyenguk kebawah, tiba Ciauw Cong menggerung keras dan hujan sinar berkelebat seperti kilat.

“Celaka!” seru Ong Hwi Yang sambil buang tubuhnya kebelakang dalam gerak “thiat-pan-kio” (jembatan besi gantung). Tapi walaupun begitu, masih kalah sebat. Dada dan pundaknya sebelah kiri terasa seperti ditusuk jarum rasanya. Tahulah ia, kalau dirinya terkena senjata rahasia lawannya.

Nampak orang begitu liCik dan keji, murkalah Ong Hwi Yang. Dengan menggerung seperti banteng ketaton ia loncat bangun dan terus akan ajak orang mati bersama-sama . Tapi begitu bergerak, dada dan pundaknya terasa sakit bukan main, hanya sekali ia dapat menggerung, terus roboh lagi.

Ciauw Cong tertawa gelak. Dia Cabut piauw yang me nyusup pada iganya, lalu merobek pakaian untuk membalutnya. Setelah itu ia bangun dan berdiri tegak.
“Thio Ciauw Cong, kau manusia liCik! Apakah perbua tanmu itu tidak diketawai orang? Apakah kau ada muka menemui sahabat kangouw lagi?” Hwi Yang memaki.

“DISINI hanya kau dan aku berdua, setan mana yang mengetahuinya? Kau sudah hidup keliwat lama, sebaiknya kau pulang ke rahmattulah! Biarlah lain tahun pada hari ini, adalah ulang tahunmu yang pertama,” kata Ciauw Cong dengan bersenyum iblis.

Mendengar itu, tahulah Hwi Yang bahwa orang akan membunuhnya. Dia makin memaki habis-habisan, Ciauw Cong maju memberi totokan, dan seketika bisulah jago tua itu. Hanya sepasang matanya tampak ber-apidua, uratdua diwajahnya kencang bergerak-gerak. Dia mendendam kemurkaan yang tak dapat dilampiaskan.

Dengan kutungan pat-kwa-to, Ciauw Cong menggali sebuah lubang. Dengan tangan kiri ditentengnya orang, terus dilempar kedalam liang itu dan serunya: “Ong Hwi Yang, pulang saja menyusul nenek moyang mu!”

Dengan sebelah kaki, dia menendang tanah. Maksudnya, akan mengubur hidup-hidupan Ong Hwi Yang. Tapi baru saja menyepak sekali, sekonyong-konyong dari arah belakang terdengar suara ketawa dingin dan panjang . Ciauw Cong kaget bu kan kepalang, terus berpaling kebelakang. Disitu tampak seorang yang memegang semacam senjata aneh tengah berdiri dibawah terik matahari.

Tegas-tegas dilihatnya, orang itu ialah Han Bun Tiong.
“Bagus! Katanya hanya satu lawan satu. Jadi kau orang Tin Wan piauwkiok menyembunyikan bala bantuan. Kau tahu malu apa tidak!” seru Ciauw Cong dengan murkanya.

“Kalau, tahu malu tentunya tak sampai berbuat serendah itu!” sahut Bun Tiong sambil menujuk liang yang digali Ciauw Cong dimana Ong Hwi Yang menggeletak,
“Baik. Sekarang aku 'Coba minta pengajaran thi-pi-peh-mu itu,” kata “Ciauw Cong.
Dengan gerak ilmu mengentengi tubuh “pat poh kam sian,” Ciauw Cong sudah loncat kemuka Bun Tiong, terus menusuknya. Bun Tiong tak mau memangkis, ia hanya mun dur selangkah. Dan berbareng itu, tahu-tahu sebatang golok me layang kekaki Ciauw Cong.

Ciauw Cong tegakkan pokiamnya, tapi penyerangnya itu Cepat-cepat sekali sudah menarik pulang goloknya, sebelum ter bentur dengan pokiam. Ciauw Cong tahu, itulah gerakan ilmu golok “hian-hian-to” Ilmu permainan seorang ahli Iwe kang. Ketika mengawasi, Cauw Cong dapatkan penyerangnya itu ialah Ciok Siang Ing.

“Kalian berdua boleh maju berbareng. Aku Hwe-Hiu Poan-koan tak jeri,” demikian Ciauw Cong memaki.

Sambil mengucap begitu, Ciauw Cong terus akan menyerang Siang Ing. Tapi tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara nyaring. Sebagai seorang yang tinggi silatnya, tahulah Ciauw Cong apa adanya itu. Cepat-cepat dia berbalik kebelakang. Tampak olehnya bahwa dari bawah bukit ada kira-kira sembilan orang mendaki keatas, Yang dimuka sendiri jalah ketua HONG HWA HWE Tan Keh Lok.

Teringat akan kejadian dikamar tahanan Bun Thay Lay, timbullah kemarahan Ciauw Cong. Dia gemas akan menun tut balas. Tapi nampak orang-orang itu berjumlah banyak sekali. Ciauw Cong gentar juga. Ia Coba tindas perasaannya dan berlaku gagah.
Tan Keh Lok mengenakan jubah panjang warna biru, tangannya pegang kiras, katanya kepada Han Bun Tiong: “Han-toako, kau tolongi Ong Congpiauwtauw lebih dulu.”
Bun Tiong Cepat-cepat menuju keliang dan mengangkat Ong Hwi Yang. Ciauw Cong diam saja tak menghalangi. Keh Lok segera tutuk jalan darah piauwtauw tua itu untuk lepaskan jalan darahnya. Karena usianya sudah tinggi, maka walaupun sudah tertolong tapi beberapa saat Ong Hwi Yang tak dapat mengucap apa-apa.

“Ong Hwi Yang situa itu tantang aku berkelahhi, kini sudah diketahui siapa yang kalah dan menang. Tan tangkeh, lain hari kita bertemu disini lagi,'' kata Ciauw Cong me rangkap tangan, terus berputar akan turun dari bukit.

“Tadi aku berada disamping gunung dan menyaksikan se luruh pertandingan kalian berdua. Memang betul menga gumkan sekali. Namun sayang sekali, Thio taijin, keme nanganmu itu tidak syah!” sahut Keh lok.

“Memang dalam ilmu perang, tidak dilarang untuk meng gunakan siasat. Tadi kita adu kepandaian tenaga dan otak, mengapa tidak boleh?” tanya Ciauw Cong.
Keh Lok tersenyum. Katanya: “Pemandangan Thio taijin ternyata luas sekali.

Sebenarnya hari ini ingin sekali aku minta pengajaran dari taijin, tetapi karena lambung taijin terluka, maka akupun tak mau mendapat kemurahan. Lukamu tidak sehari-hari dapat sembuh, karenanya lain kali saja kita langsungkan janji itu. Bilang saja, kita tunda tiga bulan lagi bagaimana?”

Ciauw Cong tahu bahwa orang sengaja akan bikin panas hatinya. Sekalipun begitu, dia tetap unyuk adatnya yang tinggi. “Baiklah, nanti tiga bulan lagi, kita berjumpa disini, demikian sahutnya.

Ketika Ciauw Cong akan berlalu, Keh Lok menghampiri dan berkata: “Kita akan tolongi Bun sucang keh kita, ada kah taijin mengetahuinya?”
“Ya, ada apa?” tanya Ciam Cong ketus.
“Borgolannya terbuat dari baja murni, tidak ada senjata yang dapat digunakan untuk memutuskannya, karena itu, aku akan minta pinjam pokiam taijin!” kata Keh Lok pula.
Ciauw Cong menggereng, lalu katanya lantang: “Hendak pinjam pedangku? Ha, aku kuatir kau tak mampu me ngambilnya!”

Ia ketahui bahwa oranga HONG HWA HWE itu hanya andalkan jumlah orangnya yang banyak sekali. Jadi mereka sengaja akan menCari perkara padanya. Terang kalau ia tak mudah bisa lolos lagi.

“Kurasa hal itu sukar terjadi!” kata Ciauw Cong pula sembari terus mengambil tempat dengan melolos pokiamnya kemuka.

“Tanganmu telah terluka, mungkin tidak baik akibatnya. Biar kusambut seranganmu dengan tangan kosong saja,” kata Keh Lok.

“Cong-thocu, tak usah berlaku sungkans padanya. Ini lah kau punya kiam-tun dan rantai mutiara!” tibas Lou Ping menyelatuk. Ia Membuka Pauwhok, dan ambil kedua senjata Keh Lok .itu dan diserahkannya. Tapi Ciauw Cong terlalu licik. Ketika dilihatnya Keh Lok berpaling untuk bicara pada Lou Ping, ia terus lon Cat pergi beberapa tombak jauhnya, terus enjot tubuh dan lari kebawah bukit.

Tapi tiba-tiba dua buah 'hui-Cao' (Cakar terbang) menyam bar dari depan. Yang satu menghantam dada kiri, yang lainnya menyapu paha kanan. Serangan itu penuh dengan kekuatan.

Ciauw Cong palangkan pedangnya kemuka dada. Begitu ia dapat menangkis hantaman hui-Cao, ia segera enjot kakinya untuk loncat keatas, meng hindari sapuan hui-Cao yang lain. Dan ketika kakinya menglnyak tanah lagi, dia terus enjot tubuhnya untuk teruskan maksudnya lari tadi.

Yang menyerang tadi, ialah sepasang jago persaudaran Siang. Sudah tentu mereka tak gampang dilalui. Siang He Ci hantamkan 'hui-Cao'nya keperut, dengan pendekkan tubuh Ciauw Cong loncat kekanan. Tapi disini dia disambut oleh Siang Pek Ci dengan pukulan thiat-soa-Ciang, tangan pasir besi, sebuah ilmu pukulan dari tenaga lwekang yang dahsyat.

Sewaktu dibukit Oh-siao-nia dulu, Ciauw Cong pernah tempur kedua saudara Siang itu. Ia ketahui kelihaian me reka. Karena itu ia tak mau meladeni. Begitu enjot kakinya kebelakang, ia terus lari kear.ah selatan. Kedua saudara Siang itu bertugas menjaga jalanan sebelah utara, jadi mereka pun tak mau mengejarnya.

Pada waktu itu, matahari sudah pindah kesebelah selatan, dan kearah situlah Ciauw Cong ajunkan langkah Cepat-cepat. Tapi baru saja dia sampai dijalanan sebelah bawah gunung, tiba-tiba ada dua buah 'hui-yan-gin-so', senjata rahasia burung-burungan seriti, menyambar.

Ciauw Cong pernah merasakan lihainya senjata itu, Cepat-cepat ia gulingkan diri ketanah. Pada lain saat menyambar lagi sebuah benda kecil. Ciauw Cong hantamkan 'leng-bik-kiam' keatas kepalanya dan kutunglah gin-so itu menjadi dua. Berbareng itu, dia tak mau lanjutkan menuju ke-selatan. Dengan gerakan “hong-hong-tian-ih,” burung hong pentang sayap, ia putar 'pokiamnya terus lari kesebelah timur. Sembari kaki berlari, ia lontarkan beberapa senjata rahasia kearah belakang.
Melihat gerakan itu, orang-orang HONG HWA HWE sama mengagumi.

“Orang yang demikian hebat kepandaiannya, sayang tersesat kejalan yang keliru,” demikian Keh Lok.

Ciauw Cong menduga bahwa diarah timurpun tentu ada bayhoknya. Maka sembari berlari kencang , ia selalu pasang mata. Dan betullah sangkaannya itu. Karena tiba-tiba dari sam ping jalan, ada seorang yang loncat keluar menghadang. Orang itu memegang sebatang 'toato' atau golok besar. Walaupun rambutnya sudah putih, tapi orangnya masih kelihatan angker dan gagah. Itulah sijago tua Thiat-tan tgdua Ciu Tiong Ing.
Ciauw Cong keder hatinya, belum-belum ia sudah berbalik terus lari kesebelah barat.

Tiga arah ia sudah Coba mendatangi, tapi tigaduanya dijaga keras. Sampai disitu, ia mulai gelisah. Kalau orang-orang itu nanti bersatu mengepung, jiwanya pasti terancam. Karena itu, ia ambil putusan nekat. Siapapun yang menjaga jurusam barat nanti akan ditobrosnya juga. Untuk itu, tangan kirinya segera merangkum jarum 'hu-yong-Ciam' dan 'leng-bik-kiam' dipegangnya keras-keras.

Ternyata yang menjaga disebelah barat itu, adalah seorang berlengan satu yang menghunus pedang. Itulah 'tui-hun tok-beng-kiam' Bu Tim tojin, tojin penCabut jiwa. Dengan tojin ini, Ciauw Cong pernah bertempur. Dia tahu, diantara orang-orang HONG HWA HWE tojin itulah yang paling tinggi ke pandaiannya. Diam-diam Hwe-Hiu Poan-koan mengeluh dalam hati. Namun ia Cari daya juga untuk lolos.

Tanpa bicara lagi, begitu maju segera ia menyerang dengan gerakan “pek-hong-koan-jit” dan “gin-ho-heng-gong,” atau pelangi menembus sinar matahari dan sungai perak melintang diudara. Dia andalkan ketajaman pokiam nya, namun tojin itu tak menangkis dan hanya melejit ke samping. Dari situ, sebat sekali pedangnya balas menyerang.
Meskipun bagaimana, Ciauw Cong tak mudah lolos. Ia tangkis serangan orang dan berbareng lontarkan jarum 'hu-yong-Ciam'nya. Ia sudah memperhitungkan bahwa serangan jarum itu akan sia-sia saja terhadap Bu Tim. Tapi toh ia mengharap Bu Tim tidak menangkis dengan pedang tapi mundur kebelakang. Dan dalam keadaan itu, ia akan mendapat kesempatan untuk lolos kebawah. Selain tojin ini, sekalipun ia menahan luka, tapi ia percaya tentu tak ada lain orang yang sanggup melawannya.

Tapi ternyata Bu Tim dapat menerka maksudnya. Segera ia gunakan tipu yang berbahaya sekali. Sekonyong-konyong ia me nyusup kebawah terus menusuk kaki kanan Ciauw Cong. Gerakan ini adalah tipu istimewa dalam ilmu pedang “tui-hun tok-beng-kiam” yang disebut “roh penasaran menggubat kaki.” Istimewa digunakan untuk menyerang kaki lawan.

Ciauw Cong terkejut sekali. Cepat-cepat ia lintangkan po kiamnya untuk menangkis. Namun ilmu pedang Bu Tim itu keranjingan sekali. Tiba-tiba ujung pedangnya ditusukkan ketanah, dan pada saat itu terdengarlah bunyi gemerinCing halus dibelakang tubuhnya. Itulah beberapa 'hu-yong-Ciam' yang jatuh ketanah. Mendadak tubuh Bu Tim melambung keatas kepala Ciauw Cong dan berbareng itu pedangnya ditabaskan kebawah.

Ciauw Cong miringkan tubuhnya, lalu dengan gerak “Yay-hong-keng-thian” bianglala menjulang kelangit, dia sabetkan pokiamnya keatas. Tapi Bu Tim lebih Cepat-cepat menarik pedangnya dan melayang jatuh ketanah dan dari situ secepat-cepat kilat ia loncat menyerang lagi. Saat itu, Bu Tim berada disebelah barat, jadi ia masih dapat menghadang larinya Ciauw Cong.

Ilmu pedang 'tui-hun-to-beng-kiam' dari Bu Tim yang terdiri dari tujuhdua jurus itu sebagian didapat dari pengajaran suhunya dan sebagian lagi adalah hasil peyakinannya sendiri. Maka setiap jurus gerakannya ditambahi sendiri dengan beberapa tipu, karenanya luar biasa berbahayanya. Kalau menghadapi lawan biasa, paling banyak sekali tiga jurus saja sudah selesai. Yang bisa melayani sampai delapan-sembilan jurus, itu sudah terhitung orang yang silatnya tangguh sekali. Lebih hebat lagi, pada setiap jurus diberinya nama yang seram. Karena ia hanya berlengan satu, maka ia tak dapat berbuat seperti lain ahli pedang yang biasanya pakai tangannya yang sebelah lagi untuk bergerak- mengimbangi gerak pedangnya. Jadi gerakan pedang tojin itu mengutamakan serangan secara lurus. Dan sebegitu jauh, ia tak pernah mengeluarkan habis ke-tujuhdua jurus ilmu pedangnya itu.

Pada saat itu Ciauw Cong insyap takkan berhasil menobros lingkaran pedang lawan yang luar biasa gerakannya itu. Ia ambil putusan untuk bertahan mati-matian, ada serangan terus dihalaunya. Harapan satuduanya, jika saja ia sempat meng adukan pokiamnya, pedang musuh pasti dapat dipapas kutung.

Dalam sekejab saja, keduanya sudah bertempur tiga em pat puluh jurus. Walaupun menderita luka berat, tapi Ciauw Cong masih dapat melayani berpuluh jurus serangan dahsyat darinya, maka kagum juga Bu Tim. Tapi dalam pada itu, iapun tak sabar lagi, pedangnya diputar lebih santer lagi dan berulang-ulang merangsang dengan hebatnya.
Ketika itu baru Ciauw Cong kewalahan betul-betul. Apalagi luka-lukanya sangat mengganggu. Beberapa jurus lagi, tiba-tiba Bu Tim membentak keras: “Lepas pedangmu!”

Dengan gerak “Giam Ong Ceng pit”, Raja akherat lempar pena, Bu Tim membarengi tertawa panjang . Tahu-tahu lengan kanan Ciauw Cong tertusuk pedang, trangng………… leng-bik-kiamnya jatuh ketanah. Belum habis Ciauw Cong melengak kesima, tahu-tahu Bu Tim mengangkat kakinya pula dan terpentallah Ciauw Cong roboh ketanah. Bu Tim maju menghampiri. Namun lihai betul Hwe-Hiu Poan-koan itu Tiba-tiba dia loncat bangun lalu menjotos muka Bu Tim. Bu Tim terus akan memapas dengan pedangnya, tapi mendadak ia berpikir: “Kalau kutabas kutung sebelah tangannya, apakah Congthocu tidak akan mengatai aku.”

Memikir akan itu, Bu Tim tarik pedangnya. Tapi justeru kesangsiannya inilah yang merugjkan dia sendiri. Ciauw Cong laksana banteng terluka, dia kalap betul-betul. Mengguna kan kesempatan selagi Bu Tim ragus tadi, secepat-cepat kilat Ciauw Cong arahkan pukulannya kelambung kiri lawannya. Disinilah kelemahan tojin itu. Karena ia tak punya lengan kiri, jadi dia agak kurang leluasa untuk menjaga serangan dari arah kiri. Apalagi dia memang kurang mahir dalam ilmu silat tangan kosong. Maka untuk menghindari pukulan orang, ia hanya dapat miringkan tubuh kesamping.

Benar dengan berbuat begitu, tenaga dahsyat dari pukulan Ciauw Cong itu menjadi berkurang, tapi biar bagaimana dia tetap tak dapat terhindar. Begitu pukulan mengenai pinggangnya, Bu Tim terhuyung-huyung beberapa tindak kebela kang. Dan lobang kesempatan itu digunakan sebaik-baik nya oleh Ciauw Cong untuk lolos.

Bu Tim murka sekali, terus mengejarnya. Ciauw Cong sudah lari kebawah gunung. Bu Tim karena andalkan keli hayan ilmunya pedang, selama itu tak pernah gunakan senjata rahasia. Melihat Ciauw Cong sudah hampir lolos, diam-diam dia mengeluh. Kalau sampai Ciauw Cong bisa merat, pamor HONG HWA HWE tentu jatuh, dan dia sendirilah yang hilang muka.

Maka tanpa hiraukan apa-apa lagi, Bu Tim angkat pedangnya, lalu. akan gunakan tipu serangan “ngo-kui-tho-Cah” atau lima setan melempar lembing. Dan baru saja, pedang akan meluncur dari tangannya, tiba-tiba dari samping gunung menggelundung seorang, bagai angin cepat-cepat nya, terus menyikap kedua kaki Ciauw Cong. Maka bergumullah kedua orang tersebut jatuh ketanah.

Bu Tim Buru-buru simpan pedangnya, dan ketika mengawasi ternyata yang menyergap Ciauw cong itu adalah Ciang Cin, si Bongkok. Ciang Bongkok dan Ciauw Cong ban tingduaan dengan serunya. Pada saat itu Seng Hiap dan Cio Su Kin pun memburunya, terus turut meringkus Ciauw Cong. Setelah itu, Lou Ping membawa tali dan mengikat kedua tangan Ciauw Cong. Teringat akan peristiwa pe nangkapan suaminya di Thiat-tan-cungdulu itu timbullah kebencian Lou Ping dan terus akan memukuli Ciauw Cong, tapi keburu diCegah oleh Tan Keh Lok: “Yangan, suso!”
Baru Lou Ping mau menurut, walaupun ia benci sekali dengan orang itu. Tapi ketika Keh Lok menghampiri, segera Ciauw Cong mendampratnya:

“Kau orang hanya andalkan jumlah banyak sekali. Thio-loya hari ini sudah jatuh kedalam tanganmu, kalau mau bunuh, bunuhlah! Kalau sampai mataku berkedip, jangan sebut aku orang she Thio!”

Sebelum Keh Lok sempat memberi jawaban Ong Hwi Yang sudah menghampirinya lalu memakinya: “Aku dengan kau, baik dulu maupun sekarang, tidak mempunyai permu suhan apa-apa, tapi karena kau takut aku uwarkan perbuatan mu yang licik, lalu begitu kejam akan mengubur aku hidup-hidup. Hm, Hwe-Hiu Poan-koan, kau memang keterlaluan sekali.”

Mendengar itu Ciok Siang Ing, algojo dari HONG HWA HWE unyuk ketawanya yang seram, katanya: “Dia sudah menggali lobang untuk dirinya sendiri. Nanti kitapun perlakukan dia begitu.”

Rombongan orangs HONG HWA HWE sama bersorak setuju.

Sekalipun biasanya Ciauw Cong beradat tinggi, tapi begitu membayang kan akan dikubur hidup-hidup, tak urung ia menguCurkan keringat dingin.

“Nah, kau menyerah apa tidak?” tanya Keh Lok. “Kalau kau mengaku kalah dan bersumpah takkan memusuhi kaum HONG HWA HWE maka dengan memandang muka kau punya Liok suheng, kami akan mengampuni jiwamu.”

Ciauw Cong murka, jawabnya: “Kalau mau bunuh bunuhlah, tak usah banyak sekali bicara. Kau orang telah gunakan tipu, mana orang mau mengaku kalah!”

“Baiklah, kau memang seorang lakis yang keras hati. Biar kuantar jiwamu dengan tabasan. pedangku ini, agar kau ter lepas dari dikubur hidup-hidupan,” kata Keh Lok sembari menCa but badidua pemberian Ceng Tong, lalu berjalan menghampiri kearah Ciauw Cong.

“Apa kau sungguh-sungguh tak takut mati?” tanya Keh Lok dengan suara tertahan.

Ciauw Cong bersenyum getir. “Biar hatiku puas!” katanya sembari meramkan mata.
Keh Lok segera ajunkan badiduanya kepada orang. Tapi, tiba-tiba ia tertawa dan begitu tangannya dibalik ia membabat putus tali pengikat Ciauw Cong.

Hal itu sungguh diluar dugaan, sehingga orang-orang HONG HWA HWE sendiripun sampal melengak dibuatnya.

“Kali ini kita tangkap kau karena gunakan siasat. Meski pun dosamu pantas dihukum mati, tapi kalau sekarang kau kubunuh, kau tentu akan menjadi setan penasaran. Baik, kau pergilah asal saja kau mau merobah kelakkuanmu, kita mungkin akan berjumpa lagi lain hari. Tapi kalau tetap berjalan sesat, kami kaum HONG HWA HWE tak gentar padamu Thio Ciauw Cong seorang. Ingat, kalau sampai kau jatuh keda lam tangan kami untuk kedua kalinya, jang 'an kau katakan kami tak kenal kasihan lagi,” kata ketua HONG HWA HWE

Baru saja Keh Lok habis mengucap, maka Ciang Cin, Lou Ping, Seng Hiap, kedua saudara Siang dan lain-lainnya serentak berteriak: “Cong-thocu, jangan lepaskan dia!”
Tapi Keh Lok memberl isyarat dengan tangannya.

“Suhengnya, Liok Locianpwe telah melepas budi pada kita orang, harus kita balas. HONG HWA HWE kita selalu ingat akan budi dan kejahatan. Kalau hari ini kita lepaskan sutenya, berarti kita telah membalas budinya,” demikian dijelaskannya.

Dengan penyelasan ketuanya itu, sekalian orangpun diam tak membantah. Hanya saja mereka mengawasi Ciauw Cong dengan sorot kemarahan.

Kemudian dengan merangkap kedua tangan selaku memberi hormat, berkatalah Ciauw Cong :

“Tan tangkeh sampai disini kuakan minta diri.”

Habis berkata, dia terus akan angkat kaki.

“Tahan!” tiba-tiba Ciu Ki tampil kemuka.

Ciauw Cong merandek, dan mengawasi Ciu Ki, si Li Kui Wanita itu.

“Kau akan pergi dengan Cara begitu saja?” tegur gadis itu.
Ciauw Cong tersedar, lalu membungkukkan badan mem beri hormat pada sekaliari orang, seraya berkata: “Ya, budi kebaikan dari Tan tangkeh ini, aku Thio Ciauw Cong bukan orang yang tak tahu membalas guna. Memangnya kita ber janji tiga bulan lagi akan pi-bu disini, tetapi aku bukan lawan kalian, maka aku hendak pulang kedesa untuk belajar lagi. Kali ini bolehlah dianggap aku yang kalah.”

LiCin benar ucapan Ciauw Cong itu. Dalam kataSnya yang merendah itu ia masih mengunjuk kekerasan. Seperti ia mau katakan: kalah karena dikerojok, kelak tentu akan menuntut balas lagi. Sudah tentu, orangs HONG HWA HWE yang men dengar ucapan itu, sama marah.

“Ketua HONG HWA HWE lepaskan kau, itulah karena ketinggian budinya,” kata Ciu Ki. “Sekarang Coba kau jawab per tanyaanku ini: kau berani datang ke Thiat-tan-Hung, se harusnya kau mempunyai kepandaian untuk menangkap orang yang kau maukan itu. Tapi mengapa kau perlu mesti mem bohongi adikku yang masih belum tahu apas itu, hingga telah menCelakakan dirlnya, sehingga kini keluargaku telah putus keturunannya? Aku bukan orang HONG HWA HWE, akupun belum pernah menerima apa yang disebut budi dari suhengmu, tapi hari ini aku harus menuntut balas sakit hati adikku itu.”

Berhentilah ucapan Ciu Ki diganti dengan gerakan go loknya untuk menerjang . Ciauw Cong menjadi sibuk tak keruan. Nona itu tidak menjadi soal baginya, tetapi kini ia tengah dikepung oleh ahlidua silat yang jempolan, sudah tentu mereka takkan tinggal diam berpeluk tangan. Kalau sampai berbentrok lagi, bukankah akan hebat akibatnya?
Tapi secepat-cepat itu ia telah mendapat pikiran. Begitu sam beran golok sinona tiba, ia mundur selangkah untuk meng hindarinya.

Masih penasaran rupanya nona garang itu. Nampak serangannya kosong, ia segera gunakan tipu “Tat Mo bin-pik” atau Tat Mo menghadap tembok, suatu jurus ilmu pedang dari Tat Mo Couwsu, itu pendiri Siao Lim Pai. Yang diarah, jalah bagian kepala orang, serunya bukan buatan.

Ciauw Cong kaget, pikirnya: “Huh, tak kunyana kalau budak ini lihai juga ilmu goloknya.”

Cepat-cepat ia kibaskan tangannya kanan untuk menganCam muka Ciu Ki. Begitu sinona melengkan kepala untuk me ngegos, secepat-cepat kilat tangan kiri Ciauw Cong menyawut golok orang.

Tapi Ciu Ki tidak saja garang mulut, pun gerakan sen jatanya tak kurang garangnya. Ia tak mau mundur, sebaliknya, dengan nekat ia balikkan tangan terus ditusukkan kemuka.

Ciauw Cong tak berani lukai Ciu Ki. Iapun Cepat-cepat tarik pulang tangan dan gunakan dua buah jarinya untuk me notok jalan darah “jiok-ti-hiat” dari lengan Ciu Ki. Maka dengan sekonyong-konyong, Ciu Ki rasakan tangannya kesemutan dan goloknya menCelat keatas.

Selama itu, Tiong Ing dan Thian Hong yang paling meng awasi dengan waswas. Mereka berdua sejak Ciu Ki tampil kemuka tadi sudah berdiri dibelakangnya. Maka ketika melihat sigadis keCundang, tanpa pikir lagi Thian Hong angkat tongkatnya terus menghantam kemuka Ciauw Cong. Sembari begitu, ia angsurkan tan-to ditangan kiri kepada tu nangannya. Sedang pada waktu itu, Ciu Tiong Ing pun sudah melesat untuk menghadang larinya Ciauw Cong. Begitu pula An Kian Kong, maju dengan mengangkat goloknya. Jadi kini Ciauw Cong kembali dikepung oleh orang-orang Thiat-tan-Hung.
Sedang kegaduhan itu berjalan dengan ramainya, tiba? dari bawah bukit itu terdengar ada orang ber-teriaks dengan kerasnya: “Tahan! Tahan!”

Ketika semua orang mengawasi, ternyata dari arah selatan tampak ada dua orang tengah berlari mendatangi dengan pesat sekali. Yang seorang berpakaian warna kelabu, sedang kawannya berpakaian hitam. Mereka gunakan ilmu mengentengi tubuh yang mengagumkan sekali.

Orang-orang HONG HWA HWE sama terkejut akan kegesitan kedua orang itu. Tentulah mereka itu ahli silat yang lihai. Selagi orang-orang masih sama menduga-duga, kedua orang itu sudah sampai disitu. Yang berpakaian hitam, orang-orang HONG HWA HWE segera mengenalnya sebagai Kim-li-Ciam Liok Hwi Hing. Maka dengan ter sipudua orang-orang sama menyambutnya.

Sedang yang berpakaian warna kelabu itu ternyata seorang tosu tua. Pada punggung tosu itu menggemblok sebatang pedang. Dilihat dari wajahnya tosu itu mengunjuk kan seorang yang baik hati. Tapi siapa dia, orang-orang HONG HWA HWE tidak mengetahuinya.

Ketika Hwi Hing hendak memperkenalkan tosu itu ke pada orang-orang HONG HWA HWE tiba-tiba Ciauw Cong menghampiri kemuka tosu itu seraya menjura dan menyapa: “Suheng, ber-tahun? kita tak berjumpa, adakah suheng tidak kurang suatu apa?”

Mendengar itu, barulah semua orang mengetahui, bahwa tosu itu adalah Ciang-bun-jiri' (ahliwaris) dari Cabang Bu Tong Pai yang bernama Ma Cin. Ia adalah suhu dari Kim-tiok Siu-Cay Ie Hi Tong. Maka berkerumunlah orang-orang untuk memberi hormat.
“Tadi sewaktu aku dengan Ma suheng tiba di Ko-san, bertemulah kami dengan Ma Sian Kun. Karena tahu kita adalah orang-orang sendiri, maka saudara Ma telah memberitahu kan tentang pertempuran dibukit Pak-ko-nia ini. Karena itu, kami Buru-buru datang kemari,” demikian Hwi Hing menerang kan. Sembari kata itu, ia mengawasi kesekeliling tempat itu. Setelah ternyata tak terdapat korbandua yang jatuh, leganya hatinya.

Ma Cin dan Liok Hwi Hing dulu pernah berjumpa dengan Ong Hwi Yang, mereka saling mengagumi kepandaian masing-masing. Terhadap siapapun, aehliwaris Bu Tong Pai ber laku sungkan sekali. Hal itu telah menggelisahkan hati Ciauw Cong. Bagi yang tersebut belakangan ini memang serba susah. Pergi dari tempat itu, tidak enak dihati. Sedang kalau tetap berada disitu, pun perasaannya tak keruan.

Ma Cin sudah Cukup paham akan kesesatan Ciauw Cong selama ini. Sebenarnya akan dijalankannya upaCara huku man dari Cabang Bu Tong Pai. Tapi karena melihat keadaan Ciauw Cong yang berlumuran darah itu, kasihanlah Ma Cin. Sampaidua dia menguCurkan air mata, katanya dengan suara sember: “Thio-sute, mengapa kau menjadi sedemikian rupa ini?”

“Aku hanya seorang. diri, sedang mereka berjumlah ba nyak, sudah tentu beginilah akibatnya,” sahut Ciauw Cong sengaja.

Mendengar kataa Ciauw Cong yang mengadu-biru itu, semua pahlawan menjadi gusar, dan Ciu Ki yang per-tamadua tak tahan, segera teriaknya: “Masih berani kau memutar balikan duduknya perkara? Ayolah, Ma-supek, Liok-supek, silakan kalian yang menimbangnya secara adil!”

Habis berkata, dengan golok terhunus segera gadis itu pingin menerjang maju pula.
“Sudahlah, nak,” Cegah Tiong Ing. “Kedua Supek kini sudah datang, Bu-tong-Pai mereka selamanya mempunyai peraturan rumah tangga yang keras, kau dengarkan saja pesan Supek-supek ini.”

Nyata benar kata Ciu Tiong Ing itu sengaja diperde ngarkan untuk mendesak Ma Cin agar bertindak tegas sebagai Ciangbunyin atau ketua Bu-tong-Pai.

Namun Ma Cin seorang yang terlalu lemah perasaan, ia pandang Liok Hwi Hing, kemudian berpalihg pula kearah Thio Ciau Cong, habis itu mendadak ia tekuk lutut kehada pan Ciu Tiong Ing dan Tan Keh Lok.

Karuan semua orang menjadi bingung, beramai mereka bilang: “Ada apakah Ma-Locianpwe, silakan berkata saja, lekas kau bangunlah!” — Lalu imam itupun dibangunkan nya.

Perasaan Ma Cin mendali tergoncang sekali, katanya dengan suara berat dan tak lancar: “Para saudara, aku punya Thio-sute yang tak berguna ini, apa yang diperbuatnya se sungguhnya susah diampuni, aku malu sebagai Ciang-bun-jin tak bisa membersihkan rumah tangga sendiri tepat pada waktunya, benar-benar kini aku tiada muka lagi untuk bertemu dengan Kawan-kawan Bu-lim. Aku ….. aku …” — Sampai disini serasa tenggorokkannya menjadi tersumbat tak ter uCapkan. Selang sejenak barulah ia berkata pula kepada Liok Hwi Hing: “Liok-sute, silakan kau terangkan mak sud tujuan kita kepada para saudara!”

Karena itu, lantas berkajtalah Liok Hwi Thjing: “Sejak Suhengku mengetahui perbuatan bagus Thio-taijin. kita ini, saking marahnya sampai ia tak enak makan; tak nyenyak tidur, tapi mengingat padas mendiang guruku, maka dengan beranikan diri ingin mohonkan ampun baginya kepada sau dara-saudara.”

Mendengar kedatangan Ma Cin itu ternyata hendak min takanl ampun bagi jiwanya Thio Ciau Cong, seketika semua pahlawan lantas memandang Tan Keh-Lok dan Ciu Tiong Ing, ingin mengetahui bagaimana keputusannya.

Diam-diam Keh Lok membatin: “Aku tak boleh main murah hati dan membiarkan Ciu-loenhiong menjadi orang busuk, biarlah aku serahkan kepada keputusannya saja.” — Karena itu, ia hanya diam saja sembari memandang juga kepada sijago tua itu.

Mendadak terdengar suara “plak,” tiba-tiba Tiong Ing masuk kan goloknya kedalam sarungnya, lalu katanya dengan tegas “Kalau ingat dendam membakar perkampunganku dan men Celakai puteraku, hm, asal aku Ciu Tiong Ing masih bisa bernapas, pasti takkan selesai dengan begitu mudah.” — Ia merandek sejenak, lalu sambungnya: “Tapi kalau Ma-suheng dan Liok-suheng sudah berkata demikian, baiklah aku terima kalian selaku sobat baik, peristiwaa lalu sekaligus aku Coret dan hapus seluruhnya.”
“Tia (ayah)!” teriak Ciu Ki penasaran oleh keputusan sang ayah.

“Sudahlah, nak!” kata Tiong Ing agak sember sambil membelai rambut sang puteri.
“Nah, dengan apa yang dikatakan Ciu-loenghiong, suatu tanda betapa budi setia-kawannya,” segera Keh Lok ikut berkata. “Dan menghadapi Ma dan Liok berdua Cianpwe, baiklah, kami orang-orang Hong Hwa Hwe juga takkan mengungkat-ungkat lagi kejadian-kejadian lalu.”

Segera Ma Cin dan Liok Hwi Hing memberi hormat sekeliling dan kata mereka: “Kalau begitu, sungguh kami sangat berterima kasih.”

“Tapi, Ma-toheng,” tibas Bu Tim' menyela dengan dingin, “ada lagi sedikit perkataanku, entah boleh tidak bertanya?”

“Silakan, Toheng,” sahut Ma Cin Cepat-cepat .

“Sekali ini soalnya telah kami anggap selesai, tapi bagai mana Ma-toheng akan berkata apabila kelak ia berbuat jahat pula?” tanya Bu Tim.

“Sesudah aku membawa dia pulang pasti akan mengawasinya dengan keras agar memperbaiki kesalahandua dulu,” demi kian sahut Ma Cin tegas. “Tapi bila ia berbuat kejahatan lagi, hm, keCuali ia membunuh aku dulu, bila tidak, pasti akulah yang per-tamadua takkan mengampuni dia!”

Mendengar janduaji Ma Cin yang begitu tegas dan pasti, maka para pahlawan tak enak untuk buka suara pula.

“Sesudah kubawa Sute ini kembali ke Bu-tong-san di Ohpak, pasti aku suruh dia merenungkan dosasnya yang lalu agar mau insaf,” kata Ma Cin pula. “Dan Liok-sute biarlah tinggal disini dulu untuk membantu membebaskan Bun-sutangkeh, aku sendiri sudah lama simpan pedang, urusan Kangouw juga sudah lama tak ikut Campur, hal ini harap lah kalian suka memaafkan ; dan nanti bila Bun-sutangkeh sudah bebas, hendaklah Liok-sute sukalah memberi sedikit kabar agar akupun bisa ikut lega. — Dan, eh, dimanakah Hi Tong, kenapa muridku itu tiada disini?”

“Capsite telah terpencar dengan kami ditepi Hoangho, ke mudian katanya terluka dan ditolong oleh seorang wanita, lalu sampai kini belum diketahui jejaknya,” tutur Keh Lok. “Tapi bila Bun-suko sudah kami bebaskan, segera juga pasti kami akan menCarinya hingga ketemu, harap Totiang tak perlu kuatir.”

“Muridku itu orangnya sangat pintar memang, Cuma orang muda suka turuti wataknya yang bebas dan kurang sabar, hal ini mengharap Tah-tangkeh sukalah banyak sekali-kali memberi petunjuk padanya,” ujar Ma Cin.

“Sudah tentu, Totiang,” sahut Keh Lok. “Kami bersaudara sudah saling bersumpah bantu-membantu seperti saudara sekandung. Capsite orangnya Cerdik pandai, kami semua sangat meughargainya.”

“Urusan harini sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga,” kata Ma Cin. “Tan-tangkeh, Ciu-loenghiong, Bu Tim-toheng dan saudara-saudara sekalian, kelak bila bikin perjalanan lewat Ohpak, hendaklah mesti mampir kekelentengku untuk beramah-tamah.”

Undangan itu disanggupi dengan baik oleh semua orang, habis itu barulah Ma Cin berkata pada Thio Ciau Cong: “Berangkatlah sekarang!”

Sebenarnya Ciau Cong masih berat buat pergi ketika melihat pedangnya “leng-pek-kiam” terselip dipinggang Lou Ping, walaupun itu adalah benda mestika, tapi kalau ia berani memintanya kembali, itu pasti akan dihina lagi, terpaksa ia kertak gigi tinggalkan pergi.
Sehabis kedua orang itu berlalu, lantas semua pahlawan menanyakan keadaan Hwi Hing selama berpisah.

Kiranya sejak terpencar dengan para pahlawan ditambangan sungai Kuning, karena tak ketemu menCari murid nya, Li Wan Ci, ia pikir gadis itu adalah puteri pembesar, orangnya juga Cerdik luar biasa, tentunya tak sampai terjadi apa-apa atas dirinya. Kini soalnya yang pokok adalah mengenai Thio Ciau Cong, sang Sute ini benar-benar merupakan noda bagi Bu-tong-Pai. Maka Cepat-cepat ia menuju ke Ohpak mengundang Toasuheng Ma Cin memburu ke Pakkhia, tapi sesampai disana barulah diketahui Thio Ciau Cong sudah pergi ke HangCiu, lantas bergegas-gegas merekapun menyusul keselatan. Dan karena beberapa kali pergi-datang itulah malah mereka ketinggalan dibelakang jago-jago Hong Hwa Hwe.

Begitulah, semua orang itu sembari pasang omong sambil berjalan kebawah bukit, kata Keh Lok kemudian kepada Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong: “Kalian berdua hendak kemana, silakan saja.”

“Budi pertolongan jiwa Tan-tangkeh tadi, sungguh takkan kulupakan selama hidup,” kata Ong Hwi Yang.

Keh Lok ter-bahakdua oleh kata-kata orang, ia jabat tangan Ong Hwi Yang dan katanya pula: “Masih ada dua hal yang aku ingin minta Ong-loenghiong suka memaafkan.”

Lalu iapun Ceritakan dengan jelas bahwa sengaja mereka menyamar sebagai pembesar negeri untuk mengakali vaas jade serta mengadu-dombakan dia dengan Thio Ciau Cong agar bertanding.

Biasanya Ong Hwi Yang memang berbudi dan berjiwa besar, sekali ini dari mati bisa diselamatkan, soal duniawi lebihdua dingin lagi dalam pandangannya, maka terhadap tipu muslihat yang dilakukan jago-jago Hong Hwa Hwe itu, iapun tidak pikirkan lagi. Malahan dengan bergelak ketawa ia lantas berkata: “Haha, ketika aku melihat kau berbicara dengan orang she Thio itu, lantas aku menduga kau adalah palsu. Hahaha, benar-benar ksatria tumbuh pada orang muda, aku sudah kakekdua masih bertambah lagi suatu pengalaman. Kita benar-benar tidak berkelahi tidak berkenalan, meski aku bertanding dengan orang she Thio itu adalah kalian yang mengadu-domba, tapi jiwaku toh tetap kalian yang menolong. Kelak orang-orang Hong Hwa Hwe semuanya adalah sobatku, apabila Tan-tangkeh ada sesuatu perintah, aku yang sudah tua ini meski masuk air mendidih atau terjun kelautan api tak nanti menolak.”

“Baiklah bila tugas kami sudah selesai, bolehlah kita mi num se-puasduanya,” ujar Keh Lok.

Sambil berbicara, sementara itu sudah sampai dibawah bukit, mereka menuju ketepi telaga dan menumpang perahu kerumah Ma Sian Kun. Dalam pada itu Liok Hwi Hing sudah menyedot keluar jarumdua emas yang menancap ditubuh Ong Hwi Yang serta dibubuhi obat luka.

Sesudah sibuk setengah harian, tatkala itu hari sudah petang.

“Yalan dibawah tanah sudah lebih separoh digali, lewat tiga jam lagi pasti akan tembus sampai tujuan,” demikian Ma Sian Kun kemudian telah melaporkan.

“Bagus, Ma-toako, tentu kau sangat lelah sudah, kini biar diganti Cio-sipsamko yang pergi mengatur,” sahut Keh Lok mengangguk.

Segera pergilah Cio Su Kin dengan tugas itu.

Lalu Keh Lok berpaling dan berkata pada Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong berdua: “Kawan-kawan Piauthau kalian kami telah melayaninya balkdua, bila perlu kalian ajaklah mereka pesiar ke Se-ouw, dan lewat sehari duahari nanti tentu kami adakan tempo kusus untuk menjamu kalian.”

Berulang kali Hwi Yang dan Bun Tiong merendah bilang tak berani.

Ong Hwi Yang sudah banyak sekali asam-garam, dilihatnya oranga Hong Hwa Hwe itu wira-wiri tak pernah ada waktu senggang sedikitpun, maka ia tahu tentu mereka sedang mengatur daya-upaya buat menolong Bun Thay Lay. Karena ini, ia pikir bila dirinya keluar, kalau usaha jago-jago HONG HWA HWE itu berhasil Itulah sudah, tapi bila gagal, mungkin bisa mencurigai dirinya membongkar rahasia mereka kepada pemerintah.

Maka ia lantas beralasan: “Ah, harini kami masih terlalu letih, ingin kami mengaso dulu barang sehari-harihari disini.!'

“Kalau begitu maafkan Siaote tak mengawani lagi,” ujar Keh Lok.

Lalu Ma Tay Thing yang ditugaskan melayani Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong kedalam buat berkumpul dengan Ong Gok Thian dan piauthaudua lain. Disitu Ong Hwi Yang telah melarang keras orang-orang nya tak boleh melangkah keluar sedengkalpun dari rumah keluarga Ma itu.

Dan setelah bersantap, para pahlawan lantas kembali kamar masing-masing untuk mengaso.

Kira-kira jam tujuh malam, seorang Thaubak kecil datang me lapor bahwa jalan lorong dibawah tanah sudah digali masuk gedung panglima, tapi tertahan oleh batu besar, maka sudah menggali kebawah lebih dalam hendak melewati batu besar perintang itu.

Segera Keh Lok dan Thian Hong mengatur orang-orang nya siapa yang bertugas menyerang sebelah kiri, siapa menye rang sebelah kanan, siapa membantu dan siapa menjaga bagian belakang, kesemuanya telah mereka atur sempurna.

Sejam kemudian, datang pula Thaubak tadi melapor bahwa penggalian sudah sampai dipapan baja, karena kuatir diketahui musuh, maka sudah berhenti menggali lebih jauh,
“Kalau begitu, tunggu lagi satu jam, sedikit jauh malam lantas kita turun tangan,” kata Keh Lok.

Dan selama satu jam menunggu itulah semua orang menjadi tak tahan rasanya; Lou Ping tak tenang berduduk mau pun berdiri, sibongkok Ciang Cin mondar-mandir diruangar itu sambil tiada hentinya mengumpat maki. Kedua sau dara Siang dengan sepasang kartu sedang main “Pai-kiu' dengan Nyo Seng Hiap dan Wi Jun Hwa. Karena, Jur. Hwa dan Seng Hiap bermain ngawur hingga duit mereka dikantongi kedua saudara Siang.

Ciu Ki sendiri lagi periksa 'leng-pek-kiam' asal milik Thio Ciau Cong itu sambil kadang- menyajalnya dengan bebe rapa potong besi tua, dan nyata sekali baCok semua logam lain lantas putus, tajam tiada bandingannya. Kelakuan sdgadis ini disaksikan Thian Hong dari samping dengan ter senyum tanpa berkata. Sedang Ma Sian Kun berulang kali merogo keluar sebuah arloji kantong yang besar berlapis emas untuk melihat waktunya.
Disudut lain Tio Pah San lagi asjik bicara dengan Liok Hwi Hing tentang keadaan masing-masing selama berpisah. Bu Tim dan Ciu Tiong Ing sedang main Catur, tapi karena Bu Tim kurang tenang, kepandaian main Caturnya pun kalah baik, maka berulang kali ia harus menyerah.

Tan Keh Lok sendiri sambil menengadah lagi menggu mamkan sajak dengan sejilid kitab kuno. Ciok Siang Ing termangu-mangu memandangi langit tanpa bergerak.

Begitulah suasana jago-jago Hong Hwa Hwe itu sampai akhirnya dapatlah menanti satu jam dan terdengarlah Ma Sian Kun berkata: “Sudah waktunya kini!”

Seketika saja semua orang berbangkit dan berbondong-bondong keluar. Masing-masing membekal senjata didalam baju dan dari segala jurusan menuju kesuatu rumah penduduk didekat istana panglima. itu untuk berkumpul.

Penghuni rumah penduduk itu sudah lama dipindahkan, ketika Cio Su Kin yang menanti disitu melihat para kawan sudah datang, dengan suara tertahan segera ia berkata : “,Tiunama, disekitar sini tentara negeri berpatroli dengan sangat keras, kita harus berhati-hati!” — Habis itu dengan gajuh besinya ditangan ia menjaga dimulut goa galian mereka dan membiarkan para pahlawan masuk berturut-turut.

Jalan dibawah tanah itu sangat dalam galinya, ditambah keadaan tanah di HangCiu basah lembab, air dijalan lorong itu ternyata setinggi betis, ketika mereka sudah menerobos melewati batu besar itu, air lumpur sudah merendam sampai setinggi dada, dan setelah beberapa puluh tombak lagi, barulah mereka sampai diujung.

Disana beberapa orang anggota HONG HWA HWE sambil memegang obor dan alat-alat penggali sudah menunggu,. ketika dilihatnya Congthocu mereka sudah datang, segera mereka melapor : “Didepan inilah papan besi itu!”

“BaikIab, kerjakan sekarang!” sahut Keh Lok.

Cepat-cepat saja beberapa Srang HONG HWA HWE itu beketja keras dihadapan pemimpin be|ar mereka, maka tidak lama sebuah batu disamping papan ibaja itu sudah didongkel keluar; setelah digali lagi tak lama, papan baja itu sudah dapat mereka keluarkan. Tanpa disuruh, lagi, sekali gaetannya menyajal dulu kedepan, segera Wi Jun Hwa mendahului menerobos masuk terus diikuti pahlawandua yang lain dengan disinari obor yang dibawa anggotadua HONG HWA HWE tadi.

Ketika sudah menembus jalan lorong kemarinnya itu. segera para pahlawan berlari terus kedepan, ketika sudah sampai diujung lorong sana, tertampaklah pintu besi itu menutup rapat kebawah. Lekas-lekas Jun Hwa menekan titik tengah gambar Pat-kwa seperti kemarin itu, siapa tahu pintu besi itu sedikitpun tak bergeming, agaknya alat penggeraknya sudah tak bekerja,

Seketika tergerak pikiran Thian Hong, lekas-lekas ia memberi perintah: “Pat-te dan Kiu-te, lekas kalian pergi menjaga dimulut pintu penyara ini untuk ber-siapdua bila musuh pakai tipu muslihat.”

Cepat-cepat Seng Hiap dan Jun Hwa pergi menerima tugas itu.

Sementara itu dengan alat penggali mereka beberapa anggota HONG HWA HWE tadi telah menyongkel keluar batu-batu dibawah pintu besi itu dan be-ramaidua merekapun mengangkat keatas pintu besi yang berat luar biasa itu.

Pintu itu ternyata diikat dengan rantai besi yang kokoh. namun sekali tabas dengan leng-bik-kiam, Lou Ping dapat memutuskan rantai itu. Dan setelah itu, ia serentak men dahului menobros kedalam kamar. Tapi begitu masuk, ia segera mengeluarkan jeritan tertahan, karena kamar itu ternyata kosong melompong. Bun Thay Lay sudah tak tampak disitu.

Sampai disini, karena sudah beberapa kali mengalami ke gagalan dalam merebut kembali suaminya, betul-betul Lou Ping tak kuat lagi menguasai hatinya. Ia mendeprok, terus me nangis tersedu-sedu. Orang-orang HONG HWA HWE turut merasa pilu akan kesedihan yang diderita oleh puteri Lou Gwan Thong itu.

Tan Keh Lok mengambil pedang 'leng-bik-kiam' dari tangan Lou Ping, dan diCobanya untuk menusuk pintu kecil yang dibuat lari oleh Ciauw Cong dulu.

“Mungkin karena menguatirkan kita merampok peujara, maka Li Khik Siu telah memindahkan Bun-suko kelain tempat,” kata Thian Hong Coba menghiburnya.

Karena itu semua orang HONG HWA HWE kembali lagi masuk kedalam lobang penggalian mereka tadi. Tapi tiba-tiba terdengarlah suara air mengalir yang gemuruh sekali.

“Celaka, kita terpaksa harus menyerbu keluar saja!” kata Thian Hong kaget.
Dan betul-betul juga lobang penggalian mereka itu sudah kerendam penuh. Dan air itupun mulai mengalir kedalam jalanan tanah itu.

“Apapun yang akan terjadi, kali ini kita harus dapat me rampas Bun-suko!” seru Keh Lok. “Kita serbu saja kantor markas Li Khik Siu ini!”

Tapi sementara itu, airpun sudah makin menggenangi jalanan itu.

“Kurangajar, ini tentu akalnya Li Khik Siu untuk meren dam kita dengan air!” kata Bu Tim.

Ketika mereka menghampiri sampai kemulut jalanan, disitu Seng Hiap tampak sedang bertempur dengan beberapa serdadu Ceng. Tapi anehnya, Jun Hwa tak kelihatan berada disitu. Dengan menggerung keras, Bu Tim menobros keluar. Sekali mengajun pedang, dua orang serdadu Ceng yang tengah memegangi pipa air yang dipakainya untuk merendam jalanan dibawah tanah itu segera roboh. Menyusul dengan itu, keluarlah semua orang HONG HWA HWE itu.

Ternyata Jun Hwa juga tampak disebelah sana, tengah bertempur dengan beberapa orang perwira. Melihat suasana Yang genting itu, Hwi Hing diam-diam berpikir dalam hatinya : “Dengan Li Khik Siu, aku pernah mengenal dan sedikitnya pernah menerima budinya, jadi tak leluasa kalau ikut bertempur secara terang-terangan.”

Karenanya, segera ia robek jubahnya, untuk menutup mukanya dengan diberi lobang kecil dibagian mata. Tapi baru saja selesai menyaru itu, tentara Ceng ternyata sudah mundur, dikejar terus oleh Jun Hwa.

Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh, Thian Hong naik keatas tembok untuk mengawasi sekitar tangsi itu. Ternyata tangsi itu penuh dengan penjagaan tentara musuh. Tiba-tiba didengarnya bunyi genderang dipukul keras sekali, se-olahdua dimedan peperangan.

Ternyata. anak tentara itu sedang disiapkan untuk men jaga, sebuah rumah yang bertingkat dua. Sekeliling rumah itu dijaga keras oleh lima puluh0 orang tentara. Melihat penjagaan itu, Thian Hong menduga tentu Bun Thay Lay disembunyikan disitu. Cepat-cepat sesudah loncat turun, dia mengisyaratkan saudara-saudaranya supaya mengikutinya.

Makin mendekati rumah itu, orang-orang yang bertempur makin ramai. Dalam suasana yang gaduh itu, Ma Sian Kun dan Tio Pan San memimpin berpuluh-puluha thauwbak HONG HWA HWE yang berkepandaian agak tinggi, loncat dari tembok terus mema suki gedung itu. Sekalipun jumlah tentara Ceng itu lebih besar, tetapi mereka tak dapat menahan gempuran orang-orang HONG HWA HWE yang lihai itu. Dan tak lama kemudian, rombongan HONG HWA HWE yang lain itu sudah mendekati pintu gedung.
Dengan gunakan gerak tipu “naga-hitam-menyapu-tanah” Ciang Cin membolang-balingkan sepasang kampaknya untuk memaksa masuk. Diambang pintu, seorang yang ber senjatakan tombak, segera menyambut serangan Ciang Cin itu. Juga Jun Hwa, Lou Ping, Seng Hiap, Siang Ing dan lain-lainnya sudah mendapat lawan masing-masing. Disinari oleh Cahaja obor, pertempuran segera berjalan dengan seru sekali. Ternyata pasukan yang menjaga gedung bertingkat itu semuanya pilihan.

“Sam-te, Coba kita tengok kemuka!” seru Bu Tim meng ajak Tio Pan San. Seorang perwira menghadang dan membaCok, tapi tanpa berkelit atau menangkis, dengan sebuah gerakan “kuda-binal-menerjang kemuka,” ujung pedang imam berlengan satu itu lebih Cepat-cepat datangnya. Maka dengan mengeluarkan jeritan yang seram, perwira itu roboh segera.

Tio Pan “San juga sudah siap dengan senjata rahasianya. maka Sekejab saja sudah ada dua orang serdadu yang roboh pula. Dan dengan leluasa, kedua orang itu segera masuk kedalam ruangan, langsung menuju kepaseban dalam. Ciu Tiong Ing, Lou Ping dan lain-lain.nya ikut masuk.

Tampak oleh Hwi Hing bahwa lawan Ciang Cin tadi ternyata berkepandaian tangguh, sedikitpun Ciang Cin tak dapat mengatasi lawannya.

Hwi Hing menjadi tak sabar, Cepat-cepat ia melesat kedepan. Dengan gerakan “thian-way-lay-hun,” mega dari luar langit, ia menusuk leher kiri orang itu. Tapi orang itu Cepat-cepat memutar balikkan tangkai tombaknya, terus dikeprak kebawah. Tombak perwira itu panjang lagi berat, dan tenaga orang itu kuat sekali. Tak bisa tidak pedang Hwi Hing pasti terpental, kalau saja kena kehantam

Tapi Hwi Hing tak jeri. Cepat-cepat dia tarik pedangnya, begitu mengempos semangat, terus dikibaskan keatas sekeras-kerasnya.

“Trangng……” Tombak menCelat keudara, sedang perwira itu tangannya kesemutan. Serasa terbang semangat orang itu, siapa terus loncat kesamping. Tapi lacur, dia ter peleset jatuh. Kalau mau sebenarnya, mudah saja Ciang Cin memburunya untuk menghabisi jiwa lawannya itu. Tapi bongkok orangnya, Ciang Cin ternyata mempunyai sifat ksatria. Tak mau dia membunuh musuh yang tak bersenjata, maka dia terus memutar badan untuk menyerang salah seorang dari dua lawan yang mengerojok Seng Hiap.

Seng Hiap tambah bersemangat. Dengan sepasang siang->tao atau gaetan, dia kaCip pinggang lawannya dengan gerak ,giok-tay-wi-yo”, sabuk mestika melibat pinggang. Orang itu bersenjatakan siangto (sepasang golok), maka Cepat-cepat dia kibaskan senjatanya kekanan kiri, untuk membelah serangan Seng Hiap. Karenanya, Seng Hiap kini berbalik ter buka bagian dadanya, tapi Cepat-cepat dia tutup lagi dan rapatkan sepasang senjatanya dengan gerakan maju mfenusuk dada lawan. Gerakan itu sebat luar biasa, dan dengan keluarkan Ceritan seram, orang itu terjungkal roboh.

Setelah ada beberapa orang yang roboh lagi. maka suasa na pertempuran menjadi agak berkurang. Tiba-tiba Bu Tim berseru dengan keras: “Saudara-saudara, Sute berada disini, kita serbu terus!”

Mendengar kabar itu, seketika orang-orang HONG HWA HWE bersorak kegirangan. Ciu Ki tengah bertempur dengan seorang yang bersenjatakan sepasang palu besi yang diikat rantai. Ia tak mengerti akan kata-kata rahasia dari HONG HWA HWE, maka ia berpaling untuk menanya pada Thian Hong: “He, apa kata Bu Tim tojin itu?”

“Suko berada diatas sana, kita haras Cepat-cepat menolongnya!” menerangkan Thian Hong.

“Bagus!” seru Ciu Ki kegirangan.

Justeru karena dia kegirangan itu, lalu menjadi agak iengah, dan kena kehantam palu besi berantai itu. Thian Hong kaget sekali, dan akan membantunya.

“Tak usah, Cukup kalau kau dapat menyingkirkan salah sebuah palu rantainya saja!” seru Ciu Ki.

“Anjing laki-perempuan, bangsat, rampok!” orang itu memaki dengan gusarnya.
Ketika Thian Hong menubruk kepunggungnya, orang Itu mengibaskan rantai palunya kebelakang. Cepat-cepat Thian Hong menyampok dengan tongkatnya terus digubatkannya. Saking gugupnya, orang itu menyusuli menyerang dengan yang sebuah lagi. Tapi karena Thian Hong itu orangnya pendek, jadi Cukup dengan tundukkan kepala, palu besi itu lewat diatas kepalanya. Cepat-cepat sekali, Thian Hong ajunkan golok ditangan kanan untuk menabas lengan orang.

Orang itu Coba berusaha menarik rantainya dari iibatan tongkat Thian Hong agar dapat dipakai untuk menangkis serangan golok itu, tapi ternyata sia-sia. Karena ujung golok sudah dekat, terpaksa dia tarik tangannya kebelakang, dan dengan demikian senjatanya terpaksa dilepaskan.

“Bagus!” seru Ciu Ki.

Dan menuruti permintaan sinona, Thian Hong lalu mundur, mengawasi Ciu Ki tempur orang itu. Karena kurang satli senjatanya, kekuatan orang itupun berkurang. Dan dalam oeberapa jurus lagi, pundaknya telah kena dibabat oleh golok sinona dan terpaksa lari.
“Bagaimana dengan Bun suko, apa masih belum tertolong” Ayo, kita naik kesana?” seru Ciu Ki segera.

“Kau naiklah kesana, aku menjaga disini,” sahut Thian Hong.

Masuk kedalam ruangan Ciu Ki dapatkan semua penjaga sudah tersapu bersih oleh Bu Tim. Dan iapun bergegasa naik keatas loteng. Disitu ia dapatkan rombongan HONG HWA HWE sedang mengelilingi sebuah sangkar besi.

Tan Keh Lok gunakan 'leng-bik-kiam' (pokiam Ciauw Cong) untuk menghantam ruji besi dari kurungan itu. Se waktu Ciu Ki menghampiri dekat, marahlah ia. Karena dalam sangkar itu, ada lagi sebuah sangkar kecil. Disitulah Bun Thay Lay berada dengan kaki tangan diborgol, tak beda seperti seekor binatang buas yang dikurung didalam.

Saat itu Keh Lok telah berhasil memapas putus dua buah jeruji, dan dengan gunakan kekuatannya yang besar, Ciang Cin berhasil menarik sempal jeruji itu. Karena bertubuh kecil langsing, Lou Ping berhasil masuk kedalam sangkar itu. Dipinjamnya “leng-bik-kiam” dari Tan Keh Lok, dan dipakainya untuk memapas rantai pintu sangkar kecil itu.
Orang-orang HONG HWA HWE menantikannya dengan kegirangan. Mereka telah bertekad, sekalipun bala bantuan tentara Ceng datang dalam jumlah besar, mereka tetap akan bertahan disitu. Pokoknya, biar bagaimanapun, Bun Thay Lay harus dapat ditolong.
Kedua saudara Siang dan Thian Hong pimpin rombongan thauwbak untuk menjaga dibawah loteng. Mendadak ter dengar suara terompet, dan kawanan serdadu Ceng sama mundur dengan rapi.

“Awas, musuh akan melepas panah, Ayo, kita mundur kedalam ruangan saja!” seru Siang Pek Ci.

Dengan diiring dari belakang oleh kedua saudara Siang itu, rombongan orang-orang HONG HWA HWE segera masuk kedalam. Tapi ternyata serdadudua Ceng itu tidak jadi melepaskan anak panah, malah sekonyong-konyong terdengar seorang berseru keras-keras: “Tan-tangkeh dari HONG HWA HWE dengarlah aku bicara!”

Mendengar itu, Keh Lok lalu menghampiri jendela. Tam pak olehnya Li Khik Siu berdiri diatas sebuah batu besar seraya ber-teriakdua: “Aku minta bicara dengan Tan-tangkeh!”

“Ya, aku ada disini. Li-Ciangkun hendak memberi petun juk apa?” tanya Keh Lok dari atas loteng itu.

“Lekas turun dari loteng, atau kalian nanti hanCur semua!” seru Khik Siu.

“Jika kami takut mati, tak nanti kami berada ditempat ini. Maaf, hari ini kami pasti akan membawa pergi Bun-suya!”

“Yangan kalian tetap tak insaf,” kata Khik Siu. Habis ini tiba-tiba ia berteriak: “Bakar!”
Sekali dia memberi abadua, Can Tho Lam dan Li Wan Ci memimpin serombongan serdadu membawa rumput dan kayu bakar yang segera disulut apinya dan dilemparkan kesekeli ling rumah gedung itu. Sekejab saja, api menjilat gedung

bertingkat itu, dan mengepung orang-orang HONG HWA HWE didalamnya. Tan Keh Lok kaget, namun tak mau dia unyukkan pera saannya diwajahnya, ia tetap berlaku tenang saja.

“Kita harus Cepat-cepat bekerja untuk merusak sangkar besi itu!” kata Tan Keh Lok seraya berpaling kebelakang. Setelah itu, dia melongok lagi keluar dan berseru kepada Li Khik Siu: “Sekalipun kami tak berguna, tapi serangan api Ciang-kun ini rasanya masih belum membikin kami menjadi jeri!”
Tiba-tiba ada seorang yang tampil kemuka dari belakang Ciangkun itu terus me-maki-maki dengan menuding: “Kematian sudah didepan mata, masih kau bermulut besar. Tahukah kau apa yang terpendam dibawah gedung bertingkat itu?”

Diantara Cahaja api yang terang benderang, tampaklah bahwa yang bicara itu adalah jago bayang kari, Hoan Tiong Su. Disebelahnya tampak Cu Wan dan beberapa orang si-wi lainnya. Jadi teranglah, bahwa Kian Liong sudah mendengar berita itu, hingga mengirim beberapa orang jago pilihannya untuk membantu Li Khik Siu.

“Celaka! Disini penuh dengan obat pasang!” tiba-tiba Thian Hong berseru dengan bahasa rahasia.

Seperti orang disedarkan, teringatlah Keh Lok ketika me nuju keloteng, ruangan dibawah itu seperti merupakan sebuah gudang” yang penuh dengan tumpukan barang. Adakah tumpukan petidua itu berisi obat pasang? Memikir sampai disitu, ketua HONG HWA HWE itu memandang kesekeliling ruangan loteng tersebut. Dan benarlah kiranya. Disitupun penuh dengan tumpukan peti.

Cepat-cepat dihampirinya sebuah peti, terus dihantamnya sampai pecah. Bubukan berwarna hitam segera mengalir keluar, hau obat belirang menusuk hidung. Nyata itulah obat pasang!

“Apakah HONG HWA HWE akan hanCur lebur disini nanti?” diam tanya Keh Lok dalam hatinya.

Berpaling kebelakang, sangkar kecil itu sudah terbuka, dan Lou Ping kelihatan menuntun Bun Thay Lay keluar.

“Suso, Samko, Ciu dan Liok Cianpwe, lindungi Suko, mari ikuti aku keluar!” seru Keh Lok segera terus turun kebawah loteng.

Ciang Cin segera mendukung Bun Thay Lay, sementara Lou Ping, Tio Pan San, Hwi Hing, Ciu Tiong Ing dan lain-lainnya melindunginya. Tiba diambang pintu, panah turun sebagai hujan. Beberapa kali Jun Hwa dan kedua saudara Siang Coba menobros keluar, tapi selalu balik mundur lagi.

“Dibawah lantai yang kau orang inyak itu kita pendami obat peledak yang tali sumbunya ada disini,” seru Khik Siu tiba-tiba.

“Cukup sekali aku sulut tali ini, kau orang akan hanCur lebur. Ayo, tinggalkan Bun Thay Lay saja!” kembali jen deral itu berseru sembar mengangkat obornya.

Tahu Keh Lok dan Thian Hong bahwa kata-kata jenderal itu tidak bohong, karena seluruh gedung itu penuh dipasangi bahan peledak. Hanya karena Bun Thay Lay adalah pesakitan penting, jadi mereka masih belum berani meledakkannya. Thian Hong mati daya, sedang Tan Keh Lok segera mengambil keputusan. “Lepaskan suko, dan kita lekas keluar!” katanya.

Diikuti oleh Jun Hwa dan kedua saudara Siang, dia putar pedangnya untuk menerobos keluar. Ciang Cin masih terus melangkah keluar sembari mendukung Bun Thay Lay, rupanya perintah ketua HONG HWA HWE tadi, belum didengarnya.

“Lepaskan Sute, kita dalam bahaya besar, kita lekas keluar, jangan sampai kita berbalik membikin Celaka pada Sute,” kata Tio Pan San kepada si Bongkok.

Ciang Cin segera meletakkan Bun Thay Lay diambang pintu dan karena Lou Ping masih merjublek dengan bingung, maka Ciang Cin terus menarik bahunya diajak keluar.
Melihat orang-orang HONG HWA HWE sudah melepaskan Bun Thay Lay, Li Khik Siu memberi isyarat kepada anak buahnya, supaya jangan melepas panah lagi, karena dikuatir akan melukai orang tawanannya itu.

Sekeluarnya dari gedung bertingkat itu rombongan HONG HWA HWE sama berkumpul diujung tembok.

“Siang-koko berdua Pat-ko, Kiu-ko, kalian terjang pasukan dimuka yang dipimpin oleh Li Khik Siu itu. Hit-ko, Coba atur rencana untuk memutuskan tali sumbu peledak itu.

Totiang, Samko, begitu saudara-saudara kita, itu sudah berhasil, kita harus selekasnya menerjang merampas Suko lagi!” demikian Keh Lok mengatur rombongannya.

Waktu itu Li Khik Siu lagi memerintahkan orangnya pergi menjaga Bun Thay Lay, tapi tiba-tiba rombongan kedua per-saudaran Siang muncul dan menyerangnya. Terpaksa dia harus pecah pasukannya lagi untuk melawannya. Rombongan jagos bayang kari yang terdiri dari Hoan Tiong Su, Cu Co Im, Cu Wan, Swi Tay Lim dan lain-lainnya segera maju menghadang.

Selagi pertempuran berlangsung lagi, Hwi Hing Cepat-cepat melesat kearah Li Khik Siu. Pengawais jenderal itu bersorak gempar sembari menghantam Hwi Hing. Tapi jago tua ini tak mau melawan, hanya selalu berkelit kesana kesini saja. Bagaikan seekor belut, Hwi Hing sudah dapat melampaui tujuh atau delapan orang pengawal dan hampir mendekati Li Khik Siu.

Wan Ci tetap berpakaian sebagai lelaki, dan mendampingi ayahnya. Maka begitu ia melihat seorang berkedok kain (Hwi Hing) akan menghampiri sang ayah, Cepat-cepat ia sambut dengan sekali tusukan kedada sambil membentak menanya. Tapi Hwi Hing tak mau membuka suara, ia mengelit terus menyelinap kedepan.

Kepandaian Li Khik Siu pun Cukup lihai. Melihat ada orang aneh akan menyerangnya, sebat sekali kakinya melayang mengarah muka orang.

Hwi Hing gunakan ilmu “Can-ih-sip-pat-tiat,” dia mele jit kebelakang Li Khik Siu. Lalu ulurkan tangannya menyolok punggung orang. Jenderal yang tubuhnya gemuk itu sempoyongan terlempar pergi.

Wan Cie terkejut, Cepat-cepat mengirim tusukan lagi. Tapi Hwie Hing kembali melejit kesamping. Sedang siperwira Can Tho Lam, ketika nampak atasannya jatuh numprah ditanah, Buru-buru datang menolong. Tapi Seng Hiap tak mau lepaskan lawannya itu, siapa terus dikejar. Jadi kini ada dua orang berlari-larian menuju kepada Li Khik Siu.
Ketika hampir kepegang tiba-tiba Tho Lam memutar tombak dan menusuk pengejarnya itu dengan gerakan “tok-liong-jit-tong” atau naga jahat keluar goa. Dalam pada itu, Li Khik Siu sudah berbangkit sendiri. Tetapi Hwi Hing telah mendahului menCelat disampingnya.

Melihat gerak tubuh orang aneh berkedok itu Cepat-cepat luar biasa, hanya sekejap saja sudah sampai didekat ayahnya, mengingat akan keselamatan sang ayah, karuan Li Wan Ci terkejut sekali, Cepat-cepat iapun melayang maju, dan belum kakinya menancap tanah, dengan tipu “pek-hong-koan-jit” atau pelangi menembus sinar matahari, segera ia tusuk punggung orang berkedok Liok Hwi Hing.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar