BUNGA-BUNGA merah itu besar
sekali, disulam dengan benang emas berwarna merah. Keliling bunga itu adalah
sulaman daun hijau, yang diselipi dengan permata. Tertuju Cahaja obor, 'hong
hwa' itu merupakan tanda bintang dari seorang panglima. Melihat itu, kembali
riuh rendah gemuruh sorakan dari orang HONG HWA HWE itu yang lalu samai
menyura.
Heranlah, pasukan tentara negeri
yang semula berbaris dengan rapi itu, tiba-tiba sebagian besar sama maju
kemuka. Sekalipun perwira mereka Coba menCegahnya, tapi sia-sia
saja. Rombongan serdadu itu
menghampiri Tan Ken Lok. Dengan merangkap kedua tangan mereka sama membong
kokkan tubuh. Itulah Cara penghormatan HONG HWA HWE yang biasa dijalankan.
Tan Ken Lok angkat tangan
membalas hormat. Setelah menyalankan penghormatan, rombongan serdadu itu balik
kembali dalam barisannya. Menyusul dengan itu, barisan yang dibelakang, ganti
tampil kemuka untuk menyalankan penghormatan kepada Tan Keh Lok. Demikian
sekelompok demi sekelompok sebagian besar pasukan Ceng yang ditempatkan
didaerah HangCiu itu, sama bergantian maju untuk mem beri hormat pada ketua
HONG HWA HWE.
Demikianlah pengaruh HONG HWA HWE
didaerah Kanglam. Banyak-banyak sekali anggauta tentara Ceng yang masuk menjadi
ang gauta HONG HWA HWE Terutama dari suku Han-nya.
Melihat bagaimana hampir lebih
dari separoh tentaranya sama, memberi hormat pada Tan Keh Lok, bukan main ter
kejutnya Kian Liong. Dia insyap, malam itu kembali gagal untuk menangkap orange
HONG HWA HWE Maka jengeknya pada Li Khik Siu dengan suara dingin: “Hm,' anak
buahmu betul-betul bagus !”
Sebenarnya Khik Siu sendiri juga
terkejut tak terhingga, kini didamprat oleh sang junyungan, tersipu-sipudia
loncat turun dari kudanya, terus berlutut dihadapan Kian Liong, dan Cepat-cepat
katanya: “Hamba yang rendah pantas menerima hukuman !”
“Suruh mereka mundur saja!”
bentak Kian Liong ke mudian.
“Baik, hamba segera perintahkan,”
sahut Li Khik Siu dengan ketakutan. Begitu dia keluarkan perintah, maka selaksa
serdadu itu sama mundur. Juga Thian Hong ber teriak”, menyuruh
anggota-anggotaHONG HWA HWE bubaran. Dengan begitu, ber-bondongdualah ribuan
manusia meninggalkan tepi telaga yang kesohor itu.
Berkat asuhan dari ayahandanya,
kaisar Yong Ceng, maka Kian Liong telah menjadi seorang kaisar yang pandai
dalam ilmu surat dan ilmu silat. Dalam sejarah kerajaan Boan, dia terhitung
seorang kaisar yang paling terkenal sendiri.
Sangat tinggi ia menyunyung pada
leluhurnya yang telah dapat menaklukkan daerah barat, serta merobohkan kera
jaan Beng.
Menurut naluri dari kerajaan Boan
apabila apa yang disebut „Pat-Ki-Ping,” tentara dari delapan bendera keluarga
pe rang, maka anggauta pemimpin pasukan ini yang terdiri dari para Jin-ong
(sanak raja), dan pwe-lek (pangeran), se mua tentu berjuang dengan matiduaan.
Tak selangkahpun mereka mau mundur. Karena' mundur berarti, seluruh anak buah
dan perlengka.pan pasukan itu akan jatuh pada apa yang disebut „Chit-Ki-Ping”
atau tentara tujuh Bendera yang lain. Karena itu, setiap saudara dan keluarga
raja tentu rata-rata pandai ilmu perang.
Semasa Kian Liong naik tachta,
keadaan dalam negeri aman. Tak ada pemberontakan apa-apa. Maka ketika Kian
Liong diundang ntuk minum arak oleh Tan Keh Lok, dia teringat akan kisah
kegagahan bagindadua yang lalu ketika dimedan pertempuran dipadang Tiang Pek
San dahulu. Masa hanya untuk datang ketelaga saja, dia tak berani. Karena itu
di terimalah undangan Ketua HONG HWA HWE itu. Tapi tak di-nyanadua dia telah
mengalami beberapa kekalahan. Untung dia seorang raja yang berpengalaman,
hingga tak sampai terjadi apa-apa yang tak diinginkan.
“Sampai disini kita berpisah, dan
sampai berjumpa pula pada lain waktu,” demikian katanya kemudian sambil angkstt
tangannya kearah Tan Keh Lok.
Dengan dilindungi oleh pasukan
pengawal dan gi-lim-kun, Kian Liong tinggalkan tempat itu.
Keh Lok tertawa puas. Setelah itu
ia ajak sekalian sau daranya kembali kedalam perahunya dan lanyutkan minum
dengan gembira.
Orang-orang gagah yang tergabung
dalam HONG HWA HWE itu telah dapat mempeCundangi kawanan si-wi, dan dalam babak
ter achir, berkat renCana Thian Hong, maka baginda pun urung mengeluarkan
perintah untuk menangkap. Malam itu, betul-betul mereka rajakan kegembiraannya dengan
minum se-puasduanya.
Meskipun Sim Hi menderita Juka
berat, tapi tak sampai teranCam jiwanya. Dia masih berbaring didalam ruang
perahu. Tak putus-putusnya dia menggerang, dan kadanga me maki-maki pada Pui
Liong Cun.
„Ma-toako,1'' kata Thian Hong
kemudian kepada Ma Sian Kun. „Baginda hari ini betul-betul penasaran. Dia tentu
takkan sudah sampai disini saja. Harap kau peringatkan pada saudara-saudara
kita di HangCiu, supaya lebih waspada. Terutama saudara kita yang tergabung
dalam anggauta pasukan negeri. Jangan sampai mereka teraniaya. Apabila mereka
kerahkan pasukan besar, sebaiknya kita mundur ketelaga Thay-ouw saja.”
Ma Sian Kun meng-angguk-anggukkan
kepala. Setelah minum lagi seCawan, dia lalu ajak puteranya pulang.
Saat itu keadaan Keh Lok sudah
delapan bagian mabuk. Ketika dia dongakkan kepalanya, tampak rembulan sudah
Condong kebarat. Daundua terate dan puhun liu sama berteba ran jatuh kedalam
telaga. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu bertanya pada Thian Hong: „Tanggal
berapakah sekarang? Karena sibuk, sampai tanggalpun kulupa.”
„Hari ini tanggal 1tujuh,
bukankah kemaren lusa kita meraja kan malam Tiong Chiu?” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok termenung sejenak.
Habis itu ia berkata pula: „Ciu loenghiong, Totiang, dan saudara-saudara
sekalian. Kita sibuk semalam tadi, tapi tidak sampai kehilangan muka. sTentang
Bun suko pun telah ada beritanya. Sekarang harap sama beristirahat. Besok aku
punya urusan peribadi yang perlu kuselesaikan. Lusa kita mulai turun tangan
untuk me nolong Bun suko.”
„Congthocu, perlukah seorang
saudara untuk menemani mu?” tanya Thian Hong.
„Tak usahlah, urusan ini kulihat
tak berbahaja. Biarkan aku berada disini seorang diri, untuk memikirkan renCana
ku itu,” kata Keh Lok.
Setelah menepi, orang-orang itu
sama minta diri. Seng Hiap Jun Hwa, Ciang Cin, Cio Su Kin dan lain-lain. sudah
setengah mabuk. Disepanyang jalanan HangCiu mereka me-nyanyidua dengan
nyaringnya. Giok-ju-ih pun diantar orang pulang.
Habis itu, Tan Keh Lok menuju
kesebuah perahu kecil, terus didajungnya pelans. Sampai ditengah telaga, perahu
ia
berhentikan dan tibas ia menangis
dengan sedih sekali. Kira nya, tanggal 1delapan bulan delapan, adalah hari
lahir ibunya. Sepuluh tahun berpisah, waktu pulang ternyata sang ibu sudah me
nutup mata. Dia terkenang dan berduka sekali, dan menangis ter-sedus seperti
anak kecil. Sebenarnya waktu Thian Hong memberi tahukan tentang tanggal tadi,
dia sudah akan menangis, tapi dapat menahannya. Sebagai seorang pemimpin, tak
seharusnya ia unyukkan kelemahan begitu.
Tengah ia ter-isakdua itu, tibaa
disebelah sana terdengar suara orang ketawa. Dengan terkejut lalu Ken Lok ber
paling, dan tampak sebuah perahu menghampiri. Dibawah Cahaja bulan, orang yang
berdiri didalam perahu itu menge nakan pakaian kelabu muda.
„Tan kongcu apakah sedang
menikmati remlsalan seorang diri?” sapa orang itu segera sesudah dekat.
Jelas bagi Keh Lok bahwa orang
itu bukan lain adalah muridnya Liok Hwi Ching, ialah 'pemuda' yang berdiri di
belakang Kian Liong tadi. Buru-buru Keh Lok menyeka air mata dan membalas
hormat, katanya: „Li-toako? Ada urusan apakah denganku?”
Sekali loncat, Wan Ci sudah
berada diperahu Tan Keh Lok. Dia tertawa. „Bukankah kau hendak mengetahui
tentang berita, si Kim-tiok-siuCay ?” katanya kemudian.
Tan Keh Lok melengak. Tapi segera
menyawab: “Harap Li-toako duduk untuk ber-Cakapdua.”
Wan Ci tertawa dan mengambil
tempat duduk berhadapan dengan ketua. HONG HWA HWE itu.
“Apakah Li-toako berjumpah dengan
Ie-hengte, dimana kah dia?” tanya Keh Lok.
„Sudah tentu aku tahu, namun tak
mau kuberitahukan padamu,” sahut Wan Ci.
Mendengar jawaban aneh itu,
kembali Keh Lok melengak. MaCam omongan seorang anak perempuan Centil saja
orang ini. Sampai disitu, teringatlah Keh Lok, akan Carahja 'pemuda' ini tempo
hari menyikap pundak Hwe Ceng Tong. Entah bagaimana, tibas timbul semaCam
perasaan bsnCinya pada anak muda, ini.
Wan Ci tak hiraukan perubahan
muka orang. Dia tetap mainkan tangannya kedalam air, lalu diCipratkan keatas.
Ketika mendongak keatas, tampak bagaimana mata ketua HONG HWA HWE itu masih
merah tanda habis menangis, heranlah ia. „He, apa kau habis menangis ? Tadi aku
mendengar suara tangisan orang, kiranya kaulah,” tanyanya.
Keh Lok menjadi malu, dan
melengos.
„Apakah kau terkenang akan Bun
suko dan Ie sipsutemu itu? Jangan bersedih, biarlah aku kasih tahu. Mereka ber
dua tak apa-apa,” kata Wan Ci seperti niembujuk anak kecil.
Sebenarnya Keh Lok hendak menanya
lebih jauh, tapi dirinya dihibur seperti anak kecil itu, dia kurang senang.
Pikirnya: „Huh, sekalipun kau tak memberitahu, akupun dapat menCarinya
sendiri,”, karena itu, dia diam tak mau menyahut.
“Bagaimana suhuku? Apakah dia
juga datang ke HangCiu sini?” tanya Wan Ci pula.
„Apa? Liok-locianpwe tidak
bersama kau?” tei'paksa Keh Lok mengajak bicara.
„Betul, sejak malam pertempuran
'dimuara Hoangho itu dia tak kelihatan lagi,” sahut Wan Ci.
„Liok-locianpwe seorang yang luar
biasa kepandaiannya tentu tak akan ada apa-apa, kau tak perlu kuatir,” ujar Keh
Lok.
„Pengaruh HONG HWA HWE kalian
sedemikian besar, kenapakah kau tidak menCarinya?” tanya Wan Ci.
Mendengar ucapan orang yang
kurang adat itu, Keh Lok makin mendongkol. Tapi sebagai seorang terpelajar, dia
dapat mengendalikan diri, katanya: „Ucapan Li-toako itu benar, besok kukirim
orang untuk menyelidiki.”
“Kudengar Ie-suko berkata, ilmu
silatmu lihai sekali. Aku tak percaya! Dia berkata lagi, kau pantas menjadi
suhuku, huh, apa kau nempil dengan suhuku?” tanya si Centil itu dengan sengit.
Heran Keh Lok dengar perkataan
orang yang begitu aneh itu. Dia tersenyum dan menyawab: “Liok locianpwe adalah
orang yang sukar diCari bandingannya didunia persilatan. Aku menjadi muridnya
saja, belum tentu dia mau mene rima. Dia menerima murid, tentu memilih yang
berbakat dan Cerdas.”
„Ai, ai, tak perlu kau pujidua
dihadapan orangnya,” kata Wan Ci dengan tertawa. „Tadi aku telah saksikan kau
me nimpukan Cawan arak, ternyata lwekang-mu bagus luar biasa. Tetapi sekalipun
orangs Hong Hwa Hwe kalian itu begitu menghormat dan tunduk padamu melebihi
terhadap kakek-moyang mereka, namun aku justru agak kurang terima.”
„Hm, untuk menundukkan orang toh
tidak harus mengan dalkan ilmu silat melulu, hal ini kau tak paham, akupun
sungkan menyelaskan padamu,” demikian diam.dua Keh Lok menyengek dalam hati.
Tapi bila dilihatnya kelakuan Wan Ci yang ke-kanakduaan serta nakal, tanpa
merasa ia men dongkol dan geli juga, maka kemudianpun katanya: “Sudah lah, hari
hampir pagi, aku mau menepi saja, nah, sampai ketemu !”
Habis berkata, Keh Lok angkat
dajungnya untuk menunggu orang kembali keperahu sendiridua.
Akan tetapi Wan Ci justru menjadi
kurang senang. Katanya tiba”: „Huh, meski semua orang lain begitu tunduk
padamu, juga tak perlu kau begini Congkak padaku !”
Mendengar oloks ini, seketika Keh
Lok naik darah, segera juga pikirnya hendak memberi hajaran setimpal pada
orang. Tapi bila ia pikir lagi, dirinya adalah pemimpin dari orangs gagah dan
kepala dari ksatrias Hong Hwa Hwe, se jogianya tidak boleh sedikits lantas
marah, pula boCah she Li ini usianya lebih muda dari dirinya, kinipun tiada
orang ketiga yang menyaksikan, kalau sampai terjadi CeCok, tentu orang akan
bilang tua menghina muda, hal ini bila tersiar sesungguhnya kurang berharga.
Karena itulah sedapat mungkin ia
menahan rasa gusarnya dan angkat gajuhnya hendak medajung.
Sebaliknya Wan Ci juga seorang
anak yang sejak kecil sudah di-sanyungdua dan dimanyakan orang tua, semakin Keh
Lok tak menggubris padanya, semakin ia merasa kurang senang, sesaat itu ia
masih menyublek dihaluan perahu itu takmau pergi.
Setelah perahu itu Keh Lok dajung
sampai di „Sam-tam-in-gwat,” suatu tempat terindah ditelaga Se-ouw itu,
tiba-tiba Wan Ci tertawa dingin terus berkata lagi: “Hm, tak perlu kau
berlagak, jika kau bjenardua bandel, kenapa seorang diri kau menangis umpetaan
disini tadi?”
Tapi masih Keh Lok tak
menggubrisnya.
„He, aku berbicara padamu,
apakah.kau tidak dengar?” desak Wan Ci.
Alangkah mendongkolnya Keh Lok
oleh sikap boCah yang tak kenal adat itu, saking mendongkolnya ia menarik napas
sembari melirik orang, pikirnya dalam hati: „Kau boCah ini benardua tidak kenal
selatan, gurumu saja harus sungkandua padaku, tapi kau ternyata berani begini
kurang ajar.”
Melihat orang masih tak
menggubrisnya, masih Wan Ci berkata lagi dengan dingin: “Orang bermaksud baik
datang memberitahukan sesuatu kabar padamu, tapi kau justru tak menggubris
orang. Hm, tanpa bantuanku, lihat saja kau mampu menolong keluar Bun-suko
kalian?”
Alis Keh Lok terkerut mendengar
itu. “Ha, hanya sedikit kepandaianmu ini kau mampu berbuat apa?” katanya.
“Eh, kau pandang rendah padaku,
ja? Baiklah, mari, biar kita men-jajaldua dulu,” semprot Wan Ci sengit. Dan
ketika tangannya diangkat, Cepat-cepat sebilah pedang sudah dilolosnya dari
pinggang.
Sebenarnya karena mengingat Liok
Hwi Ching, Keh Lok selalu bersikap mengalah. Tapi tatkala orang melolos pedang,
iapun tergerak hatinya. Tadi anak itu berdiri dibelakang Kian Liong, begitu
rapat hubungannya dengan Ciangkun (Li Khik Siu) tentara HangCiu, apakah tidak
mungkin kalau dia itu orang fihak sana? Dan dia sendiri merasa aneh juga, entah
karena apa, terhadap orang dia merasa benCi. Kalau melihat wajah yang begitu
Cakap, betul-betul dia tak mengerti siapakah dia itu sebetulnya.
“Tadi kau berdiri dibelakang
baginda, apa pura-pura menakluk, atau memangnya kau ini hamba kerajaan?”
tanyanya segera.
„Salah semua!” sahut Wan Ci
dengan singkat.
„Adakah diantara kaki tangan
kerajaan itu keluargamu?” tanya Keh Lok pula.
Mendengar ayahnya dikatakan „kaki
tangan,” murkalah Wan Ci. Tanpa menyawab dia maju menyabet, seraja memaki:
„Mulutmu betul-betul kotor !”
Karena orang berbalik menyerang,
Keh Lok mendapat kesan bahwa dia kini berhadapan dengan kakitangan kerajaan.
Dia tak mau berlaku sungkans lagi. Maka bentaknya segera: „Baik, biar kuCari suhumu
untuk membuat perhi tungan.”
Dengan itu, ia mengelit tusukan
orang. Wan Ci keluarkan ilmu pedang “jwan-hun-kiam” yang baru dipelajari dari
suhunya. Begitu Lok berbangkit, ia luruskan pedang
kemuka untuk menusuk dadanya.
Tapi Keh Lok tetap tenanga saja. Begitu ujung pedang mendekati dada, tiba-tiba
dia empos semangat dan menarik dadanya kebelakang sedikit.
Tadi Wan Ci telah kerahkan
tenaganya untuk menyerang. Kalau sampai orang dapat menghindarinya dengan Cara
itu, insyaplah dia bahwa orang itu sungguh-sungguh lihai. Karena kuatir orang
akan balas menyerang, ia enyot kakinya untuk loncat ke sebuah tumpukan batu di
“pulau” Sam-tam-in-gwat di tengahs telaga itu. Melihat Caranya orang meloncat
keatas batu karang yang sedemikian jauh dan tinggi lagi liCin itu, tahulah Keh
Lok bahwa anak itu kepandaiannya juga tak terCelah. Diam-diam ia tak berani
memandang rendah.
Sebenarnya ia akan gunakan tangan
kosong untuk melajani. Tapi ketika anak itu keluarkan ilmu pedang dari Bu Tong
Pai, ia teringat ketika bertempur dengan Thio Ciauw Cong. Kenyataan telah
membuktikan, bahwa ilmu pedang Bu. Tong Pai itu tak boleh dibuat permainan.
Karenanya, diapun menyamber dahan puhun liu yang menyulur kebawah, untuk
dipakai mengajun kesebuah tumpukan batu karang lain. Begitu dia berdiri tegak,
tangannya sudah memegang sebatang dahan liu.
Melihat Caranya orang menyawut
dahan puhun, terkejut lah Wan Ci. Tapi ia pantang mundur dan masih terus
ngotot, untuk menyerang lagi. Ia loncat keatas batu dimana Tan Keh Lok berdiri,
sambil menusuk pundaknya.
“Sam-tam-in-gwat” adalah salah
satu dari tiga buah “pulau” batu ditengah telaga Se-ouw. “Pulau” itu terapunga
diper mukaan air. Pada saat itu, Tan Keh Lok hanya miringkan
tubuhnya sedikit, terus
menyodokkan dahan liu itu kepung gung penyerangnya. Luput menusuk, kaki Wan Ci
di-enyot kan kelain batu, Dari situ dengan gerak “giok-tay-wi-yao” atau sabuk
putih melilit pinggang ia putar pokiamnya untuk menyerang lagi. Dia percaya
kali ini, orang tentu akan ter desak dari tempatnya.
Tapi Keh Lok tetap tak mundur.
Begitu ujung pedang sinona menyambar, ia loncat tinggis keatas terus poksay
(kepala menyungkir) kebawah, jadi dahan liu pun men julur kebawah. Wan Ci
Buru-buru menabas, tapi dahan liu itu seCepat-cepat nya bergerak menurut batang
pedang, terus me nyabet kemukanya. Sakitnya sampai terasa panas dipipinya,
tanpa berajal, nona itu loncat kesebuah batu disebelah kiri.
Siapa tahu berbareng kakinya
menginyak kebatu, Tan Keh Lok pun sudah menyusul berdiri tegak dengan gerakan
yang rapi sekali. Wan Ci marah betuR Begitu pedang di pindah ketangan kiri, dia
Cepat-cepat sudah mengambil serangkum jarum 'hu-yong-Ciam', terus disambitkan
beruntun-runtun keatas, tengah dan bawah, dia arah semua.
Karena berdiri diatas sebuah
batu, maka Keh Lok tak punya kesempatan untuk berkelit. Maka ia menyulurkan
kedua kakinya keluar, sehingga sikapnya seperti orang rebah diatas air,
tangannya kiri yang lurus dijulurkan untuk me nempel pada batu. Maka jarum
timpukan itu melayang disela tangannya terus jatuh ditelaga. Setelah itu,
dengan gunakan khi-kang, dia melambung keatas. Sedikitpun badan nya tak
menempel air.
Sampai disini, insyaplah Wan Ci bahwa
musuh jauh lebih kuat darinya dan dengan gunakan akal ia berseru: „Ha, sampai
disini saja, lain kail kjta bertemu lagi !”
Dengan ucapan itu sinona akan
merat.
“Kau telah menyerang tiga kali,
karena memandang muka suhumu, aku hanya membalas 1 kali saja, nah terimalah!”
bentak Keh Lok tiba-tiba .
Berbareng mengucap, dahan liu
digentak kemuka. Karena sudah pernah merasakan tamparan tadi, Wan Ci tak mau
menerima kedua kalinya. Pedang lurus dibaCokkan kemuka untuk memotong dahan.
Tapi dahan itu bagaikan bermata, pedang tiba, diapun ikut bergerak untuk
menCongkel. Suatu tenaga kuat dirasakan Wan Ci merabetot pedangnya. Berbareng
itu tangan kiri orang telah menyodok juga kedadanya.
Betapa kaget dan malu Wan Ci tak
terkira. Pedang agak dikendorkan, lalu tangannya kiri dipakai untuk menyambut
tangan “jail” orang. Dari situ, ia loncat kebatu yang ter letak disebelah
kanan.
Karena memikiri menangkis itu,
pedangnya telah terCong kel keudara dan pada lain saat sudah berada ditangan
lawannya.
„Huh, maCam itukah seorang
Chongthocu, masa gunakan jurus yang begitu rendah!” Wan Ci menyemprot.
Tan Keh Lok melengak. „NgaCo,
jurus mana yang kau katakan rendah itu?” sahutnya bingung.
Wan Ci terhening malu. Ia pikir
lawan tentu tak menge tahui bahwa dirinya itu seorang nona yang menyaru lelaki,
jadi jurus tadi tak sengaja untuk melakukan perbuatandua yang kurangajar. Dia
jengah sendirinya, terus loncat ke dalam sebuah thing (pagoda kecil) yang
berada di 'Sam-tam-in-gwat' itu.
Melihat gerakan orang, tahulah
Keh Lok akan maksudnya. Cepat-cepat ia enyot kaki dan tegak berdiri dihadapan
sinona. Dengan wajah tenang dia angsurkan pedang yang dirampas nya tadi. Tanpa
berkata apa-apa, tangan Wan Ci menyambuti nya untuk dimasukkan kedalam sarung,
terus tundukkan ke pala berlalu.
Setelah „bertempur” hampir
setengah malam, haripun sudah menyelang terang. Keh Lok simpan sulaman
'hong-hwa' yang didadanya itu, lalu menuju kepintu timur. Pintu kota sudah
terbuka. Serdadu yang menyaga pintu menga 4} wasi Tan Keh Lok dengan tajam,
tiba-tiba tangannya ditekuk kedada, lalu membongkok memberi hormat. Kiranya dia
adalah salah seorang anggauta HONG HWA HWE Keh Lok anggukkan kepala, lantas
berjalan keluar.
“Congthocu akan keluar kota,
apakah perlu seekor kuda?” tanya penyaga itu tiba-tiba .
„Baikkah”, sahut Keh Lok.
Serdadu itu berlalu, dan sebentar
lagi dia kembali dengan seekor kuda. Dibelakangnya mengikut dua orang hamba,
juga anggauta HONG HWA HWE Mereka merasa girang dapat mem berikan jasa untuk
Congthocunya.
Kira-kira dua jam, Tan Keh Lok
sudah sampai dipintu barat kota Hay Ling. Hampir sepuluh tahun, baru kali ini
dia pulang kerumahnya. Baginya, segala apa tampak tak berobah. Tem bok kota
dimana semasa kecil dia sering bermain-main , masih tetap sama.
Takut orang mengenalnya, dia
keprak kudanya untuk me nuju keutara. Sekira 5 li, ia mengasoh dirumah seorang
petani. Sehabis makan siang, ia beristirahat. Karena sema lam bergadang, maka
tidurnya tampak pulas sekali.
Nyonya rumah melihat tetamunya
itu seperti seorang kongcu, dan berbicara dalam lidah daerahnya situ, mela
janinya dengan gembira. Malamnya menyembelih ajam untuk dihidangkan. Atas
pertanyaan Keh Lok mengenai keadaan didaerah itu, petani itu menerangkan :
„Entah karena apa, baginda telah membebaskan pajak penduduk Hay Ling ini selama
tiga tahun. Mungkin karena memandang diri Tan koklo”.
Ayah Keh Lok, Tan Siang Kok,
sudah meninggal beberapa tahun lamanya. Dia heran, mengapa pihak kerajaan
tiba-tiba menghadiahkan kebaikan begitu besar. Habis dahar, dia berikan sepuluh
tail perak pada tuan rumah, lalu minta diri.
Lebih dulu dia menuju kepintu
selatan. Disitu dia duduk ditepi laut, memandang lautan. Teringat dia semasa
kecil nya mamahnya telah mengajaknya kesitu untuk melihat Laut. Lagi-lagi dia
mengembeng air mata. Selama sepuluh tahun berada di daerah Hwe, apa yang
dilihatnya setiap hari, hanya lah padang pasir. Kini disuguhi pemandangan laut
nan biru indah itu, dia merasa nyaman.
Tak lama kemudian, ombak dilautan
tampak samardua dengan datangnya petang hari. Dia tambatkan kudanya pada
sebatang puhun liu disitu, lalu dengan gunakan ilmu berlari Cepat-cepat , dia
menuju kerumahnya yang terletak disebelah timur-laut.
Sampai dirumahnya, ia kesima.
Disamping gedungnya yang lama, kini ada pula sebuah gedung baru. Diantara sinar
rem bulan, tampaklah loteng gedung itu megah dan indah sekali. Papan yang
tergantung dimuka gedung itu bertulisan: „An Lan Wan,” ditulis oleh tangan Kian
Liong sendiri.
Keh Lok kembali merasa heran. Dia
loncat masuk ke dalam gedungnya yang lama, langsung menuju kekamar mamahnya. Dengan
ber-indapdua dia naik keloteng, lalu me longok kedalam. Ternyata kamar itu
kosong, hanya perhiasan nya masih tetap terawat seperti dikala mamahnya masih
hidup. Perabotannya yang terbuat dari kaju merah, tempat tidur, lemari, masih
tetap berada ditempat seperti sepuluh tahun yang lalu. Dimeja ada sebuah lilin
menyala.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
orang mendatangi. Buru-buru Keh Lok bersembunyi kesebuah sudut. Ternyata yang
datang itu adalah seorang wanita tua, Tampak perawakan orang, tak tertahan lagi
Keh Lok ingin menegurnya. Kiranya wanita itu adalah pelajan tua Swi Ing. Dialah
yang mengasuh Tan Keh Lok sampai umur 15 tahun. Salah seorang inang pengasuh
nya yang paling dikasihinya.
Swi Ing yang sudah berusia lanyut
itu, terus masuk kedalam kamar. Setelah membersihkan semua perabotdua disitu,
ia duduk disebuah kursi dan termenungdua. Dari bawah bantal diatas pembaringan
itu, diambilnya sebuah kopiah anak kecil. Kopiah itu bersulamkan kembang merah,
diatasnya disunting kan sebuah giok warna hijau dikitari oleh 5 biji mutiara.
Itulah kopiah Tan Keh Lok dimasa kecil.
Melihat semua hal itu, tak tahan
lagi perasaan Keh Lok. Sekali melangkah dia „menyerbu” maju untuk merangkul mak
inang pengasuhnya itu.
Swi Ing kaget bukan kepalang,
hingga akan berteriak. Tapi Keh Lok keburu mendekap mulutnya, katanya dengan
berbisik: „Jangan menyerit, akulah.”
Mengawasl muka anak muda itu,
budyang tua itu heran sampai tak dapat berkata apa-apa. Kiranya setelah
meninggal kan rumah selama sepuluh tahun itu, wajab, Keh Lok berobah sama
sekali. Sedang sibudyang masih tetap sama, sekalipun hanya kelihatan agak tua.
Maka yang satu mengenal, yang lain tidak.
“Swi-kho, akulah Sam Koan (nama
kecil Keh Lok), apa kau tak mengenalnya?”
Baru saat itu dapat Swi Ing
tenangkan hati, katanya : „0, kau......... kau ini Sam Koan. Kau betul.........
pulang?”
Keh Lok tersenyum anggukkan
kepalanya. Masih saja budyang itu menimang-nimang mengawasi wajah majikan yang
diasuhnya itu. Pada lain saat, dia terus merangkulnya dan menangis tersedudua.
„Sudahlah, jangan menangis,
supaya orang tak ketahui kedatanganku ini,” kata Keh Lok.
„Tidak apa, mereka semua sama
berada digedung baru sana. Disini kosong,” kata sibudyang .
„Gedung baru itu kepunyaan siapa?''
tanya Keh Lok.
„Baru setengah tahun yang lalu
didirikannya, entah menelan ongkos berapa puluh laksa tail perak, dan entah apa
guna nya,” demikian sahut budyang itu melantur.
Keh Lok tahu bahwa budyang nya
itu sudah tua, jadi tak mengerti apa-apa tentang urusan itu. Maka tanyanya pula
: „Bagaimana meninggalnya ibu? Dia menderita sakit apa?”
Swi Ing mengambil saputangan
untuk mengusap air mata nya, kemudian baru jawabnya: „Entah penyakit apa yang
diderita sioCia itu ia berduka, tiga hari beruntun tak mau makan, terus sakit,
sepuluh hari kemudian menutup mata. Dikala mau meninggal dia masih teringat
padamu, katanya: 'Di manakah Sam Koan-ku? Dia belum pulang? Aku ingin bertemu
padanya !' Dua hari ia selalu mengiang begitu, baru kemudian menghembuskan
napasnya terachir.”
“Sungguh aku seorang anak yang
put-hauw! Ibu mau melihat aku untuk yang penghabisan kali, tapi aku tak
datang,” kata Keh Lok dengan ter-isakdua.
Pada umumnya didaerah Kanglam,
apabila puteri seorang ternama menikah, tentu ia dibawai beberapa budyang (pela
jan). Sekalipun nona itu sudah kawin dan disebut thay-thay (nyonya), namun
budyang dua itu masih menyebutnya „sioCia”. Demikianlah, Swi Ing masih
membahasakan ibu Keh Lok dengan sebutan „sioCia” (nona).
„Apakah pesan ibu kepadamu?”
tanya pula Keh Lok.
„Sehari sebelum menutup mata,
nampaknya kesehatan
sioCia sangat baik, seperti orang
biasa. Tahu kalau takkan berjumpah padamu, ia menulis sepuCuk surat untukmu”,
tutur sibudyang itu.
„Mana surat itu, lekas berikan
padaku!” Keh Lok tanya dengan Cepat-cepat .
„Tapi entah apa sebabnya, ia
mengelah napas, lalu katanya: 'Ah, lebih baik ia tak mengetahuinya saja'. Lalu
menyuruh aku ambil lilin, dan surat itu dibakarnya. Hampir surat itu terbakar
habis, sioCiapun kehabisan tenaga, tangannya me lepas, terus menghembuskan
napas terachir”.
Tak tahan lagi air mata Keh Lok
berCuCuran, lalu tanya nya lagi: “Jadi ibu belum membakarnya habis? Mana sisa
surat itu?”
„Kusimpan”, kata budyang itu.
„Berikan padaku!” pinta Keh Lok.
„Karena sioCia tak ingin kau
mengetahui, maka baik dibakar saja. Perlu apa kau memintanya itu?” ujar
sibudyang .
Wajah Keh Lok mengunyuk kedukaan,
ia mengeluh dengan ibanya: „0, entah apa yang akan dikatakan oleh ibu, ah, aku
tak beruntung bertemu muka padanya, sedang suratnya yang penghabisan pun aku
tak dapat melihatnya”.
Swi Ing merasa kasihan, lalu
membuka peti dan mengam bil keluar sebuah kotak kecil. Begitu dibuka,
diambilnya sebuah amplop, diberikan pada Tan Keh Lok seraja katanya : „Tak tahu
aku apa yang ditulis oleh sioCia, surat ini diama kusimpan, tak pernah
kutunyukkan pada orang lain.”
Dengan bergumeteran tangannya Keh
Lok menyambuti amplop itu. Ternyata surat didalamnya itu merupakan sjaira yang
separoh bagiannya telah terbakar. Sedang sisanya itupun sudah gosong
kekuningduaan. Disana sini tampak tetesan lilin. Hurufdua itu terang adalah
buah tulisan ibunya, antaranya ter tulis „sebagian hidupnya menderita”, semataa
untuk kepen tingan putera”, “keluarga Tan yang terpaksa disuruh meni kah” dan
lain-lain. beberapa patah kata yang terputus dari rangkaian nya. Ada lagi
beberapa baris kalimat yang tak ada hubu ngannya satu dengan lain, jakni:
„nisan Sim-si,” “jalan wanita utama” dan lain-lain.
Keh Lok sungkan mempelajarinya,
lalu memasukkansja kedalam saku, dan tanyanya lagi: “Dimanakah kuburan ibu?”
“Dibelakang Hay-sin-bio yang baru dibangun.” „Hay-sin-bio (kelenteng malaikat
laut) ?” Keh Lok menegas.
“Benar, juga bangunan baru yang 1
selesai tahun ini. Bio itu luas sekali, terletak ditepi laut,” kata sibudyang .
„Swi-kho, aku akan kesana,” kata Keh Lok achirnya. Swi Ing sebenarnya masih
akan mengajak bicara lagi, tapi Keh Lok sudah loncat' keluar dari jendela.
Perjalanan ketepi laut, ia paling
paham. Sekejab saja, sampailah sudah. Benar disitu tampak sebuah bangunan yang
menyulang tinggi. Belum pernah dia melihatnya dulu, dia menduga pasti itulah
Hay-sin-bio. Terus ia menuju kepintu muka. Tiba-tiba dari arah kanan dan kiri
bio itu terdengar derap kaki orang. Sebagai seorang' kangouw, tahulah ia, bahwa
itu adalah tindakan kaki dari bangsa Ya-heng-jian (orang kangouw yang keluar
diwaktu malam). Cepat-cepat ia sembunyi dibalik sebuah puhun liu.
Betul juga dari kedua samping bio
(kelenteng) loncat keluar empat orang. Dimuka pintu bio, mereka saling me negor
dengan isjarat tangan. Habis itu mereka menuju lagi kesebelah kanan dan kiri
halaman bio itu. Keh Lok merasa heran. Hay Ling adalah sebuah kabupaten kecil
ditepi laut. Mengapa dan apa tujuan keempat orang yang lihai itu?
Mau ia menguntit mereka, tapi
tiba-tiba terdengar ada tindakan kaki orang lagi. Kembali dari kedua samping
bio itu ada empat orang loncat keluar. Ia lihat keempat orang ini bukanlah
keempat orang yang duluan. Makin heran Keh Lok dibuatnya ia tunggu setelah
empat orang itu sudah meng hilang pula, Cepat-cepat ia enyot tubuh terus
melesat keatas tembok untuk menunggu kejadian selanyutnya.
Sesaat kemudian, kembali ada
empat orang munCul lagi. Nyata orang-orang yang setiap kalinya dua itu, sedang
mengelilingi bio itu untuk melakukan perondaan. Dengan penuh perhatian Keh Lok
mengawasi kesemuanya itu. Mereka nyata orang-orang yang tinggi ilmu silatnya,
apakah akan ada upaCara dari sesuatu partai yang diselenggarakan dalam bio itu?
Atau
mungkin ada kawanan bajak yang
akan mengadakan per temuan besar disitu? Tersurung oleh keinginan mengetahui,
Keh Lok dengan tak mengeluarkan suara sedikitpun loncat turun, lalu menyelinap
masuk kedalam bio dan mengambil tempat persembunyian disitu.
Diruangan sebelah timur kelenteng
itu terdapat patung dari Wat Ong, sedang diruangan sebelah barat adalah patung
dari malaekat penunggu bio itu. Dia pergi keruang tengah, untuk mengetahui
patung siapakah yang dipasang disitu. Setelah mengawasi, maka bukan main
kagetnya.
Patung yang wajahnya bersih
berseri-seri itu ternyata bukan lain adalah ayahnya sendiri, Tan Siang Kok.
Karena kagetnya itu, sampaia Keh Lok mengeluarkan seruan tertahan. Tiba-tiba
disaat itu dari arah luar terdengar tindakan kaki orang mendatangi. Dia
Buru-buru sembunyikan diri dibelakang lonCeng besar. Empat orang tampak masuk
keruangan tengah itu. Mereka berpakaian warna hitam, masinga menghunus sen-jata.
Setelah berputar sekali, mereka keluar lagi.
Disebelah kiri adalah sebuah
pintu angin terbuka, kesitu Keh Lok menyelinap, terus berjalan dengan
ber-indapdua. Disitu terdapat sebuah jalan yang terbuat dari marmer putih.
Jalanan itu panyang dan menyurus keluar. Tepat seperti lorong yang terdapat
didalam istana. Kuatir kalau kepergok, Keh Lok enyot tubuhnya naik keatap yang
me-nutupi sepanyang jalan itu. Sampai diujung jalan batu marmer itu, ternyata
tak ada seorangpun jua. Ia lalu loncat turun. Disebelah muka kembali ada sebuah
ruangan agung. Didepannya tergantung papan yang tertulis “Thian Houw Kiong.”
Pintunya terbuka, dan Keh Lok dengan beranl masuk kesitu. Tapi keadaan disitu
ternyata tambah membuat ia ter kejut.
Patung di “Thian Houw Kiong” itu
putih berseri bagaikan rembulan. Sepasang matanya yang bening, mirip sekali
dengan mamahnya, Ji-si. Setelah mengawasi sekian lama, lalu Keh Lok balik
keluar, untuk menCari kuburan sang ibu. Dibelakang „Thian Houw Kiong” itu,
dipasangi dengan tendadua dari kain warna kuning yang panyang sekali.
Kembali Keh Lok sembunyikan diri,
karena diluar tenda itu, terdapat beberapa orang berpakaian hitam tengah
mondar-mandir melakukan patroli. Kesemuanya itu, tetap tak dimengerti olehnya.
Karenanya, dia ambil putusan untuk menCari tahu. Dengan ber-indapdua dia
mendekati tenda. Menunggu kesempatan kedua penyaga yang tengah meronda kesana,
ia terus masuk kedalam tenda itu.
Bermula ia rebahkan diri, untuk
mengetahui apakah ada orang yang mengetahui perbuatannya. Kiranya dihalaman dalam
tenda itu, kosong. Tanah disitu sangat bersih, sedikit pun tak ada rumputnya.
Tenda itu, bersambung satu dengan lain, sehingga merupakan jalanan yang
menyurus kebela kang. Pada setiap tenda dipasangi dengan penerangan lilin besar
yang terang sekali.
Dengan menCabut pokiam pemberian
Hwe Ceng Tong, Keh Lok maju kemuka. Ia pikir harini sekalipun masuk kesarang
harimau, dia tak gentar. Sunyi senyap keadaan ketika itu. Hanya kadangdua
terdengar letikan lilin yang me netes jatuh. Beberapa tindak pula, tiba-tiba
terdengar suara berkresek, Buru-buru dia menyingkir kesamping. Setelah keadaan
sepi lagi, kembali ia maju. Diantara Cahaja lilin yang terang itu, tertampaklah
dimuka ada dua buah kuburan besar. Dan terlihat ada seorang yang tengah
berlutut didepan, kuburandua itu.
Pada bagian depan kuburan itu
terdapat batu nisan yang tertuliskan perkataan “Kuburan dari Tan Si Koan,
tay-hak-su kerajaan Ceng.” Sedang bongPai pada kuburan disamping nya,
bertuliskan “Kuburan dari Ji-hujin, it-bin-hu-jin kerajaan Ceng.”
Keh Lok dapat membaCanya dengan
jelas, diam-diam hatinya menCelos. Tanpa mengingat bahaja apa-apa, dia akan
maju untuk berlutut kesitu. Tapi tiba-tiba orang yang berlutut itu berbangkit.
Keh Lok merandek dan mengawasinya. Tampak orang itu bermenung sejenak, akan
kemudian, dengan tiba-tiba berlutut dan member! hormat beberapa kali. Terus
orang itu berjongkok ditanah. Dari gerakan bahunya yang tampak mengigil itu,
nyatalah dia tengah menangis tersedu-sedu.
Hilang kekuatiran Keh Lok ketika
menyaksikan hal itu.
Yang berlutut dihadapan kuburan
orang tuanya itu, tentulah masih keluarganya. Mungkin keponakan dari sang ayah,
atau lain-lainnya. Melihat kesedihan orang itu, tanpa merasa Tan Keh Lok
menghampiri dan menepuk bahunya pelan-pelan : „Silahkan bangun !”
Karena kagetnya, orang itu
berbangkit bangun. Tapi dia tetap tak mau berpaling kebelakang, hanya berseru
menanya : „Siapa!”
„Aku juga akan menyambangi
kuburan ini,” sahut Tan Keh Lok.
Dan tanpa mengurus orang itu
lebih jauh, Keh Lok terus berlutut didepan kuburan ayah bundanya dan menangis
tersedu-sedan.
„0, ayah, ibu, Sam Koan datang
terlambat tak beruntung bertemu,” katanya dengan suara ter-isakdua.
Karena itu, kedengaran orang tadi
bersuara kaget, terus mengajunkan langkahnya keluar. Namun sekali enyot
kakinya, Keh Lok melompat dua tindak kebelakang, tepat meng liadang dimuka
orang itu. Diantara sinar lilin, kedua orang yang saling berhadapan itu
seketika melengak terpesona, sampaidua keduanya mundur selangkah. Orang yang
berlutut dimuka kuburan ayah bundanya itu ternyata bukan lain adalah yang
dipertuan dari kerajaan Ceng pada masa itu, baginda Kian Liong.
„Kau......... tengah malam buta
mengapa kemari?” seru Kian Liong kemudian dengan terkejut.
„Hari ini adalah hari lahir
ibuku, karena itu aku datang untuk menyambangi kuburannya. Dan kau?” balas Keh
Lok.
„Jadi kaulah putera dari Tan Si
Koan itu?” Kian Liong berbalik menanya.
„Benar, semua orang dikalangan
kangouw mengetahuinya, kukira kaupun sudah mengetahui juga,” sahut Keh Lok.
“Belum,” kata Kian Liong.
Kiranya pada tahundua yang
teraehir itu, perhatian Kian Liong ditujukan pada keluarga Tan di Hay Ling
daerah Kanglam. Sekalipun diantara menteridua itu mengetahui bahwa daerah itu
adalah daerah kekuasaan Hong Hwa Hwe yang dipimpin oleh putera dari Tan Siang
Kok almarhum, namun
mereka tak berani memberitahukan
kepada baginda. Karena raja itu, wataknya aneh sekali. Rasa murka dan girang,
bisa datang mendadak padanya dengan Cepat-cepat . Dengan mengajukan laporan
itu, menteri itu kuatir, akan mengundang bahaja baginya sendiri.
Begitulah kekuatiran Keh Lok tadi
kini berganti dengan rasa keheranan, pikirnya: „Tak heranlah kiranya kalau se
luruh bio dijaga sedemikian kerasnya. Kiranya dialah yang datang kemari. Tapi
untuk apakah dia datang pada tengah malam begini, tambahan lagi berlutut dan
menangis dimuka kuburan ayah bundaku?” — Hal inilah yang membuat ia tidak habis
mengerti. Sedang fihak Kian Liong sendiripun tengah termenung mengawasinya.
Achirnya, Kian Liong mengajak nya duduk. Dengan begitu, kedua orang itu, bertemu
lagi untuk yang ketiga kalinya. Pertama dirimba Sam-tiok, per kenalan
permulaan. Kedua kalinya, ditengah telaga Se-ouw, dimana diam.dua mereka saling
menguji kekuatan masings. Tapi kini pertemuan dimuka kuburan Tan Siang Kok kali
ini, rasa bermusuhan itu terkikis dan berobah menjadi rasa yang dekat sekali.
Sambil menarik tangan Keh Lok,
kemudian berkatalah Kian Liong: „Kau tentunya merasa heran mengapa pada waktu
begini, aku berkunyung kemari. Semasa hidupnya, ayahmu itu berjasa besar
padaku” sehingga aku dapat naik kesinggasana kerajaan. Budi itu, tak pernah
kulupakan. Karenanya, malam ini kuperlukan menyambangi kuburannya.”
Tapi Keh Lok hanya setengah
percaya setengah tidak.
“Dan kalau sampai hal ini boCor
keluar, tidaklah leluasa. Maukah kau berjanyi takkan memberi tahukan pada orang
lain?” tanya Kian Liong pula.
Karena raja itu begitu
mengindahkan pada ayah bundanya, sudah tentu Keh Lok tak berkeberatan, katanya
: „Ja ngan kuatir. Dihadapan kuburan ayah bundaku ini, kuber sumpah takkan
memboCorkan kejadian malam ini pada siapapun juga.”
Seorang kangouw, paling mengutamakan
janyi. Hal ini diinsyapi Kian Liong. Apalagi orang sudah bersumpah dimuka
kuburan orang tuanya. Dia merarasa puas dan gembira.
Demikianlah kedua orang itu duduk
dimuka kuburan dengan tangan bergandengan. Yang satu, adalah yang diper tuan
dari negeri Tiongkok pada masa itu. Dan yang seorang, adalah ketua dari sebuah
perkumpulan besar dikalangan Kangouw. Entah apa yang dipikirkannya, keduanya
saling menyublek untuk sekean saat.
Tiba-tiba samara terdengar suara
gemuruh. Telinga Keh Lok yang terlatih tajam itu, mengerti apa adanya itu.
Katanya : “Ombak. pasang, baiklah kita menyaksikannya ketepi laut. Sudah
sepuluh th. aku tak melihatnya.”
Kian Liong mengiakan, dan dengan
masih menggandeng tangan orang, dia berjalan keluar.
Kawanan si-wi yang meronda diluar
sama tersipu-sipu menyambut keluarnya Kian Liong. Tapi bagaimana terkejut
mereka, ketika dilihatnya baginda tengah berjalan bertun tunan tangan dengan
seseorang. Lebihdua pentolandua si-wi seperti Pek Cin, Cu Wan dan lain-lain.
mereka sama berCekat dalam hati, setelah mengetahui bahwa penyagaan mereka
telah jebol diterobos orang tanpa sepengetahuannya.
PunCak kekagetan mereka terjadi,
ketika ternyata orang yang disamping baginda itu, bukan lain ialah ketua dari
Hong Hwa Hwe. Sementara itu beberapa si-wi bergegas-gegas membawakan kuda.
„Kau naikilah kudaku ini,” kata
Kian Liong pada Keh Lok. Kembali para si-wi itu menyediakan lagi seekor kuda
kepada baginda. Demikianlah keduanya menuju kepintu timur. Ketika itu gemuruh
ombak makin nyata, menderu-deru tak henti-hentinya.
Sekeluarnya dari pintu timur,
suasana penuh dengan gemuruh air pasang, namun dilaut tampaknya tenangdua saja,
putih ke-perakduaan ditimpah Cahaja rembulan.
“Mamahku dilahirkan pada hari
ini, karenanya beliau di namakan 'Tiao Seng' (air pasang).”
Ketika ucapan itu melunCur dari
mulut Tan Keh Lok, tangan Kian Liong yang memimpin anak muda itu terasa
bergemetar, pertanda dari luapan sang hati. Memandang kelaut, Kian Liong
termenung sejenak. Baru achirnya dia berkata :
„Kau memang berjodoh dengan aku.
Besok aku akan kembali ke HangCiu. Tiga hari kemudian baru kembali ke Pakkhia.
Sukalah kau ikut padaku ? Sebaiknya, kau selalu mendampingi aku, agar setiap
saat dapat kukenang wajah ayahmu.”
Sukar dilukiskan perasaan Tan Keh
Lok mendengar kata-kata yang lemah lembut dari seorang raja yang berkuasa
seperti itu. Untuk beberapa saat, dia kesima, tak dapat menyawab.
“Kau seorang bun-bu-Coan-Cay
(serta dapat: sastera dan silat). Kelak tentu dapat kau gantikan kedudukan
ayahmu. Bukankah itu akan jauh lebih berharga daripada kau ber kelana
dikangouw?” kata Kian Liong pula.
Dengan ucapan itu, Kian Liong
mengisiki, bahwa anak muda itu akan diberinya pangkat tay-hak-su (menteri besar
yang berkuasa penuh). Itulah kedudukan yang paling tinggi menurut tingkatan menteri.
Kian Liong jakin, anak muda itu tentu akan girang dan menghaturkan terima
kasih.
Siapa tahu dugaannya ternyata
meleset, Keh Lok telah menyawab: „Begitu besar kebaikanmu itu, entah bagaimana
kuharus menghaturkan terima kasih. Tapi kalau aku temaha dengan kesenangan
hidup, tak nanti kutinggalkan rumah dan berkelana dikangouw.”
„Itulah yang akan kutanyakan
padamu. Kau tak mau menjadi kongcu, sebaliknya berkelana tak keruan dikangouw,
adakah hal itu tak membuat malu orang tua?” kata sang kaisar.
„Itulah kebalikannya, karena hal
itu justeru atas titah mamahku. Ayah dan kokoku, tidak mengetahuinya, sehingga
mereka berjerih-payah untuk menCariku. Sampai sekarang, kokopun masih mengirim
orangnya untuk menCari,” sahut Keh Lok.
“Mamahmu yang menyuruh? Anehlah,
masa begitu?” Kian Liong menjadi heran.
Keh Lok menunyukkan kepala, agak
lama tak menyawab, kemudian katanya: “Itulah rahasia kedukaan dari ibu akupun
tak mengerti.”
Sementara itu gemuruh air pasang
makin menghebat, sehingga pembicaraan keduanya itu hampir tak kedengaran.
Selarik ombak putih
bergulung-gulung mendatangi. Hawa terasa dingin ketika gulungan ombak itu makin
mendekat. Gemuruh bagai guntur, makin dekat makin berkumandang jelas lak sana
ribuan pasukan kuda menyerbu datang.
Sambil tangan kiri memegangi
tangan Keh Lok, tangan' kanan Kian Liong me-ngebutduakan kipasnya. Melihat
datang-nya ombak raksasa itu, dia terkejut. Tanpa terasa, tangan-nya kendor,
dan kipas itu jatuh kebawah ketitian batu yang menyurus keair laut. Kipas itu
adalah kipas persembahan dari Tan Keh Lok tempo hari. Saat itu baginda dan Keh
Lok tengah berdiri ditepi laut, yang berada tujuh atau delapan tombak dari atas
tempat air laut. Saking kagetnya, Kian Liong berseru tertahan.
Cepat-cepat seperti kilat, Pek
Cin menerjun kebawah untuk menyawutnya. Dengan sebelah tangan menekan pada batu
di tangkul, tangan yang lain telah berhasil menyawut kipas itu.
Dalam pada itu gelombang ombak
raksasa makin mendekat, dan pada lain saat pasti Pek Cin akan ditelan oleh
gelombang itu, terpenCet pada tanggulduaan. Kawanan si-wi sudah berteriak
kaget. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh, Pek Cin Cepat-cepat meloncat
keatas, tapi ombak ternyata lebih Cepat-cepat lagi.
Keh Lok Cepat-cepat bertindak, ia
sebret jubahnya menjadi dua, disambung terus dilunCurkan kebawah. Pek Cin
Cepat-cepat memegang tali itu, justeru tepat ombak sudah menganCam ifjjjdua
kakinya. Buru-buru Keh Lok menariknya keatas tangguPnya.
Sedari melihat datangnya ombak
yang mengganas itu, Kian Liong dan sekalian si-wi sudah menyingkir dari tepi
tang gulan itu. Ketika Pek Cin dapat ditarik keatas, ombak pun sudah naik
keatas.
Sejak kecil Keh Lok sudah kenyang
memain ditepian laut itu, jadi fahamlah dia akan “sifat” ombak itu. Begitu
sudah menarik Pek Cin, dia terus loncat kekebelakang beberapa tindak. Sedang
begitu sampai keatas tanggulan itu, ombakpun sudah mengejar Pek Cin keatas.
Cepat-cepat si-wi itu ajunkan tangan untuk lemparkan kipas itu pada Cu Wan.
Setelah itu dia merangkul erat- pada sebuah puhun liu yang tumbuh ditepi.
Sementara itu bagaikan gunung
roboh, guiungan ombak itu menutup keatas kepalanya Pek Cin. Kiranya ombak itu,
seCepat-cepat pasang, seCepat-cepat itu pula surutnya. Dalam sekejab saja, air
laut ditanggulan itu sudah surut kembali. Begitu erat Pek Cin menyikap batang
puhun; liu itu, hingga me ninggalkan bekas guratan jari. Baru setelah air
surut, dia berani loncat kebelakang.
Melihat dia begitu berani dan
setia, Kian Liong merasa gembira. Begitu menyambuti kipas dari Cu Wan,
berkatalah ia kepada Pek Cin sambil anggukkan kepalanya: “Kalau nanti pulang,
kuhadiahkan kau satu perangkat pakaian lain.”
Dengan pakaian basah kujup, Pek
Cin Buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih. Kemudian berkata Kian Liong
kepada Tan Kehj Lok: “Kata orang kuno 'sepuluh laksa tentara sama dengan deru
ombak setengah malam', rupanya hal itu memang terbukti.”
„Pada masa dulu Chi Ong telah
menghamburkan tiga 000 anak panah untuk menghajar ombak, tapi ombak tetap
mengganas. Nyata pengaruh alam, sukar ditundukkan,” kata ketua HONG HWA HWE
itu.
Meng'erti bahwa orang akan
mengulangi pembicaraannya ditengah telaga Se-ouw tempo hari, tahulah Kian Liong
bahwa anak muda itu tetap tak mau bekerja pada kerajaan. Maka katanya: „Tiap
orang punya tujuan sendiridua, akupun tak dapat memaksamu. Hanya ingin
kunasehat.i kau sedikit.”
„Silahkan berkata,” sahut Keh
Lok.
„Sepak terdyang dari kaum HONG
HWA HWE kalian yang nyata menentang undangdua pemerintah, peristiwa yang telah
lalu dapatlah kuhapuskan. Tapi untuk selanyutnya, tak dapat kubiarkan hal itu
lebih jauh,” demikian Kian Liong.
„Kita bekerja untuk negara dan
rakjat, segala sepakter dyang kita, dapat dipertanggung jawabkan,” sahut Keh
Lok.
Kian Liong merenung dan berpikir,
lalu mengelah napas dan berkata pula: “Sayang , sayang ! 'Mustika yang gemilang
jatuh ditempat lumpur'. Dengan memandang semangat per???? kelak HONG HWA HWE
tertumpas, aku tetap akan mengampuni jiwamu.”
“Sebagai Umbal balik, andaikata
kau jatuh ketangan HONG HWA HWE akupun takkan menCelakai kau,” balas Keh Lok.
Ter-bahakdua Kian Liong
dibuatnya, katanya: „Dihadapan raja, kau tetap tak mau kalah suara. Baiklah.
Sekali orang gagah mengucap, ibarat larinya kuda. Ayo kita pateri janyi ini
dengan berjabatan tangan. Dikemudian hari kita tak boleh saling menCelakai.”
Tiga kali keduanya berjabat dan
berguntjangan tangan. Melihat junyungannya begitu mengindahkan pada ketua
perkumpulan yang memusuhi negara itu, keheranan para si-wi itu menjadi dua.
Sementara itu ombak sudah kembali
tenang. Kian Liong ajak Keh Lok kembali menghampiri ketepi tanggulan. Ketika,
para si-wi akan mengikutinya, Kian Liong memberi isjarat melarangnya. Sesudah
berpuluh tindak keduanya berjalan disepanyang tepian itu. Kata Kian Liong pula:
“Dari wajahmu terlihat selain terkenang akan ayah bunda dan sahabat baik,
apakah kau masih ada ganyelan dalam hati mu? Sekalipun kau tak mau menjadi
pegawai negeri, tetapi kau boleh majukan saran atau usul padaku.”
Setelah merenung sejenak,
berkatalah Keh Lok: „Ingin sekali kuminta bantuanmu akan suatu urusan, tapi
kukuatir kau tak dapat meluluskan.”
„Asal ada permintaan, tentu
kululuskan!” kata Kian Liong. „Betulkah itu?”
„Raja tak pernah bohong!” sahut
Kian Liong pula tegas.
“Terima kasih. Aku hanya minta
agar saudara angkat kami Bun Thay Lay dilepaskan,” demikian Keh Lok achirnya.
Kian Liong terbelalak matanya.
Sungguh tak diduganya kalau orang akan ajukan permintaan itu. Sesaat dia
bersangsi.
„Entah dosa apa Bun Thay Lay itu
terhadap pemerintah? Mengapa kau begitu membenCinya, sehingga dia harus di
tangkap?” tanya Keh Tok.
„Dia tak bisa dibebaskan. Tapi
karena sudah terlanyur aku menyang gupi padamu, tak dapat ku ingkari. Baik,
beginilah, dia takkan kubunuh !” sahut Kian Liong.
„Kalau begitu, biarlah kami
sendiri yang membebaskannya. Tadi kuajukan permohonan pembebasan, bukan berarti
kami tak sanggup melakukannya sendiri. Soalnya, kami akan menghindari
pertumpahan darah, kalau dapat. Agar hubu ngan kita jangan terganggu,” demikian
Keh Lok.
Dengan mata kepala sendiri
kemaren raja Boan itu telah saksikan kepandaian orang-orang HONG HWA HWE Maka
tahulah dia, ketua HONG HWA HWE itu tidak ber-main-main . Katanya kemudian:
„Kutahu kebijaksanaanmu itu. Empat hari lagi, ku-akan kembali kekota raja.
Mungkin sukar bagimu untuk menolongnya. Terus terang kukatakan, orang itu tak
ku-idinkan terlepas dari tanganku. Kalau kau berkeras membebaskan, empat hari
lagi akan kutitahkan membunuhnya”.
Tapi Keh Lok tak gentar, katanya
dengan menyala-nyala : „Kalau suko kami itu kaubunuh, kukuatir kau akan tak
enak tidur tak enak makan”.
„Kalau dia tak dibunuh, hatiku
juga makin tak tente ram”, jawab Kian Liong dengan tawar.
„Ah, dengan demikian, kemuliaan
yang kau ken jam itu, tak melebihi kenikmatan kehidupanku yang bebas lepas
bagaikan ajam hutan itu”, ujar Keh Lok.
Kian Liong tak mau urusan Bun
Thay Lay disinggung singgung lagi, dia alihkan pembicaraan.
„Berapa usiamui sekarang?”
tanyanya lantas.
„Duapuluh lima”, sahut Keh Lok.
„Ah, aku lebih tua dua0 tahun.
Jadi kau lahir sewaktu aku dinobatkan. Sewaktu kau dewasa, kini aku sudah
setengah umur. Ah, segala kebesaran dan kemuliaan itu, kalau orang sudah sampai
ajalnya, pun; akan kembali ke asalnya lagi,” Kian Liong menarik napas dalamdua.
Kembali keduanya ber-jalandua
sebentar.
“Kau mempunyai berapa orang
isteri?” tanya Kian Liong. Dan tanpa tunggu jawaban dia melolos sebentuk mainan
dari batu giok, terus katanya lagi: „Batu permata ini, mus tika yang jarang
terdapat didunia. Ambillah untuk isterimu.”
Tapi Keh Lok tak mau menerima.
“Aku belum beristeri,” sahutnya.
Kian Liong ter-bahakdua. „Haha,
rupanya kau terlalu tinggi permintaan, maka sampai kini belum beristeri. Kau
ambillah ini, biar kau peruntukkan tanda-pengikat bagi Calon isteri mu,”
demikian katanya.
Dibawah sinar rembulan, batu giok
itu ber-kilauduaan Ca hajanya. Ketika menyambutinya, Keh Lok rasakan tangannya
menjadi hangat. Kiranya itulah sebuah mustika yang dapat mengeluarkan hawa
hangat. Diatas giok itu terukir beberapa baris huruf emas yang berbunyi :
(Page cut)
„Kalau tak kuketahui bagaimana
peribadimu, tak berani kuberikan mustika ini, apalagi kuminta kau berikan pada
Calon isterimu,” dengan tertawa Kian Liong berkata. Kemudian katanya pula:
„Sekalipun 4 baris sajak itu tak begitu bagus, namun maknanya mengandung kebenaran.”
„Cinta murni tetap abadi, kekerasan akan menemui ke gagalan” tanpa merasa Tan
Keh Lok membaCanya pula dengan berbisik. Dia merenung, dan entah bagaimana
pikiran nya jauh melayang dua. Rasa tawar dan sedih menCengkeram sanubari,
sehingga kalau tak malu, mau rasanya dia menangis.
„Dasar bersuami isteri itu adalah
Cinta menCintai sehidup | semati sampai kakidua dan ninidua. Kekerasan akan
membawa keretakan. Rasanya ujar orang kuno itu tepatlah,” kata Kian Liong.
tiga Keh Lok segan mendengarkan,
lalu menyimpan giok itu seraja menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah memberi hormat, dia terus akan berlalu. Kian Liong kelihatan
melambaikan tangannya dan berkata: “Baik-baik lah kau men jaga, diri.”
Keh Lok berpaling untuk mengunyuk
hormat lagi, lalu pergi.
Tiba-tiba Pek Cin melangkah
kehadapannya, katanya: “Tadi kau telah menolong jiwaku, entah bagaimana akan
dapat kubalasnya.”
„Pek-locianpwe terlalu merendah
diri, kita sekaum persilatan. Kalau ada kesusahan, seharusnya saling tolong,
itu sudah jamaknya. Mengapa locianpwe harus mengucapkan begitu,” sahut Keh Lok.
Sekeluarnya dari situ, karena
masih ada urusan, Keh Lok kembali. lagi kegedung keluarganya, untuk mendapatkan
Swi Ing. Katanya: „Kurasa koko tentu berada di taman 'An Lan Wan' untuk menyambut
baginda. Kurasa dia tentu sibuk, baik lain kali kujumpainya. Swi-kho, apa Yang
kau inginkan, bilanglah, tentu kukerjakan.”
(Page cut)
„Hal itu rasanya tak mudahlah.
Eh, ja, mana si Ceng Hwa dan Uh Si? Kau panggillah mereka kemari,” kata Keh Lok
dengan tertawa.
Ceng Hwa dan Uh Si adalah dua
orang budyang lain, kawan Keh Lok bermain semasa kecil.
“Uh Si telah meninggal pada tahun
yang lalu. Ceng Hwa masih disini. Biar kupanggil dia,” kata Swi Ing.
Belum lama Swi Ing berlalu, Ceng
Hwa sudah munCul. Tampak oleh Keh Lok bagaimana kawannya bermain itupun kini
sudah menjadi seorang gadis dewasa.
“Sam-koan!” teriak Ceng Hwa
dengan berlinangdua air mata.
„Ai, kau sudah begini besar.
Bagaimana Uh Si meninggal nya?” tanya Keh Lok.
„Ia bunuh diri terjun kelaut,” kata
sibudyang . „Mengapa?” Keh Lok terkejut.
„Jiloya mau mengambilnya jadi
gundik, dia tak mau,” jawab Ceng Hwa setelah mengetahui tak ada lain orang
lagi. Setelah itu ia menangis: “Urusan kami taCi beradik, tak usahlah
membohongi kau. Uh Si sangat akrab dengan Tan Cin Tiong, salah seorang kawan
bekerja dirumah sini. Diam-diam mereka menyimpan uang, untuk menebus Uh Si. Se
sudah itu, mereka merenCanakan akan kawin. Tetapi ji-ya mengaCau. Pada suatu
hari dalam keadaan mabuk, dia paksa Uh Si masuk kamarnya. Keesokan harinya,
dengan tersedus Uh Si memberitahukan padaku. Ia malu kepada Cin Tiong.
Kunasehatinya, agar ia tetap
sabar menderita. Tapi ternyata diam-diam ia telah bunuh diri kelaut. Dengan
menggerunga Cin Tiong membawa tubuhnya pulang. Pada sebuah Ciok-say (singa
batu) dimuka rumah majikannya, dia benturkan kepalanya hingga tewas juga.”
Hati Tan Keh Lok seperti
diirisdua. Dia geram sekali.
„Tak kunyana koko-ku begitu
rendah budinya. Sebenarnya aku hendak menyumpainya, kini tak sudilah aku.
Dimana kuburan Uh Si? Kau antarkan aku kesana!” kata Keh Lok.
”Dipintu barat, biar besok
kuantar,” kata Ceng Hwa.
“Sekarang sajalah,” desak Keh
Lok.
”Pada waktu begini pintu kota
masih tertutup, tidak dapat melaluinya?” ujar sibudyang .
Keh Lok tersenyum, tiba-tiba ia
ulurkan tangannya memegang pinggang Ceng Hwa, siapa menjadi ke-maluduaan. Tapi
pada lain saat, ia rasakan tubuhnya seperti melayang terbang keluar, terus
berada diatas atap. Seperti dalam impian rasa nya, sekejab saja, sampailah
sudah kepintu barat. Dan sesudah turun ketanah, baru Ceng Tong berani membuka
mata.
“Sam Koan, kau belajar ilmu
dewa?” kata budyang itu.
”Kau takut tidak tadi?” tanya Keh
Lok tertawa.
Ceng Hwa tertawa sembari berjalan
kearah kuburan. Teringat akan perhubungan mereka semasa kecil, tak terasa hati
Keh Lok merasa sedih sekali. Didepan kuburan Uh Si, tig-a kali dia menyura
untuk memberi hormat. Dan ketika itu Ceng Hwa menangis.
”Sam Koan, kalau kau masih
dirumah, tentu jiloya takkan berani berbuat begitu,” ratap budyang itu.
Keh Lok hanya termenungdua saja.
“S E T E L A H Cin Tiong mati,
ibunya telah minta pada maji kan agar jenazah anaknya itu dapat dikubur
disamping Uh Si. Tapi jiloya malahan me-maki-maki. Ah, sekalipun sudah mati,
mereka masih tak dapat berkumpul bersama,” kata pula Ceng Hwa dengan elahan
napas panyang.
"Baik, besok akan kusuruh
orang memindahnya. Biar mereka mengasoh tenang dialam baka,” kata Keh Lok.
"Mungkin jiloya takkan
meluluskan,” kata Ceng Hwa.
"Hm, aku tak peduli dia mau
apa tidak. Juga kau, Ceng Hwa, akan kubebaskan supaya dapat pulang kerumahmu
sendiri.”
"Sam Koan, kau selalu
memperlakukan kami dengan baik sekali” seru Ceng Hwa dengan suara sember.
Ketika itu, rembulan sudah masuk
kearah barat.
"Mari kuantar kau pulang
dulu, aku masih ada urusan penting akan pergi ke HangCiu,” kata Keh Lok
achirnya.
Setiba dirumah, ketika Tan Keh
Lok akan loncat keluar dari jendela, tiba-tiba Ceng Hwa berkata: „Sam Koan, aku
akan ajukan sebuah permintaan padamu.”
"Baik, kau bilanglah !”
"Biarkan kulajani kau sekali
lagi untuk menyisir rambut-mu.” Tan Keh Lok merenung sejenak, lalu katanya
sambil tertawa: "Baiklah !”
Ceng Hwa masuk kedalam untuk
mengambil sebuah nam-pan perak dan dua mangkok porselen. Yang semangkok terisi
masakan jamur dan yang lain manisan buah li. Hidangan itu diletakkan dihadapan
Keh Lok.
Sepuluh tahun lamanya Keh Lok
pergi dari rumahnya, dan lewatkan penghidupannya di padang Sahara. Lupa sudah
dia akan kesedapan dari hidangan keluarga kaja dari daerah Kanglam itu. Ketika
ia menyendok dan hirup kuah itu, Ceng Hwa sudah mulai menyisir rambutnya, diberi
minyak dan disisir dengan rapi. Dia sumpiti irisan manisan itu untuk dimasukkan
kedalam mulutnya sendiri, lalu disuap juga kedalam mulut Ceng Hwa. gp '
„Kau masih nakal, seperti dulu,”
kata Ceng Hwa tertawa.
Selesai bersisir, hidangan itupun
sudah dihabiskannya.
„Masa kau tak pakai pakaian
rangkap? Apa tidak takut kedinginan?” tanya Ceng Hwa. Keh Lok hanya tertawa.
Masakan ia masih dianggap seperti boCah yang lemah pada sepuluh tahun yang
lalu. Ceng Hwa lari kedalam untuk mengambil sepotong cheongsam dan diberikan
kepada Keh Lok.
„Ini kepunyaan jiloya, mungkin
sedikit kebesaran. Kau pakailah,” kata budyang itu.
Dibantuinya Keh Lok mengenakan
pakaian itu. Selama itu,
tampak oleh Keh Lok bahwa Ceng
Hwa keluar air mata. Diapun ikut sedih.
„Nah, aku akan pergi!” katanya
terus enyot tubuhnya loncat melalui jendela.
Setiba dirumah Ma Sian Kun,
tampak para saudaranya sedang berunding dengan Kwi-kian-Chiu Ciok Siang Ing.
Buru-buru Ciook Siang Ing memberi hormat dan melapor : “Dikota raja kudengar
baginda sudah berada di Kanglam, karenanya ku-bergegas-gegas kembali kemari.
Kiranya para sau-dara di sini sudah berjumpa dengan baginda sendiri, malah
terlibat dalam pertempuran”.
“Capjiko tentu lelah, silahkan
beristirahat dulu. Selain itu ada berita apa lagi?” tanya Keh Lok.
“Ketika mendengar situa Hongte
pergi keselatan sini, aku merasa urusan sangat penting, maka tanpa pikir yang
lain-lain, dan terus kemari,” sahut Siang Ing.
Keh Lok lalu menyilahkan Siang
Ing supaya beristirahat dulu. Karena dilihatnya saudaranya itu tampak keliwat
arip sekali, tentunya dalam beberapa hari itu, dia telah lakukan perjalanan
siang malam.
Siang Ing pamitan keluar, untuk
menuju kekamarnya. Sebelumnya itu dia berpaling lagi dan berkata kepada Lou
Ping : “Suso, kudamu putih itu betuia Cepat-cepat sekali larinya. Jangan
kuatir, selama itu kurawatnya sungguh-sungguh”.
Lou Ping tertawa dan haturkan
terima kasih. Kembali Siang Ing merandek, katanya : “Ah, ditengah jalan kuber
papasan dengan pemilik kuda itu, Han Bun Tiong.”
„Apa? Dia akan merampas kudaku
itu?” tanya Lou Ping.
„Dia tak melihat aku. Hanya aku
yang melihatnya. Dia bersama dengan beberapa piauwsu dari Tin Wan piauwkiok.
Kudengar mereka tengah me-maki-maki pada orangs HONG HWA HWE Katakan kita orang
telah gunakan obat tidur untuk mem binasakan Tong Siu Ho”, tutur Siang Ing.
Thian Hong dan Ciu Ki sama
ketawa.
„Tempo hari kami telah
mengampuninya, kurang ajar, mereka masih berani me-maki-maki”, Ciu Ki tak tahan
lagi dan menyelak.
„Kali ini kawanan piauwsu itu melakukan
pekerjaan apa?” tanya Thian Hong.
„Kudengar betul-betul pembicaraan
mereka. Kiranya mereka baru datang dari Pakkhia dan menghantar barangdua
berharga dan kepada keluarga Tan Siang Kok di Hay Ling sini,” mengu-Cap sampai
disini, Siang Ing berpaling kearah Tan Keh Lok dan berkata : „Itulah barangdua
dari kediaman Congthocu, karenanya kuperintahkan kepada Congthaubak kita di Ce
lam dan Kanglam, supaya diam-diam mereka turut melindungi barang antaran itu”.
dua
“Terima kasih”, kata Ke Lok
ketawa. „Tidak nyana, kali ini kita bisa bekerja sama dengan Tin Wan
piauwkiok”.
“Dari Tin Wan piauwkiok, Ong
Congthauw sendiri yang keluar, barang antaran itu penting sekali”, ujar Siang
Ing.
Mendengar kepala piauwkiok itu
sendiri yang keluar, Tan Keh Lok, Tio Pan San, Ciu Tiong Ing dan lain-lainnya
sama mengeluarkan suara heran.
“Ong-lopiauwthau sudah lama tak
keluar. Kali ini me mang agak luar biasa. Congthocu, besar sekali nama ke
luargamu itu !” seru Tiong Ing.
“Akupun heran, karenanya
kudengari pembicaraan mereka dengan seksama. Baru malam kedua kuketahui, bahwa
ba rangdua antaran itui berharga mahal sekali, yaitu terdiri dari permata
mustika dan sepasang vaas dari batu giok,” tutur Siang Ing pula.
“Vaas batu giok?” seru Keh Lok
dengan kaget.
“Ja, katanya mustika dari daerah
Hwe, dibawa oleh Yauw Hwi Ciangkun setelah dia dapat kemenangan disana. Suku
Hwe mengtiaturkan mustika itu selaku tanda minta damai, sekalipun mereka tak
kalah perang,” kata Siang Ing.
Mendengar bahwa suku Hwe tidak
sampai kalah dalam peperangan itu, orang-orang HONG HWA HWE sama gembira, dan
menanya kannya lebih lanyut.
“Kabarnya karena ransum tentara
Ceng itu telah kita rampas, mereka menderita kelaparan. Yauw Ciangkun ter paksa
tarik mundur tentaranya, tapi ditengah jalan mereka disergap orang-orang Hwe.
Kerugian tentara Ceng tidak kurang dari dua-tiga ribu serdadu yang binasa,”
tutur Siang Ing pula.
Kembali orang-orang HONG HWA HWE
berseru girang. Kata Ciu Ki kepada Thian Hong: “Kalau enCi Ceng Tong tahu bahwa
kaulah yang niengatur siasat itu, tentu dia sangat berterima kasih sekali
padamu.”
“Kaulah yang suruh aku menCari
tipu itu,” bisik Thian Hong dengan tersenyum.
„Tapi begitu ransum tiba, Yauw
Hwi kembali menyerang. Karenanya, suku Hwe menghaturkan sepasang vaas mustika
itu selaku minta damai. Thayhouw dan menteria kerajaan tak berani mengambil
putusan, maka segera mengirim orang untuk mengundang kaisar pulang. Ong Hwi
Yang kali ini keluar sendiri, kukira juga karena mengantar mustika yang
berharga itu,” kata Siang Ing.
„Jangan lagi hanya sepasang vaas,
sekalipun ditambah beberapa maCam barang mustika lagi, Hongte itu tentu tak mau
diajak damai,” ujar Keh Lok.
“Orange piauwkiok sama bilang,
kalau pemerintah menolak perdamaian itu, seharusnya mengembalikan vaas itu
kepada orang Hwe. Itulah sebabnya barang itu dijaga keras sekali, jangan sampai
rusak,” kata Siang Ing.
“Hm, Ong Hwi Yang situa itu
benardua mengandalkan ketua annya. Sampai di Ciatkang, dia tak mengirim
pemberian tahu kepada kita. Hanya karena mengingat menyang kut ke pentingan
Congthocu, maka kita tak tarik panyang urusan itu,” kata Ma Sian Kun tak tenang
karena 'kedaulatan' dae rah kekuasaannya dilanggar orang.
„Orang-orang Tin Wan piauwkiok
itu memang keterlaluan,” tiba-tiba si Ciang Bongkok berseru, „kita tahan saja
vaas itu, Coba mereka bisa berbuat apa !”
“H£, jangan sembarangan! Bukankah
itu akan meng ganggu renCana enCi Ceng Tongnanti?” ujar Lou Ping.
Demikianlah mereka terus
berunding. Keh Lok memberi isjarat pada Thian Hong, untuk diajak masuk
kekamarnya.
“Chit-ko, kemaren malam
kuberjumpa dengan baginda. Katanya, tiga hari lagi dia akan kembali kekota
raja. Se belumnya pulang, lebih dulu dia akan titahkan bunuh Bun-suko,” kata
Keh Lok segera sesudah duduk.
Thian Hong melengak. Katanya
Cepat-cepat : „Kalau begitu, kita tak boleh berajal, harus lekas bertindak.”
„Bun-suko disimpan dalam gedung
Li Khik Siu Ciangkun di HangCiu sini. Harap kau atur suatu tipu bagaimana
baiknya,” kata Keh Lok. „Baginda kini rasanya masih belum kembali ke HangCiu.
Pahlawanduanya pilihan sama mengiring nya. Kalau kita turun tangan, rasanya
agak leluasa.”
„Apa? Baginda tidak di HangCiu?”
tanya Thian Hong tak mengarti. Lantas Keh Lok tuturkan pengalamannya semalam,
bahwa dia habis pulang menyambangi kuburan ayah bundanya.
Thian Hong tidak buka suara lagi,
ia me-main-main alat-alat tulis dimeja. Ada yang ditaruh disebelah timur, ada
yang dise belah barat, suatu tanda si “Khong Beng” ini sedang memikir sesuatu.
Keh Lok menunggunya dengan tenang. Baru setelah berselang beberapa saat berkatalah
Thian Hong: Congthocu, kita kuat dan musuh lemah, boleh kita serang.”
Keh Lok mengangguk setuju, lalu
ajak sekalian saudaranya berunding dan membagi tugas. Ketua itu menepuk
sepasang tangannya, menurut adat mereka memberi peng hormatan dulu kepada
Couwsu HONG HWA HWE sehabis membaCakan peraturan partai, berserulah dia dengan
lantangnya: „Marilah, saudara-saudara, sekarang juga kita mulai turun tangan
membe baskan Bun-suko !'“
Seketika semua orang HONG HWA HWE
berteriak girang.
“Cio-sipsamko, kau pimpin tiga 00
orang yang pandai bere nang untuk sediakan perahu. Setelah kita berhasil,
bawalah kita ketelaga Thay-ouw,” demikian Keh Lok lantas membagi tugas. Cio Su
Kin terima perintah terus pergi.
„Ma Tay Thing hengte, kau
pindahkan semua keluarga anggauta kita kedalam perahu dulu.”
Ma Tay Thing pun menerima
perintah itu dan pergi.
„Ciok-Capjilong, kau belum pulih
semangatmu, kaupun mengasohlah dulu keperahu. Saudara-saudara lainnya ikut aku
me nyerbu tangsi Ciangkun untuk tolong Bun-suko !”
Mendengar itu semangat
orang-orang HONG HWA HWE bernyaladua. Keh Lok lebih dulu panggil Ma Sian Kun,
dan mengisikinya supaya pergi ke Hay Ling mempersatukan kuburan Uh Si dengan
tunangannya serta menebus Ceng Hwa. Juga perawatan Sim. Hi yang belum sembuh
itu, diserahkan padanya.
“Sekarang silahkan Chit-ko
keluarkan renCana perjuangan, harap sekalian saudara mendengarkannya,” segera
Keh Lok persilahkan Thian Hong.
Kata juru pemikir HONG HWA HWE
itu: „Telah banyak-banyak tahun kita memupuk usaha kita di HangCiu sini,
rasanya bukan kecil hasilnya. Sampai dalam ketentaraan pemerintaJi, kitapun
punya anggauta. Kalau kita serentak mengadakan serbuan besar, tentu rumah
tangga kita disini akan teranCam bahaja. Dan ini memang harus disayang kan.”
Orang-orang mendengari dengan
penuh perhatian, lebihdua karena ingin tahu apa siasat Thian Hong itu.
„Karenanya, usaha kita bebaskan
Bun-suko kali ini, sekali pun serangan terangduaan, tapi sedapat mungkin kita
rahasia kan. Janganlah kita sampai bertempur dengan pasukan di HangCiu yang
berjumlah satu laksa itu. Pertama, kita £ hindari besarnya korban yang jatuh.
Kedua, kita pun sedapat mungkin pertahankan usaha kita disini,” demikian Thian
Hong achirnya.
“Kata-katamu itu benar, Chit-te!
Ayo, kau lekas keluarkan perintah!” seru Bu Tim.
„Suso, nanti malam kau bakar
bengkel senjata 'Hin Liong' yang terletak disebelah timur dari markas besar.
Sehabis itu, harap lekas-lekas menuju kepintu markas sebelah barat, untuk
menyatukan diri dengan kita,” demikian si Khong Beng itu mulai mengatur.
Lou Ping menerima perintah itu.
Kata Thian Hong pula. “Ma-toako, kau suruh orang undang pemilik dan semua
pegawai bengkel itu kemari. Tak usah bicara apa-apa padanya, nanti setelah
terbakar, kita ganti lipat dua semua kerugian nya. Dan kumpulkan seluruh 400 saudara
kita yang bertenaga kuat. Juga tiga 00 orang lagi saudara kita yang menjadi
tentara pemerintah. Suruh mereka siap disini untuk menunggu perintah.”
Ma Sian Kun kerjakan apa yang
diperintahkan Thian Hong itu.
“Nyo pat-ko, kau bawa dua00,
saudara, yang sepuluh0 orang lagi supaya membawa kaju bakar, suruh mereka
menyaru seperti panyual kaju. Wi kiu-te, kaulah yang pimpin 400 orang itu,
pura-pura seperti barisan pemadam api. Dan Ki-moay, kau bawa
sepuluh0 orang menyaru jadi
pengungsi, setiap orang memikul sepuluh0 kati minyak dan sebuah wajan.”
„Suruh bawa wajan dan minyak, apa
mau suruh masak?” tanya Ciu Ki tertawa geli.
“Tentu ada gunanya,” kata Thian
Hong. „Ciang sip-te, kau bawa sepuluh0 orang menyaru sebagai tukahg batu.
Bawalah ge robak sorong yang berisi gamping !”
Semua orang yang mendengarkan
perintah Thian Hong yang aneh- itu sama tertawa geli, tapi patuh.
„Ma-toako, kau menyaru sebagai
perwira tentara Ceng, kau pimpin tiga 00 saudara dalam tangsi tentara itu untuk
me lakukan patroli diluar tangsi besar. Jangan ijinkan sem barang orang dekat
ketangsi. Juga laranglah semua anak tangsi yang mau keluar masuk. Dan Gi-hu
(Tiong Ing), Beng-toako dan An-toako menyerang dari selatan. Congthocu, totiang
dan aku, menyerang dari barat. Sam-ko, ngo-ko dan liok-ko menyerang dari
utara.”
Habis mengatur, Thian Hong beber
siasatnya. Semua orang sama memuji. Ma Sian Kun segera kerahkan orang-orang nya
untuk menyediakan alats yang diperlukan. Karena HONG HWA HWE besar sekali
pengaruhnya di Hang'Ciu, maka dalam beberapa jam saja. semua perlengkapan itu
sudah beres.
Setelah habis makan, sekaliannya
sama sibuk mempersiap kan diri. Dan berbondong mereka berangkat untuk meng
gempur tangsi besar. Kata Keh Lok pada Thian Hong: „Sun Cu (satu ahli siasat
dijaman Cian-kok). dalam tulisannya mengatakan: 'Menyerang dengan api menjadi
lebih terang, menyerang dengan air menjadi lebih kuat'. Kau pakai ke duanya,
api dan air dan juga batu. Masa Li Khik Siu dapat bertahan?” — Habis berkata,
tertawalah Keh Lok ter-bahakdua.
Dan belum selesai mereka
berkelakar, mendadak terdengar lah suara gemuruh yang keras disusul oleh sinar
api yang berkobar menyulang tinggi, nyata bengkel perbekalan sudah terbakar.
Itulah perbuatan Lou Ping sesuai perintahnya Thian Hong.
Sesudah Lou Ping kobarkan api
dengan letusan batu be lirang dan maCam.dua yang sengaja dibawanya itu, segera
penduduk disekitarnya _pada lari tunggang langgang dan suasana seketika
kaCau-balau. Tapi bila melihat kearah ge dung panglimanya, ternyata disana
tenanga saja.
Lou Ping menunggu dengan sabar
dipinggir tembok rumah, tidak lama, ia lihat dari samping gedung pembesar itu
me nongol keluar beratus kepala perajurit yang telah siap dengan panah
terpasang dibusurnya, nyata penyagaan dilaku kan keras sekali, keCuali itu ada
beberapa puluh perajurit pula yang siap sedia dengan ember air diatas tembok,
tapi hanya menunggu saja dan tidak lantas keluar buat meno long kebakaran.
Diamtiga Lou. Ping pikir Li. Khik
Siu itu ternyata pandai bersiasat jugu” rupanya kuatir kena perangkap musuh
dengan tipu “memanCing harimau keluar dari gunung,” maka beta papun diluar
sudah kaCau-balau, namun ia masih tetap menunggu dengan sabar.
Dalam keadaan kaCau itu, terlihat
pula ada beberapa ratus petani penyual kaju telah merubung datang, dan bila
melihat berkobarnya api, tampak mereka menjadi gugup dan bingung, segera saja
rumput dan kaju kering yang mereka bawa itu terus dibuang begitu saja ditengah
jalan.
Karena itu, satu perwira dari
dalam gedung panglima itu telah berlarl keluar terus mendamperat: „Keparat,
kenapa kaju dibuang disini, bukankah ini akan bertambah berbahaja, lekas
enyah!” — Berbareng itu peCutnya terus disabetkan serabutan hingga para petani
itu lari simpang-siur.
Sedang keadaan semakin rusuh,
sekonyong-konyong suara gem bereng ber-taludua, beberapa kereta penolong bahaja
api telah datang. Sementara itu rumput dan kaju kering yang dibuang para petani
diluar gedung panglima tadi sudah terjilat api juga dan lambat-laun mulai
menyalar.
Sedang ributdua, ratusan
pengungsi palsu yang dipimpin Ciu Ki sementara itu juga sudah datang, terus
saja mereka berhenti ditengah jalan itu dan memasang Cagak wajan, setelah
minyak dituang kedalam wajan terus mereka me nyalakan api dan mulai memasak.
Tatkala itu Li Khik Siu lagi
berdiri diatas tembok untuk memeriksa keadaan kebakaran, ketika dilihatnya
orangtiga yang datang dari luar itu makin banyak-banyak makin aneh, segera ia
kirim ajudannya, Can Tho Lam, pergi menyelidiki.
Karena perintah itu, Can Tho Lam
mendekati kaum pengungsi itu terus membentak: “He, kerja apa kalian disini?”
„Bukankah kami sedang memasak,
kami hendak meng goreng sajur, apa kau tak melihatnya?” sahut Ciu Ki tertawa.
“Keparat, jahanam, lekas enyah,
lekas enyah!” damperat Can Tho Lam ber-ulangdua.
Sedang CeCok mulut, be-ramaidua
Ma Sian Kun sudah datang membawa pasukannya dan mengepung rapatdua gedung
panglima itu serta mengusir pergi orang-orang yang tak ber kepentingan.
“Hai, siapakah kawan yang
memimpin pasukan ini?” teriak Can Tho Lam segera. “Lekas silahkan kemari
mengusir pergi kawanan perusuh ini.........” — Belum habis ia bicara, mendadak
Ciu Ki gunakan gajungnya buat menyen dok segajung minyak mendidih terus
disiramkan kemukanya.
Seketika juga Can Tho Lam rasakan
panas dan sakit luar biasa, ia ter-gulingdua ditanah saking tak tahan, karuan
beberapa perajurit yang mengiringinya sangat terkejut, lekas-lekas mereka
memayang atasannya itu kedalam gedung.
Kejadian itu telah dilihat jelas
oleh perajuritdua lain yang menyaga diatas tembok itu, segera mereka menghujani
panah.
Namun orang-orang Hong Hwa Hwe
siangdua sudah siap sedia, mereka sempat bersembunyi dibalik kereta dorong yang
me muat kaju dan rumput bakar itu, maka sebatang panah saja tiada yang mengenai
mereka.
Dalam pada itu minyak yang
digodok itu sudah mendidih, segera pasukan pemadam api yang dipimpin Wi Jun Hwa
terus sedot minyak mendidih itu dengan pipa kereta penolong bahaja api dan
disemprotkan keatas tembok.
Karena sama sekali tak
menduga-duga, seketika perajuritdua Cing itu terbakar minyak hingga seluruh
muka, lengan dan dada pada melepuh bengkak. Dalam keadaan kaCau itulah,
banyak-banyak diantara mereka terjungkal dari atas tembok itu.
Nampak gelagat jelek, Li Khik Siu
tahu tentu orang-orang
Hong Hwa Hwe yang datang hendak
menolong Bun Thay Lay, maka disamping mengirim orang pergi mengundang bala
bantuan, dilain pihak ia pimpin sendiri tentaranya buat bertahan.
Tak ia duga bahwa orang yang ia
suruh pergi minta bala bantuan itu sampai diluar telah diCegat oleh pasukan
yang dipimpin Ma Sian Kun, sebaliknya api makin lama makin menyilat lebih
dekat.
Sebenarnya Thian Hong yang
mengatur siasat itu melulu suruh membakar rumput kering saja, perlunya hanya
buat menggertak belaka, padahal ia justru kuatir bila benardua gedung panglima
itu terbakar dan Bun Thay Lay tak keburu ditolong keluar, bukankah hal itu
menjadi runyam malah. Namun hal itu sudah tentu tak diketahui Li Khik Siu,
sebaliknya ia bertambah gugup, ia kuatir api benardua men jalar menyilat
gedungnya.
Sementara itu minyak mendidih
yang dibuat semprot itu sudah habis dan diganti dengan air dingin. Tapi segera
si bongkok Ciang Cin memimpin orang-orang nya melemparkan bungkusandua kapur
gamping itu kedalam gedung, dan karena kena disiram air, dengan sendirinya
gamping itu menjadi seperti diaduk hingga panas mendidih juga, tentu saja yang
paling Celaka rasanya jalah perajuritdua Cing yang malang itu.
“Ayolah, saudara-saudara, serbu!”
segera Keh Lok memberi komando.
Dengan semangat me-nyaladua,
sekaligus jago-jago dan anggota
Hong Hwa Hwe itu terus membanyir
kedalam gedung pem besar itu.
Perajuritdua Cing masih berusaha
menahan serbuan itu, namun mana sanggup mereka melawan sepasang kampaknya Ciang
Cin serta ketangkasannya Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa dan jago-jago yang lain.
Maka sambil bertempur perajurit Cing itupun sembari mundur, sampai achirnya
mereka ter desak ke-tengahdua lapangan melatih dan kena diterdyang anggotadua
HONG HWA HWE menjadi kelompokdua kecil dan terkepung.
Melihat perajurit musuh berjumlah
terlalu banyak-banyak, seketika susah juga hendak menaklukannya, maka Thian
Hong tertegun sejenak. Sedang ia memikir, tiba-tiba dilihatnya dengan sepasang
golok terhunus Lou Ping sedang menerobos keluar-masuk ke-ruangandua gedung
pembesar itu untuk men Cari sang suami, Bun Thay Lay.
„Suso, kau keluarlah mengkerahkan
barisan pipa air itu kemari dan suruh adik Ki lekas menggodok air diwajan!”
seru Thian Hong segera.
Cepat-cepat juga Lou Ping terima
perintah itu terus pergi keluar.
Dalam pada itu Tan Keh Lok, Bu
Tim, Tio Pan San, Ciu Tiong Ing, Siang-si Siang-hiap dan lain-lain juga sudah
menerobos kian kemari didalam gedung panglima itu untuk menCari dimana
beradanya Bun Thay Lay disekap. Tapi meski mereka menangkap beberapa perajurit
penyaga dan ditanyai, namun mereka hanya melongo saja tak bisa men jawab, maka
sedikitpun mereka belum tahu dimana Bun Thay Lay berada.
Achirnya Bu Tim menjadi gusar, ia
ajun pedangnya terus menerdyang kedalam pasukan musuh, hanya sekejap saja
tujuh-delapan perajurit dan bintara musuh telah kena dibinasakan.
Sedang Thian Hong memberi
perintah pula dengan bahasa rahasia Hong Hwa Hwe agar para jago-jago itu
be-ramaidua men desak pasukan musuh dan dikepung rapatdua.
Tapi Li Khik Siu adalah panglima
yang sudah berpeng alaman, ia pimpin bawahannya bertahan matiduaan, walaupun
sudah banyak-banyak yang mati atau luka, namun kedudukan per tahanan mereka
masih teratur baik. Sedang pertempuran memunCak, tiba-tiba didengarnya dipihak
lawan ada orang ber seru dalam kata-kata aneh, lalu anggotadua HONG HWA HWE
pada terpenCar minggir.
Karena kuatir lawan menggunakan
muslihat, lekas-lekas, Li Khik Siu memberi perintah: “Tetap ditempat
masing-masing, jangan mengejar, lepas panah !”
Tapi belum selesai ia memberi
perintah, mendadak pihak lawan kelihatan menerobos keluar beberapa buah pipa
air an seketika air mendidih berhamburan dengan santarnya, karena tak sempat
menyingkir, perajuritdua Cing itu menjadi kerupukan kena digodok oleh air
mendidih itu, banyak-banyak yang tergulingdua menyerit sakit terus
desak-mendesak di antara Kawan-kawan sendiri untuk menCari selamat.
„Pipa air berhenti dulu!”
tiba-tiba Thian Hong berteriak. Lalu ia membentak pula kepada perajuritdua
musuh itu: „Yang masih ingin hidup lekas letakkan senjata dan mendekam diatas
tanah!” — Habis itu, tanpa menunggu musuh sempat memikir, Cepat-cepat ia
memberi komando lagi: „Semprot!” — Dan kembali belasan “naga air” itu
berhamburan pula kedalam pasukan musuh.
Dalam keadaan kaCau serta badan
sama melepuh, perajuritdua Cing itu lekas-lekas buang senjata terus mendekam
ketanah. Karena itu Li Khik Siu menjadi sibuk, tapi apa daya?
Sedang ia gugup dan kuatir,
tiba-tiba dilihatnya ada satu pemuda berlari masuk dari luar dengan menghunus
pedang.
„Ayah lekas lari!” seru pemuda
itu Cepat-cepat terus menarik tangan Khik Siu.
Melihat pemuda ini adalah
puterinya yang menyaru lelaki, entah mengapa tenaga puterinya itu ternyata
begitu besar luar biasa hingga sekali kena ditarik lantas ikut berlari.
Dalam pada itu sibongkok Ciang
Cin lantas menghadang datang, begitu sepasang kampaknya membaCok, ia barengi
membentak pula: „Hendak lari kemana !”
Namun Wan Ci mendahului menusuk
pundak orang hingga terpaksa Ciang Cin angkat kampaknya menangkis. Tak terduga
serangan Wan Ci ini hanya pura-pura saja, Cepat-cepat €dua sekali ia telah
tarik kembali pedangnya terus menarik ayah nya menerobos pergi dengan
Cepat-cepat .
Sedianya Ciang Cin hendak
mengudak, tapi Tio Pan San mengenal Wan Ci adalah muridnya Liok Hwi Ching, ia
pikir : “Entah boCah ini ada hubungan keluarga apa dengan panglima ini hingga
telah menolongnya dengan matiduaan, melihat mukanya Liok-toako, biarlah
dilepaskannya pergi !” Karena pikiran itu, segera ia. berteriak : „Sipte,
jangan mengejar ! Paling perlu kita menolong Sute dulu !”
Dan Ciang Cin lantas berhenti tak
menguber lebih jauh.
Sementara itu perajuritdua Cing
sudah membuang senjata mereka seperti seruan Thian Hong tadi, sedang Nyo Seng
Hiap memimpin bawahannya telah menggiring perajuritdua musuh itu kesuatu sudut.
Dengan begitu Tan Keh Lok, Bu Tim
dkk. lantas menCari keseluruh pelosok gedung panglima itu, tapi bayangan Bun
Thay Lay ternyata belum juga diketemukan.
Lou Ping yang tak bisa ketemukan
sang suami, ialah yang paling gopoh rasanya, segera ia tangkap satu perajurit
musuh, dengan gigir goloknya ia gebuk orang sambil mem bentakduanya agar
memberitahu dimana Bun Thay Lay diku rung. Namun perajurit itu hanya mints,
ampun terus, tam paknya memang benardua tidak tahu dimana Bun Thay Lay ditahan.
„Kitai lekas pergi menCegat
panglimanya, tentu dia tahu dimana Suka dikurung,” seru Thian Hong tiba-tiba .
Maka Cepat-cepat para pahlawan
lantas mengejar keluar, tapi tiada berapa tindak, sekonyong-konyong seorang
berkedok telah melompat keluar dari pinggir jalan dan pedangnya terus menusuk
kearah Lou Ping.
Dalam kagetnya Lou Ping sempat
menangkis dengan golok pendeknya ditangan kanan, berbareng golok panyang
ditangan kiri kontan membalas serangan orang. Namun orang itupun dapat menahan
dengan pedangnya, lalu terde ngar ia berkata dengan suara parau: „Kalau ingin
bertemu dengan suamimu, lekas ikut padaku !”
Lou Ping tertegun sejenak oleh
kata-kata itu, sedang orang itu lantas putar tubuh berlari pergi.
“He, apa yang kau bilang tadi?”
segera Lou Ping berseru terus menyusul orang itu.
Karena kuatir terjadi apa-apa
atas diri nyonya jelita itu, Cepat-cepat Ciang Cin dan Ciu Ki juga menyusulnya
dari belakang.
Orang berkedok itu masih terus
lari menuju keruangan belakang sambil membiluk kesini dan memutar kesana,
sedang Lou Ping, Ciu Ki dan Ciang Cin tetap mengintil dari belakang. „Hai,
siapa kau?” demikian terus-menerus Lou Ping membentak menanya orang.
Tapi orang berkedok itu tetap
bungkam seribu basa, me lainkan terus lari saja. Setelah melalui beberapa pintu
bundaran, achirnya sampailah ditaman bunga, sepanyang jalan banyak-banyak majat
bergelimpangan, tentunya terbunuh tatkala Bu Tim cs. menCari kesitu.
Waktu orang berkedok itu berlari
sampai disuatu rumpun bunga, tiba-tiba ia mengitari sekali terus menepuk tangan
beberapa kali, tapi ketika ia hendak buka suara, mendadak dilihatnya Li Khik
Siu dan Li Wan Ci telah berlari kedalam taman itu juga, dibelakang kelihatan
Siang-si Siang-hiap lagi mengejar.
Cepat-cepat orang berkedok itu
melompat kehadapan Siang-si Siang-hiap terus menangkis dengan pedangnya,
kesempatan itulah digunakan Wan Ci dan ayahnya untuk melompat ke atas pagar
tembok taman itu.
Sudah tentu Siang-si Siang-hiap
tak membiarkan buronan nya lolos, sekali mengajun, Siang Pek Ci telah timpukan
Cakar-terbangnya sembari tangan yang lain menghantam orang berkedok itu.
Namun dengan gerakan
“hwe-hong-hut-liu” atau angin lesus menyamber puhun liu, orang berkedok itu
angkat pedangnya menyampok Cakar-terbang, berbareng orangnya melangkah mundur
menghindari pukulan tangan lawan yang lain.
Tak ia duga, kedua saudara Siang
itu diwaktu bertempur selamanya bisa bekerja sama dengan rapat sekali, setiap
gerak-gerik kedua saudara itu dapat dilakukan bagai seorang saja. Maka ketika
Siang Pek Ci memukul, segera Siang He Ci menduga kemana musuh bakal mundur,
ketika orang berkedok itu melangkah mundur, tepat sekali pundaknya kena
digablok oleh balikan tangan Siang Ho Ci yang sudah menanti, tanpa ampun lagi
orang itu menCelat pergi beberapa tindak terus terguling.
„Goko, Lakko, jangan melukai dia!”
teriak Lou Ping tiba-tiba .
Karena itu Siang-si Siang-hiap
terCengang tak mengarti, dalam pada itu orang berkedok itu telah berbangkit
terus menerobos keluar melalui pintu taman bunga itu.
Cepat-cepat dan singkat saja Lou
Ping lantas Ceritakan tindak tanduk orang berkedok yang aneh itu kepada kedua
saudara Siang. Kedua saudara kembar ini sudah lama berkeCimpung dikangouw,
banyak-banyak pengalaman dan luas pengetahuannya, setelah mendengar Cerita Lou
Ping itu, mereka lantas Co ba-Coba meneliti sekitar rumpun bunga itu, tapi
ternyata tiada sesuatu yang aneh.
Dan sedang kedua saudara Siang
itu lagi memikir, semen tara Ciang Cin sudah tak sabar lagi terus menggembar
gembor: “Suko, Suko! Dimanakah , kau, kami telah datang hendak menolong kau!” —
Habis ini, ia ajun kampaknya terus membabati potdua bunga itu hingga
berantakan.
Pada saat itulah, sekilas Siang
Pek Ci melihat dibawah, satu pot bunga yang peCah itu terdapat tanda-tanda yang
aneh, Cepat-cepat ia melompat maju buat memeriksanya. Ternyata dibawah pot itu
terdapat sebuah gelangan besi yang besar, waktu ia menariknya sekuatnya, tiba-
terdengar suara ber Cits yang keras, pelahans tempat dibawah pot bunga itu
lantas menggeser hingga tertampak sebuah papan batu.
Ciu Ki tahu pasti dibawahnya
terdapat alats rahasia mengingat pengalaman dirumahrija sendiri, maka
Cepat-cepat ia berlari keluar memanggil Thian Hong dan Keh Lok cs.
Sementara itu Siang-si
Siang-hiap, Ciang Cin dan Lou Ping berempat sedang berusaha mengangkat papan
batu itu be-ramaidua, tapi batu itu ternyata seperti melengket saja tak
bergerak sedikitpun.
„Toako, toako, apakah kau berada
dibawah?” 'Lou Ping ber-teriakdua sambil menempelkan telinganya kepapan batu
itu untuk mendengarkan, tapi sedikitpun tiada suara dibawah.
Melihat papan batu itu tiada sesuatu
tanda? lain lagi, Thian Hong Coba mundur beberapa tindak untuk memeriksa
keadaan tempat itu lagi, dibawah sorot sinar sang surja, tiba-tiba dilihatnya
diujung kanan papan batu itu lapatdua ter lukis sebuah gambar “Pat-kwa.”
Cepat-cepat saja „Khong Beng” dari Hong Hwa Hwe ini melompat maju terus menutul
tengahdua gambar Pat-kwa itu dengan ujung tongkatnya, namun tiada sesuatu
reaksi, ketika ia menekan lagi lebih keras, mendadak terasalah dibawah kakinya
tergontyang , lekasa ia melompat pergi kesamping.
Pada saat itulah papan batu itu
mendadak ambles kebawah. Karuan yang paling girang rasanya; ialah Lou Ping,
saking tak tahan ia berteriak sekali terus hendak melompat kebawah, baiknya
Siang Pek Ci keburu memanggilnya agar sabar.
Dan betul saja tiba-tiba dari
bawah telah menyamber keluar tiga anak panah, diam-diam Lou Ping berSyukur,
hampira saja dirinya terjebak.
Apabila kemudian mereka menegas
kebawah dimana papan batu tadi ambles masuk, tertampaklah suatu jalan dengan
undakduaan batu.
„Goko, Lakko, kalian berdua
menyaga dimulut goa sini, biar kami yang turun kebawah!” kata Keh Lok.
Dalam pada itu Bu Tim, Tio Pan
San, Ciu Tiong Ing, Nyo Seng Hiap dan Beng Kian Hiong cs. ketika mendengar ada
nya goa itupun sudah menyusul tiba, karena sudah tak sabar ingin bisa
membebaskan Bun Thay Lay, seketika juga mereka menyerbu kedalam goa itu, dengan
mengajun sepasang kampaknya, Ciang Cin lantas membuka jalan.
Setelah mereka turun dari
undakduaan batu itu, dibawah sana ternyata ada satu jalan lorong yang sangat
panyang . Tanpa menghiraukan bahaja, para pahlawan itu terus berlari maju
mengikuti jalan lorong itu. Tapi pada ujung jalan lorong itu ternyata ada
sebuah pintu besi.
Kini Thian Hong sudah
berpengalaman, ia keluarkan batu ketikan api, ia menyinari pintu besi itu, dan
betul juga di ketemukan pula sebuah gambar pat-kwa, kembali ia tekan dua kali
ketitik tengah gambar pat-kwa itu, lalu serunya: „Awas, semua minggir !”
Para pahlawan itu pada mengkeret
mepet dikedua sisi dinding lorong itu, untuk menyaga kalau ada senjata rasia
yang menghambur keluar mendadak. Tapi sekali ini ternyata tiada senjata rasia
apas, Cuma menaiknya pintu besi itu sangat lambat.
Saking tak sabar, belum lagi
gerak naik pintu besi itu berhenti, segera saja Lou Ping lantas mendek
menerobos masuk.
„Hati-hati Suso,” demikian Thian
Hong Coba memperingat kannya, namun saat itu juga Lou Ping sudah masuk dan
disusul oleh Ciang Cin serta Ciu Ki.
Selagi para pahlawan hendak
mengikut masuk juga, terlihatlah Wi Jun Hwa berlari masuk dari luar terus
melapor pada Tan Keh Lok: “Congthocu, panglima itu telah berhasil lolos keluar,
baiknya lekasan kita turun tangan, kuatirnya sebentar ia bakal datang lagi
dengan bala bantuan.”
„Baiklah, kau keluar lagi
membantu Ma-toako, harus lebih banyak-banyak siapkan panah, jangan sampai bala
bantuan bisa masuk,” perintah Keh Lok.
Segera Wi Jun Hwa keluar lagi
dengan tugas itu.
Habis itu Keh Lok dan Bu Tim cs.
lantas menerobos masuk juga dari bawah pintu besi tadi, tapi didalam sana
kembali terlihat sebuah jalan lorong lagi, tapi karena hasrat hendak menolong
Bun Thay Lay semakin memburu, para pahlawan itu tidak pikirkan lagi bakal ada
serangan senjata rasia segala, ber-dujundua segera mereka menyerbu lebih jauh.
Tapi beberapa tombak jauhnya,
kembali jalan lorong itu tampaknya buntu lagi. „Keparat, begini banyak-banyak
alat rahasia nya!” segera Ciang Cin memaki.
Tak terduga ketika sudah sampai
diujungnya, ternyata jalan lorong itu ada bilukan, Cepat-cepat saja pahlawandua
itu membiluk dan mendadak pandangan merekapun terbeliak, ternyata didepan sana
ada sebuah ruangan kecil, didalam ruangan itu terang benderang tersulut
beberapa lilin besar, di-tengah-tengah ruangan ada sebuah kursi dimana berduduk
se orang sendirian dengan pedang terhunus, musuh bujutan bertemu, tampaknya
menjadi lebih jelas, siapa lagi dia kalau bukan Hwe-jiu-poan-koan Thio Ciau
Cong.
Dibelakang Thio Ciau Cong itu ada
sebuah dipan, jelas dapat dilihat oleh Lou Ping bahwa orang yang merebah di
dipan itu terang ada sang suami yang dirindukannya siang dan malam itu.
Dilain pihak ketika mendengar
suara tindakan kaki orang yang riuh, Bun Thay Lay telah berpaling, dan ketika
dilihat nya isteri yang diCintainya itu tahu-tahu berlari mendatangi, serasa
dikiranya dialam mimpi, dan karena tangan-kakinya diborgol tanpa bisa berkutik,
maka ia hanya bisa mengeluar kan suara terkaget saja.
Dalam pada itu segera Lou Ping
menghamburkan dulu tiga buah pisau terbangnya kearah Thio Ciau Cong, habis itu
tanpa dihiraukannya Cara bagaimana musuh itu berkelit, tanpa. pikir lagi ia
menubruk kedepan pembaringan sang suami.
Tapi hanya sekali tangan kiri
Ciau Cong meraup dari kanan kekiri, tigadua hui-to atau pisau terbang Lou Ping
tadi sudah kena ditangkap semua olehnya, saat lain ketika tangan kanannya
menekan knop diatas kursinya, sekonyong-konyong dari atas menganylok turun
sebuah jaring kawat baja hingga dipan tempat merebah Bun Thay Lay itu kena
dikurung rapatdua didalam, perCuma saja suami isteri yang sudah saling
berhadapan itu, tapi tak mampu berdekatan.
“Ayo maju, saudara-saudara, kita
bereskan dulu jahanam ini!” seru Keh Lok gusar. Berbareng itu belatinya terus ia
Cabut dan menubruk maju menikam kedada Thio Ciau Cong.
Bu Tim, Tio Pan San dan Ciu Tiong
Ing Cukup kenal betapa lihainya Thio Ciau Cong, tapi kini dalam keadaan
genting, merekapun tidak menghiraukan lagi tentang per aturan satu-lawan-satu
menurut Caranya perkelahian kaum ksatria, maka mereka bertiga lantas lolos
senjata juga hingga Ciau Cong kena dikepung ditengah.
Keempat lawannya kini adalah
tokohs terkemuka dalam bu-lim atau dunia. persilatan, sekal-ipun kepandaian
Thio Ciau Cong setinggi langit, rasanya saat demikian juga susah hendak
meloloskan diri.
Tapi Ciau Cong tidaklah malu
sebagai seorang jagoan kelas wahid, ia melajani kerojokan musuh dengan tenang
dan tekun, sesudah menangkis beberapa serangan, pada lain kesempatan bahkan
pedang pusakanya „ih-pek-kiam” juga ditusukan buat balas menyerang.
Tiba-tiba Keh Lok selipkan
belatinya dipinggang, lalu dengan tangan kosong ia keluarkan „kim-na-hoat” atau
ilm'u me nangkap dan menawan terus menubruk kearah dada Thio Ciau Cong, ia
pikir semua serangan musuh tentu akan di sambut oleh Bu Tim dan yang lain-lain,
ia boleh menyerang tak perlu pikirkan menyaga diri, maka secara berantai ia me
rangsang terus, dibawah sinar lilin dan berkelebatnya senjata, suatu ketika
tangan kirinya terus menCengkeram kemuke, musuh.
Dalam perlawanan sengitnya itu,
ketika mendadak Ciau Cong melihat telapak tangan orang sudah tiba, tak sempat
lagi ia berkelit, namun ia Coba mengegos terus sedikit men dekuk kebelakang,
dengan begitu Cengkeraman Keh Lok itu menjadi luput. Tapi dilain pihak kedua
pedang Bu Tim dan Tio Pan San berbareng juga sudah menusuk tiba, begitu pula
golok tebal Ciu Tiong Ing telah membabat dari samping.
Lekas-lekas Ciau Cong melompat
mundur dua tindak untuk menghindari babatan golok Ciu Tiong Ing' yang antap dan
Cepat-cepat itu, habis itu ia ajun pedangnya memotong kedua sen jatanya Bu Tim
serta Tio Pan San.
Karena jeri terhadap pedang
pusaka orang yang sangat tajam itu. Bu Tim dan Pan San tak berani mengadukan
senjatanya dan terus berganti gerak serangan, yang satu menusuk keperut dan
yang lain dada kiri orang.
Dalam pada itu Keh Lok dan Tiong
Ing juga sudah me rangsang maju pula, dalam keadaan demikian, sekalipun ilmu
silat Thio Ciau Cong berlipat ganda juga susah me naha*n kerojokan empat jago
kelas satu ini, terpaksa ia mundur lagi dua tindak.
Memangnya ruangan itu tidak
besar, kini ia sudah mundur sampai dipinggir tembok. Girang sekali Bu Tim
melihat itu, ia melangkah maju terus menusuk kedepan mengarah dada musuh,
berbareng Ciu Tiong Ing, Tan Keh Lok dan Tio Pan San juga sudah menyerang
bersama.
Tak terduga mendadak Ciau Cong
ulur tangan kirinya menekan dinding dibelakangnya itu, sedang tangan kanan ia
ajun pedang'nya buat menahan serangan musuh. Ketika serangan Bu Tim semakin
gencar dan makin bersemangat, tampaknya dengan sekali tusuk lagi pasti Ciau
Cong bakal terpantek ditembok itu, siapa tahu mendadak terdengar suara,
gemertak, tiba-tiba dinding itu melekah berwujut satu pintu kecil dan
seCepat-cepat kilat Ciau Cong lantas menyelinap masuk, habis itu pintu kecil
itupun Cepat-cepat merapat kembali, sampai kedua pedang Bu Tim dan Pan San
hampirdua terjepit.
Terkejut sekali keempat orang
itu, Bu Tim mem-bantingdua kaki sambil menCuCi maki, sedang Keh Lok lantas
melompat kehadapannya Bun Thay Lay. Dalam pada itu Ciang Cin, Ciu Ki dan Lou
Ping be-ramaidua sedang angkat senjata mereka berusaha membobol jaring kawat
yang mengurung Bun Thay Lay itu.
Pada saat itulah mendadak
dibagian atas terdengar suara keras, sebuah papan baja tahu-tahu anylok turun
dan dengan tepat memisahkan Bun Thay Lay dibagian dalam. Lekas-lekas Keh Lok
menarik mundur Lou Ping dan Ciu Ki hingga tidak samping tertindih oleh papan
baja itu, saking gemasnya Ciang Cin ajun kampaknya membaCoki papan baja itu.
Waktu Thian Hong memeriksa
dinding itu apa terdapat alat rahasia pembuka papan baja itu, achirnya dapat
dike temukan juga sebuah gambar pat-kwa, ia tekan pula titik
tengah gambar itu seperti tadi,
tapi rupanya Thio Ciau Cong sudah mengunCinya dari dalam, meski sudah belasan
kali Thian Hong menekan sekuatnya, namun sedikitpun tiada bergerak.
Tatkala itu Nyo Seng Hiap berdiri
paling belakang dan menyaga ditempat bilukan jalan lorong itu, mendadak
didengarnya dibagian luar ada suara keriat-keriut dari tali baja yang ditarik,
diam-diam ia tahu gelagat jelek, Cepat-cepat saja ia melompat keluar.
Tapi Thian Hong cs. masih belum
putus asa, mereka masih terus menCari alat rahasia pembuka papan baja itu,
sedang Lou Ping dengan perasaan pedih sekali merabai papan baja itu sambil
meratap: “Toako, toako !”
Sekonyong-konyong terdengar suara
geraman Nyo Seng Hiap di jalan lorong sana, suaranya begitu gugup dan menguatir
kan. Lekas-lekas Tio Pan San dan Ciu Tiong Ing memburu ke sana. Tidak lama
lantas terdengar Pan San ber-teriakdua : “Para kawan lekas keluar, lekas!”
Segera juga Keh Lok dan Thian
Hong cs. berlari keluar, hanya, Lou Ping- yang masih memegangi papan baja itu
merasa berat untuk meninggalkan pergi. Ketika Ciu Ki sudah berlari sampai
ditempat bilukan dan waktu ia berpaling dan melihat Lou Ping masih ketinggalan,
Cepat-cepat ia kembali me nyeretnya keluar.
Kemudian terlihatlah Nyo Seng
Hiap dengan kedua tangannya lagi menyang gah sebuah papan baja tadi yang
beratnya beribu kati itu, begitu payah tampaknya hingga ji dat Seng Hiap sudah
penuh berkeringat. Lekas-lekas Tiong Ing melempar senjatanya, ia menorobos
keluar dulu terus ber jongkok buat menahan pintu baja itu keatas.
Nampak keadaan berbahaja,
Cepat-cepat Keh Lok berseru: „Kita keluar saja dahulu buat menCari jalan lain.”
Segera pada pahlawan itu
menerobos lewat melalui bawah papan baja yang sudah hampir menempel tanah itu,
begitu berat papan baja itu, meski Seng Hiap dan Tiong Ing sudah keluar
sepenuh. tenaga, tapi masih terus menurun pelahan kebawah.
„Ciu-loenghiong, Pat-ko, biar aku
menahannya!” segera Ciang Cin berseru, ia berjongkok kebawah dan gunakan
punggungnya yang bongkok itu untuk menyaggah papan baja itu, sedangkan Seng
Hiap dan Ciu Tiong Ing Cepat-cepat lantas melompat keluar.
Lantas Seng Hiap menyemput
kembali rujung bajanya yang diletakkannya ditanah tadi untuk ditegakkan buat me
nahan menurunnya papan baja1 itu sambil berkata: „Lekas keluar Sipte !”
Cepat-cepat juga Ciang Cin
mendekam kebawah hingga tu runnya papan baja itu kena disanggah rujung bajanya
Seng Hiap tadi, sedang lengan Ciang Cin telah diseret Seng Hiap keluar, maka
terdengarlah suara gemuruh yang keras, rujung baja patah kena tertindih oleh
papan baja yang mengan jlok ketanah itu hingga debu berhamburan, kerasnya bukan
main.
Sebaliknya Seng Hiap dan Ciang
Cin menjadi kehabisan tenaga, mereka mendoprok kelantai untuk sementara.
Dalam pada itu kembali dijalan
lorong itu ada suara ber larinya orang lagi, Siang He Ci telah berlari masuk
mem beritahu, katanya: „Congthocu, Gi-lim-kun telah sampai diluar, apakah kita
harus bertahan tidak?”
„Cntuk keras lawan keras,
kedudukan tidak menguntung kan kita, kita mundur teratur saja,” ujar Thian
Hong.
„Baik,” kata Keh Lok akur.
“MariIah lekas kita keluar !”
Maka Cepat-cepat lah para
pahlawan itu berlari keluar jalan lorong itu. Sampai ditaman tadi, tiba-tiba
terlihat satu wanita muda yang bersolek dengan Cantik dan mewah sekali, sikap
nya gugup dan wajahnya takut-takut. “Tangkap!” bentak Keh Lok. Segera juga Ciu
Ki seret wanita itu dan dibawa lari.
Sampai diluar gedung- panglima
itu, ternyata diluar sudah penuh dengan orang, keadaan kaCau balau, para
perajurit pemerintah dan anggota HONG HWA HWE ber-jubeldua menjadi satu,
lekas-lekas Keh Lok menggunakan kode HONG HWA HWE untuk berseru : „Segera juga kita.
mundur, be-ramaidua kita berkumpul di pintu utara !”
Karena perintah itu,
ber-kelompokdua anggota Hong Hwa Hwe itu lantas mundur kearah utara. Kejadian
ini bikin pasukan pemerintah seketika bingung, tapi merekapun tidak mengejar.
Sebab usaha gagal, ditengah jalan
para jago Hong Hwa Hwe itu ramai berunding. Sampai diluar kota, lantas Keh Lok
berseru pula: “Kita berkemah kebukit kira-kira sepuluh li diluar kota sana baru
merundingkan tindakan selanyutnya.”
Baiknya Ciu Ki dengan regunya
membawa wajan dan minyak, ada beberapa regu lain juga segera menyiapkan beras
dan sajur-majur, lalu mereka berkemah dirimba yang dituju itu.
„Kau jangan kuatir, Su-moay,
kalau Sute tidak bisa di tolong keluar dengan selamat, kita bersumpah bukan
manu sia lagi,” demikian Bu Tim Coba menghibur Lou Ping.
Ada juga yang sedang menCuCi maki
Thio Ciau Cong yang jahat tak terampun itu, dua kali mereka berusaha menolong
Bun Thay Lay selalu digagalkan olehnya. Begitu pula mereka tidak mengarti
siapakah gerangan siorang ber kedok itu, ia memberitahu dimana tempat Bun Thay
Lay ditahan, sudahlah terang ia adalah kawan, tapi kenapa tak mau perlihatkan
mukanya, sebaliknya malah membantu selamatkan Li Khik Siu, sungguh hal ini
membikin bingung orang.
Sedang mereka ramai berunding,
tiba-tiba terdengar diluar rimba itu berkumandang suara teriakan: “Aku Bu — Wi
Yang, Aku Bu — Wi Yang!” — Itulah suara teriakan pem buka jalan kawanan po-pio
atau tukang kawal.
“Ha, itulah barang kawanan Tin
Wan piaukiok telah sampai disini,” kata Pan San.
„Kurangajar orang-orang Tin Wan
piaukiok itu, meski manusia she Tong itu sudah kena dibunuh Chit-ko, namun
rasanya masih belum bisa melampiaskan rasa dendamku,” demikian Lou Ping memaki.
“Sekali ini mereka benardua beruntung, barang yang mereka kawal adalah milik kediaman
Congthocu, kalau tidak, hm, anehlah kalau aku tidak merampasnya?”
Dalam pada itu Thian Hong telah
menarik Keh Lok He samping, ia membisikinya: “Hongte bilang dalam tiga harini
akan membunuh Suko, hal ini jangan sampai diketahui Suso, kalau tidak, karena
kuatir mungkin ia bisa melakukan haldua nekad hingga bikin urusan bertambah
runyam.” Keh Lok mengangguk membenarkan.
Lalu kata Thian Hong lagi: „Dan
sesudah keributan kita ini, besar sekali kemungkinan Hongte menjadi kuatir dan
mendahului membunuh Suko sebelum waktunya.”
„Ja, inilah harus kita pikirkan
memang,” ujar Keh Lok mengkerut kening.
„Sekarang tiada jalan lain,
terpaksa merampas vaas-nya,” kata Thian Hong pula.
„Vaas?” tanya Keh Lok tak paham.
“Ja, bukankah tadi Cap-ji-long
bilang orang Hwe meng haturkan sepasang 'Giok-bin' (vaas dari jade) sebagai
tanda permintaan damai dan dalam kawalan Tin Wan piaukiok,” kata Thian Hong.
“Dan kalau Hongte sudah kirim pasukan ekspedisinya kebarat, soal damai terang
tidaklah mungkin diterima, dan kalau tidak mau terima permintaan damai, dengan
sendirinya 'giok-bin' itu harus ditolak kembali, bila tidak. tentu akan
kehilangan kepercayaan umum. Dan jus tru situa Hongte ini paling suka diumpak,
suka martabat, terhadap urusan nama baik tentu akan dipikirkannya.”
“Jadi kalau sudah kita dapatkan
vaas itu lantas kita pergi pada Hongte dan bilang padanya sekalia jangan bikin
susah Bun-suko seujung rambutpun, atau bila terjadi apa-apa atas dirinya,
lantas kita remukan vaas itu,” kata Keh Lok.
“Begitulah memang maksudku,”
sahut Thian Hong. “Ke lak sekalipun tak dapat mengulur tempo buat berapa hari
lagi, hal ini menguntungkan juga Bok-lunghiong didaerah Hwe sana.”
„Bagus, biar sekalian kita
men-jajaldua Ong Hwi Yang yang berjuluk 'Wi-Cin-ho-siok' itu,” kata Keh Lok
senang.
Sesudah ambil keputusan itu,
lantas Keh Lok mendekati para pahlawan yang lain serta berkata : „Wi-kiuko,
seka rang juga pergilah kau menyelidiki keadaan barang kawalan Tin Wan piaukiok
itu dan segera kembali melaporkan.”
Cepat-cepat juga Jun Hwa menerima
perintah sang ketua itu terus pergi. Ong Hwi Yang yang berjuluk
„Wi-Cin-ho-siok” atau wibawanya menggetarkan daerah Hopak dan Soatang, usianya
tahun ini sudah enamsembilan tahun, sejak berumur tiga puluhan ia lantas
berkelana dan mengawal piau, dengan goloknya „pat-kwa-to” serta ilmu pukulannya
„pat-kwa-Cio” telah menggetarkan seluruh kalangan lok-lim didaerah utara tanpa
tandingan. Dahulu pernah sekali terjadi perta rungan dikota Po-ting, dimana
seorang diri ia telah binasa kan tujuh orang gembong bandit yang tersohor
hingga orang-orang kalangan hek-to peCah nyalinya mendengar namanya dan julukan
„Wi-Cin-ho-siok” justru diperoleh karena kejadian itu.
Tin Wan! piaukiok yang dia
dirikan itu selama tiga 0 tahun sangat terkenal didaerah utara dan selama itu
berdiri dengan megahnya meski banyak-banyak juga mengalami rintangandua,
orang-orang lok-lim suka bilang : „Lebih baik ketemu Giam Ong (raja achirat)
daripada kesemplok dengan lau-Ong (Ong situa, maksudnya Ong Hwi Yang)”. Siapa
saja melihat panyiduanya, tentu tak berani sembarangan turun tangan.
Sebenarnya Ong Hwi Yang bermaksud
tahun depan sesudah merajakan ulang tahunnya yang ke-tujuh0 lantas akan me
nutup perusahaannya itu dengan gilang-gemilang, siapa duga tahun ini telah
banyak-banyak terjadi haldua yang tidak meng untungkan. Tatkala mengawal kitab
Alkur'an dari daerah Hwe atas perintah jenderal Yauw Hwi, ditengah jalan telah
terjadi kitab suCi itu dirampas orang, bahkan tidak sedikit piauthaudua
pembantunya yang kuat luka atau tewas.
Sekali ini Hongte menyuruh
menghantar „giok-bin” kese latan, telah ditunyuk ia sendiri yang harus
mengawal, ber bareng itu iapun mendapat permintaan mengawal barang milik Tan
Siang Kok di Hayling.
Meski usia Hwi Yang sudah lanyut,
tapi kepandaiannya ternyata tidak pernah berhenti melatih, ia tahu tugas sekali
ini sangat berat, maka tak berani ia berlaku ajal, dari ber bagai kantor
Cabangnya ia tarik kembali enam pembantu yang kuat, disamping itu pemerintah
mengirimkan juga empat jago bayang kari keraton beserta tiga 0 perajurit
Gi-lim-kun untuk mengawal. Karena itulah, sepanyang jalan sedikitpun tiada aral
lintang meski mereka selalu ber-jagadua.
Harini sudah lohor, jarak mereka
dengan kota Hang-Ciu hanya belasan li saja, perjalanan sejauh itu sudah
banyak-banyak penduduknya, tampaknya sudah pasti takkan terjadi apa-apa lagi.
Karena itu semua orang yang mengawal itu sangat gembira, mereka sama sibuk
merenCanakan Cara bagaima na nanti akan pesiar se-puasduanya sesudah tiba
sampai dikota 'sjorga' itu.
Selagi mereka .berCakap dengan
senang, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dari belakang telah menyalip
lewat Se orang penunggang kuda dengan Cepat-cepat .
Melihat ilmu menunggang kuda
orang itu sangat tinggi, pula gerak-geriknya tertampak hebat, tak tertahan hati
semua orang rada tergontyang ; tapi bila pikir HangCiu sudah didepan mata, tak
mungkin kiranya ada orang berani turun tangan disini.
Setelah dua li lagi, dari depan
suara derapan berbunyi lagi, ternyata orang yang lewat tadi telah kembali dari
sana. Sekali ini Ong Hwi Yang cs. Coba ber-hati-hati, tapi orang itu terlihat
menutupi setengah mukanya dengan sebuah topi rumput yang berpinggiran lebar,
hanya sekejap saja kudanya sudah melewati rombongan mereka.
Nyata tindak-tanduk orang itu
mirip benar dengan matadua pengintai kawanan begal dikalangan kangouw.
„Ha, masakan ada segala penyahat
berani tepuk lalat diatas kepala harimau?” demikian Ong Gok Thian pemimpin
Cabang Tin Wan piaukiok dikota Hongthian, telah berkata dengan tertawa.
„Memangnya kita lagi kesel, kalau
bisa membunuh beberapa gergajul juga baik rasanya,” ujar Be King Hiap, salah
seorang jago pengawal yang ikut serta.
Tak lama lagi tibalah mereka
sampai disuatu kota, sebagai seorang kawakan kangouw, Ong Hwi Yang orangnya
sangat Cerdik dan hati-hati, katanya lantas pada Kawan-kawan nya: „Meski jarak
sampai di HangCiu hanya sepuluh li saja, tapi aku lihat orang tadi agak
menCurigakan, jangan kita Buru-buru memburu waktu, tapi berhentilah disini
bersantap dahulu, seandainya nanti terjadi apa-apa, sesudah perut kenyang biar
ada tenaga untuk membereskan penyahatnya.”
Habis itu mereka lantas memasuki
satu restoran besar dan meminta daharan.
„Setibanya di HangCiu dan
serahkan barang kawalan, barulah kita membuka pantangan meminum arak,” demikian
kata Hwi Yang pula.
Tentu saja ikatan demikian ini
bagi Be King Hiap cs. yang bertugas sebagai jago bayang kari, menjadi kurang
senang. Kota HangCiu sudah didepan mata, tapi masih perlu berlaku begitu
hati-hati, sesungguhnya terlalu lemah. Tapi usia Ong Hwi Yang lebih tua,
namanya lebih tenar, apa yang dia bilang terpaksa harus diturut.
Dan sedang mereka angkat mangkok
hendak makan, tiba-tiba terdengar suara meringkiknya seekor kuda bagus diluar
pintu, suaranya nyaring luar biasa.
Suara binatang itu ternyata
sangat menusuk telinga Han Bun Tiong yang ikut mengawal dalam rombongan Ong Hwi
Yang ini, Cepat-cepat ia melongok keluar, dan betul saja dilihat nya kuda
kesajangannya dulu itu lagi lewat didepan dengan pelahandua, diatas binatang tunggangan
itu bukannya orang, tapi penuh dimuat kajudua bakar.
Ternyata kuda bagus telah disalah
gunakan sebagai kuda muatan, tentu saja Han Bun Tiong sangat sayang juga gusar,
sekali melompat ia memburu kuda itu hendak menarik tali kendalinya,
Siapa duga dibelakang kuda itu
mengikut seorang desa, ketika mendadak melihat Han Bun Tiong melompat keluar,
lebih dulu orang desa ini telah memeCut sekali bebokong binatang itu, lalu
orangnya menCemplak keatas kuda dan berduduk diatas tumpukan kaju bakar itu.
Sekali Han Bun Tiong menarik tak
kena, sementara itu kuda itu sudah melompat pergi belasan tombak jauhnya.
Ketika melihat Bun Tiong tak mampu menyandak larinya kuda, orang desa tadi
tiba-tiba berteriak sekali, duduknya seperti tidak benar dan akan merosot
jatuh.
Karena itu Bun Tiong menjadi
panas hatinya, kembali ia mengudak, tapi sesudah membiluk kesana dan putar
kesini, achirnya kuda itu telah berlari masuk kedalam satu rimba.
Melihat orang hanya seorang udik
saja, Bun Tiong pikir kenapa harus takut, maka iapun tidak pikirkan lagi
tentang pantangan „ih-lim-bok-jip” atau ketemu rimba jangan dimasuki, segera
saja ia menguber kedalam rimba.
Ketika para piauthau melihat Han
Bun Tiong pergi memburu seorang udik, maka merekapun tidak ambil perhatian.
Kata Ong Gok Thian dengan tertawa: „Ha, rupanya memikir kan kudanya yang hilang
itu hingga Han-toako hampirdua gila, ditengah jalan melihat kuda orang yang
berbulu putih se dikit lantas disangka kudanya terus diuber hendak melihatnya
yang jelas. Jangandua besok kalau sudah kembali dirumah dan melihat tubuh enso
Han yang putih bisa juga disangka kudanya.”
Karena kata-kata itu, segera
semua orang ter-bahakdua.
Sedang berkelakar, tiba-tiba terdengar
pelajan ber-ulangdua me nyapa tetamu lain, katanya: “Thio-loya, silahkan duduk
disini saja, harini kenapa sempat pesiar keluar !”
Lalu terlihatlah seorang yang
memakai baju panyang dari sutera dan berdandan seperti saudagar besar telah
masuk, dibelakangnya mengikut empat Centeng, ada yang membawa kantong
tembakaunya dan ada yang menyinying kan kotak makanannya, lagaknya ternyata
besar sekali.
Thio-loya itu memilih satu tempat
yang baik, lalu pelajan membawakan teh serta menyilat dengan berbagai perta
nyaandua yang memikat. Kemudian pelajan itu pergi dan datang pula dengan
senampan daging dan arak yang menguarkan bau semerbak.
“He, sudah begini lama, kenapa
Han-laute masih belum kembali?” tiba-tiba Hwi Yang teringat pada Han Bun Tiong
yang menguber orang desa tadi.
Dan selagi Sun lo-sam, situkang
teriak dijalan, hendak menyawab, tiba-tiba dari luar terdengar suara tindakan
orang yang menyeret sandal, lalu masuklah seorang lakidua kurus kecil,
dibelakangnya mengikut satu nona dan seorang lakidua tegap. Ketiganya berdandan
seperti orang pengelana.
Sesudah berada ditengah ruangan,
tiba-tiba lelaki kurus kecil itu memberi hormat sekeliling, lalu katanya: „Kata
pribahasa, dirumah tergantung orang tua dan diluar tergantung kawan. Cayhe
ter-luntadua dikangouw, kini ada sedikit permainan hendak disuguhkan sebag4i
penghibur para tamu yang ter hormat, kalau sekiranya bagus, mohonlah tuandua
suka memberi persen sekedarnya, dari kalau jelek permainanku, masih mengharap
juga petunyukdua dan memaafkan.”
Habis itu ia tambahi lagi
beberapa kata kangouw yang umum sebagai pembukaan lalu topinya yang sudah butut
itu ditanggalkannya, diambilnya pula sebuah tyang kir diatas meja terus ditutup
dengan topinya.
“Hilang!” mendadak ia berteriak
terus topi itu diangkat nya. Betul saja, tyang kir tadi ternyata sudah tak
kelihatan.
Semua orang sudah tahu juga bahwa
sunglapan hanya palsu saja, tapi Cara bagaimana tyang kir itu menghilang tak
dapat juga diketahui.
RUPANYA orang yang dipanggil
Thio-loya tadi menjadi ketarik, ia berbangkit dan mendekati.
„Apakah pipa tembakau LoyaCu ini
boleh dipinyam se bentar?” kata silelaki pendek tukang sunglap itu dengan
tertawa.
Ternyata Thio-loya itu tidak
keberatan, dengan berseri-seri ia angsurkan pipa tembakaunya. Lalu sipendek
masukan lagi pipa tembakau kebawah topinya. Dan waktu dibuka, lagi-lagi pipa
tembakau itu sudah tak berbekas.
„Awas kau, pipa tembakau itu
sangat mahal, jangan sampai kau bikin rusak,” sela seorang Centeng Thio-loya
itu dengan tertawa.
„Coba kau merogoh sakumu,” ujar
sipendek.
Dan waktu Centeng itu masukan
tangannya kedalam saku, seketika ia terCengang; pelahan tangannya ia keluarkan,
dan semua orangpun terkesima, ternyata pipa tembakau itu benar dirogoh keluar dari
saku Centeng itu.
Dengan demikian, tidak saja itu
Thio-loya bersama Cen tengnya merasa heran, bahkan para piauwsu serta jago-jago
bayang kari itupun merasa aneh, be-ramai mereka lantas merubung maju buat
melihat sunglapan itu.
Dalam pada itu dari luar restoran
ber-turuta telah masuk lagi belasan orang, ada saudagar, ada yang berdandan pe
tugas negeri, ada pula perwira tentara. Ketika dilihatnya orang banyak-banyak
berkerumun menonton sunglapan, tanpa merasa merekapun ikut merubung maju.
„Ah, oranga kangouw biasanya
menipu belaka, kentut apa yang perlu dibuat heran? Kalau berani, Coba barangku
ini kau berani sunglap tidak?” demikian tibaa seorang perwira memaki terus
menggebrak keatas meja.
Waktu semua orang memandang,
ternyata diatas meja itu diletakkan sepuCuk surat dinas yang tertulis
disampulnya tandaa surat dinas kilat dan alamat pengirimnya adalah panglima
HangCiu.
„Ai, harap paduka tuan jangan
marah, hamba hanya sekedar menCari sesuap nasi saja, betapapun besar nyali
hamba masakan berani menyunglap surat dinas pemerintah yang maha penting itu,”
jawab sipendek tukang sunglap tadi dengan tertawa.
Agaknya Thio-loya tadi kurang
senang oleh lagak siperwira itu, maka katanya: „Hanya sunglapan saja apa
salahnya, biarlah kau lantas Coba menyunglapnya.” — Habis ini ia berpaling
kepada Centengnya dan berkata pula: “Bawakan sepuluh tail perak kemari.”
Ketika Centengnya membuka
buntalan yang dia bawa dan mengangsurkan sebongkot perak, lantas Thio-loya itu
letakan uang perak itu diatas meja sambil berkata pada sipendek: „Nah, bila kau
menyunglap lebih baik, uang ini adalah mi likmu.”
Melihat uang, rupanya mata
sipendek itu menjadi merah, ia menoleh bisika dengan sinona kawannya itu,
kemudian baru katanya pada perwira tadi: „Hamba beranikan diri untuk main
sunglap, Cuma mohon paduka tuan sukalah memaafkan.”
Habis itu ia angkat topi bututnya
terus menutup keatas sampul surat diatas meja sambil mulutnya mem-bentak; „Hat,
hut, Kau-Ce-thian datang, Ti-pat-kay tolonga !”
Mendengar gembar-gembor situkang
sunglap yang tak karuan itu, mau-tak-mau Ong Hwi Yang merasa geli juga. Ia
lihat tangan sipendek itu tudang-tuding kesini dan kesana, lalu tiba-tiba
menuding kearah kotak yang berisi vaas jade itu terus membentak lagi: „Hat,
hot, masuk, masuk, Kau-Ce-thian masuk kedalam kotak dan lenyap !”
Dan ketika topi dibuka, benar
saja sampul surat itu sudah tak kelihatan lagi.
“Anak kura, benar pandai juga,”
demikian perwira tadi memaki.
Sebaliknya situkang sunglap itu
lantas memberi hormat pada Thio-loya itu sambil berkata: „Banyak-banyak terima
kasih atas hadiah Loya.” — Segera bongkotan perak itu diambilnya dan diteruskan
kepada sinona yang berdiri disampingnya. Sedang semua orang tiada hentinya
bersorak memuji.
„Baiklah, sudah, mana suratku,
serahkan kembali,” kata perwira tadi.
,.Didalam kotak ini, silahkan
paduka tuan membukanya,” sahut sipendek itu dengan tertawa.
Tapi demi mendengar jawabannya
ini, seketika orang-orang piauhang dan jago-jago pengawal yang ikut serta itu
terperan jat. Kiranya kotak kulit itu diatasnya disegel rapat dengan tanda
milik keraton, siapa orangnya yang begitu besar nyali nya berani membukanya?
Tapi perwira itu ternyata tidak
peduli, ia mendekati dan ulur tangannya hendak memegang kotak itu.
„He, tuan, inilah barang milik
keraton, jangan Coba dipegang,” segera piauthau Ong Gok Thian itu memper
ingatkan.
„Jangan kau bergurau,” sahut
perwira itu dan tangannya tetap hendak menggerayang i.
Namun bayang kari keraton Be King
Hiap segerapun buka suara: “Siapa yang bergurau dengan kau? Lekas kau ming gir
!”
Melihat King Hiap berpakaian
sebagai jago bayang kari, pangkatnya lebih tinggi dari dirinya, maka perwira
itu tak berani membantahnya, lalu pintanya: “Kalau begitu, silahkan Taijin
kembalikan surat dinasku itu.”
Sebab itu, lantas King Hiap
membentak situkang sunglap tadi: „Ayo, jangan kau main gila, lekas kau
kembalikan surat dinas tuan ini.”
„Tapi surat itu benara didalam
kotak ini, kalau Taijin tak percaya, silahkan membuka dan memeriksanya,” sahut
sipendek itu.
Karuan perwira itu menjadi gusar,
sekali jotos ia hantam kena pundak sipendek sambil membentak: “Kurangajar,
masih Cerewet, tidak lekas kau kembalikan?”
Karena kawannya dipukul, sinona
menjadi gusar, selanya segera: „Kalau ada urusan bisa dirunding baik-baik ,
kenapa kau pukul orang?”
“Bangsat, keparat, surat dinasku
berani kau gunakan buat main gila!” perwira itu lantas menCuCi maki.
Karena itu Thio-loya tadi tidak
bisa tinggal diam, ia me misah: “Janganlah main kasar,” lalu ia berpaling pada
situkang sunglap. dan katanya: “Baiknya lekas kau kembalikan surat dinas tuan
ini.”
„Tapi mana berani aku mendustai
Loya, surat itu sesung guhnya berada didalam kotak ini dan tak mungkin
disunglap kembali lagi,” sahut sipendek itu dengan muka muram.
Lantas Thio-loya itu mendekati Be
King Hiap dan me nanya: „She apakah Taijin ini?”
“She Be,” sahut King Hiap.
“Tampaknya orang kecil begini ini
susah diajak urusan, maka sukalah Be-taijin memberi tolong mengembalikan sampul
suratnya,” kata Thio-loya pula.
„Kembalikan? Andaikan betul
berada didalam kotak ini, tapi ini adalah milik keraton, keCuali titah kaisar,
siapa yang berani membukanya?” sahut Be King Hiap.
Karena. itu, Thio-loya mengkerut
kening dan tampaknya ikut serba salah.
“Kalau kau tidak kembalikan surat
dinasku hingga tugasku terhalang, tentulah aku bakal dipenggal kepala,”
demikian kata perwira tadi. „Lihatlah, saudara-saudara, Coba kalian mem be
rikan pertimbangan yang adil !”
Segera belasan perwira dan
perajurit yang berada disitu yang - berpakaian seragam seperti perwira itu,
lantas merubung maju membenarkan sang kawan dan berkeras meng haruskan Be King
Hiap mengembalikan surat dinasnya.
Ong Hwi Yang adalah kawakan
kangouw selama berpuluh tahun, ia lihat kejadian yang menCurigakan itu, ia
pikir urusannya berpangkal pada sipendek tukang sunglap itu, maka sekali tangan
diulur, segera sipendek itu hendak dipegangnya.
Namun sipendek itu sempat
mengegos pergi terus ber teriak: „Paduka tuan, ampunilah daku !”
Melihat gerak orang begitu gesit
dan Cepat-cepat , rasa Curiga Ong Hwi Yang semakin menjadi , dan selagi ia
hendak menguber, sementara itu belasan perajurit tadi sudah ribut juga dengan
para piauthau serta jago- bayang kari.
Melihat gelagat jelek, Ong Gok
Thian telah bopong kotak kulit itu kerangkulannya, piauthau yang lain berdiri
menyaga disampingnya. Sedang Be King Hiap terus melolos goloknya dan membaCok
keatas meja sambil membentak : “Siapa berani mengaCau lagi? Lekas enyah !”
Tapi perwira tadipun lantas Cabut
senjatanya dan men jawab: „Kalau kau tak kembalikan suratku, nanti juga aku.
bakal Celaka, biarlah sekarang juga aku, adu jiwa padamu! Ayo, saudara, serbu
saja !”
Habis itu orangnya lantas
menubruk maju terus saling gebrak dengan Be King Hiap. Ber-ulang Ong Hwi Yang
membentak agar berhenti, tapi perajurit yang lain-lain sudah angkat senjata
pula terus menyerbu hingga keadaan menjadi saling kerojok.
Be King Hiap adalah jagoan kelas
satu diantara pasukan jago-jago pengawal, tapi kini sesudah beberapa jurus
melawan perwira rendahan tadi, ternyata sedikitpun tidak lebih unggul, bahkan
dilihatnya ilmu permainan golok musuh sangat bagus nya, ilmu silatnya ternyata
sangat tinggi, karuan ia terkejut terCampur gusar; sesudah beberapa gebrakan
pula, malahan pundaknya hampir kena dimakan golok musuh.
Sedang keadaan kaCau-balau,
tiba-tiba dari luar ber-dujun masuk lagi serombongan orang, lalu ada orang
telah ber teriak: „Siapa berani bikin rusuh disini, tangkap semua!”
Para perajurit tadi rupanya
menjadi keder oleh suara gertakan itu hingga semuanya lantas berhenti. Karena
itu barulah Be King Hiap merasa lega, ia lihat beberapa puluh perajurit
mengiringi seorang Kongcu muda telah masuk kedalam restoran itu, segera Kongcu
ini dapat dikenalinya sebagai “anak emas” kaisar Kian Liong sekarang yang ber
nama Hok Gong An, kini menyabat panglima kotaraja merangkap komandan pasukan
pengawal itu, maka lekas-lekas ia maju memberi hormat, begitu pula jago-jago
bayang kari lain ikut maju menyura.
“Ada apa kalian ribut disini?”
segera Kongcu muda itu menanya.
“Lapor Taijin, mereka itulah yang
bikin kaCau disini tanpa sebab,” sahut King Hiap. Habis itu iapun tuturnya apa
yang terjadi tadi.
“Dimana situkang sunglap itu?”
tanya Kongcu itu.
Sebenarnya sipendek tukang
sunglap itu telah menyingkir jauh-jauh disuatu sudut, kini terpaksa tampil
kemuka dan memberi hormat.
„XJrusan ini agak aneh, biarlah
kalian ikut aku ke HangCiu, biar aku memeriksanya yang teliti,” kata Kongcu itu
pula.
„Ja, terserah kebijaksanaan
Taijin,” sahut King Hiap.
“Baiklah, berangkat sekarang!”
perintah Kongcu itu. Lalu ia mendahului melangkah keluar, sedang perajurit yang
ia bawa terus menggiring orang-orang piauhang serta perwira yang menimbulkan
gara itu.
Oleh karena Curiga, sebenarnya
Ong Hwi Yang sudah lolos senjata hendak menaklukan perwira yang menimbulkan
gara tadi baru kemudian akan diajaknya bicara baik-baik , siapa duga mendadak
kedatangan komandan Gi-lim-kun, Hok Gong An, karuan ia menjadi girang.
“Hok-taijin,” kata Be King Hiap
kemudian kepada Kongcu itu, “inilah Ong Hwi Yang, Ong-lopiauthau dari Tin Wan
piaukiok.”
Segera juga Hwi Yang maju kedepan
memberi hormat.
Tak terduga Kongcu muda itu
ternyata tidak begitu gu bris padanya, hanya dari kaki sampai kepala ia
mengamat amati orang sejenak, lalu terdengar ia menyengek terus
berkata: „Berangkatlah !”
Sesudah sampai dikota HangCiu,
Ong Hwi Yang dan kawan-kawan. dengan mulut bungkam terus ikut pasukan
Gi-lim-kun itu menuju kesuatu gedung besar ditepi Se-ouw, diam-diam Hwi Yang
pikir mungkin inilah tempat kediaman Hok-thongling, ia adalah “anak emas”
kaisar, pantas kalau begini hebat lagak-lagunya.
Dan sesudah semua orang masuk
kedalam gedung itu, segera Kongcu muda itu berkata pada Be King Hiap: „Ka-lian
menunggulah sebentar.” —¦ Habis itu iapun tinggal masuk kedalam.
Tak lama kemudian, seorang perwira
keluar memanggil siperwira yang bikin gara, tukang sunglap, Thio-loya beserta
Centeng-centengnya.
“Sungguh tadi aku menjadi kuatir
kalau vaas pusaka ini dibikin rusak mereka, tampaknya asal-usul kaum perusuh
itu tidaklah beres,” demikian kata Ong Gok Thian.
„Ehm, ilmu silat beberapa orang
itu sungguh bagus sekali, tidak mirip seperti perwira biasa,” ujar Be King
Hiap. „Baiknya kita ketemukan Hok-taijin, kalau tidak entah apa jadinya tadi.”
„Lwekang Hok-taijin itu sungguh
mendalam sekali, seorang Kongcu bangsawan bisa memiliki latihan begitu bagus,
sungguh tidaklah gampang,” demikian Ong Hwi Yang ikut berkata.
„Apa, lwekang?” tanya King Hiap
heran. „Darimana kau tahu ilmu silat Hok-taijin sangat bagus?”
„Dari sinar matanya, pasti ilmu
silatnya bukan kaum lemah,” sahut Hwi Yang. „Cuma orang-orang dalam keluarga
bangsawan tidak sedikit juga orang pandai, hal ini tidak perlu dibuat heran.”
Dan sedang mereka berbicara,
tibaa perwira tadi keluar lagi memanggil: „Ong Hwi Yang dari Tin Wan piaukiok
silahkan masuk.”
Segera Hwi Yang berdiri dan ikut
orang masuk kedalam.
Setelah melewati ruangan,
sampailah diruangan be-lakang, ia lihat Kongcu muda tadi duduk ditengah,
didepan-nya satu meja tulis dan ke sisinya berbaris perajurit, sipendek tukang
sunglap itu dan Thio-loya berlutut disebelah kiri.
Ketika Ong Hwi Yang masuk, ke
baris perajurit itu segera membentak: “Berlutut!”
Sampai disitu tak-dapat-tidak Ong
Hwi Yang terpaksa tekuk lutut.
Lalu terdengarlah Kongcu itu
telah menanya: “Hm, apakah kau ini Ong Hwi Yang?”
“Ja, hamba Ong Hwi Yang adanya,”
sahut jago tua itu.
-”Kabarnya julukanmu ialah
'Wi-Cin-ho-siok', apa benar?” tanya Kongcu itu pula.
„Itu hanya nama kosong yang
diberikan Kawan-kawan kalangan kangouw, saja,” sahut Hwi Yang.
„Hm, hebat sekali julukanmu,
Hongsiang (Sri Baginda) dan aku tinggal di Pakkhia semua, dengan begitu
bukankah kewibawaanmu telah menggetarkan juga Hongsiang dan aku?” tanya Kongcu
itu.
Terkejut sekali Ong Hwi Yang oleh
pertanyaan itu, lekas-lekas ia menyawab ber-ulang: “Mana hamba berani, biar
hamba segera hapuskan julukan itu.”
„Sungguh besar amat nyalimu,
tangkap!” bentak Kongcu itu tiba-tiba .
Lantas saja ke baris perajurit
itu merubung maju terus meringkusnya, perCuma. Ong Hwi Yang memiliki ilmu silat
yang tinggi, namun tak berani melawan sedikitpun.
Menyusul itu Be King Hiap dan
yang lain-lain satu persatu juga dipanggil masuk serta diringkus semua dan
ditahan. Sampai achirnya kusir keretapun ditangkap juga. Lalu seorang perwira
membawa kotak kulit itu kemeja Kongcu itu sambil setengah berlutut
mempersembahkannya dengan tertawa: „Hok-taijin, inilah vaas-nya.”
Mendadak Kongcu itu bergelak
ketawa terus turun dari tempat duduknya. Begitu pula Thio-loya serta sipendek
dan yang lain-lain yang berlutut itupun sama berbangkit sambil tertawa.
„Chit-ko, kau benar tidak keCewa
dijuluki sebagai 'Bu-Cu-kat'!” kata Kongcu muda itu kepada sipendek.
Kiranya orang yang menyamar
sebagai sipendek tukang sunglap itu ialah Ji Thian Hong, dan yang mengikut
dibelakangnya adalah Ciu Ki serta An Kian Kong, yang menya mar Thio-loya ialah
Ma Sian Kun dan yang menyamar Hok Gong An dengan sendirinya adalah Tan Keh Lok,
sedang yang menyamar sebagai perwira yang Cari gara ialah Siang He Ci serta
Beng Kian Hiong dan kawan-kawan.
Orang yang per-tama menyamar
sebagai pengintai adalah Wi Jun Hwa, ketika ia kembali memberi laporan, lantas
Thian Hong mengatur suatu tipu muslihat untuk menyebak orang, tapi mengingat
diantara piauwsu itu Han Bun Tiong telah kenal jago-jago Hong Hwa Hwe itu, maka
Tio Pan San disuruh menyamar sebagai orang udik sambil menunggang kuda putihnya
Lou Ping untuk memanCing Bun Kong kedalam rimba, disitu sudah menunggu Siang
Pek Ci, bersama-sama lalu mereka menawan Han Bun Tiong
Caranya Thian Hong mainkan
sunglapan adalah sudah diatur se-baik-baik nya, topi bututnya itu
berlapis-rangkap dibagian dalam, pipa tembakau dan barang lain yang disung lap
itu semuanya terdiri dari sepasang yang satu diambil Thian Hong, lantas dari
saku mereka masing-masing dikeluarkan duplikatnya, dengan sendirinya orang luar
tak tahu akan rahasia ini.
Sedang mengenai isi kotak kulit
itu sudah tentu tiada surat dinas apa segala yang disunglap kedalam, Cuma senga
ja dibikin ribut saja hingga ketika Tan Keh Lok datang, karena para piauthau
dan jago-jago bayang kari itu sudah pusing tujuh keliling oleh ribut sunglapan
itu; dengan sendirinya tidak Curiga apa-apa lagi.
Sebenarnya menurut siasat yang
diatur Thian Hong, Keh Lok hanya disuruh menyamar seorang pembesar tinggi saja,
siapa tahu secara kebetulan sekali wajah Keh Lok memang mirip benar dengan Hok
Gong An hingga para bayang kari itu maju memberi hormat lebih dulu, karuan
sandiwara mereka berjalan lebih lancar lagi.
Begitulah, ketika Keh Lok lantas
menyobek kertas segel kotak kulit itu dan membukanya, tiba-tiba pandangan
mereka menjadi silau. Ternyata isinya sepasang vaas jade putih yang tingginya
lebih satu kaki, halus dan bersih hingga mengkilap, ketika diraba dengan
tangan, rasanya bukannya dingin, tapi hangat, diatas vaas itu terlukis pula
seorang wanita aju. Wanita aju ini terlukis berkunCir dan memakai topi kecil
seperti dandanan gadis suku Uigor umumnya, lukisan itu begitu indah dan Cantik
tiada bandingannya hingga mem pesona siapa yang melihatnya.
Keh Lok sendiripun kesemsem,
sungguh susah dipercaya didunia ini ada wanita seCantik ini?
Ketika semua orang merubung
menikmati keindahan vaas itu, merekapun sama gegetun memuji tiada hentinya.
„Waktu aku kenal adik Ceng Tong,
aku sangka wanita sejelita seperti dia sudah tiada bandingannya dijagat ini,
siapa tahu wanita yang terlukis diatas vaasi ini jauh lebih Cantik lagi,”
demikian kata Lou Ping.
“Ini hanya lukisan saja, masakan
kau anggap benar ada wanita aju seperti ini?” ujar Ciu Ki.
„Kalau tidak pernah melihat orang
yang sesungguhnya, aku rasa pelukiSnya susah juga hendak menggambarkan wajah
seCantik ini,” kata Lou Ping.
„Kalau kita tanya utusan orang
Uigor itu tentu lantap taliu,” ujar Thian Hong.
Utusan suku Uigor itu mengira
pasti Keh Lok adalah pembesar tinggi, maka ketika berhadapan ia lantas memberi
hormat.
“Tuan utusan datang dari
jauh-jauh tentunya sangat lelah, dapatkah mohon tanya siapakah nama tuan,” kata
Keh Lok.
„Aku yang rendah bernama Ibrahim,
dan entah paduka tuan bersebutan apa?” balas utusan itu.
Namun Keh Lok bersenyum tanpa
menyawab.
Mendadak saja Thian Hong menyela
dari samping: „Ini adalah panglima HangCiu, Li-taijin.”
Keh Lok dan para pahlawan
ter-heran entah apa maksud si „Khong Beng” itu memalsukan nama orang. Tapi
lantas Keh Lok bertanya juga: „Dan bagaimanakah dengan Bok-loenghiong, apakah
baik-baik saja?”
Ibrahim itu terCengang.
“Li-taijin kenal kepala suku kami?” tanyanya.
„Aku hanya sudah lama kagumi
namanya saja,” sahut Keh Lok. „Dan dapatkah aku bertanya, wanita aju yang
dilukis diatas vaas itu sebenarnya maCam apakah orangnya, apakah benar ada
orang sesungguhnya atau timbul dari chajalan pelukisnya saja?”
„Itulah hasil karya pelukis
bangsa kami yang tersohor Mu'in,” tutur Ibrahim. „Sepasang vaas jade ini
sebenarnya milik puteri kecil kepala suku kami, maka gambar wanita itu ialah
dia sendiri.”
„He, kalau begitu ia adalah adik
perempuan enCi Ceng Tong?” tanya Ciu Ki menyeletuk.
Kembali Ibrahim terkejut. “Nona
ini kenal pada 'Cui-ih-wi-sam' ?” tanyanya kemudian.
„Ja, kami pernah bertemu sekali,”
sahut Ciu Ki.
Dan selagi Keh Lok ingin menanya
keadaan Ceng Tong paling belakang ini, namun wajahnya terasa menjadi me rah, sebelum
ia buka mulut, tiba-tiba dari luar berlari masuk Ma Sian Kun dan melapor dengan
suara tertahan: „Itu pang lima HangCiu Li khik Siu dengan pimpin tiga ribu
perajuritnya sedang menuju kemari, kuatirnya datang buat menghadapi kita.
Keh Lok mengangguk tanda
mengarti. Lalu katanya pada Ibrahim: “Tuan utusan silahkan pergilah mengaso,
nanti saja kita berbicara pula.”
Ibrahim memberi hormat, tapi
lantas tanyanya: “Dan se pasang vaas ini?”
“Aku akan mengaturnya nanti,”
sahut Keh Lok. Lalu pergilah Beng Kian Hiong membawa Ibrahim ke ruangan lain.
„Koko sekalian, terpaksa sekarang
juga kita mundur keluar HangCiu dulu,” demikian kata Keh Lok kemudian. „Kita
belum berhasil menolong Bun-suko, rasanya tiada paedahnya bertempur matian
dengan pasukan musuh.”
Lou Ping menjadi geram, teriaknya
segera: „Li Khik Siu telah mengurung Toako, marilah kita bunuh dulu selirnya
itu, Congthocu, kau mengijinkan tidak?”
„Selirnya?” Keh Lok Senegas, ia
tidak paham.
„Ja, wanita bersolek seperti
setan yang kita tawan ditaman panglima itulah selirnya Li Khik Siu, namanya
disebut In Hong apa,” sera Lou Ping. „Tadi ia menangis dan ribut terus, dan
sesudah kuberi persen beberapa kali tamparan barulah diam dan menurut.”
Mendengar itu, para pahlawan
menjadi geli, tentunya nyonya jelita ini terlalu kenangkan sang suami yang
malang itu hingga menampar orang sekedar untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
„Congthocu, biaklah kau lantas
tulis sepuCuk surat kepada Li Khik Siu untuk melihat apa yang ia hendak per
buat?” kata Thian Hong tiba-tiba .
Keh Lok tahu akan maksud “juru
pikir” itu, maka segera tulis sepuCuk surat yang berbunyi :
Li-tayCiangkun jth.,
Dalam perburlian pagi tadi telah
berhasil kami peroleh sesuatu yang diketahui adalah barang kesajangan
Ciang;kun, maka sengaja mengun dang kedatanganmu. Harap maklum.
Hormat,
Tan Keh Lok/Ketua Hong Hwa Hwe.
Sehabis itu, ia minta Wi fojun
Hwa yang mengantar surat itu kepada Li Khik Siu, seiiang Seng Hiap disuruhnya
me nyusul dari belakang, apabila terjadi kemungkinan ditang kap. Setelah kenya
pergi, berkata Tan Keh Lok: „Li Khik Siu sangat menyintai selirnya itu, mungkin
dia tak berani sembarangan bergerak. Tapi kalau dia memang me nerima titah
kaisar, terpaksa tentu akan bergerak juga. Chit-ko, apa daya kita?”
„Bermula maksud kita untuk
rnerampas vaas ini, adalah untuk tawar menawar dengan kaisar. Tapi dengan adanya
lukisan pada vaas itu, kurasa raja tentu akan kesengsem, dan kemungkinan besar
beliau tentu akan mengabulkan permintaan damai dari suku Hwe. Bukankah tindakan
kita itu, bahkan akan merintangi maksud Bok-loenghiong. Untuk menolong suko
seorang, kurang bijaksana kalau kita sampai menerbitkan pertumpahan darah dari
sebuah suku bangsa,” demikian Thian Hong, si „Khong Bing' mengutarakan pen
dapatnya.
„Memang benar, tapi vaas yang
kita dapatkan dengan
susah payah ini, apakah harus
dengan begitu mudah saja dikembalikan,” tanya Keh Lok.
“Aku telah pikirkan suatu daya
entah Cong-tho-Cu setu ju atau tidak?” Dan Ttian Hong segera beber renCananya
itu.
Tibaa Ciu Ki menyelak dengan
kurang senang: “Ah, Cara itu terlalu kotor, aku tak suka.”
„Dengarkan pesan Cong-thocu,
jangan banyak-banyak mulut !” bentak Tiong Ing.
Ciu Ki diam, tapi pelan-pelan dia
menggerutu : “Ah, permain an yang kurang senonoh !”
“Agar tidak melantarkan tujuan
suku Hwe, disamping kitapun dapat menolong Bun suko, kita terpaksa lakukan Cara
itu. Chit-ko, Coba kau rundingkan dengan utusan itu”, ujar Keh Lok kemudian.
Dan setelah mendapatkan Ibrahim
Thian Hong lantas menghantarnya menghadap pada raja. Beng Kian Hiong yang
membawa kotak. Salah sebuah vaas yang sudah diambil keluar; ditempeli dengan segel
lagi. Utusan itu tak mengerti maksudnya.
Kira-kira lohor, penyaga masuk
dengan membawa karcis nama dari seorang perwira. Karcis nama itu dari „Can Tho
Lam,” yang minta berjumpa dengan Tan Keh Lok.
„Chit-ko, tipu yang kau atur itu
rupanya berhasil. Can Tho Laim itu adalah orang kepercayaan Li Khik Siu,” ujar
Ma Sian Kun.
Tan Keh Lok suruh Jun Hwa
membawanya masuk. Ketika berjalan keluar, Jun Hwa dapatkan seorang perwira yang
bertubuh kekar sedang menantinya. Muka perwira itu penuh dengan bintika daging
yang melepuh kena minyak mendidih. Menyawab pertanyaan Jun Hwa, berkatalah Can
Tho Lam:
“Aku diutus oleh Li-Ciangkun,
untuk merundingkan suatu hal dengan Tan Cong-thocu.”
„Ah, Cong-thocu kita sedang
sibuk. Can taijin berunding dengan aku pun sama saja,” kata Jun Hwa.
Can Tho Lam kurang puas. Ia
adalah utusan pembesar negeri. Dia mau datang menemui kepala perkumpulan kaum
kangouw itu saja sudah merasa merendahkan diri, masa
ketua itu masih jual laga. Tapi
karena dia mempunyai ke pentingan, jadi terpaksalah dia tahan kemarahannya.
Katanya :
„Li Ciangkun sudah menerima surat
Tan Cong-thocu. Dia mengerti bahwa isteri mudanya berada disini. Kita adalah
kaum persilatan. Dia mengharap Tan Cong-thocu suka le paskan, nanti Ciangkunpun
akan membalas budi.”
„Ah, mudahlah. Kurasa Tan
Cong-thocupun tak kebe ratan,” sahut Jun Hwa.
„Selain itu masih ada suatu
urusan lagi, jakni mengenai vaas giok dari suku Hwe,” kata Can Tho Lam pula.
Jun Hwa perdengarkan suara
hidung, tanpa menyahut apa”.
“Orang Hwe mempersembahkan
sepasang vaas giok selaku tanda minta damai, ketika baginda membukanya,
ternyata kurang satu. Baginda sangat murka, menurut keterangan dari utusan Hwe,
katanya ada seorang kongcu bangsawan yang telah menahannya. Kongcu itu menyebut
dirinya sebagai Li Khik Siu Ciangkun dari HangCiu. Ketika Li Ciangkun dipanggil
menghadap, sudah tentu dia tak tahu satu apa. Sju'kur baginda Cukup bijaksana.
Dia percaya bahwa Li Ciangkun pasti tidak melakukan hal itu dan tentu terjadi
suatu hal yang kurang beres. Karenanya Li Ciangkun tak dijatuhi hukuman.”
„Itulah bagus,” sahut Jun Hwa
acuh tak acuh.
„Namun baginda menetapkan bahwa
dalam waktu tiga hari, Li Ciangkun harus sudah dapat menyerahkan vaas itu,
atau.............
“Kalau tak berhasil menemukan,
apakah sekiranya kuatir akan dilepas dari pangkatnya?” sela Jun Hwa tiba-tiba .
“Se benarnya, tidak memegang jabatan negeri, kan lebih tenang.”
Can Tho Lam tak pedulikan ejekan
orang. Katanya pula: „Kita sekarang ini menghadapi persoalan sungguh-sungguh,
maka aku sengaja dikirim kemari untuk minta agar Tan Cong-thocu suka
menyerahkan kembali vaas itu.”
Jun Hwa tetap tenang saja.
Jawabnya dengan tawar: „Vaas apa, kita belum pernah mendengarnya. Tapi karena
Li Ciangkun mendapat kesulitan itu, dan Can taijin sudi datang sendiri, kita
dengan segala senang hati akan mem bantunya.
Mendengar ucapan orang yang
lunaks keras itu, Can Tho Lam mengetahui bahwa kini dia sedang berhadapan
dengan seorang yang lihai. Perwira she Can itu adalah tangan kanan Li Khik Siu.
Meskipun bugenya tak keliwat lihai, tapi berotak Cerdas, Cakap bekerja. Dia
tahu, bahwa lawannya sedang membawakan Cara orang kangouw tawar menawar. Maka
berkatalah dia :
„Li Ciangkun berpesan, bahwa
sudah lama dia ingin ber kenalan dengan Tan Cong-thocu yang begitu kesohor nama
nya. Sayang belum ada kesempatan. Dengan adanya permintaannya yang kubawa
kemari ini, diapun berjanyi akan membalasnya. Tan Cong-thocu punya permintaan
apa, silahkan menyatakan.”
„Can taijin suka berlaku terus
terang, itulah baik sekali. Tan Cong-thocu mempunyai harapan, pertama:
kesalahana orang Hong Hwa Hwe kepada Li Ciangkun pagi tadi harap suka di
maafkan,” kata Jun Hwa.
„Ah, itulah sudah jamak. Aku yang
menyamin, bahwa Li Ciangkun tentu takkan ambil tindakan apa-apa kepada
orang-orang Hong Hwa Hwe Dan apa yang ke itu?” memutus Can Tho Lam.
„Su-tangkeh kita, Bun Thay Lay,
disekap dalam tangsi Li Ciangkun, apakah Can taijin mengetahui?” tanya Jun Hwa.
„Hm.........” jengek Can Tho Lam.
„Dia adalah pesakitan negara. Bagaimanapun pengaruh Li Ciangkun, dia tentu tak
berani melepaskannya. Hal ini kitapun mengetahuinya. Hanya saja Tan Cong-thocu
sangat kangen padanya, maka akan minta bertemu malam ini.”
Can Tho Lam merenung sampai
sekian saat. Katanya kemudian: “Hal ini amat penting, aku tak berani ambil pu
tusan sendiri. Baik kutanyakan dulu pada Li Ciangkun, nanti kuberi jawaban.
Apakah Tan Cong-thocu masih ada harapan lainnya?”
„Tidak,” sahut Jun Hwa.
Can Tho Lam pamitan pulang. Lewat
beberapa waktu, dia datang lagi. Yang menerimanya juga Jun Hwa lagi.
„Li Ciangkun berpesan bahwa Bun
sutangkeh adalah pe sakitan negara yang penting sekali. Sebenarnya tak boleh
orang menengokinya,” kata Can Tho Lam.
„Memang sebenarnya,” sahut Jun
Hwa.
„Tapi karena Tan Cong-thocu sudah
meluluskan akan mengembalikan vaas giok itu, terpaksa Li Ciangkun pun akan
membalas kebaikan untuk mengidinkan Cong-thocu menemuinya. Tapi ada sjarat yang
Cong-thocu diminta meluluskan.”
„Harap Can taijin katakan,” tanya
Jun Hwa.
„Pertama, ini adalah demi
kepentingan persahabatan, maka Li Ciangkun berani ambil resiko yang begitu
besar. Kalau sampai ketahuan orang, artinya suatu malapetaka.........”
„Jadi Li Ciangkun maukan supaya
Cong-thocu jangan sampai boCorkan rahasia ini, bukan?” Jun Hwa menegas.
“Benar!” sahut Tho Lam.
“Dalam hal ini aku dapat mewakili
Cong-thocu untuk menyetujuinya.”
“Baik. Dan yang ke, yang menengok
kepenyara hanya boleh Tan Cong-thocu seorang diri !” .
„Cong-thocu pun sudah
memperhitungkan bahwa Ciangkun tentu ajukan sjarat itu. Sudah tentu dikuatirkan
kita akan ramai rampok penyara. Baiklah, kita terima sjarat itu. Yang akan datang
menengok penyara hanyalah Tan Cong-thocu seorang dan kitapun berjanyi takkan me
rampok pesakitan.”
„Wi toako adalah seorang hohan,
ucapannya tentu dapat dipercaya. Nah, aku segera akan pulang melapor. Malam
nanti Tan Cong-thocu boleh datang ke tangsi,” kata Tho Lam pula.
„Cong-thocu menyumpai
Bun-su-tangkeh tentu akan merundingkan urusan partai yang penting-, tidak
diperboleh kan lain orang menCuri dengar. Juga Thio Ciauw Cong itu tak boleh
mengganggu,” pesan Jun Hwa.
Setelah berpikir sebentar, Can Tho
Lam menyawab : „Baik, biar nanti Li Ciangkun yang mengurusnya.”
„Kita kaum kangouw, mengutamakan
kebejikan. Asal Li
Ciangkun betul-betul dapat
menepati janyi, kita pasti akan menyerahkan isterinya dan vaas itu,” kata Jun
Hwa achirnya.
Begitulah Can Tho Lam segera
pamitan. Lalu orang-orang Hong Hwa Hwe berkumpul pula diruangan besar untuk
dengarkan pembagian tugas dari ketuanya dalam renCananya menolong Bun Thay Lay.
Kembali Tan Keh Lok minta Thian Hong mengatur orang-orang nya. Setelah berpikir
sejurus, berkatalah “Khong Beng” Hong Hwa Hwe itu :
„Kita harus singkirkan dulu Thio
Ciauw Cong itu, baru Cong-thocu bisa bebas masuk kedalam. Merampok penyara
tidak susah, hanya saja Li Khik Siu itu tentu bukan orang tolol. Dia tentu juga
membuat penyagaan. Kita harus mengetahui lebih dulu bagaimana tindakannya, baru
dapat kita bekerja diluar dugaannya.”
“Benar!” kata Keh Lok.
„Kurasa paling banyak-banyak dia
tentu kerahkan tentara untuk mengepung pintu penyara tanah itu,” ujar Tio Pan
San.
“Kitapun harus bersiap diluar
tangsi, menyaga kemung kinan perbuatan yang menCelakakan Cong-thocu,” Siang He
Ci utarakan pikirannya.
„Memang hal itu akan kita
lakukan. Tapi kurasa mereka takkan berani berbuat Curang pada Cong-thocu,
karena selir kesajangannya ditangan kita,” kata Thian Hong.
Selama perundingan itu, mereka
merasa bahwa kedudukan nya kini sangat menguntungkan. Pertama akan dapat
mengetahui keadaan dan alat-alat rahasia penyara dibawah tanah itu, sehingga
kalau gunakan kekerasan kelak tentu dapat berhasil.
„Malam ini kita lakukan
pertempuran habis-habisan dengan mereka,” Bu Tim berkata menurutkan suara
hatinya.
“Ah, beginilah,” tiba-tiba Keh
Lok berseru. „Chit-ko, kalau menemui Bun suko biar aku pakai mantel, dan
kerudung muka. Dengan alasan supaya jangan dilihat orang...........
Thian Hong dapat menduga pikiran
ketua itu, maka ja wabnya: „Kita mendapat seorang dan kehilangan yang seorang
lagi. Itu kurang sempurna.”
„Cong-thocu, lanyutkanlah
omonganmu tadi,” Bu Tim meminta, nyata ia belum paham.
„Begitu berada didalam, aku akan
saling tukar pakaian dengan Bun suko. Biarkan dia keluar. Penyaga tentu me
ngira aku, dan saudara-saudara nanti harus seCepat-cepat nya membawa suko
pergi,” tutur Keh Lok.
„Tapi kau bagaimana?” tanya Bu
Tim.
“Kalau nanti baginda mengetahui
aku, beliau tentu akan melepaskannya, karena beliau sangat baik sekali
kepadaku,” ujar Keh Lok.
„RenCanamu itu hebat juga
Cong-thocu. Tapi kau adalah ketua perkumpulan kita, tak boleh bermain api
berbahaja itu. Lebih baik aku saja yang melakukannya,” kata Jun Hwa.
„Saudara-saudara sekalian, bukan
aku sombong, tapi rasanya hanya akulah Yang paling tepat. Kalau diantara
saudara ada yang pergi salah satu, berarti hanya tukar dengan Bun suko saja.
Kita pandang sama rata, Bun suko tidak akan lebih berharga dengan
saudara-saudara kita yang manapun juga,” me nerangkan Keh Lok.
„Tapi kalau Cong-thocu yang
pergi, kurasa kurang le luasa,” Seng Hiap ikut menyokong pendapat Jun Hwa.
„Ah, saudara-saudara tidak tahu,
bahwa dengan baginda aku telah adakan sumpah untuk tidak saling menCelakai satu
sama lain.”
Kemudian Keh Lok tuturkan apa
yang telah terjadi ketika berada dengan baginda dikuburan orang tuanya dulu
itu.
,.Baginda orang yang kejam,
ucapannya sukar dipercaya,” kata Thian Hong.
Tapi ketua Hong Hwa Hwe itu tetap
berkeras untuk meneruskan renCananya.
„Kalau memang Cong-thocu
menghendaki begitu, kita jalankan saja maCam renCana,” achirnya Thian Hong
berkata.
Menampak bagaimana
saudara-saudara Hong Hwa Hwe itu ber-sungguh-sungguh untuk menolong suaminya,
Lou Ping sampai tak dapat meng uCap suatu apa. Sedang Ciu Tiong Ing yang
menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam kagum atas peribudi dari orang-orang Hong
Hwa Hwe Dia menghampiri Lou Ping dan menghiburnya.
„Siasat „kim-sian-toat-kak”
(tonggeret berganti kulit) dari Congthocu itu memang bagus, Cuma agak
berbahaja. Itu boleh dijalankan, tapi begitu suko sudah keluar, kita harus
serbu penyara untuk menyambut Congthocu keluar,” kata Thian Hong lebih jauh.
Sebenarnya orang-orang Hong Hwa
Hwe sama kuatirkan tindakan ketuanya untuk bermain api itu, namun kiranya tak
ada lain pilihan lagi, saking terharunya, Lou Ping menghampiri kehadapan Tan
Keh Lok dan memberi hormat, katanya: „Budi kebaikan Congthocu itu, kita suami
isteri takkan lupakan sampai mati.”
„Ah, harap suso jangan mengucap
begitu. Persaudaraan kita bagai tulang dengan daging, masa mesti me-nyebut soal
budi,” kata Keh Lok seraja membalas hormat.
Begitulah dengan mengenakan
pakaian yang mengerudungi badan dan mukanya, Tan Keh Lok ajak Wi Jun Hwa me
nuju ketangsi tentara Ceng. Ketika itu hari sudah men dekati gelap,
bintang-bintang mulai nampakkan diri dilangit.
Begitu tiba dimuka tangsi, ada
seorang yang menyambut nya dengan bertanya bisik-bisik :
„Apakah yang datang ini Tan
Congthocu?”
Wi Jun Hwa anggukkan kepala.
„Silahkan ikut aku, dan saudara
ini tinggal disini saja!” kata orang itu. Terpaksa Jun' Hwa tak ikut masuk.
Malam pelan-pelan diselubungi
kegelapan. Hati Jun Hwa kebat-kebit memikirkan keselamatan ketuanya. Ketika itu
orang-orang Hong Hwa Hwe dengan menyamar sudah sama berpenCar mengelilingi
tangsi itu, menunggu saat ada perintah.
Sementara itu sesudah masuk
kedalam, Tan Keh Lok da patkan bahwa tangsi itu penuh dengan serdadu yang ber
baris dengan senjata lengkap. Setelah melalui tiga ruangan, orang itu membawa
Keh Lok kesebuah ruangan besar dan menyilahkannya duduk.
Tak berapa lama, Li Khik Siu
Ciangkun masuk keruangan situ, dan mengucapkan selamat datang. Keh Lok membuka
kerudung mukanya, katanya dengan tertawa: „Tempo dulu kita sudah pernah bertemu
sekali, tidak terduga kalau hari ini kita bertemu lagi.
„Sekarang mari menemui pesakitan.
itu,” ajak Li Khik Siu.
Tapi baru saja kenya melangkah
kepintu, tiba-tiba ada seorang pengawal menobros dengan napas memburu dan
melapor: „Baginda datang, harap Ciangkun lekas-lekas menyam butnya.”
Li Khik Siu terperanyat, katanya
kepada Tan Keh Lok : „Harap kau tunggu dulu disini.”
Nampak wajah orang
ber-sungguh-sungguh, Keh Lok angguk kepala dan kembali duduk pula.
Begitu keluar dari situ, Li Khik
Siu melihat pintu tangsi itu sudah penuh dengan barisan gi-lim-kun dan si-wi,
Kian Liongpun sudah berjalan masuk. Khik Siu tersipu-sipuberlutut.
„Sediakan sebuah kamar rahasia,
aku akan memeriksa Bun Thay Lay!” kata Kian Liong tiba-tiba .
Li Khik Siu antar baginda
kekamarnya sendiri. Barisan pengawal sama menyaganya dengan rapat. Sampaipun diatas
genteng tak luput dijaganya dengan keras.
„Aku mempunyai urusan penting
pada pesakitan itu, jangan sampai ada seorangpun yang mendengarnya,” titah
baginda kepada Pek Cin.
Pek Cin memberi hormat terus
undurkan diri. Sebentar pula dengan tangan dan kaki diborgol, Bun Thay Lay
digusur masuk oleh 4 orang si-wi istimewa. Keempat si-wi itu terus berlalu, dan
kini diruangan itu hanya tinggal Bun Thay Lay dan Kian Liong ber. Keadaannya
sepi hening.
Luka Bun Thay Lay boleh dikata
sudah sembuh. Hanya karena kaki tangannya diborgol, dia duduk dibangku tak
dapat bergerak. Begitu dongakkan kepala, dia terperanyat. Kiranya dulu dia
pernah mengikut ketua Hong Hwa Hwe mendiang Ie Ban Thing untuk masuk kedalam
istana. Kalau kali ini dia bisa berjumpa dengan baginda lagi di HangCiu,
sungguh diluar dugaannya.
„Apakah lukamu sudah sembuh?”
tanya baginda.
„Terima kasih atas perhatian
paduka, hampir sembuh,” sahut Thay Lay.
„Kuminta kau datang ke Pakkhia,
karena perlu berunding. Tapi ternyata masing-masing pihak timbul salah paham.
Aku sudah membereskan hal itu, tak usah kau kuatir.”
Mendengar raja itu berkata dengan
tinggi hati, Bun Thay Lay murka sekali. Dia perdengarkan suara hidung.
„Dulu kau dengan orang she le
telah menemui aku. Se betulnya kita sedang merundingkan suatu urusan besar.
Tapi sayang , sewaktu pulang dia terus menutup mata,” kata Kian Liong.
„Mungkin kalau le lotangkeh belum
menutup mata diapun akan diperlakukan seperti aku sekarang,” sahut Bun JTiay
Lay dengan ketus dan tajam.
Kian Liong tertawa gelaka. Katanya:
„Ha, kamu bangsa kangouw memang beradat keras, apa yang terkandung dalam hati
dinyatakan dengan terus terang. Akan kutanyakan suatu hal, kau jawablah dengan
sejujurnya, nanti akan ku lepaskan kau.”
„Paduka lepaskan hamba?” sahut
Thay Lay. „Ha, ha, paduka anggap hamba ini seperti anak kecil? Hamba tahu,
kalau paduka tak bunuh hamba, pasti paduka tak dapat tidur dengan nyenyak, tak
dapat makan dengan enak. Kalau sampai sekarang hamba masih dibiarkan hidup,
adalah karena paduka perlu mendapat keterangan hamba.”
„Ah, mestinya jangan kau
banyak-banyak Curiga lagi,” ujar Kian Liong.
Tiba-tiba baginda mendengar suatu
suara lemah dari luar kamar, seperti suara orang menahan batuk. Dengan gesit
beliau memburu kepintu terus mendorongnya. Namun diluar kosong tak ada
seorangpun.
Setelah menengok kekanan kiri,
barulah Kian Liong me nutupnya lagi, dan melanyutkan pertanyaannya: “Pemimpinmu
orang she le apa memberitahukan padamu tentang pembicaraannya dengan aku?”
“Paduka maksudkan omongan yang
mana?” Thay Lay menegas.
Kian Liong mengawasi dengan tajam
pada Bun Thay Lay, siapa dengan berani balas memandang. Selang berapa jurus
kemudian, Kian Liong berpaling dan berkata dengan bisik-bisik : „Tentang asal
usul diriku.”
Telah diperhitungkan oleji Bun
Thay Lay, bahwa dengan jatuh ketangan raja itu, berarti dia harus mati. Tapi
rombongan besar dari Hong Hwa Hwe sudah berada di HangCiu. Kalau hukumannya
dapat dipertangguhkan sehari saja, saudara-saudara itu tentu akan dapat
merampas penyara dan menolongnya. Maka katanya :
„Dia tak mengatakan apa-apa. Kau
adalah seorang raja, putera dari raja dan ratu yang dahulu. Asal usulmu siapa
yang tak mengetahuinya, apa yang harus kukatakan !”
„Habis waktu kalian menemui aku
itu, tahukah kau untuk urusan apa ?” tanya Kian Liong.
„Kata le lotongkeh, dulu dia
pernah membantumu. Karena itu waktu Hong Hwa Hwe kekurangan uang, dia akan
mohon bantuanmu uang sebanyak-banyak sejuta tail perak. Tapi anehnya, sudah kau
tak memberinya, malah menangkap aku juga. Kalau aku bisa bebas lagi, akan kusiarkan
tentang ketidak ingat budi dari kau itu.”
Kian Liong tertawa lebar. Dia
melirik kemuka orang. Tampaknya Bun Thay Lay berkata dengan sungguh-sungguh,
tak bermain sandiwara. Dia setengah percaya setengah tidak. Katanya :
„Kalau begitu, lebih baik kubunuh
kau. Karena kalau ku lepas, kau akan menyelekkan namaku !”
„Siapa yang melarang kau tak
lekas menghabiskan nyawa ku. Habisilah jiwaku, supaya kau lekas dapat makan dan
tidur dengan enak. Berhadapan dengan Thay-houw pun tak perlu takut-takut lagi,”
kata Thay Lay.
Wajah Kian Liong berobah
seketika.
„Mengapa Thay-houw?!”
„Kau tahu sendirilah!” sahut Bun
Thay Lay dengan tegas. „Jadi kalau begitu kau sudah mengetahuinya!” tanya
kaisar.
„Tidak semuanya. Kata le
lotangkeh Thay-houw pun mengetahui bahwa lotangkeh pernah membantu kau dan
pernah minta kau membalas budinya. Tentang apa bantuan itu, rasanya kau
sendirilah yang tahu. Aku kurang jelas.”
Kembali hati Kian Liong
tergentar. Dia tertawa. Dia ambil saputangannya untuk mengusap keringat
dikepalanya dan mondar mandir diruangan itu. Pada lain saat kedengaran dia
ketawa.
„Dihadapan raja, kau bersikap
menantang, nyata tak takut mati. Kau ada pesanan apa, lekas katakan. Nanti se
telah kau meninggal, tentu kusuruh orang mengerjakannya,” katanya kemudian.
„Apa yang kutakuti? Kau tak nanti
berani membunuh aku dengan segera!” sahut Thay Lay.
„Tidak berani?”
„Adanya kau akan membunuh aku,
karena kau takut raha siamu boCor. Tapi dengan membunuh aku, ha, ha, apakah
rahasiamu juga turut terpendam?”
„Adakah orang mati bisa
berCerita?” ejek Kian Liong.
Bun Thay Lay tak mempedulikannya.
Dia menggerendeng seorang diri: „Biar aku mati, tapi lain orang tetap akan
dapat membuka surat itu dan akan menyiarkannya keseluruh negeri. Pada waktu
itulah raja akan menemui nasibnya.”
Kian Liong kaget dan Buru-buru
bertanya tentang surat itu.
„Ie lotangkeh telah menuliskan
semua urusanmu itu pada sebuah surat, dengan diberikutkan buah bukti yang
penting. Semua itu diberikan pada seorang sahabat. Baru kemudian kita masuk
menemui kau diistana,” kata Thay Lay.
„Apa yang kamu takutkan itu?”
desak kaisar Kian Liong.
„Sudah tentu, kita tak dapat
mempercayai kau. Kata le lotangkeh kepada sahabatnya itu, kalau sampai kejadian
kita ber mati, supaya surat itu dibukanya. Kini le lotangkeh sudah meninggal,
mungkin kau tak berani membunuhku.”
Tangan Kian Liong gemetar, dia
nampak gugup.
„Surat dan bukti itu, bagimu
lebih berharga dari pada uang sejuta tail perak!” kata Thay Lay pula.
“Ha, memang aku sedia untuk
menebusnya, pula kaupun akan' kulepas. Kau tulis surat pada sahabatmu itu,
suruh dia antarkan surat dan bukti itu, nanti pasti kubajar,” bujuk kaisar.
„Hahaa, kalau kuberitahukan nama
sahabatku itu, kau tentu akan kirim kawanan si-wi untuk menangkapnya. Terus
terang saja, aku senang berada disini. Tak ingin aku keluar lagi. Kita ber ini
sehidup semati. Kalau aku yang lebih dulu meninggal, kaupun takkan hidup lama,”
sahut Thay Lay.
Kian Liong mengeretek gigi. Dia
memutar otak betul-betul. Sesaat kemudian, lalu katanya pula: „Kalau kau tak
mau tulis surat itu, tak apa. Kuberikan kau tempo hari, lusa kita akan berada
disini lagi. Kalau kau tetap keras kepala, terpaksa kubunuh. Sudah tentu
kematianmu itu takkan ada orang yang tahu, sehingga sahabatmu itu masih mengira
kalau kau masih hidup. Tegasnya, sekalipun kau masih ber nyawa, tapi kau akan
menjadi manusia tanpa mata dan lidah.........” sampai disini, tiba-tiba Kian
Liong menobros ke pintu. Disitu Pek Cin tampak bersiap.
„Kau berbuat apa disini!” bentak
Kion Liong dengan murka.
„Tadi hamba dengar didalam kamar
ada suara benda beradu, untuk menyaga keselamatan baginda, maka hamba menyaga
di sini, sahut Pek Cin.
Tanpa menyahut apa-apa, Kian
Liong berpaling pada Bun Thay Lay lagi dan katanya : „Kau pikir lagi
se-masaknya dalam hari ini !”
Terus dia keluar diiringkan
rombongan si-wi. Dengan berlutut Li Khik Siu mengantar sampai kaisar itu keluar
dari tangsi.
Begitu Kian Liong berlalu, Bun
Thay Lay dibawa lagi kedalam penyara tanah. Selama diiring itu, Thio Ciauw Cong
mengawalnya dengan pedang terhunus.
Berada sendirian didalam
kamarnya, Thay Lay terkenang akan isteri dan saudara-saudaranya. Mereka tentu
menyibuki dirinya. Penyagaan penyara sedemikian kuatnya, ia tak inginkan karena
akan menolongnya, saudara-saudaranya itu berbalik menemui keCelakaan. Tapi
kalau tidak dibebaskan mereka, sukarlah rasanya dapat hidup lagi.
Kalau ia tengah memikir begitu,
adalah waktu itu seorang serdadu mendapatkan Thio Ciauw Cong dan menyampaikan
permintaan dari Li Khik Siu untuk mengundangnya kekantor. Ciauw Cong segera
tinggalkan Bun Thay Lay sendirian dalam kamarnya.
Tengah Bun Thay Lay ter-menung,
tiba-tiba nampak pintu kamarnya terbuka dan masuklah seorang kesitu. Thay Lay
mengira kalau itu tentu Thio Ciauw Cong, maka dia diam saja tak mempedulikan.
Orang itu menghampiri dekat ke pembaringannya, dan bisika tibaa: „Suko,
kudatang menengok kau !”
Bun Thay Lay kaget seperti
dipagut ular. Dia menatap dengan tajam. Nyata ialah ketua perkumpulannya, Tan
Keh Lok Cong-thocu. Burua ia- memberi hormat sambil berseru girang: „Cong-thocu
!”
Keh Lok bersenyum dan mengangguk.
Ia merogoh keluar sebuah tanggem, terus menanggem borgolan Bun Thay Lay. Sampai
beberapa kali dia berusaha untuk memutuskan, tapi borgolan itu hanya bergurat
sedikit. Tanggem itu buatan luar negeri, tapi tetap tak berdaya. Keh Lok
menjadi gopoh, ia kerahkan seluruh tenaganya menCoba lagi, tapi, krekk......
bukan borgolan yang lepas, tapi
tanggemnya yang putus !
Keh Lok ambil sebuah tanggem
baru, tapi tetap tak ber geming. Dia keluarkan tatah, pukul besi dan lain-lain.
alat, tapi tetap borgolan itu sedikitpun tak leCet.
„Cong-thocu, borgolan dikakiku
hanya dengan pokiam saja dapat diputuskan,” kata Bun Thay Lay.
Tibaa Keh Lok teringat akan
pertempurannya dengan Thio Ciauw Cong ketika menyeberang sungai Hoangho tempo
hari, 'leng-bik-kiam' dari orang she Thio itu ternyata dapat memapas kutung
pedangnya sendiri dan pedang Bu Tim Tojin.
„Bukankah se-hariaan Ciauw Cong
menyaga suko disini?” tanyanya segera.
„Sejengkalpun dia tak mau
berpisah dari aku. Tadi entah karena apa dia pergi keluar,” sahut Thay Lay.
“Baik, kita, tunggu dia kembali,
lalu rampas pokiamnya,” kata Keh Lok.
„Dapat tidaknya aku keluar susah
diramalkan. Baginda mau bunuh aku untuk menutup mulutku, kuatir rahasianya
boCor,” kata Thay Lay. “Cong-thocu, rahasia itu akan ku beritahukan padamu.
Jadi andaikata aku meninggal, urusan besar itu tak sampai terlantar.
“Baiklah, suko,” sahut Keh Lok.
„Ketika aku diajak masuk keistana
oleh le lotangkeh kita berhasil menemui baginda,” demikian tutur Thay Lay.
Baginda terkejut. Ie lotangkeh
memberikan keterangan, bahwa ia diutus kesitu oleh Tan lothay-thay dari Hayling
untuk menyampaikan surat kepada baginda. Begitu baginda menyambuti surat itu,
wajahnya berobah puCat. Aku di perintahkan menunggu diluar. Sampai lama kenya
berunding secara rahasia sekali. Ketika pulang Ie lotangkeh memberitahu aku,
bahwa raja itu sebenarnya orang Han. Dia bukan lain, adalah kau punya kanda
sendiri, Congthocu!”
Begitu kaget perasaan Keh Lok
ketika itu, hingga dia menjadi kemekmek. Berselang agak lama, baru dia seperti
orang tersedar, katanya: „Ah, tak mungkin. Kokoku kini masih di Hayling.”
„Dalam soal itu, memang
banyak-banyak sekali belat belitnya,” kata Thay Lay pula.
Belum sempat dia mengachiri
keterangannya, tiba-tiba digang kedengaran tindakan kaki orang mendatangi. Keh
Lok Buru-buru menyusup kebawah tempat tidur. Yang masuk itu ternyata seorang
serdadu pengawal. Dia heran tak mendapatkan Tan Keh Lok disitu, tanyanya;
„Dimana ketua Hong Hwa Hwe itu?”
Karena itu Keh Lok loncat keluar
dari tempat persem bunyiannya.
„Thio taijin segera akan kembali.
Li Ciangkun tak dapat menahannya lebih lama. Silahkan kau keluar!” kata
pengawal itu.
Sebagai jawaban, Keh Lok berputar
badan dan seCepat-cepat kilat menolak jalan darah „ki-bun-hiat” dari serdadu
itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi, serdadu itu roboh.
“Cong-thocu, lihai benar
tanganmu!” seru Bun Thay Lay dengan suara tertahan.
Keh Lok hanya tersenyum, terus
merijeret serdadu itu kebawah kolong randyang .
„Thio Ciauw Cong segera datang,
keteranganku yang lebih jelas tak sempat lagi. Karena mengetahui bahwa raja itu
seorang Han, Ie lotangkeh menganyurkan supaya mero bohkan kerajaan Boan dan
membangunkan kerajaan Han lagi. Usir semua orang Boan keluar Tiongkok dan
mengambil pulang seluruh daerah negeri Han. Dan bangsa Han akan tetap
mengakuinya sebagai rajanya. Agaknya baginda, tergerak hatinya. Tapi benar
tidaknya omongan itu, rupanya dia masih belum jakin. Dia minta supaya.Ie
lotangkeh memberi kan ke benda kesaksian yang penting Itu,” baru dia nanti
pikirkan daya upaja lagi. Tapi seperti ditakdirkan oleh Tuhan, tak berapa lama
Ie lotangkeh jatuh sakit dan menutup mata. Dia meninggalkan pesan, supaya kau
yang menjadi Cong-thocu (pejabat ketua). Itulah kesempatan satunya, agar
kerajaan Han dapat dibangunkan kembali. Baginda adalah kokomu sendiri, kalau
dia tak mau merobohkan pe merintah Boan, kita bangsa Han akan angkat kau
sebagai raja” demikian Bun Thay Lay mengachiri Ceritanya de ngan singkat.
Keh Lok mendengari dengan
termangu-mangu. Teringat dia, bagaimana pertama kali berjumpa dengan Kian Liong
dite laga Se-ouw. Dan ke kalinya, sewaktu berjumpa diku buran ayah bundanya,
raja itu bersikap sedemikian baiknya. Segala tingkah laku raja itu apakah ada
hubungannya bahwa beliau itu memang anak kandung orang tuanya ?
„Kalau benar dia itu bangsa Han,
mengapa menjadi raja Boan ? Soal itu, kabarnya ibu Cong-thocu sudah menerang
•kannya dalam sepuCuk surat. Disamping itu masih menyim pan beberapa barang
pembuktian yang penting. Demi kese lamatan, Ie lotangkeh telah menyerahkan
kesemuanya itu pada suhu Congthocu, Thian-ti-koayhiap,” Bun Tha.y Lay
menerangkan pula.
“Ah, jadi pada musim panas jl.
Siang-si Siang Hiap me ngunyungi suhu itu, jadinya untuk keperluan tersebut?”
tanya Keh Lok.
„Benar, itu adalah suatu urusan
besar, sehingga kaupun tak mengetahuinia. Wan LoCiangpwe (Thian Ti koayhiap)
pun hanya tahu bahwa benda itu penuh sekali. Tapi bagai mana hal yang
sebenarnya, diapun kurang jelas. Sewaktu Ie lotiangkeh menutup mata; dia
berpesan harus kau yang menggantikan kedudukan CongtoCu Hong Hwa Hwe itu. Surat
itu harus menjadi pedoman untuk suatu gerakan besar. Ah, sayang aku tertangkap,
sehingga membikin kapiran urusan itu. Cong-thocu, andainya kau gagal bebaskan
diriku, harap kau segera menemui suhumu. Jangan sekali-kali karena urusan
diriku yang kecil artinyal itu sampai menelantarkan pe-kerjaan besar.”
Pada waktu Thay Lay mengucap
sampai disitu, nampak nya dia puas. Baru dia akan lanyutkan keterangannya,
mendadak dari arah gang kedengaran tindakan orang menda tangi. Buru-buru Thay
Lay mengisjaratkan supaya Keh Lok ber sembunyi dibawah tempat tidur. Setelah
itu dia sendiri me-ngatur sikap badannya, separoh diatas pembaringan separoh
menggelandot dilantai, se-olah seperti orang jatuh dari tempat tidur.
Masuk kedalam, segera Ciauw Cong
samar melihat keadaan pesakitannya itu, siapa disangkanya sudah bunuh diri.
Terdorong oleh rasa terkejut, tanpa dipikir lagi, dia memburu untuk
mengangkatnya. Tapi tubuh Bun Thay Lay tampaknya kaku tak bergerak, hal mana
sangat mengejutkan Ciauw Cong. Dia terus ulur tangan untuk memeriksa lu bang
hidung pesakitan itu.
Siapa duga tiba-tiba tubuh Bun
Thay Lay menCelat keatas, berbareng ke tangan yang diborgol dikibaskan untuk
menyapu Ciauw Cong. Karena tak menyang kanya sama sekali. Ciauw Cong akan
mundur selangkah. Tapi mendadak, jalan darah „tan-thian-hiat” pada bagian perutnya
terasa kesemutan. Tahulah dia, bahwa dia telah termakan totokan seseorang yang
bersembunyi dibawah pembaringan.
Dengan menggerung seperti harimau
terluka, Ciauw Cong loncat mundur tindak sambil dorongkan ke tangannya kemuka,
untuk menyaga serangan. Berbareng itu, dia kerahkan pernapasannya untuk menutup
pintu jalan darah.
Nampak jago Bu Tong Pai itu tak
kena dirobohkan dengan totokan itu, Tan Keh Lok kagum dan kaget. Diapun loncat
keluar, terus menyerang lawannya dengan ilmu silat Siao Lim yang disebut 'Siao
Lim Sin Kun'. Begitu sebat pukulan itu, hingga dalam beberapa detik saja, Ciauw
Cong sudah dihujani tujuh-delapan kali tempilingan secara ber-tubi.
Ciauw Cong terpaksa niandah saja
dihajar lawah, karena kalau dia bergerak, jalan; darahnya pasti tertutuk.
Paling dia hanya geser kakinya
mundur kebelakang. Keh Lok tahu kelemahan orang, dia segera kirim sebuah ten
dangan kearah pinggang orang. Ciauw Cong berkelit ke sebelah kiri. Tapi, Celaka
baginya! Dia rasakan jalan darahnya dibagian „sin-thing-hiat” kesemutan sakit
sekali. Kiranya, dia terkena totokan lawan lagi. Malah kali ini, dia tak dapat
bertahan lagi. Sekujur badannya terasa lemah lunglai, terus numprah ditanah.
Cepat-cepat Keh Lok geledah badannya, tapi ternyata pokiam 'leng-bik-kiam' dari
orang she Thio itu tak kedapatan. Dengan masgul, dia berpaling se bentar kearah
Bun Thay Lay. Kemudian dia lanyutkan penggeledahannya lagi. Dari saku dia
mendapat sepuCuk surat. Ternyata itulah surat Li Khik Siu yang diberikan pada
Ciauw Cong a.l. mengatakan bahwa ada seorang tamu agung yang berminat melihat
'leng-bik-kiam'nya.
Itulah sebenarnya akal Li Khik
Siu untuk menyingkirkan sang „harimau.” Tapi ternyata Ciauw Cong keliwat
hati-hati orangnya. Dia minta permisi sebentar pada Li Khik Siu untuk menengok
sebentar kamar pesakitan. Jadi pokiamnya masih berada dikantor Li Khik Siu.
Ketika Keh Lok menggeledah lagi.
Sekonyong-konyong dia ber jingkrak kegirangan.
„Bagaimana?” tanya Bun Thay Lay
dengan heran.
Keh Lok lemparkan seikat anak
kunCi, lalu diCobakannya membuka borgolan Bun Thay Lay. Seketika Thay Lay
rasakan tangan dan kakinya enteng seperti hilang borgolannya. Dilain saat pun
Tan Keh Lok sudah membuka jubah dan kerudung muka, lalu diberikan pada Bun Thay
Lay supaya lekas memakainya.
“Dan kau?” tanya Thay Lay heran.
„Biar aku berada disini sebentar,
lekas-lekas kau keluar!” Keh Lok menitah.
Barulah Thay Lay tahu akan maksud
orang.
„Cong-thocu, aku merasa berterima
kasih sekali padamu. Tapi kau tak lajak berbuat begitu,” katanya terharu.
Keh Lok kerutkan jidatnya. “Aku
adalah ketua Hong Hwa Hwe Semua anggauta Hong Hwa Hwe harus tunduk perintahku
bukan?” tanyanya Cepat-cepat .
“Memang,” sahut Thay Lay.
„Bagus. Dengarlah perintahan ini.
Lekas pakai dan keluar dari sini, diluar saudara-saudara kita akan menyambutmu.”
„Tapi menyesal kali ini aku
terpaksa melanggar perintah mu. Kelak aku rela menerima hukuman apapun dari Cap
Ji Long!” sahut Thay Lay “tetap.
„Siang dan malam suso sangat
terkenang padamu. Sekalian saudara pun sangat meng-harap agar kau lekas keluar.
Kini adalah kesempatan yang bagus, kenapa kau berhati dingin?” kata Keh Lok.
Dia lalu tuturkan dengan ringkas tentang ikatan janyinya dengan Kian Liong.
Namun Bun Thay Lay tetap tak mau
Cong-thocu itu gantikan tempatnya. Sampai sekian, lama mereka tak dapat
mengambil putusan, sampai achirnya Tan Keh Lok tiba-tiba mendapat pikiran.
“KALAU begitu kita ber
bersama-sama keluar. Pakailah pakaian orang she Thio itu.”
“Bagus, kenapa Cong-thocu sedari
tadi tak mau bilang !” seru Thay Lay girang.
Setelah bertukar pakaian,
borgolan itu dipasang juga pada tubuh Ciauw Cong. Anak kunCinya disimpan Tan
Keh Lok dalam kantongnya. Dengan demikian sekalipun kepan daian Ciauw Cong
setinggi langit tak nanti dapat terlepas.
Ke pemimpin HONG HWA HWE itu
dengan Cepat-cepat tinggalkan ruangan itu. Melintasi gang mereka naik
ke-undakan. Sampai diatas, tiba dilihatnya sekeliling taman situ terang
benderang disinari Cahaja obor. Dengan tombak ditangan, ber-puluh serdadu Ceng
menujukan senjatanya kearah mulut penyara dibawah tanah itu. Tidak jauh dari
situ, beratus serdadu siap dengan busurnya. Juga arah tujuannya ialah mulut
gowa itu. Tampak Li Khik Siu mengangkat tangannya kanan. Sepasang matanya
ber-api mengawasi. Asal dia sekali mengibas turun, tombak dan anak panah akan
menghujani. Sekalipun Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay bagaimana tinggi
kepandaiannya tak nanti dapat lolos dari bahaja itu.
Tan Keh Lok mundur selangkah
seraja membisiki Bun Thay Lay: “Bagaimana lukamu? Apa bisa menyerbu terus?”
Bun Thay Lay tertawa tawar.
“Tidak jadi saja, pahaku masih kaku. Cong-thocu, kau keluar sendirilah, jangan
pikirkan aku,” sahutnya.
“Coba kau tiru sikap Ciauw Cong!”
pesan Keh Lok. Lalu dengan menarik turun topinya sampai menutupi alis, dia
melangkah maju.
Melihat yang keluar adalah Ciauw Cong
dan Tan Keh Lok, Li Khik Siu mengeluh dalam hati. Ia kira kalau Tan Keh Lok
kena tertangkap. Karena itu ia berpaling kearah puteri nya dan berkata: “Wan
Ci, kembalikan pedang ini pada Ciauw Cong dan ajaklah dia berbicara
se-banyak-banyaknya, supaya ketua HONG HWA HWE itu sempat melarikan diri !”
Pada waktu Wan Ci membawa
'leng-bik-kiam' kemulut gowa. Tan Keh Lok ber sudah naik keatas. Sengaja Wan Ci
angsurkan pokiam itu kepada pemiliknya dengan menengahi ke orang itu.
“Thio susiok, inilah pedangmu!”
demikian katanya.
Berbareng menyodorkan pokiam,
sikut Wan Ci menying gung tubuh Tan Keh Lok dengan maksud agar ketua HONG HWA
HWE itu larikan diri. Sebaliknya dengan perdengarkan suara hi dung Bun Thay Lay
hendak sambuti pokiam itu. Demi keli hatan dari Cahaja obor siapa gerangan
Ciauw Cong itu, berserulah gadis itu dengan kagetnya: “Bun Thay Lay, kau mau
lolos?!” Berbareng ia tarik kembali tangannya, dengan gerakan
“sun-Cui-thwi-Cu,” menurutkan angin men dorong perahu, ia menusuk kedada orang.
Bun Thay Lay egoskan tubuhnya, tangan kirinya dibalikkan, terus dengan jari
telunyuk dan buah jarinya lagi, dia Cepit mata pedang. Berbareng, sebat luar
biasa tangannya menganCam jalan darah “thay-yang-hiat” dipilingan sigadis.
Wan Ci mundur selangkah. Tapi tak
urung pundaknya terkena sedikit. Tapi pokiam itu sudah terjepit dalam.jari Bun
Thay Lay, sedikitpun tak bergeming. Saking terperanyat, Wan Ci lepaskan pokiam
itu, terus akan lari.
Saling berebut pedang itu telah
diachiri dengan terCenge ramnya pundak Wan Ci oleh Bun Thay Lay. Seketika itu,
sinona rasakan sakit sekali. Sebenarnya, penyerangan itu ber langsung dalam
beberapa kejab saja, namun ketika Tan Keh Lok yang pada saat itu sudah maju
beberapa langkah, menoleh kebelakang, Bun Thay Lay tampak sudah dikepung rapat
oleh serdadu Ceng, Bun Thay Lay dengan beringas bolang balingkan
'leng-bik-kiam' (pedang Thio Ciauw Cong) kesana kemari, dan beberapa ujung
tombak telah terpapas kutung.
“Tahan, atau akan kutitahkan
melepas panah!” tiba Li Khik Siu berteriak menganCam.
Karena mengeluarkan tenaga, luka
di paha Bun Thay Lay kembali melekah dan mulai mengalirkan darah lagi. Melihat
itu, tahulah dia bahwa dirinya tak dapat menobros kepungan musuh.
“Cong-thocu, terimalah pedang
ini. Kau lekas keluar sendiri!” teriaknya segera.
Berbareng dengan seruan itu, Bun
Thay Lay akan lempar kan pedang 'leng-bik-kiam' itu kepada Tan Keh Lok. Tapi
pada saat itu juga, ia rasakan pundaknya sakit sekali dan tangannya lemas.
Sehingga pedang itu jatuh terlempar di tanah. Kiranya sebatang anak panah dari
serdadu Ceng telah mengenai pundaknya itu.
Nampak Bun Thay Lay kembali
terluka, Tan Keh Lok loncat beberapa tindak kearah Li Khik Siu dan menyerukan
agar jenderal itu memerintahkan anak buahnya berhenti memanah. Sebagai gantinya
hujan panah, pasukan Ceng itu segera memagari ke pemimpin HONG HWA HWE itu
dengan tombak.
“Lekas undangkan sinshe untuk
mengobati luka Bun su tangkeh. Nah, aku hendak pergi!” seru Keh Lok pula.
Dengan ucapan itu, ketua HONG HWA
HWE tersebut sudah melesat keluar. Karena sudah mendapat perintah dari
Ciangkunnya, tentara Ceng itu puras ber-sorak mengejarnya. Tapi hal yang
sebenarnya, mereka itu tak menghalanginya dengan sungguh-sungguh. Ketika loncat
keatas tembok, Keh Lok segera dapatkan bagaimana didalam dan diluar tangsi
tersebut sudah siap tiga lapis pasukan pemanah dan pasukan bertombak.
Diam-diam ketua HONG HWA HWE itu
mengeluh dalam hati. Dengan penyagaan yang sekokoh itu, sukarlah rasanya untuk
menolong Bun Thay Lay.
Sekeluarnya dari tangsi, Wi Jun
Hwa dan Lou Ping sudah menunggu. Dengan bersenyum keCut, Keh Lok gelengs
kepala. Hari sudah mulai terang tanah. Apaboleh buat, dengan menanggung
kemengkalan, oranga HONG HWA HWE itu segera balik kerumah Ma Sian Kun di Kosan.
Hanya jam saja mereka
beristirahat, lalu kembali berkumpul di ruangan untuk berunding lagi.
“Kiuko (saudara kesembilan), kau
antar vaas giok dan selir Li Khik Siu itu kepadanya. Kita tak boleh salah
janyi,” kata Tan Keh Lok kepada Wi Jun Hwa.
Baru saja Wi Jun Hwa keluar, Ma
Tay Thing, putera Ma San Kun, masuk sambil berkata: “Cong-thocu, Thio Ciauw
Cong menghaturkan sepuCuk surat untukmu.”
“Surat dari Ciauw Cong?” tanya
Keh Lok. “Aneh, entah apa maunya !”
“Kuduga dia tentu akan ajak pi-bu
padamu Cong-thocu,” kata Thian Hong.
Ketika dibaCanya, ternyata surat
Ciauw Cong itu penuh dengan kataa yang mengunyukkan kemarahan. Memaki ketua
HONG HWA HWE itu telah berlaku liCik, karena menotok orang dengan menggelap,
kemudian memborgolnya. Tindakan itu dikatakan bukan laku seorang jahtan,
karenanya ditantang nya adu silat (pi-bu) saja untuk menetapkan siapa sesung
guhnya yang lebih unggul. Waktu dan tempat diserahkan kepada ketua HONG HWA HWE
itu.
“Kau benar, Chitko. Dia tantang
aku. Hem, bertanding satu lawan satu, dia kira aku takut padanya!” kata Keh
Lok.
Keh Lok Cepat-cepat menulis
balasan. Ajakan pi-bu itu dite rimanya. Pertandingan akan dilangsungkan besok
pagi di bukit Pak-ko-nia. Harus satu lawan satu. Kalau sampai ada orang lain
yang membantunya, itu bukan seorang laki. Se dianya surat balasan itu terus
akan disuruhnya mengirim, tapi tiba Thian Hong menyatakan pikiran, bahwa pi-bu
itu bukan soal yang penting. Sebaiknya dapat diundurkan dulu sampai nanti
urusan menolong Bun Thay Lay sudah selesai.
“Baiklah, hari ini tanggal 0.
Kalau begitu diundurkan saja sampai tanggal nanti.”
Tan Keh Lok tulis lagi sepuCuk
balasan, lalu disuruhnya orang mengirimkan ke tangsi tentara Ceng.
“Pokiam Thio Ciauw Cong itu
sungguh lihai. Congthocu jangan adu senjata dengannya. Lebih baik dengan tangan
kosong saja,” kata Tio Pan San.
“Dikuatirkan dia tentu akan minta
adu pedang, bangsat itu............” Bu Tim, imam tangan satu itu, ikut
mengeluarkan suara dengan gusarnya. Dia teringat akan pertempuran di
penyeberangan sungai Hongho, dimana pedangnya telah kena dipapas oleh pokiam
Thio Ciauw Cong.
“Cong-thocu, jangan kau salah
faham, aku hendak me nyatakan pendapat,” tibaa Ciu Tiong Ing berkata.
“Silahkan Ciu loCiangpwe memberi
pengunyukan, siaotit tentu akan mengindahkannya,” kata Keh Lok.
Kepandaian Cong-thocu pernah aku
menerima pengaja ran. Memang luar biasa. Tapi orang she Thio itupun bukan orang
sembarangan,” demikian kata Ciu Tiong Ing. “Kita pernah beramai tempur dia.
Bukan maksudku akan memuji tinggi dia dan merendahkan kekuatan sendiri. Memang
Cong-thocu takkan terkalahkan oleh dia. Tapi untuk me nundukkannya, juga sukar
rasanya. Kita harus menCari akal untuk mengatasinya.”
“Ucapan Ciu loCiangpwe itu tak
salah kiranya. Memang sukarlah bagiku akan mengalahkannya. Tapi karena dia me
nantang, kiranya kurang leluasa jika mesti menolak. Jadi terpaksa harus
kuhadapinya, tanpa memperhitungkan kalah atau menang,” jawab Keh Lok.
“Sebaiknya kita singkirkan dulu
pokiamnya itu, agar dia Ciut nyalinya,” Siang Pek Ci utarakan pendapat.
“Kita satu persatu ganggu dia.
Sekalipun takkan mengalahkannya, tapi sekurang-kurangnyanya dia tentu akan
lelah. Sedang selama hari ini, baiklah Cong-thocu mengasoh baik-baik . Dengan
semangat yang segar, rasanya Cong-thocu akan dapat menundukkan bangsat itu,”
Ciang Cin, si Bongkok ikut bicara.
Mendengar oraongan si Bongkok
itu, peCahlah ketawa orang-orang HONG HWA HWE Mereka mengakui, se-bodoh si
Bongkok itu, namun akalnya boleh juga. Tengah mereka masih ber Cakapa, seorang
Cengteng masuk menghampiri Ma San Kun dan melapor :
“Loya, Ong Hwi Yang, situa itu,
sampai sekarang tak mau makan. Dia terus menerus menCuCi-maki saja.”
“Apa yang dia maki?” tanya tuan
rumah itu.
“Dia menCaCi pasukan gi-lim-kun
itu tak kenal aturan. Dia mengatakan, selama berpuluh tahun berkelana di
kangouw itu, oranga sama menghormatinya. Dia tak menyang ka kalau kali ini
mengantar piau bagi baginda, malah telah ditahan tanpa alasan apa-apa,” tutur
Cengteng itu.
“Sekalipun dia bergelar
Wi-tin-ho-siok, hm, biar dia rasa kan 'kopi pahit' didaerah Kanglam sini!” kata
Bu Tim dengan tertawa.
Mendengar pembicaraan itu, tiba
Thian Hong mendapat pikiran. Katanya segera: “Aku ada tipu yang dinamakan 'Pian
Cong membunuh harimau', entah saudara-saudara sekalian dapat menerima, entah
tidak?”
Thian Hong lalu bentangkan
tipunya. Ternyata sekalian orang sama memuji dan menerimanya. Sampai Tio Pan
San berseru menyatakan kagum. Sedang Ciu Tiong Ing pun tertawa dan geleng
kepala.
“Sebenarnya tipu itu termasuk
liCik. Tapi menghadapi seorang siaojin, tak perlu kita berkukuh pada keutamaan.
Beng toako, silahkan kau omongi si Wi Tin Ho Siok itu,” kata Keh Lok.
Memang selama 40 tahun lamanya
Ong Hwi Yang malang melintang didaerah utara, tanpa ada yang menandingi. Tapi
kali ini dia menyejakkan kakinya didaerah Kanglam, dia telah tertumbuk batu.
Selama dalam kamar tahanannya, dia tak mau dahar apa-apa. Ber-ulang dia
ber-kaok, minta bertemu dengan pemimpin pasukan gi-lim-kun. Karena sampai saat
itu, dia masih mengira bahwa yang meringkusnya itu adalah pasukan gi-lim-kun.
Sedikitpun dia tak merasa kalau sebenarnya dia telah masuk perangkap dan berada
dalam tangan orang-orang HONG HWA HWE
Selagi dia masih marahs itu,
masuklah seorang pemuda, yang mengenakan pakaian gi-lim-kun. Orang itu bukan
lain ialah Beng Kian Hiong. Murid Ciu Tiong Ing itu ternyata juga seorang yang
Cerdas, tak kalah dengan Wi Jun Hwa. Karena itulah maka Tan Keh Lok menunyuk
dia melakukan peranan tersebut.
“Apakah kau ini yang disebut Wi
Tin Ho Siok?” tanya Kian Hiong setelah mengambil tempat duduk disebuah kursi.
“Betul. Gelar itu sahabats
kangouw yang memberikannya. Aku sendiripun tak merasa senang dengan gelar itu.
Kalau memang Hok thongling menganggapnya tak lajak, kelak akan kumaklumkan
kepada sahabata kangouw, bahwa gelar itu kuhapuskan,” kata Ong Hwi Yang dengan
kurang senang.
“Hok thongling adalah keluarga
baginda, dia tak ambil pusing dengan kaum kangouw,” kata Kian Hiong sembari
perdengarkan ketawa tawar.
“Kini aku sedang menyalankan
tugas untuk mengantar baranga baginda ke HangCiu. Mengapa tanpa sebab aku di
tahan begini?” tanya Hwi Yang .
“Jadi kau belum mengetahui?”
tanya Kian Hiong.
“Memang !”
“Ah, kukuatir karena usiamu
begitu tinggi, nanti tak tahan mendengarnya !”
Ong Hwi Yang paling benCi orang
mengatakan dirinya tua. Karena dia masih merasa seperti anak muda yang berapi
api semangatnya. Maka dia segera menggebrak meja, se hingga ujung meja itu
sempal. Katanya dengan gusar :
“Aku Ong Hwi Yang, meskipun
umurku tua, tapi aku tak gentar untuk menerobos pagar golok atau masuk kedalam
minyak mendidih. Apanya yang kutakuti?”
“Aha, Ong loCiangpwe sesungguhnya
masih berdarah panas. Hm, kalau begitu memang tak salah bisak-bisik yang
tersiar dikalangan kangouw bahwa 'lebih baik menghadap Giam Ong daripada
kesamplokan dengan Lo Ong. Lebih suka menerima tusukan tombak, daripada bertemu
dengan orang she Thio'. Bukankah begitu?” tanya Kian Hiong.
Yang dimaksud dengan Lo Ong atau
Ong si Tua, adalah Ong Hwi Yang itu. Sedangi orang she Thio itu, bukan lain
jalah Thio Ciauw Cong. Jadi hal itu membuktikan bagaimana pengaruh ke jago itu
dikalangan persilatan.
“Itulah sahabat- dari golongan
Hek To yang memberi muka padaku secara ber-lebih*-an,” kata Ong Hwi Yang.
“Mengapa orang lebih dulu
menyebut Lo Ong, baru orang she Thio? Apakah kepandaian Lo Ong itu berada
diatas orang she Thio?” tanya Kian Hiong.
Ong Hwi Yang berjingkrak bangun,
maju setindak dia lalu berkata: “Jadi si 'Hwe Chiu Poan Koan' yang hendak
menguji kekuatanku?! Memang aku tolol sekali, hingga tak dapat memikir sampai
disitu.”
“Thio taijin adalah pemimpinku,
kau juga mengetahuinya?” tanya Kian Hiong pula.
“Aku tahu bahwa Thio Ciauw Cong
berada dalam dinas gi-lim-kun,” sahut Hwi Yang.
“Jadi kau kenal padanya ?” tanya
Kian Hiong.
“Meskipun kita sama-sama tinggal
di Pakkhia dan sesama kaum persilatan, tapi dia menjadi pembesar negeri, sedang
aku seorang rakjat biasa. Memang sudah lama kudengar namanya yang kesohor itu.
Sayang tak pernah berjumpa.”
“Kebetulan, memang Thio taijin
juga kepingin belajar kenal denganmu. Kini dia juga berada di HangCiu sini. Dia
berkata, ketika berada di Pakkhia dekat dengan kaisar. Kalau sampai disebabkan
urusan berebut nama kosong saja mesti perlu bentrok, itulah kurang lajak. Kini,
sama-sama berada diluar kotaraja, Thio taijin mengajukan tiga hal kepada Ong
locianpwe. Kalau locianpwe suka menerimanya, dia idinkan locianpwe keluar dari
sini.”
“Baik, aku telah kena tersergap
oleh orang-orang mu dari pasukan gi-lim-kun. Ada urusan apa lagi yang akan
meminta persetujuanku. Mengapa harus aku yang meluluskannya ?”
“Urusan itu mudah sekali. Tak
usah kiranya lo-piauwtauw menjadi gusar,” ujar Kian Hiong.
“Apa yang Hwe Chiu Poan Koan
maukan padaku?!”
“Pertama, lo-piauwtauw harus
menghapuskan gelaran 'Wi Tin Ho Siok' itu.”
“Hm, lalu yang ke?” Hwi Yang
putuskan omongan orang.
“Bubarkan Tin Wan piauwkiok !”
“Apa?” seru Hwi Yang dengan
keras. “Piauwkiok itu telah kudirikan selama tiga 0 tahun lebih dengan
disaksikan orang-orang kangouw tak pernah mendapat hinaan dari kalangan Hek To.
Jadi Thio taijin maukan aku membubarkan, baiklah. Dan yang ketiga?”
“Yang ketiga, supaya Ong
lo-piauwtauw undang seluruh kalangan persilatan dan umumkan bahwa bisak-bisik
'lebih baik menghadap Giam Ong daripada kesamplokan dengan Lo Ong; lebih baik
menerima tiga tusukan tombak daripada bertemu dengan orang she Thio', ucapan
itu supaya dibalik. Jadi artinya kalimat yang ke itu supaya ditaroh diatas
lebih dulu. Selain itu, Thio taijin ingin supaya Ong lo piauwtauw suka serahkan
golok pat-kwa-to itu.”
Sampai disitu, tak kuat lagi Ong
Hwi Yang menahan ke marahannya. Serunya dengan gusar: “Dengan Thio Ciauw Cong
aku tak punya permusuhan apa-apa, mengapa dia begitu menghina aku sampai
keliwatan sekali !”
Kian Hiong ganda tertawa,
sahutnya :
“Kau sudah menikmati kemasjhuran
nama selama 40 tahun, sebaiknya kini mandah mengasoh saja. Bukankah 'sebuah
gunung tak dapat didiami oleh ekor harimau?' Masa kata-kata itu saja Ong
lo-piauwtauw sampai lupa?”
“Ah, kiranya dia akan minta
penyelesaian, agar dia dapat mengkangkangi kolong langit. Hm, sekiranya aku tak
meluluskan, bagaimana? Apakah dia akan tetap menyikap aku disini? Ah, biarlah
kuserahkan jiwaku saja, masa dia akan lepas dari buah ketawaan orang-orang
kangouw.”
“Thio taijin seorang gagah yang
berambekan perwira. Tak nanti dia mau melakukan hal itu. Dia minta padamu nanti
siang, supaya beradu ilmu pedang dibukit Pak-ko-nia. Kalau sesungguhnya Lo Ong
yang lebih lihai, bisak-bisik itu biarkan begitu seperti sediakala. Kalau
tidak, maka diharap lo-piauwtauw menerima ketiga permintaannya itu,” kata Kian
Hiong.
“Cara itu memang yang lajak.
Biarlah namaku selama 40 tahun itu kupertaruhkan padanya.”
“Tapi tadi Thio taijin berpesan,
kalau lo-piauwtauw menerima undangannya itu, supaya suka datang sendirian, agar
jangan sampai terdengar oleh baginda. Kalau lo-piauwtauw sampai undang sahabat
untuk membantunya, lebih baik per tandingan itu ditiadakan saja.”
Ong Hwi Yang karuan berjingkrak
seperti orang keba karan jenggot.
“Sekalipun aku seorang tua akan
remuk rendam tulang belulangku, tapi aku pasti datang seorang diri,” katanya
kemudian dengan gemas.
“Kalau begitu harap lo-piauwtauw
mengirim sepuCuk surat balasan, biar kusampaikan pada Thio taijin nanti,” kata
Kian Hiong lalu keluarkan kertas dan alata tulis.
Karena menahan amarah,
bergemetaranlah tangan Ong Hwi Yang sewaktu menulis balasan. Ringkas saja surat
itu :
Dihaturkan kepada Thio taijin,
Kata-kata dan sikapmu itu,
keliwat memperhina kan aku. Nanti siang kita bertemu di Pak-ko-nia. Kalau aku
sampai jatuh di tanganmu, aku rela menerima hukuman sekehendakmu.
Hormatnya, Ong Hwi Yang
Ong Hwi Yang seorang bu, maka dia
kurang mahir ilmu nya bun (surat). Apalagi sedang marah, jadi lebih kaCau
susunan kata-katanya itu. Kian Hiong hanya tertawa saja, terus akan berlalu.
Tapi tiba Ong Hwi Yang berseru: “Tulung tanya nama toako yang mulia ini, nanti
akupun meminta pengajaran darimu !”
Rupanya Hwi Yang umbar
kemendongkolannya. Kian Hiong yang disangkanya anggauta “gi-lim-kun” juga akan
diajak nya berkelahi nanti.
“Aku yang masih hijau ini dari
angkatan muda, masih kurang pengalaman. Thio taijin sedang menanti surat ini,”
jawab Kian Hiong terus keluar dari ruangan itu sambil rapatkan pintu tanpa
dikunCi.
Orang-orang HONG HWA HWE Cukup
mengetahui bahwa Ong Hwi Yang paling jerih jika berhadapan dengan pembesar
negeri. Jadi ia tak mau berusaha meloloskan diri, terima mandah disekap dalam
tahanan itu. Karena kalau ia mau, sebenarnya dengan mudah ia dapat dobrak pintu
tahanannya itu.
Kini diCeritakan tentang
Thiat-pi-peh-Chiu Han Bun Tiong yang karena akan mengejar penCuri kudanya, telah
masuk dalam perangkap. Dan kini iapun ditahan. Pagi itu, ia dibawa kelain, sel
kecil. Tapi lain halnya dengan Ong Hwi Yang, orang she Han itu tahu kalau
dirinya kini jatuh ditangan orang HONG HWA HWE
Sedang dia gelisah memikirkan
nasibnya, tiba didengarnya dari kamar sebelah, ada orang ber-kaok memaki kalang
kabut. Dia melengak, karena” dikenalnya suara orang itu adalah Cong-piauwtauw
Ong Hwi Yang. Cong-piauwtauw itu tengah me-maki-maki Thio Ciauw Cong yang
dikatakan sebagai orang yang keliwatan menghina lain orang.
Diam-diam Han Bun Tiong heran,
mengapa Cong-piauwtauw itu bisa berada ditempat tahanan itu, dan pula
me-maki-maki pada Thio Ciauw Cong. Ingin dia akan berseru keras untuk menegor
Hwi Yang, tapi tiba masuklah orang ketempat itu, seraja berkata: “Silahkan Han
toaya keruangan besar.”
Berada diruangan besar Bun Tiong
nampak dibarisan kursi yang sebelah kiri duduk tiga orang. Yang duduk dikursi
pertama, jalah ketua HONG HWA HWE, Tan Keh Lok. Kursi yang ke diduduki oleh
seorang yang jenggotnya putih semua. Sedang pada kursi yang lainnya, tampak
seorang yang bertubuh pendek. Orang-orang itu agaknya Bun Tiong sudah pernah
menyumpainya ketika dalam perjalanan di wilayah Kamsiok. Piauwsu itu kemaluan.
Dia tak mau menengok, keCuali anggukkan ke palanya, lalu mengambil tempat
duduk.
“Han toako, kita pernah bertemu
di Kamsiok, tidak nyana kalau hari ini kita dapat berjumpa lagi disini. Haha,
agaknya kita ini memang berjodoh,” kata Keh Lok.
Sampai agak lama, baru Bun Tiong
dapat menyawab tegoran orang, katanya: “Ja, ketika itu, aku memang berjanyi untuk
tinggalkan kalangan persilatan dan mengasing kan diri. Tapi karena Ong
Cong-piauwtauw mendesak aku supaya turut serta dalam pengawalan barangs kali
ini, ter paksalah aku tak dapat menolaknya. Pertama, mengingat perhubungan baik
dengan Ong Cong-piauwtauw. Ke, karena barangs kawalan itu adalah barang yang
berharga untuk diantarkan ketempat kediaman Kongcu. Kiranya pasti Kongcu takkan
sesalkan aku, maka............”
“Sahabat Han, kita kaum kangouw
hanya menyunyung kepercayaan dan kebejikan. Kau telah langgar janyi, bagaimana
rasa hatimu sendiri?” tanya Thian Hong, siorang pendek itu tiba, dengan suara
tajam.
“Aku telah jatuh kedalam
tanganmu, sia-siasaja aku omong ini itu, terserah sajalah kalau mau dibunuh
atau di............” sahut Bun Tiong lesu.
“Han toako, jangan Buru-buru
berkata begitu!” Keh Lok putuskan omongan orang. “Kitapun mempunyai hubungan
yang baik dengan Ong Cong-piauwtauw. Untuk kepentingan HONG HWA HWE, beliau tak
segan akan tempur Hwe-Chiu Poan-koan Thio Ciauw Cong. Kau dan aku bukan orang
lain, urusan yang lampau tak perlu kiranya di-ungkat lagi. Bagaimanakah
hubungan Han toako dengan orang she Thio itu?”
“Ketika di Pakkhia, sudah
beberapa kali kujumpainya. Tapi rupanya dia terlalu agulkan kedudukannya yang
tinggi, pula merasa berkepandaian jauh melebihi kita, agaknya dia sungkan
bergaul dengan kita orang, jadi tak ada hubungan apa-apa,” sahut Han Bun Tiong.
“Oh, begitu. Coba Han toako baCa
surat ini,” kata Keh Lok sembari serahkan surat tantangan Ong Hwi Yang kepada
Thio Ciauw Cong itu kepada Bun Tiong.
Tentang isi surat itu,
sebenarnya! Bun Tiong masih agak meragukan. Ia merasa tak nanti Ong Hwi Yang
sampai ber chianat kepada Thio Ciauw Cong hanya karena akan mem bela urusan
HONG HWA HWE Tapi dengan telinganya sendiri, tadi ia dengar bagaimana
Cong-piauwtauw itu memaki habis-habisan pada Ciauw Cong. Apalagi dia mengetahui
betul kalau surat itu ditulis oleh tangan Ong Hwi Yang sendiri. Sampai disitu,
hilanglah keraguannya.
“Kalau begitu, ingin aku
menyumpai Ong Cong-piauwtauw, untuk merundingkan daya menghadapi Thio Ciauw
Cong nanti,” katanya kemudian.
“Tapi kini rasanya waktu sudah
mendesak sekali. Aku hendak mohon bantuan Han toako untuk antarkan surat ini
kepada Thio Ciauw Cong, baru nanti Han toako menemui Ong Cong-piauwtauw. Entah
bagaimana pendapat Han toako?” tanya Tan Keh Lok, yang walaupun kata-katanya me
minta pertimbangan Bun Tiong, tapi terselip suatu perintah pada piauwsu itu.
Jadi Han Bun Tiongpun terpaksa meluluskannya.
“Capjilong, keluarlah!” tiba Keh
Lok berseru memanggil.
Segera Ciok Siang Ing tampak
munCul, siapa lalu diper kenalkan kepada Han Bun Tiong.
“Biarlah saudara Ciok ini,
menemani Han Toako ketempat Thio Ciauw Cong. Mungkin Han toako masih belum
jelas, mengapa Ong loenghiong membalik terhadap Thio Ciauw Cong. Soal itu kalau
dituturkan, panyang juga. Nanti saja kita Ceritakan kepada Han toako. Dihadapan
Thio Ciauw Cong, tolong akuilah kalau saudara Ciok ini salah seorang piauwsu
dari Tin Wan piauwkiok. Selanyutnya biar kan dia sendiri yang bicara nanti,”
kata Keh Lok pula.
Kembali Bun Tiong Curiga, hingga
sampai sekean lama dia tak menyawab.
“Dalam soal apa lagi yang kiranya
Han toako masih belum jelas?” tanya ketua HONG HWA HWE itu.
“Oh, tidak ada. Aku turut saja
apa yang Kongcu pesan,” sahut Bun Tiong dengan tersipus.
Thian Hong tahu, bahwa orang she
Han itu mulai Curiga, hal mana dia kuatir bisa terbitkan keonaran, katanya
tiba: “Silahkan tunggu sebentar !”
Dia terus masuk kedalam, dan
ketika keluar lagi, sudah membawa sepoCi arak dengan sebuah Cawannya. Setelah
menuangkan arak, lalu dihaturkannya kepada Bun Tiong.
“Tadi omongan siaote itu terlalu
keras, maka dengan ini mohon maaf kepada Han toako. Mari Han Toako keringkan
Cawan ini, dan anggaplah urusan kita itu sudah selesai,” kata Thian Hong.
Tergopoh Bun Tiong menyawab
dengan kata-kata yang me rendah. Setelah meminum Cawan itu dia minta diri
kepada ketua HONG HWA HWE itu. Tan Keh Lok balas pernyataah orang dengan
merangkap ke tangannya selaku menghaturkan terima kasih.
Tapi baru saja Bun Tiong keluar
dari ruangan itu, tiba Thian Hong berteriak dengan suara mengagetkan :
“Haja, Celaka! Han toako, aku
terlalu sembrono sekali. Tadi telah keliru mengambil arak yang ditaruhi raCun
!”
Semua orang juga ikut terkejut.
Lebih Han Bun Tiong seketika itu tampak puCat wajahnya, lalu balik kedalam
ruangan.
“Sungguh aku berdosa. Arak itu
memang ditaruhi raCun, sedianya untuk merendam piauw. Tadi orang-orang itu
telah keliru memberikan kepadaku. Baru tahu setelah kuCium, tapi Han toako
sudah menghabiskan seCawan. Wah, Celaka! Lekas ambilkan obat pemunah raCun!”
demikian kata Thian Hong dengan gugup.
“Obat itu berada dimarkas kita
yang terletak disebelah timur kota”, sahut seorang Cengteng.
“Tolol, lekas naik kuda kesana!”
bentak Thian Hong.
“Siaote ini memang orang gelo,
seharusnya menerima hu kuman. Sekarang silahkan Han-toako antar surat itu dulu.
Kalau kesemuanya berjalan lancar menurut petunyuk dari dari sdr. Ciok, begitu
kembali dan minum obat pemunah itu tentu akan sembuh”, kata pula Thian Hong
kepada Bun Tiong.
Kini baru tahulah Bun Tiong,
bahwa orang sengaja akan menekannya secara halus, agar dia kerjakan
sungguh-sungguh perintah itu. Kalau sampai dia tak memenuhi pemerintaan mereka,
tentu habislah sudah jiwanya. Dia awasi Thian Hong dengan sorot mata kebenCian,
tanpa berkata apa-apa terus pergi, diikuti oleh Ciok Siang Ing.
Begitu ke orang itu sudah
berlalu, maka bertanyalah Ciu Tiong Ing,: “Kulihat orang she Han itu juga tidak
terlalu jahat. Thian Hong, perbuatanmu kali ini, ku rasa tidak pantas !”
“Harap gi-hu jangan kuatir, arak
tidak ada raCunnya apa-apa.” kata Thian Hong tertawa.
“Tidak beraCun?” tegas Tiong Ing
dengan melengak.
“Ja,” jawab Thian Hong, lalu
menuang arak itu kedalam Cawan terus diminumnya sendiri. “Aku kuatirkan dia
nanti bikin kapiran urusan itu, maka perlu digertak sedikit. Nanti kasih lagi
dia minum seCawan sebagai obat pemunah, bu kankah dia akan menjadi baik?”
Semua orang HONG HWA HWE tertawa
geli mendengar Cerita itu.
Kini kita tengok Thio Ciauw Cong,
yang setelah menerima jawaban dari Tan Keh Lok untuk mengadakan pi-bu dibukit
Pak ko-nia, kegusarannya agak reda. Karena beberapa kali dia pernah tempur
ketua HONG HWA HWE itu, rasanya akan dapatlah dia menimpahkan penasarannya. Dia
jakin tentu dapat menundukkan lawannya. Waktu itu ia sedang duduk disebelah
kamar tutupan Bun Thay Lay. Tiba pintu ter buka, dan masuklah seorang pengawal
yang memberitahukan bahwa ada seorang tetamu yang ingin bertemu padanya.
Berbareng itu, pengawal tersebut. menyerahkan surat dari tetamu itu yang ternyata
bertuliskan nama dari “Wi-Tin-Ho-Siok Ong Hwi Yang”.
Melihat itu, Ciauw Cong agak
mendongkol, karena belum pernah menurut kelaziman, surat kunyungan itu
sampulnya ditulis nama julukan sipengunyung sendiri.
“Bilanglah pada tetamu itu, aku
sedang ada urusan penting tak dapat menemuinya. Suruh dia tinggalkan alamat,
biar lain hari kudatangi”, kata Ciauw Cong kepada pengawal itu.
Tapi belum berapa saat pengawal
itu berlalu, dia sudah kembali lagi dan melapor. “Tamu itu tak mau berlalu, ini
suratnya”.
MembaCa isi surat itu, Ciauw Cong
gusar dan heran. Ia merasa tak pernah ada ganyelan apa-apa dengan Ong Hwi Yang,
mengapa akan diajak pi-bu?
“Katgkan pada Li Ciangkun, aku
akan menemui tetamu, minta dia kirim orang mewakili jaga disini”, kata Ciauw
Cong pada serdadu pengawal itu.
Tak lama datang 4 orang siwi, dan
barulah Ciauw Cong keluar keruangan tetamu. Dikenalnya salah seorang tamunya
itu adalah Han Bun Tiong, maka di tegornya : “Apakah Ong Cong-piauw-tauw tidak
datang?”
“Thio taijin, maaf, taiar ku
perkenalkan ini Ciok piauwsu dari Tin Wan piawkiok. Ong Cong-piauwtauw ada
beberapa omongan yang akan disampaikan oleh Ciok piauwsu ini”, balas Bun Tiong.
Ciauw Cong lemparkan surat Hwi
Yang diatas meja, serunya: “Kesohoran nama Ong Cong-piauwtauw memang sudah lama
kudengar. Tapi selama ini aku belum pernah berhubungan dengan dia, masa aku
dikatakan 'keliwat meng hina orang'. Tentu didalamnya terselip salah faham.
Harap kalian ber beri penyelasan.”
Ciok Siang Ing ketawa dingin,
kemudian baru menyawab: “Ong Cong-piauwtauw adalah ketua dari kaum. persilatan.
Kalau dikalangan itu munCul bangsa bebodoran, baik ada atau tidak hubungannya,
dia tentu tak mau berpeluk tangan. Kalau tidak demikian, masakah dia berani
memakai gelaran 'Wi Tin Ho Siok'?”
Thio Ciauw Cong gebrak meja
karena gusarnya.
“Jadi Ong Hwi Yang sebut aku ini
bebodoran dalam kalangan persilatan?” teriaknya sengit.
Ciok Siang Ing dongakkan mukanya
yang penuh dengan bintik bekas luka itu, tanpa menyawab apa-apa. Ciauw Cong
makin berkobar hatinya.
“Dalam soal apa aku pernah
menodai nama sahabat bulim, Coba terangkan!” bentaknya kemudian.
“Ada beberapa hal yang Ong
Cong-piauwtauw inginkan penyelasan Thio taijin,” Siang Ing balas bertanya. “Per
tama, kita belajar silat ini, baik dari Cabang dan golongan apa saja, pantang
menghina orang yang lebih tua. Thio taijin adalah seorang ahli dari Bu Tongj
Pai, tapi konon kabarnya, selain tak akur dengan suhengnya juga kemaruk pangkat
hendak menangkap dan menyerahkan suheng itu pada pemerintah. Apakah kiranya hal
itu benar?”
“Urusan kami antara suheng dan
sute, orang luar tak berhak Campur tangan!” sahut Ciauw Cong gusar.
“Yang ke, pergaulan dalam
kalangan persilatan, baik golongan Pek To maupun Hek To ataupun yang bekerja
pada pemerintah, semuanya menyunyung kepercayaan dan kebejikan. Taijin tidak
berrausuhan dengan kaum HONG HWA HWE, tapi karena ingin naik pangkat temaha
harta, lalu menang kap Bun Thay Lay dan menipu putera Thiat-tan Ciu Tiong Ing,
sehingga anak itu menerima hukuman mati, apakah hal itu wajar?”
“Aku jalankan tugas sebagai
pembesar negeri, peduli apa dengan kau orang dari Tin Wan piauwkiok?” Ciauw
Cong berseru murka.
“Dan taijin hanya agulkan
kelihaian sendiri, sehingga tak pandang mata pada lain orang. Coba ingats,
selama ber-tahun tinggal di Pakkhia itu, taijin, pernah menolong sahabat
kangouw yang mana? Kau hanya pandai menCela kai orang, dengan gunakan siasat
'kim-sian-toat-kak', kau menCelakai orang-orang piauwkiok dan Go Kok Tong,
sehingga beberapa kawan kami banyak-banyak yang menjadi korban !”
Soal Giam Se Ciang, Te Ing Bing
dan lain-lain piauwsu dari Tin Wan piauwkiok yang telah terbunuh dan soal
terlukanya Chi Ceng Lun itu, diketahui juga oleh Han Bun Tiong, maka tak dapat
menahan perasaannya lagi ia ikut berkata: “Ja, dalam urusan itu Thio taijin memang
bersalah, maka tak heran kalau Ong Congpiauwtauw jadi marahs.”
“Lain-lain hal tak kita tanyakan,
hanya bagaimanakah dengan ke tiga soal itu”, tanya Siang Ing. Orang ini
mempunyai ju lukan 'Kwi-kian-Chiu' atau setan ketakutan melihatnya, dan
menyabat sebagai algojo dari HONG HWA HWE Waktu itu memang sikapnya keren
sekali.
Dihujani pertanyaan seakan-akan
seorang terdakwa, Ciauw Cong habis kesabarannya, ia maju kemuka selengkah, dan
membentak: “Binatang, kau sudah bosan hidup? Berani me nepuk lalat dimulut
harimau !”
Pada saat orang akan bergerak
menyerang. Siang Ing Cepat-cepat berbangkit dari tempat duduknya dan mundur
selang-kah, serunya segera :
“Apa? Wi Tin Ho Siok ajak kau
pi-bu, kau jeri bukan? Sebaliknya mau ajak berkelahi aku?”
“ Siapa bilang aku takut! Aku
terima tan tangan pi-bu di Pak-kao-nia nanti siang, jangan dipanggil laki kalau
aku jeri!” sahut Ciauw Cong murka.
“Kalau kau tidak bersedia datang,
selanyutnya jangan berCokol dikalangan bu-lim lagi. Pesan Ong Cong-piauwtauw,
jika kau ada keberanian, harus datang seorahg diri, karena fihak Cong-piauwtauw
pun tak membawa kawan. Kalau kau kerahkan tentara negeri, maaf, kita tak mau
melajani!” kata Siang Ing.
“Ong Hwi Yang hanya mempunyai
nam'a kosong, mengapa harus kujerihkan dan membawa balabantuan?” Ciauw Cong
mulai sengit.
“Ong Cong-piauwtauw orangnya sih
tak pandai bicara. Pertemuan nanti hanya semataa mengadu ketangkasan sen jata,
bukan adu lidah. Maka kalau kau mau memakinya, lebih baik me-maki-maki saja,
sekarang se-puasnya,” kata Siang Ing.
Ciauw Cong tidak pandai bicara.
Dikili sampai habis-habisan itu, dia kesima saja tak dapat mengucap apa-apa.
“Nah, sampai sekean dulu, kita
akan minta diri supaya kau dapat kesempatan untuk berlatih dan mengatur pesan
terachir seperlunya!” kata. Siang Ing pula.
Rasanya mau meledaklah dada Ciauw
Cong, saking tak tahannya, seCepat-cepat kilat tangan diajun kemuka orang.
Siang Ing Coba berusaha untuk berkelit kesamping, tetapi sudah terlambat.
Pundaknya kiri bagaikan dihantam dengan palu godam. Seketika itu ia terhujung
sampai beberapa langkah.
Ciauw Cong sudah ketelanyur
mengumbar napsu. Begitu pukulan pertama berhasil, pukulan ke segera menyusul.
Kali ini ditujukan kearah dada lawan.. Siang Ing gunakan gerakan “lan-jiok-wi”
burung gereja pentang sajap, salah satu jurus dari ilmu silat Thay Kek Pai.
Pukulan Ciauw Cong itu dapat ditangkis. Nampak berhadapan dengan se orang achli
lwekang, Ciauw Cong terkesiap. Saat itulah telah digunakan oleh Siang Ing untuk
melesat mundur.
“Bagus, hm, kalau kau jerih
bertemu dengan Ong Cong-piauwtauw, baiklah, kitapun boleh adu kekuatan
sendiri,” seru Siang Ing dengan bersiap.
“Apanya yang kujerihkan?
Bilanglah pada Ong Hwi Yang, nanti aku tentu datang!” sahut Ciauw Cong tak mau
kalah.
Siang Ing unyuk ketawa dingin, ia
memutar tubuh terus berlalu. Apa yang telah terjadi itu diketahui jelas oleh
Han Bun Tiong. Tapi apa yang dipikirkan oleh orang she Han itu, hanyalah
keierangan Thian Hong bahwa dirinya terminum raCun itu. TerCengkeram oleh rasa
takut itu, keringat menguCur deras membasahi tubuhnya. Dia tak sabaran menunggu
Siang Ing adu lidah tadi. Sehingga ketika diajak bicara oleh Siang Ing tentang
Ciauw Cong, dia tak mau menyawab apa-apa. Sikapnya seperti orang yang sakit
perut. Dan begitu tiba dirumah, dia terus lemparkan diri kekursi.
“Inilah obat pemunahnya, harap
Han toako lekas minum,” kata Thian Hong seraja menuang arak.
Ter-gegap orang she Han itu
menyang gapinya, tapi tiba Tiong Ing menyawutnya terus diminum habis. Bun Tiong
terlongong-longong, tetapi Tiong Ing tertawa.
“Ini keterlaluan, Han toako,
sebenarnya kau tidak minum raCun. Dia hanya ber-main-main dengan kau. Thian
Hong, Ayo lekas haturkan maaf pada Han toako!” kata Tiong Ing kemudian.
Dengan tertawa Thian Hong maju
untuk menyura dan menghaturkan maaf pada Bun Tiong, dan menyelaskan se babnya.
Han Bun Tiong tampak kurang senang, tapi dia tak mendendam apa-apa. Hal itu
mengunyukkan bagaimana ke jujuran hati Ciu Tiong Ing. Karena dia mengetahui
bahwa dengan perbuatan itu, orang tentu akan dendam sakit hati” pada Thian
Hong. Kalau sang mertua tidak lekas-lekas bertindak, mungkin nanti dibelakang
hari timbul hal yang menyusahkan pada Thian Hong. Dalam pada itu Kian Hiong
disuruh menemui Ong Hwi Yang pula.
“Thio taijin menerima baik
tantangan Ong locianpwe, sebaiknya locianpwe lekas pergi sekarang juga. Tetapi
Thio taijin tak inginkan lain-lain orang ikut serta. Kalau loenghiong ada
pesanan apa-apa, silahkan katakan sekarang. Agar setibanya di Pak-ko-nia nanti
terus dapat dilakukan pertempuran. Segala pembicaraan apa saja. Thio taijin tak
mau gubris. Kalau sekiranya loenghiong jerih dan sesalkan suratnya tadi, supaya
sekarang juga menyatakannya agar tidak teriambat.”
“Baiklah memang aku sudah bosan
dengan jiwaku yang lojo ini!” seru Hwi Yang sembari loncat bangun, terus
bertindak keluar.
Atas isjarat Kian Hiong, seorang
Cengteng segera mem-berikan senjata pat-kwa-to dan kantong piauw pada jago tua
itu. Dimuka pintu, bertemulah Ong Hwi Yang itu dengan Han Bun Tiong.
“Harap Ong Cong-piauwtauw berlaku
hati-hati,” kata Bun Tiong.
“Kaupun tahu perkaranya?” tanya
Hwi Yang. “Akulah yang ikut menemui Thio taijin,” sahut Bun Tiong dengan
anggukkan kepala. “Dia katakan aku apa?”
“Jangan percaya dengan
keteranganku ini,” kata Bun Tiong.
“Tak apa, kau katakanlah.”
“Dia maki kau situa gila, yang
tak punya gawe apa-apa!”
“Hm! Apa benar tak punya gawe,
biarlah nanti boleh dia Cobas. Kalau sampai terjadi apas dengan diriku, Han
laote,
“Ah, aku percaya akan kepandaian
Ong Cong-piauwtauw, tentu orang she Thio itu takkan dapat berbuat apa-apa
padamu. Kupujikan keselamatan untuk Ong Cong-piauwtauw.”
Ong Hwi Yang terus ajak Cengteng
penunyuk jalan untuk berangkat ke bukit Pak-ko-nia. Pada bukit itu, ter dapat
sebuah lapangan datar yang dikelilingi oleh puhun yang besar. Ketika sampai
dipunCak bukit, ada seorang yang bertubuh kekar dan berpakaian ringkas
menghampirinya dan menegor: “Adakah kau ini Ong Hwi Yang?”
Ditegur begitu, Hwi Yang gusar.
Tapi dia itu seorang yang sudah berusia hampir tujuh0 tahun, jadi darah
panasnya pun berkurang. Apalagi dia tahu bahwa Ciauw Cong adalah seorang
pembesar negeri, sedikitnya orang harus taruh perindahan. Maka sahutnya :
“Benar, memang aku yang rendah
ini adalah Ong Hwi Yang. Apakah kau ini Hwe-Chiu Poan-koan Thio taijin?”
“Ja, dan kita akan adu dengan
tangan kosong atau pakai senjata?” jawab orang itu.
Mendengar jawaban orang yang
tegas dan dingin itu, diam-diam Ong Hwi Yang heran, sedangnya dia tak mempunyai
permusuhan hebat .dejigan orang itu, mengapa orang begitu menghinanya sekali,
sedikitpun tak berlaku sungkan. Tapi sebaliknya dia berpikir untuk jangan
menimbulkan permusuhan yang mendalam, lebih baik Cobas dengan tangan kosong
saja, agar orang she Thio itu sadar kalau dia bukan situa yang tak punya gawe.
“Aku siorang tua ini, hendak,
mohon pengajaran Thio taijin punya ilmu silat Bu-kek Hian-kang-kun yang kesohor
itu,” katanya lalu.
“Baik,” sahut Ciauw Cong dengan
rangkapkan ke tangan.
Meskipun adat Ciauw Cong itu
keliwat tinggi, tapi dia seorang achli lwekang dari Bu Tong Pai yang memiliki
pe lajaran ilmu silat berdasarkan ketenangan. Jadi waktu itu mengambil sikap
menunggu serangan orang. Ong Hwi Yang insyap bahwa orang tak mau mendahului
menyerang, maka serunya: “Maaf!”
Mulut mengucap, tangan kiri
mendahului mengibas keluar dan dengan gerakan “yu-gong-tam-jiau” atau melayang
di udara sambil mengulur Cakar, tangan kanannya menebas pundak kanan Ciauw
Cong. Menyusul tangan kirinya tadi dibalikkan keatas dengan gerakan
“beng-hou-hok-Ceng” atau macan buas menerkam mangsa, ia hantam pundak kanan
lawan. Tapi itu masih belum habis, karena tangannya kanan tadi
sekonyong-konyong berubah gerakan untuk menyotos kedada. Jadi sekaligus orang
tua itu sudah menyerang dengan tiga gerakan susul menyusul dengan sebat sekali.
Untuk memunahkannya, Ciauw Cong
terpaksa mundur sampai tiga tindak. Ia gunakaii pokoka ketenangan dari ilmu
silat Bu Kek Hian Kang untuk menolaknya. Tampak pada saat itu, ke jago itu
se-olah berubah menjadi sebuah bayangan saja. Dalam hati masing-masing, tidak
lepas perasaan saling mengagumi.
Pikir Ciauw Cong: “Tiga jurus
gerakannya tadi luar biasa sebat dan berbahajanya. Dia ternyata bukan sembarang
jago.”
Sebaliknya Ong Hwi Yangpun
berkata dalam hatinya sen diri: “Dia dapat menolak ketiga seranganku tadi
dengan tenang dan tepat. Kiranya kesohoran HweChiu Poan Koan itu memang bukan
omong kosong.”
Kini mereka tak berani memandang
rendah lawannya. Mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dalam lain
perputaran, Ciauw Cong tampak bungkukkan tubuh, maju selangkah terus menyapu
kakinya kiri. Sembari loncat keatas, sepasang tinyu Hwi Yang menyotos muka lawannya.
Tapi dalam menyapukan kaki tadi,
Ciauw Cong sudah siap dengan buah tipu: “diatas udara memanah elang” dan
“diatas puhun menangkap orang hutan.” Maka ketika jotosan Hwi Yang tiba, dia
siang sudah siap untuk meng halaunya.
Ke jago itu telah keluarkan kepandaian
masinga. Dan nyata kekuatan mereka berimbang. Dalam sejurus saja, mereka sudah
bertempur tiga-empatpuluh jurus. Ketika itu matahari tengah memanCarkan
sinarnya yang terik. Di lapangan pertempuran itu hanya tampak sosok bayangan
yang se-olah me-nari.
Tampak bahwa sampai sebegitu jauh
belum dapat me nundukkan lawan, insyaplah Hwi Yang bahwa dirinya sudah tua,
sedang lawannya masih bertenaga kuat. Kalau pertempuran itu ber-larut sampai
lama tentu akan habislah tenaganya. Memikir sampai disitu, dia berkeputusan
untuk merobah Cara berkelahinya.
Sekonyong-konyong gerakannya
berobah, dari gerak merangsang menjadi bertahan dengan rapat. Ke tangannya tak
ter pisah dari dadanya, seakan-akan merupakan perisai yang me nempel untuk
melindungi diri. Kiranya dia ber-gerak-gerak dengan ilmu silat menurut gambar
pat-kwa. Dengan gunakan tangannya kiri untuk menangkis serangan, tangannya
kanan dia tempelkan pada lengan kiri. Bagaikan bayangan, jago tua itu ber-putar
melingkari lawannya. Itulah kepandaian simpanan dari 'Wi Tin Ho Siok' yang
paling di andalkan. Ilmu silat itu disebut “yu-sin-pat-kwa-Ciang.”
Dalam gerakan ilmu silat yang
luar biasa itu, kaki selalu ber-putar tak hentinya. Melingkar kekiri, melejit
kekanan sehingga musuh akan menjadi kebingungan, memudarkan * penglihatan lawan
akan kemudian bila sudah ada kesempa tan akan memberi serangan. Kelihatannya
saja berada disebelah muka, tapi begitu musuh mcnyerang, tahu-tahu dia sudah
berada dibelakang. Kalau musuh berputar kebelakang, dia akan melejit lagi kebelakangnya.
Begitulah dengan Cara itu,
bagaimanapun tingginya ke-pandaian musuh tentu akan berkunang matanya. Tapi
sebaliknya kalau lawan berhenti tak bergerak, dia tentu teranCam bahaja akan
dihantam punggungnya.
Tapi Ciauw Cong bukan jago
piCisan. Diapun kenal akan ilmu silat itu. Berbareng dengan gerakan lawan untuk
melejit kebelakang, seCepat-cepat itu pula dia membalik badan terus menyotos
muka orang. Tapi belum lagi samberan pukulan Ciauw Cong tiba, tak kalah
Cepat-cepat nya, Hwi Yang melejit lagi.
Ciauw Cong tahu bahwa pada saat
itu lawan sudah menginyak lingkaran “kiu-kiong-pat-kwa,” sesudah itu tentu akan
melangkah kelingkaran “kan-kiong.” Karena itu, dia mendahului bergerak maju
kelingkaran “kian-wi.” Demikian lah kenya ber-putar lagi sampai tujuh atau
delapan kali, tapi masih belum ada kesudahannya.
“Yu-sin-pat-kwa-Ciang” telah
dijakinkan Ong Hwi Yang selama berpuluh tahun. Karenanya latihannyapun telah
men Capai kesempurnaan. Makin lama gerakannya makin Cepat-cepat . Begitu rupa
gerakan kaki dan tangannya, sehingga nampaknya seperti dapat bergerak sendiri
(otomatis).
Siasat Ciauw Cong adalah
menghalau serangan. Bermula siasat itu telah menempatkan dirinya dalam
kedudukan yang berimbang dengan lawan. Tapi lama kelamaan, dia merasa tak dapat
mengimbangi keCepat-cepat an musuh yang masih luar biasa gesitnya itu.
Diam-diam dia kuatir, jika terus menerus begitu, tentu akan dikalahkan
lawannya. Cepat-cepat diapun me robah Cara berkelahinya. Dia diam tak bergerak,
hanya tetap tenang waspada untuk menanti serangan musuh.
Perobahan sikap dari Ciauw Cong
itu mengherankan Hwi Yang, siapa terus melejit lagi kebelakang musuh dan dari
situ, dengan gerakan “kim-liong-tham-Cao” (naga mas julurkan Cakar), menghantam
punggung lawannya.
Tapi begitu serangan itu hampir
mengenai, seCepat-cepat kilat Ciauw Cong memutar tubuh seraja mengulurkan
tangannya kiri untuk menCengkeram pergelangan tangan lawan. Cepat-cepat Hwi
Yang tarik pulang tangannya.
“Dia sungguh-sungguh memiliki
kesempurnaan ilmu Iwekang. Ka rena tanpa melihat, ia dapat gerakkan tangannya
untuk menangkis seranganku tadi,” demikian diam-diam Hwi Yang memuji kepandaian
lawannya.
Kiranya Ciauw Cong Cukup
menginsyapi, kalau mengikuti lejat-lejit lawan, dia tentu dirugikan. Sebaliknya
orang she Ong itu sudah putih jenggotnya, jadi tentu kalah dengan dia dalam hal
tenaga. SeCepat-cepat menimbang kekuatan musuh, seCepat-cepat itu pula dia
gunakan “pi-bok-hoan-Ciang,” ilmu silat dengan mata tertutup mengembalikan
serangan musuh. Dengan ilmu itu ia akan mengimbangi “yu-sin-pat-kwa-Ciang”
lawan sampai habis.
Sewaktu berlatih
“pi-bok-hoan-Ciang,” mata ditutup dengan saputangan. Satunya alat panCa indera
yang digunakan jalah pemusatan telinga dan perhatian akan arah serangan lawan.
Ilmu silat ini hanya mengutamakan penyagaan tak boleh menyerang. Gerakannya
dibatasi sekecil mungkin. Tapi tangkas sekali, hingga apabila sedikit saja
lawan berajal, tentu akan kena diCengkeram dan dipelintir putus tulangnya. Ilmu
silat itu sebenarnya CoCok digunakan dalam pertem puran malam hari, atau
apabila menghadapi musuh tangguh didalam goa atau ruangan yang sempit gelap.
Meskipun tidak diperuntukkan menyerang tubuh orang, tapi ilmu itu penuh dengan
perobahan yang tak terduga. Terutama kalau untuk merebut senjata lawan, ilmu
silat itu paling sesuai sekali.
Demikian keadaan ke achli silat
yang tengah mengadu kepandaian itu. Yang satu melejat-lejit dengan gesit, yang
lainnya tetap diam seperti patung. Dalam sekejab saja, mereka sudah bertempur
berpuluh jurus lagi. Saat itu Ong Hwi Yang mulai gelisah, dia ingin sekali agar
pertempuran itu lekas selesai. Tiba ia melejit lagi kebelakang lawan, ia susul
menyusul menghantam punggung orang dengan tangan kanan dan kiri. Tapi
sebenarnya, ke serangan itu hanya tipu belaka.
Ketika Ciauw Cong kembali akan
menerkam pergelangan tangannya, Ong Hwi Yang lancarkan lagi serangan tangannya
kiri. Ia jakiri musuh tentu tak nanti bisa mem punyai mata dipunggungnya.
Berbareng itu, tangannya kanan menebas pundak orang. Sebuah serangan yang luar
biasa Hhaynya.
Perhatian Ciauw Cong ditumpahkan
pada 4 buah serangan lawan tadi atau tiba samberan pukulan menuju kearah
pundaknya. Bukan main rasa terkejutnya. Karena untuk berkelit, terang sudah tak
keburu lagi. Apa boleh buat dia lancarkan sebuah jurus dari ilmu silat
“pi-bok-hoan-Ciang” itu. Tangan kanan diCuCukkan pada tangan lawan, sedang
tangannya kiri tetap menganCam akan mematahkan pergelangan tangan orang. Dalam
ilmu “pi-bok-hoan-Ciang,” jurus tadi dinamakan “sian-kiam-Can-liong” pedang
dewa memenggal naga. Cukup sedikit saja tangan lawan men Cengkeram, tentu
pergelangan tangannya akan dipelintir patah. Ciauw Cong mau adu untung. Pundak
bukan bagian yang membahajakan jiwa, biarlah dihantam musuh. Tapi dengan dapat
memenggal lengan musuh, sekali pelintir tentu musuh akan kehilangan anggauta
badan yang berguna itu.
Demikianlah segera terdengar
suara hantaman tangan Ong Hwi Yang pada pundak lawan. Tapi ketika ia girang
dengan hasil itu, tiba lehgannya telah diCengkeram orang dan ber bareng itu
tangan kiri lawan sudah menganCam lambungnya. Insyaplah jago tua itu, bahwa ia
teranCam bahaja maut. Ia harus bertindak dengan Cepat-cepat . SeCepat-cepat
kilat ia berputar diri sembari menghantam kepundak orang.
Dengan begitu, kembali pukulan
Ciauw Cong kelambung tadi mengenai tempat kosong, serta tak mendapat hasil
apa-apa. Malah sebaliknya, untuk menghindari pukulan lawan, dia terpaksa harus
loncat kebelakang. Dengan begitu, kalau dinilai, kerugiannya lebih besar atau
dalam bahasa persilatan, dia harus mengaku kalah.
Kenya adalah achli ternama dalam
kalangan persilatan. Untuk menetapkan kalah menang, itu saja sudah Cukup. Maka
berkatalah Ciauw Cong: “Dalam ilmu silat tangan kosong, kau betul lihai. Nah
sekarang kita adu ilmu senjata.”
Dan dengan ucapan itu, Ciauw Cong
sudah menarik 'leng-bik-kiam'nya.
Ong Hwi Yang pun tak banyak-banyak
bicara lagi, terus men Cabut golok 'Ci-kim-pat-kwa-to'nya. Karena berhadapan
dekat sekali, tampaklah olehnya bagaimana mulut dan hidung Ciauw Cong itu sama
melepuh, sedang mata sebelah kanan terdapat tanda bengkak biru sebesar telur
itik. Heran Hwi Yang dibuatnya, mengapa orang setangguh Ciauw Cong itu bisa.
mendapat hajaran sedemikian rupa.
Kiranya itulah hasil hajaran Tan
Keh Lok semalam di rumah penyara, sehingga muka Ciauw Cong babak belur. Dan
dikarenakan hal itu, kemungkinan gerakan orang she Thio agak kaku, hingga
kembali dia harus menelan keka lahan lagi dari Ong Hwi Yang.
Ciauw Cong akan mengembalikan
mukanya dengan ilmu pedangnya. Serangan leng-bik-kiam ber-tubi, ia lancarkan
serangan dengan seru dan hebat sekali. Tapi 'Wi Tin Ho Siok' tahu juga bahwa
pedang Ciauw Cong itu adalah pedang pusaka, jadi tak boleh dilawan dengan
kekerasan. Dan ia pun lalu keluarkan ilmu permainan 'pat-kwa-tonya.
Pertempuran kali itu, lebih
menarik dan lebih dahsyat dari tadi. Tapi sampai beberapa jurus, masih belum
diketahui kalah menangnya, Ciauw Cong makin lama makin bersemangat, sedang Ong
Hwi Yang hanya dapat berlaku dengan hati-hati sekali. Dia hanya bertahan dengan
gigih, tak mau balas menyerang.
Pada satu saat, pokiam Ciauw Cong
sudah hampir dekat dengan 'pat-kwa-to' Ong Hwi Yang. Kalau sampai berbentur,
tentu pat-kwa-to itu akan terpapas kutung. Karena untuk menariknya sudah tak
keburu lagi, maka Ong Hwi Yang Cepat-cepat julurkan buah jari tangannya kiri
untuk me nusuk muka lawan. Ciauw Cong tak gentar, ia melengkan kepala dan
teruskan babatannya. Dan pada lain saat, ujung golok 'pat-kwa-to' itu tampak
terpapas kutung.
“Pedang yang lihai!” memuji Hwi
Yang sembari loncat keluar. “Kali ini kau yang menang. Apakah Thio taijin masih
akan melanyutkan bertempur lagi?”
Dengan itu sebenarnya, Ong Hwi
Yang akan menutup pertempuran, supaya masing-masing tidak sampai kehilangan
muka. Tapi maksud baik itu, dirusakkan karena dia mengucap “pedang yang lihai”
tadi.
Ciauw Cong anggap orang katakan
ia menang karena mengandalkan pokiamnya, bukan karena kepandaiannya. Maka ia
mendongkol sekali.
“Belum ada yang kalah dan menang,
urusan masih belum selesai!” sahutnya segera. Dan tangan mengibas, pedang
langsung menusuk lagi. Kenya, kembali bertempur sampai tujuhdelapan puluh jurus.
Ber-ketes peluh membasahi kepala
Ong Hwi Yang. Mak lum ia sudah tua. Kalau berlangsung lama, tentu Celaka. Ini
diinsyapinya. Karenanya, diam-diam ia merogoh senjata rasia kim-piauwnya.
Ketika ia memindahkan golok ketangan kiri, berserulah ia: “Lihat piauw!”
Dan berbareng, permainannya
golokpun berobah, yaitu dengan permainan tangan kiri. Menyusul, tiga batang
piauw beruntun-runtun menyambar. Itulah yang dinamakan “golok menyerang, piauw
melayang .” Juga salah sebuah kepandaian istimewa dari 'Wi. Tin Ho Siok'.
Perlu diterahgkan, bahwa
permainan golok tangan kiri itu adalah kebalikannya dari tangan kanan. Sangat
menyukarkan lawan untuk menangkisnya. Ditambah pula dengan tawuran piauw yang
sangat berbahaja. Bisa berkelit dari piauw, sukar terhindar dari golok. Kalau
bisa meluputkan serangan golok, juga tak gampang menghindari tawuran piauw.
Begitulah Wi Tin Ho Siok membabat kekanan, dalam pada itu, dia sa bitkan
piauwnya kearah kiri.
Tapi Hwe-Chiu Poan-koan memang
lihai. Megos kekanan untuk mengelit serangan golok, berbareng tangan mengulur
untuk menyemput piauw dikiri.
Ong Hwi Yang mengulangi lagi
sebuah tabasan. Begitu Ciauw Cong tundukkan kepala untuk mengelit, Cepat-cepat
ia sudah melayang kan piauwnya kebawah. Untuk itu, Hwe-Chiu Poan Koan burus timpukkan
piauwnya yang ditangkapnya tadi untuk menghantam piauw yang datang itu.
buah piauw, tepat saling
berbenturan, dan mengeluar kan bunga api, terus jatuh ketanah. Kembali Ong Hwi
Yang CeCer serangan terlebih gencar. Goloknya bagaikan kilat me-nyambar, turun
naik kekanan kiri. Sedang tawuran piauwnya, deras bagaikan hujan. Dalam sekejab
saja, 1 batang piauw telah diobral, namun belum dapat memberi hasil apa-apa.
Waktu itu piauwnya hanya tinggal
tiga batang lagi. Kakinya kiri melangkah setindak. Dengan pendekkan tubuh dia
membabat kebawah, dan berbareng tangan kanannya mengibas.
Melihat musuh sudah menghamburkan
1 batang piauw, tahulah Ciauw Cong bahwa lawannya kali ini tentu menge luarkan
serangan istimewa. Dan nyata, timpukkannya piauw lebih santer dari yang lalu.
Untuk menghindari kesemuanya itu, ia harus pasang mata betul-betul. Karenanya,
ia tak sempat mengeluarkan jarum 'hu-yong-Ciam' untuk membalasnya, Dia Cepat-cepat
berputar diri dan mengawasi tajam. akan gerakan tangan kanan dari lawannya.
Tapi ternyata gerakan Wi Tin Ho
Siok tadi adalah gerak tipu belaka. Karenanya, Ciauw Cong hanya menangkap
angin. Selagi begitu, Ong Hwi Yang sudah menginyak ke jalan “tin-Wi.” Dari situ
ia menyerang dengan tipu “lat-bi-Hoa-san,” dengan sekuat tenaga menghantam
gunung Hoa-san.
Ciauw Cong tak mau menangkis
serangan yang dahsyat itu, ia melejit selangkah, sembari sabetkan
'leng-bik-kiam'-nya kearah pinggang orang. Ong Hwi Yang Cepat-cepat tarik
goloknya untuk menangkis. Trangng……. tahu-tahu pat-kwa-to sudah terpapas kutung
menjadi.
Ong Hwi Yang menggerung, dengan
sekuat-kuatnya kutungan golok yang berada ditangannya ditimpukkan kepada Ciauw
Cong. Ciauw Cong Buru-buru tundukkan kepala untuk meng hindar, tapi 'Wi Tin Ho
Siok, sudah menyusuli dengan tiga batang piauw pula.
“Aduh! .......... “ Ciauw Cong
menyerit roboh kebelakang. 'Leng-bik-kiam'nya jatuh ketanah pula.
Kiranya tadi Ong Hwi Yang memang
sengaja menipu agar lawan berputar kearah timur, jadi dengan begitu orang akan
silau matanya tertuju sinar matahari. Juga ia sengaja benturkan goloknya dengan
'leng-bik-kiam', walaupun untuk itu ia sudah tahu tentu akan kutung. Tapi
dengan itu, musuh tentu akan mabuk kemenangan dan menjadi lengah. Inilah saat
yang di-nantikannya. Untuk tiga batang piauw yang penghabisan, musuh tentu tak
dapat menghindar. Ini ia me rasa jakin. Dan tak salahlah dugaannya itu, karena
kini Hwe-Chiu Poan-koan sudah roboh.
“Bagian mana yang kena piauw? Ini
aku membawa obat,” seru Ong Hwi Yang kemudian.
Tapi sampai sekean saat, Hwe-Chiu
Poan-koan tetap tak berkutik dan membisu. Diam-diam Ong Hwi Yang terkejut ke
takutan. Sebenarnya ia tak bermaksud untuk menimpuk bagian yang berbahaja. Tapi
siapa tahu kini orang itu telah tewas. Orang adalah seorang pembesar negeri
yang sedang bertugas, sedang ia sendiri punya keluarga dan perusahaan. Itulah
hebat akibatnya. Buru-buru ia menghampiri sembari mem bungkukkan badan untuk
memeriksanya.
Siapa duga baru saja ia menyenguk
kebawah, tiba Ciauw Cong menggerung keras dan hujan sinar berkelebat seperti
kilat.
“Celaka!” seru Ong Hwi Yang
sambil buang tubuhnya kebelakang dalam gerak “thiat-pan-kio” (jembatan besi
gantung). Tapi walaupun begitu, masih kalah sebat. Dada dan pundaknya sebelah
kiri terasa seperti ditusuk jarum rasanya. Tahulah ia, kalau dirinya terkena
senjata rahasia lawannya.
Nampak orang begitu liCik dan
keji, murkalah Ong Hwi Yang. Dengan menggerung seperti banteng ketaton ia
loncat bangun dan terus akan ajak orang mati bersama-sama . Tapi begitu
bergerak, dada dan pundaknya terasa sakit bukan main, hanya sekali ia dapat
menggerung, terus roboh lagi.
Ciauw Cong tertawa gelak. Dia
Cabut piauw yang me nyusup pada iganya, lalu merobek pakaian untuk membalutnya.
Setelah itu ia bangun dan berdiri tegak.
“Thio Ciauw Cong, kau manusia
liCik! Apakah perbua tanmu itu tidak diketawai orang? Apakah kau ada muka
menemui sahabat kangouw lagi?” Hwi Yang memaki.
“DISINI hanya kau dan aku berdua,
setan mana yang mengetahuinya? Kau sudah hidup keliwat lama, sebaiknya kau
pulang ke rahmattulah! Biarlah lain tahun pada hari ini, adalah ulang tahunmu
yang pertama,” kata Ciauw Cong dengan bersenyum iblis.
Mendengar itu, tahulah Hwi Yang
bahwa orang akan membunuhnya. Dia makin memaki habis-habisan, Ciauw Cong maju
memberi totokan, dan seketika bisulah jago tua itu. Hanya sepasang matanya
tampak ber-apidua, uratdua diwajahnya kencang bergerak-gerak. Dia mendendam
kemurkaan yang tak dapat dilampiaskan.
Dengan kutungan pat-kwa-to, Ciauw
Cong menggali sebuah lubang. Dengan tangan kiri ditentengnya orang, terus
dilempar kedalam liang itu dan serunya: “Ong Hwi Yang, pulang saja menyusul
nenek moyang mu!”
Dengan sebelah kaki, dia
menendang tanah. Maksudnya, akan mengubur hidup-hidupan Ong Hwi Yang. Tapi baru
saja menyepak sekali, sekonyong-konyong dari arah belakang terdengar suara
ketawa dingin dan panjang . Ciauw Cong kaget bu kan kepalang, terus berpaling
kebelakang. Disitu tampak seorang yang memegang semacam senjata aneh tengah
berdiri dibawah terik matahari.
Tegas-tegas dilihatnya, orang itu
ialah Han Bun Tiong.
“Bagus! Katanya hanya satu lawan
satu. Jadi kau orang Tin Wan piauwkiok menyembunyikan bala bantuan. Kau tahu malu
apa tidak!” seru Ciauw Cong dengan murkanya.
“Kalau, tahu malu tentunya tak
sampai berbuat serendah itu!” sahut Bun Tiong sambil menujuk liang yang digali
Ciauw Cong dimana Ong Hwi Yang menggeletak,
“Baik. Sekarang aku 'Coba minta
pengajaran thi-pi-peh-mu itu,” kata “Ciauw Cong.
Dengan gerak ilmu mengentengi
tubuh “pat poh kam sian,” Ciauw Cong sudah loncat kemuka Bun Tiong, terus
menusuknya. Bun Tiong tak mau memangkis, ia hanya mun dur selangkah. Dan
berbareng itu, tahu-tahu sebatang golok me layang kekaki Ciauw Cong.
Ciauw Cong tegakkan pokiamnya,
tapi penyerangnya itu Cepat-cepat sekali sudah menarik pulang goloknya, sebelum
ter bentur dengan pokiam. Ciauw Cong tahu, itulah gerakan ilmu golok
“hian-hian-to” Ilmu permainan seorang ahli Iwe kang. Ketika mengawasi, Cauw
Cong dapatkan penyerangnya itu ialah Ciok Siang Ing.
“Kalian berdua boleh maju
berbareng. Aku Hwe-Hiu Poan-koan tak jeri,” demikian Ciauw Cong memaki.
Sambil mengucap begitu, Ciauw
Cong terus akan menyerang Siang Ing. Tapi tiba-tiba dari arah belakang
terdengar suara nyaring. Sebagai seorang yang tinggi silatnya, tahulah Ciauw
Cong apa adanya itu. Cepat-cepat dia berbalik kebelakang. Tampak olehnya bahwa
dari bawah bukit ada kira-kira sembilan orang mendaki keatas, Yang dimuka
sendiri jalah ketua HONG HWA HWE Tan Keh Lok.
Teringat akan kejadian dikamar
tahanan Bun Thay Lay, timbullah kemarahan Ciauw Cong. Dia gemas akan menun tut
balas. Tapi nampak orang-orang itu berjumlah banyak sekali. Ciauw Cong gentar
juga. Ia Coba tindas perasaannya dan berlaku gagah.
Tan Keh Lok mengenakan jubah
panjang warna biru, tangannya pegang kiras, katanya kepada Han Bun Tiong:
“Han-toako, kau tolongi Ong Congpiauwtauw lebih dulu.”
Bun Tiong Cepat-cepat menuju
keliang dan mengangkat Ong Hwi Yang. Ciauw Cong diam saja tak menghalangi. Keh
Lok segera tutuk jalan darah piauwtauw tua itu untuk lepaskan jalan darahnya.
Karena usianya sudah tinggi, maka walaupun sudah tertolong tapi beberapa saat
Ong Hwi Yang tak dapat mengucap apa-apa.
“Ong Hwi Yang situa itu tantang
aku berkelahhi, kini sudah diketahui siapa yang kalah dan menang. Tan tangkeh,
lain hari kita bertemu disini lagi,'' kata Ciauw Cong me rangkap tangan, terus
berputar akan turun dari bukit.
“Tadi aku berada disamping gunung
dan menyaksikan se luruh pertandingan kalian berdua. Memang betul menga gumkan
sekali. Namun sayang sekali, Thio taijin, keme nanganmu itu tidak syah!” sahut
Keh lok.
“Memang dalam ilmu perang, tidak
dilarang untuk meng gunakan siasat. Tadi kita adu kepandaian tenaga dan otak,
mengapa tidak boleh?” tanya Ciauw Cong.
Keh Lok tersenyum. Katanya:
“Pemandangan Thio taijin ternyata luas sekali.
Sebenarnya hari ini ingin sekali
aku minta pengajaran dari taijin, tetapi karena lambung taijin terluka, maka
akupun tak mau mendapat kemurahan. Lukamu tidak sehari-hari dapat sembuh,
karenanya lain kali saja kita langsungkan janji itu. Bilang saja, kita tunda
tiga bulan lagi bagaimana?”
Ciauw Cong tahu bahwa orang
sengaja akan bikin panas hatinya. Sekalipun begitu, dia tetap unyuk adatnya
yang tinggi. “Baiklah, nanti tiga bulan lagi, kita berjumpa disini, demikian
sahutnya.
Ketika Ciauw Cong akan berlalu,
Keh Lok menghampiri dan berkata: “Kita akan tolongi Bun sucang keh kita, ada
kah taijin mengetahuinya?”
“Ya, ada apa?” tanya Ciam Cong
ketus.
“Borgolannya terbuat dari baja
murni, tidak ada senjata yang dapat digunakan untuk memutuskannya, karena itu,
aku akan minta pinjam pokiam taijin!” kata Keh Lok pula.
Ciauw Cong menggereng, lalu
katanya lantang: “Hendak pinjam pedangku? Ha, aku kuatir kau tak mampu me
ngambilnya!”
Ia ketahui bahwa oranga HONG HWA
HWE itu hanya andalkan jumlah orangnya yang banyak sekali. Jadi mereka sengaja
akan menCari perkara padanya. Terang kalau ia tak mudah bisa lolos lagi.
“Kurasa hal itu sukar terjadi!”
kata Ciauw Cong pula sembari terus mengambil tempat dengan melolos pokiamnya
kemuka.
“Tanganmu telah terluka, mungkin
tidak baik akibatnya. Biar kusambut seranganmu dengan tangan kosong saja,” kata
Keh Lok.
“Cong-thocu, tak usah berlaku
sungkans padanya. Ini lah kau punya kiam-tun dan rantai mutiara!” tibas Lou
Ping menyelatuk. Ia Membuka Pauwhok, dan ambil kedua senjata Keh Lok .itu dan
diserahkannya. Tapi Ciauw Cong terlalu licik. Ketika dilihatnya Keh Lok
berpaling untuk bicara pada Lou Ping, ia terus lon Cat pergi beberapa tombak
jauhnya, terus enjot tubuh dan lari kebawah bukit.
Tapi tiba-tiba dua buah 'hui-Cao'
(Cakar terbang) menyam bar dari depan. Yang satu menghantam dada kiri, yang
lainnya menyapu paha kanan. Serangan itu penuh dengan kekuatan.
Ciauw Cong palangkan pedangnya
kemuka dada. Begitu ia dapat menangkis hantaman hui-Cao, ia segera enjot
kakinya untuk loncat keatas, meng hindari sapuan hui-Cao yang lain. Dan ketika
kakinya menglnyak tanah lagi, dia terus enjot tubuhnya untuk teruskan maksudnya
lari tadi.
Yang menyerang tadi, ialah
sepasang jago persaudaran Siang. Sudah tentu mereka tak gampang dilalui. Siang
He Ci hantamkan 'hui-Cao'nya keperut, dengan pendekkan tubuh Ciauw Cong loncat
kekanan. Tapi disini dia disambut oleh Siang Pek Ci dengan pukulan
thiat-soa-Ciang, tangan pasir besi, sebuah ilmu pukulan dari tenaga lwekang
yang dahsyat.
Sewaktu dibukit Oh-siao-nia dulu,
Ciauw Cong pernah tempur kedua saudara Siang itu. Ia ketahui kelihaian me reka.
Karena itu ia tak mau meladeni. Begitu enjot kakinya kebelakang, ia terus lari
kear.ah selatan. Kedua saudara Siang itu bertugas menjaga jalanan sebelah
utara, jadi mereka pun tak mau mengejarnya.
Pada waktu itu, matahari sudah
pindah kesebelah selatan, dan kearah situlah Ciauw Cong ajunkan langkah
Cepat-cepat. Tapi baru saja dia sampai dijalanan sebelah bawah gunung, tiba-tiba
ada dua buah 'hui-yan-gin-so', senjata rahasia burung-burungan seriti,
menyambar.
Ciauw Cong pernah merasakan
lihainya senjata itu, Cepat-cepat ia gulingkan diri ketanah. Pada lain saat
menyambar lagi sebuah benda kecil. Ciauw Cong hantamkan 'leng-bik-kiam' keatas
kepalanya dan kutunglah gin-so itu menjadi dua. Berbareng itu, dia tak mau
lanjutkan menuju ke-selatan. Dengan gerakan “hong-hong-tian-ih,” burung hong
pentang sayap, ia putar 'pokiamnya terus lari kesebelah timur. Sembari kaki
berlari, ia lontarkan beberapa senjata rahasia kearah belakang.
Melihat gerakan itu, orang-orang
HONG HWA HWE sama mengagumi.
“Orang yang demikian hebat
kepandaiannya, sayang tersesat kejalan yang keliru,” demikian Keh Lok.
Ciauw Cong menduga bahwa diarah
timurpun tentu ada bayhoknya. Maka sembari berlari kencang , ia selalu pasang
mata. Dan betullah sangkaannya itu. Karena tiba-tiba dari sam ping jalan, ada
seorang yang loncat keluar menghadang. Orang itu memegang sebatang 'toato' atau
golok besar. Walaupun rambutnya sudah putih, tapi orangnya masih kelihatan
angker dan gagah. Itulah sijago tua Thiat-tan tgdua Ciu Tiong Ing.
Ciauw Cong keder hatinya,
belum-belum ia sudah berbalik terus lari kesebelah barat.
Tiga arah ia sudah Coba
mendatangi, tapi tigaduanya dijaga keras. Sampai disitu, ia mulai gelisah.
Kalau orang-orang itu nanti bersatu mengepung, jiwanya pasti terancam. Karena
itu, ia ambil putusan nekat. Siapapun yang menjaga jurusam barat nanti akan
ditobrosnya juga. Untuk itu, tangan kirinya segera merangkum jarum
'hu-yong-Ciam' dan 'leng-bik-kiam' dipegangnya keras-keras.
Ternyata yang menjaga disebelah
barat itu, adalah seorang berlengan satu yang menghunus pedang. Itulah 'tui-hun
tok-beng-kiam' Bu Tim tojin, tojin penCabut jiwa. Dengan tojin ini, Ciauw Cong pernah
bertempur. Dia tahu, diantara orang-orang HONG HWA HWE tojin itulah yang paling
tinggi ke pandaiannya. Diam-diam Hwe-Hiu Poan-koan mengeluh dalam hati. Namun
ia Cari daya juga untuk lolos.
Tanpa bicara lagi, begitu maju
segera ia menyerang dengan gerakan “pek-hong-koan-jit” dan “gin-ho-heng-gong,”
atau pelangi menembus sinar matahari dan sungai perak melintang diudara. Dia
andalkan ketajaman pokiam nya, namun tojin itu tak menangkis dan hanya melejit
ke samping. Dari situ, sebat sekali pedangnya balas menyerang.
Meskipun bagaimana, Ciauw Cong
tak mudah lolos. Ia tangkis serangan orang dan berbareng lontarkan jarum
'hu-yong-Ciam'nya. Ia sudah memperhitungkan bahwa serangan jarum itu akan
sia-sia saja terhadap Bu Tim. Tapi toh ia mengharap Bu Tim tidak menangkis
dengan pedang tapi mundur kebelakang. Dan dalam keadaan itu, ia akan mendapat
kesempatan untuk lolos kebawah. Selain tojin ini, sekalipun ia menahan luka,
tapi ia percaya tentu tak ada lain orang yang sanggup melawannya.
Tapi ternyata Bu Tim dapat
menerka maksudnya. Segera ia gunakan tipu yang berbahaya sekali.
Sekonyong-konyong ia me nyusup kebawah terus menusuk kaki kanan Ciauw Cong.
Gerakan ini adalah tipu istimewa dalam ilmu pedang “tui-hun tok-beng-kiam” yang
disebut “roh penasaran menggubat kaki.” Istimewa digunakan untuk menyerang kaki
lawan.
Ciauw Cong terkejut sekali.
Cepat-cepat ia lintangkan po kiamnya untuk menangkis. Namun ilmu pedang Bu Tim
itu keranjingan sekali. Tiba-tiba ujung pedangnya ditusukkan ketanah, dan pada
saat itu terdengarlah bunyi gemerinCing halus dibelakang tubuhnya. Itulah
beberapa 'hu-yong-Ciam' yang jatuh ketanah. Mendadak tubuh Bu Tim melambung
keatas kepala Ciauw Cong dan berbareng itu pedangnya ditabaskan kebawah.
Ciauw Cong miringkan tubuhnya,
lalu dengan gerak “Yay-hong-keng-thian” bianglala menjulang kelangit, dia
sabetkan pokiamnya keatas. Tapi Bu Tim lebih Cepat-cepat menarik pedangnya dan
melayang jatuh ketanah dan dari situ secepat-cepat kilat ia loncat menyerang
lagi. Saat itu, Bu Tim berada disebelah barat, jadi ia masih dapat menghadang
larinya Ciauw Cong.
Ilmu pedang
'tui-hun-to-beng-kiam' dari Bu Tim yang terdiri dari tujuhdua jurus itu
sebagian didapat dari pengajaran suhunya dan sebagian lagi adalah hasil
peyakinannya sendiri. Maka setiap jurus gerakannya ditambahi sendiri dengan
beberapa tipu, karenanya luar biasa berbahayanya. Kalau menghadapi lawan biasa,
paling banyak sekali tiga jurus saja sudah selesai. Yang bisa melayani sampai
delapan-sembilan jurus, itu sudah terhitung orang yang silatnya tangguh sekali.
Lebih hebat lagi, pada setiap jurus diberinya nama yang seram. Karena ia hanya
berlengan satu, maka ia tak dapat berbuat seperti lain ahli pedang yang
biasanya pakai tangannya yang sebelah lagi untuk bergerak- mengimbangi gerak
pedangnya. Jadi gerakan pedang tojin itu mengutamakan serangan secara lurus.
Dan sebegitu jauh, ia tak pernah mengeluarkan habis ke-tujuhdua jurus ilmu
pedangnya itu.
Pada saat itu Ciauw Cong insyap
takkan berhasil menobros lingkaran pedang lawan yang luar biasa gerakannya itu.
Ia ambil putusan untuk bertahan mati-matian, ada serangan terus dihalaunya.
Harapan satuduanya, jika saja ia sempat meng adukan pokiamnya, pedang musuh
pasti dapat dipapas kutung.
Dalam sekejab saja, keduanya
sudah bertempur tiga em pat puluh jurus. Walaupun menderita luka berat, tapi
Ciauw Cong masih dapat melayani berpuluh jurus serangan dahsyat darinya, maka
kagum juga Bu Tim. Tapi dalam pada itu, iapun tak sabar lagi, pedangnya diputar
lebih santer lagi dan berulang-ulang merangsang dengan hebatnya.
Ketika itu baru Ciauw Cong
kewalahan betul-betul. Apalagi luka-lukanya sangat mengganggu. Beberapa jurus
lagi, tiba-tiba Bu Tim membentak keras: “Lepas pedangmu!”
Dengan gerak “Giam Ong Ceng pit”,
Raja akherat lempar pena, Bu Tim membarengi tertawa panjang . Tahu-tahu lengan
kanan Ciauw Cong tertusuk pedang, trangng………… leng-bik-kiamnya jatuh ketanah.
Belum habis Ciauw Cong melengak kesima, tahu-tahu Bu Tim mengangkat kakinya
pula dan terpentallah Ciauw Cong roboh ketanah. Bu Tim maju menghampiri. Namun
lihai betul Hwe-Hiu Poan-koan itu Tiba-tiba dia loncat bangun lalu menjotos
muka Bu Tim. Bu Tim terus akan memapas dengan pedangnya, tapi mendadak ia
berpikir: “Kalau kutabas kutung sebelah tangannya, apakah Congthocu tidak akan
mengatai aku.”
Memikir akan itu, Bu Tim tarik
pedangnya. Tapi justeru kesangsiannya inilah yang merugjkan dia sendiri. Ciauw
Cong laksana banteng terluka, dia kalap betul-betul. Mengguna kan kesempatan
selagi Bu Tim ragus tadi, secepat-cepat kilat Ciauw Cong arahkan pukulannya
kelambung kiri lawannya. Disinilah kelemahan tojin itu. Karena ia tak punya
lengan kiri, jadi dia agak kurang leluasa untuk menjaga serangan dari arah
kiri. Apalagi dia memang kurang mahir dalam ilmu silat tangan kosong. Maka untuk
menghindari pukulan orang, ia hanya dapat miringkan tubuh kesamping.
Benar dengan berbuat begitu,
tenaga dahsyat dari pukulan Ciauw Cong itu menjadi berkurang, tapi biar
bagaimana dia tetap tak dapat terhindar. Begitu pukulan mengenai pinggangnya,
Bu Tim terhuyung-huyung beberapa tindak kebela kang. Dan lobang kesempatan itu
digunakan sebaik-baik nya oleh Ciauw Cong untuk lolos.
Bu Tim murka sekali, terus
mengejarnya. Ciauw Cong sudah lari kebawah gunung. Bu Tim karena andalkan keli
hayan ilmunya pedang, selama itu tak pernah gunakan senjata rahasia. Melihat
Ciauw Cong sudah hampir lolos, diam-diam dia mengeluh. Kalau sampai Ciauw Cong
bisa merat, pamor HONG HWA HWE tentu jatuh, dan dia sendirilah yang hilang
muka.
Maka tanpa hiraukan apa-apa lagi,
Bu Tim angkat pedangnya, lalu. akan gunakan tipu serangan “ngo-kui-tho-Cah”
atau lima setan melempar lembing. Dan baru saja, pedang akan meluncur dari
tangannya, tiba-tiba dari samping gunung menggelundung seorang, bagai angin
cepat-cepat nya, terus menyikap kedua kaki Ciauw Cong. Maka bergumullah kedua
orang tersebut jatuh ketanah.
Bu Tim Buru-buru simpan
pedangnya, dan ketika mengawasi ternyata yang menyergap Ciauw cong itu adalah
Ciang Cin, si Bongkok. Ciang Bongkok dan Ciauw Cong ban tingduaan dengan serunya.
Pada saat itu Seng Hiap dan Cio Su Kin pun memburunya, terus turut meringkus
Ciauw Cong. Setelah itu, Lou Ping membawa tali dan mengikat kedua tangan Ciauw
Cong. Teringat akan peristiwa pe nangkapan suaminya di Thiat-tan-cungdulu itu
timbullah kebencian Lou Ping dan terus akan memukuli Ciauw Cong, tapi keburu
diCegah oleh Tan Keh Lok: “Yangan, suso!”
Baru Lou Ping mau menurut,
walaupun ia benci sekali dengan orang itu. Tapi ketika Keh Lok menghampiri,
segera Ciauw Cong mendampratnya:
“Kau orang hanya andalkan jumlah
banyak sekali. Thio-loya hari ini sudah jatuh kedalam tanganmu, kalau mau
bunuh, bunuhlah! Kalau sampai mataku berkedip, jangan sebut aku orang she
Thio!”
Sebelum Keh Lok sempat memberi
jawaban Ong Hwi Yang sudah menghampirinya lalu memakinya: “Aku dengan kau, baik
dulu maupun sekarang, tidak mempunyai permu suhan apa-apa, tapi karena kau
takut aku uwarkan perbuatan mu yang licik, lalu begitu kejam akan mengubur aku
hidup-hidup. Hm, Hwe-Hiu Poan-koan, kau memang keterlaluan sekali.”
Mendengar itu Ciok Siang Ing,
algojo dari HONG HWA HWE unyuk ketawanya yang seram, katanya: “Dia sudah
menggali lobang untuk dirinya sendiri. Nanti kitapun perlakukan dia begitu.”
Rombongan orangs HONG HWA HWE
sama bersorak setuju.
Sekalipun biasanya Ciauw Cong
beradat tinggi, tapi begitu membayang kan akan dikubur hidup-hidup, tak urung
ia menguCurkan keringat dingin.
“Nah, kau menyerah apa tidak?”
tanya Keh Lok. “Kalau kau mengaku kalah dan bersumpah takkan memusuhi kaum HONG
HWA HWE maka dengan memandang muka kau punya Liok suheng, kami akan mengampuni
jiwamu.”
Ciauw Cong murka, jawabnya:
“Kalau mau bunuh bunuhlah, tak usah banyak sekali bicara. Kau orang telah
gunakan tipu, mana orang mau mengaku kalah!”
“Baiklah, kau memang seorang
lakis yang keras hati. Biar kuantar jiwamu dengan tabasan. pedangku ini, agar
kau ter lepas dari dikubur hidup-hidupan,” kata Keh Lok sembari menCa but
badidua pemberian Ceng Tong, lalu berjalan menghampiri kearah Ciauw Cong.
“Apa kau sungguh-sungguh tak
takut mati?” tanya Keh Lok dengan suara tertahan.
Ciauw Cong bersenyum getir. “Biar
hatiku puas!” katanya sembari meramkan mata.
Keh Lok segera ajunkan badiduanya
kepada orang. Tapi, tiba-tiba ia tertawa dan begitu tangannya dibalik ia
membabat putus tali pengikat Ciauw Cong.
Hal itu sungguh diluar dugaan,
sehingga orang-orang HONG HWA HWE sendiripun sampal melengak dibuatnya.
“Kali ini kita tangkap kau karena
gunakan siasat. Meski pun dosamu pantas dihukum mati, tapi kalau sekarang kau
kubunuh, kau tentu akan menjadi setan penasaran. Baik, kau pergilah asal saja
kau mau merobah kelakkuanmu, kita mungkin akan berjumpa lagi lain hari. Tapi
kalau tetap berjalan sesat, kami kaum HONG HWA HWE tak gentar padamu Thio Ciauw
Cong seorang. Ingat, kalau sampai kau jatuh keda lam tangan kami untuk kedua
kalinya, jang 'an kau katakan kami tak kenal kasihan lagi,” kata ketua HONG HWA
HWE
Baru saja Keh Lok habis mengucap,
maka Ciang Cin, Lou Ping, Seng Hiap, kedua saudara Siang dan lain-lainnya
serentak berteriak: “Cong-thocu, jangan lepaskan dia!”
Tapi Keh Lok memberl isyarat
dengan tangannya.
“Suhengnya, Liok Locianpwe telah
melepas budi pada kita orang, harus kita balas. HONG HWA HWE kita selalu ingat
akan budi dan kejahatan. Kalau hari ini kita lepaskan sutenya, berarti kita
telah membalas budinya,” demikian dijelaskannya.
Dengan penyelasan ketuanya itu,
sekalian orangpun diam tak membantah. Hanya saja mereka mengawasi Ciauw Cong
dengan sorot kemarahan.
Kemudian dengan merangkap kedua
tangan selaku memberi hormat, berkatalah Ciauw Cong :
“Tan tangkeh sampai disini kuakan
minta diri.”
Habis berkata, dia terus akan
angkat kaki.
“Tahan!” tiba-tiba Ciu Ki tampil
kemuka.
Ciauw Cong merandek, dan
mengawasi Ciu Ki, si Li Kui Wanita itu.
“Kau akan pergi dengan Cara
begitu saja?” tegur gadis itu.
Ciauw Cong tersedar, lalu
membungkukkan badan mem beri hormat pada sekaliari orang, seraya berkata: “Ya,
budi kebaikan dari Tan tangkeh ini, aku Thio Ciauw Cong bukan orang yang tak
tahu membalas guna. Memangnya kita ber janji tiga bulan lagi akan pi-bu disini,
tetapi aku bukan lawan kalian, maka aku hendak pulang kedesa untuk belajar
lagi. Kali ini bolehlah dianggap aku yang kalah.”
LiCin benar ucapan Ciauw Cong
itu. Dalam kataSnya yang merendah itu ia masih mengunjuk kekerasan. Seperti ia
mau katakan: kalah karena dikerojok, kelak tentu akan menuntut balas lagi.
Sudah tentu, orangs HONG HWA HWE yang men dengar ucapan itu, sama marah.
“Ketua HONG HWA HWE lepaskan kau,
itulah karena ketinggian budinya,” kata Ciu Ki. “Sekarang Coba kau jawab per
tanyaanku ini: kau berani datang ke Thiat-tan-Hung, se harusnya kau mempunyai
kepandaian untuk menangkap orang yang kau maukan itu. Tapi mengapa kau perlu
mesti mem bohongi adikku yang masih belum tahu apas itu, hingga telah
menCelakakan dirlnya, sehingga kini keluargaku telah putus keturunannya? Aku
bukan orang HONG HWA HWE, akupun belum pernah menerima apa yang disebut budi
dari suhengmu, tapi hari ini aku harus menuntut balas sakit hati adikku itu.”
Berhentilah ucapan Ciu Ki diganti
dengan gerakan go loknya untuk menerjang . Ciauw Cong menjadi sibuk tak keruan.
Nona itu tidak menjadi soal baginya, tetapi kini ia tengah dikepung oleh
ahlidua silat yang jempolan, sudah tentu mereka takkan tinggal diam berpeluk
tangan. Kalau sampai berbentrok lagi, bukankah akan hebat akibatnya?
Tapi secepat-cepat itu ia telah
mendapat pikiran. Begitu sam beran golok sinona tiba, ia mundur selangkah untuk
meng hindarinya.
Masih penasaran rupanya nona
garang itu. Nampak serangannya kosong, ia segera gunakan tipu “Tat Mo bin-pik”
atau Tat Mo menghadap tembok, suatu jurus ilmu pedang dari Tat Mo Couwsu, itu
pendiri Siao Lim Pai. Yang diarah, jalah bagian kepala orang, serunya bukan
buatan.
Ciauw Cong kaget, pikirnya: “Huh,
tak kunyana kalau budak ini lihai juga ilmu goloknya.”
Cepat-cepat ia kibaskan tangannya
kanan untuk menganCam muka Ciu Ki. Begitu sinona melengkan kepala untuk me
ngegos, secepat-cepat kilat tangan kiri Ciauw Cong menyawut golok orang.
Tapi Ciu Ki tidak saja garang
mulut, pun gerakan sen jatanya tak kurang garangnya. Ia tak mau mundur,
sebaliknya, dengan nekat ia balikkan tangan terus ditusukkan kemuka.
Ciauw Cong tak berani lukai Ciu
Ki. Iapun Cepat-cepat tarik pulang tangan dan gunakan dua buah jarinya untuk me
notok jalan darah “jiok-ti-hiat” dari lengan Ciu Ki. Maka dengan
sekonyong-konyong, Ciu Ki rasakan tangannya kesemutan dan goloknya menCelat
keatas.
Selama itu, Tiong Ing dan Thian
Hong yang paling meng awasi dengan waswas. Mereka berdua sejak Ciu Ki tampil
kemuka tadi sudah berdiri dibelakangnya. Maka ketika melihat sigadis keCundang,
tanpa pikir lagi Thian Hong angkat tongkatnya terus menghantam kemuka Ciauw
Cong. Sembari begitu, ia angsurkan tan-to ditangan kiri kepada tu nangannya.
Sedang pada waktu itu, Ciu Tiong Ing pun sudah melesat untuk menghadang larinya
Ciauw Cong. Begitu pula An Kian Kong, maju dengan mengangkat goloknya. Jadi
kini Ciauw Cong kembali dikepung oleh orang-orang Thiat-tan-Hung.
Sedang kegaduhan itu berjalan
dengan ramainya, tiba? dari bawah bukit itu terdengar ada orang ber-teriaks
dengan kerasnya: “Tahan! Tahan!”
Ketika semua orang mengawasi,
ternyata dari arah selatan tampak ada dua orang tengah berlari mendatangi
dengan pesat sekali. Yang seorang berpakaian warna kelabu, sedang kawannya
berpakaian hitam. Mereka gunakan ilmu mengentengi tubuh yang mengagumkan
sekali.
Orang-orang HONG HWA HWE sama
terkejut akan kegesitan kedua orang itu. Tentulah mereka itu ahli silat yang
lihai. Selagi orang-orang masih sama menduga-duga, kedua orang itu sudah sampai
disitu. Yang berpakaian hitam, orang-orang HONG HWA HWE segera mengenalnya
sebagai Kim-li-Ciam Liok Hwi Hing. Maka dengan ter sipudua orang-orang sama
menyambutnya.
Sedang yang berpakaian warna
kelabu itu ternyata seorang tosu tua. Pada punggung tosu itu menggemblok
sebatang pedang. Dilihat dari wajahnya tosu itu mengunjuk kan seorang yang baik
hati. Tapi siapa dia, orang-orang HONG HWA HWE tidak mengetahuinya.
Ketika Hwi Hing hendak
memperkenalkan tosu itu ke pada orang-orang HONG HWA HWE tiba-tiba Ciauw Cong
menghampiri kemuka tosu itu seraya menjura dan menyapa: “Suheng, ber-tahun?
kita tak berjumpa, adakah suheng tidak kurang suatu apa?”
Mendengar itu, barulah semua
orang mengetahui, bahwa tosu itu adalah Ciang-bun-jiri' (ahliwaris) dari Cabang
Bu Tong Pai yang bernama Ma Cin. Ia adalah suhu dari Kim-tiok Siu-Cay Ie Hi
Tong. Maka berkerumunlah orang-orang untuk memberi hormat.
“Tadi sewaktu aku dengan Ma
suheng tiba di Ko-san, bertemulah kami dengan Ma Sian Kun. Karena tahu kita
adalah orang-orang sendiri, maka saudara Ma telah memberitahu kan tentang
pertempuran dibukit Pak-ko-nia ini. Karena itu, kami Buru-buru datang kemari,”
demikian Hwi Hing menerang kan. Sembari kata itu, ia mengawasi kesekeliling
tempat itu. Setelah ternyata tak terdapat korbandua yang jatuh, leganya
hatinya.
Ma Cin dan Liok Hwi Hing dulu
pernah berjumpa dengan Ong Hwi Yang, mereka saling mengagumi kepandaian
masing-masing. Terhadap siapapun, aehliwaris Bu Tong Pai ber laku sungkan
sekali. Hal itu telah menggelisahkan hati Ciauw Cong. Bagi yang tersebut
belakangan ini memang serba susah. Pergi dari tempat itu, tidak enak dihati.
Sedang kalau tetap berada disitu, pun perasaannya tak keruan.
Ma Cin sudah Cukup paham akan
kesesatan Ciauw Cong selama ini. Sebenarnya akan dijalankannya upaCara huku man
dari Cabang Bu Tong Pai. Tapi karena melihat keadaan Ciauw Cong yang berlumuran
darah itu, kasihanlah Ma Cin. Sampaidua dia menguCurkan air mata, katanya
dengan suara sember: “Thio-sute, mengapa kau menjadi sedemikian rupa ini?”
“Aku hanya seorang. diri, sedang
mereka berjumlah ba nyak, sudah tentu beginilah akibatnya,” sahut Ciauw Cong
sengaja.
Mendengar kataa Ciauw Cong yang
mengadu-biru itu, semua pahlawan menjadi gusar, dan Ciu Ki yang per-tamadua tak
tahan, segera teriaknya: “Masih berani kau memutar balikan duduknya perkara?
Ayolah, Ma-supek, Liok-supek, silakan kalian yang menimbangnya secara adil!”
Habis berkata, dengan golok
terhunus segera gadis itu pingin menerjang maju pula.
“Sudahlah, nak,” Cegah Tiong Ing.
“Kedua Supek kini sudah datang, Bu-tong-Pai mereka selamanya mempunyai
peraturan rumah tangga yang keras, kau dengarkan saja pesan Supek-supek ini.”
Nyata benar kata Ciu Tiong Ing
itu sengaja diperde ngarkan untuk mendesak Ma Cin agar bertindak tegas sebagai
Ciangbunyin atau ketua Bu-tong-Pai.
Namun Ma Cin seorang yang terlalu
lemah perasaan, ia pandang Liok Hwi Hing, kemudian berpalihg pula kearah Thio
Ciau Cong, habis itu mendadak ia tekuk lutut kehada pan Ciu Tiong Ing dan Tan
Keh Lok.
Karuan semua orang menjadi
bingung, beramai mereka bilang: “Ada apakah Ma-Locianpwe, silakan berkata saja,
lekas kau bangunlah!” — Lalu imam itupun dibangunkan nya.
Perasaan Ma Cin mendali
tergoncang sekali, katanya dengan suara berat dan tak lancar: “Para saudara,
aku punya Thio-sute yang tak berguna ini, apa yang diperbuatnya se sungguhnya
susah diampuni, aku malu sebagai Ciang-bun-jin tak bisa membersihkan rumah
tangga sendiri tepat pada waktunya, benar-benar kini aku tiada muka lagi untuk
bertemu dengan Kawan-kawan Bu-lim. Aku ….. aku …” — Sampai disini serasa
tenggorokkannya menjadi tersumbat tak ter uCapkan. Selang sejenak barulah ia
berkata pula kepada Liok Hwi Hing: “Liok-sute, silakan kau terangkan mak sud
tujuan kita kepada para saudara!”
Karena itu, lantas berkajtalah
Liok Hwi Thjing: “Sejak Suhengku mengetahui perbuatan bagus Thio-taijin. kita
ini, saking marahnya sampai ia tak enak makan; tak nyenyak tidur, tapi
mengingat padas mendiang guruku, maka dengan beranikan diri ingin mohonkan
ampun baginya kepada sau dara-saudara.”
Mendengar kedatangan Ma Cin itu
ternyata hendak min takanl ampun bagi jiwanya Thio Ciau Cong, seketika semua
pahlawan lantas memandang Tan Keh-Lok dan Ciu Tiong Ing, ingin mengetahui
bagaimana keputusannya.
Diam-diam Keh Lok membatin: “Aku
tak boleh main murah hati dan membiarkan Ciu-loenhiong menjadi orang busuk,
biarlah aku serahkan kepada keputusannya saja.” — Karena itu, ia hanya diam
saja sembari memandang juga kepada sijago tua itu.
Mendadak terdengar suara “plak,”
tiba-tiba Tiong Ing masuk kan goloknya kedalam sarungnya, lalu katanya dengan
tegas “Kalau ingat dendam membakar perkampunganku dan men Celakai puteraku, hm,
asal aku Ciu Tiong Ing masih bisa bernapas, pasti takkan selesai dengan begitu
mudah.” — Ia merandek sejenak, lalu sambungnya: “Tapi kalau Ma-suheng dan
Liok-suheng sudah berkata demikian, baiklah aku terima kalian selaku sobat
baik, peristiwaa lalu sekaligus aku Coret dan hapus seluruhnya.”
“Tia (ayah)!” teriak Ciu Ki
penasaran oleh keputusan sang ayah.
“Sudahlah, nak!” kata Tiong Ing
agak sember sambil membelai rambut sang puteri.
“Nah, dengan apa yang dikatakan
Ciu-loenghiong, suatu tanda betapa budi setia-kawannya,” segera Keh Lok ikut
berkata. “Dan menghadapi Ma dan Liok berdua Cianpwe, baiklah, kami orang-orang
Hong Hwa Hwe juga takkan mengungkat-ungkat lagi kejadian-kejadian lalu.”
Segera Ma Cin dan Liok Hwi Hing
memberi hormat sekeliling dan kata mereka: “Kalau begitu, sungguh kami sangat
berterima kasih.”
“Tapi, Ma-toheng,” tibas Bu Tim'
menyela dengan dingin, “ada lagi sedikit perkataanku, entah boleh tidak
bertanya?”
“Silakan, Toheng,” sahut Ma Cin
Cepat-cepat .
“Sekali ini soalnya telah kami
anggap selesai, tapi bagai mana Ma-toheng akan berkata apabila kelak ia berbuat
jahat pula?” tanya Bu Tim.
“Sesudah aku membawa dia pulang
pasti akan mengawasinya dengan keras agar memperbaiki kesalahandua dulu,” demi
kian sahut Ma Cin tegas. “Tapi bila ia berbuat kejahatan lagi, hm, keCuali ia
membunuh aku dulu, bila tidak, pasti akulah yang per-tamadua takkan mengampuni
dia!”
Mendengar janduaji Ma Cin yang
begitu tegas dan pasti, maka para pahlawan tak enak untuk buka suara pula.
“Sesudah kubawa Sute ini kembali
ke Bu-tong-san di Ohpak, pasti aku suruh dia merenungkan dosasnya yang lalu
agar mau insaf,” kata Ma Cin pula. “Dan Liok-sute biarlah tinggal disini dulu
untuk membantu membebaskan Bun-sutangkeh, aku sendiri sudah lama simpan pedang,
urusan Kangouw juga sudah lama tak ikut Campur, hal ini harap lah kalian suka
memaafkan ; dan nanti bila Bun-sutangkeh sudah bebas, hendaklah Liok-sute
sukalah memberi sedikit kabar agar akupun bisa ikut lega. — Dan, eh, dimanakah
Hi Tong, kenapa muridku itu tiada disini?”
“Capsite telah terpencar dengan
kami ditepi Hoangho, ke mudian katanya terluka dan ditolong oleh seorang
wanita, lalu sampai kini belum diketahui jejaknya,” tutur Keh Lok. “Tapi bila
Bun-suko sudah kami bebaskan, segera juga pasti kami akan menCarinya hingga
ketemu, harap Totiang tak perlu kuatir.”
“Muridku itu orangnya sangat
pintar memang, Cuma orang muda suka turuti wataknya yang bebas dan kurang
sabar, hal ini mengharap Tah-tangkeh sukalah banyak sekali-kali memberi petunjuk
padanya,” ujar Ma Cin.
“Sudah tentu, Totiang,” sahut Keh
Lok. “Kami bersaudara sudah saling bersumpah bantu-membantu seperti saudara
sekandung. Capsite orangnya Cerdik pandai, kami semua sangat meughargainya.”
“Urusan harini sungguh aku merasa
terima kasih tak terhingga,” kata Ma Cin. “Tan-tangkeh, Ciu-loenghiong, Bu
Tim-toheng dan saudara-saudara sekalian, kelak bila bikin perjalanan lewat
Ohpak, hendaklah mesti mampir kekelentengku untuk beramah-tamah.”
Undangan itu disanggupi dengan
baik oleh semua orang, habis itu barulah Ma Cin berkata pada Thio Ciau Cong:
“Berangkatlah sekarang!”
Sebenarnya Ciau Cong masih berat
buat pergi ketika melihat pedangnya “leng-pek-kiam” terselip dipinggang Lou
Ping, walaupun itu adalah benda mestika, tapi kalau ia berani memintanya
kembali, itu pasti akan dihina lagi, terpaksa ia kertak gigi tinggalkan pergi.
Sehabis kedua orang itu berlalu,
lantas semua pahlawan menanyakan keadaan Hwi Hing selama berpisah.
Kiranya sejak terpencar dengan
para pahlawan ditambangan sungai Kuning, karena tak ketemu menCari murid nya,
Li Wan Ci, ia pikir gadis itu adalah puteri pembesar, orangnya juga Cerdik luar
biasa, tentunya tak sampai terjadi apa-apa atas dirinya. Kini soalnya yang
pokok adalah mengenai Thio Ciau Cong, sang Sute ini benar-benar merupakan noda
bagi Bu-tong-Pai. Maka Cepat-cepat ia menuju ke Ohpak mengundang Toasuheng Ma
Cin memburu ke Pakkhia, tapi sesampai disana barulah diketahui Thio Ciau Cong
sudah pergi ke HangCiu, lantas bergegas-gegas merekapun menyusul keselatan. Dan
karena beberapa kali pergi-datang itulah malah mereka ketinggalan dibelakang
jago-jago Hong Hwa Hwe.
Begitulah, semua orang itu
sembari pasang omong sambil berjalan kebawah bukit, kata Keh Lok kemudian
kepada Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong: “Kalian berdua hendak kemana, silakan
saja.”
“Budi pertolongan jiwa
Tan-tangkeh tadi, sungguh takkan kulupakan selama hidup,” kata Ong Hwi Yang.
Keh Lok ter-bahakdua oleh
kata-kata orang, ia jabat tangan Ong Hwi Yang dan katanya pula: “Masih ada dua
hal yang aku ingin minta Ong-loenghiong suka memaafkan.”
Lalu iapun Ceritakan dengan jelas
bahwa sengaja mereka menyamar sebagai pembesar negeri untuk mengakali vaas jade
serta mengadu-dombakan dia dengan Thio Ciau Cong agar bertanding.
Biasanya Ong Hwi Yang memang berbudi
dan berjiwa besar, sekali ini dari mati bisa diselamatkan, soal duniawi
lebihdua dingin lagi dalam pandangannya, maka terhadap tipu muslihat yang
dilakukan jago-jago Hong Hwa Hwe itu, iapun tidak pikirkan lagi. Malahan dengan
bergelak ketawa ia lantas berkata: “Haha, ketika aku melihat kau berbicara
dengan orang she Thio itu, lantas aku menduga kau adalah palsu. Hahaha,
benar-benar ksatria tumbuh pada orang muda, aku sudah kakekdua masih bertambah
lagi suatu pengalaman. Kita benar-benar tidak berkelahi tidak berkenalan, meski
aku bertanding dengan orang she Thio itu adalah kalian yang mengadu-domba, tapi
jiwaku toh tetap kalian yang menolong. Kelak orang-orang Hong Hwa Hwe semuanya
adalah sobatku, apabila Tan-tangkeh ada sesuatu perintah, aku yang sudah tua
ini meski masuk air mendidih atau terjun kelautan api tak nanti menolak.”
“Baiklah bila tugas kami sudah
selesai, bolehlah kita mi num se-puasduanya,” ujar Keh Lok.
Sambil berbicara, sementara itu
sudah sampai dibawah bukit, mereka menuju ketepi telaga dan menumpang perahu
kerumah Ma Sian Kun. Dalam pada itu Liok Hwi Hing sudah menyedot keluar
jarumdua emas yang menancap ditubuh Ong Hwi Yang serta dibubuhi obat luka.
Sesudah sibuk setengah harian,
tatkala itu hari sudah petang.
“Yalan dibawah tanah sudah lebih
separoh digali, lewat tiga jam lagi pasti akan tembus sampai tujuan,” demikian
Ma Sian Kun kemudian telah melaporkan.
“Bagus, Ma-toako, tentu kau
sangat lelah sudah, kini biar diganti Cio-sipsamko yang pergi mengatur,” sahut
Keh Lok mengangguk.
Segera pergilah Cio Su Kin dengan
tugas itu.
Lalu Keh Lok berpaling dan
berkata pada Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong berdua: “Kawan-kawan Piauthau
kalian kami telah melayaninya balkdua, bila perlu kalian ajaklah mereka pesiar
ke Se-ouw, dan lewat sehari duahari nanti tentu kami adakan tempo kusus untuk
menjamu kalian.”
Berulang kali Hwi Yang dan Bun
Tiong merendah bilang tak berani.
Ong Hwi Yang sudah banyak sekali
asam-garam, dilihatnya oranga Hong Hwa Hwe itu wira-wiri tak pernah ada waktu
senggang sedikitpun, maka ia tahu tentu mereka sedang mengatur daya-upaya buat
menolong Bun Thay Lay. Karena ini, ia pikir bila dirinya keluar, kalau usaha
jago-jago HONG HWA HWE itu berhasil Itulah sudah, tapi bila gagal, mungkin bisa
mencurigai dirinya membongkar rahasia mereka kepada pemerintah.
Maka ia lantas beralasan: “Ah,
harini kami masih terlalu letih, ingin kami mengaso dulu barang sehari-harihari
disini.!'
“Kalau begitu maafkan Siaote tak
mengawani lagi,” ujar Keh Lok.
Lalu Ma Tay Thing yang ditugaskan
melayani Ong Hwi Yang dan Han Bun Tiong kedalam buat berkumpul dengan Ong Gok
Thian dan piauthaudua lain. Disitu Ong Hwi Yang telah melarang keras
orang-orang nya tak boleh melangkah keluar sedengkalpun dari rumah keluarga Ma
itu.
Dan setelah bersantap, para
pahlawan lantas kembali kamar masing-masing untuk mengaso.
Kira-kira jam tujuh malam,
seorang Thaubak kecil datang me lapor bahwa jalan lorong dibawah tanah sudah digali
masuk gedung panglima, tapi tertahan oleh batu besar, maka sudah menggali
kebawah lebih dalam hendak melewati batu besar perintang itu.
Segera Keh Lok dan Thian Hong
mengatur orang-orang nya siapa yang bertugas menyerang sebelah kiri, siapa
menye rang sebelah kanan, siapa membantu dan siapa menjaga bagian belakang,
kesemuanya telah mereka atur sempurna.
Sejam kemudian, datang pula
Thaubak tadi melapor bahwa penggalian sudah sampai dipapan baja, karena kuatir
diketahui musuh, maka sudah berhenti menggali lebih jauh,
“Kalau begitu, tunggu lagi satu
jam, sedikit jauh malam lantas kita turun tangan,” kata Keh Lok.
Dan selama satu jam menunggu
itulah semua orang menjadi tak tahan rasanya; Lou Ping tak tenang berduduk mau
pun berdiri, sibongkok Ciang Cin mondar-mandir diruangar itu sambil tiada
hentinya mengumpat maki. Kedua sau dara Siang dengan sepasang kartu sedang main
“Pai-kiu' dengan Nyo Seng Hiap dan Wi Jun Hwa. Karena, Jur. Hwa dan Seng Hiap
bermain ngawur hingga duit mereka dikantongi kedua saudara Siang.
Ciu Ki sendiri lagi periksa
'leng-pek-kiam' asal milik Thio Ciau Cong itu sambil kadang- menyajalnya dengan
bebe rapa potong besi tua, dan nyata sekali baCok semua logam lain lantas
putus, tajam tiada bandingannya. Kelakuan sdgadis ini disaksikan Thian Hong
dari samping dengan ter senyum tanpa berkata. Sedang Ma Sian Kun berulang kali
merogo keluar sebuah arloji kantong yang besar berlapis emas untuk melihat
waktunya.
Disudut lain Tio Pah San lagi
asjik bicara dengan Liok Hwi Hing tentang keadaan masing-masing selama
berpisah. Bu Tim dan Ciu Tiong Ing sedang main Catur, tapi karena Bu Tim kurang
tenang, kepandaian main Caturnya pun kalah baik, maka berulang kali ia harus
menyerah.
Tan Keh Lok sendiri sambil
menengadah lagi menggu mamkan sajak dengan sejilid kitab kuno. Ciok Siang Ing
termangu-mangu memandangi langit tanpa bergerak.
Begitulah suasana jago-jago Hong
Hwa Hwe itu sampai akhirnya dapatlah menanti satu jam dan terdengarlah Ma Sian
Kun berkata: “Sudah waktunya kini!”
Seketika saja semua orang
berbangkit dan berbondong-bondong keluar. Masing-masing membekal senjata
didalam baju dan dari segala jurusan menuju kesuatu rumah penduduk didekat
istana panglima. itu untuk berkumpul.
Penghuni rumah penduduk itu sudah
lama dipindahkan, ketika Cio Su Kin yang menanti disitu melihat para kawan
sudah datang, dengan suara tertahan segera ia berkata : “,Tiunama, disekitar
sini tentara negeri berpatroli dengan sangat keras, kita harus berhati-hati!” —
Habis itu dengan gajuh besinya ditangan ia menjaga dimulut goa galian mereka
dan membiarkan para pahlawan masuk berturut-turut.
Jalan dibawah tanah itu sangat
dalam galinya, ditambah keadaan tanah di HangCiu basah lembab, air dijalan
lorong itu ternyata setinggi betis, ketika mereka sudah menerobos melewati batu
besar itu, air lumpur sudah merendam sampai setinggi dada, dan setelah beberapa
puluh tombak lagi, barulah mereka sampai diujung.
Disana beberapa orang anggota
HONG HWA HWE sambil memegang obor dan alat-alat penggali sudah menunggu,.
ketika dilihatnya Congthocu mereka sudah datang, segera mereka melapor :
“Didepan inilah papan besi itu!”
“BaikIab, kerjakan sekarang!”
sahut Keh Lok.
Cepat-cepat saja beberapa Srang
HONG HWA HWE itu beketja keras dihadapan pemimpin be|ar mereka, maka tidak lama
sebuah batu disamping papan ibaja itu sudah didongkel keluar; setelah digali
lagi tak lama, papan baja itu sudah dapat mereka keluarkan. Tanpa disuruh,
lagi, sekali gaetannya menyajal dulu kedepan, segera Wi Jun Hwa mendahului
menerobos masuk terus diikuti pahlawandua yang lain dengan disinari obor yang
dibawa anggotadua HONG HWA HWE tadi.
Ketika sudah menembus jalan lorong
kemarinnya itu. segera para pahlawan berlari terus kedepan, ketika sudah sampai
diujung lorong sana, tertampaklah pintu besi itu menutup rapat kebawah.
Lekas-lekas Jun Hwa menekan titik tengah gambar Pat-kwa seperti kemarin itu,
siapa tahu pintu besi itu sedikitpun tak bergeming, agaknya alat penggeraknya
sudah tak bekerja,
Seketika tergerak pikiran Thian
Hong, lekas-lekas ia memberi perintah: “Pat-te dan Kiu-te, lekas kalian pergi
menjaga dimulut pintu penyara ini untuk ber-siapdua bila musuh pakai tipu
muslihat.”
Cepat-cepat Seng Hiap dan Jun Hwa
pergi menerima tugas itu.
Sementara itu dengan alat
penggali mereka beberapa anggota HONG HWA HWE tadi telah menyongkel keluar
batu-batu dibawah pintu besi itu dan be-ramaidua merekapun mengangkat keatas
pintu besi yang berat luar biasa itu.
Pintu itu ternyata diikat dengan
rantai besi yang kokoh. namun sekali tabas dengan leng-bik-kiam, Lou Ping dapat
memutuskan rantai itu. Dan setelah itu, ia serentak men dahului menobros
kedalam kamar. Tapi begitu masuk, ia segera mengeluarkan jeritan tertahan,
karena kamar itu ternyata kosong melompong. Bun Thay Lay sudah tak tampak
disitu.
Sampai disini, karena sudah
beberapa kali mengalami ke gagalan dalam merebut kembali suaminya, betul-betul
Lou Ping tak kuat lagi menguasai hatinya. Ia mendeprok, terus me nangis
tersedu-sedu. Orang-orang HONG HWA HWE turut merasa pilu akan kesedihan yang
diderita oleh puteri Lou Gwan Thong itu.
Tan Keh Lok mengambil pedang
'leng-bik-kiam' dari tangan Lou Ping, dan diCobanya untuk menusuk pintu kecil
yang dibuat lari oleh Ciauw Cong dulu.
“Mungkin karena menguatirkan kita
merampok peujara, maka Li Khik Siu telah memindahkan Bun-suko kelain tempat,”
kata Thian Hong Coba menghiburnya.
Karena itu semua orang HONG HWA
HWE kembali lagi masuk kedalam lobang penggalian mereka tadi. Tapi tiba-tiba
terdengarlah suara air mengalir yang gemuruh sekali.
“Celaka, kita terpaksa harus
menyerbu keluar saja!” kata Thian Hong kaget.
Dan betul-betul juga lobang
penggalian mereka itu sudah kerendam penuh. Dan air itupun mulai mengalir
kedalam jalanan tanah itu.
“Apapun yang akan terjadi, kali
ini kita harus dapat me rampas Bun-suko!” seru Keh Lok. “Kita serbu saja kantor
markas Li Khik Siu ini!”
Tapi sementara itu, airpun sudah
makin menggenangi jalanan itu.
“Kurangajar, ini tentu akalnya Li
Khik Siu untuk meren dam kita dengan air!” kata Bu Tim.
Ketika mereka menghampiri sampai
kemulut jalanan, disitu Seng Hiap tampak sedang bertempur dengan beberapa
serdadu Ceng. Tapi anehnya, Jun Hwa tak kelihatan berada disitu. Dengan
menggerung keras, Bu Tim menobros keluar. Sekali mengajun pedang, dua orang
serdadu Ceng yang tengah memegangi pipa air yang dipakainya untuk merendam
jalanan dibawah tanah itu segera roboh. Menyusul dengan itu, keluarlah semua
orang HONG HWA HWE itu.
Ternyata Jun Hwa juga tampak
disebelah sana, tengah bertempur dengan beberapa orang perwira. Melihat suasana
Yang genting itu, Hwi Hing diam-diam berpikir dalam hatinya : “Dengan Li Khik
Siu, aku pernah mengenal dan sedikitnya pernah menerima budinya, jadi tak
leluasa kalau ikut bertempur secara terang-terangan.”
Karenanya, segera ia robek
jubahnya, untuk menutup mukanya dengan diberi lobang kecil dibagian mata. Tapi
baru saja selesai menyaru itu, tentara Ceng ternyata sudah mundur, dikejar
terus oleh Jun Hwa.
Dengan gunakan ilmu mengentengi
tubuh, Thian Hong naik keatas tembok untuk mengawasi sekitar tangsi itu.
Ternyata tangsi itu penuh dengan penjagaan tentara musuh. Tiba-tiba didengarnya
bunyi genderang dipukul keras sekali, se-olahdua dimedan peperangan.
Ternyata. anak tentara itu sedang
disiapkan untuk men jaga, sebuah rumah yang bertingkat dua. Sekeliling rumah
itu dijaga keras oleh lima puluh0 orang tentara. Melihat penjagaan itu, Thian
Hong menduga tentu Bun Thay Lay disembunyikan disitu. Cepat-cepat sesudah
loncat turun, dia mengisyaratkan saudara-saudaranya supaya mengikutinya.
Makin mendekati rumah itu,
orang-orang yang bertempur makin ramai. Dalam suasana yang gaduh itu, Ma Sian
Kun dan Tio Pan San memimpin berpuluh-puluha thauwbak HONG HWA HWE yang
berkepandaian agak tinggi, loncat dari tembok terus mema suki gedung itu.
Sekalipun jumlah tentara Ceng itu lebih besar, tetapi mereka tak dapat menahan
gempuran orang-orang HONG HWA HWE yang lihai itu. Dan tak lama kemudian,
rombongan HONG HWA HWE yang lain itu sudah mendekati pintu gedung.
Dengan gunakan gerak tipu
“naga-hitam-menyapu-tanah” Ciang Cin membolang-balingkan sepasang kampaknya
untuk memaksa masuk. Diambang pintu, seorang yang ber senjatakan tombak, segera
menyambut serangan Ciang Cin itu. Juga Jun Hwa, Lou Ping, Seng Hiap, Siang Ing
dan lain-lainnya sudah mendapat lawan masing-masing. Disinari oleh Cahaja obor,
pertempuran segera berjalan dengan seru sekali. Ternyata pasukan yang menjaga
gedung bertingkat itu semuanya pilihan.
“Sam-te, Coba kita tengok
kemuka!” seru Bu Tim meng ajak Tio Pan San. Seorang perwira menghadang dan
membaCok, tapi tanpa berkelit atau menangkis, dengan sebuah gerakan
“kuda-binal-menerjang kemuka,” ujung pedang imam berlengan satu itu lebih
Cepat-cepat datangnya. Maka dengan mengeluarkan jeritan yang seram, perwira itu
roboh segera.
Tio Pan “San juga sudah siap
dengan senjata rahasianya. maka Sekejab saja sudah ada dua orang serdadu yang
roboh pula. Dan dengan leluasa, kedua orang itu segera masuk kedalam ruangan,
langsung menuju kepaseban dalam. Ciu Tiong Ing, Lou Ping dan lain-lain.nya ikut
masuk.
Tampak oleh Hwi Hing bahwa lawan
Ciang Cin tadi ternyata berkepandaian tangguh, sedikitpun Ciang Cin tak dapat
mengatasi lawannya.
Hwi Hing menjadi tak sabar,
Cepat-cepat ia melesat kedepan. Dengan gerakan “thian-way-lay-hun,” mega dari
luar langit, ia menusuk leher kiri orang itu. Tapi orang itu Cepat-cepat
memutar balikkan tangkai tombaknya, terus dikeprak kebawah. Tombak perwira itu
panjang lagi berat, dan tenaga orang itu kuat sekali. Tak bisa tidak pedang Hwi
Hing pasti terpental, kalau saja kena kehantam
Tapi Hwi Hing tak jeri.
Cepat-cepat dia tarik pedangnya, begitu mengempos semangat, terus dikibaskan
keatas sekeras-kerasnya.
“Trangng……” Tombak menCelat
keudara, sedang perwira itu tangannya kesemutan. Serasa terbang semangat orang
itu, siapa terus loncat kesamping. Tapi lacur, dia ter peleset jatuh. Kalau mau
sebenarnya, mudah saja Ciang Cin memburunya untuk menghabisi jiwa lawannya itu.
Tapi bongkok orangnya, Ciang Cin ternyata mempunyai sifat ksatria. Tak mau dia
membunuh musuh yang tak bersenjata, maka dia terus memutar badan untuk
menyerang salah seorang dari dua lawan yang mengerojok Seng Hiap.
Seng Hiap tambah bersemangat.
Dengan sepasang siang->tao atau gaetan, dia kaCip pinggang lawannya dengan
gerak ,giok-tay-wi-yo”, sabuk mestika melibat pinggang. Orang itu bersenjatakan
siangto (sepasang golok), maka Cepat-cepat dia kibaskan senjatanya kekanan
kiri, untuk membelah serangan Seng Hiap. Karenanya, Seng Hiap kini berbalik ter
buka bagian dadanya, tapi Cepat-cepat dia tutup lagi dan rapatkan sepasang
senjatanya dengan gerakan maju mfenusuk dada lawan. Gerakan itu sebat luar
biasa, dan dengan keluarkan Ceritan seram, orang itu terjungkal roboh.
Setelah ada beberapa orang yang
roboh lagi. maka suasa na pertempuran menjadi agak berkurang. Tiba-tiba Bu Tim
berseru dengan keras: “Saudara-saudara, Sute berada disini, kita serbu terus!”
Mendengar kabar itu, seketika
orang-orang HONG HWA HWE bersorak kegirangan. Ciu Ki tengah bertempur dengan
seorang yang bersenjatakan sepasang palu besi yang diikat rantai. Ia tak
mengerti akan kata-kata rahasia dari HONG HWA HWE, maka ia berpaling untuk
menanya pada Thian Hong: “He, apa kata Bu Tim tojin itu?”
“Suko berada diatas sana, kita
haras Cepat-cepat menolongnya!” menerangkan Thian Hong.
“Bagus!” seru Ciu Ki kegirangan.
Justeru karena dia kegirangan
itu, lalu menjadi agak iengah, dan kena kehantam palu besi berantai itu. Thian
Hong kaget sekali, dan akan membantunya.
“Tak usah, Cukup kalau kau dapat
menyingkirkan salah sebuah palu rantainya saja!” seru Ciu Ki.
“Anjing laki-perempuan, bangsat,
rampok!” orang itu memaki dengan gusarnya.
Ketika Thian Hong menubruk
kepunggungnya, orang Itu mengibaskan rantai palunya kebelakang. Cepat-cepat
Thian Hong menyampok dengan tongkatnya terus digubatkannya. Saking gugupnya,
orang itu menyusuli menyerang dengan yang sebuah lagi. Tapi karena Thian Hong
itu orangnya pendek, jadi Cukup dengan tundukkan kepala, palu besi itu lewat
diatas kepalanya. Cepat-cepat sekali, Thian Hong ajunkan golok ditangan kanan
untuk menabas lengan orang.
Orang itu Coba berusaha menarik
rantainya dari iibatan tongkat Thian Hong agar dapat dipakai untuk menangkis
serangan golok itu, tapi ternyata sia-sia. Karena ujung golok sudah dekat,
terpaksa dia tarik tangannya kebelakang, dan dengan demikian senjatanya
terpaksa dilepaskan.
“Bagus!” seru Ciu Ki.
Dan menuruti permintaan sinona,
Thian Hong lalu mundur, mengawasi Ciu Ki tempur orang itu. Karena kurang satli
senjatanya, kekuatan orang itupun berkurang. Dan dalam oeberapa jurus lagi,
pundaknya telah kena dibabat oleh golok sinona dan terpaksa lari.
“Bagaimana dengan Bun suko, apa
masih belum tertolong” Ayo, kita naik kesana?” seru Ciu Ki segera.
“Kau naiklah kesana, aku menjaga
disini,” sahut Thian Hong.
Masuk kedalam ruangan Ciu Ki
dapatkan semua penjaga sudah tersapu bersih oleh Bu Tim. Dan iapun bergegasa
naik keatas loteng. Disitu ia dapatkan rombongan HONG HWA HWE sedang
mengelilingi sebuah sangkar besi.
Tan Keh Lok gunakan
'leng-bik-kiam' (pokiam Ciauw Cong) untuk menghantam ruji besi dari kurungan
itu. Se waktu Ciu Ki menghampiri dekat, marahlah ia. Karena dalam sangkar itu,
ada lagi sebuah sangkar kecil. Disitulah Bun Thay Lay berada dengan kaki tangan
diborgol, tak beda seperti seekor binatang buas yang dikurung didalam.
Saat itu Keh Lok telah berhasil
memapas putus dua buah jeruji, dan dengan gunakan kekuatannya yang besar, Ciang
Cin berhasil menarik sempal jeruji itu. Karena bertubuh kecil langsing, Lou
Ping berhasil masuk kedalam sangkar itu. Dipinjamnya “leng-bik-kiam” dari Tan
Keh Lok, dan dipakainya untuk memapas rantai pintu sangkar kecil itu.
Orang-orang HONG HWA HWE
menantikannya dengan kegirangan. Mereka telah bertekad, sekalipun bala bantuan
tentara Ceng datang dalam jumlah besar, mereka tetap akan bertahan disitu.
Pokoknya, biar bagaimanapun, Bun Thay Lay harus dapat ditolong.
Kedua saudara Siang dan Thian
Hong pimpin rombongan thauwbak untuk menjaga dibawah loteng. Mendadak ter
dengar suara terompet, dan kawanan serdadu Ceng sama mundur dengan rapi.
“Awas, musuh akan melepas panah,
Ayo, kita mundur kedalam ruangan saja!” seru Siang Pek Ci.
Dengan diiring dari belakang oleh
kedua saudara Siang itu, rombongan orang-orang HONG HWA HWE segera masuk
kedalam. Tapi ternyata serdadudua Ceng itu tidak jadi melepaskan anak panah,
malah sekonyong-konyong terdengar seorang berseru keras-keras: “Tan-tangkeh
dari HONG HWA HWE dengarlah aku bicara!”
Mendengar itu, Keh Lok lalu
menghampiri jendela. Tam pak olehnya Li Khik Siu berdiri diatas sebuah batu
besar seraya ber-teriakdua: “Aku minta bicara dengan Tan-tangkeh!”
“Ya, aku ada disini. Li-Ciangkun
hendak memberi petun juk apa?” tanya Keh Lok dari atas loteng itu.
“Lekas turun dari loteng, atau
kalian nanti hanCur semua!” seru Khik Siu.
“Jika kami takut mati, tak nanti
kami berada ditempat ini. Maaf, hari ini kami pasti akan membawa pergi
Bun-suya!”
“Yangan kalian tetap tak insaf,”
kata Khik Siu. Habis ini tiba-tiba ia berteriak: “Bakar!”
Sekali dia memberi abadua, Can
Tho Lam dan Li Wan Ci memimpin serombongan serdadu membawa rumput dan kayu
bakar yang segera disulut apinya dan dilemparkan kesekeli ling rumah gedung
itu. Sekejab saja, api menjilat gedung
bertingkat itu, dan mengepung
orang-orang HONG HWA HWE didalamnya. Tan Keh Lok kaget, namun tak mau dia
unyukkan pera saannya diwajahnya, ia tetap berlaku tenang saja.
“Kita harus Cepat-cepat bekerja
untuk merusak sangkar besi itu!” kata Tan Keh Lok seraya berpaling kebelakang.
Setelah itu, dia melongok lagi keluar dan berseru kepada Li Khik Siu:
“Sekalipun kami tak berguna, tapi serangan api Ciang-kun ini rasanya masih
belum membikin kami menjadi jeri!”
Tiba-tiba ada seorang yang tampil
kemuka dari belakang Ciangkun itu terus me-maki-maki dengan menuding: “Kematian
sudah didepan mata, masih kau bermulut besar. Tahukah kau apa yang terpendam
dibawah gedung bertingkat itu?”
Diantara Cahaja api yang terang
benderang, tampaklah bahwa yang bicara itu adalah jago bayang kari, Hoan Tiong
Su. Disebelahnya tampak Cu Wan dan beberapa orang si-wi lainnya. Jadi
teranglah, bahwa Kian Liong sudah mendengar berita itu, hingga mengirim
beberapa orang jago pilihannya untuk membantu Li Khik Siu.
“Celaka! Disini penuh dengan obat
pasang!” tiba-tiba Thian Hong berseru dengan bahasa rahasia.
Seperti orang disedarkan,
teringatlah Keh Lok ketika me nuju keloteng, ruangan dibawah itu seperti
merupakan sebuah gudang” yang penuh dengan tumpukan barang. Adakah tumpukan
petidua itu berisi obat pasang? Memikir sampai disitu, ketua HONG HWA HWE itu
memandang kesekeliling ruangan loteng tersebut. Dan benarlah kiranya. Disitupun
penuh dengan tumpukan peti.
Cepat-cepat dihampirinya sebuah
peti, terus dihantamnya sampai pecah. Bubukan berwarna hitam segera mengalir
keluar, hau obat belirang menusuk hidung. Nyata itulah obat pasang!
“Apakah HONG HWA HWE akan hanCur
lebur disini nanti?” diam tanya Keh Lok dalam hatinya.
Berpaling kebelakang, sangkar
kecil itu sudah terbuka, dan Lou Ping kelihatan menuntun Bun Thay Lay keluar.
“Suso, Samko, Ciu dan Liok
Cianpwe, lindungi Suko, mari ikuti aku keluar!” seru Keh Lok segera terus turun
kebawah loteng.
Ciang Cin segera mendukung Bun
Thay Lay, sementara Lou Ping, Tio Pan San, Hwi Hing, Ciu Tiong Ing dan
lain-lainnya melindunginya. Tiba diambang pintu, panah turun sebagai hujan.
Beberapa kali Jun Hwa dan kedua saudara Siang Coba menobros keluar, tapi selalu
balik mundur lagi.
“Dibawah lantai yang kau orang
inyak itu kita pendami obat peledak yang tali sumbunya ada disini,” seru Khik
Siu tiba-tiba.
“Cukup sekali aku sulut tali ini,
kau orang akan hanCur lebur. Ayo, tinggalkan Bun Thay Lay saja!” kembali jen
deral itu berseru sembar mengangkat obornya.
Tahu Keh Lok dan Thian Hong bahwa
kata-kata jenderal itu tidak bohong, karena seluruh gedung itu penuh dipasangi
bahan peledak. Hanya karena Bun Thay Lay adalah pesakitan penting, jadi mereka
masih belum berani meledakkannya. Thian Hong mati daya, sedang Tan Keh Lok
segera mengambil keputusan. “Lepaskan suko, dan kita lekas keluar!” katanya.
Diikuti oleh Jun Hwa dan kedua
saudara Siang, dia putar pedangnya untuk menerobos keluar. Ciang Cin masih
terus melangkah keluar sembari mendukung Bun Thay Lay, rupanya perintah ketua
HONG HWA HWE tadi, belum didengarnya.
“Lepaskan Sute, kita dalam bahaya
besar, kita lekas keluar, jangan sampai kita berbalik membikin Celaka pada
Sute,” kata Tio Pan San kepada si Bongkok.
Ciang Cin segera meletakkan Bun
Thay Lay diambang pintu dan karena Lou Ping masih merjublek dengan bingung,
maka Ciang Cin terus menarik bahunya diajak keluar.
Melihat orang-orang HONG HWA HWE
sudah melepaskan Bun Thay Lay, Li Khik Siu memberi isyarat kepada anak buahnya,
supaya jangan melepas panah lagi, karena dikuatir akan melukai orang tawanannya
itu.
Sekeluarnya dari gedung
bertingkat itu rombongan HONG HWA HWE sama berkumpul diujung tembok.
“Siang-koko berdua Pat-ko,
Kiu-ko, kalian terjang pasukan dimuka yang dipimpin oleh Li Khik Siu itu.
Hit-ko, Coba atur rencana untuk memutuskan tali sumbu peledak itu.
Totiang, Samko, begitu
saudara-saudara kita, itu sudah berhasil, kita harus selekasnya menerjang
merampas Suko lagi!” demikian Keh Lok mengatur rombongannya.
Waktu itu Li Khik Siu lagi
memerintahkan orangnya pergi menjaga Bun Thay Lay, tapi tiba-tiba rombongan
kedua per-saudaran Siang muncul dan menyerangnya. Terpaksa dia harus pecah
pasukannya lagi untuk melawannya. Rombongan jagos bayang kari yang terdiri dari
Hoan Tiong Su, Cu Co Im, Cu Wan, Swi Tay Lim dan lain-lainnya segera maju
menghadang.
Selagi pertempuran berlangsung
lagi, Hwi Hing Cepat-cepat melesat kearah Li Khik Siu. Pengawais jenderal itu
bersorak gempar sembari menghantam Hwi Hing. Tapi jago tua ini tak mau melawan,
hanya selalu berkelit kesana kesini saja. Bagaikan seekor belut, Hwi Hing sudah
dapat melampaui tujuh atau delapan orang pengawal dan hampir mendekati Li Khik
Siu.
Wan Ci tetap berpakaian sebagai
lelaki, dan mendampingi ayahnya. Maka begitu ia melihat seorang berkedok kain
(Hwi Hing) akan menghampiri sang ayah, Cepat-cepat ia sambut dengan sekali
tusukan kedada sambil membentak menanya. Tapi Hwi Hing tak mau membuka suara,
ia mengelit terus menyelinap kedepan.
Kepandaian Li Khik Siu pun Cukup
lihai. Melihat ada orang aneh akan menyerangnya, sebat sekali kakinya melayang
mengarah muka orang.
Hwi Hing gunakan ilmu
“Can-ih-sip-pat-tiat,” dia mele jit kebelakang Li Khik Siu. Lalu ulurkan
tangannya menyolok punggung orang. Jenderal yang tubuhnya gemuk itu sempoyongan
terlempar pergi.
Wan Cie terkejut, Cepat-cepat
mengirim tusukan lagi. Tapi Hwie Hing kembali melejit kesamping. Sedang
siperwira Can Tho Lam, ketika nampak atasannya jatuh numprah ditanah, Buru-buru
datang menolong. Tapi Seng Hiap tak mau lepaskan lawannya itu, siapa terus
dikejar. Jadi kini ada dua orang berlari-larian menuju kepada Li Khik Siu.
Ketika hampir kepegang tiba-tiba
Tho Lam memutar tombak dan menusuk pengejarnya itu dengan gerakan
“tok-liong-jit-tong” atau naga jahat keluar goa. Dalam pada itu, Li Khik Siu
sudah berbangkit sendiri. Tetapi Hwi Hing telah mendahului menCelat
disampingnya.
Melihat gerak tubuh orang aneh
berkedok itu Cepat-cepat luar biasa, hanya sekejap saja sudah sampai didekat
ayahnya, mengingat akan keselamatan sang ayah, karuan Li Wan Ci terkejut
sekali, Cepat-cepat iapun melayang maju, dan belum kakinya menancap tanah,
dengan tipu “pek-hong-koan-jit” atau pelangi menembus sinar matahari, segera ia
tusuk punggung orang berkedok Liok Hwi Hing.